politik uang pada pemilu 2014

50
POLITIK UANG PADA PEMILU 2014 Oleh : Lukman. M, S.H & Anak Agung Jelantik Sanjaya, MBA A. LATAR BELAKANG MASALAH Pada tanggal 9 April 2014 rakyat Indonesia telah selesai menyelenggarakan pemilih umum legislatif. Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hasil pemilu tahun 2014 telah dapat dilihat dan diperkirakan oleh Lembaga Survei dalam Hitung Cepat (Quick Count). Quick Countadalah proses perhitungan cepat hasil pemilu dengan menggunakan metode sampling dan kemampuan teknologi komunikasi.[1] Namun hingga saat ini beberapa tempat, masih dilakukan pemilu ulang dengan alasan diantaranya surat suara tertukar. Lembaga Survey Hitung Cepat haruslah independen dan tidak menguntungkan atau memihak salah satu partai politik. Berdasarkan putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 tanggal 3 April 2014 bahwa pasal 247 ayat 2, ayat 5 dan ayat 6 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang pengumuman hasil survey pada masa tenang, pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia Bagian Barat dan Pelanggaran terhadap pasal 247 ayat 2, ayat 4, dan ayat 5 menurut amar

Upload: ahmad-sholikin

Post on 17-Nov-2015

23 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

politik uang

TRANSCRIPT

POLITIK UANG PADA PEMILU 2014Oleh : Lukman. M, S.H&Anak Agung Jelantik Sanjaya, MBAA. LATAR BELAKANG MASALAHPada tanggal 9 April 2014 rakyat Indonesia telah selesai menyelenggarakan pemilih umum legislatif. Pemilihan Umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).Hasil pemilu tahun 2014 telah dapat dilihat dan diperkirakan oleh Lembaga Survei dalam Hitung Cepat (Quick Count).Quick Countadalah proses perhitungan cepat hasil pemilu dengan menggunakan metode sampling dan kemampuan teknologi komunikasi.[1]Namun hingga saat ini beberapa tempat, masih dilakukan pemilu ulang dengan alasan diantaranya surat suara tertukar. Lembaga Survey Hitung Cepat haruslah independen dan tidak menguntungkan atau memihak salah satu partai politik. Berdasarkan putusan MK Nomor 24/PUU-XII/2014 tanggal 3 April 2014 bahwa pasal 247 ayat 2, ayat 5 dan ayat 6 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang pengumuman hasil survey pada masa tenang, pengumuman prakiraan hasil penghitungan cepat pemilu hanya boleh dilakukan paling cepat 2 jam setelah selesai pemungutan suara di wilayah Indonesia Bagian Barat dan Pelanggaran terhadap pasal 247 ayat 2, ayat 4, danayat 5 menurut amar Mahkamah Konstitusi adalah bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.Menurut Fery Kurnia Riskiyansyah, Komisioner KPU, dinyatakan bahwa sudah dibentuk tim klarifikasi terkait surat suara tertukar dan segala macam pelanggaran hasil temuan dari tim pengawas[2]. Beliau juga menegaskan akan memberi sanksi baik etik dan juga akan melaporkan tindak pidana bagi anggota KPU yang terlibat pelanggaran. Pemilu tahun ini terjadi surat suara tertukar pada 785 tempat pemungutan suara yang tersebarpada 30 provinsi.Pemilu merupakan instrument pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara demokrasi. Pemilu juga sebagai sarana penyaluran Hak Asasi Manusia. Dalam negara yang mempunyai penduduk besar, demokrasi dilakukan melalui system perwakilan (Representative Democracy atau Indirect Democracy).Pemilu pada tahun 2014 di Indonesia menggunakan system proposional dengan daftar suara terbuka. Proposional terbuka berarti untuk menentukan Calon Anggota Legislatif (Caleg) yang mendapatkan kursi berdasarkan perolehan suara terbanyak caleg.Peserta pemilu tahun 2014 adalah 12 partai nasional dan 3 partai local (khusus di Aceh). Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten dan Kotamadya dicalonkan oleh partai politik. Calon Anggota DPD dicalonkan oleh masyarakat sebagai calon independen. Pemilu juga menerapkan ambang batas 3 %, sehingga hanya partai politik yang mendapatkan suara minimal 3 % yang beliau juga menegaskan akan mendapatkan kursi. Terdapat 6577 Caleg DPR RI yang bertarung (4318 adalah laki-laki dan 2441 adalah perempuan).[3]Namun pemilu tahun ini masih dinodai dengan adanya politik uang yang dilakukan oleh beberapa caleg, Menurut Rumlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, inisiatif calon anggota DPR dianggap salah satu penyebab praktek politik uang. Caleg melakukan berbagai cara termasuk politik uang, untuk mendapatkan suara lebih banyakdaripada caleg lain dalam satu partai politik. Sebab, dalam system pemilihan proposional dengan daftar terbuka, caleg bisa mendapatkan kursi, jika suara yang di raih lebih banyak daripada caleg yang lain yang berasal dari partai politik yang sama.[4]Menurut AAGN Ari Dwipayana, pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, disisi lain honor petugas penyelenggara pemilu mulai dari kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), hingga Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), tidak berubah. Rendahnya honor itu membuka peluang para petugas penyelenggara pemilu melakukan penyelewengan, seperti memanipulasi suara. Para Caleg bisa menawarkan imbalan besar kepada petugas dengan kompensasi menggelembungkan suara caleg.[5]Indonesia Corruption Wacth (ICW) menyatakan, dalam pemilihan legisatif (pileg) 9 April lalu terdapat 313 pelanggaran yang ditemukan di 15 daerah. Ada pun jumlah itu terdiri dari beberapa jenis pelanggaran. Di antaranya pemberian uang pada pemilih sebanyak 104 temuan, pemberian barang sebanyak 128 temuan, pemberian jasa sebanyak 27 temuan dan penggunaan sumberdaya Negara sebanyak 54 temuan.[6]Adapun jumlah setiap daerah berbeda-beda sesuai temuan yang dilaporkan pada posko pemantau ICW dan gabungan. Dari 15 daerah, yangtertinggi adalah provinsi Banten, yakni 36 kasus. Disusul provinsi Riau dan Bengkulu temuan dan Sumatera Utara 29 temuan, Sementara itu di Provinsi Daerah Istimewa Aceh ditemukan sebanyak 23 temuan, disusul Jawa Barat sebanyak 17 temuan, Jawa Tengah 16 temuan, dan Sulawesi Selatan, 15 temuan. Di Kalimantan Barat sebanyak 13 temuan. Jawa Timur, Jakarta dan Sulawesi Tenggara masing-masing 9 temuan. Terakhir Provinsi Nusa Tenggara Barat 8 temuan dan Nusa Tenggara Timur 5 temuan.[7]Menurut Peneliti ICW Divisi Korupsi Politik Abdullah Dahlan, jumlah pemberian uang yang diberikan parpol maupun caleg di 15 daerah itu berbeda-beda. Ada sebanyak 24 temuan pemberian uang antara Rp 5 ribu hingga Rp 25 ribu. 28 temuan, terkait pemberian uang dengan nominal Rp 26 ribu hingga Rp 50 ribu. Berikutnya 23 temuan yang memberikan uang senilai Rp 51 ribu hingga Rp 100 ribu. Sisanya 2 temuan pemberian uang Rp 151 ribu hingga Rp 200 ribu. Di atas Rp 200 ribu sebanyak 12 temuan.Indonesia Corruption Watch (ICW) juga merilis praktik politik uang dari pemilu ke pemilu mengalami peningkatan pasca reformasi. Pada pemilu tahun 1999 terjadi 62 kasus, kemudian pada pemilu 2004 terjadi 113 kasus, pada pemilu 2009 meningkat menjadi 150 kasus. Dan pada pemilu 2014 terjadi 313 kasus.[8]Selain politik uang, caleg juga kerap menggunakan metode lain dalam mendongkrak perolehan suara. Diantaranya pelibatan aparatur sipil, penggunaan kendaraan dinas untuk berkampanye dan penggunaan fasilitas Negara dan ibadah untuk berkampanye.Dan adapun yang di maksud dengan Politik Uang (Money Politics), ada beberapa alternatif pengertian. Diantaranya, suatu upaya mempengaruhi orang lain dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan dan tindakan membagi-bagikan uang baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih (vooters). Pengertian ini secara umum ada kesamaan dengan pemberian uang atau barang kepada seseorang karena memiliki maksud politik yang tersembunyi dibalik pemberian itu. Jika maksud tersebut tidak ada, maka pemberian tidak akan dilakukan juga. Praktik semacam itu jelas bersifat ilegal dan merupakan kejahatan. Konsekwensinya para pelaku apabila ditemukan bukti-bukti terjadinya praktek politik uang akan terjerat undang-undang anti suap.Perpolitikan lokal selalu melahirkan dinamika. Hal ini menuntut partai politik (parpol) sebagai instrumen demokrasi harus menyelaraskan platform politiknya terhadap perubahan yang terjadi di masyarakat. Tak sedikit, perubahan tersebut menjadi tantangan bagi parpol. Sebut saja masalah golongan putih (golput) yang muncul akibat ketidakpercayaan kelompok ini kepada parpol. Kini, di masyarakat juga muncul kecenderungan menginginkan figur-figur baru sebagai pemimpin. Tentunya, figur yang bisa membawa perubahan.Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah letih menanti perbaikan dan bosan dengan janji-janji politik. Keberadaan golput di sejumlah pemilu maupun pemilihan kepala daerah makin mengukuhkan ketidakpuasan rakyat terhadap parpol. Secara global jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) tahun lalu, memprediksikan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap parpol turun drastis. Ini akibat, masyarakat memandang komitmen pertanggungjawaban parpol terhadap konstituennya masih sangat minim. Sehingga membuat para pemilih menjadi tidak simpati lagi terhadap parpol.Dengan adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap para calon pemimpin memberikan efek negatif bagi para elit-elit dengan menghambur-hamburkan uang dalam waktu sekejap, demi kekuasaan semata. Dan sebaliknya adalah sangat menggiurkan juga bagi masyarakat meskipun sesaat. Dengan caraMoney Politicshanya calon yang memiliki dana besar yang dapat melakukan kampanye dan sosialisasi ke seluruh Indonesia. Ini memperkecil kesempatan bagi kandidat perorangan yang memiliki dana terbatas, walaupun memiliki integritas tinggi sehingga mereka tidak akan dikenal masyarakat. Saat ini, Indonesia membutuhkan pergantian elite politik karena kalangan atas yang ada saat ini luar biasa korup. Penegakan hukum saat ini bisa dikatakan terhenti. Namun, format pemilu yang ada saat ini tidak memungkinkan partai kecil dan kandidat perorangan untuk tampil dalam kepemimpinan nasional.Panwas secara bertingkat dari pusat, provinsi, kabupaten/kota, hingga kecamatan juga saling mengawasi. Panwas pusat dapat menegur dan menghentikan Panwas provinsi. Demikian pula dari tingkat provinsi kepada kabupaten/kota atau Panwas kabupaten/kota kepada Panwas tingkat kecamatan.Singkatnya, penyelenggara pemilu harus siap karena pemilihan presiden mendatang menampilkan perubahan kultur politik dari partai oriented ke kandidat oriented. Sementara dengan kondisi yang ada, kandidat presiden harus mampu mendanai partai sebagai imbal balik pencalonan. Akibatnya yang muncul adalah perlombaan untuk mengumpulkan uang dari pelbagai sumber dan tidak mendorong pemberantasan korupsi yang dibutuhkan masyarakat.Dan Semenjak gelombang reformasi pada tahun 1998 melanda Indonesia, proses demokratisasi berlangsung secara cepat dan besar-besaran. Setelah lebih dari tiga puluh tahun Indonesia berada dalam rezim otoriter yang menjalankan demokrasi semu, lalu sejak masa pemerintahan Presiden BJ Habibie proses demokratisasi lewat pemilihan umum memberikan sebuah harapan baru.[9]Pemilihan umum presiden dilaksanakan untuk pertama kalinya pada tahun 2004, sedangkan pemilihan umum kepala daerah setahun setelahnya, lalu berangkat dari hal tersebut berbagai pemilihan umum jamak dilakukan dalam masyarakat.[10]Pemilihan umum (pemilu) memegang peranan sentral dalam sebuah sistem demokrasi. Tidak ada demokrasi tanpa terselenggaranya pemilu yang jujur dan demokratis. Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dimana rakyat dapat memilih pemimpin politiknya yang meliputi wakil-wakil rakyat yang duduk di parlemen baik di tingkat pusat ataupun daerah dan juga kepala pemerintahan daerah atau pusat secara langsung.[11]Dalam perspektif demokrasi, pemilu memiliki beberapa manfaat.Pertama, pemilu merupakan implementasi perwujudan kedaulatan rakyat. Sistem demokrasi mempunyai asumsi bahwa kedaulatan terletak di tangan rakyat. Karena rakyat yang berdaulat itu tidak bisa memerintah secara langsung maka melalui pemilu rakyat dapat menentukan wakil-wakilnya dan para wakil rakyat tersebut akan menentukan siapa yang akan memegang tampuk pemerintahan.Kedua, pemilu merupakan sarana untuk membentuk perwakilan politik. Melalui pemilu, rakyat dapat memilih wakil-wakilnya yang dapat memperjuangkan aspirasi dan kepentingannya. Semakin tinggi kualitas pemilu, semakin baik pula kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat ataupun kepala Negara atau daerah.Ketiga, pemilu merupakan sarana untuk melakukan penggantian pemimpin secara konstitusional. Pemilu bisa mengukuhkan pemerintahan yang sedang berjalan atau untuk mewujudkan reformasi pemerintahan. Melalui pemilu, pemerintahan yang aspiratif akan dipercaya rakyat untuk memimpin kembali dan sebaliknya jika rakyat tidak percaya maka pemerintahan itu akan berakhir dan diganti dengan pemerintahan baru yang didukung oleh rakyat.Keempat, pemilu merupakan sarana bagi pemimpin politik untuk memperoleh legitimasi. Pemberian suara para pemilih dalam pemilu pada dasarnya merupakan pemberian mandat rakyat kepada pemimpin yang dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan. Pemimpin politik yang terpilih berarti mendapatkan legitimasi (keabsahan) politik dari rakyat.

Kelima, pemilu merupakan sarana partisipasi politik masyarakat untuk turut serta menetapkan kebijakan publik. Melalui pemilu rakyat secara langsung dapat menetapkan kebijakan publik melalui dukungannya kepada kontestan yang memiliki program-program yang dinilai aspiratif dengan kepentingan rakyat. Kontestan yang menang karena didukung rakyat harus merealisasikan janji-janjinya itu ketika telah memegang tampuk pemerintahan.[12]Pemilu di Indonesia tak hanya berlangsung untuk memilih anggota perwakilan di parlemen, ataupun kepala daerah saja. Sistem pemilihan umum sudah jamak digunakan oleh masyarakat mulai dari memilih pimpinan pada tingkat paling kecil, seperti ketua RT/RW, dan kepala desa. Fenomena ini tak lepas dari kuatnya pengaruh gelombang demokratisasi yang melanda Indonesia semenjak tahun 1998.Salah satu tantangan dalam pemilu adalah maraknya praktek politik uang (money politic) yang berlangsung hampir di seluruh tingkatan pemilihan umum. Ari Dwipayana (2009) menyebutkan bahwa politik uang adalah salah satu faktor penyebab demokrasi berbiaya tinggi[13]Wahyudi Kumotomo (2009)[14]menyatakan bahwa setiap orang tahu bahwa kasus-kasus politik uang merupakan hal yang jamak dalam pemilu setelah reformasi. Kendatipun semua calon jika ditanya akan selalu mengatakan bahwa mereka tidak terlibat dalam politik uang, warga akan segera bisa menunjuk bagaimana para calon itu menggunakan uang untuk membeli suara di daerah pemilihan mereka. Menurut Daniel Dhakidae (2011) politik uang ini merupakan mata rantai dari terbentuknya kartel politik. Demokrasi perwakilan yang mengandalkan votes (suara) dengan mudah diubah menjadi sebuah komoditas, yang akan dijual pada saat sudah diperoleh dan dibeli saat belum diperoleh. Dibeli waktu pemilihan umum dengan segala teknik dan dijual pula dengan segala teknik.[15]Fenomena negatif ini muncul dalam transisi demokrasi di Indonesia. John Markoff (2002: 206) mengindikasikan bahwa fenomena ini sebagai hybrid dalam demokrasi masa transisi. Fenomena hybrid demokrasi ini merupakan percampuran elemen-elemen demokratis dengan elemen-elemen non demokratis yang dapat ditemui secara bersamaan dalam sebuah sistem politik.[16]Larry Diamond memberikan sinyalemen yang tidak jauh berbeda. Ada fenomena yang dia sebut sebagai demokrasi semu (pseudo-democracy). Indikatornya, mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi hakiki. Politik uang (money politics) merupakan salah satu fenomena negative mekanisme elektoral di dalam demokrasi. Dalam demokrasi yang belum matang, seperti di Indonesia, politik uang dijadikan alat untuk memobilisasi dukungan.[17]B. RUMUSAN MASALAHBerdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan dan diidentifikasi sejumlah permasalahan, maka permasalahan yang akan diteliti dan yang harus mendapat perhatian, dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut:Bagaimana Politik Uang/Money politicsterjadidi Pemilu 2014?Bagimana mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun mendatang?BagaimanaMoney politicsdalam Pemilu secara umum?ApakahMoney Politicsmempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan Umum?Apa dampak dari PraktikMoney politics?KenapaMoney Politicsmasih menjadi ancaman?Bagaimana cara melawan PraktikMoney Politics?Bagaimana Pengaruh Politik Uang Terhadap Pemilih?Bagaimana implikasi politik uang terhadap perilaku pemilih?C. KAJIAN TEORITISPeraturan yang bersifat yuridis mengenai politik uang (Money Politics) ini, yaitu larangan bagi para calon kandidat pemilihan baik pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah yang akan mencalonkan diri mereka dalam ajang pesta demokrasi yang berlangsung, sepertipelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemilu. Undang-Undang dan Peraturan tersebut antara lain:BAB XX Penyelesaian Pelanggaran Pemilu Dan Perselisihan Hasil Pemilu Undang-undang No. 10 Tahun 2008 Pasal 247 Ayat 1 sampai Ayat 10.Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PELANGGARAN PIDANA PEMILU Pasal 252, Pasal 253 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 254 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 255 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 256 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 257 Ayat 1 sampai Ayat 3.Undang-undang No. 10 Tahun 2008 mengenai PERSELISIHAN PEMILU Pasal 258 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 259 Ayat 1 sampai Ayat 3.Undang-undang No. 32 Tahun 2008 mengenai Pemberhentian Kepala Daerah (yang sudah dilantik atau yang akan dilantik) Pasal 29 Ayat 1 sampai 4, Pasal 30 Ayat 1 smapai 2, Pasal 31 Ayat 1 sampai Ayat 2, Pasal 32 Ayat 1 sampai Ayat 7, Pasal 33 Ayat 1 sampai Ayat 3, Pasal 34 Ayat 1 sampai Ayat 4, Pasal 35 Ayat 1 sampai Ayat 5, Pasal 36 Ayat 1 sampai Ayat 5.5.Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 mengatur larangan melakukan politik uang terutama pada pasal 86 ayat (1) huruf J. Berbunyi: pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya, kepada peserta kampanye pemiluLarangan tersebut diikuti dengan ancaman pidana pada pasal 301 Undang-Undang Nomor 8 tahun 20126.Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,Dalam hal penyelenggara Pemilu melakukan tindak pidana Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 273, Pasal 275, Pasal 276, Pasal 283, Pasal 286, Pasal 291, Pasal 292, Pasal 293, Pasal 297, Pasal 298, Pasal 301 ayat (3), Pasal 303 ayat (1), Pasal 304 ayat (1), Pasal 308, Pasal 309, Pasal 310, Pasal 311, Pasal 312, Pasal 313, pidana bagi yang bersangkutan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ketentuan pidana yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini7.Peraturan KPU No. 15 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye juga memperkuat peraturan UU tersebut dengan melarang pemberian uang dan barang sebagai iming-iming untuk menarik suara masyarakat selama berkampanye.PEMBAHASAN1.Politik Uang/Money politicsterjadidi Pemilu 2014Maraknya praktek politik uang pada pemilu 2014 sangat memprihatinkan semua kalangan di negeri ini, termasuk antara lainKetua Majelis Syuro Partai Bulan Bintang (PBB) Prof DR Yusril Ihza Mahendra, S.Hmengatakan bahwa Pemilu 2014 ini merupakan yang terburuk dibandingkan dengan Pemilu 1995 dan 1999 dan "Kualitas Pemilu semakin memburuk, Pemilu 2014 bahkan lebih buruk dari 2009, karena dipengaruhi oleh politik uang," ujarnya.[18]Kritik terhadap politik uang juga mendapat tanggapan dariMantan Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama (NU) Kiai Hasyim Muzadi yangmenilai bahwa pemilu legislatif 2014 masih sarat dengan dugaan praktik politik uang. Para politikus hasil pemilu diperkirakan tidak akan lebih baikdaripemilusebelumnya."Pemilihan umum telah menjadi pembelian umum, dan pilihan masyarakat atas wakil mereka motifnya karena uang,"banyaknya temuan pelanggaran berupayamengalihkan hasil perolehan suara oleh penyelenggara pemilu merupakan bukti adanya pelanggaran dan praktik penyelenggaraan pemilu yang menyimpang. Untuk meraih kemenangan, caleg bahkan tidak segan-segan untuk melakukan tindakan apapun, termasuk praktik politik uang.[19]Fonomena praktek politik uang pada pileg 2014 ini akan menjadi renungan khusus dan evaluasi bagi semua pihak khususnya bagi pembuat regulasi sepertiDPRuntuk bekerja keras dalam menyelesaikan persoalan bangsa khususnya praktek politik uangagar pemilu-pemilu kedepannya tidak terjadi lagi praktek politik uang, yang dampaknya akan merugikan semua pihak. Dan yang lebih pentingadalahevaluasidarisemua pihak terkait untuk penyelenggaraan pemilu yang di harapkan masyarakat, seperti contoh: Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menuai banyak masalah, mulai dari kecurangan kertas suara hingga politik uang. Bahkan, Pengamat politik Burhanudin Muhtadi menyebut Pemilu 2014 paling brutal danmenjijikan.Dia sudah mendatangi berbagai daerah pemilihan (dapil) dan mewawancarai puluhan calon anggota legislatif (caleg), umumnya mereka melakukan politik uang.Burhanudin pun menanyakan, mengapa hal tersebut tidak bisa dideteksi oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Menurutnya, secara empiris, sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia justru membuka peluang politik uang,"Tapi, poin saya, secara empirik sistem proporsional terbuka memberi insentif poin kecurangan lebih banyak dibanding yang tertutup," tegasnya.Burhanudin menambahkan, dalam sistem kelembagaan politik di mana satu dapil memiliki banyak kursi, membuat peluang politik uang semakin besar. Sebab, ada partai yang mengharapkan kursi sisa di dapil tersebut dengan cara memberi sejumlah uang ke dapil yang memiliki banyak kursi.[20]Praktik politik uang atau money politic yang terjadi selama pemilu legislatif (Pileg) 9 April lalu, juga dikutuk sejumlah pihak baik dari kalangan politisi maupun pengamat politik. Sebab, praktik politik uang dinilai bisa menghancurkan perjalanan demokrasi bangsa.

