politik benazir bhutto - cs.unsyiah.ac.idfrdaus/penelusuraninformasi/file-pdf/khoirul... ·...
TRANSCRIPT
POLITIK BENAZIR BHUTTO
(Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan
Tahun 1988 dan 1993)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Disusun oleh:
KHOIRUL IMAM
NIM: 103033227819
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M./1430 H
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
karunia-Nya memberikan potensi keilmuan dan wawasan kepada penulis. Shalawat serta
salam selalu tercurah kepada junjungan, panutan, nabi akhir zaman Muhammad SAW.
Alhamdulillah penulis telah menyelesaikan skripsi yang berjudul “POLITIK BENAZIR
BHUTTO” (Analisis terhadap Keberhasilan Menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun
1988 dan 1993). Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh
gelar Strata 1 (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selanjutnya pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang telah membantu memperlancar proses penyusunan skripsi ini, antara
lain:
1. Keluarga tercinta. Bapak H. Achmad Chotib dan Ibu Hj. Siti Mahwiyah atas
segala motivasi, dukungan moril, materil, serta doa restu yang diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan studi ini. Dan juga kakak-kakak ku tercinta ceu Anis
dan a’ Heru
2. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA. Selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Bapak Drs. Agus Darmadji, M. Fils. Dan Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M. Ag.
Selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Dra. Haniah Hanafie, M. Si. Selaku dosen pembimbing atas kesabaran, kritik,
dan saran-saran yang diberikan kepada penulis selama menyusun skripsi ini.
6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada program studi Pemikiran Politik Islam
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atas sega ilmu
pengatahuan yang diberikan selama proses belajar.
7. Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Ushuluddin
dan Filsafat, dan Perpustakaan CSIS Jakarta. Terima kasih banyak atas pinjaman
bukunya.
8. Irmayanti, sosok yang selalu menemani dalam senang dan sedih, dan yang selalu
membuat kenangan manis yang tak terlupakan dalam hidup, Semoga kau selalu
menjadi ruh penyemangat dalam hidup ku. Entah jodoh ku atau bukan (kita lihat
saja nanti he…). Pokoknya Thanks for all.
9. Kawan-kawan prodi Pemikiran Politik Islam, khususnya angkatan 2003.
Sahabatku Rizal, Dedi, Burhan, Edi, Subairi, Fajri, Arya, Sigit, Ust Ahmarul
Hadi, Yuli, Selly, Rufi’ah, Aniq, Fahmi, Davan, Damar, Hendri, Nabil,Yosep,
Anang, Bahrul, Ayip, Arif, Suhadi, Alan dan Bos Rudin (si kantong ajaib), smoga
kita semua menjadi orang yang sukses di dunia dan akhirat amien.
10. Sahabat mahasiswa Seperjuangan ku Idung, Kubil, Parto, Boy, Mayat, Udel,
Badut, Burex, Kazoy, Karyo, Evi, Lutfi. Semoga kita semua menjadi Muslim
yang Moderat, Mukmin yang Demokrat dan Muhsin yang Diplomat.
Skripsi ini tentu bukanlah sebuah karya yang sempurna dan bebas dari kesalahan.
Karena itu, kritik dan saran dari para pembaca untuk perbaikan di masa mendatang sangat
penulis nantikan.
Akhirnya, semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja, khususnya bagi para
pegiat kajian pemikiran pilitik Islam.
Tangerang, 26 Desembe 2008
Khoirul Imam
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ………………………………………………………................ i
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………….. iv
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………………………….... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah…………………………………………... 11
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian……………………………………….............. 11
D. Metode Penelitian………………………………………………………………. 12
E. Sistematika Penulisan…………………………………………………………... 12
BAB II. SEJARAH POLITIK PAKISTAN DAN BIOGRAFI BENAZIR BHUTTO
A. Sejarah dan Kondisi Sosial Politik Pakistan…….……………………………….14
B. Biografi Politik Benazir Bhutto……...…………………………………………. 28
B.1. Riwayat Hidup dan Pendidikan……………………………………………..28
B.2. Latar Belakang dan Pengalaman Politik…………………………………... 30
BAB III. BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK
A. Keterlibatan dalam Partai Politik…………………………………….................. 35
A. 1. Kematian Zulfikar Ali Bhutto…………………………………………… 36
A. 2. Kediktatoran Pemerintahan Zia ul-Haq …………………………………. 40
A. 3. Penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto…………………………. 43
B. Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri ……………………………........ 44
B. 1. Kemenangan dalam Pemilu 1988……………………………………......... 44
B. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto…...................... 50
B. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990………………………………..................... 62
C. Upaya Benazir Bhutto Menggoyahkan Pemerintahan Nawaz
Sharif………....... 71
C. 1. Mempengaruhi Opini Publik……………………………………………… 74
C. 2. Menggalang Demonstrasi…………………………………………………. 81
C. 3. Mendesak untuk diadakannya Pemilu……………………………………. 85
BAB IV. KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK
TAHUN 1993
A. Konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif……………………………………………… 89
A 1. Pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan….. ...90
A. 2. Kontroversi Amandemen ke-8………………………………………….. ...91
A. 3. Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif………. 96
B. Sikap Politik Militer……………………………………………………………. .98
B. 1. Kuatnya pengaruh Militer di Pakistan………………………………….. …99
B. 2. Ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif…………... 100
C. Keberhasilan Benazir Bhutto Menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya………. 103
C. 1. Terselenggaranya Pemilu Tahun 1993………………………………....... 104
C. 2. Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri……………………………. 113
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan……………………………………………………………………. 117
B. Saran ………………………………………………………………………….. 123
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………125
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Benazir Bhutto pertama kali berhasil menjadi Perdana Menteri Pakistan pada
bulan Desember 1988, setelah partai yang dipimpinnya Pakistan People's Party (PPP)
memenangkan pemilu 16 November 1988 dengan memperoleh 92 kursi dari 207 kursi
yang diperebutkan. sementara saingannya Islamic Democraty Aliance (IDA) / Islami
Jamhoori Ittehad (IJI) berhasil memeperoleh 54 kursi dan Muhajir Qoumi Movement
(MQM) mendapat 13 kursi.1 meskipun PPP menang, namun kemenangannya bukanlah
mayoritas mutlak yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu pemerintahan. sehingga PPP
terpaksa berkoalisi dengan MQM yaitu sebuah partai politik yang relatif baru yang
pendukungnya terdiri dari masyarakat imigran berbahasa Urdu di propinsi Sindh.
Sebagai seorang wanita pertama yang berhasil meraih posisi Perdana Menteri
Pakistan, kepemimpinannya atas pemerintahan Pakistan sebenarnya tetap tak diterima
oleh golongan konservatif. Alasannya masih dominannya budaya feodalisme yang
menempatkan pria berada diatas wanita. Kalangan konservatif ini termasuk di dalamnya
golongan Islamis, yaitu para pemimpin agama yang merupakan produk pendidikan
dengan wawasan agama, tetapi memiliki sedikit apresiasi terhadap tantangan-tantangan
pembaharuan dan modernitas negara bangsa.2 Mereka menginginkan Pakistan didasarkan
pada hukum Islam secara komplit, mengingat alasan didirikannya negara Pakistan adalah
keinginan orang muslim India untuk membentuk bangsa Muslim dengan merealisasikan
1 “Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4.
2 John L Esposito, Agama dan Perubahan Sosial Politik (Jakarta: Aksera Perdata, 1983), h. 231.
hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Golongan Islamis ini terbagi menjadi
dua, yaitu golongan Islam Populer yang mencampurkan tradisi dengan ajaran Islam, dan
golongan Islam Sentralis yang ingin menerapkan ajaran dasar Islam, kendati dengan
menerima budaya yang tidak bertentangan dengan Islam. Menurut interpretasi mereka,
ajaran Islam tidak memperkenankan wanita menjadi pemimpin suatu negara dan atau
pemerintahan.
Sedangkan Benazir Bhutto termasuk ke dalam golongan Modernis Sekuler yang
berpendidikan dan berpemikiran Barat, namun kurang pendidikan dan pemahaman
tentang Islam, terutama dalam hubungannya dengan kepentingan mendefinisikan
Pakistan sebagai sebuah negara Islam. Benazir beranggapan bahwa negara tidak perlu
didasarkan pada Al-Quran dan Sunah karena apabila negara telah berusaha mewujudkan
cita-cita sekulerisme itu bersamaan dengan persamaan hak dan keadilan, maka negara
akan dengan sendirinya telah mewujudkan nilai-nilai pokok Islam.3 Antara ketiga
golongan tersebut, terjadi pertentangan karena belum ditemukannya konsensus yang jelas
yang sesuai dengan Ideologi Islam dan bagaimana aplikasinya dalam program-program
dan kebijakan-kebijakan negara. Di sini terlihat bahwa Islam telah menjadi faktor yang
sangat menentukan dalam perkembangan politik di Pakistan, sipil atau militer, dan
apapun corak politiknya, otoriter dan diktatoris, tidak dapat mengabaikan peranan nilai-
nilai dasar Islam.4
Sejak awal memerintah, pemerintahan Benazir Bhutto tidak pernah sepi dari
kecaman. Salah satunya disebabkan oleh kegagalan Benazir Bhutto dalam mengatasi
3 Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan", Jurnal Ilmu Politik, No. 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1983), h. 73. 4 Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan”, h. 73.
kemelut etnis yang berlarut-larut antara etnis Sindh yang merupakan penduduk asli
dengan etnis Muhajir yang merupakan kaum pendatang. Konflik etnis pada masa
pemerintahan Benazir Bhutto ini memuncak karena ia tidak memenuhi janjinya, untuk
antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis Muhajir yang menganggur sebagai akibat
dari sisitem quota yang telah diberlakukan sejak Ali Bhutto; membebaskan para tahanan
pemimpin MQM yang ditahan sejak pemerintahan Zia Ul Haq; dan membagi kekuasaan
secara adil sebagaimana yang telah dijanjikan sewaktu pembentukan koalisi.
Tindakan Benazir Bhutto tidak mencerminkan sikap pemimpin Pakistan yang
mempunyai penduduk heterogen. Benazir Bhutto sangat mementingkan etnisnya saja
dengan memberikan lowongan jabatan-jabatan penting di pemerintahan pada teman-
temannya di partai, saudara dan kenalan dekatnya. Kebijakan sosial ekonomi Benazir
Bhutto justru memperbesar sistem monopoli dan oligopoli yang dilakukan oleh orang-
orang kaya di Pakistan dan menghambat kepentingan ekonomi kelompok Muhajir.
Akibatnya MQM keluar dari koalisi dan kemudian konflik terus berlanjut antara etnis
Sindh dan etnis Muhajir. Situasi dimanfaatkan oleh IJI, pimpinan Nawaz Sharif, sebagai
pihak oposisi untuk menjatuhkan Benazir Bhutto.
Sikap Benazir Bhutto yang begitu tenang tanpa reaksi nyata untuk secepatnya
menyelesaikan konflik, tentu saja menimbulkan ketidakpuasan dari kalangan Angkatan
Darat. Kelompok ini merasa bertanggung jawab terhadap keselamatan dan ketentraman
masyarakat. Bahkan Staf Angkatan Darat Jendral Mirza Aslam Beg, telah mengadakan
pembicaraan dengan beberapa pejabat pemerintahan. Mereka menganggap perlunya
segera diambil prakarsa politik berupa pengambilalihan secara langsung kekuasaan di
Sindh oleh pemerintah federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas
untuk menyelesaikan masalah kerusuhan di propinsi Sindh yang sudah begitu sangat
memprihatinkan.5
Pemeritah Benazir Bhutto menolak permintaan militer karena Benazir Bhutto
takut tindakan ini akan mengundang diberlakukannya semacam Undang-Undang Militer
yang dapat menimbulkan tindakan intimidasi. Selain itu Benazir Bhutto juga khawatir
militer akan melangkahi kekuasaan sipil di propinsi Sindh. Dan yang paling penting
adalah ketakutan Benazir Bhutto akan terlibatnya militer kembali dalam politik di
Pakistan.
Sesungguhnya dalam percaturan politik Pakistan dewasa ini dikuasai oleh tiga
faktor utama penentu jalannya pemerintahan, yaitu: presiden, militer, dan perdana
menteri. Oleh karena itu, siapapun yang menjadi perdana menteri sudah seharusnyalah
berusaha menciptakan suatu kondisi yang memungkinkan hubungan perdana menteri
dengan militer dan presiden dapat terjalin dengan serasi. Apabila gagal maka sangatlah
munkin terjadi persaingan dan bahkan permusuhan diantara tiga kekuatan sentral ini,
yang seringkali berakhir dengan jatuhnya pemerintah. Kondisi ini tampaknya terjadi pada
diri Benazir Bhutto yang sejak awal berkuasa, hubungan Benazir Bhutto dengan militer
tidak begitu harmonis dan semakin memburuk karena Benazir Bhutto dinilai terlalu ikut
campur terhadap masalah intern dalam tubuh militer. Permusuhan ini mulai jelas terlihat
pada waktu Benazir Bhutto memecat Letjen. Hamid Gul (seorang Jendral senior yang
berpengaruh dan menjadi salah satu arsitek kebijakan tentang Afghanistan) dari
jabatannya, pada bulan Agustus 19896 Presiden dan militer tidak suka atas tindakan
Benazir Bhutto ini.
5 Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4.
6 Dhurorudin Mashad, "Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan", h. 80.
Pertentangan menjadi semakin parah setelah Benazir Bhutto ingin mencabut
Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq dengan alasan untuk memurnikan konstitusi
1973. Padahal alasan sebenarnya adalah Benazir Bhutto khawatir kalau sewaktu-waktu
dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi konflik etnis yang berkepanjangan.
Berlakunya Amandemen ke-8 tentu saja membuat kekhawatiran bagi Benazir Bhutto
karena memberikan kekuasaan kepada Presiden untuk menghapuskan atau membatalkan
pemerintahan yang terpilih dari hasil pemilu dan memungkinkan Presiden untuk
menunjuk Dewan Militer atau pejabat militer untuk menjalankan pemerintahan.7
Keinginan Benazir Bhutto sulit direalisir, karena memerlukan konsensus dari Majelis
Nasional. Sementara saat itu PPP bukanlah mayoritas, apalagi ia tidak didukung oleh
oposisi.
Kenyataan memeperlihatkan bahwa pemerintahan Benazir Bhutto yang selama
dua puluh bulan tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah dalam negeri Pakistan.
Seperti kerusuhan etnis, janji-janji yang tidak terpenuhi, serta adanya tuntutan korupsi
dan nepotisme. Tindakan nepotisme yang dilakukan Benazir Bhutto telah mengakibatkan
telah terjadinya tindakan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh orang-orang
dekat Benazir Bhutto. Suaminya, Asif Ali Zardari dan Bapak mertuanya dituduh mencari
keuntungan sebagai perantara bagi orang-orang yang ingin memperoleh kontrak-kontrak
besar dari pemerintah. Dengan berbagai alasan tersebut, Akhirnya Presiden Ishaq Khan
pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan keputusan No. 178, membubarkan parlemen
dan membekukan kabinet Benazir Bhutto.8
7 Deepak Tripathi, “Pakistan In Trumoil” artikel diakses pada 22 Desember 2007, dari http//www.
danielpinem.wordpress.com/perpustakaan/hubungan-internasional/krisis-politik-baru-di-pakistan/
8 Dhurorudin Mashad, "Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih Kekuasaan". h. 80.
Setelah Benazir Bhutto jatuh, Presiden Ghulam Ishaq Khan mengangkat saingan
Benazir Bhutto di parlemen yaitu Ghulam Mustafa Jatoi sebagai Perdana Menteri untuk
memimpin pemerintahan sementara sambil mempersiapkan pemilu 24 Oktober 1990.
Dalam pemilu tersebut ternyata IJI pimpinan Nawaz Sharif berhasil memperoleh 106
kursi dari 207 kursi yang diperebutkan parlemen. Sedangkan People's Democratic
Alliance (PDA) pimpinan Benazir Bhutto yang merupakan koalisi dari PPP dengan
beberapa partai kecil yaitu Tehrik-i -Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Javariya dan PML
Qasim Group, hanya memperoleh 45 kursi dan MQM sebagai kekuatan politik ketiga
terbesar hanya memperoleh 15 kursi.9
Nawaz Sharif memang dipercaya oleh sekitar 53 juta pemilih dari 130 juta rakyat
untuk memimpin pemerintahan Pakistan. Namun mantan Perdana Menteri Benazir
Bhutto tetap muncul dalam kancah politik, kendati hanya sebagai oposisi. Tanggal 18
November 1992 misalnya, PDA gabungan partai-partai oposisi dibawah pimpinan
Benazir Bhutto melancarkan demonstran yang berjumlah sekitar tiga puluh sampai empat
puluh ribu orang itu semula akan melakukan long march dari Rawalpindi ke gedung
parlemen Islamabad, namun dicegah oleh polisi dan para petugas keamanan lainnya.10
Tujuan demonstrasi itu adalah untuk menjatuhkan pemerintahan Pakistan
pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif, yang partainya IJI memenangkan pemilu 24
Oktober 1990. Benazir Bhutto menuduh pemerintahan yang ada tidak sah karena
melakukan kecurangan dalam pemilu tersebut. Pemerintahan Nawaz Sharif dituduh pula
telah melakukan korupsi dan oleh sebab itu harus mundur. Bahkan, akhirnya muncul pula
protes-protes di beberapa kota menuntut mundurnya Nawaz Sharif terutama setelah
9 “Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4
10 Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan” artikel diakses tanggal 22 Desember 2007,
dari http://hasanpanai.blogspot.com/2007/12/benazhir-tewas-dunia-gempa.html
Benazir Bhutto melakukan perjalanan politik sepanjang 1600 km dengan kereta api untuk
membangkitkan tuntutan pelaksanaan pemilu yang baru.11
Adanya manuver politik
pemerintahan care taker dalam upaya mendiskreditkan Benazir Bhutto melalui
"pertangungjawaban" (accountability) dengan mengadili dirinya atas tuduhan korupsi dan
menyalahgunakan kekuasaan, mengakibatkan kredibilitas Benazir Bhutto dan tokoh-
tokoh PPP merosot tajam. Namun setelah Nawaz Sharif berkuasa ternyata masalah
"pertanggungjawaban" (accountability) yang dilancarkan oleh pemerintah care taker
belum pernah membuktikan secara kongkrit atas tuduhan berbagai kesalahan, sehingga
tidak menutup kemungkinan rakyat kembali percaya kepada dirinya.
Benazir Bhutto cukup tanggap untuk segera memanfaatkan situasi ini dalam
upaya merebut kembali simpati rakyat dengan menyebar White Paper yang berisi
tuduhan bahwa selama pemilu pemerintah telah melakukan manipulasi yang
memungkinkan kelompok Nawaz Sharif menang mutlak.12
Hal tersebut sempat membuat
repot kubu Nawaz Sharif.
Benazir Bhutto juga memanfaatkan situasi yang terjadi di Pakistan, dimana terjadi
pertentangan antara Nawaz Sharif dan Presiden Ishaq Khan. Diantara mereka timbul
ketidak cocokan tentang pengangkatan pejabat-pejabat senior di Angkatan Bersenjata,
lembaga Yudikatif dan Pertahanan Sipil. Percekcokan yang paling serius mencuat ketika
Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Asif Nawaz Janjua, mendadak meninggal dunia.
Nawaz Sharif telah berusaha mengusulkan beberapa nama atas pilihannya untuk
menggantikan jabatan tersebut. Nama-nama tersebut ditolak oleh Presiden Ghulam Ishaq
Khan dan sekutunya diangkatan bersenjata. Presiden akhirnya malah menunjuk Jendral
11 Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan”
12 Dhurorudin Mashad, "Pertentangan Segi Tiga: Nawaz Sharif-Ishaq Khan-Benazir Bhutto",
Suara Karya, 9 Juli 1993.
Abdul Waheed kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden sebagai
Kepala Staf Angkatan Darat yang baru.13
Benazir Bhutto semula sempat melakukan rekonsiliasi dengan Nawaz Sharif
sehingga ia ditunjuk sebagai ketua komite Hubungan Luar Negeri. Keduanya
berkeinginan menghapus Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan yang lebih luas
kepada Presiden. Dalam rangka menegakkan demokrasi di Pakistan. Namun seiring
dengan kian parahnya perseteruan Ishaq Khan-Nawaz Sharif, Benazir Bhutto kemudian
malah berbalik berpihak kepada Presiden Ishaq Khan yang semula merupakan musuhnya
karena melakukan pemecatan atas dirinya ketika Benazir Bhutto menjadi Perdana
Menteri Pakistan. Benazir Bhutto berpihak kepada Presiden Ishaq Khan karena dijanjikan
akan diberi jabatan menteri bagi kubu Benazir Bhutto dalam kabinet sementara setelah
kejatuhan kabinet Nawaz Sharif, disamping dijanjikan pula akan diselenggarakan pemilu
secepatnya.14
Nawaz Sharif kemudian dipecat oleh Presiden Ishaq Khan pada tanggal 18 April
1993, namun ia mengajukan gugatan ke pengadilan. Pada Akirnya Mahkamah Agung
dengan perbandingan suara 10 : 1 mengumumkan bahwa tindakan Presiden Ishaq Khan
memecat Nawaz Sharif dan Majelis Nasional telah melampaui batas-batas
kekuasaannya.15
Dengan demikian Mahkamah Agung membatalkan pemecatan tersebut.
setelah itu pereseteruan diantara keduanya terus berlangsung sampai akhirnya Presiden
Gulam Ishaq Khan dan Perdana Mentri Nawaz Sharif setuju sama-sama mundur dari
jabatannya untuk menyelesaikan krisis politik yang telah berlangsung selama enam bulan.
13 Deepak Tripathi, “Pakistan In Trumoil.”
14 Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The Fart East and Australasia 1994, 25 th editions
(London: Europa Publications Limited, 1993), h. 802.
15. Mohammad Guntur Romli, “Oposisi Di Pakistan.”
Mereka membubarkan parlemen, serta sepakat mengadakan pemilu baru, 6 dan 9
Oktober 1993 untuk membuktikan siapa yang lebih dipercaya rakyat untuk memimpin
Pakistan. Kesepakatan ini dicapai setelah Kepala Staf Angkatan Darat Jendral Abdul
Waheed Kakar, mengadakan pertemuan dengan kedua pimpinan puncak Pakistan.16
Setelah itu diadakan pemilu baru 6 dan 9 Oktober 1993, yang dimenangkan oleh PPP
serta mengantarkan Benazir Bhutto terpilih menjadi Perdana Mentri Pakistan untuk kedua
kalinya.
Dengan mengamati kejadian-kejadian di Pakistan, khususnya sejak jatuhnya
kekuasaan Benazir Bhutto pada tanggal 6 Agustus 1990 dan kemudian menang kembali
dalam pemilu 6 dan 9 Oktober 1993, menimbulkan kesan yang sangat menarik.
Dikatakan menarik karena meskipun Benazir Bhutto pernah gagal dalam
pemerintahannya pada 1988-1990 dengan berbagai tuduhan negatif sehingga kalah dalam
pemilu 1990, namun ternyata rakyat masih memilihnya lagi sebagai Perdana Menteri
Pakistan untuk periode 1993-1998.
Dan ketika tanggal 26 November 2007 Benazir Bhutto kembali menyatakan akan
mengikuti pemilu di Pakistan yang akan diselenggarakan pada 8 Januari 2008. Namun
tragedi penembakan dan bom bunuh diri yang terjadi pada tanggal 27 Desember di
Rawalpindi, telah mengenai leher dan dada oleh seorang laki-laki bersenjata yang
kemudian meledakkan bom yang menempel di tubuhnya. Benazir Bhutto yang terluka
parah sempat di bawa ke Rumah Sakit Umum Rawalpindi. Dan akhirnya Benazir Bhutto
meninggal dunia pada pukul 18.16 waktu setempat.17
16 Dhurorudin Mashad."Prospek Penyelesaian Kemelut Politik Pakistan," Republika 24 Juli 1993.
17 Zaenal Ali. Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 37.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis hanya membahas dan membatasi politik
Benazir Bhutto di Pakistan tahun 1988-1993. Adapun mengenai perumusan masalahnya
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan?
2. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih
kekuasaan menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan Tahun 1993?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk meneliti:
1. Keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan
2. Faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto meraih
kekuasaan menjadi Perdana Menteri Pakistan Tahun 1988 dan Tahun 1993.
Dan kegunaannya:
1. Mengenal lebih dekat tokoh Benazir Bhutto sebagai sosok wanita pertama
(pada abad modern ini) yang berhasil memelopori kepemimpinan di negara
Pakistan.
2. Dapat memberikan tambahan wawasan bagi para pembaca, khususnya para
peminat perpolitikan wilayah Asia Selatan.
3. Pengembangan Ilmu Politik di bidang kepemimpinan atau kekuasaan di
negara-negara sedang berkembang khususnya Pakistan.
D. Metode Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan tipe penelitian kualitatif,
yaitu penelitian yang cenderung dan banyak digunakan dalam Ilmu-ilmu Sosial yang
berhubungan dengan prilaku, gejala-gejala yang diamati yang tidak selalu berbentuk
angka-angka atau koevisien antar variabel dan penelitian lebih sering berbentuk studi
kasus.
Tekhnik pengumpulan data yang digunakan, dilakukan dengan mengumpulkan
bahan pustaka. Yaitu, buku, media massa, artikel, jurnal dan lainnya yang berhubungan
dengan tema bahasan penelitian ini.
Sedangkan tekhnik analisis data menggunakan deskriptif analisis. Yaitu,
memaparkan dan menggambarkan serta menganalisa data-data yang diperoleh.
Untuk pedoman penulisan skripsi, penulis mengacu pada buku Pedoman
Akademik Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2004-2005.
E. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan sistematika sebagai berikut:
Bab I Merupakan bab pendahuluan, yang didalamnya dibahas tentang latar belakang
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan.
Bab II Akan dibahas tentang sejarah singkat perpolitikan Pakistan dan biografi Benazir
Bhutto: riwayat hidup, pendidikan, latar belakang dan pengalaman politik.
Bab III Membahas keterlibatan Benazir Bhutto dalam kancah politik Pakistan, yang
didalamnya akan dibahas keterlibatan dalam partai politik: kematian Zulfikar Ali Bhutto,
kediktatoran pemerintahan Zia ul-Haq, penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto.
Ikut pencalonan menjadi Perdana Menteri: kemenangan dalam Pemilu 1988, Dua Puluh
Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto, kekalahan dalam Pemilu 1990. Dan upaya
Benazir Bhutto menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif: dengan mempengaruhi
Opini Publik, menggalang Demonstrasi, dan mendesak untuk diadakannya Pemilu.
Bab IV Membahas Faktor-faktor yang melatarbelakangi keberhasilan Benazir Bhutto
meraih kembali kekuasaannya menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk yang kedua
kalinya tahun 1993. yang didalamnya membahas konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif:
pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan, kontroversi
Amandemen ke-8, Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif.
Sikap Politik Militer: kuatnya pengaruh Militer di Pakistan, ketidaksukaan Militer
terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif. Keberhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana
Mentri Kedua Kalinya: terselenggaranya Pemilu Tahun 1993 dan Merebut kembali
Mahkota Perdana Menteri.
Bab V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran
BAB II
SEJARAH POLITIK PAKISTAN DAN BIOGRAFI BENAZIR BHUTTO
Dalam membahas Politik Benazir Bhutto terhadap keberhasilannya menjadi
Perdana Menteri Pakistan tahun 1988 dan 1993, pada bab ini penulis sangat perlu rasanya
untuk membahas sejarah kondisi sosial politik pakistan, yang mana didalamnya akan di
uraikan sejarah berdirinya negara Pakistan sampai dengan masalah-masalah yang terjadi
setelah kemerdekaan, seperti masalah pembagian wilayah, belum ditemukannya
konsensus mengenai dasar negara yang sesuai dengan Islam, masih adanya budaya
feodalisme yang menempatkan pria dominan atas wanita sampai pada masalah etnis,
yang semua itu sedikit banyak berpengaruh bagi karir politik Benazir Bhutto.
Selain membahas sejarah politik pakistan akan dibahas pula biografi Benazir
Bhutto, yang didalamnya akan diuraikan tentang riwayat hidup, pendidikan dan
latarbelakang pengalaman politik yang kesemuanya itu sanagat berpengarauh terhadap
langkah-langkah politik Benazir Bhutto kedepan.
A. Sejarah dan Kondisi Sosial Politik Masyarakat Pakistan
Pakistan mencapai kemerdekaan pada tanggal 14 Agustus 194718
, sebagai hasil
dari usaha kurang lebih seratus juta orang Muslim India di bawah pimpinan Mohammad
18
Pakistan adalah satu-satunya negara muslim yang didirikan atas nama Islam. Negara pakistan
memperoleh kemerdekaan dari inggris pada tanggal 14 Agustus 1947, namun pakistan telah dipopulerkan
sejak tahun 1933 oleh perkumpulan Mahasiswa Muslim India di Inggris, yang dipimpin oleh Khoudri
Rahmat Ali. Menurut satu versi , nama Pakistan adalah singkatan dari Punjab, Afgan, Kashmir, Sind, dan
Baluchistan. Akan tetapi Pakistan menurut versi lain dalam bahasa Parsi mengandung arti yaitu: Pak (suci)
Ali Jinnah. Peristiwa bersejarah tersebut diawali pada pagi hari tanggal 14 Agustus 1947,
dengan pengangkatan sumpah Ali Jinnah sebagai Gubernur Jenderal Pakistan yang
pertama oleh Lord Mounbatten, yaitu seorang raja muda terakhir dari negara India
jajahan Inggris.19
Tiga hari sebelumnya, yaitu pada tanggal 11 Agustus 1947, Ali Jinnah
memimpin pertemuan pertama Dewan Konstitusi, sebuah dewan yang beranggotakan
kurang dari tujuh puluh orang yang dipercayakan dengan tugas untuk membuat kerangka
landasan hukum bagi sebuah negara baru.
Selama minggu-minggu tersebut, Ali Jinnah sebagai Presiden dari Liga Muslim
(Muslim League) telah menerima ratusan politikus di kediamannya. Dalam sebuah
pertemuan khusus di Dewan Konstitusi, sebutan sebagai “ Quaid-i-Azam atau Pemimpin
Besar” dianugrahkan kepada Ali Jinnah.20
Untuk itu hal-hal yang berkaitan dengan
masalah Gubernur Jenderal dan kepresidenan diartikan oleh Jinnah sebagai tugas yang
sangat mendasar. Ia sebenarnya merasa tidak perlu diperlakukan sebagai penerima
kehormatan atas tugas yang telah dilaksanakannya untuk mendirikan sebuah negara baru
bagi orang-orang Muslim India. Karena setelah tugas tersebut selesai, Ali Jinnah masih
mempunyai tugas untuk menyediakan struktur-struktur politik, ekonomi dan administrasi.
Kemampuan yang diperlihatkan Ali Jinnah dalam minggu-minggu di awal
kemerdekaan ini sangatlah mengesankan. Tidak saja berdasarkan usianya, yang saat itu
hampir 71 tahun, namun karena pada bulan Agustus 1947 itu, penyakit yang selalu
dirahasakannya telah bertambah parah. Namun tidak ada yang mengatahui tentang
dan Stan (negara). John L. Esposito, Ensiklopedi Dunia Islam Modern, (New York, Syracuse Press, 1995)
h. 227.
19 Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, secound edition (San
Francisco: Westview Press, 1993), h. 37. 20 John L. Esposito, Islam dan Politik, Alihbahasa H.M. Joesoef Sou’yb, (Cet: 1, PT Bulan
Bintang Jakarta), 1990, h. 156.
penyakit Ali Jinnah tersebut, termasuk Perdana Menteri Liaquat Ali Khan yang
merupakan salah satu teman dekat politiknya. Ali Jinnah mempunyai alasan untuk
merahasiakan berita tentang penyakitnya terhadap kawan-kawan politiknya ketika ia
pertama kali mengetahuinya pada tahun 1945. Ia khawatir berita tentang penyakitnya
dapat memperlambat proses penarikan Inggris dari wilayah India yang telah di prakarsai
oleh Lord Mounbatten sesaat setelah kunjungannya.
