perjumpaan dengan “wajah yang lain” kajian

17
Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas Tennie Marlim & Dr. Vincentius Y. Jolasa, Ph. D 1 Program Studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya ABSTRAK Nama : Tennie Marlim Program Studi : Filsafat Judul : Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” : Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas Skripsi ini merupakan analisis tentang pemikiran etika Emmanuel Levinas, seorang tokoh yang memberikan pandangan berbeda tentang relasi antar manusia. Dasar dari konsep etika Levinas adalah pejumpaan dengan wajah Yang Lain. Wajah yang dimaksud oleh Levinas bukan merupakan bentuk fisik dimana terdapat mata, hidung, dan telinga, melainkan cara dimana Yang Lain menampakan dirinya melampaui kemampuan subjek untuk mentematisasinya. Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani, yaitu manifestasi tiba-tiba atas makna realitas tertentu. Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan isi. Oleh karena itulah, wajah membawa kita melampaui Ada. Wajah adalah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing. Semua figur itu menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Subjek menjadi pengganti untuk Yang Lain tanpa memikirkan dampak pada dirinya sendiri. Hal ini merupakan sebuah tanggung jawab murni yang lahir dari perjumpaan dengan wajah Yang Lain. Pemikiran Levinas ini mendobrak relasi subjek – objek, menjadi subjek – subjek. Kata kunci : wajah Yang Lain, asimetris, subjek – subjek, epifani, pengganti, tanggung jawab 1 Tennie Marlim adalah mahasiswa program studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 15 Juli 2013. Vincentius Y. Jolasa adalah Dosen Program Studi Filsafat yang memberikan bimbingan kepada Tennie Marlim dalam menulis skripsi yang berjudul “Perjumpaan dengan Wajah Yang Lain: Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas”. Tulisan ini merupakan Ringkasan dari skripsi yang dimaksud. Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Upload: others

Post on 04-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain”

Kajian Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas

Tennie Marlim & Dr. Vincentius Y. Jolasa, Ph. D1

Program Studi Filsafat

Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya

ABSTRAK

Nama : Tennie Marlim

Program Studi : Filsafat

Judul : Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” : Kajian Eksistensialisme Religius

Menurut Emmanuel Levinas

Skripsi ini merupakan analisis tentang pemikiran etika Emmanuel Levinas, seorang tokoh

yang memberikan pandangan berbeda tentang relasi antar manusia. Dasar dari konsep etika

Levinas adalah pejumpaan dengan wajah Yang Lain. Wajah yang dimaksud oleh Levinas

bukan merupakan bentuk fisik dimana terdapat mata, hidung, dan telinga, melainkan cara

dimana Yang Lain menampakan dirinya melampaui kemampuan subjek untuk

mentematisasinya. Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani,

yaitu manifestasi tiba-tiba atas makna realitas tertentu. Wajah selalu menolak usaha

penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan isi. Oleh karena itulah, wajah membawa kita

melampaui Ada. Wajah adalah personifikasi sebagai yang miskin, janda, yatim piatu, dan

orang asing. Semua figur itu menyiratkan fakta tentang suatu kejadian etis. Subjek menjadi

pengganti untuk Yang Lain tanpa memikirkan dampak pada dirinya sendiri. Hal ini

merupakan sebuah tanggung jawab murni yang lahir dari perjumpaan dengan wajah Yang

Lain. Pemikiran Levinas ini mendobrak relasi subjek – objek, menjadi subjek – subjek.

Kata kunci : wajah Yang Lain, asimetris, subjek – subjek, epifani, pengganti, tanggung jawab

1 Tennie Marlim adalah mahasiswa program studi Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas

Indonesia yang telah mempertahankan skripsinya di hadapan Dewan Penguji dalam sidang skripsi tanggal 15

Juli 2013. Vincentius Y. Jolasa adalah Dosen Program Studi Filsafat yang memberikan bimbingan kepada

Tennie Marlim dalam menulis skripsi yang berjudul “Perjumpaan dengan Wajah Yang Lain: Kajian

Eksistensialisme Religius Menurut Emmanuel Levinas”. Tulisan ini merupakan Ringkasan dari skripsi yang

dimaksud.

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 2: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

ABSTRACT

Name : Tennie Marlim

Major : Philosophy

Title : Encounter with “The Other’s Face”: The Study of Religious Eksistensialism

According to Emmanuel Levinas.

This thesis analyses the ethics thinking of Emmanuel Levinas, a philosopher who gave a

different view about human relationship. The base of Levinas’ ethics is the encounter with

The Other’s face. The meaning of The Other’s face is not the physical forms of eyes, nose,

and ears, but a way in which The Other shows itself beyond the capability of a subject to

characterize it. The discovery of the face, by Levinas is called an epiphany, that is the sudden

manifestation of a particular meaning of reality. The face always rejects the attempt of

absorptution by thought to become content. Because of that, the face brings us to go beyond

being. The face is the personification of the poor, widows, orphans and strangers. All those

figures hint us to an ethical occurrence. Subject becomes the substitution for The Others

without thingking of the consequences onto itself. This is a responsibility that comes from

encounter with The Other’s face. Levinas thought broke the subject-object relation, to become

subject-subject relation.

Key words : The Other’s face, asimetric, subject-subject, epiphany, substitution,

responsibility

A. Pendahuluan

Permasalahan kemanusiaan selalu menjadi isu yang menarik untuk dibicarakan. Begitu

banyak nilai-nilai kemanusiaan yang dicetuskan oleh berbagai pemikir pada jaman yang

berbeda. Nilai-nilai ini bukan hanya mampu mempengaruhi kelangsungan hidup umat

manusia, namun juga mampu melahirkan sesuatu yang selalu hidup dalam setiap pemikiran,

kajian, dan tindakan praktis dari masa ke masa. Nilai-nilai kemanusiaan selalu diidamkan oleh

setiap manusia dalam menciptakan sebuah tatanan teratur, dinamis, dan progresif. Sebuah

tatanan kehidupan yang pada dasarnya menekankan pada perdamaian dan keadilan.

Keberadaan nilai kemanusiaan ini diharapakan bukan saja sebagai gambaran kondisi ideal

kehidupan, namun juga dapat diwujudkan ke dalam bentuk yang lebih nyata dalam setiap

aspek kehidupan umat manusia.

Namun demikian, pada kenyataannya kondisi ideal kehidupan manusia yang dicita-

citakan selama ini masih jauh dari harapan. Hal ini antara lain dikarenakan terbentuknya

pihak-pihak yang ingin menguasai (superior) dan pihak-pihak lain yang diposisikan sebagai

pihak yang dikuasai (imferior). Pada kondisi seperti ini, tindakan eksploitasi manusia

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 3: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

terhadap manusia lainnya kemudian dilegalkan oleh salah satu pihak. Kehidupan umat

manusia seolah dibentuk dalam isu-isu ketidaksederajatan antara manusia yang satu dengan

manusia yang lainnya.

Emmanuel Levinas adalah seorang filsuf yang beranggapan bahwa etika merupakan

filsafat awal. Etika adalah kekuatan positif yang melebihi kekuatan dari epistemologi dan

ontologi sebagai tujuan dan dasar filsafat. Dalam etika tradisional, terdapat banyak tuntutan

untuk berpartisipasi dalam proses pemberian tanggung jawab. Berpartisipasi berarti

bertanggung jawab terhadap apa yang telah dilakukan atau dikatakan. Hal ini menjadi penting

ketika kita harus bertanggung jawab terhadap adanya Yang Lain. Yang Lain adalah subyek

sebagaimana diri kita yang harus bertanggung jawab. Bagi Emmanuel Levinas, tanggung

jawab dalam pengertian tradisional berhubungan dengan “menjawab” (EI, 1985: 98-99).

Meski agak terbatas, seorang dikatakan bertanggung jawab kepada orang lain jika ia mau

merespon atau memberi jawaban kepada orang lain. Ini lebih dari pada satu pemaknaan yang

digoreskan dalam sesuatu yang dikatakan.

Wajah2 atau Yang Lain adalah seruan etis yang jadi gugatan terhadap otonomiku sebagai

subjek sehingga aku menjadi imperative dan harus keluar dan terbuka dengan dunia di luar

diriku. Dalam fenomenologinya, Levinas hendak mengemukakan bahwa setiap manusia

berfilsafat tidak ditujukan untuk memikirkan sesuatu melainkan lebih dari pada itu kita

mengamati apa yang menunjukkan diri dan apa yang terjadi ketika kita bersama orang lain.

Kerangka “subjek-objek” didobraknya dan mengarahkan setiap manusia ke dalam relasi

“subjek-subjek”. Pengandaian ini membuka cakrawala baru melihat munculnya orang lain di

hadapan kita.

Rumusan masalah

1. Apakah yang dimaksud oleh Levinas tentang konsep etika?

2. Apakah yang dimaksud Levinas akan etika sebagai filsafat pertama yang selaras

dengan pemahaman tanggung jawab etis terhadap Yang Lain?

3. Bagaimanakah aplikasi serta pengaruh pemikiran Levinas terhadap permasalahan

kemanusiaan dalam usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan

manusia?

Tujuan penulisan

2 Wajah yang dimaksudkan disini adalah bukan bentuk fisik bagian tubuh manusia, namun melampaui

pemahaman itu yang akan dijelaskan pada bab 2.

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 4: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

1. Menjelaskan konsep pemikiran etika Emmanuel Levinas.

2. Menjelaskan inti dari pemikiran Levinas mengenai etika sebagai filsafat pertama.

3. Melihat hubungan antara pemikiran etika Levinas dengan permasalahan kemanusiaan

dalam usaha menciptakan keadilan dan perdamaian dalam kehidupan.

B. Tinjauan Teoritis

Emmanuel Levinas melengkapi pemikiran Heidegger dengan tanggung jawab terhadap

orang lain (The Other). Pemikirannya merupakan reaksi atas pemikiran modern yang

mengedepankan prinsip universalitas sehingga masa itu jatuh pada egologi. Ia mengkritik

pemikiran Descartes tentang cogito yang berkesadaran pada dirinya sehingga menjadikan

nuansa modern sebagai egologi. Cogito ergo sum itu harusnya diganti dengan Respondeo

ergo sum bahwa aku bertanggung jawab, jadi aku ada. (Bertens, 2006: 327) Selain itu, kondisi

jaman saat ia hidup yaitu pembantaian kemanusiaan terbesar oleh Nazi Jerman dan hampir

seluruh keluarganya dibunuh sehingga melatarbelakangi pembentukan pemikiran etika khas

Levinas.

Levinas adalah seorang fenomenolog. Ia terpengaruh oleh fenomenologi Husserl dalam

hal metode analisis lived experience (pengalaman fenomenologi di dalam horizon keseharian

subjek). Ini merupakan kebenaran universal atas semua pengalaman. Pengalaman manusia

tidak lagi dilihat sebagai pure cogito, melainkan sebagai sesuatu yang menjamah dunia nyata.

Metode fenomenologi memungkinkan kesadaran menjadi reflektif, berfungsi untuk mengenali

intensionalitas yang dapat mengarahkan objek sehingga memiliki keberartiannya. Bagi

Levinas, sebagai counter terhadap Husserlian, mengarah pada intensional non-representasi

yaitu pertemuan dengan manusia lain, sehingga konsep baru fenomenologi (visible) yang

menekankan pada metafisika (beyond-visible) menjadikannya gerbang menuju konsep etika.

Tulisan Levinas mengenai The Theory of Intuition dalam ranah pikiran Husserlian

dipengaruhi oleh Sein und Zeit karya Heidegger. Heidegger mengkritik ego transendental-nya

Husserl karena sebelumnya Husserl telah mengkritik Cartesian Meditation. Menurut

Heidegger, intensionalitas itu menghadirkan eksistensi yang bergerak dalam keberartiannya.

Intensionalitas bukan mengetahui tujuan manusia akibat perbuatan dan mengetahui tentang

akhir hidupnya melainkan eksistensi yang menandakan ia berada pada kecemasan dan

nothingness. Namun, selanjutnya ia tidak setuju pada Heidegger di mana filsafatnya masih

menjadikan situasi egologi pada saat ia mensubordinatkan relasi antara Yang Lain pada relasi

Being. Bila Heidegger memusatkan proyeknya pada ekistensialisme, Levinas lebih

mengarahkan proyeknya dalam responsibilitas untuk yang Lain. Salah satu inspirasinya

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 5: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

mengenai responsibilitas datang dari sastrawan Dostoyevski mengenai tanggung jawab

terhadap yang Lain di dalam novelnya yang berjudul Brother Karamazov bahwa “Kita semua

bertanggung jawab atas semua orang, tetapi Aku lebih bertanggung jawab daripada orang

lain.” (Sean, 1989: 2-4)

C. Metode Penelitian

Penulisan ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Data-data berupa teori

maupun teks bacaan diteliti dari sudut pandang filosofis. Di dalam penelitiannya maka

digunakan sebuah metode filosofis yaitu hermeneutika. Hermeneutika merupakan sarana

penting dalam menginterpretasi teks-teks di dalam buku Emmanuel Levinas. Metode

fenomenologi digunakan oleh peneliti sebagai live experience dan uji coba teori dalam

perbandingan. Hal ini ditempuh untuk mengkritisi kembali teori apakah relevan atau tidak

dengan realitas keseharian. Selain itu, penulis menggunakan metode dialektika. Metode

dialektika digunakan untuk membantu kerangka berpikir sistematis sehingga mendapatkan

sintesis berupa pernyataan tesis dan berguna di dalam merumuskan pemikiran kritis reflektif

sebagai relevansinya di dalam kehidupan keseharian

D. Pembahasan

Pengungkapan makna being sebagai being-for-the-other menjadi premis sekaligus

konklusi dari filsafat Levinas. Hal ini akan menjadi jelas jika kita mengikuti logika, bukan

hanya kronologi dari pemikirannya, jalan pemikirannya dari analisis ontologis subjek egois,

yang terpaku dengan dirinya sendiri, melalui solipsistic subjektivitas ditebus dengan

keterbukaan terhadap waktu dan infinity, untuk memilih etika yang unik yaitu menjadi eksis

bagi “Yang Lain”. (EN, 1999: xii) Ini merupakan sebuah persitiwa luar biasa dimana manusia

menjadi being yang sesungguhnya. Pada salah satu bukunya Levinas mengatakan bahwa

“Yang Lain” merupakan “very force and fact of the human”. (RB, 2001: 113)

Perhatian yang terbuka terhadap “Yang Lain” mencakup juga seluruh kebutuhan material.

“It is a matter eventually, of nourishing him, of clothing him.” (RB, 2001: 52) Levinas

menggunakan istilah substitusi untuk menjelaskan keadaan dimana kita dapat merasakan

penderitaan Yang Lain dalam diri kita. Menurutnya, tanggung jawab kita terhadap Yang Lain

sama dengan kesetiaan kita terhadap diri sendiri. (LR, 1989: 83) Pemahaman Levinas atas

etika bukan merupakan kondisi psikologis dimana rasa kasihan menduduki peranan besar.

(OB, 1981: 125) Etika menurutnya bukan pertimbangan emosi, dimana tanggung jawab untuk

orang lain merupakan hasil pilihan kita atas kebebasan yang kita miliki, tetapi merupakan

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 6: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

sebuah fenomena pasivitas (pre-contracted passivity), dimana mentakdirkan subjek untuk

bertanggung jawab terhadap Yang Lain dan tidak dapat lari darinya.

Pada buku The Cambridge Companion to Levinas, Critchley dan Bernasconi mengacu

pada ide besar Levinas, dimana banyak pemikir lainnya yang hanya terobsesi pada satu ide.

Keterbukaan kita akan ide besar Levinas justru membuat pemahaman kita akan filsafatnya

menjadi lebih dalam. Untuk memahami ide besar Levinas, kita akan memulai dengan

memahami riwayat Levinas serta tokoh-tokoh yang mempengaruhinya, dan membahas secara

singkat beberapa karya besarnya dalam usaha pemahaman akan konsep etikanya. Derrida

pada bukunya menuliskan tentang karya besar Levinas,

Totality and Infinity “the infinite insistence of waves on a beach: return and repetition,

always, of the same wave against the same shore, in which, however, as each return

recapitulates itself, it also infinitely renews and enriches itself” (Derrida, 1978: 312).

Pemikiran Levinas diibaratkan seperti ombak yang terus menerus muncul, pada pantai

yang sama, dengan gerakan yang sama, namun demikian pengulangan tersebut membuat

pemikirannya semakin matang dan kaya.

Pada Existence and Existents, Levinas berbicara mengenai fenomenologi dimana Husserl

dan Heidegger memberikan pengaruh yang cukup besar. Ide Levinas dikembangkan lebih luas

pada bukunya Totality and Infinity dimana ia fokus pada pemikirannya tentang Yang Lain,

yang akhirnya menghancurkan totalitas dan mengingatkan subjek akan pre-contracted

responsibility. Pemahaman yang lebih mendalam akan kita dapatkan pada Otherwise than

Being dimana Levinas mengungkapkan istilah substitusi. Pemaparan tentang ide Levinas

secara garis besar akan dimulai dari pemahamannya akan subjek, eksisten yang mana

terobsesi untuk menjadi bagian dari eksistensi, yang menjadi beban rumit being, dan proses

menjadi being-for-the-other yang membebaskannya dari totalitas dan inferioritas.

Pemahaman Levinas akan etika berbeda dengan pemikir tradisional lainnya seperti

Aristotelian, Kantian, atau Millian. Etika menurut Levinas bukan merupakan sekumpulan

aturan, larangan, maupun perintah yang berlaku secara universal. (Davis, 1996: 35) Ia

memberikan penjelasan fenomenologi dimana tanggung jawab mendahului semua

pemahaman etika tradisional selama ini. Levinas menekankan bahwa etika adalah tentang

tanggung jawab terhadap Yang Lain yang tidak dapat dihindari.

Pada pengantar telah dijelaskan bahwa relasi yang terjadi bukan hanya subjek yang

memiliki tanggung jawab absolute dan tidak dapat menjadikan yang lain sebagai objek,

namun juga adanya relasi politik. (OB, 1981: 160) Relasi ini menghadirkan apa yang disebut

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 7: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

oleh Levinas sebagai pihak ketiga, yang mengharuskan adanya keadilan, kesetaraan, dan lain-

lain. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut pada pembahasan said dan saying. Pihak ketiga

memungkinkan subjek terhenti dari tanggung jawab yang tak terbatas dan subjek masuk ke

dalam kesetaraan dan hubungan timbal balik. Bertolak belakang dengan relasi politik, filsafat

Levinas mengenai tanggung jawab yang tak terbatas (unconditional responsibility) terlihat

sangatlah berlebihan. Namun, dalam wawancaranya3 dengan Philippe Nemo, Levinas

menjelaskan bahwa filsafatnya adalah usaha untuk menyuarakan perasaan bersalah dari

orang-orang yang selamat dalam peristiwa Holocaust. Fokusnya adalah bukan tentang

keacuhan, namun tentang adanya kontribusi subjek secara implicit terhadap kematian orang

lain pada peristiwa itu. Kenyataannya bahwa selisih satu nomor seri dapat merebut

kesempatan orang lain untuk hidup. Korban-korban yang selamat merupakan simbol yang

nyata bahwa kita bertanggung jawab atas tetangga mendahului semua pilihan dan alasan yang

ada. Pascal mengungkapkan bahwa subjek menjadi ada di dunia (being in the world) atau

“place in the sun” adalah awal mulai dari perampasan seisi dunia. Subjek menyakiti dan

membunuh Yang Lain hanya dengan sebuah tindakan sederhana yaitu dengan mengambil

tempat. Oleh karena itu, tanggung jawab etis bukan muncul hanya timbul karena adanya

penderitaan Yang Lain, namun karena subjek memiliki kapasitas untuk membahayakan dan

be for the other. Hal ini memperlihatkan bahwa tanggung jawab sudah tertanam pada subjek

bahkan pada keadaan netral dimana ia hanya mempertahankan tampatnya sendiri dan

berhadapan dengan Yang Lain, dimana alteritas dan ketakberhinggaannya terekspos.

Pada kutipan Dostoyevsky4 yang terkenal mengenai aku yang memiliki tanggung jawab

yang lebih besar daripada yang lainnya, Levinas ingin menekan bahwa aku tidak dapat

digantikan oleh siapapun. Pada bukunya sendiri ia menuliskan aku bearti jawaban untuk

semua orang, “answerable for everyone and everything”. (BPW, 1996: 90) Meskipun aku

bukan penyebab dari penderitaan yang dialami, namun aku bertanggung jawab lebih daripada

penyebab penderitaan itu. (OB, 1981: 112) Tanggung jawab subjek bahkan melampaui setiap

orang yang dikenal, menjamah semua yang bahkan tidak atau belum pernah ditemui,

termasuk orang-orang pada masa lalu dan masa depan. (BPW, 1996: 81) Tanggung jawabku

tidak terbatas pada reaksi akan sesuatu, maupun aturan tertentu, melampaui semua

intensionalitas, karena ini merupakan kondisi konstitutif dari subjektivitas.

3 Wawancara dengan Philippe Nemo pada Februari 1981 di Radio France-Culture. 4 “Every one of us is responsible for everyone else in every way, and I most of all” The Brothers

Karamazov

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 8: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

Levinas mengatakan bahwa etika merupakan filsafat awal, dimulai dengan relasi antar

wajah (face to face). Sebelum pengetahuan, totalitarian, dan ontology, Yang Lain terlebih

dahulu ada atau apa yang Levinas sebut dengan the infinite. Etika menurutnya bukan

merupakan seperti yang dipahami oleh filsafat Barat, namun merupakan awal dari filsafat

sebagai pencari kebenaran. Dalam pertemuan dengan manusia lain lahir apa yang disebut

‘yang etis’ (the ethical). Yang etis itu terjadi karena pada saat kita mengalami pertemuan

dengan manusia lain, kita bukan hanya sekedar bertemu dengan obyek atau pengada lain,

tetapi apa yang Levinas sebut sebagai ‘wajah’. Wajah yang dimaksudkan oleh Levinas disini

adalah bukan bentuk fisik dari bagian depan tubuh manusia dimana terdapat mata, hidung,

dan mulut. Akan tetapi, melampaui bagian fisik manusia. Menurut Levinas, orang tidak dapat

melihat dan menyentuh wajah karena wajah “hadir dalam penolakannya untuk ditundukkan”.

(TI, 1969: 194) Itulah sebabnya mengapa ia berpendapat bahwa pertemuan sejati dengan

orang lain hanya dapat berlangsung melampaui penampilan fisik wajah yang kita temui setiap

hari: “Cara terbaik untuk bertemu dengan ‘Yang Lain’ itu justru tidak dengan memperhatikan

warna matanya! Ketika orang mengamati warna matanya, orang tidak berada dalam relasi

sosial dengan ‘Yang Lain.’ Relasi dengan wajah tentu saja dapat didominasi oleh persepsi,

tetapi apa yang khas bagi wajah itu tidak dapat direduksikan kepada persepsi.” (TI, 1969: 85)

Bagi Levinas, ‘wajah’ merupakan “cara dalam mana ‘Yang Lain’ (l’Autre) memperlihatkan

dirinya, melampaui gagasan mengenai yang lain dalam diri saya.” (TI, 1969: 50) Dengan kata

lain, wajah merupakan cara dalam mana ‘Yang Lain’ menampakkan dirinya di hadapan saya

yang melampaui kemampuan saya untuk menilai, memahami, dan mentematisasinya.

Levinas berpendapat bahwa wajah bermakna pada dirinya sendiri. (EI, 1985: 86) Sering

kali kita bertemu orang lain melalui sebuah konteks khusus sehingga penamaan dan

penyebutan status orang tersebut akan menjadi masuk akal jika dilihat dalam konteks tersebut.

Sebagai contoh, status atau karakter (personnage) seseorang sebagai seorang dosen atau

mahasiswa hanya bermakna dalam dunia akademik atau perguruan tinggi. Sebutan atau status

lain seperti anak atau cucu dari seseorang, karyawan/wati dari perusahaan tertentu, dan

sebagainya juga bersifat relatif terhadap konteks yang ada. Inilah yang Levinas sebut dengan

form, pemaknaan akan Yang Lain atas fisik, tingkah laku, nama, kegiatan dan lain-lain. (TI,

1969: 178) Wajah manusia, sebaliknya, tidak pernah berada dalam konteks partikular atau

bersifat relatif; ia bermakna dalam dan pada dirinya sendiri. Wajah menghancurkan dan

melampaui gambaran plastik yang dimiliki orang terhadapnya; ia “mengekspresikan dirinya

sendiri.” (TI, 1969: 51) Oleh karena itu, toi, c’est toi, setiap orang adalah dirinya sendiri,

demikian ungkap Levinas; wajah adalah “identitas persis seorang pengada.” Kita dapat

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 9: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

mengatakan bahwa wajah itu melampaui gambaran fenomenologi karena tidak ‘terlihat.’

Wajah selalu menolak usaha penyerapan oleh pemikiran untuk dijadikan sebagai isi (content).

Karena tidak pernah akan dapat dijadikan isi pemikiran, wajah membawa kita melampaui Ada

(Being). Itulah sebabnya mengapa bagi Levinas relasi dengan wajah itu secara langsung

bersifat etis. Tidak ada orang yang dapat membunuh wajah.

Penampakan akan wajah oleh Levinas disebut sebagai sebuah epifani, yaitu manifestasi

tiba-tiba atas esensi atau makna realitas tertentu. Dalam salah satu wawancaranya Levinas

berbicara mengenai tiga momen dari epifani wajah. (RB, 2001: 127) Momen pertama

terkandung dalam sifat tegak-lurus wajah yang memperlihatkan ketelanjangan dan

ketidakberdayaan. Orang tidak dapat melihat wajahnya sendiri kecuali menggunakan alat

bantu dan tidak memiliki kontrol atasnya karena selalu terekspos pada tatapan pengada-

pengada lain. Wajah manusia menempati sebuah posisi yang sedemikian rupa sehingga selalu

berada dalam ancaman dan bahaya, termasuk ancaman kematian, karena tidak pernah

terlindung. Itulah sebabnya mengapa Levinas sering berbicara mengenai ketelanjangan wajah,

ketidakberdayaan di hadapan sebuah ancaman: “Ketelanjangan yang merupakan sebuah

panggilan terhadap saya – sebuah permohonan tapi juga perintah – saya sebut wajah.” (RB,

2001: 115) Berhadapan dengan kematian, ketegak-lurusan wajah memperlihatkan

mortalitasnya, yakni, kemungkinannya untuk dibunuh. Atas ketidakberdayaan dan mortalitas

wajah inilah etika Levinas dibangun.

Momen kedua epifani wajah terjadi dalam pertemuan antarwajah dengan ‘Yang Lain.’

Bagi Levinas, relasi antarpribadi tidak terkandung dalam pemikiran mengenai diri dan orang

lain secara bersama-sama, yang seringkali mendasari berbagai teori etika, melainkan dalam

peristiwa berhadapan (facing). Kesatuan atau kebersamaan sejati itu bukanlah “sebuah

kebersamaan sintesis, melainkan kebersamaan dari wajah ke wajah.” (EI, 1985: 77)

Kemerhadapan dari ‘Yang Lain,’ atau fakta bahwa ia berhadapan (dengan saya, misalnya),

memberikan pengalaman yang tak tereduksikan atas relasi etis. Relasi etis bagi Levinas

adalah relasi dalam mana saya terhubung pada wajah orang lain (le visage d’autrui).

Pertemuan antarwajah menjadi sumber dan asalmula etika atau ‘yang etis’ melampaui segala

usaha untuk merumuskan prinsip-prinsip moral secara universal. Dalam arti ini etika menjadi

“bukan sebagai lapisan sekunder, di atas refleksi abstrak atas totalitas dan bahayanya; ia

memiliki rentang independen dan awal. Filsafat pertama adalah etika.” (EI, 1985: 77)

Momen ketiga epifani wajah adalah bahwa wajah melakukan tuntutan atas diri saya.

Wajah orang lain di hadapan saya tidak berdiam diri saja. Ia berbicara, dan ketika ia

berbicara, keberadaan saya diinterupsi olehnya: “Wajah menatap saya dan memanggil saya. Ia

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 10: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

menuntut saya. Apa yang ia minta? Jangan tinggalkan ia sendirian.” (RB, 2001: 127) (TI,

1969: 66) Fakta bahwa wajah berbicara, menurut Levinas, memungkinkan dan mengawali

semua diskursus. Jawaban yang layak atas permintaan untuk tidak ditinggalkan sendirian

adalah “Inilah saya” [Me Voici]. (EI, 1985: 97) Hal ini menunjukkan ketersediaan dan

kesiapan diri untuk bertanggung jawab terhadap ‘Yang Lain.’ Dalam buku yang lebih matang,

Otherwise than Being, Levinas membahas disposisi subyek untuk menjadi sandera (hostage)

bagi ‘Yang Lain,’ siap menjadi pengganti baginya. Bagi Levinas, memberi jawaban “Inilah

saya” berarti sudah bertemu dengan wajah orang lain.

Relasi antar wajah yang terjadi menurut konsep Levinas merupakan relasi yang sifatnya

asimetris. Hal ini berarti bahwa apa yang dirasakan orang lain terhadap Aku sesungguhnya

bukan menjadi hal penting untuk dipikirkan, Aku tidak peduli akan penghormatan Yang Lain

terhadapnya, yang menjadi penting adalah kenyataan bahwa Yang Lain di atas segalanya

merupakan tanggung jawab Aku.

Pertemuan dengan wajah Yang Lain menghasilkan ekspresi ganda, dimana adanya

kelemahan sekaligus keharusan untuk memenuhi sesuatu. Tuntutan yang mengharuskan Aku

untuk bertanggung jawab merupakan suatu keterpilihan, dimana Aku tidak mampu untuk

menolak dan sifat tanggung jawab tersebut tidak dapat diganggu gugat. Tanggung jawab

tersebut tidak dapat dialihkan atapun diberikan kepada orang lain karena tanggung jawab

tersebut memilih Aku bukan tindakan Aku yang memilih. Oleh sebab itu, tanggung jawab

yang dipaksakan atau bahkan sekedar kita harapkan untuk diberikan oleh orang lain kepada

Aku tidak lagi dapat disebut sebagai sebuah tanggung jawab. Inilah yang menjadi poin

penting dalam pemikiran Levinas tentang relasi etis yang simetris, Aku dengan

keterpilihannya telah tersandra oleh wajah Yang Lain untuk melakukan suatu bentuk

tanggung jawab tanpa harus memikirkan keuntungan yang dapat diperoleh oleh dirinya.

Dengan kata lain, tanggung jawab tersebut merupakan suatu tanggung jawab murni.

Oleh karena pemahaman akan adanya otherness dalam diri orang lain, maka Aku tidak

seharusnya berharap untuk dapat menempatkan pemahaman orang lain dalam suatu dimensi

yang sama dengan pemahaman kita. Sebagai being dengan keunikan maisng-masing, maka

selamanya Yang Lain tidak pernah akan bisa ditematiskan untuk kemudian diperkirakan

setiap pemikiran ataupun tindakannya dalam menghadapi suatu hal.

Levinas menjelaskan bahwa kita harus terlebih dahulu memahami konsep ‘pihak ketiga’

(the third party – le tiers) yang diperkenalkan Levinas untuk menjelaskan kehadiran orang-

orang lain dalam pertemuan konkret dua orang. (TI, 1969: 213) Dalam bukunya, ia

menjelaskan:

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 11: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

“Tetapi kita tidak pernah, saya dan orang lain, sendirian di dunia. Selalu ada yang ketiga:

orang-orang yang mengelilingi saya. Mereka juga adalah sesama saya. Siapa yang paling

dekat dengan saya? Pertanyaan mengenai keadilan pun tidak dapat dihindari, yang muncul

dari kedalaman tanggung jawab terhadap yang unik, dalam mana etika mulai dalam wajah

dari yang tidak dapat dibandingkan.” (RB, 2001: 116)

Ia mengingatkan kita akan keberadaan dunia di luar kita, selain Aku dan orang lain. Relasi

etis yang menuntut tanggung jawab penuh dari sang Aku kepada orang lain, juga menuntut

sang Aku untuk bertanggung jawab terhadap banyak orang lain. (EI, 1985: 90)

Dengan demikian, relasi antara Aku dan orang lain tidak hanya menyangkut dua pihak

semata, tetapi juga mengikutsertakan pihak-pihak lain:

“Wajah yang memandang relasi ini menempati dirinya dalam cahaya penuh dari tatanan

publik, bahkan kalau saya menarik diri darinya untuk mencari kekhususan relasi privat

dengan lawan bicara saya.” (TI, 1969: 212)

Namun demikian, bukan bearti bahwa relasi dengan pihak ketiga menyusul setelah relasi

Aku dengan individu yang satu. Kedua relasi ini tidak berurutan secara kronologis, melainkan

bersifat simultan dan langsung: pihak ketiga sudah ada dalam keprihatinan langsung terhadap

individu yang satu:

“Orang-orang lain langsung (d’emblee) menjadi konsern saya… Relasi saya dengan orang

lain sebagai sesama memberikan makna pada relasi saya dengan semua orang lain.” (OB,

1981: 159)

Simon Critchley pada bukunya menuliskan bahwa bagi Levinas komunitas memiliki

sturktur ganda, yang memuat kebersamaan di antara mereka yang setara, yang pada saat yang

sama berkembang dari momen yang tidak setara dari relasi etis. (Critchley, 1992: 227) Oleh

karena itu Levinas tidak menggunakan istilah I-Thou yang digunakan oleh Martin Buber

(Margaretha Paulus, 2006: 79), tetapi menggunakan istilah ‘relasi sosial’ (TI, 1969: 109) atau

realitas sosial (EN, 1999: 21). Wajah orang lain sejak awal menyangkut sebuah relasi sosial

karena tidak ada perbeadaan antara orang yang secara fisik jauh dan dekat. Aku bertanggung

jawab terhadap orang-orang lain juga melalui tanggung jawab aku terhadap individu tunggal.

Kehadiran pihak ketiga yang sudah menyingkapkan dirinya dalam wajah orang lain menjadi

fondasi atas apa yang Levinas sebut sebagai ‘fratenitas manusia’ yang harus diungkapkan

melalui institusi-institusi politik. Pada sebuah komunitas politik, etika sebagai tanggung

jawab terhadap orang lain tunggal tidak lagi mencukupi. Keadilan juga dipertanyakan sebagai

bentuk tanggung jawab kepada semua orang dalam sebuah komunitas politik. Keadilan ini

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 12: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

berakar pada tanggung jawab tak terbatas terhadap individu tunggal. Hal ini merupakan

kondisi yang memungkinkan adanya keadilan. (OB, 1981: 159)

Pemikiran Levinas ini dipengaruhi oleh peristiwa yang terjadi dalam hidupnya yaitu

Holocaust, dimana keberlainan dan infinitas dari orang lain dilupakan dan diabaikan sehingga

menimbulkan sebuah tragedy kemanusiaan yang sangat besar dan merenggut nyawa jutaan

umat manusia. Levinas mengingatkan kita akan kepentingan orang-orang lain dalam sebuah

komunitas politik yang sering kali dilupakan oleh pihak-pihak yang hanya mementingkan diri

sendiri maupun kelompoknya saja. Ia mengembangkan konsep etika sebagai pertemuan

dengan wajah orang lain yang tidak dapat direduksi ke dalam pemahaman komprehensif. Ia

memunculkan kembali dimensi transenden dari orang lain yang diabaikan pada struktur-

struktur sosial yang ada. Pertemuan antar wajah yang merupakan relasi etis inilah yang

menjadi dasar etika politiknya, khususnya melalui konsep keadilan dan pihak ketiga.

Levinas mendapat banyak kritikan atas usahanya dalam menghadapkan politik pada

moralitas. Beberapa pihak menganggap pemikiran Levinas ini sebagai sebuah usaha yang

naif. Namun demikian, keinginan Levinas untuk menempatkan yang etis bukan dimaksudkan

untuk politisisme5 ataupun suatu keyakinan akan yang ‘baik’. (TI, 1969: 224) Ia ingin

mengembalikan yang politikal, agar tidak terjebak dalam kebutaan yang berujung pada

totalitarianisme. Yang etis adalah sesuatu yang menghargai perbedaan yang berkelanjutan,

oleh karena itu keberadaan Yang etis dalam politik akan terus memunculkan atribut yang

tidak ada sebelumnya, menempatkan politik pada sebuah usaha yang berkelanjutan untuk

menyesuaikan dan memperbaharui diri. Dengan demikian, politik yang sudah ada sekarang

akan terus dipertanyakan, sebagai sebuah tuntutan untuk menciptakan masyarakat yang lebih

adil sebagai sebuah konsep baru dalam politik yang berdasarkan akan keadilan. Negara

sebagai salah bentuk tatanan politik harus dapat menerima kritikan, sebab pada dasarnya

politik adalah suatu dimensi keadilan sekaligus kritik, sebab ia melegitimasi diri dan juga

membiarkan dirinya terus-menerus diinterupsi oleh pemahaman etis akan perbedaan.

E. Kesimpulan

Kemanusiaan menjadi topik yang tidak pernah berhenti dibicarakan di seluruh dunia. Hal

ini dikarenakan masih banyak tindakan-tindakan yang merusak kemanusiaan itu sendiri.

Tindakan tersebut melahirkan permasalahan kemanusiaan yang belum bisa diselesaikan dan

selalu terjadi di dalam kehidupan manusia. Perang menjadi salah satu contoh bagaimana

5 Tindak politis yang didasarkan pada kecondongan terhadap satu hal yang semata-mata menjadi ketertarikan

khusus, dalam hal ini mendasarkan politik pada moral.

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 13: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

kekerasan sesama manusia menjadi dilegalkan oleh salah satu pihak demi mencapai tujuan

tertentu. Selain itu, dalam kehidupan sehari-hari banyak kekerasan yang dilakukan oleh pihak-

pihak yang berkuasa kepada pihak-pihak yang dikuasai. Hal ini memperlihatkan bagaimana

hubungan subjek – objek pada manusia. Manusia memandang manusia lain sebagai benda

(thing) yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pribadinya saja. Bahkan, orang lain

dianggap sebagai ancaman atau halangan dalam usahanya mencapai tujuan tertentu, sehingga

tindakan memusnahkan manusia lain menjadi sesuatu yang wajar.

Permasalahan kemanusiaan tersebut memperlihatkan adanya ketimpangan dalam hubungan

antar sesama manusia. Emmanuel Levinas merupakan seorang filsuf yang memberikan makna

yang dalam tentang bagaimana manusia melihat orang lain di sekitarnya, atau ia menyebutnya

dengan Yang Lain (the other). Menurutnya, Yang Lain adalah pembuka horizon keberadaan

manusia, bahkan pendobrak menuju ketransendenan subjek. Manusia pada hakekatnya

terasing antara satu dengan yang lain. Oleh karena itu dibutuhkan jembatan yaitu berupa

pertemuan atau perjumpaan yang melahirkan sebuah relasi etis. Perjumpaan yang dimaksud

adalah perjumpaan dengan Yang Lain. Yang Lain dalam konsep Levinas adalah orang lain

atau sesama manusia, pribadi yang lain sebagai individu yang unik. Pandangan ini merupakan

kritik diri atas roh totaliter yang mengabsolutkan ego dalam sejarah filsafat. Dalam sejarah,

Yang Lain selalu didekati sebagai obyek, suatu bagian dalam usaha pencapaian suatu tujuan.

Hal itu menggugat keunikan dan alteritas yang lain sebagai Yang Lain, lain dari aku. Yang

Lain tidak boleh diperlakukan sebagai ‘benda’. Aku membutuhkan Yang Lain karena

keunikannya, bukan sebagai alter ego.

Yang Lain dalam pemahaman Levinas tidak pernah bisa dikuasai. Yang Lain

sesungguhnya berada di wilayah luar dari subjek. Di hadapan Yang Lain subjek harus tunduk

dan tidak dapat menghindar. Pengalaman dasar manusia adalah perjumpaan dengan Yang

Lain. Dalam perjumpaan itu, subjek sadar bahwa ia langsung bertanggungjawab total atas

keselamatan Yang Lain. Langsung dalam arti bahwa tanggung jawab itu membebani subjek,

mendahului komunikasi eksplisit subjek dengan Yang Lain. Pengalaman itu bersifat etis.

Menurut Levinas, moralitas adalah pengalaman paling dasar manusia. Ia selanjutnya

menunjukan bahwa pengalaman dasar itu pengalaman tanggung jawab subjek terhadap Yang

Lain, dimana sinar kesucian Allah ikut terlihat dalam wajah Yang Lain. Levinas dalam analisa

eksistensial fenomenologis paling dasariah, menunjukan bahwa pengalaman moral adalah

titik tolak segala kesadaran, sikap dan dimensi penghayatan manusia dan bahwa pengalaman

dasariah itu sekaligus merupakan kesadaran akan adanya Yang Ilahi di belakangnya.

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 14: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

Levinas berfokus pada saat pra-reflektif di mana subjek untuk pertama kali menyadari

bahwa ada Yang Lain di hadapannya. Di saat itu, subjek seakan-akan “disandera” oleh wajah

Yang Lain, sehingga terikat total oleh tanggung jawab atas keselamatanya. Dalam kesadaran

pra-reflektif itu juga termuat panggilan kepada kebaikan, tuntutan primordial untuk bersikap

baik dan tidak jahat terhadap Yang Lain. Manusia etis menurut Levinas adalah yang

bertanggungjawab terhadap sesamanya.

Ia menunjukan bahwa fenomena perjumpaan wajah ini menjadi dasar untuk memecahkan

pertanyaan-pertanyaan dasar filsafat: bahwa ada seorang Engkau, bahwa ada realitas di luar

kesadaran subjek. Jadi bahwa pengertian manusia memang sampai pada realitas itu sendiri,

bahkan bahwa saya menjadi diri saya hanya karena engkau, bahwa saya ada dan identik

dengan saya (karena dalam pengalaman tanggung jawab purba itu saya secara langsung dan

tak tergantikan menyadari diri bertanggungjawab atas keselamatan Yang Lain), bahwa sikap

yang pertama adalah kebaikan dan bukan kejahatan, dan bahwa Yang Lain maupun kita ada

karena adanya Yang Mahabaik.

Suatu perbuatan etis tertentu lahir dari respons yang diberikan atas kehadiran Yang Lain.

Respons dalam bentuk jawaban, yaitu jawaban atas panggilan Yang Lain. Respons terhadap

suatu jawaban mesti dibarengi dengan sikap siap untuk menanggung segala konsekuensi dari

jawaban yang diberikan. Sikap menanggung suatu jawaban adalah tanggung jawab.

Wajah Yang Lain memberitahukan perintah untuk “jangan membunuh”, ini kelihatan secara

pasti mengungkapkan sesuatu yang seharusnya dan tanpa syarat. Wajah memberi perintah

kepada setiap subjek untuk bertanggungjawab atas Yang Lain. Wajah itu menyapa kita.

Wajah menyatakan diri sebagai visage significant, wajah yang telanjang di mana mempunyai

makna; langsung, tanpa penengah, tanpa suatu konteks.

Penampilan wajah adalah suatu kejadian etis. Itulah langkah penting dalam pemikiran

Levinas. Wajah menyapa saya dan saya tidak boleh acuh tak acuh saja. Ia mewajibkan saya.

Ia mengunjungi saya supaya saya membuka hati dan pintu rumah saya. Ia menghimbau saya

agar saya mempraktekan keadilan dan kebaikan. Wajah menyatakan diri sebagai “janda dan

yatim piatu”.

Levinas menggagas sebuah pemikiran etis tentang bagaimana seharusnya kita bersikap

terhadap orang lain sebagai wujud konkret dari perjumpaan manusia melalui wajah ke wajah.

Wajah adalah sebuah personifikasi ketakberdayaan yang mengimbau suatu tindakan etis.

Levinas menekankan dua hal penting dalam perjumpaan dengan wajah Yang Lain. Pertama,

dalam wajah itu, Yang Lain tampak sebagai orang tertentu, orang lain. Orang lain menyatakan

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 15: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

diri sebagai yang betul-betul lain dari saya. Konsekuensinya adalah bahwa wajah sebagai

wajah tidak dapat dikuasai, dipegang atau diperbudak. Kedua, dalam wajah itu Yang Lain

berada sama sekali di luar kita. Ia tidak berbicara tentang bagaimana tanggung jawab moral,

apa itu bertindak secara moral atau bagaimana reaksi yang harus diambil ketika orang lain

berhadapan dengan kita, melainkan pada apa yang terjadi di saat wajah itu menatap kita.

Ketika seoseorang berhadapan dengan orang lain, ia menjadi tidak bebas lagi, tidak bisa

bersikap apatis tetapi ia harus bertanggung jawab atasnya. Tanggung jawab itu bersifat total.

Total dalam arti bahwa kita tersubstitusi bagi orang itu. Bebannya menjadi beban saya,

tanggung jawabnya menjadi tanggung jawab saya. Saya bahkan bertanggung jawab atas

kesalahan orang lain: orang itu, dengan segala beban yang ada padanya adalah beban saya.

Manifestasi yang lain adalah wajah. Maka, wajah adalah sebuah personifikasi sebagai

yang miskin, janda, yatim piatu, orang asing, yang telanjang. Semua figur ini menyiratkan

fakta tentang suatu kejadian etis. Epifani wajah adalah suatu kejadian etis. Kejadian yang

membuka kemanusiaan, yaitu kemanusiaan yang mengandung di dalam dirinya suatu

undangan etis. Undangan yang meminta suatu respon, yaitu respon dalam responsibilité.

Pemikiran Levinas tentang perjumpaan wajah merupakan konsep dasarnya tentang etika.

Ia menekankan akan tanggung kepada Yang Lain yang lahir dari perjumpaan wajah tersebut.

Hal ini menjadi relevan dengan permasalahan kemanusiaan yang marak terjadi sekarang ini.

Permasalahan yang timbul karena ketidakpedulian terhadap Yang Lain dan menganggap

Yang Lain sebagai objek. Levinas memberikan sebuah cerminan bagi kita manusia dalam

menjalin relasi dengan Yang Lain dalam kehidupan demi mencapai suatu tatanan yang

harmonis, dengan cinta kasih tulus yang lahir dari pertemuan wajah. Dengan demikian,

kehidupan damai yang dicita-citakan manusia selama ini diharapkan dapat terwujud.

F. Kepustakaan

Buku Acuan

Levinas, Emmanuel. (1969). Totality and Infinity: An Essay on Exteriority. Terj. Alphonso

Lingis. London: Kluwer Academic Publisher.

________________(1978). Existence and Existent. London: Kluwer Academic Publisher.

________________(1981). Otherwise Than Being or Beyond Essence. Terj. Alphonso Lingis.

The Hague: Martinus Publishers.

________________(1985). Ethics and Infinity: Conversations with Philippe Nemo. Terj.

Richard A. Cohen. Pittsburgh, USA: Duquesne University Press.

________________(1987). Collected Philosophical Papers. Terj. Alphonso Lingis. The

Netherlands: Martinus Nijhoff Publishers.

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 16: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

________________(1993). Outside the Subject. Terj. Michael B. Smith. Stanford: Stanford

University Press.

________________(1994). Liberté et commandment. Paris: Fata Morgana.

________________(1996). Is Ontology Fundamnetal? Basic Philosophical Writings. Ed.

Adriaan T. Peperzak. Bloomington: Indiana University.

________________(1998). Of God who Comes to Mind. Terj. B. Bergo. Stanford: Stanford

University Press.

________________(1998). The Theory of Intuition in Husserl’s Phenomenology: Second

Edition. Evanston: Northwestern University Press.

________________(1999). Entre Nous: On Thinking of the Other. Terj. Michael B. Smith

dan Barbara Harshav. London: The Athlone Press.

________________(2000). God, Death, and Time. Terj. Bettina Bergo. Stanford: Stanford

University Press.

________________(2001). Is It Righteous to Be? Interviews with Emmanuel Levinas. Ed. Jill

Robins. Stanford: Stanford University Press.

Buku Referensi

Bertens, K. (2006). Filsafat Barat Kontemporer: Jilid II Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama.

Critchley, Simon & Robert Bernasconi. (1991). Re-reading Levinas. Bloomington dan

Indianapolis: Indiana University Press.

Critchley, Simon & Robert Bernasconi. (2004). The Cambridge Companion to Levinas. UK:

Cambridge University Prees.

Derrida, Jacques. (1999). Adieu to Emmanuel Levinas. Terj. Pascale Anne. Stanford: Stanford

University Press.

Derrida, Jacques. (1978). Violence and Metaphysics in Writing and Difference. Terj. Alan

Bass. London: Routledge.

Descartes, René. (1993). Meditation III in Great Books 28. Ed. Adler, M. Chicago:

Encyclopedia Britannica, Inc.

Dostoyevsky, Fyodor. (1957). The brothers Karamazov. Terj. Constance Garnett. New York:

New American Library.

Hand, Sean. (1989). The Levinas Reader. Cambridge: Basil Blackwell.

Kearney, Richard. (1984). Dialogues with Contemporary Continental Thinkers: The

Phenomenological Heritage. Manchester: Manchester University Press.

Llewelyn, John. (1995). Emmanuel Levinas: The Genealogy of Ethics. London: Routledge.

Mortley, Raoul. (1991). French Philosophers in Conversation. New York: Routledge.

Paulus, Margaretha. (2006). Perjumpaan dalam Dimensi Ketuhanan: Kierkegaard dan Buber.

Jakarta: Wedatama Widya Sastra.

Peperzak, Adriaan. (1995). Ethics as First Philosophy. The Significance of Emmanuel

Levinas for Philosophy, Literature and Religion. New York: Routledge.

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013

Page 17: Perjumpaan dengan “Wajah Yang Lain” Kajian

Plato. (1968). The Republic. Terj. A. Bloom. New York: Basic Books Inc. Publishers.

Suseno, Franz Magniz. (2000). 12 Tokoh Etika Abad-20. Yogjakarta: Kanisius

Perjumpaan dengan ..., Tennie Marlim, FIB UI, 2013