Ketua Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Pusat Mohammad Nasih mengatakan, penyebab utama maraknya politik uang yakni diantaranya mayoritas calon anggota legislatif (caleg) tidak memiliki wawasan yang cukup tentang politik."Sehingga pada saat mereka seharusnya melakukan kerja-kerja politik justru melakukan kerja sosial," kata dia dalam diskusi DPD di Gedung DPD, Senayan, Jakarta,Jumat,2Mei2014.

Menurut dia, pemilih belum cerdas dalam menggunakan hak politiknya. Terutama para pemilih di pedesaan. "Mereka meniscayakan uang untuk memilih, sehingga mereka memilih untuk meninggalkan pekerjaan mereka. Jika mereka meninggalkan (uang) itu makakehidupan harinya terancam an tidak bisa makan dialami kaum petani dan terlebih lagi nelayan, ujarnya.Untuk mengatasi hal itu, kata dia, ada alokasi anggaran pemilu yang memasukkan variabel bagi biaya para pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara (TPS)."Warga negara Indonesia jangan hanya dilihat dalam konteks kota-kota di Jawa tetapi juga didaerah yang masih dangat tertinggal yang untuk datang ke TPS membutuhkan waktu yang lama dan juga biaya, misalnya saja di Papua," kata dia.[21]2. Mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun mendatangUpaya untuk mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun mendatang, merupakan pekerjaan yang tidak mudah, namun bercermin dari kegagalan di pemilu 2014 ini, tentunya banyak hal yang dapat kita lakukan, seperti antara lain di ungkapkan olehKoordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan, mengusulkan perlunya membenahi sistem Pemilu agar terhindar dari praktik politik uang. Menurutnya, praktik politik uang dalam Pemilu sebaiknya masuk dalam rezim tindak pidana korupsi.Dengan masuk kategori rezim tindak pidana korupsi, maka praktik pelanggaran Pemilu, khususnya terkaitmoney politics(politik uang) bisa diusut tuntas, dan tidak dibatasi dengan ketentuan waktu, kata Ade saat Dialog Kenegaraan bertajuk Potensi Sengketa Pemilu 9 April 2014 di Kantor DPD, Senayan, Jakarta, Rabu (14/5/2014).Menurut Ade, masuknya praktik politik uang dalam rezim tindak pidana korupsi diharapkan bisa mencegah makin brutal, massif dan terstrukturnya politik uang pada Pemilu mendatang.Kalau tidak diatur maka politik uang akan makin brutal, massif dan terstruktur dalam setiap Pemilu, jelasnya.Ade juga menyampaikan bahwa ICW mengkonfirmasi berbagai pelanggaran pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Tingkat kecurangan Pileg 2014 meningkat empat kali lipat dibanding Pemilu 2009.Karena itu, politik uang itu harus diundangkan menjadi tindak pidana korupsi, agar pelaku bisa diusut tuntas, meski yang bersangkutan misalnya telah dilantik menjadi anggota DPR RI, dan jika terbukti keanggotaannya bisa dibatalkan, tegas Ade.Ade menambahkan, korupsi Pemilu itu berlangsung massif yang melibat penyelenggara Pemilu, peserta, dan masyarakat. Bahkan, banyak yang menggunakan fasilitas, dana, dan birokrasi kepala daerah.Ditambah lagi politik uang, sajadah, sarung, sembako, kerudung, serangan fajar, oknum menjanjikan baik pra dan pasca Pemilu, serta transaksi beli putus suara. Kecurangan tersebut bisa saja dilakukan di semua partai, tandasnya.Sementara itu, Ketua Komite I DPD RI Alimran Sori mengakui, jika pelanggaran,money politicsdan kecurangan Pemilu 2014 ini sangat brutal, massif, sistematis dan terstruktur.Memang Pemilu ini berlangsung damai dan lancar, sehingga terkesan baik. Tapi, di balik itu di 33 provinsi melaporkan bukti kecurangan danmoney politicsitu, baik dari TPS, KPPS, KPPK, dan KPUD. Pemilu ini seperti bajingan, keluh Alimran.Sementara, pengamat politik Universitas Indonesia (UI) Chusnul Mariah mengatakan, banyaknya kecurangan, manipulasi, jual-beli suara dan politik uang dalam Pemilu 2014 ini menunjukkan jika Pemilu kali ini merupakan Pemilu yang terburuk sejak reformasi 1999. Hal itu tidak terlepas dari proses rekrutmen komisoner Komisi Pemilihan Umum (KPU) di DPR, di mana semua orang bisa mencalonkan anggota KPU, tanpa mencermati latar belakang figur yang bersangkutan.Seharusnya, komisioner KPU itu adalah doktor ilmu politik dan hukum, kata Chusnul.Menurut Chusnul Mariah, latar belakang pendidikan itu penting. Sebab kalau tidak, maka KPU tak akan memahami ruh politik dan pemerintahan. Apalagi, sebagai penyelenggara Pemilu, sebagai proyek politik terbesar di dunia.Chusnul pun menilai Ketua KPU sekarang ini adalah sarjana pertanian, sehingga mengelola Pemilu ini dianggap seperti menanam jagung saja. Seharusnya, orang seperti Ketua Bawaslu Muhammad, sebagai doktor ilmu politik dan hukum, yang seharusnya memimpin KPU.Saya sudah sudah bilang seharusnya Pak Muhammad yang menjadi Ketua KPU, dan bukannya di Bawaslu. Terbukti, saat ini Pemilu dianggap menanam jagung saja, kritik Chusnul.Secara hukum, larangan politik uang (money politics)diatur dalam Pasal 86 ayat 1 huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lain kepada peserta kampanye pemilu.Subjek dan objek politik uangUndang-undang menempatkan subjek pelaku politik uang secara luas yang mencakup pelaksana, peserta, dan petugas kampanye pemilu. Definisi setiap subjek tersebut kemudian dijelaskan dalam Peraturan KPU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampanye Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.Pelaksana kampanye ialah pengurus partai politik, caleg, juru kampanye, orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu. Petugas kampanye sebetulnya masih menjadi bagian dari partai politik karena ditetapkan oleh partai politik, sedangkan peserta kampanye pemilu ialah masyarakat yang berdomisili di daerah pemilihan tempat kampanye dilaksanakan.Menurut ketentuan, pelaksana kampanye dan petugas kampanye didaftarkan kepada KPU sesuai dengan tingkatannya. Keduanya dimandatkan untuk bertanggung jawab atas keamanan, ketertiban, dan kelancaran kegiatan kampanye.Rumusan politik uang yang diatur dalam undang-undang dan peraturan KPU sebetulnya menjangkau semua orang yang terlibat dalam kegiatan kampanye. Masyarakat umum dapat saja menjadi pihak yang secara aktif melakukan politik uang terhadap masyarakat lain, terlepas apakah tindakannya atas sepengetahuan atau tidak dari pelaksana kampanye ataupun petugas kampanye.Dalam konteks penegakan hukum, ada atau tidaknya keterlibatan pelaksana atau petugas kampanye dalam politik uang yang dilakukan oleh masyarakat umum dalam kampanye partai tertentu memang harus melalui proses pembuktian. Apakah memang ada perintah langsung, memberikan kesempatan (pembiaran), atau memang di luar kendali pelaksana dan petugas kampanye.Menurut Pasal 89 UU Nomor 8 Tahun 2012, politik uang yang dilakukan oleh pelaksana kampanye dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini bisa diterjemahkan apakah janji atau pemberian tersebut dilakukan secara langsung oleh pelaksana kampanye atau melalui orang lain. Yang pasti, siapa pun yang melakukan politik uang artinya telah melanggar larangan kampanye yang diatur dalam undang-undang.Hal itu juga berlaku sama bagi partai politik dan peserta pemilu lainnya, ketika ada pemberian barang yang bukan bagian dari atribut kampanye, misalnya pembagian sembako, pengobatan gratis, atau bentuk lainnya, sudah dapat dikategorikan sebagai politik uang.Pidana politik uangAncaman sanksi pidana atas politik uang dalam masa kampanye hanya dimungkinkan kepada pelaksana kampanye (Pasal 301 ayat 1 UU Nomor 8 Tahun 2012). Delik ini dikategorikan sebagai kejahatan dalam pemilu (bukan pelanggaran) dengan ancaman pidana penjara dan denda.Penjatuhan pidana dikenakan terhadap pengurus partai politik, caleg, juru kampanye, orang seorang (individu), dan organisasi yang ditunjuk oleh peserta pemilu (definisi pelaksana).Bagi calon anggota legislatif, sanksi ini akan berlanjut pada sanksi administratif oleh KPU berupa pembatalan sebagai daftar calon tetap atau pembatalan penetapan sebagai calon terpilih. Ini akan dilakukan ketika kasus pidana politik uang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (Pasal 90 UU Nomor 8/2012).Penjatuhan pidana pemilu akan menjangkau setiap orang ketika politik uang dilakukan dalam masa tenang dan pada hari pemungutan suara, baik itu dilakukan oleh pelaksana, peserta, pelaksana kampanye, atau setiap orang (Pasal 301 ayat 2 dan 3 UU 8/2012).Pemenuhan unsur pidana politik uang yang diatur dalam undang-undang sebetulnya tidaklah rumit. Penegak hukum cukup membuktikan apakah dalam pelaksanaan kampanye, masa tenang, atau pada hari pemungutan suara ada tindakan menjanjikan atau memberikan uang/materi lain.Pembuktian apakah janji atau pemberian tersebut berdampak pada pemilih dalam hal penggunaan hak pilihnya tidaklah harus dipenuhi. Menurut penulis, sangat tidak mungkin memidana pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya (golput), kecuali ada pengakuan dari yang bersangkutan bahwa ia menerima janji atau uang/materi.Apalagi membuktikan apakah pemilih menggunakan suaranya untuk partai politik atau caleg tertentu. Sebab, dalam surat suara sama sekali tidak mencantumkan identitas pemilih. Kalaupun ada pengakuan dari pemilih bahwa ia memilih partai politik atau caleg tertentu, bagaimana melakukan verifikasi atas pengakuan tersebut?Maka, berdasarkan aturan yang ada, memidana politik uang bukanlah sesuatu hal yang sulit bagi penegak hukum. Sudah saatnya politik uang dengan segala bentuknya dipidana untukmenciptakaniklimpemiluyangbebasdaripraktik kotor tersebut.Sebab,politikuangmenjadifactorutamayangsemakinmenyuburkanpraktik korupsi di masa yang akan datang.