ph berbasis ekosistem

14
1 A Review Paper PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS EKOSISTEM : Teori, Fakta, dan Implementasi 1 Oleh: H. Purnomo 2 , A. Hadjib 2 , M.B. Saleh 2 , B. Kuncahyo 2 , T. Rusolono 2 , B. Prihanto 2 , S. Rahayu 2 , N. Puspaningsih 2 , Muhdin 2 , T. Tiryana 2 , Priyanto 2 , Hendrayanto 2 , U. Rosalina 2 , N.M. Arifjaya 2 , I.N.S. Jaya 2 , E. Suhendang 2 I. PENDAHULUAN Kelestarian hutan menjadi harapan banyak pihak, paling tidak itu yang selalu disampaikan oleh para pihak termasuk pemerintah, masyarakat, penggiat LSM dan pemerhati hutan di seluruh Indonesia dan dunia. Indonesia mempunyai daratan seluas 187,78 juta Ha dan lebih dari 72% atau 137.09 Ha dinyatakan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah sesuai dengan TGHK. Dari peta padu serasi diketahui bahwa luas kawasan hutan adalah 120,36 juta Ha (Kemenhut, 2010). Hasil interpretasi citra Landsat 7 ETM+ 2005/2006, kawasan hutan tersebut terdiri dari 43,8 juta Ha hutan primer, 48,5 juta Ha hutan bekas tebangan, dan sisanya 40,1 juta Ha bukan berupa hutan (Kemenhut, 2009). Data ini menunjukkan harapan atas kelestarian hutan pada masa lalu tidak dapat dipenuhi karena sedikitnya 40,1 juta Ha telah tidak lestari sebagai hutan. Fakta ketidaklestarian hutan Indonesia bukanlah hal yang aneh. Diketahui bahwa hampir semua negara maju di dunia ini mengalami pengurangan tutupan hutan pada awal pembangunannya, yang kemudian dilanjutkan dengan peningkatan tutupan hutan sejalan dengan keberhasilan pembangunan dan pendapatan masyarakat. Dinamika ini menjadi tambahan tantangan bagaimana seharusnya mengelola hutan di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Indonesia sekarang ada dalam fase kritis, apakah deforestasi dan degradasi di Sumatra, Kalimantan dan Papua sebagai contoh akan berlanjut terus, atau dapat distabilisasi untuk kemudian pulih. Pengeloaan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan merupakan amanat konstitusi. Hasil amandemen ke-empat ayat 4, pasal 33, UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirina, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Jadi lepas dari semua konvensi dan ide di tingkat global seperti konvensi keanekaragaman hayati, REDD+, green economy, kelestarian sumberdaya alam sederhananya adalah amanat konstitusi yang menjadi kewajiban setiap warganegara untuk melaksanakannya. Mencari arah dan pelaksanaan baru pengelolaan hutan lestari bersanding dengan fakta bahwa Indonesia kontemporer sudah terbagi-bagi dalam unit-unit bentang alam, sektor dan administrasi baik secara horisontal maupun vertikal. Masing-masing unit mempunyai yuridiksi, institusi dan tata kelola (governance) yang telah ada selama ini. Inovasi-inovasi pengelolaan hutan baru harus mampu melihat fakta ini jika inovasi tersebut akan dilaksanakan. Pilihan pengelolaan hutan dan lahan harus paling menguntungkan banyak pihak. Makalah ini bertujuan untuk mendapatkan arah pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan yang dapat diimplementasikan. Metode yang dipakai adalah tinjauan sistematis (systematic review) terhadap ragam artikel dan ide yang berkembang. Diharapkan makalah ini dapat menyumbang gagasan bagi kehutanan baru Indonesia yang lestari dan menyejahterakan banyak pihak. 1 Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai Pendekatan untuk Pengelolaan Hutan Indonesia dalam Paradigma Kehutanan Indonesia Baru. Diselenggarakan dalam rangka Ulang Tahun Emas Fakultas Kehutanan IPB (1963 -2013). Bogor, 20 Agustus 2013. 2 Staf Pengajar Bagian Perencanaan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Upload: erwin-radom

Post on 19-Jul-2015

93 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ph berbasis ekosistem

1

A Review Paper

PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS EKOSISTEM :

Teori, Fakta, dan Implementasi1

Oleh:

H. Purnomo2, A. Hadjib

2, M.B. Saleh

2, B. Kuncahyo

2, T. Rusolono

2, B. Prihanto

2,

S. Rahayu2, N. Puspaningsih

2, Muhdin

2, T. Tiryana

2, Priyanto

2, Hendrayanto

2,

U. Rosalina2, N.M. Arifjaya

2, I.N.S. Jaya

2, E. Suhendang

2

I. PENDAHULUAN

Kelestarian hutan menjadi harapan banyak pihak, paling tidak itu yang selalu disampaikan oleh

para pihak termasuk pemerintah, masyarakat, penggiat LSM dan pemerhati hutan di seluruh Indonesia

dan dunia. Indonesia mempunyai daratan seluas 187,78 juta Ha dan lebih dari 72% atau 137.09 Ha

dinyatakan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah sesuai dengan TGHK. Dari peta padu serasi diketahui

bahwa luas kawasan hutan adalah 120,36 juta Ha (Kemenhut, 2010). Hasil interpretasi citra Landsat 7

ETM+ 2005/2006, kawasan hutan tersebut terdiri dari 43,8 juta Ha hutan primer, 48,5 juta Ha hutan

bekas tebangan, dan sisanya 40,1 juta Ha bukan berupa hutan (Kemenhut, 2009). Data ini menunjukkan

harapan atas kelestarian hutan pada masa lalu tidak dapat dipenuhi karena sedikitnya 40,1 juta Ha telah

tidak lestari sebagai hutan.

Fakta ketidaklestarian hutan Indonesia bukanlah hal yang aneh. Diketahui bahwa hampir semua

negara maju di dunia ini mengalami pengurangan tutupan hutan pada awal pembangunannya, yang

kemudian dilanjutkan dengan peningkatan tutupan hutan sejalan dengan keberhasilan pembangunan dan

pendapatan masyarakat. Dinamika ini menjadi tambahan tantangan bagaimana seharusnya mengelola

hutan di Indonesia dalam arti yang seluas-luasnya. Indonesia sekarang ada dalam fase kritis, apakah

deforestasi dan degradasi di Sumatra, Kalimantan dan Papua sebagai contoh akan berlanjut terus, atau

dapat distabilisasi untuk kemudian pulih.

Pengeloaan sumberdaya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak secara berkelanjutan dan

berwawasan lingkungan merupakan amanat konstitusi. Hasil amandemen ke-empat ayat 4, pasal 33,

UUD 1945 menyatakan, "Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi

dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirina,

serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional". Jadi lepas dari semua

konvensi dan ide di tingkat global seperti konvensi keanekaragaman hayati, REDD+, green economy,

kelestarian sumberdaya alam sederhananya adalah amanat konstitusi yang menjadi kewajiban setiap

warganegara untuk melaksanakannya.

Mencari arah dan pelaksanaan baru pengelolaan hutan lestari bersanding dengan fakta bahwa

Indonesia kontemporer sudah terbagi-bagi dalam unit-unit bentang alam, sektor dan administrasi baik

secara horisontal maupun vertikal. Masing-masing unit mempunyai yuridiksi, institusi dan tata kelola

(governance) yang telah ada selama ini. Inovasi-inovasi pengelolaan hutan baru harus mampu melihat

fakta ini jika inovasi tersebut akan dilaksanakan. Pilihan pengelolaan hutan dan lahan harus paling

menguntungkan banyak pihak.

Makalah ini bertujuan untuk mendapatkan arah pengelolaan hutan alam yang berkelanjutan yang

dapat diimplementasikan. Metode yang dipakai adalah tinjauan sistematis (systematic review) terhadap

ragam artikel dan ide yang berkembang. Diharapkan makalah ini dapat menyumbang gagasan bagi

kehutanan baru Indonesia yang lestari dan menyejahterakan banyak pihak.

1 Makalah disampaikan dalam Diskusi Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai Pendekatan untuk Pengelolaan Hutan

Indonesia dalam Paradigma Kehutanan Indonesia Baru. Diselenggarakan dalam rangka Ulang Tahun Emas Fakultas Kehutanan

IPB (1963 -2013). Bogor, 20 Agustus 2013. 2 Staf Pengajar Bagian Perencanaan Kehutanan, Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Page 2: Ph berbasis ekosistem

2

II. METODE

Makalah ini dibuat dengan metode tinjauan sistematis (systematic review). Pullin dan Stewart

(2006) menyampaikan tahapan tinjauan sistematis sebagai berikut: (a) Perencanaan tinjauan: formulasi

pertanyaan, pengembangan protokol tinjauan; (b) Pelaksanaan tinjauan: pencarian literatur, seleksi

literatur, penilaian kualitas metodologi, ekstraksi literatur, sintesis literatur; dan (c) Pelaporan dan

diseminasi tinjauan. Sedangkan Borenstein et al. (2009) dan The Cochrane Collaboration (2012)

menyampaikan bahwa tinjauan sistematis adalah studi dengan rangkaian kegiatan sebagai berikut: (a)

formulasi pertanyaan yang akan dijawab (research questions); (b) pencarian literatur yang intensif; (c)

formulasi kriteria inklusi dan eksklusinya (inclusion and exclusion criteria); (d) penaksiran hasil literatur;

(e) sintesis kuantitatif data (meta-analysis); (f) interpretasi hasil keseluruhan. Tahapan ini dilakukan pada

makalah ini. Tinjauan sistematis dapat disajikan secara diagramatik seperti pada Gambar 1.

Tinjauan sistematis

(systematic review)

Pertanyaan yang didefiniskan secara jelas

Pencarian literatur yang ekstensif untuk

mendapatkan semua studi yang relevan

Pembahasan/interpretasi hasil

Sintesis statistik, seperti meta-analysis

Penilaian kritis terhadap studi yang ada

Formulasi kriteria inklusi dan eksklusi

Gambar 1. Tinjuan sistematis (Borenstein et al. 2009)

III. HASIL

3.1. Formulasi Pertanyaan, Literatur dan Kriteria Inklusi dan Eksklusinya

Ada dua pertanyaan yang ingin dijawab dalam makalah ini, yaitu (a) Mengapa perlu hutan tetap,

apabila diasumsikan jawabannya adalah perlu, maka bagaimana menetapkan hutan tetap (b) Bagaimana

mengelola hutan tetap tersebut dalam kesatuan bentang alam (landscape)? Pertanyaan pertama terkait

dengan isu kawasan hutan, hutan dan pengelolaan hutan. Pertanyaan kedua, jika hutan dipandang sebagai

bagian bentang alam, maka perlu perumusan bagaimana prinsip dan metode pengelolaanya sehingga

kelestarian dan manfaat bentang alam tersebut optimal.

Literatur dan ide utamanya diambil dari staf Bagian Perencanaan Hutan, Departemen Manajemen

Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Literatur terdiri dari jurnal, buku dan makalah yang dipresentasikan.

Ide diambil dari diskusi yang dilakukan Bagian Perencanaan dalam rangka membuat presentasi

„Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem‟ dalam rangka 50 th Fakultas Kehutanan IPB. Publikasi penulis

lain yang terkait yang memenuhi syarat sebagai tulisan ilmiah, terutama yang bisa diakses lewat internet,

kami rujuk dalam tulisan ini.

Page 3: Ph berbasis ekosistem

3

3.2. Penaksiran Literatur dan Ide

3.2.1. Teori kelestarian dan transisi hutan

Bettinger (2009) menyatakan bahwa kelestarian (sustainability) mengacu pada pemeliharaan

sumberdaya untuk masa depan yang tak terbatas dengan tanpa penurunan kualitas. Implementasi konsep

ini dipengaruhi oleh nilai yang dianut masyarakat dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Kepemilikan

sumberdaya dan tujuan pengelolaan mempengaruhi bagaimana konsep kelestarian ini diimplementasikan.

Evolusi kelestarian pengelolaan hutan melewati tiga tingkat, yaitu (a) Kelestarian produksi kayu yang

ditujukan untuk kelestarian pasokan kayu (sustained yield principle) dan pengembangan ekonomi lokal;

(b) Kelestarian produksi dan multi-manfaat dari hutan sebagai penghasil barang dan jasa (Kuncahyo,

2006); dan (c) Kelestarian ekosistem dan nilai sosial. Kelestarian pada tingkat 1 lebih sederhana daripada

tingkat 3. Tingkat 1 hanya tentang kelestarian kayu, tidak menyangkut usaha-usaha mengurangi emisi

karbon (Yanai et al. 2012).

Gambar 2. Hasil kayu bulat dari konsesi HPH menurut waktu (FAO 2009)

Indonesia, secara nasional gagal dalam mendapatkan kelestarian hasil kayu dari hutan alam. Pada

tahun 1977 produksi kayu bulat 27 juta m3, sedangkan sekarang berkisar 10 juta m

3 seperti tersaji pada

Gambar 2 (FAO, 2009). Ini adalah indikasi sederhana dari kegagalan mencapai kelestarian hasil kayu.

Banyak penyebab mengapa kelestarian ini tidak terjaga terutama dalam ranah tata kelola hutan

(governance) seperti pembalakan liar, rendahnya patisipasi masyarakat dan korupsi (Contreras-

Hermosilla, 2000). Perlu juga disadari bahwa hutan tropis memiliki tingkat kesulitan pengelolaan yang

lebih tinggi dari hutan non tropis karena kompleksitas hutan termasuk ketidakmantapan kawasan dan

tumpang tindihnya hak, dan keterbatasan pengetahuan kita tentang pertumbuhan pohon.

Ketidaktersediaan data pertumbuhan pohon karena kurangnya petak ukur permanen (PUP) yang

representatif untuk seluruh Indonesia yang sungguh-sungguh diukur dalam waktu yang panjang berakibat

pada tidak seimbangnya antara laju pemanenan dan laju pertumbuhan tegakan hutan. (Muhdin, 2012).

Beragam isu dalam kelestarian hasil kayu ini yang menjadi obyek kajian (Bettinger 2009)

sekarang diantaranya adalah (a) Skala unit pengelolaan (seperti: bentang alam, kabupaten, desa); (b)

Intensitas pengelolaan hutan (seperti: tingkat intensitas dan kecukupan dana) (c) Fluktuasi pasar ; (d)

Penerapan untuk hutan yang belum tertata dalam satu kesatuan unit pengelolaan (seperti: hutan rakyat,

hutan skala kecil); (d) Kerusakan hutan seperti akibat longsor, pembalakan dan banjir.

Evolusi kelestarian tingkat ke-2 adalah kelestarian beragam barang dan jasa hutan. Kelestarian

multi-manfaat ini mensyaratkan pengelolaan ragam sumberdaya hutan secara sungguh-sungguh untuk

memenuhi ragam kebutuhan parapihak. Partisipasi aktif parapihak dalam menentukan barang dan jasa

yang diperlukan menjadi kunci bagi model kelestarian ini. Integrasi dari hasil barang dan jasa non-

tradisional seperti kayu, air, stok karbon dan keindahan bentang alam (landscape beauty) kedalam

perencanana hutan diperlukan. Metode pengaturaran hasil (yield regulation) untuk semua barang dan jasa

perlu diformulasikan secara eksplisit. Metode ini haruslah berbasis pada model pertumbuhan dan

dinamika hutan (Rusolono et al. 1997; Tiryana et al. 2011) yang diamati melalui PUP. Keberadaan ragam

Page 4: Ph berbasis ekosistem

4

PUP untuk kayu dan bukan kayu merupakan syarat keharusan bagi model kelestarian multi-manfaat.

Indonesia sudah mencoba menerapkan model kelestarian ini, dimana kayu dan bukan kayu sama-sama

diperhatikan dalam pengelolaan hutan (BALITBANGHUT 2010) walaupun belum dapat dinyatakan

tingkat keberhasilannya.

Evolusi terakhir adalah pengelolaan hutan berbasis ekosistem dan nilai sosial. Kepedulian publik

global terhadap hutan telah mentransformasi hutan dari pusat kegiatan produksi dan ekonomi lokal

menjadi tempat berlanjutnya fungsi ekosistem. Pendekatan ini sering diasosiasikan dengan intervensi

manusia minimum, yang tentunya tidak harus benar. Ketika ekosistem tidak sehat maka diperlukan

pendekatan intervensi manajemen yang intensif seperti restorasi ekosistem. Masyarakat dan hutan harus

dipandang sebagai sistem yang adaptif dan kompleks. US Forest Service telah berpindah dari

implementasi kelestarian multi-manfaat menjadi kelestarian ekosistem (Bettinger 2009). Kelestarian

ekosistem menempatkan Pusat (Jakarta) sebagai pengembang perencanaam strategis, sedang

implementasinya tergantung pada unit pengelola hutan. Unit pengelola hutan dalam kelestarian tingkat 3

memerlukan (a) Kolaborasi dengan parapihak; (b) Analisis beragam alternatif rencana pengelolaan hutan;

(c) Membuat keputusan-keputusan pengelolaan hutan; (d) Implementasi dan dokumentasi proses; (e)

Memantau dan menilai kelestarian; dan (e) dan memperbaiki pengelolaan hutan. Berbagai literatur

seperti Holling (1978) dan Lee (1993)) menyebutnya sebagai manajemen adaptif (adaptive management).

Manajemen ekosistem perlu memperhatikan Hukum II termodinamika, yang menyatakan bahwa

proses-proses transformasi energi tidak terjadi dengan 100% efisien, selalu ada sisa energi yang tidak

terpakai (entropi). Entropi adalah energi yang ada dalam sistem atau proses tetapi tidak dapat dipakai.

Entropi adalah ukuran ketidakberaturan yang ada dalam sistem. Jadi ketika kawasan hutan alam

ditransormasikan menjadi kebun kelapa sawit maka transformasi ini tidak akan 100% efisien.

Ketidakefisienan ini berakibat pada ketidakberaturan baru yang ada dalam kawasan tersebut.

Lalu bagaimanakah dengan tutupan hutan secara makro, apakah stabil dan berubah sejalan

dengan proses pembangunan? Fenomena transisi hutan (forest transition) terjadi di banyak negara

( Yackulic et al., 2011). Pada awalnya tutupan hutan sangat tinggi, kemudian sejalan dengan

pembangunan dan pendapatan masyarakat terjadi deforestasi dan degradasi. Namun kemudian tutupan

hutan meningkat setelah masyarakat mencapai pendapatan tertentu seperti diteorikan pada

environmental Kuznets curve (EKC; Shafik 1994). EKC menghipotesiskan hubungan antara kualitas

lingkungan dan pembangunan ekonomi: beragam indikator degradasi lingkungan meningkat sejalan

dengan pertumbuhan ekonomi modern sampai mencapai tingkat pendapatan tertentu. Teori transisi hutan

ini dapat dilihat dalam uraian Angelsen (2008) dan Culas (2012). Fakta atau evidence transisi hutan bisa

dilihat di Prancis seperti tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Evidence Transisi hutan di Prancis (Guizol 2008)

Di Indonesia, transisi hutan ini terlihat pada dinamika penutupan hutan di pulau-pulau besar.

Papua mulai mengalami deforestasi, Kalimantan mempunyai deforestasi terbesar, Sumatra menuju ke

kestabilan, sedangkan Jawa mengarah pada bertambahnya penutupan hutan (Gambar 4). Dalam konteks

hutan tetap, maka tidak mudah kemudian menetapkan dimana sesungguhnya hutan tetap itu, atau

sesungguhnya kita sudah gagal mengelola hutan tetap sehingga berubah menjadi bukan hutan.

Page 5: Ph berbasis ekosistem

5

Pendapatan per kapita atau tahapan pembangunan

Tutupan

hutan

100%

Papua

JawaSumatra

Kalimantan

Gambar 4. Perspektif transisi hutan di Indonesia

3.2.2. Kawasan hutan tetap dan tata ruang

Pasal 1 Angka 3 UU No. 41 Tahun 1999, setelah keluar Amar Putusan Mahkamah Konstitusi,

menyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh

Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Wilayah tertentu disini berarti tidak harus berstatus

sebagai tanah negara, sehingga kawasan hutan tidak identik dengan hutan negara. Hutan tetap bisa

terletak di lahan negara atau lahan milik (Gambar 5). Namun tidak ada pengertian yang mengikat

secara hukum untuk istilah „hutan tetap‟ (permanent forest) yg bersifat fungsional. Ketidakjelasan ini

berdampak negatif dengan (a) Memaksakan status kawasan yang harus dipertahankan keberadaannya

sebagai „hutan tetap‟ menjadi lahan negara; dan (b) Memaksakan penetapan lahan untuk „hutan tetap‟

berdasarkan status yuridis lahannya. TGHK yang pernah disusun dibuat dengan informasi yang tidak

memadai tentang hutan tetap ini.

Indonesia

Lahan negara

Lahan milik atau privat

Hutan tetap

Gambar 5. Denah venn hutan tetap

Kejelasan mengenai kawasan hutan tetap sangat penting bagi berlangsungnya pengelolaan hutan.

Apakah hutan tetap mengacu pada luas atau fungsi? Terus bagaimana menetapkan hutan tetap ini. Dalam

konteks ini, ada diskursus metode penetapan hutan tetap sebagai berikut (a) Apakah dengan metode yang

sama di wilayah yang berbeda akan menghasilkan hutan tetap yang sama? (b) Sebaliknya, di wilayah

yang sama dengan metode yang berbeda akan menghasilkan hutan tetap yang sama? (c) Apakah di

wilayah-wilayah yang sama kondisinya membutuhkan hutan tetap yang sama? (d) Benarkah ada ukuran-

ukuran yang objektif untuk keperluan itu? (e) Adakah scientific justification untuk ada/tidak ada hutan

tetap, ataukah hutan tetap itu berdasarkan pertimbangan terpadu antara science, belief, faith? Diskursus

ini perlu dicoba dijawab melalui beragam penelitian dan review.

Page 6: Ph berbasis ekosistem

6

Pada dasarnya penetapan hutan tetap tergantung kerangka pikir dan pandangan manusia terhadap

sumberdaya alam-hutan. Berdasarkan hal tersebut, pada saat ini dijumpai beberapa pandangan sebagai berikut:

1. Sumberdaya alami, termasuk hutan terbentuk oleh alam sesuai dengan faktor biofisiknya, sehingga

perlu dialokasikan sumberdaya hutan itu menurut kriteria biofisik dan keterwakilannya.

2. Sumberdaya alami mempunyai faktor pembatas yang berbeda dan efisiensi perlu diperhatikan dalam

pengelolaannya, sehingga sumberdaya hutan yang dipertahankan adalah yang tidak efisien untuk

penggunaan lahan lain atau utilitarian (ukuran ekonomi).

3. Sumberdaya alami, termasuk hutan mempunyai kemanfaatan baik secara privat maupun publik

(masyarakat umum/global), sehingga alokasi hutan tergantung besaran manfaat-manfaat tersebut.

Contoh besaran yang digunakan misalnya hidrologi, karbon, ecological footprint melalui konsep

daya dukung dan daya tampung.

4. Sumberdaya alami tergantung interaksinya dengan manusia, sehingga alokasi hutan ditentukan oleh

persepsi dan keinginan manusianya. Misalnya dikembangkan melalui penerapan konsep game theory,

simulasi teori perilaku (behaviour).

Metode penetapan hutan tetap selalu harus mencari keseimbangan antara anthroposentris (kepentingan

manusia) dengan ekosentris (hak-hak makhluk lain). Manusia dan lingkungan terkoneksi. Arifjaya et al.

(2007) mengulas hubungan antara luas tutupan hutan terhadap potensi banjir dan koefisien limpasan di

beberapa DAS di Indonesia. Pengelolaan DAS perlu dilakukan dalam upaya menangani kejadian banjir

(Arifjaya 2008) serta insentif bagi para pihak yang terlibat (Hendrayanto 2013).

Tata ruang merupakan syarat keharusan pengelolaan hutan yang baik. Adanya unit hutan tetap

(permanent forest) sebagai lokasi yang akan dikelola merupakan syarat keharusan bagi berlangsungnya

pengelolaan hutan. Seperti didefinisikan oleh Suhendang (2012a, 2013

b) dalam pengelolaan hutan yang

berlandaskan pada prinsip kelestarian hasil, maka jumlah ulangan proses produksi secara lengkap

dilakukan secara tak berhingga. Dengan syarat ini, maka tanpa adanya hutan tetap pengulangan tak

berhingga sulit menjadi kenyataan.. Hutan tetap adalah wilayah-wilayah tertentu yang karena

karakteristik biofisik dan atau kekhasan fungsinya harus tertutup oleh vegetasi hutan secara permanen.

Lahan dalam wilayah tertentu tersebut harus berwujud hutan secara permanen. Teknik-teknik klasifikasi

tutupan lahan dan hutan yang inovatif (Wirakartakusumah dan Abe 2001; Jaya xxxx) menjadi bagian

penting dalam penentuan hutan tetap.

3.2.3. Pengelolaan hutan dan bentang alam ekologis

Pasal 10 Ayat (2) UU No. 41 Tahun 1999 menyatakan bahwa pengurusan hutan meliputi

kegiatan penyelenggaraan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, LITBANG dan DIKLATLUH

kehutanan, dan pengawasan. Pengelolaan hutan meliputi kegiatan tata hutan dan penyusunan rencana

pengelolaan hutan, pemanfaatam hutan dan penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan

dan perlindungan hutan dan konservasi alam (Gambar 6).

Gambar 6. Pengelolaan hutan dalm UU No. 41 Tahun 1999

Page 7: Ph berbasis ekosistem

7

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) 1992 di Rio de Janeiro, Brazil

mengharuskan pengelolaan sumberdaya hutan sebagai bagian dari ekosistem sumberdaya alam dilakukan

dengan prinsip dan cara yang sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Dua puluh tahun

kemudian dalam KTT Rio+20 bulan Juni 2012, pesan ini dikuatkan. Dokumen „The Future We Want‟

menekankan green economy dengan mengarusutamakan lebih lanjut pembangunan berkelanjutan, yang

pada intinya terdiri dari tiga hal yaitu: (a) memerangi kemiskinan; (b) promosi pola konsumsi dan

produksi yang berkelanjutan; dan (c) perlindungan dan pengelolaan sumberdaya alam yang efisien.

Secara singkat, Rio+20 mengamanatkan reduksi emisi karbon, efisiensi penggunaan sumberdaya alam

dan keterlibatan masyarakat. Beberapa tujuan ini bisa dipadukan (Kuncahyo xxxx, Tiryana 2010).

Rusolono (2006) menyatakan agroforestri bisa menjadi perpaduan antara meningkatkan stok karbon dan

meningkatkan penghidupan masyarakat. Sedangkan Tiryana et al. (2009) dan Priyanto (2012) secara

khusus mengamati besaran dan distribusi karbon di hutan tanaman dan rawa gambut.

Schlaepfer and Elliott (2000) mengembangkan dua belas prinsip dalam pengelolaan hutan dan

sumberdaya lahan untuk pembangunan berkelanjutan yaitu: (1) menuju penggunaan sumberdaya

ekosistem yang berkelanjutan; (2) holistik; (3) berbasis ekosistem; (4) mempunyai perspektif bentang

alam; (5) memenuhi beragam tujuan precautionary atau multi-tujuan; (6) terpadu; (7) partisipasi

parapihak; (8) berbasis pemantauan; (9) adaptif; (10) berbasis ilmu dan pertimbangan yang baik; (11)

mempertimbangkan kognitif, emosi dan moral; dan (12) berbasis prinsip kehati-hatian. Dua belas prinsip

memaknai sasaran wilayah pengelolaan adalah bentang alam ekologis (ecological landscape), sedangkan

kegiatan penyelenggaraannya adalah pengurusan hutan, utamanya perencanaan kehutanan dan

pengelolaan hutan.

Bentang alam adalah sebuah porsi dari permukaan bumi yang dapat dilihat dari satu sudut

pandang (viewpoint) diatas lahan (www3.newberry.org/k12maps/glossary/). Bentang alam adalah mosaik

dari beragam tutupan dan penggunaan lahan yang berkerja sebagai sebuah ekosistem. Bentang alam

adalah tempat interaksi kompleks antara ekosistem dan manusia

(www.nps.gov/plants/restore/library/glossary.htm). Hutan, sebagai bagian dari bentang alam, berperan

sangat penting untuk membuat bentang alam berfungsi secara ekologis, ekonomi dan sosial. Definisi

yang lain, bentang alam adalah satu kesatuan lahan yang terdapat homogenitas pada tipe dan penggunaan.

Tujuan keseluruhan pengelolaan bentang alam adalah kelestarian fungsi ekologi, sosial dan ekonomi.

Diskusi tentang bentang alam umumnya meliputi multi-skala pengelolaan, integritas ekologis,

pemantauan, manajemen adaptif, kolaborasi, manusia sebagai komponen bentang alam dan nilai-nilai

kemanusiaan.

Chomitz (2007) mengelompokkan bentang alam menjadi tiga zone atau wilayah, yaitu inti hutan

(forest core), pinggir hutan (forest edge/margin) dan lahan mosaik (Gambar 7). Tabel 1 menerangkan

fitur ketiga wilayah ini serta tantangan penanggulanan kemiskinan/pembangunan, lingkungan dan tata

kelola (governance). Hutan terdapat di ketiga wilayah tersebut yaitu di inti hutan, pinggir hutan dan

lahan mosaik. Jadi ketika kita bicara pengelolaan bentang alam maka perlu memahami ketiga wilayah

dengan fiturnya serta tantangan yang ada untuk keberlanjutan bentang alam yang ada.

Inti hutan

Pinggir

hutan

Lahan mosaik

Agro-

forrest

Hutan

skala kecil

Gambar 7. Ilustrasi bentang alam hipotetis

Page 8: Ph berbasis ekosistem

8

Tabel 1. Bentang alam berbasis hutan dan tantangannya (Chomitz 2007)

Tipe

wilayah Fitur

Tantangan penanggulanan

kemiskinan/pembangunan

Tantangan

lingkungan

Tantangan tata

kelola

Inti

hutan

Sebagian besar

wilayah hutan,

dengan sedikit

penduduk/populasi,

banyak masyarakat

lokal/asli

Penyediaan barang dan jasa

untuk masyarakat luas

Pemeliharaan proses-

proses ekosistem

dalam skala besar

Perlindungan hak-

hak masyarakat

lokal/asli,

penanggulangan

deforestasi dan

degradasi hutan

Pinggir

hutan

Ekspansi pertanian,

peningkatan nilai

lahan secara cepat,

dan konflik atas

pemanfaatan hutan

Peningkatan pembangunan

pedesaan dan akses terhadap

lapangan kerja diluar

pertanian (off-farm)

Penghindaran

degradasi yang tak

dapat balik, mitigasi

emisi CO2,

penghindaran

fragmentasi hutan

Pengendalian

pengambilan lahan

oleh aktor-aktor

besar dan klaim

oleh aktor-aktor

kecil.

Lahan

mosaik

Nilai lahan tinggi,

banyak penduduk,

dan fraksi kecil

hutan

Pengelolaan bentang alam untuk produksi barang dan

jasa lingkungan, penanggulangan kepunahan jenis

dan peningkatan sequestrasi karbon.

Penguatan

property right atas

lahan, pohon dan

jasa lingkungan

Sinergi konservasi lingkungan dan pembangunan pada beragam kebijakan dan tata kelola

bukanlah sesuatu yang mudah. Purnomo (2008) menciptakan sebuah permainan bentang alam Landscape

Game untuk pembelajaran bagi para aktor pengguna bentang alam, lembaga keuangan dan pembuat

kebijakan (http://www.cifor.org/lpf/landscapegame/). Permainan ini berbasis konsep relasi landscape-

actor-institution (Purnomo et al. 2009), game theory dan Chomitzian landscape dan telah dimainkan di

banyak negara sebagai cara untuk mempelajari dinamika bentang alam, strategi dan respon aktor

pengguna lahan, kebijakan dan kelembagaan. Pradana (2012) dan Prabowo (2012) melakukan

eksperimentasi keterkaitan antara perubahan ekologis dan pendapatan dari bentang alam para aktor

melalui permainan pada ragam kebijakan yang diambil seperti tersaji pada Gambar 8. Perubahan

ekologis secara sederhana direpresentasikan menjadi positif jika ada patch yang berubah menjadi hutan

dan sebaliknya negatif jika ada patch yang berubah dari hutan menjadi bukan hutan. Sedangkan

pendapatan dinyatakan dengan poin dari ragam usaha yang mungkin dilakukan pada bentang alam

termasuk pembalakan kayu, REDD+, ekowisata, usaha hutan skala kecil seperti jati dan sengon, usaha

jasa air dan pertambangan. Ada korelasi negatif yang lemah antara lingkungan dan pembangunan yang

didapat dari 14 eksperimentasi kebijakan ragam insentif dan kelembagaan bentang alam pada beragam

aktor yang memainkan beragam strategi. Konsep permainan (game) merepresentasikan siklus aksi-

reaksi-aksi-reaksi dari beragam pihak yang mempunyai kepentingan pada bentang alam, rasional dan

saling tergantung. Aktor pengguna lahan bisa memainkan strategi yang berbeda untuk merespon

kebijakan, dan sebaliknya pemerintah sebagai pengambil kebijakan bisa merespon ragam strategi yang

dimainkan para aktor dengan kebijakan baru.

Gambar 8. Korelasi konservasi dan pembangunan ekonomi

(y = -0.0009x + 7.4674; R² = 0.0071 )

1

2

3

4

5

6

7

8 9

10

11

12 13

14

15

-2

0

2

4

6

8

10

12

14

16

-200 0 200 400 600 800 1000 1200 1400

Per

ub

ahan

ekolo

gis

Pendapatan dari bentang alam

Page 9: Ph berbasis ekosistem

9

3.2.4. Pengelolaan hutan berbasis ekosistem

Ekosistem adalah jaringan interaksi antar-organisme, dan antara organisme dengan

lingkungannya. Ekosistem bisa mempunyai ragam skala, namum biasanya spesifik dan besarnya tertentu.

Ekosistem dikendalikan oleh faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal seperti iklim mengendalikan

keseluruhan struktur dan sumberdaya ekosistem seperti dekomposisi, jenis dan suksesinya, yang

merupakan faktor internal ekosistem (http://en.wikipedia.org/wiki/Ecosystem). Definisi ekosistem yang

lebih rinci diberikan oleh Odum (1971) sebagai “unit yang melibatkan semua organisme yaitu komunitas

di sebuah kawasan tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan fisik, sehingga terdapat aliran energi

dalam struktur trofik, keragaman biotik dan siklus material antara bagian hidup dan tidak hidup dalam

sistem”.

Secara literal ekosistem adalah sebuah sistem ekologis yang kompleks, dinamis dan adaptif. Kata

kompleks mengandung makna bahwa sifat-sifat pada tingkat sistem bukan merupakan penjumlahan dari

sifat-sifat komponennya. Dinamis berarti berubah menurut waktu, sedang adaptif bermakna setiap

komponen sistem saling mempengaruhi dan menyesuaikan diri dalam interaksinya dengan komponen lain

dalam sistem.

Pengelolaan ekosistem didefinisikan sebagai penerapan ekologi dalam pengelolaan sumberdaya

untuk menghasilkan kelestarian ekosistem dalam jangka panjang, serta barang dan jasa lingkungan yang

diperlukan (Chapin III, 2009). Pengelolaan ekosistem sering dipakai untuk tujuan konservasi hidupan liar,

namun juga bisa dipakai secara intensif mengelola ekosistem itu sendiri seperti dalam konteks agro-

ekosistem dan restorasi ekosistem (Puspaningsih, 2011). Lebih lanjut The Interagency Ecosystem

Management Task Force (1994) yang didirikan oleh Pemerintahan Clinton memberi definisi pengelolaan

ekosistem, sebagai pendekatan yang digerakkan oleh tujuan untuk mengembalikan dan melestarikan

kesehatan ekosistem, fungsi, dan nilainya dengan menggunakan ilmu yang terbaik yang ada.

Walaupun konsep pengelolaan ekosistem baik untuk pembangunan berkelanjutan, namun konsep

ini merupakan obyek kontroversi. Banyak yang mendukung, namun banyak yang menolak. Alasan utama

penolakan adalah karena pengelolaan ekosistem dilakukan secara eksklusif berbasiskan pertimbangan-

pertimbangan ekologis (Bennet 1966 dalam Schlaepfer 1997). Ini berakibat pemanfaatan optimal dari

sumberdaya tersebut tidak terpenuhi. Alasan-alasan ini kemudian membuat argumentasi untuk mencari

cara baru mengelola sumberdaya tertentu seperti hutan secara harmoni dalam ekosistem yang lebih luas,

yang kemudian dikenal sebagai Pengelolaan Berbasis Ekosistem (PBE).

Schlaepfer (1997) mendefinisikan PBE sebagai sebuah proses sistematis di kawasan tertentu,

berbasis pada pertimbangan yang baik dan ilmu yang mumpuni, bertujuan untuk memanfaatkan

sumberdaya alam secara berkelanjutan dengan praktik manajemen yang sensitif ekologis dengan

memadukan pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, baik dalam jangka pendek maupun

panjang, dari skala tapak sampai dengan bentang alam. Instrumen PBE adalah pendekatan terpadu,

partisipasi, manajemen adaptif, pemantauan dan evaluasi dan proses adaptif yang didefinisikan secara

tegas tapi fleksibel. Definisi lain tentang PBE adalah pendekatan adaptif untuk mengelola aktivitas

manusia untuk bisa hidup berdampingan yang sehat dengan ekosistem yang berbasis hutan, lahan atau air

(http://ecotrust.ca/program_area_overview/forestry). Sedangkan Price et al. (2009) menyatakan bahwa

pada dasarnya PBE adalah pendekatan adaptif mencari koeksistensi antara ekosistem yang sehat dan

berfungsi penuh dengan aktivitas manusia, untuk memelihara karakteristik spasial dan temporal

ekosistem sehingga jenis dan proses-proses ekologi lestari, dan kesejahteraan manusia terdukung dan

meningkat.

Sejalan dengan uraian-uraian tentang bentang alam, ekosistem dan PBE maka kami

mendefinisikan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE) sebagai “sebuah proses sistematis pada

bentang alam yang berbasis hutan untuk memanfaatkan hutan secara berkelanjutan melalui praktik

manajemen adaptif dengan pertimbangan ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, baik dalam jangka

pendek maupun panjang dari skala tapak sampai dengan bentang alam ”. Purnomo (2012) berbasiskan

pada Holling (1978) dan Lee (1993) mendefinisikan pengelolaan adaptif sebagai pendekatan pengelolaan

yang secara aktif menyadari dan bekerja dalam kompleksitas dan ketidakpastian sistem, dengan

menjadikan setiap tindakan sebagai hipotesis yang diuji dalam sistem atau dunia nyata, sehingga tercipta

Page 10: Ph berbasis ekosistem

10

proses pembelajaran yang terus menerus untuk mengurangi ketidakpastian dalam rangka mencapai

kinerja yang lebih baik. Lebih lanjut Lee (1993) menyatakan bahwa proses adaptif bisa diilustrasikan

dengan cara kerja kompas yang selalu menuju arah utara bumi sehingga pada saat kompas ditempatkan di

sembarang titik di muka bumi maka jarum kompas akan bergerak menuju utara. Proses pergerakan jarum

kompas dari titik semula menuju arah utara bumi itulah yang disebut proses penyesuaian dalam

manajemen adaptif.

Suhendang (2013) menggambarkan arah perkembangan konsep pengelolaan hutan secara

universal seperti tersaji pada Gambar 9. „Baris‟ menunjukkan perkembangan sasaran wilayah

pengelolaan dari tegakan hutan, ekosistem hutan, kemudian menjadi bentang alam. Sedangkan „kolom‟

menunjukkan ruang lingkup kegiatan penyelenggaraan dimulai dari ekstraksi (eksploitasi), pemanfaatan,

kemudian pengelolaan. Kasus HPH yang banyak terjadi sekarang menggambarkan perpaduan antara

wilayah kelola „tegakan hutan‟ dan lingkup kegiatan „ekstraksi‟. Tentu ini bukanlah yang diinginkan

banyak pihak dalam kehutanan modern. PHBE adalah perpaduan antara wilayah kelola „bentang alam‟

dan lingkup kegiatan „pengelolaan‟. Strategi berubah dari keadaan sekarang yang berbasis ekstraksi

tegakan menuju PHBE disebut sebagai „Strategi Langkah Kuda‟, merujuk pada arah huruf „L” yang

merupakan cara kuda melangkah dalam permainan catur.

Strategi Langkah Kuda

Gambar 9. Perkembangan konsep pengelolaan hutan (Suhendang 2013)

Lebih lanjut Suhendang (2012) mengusulkan langkah-langkah menuju PHBE di Indonesia

sebagai berikut:

a) Menentukan kesatuan bentang alam ekologis untuk pengelolaan (DAS atau pulau kecil).

b) Melakukan tata ruang dalam setiap bentang alam ekologis (= menentukan luas optimal hutan tetap

dalam setiap DAS atau pulau kecil).

c) Menentukan skenario pengelolaan pada setiap kesatuan bentang alam ekologis (landscape scenario).

d) Menentukan kesatuan pengelolaan hutan dan preskripsi pengelolaan hutan dalam setiap kesatuan

pengelolaan hutan yg sesuai dengan huruf c.

e) Terapkan dua belas prinsip pengelolaan hutan.

f) Terapkan paradigma „close to the natural forest’ diantara pilihan-pilihan yang mungkin.

g) Terapkan metode pengaturan hasil berdasarkan jumlah pohon (Muhdin, 2012).

h) Siapkan pengembangan cara pandang, pemikiran, serta sikap dan perilaku rimbawan Indonesia agar

sejalan dengan pengelolaan hutan berbasis ekosistem.

Page 11: Ph berbasis ekosistem

11

IV. PEMBAHASAN

Kembali pada dua pertanyaan yang ingin dijawab dalam makalah ini adalah (a) apakah hutan

tetap perlu; dan (b) bagaimana mengelola hutan tetap. Untuk pertanyaan pertama, secara teori hutan tetap

atau permanen diperlukan, karena pengelolaan hutan yang mensyaratkan pengulangan tak hingga tidak

mungkin dilakukan jika tidak di hutan tetap. Jika sebuah hutan diproyeksikan dikonversi menjadi

pertanian dalam lima tahun kedepan, maka hutan tersebut tidak perlu dikelola sebagai hutan yang

bersendikan kelestarian ekologis, ekonomi dan sosial. Pengelolaan hutan bersifat jangka panjang, karena

kelestarian ekologis misalnya ada pada perspektif jangka panjang tentu dengan mempertimbangkan

kepentingan-kepentingan jangka pendek seperti pendapatan dari tebangan kayu dan bukan kayu,

kebutuhan pangan dan papan masyarakat, keindahan bentang alam dan lain-lain.

Merujuk pada evolusi teori kelestarian, konsep hutan semakin kita perlukan terutama berkaitan

dengan evolusi teori kelestarian tingkat 3 yaitu kelestarian ekosistem dan nilai sosial. Teori kelestarian

tingkat 1 dan 2 menekankan pada kelestarian hasil kayu dan multi-manfaat dari hutan, yang barangkali

dengan peningkatan produktivitas bisa dihasilkan dengan kuantitias dan kualitas yang sama dengan

luasan hutan yang lebih kecil. Bahkan hasil dan multi-manfaat hutan ini barangkali bisa dihasilkan oleh

sumber-sumber lain secara sendiri-sendiri. Misalnya, kayu dari kebun kayu; air dari destilasi air laut;

pangan dari lahan pertanian, dsb. Namun, kelestarian tingkat 3 bukan merujuk pada kelestarian hasil

dan manfaat, tetapi merujuk pada kelestarian ekosistem hutan itu sendiri. Artinya, tidak mungkin ada

ekosistem hutan itu lestari jika hutannya tidak ada. Jadi hutan tetap adalah sebuah keniscayaan.

Merujuk pada Pasal 1 Angka 3 UU No. 41 Tahun 1999, setelah keluar Amar Putusan Mahkamah

Konstitusi, menyatakan bahwa kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan

oleh Pemerintah untuk dipertahankan sebagai hutan tetap. Kawasan hutan di Indonesia cenderung stabil

luasnya, namun kawasan hutan yang ditumbuhi hutan mengecil. Karena hutan tetap seharusnya

berbentuk hutan, maka evidence menunjukkan bahwa proxy „hutan tetap‟ ini luasnya menurun. Penurunan

ini sejalan dengan teori transisi hutan yang mendapatkan evidence di semua negara maju. Walaupun

dalam evidence ini hanya berbicara tentang tutupan hutan. Pulau Jawa, adalah contoh terbaik transisi

hutan di Indonesia, berhasil memulihkan tutupan hutan setelah mengalami deforestasi. Sedangkan Pulau

Sumatra yang berada pada kondisi stabil, Kalimantan yang mengalami deforestasi hebat, dan Papua yang

mulai terdeforestasi, masih kita tunggu pola yang akan terjadi pada masa mendatang.

Implementasi konsep hutan tetap ini harus ditunjang dengan kebijakan Pemerintah yang jelas.

Hutan tetap tidak seharusnya selalu ada di kawasan hutan yang dikuasai oleh negara. Dimungkinkan

adanya hutan tetap yang terletak di luar kawasan hutan yang merupakan milik rakyat. Pemerintah perlu

mengidentifikasi dan menetapkan hutan tetap di lahan milik negara dan rakyat. Hutan tetap di lahan

negara akan beririsan dengan kawasan hutan yang selama ini terkelompokkan menurut fungsinya, yaitu

hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Hutan tetap di lahan milik (rakyat) memerlukan

fasilitasi dan negosiasi dengan pemiliknya berdasarkan regulasi setingkat undang-undang. Dalam

menetapkan hutan tetap perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut: (a) Pengembangan kriteria fisik, sosial

dan ekonomi identifikasi hutan tetap; (b) Studi kasus dan konsultasi para pihak; (c) pengembangan

regulasi hutan tetap dan aturan tambahannya.

Pertanyaan kedua, yaitu bagaimana mengelola hutan tetap. Hutan tetap harus dipandang sebagai

bagian dari bentang alam ekologis. Hutan tetap harus dikelola berbasis ekosistem bentang alamnya.

Pengelolaan hutan berbasis ekosistem (PHBE) menemukan pembenaran (justification) dari teori

kelestarian tingkat 3 yaitu kelestarian ekosistem dan nilai sosial, dan teori kelestarian tingkat 1 dan 2 yaitu

kelestarian hasil kayu dan multi-manfaat dari hutan. Jadi PHBE merupakan jawaban integratif bagi

kelestarian tingkat 1, 2 dan 3. Tentu PHBE dilakukan secara unik dari satu hutan tetap ke hutan tetap lain.

PHBE ini walaupun secara konseptual baru, namun bisa jadi hakekat praktik PHBE telah ada

pada masyarakat dan profesional rimbawan. Beragam praktik masyarakat lokal yang belum

terinventarisasi dengan baik, perguruan tinggi dan kalangan profesional seperti Berau Forest Management

telah mengarah pada PHBE. Price et al. (2009) menguraikan PHBE di Columbia, Kanada pada areal

seluas 6,4 juta Ha. Namun perlu formalisasi PHBE melalui kejelasan standar (kriteria dan indikator)

pengelolaan hutan. PHBE adalah sebuah proses sistematis pada bentang alam yang berbasis hutan untuk

Page 12: Ph berbasis ekosistem

12

memanfaatkan hutan secara berkelanjutan melalui praktik manajemen adaptif dengan pertimbangan

ekonomi, ekologi, sosial dan teknologi, baik dalam jangka pendek maupun panjang dari skala tapak

sampai dengan bentang alam.

PHBE dapat diterapkan dengan langkah seperti diusulkan oleh Suhendang (2012). Pada intinya

langkah-langkah ini merupakan tahapan dari penentuan bentang alam untuk pengelolaan, penataan,

menentukan alternatif skenario, menentukan preskripsi yang sesuai yang dekat dengan hutan alam yang

ada, serta menerapkan dua belas prinsip dari Schlaeffer dan Elliot (2000). Tentu tidaklah mudah untuk

menerapkan langkah-langkah ini. Namun, rimbawan Indonesia harus berkembang dalam menyongsong

era PHBE, karena (1) Konsep, prinsip, dan praktik pengelolaan hutan ini lebih lebih maju dibandingkan

pengelolaan hutan yang bersifat konvensional; dan (2) Teori „Meniup Balon‟ (Blowing Balloon Theorm),

yaitu melakukan perubahan dari dalam merupakan strategi terbaik menuju perkembangan yg dikehendaki

secara efektif dan efisien (Suhendang 2012).

V. KESIMPULAN

a) Hutan tetap dan Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem (PHBE) merupakan suatu keharusan untuk

mengelola hutan dengan baik.

b) Hutan tetap diperlukan untuk menjamin bahwa pengelolaan hutan bisa berlangsung dalam waktu tak

hingga.

c) PHBE ditujukan untuk melestarikan ekosistem bentang alam. Dalam pendekatan ini hutan menjadi

komponen penting disatu pihak, akan tetapi di pihak lain optimalisasi hasil dan multi-manfaat hutan

terjadi berdasarkan kebutuhan dan kepentingan para pihak. Untuk implementasi konsep hutan tetap

dibutuhkan peraturan perundang-undangan yang kuat, lengkap, dan utuh.

d) PHBE lebih kompleks dari pengelolaan hutan konvesional. PHBE memerlukan sikap baru rimbawan

Indonesia dan langkah-langkah baru untuk mengembangkannya.

RUJUKAN

Angelsen A. (ed.) 2008 Moving ahead with REDD: Issues, options and implications. CIFOR, Bogor,

Indonesia.

Arifjaya NM. 2008. Bioregional dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam (Studi Kasus Penanganan Banjir

di Jabodetabek). Makalah seminar.

Arifjaya NM, Kusumah C, Abdullah K, Prasetio LB. 2007. Hubungan luas tutupan hutan terhadap

potensi banjir dan koefisien limpasan di beberapa das di indonesia." Workshop Peran hutan dan

kehutanan dalam meningkatkan daya dukung DAS. Surakarta. 2007.

BALITBANGHUT [Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan]. 2010.

Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Departemen Kehutanan, Jakarta

Bettinger P, Boston K, Sirey JP, Grebner D. 2009. Forest Management and Planning. Amsterdam:

Academic Press

Borenstein, M., L. V. Hedges, J. P. T. Higgins, and H. R. Rothstein. 2009. Introduction to meta-analysis.

Wiley, West Sussex, UK.

Chapin III FS, Kofinas GP, Folke C (Eds.). 2009. Principles of Ecosystem Stewardship: Resilience-Based

Natural Resource Management in a Changing World. Springer. 402p.

Chomitz KM. 2007. At Loggerheads? Agricultural expansion, poverty reduction and environment in the

tropical forests. The World Bank, Washington DC. 284pp.

Contreras-Hermosilla A. 2000. The underlying causes of forest decline. Occasional Paper No. 30. Bogor:

CIFOR.

Page 13: Ph berbasis ekosistem

13

Culas RC. 2012. REDD and forest transition: Tunneling through the environmental Kuznets curve.

Ecological Economics 79:44–51

FAO. 2009. Indonesia forestry outlook study. Food and Agriculture Organization of the United Nations

Regional Office for Asia and The Pacific.

Guizol P. 2008. The French Forest. Bahan kuliah Kehutanan Internasioanl. Bogor: IPB.

Hendrayanto. 2013. Hydrological services of forest and their compensation initiative. Jurnal manajemen

hutan tropika 19(1):79-84

Holling CS. 1978. Adaptive Environmental Assessment and Management. Third International Series on

Applied Systems Analysis. Chichester: John Wiley & Sons.

Holmes D. 2000. Deforestation in Indonesia: A review of the situation in 1999. Draft Report for the

World Bank.

Jaya INS. 2010. Analisis citra digital: Perspektif penginderaan jauh untuk pengelolaan sumberdaya alam.

Fakultas Kehutanan IPB.

Kemenhut [Kementerian Kehutanan]. 2009. Upaya Penurunan Emisi Sektor Kehutanan. Presentasi

Powerpoint. Jakarta: Kemenhut

Kemenhut. 2010. Statistik Kehutanan Indonesia. Jakarta: Kemenhut

Kuncahyo. 2006. Model simulasi pengaturan hasil lestari yang berbasis kebutuhan masyarakat desa hutan.

Disertasi. IPB, Bogor

Lee KN. 1993. Compass and Gyroscope: Integrating Science and Politics for the Environment.

Washington D.C.: Island Press.

Muhdin. 2012. Dinamika struktur tegakan hutan tidak seumur untuk pengaturan hasil hutan kayu

berdasarkan jumlah pohon. Disertasi. IPB, Bogor.

Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology. Third edition. W. B. Saunders, Philadelphia.

Prabowo D. 2012. Ekperimentasi kebijakan dalam pengelolaan hutan dengan menggunakan teori

permainan. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Pradana NI. 2012. Aplikasi teori permainan dengan menggunakan landscape game dalam pengelolaan

hutan. Skripsi. Bogor: Fakultas Kehutanan IPB.

Price K, Roburn A, MacKinnon A. 2009. Ecosystem-based management in the Great Bear Rainforest.

Forest Ecology and Management 258:495–503

Priyanto. 2012. Model pendugaan biomassa tegakan hutan rawa gambut menggunakan citra SPOT

pankromatik. Tesis. IPB, Bogor.

Pullin AS, Stewart GB. 2006. Guidelines for systematic review in conservation and environmental

management. Conservation Biology 20(6):1647-1656

Purnomo H, Guizol P, Muhtaman DR. 2009. Governing the teak furniture business: A global value chain

system dynamic modeling approach. Environmental modelling and software 24: 1391-1401.

Purnomo H. 2008. Landscape Game Manual. CIRAD, CIFOR and IPB. Bogor. 2008

Purnomo H. 2012. Pemodelan dan Simulasi untuk Pengelolaan Adaptif Sumber Daya Alam. Bogor: IPB

Press.

Puspaningsih N. 2011. Pemodelan spasial dalam monitoring keberhasilan reforestasi di kawasan

pertambangan. Disertasi. IPB, Bogor.

Rusolono T, Parthama I BP, Rosmantika M. 1997. Growth Model and Dynamics of Logged-over Forest

Stand: Case Study in The Natural Forest of Pulau Laut, South Kalimantan. BIOTROP Special

Publication, 60, 125-137.

Rusolono T. 2006. Model Pendugaan Persediaan Karbon Tegakan Agroforestri untuk Pengelolaan Hutan

Milik Melalui Skema Perdagangan Karbon. Disertasi. IPB

Schlaepfer R. 1997. Ecosystem-Based Management of Natural Resources: a Step Towards Sustainable

Development. Occasional paper no. 6. Austria: IUFRO.

Page 14: Ph berbasis ekosistem

14

Schlaepfer R, Elliott C. 2000. Ecological and landscape considerations in forest management: The end of

forestry. In K. von Gadow, T. Pukkala & M. Tom6 (Eds), Sustainable forest management (p. 1-

67). Dordrecht, TheNetherlands: Kluwer Academic PublishersShafik N. 1994. Economic

development and environmental quality: an econometric analysis. Oxford Economic Papers 46

(October): 757–773

Suhendang E. 2012a. Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem dalam DGB IPB. Merevolusi Revolusi

Hijau. 489-501. Bogor IPB Press.

Suhendang E. 2012b. Konsep pemanfaatan kawasan hutan terpadu di Indonesia. Makalah dalam

Workshop Pemanfaatan Kawasan Hutan Terpadu di Indonesia. Kerjasama antara Forma-

IPH SPs IPB dengan YSWJ. Bogor, 2012.

Suhendang E. 2013a. Pengantar Ilmu Kehutanan: Kehutanan sebagai ilmu pengetahuan, kegiatan dan

bidang pekerjaan (edisi 2). Bogor: IPB Press.

Suhendang E. 2013b. Perkembangan paradigma kehutanan. Makalah disampaikan dalam Diskusi

Pengelolaan Hutan Berbasis Ekosistem sebagai Pendekatan dalam Pengelolaan Hutan Indonesia

dengan Paradigma Kehutanan Indonesia Baru dalam rangka Ulang Tahun Emas Fakultas

Kehutanan IPB (1963 -2013). Bogor, 20 Agustus 2013.

The Cochrane Collaboration. 2012. The Cochrane Collaboration: Working together to provide the best

evidence for health care. http://www.cochrane.org

Tiryana T, Satoshi T, Norihiko S. 2011. Modeling survival and destruction of teak plantations in Java,

Indonesia. Forest Planning 16(2):35-44

Tiryana T, Tatsuhara S, Shiraishi N. 2009. Applicability of kriging to predict spatial distribution of

carbon stocks of Acacia mangium plantations. Forest Planning 14(1):17-26.

Tiryana T. 2010. Quantitative model for supporting multi-purpose management planning of teak

plantation in Java, Indonesia. PhD thesis. The University of Tokyo, Japan.

UN. 2012. The future we want. Resolution adopted by the General Assembly 66/288 United Nations

General Assembly. 11 September 2012.

Wirakartakusumah MBS, Abe N. 2001. Combining Visual Interpretation and Supervised Classification

Technique with Optical Satellite Data for Classifying Tropical Forest Cover. Forest Planning

7(1): 39-45.

Yackulic CB, Fagan M, Jain M, Jina A, Lim Y, Marlier M, Muscarella R, Adame P, DeFries R, Uriarte M.

2011. Biophysical and socioeconomic factors associated with forest transitions at multiple spatial

and temporal scales. Ecology and Society 16(3): 15. http://dx.doi.org/10.5751/ES-04275-160315

Yanai AM , Fearnside PM, Graça PMLA, Nogueira EM (2012). Avoided deforestation in Brazilian

Amazonia: Simulating the effect of the Juma Sustainable Development Reserve. Forest Ecology

and Management. http://dx.doi.org/10.1016/j.foreco.2012.06.029