Lord Mounttabaten mengepalai penarikan tentara Inggris dari wilayah India
dengan satu keyakinan bahwa hal tersebut adalah untuk kepentingan orang-orang Hindu
dan Muslim untuk tetap menjaga persatuan India. Keyakinan ini didukung oleh Indian
National Congress yang merupakan partai dari Gandhi, Nehru dan mayoritas masyarakat
Hindu di India.21
Tetapi Ali Jinnah mempunyai pandangan yang berbeda. Ali Jinnah
mengatakan:
“Golongan masyarakat itu telah membuka kartunya bahwa Hindustan adalah buat kaum
Hindu. Tindakan partai Congress hanyalah berkedok kebangsaan.”22
Ia melanjutkan untuk berargumentasi dengan semangat yang besar yang dipandang oleh
para lawan politiknya sebagai karakter yang keras kepala dan tidak mau berkompromi.
Ali Jinnah meyakini bahwa orang-orang Muslim di India akan mendapatkan perlakuan
yang kurang adil di negara itu, karena mereka hanya terdiri dari kelompok minoritas
kecil.
Cita-cita umat Islam untuk mendirikan pemerintahannya sendiri mulai tercapai,
ketika pada tanggal 3 Juni 1947, pemerintah Inggris menyetujui dasar pembagian India.
Dan akhirnya pada tanggal 14 Agustus 1947, berdirilah negara Pakistan. Dengan
21Zahir Khan, “Kashmir, 56 Tahun Dibawah Pendudukan India”, artkel diakses pada 9 Oktober
2008 dari http://www.pelita.or.id/baca.php?id=23032 22 W. C. Smith, Islam Dalam Sejarah Modern (Jakarta: Bharata, 1959), h. 30.
demikian terlihat bahwa usaha Ali Jinnah tidaklah sia-sia dengan lahirnya negara
Pakistan. Jinnah sangat berjasa bagi kemerdekaan bangsa Pakistan meskipun tiga belas
bulan kemudian, tepatnya pada tanggal 11 September 1948, ia meninggal dunia akibat
penyakit TBC yang dideritanya.23
Namun dengan merdekanya negara Pakistan, bukan
berarti tidak terdapat masalah di dalam kelangsungan pemerintahan negara tersebut.
Diawali oleh pertukaran penduduk antara Pakistan dengan India, dimana Pakistan
kehilangan 6 Juta orang Hindu namun sebagai gantinya mendapat 8 Juta orang pengungsi
Muslim dari India. Para pengungsi ini berasal dari dua kelompok. Kelompok yang paling
penting pengaruhnya pada masa awal perkembangan ekonomi dan politik adalah kaum
Muslim yang datang dari Delhi, Uttar Pradesh, Madya Pradesh, Bumbay, Gujarat dan
Bhopal, Hyderabad dan Junagarh. Arus perpindahan kelompok penduduk yang kedua
datang dari Timur Distrik Punjab.24
Mohammad Ali Jinnah mendorong kaum Muslim untuk pindah dari India ke
Pakistan, khususnya bagi mereka yang mempunyai keahlian dan keterampilan karena di
negara baru Pakistan ini sangat kekurangan tenaga ahli dan terampil dalam jumlah
besar.25
Saat itu Pakistan pada pokoknya mempunyai bentuk ekonomi yang didasarkan
atas hasil pertanian. Tingkat urbanisasi dan melek hurup masih sangat rendah. Ali Jinnah
juga yakin bahwa penduduk asli Pakistan tidak akan mampu menyediakan modal sumber
daya manusia yang diperlukan oleh sebuah negara baru. Hal tersebut harus diatasi dengan
jalan mendatangkan dari luar. Selaras dengan usahanya itu, Ali Jinnah membujuk kaum
23 Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 38. 24 Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 40. 25Bahkan di Pakistan justru terjadi perpindahan penduduk Hindu dan Sikh yang kebanyakan
adalah wiraswasta dan manager profesional, yang mengakibatkan Punjab semakin hancur ekonominya.
Lebih lanjut, pabrik dan industri di Pakistan kurang dari 1/10 industri yang ada di benua tersebut. Pakistan
saat itu kekurangan modal dan tenaga ahli untuk mengembangkan industrinya. Sharif Al Mujahid,
Pakistan History, The far East and Australasia 1994, h. 794.
Muslim dari kaum pedagang, kaum bankir, para dokter, pengacara dan pegawai negeri
sipil dari propinsi India sebagai kaum minoritas Islam untuk pindah ke Pakistan.
Pidato perdananya yang terkenal di hadapan Dewan Pemilih pada tanggal 11
Agustus 1947 telah diterima oleh sejumlah besar pengikutnya. Dia mengatakan:
“kalian dapat beragama apapun atau dari kasta manapun atau aliran manapun yang tidak
mempunyai kaitan dengan urusan kenegaraan…Kita memulai dengan prinsip dasar
bahwasanya kita semua adalah penduduk dengan hal yang sama dari sebuah
negara…Sekarang saya pikir bahwa kita harus selalu menempatkan hal tersebut di
hadapan kita sebagai idealisme dan kalian akan menentukan bahwa dalam perjalanan
waktu, kaum Hindu akan berhenti menjadi Hindu dan kaum Muslim akan berhenti
menjadi kaum Muslim. Tidak berarti dalam kehidupan beragama karena hal itu
merupakan kepercayaan yang paling pribadi dari setiap individu. Namun yang dimaksud
adalah di dalam hal berpolitik sebagai penduduk atau sebagai warga sebuah negara.”26
Negara Pakistan yang bangkit sebagai hasil dari perpindahan penduduk secara
besar-besaran yang cenderung mempunyai keyakinan beragama yang sama, ternyata jauh
melampaui dugaan Ali Jinnah. Seandainya Pakistan tetap mempertahankan sejumlah
minoritas kaum beragama di sekitar garis perbatasan, maka rancangan Undang-
undangnya harus menampung perbedaan agama yang ada. Oleh karenanya adalah hal
yang sangat logis dan masuk akal bagi Ali Jinnah untuk berbicara mengenai masalah
politik dan Undang-Undang dengan harapan perbedaan agama dapat berperan bagi
sebuah negara yang didirikan berdasarkan agama.
Mayoritas penduduk yang berurbanisasi dari India tertarik untuk berdiam di kota-
kota di barat daya Pakistan, kebanyakan di Karachi dan Hyderabad. Karachi adalah kota
26 Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 40.
kelahiran Mohammad Ali Jinnah dan dipilih sebagai Ibukota Pakistan. Oleh karena
kebanyakan orang yang pindah ke Pakistan berdiam di Karachi agar mendapat manfaat
dari peluang ekonomi yang sedang dibuka untuk mereka. Namun karena tidak semuanya
dapat tertampung di Karachi, maka sebagian dari mereka bergerak menuju ke Hyderabad,
Sukkur dan kota-kota lainnya. Pada tahun 1951 saat Pakistan mengadakan sensus yang
pertama, pengungsi tercatat sebanyak 57% dari seluruh penduduk Karachi, 65% di kota
Hyderabad dan 55% di kota Sukkur. Secara keseluruhan para penduduk yang pindah dari
India tahun 1951 tercatat 46% dari jumlah penduduk campuran di kota besar di
Pakistan.27
Setelah pisahnya Pakistan dan India, ternyata negara Muslim ini mempunyai
masalah yang berkaitan dengan faktor etnis dan wilayah.
Pada mulanya Pakistan dibagi menjadi dua wilayah yang berlainan, yaitu Pakistan
Timur (Propinsi Bengal Timur) dan Pakistan Barat (meliputi Propinsi Punjab, Sindh,
NWFP dan Baluchistan). Pakistan Timur luasnya hanya 1/7 dari luas seluruh wilayah
Pakistan dan berpenduduk 4/7 dari jumlah seluruh penduduk Pakistan. Sedangkan
Pakistan Barat yang luasnya 6/7 dari seluruh wilayah Pakistan namun hanya mempunyai
3/7 dari seluruh jumlah penduduk Pakistan. Selain itu, kedua wilayah Pakistan tersebut
dipisahkan oleh jarak sekitar 1600 kilometer.28
Secara umum Pakistan didominasi oleh dua kelompok budaya yang berbeda satu
dengan yang lainnya, yaitu Bengali dan Patham. Bengali di Pakistan Timur dan Pathan di
Barat Punjab dan Sindhi yang juga merupakan budaya di Pakistan Barat merupakan
kelompok budaya yang lain, namun tidak sekuat dua budaya yang terdahulu. Bahasa
Bengali digunakan oleh hampir semua orang di Pakistan Timur sedangkan bahasa
27 Shahid Javed Burki, PAKISTAN: The Continuing Search for Nationhood, h. 42. 28 Sharif Al Mujahid, Pakistan History, h. 794.
Punjabi dan Sindh tidak digunakan oleh semua orang di Pakistan Barat. Pakistan Barat
budayanya lebih dekat ke Timur Tengah, kecuali Punjab yang dipengaruhi oleh budaya
Hindu. Sedangkan Pakistan Timur budayanya lebih dekat ke India.
Ketidak senangan Pakistan Timur timbul ketika pada tahun 1952, pemerintah
pusat mengumumkan bahwa bahasa Urdu akan menjadi bahasa resmi Pakistan.
Demonstrasi mahasiswa seluruh Pakistan Timur meledak pada Februari 1952. dan dalam
kerusuhan tersebut beberapa orang meninggal dan terluka ketika pemerintah pusat
memadamkan demonstrasi tersebut pada tanggal 21 Februari 1952. Tanggal tersebut
dijadikan “Shaheed Day” (Martyrs) bagi Pakistan Timur. Peristiwa tersebut mempunyai
arti politis yang luas karena dengan adanya peristiwa tersebut, Pakistan Timur kemudian
melontarkan isu bahwa masalah bahasa merupaka wujud dominasi Pakistan Barat
terhadap Pakistan Timur.29
Ketidak senangan Pakistan Timur terhadap Pakistan Barat juga terlihat dalam
bidang ekonomi. Bagi Pakistan Barat, Pakistan Timur merupakan sumber bahan mentah
yang murah yang diperlukan bagi industri yang berpusat di barat terutama di Punjab dan
Sindh, disamping ia juga merupakan sumber bahan mentah untuk ekspor. Salah satu
sumber ekspor yang terbesar bagi Pakistan adalah jute yang dihasilkan oleh Pakistan
Timur. Namun untuk mengekspornya harus melalui suatu proses yang dilakukan oleh the
State Bank of Pakistan. Bank inilah yang mengatur alokasi impor yang pembayarannya
dilakukan dari hasil jute tersebut dan alokasi impor tersebut ditentukan oleh Pakistan
Barat. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa prioritas adalah untuk kepentingan Pakistan
29 Isbodroini Suyanto, “Pakistan yang terkoyak”, Seminar Nasional XI (Asosiasi Ilmu Politik
Indonesia), Manado, September 1993, h. 15-16.
Barat.30
Pada tahun 1959-1960 income per kapita di Pakistan Barat 30% lebih besar dari
Pakistan Timur, lima tahun kemudian meningkat menjadi 40% dan tahun 1969-1970
menjadi 60%.31
Sehingga dapat dikatakan pula bahwa Pakistan Barat telah
mengeksploitasi Pakistan Timur. Padahal Pakistan Timur adalah penghasil bahan mentah
yang sangat diperlukan bagi perekonomian Pakistan.
Selain itu pula, timbul konflik antara etnis Punjabi dan etnis Bengali, dimana etnis
Punjabi telah mendominasi birokrasi (civil service) dan militer. Padahal etnis Bengali
berharap bahwa mereka akan mendapat tempat di birokrasi dengan jabatan-jabatan yang
berarti di masa yang akan datang. Namun ternyata tidaklah demikian, bahkan dalam
militerpun, dominasi etnis punjabi sudah demikian kokohnya.
Ketidak seimbangan antara luas wilayah dengan jumlah penduduknya di Pakistan
Timur dibandingkan dengan Pakistan Barat, kurang lancarnya komunikasi antara
Pakistan Timur dengan pemerintahan pusat yang berada di Pakistan Barat, terdapatnya
diskriminasi ekonomi dan politik antara Pakistan Barat dengan Pakistan Timur, adanya
pertentangan etnis Punjabi dan etnis Bengali dan ketidakadilan pembagian hasil
pembangunan, menyebabkan Pakistan Timur dengan bantuan dari India pada akhirnya
memisahkan diri menjadi negara Bangladesh pada tahun 1971.32
Setelah Pakistan Timur melepaskan diri menjadi negara Bangladesh, Pakistan
tinggal terdiri atas lima etnis utama, yaitu etnis Baluch, etnis Punjabi, etnis Sindh, etnis
Pathan dan etnis Muhajir. Dari kelima etnis yang ada di Pakistan, dapat dikategorikan ke
dalam dua kelompok, yaitu kelompok “pendatang baru” dan kelompok “penduduk asli”
30 Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 19. 31 Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 20. 32”Perang Kemerdekaan Bangladesh”, data diakses pada 11 November 2008 dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Perang_Kemerdekaan_Bangladesh
yang dimaksud dengan pendatang baru adalah etnis Muhajir yang datang dari India
setelah Pakistan memisahkan diri dari India. Sedangkan kelompok penduduk asli terdiri
dari etnis Punjabi, Pathan, Sindh dan Baluch yang sudah ratusan tahun tinggal menetap di
Pakistan.
Penduduk Pakistan hingga Januari 1993, diperkirakan berjumlah 120, 84 juta
jiwa, terdiri dari 63, 441 juta pria dan 57, 399 juta wanita. Mayoritas penduduk (82, 77
juta jiwa) tinggal di wilayah pedesaan dan selebihnya (38, 065 juta jiwa) tinggal di daerah
perkotaan. 40 juta rakyat Pakistan hidup di bawah garis kemiskinan dan 65% dari
penduduk Pakistan masih buta huruf.33
Banyaknya jumlah penduduk Pakistan yang masih
buta huruf, menggambarkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Pakistan juga masih
rendah, terutama pendidikan bagi kaum wanita. Sehingga sampai saat ini masih ada yang
beranggapan bahwa pria kedudukannya lebih tinggi dari wanita dan cenderung
memandang wanita hanyalah sebagai pengurus rumah tangga. Anggapan tersebut
didukung pula oleh sebagian ulama Pakistan yang mengatakan bahwa dalam ajaran
agama Islam, wanita tidak diperkenankan menjadi Imam dalam sholat bersama dimana
ada makmum laki-laki atau dengan kata lain seorang wanita tidak boleh menjadi
pimpinan bagi laki-laki. Hal ini tentu saja menyebabkan kaum wanita di Pakistan menjadi
jauh tertinggal dibandingkan kaum prianya, dan kondisi demikian akan berpengaruh pula
terhadap pemilihan pimpinan pemerintahan.
Wilayah Pakistan secara administratif dibagi ke dalam 4 propinsi sebagai
peninggalan masa penjajahan Inggris, yang berdasarkan etnis-etnis penduduk asli
Pakistan, yaitu: propinsi Punjab, propinsi Baluchistan, propinsi Sindh dan propinsi North
West Frontier Pathan (propinsi Pathan). Keempat propinsi ini mempunyai hak-hak
33 Isbodroini Suryanto, “Pakistan yang terkoyak”, h. 22.
khusus yang cukup besar bagi pemerintahan propinsi. Hak-hak istimewa ini tentu saja
diharapkan oleh etnis Muhajir sebagai etnis pendatang. Karena mereka banyak berada di
propinsi Sindh, tepatnya di wilayah Karachi dan Hyderabad, mereka mengharapkan agar
wilayah Karachi dan Hyderabad menjadi propinsi tersendiri.34
Antara empat propinsi ini masing-masing juga mempunyai bahasa yang berbeda
etnis Sindh berbahasa Sindhi, etnis Punjabi berbahasa Punjabi, etnis Baluch berbahasa
Baluchis dan etnis Pathan berbahasa Putshu serta etnis Muhajir yang tinggal di propinsi
Sindh berbahasa Urdu. Meskipun demikian bahasa Urdu dan Inggris dapat menjadi
bahasa pengantar bagi komunikasi antara mereka.
Fanatisme kesukuan dengan adanya ciri khusus dari masing-masing etnis yang
berlainan masih mencuat di Pakistan. Masing-masing etnis berpendirian bahwa
etnisnyalah yang terbaik dan ini memunculkan persaingan yang tidak sehat antara
mereka. Kondisi in ternyata berpengaruh pula dalam kehidupan politik, termasuk di
dalamnya semangat untuk bergabung ke dalam suatu partai yang dapat mewakili
kelompok etnisnya.
Etnis Pathan yang dominan kedua dalam militer dan birokrasi mempunyai
kesadaran etnis yang besar, dengan menyebut budaya mereka sebagai Pakhtua Wali.
Mereka menyebut dirinya sebagai patriot sejati yang memegang kehormatan, keramah-
tamahan dan berjiwa petualang dan mereka bahkan sempat memunculkan suatu
keinginan untuk mendirikan negara sendiri, Pakhtunistan, yang meliputi wilayah NWFP
dan sebagian Baluchistan yang berbatasan dengan wilayah Afghanistan. Wilayah ini
34 Daerah Karachi dan Hyderabad merupakn daerah yang subur dan memiliki banyak air, daerah
tersebut berhasil dikembangkan oleh orang-orang Muhajir sebagai daerah industri yang sangat
membutuhkan banyak air, kompasinteraktif, “Suku bangsa di Bangladesh", artikel diakses pada 11
November 2008 dari http://id.kompasinteraktif.org/wiki/Kategori:Suku_bangsa_di_Bangladesh
merupakn basis utama dari ANP (Awami National Party), yang di bentuk oleh Khan
Abdul Ghafar Khan pada tahun 1957 dan menjadi partai yang kuat di propinsi NWFP dan
Baluchistan. Dalam pemilu 1970, partai tersebut bergabung dengan partai Jamiat ul
Ulama i Islami (JUI) dan dapat memenangkan pemilu di propinsi serta membentuk
pemerintahan di NWFP di bawah pimpinan Khan Abdul Wali Khan, anak dari Khan
Abdul Ghafar Khan.35
Orang-orang punjabi menganggap dirinya sebagai ahli waris tradisi peperangan,
tentara yang baik, administrator yang efisien dan Muslim yang taat. Etnis Punjabi terlihat
mendominasi etnis lainnya di Pakistan, hal ini dapat diketahui dari jumlah penduduk
Pakistan yang ternyata 60% dari seluruh penduduk Pakistan adalah etnis Punjabi. Selain
itu keanggotaan birokrasi sipil dan militer dikuasai oleh etnis Punjabi dan propinsi Punjab
jika dibandingkan dengan propinsi lainnya memang lebih kaya dan lebih maju serta
merupakan pusat industri Pakistan. Keadaan tersebut menimbulkan perasaan superior
pada etnis Punjabi yang jumlahnya jauh lebih besar dari etnis-etnis lainnya sehingga
mereka merasa bahwa dirinya lebih layak untuk memerintah Pakistan.36
Sedangkan Baluchistan (yang luasnya sekitar 40% dari seluruh wilayah Pakistan)
juga dengan identitas kewilayahan atau kesukuannya punya aliansi politik yang berbeda.
Baluchistan adalah propinsi terluas namun hanya dihuni 5% dari total penduduk Pakistan
dan cenderung pro-ANP. Namun sebagian besar tinggal di Karachi, propinsi Sindh.
35 Craig Baxter, Yogendra K. Malik, Charles H. Kennedy, and Robert C. Oberst, Government and
Politics in South in Asia, secound edition (Boulder, San Franscisco, Oxford: Westview Press, 1991), h.
182-183. 36John L Esposito, Islam dan Politik (Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h. 166.
Kaum Baluch yang tinggal di Baluchistan hanya terkonsentrasi terutama di distrik kalat
dan di perbatasan Baluchistan-Iran37
Sindh adalah sutu-satunya propinsi, dimana PPP mempunyai dukungan mayoritas
di Majelis Propinsi Sindh. Namun bersamaan dengan itu Sindh adalah propinsi yang
memusingkan mengenai masalah keamanan dalam negerinya. Suhu politik yang tinggi
berpangkal pada keadaan etnis yang terbagi-bagi antara penduduk asli suku Sindh dengan
penduduk pendatang, khususnya kaum Muhajir yang mayoritas berdiam di kota Karachi.
Etnis Muhajir yang karena keuletan dan pendidikannya, dapat hidup lebih baik
secara ekonomis daripada penduduk aslinya, etnis Sindh. Orang Muhajir banyak
menguasai lapangan pekerjaan di Sindh. Keadaan ini membuat perasaan tidak suka dan
tidak puas etnis Sindh terhadap etnis Muhajir sehingga melahirkan kecemburuan sosial.
Di lain pihak etnis Muhajir sering diperlakukan sebagai warga negara “kelas dua” oleh
etnis Sindh dan pemerintah propinsi Sindh.38
Perseteruan kaum Sindh sebagai penduduk asli dengan kaum Muhajir sejak 1947
hingga kini hampir memenuhi catatan sejarah Pakistan. Kaum Muhajir adalah tulang
punggung pembangunan perdagangan di kota pelabuhan Karachi. Mereka menguasai
industri, pendidikan, dan sumber-sumber lainnya, yang tingkatnya di atas rata-rata kaum
asli, Sindh.39
Kondisi tersebut akhirnya menumbuhkan kecemburuan sosial kaum Sindh
terhadap kaum Muhajir. Mereka memandang muhajir telah mengambil hak milik suku
Sindh. Kaum Muhajir ini secara politis bergabung ke dalam MQM (Muhajir Qoumi
37Dhurorudin Mashad, “Otonomi dan Pembangunan Daerah, Antara Otonomi dan Instabilitas:
Delima Dalam Politik Pakistan”, Seminar Nasional XIII (Asosiasi Ilmu Politik Indonesia), Bangkinang,
Riau, 1-3 November, 1995, h. 9. 38Craig Baxter, Government and Politics in South in Asia, h. 187. 39 Dhurorudin Mashad, “Otonomi dan Pembangunan Daerah, Antara Otonomi dan Instabilitas:
Delima Dalam Politik Pakistan”, h. 10.
Movement), yang pada dua dekade terakhir merupakan partai politik ketiga terbesar di
Pakistan.
Dengan adanya primordialisme sempit terutama didasarkan pada semangat
etnisitas akhirnya menghasilkan suatu pola politik terkotak-kotak antara satu propinsi
dengan propinsi lainnya. Pola primordialisme sempit demikian jelas sangat mengancam
stabilitas bahkan persatuan nasional. Sementara itu, partai politik yang diharapkan dapat
menjadi sarana pemersatu bangsa, ternyata akhirnya tersesat pula ke dalam semangat
primordialisme ini. Di Pakistan, hampir “tidak ada” partai politik yang bersifat nasional
dan dapat mengatasi semua perbedaan suku, melainkan hampir semua telah
terkontaminasi semangat etnisitas. Misalnya, masyarakat Sindh cenderung menjadi
pendukung PPP (Pakistan People’s Party) dengan pimpinan yang berasal dari Sindh
sehingga dianggap lebih mewakili “prestise” suku Sindh. Orang Punjab cenderung
memilih partai yang dipimpin oleh orang Punjab dan Muhajir cenderung memilih MQM
sebagai partainya kaum Muhajir.40
Selain masalah etnis, masalah agama dan politik ternyata juga menjadi masalah
penting dalam negara. Pakistan didirikan atas kesamaan agama dan perjuangan untuk
memperoleh kedaulatan yang disemangati oleh ajaran Islam. Dengan demikian, timbul
keinginan masyarakat Pakistan untuk menjadikan Pakistan sebagai negara Islam.41
Namun setelah Pakistan berdiri sebagai suatu negara yang berdaulat, belum dicapai
kesepakatan mengenai apakah negara Muslim itu harus menjadi suatu negara yang
40 Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007),” artikel diakses pada 11
November 2008, dari http://www.tokohindonesia.com/aneka/tokohdunia/benazir-bhutto/index.shtml 41Negara Islam ialah suatu negara ketuhanan, di mana firman Tuhan menjadi dasarnya, dan suara
rakyat (musyawarah) berkuasa. Dengan tegas dapat dikatakan bahwa firman Tuhan dan ajran Nabi
bergabung dengan suara rakyat, menjadi kekuasaan yang tertinggi di dalam negara, Zainal Abidin Ahmad,
Konsep Politik dan Ideologi Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 69.
berdasarkan hukum Islam dan diperintah oleh para pemimpin agama ataukah mengambil
sistem pemerintahan sekuler seperti halnya dengan India.
Akhirnya terdapat dualisme hubungan antara nasionalisme dan agama. Kalangan
konserfatif yang termasuk di dalamnya golongan Islamis menginginkan Pakistan
didasarkan pada hukum Islam secara komplit, mengingat alasan didirikannya negara
Pakistan adalah keinginan Muslim India untuk membentuk bangsa Muslim dengan
merealisasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Di lain pihak, golongan
modernis sekuler berpandangan Islam hanya sebagai sumber nasionalisme belaka
sehingga tidak perlu mendasarkan negara pada Al-Quran dan Sunnah. Karena apabila
negara telah berusaha mewujudkan cita-cita sekulerisme itu bersamaan dengan hak dan
keadilan maka negara akan dengan sendirinya telah mewujudkan nilai-nilai pokok
Islam.42
Dalam pelaksanaannya, setiap pemerintahan mempunyai persepsi sendiri
mengenai bentuk suatu negara Islam. Ali Bhutto misalnya mempersepsikan sosialisme
Islam sebagai wujud dari negara Islam. Dan ternyata kata Islam hanya digunakan Ali
Bhutto sebagai upaya legitimasi pemerintahan sosialisme gaya baratnya.43
Sementara itu,
Zia ul-Haq yang mempersepsikan islamisasi sebagai wujud dari negara Islam untuk
melaksanakan pemurnian Islam ternyata juga tidak dapat melaksanakan sepenuhnya
pemurnian Islam itu.44
Dengan belum ditemukannya konsensus yang jelas yang sesuai dengan ideologi
Islam dan bagaimana aplikasinya dalam program-program dan kebijakan-kebijakan
42 Dhurorudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 73. 43 Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, terj. Dewi Haryani (Jakarta:
Rajawali Press, 1985), h. 75. 44 Riaz Hassan, Islam dari Konservatisme sampai Fundamentalisme, h. 75.
negara, telah menempatkan Islam sebagai faktor yang sangat menentukan dalam
perkembangan politik di Pakistan. Pihak manapun yang akan memerintah Pakistan, sipil
atau militer, dan apapun corak politiknya, otoriter dan diktatoris atau demokratis, tidak
dapat mengabaikan peranan Islam.45
“Islam” dipakai pemerintah untuk melegitimasi
kekuasaannya. Namun bersamaan dengan hal itu, “Islam” pun dimanfaatkan oleh pihak
oposisi untuk menjatuhkan penguasa.
Ketika pemerintahan sipil termasuk partai-partai politik dan birokrasi tidak
mampu mengatasi masalah-masalah tersebut, baik yang dilatar belakangi oleh konflik
etnis maupun isu agama, akhirnya militer pun seringkali tampil ke kancah politik untuk
mengambil alih kekuasaan dengan alasan menyelamatkan negara.
B. Biografi Politik Benazir Bhutto
B.1. Riwayat Hidup dan Pendidikan
Benazir (dalam bahasa Pakistan berarti: tak ada duanya) dilahirkan di Karachi 21
Juni 1953 dan meninggal kamis, 27 Desember 2007 dalam serangan tembakan dan bom
bunuh diri di Rawalpindi.46
Benazir Bhutto Dilahirkan dari pasangan Ali Bhutto dengan
istri keduanya Begum Nusrat. Benazir dikenal dunia sebagai politisi Pakistan yang
menjadi perempuan pertama yang berhasil memimpin sebuah negara yang berpenduduk
mayoritas Islam dalam sejarah dunia di masa pasca-kolonial. Ia terpilih dua kali sebagai
Perdana Menteri Pakistan yaitu pada periode 1988-1990 dan 1993-1996.47
Ia dibesarkan
dalam lingkungan masyarakat yang mayoritas masih buta huruf dan feodal yang masih
45Dhurorudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan”, h.73. 46 Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 36. 47 Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 55.
cenderung memandang wanita sejenis perabot keluarga, dimana laki-laki keluar rumah
mencari nafkah dan wanita cukup mengurus rumah tangga. Pembagian kerja demikian
oleh masyarakat Pakistan dipercaya sebagai telah diatur oleh alam secara luhur dan adil,
dan oleh karena itu harus dipertahankan.48
Kepercayaan demikian lebih diperkuat oleh interpretasi sebagian Ulama Pakistan
yang 97% penduduknya beragama Islam, bahwa agama Islam tidak mengijinkan pria
menjadikan wanita sebagai Imam dalam shalat berjamaah (bersama). Sehingga sebagai
konsekuensi kiasnya, seorang wanita tak diperkenankan menjadi pemimpin,
termasuk dalam pemerintahan. Karakteristik masyarakat feodal (dengan masyarakat
didomonasi kaum pria) ini akhirnya menyebabkan terhambatnya mobilitas hidup
dikalangan wanita. Wanita cenderung tertinggal dalam banyak hal, termasuk bidang
pendidikan.
Namun, justru dalam situasi demikian ternyata Benazir Bhutto berhasil
memperlihatkan perbedaan mendasar dalam latar belakang kehidupannya. Benazir
mengalami proses Sosialisasi, Internalisasi, dan Enkulturisasi49
secara lebih
menguntungkan dibanding umumnya wanita Pakistan. Nilai-nilai yang tertanam dalam
diri Benazir ini, baik yang diperoleh karena usaha aktif lewat bangku sekolah maupun
dari berbagai pengalaman hidup yang ia alami sangat berpengaruh dalam membentuk
48 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam (Jakarta: Pustaka
CIDESINDO, 1996), h. 7. 49
Sosialisasi adalah proses pengajaran penamaan sikap terhadap seseorang tentang bagaimana
seseorang seharusnya berinteraksi dengan orang lain. Internalisasi adalah proses pengajaran dari penanaman sikap terhadap orang lain. Tentang bagaimana cara seseorang mengemukakan perasaan / isi
hati, baik rasa cinta, benci suka maupun duka. Sedang Enkulturisasi adalah proses pengajaran dan
penanaman sikap terhadap seseorang tentang bagaimana seseorang menyesuaikan diri terhadap nilai-nilai
dan norma-norma yang dianut masyarakat. Lebih jelas lihat Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil
Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 8.
watak kepribadian baik sebagai seorang individu maupun sebagai anggota masyarakat
serta membedakannya dengan kebanyakan wanita Pakistan.
Berbeda dengan mayoritas rakyat Pakistan yang hidup dalam kemiskinan, sebagai
anak Ali Bhutto dengan latar belakang keluarga tuan tanah yang kaya kehidupan Benazir
tak pernah kekurangan materi. Apalagi Ali Bhutto pun adalah pejabat tinggi yang luas
pergaulan dan pengalamannya, yang oleh sebab itu dia punya sikap berbeda dari
umumnya keluarga Pakistan dalam urusan pendidikan anak-anaknya. Bhutto yang
dikenal berpandangan cenderung sekuler bersikap sangat moderat dalam mendidik
anaknya. Bahkan walaupun berasal dari keluarga Muslim, Benazir diperkenankan
menamatkan pendidikan di sekolah-sekolah Katolik.
