pk-36 tugas093 penulisan ilmiah gumul rizka khairani.pdf
TRANSCRIPT
-
1
Perbandingan Kebijakan Luar Negeri Inggris dan Perancis Terkait masuknya
Turki Menjadi Anggota Tetap Uni Eropa
Latar Belakang
Hubungan Turki dengan negara-negara di Eropa sudah berlangsung sejak lama, bahkan
sebelum Uni Eropa resmi terbentuk sebagai sebuah organisasi supranasional di Eropa,
Turki sendiri telah banyak menjalin kerja sama secara bilateral dengan negara-negara di
Eropa. Secara historis, Turki sendiri juga telah menjadi anggota atas banyak organisasi
yang dipandang sebagai cikal bakal dari Uni Eropa sendiri. Pada tahun 1949, setelah
Council of Europe resmi terbentuk, Turki langsung tergabung sebagai anggota. Turki
sendiri juga menjadi salah satu negara pelopor dalam Organization for Security and Co-
operation in Europe (OSCE) pada tahun 1973 dan telah menjadi associate member dari
Western European Union sejak tahun 1992, bahkan Turki sendiri dikelompokkan dalam
Eropa Barat dan tergabung di Western European and Others Group (WEOG) dalam
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Dapat dilihat bahwa hubungan Turki dengan Eropa sudah
sangat erat dari awal, mulai dari kerja sama dalam bentuk ekonomi, militer maupun
lainnya. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa Turki ingin menjadi lebih dari
sekedar associate member dari Uni Erope seperti yang sudah terjalin sejak 1963. Dimana
pada tahun 1987 Turki mulai mengajukan permohonan untuk menjadi anggota penuh dari
Uni Eropa. Setelah permohonan tersebut diterima dengan ditandai terbentuknya custom
union pada 1995 antara Dewan Asosiasi Uni Eropa dengan Turki, kemudian pada 1997
Turki dinyatakan layak menjadi salah satu negara kandidat anggota Uni Eropa dan
diumumkan oleh Komisi Uni Eropa. Akan tetapi, proses masuknya Turki sebagai anggota
Uni Eropa hingga kini belum mendapat persetujuan resmi untuk diterima. Baru pada
tahun 12 Desember 1999, Turki akhirnya diakui sebagai kandidat anggota dalam Uni
Eropa dalam pertemuan Helsinki Summit of the European Council, namun negosiasi baru
mulai dilakukan pada 3 Oktober 2005 (www.irishtimes.com, 2012).
Perdana Menteri Turki, Tayyip Erdogan, mengungkapkan bahwa apabila Uni Eropa tidak
memiliki niat yang serius untuk memasukkan Turki kedalam keanggotaan Uni Eropa
hingga pada tahun 2023, maka Turki akan menghentikan kerjasamanya dengan Uni
Eropa. If you try to keep us dangling til then, the EU will lose, at least you will lose
Turkey, (Erdogan dalam Scally, 2012). Hal ini mendapatkan tanggapan dari Kanselir
-
2
Jerman yang menjanjikan bahwa Uni Eropa akan membuat jalan negosiasi lebih terbuka
dan untuk sementara ini memberikan privileged partnership yang membuat hubungan
perdagangan Turki dengan Uni Eropa semakin dekat. Namun hal ini ditolak oleh Egemen
Bagis selaku representatif Turki di Uni Eropa. Dimana ia mengatakan bahwa Either you
are in or you are out, there can be no (EU) half-way house, (Bagis dalam Scally, 2012).
Hal tersebut jelas menjadi dilematis ketika beberapa negara-negara di Uni Eropa berdiri
pada pendiriannya masing-masing terhadap dukungan Turki untuk masuk ke dalam
keanggotaan Uni Eropa. Inggris yang merupakan salah satu negara dalam Uni Eropa
menunjukkan dukungan yang positif terhadap bergabungnya Turki untuk menjadi salah
satu anggota Uni Eropa. Namun yang menjadi janggal adalah ketika Perancis yang juga
salah satu anggota Uni Eropa, justru menunjukkan aksi yang kontradiktif dengan Inggris.
Perancis justru menolak dengan gamblang mengenai masuknya Turki ke dalam
keanggotaan Uni Eropa.
Hal ini kemudian menarik untuk dibandingkan karena seperti yang kita ketahui Perancis
dan Inggris memiliki hubungan yang cukup dekat dan memiliki kesamaan yang cukup
signifikan dari berbagai macam segi. Inggris dan Perancis memiliki kedekatan yang
cukup baik, walaupun keduanya banyak terlibat perang dalam merebutkan kekuasaan di
jaman Napoleon. Namun sejak tercetusnya Perang Dunia, Inggris dan Perancis sudah
menjalin hubungan yang dekat untuk menciptakan keamanan kolektif. Salah satunya
adalah Etente Cordiale atau yang dikenal dengan triple etente yang ditandatangani pada
8 April 1904. Entente cordiale ini kemudian berubah menjadi aliasi yang bernama triple
entente dengan bergabungnya Russia. Aliansi ini bertujuan untuk menciptakan keamanan
yang kolektif sebagai respon terhadap pembentukan aliansi blok sentral oleh Jerman,
Italia dan Austria. Semenjak terbentuknya aliansi tersebut, Perancis dan Inggris
mengakhiri rivalitas mereka yang sudah dimulai sejak jaman pemerintahan Napoleon
Bonaparte. Sehingga selama Perang Dunia berlangsung Perancis dan Inggris bersanding
bersama untuk memperjuangkan kepentingan yang sama, yakni mengalahkan blok
sentral.
Berakhirnya Perang Dunia yang membawa Perancis dan Inggris sebagai deretan
pemenang perang, membuat mereka melanjutkan kedekatan hubungan mereka dengan
pembentukan beberapa organisasi internasional lainnya. Contohnya adalah North
-
3
Atlantic Treaty Agreement (NATO) yang juga bertujuan untuk membentuk keamanan
kolektif. Selain itu terdapat banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa Perancis dan
Inggris kompak dalam menggunakan hak vetonya baik dalam Uni Eropa maupun dalam
Dewan Keamanan PBB. Kesamaan veto terakhir yang dilakukan Inggris dan Perancis
adalah ketika keduanya abstain terhadap keputusan PBB untuk mengakui Palestina
sebagai sebuah negara berdaulat. Selain itu, kesamaan Perancis dan Inggris terlihat ketika
beberapa kali mereka mengelurkan veto terhadap kasus yang sama dalam Perserikatan
Bangsa-Bangsa. Inggris dan Perancis sama-sama menggunakan hak vetonya untuk
abstain dalam pemungutan suara mengenai masuknya Palestina dalam keanggotaan PBB.
Hal lainnhya yang tak kalah menarik adalah dengan melihat historis pengambilan
keputusan dalam Uni Eropa sendiri dimana Perancis dan Inggris sama-sama pernah
memveto resolusi yang akan dikeluarkan oleh Uni Eropa selama 29 kali.
Namun ketika keduanya mengeluarkan kebijakan yang berbeda akan dukungan terhadap
masuknya Turki kedalam keanggotaan Uni Eropa, menimbulkan pertanyaan besar
mengenai alasan dan varibel apakah yang mendasari perbedaan pengambilan kebijakan
diantara keduanya.
Perspektif Luar Negeri dan Opini Publik Sebagai Dasar Perbandingan
Kebijakan Luar Negeri
Dalam menjelaskan perbedaan pengambilan kebijakan luar negeri oleh Perancis dan
Inggris, metode yang digunakan adalah Level of Analysis. Level of Analysis merupakan
metode untuk menganalisa bagaimana suatu kebijakan luar negeri suatu negara dapat
dirumuskan serta bagaimana faktor-faktor lain mempengaruhi pembentukan hal tersebut.
Fokus yang diutamakan kali ini adalah state-level of analysis. Valerie Hudson (2007)
mengkategorikan state-level of analysis dalam kategori level analisis mikro (Hudson,
2007: 143). Dimana level analisis pada tingakat negara ini memfokuskan pada
karakteristik politik domestik negara, struktur pemerintahan, perspektif kebijakan luar
negeri serta peran opini publik, latar belakang budaya dan nasionalisme serta peran media
dan opini public dalam mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam
menganalisa perbedaan kebijakan luar negeri yang dikeluarkan Perancis dan Inggris
-
4
dalam menanggapi masuknya Turki sebagai anggota tetap Uni Eropa, penulis
menggunakan persperktif politik luar negeri dan peran opini publik sebagai variabel
analisisnya.
Pertama adalah perspektif politik luar negeri yang merupakan salah satu penentu
pengambilan kebijakan luar negeri oleh suatu negara. Pembahasan kali ini berkaitan
dengan latar belakang budaya dan nasionalisme suatu negara yang turut mempengaruhi
pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara. Perspektif ini memandang bahwa dalam
menentukan suatu kebijakan luar negeri, seuatu negara melihat negara lain sebagai suatu
kumpulan bangsa yang memiliki identitas kultur tertentu (Rourke dan Boyer, t.t.: 81).
Nilai budaya dianggap dapat menjadi jembatan penghubung antara perilaku (behavior)
dan sikap (attitude) dengan watak asli negara-bangsa. Brian Ripley (dalam Laura Neck,
1995: 94-95) menjelaskan mengenai rasional kultural sebagai serangkaian simbol dan
tradisi yang menunjukkan perilaku yang cocok dan memberi makna terhadap interaksi
birokrasi. Lebih lanjut lagi, dalam perspektif Neack (2008), ia menerangkan bahwa
budaya mempengaruhi perkembangan institusional suatu negara, termasuk pengambilan
keputusan kebijakan luar negeri yang dibuat. Salah satu contoh adalah perbedaan sistem
antara negara non demokratis dan demokratis dan pengaruhnya dalam lembaga maupun
hasil kebjikan yang keluar dari tiap negara yang berbeda identitas tersebut (Neack, 2008:
90).
Salah satu contoh konkret bahwa kultur atau nilai budaya mampu mempengaruhi
pengambilan kebijakan luar negeri adalah ketika kemudian saat Hitler yang berasal dari
bangsa Arya menanamkan pahamnya yang cukup radikal yang kemudian menyebabkan
pecahnya Perang Dunia ke II. Kemudian bagaimana Slobodan Milosevic melakukan
ethnic cleansing di Bosnia dan Serbia akibat ketakutannya akan dominasi Islam di negara
tersebut. Dimana kebijakan yang mereka ambil ini bila ditelaah lebih dalam berakar pada
masalah latar belakang budaya. Hutington would suggest that most conflict in the world
have cultural roots (Hutington dalam Hudson, 2007: 104).
Kedua adalah peran opini public. Dalam kaitannya dengan pengambilan kebijakan luar
negeri, opini publik dan media memiliki perannya tersendiri dalam menentukan arah
kebijakan luar negeri. Terutama dalam negara yang demokratis. Terutama di era
globalisasi ini dimana peran media menjadi sangat signifikan di dunia internasional.
-
5
Media memiliki peran yang krusial dalam pembuatan kebijakan nasional sutau negara,
baik dalam input maupun output. Everts dan Isernia (2001) menyebutkan bahwa opini
publik dalam negara yang demokratis lebih memiliki pengaruh yang signifikan
dibandingkan dengan negara yang otoriter. Dimana peran publik disini adalah berkaitan
dengan analisis terhadap pengambilan kebijakan suatu negara. Media menjadi sarana
penyalur opini publik. Pluralist model menyebutkan bahwa opini publik mampu
mempengaruhi kebijakan luar negeri, dimana masyarakat memiliki kontrol terhadap
pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara karena terlepas dari pengaruh politik.
Kontrasnya elite model mengungkakan bahwa opini publik tidak mampu mempengaruhi
pengambilan kebijakan suatu negara karena hanya kaum elit politik yang memiliki
powerlah yang mampu mempengaruhi media. Keputusan tertinggi dalam pengambilan
keputusan tetap berada pada para decision maker. Dimana Robinson menungkapkan
bahwa power is concentrated within elite politics and society. As such, elite ccounts
maintain that both the media and publik opinion are subservient to political elites
(Robinson, 2008: 138).
Perspektif Kebijakan Luar Negeri Perancis
Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Rourke dan Boyer (t.t), Perancis memandang
bahwa Turki merupakan suatu satu kesatuan bangsa yang memiliki identitas kultur Islam.
Identitas yang jauh berbeda dengan masyarakat Perancis, bahkan dengan seluruh anggota
Uni Eropa lainnya. Nilai budaya Turki yang masih kental akan nilai-nilai Islam tentu
mempengaruhi perilaku dan sikap kepemerintahannya dalam menanggapi permasalahan
dan isu tertentu. Sebut saja partai mayoritas yang berkuasa dalam ranah pemerintaha
Turki ialah partai-partai beraliran Islam Sunni. Hal inilah yang menjadi beda dimana
perancis menganut sekularisme dimana ranah sekuler dengan ranah agama begitu terpisah
dalam kehidupan bernegara di Perancis. Perancis sangat menjunjung tinggi nilai dari
kemurnian keanggotaan Uni Eropa yang berasal dari negara-negara Kristiani dan
sejarah yang beda dari Turki, yang banyak dikuatkan oleh bukti pidato-pidato Sarkozy
sebagai Perdana Menteri Perancis pada beberapa pertemuan tentang keanggotaan Turki
(Le Gloannec, 2007). Menurut Nicholas Sarkozy, yang pada saat itu masih menjabat
sebagai presiden Perancis, perbedaan kultur yang mencolok antara Turki dengan negara-
negara Uni Eropa lainnya akan menyebabkan ketidakcocokan. Perancis begitu bertolak
-
6
belakang dengan apa yang menjadi substansi dari keadaan Turki dimana dalam entitasnya
sebagai sebuah negara, ranah perpolitikan Turki masih dipengaruhi oleh nilai-nilai
agama. Ketidakcocokan ini akan timbul karena secara mayoritas negara-negara Uni
Eropa menganut sekularisme, sedangkan meski Turki secara formalitas telah berusaha
mencitrakan dirinya sebagai negara sekuler namun Turki masih didominasi oleh
pemerintahan yang berkiblat pada nilai-nilai Islam. Jika saat ini Sarkozy seolah-olah
mengatakan bahwa komunitas Muslim di Perancis dapat diterima jika mereka
mengadopsi konstitusi dan nilai-nilai Barat, dengan menolak keanggotaan Turki ke dalam
Uni-Eropa, hal ini seolah mengatakan bahwa bagaimanapun, komunitas Muslim Perancis,
tidak peduli seberapa sekuler, demokratis dan Barat, tetap tidak ada penerimaan
kehadiran di Perancis maupun Uni Eropa secara lebih luasnya (Garcia 2011).
Brian Ripley (dalam Laura Neck, 1995: 94-95) mengungkapkan bahwa symbol dan
tradisi merupakan petunjuk dalam berinteraksi. Sehingga tradisi tertentu yang dianut oleh
suatu negara merupakan seperangkat code of conduct dalam berperilaku. Karena
memiliki perbedaan pedoman yang jauh berbeda antara Turki dan negara-negara Uni
Eropa, dikhawatirkan akan menimbulkan gesekan-gesekan pendapat yang menimbulkan
ketidakharmonisan hubungan antara Uni Eropa dengan Turki maupun antar negara Uni
Eropa lainnya di kemudian hari. Hal ini tentu akan menimbulkan ketidakstabilan
ketidakefektifan dalam kebijakan-kebijakan Uni Eropa yang akan terjadi di kemudian
hari mengingat bahwa dibutuhkan suara konsensus dalam meloloskan resolusi yang akan
keluar dan pada akhirnya akan menurunkan derajat kekompakkan yang selama ini terjaga
di Uni Eropa.
Selain itu, terdapat pula pendapat yang mengatakan bahwa salah satu alasan Perancis
menolak keanggotaan Turki dalam Uni Eropa adalah karena ketakutan Perancis sendiri
akan turunnya pengaruh negara tersebut terhadap negara-negara kecil dalam Uni Eropa
(Le Gloannec, 2007). Hal ini diperkuat dengan ungkapan William C. Wohlforth (2008),
yang berlandaskan pada asumsi kaum realis, mengungkapkan bahwa terdapat tiga
landasan penting yang mendasari suatu negara membentuk suatu kebijakan luar negeri.
Yang pertama adalah kebutuhan manusia akan hidup berkelompok yang diwujudkan
melalui pembentukan suatu negara. Selanjutnya adalah egoism yang menurut kaum realis
terdapat pada diri masing-masing individual yang kemudian merepresentasikan
-
7
bagaimana suatu negara menjabarkan kebijakan dan kepentingan nasional yang
didasarkan atas kepentingan individu. Yang terakhir adalah perebutan power dimana
kebijakan luar negeri suatu negara dirancang sedemikian rupa agar suatu negara mampu
merebut power dimana tujuan akhirnya adalah pencapaian kepentingan nasional secara
maksimal (Wohlforth, 2008: 33-34).
Sikap Perancis tersebut jelas sejalan dengan yang dingkapkan oleh Wohlforth (2008),
yang berkaitan dengan perebutan power dalam perumusan pembuatan kebijakan suatu
negara. Perancis sendiri mengalami ketakutan secara politis dimana dikhawatirkan Turki
dapat mendominasi pengambilan keputusan yang dikeluarkan oleh salah satu parlemen
yang memiliki proporsi sesuai dengan populasi masing-masing negara. Turki sendiri
memiliki jumlah penduduk yang cukup padat dibandingkan negara-negara di Uni Eropa
lainnya. Maka dapat diambil sebuah logika bahwa dalam pemungutan voting, akan
terlihat dominasi suara Turki. Hal ini tentu akan mengancam posisi Perancis sendiri yang
hingga kini masih ingin menjadi kekuatan paling besar dalam Uni Eropa. Sarkozy
memandang bahwa dengan masuknya Turki ke dalam Uni Eropa, hal ini akan secara
logika menambah diversitas yang ada dan akan menurunkan tingkat enforcement dan
implementasi kebijkan yang akan dikeluarkan oleh Uni Eropa (Goulard, 2004).
Selain itu, dengan menyetujui perluasan Uni Eropa ke Turki, akan mengurangi perngaruh
Perancis terhadap negara-negara yang lebih kecil dibandingkan sebelumnya (Le
Gloannec, 2007). Hal ini berangkat dari asumsi Sarkozy yang menilai Turki secara
geografis bukan sebagai wilayah eropa (Akbar, 2012). Turki merupakan negara yang
terletak di wilayah Asia. Hal ini semakin dikuatkan oleh posisi Perancis yang anti
perluasan karena menanggap bahwa lebih baik Uni Eropa memiliki batasan yang jelas
demi menguatkan kekuatannya (Goulard, 2004). Sarkozy sendiri menganggap bahwa
Turki merupakan negara yang berada di Asia Minor daripada di daerah Eropa.
Perspektif Kebijakan Luar Negeri Inggris
Inggris, sebagai sebuah negara yang memiliki wilayah yang tidak berbatasan darat secara
langsung dengan negara Eropa lain, memiliki island mentality di mana akan terjadi
kecendurungan untuk lebih mengekslusifkan diri dan tidak tergabung secara penuh ke
Eropa sendiri, salah satu contoh adalah melalui tidak berlakunya Euro di Eropa dan masih
-
8
diberlakukannya Poundsterling. Hal ini merupakan salah satu warisan dari masa Margaret
Thatcher yang ingin melestarikan dan mencegah nilai mata uang Inggris untuk
bergantung dan turun. Namun, dapat dilihat bahwa semenjak tahun 1970an, salah satu
ciri khas dari Inggris adalah melalui dukungannya terhadap integrasi Eropa secara
keseluruhan. Deepening of European integration that was the hallmark of British policy
since the middle of the 1970s (ODonnel and Whitman, 2007). Jika hal ini disambungkan
dengan kasus dukungan Inggris terhadap masuknya Turki ke dalam Uni Eropa maka
Inggris beranggapan bahwa dengan masuknya Turki ke dalam Uni Eropa maka hal ini
akan semakin menguatkan posisi Uni Eropa secara ekonomi maupun kultural dan politik.
Untuk masalah identitas, dapat dilihat bahwa sesungguhnya Inggris juga menggap bahwa
Turki memiliki latar belakang yang berbeda dengan negara Eropa lain yang memiliki
mayoritas demografi sebagai penganut Kristen. Namun, Inggris beranggapan bahwa
dengan masuknya Turki, maka akan terjadi semacam jembatan antara Eropa dan
negara-negara Muslim yang lain dan konsekuensi dari penolakan tersebut akan
mengakibatkan Eropa untuk memiliki identitas yang tertutup (Milliband). Inggris
memiliki keyakinan bahwa Uni Eropa seharusnya dapat memperluas wilayahnya dan
tidak perlu ada ketegasan batas Eropa secara jelas, karena dapat memberikan efek yang
signifikan terhadap perkembangan ekonomi secara khususnya (Milliband). Perbedaan
kultur antara Turki dan mayoritas negara Uni Eropa lainnya dipandang Inggris sebagai
sebuah kelebihan yang akan menguntugkan Uni Eropa. Inggris dalam hal ini memiliki
perspektif yang berbeda yang tertuang dalam ungkapan-ungkapan yang dikeluarkan oleh
Tony Blair selaku Perdana Meneteri yang menjabat pada saat itu. Dimana apabila
didasarkan pada teori Brian Ripley (dalam Laura Neck, 1995: 94-95) mengenai rasional
cultural maka dapat dilihat bahwa masuknya kultur lain dalam Uni Eropa akan
menciptakan suatu jembatan antara kultur yang satu dengan lainnya. Dalam hal ini adalah
kultur Islam dengan kultur Kristiani. Terutama, bergabungnya Turki dalam Uni Eropa
juga dapat membantu meningkatkan peran Uni Eropa itu sendiri dalam menjalin
hubungan keamanan dengan negara-negara di Timur Tengah baik dalam oraganisasi
regional seperti Uni-Eropa maupun oraganisasi regional lainnya seperti NATO. Hal ini
sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Wohlforth (2008) bahwa suatu negara
merumuskan kebijakan luar negerinya berdasarkan pada kebutuhan manusia akan hidup
berkelompok. Tujuan dari hidup berkelompok ini menurut analisis penulis adalah untuk
-
9
mencapai suatu kepentingan bersama yang tidak mampu dicapai sendiri. Di sini Inggris
memandang bahwa terintegrasinya Turki dalam Uni-Eropa ini akan menjadi salah satu
batu loncatan untuk mencapai tujuan nasionalnya lewat perluasan keanggotaan Uni
Eropa. Bergabungnya Turki dalam Uni Eropa merupakan jalan terang bagi kelangsungan
Uni Eropa untu meningkatkan kemajuan ekonomi maupun politik.
Korelasi Perspektif Luar Negeri dengan Opini Publik
Dapat dilihat bahwa perspektif luar negeri suatu negara juga turut mempengaruhi opini
publik dalam negara tersebut mengenai satu isu karena tidak dapat dipungkiri bahwa
media dapat berperan sebagai lembaga yang top-bottom maupun lembaga yang bottom-
top. Lewat model interaksi yang dapat berlangsung dua arah tersbut ialah dapat diakatan
bahwa opini publik dan media saling berkorelasi dan saling mempengaruhi dalam
pembuatan keputusan yang akan dikeluarkan oleh suatu negara. Perspektif luar negeri ini
terbentuk oleh faktor media dan juga opini publik karena suatu kelompok pembijakan
akan berusaha untuk memuaskan elemen-elemen yang memberikan masukan karena
tidak dapat dipungkiri bahwa elemen-elemen tersebutlah yang pada akhirnya akan
memilih kembali kelompok pembuat kebijakan tersebut di kemudian hari. Disatu sisi
terlihat bahwa opini publik memiliki peran konstruktif dalam membatasi para pembuat
kebijakan, yang mana hingga saat ini posisi keanggotaan Turki dalam Uni Eropa masih
belum diputuskan secara resmi. Akan tetapi seperti yang diungkapkan oleh Hans
Morgenthau dalam Holsti (2002) bahwa syarat-syarat rasional kebijakan luar negeri yang
baik pada permulaannya tak dapat memperhitungkan dukungan opini publik yang
memiliki preferensi yang lebih emosional daripada rasional.
Opini Publik Perancis terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa
Perancis merupakan salah satu negara yang memiliki sistem demokrasi yang tua di dunia,
hal ini memiliki alasan di mana Revolusi Perancis pada tahun 1789 sendiri merupakan
salah satu tonggak berdirinya demokrasi di dunia pada saat itu. Dengan banyaknya media
yang mengekspose mengenai isu Turki yang menjadi kandidat sebagai anggota tetap Uni-
Eropa, salah satu lembaga yang mengambil sebuah survei adalah Eurobarometer. Survei
ini dilaksanakan dan disetujui oleh Directorate-General Press dan Communication dan
-
10
dibantu dengan TNS Opinion & Social yang merupakan lembaga turunan dari TNS and
EOS Gallup Europe dan dilkasanakan pada tanggal 9 May dan 14 Juni 2009 di seluruh
anggota negara Uni-Eropa.
Eurobarometer pada tahun 2009 mengambil variabel Islamophobia untuk menjaring opini
publik terkait negosiasi aksesi Turki ke dalam Uni Eropa. Survei terakhir yang dilakukan
Eurobarometer pada Februari 2009 mengambil isu agama dan budaya sebagai
pertimbangan perluasan Uni Eropa dengan menambahkan Turki sebagai anggotanya
(Arif: 2011). Sebelumnya, pada Mei-Juni tahun 2005, Eurobarometer juga pernah
melakukan survei opini publik yang lebih spesifik mempertanyakan dukungan negara-
negara anggota Uni Eropa terhadap aksesi Turki. Terkait validasi lembaga survei ini
tentunya Eurobarometer merupakan lembaga survei resmi yang memang bernaung di
bawah Uni Eropa secara langsung, sehingga survei yang didapat pun merupakan hasil
yang valid.
Perancis termasuk negara anggota Uni Eropa yang paling menentang masuknya Turki
dalam keanggotaan Uni Eropa. Menurut jajak pendapat, tercatat publik di Perancis hanya
20% yang mendukung aksesi Turki ke dalam Uni Eropa meskipun masyarakat Muslim di
Perancis merupakan masayarakat muslim terbesar dibanding negara-negara anggota Uni
Eropa lainnya. (www.euractiv.com). Dapat dilihat bahwa Perancis seringkali
menggunakan model pluralist sehingga lebih mengakomodasi masukan maupun aspirasi
dari masyarakat sekitar. Salah satu bukti pemberlakuan model ini di Perancis dapat dilihat
bagaimana Nicolas Sarkozy, sebagai Perdana Menteri Perancis selalu memberikan
pernyataan yang mendukung opini publik Perancis terutama dalam isu Turki ini. Salah
pidato Sarkozy bahkan mengatakan bahwa Prancis telah menyatakan bahwa masuknya
Turki akan ditentukan lewat pemilihan oleh warga mereka.
Opini Publik Inggris terhadap masuknya Turki ke Uni Eropa
Sedangkan anggota Uni Eropa lainnya yaitu Inggris, menjadi salah satu negara yang
paling mendukung masuknya Turki masuk menjadi keanggotaan Uni Eropa. Inggris
disebut-sebut sebagai contoh negara alternatif, dimana kurang lebih 1,5 juta penduduk
muslim Inggris dapat berintegrasi baik dalam kehidupan sosialnya. Sedangkan Inggris,
-
11
40% dari masyarakat yang disurvei mendukung aksesi Turki ke Eropa dilihat dari
masyarakatnya yang memang sudah cukup toleran dan didukung oleh keputusan
pemerintah Inggris yang memang mendukung Turki (www.euractive.com). Apakah
kemudian Uni Eropa mendengarkan warganya dalam penentuan keanggotaan Turki
masuk ke Uni Eropa? 53% warga Eropa menganggap suara mereka tidak dihitung dalam
Uni Eropa, sedangkan 38% lainnya mengambil pandangan yang berbeda.
(www.euractive.com). Namun yang menjadi menarik untuk dilihat di sini adalah
bagaimana masyarat Inggris sendiri menganggap bahwa suara mereka tidak begitu
terdengar dan sampai pada kelompok pmebuat kebijkan. Salah satu faktor ini dapat dilihat
bagaimana struktur pemerintahan Inggris tidak semuanya harus melewati konsorsium
dari masayarakat Inggris karena sistemnya yang monarki konstitusional. Dapat diliat dari
pernyataan Menteri Inggris, David Cameron sangat mendukung masuknya Turki kedalam
Uni Eropa karena Turki telah memiliki banyak jasa terhadap Uni Eropa meski secara
prosentase persetujuan dari masyarakat Inggris bukan merupakan prosentasi yang
mayoritas.
Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan mengenai perbedaan kebijakan luar negeri Perancis dan Inggris
terhadap dukungan Turki menjadi anggota Uni Eropa, dapat dilihat bahwa meskipun
terdapat banyak kesamaan struktur politik maupun kekuasaan yang berimbang antara
keduanya, namun tidak selamanya faktor tersebut dapat menjamin sebuah negara akan
mengeluarkan kebijakan yang bersifat konvergen satu sama lain. Di satu sisi, Perancis
menekankan pada pentingnya penjagaan atas identitas Eropa yang berbasis pada Kristen
sehingga tidak perlua ada perluasan, namun di sisi lain Inggris tidak ingin membatasi
identitas Eropa sebagai identitas yang closed. Perbedaan dalam keduanya kini menjadi
hal yang menghambat keputusan Turki menjadi anggota tetap Uni Eropa maupun tidak
karena keduanya memiliki hak veto.
Perbedaan pandangan yang timbul antara Perancis dan Inggris terjadi karena
keduanya memandang berbeda dalam menanggapi masuknya Turki kedalam Uni Eropa.
Dimana Perancis merasa Turki akan membawa ancaman dapat memecah persatuan Uni
Eropa dengan membawa perubahan signifikan dalam budaya dan agama. Sedangkan
Inggris lebih berfokus pada perolehan keuntungan dengan memandang masuknya Turki
-
12
akan menghasilkan keuntungan baru bagi Eropa terutama Inggris mengingat Turki
sebagai negara yang banyak memberikan jasa dalam membantu Eropa. Pandangan
pemimpin negara yang berbeda kemudian membentuk opini public dalam menilai
masuknya Turki sebagai Uni Eropa. Selain itu, negara seperti Perancis takut bahwa
masuknya Turki akan mengakhiri tujuan kaum federalis dari serikat politik, sedangkan
Inggris kurang tertarik pada integrasi politik dan cenderung berfokus pada pembesaran
Eropa yang dianggap dapat membawa hal positif.
Perbandingan kebijakan luar negeri antara Perancis dan Inggris menunjukkan bahwa
struktur, keadaan politik domistik yang terpengaruh oleh demografi serta perspektif elit
maupun opini publik menjadi faktor yang signifikan ketika berkaitan dengan dukungan
terhadap keanggotaan Turki ke dalam Uni Eropa. Di Perancis dapat dilihat bahwa
President lebih berperan dalam keputusan luar negerinya dan Inggris memiliki kontras
bahwa Perdana Menteri lebih berperan dalam pengambilan keputusan luar negeri. State-
level of analysis dipandang dapat memberikan penjelas yang jelas untuk kemudian
menjunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri suatu negara dipengaruhi oleh
fluktuasi politik dan kondisi dalam negeri yang melibatkan pihak pemerintah, oposisi,
dan publik
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arif, Muhammad Qabidl Ainul. 2011. Sentimen Islamophobia dalam Isu Keanggotaan
Turki di Uni Eropa: Deskripsi Bukti dan Penyebabnya dalam Centre for Middle
Eastern Studies (CoMES). Jurusan Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang.
Bayrou, Franois. 2004. Non ladhsion de la Turquie, Commentaire, N.108, p. 1090.
Bourlanges, Jean-Louis. 2004. A propos de la Turquie. Les contradictions dans la Ve
Rpublique, in Commentaire, N. 107.
Garcia, Luis Bouza. 2011. European Political Elites Discourses on the Accession of
Turkey to the EU: Discussing Europe through Turkish Spectacles?. European
-
13
Perspectives Journal on European Perspectives of the Western Balkans Vol. 3,
No. 2 (5), pp 53-73.
Laurence, Jonathan and Justin Vaisse. 2006. Integration Islam. Political and religious
Challenges in Contemporary France. Washington D. C. : Brookings Institution
Press
Le Gloannec, Anne-Marie. 2007. A view from France in in Nathalie Tocci (ed),
Conditionality, Impact and Prejudice in EU-Turkey Relations. Istituto Affari
Internazionali.
Network of European Union Centers of Excellence. 2008. Turkey's Membership.
European Union Center of North Carolina EU Briefings.
ODonnell, Clara Maria & Richard G.Whitman. 2007. European policy under Gordon
Brown: Perspectives on a future prime minister, International Affairs, 83, 2,
March, forthcoming. Foreign Secretary Margaret Becket (2006) Statement to the
House of Commons, 18 December 2006, London.
Ole R. Holsti, 2002. Public Opinion and Foreign Policy: Challenges to the Almond
Lippman Consensus, dalam Robert J. Lieber (ed.), Eagle Rules? Foreign Policy
and American Primacy in the Twenty-First Century. Prentice Hall.
Rourke, John T. 2010. International Politics on The World Stage. Connecticut. USA:
McGraw-Hill
Smith, Julie. 2005. A missed opportunity? New Labours European policy 19972005,
International Affairs, 81: 4, July, pp. 70321.
Whitman, Richard G. "The United Kingdom and the Turkish Accesion: The Inlargement
Instinct PewvailS" in Nathalie Tocci (ed). 2007. Conditionality, Impact and
Prejudice in EU-Turkey Relations. Instituto Affari Internazionali.
ARTIKEL ONLINE
Akbar, A., 2012. Inggris Dukung Turki Gabung Uni Eropa [online]. dalam
http://international.okezone.com/read/2012/01/26/414/564010/inggris-dukung-
turki-gabung-dengan-uni-eropa [diakses 1 November 2012].
-
14
Anon. t.t. David Cameron: UK will do everything it can to help Turkey "pave the road
from Ankara to Brussels. [Online] dalam (http://www.bbc.co.uk/news/uk-
politics-10767768), diakses tanggal 24 Oktober 2012
Cagaptay, S., 2007. Sarkozys Policy on Turkeys E.U. Accession: Bad for France?
[online]. dalam http://www.jewishpolicycenter.org/96/sarkozys-policy-on-
turkeys-eu-accession-bad-for [diakses 1 November 2012].
Cagaptay, Soner. 2007. [onlilne] availabe at
http://www.jewishpolicycenter.org/96/sarkozys-policy-on-turkeys-eu-accession-
bad-for [acessed on 28th October 2012]
Clark, Andrew. 2004. Tony Blair Delighted at Turkey s EU Entry Talk Success.
[Online] dalam (http://news.pseka.net/index.php?module=article&id=5255),
[diakses tanggal 30 Oktober 2012].
European Union. 2008. Turkeys Quest in EU Membership. PDF [online] dalam
(http://www.unc.edu/depts/europe/business_media/mediabriefs/Brief4-0803-
turkey's-quest.pdf), diakses tanggal 30 Oktober 2012.
European Union. 2008. Turkeys Quest in EU Membership. PDF [online] dalam
(http://www.unc.edu/depts/europe/business_media/mediabriefs/Brief4-0803-
turkey's-quest.pdf), [diakses tanggal 30 Oktober 2012].
France Guide. n. d. France Political Structure [online]. dalam
http://us.franceguide.com/practical-information/France-s-Political-
Structure.html?NodeID=124&EditoID=11879 [diakses 1 November 2012].
Garcia, Louis Bouza. 2011. European Political Elites Discourses on the Accession of
Turkey to the EU: Discussing Europethrough Turkish Spectacles?. Dalam
European Perspectives Journal on European Perspectives of the Western
Balkans Vol. 3, No. 2 (5), pp 53-73, [Online] dalam
(http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad
=rja&ved=0CFkQFjAH&url=http%3A%2F%2Fwww.europeanperspectives.si%
2Findex.php%3Foption%3Dcom_docman%26task%3Ddoc_download%26gid%
3D63&ei=VUqNUOH8JczNrQf_v4DYAw&usg=AFQjCNHeJ4ITGnBZG3JHo
Adz1FjmcuvhRw&sig2=o7fzT_d0Tbs4wD_XAWlxYw), diakses tanggal 30
November 2012.
-
15
Le Gloannec, Anne-Marie. 2007. Conditionality, Impact and Prejudice in EU-Turkey
Relations: A View from France. Dalam Conditionality, Impact and Prejudice In
EU-Turkey Relations, pp 75 83. PDF [online] dalam
(http://www.iai.it/pdf/Quaderni/Quaderni_E_09.pdf). Diakses tanggal 30
November 2012.
Whitman, Richard G.. 2007. The United Kingdom and Turkish Accession: The
Enlargement Instinct Prevails. Dalam Conditionality, Impact and Prejudice in
EU-Turkey Relations, pp 119 128. PDF [online] dalam
(http://www.iai.it/pdf/Quaderni/Quaderni_E_09.pdf). Diakses tanggal 30
November 2012.
SPEECHES AND DOCUMENTS
Miliband, D. (2007) Europe 2030: Model Power not Superpower, 15/11/2007, available
from: http://www.coleurop.be/events/909 (consulted last on 27/10/2009)
Miliband, D (2008) Press conference with Turkish Foreign Minister, 07/11/2008,
available from: http://www.fco.gov.uk/en/news/latest-news/?view=Speech&id=8796870
(consulted last on 28/10/2009)
Miliband, D. (2009) Foreign Secretary visit to Turkey 28/05/2009, available from:
http://www.fco.gov.uk/en/news/latest-news/?view=Speech&id=18401681
(consulted last on 28/10/2009)
Sarkozy, N. (2007a) Discours de Nicolas Sarkozy, 07/02/2007, available from the
following website: www.sarkozy.fr/download/?mode=press&fi
lename=7fevrier2007_Toulon_DiscoursNS.pdf
Sarkozy N (2007 b) Interview de Nicolas Sarkozy donne conjointement Radio
Vatican (RV), lOsservatore Romano (OR) et au CTV., 20/12/2007, available from
(consulted last on 27/10/2009): http://www.radiovaticana.org/fr1/
Articolo.asp?c=175307
Sarkozy, N. (2009) La France et lEurope. Discours de M. le prsident de la Rpublique
- Runion rpublicaine Nmes (Gard). , 05/05/2009, available from the
following website : http://www.elysee.fr/president/lesactualites/discours/2009/la-
france-et-leurope.5716.html