petunjuk teknis produksi bibit gracilaria laut...

26
i PETUNJUK TEKNIS PRODUKSI BIBIT GRACILARIA LAUT (Gracilaria sp.) MELALUI KULTUR SPORA PADA TALI KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR 2016

Upload: lycong

Post on 26-Apr-2019

231 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

i

PETUNJUK TEKNIS

PRODUKSI BIBIT GRACILARIA LAUT (Gracilaria sp.) MELALUI

KULTUR SPORA PADA TALI

KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA

BALAI PERIKANAN BUDIDAYA AIR PAYAU TAKALAR

2016

ii

Pengarah :

Kepala Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar

Penanggung Jawab :

Kepala Seksi Uji Terap Teknik dan Kerjasama

Penulis :

Lideman

Andi Elman

Kasturi

Fadli

Editor :

Nono Hartanto

Harnita Agusanty

Ahmad Ihsan Said

Desain Grafis :

Ahmad Ihsan Said

Khairil Jamal

iii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena hanya

atas kehendakya juga petunjuk teknis ini dapat diterbitkan. Kami

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan

dari berbagai pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu,

semoga Tuhan Yang Maha Esa dapat membalas segala amal kebaikan

yang sudah diberikan.

Penyusunan petunjuk Teknis mengenai Teknik Produksi Bibit

Gracilaria Laut (Gracilaria sp.) yang berasal dari spora ini bertujuan dapat

memberikan acuan dalam memproduksi bibit yang berasal spora

sehingga berimplikasi bagi peningkatan produksi, pendapatan dan

kesejahteraan bagi seluruh pemangku kepentingan sektor perikanan

secara berkelanjutan.

Dukungan penyediaan bibit Gracilaria sp. yang berasal dari

spora ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi petani rumput laut untuk

pengembangan skala industri yang membutuhkan bibit dalam jumlah

yang besar, tepat waktu, fleksibilitas waktu penyimpanan dan tidak

tergantung pada kondisi alam. Selain itu dengan adanya bibit ini dapat

meningkatkan efisiensi dalam budidayanya di laut, karena tidak perlu

mengikatkan pada tali bentangan, dan dapat digunakan untuk siklus

berikutnya.

Akhir kata, dalam penyusunan petunjuk teknis ini telah

diaplikasikan upaya optimalisasi penyajian informasi namun sekiranya

masih ditemukan keterbatasan-keterbatasan sebagai kekurangan dalam

penyampian terapan inovasi teknologi, kami terbuka dalam merespon

segala bentuk saran dan masukan yang konstruktif guna peningkatan

iv

kualitas petunjuk teknis ini. Semoga Petunjuk Teknis ini bermanfaat bagi

kita semua.

Takalar, Agustus 2016 Kepala BPBAP Takalar

Ir. Nono Hartanto, M.Aq

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...……………………………......................………. i

DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………….. iv

I. ENDAHULUAN ................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................... 1

1.2. Tujuan................................................................................... 2

II. KOLEKSI DAN AKLIMATISASI GRACILARIA

LAUT PERTIL ...................................................................................... 2

III. MEDIA PEMELIHARAAN ............................................................... 3

IV. PELEPASAN DAN PEMEIHARAAN SPORA PADA TALI............. 3

V. PEMELIHARAAN PLANTLET....................................................... 4

VI. TRANSPORTASI BIBIT................................................................ 7

VII. PEMELIHARAAN BIBIT DI LOKASI BUDIDAYA...........................7

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 9

vi

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Penampilan Gracilaria Laut (Gracilaria sp.) dibandingkan dengan Gracilaria yang biasa dipelihara di tambak (Gracilaria verucosa) dan Kotoni (Kappaphycus alvarezii) secara kasat mata.

2

2. Gracilaria sp. (Ssngo-sango laut) yang dibudidayakan di Desa Ujung Baji, Kec. Sandrobone, Kab. Takalar

3

3. Thalus Gracilaria sp. yang mengandung Carpospore (Carposporophyte)

3

4. Wadah untuk pelepasan dan penempela spora (a), tali polyethylene yang terlilit pada flat (b) dan wadah baskom dengan dasar saringan meshsize 100 (c)

4

5. Perkembangan spora yang menempel pada polyethylene (PE) dan tali rafia.

6

6. Perkembangan bibit spora Gracilaria sp. yang dipelihara di lokasi budidaya, Desa Ujung Baji, Kec. Sandrobone, Kab. Takalar.

7

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gracilaria sebagai sumber utama bahan agar-agar selama ini

hanya dipelihara di tambak, pengembangan pembesaran Gracilaria di

laut telah memberikan alternatif yang sangat menguntungkan bagi

petani rumput laut, hususnya bagi mereka yang tidak mempunyai

tambak. Perkembangan pembesaran Gracilaria sp. laut (nama lokal di

Takalar adalah sango-sango laut) yang sangat pesat dengan

menggunakan tali seperti budidaya Kappaphycus alvarezii di laut.

Tidak seperti Gracilaria verucossa, Gracilaria sp. yang dipelihara di

perairan laut mempunyai thalus yang relatif lebih besar sehingga

memungkinkan untuk diikat di tali polyethylene (PE). Namun

demikian, dalam pelaksanaanya thalus yang diikat sering terlepas

karena talus yang diikat relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan

ikatan untuk K. alvarezii yang hanya mengikat 1-2 thalus.

Pemanfaatan spora untuk sumber bibit merupakan salah satu

cara yang memugkinkan untuk peningkatan produksi dan perbaikan

teknik budidayanya. Spora tipe carpospore lebih mudah digunakan

sebagai sumber bibit karena kantong sporanya dapat dilihat dengan

mata telanjang. Pemanfaatan spora sebagai sumber bibit sudah

berhasil dilakukan di beberapa negara, diantanya di Jepang dan

Korea yaitu dalam memproduksi bibit Porphyra. Selain itu, beberapa

penelitian tentang penempelan spora telah dilakukan, antara lain,

faktor-faktor yang mempengaruhi sporulasi Gracilaria cornea (Alberto

and Robledo, 1999) dan penempelan spora Gracilaria gigas pada

2

beberapa subsrat (Yudiati dkk, 2004; Lideman dkk, 2014). Namun

demikian, belum ada informasi yang lengkap tentang produksi masal

bibit yang berasal dari spora yang dapat aplikasikan di perairan

tempat budidayanya, hususnya untuk jenis sango-sango laut ini

(Gracilaria sp.).

Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar (BPBAP Takalar)

sejak Juli 2013 telah memulai usaha untuk menghasilkan bibit yang

berasal dari spora yang ditempelkan di tali, dan tali yang sudah ada

bibit tersebut langsung bisa digunakan untuk dibentangkan di laut.

Keuntungan jika menggunakan bibit spora dibandingkan dengan bibit

yang diikat antara lain adalah setelah dipanen, bibit dapat dipelihara

kembali untuk siklus berikutnya sehingga mengurangi biaya

pembelian bibit dan mengurngi waktu persiapan pembibitan.

1.2 Tujuan

Penyusunan petunjuk teknis ini bertujuan untuk memberikan

acuan dalam memproduksi bibit Gracilaria sp. (sango-sango laut)

yang berasal dari spora yang menempel pada tali polyethylene (PE)

dan tali rafia.

II. BIOLOGI GRACILARIA LAUT

Sebutan Gracilaria Laut digunakan terutama untuk

membedakan Gracilaria ini dengan Gracilaria yang biasa dipelihara di

tambak (Gracilaria verucosa). Nama Ilmiah Gracilaria Laut ini adalah

Gracilaria sp., identifikasi dan klasifikasi species ini belum selesai,

sehingga masih memerlukan studi lebih lanjut. Di Takalar, nama

3

Lokal Gracilaria ini di Takalar adalah Sango-sango Laut.

Dibudidayakan dilaut dengan menggunakan tali seperti pada

pembesaran Kappaphycu alvarezii (Kotoni) dan Eucheuma

denticulatum (Spinosum). Ukuran Gracilaria Laut ini (Gb. 1) lebih

besar dari Gracilaria verucosa dan lebih kecil jika dibandingkan

dengan Kappaphycus alvarezii.

Gambar 1. Penampilan Gracilaria Laut (Gracilaria sp.) dibandingkan

dengan Gracilaria yang biasa dipelihara di tambak

(Gracilaria verucosa) dan Kotoni (Kappaphycus

alvarezii) secara kasat mata.

Menurut Dawes (1981), genus Gracilaria mempunyai klasifikasi

sebagai berikut :

Divisi : Rhodophyta

Kelas : Rhodophyceae

Ordo : Gigartinales

Famili : Gracilariaceae

Genus : Gracilaria

Morfologi rumput laut gracilaria tidak memiliki perbedaan

antara akar, batang dan daun. Batang dan percabangannya yang

menyusun tumbuhan ini yang disebut dengan thallus (jamak: thalli)

G. verucosa Gracilaria sp. K. alvarezii

4

karena tidak bisa dibedakan dengan jelas mana batang, dan daun

seperti tumbuhan tingkat tinggi. Ciri umum dari Gracilaria adalah

mempunyai bentuk thallus silinderis atau gepeng dengan

percabangan mulai dari yang sederhana sampai pada yang rumit dan

rimbun, di atas percabangan umumnya bentuk thalli (kerangka tubuh

tanaman) agak mengecil, permukaannya halus atau berbintil-bintil,

diameter thallus berkisar antara 0,5 – 2 mm. Panjang dapat mencapai

30 cm atau lebih dan Glacilaria tumbuh di terumbu karang dengan air

jernih dan arus cukup dengan salinitas ideal berkisar 20-28 ppt.

Secara alami gracilaria hidup dengan melekatkan thallusnya

pada substrat yang berbentuk pasir, lumpur, karang, kulit kerang,

karang mati, batu maupun kayu, pada kedalaman sampai sekitar 10

sampai 15 meter di bawah permukaan air yang mengandung garam

laut pada konsentrasi sekitar 12-30o/oo. Untuk melekatkan dirinya,

Gracilaria memiliki suatu alat cengkeram berbentuk cakram yang

dikenal dengan sebutan 'hold fast'. Jika dilihat secara sepintas,

tumbuhan ini berbentuk rumpun, dengan tipe percabangan tidak

teratur, 'dichotomous', 'alternate', 'pinnate', ataupun bentuk-bentuk

percabangan yang lain.

Menurut Soegiarto et al., (1978), Gracilaria dapat tumbuh di

berbagai kedalaman, namun pada umumnya pertumbuhan jenis ini

lebih baik di tempat dangkal dari pada di tempat yang dalam.

Temperatur merupakan faktor terpenting untuk pertumbuhan

Gracilaria. Sedangkan temperatur optimum untuk pertumbuhan

Gracilaria berkisar antara 20-28 ℃. Bahkan di daerah Sulawesi pada

musim-musim tertentu rumput laut jenis ini banyak terdampar di pantai

5

karena hempasan gelombang dalam jumlah yang sangat besar.

Gracilaria tersebar luas di sepanjang pantai daerah tropis

(Anggadiredja dkk, 2006).

Rumput laut tumbuh hampir di seluruh bagian hidrosfir sampai

batas kedalaman 200 meter. Jenis rumput laut ada yang hidup di

perairan tropis, subtropis, dan di perairan dingin. Di samping itu, ada

beberapa jenis yang hidup kosmopolit seperti Ulva lactuca, Hypnea

musciformis, Colpomenia sinuosa, dan Gracilaria verrucosa. Rumput

laut hidup dengan cara menyerap zat makanan dari perairan dan

melakukan fotosintesis. Jadi pertumbuhannya membutuhkan faktor-

faktor fisika dan kimia perairan seperti gerakan air, temperatur, kadar

garam, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan sinar matahari (Effendie,

1997).

Pertumbuhan rumput laut dipengaruhi oleh beberapa faktor

baik yang bersifat internal maupun eksternal. Faktor internal yang

berpengaruh terhadap pertumbuhan antara lain jenis, bagian thallus

dan umur, sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara lain

keadaan lingkungan fisika dan kimia yang dapat berubah menurut

ruang dan waktu, penanganan bibit, perawatan tanaman dan metode

budidaya. Laju pertumbuhan yang dianggap menguntungkan adalah

diatas 3% pertambahan berat per hari. Menurut Sulistijo (1985),

Gracilaria edulis mempunyai laju pertumbuhan 3-4% per hari.

Temperatur air di permukaan perairan Indonesia umumnya

berkisar antara 28℃ sampai 31℃. Temperatur air di permukaan

dipengaruhi oleh kondisi meteorologi. Faktor-faktor meteorologi yang

mempengaruhi suhu air laut adalah curah hujan, penguapan,

6

kelembaban udara, temperatur udara, kecepatan angin dan intensitas

radiasi matahari. Secara alami temperatur air permukaan merupakan

lapisan hangat karena mendapat radiasi matahari pada siang hari.

Salinitas menggambarkan jumlah kadar garam yang terdapat

pada suatu perairan atau total garam yang terdapat dalam 1000 g air

contoh. Salinitas dapat diukur menggunakan refraktometer atau

salinometer. Satuan untuk pengukuran salinitasadalah satuan gram

per kilogram (ppt) atau promil (o/oo).

Secara umum laju fotosintesis akan meningkat sejalan

dengan meningkatnya suhu selanjutnya akan menjadi stagnan dan

sampai pada tingkat cahaya yang menyebabkan terjadinya penurunan

laju fotosintesis (Lideman et al, 2013). Penetrasi cahaya dalam air

sangat dipengaruhi oleh intensitas dan sudut datang cahaya pada

permukaan air, kondisi permukaan air, dan bahan-bahan terlarut dan

tersuspensi di dalam air (Boyd, 1988). Makin kecil sudut datang

cahaya akan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam air.

Sebaliknya makin tegak lurus sudutnya maka semakin sedikit cahaya

yang dipantulkan (Nybakken, 1992).

Semua tumbuhan tanpa kecuali memerlukan intensitas

cahaya tertentu bagi terlaksananya proses fotosintesis. Loban (1997),

menyatakan bahwa kebutuhan cahaya berbeda-beda pada setiap

jenis makroalga. Spektrum cahaya yang digunakan dalam fotosintesis

berkisar 350-700 nm. Kualitas dan kuantitas cahaya penting dalam

respon fotosintesis dan pola metabolisme. Fotosintesis dan pola

metabolisme dapat berubah dengan perubahan kedalaman air tetapi

perubahan fotosintesis tergantung pada kecerahan dan partikel alami

7

yang terlarut (Loban, 1997). Intensitas cahaya yang maksimum untuk

pertumbuhan Gracilaria adalah 4750 lux (Dawes, 1981) dan

kedalaman optimum 0,5 meter (Kadi dan Atmaja, 1988).

Kekeruhan disebabkan bahan organik dan bahan anorganik

baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan

anorganik dan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya

(Davis dan Cornwell, 1991). Kekeruhan merupakan faktor pembatas

bagi proses fotosintesis dan produksi primer perairan karena

mempengaruhi penetrasi cahaya matahari (Boyd, 1988). Kekeruhan

standar untuk lingkungan rumput laut sebesar 20 mg/l (Walhi, 2006)

dan kekeruhan dapat mempengaruhi (a) terjadinya gangguan

respirasi, (b) dapat menurunkan kadar oksigen dalam air dan (c)

terjadinya gangguan terhadap habitat (Sutika, 1989)

Derajat keasaman (pH) merupakan hasil pengukuran aktivitas

ion hydrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara

asam dan basa air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara

lain aktifitas biologi seperti fotosintesis dan respirasi organisme,

temperatur, dan keberadaan ion-ion dalam perairan tersebut (Pescod,

1973). pH air yang optimal untuk pertumbuhan rumput laut adalah 7-8.

Proses masuknya unsur hara ke rumput laut dilakukan

dengan cara difusi melalui seluruh permukaan tubuh. Proses difusi

dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh adanya gerakan air

(Doty dan Glenn, 1981). Unsur hara yang dibutuhkan oleh makroalgae

terdiri dari makro nutrisi dan mikro nutrisi. Makro nutrisi yang

dibutuhkan alga laut adalah sulfat, potassium, kalsium, magnesium,

karbon, nitrogen, dan fosfor, sedangkan mikro nutrien meliputi Fe, Mn,

8

Cu, Si, Zn, Na, Mg, dan Cl (Loban, 1997). Salah satu faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan rumput laut adalah nutrisi yang dapat

diperoleh dari pupuk.

III. KOLEKSI DAN AKLIMATISASI GRACILARIA LAUT

PERTIL

Sampel rumput laut fertil yang digunakan untuk eksperimen

ini adalah Gracilaria sp, Family Solieriaceae (Rhodophyta) yang

sudah mengandung spora (fertil) tipe carpospore (Carposporophyte)

yang dibudidayakan, salah satu tempat yang ada stok sporanya di

alam adalah di Desa Ujung Baji, Kec. Sanrobone, Kab. Takalar,

Sulawesi Selatan. Gracilaria sp. fertil yang diperoleh kemudian

diseleksi dan di tampung pada

Gambar 2. Gracilaria sp. (Ssngo-sango laut) yang dibudidayakan di Desa Ujung Baji, Kec. Sandrobone, Kab. Takalar.

wadah stereofoam yang mengandung air laut dan selanjutnya dibawa

ke laboratorium basah Balai Perikanan Budidaya Air Payau (BPBAP)

Takalar dengan suhu yang dipertahankan kurang lebih 25 oC. Di

9

Laboratorium rumput laut, BPBAP Takalar, sampel-sampel Gracilaria

sp. kemudian dipelihara sebagai tahap aklimatisasi di akuarium (60 ×

40 × 40 cm3) yang mengandung air laut dengan salinitas 30 ppt dan

pH 7,8 - 8.4. Carposporophyte dari Gracilaria sp. yang akan

digunakan dapat dilihat pada Gb 3.

Gambar 3. Thalus Gracilaria sp. yang mengandung Carpospore (Carposporophyte)

IV. MEDIA PEMELIHARAAN

Air laut yang digunakanan untuk pelepasan spora,

pemeliharaan spora dan pemeliharaan Gracilaria muda (plantlet)

adalah air laut yang telah disaring dengan menggunakan saringan

kapas dan saringan whatmen ukuran 0,45 µm. Air laut tersebut

kemudian disterilisasi dengan menggunakan autoclave pada suhu 121

oC selama 15 menit dengan tekanan 1 atm.

Media pemeliharaan yang digunakan adalah media

Provasoli’s Enrich Seawater (PES) seperti yang dijelaskan oleh

10

Andersen (2005). Media PES merupakan media kultur untuk algae

yang kaya dengan senyawa yang dibutuhkan untuk memenuhi

kebutuhan nutrient pada rumput laut. Beberapa unsur pada media ini

dapat melengkapi kekurangan yang ada pada Serilized Sea Water

(SSW). “Enrich seawater” medium diperkenalkan oleh Provasoli

sekitar tahun 1960 an dan telah dilakukan banyak modifikasi tahun-

tahun berikutnya baik oleh media kultur maupun oleh beberapa ahli

tentang media kultur algae (Andersen, 2005). Pemberian pupuk ini,

dilakukan sebelum dibudidayakan di lingkungan alamianya. Pupuk

PES memiliki sumber nitrogen dan fosfat yang merupakan unsur

utama yang dibutuhkan oleh rumput laut dalam pertumbuhannya.

Untuk menghasilkan pupuk PES, 20 ml Enrich Stock Solution

ditambahkan dengan air laut steril hingga volume mencapai 1000 ml.

V. PELEPASAN DAN PEMEIHARAAN SPORA PADA TALI

Teknik pelepasan spora ini merupakan modifikasi dari teknik

yang digunakan sebelumnya oleh Lideman dkk. (2014). Wadah yang

digunakan terdiri dari baskom sebagai wadah penampung media

pemeliharaan dan baskom dengan dasar berupa saringan dengan

meshsize 100 (100 lobang per cm), sebagai tempat meletakan

Carposporophyte yang fertil. Tali polyethylene sebagai tempat

menempelnya spora dililitkan pada flat. Baskom dengan dasar

berupa saringan tadi diletakan di bagian atas baskom dengan posisi

terendam 5-10 cm dari permukaan media pemeliharaan, dan tali

11

polyethylene yang terlilit pada flat tadi di letakan di bagian dasar

baskom penampung media pemeliharaan (Gambar 4).

Gambar 4. Wadah untuk pelepasan dan penempela spora (a), tali polyethylene yang terlilit pada flat (b) dan wadah baskom dengan dasar saringan meshsize 100 (c)

Carposporophyte dari Gracilaria sp. yang akan digunakan

adalah dengan ciri-ciri: thallus-nya bersih dari kotoran, warna agak

kekuningan dan kantong sporanya (cytocarp) berwarna coklat cerah

dengan diameter yang relatif lebih besar. Carposporophyte yang

sudah diseleksi tadi kemudian dipotong dengan panjang 1-1,5 cm

yang mengandung 3-4 cytocarp. Setelah dipotong, selanjutnya

dilakukan sterilisasi dengan dengan cara direndam dalam larutan

iodin 1% selama 2-3 menit. Kemudian, potongan-potongan

carposporophyte tersebut diletakan di atas saringan dan terendam

dalam media pemeliharaan dengan kedalaman 2-3 cm dari atas

permukaan media. Carposporophyte yang fertil tersebut kemudian

diangkat dari media pemeliharaan setelah 5-7 hari. Selanjutnya, spora

yang ada pada tali polyethylene dipelihara sampai sporanya

12

menempel dan mempunyai thalus serta holdfast (Gracilaria muda),

dengan kondisi suhu 25 oC, cahaya 500-100 lux dan salinitas 30 ppt.

Selain itu, spora dicek dibawah mikroskop untuk memastikan apakah

sporannya bisa menempel dan berkembang atau tidak. Penggunaan

media PES menunjukan bahwa perkembangan spora menjadi

Gracilaria sp. muda yang mempunyai thalus terjadi pada umur 30 -

40 hari, hal ini memberikan hasil yang lebih cepat jika dibandingkan

dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada Gracilaria gigas

(Yudiati dkk, 2004).

VI. PEMELIHARAAN GRACILARIA MUDA (PLANTLET)

Gracilaria sp. muda ditandai dengan munculnya tunas yang

merupakan thalus (batang semu) yang tumbuh diatas holdfast.

Pemeliharaan Gracilaria sp. muda ini dilakukan pada media PES,

dengan suhu 25 oC dan cahaya 500-1000 lux, pergantian media

pemeliharaan dilakukan setiap 1 minggu sekali. Untuk proses

fotosintesis dan respirasinya, maka alga memerlukan kondisi terang

dan gelap (Lideman et al, 2013), karena itu kondisi terang dan gelap

dibuat dengan perbandingan 12 jam terang dan 12 jam gelap.

13

Gambar 5. Perkembangan spora yang menempel pada polyethylene (PE) dan tali rafia. (a) spora yang menempel pada tali rafia umur 1 minggu. (b) spora yang menempel pada tali PE umur 1 minggu. (c) Gracilaria sp. muda yang sudah mempunyai holdfast dan thalus pada tali rafia umur 40 hari. (d) Gracilaria sp. muda yang sudah mempunyai holdfast dan thalus pada tali PE, umur 40. (e) Gracilaria sp. umur 60 hari yang menempel pada tali rafia yang sudah siap untuk digunakan sebagai bibit untuk dibudidayakan di laut. (f) Gracilaria sp. umur 60 hari yang menempel pada tali PE yang sudah siap untuk digunakan sebagai bibit untuk dibudidayakan di laut.

(a) (b)

(c) (d

)

(e) (f)

14

Proses perkebangan spora menjadi Gracilaria sp. muda dan

bibit dapat dilihat pada Gambar 5. Proses penempelan spora pada tali

PE dan tali rafia berlansung antara 3-5 hari (Gambar. 5a dan 5b),

spora yang tidak fertil biasanya akan mati dalam jangka waktu 24 jam

setelah pelepasan dari cytocarp (kantong spora), spora yang mati

ditandai dengan warna yang pucat dan sel-selnya tidak berkembang.

Hasil pengujian terhadap media pupuk PES menunjukan bahwa

pupuk PES dapat meningkatkan prosentasi spora yang menempel

dan juga dapat mempercepat spora untuk berkembang menjadi

Gracilaria sp. muda yaitu spora yang berkembang dan sudah

mempunyai thalus dan holdfast (Gambar. 5c dan 5d). Selanjutnya,

Gracilaria sp. muda akan berkembang dan bisa digunakan sebagai

bibit setelah umur diatas 2 bulan (Gambar 5e dan 5f).

VII. TRANSPORTASI BIBIT

Bibit yang sudah siap untuk dipelihara di laut selajutnya bisa

dikirim ke lokasi budidaya. Bibit yang menempel di tali dimasukan ke

dalam kontainer yang di bagian dinding dan dasarnya sudah dilapaisi

dengan kapas atau koran yang sudah dibasahi dengan air laut. Bibit

dapat bertahan selama 2 hari dalam perjalanan dengan suhu anara

25-27 oC. Selanjutnya bibit bisa dibawa ke lokasi budidaya.

VIII. PEMELIHARAAN BIBIT DI LOKASI BUDIDAYA

Bibit yang akan dipelihara di laut diperiksa kondisinya untuk

memastikan mutu bibit, bibit yang berwarna coklat, tidak transparan

15

dan tidak ada epifit yang menempel. Bibit Gracilaia Laut diaklimatisasi

dengan cara dipelihara pada suhu ruangan selama 12 jam sebelum

dibawa ke lokasi budidaya. Tali bentangan (Poluethylene; PE No. 4)

yang sudah mengandung bibit dibentangkan pada patok dengan

ketinggian 10-30 cm dari permukaan laut, lalu tali bentangan diberi

pelampung berupa botol aqua 600 ml dengan jarak 2 meter. Pada

tahap awal pemeliharaan bibit selama 70 hari, panjang thalus bisa

mencapai 20-25 cm (Gambar 6), Pada tahap selanjutnya, bibit dapat

digunakan kembali tanpa harus di bawa ke daratan, karena panennya

dapat dilakukan dengan cara memotong thalus dan sisa thalusnya

dapat tumbuh kembali sebagai bibit siklus berikutnya.

Gambar 6. Perkembangan bibit spora Gracilaria sp. yang dipelihara di lokasi budidaya, Desa Ujung Baji, Kec. Sandrobone, Kab. Takalar. (a) panjang thalus 4-6 cm pada tali polyethylene (PE) dengan umur 20 hari, (b) panjang thalus 3-4 cm pada tali rafia dengan umur 20 hari. (c) panjang thalus 20-25 cm pada tali polyethylene (PE) dengan umur 70 hari dan (d) panjang thalus 15-20 cm pada tali rafia dengan umur 70 hari.

(a)

(c)

(b)

(d)

16

Dalam pengembangan produksi bibit yang berasal dari spora

Gracilaria sp. maka perlu diperhatikan beberpa faktor yang

mendukung keberhasilan penempelan spora hingga tumbuh menjadi

Gracilaria sp. muda (Alberto & Robledo 1999), faktor-faktor tersebut

antara lain adalah pH, salinitas, temperatur, intensitas cahaya, aktif

atau tidaknya spora, viskositas dari perairan, lapisan microfilm yang

ada pada subtrat, kekasaran subtrat, kemampuan polasisari spora

terhadap subtrat, dan kemampuan adhesi spora terhadap subtrat

(Lobban dan Harrison, 1997).

Penggunaan media PES menunjukan bahwa perkembangan spora

menjadi Gracilaria sp. muda yang mempunyai thalus terjadi pada

umur 30 - 40 hari, hal ini memberikan hasil yang lebih cepat jika

dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada

Gracilaria gigas (Yudiati dkk, 2004).

Bibit Gracilaria sp. (Gb. 5c dan 5d) yang berasal dari spora

yang dipeliihara di lokasi budidaya dapat beradaftasi dan berkembang

mencapai ukuran 20 – 25 cm pada umur 70 hari. Hal ini akan sangat

bermanfaat bagi petani dalam hal pemenuhan bibit yang dapat diatur

sesuai kebutuhan, baik dari segi musim tanam, jumlah maupun

kualitasnya. Bibit yang berasal dari spora ini setelah mencapai ukuran

siap panen dapat di panen dengan cara memotong thalusnya (batang

semunya) dan potongan yang disisakan yang masih menempel di tali

dapat digunakan lagi sebagai bibit untuk siklus berikutnya.

Adanya dukungan penyediaan bibit Gracilaria sp. yang

berasal dari spora ini tentunya akan sangat bermanfaat bagi petani

17

rumput laut untuk pengembangan skala industri yang membutuhkan

bibit dalam jumlah yang besar, tepat waktu, dapat disimpan dan tidak

tergantung pada kondisi alam. Selain itu dengan adanya bibit ini dapat

meningkatakan efisiensi dalam budidaya di laut, karena tidak perlu

mengikatkan pada tali bentangan, dan dapat digunakan untuk siklus

berikutnya.

IX. ANALISA EKONOMI

Tabel 1. Analisa Ekonomi Berdasarkan Biaya Produksi dan

Investasi bibit Gracilaria sp

No Uraian Bayaknya Harga Jumlah

1 Investasi

Rp 36.000

Keramik 1 bh Rp 10.000 Rp 10.000

Baskom 1 bh Rp 26.000 Rp 26.000

2 Biaya Produksi (A)

Rp 21.933

2.1 Medium PES 1 paket Rp 5.000 Rp 5.000

2.2 Tali PE No. 4 (10 x 25 m) 25 m Rp 533 Rp 13.333

2.3 Penyusutan

Rp 3.600

a. Keramik 1 th Rp 1.000 Rp 1.000

b. Baskom 1 th Rp 2.600 Rp 2.600

3 Pendapatan (B) 1 Tali (@25 m) Rp 25.000 Rp 25.000

4 Keuntungan Kotor (A-B) 1 Tali (@25 m) Rp 3.067

18

DAFTAR PUSTAKA

Andersen, R.A. 2005. Algal Culturing Tachnique. Elsevier Academic Press. California, USA.

Alberto Guzm´an-Uri´ostegui & D. Robledo. 1999. Factors affecting sporulation of Gracilaria cornea (Gracilariales, Rhodophyta) carposporophytes from Yucatan, Mexico. Hydrobiologia 398/399: 285–290.

Anggadiredja. J.Irawati, S. dan Kusmiyati, 2006. Rumput Laut: Pembudidayaan, Pengolahan, dan Pemasaran Komoditas Perikanan Potensial. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta

Boyd, C.E. 1988. Water Quality in Ponds for Aquaculture. Agricultural Experiment Station, Auburn University. Auburn, Alabama, USA.

Davis, M.L. dan D.A. Cornwell. 1991. Introduction To Environmental Engineering.

Second Edition. Mc-Graw-Hill, Inc.New York. Dawes, C.J., 1981. Marine Botany. John Wiley Dawson University of South Florida

New York. Doty, M. S., and E. P. Glenn. 1981. Aquatic Botany. Photosynthesis

and Respiration of the Tropical Red Seaweeds, Eucheuma striatum (Tambalang and Elkhorn Varieties) and E. denticulatum. Elseiver Scientific Publishing Company. Amsterdam.

Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama.

Bogor.

Kadi A, Atmadja WS. 1988. Rumput Laut (Algae) Jenis, Reproduksi, Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta.

19

Lideman, Andi Elman, Sitti Farida, Endah Soetanti, Sugeng Raharjo

dan Symon Dworjanyn. 2014. Pengembangan bibit Rumput Laut (Gracilaria sp.) yang Dipelihara di Laut Melalui Penempelan Spora pada Tali Polyethylene (PE). Prosiding Seminar “Indonesian Aquaculture 2014” (Indoaqua 2014). Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, KKP.

Lideman, Gregory N. Nhisihara, Tadahide Noro and Ryuta Terada.

2013. Effect of Temperature and Light on the Photosynthesis as and Kappaphycus sp (Strain sumba) from indonesia. Journal of Applied Phycology, Vol. 25 No.2 hal. 399-406. DOI: 10.1007/z 10811-012-9874-5

Lobban, C. S. and P. J. Harrison. 1997. Seaweeds Ecology and

Physiology. Cambridge University Press. Cambridge, UK, 384 pp.

Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Alih Bahasa H.M. Eidman, Koesoebiono, D.G. Bengen, M. Hutomo dan S. Sukardjo. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Pescod, N. B. 1973. Investigation of Rational Effluent and Stream For Tropical Countries. AIT. Bangkok.

Soegiarto, A., Sulistijo, Atmadja, W.S., Mubarak, H. 1978. Rumput Laut (Algae) Manfaat, Potensi dan Usaha Budidayanya. LON-LIPI, Jakarta.

Sulistijo. 1985. Budidaya Rumput Laut. http://www.fao.org/docrep/field/003/AB882E/AB882E11.htm. Diakses 20 Mei 2017.

Sutika, N., 1989. Ilmu Air. Universitas Padjadjaran. UNPAD Bandung.

Bandung

Walhi. 2006. Dampak Lingkungan Hidup Operasi Pertambangan Tembaga dan

20

Emas Freeport-Rio Tinto di Papua. WALHI. Jakarta Indonesia.

Yudiati, E., E. S. Susilo dan C. A. Suryono. 2004. Teknik Setting Spora Gracilaria gigas Sebagai Penyedia Benih Unggul dalam Budidaya Rumput Laut. Ilmu Kelautan. Vol. 8 No. 1, 37-40