Dimasa kecil dan remajanya, Benazir belajar di lady Jennings Nursery School dan
sekolah perempuan Jesus and Mary di Karachi, Pakistan. Seterusnya di Rawalpindi
Presantation Convent. Ia lulus O-level ketika berumur 15 tahun. Begitu setelah tamat
sekolah menengahnya Benazir telah dikirim ke Amerika untuk melanjutkan
pendidikannya di Radcliffe College, sekolah katolik khusus wanita di bawah bendera
Harvard University. Di Amerika dalam waktu relarif singkat ternyata Benazir sudah
mampu menemukan pribadinya dalam menghadapi budaya Barat yang sangat berbeda
dari budaya Pakistan. Sehingga ia segera dapat aktif terlibat dalam berbagai kegiatan,
termasuk ikut berpartisipasi dalam demonstrasi anti perang Vietnam.50
Benazir lulus dari Harvard University pada tahun 1973 dan melanjutkan kuliah
di Oxford University di Inggris dan lulus tahun 1977. Dikampusnya Benazir dikenal
sebagai orator ulung, bahkan pada tahun 1976 Benazir terpilih menjadi pemimpin Oxford
Union, sebuah kelompok diskusi di kampus Oxford dan ia menjadi perempuan Asia
50 Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 9.
pertama yang memimpin kelompok elit tersebut sehingga langsung menarik perhatian
media di seluruh dunia.51
b. 2. Latar Belakang dan Pengalaman Politik
Dari latar belakang sosial-budaya dan pendidikan tergambar jelas bahwa jiwa
Benazir mengalami percampuran (akulturasi) budaya antara nilai-nilai Islam yang
mengatur seluruh aspek kehidupan dengan nilai-nilai sekuler Barat, antara nilai-nilai
feodal masyarakat Pakistan dengan nilai-nilai kebebasan Barat. Akulturasi demikian
akhirnya membentuk Benazir pada suatu pribadi “mendua” dalam arti tak mempunyai
ketertarikan kuat terhadap suatu nilai tertentu, baik terhadap Islam, adat-istiadat Pakistan,
maupun nilai-nilai sekuler Barat. Dalam kehidupannya Benazir pun cenderung berusaha
“mengawinkan” berbagai nilai yang telah tersosialisasi, terinternalisasi dan
terenkulturisasi dalam dirinya itu.52
Benazir sebenarnya telah mulai kenal dunia politik sejak ia masih “kanak-
kanak”,hal ini dimungkinkan mengingat ayahnya, Ali Bhutto, sudah menjabat pos-pos
penting di pemerintahan Pakistan mulai dari Menteri Luar Negeri, Ketua Delegasi
Pakistan di PBB, dan akhirnya sebagai Perdana Menterti tetkala Benazir masih kecil.
Sedari kecil Benazir memang telah dipersiapkan Ali Bhutto untuk terjun ke dunia
politik. Terbukti setelah Ali Bhutto berkuasa pada tahun 1970 segera membina putri
sulungnya untuk melanjutkan aspirasi politiknya. Untuk itu Benazir segera dikirim ke
Harvad (AS) dan selanjutnya ke Oxford (Inggris) untuk membina ilmu pengatahuan yang
berkaitan dengan soal-soal pemerintahan.
51 Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 56. 52 Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 10.
Kendati demikian waktu itu Benazir sebenarnya tak cukup tertarik pada dunia
politik praktis, meskipun di kampus dia telah dikenal sebagai orator ulung dan cerdas,
sehingga cukup potensial untuk terjun dalam politik. Bahkan, tetkala pulang ke Pakistan
pada pertengahan 1977 pun Benazir masih menyatakan:
“Tapi aku bukanlah seorang aktifis politik…aku hanya tertarik pada masalah-
masalah internasional tanpa melibatkan unsur politik dalam kehidupanku.”53
Dengan kata lain waktu itu Benazir belum berniat terjun ke dunia politik kendati
sang ayah, Ali Bhutto, sudah mempersiapkan Benazir untuk dunia tersebut. Hal demikian
terefleksi dari tindakkan-tindakkan Ali Bhutto, misalnya, pada usia 18 tahun oleh sang
ayah Benazir diikut sertakan dalam perjalanan bersejarah ke Simla, India, dimana Bhutto
dan Ghandi menandatangani perjanjian Simla untuk mengakhiri krisis Bangladesh.
Bahkan tetkala berusia 25 tahun Benazir diangkatnya menjadi anggota komite sentral
Partai Rakyat Pakistan.
Setelah ayahnya dieksekusi pada 1979 oleh rezim militer Zia ul-Haq, Benazir
secara tidak resmi menjadi pemimpin sementara Partai Rakyat Pakistan. Namun ia
dikenai penahanan rumah pada 1979-1984. Sejak tahun 1984 hingga 1986 ia bahkan
diasingkan walau kemudian bisa kembali ke Pakistan dan segera menjadi tokoh penting
yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq.54
Pada 8 Desember 1987, Benazir menikah dengan Asif Ali Zardari di Karachi.
Mereka mendapat tiga anak, yaitu Bilawal, Bakhtwar, dan Aseefa.55
Pada Agustus 1988,
Presiden Zia ul Haq tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. Akibatnya, terjadi
kekosongan kekuasaan di Pakistan. Dalam pemilu yang dilakukan kemudian, Partai
53 Dhuroruddin, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 73. 54 Zaenal, Tragedi Benazir Bhutto, h. 58 55 Zaenal, Tragedi Benazir Bhutto, h. 58
Rakyat Pakistan memenangkan mayoritas kursi di Dewan Nasional yang berujung pada
pengangkatan Benazir Bhutto sebagai perdana menteri pada 1 Desember 1988. Benazir
Bhutto menjadi perempuan Muslim pertama di dunia yang menjadi perdana menteri.
Pada awalnya, Benazir sangat popular dan dilihat sebagai tokoh yang sangat
berbeda dengan pemerintah militer. Tetapi dua kali masa jabatannya sebagai perdana
menteri berakhir dengan pemecatan atas dakwaan korupsi. Benazir meninggalkan kantor
perdana menteri dengan reputasi yang hancur. Selama berkuasa, Benazir banyak
menghadapi perlawanan dari gerakan-gerakan Islam ekstrim yang tidak menyukai
kepemimpinan seorang perempuan.
Dalam pemilu berikutnya yang berlangsung pada Oktober 1993, Partai Rakyat
Pakistan menang kembali dan untuk yang kedua kalinya Benazir Bhutto menjadi Perdana
Menteri Pakistan. Namun kembali masalah korupsi, maka Presiden Pakistan Farooq
leghari membubarkan pemerintahan pada November 1996.56
Setelah Jenderal Pervez Musarraf melakukan kudeta pada 1999, kondisi Benazir
tidak mengalami perubahan berarti. Permohonan agar tuduhannya terhadap dirinya dan
suaminya dicabut, ditolak oleh pimpinan Pakistan Pervez Musarraf. Ia kemudian
diasingkan dan diancam akan ditangkap jika berani kembali ke Pakistan. Benazir Bhutto
pun hidup dalam pengasingan di London dan Dubai sejak akhir tahun 1999.57
Karena dekrit Musharraf tahun 2002 melarang mantan perdana menteri
mencalonkan diri untuk ketiga kalinya, maka Benazir tidak bisa ikut pemilu tahun itu.
Benazir pun mendapat ganjalan karena statusnya sebagai terpidana tidak
memungkinkannya memimpin sebuah partai.
56 “Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 27 Desember 2007. h. 4. 57 Ririn, “Perjalanan Benazir Bhutto” data diakses pada 6 Juni 2008 dari
http://suryoele.wordpress.com/2008/05/19/perjalanan-benazir-bhutto/
Pada tahun 2007 ketika akan dilangsungkannya pemilu, dimulailah pembicaraan
mengenai kemungkinan kembalinya Benazir Bhutto ke Pakistan. Musharraf akhirnya
memberi amnesti terhadap tuduhan korupsi yang ditimpakan pada Benazir di masa
pemerintahan Nawaz Sharif.
Pada Oktober 2007, Benazir bisa kembali ke Pakistan setelah delapan tahun hidup
di pengasingan di Dubai. Tapi ancaman terhadapnya tidak pernah surut. Selain
pemerintah, banyak kalangan yang kurang menyukainya. Pada tanggal 27 Desember
2007, terjadi tembakan dan ledakan bom yang mengakhiri perjalanan Benazir Bhutto
dalam kancah politik Pakistan, dan akhirnya Benazir meninggal bersama puluhan orang
yang mengikutinya. 58
BAB III
BENAZIR BHUTTO DALAM KANCAH POLITIK
Pada tanggal 17 Agustus 1988, Pakistan digemparkan dengan peristiwa terjadinya
kecelakaan pesawat terbang yang mengakibatkan meninggalnya Jenderal Mohammad Zia
ul Haq dan juga 20 tokoh top militer Pakistan, termasuk didalamnya Kepala Staf
Gabungan Angkatan Bersenjata Jenderal Akhtar Abdul Rahman serta Duta Besar
58 Bambang Kurniawan, “Pembunuhan Benazir dan Tragedy Pakistan”, artikel diakses pada 7 Juni
2008, dari http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg05923.html
Amerika untuk Pakistan Arnold Raphel dan penasehat militer Amerika di Pakistan
Brigjend. Herbert Wassom. Pesawat Hercules tersebut meledak di udara hanya beberapa
menit setelah lepas landas dari bandara sipil Bahawalpur, 550 km sebelah Selatan
Islamabad, pukul 11.30 waktu setempat.59
Berita kematian Zia ul Haq tentu saja membawa kegembiraan bagi Benazir Bhutto
yang memang telah lama berambisi untuk menyingkirkan Zia ul Haq dari kekuasaannya.
Benazir Bhutto menyimpan dendam pribadi terhadap Zia ul Haq, akibat telah
menghukum gantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto 4 April 1979 di penjara pusat
Rawalpindi.
Proses Benazir untuk meraih kekuasaan menjadi semakin lancar, setelah militer
Pakistan sebagai kelompok yang paling menentukan dalam politik Pakistan membiarkan
terlaksananya pemilu secara jujur dan adil. Meskipun sesungguhnya militer Pakistan
tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu, namun pada saat itu militer tidak siap
mengambil alih kekuasaan ketika Presiden Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat.
. Karena tokoh-tokoh militer lainnya yang bisa diandalkan untuk menggantikan Zia ul-
Haq juga ikut tewas. Dari 30 orang penumpang yang terdapat di dalam pesawat tersebut,
tak ada seorangpun yang selamat. Dengan demikian mau tidak mau kalangan oposisi sipil
dapat maju untuk bersaing mengikuti pemilu di Pakistan.
Dalam bab ini penulis akan membahas awal ketertarikan Benazir Bhutto terhadap
politik dengan keterlibatannya dalam partai politik yang didirikan Ali Bhutto, yang
kemudian ikut pencalonan menjadi perdana menteri yang didalamnya membahas
kemenangan pada pemilu 1988, Dua Puluh Bulan Pakistan dibawah Pemerintahan
59“Misteri kematian Zia ul-Haq,” data diakses pada 11 November, dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/05/SEL/mbm.19890805.SEL21028.id.html
Benazir Bhutto, dan mengenai kekalahannya dalam Pemilu 1990. selain itu akan dibahas
pula upaya-upaya yang dilakukan Benazir Bhutto untuk menggoyahkan pemerintahan
Nawaz Sharif yang berhasil memenangkan pemilu tersebut.
A. Keterlibatan dalam Partai Politik
Setelah eksekusi dilakukan terhadap ayahnya Zulfikar Ali Bhutto tahun 1979 pada
masa pemerintahan militer Mohammad Zia-ul-Haq, Benazir Bhutto secara tidak resmi
menjadi pimpinan sementara Partai Rakyat Pakistan.
Dengan demikian Benazir menjadi penerus partai yang didirikan ayahnya,
termasuk permusuhannya dengan pemerintahan yang berkuasa. Dan ia menjadi tokoh
penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq lewat partainya itu.
PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang
membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia
mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah ketertindasan 11 tahun di
bawah pemerintahan militer Zia ul-haq. Benazir Bhutto sudah mengenal kehidupan di
penjara pada tahun 1978 akibat menghina rezim penguasa dalam berbagai pidatonya.
Sejak tahun 1984 hingga 1986 Benazir bahkan diasingkan ke luar negeri.60
Kematian sang ayah dan kerasnya tekanan rezim berkuasa terhadap diri Benazir
tidaklah membuat takut akan perlawanannya terhadap pemerintahan. Hal ini justru
dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir untuk mulai terlibat dalam kancah
politik Pakistan dengan memimpin partai politik yang di besarkan oleh ayahnya, untuk
60 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam (Jakarta:Pustaka
CIDESINDO, 1996), h. 14.
menentang pemerintahan Zia ul-Haq yang dianggap telah memporak-porandakan
kehidupan demokrasi di Pakistan.
Dalam hal ini akan dibahas keterlibatannya dalam partai politik yang diawali oleh
kematian Zulfikar Ali Bhutto oleh kediktatoran rezim Zia ul-Haq dan meneruskan
perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto atas tekanan yang terus menerus yang di lakukan
oleh pemerintahan Zia terhadap keluarga Bhutto.
A. 1. Kematian Zulfikar Ali Bhutto
Dinasti politik keluarga Bhutto dibangun oleh Zulfikar Ali Bhutto. Dia lahir di
wilayah Larkana (waktu itu masih di bawah kekuasaan inggris dan kemudian menjadi
wilayah Provinsi Sindh di bawah Pakistan) pada 5 Januari 1928. ayahnya bernama Shah
Nawaz Bhutto seorang tuan tanah yang kaya raya.
Pada 1947, Ali Bhutto dikirim untuk menempuh pendidikan tinggi di University
Southern California, kemudian kuliah di Universitas Barkeley, California, dan pada tahun
1949 meraih gelar sarjana ilmu politik. Selama di Berkeley, Ali Bhutto tertarik untuk
mempelajari teori sosialisme dan memberikan kuliah tentang kesempatan sosialisme di
dunia Islam. Pada 1950, Zulfikar belajar hukum di The Christ Church, Oxford Inggris.
Ali Bhutto kemudian menikah dengan Begum Nusrat Ispahani, merupakan istri keduanya
setelah bercerai dari Shireen Amir Begum. Dari Ispahani, Ali Bhutto mendapat seorang
anak perempuan yang kelak menjadi penerusnya yaitu Benazir Bhutto. Sekembalinya di
Pakistan, Ali Bhutto mengajar di Sindh Muslim College.
Karir politik Ali Bhutto dimulai pada tahun 1957 ketika menjadi anggota termuda
delegasi Pakistan yang dikirim ke PBB. Ali Bhutto berbicara di komite keenam PBB
tentang Agresi dan menjadi pemimpin delegasi Pakistan ke Konferensi PBB tentang
Aturan Kelautan 1958. di tahun yang sama Ali Bhutto menjadi menteri termuda dalam
kabinet Presiden Muhammad Ayub Khan. Dia menjadi orang kepercayaan Ayub Khan,
walaupun usianya masih muda.
Ali Bhutto kemudian ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri. Dia mengubah arah
kebijakan luar negeri Pakistan yang sebelumnya pro-Barat. Ali Bhutto sering mengkritik
kebijakan AS di wilayah itu. Dia menjalankan politik luar negeri yang merdeka dari
pengaruh AS. Sebagai sandarannya, Ali Bhutto menjalin hubungan yang sangat baik
dengan Cina. Ali Bhutto bahkan terkenal karena sikapnya yang keras terhadap India. 61
Ketika terjadi pergolakan hebat di Kashmir dan India, dia mengirimkan pasukan
besar ke wilayah itu. Ali Bhutto mengobarkan semboyan perang dengan berbicara pedas
terhadap India dalam Sedang Dewan Keamanan PBB. Ali Bhutto menuding India
melakukan agresi dan menyatakan, “kami akan berperang selama seribu tahun!” lalu Ali
Bhutto merobek-robek berkas DK PBB dan beranjak dari hadapan sidang. Akibatnya,
Pakistan dan Indoia terlibat dalam peperangan hebat yang mengkhawatirkan bagi AS,
Inggris, dan Uni Soviet. Perang baru mereda setelah PBB turun tangan.
Ali Bhutto kemudian mendampingi Presiden Ayub Khan dalam negoisasi dengan
India. Negoisasi itu menyepakati bahwa masing-masing negara mundur ke garis batas
sebelum perang. Perjanjian damai itu tidak disambut baik oleh Ali Bhutto dan sebagaian
besar rakyat Pakistan. Karena kritiknya terhadap Ayub Khan, Ali Bhutto mulai disisihkan
dan akhirnya dia menjadi tokoh oposisi terhadap pemerintahan Ayub Khan. Setelah
mundur dari kabinet, Ali Bhutto mendirikan Partai Rakyat Pakistan yang mendapat
dukungan besar dari rakyat. Partai ini pula yang kermudian rajin melakukan demonstrasi
sehingga Ayub Khan kemudian mengundurkan diri dari jabatannya.
61 Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 48.
Tongkat kepemimpinan Pakistan diserahkan kepada Jenderal Yahya Khan yang
kemudian menggelar pemilu pada 7 Desember 1970. Dalam pemilu itu Partai Rakyat
Pakistan meneng telak di wilayah Pakistan Barat, sementara di Pakistan Timur, Liga
Awami pimpinan Sheikh Mujibir Rahman meraih suara terbanyak. Liga Awami menolak
tawaran Ali Bhutto untuk berkoalisi dan malah membentuk Dewan Nasional yang
kemudian lahirnya negara Bangladesh. Atas intervensi India, kekuatan tentara Pakistan di
wilayah timur dikalahkan, dan negara Bangladesh pun lahir.62
Ali Bhutto menyalahkan kebijakan Yahya Khan atas kemerdekaan Bangladesh.
Tekanan rakyat terhadap pemerintah pun semakin keras. Akhirnya Yahya mengundurkan
diri dan menyerahkan tongkat kepemimpinan Pakistan kepada Zulfikar Ali Bhutto. Di
masa kepemimpinannya, Pakistan tidak menjadi lebih damai. Langkah politik dan
kebijakannya banyak yang kontroversial. Dia melakukan perjanjian damai dengan India
untuk membebaskan 93.000 tawanan perang Pakistan di India. Dalam perjanjian itu Ali
Bhutto dianggap terlalu banyak memberi konsesi kepada India. Di sektor bisnis, Ali
Bhutto dianggap meresahkan karena menasionalisasi perusahaan industri barat. Dia juga
dianggap berkhianat karena mengakui keberadaan negara Bangladesh.
Ketika situasi semakin tidak menentu, Ali Bhutto dituduh menghilangkan nyawa
lawan-lawan politiknya. Situasi Pakistan semakin tegang, lalu dia menunjuk Jederal Zia
ul-Haq untuk menjadi panglima angkatan bersenjata. Ali Bhutto juga mulai menetapkan
kebijakan mengembangkan senjata nuklir. Penolakkan atas kepemimpinan Ali Bhutto
semakin kuat.
Pada bulan Juli 1977 Zia ul-Haq mengambil alih kekuasaan dari Zulfikar Ali
Bhutto dengan cara mengkudeta. Kudeta yang dilakukan Zia pada tahun 1977, ditanggapi
62Zaenal Ali, Tragedi Benazir Bhutto, h. 50-51.
dengan berbagai macam sikap oleh rakyat Pakistan di satu sisi kekhawatiran terhadap
tindakkan “pembedahan” politik yang dilakukan militer dan harapan bahwa militer tidak
akan lama menguasai pemerintahan.
Zia bersumpah bahwa dia akan mengembalikan pemerintahan ke sipil di tangan
wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat setelah negara dalam keadaan aman dan akan
menyelenggarakan pemilu yang fair yang akan diselenggarakan pada bulan Oktober
1977.63
Namun, kenyataannya Zia tidak memenuhi janjinya tersebut, malahan sebaliknya
dia berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperluas tujuan-tujuan
politiknya demi menguasai sepenuhnya kehidupan politik Pakistan. Ia menguasai
kehidupan politik, berusaha menarik dukungan dari berbagai kelompok agar
kekuasaannya dapat dipertahankan diantaranya dari unsur militer, birokrasi, tuan tanah,
dan unsur-unsur religius.
Zia tidak hanya mempertimbangkan militer sebagai pilar utama dan fundamental
bagi rezimnya, tetapi dia memberikan militer suatu posisi yang sangat penting dalam
konstitusi sebagai pemegang tertinggi integritas negara. Dengan pembatalan pemilu yang
dijanjikan oleh Zia pada tanggal 18 Oktober 1977, telah memperbesar kekuasaan militer
dalam kehidupan politik Pakistan.
Kediktatoran Zia ul-Haq sangat terlihat jelas saat dia menghukum gantung
Zulfikar Ali Bhutto dan memenjarakan lawan-lawan politiknya termasuk Benazir Bhutto
dan keluarganya. Kematian sang ayah dan kerasnya tekanan rezim berkuasa terhadap diri
Benazir tidaklah membuat takut akan perlawanannya terhadap pemerintahan. Hal ini
63 Veena Kukreja, “Military Politics in Pakistan: Ten Years of Zia’s Rule, Strategic Analysis”,
Agustus 1988, h. 427-428.
justru dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir untuk mulai tertarik dan
terlibat dalam kancah politik Pakistan dengan menjadi oposisi untuk menentang
pemerintahan Zia ul-Haq yang dianggap telah memporak-porandakan kehidupan
demokrasi di Pakistan.
A. 2. Kediktatoran Pemerintahan Zia ul-Haq
Zia ul-Haq mengambil tindakkan cepat untuk melegitimasi kudetanya dan
melanjutkan pemerintahan atas nama Islam. Dia bersumpah akan melaksanakan sistem
pemerintahan Islam (Nizham i-Islami). Islam menjadi lambang utama rezimnya, dan
tampaknya mewarnai kebijakan dalam dan luarnegeri dengan kekuatan militernya.64
Ketika mengambil kekuasaan sebenarnya Zia ul-Haq tidak memiliki
kecenderungan untuk mengembangkan suatu program politik, tetapi Zia mengumumkan
rezimnya hanya akan memerintah selama sembilan puluh hari untuk memulihkan kembali
keadaan dan mengadakan pemilihan umum.
Pada kenyataannya Zia menunda pemilihan umum untuk waktu yang tak terbatas,
melarang partai-partai politik, dan melakukan sensor ketat terhadap media, kekuasaannya
sebagai pelaksana undang-undang darurat perang dan sebagai presiden dijustifikasi atas
nama Islam.
Pengeluaran partai-partai politik dari partisipasi pemerintahan jelas telah
memberikan kekuasaan yang besar bagi Zia ul-Haq, dan tindak diakuinya partai politik
dalam sistem islami berarti memberikan legitimasi bagi pemerintahannya.
Alasan mengapa Jenderal Zia ul-Haq mengkudeta pemerintahan Zulfikar Ali
Bhutto ialah para pemimpin politik telah gagal untuk mengemudikan negara keluar krisis,
64 John L. Esposito dan Jon O. Voll, Demokrasi di Negara-negara Muslim; Problem dan Prospek
(Bandung: Mizan, 1999), h. 144
dan dia menambahkan, tidak melihat adanya prospek kompromi antara PPP dan PNA
karena saling ketidak percayaann mereka. Hal ini dikhawatirkan bahwa kegagalan PPP
dan PNA untuk mencapai kompromi akan membawa negara ke situasi kekacauan. Zia
juga menyatakan bahwa rezimnya hanya berfungsi untuk sementara waktu, hal ini
ditegaskan oleh pernyataannya bahwa angkatan bersenjata Pakistan menginginkan bahwa
pemerintah harus tetap berada ditangan wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat.65
Kenyataannya Zia tidak memenuhi janji tersebut, bahkan dia berusaha untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan dan memperluas tujuan-tujuan politiknya demi
menguasai sepenuhnya kehidupan politik Pakistan. Ia menguasai kehidupan politik,
berusaha menarik dukungan dari berbagai kelompok agar kekuasaannya dapat
dipertahankan diantaranya dari unsur militer, birokrasi, tuan tanah, dan unsur-unsur
religius. Zia tidak hanya mempertimbangkan militer sebagai pilar utama dan fundamental
bagi rezimnya, tetapi dia memberikan militer suatu posisi yang sangat penting dalam
konstitusi sebagai pemegang tertinggi integritas negara. Dengan pembatalan pemilu yang
dijanjikan oleh Zia pada tanggal 18 Oktober 1977, telah memperbesar kekuasaan militer
dalam kehidupan politik Pakistan.
Zia sebagai figur sentral militer, kemudian menamakan dirinya sebagai Presiden
dan ketua administrasi Undang-Undang darurat perang (Chief Martial Law
Administrator-CMLA). Dia segera menetapkan kekuasaan militer, pada pucuk struktur
pemerintahan.
Legalitas para perwira militer merupakan faktor utama yang memungkinkan Zia
memegang kendali kekuasaan selama 11 tahun. Dukungan ini bisa diperoleh karena dua
cara yang dilakukan Zia untuk mempertahankan loyalitas para perwira militer kepadanya.
65 Sawhney, Zia’s Pakistan (New Delhi: ABC Publishing House, 1985), h. 13-23.
Pertama , Zia sebagai presiden tidak meninggalkan masalah-masalah militer kepada
perwira lain. Kedua, para komandan militer senior Zia menerapkan prinsip rotasi kerja
dan periode penugasan yang telah ditetapkan. Dalam cara yang pertama, Zia tidak pernah
melepaskan jabatan Ketua Staf Angkatan Darat (KSAD) yang diduduki sejak bulan Maret
1976.
Kediktatoran Zia ul-Haq sangat terlihat saat dia menghukum mati Zulfikar Ali
Bhutto juga memenjarakan lawan-lawan politiknya termasuk keluarga Bhutto. Benazir
diusir dari Pakistan tahun 1982 setelah mendekam tiga tahun dalam penjara. Tidak hanya
itu bahkan ibunya Nusrat pernah dijebloskan pula ke penjara.
Tekanan Pemerintahan Zia ul-Haq selama 11 tahun terhadap kluarga Bhutto
ternyata mendapat manfaat, semakin besarnya dukungan rakyat dan simpatisan pada diri
Benazir Bhutto sebagai tokoh oposisi yang berani menentang pemerintahan militer Zia
ul-Haq. Dari sikap ini menjadikan Benazir Bhutto menjadi tokoh yang sangat populer
dengan membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk
perubahan. Dengan demikian Benazir Bhutto menjadi penerus perjuangan politik Zulfikar
Ali Bhutto, atas kediktatoran yang dilakukan pemerintahan militer Zia ul-Haq.
A. 3. Penerus perjuangan politik Zulfikar Ali Bhutto
Kematian Ali Bhutto pada 4 April 1979 telah menghancurkan hampir seluruh
kebahagiaan diri dan keluarganya, namun hal itu tidaklah membuat Benazir dalam
kesedihan. Peristiwa itu justru dijadikan fundamen bagi titik balik kehidupan Benazir
untuk mulai terjun dalam kehidupan politik meneruskan perjuangan politik ayahnya
dengan menentang pemerintahan Zia ul-haq yang dianggap telah memporak-porandakan
kehidupan Demokrasi. Mulanya, Benazir tidak terlalu suka terlibat dalam urusan politik
praktis. Namun setelah terjadi malaise sosial politik yang berujung pada kematian sang
ayah, akhirnya benazir berbalik arah menjadi sangat terlibat dalam politik.66
Benazir yang mulanya hanya seorang gadis manja, akhirnya harus berhadapan
dengan kerasnya politik pakistan. Benazir akhirnya berani untuk berusaha membongkar
segala kebobrokan pemerintahan Zia ul-Haq yang disebutnya telah memporak-
porandakan kehidupan demokrasi. Benazir diubah oleh beratnya bebaban moral
perjuangan di masa-masa susah akibat kematian sang ayah dan tekanan yang di lakukan
pemerintah berkuasa terhadap keluarga Bhutto.
Benazir Bhutto secara tidak resmi menjadi pimpinan sementara Partai Rakyat
Pakistan. Dengan demikian Benazir menjadi penerus partai yang didirikan ayahnya,
termasuk permusuhannya dengan pemerintahan yang berkuasa. Dan ia menjadi tokoh
penting yang memposisikan diri sebagai oposisi Presiden Zia ul-Haq lewat partainya itu.
PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang membangkitkan
kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia mendapat
manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah ketertindasan 11 tahun di bawah
pemerintahan militer Zia ul-haq. Lewat partainya itu dia memposisikan diri sebagai
oposisi.
B. Ikut Pencalonan menjadi Perdana Menteri
Dalam sub bab ini penulis akan membahas Benazir Bhutto dalam pencalonannya
menjadi perdana menteri dengan kemenangannya dalam pemilu 1988 dan
pemerintahannya yang hanya bertahan Dua Puluh Bulan, serta kembali ikut sertanya
dalam pemilu 1990 dimana Benazir Bhutto dalam pemilu ini mengalami kekalahan dari
66 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 13-14.
lawan politiknya Nawaz Sharif.
b. 1. Kemenangan dalam Pemilu 1988
Dalam Pemilu November 1988 tiga pesaing utama segera muncul yaitu PPP, IJI,
dan MQM. IJI pimpinan Nawaz Sharif adalah partai aliansi yang terdapat dari beberapa
partai sayap kanan, dengan anggota yang terbesar adalah PML. IJI mengumumkan
jaminan atau kesanggupan untuk meneruskan kebijakan Zia, terutama melanjutkan
kebijakan Islamisasi dalam bidang ekonomi dan kemasyarakatan. MQM pimpinan Altaf
Hussain adalah partai politik baru untuk memajukan kedudukan kaum Muhajir di bidang
ekonomi dan politik, yang merupakan para pengungsi dari Delhi Utar Pradesh, Bihar dan
Madya Pradesh ketika India terpecah pada tahun 1947. PPP pimpinan Benazir Bhutto
berkampanye untuk mengadakan pembaharuan demokrasi termasuk peninjauan kembali
terhadap Amandemen ke-8 yang tercantum dalam konstitusi 1973 yang mana telah
memperkuat kedudukan Presiden atas Legislatif.67
PPP secara nyata mendapat manfaat dari sikap Benazir Bhutto yang
membangkitkan kembali kenangan tentang ayahnya serta berjuang untuk perubahan. Dia
mendapat manfaat karena popularitasnya di masyarakat, setelah 11 tahun di bawah
pemerintahan militer, dan penampilan figur pemegang tampuk kekuasaan yang berbeda.
IJI, bagaimanapun tidak mempunyai seoang figur yang populer. Tidak satupun para calon
yang diunggulkan pada waktu itu, dapat menyaingi kharisma dan dinamisme Benazir
Bhutto.
Pemilu untuk Majelis Nasional diselenggarakan tanggal 16 November 1988.
pemilu tersebut dilukiskan oleh para pengamat asing, sebagai pemilu yang dilaksanakan
67 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 61-62.
secara terbuka. Pemilu ini untuk mengisi 237 kursi di Majelis Nasional, dengan perincian
207 kursi diperebutkan oleh partai politik dan kelompok independen sedangkan 30 kursi
tambahan diberikan bagi 10 kursi untuk politikus non Islam dan 20 kursi untuk kaum
wanita.68
Hasil dari pemilu mengejutkan ketiga partai tersebut, PPP tidak mencapai hasil
yang diharapkan, khususnya daerah Punjab. PPP mendapat 92 kursi dari 207 kursi yang
diperebutkan. Hal ini bukan merupakan kemenangan mutlak meskipun PPP merupakan
satu-satunya partai yang mempunyai kursi di keempat propinsi.
Sedangkan IJI hanya mencapai hasil gemilang di daerah Punjab, dengan
memperoleh total 54 kursi. Sementara itu MQM meraih kemenangan di Karachi dan
Hyderebad, yaitu 2 kota terbesar di propinsi Sindh dengan memperoleh 13 kursi dan
sisanya dikuasai oleh partai-partai kecil. (lihat tabel 1)
Tabel 1.
Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional Bulan November 198869
NO. NAMA PARTAI PEROLEHAN KURSI
1. Pakistan People’s Party (PPP) 92 kursi
2. Islami Jamhoori Ittihad (IJI) 54 kursi
3. Muhajir Qaumi Movement (MQM) 13 kursi
4. Kelompok Independen 30 kursi
5. Partai Kecil 18 kursi
68 “Sekilas Perjalanan Politik Bhutto”, KOMPAS, 28 Desember 2007. h. 4.
69 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 63.
TOTAL 207 kursi
Dari tabel 1 terlihat bahwa PPP mendapat suara terbanyak. Dalam pemilihan di
propinsi Sindh, Benazir Bhutto memperoleh suara terbanyak. Sementara IJI dan partai-
partai kecil lainnya sama sekali tidak memperoleh suara di propinsi Sindh. Benazir
Bhutto yang orang Sindh tentunya sangat dudukung oleh masyarakat Pakistan yang
cenderung memilih PPP sebagai partainya. Hal ini jelas sangat berperan bagi menangnya
Benazir Bhutto dalam pemilu 1988, karena jumlah penduduk di propinsi Sindh adalah
nomor dua terbesar di Pakistan. Selain itu ia mampu memanfaatkan nama besar ayahnya,
Ali Bhutto untuk menarik simpati masyarakat Pakistan lainnya yang berasal dari etnis
yang berbeda dengannya, khususnya masyarakat pedesaan agar mendukungnya. Karena
kebijakan-kebijakan di masa pemerintaha Ali Bhutto banyak mengutamakan kepentingan
masyarakat bawah, dengan program “Sosialisme Islamnya”.70
Ternyata strategi tersebut
memberikan hasil yang menggembirakan dimana PPP berhasil menang pula di Punjab,
yang merupakan tempat saingannya, Nawaz Sharif.
