perkawinan dibawah tangan

Download Perkawinan dibawah tangan

If you can't read please download the document

Upload: undefinied-arie

Post on 25-Jun-2015

1.733 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah Perkawinan selaian di syariatkan oleh Agama Islam karena merupakan salah satu bentuk usaha memelihara atau

mengembangkan keturunan serta menjadi kunci ketentraman juga merupakan peristiwa alami dan kultur yang sudah menjadi turun temurun dari nenek moyang bangsa kita. Perkawinan adalah ikatan lahir batain antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suai istri dan perkainan merupakan suatu hal yang dilakukan sengan serius yang mengakibatkan seseorang akan terikat seumur hidup dengan pasangannya. Oleh karena itu perkawinan membutuhkan persiapan yang matang baik fisik serta kedewasaan mental. Maka dari itu untuk menjamin kepastian hukum bahwa telah terjadi suatu perkawinan maka Negara kita Indonesia membuat

peraturan perundang-undangan tentang perkawinan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat UU Perkawinan) dan peraturan

pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

2

tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975).

Sebagaimana pada Konsideran Bagian Menimbang UU Perkawinan, bahwa sesuai dengan falsafah Pancasila serta cita-cita untuk pembinaan hukum nasional perlu adanya Undang-undang tentang Perkawinan yang berlaku bagi semua warga negara. Hal ini berarti bahwa mengenai UU Perkawinan berlaku bagi semua warga negara, sehingga tidak membedakan suku bangsa maupun

kewarganegaraan. Akan tetapi sangat di sayangkan masih banyak orang belum memperhatikan hal ini karena berbagai alasan, seperti biaya mahal, Kantor Urusan Agama / Kantor Catatan Sipil jauh dan lain

sebagainya. Di dalam UU Perkawinan mengatur mengenai dasar

perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan, batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, putusannya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, ketentuan-ketentuan lain, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Ketentuan mengenai harta benda dalam perkawinan, menurut

2

pasal 35 UU Perkawinan, menentukan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta yang diperoleh selama perkawinan, yang berarti perkawinan

sebagaimana pasal 1 UU Perkawinan, bahwa Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan dinyatakan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Perkawinan tersebut harus dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan sesuai dengan pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan. selain itu harus didasarkan atas syarat perkawinan, sesuai pasal 9 UU Perkawinan menentukan bahwa Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal yang tersebut pada Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-undang ini. Perkawinan yang dibuat tidak memenuhi syarat perkawinan, perkawinan Perkawinan tersebut yang dapat dibatalkan bahwa sesuai pasal 22 UU

menentukan

Perkawinan

dapat

dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

3

4

melangsungkan perkawinan. Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan

Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu, orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap sebagaimana pasal 28 UU Perkawinan.

2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka yang

dipermasalahkan dalam tesis ini adalah: a. Bagaimana tinjauan hukum islam dan UU No. 1 Tahun 1974 terhadap prosedur perkawinan dibawah tangan atau siri ? b. Bagaimana akibat hukum terjadinya perkawinan di bawah tangan ? c. Bagaimana upaya yang dilakukan untuk mencegah

4

perkawinan dibawah tangan atau siri ?.

3. Tujuan Penelitian a. Untuk mengetahui dan menganalisis gambaran yang jelas tentang Hukum Islam dan Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dibawah tangan. b. Untuk mengetahui dan menganalisis hubungan antara

kenyataan dengan ketentuan yang di atur dalam Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dibawah

tangan yang kususnya bagi yang beragama islam

4. Manfaat Penelitian Manfaat yang didapat dalam penelitian ini selain menambah wawasan ilmu pengetahuan khususnya yang berhubungan dengan perkawinan dibawah tangan serta akibat hukumnya . Selain itu dapat digunakan sebagai sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang bersengketa yang berhubungan dengan perkawinan dibawah tangan dan akibat hukumnya terhadap harta benda dalam

perkawinan tersebut.

5. Kerangka Teoritis dan Konseptual

5

6

a. Harta Benda Perkawinan Di dalam perkawinan, kecuali tidak dijanjikan lain dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan dan harta bawaan. Harta perkawinan yang dimaksud adalah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan menentukan: 1.Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2.Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Memperhatikan ketentuan pasal 35 UU Perkawinan di atas dapat diperoleh penjelasan bahwa UU Perkawinan tidak menganut

kebersamaan harta dalam arti dengan perkawinan terjadi suatu persatuan harta melainkan pemisahan harta. Pemisahan harta yang dimaksud pemi-sahan antara harta bawaan dengan harta bersama. Harta bersama maksudnya adalah harta yang diperoleh selama perkawinan. Sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung kemudian dibawa ke dalam suatu perkawinan. Termasuk harta bawaan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dari hadiah atau warisan. Mengenai penguasaan harta dijelaskan lebih lanjut oleh pasal6

36 UU No. 1 Tahun 1974, yang menentukan: 1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; 2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sebagai harta bersama, maka masing-masing suami atau isteri dapat bertindak atas harta tersebut, asalkan dengan persetujuan kedua belah pihak. Sedangkan harta bawaan, di bawah penguasaan masing-masing pihak, maksudnya jika menggunakan harta tersebut tidak harus dengan persetujuan kedua belah pihak, kecuali

ditentukan lain, maksudnya dibuat lain dalam suatu perjanjian kawin. Perihal perjanjian kawin, diatur dalam pasal 29 UU

Perkawinan, yang menentukan: 1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut; 2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan; 3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; 4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

7

8

Mengenai

perjanjian

kawin,

Soetojo

Prawirohamidjojo

mengemukakan: Maksud pembuatan perjanjian kawin ini adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta kekayaan bersama.1 Hal ini berarti perjanjian kawin ada kaitannya dengan hal untuk mengatur harta perkawinan. Oleh karena itu dalam perjanjian kawin ini yang diatur meliputi: 1) bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak yang lain; 2) kedua belah pihak masing-masing membawa masukkan (aanbrengst) yang cukup besar; 3) masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai kata salah satu jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut; 4) atas pinjaman-pinjaman yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung jawab sendiri-sendiri.2 Dengan demikian selama tidak ditentukan lain dalam suatu perjanjian kawin, maka UU Perkawinan membedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan yaitu harta yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung dan dibawa ke dalam perkawinan termasuk pula harta yang diperoleh selama perkawinan dari hibah maupun warisan, sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan harta berlangsung. bersama Mengenai jika

bagaimana

akibatnya

terhadap

tersebut

1 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, 2001, h. 58. 2 Ibid.8

perkawinan berakhir karena perceraian, pasal 37 UU Perkawinan menentukan bahwa jika perkawinan bubar, pembagian harta bersama akan diatur menurut hukum masing-masing. b. Pembatalan Perkawinan Pembatalan berasal dari kata batal yang artinya tidak sah lagi, tidak berlaku, sia-sia. Mengenai pembatalan perkawinan, meskipun ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan suatu perkawinan yang sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku. Menurut Djoko Prakoso, sudah selayaknya perkawinan semacam ini dianggap batal. Kalau tidak, apakah gunanya diadakannya suatu larangan.3 Pembatalan perkawinan menurut Soetojo Prawirohamidjojo mengemukakan sebagai berikut: Istilahnya batalnya perkawinan itu tidaklah tepat, lebih tepat kalau dikatakan dapat dibatalkan perkawinan. Sebab bilamana perkawinan itu tidan memenuhi syarat-syarat, maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke muka pengadilan. Bila demikian halnya, maka istilahnya bukan batal (neitig), melainkan dapat dibatalkan (verneitigbaar).4 Merujuk pada pendapat Soetojo Prawirohamidjojo sebagaimana tersebut di atas, perkawinan yang dilangsungkan tersebut tetap sah, meskipun3 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Azas-azas Hukum Perkawinan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1999, h. 87. 4 Soetojo Prawirohamodjojo, Op. cit., 73.

9

10

perkawinan Perkawinan

tersebut yang

tidak

memenuhi

syarat

perkawinan. dapat

tidak

memenuhi

syarat

tersebut

dimohonkan pembatalan kepada pengadilan, sehingga selama tidak diajukan pembatalan maka perkawinan tersebut tetap sah. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Vollmar, dengan memberkan contoh sebagai berikut: a. apabila suatu perkawinan dilaksanakan bukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan; b. apabila suatu perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat jiwa, kemudian diketahui bahwa kedua mempelai tersebut kelaminnya sejenis baik keduanya laki-laki maupun keduanya perempuan.5 Perkawinan sebagaimana tersebut di atas memang sewajarnya jika perkawinan batal demi hukum, karena perkawinan yang tidak dicat oleh yang berwenang mencatatnya yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil yang beragama non Islam, atau perkawinan sejenis adalah dilarang. Mengenai pembatalan perkawinan, pada pasal 22 UU Perkawinan menentukan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Jadi jika perkawinan yang telah dilangsungkan tersebut ternyata tidak memenuhi syarat

5 Vollmar, Hukum Perdata, Bagian I, Cetakan ke-2, Rajawali, Jakarta, 1993, h. 120.10

perkawinan,

maka

perkawinan

tersebut

dapat

dibatalkan.

Pengertian dapat menurut penjelasan pasal 22 UU Perkawinan sebagai berikut: Pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak Pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan perkawinan menurut pasal 23 UU Perkawinan adalah sebagai berikut: Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undangundang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dapat dilakukan menentukan: sebagaimana Permohonan pasal 25 UU Perkawinan, yang

pembatalan

perkawinan

diajukan

kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau bertempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Jadi permohonan pembatalan diajukan kepada

Pengadilan. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan di dalam daerah hukum dimana perkawinan

dilangsungkan atau ditempat tinggal suami/istri. Pengadilan yang 11

12

dimaksud sesuai dengan pasal 63 UU Perkawinan menentukan sebagai berikut: 1) Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam Undang-Undang ini ialah: a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b. Pengadilan Umum bagi lainnya 2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Pembatalan juga dapat dimohonkan bagi suatu perkawinan yang telah dicatatkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 26 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut: (1)Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. (2)Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah. Berdasarkan pasal 27 UU Perkawinan, mengenai pembatalan perkawinan, pembatalan suatu perkawinan dapat dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:

12

(1)Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Hal ini berarti bahwa UU Perkawinan melarang perkawinan

dilangsungkan secara paksaan, sehingga perkawinan tersebut harus didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak untuk melangsungkan perkawinan. Perkawinan yang dilangsungkan

secara paksaan salah satu pihak, dapat digunakan sebagai alasan pihak lain untuk mengajukan permohonan pembatalan perkawinan tersebut pada pengadilan. Mengenai pembatalan perkawinan dijelaskan oleh pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut: (1)Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. (2)Tatacara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian.

13

14

Pasal 42 UU Perkawinan menentukan bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan, yang menentukan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

6. Metodologi Penelitian a. Pendekatan Masalah Pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).6 Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang dibahas yaitu mengenai pengurusan harta yang diperoleh selama perkawinan yang tidak dicatatkan. b. Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi6 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, h. 93.14

sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim. Bahan hukum primer terdiri atas UU Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan lainnya yang ada kaitannya dengan materi yang dibahas. Sedangkan bahanbahan sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.7 c. Prosedur Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum Pada penelitian bagi kegiatan akademis perlu dilakukan telaah yang mendalam mengenai perundang-undangan di bidang tertentu yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi.

Pembahasan masalah dalam penelitian hukum ini akan dilakukan secara kritis dengan menggunakan teori-teori hukum yang disusun secara sistematis dan teratur untuk memperoleh jawaban atas permasalahan yang dibahas dalam tesis ini dan untuk mengungkap7

Ibid., h. 141.

15

16

nilai kebenaran yang terkandung di dalamnya. Sedangkan analisis bahan hukum dilakukan langkah-langkah yaitu mengidentifikasi fakta hukum dan mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak dipecahkan; pengumpulan bahan-bahan hukum bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang mempunyai relevansi juga bahan-bahan non-hukum; melakukan telaah atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan yang telah dikumpulkan; yang menarik kesimpulan dan dalam bentuk

argumentasi

menjawab

isu hukum;

memberikan

preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam kesimpulan. Langkah-langkah ini sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan.8

7. Pertanggungjawaban Sistematika Sistematika penyusunan tesis ini pertama-tama diawali

dengan Bab I, Pendahuluan. Bab ini berisi gambaran umum permasalahan yang dibahas, sehingga hanya sebagai pengantar yang dijabarkan lebih lanjut pada bab berikutnya. Sub babnya terdiri atas latar belakang masalah yang dilanjutkan dengan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan konseptual,8Ibid., h. 171.16

metode

penelitian

dan

diakhiri

dengan

pertanggungjawaban sistematika. Kemudian dilanjutkan Bab II, dengan judul bab status harta yang diperoleh selama perkawinan diketahui bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan. Bab ini dipaparkan Pembahasan sekitar Perkawinan baik menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang meliputi pengertian perkawinan, asas dan syarat shnya perkawinan serta tujuan perkawinan. Pada bab ini juga dibahas tentang perkawinan dibawah tangan yang meliputi pengertian dan hukum perkawinan dibawah tangan dibawah tangan menurut Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 dan hukum islam. Dan untuk menjawab permasalahan

pertama yaitu bagaimana status harta yang diperoleh selama perkawinan yang ternyata diketahui bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan. Sub babnya terdiri atas perkawinan dan syarat perkawinan, harta benda dalam perkawinan, pembatalan perkawinan dan akibatnya. Selanjutnya Bab III, dengan judul bab pelaksanaan

perkawinan di bawah tangan meliputi analisa terjadinya perkawinan di bawah tangan. Sub babnya terdiri atas status dan hak anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan yang tidak memenuhi syarat perkawinan. Dan upaya yang dapat di tempuh untu mencegah

17

18

terjadinya perkawinan dibawah tangan atau siri. Akhirnya Bab IV, dengan judul bab Penutup. Bab ini

dipaparkan dalam bentuk jawaban permasalahan yang dibahas yang diletakkan pada judul sub bab kesimpulan dan alternatif pemecahan atas permasalahan yang diletakkan pada sub bab saran.

18

BAB II STATUS HARTA PERKAWINAN YANG TIDAK MEMENUHI SYARAT PERKAWINAN

1. Perkawinan dan Syarat Perkawinan Perkawinan menurut Pasal 1 UU Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut Soedharjo Soimin sebagai berikut : Perkawinan adalah suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahaga dan kekal itu haruslah berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.9 Menurut Subekti pengertian perkawinan adalah sebagai berikut : Pertalian yang sah antara seorang lelaki dengan seorang

perempuan dalam waktu yang lama.10 Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro Perkawinan adalah: Hidup bersama dari seorang lakilaki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat

9Soedarjo Soimin, Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, h. 6. 10 Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Intermusa, Jakarta, 1978, h.23

19

20

tertentu.11 Menurut Soetojo Prawirohamidjojo pengertian perkawinan

terkandung unsur - unsur sebagai berikut: Ikatan lahir batin; Antara seorang pria dengan seorang wanita; Sebagai suami isteri; Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal; 5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.12 ad.1. Ikatan Lahir batin, maksudnya bahwa ikatan itu tidak hanya cukup dengan dengan ikatan lahir dan batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir 1. 2. 3. 4.

merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri yang disebut hubungan formal sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihakpihak yang bersangkutan. Perkawinan bukan hanya

menyangkut unsur lahir, akan tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan luhur. ad.2. Antara seorang pria dan seorang wanita, maksudnya ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan11Wirjono Pradjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1974, h. 7. 12Soetojo Prawirohamidjojo, Op. cit., h. 38.20

seorang wanita, maka hubungan perkawinan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi, misalnya antara seorang pria dengan seorang pria atau seorang wanita dengan seorang wanita ataupun seorang wadam dengan seorang wadam lain Di samping itu dalam unsur kedua ini terkandung asas monogami. ad.3. Sebagai suami istri, maksudnya seorang pria dan seorang wanita dipandang sebagai suami istri bilamana ikatan antara seorang pria dan seorang wanita didasarkan pada suatu perkawinan yang sah. Suatu pekawinan sah jika memenuhi syarat-syarat yang ditentukan pasal 2 UU Perkawinan. Ada dua macam syarat yaitu syarat-syarat intern maupun syarat-syarat ekstern.Yang dimaksud syarat-syarat intern adalah yang menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu: kesepakatan kedua belah pihak baik dari pihak pria dan pihak wanitanya, kecakapan dan juga adanya izin dari pihak lain yang harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan

syarat-syarat ekstern adalah yang menyangkut formalitaformalita pelangsungan perkawinan. ad.4. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

21

22

kekal, maksud keluarga disini ialah satu kesatuan yang terdiri atas ayah,ibu, dan anak. Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan. Untuk dapat mencapai keluarga yang bahagia, maka diharapkan kekekalan dalam perkawinan, yaitu bahwa sekali orang melakukan perkawinan, tidak akan bercerai kematian. ad.5. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maksudnya untuk selama-lamanya, kecuali cerai karena

sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya Ke

Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat dengan agama/kerohanian,sehingga perkawinan bukan saja mempuyai unsur lahir atau jasmani, akan tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan penting. Mengenai tujuan perkawinan sesuai dengan yang

dikemukakan oleh Sudarsono adalah: Membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan

kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan materiil

22

dan spirituil.13 Mengenai sahnya suatu Perkawinan berdasarkan pasal 2 UU No.1 Tahun 1974 ditentukan sebagai berikut: (1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingkepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. masing agamanya dan

Menurut Penjelasan pasal 2 ayat 1 UU Perkawinan, sebagai berikut: Dengan perumusan pada pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum termasuk masing-masing ketentuan agamanya dan kepercayaannya yang berlaku itu bagi

perundang-undangan

golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan, di jelaskan bahwa : Suatu perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu ; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan

13 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, h. 7.

23

24

perundang-undangan yang berlaku. Perkataan harus dicatatkan sebagaimana penjelasan UU Perkawinan, mengadung maksud bahwa pencatatan perkawinan merupakan suatu keharusan untuk sahnya perkawinan. Pencatatan perkawinan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksana atas UU Perkawinan (selanjutnya disingkat PP No. 9 Tahun 1975). Pada pasal 2 ayat (1) PP No. 9 Tahun 1975 menentukan sebagai berikut : Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan

perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk. Memperhatikan perkawinan uraian sah di atas dapat dijelaskan tersebut bahwa telah

dinyatakan

jika

perkawinan

dilaksanakan sesuai dengan agama dan kepercayaannya dan perkawinan tersebut telah dicatatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan pasal 2 UU Perkawinan, yaitu bagi yang beragama Islam dicatatkan di Kantor Urusan Agama dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil sesuai dengan pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975. Hal ini berarti bahwa jika perkawinan tidak dilangsungkan

sebagaimana pasal 2 UU Perkawinan jo pasal 2 PP No. 9 Tahun

24

1975, maka perkawinannya belum sah dan dianggap belum terjadi perkawinan atau perkawinannya batal demi hukum. Perkawinan selain didasarkan atas ketentuan di dalam pasal 2 UU Perkawinan jo pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, juga harus memperhatikan syarat-syarat perkawinan sebagaimana diatur di dalam pasal 6 sampai dengan pasal 11 UU Perkawinan. Pada pasal 6 UU Perkawinan, menentukan bahwa: (1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21(duapuluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. (3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya. (4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya. (5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orangorang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini. (6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hokum masing masing agamanya 25

26

dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Sesuai dengan pasal 6 ayat (1) UU Perkawinan adanya persetujuan kedua belah pihak ini dengan pertimbangan bahwa perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. K. Wantjik Saleh

berpendapat: Hendaklah persetujuan itu adalah suatu yang murni, yang betul-betul tercetus dari para calon sendiri dalam bentuk kemauan untuk hidup bersama seumur hidup, bukan secara purapura atau hasil paksaan.14 Apabila dalam suatu perkawinan hanya 1 pihak saja yang menyetujui maka perkawinan tersebut tidak memenuhi syaratsyarat perkawinan. Pada pasal 6 ayat (2) UU No.1 Tahun 1974 dijelaskan jika

usianya kurang dari 21 tahun harus dengan persetujuan orang tuanya. Mengenai batasan usia perkawinan pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan menentukan: Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dengan14K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, h. 25.26

batasan usia perkawinan tersebut di harapkan agar tidak terjadi perkawinan terlalu muda, karena untuk menjaga kesehatan suami isteri dan keturunannya, dan sesuai dengan prinsip bahwa calon suami isteri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian, Hal ini sesuai dengan pendapat dari Sudarsono sebagai berikut: Calon suami istri itu harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.15 Perkawinan dilarang jika antara calon suami dan calon isteri masih ada hubungan darah sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut : Perkawinan dilarang antara dua orang yang : a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau keatas; b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri; d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susunan; e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;15 Sudarsono, Op. cit., h. 8.

27

28

f.

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Selain itu perkawinan dilarang apabila salah satu pihak masih terikat dalam suatu perkawinan sesuai pasal 9 UU Perkawinan, yang menentukan: Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi kecuali dalam hal yang disebutkan pada pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-undang ini. Demikian juga di dalam Pasal 10 UU Perkawinan, yang menentukan: Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka diantara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain. Calon isteri yang masih dalam masa iddah tidak

diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan sesuai Pasal 11 UU Perkawinan, yang menentukan: (1) Bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu.

(2) Tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut ayat (1) akan diatur dalam Peraturan Pemerintah lebih lanjut.

Pencatatan perkawinan bagi yang beragama Islam di Kantor Urusan Agama dan bagi yang beragama selain Islam dicatatkan di Kantor Catatan Sipil sesuai dengan pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975. Hal ini

28

berarti bahwa jika perkawinan tidak dilangsungkan sebagaimana pasal 2 UU Perkawinan jo pasal 2 PP No. 9 Tahun 1975, maka perkawinannya belum sah dan dianggap belum terjadi perkawinan atau perkawinannya batal demi hukum. Antara rukun dan syarat perkawinan itu ada perbedaan dalam pengertiannya. Menurut Soemiyati yang dimaksud dengan rukun dari Perkawinan ialah hakekat dari Perkawinan itu sendiri, jadi tanpa adanya salah satu rukun , perkawinan tidak mungkin dilaksanakan. Adapun yang termasuk rukun perkawinan, yaitu hakekat dari suatu perkawinan, supaya perkawinan dapat

dilaksanakan ialah: a. Pihak-pihak mempelai pria b. Wali c. Saksi d. Akad Nikah16 Perkawinan jika syarat-syarat maupun rukun perkawinan tidak terpenuhi, maka perkawinannya tidak batal demi hukum melainkan perkawinan tersebut dapat dibatalkan. yang melaksanakan aqad nikah yaitu

dan wanita.

2. Harta Benda Dalam Perkawinan16 Soemiyati, Hukum Perkawinan Perkawinan, Liberty, Yogyakarta, 1999, h. 30. Islam dan Undang-Undang

29

30

Dalam perkawinan, kecuali tidak dijanjikan lain dikenal adanya harta bersama dalam perkawinan dan harta bawaan. Harta perkawinan yang dimaksud adalah harta sebagaimana diatur dalam Pasal 35 UU Perkawinan menentukan: 1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama; 2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Harta bersama maksudnya adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung kemudian dibawa ke dalam suatu perkawinan, termasuk harta bawaan adalah harta yang diperoleh selama perkawinan dari hadiah atau warisan. Penguasaan harta dijelaskan lebih lanjut oleh pasal 36 UU Perkawinan, yang menentukan: 1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak; 2) Mengenai harta bawaan masing-masing suami dan isteri mempunyai hk sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Sebagai harta bersama, maka masing-masing suami atau isteri dapat bertindak atas harta tersebut, asalkan dengan persetujuan kedua belah pihak, sedang harta bawaan di bawah penguasaan masing-masing pihak, maksudnya jika menggunakan harta tersebut

30

tidak harus dengan

persetujuan kedua belah pihak, kecuali

ditentukan lain, maksudnya dibuat lain dalam suatu persetujuan kawin. Selama tidak ditentukan lain dalam suatu pejanjian kawin, maka UU Perkawinan membedakan antara harta bawaan dan harta bersama. Harta bawaan yaitu harta yang diperoleh sebelum perkawinan berlangsung dan dibawa ke dalam perkawinan

termasuk pula harta yang diperoleh selama perkawinan dari hibah maupun warisan, sedangkan harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, jika perkawinan berakhir karena perceraian pembagiannya diatur menurut hukumnya masing-

masing sesuai pasal 37 UU Perkawinan menentukan bahwa jika perkawinan bubar, pembagian harta bersama akan diatur menurut hukum masing-masing, yang berarti bahwa ketentuan dalam UU Perkawinan tidak mengatur pembagian harta bersama setelah bubarnya perkawinan. Ketentuan mengenai harta bersama diatur menurut hukum masing-masing suami isteri. Perihal perjanjian kawin adalah sebagaimana dimaksud oleh ketentuan pasal 29 UU Perkawinan, yang menentukan : (1)Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh 31

32

pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut; (2)Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan; (3)Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan; (4)Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, pengertian perjanjian kawin ialah: Maksud pembuatan perjanjian kawin ini adalah untuk mengadakan penyimpangan terhadap ketentuan-ketentuan tentang harta

kekayaan bersama.17 Hal ini berarti perjanjian kawin ada kaitannya dengan hal untuk mengatur harta bersama. Oleh karena itu dalam perjanjian kawin ini yang diatur meliputi : 1) bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah satu pihak dari pihak yang lain; 2) kedua belah pihak masing-masing membawa masukan (aanbrengst) yang cukup besar; 3) masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri, sehingga andai kata salah satu jatuh pailit, yang lain tidak tersangkut; 4) atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing akan bertanggung jawab sendirisendiri.18 Sebagaimana disebutkan dalam pasal 29 ayat (1) UU17Soetojo Prawirohamidjojo, Op. cit., h. 58. 18Ibid.32

Perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat secara tertulis, yang berarti bahwa perjanjian perjanjian perkawinan tersebut digunakan sebagai bukti. Alat bukti diatur dalam pasal 1866 B.W., salah satunya yaitu alat bukti tertulis. Akta termasuk sebagai salah satu bukti tertulis, yang dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1. surat akta;2.

yang

berbentuk

surat-surat

lain,

uang

bukan berbentuk akta.19 Apa yang dikemukakan oleh Subekti di atas dalam memberikan pengertian akta lebih menonjolkan pada isi akta, yaitu berisikan perbuatan hukum yang dibuat oleh pihak-pihak.

Perbuatan hukum tersebut diwujudkan dalam suatu tulisan-tulisan yang digunakan sebagai bukti telah terjadinya suatu ikatan. Oleh karena berisikan suatu perbuatan hukum antara para pihak dan digunakan sebagai bukti, maka surat meskipun dibuat dalam bentuk tertulis, namun karena tidak berisikan adanya perbuatan hukum, maka tulisan tersebut tidak dapat disebut sebagai akta, tetapi hanya surat biasa.19Hamzah, Tanggapan Terhadap Makalah yang Berjudul Kekuatan Hukum Akta Notaris Sebagai Alat Bukti, Media Notariat, No. 12-13 Tahun IV, Oktober, 1989, h. 271.

33

34

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya surat dapat disebut sebagai akta, adalah sebagai berikut: 1) surat itu harus ditandatangani; 2) surat itu harus memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hak atau perikatan, dan3)

surat itu diperuntukkan sebagai alat bukti.20 Surat itu harus ditandatangani, dimaksudkan untuk

mengetahui pihak-pihak yang melakukan perbuatan hukum yang tandatangannya dibubuhkan dalam surat tersebut. Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui apakah pihak yang membubuhkan tandatangan tersebut mempunyai kekuasaan untuk itu, yang sejalan dengan ketentuan pasal 1869 B.W, ditentukan bahwa suatu akta yang karena tidak berkuasa atau tidak cakapnya pegawai dimaksud, atau karena cacat dalam bentuknya, tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan sebagai tulisan di bawah tangan jika surat tersebut ditandatangani oleh para pihak. Jadi jika suatu akta tersebut adalah akta, namun karena sesuatu hal, misalnya cacat bentuk atau sebab lain yang berakibat cacatnya akta, maka meskipun akta tersebut otentik otomatis menjadi akta di bawah tangan bagi pihak-pihak20Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Grosse Akta dalam Pembuktian dan Eksekusi, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 26-28.34

yang menanda tangani akta tersebut. Dijelaskan lebih lanjut oleh Hamzah, bahwa pembubuhan tanda tangan terhadap sebuah akta merupakan suatu kewajiban atau keharusan yang mutlak, oleh karena di samping tanda tangan tersebut yang dapat

membedakannya dengan surat-surat dalam bentuk di luar akta, seperti halnya karcis kereta api, resi dan sebagainya, juga untuk memberikan ciri atas pada pembuat surat akta yang dimaksud.21 tujuan untuk

Penandatanganan

tersebut

dengan

memberi ciri atau untuk mengindividualisasi sebuah akta, sebab tandatangan dari setiap orang mempunyai ciri tersendiri yang tidak mungkin sama dengan tandatangan orang lain. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar sesuatu hal atas perikatan, maksudnya bahwa surat itu harus berisikan sesuatu keterangan yang dapat menjadi bukti yang dibutuhkan oleh para pihak yang menandatanganinya. Mengenai maksud

pencantuman peristiwa hukum yang termuat dalam surat tersebut haruslah merupakan peristiwa hukum yang menjadi dasar adanya perikatan. Oleh karena itu jika dalam surat tersebut tidak termuat dasar perikatan, maka tidak dapat disebut sebagai akta, sebab itu tidak mungkin digunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perikatan.21 Hamzah, Loc. Cit.

35

36

Surat itu diperuntukkan sebagai bukti, maksudnya bahwa surat tersebut harus digunakan sebagai bukti jika dipersengketakan di depan pengadilan, sehingga jika tulisan atau akta tersebut dibuat tidak digunakan sebagai bukti, maka surat tersebut tidak dapat disebut sebagai akta. Surat digunakan sebagai alat bukti hak, yang dimaksud adalah bahwa setiap orang yang merasa haknya dilanggar, maka harus dapat membuktikan bahwa memang haknya dilanggar sesuai dengan ketentuan pasal 1865 B.W., bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna

meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut. Menurut pasal 1867 B.W., menentukan bahwa pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Jadi akta sebagai bukti terdiri dari akta di bawah tangan dan akta otentik. Akta di bawah tangan yang dimaksud adalah akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat-surat, register-register, surat-surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa perantaraan seorang pegawai umum, demikian bunyi pasal

36

1874 B.W. Jadi akta di bawah tangan merupakan akta yang sengaja dibuat oleh pihak-pihak sendiri tidak dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan membuat akta, yang oleh para pihak dipergunakan sebagai alat bukti telah terjadinya suatu perbuatan hukum. Oleh karena dibuat oleh pihak-pihak saja, maka kekuatan mengikatnya akta itu hanya sebatas pihak-pihak yang membuatnya saja, sesuai dengan ketentuan pasal 1338 B.W., bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya. Akta yang dibuat di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian yang sah, jika pembuat akta tersebut mengakui isi akta serta tandatangan yang ada pada akta tersebut. Oleh karenanya jika misalnya akta di bawah tangan yang memuat pengakuan hutang secara sepihak untuk membayar sejumlah uang atau memberikan sesuatu barang, namun ternyata diingikari oleh pihak lawan yang tidak mengakui tandatangan yang ada pada surat atau akta tersebut, maka harus dibuktikan dengan alat bukti yang lain, dalam arti surat tersebut hanya dapat diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan (Pasal 1878 B.W.). Akta otentik, yaitu suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh

37

38

undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya (Pasal 1868 B.W.). Dengan demikian dikualifikasikan sebagai suatu akta otentik jika akta tersebut tercantum tandatangan, merupakan suatu pernyataan perbuatan hukum dan digunakan sebagai bukti. Akta tersebut dibuat oleh atau di hadapan pejabat umum, bentuknya ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan pejabat yang membuat akta tersebut mempunyai kewenangan. Dengan demikian akta otentik harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut:22 1) akta itu harus dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum; 2) akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang; 3) pejabat umum oleh atau di hadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai kewenangan untuk

membuat akta tersebut. Memperhatikan uraian sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh22 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit., hlm. 29.38

selama perkawinan berlangsung. Hal ini berarti bahwa harta tersebut didapat ketika kedua pihak yaitu suami dan istri tersebut terikat dalam perkawinan yang sah.

3. Pembatalan Perkawinan dan Akibatnya Pembatalan berasal dari kata batal yang artinya tidak sah lagi, tidak berlaku, sia-sia. Istilah batal-nya perkawinan dapat menimbulkan salah paham, karena terdapat berbagai ragam tentang pengertian batal (nietig) tersebut. Batal berarti neitig zonder kracht (tidak ada kekutan) zonder waarde (tidak ada nilai). Dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak.23 Istilah dapat dibatalkan dalam

Undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya pelanggaran terhadap aturan-aturan tertentu.24 Hal ini berarti bahwa di dalam perkawinan dimungkinkan untuk dibatalkan dan ada kemungkinan perkawinan batal demi hukum. Mengenai pembatalan perkawinan, meskipun ketatnya

23Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, Legal Center Publishing, Jakarta, 2002, h. 25. 24 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media Grup. Jakarta, 2006, h. 107.

39

40

pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan suatu perkawinan yang

sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku. Menurut Djoko Prakoso, sudah selayaknya perkawinan semacam ini dianggap batal. Kalau tidak, apakah gunanya diadakannya suatu larangan.25 Pembatalan perkawinan menurut Soetojo Prawirohamidjojo

mengemukakan sebagai berikut: Istilahnya batalnya perkawinan itu tidaklah tepat, lebih tepat kalau dikatakan dapat dibatalkan perkawinan. Sebab bilamana perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat, maka barulah perkawinan itu dibatalkan sesudah diajukan ke muka pengadilan. Bila demikian halnya, maka istilahnya bukan batal (neitig), melainkan dapat dibatalkan (verneitigbaar).26 Merujuk pada pendapat Soetojo Prawirohamidjojo sebagaimana tersebut di atas, perkawinan yang dilangsungkan tersebut tetap sah, meskipun perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat

perkawinan. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat tersebut dapat dimohonkan pembatalan kepada pengadilan, sehingga

selama tidak diajukan pembatalan maka perkawinan tersebut tetap sah. Namun sebagaimana dikemukakan oleh Vollmar, dengan memberkan contoh sebagai berikut: 1. apabila suatu perkawinan dilaksanakan bukan di hadapan Pegawai Pencatat Perkawinan;25Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Loc. Cit.. 26Soetojo Prawirohamodjojo, Op. cit., 73.40

2.

apabila suatu perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat jiwa, kemudian diketahui bahwa kedua mempelai tersebut kelaminnya sejenis baik keduanya laki-laki maupun keduanya 27 perempuan.

Perkawinan sebagaimana tersebut di atas memang sewajarnya jika disebut sebagai perkawinan batal demi hukum, karena perkawinan yang tidak dicatat oleh yang berwenang mencatatnya yaitu Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam atau Kantor Catatan Sipil yang beragama non Islam, atau perkawinan sejenis adalah dilarang. Mengenai pembatalan perkawinan, pada pasal 22 UU

Perkawinan menentukan bahwa: Perkawinan dapat dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk

melangsungkan perkawinan. Jadi jika perkawinan yang telah dilangsungkan perkawinan, tersebut maka ternyata tidak tersebut memenuhi dapat syarat

perkawinan

dibatalkan.

Pengertian dapat menurut penjelasan pasal 22 UU Perkawinan sebagai berikut: Pengertian dapat pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak. Pihak yang mempunyai hak untuk mengajukan pembatalan

27 Vollmar, Loc. cit.

41

42

perkawinan menurut pasal 23 UU Perkawinan adalah sebagai berikut: Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu : a. Para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri; b. Suami atau isteri; c. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan; d. Pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undangundang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus. Pengajuan dilakukan menentukan: permohonan pembatalan 25 UU perkawinan Perkawinan, dapat yang

sebagaimana Permohonan

pasal

pembatalan

perkawinan

diajukan

kepada pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan atau bertempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. Jadi permohonan pembatalan diajukan kepada

Pengadilan. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan di dalam daerah hukum dimana perkawinan

dilangsungkan atau ditempat tinggal suami/istri. Pengadilan yang dimaksud sesuai dengan pasal 63 UU Perkawinan menentukan sebagai berikut: (1)Yang dimaksud dengan Pengadilan dalam UndangUndang ini ialah: a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam; b. Pengadilan Umum bagi lainnya (2) Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh42

Pengadilan Umum. Pembatalan juga dapat dimohonkan bagi suatu perkawinan yang telah dicatatkan di muka Pegawai Pencatat Perkawinan yang tidak berwenang. Ketentuan tersebut terdapat di dalam pasal 26 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut: 1) Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. 2) Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal ini gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Berdasarkan pasal 27 UU Perkawinan menetukan: (1)Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum. (2)Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri. (3)Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

43

44

Pembatalan Perkawinan dapat diajukan menurut Pasal 38 PP No. 9 Tahun 1975 yang menentukan sebagai berikut: 1) Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau ditempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri. 2) Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tatacara pengajuan gugatan perceraian. 3) Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan Pengadilan, dilakukan sesuai dengan tatacara tersebut dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 36 Peraturan Pemerintah ini. Memperhatikan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa perkawinan dapat dibatalkan apabila perkawinan dilangsungkan, padahal tidak memenuhi syarat perkawinan. Perkataan dapat dibatalkan, yang berarti bahwa perkawinan tersebut oleh hakim dalam putusannya dapat dibatalkan atau tidak dibatalkan. Dengan dibatalkannya perkawinan tersebut, berarti pembatalan berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali terhadap hal-hal sebagaimana pasal 28 UU Perkawinan sebagai berikut: (1) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. (2) Keputusan tidak berlaku surut terhadap : a. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; b. Suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;44

c. Orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap. Memperhatikan ketentuan pasal 28 UU Perkawinan sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa batalnya perkawinan karena tidak dipenuhinya syarat perkawinan oleh Pengadilan berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan. Meskipun demikian akibat dari batalnya perkawinan tidak berlaku surut terhadap anakanak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Selain itu termasuk istri yang bertitikad baik maksudnya tidak mengetahui bahwa ketika perkawinan dilangsungkan tidak mengetahui calon suaminya kurang memenuhi syarat perkawinan dan anak-anak yang

dilahirkannya. Oleh karena adanya suatu batasan yang jelas mengenai akibat hukum dari perceraian yaitu terhadap istri yang beritikad baik dan anak yang dilahirkannya, berarti bahwa dengan dibatalkan perkawinan yang berlaku surut sejak perkawinan

dilangsungkan, berlaku pula terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Harta benda yang diperoleh selama

perkawinan menjadi tidak pernah ada, karena perkawinannya dianggap tidak pernah terjadi sejak saat dibatalkannya perkawinan tersebut. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa 45

46

status harta benda yang diperoleh selama perkawinan antara Moudy Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi yang ternyata diketahui bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat perkawinan dianggap tidak pernah ada sejak perkawinan tersebut dibatalkan yang pembatalannya berlaku surut sesuai dengan ketentuan pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan. Oleh karena perkawinan antara Moudy Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi dianggap tidak pernah terjadi, maka terhadap harta benda yang diperoleh selama hidup bersama tanpa ikatan perkawinan tersebut menjadi hak masing-masing pihak. Moudy Wilhelmina dan Junaidi Ahmadi jika

mempermasalahkan harta benda yang diperoleh selama hidup bersama tanpa ikatan perkawinan, maka masing-masing pihak harus dapat membuktikannya baik mengenai harta bawaan yang dibawa ke dalam suatu perkawinan maupun harta yang diperoleh dari hasil kerjanya sebagai artis bagi Moudy Wilhelmina dan Junaidi Ahmadi sebagai seorang fotografi. Karena dalam hal harta benda dalam perkawinan terdapat tiga macam harta yaitu:1.

harta kekayaan milik prive suami; harta kekayaan milik prive istri; harta kekayaan milik bersama.28

2.

3.

28 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Hukum Orang dan Keluarga (Personen en Familie-Recht), Airlangga University Press, Surabaya,46

Hal ini berarti bahwa perkawinan yang dinyatakan tidak sah, maka terhadap harta benda yang diperoleh selama keduanya hidup dalam satu

rumah tersebut merupakan harta pribadi milik Moudy Wilhelmina dan harta pribadi Junaidi Ahmadi.

2001, h. 54.

47

48

BAB III STATUS DAN HAK ANAK YANG DILAHIRKAN DARI HASIL PERKAWINAN ANTARA MOUDY WILHELMINA DENGAN JUNAIDI AHMADI

1. Status Anak Dalam Perkawinan Anak ditinjau dari segi keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara orang yang seorang dan orang yang lain. Dua orang atau keturunan yang seorang dari yang lain.29 Adanya hubungan darah antara keturunan dengan seorang dari yang lain menjadikan antara keduanya yaitu anak keturunanya dengan orang tua yang menurunkannya mempunyai hubungan hukum di dalam masyarakat. Mengenai hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya, di antara daerah yang satu dengan daerah yang lain terdapat suatu perbedaan. Perbedaan terjadi akibat sistem kekeluargaan masing-masing daerah. Meskipun demikian, bagi masyarakat keturunan merupakan unsur esensial bagi suatu kekeluargaan (clan).

29 Surojo Wignjodipuro, Asas-asas Hukum Adat., Gunung Agung, Jakarta, 1982, h. 108.48

Keturunan menurut Soerojo Wignjodipuro dapat bersifat: a. lurus apabila orang yang satu itu merupakan langsung keturunan yang lain, misalnya antara bapak dan anak, antara kekek, bapak dan anak. Disebut lurus ke bawah jika rangkiannya dilihat dari kakek, bapak anak, sedangkan disebut lurus ke atas kalau rangkaiannya dilihat dari anak, bapak ke kakek; b. menyimpang atau bercabang, apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau se kakeknenek dan lain sebagainya.30 Di dalam hubungan kekeluargaan, dikenal adanya garis keturunan bapak (keturunan patrilineal) dan keturunan garis ibu (keturunan matrilineal). Keturunan patrilineal adalah orang yang hubungan darahnya hanya melewati orang laki-laki saja di antara mereka anak orang laki-laki dan orang perempuan. Sedang hubungan kekeluargaan yang matrilineal adalah hanya mengakui orang-orang yang hubungan darahnya hanya melewati orang perempuan saja.31 Anak yang belum mencapai umur (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, orang tua mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47 UU Perkawinan). Anak menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (selanjutnya disebut UU Kesejahteraan30 Ibid., h. 109. 31 Ibid.

49

50

Anak) menentukan : Seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Anak perlu memperoleh perhatian dengan pertimbangan anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang dasar-dasarnya telah diletakkan oleh generasi sebelumnya. Agar setiap anak mampu memikul tanggung jawab tersebut, maka ia perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar baik secara rohani jasmani maupun sosial.32

Selanjutnya anak bagian dari generasi muda sebagai salah satu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus citacita perjuangan bangsa yang memiliki peranan strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus, memerlukan pembinaan, dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi slaras dan seimbang. Untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan, baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai, oleh sebab itu ketentuan mengenai

penyelenggaraan pengadilan bagi anak perlu dilakukan secara khusus.3332 Konsideran UU No. 4 Tahun 1979, huruf a dan b. 33 Konsideran UU No. 3 Tahun 1997.50

Apabila memperhatikan konsideran UU Kesejahteraan anak dan UU Perlindungan Anak di atas dapat dijelaskan bahwa, anak sebagai salahs atu sumber daya manusia yang merupakan potensi dan penerus cita-cita perjuangan, maka anak yang berusia kurang dari 18 tahun memperoleh perlakuan istimewa dalam segala hal sebagia upayanya untuk menjamin pertumbuhan dan

perkembangan fisik, mental, dan sosial secara utuh, serasi dan seimbang. Anak jika dikaitkan dengan kesejahteraan usianya adalah 21 tahun sesuai dengan UU Kesejahteraan anak, sedang usia anak 18 tahun diarahkan kepada dewasa dalam bertindak menurut hukum (kecakapan). Karena usia 18 tahun dalam prakteknya masih belum dapat memnuhi kebutuhannya sendiri (sebagai usia sekolah). Anak ditinjau dari asal usul dikenal adanya anak sah, anak luar kawin dan anak angkat. Anak sah adalah anak yang dilahirkan oleh orang tua yang terikat dalam suatu perkawinan yang sah (Pasal 42 ayat (1) UU Perkawinan). Sehingga jika seorang anak yang dilahirkan dari orang tua yang tidak terikat dalam suatu perkawinan yang sah, maka dianggap sebagai anak tidak sah. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Soetojo Prawirohamidjojo bahwa seorang anak dilahirkan dari seorang wanita yang kawin, maka ia

51

52

adalah anak yang sah dari orang yang terakhir ini, sedangkan suami ibunya adalah ayanya yang sah.34 Seorang ayah dikatakan sebagai ayah yang sah jika :35 1) seorang anak yang lahir dalam jangka waktu enam bulan dihitung sejak hari akad nikah adalah tidak sah, kecuali bilamana suami ibunya mengakui yang lahir itu sebagai anaknya. 2) seorang anak yang lahir sesudah enam bulan sejak hari akad nikah, adalah sah, kecuali jika ayahnya tidak mengakuinya. Anak luar kawin ialah anak yang asal-usulnya tidak

didasarkan pada hubungan perkawinan yang sah yaitu hubungan antara ayah dan ibunya, sehingga tidak mempunyai kedudukan yang sempurna seperti anak sah. Anak angkat atau adopsi adalah suatu perbuatan

pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri demikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hubunga kekeluargaan yang sama

seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.36 Di dalam UU Perkawinan, Kitab Undang-undang Hukum34 Soetojo Prawirohamdjojo, Op. cit., h. 103. 35 Ibid., h. 104. 36 Wirjono Pradjodikoro, Op. cit., h. 96.52

Perdata maupun Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disebut UU Perlindungan Anak) yang digunakan sebagai dasar untuk mengetahui hak asuh anak tidak mengatur megnenai akte kelahiran. Meskipun demikian bagi setiap anak akte kelahiran merupakan suatu hal yang penting, karena itu merupakan salah satu hak anak, sesuai dengan pasal 5 UU Perlindungan Anak, tentang Perlindungan Anak yang

menentukan sebagai berikut : Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Menurut Victor Situmorang disebutkan sebagai berikut : Bagaimanakah anak tersebut membuktikan bahwa dianya (anak asuh) anak dari orang tuanya. Malah tersebut dapat diatasi dengan baik apabila anak tersebut dapat menunjukkan bukti-bukti yang kuat dan autentik bahwa dirinya adalah anak sah orang tuanya. Sebab bukti yang sah tentunya adalah suatu bukti tertulis yang autentik yang menerangkan tentang suatu hal, agar hal tersebut mempunyai dasar kekuatan hukum yang pasti dan kuat. Demikian pula dengan peristiwa kelahiran seseorang, peristiwa kelahiran itu perlu mempunyai bukti tertulis dan autentik, karena untuk membuktikan identitas seseorang yang pasti dan sah adalah dapat kita lihat dari akta kelahirannya yang dikeluarkan oleh suatu lembaga yang berwenang mengeluarkan akta tersebut.37 Memperhatikan uraian Victor Situmorang tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa akta kelahiran adalah suatu bukti yang otentik yang berisikan identitas seseorang, dan akta kelahiran tersebut37 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, h. 40

53

54

dibuat oleh lemabaga yang berwenang agar akta kelahiran dapat digunakan sebagai bukti yang otentik. Mengenai pihak yang membuat akta kelahiran adalah Catatan Sipil, menurut Peraturan Walikota Surabaya Nomor 67 Tahun 2005 tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya (SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2005) dijalankan oleh Dinas Kependudukan dan Cattan Sipil. Namun SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2005 tidak memberikan definisi mengenai Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Pada Pasal 1 angka 5 menentukan Dinas asdalah Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Sedangkan Pasal 1 angka 6

menentukan Kepala Dinas adalah kepala Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil Kota Surabaya. Cattan Sipil yaitu suatu lembaga yang diusahakan oleh pemerintah yang ditugaskan untuk

memelihara daftar-daftar atau catatan-catatan guna pembuktian status atau peristiwa-peristiwa penting bagi para warga negara seperti kelahiran, perkawinan, kematian.38 Sedangkan Volmar mengartikan lembaga catatan sipil adalah suatu lembaga yang diadakan oleh penguasa/pemerintah yang dimaksud membuktikan selengkap mungkin karena itu memberikan kepastian sebesarbesarnya tentang semua peristiwa yang penting bagi status38 Ibid., h. 1054

keperdataan kematian.39

seseorang

perkawinan

kelahiran

perceraian

dan

Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil mempunyai tugas melaksanakan kewenangan daerah dibidang kependudukan dan catatan sipil serta melaksanakan tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah provinsi sebagfaimana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Walikota Surabaya Nomor 67 Tahun 2005 tentang penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surabaya (SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2005). Hal ini berarti bahwa eksistensi dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil didasarkan atas peraturan perundang-undangan, sehingga mempunyai wewenang untuk menjalankan tugasnya. Dinas mempunyai tugas melaksanakan kewenangan Daerah di bidang kependudukan dan catatan sipil serta melaksanakan tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Provinsi sebagaimana Pasal 2 SK Walikota Surabaya No. 67 Tahun 2005. Sebagai pelaksana tugas daerah dan pelaksana tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah provinsi, berarti Dispenduk Capil Dijelaskan lebih lanjut oleh Victor M. Situmorang sebagai berikut :39 Volmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Jilid 1, Rajawali, jakarta, 1989, h. 37.

55

56

Berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam keluarga, maka terdapat macam-macam akta catatan sipil, yaitu : a. akta kelahiran; b. akta perkawinan; c. akta kematian; d. akta perceraian; e. akta pengakuan/pengesahan anak; f. akta penggantian nama.40 Dengan demikian eksistensi lembaga catatan sipil ini mempunyai peran yang penting terutama dalam lapangan keperdataan, sebab di catatan sipil dapat ditentukan kedudukan hukum seseorang, sehingga orang-orang yang berkepentingan dalam hal-hal yang berhubungan memperoleh dengan kepastian lembaga hukum, ini dapat dengan mudah

megnenai

status

seseorang.

Dengan demikian tujuan dibentuknya lembaga catatan sipil adalah untuk memberikan kepastian hukum sebesar-besarnya mengenai peristiwa-peristiwa yang dialami atau terjadi atas diri seseorang, maka semua akta catatan sipil mempunyai kedudukan yang sempurna yang mutlak kebenarannya di depan hukum. Demikian halnya dengan akta kelahiran sebagai identitas seseorang yang berarti pada akte kelahiran tersebut tercantum nama anak dan asal usul anak tersebut dalam arti tercantum pula nama orang tuanya. Akta kelahiran merupakan suatu bukti yang menunjukkan asal usul anak sesuai dengan pasal 55 UU Perkawinan40 Victor M. Situmorang dan Cormentyna Sitanggang, Op. cit., h. 2.56

yang menentukan : 1) Asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang. 2) Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasdal ini tidak ada, maka Pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat. 3) Atas dasar ketentuan Pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan. Ketentuan pasal 55 UU Perkawinan yang berhubungan dengan asalusul anak yang dituangkan dalam akta kelahiran, dijelaskan lebih lanjut oleh pasal 27 UU Perlindungan Anak tentang Perlindungan Anak (selanjutnya disingkat UU Perlindungan Anak) menentukan : 1) identitas dari setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya; 2) identitas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam akta kelahiran; 3) pembuatan akta kelahiran didasarkan ada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran; 4) Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui, dan oreang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya. Dengan demikian bahwa setiap kelahiran harus jelas identitasnya, karenanya akta kelahiran bagi anak merupakan suatu yang penting dan harus ada. Mengenai fungsi akta kelahiran adalah sebagai berikut :4141 Sumber Dinas Kependudukan Kotamadya Surabaya.

57

58

Menentukan status hukum seseorang Masuk sekolah TK sampai dengan Perguruan Tinggi Melamar pekerjaan termasuk menjadi anggota TNI dan Polri

Pembuatan KTP/KK/NIK Pembuatan SIM Pembuatan Paspor Pengurusan Tunjangan Keluarga Pengurusan Hak Waris Pengurusan Bea Siswa Pengurusan Asuransi Melaksanakan Pencatatan Perkawinan Melaksanakan Ibadah Haji Pengurusan kematian Pengurusan Perceraian Pengurusan Pengakuan Anak Pengangkatan Anak Adopsi

2. Kewajiban Orang Tua Terhadap Anak Pada umumnya, anak yang usianya kurang dari 18 (delapan

58

belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, belum mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karenanya anak seusia tersebut berada di bawah kekuasaan orang tuanya sesuai Pasal 45 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut : 1) Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. 2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus. Orang tua yang mempunyai kekuasaan terhadap anak wajib memelihara dan mendidik sebaik-baiknya. Dengan demikian hak mengasuh anak merupakan salah satu kewajiban orang tua terhadap anak-anaknya yang meliputi

kewajiban untuk memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan. Hal ini sesuai pula dengan ketentuan Pasal 26 UU Perlindungan Anak yang menentukan : 1) Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : a. mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; b. menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan c. mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. 2) Dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab, tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, maka kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 59

60

Kewajiban orang tua untuk bertanggung jawab kepada anakanaknya sesuai pula dengan Pasal 9 UU Kesejahteraan Anak yang menentukan sebagai berikut : Orang tua adalah yang pertamatama bertanggung jawab atas terwujudnya kesejahteraan anak baik secar rohani, jasmani maupun sosial. Sebagai kewajiban, maka mutlak harus dilaksanakannya, disertai ancaman dicabut

kekuasaanya terhadap anak tersebut. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 UU Perkawinan, yang menentukan sebagai berikut : 1) Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus keatas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal : a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya; b. Ia keberatan buruk sekali. 2) Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Dalam kaitannya dengan perlindungan anak, kondisi anak harus benar-benar mendapat perhatian khususnya oleh orang tua, sehingga anak terhindar dari korban. Hal ini dengan yang

dikemukakan oleh Shanty Dellyana sebagai berikut : Dalam rangka mengembangkan usaha kegiatan perlindungan anak ini, seharusnya lebih waspada khususnya bagi orang tua dan juga harus sadar adanya akibat yang sama sekali tidak diinginkan, yaitu yang dapat menimbulkan korban. Kerugian karena pelaksanaan perlindungan anak yang tidak rasional60

positif, tidak bertanggung jawab dan tidak bermanfaat.42 Mengenai penyelenggaraan perlindungan anak, diatur dalam Pasal 2 UU Perlindungan Anak yang menentukan sebagai berikut : Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hakhak anak meliputi : a. Non diskriminasi; b. Kepentingan yang trebaik bagi anak; c. Tidak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan d. Penghargaan terhadap pendapat anak. Mengenai penyelenggaraan perlindungan anak, dijelaskan lebih lanjut oleh Penjelasan Pasal 2 UU Perlindungan Anak sebagai berikut : Asas perlindungan anak di sini sesuai dengan prinsip-prinsip pokok yang terkandung dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Yang dimaksud dengan asas kepentingan yang terbaik bai anak adalah bahwa dalam semua tindakan yang menyangkut anak yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat, badan legislatif, dan badan yudikatif, maka kepentingan yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama. Yang dimaksud dengan asas hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan adalah hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua. Yang dimaksud dengan asas penghargaan terhadap pendapat anak adalah penghormatan atas hak-hak anak untuk berpartisipasi dan menyatakan pendapatnya dalam pengambilan keputusan terutama jika menyangkut hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya. Didasarkan atas hak-hak anak , baik yang diatur dalam42 Shanty Dellyana, Wanita dan Anak Di Mata Hukum, Liberty, Yogyakarta, 1988, h. 13.

61

62

Undang-undang Dasar 1945 maupun yang diatur dalam Konvensi Hak-hak Anak, dapat dijelaskan bahwa anak diusahakan untuk tidak diperlakukan secara keras dan diskriminasi yang dapat

mengganggu pertumbuhan, perkemangan, dan partisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Berkaitan dengan pihak-pihak yang bertanggung jawab

terhadap perlindungan anak, Arif Gosita mengemukakan bahwa kesejahteraan anak adalah hak asasi anak yang harus diusahakan bersama.43 Usaha bersama yang dimaksud adalah dituntut adanya tanggung jawab secara bersama, sebagaimana ketentuan dalam Pasl 20 UU Perlindungan Anak menentukan sebagai berikut : Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Sehingga dalam hal ini yang bertanggung jawab terhadap perkembangan anak adalah negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, meskipun demikian tanggung jawab utama terhadap anak lebih dibebankan kepada orang tua.

Menurut Pasal 3 UU Perlindungan Anak menentukan sebagai43 Arif Gosita, Maslah Perlindungan anak, Akademika Pressindo, Jakarta, 1984, h. 3.62

berikut : Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Terlepas dari hak-hak anak sebagaimana di atas, setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya sesuai dengan Pasal 7 UU Perlindungan Anak yang menentukan sebagai berikut : 1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. 2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan telantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perudnangundangan yang berlaku. Mengenai perlunya setiap anak mengetahui orang tuanya, menurut penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU Perlindungan Anak dijelaskan sebagai berikut: Ketentuan mengenai hak anak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dalam arti asal-usul (termasuk ibu susunya), dimaksudkan untuk menghindari terputusnya silsilah dan hubungan darah antara anak dengan orang tua kandungnya, sedangkan hak untuk dibesarkan dan diasuh orang tuanya, dimaksudkan agar anak dapat patuh dan menghormati orang tuanya. Memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa

63

64

maksud dan tujuan perlindungan anak menurut UU Perlindungan Anak adalah memberikan perlindungan agar hak-hak anak

terpenuhi, agar anak terjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Hak anak salah satu di antaranya adalah hak asuh yang pertamatama menjadi tanggung jawab dari orang tuanya. Mengenai orang tua dari anak yang bersangkutan dapat dilihat dari akta kelahiran dari anak tersebut sesuai dengan yang dimaksud oleh Pasal 27 UU Perlindungan Anak. Apabila memperhatikan uraian di atas dapat dijelaskan bahwa orang tua mempunyai kewajiban utama untuk mengasuh anakanaknya, dalam pengertian mengasuh tersebut adalah memenuhi kebutuhan melalui memberikan biaya pemeliharaan dan pendidikan terhadap anaknya. Jika orang tua tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan yang berlaku sebagaimana Pasal 7 ayat (1) UU Perlindngan Anak. Jadi terdapat dua hal yang menyangkut anak yaitu anak memperoleh hak asuh dan anak menjadi anak angkat jika orang tuanya tidak mampu menjamin kesejahteraan anaknya.

64

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali atau orang lain yang

bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Sedangkan anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar

sebagaimana Pasal 1 angka 7 dan Pasal 8 UU Perlindungan Anak.

3. Status Anak yang Perkawinan Orang Tuanya Dibatalkan Perkawinan diharapkan dapat berlangsung untuk selamalamanya sesuai dengan tujuan perkawinan. Demikian halnya dengan yang dikehendaki oleh pasangan suami istri Junaidi Ahmadi dan Moudy Wilhelmina. Namun kadangkala tanpa diketahui atau sebelumnya telah mengetahui bahwa syarat perkawinan tidak dipenuhi. Perkawinan antara Junaidi Ahmadi dan Moudy Wilhelmina telah mengetahui bahwa Junaidi Ahmadi masih terikat dalam suatu perkawinan terdahulu. Perkawinan tersebut dapat dibatalkan sesuai dengan pasal 22 UU Perkawinan, bahwa perkawinan dapat

65

66

dibatalkan, apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Meskipun perkawinan dibatalkan dan pembatalan perkawinan berlaku surut sesuai dengan pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan, namun tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkannya sesuai dengan pasal 28 ayat (1) huruf a UU Perkawinan bahwa Putusan tidak berlaku surut terhadapanak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.

Anak wanita Moudy Wilhelmina yang saat ini berumur 9 tahun hasil perkawinannya dengan Junaidi Ahmadi. Anak tersebut ketika dilahirkan Moudy Wilhemina terikat dalam suatu perkawinan dengan Junaidi Ahmadi, sehingga jika dikaitkan dengan ketentuan Pasal 42 UU Perkawinan adalah anak sah, karena Junaidi Ahmadi tidak mengingkari kelahiran anak tersebut sebagaimana Pasal 44 UU Perkawinan. Namun jika anak tersebut dilahirkan ketika kedua orang tuanya tidak terikat dalam perkawinan yang sah, maka anak yang dilahirkannya tersebut adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya sesuai dengan pasal 43 UU Perkawinan.

66

Anak tersebut telah memiliki akta kelahiran sehingga asalusul anak sebagiamana Pasal 55 UU Perkawinan tidak diragukan lagi, bahwa anak tersebut adalah anak dari pasngan Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi. Namun perkawinan tersebut dibatalkan karena tidak memenuhi syarat perkawinan, yaitu syarat sebagaimana Pasal 9 UU Perkawinan, karena ketika Junaidi Ahmadi melangsungkan perkawinan dengan Moudy Wilhelmina masih terikat perkawinan dengan istri terdahulu yaitu Shinta Safitri Dewi. Namun diketahui setelah Moudy Wilhemina mengajukan gugat cerai terhadap Junaidi Ahmadi pada Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan pada saat itu pula pihak Shinta Safitri Dewi mengajukan intervensi yaitu turut serta dalam suatu gugatan tidak memihak salah satu pihak, melainkan untuk kepentingan dirinya sendiri, agar membatalkan perkawinan antara Junaidi Ahmadi dengan Moudy Wilhemina. Permohonan pembatalan perkawinan yang diajukan oleh Shinta Safitri Dewi tersebut sesuai dengan Pasal 22 UU Perkawinan. Terlepas dari putusan Pengadilan Agama jakarta Selatan yang mengakibatkan intervensi dari pihak Shinta Safitri Dewi dengan mengabulkan permohonan cerai yang diajukan oleh Moudy

Wilhemina pada tanggal 24 Nopember 2008 dan pihak Shinta Safitri

67

68

Dewi mengajukan permohonan banding pada Pengadilan Tinggi Agama Jakarta, maka yang perlu diketahui adalah status anak dari hasil perkawinan Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi. Apabila dikaitkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan dan akta kelahiran yang menunjukkan asal usul anak, demikian pula jika dikaitkan dengan ketentuan Pasl 28 ayat (2) UU Perkawinan bahwa putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut, maka anak tersebut adalah anak sah. Namun sebagaimana pasal 42 jo Pasal 28 ayat (2) huruf a UU Perkawinan, bahwa anak yang sah adlaah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, putusan tidak berlaku surut terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Suatu perkawinan sebagaimana Pasal 22 UU Perkawinan jika tidak memenuhi syarat perkawinan, maka perkawinannya dapat dibatalkan. Batal berarti neitig zonder kracht (tidak ada kekuatan) zonder waarde (tidak ada nilai), dapat dibatalkan berarti nietig verklaard, sedangkan absolut nietig adalah pembatalan mutlak.44 Istilah dapat dibatalkan dalam Undang-undang ini berarti dapat difasidkan jadi relatif nietig. Dengan demikian perkawinan dapat dibatalkan berarti sebelumnya telah terjadi perkawinan lalu dibatalkan karena adanya44 Martiman Prodjohamindjojo, Loc. cit.68

pelanggaran

terhadap

aturan-aturan

tertentu.45

Jika

dikaitkan

dengan kasus perkawinan antara Moudy Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi sebelumnya terikat dalam suatu perkawinan. Hal ini berarti bahwa di dalam perkawinan dimungkinkan untuk dibatalkan dan ada kemungkinan perkawinan batal demi hukum. Perkawinan jika dilangsungkan padahal maka perkawinan menurut tersebut Djoko dilarang untuk

dilangsungkannya,

Prakoso,

meskipun

ketatnya pengawasan yang dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, masih banyak terjadi kemungkinan suatu perkawinan yang sebenarnya dilarang oleh hukum yang berlaku, sudah selayaknya perkawinan semacam ini diangggap batal. Kalau tidak, apakah gunanya diadakannya suatu larangan.46 Hal ini berarti bahwa perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi adalah batal. Oleh sebab perkawinannya batal karena tidak memenuhi syarat perkawinan masuk dalam larangan perkawinan, apabila dikaitkan dengan Pasal 42 UU Perkawinan, bahwa anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, karena perkawinannya tidak sah, maka anak yang dihasilkan dari perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi adalah anak tidak sah. Jika dikaitkan dengan Pasal 43 UU45 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Loc. cit. 46 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Loc. Cit.

69

70

Perkawinan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan saudara ibunya. Berdasarkan pembahasan di atas dapat dijelaskan bahwa status dan hak anak yang dilahirkan dari hasil perkawinan antara Moudy Wilhemina dengan Junaidi Ahmadi yang ternyata

perkawinannya tidak memenuhi

syarat perkawinan adalah tidak

sah atau anak luar kawin. Sebagai anak luar kawin, maka jika anak tersebut telah mempunyai akta kelahiran dengan menyebut nama Moudy Wilhemina sebagai ibu dengan Junaidi Ahmadi sebagai ayah, maka dapat dilakukan perubahan atas akta kelahiran tersebut dengan menghapus Junaidi Ahmadi dari akta sebagai ayah anak tersebut dengan mengajukan permohonan kepada Pengadilan.47 Mengenai gugatan sahnya anak, karena sahnya anak,

dijelaskan oleh Soetojo Porawirohamidjojo bahwa gugat untuk menentang keabsahan keturunan seorang anak harus dibedakan dengan gugat untuk menyangkal keabsahan seorang anak. Hal ini berarti bahwa gugatan keabsahan anak berbega dengan gugat mengenai penyangkalan anak yang dilakukan oleh suami (atau ahli warisnya) dari ibu sang anak. Gugat yang sahnya anak disebutkan bermaksud menetapkan kedudukan status hukum sesungguhnya47 Wawancara dengan Diana Ratnawati, Panitera Pengadilan Negeri Surabaya.70

dari seorang anak. Putusan hakim merupakan putusan deklaratoir, artinya hanya menyatakan keadaan sesungguhnya yang sudah ada.48 Memperhatikan pendapat Soetojo sebagaimana tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa gugatan sahnya anak ini

mempengaruhi akta kelahiran yang dibuatnya, sehingga putusan pengadilan dapat digunakan sebagai dasar untuk merubah akta jika keabsahan anak tersebut dapat dibuktikan, maksudnya jika

perkawinan tersebut ternyata dibatalkan oleh Pengadilan, karena tidak dipenuhi syarat perkawinan khususnya menyangkut larangan perkawinan, maka perkawinan menjadi batal. Oleh karenanya anak yang dilahirkan menjadi anak luar kawin. Apabila telah

dibuatkannya akta, maka batalnya perkawinan tersebut dapat digunakan untuk mengajukan perubahan atas akta kelahiran dengan mengajukan permohonan penghapusan nama suami

sebagai ayah dari akta kelahiran.

48 Soetojo Prawirohamidjojo dan Marthalena Pohan, Op. cit., h. 175.

71

72

BAB IV PENUTUP

1. Simpulan a. Status harta yang diperoleh selama perkawinan antara Moudy Wilhelmina dengan Junaidi Ahmadi yang ternyata diketahui bahwa perkawinan tersebut tidak memenuhi syarat

perkawinan sebagaimana pasal 9 UU No. 1 Tahun 1974 tentang larangan perkawinan, bukan menjadi harta benda bersama dalam perkawinan sebagaimana pasal 35 UU

Perkawinan. Perkawinan yang dilakukan tidak memenuhi syarat perkawinan dan perkawinannya dibatalkan, maka pembatalan berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan sesuai dengan pasal 22 jo pasal 26 ayat (1) UU Perkawinan, termasuk harta yang diperoleh selama perkawinan

berlangsung. b. Pembatalan perkawinan berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan, karena syarat perkawinan yang tidak dipenuhi adalah larangan perkawinan sebagaimana pasal 9 UU

Perkawinan. Oleh karena perkawinan batal, maka status anak bukan anak sah sebagaimana pasal 42 UU Perkawinan,

72

melainkan anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu dan keluarga ibunya sesuai pasal 43 UU Perkawinan. Meskipun dalam akta kelahiran sebagai bukti asal-usul anak sesuai dengan pasal 55 ayat (1) UU

Perkawinan tercantum nama bapak dan ibu dari anak tersebut.

2. Saran a. Hendaknya mengenai harta benda dalam perkawinan

tersebut dijanjikan, agar ketika perkawinannya dibatalkan perjanjian perkawinan tersebut dapat digunakan s