pernyataan mengenai tesis dan sumber informasi · conservation value areas (hcva) di perkebunan...

179

Upload: hahanh

Post on 26-Mar-2019

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad
Page 2: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Dampak Ekonomi Pengelolaan High

Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT.

Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) adalah karya saya sendiri dan

belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Mustaghfirin

NIM H351100081

Page 3: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

ABSTRACT

MUSTAGHFIRIN. The economic impact of High Conservation Value Areas

(HCVA) management on palm oil estate (Case study: PT Inti Indosawit Subur

Kebun Buatan, Riau Province). Under the supervision of YUSMAN SYAUKAT,

DODIK R. NURROCHMAT and NYOTO SANTOSO.

The global demand for palm oil was growing rapidly. Palm oil was consumed

world wide and constituted the vegetable oil with the highest level of market

penetration. Indonesia was the largest producer of palm oil in the world while

Malaysia was the leading exporter of palm oil, accounting for 46% of global exports.

The production of palm oil was associated with many sustainability issues, including

deforestation, erosion of biodiversity and violation of social rights. The Roundtable

on Sustainable Palm Oil (RSPO) as the concern these issues of European driven

initiative of the World Wide Fund for Nature (WWF). The palm oil estate was rarely

focused on the cost and benefit analysis in calculating the economic valuation and

financial projection on High Concervation Value Area (HCVA) as the

prerequirement of RSPO certification. This research was done to analyze the

economic impact of HCVA management in palm oil estate. The research spent for

three month in PT IIS (Riau). The method was used; The Total Economic Value

(TEV) analysis, the cost benefit analysis, the financial and economic analysis, and

the stakeholder analysis on managing HCVA. Based on this calculation, the amount

of TEV showed Rp 1.321.847.970,00 per year for PT IIS Kebun Buatan. There were

three scenarios used; with HCVA, (NPV: Rp 655.616.430.602,00), with

HCVA+0.35% (NPV: Rp 664.005.845.480,00) and without HCVA (NPV : Rp

667.346.030.004,00). Premium price for 0.35% was not feasible for the palm oil

Industry. The stakeholder analysis showed the palm oil industry, GAPKI and Sawit

Watch as the key players for the HCVA management.

Keywords : HCVA, total economic value, cost benefit analysis

Page 4: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

RINGKASAN

MUSTAGHFIRIN. Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value

Area (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit

Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau). Dibimbing oleh : YUSMAN SYAUKAT,

DODIK R. NURROCHMAT and NYOTO SANTOSO.

Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit tumbuh secara cepat.

Tingginya permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh

peralihan pola konsumsi dunia dari lemak-trans. Minyak kelapa sawit dikonsumsi di

seluruh dunia dan memiliki tingkat penetrasi pasar tertinggi. Peningkatan permintaan

dunia terhadap minyak kelapa sawit menimbulkan konsekuensi berupa perluasan

areal untuk perkebunan kelapa sawit, meskipun melalui konversi hutan. Hal ini

mendorong munculnya isu keberlanjutan seperti deforestasi, loss biodiversity, dan

perubahan iklim terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit. Isu lingkungan yang

paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai

konservasi tinggi.

Kepedulian kalangan pengusaha dan pebisnis di sektor minyak kelapa sawit

terhadap isu keberlanjutan ditunjukkan melalui kesediaan mereka melakukan

pertemuan dengan membentuk RSPO. RSPO merupakan organisasi yang mengelola

penetapan standar sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dengan

mensyaratkan pengelolaan High Conservation Values (HCV) atau Nilai Konservasi

Tinggi (NKT) yang ada (Panduan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi 2008).

Pengelolaan HCVA memberikan dampak ekonomi bagi perusahaan dan masyarakat.

Hal ini terkait penurunan produksi TBS dan biaya pengelolaan HCVA. Perkebunan

kelapa sawit yang sudah tersertifikasi RSPO belum mendapatkan harga kompensasi

(premium price) yang layak dan adil. Hal inilah menjadi permasalahan bagi palm oil

grower selaku sebagai pengelola HCVA.

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak ekonomi

dari pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit dari penelitian ini adalah.

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) Mengestimasi nilai ekonomi kawasan

High Conservation Values Area (HCVA), (2) Menganalisis dampak ekonomi dan

finansial pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit, (3) Mengevaluasi

pengaruh perubahan harga (premium price), biaya dan luasan areal perkebunan

kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA dan (4) memformulasikan strategi kebijakan

pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan. Penelitian ini dilakukan pada April-Juni 2012 yang berlokasi di

Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS KB, Kabupaten Pelelawan, Provinsi

Riau.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis nilai

ekonomi total yang diformulasikan oleh Pearce (1993), Nilai Ekonomi Total = Nilai

Guna Langsung+ Nilai Guna Tidak Langsung+ Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan,

analisis finansial dilakukan untuk menilai kelayakan finansial pengelolaan HCVA

dengan menggunakan kriteria kelayakan Net Present Value (NPV), Intenal Rate of

Return (IRR) dan Benefit Cost Ratio (BCR). Analisis biaya manfaat digunakan untuk

mengalisis dampak ekonomi pengelolaan HCVA dan analisis stakeholder dengan

metode analytical categorization untuk memformulasikan startegi kebijakan

pengelolaan HCVA.

Page 5: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

Hasil identifikasi HCVA di PT. IIS Kebun Buatan seluas 89.96 ha (Tim HCV

Fahutan IPB). Hasil estimasi nilai guna langsung sebesar Rp 1.202.505.810,00 per

tahun. Nilai guna langsung merupakan komponen pembentuk nilai ekonomi total

dengan kontribusi terbesar (90.97%). Nilai tersebut tentu saja memberikan kontribusi

terbesar pada penjumlahan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan yang disebabkan

karena tingginya penggunaan sumberdaya air yang dihasilkan oleh sungai Laniago

dan Kerinci untuk kebutuhan dua pabrik dan pemukiman karyawan. Nilai guna tidak

langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun dan nilai pilihan hanya

sebesar Rp 1.625.260,00 per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar

Rp 39.440.520,00 per tahuan (WTP masyarakat). Nilai Ekonomi Total (TEV)

HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar

Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.

Analisis finansial untuk pilihan without HCVA memberikan nilai NPV

sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus (IRR sebesar 43.29% dan BCR

sebesar 1.38). Perusahaan sawit PT. IIS Kebun Buatan jika melakukan pengelolaan

with HCVA+0.35 % secara finansial perusahaan tersebut juga sangat layak dengan

nilai NPV sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus dan nilai IRR sebesar 43.21%

dan BCR 1.38. Hal yang sama ditunjukkan dengan pilihan with HCVA tanpa harga

premium juga sangat menguntungkan dengan nilai NPV sebesar

Rp 655.616.430.602,00. Pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit with

HCVA+0.3% dan without HCVA menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar

Rp 3.340.184.524,00 per siklus. Hal ini menunjukkan bahwa harga premium sebesar

0.35% tidak bisa mengkompensasi kehilangan pendapatan akibat pengelolaan

HCVA.

Analisis dampak ekonomi yang disebabkan oleh pengelolaan HCVA adalah

hilangnya pendapatan masyarakat diestimasi sebesar Rp 410.040.000,00 per siklus

dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 13 orang yang dapat dikalkulasikan sebesar

Rp 1.048.752.000,00 per siklus di perkebunan PT. IIS Kebun Buatan. Internalisasi

TEV HCVA, biaya HCVA, dan dampak ekonomi wilayah sangat berpengaruh

terhadap hasil analisis biaya manfaat pengelolaan HCVA. Internalisasi TEV dan

manfaat sosial yang hilang memberikan net befit untuk pilihan HCVA with+0.35%

sebesar Rp 672.413.523.081,00 per siklus, sedangkan pilihan without HCVA sebesar

Rp 667.346.030.004,00 per siklus. Hal ini menunjukkan pilihan pengelolaan with

HCVA+0.35% dengan internalisasi TEV dan manfaat sosial yang hilang sangat

layak.

Analisis stakeholder menempatkan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit,

Sawit Watch dan GAPKI sebagai key player dalam pengelolaan HCVA. Ketiga

stakeholder tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar dalam pengelolaan

HCVA sebagai bagian persyaratan sertifikasi RSPO. Strategi kebijakan pengelolaan

yang sudah diformulasikan sebagai berikut: a) Tanggung jawab pengelolaan HCVA

diserahkan kepada perusahaan perkebunan selaku pemegang hak atas tanah; b)

Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak; c) memberikan dukungan

harga kompensasi yang rasional dan layak bagi perusahaan dan kebun sawit plasma

tersertifikasi berkelanjutan dengan mekanisme PES; d) Mendorong Peningkatan

Status HCVA sebagai Kawasan Lindung; e) meningkatkan performance pengelolaan

HCVA.

Kata-kata kunci : High Conservation Value Area (HCVA), dampak ekonomi,

premium price

Page 6: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam

Bentuk apapun, baik cetak, fotocopi, mikrofilm dan sebagainya

Page 7: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

DAMPAK EKONOMI PENGELOLAAN HIGH CONSERVATION

VALUE AREA (HCVA) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

(Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan,

Provinsi Riau)

MUSTAGHFIRIN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untukmemperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

Page 8: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Page 9: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value

Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus

PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau)

NIM : H351100081

Tanggal Ujian : 06 Agustus 2012 Tanggal Lulus :

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc. F.Trop

Anggota I

Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.S

Anggota II

Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec

Ketua

Diketahui

Ketua Program Studi

Ekonomi Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Page 10: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan kepada

penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul Dampak Ekonomi

Pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit

(Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan). Tesis ini disusun sebagai

salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada tingkat strata dua (S2) pada

program studi Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan, Institut Pertanian

Bogor.

Penulis secara tersurat mengucapkan terimakasih banyak kepada Komisi

Pembimbing Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec (Ketua Komisi), Dr. Ir. Dodik R.

Nurrochmat, M.Sc.F.Trop (Anggota I), dan Dr. Ir. Nyoto Santoso, M.Si (Anggota II)

yang telah membimbing dari sejak pengusulan penelitian hingga akhir penelitian.

Berbagai masukan dan saran menjadi sangat berharga bagi penulis. Ucapan

terimakasih juga disampaikan penulis kepada penguji Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi,

M.Sc yang telah memberikan masukan dan saran dan kritik untuk kesempurnaan

tesis ini.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pengajar di

program studi ESL IPB atas ilmu yang telah diberikan selama penulis menuntut ilmu

di bangku kuliah. Seluruh staf administrasi ESL, penulis mengucapkan terimakasih

atas bantuan menyelesaikan berbagai urusan administrasi. Segenap jajaran PT. IIS

Kebun Buatan dan Asian Agri Group, penulis sampaikan terimakasih atas izin

penelitian, bantuan dan dukungan selama melakukan penelitian ini. Penulis ucapkan

terimakasih atas Beasiswa Unggulan (On Going) Direktorat Jenderal Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Terimakasih setulus nya penulis sampaikan kepada kedua orang tua,

Ayahanda H. Fahrur Rozi dan Ibunda Hj. Djumi’atun, Ayahanda Nana Mahdi dan

Ibunda Wiwi Mulyawati, Uwa Mufti dan seluruh keluarga Demak dan Bogor yang

telah memberikan dorongan semangat dan do’a dari awal penulis melakukan

penelitian hingga akhirnya selesai. Kepada Tunangan Penulis, sdri Windi Al Zahra,

S.Pt., M.Si., penulis sampaikan ucapan terimakasih untuk selalu ada mendampingi

penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terimakasih kepada Abang Handian

Purwawangsa, S.Hut, M.Si dan Abang Adi Hadianto, S.P., M.Si yang telah

Page 11: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

membantu dan mendukung perkuliahan dan Tim HCV Fahutan IPB yang yang telah

membantu penulis selama di Lapangan.

Terakhir, penulis sampaikan terimakasih kepada teman teman ESL angkatan

2010, atas indahnya kebersamaan. Berbagai cerita terangkum dalam catatan dua

tahun kebelakang. Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini.

Berbagai saran dan masukan, serta kritik yang bersifat konstruktif penulis harapkan

demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

Bogor, Agustus 2012

Mustagfhirin

Page 12: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 16 September 1982 di Demak, Jawa

Tengah Penulis adalah ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Bapak H. Fahrurozi

dan Ibu Hj. Djumi’atun. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1994 di

Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al-Hikmah, pendidikan lanjutan menengah pertama

diselesaikan pada tahun 1997 di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Hikmah, dan

pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2000 di SMA Negeri

1 Demak. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun

2001 melalui jalur UMPTN (Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan diterima

sebagai mahasiswa jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyelesaikan tingkat strata satu

(S1) pada tahun 2007. Penulis mendaftarakan diri pada program strata dua (S2)

pada program Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan (ESL) IPB.

Selama mengikuti perkuliahan ditingkat S1, penulis aktif di berbagai

kegiatan organisasi di tingkat universitas mapun nasional. Selama di tingkat S2,

penulis kembali aktif di kegiatan mahasiswa, Forum Mahasiswa Pascasarjana IPB.

Page 13: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

DAFTAR ISI

Halaman

Daftar Isi........................................................................................................... xi

Daftar Tabel ..................................................................................................... xiii

Daftar Gambar .................................................................................................. xv

Daftar Lampiran ............................................................................................... vii

I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ............................................................................ 6

1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 8

1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 8

1.5 Kerangka Pemikiran ........................................................................... 9

II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 13

2.1 High Conservation Value Area (HCVA)............................................ 13

2.1.1 Konsepsi HCVA....................................................................... 13

2.1.2 Ruang Lingkup HCVA ............................................................ 13

2.1.3 HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit ........................................ 15

2.2 Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) ......................................... 15

2.3 Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO ......................................... 16

2.4 HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia ...................................... 18

2.5 Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Environmental Services

(PES) ................................................................................................... 21

2.5.1 Konsepsi Valuasi Ekonomi ...................................................... 21

2.5.2 Valuasi Ekonomi HCVA.......................................................... 23

2.5.3 Total Economic Valuation (TEV) ............................................ 25

2.5.4 Payment for Environmental Services (PES) ............................ 26

2.6 Teknik Valuasi Sumberdaya Hutan .................................................... 28

2.7 Analisis Finansial dan Ekonomi ......................................................... 29

2.7.1 Analisis Finansial dan Ekonomi............................................ 29

2.7.2 Analisis Biaya Mafaat ........................................................... 30

2.7.3 Analisis Sensitivitas .............................................................. 31

2.8 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit 32

Page 14: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

2.9 Penelitian sebelumnya ........................................................................ 33

III. METODE PENELITiAN ......................................................................... 35

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 35

3.2 Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 35

3.3 Penentuan Sampel Penelitian.............................................................. 36

3.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 37

3.5 Metode Analisis .................................................................................. 38

3.5.1 Analisis Total Economic Value (TEV) HCVA ........................ 38

3.5.2 Analisis Dampak Ekonomi dan Finansial Pengelolaan HCVA 39

3.5.2.1 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA.......................... 39

3.5.2.2 Analisis Dampak Ekonomi Pengelolaan HCVA ........... 43

3.5.3 Analisis Sensitivitas ................................................................. 43

3.5.4 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA .................................. 44

IV. KONDISI UMUM DAN PROFIL PERUSAHAAN................................ 47

4.1 Profil PT. IIS Kebun Buatan-Asian Agri Group ................................ 47

4.2 Kapasitas Produksi MKS dan IKS...................................................... 50

4.3 Produksi Kelapa Sawit Tersertifikasi RSPO ...................................... 51

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................ 53

5.1 Analisis Keberadaan HCVA ............................................................... 53

5.2 Asumsi-Asumsi Untuk Estimasi Total Economic Values .................. 59

5.3 Total Economic Values (TEV) PT. IIS Kebun Buatan ....................... 61

5.3.1 Tahapan Valuasi TEV HCVA .................................................. 61

5.3.2 Estimasi TEV HCVA ............................................................... 63

5.4 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit 73

5.5 Analisis Sensitivitas ............................................................................ 81

5.6 Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA ...................................... 83

5.6.1 Estimasi Biaya-Biaya Pengelolaan HCVA .............................. 83

5.6.1.1 Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Perusahaan ..... 84

5.6.1.2 Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Masyarakat .... 86

5.6.2 Estimasi Manfaat-Manfaat Pengelolaan HCVA ...................... 91

5.6.2.1 Manfaat Harga Kompensasi (Premium Price) ............. 91

5.6.2.2 Manfaat Ekonomi Potensial HCVA (TEV HCVA) ...... 92

Page 15: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

5.6.3 Hasil Perhitungan Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan

HCVA ...................................................................................... 93

5.7 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA ............................................. 97

5.7.1 Analisis Stakeholder................................................................. 97

5.7.2 Strategi Kebijakan Pengelolaan HCVA ................................... 105

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 129

VII. DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 133

Page 16: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA................................................... 18

2. Sebaran HCVA di Indonesia ...................................................................... 20

3. Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun ........................................ 21

4. Tipe nilai sumberdaya hutan ...................................................................... 24

5. Nilai ekonomi total (TEV) kawasan hutan................................................. 26

6. Matriks penelitian....................................................................................... 36

7. Letak areal kerja dan batas wilayah PT. IIS Kebun Buatan ....................... 47

8. Areal perkebunan PT. IIS Kebun Buatan ................................................... 49

9. Produksi CPO (MKS) dan KPO (IKS) PT. IIS Kebun Buatan .................. 50

10. Hasil identifikasi keberadaan HCV di areal PT. IIS Kebun Kuatan .......... 54

11. Areal hutan di areal perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan

yang memiliki HCV ................................................................................... 57

12. Nilai guna langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan ................................... 65

13. Nilai guna tidak langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan .......................... 67

14. Nilai pilihan (biodiversitas) HCVA PT. IIS Kebun Buatan ....................... 68

15. Nilai keberadaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan ........................................ 71

16. Estimasi nilai ekonomi total HCVA PT. IIS Kebun Buatan ...................... 72

17. Asumsi biaya dan manfaat dalam perhitungan analisis finansial............... 75

18. Pilihan pengelolaan perkebunan with dan without HCVA ........................ 78

19. Hasil perhitungan penentuan premium price ............................................. 80

20. Sensitivitas harga dan biaya (Rp 000) ........................................................ 82

21. Kerugian atau kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA ............ 84

22. Estimasi biaya pengelolaan HCVA ............................................................ 86

23. Dampak kehilangan pendapatan masyarakat ............................................. 87

24. Keragaan tenaga kerja yang hilang akibat pengelolaan HCVA ................. 88

25. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan (Rp 000).. 89

26. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi masyarakat ................. 90

27. Estimasi manfaat penerimaan premium price PT. IIS KB ......................... 92

28. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat pilihan pengelolaan HCVA ...... 95

Page 17: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

29. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat tanpa TEV dan dampak

ekonomi ...................................................................................................... 96

30. Presepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA ............................................ 99

31. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder................................................. 99

32. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder ..................................................... 100

33. Regulasi yang terkait dengan substansi pengelolaan HCVA ..................... 107

Page 18: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Trend pertumbuhan minyak kelapa sawit di dunia .................................... 2

2. Luas perkebunan sawit Indonesia .............................................................. 3

3. Kerangka pemikiran penelitian .................................................................. 12

4. Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia .............................. 19

5. Konsep PES pelayanan ekosistem Pagiola dan Platais (2007) dalam van Eijk dan Kumar (2009) ........................................................................ 27

6. Posisi stakeholders berdasarkan pengaruh dan kepentingan ..................... 45

7. Peta lokasi areal kebun buatan PT. Inti Indosawit Subur, Kabupaten Pelawan dan Kabupaten Siak, Provinsi Riau ............................................. 48

8. Peta keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan ..................................... 58

9. Tahapan valuasi ekonomi HCVA .............................................................. 62

10. Total penerimaan dan pengeluaran per tahun ............................................ 77

11. Arus net benefit pilihan with dan without HCVA ...................................... 79

12. Perbedaan nilai NPV pilihan pengelolaan HCVA ..................................... 79

13. Simulasi perubahan harga dan biaya .......................................................... 82

14. Posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan .................................. 101

15. Skema ilustrasi PES Pagiola ...................................................................... 116

Page 19: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Nilai guna langsung PT IIS Kebun Buatan ................................................ 141

2. Cash flow pilihan pengelolaan perkebunan with HCVA+0.35% ............... 143

3. Kuesioner Penelitian .................................................................................. 151

Page 20: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

1

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Minyak kelapa sawit (crude palm oil, CPO) dan inti kelapa sawit (kernel

palm oil, KPO) merupakan komoditas perkebunan yang memiliki prospek

ekonomi yang menjanjikan di masa yang akan datang. Minyak kelapa sawit

merupakan bahan dasar dari berbagai produk, sehingga menjadi salah satu minyak

nabati yang memiliki banyak fungsi dan produk turunan beragam yang bisa

dimakan maupun produk yang tidak bisa dimakan bahkan untuk sumber bahan

bakar nabati (biofuel). Hampir 80% konsumsi minyak kelapa sawit digunakan

untuk produk makanan dan sisanya untuk non-makanan termasuk biofuel.

Keragaman pengunaannya dalam mendukung kehidupan manusia mendorong

permintaan minyak kelapa sawit global terus meningkat.

Pertumbuhan perdagangan minyak kelapa sawit dunia terlihat dari

kecenderungan peningkatan permintaan dan produksi setiap tahunnya di beberapa

negara produsen dan eksportir. Data Food and Agriculture Organization (FAO,

2012) menyebutkan produksi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2010 sebesar

44.756.482 ton, sedangkan menurut World Growth (2011) produksi minyak

kelapa sawit dunia diperkirakan akan meningkat sebesar 32% atau setara dengan

60 juta ton menjelang tahun 2020.

Permintaan global terhadap minyak kelapa sawit tumbuh secara cepat.

Tingginya permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit dipengaruhi oleh

kecenderungan peralihan pola konsumsi dunia dari lemak hewani ke lemak nabati.

Beberapa negara Uni Eropa dan Amerika sudah menerapkan kebijakan pelarangan

penggunaan lemak-trans dan beralih menggunakan minyak nabati yang lebih

sehat, salah satunya berasal dari minyak kelapa sawit.

Minyak kelapa sawit dikonsumsi di seluruh dunia dan memiliki tingkat

penetrasi pasar yang relatif tinggi dibandingkan minyak nabati lainnya. Produk

dari minyak kelapa sawit tropis menempati 50 % produk di supermarket Eropa

dan memiliki berbagai kegunaan untuk makanan, pakan, bahan bakar, kosmetik,

detergen, dan industri kimia (Schouten dan Galsbergen 2011).

Konsumsi minyak kelapa sawit dunia pada tahun 2009 mencapai 6.5 kg

per kapita per tahun. Indonesia dan Malaysia telah mengeluarkan kebijakan untuk

Page 21: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

2

-

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

Pro

du

ksi

(M

T)

Pertumbuhan Produksi Palm Oil

Indonesia

Malaysia

Nigeria

Thailand

Colombia

mengembangkan industri biodiesel serta menargetkan alokasi 6 juta ton minyak

kelapa sawit setiap tahunnya (World Growth 2011). Minyak kelapa sawit

merupakan biofuel dengan harga yang paling rendah (Theones 2006). Minyak

kelapa sawit juga memberikan imbal hasil (economic return) yang tinggi. Nilai

biodiesel dari kedelai dengan estimasi biaya per galon sebesar USD 2-2.50, yellow

grease sekitar USD 1 dan biodiesel dari minyak kelapa sawit hanya sebesar USD

50 sen (Energy Future Coalition and UN Foundation 2008). Fakta tersebut tentu

saja menjadi faktor pendorong bagi negara-negara penghasil kelapa sawit untuk

terus meningkatkan produksinya.

Indonesia menyumbangkan 46% produksi minyak kelapa sawit dunia

sedangkan Malaysia sebesar 39% pada tahun 2009 (FAO 2012). Indonesia

menjadi pemimpin dalam produksi minyak kelapa sawit dunia, sementara

Malaysia menjadi eksportir terbesar di dunia mencapai 46% ekspor global. Total

Produksi minyak kelapa sawit dunia meningkat hampir tiga kali lipat selama tiga

dasawarsa terakhir (hingga 2009) (World Growth2011). Peningkatan produksi

minyak kelapa sawit dunia dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber: FAOSTAT FAO (2012) data diolah

Gambar 1. Trend pertumbuhan minyak kelapa sawit di dunia

Peningkatan permintaan dunia terhadap minyak kelapa sawit

menimbulkan konsekuensi berupa pencadangan kawasan hutan untuk perkebunan

kelapa sawit. Cerahnya prospek ekonomi minyak kelapa sawit memacu

pemerintah Indonesia untuk mengembangkan areal perkebunan kelapa sawit,

meskipun pada kawasan hutan. Pencadangan kawasan perkebunan pada umumnya

dilakukan melalui mekanisme pelepasan kawasan hutan. Data Statistik Direktorat

Page 22: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

3

Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012) menyebutkan luas

perkebunan kelapa sawit skala besar di Indonesia mencapai 5.032.000,8 ha (angka

sementara) pada tahun 2010. Perkembangan luasan perkebunan kelapa sawit

menunjukkan luasan areal dan produksi yang signifikan sejak tahun 2000-2011.

Luasan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2000 seluas 4.158.07 ha dengan

produksi mencapai 7.000.508 ton. Tahun 2011 perkebunan kelapa sawit sebesar

8.908.399 ha dengan produksi mencapai 22.508.011 (Gambar 2). Peningkatan

luas perkebunan mencapai 53.23% dengan total produksi meningkat sebesar 69%

(Statistik Perkebunan 2012). Tren peningkatan luas areal dan produksi kelapa

sawit di Indonesia ditunjukkan pada Gambar 2.

Sumber : Statistik Perkebunan 2010-2012

Gambar 2. Luas perkebunan sawit Indonesia

Produksi minyak kelapa sawit dikaitkan dengan banyak isu keberlanjutan

seperti deforestasi, erosi, biodiversitas dan perubahan iklim. Isu lingkungan yang

paling kuat terkait dengan perkebunan kelapa sawit adalah konversi hutan bernilai

konservasi tinggi (Schouten and Galsbergen 2011). Banyak daerah-daerah di

Indonesia berlomba menggerakkan perekonomian pada sub sektor perkebunan

kelapa sawit diantaranya dengan melakukan konversi hutan. Tidak bisa dipungkiri

bahwa perkebunan menjadi salah satu faktor pengungkit (leverage) dan penggerak

utama (prime mover) kemajuan suatu daerah. Euforia daerah untuk melakukan

0

5,000,000

10,000,000

15,000,000

20,000,000

25,000,000

Luas Areal dan Produksi Kelapa Sawit Indonesia

Luas Areal (Ha)

Produksi (Ton)

Page 23: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

4

perluasan perkebunan kelapa sawit, umumnya dilakukan dengan cara

mengkonversi hutan, sehingga akan memberikan dampak berkurangnya bahkan

hilangnya biodiversitas dan penurunan jasa ekosistem hutan. Ekspansi perkebunan

sawit seharusnya berada pada kawasan hutan yang terdegradasi (degraded forest)

dan/atau mengelola kawasan hutan yang berpotensi memiliki biodiversitas tinggi,

sementara harus dipertahankan keberadaannya.

Dewasa ini, banyak perusahaan besar yang mulai menunjukkan

kepeduliannya terhadap dampak kehilangan biodiversitas. Berdasarkan survei

Price Water House Cooper (2009) dalam Bishop (2010) tercatat bahwa sebanyak

27% Global Chief Executive Organization (Global CEO) yang disurvei PwC

mengungkapkan kepeduliannya tentang dampak kehilangan biodiversitas pada

prospek pertumbuhan bisnis mereka. Sebanyak 53% CEO dari Amerika Latin,

45% CEO dari Afrika serta 11% dari CEO Eropa Tengah dan Timur menyatakan

kepeduliannya terhadap dampak kehilangan bidodiversitas dalam bisnis mereka.

Kepedulian kalangan pengusaha dan pebisnis di sektor minyak kelapa

sawit terhadap degradasi lingkungan hidup ditunjukkan melalui kesediaan mereka

melakukan pertemuan untuk membahas isu keberlanjutan perkebunan minyak

kelapa sawit yang diinisiasi oleh World Wide Fund for Nature (WWF) Swis pada

tahun 2002. Pertemuan tersebut meluas dengan melibatkan para stakeholder

perkebunan kelapa sawit hingga munculnya prakarsa Roundtable on Sustainable

Palm Oil (RSPO). RSPO lahir pada bulan April 2004 sebagai mekanisme global

private governance untuk menjalankan perkebunan kelapa sawit secara

berkelanjutan yang didasarkan pada norma dan standar internasional (Schouten

and Galsbergen 2011). Indonesia selanjutnya mengeluarkan Indonesia Sustainable

Palm Oil (ISPO) sebagai bentuk sertifikasi kelapa sawit yang berkelanjutan. ISPO

bersifat mandatory dan RSPO bersifat voluntary. Hal ini berarti perusahaan

kelapa sawit bisa memiliki sertifikasi ganda.

ISPO dan RSPO merupakan organisasi yang mengelola penetapan standar

sertifikasi perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Isu keberlanjutan yang

diimplementasikan melalui pengelolaan High Conservation Value Areas (HCVA)

atau Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) (Panduan Kawasan Bernilai

Konservasi Tinggi 2008). Pengelolaan HCVA merupakan pengejawantahan

Page 24: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

5

implementasi prinsip ke-5 dan ke-7 dari RSPO. HCV dalam ISPO terkait dengan

prinsip ke-3 poin ke 3.4 sampai dengan 3.7 tentang pelestarian biodiversitas,

identifikasi dan perlindungan kawasan lindung, konservasi kawasan dengan

potensi erosi tinggi, dan mitigasi emisi gas rumah kaca. HCVA memiliki nilai

manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang mendukung kesejahteraan

masyarakat, namun manfaat dari keberadaan HCVA dalam areal perkebunan

kelapa sawit jarang sekali dilakukan valuasi terkait berapa nilai ekonominya. Hal

ini terjadi karena hasil penilaian ekonomi HCVA masih belum bisa ditangkap

(captured) atau perusahaan belum mendapatkan manfaat potensial atau insentif

dalam pengelolaan HCVA, meskipun perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi

RSPO mendapatkan harga premium (premium price) di pasar internasional.

Sertifikasi RSPO yang mempersyaratkan kajian pengelolaan HCVA di

areal konsesi perusahaan perkebunan kelapa sawit memberikan dampak langsung

dan tidak langsung bagi perusahaan dan masyarakat. Pengelolaan HCVA oleh

perusahaan sementara ini belum mendapatkan manfaat ekonomi yang optimal,

padahal dari mulai pelaksanaan kajian identifikasi HCVA hingga pengelolaan

HCVA membutuhkan biaya yang relatif besar. Pada saat ini, nilai premium price

dari perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO maksimal sebesar 0.35%

dari harga minyak kelapa sawit normal atau kelapa sawit belum tersertifikasi,

padahal perkebunan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO dan terdapat HCVA

arealnya berkurang dari total izin lokasinya. Premium price minyak kelapa sawit

yang didapatkan dari sertifikasi RSPO dirasakan tidak sebanding dengan produksi

yang hilang akibat pengurangan areal konsesi perusahaan atau kehilangan

kesempatan mendapatkan keuntungan akibat pengelolaan HCVA. Hal ini

disebabkan hingga sampai saat ini belum ada penelitian empiris mengenai dasar

pertimbangan penentuan premium price sebagai kompensasi sertifikasi RSPO.

Pengelolaan HCVA memberikan penerimaan ekonomi dari layanan barang dan

jasa lingkungan juga tidak pernah disadari oleh perusahaan, meskipun nilai

ekonomi sifatnya masih potensial karena barang dan jasa lingkungan HCVA

belum memiliki harga pasar (non-market goods). Estimasi nilai ekonomi dari

HCVA dan nilai premium price yang layak dan rasional perlu dilakukan

penelitian. Penelitian juga dilakukan untuk mengetahui dampak tidak langsung

Page 25: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

6

berupa hilangnya nilai ekonomi karena hilangnya aktivitas ekonomi akibat

berkurangnya areal produktif karena pengelolaan HCVA.

1.2 Perumusan Masalah

Permintaan global minyak kelapa sawit yang terus meningkat mendorong

negara-negara produsen dan eksportir melakukan konversi hutan untuk perluasan

areal konsesi perkebunan kelapa sawit. Perluasan perkebunan kelapa sawit

memunculkan isu keberlanjutan terkait dengan konversi hutan. Isu lingkungan

kemudian ditangkap oleh kalangan industri, pebisnis, dan pedagang di sektor

minyak kelapa sawit serta pemerhati lingkungan hidup dengan mengadakan

pertemuan (roundtable) untuk membahas produksi minyak kelapa sawit yang

berkelanjutan (sustainable palm oil) dan ramah lingkungan (ecologically

friendly).

Isu keberlanjutan terkait konversi hutan untuk perkebunan kelapa sawit

muncul karena sebagian hutan yang dikonversi tersebut kemungkinan bernilai

konservasi tinggi, karena berpotensi terdapat keanekaragaman hayati yang tinggi

dan mempunyai fungsi ekologis dan lingkungan yang penting. Fungsi hutan

sebagai bahan baku dan materi energi, sebagai asimilator berbagai limbah dan

pencemar, dan sebagai penyedia jasa lingkungan secara langsung seperti rekreasi,

estetika, pendidikan, kesehatan, dan pendukung sistem kehidupan (Nurrochmat et

al. 2009).

RSPO mempersyaratkan pengelolaan HCVA dalam areal konsesi

perusahaan perkebunan kelapa sawit, sedangkan ISPO tidak secara langsung

mempersyaratkan pengelolaan HCVA meskipun beberapa prisip dan kriterianya

terkait dengan HCVA. Permasalahan saat ini, HCVA dalam perusahaan

perkebunan kelapa sawit kurang memberikan manfaat bagi perusahaan yang

sudah mendapatkan sertifikat RSPO. Hal ini disebabkan karena insentif yang

didapatkan dari perdagangan minyak kelapa sawit global dalam bentuk premium

price tidak sebanding dengan upaya dan usaha yang dijalankan perusahaan, yaitu

biaya manajemen HCVA dan produksi yang berkurang akibat pengurangan luasan

areal perkebunan. Perusahaan berorientasi pada keuntungan (profit oriented),

Page 26: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

7

sehingga menjadi hal yang wajar jika mekanisme pengelolaan HCVA harus

memberikan keuntungan yang layak dan rasional bagi perusahaan.

Schouten dan Galsbergen (2011) menjelaskan bahwa rendahnya

permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan adalah karena krisis

ekonomi global, sedangkan pada saat yang sama minyak kelapa sawit

berkelanjutan sudah tersedia di pasar. Nilai premium price melebihi kesediaan

membayar (willingness to pay) pembeli dan saat ini premium price untuk minyak

kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan telah menurun. Penyerapan rendah dari

minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan menyebabkan kekecewaan bagi

produsen minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO yang selalu khawatir dengan

fakta yang ada, terkait kurangnya komitmen dari sisi permintaan dan bahwa

sebagai produsen menanggung beban penuh sertifikasi. Permintaan untuk minyak

kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan hanya dari negara-negara Barat. Oleh

karena itu, banyak produsen memilih mengekspor ke negara-negara yang tidak

mempersyaratkan permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan,

seperti Pakistan dan Cina.

Perusahaan kelapa sawit yang memiliki HCVA dalam areal konsesinya

tidak pernah ada yang melakukan valuasi berapa nilai ekonomi dari HCVA yang

dimilikinya. Hal ini disebabkan HCVA merupakan kawasan di perkebunan kelapa

sawit yang umumnya tidak memiliki manfaat bukan pasar. Nilai ekonomi

potensial dari HCVA dan potensi kehilangan pendapatan akibat pengelolaan

HCVA bisa digunakan untuk menekan buyer dan/atau negara importir minyak

kelapa sawit tersertifikasi RSPO untuk meningkatkan premium price sebagai

bentuk kompensasi, meskipun sementara ini belum ada inisiatif dan insentif

global untuk menangkap (rent capture) nilai ekonomi tersebut.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini

dirumuskan pertanyaan penelitian (research question) sebagai berikut:

1) Berapa nilai ekonomi total keberadaan HCVA dalam perkebunan kelapa

sawit?

2) Bagaimana dampak ekonomi langsung dan tidak langsung terkait pengelolaan

HCVA di perkebunan kelapa sawit?

Page 27: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

8

3) Bagaimana analisis finansial dan dampak ekonomi perusahaan kelapa sawit

terkait adanya pengelolaan HCVA di perkebunan sawit?

4) Apakah harga kompensasi (premium price) yang diterima perusahaan kelapa

sawit atas sertifikasi RSPO yang mempersyaratkan pengelolaan HCVA sudah

adil dan rasional bagi keberlanjutan bisnis perusahaan?

5) Bagaimana strategi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit

kedepannya?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah melakukan analisis dampak

ekonomi dari pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.

Adapun tujuan khusus dari kegiatan ini adalah sebagai berikut:

1) Mengestimasi nilai ekonomi kawasan High Conservation Value Area (HCVA)

di perkebunan kelapa sawit

2) Menganalisis dampak ekonomi dan finansial pengelolaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit

3) Mengevaluasi pengaruh perubahan harga (premium price), biaya dan luasan

areal perkebunan kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA

4) Memformulasikan strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangka

mewujudkan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Informasi dari hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan

pertimbangan para pengambil keputusan dan kebijakan dalam pengelolaan

perkebunan kelapa sawit

2) Informasi ini juga bisa dijadikan bahan pertimbangan bagi para pihak (palm

oil grower, buyers, retailer, palm oil processor and traders, dan financial

institution) untuk menentukan nilai kompensasi (premium price) dalam

pengelolaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit.

Page 28: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

9

1.5 Kerangka Pemikiran

Isu keberlanjutan yang dimobilisasi oleh lembaga pemerhati lingkungan

dan konservasi yang berkembang di dalam perkebunan kelapa sawit mendorong

para pengusaha, investor, pebisnis, pedagang dan industri untuk mengembangkan

mekanisme bersama dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara

berkelanjutan. Salah satu mekanisme yang ditempuh dengan mengembangkan

kerangka kerja pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dengan

membentuk organisasi sertifikasi kelapa sawit. RSPO merupakan organisasi

pertama yang bertanggung jawab dalam mengembangkan mekanisme global

private governance dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Peningkatan produksi melalui ekstensifikasi banyak mendapat sorotan terutama

di kalangan Non Government Organization (NGO) internasional karena perluasan

perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai penyebab penebangan hutan yang

selanjutnya menghilangkan lahan hutan yang bernilai konservasi tinggi dan

meningkatkan emisi gas rumah kaca. Mekanisme RSPO diharapkan mampu untuk

mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan. Organisasi

tersebut juga mempersyaratkan prinsip/kriteria yang menjadi landasan dalam

pengelolaan perkebunana kelapa sawit yang dimanifestasikan dalam bentuk

perlindungan dan pelestarian pada kawasan lindung yang bernilai konservasi

tinggi (HCVA/KBKT).

Keberadaan HCVA memberikan dampak yang nyata bagi usaha

perkebunan kelapa sawit. Dampak keberadaan HCVA terkait dengan tambahan

biaya pengelolaan HCVA dan perubahan penerimaan bagi perusahaan

perkebunaan kelapa sawit akibat penurunan produksi Tandan Buah Segar (TBS).

Dampak tambahan biaya dan kehilangan penerimaan karena penurunan produksi

TBS akibat pengelolaan HCVA tentu saja akan mengurangi laba (profit) bagi

perusahaan perkebunan.

Dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan berupa kehilangan

pendapatan karena berkurangnya areal produksi kelapa sawit, sehingga produksi

TBS kelapa sawit berkurang. Dampak langsung bagi masyarakat berupa

berkurangnya pendapatan dari pekerjaan di kebun kelapa sawit pada areal yang

dijadikan HCVA. Pengelolaan HCVA juga berdampak tidak langsung terhadap

Page 29: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

10

ekonomi wilayah karena kehilangan produksi TBS yang memiliki efek pengganda

(multiplier effect)

Di samping berdampak langsung pada penurunan profit, sebenarnya

pengelolaan HCVA juga memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan

tambahan keuntungan bagi perusahaan melalui premium price dan keuntungan

ekonomi bagi masyarakat dengan keberadaan HCVA. Keberadaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit memberikan penerimaan ekonomi bagi perusahaan yang

sifatnya masih potensial. Nilai ekonomi pengelolaan HCVA belum banyak

diketahui karena belum ada inisiatif global maupun pengusaha perkebunan kelapa

sawit untuk melakukan estimasi valuasi ekonomi dari HCVA, padahal kawasan

perkebunan yang telah memiliki HCVA memiliki potensi barang dan jasa

ekosistem (seperti pengatur, pendukung, dan budaya) yang bernilai ekonomi

tinggi.

Dampak keberadaan HCVA dari sisi penerimaan baik dari perspektif

ekologi maupun ekonomi dapat ditangkap (captured) untuk menentukan nilai dari

premium price dengan menggunakan skema payment environmental service (PES)

yang dikembangkan oleh Pagiola. Formulasi PES berupa selisih antara pilihan

pengelolaan perkebunan kelapa sawit tanpa HCVA (without HCVA) dengan

pilihan dengan HCVA (with HCVA). Premium price merupakan kompensasi

harga bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan sertifikasi RSPO

dengan mempersyaratkan pengelolaan HCVA.

Penelitian ini mencoba menganalisa kelayakan finansial dan dampak

ekonomi pengelolaan perkebunan kelapa sawit dengan with HCVA dan without

HCVA pengelolaan HCVA dengan cara membandingkan benefit dan cost yang

bersifat aktual maupun potensial yang dihasilkan dari keberadaanya. Analisis

dampak ekonomi dilakukan dengan menginternalisasikan tambahan biaya,

pengurangan penerimaan sebagai akibat langsung bagi perusahaan maupun

masyarakat karena pengurangan lahan kebun produktif, dan nilai ekonomi total

(Total Economic Value/TEV) akibat pengelolaan HCVA. Analisis finansial

digunakan untuk menunjukkan berapa nilai kerugian/kehilangan pendapatan dari

pilihan pengelolaan with dan without HCVA. Analisis ini diperlukan karena

perusahaan merupakan pelaku utama dalam pengelolaan HCVA, dimana sifatnya

Page 30: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

11

masih voluntary terkait sertifikasi RSPO. Tingkat premium price yang layak dan

rasional didekati dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis ini

menggunakan variabel premium price, tambahan biaya dan dampak penerimaan

bagi perusahaan atas hilangnya areal yang produktif untuk kebun karena

pengelolaan HCVA. Untuk mengetahui potensi nilai ekonomi dari keberadaan

HCVA didekati dengan menggunakan analisis nilai ekonomi total (TEV) dan

analisis biaya manfaat untuk menghitung dampak ekonomi langsung bagi

perusahaan dan masyarakat, sedangkan dampak ekonomi tidak langsung

menggunakan studi pustaka.

TEV HCVA sebagai manifestasi nilai ekonomi potensial dari pengelolaan

kawasan HCVA bisa diaktualisasikan nilainya melalui pengembangan skema dan

mekanisme perdagangan berupa PES. Analisa strategi kebijakan pengelolaan

HCVA menggunakan alat analisis stakeholder dan mendasarkan pada peraturan

dan perundang-undangan terkait. Hasil elaborasi analisis-analisis tersebut

digunakan untuk menentukan rumusan strategi kebijakan pengelolaan HCVA

dalam rangka mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Premium price yang dibayarkan oleh buyer di pasar global kepada

pengusaha perkebunan kelapa sawit bersertifikat berkelanjutan (certified

sustainable plam oil) saat ini belum dapat menutup potensi kerugian yang

ditimbulkan dari berkurangnya produksi TBS karena alokasi areal untuk HCVA

(Nurrochmat et al. 2012). Premium price yang layak (feasible) sangat dibutuhkan

pemerintah Indonesia sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia

sangat berkepentingan, meskipun serapan pasar CPO Indonesia di Asia terbesar

tanpa bersertifikat CSPO-RSPO.

Page 31: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

12

HCVA

Impact

Ekonomi

(B)

Ekologi

(A)

Langsung

(Perusahaan)

Income/Profit

Digunakan untuk

Penentuan Premium

Price (PP)

?

Biaya Pengelolaan HCVA Penerimaan

RSPO

PES

(Selisih A- B)

PP > PES+ Harga

Normal

Feasible

PP < PES+

Harga Normal

Unfeasible

Strategi Kebijakan

Langsung

(Masyarakat)

Tenaga

KerjaIncome

Gambar 3. Kerangka pemikiran penelitian

Page 32: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

13

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 High Conservation Value Area (HVCA)

2.1.1 Konsepsi HCVA

Konsep High Conservation Value Forest (HCVF) atau Hutan Bernilai

Konservasi Tinggi yang muncul pada tahun 1999 sebagai „Prinsip ke-9‟ dari

standar pengelolaan hutan yang berkelanjutan yang dikembangkan Forest

Stewardship Counci (FSC). Saat ini, konsep HCVF telah diadopsi di luar sektor

kehutanan salah satunya adalah pengelolaan HCV di perkebunan kelapa sawit.

Konsep ini diharapkan mampu mensinergikan keberlangsungan pembangunan

atau produksi dari suatu unit pengelolaan sejalan dengan manfaat lainnya, yaitu

terjaganya nilai-nilai ekologi dan konservasi dari suatu kawasan (HCV-RIWG

2009).

Konsep HCVF ditujukan untuk membantu para pengelola hutan dalam

usaha peningkatan keberlanjutan sosial dan lingkungan hidup dalam kegiatan

produksi kayu dengan menggunakan pendekatan dua tahap, yaitu: 1)

mengidentifikasikan areal-areal di dalam atau di dekat suatu Unit Pengelolaan

(UP) yang mengandung nilai-nilai sosial, budaya dan/atau ekologis yang luar

biasa penting, dan 2) menjalankan suatu sistem pengelolaan dan pemantauan

untuk menjamin pemeliharaan dan/atau peningkatan nilai-nilai tersebut.

Salah satu prinsip dasar dari konsep HCV adalah bahwa wilayah-wilayah

yang memiliki atribut dengan nilai konservasi tinggi tidak selalu harus menjadi

daerah di mana pembangunan tidak boleh dilakukan, namun konsep HCV

mempersyaratkan agar pembangunan dilaksanakan dengan cara yang menjamin

pemeliharaan dan/atau peningkatan HCV tersebut. Pendekatan HCV berupaya

membantu masyarakat mencapai keseimbangan rasional antara keberlanjutan

lingkungan hidup dengan pembangunan ekonomi jangka panjang (Panduan

Identifikasi NKT Indonesia 2008).

2.1.2 Ruang Lingkup HCVA

HCVA atau KBKT adalah kawasan atau areal (hutan, kebun kelapa sawit,

kawasan tambang) yang dianggap penting dan kritis karena tingginya nilai

lingkungan, sosial ekonomi, sosial budaya, keanekaragaman hayati, dan bentang

Page 33: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

14

alam yang melekat padanya. HCVA dapat berfungsi sebagai penyangga

kehidupan dan iklim di tingkat lokal, sebagai daerah tangkapan air, habitat bagi

spesies yang terancam punah, ataupun merupakan tempat bermukim dan tempat

sakral bagi masyarakat asli yang hidup di dalam dan di sekitar hutan (HCV-RIWG

2009).

Panduan Identifikasi NKT Indonesia versi 2 Juni 2008 menyebutkan

bahwa kawasan dengan nilai konservasi tinggi adalah kawasan yang memiliki satu

atau lebih ciri-ciri sebagai berikut: (1) Kawasan yang mempunyai tingkat

keanekaragaman hayati penting (NKT1), (2) Kawasan bentang alam yang penting

bagi dinamika ekologi secara alami (NKT2), (3) Kawasan yang mempunyai

ekosistem langka atau terancam punah (NKT3), (4) Kawasan yang menyediakan

jasa-jasa lingkungan alami (NKT4), (5) Kawasan yang mempunyai fungsi penting

untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal (NKT5), dan (6) Kawasan

yang mempunyai fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (NKT6).

2.1.3 HCV di Perkebunan Kelapa Sawit

Konsep HCV pada awalnya dirancang dan diaplikasikan untuk

pengelolaan hutan produksi (areal hak pengelolaan hutan/HPH). Konsep ini

berkembang sehingga dapat digunakan di berbagai sektor yang lain. Keberadaan

HCV pada sektor publik digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan

provinsi, seperti di Bolivia, Bulgaria dan Indonesia (HCV-RIWG 2009).

Keberadaan HCV di sektor sumber daya terbaharui digunakan sebagai alat

perencanaan untuk meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang

negatif dalam pembangunan perkebunan, sebagai contoh kriteria kelapa sawit

terbaharukan yang digunakan oleh organisasi multipihak Roundtable on

Sustainable Palm Oil (RSPO). Sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari

RSPO akan didapatkan jika pembangunan perkebunan baru menghindari konversi

kawasan yang diperlukan untuk mengelola HCV yang ada. Konsep HCV bahkan

telah memperoleh kekuatan di sektor keuangan, dengan banyaknya pemberi

pinjaman dana komersil yang mempersyaratkan penilaian HCV sebagai bagian

dari kewajiban peminjam dalam evaluasi pinjaman kepada sektor-sektor yang

memiliki riwayat dampak-dampak negatif pada lingkungan hidup dan komunitas-

komunitas lokal. Konsep HCV yang berawal sebagai alat untuk meningkatkan

Page 34: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

15

keberlanjutan produksi kayu dengan memperhatikan aspek-aspek sosial, budaya

dan keanekaragaman hayati telah berkembang menjadi konsep yang memiliki

implikasi luas bagi masyarakat.

Penggunaan konsep HCV di sektor swasta menunjukkan komitmen

perusahaan untuk melakukan praktek terbaik (best practise) yang seringkali

melebihi dari yang dipersyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan

sekaligus memberikan jalan bagi perusahaan untuk menunjukkan diri sebagai

warga dunia yang bertanggung jawab. Keberadaan HCV di sektor pemerintahan

menjadi alat yang dapat digunakan untuk mencapai perencanaan tata guna lahan,

menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat biologi, sosial, dan ekologis yang tidak

terpisahkan. Penilaian HCV di sektor keuangan, merupakan cara yang

memungkinkan pihak penanam modal komersil yang progresif untuk menghindari

praktek pemberian pinjaman yang mendukung perusakan lingkungan hidup

ataupun ketimpangan sosial ekonomi.

Berdasarkan hasil kajian HCVA yang dilakukan oleh tim Fakultas

Kehutanan IPB selama tahun 2009-2011 di berbagai wilayah di Indonesia

khususnya Sumatera dan Kalimantan menunjukkan bahwa perkebunan kelapa

sawit minimal memiliki 3 (tiga) NKT. Rata-rata perkebunan kelapa sawit di

Indonesia memiliki luasan HCVA seluas 1.413,80 ha. Setiap areal perkebunan

kelapa sawit memiliki HCV yang beragam tergantung lokasi bioregion dan

biogeografi, begitu juga kawasan yang memiliki nilai-nilai budaya tinggi (high

cultural values) cdan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat

lokal.

2.2 Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)

RSPO adalah sebuah inisiatif dari beberapa industri minyak kelapa sawit

besar dan organisasi konservasi yang menggunakan mekanisme pasar untuk

menyusun ulang metode produksi, proses dan penggunaan kelapa sawit.

Organisasi RSPO dibentuk pada April 2004 untuk menetralkan kampanye

organisasi lingkungan yang menggambarkan kelapa sawit sebagai ancaman

terbesar bagi hutan tropis dan berbagai makhluk hidup yang hidup dan sangat

bergantung pada hutan tropis (Cholcester et al. 2006). Tujuan pembentukan RSPO

Page 35: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

16

adalah untuk mendorong perluasan sektor kelapa sawit yang lebih “bertanggung

jawab” untuk memenuhi permintaan minyak dan lemak kelapa sawit global yang

berlipat ganda dalam kurun waktu 20 tahun kedepan (Cholcester et al. 2006), pada

tahun 2020 (UNEP-GEAS Desember 2011).

Tujuan lain dari pembentukan RSPO adalah untuk menetapkan standar

baku produksi dan pemanfaatan “minyak kelapa sawit berkelanjutan” (sustainable

palm oil/SPO) serta mendukung perdagangan minyak kelapa sawit yang menolak

produksi minyak kelapa sawit yang merusak lingkungan. Hal ini dilakukan

dengan cara (a) membuat standar SPO, (b) mendorong pengadopsian standar

tersebut oleh seluruh anggota RSPO, (c) mendorong anggota RSPO untuk

mereformasi praktek produksi dan pemanfaatan minyak kelapa sawit berdasarkan

standar-standar tersebut, (d) harapan Badan Eksekutif RSPO agar setiap

anggotanya mematuhi standar-standar tersebut secara sukarela, (e) pelibatan pihak

ketiga yang merupakan penilai akreditasi terhadap setiap klaim produksi dan

penggunaan SPO (Cholcester et al. 2006).

Prinsip RSPO perkebunan kelapa sawit berkelanjutan adalah sebagai

berikut:

1. Komitmen terhadap transparansi

2. Mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku

3. Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan jangka panjang

4. Penggunaan praktek terbaik dan tepat oleh perkebunan dan pabrik

5. Tanggungjawab lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keragaman

hayati

6. Tanggungjawab kepada pekerja, individu-individu, dan komunitas dari kebun

dan pabrik

7. Pengembangan perkebunan baru secara bertanggung jawab

8. Komitmen terhadap perbaikan terus menerus pada wilayah-wilayah utama

aktivitas.

2.3 Urgensi Pengelolaan HCVA dalam RSPO

Isu keberlanjutan yang berkembang di perkebunan sawit menjadi

kepedulian kalangan pengusaha, pebisnis, dan CEO untuk menciptakan global

Page 36: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

17

private governance (tata kelola perusahaan dunia) dalam memproduksi produk

ramah lingkungan. Pelembagaan private governance yang muncul dalam

beberapa rantai komoditas global (seperti minyak kelapa sawit) lebih dari tiga

dekade. Bentuk spesifik global private governance adalah “Rountable” yang

diwujudkan dalam RSPO (Schouten and Galsbergen 2011). Inisiatifnya tidak

hanya didorong oleh kalangan industri dan organisasi konservasi tetapi juga

melibatkan kelompok keadilan sosial (Cholchester et al. 2006). Pembangunan sub

sektor perkebunan kelapa sawit saat ini disepakati agar pembangunan

dilaksanakan dengan cara berkelanjutan melalui RSPO (HCV-RIWG 2009).

Agus (2011) menyebutkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit

bersertifikat memilik implikasi kebijakan. Beberapa tujuan konservasi

berimplikasi terhadap biaya yang sangat besar bagi negara penghasil. Konservasi

hutan dengan HCV bisa dilihat sebagai kehilangan kesempatan mendapatkan

keuntungan pada lahan yang dikonservasi tersebut. HCVA dan konservasi karbon

pada umumnya merupakan public goods dimana konservasi karbon dan HCV

seharusnya menjadi tanggungan masyarakat global. Konservasi hutan HCV

seyogyanya mendapat perhatian, selama tidak mempengaruhi produksi dan

pembangunan ekonomi secara signifikan. Urgensi RSPO dalam pengelolaan

HCVA merupakan mekanisme bersama antar multistakeholder untuk menangkap

isu lingkungan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

RSPO mempersyaratkan bahwa untuk mendapatkan sertifikasi

pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO, pembangunan perkebunan baru harus

menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola HCV yang ada.

Sertifikasi RSPO secara formal tidak terikat dengan negara atau bersifat sukarela

(voluntary). Prinsip ke-2 HCVA menyatakan bahwa perusahaan yang

tersertifikasi RSPO harus mematuhi hukum dan peraturan lokal, nasional dan

internasional (Tabel 1). Cara ini menunjukkan bahwa RSPO dapat dilihat sebagai

salah satu jalan untuk endukung sistem legalitas yang berdasarkan negara,

sekaligus untuk mendapatkan legitimasi dari negara (Schouten and Galsbergen

2011).

Page 37: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

18

Tabel 1. Prinsip dan kriteria RSPO terkait HCVA Prinsip

Prinsip 5. Tanggungjawab lingkungan

hidup dan konservasi sumberdaya alam

serta keanekaragaman hayati

Prinsip 7. Pengembangan perkebunan baru

yang bertanggungjawab

Kriteria

Kriteria 5.2 Membangun pemahaman

tentang spesies dan habitat tumbuhan dan

hewan yang berada di alam dan sekitar

areal penanaman.

Kriteria 5.3 Rencana dikembangkan,

diimplementasikan dan dipantau untuk

menangani keragaman biota di dalam dan

sekitar areal penanaman

Kriteria 7.3 Penanaman baru sejak

(tanggal diterapkannya kriteria RSPO)

belum menggantikan hutan primer atau

setiap daerah yang mengandung satu atau

lebih nilai-nilai tinggi pelestarian.

Kriteria 7.4 Dilarang mengembangkan

perkebunan di dataran yang curam,

dan/atau di pinggir serta tanah yang rapuh

2.4 HCVA Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

Persentase luasan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit sangat beragam

tergantung lokasi perusahaan tersebut berada. Kajian HCVA di perkebunan kelapa

sawit oleh Tim HCV Fahutan IPB seluas 908.484,03 ha atau sebesar 10.20% dari

total luas perkebunan kelapa sawit Indonesia pada tahun 2011 (8.908.399 ha) atau

sebesar 19.53% dari total luas perkebunan kelapa sawit swasta (4.651.590)

berdasarkan data Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian (2012).

Luas HCVA yang telah dipetakan oleh tim Fahutan IPB seluas 98.966.09 ha atau

10.89% dari total perkebunan kelapa sawit yang dikaji oleh Tim Fahutan IPB1.

Hasil kajian tersebut diperoleh dari kajian identifikasi keberadaan HCVA di tiga

pulau besar di Indonesia meliputi Sumatera, Kalimantan dan Papua. Perusahaan

yang telah diteliti oleh Tim HCV Fahutan IPB di pulau Sumatera sebanyak 20

perusahaan, di Pulau Kalimantan sebanyak 44, dan di Papua sebanyak 6

perusahaan. Gambar 8 menunjukkan persentase luasan keberadaan HCVA yang

berbeda di tiga pulau yang dikaji. Pulau Papua memiliki rata-rata luasan HCVA di

perusahaan kelapa sawit lebih tinggi dibandingkan dua pulau lainnya yaitu seluas

4.550.03 ha, sementara di Pulau Sumatera seluas 309.23 ha dan Kalimantan seluas

1.480.75 ha. Perbedaan rata-rata luasan HCVA di Papua dengan dua pulau lainnya

sangat signifikan. Perbandingan luasan rata-rata HCVA Pulau Papua dengan

Sumatera sebesar 1:15 kali, sedangkan dengan pulau Sumatera sebesar 1:3.

Luasan HCVA di Pulau Papua tersebut dalam areal perkebunan rata-rata sebesar

1 Hasil kajin Tim HCV Fahutan IPB selama periode 2009-2012 di 70 perusahaan yang tergabung

dalam 10 group perusahaan perkebunan kelapa sawit

Page 38: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

19

25.808,26 ha. Persentase pengurangan areal kebun karena keberadaan HCVA

untuk di pulau Papua sebesar 17.6%. Keberadaan HCVA yang relatif besar

tersebut menunjukkan bahwa Papua merupakan rumah bagi sebagian besar

biodiversitas Indonesia. Papua merupakan sumber keanekaragaman hayati yang

tinggi dan juga bernilai konservasi tinggi. Besarnya persentase tersebut juga

menunjukkan komitmen perusahaan kelapa sawit yang ada di Papua untuk

melestarikan keberadaan kawasan yang bernilai konservasi tinggi, flora fauna

endemik dan ekosistem yang langka yang ada di Papua (Gambar 4).

Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB data diolah

Gambar 4. Rata-rata luasan HCV di pulau-pulau besar Indonesia

Rata-rata luasan HCVA perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan

sebesar 1.480.75 ha dari rata-rata luasan areal perkebunanan kelapa sawit seluas

12.805.87 ha dengan rata-rata persentase HCVA terhadap perkebunan kelapa

sawit sebesar 13.20%. Persentase kehilangan areal kebun produktif akibat

keberadaan HCVA di pulau Kalimantan sebesar 11.56%. Besarnya luasan HCVA

di Kalimantan disebabkan oleh banyaknya aliran anak sungai yang melintasi areal

perkebunan dimana memiliki kriteria HCV 4 yaitu kawasan yang menyediakan

jasa-jasa lingkungan alami khususnya HCV 4.1 dan HCV 4.2 yang terkait aliran

jasa dan fungsi ekosistem riparian sebagai pengendali tata air seperti banjir,

pencegah erosi dan sedimentasi. Kontribusi utama besarnya HCVA di perkebunan

kelapa sawit di Kalimantan adalah HCV 1 yaitu Kawasan yang mempunyai

tingkat keanekaragaman hayati yang penting dengan kriteria HCV 1.1 dan 1.2.

309.23

1.480.75

4.550.03

Rata-rata Luasan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit (ha)

Sumatera Kalimantan Papua

Page 39: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

20

Pulau Sumatera memiliki rata-rata luasan HCVA terkecil yaitu sebesar 309,23 ha

atau dengan kata lain 0.07 kali rata-rata luas HCVA pulau Papua (Tabel 2).

Komponen utama keberadaan jenis HCV di perusahaan yang tersebar di tiga

pulau hasil kajian Tim HCV Fahutan IPB adalah HCV 1.1 dan 1.2 dengan

persentase sebesar 66 % atau sebanyak 46 perusahaan dari 70 perusahaan

memilikinya, kemudian diikuti oleh HCV 6 sebesar 60% atau sebanyak 42

perusahaan memilikinya. Kriteria HCV 2.1 dan 2.2 tidak ditemukan di semua

perusahaan kelapa sawit. Kriteria HCV tersebut menekankan pada keberadaan

bentang alam yang penting bagi dinamika ekologi secara alami dan kawasan alam

yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang tidak terputus

(berkesinambungan).

Tabel 2. Sebaran HCVA di Indonesia

Sebaran HCVA Sumatera Kalimantan Papua Indonesia

Rata-rata luasan

HCVA 309.23 ha 1.480,75 ha 4.550,03 ha 1.413,80 ha

Rata-rata luas

perkebunan kelapa

sawit

6.867,42 ha 12.805,87 ha 25.808,26 ha 12.978,34 ha

% Rata-rata

Kehilangan Areal

Kebun Akibat

HCVA

4.50% 11.56% 17.63% 10.89%

Sumber: Laporan HCV Tim Fahutan IPB (data diolah)

Keseluruhan data yang ada jika diambil resultannya bisa menujukkan

gambaran HCVA perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Perhitungan dari 70

laporan kajian HCV Tim Fahutan IPB diperoleh rata-rata perkebunan kelapa sawit

di Indonesia memiliki luasan HCVA sebesar 1.413,80 ha. Rata-rata persentase

HCVA 10.92% dari luas izin perkebunan kelapa sawit dengan rata-rata seluas

12.978,34 ha. Persentase rata-rata kehilangan areal kebun produktif akibat

keberadaan HCVA sebesar 10.89%. Luas lahan yang hilang akibat keberadaan

HCVA sebesar 98.966.09 ha dengan asumsi semua lahan HCVA tersebut bisa

dikonversi menjadi lahan produktif. Penyesuaian pengurangan areal HCVA

berasal dari HCV 4.1, HCV 4.2 dan sebagian HCV 6 karena HCV 6 sebagian

besar berupa tempat yang bernilai budaya tinggi seperti kuburan keramat, danau

keramat, bangunan kramat yang umumnya diproteksi secara kuat oleh masyarakat

lokal dimana perusahaan kelapa sawit beroperasi.

Page 40: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

21

Tabel 3 menunjukkan gambaran sebaran luasan HCVA di perkebunan

kelapa sawit yang jika dilihat berdasarkan umur kebun menunjukkan data yang

rasional. Kebun-kebun tua dengan menggunakan batasan tahun tanam dibawah

tahun 2000 menunjukkan luasan HCVA relatif sangat kecil. Rata-rata luasan

HCVA perkebunan kelapa sawit yang telah dikaji tim HCV Fahutan IPB sebesar

2.12% dari luas total izin perkebunan kelapa sawit. Rata-rata Luas HCVA hanya

sebesar 176.18 ha. Luasan tersebut relatif sangat kecil bila dibandingkan dengan

luas areal perkebunan dengan rata-rata seluas 10.758,44 ha.

Tabel 3. Rata-rata luasan HCV berdasarkan umur kebun

Keterangan Total Luas

HCV (Ha)

Izin

Perkebunan

(Ha)

Persentase

Luas HCV

Luas Areal

Efektif (Ha)

Kebun Tua (Umur

Kebun Sebelum

2000)

176.18 10.758,44 2.12% 10.582,26

Kebun Muda

(Umur Kebun

Setelah 2000)

1.834,18 13.746,79 13.88% 11.912,62

Sumber: Laporan Tim HCV Fahutan IPB (data diolah)

Kebun baru atau kebun dengan tahun tanam di atas tahun 2000

menunjukkan gambaran luasan yang sangat rasional karena adanya aturan dalam

pembukaan perkebunan baru yang sesuai dengan standar HCV toolkits dan selaras

dengan komitmen pembangunan perkebunan kelapa sawit RSPO. Rata-rata luasan

HCVA kebun baru sebesar 1.834,18 ha dengan luas izin perkebunan rata-rata

sebesar 13.746,79 ha atau sekitar 13.88% dari luas izin perkebunan, padahal

perbedaan luasan areal kebun baru dan kebun lama tidak terlalu signifikan. Hal ini

berarti keberadaan sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang salah satunya

mempersyaratkan adanya kajian HCVA memberikan hasil yang optimal untuk

meredam laju kehilangan biodiversitas, kerusakan lingkungan dan menjaga aliran

jasa dan fungsi ekosistem yang penting bagi keberlangsungan kehidupan di muka

bumi.

2.5 Valuasi Ekonomi HCVA dan Payment for Enviromental Service (PES)

2.5.1 Konsepsi Valuasi Ekonomi

Ekonomi sebagai studi yang mengalokasikan sumberdaya terbatas dan

mendasarkan pada valuasi untuk menyediakan informasi bagi masyarakat

Page 41: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

22

mengenai tingkat kelangkaan sumberdaya (TEEB 2010). Valuasi ekonomi jasa

ekosistem dan biodiversitas dapat dibuat secara eksplisit bagi masyarakat secara

umum dan pembuat kebijakan tertentu. Biodiversitas dan jasa ekosistem yang

langka dan degradasinya menimbulkan biaya bagi masyarakat. Biaya ini tidak

dimasukkan sehingga kebijakan akan salah arah dan masyarakat akan menjadi

lebih miskin disebabkan alokasi sumberdaya yang tidak terdistribusikan dengan

baik. Valuasi memainkan peranan penting dalam pencipataan pasar untuk

konservasi biodiversitas dan jasa ekosistem (Engel et al. 2008; Pascual et al.

2010).

Ekosistem dan komponen penyusunnya termasuk biodiversitas

memberikan aliran manfaat bagi kehidupan manusia melalui penyediaan barang

dan jasa (provisioning goods and services), fungsi perlindungan dan pengaturan

(protecting and regulating function), fungsi estetika dan budaya (aesthetical and

cultural function) dan fungsi pendukung (supporting system) yang memungkinkan

fungsi-fungsi lainnya dapat berjalan (MEA 2005).

Valuasi ekosistem dan biodiversitas diperlukan pemahaman bahwa

keanekaragaman hayati merupakan pondasi dari ekosistem melalui layanan yang

diberikan akan mempengaruhi kesejahteraan manusia. Hal ini termasuk

penyediaan jasa seperti makanan, air, kayu, dan serat; jasa pengaturan seperti

pengaturan iklim, banjir, penyakit, limbah, dan air; jasa budaya seperti rekreasi,

kenikmatan estetis, dan pemenuhan spiritual, dan jasa penunjang seperti

pembentukan tanah, fotosintesis, dan siklus hara. Millenium Ecosystem

Assessment (MEA) menganggap kesejahteraan manusia terdiri dari lima

komponen utama: (1) bahan kebutuhan dasar untuk kehidupan yang baik, (2)

kesehatan, (3) hubungan sosial yang baik, (4) keamanan, dan (5) kebebasan

pilihan dan tindakan. Kesejahteraan manusia adalah hasil dari banyak faktor, baik

bersifat langsung atau tidak langsung terkait dengan keanekaragaman hayati

(MEA 2005).

Perhatian mengenai nilai manfaat kawasan ekosistem dan biodiversitas

yang ada di dalamnya, serta adanya potensi kehilangannya telah mendorong ahli

ekonomi untuk mengembangkan kerangka kerja untuk menganalisis faktor-faktor

yang menyebabkan kerusakan ekosistem dan penurunan aliran manfaat yang

Page 42: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

23

dihasilkannya. Perumusan instrumen yang dapat dipergunakan selanjutnya

dilakukan untuk mengatasi kerusakan ekosistem dan kehilangan biodiversitas

tersebut melalui serangkaian strategi dan tindakan pengelolaan yang

berkelanjutan. Aplikasi konsep dari kerangka kerja tersebut dilakukan dengan

valuasi ekonomi ekosistem dan biodiversitas. Valuasi ekonomi memiliki dua

tujuan utama yaitu: (1) demonstratif ; untuk menunjukkan bagaimana

biodiversitas memiliki peranan yang besar dalam menyokong aktivitas kehidupan

manusia termasuk kegiatan ekonomi, dan (2) bagaimana nilai yang ditunjukkan

pada tujuan pertama yang merupakan nilai intrinsik tersebut dapat ditransformasi

menjadi faktor yang menentukan dalam rumusan pengelolaan sumberdaya

berkelanjutan termasuk bagaimana menangkap (capturing) nilai tersebut dapat

memberikan kemanfaatan langsung bagi para pemangku kepentingan yang

dipengaruhi secara langsung dari keberadaan ekosistem tersebut Pearce (1993).

2.5.2 Valuasi Ekonomi HCVA

Keberadaan HCVA dalam areal konsesi perkebunan kelapa sawit

memerlukan penilain tidak berbeda dengan valuasi ekonomi pada kawasan hutan.

Kawasan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit biasanya habitat satwa,

ekosistem gambut, sempadan sungai, dan kawasan yang memiliki nilai budaya

tinggi serta kawasan yang menjadi sumber pemenuhan kebutuhan pokok

masyarakat lokal.

Valuasi hutan menjadi sangat penting mengingat banyak kegiatan/proyek

pembangunan yang secara signifikan menghasilkan dampak lingkungan seperti

perkebunan kelapa sawit. Internatinal Institute for Environmental and

Development (IIED) dalam buku Valuing Forests (2003) telah menyusun metode-

metode valuasi manfaat bukan pasar (non market benefits) dari sumberdaya hutan.

Barbier (1991) membagi nilai sumberdaya hutan terbagi menjadi 2 (kelompok)

yaitu (1) nilai guna, yang terdiri dari nilai guna langsung, nilai guna tidak

langsung, dan nilai pilihan (2) nilai non-guna yang terdiri dari nilai keberadaan,

nilai budaya, dan nilai pewarisan (Tabel 4).

Page 43: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

24

Tabel 4. Tipe nilai sumberdaya hutan Nilai Guna Nilai Non-Guna

Guna Langsung Nilai Guna Tidak

Langsung Nilai Pilihan Nilai Keberadaan

Produk kayu (kayu,

serat, dan kayu

bakar)

Perlindungan DAS

Nilai guna tidak

langsung dan guna

langsung masa

depan

Biodiversitas

(Wildlife)

Produk bukan

kayu(makanan,

obat-obatan,

material genetik)

Siklus nutrien Budaya, warisan

Pendidikan,

penelitian, dan nilai

kultural

Pengurangan polusi

udara Nilai intrinsik

Habitat/tempat

tinggal manusia

Pengaturan ikim

mikro Bequest value (nilai

pewarisan) Amenitis (lanskap) Carbon storage

Sumber: Barbier (1991)

Penilaian sumberdaya hutan secara komprehensif diperlukan secara

menyeluruh terkait dengan fungsi hutan (Nurrochmat et al. 2009). Barbier (1995);

Pierce dan Turner (1990) dalam Nurrochmat et al. (2009) memandang ada tiga

fungsi utama dari sumberdaya hutan, yaitu:

1) Hutan sebagai bahan baku materi dan energi

2) Hutan sebagai assimilator berbagai limbah dan pencemaran

3) Hutan sebagai penyedia jasa lingkungan secara langsung seperti rekreasi,

estetika, pendidikan, kesehatan, dan pendukung sistem kehidupan.

Nurrochmat et al. (2009) mengelompokkan beragam fungsi dan manfaat

sumberdaya hutan menjadi delapan kategori sebagai berikut:

1) Manfaat hutan untuk kepentingan konsumsi berupa berbagai hasil hutan baik

kayu maupun bukan kayu

2) Manfaat untuk rekreasi

3) Manfaat hutan untuk perlindungan berbagai fungsi hidrologis seperti

perlindungan seperti perlindungan terhadap erosi, pengaturan tata air

4) Manfaat hutan untuk mendukung terjadinya proses-proses yang bersifat

ekologis seperti siklus hara, pangaturan iklim mikro dan makro, pembentukan

formasi tanah, dan pendukung kehidupan global

5) Manfaat hutan yang menyimpan keanekaragaman hayati sebagai sumber

genetik, perlindungan keanekaragaman spesies dan keanekaragaman

ekosistem

Page 44: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

25

6) Manfaat hutan untuk pendidikan dan penelitian

7) Manfaat-manfaat hutan yang bersifat bukan konsumsi seperti manfaat budaya,

sejarah, spiritual, dan keagamaan

8) Manfaat-manfaat hutan yang mungkin bisa diperoleh di masa depan (option

value, quasi-option value).

Sumberdaya hutan memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung. Nilai

guna langsung (direct values) merupakan manfaat dari penggunaan sumberdaya

hutan sebagai input produksi atau sebagai barang konsumsi. Nilai guna langsung

sumberdaya hutan meliputi baik aktivitas komersial mapun non-komersial.

Pemanfaatan komersial seperti kayu dan produksi pulp secara signifikan untuk

memenuhi permintaan pasar domestik dan internasional. Pemanfaatan non-

kemersial pada sisi lain sering menjadi penting bagi penduduk lokal, tetapi dapat

menjadi sangat penting untuk kebutuhan subsisten penduduk perdesaan dan

kelompok masyarakat miskin seperti kayu bakar, permainan, bisa dimakan, dan

tanaman obat (International Institute for Environment and Development 2003).

Nilai guna langsung juga meliputi jasa penting seperti rekreasi hutan, pendidikan

dan penelitian dimana dihubungkan dengan basis non-komersial.

Sumberdaya hutan menghasilkan barang hutan yaitu hasil hutan kayu dan

hasil hutan bukan kayu. Permintaan hasil hutan bukan kayu meningkat lebih

cepat dari permintaan kayu. Salah satu hasilnya adalah kawasan hutan tertentu

dinilai meningkat oleh publik sebagai political representative dalam menyediakan

nilai manfaat lingkungan. Kawasan hutan kaya akan jenis kayu, namun

kepentingan konservasi satwa liar meningkat untuk mengelola hutan untuk tujuan

rekreasi atau nilai estetika (International Institute for Environment and

Development 2003).

2.5.3 Total Economic Valuation (TEV)

Total Economic Value (TEV) dalam pengelolaan sumber daya alam di

ilustrasikan dalam konteks penggunaan lahan dalam hutan tropis. Mengacu pada

aturan analisis dari biaya manfaat, keputusan untuk “membangun” hutan dinilai

tidak hanya dari nilai pembangunan, tetapi juga nilai dari konservasi. Nilai TEV

dari suatu kawasan hutan dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Nilai perhitungan

TEV merujuk pada penjumlahan nilai guna (use value) dan nilai non guna (non

Page 45: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

26

use value) dan juga berasosiasi dengan nilai pilihan (option value). Perhitungan

nilai TEV dihitung dengan menjumlahkan nilai penggunaan langsung (direct use

value) dan nilai penggunaan tidak langsung (non direct use value). Nilai langsung

yang digunakan diantaranya adalah seperti hasil produk dari hutan (kayu, rotan,

latex, dan sebagainya) yang harusnya dihitung. Nilai manfaat tidak langsung

digunakan diantaranya adalah perhitungan fungsi jasa ekologi seperti misalnya

jasa perlindungan dari aliran sungai, pengurangan nilai polusi. Nilai pilihan

(option value) terkait dengan sejumlah nilai yang ingin dikeluarkan oleh seorang

individu untuk membayar nilai konservasi di masa depan. Nilai ini mungkin tidak

akan digunakan sekarang tetapi akan sangat berguna di masa depan nantinya.

Nilai keberadaan (existence value) terkait dengan nilai dari aset lingkungan yang

tidak terkait dengan penggunaan pilihan saat ini. Nilai TEV dirumuskan sebagai

berikut (Pearce, 1993):

TEV = Direct use value + Indirect use value + Option value + Existence value.

Perbedaan penggunaan lahan pada hutan akan memberikan kombinasi yang

berbda terhadap nilai langsung, tidak langsung dan nilai yang tidak digunakan

sehingga akan menghasilkan nilai TEV yang berbeda. NilaiTEV kawasan hutan

ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Nilai ekonomi total (TEV) kawasan hutan

Nilai langsung

(Direct value)

Nilai tidak

langsung (Indirect

Value)

Nilai Pilihan

(Option value)

Nilai Keberadaan

(Existence Value)

Keberlanjutan

kayu

Produk non-kayu Siklus hara

Penggunaan di

masa depan

(1)+(2)

Hutan sebagai objek nilai

nilai intrinsik, sebagai

rasa tanggung jawab

Rekreasi Perlindungan DAS

Obat obatan Pengurangan

polusi udara

Genetika

Tanaman Unsur iklim mikro

Termasuk nilai budaya

dan warisan leluhur

Habitat Manusia

Sumber: Pearce (1993)

2.5.4 Payment for Environmental Services (PES)

PES adalah sebuah transaksi sukarela ketika sebuah pelayanan lingkungan

yang telah ditentukan dengan jelas (atau sebuah penggunaan tanah untuk

mengamankan pelayanan tersebut) sedang “dibeli” oleh satu “pihak pembeli” .

Page 46: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad
Page 47: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

28

seorang pengguna langsung yang rasional, sebuah pembayaran dari perbedaan ini

dalam arus pendapatan menjelaskan sebuah insentif minimum untuk pemeliharaan

ekosistem. Seorang pengguna arus bawah yang rasional, yang memunculkan

sebuah arus pendapatan bawah B, bisa membayar pada tingkat maskimal yang

setara dengan arus pendapatan yang sudah ada melalui konversi pada penggunaan

alternatif. Hal ini mendukung para pengguna tidak langsung dan pembeli

pelayanan ekosistem untuk masuk ke dalam sebuah kontrak untuk pengadaan

pelayanan yang berkelanjutan dengan memberikan pembayaran, yang bervariasi

antara minimum sampai maksimum (disajikan dengan Balok E), kepada para

pengguna langsung atau kepada para penyedia pelayanan ekosistem. Total arus

pendapatan penyedia pelayananekosistem (Balok D plus E) lebih banyak dari

yang ada pada sebuah ekosistem yang dikonversi, yang membuat konservasi

menjadi layak. Sistem ini menginternalisasikan hal-hal yang akan menjadi sebuah

eksternalitas bila tidak dilakukan (Pagiola & Platais 2007).

Tipologi PES bisa diupayakan di lintas jalur, sebuah dasar yang

bermanfaat adalah menjelaskan program-program PES yang dibiayai oleh

pengguna (ketika para pembeli pelayanan adalah para pengguna pelayanan yang

aktual), dan program-program yang dibiayai pemerintah (ketika pemerintah

membeli pelayanan, kemudian menyediakannya kepada pengguna akhir).

Program-program yang dibiayai oleh pengguna bersifat sukarela pada sisi penjual

maupun pembeli, sedangkan sebagian besar program pemerintah bersifat sukarela

hanya pada sisi penyedia (Engel et al. 2008). Bulte et al. (2008) mengusulkan

sebuah klasifikasi fungsional skema PES yang memisahkan program-program

yang membayar kontrol polusi, konservasi sumberdaya alam dan ekosistem, serta

yang ditujukan untuk fasilitas lingkungan publik yang baik. Ada penekanan yang

luar biasa pada PES namun hanya ada sedikit upaya untuk menilai efektivitas dan

efisiensinya.

2.6 Teknik Valuasi Sumberdaya Hutan

Secretariat of the Convention on Biological Diversity (2001) menyebutkan

banyaknya barang dan jasa hutan tidak memiliki pasar dan hal ini diperlukan

teknik valuasi bukan pasar. International Institute for Environmental and

Development (2003) menyebutkan teknik valuasi nilai ekonomi sumberdaya hutan

Page 48: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

29

dikelompokkan menjadi 5 (lima) kelompok yaitu (1) Market price valuation,

meliputi metode untuk estimasi manfaat produksi subsisten dan konsumsi, (2)

Surrogate market approaches, meliputi travel cost models, hedonic pricing dan

substitute goods approach (3) Production function approach, yang

memfokuskan pada hubungan biofisik antara fungsi hutan dan aktivitas pasar (4)

Stated preference approaches,utamanya contingent valuation method dan

variannya (5) Cost-based approach, meliputi replacement cost dan defensive

expenditure.

2.7. Analisis Finansial dan Ekonomi

2.7.1 Analisis Finansial

Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu

layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan finansial bagi

perusahaan dengan tujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Pengambilan

keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan, sangat penting untuk

turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang relevan dan/atau benar

terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan. Berbeda dengan analisis finansial,

dalam analisis valuasi ekonomi berbagai biaya lingkungan dan biaya sosial yang

mungkin atau potensial terjadi turut diperhitungkan dalam menilai kelayakan

investasi suatu kegiatan. Kriteria kelayakan investasi tetap sama, yaitu

berdasarkan NPV (net present value).

Kelayakan finansial suatu kegiatan ditunjukan oleh nilai NPV, B/C ratio

(Benefit-Cost Ratio), atau IRR (Internal Rate of Return). Nilai NPV, B/C ratio

dan IRR sesungguhnya saling berhubungan satu sama lainnya. Suatu kegiatan

dikatakan layak secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai

NPV-nya positif. Bila NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari

satu, dan nilai IRR-nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount

rate) yang dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Salah satu dari ketiga nilai

tersebut dapat dipergunakan untuk mengambil keputusan apakah suatu kegiatan

akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial.

Analisis finansial yang perlu diperhatikan adalah waktu didapatkannya

pengembalian (returns), sebaliknya analisis ekonomi yang diperhatikan ialah hasil

Page 49: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

30

total atau produktivitas atau keuntungan didapat dari semua sumber yang dipakai

dalam proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa

melihat siapa yang menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa yang dalam

proyek menerima hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “the social returns” atau

“the economic returns” dari proyek.

2.7.2 Analisis Biaya Mafaat

Suatu kajian penggunaan kawasan sebaiknya dan idealnya melibatkan

evaluasi semua manfaat dan biaya-biaya serta dihubungkan dengan pilihan

penggunaan yang relevan. Nilai-nilai tersebut bisa disatukan dalam analisa biaya

dan manfaat, yang berguna untuk melihat trade off dari perbedaan pilihan

pembangunan. Analisis biaya manfaat merupakan alat standar untuk evaluasi jasa

ekonomi investasi atau proyek pembangunan. Alat analisis ini secara luas

digunakan untuk mengevaluasi pilihan-pilihan penggunaan kawasan hutan

(International Institute for Environmental and Development 2003). Analisis biaya

manfaat dapat digunakan untuk menganalisis dampak ekonomi pembangunan

dengan melakuan evaluasi semua manfaat dan biaya yang terjadi dalam suatu

pembangunan.

Kekuatan analisis biaya manfaat adalah penggunaan kriteria keputusan

secara eksplisit dan secara langsung dapat diperbandingkan. Logika yang

mendasari analisis ini adalah untuk setiap pilihan aktivitas (seperti pilihan

penggunaan lahan) masing-masing manfaat bersih (net benefit) harus

diperbandingkan dimana net benefit dari pilihan yang diambil secara sederhana

diformulasikan dalam persamaan :

Net Benefit (NB) = Benefit (B) – costs (C)

Manfaat dan biaya diidentifikasi untuk setiap periode waktu biasanya per

tahun atau menggunakan time horizon. Pengunaan teknik discounting, net benefit

sepanjang waktu dapat dikombinasikan ke dalam satu tampilan agregat tunggal

atau NPV. Setiap pilihan penggunaan kawasan hutan misalkan pilihan A (pilihan

pengelolaan HCVA) , net benefit (NBA) harus melebihi dari net benefit (NB

B) jika

pilihan A lebih disukai.

Page 50: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

31

Pilihan penggunaan kawasan hutan untuk membandingkan pilihan antara

konservasi hutan dan pertambangan maka harus melibatkan manfaat dan

biaya-biaya sosial dan biaya lingkungan yang disebabkan karena adanya nilai

yang hilang dari konversi hutan (perubahan penggunaan kawasan hutan menjadi

pertambangan). Perubahan tersebut akan menyebabkan kehilangan fungsi

lingkungan penting seperti pengatur tata air/DAS dan carbon storage) serta

sumberdaya hutan (kayu komersial, hasil hutan bukan kayu dan rekreasi ameniti).

Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai yang hilang merupakan nilai ekonomi total

dari keberadaan hutan dan merupakan cerminan dari ekstrenalitas negatif atau

dampak kerusakan akibat perkebunan kelapa sawit.

Beberapa studi dengan analisis biaya manfaat yang telah dikaji oleh

International Institute for Environmental and Development (2003) yang

mengestimasi biaya dan manfaat finansial dari ekstraksi lestari buah-buahan

hutan, lateks, dan kayu dan membandingkannya dengan pengembangan bersih

potensial dengan menggunakan analisis biaya manfaat pilihan pengggunaan

kawasan hutan.

2.7.3 Analisis Sensitivitas

Gittinger (2008) menyebutkan analisis sensitivitas adalah suatu analisa

untuk dapat melihat pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang

berubah-ubah. Analisis sensitivitas merupakan perlakukan terhadap

ketidakpastian karena proyeksi suatu proyek selalu menghadapi ketidakpastian

yang dapat saja terjadi pada keadaan yang telah kita ramalkan atau perkirakan.

Gray, Kadariah, dan Karlina (1999) menyebutkan bahwa analisis sentivitas

tujuannya ialah untuk melihat apa yang akan terjadi dengan hasil analisis proyek

jika ada kesalahan atau perubahan dalam dasar-dasar perhitungan biaya atau

manfaat. Analisis sensitivitas diperlukan, karena analisis ini didasarkan pada

proyeksi-proyeksi yang banyak mengandung ketidakpastian tentang apa yang

akan terjadi di waktu yang akan datang. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan

adalah (a) terdapatnya cost over run, misalnya kenaikan biaya konstruksi, (b)

perubahan dalam perbandingan harga terhadap tingkat harga umum, misalnya

penurunan harga hasil produksi, (c) mundurnya waktu implementasi, dan (d)

kesalahan dalam perkiraan hasil per hektar. Analisis sensitivitas perubahan dalam

Page 51: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

32

harga perlu dilakukan terutama untuk proyek-proyek dengan umur ekonomis yang

panjang dan dalam ukuran yang besar.

2.8 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit

Freeman (1984) mendefinisikan stakeholder sebagai kelompok atau

individu yang dapat mempengaruhi atau dapat dipengaruhi oleh pencapaian tujuan

organisasi. Analisis kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit

menggunakan analisis pemangku kepentingan (stakeholder). Reed et al. (2009)

mendefinisikan analisis stakeholder sebagai proses dengan tujuan untuk (1)

mendefinisikan aspek sosial dan fenomena alam yang dipengaruhi oleh kebijakan

atau tindakan, (2) mengidentifikasi individu, kelompok dan organisasi yang

dipengaruhi oleh atau dapat mempengaruhi bagian dari fenomena (dapat

melibatkan bukan manusia dan bukan makhluk hidup dan generasi masa depan),

(3) memprioritaskan individu dan kelompok tersebut terlibat dalam proses

pembuatan keputusan. Analisis stakeholder merupakan suatu pendekatan untuk

memahami sebuah sistem dan perubahan yang terjadi di dalamnya, dengan

mengidentifikasi aktor kunci atau stakeholder kunci dan menilai kepentingan

masing-masing stakeholder dalam sistem tersebut (Grimble and Wellard, 1997).

Analisis stakeholder dipadang sebagai cara membangkitkan informasi dari

pelaku yang sesuai untuk memahami tingkah laku, kepentingan, agenda dan

pengaruh dalam proses pengambilan kebijakan (Brugha dan Varvasovsky 2000

dalam Reed et al. 2009). Analisis stakeholder memandu kita untuk dapat sampai

pada persoalan dan memahami alasan yang ada di balik konflik kepentingan yang

mengancam keberhasilan suatu proyek atau kebijakan (Grimble and Chan 2005).

Meyers (2001) menyatakan bahwa analisis stakeholder diperlukan untuk

memahami posisi orang lain dalam menghadapi isu yang ada, sehingga dapat

menakar tingkat dukungan atau oposisi dari orang lain dan memprediksi langkah

yang akan diambil bila terjadi perubahan. Masing-masing stakeholder memiliki

derajat kekuatan (power) yang berbeda-beda dalam mengontrol keputusan yang

berpengaruh pada kebijakan dan lembaga. Mereka memiliki derajat potensi yang

berbeda untuk disumbangkan atau derajat kepentingan (interest) yang berbeda

dalam mencapai tujuan tertentu. Reed et al. 2009 menyatakan bahwa analisis

Page 52: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

33

stakeholder terdiri atas (1) identifikasi stakeholder, (2) pembedaan di antara

kategorisasi stakeholder, (3) investigasi hubungan di antara stakeholder.

2.9 Penelitian sebelumnya

Penelitian sebelumnya yang mendasari landasan berpikir dan sumber

tinjuan pustaka adalah penelitian yang dilakukan :

1) Greetje Schouten dan Pieter Glasbergen yang berjudul Creating legitimacy in

global private governance: The case of the roundtable on Sustainable Palm

Oil pada tahun 2011

Jurnal ini mengemukakan mengenai proses pembentukan RSPO

berdasarkan pendekatan multi-dimensional approach. Pendekatan ini belum

sepenuhnya menyentuh ketentuan prinsip dan kriteria dalam RSPO yang

mempersyaratkan mengenai pengelolaan HCVA. Jurnal ini berisikan banyak

informasi mengenai sejarah menuju global private governance dalam pengelolaan

perkebunan kelapa sawit berkelanjutan di dunia.

2) Kalyan Hou dan Sothunvathanak Meas yang berjudul A Cost and Benefit

Analysis of the Community Forestry Project in Chumkiri District, Kampot

Province, Cambodiapada tahun 2008.

Penelitian ini memiliki kesamaan dengan alat analisis yang sama dengan

penelitian yang akan dilakukan yaitu menggunakan alat analisis biaya manfaat,

analisis sensitivitas, dan valuasi jasa ekosistem dan biodiversitas dengan

pendekatan Total Economic Values, namun dengan obyek penelitian yang

berbeda. Kalyan Hou dan Sothunvathanak Meas melakukan penelitian di hutan

kemasyarakatan (community forestry) di kawasan hutan tropis Kamboja,

sedangkan penelitian ini dilakukan di kawasan HCVA perkebunan kelapa sawit.

Hasil penelitian Kalyan Hou dan Sothunvathanak Meas (2008)

menunjukkan bahwa cost benefit analysis digunakan untuk estimasi manfaat

bersih dari tiga pilihan manajemen pengelolaan community forestry, yaitu pilihan

konservasi (conservation option), campuran (combined option), dan eksploitasi

(exploitation option) dimana pilihan konservasi ternyata menjadi paling baik

secara ekonomi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pilihan konservasi

menempati ranking pertama bahkan dengan asumsi menggunakan harga kayu dan

Page 53: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

34

hasil hutan bukan kayu lebih tinggi, durasi proyek dan tingkat suku bunga yang

berbeda.

3) Rizaldi Boer, Dodik R. Nurrochmat, Adi Hadianto, Hariyadi, M. Ardiansyah

Handian Purwawangsa, dan Gito Ginting yang berjudul Reducing

Agricultural Expansion into Forest in Central Kalimantan-Indonesia pada

tahun 2012.

Penelitian menggunakan alat analisis finansial, analisis sensitivitas dan

strategi kebijakan serta analisis citra satelit terkait ekspansi kelapa sawit.

Penilitian ini (Boer et al. 2012) membandingkan NPV diantara produser-produser

minyak kelapa sawit mulai dari perkebunan rakyat skala kecil hingga perusahaan

kelapa sawit yang tersertifikssi RSPO. Penelitian ini menekankan pada

internalisasi benefit dari perdagangan karbon dan memperhitungkan persentase

pengurangan HCVA. Penelitian ini menggunakan premium price dan harga

karbon.

Page 54: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

35

III. METODE PENELITIAN

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di PT. Inti Indosawit Subur (PT.IIS)

Kebun Buatan-Asian Agri Group yang berlokasi di Kabupaten Pelalawan,

Provinsi Riau. Pemilihan lokasi penelitian ini dengan pertimbangan bahwa PT. IIS

Kebun Buatan-Asian Agri Group adalah perusahaan yang sudah mendapatkan

sertifikasi RSPO dan mendapatkan premium price. Waktu pelaksanaan penelitian

ini dilakukan sejak bulan April-Juni 2012.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan

sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara, observasi, dan survei

lapangan. Data primer berupa data valuasi ekonomi HCVA dan harga sumberdaya

yang sudah memiliki harga pasar (market price) dan pasar pengganti (surrogate

market). Sumberdaya yang memiliki nilai guna langsung dikumpulkan datanya.

Data lainya seperti profile responden/narasumber, seperti umur, jenis kelamin,

matapencaharian, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, frekuensi interaksi

dengan hutan, dan frekuensi pemanenan sumberdaya hutan/HCVA.

Data sekunder meliputi data-data mengenai kondisi umum lokasi

penelitian dan data-data penunjang lainnya. Data sekunder merupakan data yang

dikumpulkan untuk kebutuhan dalam rangka mendapatkan hasil analisis dan

pembahasan yang maksimal. Data sekunder diambil dari berbagai sumber yang

relevan. Data ini sangat dibutuhkan untuk identifikasi dan input analisis biaya

manfaat. Data sekunder diperoleh dari perusahaan yang menjadi sampel penelitian

dan instansi pemerintah yang ada di Kabupaten dan Provinsi. Data sekunder dari

penelitian ini didapatkan dari:

1) Komisi Kelapa Sawit Indonesia

2) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)

3) Studi Identifikasi , RPL dan RKL HCVA PT. IIS Kebun Buatan

4) BPS Kabupaten dan Provinsi

5) Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten dan Provinsi

6) Tim HCV Fahutan IPB

7) Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian RI

Page 55: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

36

Tabel 6. Matriks penelitian

No Tujuan Penelitian Sumber dan Jenis Data Metode Analisis

1

Mengestimasi nilai

ekonomi kawasan High

Conservation Values

Area (HCVA) di

perkebunan kelapa sawit

Data TEV HCVA survei,

observasi, dan wawancara

(data primer)

Laporan RKL dan RPL

PT IIS Kebun Buatan

(Data sekunder)

Analisis Nilai

Ekonomi Total

HCVA

2

Menganalisis dampak

ekonomi dan finansial

pengelolaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit

Data komponen biaya

Nurrochmat et al. 2012

dan Boer et al 2012 (data

sekunder), Data produksi

PT. IIS KB, Data tenaga

kerja PT. IIS KB,

Data Harga TBS

(sumber: Riau Post),

TEV HCVA PT. IIS KB

(Data primer),

Dampak ekonomi (Data

primer )

Analisis Biaya

Manfaat dan

Analisis Finansial

Pengelolaan

HCVA

3

Mengevaluasi pengaruh

perubahan harga

(premium price), biaya

dan luasan areal

perkebunan kelapa sawit

akibat pengelolaan

HCVA.

Hasil perhitungan analisis

biaya manfaat

(primer dan sekunder)

Analisis

Sensitivitas

4

Memformulasikan

strategi kebijakan

pengelolaan HCVA

dalam rangka

mewujudkan perkebunan

kelapa sawit

berkelanjutan.

Hasil Wawancara

Stakeholder (data primer)

Analisis

Stakeholder

dengan metode

analitycal

cathegorization

3.3 Penentuan Sampel Penelitian

Penentuan sampel penelitian dilakukan secara purposive sampling.

Penentuan sampel responden ditetapkan berdasarkan tujuan tertentu kepada ahli

atau informan atau pelaku secara langsung. Penggunaan teknik penentuan sampel

ini dilakukan dengan asumsi ahli atau informan atau pelaku terlibat secara

langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan HCVA, harga sumberdaya, dan

pola pemanfaatan sumberdaya dari lokasi yang teridentifikasi sebagai HCVA.

Pemilihan responden untuk wawancara dengan person kunci lebih tepat dilakukan

Page 56: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

37

dengan pengambilan contoh disengaja (purposive sampling). Pemilihan teknik

pengambilan sampel secara purposive ini juga dikarenakan adanya keterbatasan

akses ke lokasi responden atau sampel.

Narasumber/responden penelitian ini adalah:

1) Masyarakat di dalam dan sekitar perkebunan PT. IIS Kebun Buatan sebagai

pengumpul/pengguna sumberdaya hutan (ikan, kayu, rotan, dan jasa ekosistem

lainnya) dalam kawasan HCVA

2) Staf perusahaan PT. IIS Kebun Buatan (staf pengelola HCVA)

3) Tokoh masyarakat (kepala suku, kelapa agama dan tokoh pemuda).

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data meliputi data sekunder dan data primer. Teknik

pengumpulan data sekunder melalui pendekatan instansional. Data-data sekunder

diperoleh dari berbagai sumber-sumber yang relevan terkait dengan penelitian ini.

Teknik pengumpulan data primer dilakukan melalui observasi, survei lapangan

dan wawancara yang meliputi wawancara semi terstruktur dengan menggunakan

panduan wawancara dan wawancara terstruktur dengan menggunakan kuesioner.

Responden wawancara terstruktur adalah masyarakat pengguna aliran barang dan

jasa HCVA.Wawancara semi terstruktur dilakukan dengan narasumber kunci (key

person interviews) berdasarkan purposive sampling. Narasumber untuk

wawancara semi terstruktur adalah stakeholder dalam sub sektor perkebunan.

Narasumber dalam penelitian ini adalah:

1) Komisi Sawit Indonesia/Komisi ISPO

2) Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit (PT. IIS Kebun Buatan)

3) GAPKI (Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)

4) LSM Sawit Watch

5) Peneliti HCVA (Tim HCVA Fahutan IPB)

6) Koperasi Unit Desa (KUD) Plasma Desa Buatan SP 10

Page 57: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

38

3.5 Metode Analisis

3.5.1 Analisis Total Economic Value (TEV) HCVA

Estimasi nilai ekonomi kawasan High Conservation Values Area (HCVA)

di perkebunan kelapa sawit dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan

Total Economic Value (TEV). Nilai ekosistem dan biodiversitas umumnya

diestimasi menggunakan pendekatan Total Economic Value (TEV). TEV sebuah

ekosistem umumnya dibagi menjadi nilai guna (use value) dan nilai non-guna

(non use value). Setiap nilai dapat dipecah menjadi beberapa komponen nilai

(Brander et al. 2010).

TEV merupakan penjumlahan nilai semua aliran jasa yang dihasilkan dari

modal alami, baik saat ini maupun di saat mendatang. Aliran jasa-jasa ini dinilai

pada perubahan marjinal dalam penyediaannya. TEV mengarahkan semua

komponen-komponen bermanfaat maupun tidak bermanfaat yang diturunkan dari

jasa ekosistem dengan menggunakan unit ukuran yang sama. Ukuran tersebut

yaitu nilai uang atau semua nilai dengan berbasis pasar yang memungkinkan

dapat diperbandingkan manfaat dari berbagai macam barang.

Valuasi nilai ekonomi HCVA menggunakan analisis Total Economic

Values (Pearce 1993).

( )

Dimana:

= net economic values (nilai ekonomi total)

use value (nilai guna)

direct use value (nilai guna langsung)

indirect use value (nilai guna tidak langsung)

option value (nilai pilihan

non use value (nilai non-guna)

existance value (nilai keberadaan)

Metode valuasi HCVA yang pada umumnya berupa kawasan hutan, jasa

ekosistem dan biodiversitas sedapat mungkin menggunakan harga pasar aktual.

Hal ini dapat dilakukan untuk sumberdaya hutan yang sifatnya tangible, yang

Page 58: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

39

diperjualbelikan di pasar seperti kayu bulat, makanan, dan obat-obatan. Hasil

hutan bukan kayu (NTFPs) yang memiliki karakteristik non-pasar, maka teknik

valuasi bisa menggunakan surrogate market, dan substitute goods. Jasa dan fungsi

jasa ekosistem hutan bisa menggunakan pendekatan production function

approach, benefit transfer, dan cost-based approach. Manurung (2001)

menggunakan benefit transfer dalam penelitian Analisis Valuasi Ekonomi

Investasi Perkebunan Sawit di Indonesia untuk nilai fungsi dan jasa ekosistem

kehutanan. Penggunaan metode penelitian setiap aliran jasa dan manfaat secara

tepat diperoleh setelah menggunakan hasil dokumen identifikasi HCVA, RKL dan

RPL HCVA serta melalui survei, observasi lapangan dan wawancara khususnya

untuk nilai guna langsung sumberdaya hutan, manfaat sosial dan lingkungan.

3.5.2 Analisis Dampak Ekonomi dan Finansial Pengelolaan HCVA

3.5.2.1 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA

Ada beberapa cara untuk menilai kelayakan suatu proyek/investasi.

Penilaian proyek jangka panjang yang paling banyak diterima seperti pengelolaan

HCVA di perkebunan kelapa sawit adalah Discounted Cash Flow Analysis

(analisis DCF) atau analisis aliran kas yang didiskontokan (Gittiger 2008).

Analisis finansial ditekankan pada hasil untuk modal saham (equity capital) yang

ditanam dalam proyek. Hasil ini harus diterima oleh para petani, pengusaha,

perusahaan swasta, suatu badan pemerintah, atau siapa saja yang berkepentingan

dalam pembangunan proyek. Hasil finansial sering juga disebut private return.

Analisis ekonomi menekankan pada hasil total, atau produktivitas atau

keuntungan yang didapat dari semua sumber yang dipakai dalam proyek untuk

masyarakat atau perekonomian sebagai keseluruhan, tanpa melihat siapa saja yang

menyediakan sumber-sumber tersebut dan siapa dalam masarakat yang menerima

hasil proyek tersebut. Hasil itu disebut “social return” atau the economic return”

dari proyek dalam hal ini pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Gray et

al. (1999) mengemukanan bahwa analisis finansial hampir sama dengan analisis

ekonomi, hanya saja variable yang dipakai adalah harga riil dari apa yang benar-

benar terjadi.

Page 59: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

40

Besarnya faktor diskonto (discounted factor/DF) menggunakan rata-rata

suku bunga bank komersial di Indonesia yaitu sebesar 15%. Besaran suku bunga

15% juga diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan GAPKI dan Perusahaan

Perkebunan Kelapa Sawit. Angka faktor diskonto ini digunakan dengan

pertimbangan agar perhitungan yang dipakai dalam evaluasi proyek terlepas dari

pengaruh distorsi pasar. Artinya dengan menggunakan faktor diskonto maka

diharapkan hasil analisis dapat menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi. Besar

kecilnya diskonto sangat menentukan besar kecilnya angka benefit cost rasio

(B/C), IRR, NPV, sebab perhitungan IRR, NPV, dan B/C selalu didasarkan pada

DF (Gittinger 2008).

a) Benefit Cost Ratio

Adalah rasio jumlah nilai sekarang dari manfaat dan biaya. Kriteria

alternatif yang layak adalah BCR>1 dan diletakan pada alternatif yang

mempunyai BCR tertinggi pada tingkat pertama. Nilai BCR secara matematis

dapat disajikan sebagai berikut (Gittinger 2008).

( )

( )

Dimana :

= manfaat yang diperoleh tiap tahun

= biaya yang dikeluarkan tiap tahun

t = lamanya periode waktu t =0,1,2... n

n = jumlah tahun

i = tingkat bunga (diskonto)

Rasio diatas di sebut juga profitability index (PI). Jika BCR>1, maka

proyek pengelolaan HCVA menguntungkan/layak diusahakan karena penerimaan

(premium price) lebih besar daripada biaya total.

a) Net Present Value

NPV Merupakan nilai keuntungan yang diperoleh selama masa hidup

suatu usaha/proyek yang ditinjau pada kondisi saat ini dengan DF tertentu. NPV

merupakan selisih antara present value benefit dengan present value cost (Gray et

Page 60: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

41

al 1999). NPV merupakan perkalian antara arus kas dengan faktor diskonto. Suatu

usaha/proyek dinyatakan layak apabila nilai NPV adalah positif pada marginal

average rate of return. Kriteria keputusan yang lebih baik adalah nilai NPV

tertinggi pada tingkat pertama. Kriteria yang digunakan dalam menilai suatu

proyek adalah bila NPV positif berarti menguntungkan dan NPV negetif

menunjukkan kerugian. Lebih lanjut lagi Gray et al. (1999) menyatakan bahwa

dalam evaluasi suatu proyek tertentu tanda „go‟ dinyatakan oleh NPV>0. Jika

NPV=0 proyek tersebut mengembalikan persis sebesar social opportunity cost of

capital. Jika NPV<0, proyek ditolak artinya ada penggunaan lain yang lebih

menguntungkan untuk sumber-sumber yang diperlukan proyek.

Nilai NPV secara matematis dapat disajikan sebagai berikut (Gittinger

2008):

∑ ( )

Dimana:

= manfaat yang diperoleh tiap tahun

= biaya yang dikeluarkan tiap tahun

t = 1,2... n

n = jumlah tahun

i = tingkat bunga (diskonto)

b) Internal Rate Return (IRR)

IRR adalah laju tingkat pengembalian dari investasi yang ditanamkan yang

ditunjukkan oleh nilai relatif earning power dari modal yang diinvestasikan di

proyek, yaitu discount rate yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Kriteria

untuk menetapkan kelayakan suatu proyek adalah jika IRR lebih besar dari tingkat

suku bunga (i) atau IRR>i. Nilai IRR dari suatu proyek sama dengan nilai i yang

berlaku sebagai social discount factor, maka nilai NPV dari proyek itu adalah

sebesar 0 artinya proyek dapat dilaksanakan. Jika IRR<social discount rate,

berarti NPV<0, maka proyek sebaiknya tidak dilaksanakan (Gray et al. 1999).

Nilai Internal Rate of Return (IRR) secara matematis dapat ditulis dengan

persamaan berikut (Gittinger 2008):

Page 61: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

42

∑ ( )

Dimana:

= manfaat yang diperoleh tiap tahun

= biaya yang dikeluarkan tiap tahun

t = 1,2... n

n = jumlah tahun

i = tingkat bunga (diskonto)

3.5.2.2 Analisis Dampak Ekonomi Pengelolaan HCVA

Dampak ekonomi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit

dilakukan dengan menggunakan alat analisis manfaat dan biaya (Benefit Cost

Analysis). Benefit Cost Analysis merupakan penerapan konsep ekonomi

kesejahteraan modern yang ditujukan untuk memperbaiki efisiensi ekonomi dalam

alokasi sumberdaya. Nilai ekonomi masyarakat dijadikan untuk menilai usulan-

usulan tertentu (Abelson 1996). Analisa biaya manfaat digunakan menentukan

analisa biaya pengelolaan HCVA dengan manfaat yang dihasilkan. Hasil analisa

akan menunjukkan tingkat efektivitas dan efisiensi kelayakan finansial dan

ekonomi usaha pengelolaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit.

Hal pertama yang perlu dilakukan dalam analisis Cost Benefits Analysis

adalah dengan mengidentifikasi dan mengkonversikan komponen-komponen

penilaian yaitu biaya dan manfaat yang dihasilkan oleh pengelolaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit. Komponen biaya dan manfaat yang telah diketahui,

selanjutnya nilai cost benefits analysis bisa dilakukan untuk menentukan apakah

sebuah pengeloaan HCVA layak atau tidak. Analisa suatu investasi, terdapat dua

aliran kas, aliran kas keluar (cash outflow) yang terjadi karena pengeluaran-

pengeluaran untuk biaya investasi (biaya pengelolaan HCVA), dan aliran kas

masuk (cash inflow) yang terjadi akibat manfaat yang dihasilkan oleh suatu

investasi (nilai ekonomi HCVA dan premium price). Aliran kas Aliran kas masuk

atau yang sering dikatakan pula sebagai proceed, merupakan keuntungan bersih

sesudah pajak ditambah dengan depresiasi (bila depresiasi masuk dalam

komponen biaya). Menurut Richard dan Stewart (1999) metode-metode yang

Page 62: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

43

digunakan dalam cost-benefits analysis diantaranya adalah: payback period

method, return on investment method, net present value method, dan internal rate

of return method.

Nilai pertimbangan yang mendasar dari analisis manfaat biaya adalah

anggapan bahwa:

1) Kegiatan yang menyumbang terhadap peningkatan kesejahteraan secara

positif terhadap ekonomi masyarakat haruslah dapat diukur nilai moneter,

dimana barang dan jasa yang masyarakat bersedia mengeluarkannya

sebagai ganti

2) Dampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat perlu diukur dengan

ukuran satuan uang, barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat sebagai

imbalan terhadap kondisi buruk yang mungkin muncul.

Menurut Suparmoko (2000) dalam penerapannya, Analisis Manfaat dan biaya

akan terdapat banyak kesulitan antara lain sebagai berikut:

1) bagaimana mengukur manfaat

2) bagaimana mengenal dan mengukur biaya

3) bagaimana menentukan waktu dan tingkat diskonto (discount rate)

Berkaitan dengan hal tersebut, maka diperlukan langkah-langkah tetap untuk

melakukan analisa yaitu:

1) menentukan dampak dari proyek, yaitu barang dan jasa apa yang akan

diperoleh dari proyek tersebut

2) menyatakan dampak dari proyek tersebut secara kuantitatif

3.5.3 Analisis Sensivitas

Gittinger (2008) menyatakan bahwa teknik analisa sensivitas tidaklah

sulit. Analis hanya perlu menilai kemanfaatan ukuran proyek dengan

menggunakan estimasi baru dari satu atau lebih komponen biaya atau hasil.

Kaitannya dengan penelitian ini adalah analisis sensitivitas akan dilakukan dengan

memberikan perlakuan berupa perubahan premium price, dan perubahan luasan

(pengurangan produksi minyak kelapa sawit) serta biaya pengelolaan HCVA yang

akan mempengaruhi besaran total biaya investasi dan mempengaruhi analisa

kelayakan (profit) yang akan diperoleh perusahaan.

Page 63: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

44

3.5.4 Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA

Metode yang digunakan untuk analisis kebijakan pengelolaan HCVA

adalah analisis stakeholder. Strategi kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan

kelapa sawit dilihat dari tingkat persepsi, kepentingan dan pengaruh stakeholder

dalam pengelolaan HCVA. Penentuan posisi stakeholder dalam penelitian

dilakukan dengan menggunakan analisis kategori berdasarkan Reed et al. (2009),

yang mengklasifikasikan stakeholder berdasarkan: (1) kepentingan (2) pengaruh

mereka dalam pengelolaan HCVA. Kepentingan (interest) dalam oxford advanced

leaner’s dictionary didefenisikan sebagai sesuatu yang akan membuat seseorang

memberikan perhatiannya terhadap sesuatu (Hornby 1995). Nilai kepentingan

stakeholder dalam penelitian ini akan ditentukan oleh :

1. Persepsi stakeholder mengenai pengelolaan HCVA sebagai paradigma

pembangunan perkebunan yang berkelanjutan (profit, planet, dan people).

2. Kesesuaian implementasi pengelolaan HCVA sebagai persyaratan sertifikasi

perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

3. Motivasi keterlibatan stakeholder dalam implementasi kebijakan pengelolaan

HCVA di perkebunan kelapa sawit.

4. Bentuk dukungan stakeholder dalam implementasi pengelolaan HCVA.

5. Keuntungan yang diharapkan oleh stakeholder dalam implementasi

pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.

Literatur psikologi sosial menyebutkan bahwa pengaruh (influence)

didefenisikan sebagai proses dari mempengaruhi pemikiran, kebiasaan dan

perasaan dari orang lain dan kapasitas pengaruh seseorang (agen) terhadap orang

lain (target) akan sangat tergantung pada kekuatan yang dimiliki oleh orang

tersebut (agen) (Nelson & Quick 1994 dalam Reed et al. (2009). Yukl (1994)

menyebutkan bahwa pengaruh hanya merupakan efek dari suatu pihak

(agen/subyek) terhadap pihak yang lain (target/obyek). Besarnya nilai pengaruh

dari stakeholder dalam implementasi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa

sawit akan dinilai berdasarkan (1) tingkat keterlibatan stakeholder dalam

implementasi pengelolaan HCVA, (2) peran dan kontribusi dalam pembuatan

keputusan kebijakan pengelolaan HCVA, (3) hubungan dengan stakeholder lain,

(4) dukungan SDM dan (5) dukungan Finansial.

Page 64: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

45

Eden and Ackermann (1998) dan De Lopez (2001) dalam Reed et al. (2009)

mengemukakan bahwa metode yang digunakan dalam kepentingan dan pengaruh

dalam analisis stakeholder adalah dengan mengklasifikasi ke dalam empat

kelompok yaitu key players, context setter, subject dan crowd. Lebih lanjut Reed

et al. (2009) menjelaskan bahwa key players merupakan kelompok yang memiliki

kepentingan yang tinggi dan pengaruh yang tinggi pula sehingga mereka aktif

terlibat dalam kegiatan dimaksud. Context setter merupakan kelompok yang

memiliki kepentingan yang kecil dan pengaruh yang tinggi, sehingga dapat

menimbulkan resiko yang nyata, sehingga harus dimonitor dan dikelola

(managed) dengan baik. Subject merupakan kelompok yang memiliki kepentingan

yang tinggi namun memiliki pengaruh yang kecil, sehingga tidak mempunyai

kapasitas untuk mempengaruhi namun memiliki kemampuan untuk membentuk

aliansi dengan stakeholder lain. Umumnya kelompok ini merupakan kelompok

marginal yang ingin diberdayakan oleh kegiatan (project). Crowd merupakan

kelompok yang memiliki kepentingan yang kecil, pengaruh kecil, dan tidak perlu

untuk dipertimbangkan terlalu detil atau diikat/dilibatkan. Klasifikasi stakeholders

berdasarkan kepentingan dan pengaruhnya diilustrasikan pada Gambar 6.

Sumber : Reed et al. (2009)

Gambar 6. Posisi stakeholders berdasarkan pengaruh dan kepentingan

Persepsi dan posisi stakeholder yang sudah diketahui akan menjadi bahan

menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA dalam rangkan mewujudkan

pembangunan kelapa sawit secara berkelanjutan.

Key Players

(Kuadran II)

Subject

(kuadran I)

Crowd

(Kuadran IV)

Context Setter

(Kuadran III)

TINGGI RENDAH

TINGGI

PENGARUH

Page 65: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

46

Page 66: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

47

IV. KONDISI UMUM DAN PROFIL PERUSAHAAN

4.1 Profil PT. IIS Kebun Buatan-Asian Agri Group

Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan merupakan

salah satu perkebunan kelapa sawit yang tergabung dalam Asian Agri Group yang

berlokasi di Provinsi Riau. Luas areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan seluas

25.020 ha, dimana areal perkebunan yang masih berupa hutan alam sekunder

hanya sebagian kecil.

PT. IIS Kebun Buatan terletak di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten

Siak, Provinsi Riau. Letak areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan secara

geografis, administrasi pemerintahan, dan pembagian Daerah Aliran Sungai

(DAS) disajikan pada Tabel 7, sedangkan lokasi PT. IIS Kebun Buatan disajikan

pada Gambar 7.

Tabel 7. Letak areal kerja dan batas wilayah PT. IIS Kebun Buatan

Uraian Keterangan

Geografis

101°40‟ - 102°15‟ BT

0°05‟ - 0°43‟ LS

Ketinggian tempat 25 - 250 mdpl

Administrasi Pemerintahan

- Kabupaten Pelalawan (Kec. Pelalawan)

- Kabupaten Siak (Kec. Kerinci Kanan, Kec.

Pangkalan Kerinci dan Kec. Dayun)

- Provinsi Riau

Wilayah Pemangkuan - Dinas Perkebunan Kabupaten Pelalawan

- Dinas Perkebunan Provinsi Riau

Daerah Aliran Sungai (DAS) DAS S. Kerinci, DAS S. Laniago dan DAS S.

Pelalawan

Batas Wilayah :

- Sebelah Utara Sungai Siak, Kecamatan Lubuk Dalam dan

Dayun

- Sebelah Timur Kecamatan Dayun dan Kecamatan Pelalawan

- Sebelah Selatan Sungai Kampar, Kecamatan Langgam dan Pangkalan Kerinci

- Sebelah Barat Kecamatan Kerinci Kanan dan Tualang

Sumber: Laporan Tim HCVA Fahutan IPB 2009

Page 67: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

48

Gambar 7. Peta Lokasi Areal PT. IIS Kebun Buatan, Kabupaten Pelalawan dan

Kabupaten Siak, Provinsi Riau

Areal kebun buatan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan terletak di

Kabupaten Pelalawan dan Siak, dengan luas total wilayah seluas 25.020 ha.

Secara geografis PT. IIS Kebun Buatan terletak pada 101°40‟–102°15‟

BujurTimur dan 0°05‟ – 0°43‟ Lintang Selatan. Batas-batas areal PT. IIS Kebun

Buatan adalah sebagai berikut :

Sebelah utara berbatasan dengan perkebunan kepala sawit PTPN V Buatan,

PT. Surya Dumai dan kebun sawit milik masyarakat

Sebelah timur berbatasan dengan kebun kelapa sawit milik masyarakat

Page 68: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

49

Sebelah selatan berbatasan dengan areal perkebunan kelapa sawit milik

masyarakat

Sebelah barat berbatasan dengan kebun kelapa sawit milik masyarakat.

Status pengelolaan kebun menunjukkan areal kebun buatan kelapa sawit

PT. IIS Kebun Buatan dibagi kedalam 3 kelompok lahan, yaitu (1) Kawasan Inti

(5.549 ha), (2) Kawasan Plasma (10.946 ha), dan (3) Kawasan KKPA (1.500 ha).

Peruntukan lahan di dalam kawasan plasma terdiri atas : (1) Lahan untuk tapak

rumah dan pekarangan (0.25 ha/KK) dan lahan kebun sawit (2.25 ha/KK).

Kawasan KKPA merupakan lahan milik masyarakat Desa Dayun yang

dikerjasamakan dengan PT. IIS Kebun Buatan.

Areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan dibagi kedalam 2 kelompok

lahan, yaitu lahan yang telah dikembangkan (16.496 ha) dan lahan yang tidak

dikembangkan (8.525 ha) (Tabel 8). Peruntukan lahan di lokasi yang telah

dikembangkan dapat dibedakan kedalam 2 macam, yaitu (1) komponen plasma

(lahan pangan/tapak rumah (5.130 ha), lahan kelapa sawit plasma (10.946 ha) dan

jalan/fasilitas lain (3.035 ha) dan (2) komponen inti seluas 5.909 ha (lahan kelapa

sawit (5.549 ha) dan emplasemen/pabrik (360 ha).

Tabel 8. Areal perkebunan PT.IIS Kebun Buatan

Areal Perkebunan Kelapa Sawit PT. IIS Kebun Buatan Luas Laha (ha)

Lahan yang tidak dikembangkan (ha) 8.525

Lahan yang dikembangkan (ha) 16.495

Total 25.020

Luas Kebun Berdasarkan peruntukannya (ha)

A. Plasma

Lahan pangan/tapak pangan 5.130

Kebun plasma 10.946

Fasum (jalan dan fasilitas lainnya) 3.035

sub total 19.111

B. Inti

Kebun inti 5.549

Emplasemen dan pabrik 360

sub total 5.909

TOTAL A+B 25.020 Sumber: Laporan PT. IIS Kebun Buatan 2011

Page 69: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

50

4.2 Kapasitas Produksi MKS dan IKS

Menurut Pahan (2010) produksi Minyak Kelapa Sawit (MKS) dan Inti

Kelapa Sawit (IKS) per hektar di suatu kebun dapat menunjukkan pencapaian

tingkat produksi sudah mencapai maksimal atau tidak. Produksi yang maksimal

hanya dapat dicapai jika kerugian produksi minimal. Catatan produksi MKS dan

IKS di PT. IIS Kebun Buatan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Produksi CPO (MKS) dan KPO (IKS) PT. IIS Kebun Buatan

Jenis Kebun Luas (Ha) Rata-rata Produksi

(25 ton/tahun/ha)

CPO

Extraction

rate (19.62%)

Kernel

Extraction

rate (5.16%)

Kebun Inti 5.549 138.725 27.218 715.821

Kebun Plasma 10.946 273.650 53.690 1.412.034

KKPA 1.500 37.500 73.58 193.500

Total 17.995 449.875 88.265,48 2.321.355

Sumber: data primer 2012

Hasil wawancara dengan pihak manajemen PT. IIS Kebun Buatan

menunjukkan umur tanaman kelapa sawit antara 18-20 tahun. Penanaman

pertama dilakukan pada tahun 1992. Produksi PT. IIS Kebun Buatan

menghasilkan panen sebanyak 25 ton/ha/tahun. Perusahaan PT. IIS Kebun Buatan

memiliki kebun inti seluas 5.549 ha dan kebun plasma seluas 10.946 ha.

Perusahaan ini juga memiliki kebun kelapa sawit KPPA seluas 1.500 ha, sehingga

total luas kebun kelapa sawit yang berproduksi seluas 17.995 ha. Rata-rata panen

kelapa sawit sebanyak 25 ton TBS/ha/tahun sehingga total produksi TBS sebesar

449.875 ton/ha/tahun. Tingkat ekstraksi MKS sebesar 19.62%, sedangkan IKS

sebesar 5.16% (Tabel 9).

GAPKI (2012) menyatakan bahwa pada tahun 2012 diperkirakan total area

kelapa sawit akan mencapai 8.2 juta hektar, dan produksi serta ekspor masing-

masing akan mencapai sekitar 25 juta ton dan 17.5-18 juta ton. Harga

diperkirakan akan berada pada kisaran US$ 1000-1200 per ton. Produksi CPO

pada tahun 2011 diprediksi akan berkisar 23.5 juta ton, dengan ekspor sebesar

16.5 juta ton, sementara harga rata-rata CPO pada tahun 2011 diperkirakan pada

tingkat US$ 1125 per ton (cif Rotterdam). Kinerja industri sawit mengalami

peningkatan yang cukup baik dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2010,

dimana produksi dan ekspor masing mengalami peningkatan sebesar 7.3% dan

5.7%. Sementara harga mengalami kenaikan sebesar 24%.

Page 70: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

51

4.3 Produksi Kelapa Sawit Tersertifikasi RSPO

Perusahaan perkebunan PT. IIS Kebun Buatan merupakan perusahaan

perkebunan dibawah Asian Agri Group yang pertama kali mendapatkan sertifikasi

RSPO. Produksi kelapa sawit berkelanjutan (certified sustanaible palm oil/CSPO)

tidak hanya terbatas pada kebun inti saja, namun juga pada kebun plasma. Hanya

kebun kelapa sawit KKPA yang belum tersertifikasi RSPO untuk di PT. IIS

Kebun Buatan. Seluruh areal kebun inti sudah tersertifikasi RSPO sejak

September 2011, sedangkan areal kebun plasma tersertifikasi RSPO sejak Maret

2012. Total areal kebun yang telah tersertifikasi RSPO seluas 16.495 ha dengan

luas HCVA sebesar 89.95 ha. Perusahaan ini juga telah mendapatkan sertifikat

ISCC pada bulan April 2012, dengan demikian perusahaan ini telah mengantongi

sertifikasi RSPO dan ISCC dan berhak mendapatkan premium price dari

penjualan minyak sawit mereka.

RSPO (2012a) melaporkan bahwa terjadi kenaikan pasokan dan penjualan

minyak sawit lestari sejak diluncurkannnya sertifikasi untuk komoditas kelapa

sawit oleh RSPO pada tahun 2008. Mulai dari 2009 ke 2011, telah terjadi

peningkatan pasokan CSPO sebesar 250% yaitu dari 1.357.511 metrik ton di

tahun 2009 menjadi 4.798.512 metrik ton di tahun 2011. Volume penjualan juga

tumbuh 6 kali lipat atau sekitar 620%, yaitu dari 343.857 metrik ton di tahun 2009

menjadi 2.490.526 metrik ton di tahun 2011. Data kajian tersebut menunjukkan

pasokan tahunan CSPO di tahun 2011 meningkat 73% hingga mencapai 4.798.512

metrik ton dibandingkan di tahun sebelumnya yang hanya mencapai 2.773.567

metrik ton, sedangkan jumlah penjualan tahunan meningkat secara signifikan

hingga mencapai 94%. Serapan pasar untuk CSPO sebesar 52% pada tahun 2011.

Hal ini menunjukkan bahwa serapan pasar untuk produk minyak sawit

tersertifikasi (CSPO) sudah melewati setengah dari suplai CSPO. Lebih lanjut

RSPO melaporkan bahwa keanggotaan RSPO juga telah berkembang pada tahun

terakhir ini. Anggota RSPO yang berasal dari produsen consumer goods

meningkat lebih dari 60%, sedangkan dari kategori ritel meningkat sebesar 50% –

kedua kategori tersebut utamanya berasal Eropa yang sangat mendukung dalam

meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit bersertifikat. Anggota dari

Page 71: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

52

kategori prosesor dan pedagang pun bertambah, mencapai lebih dari 30% yang

memperkuat komitmen sepanjang rantai pasokan minyak kelapa sawit.

Tecatat pada tanggal 3 Mei 2012, RSPO baru saja mencapai milestone

terbarunya yaitu produksi tahunan CSPO sebesar 6 juta metrik ton yang dicapai

kurang dari 4 tahun semenjak dimulainya sertifikasi RSPO. Tingkat pertumbuhan

20% tersebut dicapai dalam kurun waktu hanya setengah tahun sejak pencapaian

tahun lalu, yaitu mencakup lahan produksi CSPO yang meningkat menjadi

1.221.240 hektar dan kapasitas produksi CSPO tahunan yang meningkat menjadi

6.017.193 metrik ton hingga saat ini. PT. IIS Kebun Buatan baru-baru ini resmi

mendapatkan sertifikasi dari RSPO dan tercatat penambahan produksi sebesar

54.282 metrik ton CSPO sehingga berhasil menjadikan Indonesia tidak hanya

sebagai produsen terbesar CSPO (melebihi Malaysia) baik secara volume dan juga

area produksi, tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai produsen CSPO terbesar

yang berasal dari petani plasma (RSPO 2012b).

Page 72: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

53

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Analisis Keberadaan HCVA

Hasil identifikasi terhadap HCVA di areal PT. IIS Kebun Buatan seluas

25.020 ha terdiri atas 4 HCV, yaitu HCV1, HCV4, HCV5 dan HCV6. Masing-

masing HCV yang ada dapat dikelompokkan kedalam 2 macam, yaitu (a) sudah

dipastikan terdapat HCV dan (b) secara potensial ada HCV. Identifikasi awal

ditemukan ada 3 HCV meliputi: HCV-1 (HCV1.1 dan HCV1.2), HCV-4

(HCV4.1), dan HCV6; sedangkan yang secara potensial ada meliputi 1 HCV,

yaitu HCV-5. Luas HCVA yang ada di PT. IIS Kebun Buatan sebesar 89.96 ha

atau hanya sebesar 0.55% dari luas izin kebun produktif (16.495 ha) (Tim HCV

Fahutan IPB 2009).

Luasan HCVA yang relatif kecil disebabkan bahwa pembangunan kebun

kelapa sawit perusahaan ini dilakukan mulai pada tahun 1988 atau perusahaan

perkebunan termasuk kebun yang tua. Pembangunan kebun tua menyebabkan

prosedur taat dan patuh terhadap aturan dalam pengelolaan perkebunan yang

berkelanjutan masih lemah dan belum sesuai dengan dalam RSPO. Keberadaan

HCVA di dalam kebun tua umumnya memiliki kecenderungan HCVA yang sama

yaitu persentase luasan HCVA sangat kecil. Hasil identifikasi keberadaan HCV

di areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatanberdasarkan hasil kajian Tim HCV

Fahutan IPB secara rinci disajikan pada Tabel 10.

Areal PT. IIS Kebun Buatan tidak terdapat kawasan lindung yang termasuk

ciri dari HCV1.1 seperti taman nasional, taman buru, cagar alam, suaka

margasatwa dan hutan lindung, namun di wilayah perkebunan kelapa sawit

tersebut ditemukan adanya sempadan Sungai Kerinci dan Sungai Laniago. Hasil

uraian tersebut menunjukkan di areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan terdapat

kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung keanekaragaman

hayati bagi kawasan lindung atau konservasi (HCV1.1).

Areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan terdapat spesies satwaliar hampir

punah antara lain: beruk, lutung dahi putih, owa, rangkong, elang ular/bido, dan

kucing hutan, namun tidak terdapat spesies tak dikenal yang hampir punah dan

spesies yang secara lokal penting dan hampir punah.

Page 73: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

54

Tabel 10. Hasil identifikasi keberadaan HCV di areal PT. IIS Kebun Buatan

HCV Komponen Keberadaan HCV

HCV1. Kawasan yang mempunyai tingkat

keanekaragaman hayati yang penting

1.1. Kawasan yang mempunyai atau memberikan fungsi pendukung

keanekaragaman hayati bagi kawasan lindung atau konservasi

Ada

1.2. Spesies hampir punah Ada

1.3. Kawasan yang merupakan habitat bagi populasi spesies yang terancam,

penyebaran terbatas atau dilindungi yang mampu bertahan hidup

Tidak ada

1.4. Kawasan yang merupakan habitat bagi spesies atau sekumpulan spesies yang

digunakan secara temporer

Tidak ada

HCV2. Kawasan bentang alam yang penting bagi

dinamika ekologi secara alami

2.1. Kawasan bentang alam luas yang memiliki kapasitas untuk menjaga proses

dan dinamika ekologi secara alami

Tidak ada

2.2. Kawasan alam yang berisi dua atau lebih ekosistem dengan garis batas yang

tidak terputus (berkesinambungan)

Tidak ada

2.3. Kawasan yang berisi populasi dari perwakilan spesies alami yang mampu

bertahan hidup

Tidak ada

HCV3. Kawasan yang mempunyai ekosistem

langka atau terancam punah

Tidak ada

HCV4. Kawasan yang menyediakan jasa-jasa

lingkungan alami

4.1. Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan

pengendalian banjir bagi masyarakat hilir

Ada

4.2. Kawasan yang penting bagi pencegahan erosi dan sedimentasi Tidak ada

4.3. Kawasan yang berfungsi sebagai sekat alam untuk mencegah meluasnya

kebakaran hutan dan lahan

Tidak ada

HCV 5. Kawasan yang mempunyai fungsi

penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar

masyarakat lokal

Tidak Ada

HCV6. Kawasan yang mempunyai fungsi penting

untuk identitas budaya komunitas lokal

Ada

Sumber: Laporan Identifikasi HCV Tim Fahutan IPB (2009)

50 54

Page 74: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

55

Hasil uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa di areal perkebunan PT. IIS Kebun

Buatan mengandung HCV1-2 spesies hampir punah.

Kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan tidak terdapat areal yang menjadi

konsentrasi spesies berpindah yang signifikan secara global atau konsentrasi

temporal yang signifikan secara nasional atau rute migrasi. Hal ini terkait dengan

lokasi seluruh areal PT. IIS Kebun Buatan berbatasan dengan perkebunan kelapa

sawit. Luas total areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan yang masih berupa

hutan hanya sebagian kecil saja (sekitar 45 ha). Mengacu pada luas kawasan

hutan di Pulau Sumatera yang masih tersisa pada tahun 2007, maka areal berhutan

yang terdapat di areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan hanya sebesar 0.0004%

dari luas total kawasan hutan yang masih tersisa di Pulau Sumatera.

Jenis-jenis satwaliar yang potensial digunakan sebagai spesies payung,

antara lain: beruk, owa dan lutung dahi putih (primata), rangkong dan elang

ular/bido (burung), namun untuk predator utama yang dijadikan di wilayah

tersebut tidak ada. Luas total areal perkebunan kelapa sawit yang masih berupa

hutan sebesar 0.18% dari luas total wilayah kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan.

Mengacu pada luasan areal berhutan di wilayah tersebut dan jenis tegakan yang

masih alami yang tersedia, maka areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan tidak

layak untuk mempertahankan spesies payung tersebut. Terkait dengan data dan

informasi tentang populasi yang belum tersedia, maka kelayakan kawasan hutan

tersebut belum dapat ditentukan. Hasil uraian tersebut menunjukkan bahwa di

areal kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan tidak terdapat HCV2-3, yaitu kawasan

yang berisi populasi dari perwakilan spesies alami yang mampu bertahan hidup.

Areal berhutan yang terdapat di wilayah kebun buatan PT. IIS Kebun

Buatan, termasuk ekosistem yang sebagian besar berupa hutan hujan dataran

rendah dan hutan rawa gambut. Areal yang masih berhutan hanya sebagian kecil,

yaitu seluas kurang lebih 45 ha. Memperhatikan data dan informasi tersebut

menunjukkan bahwa tipe ekosistem hutan dataran rendah di areal kebun buatan

PT. IIS Kebun Buatan tidak termasuk ekosistem yang jarang, terancam atau

hampir punah dalam lansekap yang lebih luas, sehingga PT. IIS Kebun Buatan

tidak memiliki Kawasan yang mempunyai ekosistem langka atau terancam punah

(HCV3).

Page 75: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

56

Sumber mata air ditemukan di wilayah kebun buatan PT. IIS Kebun

Buatan, namun tidak digunakan oleh masyarakat di sekitarnya. Sumber air minum

masyarakat sebagian besar barasal dari sumur, baik berupa sumur galian maupun

sumur bor. Sungai-sungai yang mengalir tepat di areal perkebunan PT. IIS Kebun

Buatan, yaitu: sungai Kerinci dan sungai Laniago. Beberapa sungai yang terdapat

di wilayah tersebut digunakan oleh masyarakat di sekitarnya untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari lainnya (MCK); namun tingkat ketergantungan masyarakat

terhadap sumber-sumber air tersebut belum diketahui.

Masyarakat di desa-desa sekitar wilayah areal kebun buatan PT. Inti

Indosawit Subur sebagian memanfaatkan sumber air (sungai) di wilayah areal

kebun buatan PT. IIS Kebun Buatan ; namun masyarakat di desa mana saja yang

memanfaatkan dan tidak memanfaatkan sumber air di wilayah tersebut belum

diketahui. Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap sumber air di wilayah

tersebut belum diketahui, sehingga pemanfaatan sumber air oleh masyarakat di

wilayah tersebut masih bersifat potensial. Hasil uraian tersebut di atas dapat

disimpulkan bahwa : areal PT. IIS Kebun Buatan mengandung HCV4.1.

Kawasan atau ekosistem yang penting sebagai penyedia air dan pengendalian

banjir bagi masyarakat hilir (Tabel 11).

Masyarakat lokal yang tinggal di sekitar PT. IIS Kebun Buatan terdiri dari

beberapa desa. Suku asli ditemukan di wilayah perkebunan kelapa sawit seperti

Suku Melayu Suhujan dan Sijoe. Tingkat kehidupan Suku Melayu Suhujan dan

Sijoe relative telah maju atau tidak sebagai peramu dan tidak tergantung pada

sumberdaya alam (makanan, air, dsb) dari hutan atau sumberdaya di dalam

kawasan PT. IIS Kebun Buatan.

Masyarakat asli tidak terisolasi karena sarana dan prasarana aksesibilitas

menuju desa-desa tersebut sudah tersedia serta sarana telekomunikasi yang sudah

cukup memadai, sehingga masyarakat di desa-desa tersebut dengan mudah

berinteraksi dengan masyarakat di desa, kecamatan dan kabupaten lainnya. Desa

sekitar wilayah perkebunan kelapa sawit tersebut juga ditemukan suku pendatang,

yaitu sebagian besar merupakan masyarakat transmigran dari Jawa.

Page 76: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

57

Tabel 11. Areal hutan di areal perkebunan kelapa PT. IIS Kebun Buatan yang

memiliki HCV

No. Areal HCV Lokasi Luas

(ha)

Jenis

HCV

A. Kawasan Perlindungan

Setempat

1 Sempadan sungai

a. Sempadan Sungai Kerinci (50m

kanan/kiri panjang 3,97 km Kebun Inti 38.39

HCV1.1,

HCV1.2,

dan

HCV4.1

b.

Sempadan Sungai Laniago (lebar

15 m kanan/kiri dan panjang 15

km)

Kebun Inti 9.31 HCV1.1,

HCV4.1

2 Kawasan sekitar Danau Gadis Kebun Inti 1.00 HCV6

Jumlah A 48.7

B. Hutan

1 Hutan Blok Inti-52 Kebun Inti 2.00 HCV1.2,

HCV6

2 Hutan Blok Inti-29 Kebun Inti 3.60 HCV1.2,

HCV6

3 Hutan Sialang Kebun

Plasma 35.00

HCV1.2,

HCV1.3,

HCV6

Jumlah B 40.60

C. Makam nenek moyang

1 Makam nenek moyang di Blok

Inti-8 Kebun Inti 0.01 HCV6

2 Makam nenek moyang di Blok

Inti-39 Kebun Inti 0.25 HCV6

3 Makam nenek moyang di SP-10 Kebun

Plasma 0.40 HCV6

Jumlah C 0.66

Total (A+B+C) 89.96

Luas izin 16.495

% Luas HCV 0.55%

Luas kebun produktif 16.405,04

Sumber: Laporan HCVA Tim Fahutan IPB (2009)

Hasil identifikasi menunjukkan tidak terdapat masyarakat peramu di dalam

dan sekitar areal PT. IIS Kebun Buatan. Masyarakat yang tinggal di dalam dan

sekitar areal kebun sebagian memanfaatkan areal berhutan di wilayah tersebut

Page 77: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad
Page 78: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

59

Areal kebun buatan PT. Inti Indosawit Subur terdapat kawasan yang mempunyai

fungsi penting untuk identitas budaya komunitas lokal (HCV6).

Luas areal di kawasan kebun buatan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan

(Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Siak) ditemukan areal HCV seluas 89.96

ha, terdiri dari 9 lokasi, meliputi: (1) Kawasan Perlindungan Setempat (KPS)

sebanyak 3 lokasi, yaitu Sempadan Sungai Kerinci, Sempadan S. Laniago, dan

kawasan sekitar Danau Gadis, (2) Areal berhutan sebanyak 3 lokasi, yaitu hutan

Blok Inti-52, hutan Blok Inti-29, dan Hutan Sialang; dan (3) Makam nenek

moyang sebanyak 3 lokasi, yaitu makam nenek moyang di Blok Inti-8, makam

nenek moyang di Blok Inti-39, dan makam nenek moyang di SP-10. Persentase

luasan HCVA terhadap luas izin perkebunan PT. IIS Kebun Buatan hanya 0.36%.

Luas kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan memang relatif sangat kecil

dibanding luasan izin perkebunan yang dimilikinya. Luasan HCVA yang kecil

tersebut sangat terkait dengan tahun tanam di bawah tahun 2000 atau pada masa

orde baru. Tahun tanam kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan di bawah tahun 2000

menempati masa dimana ketentuan peraturan sangat longgar dan kurang

memperhatikan kawasan yang berpotensi memiliki nilai konservasi tinggi serta

belum adanya tuntutan dari lembaga sertifikasi kelapa sawit saat itu, sehingga

areal izin perkebunan dioptimalkan pemanfaatanya untuk kebun.

5.2 Asumsi-Asumsi untuk Estimasi Total Economic Values

Asumsi-asumsi yang digunakan untuk estimasi valuasi nilai ekonomi total

dari keberadaan HCVA berasal dari hasil wawancara dengan masyarakat dan

observasi lapangan. Nilai dan kuantitas dari sumberdaya sifatnya masih sangat

kasar hal ini dikarenakan proses penggalian data relatif sangat rumit serta

keterbatasan data dan informasi yang valid baik yang dimiliki oleh masyarakat

maupun pemerintah lokal mengenai jumlah pengguna dan keberadaan dari setiap

sumberdaya yang ada. Asumsi-asumsi yang digunakan untuk valuasi ekonomi

HCVA perlu disampaikan sebagai bahan informasi bagi para pengguna sebagai

bahan evaluasi bersama:

a. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di

lapangan pengguna aliran barang dan jasa dari ekosistem riparian di

sempadan sungai-sungai sebanyak 30 orang, Danau gadis sebanyak 6

Page 79: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

60

orang penangkap ikan (pemancing) ikan dan air untuk MCK sebanyak 100

(musim kemarau), 10 orang di hutan Sialang, 4 orang pengumpul rotan

dan 5 orang pengambil madu lainnya serta areal berhutan yang berada di

areal izin lokasi perkebunan PT. IIS Kebun Buatan. Jenis sumberdaya

yang diekstraksi berupa sumberdaya ikan, madu, dan rotan.

b. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di

lapangan pohon yang dijadikan sarang lebah madu disebut sebagai pohon

madu dan biasanya jenis pohon Bengris rata-rata menghasilkan madu

sebanyak 50 liter dan intensitas panen hanya sekali sepanjang tahun.

Istilah pohon madu dinamakan Pohon Sialang (Masyarakat Melayu

Suhujan dan Sijoe) di Riau. Asumsi ini berlaku pada areal hutan di lokasi

penelitian PT. IIS Kebun Buatan Kabupaten Pelalawan (Riau). Jumlah

pohon madu di PT. IIS Kebun Buatan diestimasi sebanyak 5 buah.

c. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di

lapangan estimasi PT. IIS Kebun Buatan yang mengekstraksi rotan hanya

sebanyak 4 orang dengan hasil panen sebanyak 50 kg di Hutan Sialang.

Kegiatan penangkapan ikan diestimasi hanya sebanyak 30 orang sekali

dalam sebulan (kuantitas ekstraksi 12 kali/tahun) dengan hasil tangkapan

0.25-0.5 kg per trip.

d. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di

lapangan masyarakat sudah sepenuhnya menggunakan kompor gas. Di

dalam areal PT. IIS Kebun Buatan tidak ada lagi masyarakat yang

menggunakan kayu bakar untuk memasak.

e. Asumsi : berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa narasumber di

lapangan pengguna air sungai Laniago hanya di PT. IIS Kebun Buatan

berada di ekosistem riparian tepatnya di Sempadan Sungai Kerinci

(panjang 3.97 km lebar sempadan 50 m kanan/kiri luas 38.39 ) dan

Laniago (lebar sempadan 15m kanan/kiri 15 km dengan luas 9.31 ha).

Penggunaan air pabrik dan perumahaan I sebanyak 535.242 m3/tahun dan

pabrik dan perumahan II sebanyak 472.660 m3/tahun. Harga air diperoleh

dari harga pengganti sewa mobil tangki kapasitas 15.000 liter dengan

harga antara Rp 250.000-300.000. Penggunaan air danau untuk kebutuhan

Page 80: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

61

MCK dan minum masyarakat terjadi pada saat musim kemarau sebanyak

100 rumah tangga, dengan asumsi lama kemarau 3 bulan per tahun (90

hari). Konsumsi air untuk rumah tangga per hari 150 liter per hari per

rumah tangga.

f. Asumsi : aliran jasa dan fungsi ekosistem hutan dan ekosistem riparian

yang ditetapkan sebagai kawasan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan yang

bekerja secara optimal dan efektif seperti pengatur iklim (climate

regulation), tata air (water regulation), penyedia air (water supply), dan

pengendali erosi (erosion control).

5.3 Total Economic Values (TEV) PT. IIS Kebun Buatan

5.3.1 Tahapan Valuasi TEV HCVA

Nilai Ekonomi Total (TEV) HCVA bersifat potensial. Nilai ekonomi

tersebut bisa menjadi aktual hanya jika sudah terbangun mekanisme perdagangan

(trading mechanism) untuk barang dan jasa ekosistem yang belum memiliki harga

pasar dari keberadaan HCVA. Nilai ekonomi HCVA akan nyata jika mekanisme

perdagangan sudah terbangun dan terjadi transaksi (transaction) atas aliran barang

dan jasa bukan pasar yang berasal dari kawasan HCVA.

Valuasi nilai ekonomi total dari HCVA sifatnya masih kasar karena hanya

sebatas estimasi. Estimasi TEV HCVA sudah menggunakan kaidah teknik valuasi

yang secara ilmiah dapat diterima. Estimasi nilai ekonomi total HCVA yang

pertama menggunakan market price atau actual price jika barang dan jasa HCVA

memiliki harga pasar. Barang dan jasa HCVA tidak memiliki harga pasar, tahapan

valuasi selanjutnya menggunakan teknik valuasi pendekatan fungsi produksi

dengan market price atau production function dengan surrogate market. Pasar

pengganti atas suatu barang atau jasa yang memiliki kemiripan dalam penggunaan

aliran barang atau jasa lainnya yang sudah memiliki harga pasar. Tahapan valuasi

(Gambar 9) selanjutnya biasanya digunakan untuk barang dan jasa ekosistem yang

tidak/belum memiliki harga pasar. Teknik valuasi ini menggunakan metode

benefit transfer, yaitu metode berupa penggunaan nilai hasil penelitian valuasi

sumberdaya (referensi) orang lain dengan adanya penyesuaian-penyesuaian

(adjustment) terkait kondisi ekonomi antar wilayah berbeda.

Page 81: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

62

Tahapan Teknik Valuasi Aliran

Barang dan Jasa Ekosistem

HCVA

Actual PriceApakah tersedia

harga pasar?

Ya Tidak

Production function

Approach dengan

Market Price

Production function

Approach dengan

Surrogate Market

Benefit

Transfer

CVM

(WTP,

WTA)

1

2 3

4

5

Gambar 9. Tahapan valuasi ekonomi HCVA

Pilihan lain jika tidak menggunakan metode benefit transfer adalah teknik valuasi

CVM (contingent valuation method) dengan mencari nilai Willingness To Pay

(WTP) atau Willingness To Accept (WTA) dari masyarakat. Nilai Ekonomi Total

yang diformulasikan oleh Pearce (1993) diklasifikasikan dalam nilai guna

langsung, nilai guna tidak langsung, nilai pilihan, dan nilai keberadaan.

Valuasi ekonomi barang dan jasa ekosistem yang belum memiliki harga

pasar atau belum diperdagangkan memiliki masalah utama dalam bias penilaian

akibat double counting maupun nilai yang terlalu tinggi (over estimated) bahkan

bisa terlalu rendah penilaiannya (under estimated). Untuk menghindari

permasalahan tersebut, maka dalam penelitian ini digunakan berbagai referensi

dan penilaian yang berdasarkan harga pasar yang berlaku (actual market) dengan

membuat kisaran harga (range) terendah dan tertinggi. Harga tersebut diperoleh

dari survei pasar dan wawancara dengan responden/narasumber.

Khusus valuasi nilai guna tidak langsung dalam penelitian ini

menggunakan nilai ekonomi jasa ekosistem hutan tropis dari Costanza et al.

(1997) dan Ruitenbeek (1999) yang telah disesuaikan dengan kondisi Indonesia

oleh Manurung (2001). Penyesuaian juga pada jenis layanan ekosistem yang ada

di kawasan HCVA atau sesuai dengan hasil identifikasi aliran jasa ekosistem yang

dihasilkan dari kawasan HCVA.

Page 82: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

63

5.3.2 Estimasi TEV HCVA

Hasil identifikasi aliran barang dan jasa ekosistem dalam HCVA diperoleh

dari hasil estimasi valuasi ekonomi baik barang dan jasa yang memiliki harga

pasar maupun belum memiliki harga pasar. Valuasi nilai ekonomi total

menggunakan pendekatan harga pasar aktual dan benefit transfer. Hasil valuasi

disajikan dalam bentuk tabulasi sesuai dengan komponen nilai ekonomi total

menurut Pearce (1993). Hasil valuasi dapat saja bias terkait penilaian yang

mungkin over estimated maupun under estimated. Untuk menghindari bias, maka

valuasi dilakukan sesuai dengan fakta yang ada di lapangan dan disesuaikan

dengan harga lokal serta melakukan verifikasi atas setiap informasi yang

disampaikan narasumber/responden dan cross check antar informasi yang masuk.

Nilai Ekonomi Total (TEV) HCVA PT. IIS Kebun Buatan dapat dijelaskan

sebagai berikut:

A. Nilai Guna Langsung

Nilai guna Langsung dari keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan

lebih banyak pada pemanfaatan barang dan jasa ekosistem yang sudah memiliki

harga pasar. Pemanfaatan secara langsung produk barang dan jasa ekosistem

hanya berupa hasil hutan bukan kayu (non timber forest product) berupa madu,

rotan, dan ikan oleh masyarakat adat Melayu Suju dan Sehujan atau masyarakat

lokal di wilayah Kabupaten Pelalawan. Pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat

sebagian besar dipenuhi dari kegiatan pembelian. Kebutuhan obat-obatan juga

dipenuhi dari kegiatan pembelian bukan melalui ekstraksi sumberdaya hutan.

Kawasan areal PT. IIS Kebun Buatan sudah tidak ada pemanfaatan langsung

kegiatan berburu seperti burung, rusa dan babi. Hampir tidak ada yang

memanfaatkan hasil hutan berupa kayu karena pemenuhan kebutuhan kayu untuk

perumahan tergantikan melalui pembelian dan sebagian besar rumah masyarakat

menggunakan material bangunan tembok/beton. Pemanfaatan terbatas pada hasil

hutan bukan kayu juga dikarenakan luasan hutan yang tersisa di areal izin lokasi

PT. IIS Kebun Buatan relatif sangat kecil.

Hasil valuasi sumberdaya HCVA secara rinci disajikan dalam Lampiran 1

dengan menunjukkan nilai harga barang dan jasa yang tertinggi dan terendah. Hal

ini dikarenakan harga barang dan jasa mengalami fluktuasi dan tergantung pada

Page 83: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

64

suplai di pasar atau dengan kata lain terjadi perubahan harga. Hal ini juga

dilakukan untuk mengurangi bias nilai.

Valuasi ekonomi menggunakan pendekatan harga pasar (actual market)

dengan nilai tertinggi dan terendah berdasarkan hasil wawancara dengan

narasumber dan responden. Tabel 12 menunjukkan nilai guna langsung untuk

kawasan HCVA berupa ekosistem riparian, hutan areal kebun inti dan hutan

sialang, dan Danau Gadis, sedangkan makam nenek moyang tidak memiliki nilai

ekonomi langsung. Ekosistem riparian sempadan Sungai Kerinci dengan panjang

3.97 km lebar sempadan 50 m kanan/kiri sehingga memiliki luas 38.39 ha dan

sungai Laniago dengan lebar 15m kanan/kiri dan panjang 15 km, sehingga

memiliki luas 9.31 ha. Total luas ekosistem riparian sempadan sungai di kawasan

perusahaan perkebunan PT. IIS Kebun Buatan seluas 47.7 ha.

Penggunaan air pabrik dan perumahan I per bulan sebesar 44.603,5 m3/bln

atau dalam setahun sebesar 535.242 m3/tahun bersumber dari sungai kerinci dan

pabrik-perumahan II sebanyak 39.388,33 m3/bln atau sebesar 472.660 m

3/tahun

bersumber dari sungai Laniago. Sepanjang musim penghujan air sungai Laniago

tidak memiliki harga karena tidak ada kegiatan atau usaha yang menggunakan

bahan baku air sungai tersebut kecuali pada saat musim kemarau. Hal ini

disebabkan karena air sungai masih dianggap sebagai barang publik dan pada

musim penghujan kesetersediaan air melimpah. Air sungai Laniago akan bernilai

jika saat musim kemarau tiba. Masyarakat akan melakukan kegiatan pembelian air

untuk pemenuhan kebutuhan MCK pada saat kemarau. Provinsi Riau dan

kabupaten Pelelawan sekitarnya memiliki musim kemarau yang berlangsung

selama 3 (tiga) bulan dalam satu tahun. Harga air diperoleh dari sewa mobil

tangki kapasitas 15.000 liter dengan harga Rp 250.000 -300.000,00 dengan asumsi

50% untuk biaya produksi dan 50 % keuntungan bersih bagi penyedia jasa.

Berdasarkan estimasi tersebut dapat diperoleh untuk harga air tertinggi sebesar

Rp 10,00 per liter dan Rp 8.33,00 per liter untuk harga terendah. Penggunaan

harga pasar pengganti (surrogate market) sewa mobil tangki air maka diperoleh

total nilai guna langsung untuk pemanfaatan air di kedua pabrik dan emplesemen

sebesar Rp 1.181.640.000,00 per tahun untuk nilai tertinggi dan sebesar

Rp 984.306.120,00 per tahun untuk nilai terendah. Kedua nilai tersebut jika dirata-

Page 84: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

65

ratakan menjadi sebesar Rp 1.082.973.060,00 per tahun. Nilai guna langsung di

kawasan ekosistem riparian selain air adalah kegiatan penangkapan ikan berbagai

jenis dengan nilai ekonomi rata-rata hanya sebesar Rp 54.450.000,00 per tahun.

Tabel 12. Nilai guna langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan

Nilai Ekonomi Aliran

Barang dan Jasa HCVA

Valuasi (Rp)

Tinggi Rata-rata Nilai

(Rp/Tahun) Nilai Tertinggi

(Rp/Tahun)

Nilai Terendah

(Rp/Tahun)

1. Ekosistem Riparian

(Sempadan Sungai

Kerinci dan Laniago)

1.238.340.000,00 1.036.506.120,00 1.137.423.060,00

2. Hutan Areal Kebun

Inti dan Hutan Sialang

(40.60 Ha)

19.260.000,00 16.555.500,00 17.907.750,00

3. Makam Nenek

Moyang (0.66 ha) - -

4. Danau Gadis (1 ha) 51.150.000,00 43.200.000,00 47.175.000,00

Sub Total 1.308.750.000,00 1.096.261.620,00 1.202.505.810,00

Sumber: data primer 2012

Aliran barang dan jasa dari ekosistem riparian juga menghasilkan nilai

ekonomi langsung tertinggi di antara HCV lainnya. Tingginya nilai guna langsung

dari kawasan ekosistem riparian didorong karena tingginya penggunaan air untuk

pemukiman karyawan dan kebutuhan pabrik kelapa sawit setahun sebesar

1.007.902 m3

per tahun yang berasal dari sungai Laniago. Nilai guna langsung di

kawasan hutan areal kebun dan hutan sialang sebesar 40.60 ha berupa madu dan

ikan dengan nilai ekonomi sebesar Rp 51.150.000,00 per tahun untuk nilai

tertinggi dan Rp 43.200.000,00 per tahun untuk nilai terendah dengan rata-rata

sebesar Rp 47.175.000,00 per tahun. Nilai guna langsung untuk kawasan hutan

lebih banyak disumbang dari hasil ekstraksi pohon madu Rp 31.250.000,00 per

tahun untuk nilai tertinggi dan Rp 25.000.000,00 untuk nilai terendah. Detail nilai

guna langsung di kawasan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan disajikan dalam Tabel

12. Penjelasan nilai guna langsung disajikan dalam Lampiran 1.

Total rata-rata nilai guna langsung kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan

sebesar Rp 1.137.423.060,00 per tahun untuk ekosistem riparian (sempadan

sungai Laniago dan Kerinci). Total rata-rata nilai guna langsung untuk HCVA di

PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.202.505.810,00 per tahun atau sebesar

Rp 13.367.117,00 per ha per tahun. Persentase nilai guna langsung ekosistem

Page 85: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

66

riparian sebesar 94.59% (95.21% dari nilai guna langsung berupa pemanfaatan air

untuk pabrik dan emplasemen), sedangkan kawasan hutan hanya sebesar 3.92%

dan danau gadis hanya sebesar 1.49%.

B. Nilai Guna Tidak Langsung

Nilai guna tidak langsung (indirect use value) untuk valuasi ekonomi

kawasan HCVA perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan seluruhnya

menggunakan metode valuasi benefit transfer. Krupnick (1993) dalam Fauzi

(2010) menyatakan bahwa benefit transfer bisa saja dilakukan jika sumberdaya

alam tersebut memiliki ekosistem yang sama baik dari segi tempat maupun

karakteristik pasar. Metode valuasi benefit transfer digunakan karena

kompleksitas ekosistem yang mengalirkan berbagai tipe dan jenis aliran barang

dan jasa ekosistem yang membutuhkan metode valuasi yang kompleks dan rigid.

Valuasi nilai guna tidak langsung menggunakan metode benefit transfer dari hasil

penelitian Costanza et al.1997 yang berasal dari hasil review 100 jurnal dan

kajian-kajian valuasi sumberdaya alam dengan menggunakan berbagai metode

valuasi.

Besarnya nilai ekonomi aliran barang dan jasa ekosistem (HCVA) yang

belum memiliki harga pasar atau yang termasuk dalam nilai guna tidak langsung,

yaitu manfaat yang berhubungan dengan nilai ekologis yang dapat diberikan oleh

ekosistem dalam hal ini HCVA- dibedakan menjadi high value dan low value.

High value diperoleh berdasarkan metoda benefit transfer, yaitu dari hasil

penelitian pada ekosistem hutan hujan tropis di beberapa negara (Ruitenbeek,

1999; Constanza 1997). Low value dan persentase “trust” factor adalah asumsi

yang dibuat berdasarkan kondisi di Indonesia untuk mendapatkan reasonable

minimum values dari biaya lingkungan dan biaya sosial (Manurung 2001).

Reasonable minimum values ini dipergunakan dalam perhitungan analisis Total

Economic Value (TEV) HCVA di perkebunan kelapa sawit.

Tabel 13 menyajikan estimasi nilai ekonomi tidak langsung dari setiap

kawasan HCV di perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sesuai dengan

analisis valuasi yang dilakukan oleh Manurung (2001). Valuasi untuk ekosistem

riparian sempadan sungai menggunakan nilai valuasi sungai atau danau dan

kawasan hutan menggunakan nilai di kawasan tropis.

Page 86: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

67

Tabel 13. Nilai guna tidak langsung HCVA PT. IIS Kebun Buatan

Tipe HCVA

Nilai

rendah

(US$/

Ha)

Nilai

Tinggi

(US$/

Ha)

Trust

factor

Nilai

Minimum

(US$/Ha)

Luas

HCV

(Ha)

Nilai Valuasi

(Rupiah

/Tahun)

Ekosistem Riparian

(Sempadan Sungai

Kerinci dan Laniago)

Pengatur tata air 4 15 75% 3 47.7

1.302.210,00

Pengendali erosi 71 283 75% 53 23.005.710,00

Sub total

24.307.920,00

Danau Gadis (1 ha)

Pengatur tata air 4 15 75% 3 1 27.300,00

Sub total

27.300,00

Hutan Areal Kebun

Inti dan Hutan

Sialang (40.60 Ha)

Penyerap karbon 272 272 30% 82

40.6

30.295.720,00

Pengatur tata air 4 15 75% 3 1.108.380,00

Pembentukan lapisan

tanah 11 11 75% 8 2.955.680,00

Pengendali erosi 71 283 75% 53 19.581.380,00

Sub total

53.941.160,00

Makam Nenek

Moyang (0.66 ha) - - - - - --

TOTAL

78.276.380,00

Sumber: data primer 2012

Nilai guna tidak langsung HCV untuk kawasan ekosistem riparian

(Sempadan Sungai Laniago dan Kerinci) dengan luas 47.7 ha sebesar

Rp 24.307.920,00 per tahun, sedangkan nilai ekonomi kawasan hutan areal kebun

inti dan hutan sialang sebesar Rp 53.941.160,00 per tahun dan nilai ekonomi dari

kawasan danau Gadis sebesar Rp 27.300,00 per tahun. Total nilai guna tidak

langsung untuk kawasan HCVA di areal izin perkebunan PT. IIS Kebun Buatan

sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun atau sebesar Rp 870.274,00 per ha/tahun

dengan menggunakan nilai tukar 1 US$ sebesar Rp 9.100,00. Persentase

kontribusi komponen HCVA terhadap besaran nilai guna tidak langsung.

Ekosistem riparian menyumbangkan nilai guna tidak langsung sebesar 31.05%,

hutan areal kebun inti dan hutan Sialang menyumbang sebesar 68.91% dan

kawasan Danau Gadis sebesar 0.03%. Komponen nilai tertinggi pada aliran jasa

ekosistem sungai berupa penyerap karbon untuk setiap 1 hektar menyumbangkan

Page 87: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

68

nilai Rp 746.200,00 per tahun. Hal ini juga didukung luasan HCV untuk

ekosistem hutan memiliki aliran jasa ekosistem yang beragam dan disumsikan

bekerja secara optimal.

C. Nilai Pilihan (Biodiversitas)

Nilai pilihan dari kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit PT. IIS

Kebun Buatan menggunakan nilai pilihan untuk konservasi biodiversitas. Valuasi

nilai pilihan untuk konservasi biodiversitas menggunakan metode valuasi benefit

transfer karena kompleksitas dan keragaman jenis satwa liar dan flora yang ada di

kawasan HCVA. Nilai pilihan biodversitas diperoleh juga mendasarkan pada

pengelolaan HCVA di kawasan perkebunan kelapa sawit sebagai areal untuk

dikonservasi.

Metode valuasi benefit transfer untuk nilai pilihan biodiversitas mengacu

pada Bishop (2001). Hasil review diperoleh nilai pilihan biodiversitas dengan nilai

tertinggi sebesar 65US$ per ha yang diperoleh dari Howard (1995) dan nilai

terendah diperoleh dari Kumari (1995b) sebesar 0.2US$ per ha. Hasil dari valuasi

nilai pilihan biodiversitas disajikan dalam Tabel 14 dengan menggunakan nilai

tukar dollar Amerika sebesar Rp 9100,00. Dalam perhitungan nilai pilihan

(biodiversitas) menggunakan hasil benefit transfer yang sudah disesuaikan oleh

Manurung (2001).

Tabel 14. Nilai pilihan (biodiversitas) di kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan

Tipe HCVA

Nilai

rendah

(US$)2

Nilai

Tinggi

(US$)

Trust

factor

Nilai

Minimum

(US$)

Luas

HCV

(ha)

Nilai Valuasi

(Rupiah/Ha)

Ekosistem Riparian

(Sempadan Sungai

Kerinci dan Laniago)

3 3 75% 2 47.7 868.140,00

Danau Gadis (1 ha) 3 3 75% 2 1 18.200,00

Hutan Areal Kebun

Inti dan Hutan

Sialang (40.60 Ha)

3 3 75% 2 40.60 738.920,00

Makam Nenek

Moyang (0.66 ha)

TOTAL

1.625.260,00

Sumber: data primer 2012

Nilai pilihan biodiversitas HCVA PT. IIS Kebun Buatan diestimasi terdapat di

kawasan ekosistem riparian, ekosistem hutan areal kebun inti dan Sialang dan

2 Nilai tertinggi dan terendah mengacu pada Manurung (2001)

Page 88: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

69

dananu Gadis. Nilai pilihan biodiversitas diasumsikan sama di semua kawasan

HCV tersebut. Hasil perhitungan menunjukkan nilai pilihan biodiversitas

Rp 1.625.260.00 per ha.

D. Nilai Keberadaan

Valuasi nilai ekonomi total kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit

PT.IIS Kebun Buatan untuk kategori nilai keberadaan (existence value)

menggunakan metode valuasi Contingent Valuation Method (CVM). Pendekatan

CVM sering digunakan untuk mengukur nilai pasif (nilai non-pemanfaatan)

sumberdaya alam atau sering juga dikenal dengan nilai keberadaan (Fauzi, 2010).

Penggunaan CVM karena sudah melalui proses pentahapan valuasi sumberdaya

alam mulai dari actual market, surrogate market, dan tahapan yang terakhir

adalah CVM. CVM mampu untuk menjawab nilai dari upaya pelestarian dan

perlindungan keberadaan kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit PT. IIS

Kebun Buatan. Penerapan metode CVM dilakukan terlebih dahulu dengan cara

membangun pasar hipotetik. Pasar hipotetik dibuat dengan sebuah skenario bahwa

kawasan HCVA akan dilakukan pelestarian HCVA atau dikonversi menjadi kebun

kelapa sawit. Pertanyaan dalam pasar hipotetik akan dibentuk dalam skenario

sebagai berikut:

Apakah Saudara setuju apabila dikenakan pungutan sebesar

yang dipergunakan untuk perlindungan dan pelestarian

keberadaan flora fauna dan atau kawasan yang

dikeramatakan bagi masyarakat Adat Melayu Sujuhan dan

Sijoe dan atau kawasan yang bernilai konservasi tinggi di

dalam perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan dan

berapa rupiah Saudara bersedia memberikan iuran untuk

usaha tersebut?

Tahapan valuasi nilai keberadaan selanjutnya dengan menggunakan

kuesioner yang terdiri atas identitas responden, sikap terhadap tindakan

konservasi dan pengetahuan mengenai spesies langka dan terancam punah dan

atau kawasan keramat di lokasi perkebunan kelapa sawit, dan kesediaan

membayar untuk keberadaan kawasan bernilai konservasi tinggi. Kuesioner

tersebut diperoleh nilai maksimum dari WTP (Willingness To Pay) dengan

menggunakan teknik bidding game. Langkah selanjutnya untuk mendapatkan nilai

Page 89: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

70

keberadaan dari HCVA di perkebunan PT. IIS Kebun Buatan, yaitu menghitung

nilai rataan WTP dengan menggunakan rumuas:

Dimana:

= nilai rerata WTP

= jumlah tiap data

= jumlah responden

= responden ke-i yang bersedia membayar

Tahap terakhir dalam penentuan nilai keberadaan yaitu

menjumlahkannya dengan cara mengkonversikan nilai rerata WTP dengan

jumlah populasi di desa-desa sekitar PT. IIS Kebun Buatan. Data Kecamatan

Kerinci Kanan (BPS 2011) jumlah rumah tangga penduduk di desa Buatan

Baru dan desa Delik sekitar perusahaan PT. IIS Kebun Buatan sebanyak 370

KK.

Responden dalam estmasi nilai keberadaan sebanyak 30 orang yang

berasal dari 2 desa di sekitar areal perusahaan PT. IIS Kebun Buatan.

Responden tersebut menjadi narasumber untuk pemanfaatan hasil hutan

bukan kayu atau untuk penentuan nilai guna langsung. Hasil perhitungan

nilai keberadaan dengan menggunakan metode CVM disajikan dalam Tabel

16. Responden dalam CVM terdiri dari 23 orang berjenis kelamin laki-laki

(76.67%) dan perempuan sebanyak 7 orang (23.33%). Sebesar 83.33%

pendapatan rata-rata responden diatas Rp 3.000.000,00 per bulan dan sisanya

sebesar 16.67 % dengan pendapatan antara Rp 1.000.000,00 hingga

Rp 3.000.000,00. Tingkat pendidikan responden untuk SD sebesar 17 %,

tingkat pendidikan menengah sebanyak 40 %, perguruan tinggi sebanyak

13% dan tidak sekolah sebanyak 30 %. Nilai keberadaan HCVA di PT IIS

Kebun Buatan dapat dilihat pada Tabel 15.

Page 90: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

71

Tabel 15. Nilai keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan

HCVA Mean WTP

Responden

(Rp/bulan)

Mean WTP

Masyarakat

(Rp/bulan)

Mean WTP

Responden

(Rp/tahun)

Mean WTP

Masyarakat

(Rp/tahun)

1. Ekosistem

Riparian

(Sempadan

Sungai Kerinci

38.39 ha dan

Laniago 9.31 ha)

8.883,00 3.286.710,00 106.596,00 39.440.520,00

2. Hutan Areal

Kebun Inti dan

Hutan Sialang

(40.60 Ha)

3. Makam Nenek

Moyang (0.66 ha)

4. Danau Gadis (1

ha)

Sub total

Total Nilai

Keberadaan 8.883,00 3.286.710,00 106.596,00 39.440.520,00

Sumber: data primer 2012

Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai rerata WTP responden sebesar

Rp 8.883,00 per bulan, sedangkan nilai rerata per tahun sebesar Rp 3.286.710,00.

Nilai rata-rata WTP masyarakat per tahun Rp 39.440.520,00. Nilai tersebut

merefleksikan nilai keberadaan dari kawasan HCVA di perkebunan kelapa sawit.

Besaran WTP responden Rp 106.596,00 per tahun sangat rasional dengan

pendapatan masyarakat (responden) yang sebagian besar (83.33%) di atas

Rp 3.000.000,00 per bulan. Penelitian ini tidak sampai mencari faktor-faktor yang

berpengaruh terhadap kesediaan membayar (WTP) masyarakat terhadap program

pelestarian dan pengelolaan keberadaan HCVA di perkebunan Kelapa sawit.

Berdasarkan hasil paparan diatas komponen nilai ekonomi total (TEV) di

perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan dapat disajikan dalam Tabel 16

sebagai berikut.

Page 91: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

72

Tabel 16. Estimasi nilai ekonomi total HCVA PT. IIS Kebun Buatan

Komponen Nilai

Ekonomi

Nilai Ekonomi

(Rp/Tahun)

Rata-Rata

(Rp/Ha/Tahun) Persentase

Nilai Guna

Langsung 1.202.505.810,00 13.367.117,00 90.97%

Nilai Guna Tidak

Langsung 78.276.380,00 870.124.00 5.92%

Nilai Pilihan

(Biodiversitas) 1.625.260,00 18.066,00 0.12%

Nilai Keberadaan 39.440.520,00 438.423,00 2.98%

Total Economic

Value (TEV) 1.321.847.970,00 14.693.730,00 100.00%

Sumber: data primer 2012

Tabel 16 menunjukkan bahwa komponen nilai guna langsung dari

kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan diestimasi sebesar Rp 13.367.117,00 per

ha/tahun atau sebanyak Rp 1.202.505.810,00 per tahun. Nilai guna langsung

merupakan komponen pembentuk nilai ekonomi total dengan kontribusi terbesar

(90.97%). Nilai tersebut tentu saja memberikan kontribusi terbesar pada

penjumlahan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan yang disebabkan karena

tingginya penggunaan sumberdaya air yang dihasilkan oleh sungai Laniago dan

Kerinci untuk kebutuhan dua pabrik dan pemukiman karyawan. Nilai guna tidak

langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00 per tahun dan nilai pilihan hanya

sebesar Rp 1.625.260,00 per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar

Rp 39.440.520,00 per tahun (WTP masyarakat). Nilai Ekonomi Total (TEV)

HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar

Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.

Nilai-nilai tersebut sebagian besar bersifat potensial. Nilai aktual dari TEV

HCVA hanya pada aliran barang dan jasa yang sudah diperdagangkan atau

memiliki harga pasar seperti rotan, ikan, dan madu. Nilai aktual dari aliran barang

dan jasa ekosistem HCVA hanya sebesar 8.11 % dari nilai TEV atau rata-rata

sebesar Rp 107.160.000,00 per tahun, padahal TEV HCVA sebesar

Rp 1.321.847.970,00 per tahun. Nilai-nilai tersebut berasal dari hasil hutan bukan

kayu dan sekitar kawasan riparian seperti ikan, rotan, dan madu. Nilai ekonomi

potensial adalah selisih antara nilai ekonomi total dengan nilai aktual

Rp 1.214.687.970,00 per tahun atau dengan kata lain nilai potensial dari TEV

Page 92: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

73

HCVA sebesar 91.89 % dari nilai ekonomi total. Perspektif perusahaan

menunjukkan baik nilai aktual maupun nilai potensial, nilai ekonomi tersebut

tidak memberikan penerimaan langsung bagi perusahaan. Nilai tersebut adalah

marginal social benefit atas keberadaan HCVA. Nilai tersebut merupakan

keuntungan sosial bagi masyarakat sekitar perusahaan.

5.4 Analisis Finansial Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit

Analisis finansial bertujuan untuk menilai apakah suatu kegiatan tertentu

dilaksanakan layak secara finansial, atau dapat memberikan keuntungan finansial

bagi perusahaan yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan.

Pengambilan keputusan berdasarkan penilaian kelayakan suatu kegiatan, sangat

penting untuk turut memperhitungkan semua biaya dan manfaat yang relevan

dan/atau benar terjadi sebagai akibat pelaksanaan kegiatan dalam hal ini

pengelolaan HCVA.

Kriteria kelayakan finansial suatu kegiatan pengelolaan HCVA ditunjukan

oleh nilai NPV (net present value) dan B/C ratio (Benefit-Cost Ratio) atau IRR

(Internal Rate of Return). Nilai NPV, B/C ratio dan IRR sesungguhnya saling

berhubungan satu sama lainnya. Kegiatan pengelolan HCVA dikatakan layak

secara finansial (menguntungkan bagi perusahaan) bila nilai NPV-nya positif.

Nilai NPV positif artinya nilai B/C ratio-nya lebih besar dari satu, dan nilai IRR-

nya lebih besar dari tingkat suku bunga diskonto (discount rate) yang

dipergunakan dalam perhitungan nilai NPV. Salah satu dari ketiga nilai tersebut

dapat digunakan untuk mengambil keputusan apakah kegiatan pengelolaan HCVA

akan menguntungkan (layak) atau tidak secara finansial. Kelayakan finansial

ditunjukkan oleh nilai NPV. Keseluruhan manfaat yang dihasilkan selama jangka

waktu umur kegiatan lebih besar daripada keseluruhan biaya investasi, maka nilai

NPV positif. Artinya, pengelolaan HCVA secara finansial layak untuk

dilaksanakan karena dapat memberikan keuntungan finansial bagi perusahaan.

Asumsi dan data hipotetik yang digunakan sebagai kasus dasar untuk

perhitungan analisis finansial pekebunan kelapa sawit di perusahaan PT. IIS

Kebun Buatan terkait pilihan pengelolaan HCVA dengan menggunakan data

sebagai berikut:

Page 93: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

74

a. Luas kebun kelapa sawit 25.020 ha dengan komposisi 16.495 untuk kebun

kelapa sawit (inti dan plasma) dan 8.525 ha untuk lahan pangan, pabrik,

emplasemen dan sarana prasarana.

b. Luas HCVA PT. IIS Kebun Buatan sebesar 89.96 ha atau luas areal produktif

kelapa sawit menjadi 16.405,04 ha.

c. Perhitungan finansial dibatasi pada manfaat produksi TBS. Produksi TBS

menggunakan Nurrochmat et al. 2012 dan Boer et al. 2012.

d. Biaya investasi pembangunan pabrik kelapa sawit, biaya pengolahan TBS

menjadi CPO dan KPO, biaya pengangkutan CPO dan KPO dari lokasi PKS

ke pelabuhan ekspor, dan biaya overhead tidak dimasukkan dalam analisis.

e. Sebagian besar data untuk analisis bersumber Nurrochmat et al. (2012) dan

Boer et al. (2012). Kedua data tersebut merupakan data corporate adjusted

yang sudah diverifikasi dan disesuaikan dengan berbagai data yang bersumber

dari perusahaan yang disajikan dalam Tabel 17.

Analisis finansial ini akan membandingkan kelayakan pengelolaan with

HCVA dan without HCVA dengan menggunakan data simulasi dari kajian

Nurrochmat et al. (2012) dan Boer et al (2012) yang telah disesuaikan dengan

hasil kajian HCV bersama Tim HCV Fahutan IPB. Analisis ini juga menggunakan

biaya pengelolaan HCVA dan TEV HCVA PT. IIS Kebun Buatan.

Semua biaya yang dikeluarkan dan manfaat yang diterima oleh perusahaan

dalam pelaksanaan kegiatan proyek perkebunan kelapa sawit diidentifikasi dan

dicatat secara rinci setiap tahun selama umur proyek. Lampiran 2 memperlihatkan

arus masuk (inflow) dan arus keluar (outflow) perkebunan PT. IIS Kebun Buatan

(25.020 ha) selama satu siklus. Lampiran 2 juga memperlihatkan aliran kas (cash-

flow) proyek investasi perkebunan kelapa sawit selama jangka waktu umur

perkebunan. Aliran kas terdiri dari aliran pengeluaran (outflow), yaitu semua

biaya per tahun, dalam nilai uang, yang dikeluarkan oleh perusahaan selama

pelaksanaan kegiatan, dan aliran penerimaan (inflow), yaitu semua penerimaan per

tahun, dalam nilai uang, yang diterima oleh perusahaan dari pelaksanaan kegiatan

perkebunan kelapa sawit, yaitu dari tahun ke-0 (initial year) sampai dengan tahun

ke-25.

Page 94: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

75

Tabel 17. Asumsi biaya dan manfaat dalam perhitungan analisis finansial Asumsi Value (Rp/Ha) Nilai (Rp/Siklus)

A.Biaya

1. Perencanaan &

Investasi

a. Feasibility study

(FS)

Biaya FS dikeluarkan pada initial

year (t-0) 60.000,00 300.000.000,00

b. Permit

(Periijinan) HGU 40.000,00 200.000.000,00

c. Area boundary

arrangement Dikeluarkan pada initial year (t-0) 60.000,00 300.000.000,00

d. Kajian AMDAL Implementasi hasil kajian AMDAl 60.000,00 300.000.000,00

e. Akuisisi lahan 4.000.000,00 100.080.000.000,00

f. Biaya

Sertifikasi

Biaya sertifikasi dikeluarkan pada

tahun ke-2 40.000,00 200.000.000,00

2. Tanaman/

perkebunan

a. Penanaman

Benih unggul dan input (pupuk,

pestisida, dan insektisida)

berkualitas baik

34.344.000,00 859.286.880.000,00

b. Pemeliharaan

tanaman Pemeliharaan baik 170.457.900,00 2.796.368.667.816,00

3. Infrastruktur

a. Jalan Biaya jalan dikeluarkan pada tahun

pada initial year (t-0) 3.941.600,00 305.344.080.000,00

b. Jembatan Biaya jembatan dikeluarkan pada

tahun pada initial year (t-0) 1.018.800,00 5.094.000.000,00

c. Bangunan-

bangunan

Biaya bangunan dikeluarkan pada

tahun pada initial year (t-0) 694.000,00 3.470.000.000,00

d. Perumahan staf Biaya perumahan dikeluarkan pada

tahun pada initial year (t-0) 894.000,00 1.740.000.000,00

e. Perumahan

tenaga kerja

Biaya perumahan dikeluarkan pada

tahun pada initial year (t-0) 2.730.000.000,00

f. Pemanenan

Biaya pemanenan dipengaruhi oleh

volume produksi, teknologi,

peralatan (kualitas tinggi) dan upah

tenaga kerja

61.467.285,00 1.008.373.271.680,00

g. Upah dan gaji Rata-rata Upah tenaga kerja 1.007.406,00 125.925.690.000,00

h. Corporate

Social

responsibility

Tanggung jawab dan kewajiban 20.000,00 2.500.000.000,00

i. Kajian HCVA

Biaya kajian HCVA dikeluarkan

pada initial year (t-0). Biaya kajian

Rp 200.000.000,00 per areal

200.000.000,00

per areal

200.000.000.00,00

j. Biaya

pengelolaan dan

pemantauan

Biaya pengelolaan

Rp 354.750.000,00 per areal

HCVA dan Rp 361.000.000,00

pada t-1 s.d t-25 sama. Termasuk :

Kebutuhan gaji tambahan

(additional salary) dan tambahan

staf pengelolaan

715.750.000,00

per areal/tahun

9.379.750.000,00

B. Manfaat

TBS (Normal) Rata-rata produksi 21.38 ton/ha.

Harga Rp 1.454.73,00/ kg

34.231.185,00/

Ha

12.961.177.075.812,00

Sumber: Boer et al. (2012) dan Nurrochmat et al. (2012) dan PT. IIS KB (2011)

Page 95: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

76

Total biaya per tahun untuk pelaksanaan kegiatan perkebunan kelapa sawit

merupakan penjumlahan dari semua pengeluaran dalam kurun waktu satu tahun

tertentu untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan jadwal pelaksanaan kegiatan.

Biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh perusahaan dalam pelaksanaan kegiatan

proyek diantaranya adalah (1) perencanaan dan investasi yang terdiri dari

feasibility study, permit, AMDAL, pemetaan, akuisisi lahan, dan kajian sertifikasi,

(2) plantation yang terdiri atas planting (pembibitan, land clearing, cover crop,

planting, dan planting care), operation dan maintenance, (3) infrastruktur yang

terdiri atas jalan, jembatan, bangunan, perumahan (karyawan, kantor), pemanenan

dan transportasi, gaji, corporate social responsibility, dan biaya pengelolaan

HCVA yang telah disebutkan dalam Tabel 17. Pengeluaran biaya proyek dimulai

dari tahun ke-0, yaitu mulai dari tahapan pengurusan ijin dan pembukaan lahan;

biaya pada tahun ke-1 berupa biaya investasi tanaman kelapa sawit, dan berbagai

pengeluaran biaya lainnya, sesuai dengan rencana kegiatan proyek sampai dengan

tahun ke-25.

Total manfaat per tahun yang diterima dari pelaksanaan kegiatan

perkebunan kelapa sawit merupakan penjumlahan dari semua penerimaan dalam

kurun waktu satu tahun tertentu (time horizon), selama jangka waktu umur

kegiatan. Penerimaan dalam nilai uang, diperoleh dari hasil penjualan Fresh Fruit

Bunch atau Tandan Buah Segar (TBS) yang dijual di pasar domestik yang

diekspor dengan menggunakan harga hipotetik. Tanaman kelapa sawit baru mulai

menghasilkan TBS pada tahun ke-3 (gestation period 3 years), sehingga

penerimaan proyek dari hasil penjualan TBS baru mulai dihasilkan pada tahun ke-

3, kemudian terus berlanjut sampai dengan tahun ke-25.

Gambar 10 memperlihatkan grafik total pengeluaran dan penerimaan

perusahaan perkebunan kelapa sawit selama jangka waktu umur kegiatan 25

tahun. Pengeluaran perusahaan sampai dengan tahun ke-4 lebih besar

dibandingkan dengan penerimaan perusahaan. Periode investasi tanaman kelapa

sawit, yaitu pada tahun ke-0 sampai dengan tahun ke-2, perusahaan harus

mengeluarkan biaya investasi dan belum memperpoleh penerimaan. Tahun ke-9

s.d ke-13 produksi TBS mencapai produksi optimum kemudian berangsur-angsur

menurun sampai pada produksi pada tahun-25. Penerimaan total perusahaan yang

Page 96: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

77

berasal dari penjualan TBS, mulai tahun ke- 3 sampai dengan tahun ke-25, rata-

rata total penerimaan per tahun sebesar Rp 499.492.239.907,00 per tahun. Rata-

rata total biaya produksi selama jangka waktu umur kegiatan sebesar

Rp 201.271.176.121,00 per tahun. Total penerimaan sepanjang siklus sebesar

Rp 12.986.798.237.588,00 dan total biaya Rp 5.233.076.579.152,00.

Gambar 10. Total penerimaan dan pengeluaran per tahun

Hasil perhitungan analisis finansial secara detail disajikan dalam Lampiran

2, dengan tingkat suku bunga diskonto (discount rate) sebesar 15%. Kelayakan

pembangunan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan with and without

HCVA disajikan dalam Tabel 18. Hasil perhitungan analisis finansial untuk pilihan

without HCVA memberikan nilai NPV sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus

(IRR sebesar 43.29% dan BCR sebesar 1.38). Hal sebaliknya, jika perusahaan

sawit PT. IIS Kebun Buatan melakukan pengelolaan with HCVA+0.35%, maka

secara finansial perusahaan tersebut juga sangat menguntungkan dan layak dengan

nilai NPV sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus dan nilai IRR sebesar

43.21% dan BCR sebesar 1.38. Hal yang sama terjadi dengan pilihan with HCVA

tanpa premium price, juga sangat menguntungkan dengan nilai NPV sebesar

Rp 655.616.430.602,00 (BCR sebesar 1.38 dan IRR sebesar 43.03%). Pilihan

pengelolaan perkebunan kelapa sawit without HCVA dan with HCVA+0.35%

menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar Rp 3.340.184.524,00 per siklus

(3.34 milyar rupiah per siklus).

0

1E+11

2E+11

3E+11

4E+11

5E+11

6E+11

7E+11

8E+11

9E+11

1 2 3 4 5 6 7 8 9 1011121314151617181920212223242526

Ru

pia

h/T

ah

un

Total Pengeluaran dan Penerimaan Perusahaan

Penerimaan

Pengeluaran

Page 97: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

78

Tabel 18. Pilihan pengelolaan perkebunan with dan without HCVA

Without HCVA

(Rp/siklus)

With HCVA+0.35%

(Rp/siklus)

With HCVA

(Rp/siklus)

EBITDA 7.753.721.658.436,00 7.739.384.736.316,00 7.694.178.837.198,00

NPV 667.346.030.004,00 664.005.845.480,00 655.616.430.602,00

TOTAL BENEFIT 25

Tahun DF 15% 2.410.119.928.487,00 2.405.365.094.273,00 2.396.975.679.395,00

TOTAL COST 25

Tahun DF 15% 1.742.773.898.482,00 1.741.359.248.792,00 1.741.359.248.792,00

BCR 1.38 1.38 1.38

IRR 43.29% 43.21% 43.03%

Sumber: data primer dan data sekunder diolah (2012)

Tabel 18 menunjukkan bahwa pilihan pengelolaan perkebuna kelapa sawit

with and without HCVA memperlihatkan kelayakan untuk proyek pembangunan

perkebunan kelapa sawit. Model with HCVA menyebabkan penurunan keuntungan

(decreasing profit) atau perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun

Buatan kehilangan pendapatan Rp 3.340.184.524,00 per siklus, meskipun sudah

mendapatkan harga premimum 0.35%. Pembangunan perkebunan kelapa sawit

dengan mempersyaratkan pengelolaan HCVA, tanpa adanya kompensasi dalam

bentuk premium price akan memberikan loss expected income atau kerugian yang

lebih besar lagi bagi perusahaan, yaitu sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus.

BCR dan IRR baik semua pilihan pengelolaan perkebunan with and without

HCVA juga menunjukkan kelayakan usaha yang ditunjukkan dengan nilai lebih

besar dari satu (BCR >1).

Gambar 11 menunjukkan arus net benefit untuk pilihan pengelolaan with

HCVA dan without HCVA di perkebunan kelapa sawit. NPV without HCVA

menunjukkan trend lebih tinggi di atas model perkebunan kelapa sawit with

HCVA. Tahun ke-9 sampai dengan ke-13 menunjukkan nilai NPV pada tingkat

maksimum. Rentang tahun tersebut sesuai dengan siklus kelapa sawit mengalami

puncak produksi TBS.

Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa terdapat perbedaan rente

ekonomi yang cukup besar dari pilihan pembangunan perkebunan PT. IIS Kebun

Buatan baik dengan menerapkan pengelolaan with HCVA maupun without HCVA,

namun masih kompetitif atau masih sangat menguntungkan diantara pilihan

tersebut. Hanya saja pilihan without HCVA secara finansial menunjukkan trend

sangat positif atau memberikan economic return yang sangat tinggi dibandingkan

with+HCVA meskipun juga telah mendapatkan premium price +0.35%.

Page 98: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

79

Gambar 11. Arus net benefit pilihan with dan without HCVA

Hasil perhitungan pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit terkait

HCVA yang disajikan dalam Gambar 11 menujukkan bahwa rente ekonomi dari

pengelolaan HCVA mengalami peningkatan ketika mendapatkan harga

kompensasi yang lebih tinggi. Gambar 12 menunjukkan perbedaan nilai NPV atas

pengelolaan HCVA. Pilihan pengelolaan perkebunan kelapa sawit with

HCVA+0.35% merupakan nilai maksimum premium price yang saat ini diterima

perusahaan kelapa sawit yang tersertifikasi RSPO dengan nilai NPV sebesar Rp

664.005.845.480,00 per siklus.

Gambar 12.Perbedaan nilai NPV pilihan pengelolaan HCVA

Hasil perhitungan ini memberikan informasi bahwa kompensasi atas

pengelolaan with HCVA dengan premium price + 0.35% tidak sebanding dengan

-6E+11

-5E+11

-4E+11

-3E+11

-2E+11

-1E+11

0

1E+11

2E+11

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25

Rp

/Tah

un

Arus Net Benefit With dan Without HCVA δ15%

Without

With

667.35

664.00 655.62

Without With+0.35% With

Rente Ekonomi Pilihan Pengelolaan

Perkebunan Kelapa Sawit (Milyar Rupiah per Siklus)

3.34 11.73 GAP

0.50%

99.50%

GAP

1.76%

98.24%

Page 99: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

80

penerimaaan perkebunan without HCVA, meskipun selisihnya tidak terlalu

signifikan. Berdasarkan hasil perhitungkan di atas, premium price yang rasional

dan layak dapat ditentukan dengan menggunakan data hasil perhitungan analisis

finansial.

Tabel 19. Hasil perhitungan penentuan premium price

Without HCVA

(Harga Normal)

With HCVA +

Premium Price

0.35%

With HCVA (Harga

Normal)

Total Benefit DF 15% 2.410.119.928.487 2.405.365.094.273 2.396.975.679.395

Total Cost DF15% 1.742.773.898.482 1.738.470.940.973 1.738.470.940.973

2.888.307.820 2.888.307.820

NPV 667.346.030.004 664.005.845.480 655.616.430.602

Gap (profit loss) 3.340.184.524 11.729.599.402

Premium price (0.35%) 0.35% 8.389.414.878

Premium price Rasional

dan wajar

0.49% 11.729.599.402

Tabel 19 menunjukkan perhitungan penentuan premium price (Premium

Price) yang wajar dan rasional di PT. IIS Kebun Buatan. Perhitungan tersebut

memasukan perhitungan nilai total benefit dan total cost dengan discount factor

(DF) sebesar 15%. Perhitungan tersebut menggunakan tiga skenario yang berbeda

yaitu without HCVA, With HCVA + premium price 0.35% dan With HCVA tanpa

premium price. Hasil perhitungan untuk mendapatkan premium price yang wajar

didapatkan dengan membandingkan selisih nilai With HCVA + Premium price

0.35% dan With HCVA tanpa premium price. Hasil perhitungan menunjukkan

nilai yang rasional dan wajar adalah sebesar 0.49%. Nilai ini wajar dan rasional

pada kasus PT.IIS Kebun Buatan, karena luasan HCVA yang ada relatif kecil,

yaitu sebesar 0.55% dari total luas area produktif. Premium price sebesar 0.49%

lebih besar dari premium price yang ada dipasaran saat ini (0.35%). Hal ini

menunjukkan bahwa premium price saat ini tidak rasional dan wajar. Pilihan

pengelolaan with HCVA+0.49% akan menghasilkan NPV sebesar

667.361.611.431.00 per siklus, dengan demikian gap antara with HCVA+0.49%

dengan without HCVA hanya sebesar Rp 15.581.427,00 per siklus atau

Rp 677.453 per tahun.

Rendahnya nilai Premium price bisa memberikan pengaruh bagi

perusahaan perkebunan (palm oil grower) untuk tidak melakukan pengelolaan

kelapa sawit berkelanjutan (tersertifikasi RSPO) dengan persyaratan berupa

Page 100: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

81

pengelolaan HCVA. Kerugian atau kehilangan profit karena melakukan

pengelolaan HCVA tidak terkompensasi secara adil dan rasional, maka akan

memberikan dampak bagi keberlanjutan dan keberadaan HCVA. Serapan pasar

(market uptake) minyak kelapa sawit yang tidak tersertifikasi RSPO jauh lebih

besar, meskipun penetrasi pasar untuk kelapa sawit tersertifikasi berkelanjutan

lebih luas. Kondisi ini secara tidak langsung dikhawatirkan akan melemahkan

semangat plam oil grower untuk menangkap isu lingkungan khususnya perubahan

iklim, biodiversity loss dan deforestation dengan melakukan pengelolaan HCVA.

Mekanisme bersama untuk mewujudkan kompensasi premium price yang fair bagi

perusahaan diperlukan demi menjaga semangat untuk melestarikan alam dan

menekan laju biodiversity loss dan deforestation.

5.5 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas atau “shock analysis” terjadi pada perubahan-

perubahan komponen pada variabel harga dan biaya investasi. Hal ini disebabkan

adanya faktor ketidaktentuan pada pelaksanaan perencanaan proyek di masa

depan. Menurut Gittinger (2008) analisis sensitivitas dilakukan untuk meneliti

pengaruh-pengaruh yang akan terjadi akibat keadaan yang berubah-ubah. Analisis

ini merupakan salah satu cara untuk menghadapi ketidaktentuan yang dapat terjadi

pada keadaan yang telah kita ramalkan atau perkirakan. Analisis sensitivitas

dengan menggunakan perubahan pada harga output (harga TBS) dan biaya

investasi sangat diperlukan sebagai dasar analisis kebijakan bagi para pengambil

keputusan.

Analisis sensitivitas menggunakan perubahan pada peningkatan biaya

(increasing costs) sebesar 10% dan penurunan harga output (decreasing price)

sebesar 10% dengan suku bunga terdiskonto sebesar 15%. Analisis ini

mensimulasikan penerimaan NPV jika terjadi goncangan harga dan biaya akibat

adanya perubahan kebijakan dan gejolak pasar. Hasil perhitungan analisis

sensitivitas yang disajikan dalam Gambar 13 dan Tabel 20 menunjukkan adanya

perubahan pada nilai NPV, ketika terjadi shock.

Nilai NPV without HCVA di perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS

Kebun Buatan dalam keadaan normal sebesar Rp 667.346.030.004,00 per siklus

dengan nilai BCR sebesar 1.38. Perubahan kenaikan biaya 10% menyebabkan

Page 101: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

82

nilai NPV without HCVA mengalami penurunan yang sangat besar hingga

mencapai Rp 493.068.640.156 per siklus dan BCR menjadi 1.26. Penurunan nilai

NPV juga terjadi di semua pilihan kondisi pengelolaan HCVA termasuk untuk

pilihan with HCVA +0.49% menjadi sebesar Rp 493.225.686.552,00 per siklus.

Gambar 13. Simulasi perubahan harga dan biaya

Perubahan penurunan harga output (TBS) perusahaan kelapa sawit PT. IIS

Kebun Buatan sebesar 10% menyebabkan nilai NPV pilihan without HCVA

mengalami penurunan mencapai Rp 426.655.596.579,00 per siklus, padahal

keadaan normal nilai NPV mencapai Rp 667.589.346.030.004,00 per siklus.

Peningkatan biaya sebesar 10% menyebabkan nilai NPV lebih besar dibandingkan

dengan penurunan harga sebesar 10%, namun nilai tersebut masih lebih rendah

dibandingkan dengan harga normalnya. Perubahan tersebut menunjukkan

sensitivitas perusahaan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan pada gejolak

perubahan penurunan harga 10% untuk pilihan with HCVA tanpa kompensasi.

Tabel 20. Sensitivitas harga dan biaya (Rp 000)

Perubahan

(Shock)

Without With (non PP) With + 0.35%

NPV BCR NPV BCR NPV BCR

Normal 667.589.346.030,00 1.38 655.616.431,00 1.38 664.005.845,00 1.38

Decreasing

Price 10%

DF 15%

426.334.037.156,00 1.24 415.918.863,00 1.24 423.469.336,00 1.24

Increasing

Costs 10%

DF 15%

493.068.640.156.00 1.26 481.480.506,00 1.25 489.869.921,00 1.26

Sensitivity

Price 36% 10% 37% 10% 36% 10%

Sensitivity

Cost 26% 9% 27% 9% 26% 9%

Sumber : Data primer diolah (2012)

667,346,030

655,616,431

664,005,845

426,334,037

415,918,863

423,469,336

493,068,640

481,480,506

489,869,921

- 200,000,000 400,000,000 600,000,000 800,000,000

Without

With

With + 0.35%

NPV

HC

VA

Analisis sensitivitas (Rp 000/siklus)

Increasing Costs

10%Decreasing Price

10%Normal

Page 102: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

83

Tabel 20 menggambarkan bahwa NPV sangat sensitif terhadap perubahan

penurunan harga dan kenaikan biaya. PT. IIS Kebun Buatan sensitif dengan

gejolak perubahan penurunan harga dan kenaikan biaya untuk semua pilihan

pengelolaan. Perubahan penurunan harga TBS akan menyebabkan pengurangan

NPV rata-rata mencapai Rp 240.415.356.738,00 per siklus, sedangkan

peningkatan harga akan memberikan penurunan rata-rata nilai NPV sebesar

Rp 174.183.079.869,00 per siklus dibanding saat dalam kondisi normal.

Perubahan penurunan harga sebesar 10% menyebabkan penurunan NPV untuk

semua pilihan pengelolaan rata-rata sebesar 36.30% dengan penurunan NPV

tertinggi untuk pilihan without HCVA (37%). Perubahan kenaikan harga sebesar

10% mengalami dampak penurunan NPV rata-rata sebesar 26.30% dengan

penurunan NPV tertinggi untuk pilihan without HCVA sebesar 27%. Hal ini

menunjukkan bahwa secara umum penurunan harga TBS di Perkebunan kelapa

sawit PT. IIS Kebun Buatan lebih sensitif dibanding dengan perubahan biaya

(kenaikan biaya input). Penurunan harga TBS menyebabkan perusahaan PT. IIS

Kebun Buatan mengalami penurunan NPV jauh paling besar dibandingkan

kenaikan biaya.

5.6 Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA

Obyek analisis biaya dan manfaat menggunakan entitas perusahaan yaitu

PT. IIS Kebun Buatan: data yang digunakan dalan perhitungan dan analisis

merupakan data riil khususnya luas HCVA dan peruntukan lahan. Sebagian besar

komponen biaya manfaat menggunakan data yang berasal dari Nurrochmat et al.

(2010) dan Boer et al. (2012). Kedua data tersebut merupakan kompilasi data-data

perusahaan yang sudah disesuaikan (compilation adjusted).

5.6.1 Estimasi Biaya-Biaya Pengelolaan HCVA

Estimasi biaya berasal dari komponen-komponen yang terkena dampak

pengelolaan HCVA. Dampak Pengelolaan HCVA bersifat langsung dan dampak

tidak langsung. Dampak langsung adalah dampak yang langsung berkenaan

dengan penerimaan perusahaan dan masyarakat akibat pengelolaan HCVA.

Pengelolaan HCVA memberikan dampak langsung berupa kehilangan manfaat

Page 103: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

84

dan tambahan beban biaya bagi perusahaan. Hasil dari identifikasi dampak

langsung bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit akibat pengelolaan HCVA

dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Kerugian karena kehilangan pendapatan

b. Beban biaya pengelolaan

Dampak langsung bagi perusahaan akibat pengelolaan HCVA dilihat dari

perspektif ekonomi/bisnis.

5.6.1.1 Estimasi Biaya Dampak Langsung Bagi Perusahaan

A. Estimasi Kerugian/Kehilangan Pendapatan

Dampak langsung bagi perusahaan akibat adanya pengelolaan HCVA

yang pertama adalah kehilangan pendapatan. Dampak pengelolaan HCVA

menyebabkan berkurangnya areal produktif untuk kebun kelapa sawit. Kehilangan

areal produktif tentu saja akan berpengaruh pada produksi kelapa sawit atau TBS

dan akhirnya adalah kehilangan pendapatan dari produksi CPO dan KPO. Hasil

perhitungan kerugian atau kehilangan penerimaan akibat pengelolaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit disajikan dalam Tabel 21.

Tabel 21. Kerugian atau kehilangan pendapatan akibat pengelolaan HCVA

Entitas

Luas

HCVA

(Ha)

Produksi

TBS

(Ton/Ha/

Tahun)

Harga TBS

Rata-Rata-

Tahun-0 s.d

Tahun 25

(Rp/Kg)

Penerimaan

yang hilang

(Rp 000

/Tahun)

Keterangan

PT. IIS

Kebun

Buatan

89.96 24.96 1.454.73

2.797.947

Data Riil 2011 dan

Harga TBS Riau, 26

Mei 2012 (Riau Post)

Sumber: data primer diolah 2012

Tabel 21 menunjukkan bahwa total kehilangan penerimaan areal produktif

akibat pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit di PT. IIS Kebun Buatan

maupun di perkebunan kelapa sawit mempunyai nilai yang berbeda-beda

tergantung pada luasan izin dan luasan HCVA-nya. Rata-rata produksi TBS

perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar 24.96 ton per ha/tahun.

Perusahaan akan kehilangan penerimaan akibat pengelolaan HCVA seluas 89.96

ha sebesar Rp 2.797.947.381,00 (2.79 milyar/tahun atau 36.31 juta per ha/tahun).

Valuasi kehilangan atau kerugian ekonomi akibat pengelolaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit di atas sama dengan asumsi jika semua luasan HCVA

Page 104: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

85

terkonversi menjadi areal produktif kebun kelapa sawit dengan asumsi cateris

paribus. Tanaman kelapa sawit bisa usahakan di seluruh areal HCVA tersebut

dengan menggunakan teknologi saat ini. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan

HCVA memberikan dampak ekonomi langsung yang sangat signifikan bagi usaha

perkebunan kelapa sawit.

B. Biaya Pengelolaan HCVA

Dampak langsung yang kedua akibat pengelolaan HCVA adalah beban

biaya pengadaan dan pengelolaan HCVA. Beban biaya pengelolaan HCVA di

perkebunan kelapa sawit menggunakan data biaya pengelolaan PT. IIS Kebun

Buatan dan GAPKI. Biaya pengelolaan HCVA dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Biaya pengadaan kajian identifikasi keberadaan HCVA

Pengelolaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit tidak serta muncul dan

dapat dikelola tanpa terlebih dahulu dilakukan kajian identifikasi keberadaan

HCVA. Biaya kajian ini biasanya diperlukan untuk memetakkan luasan dan

sebaran keberadaan HCVA dalam perkebunan kelapa sawit. Biasanya assessor

untuk kajian ini berasal dari lembaga yang memiliki kredibilitas yang tinggi

seperti Institusi Pendidikan Perguruan Tinggi-Tim HCV Fahutan IPB. Biaya

pengelolaan HCVA bervariasi terantung areal, situasi, kondisi, letak dan

luasan areal perkebunan kelapa sawit. Dokumen hasil kajian keberadaan

HCVA di perkebunan kelapa sawit digunakan oleh perusahaan baik sebagai

dokumen atau pegangan untuk melakukan pengelolaan dan pemantauan

HCVA maupun sebagai bukti ilmiah dan bukti bagi para pihak khususnya

lembaga pensertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan seperti RSPO.

Berdasarkan hasil wawancara degan Tim HCV Fahutan IPB rentang biaya

pengadaan kajian mulai 150-300 juta rupiah per areal perkebunan kelapa

sawit. Rata-rata biaya kajian sebesar 200 juta rupiah, sedangkan biaya kajian

PT. IIS Kebun Buatan sebesar 200 juta rupiah.

b. Biaya Pengelolaan

Biaya pengelolaan HCVA adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan

untuk melakukan pengelolaan keberadaan HCVA. Pengelolaan HCVA

sifatnya mandatory bagi perusahaan yang akan dan telah mendapatkan

sertifikat CSPO (Certified Sustainable Palm Oil) khususnya dari RSPO.

Page 105: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

86

c. Biaya Pemantauan

Biaya pemantauan adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk

kegiatan pemantauan keberadaan HCVA di wilayah atau areal perkebunan

kelapa sawit. Biaya pemantauan digunakan untuk menunjukkan

perkembangan pengelolaan baik peningkatan jumlah populasi satwa liar dan

pemanfaatan barang dan jasa lingkungan dari HCVA serta kualitas dari

HCVA. Komponen biaya pengelolaan HCVA disajikan dalam Tabel 22.

Tabel 22. Estimasi biaya pengelolaan HCVA

PT. IIS Kebun Buatan Biaya Tahun ke-0

(Rp/Tahun)

Biaya Tahun ke- 1 s.d 25

(Rp/Tahun)

Biaya Pengelolaan 354.750.000,00 194.000.000,00

Biaya Pemantauan

167.000.000,00

Biaya Kajian 200.000,000,00

Total 554.750.000,00 361.000.000,00

Sumber: Laporan Pengelolaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan 2011

Tabel 22 menunjukkan biaya awal pengelolaan HCVA perusahaan

perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 554.750.000,00. Biaya

pengelolaan pada tahun pertama menyumbang 63.95% atau sebesar

Rp 6.166.630,00 per ha/tahun dari total biaya pengelolan HCVA pada tahun

pertama, sedangkan biaya kajian sebesar 36.05 % Rp 12.125,00 per ha dan biaya

pemantauan pada tahun pertama tidak ada. Biaya pengelolaan untuk tahun kedua

dan seterusnya per tahun sebesar Rp 361.000.000,00 atau 0.361 milyar

rupiah/tahun. Biaya pada tahun kedua dan seterusnya didominasi biaya tahunan

pemantauan pengelolaan HCVA dan biaya koordinasi dengan stakeholder terkait.

Biaya ini akan terus dikeluarkan dengan jumlah yang sama, meskipun PT. IIS

Kebun Buatan tahun 2015 akan memulai program replanting. Selanjutnya biaya

pengelolaan HCVA PT. IIS Kebun Buatan akan dijadikan “proxy biaya

pengelolaan HCVA“bagi kebutuhan analisis selanjutnya.

5.6.1.2 Estimasi Biaya Dampak Langsung bagi Masyarakat

Dampak langsung akibat pengelolaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan

bagi masyarakat adalah hilangnya sejumlah manfaat akibat hilangnya aktivitas

ekonomi karena perubahan fungsi dan peruntukan areal kebun menjadi areal

Page 106: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

87

konservasi atau areal yang tidak diusahakan. Hilangnya aktivitas ekonomi akibat

pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit memberikan dampak langsung

bagi pendapatan masyarakat dan hilangnya penyerapan tenaga kerja di areal

kebun yang dikonservasi (HCVA). Estimasi biaya dampak langsung bagi

masyarakat akibat pengelolaan HCVA terkait dengan pendapatan dan tenaga

kerja.

A. Dampak Kehilangan Pendapatan Masyarakat

Dampak kehilangan pendapatan masyarakat akibat pengelolaan HCVA

disebabkan karena hilangnya berbagai aktivitas ekonomi yang membangkitkan

pendapatan masyarakat dalam kegiatan/usaha jasa pengangkutan TBS. Kegiatan

pengangkutan TBS dilakukan oleh berbagai pihak meliputi Koperasi, buruh

timbang, dan jasa pengangkutan. Pengelolaan HCVA yang mengakibatkan

kehilangan pendapatan yang diharapkan dari pihak-pihak tersebut.

Keberadaan HCVA memberikan dampak langsung bagi penerimaan

pendapataan masyarakat karena hilangnya aktivitas ekonomi yang produktif di

bidang pengangkutan (transportasi dan penimbangan TBS). Tabel 23 menyajikan

informasi temuan hilangnya pendapatan di masyarakat jika terdapat pengelolaan

HCVA. Tidak semua areal HCVA dapat menjadi areal kebun produktif, namun

perkembangan teknologi sangat memungkinkan untuk melakukan konversi

kawasan HCVA menjadi kebun produktif.

Tabel 23. Dampak kehilangan pendapatan masyarakat

PT. IIS Kebun

Buatan

Luas

HCVA

(Ha)

Produksi

(Ton TBS/

Tahun)

Harga

(Rp) Unit

Nilai pendapatan

yang Hilang

(Rp/Tahun)

Tukang Timbang

89.96 21.38

50,00 Ton 96.167 ,00

Jasa

Pengangkutan 40.000,00 Ton

76.933.792,00

Kelompok Tani 12,00 Ton 23.080,00

KUD 4.000,00 Ton 7.693.379,00

Total 84.746.419,00 Sumber: data primer diolah 2012

Tabel 23 menunjukkan bahwa pendapatan masyarakat yang hilang sebagai

akibat dampak langsung pengelolaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan sebesar

Rp 84.746.419,00 per tahun atau sebesar Rp 942.046,00 per ha/tahun. Nilai

tersebut merupakan nilai rill di lapangan khususnya di Perkebunan PT. IIS Kebun

Page 107: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

88

Buatan. Berdasarkan hasil perhitungan Nurrochmat et al. (2012) income multiplier

perkebunan kelapa sawit sebesar 2.5, maka total pendapatan yang hilang karena

pengelolaan HCVA (89.96 ha) sebesar Rp 211.866.046,00 per tahun jika

diasumsikan produksi sama per ha.

Hasil wawancara dengan masyarakat khususnya ketua KUD SP 10, Robert

Sembiring (52) bahwa usaha pendukung kegiatan perkebunan cukup

menguntungkan dan tidak pernah mengalami kerugian. Pihak yang mendapatkan

pendapatan tidak hanya koperasi unit desa (KUD) tetapi juga buruh pada usaha

jasa pengangkutan. Mengatakan bahwa bagi masyarakat yang tidak memiliki

lahan kebun plasma maupun mandiri bisa bekerja pada usaha pendukung

perkebunan. Masyarakat yang tidak memiliki lahan ekonomi World Growth

(2011) menyatakan bahwa industri kelapa sawit memberikan pendapatan

berkelanjutan bagi banyak penduduk miskin di pedesaan. Industri kelapa sawit

berperan besar dalam pendapatan penduduk pedesaan terutama petani kecil.

B. Dampak Kehilangan Tenaga Kerja

Tabel 24 menunjukkan bahwa tenaga kerja yang tidak terserap karena

hilangnya areal produktif karena keberadaan HCVA di PT. IIS Kebun Buatan

sebanyak 13 orang dengan menggunakan rasio tenaga kerja PT. IIS Kebun Buatan

sebesar 0.15 HK/ha. Beradasarkan hasil perhitungan Nurrochmat et al. (2012) dan

Nurrochmat dan Hasan (2012) dalam Nurrochmat et al. 2012 employment

multiplier perkebunan kelapa sawit sebesar 1.84, maka jumlah tenaga kerja yang

tidak terserap sebanyak 166 orang karena pengelolaan HCVA.

Tabel 24. Keragaan tenaga kerja yang hilang akibat pengelolaan HCVA

Rasio Kebutuhan Tenaga kerja Buatan (HK/Ha) Luas HCVA

(Ha)

Jumlah Tenaga

Kerja

0.15 89.96 13

Sumber: data primer 2012

Hasil estimasi di atas menunjukkan jika rata-rata perkebunan di Indonesia

(70 perusahaan) dengan luasan rata-rata sebesar 12.978,34 ha dan memiliki

HCVA rata-rata seluas 1.413,80 ha, maka jumlah tenaga kerja yang hilang atau

tidak terserap sebanyak 297 orang. Rasio tenaga kerja untuk perusahaan swasta

sebesar 0.3 diperoleh dari Statistik Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia

(Kementerian Pertanian Desember 2011). Asumsi bahwa ada 100 perusahaan

Page 108: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

89

maka akan ada 42.414 tenaga kerja yang tidak terserap. Perkebunan kelapa sawit

merupakan usaha padat karya sehingga penyerapan tenaga kerja cukup tinggi.

Tenaga kerja yang tidak terserap di perkebunan kelapa sawit berbanding lurus

dengan hilangnya areal produksi kelapa sawit baik yang berasal dari pengelolaan

HCVA maupun dari kebun produktif yang tidak diusahakan.

Goenadi (2008) memperkirakan industri kelapa sawit di Indonesia

mungkin dapat menyediakan lapangan kerja lebih dari 6 juta jiwa dan

mengentaskan mereka dari kemiskinan. Data Kementerian Pertanian (2011)

menyebutkan bahwa jumlah tenaga kerja yang tercatat di perusahaan perkebunan

kelapa sawit swasta sebanyak 1.305.789 jiwa yang tersebar di perkebunan seluas

4.366.617 ha. Tercatat bahwa jumlah pekerja di perkebunan negara sebanyak

317.814 jiwa yang tersebar di perkebunan negara seluas 631.520 ha. Perbedaan

jumlah serapan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit sangat dipengaruhi oleh

banyaknya status karyawan harian lepas atau karyawan borongan. Perusahaan

seperti PT. IIS Kebun Buatan mempunyai rasio tenaga kerja relatif kecil, hal ini

terkait efisiensi dan efektivitas manajemen perusahaan. Hasil analisis dampak

langsung dan tidak langsung pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit di

Indonesia menujukkan adanya economical impact yang cukup signifikan bagi

perusahaan maupun bagi masyarakat sekitar perusahaan. Tabel 25 menunjukkan

rekapitulasi nilai ekonomi yang hilang akibat dampak langsung pengelolaan

HCVA bagi perusahaan.

Tabel 25. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi perusahaan (Rp 000)

Dampak

Langsung

(PT. IIS KB)

Luas

HCVA

Tahun-0

(Rp)

Tahun 1-2

(Rp/Tahun)

Tahun 3 -25

(Rp/Tahun)

Total

ekonomi

(Rp/Siklus)

Pendapatan

yang hilang 89.96 - - 2.797.947,00 64.352.790,00

Biaya

Pengelolaan

HCVA

(semua

perusahaan

sama)

554.750,00 361.000,00 361.000,00 9.579.750,00

Sumber : data primer 2012

Tabel 25 menunjukkan total manfaat ekonomi yang hilang sebagai dampak

langsung bagi perusahaan untuk pengelolaan HCVA di Perusahaan PT. IIS Kebun

Page 109: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

90

Buatan sebesar Rp 64.352.790.000,00 per siklus (panen 23 kali) dan biaya

pengelola sebesar Rp 9.579.750.000,00 per siklus. Dampak langsung bagi

perusahaan akibat hilangnya penerimaan (manfaat) dari usaha perkebunan jika

HCVA dikonversi menjadi areal produktif semua. Dampak langsung kedua yaitu

penambahan biaya untuk pengelolaan HCVA dari mulai biaya kajian hingga biaya

monitoring dan koordinasi antar stakeholder.

Kerugian atau biaya-biaya akibat pengelolaan HCVA secara langsung bagi

masyarakat merupakan penilaian dari dampak kehilangan pendapatan dari

masyarakat dan hilangnya penyerapan tenaga kerja karena adanya pengelolaan

HCVA. Kehilangan pendapatan maupun tenaga kerja bagi masyarakat merupakan

dampak tidak langsung bagi perusahaan. Kerugian akibat kehilangan kesempatan

untuk mendapatkan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja merupakan

opportunity loss bagi masyarakat, meskipun secara riil baik perusahaan maupun

masyarakat tidak dirugikan. Rekap dampak tidak langsung bagi pengelolaan

HCVA disajikan dalam Tabel 26.

Tabel 26 menunjukkan pengelolaan HCVA memberikan dampak langsung

bagi masyarakat atau tidak langsung bagi perusahaan. Dampak ini menyebabkan

kehilangan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pendapatan dari

kegiatan/usaha pendukung perkebunan dan penyerapan tenaga kerja. Kasus PT.

IIS Kebun Buatan pendapatan yang hilang bagi masyarakat sebesar

Rp 84.746.419,00 per tahun atau sebesar Rp 1.949.167.627,00 per siklus dengan

asumsi panen 23 kali dengan jumlah panen yang sama sepanjang siklus. Tenaga

kerja yang tidak terserap sebanyak 13 orang dengan UMR Provinsi Riau sebesar

Rp 1.389.450,00 per bulan maka nilai ekonomi yang hilang dari tenaga kerja

sebesar Rp 18.062.850,00 per bulan atau sebanyak Rp 216.754.200,00 per tahun.

Tabel 26. Rekap dampak langsung pengelolaan HCVA bagi masyarakat

Dampak

Langsung

(Masyarakat)

Pendapatan masyarakat yang

hilang Tenaga kerja yang tidak terserap

Rp/Tahun Rp/Siklus Rp/Tahun Rp/Siklus

PT. IIS Kebun

Buatan 84.746.419,00

1.949.167.627,00

216.754.200,00 4.985.346.600,00

Sumber: Data primer data diolah (2012)

Page 110: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

91

5.6.2 Estimasi Manfaat-Manfaat Pengelolaan HCVA

Estimasi manfaat-manfaat pengelolaan HCVA berasal dari komponen-

komponen yang terkena dampak langsung dan dampak tidak langsung dari

pengelolaan HCVA. Dampak Pengelolaan HCVA bersifat langsung berupa nilai

ekonomi potensial dari keberadaan HCVA. Nilai ekonomi potensial ini berupa

nilai ekonomi dari kawasan HCVA yang berasal baik dari barang dan jasa

lingkungan yang memiliki harga pasar maupun belum memiliki harga pasar.

Manfaat yang berasal dari dampak lansung berupa kompensasi atas sertifikasi

kelapa sawit berkelanjutan yang memiliki kewajiban berupa pengelolaan HCVA.

5.6.2.1 Manfaat Harga Kompensasi (Premium Price)

Estimasi manfaat yang pertama dari dampak langsung atas pengelolaan

HCVA atau dampak dari sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan adalah harga

kompensasi. Harga kompensasi adalah harga yang diberikan kepada perusahaan

kelapa sawit yang telah melakukan sertifikasi Sustainable Palm Oil (SPO) yang

diinisiasi oleh RSPO. Kompensasi sertifikasi SPO bagi perusahaan perkebunan

kelapa sawit berupa harga yang lebih tinggi dari harga TBS dan/atau CPO global.

Harga kompensasi tersebut diperoleh atas usaha dan upaya perusahaan melakukan

sertifikasi kelapa sawit berkelanjutan yang salah satu syarat atau mandatnya yaitu

melakukan pengelolaan HCVA di dalam areal yang diusahakan.

Harga kompensasi atau disebut premium price saat ini masih belum baku

karena belum adanya kesepakatan diantara stakeholder terkait palm oil grower,

buyer, trader dan palm oil processor. Buyer produk SPO umumnya berasal dari

Uni Eropa dengan memberikan premium price, meskipun serapan pasar untuk

SPO relatif kecil. Menurut Schouten and Galsbergen (2011) menjelang Januari

dan Februari 2011 serapan Sustainable Palm Oil (SPO) yang dibayar dengan

premium price di pasar Uni Eropa meningkat sekitar 50% dari suplai total kelapa

sawit yang tersertifikasi RSPO. Serapan pasar untuk produk CPO yang

tersertifikasi RSPO dan dibayar dengan premium price masih terhitung relatif

kecil karena hanya sebanyak 200.000 ton SPO telah diperdagangkan/diserap pasar

atau hanya 15% dari total CPO yang tersertifikasi.

Berdasarkan hasil pertemuan General Assembly RSPO 2012 premium

price maksimal hanya sebesar 0.35%. PT. IIS Kebun Buatan tidak bersedia

Page 111: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

92

memberikan nilai hasil penjualan SPO (premium price) mereka. Berdasarkan hasil

wawancara dengan GAPKI, maksimal premium price yang diterima perusahaan

yang tersertifikasi RSPO yaitu sekitar 0.35% dari harga normal. Nilai premium

price tersebut dijadikan proxy untuk perhitungan manfaat dari sertifikasi RSPO

yang salah satu saratnya adalah pengelolaan HCVA. Hasil perhitungan

penerimaan perusahaan dari manfaat pengelolaan HCVA disajikan dalam Tabel

27.

Tabel 27. Estimasi manfaat penerimaan premium price PT. IIS Kebun Buatan

Luas

HCVA

(Ha)

Luas Kebun

Produktif

(Ha)

Produksi

(Ton

TBS

/Tahun)

Harga TBS

Rerata Tahun 3

s.d Tahun 25

(Rp/ton)

Harga TBS

Rerata Tahun 3

s.d Tahun 25

(Rp/ton) +0.35%

Gap

(Rp/Ton)

89.96 16.405.04 21.38 1.454.730,00 1.459.822,00 5.092

Sumber : data primer 2012

Tabel 27 menunjukkan bahwa pengelolaan perkebunan kelapa sawit with

dan without HCVA dilihat dari produktivitas kebun kelapa sawit yang diusahakan

memiliki perbedaan rente ekonomi yang cukup besar. Harga untuk perkebunan

kelapa sawit yang tidak tersertifikasi sebesar Rp 1.454.730,00 sedangkan PT. IIS

Kebun Buatan yang telah tersertifikasi RSPO sebesar Rp 1.459.822,00 karena

adanya tambahan harga seebsar 0.35% dengan gap sebesar Rp 5.092,00 per ton.

Pendapatan kotor dari kegiatan produksi TBS perusahaan perkebunan kelapa

sawit mengalami kehilangan profit (kerugian) akibat pengelolaan HCVA. Tabel di

atas juga menunjukkan bahwa semakin besar kawasan pengelolaan HCVA, maka

semakin besar kerugian yang akan diterima perusahaan. Berdasarkan data Tim

HCVA Fahutan IPB luas HCVA di perkebunan baru lebih dari 10% dari luas izin.

Hal ini tentu saja akan menyebabkan perusahaan akan kehilangan profit yang

signifikan.

5.6.2.2 Manfaat Ekonomi Potensial HCVA (TEV HCVA)

Manfaat yang diperoleh perusahaan sebagai bentuk dampak langsung

pengelolaan HCVA adalah nilai ekonomi HCVA. Nilai ekonomi HCVA

merupakan nilai konservasi atau nilai ekonomi ekologi dari kawasan HCVA. Nilai

ekonomi tersebut merupakan manfaat ekonomi potensial. Manfaat ekonomi

potensial dari pengelolaan HCVA diperoleh dari perhitungan estimasi nilai TEV

Page 112: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

93

HCVA di perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan. Hasil perhitungan nilai

TEV HCVA di PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.321.847.970,00 per tahun atau

sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun.

5.6.3 Hasil Perhitungan Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA

Estimasi manfaat-manfaat pengelolaan HCVA berasal dari komponen-

komponen yang terkena dampak langsung bagi perusahaan dan masyarakat atas

pilihan pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Hal yang sama

ditunjukkan dengan komponen biaya-biaya yang mucul karena pilihan

pengelolaan kebun dengan with HCVA. Analisis biaya manfaat (cost benefit

analysis) akan menunjukkan pilihan mana yang paling menguntungkan bagi

perusahaan terkait keberadaan HCVA.

Tabel 28 menunjukkan analisis biaya manfaat pilihan HCVA di dalam

perkebunan kelapa sawit di PT. IIS Kebun Buatan. Analisis biaya manfaat terbatas

pada keterbatasan dan kompleksitas dalam proses pengumpulan data dan

informasi khususnya dari PT. IIS Kebun Buatan menyebabkan sebagian besar

komponen biaya menggunakan data hipotetik yang telah disesuaikan yang

bersumber dari Nurrochmat et al. (2012) dan Boer et al. (2012). Data PT. IIS

Kebun Buatan yang digunakan dalam analisis biaya manfaat hanya TEV HCVA

PT. IIS Kebun Buatan dan harga TBS bersumber dari Data Riil 2011 dan Harga

TBS Riau, 26 Mei 2012 (Riau Post).

Analisis Biaya Manfaat ini menggunakan discount factor 15%. Nilai

discount factor (DF 15%) sesuai dengan kredit bank komersial untuk sektor

perkebunan yang memiliki jangka waktu proyek yang relatif panjang (25 tahun

per siklus ditambah initial year).

A. Skenario Internalisasi TEV dan Dampak Ekonomi

Komponen manfaat dari pilihan pengelolaan without HCVA adalah

penerimaan dari TBS dan tambahan premium price untuk pilihan with

HCVA+0.35%. Pilihan pengelolaan with HCVA+0.35% akan menyebabkan total

benefit DF 15% hanya sebesar Rp 2.405.365.094.273,00 sedangkan without

HCVA Rp 2.410.199.928.487,00 per siklus dan with HCVA non premium price

sebesar Rp 2.396.975.679.395,00 per siklus.

Page 113: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

94

Komponen biaya terdiri atas komponen biaya biaya perencanaan,

investasi, tanaman dan infrastruktur, biaya pengelolaan HCVA dan biaya sebagai

akibat dampak langsung bagi masyarakat akibat pengelolaan HCVA. Pilihan

pengelolaan HCVA menyebabkan tambahan biaya berupa biaya pengelolaan

HCVA mulai dari biaya kajian HCVA dan biaya pemantauan. Besaran biaya

pengelolaan HCVA terbesar pada tahun-0 yaitu sebesar Rp 554.750.000,00 dan

biaya tahunan pengelolaan dan pemantauan sebesar Rp 361.000.000,00 per tahun

selama jangka proyek (tahun ke-1 s.d tahun-25). Rata-rata biaya pengelolaan

HCVA sebesar Rp 2.888.308.000,00 per siklus. Biaya Perencanaan, investasi,

tanaman dan infrastruktur sebesar Rp 1.742.773.898.482,00 per siklus untuk

without HCVA, sedangkan with HCVA sebesar Rp 1.738.470.940.973,00 per

siklus. Biaya sebagai akibat dampak langsung untuk pendapatan masyarakat

sebesar Rp 410.040.480,00 per siklus dan biaya untuk tenaga kerja sebesar

Rp 1.048.752.235,00.

Analisis biaya manfaat menggunakan tiga pilihan yaitu: 1) Opsi 1 Without

HCVA, yaitu PT. IIS Kebun Buatan tidak melakukan pengelolaan HCVA atau

semua areal dijadikan kebun produktif, 2) Opsi 2 With HCVA+0.35% yaitu PT.

IIS Kebun Buatan melakukan pengelolaan HCVA dan mendapatkan premium

price sebesar + 0.35% dan 3) Opsi 3 perusahaan PT. IIS Kebun Buatan melakukan

pengelolaan HCVA tanpa mendapatkan premium price. Analisis biaya manfaat

menggunakan teknik discounting dengan menggunakan discount factor sebesar

15%.

Hasil perhitungan (Tabel 28) menunjukkan bahwa pilihan with

HCVA+0.35% memberikan nilai manfaat bersih DF 15% sebesar

Rp 2.405.365.094.273,00 per siklus, sedangkan without HCVA sebesar

Rp 2.410.119.928.487,00 per siklus. Gap antara with HCVA+0.35% dengan

without HCVA adalah sebesar Rp 25.266.010.000,00 per siklus. Hasil perhitungan

net benefit tersebut menunjukkan bahwa with HCVA+0.35% memiliki nilai net

benefit lebih besar dari without HCVA. Hal ini disebabkan net benefit dalam opsi 2

With HVCA+0.35% masih mengandung nilai ekonomi potensial TEV dan biaya

akibat dampak langsung bagi masyarakat. Kedua nilai tersebut merupakan nilai

tidak riil atau tidak mempengaruhi penerimaan perusahaan.

Page 114: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

95

Tabel 28. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat pilihan pengelolaan HCVA

Pilihan Komponen

Manfaat

Value

(Rp 000/siklus)

Komponen

Biaya

Value

(Rp 000/siklus)

Net Benefit

(Rp 000/siklus)

Opsi 1 Tanpa

(Without)

HCVA

Harga

normal 2.410.119.928,00

Biaya

Perencanaan,

investasi ,

tanaman dan

infrastruktur

1.742.773.898,00

667.346.030,00

Sub total 2.410.119.928,00

1.742.773.898,00

Opsi 2

Dengan

(With) HCVA

+ Premium

Price 0.35%

Harga TBS

Premium

Price

(0.35%)

2.405.365.094,00

Biaya

Perencanaan,

investasi ,

tanaman dan

infrastruktur

1.738.470.941,00

672.413.523 ,00

TEV 9.866.470,00

Biaya

Pengelolaan

HCVA

2.888.308,00

- -

Kehilangan

manfaat bagi

masyarakat

a) Pendapatan 410.040,00

b)Tenaga kerja 1.048.752,00

Sub total

2.415.231.565,00

1.742.818.042,00

Opsi 3

Dengan

(With) HCVA

Non PP

Harga TBS

Normal

2.396.975.679,00

Biaya

Perencanaan.

investasi ,

tanaman dan

infrastruktur

1.738.470.941,00

664.024.108,00

TEV 9.866.470,00

Biaya

Pengelolaan

HCVA

2.888.308,00

- -

Kehilangan

manfaat bagi

masyarakat

a) Pendapatan 410.040,00

b)Tenaga kerja 1.048.752,00

Sub total 2.406.842.150,00 1.742.818.042,00

Sumber: Data primer diolah (2012)

Hasil perhitungan di atas menunjukkan bahwa semua pilihan pengelolaan

with HCVA dan without HCVA layak yang ditunjukkan dengan net benefit positif.

Hal ini menunjukkan internalisasi nilai TEV HCVA dan biaya dampak langsung

bagi masyarakat (pendapatan masyarakat dan tenaga kerja) tetap menghasilkan net

benefit menjadi positif. Pilihan pengelolaan with HCVA Non PP menghasilkan

nilai net benefit yang paling kecil dibandingkan pilihan lainnya yaitu sebesar

Rp 664.024.108.204,00 per siklus. Hal ini disebabkan bahwa pilihan with HCVA

Page 115: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

96

non PP memiliki total manfaat (TBS harga normal) yang kecil karena penurunan

produksi akibat pengelolaan HCVA yang tidak terkompensasi harga TBS nya.

Pilihan with HCVA+0.35% menghasilkan nilai benefit tertinggi di antara pilihan

lainnya dengan gap without HCVA sebesar Rp 5.067.493.077,00, dengan

demikian internalisasi TEV HCVA mampu meningkatkan net benefit, meskipun

dalam kenyataannya nilai TEV dan biaya dampak tidak riil atau bersifat potensial.

B. Skenario Tanpa TEV dan Dampak Ekonomi

Skenario B dengan Pilihan pengelolaan with HCVA +0.35% akan

menyebabkan net benefit hanya sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus.

Pilihan pengelolaan kebun kelapa sawit without HCVA menyebabkan penerimaan

lebih besar yaitu sebanyak Rp 667.346.030.004,00 per siklus dan with HCVA non

PP sebesar Rp 655.616.430.602,00 per siklus (Tabel 29).

Tabel 29. Hasil perhitungan analisis biaya manfaat tanpa TEV dan dampak

ekonomi

Pilihan Komponen

Manfaat

Value

(Rp 000/siklus)

Komponen

Biaya

Value

(Rp 000/siklus)

Net Benefit

(Rp 000/siklus)

Opsi 1

Tanpa

(Without)

HCVA

Harga normal

2.410.119.928,00

Biaya

Perencanaan,

investasi ,

tanaman dan

infrastruktur

1.742.773.898,00

667.346.030,00

Sub total 2.410.119.928,00

1.742.773.898,00

Opsi 2

Dengan

(With)

HCVA +

Premium

Price 0.35%

Harga TBS

Premium

Price (0.35%)

2.405.365.094,00

Biaya

Perencanaan,

investasi ,

tanaman dan

infrastruktur

1.738.470.941,00

664.005.845,00

Biaya

Pengelolaan

HCVA

2.888.308,00

Sub total 2.405.365.094,00 1.741.359.249,00

Opsi 3

Dengan

(With)

HCVA Non

PP

Harga TBS

Normal

2.396.975.679,00

Biaya

Perencanaan,

investasi ,

tanaman dan

infrastruktur

1.738.470.941,00

655.616.430,00

Biaya

Pengelolaan

HCVA

2.888.307,00

Sub total 2.396.975.679,00 1.741.359.249

Sumber: data primer diolah (2012)

Besarnya nilai penerimaan untuk pilihan without HCVA dikarenakan

semua areal lahan diasumsikan menjadi kebun produktif semua, sehingga

Page 116: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

97

penerimaan dari produksi TBS lebih banyak. Gap net benefit pilihan pengelolaan

without and with HCVA+0.35% cukup besar yaitu sebesar Rp 3.340.184.524,00

per siklus dan with HCVA non PP sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus. Hasil

perhitungan skenario tanpa TEV dan dampak ekonomi ditunjukkan pada Tabel 29.

Pilihan with HCVA+0.35% akan menjadi aktual jika nilai TEV HCVA dan

kehilangan manfaat sosial (pendapatan masyarakat dan tenaga kerja) dikeluarkan

dari analisis, yang akan menyebabkan perusahaan akan mengalami

kerugian/kehilangan profit perusahaan Rp 3.340.184.524,00 per siklus dan dengan

with HCVA non PP sebesar Rp 11.729.599.402,00 per siklus. Hal ini

menunjukkan bahwa secara ekonomi pilihan with HCVA+ 0.35% ternyata belum

mampu untuk menutup biaya korbanan dari perusahaan untuk pengelolaan

HCVA. Harga kompensasi (premium price) sebesar 0.35% belum mampu

memberikan penerimaan yang wajar dan rasional bagi perusahaan perkebunan

kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan. Nilai manfaat potensial dalam pengelolaan

HCVA seperti TEV HCVA dan kehilangan manfaat sosial jika

diinternalisasikan/diperhitungkan dalam analisis pilihan with HCVA+0.35% jauh

akan lebih menguntungkan dibandingkan pengelolaan perkebunan without HCVA.

5.7. Analisis Kebijakan Pengelolaan HCVA

5.7.1 Analisis Stakeholder

Analisis pemangku kepentingan (Stakeholder) menjadi populer digunakan

oleh pembuat kebijakan, regulator, pemerintah dan organisasi non pemerintah

(Friedman dan Miles 2002 dalam Reed et al. 2009). Pendekatan analisis

stakeholder telah berubah secara progresif menjadi tool analisis yang adaptif dari

manajemen bisnis menjadi alat analisis untuk kebijakan, pembangunan, dan

manajemen sumberdaya alam. Analisis stakeholder dalam penelitian ini ditujukan

untuk mengetahui posisi masing-masing stakeholders dalam implementasi

pengelolaan HCVA dalam rangka mewujudkan perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan dengan memanfaatkan kepentingan, kekuatan dan pengaruh yang

dimiliki oleh setiap stakeholders. Hasil analisis stakeholder ini diharapkan mampu

digunakan untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA kedepannya.

Page 117: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

98

Hasil wawancara dengan narasumber yang telah diidentifikasi sebagai

stakeholder, diketahui bahwa pada pengelolaan HCVA saat ini hanya terbatas

pada perusahaan dan kebun plasma selaku pemrakarsa. Hal ini tentu saja terkait

dengan kepentingan perusahaan dan kebun plasma untuk memenuhi persyaratan

dalam proses sertifikasi RSPO. Pemerintah yang berwenang (cq. Kementerian

Pertanian) saat ini belum mengenal istilah HCVA atau tidak menggunakan

terminologi HCVA dalam pembangunan perkebunan kelapa sawit. Hasil

inventarisasi pemangku kepentingan (stakeholders), diketahui bahwa stakeholders

yang terlibat dan potensial terlibat dalam implementasi pengelolaan HCVA saat

ini terdiri atas beberapa komponen, yaitu: (1) Perusahaan perkebunan kelapa

sawit, (2) Sawit Watch, (3) KUD Kebun Plasma, (4) GAPKI, dan (5) Komisi

Sawit Indonesia. RSPO (2012) menyebutkan pemangku kepentingan industri

kelapa sawit sebanyak tujuh sektor, yaitu: 1) produsen kelapa sawit; 2) pedagang

dan pengolah kelapa sawit, 3) produsen produk-produk konsumen; 4) ritel; 5)

perbankan dan investor, 6) lembaga swadaya masyarakat pelestarian lingkungan,

dan 7) lembaga swadaya masyarakat sosial. RSPO bersama para pemangku

kepentingan ini mengembangkan dan menerapkan standar internasional untuk

perwujudan sustainable palm oil, sehingga stakeholder yang telah diidentifikasi

dalam penelitian ini hanya dua dari tujuh stakeholder yang disebutkan RSPO.

Dukungan yang diberikan oleh masing-masing stakeholders tergantung

kepada tingkat kepentingan yang dipengaruhi dan keuntungan yang diharapkan

(Grindle 1980). Tingkat kepentingan stakeholder dapat dilihat berdasarkan

persepsi mereka terhadap pengelolaan HCVA (harapan mereka terhadap tujuan

pengelolaan HCVA) dan bagaimana cara mereka menyikapi pengelolaan HCVA

ini (keuntungan atau biaya apa saja yang pernah dikeluarkan dan sumber daya apa

saja yang telah dimobilisasi).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 (empat) persepsi

stakeholder mengenai tujuan pengelolaan HCVA yaitu: 1) untuk meminimalisasi

dampak-dampak ekologi dan sosial negatif dalam pembangunan perkebunan

kelapa sawit, 2) konservasi kawasan di dalam areal kebun yang bernilai

konservasi tinggi, (3) pencitraan korporasi perusahaan kelapa sawit yang ramah

lingkungan dan (4) meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara luas yang

Page 118: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

99

bersinergi dengan pembangungan ekonomi jangka panjang dan keberlanjutan.

Tabel 30 menunjukkan persepsi (harapan) responden terhadap tujuan kebijakan

pengelolaan HCVA.

Tabel 30. Persepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA

No Stakeholders

Tujuan Pengelolaan HCVA

Minimalisasi

dampak ekologi

dan social

negatif

Konservasi

kawasan

Pencitraan

korporasi

Kesejateraan

masyarakat

luas

1. Perusahaan

Perkebunan +++ +++ ++ +++

2. Komisi Sawit

Indonesia ++ ++ +++ ++

3. Sawit Watch +++ ++ +++ +++

4. KUD Kebun

Plasma ++ +++ ++ +++

5. GAPKI +++ +++ +++ ++ Keterangan: + (rendah), ++ (sedang), +++ (tinggi)

Tingkat kepentingan stakeholders dalam implementasi pengelolaan HCVA

dapat dilihat dari dukungan yang mereka berikan terhadap implementasi

pengelolaan HCVA. Posisi stakeholder dapat diketahui dari hasil penilaian tingkat

kepentingan stakeholder. Penilaian menggunakan skala linkert yaitu nilai 5:

sangat kuat, 4: kuat, 3: sedang, 2: lemah, dan 1: sangat lemah. Penilaian tingkat

kepentingan stakeholder dapat dilihat pada Tabel 31.

Tabel 31. Penilaian tingkat kepentingan stakeholder

No Stakeholders K1 K2 K3 K4 K5 Nilai

1. Perusahaan sawit 5 5 5 5 5 25

2. Komisi Sawit Indonesia 5 2 1 1 3 12

3. GAPKI 5 3 5 4 5 22

4. Sawit Watch 4 5 3 3 4 18

5. KUD Kebun Plasma 5 5 5 4 5 24

Keterangan : K1 = perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (profit, planet, dan people)

K2 = pemenuhan persyaratan sertifikasi perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

K3 = motivasi keterlibatan

K4 = bentuk dukungan

K5 = keuntungan yang diharapkan

Data di atas menunjukkan bahwa stakeholders yang memiliki nilai

kepentingan tinggi adalah perusahaan perkebunan dan KUD kebun plasma serta

GAPKI. Kedua stakeholder tersebut memandang bahwa pengelolaan HCVA

merupakan salah satu persyaratan dalam sertifikasi RSPO yang wajib untuk

Page 119: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

100

dilakukan, sedangkan GAPKI sebagai asosiasi pengusaha kelapa sawit Indonesia

memiliki kepentingan sangat kuat terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan. Dukungan kuat GAPKI terlihat dari kebijakan mereka

membebaskan anggotanya memiliki sertifikat ganda bahkan lebih dari dua.

Anggota GAPKI yang mengimplementasikan pengelolaan HCVA akan

mendapatkan predikat baik sehingga akan menjadi keuntungan pencitraan bagi

GAPKI. Sawit Watch juga memiliki tingkat kepentingan yang tinggi sebagai

bentuk pertanggungjawaban sosial sebagai organisasi (LSM) yang tergabung

dalam RSPO untuk mengawal pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit

Indonesia, sedangkan Komisi Sawit Indonesia memiliki nilai kepentingan yang

rendah karena lembaga tersebut tidak mengenal terminologi HCVA dalam

sertifikasi ISPO yang mereka kembangkan.

Beberapa stakeholders memiliki tingkat kepentingan yang tinggi terhadap

pengeloaan HCVA, namun tidak semuanya memiliki pengaruh dalam

mensukseskan implementasi pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit.

Pengaruh stakeholder terhadap pengelolaan HCVA dapat dilihat pada Tabel 32.

Tabel 32. Penilaian tingkat pengaruh stakeholder

No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai

1. Perusahaan sawit 3 5 2 4 5 19

2. Komisi Sawit Indonesia 5 5 4 1 4 19

3. GAPKI 3 5 4 5 5 22

4. Sawit Watch 3 3 3 4 2 16

5. KUD Kebun Plasma 5 1 2 2 2 12 Keterangan : P1 = Tingkat keterlibatan

P2 = Peran/kontribusi dalam pembuatan keputusan

P3 = Hubungan dengan stakeholder lain

P4 = Dukungan SDM

P5 = Dukungan finansial

Tabel 31 menunjukkan bahwa Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan

Komisi Sawit Indonesia memiliki pengaruh yang besar dalam menyukseskan

pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, sedangkan KUD Kebun

Plasma memiiki pengaruh yang terkecil.

Dengan mengkombinasikan Tabel 31 dan Tabel 32 maka dibuat ilustrasi

mengenai tingkat kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholders dengan

menggunakan stakeholder grid. Ilustrasi yang ditampilkan terdiri atas empat

kuadran yang menggambarkan posisi masing-masing stakeholders dalam

Page 120: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

101

mendukung kebijakan pembangunan perkebunan secara berkelanjutan. Sebaran

posisi stakeholders berdasarkan kepentingan dan pengaruh dalam kebijakan

pembangunan perkebunan secara berkelanjutan melalui pengelolaan HCVA

digambarkan pada Gambar 14.

Gambar 14. Posisi stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan

Gambar 14 menunjukkan bahwa stakeholders yang termasuk ke dalam

kelompok pemain kunci (key players) adalah Perusahaan Perkebunan Kelapa

Sawit dan Sawit Watch serta GAPKI. Kelompok ini memainkan peranan yang

sangat penting dalam menentukan kebijakan pembangunan perkebunan secara

berkelanjutan.

Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang menempati posisi Key Player

menunjukkan bahwa perusahaan merupakan pelaku dan pengelola utama HCVA,

yang menjadi bagian persyaratan dalam sertifikasi RSPO. Posisi ini juga didukung

keberadaan dan pengelolaan HCVA belum benar-benar diakui dan diakomodir

dalam sertifikasi ISPO, sehingga pengelolaan HCVA bersifat sentralitik dan

terbatas oleh Perusahaan dan Kebun Plasma yang akan melakukan sertifikasi

RSPO. Kepentingan GAPKI juga terkait dengan membangun corporate image

yang baik terkait pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan

ramah lingkungan di Indonesia dengan melakukan pengelolaan lingkungan yang

baik dan benar sesuai dengan peraturan dan perlindungan yang berlaku. GAPKI

compliance dengan sertifikasi ISPO namun sangat berkepentingan dalam

membangun good corporate governance, yang biasanya menggunakan indikator

pengelolaan lingkungan hidup yang bertanggung jawab dan pengelolaan

0

15

30

0 15 30

Kep

en

tin

gan

Pengaruh

Perkebunan Kelapa sawit

Komisi Sawit Indonesia

Sawit Watch

KUD Kebun Plasma

GAPKI

CONTEXT SETTTER CROWD

SUBJECT KEY PLAYERS

Page 121: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

102

perkebunan yang berasaskan pembangunan berkelanjutan meliputi aspek ekologi,

ekonomi, dan sosial.

Sawit Watch sebagai lembaga sosial kemasyarakatan (LSM) sangat

berkepentingan terkait pembangunan perkebunan secara berkelanjutan. Hal ini

sesuai dengan Visi Sawit Watch yaitu “Terwujudnya Kedaulatan Rakyat dalam

Pengelolaan Sumberdaya Alam Melalui Perlindungan, Pelestarian dan

Pemanfaatan Serta Penguasaan Sumberdaya Alam Secara Adil dan Lestari”,

sedangkan salah satu misinya yaitu “Mendorong Terwujudnya Pengelolaan

Lingkungan Hidup yang Lebih Baik‟. LSM ini juga sangat peduli dan fokus

dengan HCV 5 dan 6 dimana merupakan perwujudan pembangunan perkebunan

kelapa sawit yang adil dan lestasi dengan cara menghargai, menghormati dan

melindungi kawasan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan pokok dan

sosial budaya masyarakat lokal. Sawit Watch juga menjadi anggota RSPO yang

memiliki agenda besar mengusung keadilan dan kesejahteraan petani sawit plasma

dengan melakukan pengelolaan ekosistem di sekitar usaha perkebunan. Hal ini

juga terkait cara pandang atau persepsi Sawit Watch bahwa pengelolaan HCVA

identik dan manifestasi dengan rencana kelola sosial yang berarti keberlanjutan

bisnis (sustainable business) perusahaan bisa tercapai jika pengelolaan HCVA

benar-benar dijalankan dengan penuh tanggungjawab dan menghormati hak asasi

manusia khususnya hak masyarakat lokal.

Komisi Sawit Indonesia merupakan kelembagaan otonom di bawah

Kementerian Pertanian RI yang mengelola pembangunan perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan dengan mengembangkan mekanisme sertifikasi ISPO (Indonesia

Sustainable Palm Oil). Peraturan Menteri Pertanian Nomor

19/Permentan/Ot.140/3/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) menyatakan

bahwa ISPO adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak

ekonomi, layak sosial, dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan

perundangan yang berlaku di Indonesia. Komisi Sawit Indonesia memiliki tingkat

kepentingan yang rendah terkait dengan pengelolaan HCVA. Hal ini disebabkan

Komisi Kelapa Sawit Indonesia sebagai kelembagaan pemerintah di bawah

Kementerian Pertanian memiliki mandat untuk patuh dengan peraturan dan

Page 122: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

103

perundangan-undangan yang berlaku khususnya Keputusan Presiden (Keppres)

No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya

Alam Hayati dan Ekosistemnya. Peraturan dan perundang-undangan tersebut tidak

secara eksplisit mempersyaratkan pengelolaan HCVA dan hanya mewajibkan

pengelolaan lingkungan hidup dan kawasan lindung, meskipun secara implisit

mengandung ketentuan pengelolaan dan perlindungan kawasan yang memiliki

biodiversitas tinggi. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor

19/Permentan/Ot.140/3/2011 Tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit

Berkelanjutan Indonesia yang menyatakan bahwa sertifikasi ISPO sebagai bagian

dari pembangunan ekonomi ditujukan untuk meningkatkan pendapatan

masyarakat, meningkatkan penerimaan negara, meningkatkan devisa negara,

menyediakan lapangan kerja, meningkatkan produktivitas, nilai tambah dan daya

saing, memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri, serta

mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.

Komisi Sawit Indonesia berada pada posisi context setter. Posisi ini

menunjukkan bahwa pengaruh lembaga tersebut dalam pembangunan perkebunan

kelapa sawit secara berkelanjutan sangat besar, namun tingkat kepentingan

rendah. Hal in terkait peran dan fungsi Komisi Kelapa Sawit Indonesia sebagai

kelembagaan pemerintah yang dibentuk di bawah Kementerian Pertanian yang

memiliki tupoksi mengawal pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan

dengan mengembangkan sertifikasi ISPO. Rendahnya tingkat kepentingan Komisi

Sawit Indonesia disebabkan karena dalam sertifikasi ISPO belum mengakomodir

pengelolaan HCVA, meskipun prinsip 3 yaitu pengelolaan dan pemantauan

lingkungan dengan kriteria 3.4 pelestarian biodiversitas, kriteria 3.5 identifikasi

dan perlindungan kawasan lindung; kriteria 3.7 konservasi kawasan dengan

potensi erosi tinggi sangat terkait dengan HCVA.

Petani sawit plasma yang terwadahi dalam kelembagaan KUD Kebun

Plasma yang melakukan sertifikasi RSPO memiliki nilai kepentingan yang tinggi

terhadap pengelolaan HCVA sebagai wujud pembangunan perkebunan kelapa

sawit berkelanjutan, namun memiliki pengaruh yang kecil sehingga termasuk

Page 123: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

104

dalam kelompok subject. Kelompok ini merupakan kelompok yang menjadi target

dalam implementasi pengelolaan HCVA khususnya HCVA 5 dan 6 di samping

KUD kebun plasma (petani plasma) sebagai pengelola HCVA juga, yang berlaku

di perkebunan plasma yang tersertifikasi RSPO. Rendahnya pengaruh yang

dimiliki oleh masyarakat dalam pengambilan kebijakan pengelolaan HCVA

karena keterbatasan kapasitas mereka dalam finansial, SDM, dan relasi dengan

stakeholder yang lain. Data Statistik Kementerian Pertanian (2012) menyebutkan

jumlah petani plasma di Indonesia sebanyak 1.75 juta orang yang mengelola lahan

kebun sawit seluas 3.39 juta ha. Hal ini tentu saja akan berpengaruh besar pada

pelestarian dan perlindungan keberadaan kawasan-kawasan kebun palsma yang

memiliki potensi HCVA.

KUD Kebun Plasma dan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit sebagai

mitra kerja dapat membangun kerjasama dengan kelompok context setter untuk

mencari model yang tepat untuk memberdayakan kelompok subject dalam rangka

mencapai pembangunan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan yang

memenuhi aspek keberlanjutan di bidang ekologi, ekonomi dan sosial masyarakat.

Yukl (1994) mengemukakan konsep „pengaruh‟ bahwa keberhasilan

pembangunan perkebuan kelapa sawit secara berkelanjutan melalui pengelolaan

HCVA ditentukan oleh adanya kepentingan yang tinggi terhadap kebijakan

pengelolaan HCVA dan ditentukan oleh kemampuan saling mempengaruhi di

antara stakeholders terkait. Peran Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dan KUD

kebun plasma harus melakukan inisiatif membangun kerjasama dan kemitraan

dengan stakeholder yang lain untuk mendorong pengakuan pengelolaan HCVA

dengan cara memanfaatkan pengaruh yang dimiliki oleh kelompok context setter

(GAPKI).

Kepedulian dalam pengelolaan HCVA juga menjadi kepentingan yang

besar bagi para pelaku petani plasma yang akan melakukan sertifikasi RSPO.

Plasma menjadi mitra utama perusahaan kelapa sawit dalam meningkatkan

produksi kelapa sawit. Petani sawit plasma yang menginginkan proses sertifikasi

RSPO juga memiliki mandat yang sama untuk melakukan pengelolaan HCVA.

Kasus PT. IIS Kebun Buatan, Petani Plasma yang di bawah pengelolaan KUD

Buatan SP 10 juga sangat berkepentingan dengan pengelolaan HCVA karena

Page 124: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

105

kawasan kebun plasma mereka memiliki kawasan HCVA dan telah tersertifikasi

RSPO.

5.7.2 Strategi Kebijakan Pengelolaan HCVA

Untuk menyusun strategi kebijakan pengelolaan HCVA di perkebunan

kelapa sawit perlu dilakukan analisis dan telaah peraturan dan perundangan yang

terkait dengan pengelolaan HCVA serta mensistesis dengan hasil analisis dampak

ekonomi dan finansial. HCVA merupakan konsep pengelolaan kawasan yang

bernilai konservasi tinggi di areal perkebunan. Peraturan dan perundang-undangan

yang berlaku menyebutkan bahwa terminologi “HCVA” tidak digunakan atau

tidak dikenal. Permasalahan inilah yang salah satunya mendasari pemerintah (cq.

Kementerian Pertanian) mengembangkan sertifikasi ISPO. Prinsip dan kriteria

dalam sertifikasi ISPO meletakkan regulasi yang berlaku sebagai “rambu-rambu”,

sebagai bentuk manifestasi kepatuhan (compliance) terhadap peraturan dan

perundang-undangan yang berlaku di dalam negeri. Konsep HCVA merupakan

konsep yang dikembangkan oleh Forest Stewardship Council (FSC) untuk

melakukan pengelolaan HCV di sektor kehutanan seperti perusahaan Hak

Pengelolaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Peraturan dan

perundang-undangan yang berlaku hanya mengamanahkan pengelolaan

lingkungan hidup dan kawasan lindung, bukan pengelolaan HCVA bagi orang

yang memiliki usaha/kegiatan (Tabel 33).

Tabel 33. Regulasi yang terkait dengan substansi pengelolaan HCVA. Peraturan

dan

Perundang

-undangan

Pasal dan ayat

UU Nomor

18 Tahun

2004

Tentang

Perkebunan

Pasal 2

Perkebunan diselenggarakan berdasarkan atas asas manfaat dan berkelanjutan,

keterpaduan, kebersamaan, keterbukaan, serta berkeadilan.

Pasal 4:

Perkebunan mempunyai fungsi:

a. ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta

penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;

b. ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon, penyedia

oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan

c. sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Pasal 25

Ayat 1. Setiap pelaku usaha perkebunan wajib memelihara kelestarian fungsi

lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.

Ayat 2. Untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), sebelum memperoleh izin usaha perkebunan perusahaan

perkebunan wajib:

a. membuat analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan

Page 125: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

106

lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup;

b. memiliki analisis dan manajemen risiko bagi yang menggunakan hasil rekayasa

genetik;

c. membuat pernyataan kesanggupan untuk menyediakan sarana, prasarana, dan

sistem tanggap darurat yang memadai untuk menanggulangi terjadinya

kebakaran dalam pembukaan dan/atau pengolahan lahan.

UU Nomor

5 Tahun

1990

Tentang

Konservasi

Sumber

daya Alam

Hayati dan

Ekosistem

nya

Pasal 1

Ayat 2. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya

alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin

kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan

kualitas keanekaragaman dan nilainya.

Ayat 3. Ekosistem sumber daya alam hayati adalah sistem hubungan timbal balik

antara unsur dalam alam, baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung

dan berpengaruh mempengaruhi

Pasal 3

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan

terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan

ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan

masyarakat dan mutu kehidupan manusia

Pasal 4

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung

jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.

Pasal 6

Sistem penyangga kehidupan merupakan satu proses alami dari berbagai unsur

hayati dan nonhayati yang menjamin kelangsungan kehidupan makhluk.

Pasal 7

Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses

ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia.

Pasal 8

(1) Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, Pemerintah

menetapkan:

a. wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

b. pola dasar pembinaan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan;

c. pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan system penyangga

kehidupan.

Pasal 9

Ayat 1. Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam

wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi

perlindungan wilayah tersebut.

Ayat 2. Dalam rangka pelaksanaan perlindungan sistem penyangga kehidupan,

Pemerintah mengatur serta melakukan tindakan penertiban terhadap penggunaan

dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam

wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 8.

Pasal 10

Wilayah sistem penyangga kehidupan yang mengalami kerusakan secara alami

dan/atau oleh karena pemanfaatannya serta oleh sebab-sebab lainnya diikuti

dengan upaya rehabilitasi secara berencana dan berkesinambungan.

Pasal 37

Ayat 1. Peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai

kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Ayat 2. Dalam mengembangkan peranserta rakyat sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1), Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber

daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan

penyuluhan.

UU Nomor Pasal 1

Page 126: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

107

32 Tahun

2009

Tentang

Perlin-

dungan dan

Pengelo-

laan

Lingkngan

Hidup

Ayat 1 Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,

keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang

mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan

manusia serta

makhluk hidup lain.

Ayat 2 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis

dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan

mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang

meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,

dan penegakan hukum.

Ayat 3 Pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan.

Konservasi sumber daya alam adalah pengelolaan sumber daya alam untuk

menjamin pemanfaatannya secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya

dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai serta

keanekaragamannya.

Pasal 67

Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta

mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

b. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

c. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 70

Ayat 1 Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya

untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Ayat 2 Peran masyarakat dapat berupa:

a. pengawasan sosial;

b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau

c. penyampaian informasi dan/atau laporan.

Ayat 3 Peran masyarakat dilakukan untuk:

a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup;

b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;

c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;

d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan

pengawasan sosial; dan

e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka

pelestarian fungsi lingkungan hidup

Peraturan

Pemerintah

Nomor 28

Tahun 2011

Tentang

Pengelo-

laan

Kawasan

Suaka alam

dan

Kawasan

Pasal 1 Pengelolaan KSA dan KPA adalah upaya sistematis yang dilakukan untuk

mengelola kawasan melalui kegiatan perencanaan, perlindungan, pengawetan,

pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian.

Pasal 12

Penyelenggaraan KSA dan KPA kecuali taman hutan raya dilakukan oleh

Pemerintah.

(2) Untuk taman hutan raya, penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah

provinsi atau pemerintah kabupaten/kota.

(3) Penyelenggaraan KSA dan KPA oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dilakukan oleh unit pengelola yang dibentuk oleh Menteri.

(4) Penyelenggaraan taman hutan raya oleh pemerintah provinsi atau pemerintah

Page 127: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

108

Pelestarian

Alam.

kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh unit

pengelola yang dibentuk oleh gubernur atau bupati/walikota

Pasal 50

Masyarakat berhak:

a. mengetahui rencana pengelolaan KSA dan KPA;

b. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam penyelenggaraan KSA

dan KPA;

c. melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan KSA dan KPA

d. menjaga dan memelihara KSA dan KPA.

Undang-

Undang

Nomor 26

Tahun 2007

Tentang

Tata Ruang

Pasal 1

Ayat 20 Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi

daya.

Ayat 21 Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan

sumber daya buatan

Pasal 3

Penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah

nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan

Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan:

a. terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan;

b. terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber

daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia; dan

c. terwujudnya pelindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif

terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.

Pasal 5

Ayat 2 Penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri atas kawasan

lindung dan kawasan budi daya. Penjelasan: Yang termasuk dalam kawasan

lindung adalah: a. kawasan yang memberikan pelindungan kawasan bawahannya,

antara lain, kawasan hutan lindung, kawasan bergambut, dan kawasan resapan air;

b. kawasan perlindungan setempat, antara lain, sempadan pantai, sempadan

sungai, kawasan sekitar danau/waduk, dan kawasan sekitar mata air; c. kawasan

suaka alam dan cagar budaya, antara lain, kawasan suaka alam, kawasan suaka

alam laut dan perairan lainnya, kawasan pantai berhutan bakau, taman nasional,

taman hutan raya, taman wisata alam, cagar alam, suaka margasatwa, serta

kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan;

Keputusan

Presiden

nomor 32

Tahun 1990

Tentang

Pengelo-

laan

Kawasan

Lindung

Pasal 1

Ayat 1 Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama

melindungi kelestarian Lingkungan Hidup yang mencakup sumber alam, sumber

daya buatan dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan

Pembangunan berkelanjutan.

Ayat 2 Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan

pengendalian pemanfaatan kawasan lindung.

Pasal 2

Ayat 1 Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya

kerusakan fungsi lingkungan hidup.

Ayat 2 Sasaran Pengelolaan kawasan lindung adalah:

1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan

dan satwa serta nilai sejarah dan budaya bangsa;

1. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan

keunikan alam.

Pasal 3

Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 meliputi:

1. Kawasan yang memberikan perlindungan Kawasan Bawahannya.

2. Kawasan Perlindungan setempat.

3. Kawasan Suaka Alam dan Cagar Budaya.

4. Kawasan Rawan Bencana Alam.

Page 128: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

109

Pasal 5

Kawasan Perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 terdiri

dari:

1. Sempadan Pantai.

2. Sempadan Sungai.

3. Kawasan Sekitar Danau/Waduk.

4. Kawasan Sekitar Mata Air.

Pasal 6

Kawasan Suaka Alam dan cagar Budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 3

terdiri dari:

1. Kawasan Suaka Alam, 2. Kawasan Suaka Alam Laut dan perairan lainya, 3.

Kawasan Pantan Berhutan Bakau., 4. Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan

Taman Wisata Alam, 5. Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan.

Pasal 34

Ayat 1 Pemerintah Daerah Tingkat I menetapkan wilayah-wilayah tertentu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 sebagai kawasan lindung daerah

masing-masing dalam suatu Peraturan Daerah Tingkat I, disertai dengan lampiran

penjelasan dan peta dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 250.000 serta

memperhatikan kondisi wilayah yang bersangkutan.

Ayat 2 Dalam menetapkan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,

Pemerintah Daerah Tingkat I harus memperhatikan peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan penetapan wilayah tertentu sebagai bagian dari

kawasan lindung.

Ayat 3 Pemerintah Daerah Tingkat II menjabarkan lebih lanjut kawasan lindung

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) bagi daerahnya ke dalam peta

dengan tingkat ketelitian minimal skala 1 : 100.000, dalam bentuk Peraturan

Daerah Tingkat II.

Peraturan dan perundangan-undangan di atas menunjukkan bahwa terminologi

HCVA tidak ada yang digunakan, namun substansi HCVA sangat terkait dengan

peraturan dan perundang-undangan di atas. Strategi kebijakan pengelolaan

HCVA di perkebunan dapat diformulasikan sebagai berikut:

a. Tanggung jawab pengelolaan HCVA diserahkan kepada perusahaan

perkebunan selaku pemegang hak atas tanah.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya

Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 9 Ayat 1 menyatakan bahwa Setiap

pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem

penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah

tersebut. Hasil wawancara dengan pakar dan narasumber menyebutkan bahwa

HCVA sebagai wilayah yang memiliki fungsi sebagai sistem penyangga

kehidupan. HCVA merupakan refleksi dari upaya untuk mewujudkan

Perlindungan sistem penyangga kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses

ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Pasal 4 undang-undang

tersebut juga menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan

Page 129: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

110

ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta

masyarakat. Hal ini diperkuat dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009

Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 67 yang

menyatakan bahwa setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi

lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan

lingkungan hidup dan selanjutnya pasal 68 menyatakan bahwa setiap orang yang

melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban:

1. Memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu;

2. Menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

3. Menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku

kerusakan lingkungan hidup.

UU Nomor 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan Pasal 4 menyatakan

bahwa perkebunan mempunyai fungsi:

1. Ekonomi, yaitu peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat serta

penguatan struktur ekonomi wilayah dan nasional;

2. Ekologi, yaitu peningkatan konservasi tanah dan air, penyerap karbon,

penyedia oksigen, dan penyangga kawasan lindung; dan

3. Sosial budaya, yaitu sebagai perekat dan pemersatu bangsa.

Pasal 25 Ayat 1 menyatakan bahwa setiap pelaku usaha perkebunan wajib

memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mencegah kerusakannya.

Undang-undang tersebut menyebut bahwa tanggung jawab pengelolaan HCVA

sepenuhnya secara jelas diberikan kepada perusahaan kelapa sawit, meskipun

pengelolaan HCVA membutuhkan peran serta atau partisipasi multi pihak.

b. Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak.

Pengelolaan HCVA saat ini masih bersifat sepihak khususnya pengelola

perkebunan kelapa sawit karena pengelolaan HCVA sebagai bagian sertifikasi

RSPO bersifat voluntary, sedangkan kewenangan izin usaha perkebunan kelapa

sawit ada di Kementerian Pertanian. Pengembangan kelembagaan pengelolaan

HCVA kedepannya diharapkan dapat membentuk multistakeholder forum.

Kelembagaan pengelola yang melibatkan seluruh stakeholder terkait dengan

kapasitas dan sumberdaya yang dimiliki oleh setiap stakeholder guna

Page 130: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

111

mempertahankan optimalisasi aliran fungsi ekologi HCVA (HCV 1, HCV 2, dan

HCV 3), jasa lingkungan (HCV 4) dan HCV yang terkait sosial ekonomi dan

budaya (HCV 5 dan HCV 6).

Dasar pengelolaan HCVA bersifat partisipatif karena peraturan dan

perundang-undangan yang berlaku tidak ada secara langsung yang menyatakan

pengelolaan HCVA atau tidak menggunakan terminologi HCVA, meskipun

tanggung jawab pengelolaan sepenuhnya dibebankan oleh perusahaan sebagai

penerima hak atas tanah. Komponen HCVA merupakan satu set pengelolaan

terpadu meliputi ekologi, ekonomi dan sosial budaya dimana perusahaan tidak

mendapatkan penerimaan secara riil dari pengelolaan tersebut. UU Nomor 32

Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkngan Hidup Pasal 70

Ayat 1 menyatakan bahwa masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama

dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup. Pasal 70 Ayat 2 menyatakan bahwa peran masyarakat dapat

berupa:

1. Pengawasan sosial;

2. Pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau

3. Penyampaian informasi dan/atau laporan.

Selanjutnya Ayat 3 menyatakan bahwa peran masyarakat dilakukan untuk:

1. Meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup;

2. Meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;

3. Menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;

4. Menumbuhkembangkan ketanggapapam masyarakat untuk melakukan

pengawasan sosial; dan mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan

lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

UU Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati

dan Ekosistemnya Pasal 37 Ayat 1 menyatakan bahwa peran serta rakyat dalam

konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan

oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan

HCVA semestinya bersifat partisipatif. Hasil analisis stakeholder menyebutkan

Page 131: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

112

posisi GAPKI, Perkebunan Kelapa Sawit dan Sawit Watch sebagai key player

semestinya terbangun kemitraan dalam pengelolaan. Hasil wawancara dengan

pimpinan Sawit Watch menyebutkan bahwa kebijakan Sawit Watch saat ini belum

memungkinkan untuk bekerjasama dengan perusahaan perkebunan kelapa sawit,

meskipun sangat berkepentingan dengan pengelolaan HCVA. Sawit Watch bisa

berperan aktif sebagai pengawasan sosial, sumbangsih saran dan pendapat (sesuai

dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkngan Hidup Pasal 70 ayat 2).

Partisipasi pengelolaan HCVA sementara ini sudah terbangun antara

perusahaan perkebunan dengan kebun plasma yang sama-sama ingin

mendapatkan sertifikasi SPO. Partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan

HCVA dilihat dari kesediaan masyarakat untuk membayar (willingnes to

pay/WTP) dengan memberikan sejumlah iuran dana pengelolaan keberadaan

HCVA, meskipun HCVA tersebut berada dalam areal perusahaan. Hal ini terkait

adanya kesadaran masyarakat bahwa keberadaan HCVA memberikan manfaat

sosial langsung untuk tipe nilai guna langsung seperti rotan, ikan, madu, dan

lainnya serta nilai pilihan (biodiversitas) dengan harapan anak cucu mereka bisa

menyaksikan dan menikmati manfaat keberadaan flora fauna yang ada di sekitar

kawasan HCVA.

c. Memberikan dukungan pemenuhan harga kompensasi yang rational dan

feasible bagi perusahaan dan kebun sawit plasma tersertifikasi

berkelanjutan dengan mekanisme PES.

Isu keadilan dan kesejahteraan bagi petani sawit plasma yang digaungkan

dan diadvokasi oleh sejumlah LSM seperti Sawit Watch semestinya tidak akan

terjadi jika harga output (harga TBS maupun CPO) yang diterima perusahaan adil

dan rasional sebagai bentuk kompensasi atas pengelolaan HCVA. Harga TBS

yang rasional dan layak sehingga isu keadilan dan kesejahteraan mungkin tidak

akan terjadi. Hal ini bisa dibuktikan di kebun plasma di PT. IIS Kebun Buatan

yang notabene petani plasma mendapatkan premium price tercipta kerjasama dan

kemitraan yang solid antara perusahaan dengan petani plasma. Premium price

yang tidak rasional dan layak akan mudah menciptakan friksi, gejolak sosial, dan

atau konflik kepentingan antara perusahaan dengan masyarakat secara luas. Para

Page 132: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

113

stakeholder seharusnya memahami bahwa postulat ekonomi (inti bisnis) yaitu

maksimasi keuntungan. Perusahaan merupakan lembaga yang berorientasi profit

(profit oriented) umumnya tidak akan bersedia jika kehilangan keuntungan dari

usaha mereka dengan melakukan pengelolaan HCVA tanpa mendapatkan

kompensasi.

Keberatan perusahaan terletak pada tambahan biaya pengelolaan dan

kehilangan produksi, sementara itu manfaat keberadaan HCVA tidak secara riil

dinikmati oleh perusahaan. Perusahaan yang menjadi obyek penelitian

menyatakan keberatannya dalam pengelolaan HCVA jika tidak mendapatkan

kompensasi. Faktanya ada juga perusahaan seperti Astra Agro Group melakukan

pengelolaan HCVA tanpa berharap terlalu besar mendapatkan premium price

karena memang tidak melakukan sertifikasi RSPO. Perusahaan tersebut

melakukan pengelolaan HCVA atas dasar motif good will (kemauan baik).

Hampir sebagian perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA melakukan

pengelolaan HCVA atas dasar motif good will dan corporate image karena

inisiatif pengelolaan HCVA akan memberikan manfaat jangka panjang bagi

perusahaan.

Keberadaan HCVA di perkebunan kelapa sawit memilik kecenderunagn

sebagai barang publik yang manfaatnya bisa dinikmati oleh siapa saja yang tidak

hanya terbatas masyarakat lokal sekitar perusahaan. Nilai guna langsung dan nilai

guna tidak langsung berupa aliran barang dan jasa ekosistem seperti penyerapan

karbon dan lainnya merupakan manfaat yang bisa dinikmati oleh seluruh

masyarakat global, apalagi saat ini mekanisme perdagangan karbon sudah ada dan

beberapa diantara sudah terjadi transaksi perdagangan karbon. Hal ini sesuai

dengan tujuan HCVA sebagai pengelolaan kawasan konservasi pada tingkat lokal,

regional maupun global.

Keberadaan HCVA memang memiliki nilai ekonomi total (Total

Economic Value/TEV), namun bersifat potensial bukan riil atau aktual yang bisa

diterima oleh perusahaan. Hal inilah yang juga menjadi salah satu kendala bagi

perusahaan untuk menutup kehilangan profit atas pengelolaan HCVA. Skema

menangkap nilai ekonomi total (capturing TEV) HCVA yang merupakan nilai

ekonomi dari barang dan jasa yang belum memiliki harga pasar. Nilai TEV bisa

Page 133: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

114

ditangkap dengan menggunakan mekanisme perdagangan (trading mechanisme)

yang sudah ada seperti PES (Payment Environemntal Services).

Hasil wawancara dengan narasumber manajemen perusahaan perkebunan

(PT. IIS Kebun Buatan) menyatakan bahwa skema capturing TEV HCVA yang

paling potensial dan memungkinkan untuk bisa diimplementasikan adalah melalui

mekanisme PES. Mekanisme PES awalnya diperkenalkan oleh Pagiola dengan

melihat resultan dari perbandingan nilai dari suatu kawasan hutan jika

dikonservasi atau dikonversi. Formula penentuan PES yang dirumuskan oleh

Pagiola sebagai berikut:

Minimal Nilai Kompensasi (PES) = Nilai Konversi – Nilai Konservasi

Maksimum Nilai Kompensasi (PES) = TEV HCVA

Penentuan nilai Payment Environmental Services dalam tataran prakteknya

berupa nilai kompensasi. Nilai kompensasi ini dihasilkan dari pengurangan nilai

konversi dengan nilai konservasi atau jika suatu kawasan dipertahankan. Formula

di atas menunjukkan bahwa minimal nilai kompensasi sebagai manifestasi nilai

Payment Environmental Services adalah selisih antara nilai konversi dengan nilai

konservasi. Kawasan yang dipertahankan keberadaannya atau dikonservasi karena

suatu alasan dan kebutuhan untuk perlindungan dan pelestarian flora fauna

memiliki besaran nilai minimum kompensasi yang semestinya diterima oleh palm

oil grower (perusahaan perkebunan). Nilai ini adalah selisih antara nilai konversi

dengan nilai konservasi. Sebaliknya maksimum nilai PES adalah nilai dari

konservasi. Nilai konservasi diasumsikan sebagai nilai TEV.

Kalangan pengusaha perkebunan memahami bahwa kawasan yang

dikonservasi dinilai tidak memberikan nilai ekonomi langsung bagi pengelola,

padahal kawasan konservasi memiliki nilai ekonomi tinggi dari aliran barang dan

jasa ekosistem yang dihasilkannya. Nilai ekonomi dari kawasan konservasi tidak

bersifat nilai aktual. Hal ini dikarenakan kawasan konservasi umumnya

menghasilkan aliran barang dan jasa yang belum memiliki harga pasar atau belum

diperdagangkan di pasar. Valuasi nilai konservasi didekati dari nilai ekonomi total

(TEV) suatu kawasan baik yang bersifat tangible maupun intangible atau

mengacu pada penjumlahan berbagai nilai langsung maupun nilai tidak langsung

Page 134: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

115

serta nilai non guna. Nilai-nilai tersebut terefleksikan dalam teori nilai ekonomi

total yang dikemukan oleh Barbier (1991) dan Pierce (2001).

Hasil perhitungan pada analisis biaya manfaat tanpa memasukkan nilai

ekonomi potensial TEV HCVA menunjukkan bahwa pilihan with HCVA tanpa

premium price memberikan nilai manfaat bersih (net benefit) sebesar

Rp 655.616.430.602,00 per siklus dan nilai without HCVA sebesar

Rp 667.346.030.004,00 per siklus dengan selisih sebesar Rp 11.729. 599.402,00

per siklus. Nilai ekonomi untuk with+0.35% memberikan net benefit sebesar

Rp 664.005.845.480,00 per siklus. Selisih net benefit antara nilai konversi

(without HCVA) dengan nilai with +0.35% sebesar Rp 3.340.184.524,00 per

siklus. Hal ini menunjukkan bahwa secara ekonomi pilihan without HCVA+

0.35% ternyata belum mampu untuk menutup biaya korbanan dari perusahaan

untuk pengelolaan HCVA. Harga kompensasi (premium price) sebesar 0.35%

belum mampu memberikan economic return yang fair dan rational bagi

perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan.

Skema capturing TEV HCVA harusnya mampu meng-cover selisih

sebesar Rp 11.729. 599.402,00 per siklus atau Rp 3.340.184.524,00. Nilai tersebut

merupakan profit yang hilang atas pengelolaan HCVA. Jika diasumsikan bahwa

nilai premium price +0.35% sebagai bentuk PES, menunjukkan nilai tersebut juga

masih tidak fair dan rasional karena nilai premium price tersebut hanya mampu

menutup kerugian/kehilangan keuntungan sebanyak 71.52%.

Nilai konversi dalam kasus ini adalah nilai ekonomi suatu kawasan jika

dikonversi menjadi lahan/kawasan kebun yang produktif (kelapa sawit) atau tanpa

pengelolaan HCVA. Pertanyaan selanjutnya siapa yang akan memberikan nilai

kompensasi tersebut? Payment Enviromental Services (PES) atau Pembayaran

Jasa Lingkungan (PJL) adalah instrumen berbasiskan pasar untuk tujuan

konservasi, berdasarkan prinsip bahwa siapa yang mendapatkan manfaat dari jasa

lingkungan adalah mereka yang harus membayar, dan siapa yang menghasilkan

jasa tersebut harus dikompensasi.

Page 135: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

116

Gambar 15. Skema ilustrasi PES Pagiola

Mekanisme PES menunjukkan bahwa penerimaan pembayaran tergantung

dari kemampuan mereka untuk menyediakan jasa lingkungan yang diinginkan

atau melakukan suatu kegiatan yang sifatnya dapat menghasilkan jasa lingkungan.

Mekanisme PES juga didefinisikan oleh Wunder (2005) yang menyebutkan PES

sebagai "Transaksi sukarela dari jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas,

atau pemanfaatan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut, dibeli oleh paling

tidak oleh satu pemanfaat jasa lingkungan, dari minimum satu penyedia jasa

lingkungan, jika dan hanya jika penyedia dapat menjamin suplai yang terus

menerus dari jasa lingkungan tersebut (Merupakan persyaratan atau

kondisionalitas)". PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk

menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami

degradasi, akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa

lingkungan, dan juga kurangnya mekanisme kompensasi.

HCVA merupakan sebuah area yang memiliki nilai konservasi tinggi yang

memiliki fungsi ekologis yang beragam sesuai dengan tipe ekosistem yang ada.

Aliran barang dan jasa ekosistem belum memiliki nilai pasar, sehingga

meyebabkan keberadaan HCVA hanya sebagai sebuah kawasan yang tidak bisa

mendatangkan manfaat yang aktual bagi perusahaan perkebunan. Usaha

perkebunan kelapa sawit merupakan usaha komersial yang sebagian besar

berorientasi pada kegiatan ekspor untuk memenuhi permintaan pasar global.

Minimal

Nilai PES

Maksimum

Nilai PES

TEV HCVA

Rp 9.87

milyar/siklus

TEV HCVA

Rp 9.87

milyar/siklus

Nilai Konversi

(without

HCVA)

(Rp 667,35

milyar /siklus)

Nilai

Konservasi

(With HCVA

non PP)

(Rp 655,62

milyar/siklus)

Gap (Rp

11.73

milyar/siklus)

Page 136: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

117

Pembeli (buyer) minyak kelapa sawit biasanya adalah palm oil processors and

traders. Buyer di pasar global semestinya mengenakan harga yang berbeda bagi

produk-produk minyak kelapa sawit yang bersertifikat berkelanjutan yang bisa

dinegoisasikan dan dimediasi oleh RSPO sebagai lembaga pensertifikasi minyak

kelapa sawit berkelanjutan. Perbedaan harga diperuntukkan bagi produk minyak

kelapa sawit yang melakukan praktek usaha perkebunan yang bertanggung jawab

kepada kesejahteraan masyarakat sekitar, tenaga kerja, dan lingkungan dan atau

melakukan pengelolaan HCVA. Perusahaan yang ramah lingkungan dan peduli

dengan kelestarian alam serta menjaga dan melestarikan biodiversitas yang ada di

sekitar dan dalam areal konsesinya. Perbedaan harga bisa didasari atas nilai

kompensasi (PES) dari pengelolaan HCVA.

Nilai kompensasi (PES) tersebut seharusnya menjadi perhatian bagi para

buyer. Nilai kompensasi (PES) tersebut bisa dianggap sebagai bentuk internalisasi

social cost dan environmental cost pada harga beli sawit di pasar global yang

selanjutnya harga tersebut dinamakan premium price. Harga beli sawit dinaikkan

karena adanya tambahan biaya pengelolaan HCVA (social cost dan environmental

cost) sebagai dasar penentuan price differentiation. Hal ini akan memberikan

semangat bagi grower untuk aktif menangkap isu lingkungan dengan melakukan

pengelolaan perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan, meskipun perusahaan

sawit sudah memiliki dokumen AMDAL, RPL dan RKL. Kegiatan pengelolaan

HCVA bukan semata kegiatan charity perusahaan bagi alam, tetapi perusahaan

mendapatkan kompensasi atas imbal balik ekonomi (economic return) atas usaha

dan investasi dalam pengelolaan HCVA sebagai bentuk “aksi kesukarelaan

(voluntary)‟‟. Minimal perusahaan tidak mengalami kerugian atau kehilangan

pendapatan yang signifikan.

Tidak adanya kompensasi dalam pengelolaan HCVA seperti dalam bentuk

premium price akan mendorong para pengusaha perkebunan (palm oil grower)

untuk melakukan pengelolaan HCVA hanya sebatas formalitas dan atau hanya

sebatas melaksanakan mandate (memenuhi persyaratan) saja. Tidak adanya

kompensasi dan atau rendahnya nilai kompensasi akan mendorong para

perusahaan enggan melakukan pengelolaan HCVA di areal yang menjadi konsesi

mereka. Hal ini terkait tidak adanya regulasi yang khusus mengatur kewajiban

Page 137: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

118

pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit. Faktor pendorong palm oil

grower enggan melakukan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan disebabkan

oleh tiga hal:

1) Tambahan biaya pengelolaan HCVA bagi perusahaan

2) Kehilangan sebagian areal kebun sawit produktif

3) Serapan produk minyak kelapa sawit yang tidak tersertifikasi lebih besar dari

serapan produk yang bersertifikat berkelanjutan seperti pasar Pakistan, India,

dan China.

Nilai kompensasi atas pengelolaan HCVA dan sertifikasi minyak kelapa

sawit bisa menjadi stimulan dan komitmen bersama para pihak untuk menjaga

kelestarian lingkungan global. Pengelolaan HCVA merupakan bentuk refleksi

kepedulian perusahaan terhadap isu-isu lingkungan khusunya atas kehilangan

biodiversitas dan climate change. Hal ini semestinya tidak hanya menjadi

kewajiban yang harus dipenuhi oleh perusahaan kelapa sawit, tetapi juga menjadi

fokus bagi masyarakat dunia khususnya buyer yang membutuhkan produk yang

menggunakan bahan minyak kelapa sawit khususnya yang bersertifikat

berkelanjutan.

Realisasi strategi tersebut perlu dukungan stakeholder berupa dukungan

pemberian harga kompensasi yang rasional yang adil dan layak bagi petani plasma

dan perusahaan inti. Perusahaan perkebunan, KUD Kebun Plasma, dan GAPKI

seharusnya bersama-sama melakukan advokasi dan lobi kepada pemerintah untuk

mematok harga kompensasi bagi importir minyak kelapa sawit Indonesia yang

tersertifikasi berkelanjutan. Stakeholder tersebut juga bisa mendorong Pemerintah

Indonesia untuk mengajukan penawaran harga kompensasi kepada pasar-pasar

yang menerapkan kebijakan konsumsi minyak sawit yang ramah lingkungan

seperti pasar Uni Eropa.

d. Mendorong Peningkatan Status HCVA sebagai Kawasan Lindung.

Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang dan

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung Pasal 1 Ayat 1 menyatakan bahwa Kawasan Lindung adalah kawasan

yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian Lingkungan Hidup

yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan dan nilai sejarah serta budaya

Page 138: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

119

bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. Pengelolaan HCVA

bersifat voluntary sebagai bagian sertifikasi RSPO dan belum terakomodir dalam

peraturan dan perundang-undangan yang ada tentu saja belum ada ketetapan

mengenai status hukum nya.

Keberadaan HCVA memenuhi kriteria atau sesuai dengan definisi

kawasan lindung, maka sudah seharusnya HCVA mendapatkan peningkatan status

HCVA sebagai kawasan lindung, meskipun tanggung jawab pengelolaan tetap ada

di bawah Perusahaan sebagai pemegang hak atas tanah tersebut (UU No. 5 Tahun

1990). Ayat 2 dalam Kepres tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan

Pengelolaan kawasan lindung adalah upaya penetapan, pelestarian dan

pengendalian pemanfaatan kawasan lindung, sedangkan pasal 2 Ayat 1

menyebutkan pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah timbulnya

kerusakan fungsi lingkungan hidup dan Ayat 2 Sasaran Pengelolaan kawasan

lindung adalah :

1. Meningkatkan fungsi lindung terhadap tanah, air, iklim, tumbuhan dan satwa

serta nilai sejarah dan budaya bangsa;

2. Mempertahankan keanekaragaman tumbuhan, satwa, tipe ekosistem, dan

keunikan alam.

Keppres tersebut juga sejalan dengan UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 67 dan pasal 68

menyatakan bahwa setiap orang dan orang yang melakukan usaha/kegiatan

(perkebunan) berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta

mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

HCVA (HCV 1 s.d HCV 6) yang terdiri atas 3 komponen utama yaitu

ekologi (pelestarian biodiversitas dan lingkungan hidup), jasa lingkungan dan

sosial budaya sangat sesuai dengan sasaran pengelolaan kawasan lindung (Kepres

No. 32 Pasal Ayat 2). Definisi kawasan lindung dalam Kepres No. 32 Tahun 1990

yang menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan lindung meliputi upaya penetapan

dimana peraturan tersebut juga telah membahas dan menyebutkan siapa yang

harus menetapkan kawasan lindung, yaitu pemerintah daerah tingkat I atau II.

Dasar penetapan HCVA sebagai kawasan lindung untuk mencegah

kerusakan atau kehilangan fungsi ekologi dan sosial budaya dari keberadaan

Page 139: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

120

HCVA di bawah tanggung jawab perusahaan. Undang-undang Nomor 26 tahun

2007 tentang Tata Ruang dan Keppres No. 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolan

Kawasan Lindung mendorong penetapan kawasan lindung dengan pertimbangan

bahwa untuk menjamin terselenggaranya kehidupan dan pembangunan yang

berkelanjutan dan terpeliharanya fungsi pelestarian, upaya pengaturan dan

perlindungan diatas perlu dituangkan dalam kebijaksanaan pembangunan pola tata

ruang. Kebijaksanaan pembangunan pola tata ruang tersebut perlu ditetapkan

adanya kawasan lindung dan pedoman pengelolaan kawasan lindung yang

memberi arahan bagi badan hukum dan perseorangan dalam merencanakan dan

melaksanakan program pembangunan. Undang-undang dan peraturan yang ada

sudah sangat jelas menyatakan perlunya perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup yang memiliki fungsi ekologi dan sosial budaya yang penting

bagi keberlangsungan lingkungan hidup dan pemenuhan kesejahetraan masyarakat

luas, meskipun tidak secara jelas menggunakan terminologi HCVA. Bentuk

kawasan lindung yang paling sesuai dengan kondisi HCVA adalah Kawasan

Perlindungan Setempat, seperti Sempadan Pantai, Sempadan Sungai, Kawasan

Sekitar Danau/Waduk, dan Kawasan Sekitar Mata Air dan Kawasan Cagar

Budaya dan Ilmu Pengetahuan jika HCV tersebut merupakan situs arekologi

dan atau situs budaya yang penting bagi identitas budaya lokal. Tipe ekosistem

atau bentuk HCVA di perkebunan kelapa sawit relatif beragam. Tipe ekosistem

ini juga relatif sesuai dengan komponen kawasan perlindungan setempat dan

kawasan suaka alam dan cagar budaya (khususnya kawasan cagar budaya dan

ilmu pengetahuan) yang disebutkan dalam Keppres No. 32 Tahun 1990.

Kebutuhan peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung adalah untuk

mengindari atau mencegah munculnya klaim “lahan terlantar” atau lahan yang

produktif yang tidak dikembangkan/diusahakan. Hasil wawancara dengan GAPKI

terlihat bahwa beberapa kawasan HCVA dianggap/dipersepsikan sebagai lahan

terlantar oleh Badan Pertahanan Nasional (BPN) karena tidak adanya kejelasan

status lahan meskipun dikelola oleh perusahaan. HCVA sebagai lahan yang tidak

diusahakan bisa memicu okupasi atau menimbulkan konflik tenurial (lahan) bagi

masyarakat yang ingin melakukan ekspansi lahan kebun sawit. Permasalahan ini

juga berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena ketidakjelasan status

Page 140: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

121

kawasan yang telah diidentifikasi sebagai HCVA di areal perkebunan kelapa

sawit.

Adanya peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung dengan

jaminan kepastian hukum yang jelas. Usaha perlindungan dan pengelolaan HCVA

diproyeksikan akan berjalan dengan baik dan meningkat serta mampu menjaga

optimalisasi aliran barang dan jasa lingkungan dari kawasan HCVA. Pemberian

harga kompensasi (premium price) akan menjadi lebih rasional (bahan

pertimbangan) bagi para buyers dan users (konsumen) dari minyak kelapa sawit

yang bersertifikat berkelanjutan (certified sustainable plam oil/CSPO) karena

adanya kejelasan status pengelolaan HCVA.

Pengelolaan HCVA membutuhkan partisipasi multi pihak dari stakeholder

terkait dengan fungsi dan peran masing-masing untuk terus mengawal usaha

perlindungan dan pengelolaan HCVA. Hal ini merupakan usaha bersama untuk

mencegah kehilangan/kepunahan biodiversitas dan menangkal isu climate change

serta menghargai sosial budaya masyarakat lokal dan mempertahankan

lingkungan hidup yang lestari. Premium price sebagai bentuk kompensasi yang

seharusnya “wajib” diberikan bagi perusahaan yang melakukan perlindungan dan

pengelolaan lingkungan hidup yang termanifestasi melalui pengelolaan HCVA.

Boer et al. (2012) menyatakan bahwa tanggung jawab pengelolaan lingkungan

seperti HCVA seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab palm oil grower

tetapi juga palm oil buyers (customers). Lebih lanjut lagi Boer et al. (2012)

menyatakan bahwa sejumlah premium price yang rasional diperlukan untuk

mengkompensasi kerugian atau kehilangan profit akibat pengurangan area karena

pengelolaan HCVA.

e. Meningkatkan performance pengelolaan HCVA

Pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan secara sederhana bisa

dilihat dengan menggunakan indikator pengelolaan lingkungan secara baik dan

bertanggung jawab melalui pengelolaan HCVA. Pengelolaan HCVA sebagai

prasyarat sertifikasi RSPO telah mendapatkan harga kompensasi (premium price

0.35%), meskipun kurang rasional dan feasibel bagi perusahaan. Pengelolaan

HCVA membangkitkan potencial benefit lainnya jika pengelolaannya

menunjukkan permorfa yang cemerlang. Perusahaan perkebunan perlu didorong

Page 141: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

122

untuk meningkatkan performanya dalam pengelolaan HCVA dalam rangka

mewujudkan good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik).

Potencial benefit bagi perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA selain

premium price adalah sebagai berikut:

1. Memantapkan izin sosial (social permit)

Pengelolaan HCVA memberikan kemudahan dalam izin sosial (social permit)

dan legitimasi dari masyarakat sekitar bahwa perusahaan respek terhadap

kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal. Hal ini terefleksikan dari

HCV 5 dan 6 dimana perusahaan sangat peduli dengan persoalan pemenuhan

kebutuhan pokok masyarakat sekitar dan pelestarian situs bersejarah, situs

arkeologi dan tradisi budaya masyarakat lokal. Manfaat sosial dari

pengelolaan HCVA tersebut bisa terus menjadi modal sosial perusahaan

(social capital) untuk menjaga keberlanjutan bisnis (sustainable business)

perusahaan dan mewujudkan good corporate governance (tata kelola

perusahaan yang baik).

2. Nilai ekonomi potensial (TEV)

Pengelolaan HCVA mendatangkan nilai ekonomi bagi perusahaan meskipun

sifatnya potensial bukan aktual.

3. Peluang untuk mendapatkan sertifikasi lainnya.

Pengelolaan HCVA tidak hanya bertujuan untuk memenuhi sertifikasi RSPO.

Potencial benefit yang lain dari pengelolaan HCVA dan sangat prospektif

kedepannya adalah sertifikasi International Sustainibility & Carbon

Certification (ISCC). ISCC (International Sustainability and Carbon

Certification) merupakan sistem sertifikasi bertaraf internasional pertama

untuk membuktikan sustainability, traceability dan penghematan dari efek gas

rumah kaca untuk segala jenis produksi biomass (energi yang terbarukan),

memberikan pembuktian yang positif setelah beroperasi selama setahun.

Sertifikasi ISCC dikeluarkan oleh SGS Germany, yaitu sebuah perusahaan

global yang bergerak di bidang inspeksi, verifikasi, pengujian dan sertifikasi.

Badan Federal Pertanian dan Pangan Jerman (BLE) telah mengakui dan

memberikan wewenang kepada SGS Germany untuk melakukan sertifikasi

produksi biomass. CPO bersertifikasi ISCC berpotensi untuk mendapatkan

Page 142: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

123

premium sekitar US$20 – US$30 per ton dari harga di pasar dunia. Asian Agri

mampu menyediakan minyak sawit sesuai dengan Standar Energi Terbarukan

Uni Eropa (EU Renewable Energy Directive) (Wiji 2012). Manager PT. IIS

Kebun Buatan menyatakan bahwa untuk mendapatkan sertifikat ISCC sangat

mudah bagi perusahaan yang sudah tersertifikasi RSPO dan sudah melakukan

pengelolaan HCVA secara optimal.

4. Corporate image

Pengelolaan HCVA yang baik dan benar juga secara tidak langsung

merupakan bentuk politik pencitraan perusahaan (corporate image) agar

diterima oleh masyarakat lokal bahkan oleh masyarakat dunia (pasar) dengan

memiliki opportunity dalam bentuk penetrasi pasar yang luas. Pengelolaan

HCVA dan tersertifikasi berkelanjutan bisa menjadi alat untuk meningkatkan

citra perusahaan “ramah lingkungan”. HCVA mampu menarik persepsi

masyarakat secara luas akan komitmen perusahaan terhadap tanggung jawab

pelestarian lingkungan. Pengelolaan HCVA yang baik dan benar akan

menciptakan kepercayaan (trust) bagi buyers dan masyarakat global akan

kinerja baik perusahaan. Kepercayaan dari buyers dan konsumen juga

memiliki nilai intrinsik, meskipun sulit untuk diuangkan.Strategi pencapaian

pengelolaan HCVA di atas perlu dilakukan serangkaian kegiatan sebagai

berikut:

a. Meningkatkan kegiatan sosialisasi HCVA

Pengelolaan HCVA yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan

kelapa sawit belum banyak diketahui oleh masyarakat luas. Kurangnya

informasi ini tentu saja akan memberikan pengaruh yang besar bagi

perusahaan selaku pengelola, padahal pengelolaan HCVA membutuhkan

sumberdaya yang relatif cukup besar baik dari sisi sumberdaya finansial

maupun sumberdaya manusia. Hal ini juga akan menyebabkan citra yang

kurang baik bagi perusahaan kelapa sawit terkait isu keberlanjutan.

Pengelolaan HCVA merupakan manifestasi mekanisme pembangunan

berkelanjutan di perkebunan kelapa sawit yang semestinya diketahui

masyarakat luas.

Page 143: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

124

Perusahaan yang melakukan pengelolaan HCVA diyakini akan mampu

meningkatkan citra positif bagi perusahaan. Bagi perusahaan yang melakukan

pengelolaan HCVA juga bisa mendapatkan penilaian dari masyarakat sebagai

perusahaan dengan reputasi yang ramah lingkungan dan peduli masyarakat

sekitar bahkan perusahaan tersebut bisa memiliki keuntungan berupa penetrasi

pasar untuk produk kelapa sawit yang lebih luas. Keuntungan lainnya adalah

resistensi pasar bisa direduksi dengan tata kelola perkebunan yang baik

melalui pengelolaan HCVA.

Mengingat pentingnya informasi pengelolaan HCVA, perusahaan

kelapa sawit perlu melakukan sosialisasi yang lebih intensif bagi masyarakat

luas yang tidak hanya terbatas bagi masyarakat sekitar lokasi. Peningkatan

kegiatan sosialisasi bagai masyarakat sekitar selain petani plasma berguna

untuk meningkatkan perhatian dan kepedulian dalam pengelolaan HCVA. Hal

ini sudah terbukti dari kesediaan membayar (Willingness To Pay) masyarakat

sekitar untuk berpartisipasi dalam pengelolaan. Pengetahuan dan informasi

yang cukup bagi masyarakat sekitar akan mendorong efektivitas dan

keberhasilan pengelolaan HCVA.

Kegiatan sosialisasi juga harus ditujukan bagi masyarakat global yang

mengkonsumsi dan menggunakan bahan atau produk minyak kelapa sawit.

Pengetahuan masyarakat yang cukup akan kebutuhan pengelolaan HCVA

akan meningkatkan kepedulian konsumen dan perdagangan minyak kelapa

sawit. Kepedulian tersebut nantinya bisa mendorong kemauan pedagang dan

konsumen untuk membayar dengan premium price bagi produk kelapa sawit

yang ramah lingkungan dan atau menerapkan pengelolaan HCVA di areal

perkebunannya.

b. Meningkatkan program capacity building

Pengelolaan HCVA yang dilakukan oleh perusahaan perkebunan kelapa

sawit membutuhkan sumberdaya manusia yang handal. Pengelola HCVA harus

benar-benar memahami dan mengetahui secara holistik mengenai manajemen

kawasan konservasi, fungsi ekologi, dan pola interaksi serta sistem sosial budaya

masyarakat lokal dengan kawasan khususnya HCVA. Manajemen perusahaan

perlu melakukan kegiatan dalam rangka meningkatkan kapasitas (capacity

Page 144: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

125

building) sumber daya manusianya khususnya yang terkait dengan pengelolaan

HCVA.

Program capacity building bisa dilakukan melalui peningkatan intensitas

program pendidikan dan pelatihan manajemen pengelolaan HCVA dan ilmu-ilmu

pengetahuan yang terkait serta melalui field study dan field trip. Hal ini

disebabkan karena kompleksitas HCVA, sehingga pengetahuan yang harus

dimiliki oleh staf pengelola HCVA bersifat multidisplin. Hal ini juga terkait

keanekaragaman jenis dan tipe ekosistem, keanekargaman hayati, dan sistem

sosial budaya masyarakat serta pola interaksinya terkait dengan kawasan yang

ditentukan sebagai HCVA. Program capacity building ini bisa melibatkan banyak

stakholder terkait pengelolaan HCVA seperti Sawit Watch, GAPKI dan

kelembagaan lainnya yang bergerak di bidang capacity building.

c. Meningkatkan dukungan untuk premium price yang rasional dan wajar

Keberadaan GAPKI sebagai organisasi asosiasi pengusaha perkebunan

kelapa sawit yang memiliki tingkat pengaruh dan kepentingan yang tinggi terkait

pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan merupakan keuntungan

yang sangat besar. GAPKI sebagai organisasi pengusaha kelapa sawit Indonesia,

yang merupakan produsen terbesar di dunia, memiliki posisi tawar (bargaining

position) yang kuat dalam memperjuangkan premium price. Keberadaan GAPKI

bisa dimanfaatkan sebagai fasilitator dan atau mediator untuk mendapatkan

premium price yang wajar dan rasional. GAPKI memiliki kapasitas dan kekuatan

yang cukup untuk mempengaruhi pengusaha lainnya untuk menjual produk kelapa

sawit mereka dengan premium price serta menekan pedagang dan pembeli minyak

kelapa sawit untuk membeli dengan premium price bagi perkebunan yang

melakukan pengelolaan HCVA.

Nilai premium price yang wajar dan rasional tidak hanya dinikmati oleh

perusahaan, namun keuntungan premium price juga turut dirasakan petani plasma.

Premium price yang wajar dan rasional akan mendorong peningkatan harga beli

TBS dari petani. Hal ini tentu saja akan berimbas pada peningkatan kesejahteraan

petani plasma dengan adanya peningkatan pendapatan petani plasma. Harga

premium yang wajar dan layak diberikan kepada kebun inti dan plasma yang

sudah tersertifikasi RSPO sebagai bentuk kompensasi atas pengelolaan HCVA.

Page 145: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

126

Dukungan kenaikan premium price bagi perkebunan yang melakukan

pengelolaan HCVA tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada GAPKI. Butuh

dukungan pemerintah Indonesia sebagai regulator pembangunan perkebunan di

Indonesia. Akumulasi sumberdaya dari GAPKI dan pemerintah Indonesia akan

meningkatkan posisi tawar untuk mendapatkan premium price. Perusahaan

perkebunan harus terus aktif mengkampanyekan, mengadvokasi dan mendorong

GAPKI untuk memperjuangkan premium price bagi anggotanya yang sudah

tersertifikasi RSPO dengan melakukan pengelolaan HCVA.

d. Memfasilitasi pertemuan dengan stakholder terkait dalam rangka

peningkatan status kawasan HCVA sebagai kawasan lindung

Satus yang disandang HCVA menyebabkan keberadaannya hanya sebagai

prasyarat bagi perkebunann yang menghendaki sertifikasi RSPO. Tidak jarang

keberadaan HCVA memiliki fungsi sebagai sistem penyangga kehidupan. HCVA

yang memiliki fungsi tersebut perlu mendapatkan prioritas dalam perlindungan

dan pelestariannya. Peraturan dan perundang-undangan nasional juga sudah jelas

menyebutkan bahwa kawasan yang memiliki fungsi sebagai sistem penyangga

kehidupan upaya perlindungannya diatur dan ditertibkan oleh pemerintah (UU

Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya). Perlindungan kawasan yang berfungsi sebagai sistem penyangga

kehidupan ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang

kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu

kehidupan manusia. Kawasan HCVA yang memenuhi kriteria perlu mendapatkan

status perlindungan sebagai Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) dan atau

Kawasan Cagar Budaya dan Ilmu Pengetahuan sebagaimana diatur dalam

Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 Tentang Pengelolaan Kawasan

Lindung.

Penjelasan HCV 1 s.d HCV 3 pada bab sebelumnya terkait dengan

ekologi, HCV 4 terkait jasa lingkungan dan HCV 5 dan HCV6 terkait sosial

budaya bisa ditujukan sebagai dasar pertimbangan untuk peningkatan status

kawasan lindung tersebut. Pengelolaan HCVA di perkebunan ditujukan untuk

keberlanjutan dengan menerapkan praktek-praktek pembangunan perkebunan

yang ramah lingkungan dan mencegah kerusakan lingkungan hidup. Hal ini

Page 146: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

127

sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan lindung yaitu untuk mencegah

timbulnya kerusakan fungsi lingkungan hidup. Pengelolaan kawasan lindung

bersinergi dengan pengelolaan HCVA.

Perwujudan peningkatan status HCVA sebagai kawasan lindung

perusahaan kelapa sawit perlu difasilitasi dengan serangkaian pertemuan antara

pemerintah terkait (Cq: Kementerian Kehutanan, Kementrian Pertanian dan

Kementerian Lingkungan Hidup) serta organisasi non pemerintah seperti GAPKI.

Pertemuan tersebut seharusnya melibatkan LSM seperti Sawit Watch, WWF dan

lainnya untuk membahas status kawasan HCVA. Penentuan status kawasan

lindung bagi HCVA tentu saja harus memenuhi semua persyaratan dan kriteria

serta tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku.

Kriteria Kawasan Perlindungan Setempat (KPS) sangat sesuai dengan

komponen HCVA yang biasanya ada di perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Penetapan kawasan lindung membutuhkan dukungan Kementerian terkait,

meskipun kriteria KPS dengan HCVA di perkebunan kelapa sawit relatif sama.

Hal ini disebabkan terminologi HCVA belum diakomodir dalam peraturan dan

perundang-undangan nasional.

e. Meningkatkan kerjasama dan kemitraan pengelolaan HCVA

Pengelolaan HCVA tidak hanya terbatas pada pengelolaan lingkungan.

Pengelolaan HCVA juga sangat terkait dengan pengelolaan masyarakat sekitar

yang memiliki interaksi yang tinggi dengan kawasan HCVA. Status yang belum

jelas yang disandang HCVA menyebabkan pengelolaannya disinyalir kurang

optimal mengingat kompleksitas permasalahan dan kebutuhan dalam pengelolaan

HCVA, sedangkan perusahaan adalah perusahaan yang berorientasi pada profit.

Perusahaan perkebunan selaku pengelola HCVA perlu meningkatkan kerjasama

dan kemitraan dengan stakeholder terkait yang bisa mendorong peningkatan

performa pengelolaan HCVA.

Kerjasama dan kemitraan pengelolaan HCVA semestinya tidak hanya

terbatas pada GAPKI, kelembagaan pemerintah tetapi semestinya melibatkan

lembaga yang bergerak di bidang konservasi dan sosial masyarakat seperti Sawit

Watch, WWF, dan lainnya serta perguruan tinggi. Banyaknya kerjasama dan

kemitraan pengelolaan akan memberikan manfaat dukungan pengelolaan HCVA

Page 147: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

128

yang lebih kuat lagi. Kerjasama dan kemitraan bisa dalam hal penelitian,

pemberdayaan masyarakat serta pendidikan dan pelatihan.

Pencapaian strategi pengelolaan HCVA membutuhkan komitmen yang

kuat dari perusahaan sendiri selaku pengelola serta kemauan dan dukungan dari

stakeholder terkait khususnya pemerintah yang membidangi perlindungan

lingkungan hidup dan konservasi kawasan. Komitmen yang kuat dari perusahaan

bisa diwujudkan dalam hal pendanaan pengelolaan HCVA. Pendananan

pengelolaan HCVA sudah sewajarnya dipenuhi oleh perusahaan karena

perusahaan perkebunan selaku pemegang hak atas tanah. Komitmen yang kuat

dari perusahaan akan mampu meningkatkan kepercayaan stakeholder terkait

untuk peningkatan status kawasan HCVA dan mendorong pemenuhan premium

price yang rasional dan wajar.

Page 148: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

129

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan

bahwa:

1. Estimasi Total Economic Value (TEV) HCVA di perusahaan perkebunan

kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sebesar Rp 1.321.847.970 per tahun

atau sebesar Rp 14.693.730,00 per ha/tahun. Komponen nilai guna

langsung dari kawasan HCVA PT. IIS Kebun Buatan diestimasi sebesar

Rp 1.202.505.810,00 per tahun atau sebanyak Rp 13.367.117,00 per

ha/tahun, nilai guna tidak langsung diestimasi sebesar Rp 78.276.380,00

per tahun dan nilai pilihan (biodiversitas) hanya sebesar Rp 1.625.260,00

per tahun, sedangkan nilai keberadaan sebesar Rp 39.440.520,00 per

tahuan (WTP masyarakat). Nilai ekonomi total merupakan nilai potensial,

bukan nilai aktual. Oleh karena itu diperlukan skema trading mechanism

untuk menangkap nilai tersebut dalam rangka mengaktualisasikan nilai

TEV HCVA tersebut.

2. Analisis finansial pilihan pengelolaan with dan without HCVA di

perkebunan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan (discount factor 15%)

menunjukkan nilai NPV positif atau layak secara finanasial. Analisis

finansial PT. IIS Kebun Buatan memberikan nilai NPV sebesar

Rp 667.346.030.004,00 per siklus (IRR sebesar 43.29% dan BCR sebesar

1.38) untuk pilihan without HCVA. Pilihan pengelolaan with HCVA non

Premium price secara finansial juga sangat menguntungkan dengan nilai

NPV sebesar Rp 655.616.430.602,00 per siklus dan nilai IRR sebesar

43.03% dan BCR 1.38, sedangkan with HCVA+0.35% memberikan NPV

sebesar Rp 664.005.845.480,00 per siklus (IRR sebesar 43.21% dan BCR

sebesar 1.38). Pilihan pengelolaan antara without HCVA dan with HCVA

menunjukkan adanya selisih penerimaan sebesar Rp 11.729.599.402,00

per siklus, sedangkan dengan with HCVA+0.35% memiliki selisih sebesar

Rp 3.340.184.524,00 per siklus. Hasil perhitungan menunjukkan nilai

premium price yang rasional dan wajar adalah sebesar 0.49%. Pilihan

pengelolaan with HCVA+0.49% akan menghasilkan NPV sebesar

667.361.611.431.00 per siklus, dengan demikian gap antara with

Page 149: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

130

HCVA+0.49% dengan without HCVA sebesar Rp 15.581.427,00 per

siklus. Nilai ini wajar dan rasional pada kasus PT.IIS Kebun Buatan,

karena luasan HCVA yang ada relatif kecil, yaitu sebesar 0.55% dari total

luas area produktif. Premium price sebesar 0.49% lebih besar dari

premium price yang ada dipasaran saat ini (0.35%). Analisis dampak

ekonomi yang disebabkan oleh pengelolaan HCVA adalah hilangnya

pendapatan masyarakat diestimasi sebesar Rp 410.040.000,00 per siklus

dan penyerapan tenaga kerja sebanyak 13 orang yang dapat diestimasi

sebesar Rp 1.048.752.000,00 per siklus di perkebunan PT. IIS Kebun

Buatan. Internalisasi TEV HCVA, biaya HCVA, dan dampak ekonomi

sangat berpengaruh terhadap hasil analisis biaya manfaat pengelolaan

HCVA. Jika ketiga komponen manfaat dan biaya tersebut

diinternalisasikan/turut diperhitungkan dalam analisis biaya manfaat

dengan Discount Factor sebesar 15% akan menghasilkan net benefit

positif untuk pilihan with HCVA+0.35%. Sebaliknya jika ketiga komponen

nilai tersebut jika tidak diinternalisasikan akan menyebabkan nilai net

benefit with HCVA+0.35% lebih rendah dibandingkan pilihan without

HCVA. Dengan demikian premium price 0.35% merupakan nilai

kompensasi yang belum wajar dan layak bagi perusahaan yang melakukan

pengelolaan HCVA.

3. Perusahaan kelapa sawit PT. IIS Kebun Buatan sensitif dengan gejolak

perubahan penurunan harga dan kenaikan biaya untuk semua pilihan

pengelolaan. Perubahan penurunan harga sebesar 10% menyebabkan

penurunan NPV untuk semua pilihan pengelolaan rata-rata sebesar 36.25%

dengan penurunan NPV tertinggi untuk pilihan without HCVA (37%).

Perubahan kenaikan harga sebesar 10% mengalami dampak penurunan

NPV rata-rata sebesar 26.25% dengan penurunan NPV tertinggi untuk

pilihan without HCVA sebesar 27%. Perkebunan kelapa sawit PT. IIS

Kebun Buatan sangat sensitif dengan perubahan penurunan harga,

dibandingkan perubahan kenaikan biaya produksi.

4. Analisis stakeholder menempatkan Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit,

Sawit Watch dan GAPKI sebagai key player dalam pengelolaan HCVA.

Page 150: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

131

Ketiga stakeholder tersebut memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar

dalam pengelolaan HCVA sebagai bagian persyaratan sertifikasi RSPO.

Strategi kebijakan pengelolaan disusun dengan mendasarkan pada hasil

sintesis terhadap peraturan dan perundang-undangan berlaku, analisis

finansial dan ekonomi, dan analisis stakeholder pengelolaan HCVA dalam

rangka mewujudkan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.

Strategi kebijakan pengelolaan yang sudah diformulasikan sebagai berikut:

a) Tanggung jawab pengelolaan HCVA diserahkan kepada perusahaan

perkebunan selaku pemegang hak atas tanah; b) Pengelolaan HCVA

membutuhkan partisipasi multi pihak; c) memberikan dukungan harga

kompensasi yang rational dan feasible bagi perusahaan dan kebun sawit

plasma tersertifikasi berkelanjutan dengan mekanisme PES; d) Mendorong

Peningkatan Status HCVA sebagai Kawasan Lindung; e) meningkatkan

performance pengelolaan HCVA.

6.2 Saran

1. Penelitian lanjutan terkait efektivitas pengelolaan HCVA dan desain

kelembagaan multipihak terkait pengelolaan HCVA dengan melibatkan

lebih banyak lagi perusahaan dalam penelitian serta efektivitas HCVA

dalam mengalirkan aliran barang dan jasa ekosistem. Penelitian lanjutan

dengan menggunakan studi kasus perkebunan baru yang memiliki luas

HCVA >10% dari luas kebun produktifnya.

2. Penelitian terkait penentuan harga kompensasi (premium price) dalam

pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa sawit dengan melibatkan tujuh

stakeholder RSPO seperti perkebunan kelapa sawit (lebih banyak lagi),

pembeli, retailer,pedagang dan industri pengolah minyak sawit, dan

lembaga keuangan serta Lembaga Sosial Masyarakat (LSM).

Page 151: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

132

Page 152: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

133

DAFTAR PUSTAKA

Abelson P. 1996. Project Appraisal and Valuation Methods for the Environmental

with Special Reference to Developing Countries. Macmillan: New

York.

Agus F. 2011. Sustainable palm oil: Challenges, a common vision and the way

forward. Makalah simposium Kelapa Sawit di London, United

Kingdom 4-6 Mei 2011.

Barbier EB. 1991. The Economic Value of Ecosystem: 2 – Tropical Forests.

London Environmental Economics Centre Gatekeeper Series No 91-

01. International Insitute for Environmental and

Development. London.

Bishop JT. 1999. Valuing Forests : A Review of Methods and Applications in

Developing Countries. International Institute for Environment and

Development: London

Boer R, Nurrochmat DR., Ardiansyah M, Purwawangsa H, Hariyadi, dan Ginting

G. 2012. Reducing agricultural expansion into forests in Central

Kalimantan Indonesia: Analysis of Implementation and Financing

Gaps. Center for Climate Risk & Opportunity Management. Bogor

Agricultural University.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Kabupaten dalam Angka. BPS Kabupaten

Pelalawan. Provinsi Riau

Brander L, Bagghethun E.G., Lopez B.M., dan Verma M. 2010. The economics of

ecosystem and biodiversity: The Ecological and Economic

Foundations.

Colchester M, Jiwan N, Andiko S, Firdaus M, Surambo AY, dan Pane H. 2006.

Tanah Yang Dijanjikan. Minyak kelapa sawit dan Pembebasan Tanah

di Indonesia: Implikasi terhadap Masyarakat Lokal dan Masyarakat

Adat. Forest Peoples Programme dan Perkumpulan Sawit Watch.

Costanza R, d'Arge R, de Groot R, Farber S, Grasso M, Hannon B, Limburg K,

Naeem S, O'Neill RV, Paruelo J, Raskin RG, Sutton P, dan van den

Belt M. 1997. The Value of the World‟s Ecosystem Services and

Natural Capital in Nature May 1997: (253-260).

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Statistik Perkebunan.

2012. Jakarta.

[EFC dan UN Foundation] Energy Future Coalition dan United Nations

Foundation.2008. Biofuels.www.energyFutureCoalition.org/biofuels.

Page 153: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

134

Eden C dan Ackermann F. 1998. Making Strategy: the Journey of Strategic

Management.Sage Publications, London. Dalam. Reed et.al. (2009).

Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for

natural resource management. Journal of Environmental Management

90: 1933–1949

Engel S, Pagiola S, and Wunder S. 2008. Designing payments for nvironmental

services in theory and practice: An overview of the issues. Ecological

Economics 62: 663–674.

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Data Produksi dan Ekspor

Kelapa Sawit Dunia. http://faostat.fao.org/site/339/default.aspx.

Tanggal download 18 Jan 2012 jam 11.54 WIB.

Freeman RE. 1984. Strategic Management: a Stakeholder Approach, Masic

Books. New York.

Friedman AL. Miles S. 2002. Developing stakeholder theory. Journal of

Management Studies 39:1–21.

[GAPKI] Gabungan Asosiasi Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. 2012. Refleksi

industri kelapa sawit 2011 dan prospek 2012. Jakarta.

www.gapki.com. Publikasi 4 januari 2012

Gittinger JP. 2008. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Jakarta. UI Press-

Jhons Hopkins.

Grindle MS. 1980. Politics and Policy Implementation in The Third World,

Princnton University Press. New Jersey.

Grimble R dan Chan MK. 2005. Stakeholder analysis for natural resource

management in developing countries: some practical guidelines for

making management more participatory and effective. Natural

Resources Forum 19:113–124.

Grimble R dan Wellard K. 1997. Stakeholder methodologies in natural resource

management: a review of concepts, contexts, experiences and

opportunities. Journal of Agricultural Systems 55: 173–193.

Gray C, Karlina L, dan Kadariah. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Edisi Revisi.

Jakarta. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi UI.

[HCV Toolkit Indonesia] Konsorsium Revisi HCV Toolkit Indonesia. 2008.

Panduan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi.

[HCV-RIWG] HCV RSPO Indonesian Working Group. 2009. Panduan

Pengelolaan dan Pemantauan Nilai Konservasi Tinggi (NKT) untuk

Produksi Minyak kelapa sawit Berkelanjutan di Indonesia.

Page 154: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

135

Hornby AS. 2005. OXFORD Advanced Learner's Dictionary seventh edition

Hou K dan Meas S. 2008. A cost and benefit analysis of the community forestry

project in Chumkiri District, Kampot Provice, Cambodia.

[IIED] International Institute for Environmental and Development. 2003. Valuing

Forests: A Review of Methods and Application in Developing

Countries. London.

[Kementan] Kementerian Pertanian Indonesia. 2011. Peraturan Menteri Pertanian

Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang

Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia

(Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO). Jakarta.

Manurung T. 2001. Analisis Valuasi Ekonomi Investasi Perkebunan Kelapa Sawit

di Indonesia. Jakarta. Natural Resources Management Program.

Meyers J, Ngalande J, Bird P dan Sibale B. 2001. Forestry Tactics: lessons

learned from Malawi‟s National Forestry Programme. Policy That

Works for Forests and People series No.11, International Institute for

Environment and Development, London

[MEA] Millenium Ecosystem Assessment Report. 2005. Ecosystem and Human-

Well Being. Biodiversity synthesis. World Resources Institute.

Washington, DC.

Nelson DL dan Quick JC. 1994. Organizational Behaviour: Foundations, Realities

and Challenges. West Pub., New York. dalam. Reed et.al. (2009).

Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis methods for

natural resource management. Journal of Environmental Management

90: 1933–1949

Nurrochmat DR., Hadianto A, dan Ekayani M. 2009. Neraca Pembangunan

Hijau: Konsep & Implikasi Bisnis Karbon & Tata Air di Sektor

Kehutanan. Bogor. IPB Press.

Nurrochmat DR., Boer R, Ardiansyah M, Purwawangsa H, Hariyadi dan Ginting

G. 2012. Bridging Conflicts Between Socio-Economic and

Environmental Issue: Formulating Strategy towards appropriate

sustainable oil-palm development.

Pagiola S. 2004. Environmental Services Payments in Central America: Putting

Theory into Practice. Presented at the―Environmental Economics for

Development Policy Training Course. World Bank Institute, July 19–

30, 2004.

Page 155: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

136

Pagiola S. dan Platais G. 2007. Payments for Environmental Services: From

Theory to Practice. World Bank, Washington.

Pagiola S. dan Platais G. 2007. Payments for Environmental Services: From

Theory to Practice. World Bank, Washington. dalam .Van Eijk P dan

Kumar R. 2009. Bio-rights dalam Teori dan Praktek Wetland

International. Bogor Indonesia.

Parera E. 2005. Nilai Ekonomi Total Hutan Kayu Putih: Kasus di Desa Piru,

Kabupaten Seram Bagian Barat, Provinsi Maluku. Jurnal Manajemen

Hutan Tropika. Vol. XII No. 1 : 14-26

Pascual U, Corbera E, Muradian R, dan Kosoy N. 2010. Payments for

Environmental Services: Reconciling theory and practice. Special

Section. Ecological economics. In press.

Pearce D. 1993. Economic values and Natural World. London. Earth Scan

Publication Ltd.

Pearce DW dan Turner RK. 1990. Economic of Natural Resources and The

Environment. dalam. Nurrochmat DR. Hadianto A. dan Ekayani M.

2009. Neraca Pembangunan Hijau: Konsep & Implikasi Bisnis

Karbon & Tata Air di Sektor Kehutanan. Bogor. IPB Press

PricewaterhouseCoopers (2010), 13th Annual Global CEO Survey 2010.

Available at: http://www.pwc.com/gx/en/ceo-survey/index. jhtml (last

access: 15 June 2010). dalam. Bishop J. 2010. The Economics of

Ecosystems and Biodiversity: TEEB for Business. Earthscan

Reed MS, Graves A, Dandy N, Posthumus H, Hubacek K, Morris J, Prell C,

Quinn CH, dan Stringer LC. 2009. Who‟s in and why? A typology of

stakeholder analysis methods for natural resource management.

Journal of Environmental Management 90: 1933–1949

Riau post. Harga TBS Riau. [26 Mei 2012]

Richard AB dan Stewart CM. 1999. Principle of Corporate Finance. The

McGrow-Hill Companies, Inc.

Ruitenbeek JH. 1992. Mangrove Management: An Economic Analysis of

Management Options with Focus on Bintuni Bay, Irian Jaya. EMDI.

Environemntal Report. No. 8.

[RSPO] Roundtable on Sustainable Palm Oil. 2012a. Laporan perdana RSPO

menunjukkan kenaikan pesat minyak sawit lestari bersertifikasi RSPO

di tahun 2011. www.rspo.com. Publikasi Maret 2012

Page 156: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

137

[RSPO] Roundtable on Sustainable Palm Oil. 2012b. Indonesia Memimpin

Sebagai Produsen CSPO Bersertifikat RSPO terbesar di dunia.

Www.rspo.com. Publikasi 3 Mei 2012.

Pahan I. 2010. Kelapa Sawit. Jakarta : Trubus

Schouten G, Galsbergen P. 2011. Creating legitimacy in global private

governance: The case of the Roundtable on Sustainable Palm Oil.

Jurnal of Ecological Economics. 70:1891-1899.

[SCBD] Secretariat of the Convention on Biological Diversity. 2001. The Value

of Forest Ecosystem. Montreal, SCBD, 67p. (CBD Technical Series

no.4).

Suparmoko M. 2008. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Suatu

Pendekatan Teoritis. Yogyakarta. BPFE-Yogyakarta.

Varvasovszky Z dan Brugha R. 2000. How to do (or not to do) a stakeholder

analysis. Health Policy and Planning 15, 338–345. dalam. Reed et.al.

(2009). Who‟s in and why? A typology of stakeholder analysis

methods for natural resource management. Journal of Environmental

Management 90: 1933–1949

Wiji YU. 2012. Asian Agri Terima Sertifikasi ISCC. Kamis 5 April 2012. www.

Kompas.com. Diakses tanggal 12 Juli 2012.

Wunder S. 2005. Payment for Environmental Services: some Nuts and Bolts.

CIFOR Occasional PaperNo. 42. Centre for International Forestry

Research, Bogor, Indonesia.

[World Growth] World Growth. 2011. Manfaat Minyak kelapa sawit bagi

Perekonomian Indonesia. Jakarta.

Yukl G. 1994. Leadership in Organizations. USA: Prentice-Hall.

Page 157: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

134

LAMPIRAN

Page 158: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

143

Lampiran 1. Nilai guna langsung PT IIS Kebun Buatan

Tipe HCVA

Harga

Lokal

Tertinggi

Harga

Lokal

Terendah

Hasil

Tangkapan,

Buruan,

dan Panen

User

Kuantitas

Ekstraksi/

Tahun

Unit

Valuasi (Rupiah)

Keterangan Tinggi Rendah

Ekosistem Riparian (Sempadan Sungai Kerinci dan Laniago)

Ikan

Ikan Puyu 30.000,00 25.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 2.700.000,00 2.250.000,00 Ekosistem Riparian

(Sempadan Sungai Kerinci

(panjang 3.97 km lebar

sempadan 50 m kanan/kiri

luas 38.39) dan Laniago (lebar

sempadan 15m kanan/kiri 15

km dengan luas 9.31 ha).

Penggunaan air pabrik dan

perumahaan I Rata-rata per

bulan sebesar 44604 m3/bln

(535.242 m3/tahun) dan

pabrik-perumahan II sebanyak

39.388 m3/bln (472.660

m3/tahun). Air sungai sebagai

barang publik tidak memiliki

harga dalam penggunaannya.

Air sungai tersebut akan

bernilai jika pada musim

kemarau.Kab. Pelelalwan

musim kemarau sekitar 3

bulan. Harga air pada musim

kemarau diperoleh dari sewa

mobil tangki kapasitas 15000

liter dengan harga

Rp.300.000-250.000,00, total

penggunaan air selama 3

bulan.

Ikan lele 40.000,00 35.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 3.600.000,00 3.150.000,00

Ikan lais 85.000,00 80.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 7.650.000,00 7.200.000,00

Ikan Gabus 55.000,00 50.000,00 0.50 30 12 kg/ tahun 9.900.000,00 9.000.000,00

Ikan Baung 85.000,00 80.000,00 0.50 30 12 kg/ tahun 15.300.000,00 14.400.000,00

Ikan Sepat 30.000,00 25.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 2.700.000,00 2.250.000,00

Ikan

Lumpung 40.000,00 35.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 3.600.000,00 3.150.000,00

Udang 125.000,00 120.000,00 0.25 30 12 kg/ tahun 11.250.000,00 10.800.000,00

Air (MCK

dan Pabrik)

Pabrik&

Emplasemen

1&2

8.33 10.00,00

1 118.164 Rp/liter/3

bln 1.181.640.000,00 984.306.120,00

Sub total

1.238.340.000,00 1.036.506.120,00

141

Page 159: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

144

1.082.973.060,00

Danau Gadis

(1 ha) 12.372.750,00 1.095.345.810,00

Ikan Gabus 55.000,00 50.000,00 0.50 6 12 kg/ tahun 1.980.000,00 1.800.000,00 Penggunaan air danau untuk

kebutuhan MCK dan minum

terjadi pada saat musim

kemarau sebanyak 100 orang,

dengan asumsi lama kemarau

3 bulan per tahun (90 hari).

Konsumsi air untuk rumah

tangga per hari 150 per hari

jadi total Rp.13.500,00

Ikan Baung 85.000,00 80.000,00 0.50 6 12 kg/ tahun 3.060.000,00 2.880.000,00

Ikan

Lumpung 40.000,00 35.000,00 0.25 6 12 kg/ tahun 720.000,00 630.000,00

Air 8.33,00 10.00,00

100 13.500

Rp/liter,

orang,

liter /hari

13.500.000,00 11.245.500,00

Sub total

19.260.000 16.555.500

Hutan Areal Kebun Inti dan Hutan Sialang (40.60 Ha)

Ikan Puyu 30.000,00 25.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 900.000,00 750.000,00

Ikan lele 40.000,00 35.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 1.200.000,00 1.050.000,00

Ikan lais 85.000,00 80.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 2.550.000,00 2.400.000,00

Ikan Gabus 55.000,00 50.000,00 0.50 10 12.00 rp/kg 3.300.000,00 3.000.000,00

Ikan Baung 85.000,00 80.000,00 0.50 10 12.00 rp/kg 5.100.000,00 4.800.000,00

Ikan Sepat 30.000,00 25.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 900.000,00 750.000,00

Ikan Lumpung 40.000,00 35.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 1.200.000,00 1.050.000,00

Udang 125.000,00 120.000,00 0.25 10 12.00 rp/kg 3.750.000,00 3.600.000,00

Rotan 2.500,00 2.000,00 50.00 4 2.00 tahun 1.000.000,00 800.000,00

Pohon Sialang (pohon Madu)

125.000,00 100.000,00 50.00 5 1.00 Liter

panen/

tahun

31.250.000,00 25.000.000.00,00

Sub total

51.150.000,00 43.200.000,00

Makam Nenek

Moyang (0.66 ha)

1.202.505.810,00 13.367.116,61

107.160.000,00

8.91%

142

Page 160: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

143

Lampiran 2. Cash flow Pilihan Pengelolaan Perkebunan with HCVA+0.35%

No. Items Unit Volume Price (IDR/unit) Estimated value

(IDR/ha) Area (ha) Value (Rp/Siklus)

1 Benefit

a Fresh Bunch Fruit

(FBF)

1 Year-3 ton 6.35 1.179.965,00 7.492.896 ,00 16.405,04 122.921.258.551,00

2 Year-4 ton 11.21 1.318.729,00 14.777.754,00 16.405,04 242.429.651.890,00

3 Year-5 ton 15.41 1.411.583,00 21.750.135,00 16.405,04 356.811.829.443,00

4 Year-6 ton 18.21 1.452.135,00 26.443.140,00 16.405,04 433.800.764.830,00

5 Year-7 ton 22.41 1.507.849,00 33.794.078,00 16.405,04 554.393.204.073,00

6 Year-8 ton 26.98 1.554.793,00 41.944.483,00 16.405,04 688.100.927.320,00

7 Year-9 ton 29.05 1.604.125 ,00 46.604.213,00 16.405,04 764.543.983.628,00

8 Year-10 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00

9 Year-11 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00

10 Year-12 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00

11 Year-13 ton 29.05 1.649.353,00 47.918.203,00 16.405,04 786.100.036.591,00

12 Year-14 ton 26.98 1.649.353,00 44.495.474,00 16.405,04 729.950.033.977,00

13 Year-15 ton 26.46 1.649.353,00 43.639.792,00 16.405,04 715.912.533.324,00

14 Year-16 ton 24.38 1.649.353,00 40.217.063,00 16.405,04 659.762.530.710,00

15 Year-17 ton 22.83 1.649.353,00 37.650.017,00 16.405,04 617.650.028.750,00

16 Year-18 ton 21.79 1.649.353,00 35.938.652,00 16.405,04 589.575.027.443,00

17 Year-19 ton 20.75 1.649.353,00 34.227.288,00 16.405,04 561.500.026.136,00

18 Year-20 ton 19.71 1.649.353,00 32.515.923,00 16.405,04 533.425.024.829,00

19 Year-21 ton 18.68 1.649.353,00 30.804.559,00 16.405,04 505.350.023.523,00

20 Year-22 ton 17.64 1.649.353,00 29.093.195,00 16.405,04 477.275.022.216,00

21 Year-23 ton 16.60 1.649.353,00 27.381.830,00 16.405,04 449.200.020.909,00

22 Year-24 ton 15.56 1.649.353,00 25.670.466 ,00 16.405,04 421.125.019.602,00

23 Year-25 ton 14.53 1.649.353,00 23.959.101,00 16.405,04 393.050.018.295,00

TOTAL BENEFITS 790.072.872.47,00

TOTAL BENEFIT DF 15% 2.405.365.094.273,00

Page 161: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

144

II COSTS Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area (Ha) Value (Rp/Siklus)

A PLANNING &

INVESTMENTS

1 Feasibility Study Package 1 300.000.000,00 60.000,00 25.020,00 300.000.000,00

2 Permit Package 1 200.000.000,00 40.000,00 25.020,00 200.000.000,00

3 Area boundary

arrangement (5000 Ha) Package 1 300.000.000,00 60.000,00 25.020,00 300.000.000,00

4 Environment Impact

Assessment Package 1 300.000.000,00 60.000,00 25.020,00 300.000.000,00

5 Land acquisition ha 19111 4.000.000,00 4.000.000,00 25.020,00 100.080.000.000 ,00

6 Certification

Assesment Package 1 200.000.000,00 40.000,00 25.020,00 200.000.000,00

B PLANTATION Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area (Ha) Value (Rp/Siklus)

B-1 Planting

1 Seedling ha

4.435.000,00 4.435.000,00 25.020 110.963.700.000,00

2 Land clearing ha

4.764.000,00 4.764.000,00 25.020 119.195.280.000,00

3 Cover Crop (kacangan) ha

2.009.000,00 2.009.000,00 25.020 50.265.180.000,00

4 Planting ha

2.284.000,00 2.284.000,00 25.020 57.145.680.000,00

5 Plant care year-1 ha

6.711.000,00 6.711.000,00 25.020 167.909.220.000,00

6 Plant care year-2 ha

7.147.000,00 7.147.000,00 25.020 178.817.940.000,00

7 Plant care year-3 ha

6.994.000,00 6.994.000,00 25.020 174.989.880.000,00

B-2

Operation &

Maintenance year 4-

25 (employment,

materials,

equipments)

Unit Volume

Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area (Ha) Value (Rp/Siklus)

1 Year-4 ha 16.405,04 8.692.925,00 8.692.925,00 16.405,04 142.607.782.342,00

2 Year-5 ha 16.405,04 8.692.925,00 8.692.925,00 16.405,04 142.607.782.342,00

3 Year-6 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

4 Year-7 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

5 Year-8 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

6 Year-9 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

7 Year-10 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

8 Year-11 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

9 Year-12 ha 16.405,04 9.358.450,00 9.358.450,00 16.405,04 153.525.746.588,00

10 Year-13 ha 16.405,04 7.676.350,00 7.676.350,00 16.405,04 125.930.828.804,00

11 Year-14 ha 16.405,04 7.676.350,00 7.676.350,00 16.405,04 125.930.828.804,00

12 Year-15 ha 16.405,04 7.676.350,00 7.676.350,00 16.405,04 125.930.828.804,00

13 Year-16 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

14 Year-17 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

Page 162: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

145

15 Year-18 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

16 Year-19 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

17 Year-20 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

18 Year-21 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

19 Year-22 ha 16.405,04 6.706.420,00 6.706.420,00 16.405,04 110.019.088.357,00

20 Year-23 ha 16.405,04 5.862.970,00 5.862.970,00 16.405,04 96.182.257.369,00

21 Year-24 ha 16.405,04 5.862.970,00 5.862.970,00 16.405,04 96.182.257.369,00

22 Year-25 ha 16.405,04 5.862.970,00 5.862.970,00 16.405,04 96.182.257.369,00

C. INFRASTRUCTURE Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha) Area (Ha) Value (Rp/Siklus)

C-1 ROADS

1 Road construction

(year-0) Ha 25.020 1.896.000,00 9.487.584,00 25.020 47.437.920.000,00

2 Road improvement

(year-3,13,23) Ha 25.020 1.856.000,00 9.287.424,00 25.020 139.311.360.000,00

3 Road maintenance Ha 25.020 189.600,00 189.600,00 25.020 118.594.800.000,00

D BRIDGES Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha) Area (Ha) Value (Rp/Siklus)

1 Permanent bridge 12 m Unit 2 150.000.000,00 60.000,00 2 300.000.000,00

2 Permanent bridge 6 m Unit 4 71.000.000,00 56.800,00 4 284.000.000,00

3 Permanent bridge 4 m Unit 55 55.000.000,00 605.000,00 55 3.025.000.000,00

4 Water tunnel @160 cm Unit 60 12.500.000,00 150.000,00 60 750.000.000,00

5 Water tunnel @100 cm Unit 60 6.500.000,00 78.000,00 60 390.000.000,00

6 Water tunnel @80 cm Unit 60 5.750.000,00 69.000,00 60 345.000.000,00

E BUILDINGS Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha) Area (Ha)

1 Farm office Unit 1 200.000.000,00 40.000,00 1 200.000.000,00

2 Division office Unit 6 150.000.000,00 180.000,00 6 900.000.000,00

3 Division warehouse Unit 6 150.000.000,00 180.000,00 6 900.000.000,00

4 Health clinic Unit 1 75.000.000,00 15.000,00 1 75.000.000,00

5 Mosque Unit 6 100.000.000,00 120.000,00 6 600.000.000,00

6 Security checkpoint Unit 7 10.000.000,00 14.000,00 7 70.000.000,00

7 Kindergarten Unit 1 75.000.000,00 15.000,00 1 75.000.000,00

8 Elementary school Unit 1 125.000.000,00 25.000,00 1 125.000.000,00

9 Fasilitas olah raga Unit 1 75.000.000,00 15.000,00 1 75.000.000,00

10 Sport facilities Unit 6 75.000.000,00 90.000,00 6 450.000.000,00

Page 163: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

146

F HOUSING Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area

(Ha) Value (Rp)

Staff housing

1 Manager Unit 1 180.000.000,00 36.000,00 1 180.000.000,00

2 Administration head Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00

3 Factory head Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00

5 Plantation assistant Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00

6 Farm assistant Unit 6 120.000.000,00 144.000,00 6 720.000.000,00

7 Plant assistant Unit 3 120.000.000,00 72.000,00 3 360.000.000 ,00

8 Environment Asistant Unit 1 120.000.000,00 24.000,00 1 120.000.000,00

Labour housing

1 Supervisor Unit 8 60.000.000,00 96.000,00 8 480.000.000,00

2 Supervisor assistant Unit 25 90.000.000,00 450.000,00 25 2.250.000.000,00

G HARVESTING &

TRANSPORTATION Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area

(Ha) Value (Rp)

1 Year-3 ton 6.35 125.000,00 793.762,00 16.405,04 13.021.700.757,00

2 Year-4 ton 11.21 125.000,00 1.400.757,00 16.405,04 22.979.471.924,00

3 Year-5 ton 15.41 125.000,00 1.926.041,00 16.405,04 31.596.773.895,00

4 Year-6 ton 18.21 125.000,00 2.276.230,00 16.405,04 37.341.641.876,00

5 Year-7 ton 22.41 125.000,00 2.801.514,00 16.405,04 45.958.943.848,00

6 Year-8 ton 26.98 125.000,00 3.372.192,00 16.405,04 55.320.950.928,00

7 Year-9 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00

8 Year-10 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00

9 Year-11 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00

10 Year-12 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00

11 Year-13 ton 29.05 125.000,00 3.631.592,00 16.405,04 59.576.408.691,00

12 Year-14 ton 26.98 125.000,00 3.372.192,00 16.405,04 55.320.950.928,00

13 Year-15 ton 26.46 125.000,00 3.307.343,00 16.405,04 54.257.086.487,00

14 Year-16 ton 24.38 125.000,00 3.047.943,00 16.405,04 50.001.628.723,00

15 Year-17 ton 22.83 125.000,00 2.853.394,00 16.405,04 46.810.035.400,00

16 Year-18 ton 21.79 125.000,00 2.723.694,00 16.405,04 44.682.306.519,00

17 Year-19 ton 20.75 125.000,00 2.593.994,00 16.405,04 42.554.577.637,00

18 Year-20 ton 19.71 125.000,00 2.464.294,00 16.405,04 40.426.848.755,00

19 Year-21 ton 18.68 125.000,00 2.334.595,00 16.405,04 38.299.119.873,00

20 Year-22 ton 17.64 125.000,00 2.204.895,00 16.405,04 36.171.390.991,00

21 Year-23 ton 16.60 125.000,00 2.075.195,00 16.405,04 34.043.662.109,00

22 Year-24 ton 15.56 125.000,00 1.945.496,00 16.405,04 1.915.933.228,00

23 Year-25 ton 14.53 125.000,00 1.815.796,00 16.405,04 29.788.204.346,00

Page 164: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

147

H SALARY Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area

(Ha) Value (Rp)

1 Manager person 1 180.000.000,00 36.000,00 25.020 4.500.000.000,00

2 Assistant person 11 528.000.000,00 105.600,00 25.020 13.200.000.000,00

3 Administration head person 1 48.000.000,00 9.600,00 25.020 1.200.000.000,00

4 Officer person 30 900.000.000,00 180.000,00 25.020 22.500.000.000,00

5 Supervisor person 25 340.374.000,00 68.075,00 25.020 8.509.350.000,00

6 Technician person 50 680.748.000,00 136.150,00 25.020 17.018.700.000,00

7 Labour person 260 2.359.905.600,00 471.981,00 25.020 58.997.640.000,00

I

CORPORATE

SOCIAL

RESPONSIBILITY

Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area

(Ha) Value (Rp)

CORPORATE

SOCIAL

RESPONSIBILITY

package 1 100.000.000,00 20.000,00 25.020 2.500.000.000,00

J HCVA Unit Volume Price (IDR/unit)

Estimated

value

(IDR/ha)

Area

(Ha) Value (Rp)

J-1 HCVA assessment package 1 200.000.000,00 20.000,00 10.000 200.000.000 ,00

J-2 Biaya Pengelolaan

(Year-0) package 1 354.750.000,00 325.653,00 1.089 354.750.000,00

J-3

Biaya Pengelolaan dan

Pemantauan (year-1 s.d

Year-25)

package 1 361.000.000,00 153.302,00 1.089 9.025.000.000 ,00

TOTAL COSTS

5.221.792.339.496,00

TOTAL COST AT

DF 15% 1.741.559.248.797,00

EBITDA 7.739.184.736.309,00

ROI 148.20%

NET PRESENT

VALUE AT DF 15% 664.005.845.480,00

Page 165: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

148

25 Years Period Sensitivity (%)

NPV 663.805.845.476,00 IDR 663.805.845,00

TOTAL BENEFIT

25 YEARS DF 15% 2.405.365.094.273,00 IDR 1.738.670.940.797,00

TOTAL COST 25

YEARS DF 15% 1.741.559.248.797,00 IDR 1.738.670.941,00

BCR 1.38

IRR 43.20%

SENSITIVITY

ANALYSIS

Decreasing

Price 10%

Sensitivity

(%)

NPV 423.269.336.049,00 IDR 36%

TOTAL BENEFIT

25 YEARS DF 15% 2.164.828.584.845,00 IDR

TOTAL COST 25

YEARS DF 15% 1.741.559.248.797,00 IDR

BCR 1.24 10%

Increasing

Costs 10%

NPV 489.649.920.597,00 IDR 26%

TOTAL BENEFIT

25 YEARS DF 15% 2.405.365.094.273,00 IDR

TOTAL COST 25

YEARS DF 15% 1.915.715.173.676,00 IDR

BCR 1.26 9%

Page 166: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

149

Lampiran 3. Kuesioner Penelitian

Dampak Ekonomi

Pengelolaan High Conservation Value Area (HCVA)

di Perkebunan Kelapa Sawit

Dalam rangka Penyusunan Tesis

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Valuasi Nilai Keberadaan High Conservation Value Area (HCVA) Kawasan

BernilaiKonservasi Tinggi (KBKT)di Perkebunan Kelapa Sawit

RENCANA PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN

BIODIVERSITAS DI KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

Konsep HCV pada awalnya didisain dan diaplikasikan untuk pengelolaan hutan

produksi (‘areal HPH’ dalam instilah Bahasa Indonesia), dengan cepat konsep ini menjadi

populer dan digunakan dalam berbagai konteks yang lain. Di sektor publik,HCV

digunakan dalam perencanaan pada tingkat nasional dan propinsi, antara lain di negara-

negara seperti Bolivia, Bulgaria dan Indonesia. HCV Area atau Kawasan Bernilai

Konservasi Tinggi (KBKT) merupakan pengejawantahan implementasi prinsip ke-5 dan

ke-7 dari RSPO. HCV dalam ISPO terkait dengan prinsip ke-3 poin ke 3.4-3.7. HCVA

memiliki nilai manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan yang mendukung kesejahteraan

masyarakat. Manfaat dari keberadaan HCVA dalam areal perkebunan kelapa sawit jarang

sekali dilakukan valuasi terkait berapa nilai ekonominya?

Di sektor sumber dayaterbaharui, HCV digunakan sebagai alat perencanaan untuk

meminimalisasi dampak-dampak ekologi dan sosial yang negatif dalam pembangunan

perkebunan. Sebagai contoh, kriteria kelapa sawit yang terbaharui yang digunakan oleh

organisasi multipihak Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) mensyaratkan bahwa

untuk mendapatkan sertifikasi pengelolaan yang keberlanjutan dari RSPO, pembangunan

perkebunan baru harus menghindari konversi kawasan yang diperlukan untuk mengelola

HCV yang ada. Begitu juga dengan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) mensyaratkan

kajian HCV untuk proses sertifikasinya.

Di sektor swasta, penggunaan konsep HCV menunjukkan komitmen perusahaan

untuk melakukan praktek terbaik (practice) yang seringkali melebihi daripada apa yang

disyaratkan oleh peraturan atau undang-undang, dan sekaligus memberikan jalan bagi

perusahaan untuk menunjukan diri sebagai warga dunia usaha swasta yang bertanggung-

jawab. Di sektor pemerintahan HCV merupakan alat yang dapat digunakan untuk

mencapai perencanaan tata-guna lahan yang menjaga keberlanjutan fungsí dan manfaat

biologi, sosial, dan ekologis yang tidak terpisahkan berada pada alam. Di sektor keuangan,

penilaian HCV merupakan cara yang memungkinkan pihak penanam modal komersil yang

progresif untuk menghindari praktek pemberian pinjaman yang mendukung perusakan

lingkungan hidup ataupun ketimpangan sosial ekonomi.

Page 167: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

150

SKENARIO

RENCANA PROGRAM PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN KEBERADAAN

BIODIVERSITAS DI KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI DI PERKEBUNAN

KELAPA SAWIT

Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian RI mendorong upaya pembangunan

perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Perusahaan perkebunan kelapa sawit diharuskan untuk

melakukan pengelolaan dan pelestarian kawasan yang bernilai konservasi tinggi sebagai salah satu

komitmen perusahaan untuk mengembangkan perkebunan sawit yang berkelanjutan. Perkebunan Kelapa

Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil/ISPO) yang selanjutnya disebut ISPO

adalah sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial, dan ramah

lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Begitu juga dengan

organisasi RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) juga mensyaratkan kajian keberadaan kawasan

bernilai konservasi tinggi dan melakukan pengelolaan serta pemantaun secara berkala.Perkebunan

berkomitmen untuk membangun dan mengembangkan kawasan yang bernilai konservasi tinggi sebagai

bentuk upaya pelestarian biodiversitas flora dan fauna serta mewujudkan sebagai good corporate citizen.

Perusahaan bersama dengan stakeholder terkait berencana menjalankan sejumlah program aksi sebagai

upaya kongkrit pelestarian dan perlindungan Biodiversitas (Flora Fauna langka/endemic/dilindungi) di

sejumlah areal perusahaan yang bernilai konservasi tinggi.

Tujuan utama dari program aksi tersebut adalah untuk mengelola kawasan bernilai konservasi

tinggiagar flora fauna yang ada didalamnya terkelola dan terlindungi dengan baik serta ekosistem

kawasan tersebut tetap mengalirkan barang dan jasa yang dapat mendukung kehidupan manusia kelak.

Untuk mencapai tujuan tersebut direncanakan ditempuh melalui 4 sub-program, yaitu:

1. Program perlindungan flora fauna dari konversi lahan sawit produktif, perburuan liar maupun

tindakan illegal lain yang diatur dalam Undang-Undang mengenai Konsevasi Sumberdaya Alam

dan peraturan lain yang berkait dengan perlindungan flora dan fauna di Indonesia

2. Perlindungan ekosistem dan habitat flora fauna endemic/langka/dilindungi. Kegiatan ini

mencakup upaya pencegahan kerusakan ekosistem dan habitat alami dari pengaruh aktivitas

manusia, konversi menjadi lahan perkebunan sawit produktif. upaya restorasi habitat yang telah

mengalami kerusakan termsuk di dalamnya adalah restorasi ekosistem yang berpotensi

memilikinilai konservasi tinggi .

3. Penelitian untuk mendukung upaya perlindungan dan pelestarian flora fauna liar yang mencakup

penelitian di bidang teknik restorasi ekosistem dan penangkaran flora fauna

4. Kampaye dan penumbuhan kesadaran lingkungan kepada masyarakat di sekitar perkebunan

kelapa sawit termasuk karyawan di dalamnya untuk tidak memburu atau merusak hutan sebagai

habitat alami flora fauna, penyuluhan kepada masyarakat dan karyawan perusahaan untuk turut

berpartisipasi dalam kegiatan konservasi dan pendidikan lingkungan secara luas.

Kegiatan-kegiatan sebagaimana dijelaskan di atas tentunya memerlukan dana yang tidak sedikit, dan pada

saat ini memang terdapat komitmen dari perusahaan untuk membantu penyediaan dana, alat maupun ahli

dalam medukung kegiatan pengelolaan kawasan tersebut. Namun demikian dana yang berasal dari

perusahaanhanya sebagaian kecil saja dari keseluruhan dana yang diperlukan. Dengan kata lain dana dari

perusahaan perkebunan merupakan dana pendamping atau komplemen dari dana-dana yang harus

disiapkan sendiri oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Berkaitan dengan kebutuhan pendanaan

tersebut dan untuk menjamin keberlanjutan kegiatan sehingga mencapai sasaran target, sangat diharapkan

kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi khususnya melalui donasi keuangan yang dapat disalurkan

langsung kepada institusi yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai pihak penggalang dana kegiatan.

Page 168: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

151

KUISIONER

BAGIAN I:

SIKAP TERHADAP TINDAKAN KONSERVASI DAN PENGETAHUAN MENGENAI

SPESIES LANGKA DAN TERANCAM PUNAH DI LOKASI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

1. Dalam kaitannya dengan spesies yang terancam punah dan langka, spesies manakah

dalam daftar berikut ini yang menurut anda layak mendapatkan prioritas

perlindungan(Silakan isikan pada kolom rangking dengan menuliskan angka 1 untuk

prioritas pertama , angka 2 untuk urutan prioritas kedua dan angka 3 untuk urutan

prioritas ketiga dan seterusnya.

Spesies Prioritas Spesies Prioritas

Beruang Madu

Trenggiling

Burung Rangkong/Enggang

Rusa/Kancil

Ular Phyton

Buaya Sunyolong

Bekantan

Orangutan

Page 169: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

152

Spesies Prioritas Spesies Prioritas

Gajah

Harimau

Spesies Prioritas Spesies Prioritas

Kayu Ulin/Besi

Meranti

Tengkawang

Kantung Semar/periuk monyet

Anggrek Hitam

Anggrek Bulan

Palem

Rafflesia

Gaharu Bengeris (Pohon madu)

Page 170: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

153

2. Apakah anda pernah melihat secara langsung salah satu dari flora fauna di atas di lokasi

perkebunan kelapa sawit?

sudah belum

Dimana anda melihatnya?

3. Menurut anda berapa kira-kira jumlah populasi dari flora/fauna yang anda jumpai di lokasi

perkebunan kelapa sawit?

banyak sedikit tidak tahu

4. Masyarakat dapat memperoleh manfaat dari keberadaan flora fauna di atas tanpa harus

memburunya/mengambilnya, misalnya dari kegiatan wisata alam

betul salah tidak tahu

BAGIAN II:

KESEDIAAN MEMBAYAR UNTUK KAWASAN BERNILAI KONSERVASI TINGGI

DI KAWASAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

1. Apakah Anda setuju apabila dikenakan pungutan sebesar yang dipergunakan untuk

membiayai tindakan perlindungan dan pelestarian flora fauna di perkebunan kelapa sawit?

setuju (menuju pertanyaan No.3) tidak setuju (menuju pertanyaan No.2)

Berapa kesediaan membayar Anda untuk turut berkontribusi?

2. Apa alasan yang melandasi anda untuk tidak setuju terlibat dalam donasi untuk membiayai

tindakan perlindungan dan pelestarian flora dan fauna liar di perkebunan kelapa sawit?

Saya tidak mampu/menjangkau jumlah pembayaran tersebut

Saya berpikir kegiatan perlindungan dan pelestarian flora fauna adalah

sesuatu yang tidak penting dan tidak bernilai

Saya tidak yakin uang yang saya donasikan dipergunakan untuk kegiatan

pelestarian dan perlindungan flora fauna di areal perkebunan kelapa sawit

Saya berpendapat bahwa hanya orang yang mendapat manfaat langsung

dari flora fauna saja yang membayar

Saya berpikir masih ada flora fauna lain yang jauh lebih penting untuk

mendapatkan prioritas perlindungan dan pelestarian

Saya berpendapat bahwa pembayaran tersebut sangat memberatkan orang

miskin

Saya berpendapatan hanya golongan kaya saja yang harus membayar

Saya berpendapatan hanya perusahaan kelapa sawit saja yang harus

membayar

Saya lebih senang mendonasikan uang untuk kegiatan kemanusiaan

dibandingkan untuk upaya pelestarian flora fauna liar di areal perkebunan

kelapa sawit

Alasan lain

Page 171: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

154

Saya tidak mampu/menjangkau jumlah pembayaran tersebut

(sebutkan(..............................................................................................)

3. Apa yang anda pahami mengenai program konservasi flora fauna sehingga anda setuju

untuk berpartisipasi di dalamnya?

Flora fauna endemik/dilindungi/terancam punah merupakan satwa khusus

yang perlu dilindungi

Saya berpikir dengan adanya dana yang terkumpul dari donasi ini menjadi

dana pendamping bagi dana hibah yang berasal dari lembaga donor

internasional dan atau perusahaan kelapa sawit untuk pelestarian flora fauna

endemik/dilindungi/terancam punah

Saya berpendapat, kini adalah saatnya masyarakat Indonesia berbuat nyata

dalam program aksi penyelamatan flora fauna endemik/dilindungi/terancam

punah

Saya berpendapat bahwa inisiatif ini akan menjadi pendorong untuk

meningkatkan upaya-upaya pelestarian yang tidak hanya dilakukan oleh

perkebunan kelapa sawit

Alasan lain

(sebutkan(................................................................................................)

4. Menurut Anda, apakah ancaman terhadap keberadaan flora fauna/kawasan bernilai

kultural/kramat/arkeologis bernilai konservasi tinggi di perkebunan kelapa sawit

sebagaimana digambarkan sebelumnya adalah sesuatu yang nyata?

Ya Tidak

Page 172: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

155

BAGIAN III

DATA RESPONDEN 1. Nama

2. Alamat

3. Umur

4. Jenis Kelamin

5. Status Perkawinan dan status dalam rumah tangga

Menikah Belum Menikah lainnya (................)

Kepala Rumah Tangga Anggota Rumah Tangga

6. Pekerjaan Utama:

PNS/TNI/POLRI

Petani/Nelayan

Usaha sendiri/wiraswasta

Pegawai swasta

Pensiunan

Lainnya (sebutkan(................................................)

7. Pendidikan (isikan pada kolom sebelah kanan lama waktu Anda menempuh

studi,misalnya, Sarjana 4 tahun)

No Jenjang Pendidikan Lama Studi tahun)

1 Pendidikan Dasar (SD)

2 Pendidikan Menengah (SLTP dan

SLTA)

3 Diploma

4 Sarjana

5 Master

6 Doktoral

7 Pendidikan Non Gelar

Total Lama Studi

8. Pendapatan (Rp/bulan)

Lebih dari Rp 5.000.000

Antara Rp 4.000.0000 sampai dengan Rp 5.000.000

Antara Rp 3.000.0000 sampai dengan Rp 4.000.000

Antara Rp 2.000.0000 sampai dengan Rp 3.000.000

Antara Rp 1.000.0000 sampai dengan Rp 2.000.000

Kurang dari Rp 1.000.000

SEKIAN DAN TERIMA KASIH ATAS PARTISIPASI BAPAK/IBU/SAUDARA

...........tahun

Pria Wanita

Page 173: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

156

Dampak Ekonomi Pengelolaan High Conservation Value Area (HCVA)

di Perkebunan Kelapa Sawit

Dalam rangka Penyusunan Tesis

Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Kepada Yth. Bapak/Ibu Responden/Narasumber

Saya bernama Mustaghfirin (Nomor Induk Mahasiswa: H351100081) adalah mahasiswa

pascasarjana Institut Pertanian Bogor tahun periode 2010/2011 akan melakukan penelitian

dalam rangka penyusunan tugas akhir tesis yang berjudul Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan

HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit. Saya bermaksud meminta kesediaan Bapak/Ibu untuk

menjadi responden/narasumber dalam penelitian saya. Selain itu, saya juga mengajukan

permohonan bantuan data dan infomasi yang dapat mendukung pelaksanaan penelitian ini.

Demikian pengantar dari saya atas bantuan dan kerjasama Bapak/Ibu saya ucapkan terimakasih.

Hormat saya,

Mustaghfirin, SPi

Page 174: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

157

Kuesioner

Analisis Biaya Manfaat Pengelolaan HCVA di Perkebunan Kelapa Sawit

PROFIL RESPONDEN A

Identitas Responden User Aliran Barang dan Jasa Ekosistem (HCVA)

1. Nama :

2. Usia / Jenis Kelamin : ……. Tahun ( L / P )

3. Pendidikan Terakhir : 1. SD/MI 2. SLTP/MTs 3. SMA/MA 4. Diploma 5. Sarjana 6. Tidak Sekolah

4. Pekerjaan : a. Petani/nelayan b. karyawan perusahaan c. PNS/TNI/Polri d. perdagangan dan jasa e. buruh

5. Sukubangsa :

6. Pendapatan : a. <1 juta b. 1-2 juta c. c.2-3 juta d. 3-4 juta e. 4-5 juta f .>5 juta

7. Alamat :

Desa…………………………………………………

Kecamatan………………………………………..

Kabupaten………………………………………….

No PERTANYAAN JAWABAN

A. Pemanfaatan Barang dan Jasa Kawasan HCVA

1. Apakah Anda mengetahui keberadaan kawasan/ /areal

yang dikelola/dilindungi perusahaan perkebunan PT…. ?

2. Apakah Anda mendapatkan manfaat (benefits) dari

kawasan yang dikelola/dilindungi di dalam

arealperkebunan PT …….? Jika ya list manfaat potensial.

a. Ya.

1.

2.

3.

b. Tidak. Akhiri pertanyaan.

3. Apa yang Anda lakukan saat masuk ke dalam

kawasan/areal yang dikelola/dilindungidi dalam

perkebunan PT…….tersebut?

a. Mengumpulkan hasil hutan kayu. Isi Tabel 1 d. Melihat pemandangan alam

b. Mengumpulkan hasil hutan bukan kayu (lihat

list tabel HHBK). Isi Tabel I.

e. Ritual/berdoa

c. Bermain/rekreasi f. Menghirup udara segar

4. Untuk tujuan apa anda memanfaatkan barang dan jasa di

kawasan/areal yang dikelola/dilindungi perusahaan PT.

…..?

a. Dijual c. Dijual dan dikonsumsi

b. Konsumsi d. Kebutuhan budaya dan spiritual

157

Page 175: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

158

5. Dimanasaja lokasi anda mengambil manfaat (kayu dan

bukan kayu) dari kawasan/areal yang dikelola/dilindungi

PT…..?

: 1.

2.

3.

6. Apakah Anda diizinkan/diperbolehkan oleh perusahaan

PT…. untuk mengambil barang dan jasa dari

kawasan/areal yang dikelola/dilindungi (KBKT/HCVA?

7. Apa aktivitas/pekerjaan lain selain dari mengambil

manfaaat barang dan jasa dari dari kawasan/areal yang

dikelola/dilindungi (KBKT/HCVA)?

a. Ya. Sebutkan b. Tidak

Tabel 1. Jenis tipe apa hasil hutan yang bapak/ibu kumpulkan?

Tipe Asal Lokasi

pengumpulan

Jarak dari

Desa

Jumlah Trip/Perjalanan Jumlah hari

per trip

Quantity/Trip Harga/unit % peningkatan

atau penuruan Bulan Musim Tahun Amount Unit

Kayu (bangunan

umah)

Lainnya

(spesifikasi)

Fuelwood

Rumput ternak

Bambu

Rotan

Sagu

Jamur

Madu

Sayuran hutan

Buah-buahan

hutan

Obat herbal

(tanaman obat)

Tanamaan untuk

upacara dan lain

Ikan

Rusa/Kijang

158

Page 176: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

159

PANDUAN WAWANCARA

A. Manfaat apa saja yang diterima perusahaan (kompensasi) dalam

pengelolaan HCVA?

B. Pengetahuan tentang nilai EKonomi HCVA?

Masalah :

Tantangan:

Manfaat valuasi:

C. Masalah dan kendala dalam pengelolaan HCVA serta tantangan

kedepannya?

D. Kebutuhan dalam pengelolaan HCVA?

E. Efektivitas pengelolaan HCVA

Biaya: a) <50 USD/ha; b) 50-100 USD; 3) >100 USD/ha. Apakah

perusahaan tidak ada masalah dengan biaya pengelolaan HCVA?

Menurut perusahaan anda biaya pengelolaan HCV yang memberikan

efektivitas yang baik?

Waktu: a) sejak mulai pembukaan lahan dan sepanjang siklus sawit; b)

sejak tanaman menghasilkan tanaman; c) sejak tanaman muda (4-7 tahun);

d) sejak tanaman remaja (8-14 th); d) sejak tanaman tua (>14 th);

Menurut perusahaan anda waktu pengelolaan HCV yang memberikan

efektivitas yang baik?

Luasan: a. <5% izin lokasi/areal (kecil); b. 5-10% (sedang); c. >10%

besar)

Menurut perusahaan anda luasan pengelolaan HCV yang memberikan

efektivitas yang baik?

Fungsi dan Jasa Ekosistem: a) aliran fungsi dan jasa ekosistem hutan; b)

sempadan sungai; c) kawasan yang berfungsi sebagai pemenuhan

kebutuhan pokok; d) kawasan yang memiliki nilai budaya, etnisitas dan

arkeologis yang tinggi

Menurut perusahaan fungsi keberadaan HCVA yang memberikan

efektivitas dan optimal?

Ekonomidan Pengelolaan High Conservation Value Area(HCVA)

di Perkebunan Kelapa Sawit

Page 177: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

160

F. Model pengelolaan HCVA:

a. Divergen

Alasan:

b. Konvergen

Alasan

Bagaimana model pengelolaan HCVA yang optimal dan efisien?

G. Bagaimana praktek terbaik manajemen pengelolaan HCVA?

H. Bagaimana Monitoring dan Evalutaion (Monev) HCVA yang efektif

dan optimal dna siapa yang seharusnya melakukan Monev HCVA?

TERIMAKASIH

Page 178: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

161

Analisis Stakeholder

Pengelolaan HCVA Dalam Rangka Mewujudkan Pembangunan

Perkebunan KelapaSawit Berkelanjutan

1. Bagaimana persepsi Bapak/Ibu terkait pengelolaan HCVA di perkebunan kelapa

sawit?

2. Berikan penilaian Bapak/Ibu terkait tujuan pengelolaan HCVA di perkebunan

kelapa sawit?

Tabel Persepsi terhadap tujuan pengelolaan HCVA

N

o Stakeholders

Tujuan

Minimalisasi

dampak

ekologi dan

social

negatif

Kawasan

Konser-

vasi

Tinggi

Pencitraan

Korporasi bahwa

Perusahaan peduli

terhadap masalah

lingkungan hidup,

yang menyangkut

bidang

Konservasi

Menjaga dan

meningkatkan

Kesejateraan

masyarakat

local dan atau

luas

Sebagai

Rencana

kelola

social

1. Perusahaan

kelapasawit

2. Komisi Sawit

Indonesia

3. GAPKI

4. Sawit Watch

5. KUD Kebun

Plasma

6. Puslit Perkebunan

Kementan

Penilaian: + :rendah; ++ : sedang, +++ : tinggi

3. Berdasarkan hasil identifikasi stakeholder yang terkait pengelolaan HCVA,

berikan Penilaian Bapak/Ibu terkait Tingkat Kekuatan (Power), Kepentingan

(Interest), dan Pengaruh (Influence) dengan menggunakan indicator penilaian di

bawah ini?

Petunjuk penilaian menggunakan Skala linkert;

5 = sangatkuat; 4 = kuat; 3 = sedang; 2= lemah; dan1 = sangatlemah.

Page 179: PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI · Conservation Value Areas (HCVA) di Perkebunan Kelapa Sawit (Studi Kasus PT. Inti Indosawit Subur Kebun Buatan, Provinsi Riau) ad

162

Tabel Penilaian Tingkat Pengaruh Stakeholder

No Stakeholders P1 P2 P3 P4 P5 Nilai

1. Perusahaan kelapa sawit

2. Komisi Sawit Indonesia

3. GAPKI

4. Sawit Watch

5. KUD Kebun Plasma

6. Puslit Perkebunan Kementan

Keterangan : P1 = Tingkat keterlibatan

P2 = Peran/kontribusi dalam pembuatan keputusan

P3 = Hubungan dengan stakeholder lain

P4 = Dukungan SDM

P5 = Dukungan finansial

Tabel Penilaian Tingkat Kepentingan Stakeholder

No Stakeholders K1 K2 K3 K4 K5 Nilai

1. Perusahaan kelapasawit

2. Komisi Sawit Indonesia

3. GAPKI

4. Sawit Watch

5. KUD Kebun Plasma

6. Puslit Perkebunan Kementan

Keterangan : K1 = perkebunan kelapa sawit berkelanjutan (profit, planet, dan people)

K2 = pemenuhan persyaratan sertifikasi perkebunan kelapa sawit

berkelanjutan

K3 = motivasi keterlibatan

K4 = bentuk dukungan

k5 = keuntungan yang diharapkan

4. Bagaimana pendapat bapak terkait Strategi pengelolaan HCVA yang baik dan

benar?

5. Apa harapan bapak terkait pengelolaan .