politik luar negeri mesir setelah revolusi...
TRANSCRIPT
POLITIK LUAR NEGERI MESIR SETELAH REVOLUSI 2011:
STUDI HUBUNGAN BILATERAL MESIR-ISRAEL TAHUN
2011-2013
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh :
Khairul Rizal
11100113000054
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2014
iv
Abstraksi
Skripsi ini menganalisis politik luar negeri Mesir setelah revolusi yang
terjadi pada tahun 2011, khususnya yang berkaitan dengan hubungan bilateral
Mesir dengan Israel pada periode tahun 2011 hingga 2013. Tujuan penelitian ini
ialah untuk memberikan gambaran politik luar negeri Mesir, khususnya yang
berkaitan dengan hubungan Mesir dengan Israel pada rezim pemerintahan setelah
revolusi tahun 2011. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode studi
pustaka, berupa kajian melalui buku-buku serta jurnal yang berkaitan dengan
masalah ini. Selain itu, penelitian ini menggunakan kerangka teori berupa politik
luar negeri dan kebijakan luar negeri yang di dalamnya juga menjelaskan berbagai
sumber yang dapat dijadikan masukan bagi pengambil kebijakan suatu negara.
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwasanya politik luar negeri yang
dijalani oleh Mesir pada masa rezim setelah revolusi tahun 2011 berupaya untuk
meningkatkan power Mesir dalam lingkup regional. Dalam masalah hubungan
bilateral dengan Israel, posisi yang ditunjukkan oleh Mesir lebih banyak berfokus
pada permasalahan keberlanjutan perjanjian damai dengan Israel, masalah
keamanan di perbatasan kedua negara yang terletak di wilayah Semenanjung
Sinai, dan masalah konflik Palestina-Israel. Dinamika yang terjadi dalam
hubungan kedua negara dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari
internal maupun eksternal Mesir. Dari faktor internal Mesir dipengaruhi oleh
sistem dan struktur kekuasaan yang mendominasi setelah revolusi, kondisi
geostrategik dan geopolitik Mesir, dan opini publik Mesir. Sementara faktor
eksternal banyak dipengaruhi oleh adanya hubungan yang terjalin antara Mesir
dengan negara-negara atau pihak-pihak lain. Adanya hubungan tersebut
disebabkan oleh faktor kepentingan nasional yang dimiliki oleh kedua belah
pihak.
Pada akhirnya, penelitian ini memberikan sebuah kesimpulan terhadap
politik luar negeri Mesir dan hubungan bilateral dengan Israel bahwa tidak ada
perubahan yang signifikan dari politik luar negeri Mesir, termasuk dalam
hubungan bilateral dengan Israel. Faktor penentunya ialah keberlanjutan
perjanjian damai yang sudah disepakati kedua negara dari tahun 1979. Adapun
sikap atau kebijakan lain dari Mesir pada rezim setelah revolusi tahun 2011
merupakan sebuah bentuk ekspresi terhadap kondisi situasional Mesir saat itu
dengan berdasarkan pada kalkulasi yang dilakukan oleh pengambil kebijakan.
Kata kunci: Politik Luar Negeri, Mesir, Israel, Perjanjian Camp David,
Hubungan Bilateral.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, atas selesainya skripsi ini. Penulisan skripsi ini yang berjudul
“Politik Luar Negeri Mesir Setelah Revolusi Tahun 2011: Studi Kasus Hubungan
Bilateral Mesir-Israel Tahun 2011-2013” ditujukan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1 di program studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan skripsi ini pula tidak terlepas dari berbagai
hambatan, baik yang berasal dari diri penulis sendiri, maupun dari faktor-faktor
lain. Namun berkat petunjuk dan bimbingan dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha
Kuasa, serta dari motivasi dan dukungan berbagai pihak, hambatan tersebut
perlahan dapat teratasi.
Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak
yang telah mendukung dan memberikan motivasi kepada penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini, antara lain:
1. Kedua orangtua penulis, Drs. Mahfud dan Rukiah S.Pd.I, yang telah
memberikan berbagai dukungan moril maupun materiil yang tidak terhitung
jumlahnya. Tanpa ridho dan doa dari kalian, tidaklah mampu penulis
melangkah hingga sejauh ini. Terima kasih ayah dan mama.
2. Bapak Dr. Ali Munhanif, MA, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih
atas segala bantuan dan masukan dalam penyusunan skripsi ini di tengah
kesibukan yang bapak jalani.
vi
3. Ibu Debbie Affianty, MA, selaku ketua sekaligus dosen program studi
Hubungan Internasional. Terima kasih atas berbagai ilmu, motivasi, serta
pelayanan yang diberikan selama masa perkuliahan.
4. Bapak Andar Nubowo DEA, selaku dosen pembimbing akademik. Terima
kasih atas segala saran dan motivasi yang diberikan hingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Seluruh dosen program studi Hubungan Internasional, UIN Jakarta. Meskipun
tidak saya sebut satu persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat saya.
Terima kasih atas berbagai macam ilmu yang diberikan. Semoga kelak menjadi
ilmu yang bermanfaat dunia dan akhirat.
6. Kedua adik penulis, Khalida Isfahani dan Tazkia Azzahra, yang senantiasa
menjadi teman pelepas kejenuhan. Semoga Allah mengabulkan cita-cita kita.
7. Kepada seluruh keluarga dan sanak saudara yang telah memberi dukungan dan
doa kepada penulis dalam menempuh studi hingga proses penyelesaian skripsi
ini.
8. Seluruh rekan HI B 2010. Terima kasih atas berbagai masukan dan dukungan
selama menempuh studi. Semoga ilmu yang kita dapat di dunia kampus dapat
berguna dan bermanfaat bagi kehidupan kita di masa yang akan datang.
9. Keluarga besar OC, Ade Ayu Farah Yunika, Riedianty, Mar’atul Rifqiyah,
Syifa Kasyifatussaja, Mahbub Alaidrus, Muhammad Zaid, Kahfi Aditya
Ramadhan, Muhammad Faraidly, Ahmad Badzar, Ardhi Suryanto, dan
Muhammad Fitroh.
vii
10. Seluruh rekan KKN KOMPAK 2013. Syafaat, Fatah, Rasyid, Imam, Doni,
Hafiz, Kahfi, Daus, Alfan, Eva, Nia, Indah, Nurma, Dina, Elis, Rahmi, dan
Ayu. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk
beraktualisasi dan menimba berbagai macam ilmu selama kegiatan KKN.
11. Keluarga besar Yayasan United Islamic Cultural Center of Indonesia (UICCI)
cabang Pejaten. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan untuk dapat
menuntut berbagai macam ilmu pengetahuan.
12. Keluarga besar Naady Araby MAN 4 Jakarta. Terima kasih atas kesempatan
yang diberikan untuk memperoleh banyak pengalaman.
13. Keluarga besar Gugus Depan Shalahudin Al-Ayyubi MAN 4 Jakarta. Terima
kasih atas semangat kekeluargaan doa, dan motivasi yang kalian berikan
kepada penulis.
14. Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi
ini. Semoga Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, membalas segala jenis
kebaikan yang telah kalian berikan.
Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu,
penulis mengharapkan berbagai kritik dan saran yang membangun untuk
kesempurnaan tulisan ini di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
memberikan manfaat bagi khazanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
Hubungan Internasional.
Ciputat, 5 Desember 2014
Khairul Rizal
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………….. i
LEMBAR PERSETUJUAN …………………………………………….. ii
LEMBAR PENGESAHAN …………………………….………………. iii
ABSTRAK ………………………………………………...……………. iv
KATA PENGANTAR ………………………………………………….. v
DAFTAR ISI ………………………………………………..………….. viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah………………………………........................ 1
B. Pertanyaan Penelitian……………………………...……………... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………........... 7
D. Kerangka Konseptual ………………………………………..….. 9
1. Politik luar negeri ……………………………………………. 9
2. Kebijakan luar negeri …………………………………........... 11
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………............ 13
F. Metode Penelitian ……………………………………………….. 17
G. Sistematika Penulisan …………………………………………… 18
BAB II POLITIK LUAR NEGERI MESIR SEBELUM REVOLUSI TAHUN
2011
A. Gambaran Umum Orientasi Politik Luar Negeri Mesir .………… 22
B. Politik Luar Negeri Mesir Masa Kepemimpinan
Hosni Mubarak…………………………………………………… 28
C. Sikap Israel terhadap Mesir pada Masa
Pemerintahan Mubarak………....................................................... 29
D. Opini Publik Mesir terhadap Politik Luar Negeri
Mesir terhadap Israel....................................................................... 33
BAB III POLITIK LUAR NEGERI MESIR SETELAH REVOLUSI 2011:
STUDI HUBUNGAN BILATERAL MESIR-ISRAEL TAHUN 2011-2013
A. Politik Luar Negeri Mesir pada Masa Transisi
di bawah Supreme Council of Armed Forces (SCAF)…………… 36
B. Politik Luar Negeri Mesir pada Masa Pemerintahan
Mohammed Morsi…………………………………………........... 42
ix
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI POLITIK LUAR
NEGERI MESIR TERHADAP ISRAEL TAHUN 2011-2013
A. Faktor Internal Mesir…………………………………………… 54
1. Struktur kekuasaan dan Pemerintahan…………………....... 54
2. Geostrategik dan Geopolitik Mesir………………………… 58
3. Opini Publik Mesir terhadap Israel………………………… 59
B. Faktor Eksternal Mesir……………………………………......... 61
a. Amerika Serikat………………………………………… 61
b. Uni Eropa………………………………………………. 64
c. Hamas ..……………………………………………........ 67
d. Iran ….…………………………………………….......... 69
e. Arab Saudi…………………………………………........ 72
f. Turki …………………………………………………… 74
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………….............................. 77
B. Saran-Saran…………………………………………………….. 80
DAFTAR PUSTAKA ………………………………...………………... x
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Revolusi yang terjadi di Mesir pada 2011 telah menjadi sorotan dunia
internasional. Revolusi tersebut berhasil menggulingkan Presiden Hosni Mubarak,
seorang pemimpin nasional Mesir yang telah menjabat selama 30 tahun.
Berakhirnya kekuasaan Mubarak membuka jalan baru bagi Mesir dalam
menjalankan roda pemerintahan, baik di bidang sosial, politik dan ekonomi,
termasuk kemungkinan adanya perubahan yang mendasar dalam politik luar
negeri. Dalam hal yang terakhir ini, setidaknya sebagaimana yang terlihat dalam
berbagai perkembangan politik setelah revolusi, Mesir dihadapkan pada tantangan
untuk mempertahankan stabilitas keamanan kawasan dan memperkuat hubungan
dengan lingkungan eksternal – baik regional mapun internasional - yang
berdasarkan pada kepentingan nasional.1 Dalam konteks ini pula, salah satu
tantangan terbesar negara ini pada periode setelah-Revolusi adalah menjawab
berbagai persoalan kebijakan luar negeri yang diwariskan oleh pemerintahan
terdahulu, yakni Perjanjian Camp David antara Mesir dengan Israel yang telah
disepakati dan dijalani sejak 1979.2
1 Amr Darrag, “On The New Vision for the Egyptian Foreign Policy After the Revolution”, Tesev
Foreign Policy Programme (March 2013), h. 2 2 María Celeste Baranda, “Post-Mubarak Egypt: Redefining its Role in the New Middle Eastern
Balance of Power”, INEGMA Special Report no. 14 (April 2011), h. 11
2
Semenjak Mubarak berkuasa (1981-2011), Mesir telah menunjukkan
dominasinya di Timur Tengah dengan kepemimpinannya dalam merespon gejolak
dan dinamika yang terjadi di dunia internasional, khususnya permasalahan dalam
lingkup kawasan. Kepemimpinan Mesir tersebut kemudian diaplikasikan ke dalam
sebuah tatanan formal yang bernama politik luar negeri. Politik luar negeri Mesir
terbentuk dalam bingkai menjawab berbagai prioritas masalah yang ada dan
berkembang saat itu. Dalam perspektif teori Hubungan Internasional, terdapat dua
hal determinan yang mendasari politik luar negeri Mesir pada masa Mubarak,
yaitu: 1) pengaruh dan tekanan dari internal maupun eksternal Mesir, dan 2)
kepentingan nasional yang hendak diraih oleh Mesir.3
Politik luar negeri Mesir di bawah kepemimpinan Mubarak juga tidak bisa
dilepaskan dari pengaruh dari dua faktor determinan tersebut. Sebagaimana kita
tahu dalam berbagai perkembangan dinamika politik Timur Tengah setelahPerang
Oktober 1973 antara Israel melawan gabungan kekuatan militer negara Arab
Mesir, Suriah dan Yordania, Mesir telah menempuh perdamaian dengan Israel
yang disepakati pada 1979.4 Di bawah Anwar Sadat, sejak 1980 Mesir telah
menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dan saling membuka perwakilan
setingkat Duta Besar antara Mesir-Israel. Perdamaian antara dua negara yang
berpengaruh di Dunia Arab itu menyisakan persoalan serius dalam hal tekanan
yang dialami Mesir di kalangan negara-negara Arab yang lain. Pada waktu
Mubarak naik ke tampuk kekuasaan tidak lama setelah Anwar Sadat terbunuh
3 Chen Tianshe, “Four Points toward the Understanding of Egypt’s Foreign Relations”, Journal of
Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia) 5 no. 1 (2011), h. 99-100 4 Molad Report, “The Arab Peace Initiative: Israel’s Strategic Loss and Historic Opportunity”, h. 6
3
pada 1981 sebagai protes terhadap perdamaian Mesir-Isreal, Mesir dihadapkan
pada dilema yang sama, yakni melanjutkan perjanjian damai dengan Israel atau
membatalkannya. Mubarak tampaknya mengambil pilihan yang kedua, yakni
melanjutkan perjanjian damai dengan Israel.5
Menurut sejumlah pengamat, sikap Mubarak itu disebabkan oleh
kepentingan nasional Mesir yang hendak dituju dari perjanjian tersebut. Harus
diakui, berbagai kerugian diplomatis dialami Mesir dengan adanya perjanjian itu.
Salah satu kerugian bagi Mesir yang lahir dari perjanjian damai tersebut adalah
konsekuensi yang mengikat bagi pihak-pihak yang terlibat dalam proses
perjanjian damai, yakni Mesir, Israel, dan Amerika Serikat. Misalnya, sebagai
persyaratan yang harus dipenuhi dari perjanjian damai ini adalah bahwa Mesir
diharuskan mengirimkan gas alam ke Israel untuk memenuhi kebutuhan energi
bagi masyarakat Israel.6 Selain itu, Mesir juga harus menerapkan zona
demiliterisasi di Semenanjung Sinai yang juga menjadi wilayah otoritas Mesir dan
wilayah yang berbatasan dengan Israel. Mesir juga harus menjalin hubungan
bilateral dengan Israel dan AS meskipun terdapat dinamika pasang-surut antara
Mesir dengan kedua negara tersebut.7
Namun demikian, sejumlah keuntungan dari segi politik militer juga
diperoleh Mesir dari perjanjian itu. Misalnya, Mesir mendapatkan bantuan
keamanan, militer, dan ekonomi dari AS selaku mediator dalam perjanjian
5 Baranda, Post-Mubarak Egypt, h. 11
6 Michael Sharnoff, “Post Mubarak Egyptian Attitudes Towards Israel”, Foreign Policy
Researches Institute (October 2011), hal. 1 7 Memo AIPAC, “Post-Mubarak Egypt Must Maintain Peace Treaty with Israel, Cooperation with
United States” (February 2011), hal. 1
4
tersebut. Berdasarkan hasil laporan bagian penelitian Kongres AS pada tanggal 27
Juni 2013 mengenai bantuan luar negeri AS untuk Mesir, sejak tahun 1948 hingga
2011, Mesir telah menerima bantuan dari AS sekitar $71,6 Milyar, termasuk di
antaranya $1,3 Milyar untuk bantuan militer Mesir pada tahun 1987. Bantuan
dengan jumlah yang sama kembali Mesir terima dari AS pada tahun 2008.
Bantuan senilai $1,3 Milyar secara khusus diberikan AS melalui persetujuan
Kongres yang didistribusikan melalui Foreign Military Financing (FMF),
Economic Support Funds (ESF), dan International Military Education and
Training (IMET).8
Selain bantuan militer, AS juga menjanjikan untuk membantu Mesir
bidang ekonomi. Total bantuan yang diberikan AS untuk membantu ekonomi
Mesir sebesar $815 juta. Secara keseluruhan, total bantuan yang diberikan AS
kepada Mesir tiap tahun pada masa pemerintahan Mubarak mencapai $2,1
Milyar.9 Dengan demikian, bantuan luar negeri yang diberikan AS kepada Mesir
termasuk salah satu pertimbangan yang membuat Mubarak tetap mempertahankan
perjanjian damai dengan Israel hingga akhir kekuasaannya.
Kejatuhan Mubarak menjadi awal transisi politik di negara itu dan
membuat Supreme Council of Armed Forces (SCAF) mengisi kekuasaan
demisioner Mesir. Tugas dari lembaga ini adalah untuk mengawal transisi dan
mencapai tujuan revolusi, yakni menjadikan Mesir sebagai negara yang
8 Jeremy M. Sharp, “Egypt: Background and U.S. Relations”. Congressional Research Service
(2013), hal. 9. 9 Yoram Meita, “Domestic Challenges and Egypt’s U.S. Policy”. Middle East Review of
International Affairs 2 no. 4 (December 1998), hal.7
5
demokratis seutuhnya. Selain mengurus permasalahan transisi yang sedang
dijalani oleh Mesir, SCAF juga berwenang mengatasi masalah politik luar negeri
Mesir pada saat itu. SCAF membentuk sebuah Deklarasi Konstitusional I yang
salah satu poin pentingnya ialah berkomitmen terhadap berbagai perjanjian
internasional yang telah disepakati dan mengikat Mesir.10
Poin penting ini
merupakan hasil dari upaya SCAF untuk menjadi lembaga yang mewadahi
berbagai jenis aspirasi masyrakat Mesir. SCAF juga melakukan berbagai dialog
dengan berbagai elemen masyarakat dan politik untuk merumuskan kebijakan
dalam proses transisi.
Namun demikian, fenomena yang kontradiktif timbul di kalangan
masyarakat Mesir di mana terdapat aspirasi yang mempersoalkan hasil Deklarasi
Konstitusional 1 poin kelima ini. Pada masa transisi ini, masyarakat Mesir
menyuarakan aspirasi mereka untuk menghentikan perjanjian damai dengan Israel
yang disebabkan pembunuhan yang dilakukan oleh Israel terhadap lima orang
pasukan penjaga perbatasan Mesir di Sinai.11
Kejadian tersebut menimbulkan
protes dan respon anti-Israel dari ribuan massa dengan melakukan aksi
demonstrasi di depan kedutaan besar Israel pada tanggal 9 September 2011.12
Selain itu, terdapat masalah serius lain yang memerlukan perhatian khusus dari
hubungan bilateral antara Mesir dengan Israel pada masa kepemimpinan SCAF
ini, yakni ekspor gas ke Israel. Meskipun ekspor gas ke Israel merupakan sebuah
10
Ibid, h.18 11
Sharnoff, Post-Mubarak Egyptian, Hal. 1 12
Tami Amanda Jacoby, “Israel’s Relations with Egypt and Turkey during the Arab Spring:
Weathering the Storm”. Israel Journal of foreign Affairs VII: 2 (2013), hal.29
6
konsekuensi dari perjanjian damai kedua negara, namun dibalik itu semua terdapat
sebuah tindakan koruptif yang dilakukan pejabat pemerintahan Mesir.13
Tugas akhir dari SCAF dalam mengawal transisi di Mesir ialah
mengadakan pemilihan umum secara demokratis. Hasil dari pemilihan umum
yang dilakukan secara demokratis itu menunjukkan kondisi perpolitikan Mesir
diisi oleh tokoh-tokoh dari kelompok Islam, yang berhasil mendapatkan suara
terbanyak dalam pemilihan umum. Ikhwanul Muslimin yang pada masa
pemerintahan Mubarak mendapat label sebagai organisasi ilegal berhasil meraih
suara mayoritas (37% suara atau 216 kursi parlemen) melalui sayap politiknya
Freedom and Justice Party (FJP). Selain itu, kelompok ini juga menempatkan
salah satu tokohnya, yakni Mohammed Mursi sebagai presiden baru Mesir.14
Tantangan politik luar negeri Mesir di bawah pimpinan Mursi ini tidak
jauh berbeda dengan masa pemerintahan Mubarak dan masa pemerintahan transisi
di bawah SCAF. Kelanjutan perjanjian Camp David menjadi diskursus yang
semakin kuat di tengah masyarakat Mesir. Hal ini diperkuat dengan latar belakang
presiden Mursi dan FJP selaku partai yang berkuasa. Selaku sayap politik dari
Ikhwanul Muslimin, nilai-nilai ideologis kelompok ini tidak dapat dilepaskan,
khususnya dalam pandangan terhadap eksistensi Israel. Selain itu, dinamika
politik di Timur Tengah saat itu turut memberikan pengaruh terhadap proses
penentuan arah politik luar negeri Mesir, khususnya dalam masalah hubungan
bilateral dengan Israel.