[23]3.Money Politicsdalam Pemilu secara umumPraktek dariMoney Politicsdalam pemilu sangat beragam. Diantara bentuk-bentuk kegiatan yang dianggap politik uang antara lain: a) distribusi sumbangan baik berupa barang atau uang kepada para kader partai, penggembira, golongan atau kelompok tertentu, b) pemberian sumbangan dari konglomerat atau pengusaha bagi kepentingan partai politik tertentu, dengan konsesi-konsesi yangilegal,c) penyalahgunaan wewenang dan fasilitas negara untuk kepentingan dan atau mengundang simpati bagi partai poltik tertentu, misalnya penyalahgunaan dana JPS atau penyalahgunaan kredit murah KUT dan lain-lain[24].Dari sisi waktunya, praktikMoney Politicsdi negara ini dapat dikelompokkan menjadi dua tahapan yakni pra pemungutan. Pada pra pemungutan suara mulai dari seleksi administrasi, masa kampanye, masa tenang dan menjelang pemungutan. Sasarannya adalah para pemilih, terutama mereka yang masih mudah untuk dipengaruhi. Untuk tahap kedua adalah setelah pemungutan, yakni menjelang Sidang Umum DPR atau pada masa sidang tersebut. Sasarannya adalah kalangan elit politik. Di tangan mereka kedaulatan rakyat berada. Mereka memiliki wewenang untuk mengambil keputusan-keputusan strategis.Kalau kita mau menganalisa dari kedua tahapan praktik tersebut, bahwa praktik politik uang dengan sasaranthe voters, pemilih atau rakyat secara umum akan sangat sulit diukur keberhasilannya. Karena disamping medannya sangat luas juga banyaknya jumlah pemilih. Apakah rakyat yang mencicipi uang benar-benar mau mencontreng tanda gambar parpol yang telah memberikan uang atau mereka berkhiatan. Karena dalam masyarakat telah berkembang pemahaman bahwa pemilu bukan saja pesta demokrasi, tapi juga pesta bagi-bagi uang.Adapun keberhasilan praktikMoney Politicspada tahapan yang kedua lebih dapat diprediksi ketimbang pada tahap yang pertama. Sebab sasaran yang kedua adalah elit politik yang akan mengambil keputusan penting bagi perjalanan pemerintahan. Namun kalau pemilihan dilakukan dengan voting tertutup, keberhasilan rekayasa tersebut semakin sulit, terutama jika pelakuMoney Politicstersebut dinyatakan kalah dalam pemilihan. Dengan demikian para pengkhianat sulit dilacak.Demikian eratnya hubungan uang dengan politik, sehingga jikaMoney Politicstetap merajalela, danniscaya parpol yang potensial melakukan praktik tersebut hanya partai yang memiliki dana besar. Berapapun besarnya jumlah dana yang dikeluarkan, keuntungan yang diperoleh tetap akan jauh lebih besar. Sebab pihak yang diuntungkan dalam praktikMoney Politicsadalah pihak pemberi, karena dia akan memperoleh dukungan dan kekuasaan politik yang harganya tidak ternilai. Adapun yang dirugikan adalah rakyat. Karena ketika parpol tersebut berkesempatan untuk memerintah, maka ia akan mengambil suatu kebijakan yang lebih menguntungkan pihak penyumbangnya, kelompoknya daripadainterest public.Bagaimanapun jugaMoney Politicsmerupakan masalah yang membahayakan moralitas bangsa, walaupun secara ekonomisdalam jangka pendekdapat sedikit memberikan bantuan kepada rakyat kecil yang turut mencicipi. Namun apakah tujuan jangka pendek yang bersifat ekonomis harus mengorbankan tujuan jangka panjang yang berupa upaya demokratisasi dan pembentukan moralitas bangsa?Demoralisasi yang diakibatkan olehMoney Politicsakan sangat berbahaya baik dipandang dari sisi deontologis (maksud) maupun teologis (konsekwensi). Karena sifatnya yang destruktif, yakni bermaksud mempengaruhi pilihan politik seseorang dengan imbalan tertentu, atau mempengaruhi visi dan misi suatu partai sehingga pilihan politik kebijakannya tidak lagi dapat dipertanggungjawabkan untuk kepentingan rakyat.Kemudian Istilahlain politik uang (money politics) merupakan sebuah istilah yang dekat dengan istilah korupsi politik (political corruption). Apabila penggunaan uang pribadi dalam kampanye disebut sebagaimoney politics, maka tidak ada orang atau partai politik yang bersih dari korupsi. Indra J. Piliang (2011) menyatakan bahwa dalam sejumlah penelitian tentang pemilihan umum, penggunaan uang untuk mengadakan perhelatan, makan bersama, dan lain-lainnya sudah menjadi kebiasaan untuk memperoleh dukungan. Kalau kepala desa itu terpilih, lalu dianggap melakukan politik uang, tentu akan menghadapi krisis multilevel dari tingkat rendah sampai tingkat tinggi atas pemerintahan atau pimpinan formal.[25]Pada titik inilah terjadi bias antara politik uang (money politics) dengan biaya politik (cost politics).Karena itulah belum ada kesimpulan tegas mengenai money politics. Tidak ada batas-batas jelas antara praktik jual beli suara dan pengeluaran uang dari partai untuk keperluan yang kongkrit. Garis demorkasi antara money politics (politik uang) dan political financing atau pembiayaan kegiatan politik masih sangat kabur. Indra Ismawan (1999: 5-10) dalam bukunya Pengaruh Uang Dalam Pemilu, menyatakan bahwa politik uang biasa diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada pula yang mengartikan politik uang sebagai tindakan jual beli suara pada sebuah proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu dapat terjadi dalam jangkauan (range) yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan umum di suatu negara.[26]Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya telah menerbitkan aturan tentang politik uang ini. Politik uang yang dimaksud mempunyai pengertian tindakan membagi-bagi uang bagi sebagai milik partai atau pribadi untuk membeli suara.[27]Melalui Peraturan Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye, KPU telah dengan tegas melarang setiap peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye.[28]Selain itu dalam pasal 49 dijelaskan pula bahwa ancaman pelanggaran atas praktek politik uang dapat dibatalkan keterpilihanya, apabila:(1) Terbukti pelaksana kampanye menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung untuk:tidak menggunakan hak pilihnya;menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu;memilih calon anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota tertentu; ataumemilih calon anggota DPD tertentu,dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.(2)Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), inisiatifnya berasal dari pelaksana kampanye untuk mempengaruhi pemilih. (3) Materi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), tidak termasuk barang-barang yang merupakan alat peraga atau bahan kampanye pemilu.[29]Praktik politik uang paling marak terjadi pada saat kampanye. Menurut Robi Cahyadi Kurniawan (2009), kampanye merupakan bagian penting dalam proses pemilihan umum yang melibatkan dua unsur penting, yaitu: peserta pemilihan umum dan warga yang mempunyai hak pilih. Analoginya adalah peserta pemilu merupakan penjual, dan warga adalah pembeli yang dapat melakukan deal politik berkat ketertarikan visi, program, dan/atau janji berupa uang dan barang.[30]Politik uang dapat dilakukan oleh aktor secara lansung ataupun tidak langsung, misalnya melalui tim sukses.[31]4.Money Politicsmempengaruhi partisipasi politik masyarakat dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Pemilihan UmumDalam pemilihan kepala daerah maupun pemilihan umum secara umum, banyak terjadinya perbuatan politik uang (Money Politics) yang ikut mewarnai acara pesta dan peta demokrasi yang berlangsung di negara ini.Money Politicsbanyak membawa pengaruh akan peta perpolitikan Nasional serta juga dalam proses yang terjadi dalam pesta politik. Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang diberikan oleh satu aktor terhadap aktor politik lainnya didasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Dan juga setiap warga negara mempunyai hak dan nilai suara yang sama (satu orang, satu suara, satu nilai). Namun, melaluiMoney Politicsdukungan politik diberikan atas pertimbangan uang dan sumber daya ekonomi lainnya yang diterima oleh aktor politik tertentu.[32]Dalam politik uang (Money Politics) pemilihan kepala daerah baik untuk mengisi jabatan Gubernur atau Wakil Gubernur, jabatan Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota terdapat beberapa hal yang mungkin tidak di ketahui oleh umum. Praktek politik ini sangat tertutup yang hanya di ketahui oleh para calon atau orang-orang yang berada pada Ring Dalam para calon saja. Besarnya uang yang diperlukan untuk membeli suara juga berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Besarnya harga suara sangat tergantung pada pola hidup dan tingkat ekonomi masyarakat daerah tersebut. Bagi daerah yang relatif kurang maju mungkin harga satu suara berkisar antara Rp 20 juta hingga Rp 100 juta saja. Namun, untuk daerah yang sudah maju dan memiliki pendapatan perkapita tinggi di duga satu suara sangat variatif berkiasar antara Rp 50 juta hingga Rp 500 juta.[33]Persoalannya seorang calon harus tahu benar kapan dana yang dibutuhkan harus dikeluarkan. Dalam permainan politik uang (Money Politics), seorang calon kepala daerah berserta tim suksesnya (TIMSES) harus menguasai benar kondisi di lapangan. Pertimbangan hati-hati ini dilakuakan oleh para calon agar uang yang tersedia diberikan kepada orang yang tepat sasarannya. Kalau penggunaan uang tidak hati-hati bukan hanya salah sasaran berakibat uang hilang percuma saja, tetapi sangat beresiko apabila informasi jatuh kepada mereka yang tidak dapat dipercaya, dalam pemberian uang kepada pemilih dalam membeli suara calon pemilih. Apabila uang jatuh kepada kelompok yang tidak dapat dipecaya, maka boleh jadi akan menjadibumerangapabila kelak terpilih dengan suara terbanyak akan mendapat perlawanan dari kelompok yang kalah. Terutama banyaknya pengungkitan dari pihak lawan akanpekerjaanyang dilakukan oleh pihak kandidat yang menang dalam pemilihan kepala daerah. Pada semua tingkatan yang ada. Biasanya kelompok yang kalah akan berusaha mendapatkan bukti-bukti tentang adanya bukti praktek uang (Money Politics) tersebut guna mereka untuk mencari keuntungan bagi pihak-pihak kandidat yang kalah dalam acara pesta demokrasi tersebut.Maka dapat dijadikan bahan untuk membatalkan pelantikan kepala daerah terpilih, bukankah peraturan pemerintah Nomor 151 tentang tata cara pemilihan kepala daerah terpilih harus menghadapi masa uji publik selama 3 hari. Dalam masa uji public ini senjata paling ampuh untuk menjatuhkan kandidat yang menang adalah apabila terdapat bukti adanya praktek politik uang (Money Politics). Bukankah politik uang (Money Politics)dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana suap.Di samping mempelajari secara hati-hati dan seksama, calon kepala daerah tidak pula sembarangan mengeluarkan uang untuk sesuatu yang tidak jelas guna dalam memperoleh suara dalam pemilihan nanti. Dalam praktek politik uang (Money Politics)dikenal beberapa tahapan dana yang dibutuhkan, dimulai dari proses uang perkenalan, uang pangkal, uang untuk fraksi hingga uang yang ditujukan untuk membeli suara orang per orang pemilih. Pada proses pemilihan, masing-masin bakal calon melakukan pendekatan kepada para anggota dewan, guna mencari dukungan bagi mereka untuk mencalon diri dalam ajang pemilihan kepala daerah (PILKADA). Bagi mereka yang terlibat dalam praktek politik uang (Money Politics)mereka juga menyediakan dana khusus dalam masa perkenalan ini. Bagi bakal calon yang paham betul dengan situasi lapangan dan disertai dana yang mencakupi bagi masa perkenalan telah menyediakan dana pada masa perkenalan ini. Ada lagi istilah uang pangkal. Bagi sebagian kandidat memberikan uang dalam jumlah besar untuk suatu pertarungan yang belum pasti mereka menangkan merupakan suatu hal yang wajar memang merupakan suatu hal yang terlalu besar resikonya. Oleh karena itu, untuk mengurangi resiko tersebut, maka apabila terjadi kesepakatan untuk memberikan dana dalam jumlah tertentu, tidak semua dana yang disepakati dibayarkan. Strateginya dengan memberikan uang pangkal disertai janji apabila kelak terpilih akan melunasi sisa uang yang dijanjikan.[34]Memang pola menggunakan uang pangkal ini jugariskanapabila ditinjau dari sisi kepastian bahwa suara akan dijaminkan diberikan kepada si pemberi uang pangkal. **Dalam salah satu kasus yang saya ketahui dilapangan, uang pangkal diberikan sejumlah Rp 10 juta disertai dengan janji akan diberikan sekitar Rp 100 juta lagi apabila kelak terpilih. Oleh anggota DPRD bersangkutan ternyata uang pangkal ini dianggap tidak pernah ada ketika kandidat lain memberikan dana secara kontan tiga kali lebih besar daripada dana yang dijanjikan oleh si pemberi uang pangkal pertama berjumlah Rp 10 juta terdahulu. Akibatnya, uang pangkal yang diberikan oleh salah seorang calon kepala daerah ini hilang percuma karena dana yang lebih besar bukan hanya dijanjikan tetapi dibayar lunas dalam bentuk uang tunai, oleh calon kepala daerah yang lain.[35]Dalam pemilhan tersebut, maka hal tersebut adalah sebuah hal yang tidak sesuai dengan aturan yang ada. Yaitu adanya sebuah asas yang disebut JURDIL (Jujur dan Adil). Dalam masalah ini ada beberapa perdebatan mengenai asas ini pada awal akan dimasukkan asas ini dalam asas Pemilu pada awal Pemilu di Indonesia, antara lain:Perlunya atau tidak asas jurdil ini dimasukan dalam perundang-undangan sebagai asas resmi disamping asas LUBER.Dalam pelaksanaan Pemilu perlu ditampakan bahwa asas jurdil ini merupakan sesuatu yang benar-benar diterapkan.Melihat pengertian asas Jurdil ini disatu pihak dan asas Luber pihak lain, keduanya memiliki pengertian yang berbeda, namun sangat erat kaitannya. Dalam pembahasan ini maka sewajarnyalah sebuah Pemilu harus menggunakan asas JURDIL dan LUBER, guna terciptanya sebuah demokrasi serta pesta demokrasi yang sehat dan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan juga sesuai dengan amanat rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari praktek KKN.Dalam pilkada yang ada maupun pemilu secara umum maka asas ini (JURDIL serta LUBER) hanyalah sebuah slogan belaka, karena pada dasarnyaMoney Politicsmerupakan sebuah sistem yang tidak akan pernah hilang dalam proses demokrasi Indonesia dan hal ini akan terus menerus terjadi dan dilakukan oleh para calon dan Jurkam serta Timses masing-masing calon dalam pilkada dan pemilu guna mencari perhatian serta suara dari para calon pemilih untuk memenangkan mereka dalam PILKADA (Pemilihan Kepala Daerah) dan PEMILU (Pemilihan Umum). Walaupun adanya partai politik yang berasaskan Islam akan tetapi praktekMoney Politicsini tetap ada walau dikemas dalam agenda yang sangat rapi. Akan tetapi juga ada juga partai politik yang memang benar-benar mereka tidak melakukan politik uang (Money Politics). Serta merebaknyaMoney Politicsmembawa implikasi yang sangat berbahaya bagi demokrasi dan penguatan negara bangsa. MelaluiMoney Politicskedaulatan bukan ada pada tangan rakyat akan tetapi kedaulatan berada ditangan uang.Oleh karena itu, pemegang kedaulatan adalah pemilik uang, baik dari dalam negeri maupun luar negeri dan bukan lagi rakyat mayoritas. Di tengah gelombang demokratisasi yang gencar belakangan ini, maraknyaMoney Politicsbisa mempermudah masuknya penetrasi politik melalui uang. Maka dengan demikian, Pilkada dengan sistemMoney Politicsakan terus terjadi kejadian yang paling umum dalam praktek politik uang (Money Politics)adalah pembelian suara menjelang hari pemilihan. Artinya, masing-masing calon mengadakan pendekatan kepada para anggota DPRD.Pendekatan dilakukan baik secara langsung maupun dengan melalui perantara orang ketiga. Pada saat inilah transaksi dilakukan baik dengan memberikan uang kontan ataupun dengan suatu janji atau pemberian atas pemberian. Ada hal yang menarik bahwa umumnya para anggota DPRD lebih menginginkan uang kontan dari padacheque. Akibatnya, jangan heran kalau uang kontan berdampak lebih ampuh dibandingkan dengan penggunaan selembarcheque. Karena itu harga suara itu sangat mahal apabila seorang bakal calon kepala daerah berasal dari anggota TNI/ POLRI artinya, anggota fraksi ini mempunyai posisi tawar yang tinggi. Mereka dapat mengajukan argument bahwaterikat rantai komando dan terikat pemerintah komandan dan seterunya. Padahal, tidak ada lagi perintah komando untuk memilih atau tidak memilih salah satu bakal calon. Akibatnya, calon pembeli suara dihadapkan pada situasi sulit. Dalam kondisi inilah dibutuhkan dana yang cukup besar. Biasanya strategi yang dilakukan dengan mendapatkan informasi berupa dana yang dikeluarkan oleh pihak lawan bagi suara mahal ini. Setelah mengetahui harga suara maka kemudian diberikan dana jauh lebih besar lagi.Dalam sistem politik yang lain ada yang namanya Serangan Fajar bagi para bakal calon kepala daerah beserta tim suksesnya pada calon pemilih, adapun masa yang paling rawan adalah H-2 dan H-1 pemilihan. Dalam masa inilah masing-masing calon saling melakukan pengintaian guna semaksimal mungkin dan seakurat mungkin mendapatkan informasi tentang berapa besar dan yang beredar bagi satu suara anggota DPRD. Informasi ini menjadi sangat penting karena pada H-1 merupakan kesempatan terakhir dalam perebutkan suara tersebut. Namun, dalam praktek juga terjadiSerangan Fajaryang dimaksud sebenarnya adalah denganSerangan Fajarialah pada hari Fajar hari H (Hari Pemilihan), kandidat kepala daerah atau tim suksesnya memanfaatkan informasi paling mutakhir tentang berapa harga satu suara dari para calon pemilih yang akan melakukan pencoblosan pada pagi harinya dan anggota DPRD mana saja yang kemungkinan masih dapat digarap untuk dimintai suaranya dalam pemungutan suara dan masa uji publik serta masa pelantikan kepala daerah. Ada beberapa kategori yang dapat di ketahui yaitu sebagai berikut :Pertama, Anggota Dewan (DPRD) yang selama ini dikenal dengan kondisi siap menyeberang asal sesuai harga.Kedua, Anggota Dewan (DPRD) yang masih dihadapkan pada keraguan antara misi partai dengan iming-iming uang yang berjumlah besar.Namun hal yang inti dariMoney Politicsadalah bagaimana strategi pemberian uang ini. Bukankah tindakan menyuap dan disuap merupakan perbuatan melanggar hukum, oleh karena itu proses penyampaian uang harus dilakukan secara rapi dan sistematis. Namun, yang pasti bagi mereka yang terlibat dalam menggunakan uang kontan, tidak melalui transfer bank walaupun melibatkan dana dalam jumlah besar. Yaitu dengan cara mendatangi secara langsung rumah Anggota Dewan (DPRD) untuk memberikan uang tersebut. Hal ini dilakukan untuk semaksimal mungkin menghilangkan jejak. Apabila mengirim sejumlah dana melalui jasa perbankan tentu terdapat bukti setoran yang akan didapatkan di samping memang transaksi perbankan mudah dilakukan pelacakan. Dan hal ini akan memberikan peluang bagi calon kandidat yang kalah guna membongkar praktek politik uang (Money Politics)yang dilakukan oleh calon kandidat serta timsesnya dalam memenangkan pemilu atau pemilhan kepala daerah (PILKADA). Dan juga hal ini akan memberikan sebuah kesan negative bahwa calon tersebut melakukan praktek politik uang (Money Politics) guna memenangkan pemilihan tersebut. Selain itu ternyata pemberian uang tidak pula selalu dilakukan oleh para kandidat secara langsung. Akan tetapi pemberian uang tersebut dapat dilakukan melalui perantara orang lain termasuk teman akrab, keluarga, hubungan bisnis, dan seterusnya. Ada beberapa macam-macam bentuk pemberian uang dari kandidat kepada anggota dewan yang terlibat dengan politik uang (Money Politics). Macam-macam itu adalah sebagai berikut:Sistem ijon.Melalui tim sukses calon.Melalui orang terdekat.Pemberian langsung oleh kandidat.Dalam bentukcheque.Akan