perjanjian perkawinan
DESCRIPTION
esesi perjanjina pernikahan dalam perseptif hukum indonesiaTRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan
golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang
kompleks dan plural. Berbagai masysrakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai
negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan
yang tinggi. Namun dengan bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini
semakin kompleks dan rumit.
Dalam sebuah perkawinan masyarakat kita sejak dahulu mengenal adanya
pencampuran harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta
masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam
penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing yang dikenal bersifat individualistis dan
materialistis masuk ke Indonesia melalui para penjajah. Setelah berabad-abad pola hidup
mereka menurun pada generasi bangsa Indonesia
Diperparah dengan adanya globalisasi yang mementingkan semangat individualistis
dan serakah mulai tertanam dalam watak dan jiwa bangsa. Kini banyak pasangan muda yang
sering menyatakan dirinya sebagai orang modern, membuat surat perjanjian kawin. Hal ini
jelas sangat bertentangan dengan nilai yang ada dalam masysrakat timur. Banyak pasangan
yang kini melakukan perjanjian kawin. Dengan berbagai alasan mereka membuat perjanjian
kawin kepada masing-masing pasangannya.
Di dalam hukum Indonesia, perjanjian perkawinan diatur dalam KUH Perdata, Undang –
Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, dan kompilasi hukum islam. Dalam hukum perjanjian
kita mengenal istilah wanprestasi dan perbuaan melawan hukum (onrechtmatigedaad ) yang
menyebabkan isi perjanjian tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tidak terkecuali
dalam perjanjian perkawinan, tetap terjadi kemungkinan wanprestasi oleh salah satu pihak.
Masalahnya adalah, apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak, bolehkah pihak yang
merasa dirugikan mengajukan tuntutan ke pengadilan, baik yang bersifat keperdataan
maupun menjadikannya sebagai alasan untuk mengajukan perceraian? Sejauh ini terjadi
silang pendapat di antara para praktisi hukum mengenai apakah suami isteri boleh menjadi
para pihak di pengadilan dalam suatu kasus perdata selain perceraian.
Rumusan Masalah
Perbandingan
Pembahasan
Perjanjian perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang di buat oleh calon suami
istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat – akibat
pangsungkan erkawinan di untuk mengatur akibat – akibat perkawinan terhadap harta
kekayaan mereka.
Perjanjian perkawinan ini di atur dalam pasal 29 UU perkawinan no 1 tahun 1974,
antara lain :
(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas
persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai
pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut.
(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas
hukum, agama dan kesusilaan.
(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,
kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga
Perjanjian kawin juga di atur dalam KUH Perdata
D. GUGATAN PERDATA PERJANJIAN PERKAWINAN DAN SEBAGAI
ALASAN PERCERAIAN
Seperti kita ketahui bahwa objek perikatan adalah prestasi yang meliputi memberi
sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, meskipun perjanjian perkawinan dibuat
atas kesepakatan bersama antara suami istri, tidak menjadi jaminan akan ditaati selamanya
oleh kedua belah pihak.
Boleh jadi di tengah perjalanan waktu salah satu pihak ada yang tidak memenuhi prestasi
dimaksud. Dalam hukum perjanjian kita mengenal istilah wanprestasi dan perbuaan melawan
hukum (onrechtmatigedaad ) yang menyebabkan isi perjanjian tidak dapat
berjalansebagaimana mestinya. Tidak terkecuali dalam perjanjian perkawinan, tetap terjadi
kemungkinan wanprestasi oleh salah satu pihak. Masalahnya adalah, apabila terjadi
pelanggaran oleh salah satu pihak, bolehkah pihak yang merasa dirugikan mengajukan
tuntutan ke pengadilan, baik yang bersifat keperdataan maupun menjadikannya sebagai
alasan untuk mengajukan perceraian? Sejauh ini terjadi silang pendapat di antara para praktisi
hukum mengenai apakah suami isteri boleh menjadi para pihak di pengadilan dalam suatu
kasus perdata selain perceraian?
Pendapat pertama
, menyatakan bahwa perkara tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima, dengan
alasan suami isteri tidak dapat menjadi pihak-pihak dipengadilan. Berdasarkan kewajiban
yang dibebankan oleh undang-undang kepadamereka bahwa suami isteri wajib saling cinta
mencintai, hormat menghormati, danmemberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada
yang lainnya.
Pendapat kedua
, menyatakan suami isteri dapat saja menjadi pihak-pihak dipengadilan, karena setiap
manusia pada dasarnya mempunyai hak yang dibawasejak lahir sampai meninggal
dunia. Sebagai pembawa hak dasar atau hak asasi, pada dasarnya setiap orang boleh
berperkara di pengadilan, kecuali mereka yangbelum dewasa atau berada di bawah
pengampuan sehingga perlu diwakili olehorang tua atau walinya untuk bertindak
hukum di pengadilan[25]. J i ka k i t a ana l i s i s kedua pendapa t t e r s ebu t d i a t a s
s ama- sama d i l andas i a rgumen ta s i hukum yang r a s iona l . Namun pendapa t
kedua , menuru t hema t penulis, lebih menjamin rasa keadilan bagi semua orang dengan
alasan:
Pertama, setiap manusia secara kodrati telah membawa hak dasar yang
melekatpada dirinya sejak lahir sampai meninggal dunia yang sering disebut sebagai Hak
Asasi Manusia (HAM), bahkan bila ada kepentingan hukum, hak dasar itu sudah
melekat sejak janin masih berada di dalam kandungan. Termasuk dalam HAM adalah hak
untuk mempertahankan kebenaran di depan hukum tanpa diskriminasi. Hal ini sejalan dengan
adagium “equity before the law” yaitu sebuah kaidah ilmiah yang berlaku secara universal
yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama di depan hukum. Jika
tidak demikian, maka akan mengurangi kapasitas HAM dan pada saat yang sama telah
menempatkan manusia pada situasi yang paling lemah untuk mempertahankan haknya,
dimana suatu hukuman atau keadaan di mana manusia tidak mempunyai hak lagi untuk
selama-lamanaya. Ini sekali lagi mempertegas, meskipun pasal 33 UUP, jo. pasal 77 ayat
(2) KHI mengamanatkan bahwa suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat
menghormarti dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang
lainnya, namun bukan berarti menghapus hak masing-masing pihak untuk mengajukan
gugatan perdata (selain perceraian) di pengadilan.
Kedua, sebelum berlakunya UUP, hukum perkawinan menurut perdata Eropa berlaku
ketentuan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan menjadi tidak cakap bertindak
hukum (handelingsonbekwaam), dalam segala perbuatan hukum memerlukan bantuan
suaminya. Sebagai akibat langsung perkawinan suamitidak dapat dituntut tentang kejahatan
terhadap isterinya dan sebaliknya. Pasca diundangkannya UUP ketentuan tersebut dicabut
dengan pasal 31 ayat (1) yang menyatakan masing-masing pihak suami isteri berhak
melakukan perbuatan hukum. Lagi pula, menurut sistem hukum acara perdata di Indonesia,
gugatanantara suami isteri tidak di larang. Pertanyaannya adalah, di lingkungan peradilan
manakah suami atau isteri mengajukan gagatan perdata tentang pelanggaran perjanjian
perkawinan tersebut,atau dengan kata lain lingkungan peradilan manakah yang berwenang
mengadiliperkara ini? Dalam hal ini tentu akan terjadi perbedaan pendapat di antara
parapraktisi hukum. Akan tetapi menuru hemat penulis, oleh karena perjanjianperkawinan
merupakan assesoir dari perkawinan itu sendiri, maka perkara initermasuk sengketa
perkawinan sehingga kewenangan mengadili perkara ini sangattergantung pada hukum
manakah suami isteri tersebut melakukan perkawinan.Apabila suami isteri beragama
Islam dan/atau menikah secara Islam, maka sesuaidengan asas personalitas keislaman
sebagaimana ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No.3 Tahun 2006, maka gugatan tersebut diajukan
ke Pengadilan Agama karenaperkara tersebut menjadi kompetensi absolute Pengadilan
Agama. Selanjutnya untuk membahas apakah pelanggaran perjanjian perkawinandapat
dijadikan sebagai alasan perceraian, maka lebih dahulu harus dilihatketentuan pasal 51 KHI
yang menyebutkan: “Pelanggaran perjanjian perkawinanmemberi hak kepada isteri untuk
mengajukan pembatalan nikah atau mengajukan sebagai alasan perceraian ke Pengadilan
Agama”. Dari ketentuan pasal tersebuthanya isteri yang diberi hak untuk mengajukan
pelanggaran perjanjian perkawinansebagai alasan perceraian. Dalam pasal yang sama tidak
disebukan kata-kata“suami”. Mungkin saja pasal 51 KHI hanya menjelaskan pelanggaran
perjanjianperkawinan dalam bentuk ta’lik talak, bukan perjanjian perkawinan dalam
bentuklainnya seperti disebutkan dalam pasal 45 KHI. Pendekatan ini lebih relevan
karenaperjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak adalah eenzijdig atau perjanjian yang
dibuat secara sepihak oleh suami yang isinya antara lain memberi hak kepada isteri untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan bila sewaktu-waktu pihak suamimelanggar janji yang ia
perbuat. Lalu bagaimana dengan hak suami dalam halmenjadikan pelanggaran perjanjian
perkawinan oleh isteri sebagai alasanperceraian? Jika pelanggaran itu terjadi pada perjanjian
perkawinan dalam bentuk keduadari pasal 45 KHI, yaitu perjanjian yang dibuat atas dasar
kesepakatan suami isteri, seharusnya masing-masing pihak yang merasa dirugikan dapat
menjadikannyasebagai alasan perceraian. Kalau pelanggaran perjanjian secara sepihak
dalambentuk ta’lik talak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan perceraian,kenapa
pelanggaran perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihaksuami isteri tidak
dapat dijadikan alasan perceraian? Hanya saja dalam hal ini akanterbentur pada ketentuan
alasan perceraian dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku yang telah dirumuskan
secara limitative [28