13
Ibid, h.31 14
Sarah Lynch. “Muslim Brotherhood Top Winner in Egyptian Election”, USATODAY, 12 April
2011, dalam www.studentnewsdaily.com/daily-news-article/muslim-brotherhood-top-winner-in-
egyptian-election diakses 17 April 2014
7
Dinamika politik luar negeri Mesir saat sebelum hingga sesudah revolusi
memiliki daya tarik tersendiri dalam penelitian ini. Faktor pergantian rezim
setelah revolusi menjadi pijakan utama dalam penelitian ini untuk melakukan
identifikasi arah politik luar negeri Mesir terhadap Israel pada masa Mubarak
(sebelum revolusi), hingga memasuki masa transisi di bawah SCAF dan masa
pemerintahan Morsi (setelah revolusi). Selanjutnya, penelitian ini mengambil
batasan waktu dari tahun 2011 hingga tahun 2013. Adapun analisa dari periode
waktu tersebut dimulai saat Mesir berada di bawah rezim SCAF hingga
berakhirnya pemerintahan Mohammed Mursi pada bulan Juni 2013. Fokus
penelitian ini terdapat pada politik luar negeri Mesir setelah revolusi, khususnya
yang berkaitan dengan hubungan bilateral antara Mesir dan Israel pada dua masa
pemerintahan setelah revolusi tahun 2011 tersebut.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah pada penelitian ini, maka penelitian ini
hendak menjawab pertanyaan:
1. Bagaimana politik luar negeri Mesir terhadap Israel setelah revolusi tahun
2011 hingga tahun 2013?
2. Bagaimana faktor-faktor yang mempengaruhi politik luar negeri Mesir
terhadap Israel setelah revolusi tahun 2011 hingga tahun 2013?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, antara
lain:
1. Tujuan Penelitian
a. Menjelaskan politik luar negeri Mesir terhadap Israel setelah revolusi
tahun 2011 hingga tahun 2013.
b. Menjelaskan orientasi kebijakan luar negeri Mesir setelah revolusi tahun
2011 hingga tahun 2013.
c. Menjelaskan faktor-faktor internal dan eksternal Mesir yang berpengaruh
dalam hubungan diplomatik dengan Israel setelah revolusi tahun 2011
hingga tahun 2013.
d. Menganalisis perkembangan hubungan diplomatik Mesir-Israel setelah
revolusi tahun 2011 hingga tahun 2013.
2. Manfaat Penelitian
a. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai rujukan dalam penelitian yang
berkaitan dengan topik pembahasan dan wilayah kajian Timur-Tengah.
b. Penelitian ini dapat menambah khazanah keilmuan dalam bidang hubungan
internasional.
D. Kerangka Konseptual
1. Politik Luar Negeri
Dalam rangka menjelaskan politik luar negeri Mesir setelah revolusi,
penelitian ini menggunakan konsep politik luar negeri terdiri dari dua variabel,
9
yakni politik atau policy dan luar negeri. Politik merupakan seperangkat
keputusan yang menjadi pedoman untuk bertindak atau seperangkat aksi yang
bertujuan untuk mencapai sasaran yang ditetapkan. Policy berakar dari konsep
pilihan politik yang berarti memilih tindakan atau membuat keputusan untuk
mencapai tujuan. Sementara untuk memahami variabel luar negeri dapat dibantu
dengan menggunakan konsep kedaulatan. Kedaulatan berarti kontrol atas wilayah
yang dimiliki suatu negara. Berdasarkan definisi di atas politik luar negeri
merupakan seperangkat pedoman untuk memilih tindakan yang ditujukan ke luar
wilayah suatu negara.15
Sementara definisi lain politik luar negeri ialah suatu strategi atau rencana
nyata dari pembuat keputusan dalam suatu negara kepada negara lain untuk
mencapai tujuan tertentu yang ditetapkan dalam istilah kepentingan
internasional.16
Dalam pengertian lain politik luar negeri menurut Harry Kissinger
ialah ”foreign policy begins when domestic policy ends”.17
Dari definisi tersebut
menunjukkan bahwa politik luar negeri berada pada intersection antara aspek
domestik dengan aspek internasional suatu negara.
Politik luar negeri mencerminkan tiga hal, yaitu: 1) Desain kepentingan
pada negara masing-masing yang melakukan penyesuaian, bertolak dari
pandangan hidup dan pandangan strategisnya atau dalam rangka merealisasikan
berbagai manfaat untuk banyak orang, serta desain kepentingan tersebut untuk
15
Anak Agug Banyu Perwita dan Yanyan M. Yani, 2005, Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, h.48 16
Jack C. Plano and Roy Olton, 1978, The International Relation Dictionary, New York, h.127 17
Wolfram F. Hanrieder, Comparative Foreign Policy: Theoritical Essays, (New York: David
McKay Co, 1971), h.22
10
mencapai target yang dapat dicapai dengan membuat hubungan kausalitas antara
apa yang ada dan apa yang hendak dicapai, 2) batasan muatan politik luar negeri
dilakukan dengan mempelajari kepentingan dan menyusun dalam skala prioritas
ke dalam kepentingan vital dan sekunder, serta menjelaskan tata cara
mengembannya di luar batas pengaruhnya bagi kepentingan negara lain, dengan
begitu juga bagi negara tersebut, dan 3) proses pelaksanaan, dengan
mengoordinasikan berbagai sarana pelaksanaan, serta penyelarasan antara
kemampuan negara dengan target yang direalisasikan. Keberhasilan dalam politik
luar negeri menuntut adanya pemahaman yang benar mengenai dunia, posisi
internasional, dan hubungan internasional. Maka, kekuatan negara merupakan
sebuah jaminan bagi keberhasilan politik luar negerinya.18
2. Kebijakan Luar Negeri
Menurut Rosenau, kebijakan luar negeri merupakan upaya suatu negara
untuk mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan eksternalnya.19
Kebijakan luar negeri ditujukan untuk memelihara dan mempertahankan
kelangsungan hidup suatu negara. Selain itu, dalam kebijakan luar negeri terdapat
fenomena yang bersifat kompleks dan luas yang meliputi aspek kehidupan
internal dan kehidupan eksternal. Kedua aspek tersebut meliputi aspirasi, atribut
18
Muhammad Musa, 2003, Hegemoni Barat Terhadap Percaturan Politik Dunia: Sebuah Potret
Hubungan Internasional, Jakarta: Wahyu Press, h. 36-37 19
James N. Rosenau, et.al. 1976. World Politics: An Introduction. New York: The Free Press, hal. 27
11
nasional, kebudayaan, konflik, kapabilitas, institusi, dan aktivitas rutin yang
ditujukan untuk mencapai dan memelihara identitas sosial, hukum, dan geografi.20
Sementara itu, menurut Holsti, kebijakan luar negeri meliputi semua
tindakan serta aktivitas negara terhadap lingkungan eksternalnya. 21
Hal tersebut
dilakukan dalam upaya untuk memperoleh keuntungan dari lingkungan
eksternalnya tersebut, serta hirau akan berbagai kondisi internal yang menopang
formulasi tindakan tersebut. Tujuan-tujuan yang hendak dicapai suatu negara
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yaitu: 1) nilai yang menjadi tujuan
dari pembuat kebijakan, 2) jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan, dan 3) tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada
negara lain.22
Dari beberapa teori yang dikemukan oleh para pemikir tentang kebijakan
luar negeri di atas, secara garis besar kebijakan luar negeri merupakan sebuah
tindakan yang dilakukan oleh suatu negara yang disebabkan oleh adanya faktor-
faktor yang mempengaruhi, baik faktor internal maupun faktor eksternal, yang
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan dari lingkungan eksternal negara
tersebut dan bergantung pada kebutuhan yang ingin dipenuhi oleh negara tersebut
berdasarkan skala prioritas yang telah ditentukan oleh suatu negara dan
menentukan jenis kebijakan yang dikeluarkan.
20
Ibid, h.15 21
K.J. Holsti.1988. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey: Prentice Hall, hal. 21 22
Perwita dan Yani, Pengantar Ilmu, 51-52.
12
Sementara itu, Rosenau mengklasifikasikan sumber-sumber utama dalam
kebijakan luar negeri tersebut kedalam empat kategori, yang mana terdapat
sumber yang berasal dari internal dan eksternal suatu negara, 23
yaitu:
1. Sumber sistemik (systemic sources)
Sumber ini berasal dari lingkungan eksternal suatu negara. Sumber ini
menjelaskan struktur hubungan antara negara-negara besar, pola aliansi antar
negara, dan faktor eksternal lain, seperti isu area atau krisis.
2. Sumber masyarakat (societal resources)
Yaitu, sumber yang mencakup berbagai faktor yang berasal dari internal
negera itu sendiri, antara lain berupa:
a. Kebudayaan dan sejarah, yang meliputi nilai, norma, tradisi, dan
pengalaman.
b. Pembangunan ekonomi, yang mencakup kemampuan suatu negara untuk
mencapai kesejahteraan sendiri.
c. Struktur sosial, yang mencakup sumber daya manusia yang dimiliki suatu
negara atau seberapa besar konflik dan harmoni internal di dalam
masyarakat.
d. Perubahan opini publik, yang mencakup perubahan sentimen masyarakat
terhadap dunia luar.
3. Sumber pemerintahan (governmental resources)
Sumber ini menjelaskan tentang pertanggungjawaban politik dan struktur
dalam pemerintahan. Sumber ini berasal dari internal suatu negara pula. Dalam
23
Rosenau.et.al, World Politics, hal 15-18 dalam Coloumbis and Wolfe, Introduction to
International Relation: Power and Justice, (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1978), h. 129
13
masalah pertanggungjawaban terhadap politik di suatu negara, pemimpin suatu
negara yang memiliki otoritas dalam pembuatan kebijakan luar negeri dapat
fleksibel untuk merespon situasi eksternal.Yang juga sangat berpengaruh dari
sumber ini ialah struktur kepemimpinan yang berasal dari berbagai individu dan
kelompok yang berbeda-beda.
4. Sumber idiosinkratik (idiosyncratic sources)
Sumber ini berasal dari kepribadian elit-elit politik yang mempengaruhi
persepsi, kalkulasi, dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri. Hal ini
juga meliputi persepsi seorang elit politik tentang keadaan alamiah dari arena
internasionaldan tujuan nasional yang hendak dicapai.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam penelitian yang ditulis oleh Adhi Cahya Fahadayna yang berjudul
“Pengaruh Ikhwanul Muslimin terhadap Politik Luar Negeri Mesir dalam Konflik
Israel-Palestina” membahas salah satu instrumen yang turut memberikan
pengaruh terhadap kebijakan luar negeri Mesir, yakni eksistensi kelompok
Ikhwanul Muslimin.24
Ikhwanul Muslimin berhasil meraih kekuasaan setelah
pemilihan umum yang diselenggarakan secara demokratis pada tahun 2011-2012
yang lalu. Ikhwanul Muslimin juga menempatkan salah seorang tokoh senior
mereka, Mohammed Mursi, sebagai presiden melalui pemilihan umum secara
demokratis pertama sejak revolusi 2011. Dengan berhasil menguasai
24
Adhi Cahya Fahadayna, “Pengaruh Ikhwanul Muslimin terhadap Politik Luar Negeri Mesir
dalam Konflik Israel-Palestina”, Universitas Airlangga (2013), h. 1
14
kepemimpinan di Mesir, Mursi dan Ikhwanul Muslimin memberikan pengaruh
signifikan terhadap kebijakan luar negeri Mesir, khususnya yang berkaitan dengan
isu Palestina-Israel.
Selain itu, Adi Cahya juga menilai bahwasanya Ikhwanul Muslimin telah
membuka jalan bagi Mesir untuk melakukan reorientasi dan rekonstruksi politik
luar negeri yang independen. Menurutnya, politik luar negeri Mesir sebelum
pemerintahan Mursi lebih identik dengan kepentingan Amerika Serikat di Timur
Tengah. Oleh sebab itu, semenjak menjabat sebagai presiden, Mursi mencoba
untuk mengembalikan independensi dalam politik luar negeri Mesir. Langkah
Mursi tersebut diimplementasikan dengan melakukan hubungan intensif dengan
negara-negara di Timur Tengah dan Afrika.25
Penelitian yang dilakukan oleh Adhi Cahya Fahadayna melihat peranan
Ikhwanul Muslimin sebagai new religious movements yang membawa unsur-
unsur keagamaan terhadap isu Palestina-Israel. Dengan menjadikan agama
sebagai instrumen utama pergerakan, Ikhwanul Muslimin mampu mendominasi
politik Mesir setelah revolusi dan mampu memperoleh dukungan legitimasi dari
rakyat Mesir. Setelah itu, dalam kasus ini, Ikhwanul Muslimin juga berhasil
merubah orientasi kebijakan luar negeri Mesir Perubahan tersebut terlihat dari
sikap Mesir yang dengan tegas mendukung Palestina sebagai permanent observer
di PBB. Dengan demikian, dukungan tersebut mengindikasikan Mesir sudah tidak
sepenuhnya lagi tunduk pada perjanjian Camp David.26
25
Ibid, h.11 26
Ibid, h. 12
15
Selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Major Ehab Elsayed
Elhadad yang berjudul “The Egyptian Military’s Role In The 25 January
Revolution, And The Post-Revolution Impacts On Egypt’s Foreign Relations And
Middle East Stability” dalam salah satu sub pembahasan menjelaskan tentang
hubungan Mesir-Israel yang sudah terjalin sejak 1948 menunjukkan adanya
ketidakstabilan dan berada pada tingkat ketegangan yang tinggi.27
Hubungan
kedua negara tersebut ditengahi oleh AS yang berujung pada kesepakatan damai
melalui Perjanjian Camp David tahun 1979. Perjanjian tersebut membuat
hubungan kedua negara menjadi harmonis dalam bidang politik maupun ekonomi.
Menurut Major Ehab, setelah revolusi yang terjadi di Mesir pada tahun
2011 lalu, Israel mengalami kekhawatiran akan nasib dari perjanjian tersebut. Hal
ini disebabkan adanya pergantian rezim yang dihasilkan setelah revolusi, yaitu
berakhirnya rezim Mubarak dan terpilihnya Mursi sebagai presiden baru Mesir.
Kekhawatiran Israel terhadap status Perjanjian Camp David dalam pandangan
pemerintah yang baru berdasarkan pada tiga kategori, yaitu:
1. keinginan pemerintah Mesir untuk mengakhiri perjanjian tersebut,
2. keinginan pemerintah Mesir untuk merevisi beberapa poin dalam
perjanjian tersebut,
3. dan keinginan pemerinah Mesir untuk terus berkomitmen menjalani
perjanjian tersebut.28
27
Major Ehab Elsayed Elhadad, The Egyptian Military’s Role In The 25 January Revolution, And
The Post-Revolution Impacts On Egypt’s Foreign Relations And Middle East Stability, (Fort
Leavenworth: Kansas, 2012), h. 62 28
Ibid, h. 63
16
Dalam tesis Major Ehab juga menjelaskan beberapa faktor yang
menyebabkan adanya upaya untuk mengakhiri Perjanjian Camp David. Faktor-
faktor tersebut antara lain:
1. Masalah pendudukan Israel di Palestina
2. Hubungan erat antara Ikhwanul Muslimin di Mesir dengan gerakan
pembebasan Palestina (PLO) dan gerakan anti-Israel; Hamas.
3. Masalah perbatasan Mesir-Israel di dataran tinggi Sinai.
4. Masalah blokade Israel terhadap kapal Mavi Marmara Turki yang
membawa bantuan untuk Palestina.29
Dari faktor-faktor tersebut, Major Ehab menilai permasalahan Israel
dengan Palestina menjadi permasalahan sensitif yang membuat opini publik di
Mesir mengarahkan pandangannya untuk mengakhiri perjanjian Camp David.
Selain itu, pandangan publik Mesir pula tertuju pada upaya untuk menciptakan
keamanan dan stabilitas di kawasan Timur Tengah yang selama ini terus berada
dalam ketegangan, khususnya dalam konflik Palestina-Israel.30
Berbeda dengan skripsi yang ditulis oleh Adhi Cahya Fahadayna (2011)
yang menyoroti hubungan Mesir-Israel melalui pengaruh Ikhwanul Muslimin
yang dipandang sebagai new religious movement, skripsi ini mencoba meyoroti
hubungan kedua negara melalui kerangka teoritis berupa konsep politik luar
negeri dan kebijakan luar negeri Mesir. Melalui konsep tersebut, skripsi ini
mencoba mengidentifikasi politik luar negeri Mesir dan berbagai faktor-faktor
29
Ibid 30
Ibid, h. 64
17
yang mempengaruhinya, khususnya dalam hubungan bilateral dengan Israel tahun
2011-2013 (pada masa SCAF dan Mohammed Mursi).
Selain itu, perbedaan antara tesis yang ditulis oleh Major Ehab Elsayed
Elhadad dengan penelitian ini ialah terletak pada pembahasan mengenai sumber
dalam proses pengambilan kebijakan terhadap hubungan diplomatik Mesir dengan
Israel pada periode sebelum hingga sesudah revolusi Mesir. Pembahasan yang
terdapat pada tesis Major Ehab Elsayed Elhadad lebih menyoroti pada pergantian
rezim dan struktur kekuasaan di Mesir setelah diselenggarakannya pemilihan
umum setelah revolusi tahun 2011. Major Ehab lebih melihat pengaruh cara
pandang kelompok yang berkuasa – Ikhwanul Muslimin – dalam masalah
Palestina-Israel setelah berhasil meraih kekuasaan politik dominan di Mesir.
Berbeda dengan tesis Major Ehab, penelitian ini tidak hanya berfokus pada
masalah Palestina-Israel dan disertai dengan cara pandang ideologis Ikhwanul
Muslimin, melainkan juga mengidentifikasi secara umum langkah dan kebijakan
luar negeri Mesir terhadap Israel, dinamika hubungan bilateral Mesir-Israel
setelah revolusi 2011, dan disertai dengan orientasi politik luar negeri Mesir
setelah revolusi 2011.
F. Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Penelitian
kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif
mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati
18
dari orang-orang yang diteliti.31
Dalam penelitian kualitatif, teknik pengumpulan
data dapat melalui teknik wawancara mendalam, pengamatan partisipasi, bahan
dokumenter, serta teknik-teknik baru seperti teknik bahan visual serta teknik
penelusuran bahan internet.
Sementara itu, dalam penelitian ini skripsi ini menggunakan beberapa
teknik pengumpulan data kualitatif, antara lain teknik analisis bahan dokumenter,
yang terdiri dari berbagai jenis buku, jurnal ilmiah, media massa, serta penelitian
terdahulu berupa skripsi dan tesis. Dengan menggunakan teknik pengumpulan
data tersebut, seluruh data yang skripsi ini dapatkan diklasifikasikan ke dalam
jenis data sekunder.
Selain mengolah data-data sekunder, skripsi ini dilengkapi dengan data-
data primer yang bersumber dari berbagai jenis laporan yang terkait dengan
politik luar negeri Mesir setelah revolusi tahun 2011 terhadap Israel, serta faktor-
faktor yang mempengaruhinya, dan berbagai jenis nota kesepahaman antara kedua
negara dalam menjalin hubungan diplomatik.
Semua sumber data tersebut dapat skripsi ini dapatkan dari beberapa
perpustakaan berbagai universitas, baik negeri maupun swasta, serta beberapa
perpustakaan dari lembaga penelitian dan lembaga pemerintahan yang terkait
dengan pembahasan penelitian ini. Selain itu, skripsi ini juga melakukan teknik
pengumpulan data dari berbagai hasil penelusuran di internet untuk mencari
berbagai informasi yang terkait dengan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini.
31
Steven J. Taylor dan Robert Bogdan. Introduction to Qualitative Research Methods: the Search
for Meaning (New York: Wiley & Sons.Inc), 1984, h. 5
19
G. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini merumuskan kerangka yang sistematis dan sesuai
dengan aturan yang berlaku di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Adapun sistematika penelitian ini
adalah sebagai berikut.
Bab I Pendahuluan
A. Pernyataan masalah
B. Pertanyaan penelitian
C. Tujuan penelitian dan manfaat penelitian
D. Tinjauan pustaka
E. Kerangka teori
F. Metode penelitian
G. Sistematika penulisan
Bab II Politik Luar Negeri Mesir Sebelum Revolusi tahun 2011
A. Gambaran Umum Orientasi Politik Luar Negeri Mesir
B. Orientasi Politik Luar Negeri Mesir Masa Kepemimpinan Hosni Mubarak
C. Politik Luar negeri Mesir Masa Kepemimpinan Hosni Mubarak
D. Sikap Israel terhadap Mesir
E. Opini Publik Mesir terhadap Politik Luar Negeri Mesir terhadap Israel
Bab III Politik Luar Negeri Mesir Setelah Revolusi Israel Tahun 2011: Studi
Hubungan Bilateral Mesir-Israel 2011-2013
20
A. Politik Luar Negeri Mesir pada Masa Transisi di bawah Supreme Council
of Armed Forces (SCAF)
B. Politik Luar Negeri Mesir pada Masa Pemerintahan Mohammed Mursi
Bab IV Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Politik Luar Negeri Mesir terhadap
Israel tahun 2011-2013
A. Faktor Internal Mesir
1. Struktur Kekuasaan dan Pemerintahan
2. Geostrategik dan Geopolitik Mesir
3. Opini Publik Mesir terhadap Israel
B. Faktor Eksternal Mesir
1. Amerika Serikat
2. Uni Eropa
3. Iran
4. Hamas
5. Arab Saudi
6. Turki
Bab V Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran-saran
21
BAB II
Politik Luar Negeri Mesir Sebelum Revolusi 2011
Bab ini akan menjelaskan politik luar negeri Mesir dengan Israel sebelum
revolusi yang terjadi pada tahun 2011. Batasan waktu pembahasan dalam bab ini
ialah kondisi Mesir di bawah pemerintahan Hosni Mubarak (1981-2011). Fokus
pembahasan bab ini meliputi beberapa hal, antara lain: 1) gambaran umum
orientasi politik luar negeri Mesir, 2) orientasi politik luar negeri Mesir pada masa
pemerintahan Mubarak, 3) kebijakan luar negeri Mesir pada masa pemerintahan
Mubarak terhadap Israel, 4) opini publik terhadap Politik Luar Negeri Mubarak,
dan 5) Sikap Israel terhadap Mesir yang dipimpin oleh Mubarak.
Alasan utama bab ini membatasi periodisasi pembahasan politik luar
negeri Mesir pada masa pemerintahan Mubarak ialah permulaan masa
pemerintahan Mubarak dimulai setelah meninggalnya Anwar Sadat, yang
merupakan salah satu tokoh yang menandatangani perjanjian Camp David pada
tahun 1979. Sejak awal menggantikan posisi Anwar Sadat sebagai presiden,
Mubarak langsung dihadapkan oleh pilihan untuk melanjutkan perjanjian Camp
David atau menghentikannya. Langkah yang diambil oleh Mubarak kemudian
menjadi salah satu faktor yang menunjukkan sikap dan orientasi politik luar negeri
Mesir. Hal tersebut ditambah lagi dengan posisi strategis Mesir di kawasan yang
menjadi pertimbangan dan modal dalam menentukan arah politik luar negeri di
bawah kepemimpinan Mubarak.
22
1. Gambaran Umum Orientasi Politik Luar Negeri Mesir
Gamal Abdel Nasser dalam The Philosophy of Revolution (1955),
menyatakan bahwa orientasi politik luar negeri Mesir secara umum tidak dapat
dilepaskan oleh faktor historis semenjak revolusi tahun 1952. Terdapat tiga hal
yang menjadi dasar utama orientasi tersebut, yakni Arab, Afrika, dan Islam.32
Pada saat Nasser memimpin Mesir, semangat Nasionalisme Arab menjadi fokus
bagi Mesir untuk menjadi negara yang memiliki kekuatan dominan di Timur-
Tengah. Selain itu, dalam pergaulan internasional, Nasser berfokus untuk
membawa Mesir melakukan hubungan yang intensif dengan Uni Soviet dan Blok
Sosialis. Hal tersebut disebabkan dengan adanya semangat anti-Imprealisme yang
diusung oleh Nasser dalam rangka membangun Mesir dan Dunia Arab dari
penjajahan yang dilakukan oleh Barat33
.
Akan tetapi, memasuki tahun 1970-an, yakni saat jabatan presiden Mesir
dipegang oleh Anwar Sadat dan selanjutnya Hosni Mubarak, politik luar negeri
Mesir sudah mulai mengalami pergeseran orientasi. Politik luar negeri Mesir saat
itu tidak lagi mengutamakan semangat menyatukan Negara-negara Arab,
melainkan cenderung lebih dekat dengan Amerika Serikat (AS), Eropa, dan
Negara-negara Teluk34
. Saat itu pula, Mesir mengadakan kerjasama di berbagai
32
Abdel Monem Said Aly, Post-Revolution Egyptian Foreign Policy, Crown Center of Middle
East Studies No. 86 (November 2014), h. 1 33
Tianse, Four Point Toward, h. 95 34
Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h. 1
23
bidang, seperti ekonomi, militer, dan keamanan dengan Jepang, Australia, dan
Kanada35
.
Selanjutnya, pada periode ini pula Mesir memilih menjadi negara Arab
pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel yang berhasil
dikonfrontasi oleh AS. Perjanjian Camp David yang ditandatangani pada tahun
1979 oleh Anwar Sadat - selaku presiden Mesir - dan Menachem Begin - selaku
presiden Israel-, ini membuat hubungan antara Mesir dengan AS dan Israel terikat
dalam sebuah kesepakatan formal. Perjanjian ini kemudian dilanjutkan oleh Hosni
Mubarak, sebagai pengganti dari Anwar Sadat sebagai presiden Mesir. Dengan
memilih meneruskan Perjanjian Camp David tersebut, orientasi politik luar negeri
Mesir dinilai senantiasa melindungi kepentingan AS di Timur Tengah, khususnya
yang berkaitan dengan eksistensi Israel di kawasan Timur-Tengah.36
Dalam situasi demikian, politik luar negeri Mesir mengalami kemunduran
dari segi eksistensi sebagai representasi negara dunia ketiga.37
Namun, dari segi
eksistensi di berbagai forum internasional, Mesir masih memiliki daya tarik untuk
meraih dukungan dari Dunia Arab dan Afrika dalam organisasi internasional,
seperti Non-Aligment Movement (NAM), Organization of Islamic Conference
(OIC), dan African Union (AU). Hal tersebut berdasarkan pada upaya yang
dilakukan Mesir untuk menyatukan prinsip orientasi politik luar negeri Mesir itu
sendiri; Arab, Afrika, dan Islam.38
Selain itu, langkah tersebut merupakan cara
35
Ibid, h. 3 36
Ashraf Khalil. “Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The Rebirth of A
Nation”. New York: St. Martin’s Press, hal. 21. 37
Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h.3 38
Ibid
24
yang dilakukan oleh Pemerintah Mesir untuk dapat menarik kembali simpati dari
Negara-negara Arab yang telah mengucilkan Mesir setelah penandatanganan
Perjanjian Camp David dengan Israel.39
Berakhirnya kekuasaan Mubarak akibat revolusi tahun 2011 menyebabkan
orientasi politik luar negeri Mesir banyak diinterpretasikan mengalami perubahan.
Perubahan tersebut dilihat dari kelompok yang mendominasi struktur kekuasaan
Mesir setelah diadakannya pemilihan umum yang menjadikan Ikhwanul Muslimin
melalui sayap politiknya – Freedom and Justice Party (FJP) – sebagai
pemenang.40
Indikasi adanya pergeseran dalam orientasi politik luar negeri Mesir
lebih berdasarkan pada nilai-nilai ideologis Ikhwanul Muslimin yang
mempengaruhi cara pandang dan persepsi permasalahan yang terjadi di
lingkungan eksternal Mesir.41
Dengan demikian, Pemerintah Mesir dinilai lebih
mengakomodir kepentingan religiusitas dalam proses penetapan orientasi politik
luar negeri.
2. Politik Luar Negeri Mesir Masa Pemerintahan Mubarak
Sebagaimana yang dialami pemerintahan negara-negara Timur Tengah
pasca perang 1973, politik luar negeri Mesir menjadi salah satu perhatian yang
harus diutamakan oleh Mubarak. Bagi Mubarak, kepentingan nasional bagi Mesir
39
Tianse, Four Point Toward, h.91 40
“Muslim Brotherhood-backed candidate Morsi wins Egyptian presidential election”, June 24,
2012. Diakes melalui http://www.foxnews.com/world/2012/06/24/egypt-braces-for-
announcement-president/#ixzz2QgHPWWF7 pada 17 April 2014 41
Said Aly, Post-Revolution Egyptian, h.4
25
merupakan pertimbangan utama dalam merumuskan kebijakan luar negeri Mesir
dan usaha mengawal posisi strategis Mesir di kawasan Timur-Tengah. Dengan
pertimbangan tersebut, Mesir memiliki orientasi tertentu untuk dapat memenuhi
tujuan dan kepentingan nasional dengan membangun kerangka kerjasama, baik
secara bilateral maupun multilateral. Selain itu, orientasi politik luar negeri Mesir
pada masa pemerintahan Mubarak tersebut dilatarbelakangi oleh berbagai
permasalahan yang melibatkan Mesir dengan pihak-pihak di luar Mesir.
a. Konsisten terhadap Perjanjian Camp David
Sejak penandatanganan Perjanjian Camp David tahun 1979, Mesir terikat
kerjasama triparted dengan Israel dan AS. Sebagai inisiator perjanjian tersebut,
AS bersedia memberikan berbagai jenis bantuan finansial kepada Mesir.42
Kesediaan Mesir untuk mengikat diri dengan Perjanjian Camp David tersebut
mengindikasikan bahwa arah kebijakan luar negeri Mesir lebih condong kepada
kepentingan AS dan sekutunya di Timur-Tengah, yakni Israel.
Konsistensi pemerintah Mubarak dalam menjaga perjanjian dengan Israel
tersebut dipengaruhi oleh kepentingan untuk memenuhi kebutuhan nasional
Mesir. Akibat dari perjanjian ini, Mesir mendapatkan berbagai jenis bantuan
ekonomi, militer, dan persenjataan dari AS. Berdasarkan hasil laporan bagian
penelitian Kongres AS pada tanggal 27 Juni 2013 mengenai bantuan luar negeri
AS untuk Mesir Sejak tahun 1948 hingga 2011, Mesir telah menerima bantuan
dari AS sekitar $71,6 Milyar, termasuk di antaranya $1,3 Milyar untuk bantuan
42
Eric Fillinger, “Mubarak Matters: The Foreign Policy of Egypt Under Hosni Mubarak”, School
of International Service American University (2009), hal. 4
26
militer Mesir pada tahun 1987. Bantuan dengan jumlah yang sama kembali Mesir
terima dari AS pada tahun 2008. Bantuan senilai $1,3 Milyar secara khusus
diberikan AS melalui persetujuan Kongres yang didistribusikan melalui Foreign
Military Financing (FMF), Economic Support Funds (ESF), dan International
Military Education and Training (IMET). 43
Selain dari bantuan pada bidang militer, Mesir juga menerima bantuan dari
AS untuk bidang ekonomi. Total bantuan yang diberikan AS untuk membantu
ekonomi Mesir sebesar $815 juta. Secara keseluruhan, total bantuan yang
diberikan AS kepada Mesir tiap tahun pada masa pemerintahan Mubarak
mencapai $2,1 Milyar.44
Lalu, berdasarkan data Washington Institute of Near East
Policy, bantuan yang diberikan ekonomi dan militer yang diberikan oleh AS
merupakan sebuah strategi yang disusun untuk mempertahankan perjanjian yang
melibatkan Mesir dengan Israel. Strategi tersebut merupakan upaya mencapai dan
mempertahankan kepentingan nasional AS di Timur Tengah.45
Perjanjian Camp David memberikan dampak jangka panjang bagi
hubungan antara Mesir dengan Israel dan AS. Sejak ditandatangani pada tahun
1979, Mesir menjadi partner strategis bagi AS di Timur Tengah, khususnya dalam
upaya rekonstruksi hubungan negara-negara Arab dengan Israel. AS menilai
pemerintahan Mesir menjunjung tinggi nilai-nilai moderat dan fokus pada upaya
43
Sharp, Egypt: Background, h.9. 44
Meita, Domestic Challenges, h.7 45
Khalil, Liberation Square, h. 21.
27
stabilisasi kawasan, sehingga cocok dengan kebutuhan AS dalam
mempertahankan kepentingan di Timur Tengah.46
Upaya yang dilakukan Mesir di bawah pemerintahan Mubarak ini pula
turut memberikan dampak positif bagi citra Mesir di dunia internasional sebagai
negara pelopor stabilitas dan keamanan regional. Selain itu, perjanjian Camp
David dalam pandangan pemerintah Mesir memberikan kebutuhan dasar atas
berbagai kebijakan, baik itu kebijakan dalam negeri, maupun kebijakan dalam
negeri. Pemerintah Mesir di bawah pimpinan Mubarak menyadari pentingnya
bantuan yang diberikan oleh AS akibat dari perjanjian damai dengan Israel.
Pemerintah Mubarak meyakini bantuan yang diberikan oleh AS akan terus
diberikan selama digunakan untuk memperkuat posisi Mesir di regional dan terus
mempertahankan kelanjutan perjanjian damai dengan Israel.47
b. Melindungi kepentingan Negara-negara Arab
Selain bertujuan mencapai kepentingan nasionalnya sendiri, Mesir juga
memiliki orientasi politik luar negeri yang bertujuan melindungi kepentingan
negara-negara lain yang berada di kawasan Timur-Tengah, khususnya negara-
negara Arab. Fokus permasalahan yang berada di negara-negara Arab ini ialah
konflik Israel-Palestina. Sebagai wujud komitmen terhadap kepentingan negara-
negara Arab, Mesir senantiasa mendukung Palestina dalam berbagai upaya
46
Samuel J. Spector, “Washington and Cairo: Near theBreaking Point?” Middle East Quarterly
12, no. 3 (2005), 11. 47
Fillinger. Mubarak Matters, h.12
28
perundingan damai dengan Israel dan tidak segan pula untuk memberikan tekanan
terhadap Israel. 48
Langkah yang dilakukan Mesir dalam mewujudkan orientasi politik luar
negeri yang melindungi kepentingan negara-negara Arab juga terlihat dari adanya
upaya mediasi yang dipelopori oleh Mesir terhadap berbagai permasalahan yang
berkaitan dengan berbagai pihak di negara-negara Arab tersebut. Peran sebagai
mediator tersebut merupakan simbol bagi upaya Mesir meraih kembali legitimasi
sebagai great power dan memperbaiki citra di hadapan negara-negara Arab pasca
penandatanganan perjanjian damai oleh Mesir dan Israel.49
Dalam praktiknya, upaya mencapai orientasi politik luar negeri di atas
seringkali berbenturan dengan kepentingan nasional Mesir itu sendiri. Salah satu
contohnya ialah masalah proteksi yang dilakukan Mesir di Semenanjung Sinai.50
Mesir memiliki kebijakan sendiri terhadap pengamanan di wilayah yang
berbatasan langsung dengan Israel tersebut. Dalam pandangan Mesir, tidak ada
lagi pengakuan, perdamaian, dan perundingan apabila Israel melanggar perjanjian
di perbatasan kedua negara tersebut. Upaya tersebut secara berbeda ditanggapi
oleh negara-negara Arab yang menyatakan langkah sepihak tersebut dapat
menimbulkan kerugian yang besar bagi negara-negara Arab. Hal ini dapat
48
Tianshe. Four Points towards, h. 90 49
Ibid 50
Gabi siboni and ram Ben-Barak, “The Sinai Peninsula Threat Development and Response
Concept”, Analysis Paper The Institute For National Security Studies Number 31, January 2014,
h.1
29
mengakibatkan terulangnya konflik antara negara Arab dengan Israel pada masa
silam.51
Namun menyadari adanya potensi benturan tersebut, terdapat langkah
preventif yang dilakukan oleh Mesir. Salah satunya ialah Mesir menegaskan untuk
mempertahankan perjanjian damai dengan Israel di saat negara-negara Arab
menolak eksistensi Israel.52
Selain itu, Mesir berupaya menyeimbangkan posisi
antara kepentingan nasional dengan kepentingan negara-negara Arab. Langkah ini
penting dilakukan dalam implementasi politik luar negeri Mesir, karena apabila
terjadi benturan antara kedua kepentingan tersebut akan menimbulkan efek yang
buruk bagi Mesir dan juga bagi negara-negara Arab.53
c. Memperbaiki citra Mesir di kawasan
Pasca penandatanganan perjanjian damai antara Mesir dengan Israel,
negara-negara Arab bersikap antipati terhadap Mesir. Mesir mendapat . Keadaan
tersebut coba diperbaiki oleh Mubarak dengan menerapkan politik luar negeri
yang lebih adaptif dengan kondisi eksternal Mesir. Salah satu langkah yang
dilakukan oleh Mubarak yaitu bersikap dingin terhadap Israel dan menempatkan
hubungan dengan Israel berada pada level terendah.54
Langkah yang dilakukan oleh Mubarak tersebut didasarkan pula pada
keinginan untuk membawa Mesir kembali menjadi kekuatan utama di kawasan.
51
Wang, J, “An Analysis of Egypt’s Foreign Policy”, West Asia and Africa no. 4 (2006), h.32 52
Tianshe. Four Points toward, h.91 53
Yang, H. and Zhu, K., National Conflicts and Religious Disputes: The history of Hotspot Issues
in Contemporary Middle East (Beijing: People’s Publishing House,1996), h.86 54
Tianshe. Four Points toward, h.91
30
Dengan modal persepsi sebagai negara yang moderat dan stabil, Mubarak
menempatkan keamanan dan stabilitas kawasan sebagai prioritas. 55
Selanjutnya,
Mubarak membawa Mesir untuk memiliki peranan terhadap berbagai
permasalahan yang terjadi di kawasan, khususnya yang melibatkan negara-negara
Arab.56
3. Sikap Israel terhadap Mesir pada Masa Pemerintahan Mubarak
Dalam setiap pelaksanaan politik luar negeri suatu negara, dapat
dipastikan akan mendapat respon dari pihak lain di luar batas teritorial negara
tersebut. Hal ini juga ditunjukkan oleh Israel dalam merespon politik luar negeri
yang dijalankan oleh Mesir pada masa pemerintahan Mubarak. Israel merupakan
pihak yang terlindungi dengan adanya intervensi AS dalam keberlangsungan
perjanjian Camp David antara Mesir dengan Israel. Orientasi politik luar negeri
Mubarak yang memilih untuk menjaga perjanjian damai tersebut semakin
menambah legitimasi Israel dalam mempertahankan eksistensi di Timur-Tengah.