Bahkan dengan semangat “Bhutoisme” pula, Benazir Bhutto berusaha bekerja
sama dengan kaum Islam Populer yang dipimpin oleh kyai. Kyai ini berperan sebagai
patron, dan dengan adanya kerja sama tersebut diharapkan Benazir Bhutto akan dapat
menguasai kliennya, yaitu masyarakat pedasaan. Pada masa pemerintahan Ali Bhutto,
para Kyai tersebut sangat mendukungnya di mana meskipun Ali Bhutto melakukan
kebijakan Land Reform, namun kebijakannya tidak berlaku bagi para kyai. Kyai tersebut
malah diberikan bantuan tanah wakaf. Pemerintah juga ikut memelihara tempat-tempat
keramat leluhur mereka dan tetap melindungi tanah mereka. Dengan latar belakang
70 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. ix.
tersebut, tentunya para Kyai cenderung mendukung Benazir Bhutto dengan partainya PPP
sebagai pewaris kebijakan Ali Bhutto.
Keberhasilan Benazir Bhutto untuk meraih suara moyoritas dalam pemilu 1988,
tak lepas karena ia juga melakukan pendekatan kepada para wanita Pakistan dengan
usahanya memberikan pengertian Islam dari segi sejarah. Ia mengatakan bahwa ratu
Sheba pernah berkuasa pada masa pra Islam, Yaman pernah dikuasai oleh beberapa
wanita Muslim, seperti malika Urwa yang berkuasa hampir 50 tahun pada abad ke-11.71
Bahkan sebelum Benazir Bhutto muncul dalam politik Pakistan , telah ada Fatimah
Jinnah yang memimpin partai Liga Muslim dan pernah mencalonkan diri dalam
pemilihan Presiden melawan Jenderal Ayub Khan pada tahun 1964.72
dengan demikian
Benazir Bhutto dapat mengatakan bahwa sebenarnya wanita boleh menjadi pemimpin,
sehingga kaum wanita Pakistan mayoritas masih buta huruf mendukungnya dan
menganggap Benazir Bhutto sebagai generasi baru yang memperjuangkan emansipasi
wanita Pakistan.73
PPP tidak hanya mmperoleh suara mayoritas di propinsi Sindh, melainkan juga di
propinsi Punjab. Padahal IJI dipimpin oleh Nawaz Sharif yang berasal dari Punjab. Hal
ini dikarenakan Nawaz Sharif menganggap dirinya sebagai penerus kebijakan Zia ul-Haq.
Sementara rakyat sudah bosan dengan cara kepemimpinan Zia ul-Haq yang keras dan
represif. Saat itu rakyat berharap akan adanya suatu pemerintahan sipil yang demokratis.
71Budi Winarno, “Wanita Berkuasa di Dunia”, artikel diakses pada 27 Februari 2007 dari
http://search.yahoo.com/search;_ylt=A0oGklLNMRlJBfEAPutXNyoA?p=pemilu+di+pakistan+1988&y=S
earch&fr=moz2&ei=UTF-8 72 Azaz Ahmad, Islamic Modernism 1957-1964, bab II (London: University Press, 1992), h. 209. 73 Anita M Weiss, “Benazir Bhutto and The Future of Women in Pakistan”, ASIAN SURVEY. Vol.
XXX No 5, May 1990, h 445.
Oleh karena itu, mereka cenderung memilih PPP yang dipimpin oleh Benazir Bhutto dan
menganggapnya sebagai simbol demokrasi di Pakistan.
Dalam pemilihan itu, beberapa figur yang terkemuka dari periode Zia ul-Haq,
termasuk mantan PM khan Junejo gagal untuk mendapatkan tempat di Majelis Nasional
dalam pemilu 1988. Bahkan dalam pemilu itu , Benazir sendiri sukses merebut 3 kursi
sekaligus di daerah pemilihan Larkana, Lahore, dan Karachi. Hal ini memang sah karena
konstitusi Pakistan tak melarang seorang calon maju di beberapa daerah pemilihan
sekaligus. Sebaliknya, IJI hanya berhasil meloloskan Nawaz Sharif, Ketua Menteri
propinsi Punjab. Dengan demikian kesempatan Benazir untuk terpilih sebagai Perdana
Menteri Pakistan semakin terbuka sehingga Benazir Bhutto pun disibukan untuk mencari
dukungan dari kemenangan MQM dan partai-partai kecil lainnya di parlemen.
Memang dari tabel 1 dapat dilihat bahwa PPP telah memperoleh suara mayoritas.
Namun Benazir Bhutto belum dapat di pastikan tampil sebagai perdana menteri, karena
partainya tidak memperoleh mayoritas mutlak 2/3 dari seluruh jumlah kursi parlemen
atau setidaknya minimal 50%+1. Untuk itu, ia harus berkoalisi dengan partai-partai
lainnya.
Sementara itu, kelompok-kelompok sosial, ekonomi dan para profesional yang
dijuluki oleh Benazir Bhutto “kaum Islamabad” menjadi ragu sebelum meminta Benazir
Bhutto untuk membentuk sebuah pemerintahan. Para birokrat sipil dan militer, pedagang
dan industrialis besar serta kelas menengah mempunyai alasan untuk mengkhawatirkan
kembalinya PPP. Mereka seluruhnya pernah menjadi korban kebijakan politik PPP yang
serius pada masa pemerintahan ayahnya, Zulfikar Ali Bhutto.74
Keadaan ini membuat
mereka memakai Ishaq Khan sebagai pelindung.
Benazir Bhutto kemudian menyetujui beberapa prasyarat yang ditetepkan oleh
“kaum Islamabad” yaitu membiarkan urusan militer untuk ditangani oleh golongan
militer, melanjutkan kebijakan Zia mengenai perang sipil yang berkelanjutan di negara
tetangga Afghanistan. Membujuk IJI untuk bekerja sama di Punjab dan melaksanakan
program penyesuaian struktur ekonomi, melanjutkan sikap pemerintah sementara yang
telah bekerja sama dengan International Monetery Found (IMF) dan World Bank.
Untuk menjamin bahwa kesepakatan itu ditepati, Benazir Bhutto juga telah
menyetujui permohonan “kaum Islamabad” yang meminta agar partainya menjadikan
Ishaq Khan sebagai presiden. Sepuluh hari kemudian, Benazir Bhutto pun berhasil
menjadi Perdana Menteri setelah membujuk MQM untuk berkoalisi membentuk
pemerintahan bersama. Bahkan PPP bekerja sama dengan IJI dan MQM untuk memilih
Ghulam Ishaq Khan sebagai Presiden dan Benazir Bhutto pun akhirnya mengukir sejarah
besar menjadi Perdana Menteri wanita pertama di sebuah negara mayoritas Islam pada
abad Modern.75
b. 2. Dua Puluh Bulan di bawah Pemerintahan Benazir Bhutto.
Sampai awal Agustus 1988, tak seorang pun menduga bahwa Benazir Bhutto
bakal secepat itu menjadi Perdana Menteri. Bukan karena popularitasnya ataupun
bakatnya, tetapi saat itu Zia ul-Haq telah nemutuskan untuk “menyingkirkan” Benazir
Bhutto dari partai PPP selama hidupnya serta melakukan segala cara untuk melaksanakan
hal tersebut mulai dari menggantung ayahnya, yaitu Zulfikar Ali Bhutto, mengadakan
74 Shahid Javed Burki, “Current History”, h. 118. 75 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 71-72.
pemilu tanpa partai pada tahun 1979 serta memperkuat kelompok-kelompok politik untuk
melawan PPP.76
Namun demikian manipulasi politik, penendasan dan pengawasan yang
dilancarkan Zia ul Haq ternyata tidak dapat menghancurkan kharisma Ali Bhutto serta
dukungan rakyat terhadap partainya , PPP dan Benazir Bhutto. Sekalipun ia masih muda,
pernah mengalami pahitnya penjara dan pembuangan, Benazir Bhutto tetap aktif di dalam
kegiatan-kegiatan politik sebagai pemimpin oposisi yang terkemuka dan terkenal blak-
blakan selama 11 tahun, yang akhirnya telah membentuk kualitas pribadi
kepemimpinannya.
Ia berhasil menduduki jabatan Perdana Menteri dalam usia 35 tahun, tanggal 2
Desember 1988 dan merupakan wanita pertama yang menjadi Perdana Menteri di negara
Pakistan.77
Ia mengobarkan semangat demokrasi ke seluruh pelosok Pakistan. Dengan
mengobarkan semangat demokrasinya itu, pamornya menanjak dan mendapat dukungan
di mana-mana. Rakyat Pakistan mendukung pemerintahannya karena rakyat memang
menghendaki suatu pemerintahan sipil, di mana rakyat sudah bosan diperintah rezim
militer yang otoriter selama 11 tahun.
Sejak awal pemerintahannnya pada bulan Desember 1988, sebenarnya sudah
dilemahkan dengan kenyataan bahwa PPP hanya mempunyai sejumlah kecil kursi di
Majelis Nasional dan diawasi oleh dua dari empat pemerintahan propinsi, yaitu Sindh dan
NWFP. Hal ini sempat memberi kekhawatiran terhadap pendukungnya dan mengusulkan
sebaiknya Benazir mempertahankan posisinya sebagai oposisi saja daripada mencoba
untuk menjalankan pemerintahan dengan kondisi yang kurang baik.
76 Raul B. Rais, “PAKISTAN IN 1988: From Command to Conciliaton Politics”, ASIAN SURVEY,
Vol XXIX, No. 2, February 1989, h. 204. 77 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 72.
Setelah wafatnya Jenderal Zia ul Haq, kekuasaan selama satu dekade yang terdiri
dari dua pusat kekuasaan, pola Diarchy, yaitu Presiden dan Perdana Menteri (Presiden
Zia ul Haq waktu itu sekaligus menjabat sebagai Panglima Angkatan Bersenjata),
selanjutnya digantikan oleh sebuah “Troika” di Pakistan. Jabatan Kepala Staf Angkatan
Darat dan Presiden yang semula dipegang oleh Zia ul Haq, kemudian diisi oleh dua orang
yang berbeda, Yaitu Jenderal Mirza Aslam Beg selaku pemimpin Angkatan Bersenjata
dan Ghulam Ishaq Khan yang sejak tanggal 17 Agustus 1988 menjabat sebagai presiden
sementara pun segera mengadakan pemilihan umum. Pemilihan umum yang dilakukan
berdasarkan pada sistem partai akan dilaksanakan pada tanggal 16 November 1988 dan
telah menciptakan sebuah pusat kekuasaan yang lain, yaitu Perdana Menteri.78
Pergeseran dari pola Diarchy ke Troika ini semula diharapkan dapat membuka
peluang bagi keluwesan sistem politik Pakistan. Secara teoritis adalah dimungkinkan bagi
Perdana Menteri untuk berurusan dengan militer dan Presiden secara terpisah, dan jika
dibutuhkan dapat mempermiankan satu terhadap lainnya. Namun kenyataannya, politik
segitiga ini nantinya malah menimbulkan banyak masalah untuk Perdana Menteri.
Selama menjalankan pemerintahannya, ia dihadapkan pada persoalan
ketidakcocokannya dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan dan Kepala Staf Angkatan
Darat Jenderal Mirza Aslam Beg. Padahal untuk melanggengkan suatu pemerintahan di
negara Pakistan, seorang perdana menteri harus dapat menjalankan hubungan dan kerja
sama yang baik dengan Presiden dan militer. Apabila gagal, hal tersebut dapat
menyebabkan jatuhnya pemerintahan yang dipimpinnya.
78 Samina Yusman, “the Politics of Dismissal in Pakistan”, Asian Studies Review, Vol 17. No. 1,
July 1993 h. 86.
Sebenarnya sejak Benazir Bhutto tampil sebagai pemimpin Pakistan, rongrongan
militer sudah terasa. Bahkan ia harus memberikan konsensi tertentu kepada Angkatan
Bersenjata, termasuk ikut campurnya militer dalam menentukan anggaran pertahanan
keamanan, tahun 1989/1990 misalnya anggaran Angkatan Bersenjata mencapai Rs. 51,77
milyar atau 36,9% dari anggaran tahun 1989/1990. Pemerintahan Benazir Bhutto yang
semula ingin meningkatkan anggaran di bidang kesehatan dan pendidikan, namun karena
meningkatnya ketegangan dengan India adalah mustahil untuk berdebat demi
pengurangan anggaran pertahanan keamanan ketika anggaran pertahanan keamanan
tahun 1990/1991 dipresentasikan.
Benazir Bhutto dalam hal apapun merasa enggan untuk memotong terlalu besar
pengeluaran untuk militer karena ketakutannya akan meningkatnya campur tangan dan
atau terjadinya konflik dengan militer. Bersamaan dengan hal tersebut Angkatan
Bersenjata juga ragu-ragu untuk menjatuhkan pemerintahan demokratis karena hal ini
pasti akan membuat Amerika memotong anggaran bantuan militernya untuk Pakistan.
Oleh karena itu pihak Angkatan Bersenjata masih mempertahankan sumber pendapatan
dan pengaruhnya yang paling dibutuhkan, sementara itu menghindarkan campur
tangannya di dalam kontroversi politik yang dirasanya paling cocok ditangani oleh kaum
politisi sipil.
Meskipun Angkatan Bersenjata waktu itu secara resmi mengakui kedaulatan sipil,
tetapi pengaruhnya di dalam memformulasikan kebijakan luar negeri tetap besar. Dalam
hal ini, Benazir Bhutto juga harus memberikan konsensi terhadap militer mengenai
masalah Afghanistan, di mana ia harus melanjutkan kebijakan Zia ul-Haq dalam soal
Afghanistan. Namun akhirnya ia melakukan juga kesalahan dengan memecat Letjen.
Hamid Gul, seorang Kepala Dinas Intellegen yang merupakan salah satu arsitek
kebijakan tentang Afghanistan. Hal ini menimbulkan ketidaksukaan militer dan Presiden
terhadap Benazir Bhutto.79
Militer semakin tidak senang pada Benazir Bhutto karena telah ikut campur dalam
masalah intern militer, dengan tindakannya memperpanjang masa dinas sejumlah pejabat
militer yang sudah pensiun. Pimpinan militer menilai hal itu sebagai usaha yang jelas-
jelas ingin memecah belah Angkatan Bersenjata, dan menganggap langkah yang
ditempuhnya sebagai upaya untuk menarik dukungan perwira yang dipromosokannya
itu.80
Hubungan Benazir Bhutto dengan militer semakin memburuk ketika
pemerintahannya tidak dapat mengatasi masalah etnis yang muncul kembali sejak tanggal
9 Maret 1989, yaitu konflik antara etnis Muhajir yang merupakan warga imigran India
yang berbahasa Urdu melawan Pathan Punjabi yang berasal dari Karachi Utara, akibat
MQM memboikot sebuah harian lokal berbahasa Urdu yang sebelumnya menolak
meliputi kegiatan Muhajir.81
Kemelut etnis ini memang telah memaksa pemerintah untuk menerapkan larangan
ke luar rumah. Para pemimpin etnis yang bentrok pun sebenarnya mengadakan
pertemuan untuk membuat strategi bersama guna menghentikan pertumpahan darah.
Namun kerusuhan justru kian buruk, bahkan merembet melibatkan etnis Sindh dan
melebar ke kota Hyderabad dan kota kecil Sindh. Pertentangan antara etnis Sindh dengan
79 Dhurorudin Mashad, "Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan", h. 80. 80
Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008 dari, http://klikinter.blogspot.com/2008_02_01_archive.html
81 Sebenarnya hubungan kedua etnis tersebut telah tegang sejak 1986, terutama akibat persaingan
lapangan kerja, penjualan obat terlarang dan senjata. Bahkan, pada bentrokan tahun 1986 sekitar 150 orang
telah menjadi korban. Dan sampai tahun 1989 korban akibat bentrokan kedua etnis tersebut telah mencapai
lebih dari 500 orang. Muladi Mughni, “Doktrin Militerisme dan Jihadisme di Pakistan.”
etnis Muhajir yang telah mendominasi lapangan pekerjaan di propinsi Sindh. Konflik
etnis pada masa pemerintahan Benazir Bhutto memuncak karena Benazir tidak memenuhi
janjinya terhadap kaum Muhajir untuk antara lain: memberikan pekerjaan pada etnis
Muhajir yang menganggur sebagai akibat dari sistem quota yang telah diberlakukan sejak
Ali Bhutto; membebaskan para tahanan MQM yang di tahan sejak pemerintahan Zia ul
Haq, dan janji Benazir Bhutto untuk membagi kekuasaan secara adil sebagaimana yang
telah dijanjkan sewaktu pembentukan koalisi.82
Kendati Angkatan Darat telah melihat kerusuhan ini sebagai persoalan serius,
namun anehnya justru Benazir Bhutto terlihat tenang dan melukiskan kerusuhan tersebut
hanya sebagai “pemberontakan kecil”. Benazir Bhutto hanya memerintahkan militer
untuk mengirimkan kendaraan lapis baja dan memberlakukan jam malam sebagai upaya
untuk meredakan konflik etnis tersebut, namun tindakan ini hanya bersifat sementara dan
setelah militer pergi ternyata konflik antar etnis berlanjut lagi.83
Sehingga Jenderal Aslam Beg atas inisiatifnya sendiri mengadakan pertemuan
dengan beberapa pejabat, termasuk ketua Menteri propinsi Sindh, yang disusul pula
dengan pembicaraan Aslam Beg bersama sejumlah perwira di Markas Besar Angkatan
Darat di Karachi. Dalam kesempatan itu, Aslam Beg menyebut betapa kerusuhan itu
sudah sedemikian parahnya sehingga tidak saja perlu menghukum beberapa pelaku
kejahatan, melainkan perlu pula segera diambil suatu prakarsa politik untuk
menyelesaikan berupa pengambilan secara langsung kekuasaan di Sindh oleh pemerintah
federal dan memberlakukan Undang-Undang Darurat terbatas.
82 Charles H. Kennedy, “Policies of Ethnic Preference in Pakistan”, ASIAN SURVEY, vol. XII,
NO. 6, September 1989, hal. 695. 83Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan”, artikel diakses pada 28 meret 2008 dari,
http://www.media-indonesia.com/subscribe/login.asp?mcid=
Ternyata Benazir Bhutto mengabaikan usulan Aslam Beg dan malah menuduh
militer dengan cara bermaksud untuk kembali berperan dalam politik. Benazir Bhutto
takut tindakan ini akan mengandung semacam Undang-Undang Militer yang dapat
menimbulkan tindakan intimidasi.84
Akhirnya kerusuhan menjadi semakin parah dan
bahkan pada tanggal 1 Mei 1989 pimpinan MQM, Altaf Hussein menarik para
menterinya dari pemerintahan Benazir Bhutto dan dengan demikian menandai akhir dari
koalisi pemerintahan MQM-PPP.85
Sehingga MQM kemudian berpindah haluan ke
Combined Opposition Party (COP).
Masalah utama yang selalu dihadapi oleh propinsi Sindh di bidang keamanan
dan ketertiban memang mempunyai dampak yang luas, karena tidak hanya
mempengaruhi sitiasi politik di propinsi Sindh itu sendiri, tetapi juga dalam lingkup
nasional. Penyebabnya masih bersifat traditional, yaitu pertentangan antar kelompok,
suku dan ras. Namun faktor yang paling dominan mempertajam pertentangan itu
sehingga mempunyai dampak nasional adalah pertentangan antar partai MQM dengan
PPP. Pengikut-pengikut kedua faksi tersebut selalu berbenturan satu sama lainnya, yang
mengakibatkan jatuhnya korban dari kedua pihak. MQM dengan didukung oleh IJI,
bersama-sama menjadikan masalah keamanan dan ketertiban propinsi Sindh ini sebagai
isu nasional untuk kepentingan politiknya.
Jenderal Mirza Aslam Beg berpendapat bahwa masalah keamanan dan
ketertiban masyarakat hanya akan dapat diselesaikan secara tuntas, apabila militer diberi
wewenang melebihi ketentuan yang tercantum dalam konstitusi. Namun Benazir Bhutto
berkeberatan terhadap tuntutan militer tersebut, karena khawatir banyak dari pengikut-
84 84Muhammad Farouk, “Pengaruh Militer di Pakistan.” 85 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 80.
pengikut PPP yang terlibat kerusuhan akan dimasukkan dalam tahanan, apalagi pimpinan
Angkatan Darat adalah Muhajir. Kalau hal ini sampai terjadi akan merugikan posisi PPP.
Militer Pakistan sebenarnya tidak ingin orang sipil berkuasa di negeri itu. Jika
Benazir tampil sebagai Pemimpin, hal itu tidak seluruhnya karena kharisma keluarga
Bhutto atau pesona pribadi Benazir Bhutto, tetapi karena militer tidak siap untuk
mengambil alih kekuasaan ketika Zia ul-Haq tewas dalam kecelakaan pesawat tanggal 17
Agustus 1988. Aslam Beg yang tampil pada masa transisi itu tidak mampu menghimpun
kekuasaan dengan segera, sehingga secara artifisial mekanisme demokrasi sempat
berjalan sampai tampilnya Benazir dalam pemilu 16 November 1988. tetapi ketika usaha
konsolidasi berjalan dua tahun, militer sudah kembali merasa solid dan mulai
merongrong pemerintahan demokratis pimpinan Benazir. Aslam Beg juga pada
akhirnya telah mempengaruhi keputusan Benazir Bhutto untuk mengganti Ketua Menteri
propinsi Sindh yaitu Qaim Ali Shah dengan Aftab Shaban Mirani.86
Dari uraian tersebut, terlihat bahwa peranan militer sangat kuat di Pakistan.
Benazir pun bisa naik ke posisi puncak pada akhir tahun 1988 tak lepas karena
persetujuan para Jenderal Pakistan. Namun ketika dia tidak bisa mengatasi masalah-
masalah yang terjadi di dalam negeri Pakistan, maka militer menarik kembali
persetujuannya. Militer menganggap pemerintahan sipil di bawah pimpinan Benazir
Bhutto telah gagal dalam mengatasi konflik etnis di Pakistan. Bahkan militer kemudian
ikut mendeskriditkan PPP dengan tuduhan melakukan koripsi dan penyalahgunaan
kekuasaan, sehubungan dengan adanya beberapa kasus mengenai ketidakbecusan
kabinetnya serta korupsi dalam pemerintahan Benazir Bhutto. Sebagai contoh, pada bulan
86Widiyartono R, “Jalan Darah Keluarga Benazir Bhutto Ayah digantung, Dua Adik ditembak
Mati”, data diakses pada 16 Oktober 2008, dari
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=15749&Itemid=28
Desember 1989, Begum Rehan Sarwar, menteri negara urusan peranan wanita
meresmikan sebuah pusat pelatihan komputer di Islamabad. Tetapi Benazir kemudian
mengatahui bahwa pusat pelatihan tersebut telah bubar hanya dalam waktu 24 jam. Hal
tersebut dikarenakan komputer-komputer yang ada di sana ternyata hanya disewa khusus
untuk acara pembukaan tersebut. Lalu di bulan yang sama, menteri perdagangan
ditemukan telah mengadakan negoisasi kontrak dagang yang sangat menguntungkan
dengan sebuah perusahaan Abu Dhabi yang tidak dikenal sebelumnya yang memberi hak
monopoli bernilai USD 30 Juta pertahunnya kepada perusahaan ekspor beras Pakistan
untuk mengekspor beras ke negara Emirat Arab (UAE). Paling tidak perjanjian ini
merupakan penyalahgunaan kewenangan.87
Dari awal pemerintahannya, Benazir Bhutto memang dinilai tidak memilih
orang-orang yang tepat dalam anggota kabinet pemerintahannya. Ia hanya
mempertahankan Sahebzada Yaqub Khan yang pernah menjabat sebagai menteri luar
negeri dari pemerintahan sebelumnya. Tetapi rekan-rekan kabinetnya yang lain tidak
mempunyai pengalaman dinas. Walaupun kabinetnya tercatat sebagai salah satu yang
terbesar, namun dapat dikatakan bahwa tidak ada politisi yang berbobot dalam kabinet.
Sementara itu, pihak oposisi yang ditulangpunggungi IJI cukup berhasil
mengekspor isu yang di lontarkan oleh golongan dan partai-partai agama yang
konservatif bahwa seorang wanita tidak dibenarkan memegang pemerintahan.
Pemerintaha Benazir Bhutto terlibat pertikaian dengan para Ulama Pakistan yang
berpegang teguh pada hukum Syariah dan menunjukan ketidak senangan atas
pengangkatan seorang wanita untuk menjadi kepala pemerintahan di negara itu.
87 Tamir Hasan, “Peranan Militer Sangat Kuat di Pakistan”, artikel diakses pada 28 Maret 2008,
dari http://beritadotcom.blogspot.com/2007_11_15_archive.html
Meskipun ia telah berusaha keras menyesuaikan diri dengan keadaan tersebut, ia tetap
tidak mampu meredakan penolakan para ulama atas dirinya.
Penolakan para Ulama semakin keras ketika Benazir Bhutto mulai menjauhi
Syariah Islam, bahkan ia menyatakan akan membatalkan pengadilan Syariah.88
Kemudian
ia juga telah mengeluarkan suatu kebijakan yang sangat ditentang oleh para Ulama dan
militer. Benazir Bhutto yang dalam pidato-pidatonya menyatakan dukungannya kepada
gerilyawan Mujahiddin sesuai dengan janjinya untuk melanjutkan kebijakan pemerintah
sebelumnya, namun kenyataannya Benazir Bhutto tidak lagi mengupayakan kemenangan
kaum Mujahiddin lewat pertarungan senjata tetapi mengupayakan suatu penyelesaian
politik.
Perubahan kebijakan Pakistan terhadap Afghanistan dapat dilihat dari kasus
penggantian Letjen. Hamid Gul selaku Dirjen Badan Intellegen Antar Angtkatan dengan
Jenderal Shamsur Rahman Kallu. Padahal Hamid Gul adalah salah seorang arsitek
kebijakan Pakistan tentang Afghanistan. Ia dikabarkan cenderung memberi dukungan
kuat terhadap kelompok fundamentalis di kalangan kaum Mujahiddin, khususnya faksi
yang dipimpin Gulbuddn Hekmatyar.89
Walaupun perubahan kebijakan itu dimaksudkan agar para pengungsi
Afghanistan meninggalkan Pakistan guna memenuhi tuntutan warga Pakistan yang
merasa terganggu oleh keberadaan lebih dari tiga juta pengungsi Afghanistan di Pakistan.
Tetapi kalangan militer dan oposisi, pendukung kuat faksi-faksi garis keras Mujahiddin,
tetap tidak bisa menerima alasan tersebut. Menurut mereka, sikap pemerintah Benazir
88Nurani Soyomukti, “Dua Musuh Bubuyutan Bersaing Lagi”, artikel diakses pada 4 April 2008,
dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1989/08/05/SEL/mbm.19890805.SEL21028.id.html 89 Ahmad Jubaedi, “Kaum Fundamentalis di Pakistan”, artikel diakses pada 12 Agustus 2008, dari
http://indonesia99.blogspot.com/2007_12_01_archive.html
Bhutto tidak sesuai dengan maksud utama negara Pakistan dalam membantu Mujahiddin
Afghanistan, yaitu dalam upaya berdirinya negara Afghanistan yang Islamis di bawah
pimpinan Gulbuddin Hekmatyar. Apalagi sikap pemerintah Benazir Bhutto ternyata pada
akhirnya hanya untuk menyenangkan pihak Amerika Serikat saja.
Hampir setiap sidang parlemen, pemerintahan Benazir Bhutto terus menerus
diboikot oleh pihak oposisi. Bahkan oposisi melancarkan mosi tidak percaya terhadap
Perdana Menteri Benazir Bhutto, walau akhirnya tidak berhasil menjatuhkan Benazir.
Pengajuan dari mosi tidak percaya ini didahului oleh serangan protes terhadap
pemerintahan Benazir Bhutto yang dituduh tidak mempu berprestasi, nepotisme dan
melemahkan gerak Islamisasi. COP juga menggunakan fatwa dari para ulama Arab Saudi
yang menegaskan lagi bahwa kepemimpinan seorang wanita tidak diperkenankan di
sebuah negara Islam. Selain itu, di Pakistan masih ada budaya feodalisme yang
menempatkan kedudukan pria lebih tinggi dari wanita.
Hubungan Benazir Bhutto dengan Presiden Ghulam Ishaq Khan juga
memburuk ketika Benazir ingin mencabut Amandemen ke-8 produk rezim Zia ul-Haq
dengan alasan ingin memurnikan Konstitusi 1973. padahal alasan sebenarnya adalah
Benazir khawatir kalau sewaktu-waktu dipecat Presiden karena tidak mampu mengatasi
masalah-masalah dalam negeri Pakistan selama pemerintahannya. Pemerintahan PPP
ingin mencabut Amandemen ke-8 yang memberikan kekuasaan lebih pada Presiden,
sehingga dapat mengancam kedudukan Perdana Menteri. Adanya Amandemen ke-8
dalam kehidupan konstitusi telah mempersempit ruang gerak Benazir Bhutto sebagai
kepala pemerintahan sehingga Benazir berusaha untuk menghapusnya. Namun
pencabutan tersebut tidak mudah, karena memerlukan konsensus dari Majelis Nasional,
sedangkan PPP saat itu bukanlah mayoritas, apalagi tidak didukung oleh oposisi Benazir
bhutto saat itu terlalu yakin pada dukungan massa partainya, PPP dan hal ini merupakan
kekeliruannya yang pertama selama masa pemerintahannya. Usia muda dan kekurang
pengalamannya, menyebabkan Benazir Bhutto tergelincir berkonfrontasi melawan
Presiden dan Kepala Staf Angkatan Darat yang akhirnya malah menyebabkan
kejatuhannya.
Hasil pembangunan yang dicapai oleh pemerintah Benazir Bhutto memang
tidaklah terlalu mengesankan. Parlemen belum juga membuahkan produk Undang-Udang
sejak berkuasanya Benazir Bhutto. Pendukung PPP menuduh bahwa hal tersebut terjadi
karena kaum oposisi mempunyai kekuatan dan dukungan yang sangat luar biasa besarnya
di Majelis Nasional, namun hal ini tidak juga menjelaskan kenyataan bahwa rancangan
peraturan baru belum juga diajukan.
Selain masalah tersebut di atas, juga terdapat beberapa masalah lain, yaitu
adanya pertentangan antara pemerintah federal dengan propinsi Punjab, di mana yang
menjadi Ketua Menteri adalah Nawaz Sharif, yang juga menjadi ketua IJI. Seperti halnya
dengan masalah Sindh, pertentangan ini diperlebar menjadi isu nasional untuk
kepentingan IJI. Nawaz Sharif membentuk Bank Daerah Punjab dan mengusulkan untuk
membentuk stasiun televisi daerah. Dalam kaitannya dengan dua hal tersebut, ia
menentang hak monopoli pemerintah federal. Kepentingan propinsi lain, sehingga seolah-
olah sebagai pertentangan antara pusat dengan daerah secara menyeluruh. Misalnya,
Ketua menteri propinsi Baluchistan, Nawab Akbar Bugti tergabung dengan Nawaz Sharif
dan menuntut seperti yang diinginkan oleh IJI, yaitu antara lain: pemberian otonomi yang
lebih luas dan masalah bersidangnya dewan untuk kepentingan umum (Council of
Comman Interst – CCI). CCI adalah suatu badan yang terdiri dari empat ketua menteri
propinsi ditambah dengan empat menteri pemerintahan federal, yang digariskan pada
Undang-undang 1973, meskipun Undang-Undang tersebut belum pernah disahkan.
Presiden Ghulam Ishak Khan setelah berkonsultasi dengan pimpinan
Angkatan Bersenjata Pakistan akhirnya pada tanggal 6 Agustus 1990 mengeluarkan
keputusan No. 178, yaitu memberlakukan parlemen dan membekukan kabinet Benazir
Bhutto. Adapun alasannya adalah: tidak berfungsinya badan legislatif; pertentangan
antara pemerintah pusat dan propinsi; korupsi dan nepotisme; kegagalan menegakkan
keamanan dan ketertiban di propinsi Sindh, dan pelanggaran konstitusi. Dengan bubarnya
parlemen dan kabinet di tingkat federal, otomatis parlemen dan kabinet propinsi juga
membubarkan diri.
