pola hubungan islam dan negara dalam pemikiran

111
POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Pemikiran Politik Islam Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Ihsan Maulana NIM: 104033201092 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2009 M/1430 H

Upload: vuongkhanh

Post on 05-Feb-2017

229 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi Pemikiran Politik Islam

Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Ihsan Maulana NIM: 104033201092

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009 M/1430 H

Page 2: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi Pemikiran Politik Islam

Untuk Memenuhi Syarat Pencapaian Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Ihsan Maulana

NIM: 104033201092

Di Bawah Bimbingan

M. Zaki Mubarak. M. Si

NIP: 197309272005011008

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2009 M/1430 H

Page 3: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul ”POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM

PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL”, telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 November 2009. Skripsi telah diterima

sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada program

Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 20 November 2009

Panitia Sidang Munaqasyah,

Ketua Merangkap Anggota Sekertaris Merangkap Anggota

Dr. Hendro Prasetyo, MA Joharatul Jamilah, S. Ag, M. Si

NIP: 196407191990031001 NIP: 196808161997032002

Anggota,

Penguji I Penguji II

Dr. Sirojuddin Aly, MA Dr. Nawiruddin, M. Ag

NIP: 195406052001121001 NIP: 197201052001121003

Pembimbing

M. Zaki Mubarak, M. Si

NIP: 197309272005011008

Page 4: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 16 September 2009

Ihsan Maulana

Page 5: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur bagi Allah Swt, yang telah melimpahkan berbagai nikmat

dan karunia, dialah yang Maha Esa lagi Maha Kuasa. Dengan rahmat, inayah dan

ridhanya juga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta

salam semoga senantiasa tercurah kepada Rasulullah Saw, keluarganya, para

sahabatnya dan para pengikutnya.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih banyak kekurangan

karena keterbatasan baik dalam pengetahuan maupun dalam teknik penulisan, oleh

karena itu dengan rendah hati dan lapang dada penulis mengharapkan saran dan

kritik yang bersifat membangun bagi semua pihak. Akhir kata penulis juga ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besaranya kepada semua pihak yang telah

membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Pertama-tama rasa terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr.

Komaruddin Hidayat, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Prof.

Dr. Bahtiar Effendy, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag, Selaku

Sekertaris Studi Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terima kasih khusus kepada Bapak Agus Darmadji, M. Fils, Dr.

Sirojuddin Aly, MA, M. Zaki Mubarak, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik

dan pembimbing skripsi yang memberikan arahan, saran, masukan serta kritikan

yang bersifat membangun dalam penulisan skripsi ini. Begitu juga seluruh dosen

dan staf pengajar pada program Studi Pemikiran Politik Islam, penulis sampaikan

terima kasih yang setinggi-tingginya.

Page 6: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Terima kasih dari hati yang paling dalam kepada mereka yang sangat

berjasa memberikan sumbangan moral maupun material yang terhingga nilainnya,

yang begitu sabar dalam penantian, yaitu kedua orang tua penulis, (Alm) Bapak H.

Muhammad Ali dan Ibu Hj. Marpuah, keduanya ikut terlibat langsung jatuh bangun

dalam kehidupan penulis. Kakak-kakak dan abang-abang tercinta juga patut

mendapat ucapan terima kasih. Mereka antara lain, (almh) Hj. Rokibah, S. Ag,

Ahmad, Marwajih, Mardan, Rosyadah, Ismail, Muhammad Taufiq, S. Si, Siti

Marliah, S. Ag, Siti Nazullah, Amd, S. Pd I, serta Sahruddin, SHI. (eka elrun ono)

karena doa dan pengertian mereka, untuk mereka semua penulis persembahkan

karya ini. Atra esterni ono thelduin.

Terima kasih pula penulis sampaikan kepada Burhanuddin Muhtadi dan

Abdul Hakim, yang telah membantu penulis dalam meminjamkan beberapa buku,

majalah, serta koran yang penulis sangat perlukan, ucapan terima kasih pula penulis

sampaikan atas wawancaranya secara langsung, sehingga penulis menemukan

pemikiran Islam yang sangat signifikan.

Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman

mahasiswa Pemikiran Politik Islam angkatan 2004, baik kelas A dan B, yang juga

membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini, semoga kita tetap solid dan selalu

menjaga tali silaturrahmi. Khusus kepada my girls friend, Yuliana, dialah salah satu

bintang dari sekian banyak bintang yang bersinar, atas pengorbanannya sedikit

banyak telah menemani dalam suka dan duka, ikut dalam pencarian data, buku, dan

selalu memberikan support, eka elrun ono, atra esterni ono thelduin, kata tersebut

layak penulis persembahkan untuknya. Thanks for all..

Page 7: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun

materil, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu dalam sebuah karya ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi sederhana ini dapat memberikan manfaat

bagi semua pihak, serta mampu mengisi wawasan khazanah Pemikiran Politik

Islam.

Jakarta, 28 Desember 2009

Penulis

Page 8: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................ i

DAFTAR ISI .......................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 10

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .......................................... 10

D. Metode Penelitian................................................................. 11

E. Sistematika Penulisan........................................................... 11

BAB II BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG ISLAM DAN NEGARA

A. Tiga Pendekatan Islam dan Negara....................................... 13

1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik.......................... 15

2. Paradigma Islam Substantif .............................................. 20

3. Paradigma Islam Sekularistik............................................ 22

B. Islam dan Pluralisme ............................................................ 31

C. Hak Asasi Manusia .............................................................. 36

D. Formalisasi Syariat Islam .................................................... 41

BAB III SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL

A. Latar Belakang Berdirinya JIL.............................................. 52

B. Visi, Misi dan Tujuan JIL .................................................... 58

C. Perkembangan dan Program JIL ........................................... 60

Page 9: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

BAB IV TELAAH TERHADAP ISU WACANA PEMIKIRAN JARINGAN

ISLAM LIBERAL

A. Islam dan Sekularisme ( Negara Islam).............................. 66

B. Islam Pluralisme dan HAM (Negara Plural)...................... 71

C. Penerapan Syariat Islam di Indonesia................................. 79

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 88

B. Saran dan Kritik .................................................................. 89

DAFTAR PUSTAKA

Page 10: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Wacana tentang agama dan negara, seolah tidak akan pernah ada habisnya.

Dua institusi ini sangat penting bagi masyarakat, khususnya bagi yang berada dalam

wilayah keduanya. Agama sebagai sumber etika moral mempunyai kedudukan yang

sangat jelas karena berkaitan erat dengan prilaku seseorang dalam interaksi sosial

kehidupannya dan agama dijadikan sebagai alat ukur atau pembenaran dalam setiap

langkah kehidupan, baik terhadap sesama maupun dengan sumber agama tersebut.

Sedangkan negara merupakan sebuah bangunan yang mencakup seluruh

aturan mengenai tata kemasyarakatan yang mempunyai wewenang dalam

memaksakan setiap aturan yang dibuatnya kepada masyarakat. Di sini, bisa saja

aturan yang dibuat oleh negara sejalan dengan apa yang menjadi sumber acuan

masyarakat (agama), tetapi bisa juga berlawanan atau tidak sejalan dengan agama,

tergantung bagaimana sistem yang dianut oleh seluruh negara tersebut, yang

kemudian menimbulkan benturan-benturan antara agama dan negara.

Perdebatan mengenai Islam, apakah harus dikaitkan dengan permasalahan

negara, pastinya perdebatan ini akan terus menerus dibahas dalam dunia intelektual

dalam dan luar kampus, aktivis dan sebagainya masih sering mendiskusikan bentuk

yang ideal apakah Islam berhubungan dengan negara atau tidak. Hubungan Islam

dan negara merupakan persoalan tidak hanya dunia intelektual an sich yang

membahas persoalan ini, tapi sebagian masyarakat Muslim Indonesia

mempersoalkan masalah ini, persoalan ini sebenarnya bagian dari masalah yang

Page 11: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

sangat besar tentang dimana posisi agama dalam negara. Bermacam argumentasi

telah muncul dalam rangka menjawab persoalan dan perdebatan ini.

Banyak upaya yang telah dilakukan para intelektual muslim dalam rangka

pencarian konsep tentang relasi agama dan negara pada dasarnya mengandung dua

maksud. Pertama, untuk menemukan idealitas Islam tentang negara (menekankan

aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana

bentuk negara Islam?”. Pendekatan ini bertolak dari asumsi bahwa Islam memiliki

konsep tertentu mengenai negara.

Kedua, untuk melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses

penyelenggaraan negara (menekankan aspek praktis dan substansial), yakni

mencoba menjawab pertanyaan. ”Bagaimana isi negara menurut Islam?”.

pendekatan ini didasarkan pada anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep

tertentu tentang negara, tetapi hanya menawarkan prinsip-prinsip dasar tentang

etika dan moral.

Sebagimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa persoalan ini banyak di

perbincangkan oleh beberapa kalangan. Pertama, mereka yang berpendirian bahwa

Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya

menyangkut hubungan antara manusia dengan tuhan, sebaliknya Islam adalah

agama yang sempurna dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan

manusia termasuk kehidupan bernegara, kalangan ini mengacu kepada sistem

politik Islam yang telah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Empat

Sahabatnya.

Kedua, berpendirian bahwa Islam adalah sebagai suatu agama yang tidak

ada hubungannya dengan urusan kenegaraan, menurut kalangan ini Muhammad

hanyalah seorang rasul biasa seperti hanya rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas

Page 12: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

hanya mengajak manusia kembali kepada kehidupan yang mulia dan berbudi

pekerti baik. Nabi Muhammad menurut kalangan ini tidak pernah mendirikan dan

menjadi kepala negara.

Ketiga, mereka menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang

serba lengkap yang di dalamnya mengatur sistem ketatanegaraan. Tetapi aliran ini

juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang hanya mengatur hubungan

antara manusia dan Maha Penciptanya, sebagaimana pengertian Barat. Menurut

mereka Islam merupakan ajaran totalitas, tetapi dalam bentuk petunjuk-petunjuk

pokok saja, karena itu menurut mereka, dalam Islam tidak terdapat sistem

ketatanegaraan dalam artian teori yang lengkap, namun disana terdapat sejumlah

tata nilai dan etika bagi kehidupan bernegara.1

Perdebatan mengenai hubungan Islam dan negara telah melahirkan tiga

kelompok besar dalam kalangan peneliti.2 Pertama, dengan tegas menolak adanya

hubungan antara agama dan negara dalam hal ini adalah Islam, kelompok ini

beranggapan bahwa agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan

bertolak belakang. Agama sama sekali tidak membicarakan persoalan negara

dengan jelas, kelompok ini disebut dengan kelompok sekuler. Kedua, mereka yang

mengasumsi bahwa agama dan negara mempunyai ikatan erat yang tidak dapat

dipisahkan. Kelompok ini sering disebut kelompok formalis. Ketiga, mereka yang

mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua kelompok

tersebut.

Terlepas dari kelompok-kelompok tersebut apakah dalam Islam sekaligus

dalam kitab suci Al-quran di perintah dan di tuntut untuk mendirikan negara atau

1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-

PRESS, 1993), h. 1-2. 2 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais

(Jakarta: Teraju, 2005), h.40.

Page 13: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

tidak, kenyataannya banyak kalangan Islam politik (yang me\nginginkan penyatuan

antara agama dan negara) membutuhkan sebuah sistem kenegaraan yang Islami,

karena bagaimanapun, untuk mengamankan suatu kebijaksanaan diperlukan suatu

kekuatan (institusi politik). Untuk menegakkan keadilan dan menjaga perdamaian,

diperlukan suatu kekuasaan, apakah itu organisasi politik atau negara.3

Banyak faktor yang membuat kalangan yang menolak Islam sebagai negara

atau tidak menyukai Islam disatukan dengan negara dengan berbagai banyak alasan,

faktor tersebut lebih kepada bahwa Islam belum dapat diterima oleh kalangan

masyarakat secara utuh, masih adanya ketakutan dengan Islam jika mempunyai

keterkaitan dengan negara dengan jargon syariat Islam yang banyak kalangan

mengatakan tidak ideal diterapkan dalam konteks negara Indonesia dan lain

sebagainya.

Di lain pihak banyak kalangan yang sepakat dengan penyatuan antara Islam

dan negara, paling tidak Islam harus mempunyai andil dalam negara. Beragam

potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun

cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti bahwa Islam tidaklah monolitis.4

Penafsiran dua istilah tersebut akan terus menerus menjadi persoalan dan

perdebatan antara kalangan yang setuju dan yang tidak setuju secara tegas bahwa

Islam terlepas dari negara. Dalam penafsiran antara Islam dan negara, sebagaimana

yang penulis katakan tadi adalah kalangan yang setuju bahwa Islam tidak

dipisahkan dengan konteks negara. Penafsiran yang lain mengatakan Islam dan

negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan

pandangan yang paling moderat pun juga ada, pandangan moderat menegaskan,

meski Islam dan negara merupakan persoalan yang berbeda namun kedunya

3 Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia, 1981), h. 8-9.

4 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang

Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h.21.

Page 14: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.5 Perbedaan disini

akan selalu ada dalam menafsirkan segala sesuatu dan mewarnai dunia keislaman.

Para pemikir politik Islam sepakat bahwa hubungan antara Islam dan politik

dalam makna negara, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan. Dari aspek manapun,

definisi politik selalu di postulasikan terkait dengan Islam. Ada dua dimensi dalam

hubungan Islam dengan negara, yaitu dimensi the art of government (seni dalam

memerintah) dan dimensi struggle for power (perjuangan untuk meraih kekuasaan).

Jika politik didefinisikan dalam konteks the art of government, menurut Abdul

Rasyid Moten, sudah dapat diketahui adanya hubungan antara Islam dan negara,

bahkan negara tidak dapat dilepaskan dari Islam dalam formulasi Al-Quran, hal ini

masuk kedalam lingkup amar ma’ruf nahyi munkar (memerintahkan yang baik dan

mencegah yang munkar). Dalam formulasi sosiologis berarti adanya keharusan bagi

setiap umat Islam, dengan berpedoman kepada nilai-nilai keislaman, berpartisipasi

dalam mengoreksi jalannya pemerintahan.6 Begitu juga jika politik di definisikan

sebagai struggle for power, maka tak ada kontradiksi antara Islam dan negara.7

Sebagaimana diketahui, titik akhir dari struggle for power adalah formasi

kekuasaan politik.

Para pemikir Islam kontemporer, terutama Muhammad Rasyid Ridha,

Sayyid Qutb dan al-Maududi, telah bayak mengemukakan pandangannya bahwa

Islam adalah suatu agama yang tidak mengurusi masalah agama semata, Islam

sekaligus mengurusi masalah kenegaraan. Dalam arti lain, bahwa negara merupakan

wacana keagamaan yang berimplikasi kepada suatu keterkaitan antara kedunya.

5 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h.6.

6 Abdul Rasyid Moten, Political Science an Islamic Perspective (London: Macmalian Press,

1996), h. 20. 7 Moten, Political Science an Islamic,h.20.

Page 15: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Kalau dalam konteks politik Indonesia sebenarnya perdebatan sekaligus

pergulatan hubungan antara Islam dan negara sudah berlangsung. Dalam proses

awal pembentukan sebuah negara, ketika itu persoalan yang paling krusial yang

dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah menyepakati bentuk dasar sebuah negara.

Dalam sidang-sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan

Kemerdekaan) permasalahan pokok yang dibahas ketika itu antara lain persoalan

bentuk negara, ini juga menyangkut masalah hubungan agama dengan negara.

Dari kelompok pembela dasar Islam, juru bicara terkemuka adalah Ki Bagus

Hadikusumo, KH. Ahmad Sanusi, Kahar Muzakkar, Muhammad Natsir dan KH. A.

Wachid Hasyim. Dalam kelompok ini pihak Islam bersatu menghadapi pihak

nasionalis. Gagasan tentang suatu bentuk negara berdasarkan Islam telah muncul

kepermukaan, sejak Indonesia masih di bawah kekuasaan Jepang.8

Kemudian pergolakan ini berlanjut ketika umat Muslim berusaha

memformalisasikan Islam dalam konteks negara Islam sebagai dasar agama tentu

tidak dapat diterima oleh kalangan nasionalis sekuler. Demikian pula dengan

kelompok Islam politik tetap gigih untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara.

Perdebatan Soekarno dengan Muhammad Natsir tentang hubungan agama (Islam)

dengan negara terekam dalam panji Islam9, perdebatan ini akan terus menerus tidak

ada habisnya.

Perdebatan yang sama terjadi dalam sidang konstituante di Bandung pada

tahun 1956-1959. Voting yang dilakukan majelis, yang bertugas membuat UUD

baru. Ini tidak dapat menetapkan dasar negara antara pilihan pancasila dan Islam.

Saat itu terjadi perdebatan antara pancasila dan Islam. Partai-partai Islam seperti

Masyumi dan NU memperjuangkan negara demokrasi berdasarkan Islam. Dan

8 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),

h. viii 9 Suhelmi, Polemik Negara Islam,h. viii.

Page 16: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

partai nasionalis seperti PNI dan Partai Komunis bersatu mempertahankan pancasila

sebagai dasar negara.10

Perdebatan ini kembali mewarnai politik Indonesia, ketika Soeharto

berkuasa bagaimana ketika itu partai Islam yang mengusung Islam sebagai dasar

negara tidak diberikan ruang gerak yang signifikan. Soeharto tidak mau

membiarkan partai Islam memimpin Indonesia dengan alasan mencoba mendirikan

negara Islam dan jargon Syariat Islam. Lengsernya Soeharto masih saja perdebatan

ini dibahas, perdebatan yang terjadi tidak banyak bergeser dari apa yang

diperdebatkan Soekarno dan Natsir, jadi tidak memuat persoalan-persoalan baru.

Piagam Jakarta adalah salah satu perdebatan yang menarik pada masa

reformasi, banyak ketika itu partai Islam mencoba mengangkat kembali piagam

Jakarta yang semula juga pernah diperdebatkan, PPP (Partai Persatuan

Pembangunan) dan PBB (Partai Bulan Bintang), kedua partai ini mencoba

mengangkat tema yang sudah lama dibahas, kedua partai ini mencoba

mempermasalahkan kembali persoalan-persoalan yang menyangkut masalah agama

dan negara, mereka mencoba menjadikan syariat Islam sebagai salah satu hukum

negara.

Usulan itu berawal dari keinginan F-PPP dan F-PBB dalam rapat panitia

Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR yang bertugas menyiapkan amandemen pasal-pasal

UUD 1945 untuk sidang tahunan MPR tahun 2000. Sidang tersebut mencuat

persoalan piagam Jakarta dan syariat Islam di Indonesia, catatan atas kontroversi

amandemen pasal 29 UUD 1945. Ketegangan itu berakhir ketika MPR memutuskan

untuk menunda pembahasan beberapa pasal sensitif dalam rangka amandemen.

Alasan penundaan ini secara formal adalah keterbatasan waktu sidang. Tetapi ini

10

Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama 40 Negara dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 7.

Page 17: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

sebenarnya menunjukkan bahwa masalah itu memang bukan permaslahan yang

mudah bagi perumusan bangunan negara Indonesia.

Pada konteks kekinian muncul HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang mencoba

mengangkat persoalan-persoalan klasik, yang tidak jauh seputar hubungan Islam

dan negara mereka mencoba memperjuangkan bentuk Khilafah Internasional. Ini

adalah bagian dari kalangan kelompok yang memaknai keterkaitan hubungan Islam

dan negara, disamping banyak juga yang menolak argumentasi tersebut.

Jaringan Islam Liberal (JIL) merupakan suatu jaringan yang membahas

tentang masalah-masalah keislaman. Keterkaitan agama (Islam) dan negara salah

satu topik pembahasan yang akan tidak henti-hentinya diperdebatkan, baik dari

kalangan yang pro dan yang kontra.

Mengenai pembahasan Islam dan negara, JIL menjelaskan bahwa kalau

umat Islam mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa sebuah

pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional akan menunjukkan bahwa

Islam bukanlah agama politik semata dalam konteks negara. Bahkan, porsi politik

dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun berkaitan dengan kepentingan banyak

orang yang berarti kepentingan rakyat kecil (lower class in the society), bukan pada

tatanan model-model politik. Oleh karena itu negara (politik) dan agama (Islam)

suatu yang terpisah. Dan, sesungguhnya pembentukan pemerintahan dan

kenegaraan adalah atas dasar manfaat-manfaat amaliah, bukan atas dasar sesuatu

yang lain. Pembentukan negara modern didasarkan pada kepentingan-kepentingan

praktis, bukan atas dasar negara.11

Sebagian orang percaya bahwa politik dalam makna negara merupakan

bagian dari agama. Karena itu, ia harus diatur sesuai dengan ajaran agama.

11

Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/

Page 18: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Sementara sebagian lagi percaya bahwa politik merupakan urusan duniawi dan

tidak ada hubungannya dengan agama. Ini adalah masyarakat yang sudah

terdoktrinasi dengan istilah “Islam adalah agama sekaligus negara”.12 Dengan

demikian sering kali menimbulkan dilema termasuk dalam munculnya berbagai

pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun bertolak

belakang bahkan berbenturan.

Jaringan Islam Liberal (JIL) turut berbicara dan meramaikan perdebatan

antara Islam dan negara. Banyak artikel, buku dan jurnal yang telah di terbitkan

sebagai bagian dari kepedulian dan kontribusi dalam mencari jalan keluar dalam

persoalan perdebatan yang sangat lama. Dengan demikian berbagai penjelasan baik

yang setuju dan tidak setuju diatas mengantarkan saya untuk mengetahui dan

mengetengahkan pokok-pokok persoalan yang cukup signifikan, sejauh mana

pandangan Jaringan Islam Liberal (JIL) mewarnai persoalan antara Islam dan

negara.

Pandangan yang sangat kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk

memahami lebih lanjut hubungan Islam dan negara menurut JIL. Disamping itu,

penulis juga akan mencoba mencari letak argumentasi JIL tentang hubungan Islam

dan negara. Untuk itu, penulis tertarik untuk mengkajinya melalui skripsi yang

berjudul: Pola Hubungan Islam dan Negara dalam Pemikiran Jaringan Islam

Liberal.

12

Abdul Moqsith Ghazali (ed), Ijtihad Islam Liberal, Upaya Merumuskan Keberagaman

Yang Dinamis (Jakarta: JIL, 2005), h. 86.

Page 19: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam proposal skripsi ini

dibatasi pada pembahasan sekitar hubungan Islam dan negara menurut Jaringan

Islam Liberal (JIL) serta isu wacana global pemikiran JIL

Dengan pembatasan masalah seperti ini, maka yang akan penulis

permasalahkan pada penulisan ini adalah bagaimana pola hubungan Islam dan

negara dalam pemikiran Jaringan Islam Liberal dan isu wacana global pemikiran

JIL

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas

rumusan ideal menurut JIL soal hubungan Islam dan negara. Serta melakukan

analisis kritis terhadapnya. Sementara tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

hal-hal sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan secara rinci pemikiran JIL tentang hubungan Islam

dan negara.

2. Untuk mengetahui wacana-wacana yang selama ini JIL serbarkan

gagasan-gagasannya ke publik.

3. Untuk mengetahui konsep yang ideal tentang hubungan Islam dan

negara.

Sedangkan kegunaan penelitian ini diantaranya untuk memperkaya

khazanah intelektual politik Islam. Penulis mengharapkan agar penelitian ini ada

kegunaan dan dapat memberikan arti akademis dalam menambah informasi dan

memperkaya wawasan ke-islaman dalam bidang pengembangan Pemikiran Politik

Umat Islam.

Page 20: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

D. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode library research

(penelitian kepustakaan), yaitu dengan menelaah buku-buku, majalah, artikel-artikel

dan juga jelajah dunia maya (internet) yang penulis anggap relevan dengan pokok

permaslahan.

Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan

melakukan wawancara lansung atau tidak langsung dengan aktivis JIL. Dari

wawancara ini diharapkan mampu menemukan pemikiran kritis JIL terkait dengan

hubungan Islam dan negara.

Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah dan penulisan dalam

skripsi ini di sesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis dan

disertasi) yang di terbitkan Center for Quality Development and Assurance

(CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan dalam penulisan skripsi ini terdiri dari lima

bab yang akan di uraikan secara ringkas, dari masing-masing bab sebagi berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan, yang memuat tentang Latar

Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan

Penelitian, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan.

Bab kedua, akan membahas seputar tiga pendekatan hubungan Islam dan

negara secara singkat, yang terdiri dari tiga paradigma antara lain, Paradigma Islam

Simbolistik Formalistik, Paradigma Islam Substantif serta Paradigma Islam

Sekularistik. Kemudian penulis membahas beberapa permasalahan islam dan negara

yang terdiri dari Islam dan Pluralisme, HAM serta Formalisasi Syariat Islam.

