polifarmasi

15
Polifarmasi BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004): 1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas 2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama 3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi 4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat 5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat. Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004). 2.1 Farmakodinamik Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA. 2.1.1 Efek Samping Obat Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping obat dan interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan beberapa agen (Terrie, 2004). Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie, 2004). Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom geriatrik atau menyebabkan kebingungan,

Upload: nadhila

Post on 14-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

y

TRANSCRIPT

Polifarmasi

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):

1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas

2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama

3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi

4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat

5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.

Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004).

2.1 Farmakodinamik

Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.

2.1.1 Efek Samping Obat

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping obat dan interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan beberapa agen (Terrie, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie, 2004).

Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin, dan malaise. Efek samping ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).

Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat bersifat iatrogenik. Diagnosis klinis berkaitan dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua, sehingga sulit untuk menentukan apakah gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan normal. Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua disebabkan oleh penghentian obat. Penghentian obat menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan kejang, yang perlu ditangani dengan obat-obatan baru. Hal ini menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin lambat penghentian penggunaannya. Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya. Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya. Penghentian obat harus diturunkan dosisnya perlahan-lahan sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat dengan masa kerja yang panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Karena risiko efek samping obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi, penting untuk menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).

2.1.2 Interaksi Obat

Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien tua. Secara keseluruhan, insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan banyaknya obat yang dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi metabolik dapat meningkatkan kadar obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius (Standridge, et al.,2010).

2.1.2.1 Inhibisi

Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal. Interaksi yang signifikan secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin, antibiotik, antidepresan, analgesik, dan HMG-CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu penyerapan tetrasiklin, perubahan pH lambung, gangguan flora usus, dan perubahan motilitas saluran cerna. Penurunan keasaman lambung dan melambatnya motilitas saluran cerna merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et al.,2010).

2.1.2.2 Potensiasi

Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling menguatkan adalah sebagai berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo biloba untuk memorinya. Pasien mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan warfarin mempengaruhi faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo biloba dosis tinggi juga meningkatkan perdarahan. Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan pada pasien (Lin, 2003).

2.1.2.3 Akumulasi

Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko mengalami hipoglikemia ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini menghambat metabolisme glyburide oleh sistem enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin dapat timbul pada pasien yang diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein, sehingga meningkatkan renal clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada pasien yang diterapi dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan dengan potassium-sparing diuretics dapat menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003).

Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai sistem enzim, seperti cytochrome P450 (CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur tertentu, dan menjadi substrat pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat lainnya, mengubah glomerular filtration rate (GFR), sekresi tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar obat dalam serum (Standridge, et al.,2010).

Polifarmasi

Posted on January 22, 2012 by shigenoiharuki under IPD

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Polifarmasi didefinisikan sebagai penggunaan bersamaan 5 macam atau lebih obat-obatan oleh pasien yang sama. Namun, polifarmasi tidak hanya berkaitan dengan jumlah obat yang dikonsumsi. Secara klinis, kriteria untuk mengidentifikasi polifarmasi meliputi (Terrie, 2004):

1. Menggunakan obat-obatan tanpa indikasi yang jelas

2. Menggunakan terapi yang sama untuk penyakit yang sama

3. Penggunaan bersamaan obat-obatan yang berinteraksi

4. Penggunaan obat dengan dosis yang tidak tepat

5. Penggunaan obat-obatan lain untuk mengatasi efek samping obat.

Polifarmasi meningkatkan risiko interaksi antara obat dengan obat atau obat dengan penyakit. Populasi lanjut usia memiliki risiko terbesar karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi dengan proses penuaan. Perubahan fisiologis ini, terutama menurunnya fungsi ginjal dan hepar, dapat menyebabkan perubahan proses farmakodinamik dan farmakokinetik obat tersebut (Terrie, 2004).

2.1 Farmakodinamik

Farmakodinamik menggambarkan efek obat terhadap tubuh. Sebagai contoh, Acetylsalycilyc acid (ASA) menghambat fungsi platelet sehingga memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, perdarahan adalah efek farmakodinamik dari ASA.

2.1.1 Efek Samping Obat

Hal utama yang perlu diperhatikan dalam polifarmasi adalah risiko munculnya efek samping obat dan interaksi obat yang serius. Dalam beberapa kasus, memang diperlukan terapi dengan beberapa agen (Terrie, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 75% efek samping obat yang menyebabkan pasien harus dirawat inap berhubungan dengan agen farmakologis dan sebagian karena monitoring yang tidak adekuat, peresepan yang kurang tepat, dan kurangnya edukasi dan kompliansi pasien. Penelitian juga menyatakan bahwa efek samping obat terjadi 6% pada pasien yang mendapat 2 macam obat, meningkat 50% pada pasien yang mengonsumsi 5 macam obat bersamaan, dan 100% ketika lebih dari 8 obat digunakan (Terrie, 2004).

Efek samping obat polifarmasi terutama timbul pada pasien tua. Hal ini dapat menyerupai sindrom geriatrik atau menyebabkan kebingungan, jatuh, inkontinensia, retensi urin, dan malaise. Efek samping ini menyebabkan dokter meresepkan obat lain untuk mengatasinya (Terrie, 2004).

Penelitian tidak dapat menunjukkan bahwa banyaknya penggunaan obat bersifat iatrogenik. Diagnosis klinis berkaitan dengan penyakit cenderung lebih kompleks pada orang tua, sehingga sulit untuk menentukan apakah gejala fisik dan psikis yang timbul merupakan bagian dari proses penuaan normal. Sulit untuk mengetahui apakah gejala yang timbul pada orang tua disebabkan oleh penghentian obat. Penghentian obat menyebabkan banyak gejala, seperti halusinasi dan kejang, yang perlu ditangani dengan obat-obatan baru. Hal ini menyebabkan pemberian polifarmasi. Untuk menghindari efek penghentian obat, semakin lama obat digunakan, semakin lambat penghentian penggunaannya. Dosisnya harus dikurangi setengah atau dua pertiganya. Setelah beberapa minggu atau bulan, perlu dilakukan penurunan dosis menjadi sepertiganya. Penghentian obat harus diturunkan dosisnya perlahan-lahan sampai dosis terkecil obat tersebut dapat ditinggalkan. Obat dengan masa kerja yang panjang, seperti benzodiazepine, memerlukan penghentian yang lama sekitar 6 bulan sampai 1 tahun atau lebih. Karena risiko efek samping obat meningkat dengan banyaknya obat yang dikonsumsi, penting untuk menghentikan terapi yang tidak efektif (Linjakumpu, 2003).

2.1.2 Interaksi Obat

Polifarmasi dan interaksi obat lebih sering terjadi dan lebih serius pada pasien tua. Secara keseluruhan, insiden polifarmasi sekitar 3-5% namun meningkat secara eksponensial dengan banyaknya obat yang dikonsumsi. Interaksi obat sering terjadi pada pasien tua dengan kondisi medis multipel. Interaksi obat menyebabkan kegagalan terapi atau efek samping obat. Inhibisi metabolik dapat meningkatkan kadar obat beberapa kali dengan konsekuensi yang serius (Standridge, et al.,2010).

2.1.2.1 Inhibisi

Obat-obatan saling berinteraksi dan dengan makanan serta ramuan herbal. Interaksi yang signifikan secara klinis terjadi pada obat-obatan yang sering digunakan, seperti warfarin, antibiotik, antidepresan, analgesik, dan HMG-CoA reductase inhibitors). Perubahan absorbsi obat terjadi karena pengikatan obat dalam saluran cerna, misalnya antasida mengganggu penyerapan tetrasiklin, perubahan pH lambung, gangguan flora usus, dan perubahan motilitas saluran cerna. Penurunan keasaman lambung dan melambatnya motilitas saluran cerna merupakan fenomena penuaan yang normal (Standridge, et al.,2010).