Dari uraian tadi terlihat bahwa Presiden Ghulam Ishaq Khan membubarkan
kabinet pernah mengajukan mosi tidak percaya dengan tuduhan bahwa pemerintahan
Benazir Bhutto korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah . Tetapi mosi yang
dikemukakan dalam bulan November 1989 itu tidak memperoleh dukungan mayoritas,
sehingga gagal menyingkirkan Benazir Bhutto. Namun, tuduhan yang sama terhadap
Benazir Bhutto akhirnya muncul kembali dalam pengumuman Presiden Ghulam Ishaq
Khan mengenai pembubaran kabinet Benazir Bhutto dan parlemen.
Jelaslah bahwa kejatuhan pemerintahan Benazir Bhutto bisa dikatakan
sebagai kudeta tanpa kekerasan, yang ujung tombaknya adalah Ghulam Ishak Khan tetapi
diduga dalangnya adalah militer. Tindakan Ghulam Ishaq Khan untuk memecat
pemerintahan Benazir Bhutto yang dinilai sebagai langkah yang berani, boleh jadi karena
adanya tekanan dari pihak militer yang memang sudah berkali-kali merebut kekuasaan di
negeri itu.
b. 3. Kekalahan dalam Pemilu 1990
Tanggal 6 Agustus 1990, Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Benazir Bhutto
dari jabatan Perdana Menteri. Ia mengumumkan pembubaran pemerintahan Benazir
Bhutto, dengan alasan utama berupa korupsi dan nepotisme. Sesudah melakukan
pemecatan, Ishaq Khan menunjuk saingan Benazir Bhutto, Ghulam Mustafa Jatoi (58
tahun) sebagai Perdana Menteri untuk memimpin pemerintahan sementara sekaligus
mempersiapkan pemilu pada bulan Oktober 1990. keempat Majelis Propinsi juga
dibubarkan dan ditunjuk pula seorang Ketua Menteri sementara.90
Benazir Bhutto menolak mengakui pemerintahan Ghulam Mustafa Jatoi ini dan
mengajukan tuntutan kepada Mahkamah Agung agar pemerintahan Mustafa Jatoi
dibubarkan dan diganti dengan kabinet peralihan yang netral. Namun Mahkamah Agung
menolak tuntutan itu serta mengemukakan “sembilan tindakan pelanggaran dan
kelalaian” yang memberikan alasan sah dan layak untuk memecat Benazir Bhutto.
Pelanggaran dan kelalaian itu, misalnya: penyadapan telepon, penggunaan pesawat
Angkatan Udara selama mosi tidak percaya di parlemen, kegagalan mendapat dukungan
yang cukup di Majelis Tinggi yang didominasi oposisi, penyalahgunaan dana rahasia,
kegagalan mengendalikan pelanggaran hukum di propinsi Sindh dan konfrontasi antara
pusat dan pemerintah daerah.91
Ghulam Mustafa Jatoi adalah pemimpin Combined Opposition Party (COP). Ia
memulai karir politiknya di Pakistan People’s Party (PPP) yang dibentuk oleh Zulfikar Al
90 Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007)”. 91 Boentarto, “Martir Demokrasi Pakistan Benazir Bhutto (1953-2007)”.
Bhutto dan pernah menjabat Ketua Menteri Propinsi Sindh pada masa pemerintahan Ali
Bhutto. Namun ketika Benazir Bhutto mengambil alih kekuasaan pada 1988-1990, ia
berperan sebagai tokoh oposisi bagi PPP.92
COP, sebagaimana namanya adalah kelompok yang berbeda-beda, yang lebih
dipersatukan oleh rasa kebencian yang sama terhadap pemerintahan Benazir Bhutto
ketimbang program alternatif yang lebih masuk akal. Dalam hal ini COP nampaknya
melanjutkan tradisi Pakistan National Alliance (PNA) yang ikut membantu kejatuhan
Zulfikar Ali Bhutto pada tahun 1977 serta Gerakan untuk Perbaikan Demokrasi
(Movement for the Restiration of Democracy – MRD) yang berkapanye menentang Zia
ul-Haq sejak tahun 1981.93
Pengikut terbesar dari COP adalah Islami Jamhoori Ittehad (IJI), aliansi sembilan
partai yang terbentuk sesaat sebelum pemilu tahun 1988. anggotanya yang paling kuat
dari aliansi ini adalah Pakistan Moslem League (PML), yang dipimpin oleh mantan
Perdana Menteri Mohammad Khan Junejo dan Ketua Menteri propinsi Punjab, Nawaz
Sharif. Pengikut kedua yang terpenting dari COP adalah kaum Muhajir yang tergabung
dalam Muhajir Qoumi Movement (MQM) dari Karachi dan beberapa daerah urban di
propinsi Sindh.
COP nempaknya ingin meningkatkan tekanannya pada hal-hal yang berkaitan
dengan Islam secara resmi, namun pada prakteknya harus sedikit membedakan program
kerjanya dari apa yang dimiliki PPP. Pertikaian politik pada saat itu berpusat pada
manusianya ketimbang mengenai ideologinya. COP mengatakan bahwa ia sanggup
menyelenggarakan pemerintah yang lebih handal dan lebih jujur. Namun pada
92
Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 163. 93. Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”, atikel diakses pada 5
Oktober 2008, dari http://esaipolitiknurani.blogspot.com/2008_02_01_archive.html
kenyataannya tekanan-tekanan untuk mempererat partai koalisi yang terpecah belah jelas
akan menjurus kepada sejenis tawar menawar politik dan perpindahan kaum politisi dari
satu partai ke partai yang lain. Hal ini pada akhirnya tentu dapat mengakibatkan
ketidakstabilan pemerintahan sipil di Pakistan.
Setelah Presiden Ishaq Khan mengakhiri ketidakstabilan pemerintahan Benazir
Bhutto, maka sesuai dengan konstitusi 1973 dan janji dari pemerintahan sementara untuk
mempersiapkan pelaksanaan pemilu, dibentuklah panitia pemilu yang diketuai oleh
hakim Naemuddin, untuk mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pemilu.94
Ishaq
Khan juga telah menjadwalkan pemilu tingkat nasional maupun pemilihan Majelis
Propinsi yang masing-masing ditetapkan pada tanggal 24 Oktober 1990 dan tanggal 27
Oktober 1990.95
Walaupun Benazir Bhutto tetap mengkritik atas pemecatan dirinya, namun
akhirnya dia bersedia untuk bertanding dalam pemilihan umum yang diharapkan “bebas
dan adil”. Dalam rangka mengsukseskan pemilu, Komite Pemilu Nasional
mengumumkan “Code of Conduct” sebagai tata tertib pemilu guna menjamin
pelaksanaan pemilu yang bebas, jujur dan tidak memihak. Tata tertib itu antara lain;
melarang mengganggu pertemuan yang diadakan partai lain; melarang menyampaikan
pendapat atau bertindak dalam cara apapun yang sifatnya merugikan ideologi,
kedaulatan, integritas dan keamanan negara; menghindari untuk secara langsung
mengkritik partai-partai politik lain dan para pemimpinnya; menghindari pembicaraan
yang menimbulkan rasa pertentangan antar masyarakat; melarang membawa senjata atau
94 Nurani Soyomukti, “Benazir Bhutto, Perempuan, dan Demokrasi”. 95 Shahid Javed Burki, Pakistan: The Continuting Search for Nationhood, secound edition (San
Francisko: Westview Press, 1993), h. 103.
peledak dalam setiap pertemuan; dan melarang membawa spanduk-spanduk yang
mempunyai unsur intimidasi lebih dari 400 yard di tempat pemungutan suara.
Untuk pelaksanaan pemilu tersebut telah terdaftar 80 partai politik, namun hanya
45 partai politik saja yang akhirnya dinilai memenuhi syarat serta menyampaikan tanda
gambarnya. Di antara partai-partai tersebut yang paling dominan dan menentukan
perimbangan politik di Pakistan hanya ada dua kelompok, yaitu aliansi Islam Jamhoori
Ittehad (IJI) pimpinan Nawaz Sharif dan People’s Democratic Aliance (PDA) pimpinan
Benazir Bhutto. IJI terdiri dari Pakistan Muslem League (PML), National People’s Party
(NPP-Jatoi), Jamiat ul Ulama i Islami Fazlur Rahman (JUIF), Jamaat Islami (JI), Jama’at
Ulema Pakistan (JUP), Awami National Party (ANP), Jamhoori Watan Party (JWP),
Islamic Ahle Hadith Party, Jamaat ul Mashaikh, Azad Group dan Nizami Mustafa Group.
Sedangkan People’s Democratic Alliance (PDA) terdiri dari Pakistan People’s Party
(PPP), Tehrik I Istiqlal, Tehrik Nifaz Firqah Jafariya dan Pakistan Moslem League
(PML) Qasim Group.96
Selama masa kampanye, kedua kelompok tersebut masing-masing telah
menyampaikan program dan janji-janji mereka sebagai platform kampanye. Program
PDA misalnya dapat dilihat dari manifesto. Manifesto itu antara lain berisi rencana
penghapusan Amandemen ke-8; pengajuan daftar kekayaan sebelum dan sesudah menjadi
presiden, perdana menteri, anggota-anggota parlemen dan pejabat-pejabat tinggi,
perbaikan nasib pengacara, kebebasan pers; meningkatkan peranan wanita; menjamin
hak-hak golongan minoritas dalam pemerintahan. Manifesto politik berisi pula rencana
pengembangan sektor industri, pendidikan dan kesehatan, meningkatkan peranan ulama;
96 Sharif Al Mujahid, Pakistan History, The far East and Australasia 1993, 24 th edition (London:
Europa Publications Limited, 1992), h. 803.
memberantas perdagangan obat-obat terlarang, peningkatan sarana angkutan, modernisasi
angkatan bersenjata, pembangunan program nuklir untuk maksud damai, peningkatan
politik luar negeri; peningkatan sarana untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas listrik,
gas, telepon, tempet-tempat rekreasi, sekolah dan rumah sakit.97
Sedangkan program-program yang dicanangkan IJI, meliputi peningkatan
perlindungan hak-hak azasi manusia; memperbaharui sistem peradilan sesuai dengan
perinsip Islam; pembentukan pemerintahan yang jujur dan berwibawa; perbaikan
lembaga kemasyarakatan; penyederhanaan cara mendapatkan pupuk, air minum, listrik,
gas, telepon dan peningkatan pelayanan angkutan umum. Kendati masing-masing telah
memiliki program konkrit seperti tercermin dari manifesto politiknya tadi, namun
kenyataannya selama rapat-rapat umum, kedua kelompok besar tesebut lebih
menfokuskan perdebatan pada isu saling menjelek-jelekan atau bersifat saling berusaha
melemahkan posisi lawan saja. Keduanya jarang menyampaikan program-program yang
sifatnya bermanfaat bagi rakyat.98
Selama kampanye kubu PDA selalu dihantui oleh tindakan pertanggungjawaban
(acountability) yang dilancarkan oleh pemerintahan sementara. Tindakan itu sebagai
langkah lanjut atas tuduhan yang dilancarkan Presiden Ghulam Ishaq Khan terhadap
Benazir Bhutto yang mengakibatkan dipecatnya perdana menteri wanita itu. Pemerintah
sementara ini melakukan penyidikan dan penangkapan para aktifis PPP sesuai dengan
tuduhan yang dijadikan alasan Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk membubarkan
pemerintahan Benazir Bhutto. Tidak hanya Benazir Bhutto yang diajukan ke pengadilan,
97Riza Aulia, “Apa yang Terjadi di Pakistan?”, data diakses pada 29 Oktober 2008, dari
http://hizbut-tahrir.or.id/2007/11/22/apa-yang-terjadi-di-pakistan/ 98 Lawrence Ziring, “Pakistan in 1990: The fail of Benazir Bhutto”, ASIAN Survey, Vol. XXXI, No.
2, Februari 1991, h. 119.
tetapi banyak juga tokoh-tokoh PPP yang diajukan untuk mempertanggungjawabkan
perbuatannya di depan pengadilan sesuai dengan tuduhan atas tindakan mereka selama
dua puluh bulan pemerintahan PPP berkuasa. Tuduhan-tuduhan yang akan dibuktikan di
depan pengadilan meliputi tindak pidana korupsi, teror politik terhadap musuh-musuhnya
serta tindakan-tindakan tidak konstutisional. Waktu itu banyak tokoh PDA khususnya
PPP, yang di tangkap dan ditahan sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk
berkampanye di daerah para pemilihnya.
Masalah pertanggungjawaban accountability mendapat reaksi keras tidak hanya
dari PPP yang merasa dirugikan, tetapi juga memancing reaksi dari Amerika Serikat yang
disampaikan melalui Duta Besar Amerika Serikat di Pakistan dengan mengkritik bahwa
terjadi ketidakadilan karena diskriminatif hanya diberlakukan terhadap orang-orang PPP,
dan bukan termasuk tokoh-tokoh pemerintah sebelumnya. Dari proses pelaksanaannya
terlihat bahwa motif sebenarnya dari “pertanggungjawaban” accountability lebih bersifat
politis, yaitu untuk menyingkirkan tokoh-tokoh PPP. Dengan demikian diharapkan dapat
memperkuat kedudukan IJI.
Pihak PPP tidak hanya mendapat tekanan dari pemerintah melalui
pertanggungjawaban accountability. Pemerintahan Jatoi ternyata juga semakin keras
berusaha mengeliminir pengaruh Benazir Bhutto dengan menarik para pendukung utama
Benazir untuk bergabung dalam pemerintahan sementara. Jatoi menarik empat orang
mantan sekutu Benazir (Ghulam Mustafa Khan, Miraj Khalid, Mahdoem Shafiquzzaman
dan Kazi Abdul Majed Abid), untuk menjadi menteri dalam pemerintahan sementara.
Pengangkatan Makhdoem Shafiquzzaman ini menjadi pukulan berat bagi Benazir untuk
mengumpulkan dukungan pada pemilu Oktober 1990. Makhdoem adalah keluarga kiyai
yang dipuja para pengikutnya (para santri) di propinsi Sindh dan Punjab. Sebagaimana
para kiyai lainnya, keluarga Makhdoem ini juga mengikat tali keluarga dengan kaum
Zamidar (tuan tanah muslim), yang juga berpengaruh besar pada rakyat pedesaan.99
Pihak
Angkatan Darat juga memberi peluang bagi kemenangan IJI. Hal ini terlihat dari
penempatan pasukan Angkatan Darat di beberapa daerah para pemilih yang merupakan
basis PPP. Alasan yang disampaikan pimpinan Angkatan Darat bagi penempatan
pasukannya adalah untuk menangkal kemungkinan teror yang akan dilakukan pihak-
pihak tertentu yang ingin mengacaukan pemilu. Namun daerah-daerah tersebut adalah
tempat potensial bagi PPP untuk meraih kemenangan, seperti di propinsi Sindh dan
beberapa tempat di Punjab. Melihat gelagat demikian, ketua PPP Benazir Bhutto dari
awal telah dapat meramalkan bahwa pemilu tersebut tidak akan dapat terlaksana
sebagaimana yang diharapkan, yaitu bebas, jujur dan tidak memihak.
Proses pengadilan atas diri Benazir dan sejumlah mantan menterinya jelas
merugikan PPP, terutama dalam menghadapi pemilu 1990 ini. Benazir tidak dapat
berkampanye secara bebas karena harus menghadiri sidang pengadilan. Hal ini
berpengaruh pada semangat para pendukung tokoh-tokoh PPP lainnya karena Benazir
merupakan tokoh senteral PPP yang pada pemilu 1988 terbukti mampu memobilisasi
massa. Dengan absennya Benazir dari beberapa kampanye PPP, tokoh-tokoh PPP lainnya
tidak terlalu yakin akan dapat menarik simpati massa. Selain itu, selama pengadilan
berlangsung, pers resmi cenderung pula membuat versi yang sudah mengarah pada
“pengadilan oleh media”. Kondisi ini jelas akan berpengaruh besar sebab turunnya
kredibilatas Benazir dan tokoh-tokoh PPP lain di hadapan masyarakat Pakistan. Media
99 Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan”, h. 80.
massa (pers) adalah pembentuk “opini publik” yang sangat ampuh. Sehingga apa yang
diinformasikan oleh pers tentang diri Benazir Bhutto akan langsung diterima mentah-
mentah oleh masyarakat.
Akhirnya pemilu tanggal 24 Oktober 1990 dimenangkan IJI dengan memperoleh
105 kursi dari 217 kursi yang diperebutkan untuk mengisi 217 kursi di parlemen.
Sementara PDA yang didominasi PPP hanya memenangkan 45 kursi. Dalam pemilu ini,
MQM tampil lagi sebagai kekuatan ketiga terbesar dengan memenangkan 15 kursi, ANP
11 kursi, JUIF 11 kursi, dan partai-partai kecil dan calon Independen 30 kursi (lihat tabel
2). Dari hasil pemilu tesebut terlihat IJI (bersama-sama dengan sekutunya) berhasil
memimpin perolehan suara dengan menjadi mayoritas.
Tabel 2.
Hasil Pemilihan Umum Anggota Majelis Nasional di Pakistan, 24 Oktober 1990100
NO. NAMA PARTAI Perolehan Kursi
1. Islamic Jamhoori Ittehad (IJI) 105 kursi
2. Pakistan People’s Party (PPP) 45 kursi
3. Mohajir Qoumi Movement (MQM) 15 kursi
4. Awami National Party (ANP) 11 kursi
5. Jamaati Ulamai Islami (JUI) 11 kursi
6. Lainnya:
- Nation People’s Party (NPP),
100 Dhururudin Mashad, “Pemilu di Pakistan 1990: Kegagalan Benazir Bhutto Dalam Meraih
Kekuasaan”, Jurnal Ilmu Politik 13 (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 82.
- Sind National Party (SNP),
- Tehrik i Nifaz Fiqh i Jafrida (TNFJ),
- dan partai-partai kecil independent.* 30 kursi
Total 217 kursi
* NPP, SNP< TI, TNFJ adalah pendukung People’s Democratic Alliance (PDA)
pimpinan Benazir Bhutto.
Kemenangan IJI ternyata tidak hanya terjadi pada tingkat nasional. Pada
pemilihan tingkat propinsi tanggal 27 Oktober 1990, ternyata menghasilkan pola sama.
IJI dan sekutunya memperoleh 325 kursi dari 473 kursi di keempat propinsi, PDA
ternyata gagal memenangkan suara mayoritas propinsi asal Benazir Bhutto sendiri, Sindh.
Alhasil, dengan kemenangan telak, IJI pun membentuk pemerintahan propinsi di Punjab.
IJI juga menunjukkan kekuatannya di propinsi Sindh dan Baluchistan serta membentuk
pemerintahan koalisi dengan ANP di NWFP. Untuk pertama kalinya pula, IJI dapat
membentuk pemerintahan di empat propinsi.
C. Upaya Benazir Bhutto Menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif
Dengan keberhasilan IJI memperoleh suara meyoritas maka pencalonan Nawaz
Sharif sebagai Perdana Menteri Pakistan semakin terbuka. Kendati sebenarnya ada dua
calon dari IJI ditembak mati oleh pendukung oposisi, namun Benazir Bhutto dan
kelompoknya tetap menuduh IJI lah sebagai pihak yang curang dalam pemilu 1990.
selain PPP, partai-partai lain seperti Jamiat Ulema Pakistan. (JUP) pimpinan Ahmad
Noorani ikut pula melontarkan ucapan bahwa selama pemilu dibanyak tempat telah
terjadi manipulasi yang dirancanakan sebelumnya. Presiden Ghulam Ishaq Khan
dianggap telah gagal memenuhi janjinya untuk menjamin pemilu dilaksanakan dengan
bebas, jujur dan tidak memihak.101
Namun demikian pemilu 1990 tetap dianggap sah apalagi setelah diperkuat oleh
para Peninjau international yang netral, National Democratic Institute (NDI) yang
menyatakan bahwa pemilu tersebut telah terlaksana secara bebas, adil, dan tanpa hal-hal
yang menyimpang secara serius. NDI adalah suatu lembaga dari partai demokrat
Amerika yang berpusat di Washington yang sengaja datang untuk memonitor
pelaksanaan pemilu tersebut. Delegasi NDI terdiri dari 40 orang ahli dari 17 negara,
seperti Amerika Serikat, Sri Langka, Senegal, Turki, Kenya, Namibia, Jepang,
Cekoslovakia, Bulgaria, Swedia dan Afrika Selatan, dan lain-lain.102
Sebagai tindak lanjut dari menangnya IJI, dilaksanakanlah beberapa proses
konstitusional di parlemen, yaitu pemilihan Ketua Majelis Nasional, pemilihan perdana
menteri, pemberian mosi percaya pada Perdana Menteri terpilih dan pelantikan perdana
menteri. Dalam sidang Majelis Nasional tanggal 6 November 1990, telah dilaksanakan
pemilihan Perdana Menteri. Untuk pemilihan tersebut telah diajukan dua orang calon,
masing-masing Nawaz Sharif dari IJI dan Mohammad Afzal Khan dari PDA. Dalam
pemilihan melalui sistem terbuka tersebut, Nawaz Sharif mantan Ketua Menteri Punjab
terpilih secara mutlak dengan mengumpulkan 153 suara. Sedangkan Afzal Khan hanya
memperoleh 39 suara.103
Nawaz Sharif menang mudah dalam pemilihan Perdana Menteri
101“Ghulam Ishaq Khan”, data diakses pada 12 November 2008, dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghulam_Ishaq_Khan 102 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 61-62. 103
Kholda Naajiyah, “Seputar Krisis Politik di Pakistan”, data diakses pada 13 November 2008, dari http://politisi.blogspot.com/2007_06_01_archive.html
karena aliansi IJI yang dipimpinnya merupakan mayoritas di Majelis Nasional. Lebih dari
itu partainya juga berkoalisi dengan MQM, ANP, JUIF, dan JWP.
Nawaz Sharif memulai jabatannya sebagai Perdana Menteri dengan kekuatan
yang cukup besar. Dia memimpin 2/3 mayoritas kursi di Majelis Nasional dan memiliki
dukungan yang besar di Senat. Keempat propinsi juga diperintah oleh orang-orangnya. Ia
pun memperoleh keyakinan dan dukungan dari Presiden Ghulam Ishaq Khan dan Kepala
Staf Angkatan Darat Jenderal Mirza Aslam Beg.104
Untuk melaksanakan kebijakan
pemerintahannya, Perdana Menteri Nawaz Sharif telah membentuk kabinet yang terdiri
dari 19 orang menteri dan 4 orang penasehat Perdana Menteri. Dari sembilan belas orang
menteri tersebut, terdapat sembilan muka lama semasa pemerintahan sementara.
Sebagai politisi, Sharif juga cerdik dengan berhasil menyatukan komponen-
komponen partai yang saling berlawanan dalam aliansi IJI yang berkuasa. Nawaz Sharif
juga sukses membentuk konsensus antara pusat dan propinsi mengenai masalah sensitif
seperti alokasi sungai Indus dan pembagian pemasukan federal. Kedua pemufakatan yang
baik ini dianggap sebagai salah satu keberhasilan diplomatik yang sangat penting, karena
hal ini tidak terpecahkan selama lebih dari 17 tahun.
Tindakan pertama Nawaz Sharif sebagai Perdana Menteri adalah penghapusan
keadaan darurat negara yang diberlakukan sejak tanggal 6 Agustus 1990. dalam pidato
pertamanya, ia menyerukan untuk menjauhkan diri dari “pembalasan politik” dan
mengobarkan semangat untuk bermusyawarah, pengampunan dan menahan diri. Ia juga
bersumpah untuk mengatasi semua masalah-masalah yang besar dengan dasar kerja sama.
104 Rais Ahmad Khan, “PAKISTAN IN 1992: Waiting for Change”, ASIAN SURVEY, Vol. XXXIII,
No. 2, February 1993, h. 130.
Bermula dari hal ini, pemerintahan Nawaz Sharif dinilai oleh banyak pengamat
akan lebih stabil dari berbagai pemerintahan sebelumnya sejak pertengahan tahun 1960-
an. Namun sebenarnya ia tetap dihadapkan pada berbagai masalah dan beberapa isu-isu
yang kontroversial, baik dibidang politik maupun ekonomi. Dengan ini beralasan karena
walaupun Perdana Menteri sering menyerukan untuk rekonsilasi, namun Benazir Bhutto
ternyata secara terus menerus lebih suka mengambil sikap konfrontasi. PDA mengancam
untuk mengadakan pengunduran diri secara masal dan memboikot pemerintahan federal
dan Dewan Propinsi Sindh.
Memang meskipun Benazir telah kalah dalam pemilu 1990, namun tidak berarti ia
langsung hilang dalam kancah politik Pakistan. Benazir Bhutto bertekad untuk tetap di
gelanggang politik, meskipun berbagai kesulitan melilitnya semenjak dipecat dari jabatan
Perdana Menteri. Kesulitan politik dan hukum yang menghadangnya, tidak akan
menghentikan kegiatannya sebagai politikus Pakistan.
Pada bab ini akan dibahas upaya Benazir Bhutto sebagai Oposisi untuk
menggoyahkan Pemerintahan Nawaz Sharif dengan mempengaruhi Opini Publik,
Menggalang Demonstrasi dan mendesak untuk diadakannya Pemilu, berikut
penjelasannya.
C. 1. Mempengaruhi Opini Publik
Selama Nawaz Sharif memerintah Pakistan sejak kemenangannya dalam pemilu
1990, Benazir Bhutto bertindak sebagai pemimpin oposisi. Benazir mulai melancarkan
aksi-aksi politiknya untuk merongrong kewibawaan pemerintah Nawaz Sharif. Berbagai
cara dilakukan mulai dari tuduhan-tuduhan terhadap kesewenang-wenangan pemerintah
yang telah mendiskreditkan PPP dalam kancah politik Pakistan, menyebarkan “White
Paper” yang berisi tentang kecurangan dalam pemilu 1990, melakukan aksi mogok
makan sebagai protes terhadap kecurangan yang dilakukan pemerintah atas partainya,
sampai melakukan “Long March”.
Tak lama setelah pemilu 1990, Benazir memulai aksi protesnya terhadap
pemerintah dengan menyebarkan “White Paper” yang berisi tuduhan bahwa selama
pemilu pemerintah telah melakukan manipulasi yang memungkinkan kelompok Nawaz
Sharif menang mutlak. Oleh karena itu, menurut Benazir Bhutto keberadaan pemerintah
Nawaz Sharif tidaklah absah. Oposisi juga meminta agar masalah pro dan kontra
mengenai pembentukan pemerintahan nasional serta perdebatan-perdebatan mengenai
pidato Presiden pada Sidang Gabungan Parlemen yang dianggap berat sebelah dan tidak
mencerminkan semua golongan untuk diperdebatkan kembali di parlemen.
Belum lagi ketika terjadi Perang Teluk yang pecah pada bulan Januari 1991,
pemerintahan Nawaz Sharif sempat menghadapi krisis kepercayaan karena keputusannya
yang menyanggupi pengiriman 11.000 tentara Pakistan untuk bergabung dalam pasukan
multinasional pimpinan Amerika Serikat. Keputusannya ini menimbulkan gelombang
protes anti Amerika Serikat. Hal ini dieksploitasi oleh beberapa partai termasuk PPP
untuk mengorganisir protes dan unjuk rasa pro-Irak.105
Posisi Nawaz Sharif dalam hal ini memang sulit, karena disatu pihak dia harus
mendapat dukungan dari rakyat, yang menentang kebijakannya dalam Perang Teluk.
Sedangkan di lain pihak harus menjaga hubungan baik dengan Saudi Arabia dan
Amerika Serikat yang merupakan donor utama Pakistan. Selain itu pengiriman pasukan
ke Saudi Arabia juga sebagai realisasi dari perjanjian antara kedua negara tahun 1982, di
mana keduanya akan saling membantu apabila kemerdekaan dan kedaulatannya
105 Sharif Al Mujahid, “Pakistan History, The Far East And Australia 1993”, h 801.
terancam. Meskipun keputusan tersebut pada akhirnya telah mengakibatkan keduanya
partai agama Jamaat Islami (JI) pimpinan Qazi Hussain Ahmad dari koalisi IJI dan
mundurnya Menteri Agama Pakistan Abdussatar Niazi dari Jama’at Ulama Pakistan
(JUP), pemerintah masih berhasil mempertahankan posisinya dari protes keras
tersebut.106
Setelah melakukan perjalanannya ke luar negeri selama sebulan, Benazir Bhutto
mulai melancarkan serangannya lagi kepada pemerintah dengan tuduhan bahwa
pemerintah Pakistan telah mencoba menyisihkan peranannya sebagai pemimpin oposisi
serta memfitnah suaminya telah melakukan tindakan kriminal. Benazir Bhutto juga
menuduh pemerintah ingin menyingkirkannya dari Majelis Nasional Pakistan dan partai
politik, dengan cara melancarkan beberapa tuduhan pemerintah terhadap ketidak becusan
Benazir Bhutto dalam memerintah Pakistan, seperti antara lain: korupsi, nepotisme,
ktidakmampuan mengatasi masalah dalam negeri Pakistan, pelanggaran konstitusi,
kegagalan mengendalikan pelanggaran hukum dan tata tertib di propinsi Sindh
konfrontasi antara pusat dan daerah. Polisi juga mengajukan tuntutan kepada beberapa
mantan anggota kabinet Benazir Bhutto dengan tuduhan telah berkomplot membunuh
Altaf Hussain, pemimpin MQM.
Ditengah kritikan-kritikan Benazir Bhutto ini, pemerintah Nawaz Sharif berhasil
menguasai isu yang paling kontroversial mengenai pemberian status legal kepada
Syariah, sebuah Undang-Undang resmi yang menerima hukum Islam. Hal tersebut
disampaikan dalam Sidang Majelis Nasional pada pertengahan April 1991. keberhasilan
ini menjadi acuan bagi panitia terpilih untuk meninjau kembali dan mempertimbangkan
usul-usul perubahan. Perubahan Undang-Undang Syariah diterima oleh Majelis pada
106 Sharif Al Mujahid, “Pakistan History, The Far East and Australia 1995”, h. 833.
pertengahan bulan Mei 1991 dan disetujui oleh Senat dua minggu kemudian Akhirnya,
Presiden Ghulam Ishaq Khan mensahkan Undang-Undang Syariah yang menyatakan Al-
Quran dan Sunnah Nabi Muhammad SAW sebagai hukum tertinggi di Pakistan.107
Menurut Pemerintah, Undang-Undang tersebut ditujukan untuk meng-Islamkan sistem
ekonomi dan pendidikan Pakistan, serta akan mempercepat proses keadilan bagi rakyat
dan menjadikan Pakistan sebagai negara Islam yang sejahtera108
Undang-Undang tersebut
didukung oleh kaum fundamentalis yang bergabung dalam Jamaat Islami (IJI).
Tetapi Benazir Bhutto yang bertindak selaku pemimpin kubu oposisi, menilai
undang-undang tersebut sebagai kemunduran dan inkounstitusional. Bahkan menurut
Benazir Bhutto, undang-undang tersebut akan mengandung sentiman atau pertikaian di
antara para ulama dan sekte-sekte keagamaan. Sekte minoritas Syiah, sejumlah
intelektual dan kelompok-kelompok kaum feminis juga menentang pemberlakuan
undang-undang yang disetujui Majelis Nasional (16 Mei 1991) dan disahkan Senat (28
Mei 1991) itu. Bahkan partai radikal JUI (Jamiat ul Ulema i-Islami) menganggap undang-
undang tersebut hanya sebagai lelucon, dengan alasan undang-undang itu tak melarang
praktek riba dan pemberian bunga atas pinjaman.109
Persamaan-persamaan anti pemerintah di kalangan partai-partai oposisi telah
menimbulkan semangat persatuan, yang diwujudkan dalam All Parties Conference (APC)
dipimpin ketua Pakistan Democratic Party (PDP), Nawabzada Nasrullah Khan. APC ini
bukan merupakan aliansi, tetapi suatu kerja sama antara beberapa partai yang bertujuan
107Ghulam Ishaq Khan”, data diakses pada 12 November 2008, dari
http://en.wikipedia.org/wiki/Ghulam_Ishaq_Khan 108 Yudi Prianto, “Setelah Masa Berkabung Usai”, artikel diakses pada 12 November 2008, dari
http://majalah.tempointeraktif.com/id/email/1988/09/03/LN/mbm.19880903.LN28105.id.html 109 Hafid Usman, “Political Parties and Leaders” artikel diakses pada 12 November 2008, dari
http://surf.de.uu.net/bookland/compendia/cia/factbook/fields/political_parties_and_leaders.html
untuk menggalang persatuan dalam menghadapi pemerintah. Kerja sama tesebut terdiri
dari: PDP, PPP, Tehrik Nifaz Firqah Jafariya, Tehrik i-Istiqlal, PML Qasim Group,
Qaumi Mashrik Awami (QMA), Mazdoor Kissan Party (MKP), dan Hizb-e-Jebeb ini
dimaksudkan untuk mengoreksi dan mengkritik kebijakan pemerintah. Upaya yang
dilakukan di luar parlemen adalah melalui unjuk rasa, pawai demonstrasi, dan rapat-rapat
umum. Hal ini tentu saja sangat mendukung People Democratic Alliance (PDA) sebagai
partai oposisi dalam menghadapi pemerintah.
