plagiat merupakan tindakan tidak terpuji1. tuhan yang maha esa atas bimbingan, berkat dan kasihnya...
TRANSCRIPT
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI APENDISITIS
AKUT DI RS PANTI RAPIH TAHUN 2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Yuma Pinandita Lingga Dewi
NIM : 078114137
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA PROFILAKSIS PADA PASIEN YANG MENJALANI OPERASI APENDISITIS
AKUT DI RS PANTI RAPIH TAHUN 2009
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S. Farm.)
Program Studi Farmasi
Oleh:
Yuma Pinandita Lingga Dewi
NIM : 078114137
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA 2012
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
“SAYA + TUHAN = CUKUP”
Sebuah karya kecil ini kupersembahkan untuk: My Savior, Jesus Christ, Kau sungguh Allah yang ajaib
bagiku. Bunda Perawan Maria, Engkaulah perantara doa dan penenang
hidupku di saat gundah.
Bapak, Ibu, Kakak, Nenek, dan Unny, Kalianlah anugerah serta inspirasi terindah dalam hidupku.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala kemuliaanNya yang telah Ia berikan sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Evaluasi Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien
yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009” ini
dengan baik sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi
(S.Farm.) dalam Fakultas Farmasi, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Penulis sangat menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini
berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun
tidak langsung antara lain berupa materil, waktu, tenaga, moral, maupun spiritual.
Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menghaturkan ucapan terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa atas bimbingan, berkat dan kasihNya yang melimpah
kepada penulis serta ujianNya sehingga membuat penulis semakin menyadari
berbagai arti nilai kehidupan.
2. Ipang Djunarko, M. Sc., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma dan sebagai dosen atas segala bimbingan dan pengajarannya
selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma.
3. Dra. Th. B. Titien Siwi Hartayu, Apt., M. Kes. selaku dosen pembimbing dan
dosen penguji atas segala kesabaran, bimbingan, waktu, tenaga, dan masukan
yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
4. Yosef Wijoyo, M. Si., Apt. selaku dosen penguji atas dukungan, arahan,
masukan, dan kritik yang diberikan kepada penulis selama proses
penyelesaian skripsi.
5. dr. Fenty, M. Kes., Sp. PK. selaku dosen penguji atas dukungan, arahan,
masukan, dan kritik yang diberikan kepada penulis selama proses
penyelesaian skripsi.
6. Direktur Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta yang telah memberikan izin
kepada penulis untuk melakukan penelitian.
7. Kepala dan para staf bagian Instalasi Rekam Medis serta bagian Personalia
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta atas izin dan bantuan selama proses
pengambilan data.
8. Dokter bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah yang
telah bersedia untuk diwawancara dan berbagi informasi dengan penulis.
9. Seluruh pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih pada tahun 2009 yang
secara tidak langsung telah membantu dalam memberikan informasi dalam
penelitian ini.
10. Segenap dosen pengajar dan staf sekretariat Fakultas Farmasi, Universitas
Sanata Dharma atas segala bimbingan, pesan moral, pengajaran, dan bantuan
selama penulis melakukan proses pembelajaran di Fakultas Farmasi,
Universitas Sanata Dharma.
11. Keluarga besar penulis, khususnya orang tua yaitu Ayahanda I Made
Budiartana, S. Pd. dan Ibunda Yustina Sri Rahayuningsih yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
mencurahkan kasih sayang dan pengorbanannya demi memberikan yang
terbaik di dalam seluruh hidup penulis.
12. Kakakku, Yuma Aswindra Brahmanda Putra atas dukungan dan suka duka
yang dijalani bersama dalam setiap langkah hidup penulis.
13. Sahabat-sahabatku, Yosephine Dian Hendrawati, Lydia Valentina Guru, Sisilia
Rani Thoma, dan teman-teman penulis baik di dalam maupun di luar
Universitas Sanata Dharma yang tidak dapat disebutkan satu per satu atas
kasih, dukungan, dan ketersediaannya untuk saling berbagi suka duka dan
berbagai informasi kepada penulis selama proses penyusunan skripsi.
14. Bennedictus Irwan Wahyu Kristanto, atas doa, cinta, semangat, dukungan,
keceriaan, kebersamaan, dan pengorbanan yang diberikan kepada penulis
sehingga mampu menyelesaikan skripsi dengan baik.
15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu yang juga turut
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh karena
itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar skripsi ini dapat
menjadi lebih baik. Semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan
wawasan bagi semua pihak yang membutuhkan.
Penulis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL …………………..……………………......….............. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... v
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA
ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
vi
PRAKATA ……………..…………..……………………………...……….. vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………..……...……………… x
DAFTAR ISI …………………....……………………...…………………... xi
DAFTAR TABEL …………………..…..………………………………….. xv
DAFTAR GAMBAR ………………...……...…………………………...…. xvii
DAFTAR LAMPIRAN …………………..…..………………...……...…… xviii
INTISARI …………………..……...……………………..……………….... xix
ABSTRACT ……………………..…..……………………...……………….. xx
BAB I. PENGANTAR …………………...……...…………………...……... 1
A. Latar Belakang …………………………...……...……..……..…………. 1
1. Permasalahan ………………………...…………......……………....... 4
2. Keaslian Penelitian……………………………...………..…………... 5
3. Manfaat Penelitian ………………………..…...……...…………….... 6
B. Tujuan Penelitian ………………………………....………...………........ 6
1. Tujuan Umum …………………..………………...…………………. 6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
2. Tujuan Khusus ………………………..…..……...…………………... 7
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA ………………………………..…..… 8
A. Antibiotika ……………………………...………...……………………… 8
1. Definisi ………………………...…………..………………………….. 8
2. Prinsip Dasar Penggunaan Antibiotika ……………………..……….... 8
3. Mekanisme Kerja Antibiotika ……………………..………..…..…….. 9
B. Antibiotika Profilakis ……………………..………..……………………. 12
1. Definisi ……………………...……..………………………………….. 12
2. Prinsip Pemberian Antibiotika Profilaksis pada Pasien Operasi
Apendisitis Akut …………………………..…………………………..
12
3. Antibiotika Profilaksis Pilihan ……………………..…..……………... 13
4. Mekanisme Kerja Antibiotika Profilaksis …………………...……..…. 15
C. Apendisitis Akut ………………………..……....……………………….. 16
1. Definisi ………………………...……………..………….……………. 16
2. Klasifikasi …………………...…………………...……………………. 17
3. Keluhan …………………..…………………..……………………….. 18
4. Penatalaksanaan Terapi …………………………...…………..………. 18
D. Operasi Opendisitis Akut ………………………..………..……………... 19
E. Keterangan Empiris ………………………...……………...…………….. 20
BAB III. METODE PENELITIAN …………………………..………..…… 21
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ………………………...…………..…… 21
B. Definisi Operasional ………………………..…………...………………. 21
C. Subyek Penelitian …………………………...………...…………………. 23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
D. Bahan Penelitian ………………………………....……………………… 23
E. Instrumen Penelitian ……………………………......……………………. 23
F. Lokasi Penelitian ………………………………..………..……………… 24
G. Tata Cara Penelitian ………………………………...…………………… 24
1. Tahap Persiapan …………………………………..…..………………. 24
2. Tahap Pengambilan Data ………………………………..……………. 24
3. Tahap Penyelesaian Data ……………………...…………..………….. 25
H. Tata Cara Analisis Hasil ……………………..………..………………… 25
1. Jumlah Pasien Operasi Apendisitis Akut …………………..…………. 25
2. Karakteristik Demografi Pasien …………………..………..…………. 26
3. Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika
Profilaksis ………………..…...……………………………………….
27
4. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis …….... 28
5. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis …..... 29
I. Kesulitan Penelitian ……...……………………………………...………... 29
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN …………………...……………… 30
A. Jumlah Pasien ………………...………………..………...………………. 30
B. Karakteristik Demografi Pasien ………………..………………………... 31
1. Usia Pasien ………………………..……………………..……………. 31
2. Jenis Kelamin Pasien ………………………………...…………...…… 32
3. Keluhan Pasien ………………………………...…………..………….. 33
4. Lama Keluhan Pasien ………………………………………...……….. 34
5. Lama Perawatan Pasien …………………………….…...…...………... 35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
C. Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 35
1. Jenis Antibiotika …………………………..………………………….. 35
2. Waktu Pemberian ……………..………..…………………..………… 36
3. Cara Pemberian ……………………………………..……………..….. 38
4. Dosis Pemberian ……………………………………………………..... 39
5. Lama Pemberian ………………………………………………..…….. 40
D. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis ………… 41
1. Jenis Antibiotika ………………..…………………..………………… 41
2. Waktu Pemberian ……………..…………………..………………….. 43
3. Cara Pemberian ……………..………………..……………………….. 44
4. Dosis Pemberian …………………...…………………...……………... 46
5. Lama Pemberian ……………………..……………………………….. 47
E. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis ………. 49
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ………………..………………….. 57
A. Kesimpulan ................................................................................................ 57
B. Saran ………………………...…………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA …………………………..…………………………... 59
LAMPIRAN …………………………...…………………………………… 65
BIOGRAFI PENULIS ……………………………………………………... 88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut
kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009 …………………...
32
Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin
di RS Panti Rapih tahun 2009 ………………………………
33
Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut jenis
keluhan di RS Panti Rapih tahun 2009 …………………………..
34
Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RS Panti Rapih tahun 2009 menurut
lamanya keluhan sakit ………....………………………………...
35
Tabel V. Distribusi antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal
pada pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun
2009 ……………………………………………………………...
36
Tabel VI. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan
setelah operasi di RS Panti Rapih tahun 2009 …………………...
37
Tabel VII. Distribusi cara pemberian antibiotika per oral dan intravena di
RS Panti Rapih tahun 2009 ………………………………………
39
Tabel VIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Panti
Rapih tahun 2009 ………………………………………………...
40
Tabel IX. Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24
jam dan lebih dari 24 jam di RS Panti Rapih tahun 2009 ………..
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
Tabel X. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis
yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti
Rapih dan pedoman umum (WHO 2009; Kanji, et al., 2008; dan
ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009 …………………….
43
Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika
profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan
Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum (WHO 2009; Kanji,
et al., 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009 …..
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Peran penisilin dalam menghambat enzim transpeptidase
dari pembentukan cross-link peptida di peptidoglikan ……...……
10
Gambar 2. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut
kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009 ……………......…...
32
Gambar 3. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin di
RS Panti Rapih tahun 2009 ……………….………………...…….
33
Gambar 4. Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika
profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik
RS Panti Rapih dan pedoman umum (WHO, 2009; Kanji, et al.;
2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009 …………..
46
Gambar 5. Distribusi jumlah kasus menurut lama pemberian antibiotika
profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO,
2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih
tahun 2009 ………………………………….………….……...…..
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti
Rapih tahun 2009 ……………………...………………………..
65
Lampiran 2. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah I ………….... 71
Lampiran 3. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah II …………... 72
Lampiran 4. Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Instalasi Farmasi .... 74
Lampiran 5. Hasil wawancara mendalam dengan Wakil Kepala Kamar
Bedah ……………………………………………………………
78
Lampiran 6. Lembar kerja untuk pengumpulan data ………………………… 80
Lampiran 7. Pedoman wawancara mendalam dengan dokter bedah, Kepala
Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah RS Panti
Rapih ……………………………………………...…………….
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xix
INTISARI
Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut dan tingginya risiko infeksi setelah operasi, mengakibatkan pemberian antibiotika profilaksis menjadi penting. Oleh sebab itu, dibutuhkan ketepatan penggunaan antibiotika profilaksis untuk mencegah infeksi setelah operasi. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut, jumlah pasien, karakteristik demografinya, jenis antibiotika, waktu, cara, dosis, lama pemberian, kesesuaian dengan pedoman, maupun faktor-faktor yang mendasari pemilihannya.
Penelitian ini menggunakan metode non eksperimental dengan rancangan deskriptif evaluatif, bersifat retrospektif. Populasi yang digunakan 82 pasien, dengan kriteria inklusi menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 dan menggunakan antibiotika profilaksis. Kriteria eksklusinya adalah operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan operasi lainnya. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis diperoleh dengan melakukan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan jenis antibiotika profilaksis yang digunakan adalah seftriakson 70% (n= 82). Pemberian lebih dari 1 jam sebelum operasi 49%, cara pemberian intravena 91%, 54% pada dosis 2 gram, dan lama pemberian 1 hari 56%. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis di RS Panti Rapih belum sepenuhnya sesuai pedoman sehingga masih perlu diupayakan peningkatan ketaatan terhadap pedoman pengobatan yang telah disepakati. Kata kunci: Antibiotika, antibiotika profilaksis, apendisitis akut, operasi
apendisitis akut, evaluasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xx
ABSTRACT
An increasing number of acute appendicitis surgery and the high risk of
postoperative infection, resulting in the provision of prophylactic antibiotics to be important. Therefore, it takes accuracy of the use of prophylactic antibiotics so the postoperative infection can be prevented. This study aimed to get an idea of the selection and use of prophylactic antibiotics in patients with acute appendicitis operation, the following number of patients, demographic characteristics, type of antibiotic, time, method, dosage, duration of administration, compliance with the guidelines, as well as the factors underlying the selection.
This study uses non-experimental methods with retrospective descriptive evaluative designs. Population that used 82 patients, with the inclusion criteria who underwent surgery of acute appendicitis in Panti Rapih Hospital in 2009 and using prophylactic antibiotics. Exclusion criteria were acute appendicitis operation conducted jointly with other operations. The factors underlying the selection of antibiotic prophylaxis is obtained by conducting in-depth interviews.
The results showed type of antibiotic prophylaxis used were ceftriaxone 70% (n= 82). Giving more than 1 hour before surgery 49%, 91% intravenous route of administration, 54% at doses of 2 grams, and the duration of one day 56%. Based on these results, it can be concluded that the selection and use of prophylactic antibiotics in Panti Rapih Hospital has not been appropriate completely the guidelines so it is still necessary to improve adherence to treatment guidelines that have been agreed.
Key words: antibiotic, antibiotic prophylaxis, acute appendicitis, surgery of acute appendicitis, evaluation
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Antibiotika profilaksis pada suatu tindakan operasi mengacu pada
pemberian atau administrasi agen antimikroba pada pasien yang menjalani
prosedur operasi guna mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Pemberian
antibiotika profilaksis ini diharapkan dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas
akibat terjadinya infeksi setelah operasi. Salah satu prosedur operasi yang
menggunakan antibiotika profilaksis untuk mencegah terjadinya infeksi setelah
operasi adalah operasi apendisitis akut.
Apendisitis akut merupakan penyebab terbanyak kasus nyeri akut
abdomen baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang
dilakukan oleh Laal dan Mardanloo (2009) di RS Sina Tehran, Iran memperoleh
hasil bahwa apendisitis akut sebagai penyebab terbanyak kasus nyeri akut
abdomen, yaitu sebesar 56,8% (n= 139). Sedangkan pada penelitian lain yang
dilakukan oleh Al-Mulhim (2006) memperoleh hasil bahwa operasi apendisitis
akut merupakan operasi darurat abdominal yang paling banyak dilakukan, yaitu
sebesar 47,4% (n= 1096).
Menurut National Digestive Diseases Information Clearinghouse setiap
orang dapat menderita apendisitis akut, akan tetapi penyakit ini lebih sering terjadi
pada individu-individu yang berusia 10-30 tahun (NDDIC, 2007). Penelitian yang
dilakukan oleh Imelda (2008) di RSU Dr. Soetomo Surabaya memperoleh hasil
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
bahwa operasi apendisitis akut paling banyak dilakukan pada pasien dengan
rentang usia 17-64 tahun, yaitu sebesar 82,18% dengan rasio insiden apendisitis
hampir sama antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,1:1. Penelitian lain yang
dilakukan oleh Junias (2009) memperoleh hasil bahwa terdapat 51 pasien
apendisitis yang telah melakukan operasi apendisitis akut di RS Pendidikan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara. Frekuensi kejadian dari 51
subyek yang diteliti adalah pada laki-laki sebesar 23 orang (45,1%) dan pada
perempuan sebesar 28 orang (54,9%).
Jumlah operasi apendistis akut pun meningkat setiap tahunnya di negara-
negara berkembang. Data yang diperoleh dari Departamen Kesehatan RI
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi apendisitis akut dari 6%
menjadi 9% pada tahun 1999-2001 (Depkes RI, 2002). Sedangkan dari penelitian
yang dilakukan oleh Walker dan Segal (1995) diperoleh hasil bahwa kasus operasi
apendisitis mengalami peningkatan dari 8,2 menjadi 9,5 per 100.000 penduduk di
Afrika Selatan. Hal yang sama juga terjadi di Lautech Teaching Hospital Nigeria,
pada tahun 2003 operasi apendisitis akut berjumlah 36 kasus dan meningkat pada
tahun 2008 menjadi 67 kasus. Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut dapat
menjadi hal yang mengkhawatirkan sebab kemungkinan timbulnya infeksi setelah
operasi pun akan ikut meningkat (WHO, 2009).
Penggunaan antibiotika profilaksis telah terbukti kemanfaatannya dalam
upaya mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Pada suatu penelitian yang
melibatkan 996 pasien operasi apendisitis akut, telah dibandingkan kejadian
infeksi luka operasi antara pasien yang tidak mendapatkan antibiotika profilakis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
(plasebo) dengan pasien yang menerima antibiotika profilaksis. Kejadian infeksi
luka operasi pada kelompok plasebo adalah 7% (n= 526) dibandingkan dengan
2% (n= 470) pada kelompok pasien yang menerima antibiotika profilaksis (Bauer,
et al., 1989). Hal ini menunjukkan penggunaan antibiotika profilaksis secara
signifikan dapat mengurangi kejadian infeksi luka operasi.
Infeksi luka operasi atau Surgical Site Infection (SSI) merupakan salah
satu infeksi setelah operasi yang paling banyak terjadi setelah prosedur operasi,
termasuk operasi apendisitis akut. Sekitar 20% pasien yang menjalani operasi
darurat abdominal dilaporkan mengalami infeksi luka operasi (Auerbach, 2001).
Sedangkan pada operasi apendisitis akut sendiri sebesar 8,41% (n= 2069) pasien
mengalami infeksi luka operasi (Li, et al., 2010).
Pada umumnya, infeksi luka setelah operasi apendisitis disebabkan oleh
bakteri anaerob dan bakteri gram negatif (Laterre, et al., 2006 dan ASHP, 1999).
Hal ini menunjukkan bahwa pasien yang menjalani operasi apendisitis akut rentan
terhadap infeksi oleh karena hadirnya mikrorganisme tersebut. Oleh sebab itu,
regimen pemberian antibiotika profilaksis yang rasional dan pemilihan antibiotika
profilaksis yang tepat sangatlah diperlukan untuk melawan bakteri-bakteri
patogen penyebab infeksi sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi setelah
operasi apendisitis akut.
Pemilihan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut harus
selalu disesuaikan dengan mikroorganisme patogen yang menyebabkan infeksi.
Demikian pula konsentrasinya harus dijaga atau dipertahankan pada lokasi operasi
selama prosedur operasi (AHSP, 1999). Adapun penggunaan antibiotika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
profilaksis dalam hal jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotikanya
harus tepat dan didukung oleh pedoman atau guideline yang telah disepakati
bersama (Kanji and Devlin, 2008).
Peningkatan jumlah operasi apendisitis akut pada beberapa tahun terakhir
dan risiko infeksi setelah operasi yang cukup tinggi pada pasien yang tidak
menerima antibiotika profilaksis, mengakibatkan penggunaan antibiotika
profilaksis menjadi hal yang sangat penting. Penggunaan antibiotika profilaksis
yang tepat dapat melindungi pasien dari terjadinya infeksi setelah operasi (WHO,
2009). Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai “Evaluasi
Penggunaan Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi
Apendisitis Akut di RS Panti Rapih tahun 2009” untuk mengevaluasi penggunaan
antibiotika profilaksis.
Mengingat RS Panti Rapih merupakan salah satu rumah sakit swasta
terbesar di Yogyakarta dan sebagai rumah sakit rujukan, maka kemungkinan besar
akan banyak pasien yang berobat di RS Panti Rapih, sehingga dengan jumlah
pasien yang banyak dapat memberikan gambaran yang cukup lengkap dan jelas
mengenai penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut.
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat disusun
permasalahan sebagai berikut:
a. Berapa jumlah pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih
pada tahun 2009?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
b. Seperti apa karakterisitik demografi pasien yang menjalani operasi apendisitis
akut di RS Panti Rapih berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan,
dan lama perawatan?
c. Seperti apa pola penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani
operasi apendisitis akut terkait dengan jenis antibiotika, waktu, cara, dosis dan
lama pemberiannya?
d. Apakah penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 sudah sesuai dengan Standar
Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO,
2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP
Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) ditinjau dari jenis antibiotika profilaksis,
waktu, cara, dosis dan lama pemberian antibiotika profilaksis?
e. Faktor-faktor apa yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis bagi pasien
yang menjalani operasi apendisitis akut RS Panti Rapih tahun 2009?
2. Keaslian Penelitian
Sejauh yang peneliti ketahui, penelitian berjudul “Evaluasi Penggunaan
Antibiotika Profilaksis pada Pasien yang Menjalani Operasi Apendisitis Akut di
RS Panti Rapih tahun 2009” belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang
pernah dilakukan yang berhubungan dengan penggunaan antibiotika pada pasien
operasi apendisitis akut antara lain:
a. “Studi Penggunaan Antibiotika pada Kasus Bedah Apendiks: Instalasi Rawat
Inap Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya” oleh Imelda tahun 2008.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
b. “Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Apendisitis Akut Di Bagian Bedah
RSU Dr. Saiful Anwar Malang” oleh Fatmawati tahun 2007.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian di atas dalam hal lokasi
penelitian, periode pengambilan data, dan subjek penelitian. Subjek penelitian
pada penelitian yang dilakukan oleh Imelda (2008) adalah pasien operasi
apendisitis, baik apendisitis akut maupun apendisitis kronis, yang menerima
antibiotika profilaksis dan antibiotika terapi di RSU Dr. Soetomo Surabaya tahun
2006. Sedangkan subjek penelitian pada penelitian yang dilakukan oleh
Fatmawati (2007) adalah pasien operasi apendisitis akut yang menggunakan
antibiotika dan analgetika di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada tahun 2005.
3. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis. Menambah wawasan dan menjadi salah satu sumber
informasi dalam pemilihan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani
operasi apendisitis akut.
b. Manfaat praktis. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
evaluasi untuk meningkatkan kualitas terapi dalam pemilihan dan penggunaan
antibiotika profilaksis secara rasional pada operasi apendisitis akut.
B. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang pemilihan
dan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut pada tahun 2009 di RS Panti Rapih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
2. Tujuan Khusus
Untuk mencapai tujuan umum maka penelitian ini secara khusus ditujukan
untuk:
a. menghitung jumlah pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti
Rapih pada tahun 2009.
b. mengidentifikasi karakterisitik demografi pasien operasi apendisitis akut di RS
Panti Rapih berdasarkan usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama
perawatan.
c. mengidentifikasi jenis antibiotika profilaksis yang digunakan, berikut waktu,
cara, dosis dan lama pemberiannya.
d. menilai kesesuaian jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika
profilaksis yang digunakan oleh pasien operasi apendisitis akut di RS Panti
Rapih tahun 2009 dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO
Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in
Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP,
1999).
e. mengidentifikasi faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis
melalui wawancara mendalam dengan dokter bedah, Kepala Instalansi Farmasi,
dan Wakil Kepala Kamar Bedah RS Panti Rapih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Antibiotika
1. Definisi
Antibiotika adalah zat atau senyawa yang dihasilkan oleh mikroorganisme
yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme lainnya
(BPOM, 2008). Selain berasal dari makhluk hidup, antibiotika juga dapat
diproduksi secara sintetis.
2. Prinsip dasar penggunaan antibiotika
Prinsip umum penggunaan antibiotika sama seperti obat-obat lainnya,
yaitu dapat memenuhi kriteria sebagai berikut: antibiotika diberikan sesuai dengan
indikasi penyakit, tepat dosis, tepat cara pemberian, tepat lama pemberian, mutu
terjamin dan aman, serta antibiotika tersedia setap saat dengan harga yang
terjangkau (WHO, 2001).
Pemilihan antibiotika yang tepat didasarkan pada pertimbangan faktor
sensitivitas bakteri terhadap antibiotika dan keadaan tubuh penderita. Pemberian
antibiotika yang ideal adalah berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan uji
kepekaan kuman (Hessen and Kaye, 2004). Namun dalam praktek sehari-hari,
tidak mungkin untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologis pada setiap pasien
yang dicurigai menderita suatu infeksi. Selain itu, untuk infeksi berat yang
memerlukan penanganan segera, pemberian antibiotika dapat segera dimulai
setelah pengambilan sampel bahan biologik untuk biakan dan pemeriksaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
kepekaan kuman. Pemberian antibiotika tanpa pemeriksaan mikrobiologis dapat
didasarkan pada educated guess, yaitu pemilihan antibiotika didasarkan pada jenis
mikroorganisme yang menjadi penyebab tersering suatu infeksi. Keadaan tubuh
penderita perlu dipertimbangkan untuk dapat memilih antibiotika yang tepat.
Faktor yang perlu dipertimbangkan pada pemilihan antibiotika yaitu usia, wanita
hamil atau menyusui, alergi, fungsi ginjal, dan fungsi hati. Hal ini berpengaruh
pada jenis dan dosis antibiotika yang akan digunakan (BPOM, 2008).
3. Mekanisme kerja antibiotika
Antibiotika bekerja dalam tubuh manusia dengan mekanisme sebagai
berikut:
a. Menghambat sintetis dinding sel bakteri
Sintesis dinding sel bakteri dihambat dengan cara menghambat cross-
linking peptidoglikan yang merupakan reaksi terakhir dalam sintesis dinding
sel bakteri (Graumlich, 2003). Antibiotika yang bekerja dengan mekanisme ini
adalah antibiotika-antibiotika golongan β–laktam (penisilin, sefalosporin,
monobaktam, karbapenem). Antibiotika golongan β–laktam secara struktural
mirip dengan monomer peptida pada peptidoglikan. Monomer peptida ini
berikatan dengan enzim transpeptidase untuk membentuk cross-linking
peptidoglikan sehingga dapat menguatkan dinding sel bakteri. Namun dengan
hadirnya antibiotika β–laktam, ikatan antara enzim transpeptidase dengan
monomer peptida terhambat karena enzim transpeptidase mengikat antibiotika
β–laktam. Hal ini mengakibatkan cross-linking peptidoglikan tidak terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
sehingga dinding sel bakteri lemah, bakteri lisis, dan kemudian mati (Gordon,
2009 dan Woodin and Moririson, 1994).
Gambar 1. Peran penisilin dalam menghambat enzim transpeptidase dari pembentukan cross-link peptida di peptidoglikan (Kaiser, 2009)
Mekanisme lain untuk menghambat sintetis dinding bakteri sel adalah
dengan cara menghambat pertumbuhan peptidoglikan. Antibiotika yang
bekerja dengan mekanisme ini adalah vankomisin. Vankomisin mengikat erat
dan mencegah penggabungan prekursor sub-unit dari dinding sel, sehingga
prekusor tidak dapat bergabung ke dalam matriks peptidoglikan. Proses ini
menyebabkan sel lisis dan mati (Woodin and Moririson, 1994).
b. Menghambat sintetis protein
Penghambatan sintesis protein dapat mengakibatkan terganggunya proses
translasi atau penerjemahan kode genetik pada bakteri. Beberapa jenis
antibiotika bekerja pada ribosom 30S (aminoglikosida, tetrasiklin) dan ada pula
yang bekerja pada ribosom 50S (klindamisin, linkomisin, kloramfenikol,
eritromisin, klaritromisin). Beberapa antibiotika yang bekerja dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
mekanisme ini menyebabkan sintesis protein terhambat secara reversibel,
kecuali pada aminoglikosida. Aminoglikosida mengikat ribosom 30S secara
ireversibel yang kemudian menyebabkan sintesis protein bakteri menjadi
terhambat (Gordon, 2009).
c. Menghambat sintetis asam nukleat
Antibiotika yang bekerja pada mekanisme ini adalah golongan rifampin
dan kuinolon. Rifampin berikatan dengan RNA polimerase bakteri sehingga
menghambat sintesis mRNA (proses transkipsi). Sedangkan kuinolon berikatan
dengan DNA girase yang berfungsi memotong untai DNA sehingga mencegah
terjadinya superkoil, menguraikan DNA, dan menghentikan replikasi DNA
(Graumlich, 2003).
d. Menghambat metabolisme asam folat
Bakteri membutuhkan asam folat yang digunakan sebagai kofaktor enzim
untuk sintesis DNA dan RNA. Asam folat diperoleh bakteri dengan
mensintesis sendiri dari asam para amino benzoat (PABA). Antibiotika yang
bekerja pada mekanisme ini adalah golongan sulfonamida dan trimetoprim.
Sulfonamida mempunyai struktur yang mirip dengan enzim dihidropteroat
sintase, di mana enzim ini berfungsi untuk menggabungkan PABA menjadi
asam dihidropteroik (prekursor asam folat). Hal ini mengakibatkan penurunan
nukleotida bakteri yang merupakan bahan dalam sintesis DNA. Trimetoprim
menghambat enzim dihidrofolat reduktase sehingga tidak terjadi konversi dari
asam dihidrofolik menjadi asam tetrahidrofolik (Woodin and Moririson, 1994).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
B. Antibiotika Profilaksis
1. Definisi
Antibiotika profilaksis yaitu antibiotika yang diberikan sebelum terjadi
kontaminasi atau infeksi. Tujuan pemberian antibiotika profilaksis pada prosedur
operasi adalah untuk mencegah infeksi pada lokasi operasi setelah operasi,
mencegah morbiditas dan mortalitas akibat terjadinya infeksi, mengurangi durasi
dan biaya perawatan selama di rumah sakit (Kanji and Devlin, 2008 dan ASHP,
1999).
2. Prinsip pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis
akut
Untuk mencapai tujuan penggunaan antibiotika profilaksis yang
diinginkan, maka antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien operasi
apendisitis akut harus memenuhi prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. aktivitas antibiotika harus disesuaikan dengan kemungkinan terbesar
mikroorganisme patogen yang menginfeksi luka atau lokasi operasi (sefositin,
sefotetan, kombinasi ampisilin dengan metronidasol, atau kombinasi
gentamisin dengan metronidasol)
b. agen antimikroba harus dapat dihantarkan ke lokasi operasi 1 jam sebelum
operasi dimulai
c. dosis yang diberikan untuk jenis antibiotika profilaksis sefositin atau sefotetan
1-2 gram, kombinasi gentamisin dan metronidasol masing-masing 1,5-2
mg/kgBB dan 500 mg
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
d. dosis kedua antibiotika profilaksis diperlukan jika operasi berlangsung lebih
dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah selama proses operasi
berlangsung
e. antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah
operasi
(WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008, dan ASHP, 1999)
3. Antibiotika profilaksis pilihan
Pemberian antibiotika profilaksis sangat direkomendasikan pada prosedur
operasi apendisitis akut (SIGN, 2008). Risiko tingkat infeksi luka pada operasi
apendisitis akut dapat mencapai 7-30% sehingga penggunaan antibiotika
profilaksis sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi
(ASHP, 1999, Bauer, et al., 1989, dan Busuttil, et al., 1981). Pemilihan antibiotika
profilaksis ini bergantung pada bakteri patogen yang paling sering ditemukan
pada prosedur operasi, keamanan, efikasi, adanya dukungan pedoman atau
guideline dalam penggunaan suatu antibiotika profilaksis, dan biaya yang
dikeluarkan (Kanji and Devlin, 2008).
Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) merupakan golongan
antibiotika yang paling banyak direkomendasikan sebagai profilaksis pada operasi
apendisitis akut. Kombinasi gentamisin dan metronidasol juga dapat menjadi
pilihan sebagai profilaksis untuk pasien operasi apendisitis akut. Selain itu,
kombinasi ini dapat digunakan bagi pasien yang mengalami alergi terhadap
antibiotika golongan β–laktam (WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008, dan ASHP,
1999). Antibiotika profilaksis diberikan 1 jam sebelum operasi dan melalui cara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
pemberian intravena (IV) untuk memastikan kadar antibiotika yang cukup pada
lokasi bedah (Kanji and Devlin, 2008 dan ASHP, 1999).
Dosis antibiotika profilaksis golongan sefalosporin yang diberikan pada
pasien operasi apendisitis akut adalah sebesar 1-2 gram. Sedangkan gentamisin
diberikan pada dosis 1,5-2 mg / kgBB dan metronidasol diberikan pada dosis 500
mg. Penambahan dosis antibiotika profilaksis dalam prosedur operasi diperlukan
jika operasi berlangsung lebih dari 4 jam atau pasien kehilangan 1500 ml darah
selama proses operasi berlangsung (Kanji and Devlin, 2008, Kernodle and Kaiser,
2000, dan ASHP, 1999). Antibiotika profilakis dihentikan pemberiannya 24 jam
atau 1 hari setelah operasi dilakukan (WHO, 2009). Namun, pemberian
antibiotika profilaksis dapat dilanjutkan pada pasien yang ditemukan perforasi
atau gangraen (mikroperforasi) pada apendiksnya (Kanji and Devlin, 2008).
Infeksi pada luka operasi merupakan infeksi yang sering terjadi setelah
melakukan operasi apendisitis. Tingkat infeksi luka operasi pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut dapat mencapai 7- 30% (ASHP, 1999, Bauer, et
al., 1989 dan Busuttil, et al., 1981). Tanda-tanda klinis luka operasi apendisitis
yang mulai terinfeksi adalah terjadinya pembengkakan dan warna kemerahan
pada daerah yang disayat, muncul rasa sakit di daerah sayatan, atau daerah
sayatan operasi apendisitis mengeluarkan cairan atau nanah. Tanda-tanda ini
muncul dalam waktu 30 hari setelah operasi dilakukan (Mangram, Horan,
Pearson, Silver, and Jarvis, 1999).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
4. Mekanisme kerja antibiotika profilaksis
Suatu antibiotika idealnya mempunyai aktivitas bakterisidal atau
membunuh bakteri untuk mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika
yang mempunyai aktivitas bakterisidal diantaranya adalah penisilin, sefalosporin,
monobaktam, kuinolon, dan vankomisin (James and Martinez, 2008). Pada
operasi apendisitis akut, Bacteroides fragilis (bakteri anaerob) dan Escherichia
coli (bakteri gram negatif) merupakan jenis bakteri yang paling banyak ditemukan
pada kultur infeksi luka setelah operasi (Laterre, et al., 2006 dan ASHP, 1999).
Sefalosporin generasi kedua (sefositin, sefotetan) bekerja sangat aktif dalam
membunuh bakteri gram negatif dan bakteri anaerob tersebut. Oleh karena itu,
sefalosporin generasi kedua banyak direkomendasikan sebagai antibiotika
profilaksis pada operasi apendisitis akut (WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008,
dan ASHP, 1999). Antibiotika ini menghambat cross-linking peptidoglikan
sehingga dinding sel bakteri menjadi lemah, bakteri lisis, dan kemudian mati
(Woodin and Moririson, 1994 dan Kalman and Barriere, 1990).
Agen lain yang dapat digunakan sebagai profilaksis pada operasi
apendisitis akut adalah kombinasi gentamisin dengan metronidasol. Gentamisin
merupakan suatu aminoglikosida yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan
mekanisme pengikatan ribosom 30S secara ireversibel sehingga mengakibatkan
sintesis protein bakteri menjadi terhambat. Gentamisin memiliki aktifitas terhadap
bakteri gram negatif, seperti Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Proteus,
Acinetobacter, dan Enterobacter. Selain itu gentamisin juga dapat melawan
Staphylococcus aureus. Metronidasol aktif melawan bakteri anaerob dan sebagian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
besar protozoa. Mekanismenya dalam melawan bakteri anaerob adalah dengan
menembus atau berdifusi ke dalam sel bakteri kemudian metronidasol mengalami
reduksi menjadi suatu bentuk radikal bebas. Radikal bebas metronidasol ini
mengakibatkan kerusakan DNA bakteri (Gordon, 2009 dan Graumlich, 2003).
C. Apendisitis Akut
1. Definisi
Apendisitis akut merupakan peradangan akut yang disertai rasa nyeri pada
apendiks dan menjadi penyebab tertinggi kasus nyeri akut abdomen (Laal and
Mardanloo, 2009 dan McCollough and Sharieff, 2003). Setiap orang dapat
menderita apendisitis akut, akan tetapi penyakit ini lebih sering terjadi pada
individu-individu yang berusia 10-30 tahun (NDDIC, 2007). Baik pria maupun
wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk menderita apendisitis akut,
dengan perbandingan jumlah antara pasien pria dan wanita sebanding (Craig and
Santacrose, 2006).
Penyebab utama terjadinya apendisitis akut adalah penyumbatan
(obstruksi) lumen apendiks yang diikuti dengan terjadinya peradangan akut.
Penyumbatan lumen apendiks dapat disebabkan oleh adanya fekalit (material
fekal), hiperplasia limfoid, adanya benda asing atau adanya tumor pada dinding
apendiks (Kozar and Roslyn, 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
2. Klasifikasi
Berdasarkan hispatologinya apendisitis diklasifikasikan menjadi:
a. Apendisitis akut:
1). Apendisitis akut sederhana
Peradangan yang terjadi pada apendiks.
2). Apendisitis akut supuratif
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai dengan edema, bakteri
normal yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks.
3). Apendisitis akut gangrenosa
Bertambahnya tekanan intraluminal yang terus menerus mengakibatkan
gangguan fungsi peredaran darah setempat, sehingga membentuk suatu
infark yang disebabkan oleh pasokan darah yang tidak memadai.
Akibatnya, apendiks menjadi berwarna merah tua dan padat dengan area
nekrosis berwarna hitam.
b. Apendisitis perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren
sehingga menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut. Hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya peritonitis umum.
c. Apendisitis kronis
Apendisitis kronis adalah peradangan apendiks selama jangka waktu tertentu.
Diagnosis appendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika ada riwayat serangan
nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari tiga minggu.
(Chalazonitis, et al., 2008 dan Ishikawa, 2003)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
3. Keluhan
Nyeri perut merupakan keluhan utama yang dirasakan oleh seseorang yang
menderita apendisitis akut. Pada awalnya nyeri dapat terjadi pada perut bagian
atas, kemudian nyeri bermigrasi perlahan dan melokalisasi di perut bagian kanan
bawah (Old, Dusing, Yap, and Dirks, 2005). Rasa nyeri yang dirasakan pasien
dapat berupa rasa nyeri yang ringan hingga berat dan rasa nyeri ini dapat
bertambah hebat apabila pasien bergerak. Selain rasa nyeri di bagian perut,
keluhan lain yang biasa dirasakan oleh penderita apendisitis akut adalah demam
ringan (37,50-38,50C), mual, muntah, diare, konstipasi, dan kadang juga disertai
dengan hilangnya nafsu makan (Ishikawa, 2003 dan Kozar and Roslyn, 2003).
4. Penatalaksanaan terapi
Operasi pengangkatan apendiks atau operasi apendisitis merupakan
penatalaksanaan utama bagi seseorang yang mengalami apendisitis akut. Operasi
ini dapat berupa operasi apendisitis akut terbuka atau laparaskopi apendisitis.
Persiapan sebelum operasi pada pasien terdiri dari hidrasi yang memadai dan
pemberian antibiotika profilaksis. Pada pasien yang menjalani operasi apendisitis
akut diberikan antibiotika profilaksis, seperti sefositin atau sefotetan untuk
mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika profilaksis dihentikan
pemberiannya 24 jam setelah operasi dilakukan. Jika ditemukan perforasi atau
gangraen pada apendiksnya, pemberian antibiotika dapat dilanjutkan lebih dari 24
jam setelah operasi hingga pasien sudah tidak mengalami demam dan mempunyai
jumlah leukosit yang normal (Humes and Simpson, 2006 dan Kozar and Roslyn,
2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
D. Operasi Apendisitis Akut
Operasi apendisitis merupakan penanganan apendisitis yang dilakukan
dengan jalan operasi untuk mengangkat atau membuang apendiks (Kozar and
Roslyn, 2003). Operasi apendisitis akut harus segera dilakukan untuk mencegah
terjadinya komplikasi yang lebih buruk. Hal ini dikarenakan apendisitis akut
mempunyai risiko untuk berkembang menjadi apendisitis perforasi pada setiap 12
jam berikutnya setelah timbulnya gejala (Busch, et al., 2011, Papaziogas, et al.,
2009, dan Ditillo, et al., 2006). Perforasi atau pecahnya apendiks ini dapat
memungkinkan terjadinya komplikasi seperti peritonitis umum atau abses.
Operasi pada kasus apendisitis akut dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu
operasi apendisitis akut terbuka dan laparaskopi apendisitis. Operasi apendisitis
akut terbuka maupun laparaskopi apendisitis menggunakan antibiotika profilaksis
pada 1 jam sebelum operasi dimulai. Antibiotika profilaksis yang diberikan dapat
berupa sefositin atau sefotetan dalam dosis 1-2 gram. Sedangkan bagi pasien yang
mengalami alergi terhadap antibiotika golongan β-laktam dapat diberikan
kombinasi gentamisin dan metronidasol, masing-masing dalam dosis 1,5-2
mg/kgBB dan 500 mg (Kanji and Devlin, 2008, Omran, 2008, dan Kernodle and
Kaiser, 2000).
Operasi apendisitis terbuka dilakukan dengan membuat sebuah sayatan
dengan panjang sekitar 2-4 inci pada bagian kanan bawah abdomen dan appendiks
dipotong melalui lapisan lemak dan otot apendiks atau usus buntu. Kemudian
apendiks diangkat atau dipisahkan dari usus. Sedangkan laparaskopi merupakan
teknik yang paling sederhana untuk penanganan apendisitis. Dokter bedah akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
membuat 1 hingga 3 sayatan kecil di perut. Sebuah pipa semprot dimasukkan ke
dalam salah satu celah, dan gas CO2 memompa abdomen. Kemudian sebuah
laparascope dimasukkan ke celah yang lain. Peralatan bedah ditempatkan di
bagian terbuka (celah) yang kecil dan digunakan untuk mengangkat apendiks
(Kozar and Roslyn, 2003).
E. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan, masukan,
maupun salah satu sumber informasi untuk memperbaiki dan meningkatkan
kualitas pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penggunaan antibiotika
profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian non-eksperimental sebab
observasinya dilakukan secara apa adanya, tanpa ada manipulasi atau intervensi
serta perlakuan dari peneliti (Notoatmodjo, 2010). Rancangan penelitian termasuk
dalam deskriptif evaluatif karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi aktual
secara rinci sehingga dapat melukiskan fakta atau karakteristik populasi yang ada,
mengidentifikasi masalah yang terjadi, kemudian melakukan evaluasi atau
penilaian dari data yang telah dikumpulkan (Hasan, 2002). Penelitian ini bersifat
retrospektif, yaitu pengambilan data dilakukan dengan melakukan penelusuran
data masa lalu pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih
pada catatan rekam medis yang diperoleh dari Instalasi Rekam Medis RS Panti
Rapih.
B. Definisi Operasional
1. Pasien adalah seseorang yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti
Rapih tahun 2009, menggunakan antibiotika profilaksis dan memiliki data
rekam medis yang lengkap.
2. Operasi adalah operasi apendisitis akut yang berlangsung di RS Panti Rapih
tahun 2009.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
3. Antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu antibiotika yang digunakan
sebelum maupun sesudah operasi apendisitis akut yang bertujuan untuk
mencegah infeksi setelah operasi.
4. Catatan rekam medik adalah catatan pengobatan dan perawatan pasien yang
memuat data nomor rekam medik, usia, jenis kelamin, diagnosis sebelum dan
sesudah operasi, tanggal operasi, jam operasi, jenis tindakan operasi, data
laboratorium, instruksi dokter, catatan keperawatan, catatan penggunaan obat,
lama keperawatan, riwayat pengobatan yang diterima, dan pemeriksaan fisik
pasien seperti tekanan darah, nadi, dan suhu badan.
5. Pedoman wawancara adalah susunan garis-garis besar pertanyaan yang
digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan wawancara mendalam.
6. Jenis antibiotika profilaksis yang dimaksud yaitu macam antibiotika yang
digunakan sebagai profilaksis, misalnya sefositin, sefotetan, kombinasi
gentamisin dan metronidasol.
7. Waktu pemberian adalah berapa jam pemberian antibiotika profilaksis
sebelum operasi atau setelah operasi.
8. Cara pemberian adalah intravena atau per oral.
9. Lama pemberian yaitu jumlah hari dimana pasien mendapatkan antibiotika
profilaksis.
10. Keluhan pasien adalah segala sesuatu yang dirasakan pasien terkait dengan
timbulnya gejala apendisitis akut.
11. Lama keluhan yaitu jumlah jam atau hari dimana pasien merasakan timbulnya
gejala apendisitis akut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
12. Lama perawatan pasien yaitu jumlah hari dimana pasien dirawat, dihitung
mulai dari pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan keluar atau pulang dari
rumah sakit.
C. Subyek Penelitian
Subjek penelitian yang termasuk dalam kriteria inklusi adalah pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 dan
menggunakan antibiotika profilaksis. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah
operasi apendisitis akut yang dilakukan bersama dengan prosedur operasi lainnya.
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan adalah:
Data yang terdapat dalam kartu rekam medik pasien di RS Panti Rapih
tahun 2009, resep, kartu permintaan obat dari bangsal, dan kartu permintaan obat
dari kamar bedah.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan adalah:
1. Lembar kerja untuk pengumpulan data.
2. Pedoman wawancara dengan dua orang dokter bedah di RS Panti Rapih.
3. Pedoman wawancara dengan Kepala Instalasi Farmasi di RS Panti Rapih.
4. Pedoman wawancara dengan Wakil Kepala Kamar Bedah di RS Panti Rapih.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
F. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Panti Rapih, Jalan Cik Ditiro
No.30, Yogyakarta.
G. Tata Cara Penelitian
Jalannya penelitian meliputi 3 tahap yaitu tahap persiapan, tahap
pengambilan data, dan tahap penyelesaian data.
1. Tahap persiapan
Tahap persiapan dimulai dengan studi pustaka mengenai penggunaan
antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut dan
menentukan permasalahan serta cara menganalisis masalah tersebut. Selanjutnya
dilakukan pencarian informasi mengenai kemungkinan dapat tidaknya melakukan
penelitian di RS Panti Rapih dan mengurus perizinan untuk mendapatkan izin
penelitian.
2. Tahap pengambilan data
Pengambilan data diawali dengan penelusuran jumlah subjek penelitian
berdasarkan diagnosis yang tertulis pada rekam medis. Dari penelusuran tersebut
diketahui jumlah subjek, nomor rekam medis, tanggal operasi, nama dokter, dan
jenis kelamin pasien. Setelah diketahui jumlah subjek lalu dilakukan pencatatan
data rekam medis pada lembar pencatatan yang berisi nomor rekam medis,
diagnosis sebelum dan setelah operasi, tanggal pasien melakukan rawat inap,
tanggal pasien dioperasi, jam operasi, tanggal pasien keluar dari rumah sakit, usia,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
jenis kelamin, keluhan, riwayat penyakit, data laboratorium, jenis antibiotika
profilaksis yang digunakan, waktu, cara, dosis, dan lama pemberiannya.
3. Tahap penyelesaian data
Data yang telah diperoleh dikelompokkan berdasarkan karakteristik
demografi pasien (usia, jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan
pasien), pola penggunaan antibiotika profilaksis (jenis antibiotika, waktu, cara,
dosis, dan lama pemberian), serta kesesuaian pemilihan dan penggunaan
antibiotika profilaksisnya. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika
profilaksis disajikan dalam bentuk narasi dengan menyertakan testimoni yang
mendukung.
H. Tata Cara Analisis Hasil
Data yang telah diperoleh dievaluasi menggunakan Standar Pelayanan
Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum, yaitu WHO Guidelines for Safe
Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin,
2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999). Kemudian data disajikan
dalam bentuk tabel dan atau diagram.
Tata cara analisis sebagai berikut:
1. Jumlah pasien operasi apendisitis akut
Analisis data jumlah pasien operasi apendisitis akut dilakukan dengan
menghitung jumlah pasien operasi apendisitis akut selama tahun 2009. Kemudian
dari seluruh jumlah pasien yang menjalani operasi apenisitis akut, dihitung jumlah
pasien yang menerima maupun yang tidak menerima antibiotika profilaksis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
2. Karakteristik demografi pasien
Analisis data karakteristik demografi pasien dilakukan berdasarkan usia,
jenis kelamin, keluhan, lama keluhan, dan lama perawatan pasien.
a. Distribusi pasien pada tiap kelompok usia. Kelompok usia pasien
dibagi secara rasional menjadi 7 kelompok dengan menggunakan rumus Struges
(Budiarto, 2001), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II (17-25 tahun), III (26-34
tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61 tahun), dan VII (62-70
tahun). Persentase masing-masing kelompok umur dihitung dengan cara
menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total pasien (n=
82) dan dikalikan dengan 100%.
b. Distribusi pasien pada tiap jenis kelamin. Jenis kelamin pasien terdiri
dari laki-laki dan perempuan. Persentase masing-masing jenis kelamin dihitung
dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi dengan jumlah total
pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.
c. Distribusi pasien pada tiap keluhan apendisitis akut. Keluhan
apendisitis akut terdiri dari nyeri perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C -
38,50C), mual, muntah, dan diare. Persentase masing-masing keluhan apendisitis
akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi
dengan jumlah total pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.
d. Distribusi pasien pada tiap lama keluhan apendisitis akut. Lama
keluhan pasien dihitung dari saat timbulnya gejala yang dirasakan hingga sebelum
pasien datang ke rumah sakit. Persentase masing-masing lama keluhan apendisitis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
akut dihitung dengan cara menghitung jumlah pasien tiap kelompok dibagi
dengan jumlah total pasien (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.
e. Rata-rata lama perawatan pasien. Lama perawatan pasien dihitung dari
tanggal pasien masuk ke rumah sakit sampai dengan tanggal pasien keluar atau
pulang dari rumah sakit. Rata-rata lama perawatan dihitung dengan cara
menghitung jumlah keseluruhan lama perawatan pasien operasi apendisitis akut
kemudian dibagi dengan jumlah total pasien operasi apendisitis akut (n= 82).
3. Jenis, waktu, cara, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis
Analisis data dilakukan dengan cara mengelompokkan berdasarkan jenis
antibiotika, waktu, cara dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis.
a. Jenis antibiotika. Persentase masing-masing jenis antibiotika profilaksis
dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap jenis antibiotika
profilaksis dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.
b. Waktu pemberian. Waktu pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari
≤ 1 jam sebelum operasi, > 1 jam sebelum operasi, dan setelah operasi. Persentase
masing-masing kelompok waktu pemberian antibiotika profilaksis dihitung
dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah
total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.
c. Cara pemberian. Cara pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari per
oral (PO) dan intravena (IV). Persentase masing-masing kelompok cara
pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus
pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan
dengan 100%.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
d. Dosis pemberian. Dosis pemberian antibiotika profilaksis ditulis
berdasarkan besarnya dosis tiap jenis antibiotika profilaksis yang tercantum pada
lembar rekam medis. Persentase masing-masing dosis pemberian antibiotika
profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus pada tiap dosis
pemberian dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan dengan 100%.
e. Lama pemberian. Lama pemberian antibiotika profilaksis terdiri dari
pemberian 1 hari dan > 1 hari. Persentase masing-masing kelompok lama
pemberian antibiotika profilaksis dihitung dengan cara menghitung jumlah kasus
pada tiap kelompok dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan dikalikan
dengan 100%.
4. Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis
Kesesuaian pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis ditinjau
berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis, dan lama
pemberian antibiotika profilaksis yang dibandingkan dengan Standar Pelayanan
Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009),
Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP
Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999).
Persentase penggunaan antibiotika profilaksis yang sesuai maupun tidak
sesuai dihitung berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu, cara dosis,
dan lama pemberian antibiotika profilaksis. Cara perhitungannya adalah dengan
menghitung jumlah kasus pada tiap penggunaan antibiotika profilaksis yang
sesuai maupun tidak sesuai berdasarkan pada jenis antibiotika profilaksis, waktu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
cara dosis, dan lama pemberiannya, dibagi dengan jumlah total kasus (n= 82) dan
dikalikan dengan 100%.
5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis
Analisis faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis
dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam terhadap dokter bedah yang
menggunakan antibiotika profilaksis, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala
Kamar Bedah. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis disajikan dalam bentuk
narasi dengan menyertakan testimoni yang mendukung.
I. Kesulitan Penelitian
Kesulitan dalam penelitian ini adalah adanya data dalam lembar rekam
medis yang kurang lengkap sehingga dilakukan konfirmasi menggunakan lembar
resep dan kartu permintaan obat dari kamar bedah atau bangsal. Selain itu, waktu
efektif pengambilan data singkat (3,5 jam) sehingga peneliti membuat lembar
kerja yang berisi tabel-tabel data agar pengambilan data lebih cepat dan teratur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Jumlah Pasien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 94 pasien yang menjalani
operasi apendistis akut pada tahun 2009 di RS Panti Rapih. Dari 94 pasien
tersebut, sebanyak 82 pasien menerima antibiotika profilaksis dan 12 pasien tidak
menerima antibiotika profilaksis. Berdasarkan kondisi setelah operasinya, dari 12
pasien yang tidak menerima antibiotika profilaksis terdapat 50% pasien yang luka
operasinya tidak baik. Pasien mengeluarkan cairan atau nanah di daerah
sayatannya dengan disertai dengan rasa nyeri. Sedangkan dari 82 pasien yang
menerima antibiotika profilaksis hanya terdapat 9% pasien yang mengeluarkan
cairan atau nanah dengan disertai rasa nyeri pada daerah sayatan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pasien yang tidak menerima antibiotika
profilaksis memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap terjadinya infeksi luka
operasi dibandingkan dengan pasien yang menerima antibiotika profilaksis.
Pasien yang tidak menerima antibiotika profilaksis tidak mendapat perlindungan
dari terjadinya infeksi selama operasi berlangsung hingga operasi selesai
dilakukan. Hal ini dikarenakan pada saluran pencernaan, terutama di bagian usus,
terdapat sejumlah besar populasi mikroorganisme yang berpotensi menyebabkan
infeksi (Kanji and Devlin, 2008 dan Gorbach, 1991). Oleh sebab itu, antibiotika
profilaksis harus selalu digunakan pada operasi apendisitis akut sehingga pasien
dapat terlindungi dari hadirnya bakteri penyebab infeksi dan mencegah terjadinya
infeksi setelah operasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
B. Karakteristik Demografi Pasien
1. Usia pasien
Hasil penelitian menunjukkan 82 pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut berusia antara 8 hingga 68 tahun. Dari 82 pasien tersebut, usia
pasien operasi apendisitis akut dikategorikan menjadi 7 kelompok usia dengan
menggunakan rumus Struges (Budiarto, 2001), yaitu: kelompok I (8-16 tahun), II
(17-25 tahun), III (26-34 tahun), IV (35-43 tahun), V (44-52 tahun), VI (53-61
tahun), dan VII (62-70 tahun). Dari 7 kelompok tersebut, kelompok II (17-25
tahun) merupakan kelompok dengan jumlah pasien terbesar, yaitu 50% (n= 82).
Pada urutan kedua terdapat kelompok III (26-34 tahun) sebesar 19% dan di urutan
ketiga terdapat kelompok I (8-16 tahun) sebesar 15%, seperti terlihat pada tabel II
dan gambar 2.
Dari kelompok II, dapat diketahui bahwa usia 22 tahun merupakan usia
yang paling banyak muncul. Hal ini sesuai dengan National Digestive Diseases
Information Clearinghouse (2007) yang menjelaskan bahwa apendisitis akut lebih
sering diderita oleh orang yang berusia di antara 10 hingga 30 tahun. Penyebab
utama dan tersering apendisitis akut adalah obstruksi pada apendiks oleh adanya
fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid, di mana hiperplasia jaringan limfoid
banyak terjadi pada masa anak-anak hingga dewasa muda dan menurun secara
bertahap setelah usia 30 tahun (Banieghbal and Lakhoo, 2011).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Tabel I. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009
Kelompok Usia Jumlah Pasien % (n= 82)
I (8-16 tahun) 12 15% II (17-25 tahun) 41 50% III (26-34 tahun) 16 19% IV (35-43 tahun) 7 9% V (44-52 tahun) 3 4% VI (53-61 tahun) 2 2% VII (62-70 tahun) 1 1%
Gambar 2. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut kelompok usia di RS Panti Rapih tahun 2009
2. Jenis kelamin pasien
Pada penelitian ini, persentase pasien laki-laki yang menjalani operasi
apendisitis sebesar 55% (n= 82) dan pasien perempuan sebesar 45%, dengan rasio
keduanya adalah 1,22 : 1. Rasio yang hampir sama antara jumlah pasien laki-laki
dan perempuan ini menunjukkan bahwa baik laki-laki maupun perempuan
mempunyai kesempatan atau faktor risiko yang sama untuk mengalami apendisitis
akut (Craig and Santacrose, 2006).
05
10152025303540455055
8-16 tahun
17-25 tahun
26-34 tahun
35-43 tahun
44-52 tahun
53-61 tahun
62-70 tahun
15%
50%
19%
9%4% 2% 1%
Pers
enta
se ju
mla
h pa
sien
(%)
Kelompok usia
8-16 tahun17-25 tahun26-34 tahun35-43 tahun44-52 tahun53-61 tahun62-70 tahun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
45%
55%
Gambar 3. Distribusi jumlah pasien apendisitis akutmenurut jenis kelamin di RS Panti Rapih tahun 2009
Perempuan
Laki-laki
Tabel II. Distribusi jumlah pasien apendisitis akut menurut jenis kelamin di RS Panti Rapih tahun 2009
Jenis Kelamin Jumlah Pasien % (n= 82)
Wanita 37 45% Laki-laki 45 55%
3. Keluhan pasien
Keluhan yang dirasakan pasien terkait dengan timbulnya gejala apendisitis
akut sangat bervariasi. Pada penelitian ini, keluhan yang dirasakan adalah nyeri
perut di bagian kanan bawah, demam (37,40C - 38,50C), mual, muntah, dan diare.
Keluhan dari pasien ini sesuai dengan gejala-gejala klinis ketika seseorang
menderita apendisitis akut, yaitu pasien mengalami nyeri di bagian perut
(terutama perut bagian kanan bawah), demam ringan (37,50C - 38,50C), mual,
muntah, diare, dan terkadang disertai dengan hilangnya nafsu makan (Ishikawa,
2003 dan Kozar and Roslyn, 2003).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 82 pasien apendisitis akut
mengeluhkan rasa nyeri perut di bagian kanan bawah. Nyeri perut di bagian kanan
bawah ini berkaitan dengan letak apendiks yang berada di posisi anterior (depan)
perut kanan bawah, sehingga ketika apendiks mengalami inflamasi dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
menimbulkan rasa sakit maka pasien akan menderita rasa nyeri di daerah tersebut
(Kozar and Roslyn, 2003).
Tabel III. Distribusi jumlah pasien operasi apendisitis akut menurut jenis keluhan di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Jenis Keluhan Jumlah Pasien % (n= 82) 1. Nyeri perut bagian
kanan bawah Ya 82 100%
Tidak 0 0% 2. Demam Ya 45 55%
Tidak 37 45% 3. Mual/muntah Ya 34 41%
Tidak 48 59% 4. Diare Ya 11 13%
Tidak 71 87% 4. Lama keluhan pasien
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama keluhan pasien paling banyak
adalah ≤ 1 hari, yaitu sebesar 65% (n= 82), seperti terlihat pada tabel IV.
Berdasarkan diagnosis setelah operasi, terdapat 2 pasien yang mengalami
perforasi dan gangraen (mikroperforasi) pada apendiksnya, masing-masing
dengan lama keluhan 5 hari dan 1 minggu. Sedangkan pada lama keluhan ≤ 1 hari
hingga 4 hari tidak ada pasien yang mengalami perforasi pada apendiksnya. Hal
ini menunjukkan lama keluhan yang dirasakan pasien berhubungan dengan
seberapa jauh apendisitisnya sudah berkembang. Apendisitis akut dapat
berkembang menjadi apendisitis perforasi dan risiko terjadinya perforasi
meningkat setiap 12 jam setelah timbulnya gejala pada pasien yang tidak
mendapat penanganan berupa operasi (Papaziogas, Tsiaousis, Koutelidakis,
Giakoustidis, Atmatzidis, and Atmatzidis, 2009). Oleh sebab itu, operasi harus
sesegera mungkin dilakukan pada pasien yang menderita apendisitis akut untuk
mencegah berkembangnya penyakit ke arah lebih serius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Tabel IV. Distribusi jumlah pasien di RS Panti Rapih tahun 2009 menurut lamanya keluhan sakit
No. Lama Keluhan Jumlah Pasien % (n= 82) 1. ≤ 1 hari 53 65% 2. 2 hari 16 20% 3. 4 hari 10 12% 4. 5 hari 1 1% 5. 1 minggu 2 2%
5. Lama perawatan pasien
Lama perawatan berkisar 2-5 hari, dengan rata-rata 2-3 hari. Lama
perawatan yang tidak panjang dan pemulangan yang lebih awal membuat pasien
dapat segera kembali melakukan aktifitas normalnya. Selain itu, dapat pula
mencegah terjadinya infeksi nosokomial dan mengurangi biaya rumah sakit
dibandingkan dengan lama perawatan lebih dari 3 hari. Dengan demikian, lama
perawatan yang tidak panjang (kurang dari 3 hari) lebih aman dan dapat
meningkatkan kepuasan pasien maupun keluarganya terhadap pelayanan rumah
sakit (Krismanuel, 2010).
C. Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis
2. Jenis antibiotika
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis antibiotika profilaksis yang
paling banyak digunakan adalah seftriakson, yaitu sebesar 70% (n= 82).
Kemudian diikuti oleh antibiotika sefotaksim sebesar 12%, linkomisin sebesar
9%, dan seftazidim sebesar 2%. Sedangkan pasien yang menerima kombinasi
antibiotika dengan antiprotozoa (gentamisin dan metronidasol) sebesar 7%.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Tabel V. Distribusi jenis antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal pada pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Jenis Antibiotika Jumlah Kasus % (n= 82) 1. Seftriakson 57 70% 2. Sefotaksim 10 12% 3. Seftazidim 2 2% 4. Linkomisin 7 9%
TOTAL 76 93% Seperti halnya antibiotika β-laktam lain, seftriakson juga mempunyai
aktivitas bakterisidal yang penting dalam mekanisme kerja antibiotika profilaksis
(Levison, 2004 dan ASHP, 1986). Sebagai antibiotika bakterisidal, seftriakson
aktif membunuh bakteri gram negatif dengan cara menghambat cross-linking
peptidoglikan pada sintesis dinding sel bakteri sehingga dinding sel bakteri lemah,
bakteri lisis, dan akhirnya mati (Gordon, 2009, Graumlich, 2003, dan Woodin,
and Moririson, 1994). Mekanisme dan aktifitas seftriakson ini mampu
menurunkan jumlah bakteri penyebab infeksi yang hadir pada lokasi operasi
sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi dapat diminimalkan. Selain itu,
seftriakson mempunyai waktu paruh eliminasi yang panjang dan jarang
menimbulkan reaksi silang alergi dibandingkan jenis sefalosporin lainnya
sehingga seftriakson banyak digunakan sebagai antibiotika profilaksis pada
operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih.
2. Waktu pemberian
Pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di
RS Panti Rapih ada yang dilakukan sebelum operasi dan setelah operasi.
Antibiotika profilaksis yang diberikan sebelum operasi adalah seftriakson,
sefotaksim, seftazidim, dan kombinasi gentamisin dengan metronidasol.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Sedangkan antibiotika profilaksis yang diberikan setelah operasi dilakukan adalah
linkomisin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika profilaksis yang
diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi lebih banyak daripada antibiotika
profilaksis yang diberikan kurang dari 1 jam sebelum operasi dan setelah operasi.
Antibiotika profilaksis yang diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi sebesar
49% (n= 82). Sedangkan antibiotika profilakis yang diberikan kurang dari 1 jam
sebelum operasi dan setelah operasi, masing-masing sebesar 43% dan 9%.
Tabel VI. Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi dan setelah operasi di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Antibiotika
Profilaksis Jumlah Kasus
≤ 1 jam sebelum operasi
> 1 jam sebelum operasi
Setelah operasi
1. Seftriakson 27 30 0 2. Sefotaksim 4 6 0 3. Seftazidim 2 0 0 4. Linkomisin 0 0 7 5. Gentamisin dan
metronidasol 2 4 0
TOTAL 35 40 7
% (n= 82) 43% 49% 9%
Pemberian antibiotika profilaksis yang terlalu awal (lebih dari 1 jam
sebelum operasi) dapat mengakibatkan konsentrasi antibiotika profilaksis yang
tidak memadai dalam darah dan jaringan (Kanji and Devlin, 2008 dan ASHP,
1999). Oleh karena itu, efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari
bakteri penyebab infeksi menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi
setelah operasi pun dapat meningkat. Sedangkan pada pasien yang menerima
antibiotika setelah operasi menunjukkan tidak terdapatnya konsentrasi agen
profilaksis dalam darah dan jaringan selama operasi berlangsung hingga selesai
dilakukan (Steinberg, et al., 2009 dan Classen, et al., 1992). Hal ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
mengakibatkan pasien tidak mendapatkan perlindungan dari hadirnya bakteri
penyebab infeksi sehingga memperbesar risiko terjadinya infeksi setelah operasi.
3. Cara pemberian
Pada penelitian ini, pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi
apendisitis akut dilakukan dengan cara pemberian melalui intravena (IV) dan per
oral (PO). Antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena (IV) adalah
seftriakson, sefotaksim, seftazidim, dan kombinasi gentamisin dengan
metronidasol. Sedangkan linkomisin diberikan secara per oral (PO) dengan waktu
pemberian setelah operasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 91% (n=
82) pemberian antibiotika profilaksis diberikan melalui intravena (IV), sedangkan
pemberian secara per oral (PO) hanya sebesar 9%, seperti terlihat pada tabel VIII.
Hal ini menunjukkan pemberian antibiotika profilaksis melalui intravena (IV)
lebih banyak dibandingkan pemberian secara per oral (PO).
Pemberian antibiotika profilaksis secara intravena (IV) memudahkan
tercapainya konsentrasi antibiotika yang tinggi dalam darah dan lokasi operasi
(ASHP, 1999). Hal ini dikarenakan antibiotika tidak mengalami proses absorpsi
terlebih dahulu di saluran gastrointestinal, tetapi langsung masuk ke sirkulasi
sistemik setelah diadministrasikan. Akibatnya konsentrasi antibiotika dalam darah
dan jaringan pun dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat (Bryant,
Knights, and Salerno, 2010 dan Hessen and Kaye, 2004). Sebaliknya, antibiotika
profilaksis yang diberikan secara per oral harus melalui proses absorpsi terlebih
dahulu sehingga untuk mencapai konsentrasi antibiotika dalam darah dan jaringan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian intravena
(IV).
Tabel VII. Distribusi cara pemberian antibiotika per oral dan intravena di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Antibiotika Profilaksis Cara
Pemberian Jumlah Kasus % (n= 82)
1. Linkomisin Per oral (PO) 7 9% 2. Seftriakson, sefotaksim,
seftazidim, dan gentamisin-metronidasol
Intravena (IV) 75 91%
4. Dosis pemberian
Dosis pemberian antibiotika seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim
sebagai profilakis pada pasien operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih adalah 1
gram hingga 2 gram untuk pasien dewasa dan anak-anak dengan usia lebih dari 12
tahun. Pada pasien anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun, seftriakson
diberikan pada dosis 1,5 gram. Antibiotika profilaksis linkomisin diberikan pada
dosis 500 mg secara per oral. Sedangkan pada kombinasi antibiotika dengan
antiprotozoa diketahui bahwa gentamisin diberikan dalam dosis 80 mg dan
metronidasol pada dosis 500 mg.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika profilaksis paling banyak
diberikan dalam dosis 2 gram, yaitu pada seftriakson sebesar 38% (n= 82) dan
sefotaksim sebesar 7%. Sedangkan pemberian dalam dosis 1 gram menempati
urutan kedua, yaitu pada seftriakson sebesar 20% dan sefotaksim sebesar 5%,
seperti terlihat pada tabel IX. Pemberian antibiotika sefalosporin dalam dosis 1-2
gram sudah mampu mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Antibiotika
sefalosporin, khususnya seftriakson, memiliki konsentrasi yang memadai dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
darah dan jaringan untuk melawan bakteri penyebab infeksi setelah pemberian
dalam dosis 1 gram maupun 2 gram (Martin, et al., 1996 dan Pollock, Tee, Patel,
Spicehandler, Simberkoff, and Rahal, 1982). Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian antibiotika sefalosporin dalam dosis 1 gram atau 2 gram dapat
digunakan untuk melawan bakteri penyebab infeksi sehingga kejadian infeksi
setelah operasi dapat dihindari.
Tabel VIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Antibiotika Profilaksis Dosis Pemberian Jumlah Kasus % (n= 82)
1. Seftriakson 1,5 gram 1 gram 2 gram
10 16 31
12% 20% 38%
2. Sefotaksim 1 gram 2 gram
4 6
5% 7%
3. Seftazidim 1 gram 2 2% 4. Linkomisin 500 mg 7 9% 5. Gentamisin dan
metronidasol 80 mg dan 500 mg
6 7%
5. Lama pemberian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa antibiotika profilaksis paling banyak
dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi pada pasien operasi apendisitis
akut, yaitu sebesar 56% (n= 82). Sedangkan antibiotika profilaksis yang diberikan
selama lebih dari 24 jam setelah operasi sebesar 44%, seperti terlihat pada tabel
X. Pemberian antibiotika profilakis lebih dari 24 jam tidak memberikan
perlindungan tambahan dari risiko terjadinya infeksi dibandingkan antibiotika
yang dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi (Ward, Smith, Shaikh, and
Yalamarthi, 2009 dan Dellinger, et al., 1994). Hal ini menunjukkan keduanya
mempunyai efikasi yang relatif sama, sehingga pemberian antibiotika profilaksis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
tidak lebih dari 24 jam setelah operasi sudah memadai untuk mencegah infeksi.
Demikian pula, dengan menghentikan pemberian antibiotika profilaksis 24 jam
setelah operasi dapat mencegah terjadinya resistensi mikroorganisme yang
merupakan risiko dari pemberian antibiotika yang terlalu lama. Selain itu, tidak
menambah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien akibat penggunaan
obat selama di rumah sakit (James and Martinez, 2008 dan Kanji and Devlin,
2008).
Tabel IX. Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24 jam dan lebih dari 24 jam di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Antibiotika Profilaksis Jumlah Kasus
24 jam > 24 jam 1. Seftriakson 35 22 2. Sefotaksim 7 3 3. Seftazidim 0 2 4. Linkomisin 0 7 5. Gentamisin dan metronidasol 4 2
TOTAL 46 36
% (n= 82) 56% 44%
D. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis
2. Jenis antibiotika
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 93% (n= 82) jenis antibiotika
profilaksis yang tidak sesuai dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih
dan pedoman umum (WHO, 2009, Kanji and Devlin, 2008, dan ASHP, 1999).
Seftriakson merupakan jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak
digunakan, yaitu sebesar 70%. Selain itu, terdapat pula antibiotika jenis lain yang
digunakan sebagai profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut, yaitu:
sefotaksim, seftazidim, linkomisin, dan kombinasi gentamisin dan metronidasol.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Penggunaan antibiotika profilaksis sefalosporin generasi ketiga
(seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim) dan linkomisin tidak sesuai dengan
Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery
(WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008),
dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) karena seftriakson, sefotaksim,
dan seftazidim mempunyai aktifitas lemah dalam melawan bakteri anaerob
(Gnann, Goetter, Elliot, and Cobbs, 1982 dan Rolfe and Finegold, 1982),
sedangkan linkomisin tidak mempunyai aktifitas dalam melawan bakteri gram
negatif (ASHP, 1986 dan Hartley, Clements, and Linton, 1977). Padahal bakteri
anaerob dan bakteri gram negatif merupakan mikroorganisme yang paling banyak
menyebabkan infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut,
terutama Bacteroides fragilis dan Escherichia coli (Laterre, et al., 2006 dan
ASHP, 1999). Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas antibakteri sefalosporin
generasi ketiga dan linkomisin kurang sesuai dengan jenis mikroorganisme
patogen penyebab infeksi. Dengan demikian, pemilihan dan penggunaan
antibiotika sefalosporin generasi ketiga dan linkomisin sebagai antibiotika
profilaksis kurang dapat melindungi pasien dalam mencegah terjadinya infeksi
setelah operasi apendisitis akut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Tabel X. Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum
(WHO, 2009; Kanji and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Jenis Antibiotika
Standar Pelayanan
Medik RSPR
Pedoman Umum (WHO, 2009; Kanji
and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999)
Jumlah % (n= 82)
1. Seftriakson tidak sesuai tidak sesuai 57 70% 2. Sefotaksim tidak sesuai tidak sesuai 10 12% 3. Seftazidim tidak sesuai tidak sesuai 2 2% 4. Linkomisin tidak sesuai tidak sesuai 7 9% 5. Gentamisin dan
metronidasol tidak sesuai sesuai 6 7%
2. Waktu pemberian
Pada penelitian ini, sebesar 49% (n= 82) antibiotika profilaksis diberikan
lebih dari 1 jam sebelum operasi dimulai dan sebesar 9% diberikan setelah
operasi. Waktu pemberian antibiotika profilaksis tersebut tidak sesuai dengan
Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe Surgery
(WHO, 2009), dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin,
2008) yang merekomendasikan antibiotika profilakis diberikan kurang dari 1 jam
sebelum operasi dimulai.
Waktu pemberian yang tidak optimal dapat berakibat terhadap
berkurangnya efektivitas antibiotika profilaksis (James and Martinez, 2008). Hal
ini dikarenakan pemberian antibiotika profilaksis yang terlalu awal (lebih dari 1
jam sebelum operasi dimulai) dapat mengakibatkan konsentrasi antibiotika yang
ada pada lokasi operasi tidak cukup memadai untuk melindungi pasien dari
bakteri-bakteri penyebab infeksi hingga prosedur operasi selesai dilakukan
(WHO, 2009 dan Kanji and Devlin, 2008). Oleh sebab itu, pasien menjadi tidak
terlindungi secara maksimal dari terjadinya infeksi dan memperbesar risiko
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
infeksi setelah operasi. Demikian pula, pemberian antibiotika profilaksis setelah
operasi menunjukkan bahwa tidak terdapatnya konsentrasi antibiotika dalam
darah dan jaringan selama prosedur operasi (Steinberg, et al., 2009 dan Classen, et
al., 1992). Hal ini mengakibatkan pasien tidak memperoleh perlindungan dari
bakteri-bakteri penyebab infeksi dari dilakukannya insisi pertama kali hingga
operasi selesai dilakukan, sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi pun
dapat meningkat.
Tabel XI. Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum (WHO, 2009; Kanji and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009
No. Waktu
Pemberian Antibiotika
Standar Pelayanan
Medik RSPR
Pedoman Umum (WHO, 2009; Kanji,
and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999)
Jumlah % (n= 82)
1. ≤ 1 jam sebelum operasi
sesuai sesuai 35 43%
2. > 1 jam sebelum operasi
tidak sesuai tidak sesuai 40 49%
3. Setelah operasi tidak sesuai tidak sesuai 7 9% 3. Cara pemberian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 91% (n= 82) antibiotika
profilaksis diberikan secara intravena (IV) dan sebesar 9% diberikan secara per
oral (PO). Pemberian antibiotika profilaksis secara per oral (PO) ini tidak sesuai
dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe
Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin,
2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) yang merekomendasikan
pemberian antibiotika profilaksis dengan cara pemberian intravena (IV). Hal ini
dikarenakan antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena (IV) lebih
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dapat menjamin konsentrasi antibiotika yang tinggi dalam darah dan jaringan
(ASHP, 1999). Selain itu, pemberian antibiotika profilaksis secara intravena (IV)
mempermudah tercapainya konsentrasi antibiotika ke dalam jaringan dengan
waktu lebih singkat dibandingkan pemberian secara per oral (PO). Antibiotika
profilaksis yang diberikan secara intravena (IV) tidak mengalami proses absorpsi
tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga konsentrasi
antibiotika dapat diperoleh dengan cepat dan tepat (Bryant, Knights, and Salerno,
2010 dan Hessen and Kaye, 2004).
Pada penelitian ini, antibiotika profilaksis yang diberikan secara per oral
(PO) adalah linkomisin dan hanya sekitar 20-30% dari dosis linkomisin yang
terabsorpsi setelah pemberian secara per oral (PO) (Iyer, Tseng, Senese, Liu, and
Hopfinger, 2007 dan ASHP, 1986). Hal ini menunjukkan ketersediaan antibiotika
tersebut rendah dalam darah dan jaringan sehingga tidak memadai untuk
melindungi pasien dari bakteri-bakteri penyebab infeksi. Pasien operasi
apendisitis akut seharusnya menerima antibiotika profilaksis melalui intravena
(IV) untuk menjamin tercapainya konsentrasi antibiotika yang tinggi dalam waktu
singkat sehingga lebih efektif dalam mencegah terjadinya infeksi setelah operasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Gambar 4. Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika
profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan pedoman umum (WHO, 2009; Kanji and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999)
di RS Panti Rapih tahun 2009
4. Dosis pemberian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dewasa dan anak-anak dengan
usia lebih dari 12 tahun menerima antibiotika profilaksis seftriakson dan
sefotaksim pada dosis 1-2 gram, sedangkan seftazidim diberikan pada dosis 2
gram. Pada pasien anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun, seftriakson
diberikan dalam dosis 1,5 gram. Hal ini sesuai dengan AHSP: Ceftriaxone
(Systemic) (ASHP, 2005), Drug Information Handbook (Lacy, Armstrong,
Goldman, and Lance, 2002), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999)
yang merekomendasikan dosis pemberian antibiotika golongan sefalosporin
sebagai profilaksis operasi pada pasien dewasa dan anak-anak yang berusia lebih
dari 12 tahun atau anak-anak dengan berat badan lebih dari 50 kg adalah 1-2
gram. Sedangkan pada anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun seftriakson
diberikan dalam dosis 50-75 mg/kg BB, dengan dosis maksimal per hari adalah 2
gram. Kombinasi gentamisin dengan metronidasol masing-masing diberikan
dalam dosis 80 mg dan 500 mg. Dosis pemberian gentamisin dan metronidasol ini
91% (IV)
9% (PO)
SesuaiTidak sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
sesuai dengan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) dan Postoperative
Infections and Antimicrobial Prophylaxis (Kernodle and Kaiser, 2000) yang
merekomendasikan gentamisin diberikan pada dosis 1,5-2 mg/kg dan
metronidasol dalam dosis 500 mg sebagai agen profilaksis pada pasien operasi
apendisitis akut.
Jika dosis yang diberikan pada pasien kurang dari dosis yang dibutuhkan,
maka konsentrasi antibiotika yang ada dalam darah dan lokasi operasi pun tidak
cukup mampu untuk melawan bakteri penyebab infeksi sehingga pasien tidak
terlindungi secara maksimal. Pada antibiotika golongan sefalosporin, jika dosis
yang diberikan melebihi dosis yang dibutuhkan maka pasien dapat mengalami
mual, muntah, diare, atau kejang. Sedangkan pemberian dosis berlebih gentamisin
dapat menimbulkan terjadinya nefrotoksisitas dan ototoksisitas (Stork, 2007). Hal
ini menunjukkan pemberian dosis antibiotika yang optimal sangat penting
dilakukan untuk mencapai konsentrasi yang memadai dalam darah dan lokasi
operasi. Selain itu, dapat menghindari terjadinya efek merugikan akibat
pemberian dosis yang berlebih pada pasien (Hessen and Kaye, 2004).
5. Lama pemberian
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebesar 57% (n= 82) antibiotika
profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi dan 43% antibiotika
diberikan lebih dari 24 jam setelah operasi. Pemberian antibiotika profilaksis lebih
dari 24 jam setelah operasi tidak sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery
(WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008),
dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) yang merekomendasikan bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam
atau 1 hari setelah prosedur operasi. Pasien yang menerima antibiotika profilaksis
lebih dari 24 jam tidak mendapatkan perlindungan tambahan terhadap terjadinya
infeksi setelah operasi (Ward, Smith, Shaikh, and Yalamarthi, 2009 dan Dellinger,
et al., 1994). Hal ini menunjukkan pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24
jam mempunyai efikasi yang relatif sama dengan antibiotika yang dihentikan
pemberiannya 24 jam setelah operasi. Demikian pula, pemberian antibiotika yang
terlalu lama dapat menimbulkan risiko resistensi suatu strain bakteri dan
bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan (James and Martinez, 2008 dan Kanji
and Devlin, 2008). Oleh karena itu, pemberian antibiotika profilaksis sebaiknya
dihentikan 24 jam setelah operasi mengingat pemberian lebih dari 24 jam tidak
memberikan manfaat lebih dalam mencegah infeksi setelah operasi dan dapat
menimbulkan risiko yang merugikan bagi pasien.
Pada penelitian ini, terdapat 2 pasien yang pada diagnosis setelah operasi
mengalami gangraen dan perforasi sehingga mendapatkan antibiotika profilaksis
selama lebih dari 24 jam. Pada apendisitis perforasi, dinding apendiks sudah
pecah dan dapat terjadi penyebaran pus hingga ke seluruh rongga perut. Hal ini
dapat mengakibatkan tingkat risiko infeksi setelah operasi pada pasien yang
mengalami perforasi lebih tinggi daripada pasien yang mengalami apendisitis akut
tanpa perforasi. Oleh karena itu, pemberian antibiotika profilaksis perlu untuk
dilanjutkan lebih dari 24 jam pada pasien yang ditemukan perforasi pada
apendiksnya (Kanji and Devlin, 2008). Sedangkan pada pasien yang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
mengalami perforasi, pemberian antibiotika profilaksis dihentikan 24 jam setelah
operasi dilakukan.
Gambar 5. Distribusi jumlah kasus menurut lama pemberian antibiotika
profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum (WHO, 2009; Kanji and Devlin, 2008; dan ASHP, 1999) di RS Panti Rapih tahun 2009
F. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis
Pada penelitian ini, 12 pasien operasi apendisitis akut tidak menerima
antibiotika sebagai profilaksis. Pertimbangan dokter bedah I untuk tidak
memberikan antibiotika profilaksis adalah jarang ditemukannya infeksi setelah
operasi pada pasien operasi apendisitis akut yang tidak menerima antibiotika
profilaksis, sehingga pemberian antibiotika profilaksis dirasa tidak diperlukan.
Pendapat ini sesuai dengan hasil wawancara yang diperoleh sebagai berikut:
“Saya tidak pernah memberikan antibiotika profilaksis, karena buktinya
pasien saya nggak apa-apa tanpa diberi antibiotika profilaksis. Jarang
sekali ada infeksi luka setelah operasi”.
Dokter bedah I
Meskipun infeksi setelah operasi pada pasien apendisitis akut jarang
ditemukan, namun antibiotika profilaksis harus tetap diberikan. Pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut harus menerima antibiotika profilaksis karena
56% (24 jam)
41% (> 24 jam)
SesuaiTidak sesuai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
pada saluran pencernaan sendiri sudah terdapat sejumlah besar bakteri yang
berpotensi menyebabkan infeksi setelah operasi (Kanji and Devlin, 2008 dan
Gorbach, 1991). Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan seorang dokter
bedah lain (dokter bedah II), Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar
Bedah yang mempunyai pendapat sama terkait dengan pemberian antibiotika
profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut.
“Untuk appendisitis akut pasti iya menggunakan antibiotika profilaksis.
Jadi di daerah saluran cerna sendiri ada mikroorganisme-
mikroorganisme potensial yang bisa menyebabkan infeksi post operasi,
jadi membutuhkan antibiotika profilaksis pre operasi”.
Dokter bedah II, Kepala Instalasi Farmasi,
dan Wakil Kepala Kamar Bedah
Berdasarkan hasil penelitian, antibiotika profilaksis yang paling banyak
diberikan pada pasien operasi apendisitis akut adalah seftriakson (sefalosporin
generasi ketiga), yaitu sebesar 70% (n= 82). Pertimbangan dokter bedah memilih
seftriakson sebagai antibiotika profilaksis adalah waktu paruh eliminasi
seftriakson lebih panjang dibandingkan jenis antibiotika lainnya dan tingkat
keamanan sefalosporin generasi baru yang lebih tinggi daripada sefalosporin
generasi lama (terkait dengan lebih jarang menimbulkan reaksi silang alergi).
Alasan pemilihan antibiotika profilaksis ini terungkap dalam hasil wawancara
sebagai berikut:
“Seftriakson itu kan karena waktu paruhnya panjang, kemudian silang
alergi terhadap seftriakson itu juga jarang terjadi.”
Dokter bedah II
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Pemilihan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut harus mempertimbangkan kemungkinan mikroorganisme patogen
yang dapat menyebabkan infeksi setelah operasi. Penggunaan antibiotika
profilaksis seftriakson (sefalosporin generasi ketiga) tidak sesuai dengan Standar
Pelayanan Medik RS Panti Rapih yang merekomendasikan pemberian kombinasi
ampisilin dengan metronidasol maupun pedoman umum WHO Guidelines for Safe
Surgery (WHO, 2009) dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and
Devlin, 2008) yang merekomendasikan sefalosporin generasi kedua (sefositin,
sefotetan) atau kombinasi gentamisin dengan metronidasol. Antibiotika golongan
sefalosporin generasi ketiga mempunyai aktifitas lemah terhadap bakteri anaerob,
sehingga pasien menjadi kurang terlindungi dari hadirnya bakteri anaerob yang
turut menyebabkan infeksi luka setelah operasi apendisitis akut (Laterre, et al.,
2006 dan ASHP, 1999).
Seftriakson mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang
dibandingkan antibiotika jenis lain, yaitu 5-9 jam (Lacy, Armstrong, Goldman,
and, Lance 2002). Waktu paruh eliminasi yang panjang ini menjadi salah satu
pertimbangan seftriakson lebih dipilih sebagai antibiotika profilaksis pada pasien
“Jadi dokter memilih antibiotika profilaksis berdasarkan karena waktu
paruh eliminasi lebih panjang bisa… kemudian untuk sefalosporin,
setiap generasi itu kan ada tingkat keamanannya. Misalnya kalau
generasi I mungkin lebih potensial terjadi reaksi silang alergi pada
pasien yang alergi penisilin. Tapi kemudian diperbaiki dengan generasi
berikutnya, jadi reaksi silang alergi kan menjadi lebih minimal.”
Kepala Instalasi Farmasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih. Hal ini dikarenakan
dengan mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang, maka frekuensi
pemberian seftriakson menjadi lebih jarang dibandingkan dengan antibiotika jenis
lainnya (Gootz, 1990 dan Kalman and Barriere, 1990).
Risiko reaksi silang alergi terhadap sefalosporin generasi kedua lebih
tinggi daripada sefalosporin generasi ketiga pada pasien dengan riwayat alergi
penisilin, yaitu sebesar 4%. Sedangkan sefalosporin generasi ketiga mempunyai
risiko silang alergi sebesar 1-3% (Bryson, Frost, and Rosenblatt, 2007). Walaupun
demikian, baik sefalosporin generasi kedua maupun sefalosporin generasi ketiga
sama-sama aman diberikan terhadap pasien yang mempunyai riwayat alergi
penisilin, dengan asumsi reaksi alergi yang timbul tidak parah (anafilaksis)
(Pichichero, 2007 dan Kelkar and Li, 2001). Pada penelitian ini, tidak terdapat
pasien yang mengalami alergi terhadap penisilin. Dengan demikian, sefalosporin
generasi kedua atau kombinasi ampisilin dengan metronidasol sebenarnya tetap
dapat diberikan sebagai antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis
akut.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat antibiotika profilaksis yang
diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi, yaitu sebesar 49% (n= 82). Pemberian
antibiotika profilaksis yang terlalu awal (lebih dari 1 jam sebelum operasi) tidak
sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009) dan Antimicrobial
Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008) yang merekomendasikan waktu
pemberian antibiotika profilaksis 1 jam sebelum operasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Pihak rumah sakit sebenarnya telah menganjurkan pemberian antibiotika
profilaksis dilakukan 1 jam sebelum operasi pada pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut. Namun dalam prakteknya terdapat beberapa faktor yang
menyebabkan jarak waktu dari pemberian antibiotika profilaksis hingga operasi
mulai dilakukan menjadi lebih dari 1 jam. Faktor-faktor tersebut antara lain
ruangan operasi masih digunakan untuk operasi lain sehingga pasien yang akan
menjalani operasi apendisitis akut harus menunggu terlebih dahulu atau dokter
bedah yang menangani pasien operasi apendisitis akut belum tiba di rumah sakit.
Hal ini terungkap dalam hasil wawancara berikut:
“Pada prakteknya, jadwal yang ketat, misalnya ada operasi jam 7, brarti
harus ngasih antibiotika profilaksisnya jam 6. Tapi sampai di OK belum
tentu pasien sampai di situ jam 7 tepat, ternyata di ruang operasi masih
dipakai orang lain, operasinya belum selesai. Atau dokternya belum
datang. Jadi ini nanti yang menyebabkan banyak kendala atau masalah,
salah satunya ketidaktepatan pemberian antibiotika profilaksis”.
Kepala Instalasi Farmasi Berdasarkan hasil penelitian, terdapat pasien yang menerima antibiotika
profilaksis linkomisin secara per oral (PO) dengan waktu pemberian setelah
operasi, yaitu sebesar 9% (n= 82). Cara dan waktu pemberian antibiotika
profilaksis ini didasarkan atas pertimbangan dokter untuk melihat terlebih dahulu
tingkat keparahan apendisitis melalui operasi yang dilakukan. Pada pasien yang
tidak ditemukan perforasi pada apendiksnya cukup diberikan antibiotika
profilaksis secara per oral (PO). Namun, jika pada saat operasi ditemukan
perforasi pada apendiks, maka pasien diberikan antibiotika profilaksis secara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
intravena (IV). Hal ini sesuai dengan pendapat yang diperoleh dari hasil
wawancara berikut:
“Kalau sesudah mungkin karena itu ingin melihat tingkat keparahannya
dulu seperti apa, kalau sudah perforasi pakai intravena, kalau tidak ya
cukup dengan per oral saja..seperti itu… Risiko infeksi lebih kecil terjadi
pada tanpa perforasi makanya cukup menggunakan yang oral saja.”
Dokter bedah II Cara dan waktu pemberian antibiotika profilaksis linkomisin tidak sesuai
dengan Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih, WHO Guidelines for Safe
Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin,
2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999). Pedoman-pedoman
tersebut merekomendasikan pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi
apendisitis akut dilakukan 1 jam sebelum operasi dimulai dengan cara pemberian
melalui intravena (IV).
Sebelum operasi apendisitis akut dimulai, antibiotika profilaksis harus
diberikan terlebih dahulu pada pasien. Pemberian antibiotika profilaksis setelah
operasi akan meningkatkan risiko infeksi pada pasien yang menjalani operasi
apendisitis akut. Hal ini dikarenakan pasien yang menerima antibiotika profilaksis
setelah operasi tidak mendapatkan perlindungan dari adanya mikroorganisme-
mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan infeksi dari operasi dimulai
hingga operasi selesai dilakukan (WHO, 2009 dan Kanji and Devlin, 2008).
Selain itu, antibiotika profilaksis yang diberikan secara per oral (PO) tidak
menjamin ketersediaan konsentrasi antibiotika yang tinggi dalam darah dan
jaringan (Bryant, Knights, and Salerno, 2010 dan Hessen and Kaye, 2004).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Dengan demikian, pasien tidak mendapatkan perlindungan maksimal dari risiko
terjadinya infeksi setelah operasi.
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat pasien yang tidak mengalami perforasi
pada apendiksnya menerima antibiotika profilaksis lebih dari 24 jam atau 1 hari
setelah operasi, yaitu sebesar 41% (n= 82). Kepala Instalasi Farmasi dan dokter
bedah berpendapat bahwa lama pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24
jam atau 1 hari setelah operasi mempunyai tujuan untuk tetap melindungi pasien
dari terjadinya infeksi setelah operasi. Pendapat ini sesuai dengan yang diperoleh
dari hasil wawancara berikut:
“Biasanya bisa sampai 3 hari pemberian antibiotika itu untuk yang
intravena, oral cukup 5 hari saja. Itu agar, nggak terjadi infeksi, jadi
pasien tetap terjaga dari infeksi, lalu pasien lebih cepat sembuh.”
Kepala Instalasi Farmasi dan dokter bedah II Lama pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24 jam atau 1 hari
setelah operasi tidak sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO,
2009) dan ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) yang merekomendasikan
antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi.
Pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24 jam setelah operasi mempunyai
efikasi yang relatif sama dengan pemberian selama 24 jam dalam menurunkan
risiko terjadinya infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut tanpa
perforasi. Hal ini dikarenakan penggunaan antibiotika profilaksis hingga lebih dari
24 jam tidak memberikan perlindungan tambahan dalam mencegah infeksi setelah
operasi, sehingga pemberian antibiotika profilakis lebih dari 24 jam tidak
mempunyai manfaat lebih dan tidak diperlukan (Ward, Smith, Shaikh, and
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Yalamarthi, 2009 dan Dellinger, et al., 1994). Lagipula pemberian antibiotika
yang terlalu lama dapat berisiko pada terjadinya resistensi suatu strain bakteri dan
meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh pasien (James and Martinez, 2008 dan
Kanji and Devlin, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa:
1. Jumlah pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih pada
tahun 2009 adalah 94 pasien. Dari 94 pasien, terdapat 82 pasien menerima
antibiotika profilaksis dan 12 pasien tidak menerima antibiotika profilaksis.
2. Karakteristik demografi pasien adalah 50% (n= 94) pasien berusia antara 17-25
tahun, 55% pasien berjenis kelamin pria, dan 45% pasien berjenis kelamin
perempuan. Semua pasien mengeluhkan nyeri perut bagian kanan bawah, 65%
pasien dengan lama keluhan selama 1 hari, dan rata-rata lama perawatan pasien
selama di rumah sakit adalah 2-3 hari.
3. Jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan adalah seftriakson
sebesar 70% (n= 82), 49% diberikan lebih dari 1 jam sebelum operasi, 91%
pemberian secara intravena (IV), pada dosis 2 gram sebesar 54%, dan lama
pemberian 1 hari sebesar 56%.
4. Pemilihan dan penggunaan antibiotika profilaksis di RS Panti Rapih belum
sepenuhnya sesuai guideline atau pedoman, yaitu sebesar 93% dari 82 pasien
menerima antibiotika profilaksis dari jenis yang tidak sesuai dengan pedoman,
58% waktu pemberian antibiotika profilaksis yang terlambat dan terlalu awal,
9% cara pemberian per oral (PO), dan 40% lama pemberian lebih dari 1 hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
5. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis di RS Panti
Rapih adalah waktu paruh eliminasi yang panjang dan jarang menimbulkan
reaksi silang alergi. Ruangan operasi masih digunakan untuk operasi lain atau
dokter bedah yang menangani pasien operasi apendisitis akut belum tiba di
rumah sakit sehingga waktu pemberian antibiotika profilaksis menjadi lebih
dari 1 jam sebelum operasi. Pertimbangan dokter untuk melihat terlebih dahulu
tingkat keparahan apendisitis melalui operasi yang dilakukan sehingga pada
pasien yang tidak ditemukan perforasi pada apendiksnya menerima antibiotika
profilaksis setelah operasi dengan cara pemberian per oral. Pasien tetap
terlindungi dari infeksi setelah operasi sehingga antibiotika profilaksis
diberikan lebih dari 1 hari.
B. Saran
Berdasarkan dari hasil penelitian ini, saran yang dapat penulis berikan
antara lain:
1. Bagi Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta disarankan untuk melakukan
peninjauan kembali terhadap Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih
sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan ketaatan penggunaan dan
pemilihan antibiotika profilaksis, terutama pada pasien operasi apendisitis akut.
2. Penelitian ini dilakukan secara retrospektif sehingga perlu dilakukan penelitian
lain yang bersifat prospektif agar dapat mengamati penggunaan antibiotika
profilaksis dengan lebih lengkap dan jelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
DAFTAR PUSTAKA Al-Mulhim, A. A., 2006, Emergency General Surgical Admissions, Saudi Med. J.,
27 (11), 1674-1679. American Society of Health-System Pharmacists, 2005, Ceftriaxone (Systemic),
http://www.ashp.org/s_ashp/docs/files/practice_and_policy/ceftriaxone.pdf, diakses tanggal 6 Maret 2011.
American Society of Health-System Pharmacists, 1999, ASHP Therapeutic
Guidelines on Antimicrobial Prophylaxis in Surgery, Am. J. Health-Syst. Pharm., 56, 1839-1888.
American Society of Hospital Pharmacist, 1986, Drug Information, ASHP, Inc.,
Unites States of America, pp. 114, 298. Auerbach, A. D., 2001, Prevention of Surgical Site Infections, in Shojania, K. G.,
Duncan, B. W., McDonald, K. M., and Wachter, R. M., Making Health Care Safer: A Critical Analysis of Patient Safety Practices, Agency for Healthcare Research and Quality, Rockville, pp. 221.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008, Informatorium
Obat Nasional Indonesia, Badan POM RI, Jakarta. Banieghbal, B., and Lakhoo, K., 2011, Appendicitis, in Ameh, A., Bickler, S. W.,
Lakhoo, K., Nwomeh, B. C., and Poenaru, D., Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa, Global HELP Organization, Seattle, pp. 453-454.
Bauer, T., Vennits, B., Holm, B., Hahn-Pedersen, J., Lysen, D., Galatius, H., et
al., 1989, Antibiotic Prophylaxis in Acute Nonperforated Appendicitis, Ann. Surg., 209 (3), 307-311.
Bryant, B. J., Knights, K. M., and Salerno, E., 2010, Pharmacology for Health
Professionals, Elsevier, Sydney, pp. 129-134.
Bryson, E. O., Frost, E. A., and Rosenblatt, M. E., 2007, Management of the
Patient Reporting an Allergy to Penicillin, M. E. J. Anesth., 19 (3). Budiarto, E., 2001, Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyrakat,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 36. Busch, M., Gutzwiller, F. S., Aellig, S., Kuettel, R., Metzger, U., and Zingg, U.,
2011, In-hospital Delay Increases the Risk of Perforation in Adults with Appendicitis, World J. Surg.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Busuttil, R. W., Davidson, R. K., Fine. M., and Tompkins, R. K., 1981, Effect of Prophylactic Antibiotics in Acute Nonperforated Appendicitis, Ann. Surg., 194 (4), 505.
Chalazonitis, A. N., Tzovara, I., Sammouti, E., Ptohis, N., Sotiropoulou, E.,
Protoppapa, E., et al., 2008, CT in Appendicitis, Diagn. Interv. Radiol., 13, 19-25.
Classen, D. C., Evans, R. S., Pestotnik, S. L., Horn, S. D., Menlove, R. L., and
Burke, J. P., 1992, The Timing of Prophylactic Administration of Antibiotics and The Risk of Surgical Wound Infection, N. Engl. J. Med., 326, 281-286.
Craig, S., and Santacrose, R., 2010, Acute Appendicitis,
http://emedicine.medscape.com, diakses tanggal 29 Mei 2011. Departemen Kesehatan R.I., 2002, Profil Kesehatan Indonesia 2001, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Dellinger, E. P., Gross, P. A., Barrett, T. L., Krause, P. J., Martone, W. J.,
McGowan, J. E., et al., 1994, Quality Standard for Antimicrobial Prophylaxis in Surgical Procedures, Clin Infect Dis, 18, 422-427.
Ditillo, M. F., Dziura, J. D., and Rabinovici, R., 2006, Is It Safe to Delay
Appendectomy in Adults With Acute Appendicitis?, Ann. Surg., 244, 656-660.
Fatmawati, T., 2007, Studi Penggunaan Obat Pada Penderita Apendisitis Akut Di
Bagian Bedah RSU Dr. Saiful Anwar Malang, Skripsi, Universitas Airlangga, Surabaya.
Gnann, J. W., Goetter, W. E., Elliot, A. M., and Cobbs, C. G., 1982, Ceftriaxone:
In Vitro Studies and Clinical Evaluation, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 22 (1), 1-9.
Gootz, T. D., 1990, Discovery and Development of New Antimicrobial Agents,
Clin. Lin. Microbiol. Rev., 3 (1), 17-25. Gorbach, S. L., 1991, Antimicrobial Prophylaxis for Appendectomy and
Colorectal Surgery, Reviews of Infectious Diseases, 13(10), 815-820. Graumlich, J. F., 2003, β-Lactam Antibiotics, in Craig, C. R. and Stitzel, R. E.,
Modern Pharmacology with Clinical Applications, 6th edition, Lippincott Williams & Wilkins, Inc., pp. 515-527.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Gordon, R. J., 2009, Introduction to Antimicrobials, www.columbia.edu/itc/hs/medical/pathophys/id/2009/antibioticsNotes.pdf, diakses tanggal 23 Juni 2011.
Hartley, C. L., Clements, H. M., and Linton, K. B., 1977, Effects of Cephalexin,
Erythromycin, and Clindamycin on the Aerobic Gram Negative Faecal Flora in Man, J. Med. Microbiol., 11, 126-133.
Hasan, I., M., 2002, Pokok-pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 14-22. Hessen, M. T., and Kaye, D., 2004, Principles of Use of Antibacterial Agents,
Infect. Dis. Clin. N. Am., 8, 435-450. Humes, D. J., and Simpson, J., 2006, Acute Appendicitis, BMJ, 333, 530-534. Imelda, 2008, Studi Penggunaan Antibiotika pada Kasus Bedah Apendiks:
Instalasi Rawat Inap Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya, Skripsi, 33, Universitas Airlangga, Surabaya.
Ishikawa, H., 2003, Diagnosis and Treatment of Acute Appendicitis, JMAJ, 46
(5), 217-221. Iyer, M., Tseng, Y. J., Senese, C. L., Liu, J., and Hopfinger, A. J., 2007,
Prediction and Mechanistic Interpretation of Human Oral Drug Absorption Using MI-QSAR Analysis, Mol. Pharmaceutics, 4 (2), 218-231.
James, M., and Martinez, A. A., 2008, Antibiotics and Perioperative Infections,
Clinical Anaesthesiology, 22 (3), 571-582. Junias, R. S., M, 2009, Hubungan antara Skor Alvarado dan Temuan Operasi
Apendisitis Akut di Rumah Sakit Pendidikan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Laporan Penelitian, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara, Sumatra Utara.
Kalman, B., and Barriere, S. L., 1990, Review of the Pharmacology,
Pharmacokinetics, and Clinical Use of Cephalosporins, Department of Pharmaceutical Services and Division of Infectious Diseases, Department of Medicine, UCLA Medical Center, Los Angeles, 17(3), 204-205.
Kanji, S., and Devlin, J. W., 2008, Antimicrobial Prophylaxis in Surgery, in
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach, 7th edition, McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, pp. 2218-2224.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Kaiser, G. E., 2009, FIG. 8: The Role of Penicillins in Blocking Transpeptidase Enzymes from Assembling the Peptide Cross-Links in Peptidoglycan, www.student.ccbcmd.edu/courses/bio141/lecguide/unit2/.../penres.html, diakses tanggal 23 Juni 2011.
Kelkar, P. S., and Li, J. T, 2001, Chephalosporin Allergy, N. Engl. J. Med., 345
(11), 805-808. Kernodle, D. S., and Kaiser, A. B., 2000, Postoperative Infections and
Antimicrobial Prophylaxis, in Mandell, G. L., Bennett, J. E., and Dolin, R., Principles and Practice of Infectious Diseases, 5th edition, Churchill Livingstone, New York, pp. 3186-3187.
Kozar, R. A., and Roslyn, J. J., 2003, The Appendix, in Schwartz, S. I., Shires, G.
T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., and Galloway, A. C., Principles of Surgery, 7th edition, McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, pp. 27.
Krismanuel, H., 2010, Early versus Late Discharge from Hospital after Open
Appendectomy, Univ. Med., 29, 129-136. Laal, M., and Mardanloo, A., 2009, Acute Abdomen: Pre and Post-Laparotomy
Diagnosis, International Journal of Collaborative Research on Internal Medicine & Public Health, 1 (5), 157-165.
Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., and Lance, L. L., 2002, Drug
Information Handbook, 11th edition, Lexy-Comp. Inc., Canada, pp. 269-270. Laterre, P.-Fr., Colardyn, F., Delmée, M., De Waele, J., Legrand, J.-Cl., Van
Eldere., J., et al., 2006, Antimicrobial Therapy for Intra-Abdominal Infections: Guidelines from the Infectious Disease Advisory Board (IDAB), Acta. Chir. Belg., 106, 2-21.
Levison, M. E., 2004, Pharmacodynamics of Antimicrobial, Drugs, Infect. Dis.
Clin. N. Am., 18, 451-465. Li, X., Xhang, Zhang J., Sang, L., Zhang, W., Chu, Z., et al., 2010, Laparoscopic
versus Conventional Appendectomy: A Meta-analysis of Randomized Controlled Trials, BMC Gastroenterology, 10 (29), 3-4.
Mangram, A. J., Horan, T. C., Pearson, M. L., Silver, L. C, and Jarvis, W. R.,
1999, Guideline for Prevention of Surgical Site Infection, Infection Control
and Hospital Epidemiology, 20 (4), 252.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Martin, C., Viviand, X., Cottin, A., Savelli, V., Brousse, C., Ragni, E., et al., 1996, Concentrations of Ceftriaxone (1,000 Milligrams Intravenously) in Abdominal Tissues during Open Prostatectomy, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 40 (5), 1311-1313.
McCollough, M., and Sharieff, G., 2003, Abdominal Surgical Emergencies in Infants and Young Children, Emerg. Med. Clin. N. Am., 21, 909-935.
National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2007, Appendicitis,
www.digestive.niddk.nih.gov, diakses tanggal 28 Desember 2010. Notoatmodjo, S., 2010, Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta,
25-49. Oguntola, A. S., Adeoti, M. L., and Oyemolade, 2010, T. A., Appendicitis: Trend
in Incidence, Age, Sex, and Seasonal Variations in South-Western Nigeria, Annals of African Medicine, 9 (4), 213-217.
Old, J. L., Dusing, R. W., Yap, W., and Dirks, J., 2005, Imaging for Suspected
Appendicitis, American Family Physician , 71 (1), 72-73. Omran, M., 2008, Implementing Antibiotic Quality Measures,
www.ascassociation.org, diakses tanggal 28 Desember 2010. Papaziogas B., Tsiaousis, P., Koutelidakis, I., Giakoustidis, A., Atmatzidis, S.,
and Atmatzidis, K., 2009, Effect of Time on Risk of Perforation in Acute Appendicitis, Acta. Chir. Belg., 109, 75-80.
Pichichero, M. E., 2007, Use of Selected Cephalosporins in Penicillin-Allergic
Patients: A Paradigm Shift, Diagnostic Microbiology and Infectious Disease, 57, 13S-18S.
Pollock, A. A., Tee, P. E., Patel, I. H., Spicehandler, J., Simberkoff, M. S., and
Rahal, J.J., 1982, Pharmacokinetics Characteristics of Ceftriaxone in Normal Adults, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 22 (5), 816-823.
Rolfe, R. D., and Finegold, S. M., 1982, Comparative In Vitro Activity of
Ceftriaxone Against Anaerobic Bacteria, Antimicrobial Agents and Chemotherapy, 22 (2), 338-341.
Scottish Intercollegiate Guidelines Network, 2008, Antibiotic Prophylaxis in
Surgery, www.sign.ac.uk, diakses tanggal 23 November 2010.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Steinberg, J. P., Braun, B. I., Hellinger, W. C., Kusek, L., Bozikis, M. R., Bush, A. J., et al., 2009, Timing of Antimicrobial Prophylaxis and the Risk of Surgical Site Infections: Results From the Trial to Reduce Antimicrobial Prophylaxis Errors, Ann. Surg., 250, 10-16.
Stork, C. M., 2007, Antibiotics, Antifungals, and Antivirals, in Hoffman, R.S.,
Nelson, L. S., Howland, M. A., Lewin, N. A., Flomenbaum, and N. E., Goldfrank, L. R., Goldfrank’s Manual of Toxicologic Emergencies, 8th edition, McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, pp. 467-471.
Walker, A. R. P., and Segal, I., 1995, Appendicitis: an African Perspective,
Journal of the Royal Society of Medicine, 88, 616. Ward, P. A., Smith, C. A., Shaikh, I. A., and Yalamarthi, S., 2009, Prolonged Use
of Antibiotics in Complicated Appendicitis: Does It Prevent Post-appendicectomy Complications?, The Internet Journal of Surgery, 21 (1).
Woodin, K. A., and Moririson, S. H., 1994, Antibiotics: Mechanisms of Action,
Pediatrics in Review, 15 (1), 1-9. World Health Organization, 2009, WHO Guidelines for Safe Surgery: Safe
Surgery Saves Lives, WHO Press, Geneva. World Health Organization, 2001, WHO Global Strategy for Containment of
Antimicrobial Resistence, World Health Organization, Geneva.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
Lampiran 1. Data pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 No. RM
Usia (thn)
TT (cm)
BB (kg)
L/P Lama Keluhan (hari)
Diagnosis Pre-operasi
Lama Op. (menit)
Diagnosis Post-operasi
Jenis Antibiotika Profilaksis Waktu Pem- berian (menit)
Cara Pem- berian
Dosis Pem- berian
Lama Pem- berian (hari)
Kondisi paska-op.
Lama Perawat-an (hari)
Seftriak-son
Linko- misin
Seftazi-dim
Sefotak-sim
Gentamisin & metronidasol
IV PO Luka Baik Tdk
Baik Januari (4)
647478 27 162 55 L ≤1 App akut sederhana
50’ App akut sederhana
- - - √ - 30’ √ - 1 g 1x1 1 - 2
427158 34 155 50 P ≤1 App akut sederhana
15’ App akut sederhana
- - - - √ 35’ √ - 80 mg & 500 mg
1 - 2
613817 22 165 67 L 2 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
√ - - - - 35’ √ - 2 g 1x1 1 - 2
648299 22 170 69 L 5 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
√ - - - - 125’ √ - 2 g 1x1 1 - 2
Februari (7)
650982 19 162 53 L ≤1 App akut sederhana
65’ App akut sederhana
- - - - √ 245’ √ - 80 mg & 500 mg
3 - √ 3
590860 10 135 36 L 2 App akut supuratif
60’ App akut supuratif
√ - - - - 135’ √ - 1,5 g 1x1
2 √ - 3
511954 19 155 49 P 7 App akut sederhana
25’ App akut gangrenosa
√ - - - - 45’ √ - 1 g 1x1 3 √ - 4
651050 22 160 60 L ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
√ - - - - 155 √ - 2 g 1x1 3 √ - 3
455757 21 162 51 L ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
- - - - √ 105' √ - 80 mg & 500 mg
1 √ - 3
262354 50 167 74 L ≤1 App akut 35’ App akut √ - - - - 55’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
sederhana sederhana 651523 25 163 63 P ≤1 App akut
sederhana 70’ App akut
sederhana √ - - - - 50’ √ - 1 g 1x1 3 √ - 3
Maret (6)
583832 19 160 61 P ≤1 App akut sederhana
70’ App akut sederhana
√ - - - - 130’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 3
307151 24 154 64 P ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 50’ √ - 1 g 2x1 1 √ - 2
651942 8 121 28 P 4 App akut sederhana
55’ App akut sederhana
√ - - - - 30’ √ - 1,5 g 1x1
3 √ - 3
653114 24 178 65 P ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 1 √ 3
066203 18 162 49 L 2 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
√ - - - - 35’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 2
654193 60 162 60 L ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
√ - - - - 55’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
April (9)
013923 21 175 59 L 2 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 45’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 3
249670 19 165 80 P ≤1 App akut sederhana
25’ App akut supuratif
√ - - - - 30’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
127909 29 150 50 P 4 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 150’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 2
523144 16 154 44 P ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
√ - - - - 80’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 2
658045 23 149 41 P ≤1 App akut sederhana
55’ App akut sederhana
- - - √ - 255’ √ - 1 g 1x1 3 - √ 3
657115 12 141 37 L ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
√ - - - 35’ √ - 1,5 g 1x1
3 √ - 3
310213 18 159 50 P 4 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
- - - √ - 130’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
294536 47 180 70 L ≤1 App akut supuratif
60’ App akut supuratif
√ - - - - 135’ √ - 2 g 1x1 3 √ - 3
395991 21 163 51 L ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 30’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 3
Mei (9)
464888 9 135 38 L 2 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
√ - - - - 40’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 2
497495 27 166 63 P 2 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
√ - - - - 170’ √ - 1 g 2x1 2 √ - 3
659267 29 169 71 L ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 125’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 2
659414 23 156 52 P ≤1 App akut sederhana
55’ App akut sederhana
√ - - - - 50’ √ - 1 g 2x1 1 √ - 2
098145 11 140 39 L ≤1 App akut sederhana
85’ App akut sederhana
√ - - - - 105’ √ - 1,5 g 1x1
3 √ - 3
649586 31 167 51 L ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 3 - √ 4
149371 42 152 55 P 4 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
√ - - - - 60’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
660313 22 163 63 P ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
- - - √ - 125’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 3
659581 17 159 55 L 4 App akut sederhana
65’ App akut sederhana
√ - - - - 155’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 3
Juni (6) 273965 19 168 65 L ≤1 App akut
sederhana 45’ App akut
sederhana √ - - - - 105’ √ - 1 g 2x1 1 √ - 2
390966 27 174 75 L ≤1 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
√ - - - - 130’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
051234 16 160 55 P ≤1 App akut sederhana
20’ App akut sederhana
√ - - - - 210’ √ - 1 g 2x1 2 - √ 2
666071 20 154 50 P 2 App akut 35’ App akut - - - - √ 180’ √ - 80 mg & 1 - √ 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
sederhana sederhana 500 mg 593910 22 165 62 L 4 App akut
sederhana 50’ App akut
sederhana - - - √ - 30’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 2
417845 53 147 50 P ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
√ - - - - 60’ √ - 1 g 1x1 2 √ - 2
Juli (6)
663636 20 168 53 L ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
- - - - √ 90’ √ - 80 mg & 500 mg
1 √ - 2
664268 27 149 59 P 4 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
√ - - - - 100’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
268993 12 132 33 L ≤1 App akut sederhana
55’ App akut sederhana
√ - - - - 35’ √ - 1,5 g 1x1
1 √ - 3
664677 30 164 61 P ≤1 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 1 √ - 2
120643 41 183 75 L 7 App akut sederhana
30’ App akut perforasi
√ - - - - 50’ √ - 2 g 1x1 4 √ - 5
601099 48 161 54 P 2 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
- - - √ - 30’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
Agustus (8)
672639 20 175 57 L 2 App akut sederhana
20’ App akut supuratif
√ - - - - 130’ √ - 1 g 2x1 3 √ - 3
396308 25 177 68 L ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
- - - √ - 90’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 2
671599 10 135 36 P ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 60’ √ - 1,5 g
1 √ - 2
655042 20 161 48 P ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 2 √ - 3
672631 24 167 61 L ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
√ - - - - 75’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 2
099538 9 133 35 P 4 App akut supuratif
45’ App akut supuratif
√ - - - - 100’ √ - 1,5 g 1x1
3 √ - 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
671581 27 150 53 P 2 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
- - - √ - 30’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
137766 31 174 75 L ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
√ - - - - 115’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
September (7) 300124 22 167 52 L ≤1 App akut
sederhana 75’ App akut
sederhana √ - - - - 105’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 2
341237 25 168 56 L 2 App akut sederhana
20’ App akut sederhana
√ - - - - 60’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
676789 30 159 52 P 2 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
- - - √ - 125’ √ - 1 g 2x1 1 √ - 2
675707 23 152 53 L ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
√ - - - - 115’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
459967 20 158 54 P ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
- - √ - - 50’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 2
347310 22 160 59 L ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
√ - - - - 140’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 3
686259 11 138 35 L ≤1 App akut sederhana
60’ App akut sederhana
√ - - - - 55’ √ - 1,5 g 1x1 1 √ - 2
Oktober (8)
636384 17 163 55 L ≤1 App akut sederhana
50’ App akut sederhana
√ - - - - 155’ √ - 1 g 1x1 1 √ - 3
666063 20 156 61 L ≤1 App akut sederhana
35’ App akut sederhana
√ - - - - 130’ √ - 1 g 2x1 3 √ - 3
543920 23 172 69 L ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
√ - - - - 125’ √ - 2 g 1x1 3 √ - 3
207029 66 164 67 L ≤1 App akut sederhana
55’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 1 √ - 2
688708 42 154 54 P 4 App akut sederhana
20’ App akut sederhana
√ - - - - 145’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 3
658088 18 150 53 P 2 App akut 70’ App akut √ - - - - 60’ √ - 1 g 2x1 2 √ - 3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
sederhana sederhana 652703 32 157 55 P 4 App akut
sederhana 20’ App akut
sederhana √ - - - - 35' √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
005290 19 166 62 L 2 App akut sederhana
60’ App akut sederhana
√ - - - - 55’ √ - 2 g 1x1 3 √ - 3
November (6)
469280 25 150 49 P ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
√ - - - - 125 √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
291317 12 133 38 P ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 165’ √ - 1,5 g 1x1 2 √ - 3
583043 24 154 65 L ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
√ - - - - 105’ √ - 2 g 1x1 2 √ - 2
683494 17 165 56 L 2 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 2 √ - 3
682236 16 151 49 P ≤1 App akut sederhana
40’ App akut sederhana
- - - - √ 60’ √ - 80 mg & 500 mg
2 √ - 2
371942 39 169 53 L ≤1 App akut sederhana
50’ App akut sederhana
√ - - - - 60’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
Desember (6)
559055 33 141 57 P ≤1 App akut sederhana
50’ App akut sederhana
√ - - - - 250’ √ - 2 g 1x1 1 - √ 2
684268 39 167 70 L ≤1 App akut sederhana
30’ App akut sederhana
- √ - - - Setelah operasi
- √ 500mg 3x1 2 √ - 2
687265 42 153 52 P 2 App akut sederhana
30’ App akut supuratif
- - - √ - 145’ √ - 1 g 2x1 3 √ - 3
469631 27 165 63 L ≤1 App akut sederhana
25’ App akut sederhana
√ - - - - 60’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
378652 33 168 67 L ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
- - √ - - 45’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
149472 39 162 61 P ≤1 App akut sederhana
45’ App akut sederhana
√ - - - - 35’ √ - 2 g 1x1 1 √ - 2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Lampiran 2. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah I
1. Apakah Dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut?
Jawab: Tidak..hehehe.. Saya tidak pernah memberikan antibiotika profilaksis,
karena buktinya pasien saya nggak apa-apa tanpa diberi antibiotika
profilaksis. Jarang sekali ada infeksi luka setelah operasi.”Tadi
pertanyaannya selalu kan, saya tidak pernah memberikan antibiotika
profilaksis pada pasien apendisitis.. apendisitis akut kan ini? Ya, saya
tidak pernah beri..
2. Alasannya apa ya, Dok?
Jawab: Alasannya… karena buktinya pasien saya tidak kenapa-kenapa.. Baik-
baik saja pasien saya..
3. Ohh… Tapi berdasarkan guideline atau pedoman yang saya dapatkan sangat
direkomendasikan pemberian antibiotika profilaksis pada pasien operasi
apendisitis akut?
Jawab: Ya… tapi buktinya selama ini pasien saya tidak apa-apa, hehehehe…
Jadi nggak apa-apa nggak diberi…
4. Sesudah operasi Dokter juga tidak memberikan?
Jawab: Tidak… hehehe
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
Lampiran 3. Hasil wawancara mendalam dengan dokter bedah II
1. Apakah Dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut?
Jawab: Uhmm.. Selalu.. Itu kan operasinya butuh profilakis, yah… biar tidak
ada infeksi setelahnya.
2. Lalu antibiotika profilaksis apa yang sering Dokter berikan pada pasien operasi
apendisitis akut? Alasannya, Dok?
Jawab: Kalau saya seftriakson. Soalnya seftriakson itu kan karena waktu
paruhnya panjang, kemudian silang alergi terhadap seftriakson itu
juga jarang terjadi, begitu…
Kemudian ada juga pemberian linkomisin pada beberapa pasien, itu karena apa
ya, Dok?
Jawab: Itu mungkin karena linkomisin jarang yang alergi. Kalau seftriakson
tadi, karena waktu paruhnya panjang, silang alergi juga jarang.
3. Apakah terdapat standar prosedur operasi apendisitis di RS Panti Rapih ?
Jawab: Standar… tidak ada.. Sepertinya tidak ada..
4. Berdasarkan temuan saya Dok dalam penelitian, mengapa terdapat pasien yang
menerima antibiotika profilaksis lebih dari 1 jam sebelum operasi?
Jawab: Ya itu.. sebenarnya bisa tergantung dari operasi sebelumnya ya, kalau
ruang operasi masih dipakai brarti pemberian profilaksis itu bisa
menjadi lebih dari 1 jam. Tapi pada prinsipnya 1 jam lah diberi..
5. Lalu mengapa ada juga pasien yang menerima antibiotika profilaksis setelah
operasi? Seperti linkomisin, diberikan setelah operasi...
Jawab: Memang ada yang memberikan sebelum atau sesudah operasi. Kalau
sesudah mungkin karena ingin melihat tingkat keparahannya dulu
seperti apa… Kalau sudah perforasi pakai intravena, kalau tidak ya
cukup dengan per oral saja..seperti itu.. Tapi ya kalau saya lebih baik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
sebelum operasi saja, supaya pasien benar-benar terlindungi, nanti
setelah operasi diberikan lagi, seperti itu..
6. Terus, saya juga menemukan pemberian antibiotika profilaksis dengan durasi
lebih dari 1 hari pada pasien operasi apendisitis, itu kenapa ya, Dok?
Jawab: Ya itu untuk tetap menjaga pasien dari kemungkinan terjadinya infeksi.
Kalau pemberian antibiotika intravena 3 hari, kalau oral itu maksimal
ya 5 hari..
7. Kemudian apakah Dokter mencermati peresepen antibiotika profilaksi,
seftriakson maksud saya, sudah dapat mencegah terjadinya infeksi setelah
operasi?
Jawab: Sudah.. Jarang pasien yang infeksi setelah operasi.
Kira-kira Dokter ingat tidak berapa infeksi luka operasi pasien operasi
apendisitis akut yang Dokter tangani?
Jawab: Wah.. nggak hapal saya, nggak ngitung… hehehe
8. Adakah keluhan dari pasien, misalnya seperti biaya yang harus dikeluarkan,
efek samping, lama penggunaan, atau hal-hal lain yang dikeluhkan pasien yang
berkaitan dengan penggunaan antibiotika profilaksis?
Jawab: Kalau biaya tidak ada, saya selalu berusaha memberikan obat yang
murah tapi efeknya bagus, hehehe.. Efek samping tidak ada ya slama
ini.. Trus apa tadi, lama penggunaan ya? Nah itu juga tidak, soalnya
pasien diberitahu dulu nanti obatnya apa, kapan pakainya, berapa
lama pakainya. Kalau ada perubahan pasti pasien diberitahu, seperti
itu…
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Lampiran 4. Hasil wawancara mendalam dengan Kepala Instalasi Farmasi
1. Apakah dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut?
Jawab: Menurut saya pasti.. Yah, ini observasi yang kami jumpai di lapangan
terutama untuk bedah-badah umum pasti menggunakan. Untuk
apendisitis akut pasti iya menggunakan antibiotika profilaksis … Jadi
di daerah saluran cerna sendiri ada mikroorganisme-mikroorganisme
potensial yang bisa menyebabkan infeksi post operasi, jadi
membutuhkan antibiotika profilaksis pre operasi.
2. Antibiotika profilaksis yang sering diberikan pada pasien operasi apendisitis
akut itu apa ya, Bu?
Jawab: Ada mungkin golongan sefalosporin, quinolon gentamisin-
metronidazole, dan lain-lain. Tapi untuk apendisitis ini kan ada
bakteri anaerob ya.. Kan pastinya dokter mengkombinasi dengan
metronidazole, biasanya metronidazole injeksi. Kalau untuk anaerob,
pasti ya metronidazole itu. Untuk antibiotikanya cenderung golongan
sefalosporin. Sefalosporin bisa generasi III atau IV, generasi I sampai
IV juga bisa.
3. Apakah terdapat standar prosedur operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih ?
Jawab: Kalau standar prosedur di Komite Medik atau di bidang pelayanan
medik itu ada, tapi kalau untuk penggunaan antibiotika di tempat kami
(farmasi) baru ada Draft Pedoman Penggunaan Antibiotika. Dari
farmasi mengusulkan tapi itu masih draft.
Lalu apakah dokter mengikuti standar prosedur operasi tersebut?
Jawab: Kalau mengikuti masih berdasarkan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
4. Berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pasien operasi
apendisitis akut di RS Panti Rapih pada tahun 2009 yang diberikan antibiotika
sebagai seftriakson profilaksis operasi, padahal di guideline yang saya temukan
itu tidak ada yang merekomendasikan seftriakson sebagai profilaksis pada
apendisitis akut? Adakah pertimbangan khusus?
Jawab: Jadi dokter memilih antibiotika profilaksis berdasarkan karena waktu
paruh eliminasi lebih panjang bisa… kemudian untuk sefalosporin,
setiap generasi itu kan ada tingkat keamanannya. Misalnya kalau
generasi I mungkin lebih potensial terjadi reaksi silang alergi pada
pasien yang alergi penisilin. Tapi kemudian diperbaiki dengan generasi
berikutnya, jadi reaksi silang alergi kan menjadi lebih minimal. Tapi
sebenarnya banyak sekali pilihan, yang penting tidak keluar jalurnya
saja, untuk profilaksis penicillin sefalosporin bisa digunakan.
Lalu ada juga dokter yang memberikan linkomisin, menurut Ibu bagaimana?
Jawab: Mungkin karena limkomisin jarang yang alergi, bisa jadi seperti itu..
Tapi kok ya menurut saya kurang pas ya.. Harusnya ya sefalosporin
atau penisilin, gentamisin metronidasol juga bisa..
5. Berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pasien yang
menerima antibiotika profilaksis lebih dari 1 jam sebelum operasi ya, Bu?
Jawab: Sebenarnya kami menganjurkan pemberian antibiotika profilaksis itu 1
jam sebelum operasi untuk menjamin konsentrasi antibiotika di lokasi
bedah. Tapi pada prakteknya, jadwal yang ketat, misalnya.. ada
operasi jam 7, brarti harus ngasih antibiotika profilaksisnya jam 6.
Tapi sampai di OK belum tentu pasien sampai di situ jam 7 tepat,
ternyata di ruang operasi masih dipakai orang lain, operasinya belum
selesai. Atau dokternya belum datang. Jadi ini nanti yang
menyebabkan banyak kendala atau masalah, salah satunya
ketidaktepatan pemberian antibiotika profilaksis. Hal ini perlu
diperbaiki. Pemberian antibiotika profilaksis tetep 1 jam, ini sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
menjadi batas yang aman, jadi pada saat pasien disayat itu pas dia
dalam masa perlindungan.
6. Terus Bu.. Mengapa terdapat pasien yang menerima antibiotika profilaksis
setelah operasi?
Jawab: Setelah operasi memang perlu antibiotika setelah operasi, terutama
untuk pasien yang sudah mengalami perforasi. Tapi untuk apendisitis
yang tidak perforasi penggunaan antibiotika profilaksis yang
sebelumnya bisa dilanjutkan atau dapat menggunakan antibiotika oral
saja. Hal ini dilakukan untuk tetap mencegah adanya infeksi ya.. jadi
memang perlu diberikan.
7. Kemudian saya juga menemukan terdapat pemberian antibiotika profilaksis
dengan durasi lebih dari 1 hari.. Ini kenapa ya, Bu?
Jawab: Biasanya bisa sampai 3 hari pemberian antibiotika itu untuk yang
intravena, oral cukup 5 hari saja.. Itu agar, nggak terjadi infeksi, jadi
pasien tetap terjaga dari infeksi, lalu pasien lebih cepat sembuh.
Variasi lama penggunaan terpengaruh oleh tingkat risiko infeksi atau
kalau dilihat indikatornya lukanya belum kering, dalam bayangan
awam saya sih… kalau sampai 10 hari itu mungkin dokternya terlalu
takut soal keringnya yang lama atau penyembuhannya lama.
8. Apakah Ibu mencermati peresepen antibiotik profilaksis seftriakson ini sudah
mampu mencegah terjadinya infeksi paska operasi?
Jawab: Sudah… tapi mungkin ada yang masih mengalami infeksi luka itu.
Salah satu parameter itu adanya ILO, sudah ada tim kita yang
mengurusi itu yaitu tim INOS dan Patient Savety.
9. Kalau keluhan dari pasien itu ada tidak ya, Bu.. Misal seperti biaya yang harus
dikeluarkan, penggunaan antibiotika profilaksis, kayak efek samping, lama
penggunaannya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Jawab: Kalau keluhan ada. Menurut saya lebih ke soal biaya ya, tapi untuk
obat-obat golongan generik (seftriakson, metronidasol) tidak terlalu
mengeluhkan. Sebelumnya dokter juga menjelaskan penggunaan
antibiotika profilaksis itu sampai kapan pada pasien. Jadi ada
kejelasan terapi. Efek samping ada juga mungkin, mungkin kulit
kemerahan… Tapi untuk sefalosporin kan itu ditest dulu ya, skin test.
Kalau positif, brarti antibiotika tersebut nggak dipakai, nggak jadi
diberikan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Lampiran 5. Hasil wawancara mendalam dengan Wakil Kepala Kamar Bedah
1. Apakah dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut?
Jawab: Selalu menggunakan antibiotika profilaksis, hampir semua dokter
menggunakan. Karena untuk apendisitis akut itu memang diharuskan
untuk menggunakan profilaksis ya..
2. Lalu antibiotika profilaksis yang sering diberikan pada pasien operasi
apendisitis akut itu apa ya, Bu? Alasannya?
Jawab: Biasanya yang dipakai itu sefalosporin, gentamisin-metronidasol,
penicillin. Kalau alasannya, mungkin bisa ditanyakan ke dokternya
langsung saja ya, mbak… hehehe
3. Ohh… Kemudian Bu, di Panti Rapih ada standar prosedur operasi apendisitis?
Jawab: Ada standar prosedurnya, Mbak.. Tapi namanya bukan standar
prosedur operasi, namanya Standar Pelayanan Medik.
Saya boleh lihat tidak, Bu?
Jawab: Boleh, Mbak… (peneliti diperlihatkan Standar Pelayanan Medik RS
Panti Rapih)
Apa dokter mengikuti standar ini, Bu?
Jawab: Iya…
4. Berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pasien operasi
apendisitis akut yang diberikan antibiotika sebagai seftriakson sebagai
profilaksis operasi, padahal di guideline tidak ada yang merekomendasikan
seftriakson sebagai profilaksis pada apendisitis akut? Adakah pertimbangan
khusus mungkin?
Jawab: Masih kurang tahu kenapa, mbak… heee
Ohh, begitu ya, Bu..hehehe…
5. Lalu Bu, berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pasien
yang menerima antibiotika profilaksis lebih dari 1 jam sebelum operasi?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
Jawab: Kita nggak tahu pastinya nanti seperti apa, misalnya kan operasi jam
8. Tapi nanti mungkin mundur operasinya, kebanyakan operasi
sebelumnya mundur.
6. Terus.. mengapa juga terdapat pasien yang menerima antibiotika profilaksis
setelah operasi?
Jawab: Untuk mempertahankan dosis, mungkin apendisitisnya infeksi tapi
belum berlanjut, cukup pakai yang oral saja. Kalau injeksi diberikan
lagi lebih dari 1 hari mungkin lebih karena setelah melihat
apendisitisnya yang sudah perforasi.
7. Antibiotika profilaksis itu ada yang diberikan dengan durasi lebih dari 1 hari
pada pasien operasi apendisitis, itu apa ya Bu alasannya kira-kira?
Jawab: Ya seperti yang saya jelaskan tadi… pemberian oral memang diberikan
selama 5 hari dan injeksi diberikan lebih dari 1 hari untuk apendisitis
yang sudah perforasi. Agar lukanya cepet kering ya, mbak… Makanya
dipakai antibiotika oral itu cukup untuk apendisitis yang tidak
perforasi dan injeksi yang perforasi. Untuk injeksi biasanya 3 hari.
8. Apakah Ibu mencermati peresepen antibiotika profilaksis seftriakson sudah
mampu mencegah terjadinya infeksi paska operasi?
Jawab: Sudah… Jarang terjadi infeksi setelah operasi…
9. Kemudian Bu, yang terakhir, hehehe.. Ada tidak keluhan dari pasien berupa
biaya yang harus dikeluarkan, efek samping, lama penggunaan berkaitan
dengan antibiotika profilaksis yang dokter berikan?
Jawab: Nggak ada, mbak.. Kan sebelumnya dijelasin dulu ke pasien
penggunaan antibiotikanya seperti apa. Kalau soal biaya, di kelas III
biasanya pakai generik. Jadi keluhan itu nggak ada.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Lampiran 6. Lembar kerja untuk pengumpulan data
Data diri
(No.RM: )
Data
operasi
Pemeriksaan
Nilai
rujukan
Tgl pemeriksaan laboratorium
No.
Nama obat,
dosis, frekuensi
Jam pemberian
obat
Tgl pemberian obat
Umur: Tanggal: Hemoglobin
Leukosit
Hematokrit
Berat badan: Jam: Tanda vital Nilai rujukan
Tekanan darah (mmHg)
Tinggi badan: Indikasi: Suhu (0C)
Denyut nadi (x per menit)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Lampiran 7. Pedoman wawancara mendalam dengan dokter bedah, Kepala
Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah RS Panti
Rapih
Pengantar
- Memberi salam dan ucapan terima kasih atas kesempatan dan kesediaan
responden dalam wawancara ini
- Memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama, latar belakang
pendidikan, dan asal instansi
- Menjelaskan tentang lama wawancara ini kurang dari 60 menit
- Menjelaskan secara singkat tentang tujuan wawancara ini yaitu
pengumpulan informasi tentang penggunaan antibiotika profilaksis pada
pasien yang menjalani operasi apendisitis di RS Panti Rapih tahun 2009
Tujuan
- Memperoleh informasi atau keterangan tambahan yang diperoleh secara
lisan terkait dengan penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009
- Memperoleh alasan pemilihan antibiotika profilaksis pada pasien yang
menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009
Prosedur
- Meminta responden untuk memberikan pendapatnya baik yang positif
maupun yang negatif
- Menjelaskan tentang penggunaan perekam suara sebagai alat bantu
penelitian agar tidak kehilangan informasi
- Memberi jaminan bahwa hasil wawancara hanya untuk tujuan penelitian
dan akan menjaga kerahasiaan nama responden dan informasi yang
didapatkan
- Meminta ijin untuk memulai wawancara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Daftar Pertanyaan:
9. Apakah dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien
yang menjalani operasi apendisitis akut?
- Jika iya, apa alasan dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis
pada pasien operasi apendisitis akut?
- Jika tidak, apa alasan dokter tidak selalu memberikan antibiotika
profilaksis pada pasien operasi apendiditis akut?
10. Apakah terdapat standar prosedur operasi apendisitis di RS Panti Rapih?
11. Jika ada, apakah pemberian antibiotika profilasis pada pasien operasi
apendisitis akut sudah sesuai dengan standar prosedur operasi apendisitis
di RS Panti Rapih?
12. Berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pasien
operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih pada tahun 2009 yang
diberikan antibiotika (yang tidak disebutkan di no.1) sebagai profilaksis
operasi? Adakah pertimbangan khusus?
13. Apakah Anda (dokter/kepala IFRS/kepala kamar bedah) mencermati
peresepen antibiotika profilaksis di RS Panti Rapih sudah mampu
mencegah terjadinya infeksi paska operasi?
14. Apakah terdapat keluhan dari pasien berupa biaya yang harus
dikeluarkan, penggunaan antibiotika profilaksis (cara pemberian, lama
penggunaan) berkaitan dengan antibiotika profilaksis yang dokter
berikan?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Pengembangan pertanyaan:
- Berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pasien yang
menerima antibiotika profilaksis lebih dari 1 jam sebelum operasi?
alasan ditanyakan: dari Standar Pelayanan Medik RS Panti Rapih dan
pedoman umum WHO Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009),
Antimicrobial Prophylaxis in Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan
ASHP Therapeutic Guidelines (ASHP, 1999) merekomendasikan
pemberian antibiotika profilaksis 1 jam sebelum operasi.
- Berdasarkan temuan saya dalam penelitian, mengapa terdapat pemberian
antibiotika profilaksis dengan lama pemberian lebih dari 1 hari pada
pasien operasi apendisitis?
alasan ditanyakan: dari berbagai guideline atau pedoman WHO
Guidelines for Safe Surgery (WHO, 2009), Antimicrobial Prophylaxis in
Surgery (Kanji and Devlin, 2008), dan ASHP Therapeutic Guidelines
(ASHP, 1999) direkomendasi pemberian antibiotika profilaksis cukup 1
hari saja, kecuali ditemukan perforasi atau gangraen ketika operasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
BIOGRAFI PENULIS
Penulis yang memiliki nama lengkap Yuma Pinandita Lingga Dewi merupakan anak kedua dari 2 bersaudara dari pasangan I Made Budiartana, S. Pd. dan Yustina Sri Rahayuningsih. Penulis lahir di Yogyakarta pada tanggal 6 Maret 1989. Penulis telah menempuh pendidikan di TK Kanisius Kalasan Yogyakarta pada tahun 1993-1995, SD Kanisius Kalasan Yogyakarta pada tahun 1995-2001, SMP Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 2001-2004, SMA Negeri 8 Yogyakarta pada tahun 2004-2007, dan kemudian penulis melanjutkan pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
pada tahun 2007. Semasa di bangku kuliah, penulis bergabung menjadi asisten dosen pratikum Farmasi Fisika II pada tahun 2011.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJIPLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI