pertanggung jawaban pidana pada kecelakaan penerbangan
DESCRIPTION
penumpuan kesalahan terhadak kasus kecelakaan penerbanganTRANSCRIPT
PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA DALAM KECELAKAAN PENERBANGAN
A. LATAR BELAKANG
Syarat berdirinya suatu negara salah satunya adalah memiliki wilayah
kekuasaan teritorial yang berdaulat. Wilayah teritorial suatu negara sebagai suatu
ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan wilayah
udara. Secara rinci bagian-bagian dari wilayah suatu negara meliputi wilayah
daratan termasuk tanah dibawahnya, wilayah perairan, dan wilayah ruang udara dan
ruang angkasa.
Kedaulatan terhadap teritorial suatu negara adalah mutlak, namun untuk
dapat mengadakan hubungan antar negara, Wilayah perairan dan wilayah udara
memiliki keistimewaan sehingga dikenal adanya Hukum Laut dan Hukum Udara.
Berbeda dengan wilayah Laut yang memiliki hak lintas damai, wilayah udara suatu
negara merupakan kedaulatan dari negara yang berada di bawahnya. Untuk dapat
melintas berlaku juga lintas damai namun tidak secara mutlak karena harus
memperoleh izin dari negara yang kedaulatannya dilalui oleh pesawat atau yang
dikenal dengan azas Cabotage yakni suatu kebijakan pengangkutan barang dalam
perairan Indonesia, antar pelabuhan di Indonesia yang harus diangkut oleh kapal
berbendera suatu Negara dan awak kapalnya juga warga Negara tersebut.
Rujukan dasar dari lalu lintas udara adalah Hukum Udara, yakni hukum yang
mengatur obyek udara yang telah dikenal sejak jaman Romawi1, dengan
Prinsip ”Cuius est solum, eius est usque ad coelum” (yang memiliki tanah, memiliki
juga udara diatasnya sampai ke langit), persoalan yang sering diperdebatkan adalah
masalah kedaulatan di ruang udara, terutama antara mereka yang berpendapat
1 Mieke Komar Kontaatmadja.1989.Hukum Udara Dan Angkasa. Remaja Karya.Bandung.hal; 91
bahwa ” ruang udara adalah bebas” dan antara mereka yang berpendapat bahwa
”negara masing-masing berdaulat diruang udara diatasnya”.
Dalam suatu Negara yang berdaulat berlaku Hukum Nasional, yakni Hukum
yang berlaku secara Nasional dalam wilayah Yurisdiksi suatu Negara. Hukum
Nasional ini berlaku berdasarkan asas Teritorial yang menyatakan bahwa sebuah
negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda, dan terhadap
Peristiwa – peristiwa di dalam wilayah teritorialnya sehingga dapat menjalankan
yurisdiksi terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum, termasuk Hukum
Pidana.
Moeljatno (2000)2 hukum pidana merupakan bagian keseluruhan hukum yang
berlaku di suatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk :
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sangsi yang berupa pidana tertentu
bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, , Jakarta:2000, Hal 52
Hukum Pidana pada dasarnya mempunyai fungsi mengatur hidup masyarakat
atau menyelenggarakan ketertiban dalam masyarakat3. Selain itu mempunyai fungsi
khusus yaitu melindungi kepentingan hukum terhadap perbuatan yang memaksanya
dengan sanksi berupa pidana yang sifatnya lebih tajam jika dibandingkan dengan
sanksi yang terdapat pada cabang-cabang hukum lainnya. Kepentingan hukum yang
dilindungi hukum pidana dapat berupa nyawa, kehormatan, kemerdekaan dan harta
benda.
Pengenaan hukum pidana tidak hanya melihat adanya perbuatan semata, akan
tetapi juga peristiwa. Yakni suatu peristiwa yang oleh undang-undang ditentukan
sebagai suatu peristiwa yang menyebabkan dijatuhkannya suatu hukuman. Secara
teoritis, peristiwa pidana memiliki unsur-unsur: pertama Suatu perbuatan melawan
hukum (onrechmatig atau wederrechtelijk);kedua Suatu pebuatan yang dilakukan
karena pelanggar bersalah (aan schuld (van de overtreder) te wijten);ketiga; Suatu
perbuatan yang dapat dihukum (strafbaar). Pengertian peristiwa pidana tersebut
mengacu kepada istilah straffbaarfeit.
Dalam penanganan kasus kecelakaan penerbangan, faktor kesalahan manusia
(human error) menduduki peringkat tertinggi dalam kasus-kasus kecelakaan
penerbangan. Istilah yang lebih lazim digunakan dalam dunia penerbangan adalah
Human Factor yakni tentang aktivitas manusia dalam kehidupan maupun situasi
kerja, tentang hubungan manusia dengan mesin, tentang hubungannya dengan
prosedur dan lingkungannya serta aturan-aturan, dan tentang hubungan manusia
dengan manusia lainnya. Dalam hal ini human factors4 merupakan pengetahuan
3 Ibid, hal; 2
4 Chapanis (1985) dalam Sritomo W soebroto, the development ergonomic method : pendekatan ergonomi menjawab problematika industri, tarumanegara pers jakarta 2006 , hal ; 12
3
terapan bersifat praktis dari teori-teori psikologi yang menekankan pada optimasi
hubungan antar manusia beserta aktivitasnya, dengan aplikasi sistematikanya, yang
terintegrasi dalam kerangka kerja ”system engineering”. Sasarannya adalah
efektivitas sistem, termasuk keselamatan dan efisiensi, serta kesejahteraan (well
being) individu. human factor berhubungan dengan informasi mengenai tingkah
laku, kemampuan, dan keterbatasan manusia serta karakteristik mengenai
perancangan peralatan, mesin, sistem, pekerjaan dan lingkungan untuk
menghasilkan keamanan, kenyamanan, dan efektifitas dalam penggunaannya.
Faktor manusia. Dalam hal terjadi kecelakaan akibat faktor manusia, yang
biasanya dituduh adalah kapten penerbang, padahal sebenarnya tidak selalu
demikian karena manusia dalam hubungan ini adalah setiap orang atau tenaga yang
terlibat langsung dalam proses penerbangan. Mereka antara lain adalah teknisi
pesawat terbang, awak pesawat, tenaga ruang penerangan (briefing office), tenaga
pengawas lalu-lintas udara (ATC). Kapten penerbang selama menjalankan tugasnya
dapat terjadi “sudden incapicity”. sudden incapicity ini ditimbulkan olehberbagai
penyakit, seperti penyakit serangan jantung. sudden incapicity inilah yang
menyebabkan kecelakaan. Disamping itu, mereka dapat juga mengalami keletihan
(fatigue).
4
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, maka penulis dapat membuat
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah suatu peristiwa kecelakaan dalam penerbangan dapat
dikatakan sebagai suatu peristiwa pidana (straffbarfeit)?
2. Apakah yang di jadikan sebagai dasar hukum dalam menentukan adanya
tindak pidana dalam kecelakaan pesawat terbang sipil?
C. PENDEKATAN MASALAH
Pendekatan masalah yang di gunakan dalam penulisan makalah ini adalah
menggunakan pendekatan Yuridis normatif; yakni pendekatan yang dilakukan
dengan cara memperlajari ketentuan perundang-undangan, teori-teori dan konsep-
konsep yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang di kaji.
D. KAJIAN TEORI
Kecelakaan pesawat udara sipil (Accident) adalah suatu kejadian yang
berhubungan dengan pengoperasian pesawat udara yang terjadi sejak seseorang
naik pesawat udara sampai semua orang keluar dari pesawat5, dimana:
a. seseorang meninggal atau mengalami luka serius sebagai akibat dari:
1) berada di dalam pesawat, atau
5 Bambang Widarto, Aspek-aspek Hukum Pidana Dalam Kecelakaan Pesawat Udara. (Jakarta, 1998) hal;10
5
2) kontak langsung dengan bagian pesawat, termasuk bagian yang terlepas dari
pesawat, atau
3) terkena dampak langsung jet blast.
Kecuali jika luka-luka tersebut disebabkan oleh penyebab alamiah/natural causes,
diri sendiri atau orang lain atau terjadi pada penumpang gelap yang berada di
bagian pesawat yang tidak diperuntukkan bagi penumpang/crew; atau
b. pesawat mengalami kerusakan atau kegagalan struktur yang:
1) mempengaruhi kekuatan struktur, karakteristik dan performa terbang
pesawat, dan
2) memerlukan perbaikan besar atau penggantian komponen yang rusak,
Kecuali untuk kegagalan atau kerusakan mesin, dengan kerusakan mesin,
cowling dan accessories, kerusakan pada propeller, wing tip, antenna, tires,
brakes, fairings,lubang kecil/dekukan pada kulit (skin) pesawat;
3) pesawat tersebut hilang atau sama sekali tidak terjangkau.
Pidana berasal kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah
hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman karena hukum sudah lazim
merupakan terjemahan darirecht. Dapat dikatakan istilah pidana dalam arti sempit
adalah berkaitan dengan hukum pidana6
Pidana lebih tepat didefinisikan sebagai suatu penderitaan yang sengaja
dijatuhkan/diberikan oleh negara pada seseorang atau beberapa orang sebagai
akibat hukum (sanksi) baginya atas perbuatannya yang telah melanggar larangan
6 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002).
hal; 66
hukum pidana. Secara khusus larangan dalam hukum pidana ini disebut sebagai
tindak pidana (strafbaar feit).
Selanjutnya istilah hukum pidana dalam bahasa Belanda adalah Strafrecht
sedangkan dalam bahasa Inggris adalah Criminal Law.
Adapun pengertian hukum pidana dibawah menurut pendapat para ahli sebagai
berikut :
1. SIMONS, hukum pidana adalah keseluruhan larangan-larangan dan
keharusan yang pelanggaran terhadapnya dikaitkan dengan suatu nestapa
(pidana/hukuman) oleh negara, keseluruhan aturan tentang syarat, cara
menjatuhkan dan menjalankan pidana tersebut.
2. MOELJATNO, hukum pidana adalah aturan yang menentukan : a) Perbuatan
yang tidak boleh dilakukan, dilarang, serta ancaman sanksi bagi yang
melanggarnya, b) Kapan dan dalam hal apa kepada pelanggar dapat dijatuhi pidana,
c) Cara pengenaan pidana kepada pelanggar tesebut dilaksanakan
3. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai
pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang
berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
4. Wirjono Prodjodikoro, hukum pidana adalah peraturan hukum mengenai
pidana. Kata “pidana” berarti hal yang “dipidanakan” yaitu oleh instansi yang
berkuasa dilimpahkan kepada seorang oknum sebagai hal yang tidak enak
dirasakannya dan juga hal yang tidak sehari-hari dilimpahkan.
7
5. WLG. LEMAIRE, hukum pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi
keharusan-keharusan dan larangan-larangan yang (oleh pembentuk UU) telah
dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman yakni suatu penderitaan yang
bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan bahwa hukum pidana itu
merupakan suatu sistem norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang
mana (hal melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dimana terdapat suatu
keharusan untuk melakukan sesuatu) dan dalam keadaan-keadaan bagaimana
hukuman itu dapat dijatuhkan serta hukuman yang bagaimana yang dapat
dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut. (pengertian ini nampaknya dalam arti
hukum pidana materil).
6. WFC. HATTUM, hukum pidana (positif) adalah suatu keseluruhan dari asas-
asas dan peraturan-peraturan yang diikuti oleh negara atau suatu masyarakat
hukum umum lainnya, dimana mereka itu sebagai pemelihara dari ketertiban hukum
umum telah melarang dilakukannya tindakan-tindakan yang bersifat melanggar
hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap peaturan-peraturannya denagan
suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa hukuman.
7. WPJ. POMPE, hukum pidana adalah hukum pidana itu sama halnya dengan
hukum tata negara, hukum perdata dan lain-lain bagian dari hukum, biasanya
diartikan sebagai suatu keseluruhan dari peraturan-peraturan yang sedikit banyak
bersifat umum yang abstrahir dari keadaan-keadaan yang bersifat konkret.
8. KANSIL, hukum pidana adalah hukum yang mengatur tentang pelanggaran-
pelanggaran dan kejahatan-kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan
mana diancam dengan hukuman yang merupakan suatu penderitaan atau siksaan.
8
Istilah peristiwa pidana memiliki arti, bahwa “peristiwa” meliputi suatu
perbuatan (handelen ataudoen) atau suatu melalaikan (verzuim, niet doen atau
nalaten) maupun akibatnya (akibat dari perbuatan atau melalaikan sesuatu).
Peristiwa pidana adalah suatu peristiwa hukum (rechtsfeit) yaitu suatu peristiwa
kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum7.
Keseluruhan istilah tersebut di atas mengacu pada pemakaian istilah
strafbaar feit dan delict. Namun, VAN DER HOEVEN menolak penggunaan istilah
strafbaar feit, karena bukan peristiwanya yang dihukum, melainkan pelaku dari
peristiwa tersebut, sehingga Van der Hoeven menggunakan istilah Strafwaardig feit.
E. PEMBAHASAN
e.1. Kecelakaan pesawat udara sebagai tindak pidana
Kecelakaan pesawat udara secara umum selalu dihubungkan dengan tiga
faktor penyebab, yaitu faktor kesalahan manusia (human error), faktor pesawat
terbang (machine), dan faktor lain seperti cuaca, dll8.
Dalam kecelakaan, faktor kesalahan manusia mempunyai andil paling besar,
disusul faktor pesawat terbang dan yang terakhir faktor cuaca. Ketiga faktor
penyebab tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, melainkan bisa merupakan
gabungan dari dua atau tiga faktor sekaligus9.
Kesalahan manusia yang dapat menyebabkan timbulnya kecelakaan telah
diminimalisir dengan dilakukannya pemeriksaan rutin dan berkala bagi para personel
7 Eddy O.S. Hiariej, Asas Legalitas dan Penemuan Hukum dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Erlangga, 2009).
8 Ibid, hal;15
9 Ibid, hal;179
penerbangan, khususnya bagi para personel yang berkaitan langsung dengan
aktivitas rutin penerbangan. Pemeriksaan secara berkala tersebut merupakan suatu
kewajiban bagi setiap personel penerbangan yang telah memiliki sertifikat
kecakapan ataupun lisensi sesuai dengan bidangnya masing-masing, hal tersebut
lebih dipertegas dalam Pasal 223 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009.
Tujuan dari pemeriksaan secara berkala atas personel penerbangan tersebut adalah
agar dapat diketahui secara pasti terkait hal-hal yang dapat mempengaruhi kinerja
dari setiap personel sehingga dapat dihindari hal-hal yang dapat membahayakan
keselamatan dan keamanan suatu misi penerbangan.
Dilakukannya pemeriksaan secara berkala dan rutin terhadap personel
penerbangan menjadi suatu tolak ukur ataupun standarisasi bahwa suatu
penerbangan bukanlah bidang yang biasa-biasa saja, melainkan dibutuhkan suatu
keseriusan dan ketelitian dalam segala aspek yang berkaitan, sehingga apabila
dilakukan suatu pelanggaran atas ketentuan yang telah ditetapkan secara khusus
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pelanggaran tersebut dapat berakibat pada
timbulnya kecelakaan yang fatal.
Dalam membahas sebab-sebab terjadinya kecelakaan pesawat udara ada
pula yang berpendapat bahwa ada empat faktor yang punya kemungkinan besar
menjadi penyebeb terjadinya kecelakaan pesawat udara, yaitu :
1) faktor manusia
2) faktor material
3) faktor media
4) faktor terorisme
10
Dari pendapat tersebut, faktor terorisme dimasukkan sebagai salah satu
faktor dari penyebab terjadinya kecelakaan pesawat udara, sedangkan menurut
pendapat K.Martono terorisme tidak dimasukkan sebagai salah satu faktor penyebab
terjadinya kecelakaan pesawat udara. Adapun faktor manusia yang dikemukakan
adalah faktor penyebab manusia dalam arti luas, yaitu baik manusia dalam arti
setiap orang yang tidak terlibat langsung dalam proses penerbangan, termasuk
pelaku sabotase dan teroris.
Dalam KUHP ataupun penjelasan dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1976
tentang Perubahan dan Penambahan beberapa Pasal dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Bertalian dengan Perluasan Berlakunya Ketentuan Perundang-
Undangan Pidana, Kejahatan Penerbangan, dan Kejahatan terhadap
Sarana/Prasarana Penerbangan, tidak pernah diberikan penjelasan atau pengertian
dari istilah celakanya pesawat udara, mencelakakan pesawat udara, pesawat udara
celaka, kecelakaan pesawat udara ataupun hancurnya pesawat udara. Dari
beberapa Pasal yang berkaitan dengan kecelakaan pesawat udara sebagaimana
yang terdapat dalam KUHP di atas, maka dapatlah diklasifikasikan manusia sebagai
faktor penyebab kecelakaan pesawat udara adalah sebagai berikut :
1) Dari unsur kesalahan :
a) karena kealpaan seseorang
b) karena kesengajaan seseorang
2) Dari segi pekerjaan/profesi seseorang :
a) setiap orang yang bertugas dalam proses penerbangan
1. Pilot
11
2. Teknisi
3. Petugas ATC
4. orang yang bertugas mendukung penerbangan,dan lain-lain
b) Orang yang tidak termasuk dalam proses penerbangan
1. Penumpang
2. Pelaku sabotase
3. Teroris
Hukum pidana, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan terdapat dalam
Bab XXX KUHP, seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, telah memberikan
Pengaturan secara khusus hal-hal yang terkait dengan penerbangan.
Terkait dengan kecelakaan sebuah pesawat udara, dalam ketentuan aturan
pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), telah
diatur dengan tegas bahwa suatu perbuatan, baik dengan unsur sengaja, melawan
hukum, ataupun karena kealpaan yang dapat menyebabkan suatu pesawat udara
celaka (incident), hancur serta tidak dapat dipakai atau rusak (accident), merupakan
sebuah peristiwa pidana.
Patut untuk dibuktikan bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan kecelakaan
yang disebabkan oleh faktor manusia (human factor) sehingga dapat dimintakan
pertanggungjawaban secara pidana kepada pelaku tindak pidana tersebut. Agar
dapat dibuktikannya, maka dibutuhkan suatu penyelidikan secara komprehensif
yang dilakukan oleh Kepolisian selaku penyelidik atas suatu peristiwa yang memiliki
12
indikasi pidana serta menyesuaikan dengan ketentuan yang berlaku dalam
ketentuan pidana, baik dalam KUHP maupun dalam KUHAP.
e.2. Regulasi ketentuan Pidana dalam Kecelakaan Pesawat Terbang
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 sebagai peraturan perundang-
undangan yang secara khusus mengatur hal-hal yang berkaitan dengan
penerbangan, juga memberikan ketentuan-ketentuan terkait dengan tindak pidana.
Ketentuan pidana ini diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar ketentuan
dalam undang-undang ini disamping sanksi administratif yang juga berlaku dan
ditentukan dalam undang-undang ini. Ketentuan pidana dalam undang-undang ini
diatur dalam Bab XXII, yang terdiri dari empat puluh dua pasal yang secara umum
menekankan bentuk-bentuk pelanggaran yang dikategorikan sebagai bentuk dari
tindak pidana penerbangan selain dari tindak pidana penerbangan yang telah diatur
dalam Bab XXX KUHP, karena dalam aturan peralihan undang-undang ini tidak
mencabut ketentuan-ketentuan pidana lain diluar dari regulasi ini.
Menjadi suatu hal yang patut untuk diperhatikan adalah meskipun ketentuan
pidana yang diatur dalam undang-undang ini diberlakukan bagi setiap orang, sesuai
dengan rumusan pasal yang ada, namun terdapat pengecualian dalam
pertanggungjawaban pidana terhadap setiap orang yang memiliki hubungan kerja
dengan perusahaan penerbangan. Hal ini diatur dalam Pasal 411 ayat (1) yang
menentukan dengan tegas bahwa tindak pidana penerbangan yang dilakukan oleh
orang yang bertindak, baik untuk dan/atau atas nama perusahaan ataupun untuk
kepentingan dari perusahaannya, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
hubungan lainnya, bertindak dalam lingkungan perusahaan tersebut, baik secara
13
sendiri maupun bersama-sama, dianggap tindakan tersebut dilakukan oleh
korporasi, sehingga pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada
perusahaan ataupun pengurusnya.
Berdasarkan hal tersebut, dapat dinyatakan bahwa undang-undang
penerbangan ini memiliki karakteristik yang khusus serta cakupan yang luas, karena
tindak pidana penerbangan memiliki karakteristik yang berbeda dengan tindak
pidana pada umumnya, oleh karena itu undang-undang yang mengatur tentang
tindak pidana penerbangan juga memiliki beberapa kekhususan yang bersifat
menyimpang dari ketentuan umum KUHP. Penyimpangan terhadap ketentuan
umum dalam KUHP dapat terlihat pada subyek delik yang dimana berdasarkan
ketentuan undang-undang ini dimungkinkan pemidanaan terhadap badan hukum,
yang dalam KUHP tidak mengenal badan hukum sebagai subyek delik. Akan tetapi,
undang-undang tentang penerbangan ini bukanlah sebagai hukum pidana khusus,
karena sanksi pidana dalam ketentuan undang-undang ini ditempatkan sebagai
daya paksa untuk melaksanakan aturan-aturan administratif.
Terkait dengan penyidikan atas tindak pidana penerbangan, undang-undang ini
menentukan bahwa yang bertindak selaku penyidik atas setiap bentuk tindak pidana
penerbangan adalah pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang instansinya berada
dalam lingkup tugas dan tanggungjawab dalam bidang penerbangan, seperti yang
ditentukan dalam Pasal 399 ayat (1). Akan tetapi, penyidik yang ditunjuk tersebut
tetap melakukan koordinasi dan berada di bawah pengawasan penyidik Polri serta
meminta bantuan dari Polri untuk melakukan penanganan lebih lanjut terhadap
tindak pidana penerbangan yang terjadi. Ketentuan tersebut didasarkan karena
penyidikan terhadap tindak pidana penerbangan memerlukan suatu keahlian khusus
14
dalam bidang penerbangan sehingga perlu adanya penyidik khusus untuk
melakukan penyidikan disamping penyidik Polri.
F. KESIMPULAN
Kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian
masyarakat luas dan dalam beberapa kasus diduga merupakan tindakan melanggar
hukum. Namun penuntutan pidana terhadap Pemandu Lalu Lintas Udara terkait
kecelakaan pesawat terbang tersebut menimbulkan polemik baru di dalam
masyarakat, khususnya masyarakat penerbangan yang berpandangan bahwa hal
tersebut merupakan suatu bentuk kriminalisasi terhadap profesi Pemandu Lalu
Lintas Udara di Indonesia.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 maka kelalaian yang
dilakukan oleh Pemandu Lalu Lintas Udara yang menyebabkan terjadinya
kecelakaan pesawat terbang adalah tindak pidana, yang juga diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). namun aturan ini dimungkinkan dapat
bertentangan dengan ketentuan dalam Annex 13 International Civil Aviation
Organization yang menyatakan bahwa tujuan satu-satunya penyelidikan kecelakaan
pesawat terbang adalah hanya mencari penyebab kecelakaan untuk mencegah
terjadinya kecelakaan serupa dan bukan untuk mencari siapa yang bersalah atau
bertanggung jawab atas kecelakaan tersebut.
Pertanggungjawaban pidana dapat dibebankan kepada Pemandu Lalu Lintas
Udara yang menyebabkan kecelakaan pesawat terbang karena terdapat faktor
kesengajaan dan/atau kelalaian. dimana penerapan peraturan perundang-undangan
15
nasional selain ketentuan dalam regulasi penerbangan internasional yaitu KUHP dan
Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
16