Namun, di lain sisi terdapat hal yang kontradiktif dalam kontinuitas
perdamaian antara Mesir dan Israel pada masa pemerintahan Mubarak yang
didasari oleh Perjanjian Camp David. Dari perspektif Israel, kontinuitas dari
perjanjian tersebut tidak membawa kedua negara pada perdamaian yang
seutuhnya. Selanjutnya, perjanjian ini membuat hubungan kedua negara semakin
55
Mahmoud Muhareb, Israel and Egypt Revolution, Arab Center for Research & Policy Studies
Case Analysis, Doha (May, 2011), hal 4 56
Ibid
31
kompleks, khususnya yang berkaitan dengan status, peran, dan pengaruh
keduanya dalam konstelasi politik dan keamanan di Timur-Tengah.57
Israel menyiapkan berbagai strategi antisipatif untuk menghadapi
probabilitas dalam menjalani hubungan bilateral dengan Mesir. Strategi yang
dibuat oleh Israel antara lain: 1) memperkuat kapabilitas militer, 2) melakukan
monopoli dalam program proliferasi senjata nuklir, 3) meningkatkan kapabilitas
ekonomi, 4) menyatukan posisi politik dalam masalah keamanan nasional, yakni
menjadikan militer sebagai pemeran utama dalam formulasi tujuan nasional dan
memobilisasi massa untuk mendukung setiap pergerakan yang dilakukan militer,
serta 5) memperkuat hubungan bilateral dengan AS, karena AS merupakan
pendukung utama eksistensi Israel di wilayah Timur-Tengah dengan berbagai
bantuan yang diberikan, seperti bantuan sekonomi, politik, dan militer.58
Berdasarkan pertimbangan power dan kapabilitas, Israel berhasil
mereduksi posisi Mesir dalam level regional dan di antara negara-negara Arab.
Setelah berhasil mereduksi peran Mesir tersebut, Israel merancang agenda politik
luar negeri yang diarahkan untuk permasalahan utama di kawasan, yakni konflik
Palestina-Israel. Israel berhasil melakukan cara untuk merubah Mesir menjadi
negara yang sejalan dengan agenda politik luar negeri Israel terhadap masalah
utama tersebut dan masalah-masalah lain di kawasan. Cara yang dilakukan oleh
57
Ibid, hal 1 58
Sharp, Egypt: Background, h.9
32
Israel ialah dengan sandiwara mediasi konflik, perang melawan terorisme, dan
konfrontasi dengan kelompok Islamis-Ekstrimis.59
Di balik semua kontradiksi yang terjadi antara Mesir dengan Israel,
terdapat sebuah apresiasi tinggi yang diberikan Israel kepada Mesir. Apresiasi
tersebut ditujukan atas konsistensi Mesir menjaga perjanjian damai dengan Israel
dan menjadi mitra strategis bagi Israel di kawasan. Selain itu, dalam pandangan
Israel, Mesir merupakan negara yang berjasa atas pemenuhan kebutuhan gas
nasional Israel. Selain itu, Mesir juga telah berhasil menjamin stabilitas dan
keamanan Israel di kawasan. Dengan jaminan yang diberikan oleh Mesir tersebut,
Israel berhasil mengurangi beban anggaran yang dialokasikan untuk pertahanan
dan keamanan, khususnya anggaran dalam bidang militer.
Dalam pandangan Israel, Hosni Mubarak merupakan orang yang paling
berjasa dengan adanya kontinuitas perjanjian damai antara Mesir dengan Israel.
Salah satu penyebabnya ialah masa jabatan Mubarak yang lama (1981-2011).
Bagi Israel sendiri, hal tersebut merupakan sebuah keuntungan, mengingat sosok
Mubarak memiliki power yang kuat dalam sistem pemerintahan Mesir dan dalam
lingkup politik internasional. Faktor lain yang membuat Israel dapat terus
menunjukkan eksistensi di Timur-Tengah juga tidak terlepas dari sistem
pemerintahan dibentuk oleh Mesir. Meskipun Mubarak menyebut Mesir sebagai
negara yang demokratis, namun pada realitanya sangat berbeda. Pada masa
pemerintahan Mubarak, Mesir lebih melekat dengan sistem pemerintahan tirani
tersebut kemudian muncul penguasa yang korup disertai dengan orang-orang yang
59
Mahmoud Muhareb, Israel and Egypt Revolution, hal 1
33
loyal di sekitarnya.60
Dengan demikian, Israel berhasil melihat sebuah celah yang
dapat dimanfaatkan sebagai jalan untuk meraih legitimasi dari Mesir, karena
sentral dari segala kebijakan dalam politik luar negeri Mesir berada di tangan
Mubarak.
Secara umum, perjanjian damai dengan Mesir dijadikan sebuah landasan
bagi Israel untuk menahan diri dari peperangan dengan negara-negara di kawasan
– terlepas dari Intifada dan beberapa perang lainnya.61
Dengan berlandaskan
perjanjian damai tersebut, Israel dapat lebih menentukan skala prioritas dalam
masalah keamanan dan stabilitas di Timur-Tengah. Israel dapat mempersiapkan
kondisi dan kapabilitas militer yang dimiliki dan dapat melakukan kalkulasi
terhadap langkah strategis yang diambil dalam menyikapi tendensi yang terjadi di
kawasan. 62
4. Opini Publik terhadap Politik Luar Negeri Mubarak
Kontinuitas perjanjian damai antara Mesir dengan Israel tidak terlepas dari
tanggapan berbagai pihak. Tanggapan dari berbagai pihak tersebut terbagi
menjadi dua, yakni pihak yang setuju dan mendukung kontinuitas perjanjian
damai tersebut, dan pihak yang tidak setuju dan menolak hal tersebut. Selain itu,
tanggapan yang muncul dari politik luar negeri Mesir pada masa pemerintahan
60
Ibid, hal.2 61
Ibid 62
Elie Podeh and Nimrod Goren, “Israel in the Wake of the Arab Spring: Seizing Opportunities,
Overcoming Challenges” (May 2013), h.1
34
Mubarak ini mencakup opini dari dalam negeri Mesir, maupun dari luar negeri
Mesir.
a. Opini di dalam negeri Mesir
Dari dalam negeri Mesir, opini pro dan kontra yang muncul akibat
kebijakan politik luar negeri pemerintahan Mubarak ini berasal dari berbagai
kelompok. Dari pihak yang pro antara lain ialah militer Mesir. Hal yang
menyebabkan pihak militer mendukung langkah yang diambil oleh Mubarak ialah
adanya akses lebih bagi militer dalam menempati posisi strategis di dalam sistem
pemerintahan Mesir.63
Selain itu, dengan kebijakan Mubarak ini, militer Mesir
mendapatkan efek langsung berupa bantuan senilai $ 1,3 miliar per tahun dari
AS.64
Hal yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok Ikhwanul Muslimin.
Kelompok ini merupakan pihak yang paling keras dalam menentang eksistensi
Israel di Timur Tengah, khususnya di tanah Palestina. Ikhwanul Muslimin menilai
bahwa perjanjian damai dengan Israel merupakan sebuah degradasi bagi Mesir
yang membiarkan pihak asing melakukan intervensi terhadap Mesir.65
Intervensi
yang dimaksud oleh Ikhwanul Muslimin ialah adanya pengaruh dan dukungan AS
dalam perjanjian tersebut.
63
Zeinab Abul-Magd, “Understanding SCAF: The Long Reign of Egypt’s Generals”, Cairo
Review 6 , (2012), hal. 155 64
Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, hal. 9 65
Benny Morris. One State, Two State: Resolving the Israel/Palestine Conflict (New Heaven:
Yale University Press, 2009), hal. 32-33
35
Salah satu hal yang disoroti dari efek perjanjian ini ialah ekspor gas alam
Mesir ke Israel. Ikhwanul Muslimin menilai ekspor gas alam ini merupakan salah
satu potensi tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan pada
masa Mubarak.66
Selain itu, menurut survei yang dilakukan oleh Synovate
Research and Poll pada bulan Oktober 2011, sebanyak 73 persen masyarakat
Mesir menolak ekspor gas yang dilakukan Mesir ke Israel dan hanya 9 persen
masyarakat Mesir yang menyetujuinya.67
Dengan melihat gelombang opini publik
terhadap masalah ekspor gas ini, dapat memperbesar kemungkinan bagi Mesir
untuk menghentikan kebijakan ini.
b. Opini di luar negeri Mesir
Situasi yang tidak jauh berbeda terlihat pada opini di dalam negeri Mesir
dengan opini di luar negeri Mesir. Terdapat pula pihak yang pro dan kontra
terhadap politik luar negeri Mesir pada masa pemerintahan Mubarak ini. Pihak
asing yang pro terhadap langkah yang diambil oleh Mubarak ini ialah AS.
Kepastian dukungan yang diberikan AS ini dapat dilihat dari peran AS sebagai
inisiator dalam perjanjian ini. Selain itu, AS bersedia memberikan bantuan
ekonomi, politik, dan militer bagi Mesir dengan persyaratan tetap
mempertahankan perjanjian damai dengan Israel.68
Sedangkan dari pihak yang kontra dari politik luar negeri Mesir masa
pemerintahan Mubarak ini adalah negara-negara Arab atau secara institusi formal
tergabung dalam Liga Arab (League of Arab). Akibat dari perjanjian damai
66
Sharnoff, Post-Mubarak Egyptian, hal. 3 67
Jacoby. Israel’s Relations, hal. 31 68
Sharp, Egypt: Background and U.S. Relations, h.9
36
dengan Israel ini, Liga Arab pernah mengeluarkan Mesir dari status
keanggotaan.69
Mesir pun dikucilkan dari pergaulan internasional dan dianggap
telah mencederai perjuangan negara-negara Arab dalam mencapai kepentingan
bersama, yakni keamanan dan stabilitas regional. Selain itu, masalah utama yang
menjadi sorotan negara-negara Arab dari efek perjanjian damai Mesir dengan
Israel ialah masalah konflik Palestina dengan Israel.70
Situasi negara-negara Arab
dalam kasus tersebut untuk membantu membebaskan Palestina dari okupasi yang
dilakukan oleh Israel. Namun, dengan adanya perjanjian damai dengan Israel,
Mesir dianggap telah merubah orientasi dukungannya kepada Israel.
69
Tianshe. Four Points toward, h.89 70
Ibid, h.90
37
BAB III
POLITIK LUAR NEGERI MESIR SETELAH REVOLUSI 2011: STUDI
HUBUNGAN BILATERAL MESIR-ISRAEL TAHUN 2011-2013
Pada bab ini akan menjelaskan politik luar negeri Mesir setelah revolusi
yang terjadi pada tahun 2011 hingga tahun 2013. Batasan tahun terakhir dalam
pembahasan bab ini ialah masa pemerintahan Mohammed Mursi, yang berakhir
pada bulan Juni 2013. Sebelumnya bab ini akan terlebih dahulu membahas politik
luar negeri Mesir pada masa pemerintahan transisi - setelah berakhirnya
kekuasaan presiden Hosni Mubarak - di bawah Supreme Council of Armed Forces
(SCAF) yang dipimpin oleh Marshall Hussein Tantawi. Dari dua masa
pemerintahan setelah revolusi tersebut, bab ini akan memberikan gambaran terkait
dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh masing-masing rezim, khususnya
yang berkaitan dengan hubungan bilateral dengan Israel dan kepentingan nasional
yang hendak dicapai oleh Mesir dari lingkungan eksternal, baik pada level
regional maupun internasional.
A. Politik Luar Negeri Mesir Masa Transisi di bawah Kepemimpinan SCAF
1. Eksistensi SCAF di Mesir pada Revolusi Tahun 2011
Supreme Council of Armed Forces (SCAF) atau Dewan Tinggi Angkatan
Bersenjata Mesir merupakan lembaga yang mengambil alih pemerintahan transisi
Mesir pasca berakhirnya kekuasaan Mubarak pasca revolusi tahun 2011 silam.
SCAF terdiri dari para pejabat senior militer Mesir yang dipimpin oleh Husein
38
Tantawi. Sebelumnya SCAF merupakan pihak yang mendukung pergerakan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil dalam revolusi yang menuntut pemberhentian
Hosni Mubarak sebagai presiden Mesir. Keberpihakan SCAF pada masyarakat
sipil dalam revolusi tahun 2011 ini dibuktikan dengan sikap mereka mendukung
secara penuh dan menjamin aksi masyarakat dalam menyampaikan aspirasi.
SCAF juga bersedia membantu masyarakat untuk mewujudkan cita-cita revolusi
dan mewujudkan aspirasi yang disuarakan oleh masyarakat dalam demonstrasi.71
Keberpihakan SCAF kepada masyarakat sipil pada revolusi 2011 menjadi
sejarah tersendiri bagi Mesir. Berbagai pemberitaan di media, khususnya di media
televisi nasional, menyatakan bahwa keberpihakan SCAF pada rakyat merupakan
sebuah peristiwa hebat. Langkah yang dilakukan oleh SCAF sendiri mendapat
apresiasi yang sangat tinggi dari masyarakat. Saat itu, masyarakat sipil seakan
mendapatkan tambahan kekuatan untuk menghentikan kekuasaan rezim Mubarak
yang sudah menjabat selama 30 tahun.72
2. Peran SCAF dalam Transisi di Mesir
Wewenang yang diberikan kepada SCAF dimulai dari periode Februari
2011 sampai dengan Agustus 2012. Dalam mengisi proses transisi tersebut, SCAF
mengedepankan berbagai diskursus mengenai demokrasi dan mempersiapkan
pemilihan umum; referendum amandemen konstitusi, pemilihan majelis tinggi
dan majelis rendah, dan pemilihan presiden.73
Dengan demikian, SCAF
71
Daniel Brumberg and Hesham Sallam, “The Politics of Security Sector Reform in Egypt”,
United States Institute Of Peace Special Report (October 2012), h.2 72
Abul-Magd, Understanding SCAF, h.156 73
Ibid
39
bertanggung jawab terhadap stabilitas politik, ekonomi, dan sosial Mesir pasca
revolusi sebagai bentuk realisasi terhadap cita-cita revolusi.
Dalam urusan politik luar negeri, SCAF berperan sebagai pengambil
kebijakan luar negeri (decision-makers). Hal tersebut berdasarkan pada keinginan
militer untuk menjaga peluang meningkatkan power dan meraih keuntungan
materi serta kehendak untuk dapat terus menjaga status quo dalam mendominasi
segala aspek yang berkaitan dengan kepentingan militer. Dengan dominasi dalam
pengambilan kebijakan, militer Mesir dapat menentukan langkah strategis bagi
mereka dengan menjadikan kepentingan nasional Mesir sebagai alat untuk
mencapai kepentingan kelompok militer. Salah satu kepentingan yang ingin
dicapai melalui politik luar negeri Mesir ialah bantuan alat perlengkapan dan
senjata dari AS.74
3. Kebijakan SCAF dalam Politik Luar Negeri Mesir.
a. Mempertahankan Perjanjian Internasional yang telah disepakati dan
mengikat Mesir
Dalam dimensi politik luar negeri Mesir, langkah yang dilakukan oleh
SCAF ialah dengan membentuk sebuah Deklarasi Konstitusional I yang salah satu
poin pentingnya ialah berkomitmen terhadap berbagai perjanjian internasional
yang telah disepakati dan mengikat Mesir.75
Poin penting ini merupakan hasil dari
upaya SCAF untuk menjadi lembaga yang mewadahi berbagai jenis aspirasi
74
Sharp, Egypt: Background, h.9 75
A.M.Fachir, Gerakan Rakyat Untuk Perubahan: Pembelajaran dari Timur Tengah, Jurnal Luar
Negeri Edisi Khusus 2011. Jakarta : Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Luar
Negeri, hal. 18
40
masyarakat Mesir. SCAF juga melakukan berbagai dialog dengan berbagai
elemen masyarakat dan politik untuk merumuskan kebijakan dalam proses
transisi.
Upaya diplomatik yang dilakukan SCAF dalam masa transisi ini dilakukan
secara terbuka untuk mempertahankan kepentingan nasional. SCAF berupaya
mempertahankan status quo dalam menentukan kebijakan luar negeri Mesir.
SCAF berupaya untuk mempertahankan segala jenis koneksi dengan pihak luar
untuk mencapai kepentingan nasional yang lebih condong kepada pemenuhan
kebutuhan ekonomi domestik.76
b. Berperan dalam Konflik di Kawasan (Arab-Israel)
Dalam rangka upaya memulihkan peran Mesir di kawasan, SCAF sebagai
otoritas tertinggi Mesir saat itu juga mengambil langkah strategis, yakni menjadi
mediator rekonsilisasi antara Fatah dan Hamas, mediator gencatan senjata antara
Palestina-Israel pada tahun 2012, dan mediator pembebasan tahanan antara
Palestina-Israel sebanyak 1027 orang.77
Salah seorang tahanan yang turut
dibebaskan akibat peran yang dilakukan oleh Mesir ini adalah Ghilad Shalit78
.
Pembebasan tersebut diindikasikan sebagai langkah antisipatif Israel terhadap
kemungkinan komunikasi yang terjalin antara kelompok Islam di Mesir dengan
76
Abul-Magd, Understanding SCAF, h.156 77
Jeremy M. Sharp, “Egypt in Transition”, Congressional Reserve Service (November 18, 2011),
h. 8 78
Gilad Shalit merupakan seorang kopral dari angkatan pertahanan Israel yang ditahan oleh
tentara militan Palestina. Ia dtangkap oleh militan Palestina pada sebuah penyerangan di daerah
Jalur Gaza pada 25 Juni 2006.
41
kelompok Hamas di Palestina saat pemilihan umum yang akan digelar oleh
pemerintahan transisi SCAF pada akhir tahun 2011.79
Pilihan Israel untuk membebaskan 1027 tahanan Palestina dan ditukar
untuk membebaskan seorang anggota tentara merupakan sebuah keputusan yang
telah didasari atas pertimbangan yang matang. Pertimbangan tersebut berasal dari
kondisi Palestina yang sedang mencari dukungan dari dunia internasional untuk
menjadi negara berdaulat.80
Di sisi lain, Mesir yang saat itu akan
menyelenggarakan pemilihan umum memiliki potensi untuk dikuasai oleh
Kelompok Islam – Ikhwanul Muslimin – yang memiliki afiliasi dengan Hamas di
Palestina. Langkah pertukaran tahanan tersebut dijadikan tujuan bagi Israel untuk
dapat memulai negosiasi dengan Hamas, yang semula tidak pernah diajak
negosiasi oleh Israel, dalam proses perdamaian konflik dengan Palestina.81
Dengan demikian, harapan Israel dari langkah tersebut ialah berhentinya proses
pencarian dukungan yang dilakukan oleh Palestina – melalui Presiden Mahmoud
Abbas – dan Israel dapat merasa nyaman berhubungan dengan Mesir manakala
hasil pemilihan umum yang diselenggarakan pada tahun 2012 tersebut berhasil
dikuasai Kelompok Islam.82
c. Keamanan di Semenanjung Sinai
Politik luar negeri Mesir pada masa SCAF ini pula tidak terlepas dari
adanya permasalahan keamanan di Semenanjung Sinai. Peristiwa yang terjadi di
79
Brumberg and Sallam, The Politics of Security, h.2 80
Trias Kuncahyono, “Sersan Gilad Shalit”, Rabu, 19 Oktober 2011,
dalam http://nasional.kompas.com/read/2011/10/19/03350553/.Sersan.Gilad.Shalit diakses pada
20 Desember 2014. 81
Ibid 82
Sharp, Egypt in Transition, h.18
42
wilayah ini memberikan pengaruh terhadap konstelasi hubungan bilateral antara
Mesir dengan Israel. Hal tersebut dapat dilihat dari peristiwa pada tanggal 18
Agustus 2011. Seorang warga Gaza yang termasuk salah satu anggota jaringan
teroris yang senantiasa melakukan perlawanan kepada Israel melintasi Sinai dan
melakukan penyerangan terhadap angkatan bersenjata Israel. Serangan tersebut
menewaskan 8 warga Israel, dua orang di antaranya merupakan tentara Israel, dan
melukai 31 orang.83
Tidak terima dengan penyerangan tersebut, Israel melakukan aksi balasan
dengan melakukan penyerangan terhadap orang-orang yang dianggap sebagai
militan dari organisasi yang tergolong jaringan teroris Palestina. Namun, serangan
balasan Israel tersebut ternyata turut menewaskan lima orang personel tentara
Mesir yang bertugas menjaga perbatasan Mesir-Israel di Semenanjung Sinai.
Kejadian tersebut langsung mendapatkan respon dari pemerintah Mesir dengan
menuntut pertanggungjawaban Israel.84
d. Memperketat Ekspor Sumber Daya Alam Mesir ke Israel
Pada saat revolusi hingga berakhirnya masa pemerintahan Mubarak,
ekspor gas alam juga mendapat sorotan dari kubu oposisi Mubarak. Pada tanggal
15 September 2011, kepala Egyptian Company for Natural Gases (EGAS)
menyatakan bahwa negosiasi dengan Israel saat ini mengalami kebuntuan. Ia juga
membantah telah mencapai kesepakatan dengan Israel terkait dengan
perkembangan penjualan gas alam Mesir ke Israel.85
Ekspor gas alam Mesir ke
83
Ibid, h.17 84
Ibid 85
“Wizarat al-batrul tanfy al-ittifaq ‘ala ta’dil as’ar al-ghaz li-isra’il,” (The Petroleum Ministry
Rejects the Agreement to Amend Gas Prices to Israel), Akhbar el-Yom, September 15, 2011,
43
Israel ini merupakan salah satu konsekuensi yang harus ditanggung oleh Mesir
akibat penandatanganan perjanjian Camp David.
Efek dari memburuknya hubungan politik antara Mesir dengan Israel,
hubungan dagang kedua negara pun juga mengalami gangguan. Salah satu
komoditas yang terganggu untuk diekspor ke Israel adalah pohon palem. Daun
dari pohon palem banyak digunakan oleh masyarakat Israel untuk wadah makanan
pada setiap upacara perayaan keagamaan. Jumlah impor Israel terhadap pohon
palem Mesir pada tahun 2010 mencapai 600.000 buah pohon. Namun, pasca
bergantinya rezim dari Mubarak ke rezim transisi di bawah pimpinan SCAF
ekspor pohon palem ke Israel mulai mendapat sorotan dan larangan. Media Al-
Ahram menyatakan bahwa rezim SCAF melarang ekspor pohon palem karena
dalam pandangan SCAF, pohon palem termasuk ke dalam kekayaan alam Mesir
yang mesti dilestarikan dan dilindungi keberadaannya,86
B. Politik Luar Negeri Mesir Masa Pemerintahan Mohammed Mursi
1. Langkah dan Kebijakan Presiden Mursi dalam Politik Luar Negeri
Mesir terhadap Israel
Mohammed Mursi merupakan seorang presiden terpilih secara demokratis
melalui pemilihan umum pasca revolusi tahun 2011. Mursi merupakan seorang
tokoh sipil yang berasal dari kelompok Ikhwanul Muslimin. Mursi terpilih sebagai
presiden setelah meraih suara terbanyak dari kandidat lainnya pada pemilihan
dalam Michael Sharnoff.,“Post-Mubarak Egyptian Attitudes Toward Israel”, Foreign Policy
Research Institute (October 2011), h. 3 86
Sharnoff. Post-Mubarak Egyptian Attitudes, h. 3
44
umum yang dilaksanakan selama dua putaran. Pada putaran kedua, Mursi
mengalahkan Ahmed Shafiq, yang juga mantan perdana menteri Mesir pada masa
pemerintahan Mubarak.87
Sama seperti halnya masa Mubarak dan masa transisi di bawah
kepemimpinan SCAF, pada masa pemerintahan Mursi juga terdapat beberapa hal
penting yang disoroti dalam politik luar negeri Mesir, khususnya dalam hubungan
bilateral dengan Israel. Adapun sikap yang ditunjukkan oleh Mursi yang
merupakan bagian dari langkah kebijakan dan implementasi politik luar negeri
Mesir antara lain:
1. Dukungan terhadap Palestina
Dukungan terhadap Palestina merupakan salah satu langkah strategis
Mursi dalam merealisasikan politik luar negeri Mesir juga dapat dilihat dari
pandangan dan sikap Mesir terhadap masalah Israel-Palestina. Setelah serangan
Israel ke Gaza pada November 2012, Mursi memberikan tendensi pada kejadian
ini. Mursi memanggil Duta Besar Mesir di Palestina dan Israel untuk
berkonsultasi dengan Liga Arab, dan menghasilkan keputusan untuk mengirimkan
delegasi yang dipimpin oleh Nabil Al Arabi.88
Saat itu, posisi Mursi dihadapkan
pada ketegangan dengan Israel. Hal ini disebabkan karena pada kasus ini, Mursi
lebih memihak kepada Palestina dan menganggap Israel sebagai pihak yang
bersalah dalam masalah ini.
87
Qian Xuewen, “The January Revolution and the Future of Egypt”, Journal of Middle Eastern
and Islamic Studies (in Asia) Vol. 6, No. 2, 2012, hal. 49 88
Ibid
45
Dalam dukungannya terhadap Palestina, Mesir di bawah kepemimpinan
Mohammed Mursi mewujudkannya dalam langkah konkret berupa pembukaan
pintu perbatasan Rafah yang menjadi jalur penting bagi masyarakat Palestina
untuk memenuhi kebutuhan logistik domestik masyarakat Palestina.89
Selain itu,
Mursi juga membuka blokade di wilayah Jalur Gaza yang telah lama ditutup pada
saat Mubarak berkuasa. 90
Di samping membuka perbatasan di Rafah dan blokade
di Jalur Gaza, Mesir juga memberikan bantuan ekonomi dan politik ke Palestina.
Bantuan ekonomi ke Palestina salah satunya ditunjukkaan dengan ekspor gas
bumi kepada Palestina, dan secara politis, Mesir juga membangun komunikasi
dengan Kelompok Hamas di Palestina.91
Bentuk dukungan Mesir tersebut mendapatkan respon dari Israel selaku
pihak yang merasa terancam dengan langkah yang dilakukan oleh Mesir. Menurut
Israel, langkah yang dilakukan oleh Mesir tersebut mengancam keamanan
nasional Israel, khususnya yang berakaitan dengan penyeludupan orang dan
senjata kepada kelompok ekstremis di Palestina.92
Hal tersebut ditambah dengan
adanya kedekatan antara Kelompok Hamas di Palestina dengan dengan Ikhwanul
Muslimin di Mesir, yang merupakan pemegang kekuatan politik terbesar setelah
pemilihan umum tahun 2012. 93
89
Udi Dekel and Orit Perlov, “President Morsi and Israel-Egypt Relations”, July 25, 2012 dalam
http://www.canadafreepress.com/index.php/article/president-morsi-and-israel-egypt-relations
diakses pada 23 Agustus 2014 90
Ibid 91
Sharp, Egypt in Transition, h.18 92
Jeremy M. Sharp, “The Egypt-Gaza Border and its Effect on Israeli-Egyptian Relations”,
Congressional Researches Services, (February 1, 2008), h. 2 93
Stephen Lendman, “Ongoing Fighting in Sinai: Hamas, Islamic Jihad and Iran Wrongfully
Blame”, Global Research (July 12, 2013), dalam http://www.globalresearch.ca/ongoing-
fighting-in-sinai-hamas-islamic-jihad-and-iran-wrongfully-blamed/5342506 diakses pada 23
Agustus 2014
46
Namun hal tersebut tetap tidak membuat Mesir mengurungkan langkah
yang sudah diambil. Hal ini berdasarkan pertimbangan ideologi pergerakan yang
telah lama dianut oleh Ikhwanul Muslimin, khususnya dalam persepsi terhadap
masalah konflik Palestina-Israel. Hal tersebut menjadi semakin signifikan dengan
momentum kemenangan yang diraih dalam pemilihan umum tahun 2012 dan
menempatkan Mohammed Mursi – salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin – sebagai
presiden Mesir.94
Selanjutnya, afiliasi yang terjalin antara Kelompok Hamas
dengan Ikhwanul Muslimin menjadi jalan lain yang ditempuh untuk mewujudkan
dukungan terhadap Palestina.
Sikap Mesir yang menunjukkan keberpihakan kepada Palestina kembali
terlihat saat pemberian status baru yang diberikan kepada Palestina oleh PBB
sebagai permanent observer. Status ini didukung oleh 138 negara dan Mesir
termasuk di dalamnya sehingga menghasilkan resolusi 67/19 Majelis Umum
PBB.95
Sikap yang ditunjukkan oleh Mursi ini tidak terlepas dari kemenangan
kelompok Ikhawanul Muslimin melalui sayap politik Freedom and Justice Party
(FJP) dalam pemilihan umum tahun 2012 di bawah pimpinan Mursi paca revolusi.
Selanjutnya, dalam menyatakan pandangan dan sikap terkait dengan isu Palestina-
Israel, Mursi juga melakukan inisiasi untuk menyorot segala bentuk kekerasan
yang dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina. Hal ini dilakukan untuk
mengarahkan opini publik agar dapat lebih bersimpati kepada Palestina dan ikut
mendukung Palestina sebagai negara merdeka. Mesir di bawah pimpinan Mursi
94
“Muslim Brotherhood-backed candidate Morsi wins Egyptian presidential election”, June 24,
2012. Diakes melalui http://www.foxnews.com/world/2012/06/24/egypt-braces-for-
announcement-president/#ixzz2QgHPWWF7 pada 17 April 2014 95
Khaled Elgindy. “Egypt, Israel and Palestine: Prospects for Peace After the Arab Spring”.
Cairo Review Vol. 6 (2012), h, 172
47
mendukung solusi untuk menjadikan Palestina sebagai negara merdeka untuk
mengakhiri konlik antara Palestina-Israel.96
2. Mengatasi Problem Perbatasan Mesir-Israel
Problem perbatasan antara Mesir dengan Israel bermuara dengan adanya
kelompok Badui yang bedomisili di Semenanjung Sinai. Kelompok ini
memberikan kekhawatiran tersendiri bagi Mesir maupun Israel. Hal ini
disebabkan oleh adanya afiliasi antara kelompok Badui Sinai ini dengan
kelompok Jihadis Palestina maupun Al-Qaeda.97
Dengan adanya afiliasi tersebut,
kelompok Badui Sinai ini banyak melakukan aksi teror di sepanjang garis
perbatasan antara Mesir-Israel di Semenanjung Sinai. Pada tahun 2011, menurut
laporan salah satu lembaga intelejen Israel, Shin Bet, jumlah militan gerakan
Salafi yang berafiliasi dengan al-Qaeda mencapai 15 orang dan kemungkinan
akan terus mengalami peningkatan.98
Kekhawatiran lain dari berkembangnya aksi kelompok Badui Sinai yang
berafiliasi dengan kelompok ekstremis tersebut ialah kemungkinan mereka akan
menyerang Israel. Apabila hal itu terjadi, akan sangat merugikan bagi pemerintah
Mesir dalam mencapai kepentingan keamanan nasional di Sinai. Selain itu,
apabila penyerangan dilakukan oleh Badui Sinai ke Israel, dipastikan akan terjadi
serangan balasan dari tentara militer Israel dan akan menimbulkan korban dan
kerugian lebih banyak lagi bagi Mesir.99
96
Ibid, h. 173 97
Gabi Siboni and Ram Ben-Barak. “The Sinai Peninsula Threat Development and Response
Concept”.The Saban Center for Middle Easr Policy at Brookings ( January 31, 2014), h. 1 98
Ibid, h.3 99
Ibid, h.9
48
Pada saat revolusi Mesir tahun 2011 lalu, The Multinational Force and
Observers (MFO)100
mencatat adanya peningkatan radikalisme yang dilakukan
oleh kelompok Badui Sinai. Radikalisme tersebut meningkat dengan dibarengi
dengan perkembangan jumlah senjata yang mereka miliki dan datangnya para
pejuang asing yang masuk ke Sinai. Bahkan MFO juga merupakan target dari aksi
kekerasan kelompok Badui Sinai ini. menyikapi ancaman tersebut, MFO lebih
waspada dalam pegerakannya. Para anggota MFO lebih membatasi diri dan
mempersiapkan segala kemungkinan yang akan terjadi kepada mereka dalam
upaya mencapai misi yang akan mereka capai.101
Untuk menyelesaikan masalah Badui Sinai ini, pada saat satu tahun masa
pemerintahan presiden Mursi melakukan pendekatan kepada kelompok ini. Mursi
menjanjikan perbaikan standar kehidupan; langkah-langkah untuk memfasilitasi
mereka sebagai bagian dari masyarakat Mesir dan implementasi terhadap proyek
pembangunan baru, bagi kelompok Badui Sinai. Namun, apabila janji-janji Mursi
tersebut tidak direalisasikan, kelompok tersebut mengancam untuk melakukan
perlawanan dengan berbagai aksi kekerasan.102
Namun, pemerintah Mursi telah terlebih dahulu menyediakan langkah
preventif apabila terjadi upaya perlawanan yang dilakukan oleh Badui Sinai,
Langkah tersebut berupa penambahan jumlah personel angkatan bersenjata yang
beroperasi di Sinai. Akan tetapi, penambahan jumlah personel tersebut harus
100
MFO merupakan lembaga internasional yang bertugas untuk menjaga perdamaian di sebagian
wilayah Timur Semenanjung Sinai yang melintasi pebatasan Israel. Dengan adanya lembaga ini,
peran militer Mesir di wilayah tesebut secara drastis mengalami pembatasan. Lembaga ini
meupakan lembaga yang ditunjuk untuk melakukan monitoring terhadap implementasi
perjanjian damai Mesir-Israel. 101
Siboni and Ben-Barak, The Sinai Peninsula Threat,h.3 102
Ibid, h.10
49
berdasarkan kesepakatan dengan Israel. Hal ini merupakan bagian dari poin-poin
yang terdapat dalam perjanjian damai Mesir-Israel. Beberapa kalangan menilai
persyaratan ini merupakan sebuah bentuk diskredit terhadap pemerintah Mesir.103
Dengan adanya persyaratan tersebut, kepentingan keamanan nasional Mesir dari
kasus di Semenanjung Sinai ini dapat terganggu. Pemerintah Mesir semestinya
dapat bertindak lebih jauh manakala dapat meninjau ulang perjanjian damai
dengan Israel, khususnya poin-poin yang berkaitan dengan keamanan di
Semenanjung Sinai.
3. Kontinuitas Perjanjian Camp David
Adanya ketegangan dengan Israel dalam beberapa isu tidak membuat
Mursi mengambil kebijakan yang mengakibatkan perubahan drastis, yakni
pemutusan perjanjian damai antara Mesir-Israel yang sudah berlangsung sejak
1979. Bahkan, Mursi menegaskan akan terus menaati segala bentuk perjanjian
yang telah disepakati Mesir oleh pihak lain. Surat kabar the Telegraph
melaporkan, dalam sebuah jumpa pers Mursi membantah dirinya menentang
Amerika Serikat dan Israel. Mursi mengatakan bahwa "Mesir menjalankan peran
dengan tidak mengancam siapapun dan tidak boleh ada keprihatinan internasional
dengan kehadiran pasukan keamanan kami di Semenanjung Sinai,"104 Dengan
demikian, di sisi lain Mursi ingin menunjukkan bahwa Mesir di bawah
103
Ibid 104
Ardini Maharani, “Mursi Tetap Hormati Perjanjian Damai Dengan Israel”, merdeka.com, Rabu,
29 Agustus 2012 dapat diakses melalui http://www.merdeka.com/dunia/mursi-tetap-hormati-
perjanjian-damai-dengan-israel.html diakses pada 11 November 2014
50
pimpinannya merupakan negara yang moderat dan siap bekerjasama dengan pihak
mana pun untuk mencapai kepentingan nasional.105
Kontinuitas perjanjian Camp David pada masa pemerintahan Mursi ini
tidak terlepas dari pertimbangan logis dalam menentukan arah politik luar negeri
Mesir. Mesir akan menghadapi berbagai risiko apabila pembatalan tersebut
dilakukan oleh Mursi. Pembatalan perjanjian tersebut secara otomatis akan
merusak atau bahkan dapat menghentikan hubungan bilateral antara Mesir dengan
Israel. Sebagai negara yang berbatasan darat langsung, permasalahan antara Mesir
dan Israel terletak di perbatasan kedua negara di Semenanjung Sinai. Mursi
menitikberatkan permasalahan di perbatasan kedua negara ini sebagai
pertimbangan utama karena dapat menimbulkan konflik bersenjata, bahkan dapat
kembali menimbulkan peperangan antar kedua negara.106
Selanjutnya, pertimbangan untuk meneruskan perjanjian yang telah
ditandatangani sejak tahun 1979 ini juga berdasarkan atas aliansi dan kerjasama
yang terjalin antara Mesir dengan Barat, khususnya AS. Sebagai mediator
perjanjian antara Mesir dengan Israel, AS berkomitmen untuk membangun aliansi
dengan Mesir dan bersedia membantu Mesir dalam bidang ekonomi dan militer.
Namun, apabila perjanjian tersebut dibatalkan oleh Mesir, maka secara otomatis
AS akan menghentikan bantuan tersebut. Lebih dari itu, Mesir juga akan
kehilangan berbagai jenis bantuan lainnya yang diberikan oleh pihak lain sebagai
105
Ibid 106
Joshua Haber Dan Helia Ighani,” A Delicate Balancing Act: Egyptian Foreign Policy After The
Revolution”, Imes Capstone Paper Series (May 2013), h.34
51
representasi dari Barat, yakni International Monetary Fund (IMF) dan Uni
Eropa.107
Selain pertimbangan dari faktor eksternal Mesir, pemerintahan baru Mesir
di bawah pimpinan Mursi juga memiliki pertimbangan dari internal Mesir sendiri.
Pertimbangan tersebut berasal dari kalangan militer. Meskipun pimpinan tertinggi
Mesir adalah seorang presiden, namun intervensi militer dalam setiap
pengambilan kebijakan luar negeri Mesir masih memiliki posisi yang kuat. Dalam
hal pembatalan Perjanjian Camp David, militer dapat melakukan konfrontasi
terhadap presiden apabila hal tersebut dilakukan. Sikap yang dilakukan oleh
militer tersebut didasari oleh prediksi dampak yang akan terjadi antara kedua
negara, khususnya dari segi keamanan domestik dan stabilitas kawasan.108
4. Normalisasi hubungan dengan negara-negara dominan di kawasan Timur
Tengah.
a. Normalisasi hubungan dengan Iran
Upaya yang dilakukan oleh Mursi dalam melakukan normalisasi hubungan
dengan negara-negara di Timur-Tengah dapat terlihat dengan kunjungan Mursi
setelah resmi menjabat sebagai presiden. Kunjungan tersebut dimaksudkan untuk
melakukan normalisasi terhadap hubungan Mesir dengan negara-negara lain yang
dominan di Timur Tengah.109
Hal tersebut ditandai dengan kunjungan Presiden
Mesir, Mohammed Mursi, ke Iran dalam rangka menghadiri KTT Non-Blok pada
Agustus 2012 di Tehran. Kemudian Presiden Iran, Mahmoud Ahmadinejad,
107
Ibid 108
Casey Friedman, Dominic K. Albino, and Yaneer Bar-Yam, “Political Stability and Military
Intervention in Egypt”, New England Complex Systems Institute (July 8, 2013), h.2-3 109
Mehmet Özkan. “Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Morsi” . Ortadogu Analiz Vol. 5,
No. 51 (2013). h, 16
52
membalas kunjungan Mursi tersebut dengan kunjungan balik presiden
Ahmadinejad ke Kairo dalam rangka Konferensi OKI pada Februari 2013.110
Upaya yang dilakukan oleh kedua kepala negara tersebut memberikan
dampak optimistis bagi kedua negara dalam mengupayakan terciptanya kekuatan
baru Islam di Timur-Tengah. Hal ini disebabkan karena kondisi hubungan antara
Mesir dengan Iran saat sebelum pemerintahan Mursi diwarnai oleh sentimen
Sunni dan Syiah yang mendominasi kelompok masyarakat di Mesir dan Iran.
Selain itu, langkah yang diambil kedua negara tersebut merupakan implementasi
dari tujuan politik luar negeri masing-masing negara, yakni menjadi kekuatan
yang memiliki pengaruh dan dominasi di kawasan Timur-Tengah.111
b. Mempertahankan Kerjasama dengan Arab Saudi
Sebagai bentuk konsitensi Mesir dalam upaya menjaga hubungan baik
dengan seluruh negara-negara di Timur-Tengah, mempertahankan kerjasama
dengan negara-negara dominan, seperti Arab Saudi, merupakan salah satu upaya
yang rasional dalam pengambilan kebijakan luar negeri. Meskipun kekhawatiran
sempat muncul dari Arab Saudi akibat rezim yang berkuasa merupakan kelompok
yang menentang hubungan yang dibentuk oleh pemerintah Mubarak dengan Arab
Saudi, namun hal itu semua telah diredam oleh sikap moderat dan terbuka
pemerintah Mursi. Bahkan, sesaat setelah pengumuman kemenangannya, Mursi
menyampaikan pidato yang berisi niat untuk berkunjung dalam waktu dekat dan
110
“Egypt and The Influence of Iran”. Diakes dari http://www.eturbonews.com/35117/egypt-and-
influence-iran pada 8 Oktober 2014. 111
Haber and Ighani, A Delicate Balancing Act, h. 46
53
meyakinkan keberlanjutan hubungan aliansi strategis dengan negara-negara teluk,
khususnya Arab Saudi.112
Jawaban lain Mesir dari kekhawatiran Arab Saudi pada masa
pemerintahan Mursi ialah sikap Mesir yang ditunjukkan dalam perang sipil di
Suriah. Secara konkret, Mursi memutuskan hubungan diplomatik dengan Suriah.
Selain itu, Mursi juga menginisasi komisi yang terdiri dari Iran, Turki, Mesir, dan
Arab Saudi untuk mengakhiri perang sipil yang terjadi di Suriah melalui jalur
politik. Langkah yang diambil oleh Mesir ini sebagai wujud konsekuensi dari
upaya menjadi kekuatan dominan di kawasan dengan melakukan rekonsiliasi
negara-negara dominan di kawasan.113
112
Heba Saleh and Camilla Hall, “Morsi Eager to Ease Saudi Fears”, Financial Times, 12 July
2012 113
Özkan, Egypt’s Foreign Policy, h.16
54
BAB IV
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Politik Luar Negeri Mesir
Tahun 2011-2013
Pada bab ini akan dijelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi politik luar
negeri Mesir revolusi. Karenanya deskripsi dari bab ini meliputi kebijakan luar
negeri yang berlangsung antara 2011 hingga 2013. Secara spesifik, faktor-faktor
tersebut merujuk ke dalam sumber-sumber kebijakan luar negeri yang terdapat
dalam konsep kebijakan luar negeri versi Howard Lentner yang diklasifikasikan
ke dalam dua kategori, yakni faktor internal atau determinan domestik dan faktor
eksternal atau determinan luar negeri dari suatu negara.114
Klasifikasi terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan politik luar
negeri Mesir pasca revolusi tahun 2011 hingga tahun 2013 secara otomatis
mengarah pada kondisi lingkungan domestik dan internasional Mesir. Dalam
kasus hubungan bilateral Mesir dengan Israel, faktor-faktor yang mempengaruhi
sikap dan kebijakan luar negeri Mesir terhadap Israel juga melihat respon yang
terjadi dalam lingkup internal dan lingkup eksternal Mesir. Respon tersebut
kemudian dijadikan sebuah input yang merupakan salah satu instrumen dalam
pengambilan kebijakan luar negeri Mesir terhadap Israel.
114
Lentner, Foreign Policy Analysis, h. 105-171
55
A. Faktor Internal
1. Sistem Pemerintahan dan Stuktur Kekuasaan
Pasca berakhirnya rezim kekuasaan Hosni Mubarak 2011 silam, struktur
kekuasaan Mesir berubah drastis pada pasca pemilihan umum legislatif dan
pemilihan presiden pada 2012. Dengan adanya pemilihan umum yang lebih
demokratis, kelompok Islam mendominasi struktur pemerintahan dan kekuasaan
yang ada di Mesir. Hal ini ditandai dengan kemenangan Freedom and Justice
Party (FJP) yang merupakan sayap politik dari kelompok Ikhwanul Muslimin
(IM) dan terpilihnya Mohammed Mursi (tokoh dari IM) sebagai presiden baru
Mesir. Selain itu, turut mengikuti pula perolehan suara dari An-Nour Party,
yang merupakan sayap politik dari kelompok Salafi, yang berhasil menempati
posisi terbanyak kedua dalam pemiliham legislatif Mesir dan memutuskan untuk
mendukung Mursi dalam pemilihan presiden.115
Akan tetapi, dominasi kelompok Islam dalam struktur pemerintahan dan
kekuasaan Mesir tidak semutlak yang dibayangkan. Hal ini terjadi karena militer
Mesir - khususnya yang ditunjukkan oleh Angkatan Udara dan Angkatan Darat -
masih mempunyai posisi yang kuat di hampir semua proses politik dan ekonomi
yang di negara itu. Dengan demikian, upaya transisi pemerintahan yang baru di
bawah pimpinan Mursi perlu mengedepankan konsolidasi dengan berbagai
115
Hadeel al-Shalchi, “Egypt Elections 2011: Salafis, Ultraconservative Islamist Movement, Make
Election Debut”, dalam http://www.huffingtonpost.com/2011/11/28/egypt-elections-2011-
salafis_n_1117463.html Diakses pada 17 April 2013
56
kalangan untuk mengakomodir kepentingan dan aspirasi masing-masing
kelompok.116
Dalam menetapkan kebijakan luar negeri Mesir, terdapat beberapa
lembaga yang memiliki peranan sentral, antara lain presiden, kementerian luar
negeri, militer, dan intelejen (GIS).117
Masing-masing lembaga tersebut
berwenang untuk mengatasi berbagai macam permasalahan yang menuntut
untuk dikeluarkannya sebuah kebijakan. Kewenangan tersebut tentu atas
berbagai macam situasi dan kondisi yang secara spesifik berurusan langsung
dengan lembaga-lembaga tersebut.118
Namun di sisi lain, lembaga kepresidenan Mesir memiliki peran yang
amat besar dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri. Posisi presiden
dalam mengeluarkan kebijakan luar negeri ialah sebagai aktor utama dalam
penetapan kebijakan luar negeri. Kebijakan yang dikeluarkan oleh presiden
kemudian dialihkan kepada kementerian luar negeri Mesir untuk diterapkan
pelaksanaannya, baik hal-hal yang berupa teknis maupun strategis. Peran sentral
presiden Mesir dalam menetapkan kebijakan luar negeri ini merupakan
implementasi dari artikel 141 draft konstitusi Mesir tertanggal 30 November
2012 yang berbunyi119
:
“[t]he President of the Republic shall exercise presidential authority via
the Prime Minister and the Prime Minister’s deputy ministers, except
116
Patrick Kingsley, “Mohamed Morsi backs Egyptian military after malpractice allegations”, The
Guardian, Friday 12 April 2013, dapat diakses melalui
http://www.theguardian.com/world/2013/apr/12/mohamed-morsi-backs-egyptian-military
diakses pada 4 Januari 2015. 117
Haber and Ighani, A Delicate Balancing Act,h. 20 118
Ibid 119
Nariman, Egypt’s Draft Constitution Translated.
57
those authorities related to defense, national security and foreign
policy…”
Selain itu juga terdapat pada artikel 145 yang berbunyi “the President of
the Republic shall represent the State in foreign relations.”120
Dan artikel 193
yang menyatakan bahwa dalam membentuk Dewan Keamanan Nasional (NSC)
aturannya ialah “presided over by the President,” while calling to account
ministers of defense, foreign relations, and other government institutions.121
Namun, dalam praktik di lapangan, beberapa analis menilai bahwa
kekuatan militer memiliki posisi yang jauh lebih besar ketimbang presiden
dalam upaya menetapkan kebijakan luar negeri Mesir. Menurut Steven Cook,
terdapat dua cabang dalam pembuatan kebijakan luar negeri Mesir, yakni antara
presiden dan militer.122
Dualisme tersebut dapat dilihat dari kasus hubungan
bilateral antara Mesir dengan AS dan Israel. Saat itu, presiden Mursi
menyatakan kesediaan menjembatani negosiasi antara militer AS dengan militer
Mesir. Negosiasi tersebut dimaksudkan untuk membicarakan bantuan ekonomi
dan keamanan yang akan diberikan AS kepada Mesir sebagai imbalan atas
konsistensi Mesir menjaga hubungan bilateral dengan Israel. Akan tetapi, militer
Mesir memilih untuk menahan diri dari negosiasi tersebut. Hal tersebut
disebabkan dengan adanya pandangan dari militer Mesir bahwa AS dan Israel
selama ini telah melanggar kedaulatan Mesir.123
120
Ibid 121
Ibid 122
Haber and Helia. A Delicate Balancing Act, h. 21 123
Ibid
58
Terlepas dari adanya dualisme dalam penetapan kebijakan luar negeri
Mesir, secara konstitusional posisi presiden lebih absah sebagai aktor utama
pengambilan kebijakan luar negeri Mesir. Namun dengan kewenangan yang
diberikan itu terkadang mengabaikan lembaga lain yang juga memiliki
keterkaitan dalam proses pengambilan kebijakan luar negeri. Hal tersebut
disebabkan pula oleh adanya orang-orang di sekitar presiden Mursi, yang
dijadikan sebagai penasihat dalam urusan tersebut. Salah satu orang yang
dipercaya Mursi dalam urusan kebijakan luar negeri Mesir ialah Essam al-
Haddad. Ia merupakan salah seorang penasihat yang juga berasal dari kelompok
yang sama dengan presiden Mursi –Ikhwanul Muslimin. Ia telah beberapa kali
melakukan perjalanan ke AS dan Eropa bersama dengan tim penasihat yang
lainnya sebagai delegasi Mesir yang diutus oleh Mursi. Bahkan Essam al-
Haddad tercatat lebih sering menyambut menteri luar negeri negara lain yang
berkunjung ke Mesir ketimbang menteri luar negeri Mesir sendiri, Mohamed
Kamel Amr. Dan pada beberapa kesempatan, ia ditempatkan pada posisi yang
sebenarnya merupakan tempat bagi menteri luar negeri.124
Sebagai presiden yang diusung oleh Freedom and Justice Party,
keberadaan orang-orang yang berpengaruh dalam mengusung kebijakan luar
negeri mayoritas berasal dari partai yang mengusungnya tersebut. Selain Essam
al-Haddad, terdapat pula nama Gehhad al-Haddad, yang juga anak dari Essam,
Khaled el-Qazzaz, dan Amr Darrag. Nama-nama tersebut merupakan tokoh-
tokoh yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan luar negeri berdasarkan
124
Ibid, h. 22
59
sudut pandang FJP, yang kemudian dikonversi menjadi pandangan dan masukan
bagi pemerintahan Mursi. Dengan kapasitas sebagai pemenang dalam pemilihan
legislatif Mesir saat itu, pengaruh FJP merupakan hal yang tidak bisa dilepaskan
dari proses pengambilan kebijakan luar negeri Mesir saat itu.125
Kesamaan posisi Mursi dalam pengambilan kebijakan luar negeri yang
tidak jauh berbeda dengan pandangan umum FJP bisa dilihat dari kasus yang
terjadi antara Palestina dengan Israel. Mursi dan FJP sama-sama menyuarakan
hak kemerdekaan bagi rakyat palestina dari okupasi yang dilakukan oleh Israel.
Saat masa pemerintahan Mubarak, FJP menilai Mesir dibawa ke dalam situasi
kemunduran akibat mengabaikan kebutuhan yang seharusnya diberikan kepada
Palestina. Saat itu Mesir kehilangan identitas, baik dari sisi historis, religiusitas,
maupun politis. Oleh sebab itu, FJP dengan Mursi ingin mengembalikan
kembali nilai-nilai yang dianggap hilang dalam selama rezim terdahulu terhadap
masalah Palestina-Israel ini. Bentuk konkret Sikap Mesir yang menunjukkan
keberpihakan kepada Palestina terlihat saat pemberian status baru yang
diberikan kepada Palestina oleh PBB sebagai permanent observer. Status ini
didukung oleh 138 negara dan Mesir termasuk di dalamnya sehingga
menghasilkan resolusi 67/19 Majelis Umum PBB.126
125
Haber and Ighani. A Delicate Balancing Act, h.16 126
Khaled Elgindy. “Egypt, Israel and Palestine: Prospects for Peace After the Arab Spring”.
Cairo Review Vol. 6 (2012), h, 172
60
2. Geostrategik dan Geopolitik Mesir
Faktor ini merupakan faktor yang mengidentifikasi serangkaian peristiwa
dan kepentingan yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri Mesir
dan menjadikan letak geografis Mesir menjadi bahan pertimbangan utama
dalam pengambilan kebijakan tersebut. Secara geografis sendiri, Mesir berada di
dua wilayah yang secara geopolitis dapat memberikan berbagai keuntungan,
yakni Afrika Utara dan Timur-Tengah. Kedua wilayah tersebut merupakan
wilayah yang dekat dengan Laut Mediterania. Mesir berbatasan langsung
dengan Israel dan jalur Gaza di sebelah Timur, Libya di sebelah Barat, Sudan di
sepanjang Laut Merah. Dengan letak geografis demikian, Mesir menjadi tempat
transit utama jalur perdagangan dan menjadi pemimpin utama dalam
menciptakan keamanan regional.127
Mesir juga memiliki aset sentral yang dapat menjadikan kunci dalam
upaya menciptakan stabilitas regional, yakni Terusan Suez. Terusan Suez ini
merupakan lokasi pusat pelayaran dan lalu lintas perdagangan internasional,
khususnya digunakan untuk kapal-kapal eksportir minyak bumi.128
Terusan
Suez pula digunakan oleh pasukan AS untuk memindahankan perlengkapan
militer mereka ke berbagai tempat, seperti Afrika, Samudera Hindia, dan Teluk
Persia. Hal itu pun memerlukan akses khusus dari Mesir untuk dapat melakukan
pemindahan tersebut. Secara khusus pula, Terusan Suez merupakan aset yang
127
Brian Katulis, Managing Change in Egypt: Advancing a New U.S. Policy that Balances
Regional Security with Support for Egyptian Political and Economic Reforms, June 2012, hal.
16 128
Arik Segal. “Egypt Uprising: Implications for Regional Stability”, hal. 2 dapat diakses melalui
www.culturaldiplomacy.org tanggal 30 oktober 2014
61
vital bagi hubungan antara Mesir dan negara-negara tetangga Mesir, khususnya
Israel.129
3. Opini Publik Mesir
Menurut Annual Arab Public Opinion Survey yang diselenggarakan oleh
Shibley Telhami pada tahun 2011 menyatakan bahwa 37 persen masyarakat
Mesir menyatakan untuk tetap mempertahankan perjanjian Camp David,
sementara 35 persen masyarakat menolak untuk melanjutkan perjanjian Camp
David.130
Selanjutnya pada tahun 2012, survei yang dilakukan oleh Gallup poll
juga mengindikasikan adanya penolakan masyarakat Mesir untuk menghentikan
perjanjian Camp David. Dari hasil survei tersebut menghasilkan 48 persen
masyarakat Mesir menganggap perjanjian tersebut merupakan sebuah hal yang
positif bagi negara, sedangkan 42 persen masyarakat Mesir menilai
sebaliknya.131
Dari hasil survei opini publik Mesir tersebut menunjukkan bahwasanya
upaya untuk menghentikan perjanjian Camp David merupakan sesuatu yang
tidak terlalu populer di tengah masyarakat Mesir saat itu. Masyarakat Mesir
lebih cenderung menginginkan pemerintahan Mursi untuk fokus membenahi
perekonomian dan stabilitas domestik sebagai bentuk upaya pembenahan dari
krisis ekonomi yang berujung pada revolusi tahun 2011 silam.
129
Ibid 130
Telhami, Lebson, Lewis, and Medoff, “2011 Arab Public Opinion Survey.” Dalam Joshua
Haber and Helia Ighani, A Delicate Balancing, hal.35 131
Dalia Mogahed, “Opinion Briefing: Egyptians Skeptical of U.S. Intentions.” Dalam Dalam
Joshua Haber and Helia Ighani, A Delicate Balancing, hal.35
62
Di lain pihak survei yang dilakukan oleh Pew Research Center for the
People and the Press pada 24 Maret sampai 7 April 2011 terhadap 1000 orang
menyatakan 54% masyarakat Mesir mendukung pembatalan perjanjian damai
antara Mesir dengan Israel yang sudah dijalani sejak tahun 1979.132
Hal tersebut
menunjukkan adanya dorongan dari masyarakat Mesir yang melihat dampak
negatif dari adanya perjanjian tersebut dan sikap Israel yang kontradiktif
dengan kehendak rakyat Mesir.
Selanjutnya, pendapat mengenai perjanjian Camp David juga disampaikan
oleh berbagai kelompok yang berpengaruh di Mesir. FJP selaku pemegang
kekuasaan di dewan legislatif Mesir berpandangan bahwa penghentian perjanjian
Camp David yang melibatkan Mesir dengan Israel semestinya harus melalui
persetujuan mayoritas masyarakat Mesir. Hal ini tidak boleh hanya berasaskan
keadilan yang diusung oleh kepentingan partai politik atau golongan semata.
Sementara An-Nour Party melalui penasihat seniornya, Dr. Hatem Al-Haj,
menyatakan bahwa perjanjian Camp David semestinya mesti direvisi secara
berkala dan dari beberapa poin dalam perjanjian tersebut, khususnya yang
berkaitan dengan kepentingan nasional Mesir.133
Di sisi lain, salah satu tokoh dari kalangan oposisi dan juga merupakan
kandidat presiden Mesir yang berasal dari kelompok nasionalis, Hamdeen Sabahi,
memberikan pernyataan kontradiktif dengan kelompok Islam –FJP dan An-Nour
Party- terkait dengan perjanjian Camp David ini. Ia berpandangan bahwa akan
132
Ravi Bhavnani and Karsten Donnay, “Here’s Looking at You: The Arab Spring and Violence in
Gaza, Israel and the West Bank”, Swiss Political Science Review, hal. 5 133
Joshua Haber and Helia Ighani, A Delicate Balancing, hal.36
63
menjaga seutuhnya segala jenis perjanjian dan kesepakatan yang membawa
dampak perdamaian. Menurutnya, akan menjadi hal yang subjektif apabila
perjanjian ini di-review ataupun dibatalkan.134
B. Faktor Eksternal
1. Amerika Serikat
Pengaruh adanya hubungan Mesir-Israel dengan politik luar negeri Mesir
tidak terlepas dari kepentingan Amerika Serikat (AS) di kawasan Timur Tengah.
Gen. James N. Mattis selaku komandan pusat angkatan bersenjata AS
menyebutkan ada empat hal yang menjadi fokus AS di kawasan Timur Tengah
pasca revolusi yang terjadi di Mesir pada tahun 2011 silam. Keempat faktor
tersebut adalah 1) Keamanan nasional AS dan warga negara AS, 2) stabilitas
regional, 3) promosi terhadap efektivitas dan legitimasi pemerintahan, hak asasi
manusia, penegakkan hukum, dan keberlanjutan pertumbuhan ekonomi, dan 4)
kebebasan untuk melakukan hubungan dagang, baik melalui jalur laut, darat
maupun udara di dalam lingkup regional.135
Sebagai negara yang memiliki
sekitar 90 juta orang penduduk, Mesir merupakan negara dengan jumlah
populasi terbanyak di kawasan Timur-Tengah dan juga memiliki jumlah
personel tentara militer terbanyak di antara negara-negara Arab lainnya. Di mata
AS, Mesir merupakan negara yang memiliki pengaruh secara politik, ekonomi,
134
Ibid 135
Katulis. Managing Change in Egypt, h.5
64
dan budaya. Hal ini menjadi faktor pendorong bagi AS untuk terus menjalin
dan memperkuat hubungan diplomatik dengan Mesir.136
Setidaknya terdapat dua hal yang dapat dilakukan AS dalam rangka upaya
mempererat hubungan bilateral dengan Mesir, antara lain 1) menciptakan
keamanan regional dan memerangi jaringan teroris, serta 2) mendukung proses
transisi Mesir pasca revolusi untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan
dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat Mesir.137
Langkah-langkah
tersebut tentu merupakan sebuah implementasi dari kepentingan nasional dan
kepentingan keamanan nasional AS terhadap kawasan Timur-Tengah,
khususnya aliansi dengan Mesir.
Dalam upaya menciptakan keamanan regional, AS melihat potensi Mesir
yang begitu besar dari segi politik dan geografis untuk dapat mewujudkan
stabilitas di Timur Tengah. Selain itu, dalam upaya mendukung AS dalam
memerangi jaringan terorisme; Al-Qaida, Mesir memiliki peran yang penting
pula. Antara AS dan Mesir telah lama memiliki kerjasama dalam upaya
memerangi kelompok Al-Qaida dan yang berafiliasi dengan kelompok tersebut.
Dengan rezim yang baru pasca revolusi, Mesir tetap berfokus untuk menghadapi
kelompok-kelompok ini, khususnya yang masuk di wilayah Semenanjung
Sinai.138
Selanjutnya AS memiliki peran tersendiri dalam rangka mengawal proses
transisi yang ada di Mesir pasca revolusi tahun 2011 lalu. AS mendorong
136
Ibid, h.6 137
Ibid 138
Barak Ravid, “Shin Bet Forms New Unit to Thwart Attacks on Israel by Sinai Jihadists,”
Haaretz, August 20, 2013, http://www.haaretz.com/news/diplomacy-defense/.premium diakses
pada 20 Desember 2014
65
terciptanya pemerintahan Mesir yang baru yang transparan dan memberikan
kesempatan kepada seluruh rakyat Mesir untuk memperoleh hak-hak mereka,
baik itu hak ekonomi maupun hak politik. Bagi AS, apabila hak-hak tersebut
tidak terpenuhi selama masa transisi, maka Mesir akan dihadapkan pada perang
saudara yang akan menambah beban dan menambah panjang penderitaan rakyat
Mesir. Dari sisi politis, apabila hal itu terjadi akan memberikan dampak negatif
terhadap upaya pemulihan nama baik Mesir di dalam lingkup regional maupun
internasional.139
Secara langsung, AS memiliki orientasi pragmatis dalam hubungan
bilateral yang telah terjalin sejak lama dengan Mesir hingga proses transisi
pasca revolusi tahun 2011. Namun di sisi lain, AS memiliki beban moral untuk
mengawal proses tranisi tersebut, khususnya dalam bidang politik dan ekonomi.
Sebagai bentuk keseriusan dalam mendukung proses transisi di bidang politik
dan ekonomi, AS menyetarakan orientasi strategis di bidang keamanan regional
dengan kedua bidang tersebut. Penyetaraan tersebut tidak lain sebagai jawaban
dari pemerintah AS terhadap pemerintahan Mesir yang baru yang skeptis
terhadap bantuan AS. Hal tersebut berdasarkan pada pengalaman AS yang
menempatkan keamanan regional menjadi high priority ketimbang masalah
ekonomi dan politik yang memberikan dampak positif bagi rakyat Mesir.140
Presiden Barrack Obama saat pidato di Department of State, menyatakan
bahwa AS akan terus mendorong upaya transisi Mesir di bawah rezim
pemerintahan yang baru. AS akan membuat program bantuan ke Mesir dengan
139
Katulis. Managing Change in Egypt, h. 6 140
Ibid, h.28
66
anggaran mencapai 165 juta US dollar. Selain itu, AS akan memberikan
pinjaman kepada Mesir sebesar 1 miliar dollar AS untuk kebutuhan
pengembangan dan pertumbuhan ekonomi di Mesir.141
2. Uni Eropa
Uni Eropa merupakan salah satu pihak yang turut memberikan pengaruh
terhadap politik luar negeri Mesir. Hubungan dengan Mesir sudah terjalin dari
adanya hubungan dalam bidang politik, ekonomi, maupun sosial-budaya.
Hubungan kerjasama dengan Uni Eropa menjadikan posisi Mesir sebagai
jembatan penghubung antara Barat dengan Dunia Arab. Dengan demikian, posisi
strategis yang dimiliki oleh Mesir salah satu instrumen dalam upaya meraih
kembali dominasi dan menambah kekuatan di kawasan Timur-Tengah.
a. Kerjasama Kebudayaan Uni Eropa-Mesir
Kerjasama antara Mesir dengan Uni Eropa telah terjalin sejak tahun 1995
melalui Deklarasi Barcelona. Saat itu Uni Eropa membuka hubungan kerjasama
juga dengan negara-negara di wilayah Mediterania. Program kerjasama tersebut
dinamakan Euromed Programmes dan bergerak dalam bidang kebudayaan dan
audiovisual. Program kerjasama dengan Mesir yang dijalani oleh Uni Eropa ini
berjalan hingga tahun 1998. Dari kerjasama yang berlangsung antara kedua pihak,
Mesir mendapat kompensasi sebesar 3 Miliar Euro untuk membantu program
141
Ibid, h.18
67
promosi kebudayaan dan kreativitas yang ada di Mesir. 142
Dengan adanya
kompensasi tersebut membawa keuntungan tersendiri bagi Mesir untuk
mengembangkan program-program yang berkaitan dengan sejarah, kebudayaan
dan industri kreatif.
Kerjasama dalam bidang kebudayaan juga salah satu upaya yang
dilakukan oleh Uni Eropa dalam memahami konstelasi politik yang berkembang
di Mesir dan wilayah sekitar Mesir. Penyesuaian strategi yang dilakukan oleh Uni
Eropa tersebut membuat kerjasama tersebut terus berlangsung. Sejak tahun 2007,
Uni Eropa memberikan bantuan sekitar 2 Miliar Euro bagi Mesir untuk
memperkuat kerjasama di bidang kebudayaan. Sementara itu, sejak tahun 2010
Mesir mengirimkan delegasi untuk berkontribusi dalam panorama film Eropa
yang diorganisir oleh MISR International.143
Edisi keenam dari kegiatan yang
diorganisir oleh organisasi tersebut dilaksanakan pada bulan Oktober tahun 2013.
Dengan partisipasi Mesir dalam upaya promosi kebudayaan yang dilakukan oleh
Uni Eropa, Mesir juga mendapat tambahan kompensasi sebesar 35.000 Euro.
Selanjutnya pada tahun 2012, delegasi yang dikirimkan oleh Mesir mendapat
kompensasi sebesar 9000 Euro dalam festival film Eropa. Pada saat itu juga
berbagai film yang diproduksi di Eropa mendapat izin untuk diterjemahkan ke
dalam Bahasa Arab.144
142
“Preparatory Action Culture in EU External Relations”. Country report Egypt, h.17 143
Ibid, hal. 18 144
Ibid
68
b. Kerjasama dalam bidang politik
Faktor lain yang membuat Uni Eropa menjadi salah satu pihak yang
mempengaruhi politik luar negeri Mesir ialah adanya hubungan kerjasama dalam
bidang politik. Hal ini dapat dilihat dari pertemuan pemerintah Mesir dengan
pihak Uni Eropa untuk membicarakan rencana program bantuan Uni Eropa dalam
proses transformasi politik yang ada di Mesir pada November tahun 2012.145
Pasca revolusi yang terjadi pada tahun 2011, Uni Eropa merupakan salah satu
pihak eksternal yang mendukung upaya reformasi politik di Mesir yang bertujuan
membawa Mesir menjadi negara yang demokratis yang menjunjung tinggi hak-
hak sosial-ekonomi masyarakat sipil, khususnya masalah kebebasan, keadilan
sosial, dan kesejahteraan.146
Uni Eropa mengadakan pendekatan baru untuk menyikapi dinamika
politik yang berada di Mesir pasca revolusi yahun 2011. Pendekatan yang
dilakukan ialah dengan melakukan pembaruan terhadap program European
Neighbourhood Policy (ENP) yang dibuat pada Mei 2011.147
Melalui program
tersebut, Uni Eropa berkomitmen untuk mendukung upaya percepatan transisi
Mesir menuju negara yang demokratis dan memberikan solusi atas masalah
sosial-ekonomi yang dihadapi oleh Mesir sejak revolusi tahun 2011 silam.148
145
Muriel Asseburg. The Arab Spring ang The European Response. The International Spectator,
Vol. 48, No.2, June 2013, hal. 57 146
“EU-Egypt Task Force”, Co-chairs conclusions, November 14, 2012, h. 1 147
Ibid 148
Riccardo Alcaro and Miguel Haubrich-Seco, ed. “Re-Thinking Western Policies Inlight Of The
Arab Uprisings”, IAI Research Paper (2012), h. 97
69
3. Iran
Hubungan antara Mesir dengan Iran memberikan berbagai indikasi dan
dugaan dari berbagai kalangan perihal politik luar negeri dan kebijakan luar
negeri yang dirancang oleh pemerintahan Mursi. Hubungan antara kedua negara
tersebut – Mesir dan Iran – sudah lama mengalami kebekuan diplomatik.
Kebekuan tersebut bermula saat ditandatanganinya perjanjian Camp David
antara Mesir dengan Israel. Baru setelah Mursi terpilih menjadi presiden Mesir
pasca revolusi tahun 2011, hubungan kedua negara kembali normal. Hal tersebut
ditandai dengan kunjungan presiden Mesir ke Iran dalam rangka menghadiri
KTT Non-Blok pada Agustus 2012 di Tehran. Kemudian Iran membalas
kunjungan Mursi tersebut dengan kunjungan balik presiden Ahmadinejad ke
Kairo dalam rangka Konferensi OKI pada Februari 2013.149
Menteri luar negeri Iran, Ali Akbar Salehi menyebut Mesir sebagai
sebuah mitra strategis bagi Iran di Timur Tengah.150
Kembali pulihnya
hubungan antara Mesir dengan Iran ini diharapkan dapat menciptakan kekuatan
Islam yang baru di Timur Tengah. Dan bagi Iran sendiri, normalisasi hubungan
dengan Mesir memberikan keuntungan strategis, yakni untuk memperluas
pengaruh dan eksistensi dalam lingkup regional yang selama ini terhalangi oleh
sebab perbedaan sekte antara Islam Sunni dan Syiah.151
Sementara itu di dalam negeri Mesir sendiri, khususnya di dalam
kelompok Islam yang mendominasi terdapat perbedaan pendapat mengenai
149
“Egypt and The Influence of Iran”. Diakes dari http://www.eturbonews.com/35117/egypt-and-
influence-iran pada 8 oktober 2014. 150
Fahim and El Shaikh, “Ahmadinejad Visits Egypt, Signaling Realignment,” The New York
Times. 151
Joshua Haber and Helia Ighani, A Delicate Balancing, hal.36
70
normalisasi hubungan antara Mesir dengan Iran ini. Bagi Ikhwanul Muslimin,
langkah yang diambil oleh Mursi dinilai sebagai sebagai konsekuensi atas
pandangan politik yang independen guna membawa Mesir kembali menjadi
kekuatan dominan di Timur Tengah. Langkah tersebut sebagai upaya
memperluas jaringan dan aliansi dengan negara-negara lain di Timur Tengah
yang jauh dari pengaruh Barat, khususnya AS. Sedangkan kelompok Salafi yang
berafiliasi dengan An-Nour Party tidak menghendaki adanya kelanjutan
hubungan tersebut dengan dasar sentimen antara Sunni dan Syiah.152
Dalam masalah hubungan bilateral antara Mesir-Israel, rekonstruksi
hubungan antara Mesir dan Iran membuat Israel merasa khawatir. Kekhawatiran
tersebut berdasarkan pada gabungan kekuatan Islam yang mendominasi kedua
negara. Selanjutnya, faktor religiusitas menjadi salah satu cara pandang Mesir –
di bawah kekuasaan FJP dan Mursi- dan Iran dalam menyatakan dukungan
kepada Palestina dalam konflik Palestina-Israel.153
4. Hamas
Salah satu masalah internasional yang menjadi perhatian serius Mursi
saat awal masa jabatannya ialah masalah konflik Palestina-Israel. Perhatian
tersebut merupakan sebuah refleksi dari ideologi Ikhwanul Muslimin –
organisasi asal dari Mursi – yang sangat mendukung perjuangan rakyat Palestina
dalam upaya membebaskan diri dari okupasi Israel. Selain itu, adanya afiliasi
antara Ikhwanul Muslimin dengan Gerakan Pembebasan Rakyat Palestina
152
Ibid 153
Fahadayna, Pengaruh Ikhwanul Muslimin, h.9
71
(Hamas) semakin menguatkan keberpihakan Mursi dalam upaya menentukan
sikap terhadap masalah ini. Bahkan Mursi menempatkan masalah ini dalam
skala prioritas paling tinggi dalam politik luar negeri Mesir.154
Dalam upaya mendukung kemerdekaan Palestina dari okupasi yang
dilakukan oleh Israel, pemerintahan Mursi mendapat dukungan dari berbagai
pihak sehingga memberikan dukungan tambahan bagi Mursi untuk menerapkan
langkah konkret politik luar negeri Mesir tersebut. Salah satu cara yang
digunakan oleh Mursi dalam menghadapi situasi demikian ialah dengan
melibatkan militer dan intelejen (GIS) Mesir untuk menjalin hubungan dengan
Hamas. Namun, langkah tersebut menimbulkan konsekuensi terhadap hubungan
Mesir dengan AS dan Israel. Pada kondisi demikian, posisi Mursi berada dalam
dilema.
Dilema yang dihadapi oleh Mursi juga disebabkan oleh adanya dorongan
dari publik untuk menghentikan perjanjian Camp David sebagai wujud relevansi
antara prioritas politik luar negeri yang telah ditetapkan oleh Mursi. Di lain sisi,
perjanjian yang sudah lama disepakati antara Mesir dengan Israel tersebut juga
memiliki keuntungan sendiri bagi Mesir, yakni untuk menjaga stabilitas dan
perdamaian regional dan mencegah instabilitas yang terjadi di Gaza yang akan
berdampak pada negara-negara yang berbatasan langsung.155
Untuk mencegah instabilitas yang terjadi di Gaza, militer Mesir
membangun komunikasi dengan Hamas. Komunikasi tersebut dilakukan untuk
154
Haber and Ighani. A Delicate Balancing Act, h. 46 155
Sharp, The Egypt-Gaza Border, h.8
72
mengatasi ancaman nasional dan ketakutan adanya spill over apabila terjadi
chaos di tanah Palestina, khususnya menghindari reaksi yang terjadi di Sinai.
Realita pada kasus ini, Hamas merupakan kelompok yang memiliki pengaruh
negatif di sepanjang perbatasan Mesir-Gaza di Semenanjung Sinai. Efek negatif
tersebut berasal dari adanya afiliasi antara Hamas dengan kelompok badui di
Sinai yang mengakibatkan munculnya gerakan yang mempengaruhi stabilitas
keamanan Mesir. Kelompok tersebut mendorong adanya penyeludupan orang
dan senjata ke wilayah Semenanjung Sinai. Kelompok tersebut seringkali
memicu adanya pertempuran dengan tentara keamanan Mesir. Salah satunya
terjadi pada Agustus 2012, pertempuran antara kelompok badui dan tentara
Mesir di Sinai menewaskan 16 orang tentara Mesir.156
Pemerintah Mesir mengambil langkah logis untuk mengatasi masalah
tersebut. Cara yang digunakan oleh Mesir ialah dengan mengadakan komunikasi
dan kesepakatan secara terselubung dengan Israel untuk menghentikan aksi
Hamas di perbatasan Gaza. Selanjutnya pada Februari 2013, dengan inisiatif
militer dan intelejen (GIS), Mesir menutup terowongan yang menghubungkan
Mesir dengan Gaza untuk menghentikan aksi people smuggling dan
penyeludupan senjata tersebut. Langkah tersebut turut didukung pula oleh Mursi
dan penasihatnya, Essam el-Haddad dan dianggap sebagai upaya untuk
mempertahankan kepentingan keamanan nasional Mesir.157
156
“Israel and Hamas: Fire and Ceasefire in a New Middle East,” International Crisis Group, h. 15 157
Ibid, h.48
73
Berbagai langkah diplomasi yang dilakukan oleh Mursi untuk mengatasi
permasalahan antara Palestina-Israel, khususnya yang berkaitan dengan
keamanan perbatasan di Semenanjung Sinai, merupakan sebuah kesuksesan
tersendiri bagi Mesir. Dengan berhasil memainkan peran sebagai mediator
perdamaian antara Hamas dengan Israel mengakibatkan stabilitas keamanan
nasional Mesir tetap terjaga. Dan peran Mesir tersebut juga berhasil membuat
banyak pihak yang terlibat merasa puas dan memberikan apresiasi yang tinggi
dengan langkah diplomasi Mursi.
5. Arab Saudi
Salah satu faktor yang juga menentukan arah politik luar negeri Mesir
ialah adanya hubungan dengan Arab Saudi. Sebagai salah satu negara teluk dan
memiliki kapabilitas domestik yang tinggi, Arab Saudi menjadi salah satu partner
strategis Mesir untuk mencapai kepentingan keamanan nasional dan stabilitas
regional. Sejak masa pemerintahan Mubarak, antara Mesir dengan Arab Saudi
telah menjalin hubungan yang erat. Bahkan secara informal kedua negara
melakukan aliansi strategis di bidang keamanan, meskipun hubungan tersebut
mendapat berbagai penolakan dari pihak oposisi pemerintah Mubarak yang
menyoroṭi adanya penetrasi ideologi Wahabi ke Mesir di balik motif kerjasama
kedua negara. Aliansi strategis antara Mesir dan Arab Saudi memiliki musuh
74
bersama yang harus dihadapi, yakni mencegah eksistensi dan dominasi Iran di
kawasan Timur-Tengah. 158
Pada saat kekuasaan pemerintah Mubarak berakhir pada revolusi tahun
2011, Arab Saudi mendukung upaya yang dilakukan oleh Supreme Council of
Armed Forces (SCAF) untuk mengambil alih pemerintah transisi. Sebagai bentuk
konkret dukungannya, Arab Saudi memberikan bantuan ekonomi sebesar $ 4
miliar. Dukungan yang diberikan oleh Arab Saudi tersebut memiliki motif
terselubung, yakni dijadikan sebagai langkah yang diupayakan untuk menahan
eksistensi Ikhwanul Muslimin di Mesir menjelang pemilihan umum legislatif
yang akan dilaksanakan pada November 2011 sampai Januari 2012 .159
Namun, dengan kondisi yang diharapkan oleh Arab Saudi tidak tercapai.
Ikhwanul Muslimin berhasil meraih kemenangan dalam pemilihan umum
legislatif dan menempatkan salah satu tokohnya sebagai presiden baru Mesir. Hal
tersebut membuat kekhawatiran tersendiri bagi Arab Saudi terhadap masa depan
politik luar negeri Mesir di bawah pimpinan Mursi, khususnya yang berkaitan
dengan isu-isu yang dapat menimbulkan sentimen antara kelompok yang berkuasa
di Mesir –Ikhwanul Muslimin- dengan pemerintah Arab Saudi, seperti kasus
konflik di Suriah. Dan di tengah kekhawatiran Arab Saudi tersebut, Mursi
mencoba untuk meyakini pemerintah Arab Saudi melalui pidato sesaat setelah
pengumuman kemenangan Mursi dalam pemilihan presiden. Mursi mengatakan
158
Yasmine Farouk, “More Than Money: Post-Mubarak Egypt, Saudi Arabia, and the Gulf”, Gulf
Research Center, 2014, hal. 3 159
Guido Steinberg, “Leading the Counter-Revolution: Saudi Arabia and the Arab Spring”,
Stiftung Wissenschaft und politik German Institute for Internastional and Security Affarirs,
2014, hal. 17
75
bahwa ia akan segera mengunjungi Arab Saudi dan menjamin bahwa keamanan di
negara-negara Teluk memiliki keterkaitan dengan kepentingan keamanan nasional
Mesir.160
Secara umum, faktor yang menjadikan hubungan Mesir dengan Arab
Saudi ini turut mempengaruhi politik luar negeri Mesir dapat dilihat dari upaya
intervensi Arab Saudi terhadap pemimpin yang berkuasa di Mesir pasca-Revolusi.
