pertanggungjawaban pidana rumah sakit...berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas,...

214
A PERTANGGUNGJAWABAN PERTANGGUNGJAWABAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT Dr. Agus Surono, S.H., M.H.

Upload: others

Post on 09-Nov-2020

19 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

A

PERTANGGUNGJAWABAN PERTANGGUNGJAWABAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT

Dr. Agus Surono, S.H., M.H.

Page 2: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Page 3: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Page 4: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Page 5: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Page 6: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Page 7: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

i

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar ...................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Pengantar Tanggung Jawab Hukum Atas Tindakan Medis ..............................1

B. Pengantar Konsep Pertanggunjawaban Pidana Dalam Pemberian Terapi........4

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA UMUMNYA

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana ................................................................9

B. Ajaran/Doktrin Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana..........................12

C. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan.....................................17

D. Penyimpangan Asas Kesalahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana ............21

BAB III SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Perlunya Pengaturan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi ..........41

B. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana .....................54

C. Pengertian korporasi .......................................................................................63

D. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi .............................72

BAB IV TINDAK PIDANA KORPORASI DAN TAHAP-TAHAP

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Karakteristik Tindak Pidana Korporasi ..........................................................81

B. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi..........................................................92

C. Tahap-Tahap Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban

Pidana Korporasi.............................................................................................99

iii

Page 8: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

BAB V PENGGUNAAN TERAPI DENGAN ZAT RADIOAKTIF

DI RUMAH SAKIT

A. Konsep Rumah Sakit Sebagai Korporasi ......................................................115

B. Ketenagaan Yang Bekerja di Rumah Sakit...................................................127

C. Kontrak Medis Antara Rumah Sakit (Dokter) Dengan Pasien .....................133

D. Pemberian Terapi Dengan Zat Radioaktif di Rumah Sakit ..........................145

BAB VI PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT

A. Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan di Bidang Radioterapi ..................155

B. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit ...................................................170

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................201

iv

Page 9: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pengantar Tanggung Jawab Hukum Atas Tindakan Medis

Banyak peristiwa penting yang berhubungan dengan masalah medis,

khususnya yang berhubungan dengan pemberian terapi bagi penderita kanker.

Radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif disamping mempunyai kelebihan

juga terdapat kekurangan yang dapat merugikan pasien. Dalam pemberian terapi

seorang dokter dalam melaksanakan tugasnya hendaknya selalu berpedoman pada

standar profesi medis.

Fenomena yang berkembang akhir-akhir ini, ada kecenderungan seorang

tenaga medis kurang memperhatikan standar pelayanan dalam prosedur

pemberian terapi terhadap penderita penyakit kanker. Paradigma hubungan dokter

dengan pasien yang dahulu bersifat resultaat verbintenis, sekarang berubah

menjadi inspanning verbintenis yang mengandung pengertian bahwa seorang

dokter berupaya untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis dengan

upaya maksimal.

Penggunaan terapi dengan menggunakan zat radioaktif dapat

mengakibatkan dampak negatif bagi pasien akibat adanya kelalaian yang

dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga paramedis di bidang radioterapi. Adanya

malpraktek medis yang dapat diberikan sanksi pidana membutuhkan adanya unsur

culpa lata atau kelalaian berat dan adanya akibat yang fatal bagi pasien.

Hal itu sesuai dengan keputusan Hoge Raad tanggal 3- februari 1913 yang

menyatakan bahwa untuk Pasal 307 Wethoek van Strafrecht Belanda sama dengan

Pasal 359 KUHPidana Indonesia dibutuhkan pembuktian culpa lata dan bukan

culpa ringan.

Dengan semakin meningkatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi khususnya di bidang kedokteran sangat membantu seorang dokter

dalam upaya diagnosis dan terapi suatu penyakit, yang dalam hal ini penggunaan

terapi dengan menggunakan zat radioaktif. Meskipun demikian kemajuan

teknologi tersebut tidak menjamin bahwa tidak akan terjadi adanya malpraktek

Page 10: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

2

medis yang dilakukan oleh seorang dokter maupun tenaga paramedis di bidang

radioterapi, seperti pada kasus: Hoge Raad 14-april 1950. No.1951 (roengtenolog)

yang menyatakan:

"Seorang pasien wanita mempunyai pertumbuhan yang halus agak tebal di

wajahnya. Seorang dokter radiolog telah memakai radioterapi untuk

penyembuhannya, walaupun sebagai radiologis tahu atau seharusnya tahu

tentang terapi yang dipilihnya ini mengandung bahaya yang tidak seimbang

dengan penyakitnya. Seorang dokter harus mempertimbangkan antara terapi

yang dipilih dengan kepentingan pasien. Jika hal ini tidak dilakukan maka

dokter itu harus bertanggungjawab atas kerugian yang timbul sebagai

akibatnya. Arrest ini dikenal dengan nama roengtenarest".1

Rumah sakit pada awalnya dianggap tidak memiliki tanggung jawab hukum

karena dianggap sebagai badan hukum yang berfungsi sosial dengan segala

keistimewaannya. Namun saat ini di berbagai negara, para ahli mengatakan bahwa

rumah sakit sebagai suatu entity berdasarkan teori agency yaitu pasien

menganggap semua orang yang bekerja di rumah sakit adalah agen dari rumah

sakit, relience yaitu pasien melihat ke arab rumah sakit sebagai pemberi

pelayanan dari pada dokternya, corporate yaitu rumah sakit dianggap sebagai

suatu korporasi sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban.2

Ketika seorang dokter bekerja sebagai pegawai rumah sakit, maka hubungan

yang terjadi semakin kompleks, yaitu hubungan dokter dengan pasien serta rumah

sakit yang merupakan hubungan segitiga. Dokter tidak lagi menjadi profesional

yang bebas saat berhubungan dengan pasien. Memang dari segi teknis medis ia

masih tetap memiliki kebebasan profesional, kecuali keharusan mengikuti standar

operasional prosedur yang berlaku setempat dan ia harus tunduk kepada rumah

sakit.

Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka

1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Ul, 1993). hal.102.

2.Budi Sampurna. Aspek Etiss dan Hukum Dalam Pelayanan Kesehatan, (disampaikan dalam seminar Perhuki pada tanggal 2-Juni 2000, di Jakarta).

Page 11: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

3

hubungan antara pasien dengan rumah sakit akan lebih menonjol dibandingkan

dengan hubungan antara dokter dengan pasien. Posisi dokter menjadi lebih mirip

sebagai pegawai rumah sakit, sebagaimana para pegawai lain seperti perawat,

penata rontgen, serta tenaga paramedic lainnya.

Hubungan antara tenaga medis dengan pasien dianggap mempunyai sifat

khusus sehingga harus diberikan standar terhadap adanya kesalahan dalam suatu

perawatan medis. Untuk itu perlu dikemukakan sejauh mana hak dan kewajiban

dokter maupun pasien dalam hubungan terapeutik yang terjadi antara pasien dan

dokter terutama yang diatur dalam undang-undang.

Agar memberikan kepastian tentang hak clan kewajiban dokter maupun

pasien dalam hubungan terapeutik diperlukan adanya informed consent, yaitu"..

suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan

dokter terhadap dirinya setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai

upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya disertai informasi

segala resiko yang mungkin terjadi".3 Adanya informed consent tersebut tidak

menyebabkan tanggung jawab dokter atas tindakan medis yang dilakukan apabila

terjadi suatu kematian atau cacatnya seseorang pasien setelah suatu perawatan

oleh dokter atau tenaga medis lainnya menjadi tidak lagi dapat

dipertanggungjawabkan.

Hubungan antara pasien dan dokter semula merupakan hubungan enter

individu yang masuk dalam lingkup hukum perdata. Meskipun demikian apabila

dalam suatu perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan menimbulkan cacat

atau matinya seorang pasien, maka tenaga kesehatan tersebut dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.

Pada prosedur pemberian terapi pihak yang terkait adalah dokter spesialis

radioterapi, penata rontgen, kepala unit radioterapi, serta pimpinan rumah sakit

(rumah sakit).

Atas dasar itu perlu dikaji lebih mendalam apa bentuk

pertanggungjawabannya, siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban,

3 .Veronica, K, Hukum dam Etika Dalam Praktek Dokter. (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1989 ), hal.89.

Page 12: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

4

bagaimana rumah sakit dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan

medis dalam pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif yang

menyebabkan cacat atau matinya seorang pasien. Atas dasar hal-hal yang

dikemukakan di atas penulis mencoba mengadakan penelitian dengan judul:

"Pertanggungjawaban pidana rumah sakit terhadap akibat negatif penggunaan

terapi dengan zat radioaktif".

Keterkaitan antara pertanggungjawaban pidana rumah sakit, dokter serta

tenaga paramedic di bidang radioterapi terhadap akibat negatif penggunaan terapi

dengan zat radioaktif sangat erat kaitannya dengan beberapa hal di bawah ini

yaitu: standar pertanggungjawaban pidana terhadap adanya kesalahan dalam

pemberian terapi dengan zat radioaktif, pertanggung jawaban pidana atas tindaka

medis dalam pemberian terapi dengan zat radioaktif oleh dokter/tenaga medis atau

tenaga paramedic yang bekerja di rumah sakit, serta pertanggungjawaban pidana

rumah sakit. Beberapa hal tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab-bab

berikutnya karena pada intinya buku ini akan membahas mengenai

pertanggungjawaban rumah sakit.

B. Pengantar Konsep Pertanggunjawaban Pidana Dalam Pemberian Terapi

Geen straf zonder schuld dalam bahasa Belanda atau heine straf ohne schuld

dalam bahasa Jerman atau actus non Tacit reum, nisi mens sit rea (an act does not

make a person guilty, unless the mind is guilty) bahasa Inggris merupakan salah

satu asas penting dalam hukum pidana untuk menentukan apakah seseorang dapat

dipidana ataukah tidak. Secara eksplisit asas yang menyatakan bahwa tidak dapat

dipidana seseorang jika tidak ada kesalahan ini tidak dapat kita jumpai dalam

KUHPidana atau dalam aturan manapun dalam perundang-undangan kita.4

Secara teoritis, suatu tindak pidana terjadi manakala sudah memenuhi unsur-

unsur paling sedikit 3 unsur yaitu sikap yang melanggar suatu aturan perundang-

undangan hukum pidana tertulis, tindakan itu bersifat melawan hukum, dan

perilaku itu mengandung unsur kesalahan.

Menurut Simons yang dikemukakan oleh Hezenwikel. Suringa, menyatakan

4 Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Askara, 1987), hal 3.

Page 13: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

5

bahwa strafbaar felt (peristiwa pidana) ialah perbuatan melawan hukum yang

berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung jawab.5

Kesalahan yang dimaksud oleh Simons, ialah kesalahan dalam arti luas yang

meliputi dolus (sengaja) dan culpa (alpa). Dari rumusan tersebut Simons

mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana yang meliputi perbuatan dan sifat

melawan hukum, dan pertanggungjawaban pidana yang meliputi kesengajaan,

kealpaan serta kelalaian dan kemampuan bertanggung jawab.

Namun pada kenyataannya mungkin yang terjadi bahwa suatu perbuatan itu

telah memenuhi ketiga unsur tersebut untuk selanjutnya dinyatakan sebagai suatu

tindak pidana namun ternyata pelakunya tidak dijatuhi hukuman. Hal ini berkaitan

dengan kemampuan bertanggung jawab dari si pelaku. Hukum pidana mengenal

adanya orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara penuh, kurang

mampu bertanggung jawab atau tidak dapat dimintai pertanggung jawaban sama

sekali.6 Kalau kesalahannya terbukti, tidak adanya dasar penghapus pidana dan

pelaku mampu bertanggung jawab maka terhadapnya dijatuhi hukuman pidana.

Secara tradisional perbedaan ini dilakukan untuk mengesahkan kesalahan

terhadap si pelaku atau bila tidak dapat dipertanggungjawabkan diberikan

tindakan yang bertujuan untuk merawat pelakunya.7

Masalah pertanggungjawaban pidana menjadi sangat penting bagi

penentuan adanya kesalahan seseorang atau tidak. Jika si pelaku mampu

bertanggung jawab maka itu merupakan prasyarat bagi terjadinya kesalahan,

namun jika si pelaku tidak mampu bertanggung jawab maka kenyataan itu

merupakan dasar bagi peniadaan kesalahan. Oleh karenanya berbicara masalah

pertanggungjawaban pidana tenaga medis, tenaga paramedis serta rumah sakit

mau tidak mau harus membicarakan masalah yang berkaitan dengan malpraktek

medis.

Kesalahan dalam hukum pidana dapat diartikan sebagai culpa (kealpaan)

atau dolus (kesengajaan). Kesengajaan dapat berarti melakukan sesuatu dengan

5 .Hazeinvikel, Suringa, Inleding tot de Studie van bet Nederlandse Strafrecht, (Groningen: Zasedruk.H.D.Tjeenk Willink Bv, 1973), hal.65.

6 .Utrech, Hukum Pidana I, (Bandung: Penerbit Universitas. 1994).7 .Soerjono, Soekanto, Asas-Asas Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1989). hal.132

Page 14: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

6

menghendaki atau mengetahui. Bentuk-bentuk kesengajaan dapat digolongkan ke

dalam kesengajaan sebagai tujuan, kesengajaan berkeinsyafan kepastian dan

kesengajaan berkeinsyafan kemungkinan. Sedangkan kealpaan dapat diartikan

sebagai kelalaian yang berat yang meliputi kealpaan yang disadari (culpa lata)

dan kealpaan yang tidak disadari (culpa levi). Dalam konteks pemberian terapi

dengan menggunakan zat radioaktif, untuk menentukan pertanggungjawaban

pidana dalam prosedur pemberian terapi di sebuah rumah sakit adalah sebagai

berikut:

a. Adanya kesalahan profesional dari seorang tenaga kesehatan di bidang

radioterapi yang biasanya berupa kelalaian berat (culpa lata);

b. Tidak adanya persetujuan pasien atau keluarganya dalam prosedur

pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif;

c. Bahwa peralatan yang dipergunakan dalam prosedur pemberian terapi

tidak sesuai dengan standar.

Mengenai masalah pertanggungjawaban rumah sakit tidak dapat dilepaskan

dari masalah pertanggungjawaban korporasi. Pertanggungjawaban korporasi, di

Inggris didasarkan pada asas identifikasi. Rupanya perbuatan pengurus atau

pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan dengan perbuatan korporasi itu

sendiri.8 Karena pengertian korporasi dan badan hukum (rechtperson) adalah

suatu konsep hukum perdata, maka sebaiknya dicari konsep tentang pemahaman

badan hukum. Berdasarkan asas kepatutan dan keadilan sebagai dasar utama,

maka ilmu hukum perdata menerima bahwa suatu badan hukum harus dapat

dianggap bersalah merupakan perbuatan melawan hukum.9

Ajaran berdasarkan asas kepatutan dan keadilan ini mendasarkan diri pada

pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak

tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak dan

kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Kesengajaan (dolus) atau kelalaian

8 .Barda Nawawi. Arief, Perbandingan Hukuin Pidana, (Jakarta: PT Raja Gralindo Persada, 1994), hal. 92.

9 .Mardjono, Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi Dan Pertanggungjawabannya. (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1994), hal. 107.

Page 15: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

7

(culpa) dari pengurus harus dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari

badan hukum itu sendiri.10

Dengan memperhatikan undang-undang, seperti undang-undang tindak

pidana ekonomi, undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, serta RUU

KUHPidana, maka dapat dikemukakan konsep bahwa korporasi dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana. Perlu diperhatikan bahwa perbuatan korporasi/badan

hukum yang dalam pemberian terapi menggunakan zat radioaktif di suatu rumah

sakit biasanya diwujudkan dengan perbuatan manusia. Rumah sakit sebagai badan

hukum, berdasarkan konstruksi tentang pertanggungjawaban tersebut di atas maka

korporasi baik itu pengurus atau pegawainya dapat dimintai pertanggungjawaban

pidana.11

Berkaitan dengan alasan penghapus pidana, apakah alasan penghapus

pidana (atau kesalahan) dapat diajukan oleh korporasi? Dan selanjutnya apakah

alasan penghapus pidana dapat diajukan oleh pelaku seperti: pengurus, pegawai

atau kuasa yang sebenarnya melakukan perbuatan itu untuk korporasi, dapat pula

diajukan oleh korporasi dalam pembelaannya? Pertanyaan pertama, berlaku asas

tidak dapat diberikan pidana apabila tidak ada kesalahan. Untuk korporasi

pengertian kesalahan harus dilihat dari adanya perbuatan tertentu, karena

korporasi mempunyai kemungkinan dalam sistuasi perbuatan tertentu untuk

bertindak lain sedangkan alternatif tersebut secara wajar dapat diharapkan untuk

dilakukan oleh korporasi dalam situasi perbuatan bersangkutan.12 Pertanyaan

kedua, dapat diterima pendapat bahwa alasan penghapus pidana (kesalahan) harus

dicari pada korporasi sendiri dan pelaku manusia (pengurus, pegawai atau kuasa)

yang sebenarnya bertindak. Dengan demikian apabila pelaku manusia yang

memiliki korporasi tersebut dapat mengajukan alasan penghapus pidana, maka

belum tentu hal tersebut dapat diajukan oleh korporasi sebagai pembelaannya.13

Masalah korporasi dalam hal ini rumah sakit sebagai suatu badan hukum

10 .Ibid., hal. 108.11 .Ibid., hal. 109.12 .Ibid., hal. 11013 .Ibid., hal. 111

Page 16: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

8

yang memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi yang konstruksi

hukumnya dapat dipecahkan berdasarkan asas strict liability dan vicarious liability

yang sudah dianut dalam UUPLH, dimana hukum pelayanan kesehatan

merupakan salah satu aspek hukum lingkungan.14

14 .K. Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan. (Yogyakarta: Gajah Mada Press, 1999), hal. 31.

Page 17: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

9

BAB II

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PADA UMUMNYA

A. Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Konsep pertanggungjawaban pidana dapat dilihat dari aspek falsafah

hukum. Salah seorang filosof yang mengemukakan tentang konsep

pertanggungjawaban pada abad ke-20, Roscou Pound dalam bukunya yang

berjudul An Introduction to the Philosophy of law, mengemukakan pendapat "I ...

use the simple word liability the situation whereby one exact legally and other is

legally subjected to the exaction”.15

Pound, membahas pertanggungjawaban atau liability tersebut dari sudut

pandang filosofis dan sistem hukum secara timbal balik. Secara sistematis Pound

menguraikan perkembangan konsep liability. Teori pertama, bahwa liability

diartikan sebagai suatu kewajiban untuk membayar pembalasan yang akan

diterima oleh pelaku dari seseorang yang telah dirugikan. Ukuran ganti rugi

tersebut tidak berasal dari nilai suatu pembalasan yang harus dibeli, melainkan

dari sudut pandang kerugian atau penderitaan yang ditimbulkan oleh pelaku yang

bersangkutan.16

Dengan demikian konsep liability diartikan sebagai reparation sehingga

mengakibatkan perubahan anti konsepsi liability dari composition for vengeance

menjadi reparation for jury. Perubahan bentuk ganti rugi dengan sejumlah uang

kepada ganti rugi dengan penjatuhan hukuman secara historis merupakan konsep

awal dari liability atau pertanggungjawaban.17

Mengingat konsep tentang pertanggungjawaban pada setiap negara baik itu

yang menganut sistem hukum kontinental maupun sistem common law,

dimungkinan adanya perubahan tentang konsep pertanggungjawaban.

15 .Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet.1, (Jakarta: Yayasan LBH, 1989), hal.79.

16 .Ibid., hal. 80.17 .Ibid.

Page 18: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

10

Roeslan Saleh mempertanyakan apakah yang dimaksud dengan seseorang

itu bertanggung jawab atas perbuatannya.18 Penulis pada umumnya tidak

membicarakan tentang konsepsi pertanggungjawaban pidana. Dikatakan Roeslan

Saleh, bahwa mereka telah melakukan, analisis atas konsepsi pertanggungjawaban

pidana, yaitu dengan berkesimpulan bahwa orang yang bertanggung jawab atas

apa yang dilakukan merupakan perbuatan itu dilakukan dengan kehendak bebas.

Sehingga dapat dikatakan bahwa mereka tidak membicarakan konsep

pertanggungjawaban itu sendiri.

Selanjutnya Roeslan Saleh menyatakan berikut:

“Mereka mencari dan menegaskan tentang syarat-syarat bagaimana yang

harus ada makanya seorang dapat dikatakan bertanggung jawab atas suatu

perbuatan pidana. Tetapi hasil dari penelitiannya itu memberikan keterangan

tentang apakah yang dimaksud bahwa seseorang itu bertanggung jawab atas

perbuatannya.

Kesalahan, pertanggungjawaban pidana dan ungkapan-ungkapan yang

terdengar dan digunakan dalam percakapan sehari-hari dalam moral, agama, dan

hukum. Tiga unsur itu berkaitan yang satu dengan yang lain, dan berakar dalam

satu keadaan yang sama yaitu adanya pelanggaran terhadap suatu sistem aturan-

aturan.19

Dengan mengutip pendapat Alf Ross, Roeslan Saleh memberikan jawaban

bahwa bertanggungjawab atas suatu perbuatan pidana berarti yang bersangkutan

secara sah dapat dikenai pidana karena perbuatan itu.20 Pidana itu dapat dikenakan

secara sah berarti tindakan itu telah ada aturannya dalam suatu sistem hukum

tertentu, dan sistem hukum itu berlaku atas perbuatan itu. Singkatnya, dapat

dikatakan bahwa tindakan (hukuman) itu dibenarkan oleh sistem hukum tersebut,

hal itulah yang mendasari konsepsi Roeslan Saleh.

Berkaitan dengan pertanggungjawaban pidana, ada dua aliran yang selama

ini dianut, yaitu aliran determinisme dan aliran indeterminisme. Kedua aliran

18 .Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana, Cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 33.

19 .Ibid.20 .Ibid.

Page 19: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

11

tersebut membicarakan hubungan antara kebebasan kehendak dengan ada atau

tidak adanya kesalahan.

1) Aliran Indeterminisme

Manusia mempunyai kehendak bebas dan itu merupakan sebab dari segala

keputusan kehendak. Tanpa ada kebebasan kehendak, maka tidak ada kesalahan.

Dan apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pencelaan sehingga tidak ada

pemidanaan.

2) Aliran Determinisme

Menurut aliran ini manusia tidak mempunyai kehendak bebas. Keputusan

kehendak ditentukan sepenuhnya oleh watak dalam arti nafsu-nafsu manusia

dalam hubungan kekuatan satu dengan yang lain dan motif-motif. Yang dimaksud

dengan hal itu ialah perangsang-perangsang yang datang dari dalam atau dari luar

yang melibatkan watak tersebut. Dengan demikian kejahatan merupakan

manifestasi dari keadaan jiwa seseorang yang abnormal. Oleh karena itu pelaku

kejahatan tidak dapat dipersalahkah atas perbuatannya dan tidak dapat dipidana.

Seseorang itu tidak dapat dicela atas perbuatannya atau dinyatakan

mempunyai kesalahan, sebab ia tidak punya kehendak bebas. Namun harus diakui

bahwa tidak punya kehendak bebas itu tidak dapat berarti bahwa orang yang

melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya. Karena tidak adanya kebebasan kehendak itu, ada

pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatannya.

Pandangan determenisme tersebut menjadi ide dasar dan sangat

mempengaruhi aliran positif di dalam kriminologi. Menurut Alf Ross, yang

dikutip oleh Barda Nawawi,21 pandangan itulah yang kemudian berlanjut pada

gerakan modern mengenai the compaign agains punishment. Akan tetapi aliran ini

tidak dapat dipergunakan pada hukum pidana karena akan mengalami kesulitan

tentang pertanggungjawabannya.

21 .Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Cet. 1 . (Semarang: CV Ananta, 1994), hal.19-20.

Page 20: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

12

B. Ajaran/Doktrin Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dangan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi

meskipun perbuatannya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan

tidak dibenarkan, hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk

penjatuhan pidana masih diperlukan adanya syarat, yaitu bahwa orang yang

melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guilt).

Sehubungan dengan hal itu, berlaku asas tiada pidana tanpa adanya

kesalahan. Asas tersebut dianut oleh KUHPidana Indonesia dan juga negara-

negara lainnya. Akan bertentangan dengan rasa keadilan apabila ada orang yang

dijatuhi pidana padahal ia sama sekali tidak bersalah. Orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan kalau ia tidak melakukan perbuatan pidana, akan tetapi

meskipun melakukan perbuatan pidana ia tidak selalu dapat dipidana.

Untuk pernyataan pertama, dijelaskah bahwa orang yang tidak

melakukan perbuatan pidana atau melawan hukum tidak akan dipidana.

Sedangkan pernyataan kedua, dijelaskan bahwa tidak semua orang yang

melakukan perbuatan pidana memenuhi rurnusan delik dipidana,

hal itu masih tergantung pada apakah ia mempunyai kesalahan ataukah tidak.

Makna kesalahan itu meliputi pengertian yang luas. Seseorang yang masih

di bawah umur, walaupun melakukan perbuatan pidana tidak di pidana karena

fungsi batin atau jiwanya masih belum sempurna. Demikian juga orang gila yang

melakukan perbuatan tidak dapat dipidana karena fungsi batinnya tidak normal.

Meskipun orang yang melakukan perbuatan pidana itu dewasa dan tidak

gila orang tersebut juga tidak serta merta dapat dipidana. Hal itu harus dilihat

terlebih dahulu apakah dia melakukan perbuatan itu atas kehendak bebasnya

atau ada unsur-unsur paksaan dari luar, seperti daya paksa (overmach),

pembelaan terpaksa, dan keadaan darurat sehingga si pembuat itu tidak dipidana

karena adanya alasan pemaaf.

Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dalam membuktikan apakah

seseorang dapat dijatuhi pidana, pandangan tersebut menganut ajaran dualisme.

Ajaran itu memandang bahwa untuk menjatuhkan pidana, pertama harus dilihat

Page 21: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

13

terlebih dahulu apakah perbuatan yang dituduhkan itu telah memenuhi unsur-

unsur rumusan delik. Apabila dipenuhi baru menuju pada tahap kedua, melihat

apakah ada kesalahan dan apakah pembuat mampu bertanggung jawab.

Sebaliknya, ajaran monoisme memandang bahwa seseorang yang telah melakukan

perbuatan pidana sudah dapat dipidana kalau perbuatannya itu telah memenuhi

rumusan delik tanpa harus melihat apakah dia mempunyai kesalahan atau tidak.

Berdasarkan pandangan dualisme itu Moeljatno menyimpulkan bahwa

untuk dapat dikatakan bahwa seseorang mempunyai kesalahan harus dipenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:

a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawar hukum);

b. Di atas umur tertentu mampu bertanggung jawab;

c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan dan kealpaan;

d. Tidak ada alasan pemaaf.22

Selanjutnya akan diuraikan mengenai unsur-unsur kesalahan terutama

mengenai kemampuan bertanggungjawab dan bentuk-bentuk kesalahan berupa

kesengajaan dan kealpaan.

1. Kemampuan Bertanggung Jawab

Untuk dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang melakukan

perbuatan pidana diperlukan syarat bahwa pembuat mampu bertanggung jawab.

Bilamanakah seseorang dapat dikatakan mampu bertanggung jawab dan ukuran

apakah untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab?

Dalam KUHPidana tidak ada ketentuan tentang arti kemampuan

bertanggung jawab, akan tetapi hanya berhubungan dengan masalah kemampuan

bertanggung jawab saja. Hal itu diatur dalam Pasal 44 KUHPiana.

Pasal 44 KUHPidana berbunyi:

"Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

kepadanya, karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau jiwa yang terganggu karena

penyakit".

Dari Pasal 44 tersebut menurut Moeljatno dapat menyimpulkan bahwa

22 .Moeljatno, Op.Cit., hal.164

Page 22: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

14

untuk adanya kemampuan bertanggungjawab harus memenuhi syarat:

1. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang

buruk sesuai dengan dan yang hukum;

2. Kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang

baik dan buruknya perbuatan tadi.23

Yang pertama adalah faktor akal, yaitu dapat membedakan antara perbuatan

yang diperbolehkan dan yang tidak. Kedua, adalah faktor perasaan atau kehendak,

yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas nama yang

diperbolehkan dan yang tidak. Sebagai konsekuensinya orang yang tidak mampu

menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik dan buruknya

perbuatan tadi, dia tidak mempunyai kesalahan. Orang yang demikian itu tidak

dapat dipertanggungjawabkan, dimana menurut Pasal 44 ketidakmampuan

tersebut harus disebabkan alat batinnya cacat atau sakit dalarn tubuh.24

2. Kesengajaan

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 1809 dinyatakan:

"Sengaja ialah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-

perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang". Selanjutnya

dalam KUHPidana Indonesia yang terbentuk pada tahun 1915 dijelaskan: "sengaja

diartikan dengan sadar dari kehendak melakukan suatu kejahatan tertentu".

Beberapa sarjana merumuskan sengaja sebagai keinginan, kemauan,

kehendak dan perbuatan merupakan pelaksanaan kehendak, yang dapat ditujukan

terhadap perbuatan yang dilarang dan akibat yang dilarang. Ada dua teori yang

berkaitan dengan pengertian "sengaja", yaitu teori kehendak dan teori

pengetahuan.

Menurut teori kehendak, sengaja adalah kehendak untuk mewujudkan

unsur-unsur delik dalam perumusan undang-undang. Sebagai contoh, A

mengarahkan pistol kepada B dan A menembak mati B; A adalah sengaja apabila

A benar-benar menghendaki kematian.

23 .Ibid., hal. 165.24 .Ibid.

Page 23: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

15

Menurut teori pengetahuan atau teori membayangkan, manusia tidak

mungkin dapat menghendaki suatu akibat karena manusia hanya dapat

menginginkan, mengharapkan atau membayangkan adanya suatu akibat. Adalah

sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu tindakan dibayangkan

sebagai suatu maksud tindakan itu dan karena itu tindakan yang bersangkutan

dilakukan sesuai dengan bayangan yang terlebih dahulu telah dibuat. Teori ini

menitikberatkan pada apa yang diketahui dibayangkan ia pembuat, ialah apa yang

akan terjadi pada waktu ia berbuat.25

Dari kedua teori tersebut, Moeljatno lebih cenderung kepada teori

pengetahuan atau membayangkan. Adapun yang menjadi alasannya adalah:26

"Karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi pengetahuan. Sebab

untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu orang harus memiliki

pengetahuan tentang sesuatu. Tetapi apa yang diketahui seseorang belum

tentu juga dikehendaki olehnya. Lagi pula kehendak merupakan arah,

maksud atau tujuan, hal mana berhubungan dengan motif alasan pendorong

untuk berbuat dan tujuan perbuatannya. Konsekuensinya adalah bahwa

untuk menentukan sesuatu perbuatan yang dikehendaki terdakwa, maka 1)

harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat

dan tujuan yang hendak dicapai; 2) antara motif, perbuatan dan tujuan harus

ada hubungan kausal dalam batin terdakwa".

Dalam perkembangannya kemudian, secara teoritis bentuk kesalahan berupa

kesengajaan itu dibedakan menjadi tiga corak, yaitu kesengajaan sebagi kepastian,

kesengajaan sebagai kemungkinan dan dolus eventualis (apa boleh buat).27

Perkembangan pemikiran itu diikuti dalam praktek pengadilan di Indonesia. Di

dalam beberapa putusannya, hakim menjatuhkan putusannya tidak semata-mata

kesengajaan sebagai kepastian, tetapi juga mengikuti corak-corak yang lain.

Menurut hemat praktek pengadilan semacam itu akan mendekati nilai keadilan

karena hakim menjatuhkan putusan sesuai dengan tingkat kesalahan terdakwa.

25 .Lihat Moeljattio, Op.Cit., hal_ 171-176, Sodarto, Op.Cit., hal.102-10526 .Moeljatno, Op.Cit., htd.172-17327 .Sudarto, Op.Cit., hal.103-105.

Page 24: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

16

3. Kealpaan

Yang dimaksud dengan kealpaan adalah terdakwa tidak bermaksud

melanggar undang-undang, tetapi ia tidak mengindahkan larangan itu. Jadi, dalam

kealpaan terdakwa kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati

dalam melakukan suatu perbuatan yang objektif kausal menimbulkan keadaan

yang dilarang.

Mengenai kealpaan itu, Moeljatno mengutip dari Smit yang merupakan

keterangan resmi dari pihak pembentuk WvS sebagai berikut:28

"Pada umumnya bagi kejahatan-kejahatan wet mengharuskan bahwa

kehendak terdakwa ditujukan pada perbuatan yang dilarang dan diancam pidana.

Kecuali itu keadaan yang dilarang itu mungkin itu sebagian besar berbahaya

terhadap keamanan umum mengenai orang atau barang dan jika terjadi

menimbulkan banyak kerugian, sehingga wet harus bertindak pula terhadap

mereka yang tidak berhati-hati. Di sini sikap batin orang yang menimbulkan

keadaan yang dilarang itu bukanlah menentang larangan tersebut. Dia tidak

menghendaki atau menyetujui timbulnya hal yang dilarang, tetapi kesalahannya,

kekeliruannya dalam batin sewaktu ia berbuat sehingga menimbulkan hal yang

dilarang, ialah bahwa ia kurang mengindahkan larangan tersebut".

Dari apa yang dikemukakan di atas, Moeljatno berkesimpulan bahwa

kesengajaan adalah kesalahan yang berlainan jenis dari kealpaan. Akan tetapi

dasarnya sama, yaitu adanya perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana,

adanya kemampuan bertanggungjawab, dan tidak adanya alasan pemaaf, tetapi

bentuknya lain. Dalam kesengajaan sikap batin orang menentang larangan. Dalam

kealpaan, kurang mengindahkan larangan sehingga tidak berhati-hati dalam

melakukan sesuatu yang obyektif kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.29

Selanjutnya, dengan mengutip Van Hamel, Moeljatno mengatakan kealpaan itu

28 .Moeljamo, Op.Cit., hal.198.29 .Ibid.

Page 25: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

17

mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana

diharuskan oleh hukum dan tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana

diharuskan oleh hukum.30

C. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Kesalahan

Konsep liability atau pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan

konsep yang sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Ajaran kesalahan

dalam istilah Latin dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin ini dilandaskan

pada maxim actus non facit reum nisi men sit rea, yang berarti suatu perbuatan

tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat.

Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a

person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas itu, ada

dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dipidananya seorang, yaitu ada

perbuatan lahiriah yang terlarang (actus reus); dan ada sikap batin jahat/tercela

(mens rea).

Pertanggungjawaban pidana dapat dikatakan sebagai sesuatu yang berkaitan

dengan keadaan mental tersangka. Hubungan antara keadaan mental itu dengan

perbuatan yang dilakukan adalah sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela

karena perbuatannya.

Doktrin mens rea secara klasik diartikan setiap perkara pelanggaran hukum

yang dilakukan disebabkan pada diri orang itu sudah melekat sikap batin yang

jahat (evil will). Oleh karenanya perbuatan tersebut dianggap dosa. Lord Denning,

seorang hakim terkemuka di Inggris memberikan komentar atas doktrin mens rea,

dengan mengatakan "in order that act sholud be punishible it must be morally

blame-worthy, it must be a sin". Sedangkan Jerome Hall mengatakan, mens rea

adalah "voluntary doing of morally wrong act forbiddin by penal law".31

Dari kedua pendapat tersebut terdapat perbedaan mendasar dalam

memberikan arti doktrin mens rea. Pendapat tersebut merupakan pandangan

terbaru terhadap doktrin tersebut yang berbeda dengan pandangan secara klasik.

30 .Ibid., hal. 201.31 .Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana (Jakaria:Ghalia

Indonesia, 1982), hal. 23.

Page 26: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

18

Pendapat Lord Denning masih menitikberatkan asas kesalahan pada pelaku

kejahatan yang hakekatnya sama dengan pandangan klasik. Sedangkan Jerome

Hall secara tegas menitikberatkan pada perbuatan yang salah secara moral yang

oleh undang-undang perbuatan tersebut dilarang. Dalam kaitan dengan pendapat

Jerome Hall tersebut dapat dikatakan bahwa jika perbuatan tersebut secara moral

salah dan tidak dilarang oleh undang-undang, maka perbuatan tersebut tidak

mengandung unsur kesalahan dan karenanya lidak dapat dipidana. Begitu pula

sebaliknya, jika sekalipun perbuatan tersebut dilarang oleh undang-undang, akan

tetapi secara moral dianggap tidak bersalah, perbuatan tersebut tidak dapat

dipidana.32

Doktrin mens rea klasik dan pendapat Lord Denning harus diartikan bahwa

suatu perbuatan merupakan suatu perbuatan pidana, pertama-tama harus dilihat

apakah perbuatan tersebut secara moral salah, terlepas apakah perbuatan tersebut

dilarang oleh undang-undang atau tidak. Dalam kenyataan tampaknya doktrin

mens rea klasik dan pendapat Lord Denning masih sangat berpengaruh

dibandingkan dengan pendapat Jerome Hall. Penafsiran terhadap hukum

sepenuhnya terletak pada luas sempitnya penafsiran tentang: l) apakah perbuatan

tersebut benar telah dilakukan tersangka? dan 2) apakah tersangka dapat

dipertanggungjawabkan secara moral?

Unsur demikian itu oleh hukum diharuskan ada dalam pikiran seseorang

untuk dapat mengatakan bahwa ia telah melakukan perbuatan pidana sehingga

akan menjamin bahwa tidak seorangpun akan dipidana tanpa adanya syarat utama

yang disebut moral culpability. Penyebabnya memang yang dimaksudkan hanya

memidana mereka yang telah dengan sengaja melakukan perbuatan-perbuatan

yang menurut moral salah dan menuntut undang-undang juga terlarang.

Untuk dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang haruslah didasarkan

bahwa orang tersebut memang benar-benar telah melakukan suatu perbuatan

pidana dan mempunyai kesalahan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Peter

Gillies bahwa “The policy basis for requering a guilty mind is simple-it would be

32 .Romli Atmasasmita, Asas-asas Perbandingan Hukum Pidana, Cet.1 (Jakarta.YLBHI, 1989), haL52.

Page 27: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

19

unjust to punish a person for conduct unaccompanied by guilty mind, for in effect

people would on occasions be penalished for simple inadvertence”.33

Pernyataan Gillies tersebut didukung oleh Jay A. Sigler yang menyatakan

bahwa "mens rea is one of the most important elements of crime. This is the

subject condition that must accompany an act (actus reus). A general mens rea is

a willing, conscious decision to do a prohibited act".34

Jadi doktrin mens rea itu disebut sebagai dasar hukum pidana. Dalam

praktek bahkan ditambahkan bahwa pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap

jika ada salah satu dari keadaan atau kondisi memaafkan itu.35

Hukum pidana Indonesia pada dasarnya juga menganut asas kesalahan.

Dengan mencermati pasal-pasal yang terdapat dalam KUHPidana, meskipun tidak

secara eksplisit dinyatakan, rumusan pasal-pasalnya menyimpulkan menganut

asas kesalahan. Pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHPidana pada dasarnya

masih mensyaratkan unsur kesalahan baik kesalahan dalam bentuk kesengajaan

maupun kealpaan. Di samping itu juga terdapat asas tidak tertulis yang biasanya

sangat dikenal dalam kalangan hukum pidana, yang berbunyi geen straft zonder

schuld yang berarti "tiada pidana tanpa adanya kesalahan".

Dalam hal ini Moeljatno menyatakan bahwa36 orang tidak mungkin

dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau ia tidak melakukan perbuatan

pidana, akan tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dapat

dipidana.

Dengan menganut asas kesalahan di dalam menjatuhkan pidana kepada

pelaku delik, Moeljatno yang diikuti oleh Roeslan memisahkan antara perbuatan

pidana dan pertanggungjawaban pidana yang disebut ajaran dualisme.37 Ajaran itu

memandang bahwa untuk menjatuhi pidana ada dua tahap yang perlu dilakukan.

Pertama, hakim harus menanyakan apakah terdakwa telah melakukan perbuatan

33 .Peter Gillies, Criminal Law, (Sidney: The Law Book Company, 1990), hal.43.34 .Jay A. Sigler, Understanding The Criminal Law, (Canada: Little Brown & Company,

1981), hal.56.35 .Roeslan Saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungan Jawab Pidana, Op.Cit, hal.21.36 .Moeljatno, asas-asas Hukurn Pidana, (Jakarta: PT.Bina Aksara, 1984), hal. 155.37 .Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta Aksara Baru,

1983),

Page 28: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

20

yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang dengan disertai ancaman pidana

bagi siapa yang melanggar aturan itu? Kedua, apabila yang pertama di atas

menghasilkan suatu kesimpulan bahwa memang terdakwa telah melakukan

perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan undang-undang, ditanyakan lebih

lanjut, apakah terdakwa tersebut dapat dipertanggungjawabkan atau tidak

mengenai perbuatannya itu?

Jadi antara perbuatan (actus reus) dengan sikap batin terdakwa (mess rea)

Harus berhubungan. Sikap batin terdakwa dapat berupa kesengajaan atau

kealpaan. Mengenai pandangan tentang kesengajaan, ada dua teori yang dianut,

yaitu teori kehendak dan teori pengetahuan. Teori kehendak memandang bahwa

tiap-tiap bentuk kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuatnya.

Sementara itu, menurut teori pengetahuan yang dipentingkan adalah apakah yang

dibayangkan atau diketahui oleh pembuat ketika perbuatan itu dilakukan.

Dari kedua teori tersebut Moeljatno lebih cenderung memilih teori

pengetahuan. Alasannya adalah karena dalam kehendak dengan sendirinya diliputi

pengetahuan. Untuk menghendaki sesuatu, orang lebih dahulu harus mempunyai

pengetahuan (gambaran) tentang sesuatu itu. Akan tetapi apa yang diketahui

seseorang belum tentu juga dikehendaki olehnya.

Secara teoritis bentuk kesalahan berupa kesengajaan itu dibedakan menjadi

tiga corak, yaitu kesengajaan sebagai kepastian, kesengajaan sebagai

kemungkinan dan dolus eventualis. Perkembangan pemikiran dalam teori itu

ternyata diikuti oleh praktek pengadilan di Indonesia. Dimana di dalam

menjatuhkan putusannya, hakim tidak semata-mata menjatuhkan putusan

didasarkan pada kesengajaan sebagai kepastian tetapi juga mengikuti bentuk lain,

sehingga putusan hakim tersebut lebih mendekati keadilan yang diharapkan oleh

masyarakat.

Bentuk kesalahan kedua, yaitu kealpaan yang menunjukkan bahwa terdakwa

tidak bermaksud melanggar larangan undang-undang, tetapi ia tidak

mengindahkan larangan itu. Jadi dalam kealpaan terdakwa kurang mengindahkan

larangan sehingga ia tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan yang obyektif

kausal menimbulkan keadaan yang dilarang.

Page 29: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

21

Di dalam perkembangannya, asas kesalahan itu tidak dapat lagi dipakai

sebagai satu-satunya asas dalam mempertanggungjawabkan seseorang yang

melakukan perbuatan pidana. Akibat kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi serta perkembangan ekonomi yang semakin pesat, muncul

perkembangan sistem pertanggungjawaban pidana dalam bentuk lain yang

menyimpang dari asas kesalahan terhadap perbuatan pidana tertentu.

D. Penyimpangan Asas Kesalahan Dalam Pertanggungjawaban Pidana

Pada dasarnya dalam hukum pidana menganut asas kesalahan dalam

mempertanggungjawabkan seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya di bidang

kesehatan maupun dalam dunia usaha yang lain maka dapat dikemukakan bahwa

asas kesalahan bukanlah merupakan satu satunya asas yang dipergunakan untuk

dapat dipertanggungjawabkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan

pidana.

Alasan utama dalam menerapkan asas pertanggungjawaban pidana tanpa

memperhatikan kesalahan adalah dikarenakan sangat sulit untuk membuktikan

adanya unsur kesalahan untuk tindak pidana tertentu seperti dalam pelayanan

medis di bidang kesehatan. Adapun bentuk sistem pertanggungjawaban yang

menyimpang dari asas kesalahan dapat dikemukakan tiga model yaitu: strict

liability, vicarious liability, dan enterprise liability.

1. Strict Liability (Pertanggungjawaban Pidana Ketat)

a. Pengertian Strict Liability

Terdapat beberapa definisi yang dapat dikemukakan oleh para ahli hukum

berkaitan dengan pengertian asas strict liability antara lain sebagai berikut:

1. Marise Cremona mendefinisikan bahwa strict liability sebagai:38 "the phrase

used to refer to criminal offences which do not requare wens ros3 in respect

on or more element of the actus reus" (suatu ungkapan yang menunjuk

kepada suatu perbuatan pidana dengan tidak mensyaratkan kesalahan

38 .Manse Cremona, Criminal Law, (London: The Macmillan Press Ltd, 1989), hal.54.

Page 30: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

22

terhadap satu atau lebih unsur dari actus reus).

2. Smith & Brian Hogan yang memberikan definisi strict liability sebagai:39

"crimes which do not requare intention, recklesness or even negligent as to

one or more element in the actus reus" (kejahatan yang tidak mensyaratkan

kesengajaan, kesembronoan atau bahkan kealpaan sebagai satu atau lebih

unsur dari actus reus).

3. Richard Card Mengemukakan bahwa strict liability sebagai:40 "the accused

may be convicted although his conduct was neither intentional nor reckless

nor negligent with reference to the requisite consequence of the offence

charge" (terdakwa bisa saja dihukum meskipun perbuatannya bukan karena

kesengajaan, kesembronoan atau kealpaan berkenaan dengan syarat yang

diharuskan dalam suatu kejahatan yang dituduhkan).

Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa asas strict liability

Adalah pertanggungjawaban pidana tanpa adanya kesalahan dimana pembuat

sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana sebagaimana

dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana sikap batinnya. Asas

ini sering disebut dengan istilah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan

(liability withaout fault).

Sehingga menurut asas ini hanya dibutuhkan dugaan (foresight) atau

pengetahuan (knowledge) dari pelaku tindak pidana untuk dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana. Dengan demikian disebut no mens rca

dimana yang harus dibuktikan adalah actus reusnya raja bukan mens reanya.

Pendapat lain mengenai doktrin strict liability dalam hukum pidana dapat

dikemukakan pendapat Roeslan Saleh yang menyatakan:41

Dalam praktek pertanggungjawaban pidana menjadi lenyap jika ada salah

satu keadaan yang memaafkan. Praktek pula melahirkan aneka macam tingkatan

keadaan mental yang dapat menjadi syarat ditiadakannya pidana, sehingga dalam

perkembangannya lahir kelompok kejahatan yang untuk pengenaan pidananya

cukup dengan strict liability. Yang dimaksud dengan asas ini adalah adanya

39 .J.C. Smith &Brian Hogan, Criminal Law, (London: Butterworths, 1978), hal.79.40 Richard Card, Introduction to Criminal Law, (London: Butterworths, 1984), hal.7241 .Roeslan saleh, Pikiran-pikiran tentang Pertanggungiawaban Pidana, Op.Cit., hal.21.

Page 31: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

23

kejahatan yang dalam terjadinya itu keadaan mental terdakwa adalah tidak

mengetahui dan sama sekali tidak bermaksud untuk melakukan suatu perbuatan

pidana".

Ada dua alasan untuk menerapkan asas strict liability seperti yang

dikemukakan oleh Barda Nawawi Arief dengan mengutip pendapat Smith &

Brian Hogan yang menyatakan sebagai berikut:42

1. Suatu tindak pidana dapat dipertanggungjawabkan secara strict liability

apabila tidak ada mens rea yang perlu dibuktikan sebagai satu-satunya unsur

untuk actus reus yang bersangkutan. Unsur utama atau unsur satu-satunya itu

biasanya merupakan salah satu ciri utama, tetapi sama sekali tidak berarti

bahwa mens rea itu tidak disyaratkan sebagai unsur pokok.

2. Dalam kasus-kasus strict liability memang tidak dapat diajukan alasan

pembelaan untuk kenyataan khusus yang dinyatakan terlarang menurut

undang-undang, misalnya dengan mengajukan reasonable mistake.

b. Penerapan Asas Strict Liability dalam Kasus Pidana

Penerapan asas strict liability di Inggris dikembangkan pada abad ke-19

sebagai akibat buruk dari revolusi industri. Pada abad ke-20 kecenderungan

menggunakan asas srict liability semakin meningkat. Peningkatan itu sejalan

dengan kompleksitas masyarakat yang membutuhkan peraturan sosial. Peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan lalu lintas, perlindungan konsumen,

makanan dan obat-obatan, keselamatan kerja, dan perlindungan lingkungan

hidup.43 Dalam konteks peraturan perundang-undangan Indonesia dapat kita lihat

dalam Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 23 tahun 1997).

Kebanyakan dari bentuk peraturan yang mengatur hal-hal tersebut di atas

diletakkan yurisdiksi administrasi dan melibatkan hukum pidana. Dalam

perjalanannya kemudian, peraturan bersifat administratif itu tidak efisien karena

42 .Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, Cet, 1. (Jakarta: CV.Rajawali, 1990), hal.32.

43 .Lihat CMV Clakrson, Understanding Criminal Law, Second Edition, (London: Fontana Press, 1995), hal.108-109.

Page 32: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

24

masih terjadi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat.

Menghadapi hal itu timbul pemikiran untuk menerapkan hukum pidana sebagai

mekanisme tradisional dari kontrol sosial terhadap perbuatan-perbuatan yang

merusak dan mencemarkan lingkungan.

Penerapan hukum pidana terhadap kejahatan yang bersifat mengatur di satu

pihak sangat penting sebagai sanksi terhadap pelaku. Namun di pihak lain,

penerapan hukum pidana ini menghadapi permasalahan, terutama yang berkaitan

dengan masalah pembuktian adanya unsur kesalahan dari pelaku delik. Dari

permasalahan tentang pembuktian dalam penegakan hukum maka strict liability

mulai dintroduksi ke dalam kasus-kasus pidana.

Kasus yang sering dijadikan sebagai contoh penerapan asas strict liability

adalah kasus Prince,44 yang pada intinya kasus tersebut adalah sebagai berikut:

"Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis berumur 16

tahun tanpa izin orang tuanya (melanggar Pasal 55 Offences Against the Person

Act 1861 yang diperbaharui dengan Pasal 20 Sexual Offers; Act 1956. Di muka

sidang Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang mengetahui gadis itu di

bawah kekuasaan orang tua tetapi ia mengira/berkeyakinan bahwa gadis itu

berumur 18 tahun, berdasarkan juga pengakuan gadis itu terhadap Prince.

Pengadilan berpendapat, bahwa terhadap perbuatan menarik gadis dari

kekuasaan orang tua harus tetap dibuktikan adanya kesengajaan, tetapi terhadap

usia gadis tersebut, yaitu 16 tahun tidak harus dibuktikan karena undang-undang

tidak mensyaratkan pengetahuan terhadap umur dari gadis itu, dan Prince tetap

dipidana".

Kasus yang lain adalah kasus Warner vs Metropolitan Police

Commissioners (1969), yang intinya kasusnya adalah sebagai berikut:45

"Terdakwa Warner dituduh memiliki bahan terlarang berupa tablet-tablet

amphetamine sulphate yang melanggar Drugs Act 1964. Bahan-bahan

terlarang itu terdapat di dalam salah satu paket parfum yang terdakwa bell

dari orang yang biasa menjual parfum kepadanya. Menurut terdakwa ia

44 .L.B. Curson, Cases in Criminal Law, (London: Macdonnald and Evans, I 974), ha1.22.45 .L.B. Curson, Ibid., hal.38.

Page 33: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

25

tidak tahu bahwa salah satu paket itu berisi bahan terlarang, ia mengira dan

yakin paket itupun berisi parfum”.

Oleh pengadilan tingkat pertama terdakwa dipidana setelah hakim dalam

kesimpulannya menerangkan kepada juri, bahwa untuk pemidanaan cukup

dinyatakan bahwa terdakwa kedapatan memiliki bahan-bahan terlarang dan ia

tidak perlu mengetahui bahan apa itu.

Pengadilan banding menolak banding dari terdakwa, tetapi atas permohonan

terdakwa menetapkan bahwa dalam kasus ini ada masalah hukum yang penting.

Oleh karena itu dengan berat akhirnya Court of appeal mengizinkan pemeriksaan

ke House of Lord.

House of lord berpendapat bahwa tindak pidana yang dituduhkan itu bersifat

absolut yaitu tidak diperlukan adanya mens rea, sekalipun terdakwa dalam

memiliki paket itu sama sekali tidak mengetahui isi paket tersebut".

Kasus pidana lainnya yang berkaitan dengan penerapan asas strict liability

adalah kasus Alphacell Ltd v Woodward (1972), yang pada intinya kasusnya

adalah demikian:46

"Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan

tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang

tuduhan itu dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya

kesengajaan, kealpaan atau kesembronoan dari terdakwa. Hourse of Lord

menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada

terdakwa".

c.Kriteria Strict Liability

Menentukan penerapan tanggungjawab mutlak dalam perkara pidana pada

prinsipnya tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua jenis tindak

pidana dapat diterapkan asas strict liability. Akan tetapi hanya dalam hal-hal yang

46 .Marcus Fletcher, A- Level Principle of English Law , First Edition, (London HLT Publication, 1990), hal 202.

Page 34: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

26

khusus, yaitu:

1. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-

undang sendiri cenderung menuntut penerapan strict liability;

2. Kebanyakan orang berpendapat bahwa penerapannya hanya ditentukan

terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu.

Jadi penerapannya sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan

terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi patokan penerapan asas strict liability

dapat dikemukakan patokan antara lain:47

1. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi

sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial atau

yang membahayakan sosial;

2. Perbuatan itu benar-benar melawan hukum yang sangat bertentangan

dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan;

3. Perbuatan tersebut dilarang dengan keras oleh undang-undang karena

dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang potensial mengandung

bahaya kepada kesehatan, keselamatan, dan moral publik; dan

4. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara

tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.

Dengan adanya standarisasi atau patokan tersebut di atas maka para sarjana

hukum atau ahli hukum menetapkan perbuatan-perbuatan yang diterapkan pada

asas srict liability. Peter Gilles,48 mengkhususkan pada peraturan di bidang

aktivitas ekonomi, seperti mengendarai kendaraan bermotor, proses dan penjualan

bahan makanan, dan pencemaran lingkungan. Kejahatan itu juga berkaitan dengan

aktivitas yang membahayakan kesehatan umum dan perlindungan moral.

Kejahatan itu oleh Peter Gillies secara khusus disebut regulatory offences or

welfare offences.

Delik yang diterapkan strict 113bility oleh pembentuk undang-undang

47 .Lihat M.Yahya Harahap, Op.Cit , ha1.37-38.48 .Peter Giilies, Op.Cit., ha1.82.

Page 35: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

27

biasanya adalah delik yang ringan atau yang bersifat regulatory offences, seperti

sale of food, the conductof licensed premised, and the use of Pals or misleading

trade description. Walaupun undang-undang menyebutkan bahwa suatu delik

harus memenuhi mens rea namun dalam prakteknya hakim kadang-kadang juga

menerapkan asas strict liability terhadap delik-delik tertentu.49

Pada umumnya para ahli hukum membedakan antara kejahatan sebagai

kriminal murni dan pelanggaran. Kejahatan murni disebut mala in se seperti

pembunuhan, pencurian, dan perkosaan. Sedangkan pelanggaran disebut mala

prohibita, seperti regulatory offences dan quasi crimes. hal yang terakhir ini

biasanya mengatur tentang jalannya kehidupan masyarakat, seperti perlindungan

konsumen dari makanan dan minuman harus memenuhi syarat kejahatan, atau

peraturan yang melindungi lingkungan dari berbagai macam polusi akibat

penggunaan alat-alat medis ataupun akibat industri. Untuk kejahatan murni, maka

mens rea merupakan persyaratan yang harus dipenuhi. Sedangkan untuk jenis

pelanggaran tidak mensyaratkan adanya mens rea. Untuk hal yang terakhir itulah

menurut mereka yang dapat diterapkan strict liability.50

Dari hal-hal yang disebutkan di atas, dapat ditegaskan bahwa sangat penting

untuk menekankan kata-kata kunci di dalam suatu undang-undang, sebagai isyarat

adanya mens rea. Namun dalam praktek pengadilan hal itu tidaklah mudah karena

sangat bergantung pada kasus yang ditangani. Oleh karena itu tidaklah merupakan

jaminan bahwa penerapannya sesuai dengan maksud dari pembentuk undang-

undang. Jadi dapat dikatakan bahwa tidak adanya kepastian hukum mengenai ada

atau tidaknya mens rea dalarn hukum pidana, termasuk di Inggris yang

menerapkan asas strict liability ini.51

49 Michael J Allen, Texbook on Criminal Law, (London: Blakstone Press Limited, 1991), hal.82.

50 .Ibid.51 .Wayne R.LaFave & Austin W Scott, Handbook on Criminal Law, (West

Publishing Co, 1972), hal.219.

Page 36: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

28

2.Vicarious Liability

a.Pengertian Asas Vicarious Liability

Pengertian asas vicarious liability dapat dikemukakan oleh beberapa ahli

hukum diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Peter Gillies yang menyatakan bahwa:52 "Vicarious liability consist of the

imposition of criminal liability upon a personal by virtue of the commission I

of an offence by another, or by reference to bith of these matters

(pertanggungjawaban pengganti adalah pengenaan pertanggungjawaban

pidana terhadap seseorang berdasarkan atas perbuatan pidana yang

dilakukan oleh orang lain, atau berdasarkan atas kesalahan orang lain, atau

berkenaan dengan kedua masalah tersebut)".

2. La-Fave yang menyatakan bahwa53 "A vicarious liability is one whrein one

person, though withaout personal fault, is more liable for the conduct of

another (pertanggungjawaban pengganti adalah sesuatu di mana seseorang,

tanpa kesalahan pribadi, bertanggungjawab atas tindakan orang lain)".

3. Smith & Brian Hogan menyatkan bahwa54 A master can be held liable for his

servants crime, as general rule. Two exeptions are in public nuicence and

criminal libel, a master has been held liable for the servants act althaough he

is, personally, perfectly innocent (bahwa majikan dapat

dipertanggungjawabkan atas kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya.

Kecuali terhadap gangguan umum dan pencemaran nama, majikan

bertanggungjawab atas tindakan pegawainya meskipun dia tidak bersalah

sama sekali)

Dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa vicarious Liability adaiah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang

atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain. Kedua orang tersebut harus

mempunyai hubungan yaitu hubungan antara atasan dan bawahan atau hubungan

majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh

52 .Peter Gullies, Op.Cit., hal.109.53 .Wayne R. Lafave, Op.Cit., hat 223.54 .Smith & Hogan, Op.Cit., hal.171.

Page 37: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

29

pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaannya, atau dengan

istilah yang lain sering disebut sebagai pertanggungjawaban pengganti.

Perbedaan yang mendasar antara strict liability dan vicarious liability

menurut Glanvile William adalah mengenai ada atau tidak adanya actus reus dan

mens rea. Strict liability tidak membutuhkan mens rea, cukup dengan actus reus,

sedangkan vicarious liability justru sebaliknya, mens rea deri pekerja tetap

dibutuhkan untuk dapat mempertanggungjawabkan majikan atas perbuatan

pekerja tersebut.55

Selanjutnya Roeslan Saleh dalam bukunya mengakui adanya vicarious

liability sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat

bahwa pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri.

Akan tetapi menurut asas vicarious liability orang bertanggung jawab atas orang

lain. Aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-siapakah yang dipandang

sebagai pelaku yang bertanggung jawab.56

b.Penerapan dan Kriterian Asas Vicarious Liability

Penerapan doktrin vicarious liability pada awalnya diterapkan pada kasus-

kasus perdata terutama pada kasus-kasus kerugian (tort). Akan tetapi dalam

hukum pidana konsepnya sangat berbeda. Diterapkannya hukuman pidana

terhadap orang yang merugikan atau mengancam kepentingan sosial, sebagian-

untuk memperbaiki dan sebagian lagi untuk melindungi dan mencegah dari

aktivitas yang anti sosial.57

Doktrin vicarious liability itu berkembang dan pada akhirnya juga dicoba

untuk diterapkan pada kasus-kasus pidana. Perkembangan doktrin itu terutama

didukung oleh putusan-putusan pengadilan yang diikuti oleh pengadilan

berikutnya, yang pada dasarnya menganut asas presedent. Perkembangan yang

pesat mengenai penerapan asas vicarious liability ini terutama terjadi pada negara-

negara yang menganut sistem common law, terutama di Inggris dan Amerika

55 .Glanvile William, Criminal Law, Second Edition, (London: Steven and Sons, 1961), hal.285.

56 .Roeslan Saleh, Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Rant, 1983), hal.32.

57 Wayne R. LaFave, Op.Cit., hal.224.

Page 38: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

30

Serikat.

Di Indonesia di beberapa undang-undangnya antara lain undang-undang

mengenai pengelolaan lingkungan hidup juga telah menerapkan asas ini dalam

sistem pertanggungjawabannya dan dalam praktek penegakannya menggunakan

asas ini.

Secara tradisional konsep itu telah diperluas terhadap suatu situasi di mana

pengusaha bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang dilakukan oleh

pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaannya. Tanggung jawab yang dipikul

oleh majikan itu dapat terjadi satu di antara tiga hal-hal berikut:58

1. Peraturan perundang-undangan menyebutkan secara eksplisit

pertanggungjawaban suatu kejahatan secara vicarious;

2. Pengadilan telah rnengembangkan doktrin pendelegasian

dalam kasus pemberian lisensi. Doktrin itu berisi tentang

pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh orang

lain apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut undang-

undang kepada orang lain;

3. Pengadilan dapat menginterpretasikan kata-kata dalam

undang-undang sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap

sebagai tindakan dari pengusaha.

Ada dua syarat penting untuk dapat menerapkan suatu perbuatan pidana

dengan asas vicarious liability yaitu:59

1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti pekerjaan antara majikan dengan

pegawai atau pekerja (there must be relationship, such as the employment

relationship, between X and Y which is sufficient to justify the imposition of

vicarious liability);

2. Perbuatan pidana yang dilakukan (Dien pegawai atau pekerja tersebut harus

berkaitan al: masih dalam ruang lingkup pekerjaannya (the tort

committed by Y must be referable in some particular way to the relationship

between X and Y).

58 .C.M.V.Clakrson, Understanding Criminal Law, Op.Cit., haI.44.59 .Marcus Fletcher, A-Level Principles of English Law, (British Government: 1ILT Pal,

1990), hal.194.

Page 39: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

31

Di samping dua syarat tersebut di atas masih terdapat dua prinsip yang harus

dipenuhi dalam menerapkan asas vicarious liability, yaitu prinsip pendelegasian

dan prinsip perbuatan buruh merupakan perbuatan majikan.

Adapun kedua prinsip tersebut adalah:

1. Prinsip Pendelegasian (The Delegation Principle)

Prinsip pendelegasian itu berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang

untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung usaha

tersebut, tetapi ia memberikan kepercayaan secara penuh kepada seorang manajer

untuk mengelola perusahaan tersebut. Jika manajer itu melakukan perbuatan

melawan hukum, si pemegang lisensi (pemberi delegasi) bertanggung jawab atas

perbuatan manajer tersebut. Contoh kasus mengenai prinsip pendelegasian ini

dapat dikemukakan sebagai berikut:60

a. X adalah pemilik rumah makan. Pengelolaan rumah makan itu diserahkan

kepada Y (manajer). Berdasarkan peringatan dari polisi, X telah

menginstruksikan/melarang kepada Y untuk mengizinkan pelacuran di

tempat itu yang ternyata dilanggar oleh Y.

b. X dipertanggungjawabkan berdasarkan Metropolitan Police Act 1839.

Konstruksi hukumnya adalah: "X telah mendelegasikan kewajibannya

kepada Y (manajer). Dengan telah melimpahkan kebijaksanaan usahanya itu

kepada manajer, maka pengetahuan si manajer merupakan pengetahuan dari

si pemilik rumah makan itu".

Kasus Allen v Whitehead tersebut dinyatakan telah melanggar Pasal 44

Metropolitan Police Act 1839. Dalam kaitan itu jaksa berkomentar:61

"That is ignorance of the facts was no defence. The acts of the servant and his

mens rea where both to be imputed to his master, not simply because he was a

servant, but because the management of the haouse had been delegated to him".

Prinsip pendelagasian sangat penting untuk menentukan apakah asas vicarious

ini diterapkan. Apabila tidak terdapat pendelegasian, majikan tidak bertanggung

60 .LB. Curson, Op.Cit, hal.28-29.61 .Smith & Hogan, Op.Cit., hal.142.

Page 40: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

32

jawab atas perbuatan bawahan. Contoh kasus mengenai hal ini dapat dikemukakan

sebagai berikut:

"Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman beralkohol

hanya dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan. Penjual

minuman itu menjual minuman kepada seseorang yang tidak memesan

makanan. Pemegang lisensi didakwa melanggar Pasal 22 ayat (1) Licensing

Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual minuman beralkohol.

Pemegang lisensi tidak mengetahui mengenai tindakan pelayanan tersebut.

Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah Agung menerima

pembelaan pemegang lisensi sehingga majikan tidak dipidana".

Putusan Mahkamah Agung tersebut dinilai tepat karena dalam kasus itu tidak

terdapat adanya pendelegasian. Perbuatan itu dilakukan oleh pelayan yang

sebenarnya sudah diberi petunjuk oleh majikan agar tidak menjual minuman

beralkohol kepada orang yang tidak memesan makanan. Jelas dalam kasus

tersebut tanggung jawab ada pada pelayan itu sendiri.

Berkaitan dengan prinsip pendelegasian itu, hal yang penting untuk diingat

adalah bahwa prinsip ini membutuhkan adanya mens rea. Artinya perbuatan

melawan hukum itu dilakukan dengan kesalahan oleh penerima delegasi. Jadi

kalau tidak ada kesalahan prinsip pendelegasian itupun juga tidak dapat

diberlakukan.

Dalam kaitan dengan syarat mens-rea, Parker memberi komentar sebagai

berikut:

"The delegation prinsiple come info play in the case of offences requiring

mens rea. Whre liability is strict, "one person on whom liability is theown is

resposible wheter hi hasdelegated or wheter he has acted through a

servent". According to this view, if D the lissence, noL having delegated his

duties, is serving in the bar and E, the barmaid, without his knowledge, sell

liquar a) to a constable on duty and b) to drunken person, D is liable for the

letter bit not former offence, sine a) requires mens rea but b) does not".62

62 Ibid., hal. I44.

Page 41: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

33

2. Tindakan Buruh adalah Tindakan Majikan. (The servants Act is the

Masters Act in Law)

Tindakan buruh merupakan syarat y: kedua untuk dapat diterapkan asas

vicarious liability, dimana terdapat perkataan selling yang merupakan hal yang

utama berdasarkan prinsip actus reus.

Pasal 8 Food Saftey Act 1990 melarang atas penjualan makanan yang tidak

layak. Menjual adalah batasan hukum yang menunjuk pada suatu kontrak. Adapun

yang dimaksud dengan kontrak adalah antara pemilik toko atau perusahaan

dengan pembeli. Walaupun yang menjual itu adalah pekerja atau pegawai, yang

bertanggung jawab alias barang yang dijual adalah pemilik. Jadi pekerja sebagai

pembuat materiil/fisik (auctor fisicus) dan pemilik sebagai pembuat intelektual

(auctor intelectualis). Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus Coppen vs

Moore, adapun ringkasan kasusnya adalah sebagai berikut:

"D mempunyai enam buah toko yang menjual daging Amerika. Dia telah

menanam daging itu sebagai breakfast ham dan tidak menjual dengan nama

yang lain. Dengan ketidakhadiran D dan tanpa sepengetahuan dari manajer

cabang lain, seorang asisten menjual daging itu dengan nama scotch ham. D

didakwa melanggar Undang-Undang Merek Dagang (Merchandishe Mark

Act 1887 Pasal 2 ayat (2)) of selling good to which any false trade

description".63

Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa tindakan buruh dianggap sebagai

tindakan majikan apabila berkaitan dengan kasus menjual. Dijelaskan bahwa

perkataan menjual bukan dikaitkan dengan aktual selalu akan tetapi dikaitkan

dengan pemilikan barang tersebut.

3.Enterprise Liability (Corporate Liability)

a.Perkembangan Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana

Perkembangan konsep korporasi sebagai subyek perbuatan pidana merupakan

akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam menjalankan aktivitas

63 .Ibid., hal. 145.

Page 42: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

34

usahanya. Pada masyarakat yang masih sederhana, kegiatan usaha cukup

dijalankan secara perorangan. Namun, dalam perkembangan masyarakat yang

tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama dengan

pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha. Beberapa hal yang menjadi faktor

pertimbangan untuk mengadakan kerja sama antara lain, terhimpunnya modal

yang lebih banyak, tergabungnya keterampilan dalam suatu usaha jauh lebih balk

dibandingkan dengan yang dijalankan seorang diri, dan mungkin pula atas

pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.64

Perkembangan lebih lanjut dapat dipanami berdasarkan kenyataan yang terjadi

saat ini, yaitu suatu usaha tidak hanya terbatas pada beberapa orang saja. Hal itu

dapat dibuktikan dengan adanya korporasi, misalnya perseroan terbatas yang

menawarkan saham pada masyarakat pada saat go public sehingga jumlah suatu

kerjasama dapat mencapai ratusan atau ribuan orang.

Berdasarkan gambaran tersebut dapat dipahami bahwa proses modernisasi

yang berlangsung di negeri kita, terutama di bidang ekonomi dan perdagangan

telah terjadi perubahan dari masyarakat yang sifatnya agraris menjadi masyarakat

industri dan perdagangan meskipun saat ini kondisi tidak mendukung mengingat

krisis ekonomi dan krisis multidimensional di berbagai aspek kehidupan yang

menimpa negara kita.

Adanya perbedaan dan perubahan dalam kegiatan usaha antara lain berupa

sebagai berikut:

a. kebutuhan modal dalam jumlah besar sehingga menghasilkan usaha-usaha

mengumpulkan dana masyarakat secara intensif;

b. perubahan dalam pemilikan yang dapat dilihat ke dalam kekuasaan dan

hak-hak yang tidak tampak seperti deposito, saham, dan surat berharga

lainnya;

c. kegiatan ekonomi yang berorientasi ke pasar internasional;

d. pemindahan dari milik pribadi ke pemilik korporasi; dan

e. korporasi semakin meluas dan berkuasa dalam kehidupan ekonomi dan

64.Rudy Prasetya,"Perkembangan Korporasi dalam Proses Modernisasi, (Semarang: Fakultas Hukurn UNDIP, 1989), hal.3.

Page 43: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

35

kemasyarakatan.

Sisi lain yang menjadi pusat perhatian dalarn perkembangan dan perubahan

dalam bidang kegiatan sosial ekonomi adalah penyimpangan perilaku bersifat

merugikan dan membahayakan masyarakat dalam berbagai bentuk yang berskala

luas. Dalam lingkup pembicaraan mengenai perkembangan konsep korporasi

sebagai subyek perbuatan pidana, Rudhy Prasetya mengatakan bahwa timbulnya

konsep badan hukum sekadar konsep dalam hukum perdata sebagai kebutuhan

untuk menjalankan kegiatan usaha yang diharapkan lebih berhasil. Korporasi

merupakan suatu bentukan hukum, yaitu pemberian status sebagai subyek hukum

kepada suatu badan hukum, disamping subyek hukum yang berupa manusia

alamiah. Dengan demikian badan hukum dianggap dapat menjalankan atau

melakukan tindakan hukum.65

Pemberian status subyek hukum khusus yang berupa badan hukum tersebut,

dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai macam alasan dan/atau

motivasi. Salah satu alasan misalnya, untuk memudahkan siapa yang harus

bertanggung jawab diantara mereka yang terhimpun dalam badan tersebut, yakni

secara yuridis dikonstruksikan dengan menunjuk badan hukum sebagai subyek

yang harus bertanggung jawab. Oleh karena itu dalam perkembangannya

eksistensi korporasi sebagai subyek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar

hukum perdata, misalnya hukum pajak dan hukum administrasi negara serta

hukum perdata.66

Pengakuan hukum pajak terhadap korporasi tercantum dalam Undang-undang

No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan. Pasal 1 butir

(a) disebutkan bahwa wajib pajak adalah orang atau badan hukum menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan

kewajiban perpajakan. Selanjutnya dalam undang-undang No. 7 tahun 1983

tentang pajak penghasilan, Pasal 2 ayat (1) butir (b) dinyatakan bahwa yang

menjadi subyek pajak adalah badan yang terdiri dari perseroan terbatas, perseroan

65.LS.Susanto, "Tinjauan Kriminulogi Terhadap Perilaku Menyimpang Dalam Kegiatan Ekonomi Masyarakat dan Penanggulangannya", (Semarang: Fakultas Hukum UNDIP, 1990), hal.2-3.

66 .Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia, Cet. 1., (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 29.

Page 44: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

36

komanditer, badan usaha milik negara dan daerah dengan nama dan dalam bentuk

apapun, persekutuan, perseroan atau perkumpulan lainnya, firma, kongsi,

perkumpulan koperasi, yayasan atau lembaga dan bentuk usaha tetap.67

Korporasi diakui dalam hukum administrasi negara, tampak dalam pemberian

lain usaha, yang dalam beberapa hal mensyaratkan bahwa izin usaha hanya dapat

diberikan jika permohonan izin mengambil bentuk badan hukum atau perseroan

terbatas (P.T). Ketentuan demikiun tidak hanya berlaku di Indonesia, tetapi

berlaku secara universal di berbagai negara, sedangkan ketentuan yang

mensyaratkan bentuk badan hukum didasarkan atas berbagai pertimbangan dan

yang paling dominan ialah agar lebih mudah menunjuk siapa

penanggungjawabnya dan atau terjaminnya kontinuitasnya.68

Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha

yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subyek hukum

yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan.

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem

pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu:

1. Pengurus korporasi yang berbuat, maka penguruslah yang bertanggung

jawab;

2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;

3. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.69

KUHP Belanda sejak tahun 1976 telan mencantumkan pertanggungjawaban

korporasi sebagai subyek perbuatan pidana yang diakui melalui undang-undang

tanggal 23 Juni 1976, Stb.377 yang disahkan tanggal 1 September 1976. Di

Indonesia, walaupun Pasal 59 KUHP yang sampai saat ini masih berlaku seperti

Pasal 51 KUHP Belanda, mulai dikembangkan dengan munculnya korporasi

sebagai subyek hukum sebagaimana tercantum dalam Pasal 44 RUB KUHPidana

tahun 2000. Meskipun demikian sebelumnya peraturan perundang-undangan kita

beberapa diantaranya telah menyimpang dari apa yang tercantum dalam Pasal 59

67.Rudy Prasetya, Op,Cit., hal.4.68 .Ibid.69 .Mardjono Reksodiputro, "Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalarn Tindak Pidana

Korporasi", Jakarta: Fakultas Hukum UI, 1989), hal.9.

Page 45: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

37

KUHPidana Indonesia, dimana perbuatan pidana tidak hanya dilakukan oleh

manusia alamiah tetapi dilakukan oleh korporasi. Peraturan perundang-undangan

pidana di luar KUHP yang mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi

adalah sebagai berikut:

1. Undang-Undang No.7 tahun 1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi, rumusan

pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 15;

2. Undang-Undang No. 11 PNPS tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan

Subversi, yang memuat rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi

sebagai pembuat tindak pidana tercantum dalam Pasal 17;

3. Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 130 dan Pasal

135;

4. Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, Pasal 116, Pasal 118, Pasal 119;

5. Undang-Undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang

mencantumkan pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 19 ayat(4), Pasal

61 jo Pasal 62;

6. Undang-undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, yang

mencantumkan pertanggungjawaban korporasi dalam Pasal 17, Pasal 28 jo

Pasal 44.

Dari sejumlah peraturan yang dikemukakan, yang dikaji oleh Pohan kecuali

UU No. 23 tahun 1997 dan UU No. 8 tahun 1999, berpendapat :”…. Adanya

keraguan dari pembuat undang-undang untuk menempatkan korporasi sebagai

subyek hukum yang dapat diberi tanggung jawab pidana.70

Kesimpulan Pohan tersebut diperkuat pula oleh kenyataan bahwa apabila

tadinya Pasal 46 Undang-Undang No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta telah

menerima adanya tanggung jawab pidana korporasi, tetapi Pasal 46 ini kemudian

dihapus oleh Undang-Undang No.7 tahun 1987, masih mengenai Hak Cipta,

dengan pertimbangan bahwa yang bertanggung jawab atas tindak pidana yang

dilakukan oleh suatu badan hukum adalah pengurus badan hukum itu dan

70 .Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, OP.Cit., hal.70-71.

Page 46: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

38

peniadaan ketentuan ini juga dimaksudkan untuk menjangkau tindakan hukum

terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh badan-badan lain seperti yayasan.71

Kesimpulan Pohan tersebut dapat diterima karena mulai tahun 1955 seperti

yang tercantum dalam Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, pembuat

undang-undang sudah merasa perlu secara tegas menyimpang dari asas umum

Pasal 59 KUHP, untuk dapat memuat dan menjatuhkan pidana kepada korporasi

(disamping pengurusnya), karena akibat tindak pidana ekonomi itu dianggap

dapat sangat merugikan masyarakat. Hal itu kemudian diikuti pula untuk tindak

pidana yang dianggap sama seriusnya, yaitu tahun 1963 (UU No.11 PNPS tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Subversi), tahun 1964 (UU No.17 tentang Cek

Kosong, dicabut tahun 1971), tahun 1976 (tentang Narkotika) dan tahun 1982

(tentang Hak Cipta). Akan tetapi dalam tahun 1981 (tentang Metalurgi Legal) dan

tahun 1982 (tentang Wajib Daftar Perusahaan), kemajuan yang telah dicapai ini

tidak diteruskan, malahan dalam tahun 1987 (tentang Hak Cipta) sebuah undang-

undang yang telah memuat kemajuan itu telah diubah. Kalau diperhatikan dengan

seksama, tindak pidana yang terjadi dalam rangka ketiga undang-undang terakhir

itu mempunyai potensi untuk mengakibatkan kerugian yang besar pada

masyarakat khususnya kalau dilakukan oleh korporasi.72

Perubahan masyarakat yang diikuti peningkatan peranan korporasi sebagai

pelaku pembangunan di bidang ekonomi dan bisnis, berpengaruh besar terhadap

pandangan-pandangan ahli hukum pidana dan kriminologi dalam hubungannya

dengan pengembangan hukum pidana sebagai sarana dalam penanggulangan

bentuk-bentuk kejahatan korporasi. Hal itu ditandai dengan pergeseran pandangan

bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat di samping

manusia. Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin Universitas

Delinguere Non Potest (societal puniri non potest) sudah mengalami perubahan

dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daderschap).73

Di Indonesia perkembangan tersebut di atas dapat dipahami melalui pendapat

71 .Mardjono Reksodiputro, Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan, Op.Cit., ha1.70-71.

72 .Ibid., hal.71.73 Muladi, "Fungsionalisasi Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Korporasi, (Semarang:

Fakultas Hukum UND1P, 1989), hal 5.

Page 47: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

39

Tim Pengkajian Bidang Hukum Pidana dan Penyusunan Rancangan Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, yang menerima korporasi sebagai

pembuat dan yang bertanggung jawab dalam hukum pidana. Penerimaan itu

dimuat dalam naskah Rancangan KUHPidana tahun 1999/2000, yaitu Pasal 44

dan 45 dengan bunyi rumusan sebagai berikut:

Pasal 44 : Korporasi merupakan subyek tindak pidana

Pasal 45 : Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh atau untuk suatu korporasi,

maka penuntutan dapat dilakukan dan pidananya dijatuhkan terhadap

korporasi itu sendiri, atau korporasi dan pengurusnya atau pengurusnya

saja.

Sedangkan menurut naskah Rancangan Kitab Undang – Undang Hukum

Pidana (RKUHP) hasil pembahasan panitia kerja R-KUHP DPR-RI tanggal 24

Februari 2017, terkait korporasi sebagai subjek tindak pidana dan bentuk

pertanggungjawaban korporasi dapat diuraikan ketentuan Pasal 48, Pasal 50

dengan rumusan sebagai berikut:

Pasal 48 : Korporasi merupakan subjek tindak pidana.

Pasal 50 : Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban

pidana dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya atau

pengendali korporasi.

Page 48: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

40

Page 49: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

41

BAB III

SISTEM PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Perlunya Pengaturan Tentang Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Terbentuknya negara Indonesia tidak lain memiliki suatu tujuan yang mulia

yaitu mendorong dan menciptakan kesejahteraan umum dalam payung Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan pancasila. Tujuan atau cita-cita

tersebut tercermin dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dalam alinea

ke-4 yaitu sebagai berikut :

“Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara

Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,…”

Kesejahteraan bagi seluruh rakyat tanpa terkecuali merupakan landasan

utama bagi setiap pengambilan kebijakan untuk terus berupaya meningkatkan

taraf kehidupan masyarakat yang pada dasarnya merupakan hak konstitusional

setiap warga negara Indonesia. Kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia hanya

sekedar cita-cita belaka jika tanpa diiringi oleh usaha yang nyata oleh

penyelenggara negara dalam mengemban amanat konstitusi, salah satu upaya

nyata yang dimaksud adalah dengan melakukan penegakan hukum yang bertujuan

melindungi segenap bangsa dan tumpah darah dari segala kesewenang-wenangan

termasuk kesewenang-wenangan mengenai hak-hak perekonomian rakyat.

Perlindungan terhadap segenap bangsa dan tumpah darah melalui perangkat

hukum yang berlaku merupakan hal yang mutlak untuk diwujudkan, tidak ada

artinya kata-kata “melindungi segenap bangsa dan tumpah darah” jika ternyata

masih ada penderitaan yang dirasakan oleh rakyat berupa ketimpangan-

ketimpangan hak-hak ekonomi yang mencerminkan ketidaksejahteraan bagi

seluruh rakyat Indonesia.

Ketidaksejahteraan tersebut didorong dan diciptakan oleh sistem

pemerintahan yang tidak berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, karena

Page 50: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

42

masih membiarkan adanya praktik-praktik pemerintahan dimana kekuasaan

dijalankan secara sewenang-wenang dan tidak berpihak pada rakyat, penguasaan

akses-akses ekonomi oleh segelintir orang dan lain sebagainya. Perlu penjabaran

lebih rinci secara hukum, agar kewajiban konstitusional tersebut benar-benar

dijalankan secara baik, dengan menciptakan praktik-praktik pemerintahan yang

terbuka, transparan dan senantiasa bertanggung jawab atas kepentingan

masyarakat secara luas, yang titik akhirnya adalah kesejahteraan secara nyata bagi

masyarakat luas dengan berpedoaman pada prinsip-prinsip keadilan sosial

berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuannya nasional melindungi segenap

bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dapat pula berarti upaya

keras dan nyata bagi pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari penderitaan dan

upaya yang nyata bagi terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat

Indonesia tanpa kecuali.

Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang

pasca zaman reformasi tahun 1998 dan menjadikannya sebagai negara demokratis

di dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada saat ini, Indonesia

telah memasuki era globalisasi dan kemajuan yang amat pesat dalam berbagai

bidang kehidupan. Dalam hal ini, pembangunan tidak hanya menyangkut

pembangunan di bidang ekonomi semata namun menyangkut seluruh aspek

kehidupan masyarakat termasuk pembangunan di bidang hukum, pembangunan di

bidang ekonomi bahkan pembangunan di bidang sosial dan politik.

Perkembangan dan pembangunan sebagaimana telah dikemukakan di atas

sudah tentu tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi dan perkembangan

ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang begitu cepat. Namun demikian,

perlu disadari bahwa globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi ini tentu saja disamping menimbulkan manfaat bagi kehidupan manusia

sudah tentu harus diwaspadai efek sampingnya yang bersifat negatif, yaitu adanya

“globalisasi kejahatan” dan meningkatkan kualitas (jumlah) serta kualitas (modus

operandi) tindak pidana diberbagai negara.74

74 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm 1-3.

Page 51: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

43

Dengan adanya globalisasi dan modernisasi tepatnya dalam hal kemajuan

teknologi, komunikasi, transportasi dan informatika khususnya di bidang

ekonomi, perdagangan dan investasi, kemajuan dan perkembangan dunia, seolah-

olah membuat batas-batas negara, kedaulatan dan hak-hak berdaulat menjadi tidak

berlaku lagi. Hal ini tentu akan menimbulkan dampak negatif yang sangat

memprihatinkan. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa dewasa ini

manusia seringkali memanfaatkan perkembangan teknologi, komunikasi,

transportasi dan informatika untuk memudahkan perilaku jahat yang tidak

dikendalikan akal dan hati nurani dan justru menggunakan alat-alat teknologi

modern tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana, bahkan tindak pidana yang

bertentangan dengan peradaban manusia. Dengan berkembangnya berbagai jenis

kejahatan yang semakin kompleks sudah tentu menuntut adanya sarana

penanganan yang mampu untuk memecahkan dan tanggap akan kondisi tersebut.

Hal ini diperkuat dengan Article 1 The United Nations Convention Against

Transnational Organized Crime Tahun 2000 (UNCATOC) disebutkan dengan

tegas bahwa :“The purpose of this convention is to promote cooperation to

prevent and combat transnational organized crime more effectively”. (tujuan dari

konvensi ini adalah untuk memajukan kerjasama untuk mencegah dan

memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi secara lebih efektif).

Dilihat ketentuan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa dewasa ini terbukti

adanya peningkatan kejahatan dan keprihatinan masyarakat internasional

mengenai kejahatan atau tindak pidana yang senantiasa berkembang. Tindak

pidana saat ini tidak saja merupakan masalah suatu negara, tetapi juga merupakan

masalah global.

Demikian pula dengan laporan Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

ke-5 dan ke-6 yang membahas mengenai The Prevention Of Crime and the

Treatment Of Offenders terungkap bahwa Crime As Business merupakan bentuk

kejahatan atau tindak pidana dalam bidang bisnis atau industri yang pada

umumnya dilakukan secara terorganisasi dan dilakukan oleh yang mereka

mempunyai kedudukan yang terpandang dalam masyarakat atau dapat dikatakan

sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Dalam kongres ke-6

Page 52: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

44

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lebih lanjut dikatakan bahwa tindak pidana

bisnis atau tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi meliputi berbagai

bidang dan tidak dapat dipasah-pisahkan melainkan kesemuanya memiliki

hubungan satu dengan yang lain. Hal ini akan membawa konsekuensi lebih lanjut

dalam hal atau upaya pencegahan dan pemberantasannya. Karena kesemua bidang

tersebut saling berkaitan satu dengan yang lain, maka dalam upaya pencegahan

dan pemberantasannya pun tidak dapat dilakukan satu persatu atau bagian

perbagian melainkan harus dilakukan secara terpadu dan terintegrasi.

Hal yang serupa dikemukakan pula oleh The United Nation Convention

Against Corruption (UNCAC), tepatnya dalam preamble (pembukaan) dinyatakan

dengan tegas bahwa lahirnya konvensi ini dilatarbelakangi beberapa faktor

berikut:

Pertama, keprihatinan negara-negara terhadap dampak serius tindak pidana

korupsi. Negara-negara di dunia prihatin atas keseriusan masalah dan ancaman

yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi terhadap stabilitas dan keamanan

masyarakat yang merusak dan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-

nilai etika dan keadilan serta mengacaukan pembangunan yang berkelanjutan dan

penegakan hukum (Corcernerned about the seriousness of problems and treats

posed by corruption to the stability and security of societies, undermining the

institutions and values of democracy, ethical values and justice and jeopardizing

sustainable development and the rule of law).

Kedua, adanya hubungan antara tindak pidana korporasi dengan tindak

pidana korupsi dan tindak pidana lainnya. Prihatin juga atas hubungan antara

tindak pidana korupsi dan bentuk-bentuk lain kejahatan, khususnya kejahatan

yang terorganisir dan kejahatan-kejahatan ekonomi, termasuk tindak pidana

pencucian uang (concerned also about the link between corruption and other

forms crime, in particular organized crime and economic crime, including money-

laundring).

Ketiga, tindak pidana korupsi dan juga korporasi terkait dengan jumlah aset

yang besar. Prihatin lebih lanjut atas kasus-kasus tindak pidana korupsi yang

melibatkan jumlah aset yang besar yang dapat merupakan bagian penting sumber

Page 53: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

45

daya negara, dan mengancam stabilitas politik dan pembangunan yang

berkelanjutan negara tersebut (concerned further about cases of corruption that

involve vast quantities of assets, which may constitute a substantial proportion of

the resources of states, and that threaten the political stability and sustainable

development of those states).

Keempat, tindak pidana korporasi termasuk juga korupsi terkait aspek

internasional, perlu pendekatan komprehensif dan perlu upaya pencegahan.

Tindak pidana korupsi/korporasi tidak lagi merupakan masalah lokal, tetapi

merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh masyarakat dan

ekonomi, dengan demikian menjadikan kerja sama internasional untuk mencegah

dan mengendalikannya sangat penting (convinced the corruption is no longer a

local matter but a transnational phenomenon that affects all societies and

economies, making international cooperation to prevent and control it essential).

Penanganan kasus korupsi dan tindak pidana korporasi juga memerlukan suatu

pendekatan yang komprehensif dan multidisipliner diperlukan untuk mencegah

dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif (convinced also that e

comprehensive and multidisciplinary approach is required to prevent and combat

corruption effectively). Keberadaan bantuan teknis dapat memainkan peranan

yang penting dalam meningkatkan kemampuan negara, termasuk dengan

memperkuat kapasitas dan dengan peningkatan kemampuan lembaga untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif (convinced

further that the availability of technical assistance can play an important role in

enhancing the ability of states, including by strengthening capacity and by

institutional building, to prevent and combat corruption effectively).

Kelima, perlu upaya pencegahan dan pemberantasan akibat perolehan

kekayaan pribadi dan korporasi secara tidak sah. Adanya perolehan kekayaan

pribadi maupun korporasi secara tidak sah dapat secara khusus merusak lembaga-

lembaga demokrasi, sistem ekonomi nasional dan penegak hukum (convinced that

the illicit acquisition of personal wealth can be particularly damaging to

democratic institutions, national economies and the rule of law).Untuk mencegah,

mendeteksi dan menghambat dengan cara yang lebih efektif transfer internasional

Page 54: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

46

aset yang diperoleh secara secara tidak sah dan untuk memperkuat kerjasama

internasional dalam pengembangan aset (Determined to prevent, detect and deter

in a more effective manner international transfers of illicitly acquired assets and

to strengthen international cooperation in asset recovery). Pengakuan atas

prinsip-prinsip dasar prosedur hukum dalam proses pidana dan perdata atau proses

administratif untuk mengadili hak-hak atas kekayaan merupakan suatu hal yang

sangat penting (Acknowledging the fundamental principles of due process of law

in criminal proceedings and in civil or administrative proceedings to adjudicate

property right). Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan

tanggung jawab semua negara dan bahwa negara-negara harus saling

bekerjasama, dengan dukungan dan keterlibatan orang-perorangan dan kelompok

di luar sektor publik, seperti masyarakat madani, organisasi non pemerintah dan

organisasi kemasyarakatan agar upaya-upaya dalam bidang ini dapat efektif

(Bearing in mind that the prevention and eradication of corruption is a

responsibility of all satates and that they must cooperate with one another, with

the support and involvement of individuals and groups outside the publik sector,

such as civil society, nongovernmental organization and community, based

organization, if their efforts in this area are to be effective). Prinsip-prinsip

pengelolaan yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik, keadilan,

tanggung jawab dan kesetaraan di muka hukum dan kebutuhan untuk menjaga

integritas dan untuk mengingatkan budaya penolakan terhadap tindak pidana

korupsi (Bearing also in mind the principle of proper management of publik affair

and publik property, fairness, responsibility and equality before the law and need

to safeguard integrity and to foster a culture of rejection of corruption).

Keenam, perlunya kerjasama dengan Komisi Pencegahan Kejahatan dan

Peradilan Pidana dan organisasi internasional lainnya yang berada di bawah

naungan Perserikatan Bangsa Bangsa. Menghargai hasil kerja komisi pencegahan

kejahatan dan peradilan pidana dan kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk obat

terlarang dan kejahatan dalam mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi

(commending the work of the commission on crime prevention and criminal

justice and the United Nation Officer on Drugs and crime in preventing and

Page 55: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

47

combating corruption). Mengingat hasil kerja oraganisasi-organisasi internasional

dan regional lainnya dalam bidang ini, termasuk kegiatan-kegiatan Uni Afrika,

Dewan Eropa, Dewan Kerjasama Kepabeanan (juga dikenal sebagai Organisasi

Kepabeanan Dunia), Uni Eropa, Liga Negara-Negara Arab, Organisasi untuk

kerjasama Ekonomi dan Pembangunan dan Organisasi Negara-negara Amerika

(Recalling the work carried out by other international and regional organization

in this field, including the activities of the African Union, the Council of Europe,

the Customs Cooperation Council (also known as the World Customs

Organization), the European Union, the League of Arab States, the Organization

for Economic Cooperation and Development and the Organization of American

states). Mencatat dengan penghargaan instrumen-instrumen multilateral untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, termasuk antara lain Konvensi

Antar Amerika Anti Korupsi yang disahkan oleh Organisasi Negara-Negara

Amerika pada tanggal 29 Maret 1996, Konvensi tentang Pemberantasan Tindak

pidana korupsi yang melibatkan Pejabat-Pejabat Masyarakat Eropa atau Pejabat-

Pejabat Negara-Negara Anggota Uni Eropa yang disahkan oleh Dewan Uni Eropa

pada tanggal 26 Mei 1997, Konvensi tentang Memberantas Penyuapan Pejabat-

Pejabat Publik Asing dalam Transaksi-Transaksi Bisnis internasional yang

disahkan oleh Organisasi untuk kerja sama Ekonomi dan Pembangunan pada

tanggal 21 November 1997, Konvensi Hukum Pidana tentang Tindak Pidana

Korupsi, yang disahkan oleh Komite Menteri-Menteri Dewan Eropa pada tanggal

27 Januari 1999, Konvensi Hukum Perdata tentang Tindak Pidana Korupsi, yang

disahkan oleh Komite Menteri-Menteri Dewan Eropa pada tanggal 4 November

1999 dan Konvensi Uni Afrika tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi, yang disahkan oleh Kepala-Kepala Negara dan Pemerintahan Uni

Afrika pada tanggal 12 Juli 2013 (Taking note with appreciation of multilateral

instrument to prevent and combat corruption, including, inter alia, the inter-

American Convention against Corruption, adopted by the organization of

American states on 29 March 1996, the Convention on the Fight against

Corruption involving official of European Communities or Official of member

States of the European Union, adopted by the Council of the European Union 26

Page 56: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

48

May 1997, the Convention on Combating Bribery of Foreign Publik Official in

International Business transaction, adopted by Organization for Economic

Cooperation and Development on 21 November 1997, the Criminal Law

Convention On Corruption, adopted by the committee of ministers of the council

of Europe on 27 January 1999, the Civil Law Convention On Corruption, adopted

by the Committee of ministers of the Council of Europe on 4 November 1999 and

the African Union Convention On Preventing And Combating Corruption,

adopted by the heads of State of government of the African Union on 12 July

2003, welcoming the entry into first on 29 September 2003 of the United Nation

Convention against transnational Organized crime).

Adapun tujuan yang ingin dicapai dari konvensi ini tertuang tegas dalam BAB

I tepatnya Pasal 1 The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

yang menyatakan sebagai berikut:

Article 1 Statement of purpose (tujuan)

The purpose of this Convention are: (Tujuan Konvensi ini adalah:)

1. To promote and strengthen measure to prevent and combat corruption more

efficiently and effectively (meningkatkan dan memperkuat upaya-upaya untuk

mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara lebih efiensi dan

efektif).

2. To promote, facilitate and support international cooperation and technical

assistance in the prevention of and fight against corruption, including in asset

recovery (meningkatkan, memfasilitasi dan mendukung kerjasama

internasional dan bantuan teknis dalam pencegahan dan pemberantasan

korupsi, termasuk dalam pengembalian aset).

3. To promote integrity, accountability and proper management of publik affairs

and publik property (Meningkatkan integritas, akuntabilitas dan pengelolaan

yang baik urusan-urusan publik dan kekayaan publik).

Meskipun The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

berfokus pada penanggulangan tindak pidana korupsi, konvensi tersebut juga baik

secara langsung maupun secara tidak langsung mengakui adanya peningkatan

kualitas tindak pidana sehingga beberapa tindak pidana misalnya tindak pidana

Page 57: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

49

korupsi (termasuk pula dalam hal ini tindak pidana korporasi) tidak lagi menjadi

masalah lokal, tetapi merupakan fenomena internasional yang mempengaruhi

seluruh masyarakat dan sistem perekonomian.

Menghadapi efek negatif dari globalisasi yaitu adanya “globalisasi

kejahatan” serta peningkatan terhadap kuantitas dan kualitas kejahatan

sebagaimana telah dikemukakan di atas, hukum tentu harus kembali mengambil

peranannya sebagai sarana atau alat untuk mengatur ketertiban umum dan

memulihkan keseimbangan dalam kehidupan masyarakat khususnya dalam tataran

Negara Republik Indonesia. Hukum harus mengambil peranannya dalam rangka

merealisasikan tujuan nasional sebagaimana tertuang dalam alinea ke-4 Undang-

Undang Dasar 1945 berbunyi : “melindungi segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,

mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang

berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Dalam rangka itu, negara dituntut untuk berperan aktif dalam

penyelenggaraan aktivitas pemerintahannya secara transparan dan tetap berada

dalam pengawasan sosial. Demikian pula dengan peranan hukum dan penegakan

hukum, hukum dan penegakan hukum akan menjadi alat utama untuk

mengendalikan perubahan-perubahan sosial, seiring perkembangan-

perkembangan di dalam masyarakat. Hukum melalui peraturan perundang-

undangan dan pola penegakkan hukum merupakan salah satu sarana untuk

menjaga stabilitas negara serta mewujudkan rasa keadilan yang dibutuhkan oleh

masyarakat dalam kaitannya dengan era globalisasi dewasa ini, eksistensi suatu

korporasi memiliki andil yang cukup besar baik bagi kepentingan manusia

ataupun bagi kepentingan negara. Dikatakan demikian karena korporasi tidak

dapat dilepaskan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan

kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam rangka mencukupi kebutuhan umat

manusia dewasa ini tidak dapat dilepaskan dari keberadaan suatu korporasi. Hal

ini dapat dibuktikan bahwa untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari manusia

membutuhkan suatu korporasi misalnya supermarket, rumah sakit, pabrik,

perusahaan, usaha pengangkutan dan lain sebagainya.

Page 58: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

50

Sebagaimana dikemukakan di atas, selain bagi manusia, eksistensi

korporasi pun dirasakan penting bagi kepentingaan negara. Hal ini dikarenakan

korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap perekonomian nasional

tepatnya dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau pendapatan

suatu negara. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa korporasi memiliki peranan

penting seperti meningkatkan penerimaan negara dengan penerimaan pajak,

menciptakan lapangan pekerjaan, alih teknologi, terlebih untuk sebuah bank,

korporasi (yang dalam hal ini adalah bank dapat dikatakan sebagai pilar penopang

perekonomian nasional).

Namun demikian, peranan penting dan hal positif yang dapat diambil dari

eksistensi atau keberadaan suatu korporasi sebagai mana tersebut tidak selamanya

dapat terealisasi melainkan dengan tidak dapat dilepaskannya eksistensi korporasi

dewasa ini, sering kali diikuti oleh pelanggaran-pelanggaran atau bahkan

perbuatan melanggar hukum termasuk pelanggaran hukum pidana. Salah satu

contoh perbuatan pidana yang seringkali dilakukan oleh suatu korporasi misalnya

adalah korporasi melakukan pencemaran lingkungan, melakukan penipuan

terhadap konsumen, melakukan unfair business atau bahkan melakukan suatu

tindak pidana di bidang ekonomi seperti tindak pidana korupsi atau tindak pidana

pencucian uang (tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang secara

pasif bahkan secara aktif) yang tidak hanya merugikan orang perseorangan

ataupun masyarakat luas tetapi juga sangat berpotensi menimbulkan suatu

kerugian negara.

Tindak pidana korporasi juga dapat dikategorikan sebagai kejahatan-

kejahatan dengan dimensi yang baru.Tindak pidana korporasi dapat sebagai tindak

pidana atau kejahatan yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena

tindak pidana korporasi melibatkan suatu sistem yang tersistematis serta unsur-

unsurnya yang sangat kondusif. Dikatakan melibatkan suatu sistem yang

tersistematis karena adanya organisasi kejahatan (Criminal Group) yang sangat

solid baik karena ikatan etnis, kepentingan politis maupun kepentingan-

kepentingan lain, dengan “kode etik” yang sudah jelas. Sedangkan terkait dengan

“unsur-unsurnya yang sangat kondusif” bahwa dalam tindak pidana korporasi

Page 59: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

51

selalu ada kelompok pelindung “pelindung” (protector) yang antara lain terdiri

atas para oknum penegak hukum dan professional serta kelompok-kelompok

masyarakat tertentu yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara

tersistematis tersebut.75

Perlu pula dikemukakan bahwa tindak pidana korporasi seringkali

mengandung elemen-elemen kecurangan (deceit), penyesatan (misrepresentation),

penyembunyian kenyataan (concealment of fact), manipulasi (manipulation),

pelanggaran kepercayaan (breach of trust), akal-akalan (subterfuge) atau

pengelakan peraturan (illegal circumvention) sehingga sangat merugikan

masyarakat secara luas.76

Menurut Mardjono Reksodiputro, tindak pidana korporasi merupakan

bagian dari White Collar Crime yang dikemukakan oleh Shutherland berikut ini:

“…..is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomic class

in the course of his occupational activities” (kejahatan kerah putih adalah suatu

kejahatan yang dilakukan oleh seorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi

kelas atas yang berhubungan dengan jabatannya).77

Menambahkan berbagai pendapat di atas, menurut hemat penulis, tindak

pidana korporasi selain dapat dikategorikan sebagai tindak pidana internasional,

yakni tindak pidana yang dilakukan dan akibat yang ditimbulkannya terjadi dalam

territorial negara tertentu,78 tindak pidana korporasi dapat dikatakan sebagai

tindak pidana internasional karena tindak pidana korporasi merupakan tindak

pidana yang dilakukan dan diarahkan kepada orang-orang asing dan aset-aset

asing, dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi dirasakan secara

global, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan

diorganisasikan dan/atau melibatkan pemerintah dan/atau organisasi atau

korporasi yang terletak lebih dari suatu negara, tindak pidana korporasi

75 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 10.

76 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis, Prenada Media, Jakarta Timur, 2003, hlm. Xiii.

77 Kristian, Prinsip-Prinsip Dasar Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Non Publikasi, 2013., hlm. 51.

78 Kristian, Hukum Pidana Korporasi (kebijakan Integral (integral policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia), Nuansa Aulia, 2014., hlm. 103.

Page 60: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

52

dilatarbelakangi oleh tujuan untuk mencapai keuntungan material, tindak pidana

korporasi memiliki karakteristik yang sangat terorganisasi, tangguh, ekstrem,

eksklusif, tertutup, memiliki komitmen yang sangat tinggi dan memiliki dukungan

keuangan dan dana yang sangat besar, tindak pidana korporasi bertujuan atau

setidaknya dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

asing.79

Tindak pidana korporasi juga dapat dikategorikan sebagai tindak pidana

transnational organized crime (tindak pidana lintas batas negara yang

terorganisir) karena tindak pidana korporasi sangat mungkin dilakukan dilebih

dari satu wilayah negara, dilakukan di suatu negara, tetapi persiapan, perencanaan,

pengarahan, atau pengendalian atas kejahatan tersebut dilakukan di wilayah

negara lain, dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu kelompok

pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana dilebih

dari satu wilayah negara atau dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi akibat

yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain.80

Melihat beberapa hal tersebut di atas, tidaklah berlebihan apabila

dikatakan bahwa tindak pidana korporasi sebagai bentuk kejahatan yang tidak

hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi

dapat juga membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara. Oleh karenanya, tindak pidana korporasi juga dapat dikatakan sebagai

tindak pidana luar biasa (extra ordinary crime) yang membutuhkan penanganan

yang mendayagunakan cara-cara yang juga luar biasa pula (extra ordinary

measures).

Dikatakan demikian karena tindak pidana korporasi merupakan perbuatan

yang menimbulkan bahaya terbesar (the greatest denger) terhadap hak asasi

manusia, target dari tindak pidana korporasi bersifat random atau indiscrimate

yang cenderung mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah, dalam tindak

pidana korporasi, kemungkinan digunakan alat-alat dengan memanfaatkan

teknologi canggih, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari “shadow

79Ibid.80Ibid.

Page 61: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

53

economy”, “shadow crimes” atau “hidden crimes”, yakni tindak pidana yang

berjalan dengan tidak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan

perbuatan kriminal yang sangat jahat, kecenderungan terjadinya sinergi atau

bahkan kerjasama antara organisasi korporasi yang satu dengan korporasi yang

lain baik dalam suatu negara (nasional) atau lintas batas (transnasional atau

bahkan internasional), dapat membahayakan kepentingan nasional,

membahayakan kepentingan perekonomian nasional dan internasional, korporasi

seringkali melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran terhadap

standar buruh, melakukan pengrusakan lingkungan dan berkaitan erat dengan

tindak pidana lain, misalnya tindak pidana korupsi dan pencucian uang, tindak

pidana korporasi seringkali mengganggu stabilitas keamanan dan kedamaian pada

masyarakat, tindak pidana korporasi dapat terkait dengan tindakan kekerasan,

tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang mengancam kehidupan

sosial, ekonomi, dan perekonomian dunia.

Terkait dengan tindak pidana korporasi ini (korporasi sebagai pembuat

tindak pidana), ketika korporasi melakukan tindak pidana, maka korporasi

tersebut seharusnya dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindak pidana

yang dilakukannya baik yang ditujukan langsung kepada korporasi yang

bersangkutan ataupun yang ditujukan kepada pengurus-pengurusnya (organ-organ

korporasi). Pengakuan korporasi sebagai subjek hukum pidana yang dinilai dapat

melakukan tindak pidana dan dapat mempertanggungjawabkan pertanggung

jawabannya secara pidana (corporate criminal responsibility) pada dasarnya

bukanlah merupakan hal baru namun selalu menimbulkan banyak persoalan

hukum dan selalu menimbulkan suatu perdebatan baik di kalangan akademisi

maupun di kalangan praktisi hukum.

Permasalahan mengenai penerapan sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi ini baru muncul manakala pertanggungjawaban pidana korporasi ini

dikaitkan dengan pertanyaan mendasar dalam hukum pidana diantaranya: Apa

yang dimaksud dengan korporasi itu? Kapan suatu korporasi dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana? Apa ukurannya untuk dapat mem-

pertanggungjawabkan korporasi dalam hukum pidana? Kemudian, apabila

Page 62: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

54

dikaitkan dengan sistem pertanggungjawaban pidana Indonesia yang menganut

asas kesalahan (mens rea) sebagaimana tergambar dari asas tiada pidana tanpa

kesalahan (geen straf zonder chuld atau keine strafe ohne schuld) diterapkan

terhadap korporasi? Bagaimana bentuk kesalahan bagi suatu korporasi? Dan

bentuk pertanggungjawaban pidana seperti apakah yang dapat dimintakan

terhadap korporasi? Apakah hanya pidana denda ataukah dapat pula diterapkan

sanksi pidana lain seperti pidana mati atau pidana penjara? Berbagai

permasalahan tersebut di atas akan diuraikan dalam sub-sub bab berikutnya.

B. Sejarah Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana

Dilihat dari segi sejarahnya, pengakuan korporasi sebagai subjek hukum

pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana sudah berlangsung sejak tahun 1635.

Pengakuan korporasi sebgai subjek hukum pidana ini dimulai ketika sistem

hukum Inggris mengakui bahwa korporasi dapat bertanggung jawab secara pidana

namun hanya terbatas pada tindak pidana ringan.81

Berbeda dengan sistem hukum Inggris, di Amerika Serikat, eksistensi

korporasi sebagai subjek hukum pidana yang diakui dapat melakukan tindak

pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana baru diakui

eksistensinya pada tahun 1909 melalui putusan pengadilan.82

Apabila dilihat dari titik sejarah sebagaimana dikemukakan di atas, dapat

diketahui bahwa konsep pertanggungjawaban korporasi merupakan konsep yang

pada mulanya berkembang dari sistem hukum common law. Dalam hal ini hakim

melakukan suatu analogi atas subjek hukum manusia, sehingga korporasi juga

81Andrew Weissman dan David Newman, Rethinking criminal corporate liability, indian law journal, 2007, hlm. 419.

82Leonard Orlan, The Transformation of corporate criminal law, Brooklyn Journal of Corporate, Financial & Commercial law, 2006, hlm. 46. Lihat juga dalam : Zachary Bookman, convergences and Omissions in Reporting Corporate and White Collar Crime, DePaul Business & Commercial law Journal, 2008, hlm. 347.

Page 63: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

55

memiliki identitas hukum dan penguasaan kekayaan dari pengurus yang

menciptakannya.83

Dalam perkembangan selanjutnya, eksistensi pertanggungjawaban pidana

korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana berkembang pula pada beberapa Negara

seperti Belanda, Italia, Prancis, Kanada, Australia, Swiss, dan beberpa Negara

Eropa termasuk berkembang pula di Indonesia.84 (mengenai sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi di berbagai negara akan diuraikan dalam

bab berikutnya).

Berbicara mengenai sejarah pertanggungjawaban pidana korporasi di

Indonesia, mengingat Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia,

menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) maka pengaturan dan

perkembangan sistem pertanggungjawaban korporasi sedikit tertinggal jika

dibandingkan dengan negara-negara yang menganut sistem hukum common law

seperti Inggris, Amerika Serikat dan Kanada.

Di negara-negara common law tersebut perkembangan pertanggung

jawaban pidana korporasi sudah dimulai sejak Revolusi Industri. Pengadilan

Inggris mengawalinya pada tahun 1842, dimana korporasi telah dijatuhi pidana

denda karena kegagalannya untuk memenuhi suatu kewajiban hukum.85

Perlu pula dikemukakan dalam bagian ini bahwa pertanggungjawaban

pidana korporasi dalam hukum pidana muncul pada dasarnya tidak melalui

penelitian yang mendalam dari para ahli hukum, melainkan hanya sebagai trend

akibat dari adanya kecenderungan dari formalism hukum (legal formalism).

83 Andrew Weissman dan David Newman, Op.Cit., hlm. 419. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 14.

84Hamzah Hatrik, Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana (strick Liability dan Vicarious Liability), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 30. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 14.

85Muladi, Penerapan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana, Bahan Kuliah Kejahatan Korporasi, UNDIP, hlm. 2. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 14.

Page 64: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

56

Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa doktrin-doktrin yang

membenarkan pertanggungjawaban pidana korporasi berkembang melalui

pengadilan tanpa adanya teori pendukung yang membenarkannya.

Dalam perkembangan lebih lanjut, konsep pertanggungjawaban korporasi

dalam hukum pidana yang hanya terbatas bagi tindak pidana ringan dirasakan

tidak mencukupi. Oleh sebab itu, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi

yang terbatas pada tindak pidana ringan hanya diberlakukan hingga akhir abad ke-

1913. Setelah itu, para ahli hukum khususnya ahli hukum pidana barulah mencari

dasar pembenar perlunya korporasi dianggap sebagai subjek hukum pidana yang

dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban

secara pidana pula.

Berikut adalah beberapa alasan yang dapat dijadikan dasar pembenar/alasan

yang menjustifikasi suatu korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban secara

pidana:

a. Keuntungan yang diperoleh korporasi dan kerugian yang diderita

masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin

seimbang bilamana korporasi hanya dijatuhi sanksi keperdataan.86

b. Korporasi merupakan aktor utama dalam perekonomian dunia, sehingga

kehadiran hukum pidana dianggap sebagai metode yang paling efektif untuk

mempengaruhi tindakan-tindakan aktor rasional korporasi.87

c. Tindakan korporasi malalui agen-agennya pada suatu sisi seringkali

menimbulkan kerugian yang sangat besar di masyarakat, sehingga kehadiran

86Beth Stephens, The Amorality of Profit: Transnational corporations and Human Rights, Berkeley Journal of International Law, 2002, hlm. 46. Bandingkan juga dengan : Dwidja Priyanto, Kebijakan Legislatif Tentang sistem Pertanggungjawaban Korporasi di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2004, hlm. 17-18 dan Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, Arti Bumi Intaran, Yogyakarta, 2008. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.

87Pamela H. Bucy, Trends In Corporate Criminal Prosecutions, American Criminal Law Review, 2007, hlm. 1288. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.

Page 65: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

57

sanksi pidana diharapkan mampu mencegahnya dari perbuatan mengulangi

tindakannya itu.88

d. Dipidananya korporasi dengan ancaman pemidanaan adalah salah satu

upaya untuk menghindari tindakan pemidanaan terhadap para pegawai itu

sendiri.89

e. Ternyata, dipidananya pengurus saja tidak cukup untuk mengadakan

penindakan terhadap delik-delik atau tindak pidana yang dilakukan oleh

atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula untuk

dimungkinkan memidana korporasi, korporasi, atau pengurus saja.90

f. Mengingat di dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin

memainkan peranan yang penting pula.

g. Hukum pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat dan menegakkan

norma-norma dan ketentuan yang ada dalam masyarakat.

h. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas dasar

keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan individu dan

kepentingan sosisal.

i. Dengan dipidananya korporasi akan menimbulkan efek jera bagi korporasi

yang bersangkutan dan bagi korporasi yang lainnya.

j. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan).

k. Dengan dipidananya suatu korporasi yang melakukan tindak pidana maka

Indonesia dapat membuktikan kepada dunia internasional bahwa Indonesia

merupakan negara hukum yang sesuai dengan perkembangan dunia.

l. Untuk kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan.

Disamping beberapa alasan di atas, berikut akan dipaparkan beberapa

pendapat para ahli hukum yang mendukung korporasi sebagai subjek hukum

88Geraldine Szoot Moohr, On The Prostects Of Deterring Corporation Crime, Journal of Business & Technology Law, 2007, hlm. 27. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.

89Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi (Edisi Revisi)., Kencana Perdana Group., 2012, hlm. 47-48. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 15.

90Ibid.

Page 66: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

58

pidana dimana korporasi dipandang dapat melakukan tindak pidana dan

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana pula. Beberapa pendapat

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:91

Pertama, Roeslan Saleh. Menurut Roeslan Saleh, dikatakan bahwa

dipidananya pengurus tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik

yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya diperlukan pula

untuk dimungkinkan memidana korporasi, korporasi dan pengurus atau pengurus

saja. Roeslan Saleh juga mengingatkan bahwa dalam kehidupan sosial dan

ekonomi ternyata korporasi semakin memainkan peranan yang sangat penting.

Sehingga menjadi hal yang penting pula untuk memasukkan korporasi kedalam

subjek hukum pidana untuk mengantisipasi access negatif yang mungkin muncul.

Kedua, Schaffmeister. Menurut Schaffmeister dikatakan bahwa hukum

pidana harus mempunyai fungsi dalam masyarakat yaitu melindungi masyarakat

dan menegakkan norma-norma dan ketentuan-ketentuan yang ada dalam

masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditekankan pada segi perorangan, yang

hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak

ada alasan untuk selalu menekan dan menentang untuk dapat dipidananya

korporasi.

Ketiga, Goerge E. yang mengatakan bahwa dipidananya korporasi dengan

ancaman pidana adalah salah satu upaya untuk menghindarkan tindakan

pemidanaan terhadap para pegawai korporasi itu sendiri.

Demikian juga dengan Sutan Remy mengutip pendapat Boisvert yang

menyatakan bahwa pihak yang setuju bahwa korporasi dapat dibebani dengan

pertanggungjawaban pidana berpendapat bahwa korporasi bukanlah suatu fiksi.

Korporasi benar-benar eksis dan menduduki posisi penting di dalam masyarakat

dan berkemampuan untuk menimbulkan kerugian bagi pihak lain dalam

masyarakat seperti halnya manusia. Memperlakukan korporasi seperti manusia

(natural person) dan membenahi pertanggungjawaban atas tindak pidana yang

dibuat oleh korporasi, sejalan dengan asas hukum bahwa siapapun sama di

hadapan hukum (principle of equality before the law). Korporasi-korporasi yang

91Ibid. hlm. 31-32.

Page 67: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

59

memberikan dampak yang besar bagi kehidupan sosial, seharusnya diwajibkan

juga untuk menghormati nilai-nilai fundamental dari masyarakat kita yang

ditentukan oleh hukum pidana.92

Sementara itu, Elliot dan Quinn yang pendapatnya dikutip oleh Sutan Remy,

menyatakan bahwa ada beberapa alasan mengenai perlunya pembebanan

pertanggungjawaban pidana kepada korporasi. Alasan-alasan tersebut adalah:93

a. Tanpa pertanggungjawaban pidana korporasi, perusahaan-perusahaan bukan

mustahil dapat menghindarkan diri peraturan pidana dan hanya para

pegawainya yang dituntut karena telah melakukan tindak pidana yang

sebenarnya merupakan kesalahan dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh

perusahaan atau korporasi.

b. Dalam beberapa kasus, demi tujuan prosedural, lebih mudah untuk

menuntut suatu perusahaan atau suatu korporasi dari pada para pegawainya.

c. Dalam hal suatu tindak pidana yang serius, sebuah sebuah perusahaan atau

korporasi lebih memiliki kemampuan untuk membayar denda yang

dijatuhkan dari pada pegawai perusahaan tersebut.

d. Ancaman penuntutan pidana terhadap perusahaan dapat mendorong para

pemegang saham untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan-kegiatan

perusahaan dimana mereka telah menanamkan investasinya.

e. Apabila sebuah perusahaan telah mengeruk keuntungan dari kegiatan usaha

yang ilegal, maka seharusnya perusahaan itu pula yang memikul sanksi atas

tindak pidana yang telah dilakukan, bukannya pegawai perusahaan itu.

f. Pertanggungjawaban korporasi dapat mencegah perusahaan-perusahaan

menekan pegawainya, baik secara langsung atau tidak langsung, agar para

pegawai itu mengusahakan perolehan laba tidak dari melakukan usaha yang

ilegal.

g. Publisitas yang merugikan dan pengenaan pidana denda terhadap

perusahaan itu dapat berfungsi sebagai pencegah dari perusahaan untuk

92Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, graffiti Pers, Jakarta, 2006. Hlm. 55.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 17.

93Ibid., hlm. 55-56.

Page 68: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

60

melakukan kegiatan yang ilegal, dimana hal ini tidak mungkin tejadi bila

yang dituntut itu adalah para pegawainya.

Sutan Remy memberikan suatu rumusan mengenai alasan-alasan mengapa

suatu korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, sekalipun korporasi

tidak dapat melakukan perbuatannya sendiri, melainkan melalui orang-orang yang

menjalankan kepengurusan atau kegiatan korporasi. Alasan-alasan tersebut antara

lain:94

a. Sekalipun korporasi dalam melaksanakan kegiatannya tidak melakukannya

sendiri tetapi melalui orang-orang yang merupakan pengurus dan para

pegawainya, namun apabila perbuatan itu dilakukan dengan maksud

memberikan keuntungan secara finansial ataupun menghindarkan atau

mengurangi kerugian finansial bagi korporasi yang bersangkutan maka tidak

adil bagi masyarakat yang dirugikan baik berupa kerugian nyawa, badaniah

(menimbulkan cacat jasmani) maupun materiil apabila korporasi tidak harus

ikut bertanggungjawab atas perbuatan pengurus atau para pegawainya.

b. Tidak cukup pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada pengurus

korporasi atas tindak pidana yang dilakukannya karena pengurus jarang

memiliki harta kekayaan yang cukup untuk membayar pidana denda yang

dijatuhkan kepadanya untuk biaya sosial yang harus dipikul sebagai akibat

perbuatannya itu.

c. Membebankan pertanggungjawaban pidana hanya kepada pengurus

korporasi, tidak cukup menjadi pendorong untuk dilakukannya tindakan-

tindakan pencegahan (precautionary measure) sehingga mengurangi tujuan

pencegahan (deterrence) dari pemidanaan.

d. Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi akan

menempatkan asset perusahaan ke dalam resiko berkenaan dengan

perbuatan-perbuatan tidak terpuji dari para pengurus korporasi (harus

memikul beban pidana denda yang berat, kemungkinan asset dirampas oleh

negara, dan lain sebagainya) sehingga akan mendorong para pemegang

94Ibid., hlm 57-58.

Page 69: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

61

saham dan para komisaris atau pengawas korporasi untuk melakukan

pemantauan atau pengawasan yang lebih ketat terhadap kebijakan dan

kegiatan yang dilakukan oleh pengurus korporasi.

Berbeda dengan pemikiran di atas, terdapat beberapa ahli hukum pidana yang

menyatakan bahwa korporasi tidak dapat dijadikan subjek hukum pidana dengan

alasan sebagai berikut:95

a. Menyangkut masalah kejahatan atau tindak pidana, sebenarnya kesengajaan

atau kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah (manusia alamiah).

b. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat

dipidananya beberpa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh

persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosaan dan

sebagainya). Barda Nawawi Arief dalam bukunya menyatakan bahwa ada

perkara-perkara yang menurut kodratnya tidak dapat dilakukan oleh

korporasi, misalnya bigami, perkosaan dan sumpah palsu.96

c. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak

dapat dikenakan pada korporasi. Terkait dengan hal ini, Barda Nawawi

Arief menyatakan bahwa pidana yang dapat dikenakan tidak dapat

dikenakan kepada korporasi, misalnya pidana penjara atau pidana mati.97

d. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya

mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.

e. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas

dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu

sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.

Di sisi lain, Frank dan Lynch mengemukakan bahwa keberatan-keberatan

prinsipil dari corporate criminal responsibility (CCR) adalah orang yang tidak

95H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Viktimologi dan pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana, edisi kedua cetakan pertama, Malang, Banyumedia Publishing 2003., hlm. 10. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 19.

96Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2010. Hlm. 45-46. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 19.

97Ibid.

Page 70: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

62

bersalah dapat terkena hukuman. Derita dari pemidanaan terhadap korporasi dapat

terbebankan kepada pihak-pihak lain. Akibatnya, para konsumen akhirnya harus

membayar harga yang lebih tinggi untuk barang-barang yang dibuat atau jasa-jasa

korporasi yang diberikan oleh korporasi yang terpidana itu. Para pemegang saham

yang pada kenyataannya tidak mengetahui mengenai kepatusan-keputusan yang

dibuat, yaitu keputusan-keputusan yang menimbulkan kerugian, akan terpaksa

harus menerima deviden yang lebih kecil atau menderita kerugian karena nilai

sahamnya mengalami penurunan. Sementara para pegawai korporasi tersebut

kemungkinan terpaksa harus di PHK atau diturunkan upahnya.98

Sedangkan Clarkson dan Keating mengemukakan pendapat yang sejalan

dengan pendapat Frank dan Lynch, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada suatu

perusahaan berupa pidana denda sama saja artinya dengan menjatuhkan hukuman

kepada pihak-pihak yang tidak bersalah, yaitu para pemegang saham, para

kreditor, para pegawai, dan masyarakat yang harus memikul denda tersebut.

Dengan kata lain, yang menderita justru mereka yang ingin dilindungi oleh

hukum.99

Terlepas dari segala pro dan kontra terhadap penerapan sistem

pertanggungjawaban pidana korporasi atau korporasi sebagai subjek hukum

pidana, dalam praktik belum ada putusan pengadilan atau yurisprudensinya.

Mengenai korporasi sebagai subjek hukum pidana, telah terdapat beberapa

putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yaitu sebagai berikut:100 Putusan

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 136/KR/1966, tertanggal 1 Maret

1969. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 66/KR/1969,

tertanggal 19 September 1970. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 346/KR/1980, tertanggal 26 Januari 1984.101 Putusan No.

98Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.hlm. 53.99Ibid., hlm. 54.100 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan

Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 21.101 Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 169-196. Sebagaimana terdapat dalam buku

Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 21.

Page 71: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

63

812/Pid.Sus/2010/PN.Bjm. Putusan No. 04/Pid.Sus/2011/PT.Bjm dan putusan No.

2239 K/Pid.Sus/2012. Serta beberapa putusan lainnya.

Dengan adanya beberapa putusan Mahkamah Agung tersebut penulis menilai

bahwa pada dasarnya telah ada pengakuan yuridis bahwa korporasi sebgai subjek

hukum pidana yang dinilai dapat melakukan tindak pidana dan

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana pula.

C. Pengertian Korporasi

Pada pembahasan sebelumnya, telah banyak disinggung mengenai

korporasi. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan korporasi? Apakah korporasi

dalam hukum pidana sama dengan pengertian badan hukum dalam pengertian

perdata? Jawaban atas pertanyaan tersebut di atas akan diuraikan jawabannya

dalam pembahasan selanjutnya.

Secara umum, hukum tidak hanya mengatur orang (manusia alamiah)

sebagai subjek hukum, akan tetapi selain orang perorangan dikenal pula subjek

hukum yang lain yaitu badan hukum yang padanya melekat hak dan kewajiban

hukum layaknya orang perorangan sebagai subjek hukum. Untuk mencari tahu

apa sebenarnya yang dimaksud dengan korporasi (atau yang dalam bidang hukum

perdata disebut sebagai istilah “badan hukum”), tidak dapat dilepaskan dari

beberapa teori berikut ini. Teori pertama adalah teori fiksi sebagaimana

dikemukakan oleh Carl von Savigny, C.W.Opzoomer, A.N.Houwing dan juga

Langemeyer yang menyatakan bahwa badan hukum atau korporasi merupakan

persona ficta atau “orang” yang diciptakan oleh hukum sebagai persona. Teori

van het ambtelijk vermogen sebagaimana diajarkan oleh Holder dan Binder

mengembangkan pandangan bahwa badan hukum atau korporasi adalah badan

yang mempunyai harta yang berdiri sendiri yang dimiliki pengurus harta itu

karena jabatannya sebagai pengurus harta yang bersangkutan.

Demikian pula dengan teori zwek vermogen ataupun doel vermogen theorie

sebagaimana diajarkan oleh A. Brinz dan F.J. van Heyden mengembangkan

pendapat bahwa badan hukum (korporasi) merupakan badan yang mempunyai hak

atas harta kekayaan tertentu yang dibentuk untuk tujuan melayani kepentingan

Page 72: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

64

tertentu. Adanya tujuan tersebut menentukan bahwa harta kekayaan yang

dimaksud sah untuk diorganisasikan menjadi badan hukum. Selain itu, teori

propriete collective yang diajarkan oleh Marcel Planiol dan Teori gezammenlijke

vermogens theorie yang diajarkan oleh P.A. Mollengraff membahas pula

mengenai keberadaan badan hukum sebagai suatu subjek hukum. Menurut P.A.

Mollengraff, badan hukum hakikatnya merupakan hak dan kewajiban anggotanya

secara bersama-sama di dalamnya terdapat harta kekayaan bersama yang tidak

dapat dibagi-bagi.

Selain beberapa teori di atas, teori organ yang diajarkan Otto van Gierke

memandang badan hukum sebagai suatu yang nyata (reliteit) bukan fiksi,

pandangan ini diikuti oleh L.C. Polano. Menurut teori organ, badan hukum

merupakan een bestaan, dat hun realiteit dari konstruksi yuridis seolah-olah

sebagai manusia yang sesungguhnya dalam lalu lintas hukum yang juga

mempunyai kehendak sendiri yang dibentuk melalui alat-alat kelengkapannya

yaitu pengurus dan anggotanya. Putusan yang dibuat oleh pengurus adalah

kemauan dari badan hukum. Semua pandangan teoritis di atas berusaha memberi

pembenaran ilmiah terhadap keberadaan badan hukum sebagai subjek hukum

yang sah dalam lalu lintas pergaulan hukum. Teori propriate collective dan

gezaminlikje vermogens theorie pada umumnya relevan diberlakukan bagi

korporasi atau badan hukum yang mempunyai anggota.102

Diciptakan pengakuan adanya suatu badan, yang sekalipun badan ini

sekedar suatu badan, namun badan ini dianggap bisa menjalankan segala tindakan

hukum dengan segala harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu dan harta ini

harus dipandang sebagai harta kekayaan yang timbul dari perbuatan itu dan harta

ini harus dipandang sebagai harta kekayaan badan tersebut, terlepas dari pribadi-

pribadi manusia yang terhimpun di dalamnya. Jika dari perbuatan itu timbul

kerugian, maka kerugian inipun hanya dapat dipertanggungjawabkan semata-mata

102 Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 22.

Page 73: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

65

dengan harta kekayaan yang ada dalam badan yang bersangkutan bukan dengan

kekayaan orang-orangnya.103

Atas dasar beberapa teori di atas, untuk mencari tahu apa yang sebenarnya

dimaksud dengan korporasi dalam hukum pidana, tidak bisa dilepaskan dari

bidang hukum perdata. Hal ini disebabkan karena istilah korporasi sangat erat

kaitannya dengan istilah “badan hukum” yang dikenal dalam bidang hukum

perdata. Menurut Rudi Prasetya, istilah “korporasi” adalah sebutan yang lazim

dipergunakan di kalangan pakar hukum pidana untuk menyebut apa yang biasa

dalam bidang hukum lain, khususnya bidang hukum perdata, sebagai badan

hukum, atau yang dalam bahasa belanda disebut sebagai rechtpersoon, atau yang

dalam bahasa Inggris disebut legal entities atau corporation.104

Apabila dilihat secara etimologisnya, pengertian korporasi yang dalam

istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris),

corporation (Jerman), berasal dari bahasa latin yaitu “corporatio”.105 Terkait

dengan istilah “corporation” ini, Muladi dan Dwidja Priyatno menyatakan

bahwa: “seperti halnya dengan kata lain yang berakhiran “tio” maka

“corporatio” dianggap sebagai kata benda (substantivum) yang berasal dari kata

kerja “corporare” yang banyak dipakai orang pada zaman abad pertengahan atau

sesudah itu. “Corporare” itu sendiri berasal dari kata “corpus” yang dalam

bahasa Indonesia berarti “badan” atau dapat disimpulkan bahwa corporation dapat

diartikan sebagai proses memberikan badan atau proses membadankan. Dengan

demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil pekerjaan membadankan,

dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa korporasi merupakan badan yang

dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan

terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam.106

103H. Setiyono, Op.Cit., hlm. 3.104Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,

SHTB, Bandung, 1991, hlm. 13. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 23.

105Ibid.106Ibid. hlm. 12.

Page 74: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

66

Dilihat berdasarkan istilah, dalam kamus Bahasa Belanda, pengertian

korporasi ialah “corpora’tie” yang berarti perhimpunan atau kumpulan atau

persatuan. Dalam kamus World Book 1999, disebutkan bahwa korporasi adalah

sekelompok orang yang mendapat kewenangan untuk bertindak sebagai orang

pribadi. Selain itu, korporasi dapat pula diberi pengertian sebagai sekelompok

orang yang diberi kewenangan untuk bertindak sebagai individu dalam kaitan

dengan tujuan-tujuan bisnis.107

Menurut Garner dan Bryan A, pengertian korporasi diambil dari istilah

dalam bahasa inggris “Corporation” yang berarti dalam badan hukum atau

sekelompok orang yang oleh undang-undang diperbolehkan untuk melakukan

kegiatan sebagaimana seorang individu sebagai subjek hukum, berbeda dengan

para pemegang sahamnya.108

Di lain kesempatan, Kenneth S. Ferber dalam bukunya yang berjudul

Corporation Law menyatakan bahwa: “a corporation is an artificial person. It

can do anything a person can do. It can buy and sell property, both real and

personal, in its own name. it can sue and be sued in its own name. It is formal”.109

(korporasi adalah orang buatan. Korporasi dapat melakukan apa saja yang dapat

dilakukan oleh manusia. Korporasi dapat membeli dan menjual properti, baik

yang nyata secara pribadi dan atas namanya sendiri. Hal ini dapat menyebabkan

korporasi dapat menuntut dan dituntut secara resmi atas namanya sendiri).

Menurut H. Setiyono dalam bukunya yang berjudul “Kejahatan korporasi”,

pengertian korporasi terlihat dari pengertian subjek hukum pada umumnya yang

meliputi manusia dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan

masyarakat yang diakui oleh hukum sebagai pendukung hak dan kewajiban.

107AS Hornby, Oxford Advance Leaner’s Dictionary Of Current English, 1984, hlm. 192. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 24.

108Bryan A. Garner, Black’s Lawa Dictionary (second Pocket Edition), 2003, hlm. 147. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 24.

109Kenneth S. Ferber, Corporation Law, Prentice Hall, 2002, hlm. 18. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 24.

Page 75: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

67

Pengertian yang kedua inilah yang dinamakan dengan badan hukum atau suatu

korporasi.110

Moenaf H. Regar menyatakan bahwa korporasi adalah badan usaha (baik

yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) yang keberadaannya

dan status hukumnya disamakan dengan manusia (orang), tanpa melihat bentuk

organisasinya. Korporasi dapat memiliki kekayaan dan utang, mempunyai

kewajiban dan hak dan dapat bertindak menurut hukum, melakukan gugatan, dan

dituntut di depan pengadilan. Oleh karena suatu korporasi adalah buatan manusia

yang tidak sama dengan manusia itu sendiri, maka harus dijalankan oleh manusia

sebagai organnya atau yang disebut sebagai pengurus atau pengelola. Suatu

korporasi, biasanya mempunyai tiga organ utama, yaitu RUPS, Dewan Komisaris,

dan Dewan Direksi (misalnya dalam perseroan terbatas). Batas umur dari

korporasi itu ditentukan dalam anggaran dasarnya atau pada saat korporasi itu

sendiri mengakhiri kegiatannya atau korporasi dinyatakan bubar.111

Mengenai hakikat pada korporasi itu sendiri pada dasarnya dapat dilihat dari

pernyataan klasik Viscount Haldane L.C., yang menyatakan bahwa: “Korporasi

adalah suatu abstraksi. Ia tidak lagi memiliki pikirannya sendiri dibanding dengan

tubuhnya sendiri, kehendak yang dijalankan dan bersifat mengarahkan harus

secara konsisten dilihat pada seseorang yang untuk tujuan tertentu mungkin

disebut agen atau wakil, tetapi yang sebenarnya mengarahkan pikiran dan

kehendak dari korporasi, yaitu ego dan pusat korporasi”.112

Sedangkan menurut Satjipto Raharjo dalam bukunya yang berjudul “ilmu

hukum” dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah “Badan

yang diciptakannya itu terdiri dari corpus, yaitu struktur fisiknya dan ke dalamnya

hukum memasukkan unsur animus yang membuat badan itu mempunyai

110H. Setiyono, Op. Cit. hlm. 2.111Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (Berikut Studi Kasus),

PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005. Hlm. 10-11. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 25.

112Peter Gillies (Penyunting: Barda Nawawi Arief), Criminal Law, 1990, hlm. 126. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 25.

Page 76: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

68

kepribadian. Oleh karena badan hukum ini merupakan ciptaan hukum, maka

kecuali penciptaannya, kematiannya pun ditentukan oleh hukum”.113

Berbeda dengan pendapat para ahli di atas, Sutan Remi Sjahdeini

menyatakan bahwa dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan korporasi

dapat dilihat artinya secara sempit, maupun melihat artinya secara luas. Sutan

Remi Sjahdeini menyatakan bahwa: “menurut artinya yang sempit, yaitu sebagai

badan hukum, korporasi merupakan figure hukum yang eksistensinya dan

kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui

oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui eksistensi dari

korporasi dan memberikannya hidup untuk dapat berwenang melakukan

perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan

“matinya” korporasi. Suatu korporasi hanya mati secara hukum apabila matinya

korporasi itu diakui oleh hukum.114

Adapun pengertian korporasi secara luas sebagai pengertian korporasi dalam

hukum pidana, Sutan Remi Sjahdeini mendefinisikan korporasi sebagai berikut:

“Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan

badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas,

yayasan, koperasi atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum

yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma,

persekutuan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-

badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum.115

Di samping itu, Sutan Remi Sjahdeini mengutip definisi korporasi yang ada

dalam Jowitt’s Dictionary of English Law yang berbunyi sebagai berikut:

Corporation, a succession or collection of person having in the estimation of the

law an axistence and right and duties distinc from those of the individual person

who form it to from to time. A corporation is also known as body politic. It has

113Satjipto raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 13. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 25.

114Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Op. Cit., Jakarta, 2006, hlm. 43.

115Ibid., hlm. 45.

Page 77: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

69

fictious personality distinc from that of its members. A corporation soul consist of

only one member at a time, the corporate character being kept up by a succession

of solitary members. A corporation aggregrate consist of several members at the

same time. The most frequent examples are in corporated companies. The chief

peculiarity of a corporation aggregrate is that it has perpectual succession (i.e.,

existence), a name, and a common seal by which its intention may be evidence

that, being merely a creation of the laws, it cannot enter into a personal relation,

and that, generally speaking, the majority of the members (whose voting powers

may depend on the number of their shares, or the like) have power to bind the

minority in matters within the power of the corporation.116

Definisi lain mengenai korporasi, juga dikutip Sutan Remi Sjahdeini dari

Black’s Law Dictionary. Black’s Law Dictionary memberikan penjelasan sebagai

berikut: Corporation, an artificial person or legal entity created by or under the

authority of the laws of a state or nation, composed, in same rare instances, of a

single person and his successors, being the incumbents of a particulare office, but

ordinarily consisting of a association of numerous individuls.117

Hampir senada dengan pendapat dari Sutan Remi Sjahdeini di atas, menurut

Loebby Loqman, dalam diskusi yang dilakukan oleh para sarjana mengenai

korporasi, berkembang 2 (dua) pendapat mengenai apa yang sebenarnya dimaksud

dengan korporasi itu. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dimaksud

dengan korporasi adalah kumpulan dagang yang berbadan hukum. Dengan

demikian, menurut pendapat pertama ini hanya dibatasi bahwa korporasi yang

dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah korporasi yang telah berbadan

hukum. Adapun alasan hukum yang dikemukakan oleh kelompok pertama ini

bahwa dengan berbadan hukum, telah jelas susunan pengurus serta sejauhmana

hak dan kewajiban dalam korporasi tersebut. Pendapat lain yang berkembang

adalah pendapat yang mengartikan korporasi secara luas, dimana dikatakan bahwa

korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana tidak perlu harus

berbadan hukum, dalam hal ini setiap kumpulan manusia, baik dalam hubungan

116Ibid., hlm. 42.117Ibid., hlm. 42.

Page 78: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

70

suatu usaha dagang ataupun usaha lainnya, dapat dipertanggungjawabkan secara

pidana.118

Terkait dengan hal ini, H. Setiyono mengemukakan bahwa: “Korporasi

merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan

kriminologi untuk menyebut badan hukum (rechtpersoon), legal body atau legal

person. Konsep badan hukum itu sebenarnya bermula dari konsep hukum perdata

yang tumbuh akibat dari perkembangan masyarakat. Pengertian korporasi dalam

hukum pidana Indonesia lebih luas dari pengertian badan hukum sebagaimana

dalam konsep hukum perdata. Dalam berbagai peraturan perundang-udangan

hukum pidana Indonesia dinyatakan bahwa pengertian korporasi adalah kumpulan

terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan baik merupakan badan hukum maupun

bukan.119

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, terlihat bahwa terdapat perbedaan

ruang lingkup mengenai subjek hukum, yaitu korporasi sebagai subjek hukum

dalam bidang hukum perdata dengan korporasi sebagai subjek hukum dalam

bidang hukum pidana. Pengertian korporasi dalam bidang hukum perdata adalah

“badan hukum”, sedangkan dalam hukum pidana pengertian korporasi bukan

hanya yang berbadan hukum, tetapi juga yang tidak berbadan hukum. Dengan

demikian, cakupan korporasi dalam bidang hukum pidana jauh lebih luas

dibandingkan dengan cakupan badan hukum dalam bidang hukum perdata.

Uraian tersebut di atas selaras dengan apa yang dikemukakan oleh Dwidja

Priyatno yang berpendapat bahwa “Pengertian atau perumusan korporasi dalam

hukum perdata…., ternyata dibatasi, sebagai badan hukum. Adapun apabila

ditelaah lebih lanjut, pengertian atau perumusan korporasi dalam hukum pidana

ternyata lebih luas. Di Indonesia, perkembangan korporasi sebagai subjek hukum

pidana telah terjadi atau berkembang di luar KUHP yaitu dalam perundang-

118Loebby Loqman, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002, hlm. 32. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 27.

119H. Setiyono, Op. Cit., hlm. 17.

Page 79: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

71

undangan khusus. Sedangkan KUHP sendiri masih tetap menganut subjek hukum

pidana berupa “orang”.120

Hal ini juga tertuang tegas dalam beberapa undang-undang yang bersifat

khusus seperti undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah

oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi dan di dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang

pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta berbagai

Undang-Undang khusus lainnya bahwa yang dimaksud dengan korporasi adalah

kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan

hukum maupun bukan badan hukum.

Perlu pula disadari bahwa eksistensi atau keberadaan korporasi dewasa ini

sudah tidak dapat dipisahkan dalam praktik bisnis modern. Lewis D. Solomon dan

Alan R. Palmiter, menyatakan: “A corporation is a structuring device for

conducting modern business. It is framework – a legal person- through which a

business can enter into contract, own property, sue in court, and be sued. It is

taxable intity subject it property, sales, income, and other taxes. It can range size

from a one person business to a multinational conglomerate. It is capitalist

invention for the pooling of capital (from shareholders and lenders), management

(from executive), and other factors of production (from supplier and employess).

It is a creature of state law, it’s formation and existence depend on state enabling

statutes. A “corpotation is an artifice”. Nobody has ever seen one. A business

conducted as a corporation looks much the same one conducted in a corporate

form. In the end, a corporation is a construct of the law – a set of legal

relationships. It is what the law defines to be” (korporasi adalah alat untuk

melakukan penataan bisnis modern. Ini adalah kerangka kerja – suatu badan

hukum dimana dengan hal ini bisnis dapat masuk ke dalam kontrak, memiliki

harta serta dapat menuntut di pengadilan, dan dapat dituntut. Ini adalah entitas

subjek property, penjualan, pendapatan, dan pajak lainnya. Hal ini dapat berbagai

ukuran dari sebuah bisnis satu orang untuk konglomerat multinasional. Ini adalah

penemuan kapitalis untuk menyatukan modal (dari pemegang saham dan

120Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit.hlm. 168.

Page 80: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

72

kreditur), manajemen (dari eksekutif), dan faktor produksi lainnya (dari pemasok

dan karyawan). Ini adalah mahkluk buatan hukum yang pembentukan dan

keberadaan tergantung pada undang-undang. Sebuah perusahaan “adalah suatu

yang fiktif” karena tidak seorangpun pernah melihat suatu korporasi. Sebuah

bisnis yang dilakukan sebagai korporasi terlihat sama seperti yang dilakukan

dalam bentuk perusahaan. Pada akhirnya, sebuah perusahaan adalah membangun

hukum – satu hubungan hukum. Ini adalah apa yang mendefinisikan hukum).121

D. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana Korporasi

Istilah “tindak pidana korporasi” dalam beberapa literatur sering disebut

juga dengan istilah “kejahatan korporasi”. Oleh karenanya, pada bagian ini akan

digunakan kedua istilah tersebut secara bergantian. Tindak pidana korporasi atau

kejahatan korporasi pada dasarnya tidak muncul dengan sendirinya melainkan

muncul seiring dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat.

Awal mula lahirnya tindak pidana korporasi ini berangkat dari pendapat Edwin

Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis kejahatan atau tindak pidana baru

yang dikenal dengan White Collar Crime (kejahatan kerah putih).

Terkait dengan white collar crime ini, Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh

Yusuf Sofie memberikan definisi yaitu sebagai: “white collar crime sering

diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis (financial and

business world) dan penipuan canggih yang dilakukan oleh para eksekutif senior

(the sophisticated frauds of senior executive) yang di dalamnya termasuk apa yang

secara popular dikenal dengan tindak pidana atau kejahatan korporasi (corporate

crime).122

Istilah corporate crime menurut R.C. Kramer dalam bukunya yang berjudul

“Corporate Criminality: The Development of An Idea” adalah kejahatan yang

121Lewis D. Solomon dan Alan R. Palmiter, Corporation (Example and Examplanations), Little- Brown & Company, 1994, hlm. 15. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 29.

122Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Ghaila Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 44. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 29.

Page 81: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

73

dilakukan oleh organisasi korporat. Hal ini adalah hasil dari kebijakan yang

diambil oleh para petinggi perusahaan, dan perusahaan membuat keputusan

tersebut untuk memperoleh keuntungan bagi perusahaan yang bersangkutan. F.

Hagan dalam bukunya yang berjudul “Introduction to Criminology” menyatakan

bahwa corporate crime adalah kejahatan yang dilakukan oleh individu atau

kelompok dengan tujuan untuk memberikan keuntungan kepada organisasi atau

korporasi.123

Clinard dan Yeager juga memberikan pendapatnya yang menyatakan

bahwa: “A corporate crime is any act commited by corporations that is punished

by the state, regardless of whether it is punished under administrative, civil, or

criminial law”.124 Ralph Nader mengatakan bahwa “Corporate crime,

demonstrates the destructive impact such behavior has on our politics,

environment, consumers, workers, shareholder, small taxpayers, foreign policy

and future generations”.125

Selanjutnya, mengenai corporate crime atau kejahatan korporasi ini, Steven

Box mengemukakan tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan oleh

korporasi yang pada dasarnya berbeda-beda dengan tindak pidana atau kejahatan

konvensional pada umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang lingkup

tindak pidana atau kejahatan korporasi melingkupi 3 (tiga) hal sebagai berikut:126

Pertama, Crime for corporation. Yang dimaksud dengan crime for

corporation yakni kejahatan atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh

123Kristian, Op.Cit., hlm. 3.124I.S Susanto, Kejahatan Korporasi, BP Universitas Diponegoro (UNDIP), Semarang,

1995, hlm. 15. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 30.

125Soedjono Dirdjosisworo, Kejahatan Bisnis (Orientasi dan Konsepsi), 1994.Hlm. 1.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 30.

126Lihat juga dalam: Muladi dan Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 29. Dan bandingkan juga dengan: Hamzah hatrik, Asas Pertanggungjawaban korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan Vicarious Liability), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 41. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 30.

Page 82: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

74

korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna memperoleh

keuntungan.

Kedua, Criminal Corporation. Yang dimaksud dengan criminal corporation

yaitu korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan. (dalam

hal ini korporasi hanya sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan).

Ketiga, Crimes against corporation. Yang dimaksud dengan crime against

corporation yaitu kejahatan-kejahatan yang dilakukan terhadap korporasi seperti

pencurian atau penggelapan barang milik korporasi. Dengan demikian, dalam hal

ini korporasi bukanlah pihak yang melakukan tindak pidana melainkan sebagai

korban.

Terkait dengan pendapat Steven Box di atas, Setiyono dalam bukunya yang

berjudul “kejahatan korporasi” juga memberikan kejelasan sebagai berikut:127

1. Crime for corporation inilah yang merupakan kejahatan korporasi (corporate

crime). Dalam hal ini dapat dikatakan, “corporate crime are crearly committed

for the corporate, and not against” (kejahatan korporasi dilakukan untuk

kepentingan korporasi dan bukan sebaliknya).

2. Kejahatan terhadap korporasi (crime against corporation), yang sering

dinamakan employee crime, yaitu kejahatan yanag dilakukan oleh para

karyawan atau pekerja terhadap korporasi, misalnya penggelapan dana

perusahaan oleh pejabat atau karyawan perusahaan tersebut. Pelaku kejahatan

ini (crime against corporation) tidak hanya terbatas pada pejabat atau

karyawan yang bersangkutan, tetapi masyarakat secara luas bisa menjadi

pelaku kejahatan terhadap korporasi.

3. Criminal corporation adalah korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan

untuk melakukan kejahatan. Kedudukan korporasi dalam criminal corporations

hanyalah sebagai sarana melakukan kejahatan sebagai “topeng” untuk

menyembunyikan wajah asli dari suatu kejahatan. Dikatakan masuk akal

bahwa badan hukum secara sah dapat ditentukan untuk melibatkan diri dalam

kriminalitas, namun hal ini memerlukan adanya penipuan secara besar-besaran.

127H. Setiyono, Op.Cit. hlm. 20-21.

Page 83: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

75

Setiyono menambahkan, bahwa hal penting untuk membedakan antara

crime for corporation atau corporate crime atau kejahatan korporasi dengan

criminal corporations adalah berkaitan dengan pelaku dan hasil kejahatan yang

diperoleh. Pelaku dalam kejahatan korporasi adalah korporasi itu sendiri. Sedang

pelaku dalam criminal corporations, utamanya adalah penjahat di luar korporasi,

dan korporasi hanya sebagai sarana untuk melakukan kejahatan. Hasil kejahatan

yang diperoleh sesuai dengan peran dan pelakunya. Hasil kejahatan dalam

kejahatan korporasi adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri. Keadaan

semacam ini tidak terjadi criminal corporation, karena korporasi ini hanyalah

sekedar sebagai alat untuk melakukan kejahatan.128

Dalam buku ini, sudah tentu yang akan dibahas hanyalah crime for

corporation yakni kejahatan atau tindak pidana atau pelanggaran hukum yang

dilakukan oleh korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan tertentu guna

memperoleh keuntungan.

Menurut hemat penulis, dalam mendefinisikan apa yang dimaksud dengan

tindak pidana korporasi, harus dibedakan antara “tindak pidana korporasi” dan

“tindak pidana di bidang korporasi”. Perbedaan di sini penting terkait dengan

perbuatan-perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh para pelaku tindak

pidana yang bersangkutan. Oleh sebab itu, secara sederhana yang dimaksud

dengan tindak pidana korporasi adalah perbuatan melanggar hukum yang

dilakukan baik dengan sengaja ataupun dengan lalai yang dilakukan oleh

korporasi dan/atau anggota-anggota pengurusnya dalam menjalankan setiap

bentuk usahanya sehingga menimbulkan kerugian materiil dan atau immateriil

baik bagi masyarakat maupun bagi negara baik yang disadari maupun yang tidak

disadari yang terjadi dalam suatu wilayah negara tertentu ataupun lintas batas

negara dengan waktu yang seketika ataupun dengan adanya jangka waktu.

Adapun yang dimaksud dengan tindak pidana di bidang korporasi adalah setiap

perbuatan melawan hukum yang menjadikan korporasi sebagai sarana atau media

(crime through the corporation) atau sarana dari suatu tindak pidana (crimes

against the corporation). Perlu pula ditekankan bahwa apabila korporasi dijadikan

128Ibid., hlm. 21-22.

Page 84: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

76

media untuk melakukan tindak pidana (crime through the corporation) maka

apabila hal tersebut terjadi (korporasi melakukan tindak pidana) maka hal tersebut

dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korporasi. Dalam hal ini, korporasi

dinilai dapat melakukan perbuatan pidana dan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana. Adapun apabila korporasi yang dijadikan

sasaran tersebut tidak melakukan tindak pidana maka sebaiknya

pertanggungjawaban hanya dibebankan kepada pihak-pihak yang mencoba

melakukan suatu tindak pidana dengan sarana korporasi tersebut dengan

“percobaan melakukan pidana”. Namun demikian, hal ini akan menjadi

permasalahan tersendiri dan membutuhkan penelitian lebih lanjut.

Selanjutnya, Kriesberg mengemukakan 3 (tiga) model pengambilan keputusan

korporasi yang melanggar hukum, yaitu sebagai berikut:129

1. Rational Action Model

Rational Action Model, dimana koporasi dilihat sebagai unit tunggal yang

secara rasional bermaksud melanggar hukum apabila hal tersebut merupakan

kepentingan korporasi.

2. Organization Process Model

Korporasi dilihat sebagai suatu sistem unit-unit yang terorganisasi secara

longgar, dimana macam-macam unit korporasi mungkin tidak mematuhi

hukum karena menghadapi kesulitan untuk dapat memenuhi produk yang

ditargetkan, sehingga untuk dapat memenuhinya mereka cenderung

melakukannya dengan melanggar hukum seperti misalnya dengan mengurangi

pengeluaran-pengeluaran yang diperlukan untuk menjaga keselamatan kerja,

iklan yang menyesatkan dan sebagainya.

3. Kejahatan koporasi merupakan produk dari keputusan-keputusan yang dibuat

secara individual untuk kepentingan pribadi.

Pendapat Kriesberg tersebut di atas mencoba membedakan antara keputusan

korporasi yang melanggar hukum yang benar-benar dilakukan oleh korporasi

dalam rangka mendapatkan keuntungan yang besar dan keputusan melanggar

hukum yang dilakukan oleh para bawahan dalam rangka mencapai target yang

129I. S Susanto, Op.Cit. hlm. 28.

Page 85: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

77

telah ditentukan oleh atasan, serta keputusan melanggar hukum yang dibuat

individu dalam struktur korporasi untuk keuntungan perseorangan atau pribadi.

Begitu rumitnya struktur oraganisasi dan sub-sub sistem yang ada dalam sebuah

korporasi, sehingga tidak jarang tanpa disadari, tindakan-tindakan yang dilakukan

dalam menjalankan bisnisnya korporasi telah melanggar hukum dan merugikan

bahkan membahayakan masyarakat.

Oleh karena itu, benarlah apa yang dikemukakan oleh I.S. Susanto yang

menyatakan bahwa “untuk memahami kejahatan korporasi, maka pertama-tama

kita harus melihat kejahatan korporasi sebagai kejahatan yang bersifat

organisatoris, yaitu suatu kejahatan yang terjadi dalam konteks hubungan-

hubungan yang kompleks dan harapan-harapan antara dewan direksi, ekskutif dan

manajer di satu sisi dan di antara kantor pusat, bagian-bagian dan cabang-cabang

di sisi lain.130

Clinard dan Yeager yang melakukan studi terhadap kejahatan korporasi

mengemukakan jenis-jenis kejahatan yang sering dilakukan korporasi yaitu

kejahatan koporasi yang berkaitan dengan administratif, lingkungan, keuangan,

tenaga kerja, produk barang, dan praktik-praktik perdagangan tidak jujur.

Kejahatan-kejahatan tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:131

Pelanggaran di bidang administratif meliputi tidak memenuhi persyaratan

suatu badan pemerintahan atau pengadilan, seperti tidak mematuhi perintah

pejabat pemerintah, sebagai contohnya membangun fasilitas pengendalian

pencemaran lingkungan.

Pelanggaran di bidang lingkungan hidup meliputi pencemaran udara dan air

berupa penumpahan minyak dan kimia, yaitu seperti pelanggaran terhadap surat

izin yang mensyaratkan kewajiban penyediaan oleh korporasi untuk pembangunan

perlengkapan pengendalian polusi, baik polusi udara maupun air.

Pelanggaran di bidang keuangan meliputi pembayaran secara tidak sah atau

mengabaikan untuk menyikapi pelanggaran tersebut, seperti penyuapan di bidang

130Ibid., hlm. 27.131Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi (The Hunt for Mega-Profits and the Attack on

Democracy), Bayumedia Publishing, Malang 2006, hlm. 82. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis danPerbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 34.

Page 86: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

78

bisnis, sumbangan politik secara tidak sah, dan pembayaran (suap) untuk pejabat-

pejabat asing, pemberian “persenan”, dan manfaat atau keuntungan secara illegal.

Contohnya pelanggaran yang berkaitan dengan surat-surat berharga yakni

memberikan informasi yang salah atas wali utama atau mengeluarkan pernyataan

salah, pelanggaran transaksi meliputi syarat-syarat penjualan (penjualan yang

terlalu mahal terhadap langganan), penghindaran pajak, dan lain sebagainya.

Pelanggaran perburuhan dapat dibagi menjadi empat tipe utama, yaitu

diskriminasi tenaga kerja (ras, jenis kelamin, atau agama), keselamatan pekerja,

praktik perburuhan yang tidak sehat, upah dan pelanggaran jam kerja.

Pelanggaran ketentuan pabrik yang pada dasarnya melibatkan tiga badan

pemerintah, yaitu: the Consumer Product Safety Commision bertanggung jawab

atas pelanggaran terhadap the Poison Prevention Packaging Act, the Flamable

Fabrics Act, dan the Consumer Product Safety Act, the National Highway Traffic

Administration mensyaratkan pembuatan kendaraan bermotor atau

memberitahukan agen dan pemilik, pembeli, dan kecacatan dari pedagang

sehingga mempengaruhi keselamatan kendaraan bermotor, disamping itu juga

mensyaratkan pembuat (pabrik) untuk memperbaiki kerusakan tersebut.

Kecacatan itu meliputi mesin sebagai akibat dari kesalahan pada bagian

pemasangan, pemasangan bagian yang tidak benar, kerusakan sistem, dan desain

yang tidak baik.

Praktik perdagangan yang tidak jujur meliputi bermacam-macam

penyalahgunaan persaingan (antara lain monopolisasi, informasi yang tidak benar,

diskriminasi harga), iklan yang salah dan menyesatkan merupakan hal penting

dalam praktik perdagangan yang tidak jujur.

Mengenai jenis-jenis kejahatan yang dilakukan oleh korporasi, lebih lanjut

Sutherland mengemukakan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh korporasi juga

meliputi informasi bohong dalam periklanan. Menurut Sutherland, informasi

bohong atau yang menyesatkan (misrepresentation) itu dapat dibagi menjadi 3

(tiga) kelompok utama sebagai berikut:132

132Ibid.

Page 87: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

79

a. Iklan yang ditujukan untuk menjual produk yang secara fisik

membahayakan konsumen, tanpa menyebutkan produk tersebut berbahaya.

Kebanyakan yang termasuk dalam iklan semacam itu, yakni bisnis obat

dan kosmetik.

b. Iklan yang melebih-lebihkan nilai produk (exaggerate the value of the

products). Mengenai hal ini, Sutherland mengambil contoh yang pernah

diputus terhadap dua penjahat di Chicago sekitar tahun 1930, karena telah

menjual sebotol obat dengan harga $10 kepada orang buta dengan

mengatakan bahwa obat tersebut akan dapat mengobati kebutaannya.

Ketika dianalisis, ternyata obat tersebut terbuat dari dua aspirin yang di

capur dengan air Danau Michigan. Pelakunya dijatuhi pidana penjara

selama enam bulan. Contoh lain yakni produk garmen yang mengiklankan

dan menjual produknya dengan menyatakan bahwa produk-produk itu

terbuat dari bahan sutra atau wool, yang ternyata sama sekali bukan

kualitas sebagaimana yang diiklankan, melainkan terbuat dari bahan

kapas. Sepatu kulit (buaya), ternyata bukan terbuat dari kulit dan

sebagainya.

c. Menyampaikan informasi bohong terhadap dua produk dalam waktu yang

bersamaan (ketika keduanya dipisahkan), sebab iklan tersebut mempunyai

tujuan khusus untuk merugikan pesaing dari konsumen. Contohnya,

sebuah perusahaan menjual barang melalui pesanan pos mengiklankan

tungku perapian sebagai barang yang berkualitas istimewa, yakni tidak ada

produk lain yang menyamainya, namun dalam kenyataannya ada produk

pesaing yang berkualitas sama.

Page 88: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

80

Page 89: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

81

BAB IV

TINDAK PIDANA KORPORASI DAN TAHAP-TAHAP

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI

A. Karakteristik Tindak Pidana Korporasi

Tindak pidana korporasi pada dasarnya merupakan kejahatan atau tindak

pidana yang memiliki karakteristik tersendiri. Perlu dikemukakan di muka bahwa

pada dasarnya, terdapat banyak karakteristik dari tindak pidana atau kejahatan

korporasi ini. Namun demikian, dalam buku ini hanya akan diuraikan beberapa

karakteristik tindak pidana korporasi yakni sebagai berikut:

a. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan kerah putih (white collar

crime);

b. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan lintas batas negara

(transnational crime);

c. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan yang terorganisir (organized

crime);

d. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan lintas batas negara yang

terorganisasi (transnational organized crime);

e. Tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana yang berdampak luar biasa

(extra ordinary crime);

f. Tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana bisnis (business crime);

g. Tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana internasional (international

crime); dan

h. Tindak pidana korporasi sebagai kejahatan dengan dimensi-dimensi baru

(new dimention of crime).

Uraian lengkap mengenai karakteristik tindak pidana korporasi sebagaimana

disebutkan di atas akan diuraikan sebagai berikut:

Pertama, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Kerah Putih

(White Collar Crime).

Secara sederhana yang dinamakan dengan white collar crime (WCC) yaitu

kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang kelebihan

Page 90: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

82

kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik

dalam pemerintahan atau di dunia perekonomian.133

Pada bagian pertama ini, penulis menggolongkan tindak pidana atau

kejahatan korporasi sebagai kejahatan kerah putih karena tidak dapat dipungkiri

bahwa tindak pidana atau kejahatan korporasi senantiasa dilakukan dengan

melakukan dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga dapat pula

dikatakan sebagai invisible crime yang penanganannya memerlukan kebijakan

hukum pidana secara terpadu. Disamping itu, penulis menilai bahwa orang-orang

korporasi yang melakukan tindak pidana korporasi tentu bukanlah orang

sembarangan karena mereka mempunyai akses untuk melakukan tindak pidana

tersebut dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan-kesempatan atau

sarana-sarana yang ada padanya.

Berbicara mengenai tindak pidana korporasi sebagai kejahatan kerah putih

(white collar crime), tentunya tidak dapat dipisahkan dari apa sebenarnya yang

dimaksud dengan kejahatan kerah putih (white collar crime) dan apa kriterianya.

Penjelasan mengenai kejahatan kerah putih (white collar crime) pertama kali

dikemukakan oleh Sutherland dalam bukunya yang berjudul white-collar

criminality. Dalam bukunya tersebut, Sutherland menyatakan dengan tegas bahwa

white collar crime merupakan suatu tindak pidana yang dilakukan oleh mereka

dari kalangan atas yang berkedudukan sosial tinggi terhormat dan dilakukan

dalam pekerjaannya (crime committed by person of respectability and high social

status in the course of their occupation),berupa penipuan canggih oleh para

ekskutif senior (the sophisticated faruds of senior executives).134

Sutherland ingin menyatakan dan meyakinkan bahwa white collar

criminality adalah kejahatan yang benar-benar terjadi atau kejahatan yang nyata,

ia ingin mengingatkan bahwa yang melanggar hukum, melakukan kejahatan,

133Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, 1977., hlm. 102. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 54.

134Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi, Ghaila Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 44. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 54.

Page 91: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

83

bukan saja mereka golongan kecil dan tidak mampu, melainkan juga mereka dari

kalangan atas yang terhormat dan berkedudukan sosial tinggi dan yang terakhir ia

ingin memberi dasar yang lebih kokoh bertalian dengan teori yang telah

dikembangkannya, yaitu: teori asosiasi diferensial (differential association).135

Terkait dengan white collar crime sebagaimana dikemukakan oleh

Sutherland di atas, Hazel Croal sebagaimana dikutip oleh Yusuf Shofie

memberikan definisi mengenai white collar crime sebagai berikut: “white collar

crime sering diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia keuangan dan bisnis

(financial and business world) dan penipuan canggih yang dilakukan oleh para

eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior executives). Di dalamnya

termasuk apa yang secara popular dikenal sebagai tindak pidana korporasi

(corporate crime).136

Menurut hemat penulis, yang dimaksud dengan white collar crime adalah

kejahatan atau tindak pidana yang dilakukan oleh orang atau sekelompok orang

yang memiliki jabatan tertentu, yang memiliki kedudukan sosial ekonomi tinggi

dimana tindak pidana tersebut menyangkut sebuah sistem, yang dilakukan

bersamaan dengan aktifitas pekerjaan atau jabatannya baik yang dilakukan dengan

cara fisik (nyata) maupun dengan cara non-fisik (tidak nyata) ataupun dengan cara

penyembunyian atau tipu muslihat untuk memperoleh uang atau keuntungan yang

besar.

Lebih lanjut, karakteristik dari tindak pidana kerah putih atau white collar

crime ini dapat dijabarkan sebagai berikut:137

a) Low Visibility

135 J.E Sahetapy, Kejahatan Korporasi, Eresco, Bandung, 1994, hlm. 19-20.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 54.

136 Yusuf Shofie, Op.Cit., hlm. 44.137Hanafi, perkembangan konsep pertanggung jawaban pidana dan relevansinya bagi usaha

pembaharuan hukum pidana nasional, Tesis, Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI), Jakarta, 1997., hlm. 143-144. Lihat juga dalam: Mahrus Ali, Asas-Asas Hukum Pidana Korporasi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta., hlm. 13-14. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 55.

Page 92: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

84

Kejahatan kerah putih merupakan kejahatan yang sulit dilihat karena

biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang normal dan pekerjaan yang

rutin dan melibatkan keahliannya serta bersifat sangat kompleks.

b) Complexity

Kejahatan kerah putih bukanlah kejahatan yang sederhana melainkan

kejahatan yang sangat kompleks karena sangat berkaitan dengan

kebohongan, penipuan, pengingkaran, serta berkaitan dengan sesuatu yang

ilmiah, teknologi, terorganisasi, melibatkan banyak orang dan sudah

berjalan bertahun-tahun.

c) Defussion of Responsibility

Dalam tindak pidana kerah putih ini biasanya terjadi penyebaran tanggung

jawab yang semakin meluas.

d) Defusion of Victimization

Di dalam tindak pidana kerah putih biasanya terjadi penyebaran korban

yang meluas.

e) Detection and Prosecution

Hambatan dalam penuntutan dan pemberantasan white collar crime ini

seringkali terjadi akibat profesi dualisme yang tidak seimbang antara

penegak hukum dan pelaku kejahatan. Dengan hal ini pelaku

menggunakan teknologi yang sangat canggih, pelaku adalah orang yang

berpendidikan tinggi dan mempunyai keahlian khusus di bidang itu

sedangkan penegak hukum hanya kepolisian dan kejaksaan yang masih

terbatas kemampuannya.

Kedua, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Lintas Batas

Negara (Transnationol Crime).

Kejahatan transnasional (transnational crime) merupakan kejahatan atau

tindak pidana yang hampir selalu berkaitan dengan kejahatan yang bermotif

finansial yang membawa dampak terhadap kepentingan lebih dari satu negara.

Jenis kejahatan atau tindak pidana ini antara lain perdagangan obat bius (drug

trafficking), kejahatan terorganisir lintas batas negara (transbonder organized

Page 93: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

85

criminal activity), pencucian uang (money laundering), kejahatan finansial

(financial crime), perusakan lingkungan secara disengaja (willful damage to the

environment), dan lain sebagainya.

Pada bagian ini penulis menggolongkan tindak pidana atau kejahatan

korporasi sebagai bagian dari tindak pidana atau kejahatan lintas batas negara atau

transnational crime mengingat tindak pidana korporasi dapat dilakukan dilbeih

dari satu negara, selalu berkaitan dengan finansial atau ekonomi dan dampak yang

dihasilkan dari tindak pidana korporasi mungkin saja dirasakan oleh negara

lainnya atau bahkan oleh perekonomian dunia.

Ketiga, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Terorganisir

(Organized Crime).

Di samping sebagai tindak pidana kerah putih (white collar crime) tindak

pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidana yang terorganisir

(organized crime). Apa sebenarnya yang dimaksud dengan tindak pidana yang

terorganisir (organized crime)? I.S. Susanto menyatakan bahwa kejahatan

terorginisir (dalam tindak pidana korporasi) yaitu suatu kejahatan yang terjadi

dalam konteks hubungan-hubungan yang kompleks diantara harapan-harapan

dewan direksi, eksekutif dan manajer di satu sisi dan diantara kantor pusat,

bagian-bagian dan cabang-cabang di sisi lain.138

Schrager dan Short mendefinisikan Organized crime sebagai berikut:

“Organizational crime are illegal acts of omission or commission of an individual

or a group of individuals in a legitimate formal organization in accordance whith

the operative goals of organization which have a serious physical or economic

impact on employees, consumers or the general public”.139

Sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian sebelumnya, tindak pidana

atau kejahatan yang bersifat terorganisir (organized crime) pada umumnya terdiri

dari 3 (tiga) unsur utama yang membentuknya. Unsur pertama yakni adanya

138 I.S Susanto, Op.Cit., hlm. 27.139 Steven Box, Power Crime and Mystification, Tavistock Publications, Limited, 1983.,

page 16.Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 57.

Page 94: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

86

organisasi kejahatan (criminal group) yang sangat solid baik karena ikatan etnis,

kepentingan politis maupun kepentingan-kepentingan lain. Unsur kedua, adalah

adanya kelompok yang “melindungi” tindak pidana ini (protector) yang antara

lain terdiri atas oknum penegak hukum dan para oknum yang bersifat

professional. Unsur ketiga, tentu saja adalah kelompok-kelompok masyarakat

tertentu yang menikmati hasil kejahatan yang dilakukan secara sistematis

tersebut.140

Keempat, Tindak Pidana Korporasi sebagai Kejahatan Lintas Batas

Negara yang Terorganisasi (Transnational Organized Crime).

Tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai kejahatan lintas batas

negara yang terorganisasi (transnational organized crime) karena memenuhi

kriteria kejahatan lintas batas negara yang terorganisasi (transnational organized

crime) sebagaimana diatur secara tegas dalam The United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) atau konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) menentang tindak pidana transnasional yang terorganisasi.

Pasal 1 The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime

(UNCATOC) dengan tegas menyatakan bahwa : “The purpose of this convention

is to promote cooperation to prevent and combat transnational organized crime

more effectively” (tujuan dari konvensi ini adalah untuk memajukan kerjasama

untuk mencegah dan memberantas tindak pidana transnasional terorganisasi

secara lebih efektif).

Dilihat dari tujuan The United Nations Convention Against Transnational

Organized Crime Tahun 2000 tersebut di atas, terbukti adanya peningkatan

kejahatan atau tindak pidana dan keprihatinan masyarakat internasional mengenai

kejahatan yang berkembang dewasa ini yang tidak saja merupakan masalah satu

negara, tetapi juga masalah global yang menurut hemat penulis salah satunya

adalah tindak pidana atau kejahatan korporasi.

Pada dasarnya, tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai

kejahatan transnasional yang bersifat terorganisir. Dikatakan demikian karena

140 Nyoman Serikat Putra Jaya, Loc.Cit. hlm. 111.

Page 95: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

87

tindak pidana korporasi selalu melibatkan orang-orang yang membentuk sebuah

jaringan atau sistem yang berkaitan dan tidak dapat dilepaskan satu dengan yang

lainnya. Di samping itu, orang-orang yang terlibat dalam tindak pidana korporasi

mempunyai fungsi, tugas, dan peranannya masing-masing sehingga tidak mudah

untuk diungkap, ditindak, dan diberantas oleh para aparatur penegak hukum.

Tindak pidana koporasi dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk dari

kejahatan transnasional yang terorganisasi (transnational organized crime) dapat

pula dilihat dari kriteria kejahatan transnasional terorganisasi yang terdapat dalam

Pasal 3 ayat (2) The United Nations Convention Against Transnational Organized

Crime (UNCATOC) tahun 2000 yang menyatakan bahwa:

a) It is commited in more than one state (hal ini dilakukan di lebih dari satu

negara);

b) It is committed in one state but substansial part of its preparation,

planning, direction or control take place in another state (hal ini

dilakukan di satu negara tetapi bagian substansialnya, perencanaan, arah

persiapan, atau kontrol terjadi di negara lain);

c) It is committed in one state but involves an organized criminal group that

engaged in criminal activities in more than one state (hal ini dilakukan di

satu negara tetapi melibatkan suatu kelompok penjahat terorganisasi yang

terlibat dalam kegiatan kriminal di lebih dari satu negara);

d) It committed in one state but has substantial effects in another state (hal

ini dilakukan di satu negara tetapi memiliki efek yang substansial di

negara lain).

Mencermati apa yang diatur dalam pasal 3 ayat (2) The United Nations

Convention Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) di atas, penulis

menilai bahwa tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana transnational

organized crime karena tindak pidana korporasi sangat mungkin dilakukan di

lebih dari satu wilayah negara, dilakukan di satu negara, tetapi persiapan,

perencanaan, pengarahan, atau pengendalin atas kejahatan tersebut di lakukan di

wilayah negara lain; dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi melibatkan suatu

kelompok pelaku tindak pidana yang terorganisasi yang melakukan tindak pidana

Page 96: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

88

di lebih dari satu wilayah negara atau dilakukan di suatu wilayah negara, tetapi

akibat yang ditimbulkan dari tindak pidana tersebut dirasakan di negara lain.

Kelima, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Tindak Pidana yang

Berdampak Luar Biasa (Extra Ordinary Crimes).

Tindak pidana korporasi dapat pula dikategorikan sebagai tindak pidana

yang berdampak luar biasa. Penulis menilai bahwa tindak pidana korporasi selalu

dilakukan secara tersistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan

keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi

masyarakat secara luas. Seiring dengan eksistensinya yang tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan manusia, tindak pidana korporasi dewasa ini mengalami

perkembangan yang terus meningkat dari tahun ke tahun ke tahun, baik dari

jumlah kasus yang terjadi dan dari jumlah kerugian yang ditimbulkannya. Dari

segi kualitas tindak pidana yang dilakukan, tindak pidana korporasi dilakukan

semakin sistematis serta lingkup atau dampaknya dirasakan dalam sebuah aspek

kehidupan masyarakat.

Penulis menilai bahwa meningkatnya tindak pidana korporasi yang tidak

terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan berbangsa dan

bernegara pada umumnya. Tindak pidana korporasi yang meluas dan sistematis

juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi

masyarakat, dan karena itu semua maka, tindak pidana korporasi tidak lagi dapat

digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar

biasa (extra ordinary crime).

Di samping itu, penulis berkesimpulan bahwa tindak pidana korporasi dapat

dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang

membutuhkan penanganan yang mendayagunakan cara-cara yang juga luar biasa

(extra ordinary measure). Dikatakan demikian karena tindak pidana korporasi

merupakan perbuatan yang menimbulkan bahaya terbesar (the greatest danger)

terhadap hak asasi manusia, target dari tindak pidana korporasi bersifat random

atau indiscriminate yang cenderung mengorbankan orang-orang yang tidak

bersalah, dalam tindak pidana korporasi, kemungkinan digunakan alat-alat dengan

Page 97: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

89

memanfaatkan teknologi canggih, tindak pidana korporasi merupakan bagian dari

“shadow economy”, “shadow crime” atau “hidden crime” yakni tindak pidana

yang berjalan dengan tidak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan

perbuatan kriminal yang sangat jahat, kecenderungan terjadinya sinergi atau

bahkan kerjasama antara organisasi korporasi yang satu dengan korporasi yang

lain baik dalam satu negara (nasional) atau lintas batas negara (transnasional

bahkan internasional), dapat membahayakan kepentingan nasional,

membahayakan kepentingan perekonomian nasional dan internasional, korporasi

seringkali melakukan pelanggaran hak asasi manusia, pelanggaran terhadap

standar buruh, melakukan pengrusakan lingkungan dan berkaitan erat dengan

tindak pidana yang lain, misalnya tindak pidana korupsi dan tindak pidana

pencucian uang, tindak pidana korporasi dapat mengganggu stabilitas keamanan

pada masyarakat, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang

mengancam kehidupan sosial, ekonomi, politik, keamanan, dan perekonomian

dunia.

Keenam, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan Bisnis (Business

Crime).

Berikutnya, penulis menilai bahwa tindak pidana atau kejahatan korporasi

dapat dikategorikan sebagai kejahatan bisnis, mengutip pendapat Conklin,

kejahatan korporasi maupun kejahatan bisnis memiliki dimensi ekonomi

sebagaimana berikut ini: “business crime is illegal act, punishable by a criminal

sanction, which is committed by an individual or a corporation in the course of a

legitimate occupation or pursuit in the industrial or commercial sector for the

purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of money or the

loss of property, or obtaining business or personal advantage”.141

Mardjono Reksodiputro berpendapat serupa bahwa corporate crime, yang

diterjemahkan sebagai “kejahatan korporasi”, merupakan bagian dari white collar

crime. Lebih lanjut ia menegaskan bahwa kejahatan korporasi selalu berhubungan

141 Kristian, Op.Cit., hlm. 50.

Page 98: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

90

dengan kegiatan ekonomi atau kegiatan yang berkaitan dengan dunia bisnis

(business related activities).142

Selanjutnya, Mardjono Reksodiputro juga menyatakan bahwa kejahatan

atau tindak pidana korporasi sebagai bagian white collar crime perlu dibedakan

dengan corporate crime yang dilakukan oleh small business dan big business

karena beberapa hal berikut ini:

a. Kejahatan korporasi jangan dikaitkan dengan small business offense,

yaitu kejahatan yang dilakukan oleh perusahaan atau usaha dagang yang

lingkup kegiatannya kecil.

b. Konsep kejahatan korporasi hanya ditujukan pada kejahatan yang

dilakukan oleh bisnis yang besar (big business).

c. Kejahatan korporasi yang merupakan bagian dari white collar crime,

harus dibedakan antara ordinary crime committed class people dan small

business offense.

Menurut hemat penulis, tindak pidana korporasi dapat dikategorikan sebagai

tindak pidana atau kejahatan bisnis dikarenakan tujuan utama korporasi adalah

untuk mencapai keuntungan yang besar. Dalam rangka mencapai keuntungan

yang besar tersebut, korporasi cenderung mengarah pada perluasan usaha dan

melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan hukum yang berlaku. Perbuatan

melawan hukum ini dapat dilihat misalnya dalam melakukan aktivitas bisnis,

korporasi tidak menghormati perlindungan hak asasi manusia, dalam melakukan

aktivitas bisnis, korporasi seringkali melakukan kerja paksa dan kerja wajib,

dalam melakukan aktivitas bisnis, korporasi seringkali meggunakan pekerja anak,

dalam melakukan aktivitas bisnis, korporasi seringkali tidak menghormati dan

tidak melaksanakan tanggung jawab lingkungan dan dalam melakukan aktivitas

bisnis, korporasi seringkali melakukan tindak pidana di bidang ekonomi misalnya

melakukan tindak pidana korupsi, tindak pidana penyuapan dan pemerasan.

Penegakan hukum bagi korporasi yang melakukan tindak pidana bisnis ini

juga sulit dilakukan mengingat dalam menjalankan aktivitas bisnisnya, korporasi

seringkali melakukan pembagian atau pendelegasian wewenang dalam

142 Yusuf Shofie, Op.Cit., hlm. 55.

Page 99: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

91

menentukan suatu langkah usaha atau kebijakan dalam rangka efektifitas dan

efisiensi operasional korporasi itu sendiri. Semakin besar perusahaan tersebut,

maka semakin besar pula kompleksitas pendelegasian tanggungjawab dan

wewenang dari puncak pimpinan kepada struktur yang lebih rendah di dalam

korporasi.

Perlu kiranya dikemukakan pula pada bagian ini bahwa kejahatan atau

tindak pidana korporasi sebagai salah satu bagian dari tindak pidana bisnis telah

membuat ruang lingkup tindak pidana korporasi dalam arti luas ini sering juga

disebut sebagai istilah misalnya: “economic crime”, “crime a business”,

“business crime”, “abuse of economic power” atau “economic abuse”.

Ketujuh, Tindak Pidana Ekonomi sebagai Kejahatan Internasional

(international crime).

Romli Atmasasmita menyatakan bahwa kejahatan internasional

(international crime) harus dibedakan dari kejahatan transnasional (transnational

crime) sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumya. Kejahatan

internasional (international crime) adalah suatu tindak pidana terhadap dunia atau

suatu masyarakat dan biasanya digerakkan oleh motif ideologi atau politik.

Sebagai contoh dari kejahatan ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan (crime

against humanity) dan hak asasi manusia, kejahatan perang (war crimes), genosida

(genocide), dan lain sebagainya.143

Menurut hemat penulis, tindak pidana korporasi sebagai tindak pidana

internasional dalam hal ini dapat diartikan bahwa tindak pidana korporasi

merupakan tindak pidana yang dilakukan dan diarahkan kepada orang-orang asing

dan asset-aset asing, dampak yang dihasilkan dari tindak pidana korporasi

dirasakan secara global, tindak pidana korporasi merupakan tindak pidana yang

dilakukan dengan diorganisasikan dan/atau melibatkan pemerintah dan/atau

organisasi atau korporasi yang terdapat dilebih dari satu negara, tindak pidana

korporasi dilatarbelakangi oleh tujuan mencapai keuntungan material, tindak

143 Romli Atmasasmita, Pengantar Hukum Pidana Internasional, PT. Refika Aditama, Bandung, 2000, hlm. 45.

Page 100: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

92

pidana korporasi memiliki karakteristik yang sangat terorganisasi, tangguh,

ekstrim, eksklusif, tertutup, memiliki komitmen yang sangat tinggi dan memiliki

dukungan keuangan dan dana yang sangat besar, tindak pidana korporasi

bertujuan atau setidaknya dapat mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dibuat

oleh pemerintah asing.

Kedelapan, Tindak Pidana Korporasi Sebagai Kejahatan dengan

Dimensi-Dimensi yang Baru (New Dimention of Crimes).

Karakteristik tindak pidana korporasi yang terakhir adalah tindak pidana

atau kejahatan dengan dimensi-dimensi yang baru. Penulis beranggapan demikian

karena tindak pidana korporasi senantiasa berkembang seiring dengan

perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat. Singkatnya, modus

operandi tindak pidana korporasi yang dilakukan di tahun 1990-an tentunya akan

berbeda dengan modus operandi tindak pidana korporasi yang dilakukan pada

tahun 2000an dan akan berbeda pula dengan modus operandi tindak pidana

korporasi yang dilakukan ditahun 2016 ini. Dengan demikian, tindak pidana

korporasi merupakan tindak pidana dengan dimensi-dimensi kejahatan yang akan

senantiasa berkembang baik modus operandi maupun alat yang digunakan seiring

dengan perkembangan zaman, perkembangan masyarakat dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Untuk menanggulangi hal ini, tentu hukum juga tidak

boleh statis melainkan harus mengikuti perkembangan zaman, perkembangan

masyarakat dan perkembangan dunia internasional khususnya dalam rangka

penanggulangan (mencegah dan memberantas) tindak pidana korporasi ini.

B. Kriminalisasi Tindak Pidana Korporasi

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan kriminalisasi? Mungkin pertanyaan

inilah yang pertama-tama harus dijawab terlebih dahulu.Istilah “kriminalisasi”

pada dasarnya merupakan suatu istilah yang berasal dari Bahasa Inggris yaitu

“Criminalization”. Menurut hemat penulis, secara sederhana kriminalisasi dapat

diartikan sebagai sebuah langkah atau proses yang diambil oleh badan legislatif

sebagai badan yang berwenang untuk menilai, menentukan dan merumuskan,

Page 101: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

93

apakah suatu perbuatan yang sebelumnya bukan sebagai perbuatan pidana (tindak

pidana) menjadi suatu tindak pidana dan dapat diproses sesuai dengan hukum

yang berlaku dan dijatuhi sanksi pidana.

Menurut Soerjono Soekanto, kriminalisasi merupakan tindakan atau

penetapan penguasa mengenai perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh masyarakat

atau golongan-golongan masyarakat dianggap sebagai perbuatan yang dapat

dipidana menjadi perbuatan pidana.144

Menurut Sudarto, kriminalisasi dapat pula diartikan sebagai suatu proses

penetapan suatu perbuatan orang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Proses

ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang dimana perbuatan itu diancam

dengan suatu sanksi berupa pidana. Terbentuklah peraturan hukum pidana yang

siap untuk diterapkan oleh hakim dan selanjutnya apabila dijatuhkan pidana,

pidana tersebut akan dilaksanakan oleh kekuasaan administrasi (eksekutif), di

bawah pimpinan menteri kehakiman. Sebaliknya, dekriminalisasi adalah suatu

proses dimana dihilangkan sama sekali sifat dapat dipidananya suatu perbuatan.145

Terkait dengan masalah kriminalisasi ini, proses kriminalisasi pada dasarnya

meliputi 2 (dua) masalah sentral yaitu terkait dengan masalah menentukan:146

1. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana, dan

2. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan kepada pelanggar.

Meskipun demikian, untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak

pidana, kiranya perlu diperhatikan pernyataan dari Satjipto Rahardjo yang

menyatakan bahwa untuk menetapkan suatu perbuatan sebagai tindak pidana perlu

diperhatikan kriteria umum sebagai berikut:147

a. Apakah perbuatan tersebut diakui oleh masyarakat karena merugikan atau

dapat merugikan atau mendatangkan korban;

144 Soejono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, Cetakan Pertama, Jakarta: Ghaila Indonesia, 1981, hlm. 62.

145 Sudarto, Op.Cit. hlm. 39-40.146 Kristian, Op.Cit., hlm. 34.147 Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 62.

Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 64.

Page 102: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

94

b. Apakah biaya mengkriminalisasikan seimbang dengan hasil yang akan

dicapai. Artinya, biaya pembuatan undang-undang, pengawasan dan

penegakan hukum, beban yang dipikul korban dan pelaku kejahatan itu

sendiri harus seimbang dengan situasi tertib hukum yang akan dicapai;

c. Apakah akan makin bertambah beban aparat penegak hukum sehingga

terjadi ketidakseimbangan kemampuan dan beban tugas, atau nyata-nyata

tidak dapat diemban oleh kemampuan yang dimiliki petugas penegak

hukum;

d. Apakah perbuatan itu menghambat atau menghalangi cita-cita bangsa

Indonesia, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur sehingga

merupakan bahaya bagi keselamatan masyarakat.

Selain itu, di dalam mengkriminalisasi suatu perbuatan harus

memperhatikan beberapa kriteria. Terkait dengan hal ini, Sudarto menyatakan

bahwa dalam masalah kriminalisasi ini memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, Tujuan hukum pidana

Tujuan hukum pidana yaitu untuk menanggulangi kejahatan dan juga

penguguran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan

masyarakat baik secara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam

wadah Negara Republik Indonesia.

Kedua, Penetapan perbuatan yang tidak dikehendaki

Sesuai dengan tujuan hukum pidana maka perbuatan yang diusahakan untuk

dicegah dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak

dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian atas warga

masyarakat.

Ketiga, Perbandingan antara sarana dan hasil

Di dalam menggunakan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip

biaya dan hasil (cost and benefit principle). Dalam hal ini, maka biaya dan hasil

mencakup juga materi (dalam bentuk uang) dan materill seperti beban yang harus

ditanggung rakyat dalam bentuk biaya sosial (sosial cost) serta efektivitas dari

pidana itu sendiri.

Page 103: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

95

Di dalam penggunaan hukum pidana dibutuhkan banyak badan dan orang

untuk dapat diterapkan seperti kepolisian, penuntut umum, pengadilan, lembaga

kemasyarakatan dan sebagainya. Oleh karena itu, pembuatan peraturan hukum

pidana harus pula memperhatikan kapasitas dan kemampuan daya kerja dari

badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas

(overbelasting).

Mengenai ukuran kriminalisasi dan dekriminalisasi secara doctrinal,

menurut Muladi harus berpedoman pada hal-hal sebagai berikut:148

a. Kriminalisasi tidak boleh terkesan menimbulkan “overkriminalisasi” yang

masuk kategori “the misuse of criminal action”;

b. Kriminalisasi tidak boleh bersifat ad hoc;

c. Kriminalisasi harus mengandung unsur korban (victimizing) baik aktual

maupun potensial;

d. Kriminalisasi harus memperhitungkan analisa biaya dan hasil dari prinsip

“ultimum remedium”;

e. Kriminalisasi harus menghasilkan peraturan yang “enforceable” (dapat

ditegakkan);

f. Kriminalisasi harus memperoleh dukungan publik;

g. Kriminalisasi harus mengandung unsur “subsosialiteit” (mengakibatkan

bahaya bagi masyarakat sekalipun kecil sekali);

h. Kriminalisasi harus memperhatikan peringatan bahwa setiap peraturan

pidana membatasi kebebasan rakyat dan memberikan kemungkinan kepada

aparat penegak hukum untuk mengekang kebebasan itu.

Perlu pula dikemukan bahwa pada dasarnya, kriminalisasi bermula dari teori

ordenings strafrecht yang dikemukan oleh Roling dan Jesseren d’Oliveira

Prakken sebagaimana dikutik oleh Roeslan Saleh yang menyatakan bahwa hukum

pidana adalah alat atau intrumen kebijakan pemerintah.149 Penggunaan hukum

148 Muladi, Op.Cit, hlm. 256.149 Roeslan Saleh, Beberapa Asas Hukum Pidana dalam Perspektif, Jakarta, Aksara Baru,

1983, hlm. 52. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 66.

Page 104: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

96

pidana sebagai instrumen kebijakan pemerintah ini merupakan kecenderungan

baru dalam perkembangan hukum pidana modern.150

Dengan demikian, dapat disimpulkan pula bahwa istilah “kriminalisasi”

hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang dinilai sebagai perbuatan pidana.

Proses kriminalisasi ini penting mengingat dalam hukum pidana Indonesia

menganut asas legalitas sebagaimana dituangkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan bahwa: “Tiada suatu

perbuatan boleh dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam

undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu.151

Ini artinya, suatu perbuatan dapat dihukum apabila sudah ada aturan hukum

yang mengatur atau menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah suatu tindak

pidana. Perlu pula dikemukakan bahwa asas legalitas di sini dimaksudkan untuk

memberikan jaminan kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah. Di

sinilah pentingnya proses kriminalisasi yaitu suatu proses untuk menentukan suatu

perbuatan sebagai tindak pidana.

Proses kriminalisasi di bidang tindak pidana ekonomi yang salah satunya

tindak pidana korporasi terus berlangsung dari waktu ke waktu dalam sistem

hukum Indonesia. Hal ini adalah sesuatu yang wajar mengingat salah satu peran

negara adalah melindungi warganya dari tindak pidana serta untuk

mensejahterakan masyarakat. Dalam rangka ini, negara (pemerintah) melakukan

banyak kriminalisasi terhadap tindak pidana tindak pidana baru di bidang

ekonomi misalnya kriminalisasi tindak pidana pencucian uang yang diatur dalam

Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang,

kriminalisasi tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang 20 tahun 2001

150 Roeslan Saleh, Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi: Apa yang Dibicarakan Sosiologi Hukum dalam Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, 1993, hlm. 5. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 66.

151 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasa demi Pasal, Politeia, Bogor, hlm. 27. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 67.

Page 105: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

97

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kriminalisasi tindak pidana

perpajakan dengan diaturnya perbuatan pidana sebagaimana diatur dalam

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara

Perpajakan (KUP) dan kriminalisasi tindak pidana perbankan sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan. Berdasarkan

uraian singkat di atas, dapat dilihat bahwa proses kriminalisasi dalam hal tindak

pidana korporasi di bidang ekonomi berlangsung begitu cepat dan diatur dalam

berbagai ketentuan dengan berbagai variasinya masing-masing.

Namun demikian, berbeda dengan kriminalisasi tindak pidana korupsi,

kriminalisasi tindak pidana korporasi dapat dikatakan berjalan sangat lambat

dibandingkan dengan kriminalisasi tindak pidana ekonomi lainnya. Hal ini

terbukti dengan tidak adanya undang-undang yang secara khusus mengatur

mengenai tindak pidana korporasi. Jangankan sampai pada lahirnya undang-

undang yang mengatur secara khusus mengenai tindak pidana korporasi, sampai

dengan saat ini saja masih terjadi perdebatan yang tidak kunjung selesai mengenai

pertanggungjawaban korporasi secara pidana. Di samping itu, pertanggung

jawaban pidana korporasi masih diatur tersebar dalam berbagai undang-undang

khusus baik yang sudah terkodifikasi maupun yang belum terkodifikasi

misalnya:152

a. Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Tindak Pidana

Ekonomi (Undang-undang Nomor 7/Drt. 1955 tentang Tindak Pidana

Ekonomi);

b. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan;

c. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah;

152 Pejelasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia dapat dilihat dalam : Kristian, Hukum Pidana Korporasi Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Nuansa Aula, 2014. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum diberbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 68.

Page 106: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

98

d. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 10 Tahun 1995 Tentang Kepabeanan;

e. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;

f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika;

g. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup;

h. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat;

i. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;

j. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi Sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

k. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang

Perubahan Keempat, Atas Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang

Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

l. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang;

m. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang;

n. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang;

o. Dan lain sebagainya;

Adanya pro dan kontra mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dan

pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi yang tersebar dalam berbagai

undang-undang khusus tersebut di atas sudah tentu akan sangat berpengaruh

terhadap berkembangnya kualitas dan kauntitas kejahatan yang bersangkutan dan

akan sangat berpengaruh dalam rangka penanggulangan (Pencegahan dan

pemberantasan) tindak pidana korporasi di Indonesia.

Page 107: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

99

Selain itu, perlu disadari bahwa dengan lambatnya proses kriminalisasi

tindak pidana korporasi maka akan menimbulkan dampak yang sangat serius. Hal

ini dikarenakan dampak dari tindak pidana korporasi begitu berbahaya. Hal ini

misalnya Nampak dalam lumpur Lapindo, apabila tindak pidana lumpur Lapindo

ini sudah menimbulkan dampak (misalnya saja rusaknya lingkungan) maka sangat

sulit atau tidak ada lagi cara yang dapat diambil negara untuk mengembalikan

kondisi lingkungan seperti semula.

Oleh sebab itu, menurut hemat penulis, alangkah baiknya dalam proses

kriminalisasi tindak pidana korporasi ini dirumuskan baik dengan menggunakan

rumusan delik formal atau material, delik aduan ataupun delik biasa dan ancaman

pidana yang diancamkan diformulasikan secara terpadu sehingga upaya

penanggulangan (Pencegahan dan pemberantasan) tindak pidana korporasi dapat

dilakukan secara efektif dan efisien.

Selain itu, yang perlu untuk diantisipasi mengingat banyaknya peraturan

yang mengkriminalisasi tindak pidana korporasi sebagaimana telah disebutkan di

atas, berkaitan dengan substansi atau pengaturannya. Dalam hal ini, seringkali

ditemukan tumpang tindih atau duplikasi norma antara ketentuan yang satu

dengan ketentuan yang lain sehingga yang dicapai bukan efektifitas dan efisiensi

dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korporasi tetapi justru

menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghambat penegakan

hukumnya. Oleh sebab itu, dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak

pidana korporasi (yang tidak dapat dilepaskan antara bidang yang satu dengan

bidang yang lainnya) dan dalam rangka menghindari tumpang tindih sebagaimana

dikemukakan di atas, maka dibutuhkan suatu asas-asas hukum yang menjadi dasar

dalam melakukan kriminalisasi tersebut, dibutuhkan suatu kebijakan hukum

pidana yang terpadu (integrated penal policy).

C. Tahap-Tahap Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi

Pada bagian sebelumnya, telah dikemukakan bahwa korporasi dijadikan

sebagai subjek hukum pidana karena adanya perkembangan masyarakat yang

Page 108: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

100

tidak terbendung lagi. Dengan adanya perkembangan masyarakat ini, dirasakan

perlu dan mendesak untuk menjadikan korporasi sebagai subjek hukum pidana

dimana korporasi sebagai “wadah” yang membawa hak dan kewajiban layaknya

manusia alamiah. Oleh sebab itu, dengan diaturnya korporasi sebagai subjek

hukum pidana, korporasi tersebut dinilai dapat melakukan hak dan kewajibannya

dengan nyata.

Korporasi disebut sebagai legal personality, artinya korporasi dapat

dianggap memiliki harta kekayaan sebagaimana halnya manusia dan dapat

menuntut dan dituntut dalam kasus perdata. Pertanyaan yang muncul adalah

apakah korporasi juga dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana?

Pada mulanya orang menolak untuk mempertanggungjawabkan korporasi

dalam perkara pidana. Alasannya, korporasi tidak mempunyai perasaan seperti

manusia sehingga dia tidak mungkin melakukan kesalahan. Di samping itu,

pidana penjara tidak mungkin diterapkan terhadap korporasi. Mengingat dampak

negatif yang ditimbulkan dalam kegiatan korporasi, maka timbul pemikiran untuk

mempertanggungjawabkan korporasi dalam perkara pidana. Dikatakan bahwa

korporasi bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh anggotanya

dalam kaitan dengan ruang lingkup pekerjaannya. Tentu saja pidana yang dapat

dijatuhkan pada korporasi biasanya berupa pidana denda.153

Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, ada tiga macam bentuk

pertanggungjawaban korporasi sebagai subyek tindak pidana, yaitu:

a. Pengurus korporasi yang berbuat, maka pengurus yang bertanggung

jawab;

b. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Ada dua cara untuk dapat memidana korporasi, yaitu:

a. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas strict liability atas

kejahatan yang dilakukan oleh pegawainya;

b. Korporasi dapat dikenakan pidana berdasarkan asas identifikasi.

153 .Sue Titus Reid, Criminal Law. Third Edition, (New Jersey: Prentice Hall, 1995), hal.51.

Page 109: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

101

Pengadilan mengakui bahwa tindakan anggota tertentu dari korporasi,

selama tindakan itu berkaitan dengan urusan korporasi dianggap sebagai tindakan

dari korporasi itu sendiri.154

Teori identifikasi sebagaimana disebutkan di atas adalah salah satu teori

yang memberikan justifikasi pertanggungjawaban korporasi dalam hukum pidana.

Teori ini menyebutkan bahwa tindakan dan kehendak dari direktur juga

merupakan tindakan dan kehendak dari korporasi (the acts and state of mind of the

person are the acts and state of mind of the corporation).155

Korporasi mempunyai sifat yang mandiri dalam hal pertanggungjawaban

pidana sehingga ia tidak dapat disamakan dengan model pertanggungjawaban

berdasarkan asas vicarious. Perbedaan antara pertanggungjawaban korporasi

(enterprise liability) dengan vicarious liability dapat dilihat pada pertimbangan

pengadilan dalam memutus perkara antara Tesko Supermarket Ltd versus

Nattrass. Pertimbangan pengadilan dapat dikutip sebagai berikut:

"A living persons as a mind which can have knowledge or intention or be

negligent and has hands to carry out his intention. A corproration has none

of these, it must act through living persons, though not always one and the

same person the .the person who acts is not speaking or acting for the

company. There is no question to the company being vicarious liability. He

is not acting as servent, representatives, agent or delegate. He is an

ambodiment of the company, or one could say, he hears and speaks, and his

mind is the mind of the company. If it is a guilty mind then that guilt is the

guilt of the company".156

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah siapa yang dimaksud identik

dengan korporasi, atau dengan kata lain siapa yang mewakili korporasi. Untuk

mengetahui hal tersebut dapat kita lihat pendapat hakim Lord Denning dalam

kasus HL.Bolton Co. versus PJ.Graham&Sons Ltd, sebagai berikut:

154 .Peter Sego, Criminal Law, Op.Cit., hal.143.155 .Richard Card, Introduction to Criminal Law, Op.Cit., hal.123.156 .Ibid.

Page 110: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

102

"A company may in many ways be likened to human body. It has a brain

and nerve centre which controls what it dces. It also has hands which hold

the tools and act in accordance with directions from the centre. Some of the

people of the company are mere servent and agent who are bothing more

than hands to do work and can not be said to represent the directing mind

and will. Other or derectors and managers who represent the directing

mind and will of the company and control what is does. The state mind of

these manager is the state of mind company and his treated by the law as

such."157

Dari pendapat Lord Denning tersebut dapat disimpulkan bahwa direktur

identik dengan korporasi sehingga dapat dikatakan bahwa tindakan direktur itu

juga merupakan tindakan dari korporasi, asal saja tindakan tersebut masih dalam

ruang lingkup pekerjaannya dan demi keuntungan korporasi. Mengenai masalah

kesengajaan dan kealpaan, Van Bemmelen dan Remmelink berpendapat bahwa:

"Pengetahuan bersama dari sebagian besar anggota direksi dapat dianggap

sebagai kesengajaan badan hukum itu, jika mungkin sebagai kesengajaan

bersyarat dan bahwa kesalahan ringan dari tiap orang yang bertindak untuk

korporasi itu, jika dikumpulkan dapat merupakan kesalahan besar dari

korporasi itu sendiri".158

Perubahan dan perkembangan kedudukan korporasi sebagai subjek hukum

pidana, mengalami beberapa perkembangan secara bertahap yang secara garis

besar dapat dibagi dalam 4 (empat) tahap sebagaimana akan diuraikan di bawah

ini. Perlu pula dikemukakan bahwa tahap-tahap pertanggungjawaban pidana

korporasi ini akan mempengaruhi bentuk sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi.

Adapun tahapan perkembangan system pertanggungjawaban korporasi

meliputi sebagai berikut:

157 .Ibid., hal. 124.158 .Hamcah Hetrik, Op.Cit., hal.94.

Page 111: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

103

Tahap Pertama: Hanya manusia alamiah yang menjadi subjek

hukum pidana, korporasi diapandang tidak dapat melakukan tindak pidana.

Tahap ini ditandai dengan usaha-usaha agar sifat atau tindak pidana yang

dilakukan oleh korporasi dibatasi pada perorangan (manusia alamiah naturlijk

person). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi,

maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi, maka

tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi tersebut.159

Pandangan pada tahap pertama ini sangat dipengaruhi oleh asas “societas

delinquere non potest” yaitu badan hukum tidak dapat melakukan tindak

pidana.160 Dengan demikian, apabila dalam suatu korporasi terjadi tindak pidana

maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi terjadi

tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus

korporasi tersebut dan pengurus korporasilah yang harus bertanggungjawab atas

perbuatan itu.

Asas “societas delinquere non potest”ini merupakan dasar yang

menyatakan bahwa badan hukum (korporasi) tidak dapat melakukan suatu tindak

pidana. Asas ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 59 Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) (atau Pasal 51 W.v.S.) yang berbunyi: “Dalam hal-hal di

mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota badan

pengurus, atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran

tindak pidana.” Asas ini merupakan contoh yang khas dari pemikiran dogmatis

pada abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan

sebagai kesalahan dari manusia alamiah.

Tahap Ke Dua: Korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana

tetapi pertanggungjawabannya dibebankan kepada pengurus-pengurusnya.

Tahap kedua ini ditandai dengan pengakuan yang timbul sesudah Perang

Dunia I dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat

dilakukan oleh persrikatan atau badan usaha (korporasi). Namun demikian, perlu

159Dwidja Priyatno dan Muladi, Op.Cit.hlm. 52.160Ibid. hlm. 53.

Page 112: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

104

disadari bahwa pada tahap ini pertanggungjawaban pidana tetap menjadi beban

dari pengurus atau organ-organ dari badan hukum (korporasi) tersebut.

Tanggung jawab pada tahap ini perlahan-lahan beralih dari anggota atau

pengurus atau organ korporasi kepada mereka yang memerintahkan tindak pidana

dilakukan. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban

pidana dapat dimintakan terhadap pengurus yang secara nyata memimpin

korporasi tersebut. Oleh sebab itu, pada tahap ini korporasi diakui dapat

melakukan tindak pidana akan tetapi yang mempertanggungjawabkan

perbuatannya secara pidana adalah para anggotanya atau pengurusnya selama

dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perudang-udangan atau dalam peraturan

korporasi yang bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap ini dapat disimpulkan

bahwa pertanggungjawaban pidana secara langsung dari korporasi masih belum

muncul.161

Dalam upaya menggambarkan korporasi sebagai subjek hukum pidana

yang perbuatannya dilihat dari perbuatan para pegawai yang mewakilinya

Denning L.J menjelaskan secara metaforis sebagai berikut:

“A company may in many ways be likened to a human body. It has a brain

and a nerve centre which control what is does. It also has hands which

holds the tools and act in accordance with direction from the centre. Some

of the people of the company are mere servants and agent who are nothing

more than hands to do the work and cannot be said to represent the mind

or will. Others are directors and manager who present the directing mind

of these managers are the state of mind of the company and is treated by

the law as such. So you will find that the case where the law requires a

personal fault as a condition of a criminal offence, the guilty mind of the

directors or managers will render the company itself guilty”.162

Dengan demikian, berdasarkan pernyataan Denning L.J di atas, dapat

disimpulkan bahwa sebuah perusahaan mungkin dalam banyak hal dapat

161Ibid., hlm. 53-54.162 Peter Gillies, Op.Cit. Page. 136.

Page 113: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

105

disamakan dengan tubuh manusia. Memiliki otak dan pusat saraf yang mengontrol

apa yang dilakukannya. Korporasi juga memegang tangan yang memegang alat

dan bertindak sesuai dengan petunjuk dari pusat. Beberapa orang dari dari

perusahaan adalah pekerja belaka dan agen yang tidak lebih dari tangan untuk

melakukan pekerjaan dan tidak dapat dikatakan untuk mewakili pikiran atau

kehendak dari suatu korporasi. Lainnya adalah direksi dan manajer yang mewakili

pikairan untuk mengarahkan dan kehendak perusahaan serta mengontrol apa yang

dilakukannya. Keadaan pikiran manajer ini adalah keadaan pikiran dari suatu

korporasi dan diperlakukan oleh hukum seperti itu. Oleh karenanya, dalam hal

menemukan bahwa dalam kasus dimana hukum mengharuskan adanya kesalahan

pribadi sebagai syarat kewajiban dalam perbuatan melawan hukum, kesalahan

manajer akan menjadi kesalahan korporasi, begitu juga dalam hukum pidana.

Dalam kasus dimana hukum membutuhkan pikiran bersalah sebagai syarat tindak

pidana, pikiran bersalah dari direktur atau manajer akan membuat korporasi itu

sendiri bersalah.

Adapun contoh dari peraturan perundang-undangan yang berada pada tahap

ini antara lain:163 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1951 (Undang-Undang Tenaga

Kerja); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1951 (Undang-Undang Kecelakaan);

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 (Undang-Undang Pengawasan

Perburuhan); Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 (Undang-Undang Senjata

Api); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1953 (Undang-Undang Pembukaan

Apotek); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 (Undang-Undang Penyelesaian

Perburuhan); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 (Undang-Undang

Penempatan Tenaga Asing); Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 (Undang-

Undang Penerbangan); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1964 (Undang-Undang

Telekomunikasi, berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1989);

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 (Undang-Undang Wajib Lapor

Ketenagakerjaan); Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 (Undang-Undang

163 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Cetakan Kedua Edisi Revisi, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002, hlm. 223. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 73.

Page 114: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

106

Metrologi Legal); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 (Undang-Undang Wajib

Lapor Perusahaan); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan

sebagaimana telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998); dan lain

sebagainya.164

Tahap ke Tiga: Korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan

mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana.

Tahap ketiga ini merupakan permulaan adanya pertanggungjawaban yang

langsung dari korporasi sebagai pembuat tindak pidana. Pertanggungjawaban

pidana korporasi ini dimulai pada waktu sesudah Perang Dunia II. Pada tahap ini,

korporasi dapat dinilai melakukan tindak pidana dan mempertanggungjawabkan

perbuatannya secara pidana. Dengan demikian, pada tahap ini dibuka

kemungkinan untuk menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya

menurut hukum pidana.

Alasan diaturnya korporasi sebagai pembuat tindak pidana sekaligus

sebagai pihak yang harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana

karena dalam delik-delik ekonomi atau tindak pidana ekonomi dan tindak pidana

fiscal, keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita

masyarakat dapat demikian besarnya sehingga tidak akan mungkin seimbang

bilamana pidana hanya dijatuhkan kepada pengurus korporasi saja. Alasan yang

diajukan bahwa dengan memidana para pengurus saja tidak atau belum ada

jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi tindak pidana tersebut.

Pemidanaan korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat

korporasi itu, diharapkan dapat memaksa korporasi menaati peraturan yang

bersangkutan.165

164 Penjelasan lebih lanjut mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi dalam berbagai undang-undang ini dapat dilihat di : Kristian, Hukum Pidana Korporasi Kebijakan Integral (Integral Policy) Formulasi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi di Indonesia, Nuansa Aulia, 2014. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 74.

165 Dwidja Priyatna, Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia, Bandung, CV Utomo, 2004, hlm. 27. Sebagaimana terdapat dalam buku

Page 115: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

107

Menurut Muladi sebagaimana dikutip oleh Edi Yunara, pembenaran

pertanggungjawaban korporasi sebagai pelaku tindak pidana dan dapat dimintakan

pertanggungjawaban secara pidana dapat didasarkan pada hal-hal berikut ini:166

a. Atas dasar falsafah integralistik, yakni segala sesuatu yang diukur atas

dasar keseimbangan, keselarasan, dan keserasian antara kepentingan

individu dan kepentingan sosial;

b. Atas dasar kekeluargaan sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 Undang-

Undang Dasar 1945;

c. Untuk memberantas anomie of success (sukses tanpa aturan);

d. Untuk perlindungan konsumen;

e. Untuk kemajuan teknologi.

Apabila dilihat secara global, maka tujuan pemidanaan korporasi

menyangkut tujuan bersifat integratif yang mencakup beberapa hal berikut ini:167

a. Tujuan pemidanaan adalah pencegahan (umum dan khusus). Tujuan

pencegahan khusus adalah untuk mendidik dan memperbaiki penjahatnya,

sedangkan tujuan pencegahan umum adalah agar orang lain tidak

melakukan kejahatan tersebut. Jadi jika dihubungkan dengan korporasi,

maka tujuan pidananya korporasi agar korporasi itu tidak melakukan pidana

lagi, dan agar korporasi-korporasi lain tercegah untuk melakukan tindak

pidana yang serupa, semuanya itu dilakukan dengan tujuan demi

pengayoman masyarakat.

b. Tujuan pemidanaan adalah perlindungan masyarakat. Perlindungan

masyarakat sebagai tujuan pemidanaan mempunyai dimensi yang sangat

luas, karena secara fundamental, perlindungan masyarakat merupakan

tujuan semua pemidanaan. Secara sempit hal ini digambarkan sebagai bahan

Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 74.

166 Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi (berikut studi kasus), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 31. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 74.

167 H. Setiyono, Op.Cit., hlm. 121-123. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 75.

Page 116: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

108

kebijaksanaan pengadilan untuk mencari jalan melalui tindak pidana.

Perlindungan masyarakat sering dikatakan berbeda diseberang pencegahan

dan mencakup apa yang dinamakan tidak mampu. Bila dikaitkan

pemidanaan bagi korporasi, sehingga korporasi tidak mampu lagi

melakukan suatu tindak pidana.

c. Tujuan pemidanaan adalah memelihara solidaritas masyarakat.

Pemeliharaan solidaritas masyarakat dalam kaitannya dengan tujuan

pemidanaan adalah untuk penegakan adat istiadat masyarakat, dan untuk

mencegah balas dendam perseorangan, atau balas dendam yang tidak resmi.

Pengertian solidaritas ini juga sering dihubungkan dengan masalah

kompensasi terhadap korban kejahatan yang dilakukan oleh negara. Apabila

dihubungkan sengan pemidanaan korporasi, kompensasi terhadap korban

dilakukan oleh korporasi itu sendiri yang diambil dari kekayaan korporasi,

sehingga solidaritas sosial dapat dipelihara.

d. Tujuan pemidanaan adalah pengimbalan atau keseimbangan, yaitu adanya

kesebandingan antara pidana dengan pertanggungjawaban individual dari

pelaku tindak pidana, dengan memperhatikan beberapa faktor. Penderitaan

yang dikaitkan oleh pidana harus menyumbang pada proses penyesuaian

kembali terpidana pada kehidupan masyarakat sehari-hari dan disamping itu

beratnya pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak

dengan alasan-alasan prevensi general apapun. Dihubungkan dengan

pemidanaan korporasi diharapkan dapat memberikan keseimbangan antara

tindak pidana/kejahatan yang telah dilakukan oleh korporasi dengan sanksi

pidana yang dibebankan kepadanya.

Pada mulanya, peraturan perundang-undangan yang menempatkan korporasi

sebagai subjek hukum pidana dan secara langsung dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana adalah Undang-Undang Drt Nomor 7 Tahun 1955 Tentang Tindak

Pidana Ekonomi yang menyatakan: “jika suatu tindak pidana ekonomi dilakukan

dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap badan

hukum, perseroan, suatu perikatan atau orang atau yayasan, maka tuntutan pidana

dilakukan dan hukuman pidana serta tindakan tata tertib dijatuhkan baik terhadap

Page 117: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

109

badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan itu, baik terhadap mereka

yang member perintah melakukan tindak pidana ekonomi itu atau yang bertindak

sebagai pemimpin dalam perbuatan atau kelalaian itu maupun terhadap kedua-

duanya.” Berdasarkan perumusan di atas dapat dilihat bahwa yang dapat

melakukan suatu tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana

adalah orang dan korporasi itu sendiri.

Tahap ketiga ini telah mempengaruhi politik hukum pidana (criminal

policy) Indonesia dimana hal ini menyebabkan peraturan perundang-undangan di

Indonesia mulai mencantumkan tanggungjawab pidana langsung dari korporasi

dimana korporasi dinilai dapat melakukan tindak pidana dan dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana meskipun masih terbatas dalam peraturan

perundang-undangan khusus di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP). Peraturan perundang-undangan khusus ini diantaranya:168 Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1951 Tentang Kerja; Undang-undang Nomor 2 Tahun

1951 Tentang Kecelakaan; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang

Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata

Api; Undang-Undang Nomor 83 Tahun 1958 Tentang Penerbangan dan lain

sebagainya.

Tahap Ke Empat: Pengaturan Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Korporasi dalam Ketentuan Umum Hukum Pidana Nasional.

Menurut Muladi, tahap perkembangan korporasi sebagai subjek hukum

pidana di Indonesia ternyata mengikuti perkembangan di Negeri Belanda. Namun

sekarang di Negeri Belanda menurut beliau, sistem pertanggungjawaban pidana

korporasi telah memasuki tahap keempat, yaitu pengaturan tentang

pertanggungjawaban korporasi tidak lagi tersebar di luar Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP-WVS) Belanda, sebab dengan lahirnya Undang-Undang

Tanggal 23 Juni 1976 Stb 377, yang disahkan pada tanggal 1 September 1976,

muncul perumusan baru Pasal 51 W.v.S Belanda yang berbunyi:

a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

168 Barda Nawawi Arief, Op.Cit. hlm. 233.

Page 118: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

110

b. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh badan hukum, dapat dilakukan

tuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan pidana dan

tindakan-tindakan yang tercantum dalam undang-undang terhadap: badan

hukum atau terhadap yang “memerintah” melakukan tindakan yang dilarang

itu; atau terhadap mereka yang bertindak sebagai “pemimpin” melakukan

tindakan yang dilarang itu; terhadap “badan hukum” dan “yang memerintah

melakukan perbuatan” di atas bersama-sama.

c. Bagi pemakai ayat selebihnya disamakan dengan badan hukum: perseroan

tanpa badan hukum, perserikatan, dan yayasan.

Dengan lahirnya undang-undang ini maka semua ketentuan peraturan

perundang-undangan pidana khusus yang tersebar diluar kitab Undang-undang

Hukum Pidana KUHP Belanda yang mengatur tentang pertanggungjawaban

pidana korporasi dicabut karena dipandang tidak perlu lagi, sebab dengan

diaturnya sistem pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Pasal 51 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Belanda, maka sebagai ketentuan umum

berdasarkan Pasal 91 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP Belanda

(Pasal 103 KUHP Indonesia), ketentuan ini berlaku untuk semua peraturan diluar

kodifikasi sepanjang tidak disampingi.

Dalam sistem hukum nasional, perlu disadari bahwa perkembangan

pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi pada tahap ke-4 ini masih

bersifat “ius contituendum”. Pengaturan mengenai pertanggungjawaban pidana

korporasi tahap ke-4 ini yakni dengan mengatur pertanggungjawaban pidana

korporasi secara umum dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) Nasional, sehingga berlaku untuk semua tindak pidana. Dengan

demikian, pada tahap ke-4 ini tidak dapat lagi berbicara mengenai siapa yang

dapat dimintakan pertanggungjawaban secara pidana (apakah orang atau korporasi

atau kedua-duanya) melainkan akan berfokus pada pengaturan

pertanggungjawaban pidana korporasi pada hukum pidana umum yang akan

berlaku untuk semua tindak pidana.

Pertanggungjawaban pidana korporasi dianggap sebagai sesuatu yang

penting, sehingga ketua Penyusunan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum

Page 119: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

111

Pidana (RKUHP) mengatur tentang “corporate criminal liability”. Dengan

dimasukkannya hal tersebut berarti bahwa bentuk pertanggungjawaban pidana

terhadap korporasi berlaku umum untuk semua tindak pidana, termasuk yang

berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).169

Menurut Muladi, Pasal 18 Council of Europe Criminal Law Convention on

Corruption (1999) dapat dijadikan pedoman, dimana dinyatakan:170 “….that the

legal persons can be held liable for the criminal offences… Committed for their

benefit by any natural person, acting either individually or as part of an organ of

the legal person, who has a leading position within the legal person, based on:

a. A power of representation of the legal person;

b. An authority to decisions on behalf of the legal person;

c. An authority to exercise control whitin the legal person;

d. As well as for involvement of such a natural person as accessory or

instigator in the above-mentioned offences.”

Dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) hasil

pembahasan panitia kerja R-KUHP DPR-RI tanggal 24 Februari 2017.

Pertanggungjawaban pidana korporasi telah diatur secara tegas, yakni dalam

beberapa pasal berikut ini:

a. Pasal 48 RKUHP:

Korporasi merupakan subjek hukum pidana.

Berdasarkan penjelasannya, berdasarkan ketentuan ini, korporasi telah

diterima sebagai subjek hukum pidana, dalam arti dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan yang dilakukan.

169http://www.dipp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Tentang_RUU_KUHP, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.16. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 78.

170http://www.dipp.depkumham.go.id/inc/buka.php?d=sos+1&f=Beberapa_Catatan_Tentang_RUU_KUHP, diakses terakhir pada tanggal 16 November 2012 pada pukul 11.25. Sebagaimana terdapat dalam buku Karangan Dwidja Priyatno, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis dan Perbandingan Hukum di berbagai Negara, (Bandung : Refika Aditama, 2016), hlm. 78.

Page 120: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

112

b. Pasal 49 RKUHP:

Tindak pidana dilakukan oleh korporasi jika dilakukan oleh orang-orang

yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi

yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan

korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, dalam

lingkup usaha korporasi tersebut, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Berdasarkan penjelasannya, kedudukan fungsional diartikan bahwa orang

tersebut mempunyai kewenangan mewakili, kewenangan mengambil

keputusan dan kewenangan untuk menerapkan pengawasan terhadap korporasi

tersebut. Termasuk di sini orang-orang tersebut berkedudukan sebagai orang

yang menyuruh melakukan, turut serta melakukan, penganjuran atau

pembantuan tindak pidana tersebut.

c. Pasal 50 RKUHP:

Jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, pertanggungjawaban pidana

dikenakan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

d. Pasal 51 RKUHP:

Korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap suatu

perbuatan yang dilakukan dan/atau atas nama korporasi, jika perbuatan

tersebut masuk dalam lingkup usahanya sebagaimana ditentukan dalam

anggaran dasar atau ketentuan lain yang berlaku bagi korporasi yang

bersangkutan.

Berdasarkan penjelasannya, mengenai kedudukan sebagai pembuat tindak

pidana dan sifat pertanggungjawaban pidana dari korporasi terdapat

kemungkinan sebagai berikut:

a. Pengurus korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan oleh karena itu

penguruslah yang bertanggungjawab;

b. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan pengurus yang

bertanggungjawab; atau

Page 121: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

113

c. Korporasi sebagai pembuat tindak pidana dan juga sebagai yang

bertanggungjawab.

Oleh karena itu, jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan untuk suatu

korporasi maka penuntutannya dapat dilakukan dan pidananya dapat

dijatuhkan terhadap korporasi sendiri atau korporasi dan pengurusnya, atau

pengurusnya saja.

e. Pasal 52 RKUHP:

Pertanggungjawaban pidana pengurus korporasi dibatasi sepanjang pengurus

mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi.

Berdasarkan penjelasannya, sebagaimana ditentukan dalam pasal 50

tanggungjawab korporasi dalam hukum pidana telah diterima sebagai suatu

prinsip hukum. Namun, korporasi tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam

hukum pidana terhadap semua objek, kecuali jika secara khusus telah

ditentukan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam lingkungan usahanya. Hal

ini harus secara tegas diatur dalam Anggaran Dasar atau ketentuan lain yang

berlaku sebagai Anggaran Dasar dari korporasi yang bersangkutan.

f. Pasal 53 RKUHP:

Dalam pertimbangan suatu tuntutan pidana, harus dipertimbangkan apakah

bagian hukum lain telah memberikan perlindungan yang lebih berguna

daripada menjatuhkan pidana terhadap suatu korporasi.

Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dinyatakan dalam

putusan hakim. Berdasarkan penjelasannya, dalam hukum pidana, penjatuhan

pidana selalu harus dipandang sebagai ultimum remedium. Oleh karena itu,

dalam menuntut korporasi harus dipertimbangkan apakah bagian hukum lain

telah telah memberikan perlindungan yang lebih berguna dibandingkan

dengan tuntutan pidana dan pemidanaan. Jika memang telah ada bagian

hukum lain yang mampu memberikan perlindungan yang lebih berguna maka

tuntutan pidana atas korporasi tersebut harus didasarkan pada motif atau

alasan yang jelas.

Page 122: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

114

g. Pasal 54 RKUHP:

Alasan pemaaf atau alasan pembenar yang dapat diajukan oleh pembuat yang

bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi, dapat diajukan oleh korporasi

sepanjang alasan tersebut langsung berhubungan dengan perbuatan yang

didakwakan kepada korporasi.

h. Pasal 85 RKUHP:

Jika pengembalian kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 84 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi dikenakan

pidana pengganti denda berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran

korporasi.

Page 123: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

115

BAB V

PENGGUNAAN TERAPI DENGAN ZAT RADIOAKTIF

DI RUMAH SAKIT

A. Konsep Rumah Sakit Sebagai Korporasi

1. Pengertian Rumah Sakit Sebagai Korporasi.

Pada zaman dahulu sebelum ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat

sederhana perkembangannya, penyakit dianggap sebagai hukuman atau kutukan

Tuhan atas dosa manusia. Pada waktu itu hanya ada dua jalan yang dapat

ditempuh oleh seorang pasien, yaitu berobat dan bertobat kepada mereka yang

dapat memberikan pertolongan karena dekat dengan Tuhan. Saat itu hubungan

antara ilmu pengetahuan dengan agama sangat erat, sampai pada suatu waktu

muncul Marthin Luther yang secara terang-terangan berani mengatakan "no

malady comes from God".171

Ungkapan yang senada sebenarnya juga telah pernah diucapkan oleh

Hippocrates yang hingga kini dianggap sebagai bapak ilmu kedokteran modern,

yaitu yang mendekati penyakit tidak dari segi kepercayaan tetapi dari segi yang

lebih rasional melalui penentuan diagnosa secara sistematis sebagaimana yang

dilakukan oleh para dokter pada saat ini. Dari sumpah Hippocrates itulah

kemudian dituangkan sebagai sumpah dokter yang pada dasarnya seragam di

berbagai negara di dunia. Sumpah tersebut dituangkan dalam sebuah deklarasi

yang dicetuskan oleh forum Word Medical Association di Genewa pada tahun

1948 dan yang kemudian diperbaiki dan disempurnakan pada sidang ke-22 Forum

Medical Association di Sydney pada tahun 1968.172

Adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang

kedokteran akan membawa konsekuensi masalah, baik itu masalah etis di bidang

pelayanan kesehatan, maupun masalah hukum dengan berbagai aspeknya.

Masalah tersebut diantaranya adalah bagaimana hubungan antara etika kedokteran

171 .Soerjono Soekanto & Kartono Mohammad. "Aspek Fluktim dan Etika KcciAteran di Indonesia”, 1983. hal.13 yang mengutip dari Joseph Flethcer "Moral and Medicine-. Princeton: N.J.University Press. 1979.

172 .Hermin Hadiati, Beberapa Perrnasalahan Hukum dan Medik, (Bandung: PT, Cilia Aditya Bakti. 1992), hal. 61.

Page 124: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

116

dan etik rumah sakit, bagaimana hubungan antara etik rumah sakit dengan etik

umum masyarakat, bagaimana hubungan antara etik rumah sakit dengan hukum,

serta bagaimana hubungan antara etik rumah sakit dengan hukum yang berlaku

untuk rumah sakit.

Apa yang dimaksudkan dengan etik kedokteran adalah syarat-syarat tertentu

yang menjadi pegangan dalam sikap bagaimana seorang dokter harus berbuat

demi kepentingan pasien sesuai dengan lafal sumpahnya yang disusun oleh

Hippocrates dan yang menjadi dasar dari kode etik kedokteran internasional

hingga kini. Sedang yang dimaksud dengan perawatan kesehatan (medical care)

adalah merupakan penerapan klinis dan sosial dari ilmu kedokteran.173

Berbicara tentang hal tersebut kita terlebih dahulu seyogyanya mengetahui

apakah rumah sakit itu, dan bagaimana fungsi rumah sakit dalam masyarakat

sebagai sub sistem. Kiranya sudah tidak perlu diragukan mengenai fungsi rumah

sakit dari segi medik yang merupakan tempat praktek medik, jelas nampak dari

perumusan yang diberikan Oleh Philip D. Bornnet, N.D.sebagai:174 an institution

providing medical care and other services injured persons". Untuk itu maka ada

beberapa tipe rumah sakit yang pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga

hal yang prinsip, yaitu:

a. Yang didasarkan pada pemilikannya (ownership);

b. Didasarkan pada lamanya waktu tinggal (length of stay); dan

c. Yang didasarkan pada tipe pelayanan yang diberikan (type of service

provided).

Tiga tipe rumah sakit tersebut tiap-tiap negara berbeda jumlahnya sesuai

dengan kondisi dan kemampuan, serta kebutuhan akan adanya tipe rumah sakit

yang diperlukan.

Sejarah perkembangan rumah sakit sebagai tempat praktek medik

mengalami perjalanan yang panjang sejak abad ke-18 sampai dengan abad ke-20

tidak perlu diragukan lagi dari tujuan awal, yang tidak lain memberikan

173 .Kampachi Yoshioka, dalam Oriental Medical Ethics From The Standart of Life Science, hal.35.

174 .Encyclopedia Americana, International Edition, Op.Cit.. hal.437.

Page 125: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

117

pelayanan, perawatan, dan tempat bagi mereka yang sakit yang merupakan syarat

utama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan.

Rumah sakit sebagai tempat praktek medik yang dilakukan oleh orang-

orang yang berpegang pada lafal sumpah Hippocrates dan yang diikat oleh dalil-

dalilnya dengan demikian secara idealnya berfungsi sosial, dalam arti secara

cuma-cuma memberikan pelayanan perawatan medik.

Sepanjang perkembangannya dari tujuan semula rumah sakit mengalami

pertumbuhan dan perkembangannya baik yang menyangkut segi organisasi

maupun manajemennya. Walaupun sudah ada beberapa klasifikasi rumah sakit

sebagaimana diuraikan di muka namun secara umum organisasi dan manajemen

rumah sakit pada dasarnya adalah sama, yaitu terdiri dari sebuah majelis yang

mengatur, memerintah, mengelola (governingboard), dan sebuah pimpinan

sebagai pelaksana dari apa yang dirumuskan oleh majelis tadi (executive head of

hospital).175

Di Indonesia pada umumnya ada tiga tipe rumah sakit yang kriterianya

dikaitkan dengan tujuan didirikannya rumah sakit tersebut, yaitu rumah sakit

umum, rumah sakit sosial, dan rumah sakit swasta.176 Dalam Pasal 1 butir 3

Permenkes No.56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Rumah Sakit dinyatakan

bahwa:

"Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan

kesehatan pada semua bidang dari jenis penyakit".

Pasal 1 butir 3 menyatakan bahwa:

"Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama

pada suatu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin

ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit atau kekhususan lainnya".

Kedua jenis rumah sakit tersebut sesuai dengan tujuannya pada asasnya

merupakan organisasi yang otonom dalam melaksanakan pekerjaan. Dengan

demikian rumah sakit dalam artinya yang umum merupakan suatu perusahaan

yang dalam bentuk yuridisnya biasanya diberi bentuk wadah sebagai suatu

175 .Hermin Hadiati, Op.Cit., hal.68.176 .Hermin Hadiati, Medical Law dan Rumah Sakit sebagai Pusat Harapan Kesehatan,

makalah dalam Kongres PERSI II di Surabaya, hal. 1.

Page 126: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

118

yayasan (stiching) atau perkumpulan (vereniging), sehingga dalam lalu lintas

perhubungan hukum mempunyai tanggung jawab yang penuh.177

Disinilah dua tugas rumah sakit bertemu, yaitu pertama, tugas yang

didasarkan oleh dalil-dalil etik medik karena rumah sakit merupakan tempat

berkumpulnya para pelaksana lafal sumpah medik yang diikat oleh dalil-dalil

Hippocrates dalam melakukan tugasnya, dan kedua, segi hukum sebagai dasar

bagi wadah organisasi rumah sakit yang bergerak dalam lalu lintas perhubungan

kemasyarakat yang diikat oleh norma-norma tertentu, baik itu norma etik umum

masyarakat maupun norma hukum yang dibuat dengan sengaja oleh pimpinan

masyarakat tersebut. Oleh karenanya maka Kompachi Yoshioka memandang

perlu dalam gerak operasionalnya rumah sakit yang meliputi kedua bidang

tersebut (etik dan hukum) diikat oleh ketentuan-ketentuan tertentu sebagaimana

yang dikatakan olehnya “…it is necessary for a hospital to stipulate strict medical

standards which must be observed by the hospital staff as an ethical code and

abide by its guiding principals of medical care”.178 Mengapa ia memandang

perlu? Tidak lain ialah karena kriteria atau tolok ukur yang dipergunakan untuk

menilai apakah suatu perbuatan benar atau salah bagi etik dan bagi hukum tidak

sama atau belum tentu sama.

Suatu contoh misalnya, dari segi etik pemberian terapi dengan

menggunakan zat radioaktif yang dilakukan oleh radioterapi di sebuah rumah

sakit adalah wajar sepanjang hal tersebut memang sudah sangat perlu untuk

dilakukan, dan mendapat persetujuan dari pasien, serta dilakukan sesuai dengan

ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang dikuasainya.

Berbeda halnya dari segi hukum, apabila pemberian terapi dengan

menggunakan zat radioaktif itu menimbulkan kerugian kepada pasien berupa

rusaknya jaringan sehat yang sebenarnya tidak perlu terjadi, serta menyebabkan

cacatnya pasien, dilakukan oleh bukan seorang ahli radioterapi, tidak di rumah

sakit serta tanpa adanya persetujuan dari pasien maka oleh hukum pidana hal itu

dapat dimintai pertanggungjawaban.

177 .Hermin Hadiati, Op.Cit., hal. 2.178 .Kompachi Yoshioka, Op.Cit., hal. 35.

Page 127: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

119

Tolok ukur yang berbeda bagi kenyataan yang sama dalam masyarakat,

yaitu pemberian terapi dengan zat radioaktif membawa konsekuensi yang berbeda

dalam bidang etik dan dalam bidang hukum. Terlebih kalau hal ini oleh awam

dicampur adukkan, dan dalam kenyataan hampir selalu apa yang membawa ekses

negatif itulah yang mendapat sorotan tajam dari masyarakat.

Jika perbuatan tadi masing-masing dilakukan oleh orang yang berbeda, di

tempat yang berbeda dan didasarkan oleh tujuan yang berbeda seringkali

menimbulkan masalah. Karena orang tidak mempermasalahkan lebih jauh

motivasi apa yang mendasari perbuatan yang dilakukan itu. Hal tersebut akan

jelas apabila unsur-unsur yang menjadi sebab dari kenyataan yang sama

perwujudannya dalam masyarakat itu diketahui hubungan sebab akibatnya, yaitu

tindakan medis untuk mengurangi rasa sakit dan berusaha menyembuhkannya.179

Sedangkan apabila tindakan medis itu dilakukan bukan oleh dokter atau ahli

radioterapi maka yang melakukannya merupakan penganiayaan yang termasuk

perbuatan yang oleh hukum pidana dapat diberikan sanksi pidana. Contoh tersebut

didasarkan kepada prinsip dasar dalam moral bahwa manusia jangan

dipergunakan sebagai alat. Ilmu kedokteran bercirikan moral, dan setiap orang

yang berpraktek keahlian yang konfidensial ini selalu memiliki posisi yang

berbasis merdeka.180

Dari segi hukum, hubungan antara pihak yang minta bantuan dengan pihak

yang memberikan bantuan pertolongan itu disebut sebagai

“hulloverleningscontract”.181 Para dokter yang memiliki posisi demikian tadi dan

bekerja di rumah sakit meningkatkan diri dengan rumah sakit dalam suatu ikatan

perjanjian-transaksi yang disebut sebagai "toelatingscontract", dan merupakan

medical staff dari rumah sakit tersebut.

Masalahnya sekarang ialah sampai sejauhmana batas-batas tanggung jawab

etik rumah sakit terhadap medical staff dan sebaliknya, dan di lain pihak tanggung

jawab etik dan hukum rumah sakit terhadap masyarakat yang dalam hal tertentu

179 .Ibid.180 .W.B.Van der Mijn dalam "Medical Deciplinary Law", Jakarta, 2-5 September, 1984,

hal 1.181 .Hermin Hadiati, Op.Cit., hal.17.

Page 128: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

120

pasien? Karena tindakan yang tidak jelas dari segi etik itulah kiranya rumah sakit

perlu mengadakan serangkaian dalil-dalil yang mengikat secara etik, bagi siapa

saja yang akan memanfaatkan fungsi rumah sakit tersebut.

Rumah sakit yang tidak hanya menghimpun para dokter yang bekerja

sebagai anggota medical staff, juga menghimpun para pencari nafkah lain yang

mungkin berasal dari profesi yang berbeda, dan bahkan mungkin juga terdiri dari

bukan kalangan profesi. Demikian juga bila dilihat dari segi luar rumah sakit,

kalangan yang akan memanfaatkan fungsi rumah sakit juga terdiri dari beraneka

ragam golongan kelompok manusia. Maka demi menghindari kepastian dalam

penafsiran standar profesi medis perlu adanya peraturan yang mengatur

perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan tenaga paramedis.

Rumah sakit tidak hanya perlu memperhatikan mutu pelayanan medik tetapi

juga mutu pelayanan pengelolaan. Untuk pengelolaan yang baik perlu ada

keberagaman dalam media komunikasi yang dipergunakan sehingga tidak terdapat

penafsiran yang berbeda-beda.

Kalau kita cermati Pasal 78 ayat (2) Permenkes No.56 Tahun 2014 tentang

Klasifikasi dan Perizinan Rumah sakit dinyatakan bahwa:

“Menteri, Pemerintah Daerah Provinsi dan/atau Pemerintah Daerah

Kabupaten/Kota, dalam melaksanakan pembinaan dan pengawasan dapat

mengikutsertakan masyarakat, asosiasi perumahsakitan, atau organisasi

profesi”

Selanjutnya Pasal 78 ayat (3) Permenkes No. 56 Tahun 2014 dinyatkan

bahwa Pembinaan dan pengawasan dilaksanakan melalui :

a. Advokasi, sosialisasi, supervisi, konsultasi, dan bimbingan teknis;

b. Pendidikan dan pelatihan; dan/atau

c. Pemantauan dan evaluasi.

Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentnag Rumah Sakit,

dinyatakan bahwa :

“Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas Kepala Rumah Sakit atau

Direktur Rumah Sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur

Page 129: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

121

penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta

administrasi umum dan keuangan”.

Adapun bila pengertian pelaku usaha berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU No.8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan:

"Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum

maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan

kegiatan dalam wilayah hukum negara Indonesia, baik sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang

ekonomi".

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (11) jo Pasal 52 ayat (2) UU No. 36

Tahun 2006 tentnag Kesehatan dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan

jasa dalam bidang kesehatan ialah" setiap kegiatan untuk meningkatkan kesehatan

yang dilakukan oleh pemerintah ataupun masyarakat yang antara lain meliputi

kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif".

Dahulu rumah sakit dianggap tidak memiliki tanggung jawab hukum karena

dianggap sebagai badan hukum yang berfungsi sosial dengan segala hak

keistemewaannya. Namun saat ini; di berbagai negara para ahli mengatakan

bahwa rumah sakit sebagai badan hukum juga bertanggung jawab sebagai suatu

entity berdasarkan teori agency (pasien menganggap semua orang yang bekerja di

rumah sakit adalah agen dari rumah sakit), relience (pasien melihat lebih ke arah

rumah sakit sebagai pemberi pelayanan dari pada dokternya), corporate (rumah

sakit sebagai suatu korporasi), non delegable duty (bahwa kewajiban

menyelenggarakan berbagai aktifitas kesehatan adalah kewajiban rumah sakit

yang tidak dapat didelegasikan) dan ostensible (semuanya tampak sebagai bagian

dari rumah sakit).182 Dengan diberlakukannya ketentuan bahwa rumah sakit di

Indonesia boleh diselenggarakan oleh badan hukum hukum yang berbentuk

perseroan terbatas dan bersifat profit meskipun masih tetap memikul kewajiban

sosial, maka praktis rumah sakit menjadi liable atas tindakan rumah sakit yang

182 .Brody H, The Physician-Patient Relationship, in Veath RM (ed), (Boston: Jones and Barlett Publ, 1997).

Page 130: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

122

melanggar hukum dart juga bertanggung jawab atas perbuatan orang-orang yang

menjadi tanggungannya dan barang-barang yang berada dalam pengawasannya.183

Ketika seorang dokter bekerja sebagai dokter pegawai di suatu rumah sakit

maka hubungan yang terjadi menjadi semakin kompleks, yaitu hubungan antara

dokter-pasien rumah sakit yang merupakan hubungan segitiga.

Dokter tidak lagi menjadi profesional yang bebas saat berhubungan dengan

pasien. Memang dari segi teknis medis ia masih tetap memiliki kebebasan profesi,

kecuali keharuasn mengikuti standar operasional prosedur yang berlaku setempat,

tetapi dari segi administratif ia harus tunduk kepada rumah sakit. Berdasarkan atas

teori-teori tanggung jawab rumah sakit tersebut di atas, maka hubungan antara

pasien dengan rumah sakit akan lebih menonjol dari pada hubungan antara dokter

dengan pasien. Posisi dokter menjadi lebih mirip sebagai pegawai rumah sakit

sebagaimana juga para pegawai rumah sakit yang lain.

2. Rumah Sakit Sebagai Subyek Hukum Pidana

Setelah kita babas pengertian rumah yang dapat dikelompokkan sebagai

korporasi. Maka pertanyaan selanjutnya adalah apakah rumah sakit merupakan

subyek hukum pidana? Pada saat KUHP disusun di Belanda tahun 1886, para

perumus menerima asas societas atau universitas delinguere non potest

(persekutuan /perkumpulan tidak dapat melakukan tindak pidana), sebagai reaksi

terhadap pemerintahan absolut sebelum revolusi Perancis yang dapat memidana

orang yang tidak bersalah atas dasar prinsip collective responsibility. Dengan

demikian suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia alamiah, begitu

pula yang dapat dipidana juga manusia alamiah (naturlijke persoon). Dalam

kaitannya dengan korporasi, yang dapat melakukan tindak pidana dan yang dapat

dipertanggungjawabkan adalah para pengurusnya saja, sesuai dengan anggaran

dasar dan anggaran rumah tangga korporasi tersebut baik yang berupa badan

hukum maupun yang tidak merupakan badan hukum.184

183 .Lihat Pasal 13655 dan Pasal 1367 KUHPerdata.184 .Muladi & Dwija Priatna, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana,

(STHP, 1991), hal.15.

Page 131: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

123

Sebagai catatan dapat dikemukakan di sini bahwa pengaruh hukum Belanda

terhadap hukum Indonesia sangat besar melalui tiga hal:

a. melalui asas konkordansi;

b. melalui asas doktrin hukum yang diajarkan oleh para ahli hukum Belanda;

dan

c. melalui yurisprudensi Mahkamah Agung (Hoge raad) Belanda yang dikaji

dalam penerapan hukum positif.185

Secara konseptual dan praktis, persepsi di atas berubah dengan munculnya

Pasal 15 ayat (1) Wet Economische Delicten (WED) 1950 Belanda (kemudian

ditiru Indonesia melalui UU No.7 Drt. Tahun 1955) yang mengatur bahwa dalam

tindak pidana ekonomi, korporasi dapat melakukan tindak pidana dan dapat

dipidana. Prof. BVA. Roling pada tahun itu bahkan mendesak untuk memperluas

sistem tersebut agar berlaku untuk semua tindak pidana sehubungan dengan

fungsi sosial korporasi dalam masyarakat yang semakin meluas (theori van het

functioneel daderschap).186

Perdebatan tentang hal ini cukup keras, Prof. Rammelink yang menentang

perkembangan ini mengajukan argumentasi yang berkaitan/melekat pada sifat

manusia alamiah seperti kesengajaan dan kealpaan, tingkah laku materiel, pidana

dan tindakan serta argumentasi lain seperti kemungkinan pemidanaan korporasi

dapat merugikan orang yang tidak bersalah, seperti pemegang saham, konsumen

dan karyawan.

Alasan-alasan lain berkaitan dengan pendapat bahwa teori hukum pidana

dibangun atas dasar menusia alamiah sebagai pelaku tindak pidana, hanya

sebagian sistem pemidanaan yang dapat diterapkan, melanggar asas nebis in idem.

Baru pada tahun 1976 melalui UU tanggal 23 Juni 1976, 5.377 yang

disahkan pada tanggal 1 September 1976 "pertanggungjawaban korporasi yang

bersifat khusus" (specific corporate responsibility) tersebut dijadikan bersifat

185 .Ibid., hal.33.186 .Muladi, "Pertanggungjawaban Pidana Perusahan Pers", disampaikan dalam Diskusi

Panel Pelanggaran Hukum oleh Pers dan Pertanggungjawaban Hukumnya, 7 Februari 2001, di Hotel La Maredien, Jakarta, hal. 3.

Page 132: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

124

umum (general corporate rensponsibility) dengan mengaturnya di dalam

perumusan Pasal 51 KUHPidana Belanda yang kira-kira terjemahannya sebagai

berikut:187

a. Tindak pidana dapat dilakukan oleh manusia alamiah dan badan hukum;

b. Apabila suatu tindak pidana dilaksanakan oleh badan hukum dapat

dilakukan penuntutan pidana dan jika dianggap perlu dapat dijatuhkan

pidana dan tindakan-tindakan yang tercantum dalarn undang-undang

terhadap: a) badan hukum, b) terhadap yang memerintahkan melakukan

perbuatan itu demikian pula terhadap mereka yang bertindak sebagai

pemimpin melakukan tindakan yang dilarang atau, c) terhadap yang

disebutkan dalam butir a dan b di atas secara bersama-sama;

c. Bagi pemakaian ayat selebihnya disamakah dengan badan hukum perseroan

tanpa hak badan hukum, perserikatan dan yayasan.

Perkembangan semacam ini belum terjadi di Indonesia, yang terjadi dalam

tindak pidana khusus di luar KUHP (specific responsibility), yang memungkinkan

korporasi dapat melakukan dan dapat dipertanggungjawabkan untuk semua tindak

pidana baru dalarn tingkat rancangan KUHPidana yang disusun oleh Departemen

Kehakiman dan HAM.

Dengan diundangkannya UU tahun 1976 di atas, semua peraturan dalam UU

khusus mengenai dapat dipidananya korporasi dan pengurusnya dihapus karena

dipandang tidak perlu lagi (overbodig vervallen). Prof. Schaffmeister dalam hal

ini mengatakan: "Undang-undang tersebut telah menghentikan pertumbuhan

secara liar dari peraturanperaturan yang timbul dalam tahap-tahap sebelumnya".

Hal ini dianggap merupakan sumbangan nyata dalam memajukan kesatuan

hukum.

Untuk menentukan kapan suatu perbuatan dianggap pula sebagai perbuatan

korporasi, perlu dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:188

187 .Muladi & Dwija Priyatna, Op.Cit., hal. 5.188 Muladi, dalam "Pertanggungjawaban Pidana Perusahaan Pers", Op.Cit , hal. 5-6.

Page 133: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

125

a. Apabila perbuatan perorangan (pengurus) tersebut tercermin dalam lalu

lintas sosial sebagai perbuatan badan hukum;

b. Perbuatan tersebut sesuai dengan kebijaksanaan perusahaan

(bedrijhpolitiek);

c. Tindakan tersebut sesuai dengan ruang lingkup pekerjaan (feitelejke

werzaamheeden) badan hukum;

d. Pengurus itu harus mempunyai kekuasaan untuk menentukan apakah

perbuatan itu dilakukan atau tidak, dan perbuatan itu harus merupakan

bagian dari perbuatan-perbuatan yang memuat kenyataan diterima atau

lazimnya diterima (ijzerdraad Arrest, 6 April 1979);

e. Dalam menentukan kesengajaan dan kealpaan, disamping persyaratan

bahwa perbuatan tersebut tercakup dalam politik perusahaan, maka dapat

dilihat pula dari konstruksi pertanggungjawaban (toerekenings constructie)

berupa kesengajaan atau kealpaan perorangan (naturlijke persoon) yang

berbuat atas nama korporasi;

f. Badan hukum juga dapat menunjuk kepada dasar penghapusan pidana

(strafuitsluitingsgrond), baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf.

Di Amerika pertumbuhan criminal corporate liability lebih tua sebagaimana

tersurat dan tersirat pada Sherman Act 1890 (UU Anti Trust). Apabila di Belanda

landasan filosofis yang diginakan didasarkan pada konsep kepelakuan korporasi

(functioneele daderschap) sebagai realitas, sosial, maka di Amerika pertimbangan

lebih menekankan pada aspek viktimologi yanq besar baik terhadap perusahaan

kompetitor, konsumen, negara, masyarakat maupun karyawan. Belum lagi biaya

penyelidikan, penyidikan dan penuntutannya yang kompleks dan mahal.189

Sesuai dengan model Penal Code (1980) maka "corporate liability" muncul

apabila: "the commission of the offense was authorized, requeted, commanded,

performed or recklessly tolarated by boar° or directors or by a high managerial

agent acting in behalt of the corporations within the scope of his office or

employement". Namun demikian karena pengaruh case law, kemudian digunakan

respondent superior rule" (let the master answer), yang memungkinkan

189 .Ibid., hal.7.

Page 134: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

126

pertanggungjawaban korporasi atas dasar tindak pidana yang dilakukan oleh

"officers and agents" dalam ruang lingkup pekerjaannya, tanpa

mempertimbangkan statusnya dalam hirarki korporasi. Dalam kerangka ini terkait

apa yang dinamakan vicarious liability.190

"Non vicarious liability of corporation" terjadi apabila berkaitan dengan

kenyataan bahwa directors and managers who represent the directing mind and

will of the company and control what it does". Selanjutnya apa yang dinamakan

statutory liability of officers, apabila tindak pidana tersebut dilakukan dengan

persetujuan (consent) atau kerjasama (connicance) atau diakibatkan oleh

keteledoran (to be attibutable to any neglect) seorang direktur, menajer, sekretaris

atau pejabat lain yang sederajat atau setiap orang yang mempunyai kapasitas

tersebut, maka orang-orang tersebut dan korporasi dapat dipertanggungjawabkan

secara pidana.191

Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah apakah rumah sakit yang

memberikan pelayanan medis dengan menggunakan zat radioaktif dapat

dikategorikan sebagai subyek pidana? Rumah sakit sebagai sebuah institusi yang

memberikan pelayanan jasa kesehatan berdasarkan Pasal 7 UU No. 44 Tahun

2009 ayat (3) dan (4) tentang Rumah sakit, maka rumah sakit dapat

dikelompokkan ke dalam subyek hukum pidana. Dimana berdasarkan uraian

sebelumnya dapat disimpulkan bahwa rumah sakit dengan segala

keistemewaannya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana bila dalam

memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi menimbulkan kerugian

kepada pasien yang beruba dacat sebagian atau seluruh anggota badan, lukanya

pasien atau rusaknya jaringan sehat sekitar kanker yang sebenarnya tidak perlu

terkena penyinaran.