Page 21: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Bab ketiga, akan dibahas singkat tentang Jaringan Islam Liberal (JIL), Latar

Belakang Berdirinya JIL, Visi, Misi, Tujuan Berdirinya JIL serta Perkembangan

dan Program JIL.

Bab keempat, membahas tentang isu wacana pemikiran Jaringan Islam

Liberal (JIL), yang di dalamnya terdapat penjelasan mengenai Islam dan

Sekularisme, Islam Pluralisme dan HAM serta Penerapan Syariat Islam di

Indonesia.

Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan kritik

berkaitan dengan masalah yang akan diajukan dari keseluruhan proposal skripsi ini.

Page 22: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

BAB II

BEBERAPA PEMIKIRAN TENTANG

ISLAM DAN NEGARA

A. Tiga Pendekatan Hubungan Islam dan Negara

Perdebatan mengenai hubungan negara dan agama telah menjadi persoalan

yang cukup krusial, apakah negara bagian dari agama ataukah sebaliknya.

Pertanyaan adalah, apakah negara ada hubungannya dengan agama dalam konteks

Islam. Wacana atau istilah relasi antara Islam (Agama) dan negara tentu mewarnai

perdebatan fiqh siyasah (fiqih politik) dalam Islam. Peristiwa ini bisa jadi

dikarenakan keniscayaan sebuah konsep negara dalam pergaulan hidup masyarakat

di wilayah tertentu. Suatu negara memerlukan sesuatu institusi apakah itu Islam

atau hal lain untuk mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan secara bersama-

sama untuk mencapai suatu cita-cita dan keinginan. Otoritas politik memiliki

urgensi yang harus ada yang terwakilkan untuk memerlukan konsep negara,

sehingga dirasa perlu oleh sebagian kaum Muslimin untuk memerlukan konsep

negara yang berhubungan dengan agama dan berinstitusi dengan Islam itu sendiri.

Perdebatan ini sebenarnya bukan perdebatan atau persoalan baru dalam

wacaana keislaman. Jargon syariat Islam menjadi bahan pertimbangan diantara

kelompok-kelompok masyarakat Muslim. Kejadian seperti ini hampir dialami oleh

sebagian negara yang mempunyai pemeluk agama Islam lebih banyak ketimbang

agama-agama yang lain. Peristiwa ini bisa dilihat dari banyaknya organisasi atau

gerakan Islam di dunia yang menyuarakan agar negara harus berdasarkan Islam,

dengan kata lain menginginkan negara agama, seperti Ikhwanul Muslimin (Mesir),

Jama’at Islamiyah (India), FIS (Aljazair), PAS (Malaysia), bahkan di Indonesia

Page 23: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

ketika itu ada Masyumi dan sekarang muncul HTI (Hizbut Tahrir Indoneia).

Historitas negara agama tersebut dapat disebut sebagai alternataif yang bisa

dilakukan dan diwujudkan oleh kalangan Islam politik untuk menjadikan syariat

sebagai sistem kenegaraan.

Kalau kita melihat dari kaca mata dunia sampai saat ini tidak ada satupun

negara yang menjadi acuan bagi negara lain, tidak ada representasi negara Islam.

Banyak pemikiran Islam itu tidak lepas dari pengaruh dunia Barat. Pada masa

modern, ekspansi, imprealisme dan kolonialisme Eropa kewilayah Islam tidak

hanya menciptakan dis-integrasi politik (dis-integrartion of politic) Islam tapi lebih

jauh menggoncangkan jati diri Islam.1

Perdebatan ini melahirkan tiga kelompok atau aliran, antara lain, Pertama,

mereka yang secara tegas menginginkan penyatuan Islam dan negara. Kedua,

mereka yang menginginkan isi dari negara bukan karena simbol dan formalnya saja.

Ketiga, mereka yang memisahkan antara permasalahan agama (Islam) dan negara.

Kelompok dan aliran tersebut semuanya mempunyai pandangan yang berbeda

dalam memahami hubungan antara agama dan negara, tetapi dari ketiga pandangan

tersebut mengakui peran penting negara dalam proses pencarian identitas negara,

umat Islam ada yang meniru Barat dan ada pula yang menolak secara terang-

terangan, tetapi menurut penulis tidak semua yang berasal dari Barat itu tidak baik

pasti ada baiknya juga, tetapi ada juga yang bersikeras mengatakan bahwa Islam

mempunyai konsep yang jelas.

Beragam macam pendukung dan penentang tentang relasi agama dan

negara, ada yang ekstrim, ada yang moderat. Pendukung yang ekstrim, mereka yang

mencoba menerapkan Islam sebagai institusi negara, mengubah sistem politik

1 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga

Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 2.

Page 24: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

menjadi khilafah atau negara Islam. Sementara ada juga yang memisahkan agama

(Islam) dari konteks negara.

Pandangan, relasi atau hubungan antara agama dan negara menurut

Kamaruzzaman menjadi dua gerakan. Pertama, gerakan fundamentalisme yaitu

kalangan yang menginginkan adanya integrasi agama dan negara. Kedua disebut

gerakan modernisme yang terbagi menjadi dua kelompok yaitu, modernisme Islam

dan modernisme sekuler. Modernisme Islam berpandangan bahwa agama dan

negara di integrasikan namun tidak mempersoalkan jika umat Islam mencontoh

Barat. Adapun kelompok modernisme sekuler, mereka memisahkan antara agama

dan negara dan pada waktu bersamaan mencontoh gaya Barat dalam sistem

kenegaraan.2

Di sini penulis mencoba menggambarkan beberapa pandangan yang ada

dalam memahami hubungan antara agama dan negara, yang akan diklarifikasikan

berdasarkan tiga paradigma yaitu, paradigma Islam formalistik, paradigma Islam

substansif serta paradigma Islam sekularistik, penulis juga mengklasifikasi tokoh-

tokoh yang berada dalam paradigma tersebut.

1. Paradigma Islam Simbolistik Formalistik

Paradigma ini menginginkan pengintegrasian antara Islam dan negara.

Karena Islam adalah agama yang serba lengkap yang mengatur masalah agama,

negara dan masyarakat, dalam paradigma ini mereka mencoba menjelaskan bahwa

Islam tidak dapat dilepaskan dengan persoalan negara, tidak ada pemisahan

layaknya agama Kristen dalam doktrin two sord-nya tersebut.

2 Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara: Perspektif Modernis dan Fundamentalis

(Magelang: Indonesia Tera, 2001), h.50.

Page 25: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Paradigma ini menjelaskan bahwa antara Islam dan politik tidak dapat

dipisahkan, sekiranya muncul dari pandangan dasar bahwa Islam mencakup segala

sesuatu, termasuk persoalan agama dan politik, syariat Islam, din wa daulah

merupakan Istilah yang berhubungan dengannya. Dalam pandangan ini Islam

merupakan tatanan dan panduan nilai yang sempurna dan karenanya memilki sistem

dan teori politik tersendiri.

Sistem pemerintahan dan politik yang bergariskan Islam tak lain hanya

sistem yang pernah dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw dan Khulafa Ar-

Rasyidin. Kelompok ini secara spesifik terbagi lagi menjadi dua aliran, yakni

tradisionalis dan fundamentalis. Kalangan tradisionalis adalah mereka yang tetap

ingin mempertahankan tradisi pemerintahan ala Nabi dan empat sahabatnya, dengan

tokoh sentralnya adalah Muhammad Rasyid Ridha. Kalangan fundamentalis adalah

mereka yang ingin melakukan reformasi sistem sosial, sistem pemerintahan dan

negara untuk kembali kepada konsep Islam secara total dan menolak konsep

lainnya.3

Dengan begitu mereka mempunyai keyakian bahwa umat Islam mempunyai

kewajiban untuk mendirikan sebuah negara yang berbentuk Islam, entah itu dengan

kata apa, karena kepercayaan yang teguh bahwa antara Islam dan politik harus

disatukan, banyak orang memberi penilaian terhadap kelompok ini sebagai

penganut mazhab teokratis.4

Tokoh yang berada dalam paradigma ini adalah Muhammad Natsir,

disamping banyak tokoh yang lain baik di luar maupun di dalam negeri. Faktor

yang paling dominan yang melatar belakangi pemikiran Natsir tentang hal ini

3 Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15

Desember 2008, h. 30. 4 Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan Negara Yang

Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005), h. 8.

Page 26: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

adalah keyakinannya akan ajaran Al-Qur’an. Muhammad Natsir secara tegas dalam

pidatonya tentang ”Islam sebagai dasar negara” menyatakan yakni “kehendak kami

(saya dan Masyumi) sebagaimana yang sudah diketahui kita semua, supaya negara

Republik Indonesia kita ini berdasarkan Islam.5

Natsir melihat adanya keterkaitan antara agama dan negara. Lembaga negara

sebagai alat untuk menerapkan hukum-hukum yang telah ada, dan pikiran seperti

ini nampaknya menguasai pandangan Natsir dalam pelaksanaan syariat Islam atau

hukum-hukum Islam di Indonesia.

Menurut Natsir Islam dan negara merupakan dua sisi mata uang yang tidak

bisa dilepaskan dan dipisahkan, oleh karena itu keterkaitan Islam dan negara sangat

signifikan, kalau ada pembedaan antara keduanya, menurutnya itu karena pengaruh

Barat. Barat yang mencoba menancapkan doktrin kedalam dunia Islam. Natsir

memandang bahwa Islam meliputi dua aspek, yakni agama dan masyarakat politik.

Islam tidak memisahkan persoalan rohani dan duniawi, melainkan mencakup dua

segi, hukum syariat yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.6

Ahmad Suhelmi mengungkapkan bahwa pandangan Natsir tentang agama

tertitik tolak dari pandangan bahwa agama (Islam) tidak dapat dipisahkan dari

negara, bagi Natsir urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral

risalah Islam. Dalam menangani dan mengatur masalah sosio-politik umat, diantara

prinsip-prinsip yang harus diikuti dan dihormati. Menurut Natsir adalah prinsip

syura, tentang bagaimana mengembangkan dan menyesuaikan mekanisme syura,

5 Effendy, Jalan Tengah Politik Islam, h. 8.

6 Aay Muhammad Furqon, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis Politik Kaum

Muda Muslim Indonesia Kontemporer (Bandung: Mizan, 2004), h. 8.

Page 27: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

menurut Natsir semuanya bergantung kepada ijtihad umat Islam, karena Islam tidak

menetapkan secara kaku dan pasti.7

Ia adalah demokrat yang bagus dan gigih, sekalipun tidak senang dengan

praktik-praktik sistem demokrasi di Barat. ”Demokrasi bagus” akan tetapi sistem

kenegaraan Islam tidak menggantungkan semua urusan kepada kerahiman

instelling-instelling demokrasi. Islam menurutnya adalah sintesis antara demokrasi

dan otokrasi atau sistem politik diktatosial, tetapi bagaimana sintesis ini

beroperasinya, Natsir tidak menjelaskan teorinya secara menyakinkan.8

Kemudian upaya ini juga terjadi pada gerakan yang dinamakan dengan

DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Suatu gerakan yang berideologikan

Islam yang mempunyai tujuan mendirikan negara Islam yang di dalamnya berlaku

hukum syariat Islam. Gerakan ini muncul pada tahun 1949-1962 yang melakukan

konfrontasi dengan jalur peperangan lewat tentara yang mereka latih dengan

mengambil teknik perjuangan gerilya. Tokoh yang melakukan gerakan ini antara

lain, Kartosoewirjo, Kahar Muzakkar dan Daud Beureureh.

Paradigma ini memahami bahwa Islam sebagai agama pada prinsipnya tidak

dapat dipisahkan, alasan seperti ini memunculkan sebuah sistem syariat secara

langsung sebagai sebuah konstitusi negara, ada semacam kesadaran teologis yang

sangat kental, bahwa syariat Islam dengan kesempurnaannya dapat menyelesaikan

seluruh problem yang dihadapi umat Islam.

Munawir Sjadzali menjelaskan bahwa pengaruh aliran ini pada umumnya

berpendirian bahwa Islam merupakan sebuah agama yang serba lengkap yang

mengurusi masalah keduniaan dan kenegaraan serta masalah politik. Oleh

karenanya dalam bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem

7 Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),

h. ix-x. 8 Suhelmi, Polemik Negara Islam, h. ix-x.

Page 28: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

ketatanegaraan Islam, sistem kenegaraan atau politik yang harus diteladani adalah

sistem yang telah dilaksanakan Rasulullah dan empat sahabatnya.9

Para pendukung aliran ini secara tegas menolak adanya liberalisme,

sekularisme dan ideologi-ideologi Barat lainnya, mereka mendukung adopsi yang

komprehensif dari sumber-sumber illahiyah yang sakral sebagai suatu cara untuk

mengakhiri hegemoni Barat dan sekaligus berupaya mengatasi berbagai masalah

sulit yang dihadapi masyarakat Muslim.

Mereka menginginkan penyatuan agama dan negara, mereka beranggapan

bahwa integrasinya agama dan negara juga dibangun atas contoh Nabi, yang

sekaligus bertindak sebagai agamawan dan negarawan. Kekuasaan agama dan

negara harus digabung dalam satu atap, sehingga memungkinkan syariat Islam bisa

diterapkan dan komunitas Muslim terlindungi.

Pandangan yang menginginkan menyatunya agama dan negara menurut

Zuhairi Misrawi dilatar belakangi oleh dua hal. Pertama, sebagai tawaran alternatif

bagi kegagalan sistem sekuler, ini menjadi alasan yang sering disebut-sebut guna

membangun masyarakat yang Islami. Kedua, penyatuan agama dan negara sebagai

suatu resistensi terhadap modernitas.10

Dalam tulisannya itu ia mengatakan bahwa Yusuf Qardhawi adalah salah

satu pemikir Muslim garda depan yang menyuarakan penyatuan agama dan negara,

sebagai alternatif dari kegagalan sistem sekuler yang telah memporak-porandakan

nilai dan moralitas. Menurut Qardhawi tegasnya, Islam mempunyai seperangkat

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-

PRESS, 1993), h.1. 10

Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses tanggal 1 Desember 2008 dari http://islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=148.html//

Page 29: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

nilai dan pemikiran guna membangun masyarakat yang berkeadilan dan

berkeadaban. Al-Qur’an dan Sunnah rujukan utamanya.11

2. Paradigma Islam Substantif

Paradigma ini menolak pendapat bahwa antara agama dan negara itu

disatukan, tetapi juga menolak adanya pemisahan secara total atau agama dan

negara tidak dapat disatukan, paradigma ini terdiri dari kelompok yang mencoba

mengetengahkan atau bisa dikatakan juga dengan kelompok yang mengambil jalan

tengah, kelompok yang berada ditengah-tengah antara yang setuju dan tidak setuju

dengan penyatuan agama dan negara.

Sebagaimana Munawir Sjadzali mengatakan bahwa kelompok ini menolak

secara tegas bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa Islam

terdapat sistem kenegaraan, tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam

adalah agama dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan manusia

dengan Maha Penciptanya. Kelompok ini berpendirian bahwa dalam Islam tidak

terdapat sistem kenegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi

kehidupan bernegara.12

Ada yang mengatakan juga bahwa kelompok ini adalah kelompok modernis,

kelompok yang memandang bahwa Islam mengatur masalah keduniaan (termasuk

pemerintahan dan negara) hanya pada tatanan nilai dan dasar-dasarnya saja dan

secara teknis umat Islam bisa mengambil sistem lain yang dirasakan bernilai dan

bermanfaat.13

11

Misrawi, Dalam Redaksi Islam Liberal, “Negara Syariat atau Negara Sekuler, 12

Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 2. 13

Edward Bot, “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15 Desember 2008, h. 30.

Page 30: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Mereka berpendapat bahwa Islam mengatur masalah keduniaan

(kemasyarakatan) hanya secara dasar-dasarnya saja, adapun secara teknis bisa

mengadopsi sistem lain, yang dalam hal ini sistem “Barat” yang memperlihatkan

kelebihannya. Paradigma ini biasanya di dukung oleh kaum modernis.

Kalau kita lihat dari dua paradigma sebelumnya, paradigma ini mencoba

menyelaraskan agama dan politik (negara) tanpa harus memformulasikan ataupun

memisahkan keduanya. Bagi mereka yang penting adalah substansinya. Paradigma

ini juga bisa disebut dengan paradigma Islam substantif.

Adapaun tokoh yang berada dalam paradigma ini antara lain, Muhammad

Abduh, Muhammad Husain Haikal, Adapun dalam konteks Indonesia ada,

Muhammad Amien Rais, Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid dan sebagainya.

Kelompok ini berpendirian bahwa Islam tidak terdapat format hubungan

agama dengan masalah kenegaraan dan bahwa Islam adalah murni sebagai sebuah

doktrin politik. Meskipun demikian secara substansial keduanya sulit dipisahkan.

Paradigma ini lebih menekankan nilai substansinya dari pada formal dan legalnya.

Karena wataknya yang substansialis itu (dengan menekankan nilai-nilai keadilan,

persamaan, musyawarah dan partisipasi yang tidak bertentangan dengan prinsip-

prinsip Islam), kecenderungan ini mempunyai potensi untuk berperan sebagai

pendekatan yang dapat menghubungkan Islam dengan sistem politik modern,

dimana negara bangsa merupakan salah satu unsur utamanya.

Refleksi kelompok ini dalam bidang politik, pada dasarnya adalah

melakukan upaya yang signifikan terhadap pemikiran dan orientasi politik yang

menekankan manifestasi substansial dan nilai-nilai Islam dalam aktivitas politik.14

14

M. Syafi’i Anwar, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik Tentang

Cendikiawan Muslim Orde Baru (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 155.

Page 31: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Negara tidak perlu menelusup masuk kedalam hubungan antara manusia dan

tuhannya. Dengan kata lain negara tidak berhak mengintervensi kehidupan

beragama seseorang. Tugas pemerintah dalam hal ini adalah sebagai penjaga

perdamaian, persatuan bangsa dan mengupayakan kesejahteraan serta kenyamanan

warganya. Dengan kata lain negara hanya mengurus sesuatu yang berkaitan dengan

kemaslahatan politik saja bukan ikut campur dalam masalah privat, yang terpenting

dalam kelompok ini adalah menciptakan format kehidupan demokratis yang

berkeadaban (civility) dan format kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship)

tanpa menelikung ajaran-ajaran normatif suatu agama hanya puas menerapkan hal-

hal simbolik, tetapi hal-hal substansial yang menjadi inti agama tidak terwujud.

Dalam hal ini yang diinginkan oleh paradigma ini adalah jangan

mementingkan formalnya saja tetapi substansinya. Kemudian kelompok ini

menginginkan bagaimana antara ulama dan pemerintah (agama dan negara) bisa

saling mengisi satu sama lain. Para ulama mengurusi masalah moral rakyatnya,

kemudian pemerintah mengurusi masalah kesejahteraan, ketentraman dan

perdamaian rakyat bisa tercapai.

Agama dan negara harus bisa berjalan bersamaan bahkan harus saling

mendukung tanpa harus diformalisasikan dan di pisahkan, yang terpenting

bagaimana nilai-nilai Islam dapat diimplelemtasikan dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara.

3. Paradigma Islam Sekularistik

Sekularisme adalah sebuah ideologi atau paham yang intinya adalah agama

merupakan masalah pribadi dan masalah subjektif, setiap individu yang hanya

bermanfaat untuk memenuhi tuntutan-tuntutan kejiwaan. Disamping itu paham

Page 32: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

hidup ini memandang agama hanya berhubungan dengan masalah privat, dalam arti

masalah-masalah pribadi. Oleh karena itu, urusan kemasyarakatan, seperti politik,

ekonomi, kebudayaan, pengembangan ilmu dan teknologi modern, dalam

pandangan sekularisme tidak dapat dan tidak perlu dikaitkan dengan agama.15

Sekularisme telah banyak digunakan dalam berbagi cara dalam sejumlah

perspektif yang berbeda. Di negara-negara Protestan, sekularisme diartikan sebagai

kebijakan memisahkan gereja dari negara. Di negara-negara Katolik, menekankan

pembedaan antara orang awam dari kaum pendeta. Istilah tersebut menunjuk pada

dua aspek yang sama, dan digunakan dalam hubungannya dengan masalah-masalah

dualitas, yaitu pertentangan atau pemisahan gereja dan negara.

Kata secular, seculer, seculare berarti temporal, sementara, tak abadi.

Sekularisme adalah gerakan dalam masyarakat yang mencoba memisahkan urusan

luar dunia dari dunia ini.16

Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan yang tidak

akan pernah usai, banyak kalangan intelektual Islam merujuk kepada sekularisme

untuk mengartikan dan menjawab persoalan tentang agama (Islam) dengan negara,

dan banyak pula yang secara tegas menolak konsep sekularisme dengan alasan

ideologi tersebut berasal dari Barat dan berbahaya bagi Islam itu sendiri. Para

sejarawan mendefinisikan sekularisme dalam suatu masyarakat atau budaya sebagai

hal yang mengindikasikan ”penempatan” agama dalam masyarakat.17

Islam dan pengalaman Islam secara historis sangat berbeda dengan Kristen

dan Barat. Kristen Romawai dan Protestan sama-sama mengakui, meskipun dengan

15

Amien Rais, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan (Bandung: Mizan,

1998), h. 75. 16

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 179. 17

Sommerville, The Secularazation of Early Modern England, (New York: Oxford, 1992),

h. 8.

Page 33: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

interpretasi yang berbeda, pembedaan antara gereja dan negara serta wilayah

kekuasaan mereka berbeda. Islam tidak mengakui ini, para teolog Islam

membedakan antara urusan agama dan negara dalam kaitannya dengan upaya untuk

mencapai keselamatan di akhirat dan hal yang hanya berkenaan dengan kehidupan

pribadi di dunia ini. Meskipun demikian Islam tidak pernah mendefinisikan

persoalan keagamaan dan politik sebagai dua institusi yang berbeda. Islam juga

tidak mempunyai institusi kependetaan yang dapat dipisahkan dari institusi politik.

Islam tidak mengalami reformasi analog seperti reformasi Protestan di dunia

Kristen Barat. Gerakan reformasi Islam, sebelum kedatangan pengaruh Barat,

bertujuan memurnikan Islam dari bid’ah dengan jalan memperkuat otoritas Islam

atas masyarakat serta memastikan kepatuhan total terhadap hukum-hukum, hal ini

berbeda dengan tujuan Protestan yang bermaksud memurnikan agama dengan

memisahkan dari negara.

Sekularisme sering kali dikaitkan dengan era pencerahan di Eropa dan

memainkan peranan utama dalam peradaban Barat. Prinsip utama pemisahan gereja

dan negara di Amerika Serikat dan Fasisme di Prancis, didasarkan dari sekularisme.

Kelompok sekuler percaya bahwa Islam dan politik harus dipisahkan dan tidak

mungkin antara keduanya disatukan. Bagi mereka, Islam adalah sistem keagamaan,

tidak mengatur hal-hal yang berkaitan dengan politik atau pemerintahan, pola

pemisahan agama dan negara ini menolak eksistensi ”negara agama” juga kaitan

dengan hukum keagamaan

Di dunia Islam, sekularisasi bukan hanya sebuah proses, tapi juga telah

menjadi paradigma ideologi dan dogma yang diyakini kebenarannya dan dianggap

secara sistematis dan terencana. Sekularisasi dianggap prasyarat transformasi

masyarakat tradisional menjadi modern, pendukung arus sekular menyuguhkan

Page 34: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

analisis yang penuh optimis atas nilai-nilai Barat, dan mengukuhkannya sebagai

konsep Islam. Singkatnya arus ini tidak memberikan peluang kepada warisan politik

Islam untuk berkembang atau berevolusi.18

Ada dua macam sekularisme, yaitu, sekularisme objektif dan sekularisme

subjektif. Sekularisme objektif terjadi bila secara struktural atau institusional

terdapat pemisahan antara agama dan lembaga-lembaga lain. Sedangkan

sekularisme subjektif terjadi bila pengalaman sehari-hari tidak dapat lagi dipatahkan

dalam agama, ada pemisahan antara pengalaman hidup dengan pengalaman

keagamaan. Sekularisme objektif dalam politik diwujudkan dalam pemisahan antara

agama dan negara.19

Dalam istilah politik, sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan

antara agama (Islam) dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi

keterkaitan antara pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum

keagamaan dengan hukum sipil, dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil

dengan dasar agama. Hal ini dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi

hak-hak kalangan beragama minoritas.

Secara umum sekularisme dipahami sebagai upaya untuk memisahkan

agama dari urusan-urusan dunia. Dan telah jadi anggapan umum bahwa hasil utama

sekularisme dalam konteks Kristen Barat adalah pemisahan gereja dan negara. Dan

dalam konteks Islam sekularisme juga dianggap sebagai prasyarat bagi keberhasilan

demokratisasi masyarakat termasuk dalam masyarakat muslim.

Sekularisme sebetulnya adalah istilah netral untuk menunjuk kepada konsep

tentang pemisahan agama dan negara. Istilah ini pertamakali di perkenalkan oleh

18

Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam. Penerjemah Ali Syahab (Jakarta:

Citra, 2006), h. 1. 19

Peter L. Berger, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion (New York,

Doubleday and Company Inc, 1969), h. 179.

Page 35: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

George Jacob Holyoake (1817-1906), seorang sarjana Inggris, sebagai sebuah

gagasan alternatif untuk mengatasi ketegangan panjang antara otoritas keagamaan

dan otoritas negara di Eropa. Dengan sekularisme masing-masing agama dan negara

memiliki otoritasnya sendiri-sendiri, negara mengurusi politik sedangkan agama

mengurusi gereja.

Sebagaimana praktik kenegaraan yang terdapat di Barat, kaum sekular

menekankan adanya keterpisahan yang nyata diantara keduanya, bagi mereka Islam

dan politik merupakan dua hal yang sangat berbeda. Mendirikan negara bukanlah

suatu kewajiban agama, itu hanya kebutuhan duniawi yang lepas dari pengaruh

agama. Karena itu, menempatkan agama disatu pihak dan politik (negara) dipihak

lain merupakan wujud dari tidak adanya hubungan Islam dan negara.

Sekularisme adalah pergerakan menuju pemisahan totalitas antara agama

dan negara. Hal ini dapat berupa hal seperti mengurangi keterkaitan antara

pemerintahan dan agama negara, menggantikan hukum keagamaan dengan hukum

sipil dan menghilangkan pembedaan yang tidak adil dengan dasar negara. Hal ini

dikatakan menunjang demokrasi dengan melindungi hak-hak kalangan beragama

minoritas.

Dalam pengalaman sejarah Eropa, proses sekularisme hidup perdampingan

dengan intersifikasi keagamaan pada tingkat personal dan rakyat, sekularisme

sering kali selalu dikaitkan dengan pengalaman sejarah bangsa Eropa dan

memainkan peranan penting dalam peradaban Barat.

Peristiwa yang menghebohkan dan mengejutkan di dunia Islam adalah

bagaimana ketika itu Mustafa Kemal Attaturk memberlakukan sekularisme di Turki

pada tahun 1924, yang kita tahu bahwa Turki yang sebelumnya menjadi pusat

khilafah Islamiyah yang salah satu tokoh intelektualitas Muslim Ali Abd Ar-Raziq

Page 36: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

menerbitkan bukunya yang berjudul al-Islam wa ushul al-hukmi (Islam dan dasar-

dasar pemerintahan) pada tahun 1925 yang berisi penolakan secara tegas tentang

doktrin yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad diutus Allah kedunia dengan

membawa misi ganda (double mission), dunia dan akhirat.20

Dalam artian Nabi

Muhammad hanya membawa risalah kenabian an sich tanpa ada sangkut pautnya

dengan kehidupan temporal (negara). Peristiwa sekularisme juga terjadi di negara-

negara berpenduduk mayoritas Muslim lainnya, baik oleh adanya intervensi Barat

secara langsung maupun tidak langsung.

Yang membuat kasus Turki menjadi penting adalah kompleksitas persoalan

yang menjadi latar belakang peristiwa sekularisme. Sebagai negara yang makin

demokratis dan ingin menjunjung kebebasan (liberalisme) berserikat, Turki

memberi saluran dan mengakomodasi berbagai aliran politik, agar maistream

politik yang demokratis itu semakin diterima dan mengakar. Yang terjadi adalah,

politik Islam itu sangat menguat serta berpotensi mengubah sistem politik Turki

yang demokratis dan sekuler itu sendiri.

Bagi pembela demokrasi, kasus Turki mengangkat kembali dilema sistem

demokrasi, yaitu bagaimana sebenarnya mengakomodasi berbagai politik

kepentingan dan aliran masyarakat, namun tetap menjaga agar politik kepentingan

dan aliran itu tidak cukup kuat untuk menggoyahkan sistem demokrasi.

Sebagaimana kita mengetahui bahwa Turki dihidupi oleh dua peradaban

besar di dunia yang terus menerus tumbuh dan berinteraksi, yakni peradaban Barat

dan Peradaban Islam. Kemal Attaturk adalah peletak kebudayaan Barat yang

terpenting di Turki modern, ia mengubah politik Islam di Turki yang mewarisi dari

Ottoman Empire menjadi politik nasional demokrasi seperti di Barat dengan

20

M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Jakarta: Logos, 2001), h. 136.

Page 37: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

berbagai kebijakan yang radikal.21 Di tingkat eksekutif dan legislatif, Attaturk

menghapuskan kesultanan dan kekhalifahan Islam di tahun 1924, menghapuskan

kementrian, pengadilan dan berbagai gelar keagamaan, mengadopsi sistem hukum

sekuler Swiss tahun 1926 dan mendeklarasikan Turki sebagai negara republik yang

sekuler dalam amandemen konstitusi tahun 1937.

Lebih jauh dari itu, Turki juga merubah pendidikan nasional yang bercorak

keagamaan menjadi pendidikan model Barat sejak tahun 1926, huruf resmi

berbahasa Arab juga diubah menjadi bahasa Latin di tahun 1928. bahasa resmi

Nasional Turki di bersihkan dari pengaruh Persia dan Arab dan menjaga perifikasi

bahasa ini dengan mendirikan Turkish Linguistic Society, tahun 1932. bahkan

panggilan solat diganti dari bahasa Arab menjadi bahasa Turki. Emansipasi wanita

digalakkan dengan mengaktifkan mereka di dunia politik.22 Namun bagaimanapun

juga peradaban Islam lebih lama mengakar, kecenderungan Islamisasi terus hidup

dengan menggunakan atribut modern dan juga dihasilkan oleh pendidikan Barat

yang modern juga.

Sebagaimana Turki, kemudian datang Iran yang ketika itu Dinasti Pahlevi

(1925-1979) merupakan periode sekuler, ketika upaya-upaya untuk memaksakan

tatanan modernisasi negara pada akhirnya menyulut perlawanan masa yang

dipelopori dan dimotori oleh tokoh-tokoh agama syiah yang otoritasnya belum

pernah secara penuh ditumpas.

21

Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Berdikari Bangsa,

2000), h. 4.\ 22

Denny JA, dkk, Negara Sekuler, h. 4.

Page 38: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Sekularisme sebagai suatu yang impor dari asing dihubungkan dengan

pengaruh Amerika yang berlangsung secara gradual terhadap Iran dan terhadap

penguasa kedua Pahalevi, Muhammad Reza Syah.23

Kedua peristiwa tersebut merupakan peristiwa sekularisme di negara

Muslim yang ketika itu banyak yang menentang dengan perlawanan. Kalau dalam

konteks Indonesia, salah satu proklamator kita Soekarno, ia adalah salah seorang

Muslim yang mendukung pemisahan antara agama dan negara, ketika itu banyak

orang yang menganggap sebagai sekularis. Soekarno mengungkapkan bahwa agama

(Islam) harus dipisahkan oleh negara, karena Indonesia dari sudut pandangan

populasi bukanlah negara yang dihuni oleh 100 persen Muslim. Dengan kenyataan

itu tentu kalau Islam dijadikan dasar negara akan terjadi diskriminasi terhadap

pemeluk agama yang lain.

Menurut Soekarno, agama merupakan masalah spiritual dan pribadi

sedangkan kehidupan bernegara adalah masalah dunia temporal dan

kemasyarakatan. Bertolak dari asumsi ini Soekarno menilai bahwa aplikasi ajaran

agama hanyalah tanggung jawab pribadi setiap Muslim dan sama sekali bukan

masalah yang harus diurus oleh negara dan pemerintah.24

Cak Nur berpendapat bahwa negara Islam itu tidak terdapat dalam Al-

Qur’an dan konsep negara Islam tidak ada dalam sejarah Islam serta sebuah bentuk

apologis umat Islam terhadap ekspansi pemikiran dan politik Barat terhadap dunia

Islam selama beabad-abad.25

23

Jhon. L Espositto, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern (Bandung: Mizan, 1999), h.

134. 24

Ahmad Suhelmi, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati Reinkarnasi

Nasionalis Sekuler (Jakarta: Darul Falah, 1999), h. 59 25

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), h. 13.

Page 39: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Menurut An-Naim pemisahan antara agama dan negara tidak berarti bahwa

Islam menurunkan ketingkat privat karena prinsip-prinsip Islam, sebetulnya masih

bisa diajukan untuk diadopsi oleh negara menjadi kebijakan atau undang-undang

negara. Namun, pengajuan ini harus didukung oleh public reason yang berarti

bahwa berbagai argumen bisa diperdebatkan oleh semua warga negara tanpa harus

merujuk pada keyakinan agama.26

Paradigma ini berpendapat bahwa negara bukan merupakan suatu kewajiban

agama, dalam pengertian bahwa agama sama sekali tidak menyebut kewajiban

mendirikan negara. Namun tidak pula mewajibkan untuk mengabaikannya,

melainkan menyerahkan persoalan ini kepada kaum Muslim.

Para pembaru sekuler cenderung mendukung gagasan pemisahan agama dari

politik (negara) karena bagi mereka Islam hanya terbatas pada moral dan pribadi.

Paradigma ini selalu memisahkan Islam (agama) dengan urusan pemerintahan,

karena mereka berkeyakinan bahwa Islam tidak mengatur masalah keduniaan

termasuk pemerintahan dan negara.27

tokoh yang terkenal yang menyuarakan secara

lantang adalah Ali Abd Ar-Raziq, Thaha Husain, Abdullahi Ahmed An-Naim serta

Soekarno dalam konteks Indonesia. Mereka semua menentang penyatuan antara

agama (Islam) dan negara.

Dari ketiga paradigma tersebut, JIL dalam hal ini berada pada paradigma

Islam sekularistik, karena menurutnya entitas kenegaraan dan keagamaan harus

dipisahkan, mereka memberi gagasan tentang sekularisme sebagai sesuatu yang

harus dijalankan dalam negara atau pemerintah.

26

Abdullahi Ahmed An-Naim, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan

Syariah, Penerjemah Sri Murniati (Jakarta: Mizan, 2007), h. 78. 27

Edward Bot, . “Islam dan Negara menurut Said Al-Asmawi” Suara Muhammadiyah, 1-15

Desember 2008, h. 30.

Page 40: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

B. Islam dan pluralisme

Pemikiran pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan zaman

pencerahan (enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang

disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern, yaitu masa

yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang

berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari

kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di

Eropa yang timbul sebagai konsikuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi

antara gereja dan kehidupan nyata diluar gereja, munculah suatu fahan yang dikenal

dengan ”Liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi dan

keragaman (pluralism).

Islam sendiri sebagai agama yang universal sangat menjunjung tinggi nilai-

nilai kemanusiaan, persamaan hak, kebebasan (liberalism) dan mengakui adanya

agama yang plural. Pluralisme agama menurut Islam adalah hukum atau aturan

tuhan (law of God) yang tidak akan berubah, tidak akan dilawan dan diingkari.

Ungkapan ini bagi sebagian orang menggambarkan bahwa Islam sangat menghargai

pluralisme, karena Islam adalah agama yang dengan tegas mengakui hak-hak

penganut agama lain untuk hidup bersama dan menjalankan agama masing-masing.

Sebelum MUI mengeluarkan fatwa tentang haramnya paham ”pluralisme

agama”, penyebaran paham ini di Indonesia sangat meluas. Istilah pluralisme

agama atau pengakuan seorang sebagai pluralis dalam konteks teologi, bisa

ditelusuri pada catatan harian Ahmad Wahib salah satu penulis gerakan Islam

liberal di Indonesia, disamping M. Dawam Raharjo dan Djohan Effendi.

Ketika akhir tahun 1960-an, paham ini tentu saja sangat aneh, meskipun ide-

ide persamaan agama tidak pernah berhenti dilontarkan, tetapi hampir tidak ada

Page 41: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

kalangan tokoh agama atau akademisi Muslim yang melontarkan pahan semacam

ini.

Gagasan penyamaan agama, oleh sebagian kalangan kemudian di

populerkan dengan istilah Pluralisme Agama yang dikembangkan sampai ke level

operasional kehidupan sosial. Seperti penghalalan perkawinan antar agama dan

sebagainnya. Gagasan ini juga secara tidak terlalu tepat distandarkan pada ide

Trancendent Unity of Religion yang secara sistematis dikembangkan oleh Frieth

Ohof Schoon. Dengan gagasan ”pluralisme agama” itu, maka tidak boleh ada ”truth

claim”, bahwa hanya satu agama saja yang benar. Dengan gagasan ini, maka

masing-masing agama tidak dibolehkan mengklaim memiliki kebenaran mutlak,

karena masing-masing mempunyai metode, jalan atau bentuk untuk mencapai

tuhan.

Ide Trancendent Unity of Religion sendiri berpendapat, bahwa semua agama

adalah sama, esensinya adalah sama, sebab agama itu didasarkan kepada sumber

yang sama. Bentuknya bisa berbeda, karena manifestasi yang berbeda ketika

menanggapi yang mutlak.

Diskursus tentang istilah Islam dan pluralisme merupakan tema penting

yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan Muslim pada dekade

1980-an. Pentingnya tema ini nampaknya tidak bisa dipisahkan dari kondisi objektif

bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai tingkat kemajemukan tinggi

secara fisik (negara kepulauan) maupun dari segi sosial budaya (social culture).

Secara fisik kepulauan Indonesia terdiri tidak kurang dari ± 15.000 pulau besar

kecil dihuni maupun tidak dihuni. Selain itu Indonesia terdiri dari beberapa suku,

bahasa, adat-istiadat serta agama yang juga menunjukkan heterogenitas sosial

budaya, sekalipun Islam agama terbesar di Indonesia, namun ia mengenal

Page 42: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

perbedaan intensitas pemahaman dan pelaksanaan yang berbeda antara daerah yang

satu dengan daerah yang lain.28

Nurcholish sangat menyadarai bahwa masyarakat Indonesia sangat

pluralistik, baik dari segi etis, adat-istiadat maupun agama. Dari segi agama, selain

Islam realitas menunjukkan bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama

besar dapat berkembang subur dan terwakili aspirasinya di Indonesia. Itulah

sebabnya masalah toleransi atau hubungan antar agama menjadi sangat penting.

Namun demikian ia tetap optimis bahwa dalam soal toleransi dan pluralisme ini,

Islam telah membuktikan kemampuannya secara menyakinkan, seperti dinyatakan

dalam urainnya sebagai berikut:

”Kenyataan bahwa sebagian besar bangsa Indonesia beragama Islam

disebut sebagai dukungan karena Islam adalah agama yang pengalamannya

dalam melaksanakan toleransi dan pluralisme adalah unik dalam sejarah

agama-agama. Sampai sekarang bukti hal itu kurang lebih nampak jelas dan

nyata pada berbagai masyarakat dunia, dimana agama Islam merupakan

anutan mayoritas agama-agama lain, tidak mengalami kesulitan berarti, tapi

sebaliknya dimana mayoritas bukan Islam dan kaum Muslim menjadi minoritas, mereka ini selalu mengalami kesulitan yang tidak kecil, kecuali di

negara-negara demokratis Barat. Disana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kelebihan beragama yang menjadi hak mereka”.29

Fakta bahwa Islam memperkuat toleransi dan memberikan apresiasi

terhadap pluralisme, sangat kohesif dengan nilai-nilai pancasila yang sejak semula

mencerminkan tekad demi berbagai golongan dan agama untuk bertemu dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Intinya adalah Indonesia mempunyai

pengalaman sejarah yang panjang dalam pergumulan tentang keragaman aliran

politik dan keagamaan, sejak zaman pra kemerdekaan hingga setidaknya ia melihat

ideologi negara pancasilalah yang sudah memberi kerangka dasar bagi masyarakat

Indonesia dalam masalah pluralisme keagamaan.

28

Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), h. iv. 29

Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, h. xvviii.

Page 43: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Masalah dasar pluraslime yang dikembangkan Cak Nur sering menuai

kontroversi dari kalangan intelektual Muslim lainnya, bahkan MUI sekalipun. Cak

Nur menegaskan bahwa bangsa Indonesia akan memperoleh manfaat yang sangat

besar dalam usaha transformasi sosial menuju demokrasi, keterbukaan demi

keadilan itu, jika pluralisme dapat ditanamkan dan dijalankan oleh setiap Muslim

yang merupakan agama mayoritas bangsa Indonesia, oleh karena itu ia dengan tegas

menyatakan bahwa tidak ada jalan lagi bagi umat Muslim khususnya Indonesia

untuk menjalankan pluralisme untuk membuat negeri, bangsa ini maju, makmur,

kuat dan modern sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia.

Pluralisme, sebagimana halnya seluruh fenomena dan mazhab pemikiran,

memiliki sifat pertengahan (moderat/adil), keseimbangan juga mempunyai sisi yang

ekstrim, baik yang melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Sisi pertengahan

(keadilan) serta keseimbangannyalah yang dapat memelihara hubungan antara

kemajemukan perbedaan dan pluralitas serta faktor kesamaan, pengikat dan

kesatuan. Sementara itu, dis-integrasi dan kacau balau ditimbulkan oleh “sikap

ekstrem memusuhi menyempal”, yang tidak mengakui dan tidak memiliki faktor

pemersatu, juga oleh sikap “penyeragaman” (yang mengingkari kekhasan dan

perbedaan), yaitu, sikap ekstrem represif dan otoriter “yang menafihkan perbedaan

masing-masing pihak dan keunikannya.30

Islam sendiri hanya mengakui

“ketunggalan” (yang tidak mempunyai sisi parsial dan bentuk yang plural).

Muhammad Fathi Osman mengatakan bahwa pluralisme adalah bentuk

kelembagaan dimana penerimaan terhadap keragaman melingkupi masyarakat

tertentu atau dunia secara keseluruhan, makannya menurutnya lebih dari sekedar

toleransi moral atau koeksistensi pasif. Toleransi adalah persoalan kebiasaan dan

30

Muhammad Imarah, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan Dalam Bingkai persatuan . Penerjemah Abdul Hayyie Al-Kattanie (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), h. 10.

Page 44: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

perasaan pribadi, sementara koeksistensi semata-mata penerimaan terhadap pihak

lain, yang tidak melampaui ketiadaan konflik. Pluralisme menuntut untuk

melakukan kerjasama, memahami agama lain demi kebaikan bersama, setiap

manusia wajib memiliki hak dan kesempatan untuk menikmatinya, setiap manusia

memiliki hak untuk berhimpun dan berkembang, memelihara identitas dan

kepentingan.31

Ini menandakan bahwa pluralisme sangat memegang teguh prinsip-prinsip

keagamaan sesuai dengan agama masing-masing, memiliki rasa toleransi

keagamaan baik individu maupun golongan, membiarkan setiap manusia

menggunakan dan menikmati hak-haknya tersebut.

Pluralisme mempunyai arti bahwa kelompok-kelompok kecil (minoritas

society) dapat berperan serta secara penuh, dan setara dengan kelompok-kelompok

besar (majoritas society) dalam lingkup masyarakat yang majemuk, sembari

mempertahankan ideologi dan identitas serta perbedaan yang khas. Pluralisme

hampir layaknya sebuah agama dilindungi oleh negara dan hukum, pada awalnya

pluralisme hanya mengacu kepada masalah-masalah tertentu antara lain, perbedaan

agama dan suku, tetapi lebih lanjut pluralisme mengasumsi berbagai macam

keyakinan, kelembagaan dan komunitas yang seyogyanya muncul berbarengan dan

menikmati pengakuan dan perlakuan yang sama.

Kelompok mayoritas dalam hal ini adalah Islam, seperti pemeluk agama lain

yang menjadi mayoritas di sebuah negara, harus hidup dengan kalangan minoritas

(Muslim harus bisa hidup dengan kalangan minoritas) dalam suatu negeri tertentu.

Penduduk Muslim dari suatu negeri dapat memiliki perbedaan-perbedaan kesukuan

31

Muhammad Fathi Osman, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan (Pandangan Al-

Qur’an, Kemanusiaan Sejarah dan Peradaban. Penerjemah Irfan Abu Bakar (Jakarta: Paramadina,

2006), h. 2-3.

Page 45: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

dan doktrinal dalam diri mereka sendiri ataupun dengan kaum Muslim lain

diseluruh dunia.

Non-Muslim yang berada dalam negara yang berpenduduk Muslim

mayoritas harus dilakukan oleh kaum Muslim dan pemerintah setempat dengan baik

dan adil, martabat dan hak-hak mereka harus dijamin meskipun harus dilindungi

oleh hukum Islam dan pemerintahan. Begitupun juga dengan non-Muslim yang

merupakan penduduk tidak tetap dalam negara Islam juga berhak terhadap martabat

diri dan keamanan yang dilindungi oleh hukum Islam sekalipun, kemudian non-

Muslim dapat memperoleh pekerjaan di negara mayoritas Muslim sekalipun

menjabat sebagai menteri (wazir).32

C. Hak Asasi Manusia

Selain pluralisme yang merupakan isu global ada juga isu-isu lain yang

penting diketahui dan banyak dibahas oleh kalangan intelektual diantaranya adalah.

Pertama, Environment, lingkungan merupakan masalah yang perlu dibahas oleh

negara, kemudian masalah ini menjadi masalah yang serius bagi semua negara demi

menjaga kepentingan alam (nature). Kedua, Free Trede, hal ini merupakan hak

manusia tanpa harus ikut campur negara dan dibahas oleh kekuasaan negara, negara

hanya boleh mengatur undang-undang perdagangan bebas. Ketiga, Public Health

Service, isu flu babi merupakan suatu bentuk penyakit yang mengganggu kesehatan

masyarakat dan merupakan perhatian seluruh dunia internasional sembari mencari

permasalahannya disamping banyak pula penyakit-penyakit yang menggaggu

kesehatan manusia. Keempat, Emansipasi Wanita, pada dasawarsa ini muncul tren

wanita boleh mengimami laki-laki, pemberontakan kaum wanita dalam mencari

32

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sultaniyah (Kairo: Maktabat Musthafa Al-Babi- Al-Halabi,.

1973), h. 27.

Page 46: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

kehidupan dunia, yang memunculkan pendapat bahwa wanita sama dengan laki-laki

dan tidak boleh ditempatkan sebagai subordinasi kaum laki-laki. Kelima, Human

Right, ini merupakan isu global yang terakhir yang harus diperjuangkan oleh

bangsa-bangsa dan harus dilindungi oleh negara, sehingga negara tidak berhak

menghapus demi kepentingan kekuasaan.

Semua manusia dilahirkan bebas (live for liberty) dan sama dalam martabat

dan hak-hak asasi, dan bahwa setiap manusia berhak terhadap semua hak dan

kebebasan yang telah disebutkan itu, tanpa perbedaan dalam bentuk apapun juga,

seperti ras, warna kulit, jenis kelamin lebih jauh lagi tentang agama dan

kepercayaan.33 Hak asasi manusia adalah suatu karunia yang diberikan Tuhan

kepada umat manusia begitu ia dilahirkan, jadi sudah merupakan hukum kodrat.34

Masalah HAM merupakan masalah yang sangat penting secara politik dan

dipandang dari segi ideologi, adat istiadat dan terutama sekali kemajuan warga

negara. Masalah ini merupakan suatu masalah yang tidak hanya memberikan

inspirasi kepada para politik, organisasi-organisasi keagamaan, tetapi juga manusia

secara pribadi dalam melaksanakan kebebasan.35

Lebih jauh Peter R. Baehr

mengatakan bahwa semua negara menghormati hak asasi manusia dan kebebasan,

termasuk kebebasan berfikir, berpendapat, beragama atau berkeyakinan, bagi semua

orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa bahkan agama sekalipun.36

Pengertian hak dalam berbagai bahasa dan menurut bangsa-bangsa

barangkali tidak akan sama disebabkan oleh perbedaan budaya, tradisi dan sistem

nilai yang berlaku dalam masyarakat, namun substansi hak yang merupakan

33 Peter Davies, Hak-hak Asasi Manusia. Penerjemah A. Rahman Zainuddin (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. 33. 34

Davies, Hak-hak Asasi Manusia, h. viii 35

Antonio Cassese, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Penerujemah A. Rahman

Zainuddin (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994), h. xxiii. 36

Peter R. Baehr, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri. Penerjemah Somadi (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 46.

Page 47: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

kebenaran yang diperjuangkan oleh setiap orang maupun kelompok masyarakat

pasti tidak akan banyak berbeda dan memiliki kesamaan yang sangat besar.

Perbedaan faham tentang hak tentu dilatar belakangi oleh cara pandang mereka

terhadap kebenaran.

