pesan moral cerita rakyat masyarakat maluku dan
TRANSCRIPT
PESAN MORAL CERITA RAKYAT MASYARAKAT
MALUKU DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PENANAMAN
KARAKTER SISWA
Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Yunus Rumoga
NIM: 105 04 13 018 18
PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2021
i
ABSTRAK
YUNUS RUMOGA. Judul tesis “Pesan Moral Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
dan Kontribusinya terhadap Penanaman Karakter Siswa SMP Kelas VII SMPN 44
Seram Bagian Timur,pembimbing satu oleh H.M. Ide Said. D.M. dan pembimbing
dua oleh Abdul Munir, ).
Penelitian ini bertujuan (1) mendeskripsikan pesan moral dan nilai karakter
pada cerita rakyat Maluku, dan (2) mendeskripsikan kontribusi cerita rakyat
masyarakat Maluku terhadap penanaman karakter siswa SMP kelas VII.
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Sumber data adalah
informan. Informan yang dipilih adalah saniri negeri/pemangku-pemangku adat (juru
kunci). Data berupa kata, frasa, dan kalimat yang mengandung pesan moral dan nilai
karakter yang diperoleh melalui informasi lisan dari para informan selanjutnya
ditranskripsikan ke dalam cerita secara tertulis. Teknik yang digunakan dalam
pengumpulan data meliputi observasi langsung, perekaman, wawancara, baca-simak,
dan pencatatan. Analisis data yang dilakukan mengikuti tahap analisis Huberman &
Miles yakni mereduksi data, penyajian data dan penyimpulan, dan verifikasi hasil
penelitian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1)Pesan moral yang terdapat pada
cerita rakyat masyarakat Maluku memiliki tiga kategori yakni pesan moral kategori
hubungan manusia dengan Tuhan, pesan moral kategori hubungan manusia dengan
diri sendiri, dan pesan moral kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam
lingkungan sosial termasuk dengan alam serta terdapat enam belas nilai pendidikan
karakter dari lima nilai pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Kementerian
Pendidikan Nasional dan 7 nilai pendidikan karakter yang tidak termasuk dalam 5
nilai pendidikan karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional.(2)Hasil
penelitian ini dikontribusikan dalam pengajaran bahasa Indonesia berupa bahan ajar
yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi guru bahasa Indonesia di sekolah
khususnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VII. Hal ini dikaitkan dengan
standar penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap pada Kurikulum 2013
jenjang SMP kelas VII. Kompetensi sikap spiritual (KI 1) dan kompetensi sikap
sosial (KI 2). Terdapat pada kompetensi dasar (KD) 3.11;3.12 mengidentifikasi dan
menelaah struktur dan kebahasaan informasi tentang fabel/legenda daerah setempat
yang dibaca dan didengar; dan (KD) 4.11;4.12 menceritakan kembali dan
memerankan isi fabel/legenda daerah setempat.
Kata kunci: cerita rakyat, masyarakat Maluku, nilai pendidikan karakter, dan pesan
moral.
ii
ABSTRACT
YUNUS RUMOGA. Moral Message of the Maluku People's Folklore and Its
Contribution to Character Building of Grade Class VII Students in Junior High
School (Supervised by H. M. Ide Said. D.M. dan Abdul Munir.).
The study aims at describing (1) the moral messages and character values of
Maluku folklore, (2) the contribution of the Maluku people's folklore to the characters
Building of Grade Class VII Students in Junior High School.
The type of this study is a qualitative descriptive research. The data sources in
this study were the informants. The informants chosen in this were saniri/key
stakeholders of adat. Data were in the form of words, phrases and sentences
containing moral messages and character values obtained through oral information
from informants. The data were then transcribed into the story in written form.
Techniques used in data collection include direct observation, recording,
interviewing, reading, listening, and note taking. Data analysis conducted in this
study referred to Huberman & Miles analysis stage, namely data reduction, data
presentation, and conclusions and verification of the results of the research.
The results reveal that: (1) The moral messages contain in Maluku folklore
have three categories, namely the human relations with God category, the human
relations with oneself category, and human relations with other humans in the social
environment category including nature. There are sixteen values out of the five values
of character education developed by the Ministry of National Education and seven
values of character education not included in those eighteen values of character
education, (2) The results of this study were contributed in teaching Bahasa Indonesia
in the form of teaching materials that can be taken into consideration for Bahasa
Indonesia teachers in schools, especially Grade VII junior high schools. This is
related to the standard of growth and development of attitude competency in the 2013
curriculum for grade VII in junior high school, namely the spiritual attitude
competency (KI.1) and social attitude competency (KI.2). There are basic
competencies (KD) 3.11; 3.12 identify and examine the structure and language of
information about local fables/legends that are read and heard; and (KD) 4.11; 4.12
retell and act out the contents of local fables / legends.
Keywords: folklore, maluku people, the value of character education, and moral
messages.
iii
Kata Pengantar
Alhamdulillah, seperti zikir alam untuk memuji kebesaran Tuhannya, maka
tidak ada kata yang lebih indah yang dapat penulis agungkan untuk segala kuasa
Allah Swt. karena atas limpahan rahmat, kasih sayang, dan hidayah-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pesan Moral Cerita Rakyat
Masyarakat Maluku dan Kontribusinya terhadap Penanaman Karakter Siswa SMP
Kelas VII Sbagian SMPN 44 Seram Bagian Timur ”. Salawat dan salam penulis
curahkan kepada Rasulullah saw. sebagai suri teladan yang telah membawa
kebenaran dan cahaya Islam kepada umat manusia.
Proses penyelesaian tesis ini, merupakan suatu perjuangan yang panjang bagi
penulis. Selama proses penelitian dan penyusunan tesis ini, terdapat berbagai macam
rintangan dan hambatan yang dihadapi penulis. Namun, berkat usaha dan kerja keras
serta keseriusan pembimbing mengarahkan dan membimbing penulis, adanya
bantuan, dan motivasi dari berbagai pihak, segalanya menjadi lebih mudah sehingga
tesis ini dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis patut
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang setinggi-tingginya
kepada Prof. Dr. H. M. Ide Said D.M.,M.Pd dan Dr. Drs. Abdul Munir.,M.Pd.
pembimbing dalam penelitian ini yang dengan sabar selalu meluangkan waktu,
tenaga serta pikirannya untuk memberikan bimbingan yang sangat bermanfaat bagi
penulis dalam menyelesaikan tesis ini. Ucapan terima kasih juga patut penulis
sampaikan kepada tim penguji, yaitu Dr. H. Darwis Muhdina, M.Ag. Dr. A. Rahman
iv
Rahim., M.Hum.yang banyak memberikan masukan yang sangat berarti dalam
penyusunan tesis ini.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor Universitas
Muhammadiyah Makassar, Prof. Dr. H. Ambo Asse, M.Ag., Direktur Program
Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. H. Darwis Muhdina, M.Ag.
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa, Dr. A. Rahman Rahim, M. Hum.
para dosen yang telah berjasa memberikan ilmu dan mendidik selama mengikuti
pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar, dan
seluruh staf Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Makassar yang
senantiasa memudahkan pelayanan administrasi kepada penulis selama ini.
Ucapan terima kasih penulis tujukan kepada, Kepala Sekolah SMPN 44
Seram Bagian Timur, guru dan staf pegawai yang telah meluangkan waktu dan
menerima bahan ajar yang ditawarkan penulis sebagai bahan pertimbangan bahan ajar
untuk digunakan di sekolah.
Teristimewa kepada kedua orang tua tercinta, Ibunda Hania Boufakar dan
Ayahanda. Salim Rumoga. Izinkanlah anakmu ini mencium tangan Ayah dan Bunda
sebagai tanda bakti dan rasa syukur memiliki orang tua hebat seperti ayah dan bunda.
Hati ini seperti teriris melihat kerja keras dan pengorbanan yang ayah dan bunda
lakukan demi kesuksesan anakmu.
Terakhir ucapan terima kasih untuk semua pihak yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan tesis ini yang tidak sempat penulis sebutkan satu per
v
satu. Semoga segala bantuan, motivasi, serta pengorbanan yang diberikan dapat
bernilai ibadah dan diganti dengan pahala, rezeki, dan kemudahan dari Allah Swt.
Penulis menyadari bahwa dalam tesis ini terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik untuk menyempurnakan
tesis ini. Akhir kata, mudah-mudahan tesis ini bisa bermanfaat bagi banyak orang.
Makassar, Maret 2021
Yunus Rumoga
vi
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN i
PERNYATAAN KEORISINALAN TESIS ii
ABSTRAK iii
ABSTRACT iv
KATA PENGANTAR v
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
DAFTAR SINGKATAN xiii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Penelitian 1
B. Rumusan Masalah 6
C. Tujuan Penelitian 6
D. Manfaat Hasil Penelitian 7
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Sastra 8
B. Cerita Rakyat 13
C. Cerita Rakyat Masyarakat Maluku 42
vii
D. Fungsi Cerita Rakyat Masyarakat Maluku sebagai 45
Bahan Ajar di Sekolah
E. Kerangka Pikir 47
BAB III. METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian 49
B. Fokus Penelitian 49
C. Definisi Istilah 49
D. Desain Penelitian 50
E. Data dan Sumber Data 50
F. Instrumen Penelitian 51
G. Teknik Pengumpulan Data 51
H. Teknik Analisis Data 52
I. Pemeriksaan Keabsahan Data 53
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. HasilPenelitian 55
B. Pembahasan 100
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 107
B. Saran 107
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
2.1 Nilai Karakter Bangsa 45
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
2.1 Kerangka Pikir 62
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Lima Nilai Pendidikan Karakter Cerita Rakyat 33
Masyarakat Maluku
2. Pesan Moral berdasarkan Tiga Kategori 109
3. RPP SMP/MTS Kelas VII 164
4. Catatan Lapangan Informan 171
5. Dokumentasi 172
xi
DAFTAR SINGKATAN
Singkatan Arti
AM : Anahunta Malalokon
ARNA : Anak Raja Nakal dan Akal
ASWM : Asal-Usul Waelo Matai
KD : Kompetensi Dasar
KI : Kompetensi Inti
No KD : Nomor Korpus Data
NPK : Nilai Pendidikan Karakter
SMPN : Sekolah Mengenah Pertama Negeri
RPP : Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
SMP : Sekolah Menengah Pertama
PPs : Program Pascasarjana
UMM : Universitas Muhammadiyah Makassar
NTB : Nusa Tenggara Timur
dkk : dan kawan-kawan
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra Indonesia beraneka ragam, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan
dan menarik untuk dikaji, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Jika dilihat dari
sejarah karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya maka
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sastra lama (klasik) dan sastra baru
(modern). Sastra lama juga disebut sastra daerah (regional) yang menggunakan bahasa
daerah dan tersebar di seluruh Nusantara. Sebaliknya, sastra modern juga disebut sastra
Indonesia (nasional) menggunakan bahasa Indonesia. Secara teknis sastra lama
dibedakan atas dua macam, yaitu sastra lisan (oral literatur) dan sastra tulis.
Sastra daerah merupakan salah satu hasil warisan budaya bangsa, yang tersebar
di berbagai daerah di Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur, seperti nilai
agama, etika, kepemimpinan, kepahlawanan, kejujuran, dan nilai kesetiaan. Nilai-nilai
itu memiliki makna yang sangat penting bagi pengembangan bangsa, khususnya
pengembangan karakter bangsa baik bagi yang tersirat maupun yang tersurat dalam
sastra daerah. Selain itu, nilai-nilai tersebut dapat dijadikan sumber pengetahuan dan
media pembelajaran, baik bagi generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan
datang. Dengan demikian, sastra daerah merupakan satu hal yang wajib dibina dan
dikembangkan oleh pemilik atau pendukungnya. Hal ini dilakukan untuk mempertinggi
harkat dan martabat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab (Cika, 2012:1)
Pesan moral karya sastra sangat erat kaitannya dengan sifat-sifat luhur
manusiaan dalam memperjuangkan hak dan martabatnya. Sifat-sifat luhur kemanusiaan
tersebut pada hakikatnya bersifat universal. Artinya, sifat-sifat ini diyakini
kebenarannya oleh masyarakat. Dari pesan moral tersebut terdapat nilai-nilai karakter
yang dapat membangun kepribadian seseorang menjadi lebih baik yang berguna untuk
2
lingkungannya. Nilai-nilai ini bisa didapatkan dalam kandungan cerita rakyat yang akan
dikaji pada saat penelitian. Harus ada upaya yang dilakukan agar tetap menjaga dan
melestarikan cerita turun-temurun tersebut agar generasi penerus juga dapat mengetahui
asal muasal suatu cerita dari moyangnya. Salah satu caranya adalah dengan
mendokumentasikan folklor lisan yang terdapat pada wilayah tertentu. Dari
dokumentasi legenda, dan dongeng yang dituturkan didokumentasikan dan dapat
diceritakan kemali dengan penambahan nilai moral untuk mewujudkan pendidikan
karakter.
Dalam realita di masyarakat, cerita rakyat sangat digemari oleh masyarakat
karena dijadikan sebagai suri teladan dan pelipur lara, serta bersifat membangkitkan
tawa. Oleh karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau
pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum
adanya pendidikan secara formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi
dan peranan yang sangat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk
mendidik anak dalam keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah
tersedia, tetapi cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama
dalam membina kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam
keluarga (http:// culture.melayuonline.com).
Budayawan NTB H. Jalaluddin Arzaki,(dalam (Marwilistya, 2010) melihat
keberadaan folklor di tengah masyarakat sangatlah penting, terutama nilai-nilai filosofi
kehidupan yang menjadi cerminan antara hubungan manusia dengan Sang Pencipta.
Misalnya, dalam cerita rakyat Malin Kundang dari Sumatera Barat memberikan pesan
bahwa jika seorang anak ingkar kepada kedua orang tuanya sama artinya dengan
mengingkari Tuhan. Pesan moral seperti dalam cerita Malin Kundang merupakan salah
satu contoh pesan-pesan moral yang baik untuk masyarakat dibungkus dalam cerita
rakyat sehingga cerita rakyat diterima dan hidup dalam masyarakat. Cerita rakyat
3
mengandung nilai edukatif untuk masyarakat. Menurut Sutarto (2007: 52-53) bahwa
nilai edukatif dalam cerita rakyat adalah: (1) nilai pendidikan moral, (2) nilai
pendidikan adat/tradisi, (3) nilai pendidikan agama, dan (4) nilai pendidikan sejarah
(historis). Nilai-nilai tersebut dapat diajarkan atau disampaikan kepada masyarakat, baik
secara formal maupun nonformal melalui cerita rakyat. Dalam hal tertentu, masyarakat
berkembang dalam nilai tertentu karena mendengarkan dan merefleksikan cerita rakyat
yang diterima dari orang lain.
Karya sastra yang muncul tidak lahir dalam kekosongan budaya. Artinya, karya
sastra selalu bertumpu pada nilai yang berkembang. Demikian pula halnya dengan salah
satu karya sastra masyarakat Maluku, yakni cerita rakyat. Cerita rakyat masyarakat
Maluku merupakan cerita yang terdiri atas dongeng, mite maupun legenda yang
berkembang di masyarakat dan diceritakan dari mulut ke mulut. Hal ini sejalan dengan
Danandjaja (2007: 1-2), cerita rakyat merupakan salah satu bagian dari folklor (folklore)
yang didefinisikan sebagai bentuk penuturan cerita yang dasarnya tersebar secara lisan,
diwariskan turun-temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara tradisional.
Sehingga, cerita yang berkembang di masyarakat tersebut jika tidak dilestarikan akan
punah. Oleh karena itu, perlulah membina cerita tersebut ke dalam naskah tulis sehingga
tidak lenyap seiring perkembangan zaman. Cerita rakyat di Maluku banyak
mengandung nilai yang berfungsi dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai tersebut perlu
ditumbuhkembangkan agar senantiasa menjiwai sikap dan perilaku masyarakat yang
berfungsi dalam membina hubungan masyarakat agar lebih bertanggung jawab dan
berjiwa luhur. Pewarisan nilai-nilai luhur melalui cerita rakyat Maluku memang perlu
dilakukan terutama pada generasi muda era modern saat ini.
Cerita rakyat Maluku terkandung filosofi hidup yang dapat dijadikan panutan
dalam kehidupan sehari-hari. Folklor, dalam hal ini adalah cerita rakyat digambarkan
peran berbagai tokoh dalam cerita tersebut, terutama perilaku atau perbuatan manusia
4
dalam keterikatan hidupnya sesama manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, dan dengan
alam lingkungannya. Cerita rakyat Maluku khususnya pada Kabupaten Seram Bagian
Timur mengisahkan tentang asal-usul tempat, sejarah pertalian umat beragama atau
yang sering disebut pela-gandong, hingga kepahlawanan. Cerita rakyat yang
berkembang di Maluku merupakan wahana tata nilai dan norma sosial atau adat yang
masih berfungsi dengan baik dan menjadi alat perekat yang masih ditaati oleh
masyarakat yang patut dikembangkan dan dijadikan untuk kehidupan masa kini dan
masa yang akan datang sebagai kekayaan budaya.
Cerita rakyat yang dikaji pada penelitian ini dipusatkan Pada SMP Negeri 44
Seram Bagian Timur yang terletak di Kecamatan Kiandarat, Kabupaten Seram Bagian
Timur. Penentuan lokasi penelitian terdapat di Negeri Kiandarat. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa lokasi penelitian tersebut terdapat cerita-cerita yang menonjol dan
dikenal masyarakat luas, tetapi cerita-cerita rakyat tersebut belum didokumentsikan dan
melihat generasi mudah di Kiandarat khususnya siswa SMP 44 yang tidak lagi
menjunjung tinggi nilai pelagandong(hidup orang basodar) dalam kesehariannya. Selain
itu, Negeri Kiandarat merupakan salah satu negeri di daratan pulau Seram yang
memiliki adat-istiadat yang sangat kental dan masih dijaga dan dilestarikan hingga saat
ini.
Perlu digarisbawahi bahwa cerita rakyat erat hubungannya dengan tokoh
kerajaan atau pawang cerita. Namun nyaris di banyak daerah pawang cerita itu susah
sekaliditemukan atau bahkan tidakdapat ditemukan. Hal ini karena banyak para pawang
telah meninggal dunia atau pada sebagaian masyarakat sendiri tidak memiliki perhatian
lebih pada cerita-cerita rakyat yang ada. Sebagai bentuk tradisi lisan, cerita rakyat di
Maluku telah terancam keberadaannya serta mulai kehilangan daya hidup, terutama
berkaitan dengan kemampuan untuk menunjukkan kekuatannya sebagai penjaga norma
dan pengesahan pranata adat dan budaya. Hal ini disebabkan oleh proses transformasi
5
yang mengalami kendala lintas generasi. Penguasaan cerita rakyat dalam kelompok
masyarakat pemiliknya hanya terbatas pada golongan tua, yakni satu atau dua orang tua
berusia di atas enam puluh tahun. Golongan ini biasanya menduduki posisi penting
sebagai saniri negeri.
. Pengajaran dan penanaman nilai-nilai moral dan nilai karkater dapat dilakukan
melalui cerita rakyat. Cerita rakyat sebagai salah satu dari sastra lisan memiliki unsur-
unsur yang saling mendukung cerita secara menyeluruh sebagai implikasi dalam
membentuk karakter dan dapat dijadikan sebagai alternatif bahan ajar. Fenomena ini
dapat membuka peluang yang luas pada guru untuk memperkenalkan kearifan lokal
leluhur kepada siswa sekaligus pemertahanan sastra daerah dari kepunahan agar mereka
dapat memahami dan sekaligus mendapatkan manfaatnya.
Cerita rakyat sebagai salah satu bentuk karya sastra daerah Maluku sangat
menarik untuk diteliti dan dikaji, serta dibukukan agar bisa digunakan sebagai salah satu
sumber acuan sastra, dan sebagai alat kebudayaan yang bisa dimanfaatkan untuk
penanaman nilai-nilai luhur dan pembentuk karakter generasi bangsa. Penelitian cerita
rakyat telah dilakukan oleh beberapa peneliti, seperti penelitian yang dilakukan oleh
Dewi Rukmini (2009) dengan judul Cerita Rakyat Kabupaten Sragen (Suatu Kajian
Struktural dan Nilai Edukatif). Secara substansial, penelitian ini difokuskan pada
bagaimana struktur dan nilai yang terkandung dalam cerita rakyat di Kabupaten Sragen.
Penelitian yang hampir sama juga dilakukan oleh Ranggi Ramadhani Ilminisa, dkk
(2016) dengan judul Bentuk Karakter Anak Melalui Dokumentasi Folklor Lisan
Kebudayaan Lokal. Dalam penelitian tersebut Ranggi Ramadhani Ilminisa, dkk
berfokus dalam mendokumentasikan , legenda, dongeng, dan mite di Jombang dan
mengemas folklor lisan tersebut menjadi cerita anak yang bermuatan pendidikan
karakter.
6
Mencermati penelitian yang telah dilakukan oleh Dewi Rukmini dan Ranggi
Ramadhani Ilminisa, dkk, tampak persamaan dan perbedaan dengan penelitian ini.
Persamaannya adalah sama-sama mengkaji tentang cerita rakyat, sedangkan
perbedaannya tampak pada lokasi dan fokus penelitian. Penelitian ini khusus mengkaji
tentang pesan moral cerita rakyat masyarakat Maluku dan kontribusinya terhadap
penanaman karakter siswa SMP.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana wujud pesan moral dan nilai karakter pada cerita rakyat masyarakat
Maluku?
2. Bagaimana kontribusi cerita rakyat masyarakat Maluku terhadap penanaman
karakter pada siswa SMP di Maluku?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mendeskripsikan pesan moral dan nilai karakter pada cerita rakyat
masyarakat Maluku.
2. Untuk mendeskripsikan kontribusi cerita rakyat masyarakat Maluku terhadap
penanaman karakter siswa.
7
D. Manfaat Hasil Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, baik secara teoretis maupun
manfaat secara praktis.
1. Manfaat Teoretis
Secara teoretis, temuan penelitian ini diharapkan dapat :
a. Dijadikan penunjang teori-teori pesan moral dan nilai karakter khususnya
kontribusi pesan moral bagi penanaman karakter siswa Sekolah Menengah
Pertama di daerah Maluku.
b. Dijadikan sebagai salah satu gambaran tentang penafsiran yang holistik kepada
peneliti-peneliti karya sastra khususnya cerita rakyat sebagai sumber informasi
tentang pesan moral bagi penelitian berikutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Bermanfaat untuk sosialisasi bagi masyarakat Maluku, khususnya generasi muda
untuk tetap menjadikan budaya daerah sebagai refleksi diri dan konsisten pada
nilai-nilai, serta pesan moral yang terkandung dalam cerita rakyat masyarakat
Maluku.
b. Bagi orang tua dan guru, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pedoman
transmisi nilai-nilai pendidikan dalam membina dan mendidik anak pada
pendidikan nonformal dan formal.
c. Bagi guru, menjadi pertimbangan bahan ajar dalam pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Hakikat Sastra
Pengertian sastra tidak dapat dikategorikan sebagai satu kesatuan. Tidak semua
tokoh mempunyai kesamaan pendapat mengenai pengertian sastra. Teeuw (1984:23)
mengemukakan bahwa sastra berasal dari kata “sas” dan “tra”. “Sas” dalam bahasa
Indonesia mempunyai pengertian mengajar, memberi petunjuk dan “tra” berarti “sarana,
alat”. Jadi, sastra dapat dimaknai sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku
pengajaran. Selanjutnya, dijelaskan bahwa penambahan awalan “su” pada kata “sastra”
berarti “baik, indah” sehingga susastra dapat dibandingkan dengan belles leetres
(bahasa Prancis), yaitu „sastra yang bernilai estetika‟ atau belletrie (bahasa Belanda),
atau Letter kunde (bahasa Belanda) yang bermakna „sastra indah‟.
Pengertian sastra tersebut melahirkan pengetahuan bahwa sastra adalah teks yang
tidak hanya disusun dan dipakai untuk suatu tujuan komunikatif yang praktis yang
berlangsung untuk waktu yang sementa, tetapi sastra dipergunakan untuk komunikasi
yang diatur oleh suatu lingkungan kebudayaan tertentu.
Sastra (literature) merupakan suatu kegiatan kreatif dan seni yang bentuk dan
ekspresinya imajinatif. Menurut keduanya, acuan karya sastra bukan hanya terdapat
dunia nyata, namun juga dunia fiksi dan imajinasi (Wellek dan Warren, 1995:3-22).
Pernyataan-pernyataan yang ada dalam berbagai genre karya sastra bukanlah rancangan
usulan yang logis. Karakter dalam sastra bukan tokoh-tokoh sejarah dalam kehidupan
nyata. Tokoh-tokoh dalam karya sastra itu tidak lain dari hasil ciptaan dan rekaan
pengarang yang muncul begitu saja, tidak mempunyai sejarah dan masa lalu. Ruang dan
waktu dalam karya sastra pun bukan meupakan ruang dan waktu dalam kehidupan
9
nyata. Dalam hubungan dengan kecenderungan demikian, karya sastra juga dipahami
sebagai karya kreatif, hasil ciptaan pengarang.
Sastra tidak bisa dipisahkan dari kultur sosial suatu tatanan masyarakat karena
sastra merupakan bentuk dari ekspresi pengarang dalam merespons situasi sosial di
sekitarnya. Sebuah peristiwa dalam teks sastra dapat ditelusuri dengan mencermati kata
dan kalimat yang mewujud menjadi peristiwa, faktor hubungan sebab akibat, inti
masalah, tokoh-tokoh yang terlibat dan suasana yang terbangun dalam suasana tersebut
(Mahayana, 2007: 11).
Istilah sastra dipakai untuk menyebut gejala budaya yang dapat dijumpai pada
semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan keberadaannya
tidak merupakan keharusan (Jabrohim, 2012:12). Hal ini berarti bahwa sastra
merupakan gejala yang universal. Namun, gejala universal itu bukan berarti memiliki
konsep universal pula. Kriteria kesastraan yang ada dalam suatu masyarakat berbeda
dengan kesastraan masyarakat yang lain. Sebagai contoh dapat dilihat pada kriteria
“rekaan” pada masyarakat sastra di dunia Barat yang tidak dapat diterapkan di Arab, di
India, di Cina (Teeuw dalam Jobrahim, 2012:12).
Fenomena yang terlihat universal dan sekaligus individual itu memperlihatkan
sifat-sifat yang dapat ditarik dari berbagai sisinya. Wujud ciptaan yang dipandang
sebagai hasil kegiatan bersastra pertama-tama dilihat dari segi bahannya yang berupa
bahasa. Pemakaian bahasa pada kegiatan bersastra berbeda pada pemakaian bahasa
kegiatan lain, seperti pada pemakaian sehari-hari.
Menurut Tang (2008:1) sastra adalah institusi sosial yang menggunakan medium
bahasa. Selanjutnya, menurut pakar sastra beranggapan bahwa teknik-teknik sastra
tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial karena merupakan konvensi
norma masyarakat. Selain itu, sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan itu berasal
dari sebagian besar fakta sosial namun tidak terlepas dari pembahasan fenomena alam
10
dan kehidupan manusia. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa
sastra mencerminkan dan mengekspresikan gaya hidup manusia, meskipun gaya
kehidupan dan zaman yang diekspresikan tidak secara konkret atau menyeluruh.
Salah satu bentuk karya sastra klasik yang sering dijumpai adalah cerita rakyat
berupa hikayat atau legenda (prosa) yang berkembang dalam bentuk tulis dan lisan.
Cerita rakyat yang disampaikan seseorang kepada orang lain melalui penuturan lisan
(oral traditional) atau tertulis (literary traditional). Tokoh dan peristiwa cerita dalam
cerita dianggap oleh masyarakatnya pernah terjadi pada masa lalu atau merupakan
rekaan semata karena terdorong rasa keinginan menyampaikan pesan atau amanat
melalui cerita itu. Terkadang hal itu merupakan escapism dari masyarakat yang
hidupnya penuh penderitaan (Udin dalam Tang, 2008:2).
Dalam mengekspresikan makna-makna yang terkandung di dalam karya sastra
diperlukan sarana pengungkapan, yaitu bahasa karena karya sastra terbangun melalui
media bahasa. Nilai-nilai keindahan, kemanusiaan, pendidikan dalam karya sastra dapat
terungkap disebabkan oleh kemampuan penulis mengeksploitasi kelenturan bahasa yang
digunakan di dalam karyanya.
Selain itu, menurut Wellek dan Warren (1995: 5) sastra merupakan suatu
kegiatan kreatif, sebuah kerja dan untuk mendalaminya diperlukan studi sastra, yakni
sebuah cabang ilmu yang menelaah sastra. Seorang penelaah sastra harus dapat
menerjemahkan sastranya dalam „bahasa ilmiah‟ dan dapat menjabarkannya dalam
uraian yang jelas dan rasional. Menurut keduanya, acuan karya sastra bukanlah dunia
nyata, melainkan dunia imajinasi. Pernyataan yang ada dalam bermacam-macam genre
karya sastra bukanlah proposisi-proposisi yang logis. Karakter dalam sastra bukan
tokoh-tokoh sejarah dalam kehidupan nyata. Tokoh-tokoh dalam karya sastra
merupakan hasil ciptaan dan rekaan pengarang yang muncul begitu saja, tidak memiliki
sejarah dan tidak memiliki ruang dan waktu dalam kehidupan nyata. Dengan demikian,
11
karya sastra juga dipahami sebagai karya kreatif dan hasil ciptaan pengarang. Sejalan
dengan hal tersebut, dalam orientasi pragmatik memandang karya sastra sebagai sarana
untuk mencapai tujuan pada pembaca (tujuan keindahan, jenis-jenis emosi, ataupun
pendidikan). Orientasi ini cenderung menimbang nilai berdasarkan hasilnya mencapai
tujuan (Tang, 2005: 5). Selanjutnya Prodotokusumo (dalam Tang (2005:12) menyatakan
bahwa sastra pada umumnya menyangkut tentang manusia dalam kehidupan, dapat
menjadi wadah dan wahana untuk mengekspresikan ide yang ada di belakang seorang
tokoh sebagai manusia melalui pengarang. Ide- ide yang dapat memengaruhi dan
mendorong pembaca sebagai individu dan dari anggota masyarakat untuk menafsir,
merenungi, dan meresapi nilai yang dianut oleh dirinya dalam rangka mencari jalan ke
arah kebenaran.
Apabila dicermati mengenai berbagai pendapat tersebut, dapat disimpulkan
bahwa sastra bukan hanya membawa pesan kepada pembacanya, melainkan juga
membawa kesan karena apabila dibaca atau didengar, sebuah karya sastra di samping
menyentuh akal pikiran, juga menyentuh perasaan pembaca atau pendengar. Dengan
demikian, kehadiran sastra tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sastra yang dihasilkan
oleh pengarang.
Menurut Cika (2012:1), di dalam sastra daerah terdapat banyak terkandung nilai
relegius, seperti nilai leluhur, etika, kepemimpinan, kepahlawanan, kebersamaan,
kejujuran, dan nilai kesetiaan. Nilai-nilai luhur yang tersurat dan tersirat dalam sastra
daerah dapat dijadikan media untuk mengetahui alam pikiran, adat istiadat, dan cita-cita
leluhur. Selain itu, nilai-nilai tersebut sangat penting bagi pembangunan bangsa,
khususnya pembangunan karakter bangsa.
Menurut Hakim (2011:2), sastra daerah merupakan pengungkapan nilai-nilai
kesenian tradisional yang diharapkan dapat menjadikan manusia semakin menjadi
manusia. Sastra sebagai produk kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, falsafah,
12
religi, dan lain-lainnya, baik bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang
merupakan penyodoran konsep baru.
Sebagai representasi fakta faktual, sastra dianggap sebagai ekspresi nilai budaya
yang berisi sikap, gagasan, pikiran, dan falsafah hidup yang dianut oleh suatu
komunitas masyarakat sehingga segala peristiwa yang terungkap dalam sastra dilandasi
atau dilatar- belakangi oleh peristiwa budaya yang terdapat dalam suatu komunitas
masyarakat tempat karya sastra itu ditulis atau diciptakan, (Anshari, 2011:12).
Penelitian ini memfokuskan perhatiannya pada aspek pesan moral (nasihat) yang
terdapat di dalam cerita rakyat masyarakat Maluku sebagai salah satu makna tersirat
dalam karya sastra.
Dengan demikian, dari visi fungsi sastra terwujud sebagai sarana komunikasi,
yaitu komunikasi dengan penikmatnya atau pembacanya. Pekerjaan menilai sastra pada
hakikatnnya merupakan proses pertemuan antara ciptaan sastra dengan penelitiannya
adalah pembacanya. Dalam hal ini, pada waktu berhadapan dengan karya sastra,
pembaca sudah mempunyai sejumlah pengetahuan yang disadari atau tidak akan
membekali pembacanya. Bekal pengetahuan itu akan mengisi cakrawala harapan ketika
membaca. Cakrawala itulah yang mengarahkan pembacanya.
Pemahaman awal yang dimiliki oleh pembaca sastra merupakan modal utama
untuk dapat menangkap, menafsir, dan menikmati pesan yang tekandung di dalamnya,
sebagaimana tujuan pengarang. Untuk dapat mengungkap pesan moral yang
terkandung dalam prosa yang berbentuk cerita rakyat perlu dilakukan tindak lanjut
berupa kegiatan penelitian.
13
B. Cerita Rakyat
1. Pengertian Cerita Rakyat
Menurut Fang (1991: 3-4), cerita rakyat dikategorikan sebagai kesastraan rakyat
dan sastra tersebut hidup di tengah-tengah masyarakat. Sastra ini diceritakan oleh ibu
kepada anaknya yang dalam buaian (ibu mengayun anaknya). Di samping seorang ibu
menceritakakan cerita rakyat kepada anaknya, juga terdapat tukang pawang yang
menceritakan cerita rakyat kepada penduduk-penduduk di kampung, meskipun tukang
pawang cerita sendiri belum tentu dapat membaca. Lebih lanjut Fang (1991: 4) menulis
bahwa cerita asal usul adalah cerita rakyat yang tertua dan cerita-cerita asal-usul sudah
bisa dimasukkan ke dalam kelompok mitos.
Berdasarkan pendapat Fang di atas, folklor dapat disejajarkan dengan tradisi
lisan yang secara khusus disebut sebagai kesastraan lisan. Tradisi lisan tidak terbatas
pada cerita rakyat, dan legenda saja melainkan berupa sistem kognasi kekerabatan
lengkap seperti: sejarah, hukum adat, praktik hukum, dan pengobatan tradisional. Hal
ini senada dengan pendapat dari Tol dan Prudentia (1995: 2) bahwa “Oral traditions do
not only contains folktales, myths, and legends, but store complete indigenous cognate
systems, to name a few: histories, legal practices, adat law, medications.”
Fang juga sependapat dengan Hutomo (1991: 1-4) bahwa sastra lisan sebenarnya
adalah kesasteraan yang mencakup ekspresi kesasteraan warga suatu kebudayaan yang
disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan. Hal ini senada dengan Danandjaja
(2007: 1-2) cerita rakyat merupakan salah satu bagian dari folklor (folklore) yang
didefinisikan sebagai bentuk penuturan cerita yang dasarnya tersebar secara lisan,
diwariskan turun-temurun di kalangan masyarakat pendukungnya secara tradisional.
Dalam pemaparan cerita rakyat, sastra lisan dituturkan secara lisan dengan nilai sastra
artinya mengandung estetik keindahan dan sastra lisan yang tidak bernilai sastra, artinya
sastra lisan hanya diceritakan oleh seseorang yang sekadar dapat bercerita saja. Sastra
14
lisan sebagai “budaya rakyat” seperti dikatakan oleh Hutomo (1991: 4) bahwa sastra
lisan merupakan bagian dari folklor.
Brunvand (dalam Danandjaja, 1991: 21), mengemukakan bahwa cerita rakyat
atau folklore memilki tiga bentuk yang berbeda, folklore digolongkan ke dalam tiga
kelompok besar berdasarkan tipenya, yaitu folklore bukan lisan (non verbal folklore),
folkloresebagian lisan (partly verbal folklore), dan folklore lisan (verbal folklore).
Folklor bukan lisan adalah folklore yang bentuknya bukan lisan walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Folklor sebagian lisan adalah folklore yang
merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan dan folklore lisan adalah
sebagai folkloreyang disampaikan dari mulut ke mulut secara tradisional dan turun-
temurun.
Mengacu pendapat Haviland dan Prudentia tersebut, bisa disimpulkan bahwa
pengertian folklor sangat luas. Hal ini sesuai dengan ungkapan Danandjaja (1997: 14)
bahwa pilihan folklor Indonesia terdiri atas kepercayaan rakyat, upacara, cerita prosa
rakyat (legenda, dan dongeng), nyanyian anak-anak, olahraga bertanding, hasta karya,
makanan dan minuman, arsitektur rakyat, teater rakyat, musik rakyat, logat, dan lain-
lain. Keluasan pengertian folklor dibandingkan dengan cerita rakyat (folk literature)
juga tercermin dalam pernyataan berikut ini.
“Folklore may be defined as those materials in culture that circulate traditionally
among members of any group in diffirent versions, whether in oral or by means of
customary example” (Brunvand, 1968: 5).
Berdasarkan pendapat Brunvand tersebut, Danandjaja (1997:2), mengembangkan
pengertian folklor sebagai berikut.
Folklor merupakan sebagian kebudayaan, suatu kolektif yang tersebar dan
diwariskan secara turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan
gerak isyarat atau alat pembantu mengingat (mnemonic device).
15
Melihat pada pengertian di atas, seperti itulah perhatian terhadap sastra yang
tidak tertulis (sastra lisan) di Indonesia masih sangat kurang jika dibandingkan dengan
perhatian terhadap sastra tulis. Sastra lisan dimaksudkan sebagai kesastraan yang
mencakup ekspresi kesastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturunkan
secara lisan (dari mulut ke mulut) (Hutomo, 1991:1).
Kesastraan rakyat adalah sastra yang hidup di tengah-tengah rakyat.
Disampaikan oleh ibu kepada anaknya yang dalam buaian, atau tukang cerita kepada
penduduk kampung yang tidak bisa membaca dan menulis (tukang cerita itu sendiri
belum tentu tahu) (Fang, 1993:1). Cerita-cerita tersebut tersebar luas di kalangan rakyat.
Pada akhirnya, atas kehendak pihak istana, ada beberapa cerita yang ditulis atau
dibukukan. Jadi, dapat dikatakan bahwa lahirnya sastra lisan lebih dahulu daripada
sastra tertulis yang rata-rata hanya berkembang di istana.
Dalam realita dikehidupan masyarakat, cerita rakyat sangat digemari oleh warga
masyarakat karena dapat dijadikan sebagai suri teladan, serta bersifat jenaka. Oleh
karena itu, cerita rakyat biasanya mengandung ajaran budi pekerti atau pendidikan
moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Pada masa sebelum tersedianya
pendidikan secara formal, seperti sekolah, cerita-cerita rakyat memiliki fungsi dan
peranan yang amat penting sebagai media pendidikan bagi orang tua untuk mendidik
anak dalam keluarga. Meskipun saat ini pendidikan secara formal telah tersedia, tetapi
cerita-cerita rakyat tetap memiliki fungsi dan peranan penting, terutama dalam membina
kepribadian anak dan menanamkan budi pekerti secara utuh dalam keluarga (http://
culture.melayuonline.com).
Dalam hal tertentu, masyarakat berkembang dalam nilai tertentu karena
mendengarkan dan merefleksikan cerita rakyat yang diterima dari orang lain. Berbagai
jenis cerita rakyat tersebut, terdapat unsur ketunggalan budaya seluruh suku bangsa di
Nusantara (Indonesia) dapat dicari pada kesamaan kosakata dasar (basic vocabulary)
16
bahasa-bahasa mereka. Menurut beberapa ahli folklor terdapat persamaan pada
kesatuan-kesatuan cerita (tale types) atau unsur-unsur kesatuan cerita (tale motif) dari
cerita-cerita rakyat suku bangsa di Nusantara adalah hal yang sudah lama diketahui.
Misal tipe cerita (tale types) Cinderella terdapat dimana-mana. Cerita Cinderella di
Indonesia dengan versi “Bawang Merah dan Bawah Putih”, “Ande Ande Lumut” (Jawa
Tengah). Secara garis besar terdapat dua teori: (1) teori monogenis (satu asal) dan (2)
teori poligenesis (banyak asal). Teori monogenesis menganggap bahwa terjadinya
persamaan cerita rakyat di-beberapa tempat, atau di-beberapa negara, disebabkan oleh
penyebaran atau difusi dari suatu kesatuan cerita (plot) atau motif cerita dari satu tempat
ke tempat-tempat lain. Teori ini menganggap bahwa suatu tipe atau suatu motif hanya
diciptakan satu kali pada masa tertentu.
Cerita rakyat (folk literature) sebagai bagian dari karya sastra juga memiliki
unsur-unsur yang saling mendukung dan membangun cerita secara menyeluruh. Unsur-
unsur yang dibahas adalah unsur formal (intrinsik) dalam struktur cerita, yaitu: tema,
plot, tokoh dan penokohan, latar (setting), dan amanat.
Tema sering disebut juga dasar cerita, yakni pokok permasalahan yang
mendominasi suatu karya sastra. Hal tersebut terasa dan mewarnai karya sastra tersebut
dari halaman pertama hingga halaman terakhir. Hakikatnya tema adalah permasalahan
yang merupakan titik tolak pengarang dalam menyusun cerita atau karya sastra tersebut,
sekaligus merupakan permasalahan yang ingin dipecahkan pengarang dengan karyanya
itu (Suharianto, 2005:28). Dalam menyimpulkan sebuah tema karya sastra haruslah
disimpulkan dari keseluruhan cerita, tidak bisa hanya berdasarkan bagian bagian
tertentu cerita (Nurgiantoro, 2007: 68). Setiap cerita (fiksi) yang baik tidak hanya berisi
perkembangan suatu peristiwa atau kejadian, namun juga menyiratkan pokok pikiran
yang akan dikemukakan pengarang kepada pembaca.
17
Menurut Dola (2007:44) tema cerita tidak dinyatakan secara tersurat (eksplisit)
dalam cerita, tetapi secara tersirat (implisit). Menurut Kenny (dalam Nurgiyantoro,
2005:320) bahwa dalam sebuah karya sastra, moral dapat juga diartikan sebagai amanat.
Moral, seperti halnya tema, dilihat dari segi dikotomi bentuk isi karya sastra merupakan
unsur isi. Amanat merupakan sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada
pembaca berupa makna yang terkandung dalam sebuah karya sastra, makna yang
disarankan lewat cerita. Moral juga kadang-kadang diidentikkan pengertiannya dengan
tema walau sebenarnya tidak selalu menyaran pada maksud yang sama.
Amanat adalah bagian akhir yang merupakan pesan dari cerita yag dibaca
(Amminuddin, (2007:41). Amanat atau nilai moral ialah unsur isi dalam karya fiksi
yang mengacu pada nilai-nilai, tingkah laku, sikap, dan sopan santun pergaulan yang
dihadirkan pengarang melalui tokoh-tokoh di dalamnya, (Kenny dalam Nurgiantoro,
2013: 429).
Dalam hal ini penulis menitipkan nilai-nilai kehidupan yang dapat dipetik dari
cerita tersebut. Amanat menyangkut bagaimana pembaca memahami dan meresapi
cerita yang dibaca, setiap penikmat sastra akan merasakan nilai-nilai yang berbeda dari
apa yang dibacanya. Pesan-pesan kehidupan yang ada dalam cerita hadir secara tersirat
dalam keseluruhan isi cerita. Cerita yang baik hendaknya mampu menggugah pembaca
supaya lebih memaknai dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan yang agung dan
menyeluruh.
Jadi, berdasarkan uraian ahli di atas dapat disimpulkan bahwa tema adalah ide
pokok permasalahan yang terkandung dalam sebuah cerita. Sedangkan amanat adalah
pesan moral yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca. Untuk menentukan
suatu tema maka terlebih dahulu dipahami amanat yang ingin disampaikan pengarang
kepada pembaca
18
2. Fungsi Cerita Rakyat
Pandangan secara umum tentang isi cerita rakyat atau folklor merupakan suatu
gambaran masyarakat pemiliknya. Artinya folklor atau cerita rakyat dapat dijumpai di
seluruh daerah di wilayah Indonesia dengan segala jenis dan variasinya. Dalam budaya
adat kebiasaan atau pola-pola kehidupan masyarakat daerah tersebut tidak terlalu jauh
dan yang ada dalam cerita rakyat yang ada dan berkembang di daerah itu. Cerita rakyat
pada suatu daerah biasanya tidak hanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat
permukaan. Cerita rakyat merupakan sendi-sendi kehidupan secara lebih mendalam.
Kehadirannya sering merupakan jawaban atas teka-teki alam yang terdapat di
sekeliling kita. Namun, saat ini penutur cerita rakyat sudah jarang dijumpai atau sudah
langka. Hal ini menuntut adanya penginventarisasian cerita rakyat agar isi ceritanya
dapat kita nikmati. Nilai-nilai yang ada di dalamnya dapat kita tanamkan kepada
generasi muda serta dapat dilestarikan keberadaannya.
Adapun fungsi-fungsi cerita rakyat menurut William R. Bascom (dalam
Danandjaja 2007: 19) disebutkan sebagai berikut : (1) sistem proyeksi (projective
system) yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif, (2) alat pengesahan
pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan, (3) alat pendidikan anak
(pedagogical device), dan (4) alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma
masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Melalui cerita rakyat, masyarakat
dapat menerima dan mendukung segala sesuatu yang berguna untuk kelompok
kolektifnya. Hal ini menunjukkan bahwa fungsi cerita rakyat dapat berjalan sesuai yang
diharapkan sehingga masyarakat pendukung dapat menjalankan tata kehidupan yang
sudah disepakati bersama dalam kelompok kolektifnya. Fungsi cerita rakyat sebagai alat
pendidikan anak (pedagogical device) menunjukkan bahwa cerita rakyat mampu
sebagai sumber pengetahuan untuk diberikan kepada peserta didik dalam dunia
pendidikan formal. Hal ini sejalan dengan unsur-unsur kebudayaan universal yakni
19
sistem mata pencaharian hidup, sistem peralatan dan perlengkapan hidup, sistem
kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, dan sistem religi.
Menurut Danandjaja (1997: 19 ) pengkajian sastra lisan yang di dalamnya
termuat cerita rakyat (folk literature) memiliki fungsi antara lain: (1) sebagai sistem
proyeksi (projective system); (2) sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-
lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat pendidik anak (pedagogical device); dan (4)
sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya. Hal ini senada dengan Hutomo (1991: 69) pada masyarakat secara
umum sastra lisan memiliki empat fungsi, yaitu: (1) sebagai sistem proyeksi, (2) sebagai
alat pengesahan sosial, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan
(4) sebagai alat pendidikan anak.
Keempat fungsi tersebut memantik pentingnya kajian secara mendalam
mengenai cerita rakyat. Cerita rakyat, selain merupakan hiburan, juga merupakan sarana
untuk mengetahui (1) asal-usul nenek moyang, (2) jasa atau teladan kehidupan para
pendahulu kita, (3) hubungan kekerabatan (silsilah), (4) asal mula tempat, (5) adat
istiadat dan (6) sejarah benda pusaka Sugono (dalam Marwilistya, 2010: 43) Selain itu,
cerita rakyat juga dapat berfungsi sebagai penghubung kebudayaan masa silam dengan
kebudayaan yang akan datang. Berdasarkan uraian diatas, sastra lisan (cerita rakyat)
dapat pula berfungsi sebagai sarana untuk menanamkan benih-benih kesadaran akan
keagungan budaya yang menjadi pendukung kehidupan berbangsa.
Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan
dapat mengambil ibroh dan meniru karakter positif dalam cerita. Karakter positif dalam
cerita rakyat dapat dipandang sebagai amanat, pesan atau message. Hikmah yang
diperoleh pembaca lewat cerita rakyat selalu dalam pengertian yang baik. Karakter baik
dan buruk dalam cerita sengaja ditampilkan supaya pembaca dapat mengambil hikmah
dari cerita tersebut serta tidak mencontoh perilaku yang buruk sehingga pembaca
20
termotivasi untuk mencontoh karakter baik yang diperankan oleh tokoh dalam cerita.
Pemahaman atas suatu cerita rakyat hingga mendapatkan hikmah tersebut merupakan
bagian dari penanaman dan pembentukan karakter serta nilai-nilai pada anak sejak dini.
3. Hakikat Nilai Edukatif dalam Karya Sastra
a. Pengertian Nilai
Manusia tidak bisa lepas dari tata nilai dalam menjalankan kehidupan sehari-
hari. Tata nilai menunjuk pada sikap orang terhadap suatu hal yang baik. Nilai berkaitan
erat dengan kebaikan yang ada pada suatu hal, namun kebaikan itu berbeda dengan
nilai. Kebaikan lebih melekat pada suatu yang berbentuk materi.
Scheler (dalam Frondizi, 2001: 125) lebih tajam menyatakan bahwa nilai
merupakan satu jenis objek, yang sama sekali tidak dapat dimasuki oleh rasio. Scheler
(dalam Suseno, 2002: 34) mengatakan hahwa nilai adalah kualitas atau sifat yang
membuat apa yang bernilai menjadi bernilai. Misalnya, nilai “jujur” adalah sifat atau
tindakan yang jujur. Jadi, nilai (weit, value) tidak sama dengan apa yang bernilai
(gutter, goods). Oleh karena itu, nilai selalu menjadi ukuran dalam menentukan
kebenaran dan keadilan sehingga tidak akan pernah lepas dari sumber asalnya, yaitu
berupa agama, logika dan norma yang berlaku dalam masyarakat umum.
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak, tetapi secara fungsional mempunyai ciri
mampu membedakan antara yang satu dengan yang lain. Suatu nilai jika dihayati oleh
seseorang, maka akan sangat berpengaruh terhadap cara berpikir, cara bersikap maupun
cara bertindak dalam mencapai tujuan hidupnya Scheler (dalam Frondizi, 2001: 126)
menyatakan bahwa kita menangkap nilai dengan menggunakan pengalaman emosional
tentang persepsi sentimental. Urutan hierarkis nilai, sebaliknya, diungkapkan melalui
“kesenangan” atau penolakan”. Scheler (dalam Frondizi, 2001: 132) mengungkapkan
hahwa nilai yang terendah dan semua nilai sekaligus merupakan nilai yang pada
21
dasarnya “fana”; nilai yang lebih tinggi daripada semua nilai yang lain sekaligus
merupakan nilai yang abadi. Berdasarkan beberapa definisi nilai di atas, dapat dikatakan
bahwa nilai adalah suatu yang abstrak, sulit dirumuskan, dan memiliki kriteria yang
beragam. Nilai tidak dapat diukur dengan hal-hal yang bersifat lahiriah, tetapi lebih
bersifat batiniah. Mengingat pentingnya nilai, maka nilai oleh masyarakat mempunyai
solidaritas yang tinggi dalam mempertahankan nilai-nilai milik bersama yang telah
mereka sepakati. Tingkat kepuasan atas nilai masing-masing orang berbeda pula karena
nilai berhubungan dengan perasaan atau hati dan bersifat relatif.
b. Jenis-jenis Nilai
Beberapa nilai yang harus dimiliki sebuah karya sastra yang baik, yaitu nilai
relegi, nasionalis, gotong royong, mandiri, integritas, estetika, moral, sosial budaya, dan
lain-lainnnya. Sebuah karya sastra yang baik pada dasarnya mengandung nilai-nilai
yang perlu ditanamkan pada anak atau generasi muda. Sutrisno (1997: 63) menyatakan
bahwa nilai-nilai dan sebuah karya sastra dapat tergambar melalui tema-tema besar
mengenai siapa manusia, keberadaannya di dunia dan dalam masyarakat; apa itu
kebudayaannya dan proses pendidikannya; semua ini berdasarkan fenomena eksistensi
manusia dan direfleksi sebagai rentangan perjalanan di masyarakat sampai
kepulangannya ke yang menciptakannya.
Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi
dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sastra sebagai produk
kehidupan mengandung nilai sosial, adat/tradisi, filsafat, religi, dan sebagainya baik
yang bertolak dari pengungkapan kembali maupun yang mempunyai penyodoran
konsep baru (Suyitno, 1996: 3). Sastra tidak hanya memasuki ruang serta nilai-nilai
kehidupan personal, tetapi juga nilai-nilai kehidupan manusia dalam arti total.
22
1) Nilai Pendidikan Moral
Moral adalah istilah manusia menyebut manusia atau orang lainnya dalam
tindakan yang mempunyai nilai positif. Moral secara eksplisit merupakan hal-hal yang
berhubungan dengan proses sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak dapat
melakukan proses sosialisasi.
. Menurut Hadiwardowo (1990:13), moral sebenarnya memuat dua segi yang
berbeda, yakni segi bathiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang
memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula.
Menurut Alwi (dalam Anshari, 2011: 41) nilai moral dan etika adalah nilai
manusia sebagai pribadi yang utuh, misalnya kejujuran, nilai yang berhubungan dengan
akhlak, nilai yang berkaitan dengan benar dan salah yang dianut oleh suatu golongan
masyarakat. Di satu sisi, akal dan budi selalu mengajak untuk bertindak sesuai dengan
nilai moral, di sisi lain pada manusia ada nafsu yang dapat menyeretnya kepada
tindakan yang tidak baik dan merusak kemanusiaan.
2) Nilai Pendidikan Adat/Tradisi
Kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat dapat diartikan sebagai suatu
adat. Adat atau tradisi dikatakan cara atau kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan sejak
dahulu kala. Kebiasaan yang dimaksud seringkali sudah menjadi bagian dari kehidupan
masyarakat yang bersangkutan. Tradisi atau kebiasaan masa lampau yang ada dalam
masyarakat seringkali masih memiliki relevansi dengan kehidupan sekarang. Tata cara
kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam Iingkup yang cukup
kompleks. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan,
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain-lain yang tergolong latar spiritual.
Selain itu, latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan,
misalnya kalangan rendah, menengah, atau kalangan atas (Nurgiyantoro, 2002: 233-
234). Adat merupakan wujud ideal dari kebudayaan (Koentjaraningrat, 1984: 10).
23
Secara lengkap, Wujud itu disebut adat tata kelakuan. Adat ini berfungsi sebagai
pengatur kelakuan. Suatu contoh dari adat yang memiliki nilai sosial budaya yang tinggi
adalah gotong royong. Konsepsi bahwa hal itu bernilai tinggi apabila manusia itu suka
bekerja sama dengan sesamanya berdasarkan rasa solidaritas yang besar
(Koentjaraningrat, 1984: 11).
3) Nilai Pendidikan Agama (Religi)
Kalangan masyarakat pada zaman dahulu atau mungkin masyarakat dimasa kini
masih mempercayai adanya roh-roh kuat yang menghukum atau memberi imbalan
kepada seluruh suku atau kelompok. Agama, sebagaimana biasa diyakini oleh para
pendukungnya, merupakan sumber rasa kewajiban sosial (Russell, 1993: 80). Ketika
seseorang berbuat hal yang tidak menyenangkan bagi para dewa, mereka cenderung
menghukum tidak hanya individu yang bersalah tetapi seluruh suku hangsa itu (Russell,
1993: 80). Akibatnya, perilaku individu merupakan urusan umum, sebab perbuatan
jahat individu tersebut menimbulkan malapetaka bagi semua orang. Orang-orang zaman
dahulu, terutama orang-orang pedesaan, bersifat sangat religius. Sifat ini tampak atau
ditandai dengan berbagai kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh masyarakat
(Wisadirana, 2004: 60).
Upacara-upacara keagamaan biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara
adat, yaitu berupa selamatan, melakukan sesaji untuk roh-roh penunggu atau leluhur
yang telah meninggal. Religi dan kepercayaan mengandung keyakinan serta bayangan
manusia tentang sifat-sifat Tuhan tentang wujud dari alam roh (supernatural); serta
segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1984:
145). Sementara itu, sistem ritus dan upacara merupakan cara manusia untuk mencari
hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk halus yang mendiami alam gaib itu
(Koentjaraningrat, 1984: 145). Hal tersebut sudah terjalin erat satu dengan yang lain
menjadi sebuah sistem yang terintegrasi secara bulat.
24
Beberapa uraian di atas dapat memberikan arah bahwa agama sangat penting
dan memiliki fungsi-fungsi sosial yang cukup banyak. Berkaitan dengan fungsi sosial
agama, Haviland (1993: 219) memberikan penjelasan sebagai berikut.
Agama memiliki beberapa fungsi sosial yang penting. Pertama, agama
merupakan sanksi untuk perilaku dengan memberi pengertian tentang baik dan jahat.
Kedua, agama memberi contoh-contoh dalam perbuatan- perbuatan yang direstui.
Ketiga, agama membebaskan manusia dan beban untuk mengambil keputusan dan
menempatkan tanggung jawabnya di tangan dewa-dewa. Keempat, agama memegang
peranan penting dalam pemeliharaan solidaritas sosial. Agama sungguh penting untuk
pendidikan. Upacara keagamaan memperlancar cara mempelajari adat dan pengetahuan
kesukuan dan dengan demkian membantu untuk melestarikan kebudayaan yang buta
aksara. Pandangan mengenai agama dan fungsi agama seperti diuraikan di atas (diyakini
dan diterima oleh masyarakat. Pandangan tersebut berkembang terus menerus dan tidak
mati. Masyarakat percaya bahwa agama telah menjadi satu kekuatan untuk kebaikan.
Hal inilah yang menjadi bukti bahwa dalam cerita rakyat terkandung nilai pendidikan
agama yang masih memiliki relevansi dengan kehidupan pada saat ini dan pada waktu-
waktu mendatang.
4) Nilai Pendidikan Sosial
Kata “sosial” berarti hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat/ kepentingan
umum. Nilai pendidikan sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku
sosial dan tata cara hidup sosial. Perilaku sosial berupa sikap seseorang terhadap
peristiwa yang terjadi di sekitarnya yang ada hubungannya dengan orang lain, cara
berpikir, dan hubungan sosial bermasyarakat antar individu. Nilai pendidikan sosial
yang ada dalam karya seni dapat dilihat dari cerminan kehidupan masyarakat yang
diinterpretasikan (Rosyadi dalam Alfan, 2013: 242). Nilai pendidikan sosial akan
25
menjadikan manusia sadar akan pentingnya kehidupan berkelompok dalam ikatan
kekeluargaan antara satu individu dengan individu lainnya.
Masyarakat Indonesia yang sangat beraneka ragam coraknya, pengendalian diri
adalah sesuatu yang sangat penting untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Sejalan
dengan hal tersebut nilai sosial dapat diartikan sebagai landasan bagi masyarakat untuk
merumuskan apa yang benar dan penting, memiliki ciri-ciri tersendiri, dan berperan
penting untuk mendorong dan mengarahkan individuagar berbuat sesuai norma yang
berlaku. Nilai pendidikan sosial mengacu pada hubungan individu dengan individu yang
lain dalam sebuah masyarakat. Bagaimana seseorang harus bersikap, bagaimana cara
mereka menyelesaikan masalah dan menghadapi situasi tertentu juga termasuk dalam
nilai sosial.
Kehidupan bermasyarakat sangat diperlukan; norma berisi tata tertib, aturan,
petunjuk standar mengenai perilaku yang pantas dan tidak wajar yang dapat mengatur
setiap keadaan dan perilaku agar tercipta keharmonisan bertetangga dan bernegara.
Ada beberapa syarat agar norma sosial dipatuhi dan dilaksanakan oleh
masyarakat, di antaranya; a) norma sosial harus diketahui oleh masyarakat. b) norma
sosial harus dipahami dan dimengerti. c) norma sosial dihargai karena bermanfaat. d)
norma sosial harus ditaati dan dilaksanakan. Apabila syarat berlakunya norma sosial
telah dilaksanakan sesuai dengan tahapannya, maka norma sosial akan berfungsi
sebagai berikut :
(a) Sebagai aturan atau pedoman tingkah laku dalam masyarakat.
(b) Sebagai alat untuk menertibkan dan menstabilkan kehidupan sosial.
(c) Sebagai sistem kontrol sosial dalam masyarakat.
Adanya norma sosial maka, seseorang bisa mengerti apa yang boleh dilakukan
dan apa yang tidak boleh dilakukannya. Jadi, norma sosial adalah petunjuk atau patokan
untuk melangsungkan hubungan sosial dalam masyarakat yang berisi perintah, larangan,
26
dan anjuran agar seseorang dapat bertingkah laku yang pantas untuk menciptakan
ketertiban, keteraturan, kedamaian dalam masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak dapat
bertahan hidup tanpa bantuan dan dukungan orang lain. Dalam memenuhi
kebutuhannya, manusia senantiasa berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia
lainnya dalam berbagai aktivitasnya.
Nilai sosial budaya yang menjadi ukuran atau penilaian pantas atau tidaknya
suatu keinginan dan kebutuhan dilakukan. Nilai ini memperlihatkan sejauh mana
seseorang individu dalam masyarakat. Nilai pendidikan sosial adalah penanaman
perilaku untuk senantiasa hidup rukun dan saling membantu secara ikhlas dalam
pergaulan sehari-hari.
4. Kotribusi Cerita Rakyat terhadap Penanaman Karakter Siswa
Siswa adalah generasi penerus estafet bangsa yang akan menjadi pemilik masa
depan bangsa ini. Akan tetapi seperti apa wajah bangsa ini di masa depan sangat
tergantung pada bagaimana kita membentuk karakter siswa sejak dini. Oleh karena itu,
membentuk karakter siswa menjadi pekerjaan kita bersama (terutama para guru dan
orang tua) yang amat penting.
Pengajaran di sekolah, termasuk pengajaran sastra, menjadi tumpuan yang
sangat vital. Jika kita gagal membentuk karakter yang positif dan unggul dalam diri
siswa, masa depan bangsa ini akan semakin terpuruk, kehilangan harapan.
Melalui pengajaran sastra, siswa tidak hanya diperkenalkan kekayaan sastra
Indonesia tapi juga sastra daerah, salah satunya adalah cerita rakyat. Dengan membaca,
atau mendengarkan dan memahami cerita rakyat, berarti siswa mencoba memahami
kehidupan melalui cerita dan karakter tokoh, siswa dapat memperoleh nilai-nilai positif
dan luhur dari kehidupan, dan pada akhirnya memperkaya batinnya. Sebagaimana
27
pendapat Sidney (dalam Alwasilah, 2001: 31) Apresiasi sastra akan berjalan baik jika
didasari oleh minat yang tinggi pada karya sastra.
Kenyataan ini menunjukkan sastra selain sangat relevan dengan pendidikan
karakter juga memiliki kontribusi terhadap penanaman karakter siswa. Cerita rakyat
sebagai ekspresi budaya suatu masyarakat mengandung ajaran budi pekerti atau
pendidikan moral dan hiburan bagi masyarakat pendukungnya. Cerita rakyat “Jaka
Tarub” mengajarkan anak mengenal pentingnya menjunjung tinggi nilai kejujuran dan
kepercayaan. Cerita rakyat “Malin Kundang” mengajarkan anak untuk tidak
mengingkari orang tua. Cerita rakyat “Bawang Putih, Bawang Merah” mengajarkan
anak untuk senantiasa memiliki rasa sabar, patuh terhadap orang tua, dan rela
berkorban.
a. Pendidikan Karakter
Secara linguistik pengertian karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau
kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan
(virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan cara pandang, berfikir, bersikap,
dan bertindak (Haryanti, 2011:3).
Pengertian secara khusus, karakter adalah nilai-nilai yang khas baik (tahu nilai
kebaikan, mau berbuat baik, nyata berkehidupan yang baik, dan berdampak baik
terhadap lingkungan) yang terpatri dalam diri dan wujud dalam perilaku. Karakter
secara koheren memancar dari olah pikir, olah hati, serta olahraga dan olah karsa
seseorang atau sekelompok orang. Namun, menurut Suyatno (dalam Haryadi, 2011: 01)
mendefinisikan karakter sebagai cara berfikir dan perilaku yang menjadi ciri khas tiap
individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat,
bangsa maupun negara.
Menurut Lickona (dalam Muslich, Masnur 2011: 134), karakter berkaitan
dengan konsep moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral
28
(moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter
yang baik didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik,
dan melakukan perbuatan kebaikan. Definisi lainnya menggambarkan karakter sebagai
seperangkat nilai moral di dalam pikiran, kasih sayang, dan perilaku seseorang secara
konsisten (Lickona,1999).
Hubungannya dengan pendidikan, pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, dan pendidikan watak,
yang bertujuan mengembangkan kemampuan siswa untuk memberikan keputusan baik-
buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan, dan menebar kebaikan dalam kehidupan
sehari-hari sepenuh hati.
Fungsi pendidikan karakter adalah (1) pengembangan potensi dasar, agar
“berhati dan berperilaku baik; (2) perbaiki perilaku yang kurang baik dan penguatan
perilaku yang sudah baik, dan (3) menyaring budaya yang tidak sesuai dengan nilai-
nilai dasar pancasila. Pengertian yang baik dan berkarakter mengacu pada norma yang
dianut, yaitu nilai-nilai luhur pancasila. Seluruh butir-butir Pancasila sepenuhnya
terintegrasi ke dalam harkat dan derajat manusia yang terdiri atas tiga komponen, yaitu
hakikat manusia, pancadaya manusia,
Tujuan pendidikan karakter adalah memfasilitasi penguatan dan pengembangan
nilai-nilai tertentu sehingga terwujud dalam perilaku anak, baik ketika proses sekolah
maupun setelah proses sekolah (setelah lulus dari sekolah). Tujuan ini memiliki makna
bahwa pendidikan karakter memiliki sasaran untuk meluruskan berbagai perilaku anak
yang negatif menjadi positif. Penguatan perilaku merupakan suatu hal yang menyeluruh
(holistik) bukan suatu cuplikan dari rentangan waktu yang dimiliki oleh anak (Kesuma
dalam Filawati, 2016: 34) karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku itulah yang disebut karakter melekat dengan nilai
dari perilaku tersebut. Karenanya tidak ada perilaku seseorang yang tidak bebas dari
29
nilai. Banyak nilai yang dapat menjadi perilaku atau karakter dari berbagai pihak
(Kesuma dalam Filawati, 2016: 39) di bawah ini berbagai nilai yang dapat kita
identifikasi sebagai nilai-nilai yang ada dalam kehidupan sehari-hari, yaitu
1. Nilai yang terkait dengan diri sendiri, mencakup: jujur, kerja keras, tegas, sabar,
ulet, ceria, teguh, terbuka, visioner, mandiri, tegar, pemberani, reflektif, dan
tanggung jawab.
2. Nilai yang terkait dengan orang lain/makhluk lain: senang membantu, toleransi,
murah senyum, pemurah, kooperatif/mampu bekerjasama, komunikatif, ama
ma‟ruf (menyeru kebaikan), nahi munkar (mencegah kemunkaran), peduli
(manusia, alam), dan adil.
3. Nilai yang terkait dengan Ketuhanan : ikhlas, ikhsan, iman, dan takwa.
Menurut agama Islam, nilai pendidikan karakter bersumber dari wahyu Alquran dan As-
Sunah. Akhlak atau karakter Islam ini. Terbentuk atas dasar prinsip “Ketundukan,
kepasrahan, dan kedamaian. ”Sesuai dengan makna dasar dari kata Islam. Secara
bahasa, kata akhlaq (akhlak) adalah bentuk jamak dari kata khalq.
Ajaran agama Islam tentang nilai pendidikan karakter bukan hanya sekadar
teori, tetapi Nabi Muhammad Saw. tampil sebagai contoh (uswah hasanah) atau suri
tauladan. Menurut salah satu hadist, Nabi Muhammad saw pernah bersabda: “Aku tidak
diutus Allah Swt. kecuali untuk menyempurnakan akhlak yang baik.” (HR.Malik).
Dengan Begitu, realisasi akhlak yang mulia merupakan inti risalah Nabi Muhammad
saw.
Pembentukan karakter dengan nilai agama dan norma agama sangat penting
karena dalam Islam, antara akhlak dan karakter merupakan satu kesatuan dan menjadi
inspirasi keteladanan akhlak dan karakter adalah nabi Muhammad.
Pendidikan karakter memiliki dua nilai substansi, yaitu (1) upaya berencana
untuk membantu orang untuk memahami, peduli dan bertindak atas nilai-nilai
30
etika/moral, dan (2) mengajarkan kebiasaan berpikir dan berbuat yang membantu orang
hidup dan bekerja bersama-sama sebagai keluarga, teman, tetangga, masyarakat, dan
bangsa (Muhab, 2010 : 3).
Peran orang tua dan sekolah sangat penting dalam usaha pembentukan karakter,
dalam konteks tersebut, pendidikan karakter adalah usaha orang tua dan sekolah yang
dilakukan secara bersama oleh orang tua maupun oleh guru, pimpinan sekolah dan
seluruh warga sekolah dalam membentuk akhlak.
Peran orang tua adalah melestarikan tradisi bercerita atau mendongeng kepada
anak. Melalui karakter tokoh, dan pesan moral, nilai- nilai luhur dan banyak sisi positif
dalam cerita rakyat, anak dapat memperoleh pendidikan karakter seperti yang
diharapkan. Peran guru adalah memanfaatkan cerita rakyat daerah dalam pembelajaran
bahasa Indonesia sebagai penggambaran tingkah laku dengan menonjolkan nilai
karakter tokoh (benar salah, baik buruk) baik secara eksplisit maupun ekplisit.
Menurut Alwison, karakter berbeda dengan kepribadian dibebaskan dari nilai.
Meskipun demikian, baik kepribadian (personality) maupun karakter berwujud tingkah
laku yng ditujukan ke lingkungan sosial. Keduanya relatif permanen serta menuntun,
mengerahkan dan mengorganisasikan aktivitas individu. Kategori karakter yang terbagi
atas beberapa bagian yaitu, sanguinis, melankolis, plamais, korelis, dan juga karakter
yang sering kita lihat dari segi watak, kepribadian, sikap, perilaku, jujur, sopan, dan
lain-lain.
b. Nilai Pendidikan Karakter
Lickona (dalam Kesuma dkk. 2012: 27) menyatakan bahwa nilai-nilai terdiri
atas nilai obligatory dan nilai non-obligatory. Nilai non-obligatory adalah nilai-nilai
seni atau keindahan yang tidak mewajibkan orang untuk berbuat sesuatu, tetapi
membuat orang menjadi apresiatif terhadapnya. Adapun nilai obligatory atau
mewajibkan adalah nilai-nilai moral.
31
Pendidikan karakter menurut Lickona (dalam Muslich 2011: 134) mengandung
tiga unsur pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan
(desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good). Pendidikan karakter
tidak sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah kepada anak, tetapi
lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang
baik sehingga peserta didik paham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Jadi, pendidikan karakter ini membawa misi yang sama dengan pendidikan akhlak atau
pendidikan moral.
Berkaitan dengan pendidikan, pada Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan
Nasional No 20 Tahun 2013 Pasal 1 butir 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan sesuatu suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, bangsa,
dan negara. Hal ini sesuai dengan Alwi (2007: 25)yang mengatakan bahwa pendidikan
adalah perubahan sikap atau tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sementara itu, karakter dijelaskan oleh Salahudin & Alkrienciehie (2013: 42)
sebagai cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup
dan bekerja sama, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuat. Berkaitan dengan
hal tersebut, Nurgiyantoro (2013: 436) mengatakan bahwa karakter adalah jati diri,
kepribadian, dan watak yang melekat pada diri seseorang yang berkaitan dengan
dimensi psikis dan fisik. Sedangkan, menurut Kesuma (2012: 11), karakter adalah suatu
32
nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku sehingga karakter melekat dengan nilai
dari perilaku.
Salahudin & Alkrienciehie (2013: 42) mengatakan bahwa intelektual, sikap, dan
keterampilan seseorang dapat melalui pendidikan karakter yang dapat dimaknai sebagai
pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, yang
bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan
baik-buruk, memelihara kebaikan, mewujudkan, dan menebar kebaikan dalam
kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati. Pendidikan karakter menurut Megawangi
(dalam Kesuma 2012: 5) adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga dapat memberikan kontribusi yang positif pada lingkungan. Individu yang
berkarakter baik adalah individu yang mampu membuat keputusan dan siap
mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusan yang dibuat.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang nilai, pendidikan, dan karakter maka
dirumuskan bahwa nilai pendidikan karakter merupakan norma atau batasan tertentu
yang membentuk individu menjadi manusia yang perasa, mampu bersifat, bersikap, dan
bertindak untuk menumbuhkembangkan sikap/tindakan positif sehingga berguna bagi
kehidupan yang diperoleh melalui proses pendidikan. Ruang lingkup proses pendidikan
yang dimaksud adalah satuan pendidikan (sekolah), keluarga, dan masyarakat. nilai
karakter darahkan pada pembentukan pribadi manusia sebagai makhluk individu, sosial
(berkaitan dengan orang/makhluk lain), dan religius (ketuhanan). Kebajikan yang
menjadi atribut suatu karakter pada dasarnya adalah nilai. Sebenarnya banyak jenis
karakter yang tentu saja perlu diperkenalkan kepada siswa.
Ada 50 jenis karakter menurut Jist, Ed. 2006 (dalam Juanda, 2016 : 743). tetapi
dalam penelitian ini hanya akan difokuskan pada lima nilai karakter yang
dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan. Pengembangan pendidikan budaya dan
33
karakter bangsa dilakukan melalui pendidikan nilai-nilai atau kebajikan yang menjadi
nilai dasar budaya dan karakter bangsa Indonesia yang terdiri dari delapan belas pilar
dijadikan pedoman penentuan nilai pendidikan karakter tokoh dalam cerita rakyat
Maluku karena merupakan landasan atau cerminan karakter individu masyarakat
Indonesia yang memiliki idiologi sendiri.
Nilai- nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan
Nasional Yang tertuang dalam Perpres 87 Tahun 2017 tetang penguatan pendidikan
karakter yaitu: religius, nasionalis, gotong royong, integritas, dan mandiri.
(Sulistyowati, 2012: 30-32).
Tabel 2.1 Nilai Karakter yang Direkomendasi Kementerian Pendidikan
Nasional.
NO NILAI NILAI
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanaan agama lain, dan
hidup rukun dengan pemeluk agama lain
2 Nasionalisme Siswa diajarkan agar belajar menempatkan
kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi
dan kelompoknya. Dalam simulasinya di sekolah
mereka rutin melakukan upacara bendera di hari
senin, apel pagi, menyanyikan lagu kebangsaan
Indonesia Raya dan lagu nasional lainnya. Dengan
demikian secara tidak langsung menanamkan jiwa
nasionalis.
Sikap nasionalis itu sendiri bisa ditunjukkan
dengan mengapresiasi budaya Indonesia, menjaga
34
kekayaan budaya bangsa, rela berkorban,
berprestasi, cinta tanah air, menjaga lingkungan,
taat hukum, disiplin, menghormati keragaman
budaya, suku, dan agama. Butuh juga dukungan
pelajaran lainnya untuk lebih menumbuhkan rasa
nasionalis pada si Anak.
3 Gotong Royong Sejak dini, siswa juga perlu mengerti konsep
kerjasama dalam menyelesaikan masalah. Mereka
harus tahu bahwa dengan gotong royong atau
bekerjasama, persoalan bersama jadi lebih mudah
diselesaikan. Dengan begitu, si Anak juga akan
mengerti konsep persahabatan, dan dengan ikhlas
memberi bantuan untuk teman yang
membutuhkan.
Bukan hanya tentang melakukan suatu hal
bersama, gotong royong ini juga bisa tentang
pengambilan keputusan. Siswa akan diajarkan
bagaimana berkomitmen atas keputusan yang
telah diambil bersama. Mereka juga akan
mengenal apa itu musyawah untuk mufakat,
tolong-menolong, empati,dan solidaritas.
4 Integritas Integritas ini menjadi nilai yang merupakan upaya
menjadikan siswa menjadi orang yang dapat
dipercaya dalam perkataan, perbuatan, dan
pekerjaan. Si siswa perlu tahun bahwa mereka
35
harus memiliki komitmen dan kesetiaan pada
nilai-nilai kemanusiaan dan moral.
5 Mandiri Meskipun orangtua bisa melatih anak untuk
belajar mandiri sejak dari rumah, tapi sekolah juga
memiliki peranan penting dalam menanamkan
nilai yang satu ini. Sekolah juga akan
mengajarkan agar siswa tidak bergantung pada
orang lain, serta membantu mereka belajar
mempergunakan tenaga, waktu, dan pikiran untuk
mewujudkan keinginannya
c. Moralitas
Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa Latin, mores yaitu jamak
dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Selanjutnya moral menurut istilah adalah
suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai,
krhrndak, pendapat, atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah,
baik, buruk (Nata, 2010: 92).
Suseno (2002: 143) menuturkan bahwa moralitas merupakan kesesuaian sikap,
perbuatan, dan norma hukum batiniah yang dipandang sebagai suatu kewajiban.
Seorang tokoh dalam cerita dikatakan bermoral tinggi apabila ia mempunyai
pertimbangan baik dan buruk. Namun, pada kenyataannya pandangan mengenai moral
dalam hal-hal tertentu bersifat relatif. Suatu hal yang dipandang baik oleh seseorang
pada suatu bangsa belum tentu sama bagi bangsa yang lain. Nurgiyantoro (2013: 321)
menuturkan bahwa pandangan seseorang tentang moral, nilai-nilai, dan kecenderungan-
kecenderungan, biasanya dipengaruhi oleh pandangan hidup, Way of life, bangsanya.
Moral pada cerita biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan
36
ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat ditafsirkan dan diambil melalui
cerita yang bersangkutan oleh pembaca (Nurgiyantoro, 2013: 321). Dalam karya sastra,
moral biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan,
pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran. Hal itulah yang ingin disampaikan kepada
pembacanya.
Moral merupakan petunjuk yang sengaja diberikan pengarang tentang berbagai
hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan
sopan santun pergaulan. Ajaran moral yang disampaikan bersifat praktis, karena alasan
itu ditampilkan pada diri tokoh yang ada lewat sikap dan tingkah lakunya. Dalam karya
sastra, moral atau hikmah yang diperoleh pembaca selalu dalam pengertian baik. Jika
dalam sebuah karya sastra ditampilkan sikap dan tingkah laku yang kurang baik oleh
tokoh dalam cerita, tidak berarti bahwa pengarang menyarankan kepada pembaca untuk
bersikap, mencontoh, dan bertindak seperti itu. Dengan demikian, moral selalu mengacu
pada perbuatan manusia, yakni perbuatan yang baik dan buruk. Seseorang akan berbuat
baik jika budi pekertinya juga baik. Budi pekerti yang baik selalu ditanamkan dengan
tujuan pembentukan moral yang baik.
Manfaat moral dalam masyarakat adalah untuk mengarahkan tingkah laku,
memberikan pedoman menyangkut bertingkah laku, sebagai alat untuk menilai tingkah
laku, serta memberikan sanksi terhadap perbuatan yang dianggap menyimpang.
Mengingat pentingnya moral dalam kehidupan bermasyarakat, maka penanaman dan
pengajaran moral sejak usia diniperlu diberikan. Penanaman dan pengajaran moral
terhadap anak usia dini memiliki kedudukan dan peranan yang strategisdan
berkontribusi besar terhadap keberhasilan dalam kehidupan yang akan datang. Oleh
karena itu, penanaman dan pengajaran tentang moral penting untuk diberikan.
Mengingat moral merupakan pondasi yang kuat sebagai bekal anak untuk menjalani
kehidupan kelak ketika dewasa.
37
.
Menurut Nurgiantoro (2013: 232) bahwa kategori pesan moral terbagi menjadi
tiga bagian dilihat dari persoalan dalam kehidupan manusia.
1. Kategori hubungan manusia dengan Tuhan
2. Kategori hubungan manusia dengan diri sendiri
3. Kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan
sosial termasuk dengan alam.
Pesan moral ditangkap melalui penafsiran cerita rakyat. Melalui perilaku, sikap,
dan karakter dari para tokoh yang ada dalam cerita merupakan pesan moral yang ingin
disampaikan pengarang, ataupun pembuat cerita baik secara tersurat atau secara tersirat.
d. Cerita Rakyat dalam Pengajaran Sastra
Pendapat yang dikemukakan oleh Nurhayati (dalam Wibowo, 2013:19), bahwa
pengajaran sastra memiliki pertautan erat dengan pendidikan karakter, karena
pengajaran sastra dan sastra pada umumnya, secara hakiki membicarakan nilai hidup
dan kehidupan yang berkaitan dengan pembentukan karakter manusia.
Sastra dalam pendidikan anak bisa berperan mengembangkan aspek kognitif,
afektif, psikomotorik, mengembangkan kepribadian dan mengembangangkan pribadi
sosial. Sastra melalui unsur imajinasinya, mampu membimbing anak didik pada
keluasan berpikir, bertindak dan berkarya. Imajinasi sebagai kekuatan atau proses
menghasilkan citra metal dan ide anak didik (Wibowo, 2013: 20). Terkait peran sastra
dalam pembelajaran peserta didik, diungkapkan oleh Tarigan (1995: 10) bahwa sastra
sangat berperan dalam pendidikan anak, yaitu dalam (1) perkembangan bahasa, (2)
perkembangan kognitif, (3) perkembangan kepribadian, dan (4) perkembangan sosial.
Dalam pembelajaran sastra ditanamkan tentang pengetahuan karya sastra
(kognitif), ditumbuhkan kecintaan terhadap karya sastra (afektif), dan dilatih
keterampilan menghasilkan karya sastra (psikomotorik). Kegiatan apresiatif sastra
38
dilakukan dengan melalui kegiatan (1) reseptif seperti membaca dan mendengarkan
karya sastra, menonton pementasan karya sastra, (2) produktif, seperti mengarang,
bercerita, dan mementaskan karya sastra, (3) dokumentatif, misalnya mengumpulkan
puisi, cerpen, membuat kliping tentang informasi kegiatan sastra (Wibowo, 2013: 136).
Pendapat Haryadi (dalam Wibowo, 2013: 136), bahwa peran sastra dalam
pembentukan karakter sastra tidak hanya didasarkan pada nilai yang terkandung di
dalamnya. Pembentukan karakter dan identitas nasional bangsa Indonesia dapat dimulai
sejak anak usia dini di lingkungan keluarga yang dilanjutkan pada usia sekolah di
lingkungan sekolah dan dikembangkan di lingkungan masyarakat (Juanda, 2012: 109).
Pembelajaran sastra yang bersifat apresiatif pun sarat dengan pendidikan karakter.
Kegiatan membaca, mendengarkan, dan menonton karya sastra pada hakikatnya
menanamkan karakter tekun, berpikir kritis dan berwawasan luas. Pada saat yang
bersamaan dikembangkan kepekaan perasaan sehingga pembaca cenderung cinta pada
kebaikanan membela kebenaran. Pada kegiatan apresiasi sastra pikiran, perasaan, dan
kemampuan motorik dilatih dan dikembangkan. Melalui kegiatan seperti ini pikiran
menjadi kritis, perasaan menjadi peka dan halus, kemampuan motorik terlatih. Hal ini
merupakan modal besar dalam pengembangan pendidikan karakter. Penanaman karakter
dilakukan secara sistematis sejak usia dini. Tentu saja apresiasi yang dimaksud bukan
apresiasi sebatas bahasan yang sifatnya kognitif. Akan tetapi, model berapresiasi secara
luas yaitu kegiatan menggauli cipta sastra dengan sungguh- sungguh sampai
menimbulkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan
yang baik terhadap cipta sastra. Dengan demikian, tujuan pembelajaran bersastra
adalah tumbuhnya pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan
perasaan yang baik terhadap cipta sastra pada diri anak didik. .
Uraian di atas sesuai dengan pendapat Rahmanto (dalam Marwilistya, 2010: 66) “jika
pengajaran sastra dilakukan dengan cara yang tepat maka pengajaran sastra dapat juga
39
memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang
cukup sulit untuk dipecahkan di dalam masyarakat”.
Melalui cerita rakyat yang dipilih sebagai bahan pengajaran sastra di sekolah
dapat diketahui tradisi, budaya, dan sejarah kehidupan pada masa lampau. Dan hal-hal
yang tersurat maupun tersirat dalam cerita rakyat tersebut dapat diambil ibrah dan
relevansinya sebagai alternatif pemecahan masalah yang ada pada saat ini.
Suatu pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh manakala
cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu membantu keterampilan berbahasa,
meningkatkan pengetahuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang
pembentukan watak (Rahmantodalam Marwilistya, 2010: Melalui cerita rakyat, empat
keterampilan berbahasa yang meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menuIis
dapat ditingkatkan melalui pengajaran cerita rakyat sebagai materi pengajaran sastra..
Pada sisi lain, mereka juga dapat menuliskan kembali isi cerita dengan bahasa mereka
sendiri. Kebudayaan pada masa lampau dapat dipelajari melalui cerita rakyat. Melalui
cerita rakyat para siswa dapat menemukan budaya-budaya yang ada pada masa lampau.
Mereka dapat memahami, menyerap atau mengambil nilai-nilai positifnya. Siswa
setidaknya juga dapat memahami kemampuan, usaha, dan daya cipta, dan perasaan para
pencipta cerita rakyat.
Kompetensi Inti (KI) dalam Kurikulum 2013 merupakan terjemahan atau
operasionalisasi SKL dalam bentuk kualitas yang harus dimiliki setelah menyelesaikan
pendidikan pada satuan pendidikan tertentu atau jenjang pendidikan tertentu yang
berfungsi sebagai unsur pengorganisasi Kompetensi Dasar (KD). Kompetensi Inti harus
menggambarkan kualitas seimbang antara pencapaian hard skills dan soft skill yang
dirancang dalam empat kelompok yang saling terkait yaitu berkenaan dengan sikap
spiritual (KI 1), sikap sosial (KI 2), pengetahuan (KI 3), dan keterampilan atau
penerapan pengetahuan (KI 4). Keempat kelompok tersebut dijadikan acuan dari
40
Kompetensi Dasar dan harus dikembangkan dalam setiap peristiwa pembelajaran secara
integratif. Kompetensi yang berkenaan sikap tidak diajarkan dalam materi sendiri tetapi
tetap diintegrasikan dalam pembelajaran pada domain pengetahuan dan keterampilan.
Pengajaran sastra merupakan bagian dari pengajaran bahasa. Dimasukkannya
pembelajaran sastra ke dalam pembelajaran bahasa Indonesia kiranya dapat dimaklumi
karena secara umum, sastra adalah segala sesuatu yang ditulis bahasa Indonesia
khususnya. Cerita rakyat ditemukan pada jenjang SMP sehingga penjabaran
Kompetensi Inti kurikulum 2013 tingkat SMP yang dibahas pada penelitian ini, yaitu
sikap spiritual (KI 1) yang terdiri atas sikap menghayati dan mengamalkan ajaran agama
yang dianut dan sikap sosial (KI 2) yang terdiri atas sikap menghayati dan
mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli, (gotong royong,
kerjasama, toleran, damai), santun, responsif, proaktif, dan menunjukkan sikap sebagai
bagian dari solusi atas berbagai permasalahan dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam serta dalam menempatkan diri sebagai cerminan bangsa
dalam pergaulan dunia.
Secara khusus pembelajaran sastra dalam kurikulum dikaitkan dengan
kecakapan memecahkan masalah, kemampuan berpikir kritis dan kreatif, kecakapan
berkomunikasi, pemilihan kesadaran pribadi dan rasa percaya diri, kemampuan
menghindari stres, kemampuan membuat keputusan, kecakapan menjalin hubungan
antarpribadi, pemahaman terhadap berbagai jenis pekerjaan, dan kaecakapan vokasional
serta pemilikan siap positif terhadap kerja perlu dipupuk dan dikembangkan secara
berkelanjutan. Fiksi membicarakan nilai hidup dan kehidupan yang berkaitan dengan
pembentukan nilai karakter manusia berupa nilai moral dan nilai pendidikan.
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 54 Tahun 2013 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, berisi tentang
mengidentifikasi dan menelaah informasi, struktur dan kebahasaan cerita rakyat (fabel
41
dan legenda) yang berasal dari daerah setempat dan kompetensi dasar 4.11;4.12
berisi tentang menceritakan kembali isi dan memerankan isi fabel/legenda daerah
setempat yang dibaca dan didengar. Pada ruang lingkup materi mata pelajaran Bahasa
Indonesia untuk setiap jenjang SMP khusunya kelas VII poin keenam membahas
tentang cerita rakyat yang didalamnya berisi fabel dan legenda daerah setempat, tetapi
penelitian ini hanya memfokuskan pada cerita rakyat yang terdiri atas mite, legenda dan
dongeng yang terdapat di Maluku khususnya di Kiandarat.
C. Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
Cerita rakyat Maluku merupakan cerita rakyat yang masih hidup dan
berkembang ditengah- tengah masyarakat Maluku dan biasanya disebarluaskan secara
lisan dan hanya didasarkan pada kemampuan mengingat para penuturnya. Oleh karena
itu, tidak mustahil jika cerita rakyat Maluku sangat mudah mengalami penyimpangan
atau perbedaan dari bentuk dari cerita aslinya.
Cerita rakyat Maluku bersumber dari para penutur orang tua-tua atau saniri
negeri yang sebagian besar telah meninggal. Orang tua-tua tersebut belum tentu
mewariskan kepada anak cucunya. Kenyataan dilapangan membuktikan bahwa ada
cerita yang berbeda versinya dalam satu desa atau satu lokasi cerita. Bahkan ada satu
cerita yang diingat sebagian saja hingga tidak didapatkan ceritanya secara utuh.
Pengungkapan cerita yang tidak utuh atau tidak diketahui secara keseluruhan ini sangat
memungkinkan hilangnya nilai yang terkandung didalamnya. Dari hasil observasi awal
dan wawancara dengan informan, dapat diketahui bahwa Maluku memiliki sejumlah
cerita hampir sama dengan cerita-cerita rakyat dari daerah lain. Cerita-cerita rakyat
Maluku memiliki usia yang sudah tua, mempunyai ciri tradisional, disebarkan dari
mulut ke mulut, dan tanpa diketahui pengarangnya. Namun, cerita-cerita rakyat tersebut
sampai sekarang masih hidup.
42
Pada mulanya cerita-cerita rakyat Maluku diceritakan untuk memenuhi
kebutuhan hidup masyarakat pemiliknya. Cerita-cerita yang ada memiliki latar belakang
dan budaya serta hasil lingkungan yang merupakan pengalaman masyarakat pemiliknya.
Cerita-cerita rakyat yang ada digunakan sebagai pembentuk watak manusia aslinya.
Dahulu cerita-ceita rakyat digunakan oleh orang tua-tua untuk membentuk watak anak
cucunya agar menjadi manusia yang baik. Cerita-cerita rakyat juga digunakan sebagai
alat kontrol sosial, yakni digunakan untuk mendidik agar manusia hidup sesuai norma
yang berlaku dalam masyarakat. sesuai dengan hal itu Latupapua (2013: 1) folklor
seperti kapata dan cerita rakyat masyarakat Maluku memiliki kekuatan sebagai penjaga
norma dan pengesahan pranata adat dan budaya. Maka sebagai kekayaan budaya, cerita
rakyat harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan.
Isi cerita yang disampaikan dapat memberi petunjuk tentang apa yang benar dan
apa yang salah. Melalui cerita ternyata dapat juga ditumbuhkan rasa cinta dan
penghargaan kepada leluhur. Hal inilah yang telah mengilhami anggota masyarakat
Maluku saat ini untuk berusaha melestarikan tradisi atau kebiasaan yang ditinggalkan
seperti berziarah ke makam leluhur atau tokoh terdahulu sebagai bentuk penghormatan.
Selain itu, cerita rakyat dahulu juga digunakan sebagai alat penghibur. Cerita rakyat di
masa itu digunakan oleh orang-orang tua sebagai perintang waktu. Dalam hal ini bukan
hanya anak yang dihibur, melainkan juga orang-orang dewasa setelah seharian
beraktivitas.
Berdasarkan hasil observasi awal dan wawancara juga ditemukan bahwa
kebisaan tersebut jarang dijumpai pada masyarakat dewasa ini di Maluku. Keadaan
seperti ini tidak hanya terdapat di lingkungan perkotaan tetapi juga dilingkungan
pedesaan yang sebenarnya lebih dekat dengan cerita-cerita yang ada.
Tradisi mendongeng atau bercerita yang dilakukan oleh orang-orang terdulu
tidak lagi menjadi kelaziman pada masa sekarang ini. Apabila dicermati hilangnya
43
kebiasaan ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) Saat ini para orang tua sibuk
mencari nafkah karena harus memenuhi kebutuhan keluarganya; (2) Teknik komunikasi
dan alat komunikasi yang ada saat ini lebih canggih yang dipandang lebih praktis dan
dapat dijangkau hampir seluruh lapisan masyarakat, contohnya adalah televisi dan
internet; (3) masuknya kebudayaan barat melalui berbagai media sehingga kebudayaan
lokal terjadi pergeseran, dan (4) kurangnya usaha mengenalkan dan menanamkan cerita-
cerita lokal, termasuk didalamnya cerita rakyat oleh para orang tua, lembaga
pendidikan, pemerintah daerah kepada generasi muda.
Seiring berjalan waktu, tradisi sastra lisan seperti mendongeng, kapata,
pantong, jugulu-jugulu, makan patita, budaya masohi, serta pela dan gandong telah
mengalami degradasi dan tidak dipatuhi lagi oleh masyarakatnya. Dalam
perkembangannya, tradisi itu memiliki potensi kuat dalam penciptaan syair-syair
modern yang kandungan isinya banyak memuat aspek dasar perekat kerukunan.
(Muslim, 2013: 2) Oleh karena itu, penggalian nilai-nilai keberagamaan anak negeri
Maluku dalam hal komunikasi budaya harus bisa menjawab tantangan zaman yang
mengusung tema modernitas sebagai perangkat utama dalam menggerus nilai-nilai
budaya lokal masyarakat. Sementara itu, interaksi sosial berbasis budaya lokal (dalam
hal ini aspek moralitas etik masyarakat menjadi sasarannya) di era modern saat ini
justru menjadi sesuatu yang penting untuk dibicarakan (setelah lama terkikis oleh
kemajuan dan globalisasi). Oleh karena itu, penanaman nilai-nilai budaya dan kearifan
lokal menjadi mutlak untuk dibangun kembali, lebih khusus pada daerah-daerah yang
rentan terjadi pergesekan-pergesekan identitas (Maluku misalnya, yang kini berada
dalam tahap membangun kembali toleransi dan perdamaian pasca konflik 1999). Ragam
kearifan lokal pada masyarakat Maluku sesungguhnya merupakan manifestasi dari
anjuran-anjuran untuk senantiasa mengedepankan persaudaraan, perdamaian, toleransi
44
dan kasih sayang serta nilai-nilai luhur yang telah dijaga dan diwariskan oleh nenek
moyang masyarakat Maluku.
D. Fungsi Cerita Rakyat Masyarakat Maluku sebagai Bahan Ajar di Sekolah
Cerita rakyat masyarakat Maluku dapat dijadikan sebagai bahan ajar dalam
pengajaran sastra di sekolah karena sejak dahulu masyarakat Maluku mengenal cerita
rakyat sebagai salah satu karya sastra yang diturunkan secara turun-temurun dari satu
generasi ke generasi berikutnya.
Manusia lahir tanpa kekosongan budaya, yaitu manusia yang dilahirkan di dunia
ini dalam keluarga atau masyarakat tempat dilahirkan, masyarakat tersebut telah
menganut budaya. Budaya yang dianut diwariskan dari generasi ke generasi melalui
proses pembelajaran formal dan nonformal (Juanda, 2010: 1). Cerita rakyatmenduduki
posisi penting dalam pembelajaran sastra dalam masyarakat Maluku khususnya
masyarakat Negeri Kiandarat karena cerita rakyatmemiliki nilai sejarah, nilai budaya,
dan nilai sastra. nilai-nilai inilah yang dapat dimanfaatkan guru sebagai media dalam
pembelajaran yang diperkenalkan kepada siswa. Melalui nilai-nilai luhur, nilai
pendidikan dan pesan moral yang terdapat dalam cerita rakyatmengantarkan mereka
untuk banyak memahami adat-istiadat, budaya, pandangan hidup, idiologi, sejarah
kehidupan leluhur dan pada akhirnya semuanya akan diaplikasikan dalam kehidupan
siswa itu sendiri.
Hal ini senada pendapat Indiarti (2017:3) bahwa dengan cerita rakyat Maluku,
sebagaimana karya sastra lainnya, diyakini lahir tidak pada ruang hampa, tetapi
dipengaruhi oleh masyarakat setempat dimana karya tersebut dilahirkan sehingga karya
sastra dianggap sebagai an imitation of human life; merupakan cerminan nilai-nilai
kehidupan dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai pembentuk karakter dalam cerita rakyat.
45
Sementara itu, hubungan antara sastra dan masyarakat saling mempengaruhi
sehingga cerita rakyat memiliki kesempatan untuk menjadi sarana dalam mengubah
kondisi masyarakatnya. Nilai-nilai yang terkandung dalam cerita rakyat secara tidak
langsung telah diresapi oleh pembaca khususnya anak-anak; secara tidak sadar runtutan
peristiwa dalam cerita tersebut mampu mempengaruhi sikap dan kepribadian mereka.
Cerita rakyat Maluku tidak hanya sebagai sarana penanaman nilai-nilai dan karakter
namun juga dapat menambah pengetahuan serta merangsang kreativitas anak melalui
imajinasi dan cara berpikir kritis melalui rasa penasaran akan jalan cerita dan metafora-
metafora yang terdapat di dalamnya. Cerita rakyat tidak hanya berperan dalam
penanaman pondasi keluhuran budi pekerti, namun juga memiliki andil dalam
pembentukan karakter yang baik sejak dini (Noor, 2011: 10).
Selain sebagai sarana pendidikan karakter bangsa, cerita rakyat masyarakat
Maluku juga sebagai penerusan nilai dan spirit kearifan lokal. Pemanfaatan cerita rakyat
untuk pendidikan karakter juga untuk melestarikan eksistensi cerita rakyat itu sendiri.
Cerita rakyat masyarakat Maluku dapat dijadikan bahan ajar dalam pengajaran sastra
sebagai kearifan lokal masyarakat setempat dalam pembelajaran sastra pada mata
pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia.
Dampak positif yang diharapkan dari pemanfaatan cerita rakyat masyarakat
Maluku melalui pembelajaran Apresiasi Sastra di sekolah adalah sebagai berikut.
1. Siswa mengenali lebih medalam dan menghargai sastra daerah yang terkandung
nilai-nilai kearifan lokal yang perlu dilestarikan.
2. Aspek Psikologis, cerita rakyat mengkaji topik dan masalah yang diangkat dari
masalah kehidupan dan sejarah masa lampau. Hal ini akan menarik perhatian
peserta didik dalam proses menggeneralisasi dan mendorongnya menuangkan
konsep serta fenomena yang ada di sekitar kehidupannya.
46
3. Aspek latar belakang budaya, tokoh, tema, masalah, dan kosakata yang disajikan
dalam cerita rakyat lebih akrab dengan lingkungan dan latar belakang budaya,
moral, etika, pendidikan serta agama. Dalam cerita rakyat masyarakat
Malukuterkandung nilai-nilai ajaran hidup yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan siswa. Hal ini membuka peluang kepada guru untuk mendekatkan
siswa dengan karya sastra sekaligus melatih siswa untuk lebih memiliki
kepekaan terhadap berbagai persoalan yang sedang terjadi dalam lingkungan
budaya masyarakatnya. Dari berbagai topik yang diketengahkan dalam cerita
rakyat tersebut siswa akan lebih banyak belajar dari lingkungan dan budayanya.
4. Karakter siswa dapat dibentuk melalui pesan moral dan nilai-nilai luhur yang
terdapat dalam cerita rakyat Maluku.
E. Kerangka Pikir
Berdasarkan pembahasan teoretis yang telah dikemukakan pada bagian kajian
pustaka, berikut ini diuraikan kerangka pikir yang melandasi penelitian ini.Sastra
merupakan aktivitas manusia yang diwujudkan dalam media tertentu dan memiliki ciri
estetika yang tertentu pula.
Sastra terbagi atas sastra tulisan dan sastra lisan. Secara esensial, perbedaan
antar keduanya terletak pada media pengucapannya yang sekaligus menentukan proses
transformasinya dalam masyarakat. Sastra lisan adalah bentuk kesastraan yang paling
awal dipraktikkan dalam peradaban manusia. Sastra lisan menggunakan tuturan atau
bahasa verbal sebagai media pengucapannya. Dengan demikian, komunikasi yang
terjadi di antara pencipta atau pelaku sastra lisan dan khalayak penikmat merupakan
komunikasi yang bersifat langsung. Sastra lisan (folklore) terdiri dari ungkapan
tradisional, cerita rakyat, pertanyaan tradisional, sajak dan puisi rakyat serta nyanyian
rakyat. Salah satu sastra lisan yang terdapat dalam masyarakat Maluku adalah cerita
47
rakyat yang merupakan objek kajian dalam penelitian ini yang terdiri atas mite, legenda
dan dongeng.
Dengan memfokuskan pada pesan moral yang terdapat dalam cerita rakyat
tersebut, sehingga nilai pendidikan, dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam cerita
rakyat Maluku dapat dimanfaatkan sebagai media untuk membentuk generasi muda
bangsa yang berkarakter dan berbudi luhur
48
Gambar. 2.1 Kerangka Pikir
Cerita
Rakyat
SASTRA
Sastra Tulisan Sastra Lisan
Cerita
Rakyat Sajak
dan Puisi
Rakyat
Pertanyaan
Tradisional
Ungkapan
Tradisional
Pesan Moral
Nilai Karakter
Integritas Relegius Gotong royong
Royong
Mandiri Nasionalis
Tatakora
Analisis
Temuan
49
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Berdasarkan judul penelitian ini, yakni “Pesan Moral dalam Cerita Rakyat
Masyarakat Maluku dan Kontribusinya terhadap Penanaman Karakter Siswa” maka
penelitian ini digolongkan ke dalam jenis penelitian deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif kualitatif adalah metode yang mendeskripsikan fenomena yang menjadi
sasaran penelitian secara alamiah. Penelitian ini melibatkan peneliti secara langsung
sebagai instrumen utama penelitian serta penggambaran data secara alamiah sesuai
dengan aslinya (kenyataan).
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini fokus pada pesan moral dan nilai karakter yang terdapat pada
cerita rakyat masyarakat Maluku dan kontribusinya terhadap penanaman karakter siswa
SMP Kelas VII.
C. Definisi Istilah
Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran tentang tujuan
penelitian. Agar penelitian ini tidak menimbulkan kesalahan penafsiran maka perlu
dikemukakan makna istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Adapun pengertian
istilah dimaksud adalah :
1. Sastra adalah sebuah aktivitas manusia yang diwujudkan dalam media tertentu
dan memiliki estetika, etika, norma serta tidak menyesatkan.
2. Cerita rakyat adalah salah satu sastra daerah yang hidup di tengah-tengah
masyarakat dan dapat dijadikan sebagai sarana membangun karakter pada anak
melalui nilai-nilai moral dan pendidikan karakter yang terkandung didalamnya.
50
3. Cerita rakyat masyarakat Maluku adalah cerita berupa mite, legenda maupun
dongeng untuk mengetahui sejarah, adat-istiadat, cita-cita yang lahir dan
disampaikan secara turun-temurun oleh masyarakat Maluku dan mengandung
nilai-nilai luhur lokal sebagai kebudayaan daerah yang patut dilestarikan dan
dikembangkan.
4. Pesan moral adalah pelajaran yang bisa dipetik melalui amanat yang tergambar
oleh karakter, perbuatan, sikap tokoh dalam cerita rakyat masyarakat Maluku.
5. Karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain: tabiat dan watak.
6. Penanaman karakter adalah usaha yang dilakukan untuk mengembangkan,
menerapkan, dan mengubah sifat-sifat kejiwaan dan akhlak dalam bertutur kata
dan tingkah laku sesuai ajaran agama dan norma dalam bermasyarakat.
7. Kontribusi adalah sumbangsih pesan moral dan nilai-nilai pendidikan yang
terdapat dalam cerita rakyat masyarakat Maluku terhadap penanaman karakter
siswa SMP berupa bahan ajar dalam pengajaran sastra.
D. Desain Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain deskriptif dengan
menggunakan metode pengumpulan informasi melalui wawancara yang didasarkan
pada penganalisisan pesan moral dan nilai karakter yang terdapat dalam cerita rakyat
masyarakat Maluku dan kontribusinya terhadap penanaman karakter siswa. Pendekatan
kualitatif digunakan untuk mendokumentasikan berbagai cerita rakyat di Maluku
khususnya di Negeri Kiandarat.
E. Data dan Sumber Data
1. Data
Data atau informasi penting yaitu cerita rakyat masyarakat Maluku legenda
Cerita legendaris Tatakora, dongeng Anahunta Malalokon dan dongeng Anak Raja
51
Nakal dan Akal yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif.
Data berupa kata, frasa, dan kalimat yang mengandung pesan moral dan nilai karakter.
Data dalam penelitian ini diperoleh berasarkan informasi lisan dari para narasumber
selanjutnya ditranskripsikan ke dalam cerita secara tertulis.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan. Informan yang dipilih dalam
penelitian ini adalah saneri negeri/pemangku-pemangku adat (juru kunci). Informan
tersebut minimal sebanyak tiga orang yang dapat memberikan informasi secara lengkap
dan akurat mengenai cerita rakyat masyarakat Maluku.
F. Instrumen Penelitian
Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri dan instrumen pendukung
berupa lima nilai pendidikan karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional
dan tabel pemandu analisis data berupa tiga kategori pesan moral yakni kategori
hubungan manusia dengan Tuhan, kategori hubungan manusia dengan diri sendiri, dan
kategori hubungan manusia dengan lingkungan sekitar dan alam. Dalam penelitian
kualitatif, peneliti sebagai pengelola, dan penafsir data, juga berfungsi sebagai
pengumpul data. Dalam praktiknya peneliti secara aktif mencari informasi yang
berkaitan dengan masalah penelitian.
G. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data meliputi beberapa teknik di
bawah mi.
1. Observasi Langsung
Dengan teknik observasi, tempat penelitian dapat secara langsung diamati dan
dipelajari, sehingga sampel lokasi dapat dipilih, kemudian ditentukan jenis cerita yang
akan diteliti melalui pencatatan. Observasi dilakukan dengan mengunjungi lokasi
penelitian yang memiliki cerita rakyat tertentu dan pengumpulan data.
52
2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan informan di lokasi penelitian. Selanjutnya, hasil
wawancara mengenai cerita rakyat ditranskripsikan menjadi bahan tertulis. Selama
perekaman, dilakukan pencatatan mengenai suasana bercerita, sikap dalam bercerita,
dan istilah- istilah penting yang digunakan informan yang perlu ditanyakan lagi kepada
informan setelah selesai menyampaikan cerita. Selain itu, juga dilakukan wawancara.
Wawancara dilakukan untuk memperoleh informasi atau data mengenai cerita rakyat
secara lengkap dan akurat yang berada di Maluku. Wawancara dilengkapi dengan alat
pengumpulan data yaitu mobile phone yang berfungsi sebagai alat perekam dan
dokumentasi. Wawancara dilakukan dengan informan, yaitu saniri negeri (juru kunci)
pada lokasi penelitian.
3. Baca-Simak
Teknik baca-simak dilakukan secara saksama atau membaca dan menyimak satu
per satu cerita rakyat yang menjadi sumber data penelitian. Teknik baca-simak ini
dilakukan secara berulang-ulang untuk memperoleh data secara akurat.
4. Pencatatan
Setelah melakukan teknik baca-simak, hasil yang diperoleh dicatat dan
diklasifikasikan data yang menggambarkan nilai pendidikan karakter kemudian
menentukan pesan moral dalam cerita rakyat masyarakat Maluku serta kontribusinya
terhadap penanaman karakter siswa .
H. Teknik Analisis Data
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif, semua data yang
terkumpul dideskripsikan sesuai ciri-ciri asli data yang dilakukan selama proses
pengumpulan data dan setelah pengumpulan data selesai. Analisis data yang dilakukan
pada penelitian ini mengikuti tahap analisis Huberman & Miles (2009: 591-592) yang
terdiri atas tiga tahap, yaitu:
53
1. Mereduksi data
Pada tahap ini dilakukan kegiatan mengidentifikasi data, penyeleksian data, dan
pengklasifikasian data sesuai dengan fokus penelitian untuk menentukan data yang
dibutuhkan dan data yang tidak dibutuhkan yang terdiri atas perangkuman data,
pengkodean data, pengelompokan data.
2. Penyajian data
Penyajian data dilakukan dengan cara mengorganisasikan semua data yang telah
direduksi. Melalui kegiatan pendeskripsian (penginterpretasian) data sesuai dengan
fokus penelitian, (a) pesan moral dalam cerita rakyat mayarakat Maluku; (b) nilai
karakter dalam cerita rakyat mayarakat Maluku; dan (c) kontribusi pesan moral dan nilai
karakter. Penyajian dilakukan dengan pendataan data, peng kodean data dengan baik
agar mudah untuk dilakukan penarikan simpulan. Pada tahap ini, semua data yang telah
dianalisis dan dibahas.
3. Penyimpulan dan verifikasi hasil penelitian
Tahap penarikan kesimpulan dan verifikasi data mencakup kegiatan perumusan
generalisasi awal dari data-data yang memiliki keteraturan dan mencari data-data
tambahan untuk menguji generalisasi tersebut. Penyimpulan dilakukan berdasarkan
hasil interpretasi dan analisis data terhadap fokus penelitian kemudian diverifikasi ulang
untuk dievaluasi.
I. Pemeriksaan Keabsahan Data
Untuk menguji keabsahan data, digunakan uji validitas yang bertujuan untuk
menguji instrumen yang digunakan, seperti (1) menginterpretasi terhadap hasil
instrumen, (2) apakah instrumen tersebut mampu mengukur apa yang sesungguhnya
akan diukur, dan (3) mengetahui ranah yang akan diukur (Tuckman (dalam Garim, 2016
: 127). Dalam penelitian ini, digunakan triangulasi sumber dan triangulasi teori.
Triangulasi sumber yaitu teknik dengan memanfaatkan penelitian atau pengamat yang
54
dianggap memiliki kompetensi atau kemampuan yang memadai dalam menganalisis dan
menafsirkan data untuk keperluan pengecekan kembali derajat kepercayaan.
Pemanfaatan pengamat lainnya membantu mengurangi kesalahan dalam pengumpulan
data (Moleong, 2012: 178). Triangulasi teori dilakukan dengan menggunakan perspektif
lebih dari satu teori dalam membahas teori tentang cerita rakyat, pesan moral, dan nilai
pendidikan karakter. Triangulasi dilakukan dengan cara mengecek atau memeriksa
kembali keabsahan data yang diperoleh pada kegiatan identifikasi, klarifikasi, analisis,
interpretasi, dan deskripsi. Triangulasi ini berlangsung secara terus-menerus selama
pengumpulan data dan analisis data. Hasil kegiatan triangula
55
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Pada bagian ini akan diuraikan hasil pengumpulan dan analisis data. Penyajian
hasil penelitian dilakukan dengan mengorganisasikan data yang telah direduksi melalui
kegiatan penginterpretasian data yang disesuaikan dengan fokus penelitian. Data yang
dikaji dan diinterpretasi pada penelitian ini diperoleh setelah melalui proses reduksi data
versi Huberman dan Miles. Pada bagian ini dibagi menjadi dua bagian. Pertama,
menentukan pesan moral berdasarkan tiga kategori yaitu kategori manusia dengan
Tuhan, kategori manusia dengan diri sendiri, dan kategori hubungan manusia dengan
manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk dengan alam dan delapan belas nilai
pendidikan karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional. Kedua,
mendeskripsikan kontribusi dari pesan moral dan nilai karakter dengan KI (Kompetensi
Inti) dan KD (Kompetensi Dasar) pada pembelajaran Bahasa Indonesia sebagai
kontribusi terhadap pendidikan karakter SMP kelas VII kurikulum 2013.
Hasil penelitian diperoleh tujuh cerita rakyat di Negeri Kiandarat yang terdiri
atas dua legenda, empat dongeng dan satu mitos. Kegiatan analisis dilanjutkan dengan
penyeleksian data dan pengklasifikasian data. Pada tahap ini terseleksi tiga cerita rakyat
yang terdiri atas satu legenda dan dua dongeng yang dibutuhkan berdasarkan fokus
penelitian. Melalui penyeleksian dan pengklarifikasian data diperoleh 61 data, 5 nilai
pendidikan karakter.
56
Rincian data pesan moral dalam cerita rakyat Maluku (Tatakora) sebagai berikut
Tabel 4.1 Pesan Moral Hubungan Manusia dengan Tuhan
Kode Data Berdasarkan Korpus Data (lihat Lampiran)
01 02 03 04 07 09 06 12 05 10 08 11
Tabel 4.2Pesan Moral Hubungan Manusia dengan Dirinya sendiri
Kode Data Berdasarkan Korpus Data (lihat Lampiran)
08 02 04 13 21 18 14 17 07 20 25 12
22 23 01 03 19 05 10 11 27 26 16 24
09 06 15 28
Tabel 4.3Pesan Moral Hubungan Manusia dengan Manusia dan Lingkungan
Alamnya
Kode Data Berdasarkan Korpus Data (lihat Lampiran)
10 20 21 11 05 14 18 01 02 12 16 03
07 12 13 17 08 06 19 04
Tabel 4.4Nilai Pendidikan Karakter
N0. Berdasarkan Korpus Data (lihat Lampiran)
01 Nilai Karakter Religius
02 Nilai Karakter Nasionalis
03 Nilai Karakter Mandiri
04 Nilai Karakter Gotong Royong
05 Nilai Karakter Integritas
57
Pesan moral kategori hubungan manusia dengan Tuhan diperoleh 12 data pesan
moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri memiliki 28 data dan pesan
moral kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial
termasuk dengan alam memiliki 21 data. Berdasarkan hasil rangkuman data,
pengkodean data, dan pengelompokan data, dapat diketahui masing-masing jumlah data
per kategori data yaitu: (1) pesan moral kategori hubungan manusia dengan Tuhan
terdapat dalam legenda Asal Usul Waelo Matai(Tatakora) terdiri atas 4 pesan moral,
dongeng Anahunta Malalokon terdiri atas 3 pesan moral, dan dongeng Anak Raja
Nakal dan Akal terdiri atas 5 pesan moral, (2) pesan moral kategori hubungan manusia
dengan diri sendiri dalam legenda Asal Usul Waelo Matai terdiri atas 7 pesan moral,
dongeng Anahunta Malalokon terdiri atas 16 pesan moral dan dongeng Anak Raja
Nakal dan Akal terdiri atas 9 pesan moral, (3) pesan moral kategori hubungan manusia
dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk dengan alam terdapat dalam
legenda Asal Usul Waelo Matai terdiri atas 5 pesan moral, dongeng Anahunta
Malalokon terdiri atas 7 pesan moral dan dongeng Anak Raja Nakal dan Akal terdiri
atas 9 pesan moral.
1. Pesan Moral dan Nilai Karakter Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
a.) Pesan Moral Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
(1.) Pesan Moral Kategori Hubungan Manusia dengan Tuhan
Hubungan manusia dan Tuhan memiliki dua bentuk relasi yaitu manusia
memenuhi kewajiban dengan beribadah kepada Tuhan (Q.S. Adz Dzariyaat:51-56) atau
menjadi ingkar (kafir) dan syirik kepada Tuhan (Q.S. An Nisa:48). Bila manusia
menjalin relasi tersebut maka hubungan manusia dengan Tuhan menjadi baik pula dan
begitupun sebaliknya, bila manusia menjalin hubungan dengan buruk, maka hubungan
manusia dengan Tuhan menjadi jauh. Pesan moral kategori hubungan manusia dengan
Tuhan pada hakikatnya merupakan wujud relasi atau hubungan manusia dengan Tuhan
58
itu sendiri. Data pesan moral kategori hubungan manusia dengan Tuhan ditemukan
dalam cerita rakyat masyarakat Maluku, yaitu legenda Asal Usul Waelo Matai
(Tatakora), dongeng Anahunta Malalokon dan dongeng Anak Raja Nakal dan Akal.
Berikut ini diuraikan pesan moral yang terdapat pada ketiga cerita rakyat masyarakat
Maluku kategori hubungan manusia dengan Tuhan.
(a) Sikap/Perilaku Berserah Diri (Tawakkal) kepada Tuhan
1. “Iya upu. Mereka terus mengganggu kami, perempuan maupun laki-laki. Ketika
kami hendak mengambil kayu bakar, ataupun memeriksa pohon cengkeh.
Semoga Allah menjaga kami.” (ASWM: 1) [KD 1]
Pada kutipan (1) tersebut menggambarkan jika masyarakat Negeri Kiandarat
menyampaikan kegelisahan mereka kepada raja sebagai pemimpin negeri, yakni Upu
Latu Marawakan. Pesan moral Pada kutipan tersebut mengandung nilai pendidikan
karakter relegius karena menggambarkan masyarakat yang menggantungkan tinkat
kepasrahan mereka pada Alla. dasehingga mereka tidak punya takut pergi ke hutan
walaupun dengan resiko bertemu orang-orang Kariu. Masyarakat Kiandarat hanya bisa
berserah diri dan meminta perlindungan kepada Allah Swt. agar mereka terhindar dari
hal-hal yang tidak diinginkan.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah hidup tidaklah mudah, hanya dengan
bekerja keras disertai doa maka ketentraman hati dan kemudahan akan disertakan oleh
Allah. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan Tuhan dan
dengan diri sendiri.
2. Mendengar pertanyaan dari kepala Negeri Kariu, Upu Latu Marawakan lantas
menancapkan tombaknya, dan dengan kebesaran Tuhan, ketika beliau
mencabutnya keluarlah air jernih dan bening dari bekas tancapan tombak Upu
Latu Marawakan dan menjadi sumur yang kemudian dinamakanWaelo Matai
(ASWM: 1) [KD 2]
59
Pada kutipan (2) bisa ditafsirkan bahwa tanpa diminta dua kali Upu Latu
Marawakan serta merta menancapkan tombak yang dimilikinya dengan gagah berani ke
dalam tanah dan dengan rasa optimis mencabutnya kembali. Ketika Upu Latu
Marawakan mencabut tombak tersebut, dengan izin Allah Swt. keluar air jernih dari
bekas tancapan tombak tersebut. Kutipan (2) menyiratkan karakter nasionalis dan dan
religius yang dimiliki oleh Upu Latu Marawakan. Karakter nasionalis tersirat karena
Upu Latu Marawakan yang memindahkan tempat tinggal mereka sehingga beliau harus
mencari cara agar warga Kariu merasa berkecukupan di tempat tinggal barunya yang
menunjukkan rasa cinta pada rakyatnya. Karakter religius tersirat dari sikap Upu Latu
Marawakan yang tanpa ragu menancapkan tombaknya karena memiliki keyakinan akan
pertolongan Tuhan. Pesan moral pada kutipan tersebut adalah harus bersikap optimis
dan memiliki niat menolong orang lain karena Allah. Jika niat kita tulus kepada orang
lain maka Allah akan membantu kita karena tidak ada yang tidak mungkin jika Allah
sudah berkehendak. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan
Tuhan.
3. “Rakyatku saya membuat pertemuan dengan kalian hari ini, saya ingin meminta
kepada kalian untuk memanjatkan doa kepada Allah Swt agar saya dan mama
nyora diberi rahmat. (ARNA:1) [KD: 3]
Berdasarkan konteks pada kutipan (3) menggambarkan bahwa raja adalah
seorang pemimpin yang memiliki karakter gotong royongkarena raja mengikut sertakan
semua rakyatnya untuk membantu mendoakannya. Selain itu kutipan (3) juga
terkandung nilai pendidikan karakter religius, hal ini jelas terdapat dalam penggalan
kalimat memanjatkan doa kepada Allah Swt. Raja meminta rezeki berupa anak hanya
kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha memberi rezeki. Pesan moral pada kutipan (3)
sebagai manusia kita hanya bisa berdoa dan bertawakal kepada Allah Swt. Selanjutnya,
60
Allah yang akan memutuskan. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan
manusia dengan Tuhan.
4. “Subhanallah...hatiku sungguh gelisah.” (ARNA:4) [KD: 4]
Kata Subhanallah pada kutipan (4) merupakan wujud dari luapan kecemasan
yang dirasakan oleh mama nyora kepada anak-anaknya. kata Subhanallah merujuk pada
rasa terkejut karena melihat panah yang jatuh di depan mama nyora membuatnya
merasa gelisah. Meski demikian, mama nyora mengucapkan Subhanallah secara
spontan karena mengharapkan perlindungan kepada anak-anaknya dan menyerahkan
keselamatan kedua anaknya kepada Tuhan, mengandung nilai karakter religius. Selain
itu, nilai karakterintegritas juga tergambar dalam kutipan (4) yang dimiliki seorang ibu
kepada anaknya. Pesan moral pada kutipan tersebut adalah senantiasa mengingat Tuhan
baik dalam keadaan susah maupun senang. Pesan moral tersebut termasuk kategori
hubungan manusia dengan Tuhan dan diri sendiri.
(b) Sikap atau Perilaku Menjalankan Ibadah kepada Allah Swt.
5. Tujuh putri dari Kayangan sudah datang untuk mandi. Setelah merasa cukup,
mereka mengganti pakaian untuk siap-siap kembali ke Kayangan. Tapi putri
bungsu tidak menemukan selendangnya. Dia hampir menangis, mencari dari
hulu ke hilir tapi tidak ketemu.Sebentar lagi akan tiba waktu sholat jumat,
keenam kakaknya akhirnya terbang meninggalkan putri bungsu sendiri.(AM:5)
[7]
Pada kutipan (5), ketujuh putri yang memiliki kebiasaan mandi setiap hari jumat
dapat diinterpretasikan sebagai melaksanakan salah satu amalan sunah. Karena umat
islam khususnya laki-laki dianjurkan untuk mandi dan memakai wewangian pada hari
jumat untuk mendapatkan keberkahan dari Allah Swt. sehingga mengandung nilai
61
karakter religius. Pesan moral dari kutipan tersebut yaitu: Sebagai umat Islam, kita
dianjurkan untuk melakukan segala hal berdasarkan anjuran dari Alquran dan hadist
agar mendapatkan keberkahan dan pahala dari Allah Swt. Pesan moral tersebut
termasuk kategori hubungan manusia dengan Tuhan;
Putri kayangan dan Bulan Talip Rahman pun naik ke Kayangan, jumat pekan
depan mereka akan melangsungkan pernikahan. (AM:7) [KD 9]
Berdasarkan Kutipan (6) tersebut, tergambar Talip Rahman yang merupakan
pemuda miskin dan tidak memiliki harta apapun bisa menikahi seorang putri yang
berasal dari kerajaan di langit pada hari jumat. Hari jumat dipercaya merupakan hari
yang barokah, karena pada hari jumat semua pintu rezeki dibuka, pada hari jumat
terdapat waktu-waktu yang mustajab agar doa dikabulkan. Keputusan untuk menikah
dengan tujuan beribadah kepada Allah menggambarkan karakter religius karena
pernikahan dapat menghindari manusia melakukan dosa antara perempuan dan laki-laki
berupa zina. Berkat sikap bersunggung-sungguh menjalankan perintah sang raja dan
sepenuh hati melaksanakan titah raja tersebut, akhirnya kerja kerasnya berbuah manis.
Pesan moral yang dapat dipetik dari kutipan (6) adalah dibalik kesulitan ada
kemudahan. Melakukan sesuatu dengan bersungguh-sungguh, tidak mudah berputus
asa, dan sabar serta berserah kepada Allah, maka Allah akan mendatangkan kebaikan
untuk hidup kita. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan
Tuhan dan diri sendiri.
(c) Bersyukur atas Nikmat dan Karunia Tuhan
6. Hingga saat ini masyarakat Negeri Kariu masih bermukim di sebelah
sungai Marake’esebagai wujud rasa syukur mereka kepada Tuhan dan rasa
terima kasih kepada Upu Latu Marawakan. (ASWM: 2) [KD 6]
Kutipan (7) dapat ditafsirkan sebagai wujud rasa terima kasih masyarakat Kariu
kepada Upu Latu Marawakan dan rasa syukur mereka kepada Tuhan sehingga
62
masyarakat Kariu tetap tinggal di seberang sunga Marake‟e menggambarkan karakter
religius.. Masyarakat Negeri Kariu awalnya mengikuti saran dari Upu Latu Marawakan
untuk menghindari perang dengan warga Negeri Kiandarat menggambarkan karakter
nasionalis. Mereka bersyukur dengan apa yang mereka miliki sekarang, seperti rumah
untuk tempat tinggal dan tanah untuk bercocok tanam dan tentu saja rasa aman karena
tidak hidup dalam bayang-bayang konflik sehingga masyarakat Kariu tidak kembali lagi
ke hatu gereja. Pesan moral pada kutipan (7) adalah selalu bersyukur dengan nikmat
yang Tuhan berikan dalam kehidupan kita. Pesan moral tersebut termasuk kategore
hubungan manusia dengan Tuhan.
7. Masya Allah...semua kampung di sini mengelilingi Negeri Kiandarat. Raja
tertinggi di atas semua raja di pulau ini adalah ayahmu, anakku sangat beruntung
menikah denganmu karena ayahmu adalah penguasa atas semua kawasan
negeri.” (ARNA:9) [KD: 12]
Masya Allah pada (kutipan 8) merujuk pada ungkapan rasa syukur raja kepada
Allah Swt karena anaknya bisa menikah dengan anak dari seorang raja yang memiliki
kuasa atas semua kawasan negeri. Kata Masya Allah menyiratkan nilai karakter religius
karena kata Masya Allah merupakanungkapan kekaguman atas ciptaan Allah yang baik.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah senantiasa bersyukur kepada Tuhan
bagaimanapun kondisi hidup kita. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan
manusia dengan Tuhan dan diri sendiri.
(d) Beriman akan Adanya Tuhan dan Meyakini Kuasa Tuhan
8. Masyarakat Negeri Kariu hidup berdampingan dengan masyarakat Negeri
Kiandarat, saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing. Saat itu
orang-orang Kariutelah memeluk agama Kristen Protestan. Hingga pada tahun
1931 perang antar dua negeri ini tak dapat terelakan. (ASWM: 2) [KD: 5]
63
Sesuai konteksnya, kutipan (9) menggambarkan masyarakat Kariu telah
menganut agama Kristen Protestan sebelum mereka tinggal bersama-sama dengan
masyarakat Kiandarat. Hal ini menggambarkan bahwa masyarakat Kariu adalah orang-
orang yang memiliki karakter religius. Selain itu karakter nasionalis juga terlihat pada
kutipan tersebut karena kedua negeri saling menghargai perbedaan. Meskipun berbeda
dalam agama tapi mereka dipersatukan oleh hubungan pela gandong dan mempunyai
tujuan yang sama dalam hidup berdampingan.
Pesan moral dari kutipan (9) yaitu walaupun tinggal di hutan belantara,
masyarakat Negeri Kariu menjadikan agama sebagai landasan hidup mereka dengan
memiliki keyakinan kepada Tuhan dan saling menghargai antara sesama. Ini termasuk
pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dan dengan Tuhan.
9. “Naga itu biasanya datang dari arah utara, dia akan mengitari masjid selama
tujuh kali setelah itu baru dia akan mencari penduduk untuk memangsa.”
(ARNA:3) [KD: 10]
Pada kutipan (10) mengitari masjid selama tujuh kali menggambarkan kebiasaan
yang dilakukan naga sebelum memangsa warga. Kebiaasaan naga mengitari masjid
selama tujuh kali jika diinterpretasi oleh masyarakat Negeri Kiandarat sebagai simbol
tawaf karena setiap hari raya Idul Adha orang yang akan berkurban akan menggendong
hewan kurbannya (kecuali sapi) dan mengelilingi masjid sebanyak tujuh kali sebagai
refleksi akan kisah pengorbanan nabi Ibrahim mengorbankan Ismail karena kecintaan
Nabi Ibrahim kepada Allah Swt. Hal ini mengandung nilai karakter religius. Sedangkan,
tanda mengitari masjid selama tujuh kali berdasarkan konteks yang terdapat pada
kutipan (10) menggambarkan pengalaman masyarakat Patawael menyaksikan kebiasaan
naga sebelum mencari penduduk untuk kemudian memangsa mereka.
64
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah dalam keadaan apapun, baik dalam
keadaan susah maupun senang, kita harus senantiasa mengingat Tuhan. Pesan moral
tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan Tuhan.
10. “Putri katakan padanya untuk mencuci sarihainini hingga berubah menjadi
warna hitam.” (AM:6) [KD 8]
Kutipan (11) menggambarkan tentang ayah sang putri meminta hal yang
mustahil kepada Talip Rahman untuk mencuci sarihain yang semula berwarna putih
hingga berubah menjadi warna hitam. Sampai kapanpun sarihain yang berwarna putih
tidak akan mungkin berubah menjadi warna hitam. Sarihain digunakan sebagai
pengganti penyebutan kain (putih) pembungkus mayat. Sarihain selalu diidentikan
dengan kematian agar manusia senantiasa berbenah diri dan mengingat Tuhan
menggambarkan karakter religius. Hal lain dalam kutipan tersebut menandakan bahwa
raja ingin menguji kemampuan lelaki yang dibawa anaknya ke Kayangan,
menggambarkan rasa ingin tahu raja.
Pesan moral dalam kutipan tersebut, adalah (1) Manusia hidup di dunia hanyalah
sementara, tidak ada yang dibawa serta kecuali kain kafan dan amalan semasa hidupnya,
Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan Tuhan; (2) Setiap
orang tua menginginkan yang terbaik bagi hidup anaknya, terutama dalam hal mencari
pendamping hidup. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan
manusia dan lingkungan.
(e) Mengucap Syukur ketika Berhasil Mengerjakan Sesuatu
11. “Bapak raja. Alhamdulillah... nikahkan saja mereka sesuai janjimu upu. Kita
akan membuat syukuran selama tujuh hari”. Jawab seseorang di antara mereka
dan diiyakan oleh yang lainnya. (ARNA:4) [KD: 11]
Berdasarkan konteks pada kutipan (12) Masyarakat selalu merasa terancam
dengan kehadiran naga setiap tahun dan tidak ada satu pun dari mereka yang dapat
65
membunuh naga tersebut. Ketika Nakal berhasil membunuh naga itu, mereka sangat
bersyukur. Rasa syukur itu kemudian diekspresikan dengan cara membuat acara
syukuran sebagai wujud menghargai prestasi si Nakal dan memanjatkan doa kepada
Tuhan sebagai ungkapaan rasa syukur. Masyarakat mengucapkan karena penggunaan
kata Alhamdulillah selalu diucapkan oleh umat islam secara umum sebagai wujud
kesyukuran atas nikmat Allah Swt. kepada umatnya. Meski kebiasaan menggunakan
kata Alhamdulillah bukansatu-satunya indikator kereligiusan, tetapi mewakili nilai yang
terkait Ketuhanan sehingga termasuk karakter religius. Pesan moral pada kutipan (12)
adalah selalu bersyukur atas kenikmatan hidup yang Tuhan berikan. Hal ini merupakan
pesan moral kategori hubungan manusia dengan Tuhan.
Dari dua belas data yang termasuk dalam pesan moral kategori hubungan
manusia dengan Tuhan ditemukan fakta menarik bahwa karakter religius hadir pada
kedua belas data tersebut meskipun karakter lain juga mengambil peran penting seperti
karakter nasionalis, gotong royong, integritas, dan mandiri. Wujud pesan moral kategori
hubungan manusia dengan Tuhan tidak hanya pada kehidupan manusia secara lahiriah,
namun juga menyangkut keseluruhan diri pribadi manusia secara total dalam
integrasinya dengan pencipta sehingga tidak mengherankan jika karakter religius bisa
muncul dalam kedua belas kategori hubungan manusia dengan Tuhan dan dalam ketiga
cerita rakyat masyarakat Maluku.
(2.) Pesan Moral Kategori Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri
Dalam membangun relasi atau hubungan dengan diri sendiri, manusia akan
memperoleh kesadaran tentang dirinya serta memiliki sesuatu yang tsserbaik bagi diri
sendiri atau mengumbar nafsu yang rendah (Q.S. Shaad:6). Sebagai makhluk individual,
otonom dan mandiri, maka manusia harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri.
Wujud dari pesan moral hubungan manusia dengan diri sendiri yang ditemukan pada
cerita rakyat masyarakat Maluku adalah dalam legenda Asal Usul Waelo Matai
66
(Tatakora), dongeng Anahunta Malalokon dan dongeng Anak Raja Nakal dan Akal
adalah sebagai berikut.
(a) Sikap/Perilaku Tidak Bergantung pada Orang Lain
12. Talip Rahman adalah anak yang penyabar dan juga baik, karena neneknya
sudah tua dan sakit sakitan, maka ia bertugas mencari nafkah untuk kebutuhan
sehari hari. (AM:1) [KD 8]
Pada kutipan (13), Talip dan neneknya yang hanya hidup berdua tanpa ada
keluarga yang tersisa, menjadi sebab sehingga tokoh Talip harus bekerja keras mencari
nafkah untuk dia dan neneknya. Sejak usia belia Talip sudah menjadi tulang punggung
untuk neneknya, karena neneknya sudah tua dan sakit-sakitan maka dia harus tetap
menjadi anak yang penyabar demi kelangsungan hidup mereka. Seorang anak kecil
yang rela menjadi tulang punggung untuk neneknya hingga dia dewasa menggambarkan
karakter tanggung jawab dan mandiri. Pesan moral pada kutipan (13) adalah Tuhan
tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang tersebut tidak mengubahnya sendiri.
Hal ini termasuk pesan moran kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dan
dengan Tuhan.
13. Pada masa pemerintahannya warga Kariu masih tinggal di hutan (Hatu
Gereja), tempat mereka mencari nafkah untuk menghidupi keluarga mereka.
(ASWM: 1) [KD: 2]
Warga Kariu masih tinggal di Hatu gereja merujuk pada tempat tinggal
masyarakat Negeri Kariu sebelum Upu Latu Marawakan meminta mereka untuk tinggal
di Negeri Kiandarta. Hatu Gereja merupakan sebuah dusun kecil yang berada di tengah-
tengah hutan, tempat tinggal masyarakat Kariu, yang secara leksikal berasal dari kata
hatu yang berarti batu dan kata gereja yang berarti gereja atau tempat ibadah umat
Nasrani. Jadi Hatu Gereja diambil dari gereja pertama yang mereka bangun dan
67
sekaligus menjadi nama kampung mereka, menyiratkan karakter religius. Di Hatu
Gereja tempat mereka bercocok tanam dan melakukan kegiatan sehari-hari sekaligus
bersembunyi dari pemerintahan Portugis yang menyiratkan nilai pendidikan karakter
integritas yaitu mandiri dan kerja keras .
Pesan moral dari kutipan (14) yaitu hidup tidak harus selalu bergantung pada
orang lain. Ini merupakan pesan moral kategori manusia dengan diri sendiri.
(b) Sikap Bertanggung Jawab
14. “Perang sudah terlanjur terjadi. Saya takut besok-besok perang akan selalu
muncul antara kalian dan masyarakat Kiandarat. Jika kalian mau, kalian bisa
tinggal di sebelah sungai Marake’e.” (ASWM:2) [KD: 4]
Berdasarkan konteks pada kutipan (15) jelas bahwa Upu Latu Marawakan
memberikan pilihan kepada masyarakat Kariu untuk tetap tinggal di Kiandarat atau
tinggal di tempat yang baru agar perang bisa dihindari. Kepedulian seorang pemimpin
dan bertanggung jawab pada warganya, Kepedulian Upu Latu Marawakan tersebut
menggambarkan nilai karakter integritas sehingga mengandung pesan moral kepedulian
pemimpin kepada rakyatnya. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia
dengan diri sendiri.
15. Nenek jangan khawatir. Saya akan berusaha untuk kembali secepatnya. (AM:3)
[KD 13]
Pada kutipan (16) menggambarkan tokoh Talip Rahman yang tidak tahu menahu
tentang bunga pandang sarawe-rawe dan tidak tahu harus mencari kemana tetap
menjalankan perintah raja dengan sepenuh hati sebagai wujud tanggung jawab.
Walaupun begitu, Talip Rahman mengetahui jika neneknya sangat mengkhawatirkan
dirinya dan berusaha menenangkan neneknya. Hal ini dilakukan Talip karena rasa
peduli sosial yang dimiliknya.
68
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah berani berbuat, harus berani
mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut. Pesan moral tersebut termasuk kategori
hubungan manusia dengan diri sendiri.
16. “Kamu bisa tinggal di kampung ini, tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa
membunuh naga yang biasa datang di kampung ini. (ARNA:3) [KD: 21]
Berdasarkan konteks pada kutipan (17) Menggambarkan bahwa raja Patawael
selalu memikirkan nasib rakyatnya sehingga raja melakukan penawaran kepada Nakal
untuk tinggal di kampung Patawael tapi harus bisa memenuhi persyaratan yang diminta.
Sikap raja tersebut tersirat nilai karakter nasionalis, raja melakukan hal tersebut karena
ikut merasakan atas penderitaan yang dirasakan rakyatnya.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah membantu orang lain tidak boleh
mengharapkan imbalan apapun. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan
manusia dengan diri sendiri.
17. Karena sudah lama di Kayangan, Bulan Talip Rahman meminta izin menjenguk
neneknya. (AM:6) [KD 18]
Pada kutipan (18), Talip meminta izin kepada ayah dan ibu mertuanya untuk
menjenguk neneknya yang sudah setahun ditinggalkannya sendiri. Tindakan Talip
merupakan wujud dari nilai karakter integritaas, dimana rasa tanggung jawab terhadap
nenek yang sudah lama dia tinggalkan sendiri. Walaupun hidup Talip sudah
berkecukupan tapi dia tidak melupakan siapa dirinya dan merasa perduli untuk
membahagiakan neneknya.
Pesan moral yang dapat dipetik dari kutipan (18) adalah tidak perduli seberapa
sukses seorang anak, dia memiliki hutang kepada orang tuanya untuk membalas budi
baik orang tua dan merawat mereka di masa senja mereka. Pesan moral tersebut
termasuk kategori hubungan manusia dengan manusia dan dengan diri sendiri.
69
18. Setelah mendapatkan jawaban seperti bunga sebelumnya, Talip beristirahat
sebentar untuk makan malam, dia kemudian tidur karena besok pagi dia harus
melanjutkan perjalanannya kembali. Besok pagi, dia melanjutkan perjalanan dan
bertemu dengan bunga manuru. Setelah bertanya, bunga manuru meminta Talip
Rahman untuk menemui burung merpati hutan. Setelah itu dia istirahat sebentar
dan melanjutkan perjalanan lagi. Dia terus berjalan naik gunung, menuruni
lembah, berjalan lagi barulah dia bertemu dengan burung merpati hutan. (AM:4)
[14]
Kutipan (19) menggambarkan perjalanan Talip yang berliku dan melelahkan
untuk mencari bunga pandang sarawe-rawe. Talip yang tidak memiliki petunjuk
apapun tentang bunga tersebut terus saja berjalan dan bertanya kepada bunga-bunga
yang ditemuinya hingga bertemu burung merpati hutan. Kutipan (19) merupakan
cerminan nilai karakter integritas, yaitu rasa tanggung jawab menjalankan perintah sang
raja, hal ini juga berarti bahwa Talip dapat dipercaya karena menjalankan perintah raja
dengan sepenih hati tanpa berbohong atau memanipulasi perjalanannya untuk mencari
bunga pandang sarawe sarawe.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah jadilah orang yang bertanggung jawab
dan dapat dipercaya kata-katanya. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan
manusia dengan diri sendiri
(c) Sikap/Perilaku Pengendalian Diri
19. Talip merasa mereka semakin terbang tinggi ke langit tapi dia tetap
memejamkan matanya. (AM:4) [KD 17]
Kutipan (20) menggambarkan bahwa Talip sudah sangat penasaran kemana
burung merpati hutan akan membawanya pergi untuk menemui bunga pandang sarawe-
rawe sehingga dikategorikan mengandung nilai pendidikan rasa ingin tahu. Tapi rasa
70
penasaran itu ditepis jauh-jauh dengan tetap memegang janjinya kepada burung merpati
hutan untuk tidak membuka matanya sebelum ada perintah dari burung merpati hutan.
Reaksi Talip Rahman ini dikategorikan mengandung nilai pendidikan karakter integritas
Pesan moral yang dapat dipetik dari kutipan (20) adalah harus bisa menempati
janji yang sudah dibuat apalagi janji dengan orang yang sudah menolong kita. Pesan
moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan diri sendiri.
20. “Maaf bapak Raja tapi bapak Raja perintahkan bawa bunga pandang sarawe-
rawe tapi saya tidak mendapatkannya bukan berarti bapak Raja bisa menikahi
istriku.” (AM:9) [KD 7]
Kata maaf pada kutipan (21) merujuk pada konflik secara verbal di antara tokoh
tetapi Talip tetap mengendalikan emosi kekesalan dengan cara meminta maaf. Sikap
Talip menggambarkan karakter nasionalisme.
Pesan moral yang tedapat pada kutipan (21) mengucapkan maaf tidak akan
mengurangi harga diri seseorang, bahkan ucapan maaf menyiratkan orang tersebut
memiliki hati yang lapang. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia
dengan diri sendiri.
(d) Memiliki Kesadaran Diri
21. “Maaf bu, tapi sukun ini jatuh di luar pekarangan rumah ibu. Izinkan saya
mengambilnya bu, lagipula sukunnya agak busuk.” (AM:2) [KD 20]
Berdasarkan konteks pada kutipan (22) kata maaf merujuk pada ungkapan
permintaan izin Talip kepada seorang ibu yang memiliki sukun untuk mengambil sukun
yang sudah jatuh di depan pekarangan rumah ibu itu. Reaksi tokoh Talip Rahman
menggambarkan bahwa dia adalah orang yang penyabar dan rendah hati,
menggambarkan karakter relegius dalam arti cinta damai. Walaupun sukun yang hendak
dia ambil sudah jatuh di depan pekarangan warga dan sudah busuk dia tetap saja merasa
harus meminta maaf karena ibu itu adalah pemilik pohon sukun, menyiratkan
71
menghargai prestasi. Pesan moral yang tedapat pada kutipan (22) adalah meminta maaf
atas kesalahan yang telah diperbuat menyimbolkan seseorang yang berjiwa besar. Pesan
moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan diri sendiri.
22. “Maafkan saya nek. Saya tidak tahu jika sungai ini dijaga oleh nenek.”
(ARNA:4) [KD: 25]
Pada kutipan (23) menggambarkan Akal mengakui kesalahannya tokoh Akal
dengan Nenek Penjaga Sungai. Sikap Akal yang berhati lapang dan meminta maaf atas
salah yang sudah dia perbuat mencerminkan karakter relegius yang dimiliki olehnya dan
bertanggung jawab atas kesalahan yang dia perbuat meskipun dia tidak tahu bahwa
sungai tersebut ada penjaganya. Pesan moral pada kutipan tersebut adalah tidak ada
salahnya meminta maaf terlebih dahulu atas kesalahan yang sudah kita perbuat. Pesan
moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan diri sendiri.
(e) Berperilaku Jujur
23. “Yang mulia saya hanya menggambar saja, saya tidak tahu kalau itu adalah
bunga pandang sarawe-rawe.” (AM:3) [KD 12]
Pada kutipan (24) raja memanggil Talip Rahman untuk menanyakan perihal
bunga pandang sarawe-rawe yang digambar olehnya menandakan raja memiliki rasa
ingin tahu. Kalimat yang mulia saya hanya menggambar saja, saya tidak tahu kalau itu
adalah bunga pandang sarawe-rawe menyiratkan karakter integritas atau kejujuran
tokoh. Secara kronologis Talip Rahman hanya menuangkan apa yang ada dalam
kepalanyaa dalam bentuk gambar, dan ternyata gambar itu menurut sang raja adalah
gambar bunga pandang sarawe-rawe yang sangat sulit untuk ditemukan.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah sebaiknya memikirkan konsekuensi
atau akibat yang akan ditimbulkan sebelum melakukan sesuatu. Pesan moral tersebut
termasuk kategori hubungan manusia dengan diri sendiri.
(f) Berani Menghadapi Tantangan
72
24. “Saya tidak bisa mengatakan jika saya bisa atau tidak bapak raja.Tetapi saya
lahir membawa busur dan anak panah emas, saya akan bersiap lebih awal untuk
membunuh naga itu.” (ARNA:3) [KD: 22]
Sesuai konteks pada kutipan (25) menggambarkan bahwa Nakal bersedia
membunuh naga tersebut menggunakan panah dan busur emas yang ia miliki sejak
lahir, tetapi meskipun dia memiliki senjata untuk melawan naga tersebut, dia tetap harus
menyusun strategi agar naga tersebut dapat dibunuh. Hal tersebut menggambarkan
bahwa Nakal memiliki karakter integritas., karena walaupun masih ragu dengan
kemampuannya, tapi Nakal bersedia membantu masyarakat Patawael untuk membunuh
seekor naga yang selalu memangsa masyarakat Patawael dengan disiplin dan tanggung
jawab yag dimiliki. Pesan moral pada kutipan (25) Harus selalu bersikap optimis. Pesan
moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan diri sendiri.
25. Pada saat yang ditunggu pun tiba, Nakal telah sembunyi di dalam masjid. Ketika
naga datang dan mengelilingi masjid dia langsung memanah tepat di kepala
naga, tapi anak panahnya tidak tertancap melainkan terus bergerak langsung ke
Kiandarat dan jatuh di hadapan mama nyora yang sedang berada di dalam dapur.
(ARNA:3) [KD: 23]
Berdasarkan pada kutipan (26) naga melakukan ritual yang sama setiap tahun,
yaitu mengelilingi masjid sebanyak tujuh kali sebelum memangsa masyarakat.
kebiasaan naga tersebut dimanfaatkan oleh Nakal membidik anak panah tepat di kepala
naga agar naga tersebut langsung tewas. Ide si Nakal menandakan nilai pendidikan
karakter integritas dimana rasa tanggung jawab dan berani yang dimiliki olehnya
sehingga berhasil membunuh naga tersebut. Pesan moral dalam kutipan (26) adalah
selain strategis yang matang, senjata yang bagus, tetapi disiplin dalam berlatih juga
73
sangat dibutuhkan dalam sebuah pertarungan. Pesan moral tersebut termasuk kategori
hubungan manusia dengan diri sendiri.
(g) Memegang Teguh Amanah
26. Pada zaman Portugis, kira-kira tahun 1927. Masa pemerintahan Upu Latu
Marawakan. Upu Latu Marawakan merupakan raja yang arif dan bijak.
(ASWM: 1) [KD: 1]
Berdasarkan konteks kalimat pada kutipan (27) Upu Latu Marawakan adalah
raja yang memerintah di Negeri Kiandarat, selama masa kepemimpinannya Upu Latu
Marawakan dikenal sebagai raja yang arif dan bijaksana. Hal ini terbukti dengan
karakter Upu Latu Marawakan yang ramah, tidak membedakan suku atau agama
rakyatnya dan selalu mendengarkan keluh kesah dari rakyatnya. Kepemimpinan adalah
amanah dari Tuhan dan rakyat sehingga amanah tersebut harus dijaga dengan menjadi
pemimpin yang baik. Hal itu menggambarkan nilai pendidikan karakter nasionalis.
Berdasarkan kutipan (27) pesan moral yang terkandung dalam kutipan tersebut
adalah pemimpin yang baik adalah pemimpin yang senantiasa berlaku adil dan
bijaksana kepada rakyatnya tanpa memandang status sosial atau suku maupun
keyakinan mereka. Pesan moral tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan
manusia dengan diri sendiri.
27. Upu Latu Marawakan kemudian pergi untuk bertemu dengan kepala suku Kariu
yang bernama Buase dan Makelong. Upu Latu Marawakan meminta kedua
kapitang itu agar berbicara kepada warganya untuk tinggal di Kiandarat tapi
mereka menolak. (ASWM:1) [KD: 3]
Berdasarkan kutipan (28) Upu Latu Marawakan meminta kepala suku Kariu agar
bisa membujuk rakyatnya untuk tinggal di Negeri Kiandarat, tapi kedua kapitang itu
menolak, karena mereka tidak mempercayai siapapun untuk melindungi rakyatnya
sehingga lebih memilih tinggal di hutan belantara. Sikap tegas Kapitang
74
BuasedanKapitang Makelong yang menolak ajakan Upu Latu Marawakan
menggambarkan karakter mandiri.
Pesan moral kutipan (28) adalah sikap tegas sangatlah penting tertanam dalam
diri seorang pemimpin sehingga tidak mudah dipengaruhi dari pihak manapun. Pesan
moral tersebut termasuk kategori pesanmoral hubungan manusia dengan diri sendiri.
28. “Assalamualaikum bapak raja, ada kabar burung bahwa anak kasiang telah
kembali membawa istri yang sangat cantik. Bukan itu saja, dia sekarang
menjadi orang yang kaya raya.” (AM:8) [KD 19]
Sesuai konteksnya kutipan (29) menggambarkan marinyo bertemu dengan raja
untuk menyampaikan berita yang didengar bahwa Talip Rahman telah kembali setelah
sekian lama menghilang untuk menjalankan tugas yang diembankan oleh sang raja
kepadanya. Hanya saja tanpa diduga Talip Rahman kembali dengan membawa serta istri
yang cantik dan dia tidak menjadi miskin lagi. Apa yang dilakukan oleh marinyo
sebagai bentuk pengabdiannya kepada sang raja. Hal ini menggambarkan karakter
nasionalisme yang dimiliki marinyo dalam menjalankan tugasnya sebagai orang
kepercayaan sang raja sebagai pemimpin tertinggi dalam pemerintahan.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah sebagai orang yang dipercaya dan
diembankan tugas kepadanya, maka harus menjadi orang yang amanah dan kepercayaan
orang lain. hal ini merupakan pesan moral kategori pesan moral hubungan manusia
dengan diri sendiri.
(h) Sikap/Perilaku Mempunyai Banyak Ide/ Gagasan/Pemikiran Mengenai Suatu
Masalah
29. Upu Latu Marawakan meminta kedua kapitang itu agar berbicara kepada
warganya untuk tinggal di Kiandarat tapi mereka menolak. Upu Latu
Marawakan akhirnya memberikan buku tambaga kepada mereka. Buku tambaga
75
adalah buku yang diwariskan kepada raja-raja Negeri Kiandarat karena berisi
sejarah dan batas-batas wilayah. (ASWM: 1) [KD: 5]
Berdasarkan kutipan (30) tampak bahwa Upu Latu Marawakan adalah pemimpin
yang cerdas, beliau tidak kehabisan ide untuk membujuk kedua kapitang dari Negeri
Kariu dengan menyerahkan buku tambaga kepada mereka. Upu Latu Marawakan
seakan tahu bahwa kapitang Makelong dan Buase tidak bisa menolak tawaran Upu Latu
Marawakan karena Buku tambaga merupakan bukti hak kepemilikan atas tanah-tanah di
Kariu dan merupakan harta paling berharga yang dimiliki oleh Negeri Kiandarat, jika
buku tersebut berada di tangan pemimpin Negeri Kariu maka semua tanah di Kiandarat
akan menjadi hak kepemilikan mereka tetapi diserahkan oleh Upu Latu Marawakan
untuk membujuk masyarakat Kariu. Hal ini menandakan bahwa Upu Latu Marawakan
merupakan orang yang tidak bisa diremehkan dan mengandung nilai pendidikan
karakter nasionalis.
Pesan moral pada kutipan (30) adalah dalam keadaan genting, strategi yang baik
dan kreativitas seorang pemimpin dapat memberikan jalan keluar dalam mengatasi
suatu masalah. Hal ini mengandung pesan moral kategori manusia dengan diri sendiri.
30. “Bangunkan dia, nek! Ini perintah, karena dia menggambar bunga pandang
sarawe-rawe di tembok kerajaan.” (AM: 3) [10]
Kutipan (31) menggambarkan karakter integritas, rasa tanggung jawab yang
dimiliki oleh marinyo.Marinyo melaksanakan perintah raja untuk membawa Talip
dihadapan raja, tetapi pemuda itu sudah tidur ketika marinyo sampai di sana. Dengan
tegas marinyo meminta nenek Talip untuk membangunkan Talip dan ikut bersamanya
ke istana. Sikap marinyo tersebut tersirat karakter tanggung jawab karena harus
melaksanakan tugas yang diamanahkan untuknya dengan baik. Setia dan penuh
tanggung jawab dalam melaksanakan tugas yang diembankan kepada kita. Pesan moral
tersebut termasuk kategori pean moral hubungan manusia dengan diri sendiri.
76
31. “Assalamualaikum bunga melati e, apakah kau melihat atau mendengar tentang
bunga pandang sarawe-rawe? (AM:4) [KD 11] paragraf: 36
Assalamualaikum burung merpati hutan e, apakah kau melihat atau
mendengarbunga pandang sarawe-rawe? (AM:4) paragraf 42
“Assalamualaikum nenek nenek penjaga sungai,apakah kau dengar atau melihat
bunga pandang sarawe-rawe? (AM:4) paragraf 56
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Talip yang diperintahkan untuk
mencari bunga pandang sarawe-rawe tidak pernah mengetahui informasi apapun
mengenai bunga tersebut sebelumnya. Berdasarkan konteks pada kutipan (32) paragraf
36, ketika Talip mengawali perjalanannya dia bertanya pada bunga melati terlebih
dahulu karena jika berasal dari jenis tumbuhan yang sama bunga melati akan
mengetahui keberadaan bunga pandang sarawe-rawe. Ternyata bunga melati tidak tahu
keberadaan bunga pandang sarawe-rawe. Setelah itu Talip bertanya kepada bunga
cempaka, tetapi mendapatkan jawaban yang sama seperti bunga melati. Ketika Talip
bertanya kepada bunga manuru, dia diarahkan untuk mencari burung merpati hutan.
Kemudian burung tersebut meminta Talip ketemu nenek penjaga sungai dan bertanya
sesuai kutipan (32) paragraf 56. Usaha yang dilakukan oleh Talip menggambarkan
karakter integritas yaitu tanggung jawab atas perintah raja.
Pesan moral pada kutipan (32) adalah bertanya akan sangat membantu jika kita
tidak mengetahui sesuatu dan memberi jalan keluar atas masalah yang kita hadapi. Ini
merupakan pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dan manusia
dengan lingkungan.
32. “Makanya kamu bawa stambar ini. Nanti kamu pukul stambar ini di pinggul
mereka. Mereka akan sakit dan tidak bisa menemui putri. Botol susu obat itu
kamu sembunyikan baik-baik. Ingat yah dari jauh kamu sudah harus
77
menunjukkan botol itu agar mereka merasa gembira dan tidak curiga.”
(ARNA:7) [KD: 27]
Berdasarkan konteks pada kutipan (33) pinggul ketujuh pemuda dari Antah
Barantah akan dipukul dengan menggunakan stambar untuk menghalangi mereka
mengejar Akal yang akan menyerahkan obat wae macan barnamuda baru baru. Jika
Akal memberikan obat kepada para pemuda tersebut maka peluangnya untuk menikah
dengan putri raja akan hilang. Sikap tersebut mencerminkan jika nenek penjaga sungai
mengajarkan Akal untuk bersikap tidak kesatria sehingga nilai pendidikan karakter
integritas yaitu jujur dan cinta damai dapat dipetik dengan tidak melakukan hal yang
sama dengan teks pada kutipan (33). Pesan moral pada kutipan tersebut adalah harus
jujur dan sportif dalam mengikuti sebuah kompetisi. Maju dan menang tanpa menyakiti
orang lain. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan diri
sendiri.
33. “Susu kambing itu kamu berikan pada tujuh pemuda itu sedangkan botol
satunya kamu bawakan untuk sembuhkan putri agar kamu bisa menikah
dengannya.” (ARNA:6) [KD: 26]
Kutipan (34) menggambarkan bahwa nenek penjaga sungai sangatlah bersahabat
atau komunikatif kepada si Akal, bahkan nenek penjaga sungai membantunya dengan
cara yang kreatif agar dapat memenangkan sayembara yang diadakan oleh raja Antah
Barantah dengan cara memberikan botol berisi susu kambing kepada tujuh pemuda
Antah Barantah, sedangkan botol yang mengandung obat untuk putri disembunyikan
oleh Akal. Hal ini dilakukan agar Akal bisa menikahi putri raja. meskipun begitu
pembaca tidak harus mengikuti cara seperti itu, karena nenek penjaga sungai mengajak
Nakal untuk bersikap tidak jujur.
78
Pesan moral yang terdapat pada kutipan (34) adalah tidak mengorbankan orang
lain untuk mendapatkan suatu pencapaian. Pesan moral tersebut termasuk kategori
pesan moral hubungan manusia dengan diri sendiri.
(i) Bersikap Tegas dalam Mengambil Keputusan dan Menyampaikan Kebenaran
34. “Gantung tempat perbekalanmu di ranting pohon itu, lalu naiklah ke
punggungku. Peluk erat-erat, dan pejamkan matamu. Jangan pernah buka
matamu, jika kamu buka matamu dan jatuh, itu kesalahanmu sendiri.” (AM: 4)
[16]
Kutipan (35) menggambarkan nilai karakter nasionalisme yang dimiliki oleh
burung merpati hutan sehingga menolong Talip, tetapi dengan syarat Talip harus tetap
memejamkan matanya agar rahasia perjalananan mereka tetap terjaga dan Talip tidak
bisa menunjukkan jalan kepada orang lain. Jika Talip berani melanggar janji maka
resikonya adalah jatuh menggambarkan karakter tegas. Pesan moral pada kutipan
tersebut adalah jangan melanggar janji yang telah disepakati, karena hanya akan
merugikan diri kita sendiri. hal ini termasuk pesan moral kategori hubungan manusia
dengan diri sendiri.
35. Anak raja Akal memilih jalan sebelah kanan menuju Wairi, karena sudah lama
berjalan dia merasa haus. Dia hendak mengambil air untuk minum tapi nenek
penjaga sungai memarahinya. (ARNA:4) [KD: 24]
Kutipan (36) menggambarkan setelah terpisah dengan saudaranya, Akal
menempuh perjalanan seorang diri hingga dia tiba di hutan Wairi. Akal yang sudah
sangat kehausan berniat mengambil air di sungai Wairi, tapi ternyata sungai tersebut
dijaga oleh seorang nenek. Nenek penjaga sungai memarahi Akal karena hendak
mengambil sesuatu tanpa meminta izin dari pemiliknya mencerminkan nilai karakter
integritas yaitu sikap disiplin yang memicu nenek tersebut memarahinya. Pesan moral
79
pada kutipan (36) adalah jangan mengambil sesuatu yang bukan hakmu. Pesan moral
tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan diri sendiri.
(j) Sikap/Perilaku Pantang Menyerah, Bersungguh-Sungguh Menggapai Kesuksesan
36. “Iya nek, saya pergi kesana kemari mencari sesuatu yang bisa dimakan tapi
tidak ada. Beruntung ada sukun yang jatuh di depan pekarangan rumah di ujung
kampung.” (AM:2) [KD 9]
Kutipan (37) Menggambarkan tokoh Talip Rahman adalah sosok yang pantang
menyerah, dia rela walaupun harus pergi berjam-jam untuk mendapatkan sesuatu yang
bisa ia dan neneknya makan. Jika dia belum mendapatkan sukun di depan pekarangan
rumah tetangga di ujung kampungnya, dia akan rela berjalan lebih lama lagi hingga
memperoleh makanan. Sikap Talip Rahman ini mengandung nilai karakter mandiri, dan
kerja keras.
Pesan moral dari kutipan tersebut adalah Tuhan telah menyiapkan rezeki
masing-masing kepada umatnya, tetapi manusia harus berusaha untuk memperoleh
rezeki tersebut. Kutipan (37) Pesan moral tersebut termasuk kategori pesan moral
hubungan manusia dengan diri sendiri.
37. Jika Talip Rahman ingin mengambil air untuk minum atau untuk keperluan
masak, maka ia akan menggunakan lekun. Terkadang, jika ia pergi mengambil
air di kali dan bertemu dengan orang yang mencuci beras atau yang mencuci
piring maka ia akan membuat kalomang untuk menaruh beras dan nasi bekas
yang jatuh ke kali.Walaupun mereka memarahinya tapi dia selalu bersabar.
(AM:2) [KD 6]
Pada konteks kutipan (38) merupakan kronologi dari keseharian Talip Rahman
yang miskin sehingga diperlakukan semena-mena oleh orang lain, tetapi dia selalu
berlapang dada dan tidak menyerah dalam keadaan seperti itu. Selain itu Talip selalu
80
memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan mereka. Hal ini
menandakan bahwa Talip Rahman memiliki karakter.
Pesan moral pada kutipan (38) adalah janganlah berputus asa menghadapi
cobaan hidup karena kesabaran adalah cara terbaik untuk mendapatkan sesuatu yang
lebih baik sehingga pesan moral tersebut dikategorikan pesan moral hubungan manusia
dengan diri sendiri.
(k) Sikap/Perilaku Antusias Mencari Jawaban, Perhatian pada Objek yang Diamati,
Menanyakan Setiap Pertanyaan yang Belum Jelas
38. Masih tidak ada jawaban dari burung merpati hutan, karena penasaran, Talip
lalu mendekati burung merpati hutan,ternyata burung tersebut sedang asyik
memakan galoba sehingga tidak memperdulikan pertanyaannya. (AM:3) [KD
15]
Pada kutipan (39) Talip mendekati burung merpati hutan untuk mengetahui apa
yang terjadi sehingga burung merpati hutan tidak memberikan respon walaupun Talip
menyapa burung tersebut beberapa kali merujuk pada rasa ingin tahu tokoh Talip. Pesan
moral pada kutipan tersebut adalah semua pertanyaan ada jawabannya, semua misteri
dapat disingkap, tugas manusia harusnya mencari akar dari permasalahan yang dihadapi
bukan hanya duduk diam menunggu jawaban. Pesan moral tersebut termasuk kategori
pesan morahubungan manusia dengan diri sendiri.
39. “Ayah, apakah ada manusia di hutan? Mana bisa kami mendapatkan jodoh di
hutan?” Nakal sedikitkeberatandengan perkataan ayahnya. (ARNA:2) Paragraf
11 [KD: 28]
Pada kutipan (40) merupakan reaksi tokoh akibat adanya konflik batin yang
terjadi dalam diri si Nakal. Menurutnya tidak masuk akal jika dia dan kakaknya si Akal
mencari jodoh mereka di hutan sehingga membuatnya merespon perkataan ayahnya
dengan cara bertanya. Reaksi tersebut mengandung nilai karakter rasa ingin tahu dan
81
kritis. Pesan moral pada kutipan tersebut adalah komunikasi yang baik dan saling
mendengarkan pendapat orang lain adalah kunci dalam meluruskan suatu masalah.
Terdapat tiga puluh dua data yang merupakan pesan moral kategori hubungan
manusia dengan diri sendiri yang terdapat pada tiga cerita rakyat masyarakat Maluku
yaitu yaitu legenda Asal Usul Waelo Matai(Tatakora), dongeng Anahunta Malalokon
dan dongeng Anak Raja Nakal dan Akal. Wujud pesan moral kategori hubungan
manusia dengan diri sendiri yaitu harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri
untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani agar dapat menjalani kehidupannya.
Pemenuhan kebutuhan jasmani dapat berupa kebutuhan sandang, pangan, papan, dan
kebutuhan lainnya sehingga terkait dengan karakter tanggung jawab yang mendominasi
sebagian besar data pesan moral hubungan manusia dengan diri sendiri. Selain karakter
relegius, nasionalis, gotong royong, integritas, dan mandiri juga terdapat pada beberapa
data yang merupakan nilai yang terkait dengan diri sendiri. Sedangkan kebutuhan
rohani, dapat berupa kebutuhan untuk memperoleh kedamaian, rasa cinta dan kasih
sayang, kebahagiaan, kesejahteraan dan sebagainya. Karakter-karakter tersebut
merupakan nilai yang terkait dengan diri sendiri tetapi juga terkait dengan nilai yang
terkait dengan orang lain dan terkait dengan Ketuhanan karena meskipun manusia
adalah makhluk individual, otonom, dan mandiri tetapi membutuhkan orang lain untuk
memenuhi kebutuhannya dan membutuhkan Tuhan agar kebutuhan rohaninya dapat
terpenuhi.
(3.) Pesan Moral Kategori Hubungan Manusia dengan Manusia Lain dalam
Lingkungan Sosial Termasuk dengan Alam
Dalam ajaran agama Islam, relasi atau hubungan manusia dengan manusia
disebut hablum minannas. Perwujudan hablum minannas dapat berupa pembinaan
silaturahim (Q.S An Nisa:1), beramar ma‟ruf nahi mungkar (Q.S. Ali Imran: 110) atau
memutuskan silaturahim (Q.S. Yusuf: 100) dan berbuat zalim terhadap sesama manusia.
82
Manusia juga memiliki relasi yang sangat erat dengan alam. Manusia harus
memanfaatkan alam dengan sebaik-baiknya (Q.S. Huud:6), karena kalau tidak, maka
alam itu akan menimbulkan kerusakan terhadap manusia itu sendiri. Data pesan moral
kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk
dengan alam ditemukan dalam cerita rakyat masyarakat Maluku, yaitu legenda Asal
Usul Waelo Matai (Tatakora), dongeng Anahunta Malalokon dan dongeng Anak Raja
Nakal dan Akal.
(a) Mempererat Hubungan dalam Keluarga
40. “Jangan khawatir soal itu Nek.” Sela istrinya sambil tersenyum. (AM:8) [KD
10]
Pada kutipan (41) menggambarkan ekspresi perhatian kepada nenek Talip untuk
menenangkannya dari rasa khawatir karena takut istri cucunya tidak bisa menyesuaikan
selera makan dengan mereka, karena Talip dan neneknya hanyalah orang miskin yang
tidak memiliki harta dan makanan yang lezat. Perhatian yang diberikan oleh istri Talip
tersebut menggambarkan bahwa putri memiliki karakter integritas.
Pesan moral pada kutipan (41) adalah jika dua orang yang sudah menikah, maka
keluarga suami atau istri akan menjadi kelurganya juga. Tidak ada alasan untuk tidak
menghormati dan menyayangi anggota keluarga suami atau istri tersebut. Hal ini
termasuk kategori hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan.
41. “Nakal e ini manua namanya putri Natana Gumala Sari.” Akal memperkenalkan
istrinya.(ARNA:8) [KD: 20]
42. “Kalau wa’a namanya puti Natana Saira” Nakal juga memperkenalkan istrinya
kepada Akal. (ARNA:8) [KD: 21]
Kutipan (42) dan (43) menggambarkan Akal dan Nakal saling memperkenalkan
istri mereka masing-masing dengan sapaan hormat. Sapaan manua di Negeri Kiandara
dilekatkan untuk menantu perempuan, jika dalam sebuah keluarga memiliki anak sulung
83
seorang laki-laki maka istri adik laki-lakinya dipanggil dengan sebutan manua.
Sedangkan sapaan wa’a dilekatkan pada saudara suami atau istri. Penggunaan tanda
manua dan wa’a berdasarkan konteks pada kutipan (42) dan (43) Akal dan Nakal yang
baru ketemu kembali setelah sekian lama berpisah memperkenalkan istri mereka
masing-masing. Hal ini mengandung nilai pendidikan karakter integritas.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah saling menghormati anggota keluarga
yang lebih tua dan menghargai anggota keluarga yang lebih muda. Pesan moral tersebut
termasuk kategori hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan.
(b) Sikap/Perilaku Melibatkan Orang Lain dalam Setiap Pengambilan Keputusan
43. “Karena jika sampai saya tua atau meninggal, siapa yang akan memerintah
negeri ini menggantikan saya.” (ARNA:1) [KD: 11]
Kutipan (44) menggambarkan kekhawatiran raja Negeri Kiandarat sehingga
beliau mengumpulkan rakyatnya untuk melakukan doa bersama agar raja dan mama
nyora dapat diberikan rahmat. Jika Allah mengabulkan doa rakyat Negeri Kandarat
maka kelak Anak itu yang akan menjadi pemimpin apabila raja sudah meninggal. Hal
tersebut mengandung nilai karakter relegius
Pesan moral pada kutipan (44) pentingnya generasi muda sebagai penerus
kepemimpinan dalam sebuah pemerintahan. Pesan moral tersebut termasuk kategori
pesan moral hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan.
44. Saat perang masih berkecamuk antara dua kampung ini, Upu Latu Marawakan
mengadakan pertemuan dengan orang-orang Kariu. (ASWM: 2) [KD: 5]
Kutipan (45) mencerminkan nilai karakter integritas, dan nasionalis. Upu Latu
Marawakan yang merupakan raja Negeri Kiandarat merasa bertanggung jawab kepada
masyarakat Kariu sehingga Upu Latu Marawakan melibatkan mereka untuk mencari
solusi yang tepat sebelum mengambil keputusan. Upu Latu Marawakan mengadakan
pertemuan dengan orang-orang Kariu mengandung nilai pendidikan demokratis yang
84
dimiliki oleh Upu Latu Marawakan. Tujuan Upu Latu Marawakan mengadakan
pertemuan tersebut untuk mencegah perang berkelanjutan di antara kedua negeri ini.
Hal tersebut mengandung nilai pendidikan cinta damai. Sehingga pesan moral pada
kutipan (45) Seorang pemimpin harus memiliki rasa tanggung kepada rakyatnya, karena
kelak kepemimpinannya itu akan dipertanggung jawabkan dihadapan Tuhan. Pesan
moral tersebut termasuk kategoripesan moral hubungan manusia dengan manusia lain
dalam lingkungan sosial termasuk dengan alam.
45. “Saya melakukan perjanjian dengan anak itu. Dia akan menikahi putri apabila
berhasil membunuh naga, apakah kalian setuju?”. Raja meminta persetujuan
rakyatnya. (ARNA:4) [KD: 14]
kutipan (46) menggambarkan musyawarah yang dilakukan oleh raja Patawael
untuk meminta pendapat rakyatnya mengenai sayembara yang diadakan oleh sang raja
dan dimenangkan oleh Nakal. Nakal berhasil membunuh naga dan raja telah berjanji
menikahkannya dengan putrinya. Tapi Nakal bukanlah warga kampung Patawael, jadi
raja merasa perlu meminta pendapat dan persetujuan dari rakyatnya. Sikap raja ini
menggambarkan karakter integritas.
Pesan moral pada kutipan (46) adalah adanya persamaan hak untuk
menyampaikan pendapat tanpa memandang status sosial. Pesan moral ini termasuk
kategori pesan moral hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan.
46. “Ayah... saya ingin meminta izin, saya akan membawa serta putri untuk
mengunjungi ibuku, sudah sangat lama saya meninggalkan kerajaan.”
(ARNA:4) [KD 18]
Kutipan (47) menggambarkan rasa hormat yang dimiliki kepada ayah mertuanya
membuat Akal merasa perlu meminta izin untuk menjenguk orang tuanya. hal itu
mengandung nilai karakter nasionalis. Selain itu dia juga akan membawa putri untuk
bertemu kedua orang tuanya, hal ini mengandung nilai karakter tanggung jawab, karena
85
setelah menikah seorang gadis tidak akan lagi menjadi tanggung jawab orang tuanya
melainkan tanggung jawab suami. Pesan moral pada kutipan tersebut adalah suami yang
baik akan melaksanakan tanggung jawabnya sebagaimana mestinya terhadap istri. Pesan
moral tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan mansia dengan manusia lain
dan lingkungannya.
(c) Mengambil Keputusan Secara Bersama Melalui Musyawarah dan Mufakat
47. Setiap masyarakat Negeri Kiandarat pergi ke hutan mereka selalu diganggu
oleh orang Kariu, sehingga banyak warga yang melaporkan kepada Upu Latu
Marawakan. Beliau membuat rapat negeri atau musamah dengan warga.
(ASWM:1) [KD: 1]
Berdasarkan konteks pada kutipan (48) masyarakat Negeri Kiandarat sudah
sangat resah dengan keberadaan suku Kariu yang tinggal di hutan dan selalu
mengganggu mereka. Keresahan itu pula yang menyebabkan masyarakat Kiandarat
melaporkan hal tersebut kepada raja mereka, yakni Upu Latu Marawakan. Menanggapi
keresahan rakyatnya Upu Latu Marawakan mengumpulkan rakyatnya dan mengadakan
pertemuan untuk mencari jalan keluar terhadap masalah yang ditimbulkan oleh
masyarakat Kariu. Sebagai seorang raja, Upu Latu Marawakan bisa saja bertindak
sesuai kemauannya tetapi Upu Latu Marawakan merasa perlu mengadakan musamah
dengan rakyatnya yang berarti bahwa Upu Latu Marawakan memiliki karakter
integritas.
Pesan moral dalam kutipan (48) adalah musyawarah sangat penting dilakukan
untuk mencari solusi yang tepat atas masalah yang menyangkut banyak orang. Pesan
moral tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan manusia lain
dan lingkungannya..
48. “Masyarakat aman daloi, saya mengumpulkan kalian di sini untuk meminta
persetujuan kalian. Saya akan menurunkan orang-orang Kariu untuk tinggal di
86
Kiandarat, agar mereka tidak mengganggu kalian dan tidak menjadi orang
gunung (hu’ur).” (ASWM:1) [KD: 2]
Upu Latu Marawakan meminta persetujuan dari masyarakat Kiandarat
menyiratkan nilai pendidikan nasionalisme Upu Latu Marawakan tidak serta merta
mengajak masyarakat Kariu untuk tinggal berdampingan dengan masyarakat Kiandarat
tapi terlebih dahulu meminta persetujuan rakyatnya menandakan bahwa upu Latu
Marawakan memiliki karakter nasionalisme. Sedangkan, Upu Latu Marawakan memilih
Kiandarat sebagai tempat tinggal warga Kariu dengan tujuan agar kedua warga ini bisa
hidup bersama-sama meskipun mereka berbeda agama mengandung nilai karakter
relegius.
Pesan moral pada kutipan (49) adalah pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang mau mendengarkan pendapat orang lain dan tidak merugikan pihak manapun
dalam mengambil keputusan. Hal ini termasuk nilai moral kategori hubungan manusia
dengan diri sendiri dan kategori hubungan manusia dengan manusia lain dan
lingkungannya..
(d) Perduli kepada Manusia Lain dan Alam
49. Setelah menerima buku tambaga, mereka setuju untuk tinggal di Kiandarat. Upu
Latu Marawakan sengaja menempatkan tempat tinggal mereka di antara
masyarakat Kiandarat, memberikan mereka tanah untuk membangun rumah,
dan bercocok tanam. (ASWM:1) [KD: 3]
Pada kutipan (50) Upu Latu Marawakan menempatkan masyarakat Kariu di
tengah-tengah masyarakat Kiandarat agar mereka bisa hidup saling berdampingan
meskipun dua kelompok masyarakat ini berbeda agama dan keyakinan. Hal ini
mengandung nilai pendidikan gotong royong. Selain itu, Upu Latu Marawakan
memberikan mereka tanah untuk membangun rumah dan membuka lahan untuk
87
bercocok tanam agar kesejahteraan mereka tetap terjamin walaupun sudah berbeda
tempat tinggal, yang menggambarkan nilai pendidikan tanggung jawab.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah hidup pada lingkungan yang sama bisa
membentuk rasa saling menghargai dan menghormati dengan sendirinya. Pesan moral
tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan manusia lain dan
lingkungannya.
50. “Nyong. Dari mana asalmu? Mengapa kamu singgah di kampung ini, kami
khawatir terhadap pendatang. Di kampung kami ini ada naga yang biasa datang
memangsa warga kampung, lebih baik kamu melanjutkan perjalanan saja.”
(ARNA:3) [KD: 12]
Berdasarkan konteks pada kutipan (51) warga khawatir kepada para tamu atau
musyafir yang singgah di kampung mereka karena setiap satu tahun sekali ada seekor
naga yang memangsa warga kampung Patawael. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk
perhatian yang menggambarkan karakter integritasy`.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah rasa perduli kepada sesama, meskipun
kepada orang yang tidak dikenal. Pesan moral tersebut termasuk kategori ppesan moral
hubungan manusia dan manusia dan lingkungan.
51. Setelah itu, nenek penjaga sungai Wairi mengajaknya makan bersama.
(ARNA:4) [KD: 15
Kutipan (52) mengandung nilai karakter nasionalisme karena nenek penjaga
sungai yang baru kenal dengan Akal dengan rasa kepeduliannya langsung mengajaknya
makan. Pada kutipan (52) nenek penjaga sungai merupakan sapaan yang melekat atau
diberikan kepada wanita yang sudah tua dan tugasnya tinggal dan menjaga sungai.
Menurut kepercayaan masyarakat Negeri Kiandarat jika setiap tempat, terutama sungai
selalu ada penunggu atau penjaganya. Baik yang kasat mata maupun tidak kasat mata,
sehingga manusia tidak bisa melakukan hal-hal buruk atau mengotori tempat tersebut.
88
Karena ada konsekuensi yang harus diterima jika hal itu dilakukan. Hal ini mengandung
nilai karakter peduli lingkungan.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah menolong seseorang yang sedang
mengalami kesusahan walaupun tidak saling mengenal. Pesan moral tersebut termasuk
kategori hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan manusia
dan lingkungan.
52. “Nenek, tadi ada tujuh pemuda datang menemui dan meminta saya mencari susu
wae macan barnamuda baru baru untuk menyembuhkan putri raja. Menurut
cerita, mereka sedang mengikuti sayembara tapi obat itu sangat susah
ditemukan. Raja sudah mendatangkan tabib tetapi putri tidak sembuh, banyak
pemuda dari negeri seberang bahkan sudah menyerah. Nenek bantulah saya
untuk mendapatkan obat tersebut karena saya sudah berjanji untuk membawa
obat itu besok pagi kepada mereka.” (ARNA:4) [16]
Kutipan (53) menggambarkan bahwa tujuh orang pemuda meminta bantuan
Akal untuk membantu mereka mencari obat untuk menyembuhkan putri raja yang
sedang sakit. Adanya karakter nasionalisme yaitu peduli membuat Akal mengiyakan
permintaan ketujuh pemuda tersebut. Meski dia tidak tahu persis apakah nenek penjaga
sungai bisa membantunya, tetapi dia tetap berfikir positif dan optimis jika nenek
penjaga sungai bisa menolongnya makanya dia meminta bantuan dari sang nenek. Pesan
moral yang terkandung dalam kutipan tersebut adalah selalu berprasangka baik dan
berfikir positif agar memperoleh jalan keluar yang tepat dan harus saling tolong
menolong Pesan moral tersebut termasuk pesan moral kategori hubungan manusia
dengan manusia lain dan lingkungan.
(e) Menjaga Kelestarian Lingkungan Sekitar dan Melindungi Kekayaan Alam yang
Terus Dieksploitasi
89
53. Karena dia khawatir lukisannya akan terhapus oleh air laut maka dia melukis
di tembok pagar rumahnya bapak Raja yang berhadapan dengan pantai.
(AM:2) [KD 7]
Pesan moral dari kutipan tersebut adalah banyak tempat bisa dijadikan media
untuk menuangkan kreativitas, dengan tidak merusak keindahan lingkungan sekitar.
Pesan moral tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan manusia
dan alam sekitar.
(f) Menciptakan Suasana yang Nyaman, Tentram dan Harmonis, Membiasakan
Perilaku Anti Kekerasan, dan Kekerabatan antarsesama yang Penuh Kasih Sayang
54. “Bulan Talip Rahman, keluarlah! Apa yang kamu cari sudah ketemu,” lalu,
Nenek Penjaga Sungai mengubah Talip seperti sedia kala agar bisa bertemu putri
dan mengembalikan selendang miliknya. (AM: 5) [12]
Pada kutipan (55) menggambarkan nilai karakter integritas yaitu jujur karena
ternyata putri bungsu adalah jelmaan dari bunga pandang sarawe-rawe yang selama ini
dicari oleh Talip. Nenek penjaga sungai menyuruh Talip untuk mengembalikan
selendang putri agar Talip bisa melihat bunga yang dia cari ternyata berwujud seorang
putri raja dari khayangan menyiratkan bentuk perhatian yang mengandung nilai karakter
nasionalis yaitu perduli sosial.
Pesan moral pada kutipan tersebut adalah sekecil apapun rasa perduli yang kita
berikan kepada orang lain akan sangat berharga di mata mereka. Hal ini termasuk
hubungan manusia dengan manusia lain dan lingkungan.
55. “Jika tidak ada darah di anak panah ini, mungkin anakmu sudah mati karena
musuh berhasil menyerangnya. Tapi ada darah, berarti dia berhasil memenangi
pertarungan. Lagipula hatiku tidak merasakan apa-apa, jadi jangan khawatir.”
(ARNA:4) [KD: 13]
90
Kutipan (56) manggambarkan raja memeriksa anak panah yang menyebabkan
mama nyora resah.Penyebab kegelisahan hati mama nyora, membuat raja mencari cara
untuk meyakinkan mama nyora dengan memeriksa anak panah yang jatuh dihadapan
mama nyora terlebih dahulu agar cukup mendapatkan bukti bahwa anak mereka baik-
baik saja. Hal ini berarti bahwa bapak raja memiliki rasa perduli kepada istrinya dan
mengandung nilai pendidikan nasionalis yaitu peduli sosial.
Pesan yang terdapat pada kutipan tersebut adalah orang tua, seburuk apapun
tabiat anaknya, mereka selalu khawatir dan mencemaskan anaknya. Hal Pesan moral
tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan manusia dan
lingkungan.
56. Setelah menempuh perjalanan, sampailah dia di padang rumput, ketika masih
agak jauh dia sudah memanggil dan menunjukkan botol susu pada mereka.
Melihat botol obat, ketujuh pemuda itu sangat gembira. (ARNA:7) [KD: 17]
Kutipan (57) menggambarkan reaksi tujuh pemuda yang melihat botol obat yang
dipegang oleh Akal sebagai luapan rasa senang karena Akal berhasil membawakan obat
susu wae macan barnamuda baru baru kepada mereka. Bagi ketujuh pemuda itu, obat
yang dibawa oleh Akal akan mengubah hidup mereka karena mereka bisa
menyembuhkan putri raja. Luapan rasa senang ketujuh pemuda tersebut sebagai bentuk
karakter gotong royong yaitu menghargai prestasi karena Akal sudah membawa obat
yang sudah lama mereka cari.
Pesan moral pada kutipan (57) yaitu sekecil apapun pertolongan yang kita
berikan kepada orang lain, akan sangat berharga bagi orang tersebut. Pesan moral
tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan manusia dan
lingkungan.
91
(g) Sikap/Perilaku Memberikan Penghargaan atas Karya yang Dihasilkan, Melindungi
dan Menjaga Hasil Jerih Payah Orang Lain, dan Memberikan Apresiasi Berupa
Hadiah, Sanjungan, dan Pujian
57. “Baiklah! Tapi lain kali jangan kesini lagi.”...“Terima kasih banyak bu.”
(AM:2) [KD 2]
Setelah turun dari punggung burung merpati hutan dan mengucapkan terima
kasih, Talip menuruni setapak untuk bertemu Nenek Penjaga Sungai. (AM:4)
[KD 11]
Berdasarkan konteksnya, kata terima kasih pada kutipan (58) [KD2] merujuk
pada ungkapan kesyukuran Talip kepada tetangganya yang setuju memberikan sukun
kepadanya. Sedangkan, pada kutipan (58) [KD11] ungkapan kesyukuran Talip kepada
burung merpati hutan yang membantunya mencari bunga pandang sarawe-rawe.
Ungkapan terima kasih pada kutipan (58) menyiratkan bahwa tokoh Talip sangat
menghargai prestasi orang-orang yang telah membantunya, dan dia merespon kebaikan
yang diterima dari orang lain dengan cara mengungkapkan rasa syukur tersebut kepada
mereka menggambarkan karakter gotong royong.
Pesan moral pada kutipan (58) adalah hutang budi sangat sulit untuk dibayar,
sehingga penting mengucapkan terima kasih sebagai bentuk rasa syukur kepada orang
yang sudah menolong kita. Pesan moral tersebut termasuk kategori pesan moral
hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan.
58. “Itu yang saya inginkan Nek. Terima kasih.” (ARNA:10) [KD: 19]
Terima kasih pada kutipan (59) merujuk pada ungkapan kesyukuran atas
bantuan nenek penjaga sungai karena sudah menolongnya dan akan segera bertemu
dengan kakaknya si Nakal. Ungkapan terima kasih menyiratkan nilai pendidikan
karakter gotong royong karena Akal sadar akan segala kebaikan yang diberikan oleh
nenek penjaga sungai dengan merespon kebaikan yang diterima dari nenek penjaga
92
sungai sebagai pujian. Pesan moral pada kutipan tersebut adalah senantiasa
mengucapkan terima kasih terhadap pertolongan orang lain, sekecil apapun pertolongan
itu. Pesan moral tersebut termasuk kategori pesan moral hubungan manusia dengan
manusia lain termauk dengan alam.
(h) Sikap/Perilaku Memelihara Hubungan Baik dengan Sesama Umat Beragama
59. Masyarakat Negeri Kariu hidup berdampingan dengan masyarakat Negeri
Kiandarat, saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing.
(ASWM:2) [KD: 4]
Sesuai dengan konteksnya, masyarakat Negeri Kariu dan masyarakat Negeri
Kiandarat berbeda keyakinan tetapi tiap pemeluk agama menghargai pemeluk agama
lainnya. Pengalaman pribadi masyarakat Negeri Kiandarat tidak lantas membuat mereka
memusuhi masyarakat Kariu, ini sebagai perwujudan nilai karakter nasionalisme.
Berdasarkan sejarah jauh sebelum terjadi penjajahan di Maluku, kedua agama yakni
salam dan sarani sudah mengangkat sumpah hidup orang basudara yang disebut dengan
pela-gandong atau adik kakak. Sumpah itu secara turun temurun dihormati dan
dilaksanakan oleh masyarakat Maluku tidak terkecuali masyarakat Kiandarat dan Kariu.
Sikap orang Kiandarat dan Kariu ini mengandung nilai pendidikan karakter toleransi
dan religius. Hal inimenggambarkan masyarakat yang bersahaja dan saling menghargai
keyakinan satu dengan yang lainnya.
Pesan moral kutipan (60) adalah toleransi dan kerukunan antar umat beragama.
Saling menghormati tanpa harus membeda-bedakan suku dan keyakinan orang lain. Hal
ini termasuk hubungan manusia dengan manusia lain dan lingkungannya.
Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan orang lain untuk dapat
menjalani hidupnya. Hubungan manusia dengan manusia tersebut terwujud dari
karakter yang hadir pada dua puluh satu pesan moral kategori hubungan manusia
dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk dengan alam. Karakter- karakter
93
tersebut yaitu relegius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong. Selain itu
karakter peduli lingkungan juga hadir sebagai bukti bahwa manusia memiliki relasi
yang sangat erat dengan alam. Kualitas kehidupan manusia sangat ditentukan oleh alam.
Jika alam terpelihara dengan baik maka manusia dapat menikmati manfaatnya.
Sebaliknya, jika alam tidak terpelihara dengan baik maka manusia akan mendapat
musibah.
b.) Nilai Karakter Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
1. Karakter Religius
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan fakta bahwa cerminan karakter religius
terdapat pada pesan moral kategori hubungan manusia dan Tuhan legenda Asal Usul
Waelo Matai (Tatakora), dongeng Anahunta Malalokon dan dongeng Anak Raja Nakal
dan Akal. Kedua belas data tersebut yaitu data (1), (2), (3), (4), hingga data (12). Selain
itu karakter religius juga hadir pada pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri
sendiri legenda Asal Usul Waelo Matai data (14) dan pesan moral kategori hubungan
manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk dengan alam legenda
Asal Usul Waelo Matai data (60).
(60) “Iya upu. Mereka terus mengganggu kami, perempuan maupun laki-laki. Ketika
kami hendak mengambil kayu bakar, ataupun memeriksa pohon cengkeh.
Semoga Allah menjaga kami.” (ASWM: 1) [KD 2]
Sikap/perilaku berserah diri (tawakkal) kepada Tuhanmerupakan sikap yang
dimiliki oleh masyarakat Kiandarat. Mereka menyerahkan keselamatan mereka kepada
Allah Swt. dari orang Kariu yang selalu menggagu mereka tiap kali mereka ke hutan,
menggambarkan karakter religius.
94
2. Karakter Integritas
Nilai kejujuran merupakan perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan dan
pekerjaan.
Terdapat empat fragmen yang memuat tentang nilai kejujuran, satu pada pesan
moral kategori hubungan manusia dan Tuhan dalam legenda Asal Usul Waelo Matai
dan tiga pada pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dongeng
Anahunta Malalokon dan dongeng Anak Raja Nakal dan Akal. Keempat data tersebut
yaitu data (8), (24), (33) dan (34). Dalam data (24), secara jelas tersurat di dalam teks
tentang pentingnya nilai kejujuran di dalam kehidupan.
(24) “Yang mulia saya hanya menggambar saja, saya tidak tahu kalau itu adalah
bunga pandang sarawe-rawe.” (AM:3) [KD 5]
Talip mengaku bahwa dia hanya menuangkan apa yang ada dalam kepalanyaa
ke dalam gambar, tetapi ternyata gambar tersebut adalah gambar bunga pandang
sarawe-rawe. Kejujuran adalah modal utama yang harus dimiliki sejak dini dan dimulai
dari hal-hal yang kecil dalam kehidupan sehari-hari. Seseorang akan dengan mudah
mendapatkan untuk dipercaya jika di dalam kehidupan sehari-hari selalu berkata dan
berbuat jujur.
Nilai disiplin merupakan tindakan yang menunjukan perilaku tertib dan patuh
pada berbagai ketentuan dan peraturan.
Terdapat dua data yang memuat tentang nilai karakter disiplin. Karakter disiplin
hadir pada pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dongeng Anak
Raja Nakal dan Akal. Kedua data tersebut yaitu data (25) dan (36). Data dalam cerita
dongeng Anak Raja Nakal dan Akal (36)
95
(36) Anak raja Akal memilih jalan sebelah kanan menuju Wairi, karena sudah
lama berjalan dia merasa haus. Dia hendak mengambil air untuk minum tapi
nenek penjaga sungai memarahinya. (ARNA:4) [KD: 7]
Anak seorang raja sekalipun tetepi jika membuat kesalahan atau melanggar
peraturan maka harus ditegur agar bisa menyadari kesalahan yaang diperbuat. Begitu
juga yang dilakukan nenek penjaga sungai Wairi yang tidak segan-segan memarahi
Nakal karena hendak mengambil air di sungai tetapi tidak meminta izin kepada nenek
penjaga.
Nilai kerja keras terdapat tiga data yang menggambarkan tentang karakter kerja
keras pada pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri legenda Asal
Usul Waelo Matai dan dongeng Anahunta Malalokon. Selain itu terdapat pula pada
pesan moral kategori hubungan manusia dengan Tuhan legenda Asal Usul Waelo Matai.
Ketiga data tersebut yaitu data (14), (37), dan (1).
(37) “Iya nek, saya pergi kesana kemari mencari sesuatu yang bisa dimakan tapi
tidak ada. Beruntung ada sukun yang jatuh di depan pekarangan rumah di ujung
kampung.” (AM:2) [KD 2]
Cerita Anahunta Malalokon menggambarkan perjuangan Talip yang bekerja
keras untuk menghidupi neneknya yang sudah renta. Kemiskinan tidak lantas
membuatnya menyerah pada hidup.
3. Karakter Mandiri
Karakter mandiri merupakan sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain. memungkinkan seseorang dapat bertindak bebas, melakukan sesuatu
atas dorongan sendiri untuk kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
96
Terdapat empat data yang menggambarkan karakter mandiri pada pesan moral
kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dongeng Asal Usul Waelo Matai data
(14) dan (28), dongeng Anahunta Malalokon data (13) dan (37).
(28) Upu Latu Marawakan kemudian pergi untuk bertemu dengan kepala suku Kariu
yang bernama Buase dan Makelong. Upu Latu Marawakan meminta kedua
kapitang itu agar berbicara kepada warganya untuk tinggal di Pelauw tapi
mereka menolak. (ASWM:1) [KD: 3]
Secara tersirat kedua kapitang menolak permintaan dari Upu Latu Marawakan
karena
Mereka tidak ingin tinggal di Kiandarat yang berarti bahwa mereka tidak mau berada
dalam bayang-bayang pemerintahan Upu Latu Marawakan yang merupakan raja Negeri
Kiandarat.
4. Karakter Nasionalis
Nilai cinta tanaha air merupakan cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukan kesetian, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa,
lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik bangsa.
Terdapat tiga data yang menggambarkan karakter rasa ingin tahu pada pesan
moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dongeng Anahunta Malalokon
data (29) dan dongeng Anak Raja Nakal dan Akal data (17).
(17) Kamu bisa tinggal di kampung ini, tetapi ada syaratnya. Kamu harus bisa
membunuh naga yang biasa datang di kampung ini. (ARNA:3) [KD: 5]
Sebagai seorang raja yang memegang kekuasaan tertinggi, membuat raja
melakukan segala cara untuk menyelamatkan tanah airnya yang sedang dalam bahaya
karena seekor naga yang memangsa rakyatnya. Raja akhirnya membuat sayembara, dan
mengizinkan orang yang tidak dikenalnya untuk mengikuti sayembara tersebut
97
meskipun akhirnya putri satu-satunya harus menikah dengan orang tersebut, dengan
syarat tanah airnya terbebas dari ancaman.
Nilai cinta damai merupakan sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan
orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya.
Terdapat lima data yang menggambarkan karakter cinta damai pada pesan moral
kategori hubungan manusia dengan diri sendiri dongeng Anahunta Malalokon data (21),
(22), dan (38), legenda Asal Usul Waelo Matai data (15) dan (23), dongeng Anak Raja
Nakal dan Akal data(33). Satu data pesan moral kategori hubungan manusia dan Tuhan
legenda Asal Usul Waelo Matai data (7), dan dua pesan moral kategori hubungan
manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk dengan alam legenda
Asal Usul Waelo Matai data (45) dan (60). Data (60) menggambarkan sikap untuk
senantiasa memelihara hubungan baik dengan orang lain terutama umat beragama.
(60) Masyarakat Negeri Kariu hidup berdampingan dengan masyarakat Negeri
Kiandarat, saling menghargai agama dan keyakinan masing-masing.
(ASWM:2) [KD: 5]
Perbedaan tidak menjadikan orang saling bermusuhan. Di Maluku sendiri
karakter cinta damai sudah terjalin sejak ratusan tahun lamanya melalui pengangkatan
sumpah sudara salam sarane. Istilah potong di kuku rasa di daging menjadi motto
bersama orang Maluku yang tertanam melalui cerita-cerita yang disampaikan sejak usia
dini dan tumbuh bersama cerita tersebut. hal ini yang menjadi dasar betapa rasa cinta
damai tertanam di dalam diri orang Maluku sehingga mereka selalu hidup saling
menghormati perbedaan.
98
2. Kontribusi Cerita Rakyat Masyarakat Maluku terhadap Penanaman
Karakter Siswa SMP Kelas VII
Cerita rakyat ditemukan pada jenjang SMP kelas VII sehingga penjabaran
Kompetensi Inti kurikulum 2013 tingkat SMP yang dibahas pada penelitian ini
dikontibusikan berkenaan dengan sikap yang dikembangkan di kelas VII yaitu sikap
spiritual (KI 1) yang terdiri dari sikap menghayati dan mengamalkan ajaran agama yang
dianut dan sikap sosial (KI 2) dalam cerita rakyat masyarakat Maluku sebagai salah satu
sastra daerah yang masih berkembang di dalam masyarakat dan memiliki nilai-nilai
luhur yang dapat dijadikan panutan melalui pesan yang ingin disampaikan oleh
pembawa cerita sebagai pembentuk karakter sejak dini.
Nilai pendidikan karakter tokoh dalam cerita rakyat masyarakat Maluku yang
berkaitan dengan sikap spiritual (KI 1) dan sikap sosial (KI 2) pada kurikulum 2013
jenjang SMP kelas VII terdiri atas nilai pendidikan karakter religius, nilai pendidikan
karakter jujur, nilai pendidikan karakter toleransi, nilai pendidikan karakter disiplin,
nilai pendidikan karakter cinta tanah air, nilai pendidikan karakter
bersahabat/komunikatif tokoh, nilai pendidikan karakter cinta damai, nilai pendidikan
mandiri, nilai pendidikan peduli lingkungan, nilai pendidikan karakter peduli sosial,
nilai pendidikan karakter tanggung jawab dalam cerita rakyat masyarakat Maluku
memiliki orientasi yang sama dengan karakter yang dikembangkan dalam pengajaran
bahasa Indonesia kurikulum 2013 jenjang SMP kelas VII. Sikap spiritual (KI 1) dan
sikap sosial (KI 2) terdapat dalam pesan moral kategori hubungan manusia dengan
Tuhan cerita rakyat masyarakat Maluku dongeng Anak Raja Nakal dan Akal yang
diperakan oleh raja Negeri Kiandarat, mama nyora dan kedua putra mereka. Sikap
spiritual (KI 1) raja yang senantiasa mengajak rakyatnya berdoa kepada Allah Swt agar
bisa diberikan rahmat dan rezeki di dalam kehidupannya bisa ditiru oleh siswa. Sikap
sosial (KI 2) Nakal yang bertanggung jawab dan mau menolong orang lain. Sikap
99
spritual raja seperti yang terdapat pada kutipan (3) halaman 87 “Rakyatku saya membuat
pertemuan dengan kalian hari ini, saya ingin meminta kepada kalian untuk
memanjatkan doa kepada Allah Swt agar saya dan mama nyora diberi rahmat.
(ARNA:1) [KD: 1]
Berdasarkan konteks pada kutipan (10) menggambarkan bahwa raja adalah
seorang pemimpin yang memiliki karakter demokratis karena raja mengikut sertakan
semua rakyatnya untuk membantu mendoakannya. Dapat dilihat pada kutipan (3) juga
terkandung nilai pendidikan karakter religius, hal ini jelas terdapat dalam penggalan
kalimat memanjatkan doa kepada Allah Swt. Raja meminta rezeki berupa anak hanya
kepada Allah Swt, Tuhan Yang Maha memberi rezeki. Pesan moral pada kutipan (3)
sebagai manusia kita hanya bisa berdoa dan bertawakal kepada Allah Swt. Selanjutnya
Allah yang akan memutuskan. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan
manusia dengan Tuhan.
