perkawinan orang islam dengan penghayat …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...
TRANSCRIPT
PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT
KEPERCAYAAN
(Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
MUHAMAD SIDIK
NIM 11140440000031
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2019 M
iv
ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui praktik perkawinan orang Islam
dengan Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dan untuk memahami keabsahan
perkawinan orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan
menggunakan pendekatan yuridis empiris. Penelitian yang dilakukan dengan
melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan
jurnal (library research) yang berhubungan dengan skripsi ini, peneliti juga
melakukan wawancara terhadap pelaku perkawinan antara orang Islam dan
Penghayat Kepercayaan di Cigugur Kuningan Jawa Barat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih ada praktik perkawinan orang
Islam dengan Penghayat Kepercayaan dengan menggunakan tatacara perkawinan
menggunakan penghayat maupun menggunakan hukum Islam. Hal tersebut
dilakukan agar perkawinan tersebut diakui oleh negara sehingga salah satu dari
pasangan tersebut terpaksa tunduk dan patuh terhadap salah satu agama atau
kepercayaannya. Akan tetapi tidak membuat mereka tunduk menjadi orang Islam
atau penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Fenomena tersebut menjadi sesuatu
yang biasa di Cigugur karena secara historis dan kultur masyarakat Cigugur yang
hidup saling berdampingan antar pemeluk agama dan kepercayaan dalam satu
wilayah khususnya diwilayah paleban. Bahkan secara sosial masyarakat dalam
satu keluarga di Cigugur pada umumnya terdapat berbagai agama yang dianut.
Perkawinan tersebut menurut hukum Islam dan peraturan perundang-
undangan di Indonesia tidaklah dapat diterima karena hukum Islam melarang
adanya orang Islam melangsungkan perkawinan dengan orang yang tidak
beragama Islam, begitupun didalam undang-undang perkawinan yang menyatakan
bahwa perkawinan hanya dapat dilakukan sepanjang masing-masing mempelai
memiliki agama yang sama dan dilangsungkan menurut agamanya.
Kata Kunci : Perkawinan, Beda Agama, Penghayat Kepercayaan
Pembimbing : Hj. Rosdiana, M.A
Daftar Pustaka : 1964-2018
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah S.W.T, karena
berkat rahmat, nikmat serta karunia dari Allah SWT penulis dapat menyelesaikan
skripsi dengan judul “PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT
KEPERCAYAAN (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur
Kuningan Jawa Barat)”. Sholawat serta salam penulis panjatkan kepada Nabi
Muhammad Shallallahu‟Alayhi wa Sallam, yang telah membawa umat manusia
dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bimbingan, arahan, dan serta bantuan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih khususnya kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H. M.H Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
beserta Wakil Dekan I, II, dan III Fakultas Syariah dan Hukum.
2. Dr. Mesraini Ketua Program Studi Hukum Keluarga M.Ag Ahmad Chairul
Hadi, M.A Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, yang terus
mendukung dan memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan
penyusunan skripsi
3. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. Ketua Program Studi Hukum Keluarga
beserta Arip Purkon dan Indra Rahmatullah, S.HI., M.H. Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga 2015-2019, yang terus mendukung dan
memotivasi penulis untuk segera menyelesaikan penyusunan skripsi ini
serta mengizinkan penulis untuk mengabdi di prodi.
4. Penguji I dan II Bapak Dr. K.H. A Juaini Syukri, Lc, M.A dan Ibu
Hotnidah Nasution, M.Ag yang telah menguji skripsi peneliti agar lebih
baik sehingga membuat skripsi peneliti menjadi lebih sempurna.
5. Hj. Rosdiana, M.A., sebagai dosen penasehat akademik dan pembimbing
skripsi penulis, yang telah sabar dan terus memberikan arahannya untuk
membimbing penulis dalam proses penyusunan skripsi ini.
vi
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta Ibu Kamtiyah, Bapak Bubun, kakak dan
adik yang tersayang Ayu Budi dan Imron yang selalu memberikan suport
untuk menyelesaikan skripsi ini
7. Petugas KESBANGPOL Kuningan, Petugas Kecamatan dan Kelurahan
Cigugur Kuningan Jawa Barat serta para narasumber yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan data-data terkait penelitian ini.
8. Semua pihak yang terkait yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Tidak ada yang bisa penulis berikan untuk membalas jasa-jasa kalian
kecuali dengan ucapan do‟a dan terima kasih.
9. Keluarga besar Moot Court Community, Rahmi, Ksatria, Syanel, Zul,
Nila, Dalillah, Edy, Bang Raziv, Bang Alif, Bang Tresna, Ka Mala, Bang
Reza, Lilis, Nun, Bang Rama, Bedil, Jabar, Najla, Panji dan semua yang
tidak bisa disebutkan satu-satu.
10. Keluarga Besar Pondos: Riyadh, Satria Pren, Ilham Madon, Indrak Kumis,
Bopung, Ipeh, Ulhaq, Abu, Oday,Ajeng, Legina, Eneng, Teguh, Ahong,
Pace, Alim Mahmud, Afdal, Qopal, Apeng, Fitrah, Pres Rifki, Botem,
Dani dan khususnya keluarga besar Presidium HMI Komisariat Fakultas
Syariah dan Hukum 2016-2018, Keluarga Besar HMI Hukum Keluarga.
Peneliti menyadari dalam penulisan skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk
perbaikan dan penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan
Terima kasih.
Jakarta, 4 April 2019
Muhamad Sidik
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN BIMBINGAN ............................................... i
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................................. vi
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Identifikasi Masalah, Pembatasan Masalah, dan Perumusan
Masalah ................................................................................ 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Manfaat penelitian ................................................................ 8
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual ....................................... 9
F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .................................. 13
G. Metode Penelitian................................................................. 14
H. Pedoman Penulisan ............................................................. 17
I. Sistematika Penulisan .......................................................... 18
BAB II ASPEK HUKUM PERKAWINAN BAGI ORANG ISLAM
DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA .... 20
A. Tinjauan Perkawinan Menurut Perundang-Undangan ......... 20
B. Perkawinan dalam Hukum Islam ......................................... 29
C. Perkawinan Penghayat Kepercayaan Menurut Perundang-
Undangan ............................................................................. 32
D. Perkawinan antar Agama dan Penghayat Kepercayaan
menurut Perundang-undangan dan Hukum Islam ............... 37
BAB III GAMBARAN UMUM CIGUGUR KUNINGAN JAWA
BARAT DAN PENGHAYAT KEPERCAYAAN SUNDA
WIWITAN .....................................................................................44
A. Profil Cigugur, Kuningan Jawa Barat .................................. 44
B. Identitas Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan ............... 50
viii
BAB IV ANALISIS PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN
PENGHAYAT KEPERCAYAN SUNDA WIWITAN DI
CIGUGUR KUNINGAN JAWA BARAT ............................. 61
A. Praktik Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan
Jawa Barat ............................................................................ 61
B. Keabsahan Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa
Barat ..................................................................................... 67
C. Analisis Penulis ................................................................... 73
BAB V PENUTUP .................................................................................. 79
A. Kesimpulan .......................................................................... 79
B. Saran ..................................................................................... 81
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia sebagai mahkluk sosial tidakakan pernah terlepas dari
keberadaan manusia lainnya untuk hidup saling membaur antara satu sama
lain maupun berinteraksi tanpa memandang ras, suku dan agama. Keinginan
manusia untuk saling berinteraksi merupakan upaya untuk membentuk
dirinya sebagai manusia yang utuh dan dapat hidup bersama dengan manusia
lainnya. Manusia diciptakan untuk saling berpasang-pasangan antara pria dan
wanita yang terjalin dalam suatu ikatan untuk membentuk kehidupan secara
bersama-sama dan saling melengkapi satu sama lain melalui perkawinan. 1
Perkawinan merupakan perosalan yang esensial dalam kehidupan
manusia, sebab perkawinan tidak hanya sebatas ikatan untuk membentuk
keluarga melainkan untuk memenuhi kebutuhan laihr dan bathin. Akan tetapi
secara hukum Islam, perkawinan sebagai ibadah yang merupakan mitsaqan
ghalidzan (ikatan yang sangat kuat baik dengan sesama manusia maupun
ikrar janji setia kepada Allah SWT) serta untuk memperoleh keturunan untuk
mempertahankan generasi.2
Senada dengan hal tersebut, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa perkawinan adalah suatu
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan untuk membentuk suatu keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan merupakan
suatu peristiwa hukum yang sangat penting dalam kehidupan manusia dengan
berbagai konsekuensi hukumnya. Karena itu hukum mengatur masalah
perkawinan ini secara detail.3
1 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2004),
h.25
2 Wasman & Wadah Nuromiyah, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan
Fiqh Dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011), h.29
3 Munir Fuady, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2014) h.10
2
Agama Islam mengatur bahwa untuk mewujudkan sebuah perkawinan
yang sah dalam Islam, ada beberapa rukun dan syarat sah yang harus dipenuhi
oleh setiap calon pengantin. Dalam hal perkawinan, rukun merupakan sesuatu
hal yang harus ada untuk menentukan apakah perkawinan tersebut sah atau
tidak sah. Adapun rukun yang menentukan sahnya sebuah pernikahan antara
lain adalah4:
1. Pengantin lelaki (calon suami)
2. Pengantin perempuan (calon isteri)
3. Wali nikah dari pihak calon pengantin perempuan
4. Saksi laki-laki sebanyak dua orang
5. Ijab dan Kabul yang terjadi pada proses akad nikah
Begitupun di Indonesia melalui Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 negara menjamin hak setiap
manusia untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. Suatu perkawinan dapat dikatan sah apabila memenuhi
ketentuan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menegaskan bahwa:
(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Artinya agar suatu perkawinan dakui oleh negara maka harus
dilangsungkan menurut masing agama dan kepercayaannya. Kedua syarat
tersebut bersifat kumulatif sehingga keduanya harus terpenuhi agar suatu
perkawinan bisa dikatakan sah menurut hukum Indonesia.5
Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan
dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu
4 Mahmud Syaltut, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua‟ashirah fi Hayatihi
alyaumiyah wa al-„Ammah, (Mesir: dar al-Kalam), h.268-269.
5 Nasul Umam Syafi‟i dan Ufi Ulfiah, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama, (Tangerang:
Qultum Media, 2004), h.187.
3
syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan
tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula
sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut.6 Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi
yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat
dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar
yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan
di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik, dengan adanya
surat bukti itu, maka perkawinan harus dicatatkan.7
Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa untuk
melaksanakan pencatatan perkawinan bagi pasangan calon suami istri yang
beragama Islam harus dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan
di Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Namun
bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaan itu selain agama Islam yakni mereka yang beragama Kristen,
Hindu, Budha, Katolik dan Kong Hu Cu serta seluruh aliran kepercayaan
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Meski telah diatur secara jelas tentang tatacara perkawinan yang diatur
dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur seluruh aspek yang
berhubungan dengan perkawinan secara menyeluruh.8 Seperti masih
maraknya perkawinan dibawah umur maupun perkawinan poligami yang
dilangsungkan tanpa seizin istri yang sudah ada bahkan yang paling menjadi
6 Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2008) h.10
7 Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta:
Departemen Agama, 2001) h.15
8 Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreni Carolina Palandi,
Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.
4
perhatian adalah tentang fenomena perkawinan beda agama yang terjadi
ditengah-tengah kehidupan manusia.9 Tak sampai disitu bahkan di Desa
Cigugur Kuningan Jawa Barat terdapat perkawinan yang dilangsungkan
antara orang Islam dan mereka yang mengangut Penghayat Kepercayaan
Sunda Wiwitan.
Sehingga jika kita merujuk pada Pasal 2 Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan seharusnya perkawinan antara seorang
muslim dan penghayat kepercayaan tidak memenuhi unsur dari ayat 1
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebab baik Islam maupun
Penghayat Kepercayaan merupakan suatu unsur yang terpisah yang diakui
keberadaannya dinegara Indonesia.10
Bahkan secara yuridis Pasal 8 ayat 4
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 jo. Undang-undang 24 Tahun 2013
Tentang Administrasi Kependudukan menjelaskan persyaratan dan tata cara
pencatatan peristiwa penting bagi penduduk yang agamanya belum diakui
sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan atau
bagi penghayat kepercayaan berpedoman pada peraturan perundang-
undangan. Dengan demikian perkawinan bagi penghayat kepercayaan
pertama-tama dilangsungkan menurut tata cara kepercayaannya selanjutnya
dapat dikatakan sah oleh negara apabila apabila dicatatkan menurut peraturan
peundang-undangan yang berlaku.11
Bahkan tata cara pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan
lebih lanjut dijelaskan dalam pasal pasal 81 Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2007 mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi Penghayat
Kepercayaan yang menyebutkan12
;
9 M. Amin Summa, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan Qanuniah,
(Ciputat: Lentera Hati, 2005), h.10-11
10 Moh. Soehadha, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi serta Implikasinya, jurnal
ESENSIA, No.1 Januari 2004, h.101
11 Heru Susetyo, Pencatatan Perkawinan bagi Golongan Penghayat, Jurnal Hukum dan
Pembangunan (Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1997), h, 156
12 Abdul Mutholib Ilyas, Abdul Ghofur Imam, Aliran Kepercyaan dan Kebatinan di
Indonesia, (Surabaya; Amin, 1998), hlm 12-13
5
(1) Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan Pemuka
Penghayat Kepercayaan
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk
mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimkasud pada ayat (2)
didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina
organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Artinya pelangsungan perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam
dengan Penghayat Kepercayaan memiliki tatacara yang berbeda menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bahkan dapat
disamakan dengan perkawinan berbeda agama maupun kepercayaan yang
dianut.
Sulit diterimanya perkawinan beda agama tidak hanya terdapat didalam
Undang-undang perkawinan maupun Undang-undang Administrasi
Kependudukan melainkan secara tegas termuat didalam QS. Al-Mumtahanah
ayat 10 yang menerangkan sebagai berikut:
)٠١: الممتحنت )
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah
kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-
6
orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang
kafir itu tiada halal pula bagi mereka” (Al-Mumtahanah : 10)
Ayat diatas dipandang memberikan sebuah muatan hukum tersendiri
dalam bidang perkawinan, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang
digunakannya adalah “orang-orang kafir” dan Ahlul kitab adalah salah satu
dari kelompok orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini tidak
menyebut Ahlul kitab, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-
orang kafir”. Sehingga Ayat ini dijadikan dasar utama dalam mengkonstruksi
ketentuan larangan kawin lintas agama. Ayat ini melarang secara tegas bahwa
laki-laki yang beragama islam dilarang mengawini wanita musyrik dan
larangan agar tidak mengawinkan wanita beriman dengan laki-laki musyrik.13
Bahkan negara juga tidak mengakui perkawinan yang dilangsungkan
dengan berbeda agama atau kepercayaan sejatinya dikuatkan oleh Mahkamah
Konstitusi dengan menolak permohonan untuk menghapuskan aturan yang
melarang nikah beda agama maupun kepercayaan melalui putusan nomor
68/PUU-XII/2014.14
Serta Majelis Ulama Indonesia telah memberikan fatwa
Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 bahwa perkawinan beda agama baik
laki-laki muslim dengan wanita ahlul kitab adalah haram dan tidak sah.
Namun demikian dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang berhak
membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan
yang sah yang kemudian lebih lanjut dalam ayat 2 menjelaskan perkawinan
yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon
istri yang bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kebebasan tersebut mengartikan hendak memberikan otonomi
kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dalam kehidupan
13
Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977) h. 580.
14 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20 1 5 0618181711– 2 0 – 6 0 9 3 0 /mahkamah-
konstitusi -tolak- gugatan- menikah- beda- agama di akses pada 12 Desember 2018 Pukul 16.42
WIB.
7
berkeluarga merupakan upaya untuk memberikan peluang yang besar untuk
menjalani kehidupan sosial masyarakat.15
Adanya ketentuan yang menyatakan perkawinan dapat dilangsungkan
atas kehendak bebas calon suami dan istri yang bersangkutan yang
melatarbelakangi seseorang dapat bebas atas kehendaknya untuk
melangsungkan perkawinan baik sesama agama yang mereka anut maupun
dengan kepercayaannya. Atas hal persoalan tersebutlah peneliti tertarik untuk
membahas PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT
KEPERCAYAAN (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di
Cigugur Kuningan Jawa Barat)
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis menyusun
identifikasi masalah sebagai berikut:
a) Bagaimana aturan mengenai keabsahan perkawinan orang Islam
dengan Penghayat Kepercayaan?
b) Apa yang melatar belakangi perbedaan pencatatan perkawinan yang
dilangsungkan oleh orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan?
c) Mengapa Mahkamah Konstitusi menolak untuk melegalkan
perkawinan lintas agama maupun kepercayaan?
d) Mengapa MUI membuat keputusan untuk mengharamkan
perkawinan lintas agama?
e) Bagaimana Implikasi terhadap perkawinan muslim dan penghayat
kepercayaan?
f) Bagaimana sahnya perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974?
g) Bagaimana HAM menilai terhadap perkawinan orang Islam dengan
Penghayat Kepercayaan?
15
Khaeron Sirin, Perkawinan Madzhab Indonesia: Pergulatan AntaraNegara, Agama dan
Perempuan Ed.1 Cet.1, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018), h.109
8
2. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Agar penelitian dalam skripsi ini tidak melebar maka penulis
membatasi masalah terhadap aturan mengenai keabsahan
perkawinan yang dilangsungkan oleh orang Islam dan Penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan.
2. Rumusan Masalah
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
dalam pasal 2 ayat 1 telah menyatakan bahwa perkawinan adalah
sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu. Tetapi, pada masyarakat Cigugur Kuningan
Jawa Barat terdapat sejumlah penghayat kepercayaan Sunda
Wiwitan yang menikah dengan orang Islam. Dari permasalahan
tersebut maka penulis menyusun pertanyaan penelitian sebagai
berikut:
a. Bagaimana praktek perkawinan orang Islam dengan Penghayat
Kepercayaan?
b. Bagaimana legalitas atas perkawinan yang dilangsungkan oleh
orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan?
C. Tujuan Penelitian
Penulisan ini dibuat dengan tujuan untuk dapat menjawab permasalahan
serta memberikan pengertian yang lebih dalam mengenai hal-hal yang
berkaitan dengan perkawinan orang Islam dan Penghayat Kepercayaan seperti
berikut;
1. Untuk mengetahui tentang praktek perkawinan orang Islam dengan
Penghayat Kepercayaan.
2. Untuk mengetahui legalitas atas perkawinan yang dilangsungkan oleh
orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan.
9
Sehingga dapat menjadi rujukan bagi pemangku kebijakan dalam
menyelesaiakan problematikan perkawinan yang terjadi antara orang Islam
dan penghayat kepercayaan.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian secara ilmiah dan
merumuskan hasil-hasil penelitian tersebut kedalam bentuk tulisan.
b. Menerapkan teori-teori yang diperoleh dari bangku perkuliahan dan
menghubungkan dengan praktik di lapangan maupun menurut
peraturan yang ada.
c. Untuk memperoleh manfaat ilmu pengetahuan dibidang hukum pada
umumnya maupun dibidang hukum bisnis pada khususnya yaitu
dengan mempelajari litelatur yang ada dikombinikasikan dengan
perkembangan yang terjadi dilapangan.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan wawasan secara umum mengenai perkawinan umat
beragama Islam dengan penghayat kepercayaan.
b. Menambah khazanah pengetahuan keilmuan dan rujukan bagi
akademisi tentang persaingan usaha di sektor perbankan baik secara
yuridis maupun sosiologis
c. Selanjutnya menjadi bahan tambahan terhadap mahasiswa yang akan
melakukan penelitian berkaitan dengan perkawinan umat beragama
Islam dengan penghayat kepercayaan.
E. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Perkawinan
Di dalam Undang-undang Nomor 1 ahun 1974 Tentang Perkawinan
yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
10
2. Agama dan Penghayat Kepercayaan
Secara historis jika ada orang bangsa Melayu beragama lain selain
agama Islam yang disebabkan proses perjalanan sejarah yang berbeda,
akan tetapi secara identitas sosial dari prespektif sosio-antropologis tetap
sama yakni harus dihargai dan dihormati baik identitas atau jati diri yang
merka miliki. Konsep Islam yang menghargai perbedaan dan toleransi
kebersamaan sangat jelas dan bukanlah persoalaan lagi.16
Hal ini
menciptakan koherensi sebagai masyarakat majemuk (plural society) di
Indonesia, yang tercermin dalam sila pertama Pancasila yang
menerangkan setiap agama patut menjalankan ajaran agamanya apapun
agama dan kepercayaannya itu. Bahkan para founding fathers sejatinya
telah memprediksi tentang masyarakat pluralistik-Indonesia dengan
merumuskan nilai kelima Pancalisa sebagai pedoman kehidupan
berbangsa dan bernegara. Sehingga meskipun keyakinan berbeda akan
tetapi asal-usulnya sama dalam bingkai “Bhineka Tunggal Ika”.17
Sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai pancalisa
sebagai filosofi groundslag dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
merupakan perwujudan dari kesadaran kolektif bangsa yang
menghendaki tatanan bernegara yang mencerminkan plurarisme ditengah
kemajemukan yang terjadi dinegara Indonesia. Dalam mewujudkan rasa
kebersamaan dapat tercermin dari sila pertama pancasila yang
menegaskan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai konsepsi universal
untuk mengakomodir setiap ajaran agama maupun ajaran kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat di Indonesia.18
16
Elly M. Setiadi dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), h.90.
17 Prof. Dr. Abdullah Idi, M.Ed, DINAMIKA SOSIOLOGIS INDONESIA: Agama Dan
Pendidikan Dalam Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara, 2015), h.22.
18 Al Khanif,SH.MA.LL.M, Ph.D, Pancasila dalam Pusaran Globalisasi, (Yogyakarta:
LKis, 2017), h.416.
11
Jaminan untuk mengakomodir kebabasan beragama dan menyakini
kepercayaan telah dituangkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun, pengakuan negara
didalam konstitusi untuk beribadat dan meyakini kepercayaan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa bersebrangan dengan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1965 Tentaang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaan Agama menyebutkan hanya ada enam agama yang
diakui secara resmi oleh negara yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan
Buddha serta Kong Hu Cu.19
Kemudian muncul Intruksi Menteri Agama No.4 Tahun 1978
tentang kebijakan mengenai aliran kepercayaan yang tak lagi urusan
Departemen Agama Republik Indonesia karena dianggap bukan sebagai
agama. Hingga pada akhirnya Kejaksaan Agung melalui Keputusan
Nomor 004/JA/011984 mendirikan Badan Koordinasi Pengawasan
Kepercayaan Masyarakat (BAKOR PAKEM).20
Sehingga demikian negara hanya mengakui enam agama saja,
sedangkan negara belum mengakui secara resmi agama-agama asli
Nusantara seperti Kejawen (kepercayaan masyarakat jawa), Sunda
Wiwitan (kepercayaan masyarakat Sunda), Kaharingan (Dayak),
Parmalim (kepercayaan masyarakat sumatera utara) dll.21
Perdebatan mengenai Kepercayaan dan Agama sejatinya memiliki
perbedaan yang cukup signifikan. Menurut A. Ridwan dan Flora Liman
Pangestu sebuah agama sejatinya memiliki beberapa kriteria yang harus
dipenuhi yaitu22
:
19
Tim Lindsey, Helen Pausacker, Religion, Law and Intolerance in Indonesia, (New York:
Routledge), h.24.
20 Abdullahi Ahmed an- Na'im, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa Depan
Syariah, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2007), h.412.
21 https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3 diakses pada 25 januari 2019 Pukul
11:43 WIB.
22 A. Ridwan dan Flora Liman Pangestu, Persoalan Praktis Filsafat Hukum Dalam
Himpunan Distingsi, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 1992) , h.15
12
a) Memiliki Kitab Suci
b) Ada Nabi atau Rasul-rasulnya
c) Ada ajaran yang tunggal dan universal secara fundamental di seluruh
dunia, meskipun secara actual bisa saja mengandung perbedaan yang
disebabkan karena perbedaan aliran-aliran
d) Adanya kesatuan sistem yang menghubungkan antara ajaran
kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa menurut
agama tersebut dengan berbagai akaran tentang kebaktian yang harus
dipenuhi oleh setiap orang yang menjadi penganut atau umatnya; dan
e) Adanya penganut atau umatnya diseluruh dunia
Sebaliknya, kepercayaan sesungguhnya merupakan bagian dari
agama, karena untuk dapat memeluk suatu agama dan menjadi umat dari
agama tersebut pertama-tama haruslah meyakini dan memiliki
kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan segala ajaran. Akan
tetapi, kepercayaan bagi Penghayat Kepercayaan tidak dapat pula
dikatakan sebagai suatu agama, pencarian kemakrifatan peribadatan
dikalangan Penghayat Kepercayaan merupakan akibat yang logis dari
pembudayaan dan pengembangan fitrah manusia, yang akan
menimbulkan perenungan dan sikap hidup yang bersifat atau berdimensi
yang diantaranya yakni:23
a. Kebatinan yang mencangkup moral, etika atau kesusilaan.
b. Kejiwaan yang merupakan pengembangan jiwa maupun mental serta
budi luhur manusia sebagai sikap rohaniah.
c. Kerohanian yang menjadi dimensi peribadatan sukma manusia
sebagai jalan kebenaran sembah sukma kepada Tuhan untuk
kesempurnaan hidup.
Oleh karena itu, untuk menyebut sesuatu agama maupun
kepercayaaan haruslah diteliti dan dicermati dengan seksama agar tidak
23
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Sebuah Wacana), (Jakarta: Bidang Pelesatarian dan Pengembangan Kebudayaan ASDEP Urusan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2002), h. 33-34.
13
menyinggung para penganutnya ditengah persatuan dan kesatuan bangsa
karena hingga detik ini pun belum ada suatu ketentuan atau aturan yang
pasti mengenai apakah kepercayaan merupakan satu kesatuan dalam
lingkup agama ataukah merupakan hal yang berbeda.
F. Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam pembuatan skripsi mengenai Perkawinan Orang Islam Dengan
Penghayat Kepercayaan (Studi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan Di
Cigugur Kuningan Jawa Barat) ini peneliti mejumpai berbagai ada perbedaan
dan persamaan dengan penelitian lain, sebagai berikut:
1. Judul Skripsi: Perkawinan Penghayat Aliran Kepercayaan Agama
Djawa Sunda Dan Problematikanya ditulis oleh Cassandra S Paulira.
Fakultas Hukum Universitas Indonesia Skripsi tersebut membahas Fokus
pada problematika pencatatan perkawinan bagi penghayat kepercayaan
sunda wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat yang dilakukan kantor
catatan sipil berdasarkan Undang-undang Administrasi Kependudukan.
Perbedaan pada penelitian saat ini adalah Skripsi ini menitik beratkan
kepada perkawinan bagi orang Islam dengan non-Islam yang merupakan
agama yang diakui di Indonesia sedangkan di Skripsi ini membahas
mengenai orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan.
2. Judul Skripsi: Perkawinan Penghayat Kepercayaan Berdasarkan
Peraturan Perundang-Undangan Di Indonesia (tinjauan terhadap
ketentuan dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan dan undang-undang nomor 23 tahun 2006 tentang
administrasi kependudukan) ditulis oleh Olviani Shahnara Fakultas
Hukum Program Sarjana Universitas Indonesia. Skripsi tersebut
membahas Penerapan dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan terhadap perkawinan Penghayat
Kepercayaan serta pencatatan perkawinannya pada prakteknya di
lapangan terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 370 K/TUN/2003.
14
Perbedaan pada penelitian saat ini adalah Skripsi tersebut tidak
menjelaskan bagaimana perkawinan lintas agama atau kepercayan antara
orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan.
3. Judul Skripsi: Perubahan Sosial Masyarakat Cigugur (Analisis
Perubahan Sistem Mata Pencaharian Masyarakat Cigugur, Kuningan,
Jawa Barat ditulis oleh Ferinaldi. Skripsi tersebut hanya membahas
tentang keihidupan secara luas masyarakat Cigugur Kuningan Jawa
Barat, tidak banyak menyinggung mengenai perkawinan khususnya
mengenai perkawinan antar agama dan kepercayaan. Perbedaan pada
penelitian saat ini adalah skripsi tersebut tidak menjelaskan bagaimana
perkawinan antara orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan yang
terjadi di Cigugur Kuningan Jawa Barat.
G. Metode Penelitian
Metodologi peneltian merupaka suatu sarana pokok dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni. Untuk itu penulis
dalam mengembangkan penelitian ini menggunakan berbagai metodologi
penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasari
pada metode sistematika dan pemikiran-pemikiran tertentu yang
bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu
beserta dangan bagaimana menganalisanya. Pada penelitian ini untuk
mencari dan mendapatkan jawaban atas masalah yang diajukan dengan
mencari data, dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan
dengan dua cara, yaitu menggunakan pendekatan yuridis normatif
(normative legal research), dan pendekatan yuridis empiris (empirical
legal research).24
Pendekatan yuridis empiris dilakukan dengan menelaah ketentuan
normatif yang diterapkan dalam praktek dan sebagai studi kasus atau
24
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), h.13.
15
penelitian hukum yang nondoktrinal, yang bekerja untuk menemukan
jawaban-jawaban yang benar dengan pembuktian kebenaran yang dicari
di atau dari fakta-fakta sosial yang bermakna hukum sebagaimana yang
tersimak dalam kehidupan sehari-hari, atau pula fakta-fakta tersebut
sebagaimana yang telah derinterprestasi dan menjadi bagian dari dunia
makna yang hidup di lingkungan suatu masyarakat tertentu.25
Penelitian
hukum empiris merupakan salah satu jenis penelitian yang menganalisis
dan mengkaji bekerjanya hukum di dalam masyarakat.26
Pendekatan secara yuridis empiris disebut juga dengan sosiologis
(field research) Dilakukan dengan cara mengadakan penelitian secara
langsung kelapangan, yaitu dengan melihat penerapan peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum yang lain yang berkaitan dengan
perkawinan orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan, serta
melakukan wawancara dengan beberapa responden yang dianggap dapat
memberikan informasi mengenai perkawinan orang Islam dengan
Penghayat Kepercayaan hanya mengacu pada aturan-aturan Perkawinan
dan Adiminstrasi Kependudukan.
2. Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, yang
dimaksud dengan penelitian kualitatif adalah penelitian tentang riset yang
bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis. Proses dan
makna (perspektif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif.
Landasan teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian
sesuai dengan fakta di lapangan. Selain itu landasan teori juga
bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian
dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.
25
Sulistyowati Irianto dan Shidarta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis Filosofikal dan
Dogmatikal, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009), h.121.
26 Salim HS., Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan Disertasi,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013), h.20.
16
Penelitian hukum pada dasarnya merupkan suatu kegitan ilmiah
yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikirn tertentu, yang
bertujuan untuk mempeljari suatu atau beberapa gejala hukum tertentu
dengan jalan menganalisanya kecuali, jika diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam
gejala yang bersangkutan.27
3. Bahan Hukum
Materi dalam skripsi ini diambil dari data-data sekunder. Adapun
data-data sekunder yang dimaksud ialah:
a. Bahan hukum primer.
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh
pihak yang berwenang. Dalam tulisan ini di antaranya Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk,
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 37
Tahun 2007 mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan bagi
Penghayat Kepercayaan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
68/PUU-XII/2014 dan Fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005.
b. Bahan hukum sekunder.
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau hasil
kajian tentang Keabsahan suatu perkawinan, dan tatacara pencatatan
perkawinan seperti jurnal-jurnal hukum, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di
atas.
c. Bahan hukum tersier.
27
Bambang Sunggono, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
2012), h.38.
17
Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedi, dan lain-lain.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini analisis data yang digunakan adalah
dengan menganalisis data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan
dan dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif dengan studi kelapangan.
Observasi dilakukan dengan menggunakan sample responden dan
kuesioner di daerah Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat. Studi
kepustakaan dilakukan dengan mencari referensi untuk mendukung
materi penelitian ini melalui berbagai literatur seperti buku, bahan ajar
perkuliahan, artikel, jurnal, skripsi, tesis dan Undang-Undang di berbagai
perpustakaan umum serta universitas.
5. Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis data dalam penelitian ini diawali dengan
mengumpulkan berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta
bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul dalam skripsi ini.
kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata
(word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan
lain yang dimaksudkan dalam isi peraturan perundang-undang tersebut.28
Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan
analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan hukum yang diperoleh
melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek
bahasanya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian
dilakukan eksplikasi, yang diuraikan dan dijelaskan objek yang diteliti
berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai
dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum maupun teori hukum
yang berlaku.
28
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjuan
Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada. h.24.
18
H. Pedoman Penulisan
Pedoman yang digunakan oleh penulis dalam menyusun skripsi ini
berpacu dengan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2017”
I. Sistematika Penulisan
Sesuai dengan buku Pedoman Penulisan Skripsi tahun 2017 dimana
didalamnya termaktub kebijakan penulisan skripsi untuk Fakultas Syariah dan
Hukum. Maka sistematika didalam penulisan skripsi ini tebagi dalam lima
bab, dengan perincian sebagai berikut :
BAB -I : Pendahuluan. Bab ini membahas mengenai Latar Belakang
Masalah, dilanjutkan dengan Identifikasi Masalah, Pembatasan
dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB-II : Aspek Hukum Perkawinan Bagi Orang Islam Dan Penghayat
Kepercayaan Di Indonesia. Bab ini menjelaskan mengenai: Aspek
Hukum Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974, Perkawinan dalam Hukum Islam, Perkawinan Beda Agama
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan antar
Agama dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan dan Perkawinan Beda Agama
menurut Hukum Islam.
BAB -III : Gambaran Umum Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat Dan
Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan. Bab ini menjelaskan
mengenai: Profil Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat, Visi dan
Misi Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat dan Kehidupan Sosial
Masyarakat Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat. Sejarah Aliran
Kepercayaan Sunda Wiwitan.
BAB -IV : Analisis Mengenai Perkawinan Orang Islam Dengan Penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan Di Cigugur Kuningan Jawa Barat.
19
Bab ini merupakan bab yang paling pokok dari penulisan skripsi
ini yang akan menganalisis Identitas Penghayat Kepercayaan
Sunda Wiwitan, Praktik perkawinan orang Islam dengan
Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan di Desa Cigugur
Kuningan Jawa Barat, Upaya untuk mendapatkan pengakuan
terhadap sahnya perkawinan menurut hukum positif dan Analisis
Pribadi.
BAB -V : Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penelitian di
skripsi ini yang berisi kesimpulan dan rekomendasi.
20
BAB II
ASPEK HUKUM PERKAWINAN BAGI ORANG ISLAM DAN
PENGHAYAT KEPERCAYAAN DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
1. Pengertian Perkawinan
Secara etimologi, kata kawin menurut bahasa disamakan dengan
kata “nikah”, atau kata, zawaj. Kata “nikah” disebut dengan an-nikh dan
az-ziwaj. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath'u, adh-dhammu dan al-
jam'u. Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an yang
artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki,
menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama.29
. Sejalan dengan hal tersebut Wahbah al-Zuhaily mengistilahkan
“nikah” memiliki pengertian al-wathi‟ dan al-dammu wa al-tadakhul.
Terkadang juga disebut dengan al-dammu wa al-jam‟u, atau „ibarat „an
al-wath wa al-„aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.30
Menurut Sayyuti Thalib Perkawinan adalah perjanjian suci
membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan.31
Wirjono Prodjodikoro juga mengemukakan bahwa
perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan yang memenuhi syarat-syarat maupun ketentuan yang
termasuk dalam peraturan perundang-undangan.32
29
Ahmad Warson Al-Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997), h.1461.
30 Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqhul Islamii Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh Mahmuddin
Syukri. Juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989), h.29.
31 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986),
h.47.
32 Soedharyo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004, h.3.
21
Pengertian diatas menerangkan secara umum bahwa perkawinan
yang sah hanya dilakukan oleh seorang pria dan wanita agar menjadi
keluarga yang bahagia dan tidak menyebutkan bahwa harus
dilangsungkan menurut agama dan kepercayaan yang dimiliki laki-laki
maupun perempuan. Sedangkan Menurut Pasal 1 Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 mendefinisikan bahwa perkawinan adalah Ikatan lahir
bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1,
Perkawinan adalah
“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Pengertian perkawinan tersebut menurut jika dijabarkan terdapat
beberapa unsur yang menjadi penting untuk dipahami yaitu33
:
a) Ikatan lahir bathin34
Dalam suatu perkawinan tidak hanya cukup dengan ikatan
lahir saja atau ikatan lahir batin saja, akan tetapi keduanya bersifat
kumulatif dan tidak bisa terpisahkan satu sama lain. Ikatan lahir
merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan hubungan
hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama
sebagai suami isteri. Sedangkan ikatan batin merupakan ikatan yang
tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-
pihak yang mengikatkan dirinya. Ikatan batin ini merupakan dasar
ikatan lahir, sehingga dijadikan pondasi pertama dalam membentuk
dan membina keluarga yang kekal dan bahagia.
33
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan Perkawinan di
Indonesia, (Surabya: Airlangga University Press, 2002), h.38.
34 Muhammad Amin Summa, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2005), h.46.
22
b) Antara seorang pria dengan seorang wanita
Ikatan Perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pra dan
wanita. Dengan demikian undang-undang ini tidak melegalkan
hubungan perkawinan antara pria dengan pria maupun wanita
dengan wanita atau antara waria dengan waria. Sehingga hal tersebut
dapat dikategorikan sebagai unsur yang mengandung asas monogami
dalam perkawinan.
c) Sebagai suami istri
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, persekutuan
antara seorang pria dengan seorang wanita dipandang sebagai suami
isteri, apabila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang
sah. Suatu perkawinan dianggap sah bila memenuhi syarat-syarat
intern yaitu: kesepakatan mereka, kecakapan dan juga adanya izin
dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan
perkawinan. Adapun syarat-syarat ekstern harus juga terpenuhi
seperti: syarat yang menyangkut formalitas-formalitas pelagsungan
perkawinan.
d) Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
merupakan tujuan dari perkawinan. Yang dimaksud keluarga disini
adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak-anak yang
merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia. Dalam
mewujudkan kesejahteraan maasyarakat, sangat penting artinya
kesejahteraan dan kebahagiaan keluarga. Membentuk keluarga yang
bahagia erat hubungannyadengan keturunan yang merupakan pula
tujuan perkawinan, sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Untuk dapat mencapai
hal ini maka diharapkan adanya kekekalan dalam perkawinan, yaitu
bahwa sekali orang melakukan perkawinan maka tidak akan bercerai
untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena kematian.
e) Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila (yaitu sila
pertama), maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan
23
agama atau kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur lahir atau jasmani saja, akan tetapi unsur batin atau rohani juga
mempunyai peranan penting.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, definisi mengenai
perkawinan tidak artikan secara jelas sebagaimana yang didefinisikan
dalam Undang-undang Perkawinan, akan tetapi pengaturan mengenai
perkawinan termuat didalam Pasal 26 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Dalam Pasal tersebut dinyatakan bahwa undang-undang
memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata. 35
Berdasarkan aturan diatas R. Subekti juga memberi definisi
perkawinan ialah suatu hidup bersama antara seorang laki-laki dan
perempuan yang memenuhi syarat dalam aturan tersebut. Dengan kata
lain bahwa, menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, perkawinan
itu hanya dilihat dari segi keperdataan dan mengabaikan segi
keagamaan.36
Dengan demikian jelas nampak perbedaan mengenai pengertian
perkawinan menurut KUH Perdata dan menurut Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Perkawinan menurut KUH Perdata
hanya sebagai „Perikatan Perdata‟ sedangkan perkawinan menurut
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tidak hanya sebagai ikatan perdata
tetapi juga merupakan „Perikatan Keagamaan‟.37
Dari pengertian tersebut jelas terlihat bahwa dalam sebuah
perkawinan memiliki dua aspek yaitu38
:
35 Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur, 1974), h.8.
36 Zainudin dan Afwan Zainudin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya, (Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2017), h.13.
37 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar Maju,
2003), h.7-8.
38 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008), h.103-104
24
a. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat „ikatan
lahir batin‟ artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai
ikatan secara lahir tampak pula memiliki ikatan batin yang dapat
dirasakan terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini
merupakan inti dari perkawinan;
b. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya „membentuk
keluarga‟ dan berdasarkan „Ketuhanan Yang Maha Esa‟ artinya
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan
kerohanian, sehingga bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin
berperan penting.
Dengan demikian hakekat perkawinan itu bukan sekedar dilihat
dari segi keperdataan dan mengabaikan segi keagamaan atau ikatan
formal belaka, tetapi juga ikatan batin. Oleh karena itu setiap pasangan
yang telah mengikatkan dirinya menjadi sepasang suami isteri juga
merasakan adanya ikatan batin, hal ini penting untuk dimiliki sebab tanpa
adanya hal tersebut suatu perkawinan mungkin akan menjadi rapuh.
2. Rukun dan Syarat Perkawinan
Perkawinan merupakan suatu peristiwa hukum yang memiliki
akibat hukum apabila dilangsungkannya perkawinan tersebut. Adanya
akibat hukum, penting sekali kaitnaya dengan sah tidaknya perbuatan
hukum. Oleh karena itu, sah tidaknya suatu pernikahan ditentukan oleh
hukum yang berlaku. Salah satunya mengenai rukun dan syarat
perkawinan.39
Dalam melaksanakan suatu perikatan perkawinan terdapat rukun
dan syarat yang harus dipenuhi. Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada
untuk menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah) dan sesuatu
itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.40
Syarat-syarat pernikahan
39
Mubarok Jaih, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy, 2005), h.32.
40 Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman dalam
Masyarakat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h.63.
25
merupakan suatu perbuatan hukum untuk menentukan sahnya
pernikahan.41
Abd al-Wahhab Khalaf menjelaskan bahwa syarat adalah
sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan
sesuatu itu, dan dari ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan
hukum tersebut. Maka pernikahan menjadi sah dan menimbulkan adanya
segala hak dan kewajiban bagi kedua pasangan suami apabila dipenuhi
syarat tersebut.42
Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa
syarat dan rukun perkawinan itu sangat penting untuk dipenuhi dalam
melaksanakan perkawinan. Sebab hal tersebutlah yang akan menentukan
sah atau tidaknya suatu perkawinan.43
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa dalam Undang-
undang Perkawinan syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam Pasal 2
yang menjelaskan perkawinan dilangsungkan menurut agama dan
kepercayaannya. Perumusan Pasal 2 ini mengartikan tidak ada
perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945”. Sehingga jika
disimpulkan bahwa sah atau tidaknya perkawinan itu tergantung pada
ketentuan agama dan kepercayaan dari masing-masing individu atau
orang yang akan melaksanakan perkawinan tersebut.
Adapun syarat-syarat perkawinan lebih lanjut diatur dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yaitu:44
1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
41
Abd al-Wahhab Khalaf, „Ilm Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978), h.118.
42 Rohmansyah. Fiqih Ibadah dan Muamalah. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian, Publikasi
dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. 2017), h.102.
43 Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid Wa-Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), h.409.
44 Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah Luwu,
(Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2015), h.69.
26
2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang
tua,
3. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia
atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang
masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan
kehendaknya,
4. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin
diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan
kehendaknya,
5. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut
dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih
diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan
dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan
melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat
memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini,
6. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku
sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Sedangkan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
menyebutkan bahwa:
1. Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19
(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16
(enam belas) tahun.
27
2. Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta
dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh
kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua
orang tua tersebut dalam Pasal 6 ayat (3) dan (4) Undang-undang
ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2)
pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6
ayat (6).
Seperti yang telah diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974. Di dalam ketentuan ini ditentukan dua syarat
untuk dapat melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat
ekstern.45
Syarat intern yaitu syarat yang menyangkut pihak yang akan
melaksanakan perkawinan, yang meliputi:
1. Persetujuan kedua belah pihak;
2. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencaoai umur 21 tahun;
3. Pria berumur 19 tahun dan wanita 16 tahun pengecualiannya yaitu
ada dispensasi dari pengadilan;
4. Kedua belah pihak tidak dalam keadaan kawin;
5. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus melewati masa
tunggu (iddah).
Bagi wanita yang putus perkawinannya karena perceraian, masa
iddahnya 90 hari dan karena kematian 130 hari.
Syarat ekstern yaitu syarat yang berkaitan dengan formalitas-
formalitas dalam pelaksanaan perkawinan. Syarat-syarat itu meliputi :
1. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah, Talak, dan
Rujuk;
2. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat yang
memuat :
45
Kelil Wardiono dkk, Hukum Perdata, (Surakarta: Muhammadiyah University Press,
2018), h.64.
28
a. Nama, umur, Agama/Kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman
dari calon mempelai dan dari orang tua calon. Di samping itu
disebutkan juga nama istri atau suami yang terdahulu;
b. Hari, tanggal, jam. Dan tempat perkawinan itu dilangsungkan.
Sedangkan menurut KUH Perdata, syarat untuk melangsungkan
perkawinan dibagi menjadi dua macam yaitu syarat materiil dan syarat
formil.
1. Syarat materiil
a. Syarat materiil absolut
b. Syarat materiil relatif
2. Syarat formal
a. Sebelum perkawinan dilangsungkan
b. Pada saat perkawinan dilangsungkan
Syarat materiil absolut adalah syarat yang mengenai pribadi
seorang yang melangsungkan perkawinan. Adapun syarat-syarat tersebut
dapat dilihat dalam ketentuan pasal-pasal sebagai berikut:46
Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1974 bahwa, pada azasnya
dalam suatu peristiwa seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Ketentuan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 selaras dengan
ketentuan Pasal 27 KUHPerdata yang menentukan bahwa dalam waktu
yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai isterinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-
laki sebagai suaminya.
Pada pasal 3 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 terdapat
ketentuan pengecualian yang menentukan bahwa pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang
apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam pasal
ini memberi kesan bahwa setiap suami diperbolehkan beristeri lebih dari
46
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cet.5, (Jakarta:
Kencana, 2015), h.110.
29
seorang, walaupun lebih dulu harus minta izin pada pengadilan dan telah
memenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
Syarat materiil relatif adalah syarat yang mengenai ketentuan-
ketentuan yang merupakan larangan bagi seorang untuk kawin dengan
orang tertentu.47
Dalam melakukan perkawinan ada perkawinan yang
dilarang dilakukan seperti yang termuat di dalam pasal 8 Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan:
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun
ke atas
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang
dengan saudara neneknya.
c. Hubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu datau
bapak tiri.
d. Berhubungann susuan, yaitu orangtua susuan, saudara susuan dan
bibi susuan.
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari
seorang.
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Menurut Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975 mengatur seorang janda
yang hendak kawin lagi. Apabila perkawinan putus karena perceraian,
waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci
dengan sekurangkurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan
ditetapkan 90 hari.
Syarat formil sebelum dilangsungkan perkawinan dalam Peraturan
Pemerintah atau PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 2 ayat 1 berbunyi bahwa
pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
47
Suhardana, Hukum Perdata I, (Jakarta: Prenhallindo, 2001), h.93.
30
menurut agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat. Sedangkan
dalam pasal 3 ayat 1 PP Nomor 9 tahun 1975 menentukan bahwa setiap
orang yang akan melangsungkan perkawinan harus memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan. Adapun yang termasuk rukun perkawinan itu adalah,
adanya calon mempelai pria dan wanita, ada wali nikah, dua orang saksi,
dan akad nikah.48
B. Perkawinan dalam Hukum Islam
Secara etimologi, nikah atau ziwaj dalam bahasa Arab artinya adalah
mendekap atau berkumpul.49
Sedangkan secara terminologi, nikah adalah
akad atau kesepakatan yang ditentukan oleh syara‟ yang bertujuan agar
seorang laki-laki memiliki keleluasaan untuk bersenang-senang dengan
seorang wanita dan menghalalkan seorang wanita untuk bersenang-senang
dengan seorang laki-laki.
Menurut Syara‟, nikah adalah aqad antara calon suami isteri untuk
membolehkan keduanya bergaul sebagai suami isteri.50
Aqad nikah artinya
perjanjian untuk mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita
dengan seorang laki-laki.51
Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam Al-Qur‟an
dengan arti kawin, seperti dalam surat An-Nisa‟ ayat 3:52
) ٣ : أنيست)
48
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 2,
(Yogyakarta: Liberty, 1997), h.30.
49 Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Maz|ahib Al-„Arba‟ah, Juz 4 (Dar El-Hadits,
2004), h.7.
50Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986), h.28.
51Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1974),
h.63.
52 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.35.
31
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim,
maka kawinilah peremuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga
atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu
orang.” (An-Nisa : 3)
Menurut Ulama Syafi‟iyah nikah adalah suatu akad dengan
menggunakan lafal nikah atau zawj yang pada dasarnya memberikan makna
wathi‟ (hubungan intim). Sehingga jika diartikan bahwa pernikahan seseorang
dapat memiliki atau dapat kesenangan dari pasangannya.53
Dalam pandangan
Islam di samping perkawinan itu sebagai perbuatan ibadah, perkawinan juga
merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul. Sunnah Allah, berarti: menurut
qudrat dan iradat Allah dalam penciptaan alam ini, sedangkan sunnah Rasul
berarti suatu tradisi yang telah ditetapkan oleh Rasul untuk dirinya sendiri dan
untuk umatnya. Meski sebagai bentuk ibdah akan tetapi perkawinan juga bisa
saja dilarang untuk dilangsungkan apabila melakukan perkawinan dengan
orang yang berbeda agama.54
Sedangkan di Indonesia bagi umat Islam selain tunduk dan patuh
terhadap Al-Quran dan Hadist sebagai sumber hukum dalam perkawinan,
mengikat sebuah hukum formil yakni Kompilasi Hukum Islam. Dalam buku I
Kompilasi Hukum Islam mengatur mengenai perkawinan memberikan
pengertian tentang perkawinan yang tertuang didalam Pasal 2, yaitu:55
“Perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk mentaati perintah
Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari ungkapan “berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan. Hal ini lebih menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat
Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang
melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.
53
Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999), h.298.
54 Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh Al-Islâmî Wa Adillatuh, Jilid IX, h.6654.
55 Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2012), h.7.
32
Dalam Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan bahwa
perkawinan bertujuan untuk membangun kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. Adapun dalam Rukun dan Syarat
perkawinan dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan dalam Pasal 14 yakni:
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.
Dalam Islam para imam madzhab memiliki pandangan yang berbeda
mengenai rukun perkawinan. Imam asy-Syafi‟i menyebutkan bahwa rukun
nikah itu ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi dan
sigat. Menurut Imam Malik rukun nikah itu adalah wali, mahar calon suami,
calon istri, sigat.56
Mahar/ mas kawin adalah hak wanita. Karena dengan
menerima mahar, artinya mereka suka dan rela dipimpin oleh laki-laki yang
baru saja mengawininya. Mempermahal mahal adalah suatu hal yang dibenci
Islam, karena akan mempersulit hubungan pernikahan di antara sesama
manusia. Dalam hal pemberian mahar ini, pada dasarnya hanya sekedar
perbuatan yang terpuji (istishab) saja, walaupun menjadi syarat sahnya nikah.
Sebagaimana saksi menjadi syarat sahnya nikah menurut Imam asy-syafi‟i.57
C. Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan dalam Peraturan Perundang-
undangan
1. Landasan Hukum Penghayat Kepercayaan
Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai salah satu
bagian dari warisan budaya bangsa yang juga dikenal dengan budaya
spiritual secara realistis masih hidup dan berkembang serta diyakini oleh
56
Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, Juz 4 (Dar El-Hadits, 2004),
h.12. 57
Abu Zahrah, Muhammad. Al Ahwal Al Syakhsiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arobi, 1957),
h.123.
33
sebagian masyarakat Indonesia. Kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa merupakan karya kebatinan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa
dalam menghayati dan mengamalkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa
dalam konsepsi kesatuan, kesempurnaan, kesejahteraan dan kebahagiaan
lahir dan batin manusia yang menyakininya baik untuk dunia maupun
untuk kehidupan setelahnya.58
Dalam Pasal 1 ayat 3 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri
dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor 43/41 Tahun 2009
tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap
Ketuhanan Yang Maha Esa menyebutkan bahwa Masyarakat Indonesia
yang sampai saat ini masih bertahan dengan kepercayaan adat asli
Indonesia disebut sebagai “Penghayat Kepercayaan”. Adapun penjelasan
mengenai Penghayat Kepercayaan adalah setiap orang yang mengakui
dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Menurut Agus Cremers Kepercayaan adalah perbuatan percaya
yang intens, secara pribadi dan sangan fundamental untuk menjalani
kehidupan yang terjadi dalam bentuk keagamaan ataupun tidak.59
Adapun pengertian lain mengenai kepercayaan dapat dilihat dalam Pasal
1 angka 18 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang menyebutkan:
Kepercayaan adalah peryataan dan pelaksanaan hubungan pribadi
dengan Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan keyakinan yang diwujudkan
dengan perilaku ketaqwaan dan peribadatan terhadap Ketuhanan Yang
58 Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(Sebuah Wacana), (Jakarta: Bidang Pelesatarian dan Pengembangan Kebudayaan ASDEP Urusan
Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, 2002), h. 35.
59 Agus Cremers, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W. Fowler:
Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama, Cet I, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), h.48.
34
Maha Esa serta pengalaman budi luhur yang ajarannya bersumber dari
kearifan lokal bangsa Indonesia.
Selanjutnya dalam Pasal 1 angka 19 menegaskan bahwa:
Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,
selanjutnya disebut sebagai Penghayat Kepercayaan adalah setiap yang
mengakui dan meyakini nilai-nilai penghayatan kepercayaan terhadap
Tuhan Yang Maha Esa.
Semangat negara pasca reformasi untuk menjamin hak setiap warga
negara terutama bagi Penghayat Kepercayaan dibuktikan dengan
membuat wadah organisasi Penghayat Kepercayaan guna memberikan
perlindungan dan menjamin hak-hak Penghayat Kepercayaan dalam
menjalankan kegiatan spiritual yang dapat dilihat dalami Pasal 1 ayat 4
Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan
Pariwisata Nomor 43/41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan
Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa,
bahwa Penghayat Kepercayaan adalah suatu wadah penghayat
kepercayaan yang terdaftar di Departemen Kebudayaan dan Pariwisata.60
Organisasi Penghayat Kepercayaan harus melaporkan
organisasinya pada Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, kemudian
akan dibuatkan Suat Keterangan Terinventarisasi yang menyatakan
bahwa organisasi Penghayat kepercayaan terinventaris oleh negara, yang
kemudian mengajukan kepada Gubernur atau Bupati Walikota untuk
diterbitkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) organisasi Penghayat
Kepercayaan.
Penjaminan negara terhadap Penghayat Kepercayaan semakin
diperkuat dengan hadirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang semula melalui Undang-
undang Administrasi Kependudukan mereka sulit untuk dicatatkan di
kantor catatan sipil sebagai warga negara karena harus dipaksa memilih
60
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba746a098f9c/aliran-kepercayaan-semakin-
mendapat-legitimasi-hukum diakses pada 26 Januari 2019 Pukul 00.15 WIB
35
salah satu agama dari enam agama yang diakui atau mengosongkan
kolom agama di Kartu Tanda Penduduknya. Kini sudah mendapatkan
kepastian hukum dengan memberikan hak kepada para Penghayat
Kepercayaan untuk mencantumkan identitas dirinya di Kartu Tanda
Penduduk dengan mencantumkan dirinya sebagai Penghayat kepercayaan
tanpa harus mengkosongkan kolom agama atau terpaksa memilih satu
dari enam agama yang diakui.61
2. Status Hukum Perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan.
Pasal 28B ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa Setiap warga negara berhak
membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan
yang sah, amanat konstitusi tersebut mengharuskan negara memberikan
hak kepada setiap warga negaranya untuk mendapatkan pengakuan atas
perkawinan yang dilangsungkan terutama bagi Penghayat Kepercayaan.
Dalam hal ini Penghayat Kepercayaan tetap tunduk dan patuh
terhadap Undang-undang Perkawinan yang kemudian dujelaskan melalui
Peraturan Pelaksana Nomor 9 Tahun 1975 yang dalam BAB II yang
mengatur mengenai pencatatan perkawinan dalam pasal 2 (1) dijelaskan
bahwa pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk.
Penganut Penghayat Kepercayaaan berdasarkan aturan diatas maka
merujuk pada peraturan perundang-undangan lain yang mencangkup
perkawinan diluar agama Islam. Untuk mendapatkan keabsahan suatu
perkawinan sejatinya diakomodir dalam Undang-undang Nomor 23 tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan, meski belum mencangkup
secara detail untuk melindungi hak Penghayat Kepercayaan setidaknya
61
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41886935 diakses pada 26 Januari 2019 Pukul
00.22 WIB
36
negara mengakui keberadaan dari aliran-aliran kepercayaan dan juga hak
dari penghayatnya.
Penjaminan hak Penghayat kepercayaan didalam Undang-undang
Administrasi Kependudukan tidak lain merupakan bentuk koherensi
Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang
menyebutkan bahwa sahnya perkawinan adalah dilakukan menurut
hukum masing-masing agama dan kepercayaannya serta dicatatkan
menurut peraturan-perundang-undangan.62
Lebih lanjut, pemerintah telah memberikan aturan mengenai
keabsahan perkawinan yang dilangsungkan oleh Penghayat Kepercayaan
yang melalui Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan yang menyebutkan bahwa63
:
Surat Perkawinan Penghayat Kepercayaan adalah bukti terjadinya
perkawinan Penghayat Kepercayaan yang dibuat, ditandatangani dan
disahkan oleh Pemuka Penghayat Kepercayaaan
Adapun secara detail mengenai pelaksanaan dan tata cara
memperoleh keabsahan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan
dijelaskan dalam BAB X tentang Persyaratan Dan Tata Cara Pencatatan
Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan Pasal 81, 82, 83 dan Pasal 88
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan.64
Pasal 81 menjelesakan:
(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka
Penghayat Kepercayaan.
62
Harun Nur Rosyid, dkk, Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat, (Jakarta:
Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan, 2004), hlm 27.
63 Ahmad Syafii Mufid (ed), Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di
Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012), h.97.
64 Drs.Abdul Mutholib Ilyas, Drs.Abdul Ghofur Imam, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan
di Indonesia, (Surabaya: Amin, 1988), h12-13.
37
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan,
untuk mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat
Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis
membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Selanjtnya, Pasal 82 menjelesakan:
Peristiwa perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat
(2) wajib dilaporkan kepada Instansi Pelaksana (UPTD) paling lambat 60
(enam puluh) hari dengan menyerahkan:
a. surat perkawinan Penghayat Kepercayaan;
b. fotokopi KTP;
c. pas foto suami dan istri;
d. akta kelahiran; dan
e. paspor suami dan/atau istri bagi orang asing.
Pasal 83 menjelesakan:
(1) Pejabat Instansi Pelaksana atau UPTD Instansi Pelaksana mencatat
perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 dengan tata cara:
a. menyerahkan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan
suami istri;
b. melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang tercantum
dalam formulir pencatatan perkawinan; dan
c. mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan
kutipan akta perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(2) Kutipan akta perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
c diberikan kepada masing-masing suami dan istri.
Selanjutnya pada BAB XIII Ketentuan Peralihan Pasal 88
menjelesakan: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
38
a. Pelayanan administrasi yang berkaitan dengan pencatatan sipil di
kecamatan, masih tetap dilaksanakan oleh Instansi Pelaksana sampai
dibentuknya UPTD Instansi Pelaksana; dan
b. Perkawinan Penghayat Kepercayaan yang dilakukan sebelum
Peraturan Pemerintah ini berlaku wajib dicatatkan paling lama 2
(dua) tahun setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 82 huruf a, huruf b, huruf c dan/atau huruf e.
Dari ketentuan tersebut, pemuka Penghayat Kepercayaan memiliki
peran yang sangat penting dalam pelaksanaan perkawinan yang
dilangsungkan oleh penganut Penghayat Kepercayaan. Pemuka
Penghayat Kepercayaan bertanggung jawab dalam melaksanakan
pencatatan perkawinan serta mengisi dan menandatangani surat atas
terjadinya perkawinan Penghayat Kepercayaan yang nantinya akan
dijadikan bukti ke Kantor Catatan Sipil untuk mendapatkan keabsahan.
D. Perkawinan Antar Agama dan Penghayat Kepercayaan menurut
Peraturan Perundang-undangan dan Hukum Islam
1. Perkawinan Antar Agama dan Penghayat Kepercayaan dalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Pengaturan hukum perkawinan di Indonesia diatur didalam
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 sejatinya tidak ada aturan yang
menjelaskan mengenai legalitas perkawinan antar agama dan Penghayat
Kepercayaan, semuanya mengacu kepada Pasal 2 yang menyatakan
perkawinan adalah sah apabila dilangsungkan menurut agama dan
kepercayaannya. Secara eksplisit Undang-undang Perkawinan tidak
secara tegas memperbolehkan atau melarang suatu perkawinan yang
antar agama dan Penghayat Kepercayaan.65
Hazairin mengungkapkan bahwa aturan Pasal 2 Undang-undang
Perkawinan bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar hukum
65
Sudargo Gautama, Hukum Antar Golongan, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980),
h.12.
39
agamanya sendiri, jadi bagi orang yang beragama Islam tidak ada
kemungkinan untuk melangsungkan perkawinan dengan melanggar
aturan hukum agamanya demikian bagi agama-agama yang lain termasuk
bagi pemeluk penghayat kepercayaan.66
Namun, Pasal 8 huruf (f) Undang-undang Perkawinan menyatakan
Perkawinan dilarang antara dua orang yang: mempunyai hubungan yang
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin,
maksudnya pelarangan perkawinan antar agama maupun kepercayaan
berlaku apabila agama atau kepercayaannya melarang terjadinya
perkawinan tersebut.67
Sehingga Pasal 2 dan Pasal 8 Undang-undang
Perkawinan menyerahkan permasalahan nikah antar agama maupun
kepercayaan kepada masing-masing pihak.
Meski demikian, Pasal 66 Undang-undang Perkawinan
menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan selama
Undang-undang perkawinan belum mengaturnya. Dengan demikian
polemik perkawinan antar agama dan Penghayat Kepercayaan mungkin
dapat dikoherensikan kepada pengaturan perkawinan campuran
sebagaimana aturan sebelum lahirnya Undang-undang perkawinan,
namun menurut Pasal 57 Undang-undang Perkawinan menyebutkan
bahwa perkawinan campuran itu hanya terkait perkawinan antar negara
yakni bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menikah dengan Warga
Negara Asing (WNA).
Oleh karena itu banyak pihak yang menyatakan bahwa perkawinan
campuran mengenai antar agama dan Penghayat Kepercayaan tidak
diatur didalam Undang-undang perkawinan, maka aturan terhadap
pelaksanaan perkawinan antar agama dan Penghayat Kepercayaan
mengacu kepada Peraturan Perkawinan Campuran (Gemengde Huwelijke
Reglement Staatblad 1898 Nomor 158) yang di dalam Pasal 7 ayat 2
66
Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1978), h.16.
67 Sayut Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1986), h.18
40
GHR tersebut tidak sama sekali melarang perkawinan beda agama. 68
Bahkan tidak ada aturan baik dalam GHR maupun Undang-undang
Perkawinan yang membahas mengenai aturan antar agama dan
Penghayat Kepercayaan, semua aturan tersebut kembali kepada Pasal 2
ayat 1 dan 2 Undang-undang Perkawinan.
2. Perkawinan Antar Agama dan Pernghayat Kepercayaan dalam
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
Menurut Undang-undang Administrasi Kependudukan perkawinan
beda agama maupun antar Kepercayaan hanya ditekankan pada instansi
yang berhak untuk mencatatkan sebuah perkawinan serta bagaimana
prosedur dilaksanakannya. Lahirnya Undang-undang Administrasi
Kependudukan memberikan wewenang baru kepada Kantor Catatan Sipil
untuk mencatatkan suatu perkawinan, yang mana sebelum ada aturan ini
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor
1400/K/Pdt/1986 yang menyebutkan bahwa Kantor Catatan Sipil bisa
menolak untuk mencatatkan perkawinan yang terjadi apabila kedua
pasangan calon suami isteri berbeda agama dan keyakinan karena belum
ada legalitasnya.69
Persoalan mengenai pelaksanaan perkawinan antar agama dan
Penghayat Kepercayaan dalam Undang-undang Administrasi
Kependudukan menjawab kebuntuan hukum yang ada sekaligus sebagai
sintesa untuk mencegah adanya penyeludupan hukum. Dalam Pasal 35
huruf a memberikan kemungkinan untuk diberikannya ruang terhadap
pelaksanaan perkawinan antar agama dan Penghayat Kepercayaan di
Indonesia, adapun pasal tersebut menjelaskan sebagai berikut:
“Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
berlaku pula bagi: a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan;”
68
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama, Cet 1, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h.66.
69 Muhammad Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yurisprudensi Bidang Hukum Perdata,
(Jakarta: Kencana, 2014), h.32-33.
41
Kemudian dalam bagian penjelasan Pasal 35 Undang-undang
Administrasi Kependudukan mengenai perkawinan yang ditetapkan oleh
pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda
agama. Namun bukan berarti perkara yang mudah untuk dapat keabsahan
atas perkawinan yang terjadi sebab harus ada permohonan kepengadilan
yang kemudian Hakim Pengadilan Negeri akan menilai dan
mempertimbangkan untuk ditetapkan permohonan tersebut.70
Polemik mengenai perkawinan antar agama didalam Undang-
undang Administrasi Kependudukan ialah sebatas pada pencatatan
perkawinan terkait keabsahan suatu perkawinan, adapun bagi pasangan
yang berbeda agama atau kepercayan ia harus mendapat penetapan dari
pengadilan sehingga keabsahan perkawinanya ditentukan oleh Hakim
yang akan menetapkan barulah ia boleh dicatatkan pada instansi
setempat. Maksud dari instansi setempat adalah bukan mengacu pada
Pasal 34 ayat 4 Undang-undang Administrasi kependudukan yang
menyatakn:
“Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk
yang beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.”
Sebab Kantor Urusan Agama (KUA) hanya mencatatkan
perkawinan bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam dan memeluk Agama Islam bagi kedua pasangan laki-laki
maupun perempuan, diluar daripada itu maka dicatatkan melalui Kantor
Catatan Sipil, termasuk perkawinan beda agama sebagai kewenangan
baru pasca lahirnya Undang-undang Administrasi Kependudukan.71
3. Perkawinan antar Agama dan Penghayat Kepercayaan menurut
Hukum Islam
70
Neneng Djubaidah, Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut Hukum
Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam), Cet. I (Jakarta: Sinar Grafika, 2010) h.225
71 Frans Hendra Winarta, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, (Jakarta: Kompas Media
Nusantara, 2009), h.143.
42
Kompilasi Hukum Islam secara tegas mengatur tentang larangan
perkawinan antara orang Islam dengan orang yang bukan beragama
Islam. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44
Kompilasi Hukum Islam. Pada pasal 40 huruf (c) mengatur larangan
melangsungkan perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita
yang yang tidak beragama Islam. Pasal 44 mengatur bahwa seorang
wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria
yang tidak beragama Islam.72
Dalam hukum Islam perempuan yang beragama Islam dilarang
menikah dengan laki-laki yang bukan beragama Islam baik dia itu ahli
kitab ataupun lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Adapun Al-
Qur‟an dalam Surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan:73
( ٢٢١ : البقرة )
Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran”(Al-Baqarah - 221)
72
Agus Hermanto, LARANGAN PERKAWINAN: Dari Fikih, Hukum Islam, Hingga
Penerapannya Dalam Legislasi Perkawinan Indonesia, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books,
2016), h.122.
73 Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Bangil: PT. Bina
Ilmu, 1976), h.252.
43
Meskipun ayat diatas telah menerangkan tentang larangan menikah
dengan orang yang tidak beragama Islam akan tetapi, sering terjadi orang
Islam membangkang aturantersebut untuk menikah dengan orang yang
tidak beragama Islam. Seiring berjalannya waktu pasti aka nada
pergeseran nilai pemahaman agama dalam dirinya, terutama saat
memiliki keturunan maka akan terjadi pertentangan untuk
memperebutkan status agama anaknya, sehingga tidak ada ketenangan
yang hakiki dalam hatinya, dan bisa berimplikasi pada keharmonisan
rumah tangganya. Begitu pentingnya nilai agama yang harus dimiliki
oleh orang yang mencari pasangan hidupnya untuk menciptakan keluarga
yang penuh cinta dan keberkahan.74
Selain itu Majelis Ulama Indonesia melalui dalam Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 1 Juni 1980 difatwakan bahwa:
1. Pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah
haram hukumnya.
2. Seorang laki-laki Muslim dilarang mengawini wanita bukan muslim.
Tentang pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita Ahli
Kitab terdapat perbedaan pendapat. Setelah mempertimbangkan
bahwa mafsadah-nya lebih besar daripada maslahat-nya, Majelis
Ulama Indonesia memfatwakan pernikahan itu haram.
Pengharaman ini bertitik dari pemahaman Al-Qur‟an Surat Al-
Baqarah ayat 221 serta melihat realitas yang banyak menimbulkan
implikasi negative maka MUI memutuskan hukum haram terhadap
perkawinan beda agama.75
Kemudian Fatwa MUI tentang perkawinan
beda agama tanggal 1 Juni 1980 tersebut, pada tanggal 28 Juni 2005
74
Ali Mansur, Hukum dan Etika Pernikahan dalam Islam, (Malang: UB Press, 2017), h.15-
16.
75 Gibtiah, Fikih Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2016), h.32.
44
diubah oleh Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4/MUNAS
VII/MUI/8/2005 tentang perkawinan beda agama sebagai berikut:76
1. Perkawinan antara orang Islam dengan orang bukan Islam adalah
haram dan tidak sah.
2. Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahli Kitab, menurut
Qaul Mu‟tamad, adalah haram dan tidak sah.
Dari penjelasan tersebut sebenarnya mengartikan bahwa persoalan
nikah beda agama dalam konteks negara Indonesia adalah persoalan
hukum. Sementara tafsiran agama-agama tentang pernikahan antara
penganut agama bersangkutan dengan penganut agama lain adalah
persoalan teologis dan tafsir-tafsir keagamaan.77
76
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat Menurut
Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam,(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.120.
77 Ahmad Baso & Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama; Kesaksian, Argumen
Keagamaan dan Analisis Kebijakan, (Jakarta: Komnas HAM, 2005), h.7.
45
BAB III
GAMBARAN UMUM DESA CIGUGUR KUNINGAN JAWA BARAT DAN
PENGHAYAT KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN
A. Profil Cigugur, Kuningan Jawa Barat
1. Lokasi, Letak dan Luas Daerah Cigugur, Kuningan Jawa Barat
Pada awalnya desa ini bernama Padara, nama yang merujuk pada
pendiri desa yaitu; Ki Gede Padara. Beliau hidup kira-kira pada abad ke
XIV, namun belum ada sumber yang pasti mengenai keberadaanya.
Nama Ki Gede Padara awalnya berasal dari kata Padar Tarak yakni
sebutan masyarakat setempat yang memberikan gelar atau julukan bagi
pendiri desa ini yang melakukan laku tapa dengan tekun. Menurut tokoh
masyarakat, kata padar Tarak kemudian berkembang akibat adanya
penyederhanaan menjadi Padara, sedangkan kata Cigugur yang menjadi
nama desa ini, menurut ketua adat, berasal dari kata gugur yang berarti
halilintar. Nama Cigugur menurut cerita lisan diberikan oleh Sunan
Gunung Djati yang ketika hendak mengambil air wudhu tiba-tiba ada
halilintar yang menandakan akan turun hujan.
Desa Cigugur adalah salah satu desa yang terletak di kecamatan
Cigugur kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Desa ini menjadi salah satu
tujuan wisata yang ada di kabupaten Kuningan. Wisatawan yang
berkunjung ke desa ini tidak saja berasal dari kabupaten Kuningan
semata melainkan juga dari Cirebon, Majalengka, dan daerah-daerah
sekitarnya. Kehidupan masyarakat Cigugur umumnya adalah seorang
petani sebab kehidupan pertanian sangat dekat dengan mereka sebab
secara geografis sebagian wilayahnya adalah persawahan dan ladang
sehingga bisa jadi sarana utama penunjang ekonomi masyarakatnya.78
Desa Cigugur terletak pada titik kordinat 1080 27‟ 15” BT dan 05
0
58‟ 8” LS. Secara geografis posisi Kelurahan Cigugur, Kecamatan
78
R.H. Hasan Mustapa, Adat Istiadat Orang Sunda, Penerjemah: Maryati Sastrawijaya,
(Bandung: Penerbit Alumni, 1985), h.83.
46
Cigugur, Kabupaten Kuningan merupakan salah satu Kelurahan yang
terletak di sebelah barat dari “pusat kota” Kabupaten Kuningan yang
berjarak + 3,5 Km dari Ibu Kota Kabupaten dan terletak di kaki gunung
Ciremai bagian timur. Berada pada ketinggian + 661 M dari permukaan
laut. Luas wilayah Kelurahan Cigugur adalah 300,15 Ha dengan batas
wilayah sebagai berikut:
Sebelah Uatara : Kelurahan Cipari
Sebelah Timur : Kelurahan Kuningan
Sebelah Selatan : Kelurahan Sukamulya
Sebelah Barat : Desa Cisantana
Di sebelah utara desa Cigugur, yakni desa Cipari, ditemukan
berbagai macam benda peninggalan zaman pra-sejarah, mulai dari peti
mati yang terbuat dari batu, dolmen, menhir, dan juga benda-benda
hiasan yang terbuat dari berbagai macam jenis bebatuan.
2. Keadaan Iklim
Kelurahan Cigugur dengan ketinggian kurang lebih 661 mdpl pada
umumnya dipengaruhi oleh iklim tropis dan angin muson dengan suhu
rata-rata di Kelurahan Cigugur adalah 180 – 28
0 C.
3. Kondisi Demografi79
Jumlah Penduduk Kelurahan Cigugur tercatat sebanyak 7.394
orang/jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk mencapai 2.320
Jiwa/Km2. Komposisi Penduduk di Kelurahan Cigugur tercatat sebagai
berikut:
Jenis Kelamin
NO Jenis Kelamin Jumlah
1. Laki-Laki 3.807 Orang
2. Perempuan 3.587 Orang
79
Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,
Cigugur, 1 Maret 2019
47
Agama dan Kepercayaan80
NO Agama Jumlah
1. Islam 4.434 Orang
2. Protestan 216 Orang
3. Katholik 2.706 Orang
4. Hindu 2 Orang
5. Budha 4 Orang
6. Kepercayaan 184 Orang
7. Lain-Lain 0 Orang
Pendidikan
NO Pendidikan Jumlah
1. Lulusan SD / Sederajat 1.442 Orang
2. Lulusan SLTP / Sederajat 898 Orang
3. Lulusan SLTA / Sederajat 1.607 Orang
4. Lulusan Akademi / Universitas 668 Orang
Pekerjaan
NO Pekerjaan Jumlah
1. PNS / TNI / POLRI 475 Orang
2. Wiraswasta / Pedangang 583 Orang
3. Karyawan Swasta 590 Orang
4. Buruh 668 Orang
5. Petani 294 Orang
6. Peternak 296 Orang
7. Industri Kecil 4 Orang
80
Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,
Cigugur, 1 Maret 2019
48
4. Kehidupan Sosial Masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat
Gambar 1.1 (Wilayah Cigugur tempat kehidupan masyarakat cigugur)
Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur
sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya
merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap
masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar
manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Tidak ada masyarakat
yang tidak mengalami perubahan, sebab kehidupan sosial adalah
dinamis. Setiap masyarakat manusia selama hidup pasti mengalami
perubahan-perubahan, termasuk perubahan yang menyentuh unsur-unsur
dari kebudayaan. Koentjaraningrat berpendapat bahwa tujuh unsur
kebudayaan universal tersebut, yaitu81
:
Sistem Religi
Organisasi Sosial
Sistem Pengetahuan
Bahasa
Kesenian
Sistem Mata Pencarian Hidup
81
Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Aksara Baru, 1980), h.217.
49
Sistem peralatan hidup dan teknologi
Perbedaan keyakinan yang dimiliki masyarakat Cigugur tidak
membuat mereka saling membenci melainkan saling menghormati dan
menghargai keyakinan masing-masing sehingga mereka bisa hidup
berdampingan secara damai. Di antara contoh dari sikap penghargaan
terhadap keyakinan orang lain adalah dengan kebebasan menjalankan
keyakinannya, seperti pelaksanaan upacara tradisi Seren Taun yang
dilaksanakan oleh penganut Penghayat Kepercayaan82
Di samping melalui mitos, masyarakat memiliki mekanisme sendiri
dalam menjaga dan melestarikan kehidupannya. Salah satu cara yang
digunakan oleh masyarakat untuk keselamatan hidupnya adalah melalui
upacara tradisi. Seperti upacara Seren Taun. Upacara Seren Taun
merupakan salah satu tradisi yang dimiliki oleh masyarakat agraris Sunda
sebagai ungkapan rasa syukur pada pemberian Tuhan yang melimpah
melalui tanah yang subur dan hasil yang melimpah. Upacara ini juga
merupakan bentuk ajaran moral yang disampaikan secara nonverbal
supaya manusia berlaku adil terhadap alam.
Ungkapan syukuran tersebut disimbolkan dengan penyerahan
berbagai produk pertanian yang dihasilkan, terutama padi. Karena padi
tidak bisa dipisahkan dengan kisah Pwah Aci Sanghyang Asri (Dewi Sri)
pemberi kesuburan yang turun ke Marcapada, seperti yang ada dalam
kisah klasik masyarakat Pasundan. Pada upacara Seren Taun inilah, kisah
klasik Karuhun masyarakat agraris Sunda digambarkan, termasuk tentang
perjalanan turunnya Pwah Aci Syanghyang Asri, ke muka bumi.
Upacara Seren Taun ini dihadiri oleh berbagai kalangan masyarakat
yang datang sendiri maupun yang diundang. Tamu tetap yang selalu
menghadiri upacara ini adalah beberapa masyarakat adat yang tersebar di
Jawa, seperti masyarakat Badui di Kanekes, Banten, masyarakat Sedulur
Sikep (Samin) di Jepara, masyarakat Osing di Banyuwangi, dan
82
Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,
Cigugur, 1 Maret 2019
50
masyarakat Bumi Segandu atau lebih dikenal sebagai Dayak Indramayu.
Kedatangan mereka karena adanya undangan dari ketua Adat masyarakat
Cigugur dan juga rasa persahabatan. Persahabatan ini terjalin karena
mereka sama-sama merasa sebagai “kelompok yang tersisih” dengan
menganut “agama lokal”.
Kehidupan masyarakat di desa Cigugur yang berbeda agama dan
kepercayaan tak membuat jarak diantara kehidupan masyarakat
melainkan menjadikan kekuatan atas persatuan dan kesatuan masyarakat
di Cigugur, inilah keunikan desa Cigugur yang banyak orang mengakui
sikap toleransi keberagaman di wilayah ini.83
Ira Indrawarna pun
mengungkapkan bahwa sikap toleransi dapat dilihat dari stratasosioal
yang paling dasar yakni keluarga, sebab di Cigugur fenomena menikah
antar agama dan kepercayaan bukanlah hal yang tabu. Melainkan
menjadi sesuatu hal yang umum dan lumrah terjadi namun tidak
membuat terjadinya perselisihan sebab Ira memahami bahwa agama dan
kepercayaan pada dasarnya sama yakni mengajarkan nilai kebaikan
sesama manusia bukan memberikan tirai dalam kehidupan sosial.
Lebih lanjut, bahwa sikap toleransi dan keberagaman dapat dilihat
dari pemakaman yang ada di Cigugur, jika pada umumnya tempat
pemakaman dibagi berdasarkan golongan agama dan kepercayaan, lain
halnya dengan Cigugur yang justru menjadikan tempat pemakaman
umum adalah satu dan tidak ada pengkotak-kotakan wilayah untuk
agama dan kepercayaan. Bahkan apabila terdapat tokoh masyarakat yang
meninggal dunia tak jarang pada tradisi “tahlilan” dilangsungkan dengan
doa dari berbagai agama dan kepercayaan yang ada di Cigugur.
Masuknya agama Kristen dan menjadi salah satu agama yang
dianut oleh masyarakat Cigugur menjadi salah satu penyebab terjadinya
perubahan sistem mata pencaharian masyarakat Cigugur, meskipun tidak
merubah secara langsung, artinya tidak merubah dari satu profesi ke
83
Pak Hasyim, Petugas Kelurahan Cigugur Kuningan Jawa Barat, Interview Pribadi,
Cigugur, 1 Maret 2019
51
profesi lain. Contohnya, masyarakat Cigugur yang berprofesi sebagai
peternak, sebelum Kristen masuk hewan ternak mereka adalah ayam,
bebek atau budidaya ikan. Tetapi setelah Kristen masuk ada yang
menjadikan babi sebagai hewan ternak mereka.
Gambar 1.2 (Gedung Paseban pusat kegiatan Penghayat Sunda Wiwitan)
Perubahan sistem mata pencaharian masyarakat Cigugur sesuai
dengan teori evolusi kebudayaan Lewis Henry Morgan. Menurutnya,
keseragaman dan kelangsungan evolusi berasal dari kebutuhan material
manusia yang bersifat universal dan terus-menerus. Sejarah manusia
mengikuti tiga fase berbeda: Kebuasan, Barbarisme, dan Peradaban,
dibatasi oleh terobosan teknologi yang berarti. Begitulah, dalam fase
kebuasan rendah terlihat pola pencarian nafkah yang sangat sederhana
dengan mengumpulkan buah-buahan dan biji-bijian.84
84
Piotr Sztompka, Sosiologi Perubahan Sosial, (Jakarta: Prenada Media Group, 2008),
h.121
52
B. Identitas Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan
1. Sejarah Penghayat Sunda Wiwitan
Agama lokal merupakan sesuatu yang diidentikan pada sistem
kepercayaan asli nusantara, yaitu agama tradisional yang telah ada atau
lebih dahulu dikenal masyarakat Indonesia jauh sebelum kedatangan
agama-agama yang diakui saat ini seperti Islam, Katolik, Kristen, Hindu,
Budha dan Kong Hu Cu. Adapun agama lokal tersebut tersebar hampir
disetiap daerah dengan berbagi nama kepercayaan yang diyakini dan
dianut oleh masyarakat Indonesia seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk
oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan
aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa
penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa
Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim,
agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas
Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan;
Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Propinsi Maluku, dan
lain-lain.
Sunda wiwitan adalah sebuah aliran kepercayaan orang-orang
Sunda terdahulu. Mereka meyakini kepercayaan tersebut sebagai
kepercayaan Sunda asli/kepercayaan masyarakat asli Sunda.85
Kepercayaan Sunda Wiwitan terdiri dari dua kata “Sunda” dan
“wiwitan”. Menurut Djatikusumah sebagai mana dikutip Ira, Sunda dapat
dimaknai dengan tiga konsep dasar, yaitu:
Filosofis yang berarti bersih, indah bagus cahaya.
Etnis yang merujuk kepada sebuah komunitas masyarakat layaknya
masyarakat lainnya.
Geografis yang merujuk pada penamaan suatu wilayah. Dalam hal
ini di bedakan dengan istilah Sunda besar yang meliputi pulau besar
85
Roger L. Dixson, Sejarah Suku Sunda, Jurnal: Teologi dan Pelayanan, Oktober, 2000,
h.203
53
di Indonesia (saat itu nusantara) seperti jawa, Sumatera, Kalimantan,
dan Sunda kecil yang meliputi Bali, Sumbawa, Lombok Flores dan
lain-lain.
Sedangkan wiwitan berarti asal mula. Dengan demikian, Sunda
wiwitan berarti Sunda asal atau Sunda yang asli. Dengan pengertian di
atas, Sunda wiwitan dimaknai sebagai aliran kepercayaan yang dianut
oleh orang Sunda asli dari dahulu hingga saat ini. Kepercayaan Sunda
wiwitan juga dibuktikan dengan adanya temuan arkeologi di berbagai
daerah seperti situs Cipari kabupaten Kuningan, situs Arca Domas di
Kanekes Kabupaten Lebak, serta yang paling fenomenal situs gunung
padang yang ada di kabupaten Cianjur. Temuan tersebut menunjukkan
bahwa orang Sunda awal telah memiliki sistem kepercayaan.86
Masyarakat tradisional Sunda menganut paham kepercayaan yang
memuja terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (Animisme dan
Dinamisme) yang di kenal dengan Agama/aliran Sunda wiwitan. Akan
tetapi ada pihak yang berpendapat bahwa agama Sunda wiwitan juga
memiliki unsur Monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang
dalam pantheon-nya terdapat dia tunggal tertinggi maha kuasa yang tak
berwujud yang disebut Hyang Kersa yang di samakan dengan Tuhan
Yang Maha Esa.87
Pada tahun 1848 aliran kepercayaan ini dikenal dengan nama
Agama Djawa Sunda disingkat ADS atau dikenal pula sebagai
Madraisme mengambil nama pendirinya, Pangeran Madrais Alibasa
Widjaja Ningrat, yang dipercaya sebagai keturunan Sultan Gebang
Pangeran Alibasa I. Sedangkan menurut cucunya yang masih hidup,
Pangeran Djatikusumah, nama Madrais berasal dari Muhammad Rais,
sebuah nama yang identik dengan kultur Islam. Pada usia muda Pangeran
Madrais mendapat pendidikan pesantren, ini merupakan pengaruh kakek
86
Ira Indrawarna, Berketuhanan dalam Perspektif Kepercayaan Sunda Wiwitan, Jurnal
melintas, 30 Januari 2014, h.109-112.
87 Ekadjati, Edi S, Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah, (Jakarta: Pustaka Jaya,
1995), h.72-73.
54
dari pihak ibu yang pengasuhnya. Namun dari beberapa catatan yang
diketahui, ia menunda pelajarannya dan pergi mengembara ke berbagai
“paguron” yang ada di Jawa Barat.
Pengembaraan Pangeran Madrais merupakan babak penting dalam
sejarah ADS, karena dari pengembaraan itulah ADS dan pokok-pokok
ajarannya lahir. Secara teologis, ada yang memandang bahwa ajaran-
ajaran ADS merupakan hasil ramuan tasawuf Islam dengan mistisme
Jawa yang dibingkai dengan unsur-unsur kebudayaan Sunda. Dari
Cigugur, ADS berkembang ke pelosok Jawa Barat seperti Indramayu,
Majalengka, Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Padalarang, Bogor,
Purwakarta, bahkan sampai DKI Jakarta. Jumlah penganut ADS
dipercaya pernah mencapai lebih dari 100.000 orang, namun yang
tercatat dalam buku cacah jiwa hanya sekitar 25.000 orang.
Pada tahun 1940, tepatnya pada tanggal 18 Sura 1872 tahun Jawa,
Pangeran Madrais yang adalah pendiri dan pimpinan ADS, meninggal
dunia. Jenazahnya dimakamkan di Kampung Pasir, sebuah bukit yang
terletak di sebelah barat Cigugur. Kepemimpinan ADS dilanjutkan oleh
puteranya Pangeran Tedjabuana Alibasa Kusuma Widjaja Ningrat.
Dalam masa kepemimpinan puteranya inilah ADS dihadapkan pada
berbagai tantangan berat.
Pertama, waktu Jepang masuk Cigugur, tuduhan bahwa Madrais
dan para pengikutnya adalah kaki tangan Van der Plas semakin gencar.
Di bawah ancaman penguasa militer Jepang, pimpinan ADS dipaksa
untuk menandatangani surat pernyataan pembubaran ADS. Dengan
mempertimbangkan keselamatan para penganutnya dari berbagai
penganiayaan, pimpinan ADS yang baru menyetujui penandatanganan
surat pernyataan tersebut. Ia sendiri beserta keluarganya mengungsi ke
Bandung dan kemudian pergi ke Tasikmalaya. Dari tempat pengungsian
tersebut itulah pimpinan ADS meminta ketegasan para pengikutnya
untuk tetap bertahan atau menyerah untuk dibawa kembali ke Cigugur.88
88
Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
55
Setelah Jepang menyerah, dan Indonesia telah menyatakan
kemerdekaan, Belanda masih dua kali melakukan agresi militer. Pada
tahun 1947 Cigugur kembali dikuasai oleh tentara Belanda. Tanggal 21
Desember 1954, pusat kegiatan ADS diserang dan dibakar oleh tentara
DI/TII. Meski kebakaran tersebut tidak fatal karena hanya memusnahkan
bagian belakang gedung, namun secara psikologis cukup mengintimidasi.
Setelah peristiwa tersebut, Pangeran Tedjabuana dan keluarganya
memutuskan pindah ke Cirebon dan dari sanalah kepemimpinannya
dijalankan. Tahun 1955 ADS berhasil menjadi anggota Badan Kongres
Kebatinan Indonesia yang disingkat BKKI. Sejak itu pula para penganut
ADS dapat melakukan kegiatan keagamaan mereka nyaris tanpa
halangan.
Namun akhirnya sepuluh tahun kemudian di saat Indonesia
dinyatakan merdeka dari penjajahan asing, tepatnya tanggal 21
September 1964, Pangeran Tedjabuana sebagai pimpinan ADS ketika itu
terpaksa harus membuat pernyataan bermaterai yang isi pokoknya
membubarkan organisasi ADS, ia dan keluarganya menyatakan diri
menjadi penganut Katolik. Selain menandatangani surat tersebut,
pimpinan ADS juga meminta para pengikutnya untuk tidak lagi
meneruskan organisasi ADS, baik secara perorangan maupun secara
kolektif.89
Hal tersebut dilakukan oleh pimpinan ADS, sebagai akibat
dari terbitnya Surat Keputusan Panitia Aliran Kepercayaan Masyarakat
(PAKEM) Kabupaten Kuningan, tertanggal 18 Juni 1964, yang
menetapkan bahwa perkawinan ADS yang selama itu dianggap sah
secara adat, adalah perkawinan liar dan tidak sah lagi menurut hukum.
Penetapan tersebut tertuang secara jelas dalam Surat Keputusan
No.01/SKPTS/BK.PAKEM/K.p./VI/64. Surat Keputusan tersebut
memang tidak secara langsung menyangkut pembubaran ADS, namun
pada kenyataannya membuat kesulitan bagi para penganutnya dalam
89
Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
56
menjalani kehidupan sehari-hari, khususnya ketika harus berurusan
dengan pemerintah, termasuk mendaftarkan anak-anak mereka ke
sekolah. Oleh karena itu, secara langsung atau tidak Surat Keputusan
tersebut menuntut para penganut ADS untuk menikah lagi secara hukum
menurut tata cara agama tertentu.
2. Ajaran Kepercayaan Penghayat Sunda Wiwitan
Ajaran Madrais merupakan sebuah ajaran yang mendasarkan
ajarannya pada ajaran asli Sunda atau yang dikenal dengan Sunda
wiwitan atau dengan nama lain dikenal dengan Agama Djawa Sunda,
Konsep dari ajaran Sunda Wiwitan ini memiliki beberapa aspek seperti:
Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Menuju Manusia Sejati
Pikukuh Tilu
Hukum Adat, Pernikahan dan Kematian
a) Konsep Tuhan, Manusia dan Mistik Menuju Manusia Sejati
Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan memposisikan Tuhan
berada di hierarkis tertinggi yang berarti berada diatas segala-
galanya. Tuhan begitu sempurna karena sifat-Nya. Tuhan berada
disisi yang selalu dekat pda setiap mahkluk ciptaan-Nya, termasuk
terhadap manusia.90
Para penganut Penghayat Kepercayaan Sunda
Wiwitan menyebut Tuhan dengan sebutan Gusti Sikang Sawiji-Wiji
yang diartikan sebagai inti dari kelangsungan kehidupan dunia.
Sebagaimana dihayati bahwa Tuhan selalu inheren pada setiap
ciptaan-Nya, maka diyakini bahwa adanya keberadaan manusia
dimuka bumi sebagai bukti paling nyata keberadaan Tuhan yang
diyakini bagi Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan.91
90
Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
91 Yayasan Trimulya, Pikukuh Adat Karuhun Urang, Pemaparan Budaya Spiritual,
Cigugur Kuningan, 2000. hlm 16
57
Dalam ajaran Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan,
manusia digambarkan dalam bentuk simbol lingkaran yang diatasnya
terdapat seekor burung garuda. Di dalam lingkarannya terdapat satu
peta dunia yang didukung oleh dua ekor naga. Peta dunia
menggambarkan jiwa manusia dan juga eksistensinya yang
menyebar diseluruh dunia. Dalam lingkaran terdapat tulisan Purwa
Wisada yang mengandung arti bahwa manusia harus selalu sadar
asal muasal dan juga tujuan hidupnya. Sedang dua ekor naga
diartikan sebagai dua kekuatan nafsu yang ada pada diri manusia
yakni kebaikan dan kejahatan. Adapun didalam segitiga itu terdapat
gambar api yang diartikan sebagai unsur alam yang diyakini sebagai
kekuatan hakiki. Gambar segitiga dan api ini melambangkan rasa
sejati manusia yang senantiasa dikendalikan oleh kekuatan api.92
Uraian simbolik demikian merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kebudayaan, sebab hal tersebut merupakan suatu
makna-makna yang menentukan realitas sebagaimana diyakini dan
yang sebagian lain menentukan harapan-harapan normatif yang
dibebankan pada manusia.93
Sedangkan konsep mistik menuju manusia sejati dalam
Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan adalah upaya yang harus
dilakukan oleh manusia untuk mencapai derajat manusia sejati.
Sebagai imanensi Tuhan yang tidak lagi suci, karena telah
terkontaminasi dengan berbagai macam unsur alam yang ada didunia
ini, manusia harus menghilangkan segala kotoran yang ada didalam
dirinya dengan bersemedi didepan api yang merupakan simbol
kekuatan. Cara yang ditempuh didalam meditasi adalah bersikap
tentram, heneng, hanung dan menang. Keempat lamgkah dalam
92
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia Mistik dalam berbagai Kebatinan Jawa,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), h.111.
93 Thomas O‟Dea, Sosiologi Agama: Suatu Pengenalan Awal, Penerj. Tim Yasogama,
(Jakarta: Rajawali, 1990), h.4.
58
semedi tersebut merupakan tahapan yang sifatnya integratif sehingga
harus dilakukan secara sistematis dan terstruktur sesuai dengan
urutan yang ada.
Dengan filosofis Pengahayat Kepercayaan Sunda Wiwitan
yang diharapkan manusia dapat memilih dan menyaring setiap
getaran yang datang dari luar diri manusia yang akan mempengaruhi
sifat sejati manusia.94
b) Pikukuh Tilu
Pikukuh Tilu pada dasarnya menekan pada pada:
Kesadaran tinggi kodrat manusia (cara ciri manusia);
Kodrat kebangsaan (cara ciri bangsa):
Mengabdi kepada yang seharusnya (madep ka ratu raja).
Dalam ajaran Sunda Wiwitan aliran Madrais, ada beberapa
konsep kunci dalam memahami Pikukuh tilu, yakni Tuhan, manusia
dan manusia sejati. Tuhan menurut aliran ini adalah diatas segala-
galanya. Tuhan adalah Maha Esa, Maha Kuasa, Maha Adil, Maha
Murah dan Maha Bijaksana. Terutama dengan Manusia, sebagai
makhluk yang paling sempurna.95
Dasar religi ajaran Penghayat Kepercayaan (kepercayaan asli
Sunda sebelum masuknya agama-agama besar) adalah kepercayaan
yang bersifat “monoteis”, penghormatan kepada roh nenek moyang,
dan kepercayaan kepada satu kekuasaan yakni Sanghyang Keresa
(Yang Maha Kuasa) yang disebut juga Batara Tunggal (Yang Maha
Esa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang
Maha Gaib) yang bersemayam di Buana Nyungcung (Buana Atas).
Orientasi, konsep, dan pengamalan keagamaan ditujukan kepada
94
Nursananingrat. B, Purwawisada Agama Djawa Sunda, (Bandung: Pastoral, 1964), h.15-
16
95 Ira Indrawardana et.al. (eds), Jejak Sejarah Kiyai Madrasis: Pangeran Sadewa Alibasa
Kusumawijayaningrat, h.13.
59
pikukuh untuk menyejahterakan kehidupan di jagat mahpar (dunia
ramai). Pada dimensi sebagai manusia sakti, Batara Tunggal
memiliki keturunan tujuh orang batara yang dikirimkan ke dunia
melalui Kabuyutan; titik awal bumi Sasaka Pusaka Buana. Konsep
buana bagi masyarakat adat Cigugur berkaitan dengan titik awal
perjalanan dan tempat akhir kehidupan.
Bagi masyarakat adat di Cigugur, Tuhan harus dihayati dengan
keyakinan bahwa dalam hidup dan kehidupan ini terwujud
perpaduan serta jalinan di antara segala ciptaan Tuhan YME sebagai
pernyataan ke-Agungan-Nya, Kuasa, dan Sabda-Nya yang telah
terwujud dalam ke-Agungan semesta, sedangkan pancaran kasih
yang Maha Adil terwujud dalam kemurahan-Nya di mana segala
cipta dan kehidupan telah diatur dengan fungsinya.96
Para ahli antropologi sebenarnya telah banyak melakukan
kajian terhadap agama, kehidupan keberagamaan, dan ritual
keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Seperti yang dilakukan
oleh Claude Levi-Strauss (1966) yang meneliti pikiran keagamaan
yang ada pada masyarakat primitif, atau penelitian Clifford Geertz
(1960) tentang kehidupan keberagamaan di Mojokuto (Pare) dan
juga dalam salah satu tulisannya (1966) ia dengan jelas ingin
mempelajari kebudayaan suatu masyarakat dengan “pintu
gerbangnya” aspek ritual yang hidup di masyarakat.
c) Hukum Adat Sunat, Pernikahan dan Kematian dalam
Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan
Sebagaimana ajaran dalam Islam menganal adanya tradisi
sunat (khitan) yang bertujuan untuk menyucikan diri manusia lebih
suci serta bersih dari najis atau kotoran. Adapun pemotongan pada
sunat dilakukan terhadap organ khusus dari diri manusia yang pada
96
Mohammad Fathi Royyani, Upacara Seren Taun di Cigugur Kabupaten Kuningan Jawa
Barat: Tradisi Sebagai Basis Pelestarian Lingkungan, Juranal Niologi Indonesia 4 (5): 99-415,
2008, h.411.
60
umumnya dilakukan kepada laki-laki.97
Akan tetapi bagi Penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan meyakini bahwa Gusti Kang Sawiji-
Wiji telah menciptakan seluruh alam beserta isinya dengan sangat
sempurna, sehingga tidak diperkenankan bagi penganut Penghayat
Kepercayaan Sunda Wiwitan untuk melakukan sunat.
Tidak diperkenankannya sunat dikarenakan sama saja
menghilangkan sebagaian anggota tubuh manusia, sehingga tidak
sama sekali dianjurkan sebab Tuhan telah menciptakan manusia
secara sempurna, sehingga tidak perlu lagi ada yang ditambah
maupun dikurangi guna menjaga kesempurnan yang diberikan-Nya
kepada seluruh apa yang telah diciptakan. Dengan demikian menjadi
orang yang tidak bersyukur dan kufur bagi Penghayat Kepercayaan
Sunda Wiwitan yang melakukan sunat.
Sedangkan, konsep perkawinan mengandung makna awal
tunggal akhir jadi sawaji (awalnya satu, akhirnya jadi menyatu).
Artinya setiap man usia itu mulanya tunggal atau satu atau sendiri
yang kemudian pada akhirnya akan menyatu dengan pasangannya
masing-masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan
batin yang terjalin. Perkawinan sendiri bukanlah semata-mata ibadah
dan rasa cinta kepada Tuhan semesta, melainkan juga untuk
memelihara keturunan manusia, menjaga alam dan sebagai jalan
untuk meraih kesempurnaan hidup.98
Sebelum melangsungkan suatu perkawinan kedua calon
pengantin diharuskan meminta persetujuan kepada kedua orang tua
masing-masing. Setelah mendapatkan restu dari orang tua masing-
masing maka mereka akan dijawibkan menjalani tradisi masar atau
pertunangan yang juga dimaknai masa saling mengenal yang
97
Taufiq Hidayatullah, Khitan Wanita Prespektif Hukum Islam dan Kesehatan,
(Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), h.767.
98 Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Masagung, 1985), h.132-133.
61
sekurang-kurangnya adalah 100 hari. Hal ini dilakukan dengan
tujuan agar kedua calon pasangan yang akan menikah itu jimah,
tidak lagi berubah pikiran. Adapun dianjurkannya masar yang
dianggap baik adalah pada bulan-bulan tertentu seperti bulan
Syawal, Apit (Zulqaidah), Rayagung (Zulhijjah), Syuro (Muharram)
dan Sapar. Kemudian ikatan janji suci dilakukan dihadapan pemuka
penghayat kepercayaan sebagai penghulu sebagaimana perkawinan
bagi orang Islam.99
Sebagaimana pada tradisini Sunda Wiwitan masyarakat baduy
Ciboleger Banten yang memiliki rukun hirup dalam kehidupan
rumah tangga yang diartikan tidak boleh bercerai, maka bagi
Penghayat Kepercayan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa
Barat, juga meyakini bahwa dalam perkawinan tidak ada kata
berpisah. Sebab mereka telah mengikrarkan janji suci untuk hidup
bersama baik suka maupun duka.
Para Penghayat Kepercayaan murni berpegang teguh kepada
apa yang diyakini maupun apa yang diwarisinya secara turun
temurun. Terutama pengenai perkawinan yang ideal yang bagi
mereka adalah perkawinan yang dilakukan menurut tatacara
kepercayaan yang mereka anut sebagaimana makna Marriage
Preference.100
Selain sunat dan perkawinan dalam ajaran Penghayat Sunda
Wiwitan juga mengatur tentang kematian. Dalam proses kematian
ketika ada seorang yang akan meninggal dunia atau sedang dalam
keadaan sakaratul maut maka akan ada orang yang mendampingi
orang tersebut sambil mengatakan wajoh lawan yang diartikan
sebagai “ayo lawan”. Hal ini dialkukan sebagai bentuk motivasi agar
99
Bapak Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi,
Cigugur, 1 Maret 2019.
100 Soerjono Soekanto, Intisari Hukum Keluarga, (Bandung: Penerbit Alumni, 1980), h.32.
62
orang yang hendak meninggal itu dapat melawan ajalnya. Kemudian
tata cara penguburan jenazahnya akan lebih dahulu dibungkus
dengan kain hitam yang dimasukan kedalam peti kayu jati.
Kemudian dimasukan kedalam liang kubur yang kemudian ditaburi
arang, kapur dan beras disekitar peti mati.
63
BAB IV
ANALISIS PERKAWINAN ORANG ISLAM DENGAN PENGHAYAT
KEPERCAYAAN SUNDA WIWITAN DI DESA CIGUGUR
KUNINGAN JAWA BARAT
A. Praktik Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan
Sunda Wiwitan di Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat
Fenomena perkawinan antar agama dan kepercayaan di Cigugur terjadi
karena memang kondisi sosial masyarakat yang hidup saling berdampingan
antar agama dan kepercayaan. Jika pada umumnya masyarakat Jawa Barat
memeluk agama Islam maka diwilayah Cigugur pun demikian adanya, namun
persebaran masyarakat dengan memeluk agama lain selain Islam juga tak
kalah banyak jumlahnya. Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya
bahwa jumlah pemeluk agama selain Islam diwilayah ini berjumlah 3.112
orang dari total seluruhnya 7.546 orang yang tinggal diwilayah ini.
Perkawinan bagi Penghayat Kepercayan Sunda Wiwitan mengandung
makna awal tunggal akhir jadi sawaji atau awalnya satu, akhirnya jadi
menyatu. Artinya setiap manusia itu mulanya tunggal atau satu atau sendiri
yang kemudian pada akhirnya akan menyatu dengan pasangannya masing-
masing dalam kehidupan melalui suatu hukum dan hubungan batin yang
terjalin. Perkawinan sendiri bukanlah semata-mata ibadah dan rasa cinta
kepada Tuhan semesta, melainkan juga untuk memelihara keturunan manusia,
menjaga alam dan sebagai jalan untuk meraih kesempurnaan hidup.101
Begitupun didalam agama Islam sebagaimana yang termuat di dalam
Kompilasi Hukum Islam bahwa “Perkawinan menurut Hukum Islam adalah
pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaaqan ghaliidhan untuk
mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Oleh
karenanya, Persamaan makna mengenai perkawinan bagi penghayat Sunda
Wiwitan dan agama Islam selain sebagai bentuk ikatan lahir batin antara laki-
101
Kamil Kartapradja, Aliran Kebatinan dan Kepercayaan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan
Masagung, 1985), h.132-133
64
laki dan wanita juga sebagai bentuk ibadah kepada Yang Maha Kuasa inilah
yang menjadikan fenomena perkawinan antar orang Islam dan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur Kuningan Jawa Barat.
Setidaknya sudah banyak perkawinan yang terjadi antara orang Islam
dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, peristiwa tersebut telah
berlangsung sejak lama dan berkembang sampai saat ini. Bapak Asep dan Ibu
Ice misalnya yang menikah berbeda agama dan kepercayaan dimana Bapak
Asep yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan serta Ibu Ice yang
menganut agama Islam, ada juga Bapak Barhum yang menganut agama Islam
menikah dengan Ibu Juju yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan, selain
itu juga ada pasangan Bapak Indra dan Ibu Icih, Bapak Nana dengan Ibu Uun,
Bapak Arsindang dengan Ibu Hapinah. Mereka adalah masyarakat Cigugur
yang melangsungkan perkawinan antar pemeluk agama Islam dengan
penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.
Untuk menentukan menggunakan tatacara dan pelaksanaan perkawinan
yang terjadi, maka hal tersebut dapat dilangsungkan berdasarkan kesepakatan
kedua mempelai dan masing-masing keluarga. Namun rata-rata perkawinan
yang dilangsungkan menggunakan tatacara adat sesuai kepercayan penghayat
Sunda Wiwitan seperti yang dilangsungkan oleh Bapak Asep dan Ibu Ice.
a. Perkawinan Orang Islam dan Penghayat Kepercayaan Sunda
Wiwitan dengan Menggunakan Perkawinan Adat Sunda Wiwitan
Lebih lanjut bapak Wahyu mengungkapkan bahwa perkawinan
dengan menggunakan adat Sunda Wiwitan tidak jauh berbeda dengan
perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam, seperti terdapat
rukun dan syarat yang harus dipenihi sebagai bentuk sahnya suatu
perkawinan seperti:102
1) Adanya kedua calon mempelai baik laki-laki dan wanita
2) Adanya Saksi
3) Adanya wali nikah
102 Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
65
Yang membedakan dengan perkawinan yang dilangsungkan
menurut agama Islam hanya pada proses Ijab qabulnya, jika didalam
hukum Islam prosesi ijab kabul dilakukan oleh wali dari pihak
perempuan yang menikahkan pengantin wanita kepada pengantin pria
dengan lafadz “Saya nikahkan funlan binti fulan dengan fulan bin fulan”
kemudian mempelai laki-laki menjawab dengan mengucapkan lafadz
“Saya terima nikahnya fulan binti fulan”, maka lain halnya dengan
perkawinan yang dilangsungkan oleh penghayat kepercayaan Sunda
Wiwitan.
Secara akad nikah Perkawinan yang dilangsungkan menurut
kepercayaan Sundan Wiwitan mula-mula, tangan kanan mempelai laki-
laki dengan tangan kanan mempelai wanita saling disatukan dengan
menempelkan kedua ibu jari masing seperti mengikat janji, yang
kemudian kedua tangan mempelai laki-laki dan wanita tersebut ditutup
dengan tangan wali nikahnya. Kemudian anaknya mengucapkan
keinginannya untuk menikah dengan pasangan yang ada dihadapannya
kepada orang tua atau walinya masing-masing yang kemudian wali
tersebut akan memberikan izin untuk menikah dengan pasangan tersebut.
Adapun lafadz yang di ucapan atau yang disampaikan berupa103
:
“Bapak, abdi sabagei anak bapa ngarasa bahwa abditeh
ngagaduhan naluri dasar kanggo kahoyongan sinareng ngalanjutkeun
kahirupan kanggo ngabentuk keluarga anu bahagia sareng sejahtera
lahir batin”104
Kemudian Wali tersebut akan menjawab:
“Bapak sabagei wali ngesahkeun, kahoyongan kanggo ngabentuk
keluarga anu bahagia jeung sejahtera lahir sinarenh batin“105
103 Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
104 Bapak, saya sebagai anak bapak merasa bahwa saya ini mempunyai naluri dasar untuk
keinginan untuk melanjutkan kehidupan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera
lahir dan bathin
105 Bapak sebagai wali mengesahkan, keinginan untuk membentuk keluarga yang bahagia
dan sejahtera lahir dan bathin
66
Setelah itu disaksikan oleh para saksi kemudian dikatan sah apabila
para saksi mengatakan perkawinan tersebut sah.
Perkawinan yang dilangsungkan menurut penghayat kepercayaan
Sunda Wiwitan pada dasarnya tidak dilakukan di Kantor Urusan Agama
Cigugur, sebab kantor agama hanya menikahkan kedua pasangan yang
memeluk agma Islam, sehingga pelaksanaan perkawinan hanya
dilangsungkan menurut ketentuan adat yang ada.
Pemilihan praktik perkawinan dengan menggunakan tradisi adat
penghayat kepercayan Sunda Wiwitan dilakukan karena memang
masyarakat Cigugur yang melangsungkan perkawinan antar agama dan
kepercayan hidup disekitaran wilayah kesatuan masyarakat adat Sunda
Wiwitan yang secara sosial kultur hidup saling membaur bahkan
masyarakat sekitar acapkali mempelajari nilai-nilai kebudayaan di
gedung Paseban sebagai pusat dan simbol masyarakat kepercayaan
Sunda Wiwitan.106
b. Perkawinan Orang Islam dan Penghayat Kepercayaan Sunda
Wiwitan dengan Menggunakan Hukum Islam
Pelaksanaan perkawinan antara orang Islam dan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan jika menggunakan prinsip hukum Islam,
maka kedua pasang calon harus turut dan patuh terhadap rukun dan
syarat perkawinan sebagaimana yang digariskan didalam Islam
sebagaimana Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan
bahwa:
Untuk melaksanakan perkawinan harus ada:
1) Calon Suami;
2) Calon Isteri;
3) Wali nikah;
4) Dua orang saksi dan;
5) Ijab dan Kabul.
106 Dodo, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
67
Lebih lanjut pasal 40 huruf c Kompilasi Hukum Islam menjelaskan
bahwa pasangan calon mempelai tersebut tidak boleh beragama lain
selain Islam khusunya bagi pria yang akan menikahkan wanita yang
bukan beragama Islam, hal tersebut terjadi pada pasangan bapak Nana
dan ibu Uun yang menikah menggunakan tatacara pelaksanaaan sesuai
hukum Islam.
Kedua mempelai dan pihak keluarga bersepakat untuk
melangsungkan perkawinan tersebut menggunakan hukum Islam,
sehingga Ibu Uun harus terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat
syahadat untuk memeluk agama Islam agar perkawinan yang
dilangsungkan sesuai dengan rukun dan syarat yang ditentukan.
Perkawinan pun dilangsungkan di Kantor Urusan Agama sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.107
B. Legalitas Perkawinan Orang Islam dengan Penghayat Kepercayaan
Sunda Wiwitan di Desa Cigugur Kuningan Jawa Barat dalam Peraturan
Perundang-undangan
Secara umum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974
tentang Perkawinan telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selanjutnya dalam Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menjelaskan
juga bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agama dan kepercayaannya itu. selanjutnya dalam ayat (2)
dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Sehingga aturan mengenai mendapatkan keabsahan
perkawinan bagi setiap perkawinan baik perkawinan oleh agama resmi,
penghayat kepercayaan atau antar agama dan pengahayat kepercayaan tetap
107 Pak Haji, Ketua RW 07 serta Tokoh Umat Islam di Cigugur, Interview Pribadi, Cigugur,
1 Maret 2019.
68
mengacu pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan yang menegaskan
bahwa perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut agama dan
kepercayaanya.108
Sedangkan pelaksanaan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan
dalam hal ini Sunda Wiwitan, maka suatu perkawinan yang dikatan sah
apabila memenuhi syarat Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan dalam Pasal 81 menjelesakan:
(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka
Penghayat Kepercayaan.
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk
mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina
organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan
dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu
syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan
tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula
sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi
yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat
dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar
yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan
di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik, dengan adanya
surat bukti itu, maka perkawinan harus dicatatkan.
Kemudian Pencatatan perkawinan diatur dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yang menyatakan bahwa:
108
Soedjito Tjokrowisastro, Pedoman Penyelenggaraan Catatan Sipil, (Jakarta: Bina
Aksara, 1985), h.6.
69
1) Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
2) Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Pengaturan mengenai perkawinan antara orang Islam dan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan seyogianya tidak disinggug dalam aturan mana
pun baik dalam Undang-undang Perkawinan maupun Undang-undang
Administrasi Kependudukan. Akan tetapi hal tersebut dapat diqiyaskan
tentang perkawinan berdasarkan penetapan hakim dalam Undang-undang
Administrasi Kependudukan sebagai berikut:
Pasal 34 Undang-undang Administrasi Kependudukan menjelaskan:
(1) Perkawinan yang sah menurut Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat
terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan.
(2) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pejabat
Pencatatan Sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan
menerbitkan Kutipan Akta Perkawinan.
(3) Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-
masing diberikan kepada suami dan istri.
(4) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
beragama Islam dilakukan oleh KUAKec.
(5) Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat
(4) dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUAKec kepada
Instansi Pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah
pencatatan perkawinan dilaksanakan.
(6) Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
memerlukan penerbitan kutipan akta Pencatatan Sipil.
(7) Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana.
70
Kemudian didalam Pasal 35 menegaskan:
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku
pula bagi:
a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas
permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Lebih lanjut Pasal 36 menyatakan;
Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Perkawinan,
pencatatan perkawinan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan.
Yang dimaksud dengan Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan
adalah perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama,
sedangkan yang dimaksud dengan perkawinan yang ditetapkan oleh
pengadilan dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 35 huruf a UU Adminduk
yaitu, perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama.109
Pasal 35 Undang-undang Administrasi Kependudukan sering dijadikan
landasan bagi pasangan yang menikah berbeda agama untuk mendapat
keabsahan dari negara, akan tetapi dalam hal ini penghayat kepercayaan
Sunda Wiwitan bukan lah merupakan bagian dari agama, karena negara
hanya mengakui enam agama yang ada di Indonesia yakni Islam, Khatolik,
Protestan, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu. Terlebih secara konsep teoritis
bahwa Islam yang merupakan agama resmi yang diakui melalui Undang-
undang No 1/PNPS/1965 berbeda dengan Penghayat Kepercayaan yang
merupakan agama lokal yang menjaga nilai-nilai budaya nusantara khususnya
Sunda Wiwitan.
Ihwal pengakuan agama Islam dan agama-agama lainnya sebagai mana
Undang-undang No 1/PNPS/1965 dibina dan diawasi dalam lingkup
Kementerian Agama di Republik Indonesia, berbeda dengan Penghayat
Kepercayaan yang harus terlebih dahulu untuk mendaftarkan Kepercayannya
109
Abdul Syukur dan Tim Hukumonline.com, Tanya Jawab Tentang Nikah Beda Agama
Menurut Hukum di Indonesia, (Tanggerang: Literarti, 2014), h.66.
71
kepada pemerintah akan tetapi bukan kepada Kementerian Agama melainkan
kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Para penghayat
kepercayaan di Indonesia esesnsinya diakui dalam Pasal 29 Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan setiap warga
negara berhak beribadah sesuai agama dan kepercayaan agama itu.
Jika menelisik makna “kepercayaan” secara historis pada tahun 1970
Penghayat Kepercayaan se-Indonesia mengadakan Simposium di Yogyakarta
dengan mendatangkan para pelaku sejarah yang terlibat didalam penyusunan
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk bercerita
mengenai makna Pasal 29 tersebut. Adapun dijelaskan bahwa Pasal 29
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesungguhnya
mengakui eksistensi Penghayat Kepercayan yang sejalan dengan Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Didalam isi yang terkadung
didalam Konvenan HAM Internasional tersebut selalu menyebut atau
membedakan dua hal yakni; religion (agama) dan believe (Kepercayaan)
Sehingga berdasarkan praktik perkawinan yang dilangsungkan atas
perkawinan antara orang Islam dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan
apabila tunduk ada aturan hukum Islam maka upaya untuk mendapatkan
legalitasnya tunduk dan patuh pada ketentuan dalam pasal 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Serta bagi mereka yang melangsungkan
menggunakan tatacara adat Sunda Wiwitan mengacu pada Pasal 81 Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Undang-undang
Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Namun bagi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan upaya untuk
mendapatkan pengakuan negara atas perkawinan yang dilangsungkan
menurut tatacara adat masih mengalami berbagai hambatan. Sebab dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tersebut mensyaratkan
Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan dihadapan Pemuka Penghayat
Kepercayaan, sedangkan bagi penghayat kepercayaaan Sunda Wiwitan
sampai saat ini tidak memiliki pemuka penghayat. Karena dalam aturan
tersebut pemuka penghayat harus memenuhi unsur dalam ayat 3 yang
72
berbunyi: Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimkasud pada
ayat (2) didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis
membina organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
Sedangkan penghayat kepercayan Sunda Wiwitan sampai saat ini
belum terdaftar didalam Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan selaku
kementerian yang membina organisasi penghayat kepercayaan, sehingga
banyak dari kalangan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan sulit
mendapatkan pengakuan negara terutama untuk mendapatkan akta
perkawinan.
Namun sejatinya terlepas dari persoalan tersebut, seharusnya negara
menjunjung tinggil prinsip equality before the law bagi seluruh masyarakat
tanpa memandang agama, suku, ras dan kepercayaannya.Begitupun didalam
suatu perkawinan, sebab merujuk kepada Pasal 10 Undang-undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap orang
berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
pernikahan yang sah yang kemudian lebih lanjut dalam ayat 2 menjelaskan
perkawinan yang sah hanya dapat berlangsung atas kehendak bebas calon
suami dan calon istri yang bersagkutan, sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Kebebasan tersebut mengartikan hendak memberikan
otonomi kepada setiap orang baik laki-laki maupun perempuan dalam
kehidupan berkeluarga merupakan upaya untuk memberikan peluang yang
besar untuk menjalani kehidupan sosial masyarakat.
Apalagi implikasi terhadap status perkawinan yang tidak diakui oleh
Negara berdampak sosial yang luas dan berat yaitu berbentuk hidup bersama
yang menurut hukum negara adalah tanpa ikatan perkawinan yang sah. Hal
ini pun mempunyai akibat hukum yakni apabila lahir anak-anak dari
perkawinan yang tidak dicatatkan, akan menyebabkan anak-anak tersebut
adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah. Artinya, anak itu adalah
73
anak yang tidak sah, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan
bapaknya dan keluarga bapaknya.110
Meski demikian bapak Wahyu mengungkapkan sampai saat ini apabila
ada masyarakat pengahayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang memang
menginginkan pengakuan negara untuk memperoleh akta perkawinan guna
keperluan keluarga, baik pendidikan bagi anak maupun urusan pekerjaan
suami atau isteri, maka menggunakan testimoni atau mengahdirkan pendapat
dari pemuka penghayat kepecayaan lain yang sudah terdaftar di Indonesia.
Sehingga memang perkawinan bagi penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan
sulit untuk mendapatkan legalitas.
Meski demikian Bapak Wahyu mengungkapkan bahwa tak banyak
masyarakat pegahayat Sunda Wiwitan yang membutuhkan akta nikah, sebab
bagi mereka adanya kepercayaan tersebut lebih dahulu ada daripada negara
ini merdeka, selain itu memang masyarakat Sunda Wiwitan yang memang
memiliki mata pencaharian dengan hidup bertani dan berternak sehingga tak
banyak yang harus bekerja ke kota. Begitupun mengenai pendidikan,
masyarakat Sunda Wiwitan bersekolah di SMP Tri Mulya yang merupakan
yayasan swasta tempat bersekolah atau tempat anak-anak Cigugur pada
umumnya bersekolah dan untuk penghayat Sunda Wiwitan secara khusus.111
C. Analisis Penulis
Pertama penulis akan menganalisis mengenai praktik perkawinan antara
orang Islam dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan khususnya di
wilayah Cigugur Kuningan Jawa Barat. Secara umum kita dapat memahami
bahwa orang Islam adalah masyarakat yang memeluk agama Islam yang
merupakan agama yang diakui keabsahannya dinegara Indonesia serta
penghayat kepercayan Sunda Wiwitan adalah kesatuan masyarakat yang
110
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), h.5.
111 Wahyu, Tokoh Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan, Interview Pribadi, Cigugur, 1
Maret 2019.
74
masih memegang nilai-nilai adat dan kepercayan yang menamakan dirinya
sebagai penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan.
Kebebasan Orang Islam dan Penghayat Kepercayaan dalam
menjalankan kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin dalam Pasal 29
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang lebih
khusus ihwal melangsungkan perkawinan yang tidak hanya menjadi
hubungan kepada sesama manusia melainkan juga merupakan bentuk ibadah
kepada Allah SWT bagi orang Islam dan kepada Sanghyang Keresa (Yang
Maha Kuasa).
Praktik perkawinan tersebut sudah berlangsung sejak lama dan menjadi
hal yang biasa di wilayah Cigugur. Akan tetapi jika kita merujuk kepada
Pasal 2 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan seyogiyanya perkawinan di negara Indonesia hanya dapat
dilangsungkan menurut agama dan kepercayan masing-masing. Yang apabila
mengacu kepada Konvenan HAM Internasional selalu memisahkan dua hal
yakni religion (agama) dan believe (kepercayaan), sehingga dapat dipahami
bahwa adanya agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda.
Oleh karenanya perkawinan antara Orang Islam dan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan seyogiyanya tidak dapat dilaksanakan jika
mengacu kepada Undang-Undang Perkawinan tersebut.
Begitupun menurut hukum Islam sebagaimana dalam Kompilasi
Hukum Islam yang melarang orang Islam menikah dengan wanita yang tidak
beragama Islam, ketentuan tersebut juga dijelasakan dalam Al-Qur‟an dalam
Surat Al-Baqarah ayat 221 menjelaskan:
( : ٢٢١البقرة)
75
Artinya; “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka,
sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya
mereka mengambil pelajaran” (Al-Baqarah : 221)
Melihat kandungan ayat di atas, dapat dipahami bahwa menikah dengan
seseorang yang berbeda agama dilarang menurut Islam. Syaikh Ahmad
Mustafa al-Farrad berpendapat sesuai dengan pemahaman Imam Syafi‟i
bahwa kata musyrik dalam ayat tersebut berkenaan dengan sekelompok orang
Arab penyembah berhala kala itu sehingga dilarang bagi kaum laki-laki untuk
menikah dengan wanita-wanit musyrik tersebut.112
Namun, ada juga yang
berpendapat bahwa ayat ini turun berkenaan dengan semua kelompok
musyrik tidak hanya penyembah berhala kemudian Allah memberikan
keringanan (rukhsah) yang membolehkan melakukan perkawinan dengan
perempuan ahli kitab yang merdeka.113
Begitupun mengenai identitas penghayat kepercayan Sunda Wiwitan
yang hakikatnya merupakan bnetuk paham dinamisme sehingga memang
diharamkan untuk melangsungkan perkawinan antara orang Islam dengan
penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan baik laki-laki muslim dengan wanita
penghayat atau bahkan sebaliknya. Apalagi bagi perkawinan yang
dilangsungkan menurut kepercayaan, maka sejatinya tidak akan memenuhi
unsur rukun dan syarat perkawinan didalam hukum Islam.
Sebab sejatinya, sebuah ikatan perkawinan memiliki dua aspek yaitu114
:
112
Syaikh Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi‟i (terj), Jilid I, (Jakarta: Al-
Mahira, 2008), h.353.
113 M. Ali al-Shabuniy, Tafsir Ayat alAhkam, Juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1991),
h.221.
114 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Prenada
Media Group, 2008), h.103-104
76
a. Aspek Formil (Hukum), hal ini dinyatakan dalam kalimat „ikatan lahir
batin‟ artinya bahwa perkawinan disamping mempunyai nilai ikatan
secara lahir tampak pula memiliki ikatan batin yang dapat dirasakan
terutama oleh yang bersangkutan dan ikatan batin ini merupakan inti dari
perkawinan;
b. Aspek Sosial Keagamaan, dengan disebutkannya „membentuk keluarga‟
dan berdasarkan „Ketuhanan Yang Maha Esa‟ artinya perkawinan
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan kerohanian, sehingga
bukan saja unsur jasmani tapi unsur batin berperan penting.
Memang praktik perkawinan yang dilangsungkan menurut hukum dan
tatacara adat tidaklah dilarang sebab negara Indonesia memang negara yang
kaya akan budaya dan adat dan istiadat yang menjadi cirikhas keberagamaan
yang ada. Akan tetapi Hazairin dan Sayyuti Thalib menekan kan bahwa
hukum adat sejatinya memang dapat diterima dengan ketentuan tidak
bertentangan dengan hukum Islam yang berlaku. sehingga semestinya
perkawinan antara orang Islam dengan penghayat kepercayaan Sunda
Wiwitan apablia menggunakan prinsip hukum adat, tidak dapat diterima
karena melanggar ketentuan rukun dan syarat yang ditekankan dalam hukum
Islam.115
Meski sejatinya perkawinan tersebut dapat dikatakan dilarang menurut
agama akan tetapi masih terdapat praktik yang dilangsungkan oleh
masyarakat Cigugur terhadap dilangsungkannya perkawinan Orang Islam
dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Secara sosiologis memang
dapat diterima karena memang sosial kultur masyarakat Cigugur yang hidup
berdampingan antar pemeluk agama dan kepercayaan dalam satu wilayah,
sehingga tidak dapat dihindari adanya praktik perkawinan beda agama atau
dengan kepercayaan khususnya antara orang Islam dengan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan.
115
Akh. Minhaji, Islamic Law and Local Tradition: A Socio-Historical Approach,
(Yogyakarta: Kurnia Alam Semesta Press, 2008), h.278.
77
Kedua penulis akan menganalisis mengenai keabsahan perkawinan
orang Islam dengan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan diwilayah
Cigugur Kuningan Jawa Barat. Meski Pasal 2 Undang-undang Perkawinan
telah menjelaskan perkawinan hanya dapat dilangsungkan menurut masing-
masing agama dan kepercayaan akan tetapi masih ada saja yang melakukan
perkawinan tersebut.
Sehingga suatu perkawinan yang terjadi di negara Indonesia harus
menaati ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan bahwa tiap-tiap
perkawinan harus dicatatkan agar dapat diakuinya suatu perkawinan dimata
hukum. Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa untuk
melaksanakan pencatatan perkawinan bagi pasangan calon suami istri yang
beragama Islam harus dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan
di Kantor Urusan Agama sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk. Namun
bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan
kepercayaan itu selain agama Islam yakni mereka yang beragama Kristen,
Hindu, Budha, Katolik dan Kong Hu Cu serta seluruh aliran kepercayaan
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Artinya perkawinan orang Islam dan penghayat kepercayaan tidak dapat
dilakukan dihadapan Pegawai Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan
Agama sebab hal tersebut hanya berlaku bagi pasangan yang laki-laki dan
wanitanya beragama Islam. Begitupun bagi perkawinan yang tidak beragama
Islam dapat dicatatkan melalui kantor catatan sipil dalam hal ini bagi orang
yang beragama Khatolik, Hindu, Budha, Protestan dan Kong Hu Cu termasuk
bagi para penghayat kepercayaan.
Namun aturan tersebut hanya dapat dilakukan apabila masing-masing
mempelai laki-laki dan wanita memeluk agama atau kepercayaan yang sama
dengan pasangannya. Sehingga bukan wewenang kantor catatan sipil untuk
mencatat peristiwa tersebut. Akan tetapi jika merujuk pada Pasal 35 Undang-
78
undang Administrasi Kependudukan mengenai perkawinan yang disahkan
oleh pengadilan. Sejatinya dapat menjawab permasalahan tersebut.
Pasal 35 Undang-undang Administrasi Kependudukan biasa dijadikan
landasan pasangan yang melangsungkan perkawinan beda agama yakni antara
Orang Islam dengan Khatolik atau agama lain yang diakui dinegara
Indonesia. Sehingga demikian bisa saja antara orang Islam dengan pengayat
kepercayaan Sunda Wiwitan meminta pengesahan pengadilan atas
perkawinan yang dilangsungkannya, tanpa harus menjadi bagian dari salah
satu agama atau kepercayan yang diyakini masing-masing mempelai.
Akan tetapi jika dihubungkan antara praktik perkawinan Orang Islam
dan Penghayat Kepercayaan Sunda Wiwitan dengan suatu kaidah fikih yaitu:
م على جلب المصالح درء المفاسد مقد
Artinya: “Menolak kemudaratan lebih utama dari pada meraih manfaat”.116
Kaidah tersebut menjelaskan bahwa jika terjadi permasalahan antara
menghilangkan sebuah kemudhorotan dengan sesuatu yang membawa
kemaslahatan maka harus di dahulukan menghilangkan kemadhorotan.
Karena dengan menolak kemadhorotan berarti juga meraih suatu
kemaslahatan. Karena tujuan hukum Islam mengajarkan untuk meraih
kemaslahatan di dunia dan akhirat. 117
Oleh karenanya, perkawinan antara orang Islam dengan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan apabila menggunakan hukum adat dapat
menimbulkan kemudharatan. Seperti orang Islam akan menjalankan tradisi
kepercayaan yang bertentangan dengan hukum Islam sehingga dapat di
maknai secara hukum Islam perkawinan tersebut tidaklah dianggap sah.
116
Wahbah Al-Zuhaili, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah wa tathbiqotuha fi Al-Madzahib Al-
Arba‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr), h.238.
117 Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif, Kaidah-kaidah Praktis Memahami Fiqih Islami, (t.t:
Pustaka Al-Furqon, 2009), h. 101.
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Praktik perkawinan berbeda agama dan kepercayaan yang terjadi di
Cigugur, Kuningan Jawa Barat terjadi karena kehidupan di Cigugur,
Kuningan Jawa Barat yang merupakan wilayah dengan masyarakat yang
hidup berdampingan antar agama dan kepercayaan yang ada seperti: Islam,
Protestan, Katolik, Penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, Hindu, Budha
dan Kong Hu Cu. Sehingga tidak dapat dinegasikan bahwa terjadinya pola
interaksi antar agama dan kepercayaaan yang menjadi satu dalam sosial
masyarakat, baik dalam bentuk komunitas hingga sampai menjalin ikatan
lahir batin seperti perkawinan.
Pelaksanaan perkawinan bagi orang Islam dan penghayat kepercayaan
Sunda Wiwitan di Cigugur dilaksanakan dengan menggunakan dua cara:
Pertama, Pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan hukum Islam,
dimana salah satu pasangan terlebih dahulu menjadi mualaf dengan
mengucapkan dua kalimat syahadat dan selebihnya dilangsungkan sesuai
aturan perkawinan menurut rukun dan syarat perkawinan bagi orang Islam
Kedua, Pelaksanaan perkawinan dengan menggunakan hukum adat
Sunda Wiwitan, tanpa harus mengikrarkan diriya menjadi bagian penghayat
kepercayaan melainkan hanya pada proses ijab qabul menggunakan tatacara
adat yang telah ditetapkan.
Kesemuanya itu dapat dilaksanakan dengan memilih salah satu bentuk
pelaksanaan perkawinan berdasarkan hasil kesepakatan masing-masing pihak
baik mempelai dan kedua orang tua.
Ihwal memperoleh keabsahan perkawinan antara orang Islam dengan
penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan yang dilangsungkan dapat dilihat dari
praktik perkawinan yang dijalankan. Apabila menggunakan hukum Islam
maka mengacu kepada pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
yang menyatakan bahwa:
80
1) Bagi yang beragama Islam pencatatannya oleh pegawai pencatat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954
tentang Pencatat Nikah, Talak dan Rujuk.
2) Bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh pegawai
pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil.
Akan tetapi bila menggunakan tata cara adat harus memenuhi unsur
yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan dalam Pasal 81 menjelesakan:
(1) Perkawinan Penghayat Kepercayaan dilakukan di hadapan Pemuka
Penghayat Kepercayaan.
(2) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan, untuk
mengisi dan menandatangani surat perkawinan Penghayat Kepercayaan.
(3) Pemuka Penghayat Kepercayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
didaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina
organisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Secara umum dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun1974
tentang Perkawinan telah dijelaskan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga mengenai legalitas
perkawinan antar orang Islam dan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan
harus menaati ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Perkawinan bahwa
tiap-tiap perkawinan harus dicatatkan agar dapat diakuinya suatu perkawinan
dimata hukum.
Pencatatan perkawinan memegang peranan yang sangat menentukan
dalam suatu perkawinan karena pencatatan perkawinan merupakan suatu
syarat diakui dan tidaknya perkawinan oleh negara. Bila suatu perkawinan
tidak dicatat maka perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula
81
sebagai akibat yang timbul dari perkawinan tersebut. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi
yang bersangkutan maupun bagi orang lain dan masyarakat, karena dapat
dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat dalam suatu daftar
yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan
di manapun, terutama sebagai alat bukti tertulis yang otentik, dengan adanya
surat bukti itu, maka perkawinan harus dicatatkan.
Oleh karenanya, perkawinan antara orang Islam dan penghayat
kepercayaan Sunda Wiwitan sulit untuk diterima dinegara Indonesia.
B. Saran
Meski hidup berdampingan antar agama dan kepercayaan pada
masyarakat Cigugur Kuningan Jawa Barat akan tetapi tidak harus
melangsungkan perkawinan antar agama dan kepercayaan. Biarlah
keberagaman dalam menjalankan kehidupan beragama tetap berjalan seperti
biasa, tapi mengenai perkawinan tidak lagi dilangsungkan dengan berbeda
keyakinan.
82
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan Terjemahannya, Departemen Agama RI
Al-Faqih Abul Wahid Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,
Bidayatul Mujtahid Wa-Nihayatul Muqtashid, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007)
Al-Hamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Cet. 2, (Jakarta: Pustaka
Amani,2002).
Al-Jaziri Abdurrahman, Al-Fiqh „Ala Mazahib Al-„Arba‟ah, Juz 4 (Dar El-Hadits,
2004).
Al-Khanif, Pancasila dalam Pusaran Globalisasi, (Yogyakarta: LKis, 2017).
Al-Munawwir Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997).
Al-Zuhaily Wahbah, Al-Fiqhul Islamii Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh
Mahmuddin Syukri. Juz VII, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989).
Al-Zuhaili Wahbah, Al-Qowaid Al-Fiqhiyyah wa tathbiqotuha fi Al-Madzahib Al-
Arba‟ah, Juz 1, (Beirut: Dar Al-Fikr).
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Cet. 5 (Jakarta: Sinar
Grafika, 2014).
An- Na'im, Abdullahi Ahmed, Islam Dan Negara Sekular: Menegosiasikan Masa
Depan Syariah, (Jakarta: Mizan Pustaka, 2007).
Asmin, Status Perkawinan antarAgama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974, (Jakarta: PT. Dian Rakyat, 1986).
Cremers, Agus, Tahap-tahap Perkembangan Kepercayaan Menurut James W.
Fowler: Sebuah Gagasan Baru Dalam Psikologi Agama, Cet I,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995).
Fokus Media, Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Fokus Media, 2012).
Fuady, Munir, Konsep Hukum Perdata, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2014)
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Prenada Media Group, 2003)
Hadikusuma, Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: CV. Mandar
Maju, 2003).
Idi, Abdullah M.Ed, DINAMIKA SOSIOLOGIS INDONESIA: Agama Dan
Pendidikan Dalam Perubahan Sosial, (Yogyakarta: LkiS Pelangi Aksara,
2015).
83
Ilyas, Abdul Mutholib dan Abdul Ghofur Imam, Aliran Kepercyaan dan
Kebatinan di Indonesia, (Surabaya; Amin, 1998),
Irianto, Sulistyowati dan Shidarta, Penelitian Hukum Normatif: Analisis
Filosofikal dan Dogmatikal, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2009).
Jaih, Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Pustaka
Bani Quraisy, 2005).
Khalaf Abd al-Wahhab, „Ilm Usul al-Fiqh, (Kuwait: Dar al-Qalam, 1978).
Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman
dalam Masyarakat dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius, 2006).
Mulyadi, Hukum Perkawinan Indonesia, (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 2008).
Mustaming, Al-Syiqaq dalam Putusan Perkawinan di Pengadilan Agama Tanah
Luwu, (Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2015).
Nasul, Umam Syafi‟i dkk, Ada Apa dengan Nikah Beda Agama, (Tangerang:
Qultum Media, 2004).
Prawirohamidjojo, R.Soetojo, Pluralisme dalam Perundang-undangan
Perkawinan di Indonesia, (Surabya: Airlangga University Press, 2002).
Prodjodikoro, Wiryono, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Bandung: Sumur,
1974).
Ridwan, A. dan Flora Liman Pangestu, Persoalan Praktis Filsafat Hukum Dalam
Himpunan Distingsi, (Jakarta: Universitas Atmajaya, 1992) , h.15
Rohmansyah, Fiqih Ibadah dan Muamalah. (Yogyakarta: Lembaga Penelitian,
Publikasi dan Pengabdian Masyarakat (LP3M) Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta. 2017).
Rosyid, Harun Nur, dkk, Pedoman Pelestarian Kepercayaan Masyarakat,
(Jakarta: Proyek Pelestarian dan Pengembangan Tradisi dan Kepercayaan,
2004).
Salim HS., Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum pada Tesis dan
Disertasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2013).
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), h.90.
Sirin, Khaeron Perkawinan Madzhab Indonesia: Pergulatan AntaraNegara,
Agama dan Perempuan Ed.1 Cet.1, (Yogyakarta: CV. Budi Utama, 2018),
h.109
Slamet dan Aminuddin, Fiqih Munakahat I, (Bandung : CV Pustaka Setia, 1999).
84
Soehadha, Moh, Kebijakan Pemerintah Tentang Agama Resmi serta Implikasinya,
jurnal ESENSIA, No.1 Januari 2004, h.101
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji, 2012, Penelitian Hukum Normatif (Suatu
Tinjuan Singkat), Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grapindo Persada,
2004)
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, cet. 2,
(Yogyakarta: Liberty, 1997).
Soimin, Soedharyo, Hukum Orang dan Keluarga, (Jakarta: Sinar Grafika), 2004.
Summa, M. Amin, Kawin Beda Agama di Indonesia: Telaah Syariah dan
Qanuniah, (Ciputat: Lentera Hati, 2005), h.10-11
Sunggono, Bambang, Metedologi Penelitian Hukum (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2012).
Susetyo, Heru, Pencatatan Perkawinan bagi Golongan Penghayat, Jurnal Hukum
dan Pembangunan (Fakultas Hukum Universitas Indonesia Tahun 1997), h,
156
Syarifuddin, Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014).
Syaltut Mahmud, Al-fatawa Dirasrah li Musykilat al-Muslim al-Mua‟ashirah fi
Hayatihi alyaumiyah wa al-„Ammah, (Mesir: dar al-Kalam).
Thalib, Sayuti, Hukum Kekeluargaan indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986).
Tim Lindsey, Helen Pausacker, Religion, Law and Intolerance in Indonesia, (New
York: Routledge), h.24.
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta:
Prenada Media Group, 2008)
Waluyo, Bambang, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996).
Wardiono, Kelil, dkk, Hukum Perdata, (Surakarta: Muhammadiyah University
Press, 2018).
Wasman, dkk, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Perbandingan Fiqh Dan
Hukum Positif, (Yogyakarta: Teras, 2011)
Zainudin dan Afwan Zainudin , Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya, (Yogyakarta: CV.Budi Utama, 2017).
Zuhdi, Masjfuk Masail Fiqhiyah (Jakarta: PT Toko Gunung Agung, 1977).
85
Zahrah Abu, Muhammad. Al Ahwal Al Syakhsiyah, (Beirut: Dar al-Fikr al-Arobi,
1957).
Jurnal :
Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreni Carolina
Palandi, Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.
Internet :
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20150618181711-20-60930/mahkamah-
konstitusi-tolak-gugatan-menikah-beda-agama di akses pada 12 Desember
2018 Pukul 16.42 WIB
https://tirto.id/agama-agama-yang-dipinggirkan-bnP3 diakses pada 25 januari
2019 Pukul 11:43 WIB
https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4ba746a098f9c/aliran-kepercayaan-
semakin-mendapat-legitimasi-hukum diakses pada 26 Januari 2019 Pukul
00.15 WIB
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41886935 diakses pada 26 Januari
2019 Pukul 00.22 WIB
Peraturan Perundang Undangan :
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Kompilasi Hukum Islam,
Departemen Agama, Jakarta, 2001
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007
86
87
88
89
90
91
92
Pertanyaan : kalau boleh tau, bapak disini bertugas sebagai apa?
Jawaban : sebagai petugas kelurahan di Cigugur.
Pertanyaan : pak, saya pernah mendengar bahwasanya di Cigugur itu
penduduknya memiliki agama yang beragam dan juga ada
penghayat kepercayaan apakah benar?
Jawaban : benar itu ada di Cigugur.
Pertanyaan : Apakah saya boleh tau pak ada agama dan kepercayaan apa saja
yang ada di Cigugur?
Jawaban : disini mayoritas Agama Islam, kristen katolik, penghayat
kepercayaan. Ada juga hindu budha namun tidak terlalu banyak
bisa dihitung jari.
Pertanyaan : pak saya pernah membaca di beberapa kajian atau artikel
bahwasanya dengan warga nya yang beragam terdapat pernikahan
disini, apakah itu benar?
Jawaban : benar, disini banyak perkawinan beda agama yang terjadi,
khususnya di wilayah Paleban. Karena disitu rata-rata orang
beragama kristen, Islam, penghayat kepercayaan tinggal menjadi
satu dalam satu wilayah dan masih masuk dalam kelurahan
Cigugur.
Pertanyaan : Kalau boleh tau kira kira perkawinannya antara agama apa
dengan agama apa ya pak?
Jawaban : disini banyak yang nikah Islam dengan Kristen Katolik, katolik
dengan penghayat kepercayaan, atau Islam dengan Penghayat
Kepercayaan.
Pertanyaan : kira kira apa ya pak latar belakang perkawinan beda agama
tersebut?
Jawaban : untuk lebih pastinya saya kurang tau, namun fenomena tersebut
terjadi karena memang wilayah Cigugur ialah wilayah yang sangat
beragam jadi wajar kalau terjadi perkawinan seperti itu. Apabila
saudara mau tau lebih jauh, adik bisa menghubungi pak aji, pak aji
ini adalah ketua rw007, wilayah rw007 adalah wilayah yang paling
banyak terjadi pernikahan beda agama, maupun dengan penghayat
kepercayaan.
Pertanyaan : kalau saya boleh tau lagi pak, kira kira sejak kapan perkawinan
tersebut terjadi?
Jawaban : untuk lebih pastinya saya juga kurang tau tetapi, generasi kakek
saya dan sebelum kakek saya juga melakukan pernikahan beda
agama, meskipun saya beragama Islam, hidup antara katolik,
Islam, dan lain lain merupakan hal yang wajar.
93
94
NAMA : Pak Haji
Pertanyaan : Apakah disini ada pernikahan beda agama?
Jawaban : Ada, banyak.
Pertanyaan : Biasanya agama apa saja yang melakukan pernikahan dengan
penghayat kepercayaan?
Jawaban : Biasanya agama islam dan katolik.
Pertanyaan : Apakah penghayat kepercayaan terdapat penghulu seperti
layaknya Agama Islam ?
Jawaban : Ada pemuka penghayat seperti pencatat perkawinan dan juga
terdapat berita acara (istilah) tetap dicatatkan, ke disdukcapil.
Pertanyaan : Bagaimana tata cara pernikahan penghayat kepercayaan sunda
wiwitan?
Jawaban : Anak memohon pada orangtuanya/wali seperti meminta izin
untuk melakukan pernikahan dengan pria pilihannya untuk dapat
dinikahkan.
Pertanyaan : Seperti pengalaman yang saya dapatkan di baduy, pernikahan
disaksikan oleh naib apakah disini sama ?
Jawaban : Sisini berbeda, disini tidak menggunakan naib, hanya saksi biasa.
Pertanyaan : Bagaimana suasana pernikahan antara penghayat kepercayaan
dengan pemeluk agama contohnya katolik?
Jawaban : Sampai saat ini, banyak yang telah melakukan pernikahan
tersebut, tidak apa-apa, yang penting saling menghargai satu sama
lain.
95
Pertanyaan : Apabila penghayat dan pemeluk agama mengadakan pernikahan
mayoritas menggunakan budaya yang mana?
Jawaban : Kalo itu saya kurang paham tapi disini semuanya caranya bisa
milih salah satu sesuai kesepakatan biasanya begitusih
Pertanyaan : Kan kalo di Islam dilarang yak pak nikah beda agama nah
bagaimana kira-kira menurut bapak?
Jawaban : Memang, jika berbicara kepada agama itu dilarang tapi disini
sifatnya tidak memaksakan kehendak. Artinya itu terserah masing-
masing dalam menjalankan agama dan kepercayaan karena Islam
juga mengajarkan untuk tidak memaksa, banyak ko orang Islam
yang menikah dengan katolik dan penghayat yang kemudian
pasangannya menjadi orang Islam atau bahkan sebaliknya. Ya kalo
dilihat seimbang.
96
97
Pertanyaan : Kalo boleh saya tahu bapak ini menganut kepercayaan atau
agama?
Jawaban : Saya menganut kepercayaan Sunda Wiwitan
Pertanyaan : Apakah bapak sudah menikah ?
Jawaban : Saya sudah menikah
Pertanyaan : Apakah benar bahwa bapak menikah dengan orang yang
beragama, bukan dengan penghayat seperti yang bapak anut ?
Jawaban : Iya saya menikah dengan Istri saya yang bukan penghayat
melainkan orang yang beragama
Pertanyaan : Selain bapak, siapa saja yang melangsungkan perkawinan dengan
agama lain pak?
Jawaban : Ada banyak disini, ponakan saya juga melangsungkan
perkawinan berbeda, dia penghayat kepercayaan nikah dengan
orang islam sekarang tinggal diluar cigugur.
Pertanyaan : Faktor apa sih pak yang biasanya melatarbelakangi hal tersebut ?
Jawaban : Faktornya karena kita hidup di cigugur itu berdampingan antara
penghayat, katolik dan Islam jadi karena hidup berdampingan
yaudah bermasyarakat pada umumnya terus main bareng lama-
lama suka terus minta izin ke orang tua buat nikah
Pertanyaan : Jadi masalah gak sih pak kalo terjadi hal tersebut?
Jawaban : Sebenernya jadi masalah, karena kalo nikah berbeda seperti itu
sulit diakui oleh negara tapi kalo dilingkungan gak masalah, karena
dilingkungan sini dalam satu keluarga aja banyak yang beda agama
98
Pertanyaan : Nah, bagaimana sih pak cara mendapatkan legalitas dari
perkawinan tersebut
Jawaban : Kalo untuk detailnya saya kurang tau pasti karena biasanya yang
mengurus itu pak wahyu jadi ade bisa tanyakan langsung ke pak
wahyu.
Pertanyaan : Kalo nikah beda agama begitu pak biasanya caranya bagaimana
pak?
Jawaban : Ada dua caranya, harus dipilih mau pake cara agama yang mana
atau cara kepercayaan begitu aja, kalau mau dipindah agamakan
atau mau dipindah dari agama ke penghayat juga bisa, asal yang
terpenting adanya kesepakatan kedua mempelai begitu jadi sifatnya
tidak dipaksakan melainkan dikembalikan kepada masing-masing
calon.
99
100
Pertanyaan : sebelum saya mulai wawancara boleh saya tau nama siapa nama
bapak?
Jawaban : nama saya pak Wahyu, saya ada wakil kepala sekolah Trimulya,
saya juga sering membantu penghayat kepercayaan dalam hal
legalitas perkawinan, jadi siapapun penghayat kepercayaan ingin
mendapat pengakuan dari saya yang membantu mengurusnya.
Pertanyaan : bagaimana terkait keabsahan pernikahan di daerah ini?
Jawaban : sebenarnya, ketika dilihat dari yurisprudensi nya semua terjadi
atas 2 hal yakni, de facto dan de jure. De facto pada dasarnya ialah
terdapat mempelai pria dan mempelai wanita de jure nya ialah
dicatatkan sesuai dengan hukum dan perundangan undangan.
Pemerintah pun sudah menyediakan fasilitas melalui adminduk dan
catatan sipil untuk yang non muslim.
Pertanyaan : apa saja syarat kelengkapan berkasnya?
Jawaban : KTP, akta kelahiran, Kartu Keluarga dan kedua orang tuanya.
Pertanyaan : biasanya untuk pernikahan menggunakan hukum positif atau
hukum adat?
Jawaban : Khusus untuk kepercayaan secara defacto menggunakan hukum
adat, dari zaman belanda pun yang digunakan adalah hukum adat.
Ada semacam “staatsblad” nya. Sebelum turunnya adminduk,
digunakan ketetapan pengadilan.
Pertanyaan : sejak kapan penghayat kepercayaan bisa untuk melakukan
pencatatan pernikahan?
Jawaban : Pada tahun 1980, kuningan saat itu belum dapat mencatatkan
perkawinannya, hanya ada beberapa tempat seperti cilacap,
bandung, namun menggunakan catatan pengadilan, namun skrg
sudah dapat dicatatkan setelah keluar UU adminduk. Dengan
catatan agama kristen/katolik harus ada testimoni dari pihak gereja
Pertanyaan : biasanya perkawinan yang dilangsungkan disini baik antar satu
agama maupun berbeda ataupun agama dengan penghayat
kepercayaan biasanya menggunakan tata cara seperti apa?
Jawaban : biasanya disini tata cara pernikahan itu ada dua, pertama bisa
menggunakan tata cara agama bagi yang memeluk, atau tata cara
adat bagi penghayat kepercayaan, tapi kalau berbeda biasanya tidak
boleh bertentangan dari kedua cara tersebut. Biasanya kedua
keluarga berdiskusi mau menggunakan hukum agama, atau cara
adat. Apabila memilih dengan hukum agama, maka dilaksanakan
101
selayaknya bagaimana yang diatur dalam agama. Misalnya ada
orng kepercayaan nikah dengan orang Islam, maka harus ada
penghulu, walinya dan lain lain sesuai dengan syariat Islam.
Pertanyaan : apakah bila seorang muslim ingin menikah dengan penghayat
kepercayaan, apakah penghayat tersebut harus menjadi muallaf
terlebih dahulu?
Jawaban : tidak semua, dan juga disini tidak diwajibkan untuk menjadi
muallaf, meskipun ada beberapa. Namun ya nikah saja secara
Islam, tapi tidak diharuskan menjadi muallaf, begitu juga
sebaliknya, walaupun dengan cara adat. Disini bebas menghormati
keberagaman, tidak ada pemaksaan sama sekali, bahkan didalam
satu keluarga banyak yang beda agama dan kepercayaan.
Pertanyaan : bagaimana tata cara pernikahan menggunakan hukum adat sunda
wiwitan?
Jawaban : sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pernikahan pada
umumnya, terdapat calon pengantin pria dan calon pengantin
wanita, juga terdapat saksi, dan wali yang menikahkan, namun
tidak terdapat penghulu, hanya disaksikan oleh pemuka penghayat
kepercayaan, disini yang membedakan adalah ijab dan kabulnya,
kalau di Islam berbunyi “saya terima nikah dan kawinnya fullan
binti fullano dengan mahar....” pada penghayat kepercayaan
dilakukan “penggabungan tangan mempelai laki-laki dan mempelai
wanita, jempol didekatkan lalu wali nikah perempuannya berada
diatasnya untuk menutup jempol tersebut, dengan akad, Kemudian
anaknya mengucapkan keinginannya untuk menikah dengan
pasangan yang ada dihadapannya kepada orang tua atau walinya
masing-masing yang kemudian wali tersebut akan memberikan izin
untuk menikah dengan pasangan tersebut.
Adapun lafadz yang di ucapan atau yang disampaikan berupa: “Bapak, saya
sebagai anak bapak merasa bahwa saya ini mempunyai naluri
dasar untuk keinginan untuk melanjutkan kehidupan untuk
membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera lahir dan bathin”
Kemudian Wali tersebut akan menjawab:“Bapak sebagai wali mengesahkan,
keinginan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan sejahtera
102
lahir dan bathin“ Setelah itu disaksikan oleh para saksi kemudian
dikatan sah apabila para saksi mengatakan perkawinan tersebut
sah.
Pertanyaan : bagaimana untuk mendapat keabsahan pernikahan antar
penghayat kepercayaan, maupun penghayat kepercayaan dengan
pemeluk agama?
Jawaban : untuk saat ini karena penghayat kepercayaan belum diakui
negara, dan kita disuruh mendaftar, padahal kita ada sebelum
negara ini terbentuk, jadi caranya adalah kami meminta testimoni,
testimoni yang bersifat formalitas kepada penghayat kepercayaan
lainnya yang ada dibandung untuk menjadi pemuka penghayat
kepercayaan karena kita disini tidak ada melihat banyaknya minat
masyarakat untuk menjadi pemuka penghayat kepercayaan, atas
nama penghayat tsb, nanti di urus beritanya, atas nama penghayat
lain bukan atas nama sunda wiwitan, baru di serahkan ke dukcapil
untuk dicatatkan. Intinya seperti itu saja. Begitupun dengan nikah
beda agama, makanya jarang nikah beda agama, menikah dengan
sesamanya saja. Tapi kalau mau gunain adatnya terserah, bisa
gunakan adat nya masing masing. Karena di gedung paseban
semuanya sama, belajar tentang kehidupan dunia, dan lain-lain.