plagiat merupakan tindakan tidak terpuji · kolonialisme di indonesia pada masa orde baru, salah...
TRANSCRIPT
i
ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR
WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI
PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,
KALIMANTAN BARAT
TESIS
Dibuat Sebagai Persyaratan Untuk Mendapat Gelar Magister Humaniora
(M. Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Disusun Oleh
Septian Peterianus
126322001
MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2015
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Septian Peterianus.
Nomor Mahasiswa : 126322001
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR
WACANA “PEMBANGUNAN” DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI
PEMERINTAH ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI, KALIMANTAN
BARAT
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-
ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media
lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun mem-
berikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 15 Januari 2015
Yang menyatakan
( Septian Peterianus )
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Septian Peterianus
Nim : 126322001
Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi kepentingan ilmu pengetahuan, saya menyerahkan sepenuhnya
kepada pihak Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah yang
berjudul:
ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR: WACANA “PEMBANGUNAN”
DALAM PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU DI
KABUPATEN MELAWI, KALIMANTAN BARAT
Untuk menyimpan, menggunakan, serta mempublikasikan karya tesis ini
demi kepentingan akademis tanpa harus meminta ijin maupun memberi royalti
selama tetap mencantumkan nama penulis aslinya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Yogyakarta, 15 Januari 2015
Hormat saya
Septian Peterianus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
ABSTRAK
Asumsi dasar penelitian ini adalah bahwa orientalisme yang terjadi di
negara-negara Timur Tengah dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang-
orang Timur. Sebagaimana yang disampaikan oleh Edward W. Said dalam buku
Orientalism, orang-orang Barat selalu merasa diri lebih superior dari orang-orang
Timur yang mereka anggap inferior. Oleh karena itu, ketika bangsa Barat
menjajah bangsa Timur, orang-orang Barat tidak merasa bahwa mereka sedang
menjajah orang-orang Timur melainkan orang-orang Barat merasa bahwa mereka
telah membantu orang-orang Timur untuk mendirikan pemerintahannya sendiri.
Dengan demikian, muncul anggapan bahwa orang-orang Timur tidak akan mampu
menjalankan pemerintahannya dengan baik tanpa bantuan orang-orang Barat.
Bertolak dari kesadaran itu, penelitian ini berusaha melihat bagaimana
orientalisme di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakolonial dengan fokus
pada wacana pembangunan yang dibawa oleh pemerintah Orde Baru dalam
melaksanakan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Untuk melihat apakah kasus transmigrasi yang berlangsung di Melawi serupa
dengan orientalisme yang terjadi di Timur Tengah, penelitian tesis ini
menggunakan teori Orientalisme Edward Said. Dengan menggunakan teori
orientalisme akan diketahui bagaimana cara pandang Barat dalam menilai Timur,
juga digunakan oleh orang Timur untuk menilai sesama orang Timur.
Hasil penelitian tesis ini menunjukkan beberapa hal. Pertama,
Orientalisme itu tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah, melainkan
juga terjadi di negara-negara Asia seperti Indonesia. Kedua, orientalisme yang
terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial lebih buruk lagi karena baik pelaku
maupun korbannya adalah sama-sama orang Timur. Ketiga, berlanjutnya
kolonialisme di Indonesia pada masa Orde Baru, salah satunya tercermin dalam
kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan di Melawi.
Kata Kunci: Orientalisme, Kolonialisme, Berlanjutnya Kolonialisme, Pemerintah
Orde Baru, Pembangunan, Program Transmigrasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
ABSTRACT
The fundamental assumption in this thesis is that the orientalism happened
in the Middle-East countries is done by the people of the West to the people in the
East. As stated by Edward W. Said in Orientalism, the West always considers
themselves as superior to the East. Therefore, when the West colonized the East,
they believed that they were assisting the East to build their own government. As
a result, a condition where the East is believed would not be able to administer its
own government without the help from the West emerges.
Based on this understanding, this thesis would like to investigate how the
orientalism in Indonesia keeps on going in the postcolonial era in the context of
transmigration program in Melawi Regency, West Borneo Province by promoting
the development discourse. In order to examine whether the transmigration
program in Melawi Regency, West Borneo Province is similar to the orientalism
in the Middle-East, thus this thesis uses Edward Said’s Orientalism theory. This
theory will lead us to the reality in the transmigration program in Melawi
Regency, West Borneo Province that the way the West perceived the East is also
used by the East to perceive the East.
This thesis draws some conclusions. First, Orientalism is not only happens
in the Middle-East, but also in Asia such as Indonesia. Second, Orientalism in
postcolonial Indonesia is even worse since either the perpetrators or the victims
are Indonesian (the East). Third, the continuity of colonialism in Indonesia under
the New Order regime is reflected in the transmigration program in Melawi
Regency, West Borneo Province.
Key words: Orientalism, Colonialism, The Continuity of Colonialism, The New
Order Government, Development, Transmigration Program.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat dan penyertaannya penulis mampu menyelesaikan karya tulis ilmiah
ini. Penyertaan Tuhan Yesus dalam kehidupan penulis sungguh luar biasa,
sehingga tidak pernah sekalipun penulis merasa putus asa saat menghadapi cobaan
dalam menyelesaikan penulisan tesis ini. Untuk itu, pada kesempatan yang
berbahagia ini perkenankanlah penulis mengucapkan beribu-ribu terima kasih
kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik secara materi maupun
moril pada penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah ini.
Ucapan terima kasih yang pertama penulis sampaikan kepada seluruh staf
pengajar di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya yang selama ini telah
berjuang keras untuk memberikan ilmu dan mendidik penulis selama menempuh
studi di Program Pasca Sarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata
Dharma. Ucapan terima kasih penulis sampaikan pada Prof. Dr. Agustinus
Supratiknya, Dr. St. Sunardi, Dr. G. Budi Subanar, S.J., Dr. Haryatmoko, S.J., Dr.
Budi Susanto, S.J., Dr. Bagus Laksana, S.J., Dr. Benny Juliawan, S.J, dan kepada
Mbak Desi seketaris IRB.
Secara khusus pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan banyak
terima kepada kedua dosen pembimbing yakni, Dr. FX. Baskara T. Wardaya dan
Dr. Katrin Bandel yang selama ini telah dengan sabar meluangkan waktunya
untuk mendampingi penulis selama proses penyelesaian tesis ini dari awal hingga
akhirnya karya ilmiah inipun selesai ditulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para narasumber yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk membantu penulis selama
berlangsungnya proses penelitian di lapangan. Secara khusus penulis
mengucapkan terima kasih kepada bapak Muhamad Nazarudin yang menjabat
sebagai Kepala Bagian di Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Selain
itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Geovani Anton
yang menjabat sebgai staf di Dinas Transmigrasi Kabupaten Melawi. Ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak Matius yang menjabat sebagai
Seketaris Desa di SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi.
Selanjutnya tidak lupa penulis sampaikan ucapan terima kasih kepada para
narasumber lainnya. Pertama, bapak Mahrudin peserta transmigrasi yang berasal
dari kota Jawa Barat. Kedua, bapak Rohim peserta transmigrasi yang berasal dari
kota Malang, Jawa Timur. Ketiga, bapak Siregar yang menjabat sebagai Kepala
Puskesmas di Kecamatan SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi. Keempat,
bapak Yusnono dari Institut Dayakologi kota Pontianak.
Pada kesempatan yang berbahagia ini, tidak lupa penulis juga
menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman IRB angkatan 2012,
yang banyak memberikan masukan maupun tanggapan selama proses penulisan
tesis ini berlangsung. Ucapan terima kasih secara khusus penulis sampaikan pada
Mbak Dwi, Nurani, Mas Saman, Taufik Darwis, Totok, Miko, Om Willy, Mbak
Ajeng, Mas Hendra, Perdinan, Om Rudi, dan Mbak Lani. Besar harapan penulis,
karya tesis ini dapat membantu penulis berpikir lebih kritis untuk menghasilkan
karya-karya akademik lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
DAFTAR ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………….. i
Pernyataan Keaslian Karya …………………………………………………..... ii
Halaman Pengesahan ………………………………………………………….... iii
Persetujuan Pembimbing ……………………………………………………..... iv
Abstrak …………………………………………………………………………... v
Abstract ………………………………………………………………………….. vi
Kata Pengantar ………………………………………………………………..... vii
Daftar Isi ……………………………………………………………………….... viii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………… 1
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………….. 12
C. Tujuan Penelitian ...………………………………………………………… 12
D. Pentingnya Penelitian ……………………………………………………… 14
E. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………… 14
F. Kerangka Teoritis ………………………………………………………….. 24
F. 1. Teori Orientalisme Edward W. Said ………………………………..... 24
F. 2. Orientalisme dan Wacana Kolonial …………………………………... 29
G. Teknik Pengumpulan Data ……………………………………………….... 35
G. 1. Lokasi Penelitian ……………………………………………………... 35
G. 2. Jenis Penelitian ……………………………………………………..... 35
G. 3. Sumber Data ………………………………………………………..... 36
G. 4. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………… 36
H. Sistematika Penulisan …………………………………………………….... 37
BAB II IDEOLOGI KOLONIAL DI INDONESIA: DULU DAN
SEKARANG …………………………………………………………………….. 39
A. Orientalisme dalam Sejarah Indonesia …………………………………….. 39
B. Ciri-ciri Orientalisme ………………………………………………………. 47
C. Dilema Orientalisme, Kolonialisme dan Imperalisme ……………………... 52
D. Kolonialisme dalam Sejarah Indonesia …………………………………….. 56
E. Berlanjutnya Kolonialisme di Indonesia …………………………………… 59
F. Transmigrasi sebagai Kolonialisme Internal ………………………………. 60
G. Pembangunan sebagai Ideologi di Masa Pemerintahan Orde Baru ………... 66
H. Pemerintah Orde Baru dan Pelatihan Pembangunan ………………………. 69
I. Pembukaan Studi Politik di Indonesia ……………………………………... 73
J. Daerah-daerah “Tertinggal” dan Solusi Pembangunan ……………………. 77
K. Catatan Penutup ……………………………………………………………. 80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
BAB III BERLANJUTNYA ORIENTALISME DI INDONESIA DAN
PROGRAM TRANSMIGRASI ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,
PROVINSI KALIMANTAN BARAT ………………………………………….
81
A. Transmigrasi dalam Sejarah Indonesia …………………………………….. 81
B. Transmigrasi dalam Sejarah Kalimantan Barat ……………………………. 87
C. Transmigrasi dalam Sejarah Kabupaten Melawi …………………………... 89
D. Orang Dayak dalam Wacana Transmigrasi ………………………………... 91
E. Asal Mula Istilah Dayak …………………………………………………… 96
F. Penelitian tentang Suku Dayak di Masa Pascakolonial ……………………. 101
G. Transmigrasi dan Pembangunan Nasional …………………………………. 107
H. Pelatihan untuk Calon Peserta Transmigrasi ………………………………. 110
I. Pembangunan dan “Solusi” Memajukan Daerah-daerah Transmigrasi ……. 113
J. Transmigrasi untuk “Mensejahterakan” …………………………………… 116
K. “Maju”-nya Sistem Pertanian Pulau Jawa …………………………………. 119
L. “Buruk”-nya Sistem Pertanian Tradisional ………………………………… 122
M. Catatan Penutup ……………………………………………………………. 125
BAB IV PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU
SEBAGAI BENTUK ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR …………... 127
A. Kebijakan Transmigrasi Pemerintah Orde Baru dan Orientalisme di Timur
Tengah ……………………………………………………………………... 127
B. Orientalisme dan Kemampuan untuk Menguasai ………………………….. 131
C. Orientalisme dan Program Transmigrasi di Kabupaten Melawi ….……….. 134
D. Orientalisme di Kabupaten Melawi ………………………………………... 136
E. Transmigrasi di Kabupaten Melawi dan Orientalisme Timur atas Timur …. 140
F. Catatan Penutup ……………………………………………………………. 146
BAB V PENUTUP ………………………………………………………………. 148
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 154
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam bukunya Orientalism (1978), Edward W. Said mencoba untuk
mendefinisikan ulang istilah “orientalisme”. Menurut Said, ada tiga pengertian
mengenai orientalisme. Pertama, orientalisme sebagai sebuah bidang studi yang
mempelajari “orient” (Timur) dengan menggunakan kata “orient” (Timur) sebagai
tanda pengenalnya, sebagaimana sering dilakukan oleh para akademisi Barat
dalam mempelajari seputar dunia ketimuran. Kedua, orientalisme sebagai suatu
gaya berpikir yang didasarkan pada pembedaan ontologi dan epistemologi antara
“Timur” dan (hampir selalu) “Barat”. Pengertian ini digunakan oleh orang-orang
dari berbagai kalangan, seperti para satrawan, filsuf, dan sebagainya. Ketiga,
orientalisme sebagai sebuah wacana dalam artian Foucauldian.1
Untuk memberi batasan mengenai kajian orientalisme, Said dalam buku
Orientalism mengambil konteks abad kedelapan belas sebagai suatu batasan
kajiannya. Menurut Said, orientalisme dapat dibahas dan dianalisa sebagai suatu
lembaga hukum (corporate institution) yang menangani permasalahan dunia
Timur. Dalam pandangan Said, berurusan dengan dunia Timur berarti juga
membuat istilah-istilah tentang Timur, menguasai cara pandangnya, dan
mendeskripsikannya dengan jalan mengajarinya, menempatinya, dan
1 Edward W. Said. Orientalism. New York: Vintage Books. 1978, hal. 2-3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
mengaturnya. Dengan kata lain, orientalisme merupakan gaya Barat untuk
mendominasi, menata kembali, dan menguasai dunia Timur.2
Melalui buku Orientalism, Said ingin menunjukkan bagaimana budaya
Eropa mampu mendapatkan kekuatan dan identitasnya dengan cara menempatkan
diri mereka berhadapan dengan dunia Timur sebagai semacam wali atau
pelindung, bahkan sebagai “diri” (the self) yang tersembunyi.3 Dalam hal ini Barat
mendefinisikan diri dengan memposisikan dirinya berhadapan dengan Timur dan
menjelaskan bahwa Barat tidak seperti Timur. Barat juga mempersepsikan Timur
sebagai wujud dari sisi diri Barat yang tersembunyi. Dalam artian ini, orang-orang
Barat pada satu sisi juga merasa punya sisi “irasional” dan spiritual, namun hal
tersebut disembunyikan dan diposisikan berada di luar diri orang-orang Barat.
Said menunjukkan bahwa orientalisme yang merupakan suatu bidang kajian
mengenai dunia ketimuran ternyata bersumber dari keberadaan orang-orang
Inggris dan Prancis yang telah memiliki hubungan khusus dengan dunia Timur,
terutama India dan tanah injili sebelum awal abad XIX. Sejak awal abad XIX,
Inggris dan Prancis mendominasi dunia Timur. Akan tetapi, sesudah berakhirnya
Perang Dunia II dominasi tersebut diambil alih oleh Amerika Serikat dengan
melakukan pendekatan terhadap dunia Timur seperti yang pernah dilakukan oleh
Inggris dan Prancis. Namun, pendekatan yang digunakan AS lebih bersifat
akademis.
Said mengawali uraiannya tentang orientalisme dengan mengacu pada
asumsi dasar bahwa dunia Timur bukanlah sebuah fakta alam yang bersifat statis.
2 Edward W. Said. Orientalism. New York: Vintage Books. 1978, hal. 3 3 Edward W. Said, hal. 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Dunia Timur tidak semata-mata hadir seperti halnya Barat yang juga tidak semata-
mata ada.4 Oleh karena itu, untuk dapat memahami hal tersebut, Said lalu
mempelajari pernyataan Vico yang mengatakan bahwa manusia mengukir dan
menciptakan sejarahnya sendiri, bahwa apapun yang bisa manusia ketahui
merupakan sesuatu yang telah mereka ciptakan.5 Menurut Said jika pernyataan
Vico ditarik dalam konteks yang lebih luas, misalnya dalam konteks geografi,
maka dapat dipahami bahwa menurut Vico setiap manusia menciptakan lokalitas,
wilayah, serta tempat-tempat geografisnya sendiri. Misalnya, saat mereka
menciptakan “Barat” dan “Timur” merupakan konsekuensi dari faktor geografis,
kultural, dan historis.
Untuk dapat memahami Orientalisme secara utuh, menurut Said, ada tiga
pengertian (hal), yang harus dipahami terlebih dahulu. Pertama, sangatlah keliru
jika menyimpulkan bahwa dunia Timur pada dasarnya merupakan sebuah ide atau
gagasan imajiner yang tidak memiliki realitas. Kedua, bahwa semua ide-ide,
kebudayaan, hingga sejarah tidak mungkin mampu dipelajari dan dipahami secara
sungguh-sungguh tanpa mempelajari kekuatan atau lebih tepatnya pembentukan
dari kekuasaan itu sendiri. Ketiga, jangan pernah beranggapan bahwa struktur
orientalisme tidak lebih dari struktur kebohongan atau merupakan mitos belaka,
yang jika kebenaran tentangnya diungkapkan maka dengan mudah akan
menghilang. Said meyakini bahwa orientalisme secara khusus lebih bermakna
sebagai suatu tanda kekuasaan Atlantik-Eropa atas dunia Timur daripada sebagai
4 Edward W. Said, hal. 4-5 5 Ibid, hal. 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
sebuah wacana murni dan jujur mengenai Timur (seperti yang sering dituduhkan,
baik dalam karya akademis maupun kesarjanaan).6
Said dalam buku yang sama mengatakan bahwa tujuan dari penulisan buku
Orientalism adalah untuk menunjukkan bahwa orientalisme yang terjadi secara
sistematis tersebut merupakan bagian dari wacana kolonial. Dengan kata lain,
orientalisme mendukung kolonialisme Eropa. Begitupun sebaliknya, kolonialisme
Eropa atas negara-negara jajahan tidak akan terwujud tanpa dukungan
orientalisme. Dengan demikian, Said ingin mengatakan bahwa pada dasarnya
orientalisme dan kolonialisme itu sama-sama merupakan cara Barat untuk
menegaskan kekuasaan kolonialnya atas negara-negara yang menjadi wilayah
kekuasaan Barat.
Orientalisme sebagai sebuah gagasan memberikan gambaran tentang sosok
Barat yang dianggap lebih superior dari Timur yang dianggap inferior. Melalui
orientalisme, Barat berusaha untuk melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur
dengan cara menguasai dunia Timur melalui ilmu pengetahuan yang telah
diproduksi ulang oleh para intelektual Barat. Menurut Said, produksi ilmu
pengetahuan Barat atas Timur dapat dengan mudah ditemukan dalam naskah-
naskah literer dan buku-buku orientalis yang menggambarkan adanya perbedaan
nyata antara dunia Barat dengan dunia Timur.
Dalam pandangan Said, melalui reproduksi ilmu pengetahuan orang-orang
Barat yang telah mempelajari studi orientalisme akan merasa punya pengetahuan
obyektif mengenai apa itu Orient (Timur) sehingga mereka menciptakan Timur,
6 Ibid, hal. 5-6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
merekonstruksi citra tertentu tentang Timur yang seakan-akan citra tersebut
merupakan suatu “kebenaran” (murni).
Bagi Said, berbagai pandangan obyektif orang-orang Barat dalam
memandang Timur bukanlah suatu bentuk “kebenaran” (murni), melainkan
sebuah konstruksi yang digunakan oleh para orientalis Barat untuk mendominasi,
menata kembali, dan menghegemoni dunia Timur. Melalui ilmu pengetahuan
orientalisme yang dipelajari oleh orang-orang Barat, para orientalis membawa
pandangan abstrak mengenai dunia Timur yang seolah-olah menujukkan bahwa
orang-orang Barat lebih tahu tentang dunia Timur melebihi orang-orang Timur
sendiri.
Said mengatakan bahwa ilmu pengetahuan yang telah direproduksi Barat
mampu melegitimasi kekuasaannya atas dunia Timur. Untuk membuktikan hal
tersebut, Said lalu mengambil satu contoh kasus yang terjadi di Timur Tengah,
yaitu pendudukan Inggris atas Mesir. Menurut Said, orang-orang Inggris tidak
memahami pendudukan negaranya atas Mesir sebagai bentuk dari penjajahan,
melainkan sebagai upaya untuk membantu bangsa Mesir memerintah dirinya
sendiri.
Orang-orang Inggris merasa bahwa mereka mengenal orang-orang Mesir
dengan baik, dan tahu betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa Mesir agar menjadi
bangsa yang maju. Orang-orang Barat meyakini bahwa ketika Inggris menduduki
Mesir tujuannya bukanlah untuk menjajah bangsa Mesir, melainkan untuk
membantu orang-orang yang ada di Mesir mendirikan pemerintahannya secara
modern dengan cara menduduki Mesir.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Untuk menunjukkan bagaimana ilmu pengetahuan orientalisme mampu
merubah cara pandang Barat dalam menilai di dunia Timur Said lalu mempelajari
kutipan pidato dari salah satu anggota Parlemen Inggris bernama Arthur James
Balfour yang menyampaikan orasinya di depan Majelis Rendah Inggris. Dalam
pidatonya, Balfour menyampaikan bahwa pendudukan Inggris atas Mesir bukan
dimaksudkan untuk menjajah bangsa tersebut, melainkan untuk membawa
kebaikan bagi bangsa Mesir.
Dalam pidato yang dikutip oleh Said, Balfour mengatakan bahwa bangsa
Mesir adalah bangsa yang besar. Akan tetapi, orang-orang pribumi di Mesir tidak
memiliki kemampuan untuk memimpin negaranya sendiri. Oleh karena itu,
menurut Balfour, Inggris memang harus menduduki Mesir agar bisa membantu
orang-orang Mesir menyelenggarakan pemerintahannya di negara Timur Tengah
tersebut. Dalam pidato yang disampaikan tanggal 13 Juni 1910, Balfour
mengatakan:
First of all, look at the facts of the case. Western nations as soon as
they emerge into history show the beginnings of those capacities for
self government. Having merits of their own. You may look through
the whole history of the Orientals in what is called, broadly speaking,
the Fast, and you never find traces of self government. All their great
centuries and they have been very great have been passed under
despotisms, under absolute government. All their great contributions
to civilisation and they have been great have been made under that
form of government. Conqueror has succeeded conqueror, one
domination has followed another, but never in all the revolutions of
fate and fortune have you seen one of those nations of its own motion
establish what we, from a Westren point of view, call self government.
That is the fact. It is not a question of superiority and inferiority. I
suppose a true Eastern sage would say that the working government
which we have taken upon ourselves in Egypt and elsewhere is not a
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
work worthy of a philosopher that it is the dirty work, the inferior
work, of carrying on the necessary labour.7
Pernyataan Balfour dalam pidatonya di atas seperti yang dikutip oleh Said,
berangkat dari asumsi bahwa Mesir memang harus diduduki oleh Inggris karena
menurut pandangan Balfour, orang-orang Mesir tidak akan mampu untuk
menyelenggarakan pemerintahan sendiri tanpa bantuan orang-orang Inggris. Bagi
Balfour, kehadiran orang-orang Eropa di Mesir akan membantu orang-orang
Mesir menyelenggarakan pemerintahan dengan baik. Untuk itu, Balfour kembali
berkata:
Is it a good thing for these great nations, I admit their greatness that
this absolute government should be exercised by us? I think it is a
good thing. I think that experience shows that they have got under it
far better government than in the whole history of the world they ever
had before, and which not only is a benefit to them, but is
undoubletedly a benefit to the whole of the civilised West. We are in
Egypt not merely for the sake of the Egyptians, though we are there
for their sake; we are there also for the sake of Europe at large.8
Bagi Said, pernyataan sikap Balfour dalam pidatonya tentang penguasaan
Inggris di Mesir sangatlah kompleks. Said menilai bahwa dalam pidatonya itu
Balfour melupakan satu hal, yakni sikap orang-orang Mesir terhadap kehadiran
orang Inggris. Mengenai hal ini, Balfour tidak menjelaskan apa-apa ataupun
memberi bukti apakah orang-orang Mesir menghargai atau benar-benar menerima
kebaikan yang diberikan oleh pendudukan kolonial Inggris. Bukannya memberi
bukti, Balfaour justru menutup kemungkinan bagi orang-orang Mesir untuk
berbicara mengenai dirinya sendiri.
7 Ibid, hal. 32-33 8 Edward W. Said, opcit, hal. 33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Dalam pandangan Said, Balfour benar-benar mengabaikan kerugian yang
dialami orang-orang Mesir akibat kehadiran Inggris. Hal ini terjadi karena Balfour
yakin bahwa orang-orang Mesir sudah pasti akan menerima keberadaan orang-
orang Inggris di negara mereka. Menurut Said, pidato yang disampaikan Balfour
tentang Mesir di depan Parlemen Inggris yang disaksikan oleh orang-orang
Inggris sendiri menunjukkan bahwa orang-orang Barat merasa diri lebih superior
daripada orang-orang Timur yang mereka anggap inferior.
Menarik bahwa sikap-sikap orientalistik seperti itu tidak hanya terjadi di
Timur Tengah, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia lainnya, termasuk
Indonesia. Di Indonesia, sikap orientalistik pernah dilakukan oleh orang-orang
Eropa pada masa kolonial, secara khusus pemerintah Hindia Belanda terhadap
penduduk pribumi yang ada di wilayah Indonesia (dulunya Nusantara). Sikap
orientalistik tersebut ditunjukkan dengan berbagai kebijakan yang dilaksanakan
oleh pemerintah Hindia Belanda saat mereka menjajah Indonesia. Salah satu
kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang mencerminkan sikap orientalistik
adalah dengan melaksanakan kebijakan kolonisasi.
Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, kebijakan kolonisasi ini
dilaksanakan atas pertimbangan bahwa sebagian besar penduduk pribumi yang
ada di Pulau Jawa menderita kemiskinan akibat kebijakan Tanam Paksa
(Cultuurstelsel), yang dijalankan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun
1830-1870).9 Kebijakan Tanam Paksa telah menyebabkan penderitaan bagi
9 Nyoman Kutha Ratna. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
sebagaian besar penduduk pribumi yang dipekerjakan secara paksa oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda demi mendapatkan keuntungan ekonomis.
Keprihatinan terhadap penduduk pribumi Indonesia yang dipekerjakan
secara paksa oleh pemerintahan Kolonial Belanda pada akhirnya melahirkan
Politik Etis yang merupakan politik balas budi terhadap penduduk pribumi
Indonesia. Politik Etis pada dasarnya berakar pada masalah kemanusiaan,
meskipun dalam pelaksanaannya politik ini juga digunakan untuk mencari
keuntungan ekonomis. Dalam melaksanakan Politik Etis, ada tiga tujuan pokok
yang hendak dicapai oleh pemerintahan Hindia Belanda. Tiga tujuan tersebut
adalah10
:
1. Edukasi, yakni memperluas bidang pengajaran dan pendidikan.
2. Irigasi (pengairan), yakni membangun dan memperbaiki pengairan dan
bendungan untuk keperluan pertanian.
3. Emigrasi, yakni mengajak penduduk untuk bertransmigrasi
Tampak bahwa kebijakan kolonisasi pada masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda dilaksanakan atas pemahaman bahwa pemerintah Hindia Belanda
merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk pribumi di Pulau Jawa agar
bisa mengubah nasib mereka menjadi lebih sejahtera. Dengan melaksanakan
kebijakan kolonisasi, pemerintah Hindia Belanda merasa bahwa kebijakan
kolonisasi akan membantu orang-orang pribumi di Indonesia mengubah
10 M. C. Ricklefs. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005, hal. 327
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
kehidupan mereka yang tadinya miskin menjadi sejahtera dengan cara ikut
program kolonisasi.
Menariknya, pada masa pascakolonial kebijakan kolonisasi pemerintah
Belanda itu diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilaksanakan secara besar-
besaran oleh pemerintahan Orde Baru. Pada masa kemerdekaan Indonesia,
program kolonisasi berganti nama menjadi program transmigrasi, tepatnya pada
tahun 1948 oleh Kementerian Pembangunan dan Pemuda.11
Namun demikian,
meskipun namanya diganti, kebijakan ini tetaplah berkaitan dengan usaha
memindahkan penduduk dari daerah yang padat di Pulau Jawa menuju ke luar
Pulau Jawa.
Dengan melanjutkan kebijakan transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru sebenarnya telah
melanjutkan kebijakan kolonial dari pemerintahan Hindia Belanda. Dengan
demikian, di masa pascakolonial pemerintah Orde Baru telah melanjutkan
kolonialisme bangsa Barat dengan tujuan untuk menguasai sumber daya alam-
sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah tujuan transmigrasi yang ada
di Indonesia.
Tesis ini ingin menunjukkan bahwa orientalisme di Indonesia terus berlanjut
pada masa pascakolonial. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa
pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Menurut pemerintah Orde Baru, tujuan
11 Departemen Transmigrasi. Historiografi Transmigrasi. Jakarta: 1984, hal. 24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
dilaksanakannya program transmigrasi adalah untuk memenuhi tiga hal. Pertama,
memindahkan penduduk dari Pulau Jawa menuju ke luar Pulau Jawa. Kedua,
melaksanakan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah yang konon
dianggap “tertinggal”. Ketiga, mensejahterakan seluruh penduduk yang mengikuti
program transmigrasi.
Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang berlangsung di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pada tahun 1990-an, menunjukkan bahwa
pemerintah di Jakarta lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh penduduk lokal
(khususnya orang-orang Dayak) di Melawi agar menjadi maju melebihi
pengetahuan orang-orang Melawi sendiri. Bagi pemerintah Jakarta, program
transmigrasi di Kabupaten Melawi tidak hanya bertujuan untuk memindahkan
penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan juga bertujuan untuk membangun
daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.
Bagi pemerintah Orde Baru, program transmigrasi yang berlangsung di
Kabupaten Melawi bukan untuk mencari keuntungan ekonomi semata, melainkan
lebih dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak membangun daerah-
daerah mereka yang oleh pemerintah di Jakarta dianggap sebagai salah satu
daerah “tertinggal” dalam hal pembangunan nasional. Dalam pandangan
pemerintah di Jakarta, program transmigrasi adalah solusi untuk memajukan
daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.
Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi hanyalah
salah satu contoh yang dapat menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru telah
melanjutkan praktek-praktek kolonial di daerah-daerah transmigrasi yang ada di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Kabupaten Melawi. Kasus transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi
juga menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonial di Indonesia, yang dulunya
dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda, pada masa pascakolonial dilanjutkan
oleh pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari penjelasan latar belakang masalah di atas, ada beberapa
permasalahan yang bisa dikaji dalam penelitian tesis ini. Permasalahan itu dapat
dirumuskan dalam beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana kolonialisme di Indonesia berlanjut pada masa pascakolonial,
secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru?
2. Apa wacana yang mampu melegitimasi kekuasaan pemerintah Orde Baru
terhadap penduduk lokal (orang-orang Dayak) di Kabupaten Melawi,
Kalimantan Barat?
3. Apakah wacana yang mengiringi kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan
oleh pemerintah Orde Baru di Melawi mempunyai kesamaan dengan
orientalisme yang terjadi terhadap Timur Tengah?
C. Tujuan Penelitian
Sebagaimana telah disampaikan di depan dalam buku Orientalism, Edward
W. Said menjelaskan bagaimana orang-orang Barat membicarakan orang-orang
Timur. Dengan memakai konsep orientalisme, orang-orang Barat merasa dirinya
lebih superior dari orang-orang Timur yang menurut mereka inferior. Karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Barat merasa bahwa dirinya superior dari Timur, maka orang-orang Barat yang
sedang menguasai dunia Timur tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah
dunia Timur. Orang-orang Barat justru merasa bahwa mereka sedang berjuang
untuk membantu orang-orang Timur mendirikan pemerintahannya sendiri.
Dengan kata lain, orang-orang Barat merasa bahwa tanpa bantuan Barat, orang-
orang di dunia Timur tidak akan mampu untuk mendirikan pemerintahannya
sendiri.
Tesis ini memiliki beberapa tujuan, yaitu: pertama, memahami, mengetahui,
menganalisis, serta mencari tahu apakah kolonialisme di Indonesia pada masa
pascakolonial terus berlanjut atau tidak. Kedua, menunjukkan bahwa konsep
orientalisme itu tidak hanya digunakan oleh orang-orang Barat untuk menilai
dunia Timur, tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang Timur sendiri dalam
menilai sesama orang Timur.
Ketiga, menunjukkan bahwa kolonialisme yang berlanjut di Indonesia pada
masa pascakolonial, pelakunya bukanlah orang-orang Eropa pada umumnya
(pemerintah kolonial Hindia Belanda), melainkan pelakunya adalah pemerintah
Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru. Keempat, menunjukkan
bahwa dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda, pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru telah bertindak sebagai
agen kolonialisme baru dengan menjadikan suku Dayak di Kabupaten Melawi
sebagai korbannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
D. Pentingnya Penelitian
Penelitian tesis ini menjadi sangat penting bagi penulis karena teori
Orientalisme Edward W. Said ternyata tidak hanya berlaku di negara-negara
Timur Tengah (Mesir), melainkan juga berlaku di negara-negara Asia lainnya
seperti Indonesia. Dengan kata lain, argumen Said mengenai orientalisme tidak
hanya digunakan oleh orang-orang Barat dalam memandang dunia Timur, akan
tetapi juga bisa digunakan oleh orang-orang Timur sendiri dalam memandang
sesama orang Timur.
Bertolak dari gagasan-gagasan di atas, tesis ini ditulis dengan beberapa
tujuan. Pertama, penelitian ini dapat menunjukkan bagaimana teori Orientalisme
Edward W. Said tidak hanya berlaku di negara-negara Timur Tengah seperti
Mesir, akan tetapi juga berlaku di Indonesia. Kedua, tesis ini menjadi penting,
karena berbeda dari penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaannya adalah
penelitian ini tidak mengambil contoh kasus di negara-negara Timur Tengah,
melainkan mengambil kasus program transmigrasi yang berlangsung di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Ketiga, hasil dari penelitian ini diharapkan
mampu menambah khasanah kajian ilmu Humaniora yang dapat memberi manfaat
bagi penulis sendiri dalam mengembangkan Kajian Ilmu Budaya.
E. Tinjauan Pustaka
Di Indonesia, kajian tentang Orientalisme memang merupakan hal yang
asing karena belum banyak orang yang meneliti hal tersebut. Akan tetapi, bukan
berarti bahwa tidak ada kajian yang menjelaskan mengenai Orientalisme di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Indonesia. Di kalangan akademisi sendiri, sejauh ini sudah ada karya tulis tesis
yang membicarakan mengenai Orientalisme. Hasan Basri (2010), menulis tesis
berjudul Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya
Edward Said.12
Meskipun demikian, fokus penelitian Basri pada akhirnya
menunjukkan dua hal. Pertama, Basri menunjukkan bahwa para intelektual
Muslim di Indonesia sulit untuk menerima perspektif kritis yang disampaikan oleh
Said dalam buku Orientalisme. Kedua, para peneliti di Indonesia, secara khusus
kaum intelektual Muslim, cenderung menerima dan mengafirmasi karya orientalis
Barat.
Dalam pandangan Basri, tujuan utama penulisan tesisnya adalah untuk
melihat respon intelektual Muslim di Indonesia terhadap buku Orientalisme Said.
Untuk melihat respon intelektual muslim Indonesia, Basri dalam tesisnya
menggunakan teori empat wacana Lacanian (Lacanian four discourses).13
Akan
tetapi, fokus Basri dalam penelitian tesis ini hanya ingin melihat bagaimana kaum
Muslim terdidik di Indonesia merespon buku karya Edward Said serta melihat
bagaimana implikasi buku Said terhadap kaum muslim Indonesia terdidik.
