pk-36 tugas093 penulisan ilmiah gumul rizka khairani.pdf

15
1 Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Inggris dan Perancis Terkait masuknya Turki Menjadi Anggota Tetap Uni Eropa Latar Belakang Hubungan Turki dengan negara-negara di Eropa sudah berlangsung sejak lama, bahkan sebelum Uni Eropa resmi terbentuk sebagai sebuah organisasi supranasional di Eropa, Turki sendiri telah banyak menjalin kerja sama secara bilateral dengan negara-negara di Eropa. Secara historis, Turki sendiri juga telah menjadi anggota atas banyak organisasi yang dipandang sebagai cikal bakal dari Uni Eropa sendiri. Pada tahun 1949, setelah Council of Europe resmi terbentuk, Turki langsung tergabung sebagai anggota. Turki sendiri juga menjadi salah satu negara pelopor dalam Organization for Security and Co- operation in Europe (OSCE) pada tahun 1973 dan telah menjadi associate member dari Western European Union sejak tahun 1992, bahkan Turki sendiri dikelompokkan dalam “Eropa Barat” dan tergabung di Western European and Others Group (WEOG) dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dapat dilihat bahwa hubungan Turki dengan Eropa sudah sangat erat dari awal, mulai dari kerja sama dalam bentuk ekonomi, militer maupun lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Turki ingin menjadi lebih dari sekedar associate member dari Uni Erope seperti yang sudah terjalin sejak 1963. Dimana pada tahun 1987 Turki mulai mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh dari Uni Eropa. Setelah permohonan tersebut diterima dengan ditandai terbentuknya custom union pada 1995 antara Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki, kemudian pada 1997 Turki dinyatakan layak menjadi salah satu negara kandidat anggota Uni Eropa dan diumumkan oleh Komisi Uni Eropa. Akan tetapi, proses masuknya Turki sebagai anggota Uni Eropa hingga kini belum mendapat persetujuan resmi untuk diterima. Baru pada tahun 12 Desember 1999, Turki akhirnya diakui sebagai kandidat anggota dalam Uni Eropa dalam pertemuan Helsinki Summit of the European Council, namun negosiasi baru mulai dilakukan pada 3 Oktober 2005 (www.irishtimes.com, 2012). Perdana Menteri Turki, Tayyip Erdogan, mengungkapkan bahwa apabila Uni Eropa tidak memiliki niat yang serius untuk memasukkan Turki kedalam keanggotaan Uni Eropa hingga pada tahun 2023, maka Turki akan menghentikan kerjasamanya dengan Uni Eropa. “If you try to keep us dangling ’til then, the EU will lose, at least you will lose Turkey,” (Erdogan dalam Scally, 2012). Hal ini mendapatkan tanggapan dari Kanselir

Upload: rizka-khairani

Post on 03-Sep-2015

18 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

  • 1

    Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Inggris dan Perancis Terkait masuknya

    Turki Menjadi Anggota Tetap Uni Eropa

    Latar Belakang

    Hubungan Turki dengan negara-negara di Eropa sudah berlangsung sejak lama, bahkan

    sebelum Uni Eropa resmi terbentuk sebagai sebuah organisasi supranasional di Eropa,

    Turki sendiri telah banyak menjalin kerja sama secara bilateral dengan negara-negara di

    Eropa. Secara historis, Turki sendiri juga telah menjadi anggota atas banyak organisasi

    yang dipandang sebagai cikal bakal dari Uni Eropa sendiri. Pada tahun 1949, setelah

    Council of Europe resmi terbentuk, Turki langsung tergabung sebagai anggota. Turki

    sendiri juga menjadi salah satu negara pelopor dalam Organization for Security and Co-

    operation in Europe (OSCE) pada tahun 1973 dan telah menjadi associate member dari

    Western European Union sejak tahun 1992, bahkan Turki sendiri dikelompokkan dalam

    Eropa Barat dan tergabung di Western European and Others Group (WEOG) dalam

    Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dapat dilihat bahwa hubungan Turki dengan Eropa sudah

    sangat erat dari awal, mulai dari kerja sama dalam bentuk ekonomi, militer maupun

    lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Turki ingin menjadi lebih dari

    sekedar associate member dari Uni Erope seperti yang sudah terjalin sejak 1963. Dimana

    pada tahun 1987 Turki mulai mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh dari

    Uni Eropa. Setelah permohonan tersebut diterima dengan ditandai terbentuknya custom

    union pada 1995 antara Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki, kemudian pada 1997

    Turki dinyatakan layak menjadi salah satu negara kandidat anggota Uni Eropa dan

    diumumkan oleh Komisi Uni Eropa. Akan tetapi, proses masuknya Turki sebagai anggota

    Uni Eropa hingga kini belum mendapat persetujuan resmi untuk diterima. Baru pada

    tahun 12 Desember 1999, Turki akhirnya diakui sebagai kandidat anggota dalam Uni

    Eropa dalam pertemuan Helsinki Summit of the European Council, namun negosiasi baru

    mulai dilakukan pada 3 Oktober 2005 (www.irishtimes.com, 2012).

    Perdana Menteri Turki, Tayyip Erdogan, mengungkapkan bahwa apabila Uni Eropa tidak

    memiliki niat yang serius untuk memasukkan Turki kedalam keanggotaan Uni Eropa

    hingga pada tahun 2023, maka Turki akan menghentikan kerjasamanya dengan Uni

    Eropa. If you try to keep us dangling til then, the EU will lose, at least you will lose

    Turkey, (Erdogan dalam Scally, 2012). Hal ini mendapatkan tanggapan dari Kanselir

  • 2

    Jerman yang menjanjikan bahwa Uni Eropa akan membuat jalan negosiasi lebih terbuka

    dan untuk sementara ini memberikan privileged partnership yang membuat hubungan

    perdagangan Turki dengan Uni Eropa semakin dekat. Namun hal ini ditolak oleh Egemen

    Bagis selaku representatif Turki di Uni Eropa. Dimana ia mengatakan bahwa Either you

    are in or you are out, there can be no (EU) half-way house, (Bagis dalam Scally, 2012).

    Hal tersebut jelas menjadi dilematis ketika beberapa negara-negara di Uni Eropa berdiri

    pada pendiriannya masing-masing terhadap dukungan Turki untuk masuk ke dalam

    keanggotaan Uni Eropa. Inggris yang merupakan salah satu negara dalam Uni Eropa

    menunjukkan dukungan yang positif terhadap bergabungnya Turki untuk menjadi salah

    satu anggota Uni Eropa. Namun yang menjadi janggal adalah ketika Perancis yang juga

    salah satu anggota Uni Eropa, justru menunjukkan aksi yang kontradiktif dengan Inggris.

    Perancis justru menolak dengan gamblang mengenai masuknya Turki ke dalam

    keanggotaan Uni Eropa.

    Hal ini kemudian menarik untuk dibandingkan karena seperti yang kita ketahui Perancis

    dan Inggris memiliki hubungan yang cukup dekat dan memiliki kesamaan yang cukup

    signifikan dari berbagai macam segi. Inggris dan Perancis memiliki kedekatan yang

    cukup baik, walaupun keduanya banyak terlibat perang dalam merebutkan kekuasaan di

    jaman Napoleon. Namun sejak tercetusnya Perang Dunia, Inggris dan Perancis sudah

    menjalin hubungan yang dekat untuk menciptakan keamanan kolektif. Salah satunya

    adalah Etente Cordiale atau yang dikenal dengan triple etente yang ditandatangani pada

    8 April 1904. Entente cordiale ini kemudian berubah menjadi aliasi yang bernama triple

    entente dengan bergabungnya Russia. Aliansi ini bertujuan untuk menciptakan keamanan

    yang kolektif sebagai respon terhadap pembentukan aliansi blok sentral oleh Jerman,

    Italia dan Austria. Semenjak terbentuknya aliansi tersebut, Perancis dan Inggris

    mengakhiri rivalitas mereka yang sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Napoleon

    Bonaparte. Sehingga selama Perang Dunia berlangsung Perancis dan Inggris bersanding

    bersama untuk memperjuangkan kepentingan yang sama, yakni mengalahkan blok

    sentral.

    Berakhirnya Perang Dunia yang membawa Perancis dan Inggris sebagai deretan

    pemenang perang, membuat mereka melanjutkan kedekatan hubungan mereka dengan

    pembentukan beberapa organisasi internasional lainnya. Contohnya adalah North

  • 3

    Atlantic Treaty Agreement (NATO) yang juga bertujuan untuk membentuk keamanan

    kolektif. Selain itu terdapat banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa Perancis dan

    Inggris kompak dalam menggunakan hak vetonya baik dalam Uni Eropa maupun dalam

    Dewan Keamanan PBB. Kesamaan veto terakhir yang dilakukan Inggris dan Perancis

    adalah ketika keduanya abstain terhadap keputusan PBB untuk mengakui Palestina

    sebagai sebuah negara berdaulat. Selain itu, kesamaan Perancis dan Inggris terlihat ketika

    beberapa kali mereka mengelurkan veto terhadap kasus yang sama dalam Perserikatan

    Bangsa-Bangsa. Inggris dan Perancis sama-sama menggunakan hak vetonya untuk

    abstain dalam pemungutan suara mengenai masuknya Palestina dalam keanggotaan PBB.

    Hal lainnhya yang tak kalah menarik adalah dengan melihat historis pengambilan

    keputusan dalam Uni Eropa sendiri dimana Perancis dan Inggris sama-sama pernah

    memveto resolusi yang akan dikeluarkan oleh Uni Eropa selama 29 kali.

    Namun ketika keduanya mengeluarkan kebijakan yang berbeda akan dukungan terhadap

    masuknya Turki kedalam keanggotaan Uni Eropa, menimbulkan pertanyaan besar

    mengenai alasan dan varibel apakah yang mendasari perbedaan pengambilan kebijakan

    diantara keduanya.

    Perspektif Luar Negeri dan Opini Publik Sebagai Dasar Perbandingan

    Kebijakan Luar Negeri

    Dalam menjelaskan perbedaan pengambilan kebijakan luar negeri oleh Perancis dan

    Inggris, metode yang digunakan adalah Level of Analysis. Level of Analysis merupakan

    metode untuk menganalisa bagaimana suatu kebijakan luar negeri suatu negara dapat

    dirumuskan serta bagaimana faktor-faktor lain mempengaruhi pembentukan hal tersebut.

    Fokus yang diutamakan kali ini adalah state-level of analysis. Valerie Hudson (2007)

    mengkategorikan state-level of analysis dalam kategori level analisis mikro (Hudson,

    2007: 143). Dimana level analisis pada tingakat negara ini memfokuskan pada

    karakteristik politik domestik negara, struktur pemerintahan, perspektif kebijakan luar

    negeri serta peran opini publik, latar belakang budaya dan nasionalisme serta peran media

    dan opini public dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam

    menganalisa perbedaan kebijakan luar negeri yang dikeluarkan Perancis dan Inggris

  • 4

    dalam menanggapi masuknya Turki sebagai anggota tetap Uni Eropa, penulis

    menggunakan persperktif politik luar negeri dan peran opini publik sebagai variabel

    analisisnya.

    Pertama adalah perspektif politik luar negeri yang merupakan salah satu penentu

    pengambilan kebijakan luar negeri oleh suatu negara. Pembahasan kali ini berkaitan

    dengan latar belakang budaya dan nasionalisme suatu negara yang turut mempengaruhi

    pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara. Perspektif ini memandang bahwa dalam

    menentukan suatu kebijakan luar negeri, seuatu negara melihat negara lain sebagai suatu

    kumpulan bangsa yang memiliki identitas kultur tertentu (Rourke dan Boyer, t.t.: 81).

    Nilai budaya dianggap dapat menjadi jembatan penghubung antara perilaku (behavior)

    dan sikap (attitude) dengan watak asli negara-bangsa. Brian Ripley (dalam Laura Neck,

    1995: 94-95) menjelaskan mengenai rasional kultural sebagai serangkaian simbol dan

    tradisi yang menunjukkan perilaku yang cocok dan memberi makna terhadap interaksi

    birokrasi. Lebih lanjut lagi, dalam perspektif Neack (2008), ia menerangkan bahwa

    budaya mempengaruhi perkembangan institusional suatu negara, termasuk pengambilan

    keputusan kebijakan luar negeri yang dibuat. Salah satu contoh adalah perbedaan sistem

    antara negara non demokratis dan demokratis dan pengaruhnya dalam lembaga maupun

    hasil kebjikan yang keluar dari tiap negara yang berbeda identitas tersebut (Neack, 2008:

    90).

    Salah satu contoh konkret bahwa kultur atau nilai budaya mampu mempengaruhi

    pengambilan kebijakan luar negeri adalah ketika kemudian saat Hitler yang berasal dari

    bangsa Arya menanamkan pahamnya yang cukup radikal yang kemudian menyebabkan

    pecahnya Perang Dunia ke II. Kemudian bagaimana Slobodan Milosevic melakukan

    ethnic cleansing di Bosnia dan Serbia akibat ketakutannya akan dominasi Islam di negara

    tersebut. Dimana kebijakan yang mereka ambil ini bila ditelaah lebih dalam berakar pada

    masalah latar belakang budaya. Hutington would suggest that most conflict in the world

    have cultural roots (Hutington dalam Hudson, 2007: 104).

    Kedua adalah peran opini public. Dalam kaitannya dengan pengambilan kebijakan luar

    negeri, opini publik dan media memiliki perannya tersendiri dalam menentukan arah

    kebijakan luar negeri. Terutama dalam negara yang demokratis. Terutama di era

    globalisasi ini dimana peran media menjadi sangat signifikan di dunia internasional.

  • 5

    Media memiliki peran yang krusial dalam pembuatan kebijakan nasional sutau negara,

    baik dalam input maupun output. Everts dan Isernia (2001) menyebutkan bahwa opini

    publik dalam negara yang demokratis lebih memiliki pengaruh yang signifikan

    dibandingkan dengan negara yang otoriter. Dimana peran publik disini adalah berkaitan

    dengan analisis terhadap pengambilan kebijakan suatu negara. Media menjadi sarana

    penyalur opini publik. Pluralist model menyebutkan bahwa opini publik mampu

    mempengaruhi kebijakan luar negeri, dimana masyarakat memiliki kontrol terhadap

    pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara karena terlepas dari pengaruh politik.

    Kontrasnya elite model mengungkakan bahwa opini publik tidak mampu mempengaruhi

    pengambilan kebijakan suatu negara karena hanya kaum elit politik yang memiliki

    powerlah yang mampu mempengaruhi media. Keputusan tertinggi dalam pengambilan

    keputusan tetap berada pada para decision maker. Dimana Robinson menungkapkan

    bahwa power is concentrated within elite politics and society. As such, elite ccounts

    maintain that both the media and publik opinion are subservient to political elites

    (Robinson, 2008: 138).

    Perspektif Kebijakan Luar Negeri Perancis

    Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Rourke dan Boyer (t.t), Perancis memandang

    bahwa Turki merupakan suatu satu kesatuan bangsa yang memiliki identitas kultur Islam.

    Identitas yang jauh berbeda dengan masyarakat Perancis, bahkan dengan seluruh anggota

    Uni Eropa lainnya. Nilai budaya Turki yang masih kental akan nilai-nilai Islam tentu

    mempengaruhi perilaku dan sikap kepemerintahannya dalam menanggapi permasalahan

    dan isu tertentu. Sebut saja partai mayoritas yang berkuasa dalam ranah pemerintaha

    Turki ialah partai-partai beraliran Islam Sunni. Hal inilah yang menjadi beda dimana

    perancis menganut sekularisme dimana ranah sekuler dengan ranah agama begitu terpisah

    dalam kehidupan bernegara di Perancis. Perancis sangat menjunjung tinggi nilai dari

    kemurnian keanggotaan Uni Eropa yang berasal dari negara-negara Kristiani dan

    sejarah yang beda dari Turki, yang banyak dikuatkan oleh bukti pidato-pidato Sarkozy

    sebagai Perdana Menteri Perancis pada beberapa pertemuan tentang keanggotaan Turki

    (Le Gloannec, 2007). Menurut Nicholas Sarkozy, yang pada saat itu masih menjabat

    sebagai presiden Perancis, perbedaan kultur yang mencolok antara Turki dengan negara-

    negara Uni Eropa lainnya akan menyebabkan ketidakcocokan. Perancis begitu bertolak

  • 6

    belakang dengan apa yang menjadi substansi dari keadaan Turki dimana dalam entitasnya

    sebagai sebuah negara, ranah perpolitikan Turki masih dipengaruhi oleh nilai-nilai

    agama. Ketidakcocokan ini akan timbul karena secara mayoritas negara-negara Uni

    Eropa menganut sekularisme, sedangkan meski Turki secara formalitas telah berusaha

    mencitrakan dirinya sebagai negara sekuler namun Turki masih didominasi oleh

    pemerintahan yang berkiblat pada nilai-nilai Islam. Jika saat ini Sarkozy seolah-olah

    mengatakan bahwa komunitas Muslim di Perancis dapat diterima jika mereka

    mengadopsi konstitusi dan nilai-nilai Barat, dengan menolak keanggotaan Turki ke dalam

    Uni-Eropa, hal ini seolah mengatakan bahwa bagaimanapun, komunitas Muslim Perancis,

    tidak peduli seberapa sekuler, demokratis dan Barat, tetap tidak ada penerimaan

    kehadiran di Perancis maupun Uni Eropa secara lebih luasnya (Garcia 2011).

    Brian Ripley (dalam Laura Neck, 1995: 94-95) mengungkapkan bahwa symbol dan

    tradisi merupakan petunjuk dalam berinteraksi. Sehingga tradisi tertentu yang dianut oleh

    suatu negara merupakan seperangkat code of conduct dalam berperilaku. Karena

    memiliki perbedaan pedoman yang jauh berbeda antara Turki dan negara-negara Uni

    Eropa, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan-gesekan pendapat yang menimbulkan

    ketidakharmonisan hubungan antara Uni Eropa dengan Turki maupun antar negara Uni

    Eropa lainnya di kemudian hari. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakstabilan

    ketidakefektifan dalam kebijakan-kebijakan Uni Eropa yang akan terjadi di kemudian

    hari mengingat bahwa dibutuhkan suara konsensus dalam meloloskan resolusi yang akan

    keluar dan pada akhirnya akan menurunkan derajat kekompakkan yang selama ini terjaga

    di Uni Eropa.

    Selain itu, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa salah satu alasan Perancis

    menolak keanggotaan Turki dalam Uni Eropa adalah karena ketakutan Perancis sendiri

    akan turunnya pengaruh negara tersebut terhadap negara-negara kecil dalam Uni Eropa

    (Le Gloannec, 2007). Hal ini diperkuat dengan ungkapan William C. Wohlforth (2008),

    yang berlandaskan pada asumsi kaum realis, mengungkapkan bahwa terdapat tiga

    landasan penting yang mendasari suatu negara membentuk suatu kebijakan luar negeri.

    Yang pertama adalah kebutuhan manusia akan hidup berkelompok yang diwujudkan

    melalui pembentukan suatu negara. Selanjutnya adalah egoism yang menurut kaum realis

    terdapat pada diri masing-masing individual yang kemudian merepresentasikan

  • 7

    bagaimana suatu negara menjabarkan kebijakan dan kepentingan nasional yang

    didasarkan atas kepentingan individu. Yang terakhir adalah perebutan power dimana

    kebijakan luar negeri suatu negara dirancang sedemikian rupa agar suatu negara mampu

    merebut power dimana tujuan akhirnya adalah pencapaian kepentingan nasional secara

    maksimal (Wohlforth, 2008: 33-34).

    Sikap Perancis tersebut jelas sejalan dengan yang dingkapkan oleh Wohlforth (2008),

    yang berkaitan dengan perebutan power dalam perumusan pembuatan kebijakan suatu

    negara. Perancis sendiri mengalami ketakutan secara politis dimana dikhawatirkan Turki

    dapat mendominasi pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh salah satu parlemen

    yang memiliki proporsi sesuai dengan populasi masing-masing negara. Turki sendiri

    memiliki jumlah penduduk yang cukup padat dibandingkan negara-negara di Uni Eropa

    lainnya. Maka dapat diambil sebuah logika bahwa dalam pemungutan voting, akan

    terlihat dominasi suara Turki. Hal ini tentu akan mengancam posisi Perancis sendiri yang

    hingga kini masih ingin menjadi kekuatan paling besar dalam Uni Eropa. Sarkozy

    memandang bahwa dengan masuknya Turki ke dalam Uni Eropa, hal ini akan secara

    logika menambah diversitas yang ada dan akan menurunkan tingkat enforcement dan

    implementasi kebijkan yang akan dikeluarkan oleh Uni Eropa (Goulard, 2004).

    Selain itu, dengan menyetujui perluasan Uni Eropa ke Turki, akan mengurangi perngaruh

    Perancis terhadap negara-negara yang lebih kecil dibandingkan sebelumnya (Le

    Gloannec, 2007). Hal ini berangkat dari asumsi Sarkozy yang menilai Turki secara

    geografis bukan sebagai wilayah eropa (Akbar, 2012). Turki merupakan negara yang

    terletak di wilayah Asia. Hal ini semakin dikuatkan oleh posisi Perancis yang anti

    perluasan karena menanggap bahwa lebih baik Uni Eropa memiliki batasan yang jelas

    demi menguatkan kekuatannya (Goulard, 2004). Sarkozy sendiri menganggap bahwa

    Turki merupakan negara yang berada di Asia Minor daripada di daerah Eropa.

    Perspektif Kebijakan Luar Negeri Inggris

    Inggris, sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah yang tidak berbatasan darat secara

    langsung dengan negara Eropa lain, memiliki island mentality di mana akan terjadi

    kecendurungan untuk lebih mengekslusifkan diri dan tidak tergabung secara penuh ke

    Eropa sendiri, salah satu contoh adalah melalui tidak berlakunya Euro di Eropa dan masih

  • 8

    diberlakukannya Poundsterling. Hal ini merupakan salah satu warisan dari masa Margaret

    Thatcher yang ingin melestarikan dan mencegah nilai mata uang Inggris untuk

    bergantung dan turun. Namun, dapat dilihat bahwa semenjak tahun 1970an, salah satu

    ciri khas dari Inggris adalah melalui dukungannya terhadap integrasi Eropa secara

    keseluruhan. Deepening of European integration that was the hallmark of British policy

    since the middle of the 1970s (ODonnel and Whitman, 2007). Jika hal ini disambungkan

    dengan kasus dukungan Inggris terhadap masuknya Turki ke dalam Uni Eropa maka

    Inggris beranggapan bahwa dengan masuknya Turki ke dalam Uni Eropa maka hal ini

    akan semakin menguatkan posisi Uni Eropa secara ekonomi maupun kultural dan politik.

    Untuk masalah identitas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya Inggris juga menggap bahwa

    Turki memiliki latar belakang yang berbeda dengan negara Eropa lain yang memiliki

    mayoritas demografi sebagai penganut Kristen. Namun, Inggris beranggapan bahwa

    dengan masuknya Turki, maka akan terjadi semacam jembatan antara Eropa dan

    negara-negara Muslim yang lain dan konsekuensi dari penolakan tersebut akan

    mengakibatkan Eropa untuk memiliki identitas yang tertutup (Milliband). Inggris

    memiliki keyakinan bahwa Uni Eropa seharusnya dapat memperluas wilayahnya dan

    tidak perlu ada ketegasan batas Eropa secara jelas, karena dapat memberikan efek yang

    signifikan terhadap perkembangan ekonomi secara khususnya (Milliband). Perbedaan

    kultur antara Turki dan mayoritas negara Uni Eropa lainnya dipandang Inggris sebagai

    sebuah kelebihan yang akan menguntugkan Uni Eropa. Inggris dalam hal ini memiliki

    perspektif yang berbeda yang tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh

    Tony Blair selaku Perdana Meneteri yang menjabat pada saat itu. Dimana apabila

    didasarkan pada teori Brian Ripley (dalam Laura Neck, 1995: 94-95) mengenai rasional

    cultural maka dapat dilihat bahwa masuknya kultur lain dalam Uni Eropa akan

    menciptakan suatu jembatan antara kultur yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini adalah

    kultur Islam dengan kultur Kristiani. Terutama, bergabungnya Turki dalam Uni Eropa

    juga dapat membantu meningkatkan peran Uni Eropa itu sendiri dalam menjalin

    hubungan keamanan dengan negara-negara di Timur Tengah baik dalam oraganisasi

    regional seperti Uni-Eropa maupun oraganisasi regional lainnya seperti NATO. Hal ini

    sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Wohlforth (2008) bahwa suatu negara

    merumuskan kebijakan luar negerinya berdasarkan pada kebutuhan manusia akan hidup

    berkelompok. Tujuan dari hidup berkelompok ini menurut analisis penulis adalah untuk

  • 9

    mencapai suatu kepentingan bersama yang tidak mampu dicapai sendiri. Di sini Inggris

    memandang bahwa terintegrasinya Turki dalam Uni-Eropa ini akan menjadi salah satu

    batu loncatan untuk mencapai tujuan nasionalnya lewat perluasan keanggotaan Uni

    Eropa. Bergabungnya Turki dalam Uni Eropa merupakan jalan terang bagi kelangsungan

    Uni Eropa untu meningkatkan kemajuan ekonomi maupun politik.

    Korelasi Perspektif Luar Negeri dengan Opini Publik

    Dapat dilihat bahwa perspektif luar negeri suatu negara juga turut mempengaruhi opini

    publik dalam negara tersebut mengenai satu isu karena tidak dapat dipungkiri bahwa

    media dapat berperan sebagai lembaga yang top-bottom maupun lembaga yang bottom-

    top. Lewat model interaksi yang dapat berlangsung dua arah tersbut ialah dapat diakatan

    bahwa opini publik dan media saling berkorelasi dan saling mempengaruhi dalam

    pembuatan keputusan yang akan dikeluarkan oleh suatu negara. Perspektif luar negeri ini

    terbentuk oleh faktor media dan juga opini publik karena suatu kelompok pembijakan

    akan berusaha untuk memuaskan elemen-elemen yang memberikan masukan karena

    tidak dapat dipungkiri bahwa elemen-elemen tersebutlah yang pada akhirnya akan

    memilih kembali kelompok pembuat kebijakan tersebut di kemudian hari. Disatu sisi

    terlihat bahwa opini publik memiliki peran konstruktif dalam membatasi para pembuat

    kebijakan, yang mana hingga saat ini posisi keanggotaan Turki dalam Uni Eropa masih

    belum diputuskan secara resmi. Akan tetapi seperti yang diungkapkan oleh Hans

    Morgenthau dalam Holsti (2002) bahwa syarat-syarat rasional kebijakan luar negeri yang

    baik pada permulaannya tak dapat memperhitungkan dukungan opini publik yang

    memiliki preferensi yang lebih emosional daripada rasional.

    Opini Publik Perancis terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa

    Perancis merupakan salah satu negara yang memiliki sistem demokrasi yang tua di dunia,

    hal ini memiliki alasan di mana Revolusi Perancis pada tahun 1789 sendiri merupakan

    salah satu tonggak berdirinya demokrasi di dunia pada saat itu. Dengan banyaknya media

    yang mengekspose mengenai isu Turki yang menjadi kandidat sebagai anggota tetap Uni-

    Eropa, salah satu lembaga yang mengambil sebuah survei adalah Eurobarometer. Survei

    ini dilaksanakan dan disetujui oleh Directorate-General Press dan Communication dan

  • 10

    dibantu dengan TNS Opinion & Social yang merupakan lembaga turunan dari TNS and

    EOS Gallup Europe dan dilkasanakan pada tanggal 9 May dan 14 Juni 2009 di seluruh

    anggota negara Uni-Eropa.

    Eurobarometer pada tahun 2009 mengambil variabel Islamophobia untuk menjaring opini

    publik terkait negosiasi aksesi Turki ke dalam Uni Eropa. Survei terakhir yang dilakukan

    Eurobarometer pada Februari 2009 mengambil isu agama dan budaya sebagai

    pertimbangan perluasan Uni Eropa dengan menambahkan Turki sebagai anggotanya

    (Arif: 2011). Sebelumnya, pada Mei-Juni tahun 2005, Eurobarometer juga pernah

    melakukan survei opini publik yang lebih spesifik mempertanyakan dukungan negara-

    negara anggota Uni Eropa terhadap aksesi Turki. Terkait validasi lembaga survei ini

    tentunya Eurobarometer merupakan lembaga survei resmi yang memang bernaung di

    bawah Uni Eropa secara langsung, sehingga survei yang didapat pun merupakan hasil

    yang valid.

    Perancis termasuk negara anggota Uni Eropa yang paling menentang masuknya Turki

    dalam keanggotaan Uni Eropa. Menurut jajak pendapat, tercatat publik di Perancis hanya

    20% yang mendukung aksesi Turki ke dalam Uni Eropa meskipun masyarakat Muslim di

    Perancis merupakan masayarakat muslim terbesar dibanding negara-negara anggota Uni

    Eropa lainnya. (www.euractiv.com). Dapat dilihat bahwa Perancis seringkali

    menggunakan model pluralist sehingga lebih mengakomodasi masukan maupun aspirasi

    dari masyarakat sekitar. Salah satu bukti pemberlakuan model ini di Perancis dapat dilihat

    bagaimana Nicolas Sarkozy, sebagai Perdana Menteri Perancis selalu memberikan

    pernyataan yang mendukung opini publik Perancis terutama dalam isu Turki ini. Salah

    pidato Sarkozy bahkan mengatakan bahwa Prancis telah menyatakan bahwa masuknya

    Turki akan ditentukan lewat pemilihan oleh warga mereka.

    Opini Publik Inggris terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa

    Sedangkan anggota Uni Eropa lainnya yaitu Inggris, menjadi salah satu negara yang

    paling mendukung masuknya Turki masuk menjadi keanggotaan Uni Eropa. Inggris

    disebut-sebut sebagai contoh negara alternatif, dimana kurang lebih 1,5 juta penduduk

    muslim Inggris dapat berintegrasi baik dalam kehidupan sosialnya. Sedangkan Inggris,

  • 11

    40% dari masyarakat yang disurvei mendukung aksesi Turki ke Eropa dilihat dari

    masyarakatnya yang memang sudah cukup toleran dan didukung oleh keputusan

    pemerintah Inggris yang memang mendukung Turki (www.euractive.com). Apakah

    kemudian Uni Eropa mendengarkan warganya dalam penentuan keanggotaan Turki

    masuk ke Uni Eropa? 53% warga Eropa menganggap suara mereka tidak dihitung dalam

    Uni Eropa, sedangkan 38% lainnya mengambil pandangan yang berbeda.

    (www.euractive.com). Namun yang menjadi menarik untuk dilihat di sini adalah

    bagaimana masyarat Inggris sendiri menganggap bahwa suara mereka tidak begitu

    terdengar dan sampai pada kelompok pmebuat kebijkan. Salah satu faktor ini dapat dilihat

    bagaimana struktur pemerintahan Inggris tidak semuanya harus melewati konsorsium

    dari masayarakat Inggris karena sistemnya yang monarki konstitusional. Dapat diliat dari

    pernyataan Menteri Inggris, David Cameron sangat mendukung masuknya Turki kedalam

    Uni Eropa karena Turki telah memiliki banyak jasa terhadap Uni Eropa meski secara

    prosentase persetujuan dari masyarakat Inggris bukan merupakan prosentasi yang

    mayoritas.

    Kesimpulan

    Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan kebijakan luar negeri Perancis dan Inggris

    terhadap dukungan Turki menjadi anggota Uni Eropa, dapat dilihat bahwa meskipun

    terdapat banyak kesamaan struktur politik maupun kekuasaan yang berimbang antara

    keduanya, namun tidak selamanya faktor tersebut dapat menjamin sebuah negara akan

    mengeluarkan kebijakan yang bersifat konvergen satu sama lain. Di satu sisi, Perancis

    menekankan pada pentingnya penjagaan atas identitas Eropa yang berbasis pada Kristen

    sehingga tidak perlua ada perluasan, namun di sisi lain Inggris tidak ingin membatasi

    identitas Eropa sebagai identitas yang closed. Perbedaan dalam keduanya kini menjadi

    hal yang menghambat keputusan Turki menjadi anggota tetap Uni Eropa maupun tidak

    karena keduanya memiliki hak veto.

    Perbedaan pandangan yang timbul antara Perancis dan Inggris terjadi karena

    keduanya memandang berbeda dalam menanggapi masuknya Turki kedalam Uni Eropa.

    Dimana Perancis merasa Turki akan membawa ancaman dapat memecah persatuan Uni

    Eropa dengan membawa perubahan signifikan dalam budaya dan agama. Sedangkan

    Inggris lebih berfokus pada perolehan keuntungan dengan memandang masuknya Turki

  • 12

    akan menghasilkan keuntungan baru bagi Eropa terutama Inggris mengingat Turki

    sebagai negara yang banyak memberikan jasa dalam membantu Eropa. Pandangan

    pemimpin negara yang berbeda kemudian membentuk opini public dalam menilai

    masuknya Turki sebagai Uni Eropa. Selain itu, negara seperti Perancis takut bahwa

    masuknya Turki akan mengakhiri tujuan kaum federalis dari serikat politik, sedangkan

    Inggris kurang tertarik pada integrasi politik dan cenderung berfokus pada pembesaran

    Eropa yang dianggap dapat membawa hal positif.

    Perbandingan kebijakan luar negeri antara Perancis dan Inggris menunjukkan bahwa

    struktur, keadaan politik domistik yang terpengaruh oleh demografi serta perspektif elit

    maupun opini publik menjadi faktor yang signifikan ketika berkaitan dengan dukungan

    terhadap keanggotaan Turki ke dalam Uni Eropa. Di Perancis dapat dilihat bahwa

    President lebih berperan dalam keputusan luar negerinya dan Inggris memiliki kontras

    bahwa Perdana Menteri lebih berperan dalam pengambilan keputusan luar negeri. State-

    level of analysis dipandang dapat memberikan penjelas yang jelas untuk kemudian

    menjunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh

    fluktuasi politik dan kondisi dalam negeri yang melibatkan pihak pemerintah, oposisi,

    dan publik

    DAFTAR PUSTAKA

    BUKU

    Arif, Muhammad Qabidl Ainul. 2011. Sentimen Islamophobia dalam Isu Keanggotaan

    Turki di Uni Eropa: Deskripsi Bukti dan Penyebabnya dalam Centre for Middle

    Eastern Studies (CoMES). Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial

    dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.

    Bayrou, Franois. 2004. Non ladhsion de la Turquie, Commentaire, N.108, p. 1090.

    Bourlanges, Jean-Louis. 2004. A propos de la Turquie. Les contradictions dans la Ve

    Rpublique, in Commentaire, N. 107.

    Garcia, Luis Bouza. 2011. European Political Elites Discourses on the Accession of

    Turkey to the EU: Discussing Europe through Turkish Spectacles?. European

  • 13

    Perspectives Journal on European Perspectives of the Western Balkans Vol. 3,

    No. 2 (5), pp 53-73.

    Laurence, Jonathan and Justin Vaisse. 2006. Integration Islam. Political and religious

    Challenges in Contemporary France. Washington D. C. : Brookings Institution

    Press

    Le Gloannec, Anne-Marie. 2007. A view from France in in Nathalie Tocci (ed),

    Conditionality, Impact and Prejudice in EU-Turkey Relations. Istituto Affari

    Internazionali.

    Network of European Union Centers of Excellence. 2008. Turkey's Membership.

    European Union Center of North Carolina EU Briefings.

    ODonnell, Clara Maria & Richard G.Whitman. 2007. European policy under Gordon

    Brown: Perspectives on a future prime minister, International Affairs, 83, 2,

    March, forthcoming. Foreign Secretary Margaret Becket (2006) Statement to the

    House of Commons, 18 December 2006, London.

    Ole R. Holsti, 2002. Public Opinion and Foreign Policy: Challenges to the Almond

    Lippman Consensus, dalam Robert J. Lieber (ed.), Eagle Rules? Foreign Policy

    and American Primacy in the Twenty-First Century. Prentice Hall.

    Rourke, John T. 2010. International Politics on The World Stage. Connecticut. USA:

    McGraw-Hill

    Smith, Julie. 2005. A missed opportunity? New Labours European policy 19972005,

    International Affairs, 81: 4, July, pp. 70321.

    Whitman, Richard G. "The United Kingdom and the Turkish Accesion: The Inlargement

    Instinct PewvailS" in Nathalie Tocci (ed). 2007. Conditionality, Impact and

    Prejudice in EU-Turkey Relations. Instituto Affari Internazionali.

    ARTIKEL ONLINE

    Akbar, A., 2012. Inggris Dukung Turki Gabung Uni Eropa [online]. dalam

    http://international.okezone.com/read/2012/01/26/414/564010/inggris-dukung-

    turki-gabung-dengan-uni-eropa [diakses 1 November 2012].

  • 14

    Anon. t.t. David Cameron: UK will do everything it can to help Turkey "pave the road

    from Ankara to Brussels. [Online] dalam (http://www.bbc.co.uk/news/uk-

    politics-10767768), diakses tanggal 24 Oktober 2012

    Cagaptay, S., 2007. Sarkozys Policy on Turkeys E.U. Accession: Bad for France?

    [online]. dalam http://www.jewishpolicycenter.org/96/sarkozys-policy-on-

    turkeys-eu-accession-bad-for [diakses 1 November 2012].

    Cagaptay, Soner. 2007. [onlilne] availabe at

    http://www.jewishpolicycenter.org/96/sarkozys-policy-on-turkeys-eu-accession-

    bad-for [acessed on 28th October 2012]

    Clark, Andrew. 2004. Tony Blair Delighted at Turkey s EU Entry Talk Success.

    [Online] dalam (http://news.pseka.net/index.php?module=article&id=5255),

    [diakses tanggal 30 Oktober 2012].

    European Union. 2008. Turkeys Quest in EU Membership. PDF [online] dalam

    (http://www.unc.edu/depts/europe/business_media/mediabriefs/Brief4-0803-

    turkey's-quest.pdf), diakses tanggal 30 Oktober 2012.

    European Union. 2008. Turkeys Quest in EU Membership. PDF [online] dalam

    (http://www.unc.edu/depts/europe/business_media/mediabriefs/Brief4-0803-

    turkey's-quest.pdf), [diakses tanggal 30 Oktober 2012].

    France Guide. n. d. France Political Structure [online]. dalam

    http://us.franceguide.com/practical-information/France-s-Political-

    Structure.html?NodeID=124&EditoID=11879 [diakses 1 November 2012].

    Garcia, Louis Bouza. 2011. European Political Elites Discourses on the Accession of

    Turkey to the EU: Discussing Europethrough Turkish Spectacles?. Dalam

    European Perspectives Journal on European Perspectives of the Western

    Balkans Vol. 3, No. 2 (5), pp 53-73, [Online] dalam

    (http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad

    =rja&ved=0CFkQFjAH&url=http%3A%2F%2Fwww.europeanperspectives.si%

    2Findex.php%3Foption%3Dcom_docman%26task%3Ddoc_download%26gid%

    3D63&ei=VUqNUOH8JczNrQf_v4DYAw&usg=AFQjCNHeJ4ITGnBZG3JHo

    Adz1FjmcuvhRw&sig2=o7fzT_d0Tbs4wD_XAWlxYw), diakses tanggal 30

    November 2012.

  • 15

    Le Gloannec, Anne-Marie. 2007. Conditionality, Impact and Prejudice in EU-Turkey

    Relations: A View from France. Dalam Conditionality, Impact and Prejudice In

    EU-Turkey Relations, pp 75 83. PDF [online] dalam

    (http://www.iai.it/pdf/Quaderni/Quaderni_E_09.pdf). Diakses tanggal 30

    November 2012.

    Whitman, Richard G.. 2007. The United Kingdom and Turkish Accession: The

    Enlargement Instinct Prevails. Dalam Conditionality, Impact and Prejudice in

    EU-Turkey Relations, pp 119 128. PDF [online] dalam

    (http://www.iai.it/pdf/Quaderni/Quaderni_E_09.pdf). Diakses tanggal 30

    November 2012.

    SPEECHES AND DOCUMENTS

    Miliband, D. (2007) Europe 2030: Model Power not Superpower, 15/11/2007, available

    from: http://www.coleurop.be/events/909 (consulted last on 27/10/2009)

    Miliband, D (2008) Press conference with Turkish Foreign Minister, 07/11/2008,

    available from: http://www.fco.gov.uk/en/news/latest-news/?view=Speech&id=8796870

    (consulted last on 28/10/2009)

    Miliband, D. (2009) Foreign Secretary visit to Turkey 28/05/2009, available from:

    http://www.fco.gov.uk/en/news/latest-news/?view=Speech&id=18401681

    (consulted last on 28/10/2009)

    Sarkozy, N. (2007a) Discours de Nicolas Sarkozy, 07/02/2007, available from the

    following website: www.sarkozy.fr/download/?mode=press&fi

    lename=7fevrier2007_Toulon_DiscoursNS.pdf

    Sarkozy N (2007 b) Interview de Nicolas Sarkozy donne conjointement Radio

    Vatican (RV), lOsservatore Romano (OR) et au CTV., 20/12/2007, available from

    (consulted last on 27/10/2009): http://www.radiovaticana.org/fr1/

    Articolo.asp?c=175307

    Sarkozy, N. (2009) La France et lEurope. Discours de M. le prsident de la Rpublique

    - Runion rpublicaine Nmes (Gard). , 05/05/2009, available from the

    following website : http://www.elysee.fr/president/lesactualites/discours/2009/la-

    france-et-leurope.5716.html