Banyak cara telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi agitasi kaum oposisi.
Untuk mengurangi pengaruh PPP di propinsi Sindh yang dianggap sebagai ancaman
utama terhadap kedudukannya misalnya, Nawaz Sharif mengangkat Jam Saddiq Ali, -
seorang mantan pimpinan PPP yang kurang puas pada Zulfikar Ali Bhutto – sebagai
Ketua Menteri. Selama masa pemerintahan Jam Saddiq Ali ini, dilakukan berbagai cara
untuk menghancurkan kekuatan PPP, baik di parlemen maupun di luar parlemen. Banyak
pemimpin PPP termasuk suami Benazir, Asif Zardari ditahan dengan berbagai tuduhan.
Demikian pula di dalam tubuh IJI, Nawaz Sharif telah melakukan pembersihan
kabinetnya terhadap orang-orang yang dianggap terlalu dekat oposisi atau terlalu vokal
menentang kebijkan pemerintahannya, seperti Menteri Dalam Negeri Zahid Sarfraz dan
Menteri Komunikasi Murtaza Jatoi.110
Pada bulan Juli 1991 pemerintah telah pula mengeluarkan Amandemen ke-12.
Amandemen ke-12 ini sebelumnya telah disetujui oleh Majelis Nasional dan Senat, dan
pada akhirnya disetujui oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan sebagai Undang-Undang No.
15/1991. Di keluarkannya amandemen tersebut berawal dari situasi keamanan dan
110“Asif Ali Zardari”, data diakses pada 12 November 2008, dari
http://id.wikipedia.org/wiki/Asif_Ali_Zardari
ketertiban yang sedemikian buruknya yang tidak bisa diatasi dengan segala perangkat
kepolisian dan perundang-undangan yang ada. Dengan disetujuinya Amandemen ke-12
ini telah menjadi bagian dari konstitusi 1973 dan harus ditaati oleh semua pihak tanpa
kecuali dan menjadi dasar hukum bagi pembentukan peradilan khusus di keempat
propinsi.
Menurut pemerintah amandemen ini merupakan senjata ampuh untuk
menegakkan keamanan dan ketertiban masyarakat, di mana proses peradilan terhadap
pelaku kejahatan dipercepat. Namun oposisi meragukan dari amandemen tersebut, karena
kalau sekedar menampung kriminal sebenarnya sudah ada pengadilan. Oleh karena itu
oposisi beranggapan bahwa Amandemen ke-12 lebih dimaksudkan untuk menghukum
lawan-lawan politik dan atau kelompok oposisi. Dugaan oposisi ternyata benar, karena
setelah berlakunya Amandemen ke-12 tersebut maka pemerintahan propinsi terutama di
propinsi Sindh, melakukan penangkapan terhadap tokoh-tokoh dan anggota-anggota PPP,
yang ditangkap sebagai pembunuh, teroris dan penculik.
Untuk memprotes pemerintahan Nawaz Sharif yang dianggapnya akan
menghancurkan partainya ini, Benazir dan beberapa tokoh oposisi lantas melakukan aksi
mogok makan pada Minggu tanggal 4 Agustus 1991. Aksi mogok makan selama 12 jam
di luar gedung parlemen ini sebagai protes menentang aksi penahanan dan penyiksaan
5.000 pendukung partainya.111
Bahkan bersamaan dengan tuduhan-tuduhan Benazir
tenteng terjadinya kecurangan dalam pemilu 1990 yang menyebabkan kerugian besar
bagi PPP, ternyata muncul pengakuan kecurangan dari Naveed Malik mantan Penasehat
Perdana Menteri Nawaz Sharif itu mengaku telah berbuat curang, dengan
111 Rosyadi, “Perjalanan Benazir Bhutto”, artikel diakses pada 12 November 2008, dari
http://suryoele.wordpress.com/page/2/
mengkoordinasikan dua sel pemilu yang dibentuk untuk memanipulasi hasil pemilu agar
Benazir Bhutto (PPP) tidak menang. Dengan demikian terungkaplah sebagian dari
kecurangan-kecurangan pemilu 1990. Benazir Bhutto menuduh bahwa Presiden Ishaq
Khan lah sebagai penanggung jawab utama dari semua kejahatan ini. Bahkan sebagai aksi
protes bagi pemerintah, Benazir berhasil juga membujuk 18 anggota parlemen PPP untuk
mengundurkan diri.112
Setahun sesudah pemecatannya, Benazir Bhutto mengangkat pula isu skandal
ratusan juta dollar yang melibatkan partai yang sedang berkuasa, sebagai tindakan balas
dendam atas isu yang sama ditimpakan pada pemerintahannya, 1988-1990. Isu skandal
yang tersebut terutama dituduhkan pada lembaga-lembaga koperasi simpan pinjam yang
dijalankan para anggota partai berkuasa, yang berhenti membayar setoran dan memohon
bantuan pemerintah. Koperasi-koperasi itu sebagai salah satu contohnya adalah Lembaga
Keuangan Koperasi Nasional (Nation Industrial Credit Financial Corporation – NICFC),
dimiliki anggota partai IJI pimpinan Perdana Menteri Nawaz Sharif.113
Benazir Bhutto menuding Nawaz Sharif dan Menteri Dalam Negeri Shujaan
Hussain telah mengambil pinjaman dalam jumlah besar dari koperasi untuk membiayai
usaha pribadi mereka. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang
Koperasi Masyarakat tahun 1952 yang tidak membenarkan untuk memberikan pinjaman
kepada Perseroan Terbatas (PT). Ada dugaan kuat bahwa perusahaan milik Perdana
Menteri dalam semalam meminjam Rs. 300 juta dari Muslim Commercial Bank dalam
112 Serangan-serangan Benazir Bhutto, ditanggapi Nawaz Sharif dalam sebuah pidato hari
Kemerdekaan Pakistan, 14 Agustua 1991 di Lahore dengan kemarahan, kebencian dan ancaman. Pada saat yang sama, Nawaz Sharif telah pula mendeklarasikan dirinya sebagai pembawa panji prinsip-prinsip Ali
Jinnah. Juga pada hari ulang tahun kematian Zia Ui Haq tiga hari kemudian, ia mengangkat dirinya tersebut
sebagai penjaga warisan Zia Ui Haq, lihat Rais Ahmad Khan, ASIAN SURVEY, h.131.
113 Zacky Khairul Umam, “Pakistan dan Demokrasi yang Tersisih,”artikel diakses pada 12
November 2008, dari http://klikinter.blogspot.com/2007_12_01_archive.html
rangka membayar kembali hutang-hutangnya kepada NICFC. Dinyatakan juga bahwa
jaminan atas pinjaman tersebut dinaikan secara tidak wajar, sertifikat-sertifikatnya
dipalsukan dan pinjaman-pinjaman baru disetujui tanpa melihat adanya keganjilan-
keganjilan pada pinjaman-pinjaman sebelumnya. Salah satu Perseroan Terbatas yang
dimaksud PDA adalah milik Perdana Menteri, The Itterfaq Group of Industries, yang
memberi hak para pemegang deposito NICFC sejumlah Rs. 61 juta dengan diskon sangat
besar. Namun, pada akhirnya para pemegang deposito tersebut justru kehilangan harapan
untuk menerima uangnya kembali.114
Perdana Menteri membentuk komisi untuk menyelidiki sebab-sebab kebangkrutan
bank-bank koperasi dan mencari segala cara dan upaya untuk mengembalikan uang para
penyetor. Tetapi komisi tersebut gagal bertindak cepat, bahkan hanya memfokuskan
usahanya untuk membersihkan nama Ittefaq Industries tanpa memikirkan cara untuk
memecahkan inti masalah. Pemerintah benar-benar telah dipermalukan dengan tuduhan-
tuduhan ini, sebab persoalannya hampir sama dengan tuduhan Presiden atas Benazir
Bhutto dan kelompoknya yang kasusnya justru sedang dalam proses pengadilan.
C. 2. Menggalang Demonstrasi
Dalam hal ini menurut Benazir, masalah nasional hanya dapat diselesaikan
melalui wakil-wakil rakyat yang murni, baik di Majelis Nasional, Senat, maupun Majelis
Propinsi. Lebih jauh, Benazir Bhutto pada awal September 1992 menyelenggarakan
rapat-rapat umum untuk menuntut pengunduran pemerintahan Nawaz Sharif, seperti rapat
di kota Taxila (35 kilometer dari kota Islamabad) dan kota Marri (sebelah utara
114 Mohammad Waseem, “ ASIAN SURVEY”, h. 628.
Islamabad).115
Sikap Benazir ini didukung hampir seluruh kalangan oposisi. Mereka yang
tergabung dalam PDA itu, berdemonstrasi menentang kepemimpinan Nawaz Sharif.
Dalam arak-arakan yang berlangsung dipimpin Benazir Bhutto, demonstran bergerak dari
Rawalpindi menuju Islamabad sejauh 15 kilometer, sambil meneriakkan agar pemilu
dipercepat. Namun polisi Pakistan telah menggagalkan rencana demonstrasi secara besar-
besaran tersebut.
Sebelumnya, pemerintah sebenarnya telah melarang Benazir Bhutto memimpin
demonstrasi di parlemen. Bahkan pemerintah telah memberlakukan larangan berkumpul
lebih dari lima orang di Islamabad selama dua bulan sejak hari itu juga. Namun Benazir
mengatakan akan menentang perintah itu dan meneruskan rencana Long Marchnya
dengan rute sepanjang 18 kilometer dari Rawalpindi ke gedung parlemen di Islamabad
pada 18 November 1992.116
Ribuan personil para militer dan polisi menutup kota Islamabad dan mengepung
rumah Benazir Bhutto guna mencegah rencana Long Marchnya ke gedung parlemen.
Tentara menggelar ratusan meter kawat berduri di antara pepohonan di sepanjang rute
menuju parlemen. Sementara itu ribuan polisi dan personil para militer beresnjata
senapan berderet di sepanjang jalan, memblokir persimpangan-persimpangan utama dan
memeriksa kartu identitas. Polisi menahan ribuan anggota PPP di seluruh Pakistan, mulai
dari desa-desa terpencil di Kashmir hingga ke Karachi. Selain para anggota PPP, Benazir
Bhutto dan para pemimpin oposisi lainnya juga ditahan. Bahkan sebelumnya, polisi
setempat pula menembakkan berlusin-lusin bom gas air mata terhadap mantan Perdana
115 Triyono Lukmantoro, “Negara-Bangsa dan Politik Kehidupan”, data diakses pada 13
November 2008, dari http://danielpinem.wordpress.com/pemikiran- -september-1992-2/ 116 Arif Budiman, “Pemerintahan Nawaz Sharif”, data diakses pada 13 November 2008, dari
http://zhyntativ.blogspot.com/
Menteri Pakistan itu ketika menuju Rawalpindi, di mana ribuan rakyat menunggunya
untuk bersama-sama menuju gedung parlemen di Islamabad guna menuntut pemilu baru
dan penggantian pemerintahan.
Setelah ditangkap, Benazir Bhutto ditahan di kota Karachi serta dilarang
menginjakkan kakinya di Islamabad selama 30 hari. Di Karachi, ia dan ibunya, Nusrat
Bhutto ditahan di rumah masing-masing yang sudah dipersiapkan menjadi penjara kecil
oleh Departemen Urusan Dalam Negeri. Semua peraturan penjara diberlakukan di rumah.
Meskipun gagal melaksanakan Long March, namun Benazir Bhutto tetap berhasil
membuat Islamabad menjadi lumpuh. Bahkan sekalipun tanpa Benazir, demonstrasi tetap
berlangsung dan melebar bukan hanya di Islamabad dan Karachi tetapi juga di kota-kota
besar lainnya seperti Lahore dan Peshawar. Akibatnya polisi terpaksa menggunakan gas
air mata untuk membubarkan massa. Dalam kerusuhan tersebut belasan orang cedera
serius dan ratusan lainnya terpaksa ditahan.117
Para pejabat pemerintah tampaknya terpancing oleh provokasi Benazir Bhutto.
Mereka, termasuk Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Bagi
Nawaz Sharif, Long March yang dimobilisir Benazir Bhutto memang menimbulkan
berbagai kekhawatiran. Sharif menyadari bahwa partainya sudah tidak populer lagi,
terutama dengan adanya beberapa kelompok yang memisahkan diri dari koalisi IJI,
seperti Jamaat Islami (JI) dan Pakistan Moslem League (PML) Chatta group. Sementara
itu di mata pers, Nawaz Sharif juga mendapat nama buruk akibat tindakannya yang
mencoba menyingkirkan beberapa wartawan terkemuka, seperti Ghulam Hussain dan
Shareen Sehbai. Berbagai tindakan Benazir Bhutto tadi ternyata memberi keuntungan
117 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 153.
pada dirinya yang memang sedang berusaha menarik perhatian, baik di dalam negeri
maupun dari kalangan masyarakat international.
Gagal melakukan Long March, Benazir Bhutto mengubah rencana menjadi suatu
perjalanan kereta api sepanjang 1600 kilometer dari selatan ke Utara menuju Rawalpindi
dan diteruskan ke gedung parlemen di Islamabad guna berkampanye untuk
menggulingkan pemerintahan Nawaz Sharif. Benazir dan ibunya ingin memborong tiket
kereta api untuk para pemimpin partai yang tergabung dalam PDA, tetapi ditekan
pemerintah dengan alasan kehabisan tempat duduk. Namun akhirnya pemerintah tidak
dapat mencegahnya lagi karena pada tanggal 23 November 1992, kereta api Khyber Mail
berhasil membawa Benazir Bhutto dan para pemimpin partai yang tergabung dalam PDA
ke kota-kota Selain Pakistan, Hyderabad dan Bahawalpur. Ribuan massa mengelu-elukan
kedatangan para pemimpin oposisi tersebut, terutama ketika Benazir Bhutto mengunjungi
Lahore dengan berkunjung ke tempat ziarah Muslim untuk berdoa demi keberhasilan
kampannyenya untuk menggulingkan pemerintah.118
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemerintah kemudian menyatakan
kesediaannya untuk berdialog dengan oposisi, namun dengan syarat oposisi harus
mengakui keberadaan parlemen dan tidak akan melakukan provokasi terhadap
pemerintah. Oposisi ganti mengajukan syarat: pemerintah harus membebaskan semua
tahanan politik; menarik semua tuduhan terhadap oposisi; mempekerjakan kembali
buruh-buruh atau pegawai negeri yang telah dipecat; serta diadakannya pemilu yang
bebas dan jujur untuk pembentukan pemerintahan nasional.
Sebenarnya keinginan Nawaz Sharif untuk berdialog dengan oposisi tersebut
masih dihalangi beberapa tokoh IJI, termasuk Presiden Ishaq Khan. Upaya kerja sama
118Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Isla, h. 155-159.
antara oposisi dan pemerintah hanya terlihat “berhasil” di propinsi Sindh, terutama
dibentuknya pemerintahan baru dipimpin Muzzafar Hussain Shah. Sedangkan di
propinsi-propinsi lain apalagi di propinsi Punjab kerja sama sulit diwujudkan. Sehingga
dapat dikatakan bahwa dialog tersebut masih belum berhasil diwujudkan karena antara
kedua belah pihak saling memberikan persyaratan yang sulit diterima oleh masing-
masing pihak.
Mantan Perdana Menteri sementara Ghulam Mustafa Jatoi telah berusaha
menjembatani perbedaan antara Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan pemimpin oposisi
Benazir Bhutto. Upaya ini belum menampakan hasil. Satu-satunya instrument yang bisa
mengarah kepada pendekatan antara pemerintah dengan oposisi adalah dengan
diterimanya tawaran pemerintah oleh Benazir Bhutto untuk menjadi Ketua Standing
Committee Parlemen Luar Negeri.
Pencalonan Benazir Bhutto tersebut adalah atas inisiatif Menteri Luar Negeri
Mohammad Siddique Khan Kanju. Inisiatif tersebut diterima baik oleh Nawaz Sharif,
dengan menyatakan bahwa tawaran pemerintah ini tulus dan beritikad baik, yang
diharapkan akan dapat membuka saling pengertian dan kerja sama yang baik antara
pemerintah dengan oposisi mengenai masalah nasional. Benazir Bhutto meskipun
menanggapi pemilihannya tersebut sebagai tanda-tanda yang baik dalam membentuk
hubungan kerja sama yang positif antara pemerintah dengan oposisi, namun hal ini tidak
dapat dikaitkan dengan usaha kearah dialog antara oposisi dengan pemerintah. Apalagi
Komite urusan Luar Negeri ini tidak mempunyai otoritas yang memadai, karena hanya
mampunyai kekuasaan administratif dan keuangan saja. untuk itu, Benazir Bhutto tetap
akan terus menuntut pemerintah agar segera dilaksanakan pemilu yang baru. Namun,
Majelis Nasional pun akhirnya secara bulat memilih ketua oposisi Benazir Bhutto sebagai
Ketua Panitia tetap Majelis Nasional urusan Luar Negeri, tanggal 12 januari 1993.119
C. 3. Mendesak untuk diadakannya Pemilu
Dengan ini terlihat jelas bahwa berbagai tekanan yang dilakukan Benazir Bhutto
(oposisi) untuk menjatuhkan pemerintahan Nawaz Sharif semakin hari kian gentar, baik
di forum parlemen maupun di luar parlemen. Di parlemen, usaha-usaha oposisi selalu
gagal karena mayoritas suara dipegang oleh partai pemerintah (IJI). Sedangkan di luar
parlemen Juga tidak menunjukan hasil karena pihak pemerintah dan Angkatan Bersenjata
ikut terlibat dalam menggagalkan usaha oposisi tersebut. Beberapa kali oposisi
mengadakan “Long March” yang dimulai pada tanggal 18 November 1992, dari kota-
kota besar seperti Karachi, Multan, Lahore dan Peshawar menuju ibukota Islamabad.
Kondisi Long March didukung tidak hanya aliansi PDA yang berintikan PPP pimpinan
Benazir Bhutto, tetapi juga beberapa aliansi oposisi lain seperti National Democratic
Alliance (NDA) dan Islamic Democratic Front (IDF). Namun selalu gagal menembus
pertahanan pemerintah yang melibatkan Angkatan Bersenjata.
Selama Long March telah dilakukan protes-protes keras terhadap pemerintah,
baik melalui media massa maupun parlemen, namun tampaknya pemerintah masih kuat
untuk meredam gejolak politik tesebut. Perdana Menteri Nawaz Sharif dalam
mengimbangi Long March oposisi telah mengadakan rapat-rapat umum di daerah. Hal ini
dilakukan karena Nawaz Sharif khawatir akan kehilangan pengaruh akibat Long March
oposisi tersebut. Bahkan pemerintah telah berusaha untuk melakukan pendakatan
terhadap oposisi dengan mengadakan diolog antara pemerintah dengan oposisi. Namun
119Usman Hamid, “Perjalanan Benazir Bhutto”, artikel diakses pada 14 November 2008, dari
http://www.ciptapangan.com/index.php?action=view_all_news&module=newsmodule&src=%40random44
bde58d708c5
usaha pemerintah tersebut tidak berhasil karena adanya persyaratan dari kedua belah
pihak yang tidak bisa diterima oleh masing-masing pihak maupun pihak lain.
Meskipun Benazir Bhutto berusaha semaksimal mungkin dalam upaya-upaya
menggoyahkan pemerintahan Nawaz Sharif, tetapi selama Presiden dan Angkatan Darat.
Masih dalam satu barisan dengan pemerintah, sulit bagi oposisi untuk menjatuhkan
Perdana Menteri Nawaz sharif walaupun dengan dalih atau cara apapun.
Oposisi berharap bahwa kampanye menentang Presiden itu akan menunjukkan
bahwa sistem pemerintah yang dijalankan oleh pemerintah Nawaz Sharif tidaklah lebih
baik dari apa yang telah dijalankan oleh pemerintahan Benazir Bhutto. 120
Oleh karena
itu, oposisi berpendapat bahwa untuk mengatasi memburuknya keamanan dan ketertiban
Pakistan perlu diambil tindakan drastis, yaitu penggantian Presiden dan Perdana Menteri.
Oposisi mendesak agar segera diadakan pemilu bebas dan jujur di bawah pemerintahan
sementara yang netral tanpa adanya intervensi Angkatan Bersenjata.
120 Shahid Javed Burki, “Pakistan’s Cautious Democtatic Course, Current History”, h. 122.
BAB IV
KEMBALINYA BENAZIR BHUTTO DALAM KEKUASAAN POLITIK
TAHUN 1993
Nawaz Sharif akhirnya mengalami nasib yang sama dengan Benazir Bhutto.
Presiden Ghulam Ishaq Khan yang pada masa sebelumnya merupakan sekutu dekat
Nawaz Sharif, akhirnya membubarkan pemerintahan Nawaz Sharif pada tanggal 18 April
1993 dengan tuduhan korupsi, melakukan malperaktek di bidang administrasi
pemerintahan, serta dituduh berbuat subversive terhadap kekuasaan Presiden.121
Atas
dasar tuduhan-tuduhan itulah kemudian dia dipecat dan Majelis Nasional dibubarkan.
Selain itu pemilihan umum yang baru ditetapkan untuk dilaksanakan bulan Juli 1993.
Berakhirnya kekuasaan Nawaz Sharif dalam memimpin Pakistan (1990-1993) ini,
tentu saja membawa kegembiraan bagi Benazir Bhutto yang memang telah lama
berambisi untuk menyingkirkan Nawaz Sharif dari kekuasaannya. Kegembiraan tersebut
menjadikan lengkap setelah Ghulam Ishaq Khan pada akhirnya sepakat mundur dari
panggung politik Pakistan bersama-sama dengan Nawaz Sharif. Hal itu memperlancar
121“Biography of Nawaz Sharif ,” data ini diakses pada 13 November 2008, dari
http://www.pmln.org.pk/profile.php
Benazir Bhutto untuk meraih kekuasaan melalui pemilu yang akan segera dilaksanakan.
Apalagi militer sebagai unsur yang paling menentukan dalam politik Pakistan ternyata
mengambil sikap yang lebih realistis, dengan membiarkan terlaksananya pemilu secara
jujur dan adil. Pemilu tersebut akhirnya dimenangkan PPP. Benazir Bhutto pun akhirnya
tampil kembali ke puncak kekuasaan di Negara Pakistan pada tanggal 19 Oktober 1993.
Untuk mendapatkan gambaran secara lebih jelas tentang faktor faktor
keberhasilan Benazir Bhutto dalam usahanya meraih kekuasaan, pada bab ini akan
diuraikan lebih luas mengenai perpolitikan Pakistan pada waktu itu, mulai dari konflik
antara Ishaq Khan-Nawaz Sharif yang menyebabkan kejatuhan Nawaz Sharif, sikap
politik militer menjelang pemilu sampai terlaksananya pemilu Pakistan tahun 1993 yang
akhirnya mampu mengantarkan Benazir Bhutto ke kursi Perdana Menteri untuk kedua
kalinya di Republik Pakistan.
A. Konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif
Salah satu faktor keberhasilan Benazir Bhutto meraih kembali kekuasaan menjadi
Perdana Menteri adalah dengan adanya konflik Ishaq khan-Nawaz Sharif, dimana kedua
tokoh ini yang tadinya bersama-sama melawan Benazir Bhutto untuk mengganjal untuk
tidak terpilih menjadi menteri pada pemilu 1990. tetapi pada akhirnya kedua tokoh ini
pun dihadapkan pada perselisihan yang menyebabkan permusuhan di antara keduanya.
Konflik antara Ishaq Khan-Nawaz Sharif sebenarnya berakar pada Amandemen
ke-8, dimana Presiden dapat memecat Perdana Menteri, dengan berlakunya Amandemen
ke-8 sistem parlementer telah berubah menjadi kekuasaan “tunggal” di bawah Presiden
dengan kekuasaan di bidang eksekutif, yudikatif dan militer. Sedangkan sistem
parlementer sesungguhnya Presiden tidak bisa memecat Perdana Menteri karena
wewenang memecat Perdana Menteri hanya berada di tangan parlemen.
Dengan adanya konflik ini sangatlah menguntungkan Benazir Bhutto sebagai
pemimpin Oposisi, disini Benazir dapat menyikapi konflik tersebut dengan baik yang
menyebabkan peluang untuk menggulingkan pererintahan Nawaz Sharif semakin nyata.
A. 1. Pemecatan Perdana Menteri Nawaz Sharif oleh Presiden Ishaq Khan.
Tindakan Presiden Ghulam Ishaq Khan memecat Nawaz Sharif terjadi terutama
setelah kemunculan Nawaz Sharif di televisi yang menuduh Presiden Ghulam Ishaq Khan
telah mengganggu stabilitas pemerintahan terpilih yang dipimpinnya. Pemecatan ini
ternyata membuat “goncangan” politik yang luar biasa. Perdana Menteri menolak
keputusan Presiden itu. Ia menyatakan bahwa dirinya mempunyai dukungan yang sangat
besar di Majelis Nasional dan oleh karenanya tidak akan mundur ataupun menyerah.
Bahkan Sharif menantang Presiden Ghulam Ishaq Khan untuk “bertarung” di pengadilan.
Maka percekcokan pun memuncak diantara dua orang yang paling berkuasa di Pakistan,
yang telah berlangsung sejak berbulan-bulan.
Selama lebih kurang dua tahun Nawaz Sharif telah bekerja sama dengan Ghulam
Ishaq Khan dan Angkatan Bersenjata dalam menjalankan pemerintahan. Namun keadaan
berubah pada tahun 1992, ketika Nawaz Sharif mulai secara sepihak menjalankan roda
pemerintahan. Bahkan akhirnya timbul pula ketidak cocokan tentang pengangkatan
pejabat-pejabat senior di Angkatan Bersenjata, Lembaga Yudikatif dan pertahanan
sipil.122
Percekcokan yang paling seruis mencuat ketika Kepala Staf Angkatan Darat,
122 Deepak Tripathi, “Pakistan in Turmoul, h. 102.
Jenderal Asif Nawaz Janjua mendadak meninggal dunia pada tanggal 3 Januari 1993.123
Nawaz Sharif dan Ghulam Ishaq Khan masing-masing memiliki kepentingan atas
pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat yang baru, karena pengaruhnya yang besar
dalam perpolitikan Pakistan. Nawaz Sharif diketahui telah berusaha mengusulkan
beberapa nama atas pilihannya sendiri untuk menggantikan jabatan tersebut. Nawaz
Sharif kesal karena Presiden sering campur tangan dalam hal kewenangannya sebagai
Perdana Menteri di dalam menjalankan pemerintahan. Ia ingin menaruh orangnya sendiri
pada posisi tersebut, yaitu orang yang akan mendukungnya, atau paling tidak akan tetap
netral. Namun ketiga nama yang diusulkan Nawaz Sharif ditolak Presiden Ghulam Ishaq
Khan dan sekutunya di Angkatan Bersenjata.
Presiden menginginkan seorang sekutu yang terpercaya, tidak hanya untuk
menjaga kekuasaan Presidensial yang besar, sebagai akibat dari Amandemen ke-8 dalam
konstitusi Pakistan, tetapi juga untuk membantunya terpilih kembali untuk masa jabatan
kedua dalam pemilihan Presiden yang akan dilakukan 10 bulan berikutnya. Presiden
Ghulam Ishaq Khan akhirnya menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar, rekan sejawat
yang masih satu suku dengan Presiden, sebagai Kepala Staf Angkatan Darat yang baru,
melompati enam oring Letnan Jenderal yang senior tanpa konsultasi dengan Perdana
Menteri.124
Walaupun kedua pemimpin itu sepertinya mencapai konsensus dalam pemilihan
tersebut, bentrokan kepentingan antar keduanya menjadi jelas bagi umum, Nawaz Sharif
123
“Asif Nawaz”, data diakses pada 13 November 2008, dari http://en.wikipedia.org/wiki/Asif_Nawaz
124 Tahir Amin,” Pakistan in 1993: Some Dramatic Changes”, ASIAN SURVEY, Vol. XXXIV, No.
2, February 1994, h. 192.
mengumumkan bahwa ia menginginkan agar Amandemen ke-8 dihapuskan, sehingga
kekuasaan akan kembali ke Perdana Menteri dan parlemen.
A. 2. Kontroversi Amandemen ke-8
Percekcokan antara Presiden dengan Perdana Menteri di Pakistan sebenarnya
berakar pada Amandemen ke-8 yang telah diberlakukan oleh Jenderal Zia Ul Haq pada
tanggal 2 Maret 1985.125
Amandemen tersebut memungkinkan Presiden mempunyai
kekuasaan untuk menghapus atau membatalkan kabinet pemerintahan terpilih hasil
pemilu, serta memungkinkan Presiden menunjuk Dewan Militer atau Pejabat Militer
untuk menjalankan pemerintahan.
Nawaz Sharif berpendapat bahwa bentuk pemerintahan pada saat ini telah
melangkahi kewenangannya sebagai kepala pemerintahan. Sistem parlementer
sesungguhnya tidak memperbolehkan Presiden untuk campur tangan dalam urusan
pengadilan pemerintahan sehari-hari dan tidak bisa memecat Perdana Menteri kerena
wewenang memecat Perdana Menteri hanya berada di tangan parlemen, namun akibat
berlakunya Amandemen ke-8, system parlementer telah berubah menjadi kekuasaan
“tunggal” di bawah Presiden dengan kekuasaan di bidang eksekutif, yudikatif, militer dan
pemerintahan daerah.
Berkat Amandemen ke-8 dalam konstitusi, Presiden juga diberikan hak
prerogratif untuk mengangkat pejabat-pejabat tinggi di kalangan Angkatan Bersenjata,
pengangkatan gubernur untuk empat propinsi dan pengangkatan hakim pada Mahkamah
Agung. Namun penunjukan oleh Presiden tersebut harus mendapat persetujuan dari
angkatan bersenjata. Dengan demikian berarti bahwa militer selalu berada di belakang
125 Yudi Prianto, “About the Islamic Republic of Pakistan”, data ini diakses pada 13 November
2008, dari http://zhyntativ.blogspot.com/2008_07_01_archive.html
penobatan aktor-aktor politik di Pakistan. Angkatan Bersenjata adalah jaminan yang
paling canggih bagi stabilitas keamanan negara tersebut.
Presiden menyatakan bahwa adalah tugasnya untuk melindungi konstitusional,
termasuk di dalamnya Amandemen ke-8, yang ia warisi dari Zia ul-Haq dan merupakan
“kunci pengaman” dari hukum militer dan kuatnya kedudukan Presiden. Dampaknya
adalah para birokrat yang dekat dengan presiden seringkali tidak menunjukkan rasa
hormatnya terhadap Perdana Menteri Nawaz Sharif. Sementara itu para Ketua Menteri
propinsi serigkali melecehkannya sampai-sampai tidak menyebutnya saat Perdana
Menteri Nawaz Sharif mengunjungi mereka. Sebaliknya jika para ketua Menteri tersebut
berkunjung ke Islamabad, mereka hanya mengadakan kunjungan kehormatan kepada
Presiden tetapi tidak kepada Perdana Menteri. Bahkan sejak penunjukannya, Kepala Staf
Angkatan Darat yang baru mengadakan kunjungan kehormatan sebanyak hanya dua kali
ke Perdana Menteri, namun sedikitnya sudah enam kali pertemuan dengan Presiden.
