dokumen malari

27
Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974) Peristiwa Dan Tokoh Malari 15 Januari 1974 Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara. Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan. Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo. Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan

Upload: tffarizqoyr

Post on 16-Jan-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

malari

TRANSCRIPT

Page 1: Dokumen malari

Peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974)

Peristiwa Dan Tokoh Malari 15 Januari 1974Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974. Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

  Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.  Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari seperti Syahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri

Page 2: Dokumen malari

dengan CSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari

Pada pertengahan Januari 1974, ketika hari masih sangat pagi, Hariman Siregar dibangunkan dari selnya di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat. Sudah dua hari ia ditahan di sana karena dituduh terlibat dalam peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974, yang dikenal dengan sebutan Peristiwa Malari.

Pagi itu, Hariman diperbolehkan keluar dari sel sebentar untuk pergi ke Rumah Sakit St. Carolus, karena Sriyanti, istrinya, dalam kondisi mencemaskan ketika hendak melahirkan anak kembar. Pada saat Hariman sampai di rumah sakit, kabar sedih menerpa: bayi kembar yang baru saja dilahirkan Sriyanti telah meninggal. Esok harinya, Sriyanti pun mengalami koma sebelum akhirnya mengalami hilang ingatan untuk selamanya. Beberapa waktu kemudian, Kalisati Siregar, ayah Hariman, juga meninggal.

Barangkali, itulah masa-masa terberat bagi sosok Hariman Siregar. Setelah dipenjara rezim Soeharto, ia mesti kehilangan anak, ayah, sekaligus menyaksikan istrinya sakit berkepanjangan. “Kalau ingat masa itu, gue jengkel. Membicarakan ini rasanya tidak menyenangkan. Bayarannya tidak imbang. Semuanya sudah habis,” kata Hariman mengomentari masa-masa suram itu.

Kesedihan berat yang menimpa Hariman itulah yang menjadi kisah pembuka dalam buku Hariman & Malari ini. Buku ini merupakan biografi yang ditulis dengan sudut pandang orang ketiga. Bukan memoar yang mengambil sudut pandang orang pertama, yang belakangan marak. Diterbitkan Q-Communication–yang beberapa kali menerbitkan buku biografi tokoh ternama–buku ini ditulis Imran Hasibuan, Airlambang, dan Yosef Rizal dan diterbitkan pada Januari 2011.

Page 3: Dokumen malari

Secara garis besar, ada empat bagian dalam buku ini. Bagian pertama berisi kisah hidup Hariman. Bagian kedua menyuguhkan galeri foto. Bagian ketiga menampilkan komentar para tokoh ihwal sosok Hariman. Sedangkan bagian terakhir mengetengahkan sejumlah tulisan Hariman.

Dalam literatur gerakan mahasiswa di Indonesia, nama Hariman Siregar selalu diidentikkan dengan Peristiwa Malari. Sebagaimana banyak diketahui, Malari adalah julukan yang mencakup dua peristiwa yang berdekatan waktu, meski belum tentu berkaitan. Peristiwa pertama adalah demonstrasi besar-besaran mahasiswa di Jakarta pada 15 Januari 1974.

Aksi itu terutama berkaitan dengan kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, ke Indonesia. Pada hari itu, ratusan mahasiswa dan pelajar melakukan long march dari Universitas Indonesia (UI) di Salemba, Jakarta Pusat, ke Universitas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat.

Tujuan utama aksi itu sesungguhnya menuntut pemerintah mengubah kebijakan pembangunan dan ketergantungan pada modal asing. Selain itu, juga mendesak penguasa menangani secara serius berbagai penyelewengan dan korupsi yang kian merajalela serta penguatan lembaga penyalur pendapat rakyat. Di Trisakti, mereka melakukan mimbar bebas hingga sore hari.

Pada saat hampir bersamaan, terjadi peristiwa kedua, yakni kerusuhan massal di sejumlah sudut kota Jakarta. Massa melakukan pembakaran, perusakan, dan penjarahan terhadap sejumlah gedung. Dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua hari itu, 11 orang meninggal, ratusan mobil dan sepeda motor rusak, serta lebih dari 100 gedung dan bangunan hangus dibakar. Meski para tokoh mahasiswa menyatakan kerusuhan itu tidak ada kaitannya dengan demonstrasi mahasiswa, pemerintah tetap menangkap sejumlah pentolan mahasiswa.

Sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman Siregar ada dalam daftar utama target penangkapan. Dalam pengadilan yang digelar untuknya, ia divonis enam tahun penjara (walaupun prakteknya ia hanya dipenjara kurang dari tiga tahun) karena dianggap melakukan tindakan subversi, yakni merongrong haluan negara.

Setelah dibebaskan dari penjara, naluri aktivis Hariman tidak surut. Ia

Page 4: Dokumen malari

kembali terlibat menyokong gerakan mahasiswa 1978 yang menolak Soeharto sebagai presiden kembali. Setelah itu, nama pria kelahiran Padang Sidempuan, Sumatera Utara, 1 Mei 1950, itu memang tak bisa dilepaskan dari dunia pergerakan hingga sekarang.

Namun, sejatinya, pelekatan Peristiwa Malari di belakang nama Hariman tidaklah tepat. Sebab, faktanya, kerusuhan yang diwarnai pencurian, pembakaran, dan terbunuhnya belasan orang itu merupakan aksi yang sama sekali terpisah dari gerakan mahasiswa ketika itu. Kerusuhan itu juga tidak bisa dibilang 100% inisiatif masyarakat Jakarta yang mendukung aksi-aksi mahasiswa, melainkan lebih cenderung ada tangan ketiga yang menggerakkannya.

Seperti kesaksian mantan Panglima Kopkamtib Jenderal (purnawirawan) Soemitro dalam memoarnya. Menurut dia, kelompok “jaringan intel lepas” Opsus (Operasi Khusus) di bawah komando Ali Moertopo yang paling bertanggung jawab atas peristiwa kelam itu. Ia menunjuk serangkaian rapat rahasia kelompok itu yang dilakukan beberapa kali menjelang Peristiwa Malari pecah. Dengan kesaksian ini, tampak bahwa Hariman hanyalah kambing hitam tragedi nasional itu. Jadi, bila menyebut Hariman sebagai tokoh sentral Peristiwa Malari, sama saja dengan membenarkan pengambinghitaman tersebut.

Buku Hariman & Malari mengisahkan dengan cukup rinci bagaimana jejak politik Hariman dimulai, perkembangannya, hingga kondisinya pada masa setelah reformasi. Ia dibesarkan dalam keluarga yang berafiliasi pada Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ibunya pun cukup aktif dalam Gerakan Wanita Sosialis, organisasi onderbouw PSI. Bahkan, setelah berkeluarga, mertuanya yang sekaligus guru politiknya adalah tokoh partai itu: Prof. Dr. Sarbini Soemawinata.

Yang cukup menarik, ternyata pada masa awalnya menjadi aktivis, Hariman pernah dekat dengan Ali Moertopo, seorang asisten pribadi Presiden Soeharto. Dengan dukungan dari kelompok Ali Moertopo pula, Hariman berhasil meraih kursi Ketua Dewan Mahasiswa UI, mengalahkan pesaingnya dari Himpunan Mahasiswa Islam yang ketika itu sangat berpengaruh di UI. Meski begitu, segera setelah terpilih sebagai Ketua Dewan Mahasiswa UI, Hariman menunjukkan independensinya dari Ali Moertopo.

Tragisnya, ia lalu menjadi korban dalam tarik-menarik rivalitas dua

Page 5: Dokumen malari

petinggi tentara di lingkaran kekuasaan ketika itu: Ali Moertopo di satu pihak dan Soemitro di pihak lain. Soemitro dicurigai membahayakan kedudukan Pak Harto dengan menggalang dukungan mahasiswa. Malah, dalam dokumen yang dikenal dengan Dokumen Ramadi disebutkan, Soemitro hendak merebut kekuasaan dari tangan Soeharto.

Dalam keterangan resminya ketika itu, pemerintah menyebutkan keterlibatan PSI dan Masyumi yang dicap sebagai kelompok ekstrem kanan dalam tragedi nasional itu. Hal itu disampaikan Presiden Soeharto dalam sidang kabinet dan pada saat bertemu dengan para pemimpin partai politik. Disebutkan pula keterlibatan mantan anggota Partai Nasional Indonesia poros Ali-Surachman dan kalangan tentara yang memiliki ambisi pribadi. Malah, lebih jauh, pemerintah menuding adanya dukungan pihak asing yang ikut menyusun rencana dan mendanai gerakan itu.

Kisah menarik lainnya adalah peran Hariman ketika B.J. Habibie menjadi presiden. Pada waktu itu, Hariman termasuk orang dekat dengan Habibie. Ia bahkan mengerahkan sejumlah rekan aktivisnya untuk mendukung Habibie menjelang sidang umum MPR pada Oktober 1999. Hariman berupaya agar anggota MPR menerima laporan pertanggungjawaban Habibie, sehingga kemungkinan Habibie menjadi presiden lagi terbuka lebar.