tetapi tidak banyak jugaMoney Politicsini yang tidak berhasil pada akhirnya dalam masalah pembelian suara pemilih maupun dari anggota dewan (DPRD). Ada bebarapa faktor yang membuat hal ini terjadi, yaitu:Adanya hubungan keluarga dan persahabatan.Bakal calon bersikap ragu-ragu.Adanya anggota yang terlanjur mempunyai komitmen tersendiri.Adanya anggota yang dianggapopportunis.5.Dampak PraktikMoney PoliticsCiri khas demokrasi adalah adanya kebebasan (freedom), persamaan derajat (equality), dan kedaulatan rakyat (peoples sovereghty). Di lihat dari sudut ini, demokrasi pada dasarnya adalah sebuah paham yang menginginkan adanya kebebasan, kedaulatan bagi rakyatnya yang sesuai dengan norma hukum yang ada.Dengan demikian adanya praktikMoney Politicsberarti berdampak terhadap bangunan, khususnya di Indonesia berarti prinsi-prinsip demokrasi telah tercemari dalam praktek politik uang. Suara hari nurani seseorang dalam bentuk aspirasi yang murni dapat dibeli demi kepentingan. Jadi pembelokan tuntutan bagi nurani inilah yang dapat dikatakan kejahatan.Sisi etika politik yang lainnya adalah pemberian uang kepada rakyat dengan harapan agar terpilihnya partai politik tertentu berimbas pada pendidikan politik, yaitu mobilisasi yang pada gilirannya menyumbat partisipasi politik. Rakyat dalam proses seperti ini tetap menjadi objek eksploitasi politik pihak yang memiliki kekuasaan.Money Politicsbukan secara moral saja yang salah dalam dimensi agama juga tidak dibenarkan, sebab memiliki dampak yang sangat berbahaya untuk kepentingan bangsa ini. Jika yang dihasilkan adalah kekecewaan rakyat, maka sesungguhnya yang akan mengadili adalah rakyat itu sendiri.Sabilal (2009) menyatakan bahwa praktek politik uang pada proses demokrasi level akar rumput (grass root) tumbuh subur karena dianggap suatu kewajaran, masyarakat tidak lagi peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya, karena tidak merasa bahwa money politics secara normatif harus dijauhi. Segalanya berjalan dengan wajar. Kendati jelas terjadi money politics, dan hal itu diakui oleh kalangan masyarakat, namun tidak ada protes.[36]Fuji Hastuti (2012) berpendapat bahwa disadari atau tidak, penggunaan politik uang sebagai alat mencapai tujuan politik telah mengesampingkan uang dari posisi sebagai tujuan utama pelaku transaksi politik uang akhirnya mendapatkan uang sebagai konsekuensi dari kekuasaan. Tetapi ketika mereka bertransaksi focus tidak tilakukan pada uang itu sendiri melainkan pada kekuasaan.[37]Persoalan yang terkesan remeh namun memiliki implikasi negatif yang sangat besar bagi perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Politik uang membuat proses politik menjadi bias. Akibat penyalahgunaan uang, pemilu sulit menampakkan ciri kejujuran, keadilan serta persaingan yang fair. Pemilu seperti itu akhirnya menciptakan pemerintah yang tidak memikirkan nasib dan kesejahteraan rakyat[38]. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun menegaskan bahwa politik uang dapat merusak demokrasi, mengkhianati kepercayaan publik dan akan melahirkan demokrasi palsu.[39]Selain itu, politik uang adalah mata rantai dari terbentuknya kartel politik. Kartel hanya terjadi bila kontrol keuangan dalam sistem kapitalistik tidak berlangsung dan praktek money politics berlangsung liar.[40]Pada tahap selanjutnya, hal tersebut akan memicu munculnya praktek korupsi politik. Hamdan Zoelva (2013) menyebutkan bahwapolitical corruptionsendiri melibatkan pembentuk undang-undang (raja, diktator, legislatif) yang berperan sebagai pembentuk peraturan dan standar-standar yang diberlakukan negara, para pejabat menerima suap atau dana untuk kepentingan politik dan pribadi mereka dan memberikan bantuan kepada pendukung mereka dengan mengorbankan kepentingan publik yang lebih besar.[41]6.KenapaMoney PoliticsMasih Menjadi AncamanDalam perkembangan demokratisasi dalam sistem politik Indonesia, justru mencuat isu yang diangkat oleh teman-teman LSM politisi bermasalah, yang di indikasikan salah satunya pernah terlibat kasus korupsi dan masalah hukum lainnya. Tulisan ini tidak bermaksud memperdebatkan akan validitasnya. Yang menurut Bung Jeiry Sumampow, dan teman-teman dari JPPR, data yang mereka miliki bersumber dari pengaduan masyarakat. Untuk itu paling tidak dapat disikapi dari dua aspek. Aspek pertama, bahwa ada indikasi peningkatan kontrol publik atas mekanisme politik dan mengalami institusinalisasi secara baik. Aspek kedua merupakan keprihatinan, mengingat bahwa masih menggejalanya korupsi dalam mekanisme politik nasional, yang diduga keras berasal dari politik uang. Hal yang menurut hemat kami, merupakan gejala yang harus menjadi perhatian seluruh lapisan masyarakat untuk mendorong berkembangnya demokrasi dalam proses politik yang lebih akuntabel dan yang lebih transparan dalam sistim politik Indonesia.Sebuah keniscayaan bahwa, politik memang membutuhkan dana. Belanja politik direncanakan dan digunakan untuk berbagai kegiatan program kampanye. Untuk membangun komunikasi politik dengan konstituen, serta menyerap dan mengartikulasikan kepentingan masyarakat. Politisi dalam kompetisi untuk meraih dukungan pemilih, tanpa dana hampir dapat dipastikan akan kalah. Tetapi dana politik dan politik uang jelas berbeda. Letak perbedaan adalah modus dalam pengunaan dana yang digunakan untuk menggalang dukungan pemilih. Hal tekait pula sumber pendanaannya. Realitas politik menunjukan, bahwa politisi yang tidak punya dana; sudah hampir dapat dipastikan akan kalah dan tersingkir. Faktanya politisi tidak hanya memerlukan dana kampanye yang cukup besar untuk meraih dukungan dari konstituen. Justru umumnya politisi sebelumnya membutuhkan dana untuk meraih restu dan dukungan walaupun tidak resmi dari elite partai, yang mengusungnya.[42]Sumber dana politik umumnya dapat dikategorikan pada dua sumber. Pertama, bersumber pada sektor negara atau menggunakan APBN. Kedua, dana politik yang bersumber dari sektor publik atau masyarakat. Dari perkembangan sisitem politik di Indonesia, yang tercermin dari perubahan peraturan perundang-undangan, khususnya UU Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu yang digunakan sekarang, semata-mata sumber dana politik dalam tataran infra strktur politik adalah dari sektor masyarakat.Pada pasal 129 UU No. 10 Thn 2008 tentang Pemilu sumber dana itu meliputi:Partai politik.Caleg dari partai politik yang bersangkutan.Sumbangan pihak lain yang sah menurut hukum.Partai politik memiliki sumber dana dari iuran anggota. Fakta menujukan hampir semua Partai, sistem iuran anggota belum dapat berjalan secara memadai. Yang digunakan adalah iuran atau kewajiban anggota fraksi. Yang dapat memberi donasi kepada Partainya terbatas kepada orang-orang tertentu saja. Karena tingkat sosial ekonomi anggota atau masyarakat yang menjadi konstituen, dengan pendapatan perkapita rata-rata (data terakhir) 1860, itu pun dengan kesenjangan yang cukup besar pula.Dari gambaran fakta dilapangan, maka terlihat bahwa sumber dana politik itu, dominan dari kategori butir (b), dan butir (c) diatas. Kategori sumber dana pada butir (b), tersebut adalah caleg yang memiliki uang sendiri. Politisi dari kategori ini, umumnya kelompok kaya atau pengusaha, yang umumnya berpikir dalam perspektif usaha, dimana dana yang sudah dikeluarkan akan kembali juga dalam bentuk dana, berpolitik untuk pengembalian modal mungkin plus keuntungan. Sehingga kinerja politik menjadi nomor dua. Sedangkan kategori sumber dana pada butir (c), adalah kelompok pendana perorangan atau mungkin juga sindikasi. Yang memberikan donasi, dengan syarat adanya pengembalian dalam perlindungan atau kepentingan politik tertentu. Donasi yang diberikan mengikat si politisi, harus mengikuti kepentingan dari sumber si pemberi donasi. Kinerja politik dan moralitas politik menjadi nomor dua.Hal ideal yang semestinya berlangsung dalam mekanisme dan politik yang sehat adalah si pemberi donasi, mengharapkan otu-put politik adalah kebijakan publik yang berkualitas. Dalam hal ini, demokrasi menjadi instrumen yang dapat diharapkan mendatangkan kebijakan yang adil, yang mendatangkan kesejahteraan dan peningkatan pelayanan publik yang lebih baik. Mekanisme politik yang ideal tersebut, mau tidak mau bila didukung oleh si pemberi donasi yang memiliki harapan terwujudnya tatakelola pemerintahan yang lebih baik, untuk mencapai tujuan bernegara. Pengalaman menujukan si pemberi dana dalam kategori tersebut, adalah kalangan masyarakat menengah yang sosial ekonomi mampu, disamping memiliki kesadaran, karakter dan moralitas. Karena masyarakat pada akar rumput, walaupun besar jumlahnya belum dapat menyumbang seorang calon wakil rakyat, sekalipun calon itu adalah pilihannya. Bagaimana mungkin dia dapat menyumbang, dengan kebutuhan sehari-hari saja sudah repot.Tentu sangat berbeda, dengan perbandingan sisitem politik Amerika yang demikian demokratis dan transparan. Pada Pemilu yang baru lalu, kemanangan Barack Obama, memberikan suatu contoh. Dia tidak hanya berhasil menekan angka golput (yang tidak menggunakan hal pilih). Dana politik, dihimpun dari konstituen dengan kuantita person dan jumlah donasi terbesar justru berasal donasi yang kecil-kecil dari masyarakat menengah sampai pada lampisan akar rumput. Jelas mereka tidak mengenal dana politik pinjaman yang harus dikembalikan ke pemberi donasi. Konsekwensinya hanya dalam pertanggungjawaban Barack Obama, pengelolaan yang transparan dan tentu pada gilirannya tuntutan atas kinerja politik, dalam bentuk keberhasilan dia mewujudkan visi dan janji politik yang disampaikan pada saat kampanye.Barangkali disanalah letak persolannya bagi bangsa kita sekarang ini. Pilihan sikap politik dari kalangan menengah Indonesia. Kalangan yang mampu memberi donasi kegiatan politik, apakah aktif atau tidak. Bila aktif, maka hal tersebut menekan peluang kelompok pendana perorangan (besar) atau mungkin juga sindikasi, mendominasi atau bahkan boleh jadi mengkoptasi mekanisme politik kita. Yang secara tidak langsung sudah mengikat si politisi jatuh kedalam jebakan politik uang.7.Melawan PraktikMoney PoliticsPartai politik dan para anggota legislatif di segala level sudah mempersiapkan strategi untuk mendapatkan simpati rakyat agar menang dalam Pemilu yang nampaknya akan lebih kompetitif, karena diikuti oleh tiga puluh delapan partai politik nasional dan enam partai politik lokal.Pemilu mendatang nampaknya akan diwarnai dengan praktik politik uang. Hal ini terjadi karena sebagian besar rakyat telah terbiasa dengan praktik ini dalam proses-proses politik yang terjadi yang dilakukan secara langsung, baik untuk memilih kepala desa, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, maupun gubernur/wakil gubernur. Padahal, salah satu pertimbangan dilakukannya pemilihan langsung adalah agar praktikMoney Politicsbisa diminimalisir. Bahkan dalam demokrasi langsung sebagaimana yang terjadi selama ini, praktikMoney Politicsmenjadi semakin tak dapat dikendalikan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang melarang praktik haram ini, seolah dibuat hanya untuk melanggar.PraktikMoney Politicsdalam setiap perhelatan politik tersebutlah yang kemudian menyebabkan masyarakat tidak bisa membedakan antara penyelenggaraan mekanisme politik denganMoney Politics. Singkatnya, terbangun pandangan umum bahwa politik uang dalam setiap kompetisi politik adalah sebuah keharusan. Inilah yang kemudian menyebabkan semacam pandangan bahwa seolah terdapat empat faktor yang sangat berpengaruh dalam proses kompetisi politik, yaitu: uang, duit, money, dan fulus.Selain itu, partai politik tidak siap menyediakan kader-kader handal, baik sebagai calon maupun sebagai relawan yang mau bekerja secara militan untuk mensosialisasikan calon-calon yang diajukan oleh partai. Dengan demikian, calon-calon yang maju kemudian melakukan cara-cara instan dan praktis untuk menggerakkan rakyat yang memiliki hak pemilih untuk memberikan hak pilihnya.Hal inilah yang kemudian menyebabkan kualitas pejabat publik menjadi terabaikan. Sebab, seseorang dipilih menjadi pejabat politik bukan karena kualitas atau kapasitasnya dan kompetensinya untuk menempati posisi politik tersebut, tetapi semata-mata karena memberikan uang kepada para pemilih menjelang saat pemilihan. Inilah menyebabkan jabatan-jabatan publik akhirnya ditempati oleh kaum medioker alias mereka yang sesungguhnya tidak memiliki prestasi memadai untuk menjalankan struktur negara. Akibatnya tentu saja struktur negara tidak akan bekerja dengan baik untuk mewujudkan cita-cita negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (common goods).8.Bagaimana implikasi politik uang terhadap perilaku pemilih?Sejauh mana politik uang mempengaruhi perilaku politik tidak dapat diukur secara pasti. Perilaku politik masyarakat dapat berubah-ubah sesuai dengan prefensi yang melatarinya. Kejadian itu sangat memungkinkan karena setiap manusia dan masyarakat hidup dalam suatu ruang yang bergerak. Leo Agustino (2009) menyebutkan berbagai perubahan perilaku politik masyarakat, khususnya dalam konteks partisipasi politik, banyak ditunjukan oleh mereka diantaranya disebabkan oleh perubahan system politik, tumbuhnya kesadaran kelas, termasuk orang yang berpengaruh pada suatu partai politik, berkurangnya tingkat ketergantungan seseorang, program yang ditawarkan pasangan calon, dan masih banyak lagi.[43]Menurut John Markoff (2002), Indonesia saat ini mengalamihybriddemokrasi. Yang dimaksud hybrid demokrasi adalah mekanisme demokrasi berlangsung secara bersama-sama dengan praktek-praktek non-demokratis. Pemilihan umum sebagai salah satu pilar demokrasi politik berjalan beriringan dengan perilaku money politics yang sejatinya merusak demokrasi itu sendiri. Maka rasionalitas pemilih menjadi layak untuk dipertanyakan. Pemilih tidak memilih calon berdasarkan program dan visi yang ditawarkan tapi hanya berdasar jumlah uang yang diterima menjelang pemilihan. Dalam hal ini maka menurut teori John Markoff maka perilaku pemilih di Indonesia sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non-demokratis.Partisipasi politik yang ditunjukkan dalam angka penggunaan hak pilih tersebut adalah partisipasi semu. Halili mengutip Larry Diamond menyebutkan bahwa artisipasi demikian akan melahirkan sebagai demokrasi semu (pseudo democracy), dimana keberadaan mekanisme demokrasi tidak menjamin adanya demokrasi sebenarnya (hakiki). Simbol-simbol demokrasi (misalnya prosedur electoral) mengandung elemen-elemen yang hakikatnya penyelewengan terhadap demokrasi.[44]9.Implikasi Politik Uang Terhadap Perilaku PemilihUntuk mengetahui respon pemilih terhadap praktek politik uang, maka berdasarkan data survey yang telah dirilis oleh Indikator (2013) diketahui bahwa masih banyak pemilih yang menganggap wajar adanya praktek politik uang. Hal itu dapat dilihat pada gambar dibawah; Burhanudin Muhtadi (2013) menjelaskan berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indikator, bahwa tingkat toleransi pemilih terhadap politik uang masih cukup tinggi. Sebanyak 41, 5 % masyarakat menganggap bahwa politik uang merupakan hal yang wajar.[45]Menurutnya tinkaty pendidikan mempunyai pengaruh kuat terhadap toleransi atas praktek politik uang, selain itu pemilih yang tinggal di desa lebih rentan atas money politics. Faktor jumlah pendapatan juga berpengaruh, karena semakin kecil pendapatan seseorang maka ia akan semakin terbuka dan menerima dengan wajar politik uang. Lebih lanjut, Burhanudin Muhtadi menjelaskan bahwa politik uang berpengaruh atas perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya. Berdasarkan data survey, diantara pemilih yang menilai politik uang sebagai kewajaran, 28,7% responden akan memilih calon yang memberi uang dan 10,3% pemilih akan memilih calon yang memberi uang paling banyak. Namun lebih dari separuhnya akan menerima pemberian uang tapi tetap memilih sesuai hati nurani (55,7%). Sebagian kecil di antara mereka akan menolak uang, meski menilai praktik itu sebagai suatu yang lumrah (4,3%).Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Halili[46]pada Pilkades di Pakandangan Barat, Sumenep, di dapatkan fakta bahwa politik uang dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Kenaikan angka partisipasi pemilih ini menurutnya karena faktor serangan fajar yang dilakukan oleh peserta pemilihan menjelang hari pemilihan berlangsung. Pada masyarakat pedesaan faktor ini sangat kuat mempengaruhi pemilih yang mayoritas berpendapatan rendah dan tingkat pendidikannya juga rendah. Senada dengan Halili, penelitian yang dilakukan oleh Nurus Sobah juga mendapati fakta serupa.[47]Dalam pemilihan kepala daerah, menurutnya politik uang memainkan peran yang amat penting dalam pemenangan calon kepala daerah. Bentuknya pun bisa beragam, mulai dari terang-terangan memberi amplop uang beserta calon yang harus dipilih, hingga dengan dalih memberikan bantuan infrastruktur.Hal yang sama juga diutarakan oleh Sabilal Rosyad (2009), kasus yang ia temukan dalam pemilu legislatif tahun 2009 di Kabupaten Pekalongan terjadi pergeseran nilai di masyarakat yang semula dianggap penyelewengan menjadi sesuatu yang wajar.[48]Pada tahun 2009 di Pekalongan msayarakat akrab dengan ungkapan tak coblos, yen ono duite (saya coblos, kalau ada duitnya). Masyarakat Pekalongan menilai money politics sebagai sesuatu yang wajar karena alasan ekonomis dan sebagian karena ketidaktahuan mereka. Anggapan ini muncul disebabkan pragmatisme politik, yang tidak hanya dipraktekkan oleh elit politik tetapi juga telah menyebar ke dalam kultur masyarakat.D.ANALISISMakin MaraknyaMoney PoliticsMasyarakat menjadi semakin terbiasa dengan praktikMoney Politicsdengan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara langsung. Dalam pemilu legislatif nanti,Money Politicsdapat dipastikan akan menjadi semakin tak terkendali. Sebab akan ada banyak calon anggota DPR yang berkompetisi untuk memperebutkan dukungan rakyat. Karakter rakyat yang kian pragmatis akan dilihat oleh para politikus sebagai peluang untuk memenangkan kompetisi dengan cara menyebar uang.Dalam konteks ini, politik uang sesungguhnya menunjukkan tidak adanya nilai lebih kualitas caleg. Mereka tidak melakukan kemampuan untuk mengkomunikasikan visi politik mereka kepada masyarakat. Bahkan sangat mungkin memang mereka tidak memiliki visi politik yang akan diwujudkan ketika mereka benar-benar terpilih nantinya.Money PoliticsPerlu PerlawananJikaMoney Politicsterus terjadi, dapat dipastikan bahwa dunia politik akan menjadi semakin rusak. Demokrasi prosedural hanya akan menjadi lahan bagi kaum medioker, yaitu mereka yang tidak memiliki prestasi memadai, untuk meraih kekuasaan. Bahkan sangat mungkin demokrasi prosedural akan dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki hasrat tak terbendung dan kerakusan untuk menguasai harta kekayaan negara. Karena itu, segala macam cara kemudian mereka lakukan untuk memperoleh kekuasaan. Dan kekuasaan itu nantinya akan digunakan untuk mengembalikan uang yang telah digunakan untuk memperoleh kekuasaan itu. Bahkan ia akan digunakan untuk mendapatkan kekayaan dengan jumlah yang berlipat-lipat. Karena itulah,Money Politicsharus dianggap sebagi kejahatan besar dalam politik yang harus dilawan dan dienyahkan secara bersama-sama.Untuk melawan praktikMoney Politics, diperlukan para politikus sejati yang benar-benar memahami bahwa pengertian politik adalah seni menata negara dan tujuannya adalah menciptakan kebaikan bersama agar rakyat lebih sejahtera. Politik memerlukan orang-orang baik, memiliki keunggulan komparatif dalam artian memiliki kompetensi, dan sekaligus juga memiliki keunggulan kompetitif. Sebab, kebaikan dalam politik perlu diperjuangkan sampai ia tertransformasi ke dalam kebijakan-kebijakan politik negara.E.KESIMPULAN DAN SARAN1.Kesimpulana.Secara umum dari pembahasan diatas mengenai partisipasi politik yang ada didalam masyarakat dalam pemilihan umum legislative (PILEG), maupun pemilu daerah (PILKADA) maka dapat dilihat bahwa partisipasi politik masyarakat sangatlah penting guna keberlangsungan demokrasi di Negara ini. Serta juga memberikan sebuah pencerahan bagi masyarakat umum bagaimana partisipasi tersebut jangan salah digunakan dalam pemilihan umum.Dalam hal ini yaitu dengan adanya sistem yang bernama politik uang (Money Politics) yang memberikan gambaran buruk bagi kesejahteraan demokrasi di Indonesia ini. Ada sebuah slogan yang bagus dalam menyikapi akan pelanggaran dari PILKADA maupun PEMILU secara umum yaitu DEMOKRASI bukanlah DEMOCRAZY. Dan juga bagi masyarakat umum sepatutnyalah untuk lebih cerdas dalam menanggapi semua iming-iming dan janji-janji yang diberikan oleh para calon kandidat Pilkada dalam kampanye-nya. Dan juga lebih selektif dalam memilih apa yang sesuai dengan hati nurani kalian. Serta juga ingat pada para calon kandidat yang akan bertarung dalam ajang pesta demokrasi yang ada di negeri tercinta ini, yaitu ingatlah asas JURDIL dan LUBER dalam melaksanakan acara demokrasi ini, dan juga para calon pemilih juga agar ingat akan slogan tersebut. Janganlah sekali-kali kalian khianati hati kalian demi sesuatu yang belum tentu kalian dapatkan. Serta juga slogan tersebut walau sudah tua umurnya akan tetapi, manfaat dan maknanya sangatlah dalam menentukan masa depan bangsa ini.Politik uang berlangsung dalam setiap tingkatan pemilihan umum di Indonesia, mulai dari pemilihan tingkat pusat hingga pemilihan tingkat desa. Menurut penulis, politik uang yang jamak terjadi di masyarakat Indonesia bagaikan sebuah candu. Di satu sisi masyarakat dapat menikmatinya dalam jangka pendek, namun di sisi lain secara jangka panjang praktek ini dapat merusak bangunan demokrasi. Bahkan berpotensi besar menyebabkan korupsi politik yang pada akhirnya merugikan masyarakat.Berdasarkan beberapa hasil kajian dan penelitian, maka masyarakat masih menganggap wajar politik uang yang dilakukan oleh peserta pemilihan umum. Politik uang juga mempengaruhi perilaku pemilih, terutama dalam soal menentukan pilihan politiknya. Politik uang ini juga terhadap tingkat partisipasi pemilih.b.Khusus pada Pemilu Legislatif 2014 ini merupakan yang terburukdibandingkan dengan Pemilu 1995 dan 1999 dan "Kualitas Pemilu semakin memburuk, Pemilu 2014 bahkan lebih buruk dari 2009, karena dipengaruhi oleh politik uang,"Fonomena praktek politik uang pada pileg 2014 ini akan menjadi renungan khusus dan evaluasi bagi semua pihak khususnya bagi pembuat regulasi seperti DPRuntuk bekerja keras dalam menyelesaikan persoalan bangsa khususnya praktek politik uangagar pemilu-pemilu kedepannya tidak terjadi lagi praktek politik uang, yang dampaknya akan merugikan semua pihak. Dan yang lebih penting evaluasiuntuksemua pihak terkaitdalampenyelenggaraan pemilu yang di harapkan masyarakat, seperti contoh: Penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 menuai banyak masalah, mulai dari kecurangan kertas suara hingga politik uang.2.Saran Dalam rangka Mencegah terjadinya politik uang pada pemilu tahun-tahun mendatang, maka disarankan :a.Perlunya meninjau kembali Undang-Undang Pemilu dan Peraturan KPU serta peraturan terkait lainnya dalam pelaksanaan pemilu legislatifyang menutup semua ruang bagi pihak manapun untuk melakukan kecurangan pada pemilu, khusunya praktik politik uang, misalnya meninjau kembali sistem proporsional terbuka yang diterapkan Indonesia, yang justru membuka peluang praktik politik uang. Karena secara empirik sistem proporsional terbuka memberi insentif poin kecurangan lebih banyak dibanding yang tertutupbDiperketat penyeleksian caleg,sebab penyebab lain maraknya politik uang yakni diantaranya mayoritas calon anggota legislatif (caleg) tidak memiliki wawasan yang cukup tentang politik.c.Politik uang itu harus diundangkan menjadi tindak pidana korupsi, agar pelaku bisa diusut tuntas, meski yang bersangkutan misalnya telah dilantik menjadi anggota DPRD atau DPR RI, dan jika terbukti keanggotaannya bisa dibatalkan.E. PENUTUPDemikian kajian ini disusun dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para anggota Dewan, para eksekutif, khususnya semua pihak yang terkait dalam penyelengaraan pemilu, baik pemilu legislatif (PILEG) maupun pemilu kepala daerah (PILKADA) kaitannya dengan praktek politik uang, sebagai bahan pertimbangan mengambil keputusan dalam melakukan kebijakan yang dapat menguntungkan semua pihak.

[1]http://dendi.susianto.4t.com/custom4.html[2]http://pemilu.okezone.com/read/2014/04/16/568/971237/kpu-bentuk-tim-khusus-usut-surat-suara-tertukar[3]http://www.academia.edu/5587237/Perkembangan_Pemilu_dan_Demokrasi_di_Indonesia[4]http://nasional.kompas.com/read/2014/04/16/1508474/Politik.Uang.Dimulai.dari.Elite[5]Ibid[6]http://berita.plasa.msn.com/nasional/jpnn/temukan-313-pelanggaran-pemilu-di-15-daerah[7]Ibid[8]http://www.pemilu.com/berita/2014/04/praktik-politik-uang-meningkat-dari-pemilu-ke-pemilu/[9]Nurcholis Majid, dalam Pengantar Laporan Penilaian Demokratisasi di Indonesia oleh IDEA tahun 2000.[10]Kazuhisa Matsui dalam Regional Development Polcy and Local-Head Elections[11]Dalam buku pegangan KPU Pemilihan Umum dan Demokrasi tahun 2009 halaman 11-12.[12]Dalam buku pegangan KPU Pemilihan Umum dan Demokrasi tahun 2009 halaman 11-12.[13]AAGN Ari Dwipayana. 2009. Demokrasi Biaya Tinggi. Yogyakarta: Jurnal FISIPOL UGM[14]Dalam makalah ilmiah yang ditulis oleh Wahyudi Kumorotomo yang berjudul Intervensi Parpol, Politik Uang dan Korupsi tahun 2009.[15]Dalam makalah yang ditulis Daniel Dakhidae berjudul Melawan Politik Kartel Dalam Demokrasi Indonesia tahun 2011[16]Dalam John Markoff. 2002. Gelombang Demokrasi Dunia, Gerakan Sosial dan Perubahan Politik. Yogyakarta: CCSS dan Pustaka Pelajar[17]Larry Diamond, seperti dikutip dari jurnal yang ditulis oleh Halili berjudul Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa[18]http://m.bisnis.com/pemilu/read/20140428/355/223007/marak-politik-uang-yusril-sebut-pemilu-2014-terburuk[19]http://www.merdeka.com/pemilu-2014/kiai-hasyim-dinasti-politik-uang-masih-marak-di-pemilu-2014.html[20]http://ns1.kompas.web.id/read/read/2014/05/05/568/980374/marak-politik-uang-pemilu-2014-dinilai-paling-buruk[21]http://www.kafeberita.com/berita-ini-penyebab-utama-maraknya-politik-uang.html#ixzz326ontG7i[22]http://www.jurnas.com/news/134891/Politik-Uang-Diusulkan-Masuk-Rezim-Tindak-Pidana-Korupsi-2014/1/Nasional/Pemilu-2014[23]http://budisansblog.blogspot.com/2014/04/memidana-pelaku-politik-uang.html[24]Juliansyah, Elvi. 2007.PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.[25]Indra J. Pilliang dalam artikel opini yang dimuat di Kompas November 2011 dengan judul Korupsi dan Demokrasi.[26]Indra Ismawan. 1999. Pengaruh Uang Dalam Pemilu. Yogyakarta: Media Pressindo[27]Definisi ini menurut Affan Gaffar yang dikutip dari tesis Sabilal Rosyad berjudul Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan 2009[28]Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye pasal 32[29]Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2013 tentang Pedoman Kampanye pasal 49[30]Robi Cahyadi Kurniawan dalam Kampanye Politik: Idealis dan Tantangan. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM 2009[31]Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.[32]Juliansyah, Elvi. 2007.PILKADA: Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Bandung: Mandar Maju.[33]Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004.Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia[34]Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004.Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia[35]Antulian, Rifai. DR. S.H, M.Hum. 2004.Politik uang jalan pemilihan kepala daerah. Jakarta: Ghalia Indonesia.[36]Sabilal Rosyad dalam tesisnya yang berjudul Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan 2009[37]Fuji Hastuti dalam penelitiannya yang berjudul Politik Uang dalam Pemilu Kades tahun 2012[38]Sabilal Rosyad dalam tesisnya yang berjudul Praktek Money Politic Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan 2009[39]Berita dari antara.com dengan judul Praktek Politik Uang Merusak Demokrasi tertanggal 28 Juli 2010[40]Dalam makalah yang ditulis Daniel Dakhidae berjudul Melawan Politik Kartel Dalam Demokrasi Indonesia tahun 2011[41]Hamdan Zoelva. 2013. Memberantas Electoral Corruption, dalam jurnal Pemilu dan Demokrasi[42]Hidayat, Komaruddin dan Ignas Kleden. 2004.Pergulatan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PT. Rajawali Perss.[43]Leo Agustino dalam buku Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009[44]Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.[45]Burhanudin Muhtadi dalam rilis laporan Sikap dan Perilaku Pemilih Terhadap Money Politics pada tanggal 12 Desember 2013[46]Halili, dalam jurnal Huamniora 2009 dengan judul Praktik Politik Uang Dalam Pemilihan Kepala Desa.[47]Nurus Shobah. 2013. Dalam jurnal penelitiannya yang berjudul Politik Uang Dalam Pemilu Kada.[48]Sabilal Rosyad. 2009. Praktik Money Politics Dalam Pemilu Legislatif di Kabupaten Pekalongan Tahun 2009.