pers dalam peristiwa malari 1974

27
HARIAN KAMI DALAM PERISTIWA MALARI 1974 Keken Frita Vanri 208000036 Indonesia pada masa orde baru dipimpin oleh seorang berdarah dingin, Soeharto. Berangkat dari karir politik di dunia militer, dia menjalankan pemerintahan dengan gaya kepemimpinan otoriter yang tak kenal ampun. Perintahnya bagaikan sihir yang tak bisa dielakkan. Soeharto amat menjaga jarak dengan pers dan dengan orang-orang yang dirasa kritis dan rasional. Banyak kasus hilangnya orang-orang yang berani menentang dan melawan Soeharto,. Sedangkan bagi pers, pembredelan dan pencabutan SIUPP adalah ketakutan terbesar yang diciptakan penguasa pada masa itu. Untuk tahu mengenai perkembangan pers dimasa orde baru, saya rasa perlu saya jelaskan sedikit tentang kemunculan pers Indonesia di rezim orde lama.Pers Indonesia berkembang di jaman orde lama ketika perusahaan pers belanda seperti De Locomotief (1852), Soerabaiasch Handelsblad (1866) ditutup dan diambil alih menjadi perusahaan negara pada tahun 1957. Selain pers Belanda, pers peranakan China Misalnya Keng Po (koran antikomunis 1923) dan Sin Po (Komunis 1910) dipaksa mengganti nama menjadi Pos Indonesia dan Warta Bhakti. Sejak saat itu, pers pribumi seperti Merdeka (dipimpin oleh B.M Dyah), Indonesia Raya (Mochtar Lubis) dan Berita Indonesia 1

Upload: keken-frita-vanri

Post on 27-Jun-2015

923 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

this is my final assignment that describe about media "KAMI" in 1974

TRANSCRIPT

Page 1: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

HARIAN KAMI DALAM PERISTIWA MALARI 1974

Keken Frita Vanri

208000036

Indonesia pada masa orde baru dipimpin oleh seorang berdarah dingin, Soeharto. Berangkat

dari karir politik di dunia militer, dia menjalankan pemerintahan dengan gaya kepemimpinan

otoriter yang tak kenal ampun. Perintahnya bagaikan sihir yang tak bisa dielakkan. Soeharto

amat menjaga jarak dengan pers dan dengan orang-orang yang dirasa kritis dan rasional.

Banyak kasus hilangnya orang-orang yang berani menentang dan melawan Soeharto,.

Sedangkan bagi pers, pembredelan dan pencabutan SIUPP adalah ketakutan terbesar yang

diciptakan penguasa pada masa itu.

Untuk tahu mengenai perkembangan pers dimasa orde baru, saya rasa perlu saya jelaskan

sedikit tentang kemunculan pers Indonesia di rezim orde lama.Pers Indonesia berkembang di

jaman orde lama ketika perusahaan pers belanda seperti De Locomotief (1852), Soerabaiasch

Handelsblad (1866) ditutup dan diambil alih menjadi perusahaan negara pada tahun 1957.

Selain pers Belanda, pers peranakan China Misalnya Keng Po (koran antikomunis 1923) dan

Sin Po (Komunis 1910) dipaksa mengganti nama menjadi Pos Indonesia dan Warta Bhakti.

Sejak saat itu, pers pribumi seperti Merdeka (dipimpin oleh B.M Dyah), Indonesia Raya

(Mochtar Lubis) dan Berita Indonesia (Sumantoro) menjadi semakin kuat. Bahkan di jaman

ini, pers berani menyebut diri mereka sebagai pers perjuangan yang bertugas mengisi

kemerdekaan. Dalam situasi ini muncul koran-koran lokal baru seperti Kedaulatan Rakyat di

Jogjakarta dan Soeara Merdeka di Bandung. Ada juga koran-koran yang diterbitkan oleh

partai poitik seperti Suluh Indonesia (PNI), Harapan Abadi (Masyumi), Pedoman (Partai

Sosialis Indonesia) dan Harjan Rakyat (PKI).1

Pers kali ini memiliki kebebasan yang amat besar dalam menyampaikan suatu informasi

kepada masyarakat. Namun dengan munculnya koran-koran milik partai politik, maka fungsi

pers yang dominan pada masa ini adalah sebagai alat propaganda parpol. Peranan pers

berubah dari pers perjuangan menjadi pers partisipan. Akhirnya, pers tidak lagi berorientasi

1 Dkutip dari Tempo Online.Piramida Pers Indonesia. 15 Januari 1992

1

Page 2: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

pada kepentingan informasi masyarakat, melainkan kepentingan partai. Terlebih saat muncul

paham Manipol Usdek, pers banyak digunakan untuk saling memfitnah dan menjelekkan satu

sama lain dengan tujuan merusak simpati masyarakat terhadap partai tertentu.

Kebebasan pers dimasa ini dirasakan sudah melampaui batas. Karena itu dibuat kebijakan

bahwa setiap perusahaan pers wajib memiliki Surat Izin Terbit (SIT). Tanggal 1 Oktober

1959 adalah batas terakhir pendaftaran bagi perusahaan pers untuk mendapat SIT. Tanggal

inilah yang sering disebut-sebut sebagai hari kematian Pers. Selain harus memiliki SIT,

koran-koran di masa ini harus memiliki induk pengelolaan partai politik atau kekuatan sosial

politik yang berpusat ke Jakarta.

Sesudah itu, penerbit pers yang kritis seperti Indonesia raya dan Pedoman, akhirnya dibredel.

Indonesia raya dibredel karena berani mengkritik gaya kepemimpinan demokrasi terpimpin di

bawah pimpinan Soekarno. Sedangkan Merdeka harus terbengkalai karena B.M Dyah harus

menjadi duta besar. Banyak koran politik yang tetap bertahan, salah satunya yang paling kuat

adalah Berita Yudha dan Warta Bhakti. Di tahun 1965, giliran Warta Bhakti dibredel dan

tempatnya digantikan oleh Sinar Harapan. Di tahun yang sama Kompas muncul layaknya

anak kecil yang masih lugu. Terlepas dari 1965, Indonesia mengalami perubahan dengan

direbutnya kekuasaan negara oleh Jenderal Soeharto. Dengan itu, sejarah Indonesia masuk

pada babak baru,rezim orde baru.

Sistem Politik Orde Baru

Soeharto dengan orde barunya telah membawa Indonesia kepada kesejahteraan semu. Ia

dengan kekuatan politik yang begitu besar mampu membungkam siapapun yang berusaha

menghalanginya. Kemantapannya duduk di kursi Presiden RI selama 32 tahun menjadi bukti

betapa kuatnya kekuatan Politik Soeharto.

Bicara tentang Soeharto tidak terlepas dari pembicaraan mengenai sistem politik orde baru.

Almond and Dowell pernah mengkategorikan sistem politik menjadi tiga jenis, yakni sistem

politik primitif, tradisional dan modern.2 Sedangkann Ramlan Subakri membagi sistem

politik ke dalam empat tipe, yaitu Sistem politik Otokrasi Tradisional, Totaliter, Demokrasi

dan Sistem politik di negara berkembang.3

2 Dikutip dari makalah “Macam-Macam Sistem Politik Di Dunia” . Ahmadin A. Dkk. 20083 ibid

2

Page 3: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

Indonesia adalah salah satu contoh negara berkembang di Asia yang mengalami pertumbuhan

ekonomi pesat di masa orde baru. Pendapatan per kapita yang kurang dari US$100 pada

tahun 1966 meningkat tajam menjadi US$1.000 pada tahun 1996 dan diperkirakan mencapai

US$ 3.000 pada tahun 2020.4 Untuk itu, saya akan membahas sistem politik Indonesia dari

perspektif sistem politik di negara berkembang.

Ada beberapa karakteristik dari sistem politik di negara berkembang. Ia sulit digolongkan ke

dalam sistem politik totaliter atau demokrasi. Kenapa tidak totaliter? Karena menurut Ramlan

Subakri hubungan kekuasaan di negara berkembang bersifat dominatif, negatif dan sarat

paksaan, namun dapat terjadi kesepakatan bersama walaupun keputusan tetap ada di tangan

presiden atau perdana menteri.

Sedangkan alasan Indonesia tidak bisa digolongkan kedalam negara demokrasi adalah karena

menurut Paul Tresno, Soeharto memiliki dua sasaran politik,, yaitu (1) mengkonsolidasi

kekuasaannya (2) mendepolitisasi rakyat. Lembaga-lembaga negara diatur sehingga selalu

berada di posisi pengendali, sedangkan kekuatan partai politik dikooptasi dengan meleburkan

10 partai menjadi 3 partai saja, Golkar, PPP dan PDI. Selain itu, kekuasaan politik banyak

dipegang oleh orang-orang dekat Soeharto seperti keluarga dan sahabat-sahabatnya. Hal ini

jelas bertentangan dengan paham demokrasi dimana setiap orang memiliki hak untk

berpartisipasi dalam hal politik

Indonesia di masa orde baru dipimpin dengan semangat militer dari Soeharto yang memang

memiliki latar belakang seorang jenderal. Dalam menetapkan suatu kebijakan ia berdiskusi

dengan para asisten pribadi dan jenderal-jenderal kepercayaannya, meskipun keputusan final

selalu dibuat berdasarkan kepentingan pribadinya.

Pemerintahan Soeharto dijalankan dengan melakukan program-program pembangunan,

misalnya Pelita 1 dan 2. Pembangunan ini didasarkan pada Trilogi Pembangunan yakni (1)

Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia. (2) Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan (3) Stabilitas

nasional yang sehat dan dinamis.

Soeharto amat fokus pada stabilitas nasional agar program-program pembangunan dapat

berjalan lancar tanpa hambatan. Hal-hal yang berbau kemajuan di bidang ekonomi selalu

disiarkan melalui media, sedangkan persoalan-persoalan yang dapat merusak kepercayaan

4 Dikutip dari Paul Tresno. The Ideal Presiden.2009. Hlm 38

3

Page 4: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

masyarakat terhadap pemerintah selalu ditutup. Untuk menjaga kepercayaan itu, Soeharto

kerap menggunakan strategi-strategi propaganda yang halus dan tidak disadari oleh rakyat.

Proyek-proyek pembangunan dan keberhasilan orde baru selalu digaungkan dan dibuat

seolah-olah berpihak pada rakyat.

Berbagai penataran dan seminar-seminar indoktrinasi diselenggarakan serta wajib diikuti oleh

semua golongan masyarakat. Penataran ini dimaksudkan untuk menanamkan nilai-nilai

Pancasila dan membentuk pribadi pancasilais yang bersedia mendukung program-program

pemerintah serta bersama-sama memusuhi musuh negara, misalnya PKI.

Dalam melancarkan strategi propaganda, pemerintah merangkul pers sebagai partner alias

corong kebijakan mereka. Pers dituntun untuk memberitakan hal-hal positif seputar

pemerintahan yang tengah berjalan. Walaupun begitu, Soeharto sebenarnya menjaga jarak

dengan pers. Ia tahu betul potensi pers yang bisa mendukung sepenuhnya pembangunan,

sekaligus menjadi bumerang bagi rezimnya sendiri.5

Romantisme Soeharto dengan pers dan rakyat tidak berlangsung lama, hanya tujuh tahun.

Pers dirasa sudah tidak sejalan dengan pemerintah. Kepemimpinan Soeharto menjelma

menjadi tangan-tangan keras yang menerapkan otoritarianisme pasca peristiwa Malari.

Pengendalian kekuasaan dijalankan dengan tegas, bahkan kejam terhadap rakyat.

Pers Pada Masa Orde Baru

Orde baru yang dimulai sejak tahun 1966 dan berakhir di pertengahan tahun 1998 pada

awalnya dirasa mampu membawa Indonesia bangkit dari keterpurukan orde lama. Berbagai

kemajuan dan keterbukaan dijanjikan bagi masyarakat agar senantiasa mendukung Soeharto.

Terbukti sampai saat banyak orang yang merasa bahwa hidup di jaman orde baru lebih baik

daripada sekarang, karena biaya sandang, pangan dan papan sangat murah. Namun di balik

semua kemajuan yang dicapai orde baru, ada banyak hal yang dikorbankan, salah satunya

adalah kebebasan pers.

Menurut Freedom House Index, ada beberapa indikator yang dapat digunakan untuk

mengukur kebebasan media. Yang pertama kondisi legal yang terlihat dari hukum,ketentuan

konstitusi dan regulasi yang membatasi kemampuan media untuk beroperasi secara bebas.

5 Wawancara dengan Bapak Eduard Lukman di Universitas Indonesia (UI Salemba). Rabu,19 Mei 2010

4

Page 5: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

Yang kedua, lingkungan politik, yang mengevaluasi kontrol politik dalam isi berita di media.

Yang terakhir adalah keadaan ekonomi, yang meliputi kepemilikan media, infrastruktur

media yang terkait, konsentrasi media, pengaruh suap dan korupsi terhadap isi media, dan

pemotongan subsidi oleh pemerintah. Meskipun upaya untuk mengukur kebebasan pers tidak

pernah sempurna, namun dari ukuran itu, kebebasan pers dibedakan menjadi tiga level,

“bebas”, “setengah bebas”, dan “tidak bebas”. Dari data Freedom House tahun 2008, secara

global, sebanyak 37% media yang benar-benar bebas, 30% media “setengah bebas”, dan

terdapat 33% media “tidak bebas”. 6

Dilihat dari karakteristik di atas, menurut saya pers Indonesia di masa orde baru termasuk

dalam pers “tidak bebas”.

Soeharto mengerti betul bahwa pers memiliki peran-peran strategis dalam masyarakat. Ia tahu

bahwa pers mampu mendukung program-program pemerintah, namun pers juga memiliki

potensi untuk menghambat jalannya pemerintahan melalui kritik-kritiknya. Ini yang membuat

Soeharto menjaga jarak dengan Pers.7 Namun di awal orde baru tahun 1966, pemerintah tetap

memberikan kesempatan pada perusahaan pers yang dibredel untuk terbit kembali. Hal ini

tidak lain untuk membentuk relasi dan menjadikan pers sebagai partner pemerintah. Koran-

koran yang kembali hidup adalah Indonesia Raya dan Pedoman. Kebetulan saat itu B.M

Dyah (mantan pemimpin harian Merdeka) diangkat menjadi menteri penerangan pertama di

masa orde baru sehingga dukungan pun mengalir kepada pers. Sinar Harapan dan Berita

Yudha masih tetap menjadi pioner pers di Jakarta.

Pers memang mengalami masa-masa kejayaannya di tahun 1966-1974. Bahkan periode

tersebut disebut sebagai “bulan madu” antara pers dan pemerintah.Seorang kolumnis dan

direktur PDBI, Dr Taufik, menyebut periode ini sebagai “musim panas Indian” dimana pers

merayakan terpilihnya pemimpin baru.8 Pers mengira bahwa mereka dapat bertindak sebagai

penyeimbang (check and balances) dan pengawas pemerintah dalam situasi politik orde baru.

Namun ternyata, pers tetap berada pada posisi subordinat dan belum mampu memainkan

peran politiknya secara utuh karena masih menjadi alat hegemoni penguasa.

Pers mendapat tugas untuk menanamkan ideologi-ideologi nasional dan mempertahankan

status quo alias mempertahankan situasi politik yang memang kondusif tanpa kritik. Apa

yang dibicarakan oleh media hanya seputar keberhasilan-keberhasilan penguasa dan 6 Dikutip dari buku Coyne, J Christoher. Media, Development and institutional Change. Hlm 3-4 7 Wawancara dengan Bapak Eduard Lukman di Universitas Indonesia (UI Salemba). Rabu,19 Mei 2010. 8 Dikutip dari Mochtar Lubis.Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. Hlm.vii

5

Page 6: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

cenderung menutupi kebobrokannya, terutama di bidang ekonomi, dengan alasan agar

keadaan tetap aman dan stabilitas nasional tetap terjaga. Keadaan ini sedikit berbeda dengan

penelitian Wanta dan Foote (1994) yang mengamati pengaruh Bush pada NBC,ABC dan

CBS. Mereka melihat bahwa asosiasi yang muncul antara presiden dan media justru terlihat

dalam isu-isu mengenai masalah sosial (pembangunan) dan isu sosial (sensor, kontrol

senjata,dll), sedangkan masalah ekonomi sedikit mendapat perhatian.9

Nihilnya kebebasan pers ini menimbulkan kerugian yang signifikan, terutama dalam hal

ekonomi dan perkembangan manusia (data dari World Development Report 2002 181-193)10.

Laporan ini menunjukkan bahwa media yang bebas sebenarnya dapat mengurangi korupsi,

membantu usaha kesehatan publik, dan mengembangkan pendidikan. Namun dengan

terkooptasinya kritisisme pers Indonesia ada masa itu, 30% dana pinjaman luar negeri bocor

dan mengucur ke saku penguasa.(Dennis de Tray)11

Keadaan pers diperlemah dengan pembentukan dewan pers di tahun 1968 sebagai bentuk

pelaksanaan UU no 11 tahun 1966 tentang ketentuan-ketentuan pokok pers. Awalnya pers

mengira bahwa kelahiran dewan pers dapat membantu mereka mewujudkan kebebasan dan

independensi pers. Adapun beberapa fungsi dewan pers yakni (1) melindungi kemerdekaan

pers dari campur tangan pihak lain, baik pemerintah maupun masyarakat (2) melakukan

pengkajian untuk pengembangan kehidupan pers (3) Menetapkan dan mengawasi

pelaksanaan kode etik jurnalistik (4) memberi pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian

pengaduan masyarakat atas kasus yang berhubungan dengan pemberitaan (5)

mengembangkan komunikasi antara pers, masyarakat dan pemerintah (6) memfailitasi

organisasi pers dalam menyusun peraturan di bidang pers dan meningkatkan kualitas profesi

wartawan (7) mendata perusahaan pers.12

Namun kenyataannya, Dewan pers justru bertindak layaknya penasehat pemerintah

khususnya departemen penerangan. Bahkan dalam UU no 11 tahun 1966 pasal 7 ayat 1

disebutkan bahwa “Ketua Dewan Pers Adalah Menteri Keuangan”.13 Hal ini jelas makin

mengebiri fungsi-fungsi pers orde baru.

9 Dikutip dari George Chomstock.Psychology Of Media and Politics.hlm 17710Dikutip dari buku Coyne, J Christoher. Media, Development and institutional Change. Hlm 511 Dikutip dari buku Paul Tresno. The Ideal President. 2009. Hlm 45 12 Dikutip dari www.JurnalNasional.com13 Dikutip dari http://www.theceli.com

6

Page 7: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

Pers di masa orde baru memiliki keunikan diantara pers-pers sebelumnya terkait dengan

teori-teori normatif media. Menurut Siebert dalam buku Four Theory Of the Press, Ada 4

jenis teori pers, yakni pers otoritarian, pers libertarian, pers dengan penekanan tanggung

jawab sosial, dan pers totalitarian.14

Teori pers otoritarian berkembang di Inggris pada abad ke 16. Fungsi pers ini lebih pada

mendukung dan memajukan kebijakan dan kekuasaan pemerintah. Menurut teori ini, pers

dapat dimiliki oleh pemerintah ataupun swasta.

Teori pers libertarian diadopsi dari sistem pers Inggris tahun 1688 oleh Amerika dan

disebarkan ke seluruhh dunia. Fungsi pers adalah sebagai media informasi, menghibur dan

menjual produk yang memberikan kebenaran dan mengawasi pemerintah. Kepemilikan atas

media pun diutamakan bagi swasta.

Pers dengan penekanan pada tanggung jawab sosial mulai dipraktekan di Amerika pada abad

ke-20. Pers ini termasuk pers bebas dengan mempertimbangkan tanggung jawab sosial

terhadap khalayak dan pesan yang ia sampaikan. Kebebasan pers sebaiknya tidak melanggar

kebebasan orang lain kepentingan publik.

Pers yang terakhir pers totalitarian yang dikembangkan oleh Nazi di Jerman. Pers bertujuan

untuk melanggengkan kekuasaan dan kediktartoran partai. Kepemilikannya pers masa itu

dikuasai oleh pemerintah.

AG. Eka Wenats15 dalam essainya yang berjudul “Melampaui 4 Teori Pers” mengungkapkan

bahwa pers di Asia, termasuk Indonesia, tidak dapat dijelaskan dalam kerangka empat teori

pers tersebut. Hal ini karena sistem pers di Indonesia terutama pada masa orde baru

cenderung ke arah perusahaan keluarga atau kroni-kroni penguasa.16

Pers di masa orde baru tidak temasuk dalam keempat teori tersebut. Pers Indonesia pada masa

orde baru adalah pers pancasila. Semasa pemerintahan Soeharto, Pancasila memang dijadikan

sebagai ideologi mutlak yang harus dijalankan oleh seluruh golongan masyarakat termasuk

media. Pancasila dianggap harus dijadikan pegangan agar stabilitas nasional tetap terjaga.

Karena itu,sering sekali diadakan pelatihan atau penataran P4 (pedoman Penghayatan dan

Pengamalan Pancasila) bagi siswa dan mahasiswa baru, guru, dosen, pegawai negeri, dan

wartawan untuk mewujudkan masyarakat yang pancasilais. Wartawan-wartawan pada masa 14 Dikutip dari http://www.coolschool.k12.or.us15 Dosen pelopor Peminatan Media Studies di Univ Paramadina16 Dikutip dari essai AG Eka Wenats Melampaui 4 Teori Pers:(Model Baru untuk Asia dan Pers Dunia)

7

Page 8: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

itu mengalami tekanan ideologis karena dilarang menulis kritik terhadap birokrsi yang

berjalan dan ruang geraknya diminimalisir. Pikiran wartawan dibatasi oleh ketakutan-

ketakutan akan efek pemberitaan terhadap stabilitas dan keamanan nasional yang sengaja

diciptakan oleh pemerintah melalui penataran P4 untuk menekan pers.

Pers pancasila menurut Bappenas adalah pers yang sehat, bebas dan bertanggung jawab serta

lebih meningkatkan interaksi positif serta mengembangkan suasana saling percaya antara

pers, Pemerintah, dan golongan-golongan dalam masyarakat untuk mewujudkan suatu tata

informasi di dalam kondisi masyarakat yang terbuka dan demokratis1 sendiri diciptakan

pemerintah dengan tujuan politis, dimana pemerintah membuat suatu pedoman yang tidak

bisa dilanggar oleh pers.17 Dari karakteristik tersebut bisa kita lihat bahwa Pers pancasila

adalah pers yang bebas dan demokratis. Namun jika melihat lagi kepada kondisi real pers

Indonesia pada masa itu dimana pemerintah begitu mencengkeram pers dengan cakar-

cakarnya yang tajam dan menyumpal mulut wartawa dengan penataran-penataran p4 , pers

Indonesia pada masa orde baru jauh dari kata bebas. Pers Indonesia belum mengenal

kebebasan pers yang berarti kemampuan menggunakan ruang jurnalistik dalam mencari,

menerbitkan dan mengedarkan informasi.18

Meskipun begitu, bukan berarti pers Indonesia tidak memberikan perlawanan apa-apa. Pers

mulai gerah dengan perlakuan yang mereka terima selama ini dan mulai menulis kritik-kritik

pedas terhadap pemerintah sejak tahun 1970-an. Misalnya Indonesia raya yang mengecam

monopoli impor film Mandarin serta mengkritik PT Bogasari yang menaikkan harga tepung

terigu guna membayar utang mereka selama emat tahun.19 Di pertengahan tahun 1973, harian

KAMI banyak memberitakan tentang beras yang sulit didapat. Hal ini merupakan perlawanan

pers terhadap orde baru yang diikuti dengan perlawanan fisik mahasiswa di awal 1973.

Tentang Harian KAMI

KAMI merupakan salah satu harian yang kritis terhadap pemerintahan orde lama hingga orde

baru. KAMI muncul tidak lama setelah peristiwa G30S/PKI 1965. Pemimpin umum harian

17 http://dyendlessly.wordpress.com18 Dikutip dari Daniel Dhakidae.Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru Hlm 37619 Dikutip dari Dikutip dari Mochtar Lubis.Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya. Hlm.x

8

Page 9: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

ini adalah Zulharmans (1966-1974) yang menjadi Ketua Umum PWI pusat tahun 1983

menggantikan Harmoko yang diangkat menjadi menteri penerangan. Wakil-wakil pemimpin

redaksi harian KAMI antara lain Burhan Djabier Magenda dan (1966-1974) dan Ismid Hadad

(1966-1971) yang merupakan Kepala Biro Penerangan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI)

pusat.

Kerasnya bahsa-bahasa yang digunakan oleh KAMI memang tidak terlepas dari para

perintisnya seperti Zuharmans, Goenawan Muhammad, Nono Anwar Makarim

danChristianto Wibisono yang merupakanaktifis-aktifis mahasiswa yang lumayan keras

menentang orde baru. Zul (penggilan akrab Zulharmans) juga pernah difitnah sebagai seorang

yang “tidak bersih lingkungan” hingga posisinya di PWI digantikan oleh Sugeng Wijaya,

seorang petinggi ABRI, pemimpin redaksi Berita Yudha. Namun sahabatnya, Harmoko

selaku menteri penerangan pada masa itu berusaha membela mati-matian dalam setiap

sambutannya.

Zulharmans termasuk orang yang berani dalam melontarkan kritik terhadap pemerintahan

Soeharto, sekalipun ia sedang duduk sebagai ketua PWI pusat. Hal ini terbukti waktu ia dan

Harmoko membuat pernyataan keras yang menegaskan bahwa setiap masyarakat pers tidak

sependapat bila pencabutan SIT (Surat Izin Terbit) dan SIC (Surat Izin Cetak) dilakukan

tanpa berkonsultasi duu dengan PWI.20

Sama kerasnya dengan Zuharmans, harian KAMI yang dipimpinnya berani memuat berita-

berita yang berbau kritik terhadap pemerintahan Soeharto, terutama di tahun 70-an ketika

modal asing gencar-gencarnya mengucur ke dalam negeri. Besarnya pinjaman yang tidak

pernah dinikmati rakyat secara utuh memancing KAMI untuk menulis judul-judul yang

bernada provokatif.

Tercatat oleh saya beberapa berita yang dimuat dalam Harian KAMI dan terasa membuat

pemerintah gerah. Dimulai dengan berita kenaikan tarif listrik sebesar 40% yang akan

diberlakukan mulai 1 Juli 1973.21 Hal ini dilakukan dalam rangka penyehatan keuangan PLN

pada akhir Pelita II. Dengan kenaikan itu diharapkan penerimaan PLN pada tahun 1978 bisa

mencapai angka 65,7 milyar, dan 22,6 milyar di tahun 1973. Menurut Menteri Pekerjaan

Umum dan tenaga Listrik, Ir Sutami, hal ini tidak memberatkan rakyat dan kaum industri

karena sudah dipertimbangkan sebelumnya. Selain itu ada juga berita tentang kelangkaan

20 Dikutip dari http://pwi.or.id21 Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2055 Sabtu 16 Juni 1973

9

Page 10: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

beras dengan harga tidak menentu dan kesediaan beras dengan harga naik yang semula Rp.

55,- per kg menjadi Rp.67,50,- per kg

Berita lain yang banyak dimuat adalah banyaknya proyek bangunan sipil yang dikuasai

perusahaan asing (hampir 90%)22. Hal ini disampaikan dalam “seminar management

problems dan management training needs”. Menurut Prof Ir. Rosseno, ini terjadi karena

Indonesia lemah dalam hal modal dan management.

Informasi lain yang lebih memancing emosi masyarakat adalah headline yang berjudul

“Hutang 7 Milyar Dollar Mengancam Bangsa” dengan sub judul “Pelita II Jangan Hanya

Dinikmati Segolongan Kecil Saja”.23 Kritik lain juga terlihat dari “Program2 Pemerintah

Harus Melindungi Pengusaha2 Kecil”.24 Berita ini jelas menampar pemerintah karena

masyarakat yang semula merasa nyaman dengan kehidupannya mulai sadar akan

ketidakadilan yang dilakukan Soeharto dkk.

Selain kritik-kritik yang disebut di atas, Harian KAMI juga memberitakan demonstrasi dan

aksi-aksi masa yang dilakukan oleh mahasiswa. Misalnya demonstrasi mahasiswa menolak

kedatangn Menteri Pronk, demonstrasi menolak Kedubes Jepang, dan aksi mahasiswa di

depan gedung BI25. Ketiga aksi itu menjadi headline dalam harian KAMI selama bulan

November.

Keberanian KAMI dalam menulis hal-hal tersebut adalah bentuk kesadaran akan fungsi pers

seutuhnya. Harian KAMI dengan slogannya “Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan

Aksi” berusaha menghadirkan kebenaran dan pergerakan dalam meraih keadilan. Koran ini

telah ebrani mengambil resiko di tengah-tengah situasi politik yang memanas. Kenekatan

KAMI menjadikannya target utama pencabutan SIT oleh pemerintah.

Tanggal 15 januari 1974 terjadi huru-hara besar di daerah Senen Jakarta Pusat. Kerusuhan ini

dijadikan moment oleh pemerintah untuk mencabut SIT beberapa koran, termasuk harian

KAMI, dengan alasan bahwa pers lah yang telah mengompori kejadian tersebut. Semanjak

tanggal 16 Januari 1974, Harian KAMI resmi tidak beroperasi.

Peristiwa Malari

22 Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2065 Kamis, 28 Juni 1973..23 Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2183 Sabtu,17 November 1973 24 Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2189 . Sabtu, 24 November 197325 Dikutip dari Harian KAMI : Demi Keadilan, Kebenaran dan Kesatuan Aksi. No 2190-2194 26-30November 1973

10

Page 11: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

15 Januari 1974 adalah puncak kemarahan mahasiswa terhadap kesewenang-wenangan

pemerintah menggunakan dana asing dalam pembangunan negara yang manfaatnya tidak

dinikmati rakyat. Tarif listrik terus naik, beras semakin langka dan harganya semakin tidak

menentu, serta proyek-proyek bangunan sipil mulai dikuasai perusahaan asing. Barang-

barang asing, terutama dari Jepang, makin membanjiri pasar-pasar nasional, menjatuhkan

ekonomi dalam negeri. Hutang Indonesia sebesar tujuh milliar dollar yang dipinjam dari IMF

harus terus dibayar beserta bunga, diperkirakan bisa lunas pada tahun 2030.

Masalah-masalah sosial diatas membuat awal tahun 1974 menjadi awal yang panas bagi

Indonesia. Stabilitas nasional melemah dan aksi-aksi protes mulai hidup, layaknya cacing

yang menggeliat setelah diinjak.

Kesenangan Soeharto menumpuk harta melalui pembangunan yayasan dan perusahaan-

perusahaan besar diikuti oleh para petinggi militer. Soeharto mendirikan yayasan dan

melakukan tindak kolusi dengan memasukkan rekan dan saudara dekatnya untuk mengelola

yayasan tersebut. Kaum elite militerpun tidak mau kalah dan beramai-ramai membuat bisnis

pribadi. Tidak segan-segan mereka bekerja sama dengan perusahaan asing dari Amerika,

China dan Jepang. Sistem kerja sama yang digunakan tidak lain bahwa militer menjadi

pelindung dari rintangan birokrasi yang sering diterima pemodal asing. Penanaman modal

Amerika banyak ditujukan untuk usaha penambangan d luar pulau Jawa sedangkan modal

Jepang banyak diinvestasikan pada perusahaan pembuat barang. Bahkan Jepang menjadi

negara dengan jumlah proyek terbesar 534 juta dolar setelah AS dengan jumlah aset sebesar

935 juta dolar.(Abadi , 4 Desember 1973)26

Kerjasama ini membuat investor betah dan menetap di Indonesia. Eksesnya bagi rakyat mulai

dirasakan ketika pabrik-pabrik tempat mereka bekerja tidak mampu bersaing sehingga rugi

dan harus ditutup. Pengangguran meningkat, masyarakat miskin bertambah, dan gap antara si

kaya dan si miskin makin ketara. Apalagi ketika reklame neon raksasa bertuliskan TOYOTA

dan SANYO terasang di atas gedung-gedung tinggi, masyarakat dan mahasiswa makin

tersulut.

Ada juga cerita lain yang menyebutkan bahwa pada saat itu terjadi perang dingin antara

Soemitro dan Ali Murtopo. Soemitro adalah Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan

Ketertiban (Pangkopkamtib), sedangkan Ali Murtopo adalah Asisten Pribadi (Aspri) Presiden

Soeharto. Soemitro memiiki kekuasaan yang lebih luas karena memegang kendali rastusan

26 Dikutip dari http://redbulletin.wordpress.com

11

Page 12: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

prajurit serta bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Hal ini yang menyebabkan

timbulnya kecemburuan dari Asisten Pribadi Presiden (Ali Murtopo)27. Padahal saat itu Ali

Murtopo juga menjabat sebagai Komandan Opsus28

Pokok permasalahan keduanya ketika Soemitro mengusulkan agar Soeharto membubarkan

Komkaptib dan Opsus, slalu menyerahkan urusan Intelijen kepada BAKIN agar tidak ada

overlaping antara tugas badan intelijen. Selain itu Soemitro berkata

Menurut saya, Ali harus melepaskan diri dari Opsus, supaya BAKIN dapat berfungsi

sebagaimana mestinya. Soalnya, dengan adanya Opsus, bisa terjadi konflik kepentingan

antar intel, misalnya dengan BAKIN atau intel Komkaptib, sehingga wilayah pekerjaan

mereka overlaping. Kadang terjadi ketegangan yang sebenarnya tak perlu. (Ramadhan

KH,1994:233)29

Ali waktu itu menjabat sebagai wakil Kepala BAKIN merasa tersinggung karena ia merasa

bahwa dirinya adalah seorang intel ulung yang berhasil mempropaganda massa pada

peristiwa G30S. Selain itu, keberhasilan Soeharto dalam pemilu 1971 juga tidak lepas dari

kemampuan Ali dan kelompok intelijennya. Intinya, Ali amat diandalkan. Ali dinilai

berambisi menjadi Kepala BAKIN. Dengan segala prestasi yang ia miliki sebenarnya ia

berhak dan mampu meraih posisi itu, namun yang dikhawatirkan adalah prasangka

masyarakat terhadap BAKIN nantinya yang notabene adalah organisasi independen milik

pemerintah. Selain itu Ali juga memiliki citra buruk dimata kelompok HANKAM karena

HANKAM lebih suka membina hubungan dengan Amerika Serikat, sedangkan Ali Murtopo

dan kelompok Asprinya lebih mengandalkan keuntungan minyak yang meningkat tajam.

Akhirnya Soemitro mengajukan agar Ali diangkat menjadi menteri penerangan. Soeharto

setuju namun Ali tidak.

Setelah itu mereka berdua sibuk masing-masing dan Soemitro lebih mendekatkan diri dengan

mahasiswa. Ia sering meyampaikan tiga hal kepada mahasiswa. Pertama, pola kepemimpinan

yang baru yaitu kepemimpinan dua arah dan komunikasi dua arah. Kedua, siapapun yang

berani mengkritik establishment akan populer. Ketiga, mempertegas larangan unjuk rasa.

Dari kedekatan Soemitro dengan mahasiswa dan poin pertama materi yang ia ajarkan,

terdengar selentingan bahwa Soemitro berambisi menggantikan Soeharto. Soemitro terlihat 27 Dikutip dari Dian Andika Winda & Efantino Febriana. Perang Sejarah Para Jenderal. Hlm 7528 Opsus adalah organisasi yang didirikan tahun 1964 dengan berfungsi sebagai gerakan rahasia untuk menyelesaikan konflik Indonesia dengan negara luar. 29 Dikutip dari Dian Andika Winda & Efantino Febriana. Perang Sejarah Para Jenderal. Hlm 76

12

Page 13: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

menjauh dari pemerintah dan memberi semangat kepada mahasiswa untuk bersama-sama

menghajar kelompok aspi. Selain itu Soemitro dianggap tengah mengompori mahasiswa

untuk melakukan aksi unjuk rasa menurunkan Presiden Soeharto. Kali ini Soemitro

membantah tegas.

Perang dingin antara dua jenderal ini yang dirasa melatarbelakangi peristiwa lima belas

januari 1974. Peristiwa itu dimulai ketika mahasiswa dari Bandung dan Jakarta yang

tergabung dalam “Gerakan Mahasiswa Indonesia untuk Indonesia” melakukan aksi

menentang kedatangan Menteri Jan P.Pronk selaku ketua IGGI30 dengan membawa poster

bertuliskan “Modal Asing membantu Kolonialisme Intern”, “”Telah Meninggal dunia :

Modal Pribumi”, “Aduh Mak Sayang, Hatiku Hilang, Minyak Bumiku Disedot Orang,

Sedap”, dll sebagai bentuk perlawanan terhadap modal asing.31

Selain itu terjadi banyak penentangan terhadap China dan Jepang. Pada 13 Agustus 1973

terjadi insiden kecelakaan di Bandung yang melibatkan seorang China yang akhirnya menjadi

penyulut huru hara penghancuran rumah-rumah dan toko warga Tionghoa.32 Dalam kasus ini,

tentara tidak muncul. Ada anggapan bahwa mereka (tentara) justru mendukung aksi tersebut

karena sama-sama muak dengan elite yang menumpuk kekayaan, sedangkan mereka sendiri

tidak mendapat apa-apa.

Pada bulan Agustus-September 1973, konflik tebuka mulai banyak terjadi setelah adanya

berita di media bahwa Thanon Kittakachorn di Muangthai yang terkenal sulit dijatuhkan

ternyata berhasil ditumbangkan, setelah para pemimpinnya meniru aktifitas mahasiswa

Indonesia dalam menurunkan Soekarno 1966. Pemberitaan semacam ini yang membuat

pemerintah marah dan menganggap media menjadi pembakar semangat mahasiswa untuk

melakukan aksi unjuk rasa.33

Di akhir Oktober, mahasiswa di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Makassar dan Medan semakin

sering melakukan diskusi, dan pada tanggal Universitas Indonesia mengeluarkan taringnya

melalui “Petisi 24 Oktober” yang memprotes pelanggaran hukum, korupsi,penyalahgunaan

kekuasaan, kenaikan harga dan pengangguran, serta pertimbangan kembali proyek

pembangunan yang selama ini hanya menguntungkan Golkar. Setelah itu mereka melakukan

30 IGGI atau Inter-Govermental Group On Indonesia yaitu organisasi pemberi dana bantuan luar negeri Belanda kepada negara berkembang31 Diambil dari harian KAMI edisi Senin 12 November 1973 haaman I32 Disunting dari http://redbulletin.wordpress.com33 ibid

13

Page 14: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

aksi unjuk rasa saat Pronk tiba di Jakarta dan meneruskan aksi demonstrasi di depan Hotel

Indonesia saat berlangsungnya pemilihan Miss Indonesia.

Pers yang terkungkung pada masa itu terdorong dari sisi emosional untuk ikut berpartisipasi

mendorong semangat mahasiswa melalui tulisan-tulisan di koran. Harian KAMI menuliskan

judul-judul yang berusaha menarik perhatian dan kesadaran bahwa ada yang tidak beres

dengan negara ini. Beberapa Headline KAMI yang saya dapatkan misalnya “Krisis Minyak

Timbulkan Pengaruh Hebat” (Rabu, 7 Novemer 1973) dan “Hutang 7 Milyar Dollar

Mengancam Bangsa” (Sabtu, 17 November 1973). Berita-berita harian KAMI juga semakin

banyak diisi dengan huru-hara dan kerusuhan mahasiswa disana-sini. Akibatnya, stabilitas

nasional terguncang karena mahasiswa semakin berani berjalan di garda depan. Masyarakat

pun mulai kehilangan kepercayaannya terhadap pemerintah. Hal ini ditunjukkan dengan ikut

sertanya masyarakat dalam aksi massa.

Kemarahan mahasiswa makin berlarut-larut dan mencapai puncakny ketika Perdana Menteri

Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia pada tanggal 14 januari 1974. Pada hari itu

mahasiswa berdemonstrasi ke kantor Ali Murtopo dan membakar boneka Tanaka. Sehari

sesudah itu yakni tanggal 15 Januar 1974, ribuan mahasiswa turun ke jalan dan menyebarkan

selebaran berisi tiga tuntutan rakyat (mereka menggunakan istilah Tritura 74 yang

mengadopsi tuntutan rakyat pada masa Soekarno) yaitu (1) Bubarkan Asisten Pribadi (2)

Penurunan Harga, dan (3) Pemberantasan Korupsi.

Awalnya ini adalah kegiatan menyebarkan poster dan pamlflet serta orasi menentang barang

Jepang. Namunmenjelang tengah hari aksi ini diikuti dengan pembakaran dan penggulingan

mobil-mobil Jepang ke sungai Ciliwung, menghancurkan toko pajangan Astra, dan

membakar serta merampok pertokoan Senen. Kerusuhan ini berlanjut hingga 16 Januari

1974.

ABRI dengan senjata lengkap tidak segan-segan menembakkan peluru dan korban pun

berjatuhan. Menteri Hankam/Panglima Angkatan Bersenjata Jenderal Panggabean dalam

keterangannya di depan DPR hari Senin kemarin menyebutkan jumlah korban dalam

kerusuhan selama 2 hari minggu lalu: 11 orang meninggal, 17 orang lukaluka berat dan 120

orang luka-luka ringan. Di antara yang luka-luka juga terdapat sejumlah anggota ABRI. Saya

pribadi menganggap angka itu sebagai klaim belaka dan jumlah sebenarnya jauh melebihi itu.

Sedangkan kerugian materi menurut Gubernur Jakarta Ali Sadikin meliputi 522 buah mobil

269 di antaranya dibakar, 137 buah motor 94 buah di antaranya dibakar, 5 buah bangunan

14

Page 15: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

dibakar ludes termasuk 2 blok proyek Pasar Senen bertingkat 4 serta gedung milik PT Astra

di jalan Sudirman sementara 113 buah bangunan lainnya rusak. Di samping itu masih tercatat

kerusakan yang dialami oleh 4 buah perusahaan antaranya pabrik minuman Coca Cola di

Cempaka Putih. Namun Jenderal Panggabean yang berbicara di depan sidang pleno DPR hari

Senin kemarin malahan menyebut angka-angka yang lebih besar dari yang disebutkan oleh

Ali Sadikin.Menurut Jenderal Panggabean, dalam huru-hara selama 2 hari minggu lalu

sebanyak 807 mobil dan 187 motor rusak atau hancur, 144 buah gedung rusak atau terbakar

dan 160 kilogram emas hilang.34

Soeharto merasa amat malu karena kejadian ini berlangsung di hadapan tamu negara. Nama

Hariman Siregar selaku Ketua Dewan Mahasiswa UI disebut-sebut sebagai dalang kerusuhan

dan sempat ditahan pada 16 Januari 1974, namun tidak terbukti.35 Ali Murtopo juga sempat

diduga merencanakan kerusuhan ini untuk merusak nama Sumitro. Sumitro sendiri yang

belakangan dekat dengan mahasiswa dituduh ingin melakukan kudeta terhadap presiden dan

alhasil dipecat dengan alasan mengundurkan diri. Jabatan panglima Kopkamtib diserahkan

kepada Sudomo, kawan lama Soeharto.

Belakangan saya membaca sebuah artikel dengan judul “Bagaimana ABRI Menggunakan

Preman” dari web [email protected]. Isinya tidak begitu mengejutkan karena ada

paragraf panjang dari seorang preman penghuni LP Cipinang yang berbunyi:

Dalam politik kita mengenal adagium klasik “tak ada musuh yang langgeng, tak ada kawan

yang abadi. Yang ada hanya kepentngan. Antara ABRI dan preman ternyata juga menyimpan

fenomena hubungan klasik tadi. Pada setiap musim pemilu, preman selalu dimanfaatkan oleh

ABRI dan adik kandungnya, Golkar, untuk memenangkan pemilu. Namun ketika Pemilu usai

maka kembali preman dicampakkan. Bahkan pada awal 80-an ribuan preman dibunuh

secara misterius oleh ABRI. Pada 1996 ini kembali preman mendapat kehormatan

menyelesaikan masalah politik nasional dengan membantai pengikut setia Megawati

Soekarno Putri. Kehormatan yang diterima kurang lebih sama dengan yang diterima

senior mereka pada 1974 dengan order dari Ali Murtopo untuk membakar pasar Senen

dan membuat kerusuhan untuk meredam gerakan mahasiswa pada saat itu.36

Selain pemecatan Soemitro dan “pendubesan” rekan-rekannya, ada satu dampak yang paling

besar dari peristiwa Malari bagi pers di Indonesia. SIT (Surat Izin Terbit) beberapa koran 34 Dikutip dari artikel “musibah bagi golongan menengah (Malari 1974)” dari http://peristiwanasional.worpress35 Dikutip dari Tempo Online, 12 November 198336 Dikutip dari http://www.hamline.edu

15

Page 16: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

harian seperti Indonesia raya, Abadi, The jakarta Times, Pedoman, Ekspres dan KAMI,

dicabut karena dianggap menyulut emosi masyarakat sehingga berani berbuat rusuh di depan

tamu negara. Namun ada beberapa koran yang terbit kembali setelah meminta maaf secara

resmi kepada Presiden, misalnya Berita Yudha.

Kesimpulan

Pada awal orde baru, pers dan pemerintah berjalan berdampingan karena pers merasa orde

baru dapat memberikan sesuatu yang berbeda dari orde lama. Mulanya pers bersedia menjadi

alat propaganda dan penyampai kebijakan kepada masyarakat. Dengan adanya pers,

masyarakat tahu akan keberhasilan program orde baru dan semakin percaya dengan Soeharto.

Dengan begitu stabilitas nasional akan tercipta dengan sendirinya.

Lama kelamaan pers sadar bahwa banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan di dalam

tubuh elite politik, seperti pengambilan utang luar negeri yan tidak diketahui rakyat, tindak

korupsi, kolusi dan nepotisme yang menyebabkan kemiskinan dan kesengsaraan bagi rakyat.

Sebagian pers merasa bahwa mereka harus bersikap lebih kritis dan memberitakan kebenaran

kepada masyarakat.

Beberapa pers seperti Indonesia raya dan KAMI mulai menulis berita-berita yang secara tidak

langsung mengritik cara Soeharto dalam mengedalikan kehidupan ekonomi politik Indonesia.

Melalui berita ini rakyat mulai gelisah dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah. Hal

ini dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi penguasa.

Berita-berita yang dimuat mulai bernada provokatif. Apalagi di bulan November 1973

banyak terjadi aksi menolak modal asing karena rencana kedatangan PM Jepang, Tanaka, ke

Indonesia yang dikhawatirkan membawa maksud penawaran hutang atau investasi sejenis

yang merugikan rakyat.

Di saat yang sama sedang terjadi ketegangan antara asisten pribadi Soeharto, Ali Murtopo,

dengan kepala Pangkopkamtib, Sumitro. Soeharto merasa kecewa karena dua orang

keercayaannya berada di kubu yang berseberangan dan ada indikasi melakukan kudeta

terhadapnya. Kondisi chaos ini makin diperparah dengan posisi pers yang kini juga

mengambil jarak terhadap pemerintah. Puncaknya adalah peristiwa Malari 1974 dimana 12

koran dibredel karena dianggap provokator dan dicopotnya Sumitro dari jabatan

16

Page 17: Pers Dalam Peristiwa Malari 1974

Pangkopkamtib. Mulai saat itu pemerintah bersikap tegas pada siapapun yang berani

menentangnya.

Keberanian pers benar-benar membuat situasi politik berubah drastis. Pemerintah yang

awalnya berwajah manis mengambil hati masyarakat berubah menjadi macan berkuku tajam

yang siap menerkam siapapun yang menghalangi. Aksi demonstrasi mahasiswa tanggal 15

januari 1974 dimanfaatkan oleh Ali Murtopo dengan mengirim preman-preman ke lokasi dan

melakukan penjarahan serta huru-hara. Hal ini bertujuan untuk merusak nama Sumitro dan

melemahkan pers yang sudah dianggap sebagai lawan pemerintah. Malari menjadi

kesempatan emas bagi pemerintah untuk menyingkirkan ketakutannya kepada pers, yakni

melalui pencabutan SIT (Surat Izin Terbit) 12 koran yang dianggap provokatif, salah satunya

Harian KAMI.

Meskipun pada akhirnya dibredel, harian KAMI telah menjalankan fungsinya sebagai

katalisator perubahan dan memperkuat perubahan itu. Hal ini sesuai dengan tiga efek media

terhadap kebijakan menurut Coyne dan Leeson 200937. Efek pertama yakni “gradual effect”

yaitu kemampuan untuk memperkenalkan perubahan dengan mempengaruhi pikiran, persepsi

dan informasi konsumen secara perlahan. Yang kedua, “punctuation effect” yakni

kemampuan media untuk memfasilitasi perubahan. Yang terakhir, “Reinforcement Effect”

yakni kemampuan media untuk menciptakan dan memperkuat pemahaman umum untuk

menciptakan perubahan.

37 Dikutip dari buku Coyne, J Christoher. Media, Development and institutional Change. Hlm. 18

17