Tapi laporan pertanggungjawaban itu ditolak. Habibie memutuskan tidak maju sebagai calon presiden. Sejak itu hingga sekarang, Hariman berada di lingkar luar kekuasaan dengan mengelola Indonesian Democracy Monitor (Indemo). Seiring dengan perubahan zaman, Hariman tidak lagi memainkan peran sentral dalam politik Indonesia.

Penerbitan buku ini barangkali adalah bagian dari upaya mengingatkan bahwa Hariman pernah punya peran penting dalam sejarah Indonesia. Sebagai tugu pengingat, buku ini bisa dikatakan bagus, meski –seperti umumnya biografi– isi buku ini terlalu banyak puja-puji dan minim kritik.Demikianlah Peristiwa Dan Tokoh Malari 15 Januari 1974.

Wikipedia:

Peristiwa Malari (Malapetaka Limabelas Januari) adalah peristiwa demonstrasi mahasiswa dan kerusuhan sosial yang terjadi pada 15 Januari 1974.

Page 6: Dokumen malari

Peristiwa itu terjadi saat Perdana Menteri (PM) Jepang Tanaka Kakuei sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08.00, PM Jepang itu berangkat dari Istana tidak dengan mobil, tetapi diantar Presiden Soeharto dengan helikopter dari Bina Graha ke pangkalan udara.

Kedatangan Ketua Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), Jan P. Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi antimodal asing. Klimaksnya, kedatangan PM Jepang, Januari 1974, disertai demonstrasi dan kerusuhan.

Usai terjadi demonstrasi yang disertai kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, Jakarta berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Panglima Kopkamtib, langsung mengambil alih jabatan itu. Jabatan Asisten Pribadi Presiden dibubarkan. Kepala Bakin, Sutopo Juwono digantikan oleh Yoga Soegomo.

Ali Moertopo dan Peristiwa Malari [sunting]

Dalam peristiwa Malari Jenderal Ali Moertopo menuduh eks PSII dan eks Masyumi atau ekstrem kanan adalah dalang peristiwa tersebut. Tetapi setelah para tokoh peristiwa Malari sepertiSyahrir dan Hariman Siregar diadili, tidak bisa dibuktikan bahwa ada sedikitpun fakta dan ada seorangpun tokoh eks Masyumi yang terlibat di situ. Belakangan ini barulah ada pernyataan dari Jenderal Soemitro (almarhum) dalam buku Heru Cahyono, Pangkopkamtib Jendral Soemitro dan Peristiwa Malari bahwa ada kemungkinan kalau justru malahan Ali Moertopo sendiri denganCSIS-nya yang mendalangi peristiwa Malari [1].

Kompas:

Menurut asvi warman adam, kontroversi sejarah indonesia disebabkan oleh 3 hal, 1)

interpretasi yang tidak tepat; 2) fakta yang tidak lengkap; dan 3)fakta dan interpretasi

yang tidak jelas. Begitu juga yang terjadi pada tragedi-tragedi sejarah yang terjadi

pada masa orde baru, hampir semuanya merupakan kontroversi yang belum

terpecahkan sepenuhnya hingga sekarang. Selain karena termasuk sejarah

kontemporer sehingga bukti-bukti kejadian belum terungkap seluruhnya,

meninggalnya tokoh kunci orde baru (Soeharto) juga menjadi penyebab kenapa

tragedi pada masa orde baru banyak meninggalkan teka-teki.

Page 7: Dokumen malari

Salah satu kejadian yang cukup kontroversial pada orde baru adalah peristiwa

malapetaka 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan Malari. Peristiwa ini

terjadi tepat pada saat kunjungan Perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke

Indonesia. Jepang pada saat itu dianggap sebagai pemeras ekonomi Indonesia

karena mengambil lebih dari 53% ekspor (71% diantaranya berupa minyak) dan

memasok 29% impor Indonesia, selain itu investasi jepang yang semakin bertambah

dari waktu ke waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil

pribumi. Hal ini mendapat perhatian dari masyarakat khususnya kalangan

mahasiswa. Tepat pada hari kedatangan PM Jepang Tanaka, mahasiswa se-

Indonesia melakukan aksi bersama di pusat ibukota. Pergerakan ini dipimpin oleh

Hariman Siregar yang saat itu menjabat sebagai ketua DMUI. Aksi apel besar yang

dipusatkan dihalaman Universitas Trisakti ini tadinya merupakan aksi damai, namun

tanpa disangka yang terjadi adalah perbuatan anarki diberbagai tempat di wilayah

ibukota. Mobil, motor dan produk elektronik Jepang semuanya dibakar, bahkan

gedung-gedung dan pusat perbelanjaan di Senen, Harmoni, pun ikut dibakar.

korban-korban berjatuhan, dari yang luka kecil bahkan sampai korban jiwa ada.

Total terdapat 11 korban jiwa, 75 luka berat, ratusan luka ringan, 775 orang ditahan,

807 mobil dan 187 motor dibakar, 160 kg emas raib. Selain itu terdapat 144 gedung

yang porakporanda termasuk gedung Astra Toyota Motors, coca-cola, Pertamina,

dan puluhan toko di proyek Senen.

Setelah diusut ternyata terdapat oknum-oknum gelap dibalik peristiwa Malari itu.

Kenyataanya aksi pelajar dan mahasiswa itu telah ditunggangi oleh pihak tak

bertanggung jawab. Pada siang hari itu, mahasiswa dan pelajar sedang melakukan

apel besar untuk menolak modal Jepang terkait kedatangan PM Jepang, namun

ternyata terdapat mahasiswa selundupan yang diduga telah dibayar oleh seseorang

asisten pribadi presiden bernama Ali Moertopo untuk melakukan provokasi terhadap

masyarakat agar melakukan kerusuhan sehingga terkesan kalau mahasiswa

merupakan dalang dibalik kerusuhan ini. Ternyata peristiwa Malari ini bukan

peristiwa yang sederhana, terdapat banyak faktor dan latar belakang yang

menyebabkan peristiwa ini terjadi.

Dualisme (adanya dualisme yang terjadi dalam tubuh kekuasaan)

Page 8: Dokumen malari

Pada awal masa pemerintahan orde baru, Indonesia berada pada keadaan ekonomi

yang sangat buruk. Zaman orde lama yang sangat fokus pada manifesto politiknya

meninggalkan masalah ekonomi pada masa orde baru, akibatnya terjadi inflasi

besar-besaran, hutang yang menumpuk dimana-mana dan banyak masalah lainnya.

Soeharto yang saat itu menjabat sebagai presiden akhirnya membuat sebuah badan

pembangunan nasional yang terdiri dari ekonom-ekonom anak buah soemitro

djojohadikusumo. Tim yang disebut dengan ‘Mafia Berkeley’ karena hampir seluruh

anggotanya merupakan lulusan University of California, Berkeley ini merupakan

teknokrat yang menentukan seluruh kebijakan ekonomi dan anggaran negara pada

masa itu. Tim ini terdiri dari dosen-dosen Universitas Indonesia yaitu, Widjojo

Nitisastro, Emil Salim, Ali Wardhana, J.B. Soemarlin, dan Dorodjatun Koentjoro-

Jakti. Para teknokrat ini cukup berhasil dalam memulihkan keadaan ekonomi

indonesia dengan kebijakan-kebijakan kapitalisnya namun cukup berimbas buruk

pada ekonomi rakyat. Hal ini terjadi karena Indonesia berada pada keadaan dimana

ekonomi nasional  harus cepat dipulihkan. Kemudian para teknokrat itu pun

membuat sebuah undang-undang mengenai penanaman modal asing dan

melakukan kerja sama dengan IMF. Hal ini membuat hutang Indonesia meningkat

drastis dalam waktu yang cepat.

Namun selain tim teknokrat Widjojo cs. Soeharto juga memiliki dua orang asisten

pribadi yaitu Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardhani. Ali Moertopo adalah kepala

operasi khusus (opsus) dan juga Aspri Presiden, hal ini membuatnya memiliki

kekuasaan lebih untuk mengintervensi dan mengambil keputusan sendiri.

kekuasaan ini digunakan untuk menaklukan lawan-lawan politiknya atau siapapun

yang menghalangi jalannya. selain itu Ali Moertopo juga memiliki sebuah lembaga

studi yang didirikan bersama Pater Beek untuk menjadi dapur dan think tank bagi

pemerintah untuk mengkonsep sistem dan kebiajakan negara selanjutnya yaitu

CSIS.  Lembaga ini didukung oleh ilmuwan-ilmuwan lulusan eropa seperti Pang Lay

Kim, Daoed Joesoef, Soedjati, Harry Silalahi, dan Hadisoesastro. Dari diskusi

lembaga ini mengenai kebijakan yang seharusnya diambil oleh negara kedepan

kemudain dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran

mengenai Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun”. Buku ini diterbitkan

Page 9: Dokumen malari

sendiri oleh lembaga studi tersebut dan mengatasnamakan Jenderal Ali Moertopo

sebagai pengarangnya.

Dari kedua kubu inilah (ASPRI dan Teknokrat) kebijakan politik dan ekonomi

nasional diambil. Dari kedua kubu ini jugalah kedisharmonisasian antar elemen

aparatur negara terjadi. Dualisme ini muncul karena kebijakan masing-masing kubu

bertolakbelakang. Yang lebih aneh lagi adalah ketika presiden Soeharto mengambil

kebijakan untuk menjalankan langkah-langkah sesuai buku “Dasar-dasar Pemikiran

mengenai Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” dari kubu Ali Moertopo

dengan CSIS-nya namun menyerahkan tugas untuk menjalankanyannya pada

Widjojo Nitisastro dengan tim Teknokratnya.

Persaingan Dua Jenderal

Selain Ali Moertopo, orang yang memiliki power dalam kepemerintahan adalah

Pangkopkamtib Jenderal Purn. Soemitro. Soemitro dalam buku Pangkopkamtib

Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974 mengakui kalau ada usaha untuk

menetralisir dirinya yang dilakukan oleh Ali Moertopo. Hal ini dilakukan karena pak

mitro dianggap menjadi penghalangnya dalam  melakukan pengambil alihan

kekuasaan dari Jenderal Soeharto. Ali Moertopo sendiri dalam buku itu digambarkan

sebagai orang yang idealis. ‘Ali merupakan orang yang idealismurni dimana gerak-

langkahnya didalam hidup dimotivasi oleh idealisme dan ambisi, dan bukan oleh

dorongan uang, Namun sayangnya yang salah adalah permainan Ali Moertopo yang

kurang terpuji, dengan budaya, mental, pola, dan tata pikir peninggalaan zaman

Nasakom. ’.

Ali Moertopo dipercaya menjadi asisten pribadi Soeharto karena keberhasilannya

melaksanakan tugas operasi khususnya meminimalisir jumlah partai sebagai

partisipan pemilu dan menambah jumlah anggota partai Golkar. Hal ini diperintahkan

oleh presiden dan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan Soeharto dan rezim

orde baru. Kepercayaan ini dimanfaatkan oleh Ali Moertopo untuk menjalankan

rencana-renacannya dalam mencapai kursi presiden.

Adapun langkah-langkah yang dia lakukan adalah membuat sebuah gerakan yang

mampu membantunya dalam menggalang dukungan, akhirnya Ali mengambil alih

Page 10: Dokumen malari

GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam) yang bermarkas di jalan

Timor, Jakarta. Organisasi ini tadinya sudah hampir mati karena tekanan PKI pada

masa revolusi namun kemudian pada tahun 1972 Ali mencoba menghidupkannya

kembali dengan berusaha menarik partai tersebut ke Golkar. Lalu dijadikan sebagai

wadah untuk menampung bekas-bekas pemberontak Darul Islam termasuk Dodo

Kartosuwiryo, anak SM Kartosuwiryo, untuk bekerja padanya.

Kemudian Ali mulai melakukan penggalangan pendukung di kaum pemuda dengan

membentuk Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Dalam buku

Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974 juga disebutkan

kalau naiknya Hariman Siregar menjadi ketua DMUI adalah karena usaha Ali

Moertopo (walaupun selanjutnya Hariman sendiri yang menjadi salah satu tantangan

besar bagi Ali.)

Sedangkan Soemitro dalam mencari dukungan melakukan kunjungan ke kampus-

kampus di Indonesia, kecuali UI. Dalam setiap pidatonya di kampus kunjungannya,

ia selalu menyinggung malasah ‘bentuk kepemimpinan baru’. Kemudian ini oleh

sebagian pihak dianggap sebagai bentuk sosialisasi dalam menggalang dukungan

untuk menggantikan Soeharto namun dia berdalih kalau dia melakukan kunjungan

ke kampus-kampus karena disuruh oleh Soeharto untuk meredakan dan

menenangkan keresahan mahasiswa akibat keadaan negara saat itu.

Mahasiswa sebagai kaum intelektual juga memainkan peranan penting dalam

terjadinya peristiwa Malari. Banyaknya masalah yang terjadi setelah pemilu tahun

Page 11: Dokumen malari

’71 seperti, cukong-cukong China yang sejahtera sementara pengusaha pribumi

banyak yang gulung tikar, invasi produk Jepang, pembangunan Taman Mini

Indonesia Indah sebagai proyek mercusuar disaat ekonomi belum stabil sepenuhnya

menyebabkan munculnya gerakan yang dibentuk kaum intelektual saat itu—

misalnya Aksi Pelajar 70, Komite Anti Korupsi, Komite Anti Kelaparan, dan Anti TMII

—dan ikut menghangatkan suhu politik.

Dilatarbelakangi oleh kejayaan angkatan ‘66 pada masa revolusi, kemudian

keberhasilan  mahasiswa thailand dalam menggulingkan presiden mereka, Thanom

Kittiakachorn pada oktober 1973 juga membuat mahasiswa terpicu untuk melakukan

sebuah perubahan.

Kronologi kejadian

Peristiwa Malari sendiri bukanlah satu-satunya kejadian yang terjadi akibat masalah

ekonomi pada saat itu. Jauh sebelum Malari terjadi telah ada aksi-aksi lain yang

sebenarnya menjadi menjadi pemicu terjadinya Apel Tritura jilid II pada tanggal 15

Januari 1974 yang berujung huru-hara itu.

Diskusi ’28 Tahun Kemerdekaan Indonesia’

Acara ini digelar oleh Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pada tanggal 13-16

Agustus 1973 dengan mengundang Soebadriosastrosatomo, Syafruddin

Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB. Simatupang kesimpulan dari diskusi ini

adalah:

Perlunya praktik politik dan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dan

bukan sekedar diskusi-diskusi.

Dikalangan generasi muda dan tua masih terdapat perbedaan pandangan mengenai

struktur politik serta lebih banyak kondisi dihadapi dalam merumuskan strategi

bersama.

Ada dua pandangan dalam melihat praktik kekuasaan yaitu, melihatnya dari luar dan

mengbahnya dari dalam.

Page 12: Dokumen malari

Petisi 24 Oktober

Untuk memperingati sumpah pemuda DMUI menggelar sebuah diskusi yang

mengundang perwakilan dari tiap-tiap angkatan mahasiswa: ’28, ’45, ’66. Adapun

untuk pembicara adalah Soediro (perwakilan angkatan 28), B.M. Diah (mewakili

angkatan 45), Cosmos Batubara (mewakili angkatan 66), dan juga Hariman Siregar.

Ada juga pembicara lain seperti Emil Salim dan juga Frans Seda.

Dari hasil diskusi ini lahirlah ‘Petisi 24 Oktober’ yang dibacakan di Taman Makam

Pahlawan Kalibata.

Ikrar 10 November 1973

untuk memperingati hari pahlawan para mahasiswa yang terdiri dari 8 dewan

mahasiswa antara lain UI, ITB, dan UNPAD. Membacakan sebuah ikrar mengenai

kesatuan tekad dan meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa.

Kedatangan J.P. Pronk (ketua IGGI)

Kedatangan ketua IGGI, sebuah organisasi yang mengatur hutang di Indonesia,

disambut dengan demonstrasi dan poster-poster berisi kalimat protes dari

mahasiswa. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga di Yogyakarta.

Diskusi tanggal 30 November 1973

Diskusi mengenai untung rugi modal asing ini diadakan di Balai Budaya Jakarta oleh

eks anggota Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia seperti, Mochtar Lubis, Adnan

Buyung Nasution, Yap Thiam Hien. Diskusi ini menghasilkan sebuah ikrar yaitu ‘Ikrar

Warga Negara Indonesia’ yang ditanda tanganni oleh 152 orang yang hadir.

Malam tirakatan 31 Desember 1973

Pada malam tahun baru ini DMUI menggelar sebuah malam renungan yang dihadiri

oleh dosen dan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Malam itu Hariman

Siregar membacakan sebuah pidato yang berjudul ‘Pidato Pernyataan Dari

Mahasiswa’. Pidato itu dituding menjadi seruan untuk gerakan makar terhadap

Page 13: Dokumen malari

pemerintah. Dalam pidato itu menunjukkan bukti peran pemuda akan kepedulian

terhadap keadaan bangsa dan pemuda bisa melakukan perubahan.

12 Januari 1974

Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diwakili oleh ketua dewan

mahasiswa masing-masing bertemu dengan presiden. Pertemuan ini menghasilkan

6 tuntutan mengenai pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi.

Karena tidak puas dengan hasil diskusi bersama presiden akhirnya seluruh

mahasiswa yang hadir berkumpul kembali di Student Center UI di Salemba mereka

memutuskan untuk melakukan sebuah apel akbar di halaman utama Universitas

Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974 untuk membacakan kembali tuntutan mereka.

Pada tanggal 14 Januari 1974, PM Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia.

Dia disambut dengan demonstrasi kecil-kecilan di lapangan terbang Halim

Perdanakusuma, kejadian ini membuat pemerintah memperketat penjagaan

terhadap seluruh aksi mahasiswa.

Tepat keesokan harinya, 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa dan pelajar

berkumpul di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba, untuk melakukan

longmarch ke halaman Universitas Trisakti. Rencananya nanti mereka akan

membacakan Tritura Jilid II yang berisi 1) Bubarkan Aspri, 2)hentikan modal asing,

3)hukum para koruptor.

Namun kejadian ini digunakan oleh pemerintah untuk menjatuhkan mahasiswa. Ada

Invicible Hand yang menyusupkan orang-orang bayaran untuk mengacaukan aksi

dan melakukan provokasi sehingga terjadi huru-hara. Diduga orang yang melakukan

ini adalah Ali Moertopo namun ada juga indikasi kalau Soeharto sendiri yang

melakukan ini untuk menghentikan aksi mahasiswa.

Dari penjabaran diatas dapat ditarik kesimpulan kalau peristiwa Malari merupakan

rekayasa dan belum bisa dibuktikan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.

Kebanyakan Sumber-sumber tertulis menyatakan kalau Ali Moertopo berada

dibelakang ini semua namun karena yang bersangkutan telah tiada maka tak ada

kepastian mengenai hal ini. Satu-satunya tokoh kunci yang menulis tentang

Page 14: Dokumen malari

peristiwa ini hanyalah Jend. Purn. Soemitro dan Hariman Siregar, selain itu tak ada

pengulasan khusus mengenai peristiwa  Malari.

Dari essai ini juga bisa ditarik kesimpulan kalau pemuda intelek khusunya

mahasiswa sangat berpengaruh terhadap perubahan suatu bangsa. Apabila

mahasiswa tak dipenuhi tunututannya (yang bermanfaat tentunya) bukan tak

mungkin peristiwa sejenis Malari bisa terulang. Maka sudah seharusnya ada

keharmonisan dan hubungan yang baik antara penguasa dengan kaum intelektual

untuk membangun bangsa yang lebih baik.

Sumber Bacaan

Cahyono, Heru. Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari

’74. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1998.

Hasibuan, Imran dkk. Hariman & Malari, Gelombang Aksi Mahasiswa

Menetang Modal Asing. Jakarta: Q-Communication. 2011.

Cahyono, Heru. Peranan Ulama Dalam Golkar 1971-1980, Dari Pemilu

Sampai Malari. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1992.

Hisyam, Muhamad. Krisis Masa Kini Dan Orde Baru, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia. 2003.

Adam, Asvi Warman. Seabad Kontroversi Sejarah. Yogyakarta: Penerbit

Ombak. 2007.

Ricklefs, M.C. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: Serambi. 2010.

Artikel koran

Harian Kompas 12 Januari 1947, No.165, Thn. Ke-IX

Harian Kompas 16 Januari 1947, No.168, Thn. Ke-IX

http://www.scribd.com/doc/45659945/Peristiwa-15-Januari-1974 ditulis oleh

Peter Kasenda, diakses pada 7 Januari 2012, pukul 8.40

Sejarah:

Jejak Soeharto : Peristiwa Malari “The Shadow of an Unseen Hand”

Page 15: Dokumen malari

Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989),

kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal

mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.

Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari”, tercatat

sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807

mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat.

Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini

hanya dapat dialami dan dirasakan (akibatnya). Tetapi tidak untuk diungkap secara

tuntas. Berita di koran hanya menyingkap fakta yang bisa dilihat dengan mata

telanjang.

Peristiwa Malari itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang

berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut

kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga

ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara.

Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut berangkat dari Istana

tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan

helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa

suasana Kota Jakarta masih mencekam.

Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa

long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu

mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi

mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan

ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.

Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. “Sedangkan kerusuhan terjadi

satu jam kemudian,” katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu

menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan

penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.

Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro

sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha

membelokkan gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. “Ayo, ikut saya,

Page 16: Dokumen malari

kita jalan sama-sama ke Kebayoran!” teriaknya. “Maksud saya, mau membuat

tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas….”

Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku

sudah menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah

bersedia, tetapi DM-UI menjawab bahwa “dialog diganti dengan dialog jalanan….”

Tetapi Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas,

ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta

ratusan bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari

sejumlah toko perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka

menumpang helikopter ke Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya.

Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa

Universitas Indonesia saat itu, diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan

tindakan subversi. Setelah empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara mesti ia

tanggung.

“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman ketika ditemui,

Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel

prodeo itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya

meninggal.

Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab,

menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, setelah itu

Soeharto melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah

peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.

Page 17: Dokumen malari

Total aparat menggaruk 750 orang-50 di

antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan, seperti Hariman Siregar,

Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid.

“Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue

ditangkap,” Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima

Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud

meredam aksi mahasiswa.

Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari

mereka dibebaskan setahun setelah meringkuk di penjara, karena terbukti tak

terlibat. Pengadilan berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman.

Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya

sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang.

Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum

intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo,

Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis

tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali

Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di

kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini–

meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)–dapat kiranya disebut

permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).

Page 18: Dokumen malari

Setelah terjadi demonstrasi yang disertai

di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun

menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib dan

langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala

BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.

Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena

peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak

tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua

orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa

mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya,

antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan

untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun

secara mental.

Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu

tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih

sistematis.

Malari sebagai Wacana

Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks

dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo

berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15 Januari 1974. Tetapi lima hari

setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi

Kepala BAKIN.

Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi

yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap

kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16

Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara,

Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan

Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI

JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Kumulasi dari

aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka

pada Januari 1974 yang disertai bukan demonstrasi tetapi juga kerusuhan.

Page 19: Dokumen malari

Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998)

terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang

merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono

Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha

Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering

berulang pada era Orde Baru. Bahkan mungkin bisa berjalan sampai hari ini.

Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh

Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan

Rp 30 juta untuk membayar para preman. Sementara Roy Simandjuntak

mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu–antara lain perusakan

mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola–dilakukan untuk merusak citra

mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono,

1992:166).

Sebaliknya dalam “dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang

kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya “ada seorang Jenderal berinisial S

akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April

hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi

dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam

“dokumen” itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.

Keterangan yang diberikan Soemitro dan Ali Moertopo berbeda, bahkan

bertentangan. Mana yang benar: Soemitro atau Ali Moertopo? Kita melihat

kerusuhan, pelaku di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa sebetulnya aktor

intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan beberapa waktu

kemudian meninggal secara misterius dalam status tahanan.

Pintu tertutup untuk PSI

Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut

pemikiran politik “pluralis modern”. Kelompok ini-seperti yang ditulis David

Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)-

meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.

Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam

menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin

elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.

Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto.

Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.

Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor

200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi

karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia.

Page 20: Dokumen malari

Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-

benar terkubur.

Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan

suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya

berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.

Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari

Malari karena dinyatakan “bersih” oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal

tersebut. “PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah

hilang.”

Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih

berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir.

“Banyak juga anak muda yang tertarik.”

Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak

berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta

memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya

tak pernah padam.

Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan.

Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada

kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa

Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan

berperan penting dalam proses politik Orde Baru.

Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan

Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok

tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi

Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat

dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam

XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.

Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan

Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran

mereka dianggap simpatisan PSI.

Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar

bagi PSI untuk come back. “Karena kesempatan kami terbuka,” ujar Rahman

Tolleng.

Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf

dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal

Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf

Page 21: Dokumen malari

pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi

Soeharto.

Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat

antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.

Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada

Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan

Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? “Militer tidak perlu alasan. Bagi saya

jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,” ujar Sadli dalam wawancara

dengan Tempo pada 1999.

Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran

untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan

program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.

Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan

Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi

Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia

Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam

disambut baik.

Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar

Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih

sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri,

termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak

independen. Adam Malik berkomentar, “Independent group sudah mati sebelum

lahir.”

Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap

kritis grup itu kepada Soeharto.

Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan

Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng,

Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto

membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI

baru. “Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan

demokrasi,” kata Soeharto ketika itu.

Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah “markas” independent group,

beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi

mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat

Gotong Royong.

Page 22: Dokumen malari

Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan:

membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh

intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.

Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di

antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang

satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini “mati” setelah

Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.

Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini

Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik

merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut

selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.

Rahman Tolleng-di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong

mewakili Fraksi Golkar pada 1969-berpendapat bahwa sistem pemilihan umum

seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem

distrik dianut Amerika Serikat.

Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih.

Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide

sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.

Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan

sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974.

Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai

puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha,

dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.

Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan

oposisi masa Orde Baru. “Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan

PSI, termasuk orang-orangnya,” kata Rahman Tolleng.

Seperti yang dikatakan William Frederick (2002) kita hanya bisa sekedar

melihat the shadow of an unseen hand (bayangan dari tangan yang tidak kelihatan).

Sebagian sejarah Orde Baru–termasuk persitiwa Malari 1974–masih gelap (karena

digelapkan).

Referensi : Seabad Kontroversi Sejarah, Asvi Warman Adam Arsip Majalah Tempo, Lari dari Malari Arsip Majalah Tempo,  Pintu tertutup bagi PSI