2.1.2.2 Potensiasi

Contoh interaksi farmakodinamik yang bersifat potensiasi atau saling menguatkan adalah sebagai berikut. Seorang pasien mengonsumsi ASA yang dibeli sendiri untuk rematiknya dan ginkgo biloba untuk memorinya. Pasien mengalami atrial fibrillation dan diresepi warfarin oleh kardiologisnya untuk mencegah terjadinya stroke. Pada kasus ini, ASA menghambat platelet dan warfarin mempengaruhi faktor pembekuan. Keduanya meningkatkan risiko perdarahan. Ginkgo biloba dosis tinggi juga meningkatkan perdarahan. Interaksi farmakodinamik obat-obatan ini menyebabkan perdarahan pada pasien (Lin, 2003).

2.1.2.3 Akumulasi

Pasien diabetes yang mendapat sulfonylureas, seperti glyburide, beresiko mengalami hipoglikemia ketika mengonsumsi antibiotik sulfonamide, karena obat ini menghambat metabolisme glyburide oleh sistem enzim cytochrome P450 2C9 (CYP 2C9). Toksisitas digoksin dapat timbul pada pasien yang diterapi dengan clarithromycin yang menghambat P-glycoprotein, sehingga meningkatkan renal clearance digoxin. Hiperkalemia banyak terjadi pada pasien yang diterapi dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors, dan penggunaan bersamaan dengan potassium-sparing diuretics dapat menyebabkan hyperkalemia yang mengancam nyawa (Juurlink, et al., 2003).

Metabolisme obat terutama terjadi di hepar melalui berbagai sistem enzim, seperti cytochrome P450 (CYP450). Suatu obat dapat menjadi inhibitor atau menginduksi jalur tertentu, dan menjadi substrat pada jalur lainnya. Eliminasi obat melalui ekskresi urin dapat dipengaruhi dengan menambahkan obat lainnya, mengubah glomerular filtration rate (GFR), sekresi tubulus, atau pH urin. Diuretik dapat menurunkan GFR sehingga meningkatkan kadar obat dalam serum (Standridge, et al.,2010).

2.2 Farmakokinetik

Linjakumpu, T. 2003. Drug use among the home-dwelling elderly. Oulun yliopisto. University of Oulu. ISBN 951-42-7102-5.

Standrigde JB, Zylstra LG, Miller KE, Ruiz DE, Simpson JD. 2010. Caring for Elderly Individual: Polypharmacy and Drug Interaction.http://www.researchresidency.com/goppert/FP2010/FP_Comprehensive/FP-E_297/section3_polypharmacy.html.

Terrie YC. 2004. Understanding and Managing Polypharmacy in the Elderly. http://www.pharmacytimes.comLin, P. 2003. Drug Interaction and Polypharmacy in the Elderly. The Canadian Alzheimer Disease Review, September 2003, p 10-14.

Juurlink DN, Mamdani M, Kopp A, Laupacis A, Redelmeier DA. 2003. Drug-Drug Interactions Among Elderly Patients Hospitalized for Drug Toxicity.JAMA. 2003;289(13):1652-1658. doi: 10.1001/jama.289.13.1652 TINJAUAN PUSTAKA MASALAH PEMBERIANPOLIFARMASI

PENDAHULUANPemberian polifarmasi pada pasien tidak saja menjadi problema dinegara-negara yang sedang berkembang, tapi juga merupakan masalah yang cukupserius di negara yang telah maju. Banyak obat yang tidak ada hubungannyadengan penyakit pasien diberikan pada pasien, yang tentu saja merupakanpemborosan dan meningkatkan insiden penyakit karena obat.

Dalam suatu survei di Zimbabwe, dokter Raymond mendapatkan banyak dokter diZimbabwe memberikan obat sampai 14 jenis. Tujuh jenis di antaranyasebenarnya tidak diperlukan sama sekali oleh pasien, sedangkan tiga jenisobat lainnya diberikan untuk melawan efek samping obat lain(1). Selain itu,dalam sebuah workshop tentang Penggunaan Obat Rasional di Pakistan terungkapmasih banyak terdapat pemberian obat secara polifarmasi dengan perkiraanrata-rata 3,6 jenis obat per satu resep(2). Dalam sebuah survei di Denpasarjuga didapatkan 84,4% resep yang diberikan pada pasien anak mengandung lebihdari 4 jenis zat aktif(3).

Faktor penyebab dari pemberian obat secara polifarmasi tidak saja terletakpada dokter sebagai pemberi obat, tapi juga pada sediaan obat yang ada, yangmemang sudah dalam bentuk polifarmasi. Sediaan obat dalam bentuk polifarmasimasih banyak dipasarkan di Indonesia, seperti sirup obat batuk, sirup obatflu, juga ada dalam bentuk tablet yang mengandung 4 sampai 6 bahan aktif.Dokter seringkali terjebak kalau kurang hati-hati, karena kurang hafal padakandungan sediaan obat polifarmasi.

Di samping penyebab di atas, penggunaan polifarmasi juga bisa disebabkanoleh faktor pasien. Beberapa pasien kadang-kadang minta supaya setiap gejalayang dirasakannya diberikan obat secara tersendiri, misalnya pasien mintaobat sakit kepala, obat nyeri badan, atau obat demam. Padahal, sebenarnyasemua gejala tersebut dapat diatasi dengan satu jenis obat karena semuagejala yang dideritanya merupakan kumpulan gejala dari suatu penyakit. Dalamtulisan ini akan dibahas beberapa jenis polifarmasi yang sering ditemukandalam praktik, dan beberapa jenis sediaan polifarmasi yang beredar dipasaran Indonesia.

JENIS POLIFARMASI YANG DIBERIKANBeberapa jenis polifarmasi yang sering diberikan ialah:

KOMBINASI ANTARA DUA JENIS OBAT ATAU LEBIH YANG MEMPUNYAI EFEK YANG SAMAATAU MIRIP UNTUK MENGOBATI SATU SIMPTOMSeringkali parasetamol dikombinasi dengan salicylamide dan acetylsalicylicacid untuk mengobati pasien demam. Ketiga obat ini termasuk golonganantipyretic analgetic yang digunakan untuk menghilangkan demam dan rasanyeri. Tujuan utama kombinasi obat sebenarnya untuk tercapainya potensiasidan menurunkan efek samping obat. Tapi, contoh kombinasi di atas tidakmenunjukkan adanya tujuan tersebut, malah menimbulkan efek samping yanglebih banyak, yang dapat ditimbulkan oleh masing-masing obat.

Jenis kombinasi seperti ini tidak saja ditulis secara tersendiri olehdokter, tapi juga telah ada sediaan obat dalam bentuk kombinasi tetapseperti kombinasi antara parasetamol dengan salicylamide, antara acetylsalicylic acid dengan parasetamol, atau antara metampyron dengansalicylamide. Kombinasi analgesik ini tidak memberikan keuntungan secaranyata, malah mungkin dapat menimbulkan bahaya dan yang jelas harganya akanmenjadi lebih mahal.

Menggunakan kombinasi analgesik juga akan mengkombinasi efek sampingmasing-masing kelas analgesik sebagai konsekuensinya. Kombinasi ini lebihsering menyebabkan kerusakan ginjal daripada penggunaan secara tunggal.Banyak lagi contoh-contoh polifarmasi yang tersedia dalam bentuk kombinasitetap seperti obat reumatik, obat batuk, obat diare, obat asma bronkhiale,dsb yang dianggap tidak rasional dan mengundang lebih bayak timbulnya efeksamping.

MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENGURANGI ATAU MENGHILANGKAN EFEKSAMPING OBAT UTAMASama seperti contoh di atas, kombinasi sejenis ini tidak saja ditulis secaratersendiri oleh dokter, tapi juga tersedia dalam bentuk kombinasi tetap.

Obat anti rheumatic (anti inflamasi) secara umum dapat menimbulkan iritasimukosa lambung, baik secara langsung ataupun secara tidak langsung melaluiproses penekanan synthese prostaglandin. Untuk mengurangi efek iritasi inimaka obat anti rheumatic ini dikombinasi dengan antasida, antagonis reseptorH2 (cimetidine, ranitidine), proton pump inhibitor (PPI), atau denganderivate PGEI (misoprostol).

