pernyataan mengenai tesis dan sumber informasi · conservation value areas (hcva) di perkebunan...
TRANSCRIPT
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Ekonomi Pengelolaan High
Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT.
Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Mustaghfirin
NIM H351100081
ABSTRACT
MUSTAGHFIRIN. The economic impact of High Conservation Value Areas
(HCVA) management on palm oil estate (Case study: PT Inti Indosawit Subur
Kebun Buatan, Riau Province). Under the supervision of YUSMAN SYAUKAT,
DODIK R. NURROCHMAT and NYOTO SANTOSO.
The global demand for palm oil was growing rapidly. Palm oil was consumed
world wide and constituted the vegetable oil with the highest level of market
penetration. Indonesia was the largest producer of palm oil in the world while
Malaysia was the leading exporter of palm oil, accounting for 46% of global exports.
The production of palm oil was associated with many sustainability issues, including
deforestation, erosion of biodiversity and violation of social rights. The Roundtable
on Sustainable Palm Oil (RSPO) as the concern these issues of European driven
initiative of the World Wide Fund for Nature (WWF). The palm oil estate was rarely
focused on the cost and benefit analysis in calculating the economic valuation and
financial projection on High Concervation Value Area (HCVA) as the
prerequirement of RSPO certification. This research was done to analyze the
economic impact of HCVA management in palm oil estate. The research spent for
three month in PT IIS (Riau). The method was used; The Total Economic Value
(TEV) analysis, the cost benefit analysis, the financial and economic analysis, and
the stakeholder analysis on managing HCVA. Based on this calculation, the amount
of TEV showed Rp 1.321.847.970,00 per year for PT IIS Kebun Buatan. There were
three scenarios used; with HCVA, (NPV: Rp 655.616.430.602,00), with
HCVA+0.35% (NPV: Rp 664.005.845.480,00) and without HCVA (NPV : Rp
667.346.030.004,00). Premium price for 0.35% was not feasible for the palm oil
Industry. The stakeholder analysis showed the palm oil industry, GAPKI and Sawit
Watch as the key players for the HCVA management.
Keywords : HCVA, total economic value, cost benefit analysis
RINGKASAN
MUSTAGHFIRIN. Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value
Area (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit
Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau). Dibimbing oleh : YUSMAN SYAUKAT,
DODIK R. NURROCHMAT and NYOTO SANTOSO.
Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit tumbuh secara cepat.
Tingginya permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh
peralihan pola konsumsi dunia dari lemak-trans. Minyak kelapa sawit dikonsumsi di
seluruh dunia dan memiliki tingkat penetrasi pasar tertinggi. Peningkatan permintaan
dunia terhadap minyak kelapa sawit menimbulkan konsekuensi berupa perluasan
areal untuk perkebunan kelapa sawit, meskipun melalui konversi hutan. Hal ini
mendorong munculnya isu keberlanjutan seperti deforestasi, loss biodiversity, dan
perubahan iklim terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit. Isu lingkungan yang
paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai
konservasi tinggi.
Kepedulian kalangan pengusaha dan pebisnis di sektor minyak kelapa sawit
terhadap isu keberlanjutan ditunjukkan melalui kesediaan mereka melakukan
pertemuan dengan membentuk RSPO. RSPO merupakan organisasi yang mengelola
penetapan standar sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dengan
mensyaratkan pengelolaan High Conservation Values (HCV) atau Nilai Konservasi
Tinggi (NKT) yang ada (Panduan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 2008).
Pengelolaan HCVA memberikan dampak ekonomi bagi perusahaan dan masyarakat.
Hal ini terkait penurunan produksi TBS dan biaya pengelolaan HCVA. Perkebunan
kelapa sawit yang sudah tersertifikasi RSPO belum mendapatkan harga kompensasi
(premium price) yang layak dan adil. Hal inilah menjadi permasalahan bagi palm oil
grower selaku sebagai pengelola HCVA.
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi
dari pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit dari penelitian ini adalah.
Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengestimasi nilai ekonomi kawasan
High Conservation Values Area (HCVA), (2) Menganalisis dampak ekonomi dan
finansial pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit, (3) Mengevaluasi
pengaruh perubahan harga (premium price), biaya dan luasan areal perkebunan
kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA dan (4) memformulasikan strategi kebijakan
pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan pada April-Juni 2012 yang berlokasi di
Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS KB, Kabupaten Pelelawan, Provinsi
Riau.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis nilai
ekonomi total yang diformulasikan oleh Pearce (1993), Nilai Ekonomi Total = Nilai
Guna Langsung+ Nilai Guna Tidak Langsung+ Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan,
analisis finansial dilakukan untuk menilai kelayakan finansial pengelolaan HCVA
dengan menggunakan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Intenal Rate of
Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Analisis biaya manfaat digunakan untuk
mengalisis dampak ekonomi pengelolaan HCVA dan analisis stakeholder dengan
metode analytical categorization untuk memformulasikan startegi kebijakan
pengelolaan HCVA.
Hasil identifikasi HCVA di PT. IIS Kebun Buatan seluas 89.96 ha (Tim HCV
Fahutan IPB). Hasil estimasi nilai guna langsung sebesar Rp 1.202.505.810,00 per
tahun. Nilai guna langsung merupakan komponen pembentuk nilai ekonomi total
dengan kontribusi terbesar (90.97%). Nilai tersebut tentu saja memberikan kontribusi
terbesar pada penjumlahan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan yang disebabkan
karena tingginya penggunaan sumberdaya air yang dihasilkan oleh sungai Laniago
dan Kerinci untuk kebutuhan dua pabrik dan pemukiman karyawan. Nilai guna tidak
langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun dan nilai pilihan hanya
sebesar Rp 1.625.260,00 per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar
Rp 39.440.520,00 per tahuan (WTP masyarakat). Nilai Ekonomi Total (TEV)
HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar
Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.
Analisis finansial untuk pilihan without HCVA memberikan nilai NPV
sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus (IRR sebesar 43.29% dan BCR
sebesar 1.38). Perusahaan sawit PT. IIS Kebun Buatan jika melakukan pengelolaan
with HCVA+0.35 % secara finansial perusahaan tersebut juga sangat layak dengan
nilai NPV sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus dan nilai IRR sebesar 43.21%
dan BCR 1.38. Hal yang sama ditunjukkan dengan pilihan with HCVA tanpa harga
premium juga sangat menguntungkan dengan nilai NPV sebesar
Rp 655.616.430.602,00. Pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit with
HCVA+0.3% dan without HCVA menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar
Rp 3.340.184.524,00 per siklus. Hal ini menunjukkan bahwa harga premium sebesar
0.35% tidak bisa mengkompensasi kehilangan pendapatan akibat pengelolaan
HCVA.
Analisis dampak ekonomi yang disebabkan oleh pengelolaan HCVA adalah
hilangnya pendapatan masyarakat diestimasi sebesar Rp 410.040.000,00 per siklus
dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 13 orang yang dapat dikalkulasikan sebesar
Rp 1.048.752.000,00 per siklus di perkebunan PT. IIS Kebun Buatan. Internalisasi
TEV HCVA, biaya HCVA, dan dampak ekonomi wilayah sangat berpengaruh
terhadap hasil analisis biaya manfaat pengelolaan HCVA. Internalisasi TEV dan
manfaat sosial yang hilang memberikan net befit untuk pilihan HCVA with+0.35%
sebesar Rp 672.413.523.081,00 per siklus, sedangkan pilihan without HCVA sebesar
Rp 667.346.030.004,00 per siklus. Hal ini menunjukkan pilihan pengelolaan with
HCVA+0.35% dengan internalisasi TEV dan manfaat sosial yang hilang sangat
layak.
Analisis stakeholder menempatkan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit,
Sawit Watch dan GAPKI sebagai key player dalam pengelolaan HCVA. Ketiga
stakeholder tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan
HCVA sebagai bagian persyaratan sertifikasi RSPO. Strategi kebijakan pengelolaan
yang sudah diformulasikan sebagai berikut: a) Tanggung jawab pengelolaan HCVA
diserahkan kepada perusahaan perkebunan selaku pemegang hak atas tanah; b)
Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak; c) memberikan dukungan
harga kompensasi yang rasional dan layak bagi perusahaan dan kebun sawit plasma
tersertifikasi berkelanjutan dengan mekanisme PES; d) Mendorong Peningkatan
Status HCVA sebagai Kawasan Lindung; e) meningkatkan performance pengelolaan
HCVA.
Kata-kata kunci : High Conservation Value Area (HCVA), dampak ekonomi,
premium price
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012
Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya
DAMPAK EKONOMI PENGELOLAAN HIGH CONSERVATION
VALUE AREA (HCVA) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
(Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan,
Provinsi Riau)
MUSTAGHFIRIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value
Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus
PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau)
NIM : H351100081
Tanggal Ujian : 06 Agustus 2012 Tanggal Lulus :
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. F.Trop
Anggota I
Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.S
Anggota II
Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec
Ketua
Diketahui
Ketua Program Studi
Ekonomi Sumberdaya Alam
dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul Dampak Ekonomi
Pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit
(Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan). Tesis ini disusun sebagai
salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada tingkat strata dua (S2) pada
program studi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian
Bogor.
Penulis secara tersurat mengucapkan terimakasih banyak kepada Komisi
Pembimbing Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec (Ketua Komisi), Dr. Ir. Dodik R.
Nurrochmat, M.Sc.F.Trop (Anggota I), dan Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.Si (Anggota II)
yang telah membimbing dari sejak pengusulan penelitian hingga akhir penelitian.
Berbagai masukan dan saran menjadi sangat berharga bagi penulis. Ucapan
terimakasih juga disampaikan penulis kepada penguji Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi,
M.Sc yang telah memberikan masukan dan saran dan kritik untuk kesempurnaan
tesis ini.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pengajar di
program studi ESL IPB atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu
di bangku kuliah. Seluruh staf administrasi ESL, penulis mengucapkan terimakasih
atas bantuan menyelesaikan berbagai urusan administrasi. Segenap jajaran PT. IIS
Kebun Buatan dan Asian Agri Group, penulis sampaikan terimakasih atas izin
penelitian, bantuan dan dukungan selama melakukan penelitian ini. Penulis ucapkan
terimakasih atas Beasiswa Unggulan (On Going) Direktorat Jenderal Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Terimakasih setulus nya penulis sampaikan kepada kedua orang tua,
Ayahanda H. Fahrur Rozi dan Ibunda Hj. Djumi’atun, Ayahanda Nana Mahdi dan
Ibunda Wiwi Mulyawati, Uwa Mufti dan seluruh keluarga Demak dan Bogor yang
telah memberikan dorongan semangat dan do’a dari awal penulis melakukan
penelitian hingga akhirnya selesai. Kepada Tunangan Penulis, sdri Windi Al Zahra,
S.Pt., M.Si., penulis sampaikan ucapan terimakasih untuk selalu ada mendampingi
penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Abang Handian
Purwawangsa, S.Hut, M.Si dan Abang Adi Hadianto, S.P., M.Si yang telah
membantu dan mendukung perkuliahan dan Tim HCV Fahutan IPB yang yang telah
membantu penulis selama di Lapangan.
Terakhir, penulis sampaikan terimakasih kepada teman teman ESL angkatan
2010, atas indahnya kebersamaan. Berbagai cerita terangkum dalam catatan dua
tahun kebelakang. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini.
Berbagai saran dan masukan, serta kritik yang bersifat konstruktif penulis harapkan
demi kesempurnaan penulisan tesis ini.
Bogor, Agustus 2012
Mustagfhirin
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 16 September 1982 di Demak, Jawa
Tengah Penulis adalah ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Bapak H. Fahrurozi
dan Ibu Hj. Djumi’atun. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1994 di
Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Hikmah, pendidikan lanjutan menengah pertama
diselesaikan pada tahun 1997 di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Hikmah, dan
pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2000 di SMA Negeri
1 Demak. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun
2001 melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima
sebagai mahasiswa jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan tingkat strata satu
(S1) pada tahun 2007. Penulis mendaftarakan diri pada program strata dua (S2)
pada program Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL) IPB.
Selama mengikuti perkuliahan ditingkat S1, penulis aktif di berbagai
kegiatan organisasi di tingkat universitas mapun nasional. Selama di tingkat S2,
penulis kembali aktif di kegiatan mahasiswa, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB.
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi........................................................................................................... xi
Daftar Tabel ..................................................................................................... xiii
Daftar Gambar .................................................................................................. xv
Daftar Lampiran ............................................................................................... vii
I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 6
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 8
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 8
1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 13
2.1 High Conservation Value Area (HCVA)............................................ 13
2.1.1 Konsepsi HCVA....................................................................... 13
2.1.2 Ruang Lingkup HCVA ............................................................ 13
2.1.3 HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit ........................................ 15
2.2 Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) ......................................... 15
2.3 Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO ......................................... 16
2.4 HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ...................................... 18
2.5 Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Environmental Services
(PES) ................................................................................................... 21
2.5.1 Konsepsi Valuasi Ekonomi ...................................................... 21
2.5.2 Valuasi Ekonomi HCVA.......................................................... 23
2.5.3 Total Economic Valuation (TEV) ............................................ 25
2.5.4 Payment for Environmental Services (PES) ............................ 26
2.6 Teknik Valuasi Sumberdaya Hutan .................................................... 28
2.7 Analisis Finansial dan Ekonomi ......................................................... 29
2.7.1 Analisis Finansial dan Ekonomi............................................ 29
2.7.2 Analisis Biaya Mafaat ........................................................... 30
2.7.3 Analisis Sensitivitas .............................................................. 31
2.8 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit 32
2.9 Penelitian sebelumnya ........................................................................ 33
III. METODE PENELITiAN ......................................................................... 35
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 35
3.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 35
3.3 Penentuan Sampel Penelitian.............................................................. 36
3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 37
3.5 Metode Analisis .................................................................................. 38
3.5.1 Analisis Total Economic Value (TEV) HCVA ........................ 38
3.5.2 Analisis Dampak Ekonomi dan Finansial Pengelolaan HCVA 39
3.5.2.1 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA.......................... 39
3.5.2.2 Analisis Dampak Ekonomi Pengelolaan HCVA ........... 43
3.5.3 Analisis Sensitivitas ................................................................. 43
3.5.4 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA .................................. 44
IV. KONDISI UMUM DAN PROFIL PERUSAHAAN................................ 47
4.1 Profil PT. IIS Kebun Buatan-Asian Agri Group ................................ 47
4.2 Kapasitas Produksi MKS dan IKS...................................................... 50
4.3 Produksi Kelapa Sawit Tersertifikasi RSPO ...................................... 51
V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 53
5.1 Analisis Keberadaan HCVA ............................................................... 53
5.2 Asumsi-Asumsi Untuk Estimasi Total Economic Values .................. 59
5.3 Total Economic Values (TEV) PT. IIS Kebun Buatan ....................... 61
5.3.1 Tahapan Valuasi TEV HCVA .................................................. 61
5.3.2 Estimasi TEV HCVA ............................................................... 63
5.4 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit 73
5.5 Analisis Sensitivitas ............................................................................ 81
5.6 Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA ...................................... 83
5.6.1 Estimasi Biaya-Biaya Pengelolaan HCVA .............................. 83
5.6.1.1 Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Perusahaan ..... 84
5.6.1.2 Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Masyarakat .... 86
5.6.2 Estimasi Manfaat-Manfaat Pengelolaan HCVA ...................... 91
5.6.2.1 Manfaat Harga Kompensasi (Premium Price) ............. 91
5.6.2.2 Manfaat Ekonomi Potensial HCVA (TEV HCVA) ...... 92
5.6.3 Hasil Perhitungan Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan
HCVA ...................................................................................... 93
5.7 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA ............................................. 97
5.7.1 Analisis Stakeholder................................................................. 97
5.7.2 Strategi Kebijakan Pengelolaan HCVA ................................... 105
VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 129
VII. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 133
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA................................................... 18
2. Sebaran HCVA di Indonesia ...................................................................... 20
3. Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun ........................................ 21
4. Tipe nilai sumberdaya hutan ...................................................................... 24
5. Nilai ekonomi total (TEV) kawasan hutan................................................. 26
6. Matriks penelitian....................................................................................... 36
7. Letak areal kerja dan batas wilayah PT. IIS Kebun Buatan ....................... 47
8. Areal perkebunan PT. IIS Kebun Buatan ................................................... 49
9. Produksi CPO (MKS) dan KPO (IKS) PT. IIS Kebun Buatan .................. 50
10. Hasil identifikasi keberadaan HCV di areal PT. IIS Kebun Kuatan .......... 54
11. Areal hutan di areal perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan
yang memiliki HCV ................................................................................... 57
12. Nilai guna langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan ................................... 65
13. Nilai guna tidak langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan .......................... 67
14. Nilai pilihan (biodiversitas) HCVA PT. IIS Kebun Buatan ....................... 68
15. Nilai keberadaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan ........................................ 71
16. Estimasi nilai ekonomi total HCVA PT. IIS Kebun Buatan ...................... 72
17. Asumsi biaya dan manfaat dalam perhitungan analisis finansial............... 75
18. Pilihan pengelolaan perkebunan with dan without HCVA ........................ 78
19. Hasil perhitungan penentuan premium price ............................................. 80
20. Sensitivitas harga dan biaya (Rp 000) ........................................................ 82
21. Kerugian atau kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA ............ 84
22. Estimasi biaya pengelolaan HCVA ............................................................ 86
23. Dampak kehilangan pendapatan masyarakat ............................................. 87
24. Keragaan tenaga kerja yang hilang akibat pengelolaan HCVA ................. 88
25. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan (Rp 000).. 89
26. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi masyarakat ................. 90
27. Estimasi manfaat penerimaan premium price PT. IIS KB ......................... 92
28. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat pilihan pengelolaan HCVA ...... 95
29. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat tanpa TEV dan dampak
ekonomi ...................................................................................................... 96
30. Presepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA ............................................ 99
31. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder................................................. 99
32. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder ..................................................... 100
33. Regulasi yang terkait dengan substansi pengelolaan HCVA ..................... 107
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Trend pertumbuhan minyak kelapa sawit di dunia .................................... 2
2. Luas perkebunan sawit Indonesia .............................................................. 3
3. Kerangka pemikiran penelitian .................................................................. 12
4. Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia .............................. 19
5. Konsep PES pelayanan ekosistem Pagiola dan Platais (2007) dalam van Eijk dan Kumar (2009) ........................................................................ 27
6. Posisi stakeholders berdasarkan pengaruh dan kepentingan ..................... 45
7. Peta lokasi areal kebun buatan PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelawan dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau ............................................. 48
8. Peta keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan ..................................... 58
9. Tahapan valuasi ekonomi HCVA .............................................................. 62
10. Total penerimaan dan pengeluaran per tahun ............................................ 77
11. Arus net benefit pilihan with dan without HCVA ...................................... 79
12. Perbedaan nilai NPV pilihan pengelolaan HCVA ..................................... 79
13. Simulasi perubahan harga dan biaya .......................................................... 82
14. Posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan .................................. 101
15. Skema ilustrasi PES Pagiola ...................................................................... 116
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Nilai guna langsung PT IIS Kebun Buatan ................................................ 141
2. Cash flow pilihan pengelolaan perkebunan with HCVA+0.35% ............... 143
3. Kuesioner Penelitian .................................................................................. 151
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) dan inti kelapa sawit (kernel
palm oil, KPO) merupakan komoditas perkebunan yang memiliki prospek
ekonomi yang menjanjikan di masa yang akan datang. Minyak kelapa sawit
merupakan bahan dasar dari berbagai produk, sehingga menjadi salah satu minyak
nabati yang memiliki banyak fungsi dan produk turunan beragam yang bisa
dimakan maupun produk yang tidak bisa dimakan bahkan untuk sumber bahan
bakar nabati (biofuel). Hampir 80% konsumsi minyak kelapa sawit digunakan
untuk produk makanan dan sisanya untuk non-makanan termasuk biofuel.
Keragaman pengunaannya dalam mendukung kehidupan manusia mendorong
permintaan minyak kelapa sawit global terus meningkat.
Pertumbuhan perdagangan minyak kelapa sawit dunia terlihat dari
kecenderungan peningkatan permintaan dan produksi setiap tahunnya di beberapa
negara produsen dan eksportir. Data Food and Agriculture Organization (FAO,
2012) menyebutkan produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2010 sebesar
44.756.482 ton, sedangkan menurut World Growth (2011) produksi minyak
kelapa sawit dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 32% atau setara dengan
60 juta ton menjelang tahun 2020.
Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit tumbuh secara cepat.
Tingginya permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh
kecenderungan peralihan pola konsumsi dunia dari lemak hewani ke lemak nabati.
Beberapa negara Uni Eropa dan Amerika sudah menerapkan kebijakan pelarangan
penggunaan lemak-trans dan beralih menggunakan minyak nabati yang lebih
sehat, salah satunya berasal dari minyak kelapa sawit.
Minyak kelapa sawit dikonsumsi di seluruh dunia dan memiliki tingkat
penetrasi pasar yang relatif tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Produk
dari minyak kelapa sawit tropis menempati 50 % produk di supermarket Eropa
dan memiliki berbagai kegunaan untuk makanan, pakan, bahan bakar, kosmetik,
detergen, dan industri kimia (Schouten dan Galsbergen 2011).
Konsumsi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2009 mencapai 6.5 kg
per kapita per tahun. Indonesia dan Malaysia telah mengeluarkan kebijakan untuk
2
-
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
Pro
du
ksi
(M
T)
Pertumbuhan Produksi Palm Oil
Indonesia
Malaysia
Nigeria
Thailand
Colombia
mengembangkan industri biodiesel serta menargetkan alokasi 6 juta ton minyak
kelapa sawit setiap tahunnya (World Growth 2011). Minyak kelapa sawit
merupakan biofuel dengan harga yang paling rendah (Theones 2006). Minyak
kelapa sawit juga memberikan imbal hasil (economic return) yang tinggi. Nilai
biodiesel dari kedelai dengan estimasi biaya per galon sebesar USD 2-2.50, yellow
grease sekitar USD 1 dan biodiesel dari minyak kelapa sawit hanya sebesar USD
50 sen (Energy Future Coalition and UN Foundation 2008). Fakta tersebut tentu
saja menjadi faktor pendorong bagi negara-negara penghasil kelapa sawit untuk
terus meningkatkan produksinya.
Indonesia menyumbangkan 46% produksi minyak kelapa sawit dunia
sedangkan Malaysia sebesar 39% pada tahun 2009 (FAO 2012). Indonesia
menjadi pemimpin dalam produksi minyak kelapa sawit dunia, sementara
Malaysia menjadi eksportir terbesar di dunia mencapai 46% ekspor global. Total
Produksi minyak kelapa sawit dunia meningkat hampir tiga kali lipat selama tiga
dasawarsa terakhir (hingga 2009) (World Growth2011). Peningkatan produksi
minyak kelapa sawit dunia dapat dilihat pada Gambar 1.
Sumber: FAOSTAT FAO (2012) data diolah
Gambar 1. Trend pertumbuhan minyak kelapa sawit di dunia
Peningkatan permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit
menimbulkan konsekuensi berupa pencadangan kawasan hutan untuk perkebunan
kelapa sawit. Cerahnya prospek ekonomi minyak kelapa sawit memacu
pemerintah Indonesia untuk mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit,
meskipun pada kawasan hutan. Pencadangan kawasan perkebunan pada umumnya
dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Data Statistik Direktorat
3
Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012) menyebutkan luas
perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia mencapai 5.032.000,8 ha (angka
sementara) pada tahun 2010. Perkembangan luasan perkebunan kelapa sawit
menunjukkan luasan areal dan produksi yang signifikan sejak tahun 2000-2011.
Luasan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2000 seluas 4.158.07 ha dengan
produksi mencapai 7.000.508 ton. Tahun 2011 perkebunan kelapa sawit sebesar
8.908.399 ha dengan produksi mencapai 22.508.011 (Gambar 2). Peningkatan
luas perkebunan mencapai 53.23% dengan total produksi meningkat sebesar 69%
(Statistik Perkebunan 2012). Tren peningkatan luas areal dan produksi kelapa
sawit di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.
Sumber : Statistik Perkebunan 2010-2012
Gambar 2. Luas perkebunan sawit Indonesia
Produksi minyak kelapa sawit dikaitkan dengan banyak isu keberlanjutan
seperti deforestasi, erosi, biodiversitas dan perubahan iklim. Isu lingkungan yang
paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai
konservasi tinggi (Schouten and Galsbergen 2011). Banyak daerah-daerah di
Indonesia berlomba menggerakkan perekonomian pada sub sektor perkebunan
kelapa sawit diantaranya dengan melakukan konversi hutan. Tidak bisa dipungkiri
bahwa perkebunan menjadi salah satu faktor pengungkit (leverage) dan penggerak
utama (prime mover) kemajuan suatu daerah. Euforia daerah untuk melakukan
0
5,000,000
10,000,000
15,000,000
20,000,000
25,000,000
Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia
Luas Areal (Ha)
Produksi (Ton)
4
perluasan perkebunan kelapa sawit, umumnya dilakukan dengan cara
mengkonversi hutan, sehingga akan memberikan dampak berkurangnya bahkan
hilangnya biodiversitas dan penurunan jasa ekosistem hutan. Ekspansi perkebunan
sawit seharusnya berada pada kawasan hutan yang terdegradasi (degraded forest)
dan/atau mengelola kawasan hutan yang berpotensi memiliki biodiversitas tinggi,
sementara harus dipertahankan keberadaannya.
Dewasa ini, banyak perusahaan besar yang mulai menunjukkan
kepeduliannya terhadap dampak kehilangan biodiversitas. Berdasarkan survei
Price Water House Cooper (2009) dalam Bishop (2010) tercatat bahwa sebanyak
27% Global Chief Executive Organization (Global CEO) yang disurvei PwC
mengungkapkan kepeduliannya tentang dampak kehilangan biodiversitas pada
prospek pertumbuhan bisnis mereka. Sebanyak 53% CEO dari Amerika Latin,
45% CEO dari Afrika serta 11% dari CEO Eropa Tengah dan Timur menyatakan
kepeduliannya terhadap dampak kehilangan bidodiversitas dalam bisnis mereka.
Kepedulian kalangan pengusaha dan pebisnis di sektor minyak kelapa
sawit terhadap degradasi lingkungan hidup ditunjukkan melalui kesediaan mereka
melakukan pertemuan untuk membahas isu keberlanjutan perkebunan minyak
kelapa sawit yang diinisiasi oleh World Wide Fund for Nature (WWF) Swis pada
tahun 2002. Pertemuan tersebut meluas dengan melibatkan para stakeholder
perkebunan kelapa sawit hingga munculnya prakarsa Roundtable on Sustainable
Palm Oil (RSPO). RSPO lahir pada bulan April 2004 sebagai mekanisme global
private governance untuk menjalankan perkebunan kelapa sawit secara
berkelanjutan yang didasarkan pada norma dan standar internasional (Schouten
and Galsbergen 2011). Indonesia selanjutnya mengeluarkan Indonesia Sustainable
Palm Oil (ISPO) sebagai bentuk sertifikasi kelapa sawit yang berkelanjutan. ISPO
bersifat mandatory dan RSPO bersifat voluntary. Hal ini berarti perusahaan
kelapa sawit bisa memiliki sertifikasi ganda.
ISPO dan RSPO merupakan organisasi yang mengelola penetapan standar
sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Isu keberlanjutan yang
diimplementasikan melalui pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA)
atau Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) (Panduan Kawasan Bernilai
Konservasi Tinggi 2008). Pengelolaan HCVA merupakan pengejawantahan
5
implementasi prinsip ke-5 dan ke-7 dari RSPO. HCV dalam ISPO terkait dengan
prinsip ke-3 poin ke 3.4 sampai dengan 3.7 tentang pelestarian biodiversitas,
identifikasi dan perlindungan kawasan lindung, konservasi kawasan dengan
potensi erosi tinggi, dan mitigasi emisi gas rumah kaca. HCVA memiliki nilai
manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang mendukung kesejahteraan
masyarakat, namun manfaat dari keberadaan HCVA dalam areal perkebunan
kelapa sawit jarang sekali dilakukan valuasi terkait berapa nilai ekonominya. Hal
ini terjadi karena hasil penilaian ekonomi HCVA masih belum bisa ditangkap
(captured) atau perusahaan belum mendapatkan manfaat potensial atau insentif
dalam pengelolaan HCVA, meskipun perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi
RSPO mendapatkan harga premium (premium price) di pasar internasional.
Sertifikasi RSPO yang mempersyaratkan kajian pengelolaan HCVA di
areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak langsung
dan tidak langsung bagi perusahaan dan masyarakat. Pengelolaan HCVA oleh
perusahaan sementara ini belum mendapatkan manfaat ekonomi yang optimal,
padahal dari mulai pelaksanaan kajian identifikasi HCVA hingga pengelolaan
HCVA membutuhkan biaya yang relatif besar. Pada saat ini, nilai premium price
dari perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO maksimal sebesar 0.35%
dari harga minyak kelapa sawit normal atau kelapa sawit belum tersertifikasi,
padahal perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO dan terdapat HCVA
arealnya berkurang dari total izin lokasinya. Premium price minyak kelapa sawit
yang didapatkan dari sertifikasi RSPO dirasakan tidak sebanding dengan produksi
yang hilang akibat pengurangan areal konsesi perusahaan atau kehilangan
kesempatan mendapatkan keuntungan akibat pengelolaan HCVA. Hal ini
disebabkan hingga sampai saat ini belum ada penelitian empiris mengenai dasar
pertimbangan penentuan premium price sebagai kompensasi sertifikasi RSPO.
Pengelolaan HCVA memberikan penerimaan ekonomi dari layanan barang dan
jasa lingkungan juga tidak pernah disadari oleh perusahaan, meskipun nilai
ekonomi sifatnya masih potensial karena barang dan jasa lingkungan HCVA
belum memiliki harga pasar (non-market goods). Estimasi nilai ekonomi dari
HCVA dan nilai premium price yang layak dan rasional perlu dilakukan
penelitian. Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui dampak tidak langsung
6
berupa hilangnya nilai ekonomi karena hilangnya aktivitas ekonomi akibat
berkurangnya areal produktif karena pengelolaan HCVA.
1.2 Perumusan Masalah
Permintaan global minyak kelapa sawit yang terus meningkat mendorong
negara-negara produsen dan eksportir melakukan konversi hutan untuk perluasan
areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit
memunculkan isu keberlanjutan terkait dengan konversi hutan. Isu lingkungan
kemudian ditangkap oleh kalangan industri, pebisnis, dan pedagang di sektor
minyak kelapa sawit serta pemerhati lingkungan hidup dengan mengadakan
pertemuan (roundtable) untuk membahas produksi minyak kelapa sawit yang
berkelanjutan (sustainable palm oil) dan ramah lingkungan (ecologically
friendly).
Isu keberlanjutan terkait konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit
muncul karena sebagian hutan yang dikonversi tersebut kemungkinan bernilai
konservasi tinggi, karena berpotensi terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi
dan mempunyai fungsi ekologis dan lingkungan yang penting. Fungsi hutan
sebagai bahan baku dan materi energi, sebagai asimilator berbagai limbah dan
pencemar, dan sebagai penyedia jasa lingkungan secara langsung seperti rekreasi,
estetika, pendidikan, kesehatan, dan pendukung sistem kehidupan (Nurrochmat et
al. 2009).
RSPO mempersyaratkan pengelolaan HCVA dalam areal konsesi
perusahaan perkebunan kelapa sawit, sedangkan ISPO tidak secara langsung
mempersyaratkan pengelolaan HCVA meskipun beberapa prisip dan kriterianya
terkait dengan HCVA. Permasalahan saat ini, HCVA dalam perusahaan
perkebunan kelapa sawit kurang memberikan manfaat bagi perusahaan yang
sudah mendapatkan sertifikat RSPO. Hal ini disebabkan karena insentif yang
didapatkan dari perdagangan minyak kelapa sawit global dalam bentuk premium
price tidak sebanding dengan upaya dan usaha yang dijalankan perusahaan, yaitu
biaya manajemen HCVA dan produksi yang berkurang akibat pengurangan luasan
areal perkebunan. Perusahaan berorientasi pada keuntungan (profit oriented),
7
sehingga menjadi hal yang wajar jika mekanisme pengelolaan HCVA harus
memberikan keuntungan yang layak dan rasional bagi perusahaan.
Schouten dan Galsbergen (2011) menjelaskan bahwa rendahnya
permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan adalah karena krisis
ekonomi global, sedangkan pada saat yang sama minyak kelapa sawit
berkelanjutan sudah tersedia di pasar. Nilai premium price melebihi kesediaan
membayar (willingness to pay) pembeli dan saat ini premium price untuk minyak
kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan telah menurun. Penyerapan rendah dari
minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan menyebabkan kekecewaan bagi
produsen minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO yang selalu khawatir dengan
fakta yang ada, terkait kurangnya komitmen dari sisi permintaan dan bahwa
sebagai produsen menanggung beban penuh sertifikasi. Permintaan untuk minyak
kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan hanya dari negara-negara Barat. Oleh
karena itu, banyak produsen memilih mengekspor ke negara-negara yang tidak
mempersyaratkan permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan,
seperti Pakistan dan Cina.
Perusahaan kelapa sawit yang memiliki HCVA dalam areal konsesinya
tidak pernah ada yang melakukan valuasi berapa nilai ekonomi dari HCVA yang
dimilikinya. Hal ini disebabkan HCVA merupakan kawasan di perkebunan kelapa
sawit yang umumnya tidak memiliki manfaat bukan pasar. Nilai ekonomi
potensial dari HCVA dan potensi kehilangan pendapatan akibat pengelolaan
HCVA bisa digunakan untuk menekan buyer dan/atau negara importir minyak
kelapa sawit tersertifikasi RSPO untuk meningkatkan premium price sebagai
bentuk kompensasi, meskipun sementara ini belum ada inisiatif dan insentif
global untuk menangkap (rent capture) nilai ekonomi tersebut.
Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini
dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:
1) Berapa nilai ekonomi total keberadaan HCVA dalam perkebunan kelapa
sawit?
2) Bagaimana dampak ekonomi langsung dan tidak langsung terkait pengelolaan
HCVA di perkebunan kelapa sawit?
8
3) Bagaimana analisis finansial dan dampak ekonomi perusahaan kelapa sawit
terkait adanya pengelolaan HCVA di perkebunan sawit?
4) Apakah harga kompensasi (premium price) yang diterima perusahaan kelapa
sawit atas sertifikasi RSPO yang mempersyaratkan pengelolaan HCVA sudah
adil dan rasional bagi keberlanjutan bisnis perusahaan?
5) Bagaimana strategi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit
kedepannya?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak
ekonomi dari pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.
Adapun tujuan khusus dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:
1) Mengestimasi nilai ekonomi kawasan High Conservation Value Area (HCVA)
di perkebunan kelapa sawit
2) Menganalisis dampak ekonomi dan finansial pengelolaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit
3) Mengevaluasi pengaruh perubahan harga (premium price), biaya dan luasan
areal perkebunan kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA
4) Memformulasikan strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangka
mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Informasi dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
pertimbangan para pengambil keputusan dan kebijakan dalam pengelolaan
perkebunan kelapa sawit
2) Informasi ini juga bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para pihak (palm
oil grower, buyers, retailer, palm oil processor and traders, dan financial
institution) untuk menentukan nilai kompensasi (premium price) dalam
pengelolaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit.
9
1.5 Kerangka Pemikiran
Isu keberlanjutan yang dimobilisasi oleh lembaga pemerhati lingkungan
dan konservasi yang berkembang di dalam perkebunan kelapa sawit mendorong
para pengusaha, investor, pebisnis, pedagang dan industri untuk mengembangkan
mekanisme bersama dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara
berkelanjutan. Salah satu mekanisme yang ditempuh dengan mengembangkan
kerangka kerja pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan
membentuk organisasi sertifikasi kelapa sawit. RSPO merupakan organisasi
pertama yang bertanggung jawab dalam mengembangkan mekanisme global
private governance dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Peningkatan produksi melalui ekstensifikasi banyak mendapat sorotan terutama
di kalangan Non Government Organization (NGO) internasional karena perluasan
perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai penyebab penebangan hutan yang
selanjutnya menghilangkan lahan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan
meningkatkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme RSPO diharapkan mampu untuk
mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Organisasi
tersebut juga mempersyaratkan prinsip/kriteria yang menjadi landasan dalam
pengelolaan perkebunana kelapa sawit yang dimanifestasikan dalam bentuk
perlindungan dan pelestarian pada kawasan lindung yang bernilai konservasi
tinggi (HCVA/KBKT).
Keberadaan HCVA memberikan dampak yang nyata bagi usaha
perkebunan kelapa sawit. Dampak keberadaan HCVA terkait dengan tambahan
biaya pengelolaan HCVA dan perubahan penerimaan bagi perusahaan
perkebunaan kelapa sawit akibat penurunan produksi Tandan Buah Segar (TBS).
Dampak tambahan biaya dan kehilangan penerimaan karena penurunan produksi
TBS akibat pengelolaan HCVA tentu saja akan mengurangi laba (profit) bagi
perusahaan perkebunan.
Dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan berupa kehilangan
pendapatan karena berkurangnya areal produksi kelapa sawit, sehingga produksi
TBS kelapa sawit berkurang. Dampak langsung bagi masyarakat berupa
berkurangnya pendapatan dari pekerjaan di kebun kelapa sawit pada areal yang
dijadikan HCVA. Pengelolaan HCVA juga berdampak tidak langsung terhadap
10
ekonomi wilayah karena kehilangan produksi TBS yang memiliki efek pengganda
(multiplier effect)
Di samping berdampak langsung pada penurunan profit, sebenarnya
pengelolaan HCVA juga memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan
tambahan keuntungan bagi perusahaan melalui premium price dan keuntungan
ekonomi bagi masyarakat dengan keberadaan HCVA. Keberadaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit memberikan penerimaan ekonomi bagi perusahaan yang
sifatnya masih potensial. Nilai ekonomi pengelolaan HCVA belum banyak
diketahui karena belum ada inisiatif global maupun pengusaha perkebunan kelapa
sawit untuk melakukan estimasi valuasi ekonomi dari HCVA, padahal kawasan
perkebunan yang telah memiliki HCVA memiliki potensi barang dan jasa
ekosistem (seperti pengatur, pendukung, dan budaya) yang bernilai ekonomi
tinggi.
Dampak keberadaan HCVA dari sisi penerimaan baik dari perspektif
ekologi maupun ekonomi dapat ditangkap (captured) untuk menentukan nilai dari
premium price dengan menggunakan skema payment environmental service (PES)
yang dikembangkan oleh Pagiola. Formulasi PES berupa selisih antara pilihan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit tanpa HCVA (without HCVA) dengan
pilihan dengan HCVA (with HCVA). Premium price merupakan kompensasi
harga bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan sertifikasi RSPO
dengan mempersyaratkan pengelolaan HCVA.
Penelitian ini mencoba menganalisa kelayakan finansial dan dampak
ekonomi pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan with HCVA dan without
HCVA pengelolaan HCVA dengan cara membandingkan benefit dan cost yang
bersifat aktual maupun potensial yang dihasilkan dari keberadaanya. Analisis
dampak ekonomi dilakukan dengan menginternalisasikan tambahan biaya,
pengurangan penerimaan sebagai akibat langsung bagi perusahaan maupun
masyarakat karena pengurangan lahan kebun produktif, dan nilai ekonomi total
(Total Economic Value/TEV) akibat pengelolaan HCVA. Analisis finansial
digunakan untuk menunjukkan berapa nilai kerugian/kehilangan pendapatan dari
pilihan pengelolaan with dan without HCVA. Analisis ini diperlukan karena
perusahaan merupakan pelaku utama dalam pengelolaan HCVA, dimana sifatnya
11
masih voluntary terkait sertifikasi RSPO. Tingkat premium price yang layak dan
rasional didekati dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis ini
menggunakan variabel premium price, tambahan biaya dan dampak penerimaan
bagi perusahaan atas hilangnya areal yang produktif untuk kebun karena
pengelolaan HCVA. Untuk mengetahui potensi nilai ekonomi dari keberadaan
HCVA didekati dengan menggunakan analisis nilai ekonomi total (TEV) dan
analisis biaya manfaat untuk menghitung dampak ekonomi langsung bagi
perusahaan dan masyarakat, sedangkan dampak ekonomi tidak langsung
menggunakan studi pustaka.
TEV HCVA sebagai manifestasi nilai ekonomi potensial dari pengelolaan
kawasan HCVA bisa diaktualisasikan nilainya melalui pengembangan skema dan
mekanisme perdagangan berupa PES. Analisa strategi kebijakan pengelolaan
HCVA menggunakan alat analisis stakeholder dan mendasarkan pada peraturan
dan perundang-undangan terkait. Hasil elaborasi analisis-analisis tersebut
digunakan untuk menentukan rumusan strategi kebijakan pengelolaan HCVA
dalam rangka mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.
Premium price yang dibayarkan oleh buyer di pasar global kepada
pengusaha perkebunan kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan (certified
sustainable plam oil) saat ini belum dapat menutup potensi kerugian yang
ditimbulkan dari berkurangnya produksi TBS karena alokasi areal untuk HCVA
(Nurrochmat et al. 2012). Premium price yang layak (feasible) sangat dibutuhkan
pemerintah Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia
sangat berkepentingan, meskipun serapan pasar CPO Indonesia di Asia terbesar
tanpa bersertifikat CSPO-RSPO.
12
HCVA
Impact
Ekonomi
(B)
Ekologi
(A)
Langsung
(Perusahaan)
Income/Profit
Digunakan untuk
Penentuan Premium
Price (PP)
?
Biaya Pengelolaan HCVA Penerimaan
RSPO
PES
(Selisih A- B)
PP > PES+ Harga
Normal
Feasible
PP < PES+
Harga Normal
Unfeasible
Strategi Kebijakan
Langsung
(Masyarakat)
Tenaga
KerjaIncome
Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian
13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 High Conservation Value Area (HVCA)
2.1.1 Konsepsi HCVA
Konsep High Conservation Value Forest (HCVF) atau Hutan Bernilai
Konservasi Tinggi yang muncul pada tahun 1999 sebagai „Prinsip ke-9‟ dari
standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan Forest
Stewardship Counci (FSC). Saat ini, konsep HCVF telah diadopsi di luar sektor
kehutanan salah satunya adalah pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit.