Tidak jelas apa yang menyebabkan Nawaz Sharif memilih berseteru dengan
Presiden, padahal dia tidak memiliki 2/3 suara mayoritas di Majelis Nasional yang
diperlukan untuk menghapus suatu amandemen. Ia juga tidak memiliki hubungan yang
baik dengan PPP, partai oposisi utama pimpinan Benazir Bhutto yang juga tidak
mengakui hasil pemilu tahun 1990.
Dalam konflik tersebut Presiden akhirnya merekayasa atau perpecahan di dalam
partai yang berkuasa, yaitu Pakistan Muslim League (PML) yang menghasilkan banyak
menteri yang mengundurkan diri. Beberapa orang menteri yang mengundurkan diri
adalah Menteri Negara Urusan Zakat Haji Gul Sher, Menteri perencanaan pembangunan
Hamid Naser Chatta, Menteri Lingkungan Hidup Anwar Saifullah dan penesehat resmi
setingkat menteri Asad Junejo. Atas tekanan ghulam Ishaq Khan, para menteri kabinet
mulai mengucilkan Nawaz Sharif. Nawaz Sharif yang mulai menyadari kesalahannya,
kemudian berusaha menawarkan Ghulam Ishaq Khan suatu nominasi resmi dari partai
yang berkuasa (IJI) untuk menjadi Presiden yang kedua kalinya, tetapi Presiden menolak
tawaran damai itu.
Memperkirakan dia akan segera dipecat, Nawaz Sharif melakukan suatu pidato
yang keras di televisi pada tanggal 17 April 1993 yang menyalahkan Presiden sebagai
“akar” dari krisis politik yang terjadi, dan menyatakan:
“I will not resign and Iwill not take dictation.126
[“Saya tidak akan mundur dan saya tidak
akan mau didikte.”]
Sebaliknya pada 18 April 1993 Presiden menyatakan, pidato Nawaz Sharif itu sebagai
suatu aksi “sebversi” dan menuduh pemerintahan Nawaz Sharif telah berbuat korupsi,
nepotisme, melecehkan lawan-lawan politik, kurangnya transparansi dalam proses
swastanisasi. Bahkan Ghulam Ishaq Khan secara implisit juga menuduh pemerintah
sebagai bertanggung jawab atas kematian mantan Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal
Asif Nawaz Janjua, sehubungan dengan pernyataan janda Jenderal tersebut bahwa
suaminya tidak meninggal secara wajar, melainkan karena suatu pembunuhan politis
akibat diracun oleh persekongkolan yang melibatkan Brigjen Imtiaz (kepala Intelejen)
dan Nisar Ali (penasehat Nawaz Sharif).127
Kedua orang tersebut lantas dicopot dari
jabatannya atas desakan Ghulam Ishaq Khan.
Ghulam Ishaq Khan kemudian menginstruksikan pada Nawaz Sharif agar
melakukan penyelidikan atas laporan janderal Asif Nawaz Janjua tersebut. Namun lagi-
126 Tafsir Amin,’ ASIAN SURVEY”, h. 193. 127
Firman Noor, “Bhutto, Sosialisme, dan Islam”, artikel ini diakses pada 13 November 2008, dari http://jawabali.com/ada/pakistan/
lagi Nawaz Sharif menunjukkan sikap menentang. Sehingga Ghulam Ishaq Khan semakin
mantap untuk mengeluarkan keputusan memecat Nawaz Sharif. Dengan menggunakan
kekuatannya yang didukung oleh Amandemen ke-8, Ghulam Ishaq Khan memecat
Perdana Menteri tinggal 18 April 1993, membubarkan Majelis Nasional, dan
mengumumkan pemilu baru yang akan dilaksanakan pada tanggal 14 juli 1993 di bawah
kepemimpinan Perdana Menteri sementara, Mir Balakh Sher Mazari. PPP menjadi unsur
utama dalam pemerintahan sementara.
Namun pemerintahan sementara itu hanya bertahan enam minggu. Mahkamah
Agung atas dasar petisi tertulis dari Nawaz Sharif, menyatakan bahwa keputusan
Presiden tersebut adalah illegal dan tidak konstitusional. Mahkamah Agung dengan
perbandingan suara 10 : 1 mengumumkan bahwa tindakan Presiden memecat Nawaz
Sharif dan membubarkan Majelis Nasional adalah telah melampaui batas-batas
kekuasaannya, dan oleh karenanya lantas mengembalikan kekuasaan Perdana Menteri
Nawaz Sharif dan Majelis Nasional.
Tak lama setelah kembali menjabat Perdana Menteri, akhir bulan Mei 1993,
Nawaz Sharif segera menempatkan kembali 137 anggota parlemen pusat di Islamabad
dan parlemen propinsi Punjab dengan dikawal beberapa polisi federal. Kebijakan ini
mendapat tantangan keras dari Mansor Watto Ketua Menteri Punjab, dengan cara
mengirim polisi Punjab serta menagkap beberapa orang kiriman Nawaz Sharif. Bahkan
Mansor Watto dengan dukungan gubernur Punjab, Chaudhury Altaf Hussein segera
membubarkan parlemen propinsi.
Tindakan tersebut jelas ditentang Nawaz Sharif. Sebab, jika ia menerima
maneuver politik Chaudhury Altaf Hussein ini berarti Nawaz Sharif harus melaksanakan
pemilu baru bagi parlemen propinsi itu. Padahal masa pemerintahan dan masa tugas
parlemen hasil pemilu baru berakhir tahun 1995. keberatan Nawaz Sharif ini mendapat
dukungan dari Pengadilan Tinggi Punjab, sehingga pada tanggal 28 Juni 1993 keberadaan
majelis itu dikukuhkan kembali.128
Namun pemerintahan Punjab Pro-Ishaq Sharif untuk
memperkuat posisinya di propinsi asalnya itu. Pada saat yang sama Majelis propinsi
North West Frontier Province (NWFP) dibubarkan, dan suatu mosi tidak percaya
diajukan terhadap Ketua Menteri propinsi Sindh. Dengan memanipulasi perpolitikan
propinsi, Presiden kemudian mengisolasi pemerintah pusat pimpinan Perdana Menteri
Nawaz Sharif.
Pemerintahan Nawaz Sharif lantas berusaha mengeluarkan pasal 234 di parlemen,
dalam upaya mendapatkan kembali kendali atas Punjab. Krisis makin menjadi ketika
Angkatan Darat memutuskan untuk menolak menerima perintah dari pemerintah pusat
tanpa persetujuan Prsiden. Angkatan darat memiliki kepentingan untuk berpihak pada
Presiden, mengingat bahwa Jenderal Abdul Waheed Kakar adalah orang pilihan Ghulam
Ishaq Khan. Apalagi antara Angkatan Bersenjata dengan pemerintahan Nawaz Sharif
tampaknya juga timbul perselisihan karena kecewa dengan hasil operasi militer di
propinsi Sindh dalam rangka memberantas kelompok bandit dan pejabat politik.
A. 3. Sikap Benazir Bhutto terhadap konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif
Akibat pertentangannya dengan Presiden sejak februari 1993, pendukung Nawaz
Sharif terpecah menjadi dua kubu pro-Nawaz Sharif dan Pro Ishaq Khan.129
Perpecahan
ini tentunya akan berakibat fatal dalam pemilu berikutnya karena sebelum pecah kedua
kubu tersebut adalah merupakan satu kekuatan melawan Benazir Bhutto. Bahkan dengan
128“North-West Frontier Province”, data ini diakses pada 13 November 2008,
darihttp://en.wikipedia.org/wiki/North-West_Frontier_Province 129 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 198.
adanya kedua kubu tersebut, bukan mustahil kubu yang pro-Ishaq Khan nantinya akan
mendukung Benazir Bhutto dalam pemilu 1993.
Benazir Bhtuto saat itu mendapatkan posisi menguntungkan, karena baik
Presiden maupun Perdana Menteri berusaha mendapatkan dukungannya ia kemudian
mengambil kebijakan dua-jalur, yaitu ia bersedia berkompromi dengan pemerintah dan
menerima tawaran jabatan tersebut dari pemerintah Nawaz Sharif adalah karena ia ingin
menggalang kekuatan dengan Nawaz Sharif untuk bersama-sama menghapuskan
Amandemen ke-8 yang memberi kewenangan kepada Presiden untuk membubarkan
parlemen hasil pemilu dan memecat Perdana Menteri yang selama ini mereka anggap
telah menghalangi kekuasaan Perdana Menteri dalam memimpin pemerintahan. Dengan
kedekatannya terhadap pemerintah, ia saat itu juga berusaha untuk mengeluarkan
suaminya, Asif Zardari dari penjara.
Akan tetapi diluar dugaan ia sekaligus juga melakukan tawar menawar rahasia
dengan Presiden, dan meyakinkan Ghulam Ishaq Khan bahwa ia akan mendukung
Presiden untuk melawan Nawaz Sharif maupun untuk pemilihan Presiden berikutnya, dan
sebagai balasannya ia akan mendapatkan pemilu secepatnya. Pertanyaan yang muncul,
kenapa Benazir Bhutto mendukung pemecatan Nawaz Sharif padahal tindakan Presiden
Ghulam Ishaq Khan yang seperti ini pernah dikecamnya ketika ia mengalaminya pada
tahun 1990? Alasannya adalah: Pertama, Ishaq Khan berjanji akan memberi beberapa
jabatan Menteri dalam kabinet sementara kepada kubu Benazir. Kedua, Ishaq Khan
berjanji untuk segera melaksanakan pemilu yang akan menggantikan pemerintahan
Nawaz Sharif. Benazir berharap bahwa lewat pemilu mendatang, partainya akan menang.
Ketiga, apabila partainya menang dalam pemilu 1993, Benazir Bhutto berharap dirinya
bisa tampil lagi menjadi Perdana Menteri Pakistan. Posisi Benazir yang ambivalen ini
memperkeruh persaingan kekuasaan antara Perdana Menteri dan Presiden.130
Lebih jauh lagi, sikap benazir Bhutto ini akhirnya juga telah menyulut kembali
permusuhan Benazir Bhutto-Nawaz Sharif, yang semula sempat mereda. Sebenarnya
dukungan Benazir Bhutto terhadap Ghulam Ishaq Khan tidaklah menguntungkan dirinya,
misalnya: pertama, jika saja ia tetap konsisten pada sikapnya, tentu kekuatan Benazir
Bhutto-Nawaz Sharif akan mampu menghapus amandemen ke-8 yang selama ini
dianggap telah menghambat terwujudnya kehidupan demokratis di Pakistan. Kedua,
Ishaq Khan ternyata telah melanggar kesepakatan dengan memberikan jatah jabatan
menteri tidak lebih dari seperempat jumlah kabinet. Benazir merasa kecewa, meskipun
suaminya telah pula menduduki salah satu dari jabatan menteri tersebut. Lebih sial lagi,
pemerintahan Nawaz Sharif yang telah dipecat oleh Ishaq Khan ternyata berkuasa
kembali berkat keputusan Mahkamah Agung Pakistan yang telah membatalkan tindakan
pemecatan yang dilakukan Ishaq Khan. Ketiga, sikap Benazir Bhutto yang kelihatan
sekali berambisi untuk meraih kekuasaan dengan tindakannya menyetujui pemecatan
pemerintahan Nawaz Sharif, dikhawatirkan rakyat akan berpikir dua kali untuk
memilihnya dalam pemilu karena ternyata ia bukan seorang demokrat tulen seperti yang
telah ia gambarkan selama ini.
B. Sikap Politik Militer
Dalam percaturan politik Pakistan terdapat tiga kekuatan sentral penentu jalannya
pemerintahan, yaitu militer, presiden dan perdana menteri. Oleh karena itu, siapapun
130 Kholda Naajiyah, “Seputar Krisis Politik di Pakistan”, artikel diakses pada 13 November 2008,
dari http://politisi.blogspot.com/2007_06_01_archive.html
yang menjadi perdana menteri Pakistan sudah seharusnyalah berusaha menciptakan suatu
kondisi yang memungkinkan hubungan perdana menteri dengan militer dan presiden
dapat terjalin dengan serasi. Apabila gagal maka sangatlah mungkin terjadi suatu
persaingan bahkan permusuhan antara tiga kekuatan sentral tersebut, yang seringkali
berakhir dengan jatuhnya pemerintah.
Sikap politik militer pada waktu itu merupakan salah satu faktor yang
menguntungkan bagi Benazir Bhutto dalam keberhasilan meraih kembali kekuasaan.
Dalam konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif peran militer terlihat jelas. Pertentangan
Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif akhirnya dapat
diselesaikan berkat campur tangan militer. Masing-masing pihak akhirnya bersepakat
untuk mengundurkan diri dan menyelenggarakan pemilu lewat pemerintahan sementara.
Selain itu militer yang seharusnya bersikap netral kesemua pihak, tetapi dalam
kenyataannya militer lebih dekat dengan presiden, hal ini dikarnakan Jenderal Abdul
Waheed Kakar yang menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat adalah orang pilihan
Presiden. Dengan demikian Ghulam Ishaq Khan bergandengan dengan militer. Otomatis
militer pada waktu itu tidak suka terhadap pemerintahan Nawaz Sharif yang berseteru
dengan Presiden Ishaq Khan. Momen inilah yang dimanfaatkan Benazir Bhutto untuk
merongrong pemerintahan Nawaz Sharif yang sudah tidak didukung lagi oleh militer.
B. 1. Kuatnya pengaruh Militer di Pakistan
Media massa barat umumnya yakin bahwa Ghulam Ishaq Khan tidak sendirian
dalam menggeser Nawaz Sharif. Seperti telah diketahui bahwa peran militer sangatlah
dominan dalam kehidupan politik Pakistan. Meskipun dalam konflik politik Ishaq Khan-
Nawaz Sharif, militer “menyatakan” bersikap netral, tetapi kalau melihat profil petinggi
militernya, sulit mengatakan bahwa militer benar-benar netral. Yang benar adalah militer
tidak begitu suka terhadap Nawaz Sharif, sehingga tidak lagi memberikan dukungan
kepadanya.
Dalam konflik Ishaq Khan-Nawaz Sharif pun peran militer akhirnya terlihat jelas.
Setelah beberapa usaha perdamaian gagal misalnya, pertentangan kekuatan antara
Presiden Ghulam Ishaq Khan dengan Perdana Menteri Nawaz Sharif akhirnya dapat
diselesaikan berkat campur tangan militer lewat upaya diplomasi yang dilancarkan
Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed Kakar. Masing-masing pihak
akhirnya bersapakat untuk mengundurkan diri pada tanggal 18 Juli 1993.131
Amandemen ke-8 merupakan alat yang memberikan kekuasaan mutlak pada
Presiden. Sementara dalam kenyataannya Presiden adalah boneka militer karena hampir
selalu meminta persetujuan pihak militer dalam tindakkannya. Karena itu selama
Amandemen ke-8 masih berlaku, militer akan tetap sangat menentukan dalam panggung
politik Pakistan.
B. 2. Ketidaksukaan Militer terhadap Pemerintahan Nawaz Sharif
Militer merasa Nawaz Sharif telah mencampuri urusan militer dan militer menjadi
tidak suka terhadapnya. Sebetulnya hubungan Nawaz Sharif dengan militer mulai
renggang ketika terjadi perselisihan yang menyangkut masalah tindakan militer untuk
mengatasi kekerasan dan perselisihan etnis di Sindh dengan menempatkan satuan
Angkatan Darat di Sindh. Terlebih lagi ketika Jenderal Asif Nawaz Janjua meninggal
dunia dan Presiden Ghulam Ishaq Khan menunjuk Jenderal Abdul Waheed Kakar.
Dibanding Waheed, Asif Nawaz Janjua lebih independen dan tidak terlalu mencampuri
urusan politik. Sejak Abdul Waheed Kakar menjadi Kepala Staf Angkatan Darat itulah,
131 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 202.
Ghulam Ishaq Khan bergandengan dengan militer, mengingat Abdul Waheed Kakar
adalah pilihan Presiden Ghulam Ishaq Khan. Di bawah Abdul Waheed Kakar itulah Inter
Service Intellegence (ISI), sebagai agen rahasia militer menjadi semakin kuat. Memang
keterlibatan militer dealam urusan politik sangat kuat. Salah satu contohnya adalah
bagaimana ISI turut membentuk pengelompokan baru dalam koalisi Islami Jamhoori
Ittehad (IJI) yang didominasi oleh Pakistan Muslim League (PML) pimpinan Nawaz
Sharif sehingga menyebabkan pecahnya IJI menjadi yang pro-Nawaz Sharif dan yang
pro-Ishaq Khan.
Ketidaksukaan militer atas Nawaz Sharif makin membesar setelah Nawaz Sharif
terpilih kembali sebagai pimpinan PML, yang memberinya basis kekuasaan dan kekuatan
yang lebih luas. Sadar bahwa Presiden dan militer siap membidikan senjata kearahnya,
Nawaz Sharif mengumumkan bahwa ia akan meminta parlemen untuk menghapus
Amandemen ke-8 dari konstitusi yang memberi presiden kekuasaan untuk mengangkat
dan memberhentikan perdana menteri, mencalonkan dan menunjuk Kepala Staf Angkatan
Darat serta kekuasaan untuk membubarkan parlemen.
Benazir Bhutto sebagai pemimpin oposisi mengencam untuk melakukan “Long
March” di ibukota dengan ratusan ribu pendukungnya kecuali jika segera diadakan
pemilu. Khawatir dengan akan konsekuensi yang akan terjadi, yaitu takut akan terjadinya
pertumpahan darah yang dapat menimbulkan instabilitas politik dan keamanan di
Pakistan, maka Jenderal Waheed Kakar berupaya untuk mengadakan pembicaraan
dengan kedua kelompok yang saling bertentangan. Pada awalnya tidak satupun (baik
Nawaz Sharif maupun Ishaq khan) menyetujui adanya pemilu, kecuali jika salah satu
pihak mengundurkan diri terlebih dahulu. Pemecahannya menurut Jenderal Waheed
Kakar adalah sangat sederhana, yaitu kedua belah pihak harus berjalan secara seiring
setelah menyetujui tentang siapa yang akan menjadi pemimpin pada pemerintahan
sementara.
Akhirnya dipilih politisi yang jujur dan netral Moeen Qureshi, seorang mantan
Wakil Presiden Bank Dunia yang tinggal di Singapura.132
Ia dianggap sebagai satu-
satunya orang yang dapat diterima semua pihak. Semua pejabat pengganti yang ditunjuk,
termasuk para gubernur dan para ketua menteri dari keempat propinsi adalah para pejabat
pensiunan militer. Sedangkan sebagai Presiden sementara dipilih Ketua Senat Wasim
Sajjad. Kemudian pemerintahan sementara tersebut menetapkan pelaksanaan pemilu baru
pada 6 Oktober 1993.133
Perdana Menteri Qureshi mengatakan pemilihan umum yang
jujur dan adil serta memberikan kesempatan sama kepada semua pihak akan menjadi
“prioritas utama” pemerintahannya.
Penunjukan Moeen Qureshi sebagai pejabat Perdana Menteri sementara
merupakan kejutan besar bagi Pakistan. Moeen Qureshi tidak memiliki hubungan dengan
negara dan pemerintahan Pakistan dalam waktu yang lama, mengingat ia bekerja sebagai
seorang konsultan sekaligus tinggal di Singapura. Tampaknya, dia dipilih oleh kelompok
militer-birokrat karena sifat non-politisnya, sehingga ia bisa diterima oleh partai yang
berkuasa maupun oposisi. Juga karena ia dianggap sebagai orang yang cocok untuk
132 Pada awalnya Moeen Qureshi menolak karena sudah meninggalkan Pakistan selama 40 tahun
dan hanya mengenal sedikit seluk beluk politik di Pakistan. Tetapi pengalamannya yang sedikit itulah yang
justru diinginkan. Setelah akhirnya ia menyetujui tawaran tersebut, maka ia berangkat ke Islamabad pada tanggal 18 Juli 1993 sore hari. Malamnya Nawaz Sharif membubarkan Majelis Nasional serta
mengundurkan diri, beberapa menit kemudian Nawaz Sharif mengambil sumpah jabatan Moeen Qureshi
sebagai perdana Menteri sementara dan kemudian Ishaq Khan mengundurkan diri pula. Kemudian Ketua
Senat, Wasim Sajjad diangkat sebagai Presiden sementara. Yosef Ardi, “krisis Politik Pakistan”. 133Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 216.
memperbaiki hubungan Pakistan dengan Amerika Serikat dan institusi-institusi finansial
Internasional, yang dapat memberikan pinjaman kepada Pakistan.134
Dengan telah dibubarkannya pemerintahan Nawaz Sharif dan adanya rencana
pemerintahan sementara untuk menyelenggarakan pemilu, maka besar kemungkinan
Benazir Bhutto akan dapat kembali berkuasa di Pakistan. Apalagi Nawaz Sharif sebagai
lawan utamanya tidak lagi didukung oleh partai-partai agama, militer, dan terlebih lagi
oleh Presiden. Untuk itu pemilu 1993 tidak ada pilihan bagi militer selain menginginkan
pemilu dapat terselenggara dengan jujur dan adil.
C. Keberhasilan Benazir Bhutto Menjadi Perdana Mentri Kedua Kalinya
Benazir Bhutto dalam keberhasilan meraih kembali kekuasaan menjadi Perdana
Menteri tidaklah mudah dan melalui proses yang panjang. Menjelang pemilu
dilaksanakan kampanye di beberapa daerah pemilihan. Delapan belas hari sebelum
pemilu, terjadi pertengkaran antara Benazir Bhutto dengan adik lelakinya, Murtaza
Bhutto. Pertengkaran tersebut mungkin akan mengancam popularitas Benazir Bhutto
sendiri dalam tubuh Pakistan People’s Party (PPP), Murtaza, 38 tahun, mulai
mencalonkan diri saat ia berada di Damaskus, Suriah. Ia mengajukan diri untuk menjadi
anggota parlemen propinsi Sindh. Tetapi tindakannya ini tidak direstui kakaknya, yang
mengejutkan adalah sikap ibu mereka, Nusrat Bhutto, yang bersama dengan Benazir
Bhutto menjabat sebagai ketua PPP justru sangat mendukung pencalonan anak lelakinya
itu sehingga kehadiran Murtaza semakin memperjelas perpecahan yang terjadi dalam
keluarga Bhutto.135
Akhirnya pertengkaran itu telah menyebabkan perpecahan dalam
134 Tahir Amin,” ASIAN SURVEY”, h. 195. 135 Tahir Amin,” ASIAN SURVEY”, h. 200.
tubuh PPP. Untuk pertama kalinya PPP pecah menjadi dua faksi, kendati Murtaza
memakai platform Shaheed Bhutto Committee (SBC). Peristiwa ini memang mengurangi
wibawa keluarga Bhutto. Namun di sisi lain, justru dengan bentroknya Benazir Bhutto
dengan Murtaza akan dapat mematikan isu nepotisme yang dituduhkan pada Benazir
Bhutto.
Bukan hanya keluarga Bhutto, sepuluh hari menjelang pemilu juga terjadi
perpecahan didalam kubu Nawaz Sharif. Nawaz Sharif yang pernah mengalahkan
Benazir Bhuttto dalam pemilu 1990 melalui aliansi sembilan partai, Islami Jamhoori
Ittehad (IJI), namun sebagaian besar dari koalisi tersebut akhirnya membelot pada saat
pemerintahan Nawaz Sharif baru berjalan selama 30 bulan. IJI pecah karena perdebatan
kepentingan diantara partai yang meninggalkan koalisi IJI adalah Nasional People’s Party
(NPP-Jatoi) Jamiat-ul Ulama-i-Islam Fazlur Rahman (JUIF) dan Jamaat Islami (JI).
Bahkan PML sebagai partai terbesar dalam IJI juga pecah akibat pertentangan antara
Ishaq Khan dengan Nawaz Sharif, sehingga menjadi dua kubu yaitu yang pro-Ishaq Khan
dan kubu yang pro-Nawaz Sharif.
Disini akan dijelaskan proses dan terselenggaranya Pemilu 1993. Benazir
Bhutto dan Nawaz Sharif kembali memperebutkan “mahkota” perdana menteri Pakistan.
Peristiwa ini merupakan persaingan yang ketigakali sejak berakhirnya pemerintahan
militer pimpinan Zia ul-Haq.
C. 1. Terselenggaranya Pemilu Tahun 1993
Pemilu untuk Majelis Nasional direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 6
Oktober 1993 dan untuk Majelis Propinsi pada tanggal 9 Oktober 1993.136
Tahun 1988,
Benazir dengan ditopang kharisma mendiang bapaknya, Zulfikar Ali Bhutto, berhasil
136 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 202.
mengalahkan Sharif. Namun, pada pemilu 1990 Benazir gagal mengulangi suksesnya,
akibat dianggap telah gagal memimpin Pakistan. Walhasil, Benazir yang sempat
memimpin Pakistan selama 20 bulan itu akhirnya tergeser oleh kekuatan Nawaz Sharif.
Setelah Sharif dipaksa mundur dari jabatannya, Benazir-Sharif kembali berhadapan di
Pemilu 1993 guna mengulangi adu kekuatan. Benazir nampak optimis bahwa dirinya
bakal menang. Mengingat kekuatan Sharif sedang rapuh akibat perseteruannya dengan
mantan sekutu utamanaya, Ishaq Khan.137
Namun sebagian besar pengamat mengatakan bahwa kelemahan yang paling
parah bagi prospek pemilihan Nawaz Sharif dalam pemilu adalah akibat perpisahannya
dengan tokoh vokal Qazi Hussain Ahmed pimpinan Jamaat Islami (JI). Qazi Hussain
Ahmed telah membentuk Pakistan Islamic Front (PIF), yang mulai menempatkan diri
sebagai kekuatan politik ketiga setelah PPP dan PML. Selain itu, kelompok PML
sempalan pimpinan Hamid Naser Chatta justru telah bergabung dengan PPP. Hal ini tentu
dapat memperkuat kubu Benazir terutama di propinsi terpadat Punjab, yang merupakan
kartu penentu kemenangan dalam pemilu. Sementara propinsi Sindh masih tetap berada
dalam genggamannya, Benazir Bhutto kemudian mulai melakukan pengaturan pemilihan
di NWFP dan bekerja sama dengan partai keagamaan penting, yakni Jamiat-ul Ulama-i-
Islam Fazlur Rahman (JUIF).138
JUIF mau bekerja sama dengan Benazir Bhutto karena. Pertama, meskipun JUIF
adalah partai keagamaan yang semula sangat menentang kepemimpinan seorang wanita
namun Benazir Bhutto pernah memerintah Pakistan pada tahun 1988-1990 sehingga
kepemimpinan seorang wanita nampaknya tidak terlalu dipersoalkan lagi. Kedua, isu
137 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h.193-194. 138 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 208-209.
yang muncul menjelang pemilu 1993 bukan lagi isu agama tetapi lebih kepada perebutan
kekuasaan di antara Nawaz Sharif-Ishaq Khan-Benazir Bhutto dan isu ekonomi.
Sedangkan Nawaz Sharif sendiri bentrok dengan partai keagamaan karena mengirim
pasukan ke Irak untuk membantu tentara multinasional pimpinan Amerika Serikat.
Akibatnya Jamaat Islami (JI) keluar dari koalisi IJI dan membentuk PIF, sementara partai
keagamaan lainnya seperti JUIF lebih memilih bekerja sama dengan Benazir Bhutto.
Akhirnya pemilu pun berlangsung sesuai dengan rencana. Pemilu tersebut
diikuti 64 partai politik, termasuk 12 kelompok minoritas non-muslim. Lebih dari 49 juta
orang berduyun-duyun ke kotak suara untuk memilih wakil mereka yang akan mengisi
207 kursi yang diperuntukkan bagi wakil Muslim dalam Majelis Nasional yang
beranggotakan 237 orang. Di antara 1.500 kandidat terdapat sekitar 600 calon
independent. Sekitar 1,4 juta pemilih non Muslim secara terpisah memilih untuk 10 kursi
yang dicadangkan bagi minoritas dan untuk kaum wanita disediakan 20 kursi.139
Dalam pemilu kali ini, partai-partai politik bersaing secara individu partai.
Tidak ada lagi koalisi Islami Jamhoori Ittehad (IJI) ataupun People’s Democratic Alliance
(PDA) karena masing-masing telah pecah menjelang berlangsungnya pemilu. Banyaknya
partai politik di Pakistan yang ikut berpartisipasi dalam pemilu 1993 telah memancing
perjuangan masing-masing partai untuk menawarkan program-program yang ditawarkan
oleh partai-partai utama berbeda satu dengan dengan lainya. Pakistan Moslem League
(PML) pimpinan Nawaz Sharif memfokuskan diri pada liberalisasi perekonomian,
swastanisasi dan industrialisasi dengan tetap menonjolkan nilai-nilai ke-Islaman. Sebagai
simbol pilihannya adalah gambar Harimau. Pakistan People’s Party (PPP) pimpinan
Benazir Bhutto lebih menfokuskan diri pada reformasi struktur (birokrasi), swastanisasi
139 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 210.
sektor umum dan menawarkan disiplin penggunaan keuangan serta memotong defisit
anggaran. PPP juga menjanjikan mendorong nilai-nilai agama melalui pendekatan
filosofis demi penyesuaian kehidupan modern yang sekuler. Lambang dalam
pemilihannya adalah panah. Pakistan Islamic Front (PIF), kelompok yang sering
dikategorikan fundamentalis, mengajukan program akan membenahi banyaknya
kesalahan manajemen dengan menghentikan korupsi. Lambang pemilihannya adalah
mobil. Sedangkan Muhajir Qoumi Movemen (MQM), partai kuat di daerah Sindh, yang
didirikan oleh Altaf Hussain memilih layang-layang sebagai lambang partainya. Selain
empat partai utama tersebut, puluhan partai lainnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja
keterlibatannya dalam pemilu 1993. mereka juga memiliki basis massa meski tidak besar
namun memiliki fanatisme.
Sebagaimana dengan pemilu sebelumnya, pemilu Pakistan 1993 ini kembali
diwarnai dengan persaingan dua tokoh utama pemain politik Pakistan, Benazir Bhutto
dan Nawaz Sharif. PPP pimpinan Benazir Bhutto dan PML pimpinan Nawaz Sharif,
muncul sebagai dua partai terkuat. Akhirnya, PPP beserta koalisinya yaitu PML Chatta
group memperoleh 92 kursi dari 207 kursi yang diperebutkan di Majelis Nasional,
denagan perincian 86 kursi dari PPP sendiri dan 6 kursi dari PML Chatta group.
Sementara saingan utamanya PML hanya memperoleh 72 kursi di Majelis Nasional.
Tabel 3
Hasil Pemilihan Umum Tanggal 6 Oktober 1993.140
140 Deepak Tripathani,” Pakistan: The Return of Benazir Bhutto”, The World Today, December,
1993, h 227.
NO NAMA PARTAI PEROLEHAN KURSI
1. Pakistan People’s Party (PPP) 86 kursi
2. Pakistan Moslem League (PML Nawaz Sharif Group) 73 kursi
3. Pakistan Moslem League (PML Junejo/ Chatta group) 6 kursi
4. Pakistan Islamic Front (PIF) 3 kursi
5. Islami Jamhoori Mahaz (IJM) 3 kursi
6. Pakhtoon Khawa Milli Awami Party 3 kursi
7. Awami National Party (ANP) 3 kursi
8. Muttahida Deeni Mahaz 3 kursi
9. Jamhoori Watan Party (JWP) 2 kursi
10. Pakhtoonkhwa Qaumi Party 1 kursi
11. Baluchistan National Mavement (Hai) 1 kursi
12. Baluchistan National Movement (Mengal) 1 kursi
13. National Democratic Alliance (NDA) 1 kursi
14. National People’s Party (NPP) 1 kursi
15. Independent 15 kursi
TOTAL* 202 kursi
* Penghitungan suara di lima daerah pemilihan dihentikan karena berbagai alasan,
termasuk kematian para calon.
Sedangkan pemilu propinsi untuk memilih 483 anggota Majelis Propinsi. Hasil
pemilu propinsi Punjab menunjukan bahwa PML memperoleh 106 kursi dari 240 kursi.
Sedangkan PPP beserta koalisinya yaitu PML Chatta group berhasil memperoleh 112
kursi, dengan perincian 94 kursi dari PPP dan 18 kursi dari faksi PML sempalan
pimpinan Hamid Naser Chatta. Di propinsi Sindh, PPP memenangkan 56 kursi dari 100
kursi, MQM memenangkan 27 kursi, PML hanya memperoleh 8 kursi, dan satu kursi
diperoleh Murtaza Bhutto, putra Zulfikar Ali Bhutto, yang ikut serta dalam pemilu
dengan platform Shaheed Bhutto Commie (SBC) tanpa bergabung dengan PPP. Di
propinsi NWFP, PPP memenangkan 22 kursi, ANP 21 kursi dan PML Nawaz Sharif
memperoleh 15 kursi. Sementara PML Hamid Nasser Chatta memperoleh 4 kursi dan PIF
juga memperoleh 4 kursi. Di propinsi Baluchistan, PML berhasil memperoleh 6 kursi,
PPP hanya 3 kursi dan sisanya dibagi di antara partai-partai kecil dan para calon
indpenden. (Lihat table 4, 5, 6 dan 7).
Tabel 4
Hasil Pemilu Propinsi Punjab, 9 Oktober 1993.141
NO. NAMA PARTAI PEROLRHAN SUARA
1. Pakistan Moslem League (PML Nawaz Sharif) 106 kursi
2. Pakistan People’s Party (PPP) 94 kursi
3. Pakistan Moslem League (PML Chatta) 18 kursi
4. Pakistan Islamic Front (PIF) 2 kursi
5. National Democratic Party (NDP) 1 kursi
6. Muttahida Deeni Mahaz (MDM) 1 kursi
7. Independent 17 kursi
TOTAL 240 kursi
141 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206.
Tabel 5
Hasil Pemilu Propinsi Sindh, 9 Oktober 1993.142
NO. NAMA PARTAI PEROLEHAN KURSI
1. Pakistan People’s Party (PPP) 56 kursi
2. Muttahida Qumi Mahaz-Altaf (MQM-A) 27 kursi
3. Pakistan Moslem League (PMI, Nawaz Sharif) 8 kursi
4. National People’s Party (NPP) 2 kursi
5. Shaheed Bhutto Commite (SBC) 1 kursi
6. Sindh National Front (SNP) 1 kursi
7. Independent 5 kursi
TOTAL 100 kursi
Tabel 6
Hasil Pemilu Propinsi NWFP, 9 Oktober 1993.143
NO. NAMA PARTAI PEROLEHAN SUARA
142 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206. 143 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206.
1. Pakistan People’s Party (PPP) 22 kursi
2. Awami National Party (ANP) 21 kursi
3. Pakistan Moslem League (PML Nawaz Sharif) 15 kursi
4. Pakistan Moslem League (PML) Chatta) 4 kursi
5. Pakistan Islamic Front (PIF) 4 kursi
6. Islami Jamhooti Mahaz (IJM) 1 kursi
7. Jamiat Mushaikh Pakistan (JMP) 1 kursi
8. Muttahida Deeni Mahaz (MDM) 1 kursi
9. Independen 11 kursi
TOTAL 80 kursi
Tabel 7
Hasil Pemilu Propinsi Baluchistan, 9 Oktober 1993.144
NO. NAMA PARTAI PEROLEHAN KURSI
1. Pakistan Moeslim League (PML Nawaz Sharif) 6 kursi
2. Jamhoori Watan Party (JWP) 5 kursi
3. Baluchistan National Movement (BNM Mengal) 4 kursi
4. Paktoon Khwa Milli Awami Party (PKMAP) 4 kursi
5. Pakistan People’s Party (PPP) 3 kursi
6. Islami Jamhoori Mahaz (IJM) 3 kursi
7. Baluchistan National Movement (BNM Hai) 2 kursi
144 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 206.
8. Awami National Party (ANP) 1 kursi
9. Pakistan National Party (PNP) 1 kursi
10. Muttahida Deeni Mahaz (MDM) 1 kursi
11. Dehi Ittehad Pakistan (DIP) 1 kursi
12. Independent 9 kursi
TOTAL 40 kursi
Pemilu tersebut menampilkan PPP dan aliansinya sebagai partai yang
memperoleh kursi terbanyak di Majelis Nasional, dan di Majelis Propinsi Sindh.
Sedangkan di propinsi Baluchistan dan NWFP, aliansi oposisi menang menang tipis
dibanding PPP. Dengan kemenangan tipis ini, dipastikan partai pimpinan Benazir Bhutto
ini tidak akan mampu memenangkan mayoritas dua pertiga kursi dalam parlemen.
Padahal seperti pernah dikatakan Benazir Bhutto, ia memerlukan sekurang-kurangnya
dua pertiga dari 237 kursi yang diperebutkan dalam parlemen, agar dapat meleksanakan
program-program partainya. Atau paling tidak 119 kursi (50%+ 1) dari 237 kursi
parlemen, yang agaknya juga sulit diraih Benazir Bhutto. Partai yang dapat
mengumpulkan mayoritas sederhana dengan 50%+ 1 (II9 kursi) dari 237 kursi majelis
dapat membentuk pemerintahan. Dan sebuah partai yang mendapat sekitar 90 kursi masih
dapat berharap membentuk pemerintahan dengan mengandalkan calon independen,
delapan anggota dari daerah kesukuan dan 10 yang terpilih untuk menduduki kursi yang
di cadangkan bagi minoritas non Muslim untuk memenuhi jumlah yang diperlukan.
Dengan demikian, terciptanya suatu pemerintahan yang kuat dengan dukungan stabilitas
politik yang lebih mantap masih jauh dari harapan, karena hampir dapat dipastikan
kedudukan pemerintahan rapuh dan sewktu-waktu bisa guncang, bahkan bisa dijatuhkan
oleh suatu mosi tidak percaya di parlemen.
Hasil pemilu juga menunjukkan bahwa beberapa partai kecil tidak mendapatkan
dukungan yang memadai. Fenomena lain yang dapat dicatat dari pelaksanaan pemilu
tersebut adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam menggunakan haknya untuk memilih
wakil-wakilnya di kedua Majelis. Diperkirakan dari 49. 585. 855 calon pemilih terdaftar
hanya 20. 101. 310 (40,5%) pemilih yang hadir ke Tempat Pemilihan Suara (TPS) untuk
menggunakan hak pilihnya. Angka tersebut menunjukkan adanya penurunan partisipasi
rakyat untuk lebih banyak banyak memusatkan perhatiannya kepada pemenuhan
kebutuhan sehari-hari dan kurang peduli dengan masalah-masalah politik. Masyarakat
Pakistan yang mayoritas masih buta huruf (65%). Tampaknya merasa mereka hanya
dijadikan alat saja pada waktu itu.
C. 2. Merebut kembali Mahkota Perdana Menteri
Hasil pemilu Pakistan memang membuka peluang bagi Benazir Bhutto untuk
kembali menjadi Perdana Menteri. Namun tetap harus dicatat bahwa perolehan kursi PPP
melawan PML hanyalah 92 : 72. Kemenangan tipis PPP ini tentu saja belum mampu
untuk menggeser Nawaz Sharif. Bahkan Nawaz Sharif masih tetap yakin akan dapat
menjegal ambisi Benazir yang ingin memegang kembali tampuk kepemimpinan Pakistan.
Sementara Benazir Bhutto sendiri dengan pengalamannya selama tiga tahun berjuang
untuk merebut kembali kekuasaannya, telah menjadikan dirinya bersikap pragmatis dan
mau menerima kompromi. Hal ini ditunjukkan keyakinan Benazir Bhutto bersedia
menjalin “kerja sama” dangan partai agama JUI Fazlur Rahman dan PML Chatta Group
yang juga merupakan unsur-unsur penting dalam percaturan politik Pakistan. Manufer
Benazir ini tampaknya sangat berpengaruh dalam perolehan suara PPP.145
Perolehan kursi bagi PPP maupun PML yang kurang dari mayoritas sederhana
(119 kursi), menyebabkan Benazir Bhutto dan Nawaz Sharif sama-sama menyatakan
berhak membentuk pemerintahan baru Pakistan. Tampaknya pemerintahan baru tersebut
akan membentuk sebuah pemerintahan koalisi. Dalam upayanya memperoleh dukungan
bagi masing-masing kubu, kedua mantan Perdana Menteri itu terjebak dalam pertarungan
memperebutkan sekitar 40 wakil dari partai politik dan kelompok independen.
Pertarungan tidak hanya di Islamabad, tetapi juga Punjab yang merupakan propinsi
terdapat dengan jumlah penduduk sebesar 60% dari seluruh jumlah penduduk di
Pakistan.146
Baik di Majelis Nasional maupun di Majelis propinsi Punjab, partai Benazir
Bhutto setelah berhasil mendapatkan tambahan kursi dari faksi PML sempalan pimpinan
Hamid Naserr Chatta yang tampaknya memang menolak bekerja sama dengan Nawaz
Sarif. Sementara PML pimpinan Nawaz Sharif yakin “bisa” membentuk sebuah
pemerintahan baru dengan bantuan partai-partai dan kelompok independent. Nawaz
Sharif menyebut calon-calon sekutunya: Awami National Party (ANP), Partai Pakhtoon
Khawa Milli Awami Party, National People’s Party (NPP) dan beberapa kelompok
independent. PML Nawaz Sharif juga berhasil memperoleh delapan kursi di propinsi
Benazir Bhutto, Sindh. Sementara di propinsi Baluchistan, Abdul Samad Achakzai yang
didukung PML Nawaz Sharif Group berhasil mengalahkan ketua PPP di propinsi
tersebut, Fateh Mohammad Hasni. Partai-partai keagamaan dan para independent
145 Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam, h. 21. 146 Yosef Ardi, “krisis Politik Pakistan”, Angkatan Bersenjata, data diakses pada 15 November
2008, dari http://.www.dictatorofthemonth.com/militer/sharif-ishaq=artiecle=316
menolak untuk mendukung Nawaz Sharif. Namun sebagaimana di maklumi, kesetiaan
politik di Pakistan mudah berubah-ubah bahkan jurang pemisah tidaklah cukup untuk
menjamin kemenangan Benazir Bhutto di Majelis Nasional agar supaya Benazir Bhutto
terpilih sebagai Perdana Menteri.147
Juru bicara PPP mengatakan peluang Benazir Bhutto lebih terbuka karena partai
itu sudah mengumpulkan 20 suara pendukung dan tinggal membutuhkan tiga suara lagi
untuk menjadi kelompok mayoritas. Namun kenyataan ini tetap menghadapkan Benazir
Bhutto pada masalah yang sulit karena tanpa dukungan mayoritas mutlak, Benazir Bhutto
akan kehilangan kekuasaannya untuk menghapus Amandemen ke-8 yang membolehkan
Presiden memecat Perdana Menteri.
Sementara tekad Nawaz Sharif untuk membentuk sebuah pemerintahan semakin
mantap. Dalam rangka mencari dukungan bagi keberhasilannya terpilih kembali menjadi
Perdana Menteri Pakistan, ia juga berusaha menghubungi beberapa “penguasa” untuk
mendapatkan “restu”. Ia berkunjung kepada Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Abdul
Waheed Kakar selama satu jam guna membahas skenario Presiden Wasim Sajjad. Tetapi
nampaknya pertemuan tersebut tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan oleh
Nawaz Sharif.
Tarik menarik antara Benazir Bhutto dengan Nawaz Sharif jelas tidak akan
menghasilkan pemenang kuat. Padahal siapapun yang akhirnya memimpin pemerintahan
Pakistan, perlu dukungan kuat parlemen di propinsi guna menjamin kelancaran
pelaksanaan kebijakan-kebijakan pemerintahannya, terutama di Punjab dan Sindh,
propinsi terkaya dan terbesar di negeri itu. Itulah yang dicari Benazir Bhutto dengan PPP-
nya setelah kemenangan tipisnya.
147 Deepak Tripathi, , ”Pakistan: The Return of Benazir Bhutto”, h. 227.
Sebenarnya untuk menghindar dari ancaman oposisi Nawaz Sharif yang dapat
dipastikan akan merongrong pemerintahannya, maka cara yang dapat ditempuh Benazir
Bhutto adalah dengan merangkul PML Nawaz Sharif Group untuk berkoalisi. Dengan
cara ini, koalisinya akan dapat menguasai mayoritas dua pertiga kursi dalam parlemen.
Dan komitmen Benazir Bhutto untuk dapat menghapus Amandemen ke-8 yang
memberikan kekuasaan lebih kepada Presiden, tentunya akan dapat terlaksana kendati
Nawaz Sharif juga ingin mengubah Amandemen ke-8 tetapi dia menyatakan tidak akan
mendukung Benazir Bhutto. Hal itu tentu sebagai taktiknya untuk meruntuhkan
pemerintahan anak Zulfikar Ali Bhutto itu.
Baik Pakistan People’s Party (PPP) maupun Pakistan Moeslem League (PML
Nawaz Sharif) telah menyatakan siap berkoalisi dengan partai-partai kecil guna
memperkuat pemerintahan. Namun kenyataan memperlihatkan, akhirnya PPP dengan
pertolongan PML sempalan pimpina Hamid Naser Chatta, para calon independent dan
minoritas, mampu membentuk suatu koalisi di pusat PPP dan para sekutunya juga
terbentuk pemerintahan propinsi di Punjab dan Sindh. Sedangkan PML pimpinan Nawaz
Sharif yang duduk sebagai oposisi di pusat, Punjab dan Sindh, maupun membentuk
pemerintahan di NWFP dan Baluchistan dengan bantuan sekutunya.
Berdasarkan hasil pemungutan suara di parlemen Pakistan pada tanggal 19
Oktober 1993, Benazir Bhutto akhirnya ditetapkan sebagai Perdana Menteri dengan
perbandingan 121 mendukungnya dan 72 suara tidak mendukungnya. Benazir Bhutto pun
lantas dilantik oleh Presiden sementara Wasim Sajjad menjadi Perdana Menteri Pakistan
untuk kedua kalinya dengan membawa dua puluh bulan pengalaman sebagai Perdana
Menteri dan tiga tahun sebagai ketua partai oposisi di parlemen.148
Dengan kebaerhasilan
Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri Pakistan untuk periode 1993-1998 sekaligus
menggambarkan bahwa akhirnya ambisi Benazir Bhutto untuk kembali memerintah
Pakistan telah tercapai.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sejak awal pemerintahan Benazir Bhutto (1988-1990) hingga saat ini Pakistan
dikuasai oleh tiga aktor utama, yaitu: Presiden, Perdana Menteri, dan Militer.
Pertentangan yang terjadi diantara Presiden, Perdana Menteri, dan Militer berakar dari
dikeluarkannya Amandemen ke-8 oleh rezim Presiden Zia ul-Haq pada tahun 1985.
dengan amandemen itu presiden bisa memiliki wewenang lebih besar, seperti memilih
dan memberhentikan perdana menteri, pimpinan militer dan anggota senior Mahkamah
Agung. Selain itu, presiden juga dapat membubarkan parlemen. Peralihan dari
pemerintahan parlementer menuju kekuasaan “tunggal” di bawah presiden inilah yang
menjadi pokok permasalahan antara presiden dan perdana menteri di Pakistan yang pada
akhirnya turut pula melibatkan militer.
Dari tahun 1988-1993 di Pakistan telah terjadi tiga kali friksi antar kekuatan
tersebut dan senantiasa perdana menteri yang akhirnya jatuh sebagai tumbal. Friksi
148 Bahkan PPP juga menang mudah dalam pemilihan Presiden pada tanggal 13 November 1993
ketika calonnya Farooq Leghari, mengalahkan calon dari PML yaitu Wasim Sajjad, dengan 274 suara
lawan 168 suara. PPP merasa lebih aman setelah kemenangan ini apalagi Presiden Faroog Leghari
menyatakan bahwa ia menginginkan agar amandemen ke-8 dihapuskan oleh parlemen karena telah menjadi
sumber krisis politik di Pakistan. Dhuroruddin Mashad, Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia
Islam, h. 204-210.
pertama menyebabkan jatuhnya pemerintahan Perdana Menteri Khan Junejo akibat
dipecat presiden Zia ul Haq pada tanggal 29 Mei 1988. friksi kedua berakhir dengan
dipecatnya Perdana Menteri Benazir Bhutto oleh Presiden Ghulam Ishaq Khan pada
tanggal 6 Agustus 1990, dan yang ketiga adalah dipecatnya Perdana Menteri Nawaz
Sharif yang juga akibat ulah Presiden Ghulam Ishaq Khan pada tanggal 18 April 1993.
ada persamaan alasan dalam pemecatan Perdana Menteri dalam ketiga peristiwa tersebut,
yaitu: mereka dituduh melakukan korupsi, nepotisme dan tidak becus memerintah.
Sebagai kelanjutan dari pemecatan tersebut, presiden kemudian mengangkat pejabat
sementara untuk melaksanakan jalannya pemerintahan serta menyiapkan pemilu yang
baru.
Peran militer di dalam tindakan pemecatan oleh presiden terhadap perdana
menteri ternyata sangat besar karena sesuai dengan Amandemen ke-8, tindakan presiden
haruslah dengan persetujuan militer. Terlebih apabila perdana menteri mulai ikut campur
dalam masalah intern militer. Maka militer tentu saja cenderung mendukung tindakan
presiden. Oleh karena itu, Amandemen ke-8 dapat dikatakan sebagai kunci pengaman
dari “hukum militer” dan kuatnya kedudukan presiden. Akibatnya sering muncul
anggapan bahwa presiden adalah boneka militer.
Ketika Nawaz Sharif mulai merintis jalan menuju kursi perdana menteri, ia
memang dekat dengan Presiden. Pencalonannya mendapat dukungan yang kuat dari
Ghulam Ishaq Khan. Namun di Pakistan sebelumnya bukan rahasia lagi jika tiba-tiba
kawan politik berubah menjadi lawan, begitu pula sebaliknya. Pada tahun ketiga setelah
Nawaz Sharif menjabat sebagai Perdana Menteri, mulailah keduanya bentrok
memperebutkan kekuasaan. Demikian pula antara Benazir Bhutto dengan Ghulam Ishaq
Khan, kendati Benazir Bhutto semula membencinya karena telah memecat dirinya pada
tahun 1990 ketika ia ingin menghapus Amandemen ke-8 (sama seperti keinginan Nawaz
Sharif), namun Benazir Bhutto akhirnya justru mendukung Ghulam Ishaq Khan untuk
bersama-sama menjatuhkan Nawaz Sharif dari kursi Perdana Menteri pada tahun 1993.
Uraian mengenai pertentangan yang terjadi antara Nawaz Sharif dengan Ishaq
Khan atau antara Benazir Bhutto denagn Nawaz Sharif merupakan konflik elit.
Perubahan pemerintahan terjadi karena penguasa-penguasa dihadapkan pada beberapa
konflik atau kontradiksi yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang terdapat di dalam
sistem politik. Kontradiksi-kontradiksi ini lambat laun akhirnya menyebabkan
disintegrasi sistem politik kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antar elit politik adalah
kontradiksi yang disebabkan oleh kontradiksi kultural, seperti masih kuatnya perasaan
kesukuan antara para tokoh penguasa pakistan tersebut. Dalam kasus pemilihan Kepala
Staf Angkatan Darat misalnya, Nawaz Sharif telah mengusulkan beberapa nama namun
ditolak ghulam Ishaq Khan. Pada akhirnya Presiden malah menunjuk Jenderal Abdul
Waheed Kakar, rekan sejawat yang masih satu suku dengan Presiden sebagai Kepala Staf
Angkatan Darat yang baru. Persaingan antar suku di Pakistan tercermin pula dari konflik
di tingkat elit, di mana Benazir Bhutto yang merupakan suku Sindh cenderung menentang
Nawaz Sharif dari suku Punjabi, demikian pula sebaliknya. Kiranya keadaan tersebut
sesuai pula dengan teori mengenai ikatan primordial dari Clifford Greets yang
mengatakan bahwa konflik yang timbul biasanya salah satunya disebabkan oleh
kesukuan.
Selain kontradiksi kultural, kontradiksi struktural pun dapat menjadi faktor yang
menyebabkan konflik di Pakistan. Benazir Bhutto yang saat itu berperan sebagai ketua
Oposisi terlihat lebih kompak dengan memberikan tekanan-tekanan pada pemerintah
berupa White Paper dan Long March yang diikuti oleh puluhan ribu pengikut-
pengikutnya yang menginginkan jatuhnya pemerintahan Nawaz Sharif. Sementara itu
akibat perseteruan antara Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan, maka pada pemilu 1993 IJI
(pimpinan Nawaz Sharif) pecah antara yang pro-Sharif dengan yang pro-Ishaq Khan.
Bahkan PML sebagai unsur utama IJI telah pecah pula menjadi dua faksi, yaitu PML
Sharif dan kelompok PML Hamid Nasser Chatta yang kemudian bergabung dengan PPP.
Bergabungnya PML semplan pimpinan Hamid Nasser Chatta tersebut dengan PPP, tentu
saja sangat menguntungkan Benazir Bhutto dalam perolehan suara pada pemilu 1993.
Meskipun kontradiksi kultural seringkali mewarnai perpolitikkan di Pakistan,
namun dalam kasus keberhasilan Benazir Bhutto menjadi Perdana Menteri untuk kedua
kalinya ini terlihat bahwa kontradiksi srtuktural mempunyai peran yang lebih penting
daripada kontradiksi kultural. Karena jika para penguasa (Presiden Ghulam Ishaq Khan,
Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Kepala Steaf Angkatan Darat Jenderal Abdul Waheed
Kakar) masih berjalan seiring dengan baik, tentu akan sulit bagi oposisi pimpinan Benazir
Bhutto untuk menjatuhkan pemerintah ataupun untuk mendesak agar segera dilaksanakan
pemilu baru. Juga akibat tetjadinya perpecahan di dalam koalisi Islami Jamhoori Ittehad
(IJI) dan di dalam Pakistan Moeslim League (PML) yang sebenarnya merupakan partai
terbesar dalam tubuh IJI, tentu saja mengakibatkan berkurangnya dukungan terhadap
Nawaz Sharif dalam pemilu 1993.
Dengan demikian berarti “pertentangan Nawaz Sharif dengan Ishaq Khan
mengakibatkan melorotnya perolehan suara bagi partai Nawaz Sharif”, adalah terbukti
benar. Demikian pula dengan “perpecahan faksi-faksi dalam PML mengakibatkan
turunnya dukungan terhadap Nawaz Sharif dan menguatnya dukungan terhadap Benazir
Bhutto” ternyata dapat terbukti. Sehingga PPP pimpinan Benazir Bhutto memperoleh
suara lebih besar dari pada PML pimpinan Nawaz Sharif dalam pemilu 1993. hal ini tentu
saja menjadi salah satu faktor yang menyebabkan Benazir Bhutto dapat meraih kekuasaan
kembai menjadi Perdana Menteri.
Kemenangan Benazir Bhutto dalam pemilu 1993, mengenai pengangkatan tokoh
politik haruslah memiliki kriteria-kriteria tertentu, antara lain: kesesuaian dengan nilai
dominan (nilai dasar) sebuah sistem dalam Masyarakat; mempunyai keahlian-keahlian
tertentu; mempunyai karir dan mobilitas yang memadai; dan mempunyai kewibawaan,
serta mempunyai tingkat keterwakilan terhadap kelomok-kelompok yang ada. Dalam hal
ini Benazir Bhutto nampaknya telah memenuhi berbagai kriteria tersebut, yang
merupakan prasyarat bagi usahanya untuk meraih kekuasaan.
Benazir Bhutto adalah seorang orator ulung yang mampu memobilisasi dan
menarik simpati massa. Ia memanfaatkan nama besar ayahnya untuk memperoleh
dukungan dalam perolehan suara pada pemilu 1993. Gabungan antara keahliannya dan
kharisma ayahnya mampu membentuk kewibawaan Benazir Bhutto di mata masyarakat
Pakistan. Apalagi ia pernah memimpin Pakistan pada tahun 1988-1990, sehingga
golongan konserfatif tidak terlau mengungkit-ngungkit tentang kepemimpinan seorang
wanita. Untungnya isu agama tidak lagi menonjol dalam pemilu 1993, melainkan lebih
pada ekonomi karena Nawaz Sharif tidak lagi didukung oleh partai-partai agama.
Benazir Bhutto memang berbeda dengan wanita-wanita lain yang berada di
Pakistan, yang mana pendidikan mereka masih sangat rendah dengan tingkat buta huruf
yang tinggi di Pakistan, yaitu 65 dari 120, 84 juta jiwa jumlah penduduk Pakistan, yang
terdiri dari 63, 4441 juta jiwa pria dan 57, 399 juta wanita. Benazir Bhutto merupakan
profil wanita Pakistan yang berhasil memperoleh pendidikan tinggi dari Harvard dan
Oxford University, sehingga wajar saja jika ia tampil dengan cerdik dalam politik di
Pakistan. Sementara Nawaz Sharif yang merupakan saingannya kendati juga berkualitas,
namun saat ia gagal mencegah partainya pecah akibat perseteruannya dengan Presiden
Ghulam Ishaq Khan. Bahkan partai pecahnya itu malah kemudian mendukung PPP.
Dalam kasus ini terlihat Benazir Bhutto cukup cerdik untuk memanfaatkan perseteruan
Ishaq Khan-Nawaz Sharif. Strategi politik menyebabkan Benazir Bhutto berhasil meraih
suara mayoritas dalam pemilu 1993”, juga terbukti.
Benazir Bhutto menyadari bahwa dukungan partainya saja tidak cukup untuk
membentuk sebuah pemerintahan. Oleh karenanya ia berusaha mengadakan pendekatan
dengan partai lain, bahkan ia juga menawarkan beberapa jabatan penting bagi tokoh-
tokoh dari partai yang mau mendukungnya di dalam usahanya untuk membentuk sebuah
pmerintahan. Hal ini merupakan kunci sukses bagi Benazir Bhutto untuk dapat meraih
posisi perdana menteri. Sehingga “sikap pragmatis Benazir Bhutto untuk berbagai jabatan
dalam pemerintahan dengan partai lain telah menyebabkan dirinya meraih posisi Perdana
Menteri”, juga terbukti.
Sementara itu militer yang memainkan peranan penting dalam perpolitikan
Pakistan, sebelum berlangsungnya pemilu 1993 berupaya agar kedua elit politik yang
berseteru (Perdana Menteri Nawaz Sharif dan Presiden Ghulam Ishaq Khan) segera
mundur dari jabatannya masing-masing guna mengakhiri krisis politik yang terjadi dan
bersepakat untuk memilih pemerintahan sementara yang netral untuk bertugas
menyelenggarakan pemilu baru. Militer juga tidak mendukung Nawaz Sharif dalam
pemilu 1993 karena militer kecewa terhadap sikap Nawaz Sharif yang ikut campur dalam
masalah intern militer. Terlebih lagi, Kepala Staf Angkatan Darat yang baru Jenderal
Abdul Waheed Kakar adalah orang pilihan Presiden Ghulam Ashaq Khan lawan dari
Nawaz Sharif. Sehingga militer tidak mempunyai pilihan terhadap calon Perdana Menteri
baik Benazir Bhutto maupun Nawaz yang bersaing dalam pemilu 1993. Akibatnya militer
cenderung bersikap realistis agar pemilu dapat terlaksana secara jujur dan adil dan tidak
lagi mendukung Nawaz Sharif seperti pada pemilu sebelumnya. Dengan tidak adanya
dukungan militer terhadap Nawaz Sharif, maka kubu Benazir Bhutto berhasil meraih
suara mayoritas dalam pemilu 1993. Militer Pakistan tidak lagi mendukung Nawaz Sharif
menyebabkan kubu Benazir Bhutto meraih suara mayoritas dalam pemilu 1993.
B. Saran
1. Seharusnya Pakistan yang berpenduduk multi-etnis tidak terlalu fanatik terhadap
kesukuannya. Mengingat berdirinya Pakistan atas dasar pada masyarakat
keagamaan untuk menjadi sebuah bangsa Muslim, dengan kata lain , dasar
berdirinya Pakistan adalah untuk membentuk bangsa Muslim dengan
merealisasikan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Tapi dalam
kenyataannya rasa kesukuan atau etnis lebih di tonjolkan dengan merasa bahwa
etnisnyalah yang paling berkuasa tanpa mempedulikan kesamaan dalam
beragama.
2. Partai-partai Politik di Pakistan seharusnya menjadi alat pemersatu yang
mengarahkan pada terwujudnya rasa kebangsaan demi terciptanya suatu
pemerintahan yang adil untuk kesejahteraan rakyat, dalam kenyataannya partai
politik di Pakistan banyak yang berdimensikan pada semangat pengelompokan
berdasar latar belakang etnis. Sehingga primordialisme demikian berimplikasi
pula pada berbagai kebijakan dan pengangkatan pejabat suatu pemerintahan di
Pakistan
3. Harus adanya undang-undang yang jelas yang mengatur pembagian kerja presiden
dan perdana menteri. Sehingga hak kekuasaan perdana menteri tidak di
kendalikan oleh presiden juga sebaliknya. Sehingga dalam kekuasaannya di
Pakistan selalu terjadi kekuasaan yang tumpang tindih dimana baik presiden dan
perdana menteri merasa saling berkuasa dan paling bertanggung jawab.
4. Militer seharusnya tidak ikut berkecimpung dalam politik peraktis. Toh dalam
kenyataannya justru militerlah yang selalu mengendalikan perpolitikan Pakistan.
Hal ini menjadikan tiga aktor utama dalam perpolitikan Pakistan: militer, presiden
dan perdana menteri. Sehingga, siapapun yang ingin menjadi pemimpin Pakistan
seolah haruslah mendapatkan restu dahulu dari pihak militer.
5. Pihak Oposisi seharusnya menjadi suatu badan pembanding dalam kebijakan-
kebijakan pemerintah, dengan memberikan jalan keluar atau masukan-masukan
kepada pemerintah. Dengan tidak menjadi provokator yang mengarah kepada
kehancuran negara dengan cara anarkis untuk menggulingkan pemerintahan
berkuasa.
DAFTAR PUSTAKA
Bhutto, Benazir. The way out: Interviews, impressions, statements, and messages.
Mahmood Publications. 1988.
Bhutto, Benazir. Benazir Bhutto defends herself. Rhotas Books. 1990
Bhutto, Benazir. Issues in Pakistan. Jang Publishers. 1993.
Ali, Zaenal. Tragedi Benazir Bhutto. Yogyakarta: Narasi. 2008.
Mashad, Dhurorudin. Pemilu di Pakistan 1990; Kegagalan Benazir Bhutto Dalam
Meraih Kekuasaan, Jurnal Ilmu Politik, No. 13 Jakarta: PT Gramedia, 1983.
Mashad, Dhuroruddin. Benazir Bhutto: Profil Politisi Wanita di Dunia Islam
Jakarta:Pustaka CIDESINDO. 1996.
Esposito, John L. Ensiklopedi Dunia Islam Modern, New York, Syracuse Press. 1995.
Esposito, John L. Islam dan Politik. Jakarta: PT Bulan Bintang. 1990.
Lapidus, Ira M. Sejarah Sosial Ummat Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1999.
Ahmad, Zaenal Abidin. Konsep Politik dan Ideologi Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1977.
Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. Jakarta: LP3ES, 1988.
Crouch, Harold. Rezim Militer: Perkembangan Politik dan Modernisasi. Jakarta:
Yayasan Perkhidmatan, 1982.
Duverger, Maurich. Sosioligi Politik. Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Esposito, Jhon L. Agama dan Perubahan Sosio-Politik, terj. S.H.S. Jakarta: Aksara
Perdata, 1983.
Greetz, Clifford. Ikatan-Ikatan Primordial dan Politik Kebangsaan di Negara-Negara
Baru, Pembangunan Politik dan Perubahan Politik (Sebuah Bunga Rampai),
editor oleh Juwono Sudarsono. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991.
Budiardjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1982.
L. Garl Brown, Wajak politik Islam, Jakarta: Serambi,2003.
Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (terj) (Bandung: Mizan Pustaka,
2004).
Hasan, Rias. Islam Dari Konservatisme Sampai Fundamentalisme, terj. Dewi Haryani.
Jakarta: Rajawali Press, 1985.
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta::
Bulan Bintang, 1975.
Huntington, Samuel P. Tertib Politik di Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah.
Jakarta: CV. Rajawali , 1983.
Sligman, Lester G. Pengangkatan Tokoh-Tokoh Politik, Beberapa Aspek Dalam
Pembangunan Politik, Tarj. Afan Gaffar. Jakarta: CV. Rajawali, 1990.
Varma, S.P. Teori Politik Modern. Jakarta: CV Rajawali, 1990.