Tujuan kombinasi obat di sini ialah mengurangi efek samping obat utama,tidak mengharapkan terjadinya potensiasi, tapi mengabaikan proses interaksiobat yang dikombinasi, yang mungkin saja mengurangi efek obat utama. Dalamhal ini, obat kombinasi yang diberikan juga mempunyai efek samping dankemungkinan lebih besar daripada obat utama. Kalau demikian halnya, makaakan berderet jumlah obat yang fungsinya menghilangkan efek samping obatlainnya, tapi justru akan menambah efek samping yang baru, sehingga akhirnyamenyimpang dari tujuan pengobatan semula.

Selain contoh obat kombinasi di atas, masih banyak lagi ditemukan di pasaranobat kombinasi yang sejenis. Misalnya, efek ngantuk Chlorpheniramine maleatedihilangkan dengan cafein, efek insomnia dari Aminophyline atau ephedrinedengan phenobarbital.

MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN MAKSUD MENINGKATKAN ABSORPSI (RATE OFABSORPTION AND EXTEND OF ABSORPTION) OBAT UTAMASecara klinis, kombinasi ini ada yang bermakna dan ada pula yang tidakbermakna. Dalam hal ini, harus dipertimbangkan tentang efikasi obat,risk/benefit ratio, dan tentu saja harga.

Contoh yang menarik ialah kombinasi antara parasetamol dengan metoklopramid.Metklopramid mempengaruhi rate of absorption paracetamol sehingga puncakkonsentrasi parasetamol dalam darah cepat dicapai. Tetapi, tidakmempengaruhi extend of absorption, sehingga jumlah parasetamol yang terdapatdalam darah tidak berubah. Efek yang sama efektifnya akan didapat denganmemberikan parasetamol dosis yang agak lebih tinggi. Kalau dipertimbangkansecara cost/benefit ratio maka didapat bahwa kombinasi antara metoklopramiddan parasetamol sama efektifnya dengan parasetamol dosis agak tinggi denganharga yang jauh lebih murah dan tidak menambah efek samping obat.

Berbeda halnya dengan kombinasi antara ergotamin dengan kafein. Ergotaminsulit diabsorpsi di saluran cerna sehingga untuk membantu absorspsinya (rate& extend of absorption) setiap 1 mg ergotamin/dikombinasi dengan 100 mgcafein. Kombinasi ini akan mempercepat dan memperbanyak absorpsi ergotamin(4).

Walaupun kombinasi ini secara cost/benefit ratio menguntungkan, tapi tetapdianggap kurang rasional, karena ada cara pemberian yang lebih efektif,yaitu pemberian secara intravena atau intramuskuler.

MEMBERIKAN KOMBINASI OBAT YANG TAK ADA HUBUNGANNYA DENGAN KINETIK DANDINAMIK OBAT SERTA DENGAN PENYAKIT PASIEN.Kombinasi antara metampiron dengan vitamin neurotropik (B1, B2, B6, B12)banyak beredar di pasaran yang dikemas alam bentuk kombinasi tetap. Indikasiutama pemberian vitamin adalah penderita defisiensi vitamin(5). Vitaminneurotropik ini tidak menyembuhkan mialgia, sefalgia, ataupun atralgia danpemberiannya pada pasien yang tak memerlukan akan membuang-buang obat danuang.

Contoh lain ialah pemberian antara antasid dengan tranquilizer sepertidiazepam atau klordiazepam pada pasien yang menderita gastritis.Tranquilizer bukan obat gastritis, tapi obat penenang yang diberikan padapasien yang mengalami ansietas. Tidak menjadi masalah kalau pasiennya jugamenderita ansietas, tapi kalau tidak maka diazepam atau klordiazepoksid yangdiberikan akan menjadi mubazir. Malah akan menambah efek samping ataumenimbulkan masalah ketergantungan.

MEMBERIKAN OBAT LEBIH DARI 3 JENIS DALAM SEKALI PEMBERIAN, JUGA TERMASUKKATEGORI POLIFARMASI.Pemberian obat jenis ini sering diberikan pada pasien dengan banyak keluhanatau memang menderita banyak penyakit seperti diabetes mellitus, hipertensi,

hiperkolesterolemia, dan rheumathoid arthritis. Dalam keadaan seperti ini,dokter harus bijaksana dalam mempertimbangkan dan menentukan penyakitdasarnya serta penyakit yang merupakan komplikasi penyakit dasar.

MEMBERIKAN OBAT KOMBINASI DENGAN TUJUAN TIMBULNYA EFEK POTENSIASI.Pemberian kombinasi obat ini sering dilakukan pada antibiotika, baik secarakombinasi tetap atau tidak tetap. Sampai saat sekarang, hanya ada dua jenisantibiotika kombinasi tetap yang benar-benar bermakna secara klinik dandiakui oleh WHO, yaitu kotrimaksazol (kombinasi antara trimethoprim dengansulfametoksazol) dan koamoksiklaf (kombinasi antara amoksilin dengan asamklavulonat).

Sedangkan kombinasi lainnya harus dapat dibuktikan secara laboratorissebelum dipakai. Kombinasi jenis ini juga sering dilakukan pada analgesik,terutama kombinasi dengan kafein. Banyak orang menganggap bahwa kafeinadalah suatu analgesik yang poten dan dapat meningkatkan efek analgesik obatlain. Namun belum ada bukti penelitian yang menunjang pernyataan tersebut.

SEDIAAN OBAT POLIFARMASITersedianya sediaan obat polifarmasi banyak memberi andil pada pemberianobat secara polifarmasi. Sirup batuk bahkan ada yang mengandung 6 zat aktif,seperti difeenhidramin, amonium klorida, mentol, alkohol, natrium sitrat,dan dekstrometorfan.

Yang paling tidak rasional terlihat dalam antara ekspektoran (amoniumklorida, natrium sitrat) dengan antitusif dekstrometorfan(6). Harus diingatbahwa batuk merupakan proses fisiologi untuk mengeluarkan dahak atau lendiryang mengental pada bronkhus pada jenis batuk yang produktif. Kalaudikombinasi dengan antitusf maka batuk akan terhenti dan dahak dan lendiryang kental tidak bisa keluar dengan lancar. Sedangkan antitusif hanyadigunakan pada pasien yang batuk nonproduktif yang sampai mengganggutidurnya. Kalau diperhatikan maka sediaan obat batuk di atas banyakmengandung zat aktif yang sebenarnya tidak diperlukan.

Ada pula sediaan obat flu yang mengandung 6 bahan aktif dalam satu tablet,yaitu parasetamol, salisilamid, phenylpropanolamine (PPA), dekstrometorfan,klorfeniramin, dan kafein. Obat flu ini dibuat untuk pasien flu dengangejala demam, hidung buntu, batuk, alergi dan ngantuk. Kombinasi inimaksudnya ada untuk menguatkan obat lainnya. Ada pula yang bertujuan untukmenghilangkan efek samping obat utama. Kalau semua gejala ada pada pasien,mungkin obat kombinasi ini cocok dan pas untuk pasien ini. Tetapi, kalaupasien hanya demam dan hidung buntu maka bahan aktif lainnya sepertidektrometorfan, klorfeniramin, dan kafein menjadi mubazir, tidak diperlukan,dan dapat menimbulkan efek samping obat.

Ada pula sediaan obat untuk asma bronkial yang terdiri dari prednisolon,efedrin, teofilin, fenobarbital, dan klorfeniramin maleat(7). Penderita asmabronkial yang ringan cukup diberikan efedrin dan teofiline, sedangkanpenggunaan prednisolon seharusnya diberikan pada pasien yang mengalamistatus asthmaticus atau pasien dengan eksaserbasi akut yang berat(8).Pemberian fenobarbital malah merupakan indikasi kontra pada pasien asmabronkial karena dapat menyebabkan depresi nafas dan spasme bronkhus yangmenambah sesaknya pasien(9).

Begitu juga pemberian klorfeniramin maleat suatu antihistamin yang mempunyaiefek antikolinergik (atropin like effect) merupakan indikasi kontra padapasien asma bronkhiale, karena dapat mengentalkan cairan lendir bronkhussehingga pasien bertambah sulit bernapas.

Selain sediaan obat seperti disebutkan di atas, di bawah ini beberapa contohsediaan obat polifarmasi yang tidak rasional seperti:(a) obat antasid tersedia dalam bentuk kombinasi antara magnesium trisikat,alumunium hidrosid, papaverin HCl, klordiazepoksid, vitamin B1, B2, B6, B12kalsium pantothenat, nikotinamid;(b) obat anti asma yang terdiri dari ekstrak belladona, efedrin, kafein,parasetamol, teofilin, khlorfeniramin,(c) obat antikolik yang terdiri dari metampiron, salisilamid, fenobarbital,cafein, hiosin N, metilbromide,(d) obat analgesik yang terdiri dari metampiron, khlordiazepoksid, diazepam,vitamin B1, B2, B6, B12, kafein,(e) obat anti reumatik yang terdiri dari prednisolon, sulfirin,fenilbutazone, magnesium trisilicate(7).

Dari contoh di atas, terlihat banyak penggunaan kafein. Kafein bukanlahsuatu analgesik atau antiinflamasi, juga tidak dapat memperkuat efekanalgesik atau anti inflamasi obat lain. Malah, ia dapat meningkatkan efekiritasi aspirin terhadap lambung.

RESIKO YANG DIHADAPISemakin banyak bahan aktif yang diminum oleh pasien, semakin banyakkemungkinan efek samping yang akan timbul. Kalau pasien ternyata alergiobat, sulit untuk menentukan bahan aktif yang mana sebagai penyebabalerginya.

KESIMPULANDari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan seperti berikut:1. Pemberian obat secara polifarmasi lebih banyak ruginya daripada untungnyabagi pasien.2. Banyak bahan obat aktif yang mubazir sehingga timbul pemborosan obat danuang.3. Kemungkinan timbulnya interaksi obat semakin besar.4. Kemungkinan timbulnya efek toksik dan efek samping serta penyakit karenaobat semakin meningkat.

SARANSupaya pengobatan lebih mendekati rasional maka disarankan hal-hal berikut:1. Sediaan obat polifarmasi harus dikurangi di pasaran.2. Sediaan obat kombinasi tetap yang dalam bentuk polifarmasi sebaiknya yangbersifat potensiasi dengan harga yang tidak lebih mahal dari masing-masingkomponen.3. Obat sirup batuk atau sirup obat flu sebaiknya berisi tidak lebih dari 3bahan aktif.4. Kurangi penjualan obat bebas (over the counter).5. Promosi obat harus dibatasi. Sebaiknya dilakukan oleh medicalrepresentative yang terlatih, dan tidak lagi lewat media masa, radio, sertatelevisi.6. Para dokter harus mengetahui dan memahami kandungan obat kombinasi yangdiresepkan. Jangan meresepkan obat yang belum diketahui kandungannya.7. Pemakaian obat harus tetap berpegang pada paling sedikit 4 faktor, yaituefficacy khasiat obat, safety keamanan obat, suitability kesesuaianobat pada pasien, dan cost harga obat sehingga dapat dipilih obat yangefektif, aman, tidak ada indikasi kontra, serta harganya dapat dijangkaumasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA1. Raymond T. Mossop. Essential Drugs Monitor No. 21,19962. Rational drug use workshop for universities in Pakistan. Essential DrugsMonitor No. 16,19933. Aman G.M. Polypharmacy in pediatric practice in Denpasar. MajalahKedokteran Udayana Vol.31, No. 109, Juli 20004. Burkhalter A, Julius D.J, Katzung B.G. Clinical pharmacology of ergotalkaloids in Basic & Clinical Pharmacology a Lange Medical Book, seventhedition. Edited by Bertram G Katzung MD, PhD, 19985. Chetley A. Vitamine preparation. Problem Drugs, Amsterdam, Health ActionInternational, 19936. Chetley A. Cough and cold preparations. Problem drugs, Amsterdam, HealthAction International, 19937. IIMS, 19948. Xaliner .M.A, Barnes P.J, Persson CLG.A. Asthma, Its Pathology andTreatment, Vol. 49, 195)9. Hartog R. Barbitutate Combinations, risks without benefits. EssentialDrugs Monitor No. 16.1993