piri for

Upload: faridiswanto

Post on 03-Mar-2016

43 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

h

TRANSCRIPT

Piriformis syndrome adalah kondisi sebagai hasil ketika otot piriformis menekan saraf sciatic dan mengiritasi serabut syaraf. Dan kondisi seperti ini akan menimbulkan nyeri dimulai dari daerah pantat dan berjalan lurus kebawah pada area belakang kaki. Faktor faktor yang menyebabkan piriformis sindrome antara lain : faktor abnormalitas postur, gangguan saraf, gangguan sirkulasi darah dan faktor habitual postur yang jelek. Gejala yang sering terjadi adalah nyeri ketika duduk, menaiki tangga, merangkak, berjalan dan berlari. Syndrome ini tidak begitu umum dan hanya terjadi karena sciatica.( www.Laura Inverarity, D.O Modifikasi : Jowir.html)

Gambar 2.1. Piriformis Syndrome Sindrome piriformis merupakan sekumpulan gejala-gejala termasuk nyeri pinggang atau nyeri bokong yang menyebar ke tungkai. Masih ada perbedaan pendapat dari para ahli, apakah sindrome piriformis merupakan kondisi yang jelas ada dan menyebabkan nyeri myofascial dari paha, hipertropi, dan nyeri tekan pada otot piriformis, atau apakah sindrome piriformis merupakan kondisi kompresi dari saraf sciatic yang menyebabkan nyeri neuropatik (Kelly Redden, 2009). Sindrome piriformis merupakan gangguan neuromuskular yang terjadi ketika saraf sciatic terkompresi atau teriritasi oleh otot piriformis yang menyebabkan nyeri, kesemutan, dan mati rasa atau rasa kebas pada daerah bokong dan sepanjang perjalanan saraf sciatic ke bawah yaitu kearah paha dan tungkai. Diagnosa kondisi ini sulit ditegakkan karena memiliki gambaran klinis yang mirip dengan kompresi akar saraf spinal akibat herniasi diskus (Wikipedia, 2010). Sindrome piriformis merupakan kompresi yang reversible pada saraf sciatic oleh otot piriformis. Kondisi ini dapat menyebabkan nyeri yang dalam dan hebat pada daerah bokong, hip, dan sciatica, dengan radiasi nyeri kearah paha, tungkai, kaki dan jari-jari kaki. Pada sindrome piriformis, ketegangan atau spasme otot piriformis dapat menekan saraf sciatic kearah anterior dan inferior. Kondisi nyeri hebat yang dihasilkan dapat menjadi kronik dan menimbulkan kelemahan (Loren M. Fishman, 2009). Kemampuan untuk menetapkan sindrome piriformis memerlukan pemahaman yang baik tentang struktur dan fungsi otot pirifomis serta hubungannya dengan saraf sciatic. 1. Anatomi Biomekanik Piriformis Otot piriformis berperan sebagai eksternal rotator hip, abduktor hip yang lemah, dan fleksor hip yang lemah, serta memberikan stabilitas postural selama ambulasi dan berdiri. Otot piriformis berorigo pada permukaan anterior sacrum, biasanya pada level vertebra S2 S4, atau mendekati kapsul sacroiliaca joint. Otot ini berinsersio pada bagian medial superior dari trochanter mayor melalui tendon yang mengelilinginya dimana pada beberapa individu bersatu dengan tendon obturatorinternus dan gemellus. Otot ini dipersarafi oleh saraf spinal S1 dan S2, dan kadang-kadang juga oleh L5 (Lori A. Boyajian et al, 2007). Otot piriformis termasuk group otot external rotator hip bersama 5 otot lainnya yaitu obturator externus dan internus, gemellus superior dan inferior, dan quadratus femoris. Otot piriformis merupakan otot yang paling superior dari group otot ini dan sedikit diatas dari hip joint (Nancy Hamilton and Kathryn Luttgens, 2002). Otot piriformis memiliki variasi hubungan dengan saraf sciatic. Sebanyak 96% populasi, memiliki saraf sciatic yang muncul pada foramen deep sciatic yang besar sepanjang permukaan inferior dari otot piriformis. Namun terdapat 22% populasi memiliki saraf sciatic yang memotong otot piriformis, split atau membelah otot piriformis, atau keduaduanya sehingga dapat menjadi faktor resiko dari sindrome piriformis. Saraf sciatic berjalan secara sempurna melalui muscle belly otot, atau saraf tersebut berjalan membelah dengan satu cabang (biasanya bagian fibular) memotong otot piriformis dan cabang lainnya (biasanya bagian tibial) berjalan kearah inferior atau superior sepanjang otot piriformis. Jarang saraf sciatic muncul pada foramen sciatic yang besar sepanjang permukaan superior dari otot piriformis (Lori A. Boyajian et al, 2007).

Gambar 2.2 Hubungan Topografi Otot Piriformis dengan Saraf Sciatic Saraf sciatic merupakan seberkas saraf sensorik dan motorik yang meninggalkan fleksus lumbosakralis dan menuju ke foramen infrapiriformis, kemudian keluar pada permukaan belakang tungkai dipertengahan lipatan pantat. Saraf sciatic mengandung saraf sensorik yang berasal dari radiks posterior L4 S3. Pada spasium poplitea, saraf sciatic bercabang dua dan jauh lebih ke distal tidak lagi menyandang nama saraf sciatic (saraf ischiadikus). Kedua cabang saraf tersebut adalah saraf peroneus komunis dan saraf tibialis (Mahar Mardjono dan Priguna Sidharta, 2008). 2. Etiologi Sindrome piriformis memiliki dua tipe yaitu primer sindrome piriformis dan sekunder sindrome piriformis. Primer sindrome piriformis memiliki penyebab anatomik seperti saraf sciatic yang split terhadap otot piriformis atau jalur saraf sciatic yang anomali. Sekunder sindrome piriformis terjadi sebagai akibat dari adanya penyebab yang memicu kondisi ini seperti makrotrauma, mikrotrauma, efek massa ischemic dan lokal iscemic. Diantara pasien-pasien sindrome piriformis terdapat sedikitnya 15% kasus yang memiliki penyebab primer (primer sindrome piriformis) (Lori A. Boyajian et al, 2007). Sindrome piriformis paling sering disebabkan oleh makrotrauma pada daerah bokong yang menyebabkan inflamasi pada jaringan lunak, spasme otot, atau keduaduanya, yang menghasilkan kompresi saraf sciatic. Mikrotrauma dapat dihasilkan dari adanya overuse (penggunaan yang berlebihan) dari otot piriformis seperti berjalan atau berlari jarak jauh atau oleh adanya kompresi langsung. Sebagai contoh kompresi langsung dapat dihasilkan dari repetitif trauma akibat duduk diatas permukaan yang keras (Lori A. Boyajian et al, 2007). Berbeda dengan pendapat Samir Mehta et al (2006), yang menjelaskan tentang penyebab primer dan sekunder sindrome piriformis. Penyebab primer terjadi karena adanya kompresi langsung pada saraf seperti trauma atau akibat faktor intrinsik pada otot piriformis termasuk variasi anomali pada anatomi otot, hipertropi otot, inflamasi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma seperti adhesion. Penyebab sekunder mencakup gejala-gejala akibat lesi massa pelvic, infeksi, dan pembuluh darah yang anomali atau ikatan serabut yang melintasi saraf, bursitis pada tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca joint, dan kemungkinan myofascial trigger point. Penyebab lainnya mencakup pseudoaneurysma pada arteri gluteal inferior yang berdekatan dengan otot piriformis, sindrome bilateral piriformis akibat duduk dalam waktu yang lama, cerebral palsy yang menyebabkan hipertoni dan kontraktur otot piriformis, total hip arthroplasty, dan myositis ossificans. 3. Patologi Terapan Pada saat otot piriformis memendek atau spasme akibat trauma atau overuse maka otot tersebut dapat menekan atau menjepit saraf sciatic yang berada diantara otot tersebut. Pada umumnya, kondisi ini dikenal sebagai nerve entrapment atau entrapment neuropathi. Kondisi khususnya dikenal sebagai sindrome piriformis yang menunjukkan gejalagejala sciatica yang bukan berasal dari akar saraf spinal dan/atau kompresi diskus spinal, tetapi melibatkan otot piriformis diatasnya. Sekitar 15 30% populasi memiliki saraf sciatic yang berjalan melalui atau memotong otot piriformis, lebih banyak daripada lewat dibawahnya otot piriformis. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa orang-orang dengan struktur anatomi tersebut memiliki insiden sindrome piriformis yang tinggi daripada populasi umum (Wikipedia, 2010). Otot gluteus yang inaktif juga memfasilitasi perkembangan sindrome ini, karena otot piriformis juga membantu ekstensi dan eksternal rotasi femur. Penyebab utama dari inaktivitas otot gluteus adalah reciproke inhibisi yang tidak diinginkan akibat adanya overaktif fleksor hip (iliopsoas dan rectus femoris). Ketidakseimbangan ini biasanya terjadi karena fleksor hip telah dilatih dengan sangat tegang dan singkat, seperti ketika seseorang duduk dengan kedua hip fleksi (duduk sepanjang hari saat bekerja). Hal ini dapat menghilangkan aktivasi gluteus, dan sinergis terhadap gluteus (hamstring, adduktor magnus, dan piriformis) akan melakukan ekstra fungsi. Pada akhirnya, otot piriformis akan mengalami hipertropi yang akan menghasilkan gejala khas. Overuse injury yang menghasilkan sindrome piriformis dapat diakibatkan dari aktivitas dalam posisi duduk yang melibatkan penggunaan kedua tungkai secara berlebihan seperti saat rowing exercise dan bicycle exercise (Wikipedia, 2010). Atlit lari, sepeda dan atlit lainnya yang melakukan aktivitas gerakan tungkai ke depan secara khusus peka terhadap perkembangan sindrome piriformis jika tidak melakukan latihan stretching kearah lateral dan strengthening sebelum latihan inti/pertandingan. Ketika terjadi ketidakseimbangan oleh gerakan lateral kedua tungkai maka gerakan ke depan yang berulangulang dapat menyebabkan disproporsional antara kelemahan abduktor hip dan ketegangan adduktor hip. Dengan demikian, disproporsional antara lemahnya abduktor hip (gluteus medius) yang dikombinasikan dengan ketegangan otot adduktor hip, dapat menyebabkan otot piriformis memendek dan berkontraksi dengan sangat kuat. Peningkatan diatas 40% pada ukuran piriformis maka penjebakan saraf sciatic tidak dapat dihindari. Hal ini berarti bahwa abduktor hip tidak dapat bekerja dengan baik dan strain dapat terjadi pada otot piriformis (Wikipedia, 2010). Hasil dari spasme otot dapat menjebak tidak hanya saraf sciatic tetapi juga saraf pudendal. Saraf pudendal berperan mengontrol otototot bowels dan bladder. Gejalagejala penjebakan saraf pudendal mencakup kesemutan dan rasa kebas pada area lipatan paha, dan dapat menyebabkan inkontinensia urine dan fecal (Wikipedia, 2010). Penyebab lainnya dari sindrome piriformis adalah kekakuan (stiffness) atau hipomobile dari sacroiliaca joint. Hal ini menghasilkan perubahan kompensasi pada pola berjalan yang kemudian menyebabkan gaya shear pada origo otot piriformis dan kemungkinan pada otot gluteus, sehingga tidak hanya terjadi malfungsi pada otot piriformis tetapi juga menghasilkan sindrome nyeri pinggang lainnya (Wikipedia, 2010). Adanya hiperlordosis lumbal dan kontraktur fleksi hip dapat meningkatkan strain pada otot piriformis dan dapat memicu terjadinya perkembangan gejalagejala tersebut. Perubahan pola berjalan juga dapat menyebabkan hipertropi otot piriformis dan inflamasi kronik, yang dapat menyebabkan sindrome piriformis. Pasien-pasien dengan kelemahan otot abduktor hip atau perbedaan panjang tungkai khususnya dapat memicu sindrome ini. Selama fase menumpuh berjalan, otot piriformis terulur saat hip menumpuh berat badan dalam posisi dipertahankan internal rotasi. Pada saat hip masuk fase mengayun maka otot piriformis akan berkontraksi untuk menuntun eksternal rotasi hip. Karena otot piriformis dibawah kondisi strain selama siklus berjalan dan lebih besar peluang terjadinya hipertropi daripada otot lainnya pada regio tersebut. Suatu abnormalitas pola berjalan yang dipertahankan pada hip yang terlibat dalam posisi peningkatan internal rotasi atau adduksi dapat meningkatkan strain otot bahkan lebih besar (Samir Mehta, 2006). Disamping itu, sindrome piriformis dapat disebabkan oleh overpronasi kaki. Ketika kaki overpronasi maka dapat menyebabkan knee berputar kearah medial, yang kemudian menyebabkan otot piriformis menjadi aktif untuk mencegah over-rotasi knee. Hal ini menyebabkan otot piriformis menjadi overuse dan oleh karenanya otot menjadi tegang, yang akhirnya menyebabkan sindrome piriformis. Sindrome piriformis juga berkaitan dengan injury jatuh (Wikipedia, 2010). 4. Gambaran Klinis Gejala-gejala yang paling sering terjadi pada sindrome piriformis adalah meningkatnya nyeri setelah duduk dalam waktu 15 20 menit. Beberapa pasien mengeluh nyeri diatas otot piriformis (yaitu didaerah bokong), khususnya diatas perlekatan otot di sacrum dan trochanter mayor bagian medial. Gejala-gejalanya dapat bersifat serangan tiba-tiba atau bertahap, biasanya berkaitan dengan spasme otot piriformis atau kompresi saraf sciatic. Pasien-pasien ini biasanya mengeluh sulit berjalan dan nyeri saat internal rotasi ipsilateral tungkai/hip, seperti yang terjadi selama posisi duduk cross-legg atau ambulasi (Lori A. Boyajian et al, 2007). Spasme otot piriformis dan disfungsi sacral (seperti torsion) dapat menyebabkan stress pada ligamen sacrotuberous. Stress ini dapat menyebabkan kompresi pada saraf pudendal atau meningkatkan stress mekanikal pada tulang innominate sehingga potensial menyebabkan nyeri pada lipatan paha dan pelvic. Kompresi pada cabang fibular dari saraf sciatic seringkali menyebabkan nyeri atau paresthesia pada posterior paha (Lori A. Boyajian et al, 2007). Melalui mekanisme kompensasi atau fasilitasi, sindrome piriformis dapat memberikan kontribusi terhadap nyeri pada cervical, thoracal, dan lumbosacral, serta gangguan gastrointestinal dan nyeri kepala (Lori A. Boyajian et al, 2007). Tanda-tanda klinis sindrome piriformis berkaitan secara langsung atau secara tidak langsung terhadap spasme otot, menghasilkan kompresi saraf atau kedua-duanya. Nyeri tekan saat palpasi ditemukan diatas otot piriformis khususnya diatas perlekatan otot di trochanter mayor. Beberapa pasien juga mengalami nyeri tekan saat palpasi di regio sacroiliaca joint, sulcus sciatic yang besar, dan otot piriformis termasuk nyeri yang menjalar ke knee (Lori A. Boyajian et al, 2007). Beberapa pasien akan teraba seperti massa sosis di daerah bokong karena adanya kontraksi otot piriformis. Kontraksi otot piriformis juga dapat menyebabkan eksternal rotasi ipsilateral pada hip. Ketika pasien sindrome piriformis relaks dalam posisi tidur terlentang maka kaki ipsilateral akan mengalami eksternal rotasi. Hal ini menunjukkan adanya tanda positif sindrome piriformis. Adanya usaha aktif untuk membawa kaki ke garis tengah tubuh akan menghasilkan nyeri. Beberapa pasien dengan sindrome piriformis juga ditemukan positif Lasegue test, Freiberg test, atau Pace sign, dan biasanya memperlihatkan antalgic gait. Tanda Lasegue adalah nyeri yang terlokalisir ketika tekanan diaplikasikan diatas otot piriformis dan tendonnya, khususnya ketika fleksi hip 90o disertai ekstensi knee. Tanda Freiberg adalah nyeri yang dialami selama gerak pasif internal rotasi hip. Kemudian tanda Pace muncul saat FAIR (fleksi, adduksi, dan internal rotasi) yang melibatkan gejala-gejala sciatic. FAIR test dilakukan dalam posisi tidur miring dengan tungkai yang terlibat di sisi atas, kemudian fleksikan hip 60o , dan fleksi knee 60o 90o . Sambil menstabilisasi hip, pemeriksa melakukan internal rotasi dan adduksi hip dengan mengaplikasikan tekanan ke bawah pada knee (Lori A. Boyajian et al, 2007). Saraf plexus sacral yang menginnervasi otot tensor fascia latae, gluteus minimus, gluteus maximus, adductor magnus, quadratus femoris, dan obturator eksternus juga akan teriritasi oleh otot piriformis. Kelemahan otot ipsilateral juga dapat terjadi jika sindrome piriformis disebabkan oleh anomali anatomik atau jika sindrome piriformis dalam kondisi kronik. Pada beberapa kasus, lingkup gerak sendi juga mengalami penurunan pada internal rotasi hip ipsilateral (Lori A. Boyajian et al, 2007).