perkembangan struktur ruang dan identitas kota surakarta

20
Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta Tahun 1745-1945 Della Ananto Kusumo, Widyawati, Maria Hedwig Dewi Susilowati Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424 [email protected] Abstrak Penelitian ini berusaha mengupas tentang faktor yang menentukan perkembangan struktur ruang Kota Surakarta serta perubahan identitas kota setelah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Metode penelitian dilakukan dengan oral history dan studi pendekatan kearsipan, baik arsip primer, arsip sekunder maupun arsip fisik. Temuan penting dari penelitian ini yaitu faktor yang menentukan struktur ruang Kota Surakarta pada awalnya adalah kosmologi budaya. Namun pada fase selanjutnya adalah faktor politik dan geostrategis memegang peranan penting dalam merubah struktur ruang kota. Kemudian kepentingan ekonomilah yang menentukan struktur ruang Kota Surakarta. Sedangkan temuan utama dalam penelitian ini adalah pada fase stuktur kota tua, identitas Kota Surakarta pada awal berdirinya berupa kampung kecil lokasi perpindahan keraton yang melayani kerajaan induknya. Kota berkembang menjadi kota tepian sungai. Kemudian pada fase stuktur kota Indish, Surakarta berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan, kota mulai bergeser menjadi kota daratan. Kota Surakarta berubah fungsi menjadi kota pusat pemerintahan dan pertahanan. Setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas, kota mulai meninggalkan hiruk-pikuk lalu lintas Bengawan Solo dan berganti ke lalu lintas daratan. Peran pusat perdagangan diambil alih oleh pasar yang berada di tengah pusat pemerintahan. Morfologi pusat Kota Surakarta menjadi lebih kompak dan (luasannya) menyempit. Kata Kunci : faktor pengaruh; struktur ruang; identitas kota; fungsi kota Abstract This research is seeking factors that affect evolution process of urban structure of Surakarta also the changing of city identity from time to time. Research methods are oral history and archives approaching study, which consists of primary archives or physical archives. Important finding from this research is cultural cosmology as the main factor to determine the urban structure of Surakarta. However on the next phase, politics factor and geostrategic hold important role on changing the urban structure of Surakarta. At last economics factor also specify the urban structure of Surakarta. The main finding from this research is the old city phase of Surakarta‟s urban structure, which identify as Surakarta in early establishment. Old city phase was a small village that became keraton (palace) who served the main palace. The city evolve became riverbank city. On the phase of Indish city, Surakarta evolved from mixed city between land and water oriented became land oriented city. Surakarta changed the city function became a political capital and military city. With the new technologies for transportation and utility, the city left the bustle traffic of Bengawan Solo and changed into inland transportation. Role of the trade centre was taken over by the market in the middle of the central government. Surakarta‟s central morphology becomes (its range) narrows and more compact. Keywords : influence factor; space structur; city identity; city function Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Upload: others

Post on 04-Nov-2021

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Tahun 1745-1945

Della Ananto Kusumo, Widyawati, Maria Hedwig Dewi Susilowati

Departemen Geografi, FMIPA UI, Kampus UI Depok 16424

[email protected]

Abstrak

Penelitian ini berusaha mengupas tentang faktor yang menentukan perkembangan struktur ruang Kota Surakarta

serta perubahan identitas kota setelah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Metode penelitian dilakukan

dengan oral history dan studi pendekatan kearsipan, baik arsip primer, arsip sekunder maupun arsip fisik.

Temuan penting dari penelitian ini yaitu faktor yang menentukan struktur ruang Kota Surakarta pada awalnya

adalah kosmologi budaya. Namun pada fase selanjutnya adalah faktor politik dan geostrategis memegang

peranan penting dalam merubah struktur ruang kota. Kemudian kepentingan ekonomilah yang menentukan

struktur ruang Kota Surakarta. Sedangkan temuan utama dalam penelitian ini adalah pada fase stuktur kota tua,

identitas Kota Surakarta pada awal berdirinya berupa kampung kecil lokasi perpindahan keraton yang melayani

kerajaan induknya. Kota berkembang menjadi kota tepian sungai. Kemudian pada fase stuktur kota Indish,

Surakarta berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan, kota mulai bergeser menjadi

kota daratan. Kota Surakarta berubah fungsi menjadi kota pusat pemerintahan dan pertahanan. Setelah dibangun

teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas, kota mulai meninggalkan hiruk-pikuk lalu lintas Bengawan

Solo dan berganti ke lalu lintas daratan. Peran pusat perdagangan diambil alih oleh pasar yang berada di tengah

pusat pemerintahan. Morfologi pusat Kota Surakarta menjadi lebih kompak dan (luasannya) menyempit.

Kata Kunci : faktor pengaruh; struktur ruang; identitas kota; fungsi kota

Abstract

This research is seeking factors that affect evolution process of urban structure of Surakarta also the changing of

city identity from time to time. Research methods are oral history and archives approaching study, which

consists of primary archives or physical archives. Important finding from this research is cultural cosmology as

the main factor to determine the urban structure of Surakarta. However on the next phase, politics factor and

geostrategic hold important role on changing the urban structure of Surakarta. At last economics factor also

specify the urban structure of Surakarta. The main finding from this research is the old city phase of Surakarta‟s

urban structure, which identify as Surakarta in early establishment. Old city phase was a small village that

became keraton (palace) who served the main palace. The city evolve became riverbank city. On the phase of

Indish city, Surakarta evolved from mixed city between land and water oriented became land oriented city.

Surakarta changed the city function became a political capital and military city. With the new technologies for

transportation and utility, the city left the bustle traffic of Bengawan Solo and changed into inland transportation.

Role of the trade centre was taken over by the market in the middle of the central government. Surakarta‟s

central morphology becomes (its range) narrows and more compact.

Keywords : influence factor; space structur; city identity; city function

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 2: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

PENDAHULUAN

Wujud perkembangan struktur ruang kota merupakan jejak peradaban yang ditampilkan

sepanjang sejarah kota sebagaimana perwujudan proses yang panjang, identias tidak bisa

diciptakan seketika saja, jadi perwujudan struktur suatu kota merupakan akumulasi dan

kompleksitas dari berbagai kegiatan masyarakat terkait ekonomi, sosial, budaya dan politik

masyarakat.

Proses terjadinya pergeseran budaya yang berdampak terhadap perubahan identitas kota

menuju identitas kota baru. Perubahan yang dihasilkan dari aplikasi modernisasi yang

diterapkan dalam ruang kota mulai bergulir sejak awal abad ke-20. Tipologi yang khas tiap

kota mencerminkan adanya nilai-nilai yang tersimpan dalam setiap sudut ruang kita di

Indonesia. Misalnya konsep kota tradisional Surakarta merupakan konsep kota yang berasal

dari peradaban agraris yang bersifat tertutup. Kota berada pada suatu sistem legitimasi agama

seorang raja sehingga simbol-simbol kota ditampakkan dalam bangunan-bangunan keagaman

maupun acara-acara yang bersifat tradisi (Wiryomartono, 1995). Kemudian, terjadi sebuah

pergeseran ketika kota mulai berkembang menjadi kota dagang pada zaman pra-kolonial.

Kota tidak dibangun berdasarkan kebersamaan sebuah sistem nilai melainkan merupakan

semacam konfederasi dari kelompok-kelompok sosio-kultural (McGee, 1967). Kota menjadi

lebih heterogen dan kota semakin bersifat terbuka ketika terus bergeser menurut prinsip kota

modern.

Untuk itu penelitian ini didasarkan atas dasar teori Lynch (1960) yang menyatakan bahwa

image kota adalah hasil dari suatu kesan pengamatan dari masyarakat terhadap unsur-unsur

yang nyata (struktur ruang dan bangunan) dan tidak nyata (identitas dan citra kota). Didalam

pengamatannya ada lima unsur penyusun elemen-elemen struktur ruang dan identitas kota

yaitu jalur (path), batas (edge), kawasan (district), simpul (nodes), dan tetenger (landmark).

Pada periode pra kerajaan konsep atau pola struktur ruang kota yang berkembang adalah

kosmologi Jawa dengan pola mancapat, selanjutnya setelah kerajaan ada konsep Kuthagara,

kemudian dengan adanya intervensi tata kota kolonial yang khas, pembangunan kota

Surakarta diatur dengan garis-garis tegas menjadi konsep grid atau rectilinear (Zaida, 2009).

Meski dalam kurun waktu tersebut secara politik kekuasaan raja banyak dicampuri oleh

pemerintah Hindia Belanda, namun pada periode itulah identitas Surakarta sebagai kota

kerajaan tradisional yang kental dengan nuansa budaya Jawa mulai terbentuk. Periode dimana

dalam histografi Indonesia, kota-kota di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti

(Mulyasari dalam Margana, 2010).

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 3: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Kota

Northam (dalam Yunus, 2000) mengatakan bahwa seiring dengan semakin meningkatnya

jumlah penduduk perkotaan, tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek ekonomi, sosial,

budaya, politik dan teknologi akan meningkat, yang mengakibatkan meningkatnya kebutuhan

akan ruang perkotaan. Ketersediaan ruang tetap dan terbatas, maka meningkatnya kebutuhan

ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi akan mengambil ruang di daerah

pinggiran kota (fringe area).

Kota selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, menyangkut aspek-aspek politik,

sosial, budaya, ekonomi dan fisik, seluruh aspek perkembangan tersebut akan terlihat

langsung pada perkembangan fisik ruang yang berkaitan dengan penggunaan lahan kota,

khususnya perubahan arealnya. Perubahan penggunaan lahan kekotaan menurut Chapin

(1979) pada dasamya berkaitan dengan sistem aktivitas antara manusia dengan institusi yaitu

masyarakat (individu dan rumah tangga), swasta dan lembaga pemerintah yang masing-

masing berbeda-beda dalam kepentingannya. Bintarto (1986) menyatakan bahwa proses

perkembangan kota tergantung pada kondisi alam dan sumber daya binaan yang ada di

daerah kota dan sekitarnya yang membawa implikasi terhadap perubahan peruntukan guna

lahan, baik struktur maupun polanya.

Stuktur Ruang Kota

Pola penggunaan lahan kota-kota di Indonesia tidak seragam. Pulau Jawa, pola penggunaan

lahan di pusat perkotaan dilengkapi dengan tanah lapang atau alun-alun yang dikelilingi

berbagai bangunan penting (Jayadinata, 1992). Antara tahun 1800-1900, Belanda ingin

membentuk image kolonial pada kota-kota di Indonesia terutama kota-kota di Jawa. Alun-

alun sebagai pusat kota di Jawa (baik kota pesisir atau kota pedalaman) dipakai untuk

mendukung tujuan kolonial sebagai pusat kekuasaan administrasi Kolonial Belanda sebagai

pusat pemerintahan administrasi dan untuk kepentingan ekonomi yaitu tujuan produksi dan

kontrol. Sarana dan prasarana yang ada disekeliling alun-alun seperti bangunan kantor

kabupaten, masjid, gereja, penjara dan pasar.

Berikut beberapa model struktur ruang kota:

1. Kota Tua

Rencana kota yang asli dikenal dengan mudah dalam tata keraton Jawa lama, ada

alun-alun di pusat kota dengan bangunan-bangunan paling penting yang diatur

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 4: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

sekelilingnya menurut cara tradisional, menurut empat arah mata angin. Jalan utama

melintas satu sama lain dalam sudut lurus.

Penjelasan lebih rinci tentang struktur kota Jawa pada jaman prakolonial diberikan oleh

Santoso (1981).

Gambar 2.1 Konsep Ruang Kosmologi Jawa

Sumber: Santoso (1981)

Keterangan:

1. Sultan, Pusat kuasa, bisa diibaratkan sebagai dalem Sultan dan di mana pusaka

kerajaan disimpan.

2. Batas Benteng Keraton, di mana di dalamnya juga terdapat permukiman keluarga

Sultan (royal compound), pembantu, serta prajurit pengawal

3. “Nagara” atau “Kutagara” sama dengan ibukota, di mana pusat administrasi dan

pemerintahan terdapat di sana. Permukiman para pejabat istana (priyayi) yang berbentuk

“compound” serta Kepatihan dan permukiman orang asing (Belanda, Cina), juga terdapat

di sana.

4. “Narawita Dalem”, tanah pertanian di bawah kekuasaan langsung Sultan, di mana

semua kebutuhan keraton akan palawija, sayur-mayur, rumput untuk kuda keraton, dan

sebagainya berasal dari sana.

5. “Naragung atau negaragung”, di mana tanah lungguh (apanage) dari pejabat istana

terletak.

6. “Mancanegara”, di bawah kekuasaan beberapa Bupati. Daerah pesisir, termasuk

daerah Mancanegara.

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 5: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Gambar 2.2. Penerapan Pola mancapat dalam konsep Kuthagara

Sumber: Zaida (2009)

Menurut Soemardjan (dalam Santoso, 2008), konsep ruang negara Jawa Mataram

berbentuk suatu sistem lingkaran dengan empat radius berbeda yang disusun secara

hierarkis.

Secara keseluruhan, Soemarjdan (dalam Santoso, 2008) menganggap keraton sebagai

padanan keruangan dari sultan, sekaligus sebagai kedudukan administrasi dalam

parentah jero. Dengan demikian keraton mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi sakral

sebagai tempat kediaman sultan dan fungsi profan sebagai kedudukan parentah jero.

Berbeda dengan pendapat tersebut, Santoso (2008) menganggap yang dimaksud dengan

istilah “pusat” atau “sumbu kerajaan” adalah pusat ruang kosmis yang abstrak, yang

ruang-dalamnya dilambangkan oleh berbagai benda sakti milik negara atau biasa disebut

pusaka negara. Dari kesaktian benda pusaka tersebutlah, pemiliknya, Sultan maupun

Sunan memperoleh kekuatan kosmis yang dibutuhkannya untuk memerintah.

Prinsip penataan ruang yang diterapkan dalam Negara Jawa dapat dilihat dengan cara

lain, yaitu sebagai dua sistem hierarkis yang saling tumpang tindih (Santoso, 2008).

Sistem lingkaran pertama menunjukkan hierarki keruangan sakral yang terdiri dari tiga

wilayah sakral yaitu dalem sebagai pusat, batas kompleks keraton di dalam beteng serta

batas negaragung. Sistem lingkaran yang kedua juga terdiri dari tiga garis sempadan

yang menunjukkan hierarki keruangan duniawi yang profan; batas kompleks keraton,

batas negara, serta batas mancanegara yang mengikuti batas keseluruhan wilayah

kerajaan.

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 6: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

2. Kota kolonial

Kota kolonial adalah permukiman yang dibentuk oleh bangsa Eropa di dunia ketiga

dengan fungsi utama sebagai pusat kegiatan komersial dan sosial budaya campuran.

Deskripsi Wertheim (1953) tentang kota kolonial sebagai berikut:

“Pusat Pemerintahan adalah istana Gubernur Jendral dan bukan Balaikota. Administrasi

tidak demokratis. Berbagai kebangsaan tinggal berkelompok di bawah pimpinan mereka

sendiri. Gaya seragam dari penduduk Cina cenderung mendekati gaya bangunan

Belanda. Bagian penduduk yang cukup besar adalah budak.”

Struktur Kota Kolonial menurut Sandy (1977) adalah terdiri dari alun-alun, pusat usaha

(perdagangan), perumahan baik (gedongan), perkampungan kumuh (slum) dan bagian

kota yang masih bersifat pedesaan. Terdapat bagian kota yang terencana dengan baik

lengkap dengan sarana pokoknya dan bagian kota yang tidak terencana dengan baik.

Struktur kota kolonial menurut Sandy (1977) mempunyai skema sebagai berikut:

Gambar 2.3 Struktur Ruang Kolonial I Made Sandy

Sumber: Sandy (1977)

Secara garis besar kota-kota kolonial mempunyai ciri-ciri :

(1) Permukiman sudah stabil;

(2) Terdapat garnisun yang dibentuk oleh penguasa kolonial;

(3) Adanya permukiman pedagang; dan

(4) Adanya tempat penguasa kolonial menyelenggarakan aktivitasnya (Mc Gee, 1967).

3. Kota Indish

Ronald G.Gill (1995) dalam Handinoto (2010) membagi kota Indish menjadi dua

bagian

1. Oud Indische Stad

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 7: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Penjelasannya adalah sebuah kota dimana pada pusat kotanya (daerah alun-alun),

terdapat pemisahan antara pemerintahan Kolonial Belanda (yang diwakili oleh Residen

atau Asisten Residen) dengan gedung pemerintahan pribumi (yang diwakili oleh bupati).

Jadi pada hakekatnya gedung pemerintahan yang termasuk mengatur kota tersebut dalam

satu kota terpisah satu sama lain. Gedung pemerintahan pribumi biasanya terletak di

selatan alun-alun. Sedangkan kantor Asisten Residen berada di bagian lain kota tersebut.

Contoh adalah Pasuruan, Pekalongan, Tegal, Blitar dan sebagainya

2. Nieuwe Indische Stad

Adalah sebuah kota dimana pada pusatnya (daerah alun-alun) antara pusat pemerintahan

pribumi (bupati) dengan pusat pemerintahan kolonial Belanda (Kantor Asisten Residen)

ada di sekitar alun-alun tersebut. Contoh kota seperti itu adalah Probolinggo,

Bondowoso, Bojonegoro, Lumajang dan sebagainya.

3. Kota Hindia Modern

Deskripsi Wertheim (1953) tentang kota Hindia Modern sebagai berikut:

“Kota-kota yang berkembang di sepanjang jalan raya (khususnya jalan-jalan raya yang

menuju kota lain). Di persimpangan jalan secara khusus bermunculan toko-toko Cina.

Kota-kota Hindia meluas dengan proporsi jumlah penduduknya seringkali meluas

dengan cara yang luar biasa. Kota dibangun berdasarkan kekuatan kapitalis dan

menjadikan industri sebagai penggerak perkembangan kota. Pemerintah mulai

memberikan aturan „penentuan zona‟ pada wilayahnya (rencana kota). Rumah-rumah

orang Hindia yang bersifat patriakal dengan taman-taman yang luas diganti dengan villa

model Eropa (yang tertutup dengan taman yang hanya berukuran kecil).”

Dalam fase ini, pembangunan fasilitas-fasilitas modern seperti jaringan kereta, jaringan

listrik, jalur darat, dan bangunan-bangunan modern lainlah yang signifikan merubah

corak kolonial menjadi kolonial modern.

Unsur-Unsur Pembentuk Struktur Ruang Kota

Lynch (1960) menyatakan bahwa suatu citra kota adalah hasil dari suatu kesan pengamatan

dari masyarakat terhadap unsur nyata dan tidak nyata. Dalam mengartikan suatu kota, Lynch

menjabarkannya kepada lima unsur pembentuk struktur ruang kota, yaitu:

1. Jalur atau Jalan (Path)

2. Kawasan (District)

3. Batas (Edge)

4. Tetenger (Landmark)

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 8: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

5. Simpul (Node)

Identitas Kota

Identitas Kota adalah ciri atau jati diri fisik sebuah kota. Faktor utama pembentuk identitas

fisik kota adalah faktor “elemen titik pusat perhatian” atau landmark yang juga merupakan

salah satu elemen penyusun struktur ruang kota. Sedangkan faktor pembentuk identitas

normatif kota adalah faktor “interaksi sosial” yang menggambarkan nilai yang dianut dan

dijadikan dasar sebagai sikap hidup masyarakat kota tersebut memahami tempat mereka

bermukim.

Suatu kota dapat dikenal bila identitas kota tersebut diketahui dan dipahami secara baik dan

menyeluruh melalui penelusuran ciri‐ciri, tanda‐tanda atau jati diri, baik elemen fisik

(tangible) maupun psikis (intangible), dengan senantiasa memperhatikan kondisi faktual

tatanan dan fungsi kehidupan kota, nilai‐nilai historis serta nilai‐nilai lokal setempat sebagai

keunikan dan karakteristik tersendiri, tanpa mengabaikan apresiasi masyarakat dan

lingkungannya.

Setiap kota memiliki jati diri atau cirinya masing‐masing antara masyarakat dan lingkungan

(fisik) kotanya. Kebudayaan masyarakatnyalah yang menjadi jiwa dan karakter kota itu, serta

aspek lingkungan (fisik dan buatan) akan menjadi raganya. Kota‐kota pada dasarnya mampu

menciptakan keunikan atau ciri khas dalam sebuah fungsi kehidupan kota, seperti sejarah,

kualitas ruang (termasuk infrastruktur), gaya hidup, dan budaya.

Identitas kota adalah sebuah konsep yang kuat terhadap penciptaan citra (image) dalam

pikiran seseorang yang sebelumnya tidak pernah dipahami. Identitas kota sebenarnya tidak

dapat dibangun tetapi terbentuk dengan sendirinya. Identitas kota terbentuk dari pemahaman

dan pemaknaan “image” tentang sesuatu yang ada atau pernah ada/melekat pada kota atau

pengenalan obyek‐obyek fisik (bangunan dan elemen fisik lain) maupun obyek non fisik

(aktifitas sosial) yang yang terbentuk dari waktu ke waktu. Aspek historis dan pengenalan

“image” yang diitangkap oleh warga kota menjadi penting dalam pemaknaan identitas kota

atau citra kawasan (Wikantiyoso, 2006).

Dalam kaitannya dengan pemaknaan identitas kota, nilai‐nilai historis dan sosial budaya lokal

akan tampak dari proses perkembangan fungsi kehidupan suatu kota yang diamati melalui

kondisi fisik dari tatanan kotanya. Atau dengan kata lain, proses perkembangan struktur

ruang suatu kota dapat dipandang sebagai sekumpulan data yang dapat dimanfaatkan sebagai

titik awal dari setiap langkah pemaknaan identitas kota. Gambaran proses perkembangan

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 9: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

penataan struktur ruang kota yang tepat akan membawa kepada konsep pemaknaan identitas

kota yang mencerminkan kehidupan penduduk kota tersebut.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini berawal dari ide perkembangan struktur ruang Kota Surakarta yang unik

bertumpang tindih antara konsep kosmologi keraton, pribumi, dan konsep kolonial. Dari

struktur ruang yang telah terbentuk dan diketahui oleh penelitian-penelitian sebelumnya

menimbulkan pertanyaan faktor apa yang paling menentukan perubahan struktur ruang yang

tumpang tindih tersebut berkembang. Struktur ruang Kota Surakarta merupakan bentuk fisik

dari identitas kota dimana identitas kota tersebut merupakan perwujudan identitas

penghuninya. Hal tersebut turut menyebabkan perubahan pada pergeseran kota.

Gambar. Alur Pikir Penelitian

Metode oral history dilakukan terkait dengan periode waktu yang relatif sudah lama sekali

terjadi sehingga dengan sumber-sumber data baik bersifat primer maupun sekunder diperkuat

dengan informasi dari narasumber-narasumber kunci, diharapkan mampu menceritakan

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 10: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

kembali masa lampau yang telah lama terjadi sehingga kebutuhan akan data terkait penelitian

bisa didapatkan.

Diperlukan juga pendekatan analisis proses keruangan dimana menekankan pada pengamatan

terhadap rentetan peristiwa yang bersifat gradual dan berlangsung terus menerus secara ajek

menuju hasil akhir atau hasil tertentu (Yunus, 2010).

PEMBAHASAN

Kota Tua

Fase ini merupakan zaman keraton belum dipindahkan ke Desa Sala. Sebelum tahun 1745,

saat masih berupa dusun atau desa, bentuk awal kota merupakan lingkungan sosial yang

sangat sederhana. Pada masa kerajaan masih beribukota di Kartasura, Desa Sala merupakan

desa pelabuhan sekaligus pintu masuk Kerajaan Kartasura yang disekitar Desa Sala terdapat

empat Bandar, yaitu Bandar Kabanaran di Laweyan, Bandar Arab di Kali Jenes, Bandar

Beton (Pecinan) di Kali Pepe dan Bandar Nusupan di Semanggi (Sekarang di Desa Kadokan,

Kabupaten Sukoharjo) (Qomarun, 2007).

Desa Sala dipimpin oleh seorang bekel (kepala kuli bandar) yang bernama Ki Gede Sala yang

merupakan kepala kuli pelabuhan. Pusat Desa Sala pada masa Kerajaan Pajang maupun

Kartasura berada di Sangkrah/tempuran Kali Pepe dan Bengawan Solo (Sajid, 1984).

Menurut Prayitno (2009) desa Sala kondisi fisiknya jelek, berawa, bertanah becek dan bahaya

terhadap banjir.

Pada masa ini banyak rawa yang dikeringkan untuk dijadikan lokasi permukiman, lahan

untuk pembangunan jalan, dan fasilitas pelabuhan. Salah satu tindakan Kyai Gede Sala III

adalah memindahkan pusat desa di sebelah barat Kali Jenes untuk menghindari banjir

(Prayitno, 2009).

Kota Indish

Pada interval waktu ini terjadi peristiwa besar di Solo, yaitu masuknya kolonial Belanda dan

juga Keraton Mataram dari Kartasura. Setelah dilakukan survey pemilihan lokasi untuk

keraton, maka dipilih Desa Sala (usul Hohendorff) sebagai tempat berdirinya keraton

(alternatif lain untuk lokasi keraton saat itu adalah Talawangi dan Sanasewu).

Dengan dipilihnya Desa Sala sebagai lokasi keraton, maka tentu hal ini membawa pengaruh

yang sangat besar bagi perkembangan Kota Solo ke masa-masa berikutnya. Belanda dan

Mataram berdasarkan kepentingan masing-masing, mempunyai power yang sangat besar

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 11: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

untuk mengaplikasikan segala konsep tata-kotanya ke dalam bentuk nyata. Belanda dengan

konsep kota koloni dan keraton dengan konsep kota kosmologi saling bertumpang tindih

membentuk Kota Solo menjadi khas dan unik. Kondisi tersebut juga ditambah lagi dengan

pola kota organik yang telah lama disusun oleh masyarakat pribumi. Jadi pada tahap

berikutnya, kota tepian sungai yang pernah disusun oleh masyarakat pribumi akan berpadu

dengan kota daratan yang berpola sakral-profan (oleh model keraton) dan pola kokoh-

fungsionalis (oleh model Belanda).

Sebagai titik pusat adalah alun-alun sebelah utara, dimana alun-alun ini merupakan bekas

rumah Ki Gede Sala. Di sebelah barat dari alun-alun ini terdapat masjid agung sedangkan di

bagian agak ke utara sisi timur terdapat pasar sebagai lambang dimensi duniawi. Sumbu

utara-selatan masih tetap dipertahankan, sedangkan di sebelah utara alun-alun terdapat pusat

pemerintahan yang lebih dikenal dengan Kepatihan.

Pada masa berikutnya, setelah keraton Mataram terpecah menjadi dua kerajaan (1755:

Kasunanan dan Kasultanan), tiga kerajaan (1757: Kasunanan, Kasultanan dan

Mangkunegaran) dan kemudian empat kerajaan (1812: Kasunanan, Kasultanan,

Mangkunegaran dan Pakualaman), maka daerah Surakarta terpecah menjadi dua wilayah,

yaitu wilayah Kasunanan dan Mangkunegaran.

Pola dan bentuk kota yang terjadi cenderung linier atau konstelasi (constellation) sederhana.

Jalur-jalur sirkulasi dan pemukiman masih sangat sederhana dan belum teratur. Pusat

orientasi dan aktivitas kota yang utama terdapat pada kompleks kraton, alun-alun dan

bangunan keagamaan. Konsep kuthonagara juga mempengaruhi pembagian daerah

peruntukan di Kota Surakarta pada masa Kerajaan yaitu pusat kota yang terdiri pemukiman,

pemerintahan serta perniagaan dan luar kota yang terdiri dari pertanian dan pertahanan.

Setelah akses melalui darat dibuka dengan adanya pembangunan jalan, maka sungai

Bengawan Solo yang merupakan penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Tengah perlahan

mulai kehilangan peranannya sebagai jalur transportasi penting pada waktu itu. Hal tersebut

mengakibatkan dua bandar perdagangan pada masa pra-Kerajaan mulai ditinggalkan.

Kota Kolonial Modern

Kota Surakarta bukanlah kota yang dibangungun oleh pemerintahan kolonial Belanda

menjadi kota kolonial murni. Kebanyakan kota Kolonial murni dibangun oleh Pemerintah

Kompeni di atas Kota lama yang telah dihancurkannya seperti Semarang dan Batavia serta

menciptakan inti kota baru yang khas kolonial dan membiarkan kota tua masih berkembang

seperti Kota Malang. Sedangkan di Kota Surakarta sendiri seperti halnya Kota Yogyakarta,

kawasan Kota lama dengan keberadaan kompleks keraton dan permukiman pribumi di

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 12: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

sekelilingnya masih berdiri dan bertumpuk dengan corak khas gaya kota kolonial dan

kolonial modern. Disebut kota kolonial modern dikarenakan adanya teknologilah canggih

yang merubah wajah kota secara signifikan.

Pada fase ini modernisasi berkembang di kota Surakarta seiring dengan semakin banyaknya

penghuni di pemukiman Eropa (Belanda, Inggris) dan Timur Asing (Cina, Arab, India), maka

dibutuhkan pula fasilitias-fasilitas selain rumah tinggal. Oleh karena itu, Kota Solo pada

interval ini sudah berkembang ke arah kota perkantoran (administrasi) dan perdagangan.

Perkembangan selanjutnya, Kota Solo mengalami modernisasi dengan diketemukannya

teknologi transportasi darat kereta api. Sistem baru ini tentu mampu mengubah pardigma

berlalu lintas yang semula masih sebagian di sungai sebagaian di darat, kemudian dapat

beralih total ke darat. Sistem tanam paksa yang pernah dimunculkan pada tahun 1830,

berakibat gundulnya hutan-hutan di daerah hinterland yang berakibat sedimentasi sungai.

Solo menjadi Kota yang semakin modern dengan dibangunnya berbagai utilitas kota yang

canggih pada zaman itu, yaitu jaringan, jaringan air bersih, jaringan KA dan trem dan

pembangunan jembatan antar kota yang melintasi Bengawan Solo, yaitu Jembatan Jurug yang

menuju Karanganyar dan Jembatan Bacem yang menuju Sukoharjo.

Pada masa pemerintahan Paku Buwono X yaitu antara tahun 1893-1939, maka terjadi

perubahan wajah kota dari kota homogen menjadi kota heterogen. Perkembangan kota

Surakarta pada masa ini, dapat dikatakan mengacu pada dua tipe perkembangan kota, yaitu

kota kosmologi dan kota ekologi (Kuntowijoyo, 2000).

Analisis Perkembangan Struktur Ruang Kota

Selanjutnya untuk mempertajam analisis spasial dan temporal berikut dibuat pembahasan

perkembangan masing-masing elemen pembentuk struktur:

1. Batas (Edge)

Perkembangan batas kota sendiri cenderung cenderung memperluas ke arah barat dan utara.

Daerah-daerah yang tadinya tidak termasuk ke dalam kuthagara lama kelamaan dimasukkan

oleh raja ke dalam wilayah kotaraja.

Diketahui bahwa awal mulanya Kota Surakarta hanya lah yang berada di sisi utara Jalan

Wilhelminaan (sekarang Jalan Slamet Riyadi) sebagai batas Utara Kota. Sedangkan di bagian

selatan adalah Kali Wingko dan Kali Jenes. Di batas timur adalah Bengawan Solo sedangkan

di batas barat adalah Penumping dan Talawangi.

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 13: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Di fase kedua terjadi pembentukan kota di sisi utara Surakarta, yaitu daerah Mangkunegaran.

Ibarat kota kembar dalam satu wilayah keduanya sama-sama menggunakan konsep

kosmologi Jawa dalam mengembangkan kotanya. Daerah Kasunanan sendiri mengalami

penambahan wilayah dengan memasukkan daerah Bumi dan Purwosari masuk ke Kotapraja

Surakarta. Sedangkan Kotapraja Mangkunegaran memiliki batas Jalan Wilhelminaan di sisi

selatan, Manahan menjadi daeah paling barat Mangkunegaran, Kali Nusukan menjadi batas

utara Mangkunegaran kecuali daerah Jebres belum dimasukkan ke dalam kotapraja

Mangkunegaran. Batas timur adalah Bengawan Solo.

Di fase ketiga kotapraja Surakarta hanya mengalami penambahan daerah Laweyan,

sedangkan Mangkunegaran menambkan daerah Jebres dan Nusukan masuk ke dalam

kotapraja Mangkunegaran.

Pengaruh Kondisi Geografis

Dari segi geografis wilayah Surakarta memang relatif datar. Namun banyaknya aliran sungai

juga menjadi penghambat perluasan wilayah kota. Pengembangan wilayah ke timur memang

tidak memungkin karena adanya Bengawan Solo yang seolah menjadi tembok besar yang

sulit ditaklukkan. Keculai pada peristiwa aliran Bengawan Solo di daerah semanggi,

pengembangan batas kota ke arah timur nyaris tidak ada. Perluasan batas kota ke arah selatan

juga terbatas hanya sampai Kali Tanggul dan Kali Laweyan. Sedangkan perluasan wilayah

kota ke arah utara juga terbatas ketika bertemu dengan Kali Nusukan. Kecuali daerah

Nusukan, tidak ada wilayah yang kota yang berada di utara Kali Nusukan.maka perluasan

kota ke arah timur lah yang relatif banyak terjadi. Daerah Jebres relatif paling akhir

dimasukkan ke dalam daeah kota dikarenakan wilayahnya yang relatif naik turun. Daerah-

daerah yang terletak di sisi timur relatif paling sering dimasukkan ke dalam daerah kotapraja.

Pengaruh Politik

Dari segi politik, perluasan batas kota memang sepenuhnya tidak bisa dilepaskan dari campur

tangan Belanda. Batas wilayah antara Mangkunegaran dan Kasunanan sendiri adalah jalan

yang notabene dibangun oleh Belanda, yaitu Jalan Wilhelminaan. Ujung dari jalan tersebut

adalah Benteng Vastenburg. Dengan kondisi demikian dimaksudkan untuk kemudahan

pengawasan Belanda terhadap kedua raja yang menempati wilayah tersebut.

Tidak jarang juga Belanda mengintervensi pemerintah kota untuk memasukkan daerah yang

menjadi kediaman orang Belanda untuk dimasukkan kedalam daerah kotapraja.

Pengaruh Ekonomi, Sosial dan Budaya

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 14: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Dari sudut pandang ekonomi daerah yang Laweyan merupakan daerah yang awalnya tidak

dimasukkan ke dalam daerah kotapraja, akan tetapi sejak akhir abad 19, daerah Laweyan

merupakan sentra batik yang cukup terkenal di waktu itu. Atas dasar itulah Laweyan akhirnya

dimasukkan ke dalam daerah kotapraja.

Secara sosial dan budaya, pengelompokkan penduduk berdasarkan tingkatan sosial memang

berlaku di kota ini. Daerah-daerah yang dihuni oleh orang-orang ningrat dan terhormat dari

kalangan keraton maupun selayaknya dimasukkan ke dalam daerah kotapraja. Hal tersebut

terlihat dari dimasukkan Bumi ke dalam daerah kotapraja dikarenakan merupakan kediaman

Bupati Bumi.

2. Jalur (Path)

Jalur-jalur yang sering digunakan saat itu selain Bengawan Solo adalah Kali Pepe dan Kali

Jenes. Kali Pepe mengalir dari daerah-daerah yang terletak di utara seperti Boyolali dan

Klaten hingga ke Bengawan Solo. Sedangkan Kali Jenes menghubungkan daerah di sebelah

timur yaitu bekas Kerajaan Kartasura hingga melintas di sisi selatan Kota Surakarta ke

Bengawan Solo.

Pada perkembangan berikutnya jalur darat yang dipergunakan untuk pindahan keraton

menjadi jalur yang ramai. Pedagang Cina ditempatkan di jalur tersebut (Jalan Dr. Radjiman).

Sedangkan untuk jalan yang menjadi poros utara-selatan adalah Jalan Jend. Sudirman yang

melintas dari alun-alun utara hingga Tugu Pemandengan di depan Kediaman Residen. Jalur

ini merupakan jalur penting yang menghubungkan pusat pemerintahan yaitu keraton,

Benteng, Residen dan Kepatihan.

Dengan adanya pembangunan rel kereta api, jaringan pergerakan barang dan manusaia

semakin mudah. Dari stasiun-stasiun yang dibangun di masa itu, jaringan rel melintasi

daerah-daerah seperti Klaten, Boyolali, Sragen, dan menuju Yogyakarta, Semarang,

Wonogiri, dan daerah yang berada di Jawa Timur. Dengan dibangunnya jembatan, halangan

alam berupa sungai bisa teratasi. Pembangunan jembatan Jurug dan Jembatan Bacem

menjadikan jaringan jalan bisa mencapai Sukoharjo dan Karanganyar yang berada di sisi

utara dan timur Kota Surakarta.

Pengaruh Kondisi Geografis

Dari segi kondisi geografis sendiri, sungai-sungai yang mengalir di Kota Surakarta mampu

menghubungkan Kota Surakarta dengan daerah-daerah yang menjadi hinterlandnya seperti

wilayah negaragung dan mancanegari. Akan tetapi, karena fenomena geografi juga yang

mematikan jalur sungai itu sendiri. Adanya sedimentasi di sungai-sungai yang mengalir di

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 15: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Kota Surakarta menyebabkan kapal-kapal tidak bisa berlayar dan melintasi sungai. Karena

peristiwa itulah jalur darat mulai berkembang, dengan kondisi relatif datar, pembangunan

jalan darat dan jaringan rel relatif tidak mempunyai hambatan dalam pembangunannya.

Pengaruh Politik

Pembangunan jalan yang ber-grid mempunyai tujuan untuk kemudahan Belanda dalam

memobilisasi militernya dan pengawasan terhadap raja-raja di Surakarta. Belanda membuat

Jalan Wilhelminaan untuk membagi kota menjadi dua, tepat berada di depan Benteng

Vastenburg menunjukkan kuatnya pengaruh Belanda. Hal tersebut menujukkan proritas jalur

dibuat untuk kepentingan Belanda. Selain untuk memecah kedua raja, Jalan Wilhelminaan

juga memecah kelompok Cina menjadi dua. Penduduk Cina yang tadinya menyebar secara

linear di Jalan Radjiman, sebagian memilih pindah linear sepanjang Jalan Wilhelminaan

karena difungsikan Belanda sebagai jalan arteri primer. Sedangkan kelompok Cina yang

patuh sebagian masih berada di sepanjang Jalan Dr Radjiman.

Pengaruh Ekonomi, Sosial, Budaya

Secara ekonomis, pergeseran penggunaan jalur sungai yang beralih ke jalur darat memang

lebih murah. Dengan fleksibelnya jalan darat, barang-barang yang harus diangkut ke wilayah

yang relatif dekat tidak perlu diangkut dengan menggunakan kapal menyusuri sungai.

Pengangkutan sungai pada waktu itu memang relatif tidak cukup murah. Dengan adanya

jalan darat dan jaringan rel kereta api menjadikan pergerakan barang dan manusia lebih

efektif dan efisien.

Secara budaya, nuansa poros utara-selatan memang sudah menjadi tradisi yang diterapkan

raja-raja keturunan Mataram dalam pembangunan kotanya. Sehingga tidak mengherankan

jalur utara-selatan menjadi penting dalam struktur ruang kota Surakarta itu sendiri. Jalur

perpindahan keraton yang membentang dari barat-timur juga merupakan hal yang sakral

dalam tradisi Jawa. Secara sosial, jalan-jalan darat berfungsi sebagai batas antar kampung

yang masing-masing penghuninya dikelompokkan berdasarkan kelas sosialnya.

3. Simpul (Node)

Simpul yang mula-mula terbentuk adalah pertemuan antara jalan poros utara-selatan dan

poros timur-barat merupakan junction node yang terletak di tengah kota. Junction node yang

penting lainnya adalah perempatan panggung. Di tempat tersebut diperkirakan terdapat

menara pengawas yang mampu memantau pergerakan musuh dari arah manapun yang

menuju kota. Selain itu Stasiun-stasiun besar yang berada di Kota Surakarta merupakan

simpul-simpul penting bagi jalur transportasi khususnya di Jawa Tengah pada saat itu.

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 16: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Sedangkan simpul kegiatan ekonomi awalnya adalah Bandar Beton dan Bandar Nusupan

sebelum bergeser ke Pasar Gede. Simpul-simpul Pemerintahan berada tidak berjauhan di

pusat kota, yaitu Keraton, Kepatihan, Benteng, Kediaman Residen, dan Pura Mangkunegaran.

Pengaruh Kondisi Geografis

Simpul-simpul yang dibangun di Kota Surakarta memang tidak mempunyai kendala berarti.

Dengan wilayah yang relatif datar, baik simpul kegiatan ekonomi maupun simpul jalan bisa

dibangun dengan relatif tanpa hambatan berarti.

Pengaruh Politik

Secara Politis, pembangunan simpul-simpul jalan yang penting hampir sama alasannya

dengan pembangunan jalan untuk keperluan Belanda. Simpul-simpul pusat pemerintahan

berada berdekatan karena Belanda tidak ingin kecolongan dalam hal pengawasan raja-raja

Jawa tersebut.

Pengaruh Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Penempatan simpul-simpul penting tidak lepas dari faktor budaya dalam konsep kosmologi

Jawa. Hal tersebut sudah merupakan pakem atau hal yang pasti. Seperti letak Pasar Gede

yang pasti terletak di sisi timur dari poros utara-selatan.

4. Kawasan (District)

a. Kawasan Pusat Kota

Kawasan Pusat Kota awalnya adalah keraton beserta kompleks bangunan yang berada di

sekitarnya yang dihubungkan dengan pusat pemerintahan yang berada di Kepatihan, Benteng

Belanda, dan Bandar Beton yang merupakan urat nadi perekonomian pada saat itu. Sesuai

perkembangan zaman pusat kota bergeser ke arah tengah kota setelah tidak digunakannya

lagi Bandar Beton sebagai simpul perdaganan. Pusat kota yang berkembanga selanjutnya

adalah Keraton, Benteng, Residen, Kepatihan, Mangkunegara, dan Pasar Gede.

b. Kawasan Permukiman

Kawasan Permukiman penduduk Surakarta terus berkembang seiring kebutuhan ruang

penduduk untuk permukiman. Perkembangan permukiman penduduk berdasarkan etnis

secara tertulis siatur dengan hukum Wijkenstelseel. Sedangkan secara klasifikasi sosial telah

ada dan mendarah daging dalam tradisi keraton.

Pengaruh Kondisi Geografis

Dilihat dari kondisi geografis Kota Surakarta, awalnya bentuk permukiman yang berkembang

adalah permukiman tepian sungai (water-front settlement). Seiring keberadaan keraton, pola

permukiman yang berkembang cenderung berbentuk konsentris dengan menjadikan keraton

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 17: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

sebagai titik acuan. Seiring perluasan wilayah kotapraja yang relatif datar dan tanpa

hambatan ke arah barat, maka daerah itu juga lah yang berkembang menjadi kawasan

permukiman.

Pengaruh Politik

Etnis Cina di sekitar Pasar Gede dan etnis Arab di Pasar Kliwon merupakan imbas dari

penerapan hukum Wijkensteelsel. Hal tersebut merupakan bentuk trauma Belanda terhadap

peristiwa pemberontakan yang terjadi di Batavia dan menjalar hingga ke Kartasura pada

peristiwa geger pecinan. Sedangkan konsentrasi penduduk Belanda berada di sekitar Benteng

Vastenburg dengan keberadaan Kampung Loji Wetan dalam rangka pengawasan terhadap

Raja Kasunanan, serta penempatan camp Kavaleri di Kampung Stabelan dan Kestalan

sebagai bentuk pengawasan terhadap Aria Mangkunegaran.

Pengaruh Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Secara sosial, penerapan klasifikasi sosial pada saat itu memang masih kental. Penduduk

yang mempunyai gelar kehormatan mempunyai hak berada dekat dengan raja, semakin

rendah tingkatannya maka semakin jauh tempat tinggalnya dari raja. Sedangkan keberadaan

abdi dalem dan prajurit berada di antara raja dan orang ningrat untuk menjaga dan melayani

raja dan orang terhormat tersebut.

Di Kota Surakarta sebuah jalan lurus memanjang dari arah timur ke arah barat yang

membelah Surakarta menjadi Kota Selatan dan Kota Utara. Kraton, Masjid (Agung), dan

rumah para pangeran terletak di sebelah selatan kota. Bagian ini cenderung berkembang ke

arah barat daya, karena arah barat dalam kosmografi Jawa (Hasta Brata) adalah arah mata

angin yang mempunyai watak dari api. Kekuatan atau kesaktian dari arah barat inilah yang

dapat melawan segala usaha yang menentang hukum universum (Kosmografi Jawa Hasta

Brata) (Santoso,2008).

Di sebelah selatan utara kota terletak sarana-sarana profan seperti Kepatihan dan Pasar. Di

sebelah kanan dari poros utara-selatan ditempatkan permukiman orang-orang asing

(Tionghoa, Belanda, dan lain lain). Bagian ini berkembang ke arah timur yang mengandung

watak „keseimbangan dan harmoni‟. Kemungkinan, pemilihan lokasi untuk orang asing ini

didasari oleh harapan terciptanya harmonisasi di antara berbagai kelompok etnis yang ada.

Budaya memegang peranan sangat penting dalam pengaturan wilayah dalam struktur ruang

kota. Pemilihan lokasi permukiman per suku bangsa juga mempunyai peranan ekonomis.

Misalnya Cina dan Arab yang ditempatkan pada posisi di pusat perdagangan dan

pemerintahan. Hal tersebut terjadi dalam dua fase dimana permukiman Arab dan Cina selalu

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 18: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

berada di pusat kota. Akan tetapi seiring perkembangan kota, lokasi permukiman Arab tidak

lagi berada di pusat kota.

5. Tetenger (Landmark)

Landmark yang berkembang di Kota Surakarta pada awalnya sangat terbatas. Keraton,

Bandar Beton, Benteng, Tugu Pemandengan. Kemudian berkembang Pura Mangkunegaran,

Pasar Gede, Stasiun-stasiun, stadion sepakbola, tugu-tugu yang dibangun PB X dan club-

house (yaitu bangunan yang sekarang dijadikan museum pers dan Loji Gandrung).

Pengaruh Geografis

Secara geograifs, landmark yang dibangun memerlukan kondisi yang mampu memberikan

kesan kepada pengamatnya, seperti terletak di kawasan yang luas, dapat dilihat dari arah

mana pun tanpa ada halangan, dan terletak di posisi strategis dalam ruang kota. Dalam

pembangunan Stasiun Balapan misalnya, kebutuhan stasiun akan ruang terpaksa menggususr

tempat pacuan kuda (dalam bahasa Jawa dinamakan balapan). Kawasan balapan dipilih

karena posisinya yang strategis hampir di tengah kota dan jauh dari Bengawan Solo. Dengan

kondisi demikian memungkinkan pembangunan sarana transportasi memadai dan

menghindarkan dari bahaya banjir.

Pengaruh Politik

Belanda dengan kekuasannya sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap keberadaan

landmark kota. Selain bangunan fungsional modern seperti stasiun kereta, Belanda juga

membuat club house yang membawa budaya pleasure barat masuk ke dalam kota. Selain itu,

pembangunan tugu-tugu yang dilakukan oleh PB X kental dengan aroma politis.

Pembangunan Tugu Lilin misalnya.. Hal tersebut seolah memberi penanda kepada orang

akan keberadaan poros barat-timur yang sebenarnya yaitu Jl Dr Radjiman tersebut, bukan

Jalan Slamet Riyadi yang dibangun Belanda.

Pengaruh Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Dalam konsep kosmologi Jawa keberadaan landmark tersebut juga merupakan sesuatu yang

khas dan pasti. Posisi keraton yang sedemikian rupa merupakan titik tengah antara Gunung

Lawu di timur dan Gunung Merapi di barat. Sedangkan yang menjadi poros utara adalah Alas

Roban yang disimbolkan dengan Tugu Pemandengan di depan Kediaman Residen.

Penempatan bangunan-bangunan sakral yang menjadi landmark kota juga

mempertimbangkan konsep kosmologi Hasta Brata.

Perkembangan Identitas dan Pergeseran Kota

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 19: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

Pada mulanya Sala yang menjadi cikal bakal Surakarta merupakan kota perdagangan dengan

adanya Bandar Beton dan Nusupan. Kemudian semenjak keraton dipindahkan ke Desa Sala

yang juga diikuti pembangunan benteng oleh kolonial maka berkembanglah Kota Surakarta

menjadi kota pemerintahan dan pertahanan. Selanjutnya tanpa menurunkan perannya sebagai

kota pemerintahan, sekitar pertengahan abad ke-18 Kota Surakarta berkembang menjadi

sebagai kota dagang dan juga menjadi kota budaya. Secara geografis letak kota Surakarta

sangat strategis dan merupakan titik persimpangan jalur transportasi regional dan sekaligus

sebagai daerah tujuan dan bangkitan pergerakan dalam sistem transportasi dan jaringan jalan

di Jawa Tengah. Budaya Surakarta juga terus berkembang dengan pelestarian budaya di

lingkungan keraton diikuti oleh pembangunan sarana infrastruktur di luar keraton. Tidak

hanya itu, sarana pendidikan formal yang mulai dibangun juga menjadikan Surakarta kota

pelajar pada zaman tersebut selain pendidikan non-formal yang telah lama dimiliki abdi

dalem kerajaan secara turun-temurun. Keahlian membuat benda-benda penyuplai kebutuhan

kerajaan berupa barang-barang dari logam dan peralatan perang merupakan ilmu pengetahuan

yang tidak boleh dikesampingkan begitu saja.

KESIMPULAN

1. Faktor yang menentukan struktur ruang Kota Surakarta adalah kosmologi budaya pada

awal fase kota, kemudian pada fase kota indish pengaruh politik dan geostrategis yang

mempengaruhi struktur ruang kota dan kepentingan ekonomi yang menentukan struktur

kota pada fase kota kolonial modern.

2. Struktur ruang yang paling berpengaruh membentuk identitas Kota Surakarta adalah

keraton. Pada fase kota tua, keraton berfungsi sebagai pusat pemerintahan dan pertahanan,

pada fase kota indish, perananan keraton menurun diambil alih oleh keberadaan benteng

sebagai pusat pertahanan, pada fase kota kolonial modern, peranan keraton beserta

kompleks bangunan di sekitarnya sebagai identitas kota kembali naik sebagai pusat

pemerintahan dan perdagangan.

3. Struktur ruang kota tua membentuk fungsi kota pemerintahan yang berada di pinggiran

kota, stuktur kota indish membentuk fungsi pertahanan yang terletak mulai bergeser ke

tengah kota, struktur ruang kota kolonial modern membentuk fungsi kota pemerintahan

dan perdagangan yang sepenuhnya berada di tengah kota.

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013

Page 20: Perkembangan Struktur Ruang dan Identitas Kota Surakarta

UCAPAN TERIMAKASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada keluarga, Dosen Pembimbing (Ibu Widyawati dan

Ibu Dewi Susilowati), Pihak Keraton Kasunanan, Mangkunegaran, Narasumber dan semua

pihak atas bantuan da dorongan semangat dalam menyelesaikan penelitian ini.

DAFTAR ACUAN

Lynch, Kevin. 1960. The Image Of The City. The MIT Press

Margana, Sri dan M. Nursam. 2010. Kota-kota di Jawa, Gaya Hidup dan Permasalahan

Sosial. Yogyakarta: Ombak

McGee, T.G. 1967 The Southeast Asian City: A Social Geography of the Primate Cities of

Southeast Asia. London: G. Bell and Sons, Ltd.

Qomarun dan Budi Prayitno. 2007. MORFOLOGI KOTA SOLO (TAHUN 1500-2000).

Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 35, No. 1, Juli 2007: 80 – 87

Sajid, R. M. 1984. Babad Sala. Surakarta: Rekso Pustoko Mangkunegaran

Wiryomartono, A. Bagoes P. 1995. Seni Bangunan Dan Seni Binakota Di Indonesia. Jakarta:

PT Gramedia Pusataka Utama

Yunus, Hadi Sabari. 1994. Teori dan Model Struktur Keruangan Kota. Yogyakarta: Fakultas

Geografi UGM

Zaida, Suci Nur Aini . 2009. Surakarta: Perkembangan Kota Sebagai Akibat Pengaruh

Perubahan Sosial Pada Bekas Ibukota Kerajaan di Jawa, Jurnal Lanskap Indonesia,

Vol 1 No 1 2009

Perkembangan struktur..., Della Ananto Kusumo, FMIPA UI, 2013