Secara bahasa, hak asasi manusia dalam bahasa Inggris disebut Human

Right dan dalam bahasa Arab disebut Huququl Insan. Right dalam bahasa Inggris

berarti: hak, kebenaran, kanan,37

sedangkan hak dalam bahasa Arab berarti: lawan

kebatilan, keadilan, bagian serta nasib.

Secara terminologi yang disebut dengan hak menurut Shalahuddin Hamid

adalah kebenaran yang diperjuangkan kewenangannya dan menjadi milik individu

dan kelompok sesuai dengan cara pandang terhadap kebenaran baik berupa materi

maupun non materi.38

Hak asasi manusia yang sering disebut orang Indonesia dengan HAM

menjadi keharusan dari sebuah negara untuk menjaminnya dalam konstitusi.

Selama ini HAM masuk kedalam sistem internasional yang dibakukan dengan

Declaration of Human Right pada tanggal 10 Desember 1948. pembahasan tentang

HAM akan berpengaruh besar terhadap perubahan struktur nilai universal yang

sudah ditetapkan dalam sistem internsioanal. Pembahasan ini penting untuk

dituangkan dalam wacana akademis maupun wacana dialogis antara bangsa dengan

alasan bahwa sejauh ini HAM dikembangkan dan dikendalikan oleh PBB yang

belum mengakomodasi nilai-nilai bangsa-bangsa secara sempurna. Deklarasi

tersebut masih kental dengan peradaban dan kebudayaan Eropa dan Amerika yang

punya perbedaan yang sangat signifikan dengan budaya-budaya dan kepercayaan di

negara-negara lain, seperti negara-negara berkembang dan negara dunia ketiga.

37

Jhon M. Echols dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1996). 38

Shalahuddin Hamid, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam (Jakarta: Amisco, 2000), h. 11.

Page 48: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Banyak sebagian kalangan intelektual Muslim mengklaim bahwa Islam

sebagai agama terbesar di dunia dan di Indonesia mengatur segala aspek kehidupan

manusia, begitu juga dengan permaslahan HAM. Harmonisasi antara tradisi Islam

(Islamic trade) dengan konsep HAM (Human Right Concepth) adalah sesuatu yang

niscaya, sehingga hukum Islam pra modern yang menghambat kemungkinan itu

haruslah ditafsir ulang.39

Dalam Islam, konsep HAM sebenarnya telah mempunyai tempat tersendiri

dalam pemikiran Islam. Perkembangan wacana demokrasi dengan Islam sebenarnya

yang telah mendorong adanya wacana HAM dalam Islam, karena dalam sistem

demokrasi, pengakuan terhadap hak asasi manusia mendapat tempat yang spesial.

Bahkan HAM dalam Islam telah dibicarakan sejak empat belas tahun yang lalu.40

fakta ini mematahkan bahwa Islam tidak memiliki konsep tentang pengakuan

HAM.

Keagungan ajaran Islam sebagaimana banyak kalangan intelektual Muslim

tercermin dari pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perbuatan

manusia yang berhubungan dengan Allah, manusia maupun alam semesta tidak

satupun lepas dari aspek ibadah, hal tersebut memahamkan agar manusia tidak

sewenang-wenang, berbuat tidak adil, berbuat zalim terhadap sesama manusia dan

tidak memperdulikan kepentingan umum, yang semua ini bahwa Islam

menganjurkan yang baik dan mencegah yang buruk, melalui HAM Islam sangat

toleran dan membela terhadap kezaliman.

Konsep HAM antara pandangan Barat dan pandangan Islam cukup berbeda.

Barat memandang realitas keagamaan dalam pandangan filsafat, sosiologis,

39

Budhy Munawar Rahman “ HAM dan Persoalan Relativisme Budaya” dalam Komaruddin

Hiadayat dan Ahamd Gaus AF, (ed), Islam Negara dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam

Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 2005), h. 47. 40

Anas Urbaningrum, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid (Jakarta: Republika, 2004), h. 91.

Page 49: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

psikologis dan antropologis. Pendekatan Barat terhadap HAM terpola melalui

pendekatan kepentingan manusia secara individu maupun kolektif, dengan

pendekatan ini pemikiran Barat mengakui hak-hak individu dan kolektif serta

kewajiban-kewajiban kolektif sementara kewajiban-kewajiban individu tidak

diakui.41

Kemudian dalam pembahasannya Barat dipengaruhi oleh filsafat Yunani

dan filsafat Yahudi-Kristen, namun tidak dapat disimpulkan bahwa faham Barat

adalah faham Yahudi-Kristen, sebab nilai immateri yang ada dalam agama-agama

tersebut belum tentu menjadi standar, mungkin lebih tepat dikatakan faham Barat

mengarah kepada sekularisme yang mementingkan realitas atau nilai materi.

Hak asasi manusia dalam Islam bukan hanya diakui tetapi juga dilindungi

sepenuhnya, karena itu dalam hubungannya ini ada dua prinsip, yakni prinsip

pengakuan hak-hak asasi manusia dan prinsip perlindungan hak-hak asasi manusia.

Islam adalah agama yang sangat memperhatikan manusia, hal ini terbukti

dengan adanya jaminan Islam terhadap HAM melalui berbagi cara, terdapat tiga hal

yang membuktikan keterkaitan Islam dengan HAM.42

Pertama, dalam Al-Qur’an

tidak terdapat paksaan bagi manusia untuk memeluk agama yang mereka yakini

bahkan Islam tidak memaksa manusia supaya masuk kedalam agama Islam. Kedua,

model masyarakat (model society) yang dikembangkan Rasul di Madinah melalui

piagam Madinah merupakan deklarasi HAM pertama di dunia. Dalam piagam

tersebut setiap masyarakat Madinah dibolehkan dan menganut agama masing-

masing dan tidak mengganggu orang lain dalam melaksanakan ibadah, karena itu

banyak sarjana memandang bahwa piagam Madinah ini merupakan teks sebagai

pengakuan hak asasi manusia, walaupun kemudian teks ini dilanggar oleh

kelompok non-Muslim, namun harus diakui bahwa sumbangsih Islam terhadap

41

Muhammad Immarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat. Penerjemah Mushsalah

Maufir (Jakarta: Rabbani Press, 1998), h. 128. 42

Kamaruzzaman, Wajah Baru Islam di Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 2004), h. 105.

Page 50: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

cetak biru (blue print) HAM di muka bumi, sebab teks HAM di Barat mulai dikenal

pada abad ke-13 dengan munculnya magna charta (1215). Ketiga, dalam Islam

dikenal lima prinsip hak asasi manusia yang sering kali dijumpai dalam kitab-kitab

fiqih yakni, hak perlindungan terhadap jiwa atau hak hidup, hak perlindungan

keyakinan, hak perlindungan terhadap hak milik serta hak berkeluarga atau hak

memperoleh keturunan dan mempertahankan nama baik.43

Lima prinsip ini yang

selalu menjadi pegangan dalam pengkajian hukum Islam.

D. Formalisasi Syariat Islam

Dalam agama syariat merupakan ruh, syariat memainkan peranan penting

dalam kehidupan beragama, syariat merupakan sesuatu yang terdapat pada agama

yang harus dijalankan, ia merupakan jalan, cara serta metode yang digunakan oleh

agama tertentu untuk merealisasikan tujuan dan inti agama yang dimaksud, sesuai

dengan tempat agama itu dilahirkan dan disebarkan.

Secara etimologi, syariat berarti peraturan atau ketetapan yang Allah

perintahkan kepada hamba-hambanya.44

Seperti, puasa, salat, haji, zakat dan

seluruh kebajikan. Kata syariat berasal dari kata syara’a al-syai’a yang berarti

menerangkan atau menjelaskan sesuatu.45

Sejumlah kamus bahasa menyebutkan bahwa syari’ah atau syir’ah dalam

arti dasarnya adalah sumber air atau jalan kemata air.46 Syariat adalah jalan luas

yang harus dilalui oleh orang-orang beriman. Dalam Islam jalan yang dimaksud

43 Masdar F. Mas’udi, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan

Naning Mardiniah, (ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, 2000, h. 66-67. 44

Yusuf Qardhawi, Membumikan Syariat Islam: Kekuasaan Aturan Illahi Untuk Manusia.

Penerjemah Ade Nurdin dan Risman (Bandung: Mizan, 2003), h. 13. 45

Qardhawi, Membumikan Syariat Islam, h. 13. 46

Husein Muhammad, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai Pesantren (Yogyakarta: LKIS, 2007), h. 2.

Page 51: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

adalah jalan yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad Saw, baik yang disampaikan

dalam bentuk wahyu yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Syariat Islam dalam pengertian terminologinya masih menjadi perdebatan di

kalangan ulama dan intelektual. Sebagian besar ulama Islam merumuskan syariat

Islam sebagai aturan-aturan atau hukum-hukum tuhan yang tertuang dalam Al-

Qur’an dan Sunnah. Aturan-aturan tersebut meliputi kompleksitas dan totalitas

kebutuhan manusia baik secara vertikal individual, yakni hubungan individu

manusia dengan sang khalik maupun hubungan horizontal kolektif, yakni hubungan

antara manusia dengan manusia yang lain, bahkan juga dengan kehidupan alam

sekitarnya.

Perjuangan penerapan syariat Islam bukanlah hal baru, gagasan ini sangat

meramaikan perjalanan sejarah (traveling history) bangsa Indonesia. Para tokoh

intelektual yang duduk di BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan

Kemerdekaan Indonesia) sempat berdebat keras dengan tokoh Islam nasionalis

sekuler dan kalangan Kristian, mereka semua memperdebatkan dengan apa yang

dinamakan dengan Piagam Jakarta. Sebagai hukum final negara.

Perdebatan seputar masalah piagam Jakarta yang mengandung tujuh kata

yang diperdebatkan yaitu, ”dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi

pemeluk-pemeluknya,” Dalam sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945, wakil Kristen

dari Indonesia Timur, Latuharhary, menggugat kesepakatan soal tujuh kata tersebut,

yang telah dicapai dalam sidang sebelumnya, menurutnya kalimat tersebut dapat

membawa kekacauan yang bukan kecil terhadap Istiadat. Ia menyarankan untuk

mencari alternatif lain yang tidak banyak membawa akibat yang bisa mengacaukan

rakyat Indonesia.

Page 52: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Soekarno yang merupakan ketua tim kecil (panitia sembilan) menolak

keberatan Latuharhary, menurutnya barangkali tidak perlu diulangi bahwa

preambule adalah hasil jerih payah untuk menghilangkan perselisihan antara

golongan-golongan yang dinamakan golongan kebangsaan dan golongan Islam.

Jadi, manakala kalimat ini tidak dimasukkan, ia yakin bahwa pihak Islam tidak bisa

menerima preambule ini.47

Kemudian Soekarno menegaskan kembali bahwa ”saya

kira sudah nyata kalimat dengan didasarkan ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya sudah diterima oleh

panitia”.48

Dalam risalah sidang BPUPKI disebutkan, pada rapat tanggal 13 Juli 1945,

Wahid Hasyim ayah dari Abdurrahman Wahid mengusulkan agar syariat yang

dikatakan presiden Soekarno ditambah dengan, ”Yang beragama Islam”. Juga pasal

29 ditambahkan, ”Agama negara adalah agama Islam,” bahkan pada rapat tanggal

14 Juli 1945, tokoh Muhammadiyah Ki Bagus Hadikusumo mengusulkan agar kata

”bagi pemeluknya” dicoret. Jadi bunyinya hanya ”ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam”, tetapi usul tersebut ditolak.

Perdebatan mengenai hal ini berlanjut di meja konstituante, mereka yang

berada dalam kelompok Islam memperjuangkan kembali Piagam Jakarta, bahkan

menurut Prof. Kesman Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo sampai meninggal

dalam penantian akan kembalinya Piagan Jakarta, dalam biografinya juga dikatakan

bahwa Piagam Jakarta sebenarnya merupakan ”Gentlemelis Agreement” dari

bangsa ini.

Dalam konteks kekinian, Partai Keadilan (PK) yang bermetamorfosis

menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia dan FIS di Aljazair, adalah

47

Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan

Jawabannya (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 138-139. 48

Adian Husaini dan Nuim Hidayat, Islam Liberal, h. 138-139.

Page 53: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

sebagian contoh partai-partai yang mendukung agenda penerapan syariat Islam

dalam pemerintahan di sejumlah negara Muslim lain seperti, Pakistan, Yordania,

Mesir, Maroko, Iran dan Kuwait. Kelompok-kelompok Islamis, mereka ikut

bersaing di pentas politik nasional, masing-masing dengan menggunakan prosedur

pemilihan umum.

Namun demikian, Arab Saudi salah satu negara yang secara konsisten

memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik melalui jalur

ototarianisme bukan dibangun lewat prosedur non-demokrasi sejak kepemimpinan

Muhammad Al-Saud dan Muhammad bin Abd Al-Wahhab, menyepakati suatu

kontrak politik yang melahirkan kerajaan kaya minyak itu, sampai sekarang syariat

Islam masih tetap berjalan.

Kemudian Afghanistan dibawah kekuasaan pemerintahan Taliban sebelum

dirobohkan oleh koalisi Amerika Serikat dan sekutunya, juga menjadi contoh yang

baik betapa ototarianisme menjadi jalan tol bagi pelaksanaan syariat Islam yang

efektif.

Semua ini adalah peristiwa yang terjadi di Indonesia dan di negara-negara

Muslim lainnya. Syariat Islam akan terus menerus menjadi sesuatu yang pasti akan

diperdebatkan sepanjang masa.

Syariat Islam pasti memiliki masa depan yang cerah dalam kehidupan

politik masyarakat Islam, karena dapat berperan dan akan menerus memainkan

peran yang penting dalam membentuk dan mengembangkan norma-norma dan

nilai-nilai etika yang dapat direpleksikan dalam perundang-undangan yang

demokratis. Namun An-Naim berpendapat bahwa prinsip atau aturan syariat tidak

dapat diberlakukan dan diterapkan secara formal oleh negara sebagai hukum (law)

dan kebijakan public (public spehere) dengan alasan bahwa prinsip-prinsip dan

Page 54: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

aturan-aturan ini merupakan bagian dari syariat.49 Apabila pemberlakuan syariat

Islam itu diusahakan maka hal ini merupakan kehendak politik negara dan bukan

hukum Islam. Bahwa adanya klaim elit penguasa yang kadang melegitimasi

kekuasaan negara atas nama syariat tidak lantas berarti bahwa klaim itu benar atau

mengkin dilaksanakan. Mengingat bahwa prinsip-prinsip syariat ditinjau dari watak

dan fungsinya memang menolak setiap kemungkinan penerapan syariat oleh negara.

Maka klaim untuk melakukan hal itu bertentangan dengan logika, sekalipun

berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi pertentangan itu. Dengan kata lain,

masalahanya bukan sekedar karena kurangnya pengalaman sehingga dapat

ditingkatkan disana-sini, tapi karena tujuan yang ingin dicapai memang mustahil

untuk diraih. Namun pernyataan ini tidak berarti bahwa Islam harus dikeluarkan

dari perumusan kebijkan publik dan perundang-undangan atau dari kehidupan

publik pada umumnya. Sebaliknya negara tidak perlu berusaha menerapkan syariat

secara formal agar umat Islam benar-benar dapat menjalankan keyakian Islamnya

secara sungguh-sungguh, sebagai bagian dari kewajiban beragama bukan karena

paksaan negara.50

Umat Islam dimanapun berada, apakah itu sebagai mayoritas ataupun

minoritas, dituntut untuk menjalankan syariat Islam sebagai bagian dari kewajiban

agamanya. Tuntutan ini akan dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya manakala

negara bersikap netral terhadap semua doktrin keagamaan (netral for doktrin

religion) dan tidak berusaha menerapkan prinsip syariat Islam sebagai kebijakan

dan undang-undang negara, artinya masyarakat tidak dapat benar-benar

menjalankan agama sesuai dengan keyakinan dan pemahamannya tentang Islam,

apabila orang yang menggunakan kekuasaan negara memaksakan pemahaman

49

Abdullahi Ahmed An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, Tanpa Tahun

Terbit dan Penerbit, h. 7. 50

An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, h. 7.

Page 55: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

mereka tentang syariat Islam kepada masyarakat secara keseluruhan, baik Muslim

ataupun non-Muslim, tapi ini tidak berarti bahwa negara dapat atau harus

sepenuhnya bersikap netral karena ia merupakan lembaga politik yang sudah tentu

dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan warga negara.

An-Naim mengatakan bahwa syariat Islam hanya bisa dijalankan dengan

suka rela oleh penganutnya, sedangkan prinsip-prinsip syariat Islam akan

kehilangan otoritas dan nilai-nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara.

Dimana diperlukan sekularisme, yakni pemisahan antara Islam dan negara secara

kelembagaan sangat diperlukan agar syariat Islam bisa berperan positif dan

mencerahkan bagi kehidupan umat dan masyarakat Islam.51

Pemikir liberal kelahiran Mesir, Said Al-Asymawi turut berbicra dalam

permasalahan ini, ia mengatakan bahwa syariat Islam hanyalah metode, jalan atau

cara yang digunakan oleh agama tertentu untuk merealisasikan tujuan dan inti

agama yang dimaksud, sesuai dengan tempat agama itu dilahirkan dan disebarkan,

menurutnya tidak satupun agama yang bertujuan menjerumuskan pemeluknya

kedalam jurang kenistaan, tapi sebaliknya, agama mengarahkan pemeluknya ke

dunia yang lebih utama dengan tetap tidak mencerabut jiwa dari eksistensi dirinya

dan dunia yang melingkupnya. Dengan demikian, syariat Islam merupakan jalan

untuk mengantarkan umat ke arah perubahan yang lebih baik, utama dan maju.52

Syariat tidak lain hanyalah wadah yang menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia. Syariat Islam menghendaki hukum dan keputusan yang benar

jika hukum itu diletakkan dihadapan manusia, sebagai sebuah metode dan jalan

menuju kemajuan dan kemuliaan. Syariat bukan seperangkat aturan dan kaidah,

syariat juga bukan fiqih yang selama ini diyakini umat Islam. Hukum-hukum

51

An-Naim, The Future of Syari’a in The Muslim World, h. 3. 52

Muhammad Said Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah (Yogyakarta: LKIS, 2004), h. v.

Page 56: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

syariat mengikuti perkembangan realitas sosial, dan selalu melangkah dalam

perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang dasar-dasar syariat

dan membatasi objeknya dengan realitas sosial dalam membahas prinsip dasar

syariat harus menjadi tujuan utama ketika hendak menerapkan syariat Islam. Jika

tidak, maka ia hanya menjadi sekedar pembahasan teoritis dan penyelidikan logis

yang bertentangan dengan syariat agama dan inti Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, menurutnya dalam Islam tidak jarang menemukan orang-

orang salah paham dalam memaknai syariat, bisa jadi apa yang selama ini mereka

anggap syariat bukanlah syariat itu sendiri. Sebaliknya, apa yang selama ini tidak

bisa anggap syariat, justru merupakan inti syariat. Oleh karena itu, menangkap arti

hakiki syariat dalam konteks keberagamaan menjadi hal yang niscaya.53

53

Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, h. vi.

Page 57: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

BAB III

SEPUTAR JARINGAN ISLAM LIBERAL

Perkembangan awal ideologi liberal erat kaitannya dengan perkembangan

pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa pencerahan dan revolusi Perancis pada

tahun 1789.1 Istilah liberalisme adalah sebuah ideologi yang diterapkan pada

individu dan masyarakat yang mana setiap individu dapat mengejar dan

mewujudkan tujuan mereka. Prinsip liberal fundamental mengakui keunggulan

kebebasan sebagai nilai acuan politik, itu menegaskan bahwa kemerdekaan adalah

dasar semuanya. Sedikit pembatasan terhadap kebebasan bisa dibenarkan,

masalahnya, siapakah yang bisa dibenarkan untuk melakukan pembatasan itu.

Karena itu otoritas politik dan hukum bisa dibenarkan sepanjang dimaksudkan

untuk membatasi kebebasan warga negara. Kemerdekaan dimaksudkan untuk

kemajuan diri seperti seorang individu yang benar menentukan prilakunya sendiri.

Kebebasan (liberty) adalah kemerdekaan dalam konteks sosial dan kebebasan

individual dalam relasinya pada ranah sosial politik. Konsep kebebasan individual

adalah inti dari ideologi liberal.

Liberalisme yang dahulu berkembang di Eropa rupanya tidak dapat

dibendung. Cepat atau lambat gerakan ini telah merasuk keseluruh penjuru dunia.

Platfomnya adalah untuk membebaskan individu dan menjunjung tinggi hak asasi

manusia, semakin menjanjikan kehidupan manusia yang lebih selera. Liberalisme

yang mulanya berada ditatanan politik-ekonomi kini juga telah menginspirasi para

agamawan dan rohaniawan untuk menafsir ulang teks-teks agama, termasuk

kalangan Islam di Indonesia.

1 Carlton Clymer Roddee, (ed), Pengantar Ilmu Politik, Penerjemah Zulkifly Hamid

(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h. 132.

Page 58: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Lebih lanjut Leonard Binder mengatakan bahwa liberalisme adalah satu

faham yang berkembang di Eropa yang menjelaskan beberapa prinsip, yakni.

Pertama, prinsip kebebasan individu. Kedua, prinsip kontrak sosial. Ketiga, prinsip

masyarakat pasaran bebas. Keempat, prinsip meyakini wujudnya pluralitas sosial-

kultural dan politik masyarakat.2

Doktrin liberal berpangkal dari keyakinan bahwa kesepakatan demi

kebaikan bersama bagi kelompok bersejarah manapun bisa dicapai menggunkan

wacana rasional. Doktrin liberal mengasumsikan adanya komunitas politik

heterogen, keanggotaan yang tidak tetap dan peduli terhadap penetapan kebaikan

bersama bagi bermacam kelompok yang memiliki kepentingan dan jati diri masing-

masing. Penentuan kebaikan bersama untuk sebuah komunitas yang anggotanya

tidak banyak memiliki perbedaan mendasar adalah persoalan lain. Disamping itu,

jika komunitas politik diyakini bersifat lintas sejarah, maka doktrin liberal akan

menjadi semakin problematik.3

Konsep liberal menurut Charles Kurzman, memang terdengar seperti sebuah

kontradiksi dan perselisihan, Kurzman mencontohkan beberapa pandangan Barat

terhadap Islam melalui unsur-unsur yang eksotik, misalnya, Islam disamakan

dengan fanatisme (sebagaimana disebut dalam karya Voltaire: kekuasaan politik

Islam disamakan dengan kezhaliman). Montesquieu menyebut dalam farsenya

dengan kezaliman Timur.4

Konteks Islam liberal tegasnya lagi harus dilihat sebagai sebuah alat bantu

analisis, bukan katagori yang mutlak. Disinilah Kuzman mendefinisikan liberal

dengan pengertian yang agak longgar, yakni kelompok yang bersikap oposan

2 Leonard Binder, Islam liberal, Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2001), h. 3-6. 3 Binder, Islam liberal, h. 3-6.

4 Charles Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam Kontemporer tentang

Isu-isu Global, Terjemah Bahrul Ulum (Jakarta: Paramadina, 2001), h.xii.

Page 59: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

terhadap revivalis Islam. Sementara Islam dipahami dengan mereka yang

mempercayai bahwa Islam memiliki peranan penting dalam dunia kontemporer,

sebagi lawan dari kaum sekularis.5

Banyak orang berspekulasi tentang Islam liberal, menamakan istilah Islam

liberal dengan semaunya. Islam liberal seringkali mengandung konotasi negatif

dimana ia diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas,

kemunafikan yang mendewakan kebenaran dan permusuhan kepada Islam.6

Ada kesan yang tertanam dalam sebagian orang mengenai liberal dalam

Islam, liberal mempunyai makna kebebasan tanpa batas, atau bahkan disetarakan

dengan sikap primitif, ibbabiyah, sikap menolerir setiap hal tanpa mengenal batas

yang pasti. Dengan cara pandang semacam itu, Islam liberal dipandang sebagai

ancaman terhadap keberagaman yang sudah terlembaga.7

Sebuah buku yang sangat penting yang diterbitkan oleh Paramadina dan

Pustaka Antara dengan judul: Gagasan Islam Liberal di Indonesia penulis buku ini,

Greg Barton, meneliti khusus empat pemikir Neomodernisme di Indonesia bahkan

ada yang mengatakan bahwa tokoh-tokoh tersebut peletak dari Islam liberal

Indonesia, diantaranya adalah Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib

dan Abdurrahman Wahid, periode 1968-1980.

Istilah Islam liberal dapat digunakan lebih jauh, yaitu interpretasi Islam yang

paralel dengan prinsip modernitas dan demokrasi, kata ”interpretasi” sangat

ditekankan disini, karena Islam pun dalam kenyataannya dapat dan telah di

interpretasi oleh kelompok lain yang tidak sesuai dengan prinsip demokrasi.8 Istilah

5 Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xii.

6 Adian Husaini dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan dan

Jawabannya (Jakarta: Gema Insani Press, 2002),h. 2. 7 Abdul Moqsith Gazali, Ijtihad Islam Liberal (Jakarta: JIL, 2004), h.xvi.

8 Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik (Jakarta: Putra Bedikari Bangsa, 2000),

h.118.

Page 60: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Islam liberal pertama kali oleh Asaf Ali Asghar Fyzee, inti utama dari pemikiran

Islam liberal, menurut hasil penelitian Leonard Binder adalah, mesti Al-Qur’an itu

bahasa wahyu namun demikian makna dan esensi wahyu bukanlah hal yang bersifat

verbal, sehingga untuk mendapatkan makna wahyu tidak terbatas pada kata-kata

yang terungkap dalam Al-Qur’an dan untuk memahaminya melalui kata-kata, tetapi

penafsirannya dapat melampauinya, sehingga menemukan arti sebenarnya.9

Menurut Greg Barton Islam liberal adalah paham yang membuka wawasan

ijtihad dan kebebasan berfikir dalam Islam.10

Pengertian Islam liberal sebagaimana

yang dipakai Charles Kurzman dan Greg Barton tidaklah mesti mengacu kepada

istilah yang pernah disebut Leonard Binder sebelumnya. Islamic liberalism,

liberalisme Islam seperti yang diangkat pakar politik ini merupakan sebuah tema

yang menampilkan dialog yang terbuka antara dunia Islam dan Barat, antara

pemikiran Islam Arab dan Barat. Dalam konteks dialog tersebut, yang terjadi bukan

cuma upaya menarik akar-akar trend ”Liberalisme Islam” sampai ke dunia Barat,

tetapi lebih dari itu adalah adanya proses take and give yang saling mengisi dalam

menangani persoalan-persoalan dialektika hubungan antara problem kemodernan,

transformasi sosial dan tradisi lokal.11

Menurut Kurzman, pada umumnya membicarakan Islam liberal berarti

membandingkan dengan liberalisme Barat yang intinya pada daya kritisnya,

meskipun terdapat perbedaan diantara keduannya, karena liberal Islam masih

berpijak pada Al-Qur’an dan Hadis serta Sejarah Islam.12

9 Rudy Suharto, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Metode Ijtihad Islam Liberal

(Jakarta: Jurnal Al-Huds, 2002), h. 37. 10

Greg Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia (Jakarta: Pustaka Antara Paramadina,

1999), h. 21. 11

Barton, Gagasan Islam Liberal Indonesia, h. 21. 12

Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xxxiii

Page 61: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Lebih jauh Kurzman mengatakan bahwa Islam liberal dapat terbagi menjadi

tiga tipologi, yaitu. Bentuk liberal sharia, silent sharia dan interpreted sharia.

Tipologi pertama melihat Al-Qur’an dan praktik umat Islam awal sebagai sumber

ajaran yang memiliki posisi liberal. Dengan demikian, sumber ajaran itu akan

mengalami kontekstualisasi yang tidak pernah diam. Pendapat yang kedua

mengatakan bahwa syariat tidak membicarakan semua permaslahan. Ada sebuah

persoalan tertentu yang tidak disentuhnya. Kenyataan ini bisa karena wahyu tidak

lengkap namun karena hal itu diserahkan kepada usaha penemuan manusia yang

dapat dan keliru. Kerena itu pluralitas merupakan kemestian.13

A. Latar Belakang Berdirinya Jaringan Islam Liberal

Islam liberal menurut Charles Kurzman muncul sekitar abad ke-18 ketika

kerajaan Turki Utsmaniyah Dinasti Shafawi dan dinasti Mughal (India) berada

diambang keruntuhan. Pada saat itu tampilah para ulama untuk mengadakan

gerakan pemurnian, yaitu, kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah.

Faham liberal banyak berkembang di penjuru dunia, mulai dari India sampai

dengan Indonesia, faham liberal di India diawali dengan seorang tokoh keagamaan

yang bernama Syah Waliullah pada tahun 1703-1762, menurutnya Islam harus

mengikuti adat lokal suatu tempat sesuai dengan keperluan penduduknya. Ide

liberalisme juga mewarnai kahidupan Timur Tengah, Eropa dan sebaginya, para

liberalis mencoba memasukan mata pelajaran sekuler kedalam kurikulum

pendidikan Islam.14

Di Mesir munculah Qasim Amin (1865-1908) ia adalah pemikir pembaharu

dan peletak emansipasi wanita, penulis buku Tahrir Al-Mar’ah (Emansipasi

13

Kurzman, (ed), Wacana Islam Liberal, h. xxxiii 14

Luthfi Assyaukanie “Sejarah Liberalisasi Islam,” Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.

Page 62: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Wanita), yang mencoba mengangkat citra kaum perempuan ke level yang lebih

tinggi dan sederajat dengan kaum laki-laki. Kemudian muncul Ali Abdul Ar-Raziq

(1888-1966), yang gencar menentang sistem khilafah, karena menurutnya Islam

tidak memiliki dimensi politik, karenanya Muhammad hanyalah pemimpin agama

bukan negarawan.

Di teruskan di Pakistan, seorang pemikir yang menetap di Amerika dan

menjadi pengarah di Universitas Chicago. Pemikir tersebut bernama Fazrul

Rahman, Rahman lahir pada tahun 1914, ia mempelopori tafsir konstektual, satu-

satunya model tafsir yang adil dan terbaik menurutnya. Dia mengatakan Al-Qur’an

itu mengandung dua aspek, yaitu peraturan spesifik dan idea moral dan dituju oleh

Al-Qur’an adalah idea moralnya.15

Keterangan di atas hanya sedikit keterangan tentang munculnya Islam

liberal, disamping itu banyak pula yang terdapat di negara-negara lain, yang

mencoba mengangkat permaslahan Islam itu sendiri dengan bersandingan dengan

faham liberalisme.

Di Indonesia, istilah Islam liberal telah menunjukkan popularitasnya sejak

1970-an, hampir bersamaan dengan menguatnya posisi Islam revivalis.16

Wacana

Islam liberal mulai populer dan berkembang sejak 1970-an dengan tokoh utama

seperti Nurcholish Madjid, meski Nurcholish Madjid sendiri tidak pernah

menggunakan istilah Islam liberal untuk gagasan dan pemikirannya.17 Cak Nur

telah memulai gagasan sejak 1970-an. Pada saat itu dia telah menyuarakan

pluralisme agama dengan mengatakan: ”Rasanya toleransi agama hanya akan

timbul diatas dasar faham kenisbian (relativisme) bentuk-bentuk formal agama ini

15

Kurzman, Wacana Islam Liberal, h. 18. 16

Kurzman, Wacana Islam Liberal h. xvviii. 17

Adian Husaini dan Nu’im Hidayat, Islam Liberal, h.2.

Page 63: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

dan pengakuan bersama akan kemutlakan suatu nilai yang universal yang mengarah

kepada setiap manusia yang kiranya merupakan inti setiap agama.18

Salah satu aktivis JIL, Novriantoni mengatakan bahwa, keberadaan JIL

untuk menindaklanjuti proyek pembaharuan Islam yang sudah ada. Novi juga tidak

menampik keberadaan sosok Cak Nur yang turut menginspirasi JIL. Menurutnya,

ketika zaman Cak Nur perspektif tentang Islam itu inklusif, kini JIL agak sedikit

melangkah kedepan, sedikit lebih kritis. Selain Cak Nur, beberapa tokoh yang turut

menginspirasi JIL adalah Abdurrahman Wahid, Munawir Sjadzali maupun Harun

Nasution.

Setelah Cak Nur meluncurkan gagasannya apada era 1970-an, kini giliran

generasi yang lebih muda seperti, Ulil Abshar Abdalla, Lutfhi Assaukanie dan

Ahmad Sahal melakukan langkah-langkah yang sistematis dan terorganisir dalam

mengusung gagasannya. Kelompok ini menamakan dirinya dengan ”Jaringan Islam

Liberal yang biasa disebut dengan JIL”. Jaringan Islam Liberal yang mereka singkat

dengan JIL ini mulai menancapkan dirinya pada bulan Maret 2001, kegiatan awal

dilakukan melalui forum diskusi dunia maya (milis) yang tergabung dalam

[email protected], selain menyebarkan gagasan-gagasannya lewat

website dengan alamatnya www.islamlib.com.19

Islam dan liberal adalah dua istilah yang mempunyai makna yang berbeda,

adapun dua istilah ini adalah sesuatu yang antagonis, yaitu saling bertentangan dan

berlawanan. Islam liberal menggambarkan prinsip yang mereka anut, yaitu yang

menekankan kebebasan pribadi dan pembebasan dari struktur sosial-politik yang

menindas. Liberal disini bermakna dua yakni, kebebasan dan pembebasan, mereka

18

Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan, 1992), h.

239. 19

Ahmad Suhelmi, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir (Jakarta: Teraju, 2002),

h. 185.

Page 64: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

percaya bahwa Islam selalu dilekati dengan kata sifat tersebut, sebab pada

kenyataannya Islam ditafsirkan secara berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan

penafsirannya, mereka memilih satu jenis tafsir dan dengan demikian satu kata sifat

terhadap Islam, yaitu ”liberal” untuk mewujudkan Islam liberal, mereka membentuk

Jaringan Islam Liberal (JIL).

Gagasan Jaringan Islam Liberal, dibicarakan pertama kali di Utan Kayu,

tahun 2001, pada waktu itu beberapa intelektual muda antara lain, Ulil Abshar

Abdalla, Lutfhi Assyaukanie, Gunawan Muhammad dan lain-lain, berkumpul untuk

membentuk Jaringan Islam Liberal.

JIL yang merupakan forum intelektual terbuka dan menyebarkan faham

liberalisme Islam Indonesia ini awalnya sebatas komunitas diskusi beberapa

intelektual muda muslim di ISAI (Insitut Studi Arus Informasi), namun kemudian

berkembang menjadi forum diskusi via internet.

Jaringan Islam Liberal (JIL) terbentuk pada tanggal 9 Maret 2001. Tanggal

tersebut merujuk pada awal diluncurkannya milis [email protected]

yang awalnya beranggotakan puluhan aktivis-intelektual muda dari berbagai

kelompok Muslim moderat. Sejak awal, JIL di desain sebagai forum bersama kaum

Muslim moderat untuk menyaringkan aspirasi dan opini mereka tentang persoalan-

persoalan sosial-keagamaan dalam perspektif demokrasi dan pluralisme. Disebut

menyaringkan, karena suara Muslim moderat yang diyakini sebagai mayoritas

secara statistik di Indonesia, selama ini cenderung “diam” (silent majority).

Sementara kalangan hardliners, meskipun minoritas tapi vokal (vocal minority).

Pengelolaan JIL dikomandani oleh beberapa pemikir muda, antara lain, Ulil

Abshar Abdalla (Lakpesdam NU), Luthfi Assyaukanie (Dosen Paramadina Mulya)

dan Ahmad Sahal (Jurnal Kalam). Markas JIL yang berpusat di Jl. Utan Kayu No.

Page 65: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

68H Jakarta Timur, markas tersebut sering diramaikan dengan diskusi atau

kongkow-kongkow para aktivis muda dari berbagai kalangan.

Jaringan Islam Liberal dengan slogan menuju Islam yang membebaskan,

bertujuan untuk memperkokoh landasan demokratisasi melalui penanaman nilai-

nilai pluralisme, inklusivisme dan humanisme, membangun kehidupan

keberagamaan yang berdasarkan pada penghormatan terhadap perbedaan,

mendukung gagasan penyebaran pemahaman keagamaan (terutama Islam) yang

pluralis, terbuka dan humanis, mencegah agar gagasan yang militan dan pro

kekerasan menguasai publik.

JIL adalah sebuah fenomena menarik di Indonesia, karena dianggap

mendobrak kemapanan dan kejumudan berfikir. Hal ini bisa dimengerti karena rata-

rata aktivis JIL memiliki latar belakang Islam tradisional, yang berorientasi masalah

ubudiyah dan tradisi yang dogmatis, yang praktis harus diikuti tanpa diskusi,

padahal aturan-aturan itu sering tidak relevan dengan pembebasan umat Islam dari

kemiskinan, kebodohan ataupun penindasan.20

Disamping aktif dalam berkampanye lewat internet dan radio, sejumlah

aktivis Islam liberal juga menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar, yang dikomadani

oleh Ulil, jurnal yang terbit empat bulan sekali ini resmi dibawahi oleh Lakpesdam

NU (Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM) bekerja sama dengan The Asia

Fundation.

Islam Liberal adalah suatu bentuk penafsiran tertentu atas Islam dengan

beberapa landasan diantarannya adalah:21 Pertama, membuka pintu ijtihad pada

semua dimensi Islam, mereka percaya bahwa ijtihad adalah prinsip utama untuk

20Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-

jil/html

21

Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www. islamlib.com/id/halaman/tentang-

jil/html

Page 66: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

menafsirkan segala sesuatu. Penutupan pintu ijtihad, baik secara terbatas atau

keseluruhan, adalah ancaman atas Islam itu sendiri, sebab dengan demikian Islam

akan mengalami pembusukan. Islam liberal percaya bahwa ijtihad bisa

diselenggarakan dalam semua segi, baik segi muamalat (interaksi sosial), ubudiyat

(ritual) dan ilahiyyat (teologi).

Kedua, mengutamakan semangat religio etik, bukan makna literal teks,

mereka tidak menafsirkan sesuatu tanpa lewat sumber hukum Islam yakni, Al-

Qur’an dan Hadis, bukan menafsirkan Islam semata-mata berdasarkan makna literal

sebuah teks. Penafsiran yang literal hanya akan melumpuhkan Islam.

Ketiga, mempercayai kebenaran yang relatif, terbuka dan plural, mereka

mendasarkan diri pada gagasan tentang kebenaran (dalam penafsiran keagamaan)

sebagai suatu yang relatif, sebab sebuah penafsiran adalah kegiatan manusiawi yang

mungkin dapat memperoleh kebenaran dan kemungkinan kesalahan.

Keempat, memihak pada yang minoritas dan tertindas, mereka berpijak pada

penafsiran Islam yang memihak kepada kaum minoritas yang tertindas dan

dipinggirkan. Setiap struktur sosial-politik yang memperlakukan praktik

ketidakadilan atas yang minoritas adalah berlawanan dengan semangat Islam.

Minoritas disini mencakup minoritas agama, etik, ras, jender, budaya, politik dan

ekonomi.

Kelima, kebebasan beragama, mereka menyakini bahwa urusan beragama

dan tidak beragama adalah hak perorangan yang harus dihargai dan dilindungi.

Mereka tidak membenarkan penganiayaan (persekusi) atas dasar suatu pendapat

atau kepercayaan.

Keenam, memisahkan otoritas duniawi dan ukhrawi, otoritas keagamaan dan

politik, mereka yakin bahwa kekuasaan keagamaan dan politik harus dipisahkan.

Page 67: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Mereka menentang negara agama (teokrasi). Mereka yakin bentuk negara yang

sehat bagi kehidupan agama dan politik adalah negara yang memisahkan kedua

wewenang tersebut. Agama adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi

kebijakan publik, tetapi agama tidak punya hak suci untuk menentukan segala

bentuk kebijakan publik. Agama berada di ruang privat dan urusan publik harus

diselenggarakan melalui proses konsensus.

B. Visi, Misi dan Tujuan Berdirinya Jaringan Islam Liberal

Layaknya sebuah organisasi keagamaan atau non keagamaan pasti

mempunyai visi, misi serta tujuan mengapa organisasi tersebut berdiri. Salah satu

pembahasan skripsi ini mengenai visi, misi serta tujuan berdirinya JIL. Kita

mengetahui bahwa JIL adalah sebuah jaringan yang tidak akan bisa dipahami hanya

dengan pendekatan wacana pemikiran keagamaan an sich, yang steril dan vakum

dari berbagai pertimbangan lain. Sebab eksistensi JIL sebenarnya tidak lepas dari

konteks-konteks ideologi, politik, sosiologis dan historis yang melingkupnya. Untuk

itu dirasa perlu penulis menyampaikan visi, misi serta tujuan Jaringan Islam

Liberal.

Visi JIL dirumuskan dalam beberapa hal, diantaranya. Pertama,

memperkokoh landasan demokrasi melalui penanaman nilai pluralisme,

inklusivisme dan humanisme. Kedua, membangun kehidupan keagamaan yang

berdasarkan pada penghormatan atas perbedaan.22

Adapun misi JIL sebagaimana termaktub dalam websitenya sebagai

berikut:23 Pertama, mengembangkan penafsiran Islam yaang liberal sesuai dengan

prinsip-prinsip yang mereka anut serta menyebarkannya kepada seluas mungkin

22

Luthfi Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal,” Artikel

diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 23

Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal.

Page 68: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

masyarakat. Kedua, mengusahakan terbentuknya ruang dialog yang bebas dari

tekanan konservatisme, mereka menyakini bahwa, terbentuknya ruang dialog akan

memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang sehat. Ketiga, mengupayakan

terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.

Sedangkan tujuan dari JIL adalah menyebarkan gagasan-gagasan Islam

liberal seluas-luasnya kepada masyarakat, baik yang diterima atau tidak diterima

oleh khayalak masyarakat Indonesia khususnya, maupun mancanegara umumnya.

Adapun tujuan khususnya adalah:24

.

Pertama, menciptakan intellectual discourses tentang isu-isu keagamaan

yang pluralis dan demokratis serta berperspektif gender di kampus-kampus, media-

massa cetak maupun elektronik dengan tujuan yang lebih spesifik, yakni, memberi

pandangan alternatif bagi umat tentang isu-isu sosial keagamaan, sehingga tidak

dimonopoli oleh satu penafsiran yang anti-demokrasi dan anti-pluralisme serta

misoginis. Mengajak publik untuk berpikir kritis, argumentatif, berpikir kontekstual

dan tidak terjebak pada nilai-nilai yang dogmatis.

Kedua, membentuk intellectual community yang bersifat organik dan

responsif serta berkemauan keras untuk memperjuangkan nilai-nilai keagamaan

yang suportif terhadap pemantapan konsolidasi demokrasi di Indonesia

Memperbanyak jaringan kampus untuk bersama-sama memperjuangkan wacana

Islam dan demokrasi.

Ketiga, menggulirkan intellectual networking yang secara aktif melibatkan

jaringan kampus, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, akademisi

dan civitas academica di perguruan tinggi, dan lain-lain untuk menolak fasisme atas

nama agama. Mengaktifkan jaringan-jaringan kampus, mengajak LSM, media

24

Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran

Islam di Indonesia (Jakarta: Litbang. Dep. Agama, 2005), h. 7.

Page 69: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

masa, intelektual dan para akademisi untuk bersama-sama memperjuangkan isu

kebebasan sipil, sosial-keagamaan sebagai prioritas pemantapan demokraasi.

Mengingat kompleksitas permasalahan dan luasnya cakupan, adalah sebuah

keniscayaan bagi JIL untuk membangun networking dan kemitraan strategis dengan

media massa, LSM, akademisi, dan tidak menutup kemungkinan dengan parlemen

dan pemerintah. Namun, JIL sendiri harus realistik untuk menetapkan area of

concern pada wilayah publik, meski tidak menutup pintu untuk menjalin aliansi

strategis dengan LSM-LSM yang sudah bergerak pada level parlemen dan

pemerintahan.

C. Perkembangan dan Kegiatan Pokok Jaringan Islam Liberal

Perkembangan JIL untuk saat ini masih melalui forum diskusi dalam

kampus, UIN adalah salah satu kampus yang sering kedatangan aktivis JIL untuk

mengadakan diskusi mengenai keagamaan dan politik nasional dan internasional,

tapi keberadaan aktivis JIL yang menempuh studi di luar negeri adalah salah satu

penghambat bagi JIL itu sendiri diantaranya adalah, Ulil Abshar Abdalla yang studi

di AS, Nong Darul Mahmada yang studi di Australia, Lutfhi Assyaukanie yang

studi di Singapura, Anick yang studi di India serta Burhanuddin yang belum lama

ini sudah kembali ke Tanah Air setelah studi di Australia dan Ahmad Wahib yang

studi di Amerika Serikat.

Ditambah lagi dengan melemahnya dukungan dana dari Asia Fundation

yang merupakan penyokong dana terbesar bagi JIL, lembaga tersebut sekarang

tidak lagi memberikan sumbangan. JIL sendiri tidak menjelaskan berapa dana yang

diberikan oleh The Asia Foundation. Mungkin ini adalah salah satu penghambat

Page 70: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

bagi perkembangan JIL itu sendiri untuk memperluas kader-kader atau menambah

aktivis-aktivis JIL yang lain.

Sementara kegiatan yang sampai saat ini berkembang dan terus-menerus

disampaikan oleh JIL adalah sebagai berikut:25

Pertama, sindikasi penulis Islam liberal. Maksudnya adalah mengumpulkan

tulisan sejumlah penulis yang selama ini dikenal atau belum dikenal oleh publik

luas sebagai pembela pluralisme dan inklusivisme.

Kedua, mengadakan talk-show di Kantor Berita Radio 68H. talk-show ini

akan mengundang sejumlah tokoh yang selama ini dikenal sebagai “pendekar

pluralisme dan inklusivisme” untuk berbicara tentang berbagai isu sosial-

keagamaan di Tanah Air. Acara ini akan diselenggarakan setiap minggu dan

disiarkan melalui jaringan Radio namlapanha di 40 Radio, antara lain: Radio

namlapanha Jakarta, Radio Smart Manado, Radio DMS Maluku, Radio Unisi

Yogyakarta, Radio PTPN Solo, Radio Mara Bandung dan Radio Prima Aceh.

Ketiga, penerbitan buku. JIL berupaya menghadirkan buku-buku yang

bertemakan pluralisme dan inklusivisme agama, baik berupa terjemahan, kumpulan

tulisan maupun penerbitan ulang buku-buku lama yang masih relevan dengan tema-

tema tersebut. Saat ini JIL sudah menerbitkan buku kumpulan artikel, wawancara

dan diskusi yang diselenggarakan oleh JIL.

Keempat, mereka menerbitkan buku setebal 50-100 halaman, buku tersebut

membahas masalah isu yang menjadi perdebatan dalam masyarakat antara lain

antara lain, jihad, penerapan syariat Islam liberalisme, sekularisme, HAM, jilbab

dan lain-lain.

25

Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September

2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam.

Page 71: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Kelima, website Islamlib.com. Program ini berawal dari dibukanya milis

Islam liberal ([email protected]) yang mendapat respon positif..

Keenam, iklan layanan masyarakat. mereka membuat iklan layanan

masyarakat (public service advertisment), dengan tema seputar, pluralisme,

penghargaan atas perbedaan dan pencegahan konflik sosial.

Ketujuh, diskusi keagamaan. Mereka bekerjasama dengan pihak luar

(Universitas, LSM, kelompok mahasiswa, pesantren dan pihak-pihak lain), JIL

menyelenggarakan sejumlah diskusi dan seminar mengenai tema-tema keagamaan

dan keislaman secara umum. Termasuk dalam kegiatan ini adalah diskusi keliling

yang diadakan melalui kerjasama dengan kelompok-kelompok mahasiswa di

sejumlah Universitas, seperti Universitas Indonesia Jakarta, Universitas Islam

Negeri (UIN), Universitas Diponegoro Semarang, Insitut Pertanian Bogor, dan lain-

lain.

Lebih lanjut Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin mengatakan bahwa

ada beberapa agenda dan kegiatan yang selama ini sudah berjalan antara lain:26

Pada 2001, mereka menggunakan beberapa medium untuk mensosialisasikan

tafsir-tafsir yang suportif terhadap isu-isu kebebasan sipil itu, yakni. Pertama,

mailing list [email protected] yang hingga saat ini telah tercatat

sekitar ratusan anggota. Kedua Jaringan radio, yang awalnya hanya berangotakan

10 radio yang secara reguler menyiarkan rubrik “Agama dan Toleransi”. Ketiga,

sindikasi koran daerah melalui jaringan Jawa Pos di seluruh Indonesia yang hingga

saat ini masih melampirkan satu halaman penuh tiap minggu buat rubrik yang

mereka kelola. Keempat, memproduksi dan mengelola website

26

Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal,h. 1-3.

Page 72: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

http://www.islamlib.com. Kelima, mengadakan diskusi keislaman di Teater Utan

Kayu secara rutin pada setiap bulannya.

Adapun agenda kerja pada 2002, mereka berusaha memperluas wilayah

jangkauan media, baik radio, sindikasi media maupun iklan layanan masyarakat di

TV-TV. Jadi empat medium sosialisasi pada 2001 keberadaan JIL di atas tetap

dilanjutkan dengan fokus dan sasaran lebih luas, sehingga gagasan-gagasan JIL

tidak bersifat elitis dan bisa diterima lebih luas di lapisan masyarakat.

Pada 2002 ini juga, jaringan radio yang dimiliki JIL sekitar 50 radio di

seluruh Indonesia yang merelai talkshow mingguan tentang isu-isu terkait dengan

para narasumber yang kredibel. Selain itu, mereka berusaha meng-up date secara

reguler tampilan dan contents website http://www.islamlib.com.

Pada tahun kedua ini pula, mereka mulai menerbitkan artikel, wawancara,

diskusi dan milis ke dalam penerbitan buku (“Wajah Liberal islam Indonesia”). JIL

juga menerbitkan booklet dari naskah-naskah berkualitas, baik dari intelektual tanah

air seperti Prof. Dr. Nasaruddin Umar lewat buku “Qur’an untuk Perempuan” atau

terjemahan buku karya Muhammad Said al-Asymawi tentang hijab. Di 2002 ini JIL

sudah mulai merambah dunia kampus, dengan mengadakan diskusi-diskusi secara

langsung di kampus-kampus umum. Pelaksanaan diskusi di kampus sekuler

merupakan masukan dari peserta workshop jaringan JIL di kampus-kampus yang

merasa gerah dengan fenomena revivalisme keagamaan yang cenderung literal dan

fundamentalistik. Melaksanakan workshop bagi para penulis dan kontributor JIL

juga digelar pada 2002 ini. Tak terkecuali penayangan iklan layanan masyarakat di

stasiun-stasiun televisi. Sudah dua tema yang mereka tayangkan, yakni tema

keberagaman intra-Islam dan pluralisme beragama. Salah satu iklan layanan

masyarakat tersebut (iklan Islam Warna-warni) menjadi kontroversi dan sekaligus

Page 73: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

menjadi bahan baku penulisan skripsi, tesis dan disertasi dari aspek semiotik

sebagaimana yang sudah tercantum dalam agenda di atas.

Pada 2003 JIL, mereka tetap melanjutkan kegiatan-kegiatan reguler di atas.

Ada beberapa tambahan agenda kegiatan seperti menggelar workshop bersama

Abdullah Ahmed An-Naim dan Nasr Hamid Abu Zayd. Yang pertama bahkan telah

dibukukan sebagai kompilasi dari hasil workshop yang menggairahkan. Pada 2003

ini, JIL melakukan pembenahan dan perluasan agenda kerja sebagai berikut:

Pertama, untuk sindikasi media berhasil dikembangkan tidak hanya dengan

memanfaatkan jaringan Jawa Pos, tapi juga dengan jaringan Kompas, Media

Indonesia, Pikiran Rakyat dan Suara Merdeka. Hanya saja, perluasan sindikasi

tersebut tidak sampai pada tahap pemuatan secara reguler.

Kedua, untuk program radio, berhasil diadakan survei pendengar untuk

acara talk show “Agama dan Toleransi” yang sesuai dengan hasil yang didapat yang

kemudian dimuat oleh majalah Time, terdapat lima juta pendengar acara talkshow.

Ketiga, untuk jaringan kampus yang awalnya hanya dikonsentrasikan di

kampus-kampus di wilayah Jakarta, Depok, Bogor, Ciputat dan Bandung, pada

2003 ini berhasil diluaskan ke seluruh kampus di Jawa.

Keempat, JIL juga mulai meluaskan kapling garapan dengan menyentuh isu-

isu kebebasan politik (political rights). mereka menyadari bahwa isu-isu kebebasan

sipil tak mungkin terselenggara dengan baik di tengah iklim politik otokrasi. Hal

inilah yang menjadi raison d’etre keterlibatan dalam Jaringan Pendidikan Pemilih

untuk Rakyat (JPPR)-The Asia Foundation.

Adapun keterlibatan JIL dalam pendidikan pemilih (voters education)

melalui JPPR diaplikasikan dalam dua kegiatan utama, yakni, pembuatan dan

penayangan iklan melalui televisi. JIL menggarap tiga iklan dengan tema besar,

Page 74: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

antara lain: Menolak politisasi agama, toleransi politik, pilihan politik atas dasar

program dan platform. JIL juga telah merilis program sindikasi penyadaran hak-hak

politik melalui di Jawa Pos dan Media Indonesia. Di kedua media besar di tanah air

ini, sindikasi pemilu yang digalang JIL mempublikasikan artikel-artikel yang

mencerahkan dua artikel setiap minggunya.

Dalam tulisan yang berjudul ”Empat Agenda Islam Yang Membebaskan”,

Lutfhi Assyaukanie salah seorang pelopor JIL yang juga Dosen di Universitas

Paramadina memperkenalkan empat agenda atau kegiatan Islam liberal, yaitu.

Pertama, agenda politik. Maksudnya urusan negara adalah urusan dunia, sistem

kerajaan dan demokrasi. Kedua, mengangkat kehidupan antara agama. Menurutnya

perlu dipraktikkan teologi pluralisme karena semakin majemuknya kehidupan

bermasyarakat di negara Islam. Ketiga, emansipasi wanita. Keempat, kebebasan

berependapat.

Page 75: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

BAB IV

TELAAH TERHADAP ISU WACANA

PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

A. Islam dan Sekularisme (Negara Sekuler)

Islam dan sekularisme adalah sebuah istilah yang sangat berbeda,

sekularisme bagi kebanyakan orang selalu dikaitkan dengan permasalahan negara.

Terminologi Islam dan sekularisme sering menjadi perdebatan panjang dalam dunia

keislaman. Dalam konteks agama dan negara, banyak kalangan pemikir yang

merujuk kepada sekularisme untuk mengartikan masalah dalam agama, negara dan

masyarakat, banyak para pemikir Islam yang menolak secara tegas tentang

sekularisme, dengan alasan ideologi tersebut yang membuang Islam dari

permasalahan negara.

Dalam musyawarah nasionalnya tanggal 26-29 Juli 2005, MUI (Majelis

Ulama Indonesia) telah mengeluarkan fatwa diantaranya adalah pernyataan bahwa

sekularisme, pluralisme dan liberalisme dalam pemikiran keagamaan tidak sesuai

dengan ajaran Islam dan karena itu diharamkan untuk mengikutinya1. Setelah fatwa

haram tersebut terdengar beberapa intelektual Muslim merasa gerah atas fatwa

haram tesebut, banyak pula dari intelektual tersebut menjawab fatwa tersebut

melalui wacana dan dialog.

Sekularisme telah banyak digunakan oleh beberapa negara Islam dan no-

Islam, sekularisme diartikan sebagai suatu kebijakan yang memisahkan agama dari

negara, faham ini yang kebanyakan diadopsi oleh kebanyakan negara Kristen Eropa

dan Barat

1 M. Dawam Raharjo, “Liberalisme, Sekularisme dan Pluralisme”, Artikel Diakses Tanggal

17 April 2009, dari http//www.ircp.online.org?.

Page 76: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Sebuah negara demokrasi yang baik hanya bisa berjalan jika ia mampu

menerapkan prinsip-prinsip sekularisme yang benar. Sebaliknya, demokrasi yang

gagal dan buruk adalah demokrasi yang tidak menjalankan prinsip-prinsip

sekularisme yang benar, atau menerapkan Islam dalam konteks negara, seperti

Turki, Mesir dan Irak, adalah contoh negara yang berusaha mengadopsi

sekularisme, tapi menerapkannya salah. Kesalahan dalam mempersepsi dan

menerapkan konsep ini berakibat fatal, karena bukan saja gagal dalam mewujudkan

sistem politik yang demokratis, tapi juga mencemari konsep sekularisme yang

luhur.2

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa penolakan sebagai kaum Muslim

terhadap sekularisme selama ini karena mereka merujuk kepada pengalaman

negara-negara yang gagal dalam menerapkan prinsip ini. Seperti yang disebut

diatas. Sekularisme Turki, misalnya diidentikan dengan serial pelanggaran terhadap

atribut-atribut dan praktik-praktik keagamaan, sekularisme berarti pelanggaran

jilbab, penutupan institusi pengajaran Al-Qur’an dan penangkapan aktivis Islam.

Selama ini sebagian masyarakat Muslim mencurigai dan sangat takut

dengan istilah sekularisme yang dimengerti sebagai pemisahan agama (Islam) dan

politik, atau lebih luas lagi, antara agama (Islam) dan kehidupan publik. Sebagian

Muslim memandang pemisahan tersebut sebagai pemisahan yang menempatkan

Islam jauh dari campur tangan negara. Sikap sebagian Muslim takut akan larangan-

larangan sekularisme seperti pelanggaran jilbab, menikah beda agama, dan lain-

lain.

Dalam websitnya JIL mengatakan bahwa kekuasaan agama dan politik harus

dipisahkan. Mereka menentang negara agama (teokrasi) atau sistem pemerintahan

2 Lutfhi Assyaukanie, “Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009 dari

http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//.

Page 77: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Islam, mereka meyakini bahwa bentuk negara yang sehat bagi kehidupan agama

dan politik adalah negara yang memisahkan kedua wewenang tersebut. Agama

adalah sumber inspirasi yang dapat mempengaruhi kebijakan publik, tetapi agama

tidak mempunyai hak suci untuk menentukan segala bentuk kebijakan publik.

Agama berada diruang privat dan unsur publik harus diselenggarakan melalui

proses konsensus.

Mengamati berbagai persoalan yang berkembang khususnya dalam bidang

politik Islam, dan jika kita mau merenung lebih mendalam, jelas tergambar bahwa

sebuah pemahaman yang benar, evaluatif, kritis dan rasional. Ulil Mengatakan

bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan porsi politik dalam Islam

sangatlah kecil, itupun berkaitan langsung dengan kepentingan banyak orang yang

berarti kepentingan rakyat kecil, bukan pada tatanan model-model politik.3

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa politik dan negara adalah sesuatu yang

terpisah, dan mempunyai bagian masing-masing Dan sesungguhnya pembentukan

pemerintahan dan kenegaraan adalah atas dasar manfa’at-manfa’at amaliah, bukan

atas dasar sesuatu yang lain. Jadi, pembentukan negara modern didasarkan pada

kepentingan-kepentingan praktis, bukan atas dasar agama.4

Al-Qur’an sendiri di dalamnya tidak membahas persoalan negara, Al-Qur’an

tidak menyuruh untuk mendirikan negara yang berdasarkan Islam, tapi hanya

memerintahkan untuk menegakkan keadilan, kebajikan, membantu kaum lemah dan

melarang melakukan perbuatan yang tidak senonoh, tercela serta durhaka. Al-

Qur’an hanya meletakkan garis besar pada kaum Muslimin, kemudian memberikan

kebebasan untuk memikirkan hal-hal yang diinginkan dengan ketentuan tidak

sampai melanggar basis-basis yang telah di tetapkan.

3 Ulil Abshar Abdalla, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos, 1 Juni 2003.

4 Abdalla, ”Politik Dalam Islam”.

Page 78: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Aktivis JIL Novriantoni, kerap mengkritisi peran ulama, yang baginya

cenderung berubah menjadi qodoh (hakim) ketimbang berperan sebagai dai.

Menurutnya ulama itu seharusnya berposisi sebagai dai bukam sebagai hakim. Ia

mengutip pendapat tokoh Ikhwanul Muslimin Makmun Hudaibi, yang mengatakan

nahnu du’ad wa lasna qodoh (kita adalah dai bukan hakim).5

Karena itulah perlunya sekularisme, pemisahan antara wewenang agama dan

negara, negara teokrasi itu adalah negara-negara yang membawa bencana lebih

besar dari pada negara sekular, ia mengatakan bahwa, khilafah adalah utopia yang

harus mulai ditinggalkan oleh umat Islam.6

JIL dikenal sebagai jaringan dan paham yang mengusung sekularisme,

FUUI (Forum Ulama Umat Islam) dibawah pimpinan KH. Atian Ali Da’i telah

mengeluarkan semacam fatwa hukuman mati terhadap Ulil Abshar Abdalla dkk,

dan MUI (Majelis Ulama Indonesia) sebagaimana yang penulis uangkapkan di awal

telah mengeluarkan fatwa tentang kesesatan JIL, tentang ide-idenya, sebagaimana

kesesatan Ahmadiyah dan LDII.

Ulil menilai definisi MUI dan FUUI tentang sekularisme terlalu sederhana,

memaknai sekularisme sebagai memisahkan urusan dunia dari agama (Islam).

Menurutnya sekularisme adalah memisahkan kekuasaan kaum agama (Islam) dan

kekuasaan negara. Negara sekular artinya negara yang tidak dikuasai ulama seperti

Iran yang mengenal konsep wilayatul faqih (kekuasaan kaum ulama), sekularisme

tidak menghalangi dan memusuhi peran agama dalam rung publik.7

5 Hasil Wawancara antara Suparni Surjono, mantan duta besar RI di Suriname dengan

Novriantoni tentang Islam dan Sekularisme, artikel diakses tanggal I September 2008, dari

http//www.islamlib.com//. 6 Hasil Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan

Sekularisme dari http//www.islamlib.com//. 7 Hasil wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang sekularisme

dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September 2008, dari http//www.islamlib.com

Page 79: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Burhanuddin, mantan Presiden Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

ia juga mantan aktivis JIL mengatakan Islam dan sekularisme merupakan sesuatu

yang berbeda, menurutnya terlalu dini untuk mengadopsi Islam dalam konteks

negara, tidak mungkin Islam disatukan dalam permasalahan negara, bukan berarti

Islam tidak secara penuh diletakkan di ruang publik, tapi Islam pun layak ambil

peran dalam persamalahan negara jika dibutuhkan.8

Para intelektual kelompok liberal seperti, Ulil abshar Abdalla, Lufhi

Assyaukanie, Saiful Mujani dan Hamid Basyaib, menampilkan antitesis dari

kelompok Harakah Islamis (yang ingin menerapkan syariat Islam), sekularisme

dipandang sebagi satu-satunya juru selamat. Mereka menentang setiap bentuk Islam

politik yang hendak menerapkan sistem nilai dan simbol-simbol Islam di bidang

politik, mereka juga menolak gagasan negara Islam serta formalisasi syariat.

Mereka menganggap bahwa sekularisasi (diartikan sebagai pemisahan agama dan

negara) adalah pilihan terbaik kaum Muslim untuk menghadapi tantangan

modernitas. Lebih jauh mereka menganjurkan agar agama ditarik mundur dari

ruang publik keruang privat.

Karena dianggap keluar dari mainstream ajaran Islam, beberapa pihak

menyarankan agar JIL membikin agama baru dan tidak mengatasnamakan Islam,

karena sebagian Muslim mengatakan bahwa JIL telah keluar dari Islam yang

sebenarnya, sekularisme adalah tidak bisa diterima dalam konteks Islam.

8 Hasil wawancara langsung dengan Burhanuddin, tanggal 23 April 2009.

Page 80: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

B. Islam, Pluralisme dan HAM (Negara Plural)

Seperti halnya Islam dan sekularisme, Islam dan pluralisme juga merupakan

persoalan yang berbeda. Islam dan pluralisme telah menjadi salah satu wacana

kontemporer yang sering dibicarakan pada akhir-akhir abad ke-20 khususnya

Indonesia. Inti dari wacana ini sebenarnya adalah mencoba menjembatani hubungan

beragam agama yang seringkali terdengar dampak yang tidak harmonis dengan

mengatasnamakan agama yang kemudian muncul konflik yang menimbulkan

kekerasan atas nama agama.

Pluralisme adalah tren pemikiran baru yang berada di dunia global, yang

merupakan suatu faham dimana setiap pemeluk agama tidak berhak mengklaim

bahwa agama tersebut sebagai agama yang paling benar (true religion).

Dawam Raharjo mengatakan pluralisme dapat dilaksanakan dengan tiga

cara yaitu, saling memahami dan memperoleh, saling pengertian dan penghargaan,

berlomba dalam kebajikan dan kerja sama dalam kebaikan.9

JIL dibawah kepemimpinan Ulil Abshar Abdalla mengatakan bahwa semua

agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju yang maha

benar. Semua agama, dengan demikian adalah benar (the religion is true) dengan

variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan

religiusitas itu, semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, yaitu

keluarga pencipta, jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.10 Budhy

Munawar Rahman salah satu aktivis JIL memberikan legitimasi kepada ”kebenaran

semua agama” bahwa pemeluk semua agama layak disebut sebagai ”orang yang

beriman”, oleh karena itu yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah

9 M. Dawam Raharjo “Mengapa Semua Agama itu Benar”, Tempo. 1 Januari 2006, h. 207.

10 Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris Pemikiran

Islam di Indonesia (Jakarta: Litbang. Dep. Agama, 2005), h. 41.

Page 81: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

pluralisme antara agama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman tanpa

harus melihat agamanya adalah sama di hadapan Allah, karena tuhan kita semua

adalah tuhan yang satu.11

Ulil mengatakan bahwa ”kebenaran tuhan lebih besar dari Islam itu sendiri

sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial yang bernama umat Islam. Islam

hanyalah sebuah ”proses” yang tak pernah selesai tak akan selesai. Oleh sebab itu

ayat ”inna al-dinna inda Allahi al-islam” (Qs: 3. 19), lebih tepat di artikan sebagai

”sesungguhnya jalan religiusitas yang benar adalah proses yang tidak pernah selesai

menuju ketundukan” (kepada yang Maha Esa).12

Pluralisme sebagaimana yang tercantum dalam websitnya merupakan salah

satu agenda penting JIL disamping banyak agenda-agenda lain. Lutfhi Assyaukanie

juga ikut berbicara dalam hal ini, Lutfhi mengatakan bahwa pentingnya pluralisme

dan tidak bisa ditawar-tawar. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa pengalaman

sejarah (historis) bisa dilihat pada awal-awal masyarakat Madinah yang dipimpin

oleh Nabi Muhammad Saw. Sering dijadikan model percontohan adanya toleransi

kehidupan antar agama dalam Islam. Dengan model ini, Islam dianggap sebagai

agama yang menghormati keberadaan agama-agama lain, inklusif dan toleran.

Dengan melihat konsep pluralisme ini, ia lebih lanjut mengatakan bahwa tidak ada

halangan untuk melakukan pernikahan antara pemeluk agama yang berbeda baik

laki-laki maupun perempuan, karena pada hakikatnya semua agama adalah sama

menuju tuhan, hanya saja ada perbedaan dalam ekspresi beragama masing-masing

umat.13

11

Adian Husaini, Membedah Islam Liberal (Bandung: PT. S. Anvil Cipta Media, 2002), h.

65. 12

Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-

liberal.html. 13

Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Libera, h. 42.

Page 82: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Lutfhi Assyaukanie yang menjabat koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL)

dan Deputy Director dari The Freedom Institute, lebih lanjut mengatakan pluralisme

dalam beragama adalah kenyataan, manusia hidup di dunia ini dengan banyak etnis,

banyak agama, dan setiap agama mempunyai yang disebut true claim, klaim

kebenaran. Mereka yang Muslim menganggap Islam sebagai agama yang benar

yang tercantum dalam ayat Al-Qur’an (Qs. 3: 19), begitu juga Kristen, Yahudi,

Hindu, Buddha dan lain-lain. Pertanyaan selanjutnya adalah kalau setiap warga

mempunyai klaim kebenaran, bagaimana mereka bisa hidup bersama. Salah satu

tawaran yang diberikan oleh para ilmuan, sarjana dan lain-lain termasuk JIL adalah

dengan memeluk konsep pluralisme. Artinya saling menghormati bahwa setiap

agama menurut perpektif masing-masing memiliki kebenaran, ia menyatakan

negara tidak perlu campur tangan dalam mengurusi masalah agama, mungkin ada

regulasi yang terkait dengan hal-hal yang umum saja, tetapi tidak masuk kedalam

urusan kecil. Urusan-urusan yang terkait dengan pemahaman keagamaan biarkan

masyarakat yang mengurusi.14

Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa pluralisme adalah suatu konsep

dimana umat yang menjadi mayoritas dimana pun ia berada baik itu Islam, Kristen,

Yahudi dan sebagainya harus dapat menghargai dan menghormati umat-umat yang

menjadi minoritas, pluralisme harus dipahami sebagai suatu yang harus dijalankan

oleh seluruh umat, dan yang terpenting katanya adalah bersama-sama beribadah dan

jangan mengklaim kebenaran.15

Islam sebagaimana kita mengetahui sangat mengakui fakta akan pluralisme

dan kemerdekaan kebebasan beragama. Dasar pengakuan itu terdiri dari dua hal

14

Hasil Wawancara Antara Jeleswari Pramodhawardani dengan Lutfhi Assyaukanie.

Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 15

Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang

sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 25 Mei 2009.

Page 83: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

yakni, Pertama, karena pluralisme merupakan ajakan terhadap penggunaan pikiran

manusia, Al-Qur’an sangat memberikan kedudukan yang sangat penting terhadap

pilihan rasional dan dorongan individu. Menjadi seorang Muslim (to be a Muslim)

adalah urusan pilihan rasional dan cara respon individu. Dalam Al-Qur’an pun tidak

terdapat paksaan dalam beragama, karena beragama merupakan pilihan dan

kebebasan individu, bahwa seorang keluarga pun tidak boleh memaksa anaknya

untuk menganut agama bapak-ibunya. Kedua, penerimaan sosial atas nilai Islam

sebagai sebuah pemahaman oleh individu dan masyarakat yang berbeda-beda.

Maksudnya, basis pluralisme ini senantiasa dikelola oleh perbedaan pendapat yang

secara luas di perbolehkan oleh norma-norma social. Dialektika sosial akan

mengembangkan dan menguatkan definisi yang bisa diterima oleh nilai etika. Maka

tradisi dialog antara agama menjadi penting guna mengembangkan nilai-nilai etika

Islam yang sangat menghargai kebebasan beragama.

Berdasarkan keterangan diatas, maka peranan negara sebagai penjamin

kebebasan beragama sangat penting dan perlu dipertegas lagi. Negara harus

menjamin bahwa kemerdekaan beragama tidak akan melanggar hak-hak orang lain.

Negara tidak boleh mendukung satu agama serta satu kelompok paham serta

menindas yang lainnya. Fungsi negara adalah menjamin kebebasan menjalankan

agama diberikan secara sama kepada semua agama dan pahamannya. Sebab pada

dasarnya ada hubungan yang mutlak antara kebebasan beragama, institusi yang

dapat menjamin kebebasan itu, seandainya salah satunya tidak dapat dijalankan,

maka kehidupan demokrasi dan jaminan kebebasan warga negara akan terancam

juga

Relasi antara agama, etnik, budaya bahkan sesama Muslim sendiri terus

mengalami kehancuran pada dasawarsa tahun ini. Kehancuran tersebut di sebabkan

Page 84: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

adanya perbedaan perpektif, pandangan dan ideologi saling konfrontasi dan berebut

kepentingan. Kunci utama (the first key) agar tetap bertahan tergantung pada cara

belajar mengelola keragaman dan konflik (universalis and conflict). Nyatanya

bahwa prioritas untuk menghadapi pluralisme bangsa yang semakin canggih dan

percepatannya melalui globalisasi, pasti akan memperoleh solusi ketika pandangan

dunia Islam dan non-Islam dapat saling berjumpa.

Dalam konteks ini Islam semestinya muncul sebagai agama yang universal

(universalism religion). Kesempatan ini pula yang tidak boleh diabaikan Islam

untuk menjadi pemain utama arus perubahan dunia menuju kedamaian sejati.

Sebagian kaum liberal berharap, abad 21 ini akan menyaksikan sebuah kebangkitan

religius spiritual global baik dalam wilayah politik dan prifat, meskipun peran

marjinal dari institusi-institusi keagamaan tradisional masih dapat dilihat dalam

kehidupan ini. Disinilah pentingnya setiap agama mengembangkan dan menguji

kembali tradisi masing-masing dalam rangka merespon tantangan ini tak terkecuali

Islam sebagai agama mayoritas.16

Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju cita-cita

bersama kesatuan kemanusiaan tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik dan

kebudayaan agama. Ini berarti bahwa dominasi ras dan diskriminasi atas nama

apapun merupakan kekuatan antitesis terhadap tauhid, dan karenanya harus

dikecam sebagai kemusyrikan dan sekaligus kejahatan atas nama kemanusiaan.

Maka dari itu diperlukan dialog dua pikiran dan hati mengenai pikiran

bersama, dan komitmen untuk saling belajar dapat berubah dan berkembang.

Pluralisme untuk dialog, bukan pertentangan. Pencelaan dan mengklaim kebenaran

16

Zakiyuddin Baidhawy, Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku Abdul Moqsith

Ghazali (peny), Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan Keberagamaan Yanag Dinamis (Jakarta:

JIL 2005), h. 50.

Page 85: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

beragama yang dianutnya tetapi pluralisme merupakan teknologi masa depan yang

muncul dari pandangan rasional autentik berbasis wahyu progresif yang merupakan

dasar bagi semua pengalaman keagamaan. Dialog membawa pada pandangan dunia

keagamaan yang tidak parsial dan tidak diskriminatif. Pola pikir manusia yang

monolog yang membuat bangsa menderita dan mengalami kegagalan terbesar

dalam mengelola pluralisme. Pasti akan merasakan betapa pedihnya kekerasan,

relasi antara sesama atas nama etnik, budaya bahkan agama, jika umat manusia

mengklaim semuanya yang terjadi dalam diri manusia adalah yang paling benar.

Selain pluralisme, HAM juga sesuatu yang sangat penting yang penulis

perlu kaji dalam pandangan JIL, yang kita semua mengetahui bahwa HAM adalah

segala sesuatu yang berada dalam diri kita yang wajib ditegakkan dan perlu

diperjuangkan tanpa ada penindasan dari negara atas nama apapun.

Banyak gagasan besar bekenaan dengan HAM selaras dengan pemikiran

Islam, kaidah hukum, prinsip dasar kepemimpinan demokratik dalam yurispundensi

Islam (fiqih) sangat sentral sudah berabad-abad yang lalu. Islam mengakui bahwa

setiap keputusan, aturan dan prosedur dari penguasa publik disetiap jenjang tidak

sah atau tidak mengikat karena legal jika mereka tidak konsisten dengan hukum

(syariat).17

Ini tentu saja berkaitan dengan konsep perlindungan hak asasi manusia.

HAM menurut JIL sebagai sesuatu yang semi wajib dimanapun manusia

berada, termasuk di sebuah negara yang mungkin tidak menjamin hak manusia itu

ditegakkan. HAM menjadi sesuatu yang harus dihargai dan dilindungi bahkan

17

Chandra Muzaffar, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru: Menggugat Dominasi

Global Barat. Penerjemah Poerwanto (Bandung: Mizan, 1995), h. 58.

Page 86: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

dihormati oleh negara.18 Negara harus menjamin hak asasi manusia baik laki-laki

maupun perempuan.

Lebih jauh JIL menegaskan bahwa hukum Islam (syariat) yang sebagian

kelompok radikal mengagung-agungkan supaya diterapkan di Indonesia, menurut

JIL sebenarnya sangat mengekang HAM secara umum, syariat Islam sangat

membatasi HAM pada umumnya. Islam sebagaimana agama yang diyakini sangat

menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dalam mengapresiasikan tindakan dan

pendapatnya, Islam sendiri adalah agama yang memperhatikan hak asasi manusia.

JIL menegaskan jika syariat Islam ditegakkan, jangan sampai HAM yang menjadi

sesuatu yang sangat penting bagi manusia dilanggar oleh kelompok lain baik

didalam maupun diluar komunitas Islam, bahkan negara pun tidak berhak

melanggar.

Islam sebagaimana yang orang pahami yang juga terdapat dalam Al-Qur’an,

yakni sangat toleran terhadap manusia untuk memeluk agama yang mereka yakini,

negara dalam hal ini tidak boleh memaksakan kehendak untuk masuk kedalam

agama Islam tersebut, tidak boleh ada proses Islamisasi terhadap agama diluar

Islam, karena hak beragama merupakan sesuatu dasar bagi keyakinan umat

manusia.

Seandainya Syariat Islam diterapkan di Indonesia khususnya, yang menjadi

probelem masalah adalah kaum minoritas dan perempuan, bagi kaum minoritas

mereka akan susah bergerak diruang publik karena syariat dikhususkan bagi umat

Islam an sich, mereka akan susah mengaktualisasikan hak mereka. Sedangkan

kaum perempuan akan terjegal turun langsung dalam kegiatan publik, seperti

18

Artikel diakses tanggal 31 Mwei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-

liberal.html.

Page 87: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

perempuan sekarang banyak bergerak dalam wilayah negara dan banyak beraktifitas

dimana-mana.19

Islam dan HAM merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam

yang menjadi umat terbesar di Indonesia. Islampun sebenarnya sangat menjunjung

tinggi HAM, sebagaimana Burhanuddin Muhtadi mengatakan bahwa umat Islam

yang menjadi umat terbesar di Indonesia tidak boleh atau harus menyadari bahwa

hak orang lain diluar Islam pun memiliki hak yang sama dengan hak umat Islam,

negara pun harus bisa memahami dengan hal ini.20

Islam sendiri harusnya tidak menekankan HAM yang sedikit keluar dari

mainstream hukum Islam, seperti menikah beda agama, wanita mengimami laki-

laki yang dilakukan Aminah Wadud, memperoleh warisan dari keluarga yang

berbeda agama, umat Islam sekolah di sekolah Kristen atau agama yang lain,

mengenai hal tersebut JIL menegaskan bahwa tidak ada salahnya dan tidak ada

sejarah yang berkenaan dengan diskriminasi berdasarkan agama, dan menilai bahwa

diskriminasi mengenai segala sesuatu tersebut atas dasar agama adalah sangat

melanggar penegakkan HAM. Hal tersebut adalah titik ketegangan antara syariat

sebagai hukum dan HAM. Oleh karena itu JIL dalam websitnya sangat mendukung,

menghormati serta mendukung kalangan yang tertindas dan sangat melindungi

terhadap kelompok yang sewenang-wenang menindas kelompok minoritas.

HAM dalam Islam bukan hanya dilindungi tetapi juga diakui, sebagimana

JIL mengatakan Islam sebagai agama sangat melindungi HAM, oleh sebab itu

19

Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31

Mwei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html. 20

Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 25 Mei 2009

Page 88: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

banyak kalangan yang sewenang-wenang menindas segala sesuatu atas nama Islam,

menurutnya hal itu tidak benar.21

D. Penerapan Syariat Islam di Indonesia

Wacana mengenai syariat Islam sering menjadi perdebatan dan menuai

kontroversi dalam memahami dan menafsirkan wacana tersebut dalam konteks

negara. Banyak diskusi, seminar tentang persoalan ini, banyak pula kalangan yang

pro dan kontra terhadap wacana tersebut serta banyak pula kalangan yang tidak mau

tau dan membisu dalam persoalan ini.

Syariat Islam merupakan pembahasan terakhir penulis, karena itu syariat

Islam jadi pembahasan penting, sebagaimana penulis mengkaji pembahasan-

pembahasan penting sebelumnya. Syariat mempunyai reputasi yang buruk dan tidak

jelas dalam konteks Indonesia, syariat Islam menjadi perdebatan di Indonesia, sejak

zaman kemerdekaan dan sekarang, persoalan ini tidak akan membuahkan hasil yang

signifikan bagi umat manusia di Indonesia.

Syariat tidak lain hanyalah wadah yang menjunjung tinggi harkat dan

martabat manusia. Syariat Islam menghendaki hukum dan keputusan yang benar

jika hukum itu diletakkan dihadapan manusia, sebagai sebuah metode dan jalan

menuju kemajuan dan kemuliaan. Syariat bukan seperangkat aturan dan kaidah,

syariat juga bukan fiqih yang selama ini diyakini umat Islam. Hukum-hukum

syariat mengikuti perkembangan realitas sosial, dan selalu melangkah dalam

perkembangan tersebut. Oleh karena itu, ia menjelaskan tentang dasar-dasar syariat

dan membatasi objeknya dengan realitas sosial dalam membahas prinsip dasar

syariat harus menjadi tujuan utama ketika hendak menerapkan syariat Islam. Jika

21

Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal, h. 42

Page 89: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

tidak, maka ia hanya menjadi sekedar pembahasan teoritis dan penyelidikan logis

yang bertentangan dengan syariat agama dan inti Islam itu sendiri.

Oleh karena itu, menurutnya dalam Islam tidak jarang menemukan orang-

orang salah paham dalam memaknai syariat, bisa jadi apa yang selama ini mereka

anggap syariat bukanlah syariat itu sendiri. Sebaliknya, apa yang selama ini tidak

bisa anggap syariat, justru merupakan inti syariat. Oleh karena itu, menangkap arti

hakiki syariat dalam konteks keberagamaan menjadi hal yang niscaya.22

Sebagaimana kita mengetahui bahwa dewasa ini muncul kecenderungan

baru di banyak negara Muslim untuk menerapkan syariat Islam dengan cara

memanfaatkan kebebasan dan demokrasi yang suka tidak suka juga memberi

peluang bagi munculnya ekspresi keagamaan dalam kutub paling ekstrem tersebut.

Aspirasi penerapan syariat Islam berbanding lurus dengan pasang naik demokrasi di

negera-negara Muslim. Di antara mereka yang menginginkan syariat Islam

diterapkan, mereka juga paham dan fasih melahirkan idiom-idiom demokrasi dan

memaksimalkan lembaga-lembaga demokrasi sebagai sarana untuk mencapai

tujuan.

Tuntutan penerapan syariat Islam ujung-ujungnya selalu saja bertendensi

mengelompokkan umat Islam kedalam dualisme secara semampunya, kaum yang

beriman dan golongan murtad atau kafir. Tuntutan itu selalu mempolarisasi warga

negara menjadi orang Islam dan bukan orang Islam. Ide penerapan syariat Islam

menurut JIL malah tak jarang melontarkan aroma permusuhan kepada Barat,

khususnya Amerika Serikat, dan kebanyakan negara lain di dunia, tanpa mereka

sendiri siap untuk menghadapi konsikuensi yang mungkin muncul akibat hembusan

angin permusuhan tersebut.

22

Al-Asymawi, Nalar Kritis Syari’ah, h. vi.

Page 90: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Sampai detik ini, belum terdapat batasan yang jelas tentang apa yang

dimaksud dengan penerapan syariat Islam. Slogan penerapan syariat Islam dalam

pengertian kelompok yang lebih ambisius menegakkan bermakna seperangkat

hukum-hukum agama seperti ibadah. Di lain kesempatan, syariat Islam

dimaksudkan sebagai sebuah sistem yang Islami, pada lain waktu, syariat juga

berarti hukum-hukum syariat yang berkenaan dengan persoalan muamalah,

sebagaimana dalam Al-Qur’an dan sunnah. Mereka juga memasukkan sebagai

opini, hukum ataupun fatwa yang serangkum dalam khazanah fiqih Islam.

JIL secara terang-terangan mengkritisi kelompok yang ambisius terhadap

penerapan syariat Islam lewat surat kabar, milis internet, buku dan diskusi. JIL

mengatakan bahwa kelompok tersebut menyeru tuntutan legalisasi syariat atau lebih

berani mengubah sistem hukum yang sudah ada. Penerapan syariat Islam

bertendensi sektarianisme dengan memperlakukan agama sebagai kedok, dan

syariat Islam sebagai topeng. Yang mereka harapkan dengan berlaku apologetik.

Publik tidak akan mampu membaca maksud dan tendensi mereka. Semua ini selalu

dilakukan mereka dengan cara mengekploitasi sentimen masa, ketidakpuasan publik

dan aura Islam itu sendiri.23

JIL mengatakan syariat Islam tidak akan mampu berperan dalam

menegakkan sistem pemerintah yang baik dan tidak akan berhasil melayani

kepentingan rakyat.24 Kegagalan pemerintah menegakkan hukum di Indonesia,

seperti menghentikan hiburan malam, diskotik, rumah-rumah maksiat dan lain-lain,

membuat umat Islam gerah dan menuntut pemberlakuan hukum syariat Islam

ditegakkan. Penerapan syariat Islam secara formal bisa mengarah kepada pendirian

23

Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal (Jakarta: JIL & The Asia

Fundation, 2003), h. 17. 24

Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal, h. 17.

Page 91: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

negara Islam, tetapi pemerintah Indonesia tidak akan pernah mengizinkan

penerapan syariat Islam yang mengarah kepada pendirian negara Islam.25

Kita semua dapat mengetahui bahwa JIL sangat kritis dalam permasalahan

ini. Aktivis JIL, Ulil Abshar Abdalla mengungkapkan dalam wawancara di koran

Tempo, ia mengatakan, ”Makannya kita termasuk orang yang menentang

pelaksanaan dan penerapan syariat Islam di Indonesia, karena hukum disitu

permasalahannya. Ia mengatakan bahwa tidak ada hukum yang Islami (nothing Law

of Islam), syariat Islam akan menimbulkan perpecahan umat.26

Menurut JIL, sebenarnya umat Islam Indonesia harus belajar dari

pengalaman Sudan dan Pakistan, bila syariat Islam ditegakkan ada tiga kalangan

yang menjadi korban. Pertama, kaum perempuan. Kedua, minoritas non-Muslim.

Ketiga, orang-orang miskin.27

Seandainnya syariat Islam diterapkan disebuah negara yang sekuler, plural

dan majemuk seperti Indonesia ini, dan seandainnya semua masyarakat Muslim,

mungkin tidak ada masalah. Sebelum berbicara tentang sanski hukum, termasuk

kemungkinan penerapan potongan tangan, yang lebih penting menurut Azumardi

Azra adalah menciptakan tatanan yang adil terlebih dahulu. Laksanakan dulu syariat

yang mendorong proses perubahan sosial menuju tatanan yang lebih adil dimana

orang-orang miskin dijamin oleh negara, baru membicarakan syariat yang

memberikan hukuman, lebih penting memperhitungkan realitas sosial yang plural.

25

Burhanuddin (ed), Syariat Islam: Pandanagan Muslim Liberal, h. 79-80.. 26

Ulil Abshal Abdalla, “Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002. 27

Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September

2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-dalam-islam/

Page 92: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Bila tidak, ia khawatir penerapan syariat Islam itu justru tidak berjalan atau malah

kontraproduktif.28

Azra kemudian menegaskan kembali, jika syariat Islam diterapkan secara

terburu-buru akan memunculkan paradoks dan konflik diantara kaum Muslim dan

juga masyarakat Indonesia secara umum. Syariat atau hukum apapun berlakunya

hanya di dalam masyarakat, jangan membawa permasalahan ini kedalam negara. Ia

kembali mengatakan, syariat Islam diterapkan harus memperhitungkan kenyataan

yang ada, bukan hanya kenyataan masyarakat bahwa Indonesia itu sebagian besar

umat Islam, tetapi juga ada kelompok-kelompok minoritas lain yang non-Muslim.

Umat Islam Indonesia bukanlah realitas monolithik, tetapi realitas yang beragama,

banyak golongan, pemahaman keislamannya, tujuan kecintaannya, ketertarikan dan

pengetahuan yang berbeda-beda, ini mungkin tidak akan bisa bertahan, bahkan bisa

memyebabkan kehancuran, makannya ia mengatakan bahwa penerapan syariat

Islam harus dipikirkan kembali.

Pentolan JIL Ulil Absahar Abdalla mengatakan, dalam sebuah sejarah Islam

klasik tidak diketemukan rekaman sejarah (historis record) yang menunjukkan

syariat Islam merupakan peradilan negara. Tradisi pemikiran hukum Islam,

menurutnya bukan hasil peradilan Islam yang betul-betul pernah ada, melainkan

hanya kumpulan-kumpulan pendapat hukum (legal opinion) yang dikembangkan

dari bagian sebuah latihan intelektual (intellectual exercise). Para pemuka Islam

sebagai respon terhadap persoalan-persoalan sosial yang ada tanpa pernah

dipraktikkan dalam suatu praktik peradilan. Syariat Islam bukan instrumen yang

28

Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses

tanggal 21 Juni 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.

Page 93: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

dihasilkan oleh negara, itu tidak pernah ada buktinya, kalaupun ada menurutnya

buktinya tersebut sangat lemah.29

Kemudian ia mencontohkan, pada zaman Iskandar Muda dari Kesultanan

Aceh, apakah pernah ada suatu peradilan perdagangan yang betul-betul

menggunakan hukum Islam dalam menyelesaikan kasus-kasus perdagangan?, tidak

pernah ada, juga kasus-kasus perdata, rekamannya tidak pernah ada.

Jargon Islam negara dan agama, sebenarnya konstruksi modern.

Menurutnya, Islam di zaman klasik itu merupakan suatu agama yang hidup (living

religion) di dalam masyarakat yang disangga sejumlah organisasi sosial yang hidup

di tengah-tengah masyarakat, yang kalau di Indonesia seperti NU dan

Muhammadiyah.

Kemudian publik mengenal semacam hukum (law) yang hidup dikalangan

mereka. Hukum itu biasannya ditegakkan lewat figur-figur para tokoh agama atau

kiai. Namun negara sama sekali tidak pernah menjalankan fungsinya sebagai

pembuat peraturan perundang-undangan. Negara sebagai the enforcer of law itupun

tidak pernah ada.

Lebih lanjut ia mengatakan, fundamentalisme Islam atau yang

menginginkan syariat Islam diterapkan itu merupakan respon terhadap modernitas.

Respon ini pun dilakukan dengan logika atau prosedur peralatan teoritik modern

menggunakan bahasa-bahasa agama, contohnya jargon Al-Qur’an sebagai

konstitusi. Menurutnya itu suatu loncatan logika yang hingga kini belum ada

pertanggung jawabannya. Di dalam seluru sejarah Islam klasik (histories classic of

29

Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses tanggal 31

Mei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.

Page 94: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Islam) tidak pernah ada suatu gerakan yang mengatakan Al-Qur’an itu adalah

konstitusi.30

Syariat Islam menurutnya merupakan gagasan abstrak yang dikembangkan

menjadi tradisi ilmiah yang kemudian dikenal dengan fikih. Hal ini dipakai untuk

landasan hukum pengaturan kehidupan umat Islam pada masa modern. Hukum

Islam sebenarnya pemikiran hukum yang dikembangkan secara independen diluar

istana, hal ini seperti pemikiran filsafat dan teologis klasik dalam Kristen (theology

classic of Kristian).

Koordianator JIL, Lutfhi Assaukanie mengatakan, konsep syariat Islam itu

sebenarnya tidak pernah ada, itu merupakan karangan orang-orang yang datang

belakangan yang memiliki idealisasi yang berlebihan terhadap Islam (sama seperti

negara Islam, ekonomi Islam, Bank Islam dan lain-lain).31 semua hukum yang

diterapkan dalam masyarakat pada dasarnya adalah hukum yang positif, termasuk

hukum yang yang diberlakukan oleh Nabi Muhammad, kalupun sumber

konstitusinya berasal dari Al-Qur’an, hal itu karena Muhammad adalah seorang

Rasul, dan beliau tidak memiliki konstitusi yang lebih baik yang available pada saat

itu selain Al-Qur’an.

Pada banyak kasus, delik-delik perundangan yang diterapkan Muhammad

dan kawan-kawannya sebenarnya mengambil semangat hukum adat (urf), termasuk

dalam kasus rajam, potong anggota badan secara silang, pembakaran manusia

(dalam kasus sodomi) dan denda (diyat, yang diambil dari kondifikasi Romawi dan

Nabatean). Hanya sedikit yang beliau ambil dari Al Qur’an.

30

Hasil wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel diakses

tanggal 21 Juni 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html 31

Lutfhi Assyaukanie, ”Menolak Syariat Untuk Menagatur Kehidupan Publik”, Kompas, 18 September 2002.

Page 95: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Menurutnya, Muhammad sedang berinteraksi dengan manusia, dengan

orang Yahudi dan orang-orang tribal Madinah. Selama hukum merupakan refleksi

dari dinamika sebuah masyarakat, maka apa yang dipraktikkan oleh Nabi (yang

Anda sebut sunnah fi’liyyah) adalah keputusan manusiawi belaka. Tidak ada

sesuatu yang istimewa yang harus dianggap sebagai sesuatu yang ‘unik’ atau

Islami.

Lebih kritis ia mengatakan, Ibadah haji saja, sebut Luthfi, warisan

jahiliyyah, zakat warisan Romawi yang direvisi, sholat warisan Daud yang

dimodifikasi, dan dalam sistem ekonomi Rasulullah menyetujui semua praktik

ekonomi orang-orang Romawi yang saat itu mendominasi hampir semua urusan

administrasi dan tata negara, kecuali riba. (orang orang Romawi atau siapa pun

sesungguhnya akan berkeberatan jika riba yang dimaksud adalah transaksi

merugikan orang lain). Menurutnya tidak ada yang Islami dari semua itu.

Aktivis JIL Burhanuddin Muhtadi mengatakan, pasang naik-surutnya

tuntutan mengimplementasikan syariat Islam berhubungan dengan terlepasnya suatu

negara dari rezim pemerintahan otoriter, ia mengatakan gejala ini merupakan gejala

global yang terjadi hampir diseluruh negara-negara dengan mayoritas Muslim yang

baru saja mengalami kemerdekaan maupun terlepas dari rezim otoriter.32

Sistem demokrasi yang terwujud ketika sebuah negara terlepas dari rezim

otoriter, membuka peluang bagi semua faham termasuk radikalisme agama untuk

masuk kedalam sistem ketatanegaraan. Paradoks ini terjadi karena kelemahan

sistem demokrasi adalah tidak adanya self defence mechanism untuk menghalau

kekuatan yang mementang demokrasi itu sendiri. Hal ini bisa dilihat dari

32

Nong Darul Mahmada dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal, h. 42.

Page 96: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

berkembangnya kelompok yang pro terhadap penerapan syariat Islam dan anti

demokrasi, seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).33

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa agama bagaikan dunia metaphor, yang

tidak bisa dipandang dari satu kacamata saja. Ayat-ayat kitab suci jagan ditafsirkan

secara literal karena akan kehilangan nilai universal dan humanisnya, tidak ada

contoh keberhasilan dari negara dengan sistem syariat Islam di dunia ini. Sistem

pemerintah Taliban, ketika masih berkuasa di Afghanistan, misalnya hanya dikenal

karena kekuasaan dari hasil opiumnya, apalagi syariat Islam memang hanya

menang di jargon tapi sangat susah bila diterapkan. Tapi bagaimanapun juga ia

mengagumi efisikasi atau keyakinan tinggi dari para ekstrim Islam dalam

memperjuangkan penerapan syariat Islam dalam sistem pemerintahan.

JIL menegaskan dalam websitenya, yakni penerapan syariat Islam di

Indonesia tidak akan pernah berhasil, karena akhirnya masyarakat akan sadar bahwa

syariat Islam hanya menjadi alat bargai politik bagi segelintir orang politikus.

Syariat Islam akan berhadapan langsung dengan syariat itu sendiri, syariat Islam

yang mana, dan menurut pemahaman siapa yang akan diterapkan nantinya. Inilah

tantangan penerapan syariat Islam itu sendiri.

Syariat Islam tidak akan masalah, tapi pemaksaan pada pemahaman itu yang

salah, syariat Islam harus dibuat sebegitu kuat dan dinamis sehingga orang akan

mengikuti syariat karena kesadaran sendiri bukan paksaan oleh negara.

33

Hasil Wawancara langsung dengan Burhanuddin Muhtadi, salah satu aktivis JIL, yang

sekarang menggeluti penelitian bersama Saiful Mujani di LSI, tanggal 12 Juli 2009

Page 97: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

BAB V

PENUTUP

1. Kesimpulan

Perdebatan mengenai pola hubungan agama dan negara di dunia Islam,

masih terus berlangsung antara kalangan yang pro dan kontra, hingga saat ini belum

ada kesepakatan final tentang topik ini. Di beberapa negara Muslim hal ini masih

menjadi perdebatan antara intelektual-intelektual Muslim, tentang bagaimana pola

hubungan antara keduanya tersebut, karena beberapa intelektual Muslim ada yang

menginginkan integritas agama dan negara, beberapa yang lain menghendaki

pemisahan agama dan negara dengan memadukan nilai-nilai Islam, bahkan ada pula

yang sama sekali menginginkan pemisahan antara keduannya tersebut dengan

alasan Islam tidak mempunyai konsep tentang negara (Islam nothing consept).

Sebagimana yang sudah dijelaskan pada bab II, bahwa ada tiga paradigma

yang menjelaskan pola hubungan Islam dan negara. JIL merupakan salah satu

organisasi keagamaan, tetapi kelompok ini tidak menamakan organisasi melainkan

menamakan dirinya sebagai jaringan yang intens mengkaji tentang pola hubungan

Islam dan negara. JIL yang dalam websitenya mempunyai empat agenda politik,

mereka mencoba menawarkan konsep sekularisme yang intinya adalah pemisahan

antara konsep agama dan negara.

Mengenai pola hubungan Islam dan negara menurut JIL, maka dapat ditarik

beberapa kesimpulan, diantarannya sebagai berikut

Pertama, mengenai pola hubungan Islam dan negara, JIL dalam hal ini

mengatakan bahwa Islam dan negara adalah sesuatu yang berbeda dan harus

dipisahkan. Secara jelas dalam buku Wajah Islam Liberal di Indonesia, JIL menolak

Page 98: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

konsep negara Islam (Ad-Daulah Al-Islamiyah), dan konsep sekularisme

(secularism concept) sebagai pemisahan antara negara dan agama yang merupakan

konsep yang ideal (ideal concept) untuk Indonesia. Hal ini tertera juga pada agenda

politik JIL yang pertama, yakni, urusan negara adalah murni urusan dunia tanpa

ikut campur negara.