Mengingat bahwa rumah sakit juga dapat dikategorikan sebagai pelaku

usaha, berdasarkan Pasal 61 UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan

Konsumen, dinyatakan bahwa: "Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap

pelaku usaha dan/atau pengurusnya".

190 .Ibid.191 .Ibid., hal. 8.

Page 135: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

127

Pasal 63 ayat (3) menyatakan bahwa:

"Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat

tetap, atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku".

Dari ketentuan Pasal 61 dan Pasal 62 ayat (3) UU Perlindungan Konsumen

tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah sakit sebagai pelaku usaha

(korporasi) yang memberikan jasa. pelayanan di bidang kesehatan dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana atau dengan kata lain rumah sakit

merupakan subyek hukum dalam lalu lintas hukum pidana.

B. Ketenagaan Yang Bekerja di Rumah Sakit

Tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit dapat dikelompokkan ke

dalam tenaga medis dan tenaga paramedis. Adapun yang dimaksud dengan tenaga

kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan dalam bidang kesehatan serta

memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang

kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan

upaya kesehatan (Pasal 1 UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan).

Sedangkan Pasal 11 ayat (1) tersebut menyatakan bahwa:

Tenaga kesehatan terdiri dari:

a. tenaga medis;

b. tenaga psikologi klinis;

c. tenaga keperawatan;

d. tenaga kebidanan;

e. tenaga kefarmasian;

f. tenaga kesehatan masyarakat;

g. tenaga lingkungan;

h. tenaga gizi;

i. tenaga keterapian fisik;

j. tenaga keteknisian medis.

k. tenaga teknik biomedika;

Page 136: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

128

l. tenaga kesehatan tradisional

m. tenaga kesehatan lain

Dari apa yang dikemukakan dalam Pasal 11 UU Tenaga Kesehatan tersebut,

maka dapat disimpulkan bahwa tenaga kesehatan yang terkait pada saat

pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif adalah tenaga medis, tenaga

keteknisian medis dan ahli fisika medis. Tenaga medis yang terkait pada saat

pemberian terapi adalah dokter spesialis radioterapi dan tenaga keteknisian medis

yang terkait meliputi radioterapis/radiografer.

Seorang tenaga kesehatan dalam menjalankan tugasnya wajib memiliki

pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah

dari lembaga pendidikan. Untuk dapat melakukan upaya kesehatan seorang tenaga

kesehatan harus memiliki ijin dari Menteri Kesehatan.

1. Tenaga Medis (Dokter Spesialis Radioterapi): harus diupdate peraturan

perundang-undangan terkait!!

Dalam memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi peranan seorang

dokter spesialis radioterapi sangat penting. Sebagaimana rumusan tenaga

kesehatan yang tercantum dalam UU No.36 tahun 2014 yang menyatakan bahwa

yang dimaksud dengan tenaga kesehatan ialah setiap orang yang mengabdikan diri

dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan ketrampilan melalui

pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan

kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan dikenai peraturan tersebut.

Tenaga kesehatan yang dimaksud oleh UU No.36 tahun 2014, mencakup

setiap orang, dan untuk itu perlu ada pengaturan lebih lanjut yang merinci siapa

saja yang masuk dalam kualifikasi sebagai tenaga kesehatan.

Selanjutnya ketentuan Pasal 11 ayat (1) UU No.36 tahun 2014 dinyatakan

bahwa tenaga kesehatan terdiri dari: tenaga medis, tenaga psikologi klinis, tenaga

keperawatan, tenaga kefarmasian, tenaga kebidanan, tenaga kesehatan

masyarakat. tenaga gizi, tenaga keterapian fisik, dan tenaga keteknisian medis,

tenaga kesehatan lingkungan, tenaga teknik biomedika, tenaga kesehatan

Page 137: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

129

tradisional, tenaga kesehatan lain. Selanjutnya dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan

bahwa :

“tenaga medis meliputi dokter, dokter gigi, dokter spesialis, dan dokter gigi

spesialis”.

Untuk tenaga kesehatan jenis tertentu menurut Pasal 4 ayat (1) PP tersebut

harus memiliki ijin dari Menteri Kesehatan untuk dapat melakukan upaya

kesehatan.

Bagi jenis tenaga kesehatan tertentu dalam hal ini yang dimaksud adalah

tenaga medis yang meliputi dokter dan dokter gigi berhak mendapat perlindungan

hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya, yaitu wajib untuk

mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.192 Sedangkan yang

dimaksudkan dengan standar profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan

sebagai petunjuk dalam menjalankan profesinya secara baik. Adapun yang

dimaksud dengan hak pasien diantaranya ialah hak atas informasi (the right to

information), hak untuk memberikan persetujuan melalui hak untuk menentukan

nasibnya sendiri (the right of self determination), hak atas rahasia kedokteran, hak

atas pendapat kedua (the right for a second opinion), dan lain-lain.193

Untuk dapat menjadi seorang tenaga medis temasuk juga dokter spesialis

radioterapi berdasarkan Pasal 46 ayat (2) UU No.36 tahun 2014 tentang tenaga

kesehatan, wajib memiliki pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang

dinyatakan dengan ijazah dari lembaga pendidikan setingkat spesialis di bidang

radioterapi. Seorang dokter spesialis radioterapi dalam melakukan upaya

kesehatan harus memiliki izin dari Menteri Kesehatan.

Pengadaan dan penempatan tenaga kesehatan dilaksanakan untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kesehatan yang merata bagi seluruh masyarakat yang

pelaksanaannya sesuai dengan perencanaan nasional tenaga kesehatan.

Perencanaan nasional tenaga kesehatan disusun dengan memperhatikan faktor:

192 .Periksa ketentuan Pasal 11 ayat (I) dan ayat (2) UU No.36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

193 .Bandingkan dengan Hermin Hadiati, Op.Cit., hal. 36 dan juga Robert Francoeur dalam "Biomedical Ethics:a Guide To Discution Making", A Wiley Medical Publ:John Wiley & SonavNew York, 1983, hal 73-74.

Page 138: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

130

a. Jenis pelayanan kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat;

b. Sarana kesehatan;

c. Jenis dan jumlah tenaga kesehatan yang sesuai dengan kebutuhan pelayanan

kesehatan.

Secara umum tenaga medis yang bekerja pada sebuah rumah sakit dapat

dikelompokkan sebagai berikut:

Pertama, Staf Medis Fungsional

Staf medis fungsional terdiri dari:

a. Para dokter spesialis dan sarjana terkait yang memberikan pelayanan

langsung kepada pasien yang dikelompokkan ke dalam kelompok ahli

onkologi medis, onkologi bedah dan onkologi radiasi serta memberikan

pelayanan tidak langsung kepada pasien yang dikelompokkan ke dalam ahli

penunjang medis;

b. Staf medis fungsional mempunyai tugas melaksanakan diagnosa,

pengobatan, pencegahan, pemulihan kesehatan, penyuluhan,

pengembangan, pendidikan dan pelatihan.

Kedua, Komite Medis.

Komite medis adalah wadah non struktural yang keanggotaannya dipilih

dari wakil staf fungsional medis dan wakil profesi lain yang dianggap perlu secara

ex officio. Komite medis ini mempunyai tugas memberikan pertimbangan kepada

direktur dalam standar pelayanan medis, pengawasan dan penilaian mutu

pelayanan medis, hak klinis khusus kepada SMF, program pelayanan, pendidikan

dan pelatihan serta penelitian dan pengembangan. Komite medis tentang

penerimaan tenaga medis yang diberi tanggung jawab atas pelaksanaan etika

profesi di rumah sakit.

Ketiga, Kelompok Staf Medis.

Bidang yang dilakukan oleh kelompok staf medis antara lain:

1) Bidang Kegiatan

Page 139: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

131

Bidang kegiatan meliputi: kemoterapi Han hematologi, imunologi klinik,

endoskopi penyakit dalam umum, onkologi anak, rehabilitasi mental, dan

rehabilitasi medic.

2) Jenis Kegiatan Umum

Jenis kegiatan umum antara lain membuat diagnosis kanker atau bukan

kanker secara terpadu, menetapkan jenis penyakit.

3) Jenis Kegiatan Khusus

Jenis kegiatan khusus meliputi:

a) Kemoterapi dan hematologi yaitu kegiatan kemoterapi oral dan intra arteri

pada penderita dewasa. Disamping itu juga menemukan efek samping

sitostatika dan radioterapi serta menanggulanginya;

b) Imunologi klinik yaitu kegiatan melakukan imunoterapi;

c) Endoskopi yaitu melakukan kegiatan endoskopi disertai biopsi dan

mengobati kelainan non kanker gastrointestinal, hepatologi, dan

pulmunologi;

d) Infeksi yaitu kegiatan mendiagnosis infeksi pada penderita kanker den

mengobati infeksi pada penderita kanker;

e) Psikiatri yaitu kegiatan melakukan psikiatri sebelum dan selama setelah

kanker;

f) Neorologi yaitu kegiatan mendiagnosis kanker otak, mengobati sitostatika

dan mengobati kelainan neurologi non kanker;

g) Rehabilitasi medik yaitu kegiatan rehabilitasi fisik, mental dan sosial.

Keempat, Kelompok Staf Radioterapi

Kelompok staf radioterapi bertugas untuk melaksanakan pengobatan radiasi

terhadap berbagai jenis kanker baik untuk tujuan kuratif maupun paliatif dan

dilakukan secara sendiri (hanya menggunakan radiasi) atau bersama-sama dengan

disiplin ilmu lainnya (radiasi atau pengobatan yang bukan radiasi).

Page 140: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

132

Kelima, Kelompok Staf Penunjang Medis.

Kelompok staf penunjang medis bertugas memberikan pelayanan penunjang

medis baik untuk pekerjaan diagnose kanker maupun untuk pengobatannya serta

penatalaksanaan pasien penderita kanker. Kelompok staf penunjang medis ini

terdiri dari:

a. Pelaksana pelayanan radiodiagnostik;

b. Pelaksana pelayanan radioterapi;

c. Pelaksana pelayanan rehabilitasi medik;

d. Pelaksana pelayanan farmasi dan sterilisasi sentral;

e. Pelaksana pelayanan gizi;

f. Pelaksana pelayanan laboratorium;

g. Pelaksana pelayanan bank darah;

h. Pelaksana pelayanan pemulasaraan jenazah.

Khusus untuk pengobatan radiasi bertujuan untuk baik secara sendiri-sendiri

maupun secara bersama-sama dengan disiplin ilmu lainnya.194

Dalam memberikan penyinaran yang diperuntukkan bagi pengobatan

penyakit kanker tenaga medis yang terkait secara langsung adalah dokter spesialis

radioterapi. Pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif memang

memerlukan adanya kehati-hatian sehingga peranan dokter spesialis radioterapi

sangatlah menentukan apakah penyinaran tersebut sesuai dengan tujuan dan

dilakukan sesuai standar profesi medis dalam pemberian penyinaran dengan zat

radioaktif yang diperuntukkan bagi pasien penderita penyakit kanker. Meskipun

demikian tidak tertutup kemungkinan kelompok staf penunjang medik lain juga

ikut menentukan apakah penyinaran tersebut sesuai dengan tujuan semula yaitu

bagi upaya tercapainya penyembuhan penyakit kanker.

2. Tenaga Keteknisian Medis

Yang dimaksud dengan tenaga kesehatan antara lain terdiri dari tenaga

keteknisian medis yang meliputi: radiografer, radioterapis, teknisi gigi, teknisi

194 .Riwayat Suyono et.al., Profil Rumah Sakit Kanker Dharmais, (Jakarta:Humas Rumah Sakit Kanker Dharmais, 1993), hal,1-3.

Page 141: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

133

elektromedis, analis kesehatan, refraksionis optisien, otorik prostetik, teknisi

tranfusi dan perekam medis.

Tenaga kesehatan dalam memberikan pelavanannya wajib memiliki

pengetahuan dan ketrampilan di bidang kesehatan yang dinyatakan dengan ijazah

dari lembaga pendidikan. Sedangkan tenaga keteknisian medis yang berkaitan

dengan pemberian terapi, dengan zat radioaktif ialah radiografer dan radioterapis.

Dimana kedua jenis tenaga keteknisian medis ini terlebih dahulu harus

menyelesaikan pendidikannya setingkat DIII pada Akademi Teknik

Radiodiagnostik dan Radioterapi (ATRO) baik itu akademi kedinasan yang

dikelola oleh Departemen Kesehatan dan dikelola oleh swasta.

Dalam menjalankan tugasnya terutama dalam pemberian terapi dengan

menggunakan zat radioaktif ini wajib untuk mematuhi standar profesi tenaga

kesehatan yaitu yang berkaitan dengan prosedur pemberian terapi terutama

dengan menggunakan zat radioaktif.

Bagi kedua jenis tenaga keteknisian medis ini dalam melaksanakan tugas

profesinya berkewajiban untuk:

a. menghormati hak pasien;

b. menjaga kerahasiaan identitas dan data kesehatan pribadi pasien;

c. memberikan informasi yang berkaitari dengan kondisi dan tindakan yang

akan dilakukan;

d. meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan;

e. membuat dan memelihara rekam medis.

Mengingat tenaga keteknisian medis pada waktu memberikan pelayanan

medis pemberian terapi dengan zat radioaktif dapat menimbulkan akibat negatif

kepada pasien maka harus hati-hati dalam prosedur penyinaran. Hal ini harus

diperhatikan agar terhindar dari tuntutan baik itu dari pasien ataupun dari negara

yang berupa tuntutan dari aspek hukum pidana.

C. Kontrak Medis Antara Rumah Sakit (Dokter) Dengan Pasien

Page 142: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

134

Kontrak medis antara rumah sakit dengan pasien dalam hal ini rumah sakit

diwakili oleh dokter dimana dalam pemberian terapi lazimnya dokter yang

mewakili adalah dokter spesialis radioterapi yang bekerja di rumah sakit tersebut.

1. Pengertian dokter dan pasien.

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bahwa seorang yang

menyandang profesi dokter itu mempunyai status sosial dan status ekonomi yang

cukup tinggi di tengah-tengah masyarakat. Masyarakat pada umumnya telah

mengetahui apa yang dimaksud dengan dokter dan apa yang menjadi tugas dokter

di sebuah rumah sakit. Sehingga setiap orang mengetahui apabila sakit harus

berusaha ke dokter. Namun kadangkala masyarakat tidak mengetahui bagaimana

cara membedakan antara seorang dokter dan bukan dokter. Sering kali kita

menjumpai di dalam kehidupan sehari-hari siapa saja yang memberikan pelayanan

kesehatan apapun kadang kala disebut sebagai seorang dokter baik itu dokter di

puskesmas ataupun di rumah sakit, meskipun kenyataannya yang memberikan

pelayanan kesehatan itu bukanlah seorang dokter.195

Secara umum dapat dikatakan bahwa yang disebut sebagai seorang dokter

adalah mereka yang telah mengikuti pendidikan sarjana kedokteran dan telah lulus

ujian profesi kedokteran, dimana biasanya telah memiliki ijin praktek dari

Departemen Kesehatan. Meskipun demikian itu bukanlah rumusan yang baku

karena di dalam berbagai peraturan tentang kesehatan baik itu berupa undang-

undang ataupun peraturan yang lain tidak mencantumkan secara tegas tentang

pengertian dokter.

Seperti halnya tentang pengertian dokter, maka untuk mengetahui

pengertian pasien juga sulit karena pengertian pasien juga tidak pernah kita

temukan dalam peraturan perundang-undangan bidang kesehatan. Tetapi sebagai

pedoman dapat dirumuskan bahwa pasien adalah orang yang berdasarkan

pemeriksaan dokter dinyatakan menderita mengidap penyakit baik di dalam tubuh

maupun di dalam jiwanya.

195 Husein Kerbala, Segi-segi Etis dan Yuridis Informed Consent, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hal.32.

Page 143: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

135

Jika dilihat dari cara perawatannya maka pasien dapat dibedakan atas:

Pertama, Pasien Opname.

Pasien opname adalah pasien yang memerlukan perawatan serius dan terus

menerus secara teratur serta harus terhindar dari gangguan situasi dan keadaan

dari luar yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan penyakitnya, bahkan

dapat menghambat kesembuhan pasien. Biasanya pasien dalam keadaan seperti ini

adalah pasien yang sudah di diagnosa oleh seorang dokter dan harus mendapat

perawatan khusus guna upaya penyembuhan penyakitnya.

Kedua, Pasien berobat jalan.

Pasien yang berobat jalan adalah pasien yang tidak memerlukan perawatan

secara khusus di rumah sakit seperti pasien opname. Hal ini karena pasien yang

berobat jalan itu hanyalah mengidap penyakit yang dianggap dokter tidak

membutuhkan perawatan khusus dan untuk menjalani pengobatannya cukup

datang pada dokter yang mengobati pada waktu-waktu tertentu saja.196

2. Hubungan Rumah Sakit (Dokter) dan Pasien

Pada umumnya seorang pasien berhubungan dengan dokter adalah dalam

keadaan dirinya sakit atau merasa sakit. Namun dapat pula terjadi seorang datang

kepada dokter hanya untuk memeriksakan kesehatan secara berkala yang biasa

disebut sebagai general check-up. Dalam hubungan seorang pasien dengan dokter

maka faktor kepercayaan menjadi salah satu dasarnya artinya pasien berhubungan

dengan dokter itu, yakin bahwa dokter tersebut dapat dan mampu membantu

menyembuhkan penyakit.

Dalam kaitannya dengan transaksi terapeutik tersebut dapat

dipermasalahkan beberapa hal yaitu:

Pertama, Siapa saja yang merupakan para pihak dalam perjanjian itu?

Dalam rangka usaha ingin sembuh, pasien atau penderita akan mendatangi

baik dokter sebagai perorangan maupun dokter yang bekerja di sebuah badan

196 .Ibid., hal. 37.

Page 144: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

136

hukum seperti rumah sakit, yayasan atau lembaga lain. Apabila demikian

keadaannya maka dapat dibedakan antara kelompok pasien yang memang secara

nyata mengadakan suatu perjanjian dan sekelompok pasien yang tanpa

mengadakan satu perjanjian.

Pembedaan ini untuk memperjelas dalam membedakan hubungan yang

dapat ditimbulkan secara langsung dari adanya perjanjian itu yang membebankan

hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian. Hal ini penting disebabkan karena

di dalam hukum ada pihak-pihak yang tidak mampu bertindak sebagai pihak

dalam perjanjian seperti anak di bawah umur, mereka yang jiwanya cacat

sehingga mereka tidak mampu untuk bertindak secara mandiri sebagai pihak

dalam perjanjian. Di lain pihak dari pihak dokter, pihak dalam perjanjian itu dapat

juga terjadi pada seorang perawat yang tidak mempunyai kewenangan untuk

bertindak tetapi yang menjalankan tugasnya karena perintah dari rumah sakit.197

Kedua, Perjanjian dengan rumah sakit sebagai pihak akan juga mempunyai

efek yang lain, apalagi kalau dalam penanganan pelayanan kesehatan tersebut

pihak yang dimaksud berupa tim.

Ketiga, Masalah ketiga yang dapat diajukan dalam kaitannya dengan

perjanjian terapeutik tersebut ialah masalah syarat apa yang harus dipenuhi agar

perjanjian itu sah menurut hukum dan dengan demikian jika kemudian ternyata

ada pihak yang tidak memenuhi isi perjanjian, pihak yang lain dapat menuntut

atas kerugian yang diterima.198

Di dalam berbagai literatur, hubungan dokter dengan pasiennya disebut

sebagai transaksi terapeutik atau kontrak terapeutik yaitu suatu transaksi untuk

mencari dan menerapkan terapi yang paling tepat untuk menyembuhkan penyakit

pasien. Sebagai suatu kontrak atau perikatan maka transaksi terapeutik itu

umumnya bersifat inspanning verbintenis yaitu suatu perikatan dimana

prestasinya berupa suatu usaha yang dilakukan secara sungguh-sungguh tanpa

mendasarkan hasil sebagai prestasinya.

197 .Hermin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Op.Cit., hal 144.198 .Ibid., hat ,145.

Page 145: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

137

3. Kedudukan Para Pihak Dalam Pelayanan Kesehatan Serta Hak dan

Kewajiban Menurut Hukum

Bertolak dari rekam medis yang hakekatnya merupakan sebuah dokumen

yang isinya dapat dibahas dan dipertimbangkan dalam suatu proses persidangan

baik perkara perdata maupun pidana merupakan masukan yang relevan bagi

keputusan yang akan diambil oleh hakim. Disamping itu rekam medis juga dapat

digunakan untuk menguatkan pasien atau menolak bagi dokter atau rumah sakit

suatu gugatan perdata atau tuntutan pidana yang didasarkan pada kelalaian, baik

yang disengaja atau pun karena adanya kelalaian. Ini berarti bahwa rekam medis

mempunyai kekuatan hukum sebagai salah satu unsur masukan dalam proses

pengambilan keputusan oleh hakim.199

Dengan meningkatnya kasus-kasus yang dihadapi oleh profesi medik ini

telah memperluas yurisdiksi peradilan, sehingga tidak jarang peradilan

dihadapkan tidak saja dengan putusan yang diperlukan oleh para pihak, tetapi juga

perdamaian melalui negosiasi para pihak.

Perluasan yurisdiksi peradilan ini disebut yurisdiksi kesehatan yang

disebabkan oleh beberapa hal yaitu:200

a. Masyarakat menjadi semakin sadar akan hak-haknya yang dilindungi oleh

hukum dan perundang-undangan;

b. Hubungan antara kedokteran dan hukum menjadi semakin kompleks yang

mengakibatkan adanya berbagai macam tuntutan ganti rugi karena kemajuan

ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat yang semula belum

terjangkau oleh hukum;

c. Masyarakat semakin meningkatkan fungsi sosial kontrol yang

mengidentifikasi kekurangan dalam bidang pelayanan kesehatan.

Apabila persyaratan untuk sahnya satu perjanjian sudah dipenuhi, maka

perjanjian tersebut merupakan hukum bagi para pihak yang mengadakan

199 .Salah satu masukan dalam decision making process old hakim, karena berlakunya asas "unus testis nulus testis" dalam pemeriksaan pembuktian dalam persidangan.

200 Herrain Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Op.Cit., hal 148.

Page 146: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

138

perjanjian, dan sebagai akibatnya masing-masing pihak dibebani dengan hak dan

kewajiban.

Secara pokok kewajiban dokter dapat dirumuskan dalam beberapa hal

sebagai berikut:201

a. Bahwa ia wajib merawat pasiennya dengan cara keilmuan yang ia miliki

secara adekuat. Dokter dalam perjanjian tersebut tidak menjanjikan

menghasilkan suatu resultaat atau hasil tertentu, karena apa yang

dilakukannya itu merupakan upaya sejauh mungkin sesuai dengan ilmu

yang dimilikinya;

b. Dokter wajib menjalankan tugasnya sendiri dalam arti secara pribadi dan

bukan dilakukan oleh prang lain sesuai dengan yang telah diperjanjikan,

kecuali apabila dalam hal pasien menyetujui perlu adanya seseorang yang

mewakilinya;

c. Dokter wajib memberi informasi kepada pasiennya mengenai segala sesuatu

yang berhubungan dengan penyakit atau penderitaannya. Kewajiban dokter

ini dalam hal perjanjian menyangkut dua hal yang ada kaitannya dengan

kewajiban pasien.

Fred Ameln, mengemukakan kewajiban dokter yang dapat dikelompokkan

kedalam tiga kelompok sebagai berikut:202

a. Kewajiban yang berkaitan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan

(health care). Pada kelompok ini kepentingan masyarakat lebih menonjol

dan bukan kepentingan pasien, karena itu dalam melakukan kewajiban

seorang dokter harus mempertimbangkan faktor kepentingan masyarakat;

b. Kewajiban yang berhubungan dengan hak pasien;

c. Kewajiban yang berhubungan dengan standar kedokteran dan kewajiban

yang timbul dari standar profesi kedokteran.

Disamping kewajiban dokter menurut kedua rumusan tersebut di atas, maka

kewajiban tentang tenaga kesehatan dapat kita temukan pada Pasal 54 ayat (1) dan

Pasal 55 ayat (1) UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan.

201 .Ibid., hal.149.202 .Fred Ameln, Kapita Selekta Hokum Kedokteran, (Jakarta: PT. Gratikatama, 1991),

hal.56.

Page 147: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

139

Pasal 54 ayat (1) menyatakan bahwa:

"Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan secara bertanggung

jawab, aman, bermutu, serta merata dan nondiskriminatif".

Dari rumusan pasal tersebut dapat diketahui adanya kewajiban dokter

sebagai salah satu unsur tenaga kesehatan untuk bekerja atau melakukan kegiatan

kesehatan yang sesuai dengan keahlian dan kewenangannya saja. Kewajiban ini

berkaitan erat atau sejalan dengan ketentuan Kodeki yang menegaskan, bila dokter

merasa tidak mampu atau bukan kewenangannya atau suatu tindakan medic, maka

ia wajib berkonsultasi atau merujuk pasien kepada dokter lain yang mempunyai

keahlian untuk itu.

Selanjutnya Pasal 55 ayat (1) menyatakan bahwa:

"Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan kesehatan".

Berdasarkan standar mutu pelayanan kesehatan tersebut maka dapat

diketahui dua kewajiban bagi dokter sebagai tenaga kesehatan. Terhadap

kewajiban untuk mematuhi standar profesi yang dibuat oleh masing-masing

profesi kesehatan ini, maka para tenaga kesehatan telah mempunyai panduan atau

pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan kewajiban dokter untuk

mematuhi hak pasien dimaksudkan bahwa dokter hendaklah menghormati hak-

hak yang dimiliki pasien serta memberi kesempatan kepada pasien untuk

melaksanakan hak-haknya.

Disamping dokter mempunyai kewajiban, di lain pihak pasien juga

mempunyai kewajiban yang antara lain dapat dikemukakan sebagai berikut:203

a. Memberikan keterangan, penjelasan sebanyak mungkin tentang

penyakitnya. Kewajiban pasien ini dapat dikaitkan dengan hak dokter atas

itikad baik pasien.

b. Mentaati petunjuk dan instruksi dokter. Kewajiban pasien ini dapat

dikaitkan dengan hak seorang dokter untuk mengakhiri hubungan dengan

seorang pasien jika ia menilai bahwa kerja sama pasien dengan dokter tidak

ada gunanya lagi.

203 ,Ibid., haL53-54.

Page 148: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

140

c. Mentaati peraturan rumah sakit. Hal ini pun berlaku untuk keluarga dan

relasi pasien.

d. Memberikan imbalan jasa kepada dokter. Hal ini dapat dikaitkan dengan

fungsi sosial seorang dokter dalarn masyarakat sehingga dapat diharapkan

suatu imbalan jasa yang tidak selalu sesuai dengan lasa yang telah diberikan

oleh seorang dokter tetapi tentu dokter juga harus memperhatikan status

sosial pasien.

e. Melunasi biaya rumah sakit. Di sini rumah sakit harus memperhatikan status

pasien dan dalam hal pasien tidak mampu membayar maka rumah sakit

tidak melakukan penahanan pasien.

Disamping kewajiban tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Fred Amelh,

juga dapat dikemukakan kewajiban pasien menurut pendapat yang lain yang

terdiri:

a. Pasien wajib memenuhi kontra prestasi dengan cara mengadakan

pembayaran honorarium kepada dokter atau rumah sakit sesuai dengan yang

telan diperjanjikan dan disepakati;

b. Pasien wajib bekerjasama dengan loyal dalam hal pemeriksaan dan

perawatan, demi untuk menemukan cara penyembuhan yang tepat, yaitu

misalnya menjawab dengan jujur pertanyaan yang diajukan oleh dokter

dalam mencari diagnosa penyakitnya sehingga dapat ditentukan secara tepat

dan bersama-sama terapinya.

Disamping kewajiban dari para pihak rnaka perlu dikemukakan hak dari

masing-masing pihak. Adapun yang menjadi hak dokter dapat dikemukakan

sebagai berikut :204

a. Hak untuk bekerja sesuai dengan standar profesinya;

b. Hak untuk menolak melaksanakan tindakan medik karena secara profesional

tidak dapat dipertanggungjawabkan;

c. Hak untuk menolak suatu tindakan medik yang menurut suara hatinya tidak

baik;

204 .Ibid., hal.64-66.

Page 149: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

141

d. Hak mengakhiri hubungan dengan seorang pasien jika menilai bahwa kerja

sama pasien dengan dokter tidak lagi ada gunanya;

e. Hak atas privasi sebagai seorang dokter;

f. Hak atas informasi/pemberitahuan pertama dalam menghadapi pasien yang

tidak puas terhadapnya;

g. Hak atas honorarium setelah melakukan kewajibannya;

h. Hak atas pemberian penjelasan pasien yang lengkap oleh pasien tentang

penyakit yang dideritanya;

i. Hak untuk membela diri;

j. Hak untuk memilih pasien;

k. Hak untuk menolak memberikan keterangan tentang pasien di pengadilan.

Sedangkan apa yang menjadi hak pasien dapat dikemukakan sebagai

berikut:205

a. Hak atas informasi;

b. Hak untuk memberikan persetujuan medik;

c. Hak untuk memilih dokter;

d. Hak untuk memilih sarana kesehatan (rumah sakit);

e. Hak atas rahasia kedokteran;

f. Hak untuk menolak perawatan atau pengobatan.

Pada dasarnya hubungan dokter dengan pasien dalam transaksi terapeutik

itu bertumpu pada dua macam hak asasi manusia, yang dijamin oleh dokumen-

dokumen internasional. Kedua macam hak tersebut adalah hak atas informasi (the

right to information) dan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self

determination). Antara dokter dan pasien karena transaksi terapeutik tersebut

melahirkan hak dan kewajiban secara timbal balik, dan apabila hak dan kewajiban

ini tidak dipenuhi oleh salah satu pihak wajar bila pihak yang merasa dirugikan

melakukan gugatan.

Kedua hak dasar manusia dalam kesehatan tersebut oleh Harold Himsworth

telah dirumuskan sebagai"... an expectation in respect to matters affecting the

205 .Ibid., hal.40-41.

Page 150: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

142

interests of individuals within a particular society which the consensus of opinion

in that society accept as justifiable".206

Hak dasar manusia yang lazimnya dikenal sebagai hak asasi manusia itu

bertolak dari suatu ide yang tidak kalah pentingnya dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan teknologi pada abad ke dua puluh, yang pada asasnya adalah

untuk mencapai tujuan pokok dari hidup manusia yang oleh expert committee

WHO pada tahun 1970 dikaitkan dengan hubungan kait mengkait antara manusia

dengan lingkungannya.

4. Aspek Hukum Pidana dalam Hubungan Tenaga Medis dan Konsumen

(Pasien)

Hubungan hukum antara tenaga kesehatan dengan pasien menjadi

perbincangan setelah diundangkannya Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen. Timbulnya masalah dalam hubungan antara tenaga

kesehatan dan pasien dikarenakan hubungan antara keduanya mempunyai sifat

khusus sehingga harus diberikan standar terhadap adanya dugaan kesalahan-

kesalahan dalam suatu perawatan medis.207

Pada dasarnya hubungan dokter pasien dalam transaksi terapeutik itu

bertumpu pada dua macam hak asasi yang merupakan hak dasar manusia, yaitu

hak untuk menentukan nasib sendiri (the right to self determination) dan hak atas

informasi (the right to information). Hak untuk menentukan nasib sendiri itu

diketemukan dasarnya dalam United Nations International Convention Civil and

Political Rights 1966, khususnya Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut:

"(1) All people have the right to self dtermination. By virtue of the right they

freely determine their political status and freeley pursue their economic, social

and cultural development".208

206 .Norman Post, "Human Right in Healty", dalam Pediatrics yang mengutip dari Harold Himsworth "The Human Right to Life, yang dimuat dalam Hilton et.al., New York, Plannurn Press, 1973, ha 634.

207.Loebby Loqman, "Tinjauan Hukum Pidana Terhadap Hubungan Tenaga Kesehatan dengan Konsumen, Disampaikan dalam Workshop dan Rapat Kerja Nasional PERHUK1, Jakarta 23-24 Maret, 2000., hal.2.

208 .Walter Laqueur, Op.Cit., ha1.217.

Page 151: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

143

Sedang hak atas informasi dapat diketemukan dasarnya dalam Deklarasi

Helsinki209, yaitu dalam bab clinical research combined with profesional care,

yang diantaranya berbunyi:

"… if at all possible, consistent with the patient phisicology, the doctor

should obtain the patient freely given consent after the patient has been given

freely given consent after the patient has been a full explanation…".

Dari hak pribadi inilah sebenarnya timbul hak dalam Informed consent.

Meskipun pada hakekatnya dalam pelayanan kesehatan adalah demi kepentingan

si pasien itu sendiri. Dalam pelayanan kesehatan hak yang dijamin secara yuridis

termasuk di Indonesia dihadapkan dengan hak pribadi.

Disamping Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang merupakan

hukum khusus, masih diperlukan hukum yang sifatnya lebih umum yaitu Hukum

Pidana. Penggunaan hukum pidana terutama sekali diperlukan apabila dalam

pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif dapat menimbulkan

kerugian atau akibat negatif yang menyebabkan matinya seorang pasien atau

cacatnya seseorang.

Peranan hukum pidana adalah sebagai hukum sanksi, oleh karena itu

terhadap adanya sanksi seharusnya didahului dengan pembuatan norma hukum

terlebih dahulu.

Dalam hal pelayanan kesehatan, norma hukumnya adalah hukum kesehatan

itu sendiri yang tertuang dalam Undang-Undang No.36 tahun 2009 tentang

Kesehatan, sedangkan terhadap penyimpangannya barulah digunakan hukum

sanksi yang berupa hukum pidana.210

Hukum pidana merupakan salah satu aspek dari terjadinya penyimpangan

dalam pelayanan kesehatan. Hal itu terjadi apabila menyangkut kematian atau

terjadinya cacat sebagai akibat pelayanan kesehatan yang dalam hal ini adalah

pelayanan di bidang radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif.

209.Periksa Declaration of Helsinki, Recommendation Guiding Doctors in Clinical Research, adabted by the 18'1' World Medical assembly, Helsinki, Finland, 1964.

210 .Loebby Loqman, Op.CIt., hal. 11.

Page 152: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

144

Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab menurut hukum pidana

apabila ia mampu mengadakan pilihan antara mana yang baik dan mana yang

buruk. Untuk itu diperlukan pendapat yang mandiri; sehat dan dewasa supaya

mampu mengambil sikap dalam mengadakan pilihan tersebut dan akhirnya

menjatuhkan putusannya untuk memilih satu diantara beberapa alternatif putusan.

Bahwa dalam kenyataannya pilihannya itu mungkin jatuh pada perbuatan yang

ternyata dilarang oleh peraturan pidana, yang mungkin tidak masuk dalam

pertimbangannya pada waktu mengadakan pilihan tersebut, atau ia telah

mengetahui bahwa perbuatan yang dipilihnya itu dilarang oleh peraturan hukum

pidana namun tetap ia lakukan, merupakan indikator bagi penentuan apakah

perbuatannya itu dilakukan dengan sengaja ataukah karena kealpaan.211

Dalam bidang kesehatan, justru titik pautnya dengan hukum pidana adalah

adanya kesalahan. Sejauhmana telah terjadi kesalahan itulah yang menjadi

permasalahan. Apakah memang benar bahwa peristiwa yang terjadi akibat dari

adanya kesalahan. Sebagai contoh dapat kita cermati terhadap putusan dalam

kasus dr. Setyaningrum oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Putusan

Mahkamah Agung.

Dalam kasus dr. Setyaningrum diatas nyata-nyata terjadi perbedaan terhadap

terjadinya suatu kesalahan. Meskipun dari semula sikap kurang hati-hati telah

ditunujukkan oleh dokter yang bersangkutan, setelah diajukan ke depan

Pengadilan Negeri, dianggap telah terjadi kelalaian dalam perawatan sehingga

dinyatakan bersalah. Demikian pula di tingkat Pengadilan Tinggi, akan tetapi

apabila kita perhatikan putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan

Pengadilan Tinggi didasari tidak adanya kesalahan dalam kasus tersebut.

Secara teori mungkin mudah memberikan konstruksi tentang kesalahan,

dimana bentuk kesalahan dalam hukum pidana dapat berupa kesengajaan atau

kelalaian. Dengan demikian setiap pelaku usaha baik itu perorangan ataupun yang

berupa badan hukum atau sejenisnya apabila melakukan pelayanan jasa di bidang

211 .Hermin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, Op.Cit., hal. 48.

Page 153: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

145

kesehatan ada unsur kesalahan baik itu karena kesengajaan ataupun karena

kelalaian dapat diberikan sanksi pidana.212

D. Pemberian Terapi Dengan Zat Radioaktif di Rumah Sakit

1. Prosedur Terapi Dengan Zat Radioaktif dan Terapi Pada Umumnya

Pengobatan kanker yang ingin dicapai dapat bersifat kuratif yang bertujuan.

untuk membunuh sel ganas dengan menjaga kerusakan terhadap sel normal lain

sesedikit mungkin dan paliatif serta suportif yang bertujuan untuk mengurangi

tingkat pertumbuhan dan mengobati efek yang diakibatkan pertumbuhan kanker

terhadap jaringan, organ, atau sistem yang normal dari bagian tubuh lainnya.213

Untuk melaksanakan pengobatan kanker salah satu atau kombinasi dari

pengobatan primer harus dikerjakan. Salah satu pengobatan primer adalah

radioterapi yang bertujuan untuk mengobati kanker secara lokal dan regional.

Radiasi untuk mencegah sel kanker untuk membelah diri dan menyebar, dengan

cara menghancurkan inti se1.214

Biasanya yang lazim dilakukan dalam pemberian terapi yang dilakukan di

beberapa rumah sakit dapat dikemukakan tahap-tahap sebagai berikut:215

Pertama, Indikasi Untuk Radioterapi

Pada tahap ini penyinaran dilakukan secara radikal, paliatif atau post

operatif. Penyinaran pre operatif sangat jarang dilakukan karena akan

memperlambat tindakan pembedahan, kecuali untuk tumor yang sangat besar dan

radiosensitif seperti tumor embrional dari ginjal atau tumor Wilms.

Kedua, Rencana Penyinaran

Maksud radioterapi adalah memberikan dosis tertentu pada tumor untuk

menghancurkan dan sedapat mungkin menghindarkan jaringan sehat dari

kerusakan. Ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan sebelum memberikan

penyinaran, antara lain:

212 .Loebby Loqman., hal. 14.213 .Djumhana Atmakusurna, "Pemberian Terapi Pada Pasien Kanker", (Jakarta: Ilmu

Penyakit Dalam FKUI, 1997), hal.2.214 .Ibid., hal. 4.215 .Hasil wawancara dengan Prof. DR. H.M Zakaria, Sp. Rad, Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia, tanggal 25 Mei 2001.

Page 154: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

146

Ketiga, Letak dan luas Tumor

Untuk tumor yang letaknya dangkal dan dapat diraba, luasnya lapangan

penyinaran dapat ditentukan dengan mudah. Untuk tumor yang letaknya dalam,

perlu dibuat foto rontgen untuk mengetahui letak dan luasnya tumor, supaya luas

lapangan dan arah penyinaran dapat ditentukan.

Keempat, Distribusi Dosis

Pada penyinaran distribusi dosis harus sedemikian rupa sehingga tumor

mendapat dosis yang merata dan lebih tinggi dari pada dosis jaringan sehat

sekitarnya. Ini dapat dicapai dengan menggunakan kurva isodosis untuk

menentukan banyaknya serta kecilnya lapangan yang harus dipakai dan

bagaimana lapangan-lapangan itu harus diberikan. Misalnya jika penyinaran

dilakukan dengan cross-fire tehnic, maka sinar ditujukan pada suatu titik di bawah

tumor supaya dosis maksimum jatuh pada tumor, karena dosis maksimum terletak

pada titik itu. Jika letak titik di bawah tumor dimana arah sinar ditujukan

tergantung pada sudut serta besar kecilnya lapangan yang dipakai. Pada

penyinaran berputar dosis maksimum terletak di sebelah atas titik pusat rotasi,

sehingga dosis maksimum jatuh pada tumor.

Kelima, Toleransi Jaringan Sehat

Batas toleransi jaringan sehat harus diperhatikan pula pada penyinaran

untuk menghindarkan terjadinya dosis yang berlebihan atau radionekrosis pada

jaringan sehat. Lapangan penyinaran makin kecil toleransi jaringan makin tinggi,

demikian sebaliknya. Lapangan yang dipakai harus sesuai dengan besar kecilnya

tumor yang harus disinari.

Keenam, Tahap Pemberian Penyinaran

Penyinaran radikal diberikan untuk tumor yang masih dalam stadium

permulaan, yang belum mengadakan infiltrasi luas ke dalam jaringan sekitarnya

dan belum terdapat penyebaran.

Penyinaran paliatif diberikan pada tumor yang sudah dalam stadium lanjut

untuk mengurangi rasa nyeri atau keluhan penderita. Dosis paliatif kira-kira 2/3

dosis radikal. Penyinaran paliatif tidak diberikan pada jenis tumor yang

radioresisten karena tidak akan ada manfaatnya.

Page 155: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

147

Penyinaran post operatif diberikan pada tumor bed atau llyipphatic field of

drainage untuk menghancurkan sisa-sisa sel ganas. Tidak semua tumor yang telah

dioperasi harus mendapat penyinaran post operatif. Diberikan atau tidaknya

penyinaran post operatif terganturig pada stadium klinik dari plaja jenis tumor:

basil pemeriksaan histologik dan cara pmbedahan yang dilakukan. Misalnya pada

karsinoma mame stadium I yang telah dilakukan operasi radikal, maka penyinaran

post operatif akan diberikan apabila pemeriksaan histologik menunjukkan

kelenjar-kelenjar getah bening ketiak yang positif.

2. Standar Pelayanan Rumah Sakit Dalam Pemberian Terapi

Dalam Undang-undang No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan, tidak secara

tegas diatur mengenai pelayanan medis di bidang radioterapi. Berdasarkan

ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit,

dinyatakan bahwa "salah satu bentuk pelayanan medis spesialistik adalah rumah

sakit khusus". Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang menyelenggarakan

pelayanan medis berdasarkan jenis penyakit tertentu dan disiplin ilmu tertentu.216

Rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan di bidang radioteraPi di

Jakarta antara lain: Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Rumah Sakit Fatmawati,

Rumah Sakit Persahabatan, Rumah Sakit Kanker Dharmais, serta Rumah Sakit

Pertamina.

Selanjutnya dalam Pasal 2 PP No.12 tentang Pemakaian Zat Radioaktif dan

Sumber Radiasi Lainnya menyatakan bahwa:

"Setiap pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya hanya

dapat dilakukan setelah mendapat izin dari instansi yang berwenang, kecuali

pemakaian zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya yang aktifitasnya di

bawah nilai minimum yang ditentukan oleh instansi yang berwenang".

Dalam ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2000 tentang

Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, menyatakan bahwa:

216 .Lihat Pasal 4 huruf f Undang-undang No.23 tahun 1992 tenting Kesehatan, serta bandingkan dengan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No.12 tahun 1975 tentang Izin Pemakaian Zat Radioaktif dan Sumber Radiasi Lainnya.

Page 156: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

148

(1) Setiap orang atau badan yang akan memanfaatkan tenaga nuklir wajib

mendapat izin badan pengawas;

(2) Izin sebagaimana disebut dalam ayat (1) diberikan setelah memenuhi

persyaratan yang ditetapkan;

(3) Pemanfaatan tenaga nuklir dengan aktivitas dan paparan radiasi sangat

rendah yang tidak membahayakan masyarakat, pekerja dan lingkungan

hidup, dikecualikan dari kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1);

(4) Aktivitas dan paparan radiasi sangat rendah yang dikecualikan dari

kewajiban mendapatkan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur

lebih lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Untuk memperoleh izin dalam pemanfaatan tenaga nuklir dan sumber

radiasi lainnya harus memenuhi persyaratan baik persyaratan umum dan khusus.

Persyaratan umum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 Peraturan Pemerintah

tersebut yang menyatakan:

"Persyaratan yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2)

yang merupakan persyaratan umum meliputi:

a. Mempunyai izin usaha atau izin lain dari instansi yang bersangkutan;

b. Mempunyai fasilitas yang memenuhi persyaratan keselamatan;

c. Mempunyai petugas ahli yang memenuhi kualifikasi untuk pemanfaatan

tenaga nuklir;

d. Mempunyai peralatan teknik dan peralatan keselamatan radiasi yang

diperlukan untuk pemanfaatan tenaga nuklir; dan

e. Memiliki prosedur kerja yang aman bagi pekerja, masyarakat dan

lingkungan hidup.

Sedangkan yang menjadi persyaratan khusus dapat dikemukakan

berdasarkan Pasal 4, yang menyatakan:

(1) Selain persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, persyaratan

khusus diberlakukan terhadap:

a. Pemanfaatan bahan nuklir, dan

b. Instansi yang mempunyai potensi dampak radiologi tinggi.

Page 157: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

149

(2) Persyaratan khusus yang diberlakukan terhadap pemanfaatan bahan nuklir

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf, a adalah:

a. Mempunyai sistem pertanggungjawaban dan pengawasan bahan nuklir;

b. Mempunyai sistem proteksi bahan nuklir.

(3) Persyaratan khusus yang diberlakukan terhadap instalasi yang mempunyai

dampak radiologi tinggi sebagaimaga dimaksud dalam ayat (1) huruf b

adalah:

a. Menyampaikan dokumen Laporan Analisis Keselamatan yang

selanjutnya disebut LAK; dan atau

b. Wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup yang

selanjutnya disebut AMDAL;

c. Memenuhi persyaratan konstruksi.

(4) Ketentuan mengenai sistem pertanggungjawaban dan pengawasan bahan

nuklir, serta sistem proteksi fisik bahan nuklir sebagaimana dimaksud

da1am ayat (2), dan pembuatan dokumen LAK dan AMDAL serta

persyaratan konstruksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), diatur lebih

lanjut dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas.

Dari rumusan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap pelayanan

medis yang menggunakan zat radioaktif atau sumber radiasi lainnya harus

mendapat izin dari Badan Tenaga Atom Nasional, yang berdasarkan Peraturan

Pemerintah tersebut diganti dengan Badan Pengawas (BAPETEN).

Untuk menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja, masyarakat dan

lingkungan hidup, pengusaha instalasi yang melaksanakan setiap kegiatan

pemanfaatan tenaga nuklir yang dapat mengakibatkan penerimaan dosis radiasi

harus memenuhi prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan sebagai berikut:

a. Setiap pemanfaatan tenaga nuklir harus mempunyai manfaat lebih besar

dibanding dengan resiko yang ditimbulkan;

b. Penerimaan dosis radiasi terhadap pekerja atau masyarakat tidak

melebihi nilai batas dosis yang ditetapkan oleh badan pengawas;

Page 158: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

150

c. Kegiatan pemanfaatan tenaga nuklir harus direncanakan dan sumber

radiasi dirancang dan dioperasikan untuk menjamin agar paparan radiasi

yang terjadi ditekan serendah-rendahnya.

Disamping itu berdasarkan Pasal 30 Peraturan Pemerintah No.64 tahun

2000 tersebut diatas menyatakan:

(1) Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasi alat ukur radiasi secara berkala

sekurang-kurangnya 2 (satu) tahun sekali;

(2) Pengusaha instalasi wajib mengkalibrasi keluaran radiasi (out put) peralatan

radioterapi secara berkala sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sekali;

(3) Kalibrasi alat ukur radiasi dan atau peralatan radioterapi sebagaimana

dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh instansi

yang telah terakreditasi dan ditunjuk oleh Badan Pengawas.

Dalam pemanfaatan sumber radiasi atau zat radiaktif lainnya harus

berpedoman pada tiga asas yaitu: asas justifikasi, asas limitasi, asas optimasi

untuk setiap kegiatan yang mengakibatkan penerimaan doses radiasi pada

seseorang berdasarkan rekomendai Komisi Internasional tentang Proteksi Radiasi.

Asas justifikasi adalah setiap kegiatan yang memanfaatkan zatradioaktif

atau sumber radiasi lainnya hanya boleh dilakukan apabila menghasilkan

keuntungan yang lebih besar kepada seseorang yang terkena penyinaran radiasi

atau bagi masyarakat, dengan memperhatikan kerugian radiasi yang mungkin

timbul akibat penyinaran tersebut.

Asas limitasi adalah penerimaan dosis radiasi tidak boleh melampaui nilai

batas dosis yang ditetapkan oleh Badan Pengawas. Yang dimaksud dengan nilai

batas dosis adalah dosis radiasi yang diterima oleh penyinaran eksternal dan

internal selama 1 (satu) tahun dan tidak tergantung pada laju dosis.

Asas optimasi yaitu proteksi dan keselamatan terhadap penyinaran yang

berasal dari sumber radiasi yang dimanfaatkan, harus diusahakan sedemikian rupa

Page 159: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

151

hingga besarnya dosis yang diterima seseorang dan jumlah orang yang tersinari

sekecil mungkin dengari memperhatikan faktor sosial dan ekonomi.217

Dari ketentuan-ketentuan yang disebutkan di atas memberikan landasan

yuridis terhadap penyelenggaraan pelayanan medic di rumah sakit yang

menggunakan zat radioaktif dan atau sumber radiasi lainnya, khususnya di unit

radioterapi.

Penggolongan rumah sakit ke dalam rumah sakit umum dan rumah sakit

khusus didasarkan pada Peraturan Menteri Kesehatan No.56 tahun 2014 tentang

Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit. Dalam menjalnkan fungsinya rumah sakit

harus memenuhi standar pelayanan antara lain sebagai berikut:

a. Menyediakan dan menyelenggarakan pelayanan medik, pelayanan

penunjang medik, pelayanan perawatan, pelayanan rehabilitasi, pencegahan

dan peningkatan kesehatan;

b. Tempat pendidikan dan atau latihan tenaga medik dan paramedik;

c. Tempat penelitian dan pengembangan iimu pengetahuan dan teknologi

bidang kesehatan.

Berdasarkan fungsi tersebut rumah sakit dalam memberikan pelayanan

kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan sesuai dengan kualifikasi rumah sakit.

Sedangkan jenis tenaga kesehatan yang ada dapat dibedakan menjadi tenaga

medis dan tenaga paramedis.

Pelayanan medis di sebuah unit radioterapi rumah sakit, sebelum pasien

dilakukan pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif terlebih dahulu

dimintakan persetujuan pasien ataupun keluarganya. Persetujuan itu tidak

diberikan secara tertulis yang sering dilakukan di beberapa unit radioterapi sebuah

rumah sakit yang menyelenggarakan pelayanan di bidang radioterapi. Padahal

menurut Permenkes No.56 Tahun 2014, bahwa persetujuan itu harus diberikan

secara tertulis mengingat bahwa pemberian terapi dengan menggunakan zat

radioaktif tersebut mengandung resiko yang cukup tinggi.

217 .Hasil wawancara dengan.BAPETEN yang dalam hal ini sebagai Lembaga Pengawas Penggunaan Zat Radioaktifdan Sumber Radiasi Lainnya.

Page 160: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

152

3. Dampak Negatif Penggunaan Zat Radioaktif

Pemanfaatan tenaga nuklir secara positif dapat meningkatkan kesejahteraan

dan kemakmuran rakyat serta turut mencerdskan kehidupan bangsa dan

meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Tenaga nuklir disamping

mempunyai manfaat yang cukup besar dalam berbagai aplikasi di bidang industri,

pertanahan, kesehatan, hidrologi, energi, pendidikan, penelitian dan lain-lain, juga

mempunyai bahaya radiasi yang cukup besar. Pemanfaatan tenaga nuklir ada

kalanya dapat menimbulkan kerugian nuklir, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal

1 butir 16 Undang-Undang No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pasal 1

butir 16 menyatakan:

"Kerugian nuklir adalah setiap kerugian yang dapat berupa kematian, cacat,

cidera atau sakit, kerusakan harta benda, pencemaran dan kerusakan lingkungan

hidup yang ditimbulkan oleh bahaya radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat

racun, sifat mudah meledak, atau sifat bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan

bahan nuklir dalam instalasi nuklir atau selama pengangkutan, termasuk kerugian

sebagai akibat tindakan preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk

pemulihan lingkungan hidup".

Selain istilah kerugian nuklir dapat dikemukakan istilah lain yang terdapat

dalam Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2000 tentang Perizinan Pemanfaatan

Tenaga Nuklir. Pasal 1 butir 9 menyatakan:

"Kecelakaan radiasi adalah kejadian yang tidak direncanakan termasuk

kesalahan operasi, kerusakan ataupun kegagalan fungsi alat atau kejadian lain

yang menjurus timhulnya dampak radiasi, kondisi paparan radiasi dan atau

kontaminasi yang melampaui betas keselamatan".

Radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif pada hakekatnya tergantung

dari energi absorbsi suatu jaringan sebagai akibat ionisasi yang dapat

menimbulkan dampak negatif antara lain berupa rusaknya jaringan sehat yang

seharusnya tidak patut terkena akibat negatif dari penyinaran tersebut.

Efek radiasi pada berbagai jaringan bermacam-macam antara lain pada kulit.

Efek radiasi pada kulit muncul berbagai reaksi antara lain dermatitis akut. Reaksi

Page 161: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

153

dermatitis akut dapat berupa adanya eritema kulit yang dijumpai pada 4 sampai 7

hari setelah penyinaran dengan dosis tertentu.

Reaksi lain pada dermatitis adalah adanya bulosa. Reaksi ini dijumpai pada

dosis yang lebih tinggi, sampai dengan dosis toleransi. Akibatnya kulit akan

tampak hitam merah dan terjadi epilasim permanen disertai destruksi dermatitis.

Selain reaksi dermatitis akut luga muncul dermatitis kronika, yang terjadi

akibat dosis yang sangat rendah Yang diberikan dalam jangka waktu yang lama.

Ciri-ciri adanya dermatitis kronika adalah kulit menjadi kering, timbul kelainan

hipertrofi. Dan beberapa tahun kemudian akan menjadi kanker kulit.218

Radioterapi dapat menyebabkan penyakit radiasi. Berat tidaknya penyakit

tersebut sangat ditentukan oleh jumlah dosis yang diberikan, bagian tubuh yang

terkena radiasi, dan sensitivitas jaringan terhadap radiasi.

Bagian tubuh yang paling mudah menimbulkan penyakit radiasi adalah

rongga atas abdomen. Adapun gejala-gejala penyakit radiasi yang mungkin

muncul antara lain: demam, rasa lemas, nafsu makan kurang, mual, nyeri pada

kepala, muntah dan diare.

Adapun yang menjadi penyebab kemungkinan adanya kesalahan

operasional yang menyebabkan akibat negatif/kerugian nuklir diantaranya:219

a. Kesalahan pada saat melakukan diagnosa terhadap penyakit tumor yang

akan diberikan terapi, dimana kesalahan ini menimbulkan kesalahan

dalam prosedur pemberian terapi yang merupakan sesuatu yang sifatnya

berkesinambungan;

b. Setelah pasien didiagnosa maka pasien dilakukan pemblokan terhadap

daerah tumor yang akan disinari dan ini menjadi sangat penting karena

merupakan tahap nantinya akan menentukan dosis penyinaran serta

luasnya lapangan penyinaran yang akan dipergunakan;

c. Setelah dilakukan pengeblokan maka pasien diberikan penyinaran

dengan menggunakan sistem penyinaran secara fraksinasi atau bertahap,

dan tidak diberikan sekaligus.

218 .Erie D.Widjaya, Prinsip Pemberian Terapi di Rumah Sakit, 1979, ha1.25-26.219 .Hasil wawancara dengan Tenaga Keteknisian Medis di Bidang Radioterapi di beberapa

rumah sakit di Jakarta yang menggunakan terapi dengan zat radioaktif.

Page 162: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

154

Kemungkinan-kemungkinan terjadinya kesalahan ini bisa disebabkan oleh

dokter yang melakukan diagnosa. Jika seorang dokter yang melakukan diagnosa

melakukan kesalahan maka bagian radioterapi tidak dapat dimintai pertanggung

jawaban atas kesalahan yang dilakukan oleh bagian diagnosa ini.

Bentuk kesalahan yang lain terjadi pada, tahap kalibrasi alat yang

seharusnya alat dikalibrasi secara rutin, tetapi karena rumah sakit tidak melakukan

kalibrasi rutin ini maka keluaran dari alat yang dipergunakan tidak sesuai dengan

dosis yang sebenarnya. Ini akan menyebabkan dosis yang dihasilkan tidak sesuai

dengan apa yang tertera dalam skala alat tersebut.

Disamping adanya kesalahan pada kalibrasi alat, kemungkinan kesalahan

yang lain adalah pada saat penentuan dosis yang akan diberikan kepada pasien.

Penentuan jumlah dosis yang diberikan biasanya dilakukan oleh dokter radioterapi

yang didasarkan pada jenis penyakit kanker yang diderita oleh pasien.

Ada kalanya kesalahan terjadi pada saat pemberian dosis, yaitu antara

jumlah dosis yang diberikan oleh seorang penata rontgen dengan apa yang tertera

dalam daftar yang menunjukkan adanya perbedaan sehingga otomatis akan

berpengaruh terhadap dosis yang harus diterima oleh pasien.

Page 163: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

155

BAB VI

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT

A. Pertanggungjawaban Tenaga Kesehatan di Bidang Radioterapi

Sebelum kita menganalisa tentang pertanggungjawaban rumah sakit

terhadap tuntutan yang muncul, terlebih dahulu dapat dikemukakan tanggung

jawab tenaga kesehatan. Tanggung jawab tenaga kesehatan akan dikemukakan

tanggung jawab pidana dokter radioterapi dan tanggung jawab tenaga paramedis

(penata roentgen). Sedangkan tanggung jawab pidana rumah sakit akan

dikemukakan tanggung jawab pidana berdasarkan asas strict liability, tanggung

jawab pidana berdasarkan asas vicarious liability.

1. Tanggung Jawab Dokter Radioterapi

Dengan semakin meningkatnya kesadaran hukum masyarakat, dalam

perkembangan selanjutnya timbul permasalahan tanggung jawab pidana

seorang dokter khususnya yang menyangkut dengan kelalaian, hal ini

didasarkan pada teori-teori kesalahan dalam hukum pidana.

Tanggung jawab pidana disini timbul bila pertamatama dapat

dibuktikan adanya kesalahan professional, misalnya kesalahan dalam

diagnosa atau kesalahan dalam cara-cara pengobatan. Dalam bidang

radioterapi untuk pengobatan penyakit kanker dengan menggunakan zat

radioaktif, penentuan kesalahan professional dalam pemeriksaan sidang di

pengadilan diperlukan pendapat para ahli yang dapat memberikan data

akurat kepada hakim. Tentu saja kesalahan di sini harus mempunyai

hubungan sebab akibat dengan hasilnya, dan mempunyai derajat-derajat

tertentu.

Tanggung jawab pidana yang perlu dibuktikan dengan adanya kesalahan

profesional itu biasanya dihubungkan dengan masalah kelalaian (negligence) dan

persetujuan dari pasien yang bersangkutan.

Page 164: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

156

Dalam menganalisa apakah perbuatan itu mengandung tanggung jawab

pidana ataukah tidak, adalah dalam hal melakukan pembedahan pasien.

Dipertanyakan di sini, apakah perbuatan membedah seorang pasien yang

dilakukan oleh ahli bedah dapat dikategorikan sebagai penganiayaan

sebagaimana yang dirumuskan dalam KUHPidana.

Sejalan dengan perbuatan pembedahan seorang pasien oleh ahli bedah,

dalam konteks pemberian terapi dapat juga dipertanyakan, apakah kelalaian

dokter radioterapi dalam menentukan dosis yang harus diterima oleh pasien

yang menyebabkan adanya kesalahan dalam penyinaran oleh penata roentgen

sehingga menyebabkan matinya atau cacatnya pasien dapat dipertanggung

jawabkan secara pidana?

Sebelum mengupas permasalahan tersebut di atas perlu dikemukakan di sini

tentang dasar pembedahan tersebut yang dapat dikategorikan:220

a. Pembedahan atas dasar indikasi medis yang tujuannya untuk memulihkan

kesehatan pasien;

b. Pembedahan tanpa indikasi medis misalnya pada operasi plastik untuk

kepentingan menambah kecantikan atau keindahan badan.

Bertitik tolak dari dasar diadakannya pemberian terapi dengan

menggunakan zat radioaktif serta unsur persetujuan pasien, kemudian

menimbulkan permasalahan yang baru dalam hubungannya dengan tanggung

jawab pidana seorang dokter radioterapi yaitu:

a. Pemberian terapi atas dasar indikasi medis dengan adanya persetujuan

pasien;

b. Pemberian terapi atas dasar indikasi medis dengan persetujuan pasien; dan

c. Pemberian terapi tanpa dasar indikasi medis dan tanpa adanya persetujuan

dari pasien.

Untuk menanggapi semua persoalan yang timbul di atas perlu analisa yang

dalam, terutama yang ditujukan pada fungsi diadakannya persetujuan pasien dari

pasien yang bersangkutan. Ada beberapa masalah yang erat kaitannya dengan

220.Soerjono Soekanto & Kartono Muhammad, Aspek Hukum dan Etika Kedokteran di Indonesia. Cet. 1., (Jakarta: Graffiti Press, 1983), hal.68.

Page 165: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

157

tanggung jawab dokter dari segi hukum pidana yaitu berkaitan dengan beberapa

pertanyaan sebagai berikut:221

a. Apakah dokter dalam menjalankan profesinya dapat dikenai ketentuan

hukum pidana Indonesia, atau dengan kata lain apakah usaha untuk

mengobati pasien dengan pemberian terapi dengan zat radioaktif itu

melanggar hukum pidana atau tidak?

b. Kapan seorang dokter dapat dikatakan mampu bertanggung jawab dari segi

hukum pidana, sehingga karenanya dapat dijatuhi pidana?

c. Bagaimanakah usaha atau cara kalangan profesi kedokteran mengembalikan

kepercayaan masyarakat, atau memulihkan citra profesinya?

Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, dapat diuraikan

secara lengkap sebagai berikut:

Pertama, Kelalaian Dokter Radioterapi

Salah satu unsur yang penting agar seorang dokter radioterapi yang

melakukan kesalahan professional adalah adanya kelalaian (negligence)

berkaitan dengan penentuan dosis radiasi yang harus diterima oleh seorang

pasien. Adapun yang dimaksud dengan dosis radiasi adalah jumlah yang

terdapat dalam medan radiasi atau jumlah energi radiasi yang diserap atau

diterima oleh materi yang dilaluinya.222

Sedangkan yang dimaksud dengan kelalaian dapat dikemukakan beberapa

pendapat sebagai berikut:

1) Kelalaian adalah suatu sifat yang kurang hati-hati, kurang waspada atau

kelalaian tingkat kasar (een min of meer grove of aan merkelijke on voor

zichtigheid of nalatigheid).223

2) Kelalaian adalah kekurang perhatian yang wajar. Kegagalan untuk

melakukan apa yang seorang berhati-hati secara wajar akan melakukan

atau melakukan sesuatu apa yang seorang wajar tidak akan melakukan

suatu tindakan dalam kasus tersebut. (Negligence is the lack of

221 .Herinin Hadiati, Beberapa Permasalahan Hukum dan. Medik, (Bandung: PT. Cutra Aditya Bakti, 1992), hal. 41.

222 .Pasal 1 butir 6, Peraturan Pemerintah No.63 tahun 2000 tentang Keselanialan dan Keschaian Terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion.

223 .Arrest Hoge Rand, tanggal 3 Februari 1913 tentang pengertian kelalaian.

Page 166: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

158

ordinary care. It is the failure to do what a reasonable careful and

prudent person would have done or the doing of something which a

reasonable person would not have done on the occasion in

question):224

3) Kelalaian adalah tidak melakukan sesuatu apa yang seorang wajar

berdasarkan pertimbangan biasa yang umumnya mengatur peristiwa

manusia, akan melakukan atau telah melakukan sesuatu yang seorang

wajar dan hati-hati justru tidak akan melakukannya (Negligence is

the omission to do some thing which a reasonable man, guided by

those ordinary considerations which ordinary regulate human

affairs, would do, or the doing of something which a reasonable

and prudent man would not do. 225

Dari beberapa definisi tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dikatakan

terdapat malpraktek medik apabila:

1) Adanya sikap tindak dokter yang bertentangan dengan etika, bertentangan

dengan hukum, bertentangan dengan standar profesi medis, kekurangan

pengetahuan di dalam profesinya; dan

2) Menelantarkan, kelalaian, kurang hati-hati, acuh tak acuh, serta adanya

kelalaian yang mencolok.

Leenan mengatakan bahwa seorang dokter harus bekerja menurut norma

"medische prfessionale standard", yaitu bertindak dengan hati-hati dan teliti

menurut ukuran standar medis dari seorang dokter yang berkepandaian rata-

rata dari golongan yang sama dengan menggunakan cara yang selaras dalam

perbandingan dengan tujuan pengobatan tersebut. Dengan kata lain dokter

tersebut bekerja secara "lege Artis".226

Senada dengan pendapat Leenan, Taylor mengatakan bahwa seorang dokter

yang memberikan pelayanan pengobaLan profesional harus memenuhi beberapa

224 .Bost v Reiley, Harmon and Catawba Memorial Hospital, 1979.225 .Blacks Law Dictionary. 5di ed, 1979.226 .J.Guwandi, Kelalaian Medik, Ed.2., (Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 1994), hal. 21.

Page 167: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

159

syarat:227

a. He must process the degree of professional learning, skiil and ability which

others similiarly situated ordinary process;

b. He must exercise reasonable care and diligence in the application of his

knowledge and skill to the the patiens case;

c. He must use his best judgment in the treatment and care of his patient.

Tolok ukurnya untuk dapat dikatakan sebagai suatu tindakan yang lalai

adalah adanya kebodohan yang serius, ceroboh (culpa lata).Hal ini diungkapkan

oleh Hazenwikel Suringa:228

"Niet de uiterste naden kenheid, niet de grootste voor zichtigheid mag

werden vereist. Om straf bear to zijn is nodig een min of meer ernstige domheid,

geen culpa levis dus, maar culpa late".

Dalam pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif yang

menentukan dosis radiasi paparan yang boleh diterima pasien adalah dokter

radioterapi, dimana hal ini didasarkan pada jenis kanker dan stadiumnya.

Apabila seorang dokter radioteapi yang melakukan kecerobohan dalam

menentukan dosis radiasi yang menyebabkan kesalahan dalam penyinaran

sehingga menyebabkan rusaknya jaringan sehat, cacat serta matinya seorang

pasien maka ia bisa dianggap bertanggung jawab atas dasar professionale

negligence apabila sikap tindaknya tidak berdasarkan standar porofesi yang

berlaku.

Dalam kaitannya dengan masalah tanggung jawab pidana bagi seorang

dokter, tentu saja kesalahan yang di perbuatnya dalam melaksanakan tugas

yang mengakibatkan kematian atau luka-luka adalah unsur kelalaian,

kealpaan/kurang hati-hati (culpa), bukan kesalahan karena unsur kesengajaan

(dolus), sebab apabila seorang dokter yang melakukan kesalahan tersebut

karena memang sudah disengaja, tentu saja perbuatannya jelas masuk dalam

kategori penganiayaan.

Masalah timbul sehubungan dengan unsur kelapaan (culpa) apabila

227 .Ibid.228 .Hazenwikel Suringa, Inleiding to de Stndie Vail Het Nederlandse Recht, 1953), hal.109.

Page 168: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

160

dikaitkan dengan tanggung jawab seorang dokter. Culpa sendiri mempunyai arti

teknis yaitu: "suatu kesalahan karena kurang hati-hati, sehingga secara tidak

sengaja terjadi sesuatu".229

Sedangkan hati-hati itu sendiri, menurut tingkatannya dapat digolongkan

menjadi:

a. Tingkat yang sangat berhati-hati

b. Tingkat tidak begitu hati-hati

c. Tingkat kurang hati-hati

d. Tingkat kurang lagi berhati-hati sehingga menjadi serampangan atau ugal-

ugalan.230

Kelalaian/kealpaan yang manakah yang dapat dimintakan tanggung

jawabnya pada dokter apabila melakukan kesalahan hingga pasien mengalami

luka-luka atau kematian?

Hal ini perlu dengan jelas dan tegas ditentukan, sebab menurut teori hukum

pidana, culpa itu sendiri dapat dikategorikan menjadi culpa Levi (kelapaan ringan)

dan culpa lata (kelapaan berat).

Dalam menentukan telah atau belum terjadinya culpa, kebanyakan ahli

hukum pidana menggunakan ukuran: bagaimanakah sebagaian besar orang dalam

masyarakat bersikap tindak dalam suatu keadaan yang nyata-nyata terjadi.

Dengan demikian sifat kebanyakan orang dalam masyarakat itulah yang

menjadi tolok ukurnya. Hal ini perlu sekali diperhatikan oleh para penegak

hukum, khususnya para hakim di dalam memutuskan apakah seorang dokter itu

benar-benar telah melakukan kealpaan.

Menelusuri arti dari kealpaan itu sendiri, KUHPidana kita tidak memberikan

apa arti dari kealpaan tetapi untuk memperoleh gambaran tentang itu, Vos dan

Van Hammel memberikan unsur-unsur:231

Vos menyatakan bahwa culpa mempunyai dua unsur, yaitu:

a. Kemungkinan pendugaan terhadap akibat;

229 .Mustofa Abdullall dan Ruben Aclunad. Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983). hal.43.

230 .Ibid., hal. 414.231 .Ibid.

Page 169: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

161

b. Tidak berhati-hati mengenai apa yang diperbuat atau tidak diperbuat.

Sedangkan Van Hammel menyatakan bahwa culpa mempunyai dua syarat,

yaitu:

a. Kurangnya pendugaan yang diperlukan;

b. Kurangnya berhati-hatian yang diperlukan.

Kemudian dalam menentukan jenis kealpaan mana yang dapat menimbulkan

tanggung jawab pidana bagi seorang dokter, keputusan Hoge Raad tertanggal 14

Maret 1929 menunjuk kepada kealpaan berat (culpa lata), bukan culpa levi.

Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab hukum di bidang pidana bagi

dokter akan timbul setelah dapat membuktikan terjadinya malpraktek medik,

yang dalam hal ini dasar timbulnya tanggung jawab tersebut adalah bahwa

kesalahan yang berupa kealpaan berat. Karena hal ini terjadi di kalangan para

dokter, maka kriteria kealpaan di sini tentu saja diukur atas dasar bagaimana pada

umumnya secara normal para dokter itu bersikap tindak dalam melaksanakan

tugasnya, dengan segala fasilitas yang ada.

Dengan adanya kriteria kealpaan yang berat yang dapat mengakibatkan

timbulnya tanggung jawab pidana, tidak berarti behwa setiap kesalahan

profesional selalu harus diikuti oleh tanggung jawab pidana, karena kematian atau

keadaan luka-luka tidaklah selalu disebabkan karena adanya kelalaian berat itu,

tetapi banyak faktor yang lain. Dalam hal yang belakangan ini maka dokter

tersebut tidak dijatuhi hukuman.232

Dalam hubungan ini pasal-pasal dalam KUHPidana kita yang relevan

dengan masalah tanggung jawab pidana dokter radioterapi karena adanya

kelalaian yang menyebabkan mati atau luka-luka berat adalam Pasal 359, Pasal

360, serta Pasal 361.

Pasal 359 KUHPidana menyatakan:

"Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam

dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu

tahun"

232 .Keputusan Road van Justoitie di Medan, tertanggal 12 Maret, 1923.

Page 170: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

162

Pasal 360 menyatakan:

"(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-

luka beret, diancam dengan pidana penjara paling, lama lima tahun atau

kurungan paling lama satu tahun.

(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka

sedemikian rupa sehingga menimbulkan penyakit atau halangan

menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda

paling tinggi tiga ratus rupiah".

Apabila karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaannya misalnya

dokter, bidan, sopir dan lain-lain melalaikan peraturan-pereaturan pekerjaannya

hingga mengakibatkan mati atau luka berat, make mendapat hukuman yang lehih

beret pula, sebagaimana terdapat dalam Pasal 361 KUHPidana.

Kedua, Tanggung Jawab Terhadap Pelaksanaan Informed Consent

Pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan informed

consent adalah dokter radioterapi yang menangani pasien yang bersangkutan.

Suatu tindakan medis seorang dokter untuk dapat diberlakukan ketentuan hukum

pidana harus memenuhi dua hal, yaitu:

1) Adanya suatu perbuatan/tindakan yang dilakukan oleh seseorang dan yang

melanggar ketentuan peraturan hukum pidana, sehingga memenuhi

perumusan delik sebagaimana tersebut dalam KUHPidana;

2) Bahwa pelanggar tersebut mampu bertanggungjawab atas perbuatannya

sehingga oleh karenanya dia dapat dijatuhi pidana sebagaimana yang

ditentukan oleh KUHPidana, hal mane terletak dalam alam batin yang

dapat berupa kesalahan.233

Dari kedua alasan agar seorang dokter dapat diberlakukan ketentuan hukum

pidana, perlu dipertanyakan kapan seorang dokter dapat dikatakan mampu

bertanggung jawab sehingga kararenanya dapat dijatuhi pidana?

Seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab menurut hukum pidana

233 .Hermin Hadiati, Op. cit,.Cit., hal.41.

Page 171: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

163

apabila ia mampu mengadakan pilihan antara mana yang baik dan mana yang

buruk. Untuk itu diperlukan pendapat yang mandiri, sehat dan dewasa, supaya

mampu mengambil sikap dalam mengadakan pilihan tersebut dan akhirnya

menjatuhkan pilihannya untuk memilih satu diantara beberapa alternatif

putusan. Bahwa dalam kenyataan pilihannya mungkin jatuh pada perbuatan

yang ternyata dilarang oleh peraturan hukum pidana, yang mungkin tidak

masuk dalam pertimbangannya pada waktu mengadakan pilihan tersebut, atau

ia telah mengetahui bahwa perbuatannya dilarang oleh hukum namun ia tetap

melakukan merupakan indikator bagi penentuan apakah perbuatannya itu

dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.234

Pada dasarnya yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan informed

consent adalah dokter yang menangani pasien yang bersangkutan. Sedangkan

pada pelaksanaan pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif di unit

radioterapi sebuah rumah sakit yang bertanggung jawab terhadap pemberian

informasi tentang prosedur penyinaran adalah dokter radioterapi yang sebelum

dilakukan penyinaran bertugas memberikan informasi tentang resiko akibat

penyinaran dengan zat radioaktif. Biasanya di suatu rumah sakit yang

menyelenggarakan pelayanan medis di bagian radioterapi juga ditentukan oleh

kepala instalasi radioterapi yang biasanya dijabat oleh seorang dokter spesialis

radioterapi.

Aplikasi dari tanggung jawab ini adalah bahwa seorang dokter harus

memberikan informasi yang sedetilnya tentang prosedur pelaksanaan

penyinaran dan segala akibatnya dengan sebenar-benarnya dengan

memperhatikan tingkat pendidikan pasien sehingga pasien dapat memahami

informasi yang diberikan oleh dokter tentang prosedur penyinaran dan segala

akibatnya. Selanjutnya dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien

terhadap tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasiennya. Hal ini

menunjukkan bahwa seorang dokter tidak dapat melakukan suatu tindakan

medik terhadap pasien apabila pihak pasien tidak memberikan persetujuan

untuk tindakan medik tertentu.

234 .Ibid.

Page 172: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

164

Mengenai tanggung jawab dokter dalam pelaksanaan informed consent

secara eksplisit telah ditegaskan dalam Permenkes No.290/Menkes/Per/III/2008

tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan

bahwa:

"Semua tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien

harus mendapat persetujuan tertulis".

Sedangkan persetujuan tindakan medik yang mempunyai resiko tinggi

harus dibuat dalam bentuk tertulis, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat

(1) Permenkes tersebut.

Dalam memberikan informasi kepada pasien tugas dan tanggung jawab

dokter dapat didelegasikan. Pendelegasian tersebut harus memenuhi syarat-syarat

sebagai berikut:235

a. Delegasi tidak dapat diberikan sepanjang mengenai diagnosa, indikasi

medik dan terapi;

b. Dokter harus mempunyai keyakinan tentang kemampuan dari orang yang

menerima delegasi tersebut;

c. Delegasi itu harus tertulis;

d. Dokter yang memberikan delegasi dapat hadir setiap saat bila diperlukan,

Meskipun telah dilakukan pendelegasian dalam pemberian informasi

akan tetapi tanggung jawab pelaksanaan informed consent tetap pada dokter

yang memberikan delegasi, hal itu dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 4 ayat

(2) Permenkes No.290 tahun 2008 Pasal 4 ayat (2) dinyatakan bahwa:

“Keputusan untuk melakukan tindakan kedokteran sebagaimana

dimaksud ayat (1) diputuskan oleh dokter atau dokter gigi dan dicatat

dalam rekam medik”.

Dilihat dari aspek hukum pidana, maka mengenai masalah informed consent

lebih ditekankan pada aspek persetujuannva, apakah dalam pelaksanaan

pomberian tetapi sudah mendapat persetujuan dari pasien atau keluarganya.

Sedangkan apabila pemberian penyinaran dengan menggunakan zat radioaktif itu

235 .Fred Anteln, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, (Jakarta: Grafikatania Java, 1991), hal.70.

Page 173: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

165

tanpa persetujuan dari pasien atau keluarganya maka dokter yang bertanggung

jawab terhadap pelaksanaan prosedur penyinaran tersebut dapat diberikan sanksi

pidana, sesuai dengan ketentuan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHPidana.

Akan tetapi ketentuan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHPidana tidak dapat

diberlakukan terhadap dokter yang bertanggung jawab terhadap pemberian

penyinaran dengan zat radioaktif apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

"adanya indikasi medik, adanya persetujuan pasien dan sesuai dengan standar

profesi medik”.

Dampak negatif yang muncul akibat prosedur pemberian terapi dengan

menggunakan zat radioaktif yang disebabkan karena kesalahan biasanya terjadi

dalam hal-hal seperti adanya kelalaian dalam pemberian dosis, penghitungan

dosis, sistem pemblokan, serta dalam penentuan objek penyinaran.

Kelalaian yang dilakukan oleh seorang dokter berbeda dengan salah

penilaian, yang mana dalam kelalaian itu terjadi apabila seorang dokter dalam

prosedur pemberian terapi tidak mempergunakan fasilitas yang tersedia serta

standar profesi medik yang sudah ditentukan berdasarkan pertimbangan ilmu

pengetahuan dan teklnologi.

2.Tanggung Jawab Pidana Tenaga Paramedis (Penata Roentgen)

Hubungan hukum yang timbul antara pasien dan rumah sakit dapat dibedakan

pada dua macam perjanjian, yaitu:

a. Perjanjian perawatan dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit dan

pasien bahwa pihak rumah sakit menyediakan kamar perawatan dimana

tenaga perawat melakukan tindakan perawatan;

b. Perjanjian pelayanan medis dimana terdapat kesepakatan antara rumah sakit

dan pasien bahwa tenaga medis pada rumah sakit akan berupaya secara

maksimal untuk menyembuhkan pasien melalui tindakan medis.236

Bertitik tolak dari hal tersebut maka hubungan hukum pasien dan tenaga

kesehatan di rumah sakit dapat berupa hubungan hukum pasien dengan dokter dan

hubungan hukum pasien dengan tenaga kesehatan lainnya. Hubungan hukum

236 .Ibid., Hal. 76.

Page 174: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

166

pasien dengan tenaga kesehatan lainnya (penata roengten) ini berupa kontrak

dimana tenaga kesehatan lain itu harus berupaya memberikan pelayanan sesuai

dengan kemampuan dan perangkat ilmu yang dimiliki.

Di suatu rumah sakit yang memberikan pelayanan medis di bidang

radioterapi, seorang dokter radioterapi tidak mungkin melakukan pekerjaannya

sendiri. Dalam pemberian terapi ia senantiasa dibantu oleh tenaga paramedis,

yaitu seorang penata rontgen, ada kalanya dalam praktek sehari-hari para penata

rontgen melakukan tindakan yang sebenarnya termasuk tugas dokter radioterapi

dan yang didelegasikan kepadanya.

Dasar hukum pendelegasian ini dapat dilihat dari keputusan Hoge Raad

tanggal 4 November 1992 yang menyatakan bahwa orang yang belum pernah

menjadi dokter dapat melakukan tindakan kedokteran di bawah pengawasan.237

Dengan adanya pendelegasian tersebut, atau bekerjanya seorang penata

rontgen atas instruksi dari dokter radioterapi, apakah seorang penata rontgen dapat

dimintai pertanggungjawaban pidana?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut perlu dikemukakan tentang

tindakan malpraktek medis. Agar dapat dikatakan bahwa suatu tindakan itu

merupakan tindakan malpraktek medis harus dipenuhi syarat-syarat:

a. The existence of the physician-patient relationship;

b. The applicable. standard of care and its violation;

c. A compensable injury; and

d. A causal connection between the violation of the standar of care and the

harm complained of.238

Arthur F Southwick dalam bukunya "The Law cf Hospital and Health

Care Administration yang mengemukakan adanya tiga teori sumber dari suatu

perbuatan malpraktek, yaitu:239

Pertama, Teori Pelanggaran Kontrak

237 .Ibid., Hal 77.238 .Joseph H. King JR, The Law of Medical Malpractice, (St.Palll Miimesota: West

Publishing Company, 1986), hal.5.239 .Ninik Marivatiti, MalprAtek Kedokterait Dari Sergi Hokum Pidana clan Pet:data.

(Jakarta: PT. Bina Aksara, 1988). hal.44-46.

Page 175: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

167

Teori pelanggaran kontrak menyatakan bahwa sumber perbuatan malpraktek

adalah karena terjadinya pelanggaran kontrak, ini berprinsip bahwa secara hukum

seorang dokter tidak mempunyai kewajiban merawat seseorang bilamana di antara

keduanya tidak terdapat suatu hubungan kontrak antara dokter dan pasien.

Kedua, Teori Perbuatan Yang Disengaja

Teori kedua merupakan teori yang dapat dipakai oleh pasien sebagai dasar

untuk menggugat dokter karena perbuatan malpraktek adalah kesalahan yang

dibuat dengan sengaja (intentional tort), yang mengakibatkan seorang secara

fisik mengalami cidera (assult and battery). Kasus malpraktek menurut teori ini

jarang terjadi dan dapat digolongkan sebagai tindakan kriminal atas dasar unsur

kesengajaan.

Ketiga, Teori Kelalaian

Teori ketiga menyebutykan bahwa sumber perbuatan malpraktek adalah

kelalaian (negligence). Kelalaian yang menyebabkan sumber perbuatan yang

dikategorikan dalam malpraktek ini harus dapat dibuktikan adanya, selain itu

kelalaian yang dimaksud harus termasuk dalam kategori kelalaian yang berat

(culpa iota).

Pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif di suatu rumah sakit

biasanya dilakukan oleh penata rontgen atas instruksi dokter spesialis radioterapi,

bahkan kadangkala dokter radioterapi memberikan delegasi kepada penata

rontgen dalam prosedur penyinaran. Meskipun seorang dokter dapat memberikan

delegasi atau melimpahkan wewenangnya, namun pemberian itu harus memenuhi

syarat-syarat:240

a. Penegakan diagnosis, pemberian atau penentuan terapi serta penentuan

indikasi, harus diputuskan oleh dokter itu sendiri. Pengambilan keputusan

tersebut tidak dapat didelegasikan;

b. Delegasi tindakan medis itu hanya dibolehkan jika dokter tersebut sudah

sangat yakin bahwa perawat yang menerima delegasi itu sudah mampu

untuk melaksanakan dengan baik;

c. Pendelegasian harus dilakukan secara tertulis termasuk instruksi yang jelas

240 .Fred AnteIn, Op. cit., hal. 78.

Page 176: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

168

tentang pelaksanaannya, serta bagaimana harus bertindak jika timbul

komplikasi;

d. Harus ada pengawasan medik pada pelaksanaannya. Pengawasan tersebut

tergantung kepada tindakan yang dilakukan. Apakah dokter itu harus berada

di tempat itu ataukah ia dapat dipanggil.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, terdapat putusan Gerechtshop

Amsterdam, 29 Mei 1986 yang dalam pertimbangannya dismpulkan bahwa dokter

secara yuridis dan moral tetap bertanggung jawab, karena apa yang dilakukan oleh

perawat itu atas instruksi dokter. Namun si pelaku juga bertanggung jawab untuk

tindakannya yang dilakukan tidak sesuai instruksi.

Untuk menjelaskan konstruksi hukum pada prosedur pemberian terapi

kepada pasien dapat ditemukan dasar hukumnya pada Pasal 55 dan Pasal 56

KUHpidana.

Pasal 55 KUHP, menyatakan:

"(1) Dipidana sebagai pembuat (dader) suatu perbuatan pidana: ke-1 mereka

yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan, ke-2 mereka yang dengan memberi atau

menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat,

dengan kekerasan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang

lain supaya melakukan perbuatan.

(2) Terhadap penganjur hanya perbuatan yang disengaja dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya".

Pasal 56 KUHP menyatakan:

"Dipidana sebagai pembantu (medeplichtige) suatu kejahatan: ke-1 mereka yang

sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan, ke-2 mereka yang

sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan

kejahatan".

Pertanyaan selanjutnya yang dapat dikemukakan adalab apa yang dijadsikan

dasar hukum untuk meminta pertanggung jawaban pidana seorang penata

roengten dalam prosedur pemberian terapi dengan zat radioaktif yang

Page 177: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

169

menyebabkan kerugian bagi pasien berupa cacat atau matinya pasien?

Yang paling tepat untuk menjawab hal ini, mengingat kesalahan yang

mungkin untuk dapat dipertanggungjawabkan adalah termasuk jenis kelalaian

berat dengan mendasarkan pada Pasal 359 dan 360 KUHP.

Ada kalanya terjadi kesulitan untuk menilai dan membuktikan apakah

tindakan medis yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. merupakan tindakan yang

masuk dalam kategori malpraktek medis atau tidak, dapat dipakai empat kriteria

antara lain:241

a. Apakah perawatan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan cukup layak (a

duty of due care). Dalam hal ini standar perawatan yang diberikan oleh

pelaksana kesehatan dinilai apakah sesuai dengan apa yang diharapkan

(persyaratan);

b. Apakah terdapat pelanggaran kewajiban (the breach of the duty). Untuk

membuktikan bahwa telah terjadi suatu pelanggaran terhadap standar

perawatan yang diberikan kepada seorang pasien maka diperlukan kesaksian

ahli dari tenaga kesehatan lain yang mengerti akan hal itu;

c. Apakah kelalaian itu benar-benar merupakan penyebab cidera (causation);

d. Adanya ganti rugi (darnages). Bila dapat dibuktikan bahwa kelalaian

penyebab cidera, maka pasien berhak memperoleh ganti rugi yang terdiri

dari pengantian biaya pengobatan, kehilangan pendapatan. Kesakitan fisik,

tekanan jiwa dan rasa frustasi.

Selain dikenal adanya beberapa teori tentang sumber perbuatan

malpraktek serta beberapa kriteria yang dapat dijadikan patokan dalam

menilai dan membuktikan adanya perbuatan malpraktek, yang apabila

ditinjau dari kegunaan teori-teori tersebut tentu saja sangat berguna bagi

pasien dan aparat penegak hukum, maka di pihak lain tenaga kesehatan

dijumpai pula beberapa teori yang dapat dijadikan pegangan untuk

mengadakan pembelaan apabila ia menghadapi tuntutan malpraktek. Teori-

teori tersebut adalah:242

241 Ninik Mariyanti. Op.Cit., hal. 54.242 .Ibid., hal. 56.

Page 178: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

170

a. Teori kesaediaan untuk menerima resiko (assumption of risk). Teori ini

menyatakan bahwa seorang dokter akin terlindung dalam tuntutan

malpraktek, bila pasien memberikan izin atau persetujuan dan menyatakan

bersedia memikul segala resiko dan bahaya yang mungkin timbul akibat

tindakan medis itu.

b. Teori pasien ikut berperan serta dalam kelalaian (contributory negligence)

yaitu kasus dimana dokter dan pasien dinyatakan oleh pengadilan sama-

sama melakukan kelalaian;

c. Perjanjian membebaskan dari kelalaian (exculpatory contract). Menurut

teori ini cara lain untu melindungi diri dari tuntutan malpraktek ialah

dengan mengadakan suatu perjanjian atau kontrak khusus dengan pasien,

yang berjanji tidak akan menuntut dokter dan rumah sakit bila terjadi

kelalaian malpraktek medis;

d. Pembebasan atas tuntutan (releas) yaitu suatu kasus dimana pasien

membebaskan dokter dari seluruh tuntutan malpraktek dan kedua belah

pihak bersepakat untuk mengadakan penyelesaian bersama.

B. Pertanggungjawaban Pidana Rumah Sakit

Mengenai masalah pertanggungjawaban rumah sakit tidak dapat dilepaskan

dari masalah pertanggungjawaban korporasi. Pertanggungjawaban korporasi di

Inggris didasarkan pada asas identifikasi. Dimana perbuatan pengurus atau

pegawai suatu korporasi (rumah sakit dengan segala keunikannya), dapat

diidentifikasikan dengan perbuatan korporasi itu sendiri.243 Karena pengertian

korporasi dan badan hukum adalah suatu konsep hukum perdata, maka sebaiknya

dicari konsep tentang pemahaman badan hukum. Berdasrkan asas kepatutan dan

keadilan sebagai dasar utama, maka ilmu hukum perdata menerima bahwa suatu

badan hukum harus dapat dianggap bersalah merupakan perbuatan melawan

hukum.244

243 .Barda Nawawi Arief. Perbandingan Hukurn Pidana. (Jakarta: PT. Raja Grail ado Persada. 1994), hal. 92.

244 .Mardjorto Reksodiputro, Tindak Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum UI. 1994), hal. 107

Page 179: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

171

Ajaran berdasarkan asas kepatutan dan keadilan ini mendasarkan pada

pemikiran bahwa apa yang dilakukan oleh pengurus harus dapat

dipertanggungjawabkan kepada badan hukum, karena pengurus dalam bertindak

tidak melakukannya atas hak atau kewenangan sendiri, tetapi atas hak dan

kewenangan badan hukum yang bersangkutan. Kesengajaan (doles) atau kelalaian

(culpa) dari pengurus harus dianggap sebagai kesengajaan dan kelalaian dari

badan hukum itu sendiri.245

Dengan memperhatikan undang-undang, seperti Undang-Undang Tindak

Pidana Ekonomi, Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-

Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Ketenaganukliran, serta

Rancangan Undang-Undang KUHPidana, maka dapat dikemukakan konsep

bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Perlu

diperhatikan bahwa perbuatan korporasi yang dalam hal pemberian terapi

menggunakan zat radioaktif di suatu rumah sakit biasanya diwujudkan dengan

perbuatan manusia. Rumah sakit sebagai badan hukum, berdasarkan

konstruksi tentang pertanggungjawaban pidana tersebut di atas, maka

korporasi baik itu pengurus atau pegawainya dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.246 Adapun pertanggungjawaban pidana rumah sakit

terhadap akibat negatif penggunaan terapi dengan zat radioaktif yang

menyebabkan kerugian bagi pasien baik berupa matinya atau cacatnya seorang

pasien dapat dikemukakan pertanggungjawaban pidana rumah sakit berdasarkan

asas strict liability, vicarious liability dan hospital liability.

1. Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan Asas Strict Liability

Perkembangan mengenai konsep korporasi sebagai subjek, tindak pidana,

sebenarnya merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam

masyarakat dalam menjalankan aktifitas usaha. Pada masyarakat yang masih

sederhana, kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Namun dalam

perkembangan masyarakat yang tidak lagi sederhana, timbul kebutuhan untuk

245 .Ibid., hal.108.246 .Ibid., hal. 109.

Page 180: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

172

mengadakan kerjasama dengan pihak lain dalam menjalankan kegiatan usaha.

Pemikiran pemberian status subjek hukum khusus yang berupa badan

hukum tersebut, dalam perkembangannya dapat terjadi karena berbagai

macam alasan atau motivasi. Salah satu alasan, misalnya untuk memudahkan

menentukan siapa yang harus bertanggung jawab di antara mereka yang

terhimpun dalam badan hukum tersebut, yaitu secara yuridis dikonstruksikan

dengan menunjuk badan hukum sebagai subjek yang harus bertanggung

jawab. Oleh karena itu dalam sejarah perkembangan eksistensi korporasi

sebagai subjek hukum, diakui pula oleh bidang hukum di luar hukum perdata,

misalnya hukum pajak, dan hukum administrasi negara serta hukum pidana.

Rumah sakit sebagai salah satu bentuk yang dapat dikonstruksikan sebagai

badan hukum (korporasi) dapat dikategorikan sebagai subyek hukum yang dapat

melakukan tindakan hukum sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Di bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan usaha

yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subyek hukum

yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggungjawabkan.

Dalam perkembangan hukum pidana Indonesia, ada tiga sistem

pertanggungjawaban korporasi, sebagai subyek tindak pidana, yaitu:

1. Pengurus korporasi sebagai pembuat, maka penguruslah yang bertanggung

jawab;

2. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;

3. Korporasi sebagai pembuat dan korporasi yang bertanggung jawab.247

Uraian berikut akan menjelaskan tentang asas strict liability secara lebih

detail sebagai berikut:

Pertama, Pengertian Asas Strict Liabiit.

Ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ahli yang berkaitan

dengan pengertian asas strict liability, adalah sebagai berikut:

1. "The phrase used to refer to criminal ofences whish do not require mens

rea in respect one or more element of

actus reus"248 (suatu ungkapan yang menunjuk kepada suatu perbuatan

247 .Mardjono Reksodiputro, Op.Cit., hal. 9.

Page 181: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

173

pidana dengan tidak mensyaratkan kesalahan terhadap satu atau lebih unsur

dari actus reus).

2. "Crime which do not require intention, recklekness or even negligent as to

one or more element in the actus reus”249 (kejahatan yang tidak

mensyaratkan kesengajaan, kesembronoan atau bahkan sebagai satu atau

lebih unsur dari actus reus).

3. "Strict liability is a theory under which a defendant may be held liable

for injuries he caused even though he acted with reasonable care"250

(strict liability adalah sebuah teori dimana seorang terdakwa harus

bertanggung jawab untuk kasus yang merugikan meskipun terdakwa

melakukan dengan hati-hati).

4. "The term strict liability refers to those exceptional situations where

a defendant is liable irespective of fault on his part. As a result, a

palin who suffers harm in certain circumstances can sue withaout

having to prove intention or negligent pn D's part (istilah strict

liability menunjuk kepada pengecualian situasi, dimana terdakwa

bertanggung jawab dengan mengabaikan kesalahan. Sebagai

akibatnya penggugat yang menderita kerugian dapat menuntut tanpa

harus membuktikan kesengajaan atau kealpaan dari terdakwa.

Dari definisi tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa strict

liability adalah pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan dimana

pembuat sudah dapat dipidana apabila ia telah melakukan perbuatan pidana

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang, tanpa melihat bagaimana

sikap batinnya.

Secara tegas dapat dikatakan bahwa dalam perbuatan pidana yang

bersifat strict liability, hanya dibutuhkan dugaan (foreseight) atau

pengetahuan (knowledge) dari pelaku, sehingga hal itu sudah cukup dianggap

248 .Marise Cremona, Criminal Law, (London: The Macmillan Press Ltd, 1989), hal.54.249 .J.C.Smith&Brian Hogan. Criminal Law. Fourth Edition. (London: Butter Worths,

1978), ha1.79.250 .Joseph H.King, JR, The Law of Medical Malpractice, 2nd Edition, (St. Paul Minnesota:

West Publ Co, 1986), hal.260.

Page 182: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

174

untuk menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya.

Dalam ruang lingkup pertanggungjawaban tanpa kesalahan sering

dipersoalkan apakah strict liability sama dengan absolut liability. Dalam hal

ini Eric Colin, mengatakan:

"It is sometime said that absolut liability means liability without fault and that

strict liability means that although lack of fault is a defence, the burden is on

the accused to prove its absense".251

Pengecualian asas kesalahan ini dapat diajukan due pendapat yang saling

berbeda. Pendapat pertama menyatakan bahwa strict liability merupakan absolut

liability. Sedangkan pendapat yang kedua menyatakan bahwa strict liability bukan

absolut liability."252

Alasan yang menyatakan strict liability adalah absolut liability,

bahwa dalam perkara strict liability seorang yang telah melakukan

perbuatan terlarang (actus reus) sebagaimana yang telah dirumuskan dalam

undang-undang sudah dapat dipidana tanpa perlu mempersoalkan apakah

pembuat mempunyai kesalahan (mens rea) atau tidak. Sebaliknya, pendapat yang

menyatakan strict liability, bahwa meskipun orang yang telah melakukan

perbuatan terlarang sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang belum tentu

dipidana.

Strict liability ini pada awalnya berkembang dalam praktek peradilan

Inggris. Sebagian hakim berpendapat asas mens rea tidak dapat dipertahankan lagi

untuk setiap kasus pidana. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan untuk

menerapkan asas strict liability terhadap kasus-kasus tertentu.253

Kedua, Penerapan Asas Strict Liability Dalam Pertanggungjawaban

Pidana.

Pemanfaatan zat radioaktif untuk keperluan terapi untuk penyakit

kanker memerlukan penanganan yang sangat hati-hati dan cermat, agar

251 .Lihat Hamzah Hatrik, Asas Petanggurtgjawaban Korporasi, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1996), hal, 24.

252 .Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidaiia. (Semarang:FH Undip, 1988), hal. 31.

253 .Peter Gillies, Criminal Law. Op.Cit.. hal. 80.

Page 183: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

175

pemanfaatannya tidak menimbulkan kerugian kepada pasien baik berupa

cacat fisik akibat kerusakan jaringan sehat ataupun matinya seorang

pasien.

Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 10 tahun 1997 tentang

Ketenaganukliran, menyatakan:

"Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang

bertanggung jawab dalam pengoperasian instalasi nuklir".

Pada pemberian terapi dengan zat radioaktif biasanya pengusaha instalasi

lazimnya adalah rumah sakit yang dapat dikonstruksikan sebagai badan hukum

atau korporasi. Rumah sakit pada awalnya dianggap tiodak memiliki tanggung

jawab hukum karena dianggap sebagai badan hukum yang berfungsi sosial

dengan segala keistimewaannya. Namun pada scat ini rumah sakit sebagai

suatu entity dapat dimintai pertanggungjawaban.254

Pasal 28 TJU No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menyatakan:

"Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang

diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi

dalam instalasi nuklir tersebut".

Penjelasan Pasal 28 tersebut menyatakan:

"Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab hanya

dibebankan pada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan

demikian tidak ada pihak lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban

selain pihak pengusaha instalasi. Dalam sistem tanggung jawab mutlak

pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian

ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk

menghindari ganti rugi jatuh kepada mereka yang tidak berhak, pihak

ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya

diakibatkan oleh kecelakaan nuklir".

254 ,Budi Sampurna, "Aspek Etis dail-Iukum Dalam Pelayanan Kesehatan". (Jakarta: Seminar Perhuki pada tanggal 2 Juni 2000), hal. 2.

Page 184: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

176

Pasal 87 ayat (1) UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup, menyatakan:

"Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan

perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain dan

lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi dan/atau melakukan

tindakan tertentu".

Selanjutnya dalam penjelasan umum Undang-Undang Ketenaganukliran

dinyatakan bahwa:

"Prinsip yang dianut dalam sistem pertanggungjawaban adalah:

1. Tanggung jawab mutlak;

2. Pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan

orang lain;

3. Batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu;

4. Pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungjawabkan dalam

bentuk asuransi atau bentuk jaminan keuangan lainnya.

Penjelasan Pasal 88 UUPLH, menyatakan:

"Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, mengahsilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau

yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan".

Dari uraian Pasal 28 UUKetenaganukliran dan Pasal 35 ayat (1) UUPLH

beserta masing-masing penje'lasannya, dapat disimpulkan bahwa kedua undang-

undang tersebut di atas menganut system pertanggungjawaban yang dapat

dikonstruksikan sebagai pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability withaut

fault) seperti pada asas strict liability.

Menurut doktrin strict liability, seseorang sudah dapat dipertanggung

jawabkan untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada

kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability dapat diartikan sebagai

Page 185: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

177

liability withaout fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).255

Menurut L.B.Curzon, doktrin strict liability ini didasarkan pada alasan-

alasan sebagai berikut:

a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan-peraturan

penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial;

b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran-

pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu;

c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang

bersangkutan.256

Argumentasi yang hampir serupa dikemukakan pula dalam bukunya

Ted Henderick. Dikemukakan olehnya bahwa alasan yang biasa dikemukakan

untuk strict liability adalah:

a. Sulitnya membuktikan pertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu;

b. Sangat perlunya mencegah jenis-jenis tindak pidana tertentu untuk

menghindari adanya bahaya-bahaya yang sangat luas;

c. Pidana yang dijatuhkan sebagai akibat dari strict liability adalah ringan.257

Di Inggris asas strict liability itu dikembangkan pada abad ke-19 sebagai

akibat buruk dari revolusi industri. Pada waktu itu banyak peraturan baru

seperti kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan. Pada abad ke-20

kecenderungan menggunakan strict liability semakin meningkat. Peningkatan

itu sejalan dengan kompleksitas masyarakat yang membutuhkan peraturan

sosial. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan lalu lintas,

perlindungan konsumen, makanan dan obat-obatan, keselamatan kerja,

keehatan kerja dan perlindungan lingkungan hidup.258

Penerapan hukum pidana terhadap kejahatan yang bersifat

mengatur (regulatory offences) di satu pihak sangat penting sebagai

sanksi terhadap pelaku. Namun di pihak lain penerapan hukum pidana

255 .Barda Nawawi Arief, Pelengkap Kuliah Hukum Pidana. Op.Cit., hal.68.256 .Roeslan Saleh, Pikiran-Pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Ghalia

Indonesia. 1982), hal.23.257 .Bards Nawawi Arief, Op.Cit., hal,68-69.258 .CM V Clarkson, Understanding Criminal Law. 2nd, (London: Fontana Press. 1995),

ha1.108-109.

Page 186: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

178

ini menghadapi permasalahan, teruitama yang berkaitan dengan masalah

pembuktian adanya unsur kesalahan dari pelaku delik. Dari permasalahan tentang

pembuktian dalam penegakan hukum itulah, strict liability mulai di introdusir

dalam kasus-kasus pidana.

Kasus yang paling tua mengenai penerapan strict liability itu adalah kasus

Prince, yang intinya sebagai berikut:259

"Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis berumur 16

tahun tanpa izin orang tuanya (melanggar Pasal 55 Offences Against the Person

Act 1861 yang diperbaharui dengan Pasal 20 Sexual Offences Act 1956)".

Di muka sidang Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang

mengetahui gadis itu di bawah kekuasaan orang tua akan tetapi ia mengira

kebanyakan/berkeyakinan bahwa gadis itu berumur 18 tahun, berdasarkan

juga pengakuan gadis itu terhadap Prince. Pengadilan berpendapat bahwa

terhadap perbuatan menarik gadis atas kekuasaan orang tua harus tetap

dibuktikan adanya kesengajaan tetapi terhadap usia gadis tersebut, yaitu 16

tahun tidak harus dibuktikan karena undang-undang tidak mensyaratkan

pengetahuan tentang umur dari gadis itu. Prince tetap dipidana.

Kasus pidana lain yang berkaitan dengan penerapan asas strict laiability

adalah kasus Alphacell Ltd v.Woodward (1972). Posisi kasusnya adalah sebagai

berikut:260

"Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan

tuduhan sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang

tuduhan itu dengan menyatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya

kesengajaan, kealpaan atau kesombronoan dari terdakwa. House of Lord

menolak argumen terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada

terdakwa".

Dasar pokok untuk menentukan penerapan tanggung jawab dengan asas

strict liability dalam perkara pidana pada prinsipnya tidak bersifat generalisasi.

Jadi tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan, akan tetapi lebih

259 .L.B.Curson. Cases in Criminal Law (London: Mc.Donald&Evans, 1974), hal. 22.260 .Marcus Fletcher, A-Level Priciple of English Law. I Edition, (London:HLT Publ.

1990), hal. 202.

Page 187: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

179

bercorak khusus, yaitu:

a. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-

undang sendiri cenderung menuntut penerapan strict liability; dan

b. Kebanyakan orang berpendapat bahwa penerapannya hanya ditentukan

terhadap tindak pidana yang bersifat larangan khusus atau tertentu.

Jadi penerapannya sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan

terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability

crime, dapat dikemukakan patokan antara lain:261

a. Perbuatan itu tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana

tetapi sangat terbatas dan tertentu terutama mengenai kejahatan anti sosial

atau yang membahayakan sosial;

b. Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum (unlawful) yang sangat

bertentangan dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan;

c. Perbuatan tersebut dilarang dengan karas oleh undang-undang karena

dikategorikan sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial

mengandung bahaya kepada kesehatan, keselamatan, dan moral publik;

d. Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara

tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar (unreasonable

precausions).

Patokan tersebut di atas dapat lebih disingkat standarisasinya sebagai

berikut:

a. Perbuatan bersifat terbatas dan tertentu;

b. Perbuatan merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang-undang;

c. Perbuatan yang dilakukan nyata-nyata melawan hukum;

d. Perbuatan yang dilakukan sangat potensial mendatangkan bahaya terhadap

kesehatan, keselamatan, atau moral masyarakat;

e. Perbuatan itu tidak dibarengi dengan pencegahan yang wajar.

Pertanyaan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pemberian terapi

dengan mengguriakan zat radioaktif oleh rumah sakit, apakah rumah sakit sebagai

suatu korporasi dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas strict liability?

261 .Lihat M.Yallya harahap, Op.Cit., hal.37-38.

Page 188: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

180

Pemanfaatan tenaga nuklir telah berkembang pesat dan secara luas di

berbagai bidang di Indonesia, baik dalam bidan penelitian, pertanian,

kesehatan, indutri dan lain-lain. Tenaga nuklir, disamping sangat bermanfaat

juga dapat menimbulkan bahaya sehingga perlu dilakukan pengawasan melalui

perizinan di samping pengaturan den pemeriksaan.

Salah satu pemanfaatan tenaga nuklir di bidang kesehatan adalah pemberian

terapi dengan menggunakan zat radioaktif. Dimana selain ada manfaatnya

pemberian terapi dengan zat radioaktif tersebut dapat menimbulkan kerugian

nuklir.

Adapun yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah setiap kerugian

yang dapat berupa kematian, cacat, cidera atau sakit, kerusakan harta benda,

pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan oleh radiasi

atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat

bahaya lainnya sebagai akibat kekritisan bahan bakar nuklir dalam instalasi

nuklir atau selama pengangkatan, termasuk kerugian sebagai akibat tindakan

preventif dan kerugian sebagai akibat atau tindakan untuk pemulihan

lingkungan hidup.

Selain ketentuan dalam undang-undang tentang Ketenaganukliran yang

menyatakan tentang penerapan asas pertanggungjawaban pidana dengan

mengabaikan unsur kesalahan (strict liability), maka dapat dikemukakan dalam

Pasal 88 UU No.32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang

menyatakan bahwa:

"Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya

menggunakan B3, mengahsilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau

yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup

bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu

pembuktian unsur kesalahan".

Dari apa yang telah dipaparkan dalam kedua peraturan perundang-undangan

tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa rumah sakit dalam memberikan

pelayanan di bidang radioterapi dengan menggunakan zat radioaktif yang

menyebabkan adanya kerugian nuklir berupa matinya, atau cacat seorang pasien

Page 189: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

181

atau masyarakat dapat dimintai tanggung jawab pidana tanpa harus membuktikan

unsur kesalahan (liability withaut fault), yang dikenal dengan strict liability.

Penyimpangan undang-undang di luar KUHPidana terhadap pertanggung

jawaban pidana berdasarkan asas kesalahan ini dipertegas dalam rumusan

Pasal 32 ayat (3) RUU KUHPidana tahun 1999-2000 sebagaimana terakhir

pada tahun 2015, yang menyatakan:

"Untuk tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwa

seseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur

tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya unsur kesalahan".

Secara konkrit yang dijadikan tolok ukur agar rumah sakit dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana dalam pemberian terapi dengan zat

radioaktif adalah:

a. Bahwa perbuatan pemberian terapi dengan zat radioaktif merupakan

tindakan yang mempunyai lingkup terbatas dan tertentu (hanya rumah sakit

yang mempunyai unit radioterapi);

b. Bahwa perbuatan yang dilakukan dalam pemberian terapi bila menyebabkan

kerugian nuklir baik bagi pasien, masyarakat maupun lingkungan hidup

merupakan tindakan yang dilarang tegas oleh undang-undang berdasarkan

UU PLH dan UU Ketenaganukliran;

c. Bahwa perbuatan pemberian terapi dengan zat radioaktif yang dilakukan

tersebut sangat potensial mendatangkan bahaya terhadap kesehatan

masyarakat dan lingkungan bila dilakukan dengan kurang hati-hati atau

ceroboh;

d. Bahwa perbuatan yang dilakukan tersebut tidak dilakukan sesuai standar

pelayanan rumah sakit dalam prosedur pemberian terapi dengan

menggunakan zat radioaktif.

2. Pertanggungjawaban Berdasarkan Asas Vicarious Liability

Berikut akan diuraikan secara lebih detail tentang

pertanggungjawaban pidana berdasarkan asas vicarious liability sebagai

berikut:

Page 190: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

182

Pertama, Pengertian Asas Vicarious Liability.

Pengertian vicarious liability dikemukakan oleh para ahli hukum diantaranya

adalah:

a. “Vicarious liability consist of the imposition of criminal liability upon a

person by virtue of the commission of an offence by another, or by virtue

of the possession of a given mens rea by another, or by reference to bith of

these matters”262

(pertanggungjawaban pengganti adalah pengenaan pertanggungjawaban

pidana terhadap seseorang berdasarkan atas perbuatan pidana yang

dilakukan oleh orang lain, atau berdasarkan atas kesalahan orang lain, atau

berkenaan dengan kedua masalah tersebut).

b. "A vicarious liability is one where in one person, though without

personal fault, is more liable for the conduct of another” 263

(pertanggungjawaban pengganti adalah sesuatu dimana seseorang,

tanpa kesalahan pribadi, bertanggung jawab atas tindakan orang lain).

c. "Vicarious liability is inderect legal responsibility, the liability of an

employer for the acts of an employee, or a principal for torts and contract

of an agent”264

(pertanggungjawaban pengganti adalah pertanggungjawaban hukum

secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas tindakan dari

pekerja, atau pertanggungjawaban principal terhadap tindakan suatu agen

dalam suatu kontrak).

d. "Under the doctrine of vicarious liability, however, one party (A) who may

be innocent of any personal fault, may under certain circumstances, be

held liable for the liability-producing acts of another (B)"265

(menurut doktrin vicarious liability, pihak lain (A) melakukan kesalahan,

akan tetapi tanggung jawab produk ada pada pihak lain (B).

262 .Peter Giilies, hal.109.263 .Wayne R. La Faye, Op. Cit., hal,223.264 .Henry Campbell, Blaks Law Dictionary, (St. Paul Minn: West Publishing Co, 1979),

hal.104.265 .Joseph H.King JR, OpCit,, hal.231.

Page 191: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

183

Dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut di atas dapat disimpulkan

bahwa vicarious liability adalah pertanggungjawaban menurut hukum seseorang

atas perbuatan yang dilakukan oleh orang lain. Kedua orang tersebut harus

mempunyai hubungan yaitu hubungan atasan dan bawahan atau hubungan

majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan yang dilakukan oleh

pekerja tersebut harus masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Secara

singkat model pertanggungjawaban itu sering disebut pertanggungjawaban

pengganti.

Senada dengan pendapat di atas menurut Romli Atamasasmita yang

menyatakan vicarious liability adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang

dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Pertanggungjawaban

demikian misalnya terjadi dalam hal perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh

orang lain itu ada dalam ruang lingkup jabatannya.

Jadi pada umumnya terbatas pada kasus-kasus yang menyangkut

hubungan antara majikan dengan buruh, pembantu atau bawahannya. Dengan

demikian dalam pengertian vicarious liability ini, walaupun seseorang tidak

melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam

arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan.266

Roeslan Saleh dalam bukunya mengakui adanya vicarious liability

sebagai pengecualian dari asas kesalahan. Roeslan Saleh berpendapat bahwa

pada umumnya seseorang bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri. Akan

tetapi ada yang disebut vicarious liability dimana seseorang bertanggung jawab

atas perbuatan orang lain. Aturan undang-undanglah yang menetapkan siapa-

siapakah yang dipandang sebagai pelaku yang bertanggung jawab.267

Kedua, Penerapan Asas Vicarious Liability Dalam

Pertanggungjawaban Rumah Sakit.

Vicarious liability ini berlaku hanya terhadap jenis tindak pidana tertentu

266 ,Barda Nawawi Arief, Masalah Pernidanaan, Op.Cit., hal.111.267 .Roeslan Saleh,Suatu Reorientasi Dalam Hukum Pidana. (Jakarta: Aksara Baru. 1983),

hal.32.

Page 192: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

184

menurut hukum pidana Inggris. Vicarious liability hanya berlaku terhadap:268

1. Delik yang mensyaratkan kualitas;

2. Delik yang mensyaratkan adanya hubungan antara buruh dan majikan.

Pertanyaan yang dapat dikemukakan berkaitan dengan pemberian terapi

dengan zat radioaktif adalah apakah asas vicarious liability dapat diterapkan

dalam pertanggungjawaban rumah sakit?

Dalam prosedur pemberian terapi di sebuah rumah sakit, biasanya yang

terkait dalam pemberian terapi antara lain tenaga kesehatan yang terdiri dari:

dokter radioterapi, penata rontgen, dan kepala bagian radioterapi.

Secara t r ad i s iona l konsep i tu te lah d iper luas terhadap suatu

situasi dimana pengusaha bertanggung jawab terhadap perbuatan pidana yang

dilakukan oleh pegawainya dalam ruang lingkup pekerjaannya. Tanggung jawab

yang dipikul oleh majikan itu dapat terjadi satu diantara tiga hal sebagai

berikut:269

a. Peraturan perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan

pertanggungjawaban suatu kejahatan secara vicarious;

b. Pengadilan telah mengmbangkan doktrin pendelegasian dalam

kasus pemberian lisensi. Doktrin itu berisi tentang

pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan oleh

orang lain, apabila ia telah mendelegasikan kewenangannya menurut

undang-undang kepada orang lain itu. Jadi harus terdapat prinsip

pendelegasian;

c. Pengadilan dapat menginterpretasikan kata-kata dalam undang-undang

sehingga tindakan dari pekerja atau pegawai dianggap sebagai tindakan dari

pengusaha.

Ada dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu

perbuatan pidana dengan vicarious liability, yaitu:270

a. Harus terdapat suatu hubungan seperti hubungan pekerjaan antara majikan

268 .Romly Annasasinita, Op.Cit., hal. 94.269 .C.M.V. Clarkson, Understanding Criminal Law. Op.Cit., hal. 44.270 .Marcus Fletcher, Alevel Principles of English Law, (British Goverment: HLT Publ,

1990), hal.194.

Page 193: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

185

dengan pegawai atau pekerja;

b. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja tersebut

harus berkaitan atau masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Dalam pemberian terapi di suatu rumah sakit dapat

dikelompokkan beberapa tenaga kesehatan yang terkait dengan

prosedur penyinaran dengan menggunakan zat radioaktif adalah penata

rontgen, dokter radioterapi yang menangani prosedur penyinaran, kepala

bagian radioterapi, sampai dengan direktur rumah sakit.

A ga r r u ma h s a k i t d a pa t d ip e r t an g gu ng j aw ab kan berdasarkan

asas vicarious liability, dengan memperhatikan pendapat Marcus Fletcher tersebut

di atas, harus memenuhi syarat-syarat:

a. B a h w a d a l a m p r o s e d u r p e mb e r i a n t e r a p i d e n g a n

menggunakan zat radioaktif di suatu rumah sakit harus terdapat

hubungan pekerjaan antara penata rontgen, dokter radioterapi, serta

hubungan pekerjaan yang lebih tinggi antara tenaga kesehatan dengan

pihak pimpinan di sebuah rumah sakit tersebut;

b. Bahwa perbuatan pidana yang dilakukan oleh penata rontgen atau dokter

radioterapi (tenaga kesehatan di bidang radioterapi) harus berkaitan atau

masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Apabila kita cermati kedua syarat tersebut agar rumah sakit dapat

dipertanggungjawabkan, harus memenuhi kedua syarat tersebut di atas.

Bagaimana jika perbuatan yang dilakukan oleh pegawai bukan dalam ruang

lingkup pekerjaannya?

Jika perbuatan yang dilakukan oleh seorang pegawai di luar ruang lingkup

pekerjaan, maka seorang pegawai yang melakukan perbuatan tersebut tetap

harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dalam kaitan itu Smith and

Brian Hogan memberi contoh kasus Huggin. Huggin adalah kepala penjara,

tanpa sepengetahuan Huggin seorang pegawai penjara telah membunuh salah

seorang penghuni penjara tersebut. Pada mulanya Huggin dituduh ikut

bertanggung jawab. Namun oleh pengadilan dia dibebaskan dengan alasan

Page 194: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

186

bahwa perbuatan pegawai itu di luar lingkup pekerjaannya.271

Dalam pemberian terapi, jika seorang penata roengten atau dokter

radioterapi melakukan perbuatan di luar ruang lingkup pekerjaannya maka kepala

bagian radioterapi atau direktur sebuah rumah sakit tidak dapat dipertanggung

jawabkan berdasarkan vicarious liability.

Disamping kedua syarat tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Marcus

Fletcher, maka dalam menerapkan vicarious liability, yaitu prinsip pendelegasian

dan prinsip perbuatan buruh. merupakan perbuatan majikan. Prinsip

pendelegasian sangat penting dalam penerapan asas pertanggungjawaban pidana

berdasarkan asas vicarious liability yang antara lain meliputi:

a. Prinsip Pendelegasian (The Delegation Principle)

Prinsip pendelegasian itu berkaitan dengan pemberian izin kepada seseorang

untuk melakukan pekerjaan sesuai kewenangan ang diberikan oleh si pemberi

delegasi. Jika si penerima delegasi itu melakukan perbuatan melawan hukum,

maka pemberi delegasi bertanggung jawab atas perbuatan penerima delegasi

tersebut. Contoh kasus mengenai prinsip pendelegasian ini adalah sebagai

berikut:

a. X adalah seorang dokter umum. Dan Y adalah seorang perawat.

Dokter memberikan delegasi kepada perawat untuk menyuntikkan

seorang pasien dengan anti histamin dengan dosis tertentu. Ternyata

jumlah dosis yang diberikan oleh perawat tidak sesuai dengan dosis

yang seharusnya dinstruksikan oleh dokter (X);

b. X adalah seorang dokter radioterapi. Y adalah seorang koas spesialis

radioterapi. Dalam penghitungan dosis, X melimpahkan kewenangannya

kepada Y, sehingga terjadi kesalahan dalam penghitungan dosis yang

menyebabkan kelebihan dosis dalam pemberian terapi yang dilakukan oleh

seorang penata rontgen.272

Contoh kasus yang menarik mengenai tidak terdapat pendelegasian untuk

menerapkan vicarious liability dapat dikemukakan sebagai berikut:

271 .Smith & Hogan, Op.Cit., hal.140-141.272 .Joseph H.King ,JR, The Law of Medical Malpractice, Op. Cit., hal.23 3.

Page 195: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

187

"Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman

beralkohol hanya dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan.

Pelayanan menjual minuman .tersebut kepada seseorang yang tidak

memesan makanan. Pemegang lisensi didakwa melanggar Pasal 22 ayat

(1) Licensing Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual minuman

beralkohol. Pemegang lisensi tidak mengetahui mengenai tindakan

pelayan tersebut. Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah

Agung menerima pembelaan pemegang lisensi sehingga majikan tidak

dipidana.

Putusan Mahkamah Agung tersebut dinilai tepat karena dalam kasus itu

tidak terdapat adanya pendelegasian. Perbuatan itu dilakukan oleh pelayan

yang sebenarnya diberi petunjuk oleh majikan agar tidak menjual minuman

beralkohol kepada orang yang tidak memesan makanan. Jelas dalam kasus

seperti itu tanggung jawab ada pada pelayan itu sendiri.

Berkaitan dengan prinsip pendelegasian itu, hal yang penting untuk

diingat adalah bahwa prinsip ini membutuhkan adanya mens rea. Artinya

perbuatan melawan hukum itu dilakukan dengan kesalahan oleh penerima

delegasi. Jadi kalau tidak ada kesalahan prinsip pendelegasian itupun juga

tidak dapat diberlakukan.

b. Tindakan pegawai adalah tindakan majikan (The servant's Acts is the

Master's Act in Law)

Dengan mencermati ketentuan Pasal 2E UU No.10 tahun 1997 tentang

ketenaganukliran, yang menyatakan:

"Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir

yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir

yang terjadi dalam instalasi nuklir tersebut".

Selanjutnya pada penjelasan Pasal 28 tersebut menyatakan:

"Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung jawab

dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan

Page 196: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

188

demikian, tidak ada pihak lain yang dapat diminta selain pengusaha instalasi

nuklir itu".

Dari Pasal 28 beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa

meskipun tindakan yang dilakukan oleh pegawai atau pekerja instalasi

nuklir, yang dalam hal pemberian terapi dilakukan oleh tenaga medis dan

paramedis maka pengusaha instalasi (rumah sakit) tetap bertanggung jawab

terhadap tindakan pegawainya.

Selanjutnya Pasal 11 Peraturan Pemerintah No.64 tahun 2000 tentang

Perizinan Pemanfaatan Tenaga Nuklir, menyatakan:

"Pemegang izin bertanggung jawab atas kerugian yang timbul akibat pemanfaatan

tenaga nuklir".

Dari ketentuan Pasal 11 PP tersebut, dapat disimpulkan bahwa

apabila seorang penata roengten atau dokterspesialis rasioterapi dalam

memberikan penyinaran melakukan tindakan medis tidak sesuai prosedur yang

berlaku yang mengakibatkan kerugian nuklir bagi pasien maka pemegang izin

dalam hal ini pihak rumah sakit dapat dimintai tanggung jawab. Dengan kata lain

tindakan medis dari pegawai di bagian radioterapi merupakan tindakan majikan.

Perkembangan konsep korporasi sebagai subjek perbuatan pidana

merupakan akibat perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dalam

menjalankan aktivitas usaha. Pada masyarakat yang masih sederhana,

kegiatan usaha cukup dijalankan secara perorangan. Dalam perkembangan

masyarakat yang terjadi, timbul kebutuhan untuk mengadakan kerjasama

dengan pihak lain dalam menjalankan usaha. Beberapa hal menjadi faktor

pertimbangan untuk mengadakan kerjasama antara lain terhimpunnya modal

yang lebih banyak. Tergabungnya ketrampilan dalam suatu usaha jauh lebih

baik dibandingkan dengan dijalankan seorang diri, dan mungkin atas

pertimbangan dapat membagi resiko kerugian.273

Dalam bidang hukum pidana, keberadaan suatu badan hukum atau badan

usaha yang menyandang istilah korporasi diterima dan diakui sebagai subjek

273 .Rudy Prasetya, "Perkembangan Korporasi dalam Proses Modenisasi", Makalah Seminar Nasional Kejahatan Korporasi. (Semarang: FH UNDIP, 23-24 Noll:Alba, 1989), hal.3.

Page 197: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

189

hukum yang dapat melakukan tindak pidana serta dapat pula dipertanggung

jawabkan. Dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia, ada tiga sistem

pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek hukum pidana, yaitu:274

a. Pengurus korporasi yang berbuat, maka penguruslah yang bertanggung

jawab;

b. Korporasi sebagai pembuat, maka pengurus yang bertanggung jawab;

c. Korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggung jawab.

Penyelenggaraan rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang ada, dapat dilakakan baik oleh pemerintah ataupun swasta. Kiranya sudah

tidak perlu diragukan lagi mengenai fungsi rumah sakit dalam masyarakat sebagai

subsistem.

3. Sifat Dasar Pertanggungjawaban Rumah Sakit

Fungsi rumah sakit dari segi medis yang merupakan tempat praktek medik,

jelas nampak dari perumUsan yang diberikan oleh Philip D.Bonnet, N.D.275

sebagai: “…an istitution providing medical care and other services for sick and

injured persons". Untuk itu maka ada beberapa tipe rumah sakit yang pada

dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga hal yang prinsipil, yaitu :276

a. yang didasarkan pada kepemilikannya (ownership);

b. yang didasarkan pada lamanya waktu tinggal (length of stay) ;

c. yang didasarkan pada jenis pelayanan yang diberikan (type of service

provided).

Berdasarkan pelayanan yang diberikan dapat dibedakan atas rumah sakit

umum dan rumah sakit khusus. Pengertian rumah sakit umum yaitu, rumah

sakit yang memberikan pelayanan kesehatan semua jenis penyakit dari yang

bersifat dasar sampai dengan spesialistik. Sedangkan rumah sakit khusus hanya

menyelenggarakan pelayanan kesehatan berdasarkan jenis penyakit tertentu

atau disiplin ilmu tertentu.

274 .Mardjono Reksodiputro, Tindal( Pidana Korporasi dan Pertanggungjawabannya, (Jakarta: Pusal Pelayanan Keadilan dan Hukum UI, 1994), lia1,72.

275 .Encyclopedia America, International Edition, hal .437.276 ,Hermin Hadiati K. Beberapa Permasalahan Huktun dan Medik, Op.Cit., hal. 67.

Page 198: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

190

Pertanggungjawaban rumah sakit ini dapat dibedakan dalan dua hal yaitu

berdasarkan doktrin strict liability dan vicarious liability. Pertanggungjawaban

rumah sakit berdasarkan asas strict liability dapat dibedakan karena defective

products dan injuries suffered by the patients.277

Sifat dasar dari pertanggungjawaban rumah sakit dapat dikemukakan

sebagai berikut:278

a. Hospital equipment, supplies, medication and food (peralatan rumah sakit,

persediaan, pengobatan dan makanan);

Menurut sifat dasar ini rumah sakit bertanggung jawab terhadap

peralatan yang dipergunakan, persediaan obat dan makanan yang

memadai sesuai standar pelayanan yang baik.

b. Hospital environment (lingkungan rumah sakit);

Lingkungan rumah sakit yang harus diperhatikan, karena lingkungan rumah

sakit yang sehat akan sangat berpengaruh terhadap upaya penyembuhan

penyakit pasien.

c. Saftey procedure (prosedur yang aman);

Rumah sakit harus melakukan prosedur-perosedur operasional yang

berkaitan dengan pelayanan medis yang dilakukan memberikan rasa aman

kepada pasien dengan peralatan yang baik dan standar.

d. Selection and retention of employees and conferral of staff previlages

(seleksi dan kemampuan pekerja serta memberikan perlindungan kepada

staff);

Rumah sakit melakukan seleksi kepada pekerja berdasarkan kemampuan

sehingga memberikan pelayanan kesehatan yang baik. Disamping rumah

sakit harus memberikan perlindungan kepada pegawainya yang telah

melaksanakan kewajibannya dengan memberikan pelayanan medis

dengan baik.

e. R e s p o n s i b i l i t y f o r s u p e r v i s i o n o f p a t i e n t c a r e (bertanggung

jawab untuk mengawasi perawatan pasien);

277 .Jospeh H.King, JR, the Law of Medical Malpractice. Op.Cil., hal.304.278 .Ibid., hal. 310-317.

Page 199: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

191

Rumah sakit bertanggung jawab dengan melakukan pengawasan terhadap

berbagai tindakan medis dalam rangka perawatan terhadap pasien.

Tugas rumah sakit adalah memberikan pelayanan kesehatan dengan

mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan

cacat badan dan jiwa yang dilakukan secara terpadu dengan upaya

peningkatan dan pencegahan serta melakukan upaya rujukan.

Untuk memperjelas mengenai pertanggungjawaban rumah sakit, perlu

dikemukakan beberapa kasus antara lain:

1) Keputusan pidana Arrondissementsrechbank Leeuwarden, 23 Desember 1987

Ringkasan kasusnya adalah:

"Seorang anestesis dipersalahkan telah mengakibatkan matinya seorang

pasien, karena memakai obat narkose yang rusak. Anestesi dianggap tidak

hati-hati. Terdapat hubungan kausal. antara pemakaian alat yang rusak

dengan matinya pasien. Ia dijatuhi hukuman bersyarat 6 bulan. Penyeledikan

yang dilakukan memberikan gambaran bahwa pada pembetulan alat narkose

tersebut telah dilakukan penggantian 2 buah nippel. Oleh hakim dikatakan

bahwa seorang anestesi harus bertanggung jawab, tidak saja pada saat

dipakainya alat tersebut, tetapi harus yakin bahwa pembentulan itu

dilakukan dengan baik. Syarat mutlak pada pemberian narkose bahwa alat

pengamannya juga harus bekerja dengan baik. Selain itu rumah sakitpun

dijatuhi hukuman denda karena dianggap bersalah telah mengakibatkan

matinya seorang pasien. Dianggap tidak cukup hati-hati dalam

mengusahakan pemeliharaan dan pengamanan dari alat narkosa yang

dipakai di rumah sakit itu”.279

2) Woodhouse v. Knickerbocker Hospital, 39 N.Y.S.2d 671, 1943

Ringkasan kasusnya adalah :

“ Rumah sakit yang memberikan peralatan yang rusak bertanggung jawab

terhadap pasien jika sampai cidera karenanya. Demikian pula perawat yang

mempergunakan peralatan yang rusak, bertanggung jawab terhadap

279 .J Guwandi, Malpraktek Medik, (Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 1993), hal.59.

Page 200: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

192

pasiennya. Berdasarkan latihan dan pengalaman mengenai peralatan, para

perawat mengetahui apakah peralatannya memenuhi standar ataukah tidak".280

3) Darling v. Charleston Community memorial Hospital, 1965

"Kasus Darling adalah suatu Landmark decision yang diputuskan pada tahun

1965. Menjadi sangat terkenal dalam kaitannya dengan kasus malpraktek

medik, karena secara radikal telah merubah pendapat-pendapat yang dianut

sebelumnya. Pada keputusan ini fokusnya tidak lagi secara ekslusif dipusatkan

kepada dokternya, tetapi memperluas tanggung jawab rumah sakit. Ini apa

yang dinamakan suatu konsep tentang corporate liability for all malpractice

committed within hospital walls”.

Duduk perkaranya:

Pada tanggal 5 november tahun 1960 seorang mahasiswa berumur 18

tahun mengalami patah kaki sewaktu bermain sepak bola. Ia dibawake unit

gawat darurat Charleston Hospital dan ditangani oleh dr. Alexander, seorang

dokter jaga bukan pegawai rumah sakit. Terhadap pasien dilakukan traksi dan

dipasang gips. Namun setelah selesai pasien mengalami kesakitan hebat dan

jari kakinya menjadi bengkak dan berwarna gelap. Tak lama kemudian jari

tersebut menjadi dingin dan tidak terasa.

Pada tanggal 6 november, dr Alexander memberi insisi gips sekeliling jari

kaki dan esok sorenya memotong gips tersebut tiga inchi dari jari kaki. Pada

tanggal 8 november, gips itu dibelah dengan gergaji stryker. Para perawat melihat

selain darah juga terdapat jaringan kental lain yang sangat berbau busuk. Pasien

dirawat terus di rumah sakit tersebut.

Baru pada tanggal 19 november, akhirnya pasien dirujuk ke Barnes

Hospital. Menurut dokter ahlinya terdapat gangguan sirkulasi darah dan

perdarahan disebabkan karena konstruksi pemasangan gips. Akhirnya kaki itu

harus diamputasi 8 inchi di bawah lutut.

Orang tua pasien menuntut RS Charleston karena dianggap bertanggung

jawab atas tindakan dr Alexander yang ditugaskan menjaga unit gawat darurat,

280 .Ibid., hal. 65.

Page 201: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

193

yaitu karena tidak merujuk pasien kepada dokter yang lebih ahli dan tidak

dilaksanakan prosedur sebagaimana mestinya di suatu rumah sakit.

Keputusan kasus Darling ini kemudian diikuti oleh keputusan-keputusan

hakim berikutnya di dalam masalah yang menyangkut rumah sakit. Sejak kasus

ini maka yang pertama-tama dimintakan pertanggungjawaban terlebih dahulu

adalah rumah sakitnya.281

Dalam konteks hukum kedokteran, doktrin corporate liability ini mulai

timbul dalam penerapannya kepada rumah sakit, sehingga timbul doktrin hospital

liability. Dimana menurut doktrin ini sebuah rumah sakit dapat dimintakan

tanggung jawab terhadap adanya kerugian yang ditimbulkan oleh orang-orang di

bawah perintahnya seperti dokter organik, perawat, bidan, tenaga penata rontgen

serta karyawan lainnya yang sampai menimbulkan kerugian kepada pihak pasien.

Dasar pemikiran mengapa rumah sakit dapat dimintai tanggung jawab

adalah bahwa seorang pasien yang datang ke suatu rumah sakit tidak akan tahu

apakah dokter itu adalah dokter organik atau bukan. Selain itu kepada rumah

sakit juga dibebankan kewajiban untuk memberikan pelayanan kesehatan yang

baik (duty of due care) dengan akibat bahwa kepala rumah sakit sebelum

menerima seorang tenaga kesehatan harus mengadakan seleksi dalam

pembuatan kontrak.

Di sebuah rumah sakit apabila seorang pasien diberikan obat atau

peralatan yang rusak (devective) tetapi oleh sang produsen tidak diketahui,

maka tanggung jawab beralih dari produsen kepada rumah sakit yang harus

mengganti kerugian. Hal ini disebabkan karena berdasarkan hospital liability

sebuah rumah sakit harus mengadakan pemeliharaan (maintenance) dari

peralatan-peralatan medik yang dipergunakan. Hal ini biasanya dilakukan oleh

suatu bagian yang dinamakan elektromedik.

Dalam pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif, berdasarkan

Pasal 30 PP No.63 tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan Terhadap

Pemanfaatan Radiasi Pengion maka pengusaha instalasi wajib melakukan

kalibrasi keluaran radiasi peralatan radiasi secara berkala. Apabila kalibrasi

281 .Ibid., hal. 67.

Page 202: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

194

tersebut tidak dilakukan dan kemudian peralatan tersebut tetap dipergunakan

oleh tenaga radioterapis yang akhirnya menyebabkan kerugian nuklir baik

cacat fisik atau bahkan meninggalnya pasien maka rumah sakit dapat

dipertanggungjawabkan.

Dengan memperhatikan pendapat Joseph H.King, tentang dua sistem

pertanggungjawaban korporasi, maka rumah sakit yang menyelenggarakan

pelayanan radioterapi yang dapat mengakibatkan kerugian kepada pasien dapat

di konstruksikan sebagai berikut:

Pertama, Pertanggungjawaban berdasarkan vicarious liability

Doktrin ini mengandung inti, bahwa seorang majikan bertanggungjawab

atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang

berada di bawah pengawasannya. Latar belakang dasar pemikiran ini adalah

bahwa tak akan mungkin atau setidak-tidaknya sangat sulit untuk memperoleh

ganti kerugian kepada karyawan tersebut.

Dalam konteks hukum kedokteran, doktrin vicarious liability ini timbul

secara khusus dalam doktrin chaptain of the ship yang berlaku terhadap dokter

spesialis radioterapi yang melakukan prosedur pemberian terapi dengan zat

radioaktif di suatu rumah sakit. Ia dianggap bertanggung jawab atas kesalahan

atau kelalaian para staf pembantunya, termasuk penata rontgen dan perawat.

Dalam hal ini penata rontgen sebagai borrowed servant kepada dokter spesialis

radioterapi tersebut, walaupun penata rontgen secara struktural adalah tenaga

organik yang digaji oleh rumah sakit.

Kedua, Pertanggungjawaban berdasarkan strict liability

Doktrin ini mengandung inti bahwa pertanggungjawaban tanpa

memperhatikan adanya kesalahan dari pelaku, yang paling penting bahwa

tindakan yang dilakukan itu menimbulkan bahaya bagi pasien.

Rumah sakit juga dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan asas ini apabila

dalam prosedur pemberian terapi peralatan yang dipergunakan tidak dalam

keadaan standar, sehingga pemberian terapi yang dilakukan oleh tenaga kesehatan

di bidang radioterapi dapat menyebabkan kerugian nuklir kepada pasien tanpa

Page 203: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

195

memperhatikan adanya kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di bagian

radioterapi tersebut.

4. Pengaturan Pertanggungjawaban Rumah Sakit di Bidang Radioterapi

Dalam Perundang-undangan Indonesia

Penyelenggaraan rumah sakit sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang ada, dapat dilakukan baik oleh pemerintah ataupun swasta. Sesuai tugas

rumah sakit dalam melaksanakan pelayanan kesehatan maka rumah sakit harus

mengutamakan kegiatan penyembuhan penderita dan pemulihan keadaan cacat

badan dan jiwa yang dilakukan secara terpadu dengan upaya peningkatan

(promotif) dan pencegahan (preventif) serta melakukan upaya rujukan.

Salah satu bentuk upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah

pemberian terapi dengan menggunakan zat radioaktif. Sebelum prosedur

pemberian terapi dilakukan, maka pihak rumah sakit yang dalam hal ini unit

radioterapi terlebih dahulu harus meminta persetujuan pasien atau keluarga

pasien yang diberikan secara tertulis.

Rumah sakit sebagai suatu institusi yang menyelenggarakan pelayanan

kesehatan pada dewasa ini, yang sarat dengan persaingan harus senantiasa

berbenah diri dalam meningkatkan kualitas pelayanannya. Kondisi tersebut

apabila tidak didukung oleh peralatan dan sumber daya manusia akan dapat

menimbulkan masalah yaitu adanya kerugian nuklir yang diterima pasien akibat

penggunaan terapi dengan zat radioaktif tersebut.

Setelah kita mengetahui bahwa rumah sakit dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana pada uraian bab-bab sebelumnya. Pertanyaan yang

dapat dikemukakan, bagaimanakah peraturan perundang-undangan Indonesia

mengatur tentang dasar hukum pertanggungjawaban pidana rumah sakit dalam

pemberian terapi dengan zat radioaktif yang menimbulkan kerugian kepada

pasien?

Pertanggungjawaban pidana rumah sakit dalam peraturan perundang-

undangan di Indonesia antara lain dapat diuraikan sebagai berikut:

Page 204: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

196

Pertama, Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan UU No.8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa :

"Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang

berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara RI,

baik sendiri maupun bersama-sama melui perjanjian menyelnggarakan

kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi".

Selanjutnya Pasal 1 angka 7 menyatakan:

"Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang

disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen".

Dari bunyi kedua pasal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah

sakit yang memberikan pelayanan di bidang radioterapi dapat dikelompokkan

sebagai pelaku usaha yang berbentuk badan hukum. Dengan demikian apabila

rumah sakit yang memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi dengan

menggunakan zat radioaktif menyebabkan kerugian kepada pasien berupa luka

berat, cacat tetap atau kematian, maka rumah sakit dapatdipertanggungjawabkan

secara pidana.

Pasal 19 ayat (4) menyatakan:

"Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) dan ayat (2)

tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan

pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan".

Disamping berdasarkan Pasal 19 ayat (4) tersebut di atas, maka

pertanggungjawaban pidana rumah sakit dapat didasarkan Pasal 61 dan Pasal 62

ayat (3).

Pasal 61 menyatakan:

"Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau

pengurusnya".

Pasal 62 ayat (3) menyatakan:

"Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap,

Page 205: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

197

atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku".

Berdasarkan ketentuan Pasal 19 ayat (4), Pasal 61, dan Pasal 62 ayat (3)

memberikan dasar hukum bahwa pelaku usaha (rumah sakit) dapat dimintai

pertanggungjawaban pidana.

Kedua, Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan UU No.32 tahun

2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup

Apabila kita ingin mengetahui pertanggungjawaban pidana rumah sakit,

maka salah satu pijakan yang menjadi dasar hukum adalah Undang-undang

Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No.32 tahun 2009).

Pasal 99 ayat (1) menyatakan:

"Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku

mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat

1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan paling sedikit Rp.

1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp.

3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)".

Selain Pasal 99 ayat (1) terkait dengan larangan perbuatan pidana juga

diatur dalam Pasal 99 ayat (2) s/d Pasal 115 UU PLH. Apabila tindak pidana

sebagaimana Pasal 99 s/d Pasal 115 dilakukan oleh, untuk atau atas nama

korporasi, maka badan usaha tersebut dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

Pasal 116 ayat (1) UUPLH, dinyatakan bahwa:

“Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk atau atas

nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:

a. badan usaha; dan/atau

b. orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut

atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak

pidana tersebut”.

Selanjutnya Pasal 116 ayat (2) UUPLH, dinyatakan bahwa:

“Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana yang dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau

Page 206: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

198

berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,

sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam

tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut

dilakukan secara sendiri – sendiri atau bersama – sama”

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa rumah

sakit yang memberikan pelayanan medis di bidang radioterapi dengan

menggunakan zat radioaktif dapat dimintai pertanggungjawaban pidana bila

menimbulkan kerugian kepada pasien.

Ketiga, Pertanggungjawaban Pidana Berdasarkan UU No.10 tahun

1997 tentang Ketenaganukliran

Pasal 1 angka 17 UU No.10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran,

menyatakan:

"Pengusaha instalasi nuklir adalah orang perseorangan atau badan hukum yang

bertanggung jawab dalam pengoperasian instalasi nuklir".

Selanjutnya Pasal 28 menyatakan bahwa:

"Pengusaha instalasi nuklir wajib bertanggung jawab atas kerugian nuklir yang

diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang terjadi

dalam instalasi nuklir tersebut".

Penjelasan Pasal 28 tersebut menyatakan:

"Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggung,jawab hanya

dibebankan kepada satu pihak yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dalam sistem

tanggung jawab mutlak, untuk menerima ganti rugi pihak ketiga yang menderita

kerugian nuklir tidak dibebani beban pembuktian ada atau tidaknya kesalahan

pengusaha instalasi nuklir".

Ketentuan kedua pasal tersebut di atas apabila dikaitkan dengan ketentuan

Pasal 44, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan zat radioaktif untuk keperluan

terapi yang dapat menimbulkan kerugian nuklir kepada pasien maka rumah sakit

dapat dimintai pertanggungjawaban.

Pasal 44 menyatakan:

"(1) Barangsiapa. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketentuan

Page 207: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

199

Pasal 24 ayat (2) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat tinggi dipidana

dengan penjaran paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak

Rp.300.000.000.

(2) Barangsiapa melakukan perbuatan yang bertentangan dengan Pasal 24 ayat

(1) untuk penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang

dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp.100.000.000".

Mengingat pengusaha instalasi juga termasuk badan hukum, maka

ketentuan Pasal 44 ini juga dapat diberlakukan terhadap rumah sakit yang

memberikan terapi dengan zat radioaktif yang menyebabkan kerugian nuklir

kepada pasien.

Page 208: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

200

Page 209: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

201

DAFTAR PUSTAKA

Achadiat, Crisdiono.M. Pernik-Pernik Hukum Kedokteran. Cet.2. Jakarta:Widya

Medika, 1986.

Abidin, Zamhari. Pengertian dan Asas Hukum Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia,

1986.

Ameln, Fred. Kapita Selekta Hukum Kedokteran. Jakarta: PT.Grafikatama Jaya,

1991.

Arief, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Cet.2. Jakarta: PT. Raja

Grafika Persada, 1994.

Afrian, Wiwik. :Pelacuran, Aborsi dan Etika Kebebasan," Jayakarta (30-april

1986).

Bakri, Abdullah. Kapita Selekta Hukum Medik. Bandung: Fakultas Hukum

Unisha, 1998.

Bayles, M.D. Profesional Ethics. Belmont: Wadsworth Inc, 1981.

Brody H. The Phisiciari-Patient Relationship, in Veath RM: Medical Ethics

Boston: Jones and Barlett Publ, 1997.

Darry R, FurLow. Liability and Quality Issues in Health Care. Minnesota: West

Publ, Co., 1991.

Brown, Kent Louis. Medical Problems and The Law. Illionis: Charles C.Thomas

Publisher, 1971.

Burton, Arthur W. Medical Ethics and The Law. Australian: Australian Medical

Publishing, 1979.

Departemen Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan Tentang Rumah Sakit,

Permenkes No.159b tahun 1988.

Flarcher, Marcus. A-Level Principle of English Law. London: HLT Publication,

1990.

Giilies, Peter. Criminal Law. Sidney: The Law Book company, 1990.

Guwandi, J. Malpraktek Medis. Jakarta: Fakultas Kedokteran Uhiversitas

Indonesia, 1993.

___________. Dokter, Pasien dan Hukum. Jakarta : Fakultas Kedokteran

Page 210: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

202

Universitas Indonesia, 1994.

__________. Kelalaian Medik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia, 1994.

__________. Tindakan Medik dan Tanggung Jawab Produk Medik. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993.

Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Arikha Media Cipta,

1993.

___________. Peranan Keterangan Ahli Dalam Perkara Pidana. Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1986.

___________. Pembuktian Perkara Pidana Dalam Pengadilan. Jakarta: Ghalia

Indonesia, 196.

___________. Asas-asas Hukum Pidana. Cet. 2. Jakarta : PT. Rineka Cipta,

1994.

Human Rights and Professional Responsibility of Phisician Document of

International Organitation. The Word Phisichiatric Association, 1994.

Hardjasoemantri, Kosnadi. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1999.

H.King, Joshep, JR. The Law of Medical Malpraktice. St. Paul, Minn: West

Publishing Co, 1986.

Hadiati, Hermin. Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik. Bandung: PT.Citra

Aditya Bakti, 1992.

Hanafi. Penerapan Instrumen Hukum Pidana Dalam Konteks Penegakan Hukum

Lingkungan. Laporan Penelitian. Jakarta: Universitas Indonesia, 1996.

_______. Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana. Hasil

Penelitian. Yogyakarta: UII, 1997.

Hetrik, Hamzah. Asas Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana.

Jakarta: Pt.Raja Grafindo Persada, 1996.

Hart, H.L.A. Punishment and Responsibility: Essay in The Pilosophy of Law.

Oxford: Oxford University Press, 1968.

Indonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No.23, LN No.100 tahun

1992, TLN No.3495.

Page 211: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

203

_________. Undang-Undang Tenaga Kesehatan, UU No. 32, LN No.49,

TLN No.3637.

King, Joseph. The Law of Medical Practice in Nuthsell. Minnesota: West Pbl,Co.,

1986.

Kerbala, Husein. Segi-Segi Etis Dan Yuridis Informed Consent. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 1993.

Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana. Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa.

Lamintang, PAF. Dasar-Oasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru,

1990.

LaFave, Wayne R and Austin w. Scott Jr. Handbook on Criminal Law. America:

Publishing, 1972.

Robert M, Veatch. Medical Ethics. Massachusets: Jones and iBarhter Publ, 1989.

Mardjono, Reksodiputro. Kemajuan Pembangunan Ekonomi dan Kejahatan.

Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Hukum Universitas Indonesia,

1994.

_________. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Pusat Pelayanan

Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. Teori dan Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:

Alumni, 1992.

Moejatno. Asas-asas Hukum Pidana. Cet.2. Jakarta: PT Bina Akasara, 1984.

________. Atas Dasar Apakah Hendaknya Hukum Pidana Dibangun. Cet.3.

Yogyakarta:Al-Hikmah, 1985.

Sianturi, SR. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:

Alumni, 1989.

Sudarto. Perbandingan Hukum Pidana Indonesia. Unclip: Badan Penyediaan

Bahan Kuliah, 1981.

Saleh, Roeslan. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:

Aksara Baru, 1983.

__________. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta:

Aksara Baru, 1983.

__________. Suatu Reorientasi dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru,

Page 212: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

204

1983.

Sheley, Joseph F. Expolring Crime: Reading in Criminology and Criminal Justice.

California: Wadsworth Publishing Co, 1987,

Smith & Hogan. Criminal Law. Fourth Edition. London: Butterwoths, 1978.

Skegg, P.D.G. Law, Ethics and Medicene Studies in Medical Law, Oxford:

Clarendon Press, 1984.

Wiradharma, Danny. Penuntun Kuliah Hukum Kesehatan. Jakarta: Binarupa

Aksara, 1991.

Page 213: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Page 214: PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA RUMAH SAKIT...Berdasarkan kepada teori tanggung jawab rumah sakit di atas, maka 1.J.Guwandi. Malpraktek Medis, (Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran