pertala h.g wells - kamar merah

7

Click here to load reader

Upload: yudha-ikhsan

Post on 16-Dec-2015

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

HG WELLLS

TRANSCRIPT

[Pertala] Kamar Merah | H. G.WellsByilhamqmoehiddinKamar MerahOleh H. G. Wells(Dipertalakan oleh Ilham Q. Moehiddin)

KUPIKIR, orang-orang jompo kerap mengoceh untuk mengenyahkan ketakutan mereka. Kupandangi sekeliling tempat ini dan mendapati diriku dalam cermin tua di sudut ruangan. Ya. Semoga aku tidak bertemu sesuatu malam ini, ujarku.Terserah kau. Kata lelaki tua berlengan kayu.Suara menyedihkan terdengar dari engsel pintu yang terbuka saat seorang lelaki tua lain berjalan masuk sambil menyeret kakinya. Tubuhnya lebih bungkuk dan kulitnya lebih keriput. Ia menopang dirinya dengan tongkat. Bibir bawahnya tergantung mengerikan dengan gigi busuk menguning. Sikapnya padaku sungguh anehmata kecilnya hanya menatap tajam dari bawah bayangan alisnya. Kemudian ia terbatuk.Ya. Ini pilihanku kataku. Atavistik telah membawa dampak tidak manusiawi pada orang-orang seperti ini; menurunkan kualitas manusia dari hari ke hari. Bisakah kalian menunjukkan kamar berhantu itu?Aku menunggu, memandang mereka satu per satu.Ada lilin di depan pintu, kata lelaki tua berlengan kayu. Jika kau akan ke kamar merah malam iniInilah malam dari semua malam! Gumam wanita tua yang duduk di depan perapian.seorang diri.Tunjukkan arahnya.Berjalanlah lurus di koridor bawah, ia menunjuk, sampai kau temukan tangga spiral yang menuju lantai dua di balik pintu berlapisbaizehijau. Naiklah, susuri koridor ataskamar merah itu di sebelah kiri di ujung koridor.Aku mengulangi petunjuknya dan ia mengangguk.Apa kau sungguh akan memeriksa kamar itu? Lelaki tua bermata kecil itu bertanya sembari berdiri dan memutari meja, bergabung dengan dua kawannya di depan perapian.Itulah tujuanku kemari, aku melangkah ke pintu.Inilah malam dari semua malam Terdengar gumaman wanita tua itu lagi.Di pintu aku berhenti, kulihat mereka melalui bahuku. Mereka duduk merapat dengan mata lurus ke perapian. Selamat malam, kataku di ambang pintu.Terserah kau saja kata lelaki tua berlengan kayu.**Kususuri koridor bawah dengan lilin di tangan. Langkahku menciptakan gema yang aneh. Bangunan ini dari masa yang lebih tua, masa ketika spiritualitas begitu menakutkan, ketika kemustahilan jadi masuk akal, ketika kutukan, sihir dan hantu-hantu tidak disangkali. Keadaan mereka sangat spektral; karakter yang seharusnya sudah punahmemilih hidup di bangunan tua berhantu. Orang-orang seperti itu selalu ada di setiap waktu.Koridor ini gelap dan lembab, dindingnya berselaput lumut. Nyala lilin di tanganku membentuk bayangan yang menari di dinding. Gema memantul di koridor dan kegelapan merayap di belakangkukegelapan di depanku seperti menyingkir setiap kali aku melangkah maju. Lantai tampak melebar di ujung koridor. Aku berhenti, memastikan suara gemerisikyang kukira dari sesuatu yang merangkak di belakangku. Kutarik gagang pintu berlapisbaizehijau dan mendapati diriku berdiri di bawah tangga spiral dari susunan batu padas.Cahaya bulan menerobos jendela besar di ujung koridor. Pintu kamar merah tampak di sana. Di sinilah para penghuni awal tempat ini ditemukan tewas, dan ingatan pada cerita itu membuatku cemas. Hening yang mencekam. Tergesa kudorong pintu kamar itu sembari sedikit menoleh pada keheningan koridor di belakangku.Inilah kamar merah Kastil Lorraine, tempat seorangcountessmuda ditemukan mati. Menaklukkan tempat-tempat berhantu adalah upaya yang baik untuk mengakhiri takhayul. Ada cerita tua terkait kamar inibalik ke masa di mana semua hal luar biasa ini bermula; kisah seorang istri pemalu dan hidupnya tak sengaja berakhir tragis dalam gurauan menakutkan suaminya.Aku menengok ke luar melalui jeruji jendela. Hanya samar yang aneh di luar sana. Kegelapan juga meringkuk di relung, cerukan, dan di lipatan dinding kamar ini. Warna merah berubah kecoklatan dan perabotan menjadi kusam karena debu. Kisah-kisah aneh secara keji menenggelamkan semua keindahan ini, membuat legenda gelap tempat ini tumbuh subur di benak setiap orang. Cahaya lilinku gagal mencapai ujung kamar dan justru meninggalkan kesan misterius pada lantai yang kusam.Kuputuskan memeriksa tempat ini lebih teliti dan berusaha tidak meluputkan sesuatu yang bisa diimajinasikan sebagai takhayul berikutnya. Kukelilingi kamar ini, memeriksa perabotan, menyingkap kelambu, membuka lipatan tirai, membungkuk di perapian, menekan panel-panel kayu untuk membuka pintu rahasia yang mungkin ada. Langkahku menimbulkan gema aneh. Saat mencapai ceruk, aku terkejut menemukan wajahku di sebuah cermin besar. Di cermin itu, wajahkuputih.Bingkai cermin itu punya sepasangsconce. Aku nyalakan dua lilin yang masih ada di situ. Kini suasana cukup benderang. Kusingkirkanchintzdan mendorong sebuah kursi untuk kujadikan pembatas. Entah kenapa aku merasa sesuatu sedang mengendalikan kegelapan dan kesuraman di kamar inigema dari suara derak kayu mengundang imajinasiku. Bayangan pada ceruk di ujung kamar seperti menampilkan kehadiran lain. Sugesti aneh dari sesuatu yang tersembunyi masuk ke benakku begitu saja. Di ceruk itu kunyalakan sebatang lilin.Lega tidak menemukan sesuatu yang nyata, aku mengisi waktu dengan merangkai sajak mengenai legenda tempat ini. Kadang aku bersajak keras-keras, tapi aneh mendengar gema dari suaraku sendiriuntuk alasan yang sama aku berhenti setelah beberapa saat.Cahaya lilin di ceruk berkelip, menciptakan penumbra yang terus bergerak seperti menari tanpa suara. Teringat pada lilin yang kulihat di koridor, aku ke sana dan kembali dengan sepuluh lilin di tanganku. Usai kunyalakan, semuanya kutempatkan di area yang samarmenerangi nyaris seluruh bagian kamar ini. Kewaspadaan ini terasa berat. Aku memerhatikan jarum penunjuk menit yang merayap di arlojiku menjelang tengah malam.Aku tidak menyadari bahwa sebenarnya sesuatu sedang berlangsung. Entah kapan lilin-lilin mulai padam, tapi saat aku menoleh, kudapati kegelapan bermunculan kembali ke tempatnya. Kukeluarkan korek api dari sakuku, berjalan melintasi ruangan dan menyalakan kembali lilin-lilin yang padam. Saat sedang memantik api, sesuatu tampak berkedip pada dinding di sisiku. Aku menoleh dan melihat dua lilin di atas meja kecil baru saja dipadamkan. Demi Tuhan! Saat aku berdiri terpana.Sedetik berikutnya dua lilin disconcecermin mendadak padam, seperti dipadamkan oleh telunjuk dan ibu jari seseorang. Sebuah lilin lain di sisi ranjang ikut padam dan kegelapan mendekat ke arahku. Berikutnya yang terjadi adalahsatu demi satu lilin padam berurutan. Hentikan! Teriakku ketakutan seraya melangkah mundur.Kegelapan dengan cepat hendak membungkus tubuhku. Aku bergeser ke arah cerukan dan menyalakan sebuah lilin di tempat itu. Jangan usik lilin-lilin ini kataku entah pada siapa.Wajahku pucat, tanganku gemetar dan berkali-kali gagal memantik api dari kotaknya. Seperti dinaungi jubah kegelapan, dua lilin lagi padam. Tampak sesuatu yang banyak sedang merayapi lantai di dekat pintu. Empat lilin lain menyusul padam sekaligus di berbagai sudut kamar dan dengan tubuh gemetar aku berusaha menjaga lilin di dekat tetap menyala.Aku berharap bisa pingsan saja saat itu, saat sebuah tangan yang samar baru saja memadamkan dua lilin di dekat perapian. Teror mencengkeram dadaku. Aku berteriak seraya melompat dari cerukan ke arah cahaya bulan di bawah jendela. Sialtidak sengaja korek api kujatuhkan entah di mana. Sementara satu per satu lilin dipadamkan oleh tangan yang samar, kegelapan merayap ke arahku. Ketakutan benar-benar menguasaiku. Dengan harga diri yang tersisa, aku berusaha mencari pintu dan sia-sia bertahan melawan teror yang menyerang tanpa belas kasihan.Satu-satunya lilin yang masih menyala di tanganku, terlepas dan padam, saat udara berhembus tiba-tiba ke sisi tubuhku disusul kursi yang datang menghantam dinding dengan keras. Kini tampaklah cahaya merah merayap, melintasi langit-langit kamar dan berhenti di tengah kegelapanmengambang. Api!Api itu menari, memantulkan cahaya merahnya ke permukaan perabotan. Perlahan api itu menjauh dariku sebelum tiba-tiba lenyap, membungkam kemilau cahaya di perabotan. Mungkin ini kesempatanku. Aku merangkak dalam kegelapan yang menyesakkan. Kegelapan yang pekat, bahkan aku sukar melihat tanganku sendiri dan itu menghancurkan kepercayaan diri terakhir di dadaku.Itu bukan sekadar ketakutan yang dahsyat. Aku menepiskan tangan sebagai upaya sia-sia mendorong kegelapan menjauh dariku seraya berteriak sekuat-kuatnyasekali, dua kali, tiga kali. Aku tahu, kesempatanku lepas dari perasaan terkutuk ini adalah menuju koridor. Aku meraba-raba menuju pintu.Cahaya bulan di koridor tidak membantu. Setiap kali tersandung beberapa perabotan lain, aku segera bangkit dan berlari. Ini sensasi mengerikan yang baru kurasakan seumur hidupku. Dalam kepanikan tak berujung, sebuah pukulan menghantam dahiku, memakan keseimbangan tubuhku, membuatku terhuyung sebelum terguling di tangga batu. Kemudian aku tak ingat apapun lagi.**Aku tersadar dengan kepala pusing dan terbalut perban. Hari sudah terang. Lelaki tua berlengan kayu sedang menatapi wajahku. Kucoba mengingat yang terjadi, tapi ada beberapa bagian yang tak bisa kuingat dengan jelas. Aku memutar mata ke sudut ruang dan mendapati wanita tuatidak lagi tampak pucat dan mengerikansedang menuangkan sedikit obat dari tabung biru kecil ke dalam gelas. Di mana aku? tanyaku.Kami menemukanmu di bawah tangga, katanya, ada luka di bibir dan dahimu.Saat siang, wajah mereka tampak lebih muda, kecuali lelaki tua bermata kecil yang selalu menunduk seperti mengantuk. Cukup lama bagiku memulihkan ingatan pada kejadian semalam. Kini kau percaya ujar lelaki tua berlengan kayu, bahwa kamar itu berhantu? Ia tidak lagi bicara seperti menyambut orang asing, tetapi seperti sedang mengasihani seorang teman.Ya kataku, kamar itu berhantu.Kami bahkan tidak pernah ingin melihatnya. Beritahu kami, apakah ia seorangearl.Tidakia tidak seperti itu.Sudah kubilang sergah wanita tua, itucountessyang malang.Bukan, kataku lagi. Tidak ada hantuearlmaupuncountessdi kamar itu; kecuali sesuatu yang tidak terlihat dan jauh lebih burukTatapan mereka berubah.Lebih buruk dari sekadar hal yang bisa menghantui setiap orang malang, kataku, dan itu adalahketakutan! Ketakutan yang menguasai, membuat tuli dan butayang mengikutiku di koridor, yang aku lawan di kamar itu.Kami terdiam cukup lama.Lelaki tua bermata kecil menatapku. Itu kuasa kegelapan yang mengutuk rumah ini! Ia berdiam di kamar itu. Kau bisa merasakannya di siang haribahkan di siang hari yang cerah di musim panas. Bergelantungan di mana-mana, merayap di keremangan, mengikutimu walau kau tidak ingin melihatnya. Ketakutan akan bertahan di kamar merah ituselama dosa ada di rumah ini. (*)Cerpen The Red Room (1894) adalah cerpen gothic karyaHerbet George Wells. Cerpen ini pertama kali terbit di majalah The Idler edisi Maret, 1896. H. G. Wells (1866-1946) adalah penulis prolifik terbaik Inggris. Ditahbiskan sebagai bapak fiksi ilmiah Inggris. The War of the Worlds, The Time Machine, The Invisible Man, dan The Island of Doctor Moreau, adalah beberapa karyanya yang paling fenomenal dan telah difilmkan.