perjanjian perkawinan

11
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang kompleks dan plural. Berbagai masysrakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan yang tinggi. Namun dengan bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini semakin kompleks dan rumit. Dalam sebuah perkawinan masyarakat kita sejak dahulu mengenal adanya pencampuran harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing yang dikenal bersifat individualistis dan materialistis masuk ke Indonesia melalui para penjajah. Setelah berabad-abad pola hidup mereka menurun pada generasi bangsa Indonesia Diperparah dengan adanya globalisasi yang mementingkan semangat individualistis dan serakah mulai tertanam dalam watak dan jiwa bangsa. Kini banyak pasangan muda yang sering

Upload: yufi-mustofa

Post on 05-Dec-2014

120 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

esesi perjanjina pernikahan dalam perseptif hukum indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Perjanjian Perkawinan

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia yang merupakan negara yang terdiri dari berbagai etnis,suku, agama dan

golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Indonesia merupakan negara yang

kompleks dan plural. Berbagai masysrakat ada di sini. Namun Indonesia dikenal sebagai

negara yang memegang teguh adat ketimuran yang terkenal sopan dan sifat kekeluargaan

yang tinggi. Namun dengan bergulirnya zaman dan peradaban, kehidupan masyarakat kini

semakin kompleks dan rumit.

Dalam sebuah perkawinan masyarakat kita sejak dahulu mengenal adanya

pencampuran harta perkawinan. Para mempelai tidak pernah meributkan mengenai harta

masing-masing pihak. Asas saling percaya dan memahami pasangan menjadi landasan dalam

penyatuan harta perkawinan. Perlahan budaya asing yang dikenal bersifat individualistis dan

materialistis masuk ke Indonesia melalui para penjajah. Setelah berabad-abad pola hidup

mereka menurun pada generasi bangsa Indonesia

Diperparah dengan adanya globalisasi yang mementingkan semangat individualistis

dan serakah mulai tertanam dalam watak dan jiwa bangsa. Kini banyak pasangan muda yang

sering menyatakan dirinya sebagai orang modern, membuat surat perjanjian kawin. Hal ini

jelas sangat bertentangan dengan nilai yang ada dalam masysrakat timur. Banyak pasangan

yang kini melakukan perjanjian kawin. Dengan berbagai alasan mereka membuat perjanjian

kawin kepada masing-masing pasangannya.

Di dalam hukum Indonesia, perjanjian perkawinan diatur dalam KUH Perdata, Undang –

Undang Perkawinan No 1 tahun 1974, dan kompilasi hukum islam. Dalam hukum perjanjian

kita mengenal istilah wanprestasi dan perbuaan melawan hukum (onrechtmatigedaad ) yang

menyebabkan isi perjanjian tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Tidak terkecuali

dalam perjanjian perkawinan, tetap terjadi kemungkinan wanprestasi oleh salah satu pihak.

Page 2: Perjanjian Perkawinan

Masalahnya adalah, apabila terjadi pelanggaran oleh salah satu pihak, bolehkah pihak yang

merasa dirugikan mengajukan tuntutan ke pengadilan, baik yang bersifat keperdataan

maupun menjadikannya sebagai alasan untuk mengajukan perceraian? Sejauh ini terjadi

silang pendapat di antara para praktisi hukum mengenai apakah suami isteri boleh menjadi

para pihak di pengadilan dalam suatu kasus perdata selain perceraian.

Rumusan Masalah

Perbandingan

Pembahasan

Perjanjian perkawinan adalah perjanjian (persetujuan) yang di buat oleh calon suami

istri sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat – akibat

pangsungkan erkawinan di untuk mengatur akibat – akibat perkawinan terhadap harta

kekayaan mereka.

Perjanjian perkawinan ini di atur dalam pasal 29 UU perkawinan no 1 tahun 1974,

antara lain :

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas

persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai

pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang

pihak ketiga tersangkut.

Page 3: Perjanjian Perkawinan

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas

hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak

merugikan pihak ketiga

Perjanjian kawin juga di atur dalam KUH Perdata

 

Page 4: Perjanjian Perkawinan

D. GUGATAN PERDATA PERJANJIAN PERKAWINAN DAN SEBAGAI

ALASAN PERCERAIAN

Seperti kita ketahui bahwa objek perikatan adalah prestasi yang meliputi memberi

sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, meskipun perjanjian perkawinan dibuat

atas kesepakatan bersama antara suami istri, tidak menjadi jaminan akan ditaati selamanya

oleh kedua belah pihak.

Boleh jadi di tengah perjalanan waktu salah satu pihak ada yang tidak memenuhi prestasi

dimaksud. Dalam hukum perjanjian kita mengenal istilah wanprestasi dan perbuaan melawan

hukum (onrechtmatigedaad ) yang menyebabkan isi perjanjian tidak dapat

berjalansebagaimana mestinya. Tidak terkecuali dalam perjanjian perkawinan, tetap terjadi

kemungkinan wanprestasi oleh salah satu pihak. Masalahnya adalah, apabila terjadi

pelanggaran oleh salah satu pihak, bolehkah pihak yang merasa dirugikan mengajukan

tuntutan ke pengadilan, baik yang bersifat keperdataan maupun menjadikannya sebagai

alasan untuk mengajukan perceraian? Sejauh ini terjadi silang pendapat di antara para praktisi

hukum mengenai apakah suami isteri boleh menjadi para pihak di pengadilan dalam suatu

kasus perdata selain perceraian?

Pendapat pertama

, menyatakan bahwa perkara tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima, dengan

alasan suami isteri tidak dapat menjadi pihak-pihak dipengadilan. Berdasarkan kewajiban

yang dibebankan oleh undang-undang kepadamereka bahwa suami isteri wajib saling cinta

mencintai, hormat menghormati, danmemberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada

yang lainnya.

Pendapat kedua

, menyatakan suami isteri dapat saja menjadi pihak-pihak dipengadilan, karena setiap

manusia pada dasarnya mempunyai hak yang dibawasejak lahir sampai meninggal

Page 5: Perjanjian Perkawinan

dunia. Sebagai pembawa hak dasar atau hak asasi, pada dasarnya setiap orang boleh

berperkara di pengadilan, kecuali mereka yangbelum dewasa atau berada di bawah

pengampuan sehingga perlu diwakili olehorang tua atau walinya untuk bertindak

hukum di pengadilan[25].  J i ka k i t a ana l i s i s kedua pendapa t t e r s ebu t d i a t a s

s ama- sama d i l andas i a rgumen ta s i hukum yang r a s iona l . Namun pendapa t

kedua , menuru t hema t penulis, lebih menjamin rasa keadilan bagi semua orang dengan

alasan:

Pertama, setiap manusia secara kodrati telah membawa hak dasar yang

melekatpada dirinya sejak lahir sampai meninggal dunia yang sering disebut sebagai Hak

Asasi Manusia (HAM), bahkan bila ada kepentingan hukum, hak dasar itu sudah

melekat sejak janin masih berada di dalam kandungan. Termasuk dalam HAM adalah hak

untuk mempertahankan kebenaran di depan hukum tanpa diskriminasi. Hal ini sejalan dengan

adagium “equity before the law” yaitu sebuah kaidah ilmiah yang berlaku secara universal

yang menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama di depan hukum. Jika

tidak demikian, maka akan mengurangi kapasitas HAM dan pada saat yang sama telah

menempatkan manusia pada situasi yang paling lemah untuk mempertahankan haknya,

dimana suatu hukuman atau keadaan di mana manusia tidak mempunyai hak lagi untuk

selama-lamanaya. Ini sekali lagi mempertegas, meskipun pasal 33 UUP, jo. pasal 77 ayat

(2) KHI mengamanatkan bahwa suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat

menghormarti dan memberikan bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang

lainnya, namun bukan berarti menghapus hak masing-masing pihak untuk mengajukan

gugatan perdata (selain perceraian) di pengadilan.

Page 6: Perjanjian Perkawinan

Kedua, sebelum berlakunya UUP, hukum perkawinan menurut perdata Eropa berlaku

ketentuan seorang wanita yang melangsungkan perkawinan menjadi tidak cakap bertindak

hukum (handelingsonbekwaam), dalam segala perbuatan hukum memerlukan bantuan

suaminya. Sebagai akibat langsung perkawinan suamitidak dapat dituntut tentang kejahatan

terhadap isterinya dan sebaliknya. Pasca diundangkannya UUP ketentuan tersebut dicabut

dengan pasal 31 ayat (1) yang menyatakan masing-masing pihak suami isteri berhak

melakukan perbuatan hukum. Lagi pula, menurut sistem hukum acara perdata di Indonesia,

gugatanantara suami isteri tidak di larang. Pertanyaannya adalah, di lingkungan peradilan

manakah suami atau isteri mengajukan gagatan perdata tentang pelanggaran perjanjian

perkawinan tersebut,atau dengan kata lain lingkungan peradilan manakah yang berwenang

mengadiliperkara ini? Dalam hal ini tentu akan terjadi perbedaan pendapat di antara

parapraktisi hukum. Akan tetapi menuru hemat penulis, oleh karena perjanjianperkawinan

merupakan assesoir dari perkawinan itu sendiri, maka perkara initermasuk sengketa

perkawinan sehingga kewenangan mengadili perkara ini sangattergantung pada hukum

manakah suami isteri tersebut melakukan perkawinan.Apabila suami isteri beragama

Islam dan/atau menikah secara Islam, maka sesuaidengan asas personalitas keislaman

sebagaimana ketentuan pasal 2 ayat 1 UU No.3 Tahun 2006, maka gugatan tersebut diajukan

ke Pengadilan Agama karenaperkara tersebut menjadi kompetensi absolute Pengadilan

Agama. Selanjutnya untuk membahas apakah pelanggaran perjanjian perkawinandapat

dijadikan sebagai alasan perceraian, maka lebih dahulu harus dilihatketentuan pasal 51 KHI

yang menyebutkan: “Pelanggaran perjanjian perkawinanmemberi hak kepada isteri untuk

mengajukan pembatalan nikah atau mengajukan sebagai alasan perceraian ke Pengadilan

Agama”. Dari ketentuan pasal tersebuthanya isteri yang diberi hak untuk mengajukan

pelanggaran perjanjian perkawinansebagai alasan perceraian. Dalam pasal yang sama tidak

disebukan kata-kata“suami”. Mungkin saja pasal 51 KHI hanya menjelaskan pelanggaran

Page 7: Perjanjian Perkawinan

perjanjianperkawinan dalam bentuk ta’lik talak, bukan perjanjian perkawinan dalam

bentuklainnya seperti disebutkan dalam pasal 45 KHI. Pendekatan ini lebih relevan

karenaperjanjian perkawinan dalam bentuk ta’lik talak adalah eenzijdig atau perjanjian yang

dibuat secara sepihak oleh suami yang isinya antara lain memberi hak kepada isteri untuk

mengajukan gugatan ke pengadilan bila sewaktu-waktu pihak suamimelanggar janji yang ia

perbuat. Lalu bagaimana dengan hak suami dalam halmenjadikan pelanggaran perjanjian

perkawinan oleh isteri sebagai alasanperceraian? Jika pelanggaran itu terjadi pada perjanjian

perkawinan dalam bentuk keduadari pasal 45 KHI, yaitu perjanjian yang dibuat atas dasar

kesepakatan suami isteri, seharusnya masing-masing pihak yang merasa dirugikan dapat

menjadikannyasebagai alasan perceraian. Kalau pelanggaran perjanjian secara sepihak

dalambentuk ta’lik talak dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan perceraian,kenapa

pelanggaran perjanjian perkawinan yang dibuat oleh kedua belah pihaksuami isteri tidak

dapat dijadikan alasan perceraian? Hanya saja dalam hal ini akanterbentur pada ketentuan

alasan perceraian dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku yang telah dirumuskan

secara limitative [28