Arab Saudi menghendaki pemerintah yang berkuasa di Mesir setelah rezim
Mubarak ialah rezim yang dapat bekerjasama dan dapat menjadi partner strategis
Arab Saudi di Timur-Tengah. Kondisi demikian juga secara otomatis memberikan
kesamaan pandangan terhadap masalah yang terjadi di kawasan dan membentuk
kekuatan bersama untuk menyelesaikan masalah tersebut.161
Pengaruh yang terdapat dari hubungan antara Mesir-Arab Saudi ini juga
berdampak terhadap hubungan Mesir-Israel. Hal ini tidak terlepas dari
kepentingan Mesir untuk membentuk kerjasama strategis di kawasan dengan
negara-negara dominan lain. Pada masa pemerintahan Mursi, khususnya, politik
luar negeri Mesir diarahkan untuk lebih independen dan tidak bergantung pada
aliansi yang terbangun sejak Perjanjian Camp David terbentuk; Mesir-AS-
Israel.162
160
Heba Saleh and Camilla Hall, “Morsi Eager to Ease Saudi Fears”, Financial Times, 12 July
2012 161
Steinberg, Leading the Counter-Revolution, h.18 162
Fahadayna, Pengaruh Ikhwanul Muslimin, h. 22
76
6. Turki
Turki merupakan salah satu negara yang memiliki peran penting dalam
menjaga stabilitas dan perdamaian di Timur Tengah. Setelah terjadi revolusi di
negara-negara yang berada di Timur-Tengah – salah satunya Mesir - , Turki
melalui perdana menteri Recep Tayip Erdoğan memiliki visi untuk mendukung
secara utuh demokratisasi yang menjadi cita-cita para revolusioner. Menurut
Erdogan, setiap pemerintah harus berdasarkan pada legitimasi yang diberikan oleh
rakyat dan rakyat harus diberikan kebebasan untuk dapat menyampaikan segala
bentuk aspirasi kepada pemerintah.163
Pandangan Erdoğan tersebut berdasarkan
pada tuntutan yang disampaikan oleh para demonstran dalam revolusi yang terjadi
di Mesir, Tunisia, dan Libya, yang telah merasa jenuh dengan kekuasaan absolut
yang diduduki oleh rezim yang berkuasa dalam waktu yang lama dan tidak
membawa dampak yang signifikan terhadap kondisi kesejahteraan rakyat.
Selain itu, dalam rangka berperan aktif dalam menjaga stabilitas kawasan
Timur-Tengah, Turki juga memberikan pandangannya terhadap Israel, khususnya
yang berkaitan dengan konflik Palestina-Israel. Erdoğan menghimbau kepada
Israel untuk menghormati hak asasi manusia, penegakkan hukum, dan
demokrasi.164
Ketiga pilar pokok tersebut merupakan dasar untuk menciptakan
stabilitas yang ada di kawasan Timur-Tengah. Erdogan mengingatkan agar Israel
tidak lagi merasa nyaman dengan status quo dalam hubungan bilateral dengan
Mesir setelah revolusi tahun 2011. Hal tersebut disebabkan pergantian rezim yang
163
Nuh Yilmaz and Kadir Ustun, “The Erdoğan Effect: Turkey, Egypt and the Future of the
Middle East”, Cairo Review 3 (2011), h.85 164
Ibid
77
berdasarkan pada keinginan rakyat dan membuat perubahan dalam politik luar
negeri Mesir terhadap Israel.165
Selanjutnya, setelah revolusi yang terjadi di Mesir, Turki menjadikan
Mesir sebagai sasaran untuk dijadikan mitra strategis dalam membangun kekuatan
baru di Timur-Tengah.166
Keinginan Turki tersebut bertepatan dengan kekosongan
kekuasaan di Mesir dan melemahnya pengaruh Amerika Serikat dalam urusan
yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri Mesir. Hal tersebut didukung dengan
investasi yang dilakukan Turki ke Mesir untuk membantu perekonomian Mesir
yang terpuruk sejak revolusi tahun 2011. Ahmet Davutoğlu yang saat itu menjabat
sebagai Menteri Luar Negeri Turki memprediksi kerjasama kedua negara tersebut
akan memberikan keuntungan sebesar $3,5 miliar sampai $5 miliar dalam jangka
waktu dua tahun.167
Menurut Davutoğlu, hubungan intensif kedua negara ini
merupakan salah satu langkah strategis yang dibentuk oleh kedua negara untuk
dapat membentuk kekuatan dominan baru di kawasan.168
Hubungan Turki dengan Mesir juga dipengaruhi oleh kondisi eksternal
yang berada di kawasan, khususnya kasus Palestina-Israel. Secara umum,
masyarakat Turki mendukung Palestina untuk dapat membebaskan diri dari
okupasi yang dilakukan oleh Israel. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari faktor
pemegang kekuasaan dominan politik di Turki, yang sejak tahun 2002 dikuasai
165
Ibid, h.90 166
Hannah Stuart, “Turkey and the Arab Spring”, A Henry Jackson Society Strategic Briefing,
(October 2011), h. 2 167
‘Davutoglu to ‘NYT’: Ankara seeking Turkey-Egypt alliance,’ Jerusalem Post,19 September
2011 dalam Hannah Stuart, “Turkey and the Arab Spring”, A Henry Jackson Society Strategic
Briefing, (October 2011), h.8 168
Stuart, Turkey and the Arab Spring, h.8
78
oleh Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) atau Partai Keadilan dan Pembangunan
yang berbasiskan Islam.169
Faktor ideologis dari partai ini kemudian
diimplementasikan dalam kebijakan luar negeri Turki yang peduli terhadap
keadaan kondisi negara-negara yang berpenduduk muslim, seperti Palestina.
Kondisi serupa juga dialami Mesir setelah revolusi tahun 2011. Freedom
and Justice Party (FJP) selaku sayap politik kelompok Ikhwanul Muslimin
berhasil meraih kekuasaan dominan dalam pemilihan umum di Mesir.170
Dengan
memiliki landasan pergerakan yang serupa dengan AKP di Turki, pemerintahan
Mesir di bawah pimpinan Mursi menempatkan masalah Palestina-Israel sebagai
prioritas utama dalam politik luar negeri Mesir.171
Dengan demikian, fokus utama
dari langkah kebijakan luar negeri yang terhadap konflik Palestin-Israel ialah
untuk membebaskan Palestina dari okupasi yang dilakukan oleh Israel dan
menjadikan Palestina sebagai negara merdeka.
169
Ahmet Yidiz, “Problemating The Intellectual and Political Vestiges: From Welfare to Justice
and Development Party”, dalam Umit Cizre ed., Secular and Islamic Politics in Turkey (New
York: Routledge, 2008), h.41 170
Sarah Lynch. “Muslim Brotherhood Top Winner in Egyptian Election”, USATODAY, 12 April
2011, dalam www.studentnewsdaily.com/daily-news-article/muslim-brotherhood-top-winner-in-
egyptian-election diakses 17 April 2014 171
Elgindy, Egypt, Israel and Palestine, h. 172
79
Bab V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melihat dinamika yang terjadi dalam politik luar negeri Mesir
setelah revolusi tahun 2011 hingga 2013, terdapat kesamaan langkah dan orientasi
yang ditetapkan oleh rezim berkuasa. Pada masa SCAF maupun pada masa
pemerintahan Mohammed Mursi, titik sentral politik luar negeri Mesir berfokus
pada permasalahan kontinuitas perjanjian Camp David yang sudah berlangsung
dari tahun 1979. Dampak dan konsekuensi yang dihadapi oleh Mesir dari adanya
perjanjian tersebut antara lain dapat dilihat dari adanya hubungan bilateral antara
Mesir dengan Israel. Selain itu, Mesir juga diharuskan untuk melakukan ekspor
gas alam dan berbagai jenis barang kebutuhan ke Israel. Selain itu, AS selaku
pihak yang mendorong dan memfasilitasi perjanjian damai tersebut menjadikan
Mesir sebagai mitra strategis di kawasan Timur-Tengah yang ditujukan untuk
menjaga kepentingan dan keamanan nasional AS dan menjaga eksistensi Israel di
kawasan tersebut. Sebagai imbalannya, AS memberikan bantuan ekonomi,
teknologi, dan militer kepada Mesir selama masih konsisten untuk menjaga dan
mempertahankan perjanjian damai dengan Israel.
Setelah revolusi tahun 2011, fokus penetapan arah dan kebijakan dalam
politik luar negeri Mesir secara umum banyak dipengaruhi oleh faktor internal dan
eksternal Mesir. Secara khusus, pertimbangan utama pengambil kebijakan Mesir
lebih condong untuk membawa Mesir mencapai kepentingan nasional, yakni
80
pemenuhan segala jenis kebutuhan domestik dan keinginan menjadi kekuatan
dominan di kawasan Timur-Tengah. Rasionalitas pengambil kebijakan luar negeri
Mesir beserta seluruh elemen yang terlibat, menjadi unsur yang dominan dalam
penentuan arah politik luar negeri Mesir. Hal tersebut terbukti dengan upaya
menengahi konflik antara Palestina dengan Israel, normalisasi hubungan antara
Mesir dengan negara dominan lain di Timur-Tengah, dan tetap melanjutkan
hubungan damai dengan Israel.
Selanjutnya, dampak langsung dari penerapan politik luar negeri Mesir
terhadap Israel ialah adanya pasang-surut hubungan kedua negara. Hal tersebut
disebabkan oleh keberpihakan Mesir pada isu-isu strategis yang bersinggungan
langsung dengan Israel, antara lain masalah Palestina-Israel, keamanan di
Semenanjung Sinai, dan normalisasi hubungan dengan Iran. Dari beberapa sikap
Mesir dalam isu-isu tersebut menunjukkan posisi Mesir yang seringkali
berlawanan dengan kepentingan Israel. Hal ini pada akhirnya tidak jarang
menyebabkan kebekuan dalam hubungan diplomatik kedua negara.
Dinamika yang terjadi dalam politik luar negeri Mesir, khususnya dalam
hubungan bilateral dengan Israel, tidak membuat perubahan drastis dalam arah
dan orientasinya. Keberlanjutan perjanjian damai antara Mesir-Israel menjadi
bukti tidak adanya perubahan tersebut. Meskipun terdapat banyak tuntutan
domestik Mesir untuk mengakhiri perjanjian tersebut, namun banyak pula
pertimbangan dan dukungan untuk tetap melanjutkan hubungan dengan Israel,
yang mayoritas berada dalam lingkup kekuasaan. Oleh karena itu, pilihan untuk
mempertahankan perjanjian damai tersebut merupakan langkah rasional
81
pemerintah Mesir dalam rangka fokus membangun stabiltas domestik dan
kekuatan di kawasan setelah revolusi 2011,
B. Saran-saran
Sejak awal telah dijelaskan bahwa penelitian ini mengambil ruang lingkup
penelitian pada dua masa pemerintahan setelah revolusi tahun 2011 hingga tahun
2013, yakni masa pemerintahan SCAF dan Mohammed Mursi. Namun mengingat
berakhirnya pemerintahan Mursi pada bulan Juni 2013, masih terdapat rentang
waktu pada tahun tersebut yang belum dibahas dalam penelitian ini. Oleh sebab
itu, kiranya perlu menjadi objek kajian tambahan pada penelitian berikutnya, yang
mengambil topik dan fokus permasalahan yang sama dengan penelitian ini, untuk
memasukkan politik luar negeri Mesir pada sisa waktu di tahun 2013 tersebut,
atau bahkan menambahkan periode waktu pembahasan hingga pemerintahan
Mesir setelah masa Presiden Mohammed Mursi.
x
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Cantori, Louis J., and Sally Ann Baaynard e.d., David E. Long and Bernard
Reich. The Government and Politics of The Middle East and North Africa.
2002.
Couloumbis, Theodore, and James Wolfe. 1986.Terjemahan Marcedes Marbun.
Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. Englewood
Cliff, NJ: Prentice-Hall Inc.
Fachir, M. 2011. Gerakan Rakyat Untuk Perubahan: Pembelajaran dari Timur
Tengah, Jurnal Luar Negeri Edisi Khusus. Jakarta : Badan Pengkajian dan
Pengembangan Kebijakan Luar Negeri
Holsti, K.J. 1988. International Politics: A Framework for Analysis. New Jersey:
Prentice Hall.
Lee, Robert. D. 2010. Religion and Politics in The Middle East: Identity,
Ideology, Institutions, and Attitudes. Philadelphia: Westview Press
Morgenthau, Hans. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and
Peace. New York: Knopf.
Musa, Muhammad. 2003. Hegemoni Barat Terhadap Percaturan Politik Dunia:
Sebuah Potret Hubungan Internasional, Jakarta: Wahyu Press
Nariman, Egypt’s Draft Constitution Translated.
Nydell, Margareth. K. 2012. Understanding Arabs: A Contemporary Guide to
Arab Society .Fifth Edition. Boston: Intercultural Press.
Palmer, Monte. 2007. The Politics of Middle East. Second Edition. Emeritus:
Florida State University.
Papp, Daniel S. 1988. Contemporary International Relations: A Framework for
Understanding. New York: MacMillian Publishing Co.
xi
Perwita , Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochammad Yani . 2006. Pengantar
Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Rosenau, James N., Gavin Boyd and Kenneth W. Thompson. 1976. World
Politics: An Introduction. New York: The Free Press
Rubeinstein , Alvin Z. 1976. Soviet and Chinese Influence in the Third World.
New York: Praeger Publisher.
Snyder, Richard C., H.W. Bruck and Burton Sapin. 1962. Foreign Policy
Decision-Making: An Approach to The Study of International Politics.
New York: The Free Press.
Taylor, Steven J. dan Robert Bogdan. 1984. Introduction to Qualitative Research
Methods: the Search for Meaning. New York: Wiley & Sons.Inc.
Jurnal
Alpher, Yossi. 2013. Revolutionary events in Egypt: Ramifications for Israel.
NOREF.
Aly, Abdel Monem Said. 2014. Post-Revolution Egyptian Foreign Policy, Crown
Center of Middle East Studies No. 86
Baranda, Maria Caleste. 2011. Post-Mubarak Egypt: Redefining its Role in the
New Middle Eastern Balance of Power. Non-Resident Anlyst, INEGMA.
Darrag, Amr. 2013. On The New Vision for the Egyptian Foreign Policy After the
Revolution, Tesev Foreign Policy Programme.
El Medni, Bakry M. 2013. Civil Society and Democratic Transformation in
Contemporary Egypt: Premise and Promises. University of Delaware
Newark, DE 19716, United States. International Journal of Humanities and
Social Science Vol. 3 No. 12 [Special Issue – June 2013].
Elgindy, Khaled. 2012. Egypt, Israel and Palestine: Prospects for Peace After the
Arab Spring. Cairo Review Vol. 6
xii
Fillinger, Eric. 2009. Mubarak Matters: The Foreign Policy of Egypt Under Hosni
Mubarak. School of International Service American University
Haber, Joshua dan Helia Ighani, 2013. A Delicate Balancing Act: Egyptian
Foreign Policy After The Revolution, Imes Capstone Paper Series
Jacoby, Tami Amanda. 2013. Israel’s Relations with Egypt and Turkey during
the Arab Spring: Weathering the Storm. Israel Journal of foreign Affairs
VII : 2.
Katulis, Brian. 2012 Managing Change in Egypt: Advancing a New U.S. Policy
that Balances Regional Security with Support for Egyptian Political and
Economic Reforms,
Khalifa, Dareen. ICSR Atkin Fellow. Saving Peace: The Case for Amending the
Egypt-Israel Peace Treaty. February 2013.
Khalil, Ashraf. Liberation Square: Inside the Egyptian Revolution and The
Rebirth of A Nation. New York: St. Martin’s Press. 2011.
Magd, Zeinab Abul. 2012. Understanding SCAF: The Long Reign of Egypt’s
Generals, Cairo Review 6
Meita, Yoram. 1998. Domestic Challenges and Egypt’s U.S. Policy. Middle East
Review of International Affairs 2 no. 4
Muhareb, Mahmoud.2011. Israel and Egypt Revolution, Arab Center for Research
& Policy Studies Case Analysis, Doha
Özkan, Mehmet. 2013. Egypt’s Foreign Policy under Mohammed Morsi .
Ortadogu Analiz Vol. 5, No. 51.
Podeh, Elie and Nimrod Goren. 2013. Israel in the Wake of the Arab Spring:
Seizing Opportunities, Overcoming Challenges
Relations, Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia) 5 no.1.
Sharnoff, Michael. 2011. Post-Mubarak Egyptian Attitudes Toward Israel. Middle
East Media Monitor.
xiii
Sharp, Jeremy M.. 2008. The Egypt-Gaza Border and its Effect on Israeli-
Egyptian Relations, Congressional Researches Services
______. 2013. Egypt: Background and U.S. Relations. Congressional Research
Service.
Siboni, Gabi and Ram Ben-Barak. 2014. The Sinai Peninsula Threat Development
and Response Concept, Analysis Paper The Institute For National Security
Studies Number
Spector, Samuel. J. 2005. Washington and Cairo: Near theBreaking Point?
Middle East Quarterly 12, no. 3
Tianshe, Chen. 2011. Four Points toward the Understanding of Egypt’s Foreign
Foreign Relations, Journal of Middle Eastern and Islamic Studies (in
Asia) Vol. 5 no. 1
Wistrich, Robert S. 2012. Post-Mubarak Egypt: The Dark Side of Islamic Utopia.
Israel Journal of Foreign Affairs VI: I.
Xuewen, Qian, 2012. The January Revolution and the Future of Egypt, Journal of
Middle Eastern and Islamic Studies (in Asia) Vol. 6, No. 2
Skripsi
Fahadayna, Adhi Cahya. Pengaruh Ikhwanul Muslimin terhadap Politik Luar
Negeri Mesir dalam Konflik Israel-Palestina. S1 Ilmu Hubungan
Internasional. Universitas Airlangga.
Tesis
Elhadad, Major Ehab Elsayed. 2012. The Egyptian Military’s Role In The 25
January Revolution, And The Post-Revolution Impacts On Egypt’s Foreign
Relations And Middle East Stability. Fort Leavenworth, Kansas
xiv
Internet
“Muslim Brotherhood-backed candidate Morsi wins Egyptian presidential
election”,
June 24, 2012. Diakes melalui
http://www.foxnews.com/world/2012/06/24/egypt-braces-for-
announcement-president/#ixzz2QgHPWWF7 pada 17 April 2014
Trias Kuncahyono, “Sersan Gilad Shalit”, Rabu, 19 Oktober 2011, dalam
http://nasional.kompas.com/read/2011/10/19/03350553/.Sersan.Gilad.Shal
it diakses pada 20 Desember 2014.
Udi Dekel and Orit Perlov, “President Morsi and Israel-Egypt Relations”, July 25,
2012 dalam http://www.canadafreepress.com/index.php/article/president-
morsi-and-israel-egypt-relations diakses pada 23 Agustus 2014
Stephen Lendman, “Ongoing Fighting in Sinai: Hamas, Islamic Jihad and Iran
Wrongfully Blame”, Global Research (July 12, 2013), dalam
http://www.globalresearch.ca/ongoing-fighting-in-sinai-hamas-islamic-
jihad-and-iran-wrongfully-blamed/5342506 diakses pada 23 Agustus 2014
Ardini Maharani, “Mursi Tetap Hormati Perjanjian Damai Dengan Israel”,
merdeka.com, Rabu, 29 Agustus 2012 dapat diakses melalui
http://www.merdeka.com/dunia/mursi-tetap-hormati-perjanjian-damai-
dengan-israel.html diakses pada 11 November 2014
“Egypt and The Influence of Iran”. Diakes dari
http://www.eturbonews.com/35117/egypt-and-influence-iran pada 8
oktober
2014.
Hadeel al-Shalchi, “Egypt Elections 2011: Salafis, Ultraconservative Islamist
Movement, Make Election Debut”, dalam
http://www.huffingtonpost.com/2011/11/28/egypt-elections-2011-
salafis_n_1117463.html Diakses pada 17 April 2013
xv
Table of U.S. Foreign Assistance to Egypt ($ in millions)
Fiscal Year 1948-2011
Source: Allocation tables provided to CRS by the Department of State, F Bureau
Fiscal Year Economic Military IMET Total
1948-1997 23,288.6 22,353.5 27.3 45,669.4
1998 815.0 1,300.0 1.0 2,116.0
1999 775.0 1,300.0 1.0 2,076.0
2000 727.3 1,300.0 1.0 2,028.3
2001 695.0 1,300.0 1.0 1,996.0
2002 655.0 1,300.0 1.0 1,956.0
2003 911.0 1,300.0 1.2 2,212.2
2004 571.6 1,292.3 1.4 1,865.3
2005 530.7 1,289.6 1.2 1,821.5
2006 490.0 1,287.0 1.2 1,778.2
2007 450.0 1,300.0 1.3 1,751.3
2008 411.6 1,289.4 1.2 1,702.2
2009 250.0 1,300.0 1.3 1,551.3
2010 250.0 1,300.0 1.9 1,551.9
2011 249.5 1,297.4 1.4 1,548.3
Total 31,070.3 40,509.2 43.14 71,623.6