Hasil penelitian tesis Basri merupakan hasil karya tulis orang Indonesia
dalam merespon buku Orientalisme karya Edward Said. Meskipun demikian,
penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, baik itu yang
pernah diteliti oleh para akademisi Barat maupun oleh peneliti Indonesia. Dalam
penelitian ini, penulis ingin menguraikan bahwa argumen Said dalam bukunya
12 Tesis Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya Edward Said. Mahasiswa IRB, 2010. 13 Tesis Hasan Basri. Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Buku Orientalisme Karya Edward Said. Mahasiswa IRB, 2010. Abstrak, hal. xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Orientalism dapat diperluas dengan mengambil contoh kasus di Indonesia. Dalam
kasus yang terjadi di Indonesia, penelitian ini ingin menunjukkan bahwa sikap
orientalistik ternyata juga bisa dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri terhadap
sesama orang Timur. Dalam buku Orientalism, Said menjelaskan bagaimana
orang-orang Barat memandang Timur dan membicarakannya. Oleh karena itu,
untuk memasuki wilayah Indonesia maka penulis akan menggunakan beberapa
literatur mengenai Indonesia yang ditulis oleh para peneliti Barat.
Sejauh ini sudah banyak para peneliti Barat yang menulis tentang Indonesia.
Namun, dalam penelitian ini penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur
yang penulis anggap dapat membantu melihat permasalahan yang akan penulis
teliti. Simon Philpott (2000), misalnya menulis Rethinking Indonesia:
Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity.14
Menurut Philpott, Indonesia
di masa kolonial dikuasai oleh orang-orang Eropa seperti, Portugis, Inggris, dan
Belanda yang menggunakan pendekatan filosofis, sedangkan di masa
pascakolonial hegemoni atas Indonesia yang awalnya dipengaruhi oleh Belanda
digantikan oleh Amerika Serikat dan Australia dengan menggunakan pendekatan
berbeda dari penjajah Belanda, yakni social sciences (akademis).
Dengan berakhirnya kolonialisme Eropa (Belanda) atas Indonesia, tidak
membuat bangsa Indonesia benar-benar terbebas dari pengaruh asing. Hal ini
tampak dari terus direproduksinya ilmu pengetahuan Barat di negara-negara Asia
yang baru saja merdeka, misalnya Indonesia. Sebagai sebuah negara yang baru
saja merdeka, bangsa Indonesia di masa pascakolonial memang telah terbebas dari
14 Simon Philpott. Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press LTD. 2000.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
pengaruh pemerintah Belanda. Namun, pengaruh pemerintah Belanda atas
Indonesia di masa pascakolonial diambil alih oleh pemerintah Amerika Serikat
dengan cara menanamkan gagasan-gagasan Barat di bidang ekonomi dan kajian
politik.
Tujuan pemerintah AS menanamkan gagasan-gagasan Barat di Indonesia
adalah untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh komunis dan untuk menguasai
kembali Indonesia. Untuk melaksanakan tujuan tersebut, pemerintah AS
mendirikan lembaga studi Ford Foundation yang bertugas untuk mengirim para
ilmuan Barat ke Indonesia. Selain bertugas mengirim ilmuan Barat ke Indonesia,
lembaga ini juga bertugas mengirim para pelajar Indonesia untuk belajar di
universitas-universitas yang ada di AS.
Menurut Philpott, Ford Foundation tidak hanya bertugas untuk mengirim
para ilmuan Barat ke Indonesia, melainkan juga ikut mendanai pendirian Modern
Indonesia Project di Cornell University yang oleh Philpott kajian ini bisa
dikatakan sebagai program studi tentang Indonesia paling berpengaruh selama
empat puluh tahun terakhir. Untuk menunjukkan hal tersebut, Philpott lalu
mengutip pernyataan Kahin yang mengatakan bahwa pengaruh intelektual Barat
atas Indonesia sudah tidak perlu lagi diragukan:
(e)ven Indonesian universities must use Cornell‟s elite-oriented studies to
teach post-independence politics and history…”Most of the people at the
university came from essentially bourgeois or bureaucratic families”,
recalls Kahin. “They knew precious little of their society”.15
15 Simon Philpott. Rethingking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press LTD. 2000, hal. 119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Tampak jelas, pernyataan Kahin yang dikutip oleh Philpott menunjukkan
bahwa hanya sedikit para elit Indonesia yang mengetahui tentang kehidupan
orang-orang di Indonesia dalam konteks diskursus baru setelah berakhirnya
Perang Dunia II. Namun, menurut Philpott, justru dari asumsi inilah genealogi
orientalis dari studi kawasan terlihat jelas. Dalam pandangan Philpott, cara
tradisional bisa digunakan untuk mengetahui bahwa “sejarah” tunduk pada ilmu-
ilmu sosial yang dianggap lebih superior.16
Selain itu, Philpott juga menyoroti reaksi kaum elit Indonesia dalam
menyikapi urusan pendanaan Ford Foundation. Dalam buku yang sama, Philpott
memberikan ilustrasi bagaimana ketika presiden Soekarno mengeluhkan
perubahan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menjadi „sekolah ekonomi,
statistik, dan administrasi bisnis yang bergaya AS, Presiden Soekarno justru
mendapat perlawanan dari lembaga Ford Foundation:
„When Sukarno threatened to put an end to Western economics‟ says John
Howard, long-time director of Ford‟s International Training and
Research Program, „Ford threatened to cut off all programs, and that
changed Sukarno‟s direction.‟17
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana bangsa Indonesia yang sudah
merdeka dari tangan penjajahan Belanda, di masa pascakolonial ternyata sangat
bergantung pada bantuan pemerintah AS. Tampak jelas pula bahwa pendirian
lembaga Ford Foundation dimaksudkan untuk menanamkan pengaruh Barat atas
Indonesia dengan cara menanamkan gagasan-gagasan Barat seperti pembangunan
ekonomi dan politik yang berbasis ke AS. Pemberian beasiswa bagi pelajar
16Ibid, hal. 119 17 Ibid, hal. 119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
Indonesia serta pengiriman para ahli AS ke Indonesia merupakan bagian dari
usaha pemerintah AS untuk mereproduksi ilmu pengetahuan Barat di Indonesia.
George McTurnan Kahin (1970), menulis Nationalism and Revolution in
Indonesia.18
Dalam Bab I bukunya, Kahin menguraikan bahwa pengaruh orang-
orang Belanda terhadap kehidupan sosial penduduk pribumi di Indonesia dimulai
sejak perusahaan Belanda mendirikan Verenigde Oost Indische Compagnie
(VOC) tahun 1602. Tujuan dari pendirian ini adalah untuk memonopoli ekspor-
impor rempah-rempah dari Indonesia (dulunya Nusantara). VOC memusatkan
kegiatannya di Pulau Jawa dengan cara ikut campur dalam urusan politik dan
ekonomi. Namun pada tahun 1798 perusahaan VOC mengalami kebangkrutan
akibat ulah para pejabatnya yang melakukan korupsi. Tahun 1799 perusahaan
VOC ditutup dan wilayah kekuasaannya diambil alih oleh pemerintahan Belanda.
Setelah VOC ditutup, pemerintahan Belanda membuat kebijakan baru yang
bernama Cultivation System (Tanam Paksa) yang mewajibkan rakyat pribumi
untuk membayar pajak pada pemerintahan Belanda. Sistem ini pada akhirnya
hanya menimbulkan penderitaan bagi rakyat pribumi. Selanjutnya, pada tahun
1901, berdiri sebuah perusahaan dagang Islam bernama Sarekat Dagang Islam,
yang awalnya hanya mengurusi perdagangan namun dalam perkembangannya
mengarah pada tujuan politik. Jadi, menurut Kahin, Sarekat Dagang Islam adalah
gerakan nasionalis pertama yang bersifat anti-kolonial. Setelah berdirinya
perusahaan dagang Islam, pada tahun 1906-1908 berdiri sebuah organisasi
nasionalis pertama, yaitu Boedi Utomo.
18George McTurnan Kahin. Nationalism and Revolution In Indonesia. London: Cornell University Press. 1970.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Bradley R. Simpson (2010) menulis buku Economists with Guns: Amerika
Serikat, CIA, dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru.19
Dalam
bukunya Simpson menguraikan bagaimana Indonesia pascakolonial dipengaruhi
oleh Amerika Serikat (AS) dalam hal politik, ekonomi, maupun budaya. Buku
karya Simpson ini menguraikan bagaimana pada masa pemerintahan Eisenhower,
AS berusaha untuk mengubah arah politik Indonesia dengan cara menggulingkan
presiden Soekarno yang oleh AS dianggap cenderung sosialis. Buku ini juga
menguraikan bagaimana usaha AS mengusai Indonesia karena dipengaruhi oleh
Perang Dingin. Pada masa Perang Dingin, tujuan utama bantuan AS pada
Indonesia menurut Simpson bersifat sangat politis. Tujuan politis ini bertujuan
untuk menjauhkan Indonesia dari pengaruh Uni Soviet.
Dalam penelitian ini, penulis ingin menunjukkan bahwa kolonialisme yang
terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial tidak lagi dilakukan oleh orang-
orang Barat pada umumnya, melainkan dilakukan oleh orang-orang Indonesia
sendiri terhadap sesama orang Indonesia. Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia
pada masa pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi
yang diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilanjutkan secara besar-besaran
oleh pemerintah Orde Baru.
Di Indonesia sendiri pada masa pascakolonial, kajian mengenai program
transmigrasi bukanlah hal yang asing. Sejauh ini sudah banyak para peneliti yang
menulis tentang kajian transmigrasi di Indonesia. Namun, di dalam penelitian ini
19 Bradley R. Simpson. Ekonomist With Guns: Amerika Serikat, CIA dan Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
penulis hanya akan menggunakan beberapa literatur yang menurut penulis dapat
membantu dalam melihat persoalan transmigrasi di Indonesia.
Sri Edi Swasono dan Masri Singarimbun (1986), misalnya menulis
Transmigrasi di Indonesia (1905-1985).20
Mereka menyoroti permasalahan yang
terjadi dalam program transmigrasi di Indonesia. Permasalahan transmigrasi yang
terjadi di Indonesia diakibatkan oleh adanya kontak budaya antara penduduk
pendatang dengan penduduk lokal. Kontak budaya tersebut diakibatkan adanya
pertemuan budaya baru dengan budaya lama. Jika tidak diatasi dengan baik, tidak
jarang akan menimbulkan gesekan antara penduduk pendatang dengan penduduk
lokal. Berbagai gesekan bisa terjadi karena faktor kesenjangan sosial antara
penduduk pendatang dengan penduduk pribumi.
Menurut Swasono, biasanya warga pendatang kehidupan ekonominya jauh
lebih baik dari warga lokal. Sebagai contoh, Swasono dan Singarimbun dalam
buku yang sama melakukan penelitian dengan mengambil lokasi transmigrasi di
wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Di
wilayah ini, program transmigrasi telah berhasil mengubah nasib penduduk
pendatang, sedangkan untuk penduduk lokal program transmigrasi dianggap gagal
menyejahterakan penduduk lokal.
H. J. Heeren (1979) menulis buku berjudul Transmigrasi di Indonesia.21
Heeren membahas persoalan transmigrasi yang terjadi di Indonesia, secara khusus
di Sumatera Selatan pada tahun 1952-1958. Penjelasannya dimulai dengan
mempertanyakan mengapa perlu adanya program transmigrasi di Indonesia.
20 Sri Edi Swasono, Masri Singarimbun. Tranmigrasi di Indonesia (1905-1985). Jakarta: Universitas Indonesia, 1986. 21 H.J Heeren. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia, 1979
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Menurut Heeren, ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemerintahan
melanjutkan program transmigrasi. Pertama, jumlah penduduk pulau Jawa
bertambah pesat, namun sebagian besar penduduknya menderita kemiskinan.
Kedua, pembangunan nasional dianggap tidak merata ke setiap daerah karena
hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Oleh karena itu, pemerintahan melanjutkan
program transmigrasi dengan tujuan dapat memindahkan penduduk sekaligus
menyediakan lapangan kerja baru di lokasi transmigrasi. Namun, menurut Heeren,
program transmigrasi yang sudah berlangsung sejak tahun 1905 hingga tahun
1974 di masa pemerintahan Orde Baru tidak berhasil mengatasi jumlah penduduk
pulau Jawa-Madura dan Bali yang setiap tahun terus meningkat.
Rukmadi Warsito dkk (1984), menulis Transmigrasi: dari Daerah Asal
sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman.22
Rukmadi Warsito dkk
menjelaskan berbagai persoalan yang terjadi dalam kebijakan transmigrasi di
Indonesia. Menurut Warsito, ada tiga persoalan mendasar yang terjadi dalam
pelaksanaan program transmigrasi di Indonesia. Pertama, permasalahan dengan
daerah asal para transmigrasi. Kedua, benturan sosial budaya antara penduduk
pendatang dengan penduduk lokal. Ketiga, kerja sama dengan dinas terkait yang
berhubungan dengan kebijakan transmigrasi tidak maksimal. Rukmadi dkk dalam
buku yang sama menjelaskan bahwa kebijakan transmigrasi terjadi karena
permasalahan sosial masyarakat di pulau Jawa-Madura dan Bali yang sudah
terjadi sejak masa kolonial Belanda. Masalah kemiskinan dan kurangnya lahan
untuk pertanian memaksa pemerintahan Hindia Belanda menjalankan Politik Etis
22 Rukmadi Warsito dkk. Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman. Jakarta: CV. Rajawali, 1984
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
yang bertujuan untuk memperbaiki keadaan sosial-ekonomi yang dialami
masyarakat pedesaan Jawa. Untuk itu pemerintahan Hindia Belanda
melaksanakan program ini dengan tujuan dapat mengatasi permasalahan sosial
masyarakat Jawa di pedesaan.
Menurut Warsito, kebijakan emigrasi telah dilaksanakan pada tahun 1905
melalui suatu program yang diberi nama kolonisasi. Tujuan dari program ini
adalah untuk mengatasi kemiskinan, sekaligus untuk mengatasi kepadatan
penduduk yang ada di pulau Jawa-Madura dan Bali. Di masa pemerintahan Orde
Baru, program ini diadopsi dan dilanjutkan oleh pemerintahan. Tujuan
pemerintahan Orde baru melanjutkan program ini adalah untuk mempercepat
pembangunan daerah yang ada di Indonesia. Rukmadi dkk, dalam buku yang
sama mengutip pidato presiden Soeharto di depan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1975. Dalam
pidatonya, Soeharto menyampaikan bahwa ada empat tujuan dari transmigrasi
antara lain:
Pertama, transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk dari
pulau Jawa, Bali, Madura, dan Lombok ke pulau-pulau lain di
Indonesia. Kedua, transmigrasi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan
tenaga kerja di daerah-daerah yang kurang padat penduduknya dan
membutuhkan tenaga kerja. Ketiga, transmigrasi bertujuan untuk
memperluas lahan pertanian agar produksinya dapat ditingkatkan.
Keempat, transmigrasi bertujuan untuk memperkuat keamanan dan
pertahanan nasional.23
Bertolak dari uraian buku-buku di atas, tampak bahwa penelitian tesis ini
berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian tesis ini tidak akan
23 Rukmadi Warsito dkk. Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan Budaya di Tempat Pemukiman. Jakarta: C.V. Rajawali. 1984, hal. vii.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
menguraikan menguraikan tentang kajian transmigrasi di Indonesia, melainkan
hanya memakai program transmigrasi sebagai salah satu contoh yang bisa
menunjukkan bahwa kolonialisme di Indonesia terus berlanjut pada masa
pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru.
F. Kerangka Teoritis
F.1. Teori Orientalisme Edward W. Said
Tesis ini akan menggunakan teori orientalisme Edward W. Said untuk dapat
meneropong beberapa hal. Pertama, dengan menggunakan teori Orientalisme
Said, akan tampak bahwa orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara Timur
Tengah saja, melainkan juga terjadi di negara-negara lain seperti Indonesia.
Kedua, dengan menggunakan teori Orientalisme Said, akan tampak pula bahwa
sikap orientalistik ternyata tidak hanya dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap
orang Timur saja, melainkan juga dapat dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri
terhadap sesama orang Timur.
Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat hanyalah salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme itu
benar-benar terjadi di Indonesia pada masa pascakolonial. Meskipun demikian,
orientalisme yang tercermin dalam program transmigrasi di Kabupaten Melawi,
berbeda dari orientalisme yang terjadi di Timur Tengah. Perbedaannya adalah
pelaku dari tindakan orientalistik di Indonesia bukan lagi orang-orang Barat pada
umumnya, melainkan baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang-
orang Timur sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
Penggunaan teori Orientalisme Said juga dimaksudkan untuk melihat
apakah cara pandang pemerintah Indonesia (Orde Baru) di Jakarta memiliki
kesamaan dengan cara pandang orientalistik yang dilakukan oleh orang-orang
Barat terhadap orang-orang di Timur Tengah. Orientalisme yang terjadi di negara-
negara Timur Tengah telah menunjukkan bagaimana orang-orang Barat
mewacanakan orang-orang Timur. Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan
kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Indonesia, secara khusus di
Kabupaten Melawi, yakni dapat menunjukkan bagaimana orang-orang Timur
yang diwakili oleh pemerintah Orde Baru mewacanakan sesama orang Timur
(orang-orang Dayak).
Wacana tentang orang Dayak dapat dengan mudah ditemukan dalam buku-
buku penelitian yang sudah ada sejak masa kolonial hingga pascakolonial. Dari
hasil penelitian buku-buku tersebut dapat diketahui bahwa orang-orang Dayak
memiliki karakter maupun sifat yang tidak jauh berbeda dari karakter orang-orang
Timur yang ada di negara-negara Timur Tengah. Misalnya, orang-orang Dayak
dalam banyak buku hasil penelitian disebutkan sebagai salah satu suku
“tertinggal”, yang manusianya masih dianggap “primitip”, terbelakang, dan belum
beradab.
Sebagaimana telah kita lihat dalam buku Orientalism, Said menjelaskan
bahwa orientalisme adalah sebuah konsep yang berkaitan dengan pengetahuan
tentang dunia Timur yang diteliti oleh Barat. Menurut Said, pengetahuan tentang
Timur yang dipahami oleh orang-orang Barat mereka peroleh dari karya tulis
intelektual Barat yang meneliti tentang dunia Timur. Hasil penelitian tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
dengan mudah dapat dijumpai dalam buku-buku, novel, laporan-laporan
perjalanan, teks-teks orientalis, media televisi maupun karya sastra lainnya.
Dengan kata lain menurut Said, orang-orang Barat dapat mengetahui seperti apa
orang-orang Timur itu hanya dengan membaca karya-karya tulis orientalis.
Untuk mengkaji ulang orientalisme, Said menggunakan gagasan Foucault
tentang wacana (discourse) dalam buku The Archeology of Knowleadge dan
dalam buku Discipline and Punish. Gagasan Foucault tentang wacana digunakan
Said untuk mengidentifikasi kajian orientalisme. Menurut Said, tanpa mengkaji
orientalisme sebagai suatu diskursus, akan sangat sulit untuk memahami
orientalisme sebagai suatu disiplin keilmuan yang bekerja secara sistematis, yang
bersamaan dengannya kebudayaan Eropa mampu mengatasi bahkan menciptakan
dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, ilmiah dan imajinatif
yang berlangsung sejak masa pascapencerahan.24
Orientalisme, bagi Said, merupakan sebuah diskursus yang tidak hanya
berkaitan dengan satu kekuasaan politis saja, melainkan juga dihasilkan melalui
pertukaran berbagai jenis kekuasaan. Hubungan antara pengetahuan dan
kekuasaan yang dibongkar oleh Said menunjukkan bahwa pengetahuan yang
diciptakan oleh Barat telah berhasil merekonstruksi pikiran orang-orang Barat
dalam melihat dunia Timur. Melalui wacana orientalis yang merupakan bagian
dari wacana kolonial, orang-orang Barat ketika menjajah negara-negara Timur
merasa bahwa mereka lebih superior dari Timur yang dianggap inferior karena
menjadi daerah jajahan bangsa Barat.
24 Edward W. Said, hal. 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Menurut Said, ada relasi kekuasaan yang hidup dalam wacana Orientalisme.
Oleh karena itu, Said lalu membaginya ke dalam empat jenis kekuasaan. Pertama,
kekuasaan politis (pembentukan kolonialisme dan imperialisme). Kedua,
kekuasaan intelektual (mendidik Timur melalui sains, linguistik, dan pengetahuan
lain). Ketiga, kekuasaan kultural (kanonisasi selera, teks, dan nilai-nilai, misalnya
Timur memiliki kategori estetika kolonial, yang dengan sangat mudah bisa kita
jumpai di negara India, Mesir dan negara-negara bekas koloni lainnya). Keempat,
kekuasaan moral (apa yang baik dilakukan dan tidak baik dilakukan oleh Timur).
Empat jenis kekuasaan yang hidup dalam wacana orientalisme menunjukkan
bahwa dunia Timur dibentuk sedemikian rupa sehingga menjadi Timur yang
sesuai dengan standar Barat.25
Dalam pandangan Said, melalui kajian orientalisme, seorang yang berpikir
secara orientalis akan merasa bahwa dirinya lebih tahu tentang dunia Timur
dibandingkan dengan orang-orang Timur itu sendiri. Seorang orientalis akan
menganggap Timur sebagai objek dari kajiannya. Untuk membuktikan hal
tersebut, Said lalu memberi contoh bahwa seorang orientalis yang melakukan
perjalanan wisata (ziarah) ke negara-negara Timur seperti Mesir, India, Afrika dan
negara-negara Asia lainnya akan selalu membawa pandangan yang abstrak bahwa
mereka sudah mengetahui mengenai peradaban negara tersebut. Pandangan
semacam ini dipengaruhi oleh pengetahuan yang mereka terima dari membaca
naskah-naskah, teks-teks dan literatur yang menceritakan tentang dunia Timur,
sifat-sifat dari manusianya dan karakteristik yang dimiliki orang-orang Timur.
25 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Dengan membaca teks-teks orientalis, orang-orang Barat akan mengetahui
seperti apa karakter serta sifat-sifat dari orang Timur. Said dalam bukunya yang
sama lalu mengutip pernyataan Lord Cromer yang mengatakan bahwa “bangsa-
bangsa Timur pada hakikatnya berwatak platonis,26
yang bisa dikaji, dipahami
atau diekspos, bahkan oleh seorang orientalis (atau penguasa bangsa-bangsa
Timur) sekalipun.”27
Pernyataan Cromer seperti yang dikutip Said menunjukkan
bahwa dianggap ada perbedaan signifikan antara orang-orang Barat dengan orang
Timur. Perbedaannya antara lain menyangkut soal kecerdasan dan pemikiran.
Orang-orang Barat, kata Cromer, adalah penalar yang baik. Pengetahuan mereka
mengenai ilmu pengetahuan tidak ada yang meragukannya. Orang Barat memiliki
pemikiran yang jenius dan sangat skeptis. Pemahaman orang Barat dalam melihat
sesuatu selalu menuntut bukti sebelum meyakini kebenarannya.
Orang-orang Timur menurut Cromer, tidak bisa berpikir dengan baik.
Kemampuan mereka mengenai logika tidak ada yang baik. Meskipun sejarah
mencatat bahwa orang-orang Arab kuno memiliki ilmu dialektika yang tinggi,
namun keturunan mereka tidak mewarisi kemampuan ini. Mereka tidak mampu
mengambil sebuah kesimpulan dari pernyataan yang sangat sederhana sekalipun.
Mereka bukan pemikir yang cerdas. Dalam menjelaskan sesuatu biasanya akan
sangat panjang lebar dan tidak jelas. Bahkan saat penjelasan mereka diuji, orang-
orang Timur akan mengalami kesulitan untuk menjawabnya. Keterbatasan yang
26 Yang saya maksud dengan platonis (platonic essence), adalah semacam esensi yang tetap, tidak berubah (sifat “ketimuran” yang akan selalu terwujud kapanpun dan dimanapun di dunia Timur) 27 Edward W. Said, hal. 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
mereka miliki membuat mereka orang-orang Timur kelabakan jika pernyataan
mereka diuji.
Orang-orang Timur adalah makhluk yang mudah dikecoh, yang tidak
memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri serta tidak memiliki inisiatif dalam
mengatasi masalah. Orang Timur dianggap suka “menjilat”, penuh dengan
kepura-puraan, licik serta tidak menyenangi binatang. Orang-orang Timur tidak
mengerti peradaban modern. Sebagai contoh, jika mereka berjalan di jalan raya
dan trotoar, otak mereka yang bermasalah tidak mampu untuk memahami apa
yang bisa dipahami oleh otak orang-orang Eropa yang cerdas bahwa
sesungguhnya trotoar dan jalan raya itu diciptakan untuk pejalan kaki.
Pernyataan Cromer di atas, seperti yang dikutip Said, hanyalah salah satu
contoh bagaimana orang-orang Barat menilai buruk orang-orang Timur. Oleh
karena itu tidaklah mengherankan jika orang-orang Barat merasa diri lebih
superior dari orang-orang Timur yang mereka anggap inferior. Dengan demikian,
tampak jelas bahwa wacana orientalisme juga berfungsi sebagai alat untuk
melegitimasi kolonialisme.
F.2. Orientalisme dan Wacana Kolonial
Ania Loomba dalam bukunya Colonialism/Postcolonialism telah
menjelaskan bahwa sifat dari pengetahuan itu tidak polos, namun sangat berkaitan
dengan operasi-operasi kekuasaan.28
Menurut Loomba, Said mencoba untuk
menguraikan kembali bagaimana kajian formal tentang dunia Timur (yang
28 Ania Loomba. Colonialism/Postcolonialism. NewYork: Routledge. 1998, hal. 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
sekarang disebut Timur Tengah) dengan cara menggunakan naskah-naskah kunci
literer dan kultural, dengan mencoba mengkonsolidasikan cara-cara tertentu untuk
melihat, memikirkan, dan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Apa yang
terjadi bukanlah materi yang telah dibahas oleh analis tradisional mengenai
kolonialisme, namun saat ini itu semua bisa terlihat sangat penting dalam
pembentukan serta berfungsinya masyarakat-masyarakat kolonial yang terjadi
dengan adanya buku Orientalism serta perubahan perspektif tentang ideologi dan
budaya.
Dalam pandangan Loomba, buku Orientalism karya Said bisa dikatakan
mampu untuk mengantarkan pada suatu jenis studi baru atas kolonialisme.
Loomba mengutip peryataan Said yang mengatakan bahwa penggambaran
“Timur” dalam berbagai buku, naskah-naskah literer Eropa, kisah-kisah
perjalanan, dan tulisan-tulisan Orientalis lainnya telah membantu terciptanya
suatu dikotomi antara Eropa dan wilayah-wilayah lainnya, suatu dikotomi yang
mampu menempati posisi sentral dalam pembentukan budaya Eropa dalam
mempertahankan serta menyebarluaskan hegemoni Eropa atas negeri-negeri lain
di luar Eropa. Tugas utama yang dilakukan oleh Said adalah menunjukkan
bagaimana pengetahuan tentang orang-orang non-Eropa adalah bagian dari sebuah
proses untuk mempertahankan kekuasaan atas mereka; menjadikan sebuah status
“pengetahuan” itu didemistifikasi, serta batas-batas antara yang ideologis dengan
yang objektif dibuat kabur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
Menurut Loomba, semua ilmu pengetahuan yang dimiliki para orientalis
yang sangat mengesankan itu disaring melalui bias kultural mereka karena “studi”
atas Timur itu bersifat tidak objektif melainkan bersifat:
A political vision of reality whose structure promoted the difference
between the familiar (Europe, the West, „us‟) and the strange (the
Orient, the East, „them‟). When one uses categories like Oriental and
Western as both the starting and the end point of analysis, research,
public policy. The result is usually to polarize the distinction-the
Oriental becomes more Oriental, the Westerner more Western-and
limit the human encounter between different cultures, traditions, and
societies.29
Kutipan pernyataan Loomba di atas menunjukkan bahwa analisis wacana
memungkinkan kita menelusuri hubungan-hubungan antara yang kelihatan dengan
yang tersembunyi, yang dominan dengan yang marjinal, gagasan-gagasan dengan
lembaga-lembaga. Semuanya dapat memungkinkan kita melihat bagaimana
kekuasaan itu bekerja melalui bahasa, sastra, budaya, dan semua lembaga-
lembaga pemerintahan yang telah mengatur kehidupan kita sehari-hari. Dengan
menggunakan pengertian yang diperluas mengenai kekuasaan ini, Said mampu
meninggalkan pemahaman sempit dan teknis tentang otoritas kolonial serta
menunjukkan bagaimana otoritas ini berfungsi dengan menghasilkan suatu
“wacana” tentang Timur, yaitu dengan melahirkan struktur-struktur pemikiran
yang terdapat dalam produksi literer dan artistik, dalam tulisan-tulisan politis dan
ilmiah, terutama dalam penciptaan studi-studi Timur.30
Dalam pandangan Loomba, tesis dasar yang ingin disampaikan oleh Said
dalam bukunya Orientalism adalah bahwa Orientalisme atau studi mengenai dunia
29 Ibid, hal. 45 30 Ibid, hal. 47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Timur, pada akhirnya merupakan suatu visi yang bersifat politis mengenai realitas
yang wilayah strukturnya mengemukakan suatu perlawanan biner antara yang
dikenal (Eropa, Barat, “kita”) dengan yang asing (Orient, Timur, “mereka”). Said
menunjukkan bahwa perlawanan ini menjadi sangat penting bagi konsepsi diri
Eropa. Said memberi contoh jika rakyat terjajah itu irasional, maka orang-orang
Eropa disebut rasional. Selanjutnya, jika yang pertama tidak beradab, sensual, dan
malas, Eropa adalah peradaban itu sendiri, dengan nafsu seksual yang terkendali
dan etik dominannya adalah kerja keras. Dengan kata lain, jika Timur itu statis,
Eropa dilihat berkembang dan maju ke depan, dan Timur harus feminin agar
Eropa bisa menjadi maskulin.
Dalam pandangan Loomba, orientalisme telah menunjukkan sejauh mana
pengetahuan tentang Timur yang dihasilkan oleh orang-orang di Eropa merupakan
penggiring ideologis kekuasaan kolonial. Menurut Loomba, buku Orientalism
karya Edward Said bukanlah berisi tentang budaya-budaya non Barat melainkan
tentang pandangan Barat terhadap budaya-budaya di luar Eropa dalam disiplin
penelitian orientalisme.31
Loomba mengatakan bahwa Said mencoba untuk
menunjukkan bagaimana pandangan Barat atas Timur diciptakan bersamaan
dengan penetrasi yang dilakukan orang-orang Eropa ke wilayah “Timur Dekat”
serta bagaimana hal tersebut mendapat dukungan dari berbagai disiplin ilmu lain
seperti filologi, sejarah, antropologi, filsafat, arkeologi, dan sastra.
Loomba mengatakan bahwa orientalisme memakai konsep wacana untuk
menata kembali studi mengenai kolonialisme. Buku Said, menurut Loomba,
31 Ania Loomba. Colonialism/Postcolonialism. London & New York: Routledge, 1999, hal. 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
melihat bagaimana sebuah studi formal atas “Timur” (yang saat ini disebut Timur
Tengah) bersama dengan naskah-naskah kunci literer dan kultural,
mengkonsolidasi cara-cara tertentu untuk melihat serta memikirkan segala sesuatu
yang pada akhirnya akan membantu berfungsinya kekuasaan kolonial. Semua ini
bukanlah naskah-naskah yang telah dibahas oleh para analis tradisional tentang
kolonialisme. Namun, saat ini hal tersebut bisa dilihat sangat penting sebagai
pembentukan masyarakat kolonial yang dihasilkan oleh buku orientalisme serta
perubahan pandangan tentang ideologi dan budaya. Loomba mengutip tulisan
Said tentang naskah-naskah yang diberi:
The authority of academics, institutions, and government. Most
important, such texts can create not only knowledge but also the very
reality they appear to describe. In time such knowledge and reality
produce a tradition, or what Michel Foucault calls a discourse, whose
material presence or weight, not the originality of a given author, is
really responsible for the texts produced out of it.32
Pada akhirnya, orientalisme menurut Loomba akan mampu mengantarkan
suatu jenis studi baru atas kolonialisme. Hal ini disebabkan oleh penggambaran-
penggambaran “Timur” dalam naskah-naskah literer Eropa dan kisah perjalanan,
serta tulisan-tulisan lain telah membantu terciptanya suatu dikotomi antara Eropa
dan “pihak-pihak lainnya” di mana dikotomi ini mampu menempati posisi sentral
dalam pembentukan budaya Eropa, serta mempertahankan dan memperluas
hegemoni Eropa atas negeri-negeri lainnya.
Leela Gandhi (1998), dalam buku Postcolonial Theory: A Critical
Introduction, mengatakan bahwa Orientalisme adalah buku pertama dalam suatu
trilogi yang dicurahkan untuk mengeksplorasi hubungan historis yang tidak
32 Ibid, hal. 44.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
seimbang antara dunia Islam di Timur Tengah dengan imperialisme Eropa dan
Amerika di sisi lainnya.33
Menurut Gandhi, pada dasarnya orientalisme merupakan kumpulan yang
berisi suatu pemahaman unik tentang imperialisme dan kolonialisme yang
merupakan sikap kultural dan efistemologis orang-orang Barat berdasarkan
kebiasaan mereka untuk mendominasi dan memerintah daerah-daerah yang berada
jauh dari wilayah Eropa. Untuk mempertegas penyataannya Gandhi lalu mengutip
tulisan Said dalam buku Culture and Imperialism yang mengatakan:
Neither imperialism nor colonialism is a simple act of accumulation
and acquisition. Both are suported and perhaps even impelled by
impressive ideological formations which include notions that certain
tertitories and people require and beseech domination, as well as
forms of knowledge affiliated with that domination (Said 1993, p. 8).34
Tulisan Said di atas, menurut Gandhi, ingin menunjukkan bahwa
orientalisme menjadi bagian tak terpisahkan dari kolonialisme. Dengan kata lain,
orientalisme menjadi bagian dari terbentuknya “formasi idiologi” yang
mendukung dan melatarbelakangi terjadinya kolonialisme. Bagi Gandhi,
orientalisme telah berhasil menempatkan posisi orang-orang Eropa berada di atas
posisi orang-orang Timur. Bagi orang-orang Eropa yang menduduki daerah-
daerah Timur, mereka tidak merasa bahwa orang-orang Eropa sedang
mendominasi orang Timur, melainkan memang orang-orang Timur yang
menginginkan untuk didominasi oleh orang-orang Eropa.
33Leela Gandhi, hal. 66. 34 Ibid, hal. 67.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
G. Teknik Pengumpulan Data
G.1. Lokasi Penelitian
Penelitian tesis ini mengambil lokasi transmigrasi di Desa Satuan
Pemukiman (SP) Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi, Provinsi Kalimantan
Barat. Alasan pemilihan lokasi ini karena memperhitungkan kemudahan untuk
akses mencapai tempat tujuan penelitian. Alasan lain dari pemilihan lokasi
transmigrasi ini adalah untuk menunjukkan bahwa kebijakan transmigrasi yang
dilaksankan oleh pemerintah Orde Baru tidak hanya sekedar untuk memindahkan
penduduk dari Pulau Jawa saja, melainkan bagian dari usaha pemerintah
Indonesia yang ada di Jakarta untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang
dimiliki oleh daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi.