Konsep ini diharapkan mampu mensinergikan keberlangsungan pembangunan
atau produksi dari suatu unit pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya, yaitu
terjaganya nilai-nilai ekologi dan konservasi dari suatu kawasan (HCV-RIWG
2009).
Konsep HCVF ditujukan untuk membantu para pengelola hutan dalam
usaha peningkatan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup dalam kegiatan
produksi kayu dengan menggunakan pendekatan dua tahap, yaitu: 1)
mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan
(UP) yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis yang luar
biasa penting, dan 2) menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan
untuk menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan nilai-nilai tersebut.
Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa wilayah-wilayah
yang memiliki atribut dengan nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi
daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan, namun konsep HCV
mempersyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin
pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Pendekatan HCV berupaya
membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan
lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang (Panduan
Identifikasi NKT Indonesia 2008).
2.1.2 Ruang Lingkup HCVA
HCVA atau KBKT adalah kawasan atau areal (hutan, kebun kelapa sawit,
kawasan tambang) yang dianggap penting dan kritis karena tingginya nilai
lingkungan, sosial ekonomi, sosial budaya, keanekaragaman hayati, dan bentang
14
alam yang melekat padanya. HCVA dapat berfungsi sebagai penyangga
kehidupan dan iklim di tingkat lokal, sebagai daerah tangkapan air, habitat bagi
spesies yang terancam punah, ataupun merupakan tempat bermukim dan tempat
sakral bagi masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar hutan (HCV-RIWG
2009).
Panduan Identifikasi NKT Indonesia versi 2 Juni 2008 menyebutkan
bahwa kawasan dengan nilai konservasi tinggi adalah kawasan yang memiliki satu
atau lebih ciri-ciri sebagai berikut: (1) Kawasan yang mempunyai tingkat
keanekaragaman hayati penting (NKT1), (2) Kawasan bentang alam yang penting
bagi dinamika ekologi secara alami (NKT2), (3) Kawasan yang mempunyai
ekosistem langka atau terancam punah (NKT3), (4) Kawasan yang menyediakan
jasa-jasa lingkungan alami (NKT4), (5) Kawasan yang mempunyai fungsi penting
untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal (NKT5), dan (6) Kawasan
yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (NKT6).
2.1.3 HCV di Perkebunan Kelapa Sawit
Konsep HCV pada awalnya dirancang dan diaplikasikan untuk
pengelolaan hutan produksi (areal hak pengelolaan hutan/HPH). Konsep ini
berkembang sehingga dapat digunakan di berbagai sektor yang lain. Keberadaan
HCV pada sektor publik digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan
provinsi, seperti di Bolivia, Bulgaria dan Indonesia (HCV-RIWG 2009).
Keberadaan HCV di sektor sumber daya terbaharui digunakan sebagai alat
perencanaan untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang
negatif dalam pembangunan perkebunan, sebagai contoh kriteria kelapa sawit
terbaharukan yang digunakan oleh organisasi multipihak Roundtable on
Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari
RSPO akan didapatkan jika pembangunan perkebunan baru menghindari konversi
kawasan yang diperlukan untuk mengelola HCV yang ada. Konsep HCV bahkan
telah memperoleh kekuatan di sektor keuangan, dengan banyaknya pemberi
pinjaman dana komersil yang mempersyaratkan penilaian HCV sebagai bagian
dari kewajiban peminjam dalam evaluasi pinjaman kepada sektor-sektor yang
memiliki riwayat dampak-dampak negatif pada lingkungan hidup dan komunitas-
komunitas lokal. Konsep HCV yang berawal sebagai alat untuk meningkatkan
15
keberlanjutan produksi kayu dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya
dan keanekaragaman hayati telah berkembang menjadi konsep yang memiliki
implikasi luas bagi masyarakat.
Penggunaan konsep HCV di sektor swasta menunjukkan komitmen
perusahaan untuk melakukan praktek terbaik (best practise) yang seringkali
melebihi dari yang dipersyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan
sekaligus memberikan jalan bagi perusahaan untuk menunjukkan diri sebagai
warga dunia yang bertanggung jawab. Keberadaan HCV di sektor pemerintahan
menjadi alat yang dapat digunakan untuk mencapai perencanaan tata guna lahan,
menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat biologi, sosial, dan ekologis yang tidak
terpisahkan. Penilaian HCV di sektor keuangan, merupakan cara yang
memungkinkan pihak penanam modal komersil yang progresif untuk menghindari
praktek pemberian pinjaman yang mendukung perusakan lingkungan hidup
ataupun ketimpangan sosial ekonomi.
Berdasarkan hasil kajian HCVA yang dilakukan oleh tim Fakultas
Kehutanan IPB selama tahun 2009-2011 di berbagai wilayah di Indonesia
khususnya Sumatera dan Kalimantan menunjukkan bahwa perkebunan kelapa
sawit minimal memiliki 3 (tiga) NKT. Rata-rata perkebunan kelapa sawit di
Indonesia memiliki luasan HCVA seluas 1.413,80 ha. Setiap areal perkebunan
kelapa sawit memiliki HCV yang beragam tergantung lokasi bioregion dan
biogeografi, begitu juga kawasan yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi (high
cultural values) cdan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat
lokal.
2.2 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
RSPO adalah sebuah inisiatif dari beberapa industri minyak kelapa sawit
besar dan organisasi konservasi yang menggunakan mekanisme pasar untuk
menyusun ulang metode produksi, proses dan penggunaan kelapa sawit.
Organisasi RSPO dibentuk pada April 2004 untuk menetralkan kampanye
organisasi lingkungan yang menggambarkan kelapa sawit sebagai ancaman
terbesar bagi hutan tropis dan berbagai makhluk hidup yang hidup dan sangat
bergantung pada hutan tropis (Cholcester et al. 2006). Tujuan pembentukan RSPO
16
adalah untuk mendorong perluasan sektor kelapa sawit yang lebih “bertanggung
jawab” untuk memenuhi permintaan minyak dan lemak kelapa sawit global yang
berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun kedepan (Cholcester et al. 2006), pada
tahun 2020 (UNEP-GEAS Desember 2011).
Tujuan lain dari pembentukan RSPO adalah untuk menetapkan standar
baku produksi dan pemanfaatan “minyak kelapa sawit berkelanjutan” (sustainable
palm oil/SPO) serta mendukung perdagangan minyak kelapa sawit yang menolak
produksi minyak kelapa sawit yang merusak lingkungan. Hal ini dilakukan
dengan cara (a) membuat standar SPO, (b) mendorong pengadopsian standar
tersebut oleh seluruh anggota RSPO, (c) mendorong anggota RSPO untuk
mereformasi praktek produksi dan pemanfaatan minyak kelapa sawit berdasarkan
standar-standar tersebut, (d) harapan Badan Eksekutif RSPO agar setiap
anggotanya mematuhi standar-standar tersebut secara sukarela, (e) pelibatan pihak
ketiga yang merupakan penilai akreditasi terhadap setiap klaim produksi dan
penggunaan SPO (Cholcester et al. 2006).
Prinsip RSPO perkebunan kelapa sawit berkelanjutan adalah sebagai
berikut:
1. Komitmen terhadap transparansi
2. Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku
3. Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang
4. Penggunaan praktek terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik
5. Tanggungjawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman
hayati
6. Tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu, dan komunitas dari kebun
dan pabrik
7. Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab
8. Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama
aktivitas.
2.3 Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO
Isu keberlanjutan yang berkembang di perkebunan sawit menjadi
kepedulian kalangan pengusaha, pebisnis, dan CEO untuk menciptakan global
17
private governance (tata kelola perusahaan dunia) dalam memproduksi produk
ramah lingkungan. Pelembagaan private governance yang muncul dalam
beberapa rantai komoditas global (seperti minyak kelapa sawit) lebih dari tiga
dekade. Bentuk spesifik global private governance adalah “Rountable” yang
diwujudkan dalam RSPO (Schouten and Galsbergen 2011). Inisiatifnya tidak
hanya didorong oleh kalangan industri dan organisasi konservasi tetapi juga
melibatkan kelompok keadilan sosial (Cholchester et al. 2006). Pembangunan sub
sektor perkebunan kelapa sawit saat ini disepakati agar pembangunan
dilaksanakan dengan cara berkelanjutan melalui RSPO (HCV-RIWG 2009).
Agus (2011) menyebutkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit
bersertifikat memilik implikasi kebijakan. Beberapa tujuan konservasi
berimplikasi terhadap biaya yang sangat besar bagi negara penghasil. Konservasi
hutan dengan HCV bisa dilihat sebagai kehilangan kesempatan mendapatkan
keuntungan pada lahan yang dikonservasi tersebut. HCVA dan konservasi karbon
pada umumnya merupakan public goods dimana konservasi karbon dan HCV
seharusnya menjadi tanggungan masyarakat global. Konservasi hutan HCV
seyogyanya mendapat perhatian, selama tidak mempengaruhi produksi dan
pembangunan ekonomi secara signifikan. Urgensi RSPO dalam pengelolaan
HCVA merupakan mekanisme bersama antar multistakeholder untuk menangkap
isu lingkungan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit.
RSPO mempersyaratkan bahwa untuk mendapatkan sertifikasi
pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO, pembangunan perkebunan baru harus
menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola HCV yang ada.
Sertifikasi RSPO secara formal tidak terikat dengan negara atau bersifat sukarela
(voluntary). Prinsip ke-2 HCVA menyatakan bahwa perusahaan yang
tersertifikasi RSPO harus mematuhi hukum dan peraturan lokal, nasional dan
internasional (Tabel 1). Cara ini menunjukkan bahwa RSPO dapat dilihat sebagai
salah satu jalan untuk endukung sistem legalitas yang berdasarkan negara,
sekaligus untuk mendapatkan legitimasi dari negara (Schouten and Galsbergen
2011).
18
Tabel 1. Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA Prinsip
Prinsip 5. Tanggungjawab lingkungan
hidup dan konservasi sumberdaya alam
serta keanekaragaman hayati
Prinsip 7. Pengembangan perkebunan baru
yang bertanggungjawab
Kriteria
Kriteria 5.2 Membangun pemahaman
tentang spesies dan habitat tumbuhan dan
hewan yang berada di alam dan sekitar
areal penanaman.
Kriteria 5.3 Rencana dikembangkan,
diimplementasikan dan dipantau untuk
menangani keragaman biota di dalam dan
sekitar areal penanaman
Kriteria 7.3 Penanaman baru sejak
(tanggal diterapkannya kriteria RSPO)
belum menggantikan hutan primer atau
setiap daerah yang mengandung satu atau
lebih nilai-nilai tinggi pelestarian.
Kriteria 7.4 Dilarang mengembangkan
perkebunan di dataran yang curam,
dan/atau di pinggir serta tanah yang rapuh
2.4 HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Persentase luasan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit sangat beragam
tergantung lokasi perusahaan tersebut berada. Kajian HCVA di perkebunan kelapa
sawit oleh Tim HCV Fahutan IPB seluas 908.484,03 ha atau sebesar 10.20% dari
total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2011 (8.908.399 ha) atau
sebesar 19.53% dari total luas perkebunan kelapa sawit swasta (4.651.590)
berdasarkan data Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012).
Luas HCVA yang telah dipetakan oleh tim Fahutan IPB seluas 98.966.09 ha atau
10.89% dari total perkebunan kelapa sawit yang dikaji oleh Tim Fahutan IPB1.
Hasil kajian tersebut diperoleh dari kajian identifikasi keberadaan HCVA di tiga
pulau besar di Indonesia meliputi Sumatera, Kalimantan dan Papua. Perusahaan
yang telah diteliti oleh Tim HCV Fahutan IPB di pulau Sumatera sebanyak 20
perusahaan, di Pulau Kalimantan sebanyak 44, dan di Papua sebanyak 6
perusahaan. Gambar 8 menunjukkan persentase luasan keberadaan HCVA yang
berbeda di tiga pulau yang dikaji. Pulau Papua memiliki rata-rata luasan HCVA di
perusahaan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dua pulau lainnya yaitu seluas
4.550.03 ha, sementara di Pulau Sumatera seluas 309.23 ha dan Kalimantan seluas
1.480.75 ha. Perbedaan rata-rata luasan HCVA di Papua dengan dua pulau lainnya
sangat signifikan. Perbandingan luasan rata-rata HCVA Pulau Papua dengan
Sumatera sebesar 1:15 kali, sedangkan dengan pulau Sumatera sebesar 1:3.
Luasan HCVA di Pulau Papua tersebut dalam areal perkebunan rata-rata sebesar
1 Hasil kajin Tim HCV Fahutan IPB selama periode 2009-2012 di 70 perusahaan yang tergabung
dalam 10 group perusahaan perkebunan kelapa sawit
19
25.808,26 ha. Persentase pengurangan areal kebun karena keberadaan HCVA
untuk di pulau Papua sebesar 17.6%. Keberadaan HCVA yang relatif besar
tersebut menunjukkan bahwa Papua merupakan rumah bagi sebagian besar
biodiversitas Indonesia. Papua merupakan sumber keanekaragaman hayati yang
tinggi dan juga bernilai konservasi tinggi. Besarnya persentase tersebut juga
menunjukkan komitmen perusahaan kelapa sawit yang ada di Papua untuk
melestarikan keberadaan kawasan yang bernilai konservasi tinggi, flora fauna
endemik dan ekosistem yang langka yang ada di Papua (Gambar 4).
Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB data diolah
Gambar 4. Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia
Rata-rata luasan HCVA perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan
sebesar 1.480.75 ha dari rata-rata luasan areal perkebunanan kelapa sawit seluas
12.805.87 ha dengan rata-rata persentase HCVA terhadap perkebunan kelapa
sawit sebesar 13.20%. Persentase kehilangan areal kebun produktif akibat
keberadaan HCVA di pulau Kalimantan sebesar 11.56%. Besarnya luasan HCVA
di Kalimantan disebabkan oleh banyaknya aliran anak sungai yang melintasi areal
perkebunan dimana memiliki kriteria HCV 4 yaitu kawasan yang menyediakan
jasa-jasa lingkungan alami khususnya HCV 4.1 dan HCV 4.2 yang terkait aliran
jasa dan fungsi ekosistem riparian sebagai pengendali tata air seperti banjir,
pencegah erosi dan sedimentasi. Kontribusi utama besarnya HCVA di perkebunan
kelapa sawit di Kalimantan adalah HCV 1 yaitu Kawasan yang mempunyai
tingkat keanekaragaman hayati yang penting dengan kriteria HCV 1.1 dan 1.2.
309.23
1.480.75
4.550.03
Rata-rata Luasan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit (ha)
Sumatera Kalimantan Papua
20
Pulau Sumatera memiliki rata-rata luasan HCVA terkecil yaitu sebesar 309,23 ha
atau dengan kata lain 0.07 kali rata-rata luas HCVA pulau Papua (Tabel 2).
Komponen utama keberadaan jenis HCV di perusahaan yang tersebar di tiga
pulau hasil kajian Tim HCV Fahutan IPB adalah HCV 1.1 dan 1.2 dengan
persentase sebesar 66 % atau sebanyak 46 perusahaan dari 70 perusahaan
memilikinya, kemudian diikuti oleh HCV 6 sebesar 60% atau sebanyak 42
perusahaan memilikinya. Kriteria HCV 2.1 dan 2.2 tidak ditemukan di semua
perusahaan kelapa sawit. Kriteria HCV tersebut menekankan pada keberadaan
bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami dan kawasan alam
yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang tidak terputus
(berkesinambungan).
Tabel 2. Sebaran HCVA di Indonesia
Sebaran HCVA Sumatera Kalimantan Papua Indonesia
Rata-rata luasan
HCVA 309.23 ha 1.480,75 ha 4.550,03 ha 1.413,80 ha
Rata-rata luas
perkebunan kelapa
sawit
6.867,42 ha 12.805,87 ha 25.808,26 ha 12.978,34 ha
% Rata-rata
Kehilangan Areal
Kebun Akibat
HCVA
4.50% 11.56% 17.63% 10.89%
Sumber: Laporan HCV Tim Fahutan IPB (data diolah)
Keseluruhan data yang ada jika diambil resultannya bisa menujukkan
gambaran HCVA perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perhitungan dari 70
laporan kajian HCV Tim Fahutan IPB diperoleh rata-rata perkebunan kelapa sawit
di Indonesia memiliki luasan HCVA sebesar 1.413,80 ha. Rata-rata persentase
HCVA 10.92% dari luas izin perkebunan kelapa sawit dengan rata-rata seluas
12.978,34 ha. Persentase rata-rata kehilangan areal kebun produktif akibat
keberadaan HCVA sebesar 10.89%. Luas lahan yang hilang akibat keberadaan
HCVA sebesar 98.966.09 ha dengan asumsi semua lahan HCVA tersebut bisa
dikonversi menjadi lahan produktif. Penyesuaian pengurangan areal HCVA
berasal dari HCV 4.1, HCV 4.2 dan sebagian HCV 6 karena HCV 6 sebagian
besar berupa tempat yang bernilai budaya tinggi seperti kuburan keramat, danau
keramat, bangunan kramat yang umumnya diproteksi secara kuat oleh masyarakat
lokal dimana perusahaan kelapa sawit beroperasi.
21
Tabel 3 menunjukkan gambaran sebaran luasan HCVA di perkebunan
kelapa sawit yang jika dilihat berdasarkan umur kebun menunjukkan data yang
rasional. Kebun-kebun tua dengan menggunakan batasan tahun tanam dibawah
tahun 2000 menunjukkan luasan HCVA relatif sangat kecil. Rata-rata luasan
HCVA perkebunan kelapa sawit yang telah dikaji tim HCV Fahutan IPB sebesar
2.12% dari luas total izin perkebunan kelapa sawit. Rata-rata Luas HCVA hanya
sebesar 176.18 ha. Luasan tersebut relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan
luas areal perkebunan dengan rata-rata seluas 10.758,44 ha.
Tabel 3. Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun
Keterangan Total Luas
HCV (Ha)
Izin
Perkebunan
(Ha)
Persentase
Luas HCV
Luas Areal
Efektif (Ha)
Kebun Tua (Umur
Kebun Sebelum
2000)
176.18 10.758,44 2.12% 10.582,26
Kebun Muda
(Umur Kebun
Setelah 2000)
1.834,18 13.746,79 13.88% 11.912,62
Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB (data diolah)
Kebun baru atau kebun dengan tahun tanam di atas tahun 2000
menunjukkan gambaran luasan yang sangat rasional karena adanya aturan dalam
pembukaan perkebunan baru yang sesuai dengan standar HCV toolkits dan selaras
dengan komitmen pembangunan perkebunan kelapa sawit RSPO. Rata-rata luasan
HCVA kebun baru sebesar 1.834,18 ha dengan luas izin perkebunan rata-rata
sebesar 13.746,79 ha atau sekitar 13.88% dari luas izin perkebunan, padahal
perbedaan luasan areal kebun baru dan kebun lama tidak terlalu signifikan. Hal ini
berarti keberadaan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang salah satunya
mempersyaratkan adanya kajian HCVA memberikan hasil yang optimal untuk
meredam laju kehilangan biodiversitas, kerusakan lingkungan dan menjaga aliran
jasa dan fungsi ekosistem yang penting bagi keberlangsungan kehidupan di muka
bumi.
2.5 Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Enviromental Service (PES)
2.5.1 Konsepsi Valuasi Ekonomi
Ekonomi sebagai studi yang mengalokasikan sumberdaya terbatas dan
mendasarkan pada valuasi untuk menyediakan informasi bagi masyarakat
22
mengenai tingkat kelangkaan sumberdaya (TEEB 2010). Valuasi ekonomi jasa
ekosistem dan biodiversitas dapat dibuat secara eksplisit bagi masyarakat secara
umum dan pembuat kebijakan tertentu. Biodiversitas dan jasa ekosistem yang
langka dan degradasinya menimbulkan biaya bagi masyarakat. Biaya ini tidak
dimasukkan sehingga kebijakan akan salah arah dan masyarakat akan menjadi
lebih miskin disebabkan alokasi sumberdaya yang tidak terdistribusikan dengan
baik. Valuasi memainkan peranan penting dalam pencipataan pasar untuk
konservasi biodiversitas dan jasa ekosistem (Engel et al. 2008; Pascual et al.
2010).
Ekosistem dan komponen penyusunnya termasuk biodiversitas
memberikan aliran manfaat bagi kehidupan manusia melalui penyediaan barang
dan jasa (provisioning goods and services), fungsi perlindungan dan pengaturan
(protecting and regulating function), fungsi estetika dan budaya (aesthetical and
cultural function) dan fungsi pendukung (supporting system) yang memungkinkan
fungsi-fungsi lainnya dapat berjalan (MEA 2005).
Valuasi ekosistem dan biodiversitas diperlukan pemahaman bahwa
keanekaragaman hayati merupakan pondasi dari ekosistem melalui layanan yang
diberikan akan mempengaruhi kesejahteraan manusia. Hal ini termasuk
penyediaan jasa seperti makanan, air, kayu, dan serat; jasa pengaturan seperti
pengaturan iklim, banjir, penyakit, limbah, dan air; jasa budaya seperti rekreasi,
kenikmatan estetis, dan pemenuhan spiritual, dan jasa penunjang seperti
pembentukan tanah, fotosintesis, dan siklus hara. Millenium Ecosystem
Assessment (MEA) menganggap kesejahteraan manusia terdiri dari lima
komponen utama: (1) bahan kebutuhan dasar untuk kehidupan yang baik, (2)
kesehatan, (3) hubungan sosial yang baik, (4) keamanan, dan (5) kebebasan
pilihan dan tindakan. Kesejahteraan manusia adalah hasil dari banyak faktor, baik
bersifat langsung atau tidak langsung terkait dengan keanekaragaman hayati
(MEA 2005).
Perhatian mengenai nilai manfaat kawasan ekosistem dan biodiversitas
yang ada di dalamnya, serta adanya potensi kehilangannya telah mendorong ahli
ekonomi untuk mengembangkan kerangka kerja untuk menganalisis faktor-faktor
yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan penurunan aliran manfaat yang
23
dihasilkannya. Perumusan instrumen yang dapat dipergunakan selanjutnya
dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem dan kehilangan biodiversitas
tersebut melalui serangkaian strategi dan tindakan pengelolaan yang
berkelanjutan. Aplikasi konsep dari kerangka kerja tersebut dilakukan dengan
valuasi ekonomi ekosistem dan biodiversitas. Valuasi ekonomi memiliki dua
tujuan utama yaitu: (1) demonstratif ; untuk menunjukkan bagaimana
biodiversitas memiliki peranan yang besar dalam menyokong aktivitas kehidupan
manusia termasuk kegiatan ekonomi, dan (2) bagaimana nilai yang ditunjukkan
pada tujuan pertama yang merupakan nilai intrinsik tersebut dapat ditransformasi
menjadi faktor yang menentukan dalam rumusan pengelolaan sumberdaya
berkelanjutan termasuk bagaimana menangkap (capturing) nilai tersebut dapat
memberikan kemanfaatan langsung bagi para pemangku kepentingan yang
dipengaruhi secara langsung dari keberadaan ekosistem tersebut Pearce (1993).
2.5.2 Valuasi Ekonomi HCVA
Keberadaan HCVA dalam areal konsesi perkebunan kelapa sawit
memerlukan penilain tidak berbeda dengan valuasi ekonomi pada kawasan hutan.
Kawasan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit biasanya habitat satwa,
ekosistem gambut, sempadan sungai, dan kawasan yang memiliki nilai budaya
tinggi serta kawasan yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok
masyarakat lokal.
Valuasi hutan menjadi sangat penting mengingat banyak kegiatan/proyek
pembangunan yang secara signifikan menghasilkan dampak lingkungan seperti
perkebunan kelapa sawit. Internatinal Institute for Environmental and
Development (IIED) dalam buku Valuing Forests (2003) telah menyusun metode-
metode valuasi manfaat bukan pasar (non market benefits) dari sumberdaya hutan.
Barbier (1991) membagi nilai sumberdaya hutan terbagi menjadi 2 (kelompok)
yaitu (1) nilai guna, yang terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tidak
langsung, dan nilai pilihan (2) nilai non-guna yang terdiri dari nilai keberadaan,
nilai budaya, dan nilai pewarisan (Tabel 4).
24
Tabel 4. Tipe nilai sumberdaya hutan Nilai Guna Nilai Non-Guna
Guna Langsung Nilai Guna Tidak
Langsung Nilai Pilihan Nilai Keberadaan
Produk kayu (kayu,
serat, dan kayu
bakar)
Perlindungan DAS
Nilai guna tidak
langsung dan guna
langsung masa
depan
Biodiversitas
(Wildlife)
Produk bukan
kayu(makanan,
obat-obatan,
material genetik)
Siklus nutrien Budaya, warisan
Pendidikan,
penelitian, dan nilai
kultural
Pengurangan polusi
udara Nilai intrinsik
Habitat/tempat
tinggal manusia
Pengaturan ikim
mikro Bequest value (nilai
pewarisan) Amenitis (lanskap) Carbon storage
Sumber: Barbier (1991)
Penilaian sumberdaya hutan secara komprehensif diperlukan secara
menyeluruh terkait dengan fungsi hutan (Nurrochmat et al. 2009). Barbier (1995);
Pierce dan Turner (1990) dalam Nurrochmat et al. (2009) memandang ada tiga
fungsi utama dari sumberdaya hutan, yaitu:
1) Hutan sebagai bahan baku materi dan energi
2) Hutan sebagai assimilator berbagai limbah dan pencemaran
3) Hutan sebagai penyedia jasa lingkungan secara langsung seperti rekreasi,
estetika, pendidikan, kesehatan, dan pendukung sistem kehidupan.
Nurrochmat et al. (2009) mengelompokkan beragam fungsi dan manfaat
sumberdaya hutan menjadi delapan kategori sebagai berikut:
1) Manfaat hutan untuk kepentingan konsumsi berupa berbagai hasil hutan baik
kayu maupun bukan kayu
2) Manfaat untuk rekreasi
3) Manfaat hutan untuk perlindungan berbagai fungsi hidrologis seperti
perlindungan seperti perlindungan terhadap erosi, pengaturan tata air
4) Manfaat hutan untuk mendukung terjadinya proses-proses yang bersifat
ekologis seperti siklus hara, pangaturan iklim mikro dan makro, pembentukan
formasi tanah, dan pendukung kehidupan global
5) Manfaat hutan yang menyimpan keanekaragaman hayati sebagai sumber
genetik, perlindungan keanekaragaman spesies dan keanekaragaman
ekosistem
25
6) Manfaat hutan untuk pendidikan dan penelitian
7) Manfaat-manfaat hutan yang bersifat bukan konsumsi seperti manfaat budaya,
sejarah, spiritual, dan keagamaan
8) Manfaat-manfaat hutan yang mungkin bisa diperoleh di masa depan (option
value, quasi-option value).
Sumberdaya hutan memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai
guna langsung (direct values) merupakan manfaat dari penggunaan sumberdaya
hutan sebagai input produksi atau sebagai barang konsumsi. Nilai guna langsung
sumberdaya hutan meliputi baik aktivitas komersial mapun non-komersial.
Pemanfaatan komersial seperti kayu dan produksi pulp secara signifikan untuk
memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional. Pemanfaatan non-
kemersial pada sisi lain sering menjadi penting bagi penduduk lokal, tetapi dapat
menjadi sangat penting untuk kebutuhan subsisten penduduk perdesaan dan
kelompok masyarakat miskin seperti kayu bakar, permainan, bisa dimakan, dan
tanaman obat (International Institute for Environment and Development 2003).
Nilai guna langsung juga meliputi jasa penting seperti rekreasi hutan, pendidikan
dan penelitian dimana dihubungkan dengan basis non-komersial.
Sumberdaya hutan menghasilkan barang hutan yaitu hasil hutan kayu dan
hasil hutan bukan kayu. Permintaan hasil hutan bukan kayu meningkat lebih
cepat dari permintaan kayu. Salah satu hasilnya adalah kawasan hutan tertentu
dinilai meningkat oleh publik sebagai political representative dalam menyediakan
nilai manfaat lingkungan. Kawasan hutan kaya akan jenis kayu, namun
kepentingan konservasi satwa liar meningkat untuk mengelola hutan untuk tujuan
rekreasi atau nilai estetika (International Institute for Environment and
Development 2003).
2.5.3 Total Economic Valuation (TEV)
Total Economic Value (TEV) dalam pengelolaan sumber daya alam di
ilustrasikan dalam konteks penggunaan lahan dalam hutan tropis. Mengacu pada
aturan analisis dari biaya manfaat, keputusan untuk “membangun” hutan dinilai
tidak hanya dari nilai pembangunan, tetapi juga nilai dari konservasi. Nilai TEV
dari suatu kawasan hutan dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Nilai perhitungan
TEV merujuk pada penjumlahan nilai guna (use value) dan nilai non guna (non
26
use value) dan juga berasosiasi dengan nilai pilihan (option value). Perhitungan
nilai TEV dihitung dengan menjumlahkan nilai penggunaan langsung (direct use
value) dan nilai penggunaan tidak langsung (non direct use value). Nilai langsung
yang digunakan diantaranya adalah seperti hasil produk dari hutan (kayu, rotan,
latex, dan sebagainya) yang harusnya dihitung. Nilai manfaat tidak langsung
digunakan diantaranya adalah perhitungan fungsi jasa ekologi seperti misalnya
jasa perlindungan dari aliran sungai, pengurangan nilai polusi. Nilai pilihan
(option value) terkait dengan sejumlah nilai yang ingin dikeluarkan oleh seorang
individu untuk membayar nilai konservasi di masa depan. Nilai ini mungkin tidak
akan digunakan sekarang tetapi akan sangat berguna di masa depan nantinya.
Nilai keberadaan (existence value) terkait dengan nilai dari aset lingkungan yang
tidak terkait dengan penggunaan pilihan saat ini. Nilai TEV dirumuskan sebagai
berikut (Pearce, 1993):
TEV = Direct use value + Indirect use value + Option value + Existence value.
Perbedaan penggunaan lahan pada hutan akan memberikan kombinasi yang
berbda terhadap nilai langsung, tidak langsung dan nilai yang tidak digunakan
sehingga akan menghasilkan nilai TEV yang berbeda. NilaiTEV kawasan hutan
ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai ekonomi total (TEV) kawasan hutan
Nilai langsung
(Direct value)
Nilai tidak
langsung (Indirect
Value)
Nilai Pilihan
(Option value)
Nilai Keberadaan
(Existence Value)
Keberlanjutan
kayu
Produk non-kayu Siklus hara
Penggunaan di
masa depan
(1)+(2)
Hutan sebagai objek nilai
nilai intrinsik, sebagai
rasa tanggung jawab
Rekreasi Perlindungan DAS
Obat obatan Pengurangan
polusi udara
Genetika
Tanaman Unsur iklim mikro
Termasuk nilai budaya
dan warisan leluhur
Habitat Manusia
Sumber: Pearce (1993)
2.5.4 Payment for Environmental Services (PES)
PES adalah sebuah transaksi sukarela ketika sebuah pelayanan lingkungan
yang telah ditentukan dengan jelas (atau sebuah penggunaan tanah untuk
mengamankan pelayanan tersebut) sedang “dibeli” oleh satu “pihak pembeli” .
28
seorang pengguna langsung yang rasional, sebuah pembayaran dari perbedaan ini
dalam arus pendapatan menjelaskan sebuah insentif minimum untuk pemeliharaan
ekosistem. Seorang pengguna arus bawah yang rasional, yang memunculkan
sebuah arus pendapatan bawah B, bisa membayar pada tingkat maskimal yang
setara dengan arus pendapatan yang sudah ada melalui konversi pada penggunaan
alternatif. Hal ini mendukung para pengguna tidak langsung dan pembeli
pelayanan ekosistem untuk masuk ke dalam sebuah kontrak untuk pengadaan
pelayanan yang berkelanjutan dengan memberikan pembayaran, yang bervariasi
antara minimum sampai maksimum (disajikan dengan Balok E), kepada para
pengguna langsung atau kepada para penyedia pelayanan ekosistem. Total arus
pendapatan penyedia pelayananekosistem (Balok D plus E) lebih banyak dari
yang ada pada sebuah ekosistem yang dikonversi, yang membuat konservasi
menjadi layak. Sistem ini menginternalisasikan hal-hal yang akan menjadi sebuah
eksternalitas bila tidak dilakukan (Pagiola & Platais 2007).
Tipologi PES bisa diupayakan di lintas jalur, sebuah dasar yang
bermanfaat adalah menjelaskan program-program PES yang dibiayai oleh
pengguna (ketika para pembeli pelayanan adalah para pengguna pelayanan yang
aktual), dan program-program yang dibiayai pemerintah (ketika pemerintah
membeli pelayanan, kemudian menyediakannya kepada pengguna akhir).
Program-program yang dibiayai oleh pengguna bersifat sukarela pada sisi penjual
maupun pembeli, sedangkan sebagian besar program pemerintah bersifat sukarela
hanya pada sisi penyedia (Engel et al. 2008). Bulte et al. (2008) mengusulkan
sebuah klasifikasi fungsional skema PES yang memisahkan program-program
yang membayar kontrol polusi, konservasi sumberdaya alam dan ekosistem, serta
yang ditujukan untuk fasilitas lingkungan publik yang baik. Ada penekanan yang
luar biasa pada PES namun hanya ada sedikit upaya untuk menilai efektivitas dan
efisiensinya.
2.6 Teknik Valuasi Sumberdaya Hutan
Secretariat of the Convention on Biological Diversity (2001) menyebutkan
banyaknya barang dan jasa hutan tidak memiliki pasar dan hal ini diperlukan
teknik valuasi bukan pasar. International Institute for Environmental and
Development (2003) menyebutkan teknik valuasi nilai ekonomi sumberdaya hutan
29
dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok yaitu (1) Market price valuation,
meliputi metode untuk estimasi manfaat produksi subsisten dan konsumsi, (2)
Surrogate market approaches, meliputi travel cost models, hedonic pricing dan
substitute goods approach (3) Production function approach, yang
memfokuskan pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan aktivitas pasar (4)
Stated preference approaches,utamanya contingent valuation method dan
variannya (5) Cost-based approach, meliputi replacement cost dan defensive
expenditure.
2.7. Analisis Finansial dan Ekonomi
2.7.1 Analisis Finansial
Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu
layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan finansial bagi
perusahaan dengan tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Pengambilan
keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan, sangat penting untuk
turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang relevan dan/atau benar
terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan. Berbeda dengan analisis finansial,
dalam analisis valuasi ekonomi berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial yang
mungkin atau potensial terjadi turut diperhitungkan dalam menilai kelayakan
investasi suatu kegiatan. Kriteria kelayakan investasi tetap sama, yaitu
berdasarkan NPV (net present value).
Kelayakan finansial suatu kegiatan ditunjukan oleh nilai NPV, B/C ratio
(Benefit-Cost Ratio), atau IRR (Internal Rate of Return). Nilai NPV, B/C ratio
dan IRR sesungguhnya saling berhubungan satu sama lainnya. Suatu kegiatan
dikatakan layak secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai
NPV-nya positif. Bila NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari
satu, dan nilai IRR-nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount
rate) yang dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Salah satu dari ketiga nilai
tersebut dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan
akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial.
Analisis finansial yang perlu diperhatikan adalah waktu didapatkannya
pengembalian (returns), sebaliknya analisis ekonomi yang diperhatikan ialah hasil
30
total atau produktivitas atau keuntungan didapat dari semua sumber yang dipakai
dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa
melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa yang dalam
proyek menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the social returns” atau
“the economic returns” dari proyek.
2.7.2 Analisis Biaya Mafaat
Suatu kajian penggunaan kawasan sebaiknya dan idealnya melibatkan
evaluasi semua manfaat dan biaya-biaya serta dihubungkan dengan pilihan
penggunaan yang relevan. Nilai-nilai tersebut bisa disatukan dalam analisa biaya
dan manfaat, yang berguna untuk melihat trade off dari perbedaan pilihan
pembangunan. Analisis biaya manfaat merupakan alat standar untuk evaluasi jasa
ekonomi investasi atau proyek pembangunan. Alat analisis ini secara luas
digunakan untuk mengevaluasi pilihan-pilihan penggunaan kawasan hutan
(International Institute for Environmental and Development 2003). Analisis biaya
manfaat dapat digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi pembangunan
dengan melakuan evaluasi semua manfaat dan biaya yang terjadi dalam suatu
pembangunan.
Kekuatan analisis biaya manfaat adalah penggunaan kriteria keputusan
secara eksplisit dan secara langsung dapat diperbandingkan. Logika yang
mendasari analisis ini adalah untuk setiap pilihan aktivitas (seperti pilihan
penggunaan lahan) masing-masing manfaat bersih (net benefit) harus
diperbandingkan dimana net benefit dari pilihan yang diambil secara sederhana
diformulasikan dalam persamaan :
Net Benefit (NB) = Benefit (B) – costs (C)
Manfaat dan biaya diidentifikasi untuk setiap periode waktu biasanya per
tahun atau menggunakan time horizon. Pengunaan teknik discounting, net benefit
sepanjang waktu dapat dikombinasikan ke dalam satu tampilan agregat tunggal
atau NPV. Setiap pilihan penggunaan kawasan hutan misalkan pilihan A (pilihan
pengelolaan HCVA) , net benefit (NBA) harus melebihi dari net benefit (NB
B) jika
pilihan A lebih disukai.
31
Pilihan penggunaan kawasan hutan untuk membandingkan pilihan antara
konservasi hutan dan pertambangan maka harus melibatkan manfaat dan
biaya-biaya sosial dan biaya lingkungan yang disebabkan karena adanya nilai
yang hilang dari konversi hutan (perubahan penggunaan kawasan hutan menjadi
pertambangan). Perubahan tersebut akan menyebabkan kehilangan fungsi
lingkungan penting seperti pengatur tata air/DAS dan carbon storage) serta
sumberdaya hutan (kayu komersial, hasil hutan bukan kayu dan rekreasi ameniti).
Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai yang hilang merupakan nilai ekonomi total
dari keberadaan hutan dan merupakan cerminan dari ekstrenalitas negatif atau
dampak kerusakan akibat perkebunan kelapa sawit.
Beberapa studi dengan analisis biaya manfaat yang telah dikaji oleh
International Institute for Environmental and Development (2003) yang
mengestimasi biaya dan manfaat finansial dari ekstraksi lestari buah-buahan
hutan, lateks, dan kayu dan membandingkannya dengan pengembangan bersih
potensial dengan menggunakan analisis biaya manfaat pilihan pengggunaan
kawasan hutan.
2.7.3 Analisis Sensitivitas
Gittinger (2008) menyebutkan analisis sensitivitas adalah suatu analisa
untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang
berubah-ubah. Analisis sensitivitas merupakan perlakukan terhadap
ketidakpastian karena proyeksi suatu proyek selalu menghadapi ketidakpastian
yang dapat saja terjadi pada keadaan yang telah kita ramalkan atau perkirakan.
Gray, Kadariah, dan Karlina (1999) menyebutkan bahwa analisis sentivitas
tujuannya ialah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek
jika ada kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau
manfaat. Analisis sensitivitas diperlukan, karena analisis ini didasarkan pada
proyeksi-proyeksi yang banyak mengandung ketidakpastian tentang apa yang
akan terjadi di waktu yang akan datang. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan
adalah (a) terdapatnya cost over run, misalnya kenaikan biaya konstruksi, (b)
perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, misalnya
penurunan harga hasil produksi, (c) mundurnya waktu implementasi, dan (d)
kesalahan dalam perkiraan hasil per hektar. Analisis sensitivitas perubahan dalam
32
harga perlu dilakukan terutama untuk proyek-proyek dengan umur ekonomis yang
panjang dan dalam ukuran yang besar.
2.8 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit
Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau
individu yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh pencapaian tujuan
organisasi. Analisis kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit
menggunakan analisis pemangku kepentingan (stakeholder). Reed et al. (2009)
mendefinisikan analisis stakeholder sebagai proses dengan tujuan untuk (1)
mendefinisikan aspek sosial dan fenomena alam yang dipengaruhi oleh kebijakan
atau tindakan, (2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang
dipengaruhi oleh atau dapat mempengaruhi bagian dari fenomena (dapat
melibatkan bukan manusia dan bukan makhluk hidup dan generasi masa depan),
(3) memprioritaskan individu dan kelompok tersebut terlibat dalam proses
pembuatan keputusan. Analisis stakeholder merupakan suatu pendekatan untuk
memahami sebuah sistem dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dengan
mengidentifikasi aktor kunci atau stakeholder kunci dan menilai kepentingan
masing-masing stakeholder dalam sistem tersebut (Grimble and Wellard, 1997).
Analisis stakeholder dipadang sebagai cara membangkitkan informasi dari
pelaku yang sesuai untuk memahami tingkah laku, kepentingan, agenda dan
pengaruh dalam proses pengambilan kebijakan (Brugha dan Varvasovsky 2000
dalam Reed et al. 2009). Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai
pada persoalan dan memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang
mengancam keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble and Chan 2005).
Meyers (2001) menyatakan bahwa analisis stakeholder diperlukan untuk
memahami posisi orang lain dalam menghadapi isu yang ada, sehingga dapat
menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain dan memprediksi langkah
yang akan diambil bila terjadi perubahan. Masing-masing stakeholder memiliki
derajat kekuatan (power) yang berbeda-beda dalam mengontrol keputusan yang
berpengaruh pada kebijakan dan lembaga. Mereka memiliki derajat potensi yang
berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan (interest) yang berbeda
dalam mencapai tujuan tertentu. Reed et al. 2009 menyatakan bahwa analisis
33
stakeholder terdiri atas (1) identifikasi stakeholder, (2) pembedaan di antara
kategorisasi stakeholder, (3) investigasi hubungan di antara stakeholder.
2.9 Penelitian sebelumnya
Penelitian sebelumnya yang mendasari landasan berpikir dan sumber
tinjuan pustaka adalah penelitian yang dilakukan :
1) Greetje Schouten dan Pieter Glasbergen yang berjudul Creating legitimacy in
global private governance: The case of the roundtable on Sustainable Palm
Oil pada tahun 2011
Jurnal ini mengemukakan mengenai proses pembentukan RSPO
berdasarkan pendekatan multi-dimensional approach. Pendekatan ini belum
sepenuhnya menyentuh ketentuan prinsip dan kriteria dalam RSPO yang
mempersyaratkan mengenai pengelolaan HCVA. Jurnal ini berisikan banyak
informasi mengenai sejarah menuju global private governance dalam pengelolaan
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di dunia.
2) Kalyan Hou dan Sothunvathanak Meas yang berjudul A Cost and Benefit
Analysis of the Community Forestry Project in Chumkiri District, Kampot
Province, Cambodiapada tahun 2008.
Penelitian ini memiliki kesamaan dengan alat analisis yang sama dengan
penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan alat analisis biaya manfaat,
analisis sensitivitas, dan valuasi jasa ekosistem dan biodiversitas dengan
pendekatan Total Economic Values, namun dengan obyek penelitian yang
berbeda. Kalyan Hou dan Sothunvathanak Meas melakukan penelitian di hutan
kemasyarakatan (community forestry) di kawasan hutan tropis Kamboja,
sedangkan penelitian ini dilakukan di kawasan HCVA perkebunan kelapa sawit.
Hasil penelitian Kalyan Hou dan Sothunvathanak Meas (2008)
menunjukkan bahwa cost benefit analysis digunakan untuk estimasi manfaat
bersih dari tiga pilihan manajemen pengelolaan community forestry, yaitu pilihan
konservasi (conservation option), campuran (combined option), dan eksploitasi
(exploitation option) dimana pilihan konservasi ternyata menjadi paling baik
secara ekonomi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pilihan konservasi
menempati ranking pertama bahkan dengan asumsi menggunakan harga kayu dan
34
hasil hutan bukan kayu lebih tinggi, durasi proyek dan tingkat suku bunga yang
berbeda.
3) Rizaldi Boer, Dodik R. Nurrochmat, Adi Hadianto, Hariyadi, M. Ardiansyah
Handian Purwawangsa, dan Gito Ginting yang berjudul Reducing
Agricultural Expansion into Forest in Central Kalimantan-Indonesia pada
tahun 2012.
Penelitian menggunakan alat analisis finansial, analisis sensitivitas dan
strategi kebijakan serta analisis citra satelit terkait ekspansi kelapa sawit.
Penilitian ini (Boer et al. 2012) membandingkan NPV diantara produser-produser
minyak kelapa sawit mulai dari perkebunan rakyat skala kecil hingga perusahaan
kelapa sawit yang tersertifikssi RSPO. Penelitian ini menekankan pada
internalisasi benefit dari perdagangan karbon dan memperhitungkan persentase
pengurangan HCVA. Penelitian ini menggunakan premium price dan harga
karbon.
35
III. METODE PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di PT. Inti Indosawit Subur (PT.IIS)
Kebun Buatan-Asian Agri Group yang berlokasi di Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa PT. IIS
Kebun Buatan-Asian Agri Group adalah perusahaan yang sudah mendapatkan
sertifikasi RSPO dan mendapatkan premium price. Waktu pelaksanaan penelitian
ini dilakukan sejak bulan April-Juni 2012.
3.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, observasi, dan survei
lapangan. Data primer berupa data valuasi ekonomi HCVA dan harga sumberdaya
yang sudah memiliki harga pasar (market price) dan pasar pengganti (surrogate
market). Sumberdaya yang memiliki nilai guna langsung dikumpulkan datanya.
Data lainya seperti profile responden/narasumber, seperti umur, jenis kelamin,
matapencaharian, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, frekuensi interaksi
dengan hutan, dan frekuensi pemanenan sumberdaya hutan/HCVA.
Data sekunder meliputi data-data mengenai kondisi umum lokasi
penelitian dan data-data penunjang lainnya. Data sekunder merupakan data yang
dikumpulkan untuk kebutuhan dalam rangka mendapatkan hasil analisis dan
pembahasan yang maksimal. Data sekunder diambil dari berbagai sumber yang
relevan. Data ini sangat dibutuhkan untuk identifikasi dan input analisis biaya
manfaat. Data sekunder diperoleh dari perusahaan yang menjadi sampel penelitian
dan instansi pemerintah yang ada di Kabupaten dan Provinsi. Data sekunder dari
penelitian ini didapatkan dari:
1) Komisi Kelapa Sawit Indonesia
2) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)
3) Studi Identifikasi , RPL dan RKL HCVA PT. IIS Kebun Buatan
4) BPS Kabupaten dan Provinsi
5) Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten dan Provinsi
6) Tim HCV Fahutan IPB
7) Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI
36
Tabel 6. Matriks penelitian
No Tujuan Penelitian Sumber dan Jenis Data Metode Analisis
1
Mengestimasi nilai
ekonomi kawasan High
Conservation Values
Area (HCVA) di
perkebunan kelapa sawit
Data TEV HCVA survei,
observasi, dan wawancara
(data primer)
Laporan RKL dan RPL
PT IIS Kebun Buatan
(Data sekunder)
Analisis Nilai
Ekonomi Total
HCVA
2
Menganalisis dampak
ekonomi dan finansial
pengelolaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit
Data komponen biaya
Nurrochmat et al. 2012
dan Boer et al 2012 (data
sekunder), Data produksi
PT. IIS KB, Data tenaga
kerja PT. IIS KB,
Data Harga TBS
(sumber: Riau Post),
TEV HCVA PT. IIS KB
(Data primer),
Dampak ekonomi (Data
primer )
Analisis Biaya
Manfaat dan
Analisis Finansial
Pengelolaan
HCVA
3
Mengevaluasi pengaruh
perubahan harga
(premium price), biaya
dan luasan areal
perkebunan kelapa sawit
akibat pengelolaan
HCVA.
Hasil perhitungan analisis
biaya manfaat
(primer dan sekunder)
Analisis
Sensitivitas
4
Memformulasikan
strategi kebijakan
pengelolaan HCVA
dalam rangka
mewujudkan perkebunan
kelapa sawit
berkelanjutan.
Hasil Wawancara
Stakeholder (data primer)
Analisis
Stakeholder
dengan metode
analitycal
cathegorization
3.3 Penentuan Sampel Penelitian
Penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling.
Penentuan sampel responden ditetapkan berdasarkan tujuan tertentu kepada ahli
atau informan atau pelaku secara langsung. Penggunaan teknik penentuan sampel
ini dilakukan dengan asumsi ahli atau informan atau pelaku terlibat secara
langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan HCVA, harga sumberdaya, dan
pola pemanfaatan sumberdaya dari lokasi yang teridentifikasi sebagai HCVA.
Pemilihan responden untuk wawancara dengan person kunci lebih tepat dilakukan
37
dengan pengambilan contoh disengaja (purposive sampling). Pemilihan teknik
pengambilan sampel secara purposive ini juga dikarenakan adanya keterbatasan
akses ke lokasi responden atau sampel.
Narasumber/responden penelitian ini adalah:
1) Masyarakat di dalam dan sekitar perkebunan PT. IIS Kebun Buatan sebagai
pengumpul/pengguna sumberdaya hutan (ikan, kayu, rotan, dan jasa ekosistem
lainnya) dalam kawasan HCVA
2) Staf perusahaan PT. IIS Kebun Buatan (staf pengelola HCVA)
3) Tokoh masyarakat (kepala suku, kelapa agama dan tokoh pemuda).
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data meliputi data sekunder dan data primer. Teknik
pengumpulan data sekunder melalui pendekatan instansional. Data-data sekunder
diperoleh dari berbagai sumber-sumber yang relevan terkait dengan penelitian ini.
Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi, survei lapangan
dan wawancara yang meliputi wawancara semi terstruktur dengan menggunakan
panduan wawancara dan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner.
Responden wawancara terstruktur adalah masyarakat pengguna aliran barang dan
jasa HCVA.Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan narasumber kunci (key
person interviews) berdasarkan purposive sampling. Narasumber untuk
wawancara semi terstruktur adalah stakeholder dalam sub sektor perkebunan.
Narasumber dalam penelitian ini adalah:
1) Komisi Sawit Indonesia/Komisi ISPO
2) Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (PT. IIS Kebun Buatan)
3) GAPKI (Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)
4) LSM Sawit Watch
5) Peneliti HCVA (Tim HCVA Fahutan IPB)
6) Koperasi Unit Desa (KUD) Plasma Desa Buatan SP 10
38
3.5 Metode Analisis
3.5.1 Analisis Total Economic Value (TEV) HCVA
Estimasi nilai ekonomi kawasan High Conservation Values Area (HCVA)
di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan
Total Economic Value (TEV). Nilai ekosistem dan biodiversitas umumnya
diestimasi menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV). TEV sebuah
ekosistem umumnya dibagi menjadi nilai guna (use value) dan nilai non-guna
(non use value). Setiap nilai dapat dipecah menjadi beberapa komponen nilai
(Brander et al. 2010).
TEV merupakan penjumlahan nilai semua aliran jasa yang dihasilkan dari
modal alami, baik saat ini maupun di saat mendatang. Aliran jasa-jasa ini dinilai
pada perubahan marjinal dalam penyediaannya. TEV mengarahkan semua
komponen-komponen bermanfaat maupun tidak bermanfaat yang diturunkan dari
jasa ekosistem dengan menggunakan unit ukuran yang sama. Ukuran tersebut
yaitu nilai uang atau semua nilai dengan berbasis pasar yang memungkinkan
dapat diperbandingkan manfaat dari berbagai macam barang.
Valuasi nilai ekonomi HCVA menggunakan analisis Total Economic
Values (Pearce 1993).
( )
Dimana:
= net economic values (nilai ekonomi total)
use value (nilai guna)
direct use value (nilai guna langsung)
indirect use value (nilai guna tidak langsung)
option value (nilai pilihan
non use value (nilai non-guna)
existance value (nilai keberadaan)
Metode valuasi HCVA yang pada umumnya berupa kawasan hutan, jasa
ekosistem dan biodiversitas sedapat mungkin menggunakan harga pasar aktual.
Hal ini dapat dilakukan untuk sumberdaya hutan yang sifatnya tangible, yang
39
diperjualbelikan di pasar seperti kayu bulat, makanan, dan obat-obatan. Hasil
hutan bukan kayu (NTFPs) yang memiliki karakteristik non-pasar, maka teknik
valuasi bisa menggunakan surrogate market, dan substitute goods. Jasa dan fungsi
jasa ekosistem hutan bisa menggunakan pendekatan production function
approach, benefit transfer, dan cost-based approach. Manurung (2001)
menggunakan benefit transfer dalam penelitian Analisis Valuasi Ekonomi
Investasi Perkebunan Sawit di Indonesia untuk nilai fungsi dan jasa ekosistem
kehutanan. Penggunaan metode penelitian setiap aliran jasa dan manfaat secara
tepat diperoleh setelah menggunakan hasil dokumen identifikasi HCVA, RKL dan
RPL HCVA serta melalui survei, observasi lapangan dan wawancara khususnya
untuk nilai guna langsung sumberdaya hutan, manfaat sosial dan lingkungan.
3.5.2 Analisis Dampak Ekonomi dan Finansial Pengelolaan HCVA
3.5.2.1 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA
Ada beberapa cara untuk menilai kelayakan suatu proyek/investasi.
Penilaian proyek jangka panjang yang paling banyak diterima seperti pengelolaan
HCVA di perkebunan kelapa sawit adalah Discounted Cash Flow Analysis
(analisis DCF) atau analisis aliran kas yang didiskontokan (Gittiger 2008).
Analisis finansial ditekankan pada hasil untuk modal saham (equity capital) yang
ditanam dalam proyek. Hasil ini harus diterima oleh para petani, pengusaha,
perusahaan swasta, suatu badan pemerintah, atau siapa saja yang berkepentingan
dalam pembangunan proyek. Hasil finansial sering juga disebut private return.
Analisis ekonomi menekankan pada hasil total, atau produktivitas atau
keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk
masyarakat atau perekonomian sebagai keseluruhan, tanpa melihat siapa saja yang
menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masarakat yang menerima
hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “social return” atau the economic return”
dari proyek dalam hal ini pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Gray et
al. (1999) mengemukanan bahwa analisis finansial hampir sama dengan analisis
ekonomi, hanya saja variable yang dipakai adalah harga riil dari apa yang benar-
benar terjadi.
40
Besarnya faktor diskonto (discounted factor/DF) menggunakan rata-rata
suku bunga bank komersial di Indonesia yaitu sebesar 15%. Besaran suku bunga
15% juga diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan GAPKI dan Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit. Angka faktor diskonto ini digunakan dengan
pertimbangan agar perhitungan yang dipakai dalam evaluasi proyek terlepas dari
pengaruh distorsi pasar. Artinya dengan menggunakan faktor diskonto maka
diharapkan hasil analisis dapat menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Besar
kecilnya diskonto sangat menentukan besar kecilnya angka benefit cost rasio
(B/C), IRR, NPV, sebab perhitungan IRR, NPV, dan B/C selalu didasarkan pada
DF (Gittinger 2008).
a) Benefit Cost Ratio
Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria
alternatif yang layak adalah BCR>1 dan diletakan pada alternatif yang
mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Nilai BCR secara matematis
dapat disajikan sebagai berikut (Gittinger 2008).
∑
( )
( )
Dimana :
= manfaat yang diperoleh tiap tahun
= biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = lamanya periode waktu t =0,1,2... n
n = jumlah tahun
i = tingkat bunga (diskonto)
Rasio diatas di sebut juga profitability index (PI). Jika BCR>1, maka
proyek pengelolaan HCVA menguntungkan/layak diusahakan karena penerimaan
(premium price) lebih besar daripada biaya total.
a) Net Present Value
NPV Merupakan nilai keuntungan yang diperoleh selama masa hidup
suatu usaha/proyek yang ditinjau pada kondisi saat ini dengan DF tertentu. NPV
merupakan selisih antara present value benefit dengan present value cost (Gray et
41
al 1999). NPV merupakan perkalian antara arus kas dengan faktor diskonto. Suatu
usaha/proyek dinyatakan layak apabila nilai NPV adalah positif pada marginal
average rate of return. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV
tertinggi pada tingkat pertama. Kriteria yang digunakan dalam menilai suatu
proyek adalah bila NPV positif berarti menguntungkan dan NPV negetif
menunjukkan kerugian. Lebih lanjut lagi Gray et al. (1999) menyatakan bahwa
dalam evaluasi suatu proyek tertentu tanda „go‟ dinyatakan oleh NPV>0. Jika
NPV=0 proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of
capital. Jika NPV<0, proyek ditolak artinya ada penggunaan lain yang lebih
menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek.
Nilai NPV secara matematis dapat disajikan sebagai berikut (Gittinger
2008):
∑ ( )
Dimana:
= manfaat yang diperoleh tiap tahun
= biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = 1,2... n
n = jumlah tahun
i = tingkat bunga (diskonto)
b) Internal Rate Return (IRR)
IRR adalah laju tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan yang
ditunjukkan oleh nilai relatif earning power dari modal yang diinvestasikan di
proyek, yaitu discount rate yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria
untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah jika IRR lebih besar dari tingkat
suku bunga (i) atau IRR>i. Nilai IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang
berlaku sebagai social discount factor, maka nilai NPV dari proyek itu adalah
sebesar 0 artinya proyek dapat dilaksanakan. Jika IRR<social discount rate,
berarti NPV<0, maka proyek sebaiknya tidak dilaksanakan (Gray et al. 1999).
Nilai Internal Rate of Return (IRR) secara matematis dapat ditulis dengan
persamaan berikut (Gittinger 2008):
42
∑ ( )
Dimana:
= manfaat yang diperoleh tiap tahun
= biaya yang dikeluarkan tiap tahun
t = 1,2... n
n = jumlah tahun
i = tingkat bunga (diskonto)
3.5.2.2 Analisis Dampak Ekonomi Pengelolaan HCVA
Dampak ekonomi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit
dilakukan dengan menggunakan alat analisis manfaat dan biaya (Benefit Cost
Analysis). Benefit Cost Analysis merupakan penerapan konsep ekonomi
kesejahteraan modern yang ditujukan untuk memperbaiki efisiensi ekonomi dalam
alokasi sumberdaya. Nilai ekonomi masyarakat dijadikan untuk menilai usulan-
usulan tertentu (Abelson 1996). Analisa biaya manfaat digunakan menentukan
analisa biaya pengelolaan HCVA dengan manfaat yang dihasilkan. Hasil analisa
akan menunjukkan tingkat efektivitas dan efisiensi kelayakan finansial dan
ekonomi usaha pengelolaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit.
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam analisis Cost Benefits Analysis
adalah dengan mengidentifikasi dan mengkonversikan komponen-komponen
penilaian yaitu biaya dan manfaat yang dihasilkan oleh pengelolaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit. Komponen biaya dan manfaat yang telah diketahui,
selanjutnya nilai cost benefits analysis bisa dilakukan untuk menentukan apakah
sebuah pengeloaan HCVA layak atau tidak. Analisa suatu investasi, terdapat dua
aliran kas, aliran kas keluar (cash outflow) yang terjadi karena pengeluaran-
pengeluaran untuk biaya investasi (biaya pengelolaan HCVA), dan aliran kas
masuk (cash inflow) yang terjadi akibat manfaat yang dihasilkan oleh suatu
investasi (nilai ekonomi HCVA dan premium price). Aliran kas Aliran kas masuk
atau yang sering dikatakan pula sebagai proceed, merupakan keuntungan bersih
sesudah pajak ditambah dengan depresiasi (bila depresiasi masuk dalam
komponen biaya). Menurut Richard dan Stewart (1999) metode-metode yang
43
digunakan dalam cost-benefits analysis diantaranya adalah: payback period
method, return on investment method, net present value method, dan internal rate
of return method.
Nilai pertimbangan yang mendasar dari analisis manfaat biaya adalah
anggapan bahwa:
1) Kegiatan yang menyumbang terhadap peningkatan kesejahteraan secara
positif terhadap ekonomi masyarakat haruslah dapat diukur nilai moneter,
dimana barang dan jasa yang masyarakat bersedia mengeluarkannya
sebagai ganti
2) Dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat perlu diukur dengan
ukuran satuan uang, barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat sebagai
imbalan terhadap kondisi buruk yang mungkin muncul.
Menurut Suparmoko (2000) dalam penerapannya, Analisis Manfaat dan biaya
akan terdapat banyak kesulitan antara lain sebagai berikut:
1) bagaimana mengukur manfaat
2) bagaimana mengenal dan mengukur biaya
3) bagaimana menentukan waktu dan tingkat diskonto (discount rate)
Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan langkah-langkah tetap untuk
melakukan analisa yaitu:
1) menentukan dampak dari proyek, yaitu barang dan jasa apa yang akan
diperoleh dari proyek tersebut
2) menyatakan dampak dari proyek tersebut secara kuantitatif
3.5.3 Analisis Sensivitas
Gittinger (2008) menyatakan bahwa teknik analisa sensivitas tidaklah
sulit. Analis hanya perlu menilai kemanfaatan ukuran proyek dengan
menggunakan estimasi baru dari satu atau lebih komponen biaya atau hasil.
Kaitannya dengan penelitian ini adalah analisis sensitivitas akan dilakukan dengan
memberikan perlakuan berupa perubahan premium price, dan perubahan luasan
(pengurangan produksi minyak kelapa sawit) serta biaya pengelolaan HCVA yang
akan mempengaruhi besaran total biaya investasi dan mempengaruhi analisa
kelayakan (profit) yang akan diperoleh perusahaan.
44
3.5.4 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA
Metode yang digunakan untuk analisis kebijakan pengelolaan HCVA
adalah analisis stakeholder. Strategi kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan
kelapa sawit dilihat dari tingkat persepsi, kepentingan dan pengaruh stakeholder
dalam pengelolaan HCVA. Penentuan posisi stakeholder dalam penelitian
dilakukan dengan menggunakan analisis kategori berdasarkan Reed et al. (2009),
yang mengklasifikasikan stakeholder berdasarkan: (1) kepentingan (2) pengaruh
mereka dalam pengelolaan HCVA. Kepentingan (interest) dalam oxford advanced
leaner’s dictionary didefenisikan sebagai sesuatu yang akan membuat seseorang
memberikan perhatiannya terhadap sesuatu (Hornby 1995). Nilai kepentingan
stakeholder dalam penelitian ini akan ditentukan oleh :
1. Persepsi stakeholder mengenai pengelolaan HCVA sebagai paradigma
pembangunan perkebunan yang berkelanjutan (profit, planet, dan people).
2. Kesesuaian implementasi pengelolaan HCVA sebagai persyaratan sertifikasi
perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
3. Motivasi keterlibatan stakeholder dalam implementasi kebijakan pengelolaan
HCVA di perkebunan kelapa sawit.
4. Bentuk dukungan stakeholder dalam implementasi pengelolaan HCVA.
5. Keuntungan yang diharapkan oleh stakeholder dalam implementasi
pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.
Literatur psikologi sosial menyebutkan bahwa pengaruh (influence)
didefenisikan sebagai proses dari mempengaruhi pemikiran, kebiasaan dan
perasaan dari orang lain dan kapasitas pengaruh seseorang (agen) terhadap orang
lain (target) akan sangat tergantung pada kekuatan yang dimiliki oleh orang
tersebut (agen) (Nelson & Quick 1994 dalam Reed et al. (2009). Yukl (1994)
menyebutkan bahwa pengaruh hanya merupakan efek dari suatu pihak
(agen/subyek) terhadap pihak yang lain (target/obyek). Besarnya nilai pengaruh
dari stakeholder dalam implementasi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa
sawit akan dinilai berdasarkan (1) tingkat keterlibatan stakeholder dalam
implementasi pengelolaan HCVA, (2) peran dan kontribusi dalam pembuatan
keputusan kebijakan pengelolaan HCVA, (3) hubungan dengan stakeholder lain,
(4) dukungan SDM dan (5) dukungan Finansial.
45
Eden and Ackermann (1998) dan De Lopez (2001) dalam Reed et al. (2009)
mengemukakan bahwa metode yang digunakan dalam kepentingan dan pengaruh
dalam analisis stakeholder adalah dengan mengklasifikasi ke dalam empat
kelompok yaitu key players, context setter, subject dan crowd. Lebih lanjut Reed
et al. (2009) menjelaskan bahwa key players merupakan kelompok yang memiliki
kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang tinggi pula sehingga mereka aktif
terlibat dalam kegiatan dimaksud. Context setter merupakan kelompok yang
memiliki kepentingan yang kecil dan pengaruh yang tinggi, sehingga dapat
menimbulkan resiko yang nyata, sehingga harus dimonitor dan dikelola
(managed) dengan baik. Subject merupakan kelompok yang memiliki kepentingan
yang tinggi namun memiliki pengaruh yang kecil, sehingga tidak mempunyai
kapasitas untuk mempengaruhi namun memiliki kemampuan untuk membentuk
aliansi dengan stakeholder lain. Umumnya kelompok ini merupakan kelompok
marginal yang ingin diberdayakan oleh kegiatan (project). Crowd merupakan
kelompok yang memiliki kepentingan yang kecil, pengaruh kecil, dan tidak perlu
untuk dipertimbangkan terlalu detil atau diikat/dilibatkan. Klasifikasi stakeholders
berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya diilustrasikan pada Gambar 6.
Sumber : Reed et al. (2009)
Gambar 6. Posisi stakeholders berdasarkan pengaruh dan kepentingan
Persepsi dan posisi stakeholder yang sudah diketahui akan menjadi bahan
menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangkan mewujudkan
pembangunan kelapa sawit secara berkelanjutan.
Key Players
(Kuadran II)
Subject
(kuadran I)
Crowd
(Kuadran IV)
Context Setter
(Kuadran III)
TINGGI RENDAH
TINGGI
PENGARUH
46
47
IV. KONDISI UMUM DAN PROFIL PERUSAHAAN
4.1 Profil PT. IIS Kebun Buatan-Asian Agri Group
Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan merupakan
salah satu perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam Asian Agri Group yang
berlokasi di Provinsi Riau. Luas areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan seluas
25.020 ha, dimana areal perkebunan yang masih berupa hutan alam sekunder
hanya sebagian kecil.
PT. IIS Kebun Buatan terletak di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten
Siak, Provinsi Riau. Letak areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan secara
geografis, administrasi pemerintahan, dan pembagian Daerah Aliran Sungai
(DAS) disajikan pada Tabel 7, sedangkan lokasi PT. IIS Kebun Buatan disajikan
pada Gambar 7.
Tabel 7. Letak areal kerja dan batas wilayah PT. IIS Kebun Buatan
Uraian Keterangan
Geografis
101°40‟ - 102°15‟ BT
0°05‟ - 0°43‟ LS
Ketinggian tempat 25 - 250 mdpl
Administrasi Pemerintahan
- Kabupaten Pelalawan (Kec. Pelalawan)
- Kabupaten Siak (Kec. Kerinci Kanan, Kec.
Pangkalan Kerinci dan Kec. Dayun)
- Provinsi Riau
Wilayah Pemangkuan - Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan
- Dinas Perkebunan Provinsi Riau
Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS S. Kerinci, DAS S. Laniago dan DAS S.
Pelalawan
Batas Wilayah :
- Sebelah Utara Sungai Siak, Kecamatan Lubuk Dalam dan
Dayun
- Sebelah Timur Kecamatan Dayun dan Kecamatan Pelalawan
- Sebelah Selatan Sungai Kampar, Kecamatan Langgam dan Pangkalan Kerinci
- Sebelah Barat Kecamatan Kerinci Kanan dan Tualang
Sumber: Laporan Tim HCVA Fahutan IPB 2009
48
Gambar 7. Peta Lokasi Areal PT. IIS Kebun Buatan, Kabupaten Pelalawan dan
Kabupaten Siak, Provinsi Riau
Areal kebun buatan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan terletak di
Kabupaten Pelalawan dan Siak, dengan luas total wilayah seluas 25.020 ha.
Secara geografis PT. IIS Kebun Buatan terletak pada 101°40‟–102°15‟
BujurTimur dan 0°05‟ – 0°43‟ Lintang Selatan. Batas-batas areal PT. IIS Kebun
Buatan adalah sebagai berikut :
Sebelah utara berbatasan dengan perkebunan kepala sawit PTPN V Buatan,
PT. Surya Dumai dan kebun sawit milik masyarakat
Sebelah timur berbatasan dengan kebun kelapa sawit milik masyarakat
49
Sebelah selatan berbatasan dengan areal perkebunan kelapa sawit milik
masyarakat
Sebelah barat berbatasan dengan kebun kelapa sawit milik masyarakat.
Status pengelolaan kebun menunjukkan areal kebun buatan kelapa sawit
PT. IIS Kebun Buatan dibagi kedalam 3 kelompok lahan, yaitu (1) Kawasan Inti
(5.549 ha), (2) Kawasan Plasma (10.946 ha), dan (3) Kawasan KKPA (1.500 ha).
Peruntukan lahan di dalam kawasan plasma terdiri atas : (1) Lahan untuk tapak
rumah dan pekarangan (0.25 ha/KK) dan lahan kebun sawit (2.25 ha/KK).
Kawasan KKPA merupakan lahan milik masyarakat Desa Dayun yang
dikerjasamakan dengan PT. IIS Kebun Buatan.
Areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan dibagi kedalam 2 kelompok
lahan, yaitu lahan yang telah dikembangkan (16.496 ha) dan lahan yang tidak
dikembangkan (8.525 ha) (Tabel 8). Peruntukan lahan di lokasi yang telah
dikembangkan dapat dibedakan kedalam 2 macam, yaitu (1) komponen plasma
(lahan pangan/tapak rumah (5.130 ha), lahan kelapa sawit plasma (10.946 ha) dan
jalan/fasilitas lain (3.035 ha) dan (2) komponen inti seluas 5.909 ha (lahan kelapa
sawit (5.549 ha) dan emplasemen/pabrik (360 ha).
Tabel 8. Areal perkebunan PT.IIS Kebun Buatan
Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT. IIS Kebun Buatan Luas Laha (ha)
Lahan yang tidak dikembangkan (ha) 8.525
Lahan yang dikembangkan (ha) 16.495
Total 25.020
Luas Kebun Berdasarkan peruntukannya (ha)
A. Plasma
Lahan pangan/tapak pangan 5.130
Kebun plasma 10.946
Fasum (jalan dan fasilitas lainnya) 3.035
sub total 19.111
B. Inti
Kebun inti 5.549
Emplasemen dan pabrik 360
sub total 5.909
TOTAL A+B 25.020 Sumber: Laporan PT. IIS Kebun Buatan 2011
50
4.2 Kapasitas Produksi MKS dan IKS
Menurut Pahan (2010) produksi Minyak Kelapa Sawit (MKS) dan Inti
Kelapa Sawit (IKS) per hektar di suatu kebun dapat menunjukkan pencapaian
tingkat produksi sudah mencapai maksimal atau tidak. Produksi yang maksimal
hanya dapat dicapai jika kerugian produksi minimal. Catatan produksi MKS dan
IKS di PT. IIS Kebun Buatan dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Produksi CPO (MKS) dan KPO (IKS) PT. IIS Kebun Buatan
Jenis Kebun Luas (Ha) Rata-rata Produksi
(25 ton/tahun/ha)
CPO
Extraction
rate (19.62%)
Kernel
Extraction
rate (5.16%)
Kebun Inti 5.549 138.725 27.218 715.821
Kebun Plasma 10.946 273.650 53.690 1.412.034
KKPA 1.500 37.500 73.58 193.500
Total 17.995 449.875 88.265,48 2.321.355
Sumber: data primer 2012
Hasil wawancara dengan pihak manajemen PT. IIS Kebun Buatan
menunjukkan umur tanaman kelapa sawit antara 18-20 tahun. Penanaman
pertama dilakukan pada tahun 1992. Produksi PT. IIS Kebun Buatan
menghasilkan panen sebanyak 25 ton/ha/tahun. Perusahaan PT. IIS Kebun Buatan
memiliki kebun inti seluas 5.549 ha dan kebun plasma seluas 10.946 ha.
Perusahaan ini juga memiliki kebun kelapa sawit KPPA seluas 1.500 ha, sehingga
total luas kebun kelapa sawit yang berproduksi seluas 17.995 ha. Rata-rata panen
kelapa sawit sebanyak 25 ton TBS/ha/tahun sehingga total produksi TBS sebesar
449.875 ton/ha/tahun. Tingkat ekstraksi MKS sebesar 19.62%, sedangkan IKS
sebesar 5.16% (Tabel 9).
GAPKI (2012) menyatakan bahwa pada tahun 2012 diperkirakan total area
kelapa sawit akan mencapai 8.2 juta hektar, dan produksi serta ekspor masing-
masing akan mencapai sekitar 25 juta ton dan 17.5-18 juta ton. Harga
diperkirakan akan berada pada kisaran US$ 1000-1200 per ton. Produksi CPO
pada tahun 2011 diprediksi akan berkisar 23.5 juta ton, dengan ekspor sebesar
16.5 juta ton, sementara harga rata-rata CPO pada tahun 2011 diperkirakan pada
tingkat US$ 1125 per ton (cif Rotterdam). Kinerja industri sawit mengalami
peningkatan yang cukup baik dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2010,
dimana produksi dan ekspor masing mengalami peningkatan sebesar 7.3% dan
5.7%. Sementara harga mengalami kenaikan sebesar 24%.
51
4.3 Produksi Kelapa Sawit Tersertifikasi RSPO
Perusahaan perkebunan PT. IIS Kebun Buatan merupakan perusahaan
perkebunan dibawah Asian Agri Group yang pertama kali mendapatkan sertifikasi
RSPO. Produksi kelapa sawit berkelanjutan (certified sustanaible palm oil/CSPO)
tidak hanya terbatas pada kebun inti saja, namun juga pada kebun plasma. Hanya
kebun kelapa sawit KKPA yang belum tersertifikasi RSPO untuk di PT. IIS
Kebun Buatan. Seluruh areal kebun inti sudah tersertifikasi RSPO sejak
September 2011, sedangkan areal kebun plasma tersertifikasi RSPO sejak Maret
2012. Total areal kebun yang telah tersertifikasi RSPO seluas 16.495 ha dengan
luas HCVA sebesar 89.95 ha. Perusahaan ini juga telah mendapatkan sertifikat
ISCC pada bulan April 2012, dengan demikian perusahaan ini telah mengantongi
sertifikasi RSPO dan ISCC dan berhak mendapatkan premium price dari
penjualan minyak sawit mereka.
RSPO (2012a) melaporkan bahwa terjadi kenaikan pasokan dan penjualan
minyak sawit lestari sejak diluncurkannnya sertifikasi untuk komoditas kelapa
sawit oleh RSPO pada tahun 2008. Mulai dari 2009 ke 2011, telah terjadi
peningkatan pasokan CSPO sebesar 250% yaitu dari 1.357.511 metrik ton di
tahun 2009 menjadi 4.798.512 metrik ton di tahun 2011. Volume penjualan juga
tumbuh 6 kali lipat atau sekitar 620%, yaitu dari 343.857 metrik ton di tahun 2009
menjadi 2.490.526 metrik ton di tahun 2011. Data kajian tersebut menunjukkan
pasokan tahunan CSPO di tahun 2011 meningkat 73% hingga mencapai 4.798.512
metrik ton dibandingkan di tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.773.567
metrik ton, sedangkan jumlah penjualan tahunan meningkat secara signifikan
hingga mencapai 94%. Serapan pasar untuk CSPO sebesar 52% pada tahun 2011.
Hal ini menunjukkan bahwa serapan pasar untuk produk minyak sawit
tersertifikasi (CSPO) sudah melewati setengah dari suplai CSPO. Lebih lanjut
RSPO melaporkan bahwa keanggotaan RSPO juga telah berkembang pada tahun
terakhir ini. Anggota RSPO yang berasal dari produsen consumer goods
meningkat lebih dari 60%, sedangkan dari kategori ritel meningkat sebesar 50% –
kedua kategori tersebut utamanya berasal Eropa yang sangat mendukung dalam
meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat. Anggota dari
52
kategori prosesor dan pedagang pun bertambah, mencapai lebih dari 30% yang
memperkuat komitmen sepanjang rantai pasokan minyak kelapa sawit.
Tecatat pada tanggal 3 Mei 2012, RSPO baru saja mencapai milestone
terbarunya yaitu produksi tahunan CSPO sebesar 6 juta metrik ton yang dicapai
kurang dari 4 tahun semenjak dimulainya sertifikasi RSPO. Tingkat pertumbuhan
20% tersebut dicapai dalam kurun waktu hanya setengah tahun sejak pencapaian
tahun lalu, yaitu mencakup lahan produksi CSPO yang meningkat menjadi
1.221.240 hektar dan kapasitas produksi CSPO tahunan yang meningkat menjadi
6.017.193 metrik ton hingga saat ini. PT. IIS Kebun Buatan baru-baru ini resmi
mendapatkan sertifikasi dari RSPO dan tercatat penambahan produksi sebesar
54.282 metrik ton CSPO sehingga berhasil menjadikan Indonesia tidak hanya
sebagai produsen terbesar CSPO (melebihi Malaysia) baik secara volume dan juga
area produksi, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai produsen CSPO terbesar
yang berasal dari petani plasma (RSPO 2012b).
53
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Analisis Keberadaan HCVA
Hasil identifikasi terhadap HCVA di areal PT. IIS Kebun Buatan seluas
25.020 ha terdiri atas 4 HCV, yaitu HCV1, HCV4, HCV5 dan HCV6. Masing-
masing HCV yang ada dapat dikelompokkan kedalam 2 macam, yaitu (a) sudah
dipastikan terdapat HCV dan (b) secara potensial ada HCV. Identifikasi awal
ditemukan ada 3 HCV meliputi: HCV-1 (HCV1.1 dan HCV1.2), HCV-4
(HCV4.1), dan HCV6; sedangkan yang secara potensial ada meliputi 1 HCV,
yaitu HCV-5. Luas HCVA yang ada di PT. IIS Kebun Buatan sebesar 89.96 ha
atau hanya sebesar 0.55% dari luas izin kebun produktif (16.495 ha) (Tim HCV
Fahutan IPB 2009).
Luasan HCVA yang relatif kecil disebabkan bahwa pembangunan kebun
kelapa sawit perusahaan ini dilakukan mulai pada tahun 1988 atau perusahaan
perkebunan termasuk kebun yang tua. Pembangunan kebun tua menyebabkan
prosedur taat dan patuh terhadap aturan dalam pengelolaan perkebunan yang
berkelanjutan masih lemah dan belum sesuai dengan dalam RSPO. Keberadaan
HCVA di dalam kebun tua umumnya memiliki kecenderungan HCVA yang sama
yaitu persentase luasan HCVA sangat kecil. Hasil identifikasi keberadaan HCV
di areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatanberdasarkan hasil kajian Tim HCV
Fahutan IPB secara rinci disajikan pada Tabel 10.
Areal PT. IIS Kebun Buatan tidak terdapat kawasan lindung yang termasuk
ciri dari HCV1.1 seperti taman nasional, taman buru, cagar alam, suaka
margasatwa dan hutan lindung, namun di wilayah perkebunan kelapa sawit
tersebut ditemukan adanya sempadan Sungai Kerinci dan Sungai Laniago. Hasil
uraian tersebut menunjukkan di areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan terdapat
kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung keanekaragaman
hayati bagi kawasan lindung atau konservasi (HCV1.1).
Areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan terdapat spesies satwaliar hampir
punah antara lain: beruk, lutung dahi putih, owa, rangkong, elang ular/bido, dan
kucing hutan, namun tidak terdapat spesies tak dikenal yang hampir punah dan
spesies yang secara lokal penting dan hampir punah.
54
Tabel 10. Hasil identifikasi keberadaan HCV di areal PT. IIS Kebun Buatan
HCV Komponen Keberadaan HCV
HCV1. Kawasan yang mempunyai tingkat
keanekaragaman hayati yang penting
1.1. Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung
keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung atau konservasi
Ada
1.2. Spesies hampir punah Ada
1.3. Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi spesies yang terancam,
penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu bertahan hidup
Tidak ada
1.4. Kawasan yang merupakan habitat bagi spesies atau sekumpulan spesies yang
digunakan secara temporer
Tidak ada
HCV2. Kawasan bentang alam yang penting bagi
dinamika ekologi secara alami
2.1. Kawasan bentang alam luas yang memiliki kapasitas untuk menjaga proses
dan dinamika ekologi secara alami
Tidak ada
2.2. Kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang
tidak terputus (berkesinambungan)
Tidak ada
2.3. Kawasan yang berisi populasi dari perwakilan spesies alami yang mampu
bertahan hidup
Tidak ada
HCV3. Kawasan yang mempunyai ekosistem
langka atau terancam punah
Tidak ada
HCV4. Kawasan yang menyediakan jasa-jasa
lingkungan alami
4.1. Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan
pengendalian banjir bagi masyarakat hilir
Ada
4.2. Kawasan yang penting bagi pencegahan erosi dan sedimentasi Tidak ada
4.3. Kawasan yang berfungsi sebagai sekat alam untuk mencegah meluasnya
kebakaran hutan dan lahan
Tidak ada
HCV 5. Kawasan yang mempunyai fungsi
penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar
masyarakat lokal
Tidak Ada
HCV6. Kawasan yang mempunyai fungsi penting
untuk identitas budaya komunitas lokal
Ada
Sumber: Laporan Identifikasi HCV Tim Fahutan IPB (2009)
50 54
55
Hasil uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa di areal perkebunan PT. IIS Kebun
Buatan mengandung HCV1-2 spesies hampir punah.
Kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan tidak terdapat areal yang menjadi
konsentrasi spesies berpindah yang signifikan secara global atau konsentrasi
temporal yang signifikan secara nasional atau rute migrasi. Hal ini terkait dengan
lokasi seluruh areal PT. IIS Kebun Buatan berbatasan dengan perkebunan kelapa
sawit. Luas total areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan yang masih berupa
hutan hanya sebagian kecil saja (sekitar 45 ha). Mengacu pada luas kawasan
hutan di Pulau Sumatera yang masih tersisa pada tahun 2007, maka areal berhutan
yang terdapat di areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan hanya sebesar 0.0004%
dari luas total kawasan hutan yang masih tersisa di Pulau Sumatera.
Jenis-jenis satwaliar yang potensial digunakan sebagai spesies payung,
antara lain: beruk, owa dan lutung dahi putih (primata), rangkong dan elang
ular/bido (burung), namun untuk predator utama yang dijadikan di wilayah
tersebut tidak ada. Luas total areal perkebunan kelapa sawit yang masih berupa
hutan sebesar 0.18% dari luas total wilayah kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan.
Mengacu pada luasan areal berhutan di wilayah tersebut dan jenis tegakan yang
masih alami yang tersedia, maka areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan tidak
layak untuk mempertahankan spesies payung tersebut. Terkait dengan data dan
informasi tentang populasi yang belum tersedia, maka kelayakan kawasan hutan
tersebut belum dapat ditentukan. Hasil uraian tersebut menunjukkan bahwa di
areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan tidak terdapat HCV2-3, yaitu kawasan
yang berisi populasi dari perwakilan spesies alami yang mampu bertahan hidup.
Areal berhutan yang terdapat di wilayah kebun buatan PT. IIS Kebun
Buatan, termasuk ekosistem yang sebagian besar berupa hutan hujan dataran
rendah dan hutan rawa gambut. Areal yang masih berhutan hanya sebagian kecil,
yaitu seluas kurang lebih 45 ha. Memperhatikan data dan informasi tersebut
menunjukkan bahwa tipe ekosistem hutan dataran rendah di areal kebun buatan
PT. IIS Kebun Buatan tidak termasuk ekosistem yang jarang, terancam atau
hampir punah dalam lansekap yang lebih luas, sehingga PT. IIS Kebun Buatan
tidak memiliki Kawasan yang mempunyai ekosistem langka atau terancam punah
(HCV3).
56
Sumber mata air ditemukan di wilayah kebun buatan PT. IIS Kebun
Buatan, namun tidak digunakan oleh masyarakat di sekitarnya. Sumber air minum
masyarakat sebagian besar barasal dari sumur, baik berupa sumur galian maupun
sumur bor. Sungai-sungai yang mengalir tepat di areal perkebunan PT. IIS Kebun
Buatan, yaitu: sungai Kerinci dan sungai Laniago. Beberapa sungai yang terdapat
di wilayah tersebut digunakan oleh masyarakat di sekitarnya untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari lainnya (MCK); namun tingkat ketergantungan masyarakat
terhadap sumber-sumber air tersebut belum diketahui.
Masyarakat di desa-desa sekitar wilayah areal kebun buatan PT. Inti
Indosawit Subur sebagian memanfaatkan sumber air (sungai) di wilayah areal
kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan ; namun masyarakat di desa mana saja yang
memanfaatkan dan tidak memanfaatkan sumber air di wilayah tersebut belum
diketahui. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air di wilayah
tersebut belum diketahui, sehingga pemanfaatan sumber air oleh masyarakat di
wilayah tersebut masih bersifat potensial. Hasil uraian tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa : areal PT. IIS Kebun Buatan mengandung HCV4.1.
Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan pengendalian
banjir bagi masyarakat hilir (Tabel 11).
Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar PT. IIS Kebun Buatan terdiri dari
beberapa desa. Suku asli ditemukan di wilayah perkebunan kelapa sawit seperti
Suku Melayu Suhujan dan Sijoe. Tingkat kehidupan Suku Melayu Suhujan dan
Sijoe relative telah maju atau tidak sebagai peramu dan tidak tergantung pada
sumberdaya alam (makanan, air, dsb) dari hutan atau sumberdaya di dalam
kawasan PT. IIS Kebun Buatan.
Masyarakat asli tidak terisolasi karena sarana dan prasarana aksesibilitas
menuju desa-desa tersebut sudah tersedia serta sarana telekomunikasi yang sudah
cukup memadai, sehingga masyarakat di desa-desa tersebut dengan mudah
berinteraksi dengan masyarakat di desa, kecamatan dan kabupaten lainnya. Desa
sekitar wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut juga ditemukan suku pendatang,
yaitu sebagian besar merupakan masyarakat transmigran dari Jawa.
57
Tabel 11. Areal hutan di areal perkebunan kelapa PT. IIS Kebun Buatan yang
memiliki HCV
No. Areal HCV Lokasi Luas
(ha)
Jenis
HCV
A. Kawasan Perlindungan
Setempat
1 Sempadan sungai
a. Sempadan Sungai Kerinci (50m
kanan/kiri panjang 3,97 km Kebun Inti 38.39
HCV1.1,
HCV1.2,
dan
HCV4.1
b.
Sempadan Sungai Laniago (lebar
15 m kanan/kiri dan panjang 15
km)
Kebun Inti 9.31 HCV1.1,
HCV4.1
2 Kawasan sekitar Danau Gadis Kebun Inti 1.00 HCV6
Jumlah A 48.7
B. Hutan
1 Hutan Blok Inti-52 Kebun Inti 2.00 HCV1.2,
HCV6
2 Hutan Blok Inti-29 Kebun Inti 3.60 HCV1.2,
HCV6
3 Hutan Sialang Kebun
Plasma 35.00
HCV1.2,
HCV1.3,
HCV6
Jumlah B 40.60
C. Makam nenek moyang
1 Makam nenek moyang di Blok
Inti-8 Kebun Inti 0.01 HCV6
2 Makam nenek moyang di Blok
Inti-39 Kebun Inti 0.25 HCV6
3 Makam nenek moyang di SP-10 Kebun
Plasma 0.40 HCV6
Jumlah C 0.66
Total (A+B+C) 89.96
Luas izin 16.495
% Luas HCV 0.55%
Luas kebun produktif 16.405,04
Sumber: Laporan HCVA Tim Fahutan IPB (2009)
Hasil identifikasi menunjukkan tidak terdapat masyarakat peramu di dalam
dan sekitar areal PT. IIS Kebun Buatan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan
sekitar areal kebun sebagian memanfaatkan areal berhutan di wilayah tersebut
59
Areal kebun buatan PT. Inti Indosawit Subur terdapat kawasan yang mempunyai
fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (HCV6).
Luas areal di kawasan kebun buatan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan
(Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak) ditemukan areal HCV seluas 89.96
ha, terdiri dari 9 lokasi, meliputi: (1) Kawasan Perlindungan Setempat (KPS)
sebanyak 3 lokasi, yaitu Sempadan Sungai Kerinci, Sempadan S. Laniago, dan
kawasan sekitar Danau Gadis, (2) Areal berhutan sebanyak 3 lokasi, yaitu hutan
Blok Inti-52, hutan Blok Inti-29, dan Hutan Sialang; dan (3) Makam nenek
moyang sebanyak 3 lokasi, yaitu makam nenek moyang di Blok Inti-8, makam
nenek moyang di Blok Inti-39, dan makam nenek moyang di SP-10. Persentase
luasan HCVA terhadap luas izin perkebunan PT. IIS Kebun Buatan hanya 0.36%.
Luas kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan memang relatif sangat kecil
dibanding luasan izin perkebunan yang dimilikinya. Luasan HCVA yang kecil
tersebut sangat terkait dengan tahun tanam di bawah tahun 2000 atau pada masa
orde baru. Tahun tanam kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan di bawah tahun 2000
menempati masa dimana ketentuan peraturan sangat longgar dan kurang
memperhatikan kawasan yang berpotensi memiliki nilai konservasi tinggi serta
belum adanya tuntutan dari lembaga sertifikasi kelapa sawit saat itu, sehingga
areal izin perkebunan dioptimalkan pemanfaatanya untuk kebun.
5.2 Asumsi-Asumsi untuk Estimasi Total Economic Values
Asumsi-asumsi yang digunakan untuk estimasi valuasi nilai ekonomi total
dari keberadaan HCVA berasal dari hasil wawancara dengan masyarakat dan
observasi lapangan. Nilai dan kuantitas dari sumberdaya sifatnya masih sangat
kasar hal ini dikarenakan proses penggalian data relatif sangat rumit serta
keterbatasan data dan informasi yang valid baik yang dimiliki oleh masyarakat
maupun pemerintah lokal mengenai jumlah pengguna dan keberadaan dari setiap
sumberdaya yang ada. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk valuasi ekonomi
HCVA perlu disampaikan sebagai bahan informasi bagi para pengguna sebagai
bahan evaluasi bersama:
a. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di
lapangan pengguna aliran barang dan jasa dari ekosistem riparian di
sempadan sungai-sungai sebanyak 30 orang, Danau gadis sebanyak 6
60
orang penangkap ikan (pemancing) ikan dan air untuk MCK sebanyak 100
(musim kemarau), 10 orang di hutan Sialang, 4 orang pengumpul rotan
dan 5 orang pengambil madu lainnya serta areal berhutan yang berada di
areal izin lokasi perkebunan PT. IIS Kebun Buatan. Jenis sumberdaya
yang diekstraksi berupa sumberdaya ikan, madu, dan rotan.
b. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di
lapangan pohon yang dijadikan sarang lebah madu disebut sebagai pohon
madu dan biasanya jenis pohon Bengris rata-rata menghasilkan madu
sebanyak 50 liter dan intensitas panen hanya sekali sepanjang tahun.
Istilah pohon madu dinamakan Pohon Sialang (Masyarakat Melayu
Suhujan dan Sijoe) di Riau. Asumsi ini berlaku pada areal hutan di lokasi
penelitian PT. IIS Kebun Buatan Kabupaten Pelalawan (Riau). Jumlah
pohon madu di PT. IIS Kebun Buatan diestimasi sebanyak 5 buah.
c. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di
lapangan estimasi PT. IIS Kebun Buatan yang mengekstraksi rotan hanya
sebanyak 4 orang dengan hasil panen sebanyak 50 kg di Hutan Sialang.
Kegiatan penangkapan ikan diestimasi hanya sebanyak 30 orang sekali
dalam sebulan (kuantitas ekstraksi 12 kali/tahun) dengan hasil tangkapan
0.25-0.5 kg per trip.
d. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di
lapangan masyarakat sudah sepenuhnya menggunakan kompor gas. Di
dalam areal PT. IIS Kebun Buatan tidak ada lagi masyarakat yang
menggunakan kayu bakar untuk memasak.
e. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di
lapangan pengguna air sungai Laniago hanya di PT. IIS Kebun Buatan
berada di ekosistem riparian tepatnya di Sempadan Sungai Kerinci
(panjang 3.97 km lebar sempadan 50 m kanan/kiri luas 38.39 ) dan
Laniago (lebar sempadan 15m kanan/kiri 15 km dengan luas 9.31 ha).
Penggunaan air pabrik dan perumahaan I sebanyak 535.242 m3/tahun dan
pabrik dan perumahan II sebanyak 472.660 m3/tahun. Harga air diperoleh
dari harga pengganti sewa mobil tangki kapasitas 15.000 liter dengan
harga antara Rp 250.000-300.000. Penggunaan air danau untuk kebutuhan
61
MCK dan minum masyarakat terjadi pada saat musim kemarau sebanyak
100 rumah tangga, dengan asumsi lama kemarau 3 bulan per tahun (90
hari). Konsumsi air untuk rumah tangga per hari 150 liter per hari per
rumah tangga.
f. Asumsi : aliran jasa dan fungsi ekosistem hutan dan ekosistem riparian
yang ditetapkan sebagai kawasan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan yang
bekerja secara optimal dan efektif seperti pengatur iklim (climate
regulation), tata air (water regulation), penyedia air (water supply), dan
pengendali erosi (erosion control).
5.3 Total Economic Values (TEV) PT. IIS Kebun Buatan
5.3.1 Tahapan Valuasi TEV HCVA
Nilai Ekonomi Total (TEV) HCVA bersifat potensial. Nilai ekonomi
tersebut bisa menjadi aktual hanya jika sudah terbangun mekanisme perdagangan
(trading mechanism) untuk barang dan jasa ekosistem yang belum memiliki harga
pasar dari keberadaan HCVA. Nilai ekonomi HCVA akan nyata jika mekanisme
perdagangan sudah terbangun dan terjadi transaksi (transaction) atas aliran barang
dan jasa bukan pasar yang berasal dari kawasan HCVA.
Valuasi nilai ekonomi total dari HCVA sifatnya masih kasar karena hanya
sebatas estimasi. Estimasi TEV HCVA sudah menggunakan kaidah teknik valuasi
yang secara ilmiah dapat diterima. Estimasi nilai ekonomi total HCVA yang
pertama menggunakan market price atau actual price jika barang dan jasa HCVA
memiliki harga pasar. Barang dan jasa HCVA tidak memiliki harga pasar, tahapan
valuasi selanjutnya menggunakan teknik valuasi pendekatan fungsi produksi
dengan market price atau production function dengan surrogate market. Pasar
pengganti atas suatu barang atau jasa yang memiliki kemiripan dalam penggunaan
aliran barang atau jasa lainnya yang sudah memiliki harga pasar. Tahapan valuasi
(Gambar 9) selanjutnya biasanya digunakan untuk barang dan jasa ekosistem yang
tidak/belum memiliki harga pasar. Teknik valuasi ini menggunakan metode
benefit transfer, yaitu metode berupa penggunaan nilai hasil penelitian valuasi
sumberdaya (referensi) orang lain dengan adanya penyesuaian-penyesuaian
(adjustment) terkait kondisi ekonomi antar wilayah berbeda.
62
Tahapan Teknik Valuasi Aliran
Barang dan Jasa Ekosistem
HCVA
Actual PriceApakah tersedia
harga pasar?
Ya Tidak
Production function
Approach dengan
Market Price
Production function
Approach dengan
Surrogate Market
Benefit
Transfer
CVM
(WTP,
WTA)
1
2 3
4
5
Gambar 9. Tahapan valuasi ekonomi HCVA
Pilihan lain jika tidak menggunakan metode benefit transfer adalah teknik valuasi
CVM (contingent valuation method) dengan mencari nilai Willingness To Pay
(WTP) atau Willingness To Accept (WTA) dari masyarakat. Nilai Ekonomi Total
yang diformulasikan oleh Pearce (1993) diklasifikasikan dalam nilai guna
langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan.
Valuasi ekonomi barang dan jasa ekosistem yang belum memiliki harga
pasar atau belum diperdagangkan memiliki masalah utama dalam bias penilaian
akibat double counting maupun nilai yang terlalu tinggi (over estimated) bahkan
bisa terlalu rendah penilaiannya (under estimated). Untuk menghindari
permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan berbagai referensi
dan penilaian yang berdasarkan harga pasar yang berlaku (actual market) dengan
membuat kisaran harga (range) terendah dan tertinggi. Harga tersebut diperoleh
dari survei pasar dan wawancara dengan responden/narasumber.
Khusus valuasi nilai guna tidak langsung dalam penelitian ini
menggunakan nilai ekonomi jasa ekosistem hutan tropis dari Costanza et al.
(1997) dan Ruitenbeek (1999) yang telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia
oleh Manurung (2001). Penyesuaian juga pada jenis layanan ekosistem yang ada
di kawasan HCVA atau sesuai dengan hasil identifikasi aliran jasa ekosistem yang
dihasilkan dari kawasan HCVA.
63
5.3.2 Estimasi TEV HCVA
Hasil identifikasi aliran barang dan jasa ekosistem dalam HCVA diperoleh
dari hasil estimasi valuasi ekonomi baik barang dan jasa yang memiliki harga
pasar maupun belum memiliki harga pasar. Valuasi nilai ekonomi total
menggunakan pendekatan harga pasar aktual dan benefit transfer. Hasil valuasi
disajikan dalam bentuk tabulasi sesuai dengan komponen nilai ekonomi total
menurut Pearce (1993). Hasil valuasi dapat saja bias terkait penilaian yang
mungkin over estimated maupun under estimated. Untuk menghindari bias, maka
valuasi dilakukan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan dan disesuaikan
dengan harga lokal serta melakukan verifikasi atas setiap informasi yang
disampaikan narasumber/responden dan cross check antar informasi yang masuk.
Nilai Ekonomi Total (TEV) HCVA PT. IIS Kebun Buatan dapat dijelaskan
sebagai berikut:
A. Nilai Guna Langsung
Nilai guna Langsung dari keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan
lebih banyak pada pemanfaatan barang dan jasa ekosistem yang sudah memiliki
harga pasar. Pemanfaatan secara langsung produk barang dan jasa ekosistem
hanya berupa hasil hutan bukan kayu (non timber forest product) berupa madu,
rotan, dan ikan oleh masyarakat adat Melayu Suju dan Sehujan atau masyarakat
lokal di wilayah Kabupaten Pelalawan. Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat
sebagian besar dipenuhi dari kegiatan pembelian. Kebutuhan obat-obatan juga
dipenuhi dari kegiatan pembelian bukan melalui ekstraksi sumberdaya hutan.
Kawasan areal PT. IIS Kebun Buatan sudah tidak ada pemanfaatan langsung
kegiatan berburu seperti burung, rusa dan babi. Hampir tidak ada yang
memanfaatkan hasil hutan berupa kayu karena pemenuhan kebutuhan kayu untuk
perumahan tergantikan melalui pembelian dan sebagian besar rumah masyarakat
menggunakan material bangunan tembok/beton. Pemanfaatan terbatas pada hasil
hutan bukan kayu juga dikarenakan luasan hutan yang tersisa di areal izin lokasi
PT. IIS Kebun Buatan relatif sangat kecil.
Hasil valuasi sumberdaya HCVA secara rinci disajikan dalam Lampiran 1
dengan menunjukkan nilai harga barang dan jasa yang tertinggi dan terendah. Hal
ini dikarenakan harga barang dan jasa mengalami fluktuasi dan tergantung pada
64
suplai di pasar atau dengan kata lain terjadi perubahan harga. Hal ini juga
dilakukan untuk mengurangi bias nilai.
Valuasi ekonomi menggunakan pendekatan harga pasar (actual market)
dengan nilai tertinggi dan terendah berdasarkan hasil wawancara dengan
narasumber dan responden. Tabel 12 menunjukkan nilai guna langsung untuk
kawasan HCVA berupa ekosistem riparian, hutan areal kebun inti dan hutan
sialang, dan Danau Gadis, sedangkan makam nenek moyang tidak memiliki nilai
ekonomi langsung. Ekosistem riparian sempadan Sungai Kerinci dengan panjang
3.97 km lebar sempadan 50 m kanan/kiri sehingga memiliki luas 38.39 ha dan
sungai Laniago dengan lebar 15m kanan/kiri dan panjang 15 km, sehingga
memiliki luas 9.31 ha. Total luas ekosistem riparian sempadan sungai di kawasan
perusahaan perkebunan PT. IIS Kebun Buatan seluas 47.7 ha.
Penggunaan air pabrik dan perumahan I per bulan sebesar 44.603,5 m3/bln
atau dalam setahun sebesar 535.242 m3/tahun bersumber dari sungai kerinci dan
pabrik-perumahan II sebanyak 39.388,33 m3/bln atau sebesar 472.660 m
3/tahun
bersumber dari sungai Laniago. Sepanjang musim penghujan air sungai Laniago
tidak memiliki harga karena tidak ada kegiatan atau usaha yang menggunakan
bahan baku air sungai tersebut kecuali pada saat musim kemarau. Hal ini
disebabkan karena air sungai masih dianggap sebagai barang publik dan pada
musim penghujan kesetersediaan air melimpah. Air sungai Laniago akan bernilai
jika saat musim kemarau tiba. Masyarakat akan melakukan kegiatan pembelian air
untuk pemenuhan kebutuhan MCK pada saat kemarau. Provinsi Riau dan
kabupaten Pelelawan sekitarnya memiliki musim kemarau yang berlangsung
selama 3 (tiga) bulan dalam satu tahun. Harga air diperoleh dari sewa mobil
tangki kapasitas 15.000 liter dengan harga Rp 250.000 -300.000,00 dengan asumsi
50% untuk biaya produksi dan 50 % keuntungan bersih bagi penyedia jasa.
Berdasarkan estimasi tersebut dapat diperoleh untuk harga air tertinggi sebesar
Rp 10,00 per liter dan Rp 8.33,00 per liter untuk harga terendah. Penggunaan
harga pasar pengganti (surrogate market) sewa mobil tangki air maka diperoleh
total nilai guna langsung untuk pemanfaatan air di kedua pabrik dan emplesemen
sebesar Rp 1.181.640.000,00 per tahun untuk nilai tertinggi dan sebesar
Rp 984.306.120,00 per tahun untuk nilai terendah. Kedua nilai tersebut jika dirata-
65
ratakan menjadi sebesar Rp 1.082.973.060,00 per tahun. Nilai guna langsung di
kawasan ekosistem riparian selain air adalah kegiatan penangkapan ikan berbagai
jenis dengan nilai ekonomi rata-rata hanya sebesar Rp 54.450.000,00 per tahun.
Tabel 12. Nilai guna langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan
Nilai Ekonomi Aliran
Barang dan Jasa HCVA
Valuasi (Rp)
Tinggi Rata-rata Nilai
(Rp/Tahun) Nilai Tertinggi
(Rp/Tahun)
Nilai Terendah
(Rp/Tahun)
1. Ekosistem Riparian
(Sempadan Sungai
Kerinci dan Laniago)
1.238.340.000,00 1.036.506.120,00 1.137.423.060,00
2. Hutan Areal Kebun
Inti dan Hutan Sialang
(40.60 Ha)
19.260.000,00 16.555.500,00 17.907.750,00
3. Makam Nenek
Moyang (0.66 ha) - -
4. Danau Gadis (1 ha) 51.150.000,00 43.200.000,00 47.175.000,00
Sub Total 1.308.750.000,00 1.096.261.620,00 1.202.505.810,00
Sumber: data primer 2012
Aliran barang dan jasa dari ekosistem riparian juga menghasilkan nilai
ekonomi langsung tertinggi di antara HCV lainnya. Tingginya nilai guna langsung
dari kawasan ekosistem riparian didorong karena tingginya penggunaan air untuk
pemukiman karyawan dan kebutuhan pabrik kelapa sawit setahun sebesar
1.007.902 m3
per tahun yang berasal dari sungai Laniago. Nilai guna langsung di
kawasan hutan areal kebun dan hutan sialang sebesar 40.60 ha berupa madu dan
ikan dengan nilai ekonomi sebesar Rp 51.150.000,00 per tahun untuk nilai
tertinggi dan Rp 43.200.000,00 per tahun untuk nilai terendah dengan rata-rata
sebesar Rp 47.175.000,00 per tahun. Nilai guna langsung untuk kawasan hutan
lebih banyak disumbang dari hasil ekstraksi pohon madu Rp 31.250.000,00 per
tahun untuk nilai tertinggi dan Rp 25.000.000,00 untuk nilai terendah. Detail nilai
guna langsung di kawasan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan disajikan dalam Tabel
12. Penjelasan nilai guna langsung disajikan dalam Lampiran 1.
Total rata-rata nilai guna langsung kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan
sebesar Rp 1.137.423.060,00 per tahun untuk ekosistem riparian (sempadan
sungai Laniago dan Kerinci). Total rata-rata nilai guna langsung untuk HCVA di
PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.202.505.810,00 per tahun atau sebesar
Rp 13.367.117,00 per ha per tahun. Persentase nilai guna langsung ekosistem
66
riparian sebesar 94.59% (95.21% dari nilai guna langsung berupa pemanfaatan air
untuk pabrik dan emplasemen), sedangkan kawasan hutan hanya sebesar 3.92%
dan danau gadis hanya sebesar 1.49%.
B. Nilai Guna Tidak Langsung
Nilai guna tidak langsung (indirect use value) untuk valuasi ekonomi
kawasan HCVA perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan seluruhnya
menggunakan metode valuasi benefit transfer. Krupnick (1993) dalam Fauzi
(2010) menyatakan bahwa benefit transfer bisa saja dilakukan jika sumberdaya
alam tersebut memiliki ekosistem yang sama baik dari segi tempat maupun
karakteristik pasar. Metode valuasi benefit transfer digunakan karena
kompleksitas ekosistem yang mengalirkan berbagai tipe dan jenis aliran barang
dan jasa ekosistem yang membutuhkan metode valuasi yang kompleks dan rigid.
Valuasi nilai guna tidak langsung menggunakan metode benefit transfer dari hasil
penelitian Costanza et al.1997 yang berasal dari hasil review 100 jurnal dan
kajian-kajian valuasi sumberdaya alam dengan menggunakan berbagai metode
valuasi.
Besarnya nilai ekonomi aliran barang dan jasa ekosistem (HCVA) yang
belum memiliki harga pasar atau yang termasuk dalam nilai guna tidak langsung,
yaitu manfaat yang berhubungan dengan nilai ekologis yang dapat diberikan oleh
ekosistem dalam hal ini HCVA- dibedakan menjadi high value dan low value.
High value diperoleh berdasarkan metoda benefit transfer, yaitu dari hasil
penelitian pada ekosistem hutan hujan tropis di beberapa negara (Ruitenbeek,
1999; Constanza 1997). Low value dan persentase “trust” factor adalah asumsi
yang dibuat berdasarkan kondisi di Indonesia untuk mendapatkan reasonable
minimum values dari biaya lingkungan dan biaya sosial (Manurung 2001).
Reasonable minimum values ini dipergunakan dalam perhitungan analisis Total
Economic Value (TEV) HCVA di perkebunan kelapa sawit.
Tabel 13 menyajikan estimasi nilai ekonomi tidak langsung dari setiap
kawasan HCV di perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sesuai dengan
analisis valuasi yang dilakukan oleh Manurung (2001). Valuasi untuk ekosistem
riparian sempadan sungai menggunakan nilai valuasi sungai atau danau dan
kawasan hutan menggunakan nilai di kawasan tropis.
67
Tabel 13. Nilai guna tidak langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan
Tipe HCVA
Nilai
rendah
(US$/
Ha)
Nilai
Tinggi
(US$/
Ha)
Trust
factor
Nilai
Minimum
(US$/Ha)
Luas
HCV
(Ha)
Nilai Valuasi
(Rupiah
/Tahun)
Ekosistem Riparian
(Sempadan Sungai
Kerinci dan Laniago)
Pengatur tata air 4 15 75% 3 47.7
1.302.210,00
Pengendali erosi 71 283 75% 53 23.005.710,00
Sub total
24.307.920,00
Danau Gadis (1 ha)
Pengatur tata air 4 15 75% 3 1 27.300,00
Sub total
27.300,00
Hutan Areal Kebun
Inti dan Hutan
Sialang (40.60 Ha)
Penyerap karbon 272 272 30% 82
40.6
30.295.720,00
Pengatur tata air 4 15 75% 3 1.108.380,00
Pembentukan lapisan
tanah 11 11 75% 8 2.955.680,00
Pengendali erosi 71 283 75% 53 19.581.380,00
Sub total
53.941.160,00
Makam Nenek
Moyang (0.66 ha) - - - - - --
TOTAL
78.276.380,00
Sumber: data primer 2012
Nilai guna tidak langsung HCV untuk kawasan ekosistem riparian
(Sempadan Sungai Laniago dan Kerinci) dengan luas 47.7 ha sebesar
Rp 24.307.920,00 per tahun, sedangkan nilai ekonomi kawasan hutan areal kebun
inti dan hutan sialang sebesar Rp 53.941.160,00 per tahun dan nilai ekonomi dari
kawasan danau Gadis sebesar Rp 27.300,00 per tahun. Total nilai guna tidak
langsung untuk kawasan HCVA di areal izin perkebunan PT. IIS Kebun Buatan
sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun atau sebesar Rp 870.274,00 per ha/tahun
dengan menggunakan nilai tukar 1 US$ sebesar Rp 9.100,00. Persentase
kontribusi komponen HCVA terhadap besaran nilai guna tidak langsung.
Ekosistem riparian menyumbangkan nilai guna tidak langsung sebesar 31.05%,
hutan areal kebun inti dan hutan Sialang menyumbang sebesar 68.91% dan
kawasan Danau Gadis sebesar 0.03%. Komponen nilai tertinggi pada aliran jasa
ekosistem sungai berupa penyerap karbon untuk setiap 1 hektar menyumbangkan
68
nilai Rp 746.200,00 per tahun. Hal ini juga didukung luasan HCV untuk
ekosistem hutan memiliki aliran jasa ekosistem yang beragam dan disumsikan
bekerja secara optimal.
C. Nilai Pilihan (Biodiversitas)
Nilai pilihan dari kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit PT. IIS
Kebun Buatan menggunakan nilai pilihan untuk konservasi biodiversitas. Valuasi
nilai pilihan untuk konservasi biodiversitas menggunakan metode valuasi benefit
transfer karena kompleksitas dan keragaman jenis satwa liar dan flora yang ada di
kawasan HCVA. Nilai pilihan biodversitas diperoleh juga mendasarkan pada
pengelolaan HCVA di kawasan perkebunan kelapa sawit sebagai areal untuk
dikonservasi.
Metode valuasi benefit transfer untuk nilai pilihan biodiversitas mengacu
pada Bishop (2001). Hasil review diperoleh nilai pilihan biodiversitas dengan nilai
tertinggi sebesar 65US$ per ha yang diperoleh dari Howard (1995) dan nilai
terendah diperoleh dari Kumari (1995b) sebesar 0.2US$ per ha. Hasil dari valuasi
nilai pilihan biodiversitas disajikan dalam Tabel 14 dengan menggunakan nilai
tukar dollar Amerika sebesar Rp 9100,00. Dalam perhitungan nilai pilihan
(biodiversitas) menggunakan hasil benefit transfer yang sudah disesuaikan oleh
Manurung (2001).
Tabel 14. Nilai pilihan (biodiversitas) di kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan
Tipe HCVA
Nilai
rendah
(US$)2
Nilai
Tinggi
(US$)
Trust
factor
Nilai
Minimum
(US$)
Luas
HCV
(ha)
Nilai Valuasi
(Rupiah/Ha)
Ekosistem Riparian
(Sempadan Sungai
Kerinci dan Laniago)
3 3 75% 2 47.7 868.140,00
Danau Gadis (1 ha) 3 3 75% 2 1 18.200,00
Hutan Areal Kebun
Inti dan Hutan
Sialang (40.60 Ha)
3 3 75% 2 40.60 738.920,00
Makam Nenek
Moyang (0.66 ha)
TOTAL
1.625.260,00
Sumber: data primer 2012
Nilai pilihan biodiversitas HCVA PT. IIS Kebun Buatan diestimasi terdapat di
kawasan ekosistem riparian, ekosistem hutan areal kebun inti dan Sialang dan
2 Nilai tertinggi dan terendah mengacu pada Manurung (2001)
69
dananu Gadis. Nilai pilihan biodiversitas diasumsikan sama di semua kawasan
HCV tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan nilai pilihan biodiversitas
Rp 1.625.260.00 per ha.
D. Nilai Keberadaan
Valuasi nilai ekonomi total kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit
PT.IIS Kebun Buatan untuk kategori nilai keberadaan (existence value)
menggunakan metode valuasi Contingent Valuation Method (CVM). Pendekatan
CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan)
sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan (Fauzi, 2010).
Penggunaan CVM karena sudah melalui proses pentahapan valuasi sumberdaya
alam mulai dari actual market, surrogate market, dan tahapan yang terakhir
adalah CVM. CVM mampu untuk menjawab nilai dari upaya pelestarian dan
perlindungan keberadaan kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit PT. IIS
Kebun Buatan. Penerapan metode CVM dilakukan terlebih dahulu dengan cara
membangun pasar hipotetik. Pasar hipotetik dibuat dengan sebuah skenario bahwa
kawasan HCVA akan dilakukan pelestarian HCVA atau dikonversi menjadi kebun
kelapa sawit. Pertanyaan dalam pasar hipotetik akan dibentuk dalam skenario
sebagai berikut:
Apakah Saudara setuju apabila dikenakan pungutan sebesar
yang dipergunakan untuk perlindungan dan pelestarian
keberadaan flora fauna dan atau kawasan yang
dikeramatakan bagi masyarakat Adat Melayu Sujuhan dan
Sijoe dan atau kawasan yang bernilai konservasi tinggi di
dalam perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan dan
berapa rupiah Saudara bersedia memberikan iuran untuk
usaha tersebut?
Tahapan valuasi nilai keberadaan selanjutnya dengan menggunakan
kuesioner yang terdiri atas identitas responden, sikap terhadap tindakan
konservasi dan pengetahuan mengenai spesies langka dan terancam punah dan
atau kawasan keramat di lokasi perkebunan kelapa sawit, dan kesediaan
membayar untuk keberadaan kawasan bernilai konservasi tinggi. Kuesioner
tersebut diperoleh nilai maksimum dari WTP (Willingness To Pay) dengan
menggunakan teknik bidding game. Langkah selanjutnya untuk mendapatkan nilai
70
keberadaan dari HCVA di perkebunan PT. IIS Kebun Buatan, yaitu menghitung
nilai rataan WTP dengan menggunakan rumuas:
∑
Dimana:
= nilai rerata WTP
= jumlah tiap data
= jumlah responden
= responden ke-i yang bersedia membayar
Tahap terakhir dalam penentuan nilai keberadaan yaitu
menjumlahkannya dengan cara mengkonversikan nilai rerata WTP dengan
jumlah populasi di desa-desa sekitar PT. IIS Kebun Buatan. Data Kecamatan
Kerinci Kanan (BPS 2011) jumlah rumah tangga penduduk di desa Buatan
Baru dan desa Delik sekitar perusahaan PT. IIS Kebun Buatan sebanyak 370
KK.
Responden dalam estmasi nilai keberadaan sebanyak 30 orang yang
berasal dari 2 desa di sekitar areal perusahaan PT. IIS Kebun Buatan.
Responden tersebut menjadi narasumber untuk pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu atau untuk penentuan nilai guna langsung. Hasil perhitungan
nilai keberadaan dengan menggunakan metode CVM disajikan dalam Tabel
16. Responden dalam CVM terdiri dari 23 orang berjenis kelamin laki-laki
(76.67%) dan perempuan sebanyak 7 orang (23.33%). Sebesar 83.33%
pendapatan rata-rata responden diatas Rp 3.000.000,00 per bulan dan sisanya
sebesar 16.67 % dengan pendapatan antara Rp 1.000.000,00 hingga
Rp 3.000.000,00. Tingkat pendidikan responden untuk SD sebesar 17 %,
tingkat pendidikan menengah sebanyak 40 %, perguruan tinggi sebanyak
13% dan tidak sekolah sebanyak 30 %. Nilai keberadaan HCVA di PT IIS
Kebun Buatan dapat dilihat pada Tabel 15.
71
Tabel 15. Nilai keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan
HCVA Mean WTP
Responden
(Rp/bulan)
Mean WTP
Masyarakat
(Rp/bulan)
Mean WTP
Responden
(Rp/tahun)
Mean WTP
Masyarakat
(Rp/tahun)
1. Ekosistem
Riparian
(Sempadan
Sungai Kerinci
38.39 ha dan
Laniago 9.31 ha)
8.883,00 3.286.710,00 106.596,00 39.440.520,00
2. Hutan Areal
Kebun Inti dan
Hutan Sialang
(40.60 Ha)
3. Makam Nenek
Moyang (0.66 ha)
4. Danau Gadis (1
ha)
Sub total
Total Nilai
Keberadaan 8.883,00 3.286.710,00 106.596,00 39.440.520,00
Sumber: data primer 2012
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rerata WTP responden sebesar
Rp 8.883,00 per bulan, sedangkan nilai rerata per tahun sebesar Rp 3.286.710,00.
Nilai rata-rata WTP masyarakat per tahun Rp 39.440.520,00. Nilai tersebut
merefleksikan nilai keberadaan dari kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit.
Besaran WTP responden Rp 106.596,00 per tahun sangat rasional dengan
pendapatan masyarakat (responden) yang sebagian besar (83.33%) di atas
Rp 3.000.000,00 per bulan. Penelitian ini tidak sampai mencari faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap program
pelestarian dan pengelolaan keberadaan HCVA di perkebunan Kelapa sawit.
Berdasarkan hasil paparan diatas komponen nilai ekonomi total (TEV) di
perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan dapat disajikan dalam Tabel 16
sebagai berikut.
72
Tabel 16. Estimasi nilai ekonomi total HCVA PT. IIS Kebun Buatan
Komponen Nilai
Ekonomi
Nilai Ekonomi
(Rp/Tahun)
Rata-Rata
(Rp/Ha/Tahun) Persentase
Nilai Guna
Langsung 1.202.505.810,00 13.367.117,00 90.97%
Nilai Guna Tidak
Langsung 78.276.380,00 870.124.00 5.92%
Nilai Pilihan
(Biodiversitas) 1.625.260,00 18.066,00 0.12%
Nilai Keberadaan 39.440.520,00 438.423,00 2.98%
Total Economic
Value (TEV) 1.321.847.970,00 14.693.730,00 100.00%
Sumber: data primer 2012
Tabel 16 menunjukkan bahwa komponen nilai guna langsung dari
kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan diestimasi sebesar Rp 13.367.117,00 per
ha/tahun atau sebanyak Rp 1.202.505.810,00 per tahun. Nilai guna langsung
merupakan komponen pembentuk nilai ekonomi total dengan kontribusi terbesar
(90.97%). Nilai tersebut tentu saja memberikan kontribusi terbesar pada
penjumlahan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan yang disebabkan karena
tingginya penggunaan sumberdaya air yang dihasilkan oleh sungai Laniago dan
Kerinci untuk kebutuhan dua pabrik dan pemukiman karyawan. Nilai guna tidak
langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun dan nilai pilihan hanya
sebesar Rp 1.625.260,00 per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar
Rp 39.440.520,00 per tahun (WTP masyarakat). Nilai Ekonomi Total (TEV)
HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar
Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.
Nilai-nilai tersebut sebagian besar bersifat potensial. Nilai aktual dari TEV
HCVA hanya pada aliran barang dan jasa yang sudah diperdagangkan atau
memiliki harga pasar seperti rotan, ikan, dan madu. Nilai aktual dari aliran barang
dan jasa ekosistem HCVA hanya sebesar 8.11 % dari nilai TEV atau rata-rata
sebesar Rp 107.160.000,00 per tahun, padahal TEV HCVA sebesar
Rp 1.321.847.970,00 per tahun. Nilai-nilai tersebut berasal dari hasil hutan bukan
kayu dan sekitar kawasan riparian seperti ikan, rotan, dan madu. Nilai ekonomi
potensial adalah selisih antara nilai ekonomi total dengan nilai aktual
Rp 1.214.687.970,00 per tahun atau dengan kata lain nilai potensial dari TEV
73
HCVA sebesar 91.89 % dari nilai ekonomi total. Perspektif perusahaan
menunjukkan baik nilai aktual maupun nilai potensial, nilai ekonomi tersebut
tidak memberikan penerimaan langsung bagi perusahaan. Nilai tersebut adalah
marginal social benefit atas keberadaan HCVA. Nilai tersebut merupakan
keuntungan sosial bagi masyarakat sekitar perusahaan.
5.4 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit
Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu
dilaksanakan layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan finansial
bagi perusahaan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan.
Pengambilan keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan, sangat
penting untuk turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang relevan
dan/atau benar terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan dalam hal ini
pengelolaan HCVA.
Kriteria kelayakan finansial suatu kegiatan pengelolaan HCVA ditunjukan
oleh nilai NPV (net present value) dan B/C ratio (Benefit-Cost Ratio) atau IRR
(Internal Rate of Return). Nilai NPV, B/C ratio dan IRR sesungguhnya saling
berhubungan satu sama lainnya. Kegiatan pengelolan HCVA dikatakan layak
secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai NPV-nya positif.
Nilai NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari satu, dan nilai IRR-
nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang
dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Salah satu dari ketiga nilai tersebut
dapat digunakan untuk mengambil keputusan apakah kegiatan pengelolaan HCVA
akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial. Kelayakan finansial
ditunjukkan oleh nilai NPV. Keseluruhan manfaat yang dihasilkan selama jangka
waktu umur kegiatan lebih besar daripada keseluruhan biaya investasi, maka nilai
NPV positif. Artinya, pengelolaan HCVA secara finansial layak untuk
dilaksanakan karena dapat memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan.
Asumsi dan data hipotetik yang digunakan sebagai kasus dasar untuk
perhitungan analisis finansial pekebunan kelapa sawit di perusahaan PT. IIS
Kebun Buatan terkait pilihan pengelolaan HCVA dengan menggunakan data
sebagai berikut:
74
a. Luas kebun kelapa sawit 25.020 ha dengan komposisi 16.495 untuk kebun
kelapa sawit (inti dan plasma) dan 8.525 ha untuk lahan pangan, pabrik,
emplasemen dan sarana prasarana.
b. Luas HCVA PT. IIS Kebun Buatan sebesar 89.96 ha atau luas areal produktif
kelapa sawit menjadi 16.405,04 ha.
c. Perhitungan finansial dibatasi pada manfaat produksi TBS. Produksi TBS
menggunakan Nurrochmat et al. 2012 dan Boer et al. 2012.
d. Biaya investasi pembangunan pabrik kelapa sawit, biaya pengolahan TBS
menjadi CPO dan KPO, biaya pengangkutan CPO dan KPO dari lokasi PKS
ke pelabuhan ekspor, dan biaya overhead tidak dimasukkan dalam analisis.
e. Sebagian besar data untuk analisis bersumber Nurrochmat et al. (2012) dan
Boer et al. (2012). Kedua data tersebut merupakan data corporate adjusted
yang sudah diverifikasi dan disesuaikan dengan berbagai data yang bersumber
dari perusahaan yang disajikan dalam Tabel 17.
Analisis finansial ini akan membandingkan kelayakan pengelolaan with
HCVA dan without HCVA dengan menggunakan data simulasi dari kajian
Nurrochmat et al. (2012) dan Boer et al (2012) yang telah disesuaikan dengan
hasil kajian HCV bersama Tim HCV Fahutan IPB. Analisis ini juga menggunakan
biaya pengelolaan HCVA dan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan.
Semua biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima oleh perusahaan
dalam pelaksanaan kegiatan proyek perkebunan kelapa sawit diidentifikasi dan
dicatat secara rinci setiap tahun selama umur proyek. Lampiran 2 memperlihatkan
arus masuk (inflow) dan arus keluar (outflow) perkebunan PT. IIS Kebun Buatan
(25.020 ha) selama satu siklus. Lampiran 2 juga memperlihatkan aliran kas (cash-
flow) proyek investasi perkebunan kelapa sawit selama jangka waktu umur
perkebunan. Aliran kas terdiri dari aliran pengeluaran (outflow), yaitu semua
biaya per tahun, dalam nilai uang, yang dikeluarkan oleh perusahaan selama
pelaksanaan kegiatan, dan aliran penerimaan (inflow), yaitu semua penerimaan per
tahun, dalam nilai uang, yang diterima oleh perusahaan dari pelaksanaan kegiatan
perkebunan kelapa sawit, yaitu dari tahun ke-0 (initial year) sampai dengan tahun
ke-25.
75
Tabel 17. Asumsi biaya dan manfaat dalam perhitungan analisis finansial Asumsi Value (Rp/Ha) Nilai (Rp/Siklus)
A.Biaya
1. Perencanaan &
Investasi
a. Feasibility study
(FS)
Biaya FS dikeluarkan pada initial
year (t-0) 60.000,00 300.000.000,00
b. Permit
(Periijinan) HGU 40.000,00 200.000.000,00
c. Area boundary
arrangement Dikeluarkan pada initial year (t-0) 60.000,00 300.000.000,00
d. Kajian AMDAL Implementasi hasil kajian AMDAl 60.000,00 300.000.000,00
e. Akuisisi lahan 4.000.000,00 100.080.000.000,00
f. Biaya
Sertifikasi
Biaya sertifikasi dikeluarkan pada
tahun ke-2 40.000,00 200.000.000,00
2. Tanaman/
perkebunan
a. Penanaman
Benih unggul dan input (pupuk,
pestisida, dan insektisida)
berkualitas baik
34.344.000,00 859.286.880.000,00
b. Pemeliharaan
tanaman Pemeliharaan baik 170.457.900,00 2.796.368.667.816,00
3. Infrastruktur
a. Jalan Biaya jalan dikeluarkan pada tahun
pada initial year (t-0) 3.941.600,00 305.344.080.000,00
b. Jembatan Biaya jembatan dikeluarkan pada
tahun pada initial year (t-0) 1.018.800,00 5.094.000.000,00
c. Bangunan-
bangunan
Biaya bangunan dikeluarkan pada
tahun pada initial year (t-0) 694.000,00 3.470.000.000,00
d. Perumahan staf Biaya perumahan dikeluarkan pada
tahun pada initial year (t-0) 894.000,00 1.740.000.000,00
e. Perumahan
tenaga kerja
Biaya perumahan dikeluarkan pada
tahun pada initial year (t-0) 2.730.000.000,00
f. Pemanenan
Biaya pemanenan dipengaruhi oleh
volume produksi, teknologi,
peralatan (kualitas tinggi) dan upah
tenaga kerja
61.467.285,00 1.008.373.271.680,00
g. Upah dan gaji Rata-rata Upah tenaga kerja 1.007.406,00 125.925.690.000,00
h. Corporate
Social
responsibility
Tanggung jawab dan kewajiban 20.000,00 2.500.000.000,00
i. Kajian HCVA
Biaya kajian HCVA dikeluarkan
pada initial year (t-0). Biaya kajian
Rp 200.000.000,00 per areal
200.000.000,00
per areal
200.000.000.00,00
j. Biaya
pengelolaan dan
pemantauan
Biaya pengelolaan
Rp 354.750.000,00 per areal
HCVA dan Rp 361.000.000,00
pada t-1 s.d t-25 sama. Termasuk :
Kebutuhan gaji tambahan
(additional salary) dan tambahan
staf pengelolaan
715.750.000,00
per areal/tahun
9.379.750.000,00
B. Manfaat
TBS (Normal) Rata-rata produksi 21.38 ton/ha.
Harga Rp 1.454.73,00/ kg
34.231.185,00/
Ha
12.961.177.075.812,00
Sumber: Boer et al. (2012) dan Nurrochmat et al. (2012) dan PT. IIS KB (2011)
76
Total biaya per tahun untuk pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit
merupakan penjumlahan dari semua pengeluaran dalam kurun waktu satu tahun
tertentu untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan jadwal pelaksanaan kegiatan.
Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan
proyek diantaranya adalah (1) perencanaan dan investasi yang terdiri dari
feasibility study, permit, AMDAL, pemetaan, akuisisi lahan, dan kajian sertifikasi,
(2) plantation yang terdiri atas planting (pembibitan, land clearing, cover crop,
planting, dan planting care), operation dan maintenance, (3) infrastruktur yang
terdiri atas jalan, jembatan, bangunan, perumahan (karyawan, kantor), pemanenan
dan transportasi, gaji, corporate social responsibility, dan biaya pengelolaan
HCVA yang telah disebutkan dalam Tabel 17. Pengeluaran biaya proyek dimulai
dari tahun ke-0, yaitu mulai dari tahapan pengurusan ijin dan pembukaan lahan;
biaya pada tahun ke-1 berupa biaya investasi tanaman kelapa sawit, dan berbagai
pengeluaran biaya lainnya, sesuai dengan rencana kegiatan proyek sampai dengan
tahun ke-25.
Total manfaat per tahun yang diterima dari pelaksanaan kegiatan
perkebunan kelapa sawit merupakan penjumlahan dari semua penerimaan dalam
kurun waktu satu tahun tertentu (time horizon), selama jangka waktu umur
kegiatan. Penerimaan dalam nilai uang, diperoleh dari hasil penjualan Fresh Fruit
Bunch atau Tandan Buah Segar (TBS) yang dijual di pasar domestik yang
diekspor dengan menggunakan harga hipotetik. Tanaman kelapa sawit baru mulai
menghasilkan TBS pada tahun ke-3 (gestation period 3 years), sehingga
penerimaan proyek dari hasil penjualan TBS baru mulai dihasilkan pada tahun ke-
3, kemudian terus berlanjut sampai dengan tahun ke-25.
Gambar 10 memperlihatkan grafik total pengeluaran dan penerimaan
perusahaan perkebunan kelapa sawit selama jangka waktu umur kegiatan 25
tahun. Pengeluaran perusahaan sampai dengan tahun ke-4 lebih besar
dibandingkan dengan penerimaan perusahaan. Periode investasi tanaman kelapa
sawit, yaitu pada tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-2, perusahaan harus
mengeluarkan biaya investasi dan belum memperpoleh penerimaan. Tahun ke-9
s.d ke-13 produksi TBS mencapai produksi optimum kemudian berangsur-angsur
menurun sampai pada produksi pada tahun-25. Penerimaan total perusahaan yang
77
berasal dari penjualan TBS, mulai tahun ke- 3 sampai dengan tahun ke-25, rata-
rata total penerimaan per tahun sebesar Rp 499.492.239.907,00 per tahun. Rata-
rata total biaya produksi selama jangka waktu umur kegiatan sebesar
Rp 201.271.176.121,00 per tahun. Total penerimaan sepanjang siklus sebesar
Rp 12.986.798.237.588,00 dan total biaya Rp 5.233.076.579.152,00.
Gambar 10. Total penerimaan dan pengeluaran per tahun
Hasil perhitungan analisis finansial secara detail disajikan dalam Lampiran
2, dengan tingkat suku bunga diskonto (discount rate) sebesar 15%. Kelayakan
pembangunan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan with and without
HCVA disajikan dalam Tabel 18. Hasil perhitungan analisis finansial untuk pilihan
without HCVA memberikan nilai NPV sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus
(IRR sebesar 43.29% dan BCR sebesar 1.38). Hal sebaliknya, jika perusahaan
sawit PT. IIS Kebun Buatan melakukan pengelolaan with HCVA+0.35%, maka
secara finansial perusahaan tersebut juga sangat menguntungkan dan layak dengan
nilai NPV sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus dan nilai IRR sebesar
43.21% dan BCR sebesar 1.38. Hal yang sama terjadi dengan pilihan with HCVA
tanpa premium price, juga sangat menguntungkan dengan nilai NPV sebesar
Rp 655.616.430.602,00 (BCR sebesar 1.38 dan IRR sebesar 43.03%). Pilihan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit without HCVA dan with HCVA+0.35%
menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar Rp 3.340.184.524,00 per siklus
(3.34 milyar rupiah per siklus).
0
1E+11
2E+11
3E+11
4E+11
5E+11
6E+11
7E+11
8E+11
9E+11
1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920212223242526
Ru
pia
h/T
ah
un
Total Pengeluaran dan Penerimaan Perusahaan
Penerimaan
Pengeluaran
78
Tabel 18. Pilihan pengelolaan perkebunan with dan without HCVA
Without HCVA
(Rp/siklus)
With HCVA+0.35%
(Rp/siklus)
With HCVA
(Rp/siklus)
EBITDA 7.753.721.658.436,00 7.739.384.736.316,00 7.694.178.837.198,00
NPV 667.346.030.004,00 664.005.845.480,00 655.616.430.602,00
TOTAL BENEFIT 25
Tahun DF 15% 2.410.119.928.487,00 2.405.365.094.273,00 2.396.975.679.395,00
TOTAL COST 25
Tahun DF 15% 1.742.773.898.482,00 1.741.359.248.792,00 1.741.359.248.792,00
BCR 1.38 1.38 1.38
IRR 43.29% 43.21% 43.03%
Sumber: data primer dan data sekunder diolah (2012)
Tabel 18 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan perkebuna kelapa sawit
with and without HCVA memperlihatkan kelayakan untuk proyek pembangunan
perkebunan kelapa sawit. Model with HCVA menyebabkan penurunan keuntungan
(decreasing profit) atau perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun
Buatan kehilangan pendapatan Rp 3.340.184.524,00 per siklus, meskipun sudah
mendapatkan harga premimum 0.35%. Pembangunan perkebunan kelapa sawit
dengan mempersyaratkan pengelolaan HCVA, tanpa adanya kompensasi dalam
bentuk premium price akan memberikan loss expected income atau kerugian yang
lebih besar lagi bagi perusahaan, yaitu sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus.
BCR dan IRR baik semua pilihan pengelolaan perkebunan with and without
HCVA juga menunjukkan kelayakan usaha yang ditunjukkan dengan nilai lebih
besar dari satu (BCR >1).
Gambar 11 menunjukkan arus net benefit untuk pilihan pengelolaan with
HCVA dan without HCVA di perkebunan kelapa sawit. NPV without HCVA
menunjukkan trend lebih tinggi di atas model perkebunan kelapa sawit with
HCVA. Tahun ke-9 sampai dengan ke-13 menunjukkan nilai NPV pada tingkat
maksimum. Rentang tahun tersebut sesuai dengan siklus kelapa sawit mengalami
puncak produksi TBS.
Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rente
ekonomi yang cukup besar dari pilihan pembangunan perkebunan PT. IIS Kebun
Buatan baik dengan menerapkan pengelolaan with HCVA maupun without HCVA,
namun masih kompetitif atau masih sangat menguntungkan diantara pilihan
tersebut. Hanya saja pilihan without HCVA secara finansial menunjukkan trend
sangat positif atau memberikan economic return yang sangat tinggi dibandingkan
with+HCVA meskipun juga telah mendapatkan premium price +0.35%.
79
Gambar 11. Arus net benefit pilihan with dan without HCVA
Hasil perhitungan pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit terkait
HCVA yang disajikan dalam Gambar 11 menujukkan bahwa rente ekonomi dari
pengelolaan HCVA mengalami peningkatan ketika mendapatkan harga
kompensasi yang lebih tinggi. Gambar 12 menunjukkan perbedaan nilai NPV atas
pengelolaan HCVA. Pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit with
HCVA+0.35% merupakan nilai maksimum premium price yang saat ini diterima
perusahaan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO dengan nilai NPV sebesar Rp
664.005.845.480,00 per siklus.
Gambar 12.Perbedaan nilai NPV pilihan pengelolaan HCVA
Hasil perhitungan ini memberikan informasi bahwa kompensasi atas
pengelolaan with HCVA dengan premium price + 0.35% tidak sebanding dengan
-6E+11
-5E+11
-4E+11
-3E+11
-2E+11
-1E+11
0
1E+11
2E+11
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25
Rp
/Tah
un
Arus Net Benefit With dan Without HCVA δ15%
Without
With
667.35
664.00 655.62
Without With+0.35% With
Rente Ekonomi Pilihan Pengelolaan
Perkebunan Kelapa Sawit (Milyar Rupiah per Siklus)
3.34 11.73 GAP
0.50%
99.50%
GAP
1.76%
98.24%
80
penerimaaan perkebunan without HCVA, meskipun selisihnya tidak terlalu
signifikan. Berdasarkan hasil perhitungkan di atas, premium price yang rasional
dan layak dapat ditentukan dengan menggunakan data hasil perhitungan analisis
finansial.
Tabel 19. Hasil perhitungan penentuan premium price
Without HCVA
(Harga Normal)
With HCVA +
Premium Price
0.35%
With HCVA (Harga
Normal)
Total Benefit DF 15% 2.410.119.928.487 2.405.365.094.273 2.396.975.679.395
Total Cost DF15% 1.742.773.898.482 1.738.470.940.973 1.738.470.940.973
2.888.307.820 2.888.307.820
NPV 667.346.030.004 664.005.845.480 655.616.430.602
Gap (profit loss) 3.340.184.524 11.729.599.402
Premium price (0.35%) 0.35% 8.389.414.878
Premium price Rasional
dan wajar
0.49% 11.729.599.402
Tabel 19 menunjukkan perhitungan penentuan premium price (Premium
Price) yang wajar dan rasional di PT. IIS Kebun Buatan. Perhitungan tersebut
memasukan perhitungan nilai total benefit dan total cost dengan discount factor
(DF) sebesar 15%. Perhitungan tersebut menggunakan tiga skenario yang berbeda
yaitu without HCVA, With HCVA + premium price 0.35% dan With HCVA tanpa
premium price. Hasil perhitungan untuk mendapatkan premium price yang wajar
didapatkan dengan membandingkan selisih nilai With HCVA + Premium price
0.35% dan With HCVA tanpa premium price. Hasil perhitungan menunjukkan
nilai yang rasional dan wajar adalah sebesar 0.49%. Nilai ini wajar dan rasional
pada kasus PT.IIS Kebun Buatan, karena luasan HCVA yang ada relatif kecil,
yaitu sebesar 0.55% dari total luas area produktif. Premium price sebesar 0.49%
lebih besar dari premium price yang ada dipasaran saat ini (0.35%). Hal ini
menunjukkan bahwa premium price saat ini tidak rasional dan wajar. Pilihan
pengelolaan with HCVA+0.49% akan menghasilkan NPV sebesar
667.361.611.431.00 per siklus, dengan demikian gap antara with HCVA+0.49%
dengan without HCVA hanya sebesar Rp 15.581.427,00 per siklus atau
Rp 677.453 per tahun.
Rendahnya nilai Premium price bisa memberikan pengaruh bagi
perusahaan perkebunan (palm oil grower) untuk tidak melakukan pengelolaan
kelapa sawit berkelanjutan (tersertifikasi RSPO) dengan persyaratan berupa
81
pengelolaan HCVA. Kerugian atau kehilangan profit karena melakukan
pengelolaan HCVA tidak terkompensasi secara adil dan rasional, maka akan
memberikan dampak bagi keberlanjutan dan keberadaan HCVA. Serapan pasar
(market uptake) minyak kelapa sawit yang tidak tersertifikasi RSPO jauh lebih
besar, meskipun penetrasi pasar untuk kelapa sawit tersertifikasi berkelanjutan
lebih luas. Kondisi ini secara tidak langsung dikhawatirkan akan melemahkan
semangat plam oil grower untuk menangkap isu lingkungan khususnya perubahan
iklim, biodiversity loss dan deforestation dengan melakukan pengelolaan HCVA.
Mekanisme bersama untuk mewujudkan kompensasi premium price yang fair bagi
perusahaan diperlukan demi menjaga semangat untuk melestarikan alam dan
menekan laju biodiversity loss dan deforestation.
5.5 Analisis Sensitivitas
Analisis sensitivitas atau “shock analysis” terjadi pada perubahan-
perubahan komponen pada variabel harga dan biaya investasi. Hal ini disebabkan
adanya faktor ketidaktentuan pada pelaksanaan perencanaan proyek di masa
depan. Menurut Gittinger (2008) analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti
pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Analisis
ini merupakan salah satu cara untuk menghadapi ketidaktentuan yang dapat terjadi
pada keadaan yang telah kita ramalkan atau perkirakan. Analisis sensitivitas
dengan menggunakan perubahan pada harga output (harga TBS) dan biaya
investasi sangat diperlukan sebagai dasar analisis kebijakan bagi para pengambil
keputusan.
Analisis sensitivitas menggunakan perubahan pada peningkatan biaya
(increasing costs) sebesar 10% dan penurunan harga output (decreasing price)
sebesar 10% dengan suku bunga terdiskonto sebesar 15%. Analisis ini
mensimulasikan penerimaan NPV jika terjadi goncangan harga dan biaya akibat
adanya perubahan kebijakan dan gejolak pasar. Hasil perhitungan analisis
sensitivitas yang disajikan dalam Gambar 13 dan Tabel 20 menunjukkan adanya
perubahan pada nilai NPV, ketika terjadi shock.
Nilai NPV without HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS
Kebun Buatan dalam keadaan normal sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus
dengan nilai BCR sebesar 1.38. Perubahan kenaikan biaya 10% menyebabkan
82
nilai NPV without HCVA mengalami penurunan yang sangat besar hingga
mencapai Rp 493.068.640.156 per siklus dan BCR menjadi 1.26. Penurunan nilai
NPV juga terjadi di semua pilihan kondisi pengelolaan HCVA termasuk untuk
pilihan with HCVA +0.49% menjadi sebesar Rp 493.225.686.552,00 per siklus.
Gambar 13. Simulasi perubahan harga dan biaya
Perubahan penurunan harga output (TBS) perusahaan kelapa sawit PT. IIS
Kebun Buatan sebesar 10% menyebabkan nilai NPV pilihan without HCVA
mengalami penurunan mencapai Rp 426.655.596.579,00 per siklus, padahal
keadaan normal nilai NPV mencapai Rp 667.589.346.030.004,00 per siklus.
Peningkatan biaya sebesar 10% menyebabkan nilai NPV lebih besar dibandingkan
dengan penurunan harga sebesar 10%, namun nilai tersebut masih lebih rendah
dibandingkan dengan harga normalnya. Perubahan tersebut menunjukkan
sensitivitas perusahaan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan pada gejolak
perubahan penurunan harga 10% untuk pilihan with HCVA tanpa kompensasi.
Tabel 20. Sensitivitas harga dan biaya (Rp 000)
Perubahan
(Shock)
Without With (non PP) With + 0.35%
NPV BCR NPV BCR NPV BCR
Normal 667.589.346.030,00 1.38 655.616.431,00 1.38 664.005.845,00 1.38
Decreasing
Price 10%
DF 15%
426.334.037.156,00 1.24 415.918.863,00 1.24 423.469.336,00 1.24
Increasing
Costs 10%
DF 15%
493.068.640.156.00 1.26 481.480.506,00 1.25 489.869.921,00 1.26
Sensitivity
Price 36% 10% 37% 10% 36% 10%
Sensitivity
Cost 26% 9% 27% 9% 26% 9%
Sumber : Data primer diolah (2012)
667,346,030
655,616,431
664,005,845
426,334,037
415,918,863
423,469,336
493,068,640
481,480,506
489,869,921
- 200,000,000 400,000,000 600,000,000 800,000,000
Without
With
With + 0.35%
NPV
HC
VA
Analisis sensitivitas (Rp 000/siklus)
Increasing Costs
10%Decreasing Price
10%Normal
83
Tabel 20 menggambarkan bahwa NPV sangat sensitif terhadap perubahan
penurunan harga dan kenaikan biaya. PT. IIS Kebun Buatan sensitif dengan
gejolak perubahan penurunan harga dan kenaikan biaya untuk semua pilihan
pengelolaan. Perubahan penurunan harga TBS akan menyebabkan pengurangan
NPV rata-rata mencapai Rp 240.415.356.738,00 per siklus, sedangkan
peningkatan harga akan memberikan penurunan rata-rata nilai NPV sebesar
Rp 174.183.079.869,00 per siklus dibanding saat dalam kondisi normal.
Perubahan penurunan harga sebesar 10% menyebabkan penurunan NPV untuk
semua pilihan pengelolaan rata-rata sebesar 36.30% dengan penurunan NPV
tertinggi untuk pilihan without HCVA (37%). Perubahan kenaikan harga sebesar
10% mengalami dampak penurunan NPV rata-rata sebesar 26.30% dengan
penurunan NPV tertinggi untuk pilihan without HCVA sebesar 27%. Hal ini
menunjukkan bahwa secara umum penurunan harga TBS di Perkebunan kelapa
sawit PT. IIS Kebun Buatan lebih sensitif dibanding dengan perubahan biaya
(kenaikan biaya input). Penurunan harga TBS menyebabkan perusahaan PT. IIS
Kebun Buatan mengalami penurunan NPV jauh paling besar dibandingkan
kenaikan biaya.
5.6 Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA
Obyek analisis biaya dan manfaat menggunakan entitas perusahaan yaitu
PT. IIS Kebun Buatan: data yang digunakan dalan perhitungan dan analisis
merupakan data riil khususnya luas HCVA dan peruntukan lahan. Sebagian besar
komponen biaya manfaat menggunakan data yang berasal dari Nurrochmat et al.
(2010) dan Boer et al. (2012). Kedua data tersebut merupakan kompilasi data-data
perusahaan yang sudah disesuaikan (compilation adjusted).
5.6.1 Estimasi Biaya-Biaya Pengelolaan HCVA
Estimasi biaya berasal dari komponen-komponen yang terkena dampak
pengelolaan HCVA. Dampak Pengelolaan HCVA bersifat langsung dan dampak
tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang langsung berkenaan
dengan penerimaan perusahaan dan masyarakat akibat pengelolaan HCVA.
Pengelolaan HCVA memberikan dampak langsung berupa kehilangan manfaat
84
dan tambahan beban biaya bagi perusahaan. Hasil dari identifikasi dampak
langsung bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA
dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Kerugian karena kehilangan pendapatan
b. Beban biaya pengelolaan
Dampak langsung bagi perusahaan akibat pengelolaan HCVA dilihat dari
perspektif ekonomi/bisnis.
5.6.1.1 Estimasi Biaya Dampak Langsung Bagi Perusahaan
A. Estimasi Kerugian/Kehilangan Pendapatan
Dampak langsung bagi perusahaan akibat adanya pengelolaan HCVA
yang pertama adalah kehilangan pendapatan. Dampak pengelolaan HCVA
menyebabkan berkurangnya areal produktif untuk kebun kelapa sawit. Kehilangan
areal produktif tentu saja akan berpengaruh pada produksi kelapa sawit atau TBS
dan akhirnya adalah kehilangan pendapatan dari produksi CPO dan KPO. Hasil
perhitungan kerugian atau kehilangan penerimaan akibat pengelolaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit disajikan dalam Tabel 21.
Tabel 21. Kerugian atau kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA
Entitas
Luas
HCVA
(Ha)
Produksi
TBS
(Ton/Ha/
Tahun)
Harga TBS
Rata-Rata-
Tahun-0 s.d
Tahun 25
(Rp/Kg)
Penerimaan
yang hilang
(Rp 000
/Tahun)
Keterangan
PT. IIS
Kebun
Buatan
89.96 24.96 1.454.73
2.797.947
Data Riil 2011 dan
Harga TBS Riau, 26
Mei 2012 (Riau Post)
Sumber: data primer diolah 2012
Tabel 21 menunjukkan bahwa total kehilangan penerimaan areal produktif
akibat pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit di PT. IIS Kebun Buatan
maupun di perkebunan kelapa sawit mempunyai nilai yang berbeda-beda
tergantung pada luasan izin dan luasan HCVA-nya. Rata-rata produksi TBS
perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar 24.96 ton per ha/tahun.
Perusahaan akan kehilangan penerimaan akibat pengelolaan HCVA seluas 89.96
ha sebesar Rp 2.797.947.381,00 (2.79 milyar/tahun atau 36.31 juta per ha/tahun).
Valuasi kehilangan atau kerugian ekonomi akibat pengelolaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit di atas sama dengan asumsi jika semua luasan HCVA
85
terkonversi menjadi areal produktif kebun kelapa sawit dengan asumsi cateris
paribus. Tanaman kelapa sawit bisa usahakan di seluruh areal HCVA tersebut
dengan menggunakan teknologi saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan
HCVA memberikan dampak ekonomi langsung yang sangat signifikan bagi usaha
perkebunan kelapa sawit.
B. Biaya Pengelolaan HCVA
Dampak langsung yang kedua akibat pengelolaan HCVA adalah beban
biaya pengadaan dan pengelolaan HCVA. Beban biaya pengelolaan HCVA di
perkebunan kelapa sawit menggunakan data biaya pengelolaan PT. IIS Kebun
Buatan dan GAPKI. Biaya pengelolaan HCVA dapat diuraikan sebagai berikut:
a. Biaya pengadaan kajian identifikasi keberadaan HCVA
Pengelolaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit tidak serta muncul dan
dapat dikelola tanpa terlebih dahulu dilakukan kajian identifikasi keberadaan
HCVA. Biaya kajian ini biasanya diperlukan untuk memetakkan luasan dan
sebaran keberadaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit. Biasanya assessor
untuk kajian ini berasal dari lembaga yang memiliki kredibilitas yang tinggi
seperti Institusi Pendidikan Perguruan Tinggi-Tim HCV Fahutan IPB. Biaya
pengelolaan HCVA bervariasi terantung areal, situasi, kondisi, letak dan
luasan areal perkebunan kelapa sawit. Dokumen hasil kajian keberadaan
HCVA di perkebunan kelapa sawit digunakan oleh perusahaan baik sebagai
dokumen atau pegangan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan
HCVA maupun sebagai bukti ilmiah dan bukti bagi para pihak khususnya
lembaga pensertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seperti RSPO.
Berdasarkan hasil wawancara degan Tim HCV Fahutan IPB rentang biaya
pengadaan kajian mulai 150-300 juta rupiah per areal perkebunan kelapa
sawit. Rata-rata biaya kajian sebesar 200 juta rupiah, sedangkan biaya kajian
PT. IIS Kebun Buatan sebesar 200 juta rupiah.
b. Biaya Pengelolaan
Biaya pengelolaan HCVA adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan
untuk melakukan pengelolaan keberadaan HCVA. Pengelolaan HCVA
sifatnya mandatory bagi perusahaan yang akan dan telah mendapatkan
sertifikat CSPO (Certified Sustainable Palm Oil) khususnya dari RSPO.
86
c. Biaya Pemantauan
Biaya pemantauan adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk
kegiatan pemantauan keberadaan HCVA di wilayah atau areal perkebunan
kelapa sawit. Biaya pemantauan digunakan untuk menunjukkan
perkembangan pengelolaan baik peningkatan jumlah populasi satwa liar dan
pemanfaatan barang dan jasa lingkungan dari HCVA serta kualitas dari
HCVA. Komponen biaya pengelolaan HCVA disajikan dalam Tabel 22.
Tabel 22. Estimasi biaya pengelolaan HCVA
PT. IIS Kebun Buatan Biaya Tahun ke-0
(Rp/Tahun)
Biaya Tahun ke- 1 s.d 25
(Rp/Tahun)
Biaya Pengelolaan 354.750.000,00 194.000.000,00
Biaya Pemantauan
167.000.000,00
Biaya Kajian 200.000,000,00
Total 554.750.000,00 361.000.000,00
Sumber: Laporan Pengelolaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan 2011
Tabel 22 menunjukkan biaya awal pengelolaan HCVA perusahaan
perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 554.750.000,00. Biaya
pengelolaan pada tahun pertama menyumbang 63.95% atau sebesar
Rp 6.166.630,00 per ha/tahun dari total biaya pengelolan HCVA pada tahun
pertama, sedangkan biaya kajian sebesar 36.05 % Rp 12.125,00 per ha dan biaya
pemantauan pada tahun pertama tidak ada. Biaya pengelolaan untuk tahun kedua
dan seterusnya per tahun sebesar Rp 361.000.000,00 atau 0.361 milyar
rupiah/tahun. Biaya pada tahun kedua dan seterusnya didominasi biaya tahunan
pemantauan pengelolaan HCVA dan biaya koordinasi dengan stakeholder terkait.
Biaya ini akan terus dikeluarkan dengan jumlah yang sama, meskipun PT. IIS
Kebun Buatan tahun 2015 akan memulai program replanting. Selanjutnya biaya
pengelolaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan akan dijadikan “proxy biaya
pengelolaan HCVA“bagi kebutuhan analisis selanjutnya.
5.6.1.2 Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Masyarakat
Dampak langsung akibat pengelolaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan
bagi masyarakat adalah hilangnya sejumlah manfaat akibat hilangnya aktivitas
ekonomi karena perubahan fungsi dan peruntukan areal kebun menjadi areal
87
konservasi atau areal yang tidak diusahakan. Hilangnya aktivitas ekonomi akibat
pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit memberikan dampak langsung
bagi pendapatan masyarakat dan hilangnya penyerapan tenaga kerja di areal
kebun yang dikonservasi (HCVA). Estimasi biaya dampak langsung bagi
masyarakat akibat pengelolaan HCVA terkait dengan pendapatan dan tenaga
kerja.
A. Dampak Kehilangan Pendapatan Masyarakat
Dampak kehilangan pendapatan masyarakat akibat pengelolaan HCVA
disebabkan karena hilangnya berbagai aktivitas ekonomi yang membangkitkan
pendapatan masyarakat dalam kegiatan/usaha jasa pengangkutan TBS. Kegiatan
pengangkutan TBS dilakukan oleh berbagai pihak meliputi Koperasi, buruh
timbang, dan jasa pengangkutan. Pengelolaan HCVA yang mengakibatkan
kehilangan pendapatan yang diharapkan dari pihak-pihak tersebut.
Keberadaan HCVA memberikan dampak langsung bagi penerimaan
pendapataan masyarakat karena hilangnya aktivitas ekonomi yang produktif di
bidang pengangkutan (transportasi dan penimbangan TBS). Tabel 23 menyajikan
informasi temuan hilangnya pendapatan di masyarakat jika terdapat pengelolaan
HCVA. Tidak semua areal HCVA dapat menjadi areal kebun produktif, namun
perkembangan teknologi sangat memungkinkan untuk melakukan konversi
kawasan HCVA menjadi kebun produktif.
Tabel 23. Dampak kehilangan pendapatan masyarakat
PT. IIS Kebun
Buatan
Luas
HCVA
(Ha)
Produksi
(Ton TBS/
Tahun)
Harga
(Rp) Unit
Nilai pendapatan
yang Hilang
(Rp/Tahun)
Tukang Timbang
89.96 21.38
50,00 Ton 96.167 ,00
Jasa
Pengangkutan 40.000,00 Ton
76.933.792,00
Kelompok Tani 12,00 Ton 23.080,00
KUD 4.000,00 Ton 7.693.379,00
Total 84.746.419,00 Sumber: data primer diolah 2012
Tabel 23 menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat yang hilang sebagai
akibat dampak langsung pengelolaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan sebesar
Rp 84.746.419,00 per tahun atau sebesar Rp 942.046,00 per ha/tahun. Nilai
tersebut merupakan nilai rill di lapangan khususnya di Perkebunan PT. IIS Kebun
88
Buatan. Berdasarkan hasil perhitungan Nurrochmat et al. (2012) income multiplier
perkebunan kelapa sawit sebesar 2.5, maka total pendapatan yang hilang karena
pengelolaan HCVA (89.96 ha) sebesar Rp 211.866.046,00 per tahun jika
diasumsikan produksi sama per ha.
Hasil wawancara dengan masyarakat khususnya ketua KUD SP 10, Robert
Sembiring (52) bahwa usaha pendukung kegiatan perkebunan cukup
menguntungkan dan tidak pernah mengalami kerugian. Pihak yang mendapatkan
pendapatan tidak hanya koperasi unit desa (KUD) tetapi juga buruh pada usaha
jasa pengangkutan. Mengatakan bahwa bagi masyarakat yang tidak memiliki
lahan kebun plasma maupun mandiri bisa bekerja pada usaha pendukung
perkebunan. Masyarakat yang tidak memiliki lahan ekonomi World Growth
(2011) menyatakan bahwa industri kelapa sawit memberikan pendapatan
berkelanjutan bagi banyak penduduk miskin di pedesaan. Industri kelapa sawit
berperan besar dalam pendapatan penduduk pedesaan terutama petani kecil.
B. Dampak Kehilangan Tenaga Kerja
Tabel 24 menunjukkan bahwa tenaga kerja yang tidak terserap karena
hilangnya areal produktif karena keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan
sebanyak 13 orang dengan menggunakan rasio tenaga kerja PT. IIS Kebun Buatan
sebesar 0.15 HK/ha. Beradasarkan hasil perhitungan Nurrochmat et al. (2012) dan
Nurrochmat dan Hasan (2012) dalam Nurrochmat et al. 2012 employment
multiplier perkebunan kelapa sawit sebesar 1.84, maka jumlah tenaga kerja yang
tidak terserap sebanyak 166 orang karena pengelolaan HCVA.
Tabel 24. Keragaan tenaga kerja yang hilang akibat pengelolaan HCVA
Rasio Kebutuhan Tenaga kerja Buatan (HK/Ha) Luas HCVA
(Ha)
Jumlah Tenaga
Kerja
0.15 89.96 13
Sumber: data primer 2012
Hasil estimasi di atas menunjukkan jika rata-rata perkebunan di Indonesia
(70 perusahaan) dengan luasan rata-rata sebesar 12.978,34 ha dan memiliki
HCVA rata-rata seluas 1.413,80 ha, maka jumlah tenaga kerja yang hilang atau
tidak terserap sebanyak 297 orang. Rasio tenaga kerja untuk perusahaan swasta
sebesar 0.3 diperoleh dari Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
(Kementerian Pertanian Desember 2011). Asumsi bahwa ada 100 perusahaan
89
maka akan ada 42.414 tenaga kerja yang tidak terserap. Perkebunan kelapa sawit
merupakan usaha padat karya sehingga penyerapan tenaga kerja cukup tinggi.
Tenaga kerja yang tidak terserap di perkebunan kelapa sawit berbanding lurus
dengan hilangnya areal produksi kelapa sawit baik yang berasal dari pengelolaan
HCVA maupun dari kebun produktif yang tidak diusahakan.
Goenadi (2008) memperkirakan industri kelapa sawit di Indonesia
mungkin dapat menyediakan lapangan kerja lebih dari 6 juta jiwa dan
mengentaskan mereka dari kemiskinan. Data Kementerian Pertanian (2011)
menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang tercatat di perusahaan perkebunan
kelapa sawit swasta sebanyak 1.305.789 jiwa yang tersebar di perkebunan seluas
4.366.617 ha. Tercatat bahwa jumlah pekerja di perkebunan negara sebanyak
317.814 jiwa yang tersebar di perkebunan negara seluas 631.520 ha. Perbedaan
jumlah serapan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh
banyaknya status karyawan harian lepas atau karyawan borongan. Perusahaan
seperti PT. IIS Kebun Buatan mempunyai rasio tenaga kerja relatif kecil, hal ini
terkait efisiensi dan efektivitas manajemen perusahaan. Hasil analisis dampak
langsung dan tidak langsung pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit di
Indonesia menujukkan adanya economical impact yang cukup signifikan bagi
perusahaan maupun bagi masyarakat sekitar perusahaan. Tabel 25 menunjukkan
rekapitulasi nilai ekonomi yang hilang akibat dampak langsung pengelolaan
HCVA bagi perusahaan.
Tabel 25. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan (Rp 000)
Dampak
Langsung
(PT. IIS KB)
Luas
HCVA
Tahun-0
(Rp)
Tahun 1-2
(Rp/Tahun)
Tahun 3 -25
(Rp/Tahun)
Total
ekonomi
(Rp/Siklus)
Pendapatan
yang hilang 89.96 - - 2.797.947,00 64.352.790,00
Biaya
Pengelolaan
HCVA
(semua
perusahaan
sama)
554.750,00 361.000,00 361.000,00 9.579.750,00
Sumber : data primer 2012
Tabel 25 menunjukkan total manfaat ekonomi yang hilang sebagai dampak
langsung bagi perusahaan untuk pengelolaan HCVA di Perusahaan PT. IIS Kebun
90
Buatan sebesar Rp 64.352.790.000,00 per siklus (panen 23 kali) dan biaya
pengelola sebesar Rp 9.579.750.000,00 per siklus. Dampak langsung bagi
perusahaan akibat hilangnya penerimaan (manfaat) dari usaha perkebunan jika
HCVA dikonversi menjadi areal produktif semua. Dampak langsung kedua yaitu
penambahan biaya untuk pengelolaan HCVA dari mulai biaya kajian hingga biaya
monitoring dan koordinasi antar stakeholder.
Kerugian atau biaya-biaya akibat pengelolaan HCVA secara langsung bagi
masyarakat merupakan penilaian dari dampak kehilangan pendapatan dari
masyarakat dan hilangnya penyerapan tenaga kerja karena adanya pengelolaan
HCVA. Kehilangan pendapatan maupun tenaga kerja bagi masyarakat merupakan
dampak tidak langsung bagi perusahaan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan
untuk mendapatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja merupakan
opportunity loss bagi masyarakat, meskipun secara riil baik perusahaan maupun
masyarakat tidak dirugikan. Rekap dampak tidak langsung bagi pengelolaan
HCVA disajikan dalam Tabel 26.
Tabel 26 menunjukkan pengelolaan HCVA memberikan dampak langsung
bagi masyarakat atau tidak langsung bagi perusahaan. Dampak ini menyebabkan
kehilangan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendapatan dari
kegiatan/usaha pendukung perkebunan dan penyerapan tenaga kerja. Kasus PT.
IIS Kebun Buatan pendapatan yang hilang bagi masyarakat sebesar
Rp 84.746.419,00 per tahun atau sebesar Rp 1.949.167.627,00 per siklus dengan
asumsi panen 23 kali dengan jumlah panen yang sama sepanjang siklus. Tenaga
kerja yang tidak terserap sebanyak 13 orang dengan UMR Provinsi Riau sebesar
Rp 1.389.450,00 per bulan maka nilai ekonomi yang hilang dari tenaga kerja
sebesar Rp 18.062.850,00 per bulan atau sebanyak Rp 216.754.200,00 per tahun.
Tabel 26. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi masyarakat
Dampak
Langsung
(Masyarakat)
Pendapatan masyarakat yang
hilang Tenaga kerja yang tidak terserap
Rp/Tahun Rp/Siklus Rp/Tahun Rp/Siklus
PT. IIS Kebun
Buatan 84.746.419,00
1.949.167.627,00
216.754.200,00 4.985.346.600,00
Sumber: Data primer data diolah (2012)
91
5.6.2 Estimasi Manfaat-Manfaat Pengelolaan HCVA
Estimasi manfaat-manfaat pengelolaan HCVA berasal dari komponen-
komponen yang terkena dampak langsung dan dampak tidak langsung dari
pengelolaan HCVA. Dampak Pengelolaan HCVA bersifat langsung berupa nilai
ekonomi potensial dari keberadaan HCVA. Nilai ekonomi potensial ini berupa
nilai ekonomi dari kawasan HCVA yang berasal baik dari barang dan jasa
lingkungan yang memiliki harga pasar maupun belum memiliki harga pasar.
Manfaat yang berasal dari dampak lansung berupa kompensasi atas sertifikasi
kelapa sawit berkelanjutan yang memiliki kewajiban berupa pengelolaan HCVA.
5.6.2.1 Manfaat Harga Kompensasi (Premium Price)
Estimasi manfaat yang pertama dari dampak langsung atas pengelolaan
HCVA atau dampak dari sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan adalah harga
kompensasi. Harga kompensasi adalah harga yang diberikan kepada perusahaan
kelapa sawit yang telah melakukan sertifikasi Sustainable Palm Oil (SPO) yang
diinisiasi oleh RSPO. Kompensasi sertifikasi SPO bagi perusahaan perkebunan
kelapa sawit berupa harga yang lebih tinggi dari harga TBS dan/atau CPO global.
Harga kompensasi tersebut diperoleh atas usaha dan upaya perusahaan melakukan
sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang salah satu syarat atau mandatnya yaitu
melakukan pengelolaan HCVA di dalam areal yang diusahakan.
Harga kompensasi atau disebut premium price saat ini masih belum baku
karena belum adanya kesepakatan diantara stakeholder terkait palm oil grower,
buyer, trader dan palm oil processor. Buyer produk SPO umumnya berasal dari
Uni Eropa dengan memberikan premium price, meskipun serapan pasar untuk
SPO relatif kecil. Menurut Schouten and Galsbergen (2011) menjelang Januari
dan Februari 2011 serapan Sustainable Palm Oil (SPO) yang dibayar dengan
premium price di pasar Uni Eropa meningkat sekitar 50% dari suplai total kelapa
sawit yang tersertifikasi RSPO. Serapan pasar untuk produk CPO yang
tersertifikasi RSPO dan dibayar dengan premium price masih terhitung relatif
kecil karena hanya sebanyak 200.000 ton SPO telah diperdagangkan/diserap pasar
atau hanya 15% dari total CPO yang tersertifikasi.
Berdasarkan hasil pertemuan General Assembly RSPO 2012 premium
price maksimal hanya sebesar 0.35%. PT. IIS Kebun Buatan tidak bersedia
92
memberikan nilai hasil penjualan SPO (premium price) mereka. Berdasarkan hasil
wawancara dengan GAPKI, maksimal premium price yang diterima perusahaan
yang tersertifikasi RSPO yaitu sekitar 0.35% dari harga normal. Nilai premium
price tersebut dijadikan proxy untuk perhitungan manfaat dari sertifikasi RSPO
yang salah satu saratnya adalah pengelolaan HCVA. Hasil perhitungan
penerimaan perusahaan dari manfaat pengelolaan HCVA disajikan dalam Tabel
27.
Tabel 27. Estimasi manfaat penerimaan premium price PT. IIS Kebun Buatan
Luas
HCVA
(Ha)
Luas Kebun
Produktif
(Ha)
Produksi
(Ton
TBS
/Tahun)
Harga TBS
Rerata Tahun 3
s.d Tahun 25
(Rp/ton)
Harga TBS
Rerata Tahun 3
s.d Tahun 25
(Rp/ton) +0.35%
Gap
(Rp/Ton)
89.96 16.405.04 21.38 1.454.730,00 1.459.822,00 5.092
Sumber : data primer 2012
Tabel 27 menunjukkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit with
dan without HCVA dilihat dari produktivitas kebun kelapa sawit yang diusahakan
memiliki perbedaan rente ekonomi yang cukup besar. Harga untuk perkebunan
kelapa sawit yang tidak tersertifikasi sebesar Rp 1.454.730,00 sedangkan PT. IIS
Kebun Buatan yang telah tersertifikasi RSPO sebesar Rp 1.459.822,00 karena
adanya tambahan harga seebsar 0.35% dengan gap sebesar Rp 5.092,00 per ton.
Pendapatan kotor dari kegiatan produksi TBS perusahaan perkebunan kelapa
sawit mengalami kehilangan profit (kerugian) akibat pengelolaan HCVA. Tabel di
atas juga menunjukkan bahwa semakin besar kawasan pengelolaan HCVA, maka
semakin besar kerugian yang akan diterima perusahaan. Berdasarkan data Tim
HCVA Fahutan IPB luas HCVA di perkebunan baru lebih dari 10% dari luas izin.
Hal ini tentu saja akan menyebabkan perusahaan akan kehilangan profit yang
signifikan.
5.6.2.2 Manfaat Ekonomi Potensial HCVA (TEV HCVA)
Manfaat yang diperoleh perusahaan sebagai bentuk dampak langsung
pengelolaan HCVA adalah nilai ekonomi HCVA. Nilai ekonomi HCVA
merupakan nilai konservasi atau nilai ekonomi ekologi dari kawasan HCVA. Nilai
ekonomi tersebut merupakan manfaat ekonomi potensial. Manfaat ekonomi
potensial dari pengelolaan HCVA diperoleh dari perhitungan estimasi nilai TEV
93
HCVA di perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan. Hasil perhitungan nilai
TEV HCVA di PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau
sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.
5.6.3 Hasil Perhitungan Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA
Estimasi manfaat-manfaat pengelolaan HCVA berasal dari komponen-
komponen yang terkena dampak langsung bagi perusahaan dan masyarakat atas
pilihan pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Hal yang sama
ditunjukkan dengan komponen biaya-biaya yang mucul karena pilihan
pengelolaan kebun dengan with HCVA. Analisis biaya manfaat (cost benefit
analysis) akan menunjukkan pilihan mana yang paling menguntungkan bagi
perusahaan terkait keberadaan HCVA.
Tabel 28 menunjukkan analisis biaya manfaat pilihan HCVA di dalam
perkebunan kelapa sawit di PT. IIS Kebun Buatan. Analisis biaya manfaat terbatas
pada keterbatasan dan kompleksitas dalam proses pengumpulan data dan
informasi khususnya dari PT. IIS Kebun Buatan menyebabkan sebagian besar
komponen biaya menggunakan data hipotetik yang telah disesuaikan yang
bersumber dari Nurrochmat et al. (2012) dan Boer et al. (2012). Data PT. IIS
Kebun Buatan yang digunakan dalam analisis biaya manfaat hanya TEV HCVA
PT. IIS Kebun Buatan dan harga TBS bersumber dari Data Riil 2011 dan Harga
TBS Riau, 26 Mei 2012 (Riau Post).
Analisis Biaya Manfaat ini menggunakan discount factor 15%. Nilai
discount factor (DF 15%) sesuai dengan kredit bank komersial untuk sektor
perkebunan yang memiliki jangka waktu proyek yang relatif panjang (25 tahun
per siklus ditambah initial year).
A. Skenario Internalisasi TEV dan Dampak Ekonomi
Komponen manfaat dari pilihan pengelolaan without HCVA adalah
penerimaan dari TBS dan tambahan premium price untuk pilihan with
HCVA+0.35%. Pilihan pengelolaan with HCVA+0.35% akan menyebabkan total
benefit DF 15% hanya sebesar Rp 2.405.365.094.273,00 sedangkan without
HCVA Rp 2.410.199.928.487,00 per siklus dan with HCVA non premium price
sebesar Rp 2.396.975.679.395,00 per siklus.
94
Komponen biaya terdiri atas komponen biaya biaya perencanaan,
investasi, tanaman dan infrastruktur, biaya pengelolaan HCVA dan biaya sebagai
akibat dampak langsung bagi masyarakat akibat pengelolaan HCVA. Pilihan
pengelolaan HCVA menyebabkan tambahan biaya berupa biaya pengelolaan
HCVA mulai dari biaya kajian HCVA dan biaya pemantauan. Besaran biaya
pengelolaan HCVA terbesar pada tahun-0 yaitu sebesar Rp 554.750.000,00 dan
biaya tahunan pengelolaan dan pemantauan sebesar Rp 361.000.000,00 per tahun
selama jangka proyek (tahun ke-1 s.d tahun-25). Rata-rata biaya pengelolaan
HCVA sebesar Rp 2.888.308.000,00 per siklus. Biaya Perencanaan, investasi,
tanaman dan infrastruktur sebesar Rp 1.742.773.898.482,00 per siklus untuk
without HCVA, sedangkan with HCVA sebesar Rp 1.738.470.940.973,00 per
siklus. Biaya sebagai akibat dampak langsung untuk pendapatan masyarakat
sebesar Rp 410.040.480,00 per siklus dan biaya untuk tenaga kerja sebesar
Rp 1.048.752.235,00.
Analisis biaya manfaat menggunakan tiga pilihan yaitu: 1) Opsi 1 Without
HCVA, yaitu PT. IIS Kebun Buatan tidak melakukan pengelolaan HCVA atau
semua areal dijadikan kebun produktif, 2) Opsi 2 With HCVA+0.35% yaitu PT.
IIS Kebun Buatan melakukan pengelolaan HCVA dan mendapatkan premium
price sebesar + 0.35% dan 3) Opsi 3 perusahaan PT. IIS Kebun Buatan melakukan
pengelolaan HCVA tanpa mendapatkan premium price. Analisis biaya manfaat
menggunakan teknik discounting dengan menggunakan discount factor sebesar
15%.
Hasil perhitungan (Tabel 28) menunjukkan bahwa pilihan with
HCVA+0.35% memberikan nilai manfaat bersih DF 15% sebesar
Rp 2.405.365.094.273,00 per siklus, sedangkan without HCVA sebesar
Rp 2.410.119.928.487,00 per siklus. Gap antara with HCVA+0.35% dengan
without HCVA adalah sebesar Rp 25.266.010.000,00 per siklus. Hasil perhitungan
net benefit tersebut menunjukkan bahwa with HCVA+0.35% memiliki nilai net
benefit lebih besar dari without HCVA. Hal ini disebabkan net benefit dalam opsi 2
With HVCA+0.35% masih mengandung nilai ekonomi potensial TEV dan biaya
akibat dampak langsung bagi masyarakat. Kedua nilai tersebut merupakan nilai
tidak riil atau tidak mempengaruhi penerimaan perusahaan.
95
Tabel 28. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat pilihan pengelolaan HCVA
Pilihan Komponen
Manfaat
Value
(Rp 000/siklus)
Komponen
Biaya
Value
(Rp 000/siklus)
Net Benefit
(Rp 000/siklus)
Opsi 1 Tanpa
(Without)
HCVA
Harga
normal 2.410.119.928,00
Biaya
Perencanaan,
investasi ,
tanaman dan
infrastruktur
1.742.773.898,00
667.346.030,00
Sub total 2.410.119.928,00
1.742.773.898,00
Opsi 2
Dengan
(With) HCVA
+ Premium
Price 0.35%
Harga TBS
Premium
Price
(0.35%)
2.405.365.094,00
Biaya
Perencanaan,
investasi ,
tanaman dan
infrastruktur
1.738.470.941,00
672.413.523 ,00
TEV 9.866.470,00
Biaya
Pengelolaan
HCVA
2.888.308,00
- -
Kehilangan
manfaat bagi
masyarakat
a) Pendapatan 410.040,00
b)Tenaga kerja 1.048.752,00
Sub total
2.415.231.565,00
1.742.818.042,00
Opsi 3
Dengan
(With) HCVA
Non PP
Harga TBS
Normal
2.396.975.679,00
Biaya
Perencanaan.
investasi ,
tanaman dan
infrastruktur
1.738.470.941,00
664.024.108,00
TEV 9.866.470,00
Biaya
Pengelolaan
HCVA
2.888.308,00
- -
Kehilangan
manfaat bagi
masyarakat
a) Pendapatan 410.040,00
b)Tenaga kerja 1.048.752,00
Sub total 2.406.842.150,00 1.742.818.042,00
Sumber: Data primer diolah (2012)
Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa semua pilihan pengelolaan
with HCVA dan without HCVA layak yang ditunjukkan dengan net benefit positif.
Hal ini menunjukkan internalisasi nilai TEV HCVA dan biaya dampak langsung
bagi masyarakat (pendapatan masyarakat dan tenaga kerja) tetap menghasilkan net
benefit menjadi positif. Pilihan pengelolaan with HCVA Non PP menghasilkan
nilai net benefit yang paling kecil dibandingkan pilihan lainnya yaitu sebesar
Rp 664.024.108.204,00 per siklus. Hal ini disebabkan bahwa pilihan with HCVA
96
non PP memiliki total manfaat (TBS harga normal) yang kecil karena penurunan
produksi akibat pengelolaan HCVA yang tidak terkompensasi harga TBS nya.
Pilihan with HCVA+0.35% menghasilkan nilai benefit tertinggi di antara pilihan
lainnya dengan gap without HCVA sebesar Rp 5.067.493.077,00, dengan
demikian internalisasi TEV HCVA mampu meningkatkan net benefit, meskipun
dalam kenyataannya nilai TEV dan biaya dampak tidak riil atau bersifat potensial.
B. Skenario Tanpa TEV dan Dampak Ekonomi
Skenario B dengan Pilihan pengelolaan with HCVA +0.35% akan
menyebabkan net benefit hanya sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus.
Pilihan pengelolaan kebun kelapa sawit without HCVA menyebabkan penerimaan
lebih besar yaitu sebanyak Rp 667.346.030.004,00 per siklus dan with HCVA non
PP sebesar Rp 655.616.430.602,00 per siklus (Tabel 29).
Tabel 29. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat tanpa TEV dan dampak
ekonomi
Pilihan Komponen
Manfaat
Value
(Rp 000/siklus)
Komponen
Biaya
Value
(Rp 000/siklus)
Net Benefit
(Rp 000/siklus)
Opsi 1
Tanpa
(Without)
HCVA
Harga normal
2.410.119.928,00
Biaya
Perencanaan,
investasi ,
tanaman dan
infrastruktur
1.742.773.898,00
667.346.030,00
Sub total 2.410.119.928,00
1.742.773.898,00
Opsi 2
Dengan
(With)
HCVA +
Premium
Price 0.35%
Harga TBS
Premium
Price (0.35%)
2.405.365.094,00
Biaya
Perencanaan,
investasi ,
tanaman dan
infrastruktur
1.738.470.941,00
664.005.845,00
Biaya
Pengelolaan
HCVA
2.888.308,00
Sub total 2.405.365.094,00 1.741.359.249,00
Opsi 3
Dengan
(With)
HCVA Non
PP
Harga TBS
Normal
2.396.975.679,00
Biaya
Perencanaan,
investasi ,
tanaman dan
infrastruktur
1.738.470.941,00
655.616.430,00
Biaya
Pengelolaan
HCVA
2.888.307,00
Sub total 2.396.975.679,00 1.741.359.249
Sumber: data primer diolah (2012)
Besarnya nilai penerimaan untuk pilihan without HCVA dikarenakan
semua areal lahan diasumsikan menjadi kebun produktif semua, sehingga
97
penerimaan dari produksi TBS lebih banyak. Gap net benefit pilihan pengelolaan
without and with HCVA+0.35% cukup besar yaitu sebesar Rp 3.340.184.524,00
per siklus dan with HCVA non PP sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus. Hasil
perhitungan skenario tanpa TEV dan dampak ekonomi ditunjukkan pada Tabel 29.
Pilihan with HCVA+0.35% akan menjadi aktual jika nilai TEV HCVA dan
kehilangan manfaat sosial (pendapatan masyarakat dan tenaga kerja) dikeluarkan
dari analisis, yang akan menyebabkan perusahaan akan mengalami
kerugian/kehilangan profit perusahaan Rp 3.340.184.524,00 per siklus dan dengan
with HCVA non PP sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus. Hal ini
menunjukkan bahwa secara ekonomi pilihan with HCVA+ 0.35% ternyata belum
mampu untuk menutup biaya korbanan dari perusahaan untuk pengelolaan
HCVA. Harga kompensasi (premium price) sebesar 0.35% belum mampu
memberikan penerimaan yang wajar dan rasional bagi perusahaan perkebunan
kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan. Nilai manfaat potensial dalam pengelolaan
HCVA seperti TEV HCVA dan kehilangan manfaat sosial jika
diinternalisasikan/diperhitungkan dalam analisis pilihan with HCVA+0.35% jauh
akan lebih menguntungkan dibandingkan pengelolaan perkebunan without HCVA.
5.7. Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA
5.7.1 Analisis Stakeholder
Analisis pemangku kepentingan (Stakeholder) menjadi populer digunakan
oleh pembuat kebijakan, regulator, pemerintah dan organisasi non pemerintah
(Friedman dan Miles 2002 dalam Reed et al. 2009). Pendekatan analisis
stakeholder telah berubah secara progresif menjadi tool analisis yang adaptif dari
manajemen bisnis menjadi alat analisis untuk kebijakan, pembangunan, dan
manajemen sumberdaya alam. Analisis stakeholder dalam penelitian ini ditujukan
untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholders dalam implementasi
pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan dengan memanfaatkan kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang
dimiliki oleh setiap stakeholders. Hasil analisis stakeholder ini diharapkan mampu
digunakan untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA kedepannya.
98
Hasil wawancara dengan narasumber yang telah diidentifikasi sebagai
stakeholder, diketahui bahwa pada pengelolaan HCVA saat ini hanya terbatas
pada perusahaan dan kebun plasma selaku pemrakarsa. Hal ini tentu saja terkait
dengan kepentingan perusahaan dan kebun plasma untuk memenuhi persyaratan
dalam proses sertifikasi RSPO. Pemerintah yang berwenang (cq. Kementerian
Pertanian) saat ini belum mengenal istilah HCVA atau tidak menggunakan
terminologi HCVA dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hasil
inventarisasi pemangku kepentingan (stakeholders), diketahui bahwa stakeholders
yang terlibat dan potensial terlibat dalam implementasi pengelolaan HCVA saat
ini terdiri atas beberapa komponen, yaitu: (1) Perusahaan perkebunan kelapa
sawit, (2) Sawit Watch, (3) KUD Kebun Plasma, (4) GAPKI, dan (5) Komisi
Sawit Indonesia. RSPO (2012) menyebutkan pemangku kepentingan industri
kelapa sawit sebanyak tujuh sektor, yaitu: 1) produsen kelapa sawit; 2) pedagang
dan pengolah kelapa sawit, 3) produsen produk-produk konsumen; 4) ritel; 5)
perbankan dan investor, 6) lembaga swadaya masyarakat pelestarian lingkungan,
dan 7) lembaga swadaya masyarakat sosial. RSPO bersama para pemangku
kepentingan ini mengembangkan dan menerapkan standar internasional untuk
perwujudan sustainable palm oil, sehingga stakeholder yang telah diidentifikasi
dalam penelitian ini hanya dua dari tujuh stakeholder yang disebutkan RSPO.
Dukungan yang diberikan oleh masing-masing stakeholders tergantung
kepada tingkat kepentingan yang dipengaruhi dan keuntungan yang diharapkan
(Grindle 1980). Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan
persepsi mereka terhadap pengelolaan HCVA (harapan mereka terhadap tujuan
pengelolaan HCVA) dan bagaimana cara mereka menyikapi pengelolaan HCVA
ini (keuntungan atau biaya apa saja yang pernah dikeluarkan dan sumber daya apa
saja yang telah dimobilisasi).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) persepsi
stakeholder mengenai tujuan pengelolaan HCVA yaitu: 1) untuk meminimalisasi
dampak-dampak ekologi dan sosial negatif dalam pembangunan perkebunan
kelapa sawit, 2) konservasi kawasan di dalam areal kebun yang bernilai
konservasi tinggi, (3) pencitraan korporasi perusahaan kelapa sawit yang ramah
lingkungan dan (4) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas yang
99
bersinergi dengan pembangungan ekonomi jangka panjang dan keberlanjutan.
Tabel 30 menunjukkan persepsi (harapan) responden terhadap tujuan kebijakan
pengelolaan HCVA.
Tabel 30. Persepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA
No Stakeholders
Tujuan Pengelolaan HCVA
Minimalisasi
dampak ekologi
dan social
negatif
Konservasi
kawasan
Pencitraan
korporasi
Kesejateraan
masyarakat
luas
1. Perusahaan
Perkebunan +++ +++ ++ +++
2. Komisi Sawit
Indonesia ++ ++ +++ ++
3. Sawit Watch +++ ++ +++ +++
4. KUD Kebun
Plasma ++ +++ ++ +++
5. GAPKI +++ +++ +++ ++ Keterangan: + (rendah), ++ (sedang), +++ (tinggi)
Tingkat kepentingan stakeholders dalam implementasi pengelolaan HCVA
dapat dilihat dari dukungan yang mereka berikan terhadap implementasi
pengelolaan HCVA. Posisi stakeholder dapat diketahui dari hasil penilaian tingkat
kepentingan stakeholder. Penilaian menggunakan skala linkert yaitu nilai 5:
sangat kuat, 4: kuat, 3: sedang, 2: lemah, dan 1: sangat lemah. Penilaian tingkat
kepentingan stakeholder dapat dilihat pada Tabel 31.
Tabel 31. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder
No Stakeholders K1 K2 K3 K4 K5 Nilai
1. Perusahaan sawit 5 5 5 5 5 25
2. Komisi Sawit Indonesia 5 2 1 1 3 12
3. GAPKI 5 3 5 4 5 22
4. Sawit Watch 4 5 3 3 4 18
5. KUD Kebun Plasma 5 5 5 4 5 24
Keterangan : K1 = perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (profit, planet, dan people)
K2 = pemenuhan persyaratan sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
K3 = motivasi keterlibatan
K4 = bentuk dukungan
K5 = keuntungan yang diharapkan
Data di atas menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki nilai
kepentingan tinggi adalah perusahaan perkebunan dan KUD kebun plasma serta
GAPKI. Kedua stakeholder tersebut memandang bahwa pengelolaan HCVA
merupakan salah satu persyaratan dalam sertifikasi RSPO yang wajib untuk
100
dilakukan, sedangkan GAPKI sebagai asosiasi pengusaha kelapa sawit Indonesia
memiliki kepentingan sangat kuat terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan. Dukungan kuat GAPKI terlihat dari kebijakan mereka
membebaskan anggotanya memiliki sertifikat ganda bahkan lebih dari dua.
Anggota GAPKI yang mengimplementasikan pengelolaan HCVA akan
mendapatkan predikat baik sehingga akan menjadi keuntungan pencitraan bagi
GAPKI. Sawit Watch juga memiliki tingkat kepentingan yang tinggi sebagai
bentuk pertanggungjawaban sosial sebagai organisasi (LSM) yang tergabung
dalam RSPO untuk mengawal pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit
Indonesia, sedangkan Komisi Sawit Indonesia memiliki nilai kepentingan yang
rendah karena lembaga tersebut tidak mengenal terminologi HCVA dalam
sertifikasi ISPO yang mereka kembangkan.
Beberapa stakeholders memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap
pengeloaan HCVA, namun tidak semuanya memiliki pengaruh dalam
mensukseskan implementasi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.
Pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan HCVA dapat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder
No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai
1. Perusahaan sawit 3 5 2 4 5 19
2. Komisi Sawit Indonesia 5 5 4 1 4 19
3. GAPKI 3 5 4 5 5 22
4. Sawit Watch 3 3 3 4 2 16
5. KUD Kebun Plasma 5 1 2 2 2 12 Keterangan : P1 = Tingkat keterlibatan
P2 = Peran/kontribusi dalam pembuatan keputusan
P3 = Hubungan dengan stakeholder lain
P4 = Dukungan SDM
P5 = Dukungan finansial
Tabel 31 menunjukkan bahwa Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan
Komisi Sawit Indonesia memiliki pengaruh yang besar dalam menyukseskan
pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, sedangkan KUD Kebun
Plasma memiiki pengaruh yang terkecil.
Dengan mengkombinasikan Tabel 31 dan Tabel 32 maka dibuat ilustrasi
mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dengan
menggunakan stakeholder grid. Ilustrasi yang ditampilkan terdiri atas empat
kuadran yang menggambarkan posisi masing-masing stakeholders dalam
101
mendukung kebijakan pembangunan perkebunan secara berkelanjutan. Sebaran
posisi stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruh dalam kebijakan
pembangunan perkebunan secara berkelanjutan melalui pengelolaan HCVA
digambarkan pada Gambar 14.
Gambar 14. Posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan
Gambar 14 menunjukkan bahwa stakeholders yang termasuk ke dalam
kelompok pemain kunci (key players) adalah Perusahaan Perkebunan Kelapa
Sawit dan Sawit Watch serta GAPKI. Kelompok ini memainkan peranan yang
sangat penting dalam menentukan kebijakan pembangunan perkebunan secara
berkelanjutan.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menempati posisi Key Player
menunjukkan bahwa perusahaan merupakan pelaku dan pengelola utama HCVA,
yang menjadi bagian persyaratan dalam sertifikasi RSPO. Posisi ini juga didukung
keberadaan dan pengelolaan HCVA belum benar-benar diakui dan diakomodir
dalam sertifikasi ISPO, sehingga pengelolaan HCVA bersifat sentralitik dan
terbatas oleh Perusahaan dan Kebun Plasma yang akan melakukan sertifikasi
RSPO. Kepentingan GAPKI juga terkait dengan membangun corporate image
yang baik terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan
ramah lingkungan di Indonesia dengan melakukan pengelolaan lingkungan yang
baik dan benar sesuai dengan peraturan dan perlindungan yang berlaku. GAPKI
compliance dengan sertifikasi ISPO namun sangat berkepentingan dalam
membangun good corporate governance, yang biasanya menggunakan indikator
pengelolaan lingkungan hidup yang bertanggung jawab dan pengelolaan
0
15
30
0 15 30
Kep
en
tin
gan
Pengaruh
Perkebunan Kelapa sawit
Komisi Sawit Indonesia
Sawit Watch
KUD Kebun Plasma
GAPKI
CONTEXT SETTTER CROWD
SUBJECT KEY PLAYERS
102
perkebunan yang berasaskan pembangunan berkelanjutan meliputi aspek ekologi,
ekonomi, dan sosial.
Sawit Watch sebagai lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) sangat
berkepentingan terkait pembangunan perkebunan secara berkelanjutan. Hal ini
sesuai dengan Visi Sawit Watch yaitu “Terwujudnya Kedaulatan Rakyat dalam
Pengelolaan Sumberdaya Alam Melalui Perlindungan, Pelestarian dan
Pemanfaatan Serta Penguasaan Sumberdaya Alam Secara Adil dan Lestari”,
sedangkan salah satu misinya yaitu “Mendorong Terwujudnya Pengelolaan
Lingkungan Hidup yang Lebih Baik‟. LSM ini juga sangat peduli dan fokus
dengan HCV 5 dan 6 dimana merupakan perwujudan pembangunan perkebunan
kelapa sawit yang adil dan lestasi dengan cara menghargai, menghormati dan
melindungi kawasan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok dan
sosial budaya masyarakat lokal. Sawit Watch juga menjadi anggota RSPO yang
memiliki agenda besar mengusung keadilan dan kesejahteraan petani sawit plasma
dengan melakukan pengelolaan ekosistem di sekitar usaha perkebunan. Hal ini
juga terkait cara pandang atau persepsi Sawit Watch bahwa pengelolaan HCVA
identik dan manifestasi dengan rencana kelola sosial yang berarti keberlanjutan
bisnis (sustainable business) perusahaan bisa tercapai jika pengelolaan HCVA
benar-benar dijalankan dengan penuh tanggungjawab dan menghormati hak asasi
manusia khususnya hak masyarakat lokal.
Komisi Sawit Indonesia merupakan kelembagaan otonom di bawah
Kementerian Pertanian RI yang mengelola pembangunan perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan dengan mengembangkan mekanisme sertifikasi ISPO (Indonesia
Sustainable Palm Oil). Peraturan Menteri Pertanian Nomor
19/Permentan/Ot.140/3/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) menyatakan
bahwa ISPO adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak
ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia. Komisi Sawit Indonesia memiliki tingkat
kepentingan yang rendah terkait dengan pengelolaan HCVA. Hal ini disebabkan
Komisi Kelapa Sawit Indonesia sebagai kelembagaan pemerintah di bawah
Kementerian Pertanian memiliki mandat untuk patuh dengan peraturan dan
103
perundangan-undangan yang berlaku khususnya Keputusan Presiden (Keppres)
No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan dan perundang-undangan tersebut tidak
secara eksplisit mempersyaratkan pengelolaan HCVA dan hanya mewajibkan
pengelolaan lingkungan hidup dan kawasan lindung, meskipun secara implisit
mengandung ketentuan pengelolaan dan perlindungan kawasan yang memiliki
biodiversitas tinggi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor
19/Permentan/Ot.140/3/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia yang menyatakan bahwa sertifikasi ISPO sebagai bagian
dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara,
menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya
saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta
mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Komisi Sawit Indonesia berada pada posisi context setter. Posisi ini
menunjukkan bahwa pengaruh lembaga tersebut dalam pembangunan perkebunan
kelapa sawit secara berkelanjutan sangat besar, namun tingkat kepentingan
rendah. Hal in terkait peran dan fungsi Komisi Kelapa Sawit Indonesia sebagai
kelembagaan pemerintah yang dibentuk di bawah Kementerian Pertanian yang
memiliki tupoksi mengawal pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan
dengan mengembangkan sertifikasi ISPO. Rendahnya tingkat kepentingan Komisi
Sawit Indonesia disebabkan karena dalam sertifikasi ISPO belum mengakomodir
pengelolaan HCVA, meskipun prinsip 3 yaitu pengelolaan dan pemantauan
lingkungan dengan kriteria 3.4 pelestarian biodiversitas, kriteria 3.5 identifikasi
dan perlindungan kawasan lindung; kriteria 3.7 konservasi kawasan dengan
potensi erosi tinggi sangat terkait dengan HCVA.
Petani sawit plasma yang terwadahi dalam kelembagaan KUD Kebun
Plasma yang melakukan sertifikasi RSPO memiliki nilai kepentingan yang tinggi
terhadap pengelolaan HCVA sebagai wujud pembangunan perkebunan kelapa
sawit berkelanjutan, namun memiliki pengaruh yang kecil sehingga termasuk
104
dalam kelompok subject. Kelompok ini merupakan kelompok yang menjadi target
dalam implementasi pengelolaan HCVA khususnya HCVA 5 dan 6 di samping
KUD kebun plasma (petani plasma) sebagai pengelola HCVA juga, yang berlaku
di perkebunan plasma yang tersertifikasi RSPO. Rendahnya pengaruh yang
dimiliki oleh masyarakat dalam pengambilan kebijakan pengelolaan HCVA
karena keterbatasan kapasitas mereka dalam finansial, SDM, dan relasi dengan
stakeholder yang lain. Data Statistik Kementerian Pertanian (2012) menyebutkan
jumlah petani plasma di Indonesia sebanyak 1.75 juta orang yang mengelola lahan
kebun sawit seluas 3.39 juta ha. Hal ini tentu saja akan berpengaruh besar pada
pelestarian dan perlindungan keberadaan kawasan-kawasan kebun palsma yang
memiliki potensi HCVA.
KUD Kebun Plasma dan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai
mitra kerja dapat membangun kerjasama dengan kelompok context setter untuk
mencari model yang tepat untuk memberdayakan kelompok subject dalam rangka
mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan yang
memenuhi aspek keberlanjutan di bidang ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat.
Yukl (1994) mengemukakan konsep „pengaruh‟ bahwa keberhasilan
pembangunan perkebuan kelapa sawit secara berkelanjutan melalui pengelolaan
HCVA ditentukan oleh adanya kepentingan yang tinggi terhadap kebijakan
pengelolaan HCVA dan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di
antara stakeholders terkait. Peran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan KUD
kebun plasma harus melakukan inisiatif membangun kerjasama dan kemitraan
dengan stakeholder yang lain untuk mendorong pengakuan pengelolaan HCVA
dengan cara memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter
(GAPKI).
Kepedulian dalam pengelolaan HCVA juga menjadi kepentingan yang
besar bagi para pelaku petani plasma yang akan melakukan sertifikasi RSPO.
Plasma menjadi mitra utama perusahaan kelapa sawit dalam meningkatkan
produksi kelapa sawit. Petani sawit plasma yang menginginkan proses sertifikasi
RSPO juga memiliki mandat yang sama untuk melakukan pengelolaan HCVA.
Kasus PT. IIS Kebun Buatan, Petani Plasma yang di bawah pengelolaan KUD
Buatan SP 10 juga sangat berkepentingan dengan pengelolaan HCVA karena
105
kawasan kebun plasma mereka memiliki kawasan HCVA dan telah tersertifikasi
RSPO.
5.7.2 Strategi Kebijakan Pengelolaan HCVA
Untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan
kelapa sawit perlu dilakukan analisis dan telaah peraturan dan perundangan yang
terkait dengan pengelolaan HCVA serta mensistesis dengan hasil analisis dampak
ekonomi dan finansial. HCVA merupakan konsep pengelolaan kawasan yang
bernilai konservasi tinggi di areal perkebunan. Peraturan dan perundang-undangan
yang berlaku menyebutkan bahwa terminologi “HCVA” tidak digunakan atau
tidak dikenal. Permasalahan inilah yang salah satunya mendasari pemerintah (cq.
Kementerian Pertanian) mengembangkan sertifikasi ISPO. Prinsip dan kriteria
dalam sertifikasi ISPO meletakkan regulasi yang berlaku sebagai “rambu-rambu”,
sebagai bentuk manifestasi kepatuhan (compliance) terhadap peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku di dalam negeri. Konsep HCVA merupakan
konsep yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) untuk
melakukan pengelolaan HCV di sektor kehutanan seperti perusahaan Hak
Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku hanya mengamanahkan pengelolaan
lingkungan hidup dan kawasan lindung, bukan pengelolaan HCVA bagi orang
yang memiliki usaha/kegiatan (Tabel 33).
Tabel 33. Regulasi yang terkait dengan substansi pengelolaan HCVA. Peraturan
dan
Perundang
-undangan
Pasal dan ayat
UU Nomor
18 Tahun
2004
Tentang
Perkebunan
Pasal 2
Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan,
keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.
Pasal 4:
Perkebunan mempunyai fungsi:
a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta
penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;
b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia
oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan
c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Pasal 25
Ayat 1. Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.
Ayat 2. Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan
perkebunan wajib:
a. membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan
106
lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup;
b. memiliki analisis dan manajemen risiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa
genetik;
c. membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan
sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya
kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan.
UU Nomor
5 Tahun
1990
Tentang
Konservasi
Sumber
daya Alam
Hayati dan
Ekosistem
nya
Pasal 1
Ayat 2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya
alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin
kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan
kualitas keanekaragaman dan nilainya.
Ayat 3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik
antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung
dan berpengaruh mempengaruhi
Pasal 3
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan
terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan
ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat dan mutu kehidupan manusia
Pasal 4
Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung
jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Pasal 6
Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur
hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.
Pasal 7
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.
Pasal 8
(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah
menetapkan:
a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;
c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan system penyangga
kehidupan.
Pasal 9
Ayat 1. Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam
wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi
perlindungan wilayah tersebut.
Ayat 2. Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan,
Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan
dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam
wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8.
Pasal 10
Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami
dan/atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti
dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.
Pasal 37
Ayat 1. Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai
kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
Ayat 2. Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber
daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan
penyuluhan.
UU Nomor Pasal 1
107
32 Tahun
2009
Tentang
Perlin-
dungan dan
Pengelo-
laan
Lingkngan
Hidup
Ayat 1 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan
manusia serta
makhluk hidup lain.
Ayat 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang
meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,
dan penegakan hukum.
Ayat 3 Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang
memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi
pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,
kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa
depan.
Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta
keanekaragamannya.
Pasal 67
Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 68
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 70
Ayat 1 Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat 2 Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Ayat 3 Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup
Peraturan
Pemerintah
Nomor 28
Tahun 2011
Tentang
Pengelo-
laan
Kawasan
Suaka alam
dan
Kawasan
Pasal 1 Pengelolaan KSA dan KPA adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk
mengelola kawasan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian.
Pasal 12
Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali taman hutan raya dilakukan oleh
Pemerintah.
(2) Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.
(3) Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri.
(4) Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah
108
Pelestarian
Alam.
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit
pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota
Pasal 50
Masyarakat berhak:
a. mengetahui rencana pengelolaan KSA dan KPA;
b. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam penyelenggaraan KSA
dan KPA;
c. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan KSA dan KPA
d. menjaga dan memelihara KSA dan KPA.
Undang-
Undang
Nomor 26
Tahun 2007
Tentang
Tata Ruang
Pasal 1
Ayat 20 Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi
daya.
Ayat 21 Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan
Pasal 3
Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan
Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:
a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;
b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber
daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan
c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Pasal 5
Ayat 2 Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan
lindung dan kawasan budi daya. Penjelasan: Yang termasuk dalam kawasan
lindung adalah: a. kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya,
antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;
b. kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan
sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; c. kawasan
suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka
alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional,
taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta
kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;
Keputusan
Presiden
nomor 32
Tahun 1990
Tentang
Pengelo-
laan
Kawasan
Lindung
Pasal 1
Ayat 1 Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber
daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan
Pembangunan berkelanjutan.
Ayat 2 Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan
pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.
Pasal 2
Ayat 1 Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya
kerusakan fungsi lingkungan hidup.
Ayat 2 Sasaran Pengelolaan kawasan lindung adalah:
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan
dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;
1. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan
keunikan alam.
Pasal 3
Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi:
1. Kawasan yang memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya.
2. Kawasan Perlindungan setempat.
3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya.
4. Kawasan Rawan Bencana Alam.
109
Pasal 5
Kawasan Perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri
dari:
1. Sempadan Pantai.
2. Sempadan Sungai.
3. Kawasan Sekitar Danau/Waduk.
4. Kawasan Sekitar Mata Air.
Pasal 6
Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3
terdiri dari:
1. Kawasan Suaka Alam, 2. Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainya, 3.
Kawasan Pantan Berhutan Bakau., 4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan
Taman Wisata Alam, 5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.
Pasal 34
Ayat 1 Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah
masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran
penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta
memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan.
Ayat 2 Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,
Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari
kawasan lindung.
Ayat 3 Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta
dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000, dalam bentuk Peraturan
Daerah Tingkat II.
Peraturan dan perundangan-undangan di atas menunjukkan bahwa terminologi
HCVA tidak ada yang digunakan, namun substansi HCVA sangat terkait dengan
peraturan dan perundang-undangan di atas. Strategi kebijakan pengelolaan
HCVA di perkebunan dapat diformulasikan sebagai berikut:
a. Tanggung jawab pengelolaan HCVA diserahkan kepada perusahaan
perkebunan selaku pemegang hak atas tanah.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya
Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 9 Ayat 1 menyatakan bahwa Setiap
pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem
penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah
tersebut. Hasil wawancara dengan pakar dan narasumber menyebutkan bahwa
HCVA sebagai wilayah yang memiliki fungsi sebagai sistem penyangga
kehidupan. HCVA merupakan refleksi dari upaya untuk mewujudkan
Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses
ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 4 undang-undang
tersebut juga menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan
110
ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta
masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 67 yang
menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi
lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup dan selanjutnya pasal 68 menyatakan bahwa setiap orang yang
melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:
1. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;
2. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan
3. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup.
UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 4 menyatakan
bahwa perkebunan mempunyai fungsi:
1. Ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta
penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;
2. Ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon,
penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan
3. Sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.
Pasal 25 Ayat 1 menyatakan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.
Undang-undang tersebut menyebut bahwa tanggung jawab pengelolaan HCVA
sepenuhnya secara jelas diberikan kepada perusahaan kelapa sawit, meskipun
pengelolaan HCVA membutuhkan peran serta atau partisipasi multi pihak.
b. Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak.
Pengelolaan HCVA saat ini masih bersifat sepihak khususnya pengelola
perkebunan kelapa sawit karena pengelolaan HCVA sebagai bagian sertifikasi
RSPO bersifat voluntary, sedangkan kewenangan izin usaha perkebunan kelapa
sawit ada di Kementerian Pertanian. Pengembangan kelembagaan pengelolaan
HCVA kedepannya diharapkan dapat membentuk multistakeholder forum.
Kelembagaan pengelola yang melibatkan seluruh stakeholder terkait dengan
kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap stakeholder guna
111
mempertahankan optimalisasi aliran fungsi ekologi HCVA (HCV 1, HCV 2, dan
HCV 3), jasa lingkungan (HCV 4) dan HCV yang terkait sosial ekonomi dan
budaya (HCV 5 dan HCV 6).
Dasar pengelolaan HCVA bersifat partisipatif karena peraturan dan
perundang-undangan yang berlaku tidak ada secara langsung yang menyatakan
pengelolaan HCVA atau tidak menggunakan terminologi HCVA, meskipun
tanggung jawab pengelolaan sepenuhnya dibebankan oleh perusahaan sebagai
penerima hak atas tanah. Komponen HCVA merupakan satu set pengelolaan
terpadu meliputi ekologi, ekonomi dan sosial budaya dimana perusahaan tidak
mendapatkan penerimaan secara riil dari pengelolaan tersebut. UU Nomor 32
Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup Pasal 70
Ayat 1 menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama
dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup. Pasal 70 Ayat 2 menyatakan bahwa peran masyarakat dapat
berupa:
1. Pengawasan sosial;
2. Pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
3. Penyampaian informasi dan/atau laporan.
Selanjutnya Ayat 3 menyatakan bahwa peran masyarakat dilakukan untuk:
1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
3. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
4. Menumbuhkembangkan ketanggapapam masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan
lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.
UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya Pasal 37 Ayat 1 menyatakan bahwa peran serta rakyat dalam
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan
oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.
Berdasarkan kedua undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan
HCVA semestinya bersifat partisipatif. Hasil analisis stakeholder menyebutkan
112
posisi GAPKI, Perkebunan Kelapa Sawit dan Sawit Watch sebagai key player
semestinya terbangun kemitraan dalam pengelolaan. Hasil wawancara dengan
pimpinan Sawit Watch menyebutkan bahwa kebijakan Sawit Watch saat ini belum
memungkinkan untuk bekerjasama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit,
meskipun sangat berkepentingan dengan pengelolaan HCVA. Sawit Watch bisa
berperan aktif sebagai pengawasan sosial, sumbangsih saran dan pendapat (sesuai
dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkngan Hidup Pasal 70 ayat 2).
Partisipasi pengelolaan HCVA sementara ini sudah terbangun antara
perusahaan perkebunan dengan kebun plasma yang sama-sama ingin
mendapatkan sertifikasi SPO. Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan
HCVA dilihat dari kesediaan masyarakat untuk membayar (willingnes to
pay/WTP) dengan memberikan sejumlah iuran dana pengelolaan keberadaan
HCVA, meskipun HCVA tersebut berada dalam areal perusahaan. Hal ini terkait
adanya kesadaran masyarakat bahwa keberadaan HCVA memberikan manfaat
sosial langsung untuk tipe nilai guna langsung seperti rotan, ikan, madu, dan
lainnya serta nilai pilihan (biodiversitas) dengan harapan anak cucu mereka bisa
menyaksikan dan menikmati manfaat keberadaan flora fauna yang ada di sekitar
kawasan HCVA.
c. Memberikan dukungan pemenuhan harga kompensasi yang rational dan
feasible bagi perusahaan dan kebun sawit plasma tersertifikasi
berkelanjutan dengan mekanisme PES.
Isu keadilan dan kesejahteraan bagi petani sawit plasma yang digaungkan
dan diadvokasi oleh sejumlah LSM seperti Sawit Watch semestinya tidak akan
terjadi jika harga output (harga TBS maupun CPO) yang diterima perusahaan adil
dan rasional sebagai bentuk kompensasi atas pengelolaan HCVA. Harga TBS
yang rasional dan layak sehingga isu keadilan dan kesejahteraan mungkin tidak
akan terjadi. Hal ini bisa dibuktikan di kebun plasma di PT. IIS Kebun Buatan
yang notabene petani plasma mendapatkan premium price tercipta kerjasama dan
kemitraan yang solid antara perusahaan dengan petani plasma. Premium price
yang tidak rasional dan layak akan mudah menciptakan friksi, gejolak sosial, dan
atau konflik kepentingan antara perusahaan dengan masyarakat secara luas. Para
113
stakeholder seharusnya memahami bahwa postulat ekonomi (inti bisnis) yaitu
maksimasi keuntungan. Perusahaan merupakan lembaga yang berorientasi profit
(profit oriented) umumnya tidak akan bersedia jika kehilangan keuntungan dari
usaha mereka dengan melakukan pengelolaan HCVA tanpa mendapatkan
kompensasi.
Keberatan perusahaan terletak pada tambahan biaya pengelolaan dan
kehilangan produksi, sementara itu manfaat keberadaan HCVA tidak secara riil
dinikmati oleh perusahaan. Perusahaan yang menjadi obyek penelitian
menyatakan keberatannya dalam pengelolaan HCVA jika tidak mendapatkan
kompensasi. Faktanya ada juga perusahaan seperti Astra Agro Group melakukan
pengelolaan HCVA tanpa berharap terlalu besar mendapatkan premium price
karena memang tidak melakukan sertifikasi RSPO. Perusahaan tersebut
melakukan pengelolaan HCVA atas dasar motif good will (kemauan baik).
Hampir sebagian perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA melakukan
pengelolaan HCVA atas dasar motif good will dan corporate image karena
inisiatif pengelolaan HCVA akan memberikan manfaat jangka panjang bagi
perusahaan.
Keberadaan HCVA di perkebunan kelapa sawit memilik kecenderunagn
sebagai barang publik yang manfaatnya bisa dinikmati oleh siapa saja yang tidak
hanya terbatas masyarakat lokal sekitar perusahaan. Nilai guna langsung dan nilai
guna tidak langsung berupa aliran barang dan jasa ekosistem seperti penyerapan
karbon dan lainnya merupakan manfaat yang bisa dinikmati oleh seluruh
masyarakat global, apalagi saat ini mekanisme perdagangan karbon sudah ada dan
beberapa diantara sudah terjadi transaksi perdagangan karbon. Hal ini sesuai
dengan tujuan HCVA sebagai pengelolaan kawasan konservasi pada tingkat lokal,
regional maupun global.
Keberadaan HCVA memang memiliki nilai ekonomi total (Total
Economic Value/TEV), namun bersifat potensial bukan riil atau aktual yang bisa
diterima oleh perusahaan. Hal inilah yang juga menjadi salah satu kendala bagi
perusahaan untuk menutup kehilangan profit atas pengelolaan HCVA. Skema
menangkap nilai ekonomi total (capturing TEV) HCVA yang merupakan nilai
ekonomi dari barang dan jasa yang belum memiliki harga pasar. Nilai TEV bisa
114
ditangkap dengan menggunakan mekanisme perdagangan (trading mechanisme)
yang sudah ada seperti PES (Payment Environemntal Services).
Hasil wawancara dengan narasumber manajemen perusahaan perkebunan
(PT. IIS Kebun Buatan) menyatakan bahwa skema capturing TEV HCVA yang
paling potensial dan memungkinkan untuk bisa diimplementasikan adalah melalui
mekanisme PES. Mekanisme PES awalnya diperkenalkan oleh Pagiola dengan
melihat resultan dari perbandingan nilai dari suatu kawasan hutan jika
dikonservasi atau dikonversi. Formula penentuan PES yang dirumuskan oleh
Pagiola sebagai berikut:
Minimal Nilai Kompensasi (PES) = Nilai Konversi – Nilai Konservasi
Maksimum Nilai Kompensasi (PES) = TEV HCVA
Penentuan nilai Payment Environmental Services dalam tataran prakteknya
berupa nilai kompensasi. Nilai kompensasi ini dihasilkan dari pengurangan nilai
konversi dengan nilai konservasi atau jika suatu kawasan dipertahankan. Formula
di atas menunjukkan bahwa minimal nilai kompensasi sebagai manifestasi nilai
Payment Environmental Services adalah selisih antara nilai konversi dengan nilai
konservasi. Kawasan yang dipertahankan keberadaannya atau dikonservasi karena
suatu alasan dan kebutuhan untuk perlindungan dan pelestarian flora fauna
memiliki besaran nilai minimum kompensasi yang semestinya diterima oleh palm
oil grower (perusahaan perkebunan). Nilai ini adalah selisih antara nilai konversi
dengan nilai konservasi. Sebaliknya maksimum nilai PES adalah nilai dari
konservasi. Nilai konservasi diasumsikan sebagai nilai TEV.
Kalangan pengusaha perkebunan memahami bahwa kawasan yang
dikonservasi dinilai tidak memberikan nilai ekonomi langsung bagi pengelola,
padahal kawasan konservasi memiliki nilai ekonomi tinggi dari aliran barang dan
jasa ekosistem yang dihasilkannya. Nilai ekonomi dari kawasan konservasi tidak
bersifat nilai aktual. Hal ini dikarenakan kawasan konservasi umumnya
menghasilkan aliran barang dan jasa yang belum memiliki harga pasar atau belum
diperdagangkan di pasar. Valuasi nilai konservasi didekati dari nilai ekonomi total
(TEV) suatu kawasan baik yang bersifat tangible maupun intangible atau
mengacu pada penjumlahan berbagai nilai langsung maupun nilai tidak langsung
115
serta nilai non guna. Nilai-nilai tersebut terefleksikan dalam teori nilai ekonomi
total yang dikemukan oleh Barbier (1991) dan Pierce (2001).
Hasil perhitungan pada analisis biaya manfaat tanpa memasukkan nilai
ekonomi potensial TEV HCVA menunjukkan bahwa pilihan with HCVA tanpa
premium price memberikan nilai manfaat bersih (net benefit) sebesar
Rp 655.616.430.602,00 per siklus dan nilai without HCVA sebesar
Rp 667.346.030.004,00 per siklus dengan selisih sebesar Rp 11.729. 599.402,00
per siklus. Nilai ekonomi untuk with+0.35% memberikan net benefit sebesar
Rp 664.005.845.480,00 per siklus. Selisih net benefit antara nilai konversi
(without HCVA) dengan nilai with +0.35% sebesar Rp 3.340.184.524,00 per
siklus. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi pilihan without HCVA+
0.35% ternyata belum mampu untuk menutup biaya korbanan dari perusahaan
untuk pengelolaan HCVA. Harga kompensasi (premium price) sebesar 0.35%
belum mampu memberikan economic return yang fair dan rational bagi
perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan.
Skema capturing TEV HCVA harusnya mampu meng-cover selisih
sebesar Rp 11.729. 599.402,00 per siklus atau Rp 3.340.184.524,00. Nilai tersebut
merupakan profit yang hilang atas pengelolaan HCVA. Jika diasumsikan bahwa
nilai premium price +0.35% sebagai bentuk PES, menunjukkan nilai tersebut juga
masih tidak fair dan rasional karena nilai premium price tersebut hanya mampu
menutup kerugian/kehilangan keuntungan sebanyak 71.52%.
Nilai konversi dalam kasus ini adalah nilai ekonomi suatu kawasan jika
dikonversi menjadi lahan/kawasan kebun yang produktif (kelapa sawit) atau tanpa
pengelolaan HCVA. Pertanyaan selanjutnya siapa yang akan memberikan nilai
kompensasi tersebut? Payment Enviromental Services (PES) atau Pembayaran
Jasa Lingkungan (PJL) adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan
konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa
lingkungan adalah mereka yang harus membayar, dan siapa yang menghasilkan
jasa tersebut harus dikompensasi.
116
Gambar 15. Skema ilustrasi PES Pagiola
Mekanisme PES menunjukkan bahwa penerimaan pembayaran tergantung
dari kemampuan mereka untuk menyediakan jasa lingkungan yang diinginkan
atau melakukan suatu kegiatan yang sifatnya dapat menghasilkan jasa lingkungan.
Mekanisme PES juga didefinisikan oleh Wunder (2005) yang menyebutkan PES
sebagai "Transaksi sukarela dari jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas,
atau pemanfaatan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut, dibeli oleh paling
tidak oleh satu pemanfaat jasa lingkungan, dari minimum satu penyedia jasa
lingkungan, jika dan hanya jika penyedia dapat menjamin suplai yang terus
menerus dari jasa lingkungan tersebut (Merupakan persyaratan atau
kondisionalitas)". PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk
menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami
degradasi, akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa
lingkungan, dan juga kurangnya mekanisme kompensasi.
HCVA merupakan sebuah area yang memiliki nilai konservasi tinggi yang
memiliki fungsi ekologis yang beragam sesuai dengan tipe ekosistem yang ada.
Aliran barang dan jasa ekosistem belum memiliki nilai pasar, sehingga
meyebabkan keberadaan HCVA hanya sebagai sebuah kawasan yang tidak bisa
mendatangkan manfaat yang aktual bagi perusahaan perkebunan. Usaha
perkebunan kelapa sawit merupakan usaha komersial yang sebagian besar
berorientasi pada kegiatan ekspor untuk memenuhi permintaan pasar global.
Minimal
Nilai PES
Maksimum
Nilai PES
TEV HCVA
Rp 9.87
milyar/siklus
TEV HCVA
Rp 9.87
milyar/siklus
Nilai Konversi
(without
HCVA)
(Rp 667,35
milyar /siklus)
Nilai
Konservasi
(With HCVA
non PP)
(Rp 655,62
milyar/siklus)
Gap (Rp
11.73
milyar/siklus)
117
Pembeli (buyer) minyak kelapa sawit biasanya adalah palm oil processors and
traders. Buyer di pasar global semestinya mengenakan harga yang berbeda bagi
produk-produk minyak kelapa sawit yang bersertifikat berkelanjutan yang bisa
dinegoisasikan dan dimediasi oleh RSPO sebagai lembaga pensertifikasi minyak
kelapa sawit berkelanjutan. Perbedaan harga diperuntukkan bagi produk minyak
kelapa sawit yang melakukan praktek usaha perkebunan yang bertanggung jawab
kepada kesejahteraan masyarakat sekitar, tenaga kerja, dan lingkungan dan atau
melakukan pengelolaan HCVA. Perusahaan yang ramah lingkungan dan peduli
dengan kelestarian alam serta menjaga dan melestarikan biodiversitas yang ada di
sekitar dan dalam areal konsesinya. Perbedaan harga bisa didasari atas nilai
kompensasi (PES) dari pengelolaan HCVA.
Nilai kompensasi (PES) tersebut seharusnya menjadi perhatian bagi para
buyer. Nilai kompensasi (PES) tersebut bisa dianggap sebagai bentuk internalisasi
social cost dan environmental cost pada harga beli sawit di pasar global yang
selanjutnya harga tersebut dinamakan premium price. Harga beli sawit dinaikkan
karena adanya tambahan biaya pengelolaan HCVA (social cost dan environmental
cost) sebagai dasar penentuan price differentiation. Hal ini akan memberikan
semangat bagi grower untuk aktif menangkap isu lingkungan dengan melakukan
pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, meskipun perusahaan
sawit sudah memiliki dokumen AMDAL, RPL dan RKL. Kegiatan pengelolaan
HCVA bukan semata kegiatan charity perusahaan bagi alam, tetapi perusahaan
mendapatkan kompensasi atas imbal balik ekonomi (economic return) atas usaha
dan investasi dalam pengelolaan HCVA sebagai bentuk “aksi kesukarelaan
(voluntary)‟‟. Minimal perusahaan tidak mengalami kerugian atau kehilangan
pendapatan yang signifikan.
Tidak adanya kompensasi dalam pengelolaan HCVA seperti dalam bentuk
premium price akan mendorong para pengusaha perkebunan (palm oil grower)
untuk melakukan pengelolaan HCVA hanya sebatas formalitas dan atau hanya
sebatas melaksanakan mandate (memenuhi persyaratan) saja. Tidak adanya
kompensasi dan atau rendahnya nilai kompensasi akan mendorong para
perusahaan enggan melakukan pengelolaan HCVA di areal yang menjadi konsesi
mereka. Hal ini terkait tidak adanya regulasi yang khusus mengatur kewajiban
118
pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Faktor pendorong palm oil
grower enggan melakukan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan disebabkan
oleh tiga hal:
1) Tambahan biaya pengelolaan HCVA bagi perusahaan
2) Kehilangan sebagian areal kebun sawit produktif
3) Serapan produk minyak kelapa sawit yang tidak tersertifikasi lebih besar dari
serapan produk yang bersertifikat berkelanjutan seperti pasar Pakistan, India,
dan China.
Nilai kompensasi atas pengelolaan HCVA dan sertifikasi minyak kelapa
sawit bisa menjadi stimulan dan komitmen bersama para pihak untuk menjaga
kelestarian lingkungan global. Pengelolaan HCVA merupakan bentuk refleksi
kepedulian perusahaan terhadap isu-isu lingkungan khusunya atas kehilangan
biodiversitas dan climate change. Hal ini semestinya tidak hanya menjadi
kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit, tetapi juga menjadi
fokus bagi masyarakat dunia khususnya buyer yang membutuhkan produk yang
menggunakan bahan minyak kelapa sawit khususnya yang bersertifikat
berkelanjutan.
Realisasi strategi tersebut perlu dukungan stakeholder berupa dukungan
pemberian harga kompensasi yang rasional yang adil dan layak bagi petani plasma
dan perusahaan inti. Perusahaan perkebunan, KUD Kebun Plasma, dan GAPKI
seharusnya bersama-sama melakukan advokasi dan lobi kepada pemerintah untuk
mematok harga kompensasi bagi importir minyak kelapa sawit Indonesia yang
tersertifikasi berkelanjutan. Stakeholder tersebut juga bisa mendorong Pemerintah
Indonesia untuk mengajukan penawaran harga kompensasi kepada pasar-pasar
yang menerapkan kebijakan konsumsi minyak sawit yang ramah lingkungan
seperti pasar Uni Eropa.
d. Mendorong Peningkatan Status HCVA sebagai Kawasan Lindung.
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa Kawasan Lindung adalah kawasan
yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian Lingkungan Hidup
yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya
119
bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan HCVA
bersifat voluntary sebagai bagian sertifikasi RSPO dan belum terakomodir dalam
peraturan dan perundang-undangan yang ada tentu saja belum ada ketetapan
mengenai status hukum nya.
Keberadaan HCVA memenuhi kriteria atau sesuai dengan definisi
kawasan lindung, maka sudah seharusnya HCVA mendapatkan peningkatan status
HCVA sebagai kawasan lindung, meskipun tanggung jawab pengelolaan tetap ada
di bawah Perusahaan sebagai pemegang hak atas tanah tersebut (UU No. 5 Tahun
1990). Ayat 2 dalam Kepres tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan
Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan
pengendalian pemanfaatan kawasan lindung, sedangkan pasal 2 Ayat 1
menyebutkan pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya
kerusakan fungsi lingkungan hidup dan Ayat 2 Sasaran Pengelolaan kawasan
lindung adalah :
1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa
serta nilai sejarah dan budaya bangsa;
2. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan
keunikan alam.
Keppres tersebut juga sejalan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 67 dan pasal 68
menyatakan bahwa setiap orang dan orang yang melakukan usaha/kegiatan
(perkebunan) berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
HCVA (HCV 1 s.d HCV 6) yang terdiri atas 3 komponen utama yaitu
ekologi (pelestarian biodiversitas dan lingkungan hidup), jasa lingkungan dan
sosial budaya sangat sesuai dengan sasaran pengelolaan kawasan lindung (Kepres
No. 32 Pasal Ayat 2). Definisi kawasan lindung dalam Kepres No. 32 Tahun 1990
yang menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan
dimana peraturan tersebut juga telah membahas dan menyebutkan siapa yang
harus menetapkan kawasan lindung, yaitu pemerintah daerah tingkat I atau II.
Dasar penetapan HCVA sebagai kawasan lindung untuk mencegah
kerusakan atau kehilangan fungsi ekologi dan sosial budaya dari keberadaan
120
HCVA di bawah tanggung jawab perusahaan. Undang-undang Nomor 26 tahun
2007 tentang Tata Ruang dan Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolan
Kawasan Lindung mendorong penetapan kawasan lindung dengan pertimbangan
bahwa untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang
berkelanjutan dan terpeliharanya fungsi pelestarian, upaya pengaturan dan
perlindungan diatas perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pembangunan pola tata
ruang. Kebijaksanaan pembangunan pola tata ruang tersebut perlu ditetapkan
adanya kawasan lindung dan pedoman pengelolaan kawasan lindung yang
memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan. Undang-undang dan peraturan yang ada
sudah sangat jelas menyatakan perlunya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang memiliki fungsi ekologi dan sosial budaya yang penting
bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan pemenuhan kesejahetraan masyarakat
luas, meskipun tidak secara jelas menggunakan terminologi HCVA. Bentuk
kawasan lindung yang paling sesuai dengan kondisi HCVA adalah Kawasan
Perlindungan Setempat, seperti Sempadan Pantai, Sempadan Sungai, Kawasan
Sekitar Danau/Waduk, dan Kawasan Sekitar Mata Air dan Kawasan Cagar
Budaya dan Ilmu Pengetahuan jika HCV tersebut merupakan situs arekologi
dan atau situs budaya yang penting bagi identitas budaya lokal. Tipe ekosistem
atau bentuk HCVA di perkebunan kelapa sawit relatif beragam. Tipe ekosistem
ini juga relatif sesuai dengan komponen kawasan perlindungan setempat dan
kawasan suaka alam dan cagar budaya (khususnya kawasan cagar budaya dan
ilmu pengetahuan) yang disebutkan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990.
Kebutuhan peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung adalah untuk
mengindari atau mencegah munculnya klaim “lahan terlantar” atau lahan yang
produktif yang tidak dikembangkan/diusahakan. Hasil wawancara dengan GAPKI
terlihat bahwa beberapa kawasan HCVA dianggap/dipersepsikan sebagai lahan
terlantar oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) karena tidak adanya kejelasan
status lahan meskipun dikelola oleh perusahaan. HCVA sebagai lahan yang tidak
diusahakan bisa memicu okupasi atau menimbulkan konflik tenurial (lahan) bagi
masyarakat yang ingin melakukan ekspansi lahan kebun sawit. Permasalahan ini
juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena ketidakjelasan status
121
kawasan yang telah diidentifikasi sebagai HCVA di areal perkebunan kelapa
sawit.
Adanya peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung dengan
jaminan kepastian hukum yang jelas. Usaha perlindungan dan pengelolaan HCVA
diproyeksikan akan berjalan dengan baik dan meningkat serta mampu menjaga
optimalisasi aliran barang dan jasa lingkungan dari kawasan HCVA. Pemberian
harga kompensasi (premium price) akan menjadi lebih rasional (bahan
pertimbangan) bagi para buyers dan users (konsumen) dari minyak kelapa sawit
yang bersertifikat berkelanjutan (certified sustainable plam oil/CSPO) karena
adanya kejelasan status pengelolaan HCVA.
Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak dari stakeholder
terkait dengan fungsi dan peran masing-masing untuk terus mengawal usaha
perlindungan dan pengelolaan HCVA. Hal ini merupakan usaha bersama untuk
mencegah kehilangan/kepunahan biodiversitas dan menangkal isu climate change
serta menghargai sosial budaya masyarakat lokal dan mempertahankan
lingkungan hidup yang lestari. Premium price sebagai bentuk kompensasi yang
seharusnya “wajib” diberikan bagi perusahaan yang melakukan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup yang termanifestasi melalui pengelolaan HCVA.
Boer et al. (2012) menyatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan lingkungan
seperti HCVA seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab palm oil grower
tetapi juga palm oil buyers (customers). Lebih lanjut lagi Boer et al. (2012)
menyatakan bahwa sejumlah premium price yang rasional diperlukan untuk
mengkompensasi kerugian atau kehilangan profit akibat pengurangan area karena
pengelolaan HCVA.
e. Meningkatkan performance pengelolaan HCVA
Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan secara sederhana bisa
dilihat dengan menggunakan indikator pengelolaan lingkungan secara baik dan
bertanggung jawab melalui pengelolaan HCVA. Pengelolaan HCVA sebagai
prasyarat sertifikasi RSPO telah mendapatkan harga kompensasi (premium price
0.35%), meskipun kurang rasional dan feasibel bagi perusahaan. Pengelolaan
HCVA membangkitkan potencial benefit lainnya jika pengelolaannya
menunjukkan permorfa yang cemerlang. Perusahaan perkebunan perlu didorong
122
untuk meningkatkan performanya dalam pengelolaan HCVA dalam rangka
mewujudkan good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik).
Potencial benefit bagi perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA selain
premium price adalah sebagai berikut:
1. Memantapkan izin sosial (social permit)
Pengelolaan HCVA memberikan kemudahan dalam izin sosial (social permit)
dan legitimasi dari masyarakat sekitar bahwa perusahaan respek terhadap
kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Hal ini terefleksikan dari
HCV 5 dan 6 dimana perusahaan sangat peduli dengan persoalan pemenuhan
kebutuhan pokok masyarakat sekitar dan pelestarian situs bersejarah, situs
arkeologi dan tradisi budaya masyarakat lokal. Manfaat sosial dari
pengelolaan HCVA tersebut bisa terus menjadi modal sosial perusahaan
(social capital) untuk menjaga keberlanjutan bisnis (sustainable business)
perusahaan dan mewujudkan good corporate governance (tata kelola
perusahaan yang baik).
2. Nilai ekonomi potensial (TEV)
Pengelolaan HCVA mendatangkan nilai ekonomi bagi perusahaan meskipun
sifatnya potensial bukan aktual.
3. Peluang untuk mendapatkan sertifikasi lainnya.
Pengelolaan HCVA tidak hanya bertujuan untuk memenuhi sertifikasi RSPO.
Potencial benefit yang lain dari pengelolaan HCVA dan sangat prospektif
kedepannya adalah sertifikasi International Sustainibility & Carbon
Certification (ISCC). ISCC (International Sustainability and Carbon
Certification) merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama
untuk membuktikan sustainability, traceability dan penghematan dari efek gas
rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass (energi yang terbarukan),
memberikan pembuktian yang positif setelah beroperasi selama setahun.
Sertifikasi ISCC dikeluarkan oleh SGS Germany, yaitu sebuah perusahaan
global yang bergerak di bidang inspeksi, verifikasi, pengujian dan sertifikasi.
Badan Federal Pertanian dan Pangan Jerman (BLE) telah mengakui dan
memberikan wewenang kepada SGS Germany untuk melakukan sertifikasi
produksi biomass. CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan
123
premium sekitar US$20 – US$30 per ton dari harga di pasar dunia. Asian Agri
mampu menyediakan minyak sawit sesuai dengan Standar Energi Terbarukan
Uni Eropa (EU Renewable Energy Directive) (Wiji 2012). Manager PT. IIS
Kebun Buatan menyatakan bahwa untuk mendapatkan sertifikat ISCC sangat
mudah bagi perusahaan yang sudah tersertifikasi RSPO dan sudah melakukan
pengelolaan HCVA secara optimal.
4. Corporate image
Pengelolaan HCVA yang baik dan benar juga secara tidak langsung
merupakan bentuk politik pencitraan perusahaan (corporate image) agar
diterima oleh masyarakat lokal bahkan oleh masyarakat dunia (pasar) dengan
memiliki opportunity dalam bentuk penetrasi pasar yang luas. Pengelolaan
HCVA dan tersertifikasi berkelanjutan bisa menjadi alat untuk meningkatkan
citra perusahaan “ramah lingkungan”. HCVA mampu menarik persepsi
masyarakat secara luas akan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab
pelestarian lingkungan. Pengelolaan HCVA yang baik dan benar akan
menciptakan kepercayaan (trust) bagi buyers dan masyarakat global akan
kinerja baik perusahaan. Kepercayaan dari buyers dan konsumen juga
memiliki nilai intrinsik, meskipun sulit untuk diuangkan.Strategi pencapaian
pengelolaan HCVA di atas perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai
berikut:
a. Meningkatkan kegiatan sosialisasi HCVA
Pengelolaan HCVA yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan
kelapa sawit belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Kurangnya
informasi ini tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar bagi
perusahaan selaku pengelola, padahal pengelolaan HCVA membutuhkan
sumberdaya yang relatif cukup besar baik dari sisi sumberdaya finansial
maupun sumberdaya manusia. Hal ini juga akan menyebabkan citra yang
kurang baik bagi perusahaan kelapa sawit terkait isu keberlanjutan.
Pengelolaan HCVA merupakan manifestasi mekanisme pembangunan
berkelanjutan di perkebunan kelapa sawit yang semestinya diketahui
masyarakat luas.
124
Perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA diyakini akan mampu
meningkatkan citra positif bagi perusahaan. Bagi perusahaan yang melakukan
pengelolaan HCVA juga bisa mendapatkan penilaian dari masyarakat sebagai
perusahaan dengan reputasi yang ramah lingkungan dan peduli masyarakat
sekitar bahkan perusahaan tersebut bisa memiliki keuntungan berupa penetrasi
pasar untuk produk kelapa sawit yang lebih luas. Keuntungan lainnya adalah
resistensi pasar bisa direduksi dengan tata kelola perkebunan yang baik
melalui pengelolaan HCVA.
Mengingat pentingnya informasi pengelolaan HCVA, perusahaan
kelapa sawit perlu melakukan sosialisasi yang lebih intensif bagi masyarakat
luas yang tidak hanya terbatas bagi masyarakat sekitar lokasi. Peningkatan
kegiatan sosialisasi bagai masyarakat sekitar selain petani plasma berguna
untuk meningkatkan perhatian dan kepedulian dalam pengelolaan HCVA. Hal
ini sudah terbukti dari kesediaan membayar (Willingness To Pay) masyarakat
sekitar untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengetahuan dan informasi
yang cukup bagi masyarakat sekitar akan mendorong efektivitas dan
keberhasilan pengelolaan HCVA.
Kegiatan sosialisasi juga harus ditujukan bagi masyarakat global yang
mengkonsumsi dan menggunakan bahan atau produk minyak kelapa sawit.
Pengetahuan masyarakat yang cukup akan kebutuhan pengelolaan HCVA
akan meningkatkan kepedulian konsumen dan perdagangan minyak kelapa
sawit. Kepedulian tersebut nantinya bisa mendorong kemauan pedagang dan
konsumen untuk membayar dengan premium price bagi produk kelapa sawit
yang ramah lingkungan dan atau menerapkan pengelolaan HCVA di areal
perkebunannya.
b. Meningkatkan program capacity building
Pengelolaan HCVA yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa
sawit membutuhkan sumberdaya manusia yang handal. Pengelola HCVA harus
benar-benar memahami dan mengetahui secara holistik mengenai manajemen
kawasan konservasi, fungsi ekologi, dan pola interaksi serta sistem sosial budaya
masyarakat lokal dengan kawasan khususnya HCVA. Manajemen perusahaan
perlu melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kapasitas (capacity
125
building) sumber daya manusianya khususnya yang terkait dengan pengelolaan
HCVA.
Program capacity building bisa dilakukan melalui peningkatan intensitas
program pendidikan dan pelatihan manajemen pengelolaan HCVA dan ilmu-ilmu
pengetahuan yang terkait serta melalui field study dan field trip. Hal ini
disebabkan karena kompleksitas HCVA, sehingga pengetahuan yang harus
dimiliki oleh staf pengelola HCVA bersifat multidisplin. Hal ini juga terkait
keanekaragaman jenis dan tipe ekosistem, keanekargaman hayati, dan sistem
sosial budaya masyarakat serta pola interaksinya terkait dengan kawasan yang
ditentukan sebagai HCVA. Program capacity building ini bisa melibatkan banyak
stakholder terkait pengelolaan HCVA seperti Sawit Watch, GAPKI dan
kelembagaan lainnya yang bergerak di bidang capacity building.
c. Meningkatkan dukungan untuk premium price yang rasional dan wajar
Keberadaan GAPKI sebagai organisasi asosiasi pengusaha perkebunan
kelapa sawit yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terkait
pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan merupakan keuntungan
yang sangat besar. GAPKI sebagai organisasi pengusaha kelapa sawit Indonesia,
yang merupakan produsen terbesar di dunia, memiliki posisi tawar (bargaining
position) yang kuat dalam memperjuangkan premium price. Keberadaan GAPKI
bisa dimanfaatkan sebagai fasilitator dan atau mediator untuk mendapatkan
premium price yang wajar dan rasional. GAPKI memiliki kapasitas dan kekuatan
yang cukup untuk mempengaruhi pengusaha lainnya untuk menjual produk kelapa
sawit mereka dengan premium price serta menekan pedagang dan pembeli minyak
kelapa sawit untuk membeli dengan premium price bagi perkebunan yang
melakukan pengelolaan HCVA.
Nilai premium price yang wajar dan rasional tidak hanya dinikmati oleh
perusahaan, namun keuntungan premium price juga turut dirasakan petani plasma.
Premium price yang wajar dan rasional akan mendorong peningkatan harga beli
TBS dari petani. Hal ini tentu saja akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan
petani plasma dengan adanya peningkatan pendapatan petani plasma. Harga
premium yang wajar dan layak diberikan kepada kebun inti dan plasma yang
sudah tersertifikasi RSPO sebagai bentuk kompensasi atas pengelolaan HCVA.
126
Dukungan kenaikan premium price bagi perkebunan yang melakukan
pengelolaan HCVA tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada GAPKI. Butuh
dukungan pemerintah Indonesia sebagai regulator pembangunan perkebunan di
Indonesia. Akumulasi sumberdaya dari GAPKI dan pemerintah Indonesia akan
meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan premium price. Perusahaan
perkebunan harus terus aktif mengkampanyekan, mengadvokasi dan mendorong
GAPKI untuk memperjuangkan premium price bagi anggotanya yang sudah
tersertifikasi RSPO dengan melakukan pengelolaan HCVA.
d. Memfasilitasi pertemuan dengan stakholder terkait dalam rangka
peningkatan status kawasan HCVA sebagai kawasan lindung
Satus yang disandang HCVA menyebabkan keberadaannya hanya sebagai
prasyarat bagi perkebunann yang menghendaki sertifikasi RSPO. Tidak jarang
keberadaan HCVA memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. HCVA
yang memiliki fungsi tersebut perlu mendapatkan prioritas dalam perlindungan
dan pelestariannya. Peraturan dan perundang-undangan nasional juga sudah jelas
menyebutkan bahwa kawasan yang memiliki fungsi sebagai sistem penyangga
kehidupan upaya perlindungannya diatur dan ditertibkan oleh pemerintah (UU
Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya). Perlindungan kawasan yang berfungsi sebagai sistem penyangga
kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang
kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu
kehidupan manusia. Kawasan HCVA yang memenuhi kriteria perlu mendapatkan
status perlindungan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) dan atau
Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana diatur dalam
Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung.
Penjelasan HCV 1 s.d HCV 3 pada bab sebelumnya terkait dengan
ekologi, HCV 4 terkait jasa lingkungan dan HCV 5 dan HCV6 terkait sosial
budaya bisa ditujukan sebagai dasar pertimbangan untuk peningkatan status
kawasan lindung tersebut. Pengelolaan HCVA di perkebunan ditujukan untuk
keberlanjutan dengan menerapkan praktek-praktek pembangunan perkebunan
yang ramah lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Hal ini
127
sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan lindung yaitu untuk mencegah
timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pengelolaan kawasan lindung
bersinergi dengan pengelolaan HCVA.
Perwujudan peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung
perusahaan kelapa sawit perlu difasilitasi dengan serangkaian pertemuan antara
pemerintah terkait (Cq: Kementerian Kehutanan, Kementrian Pertanian dan
Kementerian Lingkungan Hidup) serta organisasi non pemerintah seperti GAPKI.
Pertemuan tersebut seharusnya melibatkan LSM seperti Sawit Watch, WWF dan
lainnya untuk membahas status kawasan HCVA. Penentuan status kawasan
lindung bagi HCVA tentu saja harus memenuhi semua persyaratan dan kriteria
serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.
Kriteria Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) sangat sesuai dengan
komponen HCVA yang biasanya ada di perusahaan perkebunan kelapa sawit.
Penetapan kawasan lindung membutuhkan dukungan Kementerian terkait,
meskipun kriteria KPS dengan HCVA di perkebunan kelapa sawit relatif sama.
Hal ini disebabkan terminologi HCVA belum diakomodir dalam peraturan dan
perundang-undangan nasional.
e. Meningkatkan kerjasama dan kemitraan pengelolaan HCVA
Pengelolaan HCVA tidak hanya terbatas pada pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan HCVA juga sangat terkait dengan pengelolaan masyarakat sekitar
yang memiliki interaksi yang tinggi dengan kawasan HCVA. Status yang belum
jelas yang disandang HCVA menyebabkan pengelolaannya disinyalir kurang
optimal mengingat kompleksitas permasalahan dan kebutuhan dalam pengelolaan
HCVA, sedangkan perusahaan adalah perusahaan yang berorientasi pada profit.
Perusahaan perkebunan selaku pengelola HCVA perlu meningkatkan kerjasama
dan kemitraan dengan stakeholder terkait yang bisa mendorong peningkatan
performa pengelolaan HCVA.
Kerjasama dan kemitraan pengelolaan HCVA semestinya tidak hanya
terbatas pada GAPKI, kelembagaan pemerintah tetapi semestinya melibatkan
lembaga yang bergerak di bidang konservasi dan sosial masyarakat seperti Sawit
Watch, WWF, dan lainnya serta perguruan tinggi. Banyaknya kerjasama dan
kemitraan pengelolaan akan memberikan manfaat dukungan pengelolaan HCVA
128
yang lebih kuat lagi. Kerjasama dan kemitraan bisa dalam hal penelitian,
pemberdayaan masyarakat serta pendidikan dan pelatihan.
Pencapaian strategi pengelolaan HCVA membutuhkan komitmen yang
kuat dari perusahaan sendiri selaku pengelola serta kemauan dan dukungan dari
stakeholder terkait khususnya pemerintah yang membidangi perlindungan
lingkungan hidup dan konservasi kawasan. Komitmen yang kuat dari perusahaan
bisa diwujudkan dalam hal pendanaan pengelolaan HCVA. Pendananan
pengelolaan HCVA sudah sewajarnya dipenuhi oleh perusahaan karena
perusahaan perkebunan selaku pemegang hak atas tanah. Komitmen yang kuat
dari perusahaan akan mampu meningkatkan kepercayaan stakeholder terkait
untuk peningkatan status kawasan HCVA dan mendorong pemenuhan premium
price yang rasional dan wajar.
129
VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan
bahwa:
1. Estimasi Total Economic Value (TEV) HCVA di perusahaan perkebunan
kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.321.847.970 per tahun
atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun. Komponen nilai guna
langsung dari kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan diestimasi sebesar
Rp 1.202.505.810,00 per tahun atau sebanyak Rp 13.367.117,00 per
ha/tahun, nilai guna tidak langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00
per tahun dan nilai pilihan (biodiversitas) hanya sebesar Rp 1.625.260,00
per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar Rp 39.440.520,00 per
tahuan (WTP masyarakat). Nilai ekonomi total merupakan nilai potensial,
bukan nilai aktual. Oleh karena itu diperlukan skema trading mechanism
untuk menangkap nilai tersebut dalam rangka mengaktualisasikan nilai
TEV HCVA tersebut.
2. Analisis finansial pilihan pengelolaan with dan without HCVA di
perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan (discount factor 15%)
menunjukkan nilai NPV positif atau layak secara finanasial. Analisis
finansial PT. IIS Kebun Buatan memberikan nilai NPV sebesar
Rp 667.346.030.004,00 per siklus (IRR sebesar 43.29% dan BCR sebesar
1.38) untuk pilihan without HCVA. Pilihan pengelolaan with HCVA non
Premium price secara finansial juga sangat menguntungkan dengan nilai
NPV sebesar Rp 655.616.430.602,00 per siklus dan nilai IRR sebesar
43.03% dan BCR 1.38, sedangkan with HCVA+0.35% memberikan NPV
sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus (IRR sebesar 43.21% dan BCR
sebesar 1.38). Pilihan pengelolaan antara without HCVA dan with HCVA
menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar Rp 11.729.599.402,00
per siklus, sedangkan dengan with HCVA+0.35% memiliki selisih sebesar
Rp 3.340.184.524,00 per siklus. Hasil perhitungan menunjukkan nilai
premium price yang rasional dan wajar adalah sebesar 0.49%. Pilihan
pengelolaan with HCVA+0.49% akan menghasilkan NPV sebesar
667.361.611.431.00 per siklus, dengan demikian gap antara with
130
HCVA+0.49% dengan without HCVA sebesar Rp 15.581.427,00 per
siklus. Nilai ini wajar dan rasional pada kasus PT.IIS Kebun Buatan,
karena luasan HCVA yang ada relatif kecil, yaitu sebesar 0.55% dari total
luas area produktif. Premium price sebesar 0.49% lebih besar dari
premium price yang ada dipasaran saat ini (0.35%). Analisis dampak
ekonomi yang disebabkan oleh pengelolaan HCVA adalah hilangnya
pendapatan masyarakat diestimasi sebesar Rp 410.040.000,00 per siklus
dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 13 orang yang dapat diestimasi
sebesar Rp 1.048.752.000,00 per siklus di perkebunan PT. IIS Kebun
Buatan. Internalisasi TEV HCVA, biaya HCVA, dan dampak ekonomi
sangat berpengaruh terhadap hasil analisis biaya manfaat pengelolaan
HCVA. Jika ketiga komponen manfaat dan biaya tersebut
diinternalisasikan/turut diperhitungkan dalam analisis biaya manfaat
dengan Discount Factor sebesar 15% akan menghasilkan net benefit
positif untuk pilihan with HCVA+0.35%. Sebaliknya jika ketiga komponen
nilai tersebut jika tidak diinternalisasikan akan menyebabkan nilai net
benefit with HCVA+0.35% lebih rendah dibandingkan pilihan without
HCVA. Dengan demikian premium price 0.35% merupakan nilai
kompensasi yang belum wajar dan layak bagi perusahaan yang melakukan
pengelolaan HCVA.
3. Perusahaan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sensitif dengan gejolak
perubahan penurunan harga dan kenaikan biaya untuk semua pilihan
pengelolaan. Perubahan penurunan harga sebesar 10% menyebabkan
penurunan NPV untuk semua pilihan pengelolaan rata-rata sebesar 36.25%
dengan penurunan NPV tertinggi untuk pilihan without HCVA (37%).
Perubahan kenaikan harga sebesar 10% mengalami dampak penurunan
NPV rata-rata sebesar 26.25% dengan penurunan NPV tertinggi untuk
pilihan without HCVA sebesar 27%. Perkebunan kelapa sawit PT. IIS
Kebun Buatan sangat sensitif dengan perubahan penurunan harga,
dibandingkan perubahan kenaikan biaya produksi.
4. Analisis stakeholder menempatkan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit,
Sawit Watch dan GAPKI sebagai key player dalam pengelolaan HCVA.
131
Ketiga stakeholder tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar
dalam pengelolaan HCVA sebagai bagian persyaratan sertifikasi RSPO.
Strategi kebijakan pengelolaan disusun dengan mendasarkan pada hasil
sintesis terhadap peraturan dan perundang-undangan berlaku, analisis
finansial dan ekonomi, dan analisis stakeholder pengelolaan HCVA dalam
rangka mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Strategi kebijakan pengelolaan yang sudah diformulasikan sebagai berikut:
a) Tanggung jawab pengelolaan HCVA diserahkan kepada perusahaan
perkebunan selaku pemegang hak atas tanah; b) Pengelolaan HCVA
membutuhkan partisipasi multi pihak; c) memberikan dukungan harga
kompensasi yang rational dan feasible bagi perusahaan dan kebun sawit
plasma tersertifikasi berkelanjutan dengan mekanisme PES; d) Mendorong
Peningkatan Status HCVA sebagai Kawasan Lindung; e) meningkatkan
performance pengelolaan HCVA.
6.2 Saran
1. Penelitian lanjutan terkait efektivitas pengelolaan HCVA dan desain
kelembagaan multipihak terkait pengelolaan HCVA dengan melibatkan
lebih banyak lagi perusahaan dalam penelitian serta efektivitas HCVA
dalam mengalirkan aliran barang dan jasa ekosistem. Penelitian lanjutan
dengan menggunakan studi kasus perkebunan baru yang memiliki luas
HCVA >10% dari luas kebun produktifnya.
2. Penelitian terkait penentuan harga kompensasi (premium price) dalam
pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit dengan melibatkan tujuh
stakeholder RSPO seperti perkebunan kelapa sawit (lebih banyak lagi),
pembeli, retailer,pedagang dan industri pengolah minyak sawit, dan
lembaga keuangan serta Lembaga Sosial Masyarakat (LSM).
132
133
DAFTAR PUSTAKA
Abelson P. 1996. Project Appraisal and Valuation Methods for the Environmental
with Special Reference to Developing Countries. Macmillan: New
York.
Agus F. 2011. Sustainable palm oil: Challenges, a common vision and the way
forward. Makalah simposium Kelapa Sawit di London, United
Kingdom 4-6 Mei 2011.
Barbier EB. 1991. The Economic Value of Ecosystem: 2 – Tropical Forests.
London Environmental Economics Centre Gatekeeper Series No 91-
01. International Insitute for Environmental and
Development. London.
Bishop JT. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in
Developing Countries. International Institute for Environment and
Development: London
Boer R, Nurrochmat DR., Ardiansyah M, Purwawangsa H, Hariyadi, dan Ginting
G. 2012. Reducing agricultural expansion into forests in Central
Kalimantan Indonesia: Analysis of Implementation and Financing
Gaps. Center for Climate Risk & Opportunity Management. Bogor
Agricultural University.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten dalam Angka. BPS Kabupaten
Pelalawan. Provinsi Riau
Brander L, Bagghethun E.G., Lopez B.M., dan Verma M. 2010. The economics of
ecosystem and biodiversity: The Ecological and Economic
Foundations.
Colchester M, Jiwan N, Andiko S, Firdaus M, Surambo AY, dan Pane H. 2006.
Tanah Yang Dijanjikan. Minyak kelapa sawit dan Pembebasan Tanah
di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat
Adat. Forest Peoples Programme dan Perkumpulan Sawit Watch.
Costanza R, d'Arge R, de Groot R, Farber S, Grasso M, Hannon B, Limburg K,
Naeem S, O'Neill RV, Paruelo J, Raskin RG, Sutton P, dan van den
Belt M. 1997. The Value of the World‟s Ecosystem Services and
Natural Capital in Nature May 1997: (253-260).
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Statistik Perkebunan.
2012. Jakarta.
[EFC dan UN Foundation] Energy Future Coalition dan United Nations
Foundation.2008. Biofuels.www.energyFutureCoalition.org/biofuels.
134
Eden C dan Ackermann F. 1998. Making Strategy: the Journey of Strategic
Management.Sage Publications, London. Dalam. Reed et.al. (2009).
Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for
natural resource management. Journal of Environmental Management
90: 1933–1949
Engel S, Pagiola S, and Wunder S. 2008. Designing payments for nvironmental
services in theory and practice: An overview of the issues. Ecological
Economics 62: 663–674.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Data Produksi dan Ekspor
Kelapa Sawit Dunia. http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx.
Tanggal download 18 Jan 2012 jam 11.54 WIB.
Freeman RE. 1984. Strategic Management: a Stakeholder Approach, Masic
Books. New York.
Friedman AL. Miles S. 2002. Developing stakeholder theory. Journal of
Management Studies 39:1–21.
[GAPKI] Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2012. Refleksi
industri kelapa sawit 2011 dan prospek 2012. Jakarta.
www.gapki.com. Publikasi 4 januari 2012
Gittinger JP. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta. UI Press-
Jhons Hopkins.
Grindle MS. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World,
Princnton University Press. New Jersey.
Grimble R dan Chan MK. 2005. Stakeholder analysis for natural resource
management in developing countries: some practical guidelines for
making management more participatory and effective. Natural
Resources Forum 19:113–124.
Grimble R dan Wellard K. 1997. Stakeholder methodologies in natural resource
management: a review of concepts, contexts, experiences and
opportunities. Journal of Agricultural Systems 55: 173–193.
Gray C, Karlina L, dan Kadariah. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi.
Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.
[HCV Toolkit Indonesia] Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008.
Panduan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi.
[HCV-RIWG] HCV RSPO Indonesian Working Group. 2009. Panduan
Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) untuk
Produksi Minyak kelapa sawit Berkelanjutan di Indonesia.
135
Hornby AS. 2005. OXFORD Advanced Learner's Dictionary seventh edition
Hou K dan Meas S. 2008. A cost and benefit analysis of the community forestry
project in Chumkiri District, Kampot Provice, Cambodia.
[IIED] International Institute for Environmental and Development. 2003. Valuing
Forests: A Review of Methods and Application in Developing
Countries. London.
[Kementan] Kementerian Pertanian Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Pertanian
Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia
(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Jakarta.
Manurung T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit
di Indonesia. Jakarta. Natural Resources Management Program.
Meyers J, Ngalande J, Bird P dan Sibale B. 2001. Forestry Tactics: lessons
learned from Malawi‟s National Forestry Programme. Policy That
Works for Forests and People series No.11, International Institute for
Environment and Development, London
[MEA] Millenium Ecosystem Assessment Report. 2005. Ecosystem and Human-
Well Being. Biodiversity synthesis. World Resources Institute.
Washington, DC.
Nelson DL dan Quick JC. 1994. Organizational Behaviour: Foundations, Realities
and Challenges. West Pub., New York. dalam. Reed et.al. (2009).
Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for
natural resource management. Journal of Environmental Management
90: 1933–1949
Nurrochmat DR., Hadianto A, dan Ekayani M. 2009. Neraca Pembangunan
Hijau: Konsep & Implikasi Bisnis Karbon & Tata Air di Sektor
Kehutanan. Bogor. IPB Press.
Nurrochmat DR., Boer R, Ardiansyah M, Purwawangsa H, Hariyadi dan Ginting
G. 2012. Bridging Conflicts Between Socio-Economic and
Environmental Issue: Formulating Strategy towards appropriate
sustainable oil-palm development.
Pagiola S. 2004. Environmental Services Payments in Central America: Putting
Theory into Practice. Presented at the―Environmental Economics for
Development Policy Training Course. World Bank Institute, July 19–
30, 2004.
136
Pagiola S. dan Platais G. 2007. Payments for Environmental Services: From
Theory to Practice. World Bank, Washington.
Pagiola S. dan Platais G. 2007. Payments for Environmental Services: From
Theory to Practice. World Bank, Washington. dalam .Van Eijk P dan
Kumar R. 2009. Bio-rights dalam Teori dan Praktek Wetland
International. Bogor Indonesia.
Parera E. 2005. Nilai Ekonomi Total Hutan Kayu Putih: Kasus di Desa Piru,
Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Jurnal Manajemen
Hutan Tropika. Vol. XII No. 1 : 14-26
Pascual U, Corbera E, Muradian R, dan Kosoy N. 2010. Payments for
Environmental Services: Reconciling theory and practice. Special
Section. Ecological economics. In press.
Pearce D. 1993. Economic values and Natural World. London. Earth Scan
Publication Ltd.
Pearce DW dan Turner RK. 1990. Economic of Natural Resources and The
Environment. dalam. Nurrochmat DR. Hadianto A. dan Ekayani M.
2009. Neraca Pembangunan Hijau: Konsep & Implikasi Bisnis
Karbon & Tata Air di Sektor Kehutanan. Bogor. IPB Press
PricewaterhouseCoopers (2010), 13th Annual Global CEO Survey 2010.
Available at: http://www.pwc.com/gx/en/ceo-survey/index. jhtml (last
access: 15 June 2010). dalam. Bishop J. 2010. The Economics of
Ecosystems and Biodiversity: TEEB for Business. Earthscan
Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C,
Quinn CH, dan Stringer LC. 2009. Who‟s in and why? A typology of
stakeholder analysis methods for natural resource management.
Journal of Environmental Management 90: 1933–1949
Riau post. Harga TBS Riau. [26 Mei 2012]
Richard AB dan Stewart CM. 1999. Principle of Corporate Finance. The
McGrow-Hill Companies, Inc.
Ruitenbeek JH. 1992. Mangrove Management: An Economic Analysis of
Management Options with Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI.
Environemntal Report. No. 8.
[RSPO] Roundtable on Sustainable Palm Oil. 2012a. Laporan perdana RSPO
menunjukkan kenaikan pesat minyak sawit lestari bersertifikasi RSPO
di tahun 2011. www.rspo.com. Publikasi Maret 2012
137
[RSPO] Roundtable on Sustainable Palm Oil. 2012b. Indonesia Memimpin
Sebagai Produsen CSPO Bersertifikat RSPO terbesar di dunia.
Www.rspo.com. Publikasi 3 Mei 2012.
Pahan I. 2010. Kelapa Sawit. Jakarta : Trubus
Schouten G, Galsbergen P. 2011. Creating legitimacy in global private
governance: The case of the Roundtable on Sustainable Palm Oil.
Jurnal of Ecological Economics. 70:1891-1899.
[SCBD] Secretariat of the Convention on Biological Diversity. 2001. The Value
of Forest Ecosystem. Montreal, SCBD, 67p. (CBD Technical Series
no.4).
Suparmoko M. 2008. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu
Pendekatan Teoritis. Yogyakarta. BPFE-Yogyakarta.
Varvasovszky Z dan Brugha R. 2000. How to do (or not to do) a stakeholder
analysis. Health Policy and Planning 15, 338–345. dalam. Reed et.al.
(2009). Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis
methods for natural resource management. Journal of Environmental
Management 90: 1933–1949
Wiji YU. 2012. Asian Agri Terima Sertifikasi ISCC. Kamis 5 April 2012. www.
Kompas.com. Diakses tanggal 12 Juli 2012.
Wunder S. 2005. Payment for Environmental Services: some Nuts and Bolts.
CIFOR Occasional PaperNo. 42. Centre for International Forestry
Research, Bogor, Indonesia.
[World Growth] World Growth. 2011. Manfaat Minyak kelapa sawit bagi
Perekonomian Indonesia. Jakarta.
Yukl G. 1994. Leadership in Organizations. USA: Prentice-Hall.
134
LAMPIRAN
143
Lampiran 1. Nilai guna langsung PT IIS Kebun Buatan
Tipe HCVA
Harga
Lokal
Tertinggi
Harga
Lokal
Terendah
Hasil
Tangkapan,
Buruan,
dan Panen
User
Kuantitas
Ekstraksi/
Tahun
Unit
Valuasi (Rupiah)
Keterangan Tinggi Rendah
Ekosistem Riparian (Sempadan Sungai Kerinci dan Laniago)
Ikan
Ikan Puyu 30.000,00 25.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 2.700.000,00 2.250.000,00 Ekosistem Riparian
(Sempadan Sungai Kerinci
(panjang 3.97 km lebar
sempadan 50 m kanan/kiri
luas 38.39) dan Laniago (lebar
sempadan 15m kanan/kiri 15
km dengan luas 9.31 ha).
Penggunaan air pabrik dan
perumahaan I Rata-rata per
bulan sebesar 44604 m3/bln
(535.242 m3/tahun) dan
pabrik-perumahan II sebanyak
39.388 m3/bln (472.660
m3/tahun). Air sungai sebagai
barang publik tidak memiliki
harga dalam penggunaannya.
Air sungai tersebut akan
bernilai jika pada musim
kemarau.Kab. Pelelalwan
musim kemarau sekitar 3
bulan. Harga air pada musim
kemarau diperoleh dari sewa
mobil tangki kapasitas 15000
liter dengan harga
Rp.300.000-250.000,00, total
penggunaan air selama 3
bulan.
Ikan lele 40.000,00 35.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 3.600.000,00 3.150.000,00
Ikan lais 85.000,00 80.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 7.650.000,00 7.200.000,00
Ikan Gabus 55.000,00 50.000,00 0.50 30 12 kg/ tahun 9.900.000,00 9.000.000,00
Ikan Baung 85.000,00 80.000,00 0.50 30 12 kg/ tahun 15.300.000,00 14.400.000,00
Ikan Sepat 30.000,00 25.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 2.700.000,00 2.250.000,00
Ikan
Lumpung 40.000,00 35.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 3.600.000,00 3.150.000,00
Udang 125.000,00 120.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 11.250.000,00 10.800.000,00
Air (MCK
dan Pabrik)
Pabrik&
Emplasemen
1&2
8.33 10.00,00
1 118.164 Rp/liter/3
bln 1.181.640.000,00 984.306.120,00
Sub total
1.238.340.000,00 1.036.506.120,00
141
144
1.082.973.060,00
Danau Gadis
(1 ha) 12.372.750,00 1.095.345.810,00
Ikan Gabus 55.000,00 50.000,00 0.50 6 12 kg/ tahun 1.980.000,00 1.800.000,00 Penggunaan air danau untuk
kebutuhan MCK dan minum
terjadi pada saat musim
kemarau sebanyak 100 orang,
dengan asumsi lama kemarau
3 bulan per tahun (90 hari).
Konsumsi air untuk rumah
tangga per hari 150 per hari
jadi total Rp.13.500,00
Ikan Baung 85.000,00 80.000,00 0.50 6 12 kg/ tahun 3.060.000,00 2.880.000,00
Ikan
Lumpung 40.000,00 35.000,00 0.25 6 12 kg/ tahun 720.000,00 630.000,00
Air 8.33,00 10.00,00
100 13.500
Rp/liter,
orang,
liter /hari
13.500.000,00 11.245.500,00
Sub total
19.260.000 16.555.500
Hutan Areal Kebun Inti dan Hutan Sialang (40.60 Ha)
Ikan Puyu 30.000,00 25.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 900.000,00 750.000,00
Ikan lele 40.000,00 35.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 1.200.000,00 1.050.000,00
Ikan lais 85.000,00 80.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 2.550.000,00 2.400.000,00
Ikan Gabus 55.000,00 50.000,00 0.50 10 12.00 rp/kg 3.300.000,00 3.000.000,00
Ikan Baung 85.000,00 80.000,00 0.50 10 12.00 rp/kg 5.100.000,00 4.800.000,00
Ikan Sepat 30.000,00 25.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 900.000,00 750.000,00
Ikan Lumpung 40.000,00 35.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 1.200.000,00 1.050.000,00
Udang 125.000,00 120.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 3.750.000,00 3.600.000,00
Rotan 2.500,00 2.000,00 50.00 4 2.00 tahun 1.000.000,00 800.000,00
Pohon Sialang (pohon Madu)
125.000,00 100.000,00 50.00 5 1.00 Liter
panen/
tahun
31.250.000,00 25.000.000.00,00
Sub total
51.150.000,00 43.200.000,00
Makam Nenek
Moyang (0.66 ha)
1.202.505.810,00 13.367.116,61
107.160.000,00
8.91%
142
143
Lampiran 2. Cash flow Pilihan Pengelolaan Perkebunan with HCVA+0.35%
No. Items Unit Volume Price (IDR/unit) Estimated value
(IDR/ha) Area (ha) Value (Rp/Siklus)
1 Benefit
a Fresh Bunch Fruit
(FBF)
1 Year-3 ton 6.35 1.179.965,00 7.492.896 ,00 16.405,04 122.921.258.551,00
2 Year-4 ton 11.21 1.318.729,00 14.777.754,00 16.405,04 242.429.651.890,00
3 Year-5 ton 15.41 1.411.583,00 21.750.135,00 16.405,04 356.811.829.443,00
4 Year-6 ton 18.21 1.452.135,00 26.443.140,00 16.405,04 433.800.764.830,00
5 Year-7 ton 22.41 1.507.849,00 33.794.078,00 16.405,04 554.393.204.073,00
6 Year-8 ton 26.98 1.554.793,00 41.944.483,00 16.405,04 688.100.927.320,00
7 Year-9 ton 29.05 1.604.125 ,00 46.604.213,00 16.405,04 764.543.983.628,00
8 Year-10 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00
9 Year-11 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00
10 Year-12 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00
11 Year-13 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00
12 Year-14 ton 26.98 1.649.353,00 44.495.474,00 16.405,04 729.950.033.977,00
13 Year-15 ton 26.46 1.649.353,00 43.639.792,00 16.405,04 715.912.533.324,00
14 Year-16 ton 24.38 1.649.353,00 40.217.063,00 16.405,04 659.762.530.710,00
15 Year-17 ton 22.83 1.649.353,00 37.650.017,00 16.405,04 617.650.028.750,00
16 Year-18 ton 21.79 1.649.353,00 35.938.652,00 16.405,04 589.575.027.443,00
17 Year-19 ton 20.75 1.649.353,00 34.227.288,00 16.405,04 561.500.026.136,00
18 Year-20 ton 19.71 1.649.353,00 32.515.923,00 16.405,04 533.425.024.829,00
19 Year-21 ton 18.68 1.649.353,00 30.804.559,00 16.405,04 505.350.023.523,00
20 Year-22 ton 17.64 1.649.353,00 29.093.195,00 16.405,04 477.275.022.216,00
21 Year-23 ton 16.60 1.649.353,00 27.381.830,00 16.405,04 449.200.020.909,00
22 Year-24 ton 15.56 1.649.353,00 25.670.466 ,00 16.405,04 421.125.019.602,00
23 Year-25 ton 14.53 1.649.353,00 23.959.101,00 16.405,04 393.050.018.295,00
TOTAL BENEFITS 790.072.872.47,00
TOTAL BENEFIT DF 15% 2.405.365.094.273,00
144
II COSTS Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area (Ha) Value (Rp/Siklus)
A PLANNING &
INVESTMENTS
1 Feasibility Study Package 1 300.000.000,00 60.000,00 25.020,00 300.000.000,00
2 Permit Package 1 200.000.000,00 40.000,00 25.020,00 200.000.000,00
3 Area boundary
arrangement (5000 Ha) Package 1 300.000.000,00 60.000,00 25.020,00 300.000.000,00
4 Environment Impact
Assessment Package 1 300.000.000,00 60.000,00 25.020,00 300.000.000,00
5 Land acquisition ha 19111 4.000.000,00 4.000.000,00 25.020,00 100.080.000.000 ,00
6 Certification
Assesment Package 1 200.000.000,00 40.000,00 25.020,00 200.000.000,00
B PLANTATION Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area (Ha) Value (Rp/Siklus)
B-1 Planting
1 Seedling ha
4.435.000,00 4.435.000,00 25.020 110.963.700.000,00
2 Land clearing ha
4.764.000,00 4.764.000,00 25.020 119.195.280.000,00
3 Cover Crop (kacangan) ha
2.009.000,00 2.009.000,00 25.020 50.265.180.000,00
4 Planting ha
2.284.000,00 2.284.000,00 25.020 57.145.680.000,00
5 Plant care year-1 ha
6.711.000,00 6.711.000,00 25.020 167.909.220.000,00
6 Plant care year-2 ha
7.147.000,00 7.147.000,00 25.020 178.817.940.000,00
7 Plant care year-3 ha
6.994.000,00 6.994.000,00 25.020 174.989.880.000,00
B-2
Operation &
Maintenance year 4-
25 (employment,
materials,
equipments)
Unit Volume
Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area (Ha) Value (Rp/Siklus)
1 Year-4 ha 16.405,04 8.692.925,00 8.692.925,00 16.405,04 142.607.782.342,00
2 Year-5 ha 16.405,04 8.692.925,00 8.692.925,00 16.405,04 142.607.782.342,00
3 Year-6 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
4 Year-7 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
5 Year-8 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
6 Year-9 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
7 Year-10 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
8 Year-11 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
9 Year-12 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00
10 Year-13 ha 16.405,04 7.676.350,00 7.676.350,00 16.405,04 125.930.828.804,00
11 Year-14 ha 16.405,04 7.676.350,00 7.676.350,00 16.405,04 125.930.828.804,00
12 Year-15 ha 16.405,04 7.676.350,00 7.676.350,00 16.405,04 125.930.828.804,00
13 Year-16 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
14 Year-17 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
145
15 Year-18 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
16 Year-19 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
17 Year-20 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
18 Year-21 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
19 Year-22 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00
20 Year-23 ha 16.405,04 5.862.970,00 5.862.970,00 16.405,04 96.182.257.369,00
21 Year-24 ha 16.405,04 5.862.970,00 5.862.970,00 16.405,04 96.182.257.369,00
22 Year-25 ha 16.405,04 5.862.970,00 5.862.970,00 16.405,04 96.182.257.369,00
C. INFRASTRUCTURE Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha) Area (Ha) Value (Rp/Siklus)
C-1 ROADS
1 Road construction
(year-0) Ha 25.020 1.896.000,00 9.487.584,00 25.020 47.437.920.000,00
2 Road improvement
(year-3,13,23) Ha 25.020 1.856.000,00 9.287.424,00 25.020 139.311.360.000,00
3 Road maintenance Ha 25.020 189.600,00 189.600,00 25.020 118.594.800.000,00
D BRIDGES Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha) Area (Ha) Value (Rp/Siklus)
1 Permanent bridge 12 m Unit 2 150.000.000,00 60.000,00 2 300.000.000,00
2 Permanent bridge 6 m Unit 4 71.000.000,00 56.800,00 4 284.000.000,00
3 Permanent bridge 4 m Unit 55 55.000.000,00 605.000,00 55 3.025.000.000,00
4 Water tunnel @160 cm Unit 60 12.500.000,00 150.000,00 60 750.000.000,00
5 Water tunnel @100 cm Unit 60 6.500.000,00 78.000,00 60 390.000.000,00
6 Water tunnel @80 cm Unit 60 5.750.000,00 69.000,00 60 345.000.000,00
E BUILDINGS Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha) Area (Ha)
1 Farm office Unit 1 200.000.000,00 40.000,00 1 200.000.000,00
2 Division office Unit 6 150.000.000,00 180.000,00 6 900.000.000,00
3 Division warehouse Unit 6 150.000.000,00 180.000,00 6 900.000.000,00
4 Health clinic Unit 1 75.000.000,00 15.000,00 1 75.000.000,00
5 Mosque Unit 6 100.000.000,00 120.000,00 6 600.000.000,00
6 Security checkpoint Unit 7 10.000.000,00 14.000,00 7 70.000.000,00
7 Kindergarten Unit 1 75.000.000,00 15.000,00 1 75.000.000,00
8 Elementary school Unit 1 125.000.000,00 25.000,00 1 125.000.000,00
9 Fasilitas olah raga Unit 1 75.000.000,00 15.000,00 1 75.000.000,00
10 Sport facilities Unit 6 75.000.000,00 90.000,00 6 450.000.000,00
146
F HOUSING Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area
(Ha) Value (Rp)
Staff housing
1 Manager Unit 1 180.000.000,00 36.000,00 1 180.000.000,00
2 Administration head Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00
3 Factory head Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00
5 Plantation assistant Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00
6 Farm assistant Unit 6 120.000.000,00 144.000,00 6 720.000.000,00
7 Plant assistant Unit 3 120.000.000,00 72.000,00 3 360.000.000 ,00
8 Environment Asistant Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00
Labour housing
1 Supervisor Unit 8 60.000.000,00 96.000,00 8 480.000.000,00
2 Supervisor assistant Unit 25 90.000.000,00 450.000,00 25 2.250.000.000,00
G HARVESTING &
TRANSPORTATION Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area
(Ha) Value (Rp)
1 Year-3 ton 6.35 125.000,00 793.762,00 16.405,04 13.021.700.757,00
2 Year-4 ton 11.21 125.000,00 1.400.757,00 16.405,04 22.979.471.924,00
3 Year-5 ton 15.41 125.000,00 1.926.041,00 16.405,04 31.596.773.895,00
4 Year-6 ton 18.21 125.000,00 2.276.230,00 16.405,04 37.341.641.876,00
5 Year-7 ton 22.41 125.000,00 2.801.514,00 16.405,04 45.958.943.848,00
6 Year-8 ton 26.98 125.000,00 3.372.192,00 16.405,04 55.320.950.928,00
7 Year-9 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00
8 Year-10 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00
9 Year-11 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00
10 Year-12 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00
11 Year-13 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00
12 Year-14 ton 26.98 125.000,00 3.372.192,00 16.405,04 55.320.950.928,00
13 Year-15 ton 26.46 125.000,00 3.307.343,00 16.405,04 54.257.086.487,00
14 Year-16 ton 24.38 125.000,00 3.047.943,00 16.405,04 50.001.628.723,00
15 Year-17 ton 22.83 125.000,00 2.853.394,00 16.405,04 46.810.035.400,00
16 Year-18 ton 21.79 125.000,00 2.723.694,00 16.405,04 44.682.306.519,00
17 Year-19 ton 20.75 125.000,00 2.593.994,00 16.405,04 42.554.577.637,00
18 Year-20 ton 19.71 125.000,00 2.464.294,00 16.405,04 40.426.848.755,00
19 Year-21 ton 18.68 125.000,00 2.334.595,00 16.405,04 38.299.119.873,00
20 Year-22 ton 17.64 125.000,00 2.204.895,00 16.405,04 36.171.390.991,00
21 Year-23 ton 16.60 125.000,00 2.075.195,00 16.405,04 34.043.662.109,00
22 Year-24 ton 15.56 125.000,00 1.945.496,00 16.405,04 1.915.933.228,00
23 Year-25 ton 14.53 125.000,00 1.815.796,00 16.405,04 29.788.204.346,00
147
H SALARY Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area
(Ha) Value (Rp)
1 Manager person 1 180.000.000,00 36.000,00 25.020 4.500.000.000,00
2 Assistant person 11 528.000.000,00 105.600,00 25.020 13.200.000.000,00
3 Administration head person 1 48.000.000,00 9.600,00 25.020 1.200.000.000,00
4 Officer person 30 900.000.000,00 180.000,00 25.020 22.500.000.000,00
5 Supervisor person 25 340.374.000,00 68.075,00 25.020 8.509.350.000,00
6 Technician person 50 680.748.000,00 136.150,00 25.020 17.018.700.000,00
7 Labour person 260 2.359.905.600,00 471.981,00 25.020 58.997.640.000,00
I
CORPORATE
SOCIAL
RESPONSIBILITY
Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area
(Ha) Value (Rp)
CORPORATE
SOCIAL
RESPONSIBILITY
package 1 100.000.000,00 20.000,00 25.020 2.500.000.000,00
J HCVA Unit Volume Price (IDR/unit)
Estimated
value
(IDR/ha)
Area
(Ha) Value (Rp)
J-1 HCVA assessment package 1 200.000.000,00 20.000,00 10.000 200.000.000 ,00
J-2 Biaya Pengelolaan
(Year-0) package 1 354.750.000,00 325.653,00 1.089 354.750.000,00
J-3
Biaya Pengelolaan dan
Pemantauan (year-1 s.d
Year-25)
package 1 361.000.000,00 153.302,00 1.089 9.025.000.000 ,00
TOTAL COSTS
5.221.792.339.496,00
TOTAL COST AT
DF 15% 1.741.559.248.797,00
EBITDA 7.739.184.736.309,00
ROI 148.20%
NET PRESENT
VALUE AT DF 15% 664.005.845.480,00
148
25 Years Period Sensitivity (%)
NPV 663.805.845.476,00 IDR 663.805.845,00
TOTAL BENEFIT
25 YEARS DF 15% 2.405.365.094.273,00 IDR 1.738.670.940.797,00
TOTAL COST 25
YEARS DF 15% 1.741.559.248.797,00 IDR 1.738.670.941,00
BCR 1.38
IRR 43.20%
SENSITIVITY
ANALYSIS
Decreasing
Price 10%
Sensitivity
(%)
NPV 423.269.336.049,00 IDR 36%
TOTAL BENEFIT
25 YEARS DF 15% 2.164.828.584.845,00 IDR
TOTAL COST 25
YEARS DF 15% 1.741.559.248.797,00 IDR
BCR 1.24 10%
Increasing
Costs 10%
NPV 489.649.920.597,00 IDR 26%
TOTAL BENEFIT
25 YEARS DF 15% 2.405.365.094.273,00 IDR
TOTAL COST 25
YEARS DF 15% 1.915.715.173.676,00 IDR
BCR 1.26 9%
149
Lampiran 3. Kuesioner Penelitian
Dampak Ekonomi
Pengelolaan High Conservation Value Area (HCVA)
di Perkebunan Kelapa Sawit
Dalam rangka Penyusunan Tesis
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Valuasi Nilai Keberadaan High Conservation Value Area (HCVA) Kawasan
BernilaiKonservasi Tinggi (KBKT)di Perkebunan Kelapa Sawit
RENCANA PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN
BIODIVERSITAS DI KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan
produksi (‘areal HPH’ dalam instilah Bahasa Indonesia), dengan cepat konsep ini menjadi
populer dan digunakan dalam berbagai konteks yang lain. Di sektor publik,HCV
digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan propinsi, antara lain di negara-
negara seperti Bolivia, Bulgaria dan Indonesia. HCV Area atau Kawasan Bernilai
Konservasi Tinggi (KBKT) merupakan pengejawantahan implementasi prinsip ke-5 dan
ke-7 dari RSPO. HCV dalam ISPO terkait dengan prinsip ke-3 poin ke 3.4-3.7. HCVA
memiliki nilai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang mendukung kesejahteraan
masyarakat. Manfaat dari keberadaan HCVA dalam areal perkebunan kelapa sawit jarang
sekali dilakukan valuasi terkait berapa nilai ekonominya?
Di sektor sumber dayaterbaharui, HCV digunakan sebagai alat perencanaan untuk
meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam pembangunan
perkebunan. Sebagai contoh, kriteria kelapa sawit yang terbaharui yang digunakan oleh
organisasi multipihak Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mensyaratkan bahwa
untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO, pembangunan
perkebunan baru harus menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola
HCV yang ada. Begitu juga dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) mensyaratkan
kajian HCV untuk proses sertifikasinya.
Di sektor swasta, penggunaan konsep HCV menunjukkan komitmen perusahaan
untuk melakukan praktek terbaik (practice) yang seringkali melebihi daripada apa yang
disyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan sekaligus memberikan jalan bagi
perusahaan untuk menunjukan diri sebagai warga dunia usaha swasta yang bertanggung-
jawab. Di sektor pemerintahan HCV merupakan alat yang dapat digunakan untuk
mencapai perencanaan tata-guna lahan yang menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat
biologi, sosial, dan ekologis yang tidak terpisahkan berada pada alam. Di sektor keuangan,
penilaian HCV merupakan cara yang memungkinkan pihak penanam modal komersil yang
progresif untuk menghindari praktek pemberian pinjaman yang mendukung perusakan
lingkungan hidup ataupun ketimpangan sosial ekonomi.
150
SKENARIO
RENCANA PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN KEBERADAAN
BIODIVERSITAS DI KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DI PERKEBUNAN
KELAPA SAWIT
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI mendorong upaya pembangunan
perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit diharuskan untuk
melakukan pengelolaan dan pelestarian kawasan yang bernilai konservasi tinggi sebagai salah satu
komitmen perusahaan untuk mengembangkan perkebunan sawit yang berkelanjutan. Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) yang selanjutnya disebut ISPO
adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah
lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan
organisasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) juga mensyaratkan kajian keberadaan kawasan
bernilai konservasi tinggi dan melakukan pengelolaan serta pemantaun secara berkala.Perkebunan
berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan kawasan yang bernilai konservasi tinggi sebagai
bentuk upaya pelestarian biodiversitas flora dan fauna serta mewujudkan sebagai good corporate citizen.
Perusahaan bersama dengan stakeholder terkait berencana menjalankan sejumlah program aksi sebagai
upaya kongkrit pelestarian dan perlindungan Biodiversitas (Flora Fauna langka/endemic/dilindungi) di
sejumlah areal perusahaan yang bernilai konservasi tinggi.
Tujuan utama dari program aksi tersebut adalah untuk mengelola kawasan bernilai konservasi
tinggiagar flora fauna yang ada didalamnya terkelola dan terlindungi dengan baik serta ekosistem
kawasan tersebut tetap mengalirkan barang dan jasa yang dapat mendukung kehidupan manusia kelak.
Untuk mencapai tujuan tersebut direncanakan ditempuh melalui 4 sub-program, yaitu:
1. Program perlindungan flora fauna dari konversi lahan sawit produktif, perburuan liar maupun
tindakan illegal lain yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Konsevasi Sumberdaya Alam
dan peraturan lain yang berkait dengan perlindungan flora dan fauna di Indonesia
2. Perlindungan ekosistem dan habitat flora fauna endemic/langka/dilindungi. Kegiatan ini
mencakup upaya pencegahan kerusakan ekosistem dan habitat alami dari pengaruh aktivitas
manusia, konversi menjadi lahan perkebunan sawit produktif. upaya restorasi habitat yang telah
mengalami kerusakan termsuk di dalamnya adalah restorasi ekosistem yang berpotensi
memilikinilai konservasi tinggi .
3. Penelitian untuk mendukung upaya perlindungan dan pelestarian flora fauna liar yang mencakup
penelitian di bidang teknik restorasi ekosistem dan penangkaran flora fauna
4. Kampaye dan penumbuhan kesadaran lingkungan kepada masyarakat di sekitar perkebunan
kelapa sawit termasuk karyawan di dalamnya untuk tidak memburu atau merusak hutan sebagai
habitat alami flora fauna, penyuluhan kepada masyarakat dan karyawan perusahaan untuk turut
berpartisipasi dalam kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan secara luas.
Kegiatan-kegiatan sebagaimana dijelaskan di atas tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit, dan pada
saat ini memang terdapat komitmen dari perusahaan untuk membantu penyediaan dana, alat maupun ahli
dalam medukung kegiatan pengelolaan kawasan tersebut. Namun demikian dana yang berasal dari
perusahaanhanya sebagaian kecil saja dari keseluruhan dana yang diperlukan. Dengan kata lain dana dari
perusahaan perkebunan merupakan dana pendamping atau komplemen dari dana-dana yang harus
disiapkan sendiri oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan kebutuhan pendanaan
tersebut dan untuk menjamin keberlanjutan kegiatan sehingga mencapai sasaran target, sangat diharapkan
kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi khususnya melalui donasi keuangan yang dapat disalurkan
langsung kepada institusi yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai pihak penggalang dana kegiatan.
151
KUISIONER
BAGIAN I:
SIKAP TERHADAP TINDAKAN KONSERVASI DAN PENGETAHUAN MENGENAI
SPESIES LANGKA DAN TERANCAM PUNAH DI LOKASI
PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
1. Dalam kaitannya dengan spesies yang terancam punah dan langka, spesies manakah
dalam daftar berikut ini yang menurut anda layak mendapatkan prioritas
perlindungan(Silakan isikan pada kolom rangking dengan menuliskan angka 1 untuk
prioritas pertama , angka 2 untuk urutan prioritas kedua dan angka 3 untuk urutan
prioritas ketiga dan seterusnya.
Spesies Prioritas Spesies Prioritas
Beruang Madu
Trenggiling
Burung Rangkong/Enggang
Rusa/Kancil
Ular Phyton
Buaya Sunyolong
Bekantan
Orangutan
152
Spesies Prioritas Spesies Prioritas
Gajah
Harimau
Spesies Prioritas Spesies Prioritas
Kayu Ulin/Besi
Meranti
Tengkawang
Kantung Semar/periuk monyet
Anggrek Hitam
Anggrek Bulan
Palem
Rafflesia
Gaharu Bengeris (Pohon madu)
153
2. Apakah anda pernah melihat secara langsung salah satu dari flora fauna di atas di lokasi
perkebunan kelapa sawit?
sudah belum
Dimana anda melihatnya?
3. Menurut anda berapa kira-kira jumlah populasi dari flora/fauna yang anda jumpai di lokasi
perkebunan kelapa sawit?
banyak sedikit tidak tahu
4. Masyarakat dapat memperoleh manfaat dari keberadaan flora fauna di atas tanpa harus
memburunya/mengambilnya, misalnya dari kegiatan wisata alam
betul salah tidak tahu
BAGIAN II:
KESEDIAAN MEMBAYAR UNTUK KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI
DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
1. Apakah Anda setuju apabila dikenakan pungutan sebesar yang dipergunakan untuk
membiayai tindakan perlindungan dan pelestarian flora fauna di perkebunan kelapa sawit?
setuju (menuju pertanyaan No.3) tidak setuju (menuju pertanyaan No.2)
Berapa kesediaan membayar Anda untuk turut berkontribusi?
2. Apa alasan yang melandasi anda untuk tidak setuju terlibat dalam donasi untuk membiayai
tindakan perlindungan dan pelestarian flora dan fauna liar di perkebunan kelapa sawit?
Saya tidak mampu/menjangkau jumlah pembayaran tersebut
Saya berpikir kegiatan perlindungan dan pelestarian flora fauna adalah
sesuatu yang tidak penting dan tidak bernilai
Saya tidak yakin uang yang saya donasikan dipergunakan untuk kegiatan
pelestarian dan perlindungan flora fauna di areal perkebunan kelapa sawit
Saya berpendapat bahwa hanya orang yang mendapat manfaat langsung
dari flora fauna saja yang membayar
Saya berpikir masih ada flora fauna lain yang jauh lebih penting untuk
mendapatkan prioritas perlindungan dan pelestarian
Saya berpendapat bahwa pembayaran tersebut sangat memberatkan orang
miskin
Saya berpendapatan hanya golongan kaya saja yang harus membayar
Saya berpendapatan hanya perusahaan kelapa sawit saja yang harus
membayar
Saya lebih senang mendonasikan uang untuk kegiatan kemanusiaan
dibandingkan untuk upaya pelestarian flora fauna liar di areal perkebunan
kelapa sawit
Alasan lain
154
Saya tidak mampu/menjangkau jumlah pembayaran tersebut
(sebutkan(..............................................................................................)
3. Apa yang anda pahami mengenai program konservasi flora fauna sehingga anda setuju
untuk berpartisipasi di dalamnya?
Flora fauna endemik/dilindungi/terancam punah merupakan satwa khusus
yang perlu dilindungi
Saya berpikir dengan adanya dana yang terkumpul dari donasi ini menjadi
dana pendamping bagi dana hibah yang berasal dari lembaga donor
internasional dan atau perusahaan kelapa sawit untuk pelestarian flora fauna
endemik/dilindungi/terancam punah
Saya berpendapat, kini adalah saatnya masyarakat Indonesia berbuat nyata
dalam program aksi penyelamatan flora fauna endemik/dilindungi/terancam
punah
Saya berpendapat bahwa inisiatif ini akan menjadi pendorong untuk
meningkatkan upaya-upaya pelestarian yang tidak hanya dilakukan oleh
perkebunan kelapa sawit
Alasan lain
(sebutkan(................................................................................................)
4. Menurut Anda, apakah ancaman terhadap keberadaan flora fauna/kawasan bernilai
kultural/kramat/arkeologis bernilai konservasi tinggi di perkebunan kelapa sawit
sebagaimana digambarkan sebelumnya adalah sesuatu yang nyata?
Ya Tidak
155
BAGIAN III
DATA RESPONDEN 1. Nama
2. Alamat
3. Umur
4. Jenis Kelamin
5. Status Perkawinan dan status dalam rumah tangga
Menikah Belum Menikah lainnya (................)
Kepala Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga
6. Pekerjaan Utama:
PNS/TNI/POLRI
Petani/Nelayan
Usaha sendiri/wiraswasta
Pegawai swasta
Pensiunan
Lainnya (sebutkan(................................................)
7. Pendidikan (isikan pada kolom sebelah kanan lama waktu Anda menempuh
studi,misalnya, Sarjana 4 tahun)
No Jenjang Pendidikan Lama Studi tahun)
1 Pendidikan Dasar (SD)
2 Pendidikan Menengah (SLTP dan
SLTA)
3 Diploma
4 Sarjana
5 Master
6 Doktoral
7 Pendidikan Non Gelar
Total Lama Studi
8. Pendapatan (Rp/bulan)
Lebih dari Rp 5.000.000
Antara Rp 4.000.0000 sampai dengan Rp 5.000.000
Antara Rp 3.000.0000 sampai dengan Rp 4.000.000
Antara Rp 2.000.0000 sampai dengan Rp 3.000.000
Antara Rp 1.000.0000 sampai dengan Rp 2.000.000
Kurang dari Rp 1.000.000
SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI BAPAK/IBU/SAUDARA
...........tahun
Pria Wanita
156
Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value Area (HCVA)
di Perkebunan Kelapa Sawit
Dalam rangka Penyusunan Tesis
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Kepada Yth. Bapak/Ibu Responden/Narasumber
Saya bernama Mustaghfirin (Nomor Induk Mahasiswa: H351100081) adalah mahasiswa
pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun periode 2010/2011 akan melakukan penelitian
dalam rangka penyusunan tugas akhir tesis yang berjudul Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan
HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit. Saya bermaksud meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk
menjadi responden/narasumber dalam penelitian saya. Selain itu, saya juga mengajukan
permohonan bantuan data dan infomasi yang dapat mendukung pelaksanaan penelitian ini.
Demikian pengantar dari saya atas bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu saya ucapkan terimakasih.
Hormat saya,
Mustaghfirin, SPi
157
Kuesioner
Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit
PROFIL RESPONDEN A
Identitas Responden User Aliran Barang dan Jasa Ekosistem (HCVA)
1. Nama :
2. Usia / Jenis Kelamin : ……. Tahun ( L / P )
3. Pendidikan Terakhir : 1. SD/MI 2. SLTP/MTs 3. SMA/MA 4. Diploma 5. Sarjana 6. Tidak Sekolah
4. Pekerjaan : a. Petani/nelayan b. karyawan perusahaan c. PNS/TNI/Polri d. perdagangan dan jasa e. buruh
5. Sukubangsa :
6. Pendapatan : a. <1 juta b. 1-2 juta c. c.2-3 juta d. 3-4 juta e. 4-5 juta f .>5 juta
7. Alamat :
Desa…………………………………………………
Kecamatan………………………………………..
Kabupaten………………………………………….
No PERTANYAAN JAWABAN
A. Pemanfaatan Barang dan Jasa Kawasan HCVA
1. Apakah Anda mengetahui keberadaan kawasan/ /areal
yang dikelola/dilindungi perusahaan perkebunan PT…. ?
2. Apakah Anda mendapatkan manfaat (benefits) dari
kawasan yang dikelola/dilindungi di dalam
arealperkebunan PT …….? Jika ya list manfaat potensial.
a. Ya.
1.
2.
3.
b. Tidak. Akhiri pertanyaan.
3. Apa yang Anda lakukan saat masuk ke dalam
kawasan/areal yang dikelola/dilindungidi dalam
perkebunan PT…….tersebut?
a. Mengumpulkan hasil hutan kayu. Isi Tabel 1 d. Melihat pemandangan alam
b. Mengumpulkan hasil hutan bukan kayu (lihat
list tabel HHBK). Isi Tabel I.
e. Ritual/berdoa
c. Bermain/rekreasi f. Menghirup udara segar
4. Untuk tujuan apa anda memanfaatkan barang dan jasa di
kawasan/areal yang dikelola/dilindungi perusahaan PT.
…..?
a. Dijual c. Dijual dan dikonsumsi
b. Konsumsi d. Kebutuhan budaya dan spiritual
157
158
5. Dimanasaja lokasi anda mengambil manfaat (kayu dan
bukan kayu) dari kawasan/areal yang dikelola/dilindungi
PT…..?
: 1.
2.
3.
6. Apakah Anda diizinkan/diperbolehkan oleh perusahaan
PT…. untuk mengambil barang dan jasa dari
kawasan/areal yang dikelola/dilindungi (KBKT/HCVA?
7. Apa aktivitas/pekerjaan lain selain dari mengambil
manfaaat barang dan jasa dari dari kawasan/areal yang
dikelola/dilindungi (KBKT/HCVA)?
a. Ya. Sebutkan b. Tidak
Tabel 1. Jenis tipe apa hasil hutan yang bapak/ibu kumpulkan?
Tipe Asal Lokasi
pengumpulan
Jarak dari
Desa
Jumlah Trip/Perjalanan Jumlah hari
per trip
Quantity/Trip Harga/unit % peningkatan
atau penuruan Bulan Musim Tahun Amount Unit
Kayu (bangunan
umah)
Lainnya
(spesifikasi)
Fuelwood
Rumput ternak
Bambu
Rotan
Sagu
Jamur
Madu
Sayuran hutan
Buah-buahan
hutan
Obat herbal
(tanaman obat)
Tanamaan untuk
upacara dan lain
Ikan
Rusa/Kijang
158
159
PANDUAN WAWANCARA
A. Manfaat apa saja yang diterima perusahaan (kompensasi) dalam
pengelolaan HCVA?
B. Pengetahuan tentang nilai EKonomi HCVA?
Masalah :
Tantangan:
Manfaat valuasi:
C. Masalah dan kendala dalam pengelolaan HCVA serta tantangan
kedepannya?
D. Kebutuhan dalam pengelolaan HCVA?
E. Efektivitas pengelolaan HCVA
Biaya: a) <50 USD/ha; b) 50-100 USD; 3) >100 USD/ha. Apakah
perusahaan tidak ada masalah dengan biaya pengelolaan HCVA?
Menurut perusahaan anda biaya pengelolaan HCV yang memberikan
efektivitas yang baik?
Waktu: a) sejak mulai pembukaan lahan dan sepanjang siklus sawit; b)
sejak tanaman menghasilkan tanaman; c) sejak tanaman muda (4-7 tahun);
d) sejak tanaman remaja (8-14 th); d) sejak tanaman tua (>14 th);
Menurut perusahaan anda waktu pengelolaan HCV yang memberikan
efektivitas yang baik?
Luasan: a. <5% izin lokasi/areal (kecil); b. 5-10% (sedang); c. >10%
besar)
Menurut perusahaan anda luasan pengelolaan HCV yang memberikan
efektivitas yang baik?
Fungsi dan Jasa Ekosistem: a) aliran fungsi dan jasa ekosistem hutan; b)
sempadan sungai; c) kawasan yang berfungsi sebagai pemenuhan
kebutuhan pokok; d) kawasan yang memiliki nilai budaya, etnisitas dan
arkeologis yang tinggi
Menurut perusahaan fungsi keberadaan HCVA yang memberikan
efektivitas dan optimal?
Ekonomidan Pengelolaan High Conservation Value Area(HCVA)
di Perkebunan Kelapa Sawit
160
F. Model pengelolaan HCVA:
a. Divergen
Alasan:
b. Konvergen
Alasan
Bagaimana model pengelolaan HCVA yang optimal dan efisien?
G. Bagaimana praktek terbaik manajemen pengelolaan HCVA?
H. Bagaimana Monitoring dan Evalutaion (Monev) HCVA yang efektif
dan optimal dna siapa yang seharusnya melakukan Monev HCVA?
TERIMAKASIH
161
Analisis Stakeholder
Pengelolaan HCVA Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan
Perkebunan KelapaSawit Berkelanjutan
1. Bagaimana persepsi Bapak/Ibu terkait pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa
sawit?
2. Berikan penilaian Bapak/Ibu terkait tujuan pengelolaan HCVA di perkebunan
kelapa sawit?
Tabel Persepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA
N
o Stakeholders
Tujuan
Minimalisasi
dampak
ekologi dan
social
negatif
Kawasan
Konser-
vasi
Tinggi
Pencitraan
Korporasi bahwa
Perusahaan peduli
terhadap masalah
lingkungan hidup,
yang menyangkut
bidang
Konservasi
Menjaga dan
meningkatkan
Kesejateraan
masyarakat
local dan atau
luas
Sebagai
Rencana
kelola
social
1. Perusahaan
kelapasawit
2. Komisi Sawit
Indonesia
3. GAPKI
4. Sawit Watch
5. KUD Kebun
Plasma
6. Puslit Perkebunan
Kementan
Penilaian: + :rendah; ++ : sedang, +++ : tinggi
3. Berdasarkan hasil identifikasi stakeholder yang terkait pengelolaan HCVA,
berikan Penilaian Bapak/Ibu terkait Tingkat Kekuatan (Power), Kepentingan
(Interest), dan Pengaruh (Influence) dengan menggunakan indicator penilaian di
bawah ini?
Petunjuk penilaian menggunakan Skala linkert;
5 = sangatkuat; 4 = kuat; 3 = sedang; 2= lemah; dan1 = sangatlemah.
162
Tabel Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholder
No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai
1. Perusahaan kelapa sawit
2. Komisi Sawit Indonesia
3. GAPKI
4. Sawit Watch
5. KUD Kebun Plasma
6. Puslit Perkebunan Kementan
Keterangan : P1 = Tingkat keterlibatan
P2 = Peran/kontribusi dalam pembuatan keputusan
P3 = Hubungan dengan stakeholder lain
P4 = Dukungan SDM
P5 = Dukungan finansial
Tabel Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholder
No Stakeholders K1 K2 K3 K4 K5 Nilai
1. Perusahaan kelapasawit
2. Komisi Sawit Indonesia
3. GAPKI
4. Sawit Watch
5. KUD Kebun Plasma
6. Puslit Perkebunan Kementan
Keterangan : K1 = perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (profit, planet, dan people)
K2 = pemenuhan persyaratan sertifikasi perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan
K3 = motivasi keterlibatan
K4 = bentuk dukungan
k5 = keuntungan yang diharapkan
4. Bagaimana pendapat bapak terkait Strategi pengelolaan HCVA yang baik dan
benar?
5. Apa harapan bapak terkait pengelolaan .