Sikap sosial (KI 2) Nakal yang bertanggung jawab dan mau menolong orang
lain, seperti yang terdapat pada kutipan (25) halaman 102 “Saya tidak bisa mengatakan
jika saya bisa atau tidak bapak raja. Tetapi saya lahir membawa busur dan anak panah
emas, saya akan bersiap lebih awal untuk membunuh naga itu.” (ARNA:3) [KD: 5]
Sesuai konteks pada kutipan (34) menggambarkan bahwa Nakal bersedia
membunuh naga tersebut menggunakan panah dan busur emas yang ia miliki sejak
lahir, tetapi meskipun dia memiliki senjata untuk melawan naga tersebut, dia tetap harus
menyusun strategi agar naga tersebut dapat dibunuh. Hal tersebut menggambarkan
bahwa Nakal memiliki karakter disiplin. Selain itu karakter tanggung jawab juga
tergambar dalam kutipan tersebut, karena walaupun masih ragu dengan kemampuannya,
tapi Nakal bersedia membantu masyarakat Patawael untuk membunuh seekor naga yang
selalu memangsa masyarakat Patawael. Pesan moral pada kutipan (34) Harus selalu
100
bersikap optimis. Pesan moral tersebut termasuk kategori hubungan manusia dengan
diri sendiri.
Pada (KI 1) sikap spiritual, terdapat nilai pendidikan karakter demokrasi dan
religius serta memiliki pesan moral hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan pada
(KI 2) sikap sosial terdapat nilai pendidikan karakter disiplin dan tanggung jawab, serta
memiliki pesan moral hubungan manusia dengan diri sendiri. Hal ini sesuai dengan
penjabaran Kompetensi Inti kurikulum 2013 tingkat SMP. Jadi cerita rakyat masyarakat
Maluku berkontribusi terhadap penanaman karakter siswa SMP kelas VII
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan no. 54 tahun 2013 tentang
Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, kompetensi dasar
bahasa Indonesia SMP kelas VII, VIII, dan IX. Kelas VII kompetensi dasar Aspek
pengetahuan dan keterampilan yang berkaitan dengan pembelajaran cerita rakyat
terdapat pada kompetensi dasar (KD) 3.11 mengidentifikasi informasi tentang
fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan didengar. Siswa dapat membaca atau
mendengarkan dongeng Anahunta Malalokon yang menjalankan perintah raja untuk
mencari bunga pandang sarawe rawe dan bertemu dengan burung merpati hutan.
Burung tersebut berbicara layaknya manusia dan menolong Talip Rahman; (KD) 3.12
menelaah struktur dan kebahasaan fabel/legenda daerah setempat yang dibaca dan
didengar. Siswa dapat menelaah struktur legenda Asal Usul Waelo Matai yang di
dalamnya terdapat orientasi atau pengenalan tokoh seperti Upu Latu Marawakan,
Makelong, serta warga negeri Kiandarat dan Kariu. Komplikasi atau konflik yang
terjadi antara kedua negeri dan resolusi berupa pemecahan masalah yang dilakukan oleh
Upu Latu Marawakan yang meminta warga Negeri Kariu untuk membuat pemukiman
baru di seberang sungai marake‟e agar menghindari perang antara dua negeri tersebut;
(KD) 4. 11 menceritakan kembali isi fabel/legenda daerah setempat. Siswa dapat
menceritakan kembali legenda Anahunta Malalokon dengan menambahkan karakter
101
yang bisa diteladani dari sikap Talip yang sabar, pemberani, dan kerja keras yang
dimilikinya hingga hidupnya yang miskin bisa berubah menjadi kaya raya tetapi tetap
rendah hati;dan (KD) 4.12 memerankan isi fabel/legenda daerah setempat yang dibaca
dan didengar. Siswa bisa diajak memerankan legenda Asal Usul Waelo Matai karena
berisi sejarah Negeri Kiandarat, melalui peran tersebut siswa bisa belajar sejarah dan
budaya orang Maluku yang menjunjung tinggi toleransi antar umat beragama.Pada
ruang lingkup materi mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk setiap jenjang SMP
khususnya kelas VII poin keenam membahas tentang cerita rakyat yang di dalamnya
berisi fabel dan legenda daerah setempat.
B. Pembahasan
Bagian ini membahas hasil penelitian yang dikonfirmasikan dengan teori serta
hasil penelitian terdahulu untuk mendapatkan rekomendasi.
1. Pesan Moral dan Nilai Karakter Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
a.) Pesan Moral Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
Pada awalnya cerita rakyat Maluku diciptakan untuk memenuhi kebutuhan
hidup masyarakat pemiliknya. Cerita-cerita yang ada memiliki latar belakang dan
budaya serta hasil lingkungan yang merupakan pengalaman masyarakat pemiliknya.
Cerita rakyat yang ada digunakan sebagai pembentuk watak manusia aslinya. Dahulu
cerita rakyat digunakan oleh orang-orang tua untuk membentuk watak anak cucunya
atau generasi muda agar menjadi manusia yang baik. Cerita rakyat juga digunakan
sebagai alat kontrol sosial, yakni digunakan untuk mendidik agar manusia hidup sesuai
norma yang berlaku dalam masyarakat. sesuai dengan hal itu Latupapua (2013: 1)
folklor seperti kapata dan cerita rakyat masyarakat Maluku memiliki kekuatan sebagai
penjaga norma dan pengesahan pranata adat dan budaya. Sebagai kekayaan budaya,
cerita rakyat harus dijaga, dipelihara dan dilestarikan. Hal ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Ranggi Ramadhani Ilminisa, dkk (2016) bahwa banyak nilai moral
102
yang dapat dijadikan pelajaran dan hal tersebut terdapat dalam folklor lisan yang
dimiliki oleh setiap masyarakat di wilayah tertentu. Kearifan lokal sebagai sumber
untuk menanamkan pendidikan karakter dapat jauh lebih memiliki manfaat. Hal tersebut
dibuktikan dengan adanya pengangkatan kearifan lokal sebagai penerapan pendidikan
karakter, secara tidak langsung juga turut membantu melestarikan folklor lisan yang
terdapat di wilayah-wilayah tertentu yang dijadikan lokasi pengambilan data.
Beberapa ahli menerangkan pentingnya pendidikan karakter seraya
menghubungkannya dengan konsep moral. Gunawan (2012:28) mengatakan bahwa
pendidikan karakter diyakini sebagai aspek penting dalam peningkatan kualitas Sumber
Daya Manusia (SDM) karena turut menentukan kemajuan suatu bangsa. Karakter
masyarakat yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak usia dini, karena usia dini
merupakan “emas” namun kritis bagi pembentukan karakter seseorang. Menurut
Lickona (2004:15) mengatakan bahwa karakter berkaitan dengan konsep moral (moral
knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior).
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung
oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan, untuk berbuat baik, dan melakukan
perbuatan kebaikan.
Menurut Nurgiantoro (2013: 232) kategori pesan moral terbagi menjadi tiga
bagian dilihat dari persoalan dalam kehidupan manusia. (a) kategori hubungan manusia
dengan Tuhan; (b) kategori hubungan manusia dengan diri sendiri; (c) kategori
hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan sosial termasuk dengan
alam. Pesan moral diperoleh melalui penafsiran cerita rakyat. Melalui sikap, perilaku,
dan karakter dari para tokoh yang ada dalam cerita merupakan pesan moral yang ingin
disampaikan pengarang, ataupun pembuat cerita baik secara tersurat atau secara tersirat.
Nilai-nilai pendidikan moral ini perlu digali dan ditanamkan kepada para pembaca,
terutama kepada generasi penerus bangsa.
103
Ragam kearifan lokal pada masyarakat Maluku sesungguhnya merupakan
manifestasi dari anjuran-anjuran untuk senantiasa mengedepankan persaudaraan,
perdamaian, toleransi dan kasih sayang serta nilai-nilai luhur yang telah dijaga dan
diwariskan oleh nenek moyang masyarakat Maluku.
b.) Nilai Karakter Cerita Rakyat Masyarakat Maluku
Nilai- nilai pendidikan karakter yang dikembangkan Kementerian Pendidikan
Nasional ada delapan belas nilai tersebut yaitu: religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja
keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah
air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli
lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab (Sulistyowati, 2012: 30-32).Dari delapan
belas karakter yang harus ditumbuhkan ke dalam diri siswa menurut Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, terdapat dua karakter yang tidak ditemukan di dalam
cerita rakyat masyarakat Maluku yakni karakter gemar membaca dan karakter semangat
kebangsaan. Karakter gemar membaca tidak muncul karena tema cerita rakyat tersebut
tidak berkaitan dengan dunia pendidikan seperti suasana belajar di kelas, kondisi
sekolah ataupun cita-cita seseorang yang mengharuskannya mengenyam bangku
pendidikan. Selain itu, karakter semangat kebangsaan juga tidak muncul karena tema
cerita tidak menyinggung masalah kepahlawanan, perebutan kemerdekaan atau
perjuangan mengharumkan nama bangsa. Kedua karakter tersebut luput di dalam pesan
moral dan makna yang dihadirkan dalam cerita rakyat masyarakat Maluku legenda Asal
Usul Waelo Matai(Tatakora), dongeng Anahunta Kasiang dan dongeng Anak Raja
Nakal dan Akal.
Selain rumusan pendidikan karakter yang dirumuskan Kemendikbud, terdapat
juga karakter lain yang ditemukan di dalam teks. Karakter tersebut yaitu karakter
tegassa (tegas) pande (cerdas), i howa manisa (dapat dipercaya), keisetia (setia) barane
(berani), linca (kritis) dan suka menolong (kei maii).
104
c.) Kontribusi Cerita Rakyat Masyarakat Maluku terhadap Penanaman
Karakter Siswa SMP Kelas VII
Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional No 20 tahun 2003 Pasal 1
butir 1 disebutkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan sesuatu suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, bangsa, dan negara. Oleh karena itu, hasil
penelitian ini dikontribusikan dalam pengajaran bahasa Indonesia khususnya teks cerita
rakyat. Hal ini dikaitkan dengan standar pengembangan kompetensi sikap pada
Kurikulum 2013 jenjang SMP kelas VII. Kompetensi sikap spiritual (KI 1) dan
kompetensi sikap sosial (KI 2) pada mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak dirumuskan,
tetapi merupakan hasil pem belajaran tidak langsung (indirect teaching) dari kompetensi
pengetahuan dan kompetensi keterampilan, sehingga perlu direncanakan
pengembangannya. kompetensi sikap spiritual dan sikap sosial dicapai melalui
pembelajaran tidak langsung (indirect teaching) yaitu keteladanan, pembiasaan, dan
budaya sekolah, dengan memperhatikan karakteristik mata pelajaran serta kebutuhan
dan kondisi siswa. Kompetensi pengetahuan dan kompetensi keterampilan dirinci lebih
lanjut dalam kompetensi dasar mata pelajaran. Penumbuhan dan pengembangan
kompetensi sikap dilakukan sepanjang proses pembelajaran berlangsung, dan dapat
digunakan sebagai pertimbangan guru dalam mengembangkan karakter siswa lebih
lanjut.
Berdasarkan hasil analisis data menunjukkan bahwa terdapat 60 pesan moral yang
mengandung tiga kategori pesan moral dalam cerita rakyat masyarakat Maluku dan 5
nilai pendidikan karakter yaitu nilai pendidikan karakter religius. nasionalis, , disiplin,
105
gotong royong, intgritas, mandiri dan 7 nilai pendidikan karakter yang tidak termasuk
dalam 18 nilai pendidikan karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional yaitu
nilai pendidikan tegassa (tegas), pande (cerdas), i howa manisa (dapat dipercaya), kei
setia (setia), suka menolong (kei maii), linca (kritis) dan barane (berani). Meski
dimikian, tentu ada hubungan antar karakter yang satu dengan karakter yang lain serta
adanya karakter yang memiliki kemiripan. Karakter-karakter yang memiliki sifat dasar
yang sama adalah karakter peduli sosial dengan karakter suka menolong. Kemudian ada
karakter dapat dipercaya yang memiliki karakter yang mirip dengan jujur. Beberapa
karakter di atas memiliki kemiripan meski tidak persis sama, misalnya, karakter dapat
dipercaya dengan jujur, memiliki komponen yang sama yaitu sama-sama memiliki
kesesuaian sikap antara perkataan dan perbuatan. Demikian juga dengan sikap peduli
sosial dengan suka menolong, keduanya memiliki karakteristik yang hampir sama.
Selain dua karakter tersebut, terdapat empat karakter yang luput dalam rumusan
Kemendikbud, karakter tersebut yaitu karakter cerdas, kritis, tegas, dan berani. Karakter
ini merupakan karakter yang saling berhubungan. Sekilas, karakter tegas dan berani
hampir serupa tetapi pada dasarnya berbeda. Karakter tegas lebih mengarah pada sikap
percaya diri untuk mengungkapkan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang
diinginkan dan yang tidak diinginkan secara jelas, nyata, dan pasti. Sedangkan berani
lebih mengarah pada rasa percaya diri dan kemantapan hati yang besar dalam
mengahadapi bahaya maupun kesulitan. Lalu ada juga karakter kritis yang tidak lekas
percaya dan memiliki cara berpikir yang kompleks dengan menggunakan analisis dan
proses evaluasi. Keempat karakter ini merupakan karakter yang saling berhubungan,
saling melengkapi satu sama lain. Seseorang yang cerdas, butuh sikap berani dan tegas
agar kecerdasannya dapat berguna, sementara itu, berani dan tegas dibutuhkan
kecerdasan agar sikap kritis tidak salah arah atau tidak tepat sasaran.
106
Cerita rakyat masyarakat Maluku mencerminkan karakter dan watak dari
masyarakat Maluku yang senang menolong sesama, berani, cerdas serta tegas. Hal ini
terbukti dengan adanya salah satu hukum adat yaitu sasi. Sasi merupakan adat khusus
yang berlaku di seluruh pulau di Provinsi Maluku, yang di dalamnya berisi peraturan
yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat tempat diadakan sasi karena berisi larangan
memanfaatkan sumber daya alam dalam waktu tertentu untuk memberi kesempatan bagi
flora dan fauna untuk memperbaharui dirinya memelihara kualitas dan memperbanyak
populasi sumber daya alam tersebut .Sasi bertujuan untuk menjaga kestabilan hidup
masyarakat, dan kelestarian alam. Kecerdasan orang Maluku terbukti dengan
menjadikan sasi sebagai penyeimbang kehidupan agar sumber daya alam di Maluku
tetap terjaga. Sementara itu karakter tegas terdapat dalam aturan aturan atau hukum adat
yang berlaku dan mengikat seluruh masyarakat Maluku yang melaksanakan sasi
tersebut karena memiliki sanksi terhadap yang melanggar dan sanksi tersebut berlaku
untuk siapa-pun sehingga karakter dapat dipercaya juga terdapat dari pelaksanaan sasi.
Keberanian juga direalisasikan orang Maluku dalam mengambil sikap yang tepat dan
bermanfaat untuk menyelamatkan alam dari sifat serakah manusia yang senang
melakukan eksploitasi terhadap alam. Selain sasi, Maluku juga memiliki kebiasaan
ataupun adat budaya yang mencerminkan watak dan karakter positif masyarakat Maluku
yang sudah tumbuh sejak ratusan tahun lalu, baik sikap spiritual maupun sikap sosial
yang bisa menjadi cerminan bagi orang lain.
Cerita rakyat masyarakat Maluku sebagai salah satu dari sastra lisan memiliki
nilai-nilai karakter yang sudah ada sejak lama bahkan sebelum pemerintah menetapkan
delapan belas nilai pendidikan karakter dan digunakan untuk membentuk karakter siswa
di sekolah. Hal ini mengandung arti bahwa cerita rakyat masyarakat Maluku
berkontribusi dalam pembentukan karakter siswa dan cocok dijadikan sebagai bahan
ajar. Cerita rakyat masyarakat Maluku memiliki unsur-unsur yang saling mendukung
107
cerita secara menyeluruh sebagai implikasi dalam membentuk karakter sehingga dapat
dijadikan sebagai bahan ajar karena selain dapat berkontribusi terhadap penanaman
karakter siswa, cerita rakyat masyarakat Maluku juga memiliki unsur budaya dan nilai-
nilai filosofi, yang harus tetap dijaga dan dilestarikan agar tidak punah terkikis zaman.
108
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kesimpulan pada penelitian ini adalah pesan moral yang terdapat pada cerita
rakyat masyarakat Maluku memiliki tiga kategori yakni pesan moral kategori hubungan
manusia dengan Tuhan, pesan moral kategori hubungan manusia dengan diri sendiri,
dan pesan moral kategori hubungan manusia dengan manusia lain dalam lingkungan
sosial termasuk dengan alam serta terdapat enam belas nilai pendidikan karakter dari
delapan nilai pendidikan karakter yang dikembangkan oleh Kementerian Pendidikan
Nasional dan tujuh nilai pendidikan karakter yang tidak termasuk dalam 18 nilai
pendidikan karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional. Selain itu, hasil
penelitian ini dikontribusikan dalam pengajaran bahasa Indonesia berupa bahan ajar
yang dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi guru bahasa Indonesia di sekolah
khususnya Sekolah Menengah Pertama (SMP) kelas VII. Hal ini dikaitkan dengan
standar penumbuhan dan pengembangan kompetensi sikap pada Kurikulum 2013
jenjang SMP kelas VII. Kompetensi sikap spiritual (KI 1) dan kompetensi sikap sosial
(KI 2). Terdapat pada kompetensi dasar (KD) 3.11;3.12 mengidentifikasi dan menelaah
struktur dan kebahasaan informasi tentang fabel/legenda daerah setempat yang dibaca
dan didengar; dan (KD) 4.11;4.12 menceritakan kembali dan memerankan isi
fabel/legenda daerah setempat.
B. Saran
Berdasarkan simpulan penelitian ini diajukan saran, khususnya kepada pembaca,
antara lain:
1. Bagi orang tua kiranya perlu menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi
setiap anak sejak dini karena melalui usaha pemahaman budaya dapat
109
ditumbuhkan sikap dan rasa bangga, percaya diri, dan rasa ikut memiliki pada
anak.
2. Bagi guru hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan ajar agar
dapat menumbuhkan kecintaan terhadap sastra daerah, budaya dan kearifan lokal
khususnya cerita rakyat, agar nilai-nilai luhur tetap terjaga dan tidak punah
termakan zaman modernisasi.
3. Bagi peneliti selanjutnya agar mengangkat budaya lokal seperti cerita rakyat
maupun nyanyian rakyat atau mitos-mitos yang masih berkembang dalam
masyarakat untuk diteliti agar bisa memberikan sumbangsih yang bermanfaat
bagi dunia sastra, sastra anak, dan pengajaran sastra.
4. Bentuk-bentuk moral buruk yang terdapat dalam cerita rakyat masyarakat
Maluku diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi pembaca agar tidak mencontoh
sikap, atau tabiat buruk tersebut. Akan tetapi harapan peneliti cerita rakyat
tersebut dapat menginspirasi pembaca atau peserta didik untuk senantiasa
melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi diri dan orang lain.
110
DAFTAR PUSTAKA
Alfan, Muhammad. 2013. Pengantar Nilai Filsafat. Bandung: Pustaka Setia.
Aminuddin. 2007. Pandai Memahami dan Menulis Cerita Pendek. Bandung : PT Pribui
Mekar.
Anshari. 2011. Representasi Nilai Kemanusiaan dalam Sinrilik SastraLisan Makassar :
Materi Pengayaan Pendidikan Karakter dalam Perspektif Budaya Lokal.
Makassar: P3I Press Makassar.
Alwasilah, A. Chaer, 2001. Languange, Culture, and Education : A Portrait of
Contemporary Indonesia. Bandung: Andir.
Alwi, Hasan, dkk. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III. Jakarta: Balai
Pustaka.
Alwis. 2011. Urgensi Pendidikan Moral dalam Menjadikan Peserta Didik yang
Berkarakter. Kerinci : PC. IMM.
Cika, I Wayan. 2012. “Pengungkapan Nilai-Nilai Luhur dalam Sastra Daerah”. Kongres
Internasional II Bahasa-Bahasa Sulawesi Selatan. Makassar: Hotel Sahid Jaya,
1-4 Oktober 2012.
3. Danandjaja, James. 2007. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain.
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
1_____________. 1991. Metode Penelitian Kualitatif dalam Penelitian Folklor
dalam Aminuddin (Ed) Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang
Bahasa dan Sastra. Malang:YA.
2 1997. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dll. Jakarta: Pustaka
Grafiti
Dola, Abdullah. 2007. Apresiasi Prosa Fiksi dan Drama. Makassar: Badan Penerbit
UNM.
Fang, Liaw Yock .1991. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid 1. Singapura:
Pustaka Nasional Pte. Ltd.
____________.1993. Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik. Jilid 2. Singapura: Pustaka
Nasional Pte. Ltd.
Filawati. 2016. “Representasi Nilai Pendidikan Karakter pada Novel Kinanthi Terlahir
Kembali karya Tasaro GK dalam Pengajaran Sastra dan Implikasinya bagi
Peserta Didik”. Tesis Tidak Diterbitkan. Makassar: PPS UNM.
111
Frondizi, Risieri. 2001. Pengantar Filsafat Nilai (Edisi terjemahan oleh Cuk Ananta
Wijaya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Garim, Idawati. 2016. “Keefektifan Penggunaan Ragangan untuk Meningkatkan
Kemampuan Menulis Teks Deskriptif yang Kontekstual Siswa SMP Negeri 13
Makassar”. Disertasi Tidak Diterbitkan. Makassar: PPS UNM.
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter (Konsep dan Implementasi). Bandung:
Alfabeta.
Hadiwardoyo, Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya.Yogyakarta: Kanisius.
Hakim, Zainuddin. 2011. Nilai Keteguhan dalam Sastra Daerah Makassar. Balai
Bahasa Makassar.
Haryanti, Yanthi. 2011. Urgensi dan Aplikasi Pendidikan Karakter Anak pada Usia
Dini. JSIT Indonesia.
Haryadi. 2011. Peran Sastra dalam Pembentukan Karakter Bangsa: Jurnal. Yogyakarta
Haviland, William A. 1993. Antropologi jilid 2. Alih bahasa : R.G. Seokadijo, Jakarta :
Erlangga.
Huberman, A. Michel & Miles, Mattew B. 2009. Manajemen Data danMetode Analisis.
Dalam Norman K. Kenzin &Yvnonna S. Lincoln (Eds.), Handbook of
Qualitative Research. Diterjemahkan oleh Dariyatno dkk. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar.
Hutomo, Suripan. 1991. Mutiara yang Terlupakan. Surabaya: Himpunan Sarjana
Kesusastraan Indonesia (HISKI).
Ilminisa, Ranggi Ramadhani, dkk. 2016. “Bentuk Karakter Anak melalui Dokumentasi
Folklor Lisan Kebudayaan Lokal”. Keguruan Bahasa Pascasarjana-Universitas
Negeri Malang. Download.portalgaruda.org. diakses 20 Juni 2018.
Indiarti, Wiwin. 2017. “Asal –Usul Watu Dodol: Nilai-Nilai Pembentukan Karakter
dalam Cerita Rakyat di Banyuwangi”. http://www.researchgate. Diunduh 10 Juni
2018.
Jabrohim. 2012. Metodogi Penulisan Sastra. Yogyakarta: Hinandita.
Juanda. 2010. Peranan Pendidikan Formal dalam Proses Pembudayaan. Lentera
Pendidikan, Jurnal Ilmu, Tarbiyah dan Keguruan, 1-15.
_______. 2012. Peran Sastra Anak dalam Pembiasaan Membaca Sejak Anak Usia
Dini Sebagai Pondasi Pembentukan Karakter Yang Beridentitas Nasional.
Konferensi Internasional Kesusastraan XXII UNY-HISKI, 2012. 104-112.
112
_______. 2016. Nilai Didaktis Cerita Fabel Buku Teks Bahasa Indonesia Smp/ Mts
Kurikulum 2013 dan Aplikasinya Dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik.
Prosiding Seminar Nasional, 730-747.
Kesuma, Dharma., Cepi, Triatna., & Johar, Permana. 2012. Pendidikan Karakter Kajian
Teori dan Praktik di Sekolah. Bandung : PT remaja Rosdakarya.
Koetjaraningrat. 1984. Kebudayaan. Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia.
Latupapua, F. 2013. Kapata, Sastra Lisan di Maluku Tengah. Yogyakarta: Madah.
Lickona, T. 1999. Character Education: Seven Crucial Issues. Action in Teacher
Education, 20(4), 77–84. https://doi.org/10.1080/01626620.1 999.10462937
_________2004. Pentingnya Pendidikan Berbasis Karakter dalam Pembentukan
generasi bangsa. Jakarta: Grasindo.
Mahayana, Maman. 2007. Ekstrisikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Marwilistya, Damasus Agung. 2010. Pembelajaran Sejarah Melalui Metode Pemberian
Tugas Pendokumentasian Cerita Rakyat (Studi Kasus Di Sma Pangudi Luhur
Giriwoyo). http://digilib.uns.ac.id. Diunduh 01 Juli 2018.
Moleong, Lexy J. 2012. Metode penelitian Kualitatif (edisi revisi) Bandung:
Rosdakarya.
Muhab, Sukro. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Pendidikan Terpadu. JSIT
Indonesia.
Muslim, Abu. 2013. “Artikulasi Religi Sajak-Sajak Basudara di Maluku”. Balai Litbang
Agama Makassar. Https://www.jurnalalqalam.or.id. Diakses 16 juni 2018.
Muslich, Masnur. 2011. Pendiidkan Karakter Menjawab Tantangan Kritis
Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara
Nata, Abudin. 2010. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT Rajagafindo Persada.
Noor, Rohinah M. 2011. Pendidikan Karakter Berbasis Sastra Solusi Pendidikan Moral
yang Efektif. Yogyakarta: Ar-Ruzz media.
Nurgiyantoro, Burhan. 2013. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
_________. 2005. Sastra Anak Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2002. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada
Univessity Press.
113
Rukmini, Dewi. 2009. “Cerita Rakyat Kabupaten Sragen (Suatu Kajian Struktural dan
Nilai Edukatif)”. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret
Surakarta. https://digilib.uns.ac.id. Diakses 20 Juli 2018.
Russel. Bertrand. 1993. Pendidikan dan Tatanan Sosial (Edisi terjemahan oleh A
Setiawan Abadi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Salahudin, Anas & Alkrienciehie, Irwanto. 2013. Pendidikan Karakter Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa. Bandung : Pustaka Setia..
Sulistyowati, Endah. 2012. Implementasi Kurikulum Pendidikan Karakter. Yogyakarta:
PT Citra Aji Prama.
Suharianto. (2005). Dasar-Dasar Teori Sastra. Surakarta: Widya Duta.
Suseno, Franz Magnis. 2002. 12 Tokoh Etika Abad ke20. Yogyakarta : Kanisius.
Sutarto. 2007. Struktur dan Nilai Edukatif Cerita Rakyat di Kabupaten Wonogiri.
Surakarta: Tesis PPS UNS, tidak dipublikasikan.
Sutrisno, S. Dkk.1997. Bahasa, Sastra, Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Suyitno. 1996. Apresiasi Sastra. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Tang, Muhammad Rapi. 2008. Mosaik Dasar Teori Sastra: Dalam Penampang
Objektif. Makassar: Badan Penerbit UNM.
___________. 2005. Teori Sastra yang Relevan. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Tarigan, Henry Guntur. 1995 (b). Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa
Teeuw, Andrea. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Tol, Roger dan Prudentia M.P.P.S. 1995. “Tradisi Lisan Nusantara”: Oral Traditions
from the Indonesian Archipelago, A Three-Directional Approach”, dalam Warta
Asosiasi Tradisi Lisan (ATL) (edisi pertama): I-01 Maret 1995.
Undang-undang No.20 Tahun 2013 Pasar 1 Butir 1 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1995. Teori Kesusastraan. Diterjemahkan oleh
Melalui Budianto. Jakarta: Gramedia.
Wibowo, Agus. 2013. Pendidikan karakter: Strategi Membangun Karakter Bangsa
Berperadaban. Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Wisadirana, Darsono. 2004. Sosiologi Pedesaan: Kajian Kultural dan Struktural
Masyarakat Pedesaan. Malang: UMM Press.
114