G.2. Jenis Penelitian
Penelitian tesis ini akan menggunakan metode kualitatif di mana salah
satunya menggunakan metode wawancara. Metode wawancara digunakan penulis
untuk melihat bagaimana orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi
diwacanakan oleh para pejabat daerah maupun warga transmigran yang mengikuti
program transmigrasi di Kabupaten Melawi. Dengan demikian, maka penelitian
ini berbeda dengan penelitian Edward Said mengenai orientalisme. Perbedaannya
adalah penelitian ini mencoba untuk membongkar wacana orientalisme dengan
tidak menggunakan naskah-naskah maupun surat keputusan dari pemerintah Orde
Baru di Jakarta, melainkan penelitian ini akan fokus pada wacana tentang orang
Dayak yang dibicarakan oleh para pejabat daerah maupun warga transmigrasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Wawancara akan dilakukan pada para pejabat daerah yang mewakili dinas
terkait dan warga transmigrasi yang mengikuti program transmigrasi di Kabupaten
Melawi. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk mengetahui bagaimana
penduduk lokal (orang-orang Dayak) di Kabupaten Melawi diwacanakan oleh
para pejabat daerah, yang mewakili pemerintah Orde Baru dan orang-orang
pendatang yang menjadi peserta program transmigrasi. Untuk memenuhi hal
tersebut, maka penulis akan memilih orang-orang yang akan diwawancarai
seperti: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat, Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Melawi, serta orang-orang pendatang
yang menjadi peserta program transmigrasi.
G.3. Sumber Data
Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian tesis ini dibagi dalam
dua kategori. Pertama, data lisan yang akan melibatkan beberapa narasumber
wawancara. Kedua, data tertulis yang akan diambil dari beberapa buku-buku yang
terkait dengan kajian orientalisme, kajian transmigrasi, Surat Keterangan Menteri
Transmigrasi, serta karya tulis ilmiah lainnya yang menurut penulis dapat
membantu dalam penyelesaian tesis ini.
G.4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah
melakukan beberapa tahapan, di antaranya observasi lapangan. Tujuan dari
observasi lapangan ini adalah untuk mengetahui bagaimana kondisi di lokasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
dijadikan wilayah transmigrasi. Selain itu, penulis juga akan melakukan
wawancara dengan beberapa narasumber sebagai berikut:
1. Wawancara dengan Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi
Kalimantan Barat.
2. Wawancara dengan Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten
Melawi.
3. Wawancara dengan warga pendatang yang menjadi peserta program
transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
H. Sistematika Penulisan
Penulisan tesis ini akan dibagi menjadi lima bab. Masing-masing bab akan
memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Pada bab pertama tesis ini akan
berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, kajian pustaka, kerangka teoritis teknik pengumpulan data, dan
sitematika penulisan tesis.
Dalam bab dua penulis akan menguraikan tentang ideologi kolonial di
Indonesia dari masa kolonial hingga masa pascakolonial. Selain itu, dalam bab ini
penulis juga akan menguraikan mengenai orientalisme dalam sejarah Indonesia,
hubungan antara kolonialisme, orientalisme dan imperialisme, berlanjutnya
kolonialisme di Indonesia, dan contoh kasus program transmigrasi yang
menunjukkan bahwa kolonialisme di Indonesia terus berlanjut pada masa
pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Dalam bab tiga penulis akan menguraikan tentang wacana apa saja yang
mengiringi berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa pemerintahan Orde
Baru. Selain itu, dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai sejarah
transmigrasi di Indonesia, pelaksanaan program transmigrasi di Kabupaten
Melawi, dan menguraikan bagaimana penduduk lokal (orang-orang Dayak) yang
ada di Kabupaten Melawi diwacanakan oleh pemerintah Orde Baru.
Dalam bab empat penulis akan menganalisis hasil penulisan atas bab satu,
dua, dan tiga serta menguraikan apakah kebijakan transmigrasi yang dilanjutkan
oleh pemerintah Orde Baru serupa dengan orientalisme yang terjadi di Timur
Tengah, secara khusus orientalisme di Mesir. Selain itu, dalam bab ini penulis
akan menguraikan tentang bagaimana kebijakan transmigrasi pemerintah Orde
Baru yang berlangsung di Kabupaten Melawi mirip dengan orientalisme yang
terjadi di Timur Tengah, apa sebenarnya orientalisme itu, dan bagaimana
membuktikan bahwa orientalisme itu juga terjadi dalam pelaksanaan program
transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Sementara itu pada bab lima penulis akan menyimpulkan beberapa hal
pokok yang ada dalam tulisan tesis ini yang dimulai dari bab pertama, kedua,
ketiga, dan keempat. Beberapa hal tersebut mencakup gagasan-gagasan pokok
yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme maupun kolonialisme yang terjadi di
Indonesia pada masa pascakolonial, pelakunya bukanlah orang-orang Barat pada
umumnya, melainkan pelakunya adalah orang-orang Indonesia sendiri, secara
khusus pemerintah Orde Baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
BAB II
IDEOLOGI KOLONIAL DI INDONESIA: DULU DAN SEKARANG
Pada bab ini akan diuraikan mengenai kolonialisme di Indonesia. Selain itu,
bab ini akan menguraikan pula bagaimana kolonialisme di Indonesia terus
berlanjut pada masa pascakolonial. Kolonialisme di Indonesia yang berlanjut pada
masa pascakolonial pelakunya bukan lagi orang-orang Eropa (pemerintah kolonial
Hindia Belanda), melainkan pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus
pemerintah Orde Baru. Dengan demikian, fokus dari bab ini adalah menguraikan
bagaimana kolonialisme Eropa di Indonesia digantikan oleh kolonialisme internal
pemerintahan Orde Baru.
A. Orientalisme dalam Sejarah Indonesia
Pada masa kolonial, Indonesia setidaknya pernah didominasi oleh empat
kekuatan imperial yakni Portugis, Belanda, Inggris dan Jepang. Dari keempat
kekuatan imperial tersebut, Belanda adalah negara Eropa yang paling lama
menjajah Indonesia. Namun, setelah berakhirnya kolonialisme di Indonesia,
dominasi pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia diambil alih oleh Amerika
Serikat disertai dengan Australia dengan menggunakan pendekatan berbeda dari
Belanda maupun Jepang, yakni pendekatan akademis untuk dapat menguasai
Indonesia. Pengaruh Amerika Serikat atas Indonesia setidaknya dapat dilihat dari
tiga hal yaitu: politik, ekonomi, dan budaya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Simon Philpott (2000), menulis Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory,
Authoritarianism and Identity.35
Untuk menjelaskan orientalisme yang terjadi di
Indonesia, Philpott memberikan definisi mengenai orientalisme dengan mengacu
pada buku Said Orientalism. Menurut Philpott, orientalisme pada dasarnya
merupakan cara berpikir yang menerima pemisahan yang tegas dan mendasar
antara Orient dan Occident. Philpott lalu mengutip pernyataan Said yang
mengatakan bahwa:
Under the general heading of knowledge of the Orient, and within the
umbrella of Western hegemony over the Orient during the period from
the end of the eighteenth century, there emerged a complex Orient
suitable for study in the academy, for display in the museum, for
reconstruction in the colonial office, for theoretical illustration in
anthropological, biological, linguistik, racial, and historical theses
about mankind and the universe, for instances of economic and
sociological theories of development, revolution, cultural personality,
national or religious character. Additionally, imaginative examination
of things Oriental was based more or less exclusively upon a
sovereign Western consciousness out of whose unchallenged
centrality an Oriental world emerged, first according to a detailled
logic governed not simply by empirical reality but by a battery of
desires, repressions, investments, and projections.36
Menurut Philpott, Edward Said dalam menjelaskan Orientalisme banyak
berhutang pada pemikiran Michael Foucault. Akan tetapi, baik Said maupun
Foucault sama-sama tidak memiliki pengaruh yang banyak terhadap studi politik
Indonesia. Oleh karena itu, Philpott dalam menguraikan kajian atas studi politik di
Indonesia berangkat dari ide-ide yang ditawarkan oleh Foucault dan Said.
Menurut Philpott, hampir serupa dengan saat Indonesia pada masa kolonial yang
35 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000. 36 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
menjadi subjek dari agenda penelitian budaya, di masa pascakolonial Philpott
tertarik pada “Indonesia” yang dihasilkan melalui kajian politik. Indonesia pada
masa pascakolonial adalah “Indonesia” yang sangat banyak dipengaruhi oleh
gagasan dari Amerika Serikat. Pengaruh kuat yang diterima dari AS dapat dilihat
dari: kekuatan militer, ekonomi, dan kekuatan kultural/intelektual AS yang
bersifat intergral dengan cara memunculkan Indonesia dalam studi ilmu-ilmu
sosial pascaPerang Dunia II.
Dalam buku yang sama, Philpott berpendapat bahwa Indonesia telah
diproduksi, ditandai secara khusus oleh teori serta asumsi diskursus mengenai
politik Indonesia. Buku Rethinking Indonesia, mencoba untuk mengeksplorasi
Indonesia sebagai sebuah negara yang muncul dari berbagai upaya yang panjang
dalam studi politik pasca Perang Dunia II. Dalam pandangan Philpott, Indonesia
memiliki keunikan tersendiri dan secara historis Indonesia bersifat spesifik,
dengan artian bahwa Indonesia dicirikan oleh lingkungan di mana ia dikaji dan
ditulis. Oleh karena itu, dalam pandangan Philpott, diskursus tentang Perang
Dingin, antikomunisme, teori modernisasi, teori ketergantungan, analisis
perbandingan rezim, politik kebudayaan, negara industri baru, dan nilai-nilai Asia,
semuanya telah mengambil bagian dalam memberi kontribusi pada “penciptaan”
Indonesia ini.37
Dalam buku yang sama, Philpott berpendapat bahwa dalam upaya
memahami dan menjelaskan politik di Indonesia, para ilmuan, pemerintahan,
pekerja sosial, dan diplomat Barat terpaksa menggunakan kategori-kategori serta
37 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. xx
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
konsep-konsep yang hingga saat ini telah berhasil menjadikan Indonesia
bermakna bagi audiens “Barat”.38
Dengan kata lain, Philpott melalui kajiannya
tentang Indonesia ingin mengatakan bahwa sejak masa kolonial hingga
pascakolonial Indonesia tetap menjadi objek dari reproduksi kolonialisme Eropa.
Pada bagian awal buku Rethinking Indonesia, Philpott menunjukkan
bagaimana pengetahuan tentang Indonesia telah membantu terciptanya diskursus
orientalis. Untuk menjelaskan hal ini Philpott menunjukkan bagaimana peneliti
Barat mendefinisikan wilayah yang sekarang biasa disebut dengan nama
Indonesia. Untuk menjelaskan hal tersebut, Philpott lalu mengutip buku karya
George Earl yang memberikan beragam istilah untuk menggambarkan sebuah
wilayah yang ia pahami sebagai entitas geografis yang khusus: “Kepulauan
India”, “Kepulauan”, “Kepulauan Timur India”, “India Timur”, “Pulau India”,
“India”, dan terkadang Earl menggunakan istilah “India Belanda” untuk
menggambarkan wilayah Indonesia saat itu.39
Menurut Philpott, sebelum Earl, orang Barat lainnya seperti Sir Joseph
Banks juga merujuk pada wilayah yang sama dengan menggunakan istilah „Pulau
Timur India‟, „Pulau di sebelah timur‟, „Hindia Timur‟, „Hindia‟, „Pulau Kecil di
sebelah Timur‟, dan „India‟. Orang Barat lainnya seperti William Marsden
menyebut wilayah tersebut dengan istilah, “Kepulauan India”, “Hindia Timur”,
“Kepulauan Malaya”, dan “Polinesia”. Sedangkan Stamford Raffles
menggambarkan Indonesia dulu sebagai „Pulau di sebelah Timur‟, „Hindia
Timur‟, „Pulau India‟, „Pulau Kecil Asia‟, „Kepulauan Malaya‟, „Kepulauan‟, dan
38 Ibid, hal. xx 39 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
„Pulau Malaya‟.40
Banyaknya istilah yang digunakan untuk memberi nama pada
apa yang sekarang dikenal dengan kepulauan Indonesia, menurut Philpott,
dikarenakan wilayah Indonesia saat itu merupakan sesuatu yang aneh dan tidak
familiar bagi kebanyakan orang Eropa yang melintasi wilayah tersebut.
Sampai pada abad ke-19 Masehi, istilah yang paling sering digunakan oleh
orang Eropa untuk memberi nama pada wilayah yang luasnya terbentang dari
negara Pakistan modern hingga kepulauan Indonesia itu adalah „India‟. Akan
tetapi, menurut Philpott, pada tahun 1850, Earl mencatat bahwa sudah waktunya
untuk memberikan nama khusus pada wilayah kepulauan India yang manusianya
terdiri atas ras berkulit coklat tersebut. Pada saat itu, terlintas dalam pikiran Earl
untuk memberi nama wilayah kepulauan „India‟ dengan nama „Indu-nesian‟ yang
diambil dari bahasa Latin Indus (India) dan bahasa Yunani Nesos (Pulau).
Meskipun Earl pada akhirnya menolak menggunakan istilah ini. Peneliti lain yang
merupakan teman Earl sendiri, yaitu James Logan, mengakui persamaannya
dengan Earl dalam penciptaan dan penggunaan istilah „Indonesia‟. Saat itu, Logan
menulis:
The name Indian Archipelago is too long to admit of being used in an
adjective or in an ethnographical form. Mr Earl suggests the
ethnographical Indunesians but rejects it in favour of Malayunesians.
I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a
shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. We
thus get Indonesian for Indian Archipelagian or Archipelagic, and
Indonesians for Indian Archipelagians or Indian Islanders, I have no
affection for the multiplication of semigrecian words, and would
gladly see all nesias wiped off the map if good Saxon equivalents
could be substituted. The term has some claim however to be located
40 Ibid, hal. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
in the region, for in the slightly different from of nusa it is perhaps as
ancient in the Indian Archipelago as in Greece.41
Philpott menjelaskan bahwa karya Earl dan Logan bukanlah sebuah karya
leluhur Indonesia kontemporer. Namun, diskursus pemerintahan kolonial,
antropologis, ahli etnografi, pedagang, serta penulis lain merupakan bagian dari
ikhtiar panjang dan tidak pasti yang di kemudian hari menjadi Indonesia. Menurut
Philpott, pemberian nama Indonesia sendiri berarti pengidentifikasian
karakteristiknya, batas-batas spasialnya, serta memutuskan siapakah yang bisa
dimasukkan sebagai orang Indonesia dan siapa pula yang tidak. Dengan kata lain,
bagi Philpott, Indonesia adalah suatu invensi.42
Tampak bahwa Indonesia sejak masa kolonial telah dijadikan objek
penelitian oleh orang-orang Eropa. Tampak pula bahwa kolonialisme yang terjadi
di Indonesia pada masa kolonial pelakunya adalah pemerintahan Hindia Belanda
yang menjadikan penduduk pribumi Nusantara (sekarang Indonesia) sebagai
korban dari berbagai tindakan penindasan fisik maupun non-fisik. Ketika
menjajah Nusantara, orang-orang Belanda merasa bahwa kehadiran mereka akan
membantu penduduk pribumi di Nusantara mendirikan pemerintahannya sendiri.
Pandangan semacam ini disebabkan oleh pandangan pemerintah Belanda
yang menganggap bahwa penduduk pribumi Nusantara tidak akan mampu
mendirikan pemerintahannya di Nusantara tanpa bantuan pemerintah Belanda.
Oleh karena itu, untuk dapat membantu penduduk pribumi Nusantara
menjalankan pemerintahan dengan baik, maka orang-orang Belanda menduduki
41 Ibid, hal. 2 42 Ibid, hal. 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Nusantara dan mendirikan pemerintahan yang berpusat di Pulau Jawa dengan
Batavia sebagai ibu kota pemerintahannya.
M. C. Ricklefs (2005), menulis buku berjudul Sejarah Indonesia
Modern.43
Dalam buku tersebut Ricklefs mengatakan bahwa kedatangan bangsa-
bangsa Eropa yang pertama ke wilayah Asia Tenggara berlangsung pada abad
keenam belas.44
Orang-orang Eropa yang datang ke Nusantara pertama kali adalah
bangsa Portugis, Inggris, dan Belanda. Pada mulanya kedatangan bangsa Eropa ke
Nusantara hanya bertujuan untuk kepentingan perdagangan. Namun, dalam
perkembangan selanjutnya orang-orang Eropa terutama Belanda mulai memiliki
kepentingan politik karena wilayah Nusantara merupakan kawasan strategis untuk
mengembangkan perdagangan, terutama perdagangan rempah-rempah.
Sartono Kartodirdjo (1992), dalam buku Pengantar Sejarah Indonesia
Baru: 1500-1900, dari Emporium sampai Imperium, menyatakan bahwa
kedatangan bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda ke wilayah Nusantara memang
banyak dipengaruhi oleh motif-motif ekonomi. Namun, hal ini bukan berarti
bahwa faktor-faktor lainnya tidak berpengaruh. Justru sebaliknya, menurut
Sartono, beberapa contoh telah menunjukkan bahwa sejarah imperialisme Belanda
adalah manifestasi-manifestasi dari idealisme politik dan agama.45
Menurut
Kartodirdjo, bagaimanapun bentuknya kolonialisme Belanda di Indonesia saat itu
bertujuan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Namun, faktor lain seperti
43 M.C. Ricklefs (2005). Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 44M.C. Ricklefs (2005). hal. 31. 45Sartono Kartodirdjo (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hal. 5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
liberalisme, humanisme, dan kristianisme juga turut serta dalam membentuk
kolonialisme di Indonesia.
Dalam buku Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra (2008),
Nyoman Kutha Ratna berpendapat bahwa tidak benar jika kolonialisme di
Indonesia hanya dilatarbelakangi oleh motif-motif ekonomi semata. Sebelum
tahun 1870, perkembangan kolonialisme memang didominasi oleh faktor
ekonomi. Namun, setelah itu faktor-faktor lain seperti militer, agama, dan
kebudayaan pada umumnya bersama-sama ikut berperan dalam menopang
kepentingan ekonomi tersebut.46
Oleh karena itu, menurut Nyoman, ekspansi
bangsa Barat ke dunia Timur didasari atas tujuan untuk mencari keuntungan
ekonomi, kekuasaan, dan penyebaran agama Kristen yang secara metaforis
disingkat dengan istilah 3G (Gold, Glory, dan God).
Bagi Nyoman, sejarah kolonialisme di Indonesia harus dipahami sebagai
paham yang telah menjiwai bangsa-bangsa Barat untuk menguasai Timur maupun
dipahami sebagai ideologi yang telah menghantui bangsa-bangsa Timur yang
pernah mengalami penjajahan bangsa Barat, seperti Indonesia. Menurut Nyoman,
secara historis kolonialisme di Indonesia bisa diartikan sebagai bagian dari
hegemoni politik dan penguasaan ekonomi. Penguasaan tersebut dilakukan
bersamaan dengan eksploitasi sumber daya alam yang telah berlangsung sejak
awal abad ketujuh belas. Berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC),
yang bertujuan untuk menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah
Nusantara menjadi bukti bahwa kehadiran orang-orang Belanda di Nusantara
46 Nyoman Kutha Ratna. hal.23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
bertujuan untuk menghegemoni.47
Hegemoni politik dan sistem eksploitasi telah
membawa perubahan besar dalam berbagai bidang seperti: sistem birokrasi,
industrialisasi, transportasi, edukasi, komunikasi, dan berbagai bentuk hubungan
sosial lainnya.
Menurut Nyoman, untuk memahami orientalisme yang dilakukan atas
Indonesia, kita harus memulainya dengan memahami arti kolonialisme dan
imperialisme. Kasus yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru
bukan lagi soal orang-orang Barat memandang rendah orang Indonesia, melainkan
orang Indonesia sendiri yang memandang rendah sesama orang Indonesia. Oleh
karena itu, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru tidak jauh
berbeda dengan kolonialisme dan imperialisme yang dilakukan oleh orang-orang
Belanda terhadap penduduk Indonesia saat mereka menjajah Indonesia. Dengan
kata lain, orientalisme yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru merupakan
kolonialisme yang berlanjut dari pemerintahan kolonial Belanda beralih ke
pemerintahan Indonesia, secara khusus Orde Baru.
B. Ciri-ciri Orientalisme
Sebagaimana disampaikan oleh Edward W. Said mengenai orientalisme di
bab satu, Said mencoba untuk menguraikan bahwa orientalisme adalah sebuah
konsep yang digunakan oleh orang-orang Barat untuk melegitimasi kekuasaannya
atas orang-orang yang ada di dunia Timur. Dalam pandangan Said, orientalisme
memiliki tiga pengertian. Pertama, sebagai sebuah institusi yang mempelajari
47 Nyoman Kutha Ratna. hal. 10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
dunia Timur. Kedua, sebagai sebuah gaya Barat untuk menguasai dunia Timur.
Ketiga, sebagai sebuah wacana dalam pengertian Foucauldian.
Shelley Walia (2003), dalam buku berjudul Edward Said dan Penulisan
Sejarah, mencoba untuk mengeksplorasi lebih dalam mengenai tiga definisi
orientalisme yang Said jelaskan dalam buku Orientalism. Menurut Walia,
orientalisme adalah sebagai kajian akademis atas Orient (Timur) oleh para sarjana
Barat. Dengan menggunakan konsep Foucault mengenai kekuasaan dan
pengetahuan, Walia menjelaskan bahwa Said mencoba untuk menghubungkan
definisi pertama dengan kedua, bahwa kajian tentang Orient menciptakan satuan
pengetahuan yang digunakan oleh kalangan imperialis Barat yang lebih pragmatis
dan utilitarian sebagai sarana untuk meraih kekuasaan.48
Walia memberi contoh
mengenai minat akademis terhadap bahasa-bahasa oriental – diilhami dari seorang
ahli bahasa sansekerta bernama Sir William Jones – telah dimanfaatkan oleh
orang-orang Inggris yang utilitarian untuk tujuan-tujuan politik.
Menurut Walia, seluruh bidang kajian beserta dengan lembaga-lembaga
akademis yang dibuka oleh orang-orang Inggris penuh dengan berbagai
kepentingan. Pada abad ke-19, kajian mengenai Orient kemudian menjadi sebuah
disiplin ilmu yang menandai puncak ekspansi kolonial. Hal ini, menurut Walia,
semakin membuktikan bahwa pengetahuan tentang Orient adalah awal dari
permulaan wacana tentang kekuasaan.49
Oleh sebab itu, Walia dalam buku
Edward Said dan Penulisan Sejarah juga mengeksplorasi lebih lanjut mengenai
diciptakannya perbedaan efistemologis dan ontologis antara Orient dan Occident
48 Shelley Walia. Edward Said dan Penulisan Sejarah. Terjemahan. Sigit Djatmiko.Yogyakarta: Jendela. 2003, hal. 44 49 Ibid, hal. 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
yang melestarikan berbagai stereotip-stereotip berupa maju/barbar,
berkembang/primitif, unggul/rendah, rasional/menyimpang dan seterusnya, yang
semuanya menurut Said bermuara pada pengkutuban yang lebih besar berupa
“diri” dan “yang lain”.50
John McLeod (2000), dalam buku Beginning Poscolonialism, mencoba
untuk menguraikan tentang orientalisme dengan cara menunjukkan enam bentuk
orientalisme dan enam striotipe tentang Timur yang sering dipakai oleh para
akademisi Barat dalam menjelaskan dunia Timur. Menurut Mcleod, enam bentuk
orientalisme tersebut antara lain: pertama, orientalisme merupakan konstruksi
divisi biner. Dalam pengertian ini orientalisme membuat pemisahan antara Barat
dan Timur yang memiliki perbedaan nyata. Baik Barat dan Timur diasumsikan
bertentangan satu sama lain. Namun, menurut McLeod, posisi Barat dan Timur
bukanlah sebagai mitra yang setara karena Timur selalu digambarkan dalam
rangkaian negatif yang bertujuan untuk menopang superioritas Barat.
Dalam pandangan McLeod, jika Barat diasumsikan sebagai pusat
pengetahuan, maka Timur justru sebaliknya dianggap sebagai kenaifan. Dengan
kata lain, bentuk orientalisme menurut McLeod menunjukkan bahwa Timur dan
Barat diposisikan melalui pembangunan sebuah dikotomi yang tidak sama.
Bentuk kedua, orientalisme dimaknai sebagai sebuah fantasi Barat. Dalam
pengertian ini, Mcleod menanamkan bahwa bagian ini sangat penting untuk
memahami argumen Said yang mengatakan bahwa pandangan Barat terhadap
Timur tidak hanya didasarkan pada apa yang diamati ada di tanah Timur, akan
50 Ibid, hal. 45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
tetapi seringkali muncul dari hasil mimpi, fantasi, dan asumsi tentang apa itu
Timur yang dipelajari oleh orang-orang Barat.51
Bentuk orientalisme ketiga, adalah orientalisme dipahami sebagai sebuah
lembaga (institusi). Dalam pengertian ini, orientalisme dipahami sebagai salah
satu studi tentang Timur yang dipelajari oleh orang-orang Barat. Keempat,
orientalisme adalah sebuah karya sastra. Dalam pengertian ini, orientalisme
diciptakan melalui karya sastra yang banyak dijumpai dalam tulisan-tulisan sastra,
seperti novel dan sebagainya. Kelima, orientalisme adalah legitimasi. Dalam
pengertian ini, digarisbawahi bahwa orientalisme merupakan sebuah sistem
representasi yang terikat dengan struktur dominasi politik. Dengan kata lain,
representasi orientalis berfungsi untuk membenarkan penguasaan kolonial Barat
atas dunia Timur.
Bentuk orientalisme keenam, adalah berupa laten dan nyata. Menurut
McLeod, dalam rangka untuk menekankan antara asumsi imajinatif orientalisme
dan efek materialnya, maka orientalisme dibagi menjadi dua, yaitu orientalisme
laten dan orientalisme nyata. Orientalisme laten menggambarkan mimpi dan
fantasi tentang Timur, yang dalam pandangan Said tetap relatif konstan dari waktu
ke waktu. Sedangkan orientalisme nyata adalah versi yang berbeda dengan
orientalisme laten, meskipun pada dasarnya memiliki disain yang sama. Misalnya,
ketika seorang penulis membuat representasi tentang Timur, mereka akan menulis
dengan asumsi yang sama terlepas dari gaya penulisan yang berbeda.52
51 John Mcleod. Beginning Postcolonialism. New York: Manchester University Press. 2000, hal. 41 52 Ibid, hal. 43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Selain orientalisme memiliki bentuk-bentuknya sendiri, menurut McLeod,
orientalisme juga mampu menciptakan berbagai stereotip tentang Timur yang oleh
orang-orang Barat selalu dipakai untuk menilai dunia Timur. Orang-orang Barat
juga meyakini bahwa berbagai stereotip tentang Timur ini sebagai sebuah
kebenaran murni. Berbagai stereotip tentang Timur antara lain: pertama, Timur
adalah abadi. Dalam pengertian ini, Timur diasumsikan oleh Barat tidak pernah
berubah. Barat selalu menganggap Timur berada jauh di belakang perkembangan
modern yang dimiliki dunia Barat.
Meskipun zaman telah berganti, namun orang-orang Timur dianggap tetap
tidak bisa berkembang seperti orang-orang Barat. Kedua, stereotip yang diberikan
pada Timur adalah adalah Timur itu aneh. Dalam pengertian ini, sangat penting
bagi orientalisme membuat stereotip tentang Timur yang tidak hanya dianggap
berbeda dari Barat, tetapi juga dianggap aneh bagi orang-orang Barat sendiri. Jika
Barat itu rasional (masuk akal) dan terkenal, maka Timur dianggap tidak rasional
dan tidak normal.53
Stereotip ketiga, orientalisme membuat asumsi tentang ras. Dalam
pengertian ini, orientalisme membuat klasifikasi mengenai ras Timur yang
berbeda dengan ras Barat. Sebagai contoh dalam buku Orientalism, Said mengutip
pernyataan Cromer yang mengatakan bahwa orang-orang Timur adalah ras yang
sudah sepatutnya diperintah oleh Barat. Dengan kata lain, Barat berusaha untuk
menjelaskan bahwa ras orang-orang Barat lebih superior dari ras orang-orang
Timur yang dianggap inferior.
53 Ibid, hal. 44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
Stereotip keempat, orientalisme membuat asumsi tentang gender. Dalam
pengertian ini, untuk menggambarkan bahwa Timur itu berbeda dari Barat
orientalisme membuat stereotip gender yang memposisikan Barat sebagai laki-laki
dan Timur sebagai perempuannya. Kelima, Timur itu feminim. Terakhir, stereotip
yang keenam, Timur itu merosot. Dalam pengertian ini, orientalisme membuat
stereotip tentang orang-orang Timur yang dianggap memiliki kepribadian seperti:
penakut, nafsu seks tidak terkontrol, dan penuh dengan kekerasan. Karena
berbagai stereotip di atas, orientalisme hadir untuk menawarkan sebuah gagasan
bahwa masyarakat Timur perlu beradab dengan cara belajar dari orang-orang
Barat.54
C. Dilema Kolonialisme, Orientalisme dan Imperialisme
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, kolonialisme dan
imperialisme memiliki hubungan yang sangat erat dengan orientalisme. Secara
keseluruhan ketiga paham tersebut merupakan alat bagi bangsa-bangsa Barat
untuk mengusai bangsa Timur. Perbedaannya hanya terletak pada bahwa dua
komponen pertama murni bersifat praktis, lebih nyata, dan bersifat langsung.
Sementara itu, orientalisme lebih bersifat teoritis, tidak nyata, dan tidak bersifat
langsung.55
Meskipun berbeda, baik kolonialisme, kapitalisme, imperialisme
maupun orientalisme pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni
menghegemoni dunia Timur dengan menunjukkan perbedaan nyata antara Barat
yang superior dengan Timur yang inferior.
54 Ibid, hal. 44-46 55 Nyoman Kutha Ratna, SU. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Menurut Nyoman, kolonialisme berasal dari kata colonia (Latin/Romawi),
yang awalnya berarti kumpulan, perkampungan, masyarakat di perantauan. Jadi,
secara etimologis kata kolonial tidak sama sekali mengandung unsur penjajahan.56
Konotasi negatif tentang kolonial terjadi sesudah adanya hegemoni, sekaligus
eksploitasi oleh satu negara terhadap negara lainnya. Dengan demikian,
kolonialisme itu dapat menyangkut berbagai masalah yang berkaitan dengan
hegemoni yang dilakukan suatu negara terhadap negara lain yang lebih lemah.
Dalam perkembangan selanjutnya, setelah mengalami proses panjang dalam
menunjukkan kekuasaannya secara detail, seperti yang dilakukan oleh negara-
negara Eropa terhadap Asia, Afrika, Amerika Latin, secara khusus yang dilakukan
Belanda terhadap Indonesia, kata kolonial lebih diartikan sebagai pendudukan
atau penjajahan.
Imperialisme menurut Nyoman, berasal dari akar kata imperial dan isme.
Imperial berasal dari bahasa Latin, dari akar kata imperare/imperium yang
memiliki tiga arti antara lain: pertama, memerintah. Kedua, hak untuk
memerintah. Ketiga, kekaisaran atau kerajaan.57
Nyoman lalu mengutip
pernyataan Michael Doyle yang mengatakan bahwa imperialisme merupakan
hubungan formal dan informal, dalam hal ini secara politis suatu negara dapat
mengontrol negara lain. Dalam pandangan Nyoman, imperialisme dapat dicapai
dengan cara kekuatan fisik, kolaborasi politis, sosial, ekonomi, dan kebudayaan.58
Hingga saat ini, saat kolonialisme sudah berakhir, imperialisme masih terus
berlanjut dalam bentuk praktik-praktik politik, ideologi, ekonomi, dan sosial
56 Ibid, 20 57 Nyoman Kutha Ratna, SU. Ibid, hal. 23 58 Ibid, hal. 23-24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
lainnya. Oleh karena itu, kolonialisme dan imperialisme bisa dikatakan sebagai
dua kekuatan yang berbeda namun memiliki tujuan yang sama, yakni menguasai.
Ania Loomba mendefinisikan kolonialisme dengan mengacu pada Oxford
English Dictionary (OED), yang menjelaskan bahwa kolonialisme berasal dari
kata “colonia” yang berarti tanah pertanian atau sebuah pemukiman yang
mengacu pada orang-orang Romawi yang tinggal di wilayah lain, namun masih
mempertahankan kewarganegaraan mereka. Oleh karena itu, Ania Loomba
mendeskripsikan colonia sebagai:
A settlement in a new country...a body of people who settle in a new
locality, forming a community subject to or connected with their
parent state, the community so formed, consisting of the original
settlers and their descendants and successors, as long as the
connection with the parent state is kept up.59
Bagi Loomba definisi tentang kolonialisme menarik karena tidak sedikitpun
menyinggung keberadaan manusia-manusia lain, selain para pemukim yang
kemungkinan sudah mendiami tempat tersebut. “Kolonialisme,” menurut
Loomba, tidak mengandung implikasi adanya pertemuan antara manusia-manusia
dan adanya suatu penaklukan yang dilakukan oleh manusia-manusia baru terhadap
manusia-manusia lainnya, serta tidak ada yang mendominasi antara manusia satu
dengan manusia lainnya. Loomba lebih menekankan definisi kolonialisme sebagai
penaklukan dan penguasaan atas tanah serta harta benda yang dimiliki manusia.
Dengan kata lain, tujuan utama dari kolonialisme adalah menguasai daerah-daerah
tertentu dengan cara memperluas wilayah kekuasaan.
59 Ania Loomba. Colonialism/Poscolonialism. London and New York: Routledge. 1998, hal. 1.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Imperialisme, menurut Loomba, awal mula penggunaanya dalam bahasa
Inggris hanya memiliki arti “kekuasaan tertinggi atau unggul.” Oxford English
Dictionary mendefiniskan imperial sebagai sesuatu yang mengacu pada
kemaharajaan dan imperialisme sebagai sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh
seorang kaisar yang bertindak secara semena-mena. Asas dan tujuan dari
imperialisme adalah memajukan segala sesuatu yang berhubungan dengan
kepentingan-kepentingan kemaharajaan.60
Loomba juga mengutip tulisan Lenin dan Kautsky yang memberikan makna
baru pada kata imperialisme dan menghubungkan imperialisme dengan
perkembangan kapitalisme. Buku Imperialism: the Highes Stage of Capitalism
karya Lenin yang Loomba kutip mengatakan bahwa pertumbuhan kapitalis-
keuangan dan berkembangnya industri di negara-negara Eropa telah menghasilkan
modal yang sangat besar bagi negara Eropa. Modal yang melimpah tersebut tidak
dapat diinvestasikan di dalam negeri dan tidak akan memberikan keuntungan
besar karena buruh yang ada di dalam negeri terbatas. Sementara itu, wilayah-
wilayah bekas jajahan tidak memiliki modal untuk membangun industrinya,
namun memiliki banyak buruh dan sumber daya manusia. Oleh karena itu,
menurut Loomba, negara-negara Eropa harus keluar dan menundukkan wilayah-
wilayah non-industri agar dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi Eropa
sendiri. Pada akhirnya, tujuan dari imperialisme Barat adalah mewujudkan cita-
cita dari kapitalisme itu sendiri.