Kedua, mengenai pluralisme agama, JIL menegaskan bahwa setiap agama

tidak boleh menyatakan dengan istilah truth claim, mereka mengatakan semua

agama yang ada di dunia ini adalah sama dan benar.

Ketiga, persoalan HAM. JIL mengatakan bahwa jika negara berpenduduk

mayoritaas Muslim tidak boleh mengekang masyarakat untuk melakukan sesuatu

tanpa melihat agama yang lain, negara harus dapat menjamin kebebasan agama-

agama lainnya. HAM menjadi sesuatu yang harus dihargai dan dihormati oleh

siapapun, bahkan negara pun tidak boleh melanggar dan mengekang warganya

untuk melakukan sesuatu.

Keempat, mengenai syariat Islam dalam konteks Indonesia, JIL mengatakan

syariat Islam adalah penafsiran manusia, syariat Islam tidak akan bisa diterapkan

dan tidak boleh dipaksakan.

2. Saran dan Kritik

Berdasarkan pemaparan dari hasil skripsi tersebut dan sudah barang tentu

skripsi inipun sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga melalui inilah penulis

mengajukan beberapa saran dan kritik terhadap gagasan pemikiran JIL. Dengan

saran dan kritik ini penulis berharap dapat memberi kontribusi bagi perkembangan

intelektual, secara khusus bagi penulis dan umumnya bagi pemikir-pemikir Islam

masa depan yang diharapkan dapat menelaah lebih jauh penelitian ini:

Page 99: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Pertama, mengenai hubungan Islam dan negara dimasa depan dan akan

datang, saran yang utama adalah komunitas politik Islam tidak perlu

mengembangkan hubungan Islam dan negara yang bersifat simbolistik-formalistik,

hal ini sangat penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam

dan kalangan non-Muslim yang sangat berbaur di negara ini.

Kedua, gagasan sekularisme yang sangat digemborkan JIL supaya menjadi

dasar negara, penulis melihat JIL terlalu ceroboh untuk mengartikan sekularisme,

Islam sebenarnya tidak mengenal istilah sekularisme, sekularisme yang ditafsirkan

oleh JIL sebagai pemisahan total layaknya Turki, pemisahan secara total akan

berdampak buruk pula, sekularisme yang dikembangkan jangan mencontoh

kegagalan Turki yang menghapus beberapa lembaga keagamaan dan menempatkan

agama berada di ruang privat. Dasar negara akan terwujud sesuai dengan zaman

dimana ideologi apa yang saat itu berkemabang, pasti ideologi tersebut yang akan

dipakai oleh hampir semua negara bahkan Indonesia sekalipun, sebagai dasar

negara. Sekularisme jangan diartikan sebagai pemisahan total yang harus

memisahkan agama dari negara.

Ketiga, pluralisme agama yang dikembangkan JIL, penulis sangat

mengkritisi gagasan tersebut, salah-satu pengertian pluralisme yakni semua agama

adalah sama dan benar, penafsiran tersebut menurut hemat penulis akan

menimbulkan dampak yang sangat fatal, yakni terjadinya pendangkalan akidah

dikalangan umat Islam, sehingga akan menggoncangkan jati diri umat Islam,

sebagai seorang Muslim harus meyakini agama Islam adalah agama yang benar

sesuai dengan Qs. 3: 15, agama yang berada disisi Allah Swt, pluralisme harus

diartikan sama-sama menjalankan agama sesuai dengan kepercayaan masing-

Page 100: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

masing, biarlah manusia dan tuhannya masing-masing yang mengklaim kebenaran,

bukan antara sesama agama saling mengakui kebenaran.

Keempat, mengenai HAM, penulis beranggapan bahwa jangan ditafsir

secara semaunya, HAM pun harus disesuaikan dengan Islam sebagai agama itu

sendiri, memahami HAM harus dicermati lagi dan harus juga berpegang kepada

pedoman yakni, Al-Qur’an dan Hadis.

Kelima, gagasan pengimplementasi syariat Islam, bagi penulis setiap umat

Islam harus menjalankan syariat Islam dimanapun ia berada, permasalahan

kemudian adalah jika syariat Islam dijadikan hukum negara ini juga harus ditafsir

ulang, karena Indonesia negara yang tidak hanya Islam saja yang berada

didalamnya, agama-agama lain pun banyak yang menghuni negara ini, syariat Islam

sebagai hukum harus diperbincangkan dan diadakan ruang dialog.

JIL tidak akan bisa dipahami hanya dengan pendekatan wacana pemikiran

dan gagasan an sich, yang steril dan vakum dari berbagai pertimbangan lain, sebab

eksistensi JIL sesungguhnya tidak lepas dari konteks-konteks ideologi, politik,

sosiologis dan historis yang melingkupnya. JIL tidak bisa dipahami secara lugu

hanya sebatas wacana dan sebagainnya, tetapi harus dilihat secara komprehensif

sebagai sebuah ideologi yang tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik nasional

dan internasional.

Page 101: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

DAFTAR PUSTAKA

Abdalla, Ulil Abshar, Menjadi Muslim Liberal, Jakarta: Nalar, 2005.

Al-Asmawi, Muhammad Said, Nalar Kritis Syari’ah, Yogyakarta: LKIS,

2004.

Al-Mawardi, Al-Ahkam Al-Sulthaniah, Kairo: Maktabat Musthafa Al-Babi

Al-Halabi, 1973.

An-Naim, Abdullahi Ahmed, Dekontruksi Syari’ah, Yogyakarta: LKIS,

1994.

-----------, Islam dan Negara Sekuler: Menegosiasikan Masa Depan

Syari’ah, Jakarta: Mizan, 2007.

-----------, The Future of Syari’a in The Muslim World, Tanpa Tahun Terbit.

Anwar, M Syafi’i, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian

Politik Tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta:

Paramadina, 1995.

Assyaukanie, Lutfhi, (ed), Wajah Liberal Islam di Indonesia, Jakarta: JIL,

2002.

Azra, Azumardi, Pergolakan Politik Islam Dari Fundamentalisme,

Modernisme Hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996.

Baehr, Peter R, Hak-hak Asasi Manusia Dalam Politik Luar Negeri, Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Baidhawy, Zakiyuddin, Berislam Di Era Multikulturalisme, Dalam Buku

Abdul Moqsith Ghazali, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan

Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005.

Barton, Greg, Gagasan Islam Liberal Indonesia, Jakarta: Pustaka Antara

Paramadina, 1999.

Berger, Peter L, The Secred Canopy: Element of Social Theory of Religion,

New York: Doulbleday and Company Inc, 1969.

Binder, Leonard, Islam Liberal: Kritik Terhadap Ideologi Pembangunan,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.

Bolkestein, Frits, Liberalisme Dalam Dunia Yang Tengah Berubah, Jakarta:

Sumatera Institute, 2006.

Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia, 1981.

Page 102: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Burhanuddin, (ed), Syariat Islam: Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL

& The Asia Fundation, 2003.

Cassese, Antonio, Hak Asasi Manusia di Dunia Yang Berubah. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Davies, Peter, Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1994.

Denny JA, dkk, Negara Sekuler: Sebuah Polemik, Jakarta: Putra Berdikari

Bangsa, 2000.

Echols, Jhon M dan Hasan Shadili, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta:

Gramedia, 1996.

Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi dan

Negara Yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005.

----------, Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Agama 40 Negara dan

Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001.

Espositto, Jhon L, Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, Bandung:

Mizan, 1999.

Furqon, Aay Muhammad, Partai Keadilan Sejahtera: Ideologi dan Praksis

Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer, Bandung:

Mizan, 2004.

Ghazali, Abdul Moqsith, Ijtihad Islam Liberal: Upaya Merumuskan

Keberagamaan Yang Dinamis, Jakarta: JIL, 2005.

Hamid, Shalahuddin, Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Islam, Jakarta:

Amisco, 2000.

Husaini, Adian, Membedah Islam Liberal, Bandung: PT. S. Anvil Cipta

Media, 2002.

---------, dan Nuim Hidayat, Islam Liberal (Sejarah, Konsepsi,

Penyimpangan dan Jawabannya, Jakarta: Gema Insani, 2002.

Imarah, Muhammad, Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan

Dalam Bingkai Persatuan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

---------, Perang Terminologi Islam Versus Barat, Jakarta: Rabbani Press,

1998.

Jaiz, Hartono Ahmad, Menangkal Bahaya JIL dan FLA, Jakarta: Pustaka Al-

Kautsar, 2004.

Page 103: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernis dan

Fundamentalis, Magelang: Indonesia Tera, 2001.

-------------------, Wajah Baru Islam di Indonesia, Yogyakarta: UII Press,

2004.

Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam, Bandung: Mizan, 1997.

Kurzman, Charles, (ed), Wacana Islam Liberal: Pemikiran Islam

Kontemporer Tentang Isu-isu Global, Jakarta: Paramadina, 2001.

Madjid, Nurcholish, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina,

1992.

--------, Islam Komodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1992.

Mahmada, Nong Darul dan Burhanuddin, Jaringan Islam Liberal: Pewaris

Pemikiran Islam di Indonesia, Jakarta: Litbang Dep. Agama, 2005.

Mardjono, Hartono, Menegakkan Syariat Islam Dalam Konteks

Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1997.

Mas’udi F. Masdar, Hak Asasi Manusia Dalam Islam, dalam E. Shobirin

Nadj dan Mardinah, (ed), Diseminasi Hak Asasi Manusia, Jakarta,

Rajawali Press, 2000.

Moten, Abdul Rasyid, Political Science an Islamic Perspektif, London:

Macmalian Press, 1996.

Muhammad, Husein, Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiyai

Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2007.

Muzaffar, Chandra, Hak Asasi Manusia Dalam Tata Dunia Baru:

Menggugat Dominasi Global Barat, Bandung: Mizan, 1995.

Osman, Muhammad Fathi, Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan

(Pandangan Al-Qur’an, Kemanusiaan, Sejarah dan Peradaban,

Jakarta: Paramadina, 2006.

Qardhawi, Yusuf, Membumikan Syariat Islam: Kekuasaan Aturan Ilahi

Untuk Manusia, Bandung: Mizan, 2003.

Rahman, Budhy Munawr, HAM dan Persoalan Relativisme Budaya, dalam

Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus F, (ed), Islam Negara dan

Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta:

Paramadina, 2005.

Rais, Amien, Tauhid Sosial: Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung:

Mizan, 1998.

Page 104: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Rodee, Carlton Clymer, (ed), Pengantar Ilmu Politik, Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 2002.

Roy, Oliver, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1996

Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara (Ajaran, Sejarah dan

Pemikiran), Jakarta: UI PRESS, 1993.

Sommerville, The Sucularazation of Early Modern England, New York:

Oxford, 1992.

Suharto, Rudy, Islam dan Tantangan Modernitas: Kajian Metode Ijtihad

Islam Liberal, Jakarta: Jurnal Al-Huds, 2002.

Suhelmi, Ahmad, Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir, Jakarta:

Teraju, 2002.

----------, Soekarno Versus Natsir: Kemenangan Barisan Megawati

Reinkarnasi Nasionalis Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999.

Syamsuddin M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos,

2001.

Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan

Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005.

Urbaningrum, Anas, Islam-Demokrasi: Pemikiran Nurcholish Madjid,

Jakarta: Republika, 2004.

Vaezi, Ahmad, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006.

Zein, Kurniawan dan Sarifuddin, Syariat Islam Yes-Syariat Islam No:

Dilema Piagam Jakarta dalam Amandemen UUD 1945, Jakarta:

Paramadina, 2001.

Koran dan Majalah

Abdalla, Ulil Abshar, ”Penerapan Syariat Islam”, Tempo 22 Januari 2002.

---------, ”Politik Dalam Islam”, Jawa Pos 1 Juni 2003.

---------, ”Menyegarakan Kembali Pemahaman Islam”, Kompas 18

November 2003.

Assyaukanie, Lutfhi, ”Cerita Panjang Sejarah Islam Liberal”, Kompas 2

Maret 2007.

---------------, ”Menolak Syariat Islam Untuk Mengatur Kehidupan Publik”,

Kompas 18 November 2002.

Page 105: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Bot, Edward, ”Islam dan Negara Menurut Said Al-Asmawi”, Suara

Muhammadiyah 1-15 Desember 2008.

Effendy, Djohan, ”Kebebasaan Beragama Harus Berarti Kebebasan Untuk

Tidak Beragama, Jawa Pos 26 Agustus 2001.

Misrawi, Zuhairi, ”Tafsir Humanis Atas Syariat Islam, Gatra, 22 Juli 2001.

Mujani, Saiful, ”Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi”, Gatra 5

Agustus 2001.

Sumber Internet

Luthfi Assyaukanie “Asal usul, visi misi, agenda serta tujuan Islam liberal,”

Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari

http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.

Assyaukanie, ”Berkah Sekularisme”, Artikel Diakses Tanggal 17 April 2009

dari http//www.islamlib.com/id/index.php?page=article&id=799//.

Luthfi Assyaukanie “Sejarah Liberalisasi Islam,” Artikel diakses tanggal 20

Januari 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-

liberal.html.

Zuhairi Misrawi, “Negara Syariat atau Negara Sekuler,”artikel diakses

tanggal 1 Desember 2008 dari

http://islamlib.com/id/index.php?page=artikel&id=148.html//

Redaksi Jaringan Islam Liberal, Politik dalam Islam, artikel diakses tanggal

1 September 2008 dari http://www.islamlib.com/artikel/politik-

dalam-islam/

Artikel diakses tanggal 20 Januari 2009 dari http://www.

islamlib.com/id/halaman/tentang-jil/html.

Redaksi JIL “Syariat Islam Membawa Bencara Bagi Umat” Artikel diakses

tanggal 31 Mei 2009 dari http://www.islamlib.com//agenda-islam-

liberal.html.

Wawancara antara Majalah Sabili dengan Ulil Abshar Abdalla, tentang

sekularisme dalam Islam, artikel diakses tanggal 1 September

2008, dari http//www.islamlib.com.

Wawancara Antara Jeleswari Pramodhawardani dengan Lutfhi

Assyaukanie. Artikel diakses tanggal 29 April 2009 dari

http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.

Page 106: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Wawancara antara Suparni Surjono dengan Novriantoni tentang Islam dan

Sekularisme dari http//www.islamlib.com//.

Wawancara antara Ulil Abshar Abdalla dengan Azumardi Azra Artikel

diakses tanggal 21 Juni 2009 dari

http://www.islamlib.com//agenda-islam-liberal.html.

Hasil Wawancara

Wawancara Pribadi dengan Burhanuddin Muhtadi (Mantan aktivis JIL),

Jakarta, tanggal 23 April 2009 dan 25 Mei 2009.

Page 107: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

DALAM PEMIKIRAN JARINGAN ISLAM LIBERAL

Cirendeu, Tanggerang tanggal 23 April 2009, melakukakn wawancara guna menyelesaikan tugas akhir karya ilmiah strata I. Ihsan Maulana Mahasiswa

Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Burhanuddin Muhtadi mantan

aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Wawancara dilaksanakan pada jam 07: 30

WIB.

Ihsan :

Assaalamu’alaikum, Wr. Wb. Apa kabarnya mas Burhan?

Mas Burhan :

Wa’alaikum Salam, Wr. Wb, alhamdulillah baik, sekarang

bagaimana Ihsan sudah lulus belum kuliahnya?

Ihsan :

Belum Mas, sekarang lagi menyusun skripsi Mas, judulnya Hubungan Islam

dan negara menurut Jaringan Islam Liberal, apakah sekarang masih di JIL

Mas?

Mas Burhan :

Bagus, lebih fokus kemana kamu menulis itu, sekarang Mas sudah tidak

aktif di JIL, saya sekarang bersama Bpk. Saiful Mujani di LSI, memang dulu Mas aktif, tapi sekarang sudah malas berbicara JIL lagi pula Mba

Rahma melarang saya di JIL.dia takut nanti saya liberal dari semua pemahaman keislaman.

Ihsan : Setelah studi ke Australia, terus Mas ambil tesis apa?

Mas Burhan :

Sekolah di luar negeri dan di dalam negeri sama saja, tergantung dari kita

mau belajar yang sungguh-sungguh atau tidak, apa serius apa cuma gaya-

gaya saja, tesis saya tentang PKS.

Ihsan :

Mas, saya agak kesulitan dalam penyelesaian skripsi saya, soalnya tokoh-

tokoh tidak ada di Indonesia, saya sama Mas Burhan saja, oh iya Mas, kapan

ya JIL berdiri?

Mas Burhan :

Sebelum saya aktif, JIL sebenarnya sudah ada, kalau tidak salah tanggal 09

Maret 2001, kamu liat aja di situsnya.

Ihsan :

Mas atas dasar apa JIL berdiri, tujuannya apa mas?

Mas Burhan :

Setahu dan seingat saya, JIL berdiri atas kumpul-kumpul intelektual muda yang pola pikirnya sama dengan intelektual-intelekyual yang senior seperti

Nurcholish Madjid, berawal dari diskusi lama-lama terbentuk itu JIL, kalau tujuanya pasti berbeda-beda antara saya dan tokoh-tokoh yang lain, kalau

saya melihat tujuannya kearah pemikiran yang lebih terbuka tapi tetap berdasarkan Al-Qur’an. Mungkin menyebarakan pemikirannya kepada

masyarakat luas, terutama kalangan akademisi.

Page 108: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Ihsan :

Mas, bagaimana perkembangan, nah dananya dari mana tuh?

Mas Burhan :

Kalau perkembangan sekarang saya kurang tahu, yang waktu saya aktif

banyak perkembangan dan program, seperti diskusi lewat kampus, lewat via

internet, menerbitkan buku yang dibuat sendiri oleh JIL, mengundang

tokoh-tokoh yang JIL anggap sama daya pikir kritisnya dan tokoh yang menginspirasi JIL itu sendiri, soal dana banyak dari kocek sendiri, LSM dan

The Asia Fundation.

Ihsan :

Mas, masa perkembangan sedikit bangat?

Mas Burhan :

Saya banyak lupa, kamu liat aja di internet, saya kasih buku kemudian kamu baca, jagan diliat aja.

Ihsan :

Mas, sebagaimana mas katakan tadi The Asia Fundation, kalau di buku-

buku JIL, banyak ada bacaan JIL dan The Asia Fundatioan, itu organisasi

atau apa Mas?

Mas Burhan :

Ah kamu sudah tau malah tanya saya! The Asia Fundation itu LSM, kadang-

kadang JIL itu bekerja sama dengan pihak tersebut tapi kadang-kadang juga

tidak

Ihsan :

Ah Mas sembunyi-sembunyi ni, tidak kenapa-kenapa ko Mas, kan saya

saudara Mas juga, hehehe?

Mas Burhan :

Tidak ko, tidak sembunyi, lebih jelas kamu liat di internet aja

Ihsan :

Mas suruh saya liat internet melulu, saya kan tidak punya komputer, mengerjakan skripsi aja di rumah Mba Lia, saya bagi satu ya Laptopnya,

hehehe...! Mas saya pinjem buku-buku yang ada sangkut pautnya tentang JIL ya?

Mas Burhan : Ya, pinjam saja, nanti kalau sudah selesai kembalikan lagi, tulis saja buku

yang kamu pinjam, Mas juga sudah lupa bukunya ada di rak mana.

Ihsan :

Mas, saya kan bab empat membahas tentang Islam dan Sekularisme, Islam

dan Pluralisme, HAM serta Penerapan Syariat Islam di Indonesia,

bagaimana Mas?

Mas Burhan :

Ya udah tidak kenapa-kenapa, kata pembimbing kamu bagaimana ko malah

tanya saya!

Ihsan :

Katanya tidak kenapa-kenapa, oh ya mas saya minta pendapat tentang

masalah tersebut ya. Mas, Islam dan Sekularime bagaimana?

Mas Burhan :

Islam dan Sekularisme itu dua konsep yang berbeda, Islam ya Islam sekularisme ya sekularisme. Islam tidak mengenal sekularisme. Sekularisme

itu suatu paham yang memisahkan urusan agama dan negara, bukan berarti yang tidak ada itu kita tinggalkan. Masalah ini sebenarnya menyangkut

Page 109: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

masalah politik. Sekularisme itu lawan dari fundamentalisme Islam yang

mencoba menyatukan agama dan negara, dalam hal ini Islam tidak mungkin

disatukan kedalam permasalahan negara. Islam harus dipisahkan dengan

negara, yang ditakutkan Islam cuma sebagai simbol saja, sebagai alat

legitimasi politik, oleh karena itu harus ada pemisahan antara agama dan

negara, bukan berarti jauh dari agama. Islampun harus berperan dalam

negara.

Ihsan :

Kenapa harus sekularisme?

Mas Burhan :

Indonesia bukan negara Islam, Al-Daulah Al-Islamiyah tidak ada, kita juga tidak mengenal wilayatul faqih dalam konsep syiahnya Iran, jangan

dipikirkan sekularisme itu seperti banyak orang, pasti akan buruk pemikiran tersebut, bukan berarti yang dari Barat itu buruk.

Ihsan :

Kalau Islam dan Pluralisme bagaimana Mas?

Mas Burhan :

Saya tidak bisa lama-lama disini, saya mau jalan kerja, lain kali aja ya?

Ihsan :

Terim kasih ya Mas

Mas Burhan :

Sama-sama oh ya, kalau mau datang lagi telepon dulu, takutnya saya tidak

ada di rumah.

Ihsan :

Ya, terima kasih.

Cirendeu, Tanggerang tanggal 25 Mei 2009, melakukakn wawancara guna

menyelesaikan tugas akhir karya ilmiah strata I. Ihsan Maulana Mahasiswa Pemikiran Politik Islam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Burhanuddin Muhtadi mantan aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Wawancara dilaksanakan pada jam 21: 00

WIB.

Mas Burhan :

Sudah lama apa baru sampai ?

Ihsan :

Lumayan Baru 15 menit

Mas Burhan :

Dari mana?

Ihsan :

Dari rumah

Mas Burhan :

Kabar Ma’ Aji bagaimana?

Ihsan :

Alhamdulillah sehat, oh ya Mas langsung aja ya karena sudah malam,

kemarin kan saya bertanya tentang sekularaisme sekarang pluralisme, bagaimana menurut Mas?

Mas Burhan : Pluralisme apa saya lupa,

Page 110: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN

Ihsan :

Mas, sudah malam, besok saya mau kerja masuk pagi!

Mas Burhan :

Pluraalisme itu suatu paham yang banyak intelektual Muslim mengatakan

bahwa semua agama itu sama, kita tidak berhak mengklaim agama kita

paling benar dari pada agama yang lain, dihadapan pemeluk-pemeluk agama. Tapi kita sebagai Muslim berhak meyakini bahwa Islam adalah

agama yang berada disisi Allah, pluralisme merupakan agenda JIL, dimana pluralisme harus dijalankan dalam kehidupan beragama, karena Indonesia

itu banyak beragama etnik dan agama yang berbaur. Dimanapun kita berada, apakah itu sebagai minoritas atau mayoritas, intinya adalah sama-sama

menghargai dan menghormati, yang terpenting adalah jangan mengklaim kebenaran, kalu sama-sama mengklaim kebenaran, akan terjadi konflik antar

agama nantinya.

Ihsan :

Mengenai Islam dan HAM bagaimana Mas?

Mas Burhan ;

HAM merupakan sesuatu yang sangat penting bagi umat Islam yang

menjadi mayoritas. Islam pun sebenarnya sangat menjunjung tinggi HAM,

hak orang lain diluar Islam pun memiliki hak yang sama dengan hak umat

Islam, negara pun harus bisa memahami tentang hal ini.

Ihsan :

Bagaimana tentang syariat Islam Mas?

Mas Burhan :

Mengenai syariat Islam, sebenarnya ini gagasan fundamentalis dan Islam

radikal, ide ini sebenarnya timbul ketika suatu agama yang telah merdeka atau peralihan kemerdekaan, kemudian orang-orang tersebut gerah terhadap

pemerintahan otoriter, setelah pemerintahan jatuh, kalangan tersebut membuka peluang untuk masuk kedalam sistem kenegaraan.

Ihsan : Apakah syariat Islam wajib dijalankan?

Mas Burhan : Wajib lah, tetapi banyak dari syariat Islam itu dijadikan alat politik para

pemuka politikus Islam, jadi syariat Islam sebatas topeng saja

Ihsan :

Sudah malam nih Mas, Terima Kasih ya?

Mas Burhan :

Sama-sama

Ihsan :

Assalamu’alaikum

Mas Burhan :

Waalaikum Salam

Page 111: POLA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DALAM PEMIKIRAN