60 Ibid, hal. 4-5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
D. Kolonialisme dalam Sejarah Indonesia
Nyoman Kutha Ratna (2008), dalam buku Poskolonialisme Indonesia,
berpendapat bahwa kolonialisme yang terjadi di kawasan Asia secara khusus
Indonesia memiliki sejarah perkembangan yang panjang. Dalam pandangan
Ratna, persoalan kolonialisme di Indonesia sangat kompleks karena menyangkut
persoalan ekonomi, sosial, politik, dan agama. Kehadiran orang-orang Eropa di
Nusantara saat itu tidak serta merta dapat dikaitkan dengan maksud untuk
mengadu domba, memecah belah, melakukan monopoli, berperang, dan berbagai
tujuan lain untuk menguasai wilayah Nusantara.61
Dalam buku yang sama Nyoman juga menjelaskan bahwa secara historis
kolonialisme di Indonesia beserta dengan hegemoni politik, ekonomi, dan
berbagai sistem eksploitasinya telah terjadi sejak awal abad ke-17, ditandai
dengan berdirinya Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) oleh orang-orang
Belanda. Pada saat yang sama, orang-orang Inggris juga mendirikan organisasi
sejenis, yaitu East Indies Company (EIC) yang berpusat di Kalkuta, India.62
Pendirian serikat dagang Belanda ini bertujuan untuk menguasai perdagangan
rempah-rempah di wilayah kepulauan Nusantara.
Frances Gouda (2007), dalam buku Dutch Culture Overseas menguraikan
bahwa praktek-praktek kolonial yang terjadi di Indonesia sudah berlangsung sejak
lama, tepatnya saat bangsa-bangsa Eropa seperti Belanda datang dan menguasai
sebagian besar wilayah Nusantara (sekarang Indonesia). Kolonialisme yang
61Nyoman Kutha Ratna. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 3 62 Nyoman Kutha Ratna. Poskolonialisme Indonesia, Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2008, hal. 10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
dilakukan oleh orang-orang Belanda terhadap penduduk di Indonesia merupakan
kajian yang sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Sebab, sebagai salah satu
negara demokrasi kecil di wilayah Eropa Utara, Belanda telah berhasil menjadi
raksasa kolonial di kawasan Asia dengan menguasai Indonesia.63
Dalam buku yang sama, Gouda mengatakan bahwa tujuan bangsa Eropa
seperti Belanda datang dan menjajah Indonesia adalah untuk menguasai sumber
daya alam-sumber daya alam yang dimiliki Indonesia demi membangun negeri
Belanda yang sebagian besar wilayahnya berada di bawah permukaan air laut.
Sebagai negara kecil di Eropa Utara, Belanda memainkan peran kolonial yang
sangat besar dalam menguasai wilayah kepulauan Indonesia. Frances Gouda
bahkan mengatakan bahwa “Belanda sebagai administrator (kolonial) terbaik di
dunia.” Dalam pandangan Gouda, para pengamat luar negeri baik di Inggris,
Prancis, maupun Amerika Serikat cenderung meyakini keberhasilan Belanda
dalam menjalankan praktek-praktek kolonialnya terhadap penduduk pribumi
Indonesia.64
Meskipun di negara aslinya kekuatan Belanda hampir tidak diperhitungkan
oleh kekutan Eropa lainnya seperti Inggris dan Prancis, namun kekuasaan kolonial
Belanda tidak kalah dari kedua negara penjajah lainnya. Hal menarik yang
dilakukan oleh orang-orang Belanda ketika menguasai Indonesia adalah mereka
merasa bahwa diri mereka sebagai seorang ayah yang sedang berjuang untuk
mendidik orang-orang pribumi yang ada di Pulau Jawa dan Bali agar menjadi
lebih baik lagi.
63 Frances Gouda. Dutch Culture Overseas. Terjemahan. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta. 2007, hal. 81 64 Ibid, hal. 88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Untuk dapat membantu penduduk pribumi Indonesia yang masih “primitif,”
orang-orang Belanda menjadikan dunia pendidikan sebagai alat untuk mengajari
orang-orang pribumi agar menjadi lebih baik lagi. Oleh karena itu, orang-orang
Belanda mulai membuka sekolah-sekolah khusus bagi kaum perempuan atau
gadis pribumi dari kalangan menengah atas yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
Tujuan dari dibukanya sekolah-sekolah khusus bagi gadis pribumi ini adalah
untuk mendidik para gadis Jawa dan Bali menjadi ibu rumah tangga dan
menjalani takdir mereka sebagai seorang ibu.65
Tampak jelas bagaimana orang-orang Belanda memandang penduduk
pribumi Indonesia sebagai salah satu manusia “primitif” yang memiliki pola hidup
dan kebiasaan yang berbeda dari orang-orang Belanda yang sudah modern.
Menurut Gouda, bangsa Eropa menggambarkan orang-orang pribumi Indonesia
sebagai anak-anak nakal atau sebagai kaum mistik yang bermalas-malasan dalam
harmoni spriritual dengan alam dan berpesta dalam sebuah kebebasan eksistensial
yang sejak lama tidak lagi dimiliki oleh sebagian besar warga Eropa yang sudah
modern.66
Selanjutnya menurut Gouda, orang-orang Eropa menggambarkan orang-
orang “primitif” di Indonesia sebagai representasi dari keliaran yang terpendam di
dalam diri mereka, di mana tempat perilaku naluriah tak terkendali, irasionalitas,
atau kebebasan berbuat yang tidak senonoh, yang sudah mereka coba untuk
kendalikan sejak lama.67
Selain itu, orang-orang Eropa juga melihat kaum primitif
sebagai personifikasi dari identitas budaya primitif yang mengacu kembali pada
65 Ibid, hal. 137 66 Ibid, hal. 209 67 Ibid, hal. 210
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
zaman awal bangsa Eropa. Namun demikian, yang membedakan orang Eropa dan
Timur saat ini adalah bangsa Eropa telah mengalami kemajuan dari ketertinggalan
dan menjadi bangsa yang modern, sedangkan orang-orang Timur tetap tidak
berubah.
Dari beberapa gagasan di atas, tampak bahwa keberhasilan orang-orang
Belanda dalam menjajah Indonesia dikarenakan oleh pemahaman orang-orang
Belanda yang merasa bahwa diri mereka lebih baik daripada orang-orang pribumi
Indonesia yang masih dianggap “primitif”. Oleh karena pribumi di Indonesia saat
itu masih “primitif”, maka orang-orang Belanda merasa perlu untuk mengajari
orang-orang pribumi bagaimana hidup lebih baik lagi seperti orang-orang
Belanda.
E. Berlanjutnya Kolonialisme di Indonesia
Pada bagian ini, akan diuraikan mengenai kolonialisme yang terus berlanjut
di Indonesia meskipun Indonesia telah merdeka dari tangan penjajahan Eropa
(pemerintah Hindia Belanda). Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa
pascakolonial, di mana pelakunya bukan lagi pemerintah Hindia Belanda,
melainkan pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru. Peran
pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru dalam melanjutkan praktek-
praktek kolonial di Indonesia, salah satunya tercermin dalam kebijakan
transmigrasi yang berlangsung di berbagai daerah yang ada di luar Pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemerintahan Indonesia, mengadopsi
program transmigrasi dari pemerintahan kolonial Belanda. Meskipun program
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
transmigrasi merupakan produk asing, namun, menurut pemerintahan Orde Baru,
program ini cukup berhasil karena beberapa hal. Pertama, program transmigrasi
telah berhasil memindahkan penduduk yang padat terutama di Pulau Jawa, Bali,
dan Madura ke wilayah baru yang penduduknya lebih sedikit. Kedua, program ini
menjadi solusi untuk mengatasi jumlah penduduk miskin di Indonesia. Ketiga,
program transmigrasi membuka jalan untuk pemerataan pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia.
Dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda, pemerintahan Orde Baru, telah melanjutkan kebijakan kolonial. Namun,
dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah kolonial Belanda,
pemerintah Indonesia tidak merasa bahwa kebijakan transmigrasi sebagai bentuk
dari kolonialisme baru. Hal ini dikarenakan oleh pandangan pemerintah yang
menganggap bahwa kebijakan transmigrasi sebagai solusi untuk mengatasi jumlah
penduduk di Pulau Jawa, mengurangi angka kemiskinan, dan melaksanakan
pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
F. Transmigrasi Orde Baru sebagai Kolonialisme Internal
Dengan berakhirnya kolonialisme Eropa di Indonesia, secara khusus
kolonialisme Belanda, maka secara de iure bangsa Indonesia memang telah
terbebas dari segala macam bentuk penindasan asing. Ini bukan berarti bahwa
Indonesia terlepas dari pengaruh asing. Hal ini tampak dengan terus
direproduksinya ilmu pengetahuan Barat di Indonesia. Meskipun bangsa
Indonesia telah merdeka dari tangan penjajahan asing, secara de facto praktek-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
praktek kolonial di Indonesia tidak ikut berakhir, sebaliknya terus berlanjut dan
digantikan oleh kolonialisme internal yang baik pelaku maupun korbannya adalah
sama-sama orang Indonesia.
Menurut Bradley Simpson, di masa awal kemerdekaan Republik Indonesia,
Presiden Soekarno mengakui bahwa Indonesia adalah negara besar yang kaya
sumber daya alam. Oleh karena itu, dalam menjalankan pemerintahannya Presiden
Soekarno mulai mengambil alih kontrol ekonomi dari tangan asing dengan cara
membangun basis ekonomi bagi kesatuan nasional, pembangunan, dan
kemandirian nasional. Pengambilalihan kontrol ekonomi tersebut dilakukan
karena Soekarno meyakini bahwa kolonialisme di Indonesia belum benar-benar
berakhir. Oleh karena itu, dalam pidato kenegaraan yang disampaikan presiden
pada pembukaan Konferensi Asia-Afrika di Bandung, Soekarno mengatakan:
Saya meminta Anda, jangan memahami kolonialisme hanya dalam
bentuknya yang lama, seperti kami orang Indonesia, dan saudara-
saudara kita di berbagai belahan Asia dan Afrika pahami.
Kolonialisme juga memiliki pakaiannya yang baru, dalam bentuk
kontrol ekonomi, kontrol intelektual, kontrol tindakan fisik oleh
kelompok kecil tapi asing dalam sebuah bangsa.68
Kutipan pidato Presiden Soekarno dalam pembukaan Konferensi Asia-
Afrika seperti yang dikutip oleh Simpson menunjukkan bahwa semangat
kolonialisme tidak pernah berakhir meskipun daerah jajahan telah merdeka
sekalipun. Dengan kata lain, menurut Simpson, kolonialisme yang berakhir di
Indonesia hanyalah penjajahan dalam bentuk fisik bukan non-fisik.
68 Ibid, hal. 25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Tampak jelas bahwa program transmigrasi yang berlansung di Indonesia
seperti yang telah disinggung pada Bab I, bukanlah kebijakan baru bagi
pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru. Kebijakan yang berkaitan dengan
pemindahan penduduk sudah berlangsung sejak masa pemerintahan kolonial
Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, program ini dikenal
dengan nama kolonisasi. Menurut pemerintah Hindia Belanda, tujuan dari
pelaksanaan program kolonisasi adalah untuk mengurangi laju pertumbuhan
penduduk di Pulau Jawa dan Madura serta memperbaiki taraf hidup penduduk
pribumi yang berada di daerah-daerah pedesaan.
Dalam pandangan pemerintah Hindia Belanda, program kolonisasi adalah
solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran yang dialami
sebagian besar rakyat pribumi yang ada di Pulau Jawa. Selain itu, tampaknya
pemerintah Hindia Belanda ingin mengatakan bahwa kebijakan ini bertujuan
untuk membantu orang-orang Jawa yang menderita kemiskinan akibat sistem
Tanam Paksa mengubah taraf hidup mereka menjadi lebih baik. Muncul anggapan
bahwa tanpa adanya program kolonisasi ini maka orang-orang pribumi yang ada
di Pulau Jawa tidak akan pernah bisa terbebas dari belenggu kemiskinan.
Kebijakan pemerintahan Belanda dalam menjalankan politik Tanam Paksa
telah mengakibatkan penderitaan penduduk pribumi karena mereka harus
membayar upeti pada pemerintahan dengan cara tidak menyerahkan uang tapi
menggantinya dengan kerja paksa. Oleh karena itu, penyelenggaraan kolonisasi
pada masa pemerintahan Belanda lebih didasari pada politik balas budi
pemerintahan Belanda terhadap penduduk pribumi. Kolonisasi pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
pemerintahan Belanda dimulai pada tahun 1905 atas usulan H. G. Heyting yang
menjabat sebagai asisten residen Sukabumi.69
Menurut Heyting, pelaksanaan program kolonisasi ini mempertimbangkan
beberapa faktor di antaranya: pertama, kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang
semakin meningkat. Kedua, lapangan pekerjaan yang tersedia semakin sedikit.
Ketiga, memperbaiki kehidupan penduduk pribumi yang menderita akibat
pelaksanaan politik Tanam Paksa. Kolonisasi pertama masa pemerintahan Hindia
Belanda berlangsung pada bulan Nopember 1905 yang dilaksanakan dengan cara
memindahkan 155 kepala keluarga dari daerah padat dan miskin di desa Kedu,
Jawa Tengah ke daerah Lampung.
Tujuan dari pemerintahan Hindia Belanda memindahkan orang-orang
Jawa ke daerah Lampung adalah untuk mengembangkan sektor pertanian terutama
persawahan dengan menggunakan teknologi modern seperti pengaturan irigasi
yang tepat di bawah pengawasan langsung pemerintahan Hindia Belanda.70
Selain
itu, pada tahun yang sama pemerintahan Belanda juga mengirim penduduk Pulau
Jawa ke daerah Kalimantan Timur (Banjarmasin).71
Tujuan dari pemindahan ini
tidak untuk mengembangkan sektor pertanian melainkan untuk mempekerjakan
orang-orang Jawa di bagian pertambangan dan perkebunan milik Pemerintahan
Belanda maupun perusahaan swasta milik orang-orang Belanda. Untuk menarik
minat orang-orang Jawa agar mengikuti program ini, pemerintahan Belanda
memberikan premi sebesar 20 gulden pada setiap kepala keluarga yang bersedia
69 Departemen Transmigrasi. Historiografi Transmigrasi. Jakarta: 1984, hal. 22 70 Lihat Sri Edi Swasono. Transmigrasi di Indonesia 1905-1985. Jakarta: Universitas Indonesia. 1986, hal. 32 71 Ibid, hal. 55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
dipindahkan. Pemerintahan juga menyediakan tempat tinggal gratis serta
menanggung biaya hidup peserta kolonisasi selama satu tahun penuh.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, program transmigrasi dilanjutkan
oleh pemerintahan Soeharto atas pertimbangan bahwa kebijakan ini telah berhasil
membangun daerah-daerah yang dianggap “tertinggal.” Sebagai sebuah kebijakan,
program transmigrasi Orde Baru dianggap berbeda dengan transmigrasi pada
periode sebelumnya, terutama dalam hal pelaksanaannya. Menurut Soedigjo
Hardjosudarmo, program transmigrasi Orde Baru tidak hanya sekedar sebagai
usaha untuk mengurangi jumlah penduduk dan menciptakan lapangan kerja,
melainkan sebagai usaha dari pemerintahan untuk melaksanakan cita-cita dari
Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia.
Namun, tujuan lain dari program transmigrasi Orde Baru adalah untuk
meningkatkan pendapatan nasional dengan cara membuka lahan produksi
sebanyak mungkin.72
Tampak bahwa, program transmigrasi yang sudah berlangsung pada masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda dilaksanakan atas dasar cara pandang
pemerintah Belanda yang menganggap rakyat pribumi di Indonesia (dulunya
Nusantara), memang membutuhkan bantuan pemerintah Belanda untuk bisa
mengubah nasib rakyat pribumi menjadi lebih baik. Tanpa bantuan pemerintah
Belanda, maka rakyat pribumi di Indonesia akan tetap menderita kemiskinan.
Program transmigrasi yang dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia juga didasari
72 Soedigdo Hardjosudarmo. Kebijaksanaan Transmigrasi Dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Bharatara. 1965, hal. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
atas cara pandang pemerintah di Jakarta yang menganggap bahwa program ini
benar-benar bertujuan untuk membantu mensejahterakan penduduk transmigrasi.
Untuk menyukseskan program transmigrasi di Indonesia, pemerintah
Indonesia, secara khusus Orde Baru membawa konsep pemerataan pembangunan
di daerah-daerah yang dianggap “tertinggal.” Muncul anggapan bahwa dengan
dilaksanakannya program transmigrasi pada masa Orde Baru maka dapat
membantu terciptanya pembangunan nasional di daerah-daerah “tertinggal” yang
ada di Indonesia.
Wacana pembangunan menjadi sebuah konsep yang digunakan
pemerintahan Orde Baru dalam melaksanakan program transmigrasi di Indonesia.
Konsep pembangunan Orde Baru menunjukkan bahwa pemerintahan pusat
memiliki standar tersendiri dalam menilai program transmigrasi. Itulah sebabnya
dalam menjalankan kebijakan transmigrasi, pemerintahan tidak perlu melibatkan
penduduk lokal karena pemerintahan merasa yakin bahwa penduduk lokal akan
menerima kebijakan tersebut. Pandangan semacam ini menunjukkan bahwa
pemerintahan yang ada di Jakarta merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh
penduduk lokal daripada penduduk itu sendiri.
Program transmigrasi yang dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru
hanyalah salah satu contoh dari kebijakan pemerintahan pusat yang bisa
menunjukkan bahwa koloniaisme di Indonesia terus berlanjut pada masa
pascakolonial. Hanya saja kolonialisme yang terjadi di Indonesia pada masa
pascakolonial bukan lagi soal kolonialisme Eropa (Belanda), akan tetapi lebih
merupakan kolonialisme internal di mana pelaku maupun korbannya sama-sama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
orang Indonesia sendiri. Jadi kolonialisme yang berlangsung di Indonesia pada
masa pascakolonial adalah bentuk dari kolonialisme modern.
Ania Loomba dalam buku Colonialism/Postcolonialism (1999),
mengatakan bahwa kolonialisme modern tidak hanya mengambil upeti, harta
benda, dan kekayaan dari daerah-daerah taklukannya melainkan juga mengubah
struktur perekonomian daerah tersebut ke dalam hubungan kompleks dengan
negara-negara induk sehingga terjadi arus perpindahan manusia dan sumber daya
alam antara daerah yang dikuasai dengan daerah yang menguasainya.73
Dengan
kata lain, segala bentuk kolonialisme di muka bumi ini akan terus berlanjut dan
tidak akan pernah berakhir. Program transmigrasi yang dilanjutkan oleh
pemerintah Orde Baru adalah contoh nyata dari kolonialisme modern yang tidak
menjajah fisik manusia melainkan penjajahan non fisik.
G. Pembangunan sebagai Ideologi di Masa Pemerintahan Orde Baru
Istilah pembangunan yang digunakan oleh pemerintahan Indonesia, secara
khusus Orde Baru, pada dasarnya adalah sebuah konsep yang digunakan oleh
pemerintahan pusat untuk menguasai sumber-sumber daya alam yang ada di
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di Indonesia istilah
pembangunan mulai dikenal pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini
hampir di setiap kebijakan pemerintahan selalu memakai istilah pembangunan.
Salah satu contoh dari kebijakan pemerintahan yang menggunakan kata
pembangunan adalah program Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Selain itu, pada
73 Ania Loomba. Colonialism/Poscolonialism. London and New York: Routledge. 1998, hal. 3-4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
masa Orde Baru, istilah pembangunan juga digunakan sebagai nama kabinet
pemerintahan Presiden Soeharto, yaitu Kabinet Pembangunan. Maka, tidak
mengherankan jika kata pembangunan di masa pemerintahan Orde Baru menjadi
sangat populer di kalangan umum.
Konsep pembangunan sendiri merupakan produk Barat yang diadopsi oleh
pemerintahan Orde Baru. Istilah pembangunan untuk pertama kalinya
diperkenalkan oleh negara Barat, yaitu Amerika Serikat. Pembangunan atau yang
dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah development, merupakan sebuah
gagasan yang muncul pada tahun 1940-an, tepatnya tanggal 20 Januari 1949 yang
dipelopori oleh presiden Amerika Serikat bernama Harry S. Truman. Sejak
diumumkan menjadi sebuah gagasan, istilah development ini telah berhasil
menjadi sebuah bahasa dan doktrin dari kebijakan luar negeri Amerika Serikat.74
Pada masa pemerintahan Orde baru, pemerintahan Indonesia mengadopsi gagasan
development dari pemerintahan AS dalam rangka membangun daerah-daerah
tertinggal yang ada di Indonesia. Tujuan utama pemerintahan Orde Baru
mengadopsi konsep pembangunan adalah untuk meletakkan dasar-dasar
pembangunan ekonomi serta politik Indonesia yang sesuai dengan standar Barat
(Amerika Serikat).
Menurut Simpson (2010), sejak bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya pada tahun 1945, secara otomatis Indonesia telah menjadi negara
yang merdeka. Akan tetapi, menurut Simpson, saat Indonesia sudah menjadi
sebuah negara yang merdeka, banyak negara-negara Barat yang tertarik untuk
74C. Teguh Dalyono: Reader. Ekonomi Pembangunan I. Pendidikan Ekonomi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, hal. 1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
kembali menguasai Indonesia salah satunya adalah Belanda. Di lain pihak, negara
Barat seperti Amerika Serikat juga memiliki kepentingan besar atas Indonesia
yang baru saja merdeka saat itu. Menurut Simpson, ada dua tujuan pihak AS
mendekati Indonesia. Pertama, dalam konteks Perang Dingin, AS berusaha untuk
menjauhkan Indonesia dari pengaruh komunis Uni Soviet. Kedua, AS ingin
menguasai sumber daya alam yang dimiliki Indonesia.
Simpson dalam buku yang sama menjelaskan bahwa pemerintahan AS
memiliki kepentingan politik dan ekonomi atas pemerintahan Indonesia yang baru
saja merdeka. Sebagai sebuah negara merdeka, selain kaya akan sumber daya
alamnya, Indonesia juga merupakan sebuah negara dengan populasi penduduk
terbesar keempat di dunia dan penganut agama Islam terbesar di dunia.75
Oleh
karena itu, Indonesia menjadi sangat penting bagi pihak AS. Simpson berpendapat
bahwa dari pembacaan literatur mengenai pemerintahan Kennedy dan Johnson,
orang-orang tidak akan pernah tahu bahwa sampai pertengahan tahun 1960-an
sebagian besar pejabat AS masih menganggap bahwa Indonesia jauh lebih penting
daripada Vietnam dan Laos.76
Pihak AS berusaha menguasai Indonesia melalui ilmu pengetahuan yang
diciptakan oleh Barat. Melalui ilmu pengetahuan Barat, pemerintahan AS berhasil
menanamkan gagasan-gagasannya mengenai demokrasi, pembangunan politik,
dan pembangunan ekonomi yang berbasis condong ke Barat. Dalam pandangan
Simpson, pemahaman pemerintahan Indonesia sebagai negara yang baru saja
merdeka mengenai pembangunan ekonomi tentu akan sangat banyak dipengaruhi
75 Lihat Bradley R. Simpson. Ibid, hal. 19 76 Lihat Bradley R. Simpson. Op.cit, hal. 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pengaruh tersebut bersifat sangat
eksploitatif karena berorientasi pada pertumbuhan ekonomi pihak asing dengan
mengarahkan fokus perhatian pada produksi komoditas, seperti karet, timah,
minyak goreng, dan minyak tanah, yang semuanya akan dijual untuk pasar
dunia.77
Presiden Soekarno yang merupakan presiden pertama Indonesia beserta
dengan para nasionalis Indonesia berharap untuk dapat mengambil alih kontrol
atas ekonomi yang awalnya dikuasai oleh tangan asing. Tujuan Soekarno
mengambil alih kontrol ekonomi dari pihak asing adalah untuk dapat membangun
basis bagi kesatuan nasional, pembangunan, dan kemandirian nasional. Oleh
karena itu, Presiden Soekarno berusaha untuk tidak bergantung pada pihak asing
dalam mengelola perekonomian Indonesia. Usaha Presiden Soekarno untuk
membangun Indonesia tanpa campur tangan asing dikarenakan adanya anggapan
bahwa dengan berakhirnya kolonialisme di Indonesia tidak menjamin bahwa
praktek-praktek kolonialisme itu benar-benar berakhir. Dalam pandangan
Soekarno, kolonialisme itu akan terus berlanjut dalam bentuk yang berbeda
namun memiliki tujuan yang sama, yaitu menguasai.
H. Pemerintah Orde Baru dan Pelatihan Pembangunan
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, berkembangnya
konsep pembangunan di Indonesia pasca berakhirnya kolonialisme Jepang dan
Belanda di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari konflik Perang Dingin antara dua
77 Lihat Bradley R. Simpson. Ibid, hal. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
kekuatan besar yang saling bersaing untuk menguasai Indonesia saat itu, yakni
Amerika Serikat dan Uni Soviet. Menurut Simpson dalam bukunya Economist
with Guns, saat terjadinya Perang Dingin antara blok Barat yang diwakili oleh
Amerika Serikat dengan blok Timur yang diwakili oleh Uni Soviet, pemerintahan
AS beserta organisasi non-pemerintahan dan organisasi internasional lainnya
mulai mengarahkan perhatian mereka pada tantangan untuk menjelaskan berbagai
upaya yang mengarah pada perubahan di negara-negara yang dikenal sebagai
dunia ketiga, di mana salah satunya adalah Indonesia.78
Pihak AS merasa bahwa Indonesia sangat penting bagi pemerintahan
Amerika Serikat. Hal ini yang melatar belakangi dibukanya program kajian
wilayah pada akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an. Pembukaan kajian
wilayah ini yang dilakukan oleh sekelompok lembaga akademik, yayasan-yayasan
kemanusiaan dan para cendekiawan AS merupakan bagian dari perkembangan
yang sangat penting dalam sejarah hegemoni pemerintahan AS di negara-negara
dunia ketiga, seperti Indonesia. Tujuan AS membuka program kajian wilayah
untuk Indonesia merupakan bentuk dukungan dari intelektual Amerika pada
penciptaan national security state yang ada di tingkat universitas AS seperti:
Harvard University, University of Chicago, University of California at Berkeley,
MIT, John Hopkins University, dan Cornel University yang pada akhirnya sangat
berperan penting dalam mengonstruksi dan menyebarkan pemikiran sosial ilmiah
78 Lihat Bradley R. Simpson. Ibid, hal. 26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
mengenai pembangunan politik dan ekonomi di negara-negara berkembang,
khususnya Indonesia.79
Simpson dalam buku yang sama mengatakan bahwa tidak ada negara lain
selain Indonesia di mana program-program yang didanai oleh Ford Foundation
terbukti telah berhasil menciptakan kesamaan pengertian antara Amerika Serikat
maupun Indonesia mengenai berbagai peluang dan keterbatasan pembangunan di
Indonesia. Simpson lalu mengutip pernyataan dari sejarawan Henry Benda yang
mengatakan bahwa Indonesia mendapat perhatian khusus dari pemerintahan
Amerika Serikat. Pernyataan Benda yang dikutip Simpson pada tahun 1964
berbunyi:
Pada tahun-tahun setelah perang, tidak ada negara lain di Asia
Tenggara yang mendapatkan perhatian, dukungan kelembagaan, dan
beasiswa yang diberikan kepada individu yang lebih besar dari pada
Indonesia.80
Berbagai pelatihan untuk pembangunan Indonesia dilakukan pemerintahan
Amerika dengan cara memberikan bantuan berupa beasiswa bagi para pelajar
Indonesia untuk belajar ke universitas yang ada di Amerika Serikat. Tujuan dari
pemberian beasiswa ini adalah untuk mereproduksi ilmu pengetahuan Barat dan
menanamkan gagasan-gagasannya di Indonesia. Untuk dapat menciptakan
pembangunan Indonesia, pihak Amerika melalui lembaga Ford Foundation dan
Rockefeller Foundation memberikan bantuan dana mencapai $20 juta untuk
79 Ibid, hal. 26 80 Ibid, hal. 27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
mendanai pendidikan, pertanian, kesehatan, dan bantuan teknis lainnya baik di
Amerika Serikat maupun di Indonesia. 81
Berbagai bantuan keuangan dari kedua lembaga kemanusiaan di atas tidak
hanya memfasilitasi ekspansi yang dramatis dalam berbagai riset ilmu sosial
tentang Indonesia, akan tetapi lembaga ini juga terlibat dalam pembiayaan
program-program relawan dan pertukaran pendidikan bagi para teknisi, ahli
ekonomi, guru, ahli agraria, personel militer, dan insinyur, yang oleh duta besar
Amerika Serikat untuk Indonesia tahun 1958-1965, Howard Jones, disebut
sebagai bentuk dari “perjuangan jangka panjang untuk otak Indonesia.” Menurut
Simpson, berbagai pelatihan pendidikan yang didanai oleh lembaga Amerika
untuk pakar ilmu sosial Indonesia telah memberikan implikasi langsung terhadap
pemikiran pembangunan Indonesia.
Tampak bahwa berbagai pelatihan mengenai pembangunan di Indonesia
yang didanai oleh lembaga-lembaga kemanusiaan AS merupakan cara Amerika
Serikat untuk menguasai orang-orang Indonesia melalui ilmu pengetahuan Barat.
Melalui ilmu pengetahuan, pihak Barat yang diwakili Amerika Serikat berhasil
merekonstruksi pemikiran orang-orang Indonesia mengenai pembangunan
Indonesia yang berorientasi pada negara Amerika Serikat. Dengan demikian,
ideologi pembangunan yang digunakan Amerika Serikat terhadap Indonesia tidak
jauh berbeda dengan ideologi orientalisme yang digunakan Inggris saat menguasai
dunia Timur, seperti Mesir maupun India. Dengan kata lain, orientalisme dan
81 Ibid, hal. 27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
pembangunan sama-sama merupakan ilmu pengetahuan Barat yang sengaja
diciptakan untuk menguasai dunia Timur.
I. Pembukaan Studi Politik di Indonesia
Dengan berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia, dominasi
pemerintah Hindia Belanda atas Indonesia memang telah berakhir. Namun
demikian, di masa kemerdekaan Indonesia pengaruh Barat tetap berlanjut atas
negara yang baru saja merdeka ini. Di masa kemerdekaan Indonesia pengaruh
pemerintah Hindia Belanda digantikan oleh Amerika Serikat yang mencoba untuk
menanamkan gagasan-gagasan tentang pembangunan, ekonomi, dan politik atas
Indonesia yang berorientasi ke arah Amerika Serikat.
Pengaruh AS yang tampak jelas terhadap Indonesia di masa pascakolonial,
salah satunya ditunjukkan dengan pembukaan studi politik di Indonesia yang
berorientasi ke arah AS. Pembukaan studi politik di Indonesia, menunjukkan
bahwa Indonesia sebagai salah satu negara yang baru saja merdeka dari tangan
penjajahan asing menjadi sangat penting bagi pemerintah AS. Oleh karena itu,
dibukanya studi politik Indonesia merupakan salah satu cara pemerintah AS untuk
mengambil alih kontrol serta dominasi atas Indonesia dari pemerintah Hindia
Belanda.
Sebagaimana yang telah kita lihat dalam buku Rethinking Indonesia, Simon
Philpott menjelaskan bahwa pembukaan studi politik Indonesia pada masa
kemerdekaan merupakan suatu perkembangan pasca berakhirnya Perang Dunia II.
Menurut Philpott, kemerdekaan Indonesia dideklarasikan pada 17 Agustus 1945
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
dalam sebuah proklamasi yang dibacakan oleh Soekarno yang kemudian menjadi
presiden pertama Republik Indonesia. Pada saat itu, Indonesia merupakan salah
satu dari sekian banyak negara yang baru berdiri pasca berakhirnya Perang Dunia
II. Oleh karena itu, studi politiknya dipengaruhi oleh banyak faktor yang secara
khusus berkaitan dengan masa pasca berakhirnya Perang Dunia tersebut.82
Dalam pandangan Philpott, jika dikaitkan dengan politik internasional,
Indonesia memperoleh kemerdekaan dari tangan penjajah Belanda itu pada masa-
masa awal Perang Dingin. Antara tahun 1945 dan 1975, kebanyakan imperium
Eropa di wilayah Afrika dan Asia telah mengalami kemunduran. Sebagian usaha
dekolonisasi formal berhubungan dengan tuntutan Perang Dingin. Pada masa
Perang Dingin keterlibatan Amerika Serikat sangat jelas saat mereka menguasai
Vietnam. Akan tetapi, dengan terbentuknya banyak negara baru merdeka, maka
memicu perkembangan berbagai teori dan wacana akademik. Wacana yang
berkembang ini memusatkan perhatiannya pada permasalahan yang sedang
dihadapi oleh negara-negara baru merdeka, seperti masalah keterbelakangan
ekonomi, sosial, dan politik. Hal ini ditambah dengan absennya lembaga-lembaga
politik yang mapan untuk membangun bangsa dari berbagai kelompok etnik yang
seringkali terpecah-belah, bahkan saling bermusuhan; komunisme,
pemberontakan, kurangnya kesempatan memperoleh pendidikan modern, dan
sebagainya.
Dalam buku yang sama Philpott mengatakan bahwa dengan cepat wacana
akademik dan wacana pemerintahan Amerika Serikat mengelompokkan berbagai
82 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 46-47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
negara baru ke dalam klasifikasi Dunia Ketiga. Menurut Philpott, istilah Dunia
Ketiga ini muncul untuk melambangkan suatu wilayah yang membutuhkan
kesejahteraan dan keahlian Barat untuk membantu menyelesaikan berbagai
permasalahan yang ada di negara-negara baru yang tergabung dalam Dunia
Ketiga. Dalam hal ini, Barat dijadikan sebagai contoh model kemajuan dan
kesempurnaan, dan tentunya bertolak belakang dengan kondisi negara-negara
Dunia Ketiga yang dianggap sangat kekurangan, memerlukan bantuan, kurang
sempurna, dan terbelakang. Dengan kata lain, menurut Philpott, negara-negara
Dunia Ketiga menjadi objek dari belas kasihan dunia Barat.83
Setelah berakhirnya Perang Dunia II serta dimulainya Perang Dingin,
menurut Philpott, Amerika Serikat menjadi pusat “kekuasaan” akademik.
Pemerintahan Amerika Serikat melakukan investasi besar-besaran untuk
pengembangan program-program studi kawasan demi mendukung status baru AS
sebagai penguasa global. Bantuan militer dan non-militer dari pemerintahan AS
dan kegiatan lembaga non-pemerintahan yang memang difokuskan pada negara-
negara Dunia Ketiga beriringan dengan pembentukan analisis dan teori akademik.
Menurut Philpott, kemajuan dan modernisasi menjadi kunci penekanan dalam
kebanyakan teori yang diajukan untuk menyelesaikan permasalahan yang
dihadapi oleh negara-negara Dunia Ketiga. Philpott lalu mengutip pernyataan
James Scott yang menegaskan bahwa keberhasilan studi-studi Asia Tenggara di
universitas-universitas di Amerika Serikat sangat terkait erat dengan tumbuh dan
83 Simon Philpott. Rethinking Indonesia: Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal.47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
tumbangnya Amerika Serikat sebagai kekuatan global. Penyataan Scott yang
dikutip oleh Philpott menegaskan bahwa studi-studi Asia Tenggara:
Dominated by the social sciences which themselves were expanding
rapidly in American universities during the 1950s and 1960s. Not only
was the knowledge of Southeast Asian languages, societies, and
cultures deemed essential for America‟s new global role, but the
social scienties were seen as directly germane to understanding
economic growth, modernization, and political stability or instability.
By European standart, Southeast Asian studies here is somenthing of
a freak, relatively overdeveloped when it comes to political science
and anthropology, woefully underdeveloped when it comes to
literature, art, music, classical studies, and contemporary popular
culture. Lacking a tradition of Orientalism that, for all its prejudices,
would have given us somenthing of an anchor against political winds,
we moved in the direction the wind blew.84
Pernyataan di atas mencoba untuk menghubungkan perkembangan studi
politik-studi politik tentang Asia Tenggara yang berbasis di Amerika Serikat
dengan perhatian global pihak Amerika Serikat yang dapat memicu keraguan
mengenai kemandirian serta objektifitas para ilmuan dalam menentukan
kepentingan-kepentingan penelitian.85
Pihak Amerika Serikat dalam hal ini
mengambil peran penting dalam “menciptakan Indonesia.” Menurut Philpott,
tujuan utama AS mendukung kemerdekaan Indonesia dari Belanda adalah untuk
menjauhkan Indonesia dari pengaruh kekuatan “kiri,” secara khusus komunis dari
kekuatan politik formal di Indonesia. Untuk menjelaskan hal ini, Philpott lalu
mengutip pernyataan Southwood dan Flanagan yang menegaskan bahwa
Indonesia telah menjadi bagian sentral dari pemikiran strategis AS tentang Asia
84 Simon Philpott. Rethinking Indonesia, Postcolonial Theory, Authoritarianism and Identity. New York: St. Macmillan Press Ltd. 2000, hal. 48 85 Ibid
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Tenggara saat berakhirnya Perang Dunia II dan menurut Philpott, Indonesia
dijadikan tonggak dominasi AS atas wilayah kepulauan Asia-Pasifik.
J. Daerah-daerah “Tertinggal” dan Solusi Pembangunan
Kebijakan pemerintahan Orde Baru yang berkaitan dengan program
transmigrasi selalu dikaitkan dengan pembangunan nasional di daerah-daerah
transmigrasi yang konon katanya dianggap sebagai daerah “tertinggal” dan
“terbelakang” oleh pemerintah pusat. Bagi pemerintahan Orde Baru, program
transmigrasi adalah solusi untuk mengatasi permasalahan pembangunan di
daerah-daerah yang dianggap “tertinggal,” terutama yang berada di luar Pulau
Jawa. Dalam pandangan pemerintahan pusat, Pulau Jawa adalah contoh sebuah
wilayah maju karena telah merasakan suksesnya pembangunan nasional. Oleh
karena itu, pemerintahan pusat menjadikan Pulau Jawa sebagai standar untuk
menilai daerah-daerah lain yang ada di luar Pulau Jawa.
Sejauh ini sudah ada beberapa peneliti yang menulis tentang pembangunan
nasional di daerah-daerah yang ada di Indonesia. Beberapa peneliti tersebut antara
lain: R. A. Rachmad Sahudin (2010), menulis makalah berjudul “Hak dan
Kewajiban Dewan Adat dalam Pembangunan.”86
Sahudin berpendapat bahwa
untuk memaknai pembangunan daerah-daerah yang ada di Indonesia kita bisa
merujuk pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang mana telah
dirumuskan bahwa pada dasarnya hakekat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia secara
86Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
merata di seluruh wilayah Indonesia.87
Pembangunan nasional yang dimaksudkan
Sahudin dalam GBHN tersebut meliputi beberapa hal seperti: pembangunan
ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan nasional.
Semua aspek yang telah disebutkan di atas, menurut Sahudin, harus diperhatikan
secara berimbang oleh pemerintahan pusat.
Soetandyo Wignjosoebroto (2010), menulis makalah berjudul “Pokok-
Pokok Pikiran Tentang Nasionalisme Pembangunan dan Kebudayaan Daerah.”88
Wignjosoebroto mengatakan bahwa pembangunan nasional pada hakekatnya
adalah upaya berencana untuk mempertinggi ketahanan suatu bangsa. Dengan
demikian, setiap upaya dari pembangunan nasional harus menghasilkan semangat
nasionalisme yang mampu mengilhami dan menjiwai manusia itu sendiri.
Pembangunan model ini meliputi bidang pemerintahan (politik), dunia usaha
(ekonomi), dan kehidupan masyarakat sipil (sosial-budaya). Pembangunan
nasional sebagai sebuah upaya yang sadar dan terencana sesungguhnya
merupakan suatu fenomena baru yang muncul di negara-negara yang sedang
berkembang, antara tahun 1945-1962, di mana mereka telah berhasil melepaskan
diri dari belenggu penjajahan bangsa Barat. Pembangunan nasional muncul
sebagai upaya untuk membangun negara yang baru merdeka menjadi negara yang
berkembang dalam hal ekonomi.
87 Lihat Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010, hal. 99 88Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Wariso Ram (2010), menulis makalah berjudul “Penelitian dan
Pengembangan Kebudayaan dan Pengambilan Keputusan Pembangunan.”89
Menurut Ram, pembangunan nasional meliputi pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, pemerataan pembangunan di daerah-daerah, dan stabilitas nasional yang
mantap.90
Meskipun demikian, menurut Ram, dalam pelaksanaan pembangunan
nasional ternyata antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan di
daerah-daerah “tertinggal” tidaklah selalu seiring sejalan. Secara umum, target
pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dapat tercapai, akan tetapi belum tentu
pertumbuhan ekonomi tersebut dibarengi dengan keberhasilan pembangunan di
daerah-daerah tersebut. Oleh karena itu, sebagai akibat dari tidak seimbangnya
pertumbuhan ekonomi dengan pemerataan pembangunan, maka kenaikan
pendapatan tidak dapat diperoleh seluruh lapisan masyarakat secara merata.
Bertolak dari beberapa hasil penelitian di atas, dalam penelitian ini penulis
ingin menunjukkan bahwa logika pembangunan telah dipakai oleh pemerintah
Orde Baru untuk membangun daerah-daerah tujuan transmigrasi yang dilabeli
“tertinggal” oleh pemerintah di Jakarta. Dengan melaksanakan program
transmigrasi, pemerintah Orde Baru merasa bahwa kebijakan ini merupakan solusi
untuk mengatasi masalah pemerataan pembangunan yang dinilai belum merata di
daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Indonesia.
89Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010 90Lihat Paulus Florus dkk. Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi. Kata Pengantar. Pontianak: Institut Dayakologi. 2010, hal. 140
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
K. Catatan Penutup
Tampak jelas bahwa dengan berakhirnya kolonialisme Eropa (Belanda) di
Indonesia, tidak berarti pula bahwa praktek-praktek kolonialisme tersebut ikut
berakhir di Indonesia. Uraian dalam bab ini menunjukkan bahwa meskipun
kolonialisme Eropa telah berakhir di Indonesia, namun reproduksi ilmu
pengetahuan kolonial terus berlanjut. Dengan kata lain, kolonialisme di Indonesia
pada masa pascakolonial hanya berganti pakaian saja, yakni dari kolonialisme
Eropa (pemerintah Hindia Belanda), digantikan oleh kolonialisme internal
(pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru).
Kolonialisme di Indonesia yang terjadi pada masa pascakolonial, salah
satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang diadopsi dari pemerintah
Hindia Belanda dan dilaksanakan secara besar-besaran oleh pemerintah Orde
Baru. Dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah Belanda,
pemerintah pusat Orde Baru secara tidak langsung telah melanjutkan kebijakan
kolonial pemerintah Belanda. Dengan kata lain, tampak jelas bahwa program
transmigrasi di masa Orde Baru adalah contoh nyata dari kolonialisme internal
yang pelakunya bukan lagi pemerintah Belanda, melainkan pemerintah Indonesia
sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
BAB III
BERLANJUTNYA ORIENTALISME DI INDONESIA DAN PROGRAM
TRANSMIGRASI ORDE BARU DI KABUPATEN MELAWI,
PROVINSI KALIMANTAN BARAT
Pada bab ini akan diuraikan mengenai peran pemerintah Indonesia, secara
khusus pemerintah Orde Baru, yang melanjutkan kebijakan transmigrasi dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dengan membawa konsep pembangunan,
pemerintah Orde Baru melegitimasi kebijakannya dengan argumentasi bahwa
program transmigrasi benar-benar bertujuan untuk mensejahterakan penduduk
Indonesia yang mengikuti program ini. Selain itu, pemerintah Orde Baru juga
melegitimasi kebijakan transmigrasi dengan argumentasi bahwa program
transmigrasi sebagai solusi untuk pemerataan pembangunan di daerah-daerah
yang konon dianggap “tertinggal.”
A. Transmigrasi dalam Sejarah Indonesia
Seperti yang telah dijelaskan pada Bab II, kebijakan yang berkaitan
dengan program transmigrasi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Kebijakan ini
telah berlangsung sejak masa kolonial. Pada masa kolonial kebijakan yang
berkaitan dengan pemindahan penduduk ini dikenal dengan istilah kolonisasi.
Menurut pemerintahan Belanda, tujuan dari pelaksanaan program ini adalah untuk
mengurangi laju pertumbuhan penduduk di Pulau Jawa serta memperbaiki taraf
hidup penduduk pribumi yang berada di daerah-daerah pedesaan di Pulau Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Kebijakan kolonisasi lahir akibat politik Tanam Paksa yang dijalankan
pemerintahan Hindia Belanda di mana penduduk pribumi di Pulau Jawa sangat
menderita karena harus bekerja di perkebunan milik Belanda tanpa digaji.
Ketika menjajah Indonesia, pemerintahan Hindia Belanda melaksanakan
kebijakan kolonisasi yang didasari atas politik Balas Budi pemerintahan Hindia
Belanda terhadap penduduk pribumi yang telah menderita akibat sistem Tanam
Paksa yang dijalankan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada masa
kolonial, kebijakan kolonisasi pertama kali dilaksanakan pada tahun 1905.
Pelaksanaan ini dilakukan atas usulan asisten residen Sukabumi H. G. Heyting.91
Dalam pandangan Heyting, program kolonisasi saat itu memiliki tiga tujuan,
yakni pertama, mengatasi masalah kepadatan penduduk di Pulau Jawa yang
semakin meningkat. Kedua, menciptakan lapangan kerja baru di daerah
kolonisasi. Ketiga, memperbaiki taraf hidup penduduk Pulau Jawa yang menderita
akibat pelaksanaan politik Tanam Paksa.
Menurut H. J. Heeren dalam buku berjudul Transmigrasi di Indonesia
(1979), menjelaskan bahwa sejarah transmigrasi di Indonesia telah berlangsung
sejak masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Pada masa pemerintahan
Hindia Belanda, program transmigrasi atau yang waktu itu dikenal dengan nama
kolonisasi, pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah Belanda dan melalui tiga
fase. Pertama, Fase Eksperimen: 1905-1911. Pada fase ini, pemerintah Belanda
mengirim orang-orang Jawa menuju ke lokasi kolonisasi di daerah Lampung.
91 Departemen Transmigrasi. Historiografi Transmigrasi. Jakarta: 1984, hal. 22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Untuk menarik minat orang-orang Jawa agar mau mengikuti program
kolonisasi di Lampung, pemerintah kolonial Belanda memberikan uang premi
sebesar 20 gulden kepada setiap peserta kolonisasi. Selain itu, para peserta
kolonisasi juga mendapatkan rumah dan jatah makanan dari pemerintahan
Belanda selama satu tahun penuh.92
Pada fase kedua, program kolonisasi ini
dikenal dengan istilah Periode Bank Kredit Lampung: 1911-1929. Pada periode
ini, pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah bank yang bertugas untuk
membantu penduduk kolonisasi dan bank ini bertugas untuk memberikan
pinjaman kredit kepada penduduk maksimal 300 gulden per kepala keluarga.
Pada tahapan ketiga menurut Heeren, program kolonisasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah kolonial Belanda adalah kolonisasi Periode sejak
Depresi hingga Perang Dunia II: 1930-1941. Pelaksanaan kolonisasi pada masa
ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan cara mengirim orang-
orang Jawa yang menguasai teknologi pertanian ke wilayah-wilayah kolonisasi
dengan tujuan untuk dapat membantu melakukan panen raya. Karena
pelaksanaannya dilakukan pada saat perang, maka pemerintah Belanda hanya
menanggung biaya perjalanan ke lokasi kolonisasi saja, sedangkan biaya hidup
dan lain-lainnya tidak lagi ditanggung oleh pemerintah Belanda.
Menariknya, pada masa kemerdekaan Indonesia, program kolonisasi
pemerintahan Belanda diadopsi oleh pemerintahan Republik Indonesia dan
berganti nama menjadi program transmigrasi, tepatnya pada tahun 1948 oleh
92 H. J. Heeren. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia. 1979, hal. 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
Kementerian Pembangunan dan Pemuda.93
Tujuan utama dari program
transmigrasi di masa kemerdekaan Indonesia tidak jauh berbeda dengan masa
pemerintahan Hindia Belanda yang selain untuk memindahkan penduduk di Pulau
Jawa, Madura dan Bali, program ini juga bertujuan untuk mensejahterakan
penduduk Indonesia yang mengikuti program transmigrasi.
Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, pelaksanaan program
transmigrasi di Indonesia lebih dipengaruhi oleh jumlah penduduk yang terus
bertambah di Pulau Jawa, Bali dan Madura yang tidak sebanding dengan jumlah
lapangan kerja yang tersedia. Akibatnya, hasil produksi terutama di sektor pangan
tidak mampu mencukupi kebutuhan konsumsi penduduknya. Sasaran yang ingin
dicapai pada program transmigrasi di masa pemerintahan presiden Soekarno
adalah pemindahan penduduk dan menciptakan lapangan kerja baru bagi
penduduk lokal di daerah-daerah tujuan transmigrasi.
Menariknya lagi, setelah berakhirnya masa jabatan presiden Soekarno,
kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan program transmigrasi
dilanjutkan oleh pemerintahan presiden Soeharto (Orde Baru) dan dilaksanakan
secara besar-besaran di banyak daerah yang ada di luar Pulau Jawa. Pada masa
Orde Baru, program transmigrasi bahkan menjadi program unggulan yang
dianggap mampu mengatasi banyak permasalahan seperti: pertama, kepadatan
penduduk. Kedua, mengatasi jumlah kemiskinan. Ketiga, pemerataan
pembangunan di daerah-daerah “tertinggal.”
93 Ibid, hal. 24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
Program transmigrasi yang dilanjutkan oleh pemerintahan Orde Baru pada
dasarnya tidak jauh berbeda dengan program transmigrasi di masa pemerintahan
Hindia Belanda maupun presiden Soekarno. Perbedaan yang signifikan adalah
program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru tidak hanya bertujuan
untuk mengurangi jumlah penduduk di Pulau Jawa, Madura, dan Bali saja
melainkan juga bertujuan untuk membangun daerah-daerah “tertinggal.”
Kebijakan transmigrasi Orde Baru yang berkaitan dengan pembangunan
nasional dilaksanakan dalam bentuk pembangunan jangka pendek, yakni program
Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Program transmigrasi sendiri di masa Orde
Baru telah dilaksanakan pada Pelita I, II, dan III. Pada pelaksanaan Pelita I,
program transmigrasi berlangsung pada tahun 1969-1974 di mana pemerintah
Orde Baru telah berhasil memindahkan penduduk dari Pulau Jawa sebanyak
180.749 jiwa atau sekitar 39.436 kepala keluarga (kk).
Konon katanya, menurut pemerintah Orde Baru tujuan utama dari
dilaksanakannya program transmigrasi pada Pelita I adalah untuk meningkatkan
taraf hidup penduduk transmigrasi sekaligus meletakkan dasar bagi pembangunan
nasional untuk daerah-daerah tertinggal yang menjadi lokasi transmigrasi. Sasaran
utama dari program transmigrasi pada Pelita I adalah pembangunan di bidang
pertanian untuk menghasilkan produksi pertanian yang akan meningkatkan
pendapatan negara.
Pelita II berlangsung pada tahun 1973-1978. Pemerintahan menargetkan
untuk memindahkan 250.000 kepala keluarga dengan rincian sebagai berikut:
30.000 kk di tahun pertama, 40.000 kk di tahun kedua, 50.000 kk di tahun ketiga,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
60.000 kk di tahun keempat, dan 70.000 kk di tahun kelima. Sasaran utama dari
Pelita II adalah untuk menyediakan sandang, pangan, perumahan, sarana
prasarana, dan memperluas lapangan kerja. Beberapa tujuan program transmigrasi
dalam Pelita II di antaranya: pertama, membangkitkan potensi ekonomi di luar
pulau Jawa. Kedua, membuka lapangan kerja baru di luar pulau Jawa. Ketiga,
meningkatkan perekonomian nasional serta meningkatkan integrasi sosial dan
budaya. Keempat, memperbaiki pola penyebaran penduduk dalam jangka waktu
berjenjang. Kelima, pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dalam membantu proyek-
proyek pembangunan nasional. Keenam, memperluas daerah pertanian di luar
pulau Jawa sehingga meningkatkan produksi dan ekspor pemerintahan.94
Pelita III berlangsung pada tanggal 1 April 1979 sampai 31 Maret 1984, di
mana sasarannya adalah meningkatkan penyebaran penduduk, menambah tenaga
kerja pembangunan, serta mengembangkan daerah produksi untuk lahan pertanian
daerah transmigrasi. Selain itu, program transmigrasi pada Pelita III juga
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup penduduk peserta program transmigrasi
dan penduduk lokal. Penyebaran penduduk yang merata di seluruh daerah akan
mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di daerah-daerah tersebut.
Selain itu, program transmigrasi akan membantu tersedianya tenaga kerja dan
lapangan kerja baru untuk mendukung proyek-proyek pembangunan.
Bagi pemerintahan Orde Baru, program transmigrasi yang dilaksanakan
dalam program Pelita I, II, dan III adalah bagian integral dari pemerintahan untuk
menyejahterakan peserta program transmigrasi. Agar tujuan pemerintah pusat
94 Majalah Monitor. “Transmigrasi Sebuah Obsesi?”. Pusat Pengembangan Etika Atma Jaya, Jakarta: 1980, hal. 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
dapat terlaksana, ada beberapa kriteria bagi orang-orang Jawa, Madura, dan Bali
yang menjadi bakal calon peserta program transmigrasi, di antaranya: pertama,
orang-orang Jawa, Madura dan Bali harus memiliki keterampilan khusus di
bidang pertanian, perkebunan atau peternakan. Kedua, sebagai calon transmigran,
orang Jawa, Madura dan Bali harus berpendidikan minimal Sekolah Dasar.
Tujuannya agar peserta transmigrasi dapat mengembangkan sektor pertanian dan
perkebunan di daerah-daerah transmigrasi serta dapat menjalin hubungan baik
dengan penduduk lokal.
Tampak bahwa, pemerintah Orde Baru telah melegitimasi kekuasaannya
untuk melaksanakan program transmigrasi dengan menggunakan argumentasi
bahwa daerah-daerah transmigrasi memang masih dianggap sebagai daerah
“tertinggal” sehingga memang sangat membutuhkan pemerataan pembangunan
dari pemerintah Orde Baru yang ada di Jakarta. Dalam hal ini, tampak pula bahwa
pemerintah Orde Baru memandang orang-orang Jawa lebih modern daripada
penduduk lokal yang ada di daerah-daerah transmigrasi, sehingga orang-orang
Jawa tersebut di kirim ke daerah-daerah transmigrasi sebagai tenaga kerja yang
dianggap profesional untuk membangun daerah-daerah transmigrasi.
B. Transmigrasi dalam Sejarah Kalimantan Barat
Pelaksanaan program transmigrasi di Kalimantan Barat pertama kali
berlangsung pada masa pemerintahan presiden Soekarno, tepatnya pada tahun
1955, dengan mendatangkan 224 kepala keluarga (kk) atau sebanyak 1.114 jiwa
warga transmigrasi dari Pulau Jawa ke wilayah Sungai Durian, Kecamatan Sungai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Raya, Kabupaten Pontianak (sekarang Kabupaten Kubu Raya).95
Tujuan utama
dari pemerintahan Soekarno melaksanakan program transmigrasi di Pulau
Kalimantan adalah untuk memindahkan penduduk dan sebagai sarana penyebaran
penduduk di setiap daerah yang ada di Kalimantan dengan tujuan penyebaran
penduduk tersebut bisa merata. Selain itu, program transmigrasi pada tahun 1955
juga bertujuan untuk membantu pemerintah Soekarno menciptakan lapangan kerja
baru bagi penduduk yang mengikuti program transmigrasi di Pulau Kalimantan.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, program transmigrasi di wilayah
Kalimantan, secara khusus Kalimantan Barat terus berlanjut. Pada masa Orde
Baru, program transmigrasi berlangsung di beberapa daerah seperti: Pontianak,
Kubu Raya, Sambas, Singkawang, Bengkayang, Sanggau, Sekadau, Sintang,
Melawi, Ketapang, dan Kapuas Hulu.96
Menurut pemerintahan daerah di Dinas
Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Barat, tujuan
dilaksanakannya program transmigrasi adalah mempercepat pembangunan
infrastruktur dan ekonomi di wilayah Kalimantan Barat. Sebagaimana
disampaikan oleh Muhamad Nazarudin dalam sesi wawancara:
Program transmigrasi yang berlangsung pada masa pemerintahan Orde
Baru, dilaksanakan hampir diseluruh wilayah Provinsi Kalimantan
Barat. Tujuan utama dari pelaksanaan program transmigrasi ini adalah
untuk mempercepat pembangunan daerah-daerah transmigrasi, yang
ada di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu, pelaksanaan
program transmigrasi juga bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan
ekonomi daerah penyelenggara, karena program transmigrasi juga
akan menciptakan banyak lapangan kerja baru.97
95 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Target dan Realisasi Program Pembangunan RTJK dan Penempatan Transmigrasi (TPS & TPA). Tahun 2012 96 Ibid 97 Wawancara dengan bapak Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Barat. Selasa, 12 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
Pernyataan di atas, menunjukkan bagaimana para pejabat pemerintahan
daerah Kalimantan Barat meyakini bahwa program transmigrasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru memang memberikan kontribusi positif
bagi pembangunan ekonomi di wilayah Provinsi Kalimantan Barat. Dengan
demikian, tampak jelas bahwa kutipan pendapat pejabat daerah di atas
menunjukkan bahwa mereka meyakini kebijakan transmigrasi memang benar-
benar bertujuan untuk membangun dan memajukan daerah-daerah di Kalimantan
Barat yang oleh pemerintah Orde Baru masih dianggap “tertinggal”.
C. Transmigrasi dalam Sejarah Kabupaten Melawi
Program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, pertama kali
berlangsung pada tahun 1996 dengan didatangkannya 175 kk atau 368 jiwa warga
transmigrasi dari Pulau Jawa ke desa Tiong Keranjik, Kecamatan Belimbing,
Nanga Pinoh.98
Menurut pemerintahan Orde Baru, seperti yang tertuang dalam
Surat Keputusan (SK) Menteri Transmigrasi Republik Indonesia, pemilihan desa
Tiong Keranjik sebagai lokasi transmigrasi merupakan wujud nyata dari usaha
pemerintahan Orde Baru untuk membangun daerah-daerah transmigrasi dan
penduduk lokal yang tinggal di sana menjadi maju dan bisa mandiri.99
Menurut Pemerintahan Daerah Kabupaten Melawi, tujuan dari
dilaksanakannya program transmigrasi di Melawi adalah untuk meningkatkan
tujuh hal. Pertama, meningkatkan efektifitas dan kemampuan kelembagaan
98 Wawancara dengan bapak Matius. Seketaris Desa SP Lima Tiong Keranjik. Melawi 17 Februari 2014 99 Penempatan status transmigrasi di Melawi telah sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Transmigrasi Republik Indonesia, Nomor: KEP. 49/MEN/1990, tentang Penetapan Status Transmigrasi dan Pengaturan Transmigrasi Pengganti.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pemerintahan dalam menegakkan hubungan industrial yang manusiawi dan
harmonis. Kedua, meningkatkan kemitraan global dalam rangka memperluas
kesempatan kerja dan meningkatkan perlindungan kerja. Ketiga, meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan masyarakat miskin dalam mengembangkan
kemampuan kerja dalam berusaha.
Keempat, meningkatkan perlindungan terhadap buruh migran di dalam
negeri dan di luar negeri. Kelima, melindungi pekerja baik laki-laki maupun
perempuan serta menjamin keberlangsungan, keselamatan, dan keamanan kerja.
Keenam, mengembangkan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Ketujuh,
mengembangkan kelembagaan masyarakat miskin dalam meningkatkan posisi
tawar dan efisiensi usaha.100
Dalam pandangan pemerintah daerah, peningkatan ketujuh hal di atas harus
dilaksanakan jika ingin memajukan daerah-daerah transmigrasi yang ada di
Melawi. Argumen pemerintah Orde Baru mengenai pelaksanaan transmigrasi di
Melawi juga dibenarkan oleh pemerintah daerah Kabupaten Melawi yang
mengatakan bahwa pelaksanaan transmigrasi di Melawi adalah untuk memajukan
daerah-daerah tujuan transmigrasi.
Pemerintah daerah juga meyakini bahwa program transmigrasi yang
berlangsung di Melawi sebagai solusi untuk memajukan daerah-daerah
transmigrasi yang ada di Kabupaten Melawi. Sebagaimana disampaikan kembali
oleh M. Nazarudin:
100 Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Target dan Realisasi Program Pembangunan RTJK dan Penempatan Transmigrasi (TPS & TPA). Tahun 2012, hal. 6-7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Tujuan dari pelaksanaan program transmigrasi di Kabupaten Melawi
adalah untuk mencapai tiga hal. Pertama, meningkatkan kesejahteraan
penduduk yang mengikuti program ini. Kedua, memindahkan
penduduk dari Pulau Jawa ke lokasi transmigrasi dengan harapan
orang-orang Jawa tersebut dapat membangun daerah transmigrasi.
Ketiga, menjalankan proyek-proyek pembangunan seperti,
pembangunan insprastruktur jalan raya, sarana pendidikan, sarana
kesehatan, dan fasilitas pendukung lainnya. Pada akhirnya tujuan
utama yang ingin dicapai oleh pemerintah di Jakarta adalah
pemerataan pembangunan nasional daerah-daerah “tertinggal” seperti
Melawi.101
Kutipan peryataan di atas menunjukkan bagaimana logika pembangunan
sangat mendominasi cara berpikir pejabat pemerintahan daerah dalam menilai
program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi. Jika ideologi
pembangunan menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi dan insfrastruktur
adalah solusi untuk memajukan daerah-daerah “tertinggal,” maka untuk
memajukan daerah Melawi pemerintah Orde Baru harus melaksnakan program
transmigrasi di Melawi.
D. Orang Dayak dalam Wacana Transmigrasi
Kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat, menunjukkan bahwa pemerintah Orde
Baru yang ada di Jakarta merasa diri lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-
orang Dayak yang ada di Melawi agar bisa menjadi masyarakat yang maju dan
berkembang dalam hal pembangunan. Dengan membawa konsep pembangunan
dalam melaksanakan program transmigrasi, tampak jelas bahwa pemerintah Orde
101 Wawancara dengan bapak Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Barat. Selasa, 12 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
Baru ingin “memajukan” daerah-daerah transmigrasi di Melawi yang oleh
pemerintah Jakarta masih dianggap sebagai salah satu daerah “tertinggal.”
Dengan melaksanakan program transmigrasi di Melawi, maka pemerintah
Orde Baru telah melanjutkan kebijakan kolonial. Karena melanjutkan kebijakan
kolonial ini, maka pemerintah Orde Baru yang ada di Jakarta telah menjadi agen
kolonialisme baru yang menggantikan peran pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Namun demikian, sebagai penyelenggara program transmigrasi, pemerintahan di
Jakarta tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah orang-orang Dayak,
melainkan mereka merasa bahwa kebijakan ini akan membantu orang-orang
Dayak untuk membangun daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi.
Sebagai penyelenggara program transmigrasi di Melawi, pemerintah Orde
Baru yang ada di Jakarta memang merasa bahwa kebijakan transmigrasi ini
sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang dialami oleh
orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Dengan demikian, tampak bahwa
pemerintah Orde Baru memang berpandangan bahwa program transmigrasilah
yang dapat membantu orang-orang Dayak agar terlepas dari permasalahan
kemiskinan. Dengan kata lain, pemerintah Orde Baru juga ingin mengatakan
bahwa tanpa program transmigrasi maka orang-orang Dayak yang ada di Melawi,
tidak akan pernah bisa hidup sejahtera.
Tampak pula bahwa program transmigrasi yang dilaksanakan oleh
pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi merupakan kelanjutan dari praktek-
praktek kolonialisme yang pada masa kolonial dilakukan oleh pemerintah Hindia
Belanda terhadap penduduk Indonesia. Dengan demikian, program transmigrasi di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Melawi, menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonialisme tidak hanya bisa
dilakukan oleh orang-orang Barat pada umumnya, melainkan juga dapat
dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri dengan menjadikan sesama orang
Timur sebagai korbannya.
Tampak pula bahwa pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan program
transmigrasi di Melawi sama sekali tidak merasa bahwa kebijakan transmigrasi
akan merugikan orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Pemerintah Orde Baru
yang ada di Jakarta justru merasa bahwa mereka sedang berjuang untuk
membantu orang-orang Dayak untuk membangun daerah-daerah transmigrasi di
Melawi yang oleh pemerintah Jakarta masih dianggap sebagai salah satu daerah
“tertinggal.”
Salah satu cara yang digunakan oleh pemerintahan Orde Baru untuk
membangun daerah-daerah “tertinggal” di Melawi adalah dengan cara
melaksanakan program transmigrasi. Menurut pendapat pejabat pemerintahan
yang ada di Kabupaten Melawi, program transmigrasi yang sudah berlangsung
sejak tahun 1990-an telah banyak memberikan kebaikan bagi orang-orang Dayak
yang ada di Melawi. Program transmigrasi juga dianggap telah berhasil merubah
pola pikir masyarakat Dayak di Melawi menjadi “lebih baik” dari sebelum adanya
program transmigrasi. Sebagaimana yang disampaikan oleh Giovani Anton:
Dulu sebelum program transmigrasi masuk ke Kabupaten Melawi,
sebagaian besar orang-orang Dayak itu masih banyak yang tinggal di
daerah-daerah pegunungan dan banyak juga yang tinggal di hutan. Hal
itu mereka lakukan karena mereka memang menggantungkan
kehidupan mereka dari hasil hutan dan hasil 102
pertanian tradisional.103
102 Yang dimaksudkan dengan pertanian tradisional di sini adalah sistem pertanian orang-orang Dayak yang biasa dikenal dengan istilah ladang berpindah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Kutipan pernyataan di atas, menunjukkan bahwa logika berpikir pejabat
daerah di Melawi dalam memandang program transmigrasi memang dipengaruhi
oleh faktor kemajuan daerah-daerah transmigrasi yang dengan cepat berkembang
karena adanya pemerataan pembangunan. Tampak bahwa, kutipan pejabat
pemerintahan di atas ingin menunjukkan bahwa tanpa adanya program
transmigrasi di Melawi, maka akan sangat sulit untuk memajukan daerah-daerah
“tertinggal” yang ada di Melawi.
Kebijakan transmigrasi yang berlangsung di Melawi menunjukkan
bagaimana orang-orang Dayak diwacanakan oleh pemerintah Orde Baru yang
diwakili oleh para pejabat daerah maupun orang-orang Jawa yang menjadi peserta
program transmigrasi di Melawi. Orang-orang Jawa yang menjadi calon peserta
program transmigrasi di Melawi – sebelum berangkat ke lokasi transmigrasi –
telah mendapatkan penjelasan dari pemerintah Orde Baru (Departemen
Transmigrasi), mengenai siapa itu orang-orang Dayak dan seperti apa karakter
yang mereka miliki. Sebagaimana disampaikan oleh bapak Mahrudin peserta
transmigrasi dari Jawa Barat:
Awalnya saya mengira bahwa orang-orang Dayak itu keras dan kejam
terhadap warga pendatang. Tadinya kami sempat berpikir kalau
kehadiran kami di lokasi transmigrasi, pasti tidak akan diterima oleh
orang-orang Dayak. Saya mengetahui kalau orang Dayak itu sudah
marah, mereka akan bertindak nekat. Sebagai contoh kasus kerusuhan
antara orang Dayak dan Madura sebenarnya membuat kami takut
untuk mengikuti program transmigrasi, namun karena ini jalan satu-
103 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintah daerah. Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
satunya agar kami dapat mengubah nasib, maka pada akhirnya kami
pun memutuskan untuk mengikuti program transmigrasi.104
Kutipan pernyataan di atas menunjukkan bagaimana wacana tentang orang
Dayak yang diterima oleh orang-orang Jawa sebelum berangkat ke lokasi
transmigrasi sangat mempengaruhi cara berpikir orang-orang Jawa dalam menilai
orang-orang Dayak. Karena wacana tersebut, tidaklah mengherankan jika orang-
orang Jawa pada awalnya menganggap orang-orang Dayak sebagai salah satu
penduduk yang dianggap “liar”, “primitif” dan belum beradab. Sebagaimana
disampaikan oleh calon peserta transmigrasi lainnya bernama Rohim asal kota
Malang, Jawa Timur:
Ketika akan berangkat ke lokasi transmigrasi di Melawi, saya dan istri
saya awalnya merasa was-was karena menurut cerita yang kami
dengar, orang-orang Dayak yang ada di Kalimantan itu adalah
pemakan daging manusia. Oleh karena itu, awalnya saya dan keluarga
saya merasa takut untuk diberangkatkan ke lokasi transmigrasi.
Perasaan takut saya dan keluarga dikarenakan oleh pemahaman kami
tentang orang-orang Dayak saat itu, sangat menakutkan. Tapi ketika
kami sudah berada di lokasi transmigrasi, perasaan takut tersebut
hilang, karena yang temui di lokasi transmigrasi, orang-orang
Dayaknya tidak seburuk yang kami bayangkan sebelumnya.105
Kutipan pernyataan di atas menunjukkan bahwa bagaimana wacana tentang
orang Dayak yang diperoleh orang-orang Jawa sebelum mereka berangkat ke
lokasi transmigrasi di Melawi benar-benar mempengaruhi cara berpikir orang-
orang Jawa dalam menilai orang-orang Dayak yang ada di Melawi. Namun
demikian, kutipan di atas juga menunjukkan bahwa wacana kolonial yang
104 Wawancara dengan Bapak Mahrudin. Warga transmigrasi asal Jawa Barat. Rabu 20 Februari 2013 105 Wawancara dengan bapak Rohim. Warga transmigrasi asal kota Malang, Jawa Timur. Kamis 21 Februari 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
berlanjut di Melawi tidak sepenuhnya berhasil. Hal ini ditunjukkan dengan cara
pandang orang-orang Jawa yang menilai buruk orang Dayak berubah manakala
mereka telah hidup berdampingan di lokasi transmigrasi.
Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang berlangsung di
Kabupaten Melawi hanyalah salah satu contoh yang bisa menunjukkan bahwa
praktek-praktek kolonial terus berlanjut pada masa pascakolonial. Pada masa
pasacakolonial, penyelenggaraan program transmigrasi di Melawi juga
menunjukkan bahwa berlanjutnya kolonialisme di Indonesia bukan lagi dilakukan
oleh orang-orang Barat pada umumnya, melainkan dilakukan oleh orang-orang
Timur sendiri terhadap sesama orang Timur.
Bertolak dari beberapa gagasan dan kutipan di atas, tampak jelas bahwa
pemerintah Orde Baru sedang melegitimasi wacana tentang suku Dayak yang
dalam pandangan pemerintah Orde Baru, masih dianggap sebagai salah satu suku
“primitif” yang ada di Indonesia. Tampak jelas pula bahwa pemerintah Orde Baru
memandang orang-orang Jawa sebagai representasi dari kemajuan atau yang
dianggap modern, sehingga orang-orang Dayak harus belajar dengan orang-orang
Jawa agar bisa menjadi masyarakat yang maju dalam hal pembangunan nasional.
E. Asal Mula Istilah Dayak
Nama Dayak sendiri pada dasarnya adalah pemberian pemerintah kolonial
Hindia Belanda. Nama Dayak diberikan pada penduduk lokal yang mendiami
Pulau Kalimantan. Tujuan pemerintah kolonial Hindia Belanda memberikan nama
Dayak adalah untuk mempermudah proses administrasi pendataan pemerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
kolonial Hindia Belanda. Akan tetapi, istilah Dayak juga dipakai oleh para peneliti
kolonial yang menulis tentang Pulau Kalimantan.
Di Indonesia sendiri, penelitian mengenai suku Dayak yang merupakan
penduduk lokal Pulau Kalimantan bukanlah hal yang baru. Sejauh ini sudah
banyak para peneliti yang melakukan riset serta menulis hasil penelitian mereka
mengenai suku Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan. Penelitian mengenai
orang-orang Dayak di Pulau Kalimantan sudah pernah dilakukan oleh para
peneliti Barat pada masa kolonial. Namun demikian, penulis hanya akan
menggunakan beberapa literatur yang penulis anggap bisa membantu penelitian
tesis ini.
P. J. Veth (2012) misalnya menulis buku berjudul “Borneo‟s
Westerafdeeling: Geographisch, Statistisch, Historisch” 1854.106
Buku ini
merupakan hasil penelitian dari seorang antropolog Belanda di masa kolonial,
tepatnya pada tahun 1856. Hasil penelitian ini diterbitkan ulang dan diterjemahkan
ke dalam bahasa Indonesia oleh P. Yeri dan diterbitan kembali oleh Institut
Dayakologi, Pontianak pada tahun 2012. Tujuan dari penerbitan ulang buku ini
adalah untuk melihat bagaimana sejarah orang-orang Dayak menurut perspektif
orang-orang Belanda.
Di dalam buku Veth terdapat gagasan bahwa orang-orang Dayak adalah
penduduk asli yang mendiami Pulau Borneo (Kalimantan). Penelitian Veth
menunjukkan bahwa orang-orang Dayak yang ada di wilayah kepulauan Borneo
kehidupannya menyebar hingga ke wilayah pedalaman. Dengan kata lain, hasil
106 P. J. Veth. Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Jilid 1. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
penelitian Veth menunjukkan bahwa orang-orang Dayak menjalankan pola
kehidupan nomaden. Hal ini dilakukan karena sebagian besar dari orang-orang
Dayak memang memilih tinggal di daerah-daerah yang dekat dengan sumber
makanan.
Selanjutnya dalam buku Veth juga terdapat gagasan bahwa sebagian besar
dari orang-orang Dayak yang tinggal di Pulau Kalimantan lebih memilih untuk
bertempat tinggal di daerah pinggiran sungai. Hal ini disebabkan oleh selain
sungai dipakai sebagai jalur transportasi. Selain itu, tinggal di daerah pinggiran
sungai juga membuat orang-orang Dayak dapat dengan mudah memanfaatkan
sungai sebagai sumber mata pencarian bagi orang-orang Dayak yang bekerja
sebagai nelayan.
Dalam buku yang sama, Veth juga menguraikan tentang sifat dan karakter
orang-orang Dayak yang bermukim di Pulau Kalimantan. Dalam uraiannya, Veth
mengatakan bahwa orang-orang Dayak tidak memiliki kemampuan dalam hal
perdagangan. Oleh karena itu, sistem perdagangan yang ada di Pulau Kalimantan
selalu dikuasai oleh orang-orang Cina dan Melayu. Karena kalah bersaing dari
orang-orang Cina dan Melayu, orang-orang Dayak akhirnya memilih untuk
pindah ke daerah-daerah baru yang tidak ditempati oleh orang-orang Cina maupun
Melayu.
Hasil penelitian Veth juga memperlihatkan gagasannya bahwa orang-orang
Dayak yang dikenal sebagai penduduk lokal Pulau Kalimantan merupakan salah
satu suku “tertinggal” yang memiliki sifat “liar,” “primitif,” “tidak beradab,”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
“kasar,” dan percaya pada hal-hal yang bersifat “tahayul.”107
Orang-orang Dayak
dalam menjalani kehidupan sehari-hari sangat bergantung pada alam. Mereka
sangat percaya pada hal yang bersifat mistis. Orang-orang Dayak juga tidak
memiliki tulisan maupun dokumentasi berupa catatan mengenai sejarah suku
Dayak yang ada di Pulau Kalimantan.
Pengalaman sejarah yang dimiliki oleh orang-orang Dayak hanya
disimpan dan diteruskan dalam bentuk cerita lisan dari mulut ke mulut. Oleh
karena itu, cerita-cerita tentang sejarah Dayak yang mereka peroleh berasal dari
cerita nenek moyang mereka tidak banyak menjelaskan tentang asal-usul
mengenai sejarah orang-orang Dayak yang mendiami Pulau Kalimantan dan
bagaimana mereka bisa tinggal di daerah tersebut.108
Veth juga mengatakan bahwa salah satu sifat buruk yang dimiliki oleh
orang-orang Dayak adalah melakukan kebiasaan mengayau yang oleh orang-
orang Dayak sudah dianggap sebagai tradisi yang sudah ada sejak zaman nenek
moyang mereka masih hidup.109
Dalam hal mengayau, Veth mencoba untuk
menunjukkan bahwa orang-orang Dayak memiliki sifat yang kasar dan bengis
karena setelah melakukan hal tersebut mereka juga memiliki kebiasaan yang aneh,
yaitu mengumpulkan kepala-kepala manusia yang menjadi korban dan
menyimpannya sebagai tanda kemenangan.110
Dalam pandangan Veth, kebiasaan
107 P. J. Veth. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. 1x. 108 P. J. Veth. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. 160 109 Mengayau adalah cara orang Dayak mengalahkan musuh dengan cara memenggal kepala korban. Kebiasaan ini seakan-akan oleh para peneliti Dayak merupakan tradisi Suku Dayak yang dianggap kejam dan membuktikan bahwa suku Dayak adalah suku primitif. 110 P. J. Veth. Borneo Bagian Barat, Geografis, Statistis, Historis. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi, 2012, hal. 247
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
orang-orang Dayak melakukan kebiasaan mengayau ini menunjukkan bahwa
orang-orang Dayak memang masih “primitif” dan “belum beradab.”
Penelitian orang-orang Barat lainnya yang menulis tentang kehidupan
penduduk lokal yang tinggal di Pulau Kalimantan adalah J. J. K. Enthoven 1905,
yang menulis buku berjudul Bijdragen Tot De Geographie van Borneo‟s Wester-
Afdeeeling.111
Hasil penelitian Enthoven juga telah diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia oleh P. Yeri dan di terbitkan ulang oleh Institut Dayakologi,
Pontianak pada tahun 2013. Tujuan dari penerbitan ulang buku juga tidak jauh
berbeda dengan buku P. J. Veth, yakni untuk melihat bagaimana sejarah dan
geografi Pulau Kalimantan Barat menurut perspektif peneliti Barat.
Hasil penelitian Enthoven menguraikan tentang sifat dan tingkah laku
orang-orang Dayak yang dianggap suka meminta-minta dan terkesan tidak tahu
malu. Enthoven dalam buku yang sama memberikan contoh bahwa manakala ada
orang-orang asing yang datang dan berinteraksi langsung dengan orang-orang
Dayak ini, maka orang asing tersebut harus menyerahkan apa yang mereka miliki
sebagai hadiah untuk orang-orang Dayak. Misalnya, Enthoven menjelaskan
bahwa ketika ada orang asing yang ingin bermalam di rumah orang-orang Dayak,
maka mereka harus siap untuk terus menerus diganggu oleh orang-orang Dayak
terutama para wanitanya yang tidak akan berhenti mengganggu sebelum mereka
diberikan hadiah oleh orang asing tersebut.
Hasil penelitian Enthoven mengenai kebiasaan hidup orang-orang Dayak
yang tinggal di wilayah kepulauan Kalimantan juga menunjukkan bahwa orang-
111 J. J. K. Enthoven, 1905. (Bijdragen Tot De Geographie Van Borneo’s Wester-Afdeeling). Dialihbahasakan oleh: P. Yeri, OFM. Cap. Sejarah dan Geografi Daerah Sungai Kapuas Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi, 2013
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
orang Dayak memiliki pola hidup yang masih jauh dari kesan modern sehingga
sangatlah wajar jika orang-orang Dayak memang dianggap sebagai manusia
“primitif,” terbelakang dan belum beradab.
Dari hasil penelitian tentang orang-orang Dayak yang dilakukan oleh orang-
orang Barat di masa kolonial di atas menunjukkan bahwa orang-orang Dayak
yang merupakan penduduk asli Pulau Kalimantan memang dianggap sebagai salah
satu suku “tertinggal” yang memiliki karakter dan sifat buruk oleh para peneliti
Barat. Dalam pandangan para peneliti Barat, sebagaimana yang diuraikan oleh
Veth dan Enthoven di atas, keterbelakangan yang dialami oleh orang-orang Dayak
dapat dilihat dari sifat mereka yang kasar, liar dan percaya pada hal-hal yang
bersifat mistis (tahayul).
F. Penelitian tentang Suku Dayak di Masa Pascakolonial
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bagaimana orang-orang Dayak
yang di Pulau Kalimantan telah dijadikan objek penelitian oleh orang-orang Barat
yang melakukan penelitian tentang penduduk lokal yang mendiami Pulau
Kalimantan. Hasil penelitian orang-orang Barat di masa kolonial menunjukkan
bagaimana para peneliti Barat menilai “buruk” orang-orang Dayak yang ada di
Pulau Kalimantan. Namun demikian, menariknya cara pandang orang-orang Barat
terhadap orang-orang Dayak di masa kolonial ternyata masih berlaku di Indonesia
pada masa pascakolonial.
Hingga saat ini sudah banyak para peneliti lokal yang menulis tentang
sejarah Dayak di Pulau Kalimantan, mulai dari tradisi Dayak, ritual adat hingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
konflik antar suku yang melibatkan suku Dayak dengan suku pendatang. Namun,
para peneliti lokal yang menulis tentang sejarah Dayak cenderung mengamini
hasil penelitian orang-orang Barat dalam memberikan definisi mengenai orang-
orang Dayak yang tinggal di wilayah kepulauan Kalimantan Barat.
Hasil penelitian Sujarni Aloy dkk (2008), misalnya yang menulis Mozaik
Dayak - Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Aloy
dkk, dalam buku yang sama menguraikan bahwa pada masa pemerintahan
kolonial Hindia Belanda, sudah banyak peneliti Barat yang terdiri dari bidang
studi antropologi, linguistik, arkeologi, maupun sosiologi, tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap orang-orang Dayak yang mendiami Pulau
Kalimantan (Borneo).112
Hasil penelitian Aloy dkk juga memperlihatkan bahwa sejak masa kolonial
Hindia Belanda, Pulau Kalimantan sudah dianggap oleh peneliti Barat sebagai
sebuah pulau yang unik, nan eksotik, karena memiliki hutan belantara yang lebat,
memiliki kekayaan dan keindahan alam, serta keunikan yang dimiliki oleh
penduduk lokal (orang-orang Dayak) yang mendiaminya. Menurut Aloy dkk,
penelitian tentang penduduk lokal di Pulau Kalimantan sudah berlangsung sejak
tahun 1800-an, di mana pada waktu itu banyak peneliti Barat yang melakukan
riset tentang orang-orang Dayak, siapa mereka, dari mana asal usulnya, dan
seperti apa bahasa yang digunakan oleh orang-orang Dayak tersebut.
Menariknya, Aloy dalam buku yang sama juga cenderung meyakini
pendapat para peneliti asing yang mengatakan bahwa istilah Dayak digunakan
112 Sujarni Alloy, Albertus, & Istiyani, Chatarina Pancer. Mozaik Dayak - Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi. 2008, Hal. 11.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
untuk memberi nama pada penduduk asli yang mendiami pulau Kalimantan.
Menurut Aloy, pada awalnya orang-orang Dayak menolak untuk menggunakan
nama ini sebagai identitas mereka. Penolakan ini disebabkan oleh makna Dayak
sendiri yang mulanya berkonotasi buruk karena mengarah pada hal-hal negatif
seperti: perilaku jorok, kotor, terbelakang (primitif), dan tidak berperadaban. Pada
masa kolonial, orang-orang Barat menurut Aloy mendefinisikan orang-orang
Dayak sebagai “manusia pedalaman”, non Muslim, primitif, tidak berperadaban,
dan dengan berbagai citra negatif lainnya.113
Dalam pandangan Aloy dkk, penggunaan nama Dayak ini tidak muncul
begitu saja. Sebelum istilah ini menjadi populer di kalangan umum dan menjadi
nama identitas penduduk Kalimantan, banyak istilah yang sering digunakan untuk
menyebut penduduk Pulau Borneo ini di antaranya: Daya, Daya, Dyak, Dadjak,
Dayaker, hingga Dayak. Baru pada tahun 1992, atas persetujuan Institute of
Dayakology Research and Development yang saat ini bernama Institut
Dayakologi, istilah Dayak secara resmi digunakan sebagai identitas penduduk
yang mendiami Pulau Kalimantan.114
Menurut Aloy dkk, sebelum istilah Dayak menjadi populer di kalangan para
peneliti dan kalangan umum, orang-orang asing, secara khusus bangsa Eropa yang
pernah berkunjung ke Pulau Kalimantan, menyebut orang-orang Dayak dengan
istilah Borneers dan Beyajos.115
Dengan demikian, Aloy dkk berpendapat bahwa
113 Ibid, hal. 11 114 Alloy, Sujarni, Albertus, & Istiyani, Chatarina Pancer. Mozaik Dayak - Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak: Institut Dayakologi. 2008, Hal. 9. 115 Ibid, hal. 11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
istilah Dayak sendiri merupakan hasil dari rekonstruksi para peneliti Barat untuk
memberi nama pada penduduk asli yang mendiami Pulau Kalimantan.
Peneliti lokal lainnya yang menulis tentang sejarah Dayak adalah Nico
Andalas dan Stefanus Djuweng (1996), yang menulis buku berjudul Manusia
Dayak: Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi.116
Menurut Andalas dan
Djuweng, Dayak adalah nama kolektif yang kemudian membentuk sebuah label
etnik untuk menyebut kira-kira 450 suku asli non-Muslim yang mendiami Pulau
Kalimantan (Borneo).117
Menurut Andalas dan Djuweng, pembagian suku ini
dilakukan oleh para peneliti Barat di masa kolonial atas dasar kesamaan bahasa,
hukum adat dan ritus kematian. Dengan demikian, pemberian nama Dayak pada
penduduk Pulau Kalimantan adalah semata-mata untuk mempermudah proses
administrasi pendataan.
Peneliti lainnya yang menulis tentang orang-orang Dayak di Pulau
Kalimantan adalah J .U. Lontaan (1975), yang menulis buku berjudul Sejarah
Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat.118
Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Lontaan menguraikan bahwa sifat dan karakter orang-orang Dayak
yang meskipun terdiri dari ratusan suku, tetapi orang-orang Dayak pada umumnya
memiliki karakter dan sifat yang hampir sama, seperti percaya pada hal-hal yang
116 Nico Andalas dan Stefanus Djuweng. Manusia Dayak, Orang Kecil Yang Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institut Dayakologi, 2006. 117 Ibid, hal. 4 118 J.U. Lontaan. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar, 1975.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
bersifat mistis, tahayul, percaya pada mimpi, mempercayai suara burung tertentu,
menghormati leluhur yang telah meninggal dan macam-macam kuasa gaib.119
Untuk menjelaskan mengenai karakter dan sifat orang-orang Dayak,
Lontaan dalam buku yang sama lalu mempelajari pernyataan F. Ukur dalam buku
berjudul Tantang Jawab Suku Dayak, yang mengatakan bahwa orang-orang
Dayak memang cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat tahayul dalam
menjalani kehidupan sehari-hari. Lontaan lalu memberi contoh: dalam hal
menjalani kehidupan sehari-hari orang-orang Dayak selalu dihantui perasaan
sangsi, jika ingin keluar rumah biasanya mereka melihat ke langit atau
memandang tanah untuk mengetahui tanda-tanda yang diberikan oleh alam.
Menurut Lontaan, tanda-tanda yang orang-orang Dayak terima dari alam
akan menentukan langkah mereka untuk mengambil keputusan apakah akan pergi
ke ladang, berburu, ke hutan mencari kayu, atau tinggal di rumah saja. Tampak
jelas bahwa hasil penelitian yang dilakukan Lontaan menunjukkan bahwa orang-
orang Dayak sangat mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan mistis dan
tahayul. Bahkan dalam menjalani kehidupan sehari-hari orang-orang Dayak juga
sangat bergantung pada alam.
Peneliti lokal lainnya yang menulis tentang orang-orang Dayak di masa
pascakolonial adalah Nistain Odop dan Frans Lakon yang menulis buku berjudul
Dayak Menggugat: Sejarah Masa Lalu, Hak atas Sumber-sumber Penghidupan,
dan Diskriminasi Identitas.120
Hasil penelitian Odop dan Lakon menguraikan
119 J.U. Lontaan. Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat. Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar. 1975, hal. 38 120 Nistain Odop dan Frans Lakon. Dayak Menggugat: Sejarah Masa Lalu, Hak Atas Sumber-Sumber Penghidupan, dan Diskriminasi Identitas. Yogyakarta: Pintu Cerdas 2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
tentang beberapa hal. Pertama, membicarakan tentang sejarah orang Dayak yang
digambar dengan berbagai stereotip buruk seperti memiliki pola hidup yang
misterius, sakti, tradisional, nomaden, ketinggalan zaman, kanibal dan
sebagainya.121
Kedua, Odop dan Lakon juga menguraikan tentang penggunaan istilah
Dayak yang baru dikenal dunia setelah diperkenalkan oleh seorang sosiolog
Belanda bernama August Kanderland pada tahun 1803. Menurut Kanderland,
sebagaimana dikutip oleh Odop dan Lakon, menjelaskan bahwa penduduk yang
mendiami pedalaman Borneo mengaku diri mereka sebagai “orang Daya”,
komunitas penduduk yang tinggal di kawasan hulu sungai dan memeluk
kepercayaan non-Muslim.
Buku karya Odop dan Lakon ini mencoba untuk mengkritisi pandangan
umum tentang orang-orang Dayak yang selama masa pemerintahan Orde Baru
menganggap bahwa orang-orang Dayak sebagai salah satu suku “tertinggal” yang
masih dianggap suka mengayau, tidak bisa maju, kolot, nomaden, dan dengan
berbagai stereotip buruk lainnya. Buku ini juga tidak hanya berbicara mengenai
kebudayaan orang Dayak saja, melainkan juga bicara mengenai kehidupan politik,
sosial, lingkungan dan sistem religi yang dianut oleh orang-orang Dayak.
Selanjutnya, peneliti lain yang melakukan penelitian tentang sejarah Pulau
Kalimantan adalah Tjilik Riwut yang menulis buku berjudul Kalimantan
Membangun Alam dan Kebudayaan.122
Dalam bukunya yang terdiri dari tiga
puluh tiga bab, Riwut menjelaskan banyak hal mengenai sejarah perkembangan
121 Ibid, hal. 1 122 Tjilik Riwut. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: NR. Publishing. 1993
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Pulau Kalimantan, mulai dari sejarah Kalimantan Barat, Tengah, Timur, maupun
Kalimantan Selatan. Riwut dalam buku yang sama juga menguraikan bahwa
sebutan kata Dayak adalah sebutan umum di Pulau Kalimantan.
Menurut Riwut, sebutan Dayak diberikan kepada penduduk lokal yang tidak
beragama Islam dan mereka bertempat tinggal di daerah-daerah pedalaman pulau
Kalimantan.123
Dalam pandangan Riwut, sebutan Dayak ini diberikan oleh orang-
orang Melayu untuk mengatakan bahwa Dayak penduduk lokal yang mereka
sebut juga dengan istilah orang gunung. Selain itu, menurut Riwut istilah Dayak
diberikan oleh orang-orang Inggris untuk penduduk lokal yang mendiami Pulau
Kalimantan.
Bertolak dari beberapa hasil penelitian di atas, tampak jelas bahwa
penelitian tentang suku Dayak yang dilakukan oleh peneliti Indonesia sekalipun
cenderung mengakui hasil penelitian orang-orang Eropa di masa kolonial.
Meskipun di satu sisi para peneliti Indonesia di masa pascaolonial mencoba untuk
lebih kritis terhadap hasil penelitiannya, namun di sisi lainnya para peneliti
Indonesia juga tidak bisa lepas dari sumber-sumber acuan para peneliti Barat di
masa kolonial.
G. Transmigrasi dan Pembangunan Nasional
Pada masa pemerintahan Orde Baru, program transmigrasi selalu dikaitkan
dengan usaha memajukan daerah-daerah transmigrasi dengan cara pemerataan
pembangunan nasional. Dalam hal ini, muncul anggapan bahwa pemerintah
123 Ibid, hal. 261
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Indonesia, secara khusus Orde Baru di Jakarta, ingin memajukan daerah-daerah
transmigrasi dengan cara melaksanakan “pemerataan pembangunan.” Pemerataan
pembangunan di daerah-daerah transmigrasi berupa pembangunan di bidang
infrastruktur dan ekonomi. Pembangunan di bidang insfrastruktur berkaitan
dengan proyek-proyek pembangunan, seperti jalan raya, jembatan, sarana
pendidikan, sarana kesehatan, kantor-kantor pemerintahan, koperasi dan
sebagainya. Sedangkan pembangunan ekonomi selalu dikaitkan dengan
kesejahteraan penduduk yang mengikuti program transmigrasi.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, program
transmigrasi di Indonesia merupakan salah satu kebijakan kolonial yang sudah
pernah dilaksanakan pada masa pemerintahan Hindia Belanda saat mereka
menjajah Indonesia (dulunya Nusantara). Tujuan awal pemerintah Belanda
melaksanakan program transmigrasi ini adalah untuk mengatasi masalah
kemiskinan dan memindahkan penduduk yang padat di Pulau Jawa menuju ke
luar Pulau Jawa. Menariknya, pada masa kemerdekaan Indonesia, kebijakan
transmigrasi ini diadopsi oleh pemerintah Indonesia dan dilaksanakan secara
besar-besaran pada masa pemerintahan Orde Baru. Pada masa Orde Baru
kebijakan transmigrasi tidak hanya bertujuan untuk mengurangi jumlah penduduk,
melainkan juga bertujuan untuk membangun daerah-daerah “tertinggal.”
Program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru, dilaksanakan dalam
bentuk Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Menurut pemerintah Orde Baru, waktu
lima tahun menjadi tolak ukur pemerintah di Jakarta untuk menilai apakah
program transmigrasi mampu membangun daerah-daerah transmigrasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
tadinya “tertinggal” menjadi maju dalam hal pembangunan. Sebagaimana
disampaikan oleh M. Nazarudin:
Program transmigrasi yang berlangsung di Kalimantan Barat telah
memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi masyarakat
Kalimantan Barat. Pada tahun 1955, program transmigrasi pertama
kali masuk ke wilayah Pontianak. Saat itu, Pontianak masih
merupakan kota Kabupaten yang masuk wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah. Pada masa Orde Baru, program transmigrasi dilanjutkan dan
dilaksanakn secara besar-besaran dengan tujuan agar dapat
memajukan daerah-daerah yang ada di Kalimantan Barat.124
Menurut Nazarudin, program transmigrasi juga berkontribusi dalam
pembentukan Provinsi Kalimantan Barat. Oleh karena itu, M. Nazarudin kembali
berpendapat bahwa:
Untuk bisa menjadi sebuah Provinsi ada dua syarat utama yang harus
dipenuhi setiap daerah. Pertama, jumlah penduduk. Kedua,
pendapatan ekonomi daerah harus meningkat. Penyelenggaraan
program transmigrasi di Kalimantan Barat sejauh ini mampu
memenuhi dua hal tersebut. Dengan adanya program transmigrasi,
penyebaran penduduk menjadi lebih merata. Penciptaan lapangan
kerja baru menjadikan wilayah transmigrasi memperoleh pendapatan
daerah yang tinggi dari sebelum adanya program transmigrasi.125
Kutipan di atas menunjukkan bagaimana ideologi pembangunan sangat
mendominasi cara berpikir para pejabat pemerintahan dalam menilai program
transmigrasi yang berlangsung di Melawi. Jika kemajuan daerah itu dinilai dari
keberhasilan pembangunan, maka berdirinya Provinsi Kalimantan Barat dan
Berdirinya Kabupaten Melawi bisa menjadi tolak ukur dari keberhasilan proyek-
124 Wawancara dengan bapak Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Selasa, 12 Februari 2014 125 Wawancara dengan bapak Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Selasa, 12 Februari 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
proyek pembangunan dalam pelaksanaan program transmigrasi di Kalimantan
Barat.
Beberapa kutipan di atas seolah-olah ingin menegaskan bahwa
pembangunan nasional menjadi sangat penting jika ingin memajukan daerah-
daerah “tertinggal”. Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan pembangunan
nasional. Hanya saja pemerintah Orde Baru melegitimasi kekuasaannya untuk
dapat melaksanakan kebijakan transmigrasi dengan memakai argumen bahwa
daerah-daerah yang akan dijadikan sebagai tempat pelaksanaan program
transmigrasi adalah daerah “tertinggal” yang bisa maju dengan bantuan program
transmigrasi.
Tampak jelas bahwa argumentasi yang dipakai oleh pemerintah Orde Baru
didasari oleh standar yang mereka gunakan untuk menilai mana itu daerah yang
dianggap maju, dan mana daerah yang dianggap “tertinggal” (belum maju).
Padahal, pada akhirnya tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah Orde Baru
bukan hanya sekedar membantu orang-orang Dayak menjadi maju, melainkan
kebijakan transmigrasi digunakan untuk mengekploitasi kekayaan alam yang
dimiliki oleh daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi.
H. Pelatihan untuk Calon Peserta Transmigrasi
Untuk dapat “memajukan” daerah-daerah transmigrasi di Melawi,
pemerintah Indonesia, secara khusus Orde Baru memberikan berbagai pelatihan
bagi calon peserta transmigrasi yang berasal dari Pulau Jawa. Tujuan dari
pemberian pelatihan ini adalah untuk memberikan keahlian pada warga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
transmigran yang akan berangkat ke lokasi transmigrasi. Berbagai pelatihan yang
diberikan pemerintah pada calon peserta transmigrasi berupa pelatihan di bidang
pertanian dan perkebunan. Berbagai pelatihan ini mampu menghasilkan tenaga
kerja yang handal serta profesional dalam mengolah tanah pertanian.
Sebagaimana disampaikan oleh bapak Rohim:
Sebelum kami berangkat ke lokasi transmigrasi, kami sudah diberi
tahu oleh pemerintah kota Malang bahwa, di lokasi transmigrasi kami
akan mendapat jatah tanah. Masing-masing setiap kepala keluarga
mendapatkan satu hektar tanah kosong dan satu kapling kebun sawit.
Saat itu, kami diberitahu bahwa penduduk lokal yang adalah orang-
orang Dayak, tidak akan mengolah tanah milik mereka menjadi lahan
pertanian. Hal ini disebabkan oleh sistem pertanian orang-orang
Dayak berbeda dengan sistem pertanian yang kami pelajari. Kami
sebagai calon peserta transmigrasi diharapkan dapat memajukan
daerah transmigrasi dengan cara mengembangkan sistem pertanian
modern yang kami terapkan di Pulau Jawa.126
Kutipan pernyataan di atas menunjukkan bahwa menurut pandangan para
warga transmigran orang-orang Dayak yang ada di Melawi tidak akan mampu
memajukan daerah-daerah transmigrasi. Oleh karena itu, pemerintah Jakarta
mengirim orang-orang Jawa sebagai tenaga kerja yang akan mengerjakan proyek-
proyek pembangunan dari pemerintah Orde Baru di Jakarta. Sebagaimana yang
disampaikan oleh Mahrudin:
Untuk bisa menjadi peserta transmigrasi di Melawi, kami harus
memenuhi syarat yang ditentukan oleh pemerintah. Syarat tersebut
seperti, menguasai bidang pertanian dan perkebunan modern. Untuk
saya sendiri, ketentuan tersebut tidaklah sulit, karena di daerah asal
saya memang bekerja sebagai petani. Namun dari pemerintah juga
menginginkan kami benar-benar menguasai bidang pertanian dan
perkebunan, sehingga pihak pemerintah ikut serta dalam memberikan
berbagai pelatihan di bidang pertanian pada kami sebelum berangkat
ke lokasi transmigrasi. Bahkan saat kami berada di lokasi
126 Wawancara dengan bapak Rohim. Peserta transmigrasi dari kota Malang Jawa Timur. Melawi 18 Februari 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
transmigrasi, pemerintah juga aktif memberikan penyuluhan seputar
pertanian pada kami, dengan harapan kami mampu meningkatkan
produksi pertanian di daerah transmigrasi.127
Kutipan pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa wacana tentang orang
Dayak yang diterima oleh warga transmigrasi telah mempengaruhi cara berpikir
orang-orang Jawa dalam menilai orang-orang Dayak yang ada di wilayah
transmigrasi Melawi. Dengan demikian, tampak bahwa Pemerintahan Orde Baru
menginginkan para peserta transmigrasi yang diberi pelatihan khusus tentang
pertanian dan perkebunan mampu menjadi tenaga kerja profesional yang akan
membangun daerah-daerah tujuan transmigrasi di Melawi. Dalam pandangan
pemerintah di Jakarta, pembangunan nasional akan tercapai apabila didukung oleh
tenaga kerja yang handal dan professional di bidang pertanian dan perkebunan.
Bagi pemerintah Orde Baru, pemilihan orang-orang Jawa sebagai tenaga
kerja yang akan membangun daerah-daerah transmigrasi di Melawi adalah pilihan
yang tepat. Alasannya karena orang-orang Jawa telah menguasai sistem pertanian
modern jauh sebelum mereka dikirim ke lokasi transmigrasi. Oleh karena itu,
pemerintahan Orde Baru tidak akan mengalami kesulitan ketika harus
memberikan pelatihan khusus pada orang-orang Jawa yang di daerah asalnya
memang sudah menguasai teknologi pertanian modern.
Sementara itu, berbeda dengan orang-orang Jawa yang telah mengerti sistem
pertanian modern, orang-orang Dayak di Melawi tidak menguasai teknologi
pertanian modern. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah di Jakarta lebih
127 Wawancara dengan bapak Mahrudin. Peserta transmigrasi asal Jawa Barat. Melawi 23 Februari 2014
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
memilih orang-orang Jawa sebagai tenaga kerja pembangunan di daerah-daerah
transmigrasi. Sebagaimana disampaikan kembali oleh Anton:
Tujuan dari pemerintah Orde Baru lebih banyak mengirim orang-
orang Jawa ke lokasi transmigrasi di Melawi adalah untuk
mengembangkan produksi pertanian dan perkebunan kelapa sawit di
daerah-daerah transmigrasi. Orang-orang Jawa itu, dalam bekerja
sangat terampil. Misalnya saya kasih contoh: untuk memanen sawit
dibutuhkan alat seperti: arit, dan dodos. Sejauh ini, yang mengerti cara
menggunakan alat ini dengan baik ya orang-orang Jawa. orang-orang
Dayak tidak terbiasa menggunakan alat semacam ini. Itulah sebabnya,
lebih mudah bagi pemerintah mengajari orang-orang Jawa daripada
orang-orang Dayak.128
Kutipan di atas menunjukkan bahwa menurut pandangan para pejabat
pemerintahan di Kabupaten Melawi, orang-orang Jawa dianggap lebih baik dari
orang-orang Dayak dalam hal melakukan pekerjaan. Pemilihan orang-orang Jawa
sebagai tenaga kerja pembangunan di daerah-daerah transmigrasi juga
menunjukkan bahwa pemerintah di Jakarta menganggap hanya orang-orang Jawa
yang akan mampu membantu orang-orang Dayak membangun daerah-daerah
transmigrasi di Melawi.
I. Pembangunan dan “Solusi” Memajukan Daerah-daerah Transmigrasi
Menurut pemerintah Kabupaten Melawi, program transmigrasi yang
berlangsung di Kabupaten Melawi sejak tahun 1990an memang telah banyak
memberikan kontribusi positif bagi pembangunan daerah-daerah tujuan
transmigrasi yang ada di Melawi. Menurut pandangan para pejabat pemerintahan
yang ada di Melawi, program transmigrasi telah ikut membantu memajukan
128 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintahan daerah Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
daerah-daerah yang dulunya “tertinggal” menjadi maju. Dengan adanya
transmigrasi, daerah yang pada tahun 1990 masih hutan belantara kini, tepatnya
tahun 2005, telah berubah menjadi salah satu kota kecamatan yang cukup maju
dalam hal pembangunan nasional. Sebagaimana yang disampaikan oleh Matius:
Menurut saya, kalau tidak ada program transmigrasi di daerah ini,
pasti tidak mungkin daerah ini bisa berkembang seperti sekarang ini.
Tanpa program transmigrasi, mungkin tidak ada kota kecamatan
seperti yang kita lihat sekarang. Dulu sebelum ada program
transmigrasi, jumlah penduduk di desa Tiong Keranjik tidak sampai
200 jiwa. Tapi sekarang jumlah penduduk di daerah transmigrasi ini
lebih dari tiga ribu jiwa.129
Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa menurut pandangan pejabat
pemerintahan daerah di Kabupaten Melawi, pembangunan adalah kunci untuk
memajukan daerah-daerah “tertinggal”. Pernyataan Matius yang mengatakan
bahwa program transmigrasi telah memajukan daerah-daerah “tertinggal”
memang tidak bisa disalahkan sebab Matius menilai program transmigrasi di
Melawi menggunakan konsep pembangunan yang menurut Matius telah berhasil
memajukan daerah-daerah transmigrasi yang tadinya “tertinggal” menjadi lebih
modern. Oleh karena itu, Matius kembali berpendapat bahwa:
Dulu sebelum program transmigrasi masuk ke daerah kami, desa kami
ini hanya dihuni oleh orang-orang Dayak yang jumlahnya tidak
sebanyak saat ini. Waktu itu daerah ini sebagian besar masih hutan
lebat. Perjalanan dari kota Nanga Pinoh menuju desa kami Tiong
Keranjik saat itu membutuhkan waktu sepuluh jam dengan
menggunakan jalur sungai. Saat itu jalur darat belum ada. Ketika
program transmigrasi masuk, jalan dibangun, fasilitas pendukung
seperti PLN (Perusahaan Listrik Negara), disediakan oleh pemerintah.
Sekarang waktu yang ditempuh kalau kita mau ke kota Nanga Pinoh
129 Wawancara dengan bapak Matius. Seketaris Desa SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi. 17 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
hanya satu jam saja, bandingkan dengan dulu butuh waktu satu hari
perjalanan melalui jalur sungai.130
Tampak bahwa kutipan pernyataan di atas juga menunjukkan bahwa
ideologi pembangunan sangat mempengaruhi cara berpikir para pejabat daerah
dalam memandang program transmigrasi di Melawi. Tampak pula bahwa para
pejabat daerah yang ada di Melawi merasa bahwa program transmigrasi yang
dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru telah membawa kebaikan bagi orang-
orang Dayak yang tinggal di daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi.
Dengan adanya program transmigrasi, pemerintah Orde Baru telah berhasil
membantu orang-orang Dayak untuk membangun daerah-daerah “tertinggal” yang
ada di Melawi, sebagaimana disampaikan kembali oleh Anton:
Dengan dilaksanakannya program transmigrasi di Melawi, maka
pemerintah di Jakarta memang telah membuktikan bahwa mereka
benar-benar ingin membangun daerah Melawi menjadi lebih baik lagi.
Saya ambil contoh: misalnya sebelum ada program transmigrasi di
Melawi, sekitar tahun 1980an, untuk menuju ke satu desa yang ada di
pedalaman Melawi satu-satunya jalur transportasi yang bisa digunakan
hanyalah jalur sungai. Belum banyak jalan darat yang bisa
menghubungkan satu desa dengan desa lainnya. Sedangkan sekarang,
setelah adanya program transmigrasi banyak jalan dibangun, sehingga
lebih mudah mencapai tujuan dari pada menggunakan jalur sungai.
Oleh sebab itu, pada saat ini transportasi air sudah tidak terlalu
diminati lagi, karena sudah digantikan oleh moda transportasi darat.131
Tampak jelas bahwa menurut pandangan pejabat pemerintahan di Melawi,
program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru telah berhasil
membangun daerah-daerah transmigrasi yang tadinnya dianggap “tertinggal”
130 Wawancara dengan bapak Matius. Seketaris Desa Tiong Keranjik. Tiong Keranjik, Melawi 17 Februari 2014 131 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintahan daerah Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
menjadi maju dalam hal pembangunan nasional. Kutipan beberapa pernyataan di
atas juga menunjukkan bahwa para pejabat pemerintahan daerah di Melawi
menganggap bahwa kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah
Orde Baru merupakan solusi untuk memajukan daerah-daerah transmigrasi yang
ada di Melawi.
Bertolak dari beberapa uraian di atas, tampak jelas bahwa pemerintah Orde
Baru merasa bahwa kebijakan transmigrasi benar-benar dimaksudkan untuk
membantu orang-orang Dayak membangun Melawi menjadi kota yang modern.
Namun demikian, beberapa kutipan di atas juga menunjukkan bahwa para pejabat
daerah dalam menilai program transmigrasi melupakan satu hal bahwa
pemerataan pembangunan di daerah-daerah “tertinggal” memang sudah menjadi
kewajiban pemerintahan di Jakarta terlepas dari sedikit atau banyaknya jumlah
penduduk di daerah tersebut.
J. Transmigrasi untuk “Mensejahterakan”
Menurut Pemerintahan Daerah Kabupaten Melawi, program transmigrasi
yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru memiliki tujuan mulia. Selain
sebagai sarana untuk membangun daerah transmigrasi, program transmigrasi juga
bertujuan untuk mensejahterakan penduduk yang mengikuti program ini.
Meskipun demikian, pemerintah daerah juga tidak memungkiri bahwa program
transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi memang lebih banyak
mensejahterakan orang-orang pendatang daripada penduduk lokal (orang-orang
Dayak). Sebagaimana yang kembali disampaikan oleh Anton:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
Sekarang begini, boleh dicek langsung ke lokasi transmigrasi,
misalnya kita ambil contoh transmigrasi di SP Lima Tiong Keranjik.
Transmigrasi di sini memang lebih banyak mensejahterakan penduduk
pendatang daripada penduduk lokal. Penduduk pendatang lebih
sejahtera karena mereka benar-benar serius dalam bekerja. Sebagai
contoh setiap penduduk transmigrasi mendapatkan satu kapling
perkebunan kelapa sawit dari pemerintah. Kebun sawit tersebut harus
dirawat dengan baik agar menghasilkan panen yang melimpah. Nah
sebagian besar orang-orang Dayak yang mendapat jatah perkebunan
sawit ini, lebih memilih untuk menjual kebunnya kepada para
pendatang dengan harga yang murah. Ketika para pendatang sudah
menikmati hasil dari panen perkebunan sawit, orang-orang Dayak
hanya bisa gigit jari, karena sudah tidak memiliki perkebunan sawit
lagi.132
Kutipan pernyataan di atas menunjukkan bahwa menurut pendapat pejabat
daerah di Kabupaten Melawi, keberhasilan orang-orang pendatang dalam
mengikuti program transmigrasi lebih dikarenakan oleh sifat mereka yang rajin
dan ulet dalam bekerja. Selain itu, kutipan di atas juga menunjukkan bahwa
menurut pandangan pejabat daerah Melawi, orang-orang pendatang pola pikirnya
jauh lebih baik dari orang-orang Dayak. Sebagaimana yang disampaikan kembali
oleh M. Nazarudin:
Kebanyakan dari penduduk pendatang itu sukses karena mereka
bekerja keras demi merubah nasib mereka. Di daerah asal kehidupan
mereka sangat sulit, sehingga saat mereka punya kesempatan untuk
merubah nasib, mereka gunakan kesempatan tersebut dengan sebaik-
baiknya. Saya tidak memungkiri bahwa hampir di setiap daerah
transmigrasi kami menjumpai bahwa sebagian besar penduduk
pendatang kehidupannya lebih sejahtera dari pada orang-orang
Dayak.133
Kutipan peryataan di atas juga menunjukkan bahwa dalam pandangan
pejabat daerah di Melawi, ada perbedaan pola pikir anatara orang-orang Dayak
132 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintahan daerah Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014. 133 Wawancara dengan bapak Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Tranmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Pontianak, Selasa 12 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
dengan orang-orang Jawa. Orang-orang Jawa dalam mengikuti program
transmigrasi memiliki pola pikir lebih baik. Mereka orang-orang Jawa mengikuti
program transmigrasi karena memang ingin mengubah nasib menjadi lebih baik,
sedangkan orang-orang Dayak, menurut pemerintah daerah di Melawi, tidak
memiliki motivasi untuk merubah nasib seperti orang-orang Jawa. Sebagaimana
yang kembali disampaikan oleh M. Nazarudin:
Orang-orang Dayak yang sering saya jumpai biasanya malas untuk
bertani. Hal ini dikarenakan mereka orang Dayak sudah terbiasa hidup
dengan memiliki banyak tanah. Karena banyak tanah, mereka
terkadang malas untuk bertani, tanah yang ada dipekarangan rumah
mereka biasanya hanya dibiarkan begitu saja. Hal ini berbeda dengan
orang-orang Jawa yang menjadi warga transmigrasi, yang di daerah
asal mereka kehidupannya sulit karena tidak memiliki tanah untuk
digarap. Ketika mereka diberi tanah oleh pemerintahan, mereka
menggunakan lahan tersebut untuk ditanami sayur-sayuran.134
Kutipan di atas juga menunjukkan bahwa menurut pendapat pejabat
pemerintahan daerah Kabupaten Melawi, orang-orang Jawa benar-benar memiliki
motivasi untuk mengubah nasib mereka yang tadinya sangat miskin menjadi
makmur di daerah baru. Selain itu, kutipan di atas juga menunjukkan bahwa
keahlian khusus yang dimiliki orang-orang Jawa mempengaruhi cara mereka
bekerja, sehingga meskipun lahan pertanian yang mereka olah itu terbatas jika
dibandingkan dengan lahan orang-orang Dayak, namun orang-orang Jawa mampu
menghasilkan panen yang melimpah. Oleh sebab itu, M. Nazarudin kembali
berpendapat bahwa:
Dari pengamatan saya dan petugas dilapangan, kami sering melihat
orang-orang Dayak dalam mengerjakan pekerjaan, sering tidak fokus
134 Wawancara dengan bapak Nazarudin, Kepala Bagian Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Provinsi Kalimantan Barat. Selasa, 12 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
pada satu pekerjaan. Tidak fokus yang saya maksudkan adalah:
sebagaian besar dari orang-orang Dayak ingin mengerjakan banyak
pekerjaan sekaligus. Berbeda dengan orang-orang Jawa yang kalau
bekerja di bidang pertanian selalu fokus pada pertaniannya, orang
orang Dayak dalam bekerja hanya setengah-setengah saja, sehingga
hasilnyapun tidak maksimal. Itulah sebabnya, orang-orang Dayak
secara ekonomi kalah bersaing dengan orang-orang pendatang.135
Bertolak dari beberapa kutipan di atas, tampak jelas bahwa para pejabat
daerah menganggap orang-orang Dayak tidak akan mampu bersaing dengan
orang-orang Jawa karena pola pikir masyarakat Dayak belum semaju pola pikir
orang-orang Jawa. Dalam hal ini, tampak sekali bahwa cara berpikir para pejabat
daerah memang dipengaruhi oleh ideologi pembangunan yang memberikan
standar tentang kemajuan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, para pejabat
daerah meyakini bahwa orang-orang Dayak memang masih “tertinggal” jika
dibandingkan dengan orang-orang Jawa yang mereka anggap sudah modern.
K. “Maju”-nya Sistem Pertanian Pulau Jawa
Dalam rangka membantu percepatan pembangunan nasional di daerah-
daerah transmigrasi yang ada di Melawi, pemerintah di Jakarta memberikan
berbagai pelatihan di bidang pertanian dan perkebunan kepada setiap calon
peserta transmigrasi dari Pulau Jawa. Tujuan utama dari pemberian pelatihan ini
adalah memberikan keahlian khusus pada calon peserta transmigrasi. Keahlian
khusus yang dimiliki para calon peserta transmigrasi akan membuat mereka lebih
siap dalam bekerja ketika berada di lokasi transmigrasi.
135 Ibid, Selasa, 12 Februari 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
Menurut pemerintah daerah, pelaksanaan program transmigrasi Orde Baru
yang berlangsung di Melawi selalu dikaitan dengan empat hal. Pertama,
penyebaran penduduk. Kedua, penciptaan lapangan kerja. Ketiga,
mensejahterakan penduduk transmigrasi. Keempat, membangun daerah-daerah
“tertinggal.” Dalam hal pembukaan lapangan kerja, pemerintahan di Jakarta lebih
memfokuskan pada sektor pertanian dan perkebunan. Untuk meningkatkan
produksi pertanian dan perkebunan, pemerintah di Jakarta mengirim orang-orang
untuk membuka lahan dan mengerjakan proyek-proyek pembangunan di bidang
pertanian maupun perkebunan.
Menurut pemerintah daerah, pemilihan orang-orang Jawa sebagai tenaga
kerja pertanian dikarenakan oleh pengalaman kerja yang mereka dimiliki sudah
cukup memadai. Dalam pandangan pemerintah daerah, jauh sebelum orang-orang
Jawa dikirim ke lokasi transmigrasi, mereka memang telah mengenal teknologi
pertanian modern. Di Pulau Jawa sendiri, teknologi pertanian modern selalu
dipakai oleh para petani untuk menggarap lahan pertanian. Teknologi pertanian
yang para petani Jawa gunakan seperti: penggunaan traktor tangan, bibit unggul,
pestisida, dan pupuk yang sesuai sehingga para petani di Pulau Jawa mampu
menghasilkan panen melimpah.136
Dalam pandangan Pemerintah Daerah Kabupaten Melawi, orang-orang Jawa
yang bekerja sebagai petani juga sudah terbiasa mengolah tanah dalam kondisi
apapun. Meskipun di daerah-daerah transmigrasi yang ada di Melawi, sebagian
besar wilayah tanah memiliki tekstur gambut, para petani Jawa selalu bisa
136 Soedigdo Hardjosudarmo. Kebidjaksanaan Transmigrasi dalam Rangka Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta : Bhratara. 965, hal. 51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
menyiasati lahan pertanian tersebut sehingga tetap mampu menghasilkan panen
yang melimpah. Selanjutnya menurut pejabat daerah, orang-orang Jawa tidak
mengalami kesulitan dalam hal menggarap tanah pertanian. Hal ini disebabkan
oleh kemampuan mereka dalam menguasai sistem pertanian modern yang sudah
terbukti berhasil dilaksanakan di Pulau Jawa.
Menurut Karl J. Pelzer, seperti yang dikutip oleh Soedigdo Hardjosudarmo,
tanah garapan di Pulau Jawa dibagi ke dalam tiga macam. Pertama, tanah
pekarangan yang digunakan untuk menanam sayur-sayuran, buah-buahan, dan
tanaman obat-obatan. Kedua, tanah persawahan yang digunakan untuk menanam
padi. Ketiga, tanah tegalan yang digunakan oleh petani yang berada di lereng
bukit dengan cara membentuk bidang miring, sehingga terhindar dari erosi saat
hujan turun. Tanah tegalan ini biasanya digunakan untuk menanam sayur-sayuran
buah-buahan, tembakau, dan teh.
Menurut pemerintah Orde Baru, keberhasilan pertanian modern di Pulau
Jawa tidak lepas dari peran serta pemerintahan di Jakarta dalam melakukan
pembinaan maupun menyediakan berbagai teknologi pertanian modern bagi para
petani yang ada di Pulau Jawa. Peran serta pemerintahan dalam menyediakan
fasilitas pendukung pertanian dinilai sebagai salah satu keberhasilan pemerintahan
Orde Baru dalam menyediakan fasilitas teknologi pertanian modern.
Keberhasilan para petani di Pulau Jawa mengolah tanah pertanian menunjukkan
bahwa orang-orang Jawa memang memiliki kemampuan untuk membuka lahan
pertanian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
Tampak bahwa pemerintah Orde Baru di Jakarta menginginkan teknologi
pertanian modern yang berhasil memajukan sistem pertanian di Pulau Jawa juga
digunakan untuk memajukan pertanian di daerah-daerah “tertinggal” secara
khusus daerah-daerah yang berada di luar Pulau Jawa. Tujuannya tentu
dimaksudkan untuk memajukan daerah-daerah “tertinggal” dengan cara
memperkenalkan sistem pertanian modern dan membuka lahan pertanian baru di
daerah-daerah transmigrasi dengan menggunakan teknologi pertanian modern
yang telah berhasil di Pulau Jawa.
Tampak pula bahwa pemerintah Orde Baru menganggap sistem pertanian
modern yang dimiliki orang-orang Jawa sebagai sistem pertanian terbaik yang
perlu dikembangkan di daerah-daerah tujuan transmigrasi. Anggapan pemerintah
Jakarta adalah dengan menggunakan teknologi pertanian modern, maka daerah-
daerah tujuan transmigrasi akan berkembang menjadi daerah pertanian yang maju
seperti Pulau Jawa.
L. “Buruk”-nya Sistem Pertanian Tradisional
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa sistem pertanian di Pulau
Jawa dianggap oleh pemerintah Jakarta sebagai salah satu sistem pertanian terbaik
yang perlu dicontoh oleh daerah-daerah luar Pulau Jawa jika ingin memajukan
bidang pertanian seperti di Pulau Jawa. Bertolak dari kesadaran tersebut, pada
dasarnya tidak ada yang salah dengan anggapan pemerintah Jakarta yang
mengatakan bahwa sistem pertanian di Pulau Jawa lebih maju daripada sistem
pertanian di luar Pulau Jawa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
Hanya saja, pemerintahan Orde Baru di Jakarta ketika menilai sistem
pertanian di Pulau Jawa itu lebih baik daripada pertanian lainnya, pemerintah
Jakarta melupakan satu hal yakni tentang konsep pertanian modern yang
menggunakan teknologi pertanian modern pula belum tentu cocok jika
dilaksanakan di daerah-daerah tujuan transmigrasi yang di luar Pulau Jawa.
Namun demikian, sepertinya pemerintah Jakarta tidak memikirkan hal tersebut.
Bagi pemerintah Jakarta, sistem pertanian modern yang ada di Pulau Jawa pasti
akan berhasil memajukan daerah-daerah pertanian yang ada di luar Pulau Jawa.
Sementara itu, orang-orang Dayak di Melawi juga memiliki sistem
pertanian sendiri yang selalu mereka kerjakan setiap tahun. Sistem pertanian
orang-orang Dayak memang berbeda dengan sistem pertanian yang ada di Pulau
Jawa. Orang-orang Dayak dalam hal mengolah tanah pertanian, tidak
menggunakan teknologi pertanian modern seperti yang digunakan oleh orang-
orang Jawa. Pertanian orang-orang Dayak dikerjakan dengan cara tradisional dan
menggunakan lahan yang tidak tetap. Sistem pertanian orang-orang Dayak biasa
dikenal dengan istilah Ladang Berpindah. Sebagaimana disampaikan oleh Anton:
Sistem pertanian orang-orang Dayak tidak menggunakan teknologi
modern seperti yang digunakan oleh para petani di Pulau Jawa. Dalam
mengerjakan tanah garapan, mereka hanya membuka hutan, lalu
membakarnya, dan setelah itu mereka langsung menanam padi dengan
cara memasukan benih padi ke dalam lubang tanah yang mereka buat
sendiri dengan menggunakan kayu. Orang-orang Dayak tidak pernah
mencangkul atau menggarap lahan pertanian milik mereka. orang-
orang Dayak dalam menggarap tanah juga tidak menggunakan alat-
alat pertanian modern seperti: cangkul, traktor tangan, arit, pupuk
kimia, pestisida dan sebagainya.137
137 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintahan daerah Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Menurut pemerintah daerah, perbedaan antara sistem pertanian orang-orang
Dayak dengan pertanian orang-orang Jawa dapat dilihat beberapa hal. Pertama,
lahan pertanian yang digunakan oleh petani Dayak selalu berpindah-pindah
tempat setiap tahunnya. Kedua, masa tanam hingga mencapai panen
membutuhkan waktu satu tahun. Ketiga, para petani Dayak tidak menggunakan
teknologi pertanian modern seperti yang digunakan oleh para petani di Pulau
Jawa. Keempat, para petani Dayak membuka lahan pertanian bukan untuk dijual
hasil panennya, tetapi digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
Menurut pemerintah daerah Kabupaten Melawi, setelah program
transmigrasi masuk ke daerah Melawi pertumbuhan ekonomi masyarakat Melawi
menjadi tumbuh lebih baik. Karena perekonomian tumbuh lebih baik banyak
orang-orang Dayak meninggalkan sistem pertanian tradisional dan lebih memilih
untuk mengerjakan pekerjaan lain daripada kembali membuka lahan untuk
bertani. Sebagaimana yang disampaikan kembali oleh bapak Anton:
Semenjak program transmigrasi masuk ke Kabupaten Melawi, hingga
saat ini sudah jarang kita jumpai ada orang-orang Dayak yang
mengerjakan pertanian ladang berpindah, kalaupun masih ada itu
hanya sebagian kecil saja. Hal ini dikarenakan orang-orang Dayak
sudah mulai mengerti bahwa sistem pertanian ini tidak memberi
keuntungan dalam segi ekonomi. Pertanian semacam ini
membutuhkan waktu satu tahun untuk masa panennya, sedangkan jika
bandingkan dengan sistem persawahan, dalam waktu satu tahun bisa
menghasilkan panen dua hingga tiga kali. Saat ini juga kebanyakan
dari orang-orang Dayak lebih memilih untuk membeli beras ke pasar
daripada harus kembali bertani. Hal ini dilakukan karena mereka
sudah berpikir maju, untuk apa capek-capek bertani kalau mereka
mampu membeli beras.138
138 Wawancara dengan bapak Anton. Staf pemerintahan daerah Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi. 24 Februari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Kutipan di atas menunjukkan bahwa program transmigrasi telah berhasil
merubah cara berpikir orang-orang Dayak untuk tidak lagi mengerjakan pertanian
tradisional yang oleh pemerintah di Jakarta, sistem pertanian orang-orang Dayak
ini tidak meberi kontribusi apapun pada kemajuan daerah Melawi. Tampak jelas
pula bahwa program transmigrasi yang dilaksankan oleh pemerintah Orde Baru
telah berhasil membangun daerah-daerah yang tadinya dianggap “tertinggal”
menjadi maju dalam hal pembangunan.
M. Catatan Penutup
Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat hanyalah salah satu contoh yang dapat menunjukkan bahwa praktek-praktek
kolonial tersebut tidak hanya terjadi pada masa pemerintahan kolonial Hindia
Belanda, melainkan juga terjadi pada masa kemerdekaan Indonesia, secara khusus
pada masa pemerintahan Orde Baru. Program transmigrasi yang dilanjutkan oleh
pemerintah Orde Baru di Melawi, memperlihatkan bagaimana orang-orang Dayak
yang ada di Melawi diwacanakan oleh para pejabat pemerintahan Orde Baru.
Dalam pelaksanaan program transmigrasi di Melawi juga memperlihatkan
dengan jelas bagaimana ideologi pembangunan mendominasi cara berpikir para
pejabat pemerintahan di Kabupaten Melawi maupun di Provinsi Kalimantan Barat
dalam memandang orang-orang Dayak maupun daerah-daerah tujuan transmigrasi
yang dulunya dianggap “tertinggal” oleh pemerintah Orde Baru. Program
transmigrasi yang dilaksanakan di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat juga
menunjukkan bahwa pemerintah Orde Baru beserta para pejabat daerah merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-orang Dayak yang ada di Melawi
melebihi kemampuan orang-orang Dayak itu sendiri.
Dengan menggunakan konsep pembangunan, pemerintah Orde Baru
melegitimasi kebijakan transmigrasi dengan menggunakan argumentasi
pembangunan yang seakan-akan menunjukkan bahwa daerah-daerah transmigrasi
adalah daerah yang “tertinggal”, sehingga layak untuk merasakan pemerataan
pembangunan dari pemerintah Orde Baru. Dengan kata lain, program transmigrasi
memang dianggap sebagai solusi untuk pemerataan pembangunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
BAB IV
PROGRAM TRANSMIGRASI PEMERINTAH ORDE BARU SEBAGAI
BENTUK ORIENTALISME TIMUR ATAS TIMUR
Pada bagian ini akan diuraikan mengenai kebijakan transmigrasi
pemerintah Orde Baru yang memiliki persamaan dengan wacana orientalisme
yang dianalisis oleh Edward W. Said. Kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan
oleh pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat dapat
menunjukkan tiga hal. Pertama, orientalisme itu tidak hanya terjadi terhadap
orang-orang Timur Tengah saja, melainkan juga terjadi terhadap orang-orang di
Indonesia. Kedua, pada umumnya yang bertindak sebagai pelaku orientalis
tersebut adalah orang-orang Barat, dengan menjadikan orang-orang Timur sebagai
korbannya. Ketiga, kasus transmigrasi yang berlangsung di Melawi, baik pelaku
maupun korban dari tindakan orientalis tersebut adalah sama-sama orang
Indonesia.
A. Kebijakan Transmigrasi Pemerintah Orde Baru dan Orientalisme di
Timur Tengah
Pada bagian ini penulis akan memperlihatkan bahwa kebijakan transmigrasi
yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat memiliki kemiripan dengan orientalisme yang terjadi di negara-negara
Timur Tengah, seperti negara Mesir. Kemiripan antara kebijakan transmigrasi dan
orientalisme yang secara khusus terjadi di Timur Tengah (Mesir) terletak pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
sikap orientalis para pejabat pemerintahan dalam memandang penduduk lokal,
baik itu yang ada di daerah transmigrasi Indonesia, maupun penduduk pribumi
yang ada di negara-negara Timur Tengah seperti Mesir. Hanya saja bedanya,
orientalisme di Timur Tengah (Mesir), di masa kolonial pelakunya adalah orang-
orang Barat (pemerintah Inggris), dan korbannya adalah orang-orang Timur.
Sedangkan orientalisme yang berlanjut di Indonesia pada masa pemerintahan
Orde Baru, pelakunya bukan lagi pemerintah kolonial Hindia Belanda melainkan
pelakunya adalah pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde
Baru.
Said dalam buku Orientalism menguraikan bahwa wacana orientalisme
digunakan oleh bangsa Barat untuk menata kembali, mendominasi, dan
menghegemoni dunia Timur. Untuk melegitimasi kekuasaan Barat atas Timur,
Said mengambil salah satu contoh, yakni kasus pendudukan Inggris atas Mesir,
yang dalam pandangan orang-orang Eropa, pendudukan Inggris atas Mesir
bukanlah merupakan penjajahan, melainkan dimaksudkan untuk dapat membantu
bangsa Mesir mendirikan pemerintahan sendiri di negara tersebut. Dalam
pandangan orang-orang Inggris, bangsa Mesir tidak akan mampu menjalankan
pemerintahannya dengan baik tanpa dukungan orang-orang Inggris.
Orang-orang Inggris menduduki Mesir agar bisa membantu orang-orang
Mesir menjalankan pemerintahannya dengan baik. Ketidakmampuan orang-orang
Mesir dalam menjalankan roda pemerintahannya sendiri, menurut orang-orang
Inggris, lebih dikarenakan oleh sifat dan karakter mereka sebagai orang Timur
yang dianggap aneh dan berbeda dari orang-orang Barat. Sebagaimana yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
penulis bicarakan dengan merujuk pada pernyataan pejabat Inggris bernama Lord
Cromer pada bab satu, orang-orang Timur oleh Barat dianggap berbeda dengan
Barat dalam segala hal. Sebagai contoh: menurut Cromer, orang-orang Barat
adalah penalar yang baik, sedangkan orang Timur tidak bisa berpikir dengan baik.
Orang Barat berpikir rasional, sedangkan orang Timur berpikir secara irasional.
Barat melangkah maju ke depan, sedangkan Timur selalu mundur ke belakang.
Dalam pandangan Cromer, orang-orang Timur adalah makhluk yang mudah
dikecoh dan tidak memiliki kemampuan untuk berusaha sendiri. Itulah sebabnya
mengapa orang-orang Timur seperti di Mesir membutuhkan bantuan orang-orang
Barat seperti Inggris untuk bisa menjalankan pemerintahannya dengan baik.
Dengan menggunakan logika berpikir orientalis ini, maka tidaklah mengherankan
jika orang-orang Inggris yang diwakili oleh Cromer merasa bahwa ketika Inggris
menduduki Mesir, orang-orang Barat selalu merasa diri superior dari orang-orang
Timur yang mereka anggap inferior.
Sementara itu, di Indonesia, kebijakan transmigrasi pemerintah Orde Baru
yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat telah menunjukkan
bahwa tindakan orientalis tersebut ternyata tidak hanya bisa dilakukan oleh orang-
orang Barat pada umumnya, melainkan juga bisa dilakukan oleh orang-orang
Timur sendiri, secara khusus orang Timur menjajah sesama orang Timur. Program
transmigrasi yang berlangsung di Melawi telah menunjukkan bagaimana orang
Timur (pemerintah Orde Baru) menjajah sesama orang Timur (orang-orang
Dayak) di Melawi. Dengan kata lain, program transmigrasi di Melawi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
menunjukkan bahwa kebijakan ini merupakan bagian dari kolonialisme internal
yang dilakukan oleh orang Timur terhadap sesama orang Timur.
Tampak jelas bahwa program transmigrasi yang berlangsung di Melawi
tidak jauh berbeda dengan orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur
Tengah. Dengan kata lain, orientalisme yang tercermin dalam program
transmigrasi di Melawi bukan lagi soal bagaimana orang-orang Barat memandang
buruk orang Timur, melainkan soal bagaimana orang-orang Timur memandang
buruk sesama orang Timur.
Program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru di
Kabupaten Melawi telah menunjukkan bagaimana bagaimana penduduk lokal
(orang-orang Dayak) diwacanakan oleh pemerintah Indonesia, secara khusus
pemerintah Orde Baru. Wacana tertentu yang diberikan oleh pemerintah di Jakarta
kepada orang-orang Dayak di Melawi menjadikan suku Dayak sebagai salah satu
suku yang dianggap “primitif,” “terbelakang,” dan “belum beradab.” Oleh karena
itu, kehadiran pemerintah Orde Baru dalam program transmigrasi di Melawi
dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak membangun daerah Melawi
menjadi lebih baik lagi.
Cara pandang para pejabat pemerintahan Indonesia yang ada di Kabupaten
Melawi, Kalimantan Barat menunjukkan bahwa sikap orientalistik tidak hanya
dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang-orang di dunia Timur saja,
melainkan sikap serupa juga bisa dilakukan oleh orang-orang Timur sendiri
terhadap sesama orang Timur. Dalam kasus transmigrasi yang berlangsung di
Melawi, yang bertindak sebagai agen orientalistik adalah para pejabat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
pemerintahan Indonesia yang menganggap bahwa orang-orang Dayak yang ada di
Melawi tidak akan pernah bisa membangun daerahnya menjadi maju tanpa
bantuan pemerintah Jakarta.
Tesis ini telah berhasil menunjukkan bahwa orientalisme itu tidak hanya
terjadi di negara-negara Timur Tengah, akan tetapi juga bisa terjadi di negara-
negara lainnya seperti Indonesia. Hasil penelitian tesis ini juga menunjukkan
bahwa orientalisme yang tercermin dalam program transmigrasi pemerintah Orde
Baru di Kabupaten Melawi lebih buruk lagi karena baik pelaku maupun
korbannya sama-sama orang Indonesia. Buruknya lagi, orientalisme yang
tercermin dalam program transmigrasi justru terjadi di masa pascakolonial di
mana negara-negara tersebut sudah merdeka dari tangan penjajahan asing.
B. Orientalisme dan Kemampuan untuk Menguasai
Secara sederhana orientalisme dapat diartikan sebagai suatu kajian akademis
yang membicarakan dunia Timur. Sebagai sebuah kajian tentang dunia Timur,
orientalisme menjelaskan bagaimana orang-orang Timur dibicarakan oleh orang-
orang Barat. Dalam kajian orientalisme, orang-orang Barat selalu merasa diri
lebih superior sedangkan Timur selalu mereka anggap inferior. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa sebagai sebuah kajian yang mempelajari dunia Timur,
orientalisme mampu menunjukkan perbedaan nyata antara Barat dan Timur yang
tidak hanya berbeda secara geografis, tetapi juga berbeda secara politis.
Selain itu, orientalisme tidak hanya merupakan kajian akademis yang
mempelajari dunia Timur, melebihi itu semua orientalisme adalah sebuah gaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Barat untuk menata kembali, mendominasi, dan menguasai dunia Timur. Melalui
pengetahuan orientalis, orang-orang Barat selalu merasa bahwa diri mereka lebih
tinggi derajatnya dari orang-orang Timur yang mereka anggap lebih rendah dari
Barat. Karena Barat selalu merasa diri superior dari Timur, maka tidaklah
mengherankan jika orang-orang Barat yang sedang menjajah orang-orang Timur,
tidak merasa bahwa mereka sedang menjajah Timur, melainkan mereka justru
merasa bahwa pendudukan Barat atas Timur bertujuan untuk membantu orang-
orang Timur mendirikan pemerintahannya dengan baik.
Melalui pengetahuan orientalisme, orang-orang Barat juga selalu merasa
lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-orang Timur agar bisa maju melebihi
kemampuan orang-orang Timur sendiri. Bagi orang-orang Barat yang sedang
menjajah Timur selalu membawa pandangan bahwa orang-orang yang ada di
dunia Timur tidak akan bisa membangun pemerintahannya sendiri tanpa bantuan
orang-orang Barat. Oleh karena itu, untuk dapat membantu orang-orang Timur
mendirikan pemerintahan mereka dengan baik, maka orang-orang Barat harus
menduduki, dan menguasai dunia Timur.
Tampak jelas bahwa, pada dasarnya orientalisme tidak jauh berbeda dengan
kolonialisme. Keduanya sama-sama digunakan oleh bangsa Barat untuk
melegitimasi kekuasaan Barat atas dunia Timur. Dengan kata lain, orientalisme
mendukung terjadinya praktek-praktek kolonialisme Barat atas dunia Timur.
begitu juga sebaliknya, kolonialisme Barat atas Timur tidak akan terlaksana
dengan baik tanpa dukungan orientalisme. Dengan demikian, kolonialisme yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang-orang Timur, membutuhkan
sebuah wacana yang tidak lain adalah wacana orientalisme.
Menariknya, sikap orientalis Barat terhadap Timur tidak hanya berlaku di
negara-negara Timur Tengah saja, melainkan juga berlaku di negara-negara yang
berada di luar negara Timur Tengah, seperti Indonesia. Di Indonesia, sikap
orientalis yang terjadi lebih buruk lagi dari apa yang terjadi di negara-negara
Timur Tengah. Sebab, orientalisme yang terjadi di Indonesia, secara khusus pada
masa pemerintahan Orde Baru, adalah orang-orang Timur sendiri yang
memandang buruk sesama orang Timur.
Orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah telah
menunjukkan bagaimana orang-orang Barat membicarakan orang-orang Timur.
Sedangkan orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde
Baru telah menunjukkan bagaimana orang-orang Timur (pemerintah Orde Baru),
membicarakan sesama orang-orang Timur (Dayak) yang ada di Kabupaten
Melawi, Kalimantan Barat. Dengan demikian, maka tampak bahwa orientalisme
tidak hanya terjadi di negara-negara Timur Tengah saja, melainkan juga dapat
terjadi di tempat-tempat lain seperti Indonesia.
Orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru
salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang berlangsung di
Kabupaten Melawi, oleh pemerintah Orde Baru di Jakarta. Program transmigrasi
yang berlangsung di Melawi, menunjukkan bahwa pemerintah Jakarta merasa
lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-orang Dayak yang ada di Melawi
melebihi kemampuan orang-orang Dayak itu sendiri. Dengan kata lain,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
pemerintah Jakarta merasa bahwa orang-orang Dayak di Melawi tidak akan
mampu membangun daerah Melawi menjadi lebih baik tanpa bantuan pemerintah
Jakarta.
Bertolak dari beberapa gagasan di atas, tesis ini telah berhasil menunjukkan
bahwa orientalisme yang berlanjut di Indonesia pada masa pascakolonial, salah
satunya tercermin dalam program transmigrasi pemerintah Orde Baru di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Selain itu, tesis ini juga telah berhasil
menunjukkan bahwa tindakan orientalis tersebut tidak hanya bisa dilakukan oleh
orang Barat terhadap orang Timur, melainkan juga bisa dilakukan oleh orang-
orang Timur terhadap sesama orang Timur. Dalam hal ini menunjukkan bahwa
orientalisme yang terjadi dalam program transmigrasi di Melawi, bukan lagi soal
bagaimana orang-orang Barat membicarakan orang Timur, melainkan soal
bagaimana orang-orang Timur (pemerintah Orde Baru) membicarakan sesama
orang Timur (orang-orang Dayak).
C. Orientalisme dan Program Transmigrasi di Kabupaten Melawi
Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bahwa orientalisme yang terjadi di
Timur Tengah, secara khusus dalam kasus Mesir, yang menjadi pelaku dari
tindakan orientalis tersebut adalah orang-orang Barat (pemerintahan Inggris).
Selain itu, dalam kasus Mesir sebagaimana yang telah disampaikan oleh Said
dalam buku Orientalism, terlihat jelas bagaimana orang-orang yang ada di Mesir
dijadikan objek penelitian oleh orang-orang Barat. Untuk menguasai Mesir,
orang-orang Barat memakai wacana orientalisme yang mampu menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
bahwa orang-orang di Mesir memang tidak akan pernah bisa mendirikan
pemerintahan sendiri tanpa bantuan orang-orang Inggris. Dengan demikian, maka
tampak jelas bahwa wacana orientalisme mendukung terjadinya kolonialisme di
Mesir.
Sementara itu, orientalisme yang terjadi di Indonesia pada masa
pascakolonial, salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi pemerintah
Orde Baru yang dilaksanakan di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat. Program
transmigrasi yang berlangsung di Melawi menunjukkan bahwa ada kemiripan
dengan orientalisme yang terjadi di Timur Tengah. Hanya saja bedanya, kebijakan
transmigrasi di masa pemerintah Orde Baru bukan dilaksanakan oleh orang-orang
Barat pada umumnya, seperti halnya pemerintah Hindia Belanda, akan tetapi
kebijakan ini dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sendiri, secara khusus
pemerintah Orde Baru.
Kebijakan transmigrasi yang dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru di
Melawi, menunjukkan bahwa kebijakan ini bagian dari kolonialisme internal yang
baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang Indonesia. Program
transmigrasi yang berlangsung di Melawi juga menunjukkan bahwa pemerintah
Orde Baru di Jakarta menganggap daerah Melawi dan penduduk lokalnya (orang-
orang Dayak) sebagai salah satu daerah “tertinggal,” yang masih dianggap
“primitif,” terbelakang, dan kurang beradab. Karena dianggap “tertinggal,” maka
pemerintah berniat untuk membantu orang-orang Dayak yang ada di Melawi,
dengan cara melaksanakan program transmigrasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
Pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan kebijakan transmigrasi merasa
bahwa pelaksanaan program transmigrasi di Melawi benar-benar dilakukan untuk
membantu orang-orang Dayak membangun daerah Melawi yang tadinya dianggap
“tertinggal,” menjadi daerah yang maju menurut standar yang dimiliki pemerintah
di Jakarta. Dengan kata lain, muncul anggapan bahwa orang-orang Dayak yang
ada di Melawi memang membutuhkan bantuan pemerintah di Jakarta untuk
membangun daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Melawi menjadi daerah yang
maju.
Tampak jelas bahwa orientalisme memang tidak hanya terjadi di negara-
negara Timur Tengah saja melainkan juga bisa terjadi di negara-negara yang
berada di luar Timur Tengah, seperti contoh Indonesia. Tesis ini telah berhasil
menunjukkan bahwa program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten
Melawi pada masa pemerintahan Orde Baru tidak jauh berbeda dengan
orientalisme yang terjadi di negara-negara Timur Tengah, seperti Mesir. Jika
orientalisme di Timur Tengah menunjukkan bagaimana orang-orang Timur
diwacanakan oleh orang Barat, orientalisme yang terjadi di Melawi menunjukkan
bagaimana orang-orang Timur diwacanakan oleh sesama orang Timur.
D. Orientalisme di Kabupaten Melawi
Penelitian tesis ini, telah menunjukkan bahwa kebijakan transmigrasi yang
dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru di
Kabupaten Melawi, tidak hanya dilakukan untuk membangun daerah-daerah
transmigrasi, tetapi juga menjadi bagian dari usaha pemerintah di Jakarta untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
menguasai sumber-sumber daya alam yang dimiliki oleh daerah-daerah
transmigrasi yang ada di Melawi. Penelitian ini juga telah menunjukkan
bagaimana orang-orang Dayak diwacanakan oleh pemerintah Orde Baru. Selain
itu, kebijakan transmigrasi di Melawi juga menunjukkan bahwa tindakan
orientalis juga bisa dilakukan oleh orang-orang Timur terhadap sesama orang
Timur.
Program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru yang dilaksanakan
di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat telah menunjukkan bahwa kebijakan
kolonial yang pernah dilakukan oleh orang-orang Barat dilanjutkan oleh
pemerintah Indonesia sendiri di masa pascakolonial. Dengan melaksanakan
program transmigrasi di Melawi, pemerintah Orde Baru telah melanjutkan
kebijakan kolonial pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian, entah secara
sadar atau tidak sadar pemerintah Indonesia telah menjadi agen kolonialisme baru
yang menjadikan orang-orang Dayak di Melawi sebagai korban dari tindakan
orientalis pemerintah Orde Baru di Jakarta.
Dengan melaksanakan program transmigrasi di Melawi, pemerintah Orde
Baru telah menjadikan orang-orang Dayak di Melawi sebagai korban dari
tindakan orientalis pemerintahan di Jakarta. Karena menganggap daerah Melawi
dan penduduk lokalnya (orang-orang Dayak), sebagai salah satu daerah
“tertinggal” dan masih “primitif” maka pemerintah Orde Baru merasa bahwa
kebijakan transmigrasi yang dilaksanakan di Kabupaten Melawi akan membantu
orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi membangun daerahnya
menjadi lebih baik lagi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Dalam melaksanakan program transmigrasi, pemerintah Orde Baru, merasa
lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-orang Dayak yang tinggal di
Kabupaten Melawi melebihi orang-orang Dayak itu sendiri. Karena pemerintah di
Jakarta memandang orang-orang Dayak sebagai salah satu suku yang dianggap
masih “primitif,” yang belum beradab, maka pemerintah Orde Baru merasa bahwa
orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi tidak akan mampu
membangun daerahnya tanpa bantuan pemerintah Jakarta. Oleh karena itu, ketika
akan melaksanakan program transmigrasi, pemerintahan di Jakarta tidak perlu
melibatkan orang-orang Dayak dalam pengambilan keputusan, karena pemerintah
meyakini bahwa orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi pasti akan
menerima program transmigrasi di daerah mereka.
Tampak bahwa dalam melaksanakan program transmigrasi di Melawi
pemerintahan di Jakarta melupakan satu hal, yakni penerimaan orang-orang
Dayak terhadap program transmigrasi. Dalam pandangan pemerintah Orde Baru,
semua orang Dayak yang ada di Melawi pasti akan menerima kebijakan
transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintahan di Jakarta. Pemerintah Orde
Baru, sama sekali tidak merasa bahwa kebijakan transmigrasi di Melawi sebagai
bentuk dari penjajahan terhadap orang-orang Dayak di Melawi, pemerintah
Jakarta justru merasa bahwa kebijakan ini akan membantu orang-orang Dayak
untuk membangun daerah mereka.
Dalam pandangan pemerintah Jakarta, tanpa bantuan pemerintah Orde
Baru maka orang-orang Dayak yang tinggal di Kabupaten Melawi tidak mungkin
bisa membangun daerahnya dari “keterbelakangan.” Ketidakmampuan orang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
orang Dayak dalam membangun daerahnya sendiri dikarenakan oleh sumber daya
manusia yang dimiliki orang-orang Dayak, menurut pemerintah di Jakarta masih
jauh dari kata maju. Orang-orang Dayak sebelum adanya program transmigrasi,
sebagian besar dari mereka masih hidup terisolasi, tidak mengenal dunia
pendidikan, dan sebagian besar dari penduduk Dayak hidup di bawah garis
kemiskinan.
Dalam pandangan pemerintah Jakarta, tujuan utama dari pelaksanaan
program transmigrasi di Kabupaten Melawi adalah untuk untuk membantu orang-
orang Dayak membangun daerah Kabupaten Melawi dan membantu orang-orang
Dayak keluar dari masalah kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan yang
diakibatkan oleh tidak meratanya pembangunan nasional. Dengan kata lain,
menurut pemerintah Orde Baru, program transmigrasi yang berlangsung di
Kabupaten Melawi memang mutlak harus dilaksanakan jika ingin memajukan
daerah Kabupaten Melawi dan orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten
Melawi.
Bagi pemerintah Orde Baru, pembangunan nasional adalah kunci dari
kemajuan suatu daerah. Pemerintah di Jakarta juga berpendapat bahwa tanpa
adanya pemerataan pembangunan di daerah-daerah transmigrasi maka daerah
tersebut tidak akan pernah bisa menjadi daerah yang berkembang apa lagi menjadi
daerah maju. Oleh karena itu, program transmigrasi adalah jalan keluar untuk
melaksanakan pemerataan pembanguna di daerah-daerah “tertinggal” yang ada di
Kabupaten Melawi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
E. Transmigrasi di Kabupaten Melawi dan Orientalisme Timur atas
Timur
Kebijakan pemerintah Orde Baru yang berkaitan dengan program
transmigrasi, secara khusus yang dilaksanakan di Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat menunjukkan bahwa kebijakan ini bagian dari orientalisme internal yang
baik pelaku maupun korbannya adalah sama-sama orang Indonesia. Orientalisme
yang terjadi dalam program transmigrasi di Kabupaten Melawi ditunjukkan dari
sikap para pejabat pemerintahan yang menganggap bahwa orang-orang Dayak di
Kabupaten Melawi tidak memiliki kemampuan untuk membangun daerahnya
tanpa bantuan pemerintah di Jakarta. Dengan kata lain, para pejabat pemerintahan
juga meyakini bahwa program transmigrasi pemerintah Orde Baru benar-benar
bertujuan untuk membantu pemerataan pembangunan di daerah-daerah
“tertinggal.”
Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi hanyalah
salah satu contoh yang bisa menunjukkan tindakan orientalis yang dilakukan oleh
para pejabat pemerintahah yang bekerja di instansi pemerintahan terhadap orang-
orang Dayak di Kabupaten Melawi. Program transmigrasi di Kabupaten Melawi
juga menunjukkan bagaimana orang-orang Dayak diwacanakan oleh para pejabat
pemerintahan daerah yang menjadi wakil dari pemerintah Orde Baru di Jakarta
dalam melaksanakan program transmigrasi di daerah-daerah yang ada di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Berbagai pandangan orientalis para pejabat pemerintahan dalam
memandang orang-orang Dayak di Melawi, ditunjukkan dari sikap pemerintah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
daerah yang memandang orang-orang Dayak di Kabupaten Melawi tidak akan
mampu membangun daerahnya sendiri tanpa bantuan pemerintah di Jakarta.
Menurut pemerintah Orde Baru, ketidakmampuan orang-orang Dayak dalam
membangun daerahnya sendiri disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, orang-
orang Dayak memiliki sifat yang pemalas. Kedua, orang-orang Dayak tidak
berpendidikan. Ketiga, orang-orang Dayak tidak memiliki keterampilan khusus
dalam bekerja, terutama skills di bidang pertanian maupun perkebunan. Keempat,
orang-orang Dayak dalam melakukan pekerjaan tidak pernah fokus pada satu
pekerjaan, semua pekerjaan ingin mereka kerjakan, sehingga hasilnyapun tidak
pernah maksimal.
Tampak jelas bahwa bagaimana para pejabat pemerintahan dalam
memandang orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi menggunakan
logika pembangunan yang menjadikan orang-orang Dayak di Kabupaten Melawi
sebagai korban dari tindakan orientalis yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
di Jakarta. Tampak pula bahwa, idiologi pembangunan yang dibawa oleh
pemerintah Orde Baru memang mendominasi cara berpikir para pejabat
pemerintahan daerah, saat mereka membicarakan orang-orang Dayak. Dengan
kata lain, para pejabat pemerintahan juga meyakini bahwa pemerataan
pembangunan adalah solusi untuk membantu orang-orang Dayak dalam
membangun daerah-daerah transmigrasi di Kabupaten Melawi.
Tesis ini juga telah berhasil menunjukkan bahwa bahwa kebijakan
transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi mirip dengan orientalisme di
Timur Tengah (Mesir). Kemiripannya ditunjukkan dengan adanya penggunaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
berbagai striotipe tentang suku Dayak yang oleh pemerintah Orde Baru maupun
para pejabat di pemerintahan daerah yang masih menilai bahwa sebelum program
transmigrasi masuk ke wilayah Melawi, orang-orang Dayak yang ada di sana
masih dianggap sebagai manusia “primitif” yang hidupnya terisolasi dan jauh dari
kata modern.
Penilaian “buruk” terhadap orang-orang Dayak juga dilakukan oleh para
pejabat pemerintahan daerah yang mengatakan bahwa orang-orang Dayak yang
ada di Melawi tidak akan mampu bersaing dengan orang-orang pendatang seperti
Jawa dalam hal mengolah tanah pertanian. Hal ini menurut pejabat daerah
setempat dikarenakan oleh orang-orang Dayak sendiri yang memang tidak
menguasai sistem pertanian modern. Oleh karena itu, maka wajar saja jika pejabat
daerah beranggapan bahwa orang-orang Jawa yang mengikuti program
transmigrasi pasti akan lebih sukses dari orang-orang Dayak.
Dalam pandangan pejabat daerah, orang-orang Jawa lebih sejahtera karena
pola pikir mereka lebih baik dari orang-orang Dayak, yang masih dianggap
“primitif” berperilaku kasar, kurang beradab, pemalas, dan sebagainya. Berbagai
stereotip yang diberikan pada orang-orang Dayak ini mirip dengan apa yang
dijelaskan oleh John McLeod dalam buku Beginning Postcolonialism, yang
merangkum hasil pembahasan Said tentang apa itu orientalisme yang memiliki
ciri-ciri sebagai berikut.
Pertama, Timur adalah abadi. Berangkat dari gagasan yang sampaikan oleh
McLeod dalam buku Beginning Postcolonialism, tampak jelas bahwa salah satu
keunggulan orang-orang Barat dalam menguasai orang-orang Timur adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
dengan cara menciptakan striotipe tertentu tentang orang-orang Timur yang dalam
hal ini orang-orang Timur oleh orang-orang Barat selalu diasumsikan tidak pernah
berubah dari masa ke masa. Hal serupa juga terjadi di Indonesia dalam kasus
transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru, dimana para pejabat
pemerintahan daerah selalu menganggap bahwa orang-orang Dayak yang ada di
Melawi, tidak akan pernah bisa berubah dari masa ke masa. Dalam artian bahwa,
sampai saat inipun masih banyak yang beranggapan bahwa orang-orang Dayak
adalah manusia “primitif”.
Kedua, Timur itu aneh. Dalam uraian McLeod juga tampak jelas bahwa
orang-orang Barat tidak hanya menganggap orang-orang Timur berada jauh di
belakang Barat, melainkan Barat juga merasa bahwa perbedaan nyata antara
Timur dan Barat adalah terletak pada sifat dan karakter orang-orang Timur yang
oleh Barat dianggap memiliki prilaku yang aneh. Hal ini menurut McLeod
ditunjukkan dengan memberikan perbandingan yang nyata antara Barat dan
Timur. Misalnya, orang-orang Barat menganggap diri mereka rasional (masuk
akal), modern, berprilaku baik dan sebagainya. Sedangkan orang-orang Timur
mereka anggap sebaliknya yakni irasional, terbelakang, kasar, dan tidak normal.
Menariknya, striotipe tentang orang-orang Timur yang oleh orang-orang
Barat dianggap aneh juga memiliki kemiripan dengan penilaian para pejabat
pemerintahan daerah yang menilai bahwa sifat dan karakter orang-orang Dayak
juga dianggap aneh. Misalnya, dalam pandangan pejabat pemerintahan daerah
yang menganggap bahwa orang-orang Dayak tidak memiliki kemampuan dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
ha mengolah tanah pertanian secara modern seperti yang dilakukan oleh orang-
orang Jawa.
Dalam pandangan para pejabat pemerintahan daerah, sistem pertanian
ladang berpindah yang dilaksanakan oleh orang-orang Dayak yang ada di Melawi,
tidak memberikan kontribusi positif bagi kemajuan daerah Melawi. Para pejabat
daerah justru beranggapan bahwa sistem pertanian yang dilakukan secara rotasi
setiap tahun ini, hanya akan merusak alam karena setiap tahun orang-orang Dayak
selalu membuka lahan baru. Oleh karena itu, para pejabat daerah merasa bahwa
sistem pertanian orang-orang Dayak ini harus segera digantikan dengan sistem
pertanian modern, yang dianggap lebih baik dari sistem pertanian ladang
berpindah.
Dengan demikian, tampak jelas bahwa orang-orang Dayak yang ada di
Melawi tidak hanya dianggap “primitif‟ oleh pemerintah Orde Baru, namun dalam
pandangan pejabat pemerintahan daerah, orang-orang Dayak juga memiliki
karakter serta sifat yang berbeda dari orang-orang Jawa yang mengikuti program
transmigrasi. Orang-orang Jawa dianggap memiliki karakter yang lebih baik dari
orang-orang Dayak. Orang-orang Jawa dianggap rajin, ulet, serta tidak mudah
putus asa dalam melaksanakan pekerjaannya.
Sementara itu orang-orang Dayak oleh para pejabat pemerintahan daerah
selalu dianggap pemalas, dalam bekerja tidak fokus, serta tidak sabaran. Hal ini
mirip dengan apa yang di uraian Mcleod, bahwa prilaku orang Timur itu sangat
aneh. Demikian pula dengan orang-orang Dayak yang dalam pandangan para
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
pejabat pemerintahan memiliki karakter dan sifat yang berbeda dari orang-orang
pendatang seperti Jawa.
Orang-orang Jawa dianggap memiliki kemampuan untuk membangun
daerah-daerah transmigrasi. Oleh karena itu, pemerintah Orde Baru yang ada di
Jakarta mengirim orang-orang Jawa ke daerah-daerah tujuan transmigrasi di
Kabupaten Melawi agar orang-orang Jawa tersebut dapat membantu orang-orang
Dayak dalam membangun daerah-daerah transmigrasi yang ada di Kabupaten
Melawi. Dengan mendatangkan orang-orang Jawa, pemerintah Orde Baru merasa
yakin bahwa program transmigrasi di Kabupaten Melawi akan berhasil
melaksanakan proyek-proyek pembangunan di daerah-daerah “tertinggal,” seperti
Kabupaten Melawi.
Kehadiran orang-orang Jawa di lokasi transmigrasi juga akan mempercepat
terlaksananya proyek-proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah
Orde Baru. Hal ini dikarenakan oleh orang-orang Jawa yang telah mendapatkan
pelatihan khusus dari pemerintah memiliki skills serta keterampilan khusus di
bidang pertanian dan perkebunan. Dengan demikian, maka daerah-daerah tujuan
transmigrasi akan mampu mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan yang
pada akhirnya akan meningkatkan produksi pertanian dan perkebunan serta
meningkatkan kesejahteraan penduduk yang mengikuti program transmigrasi.
Selain itu, orang-orang Jawa juga dapat memberikan contoh pada orang-orang
Dayak untuk mengembangkan sektor pertanian modern.
Bertolak dari gagasan-gagasan di atas, tampak jelas bahwa pemerintah Orde
Baru melegitimasi kebijakannya dengan mengatakan bahwa program transmigrasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
memang dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak membangun daerah-
daerah transmigrasi yang ada di Kabupaten Melawi. Pemerintah di Jakarta juga
merasa bahwa dengan adanya program transmigrasi maka orang-orang Dayak
yang tadinya dianggap “tertinggal” akan berubah menjadi lebih baik lagi dari
sebelum adanya program transmigrasi.
F. Catatan Penutup
Program transmigrasi pemerintah Orde Baru yang dilaksanakan di
Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat menunjukkan bahwa kolonialisme di
Indonesia belum benar-benar berakhir. Kebijakan transmigrasi yang dilanjutkan
oleh pemerintah Orde Baru menunjukkan bahwa pemerintah di Jakarta telah
bertindak sebagai agen kolonialisme baru. Sebagai agen kolonialisme, pemerintah
Orde Baru menjadikan program transmigrasi sebagai instrumen dari kebijakan
kolonial yang pada dasarnya bertujuan untuk menguasai sumber-sumber daya
alam yang dimiliki oleh daerah-daerah transmigrasi, seperti yang ada di
Kabupaten Melawi.
Dengan melanjutkan program transmigrasi dari pemerintah kolonial Hindia
Belanda, pemerintah Orde Baru telah melanjutkan kebijakan kolonial, dengan
menjadikan orang-orang Dayak di Kabupaten Melawi sebagai korban dari
kebijakan transmigrasi. Meskipun demikian, menariknya, pemerintah Orde Baru
tidak merasa bahwa program transmigrasi di Kabupaten Melawi sebagai bentuk
dari penjajahan. Pemerintah Orde Baru justru merasa bahwa kebijakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
transmigrasi ini dimaksudkan untuk membantu orang-orang Dayak di Kabupaten
Melawi membangun daerah-daerah “tertinggal” yang ada di Kabupaten Melawi.
Tampak jelas bahwa dalam melaksanakan program transmigrasi pemerintah
Orde Baru telah bersikap orientalis terhadap orang-orang Dayak yang ada di
Kabupaten Melawi. Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi
juga menunjukkan bahwa orientalisme dan kolonialisme tidak hanya terjadi di
Timur Tengah (Mesir), namun juga terjadi di Indonesia. Selain itu, program
transmigrasi di Kabupaten Melawi juga menunjukkan bahwa sikap orientalis tidak
hanya dilakukan oleh orang-orang Barat terhadap orang Timur, akan tetapi juga
bisa dilakukan oleh sesama orang Timur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
BAB V
PENUTUP
Tesis mengenai berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa
pascakolonial, secara khusus di masa pemerintahan Orde Baru ini telah berhasil
menunjukkan bahwa kolonialisme di Indonesia tidak hanya terjadi di masa
kolonial saja, melainkan juga berlanjut pada masa pascakolonial. Tesis ini
menunjukkan bahwa kolonialisme yang terjadi di Indonesia, pelakunya tidak
hanya orang-orang Eropa pada umumnya (pemerintah Hindia Belanda),
melainkan juga bisa orang-orang Indonesia sendiri (pemerintah Orde Baru).
Tesis ini juga telah berusaha menunjukkan bahwa praktek-praktek kolonial
yang dulunya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap penduduk
pribumi Indonesia (dulunya Nusantara), ternyata juga dilakukan oleh pemerintah
Indonesia sendiri terhadap suku Dayak di Kabupaten Melawi pada masa
pascakolonial. Dengan kata lain, tesis ini telah berusaha memperlihatkan bahwa
pelaku kolonialisme di Indonesia pada masa pascakolonial adalah pemerintah
Indonesia sendiri, secara khusus pemerintah Orde Baru.
Berlanjutnya kolonialisme di Indonesia pada masa pemerintahan Orde Baru,
salah satunya tercermin dalam kebijakan transmigrasi yang diadopsi dari
pemerintah kolonial Hindia Belanda dan dilaksanakan secara besar-besaran oleh
pemerintah Indonesia di masa pemerintahan Orde Baru. Dengan melanjutkan
program transmigrasi dari pemerintah kolonial Belanda, tampak jelas bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
pemerintah Orde Baru telah melanjutkan kebijakan kolonial yang pernah
dilaksnakan oleh pemerintah Hindia Belanda.
Tesis ini diharapkan mampu menunjukkan beberapa hal. Pertama,
kolonialisme yang terjadi di Indonesia, secara khusus pada masa pemerintahan
Orde Baru adalah bentuk dari kolonialisme internal yang baik pelaku maupun
korbannya adalah sama-sama orang Indonesia. Kedua, kolonialisme yang terjadi
dalam pelaksanaan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat
pelakunya adalah pemerintah Orde Baru, sedangkan korbannya adalah orang-
orang Dayak. Ketiga, kebijakan transmigrasi pemerintah Orde Baru yang
dilaksanakan di Kabupaten Melawi ternyata memiliki kemiripan dengan
orientalisme yang terjadi di Timur Tengah, secara khusus di Mesir.
Kolonialisme internal yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru
ditunjukkan dengan cara melanjutkan kebijakan transmigrasi dan
melaksanakannya di daerah-daerah Indonesia yang konon katanya menurut
pemerintah Jakarta dianggap sebagai daerah “tertinggal.” Namun, menariknya,
meskipun pemerintah Orde Baru telah melanjutkan kebijakan kolonial Belanda,
akan tetapi pemerintah di Jakarta tidak merasa bahwa dengan melanjutkan
program transmigrasi, pemerintah telah bertindak sebagai agen kolonialisme baru
yang menggantikan kolonialisme pemerintah Hindia Belanda.
Pemerintah Orde Baru justru merasa bahwa kebijakan transmigrasi yang
dilaksanakan di daerah-daerah Indonesia, secara khusus transmigrasi di
Kabupaten Melawi ini bertujuan untuk membantu penduduk lokal membangun
daerah-daerah mereka yang oleh pemerintah Jakarta dianggap sebagai daerah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
“tertinggal.” Dengan kata lain, pemerintah Orde Baru dalam melaksanakan
program transmigrasi merasa bahwa kebijakan ini sebagai solusi untuk membantu
terlaksananya pemerataan pembangunan, pembukaan lapangan kerja, dan sebagai
solusi untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia yang mengikuti program
ini.
Program transmigrasi di masa pemerintahan Orde Baru oleh pemerintah
Jakarta memang dianggap berbeda dengan program transmigrasi di masa
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Di masa pemerintahan Orde Baru,
program transmigrasi tidak hanya berkaitan dengan usaha pemindahan penduduk
semata, namun selalu dikaitkan dengan usaha pemerataan pembangunan di
daerah-daerah yang oleh pemerintah Jakarta dianggap sebagai daerah “tertinggal.”
Sebagai contoh, program transmigrasi yang dilaksanakan di Kabupaten Melawi,
Kalimantan Barat bertujuan untuk membantu penduduk lokal (orang-orang
Dayak) membangun daerah Kabupaten Melawi menjadi maju.
Pemerintah Orde Baru berpendapat bahwa orang-orang Dayak yang ada di
Kabupaten Melawi tidak akan mampu membangun daerahnya sendiri tanpa
bantuan pemerintah di Jakarta. Ketidakmampuan orang-orang Dayak dalam
membangun daerahnya disebabkan oleh karakter dan sifat orang-orang Dayak
yang masih dianggap sebagai manusia “primitif,” terbelakang, liar, dan belum
beradab oleh pemerintah Jakarta. Oleh karena itu, untuk membantu orang-orang
Dayak membangun daerah-daerah transmigrasi di Kabupaten Melawi, pemerintah
Orde Baru mengirim orang-orang Jawa yang dianggap memiliki skills, serta
keterampilan khusus di bidang pertanian, maupun perkebunan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, Kalimantan
Barat merupakan salah satu contoh bagaimana orang-orang Dayak diwacanakan
oleh pemerintah Indonesia, secara khusus pemerintah Orde Baru. Dalam
pelaksanaan program transmigrasi di Kabupaten Melawi, tampak jelas bahwa
pemerintah di Jakarta merasa lebih tahu apa yang dibutuhkan oleh orang-orang
Dayak melebihi kemampuan orang-orang Dayak itu sendiri. Dengan kata lain,
pemerintah Orde Baru sama sekali tidak merasa sedang menjajah orang-orang
Dayak, justru pemerintah merasa sedang berjuang untuk membantu orang-orang
Dayak di Kabupaten Melawi membangun daerahnya.
Tesis ini juga telah berupaya untuk memperlihatkan bahwa kebijakan
transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Orde Baru di Kabupaten Melawi,
Kalimantan Barat memiliki kemiripan dengan orientalisme yang terjadi di Timur
Tengah, secara khusus orientalisme di Mesir. Kemiripan program transmigrasi
Orde Baru dengan orientalisme di Mesir ditunjukkan lewat sikap orientalis yang
dilakukan oleh pemerintah Orde Baru terhadap penduduk lokal (orang-orang
Dayak), yang ada di Kabupaten Melawi.
Di Timur Tengah seperti Mesir orientalisme menunjukkan bagaimana
orang-orang Timur diwacanakan oleh orang Barat. Sedangkan di Indonesia kasus
transmigrasi di Kabupaten Melawi menunjukkan bagaimana orang-orang Timur
secara orientalistik diwacanakan oleh sesama orang Timur. Tesis ini juga telah
mencoba memperlihatkan bahwa orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara
Timur Tengah saja, melainkan juga terjadi di negara-negara Asia seperti
Indonesia. Dengan kata lain, orientalisme terjadi di Indonesia pada masa Orde
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
Baru bukan lagi soal bagaimana orang-orang Barat memandang buruk orang-
orang Timur, tapi soal bagaimana orang Timur memandang buruk sesama orang
Timur.
Bertolak dari beberapa gagasan di atas, tesis ini telah berusaha menunjukkan
beberapa hal penting. Pertama, orientalisme tidak hanya terjadi di negara-negara
Timur Tengah, melainkan juga terjadi di tempat-tempat lain yang berada di luar
negara Timur Tengah, seperti contoh Indonesia. Kedua, orientalisme yang terjadi
di Indonesia lebih buruk lagi dari yang terjadi di negara-negara Timur Tengah,
sebab di Indonesia yang terjadi bukan lagi soal bagaimana orang-orang Barat
menilai buruk orang-orang Timur, melainkan bagaimana orang-orang Timur
memandang buruk sesama orang Timur.
Ketiga, membongkar wacana orientalisme yang dilakukan oleh pemerintah
Orde Baru di Jakarta terhadap orang-orang Dayak yang ada di Kabupaten Melawi,
Kalimantan Barat. Dengan cara membongkar wacana orientalisme yang
diungkapkan oleh para pejabat pemerintahan daerah dan orang-orang Jawa yang
mengikuti program transmigrasi di Kabupaten Melawi, maka dapat diketahui
bagaimana orang-orang Dayak yang menjadi penduduk lokal Kabupaten Melawi
diwacanakan oleh pemerintah Orde Baru.
Sebagai penutup, penulis menyadari bahwa tesis ini hanya merupakan salah
satu contoh kecil yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme yang pada
umumnya terjadi di negara-negara Timur Tengah, ternyata juga terjadi di tempat-
tempat lain seperti Indonesia. Dengan kata lain, penulis ingin mengatakan bahwa
program transmigrasi yang berlangsung di Kabupaten Melawi, hanyalah salah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
satu contoh kecil yang bisa menunjukkan bahwa orientalisme juga terjadi di
Indonesia, dan pelakunya bukan lagi orang-orang Barat pada umumnya,
melainkan orang-orang Indonesia sendiri yang menjadikan orang-orang Indonesia
(Dayak) sebagai korbannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Chatarina Pancer, Sujarni Alloy, Albertus & Istiyani (2008). Mozaik Dayak -
Keberagaman Subsuku dan Bahasa Dayak di Kalimantan Barat. Pontianak:
Institut Dayakologi.
Departemen Transmigrasi (1984). Historiografi Transmigrasi. Jakarta:
Departemen Transmigrasi.
Enthoven, J.J.K. (2013). Sejarah Dan Geografi Daerah Sungai Kapuas
Kalimantan Barat. Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut
Dayakologi.
Florus, Paulus dkk (2010). Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transformasi.
Pontianak: Institut Dayakologi.
Gouda, Frances (2007). Dutch Culture Overseas, Praktik Kolonial di Hindia
Belanda. 1900-1942. Terjemahan. Jugiarie Soegiarto & Suma Riella
Rusdiarti. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Gandhi, Leela (1998). Postcolonial Theory, A Critical Introduction. Australia:
Allen & Unwin.
Heeren, H.J (1979). Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
Hardjosudarmo, Soedigdo (1965). Kebijaksanaan Transmigrasi Dalam Rangka
Pembangunan Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Bharatara.
Kahin, George McTurnan (1970). Nationalism and Revolution In Indonesia.
London: Cornell University Press.
Kartodirdjo Sartono (1992). Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Loomba, Ania (1998). Colonialism/Postcolonialism. New York: Routledge.
Lontaan, J.U (1975). Sejarah Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan Barat.
Pontianak: Pemda Tingkat I Kal-Bar.
McLeod, John (2000). Beginning Postcolonialism. Manchester and New York:
Manchester University Press.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
Masri, Singarimbun Dan Sri Edi Swasono (1986). Transmigrasi Di Indonesia
1905-1985. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press)
Odop, Nistain dan Frans Lakon (2009). Dayak Menggugat: Sejarah Masa Lalu,
Hak Atas Sumber-Sumber Penghidupan, dan Diskriminasi Identitas.
Yogyakarta: Pintu Cerdas.
Philpott, Simon (2000). Rethingking Indonesia, Postcolonial Theory,
Authoritarianism and Identity. New York: ST. Macmillan Press LTD.
Ratna SU, Nyoman Kutha (2008). Poskolonialisme Indonesia (Relevansi Sastra).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Terjemahan. Dharmono
Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Riwut, Tjilik (1993). Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan.
Yogyakarta: NR. Publishing
Said, Edward W. (1978). Orientalism. New York: Vintage Books.
Simpson, Bradley R. (2010). Ekonomist With Guns, Amerika Serikat, CIA dan
Munculnya Pembangunan Otoriter Rezim Orde Baru. Terjemahan. Johanes
Supriyono. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Said, Edward W. (1993). Kebudayaan Dan Kekuasaan. Terjemahan. Rahmani
Astuti. Bandung: Mizan Anggota IKAPI.
Said, Edward W. (2005). Bukan-Eropa, Freud dan Politik Identitas Timur
Tengah. Terjemahan. L.P. Hok. Tangerang: Marjin Kiri.
Said, Edward W. (1978). Orientalism. New York: Vintage Books.
Stefanus, Djuweng dan Nico Andalas (2006). Manusia Dayak, Orang Kecil Yang
Terperangkap Modernisasi. Pontianak: Institut Dayakologi.
Veth P.J. (2012). Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Jilid I.
Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi.
Veth, P.J. (2012). Borneo Bagian Barat: Geografis, Statistis, Historis. Jilid II.
Terjemahan. P. Yeri, OFM. Cap. Pontianak: Institut Dayakologi.
Warsito, Rukmadi dkk (1984). Transmigrasi Dari Daerah Asal Sampai Benturan
Budaya di Tempat Pemukiman. Jakarta: CV Rajawali.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
Walia, Shelley (2003). Edward Said dan Penulisan Sejarah. Terjemahan. Sigit
Djatmiko. Yogyakarta: Jendela.
Surat Keputusan Pemerintah
Surat Keputusan Menteri Transmigrasi Republik Indonesia. Nomor: KEP.
49/MEN/1990. Tentang Penetapan Status Transmigrasi dan Pengaturan
Transmigrasi Pengganti
Kumpulan Surat Keputusan Bupati Melawi. Nomor: 520/210 Tahun 2010.
Tentang Penetapan Status Transmigrasi WPP/D/A.SP.I Desa Lengkong
Nyadom Kecamatan Ella Hilir Kabupaten Melawi, Kalimantan Barat.
Majalah dan Reader
Majalah Monitor. “Transmigrasi Sebuah Obsesi?”. Pusat Pengembangan Etika
Atma Jaya. Jakarta: 1980.
C. Teguh Dalyono. Reader. Ekonomi Pembangunan I. Pendidikan Ekonomi,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Barat. Target dan
Realisasi Program Pembangunan RTJK dan Penempatan Transmigrasi (TPS
& TPA), Tahun 2012
Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Melawi. Bahan
Penyuluhan Calon Warga Transmigrasi TPA Dan TPS Tahun 2012.
Narasumber Wawancara
M. Nazarudin. Kepala Bagian Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Pontianak
Provinsi Kalimantan Barat.
Giovani Anton. Staf Dinas Transmigrasi dan Tenaga Kerja Kabupaten Melawi,
Kalimantan Barat.
Petrus Yusnono. Disain Visual di Institut Dayakologi Pontianak.
Matius. Seketaris Desa SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
Rohim. Peserta transmigrasi asal Kota Malang Jawa Timur.
Mahrudin. Warga transmigrasi asal Jawa Barat.
Siregar. Kepala Puskesmas Desa SP Lima Tiong Keranjik, Kabupaten Melawi.
Lamianus Kale. Orang Dayak yang mengikuti program transmigrasi di Melawi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI