perilaku adaptasi dalam upaya konservasi karbon hutan di kawasan taman nasional meru betiri,...
TRANSCRIPT
PERILAKU ADAPTASIDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PERILAKU ADAPTASI KOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN
PASCA DA REDD+DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,
KABUPATEN JEMBER
TESIS
NOVITA RINI WARDANI1206298380
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
DEPOKJUNI 2014
Universitas Indonesia
KOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
PERILAKU ADAPTASIDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA
PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KEMISKINAN, DANTANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
Universitas Indonesia
UNIVERSITAS INDONESIA
PERILAKU ADAPTASIKOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN
PASCA DA REDD+DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,
KABUPATEN JEMBER
TESISDiajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesejahteraan Sosial
NOVITA RINI WARDANI1206298380
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKPASCASARJANA ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KEMISKINAN, DANTANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
DEPOKJUNI 2014
Universitas Indonesia
KOMUNITAS LOKALDALAM UPAYA KONSERVASI KARBON HUTAN
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI,
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
PENGEMBANGAN MASYARAKAT, KEMISKINAN, DANTANGGUNGJAWAB SOSIAL PERUSAHAAN
ii
Universitas Indonesia
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar
Nama : Novita Rini Wardani
NPM : 1206298380
Tanda Tangan :
Tanggal : 19 Juni 2014
ii
iv
Universitas Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, yang tiada henti memberi limpahan rahmat dan hidayat-Nya sehingga
penulisan tesis yang berjudul “Perilaku Adaptasi Komunitas Lokaldalam Upaya
Konservasi Karbon Hutan Pasca DA REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru
Betiri, Kabupaten Jember”dapat terselesaikan dengan baik. Penulisan tesis ini
disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan S2 pada Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia dan awal wujud kecintaan
saya dengan hutan sebagai kekayaan alam Indonesia dan masyarakat menjadi
bagian pentingnya.
Pada kesempatan ini tidak lupa ucapan terima kasih dihaturkan kepada
Bapak Sofyan Cholid, S.Sos.,M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberi
pengarahan dan bimbingan demi kelancaran dan kesempurnaan penulisan tesis ini
sehingga menginspirasi saya. Tidak lupa ucapan terima kasih juga dihaturkan
kepada :
1. Ayahanda (Sitrin Suhartono, S.Sos., M.Si.) dan ibunda (Siti Hafifa), adikku
tersayang Dinda Mukarromah, serta eyang putriyang selalu memberiku
semangat dan kekuatan doa,serta keluarga di Jember terutama Om Joni
Dharmawan yang selalu setia menemani pengumpulan data penelitian;
2. Dra. Triyanti Anugrahini, M.Si, selaku penguji ahli yang telah menyediakan
waktu untuk menguji, membimbing, dan memberi masukan dalam
memperbaiki penelitian dan penulisan tesis ini;
3. Dra. Wisni Bantarti, M.Kes,selaku penguji ahli yang telah bersedia
meluangkan waktu untuk memberi masukan dan perbaikan dalam penelitian
tesis;
4. Arief Wibowo, S.Sos, S.Hum, M. Hum, selaku penguji ahli yang telah
meluangkan waktu dan kecermatannya dalam memastikan ketepatan teknis
penulisan tesis;
5. Ir. Ari Wibowo, M.Sc, selaku koordinator Project DA REDD+ Kawasan
TNMB – Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan
iv
v
Universitas Indonesia
Kebijakan, Kementerian Kehutanan yang telah bersedia memberikan waktu
untuk berdiskusi dan memberi pengarahan mengenai kegiatan DA REDD+;
6. Segenap Staf Balai TNMB yang telah mengijinkan saya melakukan penelitian
dan memberi kemudahan dalam pengurusan administrasi, beserta cerita
pengalaman di lapangan;
7. NGO KAIL dan LATIN (Bogor) yang telah bersedia meluangkan waktu dan
memberikan banyak ilmu tentang praktik pemberdayaan masyarakat di
TNMB;
8. Dr. Jatna Supriatna (Chairman of RCCC UI) dan CEES-Collumbia University
yang telah memberi saya kesempatan beasiswa untuk mengikuti short course
Innovation Financial Mechanism to Conserve Indonesia’s Forest yang begitu
bermanfaat untuk penelitian ini;
9. Muhammad Farid (Asisten Deputi Operasional REDD+ / BP REDD+) yang
sudah bersedia meluangkan waktu untuk berdiskusi banyak hal tentang
REDD+ dan memberi masukan untuk penelitian ini;
10. Feri Johana (ICRAF) yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
memberi masukan mengenai penelitian ini;
11. Bapak Wahyu Giri yang telah memberikan saya pengenalan lebih jauh soal
TNMB beserta kekayaan keanekaragaman hayati, harimau jawa, serta buku
yang telah diberikan kepada saya yangbegitu bermanfaat;
12. Segenap keluarga Divisi Kimtaru, PT. Virama Karya yang telah memberi ijin
dan kelonggaran waktu untuk saya pribadi melanjutkan studi S2;
13. Rekan-rekan S2 Kessos UI angkatan 2012 yang selalu memberi dukungan
moril dan motivasi, spesial untuk kakak-kakakku Alita, Andreas, Eko, dan
Teja yang selalu jadi penghibur, penyelamat dan penyemangatku, sukses
untuk kita semua;
14. Keluarga lantai 8,5 (Mbak Epoy, Mbak Titin, Pak Galih, Mbak Luluk, Arif,
Mas Yayat, Pak Lukman, Mbak Diana dan Ozi) yang sudah memberi saya
kepercayaan diri, semangat untuk selalu maju serta pelajaran mengenai hutan
dan masyarakat, bangga mengenal kalian;
15. Mas Yunus Helmi, terima kasih spesial untuk dukungan moril, tenaga, waktu
dan doanya;
v
vi
Universitas Indonesia
16. Sahabat kecilku yang selalu ada dan mendukungku, Eky, Kunthi, Femmy,
dan Yayik, bersyukur sekali memiliki kalian;
17. Bapak Desy Suyamto dan Ery Nugraha yang telah menginspirasi saya untuk
mengenal hutan dan REDD+, terima kasih atas kesempatannya telah
mempercayai saya untuk bergabungdalam SG Consulting Korindo Group dan
memberi saya kepercayaan baru untuk coba mengenal hutan;
18. Kelompok masyarakat desa penyangga TNMB di Desa Curahnongko, Desa
Andongrejo, dan Desa Wonoasri; Pemerintahan Desa; dan Petugas Resort
atas kesediaan untuk meluangkan waktu membantu kelancaran penelitian ini
serta sambutan hangat;
19. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial beserta Staf
Administrasi yang telah memberi kemudahan dan kelancaran dalam
pengurusan administrasi;
20. Serta pihak lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu yang telah
membantu proses kelancaranpenelitian ini.
Menyadari bahwa penulisan tesis ini belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharap masukan berupa saran dan kritik dari rekan-rekan pembaca
agar penulisan tesis ini dapat menjadi lebih baik dan berguna bagi perkembangan
ilmu pengetahuan.
Depok, Juni 2014
Penulis
vi
viii
Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Novita Rini WardaniNPM : 1206298380Program Studi : Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial
Kekhususan Pengembangan Masyarakat, Kemiskinan, danTanggung Jawab Sosial Perusahaan
Judul Tesis : Perilaku Adaptasi Komunitas Lokal dalam UpayaKonservasi Karbon Hutan Pasca DA REDD+ di KawasanTaman Nasional Meru Betiri, Kabupaten Jember
Penelitian ini membahas tentang perilaku adaptasikomunitas lokal di 3
desa penyangga kawasan Taman Nasional Meru Betiri setelah kegiatan DA
REDD+ yang difokuskan pada dampak perilaku adaptif dan aksi adaptasi.
Pendekatan penelitian mempergunakan kualitatif dengan jenis deskriptif. Hasil
menunjukkan bahwa adanya intervensi sosial pada Desa Curahnongko dan
Andongrejo melalui program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh
LSM lokal mampu meningkatkan perilaku adaptif dan aksi adaptasi komunitas
lokal dalam upaya konservasi karbon hutan. Berbeda dengan Desa Wonoasri yang
tidak mendapat intervensi sosial dari LSM lokal yang kegiatan pemberdayaan
masyarakatnya tidak berjalan optimal.
Kata Kunci : Perilaku adaptif, Adaptasi, DA REDD+, Konservasi, Intervensi
sosial
viii
ix
Universitas Indonesia
ABSTRACT
Name : Novita Rini WardaniProgramm : Master Degree of Social Welfare Science
Community Development, Poverty, and Corporate SocialResponsibility
Tittle : The Local Adaptation Behaviourin Forest Carbon ConservationFollowing the DA REDD+ Implementation in Meru BetiriNational Park, District of Jember
This research is to describe the local adaption behavior in 3 villagesbuffering in Meru Betiri National Park following the DA REDD+ implementationwhich is concern on adaptive behavior impact and adaptation action. This researchuses a qualitative approach with descriptive type. The result shows theeffectiveness of social intervention by local NGO in Curahnongko andAndongrejo through the community development program can empower theadaptive behavior and local adaptation action to the forest carbon conservation.Different with Wonoasri which has no social intervention through the communitydevelopment program from the local NGO not optimal implemented.
Keywords :Adaptive Behaviour, Adaptation, DA REDD+, Conservation, SocialIntervention
ix
x
Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN.............................................................................. iii
UCAPAN TERIMA KASIH ............................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI........................ vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT.......................................................................................................... ix
DAFTAR ISI.......................................................................................................... x
DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Permasalahan...................................................................................... 6
1.3 Tujuan Penelitian ............................................................................. 10
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................... 10
1.5 Metode Penelitian............................................................................. 11
1.5.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................. 11
1.5.2 Lokasi Penelitian..................................................................... 12
1.5.3 Teknik Pemilihan Informan .................................................... 13
1.5.5 Teknik Pengumpulan Data...................................................... 17
1.5.6 Teknik Analisis Data............................................................... 19
BAB 2 PEMBANGUNAN HUTAN BERKELANJUTAN, KONSERVASI,
DAN KEMAMPUAN ADAPTIF......................................................... 21
2.1 Pembangunan Hutan Berkelanjutan................................................. 21
2.1.1 REDD+.................................................................................... 22
2.2 Kegiatan Konservasi Hutan.............................................................. 31
2.2.1 Pengertian Kawasan Konservasi ............................................. 31
2.2.2 Peran Kawasan Konservasi dalam Kesejahteraan Masyarakat32
2.3 Kemampuan Adaptif (Adaptive Capacity)....................................... 36
xi
Universitas Indonesia
2.3.1 Pemahaman Kemampuan Adaptif .......................................... 36
2.3.2 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)............................. 42
2.4 Konsep Pemikiran ............................................................................ 49
BAB 3 KEGIATAN DEMONSTRATION ACTIVITY (DA) REDD+ DI
KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI ......................... 52
3.1 Gambaran Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri .............. 52
3.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ...................... 52
3.1.2 Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri ........ 53
3.2 Kegiatan DA REDD+ di Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru
Betiri ................................................................................................ 63
3.2.1 Peraturan Perundangan untuk Kegiatan di Kawasan Konservasi
............................................................................................... 63
3.2.2 Pelaksanaan Kegiatan DA REDD+ di TNMB........................ 65
3.2.3 Manfaat Kegiatan DA REDD+ DI TNMB ............................. 76
BAB 4 PERILAKU ADAPTASIKOMUNITAS LOKAL DALAM UPAYA
KONSERVASI KARBON HUTANPASCA DA REDD+ DI
KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN
JEMBER............................................................................................... 79
4.1Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA
REDD+ ............................................................................................ 79
4.1.1 Asset Base (Aset Dasar) .......................................................... 80
4.1.2Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi) ..... 89
4.1.3 Innovation (Inovasi) ................................................................ 98
4.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan
Persamaan Hak)................................................................... 105
4.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And
Governance (Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan
Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan) ...................... 110
4.2Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+
....................................................................................................... 119
4.2.1 Kelompok petani rehabilitasi ................................................ 123
4.2.2 Kelompok wanita .................................................................. 127
4.2.3 Aparatur desa ........................................................................ 128
4.2.4 LSM KAIL............................................................................ 130
4.2.5 Polisi hutan/resort ................................................................. 132
xii
Universitas Indonesia
4.2.6 Balai TNMB.......................................................................... 132
BAB 5 PEMBAHASAN ................................................................................. 135
5.1 Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA
REDD+ .......................................................................................... 137
5.1.1 Asset Base (Aset Dasar) ........................................................ 137
5.1.2 Knowledge And Information (Pengetahuan Dan Informasi). 144
5.1.3 Innovation (Inovasi) .............................................................. 148
5.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan
Persamaan Hak)................................................................... 151
5.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And
Governance (Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan
Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan) ...................... 153
5.2 Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+
....................................................................................................... 156
5.2.1 Kelompok petani rehabilitasi ................................................ 158
5.2.2 Kelompok wanita .................................................................. 159
5.2.3 Aparatur Desa........................................................................ 160
5.2.4 LSM KAIL............................................................................ 160
5.2.5 Polisi Hutan/Resort ............................................................... 162
5.2.6 Balai TNMB.......................................................................... 162
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN........................................................... 164
6.1 Kesimpulan .................................................................................... 164
6.2 Saran............................................................................................... 167
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 168
LAMPIRAN
xiii
Universitas Indonesia
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Rata-Rata Deforestasi dari Tahun 1997-2007 untuk Total PerubahanTutupan Hutan di Taman Nasional Meru Betiri ................................ 8
Tabel 1.2 Pemilihan Informan.......................................................................... 14
Tabel 4. 1 Ringkasan Kemampuan Adaptif Komunitas Lokal Desa PenyanggaPasca DA REDD+.......................................................................... 113
Tabel 4. 2 Ringkasan Kemampuan Adaptif Kelompok LSM, PolisiHutan/Resort dan Balai TNMB...................................................... 117
xiii
xiv
Universitas Indonesia
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia................. 3Gambar 1.2 Klasifikasi Analisis Penutup Lahan Kawasan Taman Nasional
Meru Betiri ...................................................................................... 7
Gambar 2.1 Skema Strategi REDD+ di Indonesia............................................ 24Gambar 2.2 Safeguard dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di
Indonesia ....................................................................................... 35Gambar 2.3 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)................................... 42
Gambar 3.1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Curahnongko ......................... 57Gambar 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Desa Andongrejo............................ 59Gambar 3.3 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Wonoasri............................. 61
Gambar 4. 1 Lahan rehabilitasi di Desa Curahnongko ...................................... 80
Gambar 4. 2 Perkebunan Karet sebelum memasuki Lahan Rehabilitasi di Desa
Wonoasri........................................................................................ 81
Gambar 4.3 Lahan Rehabilitasi di Desa Wonoasri ........................................... 82
Gambar 4.4 Tanaman peje yang banyak dikembangkan oleh petani rehabilitasi .
..................................................................................................... 101
Gambar 4.5 Pendataan masyarakat yang memiliki lahan berbatasan langsung
dengan Zona Rimba..................................................................... 104
Gambar 4.6 Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa
Andongrejo .................................................................................. 108
Gambar 4.7 Lahan Demplot 7 Ha di Desa Curahnongko................................ 131
Gambar 5.1 Hubungan keterkaitan asset base, information and knowledge, daninnovation dalam membentuk kemampuan adaptif .................... 148
Gambar 5.2 Komponen penting dalam Aksi Adaptasi ................................... 163
xiv
Universitas Indonesia
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Globalisasi dan liberalisasi pasar seiring perkembangannya telah
membawa hutan ke dalam pasar dan investasi global. Dampak nyata telah
dirasakan oleh Indonesia sebagai salah satu negara pemilik hutan tropis terbesar
ketiga di dunia yaitu ditandai dengan meningkatnya laju deforestasi1 dan
degradasi2 hutan. Menurut Data World Resources Institute (WRI) pada tahun 2003
menunjukkan bahwa deforestasi berkontribusi sekitar 18% emisi global, 75% nya
berada di negara berkembang, dan diperkirakan akan terus meningkat bila tidak
ada intervensi kebijakan baik nasional maupun internasional (Masripatin, 2012).
Hal ini berkaitan erat dengan posisi negara Indoensia yang berada dalam tahap
pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang cukup signifikan. Sehingga hutan
menjadi salah satu sumberdaya potensial yang dapat menjamin keberlangsungan
perekonomian untuk terus maju, tumbuh dan berkembang.
Di sisi lain, keberadaan hutan memiliki peran penting terutama dalam
menjaga kestabilan iklim dunia. Sejumlah klaim menyebutkan bahwa terjadinya
perubahan iklim akibat pemanasan global, salah satunya dipicu oleh tingginya
emisiCO2akibat deforestasi dan degradasi hutan. Di tingkat global, menurut Stern
(2007) dalam Wibowo (2012) menyebutkan bahwa kontribusi sektor perubahan
penutupan lahan dan kehutanan (Land-Use, Land-Use Change, and
ForestrySector/LULUCF) menyumbang emisi sebesar 18%, sedangkan di
1Menurut Kementerian Kehutanan, deforestasi didefinisikan sebagai akibat langsung dari
pengaruh manusia dengan mengkonversi lahan berhutan menjadi lahan yang tidak berhutan,dimana penyebab deforestasi terjadi secara terencana (lahan hutan konversi dan arealpenggunaan lain (APL) diubah menjadi penggunaan lahan yang lain misalnya pembangunankelapa sawit) dan tidak direncanakan (kebakaran, penyerobotan lahan, penebangan liar danpenebangan yang tidak mengikuti prinsip-prinsip kelestarian).2Menurut Mahmudin (2009) dalam Iskandar (2011), deforestasi yang tidak direncanakan
termasuk ke dalam degradasi hutan. Dimana penyebab utama degaradasi hutan hujan tropisadalah manusia. Aktivitas manusia yang merusak hutan antara lain penebangan kayu,penambangan di wilayah hutan, agrikultur, konstruksi jalan raya, perkampungan, danpeternakan.
1
2
Universitas Indonesia
Indonesia sendiri sektor LULUCF adalah penyumbang emisi terbesar yaitu 48%
dari total emisi nasional (KLH, 2009).
Pada Tahun 2007 tepatnya pada Agenda Conferences of Parties (COP) ke-
13di Indonesia, yaitu Bali Action Plan yang merupakan asal mula dari tercetusnya
Reducing Emission from Deforestation and Degradation/REDD, yang kemudian
pada Tahun 2010 dalam COP-16 di Cancun, Meksiko telah melahirkan sebuah
kepercayaan baru sejumlah negara untuk kembali bekerja dan berpartisipasi dalam
upaya mengatasi perubahan iklim global yang telah terjadi. Perjanjian Cancun
menjadi titik tolak bagi masuknya kesepakatan bahwa hutan tropis menjadi bagian
penting sekaligus agenda utama dalam upaya mitigasi perubahan iklim global
melalui skema REDD+.
Beberapa negara dan masyarakat internasional telah mengupayakan
pembangunan dan penerapan mekanisme REDD+ untuk mencegah,
memperlambat, menghentikan dan memulihkan kondisi tutupan hutan agar
terhindarkan dari deforestasi dan degradasi yang berkontribusi nyata pada jumlah
emisi karbon yang dikeluarkan. Di dalam negara‑negara ini, pihak‑pihak yang
telah menderita kerugian ekonomi (mantan pengguna dan penerima manfaat
hutan) dan pelindung atau pelestari hutan saat ini bisa diberi kompensasi atas
kehilangan yang dideritanya atau menerima imbalan atas tindakan yang
dilakukannya. Pembayaran kompensasi atau imbalan dapat berasal dari
sumber‑sumber internasional atau nasional dan akan disalurkanmelalui
lembaga‑lembaga nasional. Pendanaan dari sektor swasta juga dapat langsung
disampaikan kepada penerima manfaat melalui mekanisme berbasiskan pasar
(Streck & Parker, 2013). Dalam skema ini keterlibatan negara maju dan negara
berkembang sangat diperlukan dalam upaya mitigasi perubahan iklim global.
Negara maju sebagai emitter Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari kegiatan
industri, diwajibkan untuk memberi insentif bagi negara berkembang yang
berupaya menjaga dan melindungi kawasan hutan untuk menjamin penyerapan
emisi karbon yang terjadi di dunia. Sehingga, dalam perundingan iklim
internasional, REDD+ menjadi bagian dari Aksi Mitigasi Nasional yang Tepat
(Nationally Appropriate Mitigation Actions/NAMAs) yang diharapkan dapat
mendorong pembangunan
dianggap sebagai celah khususnya bagi negara berkembang untuk berkontribusi
aktif dalam perlindungan kawasan hutan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang peduli terhadap upaya
mitigasi perubahan iklim glob
Kaca. Dengan dikeluarkannya
Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
yaitudalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada
Conferences of Parties
Climate Change (UNFCCC) dan hasil COP
Cancun serta memenuhi komitmen Pemerintah Ind
di Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha
sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020
dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (
disusun langkah-langkah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
Gambar 1.1 Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia
Sumber : Kementerian Kehutanan, 2011
Peraturan tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemerintah
Indonesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Diawali oleh
Penandatanganan Letter of Intent
Pemerintah Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai upaya pengurangan
Universitas Indonesia
mendorong pembangunan berkarbon rendah. Adanya skema REDD+ kemudian
dianggap sebagai celah khususnya bagi negara berkembang untuk berkontribusi
aktif dalam perlindungan kawasan hutan.
Indonesia merupakan salah satu negara yang peduli terhadap upaya
mitigasi perubahan iklim global melalui usaha pengurangan emisi Gas Rumah
Kaca. Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada
Conferences of Parties (COP) ke-13 United Nations Frameworks Convention on
(UNFCCC) dan hasil COP-15 di Copenhagen dan COP
Cancun serta memenuhi komitmen Pemerintah Indonesia dalam pertemuan G
di Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha
sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020
dari kondisi tanpa adanya rencana aksi (Bussines As Usual/BAU), maka perlu
langkah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia
Kementerian Kehutanan, 2011
Peraturan tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemerintah
nesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Diawali oleh
Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai upaya pengurangan
3
Universitas Indonesia
berkarbon rendah. Adanya skema REDD+ kemudian
dianggap sebagai celah khususnya bagi negara berkembang untuk berkontribusi
Indonesia merupakan salah satu negara yang peduli terhadap upaya
al melalui usaha pengurangan emisi Gas Rumah
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 61
Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca
dalam rangka menindaklanjuti kesepakatan Bali Action Plan pada The
United Nations Frameworks Convention on
15 di Copenhagen dan COP-16 di
onesia dalam pertemuan G-20
di Pittsburg untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26% dengan usaha
sendiri dan mencapai 41% jika mendapat bantuan internasional pada tahun 2020
/BAU), maka perlu
langkah untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca.
Skema Penurunan Emisi Karbon Pemerintah Indonesia
Peraturan tersebut merupakan suatu wujud komitmen Pemerintah
nesia dalam menurunkan emisi Gas Rumah Kaca. Diawali oleh
(LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan
Pemerintah Norwegia pada tanggal 26 Mei 2010 mengenai upaya pengurangan
4
Universitas Indonesia
emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan serta konversi lahan
gambut. Setelah penandatanganan tersebut, kemudian Pemerintah Indonesia
membuat program persiapan REDD+ di beberapa kawasan hutan yang memiliki
potensial cadangan karbon tinggi.
Salah satu agenda Pemerintah sebagai wujud kontribusi aktif dan
komitmen pemerintah mengurangi emisi karbon adalah dengan menunjuk
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) sebagai salah satu pilot
projectDemonstration Activity (DA) REDD+ khususnya untuk kawasan hutan
konservasi di Pulau Jawa.Kegiatan DA merupakan komponen penting dalam
menciptakan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat khususnya terkait
dengan strategi Readiness Phase di Indonesia. Khusus untuk DA REDD+ di
kawasan TNMB dilaksanakan sebagai wujud mendukung kontribusi pengurangan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon
hutan melalui peningkatan stok karbon hutan dan partisipasi masyarakat dalam
konservasi serta pengelolaan kawasan hutan. TerselenggaranyaDA REDD+ di
Taman Nasional Meru Betiri dilakukan atas kerjasama Pemerintah Indonesia
(Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan
serta Balai Taman Nasional Meru Betiri dan Lembaga Alam Tropika
Indonesia/LATIN) yang dibiayai oleh International Tropical
TimberOrganization/ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F) dengan kontribusi dari
Perusahaan Jepang yaitu Seven and I Holding Company.
Berpedoman pada Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 277/Kpts-
VI/1997, tanggal 23 Mei 1997, kawasan Meru Betiri ditetapkan sebagai Taman
Nasional, dimana dengan statusnya sebagai Taman Nasional akses masyarakat
terhadap hutan menjadi terlarang. Dengan demikian, akses masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan desa penyangga semakin terbatas. Hutan TNMB sebagai
“state property” atau “milik negara” dimana pemerintah menguasai dan mengatur
sumberdaya alam dalam arti yang seluas-luasnya. Negara menjadi aktor paling
ekstensif dalam mengatur dan mengelola sumberdaya alam karena sifatnya
sebagai badan publik yang melingkupi seluruh warga negaranya(Arizona, 2008).
Dengan demikian, hutan menjadi milik eksklusif dan bukan menjadi milik umum.
5
Universitas Indonesia
Artinya masyarakat dilarang untuk mengakses segala sumberdaya hutan yang ada
di dalam kawasan TNMB.
Namun, sejak terjadinya perambahan besar-besaran terhadap area hutan
jati yang terjadi pada tahun 1997/1998, maka kemudian tahun 1999 pihak
manajemen TNMB menjadikan area tersebut sebagai zona rehabilitasi.Di dalam
zona rehabilitasi, dilakukan pemulihan tutupan hutan dimana melibatkan peran
serta masyarakat sekitar dalam proses rehabilitasi kawasan seluas 4.000 Ha.
Adanya lahan rehabilitasi dianggap dapat memberi keuntungan bagi pihak
pemerintah selaku penanggungjawab kawasan serta masyarakat melalui
pengembangan sistem agroforestry.Pengelolaan hutan melalui partisipasi
masyarakat menjadi solusi optimum terhadap pengelolaan sumberdaya hutan
(Arizona, 2008). Dimana Lynch dan Talbott (1995) dalam Arizona (2008)
menyebutkan bahwa mempromosikan sejumlah kunci untuk manajemen hutan
berkelanjutan yang disebut community based tenuremenjadi slaah satu kunci
untuk menghidupkan peran masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutan.
Sejak itulah kemudian, pengelolaan TNMB mengakui masyarakat sebagai bagian
dari upaya kegiatan pelestarian hutan.
TNMB dipandang sebagai kawasan representatif untuk kawasan
konservasi yang memiliki banyak tantangan dalam upaya pengurangan emisi dan
peningkatan karbon stok dimana hal tersebut sangat berkaitan erat dengan upaya
menjamin kesejahteraan masyarakat khususnya yang tinggal disekitar desa
penyangga. Masyarakat desa penyangga TNMB memiliki ketergantungan
terhadap sumberdaya hutan. Akses yang diberikan oleh pihak manajemen TNMB
kepada masyarakat untuk mengelola lahan rehabilitasi menjadi hal penting dalam
pengelolaan hutan melalui strategi pemberdayaan dan pengembangan masyarakat.
Upaya ini sebagian dapat diimplementasikan melalui program intervensi
DA REDD+, dimanadalam praktiknyaturut melibatkan partisipasi masyarakat
khususnya yang tinggal disekitar desa penyangga. Hal ini diupayakan dapat
meningkatkan peran serta masyarakat dalam konservasi karbon hutan melalui aksi
nyata pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi serta meningkatkan
cadangan karbon hutankhususnya di zona rehabilitasi.Hakikatnya keberhasilan
6
Universitas Indonesia
DA REDD+ akan berjalan sesuai harapan jika ide-ide konservasi sejalan dan
selaras dengan partisipasi masyarakat dan strategi pemberdayaan masyarakat.
Sehingga, upaya mitigasi global untuk menanggulangi perubahan iklim dapat
terwujud dengan baik bila disertai upaya adaptasi seluruh komponen masyarakat
baik secara langsung maupun tidak langsung yang memiliki hubungan keterkaitan
dengan hutan.
1.2 Permasalahan
Hutan memiliki peran penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim
global, salah satunya melalui penguranganemisi dan peningkatan kapasitas
serapan Gas Rumah Kaca. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer
kebiosfer daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan akan sangat
menentukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau
pengemisi karbon (source of emission)(Wibowo, Ari, 2010). Sebagai langkah
awal sebelum tahap pengimplementasian REDD+ pasca 2012, pemerintah telah
menyusun agenda dalam strategi nasional penerapan DA REDD+ dalam
Readiness Phase dimana kegiatan ini berlangsung dari Tahun 2009 hingga 2012
di sejumlah kawasan hutan yang potensial untuk meningkatkan kapasitas
penyerapan karbon dan pengurangan emisi. Strategi ini dimaksudkan untuk
memberikan petunjuk (guidance) kepada seluruh stakeholder yang terlibat baik
langsung maupun tidak langsung dalam upaya mengurangi dan menangani
penyebab deforestasi dan degradasi hutan sebagai langkah untuk menjaga dan
meningkatkan stok karbon.
Taman Nasional Meru Betiri menjadi salah satu kawasan yang termasuk
dalam DA REDD+ melaluikegiatan “Konservasi Hutan TropisUntuk Pengurangan
Emisi Dari Deforestasi dan Degradasi Hutan dan Peningkatan Stok Karbon”
khususnya untuk kawasan konservasi yang potensial di wilayah Pulau Jawa.
Kawasan ini memiliki sejarah yang cukup unik terkait dengan kejadian deforestasi
dan degradasi hutan yang pernah ada. Sejak ditetapkannya status Meru Betiri
sebagai Kawasan Taman Nasional melalui diterbitkannya Keputusan Menteri
Kehutanan No. 277/Kpts/DJ-V/1997 tanggal 23 Mei 1997, hal ini berarti
pengelolaankawasan Taman Nasional Meru Betiri diarahkan pada fungsi
7
Universitas Indonesia
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya serta pemanfaatannya secara lestari.
Sebelumkegiatan DA REDD+ berlangsung Tahun 2010-2013, telah
dilakukan analisis mengenai kegiatan deforestasi dan degradasi hutan.
Berdasarkan hasil analisis perbandingan data penginderaan jauh Tahun 1997-
2010 khususnya dari perubahan penggunaan lahan (Gambar 1.1), potensi
deforestasi di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri menujukkan bahwa laju
deforestasi cukup rendah dengan laju rata-rata per tahunnya mencapai 0,065%
(Tabel 1.1) dengan laju deforestasi paling tinggi terjadi pada tahun 1997 – 2001
yaitu sebesar 0,30%.Laju deforestasi pada tahun 2001 – 2005 sebesar 0,07% dan
semakin berkurang pada tahun 2005 – 2007 (-0,08%); dan tahun 2007 – 2010 (-
0,03%).Laju deforestasi ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan
kegiatan degradasi hutan yang cenderung lebih intensif. Kecenderungan terjadinya
degradasi hutan sebelum adanya kegiatan DA REDD+ tergolong sangat tinggi, hal
ini juga seringkali dikaitkan dengan keberadaan masyarakat yang tinggal di
sekitar kawasan hutan baik yang berinteraksi langsung maupun tidak langsung
dengan hutan.
Klasifikasi tutupan lahan TNMB, citra SPOT 1997(Irawan dan Purnomosiddy, Universitas Jember,2010)
Klasifikasi tutupan lahan TNMB, citra ALOS 2007(Irawan dan Purnomosiddy, Universitas Jember,2010)
Gambar 1.2 Klasifikasi Analisis Penutup Lahan Kawasan Taman Nasional Meru Betiri
Sumber : Arifanti, Bainnaura, & Ginoga, 2010
8
Universitas Indonesia
Tabel 1.1 Rata-Rata Deforestasi dari Tahun 1997-2007 untuk Total PerubahanTutupan Hutan di Taman Nasional Meru Betiri
Periode Laju rata-rata deforestasi(%)
1997-2001 0,30
2001-2005 0,07
2005-2007 -0,08
2007-2010 -0,03
Total rata-rata deforestasi 0,065
Sumber : Arifanti, Bainnaura, dan Ginoga, 2010
Kegiatan DA REDD+ dikembangkan menjadi salah satu bentuk intervensi
dalam upaya perlindungan hutan TNMB sebagai kawasan konservasi. Selama ini,
hubungan masyarakat desa penyangga dengan hutan TNMB memiliki hubungan
yang erat dimana sebagian besar masyarakatnya menggantungkan hidupnya pada
hasil hutan baik kayu maupun non kayu. Oleh karena itu, kegiatan DA REDD+
diimplementasikan sebagai bentuk upaya meningkatkan kemampuan adaptif dan
aksi adaptasi masyarakat terkait bagaimana memanfaatkan hasil hutan dengan
bijak tanpa melakukan pengrusakan sekaligus kesejahteraan masyarakat terjamin.
Namun, pasca DA REDD+ berlangsung kegiatan degradasi yang
dilakukan oleh masyarakat masih saja ditemui di kawasan hutan TNMB.
Sejumlah peristiwa illegal logging dalam skala besarmasih sering ditemui.
Menurut pemberitaan daam situs resmi TNMB, pada Bulan Februari, setelah
diadakan operasi gabungan tertutup, Polhut TNMB telah berhasil mengamankan
sebuah truk yang berisi muatan kayu olahan yang diduga berasal dari Resort
Andongrejo SPTN Wilayahah II Ambulu sebanyak 351 batang dengan berbagai
jenis kayu serta mengamankan pelaku yang terlibat langsung dalam kegiatan
tersebut. Operasi ini dilakukan secara tertutup untuk memutus mata rantai illegal
logging.
Berbagai cerita dari masyarakat setempat juga mengemukakan bahwa
kejadian illegal logging masih saja sering terjadi khususnya di kawasan zona
rimba. Pelakunya adalah kelompok masyarakat yang tinggal disekitar desa
9
Universitas Indonesia
penyangga maupun di luar desa penyangga yang memiliki kesadaran dan
kepedulian rendah terhadap kelestarian hutan. Motif melakukan illegal logging
tidak lain adalah karena materi. TNMB memiliki keanekaragaman flora yang
beraneka ragam dengan pepohonan tua berkualitas tinggi. Dimana setiap satu
pohonnya memiliki nilai jual yang cukup menjanjikan bagi keuntungan ekonomi
masyarakat. Hal ini dipandang oleh sebagian masyarakat sebagai sumber ekonomi
strategis yang menjanjikan.
Namun, masyarakat yang tinggal di sekitar desa penyangga tidak
kesemuanya terlibat dalam kegiatan illegal logging, sebagian masyarakat juga
sudah menyadari peran dan fungsi hutan seiring dengan kegiatan DA REDD+
yang telah dilakukan sepanjang tahun 2010 hingga 2013. Masyarakat mulai
menyadari peran dan fungsi hutan sehingga secara tidak langsung tertanam pada
jiwa masyarakat bahwa hutan telah menjadi bagian penting dalam menjaga
keseimbangan ekosistem lingkungan yang mereka huni. Begitu pula sebaliknya,
masyarakat juga menyadari bahwa perannya begitu penting dalam menjaga
kelestarian hutan demi kesejahteraan masyarakat desa penyangga dan
pembangunan hutan yang berkelanjutan. Manfaat yang dirasakan mungkin tidak
dapat dirasakan secara langsung, namun secara tidak langsung masyarakat sudah
mulai merasakan mengenai perubahan yang terjadi pada kondisi di lingkungan
sekitar tempat tinggalnya ketika pepohonan di hutan semakin gundul.
Kegiatan DA REDD+ yang dilakukan di TNMB melibatkan multi
stakeholder dengan harapan bahwa semakin beragamnya komponen masyarakat
yang terlibat, maka semakin besar efek positif yang akan diperoleh dari rangkaian
kegiatan DA REDD+ maka upaya mewujudkan kelestarian kawasan hutan TNMB
dapat berhasil dengan baik.Permasalahan umum yang ingin diteliti adalah
mengenai dampak kegiatan DA REDD+. Secara khusus penelitian ini akan
difokuskan pada dua pertanyaan penelitian yaitu :
1. Bagaimana kemampuan adaptif komunitas lokal desa penyangga pasca DA
REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi
karbon hutan?
10
Universitas Indonesia
2. Bagaimana aksi adaptasi komunitas lokaldesa penyangga pasca DA REDD+
di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon
hutan?
1.3 Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini, memiliki tujuan umum yaitu untuk mengetahui
dampak kegiatan DA REDD+ di TNMB yang kemudian akan dijabarkan dalam
tujuan khusus secara detail yaitu:
1. Mengetahui kemampuan adaptifkomunitas lokal desa penyangga pasca DA
REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi
karbon hutan
2. Mengetahui aksi adaptasi komunitas lokaldesa penyangga pasca DA REDD+
di Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon
hutan
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang ingin diperoleh dari penelitian ini yaitu :
1. Manfaat terhadap ilmu pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan upaya
pendekatan dan pengembangan masyarakat dalam pengelolaan hutan
berkelanjutan melalui skema REDD+ serta dapat digunakan sebagai dasar
bagi penelitian selanjutnya.
2. Manfaat praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh pihak pengelola Taman
Nasional Meru Betiri danPusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim
dan Kebijakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Kementerian
Kehutanan (sebagai pelaksana DA REDD+) sebagai bahan evaluasi
penyelenggaraan kegiatan DA REDD+ di kawasan konservasi sehingga dapat
digunakan sebagai masukan untuk menentukan kebijakan pengelolaan karbon
11
Universitas Indonesia
hutan dalam rangka mendukung pembangunan hutan berkelanjutan dengan
melibatkan partisipasi masyarakat khususnya di desa penyangga.
1.5 Metode Penelitian
1.5.1 Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif melalui
pendekatan kualitatif.
“Qualitative reserachers see most areas of social life as instrinsically
qualitative. To them, qualitative data are not imprecise or deficient; they
are highly meningful. Instead of trying to convert social life into variables
or numbers, qualitative researchers borrow ideas from the people they
study and place them within the context of natural setting. (Neuman,
2006)”.
Dalam penelitian kualitattif, seorang peneliti harus terlibat dalam interaksi
dengan realitas yang diteliti. Menurut Somantri (2005), keterlibatan dan interaksi
peneliti kualitatif dengan realitas yang diamatinya merupakan salah satu ciri
mendasar dari metode penelitian kualitatif. Jary dan Jary (1991) dalam Somantri
(2005) mendefinisikan qualitative research techniques sebagai setiap penelitian
dimana ilmuwan sosial mencurahkan kemampuan sebagai pewawancara atau
pengamat empatis dalam rangka mengumpulkan data yang unik mengenai
permasalahan yang ia investigasi.
Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang banyak digunakan untuk
hal yang berkaitan dengan fenomena sosial yang tersaji dalam balutan instrinsik.
Data yang diperoleh melalui penelitian kualitatif bersifat natural dan sifatnya
dalam serta peneliti dapat mempelajari dan turut larut dalam kondisi yang dialami
oleh informan secara alami apa adanya. Sehingga peneliti dapat memperoleh
informasi yang akurat melalui wawancara mendalam dengan informan terpilih.
Melalui sudut pandang orang ketiga, penelitian ini diharapkan dapat
menggali dan memahami serangakain proses, peristiwa yang disajikan oleh
informan. Keterlibatan peneliti dalam berinteraksi dengan informan akan
membantu proses konstruksi realitas sehingga dapat memahami makna yang
12
Universitas Indonesia
terdapat dalam serangkaian proses, peristiwa dan otensitas dari tujuan penelitian
yang diharapkan.
Dalam penelitian ini, tidak digunakan hipotesis karena pada dasarnya
penelitian kualittatif diawali dengan pengumpulan data melalui hasil wawancara
mendalam yang berupa cerita rinci pada sejumlah stakeholder terkait. Sehingga
kemudian,rangkaian cerita rinci dapat dirangkaikan menjadi sebuah konsep baru.
1.5.2 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di 3 (tiga) wilayah desa penyangga yang berada di
sekitar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri, Propinsi Jawa Timur khususnya
yang berada dalam batas administratif Kabupaten Jember. Wilayah desa tersebut
terdiri dari Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, dan Desa Wonoasri. Hal ini
didasarkan bahwa Kabupaten Jember (37.585 Ha)memiliki luas wilayah lebih
besar yang termasuk ke dalam Kawasan Taman Nasional Meru Betiri jika
dibandingkan dengan luas wilayah pada Kabupaten Banyuwangi(20.415 Ha).
Adapaun alasan yang menyertai pemilihan lokasi penelitian di 3 (tiga)
wilayah desa penyangga di sekitar Kawasan Taman Nasional Meru Betiri, antara
lain :
a. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki tingkat degradasi hutan yang
lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat deforestasinya, dimana degaradasi
terjadi sebagai akibat adanya interaksi penduduk yang tinggal di sekitar hutan
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.Keberadaan hutan TNMB memiliki
peran penting dalam mendukung kehidupan dan kesejahteraan masyarakat desa
di sekitar kawasan hutan, dimana kawasan ini berperan sebagai social
safeguards bagi keberlangsungan kehidupanmasyarakat khususnya desa
penyangga.
b. Terselenggaranya DA REDD+ yang melibatkan masyarakat desa penyangga di
sekitar kawasan Taman Nasional Meru Betiri bertujuan untuk mendapatkan
manfaat karbon sebanyak mungkin serta upaya peningkatan stok karbon
melalui konsep pemberdayaan masyarakat. Dimana telah dibentuk sistem
zonasi (khususnya zona rehabilitasi seluas 4.000 Ha) sebagai area yang
13
Universitas Indonesia
dimungkinkan untuk peningkatan serapan karbon melalui pembangunan sistem
agroforestri.
c. Telah terbentuknya Nota Kesepahaman antara masyarakat desa penyangga dan
pihak Balai Taman Nasional Meru Betiri selaku penanggungjawab pengelolaan
kawasan konservasi sebagai bentuk kemitraan yang menggiring komitmen
penuh masyarakat khususnya dalam upaya memanfaatkan lahan untuk
pertanian atau produksi hasil hutan non kayu (NTFP) serta upaya
mempertahankan pohon sebagai konservasi untuk meningkatkan serapan
karbon.
d. Kawasan Taman Nasional Meru Betiri menjadi bagian dari kegiatan
percontohan dalam Readiness Phase melalui DA REDD+, dimana
pendanaannya berasal dari dana CSR Perusahaan besar di Jepang yaitu Seven
and I Holding yang disalurkan melalui ITTO. DA REDD+ di TNMB
merupakan sarana pembelajaran dan oembangunan komitmen serta sinergi
yang terbentuk antara pihak donor, pemerintah daerah, LSM lokal serta
masyarakat desa penyangga.
1.5.3 Teknik Pemilihan Informan
Penelitian mengenai “Perilaku Adaptasi Komunitas Lokal dalam Upaya
Konservasi Karbon Hutan Pasca DA REDD+ di Kawasan Taman Nasional Meru
Betiri, Kabupaten Jember”, informan penelitian ditentukan melalui Purposive
Sampling. Dalam Purposive Sampling informan yang akan terlibat dalam
penelitian merupakan subyek yang memiliki informasi mendalam terkait dengan
kajian yang ingin dilakukan dan memiliki keterlibatan langsung dengan beberapa
rangkaian kegiatan DA REDD+.
Menurut Silalahi (2009), Menentukan subyek atau orang-orang terpilih
harus sesuai dengan ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh sampel itu. Mereka dipilih
karena dipercaya mewakili satu populasi tertentu.Berikut beberapa kriteria
informan dalam peneltian ini yaitu :
a. Informan yang memiliki pengetahuan tentang gambaran kegiatan DA REDD+
b. Informan yangterlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+
c. Informan yang tidakterlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+
14
Universitas Indonesia
Kriteria penetapan informan berdasarkan analisa stakeholder engagement
dalam pelaksanaan DA REDD+ Tahun 2010-2013 dapat dilihat pada Tabel 1.2.
Kriteria penentuan informan tersebut berdasarkan analisis mengenai informasi paa
yang ingin diperoleh dari informan-informan terkait.
Tabel 1.2 Pemilihan Informan
No. Informasi yang ingin dicari InformanJumlah
Informan
1. a. Hubungan masyarakat dengan
hutan TNMB
b. Peran masyarakat dalam
pengelolaan TNMB
c. Pemahaman terhadap REDD+
d. Tanggapan terhadap kegiatan
REDD+
e. Dampak dan manfaat dari kegiatan
REDD+
f. Hak dan kewajiban kelompok
masyarakat terhadap pengelolaan
kawasan rehabilitasi setelah
adanya REDD+
g. Peran pemerintah/LSM dalam
mendukung kegiatan REDD+
h. Upaya yang dilakukan
individu/kelompok dalam
konservasi karbon hutan
Masyarakat
yang terlibat
langsung
Petani
rehabilitasi
4
Kelompok
wanita
3
Masyarakat
yang tidak
terlibat
langsung
Petani
rehabilitasi
7
Kelompok
wanita
2
2. a. Hubungan masyarakat dengan
hutan TNMB
b. Peran masyarakat dalam
pengelolaan TNMB
c. Pemahaman terhadap REDD+
d. Tanggapan terhadap kegiatan
REDD+
e. Dampak dan manfaat dari kegiatan
REDD+
f. Hak dan kewajiban kelompok
masyarakat terhadap pengelolaan
kawasan rehabilitasi setelah
adanya REDD+
Aparatur Desa 5
15
Universitas Indonesia
No. Informasi yang ingin dicari InformanJumlah
Informan
g. Peran pemerintah/LSM dalam
mendukung kegiatan REDD+
h. Upaya yang dilakukan
individu/kelompok dalam
konservasi karbon hutan
3. a. Hubungan masyarakat dengan
hutan TNMB
b. Peran masyarakat dalam
pengelolaan TNMB
c. Pemahaman terhadap REDD+
d. Tanggapan terhadap kegiatan
REDD+
e. Hak dan kewajiban kelompok
masyarakat terhadap pengelolaan
kawasan rehabilitasi setelah
adanya REDD+
f. Peran pemerintah/LSM dalam
mendukung kegiatan REDD+
g. Hukum yang berlaku di kawasan
taman nasional setelah kegiatan
DA REDD+
h. Upaya yang dilakukan
individu/kelompok upaya
konservasi karbon hutan
Polisi Hutan 4
4. a. Hubungan masyarakat dengan
hutan TNMB
b. Peran masyarakat dalam
pengelolaan TNMB
c. Pemahaman terhadap REDD+
d. Tanggapan terhadap kegiatan
REDD+
e. Peran pemerintah/NGO dalam DA
REDD+
f. Manfaat yang diperoleh dari
kegiatan REDD+ dari segi 1)
pengetahuan, informasi, dan
keterampilan; 2) inovasi
pengelolaan hutan; 3) dalam
NGO lokal (KAIL) 1
16
Universitas Indonesia
No. Informasi yang ingin dicari InformanJumlah
Informan
pengambilan keputusan di tingkat
lokal masyarakat
g. Hukum yang berlaku di kawasan
taman nasional setelah kegiatan
DA REDD+
h. Upaya yang dilakukan
individu/kelompok dalam upaya
konservasi karbon hutan
5. a. Hubungan masyarakat dengan
hutan TNMB
b. Peran masyarakat dalam
pengelolaan TNMB
c. Pemahaman terhadap REDD+
d. Tanggapan terhadap kegiatan
REDD+
e. Peran pemerintah/NGO dalam DA
REDD+
f. Manfaat yang diperoleh dari
kegiatan REDD+ dari segi 1)
pengetahuan, informasi, dan
keterampilan; 2) inovasi
pengelolaan hutan; 3) dalam
pengambilan keputusan di tingkat
lokal masyarakat
g. Hukum yang berlaku di kawasan
taman nasional setelah kegiatan
DA REDD+
h. Upaya yang dilakukan
individu/kelompok dalam upaya
konservasi karbon hutan
Balai Taman Nasional
Meru Betiri
4
6. a. Alasan DA REDD+
diselenggarakan di TNMB
b. Bagaimana pelaksanaan
PADIATAPA di TNMB
c. Rangakain kegiatan DA REDD+
d. Siapa yang terlibat dalam kegiatan
DA REDD+
e. Peran pemerintah lokal dan NGO
dalam kegiatan DA REDD+
Koordinator Proyek DA
REDD+ (Puspijak Litbang
Kementerian Kehutanan)
1
17
Universitas Indonesia
1.5.5 Teknik Pengumpulan Data
Data menjadi bagian penting dalam menjawab sebuah pertanyaan dan
hipotesis penelitian, sehingga diperlukan kajian yang detail mengenai kualitas
data yang akan diinginkan. Pengumpulan data didefiniskan oleh Silalahi (2009)
sebagai suatu proses mendapatkan data empiris melalu responden dengan
menggunakan metode tertentu.
Dalam metode kualitatif, pengumpulan data digunakan dengan bantuan
instrumen penelitian berupa pedoman wawancara sebagai alat bantu untuk
melakukan penelitian. Kualitas instrumen penelitian akan menentukan kualitas
dan kuantitas data yang diperoleh sehingga emudahkan untuk proses analisa data
dan interpretasi.
Dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data
antara lain :
a. Studi Pustaka
Pengumpulan data melalui studi pustaka dilakukan dengan mempelajari
beberapa literatur yang berkaitan dengan penelitian baik berupa dokumen, buku
bacaan, serta penelitian yang telah dilakukan sebelumnya yang dapat digunakan
sebagai data sekunder yang bersifat sebagai penunjang penelitian.
Secara umum studi pustaka dilakukan sebagai pedoman dan panduan awal
peneliti untuk mengetahui kajian antara lain mengenai karakteristik masyarakat
yang hidup di sekitar kawasan hutan, pola interaksi masyarakat kaitannya dengan
pemanfaatan sumberdaya hutan, praktik DA REDD+ khususnya di Kawasan
Taman Nasional Meru Betiri serta bagaimana bentuk adaptasi dan kapasitas
adaptif masyarakat melalui upaya konservasi dan peningkatan stok karbon hutan.
b. Studi Lapangan
Pengumpulan data melalui studi lapangan merupakan bagian dari
pengumpulan data primer, dimana pengumpulan data dilakukan dengan
mengujungi lokasi penelitian secara langsung, melalui beberapa langkah-langkah
yaitu :
1) Observasi
Observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang
tersusun dari pelbagai proses biologic dan psikologik. Dua diantaranya yang
18
Universitas Indonesia
terpenting adalah proses-proses pengamatan dan ingatan (Hadi, 1986 b). Teknik
observasi yang dilakukan yaitu observasi sistematik atau observasi berkerangka.
Dalam melakukan observasi sistematik, peneliti akan membuat kerangka yang
memuat faktor-faktor bagaimana kapasitas adaptif masyarakat dapat terbentuk.
Menurut Hadi (1986 a), beberapa hal yang menjadi perhatian dalam observasi
sitematik yaitu :
a. Materi observasi
Dalam kegiatan observasi sistematik, materi observasi terbatas hanya pada
tujuan penelitian yang ingin dicapai. Sehingga, kegiatan observasi yang dilakukan
lebih terfokus pada permasalahan-permasalahan yang dikaji lebih mendalam.
b. Cara-cara pencatatan
Hal yang perlu dicatat lebih menitikberatkan pada fokus permasalahan
yang telah diformulasikan sehingga jawaban, tanggapan dan reaksi yang ingin
diperoleh dapat dicatat secara teliti. Dalam proses pencatatan, peneliti
menggunakan alat pencatat mekanik (kamera, alat perekam) untuk memudahkan
pengumpulan informasi dan analisa lebih lanjut. Proses penelitian observasi
sistematik ini, peneliti hanya membutuhkan waktu yang singkat dengan
melibatkan beberapa informan terpilih guna mensinkronkan hasil observasi dan
perolehan sajian informasi yang lengkap dan luas.
2) Wawancara (Indepth Interview)
Metode wawancara merupakan metode yang digunakan untuk
mengumpulkan data atau keterangan lisan dari seseorang melalui suatu
percakapan yang sistematis dan terorganisasi. Wawancara dilakukan dengan
individu tertentu untuk mendapatkan data atau informasi tentang masalah yang
berhubungan dengan satu subyek tertentu atau orang lain. Individu sebagai
sasaran wawancara sering disebut sebagai informan, yaitu orang yang memiliki
keahlian atau pemahaman yang terbaik mengenai suatu hal yang ingin diketahui
(Silalahi, 2009). Sebelum melakukan wawancara, peneliti telah menentukan key
informan terlebih dahulu. Hal ini bertujuan agar tujuan penelitian dapat tercapai
dengan baik.
Dalam melakukan wawancara digunakan instrumen berupa pedoman
wawancara yang berisi panduan pertanyaan, namunwawancara yang dilakukan
19
Universitas Indonesia
bersifat terbuka. Hal ini ditujukan untuk memberi kesempatan pada informan
untuk menyampaikan hal-hal yang diketahui berdasarkan pengetahuan,
pengalaman, maupun pandangannya atas subyek yang ingin diteliti. Dengan
demikian, diharapkan perolehan informasi dapat lebih mendalam terutama pada
hal yang berkaitan dengan proses interpretasi situasi dan fenomena di lapangan
yang sebelumnya tidak dapat diperoleh dari kegiatan observasi.
3) Diskusi kelompok
Diskusi kelompok dilakukan untuk memperoleh data secara cepat,
informatif dan beragam untuk menggali tujuan penelitian lebih dalam. Diskusi
kelompok dilakukan secara tidak formal untuk menghindari kekauan komunikasi
dan menjalin hubungan kedekatan personal yang baik antara peneliti dan
informan. Diskusi ini dilakukan denga kelompok petani rehabilitasi yang tidak
mengikuti kegiatan DA REDD+, dengan mendatangi langsung kelompok petani di
lahan rehabilitasi.
1.5.6 Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dalam peenlitian kualitatif umumnya berwujud
kumpulan kata-kata yang penyajiannya harus diproses terlebih dahulu sebelum
disajikan. Menurut Miles dan Huberman dalam Silalahi (2009), kegiatan analisis
data terdiri dari 3 (tiga) alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi
data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi.
a. Reduksi data
Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian
pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Tahapan reduksi terdiri dari membuat
ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus, membuat partisi dan
menulis memo. Reduksi data menjadi bagian dalam kegiatan analisis yang
fungsinya menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak
perlu, dan mengorganisasikan data sedemikian rupa hingga kesimpulan-
kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi (Silalahi, 2009).
20
Universitas Indonesia
b. Penyajian data
Penyajian data diartikan sebagai sekumpulan informasi tersusun yang
memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Melalui data yang disajikan, peneliti dapat melihat dan memahami apa yang
sedang terjadi dan apa yang harus dilakukan, lebih jauh lagi menganalisis ataukah
mengambil tindakan, berdasarkan atas pemahaman yang didapat dari penyajian-
penyajian tersebut. Penyajian data dalam penelitian kualitatif umumnya berupa
teks naratif, matriks, grafik, jaringan, dan bagan. Hal ini bertujuan untuk
menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu bentuk yang padu dan
mudah diraih (Silalahi, 2009).
c. Penarikan kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian kualitatif hanya akan dapat diperoleh setelah
pengumpulan data berakhir. Hal ini bergantung pada banyaknya kumpulan
catatan-catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode pencarian
ulang yang digunakan, kecakapan peneliti. Kesimpulan-kesimpulan yang
sebelumnya telah ada bersifat sementara sehingga kemudian diperlukan verifikasi
yang dilakukan selama penelitian berlangsung. Verifikasi dilakukan oleh seorang
peneliti dengan meninjau ulang catatan-catatan lapangan sebagai bagian dari uji
validitas dalam penelitian kualitatif.
21
Universitas Indonesia
BAB 2PEMBANGUNAN HUTAN BERKELANJUTAN, KONSERVASI, DAN
KEMAMPUAN ADAPTIF
Dalam Bab 2 dibahas mengenai beberapa konsep penting yang menjadi landasan
penelitian. Konsep ini menjadi pengantar dari rangkaian kegiatan penelitian
dimana peneliti maupun pembaca akan dengan mudah memahami konsep dasar
penelitian secara menyeluruh.
2.1 Pembangunan Hutan Berkelanjutan
Hutan memegang peranan penting dalam siklus karbon global hutan yang
merupakan sumber cadangan karbon sehingga dikenal berperan dalam mengatur
perubahan iklim (regulate climate change) yaitu mampu menyerap karbon sekitar
2,6 GT/tahun skaligus menyimpan karbon sebanyak 1.650 GT atau kurang lebih
sama dengan 2 (dua) kali besarnya karbon di atmosfir. Namun sebaliknya, hutan
dapat pula sebagai sumber emisi apabila pengurasannya salah, misalnya terjadinya
deforestasi dan degradasi. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi selama ini
diperkirakan melepaskan jumlah emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sekitar 17-20
persen total emisi gas rumah kaca dunia, atau lebih besar dari pada emisi sektor
transportasi global. Namun, hutan yang sehat menyerap karbon dioksida dari
atmosfer untuk membantu proses fotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lebih dari 15% dari 32 miliar ton karbon dioksida yang dihasilkan setiap
tahun oleh kegiatan manusia diserap oleh hutan. (Badan Penelitian dan
Pengembangan Khutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim
dan Kebijakan (PUSPIJAK), “Perubahan Iklim, REDD+ dan Komitmen Nasional
Indonesia”).
Oleh karena itu upaya mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan
dianggap cara yang manjur menurunkan emisi. Argumentasi tersebut di perkuat
oleh Pacala dan Socolow pakar Universitas Princeton dan Prof. Nicholas Stern
bahwa dari 15 cara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang paling utama
dan effektif adalah 6 menurunkan deforestasi dan melakukan reforestasi 300 juta
ha tanaman hutan baru . Review Stern telah mempengaruhi secara signifikan dan
21
22
Universitas Indonesia
menjadi isu yang luas yang didikusikan dalam upaya mitigasi perubahan iklim
saat ini dengan skema REDD+ (Santosa & Silalahi, 2011).
2.1.1 REDD+
Indonesia termasuk negara yang cukup agresif dan responsif dengan isu
REDD+. Indonesia ikut ambil bagian dalam pertemuan internasional bahkan
menjadi tuan rumah COP 13 UNFCCC di Bali. Presiden RI membentuk DNPI
berdasarkan PP No.46/2008. DNPI memiliki 5 mandat tugas untuk membuat
strategi perubahan iklim, mengkoordinasikan semua kegiatan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim termasuk pendanaan, monitoring dan evalusi, serta
sebagai focal poin negosiasi. Berbagai kebijakan REDD telah dikembangkan
dalam kerangka mendorong pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi.
Kebijakan tersebut didukung oleh komitment Presiden RI (Susilo Bambang
Yudhoyono) pada pertemuan G-20 di Duisberg-USA tahun 2009 bahwa Indonesia
akan mengurangi emisi sebanyak 21 % dengan dana sendiri dan 41 % jika ada
dukungan dan bantuan dari luar negeri. Di Indonesia sektor hutan merupakan
penyumbang emisi terbesar dibandingkan 10sektor lain. Oleh karena itu sektor
kehutanan mendapat perhatian khusus dan dapat menurunkan emisi secara
signifikan (Santosa & Silalahi, 2011).
2.1.1.1 Kebijakan REDD+ Nasional Indonesia
Kelompok Kerja Pengarusutamaan REDD+ pada Perencanaan Nasional
Pada dasarnya, Kelompok Kerja (Pokja) Pengarusutamaan REDD+ ke dalam
Sistem Perencanaan Nasional, atau lebih mudah disebut Pokja Mainstreaming,
dirancang untuk memastikan Strategi Nasional REDD+ terintegrasi ke dalam
perencanaan nasional. Tujuannya adalah untuk mengintegrasikan
program-program REDD+ sebagai bagian dari pembangunan kehutanan dengan
tata kelola yang lebih berkelanjutan. Prinsip ini mengandung implikasi bahwa
Pokja ini bekerjasama dengan kementerian lain dan pemerintah daerah untuk
mengembangkan kegiatan-kegiatan baru dengan sumberdaya keuangan yang
tepat.
23
Universitas Indonesia
Seperti diamanatkan oleh Perpres No. 61/2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN GRK), RAN GRK ini
merupakan dokumen rencana kerja untuk pelaksanaan berbagai kegiatan yang
secara langsung atau tidak langsung menurunkan emisi gas rumah kaca sesuai
target pembangunan nasional. Kegiatan RAN GRK meliputi bidang pertanian,
kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, dan pengelolaan
limbah.
Isu REDD+ merupakan bagian dari RAN GRK terutama sektor kehutanan
dan lahan gambut. Strategi Nasional REDD+ bersifat mengikat dan
diarusutamakan dalam dokumen perencanaan nasional. Strategi yang merupakan
produk administrator negara ini mengatur dan mengikat instansi setingkat dan di
bawahnya. Seperti diketahui, ada lima pilar utama dalam Strategi Nasional
REDD+, yaitu kelembagaan dan proses; kerangka hukum dan peraturan; program
strategis pengelolaan lanskap berkelanjutan, sistem pemanfaatan sumber daya
alam lestari berikut konservasi dan rehabilitasi; perubahan paradigma dan budaya
kerja; dan, pelibatan para pihak. Kelima pilar pokok tersebut diuraijelaskan dan
dimasukkan ke dalam terminologi rencana aksi operasional Rencana Aksi
Nasional REDD+ dengan lokasi dan volume kegiatan yang jelas. Baru kemudian
proses selanjutnya adalah memasukkan Rencana Aksi Nasional REDD+ tersebut
ke dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2013, Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, dan Master Plan Percepatan dan
Pengembangan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) (REDD, 2010).
2.1.1.2 Perumusan Strategi Nasional REDD+
Strategi Nasional REDD+ Indonesia ini dirancang sebagai sebuah arahan
yang bersifat sistematis, logis, objektif, dan pragmatis. Dengan mengacu kepada
prinsip-prinsip tersebut maka pengurangan emisi akan dilaksanakan melalui
strategi pembangunan rendah karbon yang terpadu (hulu sampai hilir) dan
komprehensif (multi aspek). Prinsip yang mendasari perumusan strategi ini
merupakan prinsip pembangunan berkelanjutan, yaitu:
1. Pembangunan ekonomi yang bertumpu pada desentralisasi bertanggung jawab.
2. Pemeliharaan keseimbangan fungsi ekologis.
24
Universitas Indonesia
3. Keadilan antar generasi.
Menurut Bappenas (2010), kerangka pelaksanaan pengurangan emisi
melalui REDD+ meliputi :
1) Penurunan emisi dari deforestasi,
2) Penurunan emisi dari degradasi hutan,
3) Penguatan peran konservasi,
4) Penguatan peran pengelolaan berkelanjutan terhadap sumber daya hutan, dan
5) Peningkatan simpanan karbon melalui restorasi dan rehabilitasi. Kelima tema
penting tersebut akan didekati dengan pendekatan pengurangan sumber emisi
(source) dan meningkatkan simpanan (sink) karbon. (Bappenas, 2010)
Dengan mengacu kepada berbagai permasalahan yang ada maka strategi
nasional REDD+ Indonesia terbagi dalam tiga bagian utama, yaitu :
(1) pemenuhan prasyarat penerapan REDD+,
(2) peningkatan dan penguatan kondisi pemungkin (enabling conditions), serta
(3) reformasi pembangunan sektor, terutama sektor kehutanan (hutan produksi,
hutan lindung, dan hutan konservasi) dan sektor pengguna lahan lainnya
(perkebunan dan pertanian, pertambangan, serta infrastuktur) (Bappenas,
2010).
Gambar 2. 1Skema Strategi REDD+ di Indonesia
Sumber : Bappenas, 2010
Penurunan Emisi dariKegiatan REDD+
Penurunan emisidari Deforestasi
Penurunan emisidari Degradasi
HutanPeran Konservasi
PengelolaanBerkelanjutanterhadap SDH
Peningkatan StokKarbon
Penurunan emisi dariCarbon Source
Pemeliharaan danPeningkatan Serapan Carbon
Strategi Penurunan Emisi dariDeforetasi dan Degradasi Hutan Plus
RENCANA AKSINASIONAL
25
Universitas Indonesia
2.1.1.3 Tahap Pelaksanaan REDD+ di Indonesia
Menurut Kementerian Kehutanan (2011), Pemerintah Indonesia telah
berusaha mengimplementasikan REDD+ di tingkat nasional melalui 3 (tiga) tahap
(phased approach) yang terdiri dari :
a. Tahap 1 (Tahap Persiapan) yang melipuri identifikasi status IPTEK dan
kebijakan terkait dalam kurun waktu tahun 2007-2008
b. Tahap 2 (Readiness Phase) yang merupakan tahap penyiapan perangkat
metodologi dan kebijakan REDD+ dalam kurun waktu 2009-2012. Readiness
phase di Indonesia dilakukan melalui penerapan Demonstration Activity (DA)
REDD+ di sejumlah kawasan hutan potensial penyimpanan stok karbon
sebagai upaya persiapan sebelum masa full implementaton diberlakukan
melalui hasil kesepakatan internasional.
c. Tahap 3 (Full Implementation) yang merupakan tahap implementasi penuh
sesuai aturan COP pada saat REDD menjadi bagian dari skema UNFCCC
pasca 2012. Mengenai tahapan full implementation, perdagangan karbon dalam
skema REDD+ terutama yang berkaitan dengan insentif karbon belum dapat
diputuskan untuk tingkat internasional.
Dalam kurun waktu 2009 hingga 2013, pemerintah Indoensia telah
menerapkan Demonstration Activity (DA) REDD+ di sejumlah kawasan hutan
potensial. Beberapa kebijakan Undang-Undang dikeluarkan sebagai pedoman
untuk pelaksanaan DA REDD+ antara lain Peraturan Menteri Kehutanan
P.68/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan DA REDD dan P.30/2009; Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang
Penyelenggaraan Karbon Hutan; menindaklanjuti P.20/2012, Direktorat Jenderal
PHKA telah mengeluarkan Peraturan Dirjen PHKA No. P.7/IV-Set/2012 tentang
tata cara permohonan dan penilaian registrasi serta penyelenggaraan DA REDD+
di hutan konservasi.
2.1.1.4 Penyelenggaraan Demonstration Activity (DA) REDD+
Dalam dunia internasional, mekanisme penerapan REDD+ belum
memperoleh kesepakatan yang pasti, tahap negosisasi yang cukup panjang masih
terjadi dan diperdebatkan dalam sejumlah perundingan COP (Conference of
26
Universitas Indonesia
Parties). Sehingga kemudian pemerintah Indonesia, berupaya untuk mengadopsi
dan mempersiapkan secara dini tentang pengaturan kegiatan REDD+ di tingkat
nasional. Untuk mengakomodir dan mendukung Readiness Phase REDD+ terkait
dengan Demonstration Activity (DA), maka dikeluarkan Peraturan Menteri
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.20/Menhut-II/2012 tentang
Penyelenggaraan Karbon Hutan yang dikeluarkan pada tanggal 23 April 2012.
Dalam PerMen tersebut menyebutkan prinsip dasar penyelenggaraan karbon hutan
serta beberapa kriteria yang mendukung penyelenggaraan praktik DA REDD+ di
Indonesia.
Di dalam Bab III Prinsip Dasar Bagian kesatu tentang Penyelenggaraan
Karbon hutan Pasal 3 menyebutkan secara umum mengenai beberapa kegiatan
penyelenggaraan karbon hutan dapat dilakukan dibeberapa jenis hutan yang ada di
Indonesia dengan melibatkan beberapa pihak terkait baik pemerintah, swasta
maupun masyarakat dalam upaya mendorong peningkatan pemberdayaan
masyarakat. Sedangkan bagian kedua mengenai Kriteria Kegiatan Demostration
Activities. Dimana dalam penyelenggaraan kegiatan DA, harus mengacu pada
beberapa pedoman pelaksanaan yang merupakan porsedur yang harus dilalui
sebelum kegiatan DA diimplementasikan kepada masyarakat. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada penjabaran pasal berikut.
Bab III : Prinsip Dasar
Bagian Kesatu : Penyelenggaraan Karbon Hutan
Pasal 3
(1) Penyelenggaraan karbon hutan meliputi :
a. Demostration Activities;
b. Implementasi (pelaksanaan) kegiatan karbon hutan
(2) Kegiatan karbon hutan dapat berupa penyimpanan dan/atau penyerapan
karbon, yang terdiri atas :
a. Pembibitan, penanaman, pemeliharaan hutan dan lahan dan pemanenan
hutan yang menerapkan prinsip pengelolaan lestari;
b. Perpanjangan siklus tebangan pada dan/atau penanaman oengayaan
izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu;
27
Universitas Indonesia
c. Perlindungan, pengamanan pada areal izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu;
d. Perlindungan keanekaragaman hayati;
e. Pengelolaan hutan lindung lestari;
f. Pengelolaan hutan konservasi;
(3) Penyelenggaraan karbon hutan dapat dilaksanakan pada :
a. Hutan negara dengan fungsi sebagai berikut : 1. Hutan produksi, 2.
Hutan lindung, 3. Hutan konservasi;
b. Hutan hak/hutan rakyat
(4) Penyelenggaraan karbon hutan adalah : a. Pemerintah; b. Badan Usaha
Milik Negara/Daerah/Swasta; c. Koperasi; d. Masyarakat.
(5) Penyelenggaraan karbon hutan juga diutamakan untuk mendorong
peningkatan keberdayaan masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan.
Bagian Kedua : Kriteria Kegiatan Demostration Activities
Pasal 4
(1) Kriteria kegiatan Demonstration Activities adalah sebagai berikut :
a. Membangun proses-proses pembuatan atau penyempurnaan standar
teknis pengukuran, implementasi standara, serta pelaporan hasil
pengukuran
b. Fasilitasi yaitu pendampingan untuk proses-proses pembuatan atau
penyempurnaan standar teknis pengukuran, implementasi standar, serta
pelaporan hasil pengukuran
c. Kegiatan karbon hutan harus dapat diterapkan (workable), replikatif
dalam skala yang lebih luas, dan berkesinambungan setelah
Demonstration Activities berakhir.
(2) Pemrakarsa mengajukan permohonan tertulis pelaksanaan Demonstration
Activities kepada menteri, dengan melampirkan :
a. Rancangan Demonstration Activities yang materinya antara lain status
dan lokasi berikut peta lokasi calon areal, bentuk dan jangka waktu
kerjasama, perkiraan nilai kegiatan, dan manajemen resiko
b. Dalam hal pemrakarsa adalah perorangan yang pembiayannya
bersumber dari dana sendiri (swadana), maka pemrakarsa wajib
28
Universitas Indonesia
melampirkan surat pernyataan kesediaan untuk membiayai
pelaksanaan Demonstration Activities
c. Dalam hal pemrakarsa bekerja sama dengan mitra dan seluruh atau
sebagian pembiayaannya bersumber dari mitra, maka pemrakrsa wajib
melampirkan dokumen kerjasama
(3) Menteri menugaskan Direktur Jenderal terkait untuk melakukan penilaian
terhadap permohonan Demonstration Activities sebagaimana dimaksud
pada ayat (2)
(4) Penilaian terhadap permohonan Demonstration Activities sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dikoordinasikan oleh Ketua Kelompok Lerja
Perubahan Iklim Kementerian Kehutanan
(5) Pemrakarsa Demonstration Activities melakukan pengukuran, pemantauan,
pelaporan dan evaluasi, dan melaporkan secara berkala kepada Menteri
melalui Sekretaris Jenderal.
Selain itu juga terdapat Standar Nasional Indonesia (SNI) 7848:2013
tentang Penyelenggaraan Demonstration Activity (DA) REDD+ yang merupakan
standar baru sebagai pedoman penyelenggaraan DA REDD+ dalam rangka
implementasi mitigasi perubahan iklim terkait penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan kehutanan di Indonesia. Standar ini juga dapat digunakan
sebagai pedoman bagi pemerintah dan pihak lain untuk melakukan penilaian
kinerja penyelenggaraan DA REDD+. Acuan normatif yang digunakan adalah
IPCC Good Practice Guidance for Landuse, Landuse Change and Forestry, IPCC
Guideline for National Greenhouse Gas Inventories serta SNI lain yaitu SNI 7645
tentang Klasifikasi penutupan lahan serta SNI 7724 dan 7725 tentang pengukuran
cadangan karbon hutan dan penyusunan alometrik(FORDA, 2013).
Secara umum FORDA (2013) menjelaskan beberapa kegiatan
penyelenggaraan DA REDD+ sesuai dengan pedoman SNI 7848:2013yaitu :
1. Searah dan mendukung strategi nasional REDD+ dan kebijakan kehutanan
serta RAN GRK
2. Adanya kepastian batas wilayah penyelenggaraan DA REDD+
3. Penyelenggaraan DA REDD+ dapat diterapkan pada areal sebagai kategori
hutan atau areal yang akan menjadi hutan
29
Universitas Indonesia
4. Memiliki rencana pendanaan atau investasi yang jelas dan memadai
5. Adanya kegiatan penyiapan perangkat DA REDD+ (metodologi, teknologi,
institusi dan peningkatan kapasitas
6. Adanya implementasi kegiatan di lapangan terkait REDD+
7. Adanya mekanisme pembagian manfaat dan resiko
Dalam SNI 7848:2013 tentang Penyelenggaraan DA REDD+ menurut
FORDA (2013), juga memuat persyaratan khusus mengenai persyaratan
administrasi dan teknis. Persyaratan administrasi bahwa pemrakarsa harus
mendapatkan persetujuan untuk menyelenggarakan DA REDD+ dari instansi
berwenang dengan menyertakan dokumen legalitas sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Berikut beberapa persayaratan teknis yang harus dipenuhi antara lain :
1. Penentuan batas wilayah penyelenggaraan DA REDD+
2. Penentuan periode kegiatan atau jangka waktu penyelenggaraan DA REDD+
yaitu DA REDD pembelajaran ditentukan maksimal 5 tahun sedangkan DA
REDD+ berbasis hasil minimal selama 20 tahun
3. DA pembelajaran ini selanjutnya bisa ditingkatkan menjadi DA REDD+
berbasis hasil dengan meningkatkan cakupan wilayah serta kegiatannya
4. Penentuan tingkat emisi acuan (RL) yang dinyatakan dalam ton CO2-e per
tahun; mempertimbangkan lima sumber karbon, emisi historis dan skenario
ke depan serta memperbaharui RL secara periodik
2.1.1.5Sistem Informasi Pelaksanaan Safeguards REDD+
Program REDD+ selain terjaganya keanekaragaman hayati dan
pembangunan berkelanjutan serta pengurangan kemiskinan juga mendukung
untuk penguatan hak-hak masyarakat adat/lokal. Jika dirancang dengan benar
REDD+ akan dapat memberikan 3 keuntungan dari sisi iklim, keanekaragaman
hayati dan pembangunan berkelanjutan (UN-REDD Programme Indonesia ,
2012). Dengan berpedoman pada keputusan COP – 16 yang mengamanatkan
pembangunan Sistem Informasi Pelaksanaan Safeguards REDD+ (SIS REDD+)
yang terdiri dari 7 elemen kerangka pengaman yang harus diselenggarakan oleh
negara pihak yang akan melaksanakan aksi REDD+, maka dalam pelaksanaan DA
REDD+ di TNMB berpedoman pada beberapa elemen dasar berikut :
30
Universitas Indonesia
1) Melengkapi atau konsisten dengan tujuan program kehutanan nasional,
2) Tata kelola kehutanan nasional yang transparan dan efektif,
3) Menghormati pengetahuan dan hak “Indigenous People” dan masyarakat lokal,
4) Partisipasi stakeholder secara penuh,
5) Konsisten dengan konservasi hutan,
6) Mencegah resiko balik (reversal),
7) Adanya aksi mengurangi pengalihan emisi.
Tujuan diterapkannya pengaman (safeguards) lingkungan dan sosial dalam
implementasi REDD+ adalah untuk mencegah agar kegiatan REDD+ tidak
mengakibatkan kerusakan terhadap lingkungan dan masyarakat yang ada di
sekitarnya seawal mungkin pada tahap perencanaan. Minimal sistem pengaman
REDD+ dapat mengidentifikasi dampak potensial kegiatan REDD+ dan dapat
dilakukan tindakan untuk mengurangi dampak negatif tersebut (Wibowo,
Maryani, & Partiani, 2012).
Di Indonesia, sosial and environmental safeguard diperlukan mengingat
setiap proses pembangunan, selain dpaat meningkatkan pertumbuhan ekonomi
juga akan membawa perubahan sosial dan lingkungan yang dapat mengancam
keberlangsungan pembangunan jangka panjang. Untuk itu di Indonesia telah
dipersiapkan SIS (Sistem Informasi Safeguards) yang menjadi referensi dalam
pelaksanaan safeguards di Indonesia. Dalam konteks REDD+, sosial and
environmental safeguard dimaksudkan untuk meminimalkan dampak resiko dari
kebijakan REDD+ serta mengoptimalkan adanya keuntungan tambahan dengan
diberlakukannya kebijakan. Hal ini terutama dilakukan melalui konsultasi dan
penilaian dampak yang berkelanjutan selama proses persiapan hingga
implementasi proyek REDD+ (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
Sebagai upaya untuk menjamin kesejahteraan masyarakat dan upaya
konservasi karbon hutan, masyarakat diberi wewenang untuk turut berpartisipasi
dalam memanfaatkan sumberdaya hasil hutan serta menjaga hutan. Hal ini terlihat
dari keberadaan zona rehabilitasi dalam kawasan TNMB yang dikelola secara
bersama antara pihak Balai Taman Nasional Meru Betiri dengan masyarakat yang
tinggal disekitar kawasan desa penyanga. Upaya ini dimaksudkan untuk menjamin
terciptanya kehutanan yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat yang
terbungkus dalam skema Pengelolaan Hutan Berkelanjutan. Beberapa hal penting
31
Universitas Indonesia
yang perlu dilakukan oleh masyarakat dan seluruh stakeholder terkait yaitu upaya
untuk menghindari deforestasi dan degradasi hutan, serta menjaga dan
meningkatkan stok karbon hutan (Gambar 2.4). Dengan demikian, masyarakat
akan merasa menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan pembangunan
hutan yang berkelanjutan. Keterlibatan/partisipasi masyarakat lokal sangat
dibutuhkan terutama untuk persetujuan mengenai rangkaian kegiatan proyek yang
diperbolehkan dan disetujui serta dapat disepakati bersama.
2.2 Kegiatan Konservasi Hutan
2.2.1 Pengertian Kawasan Konservasi
Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai the
wise use of nature resources (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).
Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana
konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam
untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.Apabila merujuk
pada pengertiannya, konservasi menurut Soemarno (2011) didefinisikan dalam
beberapa batasan, sebagai berikut :
1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi
keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).
2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang
optimal secara sosial (Randall, 1982).
3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme
hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai,
penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan
(IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS,
1980)(Soemarno, 2011)
32
Universitas Indonesia
Konservasi selanjutnya akan diwujudkan dalam kegiatan di kawasan
khusus konservasi dimana dalam Undang-Undang No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan disebutkan bahwa kawasan hutan di Indonesia terbagi ke dalam
kelompok hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Pengertian
mengenai hutan konservasi sendiri dijelaskan dalam Undang-Undang sebagai
kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.
Pengkategorisasian hutan konservasi di Indonesia mencakup dua kelompok besar
yaitu Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) dijelaskan
mengenai pengertian tentang keduanya. Kawasan Suaka Alam (KSA) adalah
kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang
mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman
tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah
sistem penyangga kehidupan. Kawasan Suaka Alam dapat berupa Cagar Alam
(CA) dan Suaka Margasatwa (SM).
Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas
tertentu, baik daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi pokok
perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya. Kawasan Pelestarian Alam berupa Taman Nasional (TN), Taman
Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA) serta Taman Buru.
2.2.2 Peran Kawasan Konservasi dalam Kesejahteraan Masyarakat
Hutan merupakan salah satu Sumber Daya Alam yang sangat bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang selama ini diibaratkan sebagai
paru-paru dunia, diharapkan bisa memberi manfaat sosial, ekonomi, dan ekologi.
Mengingat fungsi hutan yang banyak tersebut, maka hutan harus dilestarikan demi
kesejahteraan umat manusia (Sulistyaningsih, 2013). Hutan Indonesia yang
terkenal sebagai hutan tropis memiliki keanekaragaman flora dan fauna serta
33
Universitas Indonesia
bernilai ekonomis tinggi. Selama ini, perhatian terhadap hutan hanya terpusat
pada manfaat ekonomi hutan. Bahkan hutan merupakan salah satu Sumber Daya
Alam yang diharapkan sebagai leading sector bagi pembangunan, yang bertumpu
pada economic growth (Sulistyaningsih, 2013). Hal ini tidak terlepas dari
pardigma mengenai hutan yang merupakan hal esensial bagi kehidupan manusia,
dimana hutan mampu menyediakan barang dan jasa sebagai material dasar untuk
pembangunan(Awang, San Afri, 2004).
Kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintaah dalam upaya pelestarian
hutan perlu memperhatikan keberadaan penduduk yang tinggal dalam hutan
maupun di sekitar hutan. Penduduk telah memanfaatkan segala sumber
penghidupan yang ada di dalam hutan untuk mempertahankan eksistensi
kelompoknya dan sumber penghidupannya. Oleh karena itu masyarakat lokal
perlu berpartisipasi dalam pengelolaan kawasan konservasi hutan. Hal ini
dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi tingkat kerusakan kawasan hutan
lindung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di kawasan konservasi.
Dalam Pasal 23 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, dijelaskan bahwa
pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi
kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga
kelestariannya. Berlandaskan hal tersebut, maka Balai Taman Nasional Meru
Betiri memberikan kesempatan bagi masyarakat sekitar untuk turut berpartisipasi
dalam pengelolaan kawasan hutan konservasi yaitu dengan memberikan akses
kepada kelompok petani rehabilitasi dengan harapan kegiatan tersebut dapat
mengurangi berbagai macam tindakan yang dapat merusak ekosistem di dalam
kawasan hutan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
melalui sistem pelestarian hutan untuk menciptakan pembangunan berkelanjutan
yang rendah karbon.
Sesuai dengan visi Balai Taman Nasional Meru Betiri yaitu “Terwujudnya
pengelolaan TNMB secara optimal, lestari dan berkeadilan yang bermanfaat bagi
kesejahteraan masyarakat”, diwujudkan dalam keempat misi yaitu (1) melindungi
dan mempertahankan keutuhan kawasan beserta potensi Sumberdaya Alam Hayati
dan Ekosistemnya (SDAHE); (2) memanfaatkan potensi Sumberdaya Alam
34
Universitas Indonesia
Hayati dan Ekosistemnya (SDAHE) secara berkelanjutan; (3) meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan melalui pola kemitraan; (4)
meningkatkan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia. Oleh karena itu pihak
pengelola Balai Taman Nasional Meru Betiri menerapkan pendekatan partisipatif
dalam pengelolaan kawasan hutan secara bersama melalui Model Desa
Konservasi. Desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang
memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi
untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi. Model ini juga
memberi peluang kepada masyarakat untuk mendapat akses yang aman untuk
pemanfaatan kawasan sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang
mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan (Soemarno, 2011).
Sebagaimana hutan menyediakan sumberdaya alam yang dapat
dimanfaatkan oleh manusia, begitu pula manusia akan bergantung pada
sumberdaya hutan untuk mendukung sumber penghidupannya. Untuk menjamin
keberlangsungan tersebut diperlukan kerjasama yang baik antara seluruh
stakeholder yang berkaitan erat dengan kawasan hutan. Kelestarian hutan akan
lebih mudah dicapai kalau masyarakat disekitar hutan dapat merasakan
keuntungan adanya hutan. Untuk itu perlu meningkatkan manfaat Hasil Hutan
Bukan Kayu (HHBK) di mana masyarakat dapat ikut memanfaatkannya dan
penanaman pohon secara intensif. Dengan usaha seperti itu maka masyarakat akan
merasa ikut memiliki hutan dan akan ikut menjaga kelestariannya (Kementerian
Negara Lingkungan Hidup, 2009).
Universitas Indonesia
Menghindarideforestasi
Menghindaridegradasi hutan
Menjaga stokkarbon di
kawasan hutan
Meningkatkankarbon stok
Sustainable ForestManajemen/SFM
(Pengelolaan HutanBerkelanjutan)
(1) Sustainable forest
(2) Communitywelfare
SAFEGUARD
SFM Plus,Netsink/balance
Mengurangi emisi
Meningkatkankapasitas karbon
Menambah serapankarbon dan kapasitaspenyimpanan
(1) Sustainable forest;(2) Community
welfare;(3) Emission reduction
Biodiversity+ PES +Economicgrowth
+
YES
NO
Gambar 2.2 Safeguard dalam Konteks Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Indonesia
Sumber : Pusat Standarisasi, Lingkungan dan Perubahan Iklim, Kementerian Kehutanan, 2011
36
Universitas Indonesia
2.3 Kemampuan Adaptif (Adaptive Capacity)
2.3.1 Pemahaman Kemampuan Adaptif
Kemampuan adaptif merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan
kesadaran individu maupun kelompok masyarakat dalam mengantisipasi
perubahan iklim yang diwujudkan dalam implementasi perubahan perilaku aksi
adaptasi, dimana hal ini diperlukan untuk mempersiapkan diri terhadap segala
kemungkinan perubahan di masa mendatang. “An intervention’s aim falls within
this adaptation dimension if it seeks to improve the quality and availability of
resources needed to adapt, or if it addresses the capability to use those resources
effectively.” (Tujuan intervensi dalam dimensi adaptasi seolah mencari bagaimana
meningkatkan kualitas dan ketersediaan kebutuhan sumberdaya untuk diadaptasi,
atau bagaimana mengolah kemampuan untuk menggunakan sumberdaya secara
efektif) (Spearman & McGray, 2011). Suatu intervensi dikatakan memiliki
dimensi aksi adaptasi apabila kemampuan adaptif diterapkan dalam bentuk
keputusan dan tindakan spesifik untuk mengatasi risiko iklim spesifik, yang secara
langsung mereduksi atau mengelola dampak biofisik dari perubahan iklim, atau
mengelola faktor-faktor non-iklim yang berkontribusi pada kerentanan. Tindakan
adaptif mampu memberi manfaat sosial ekonomi dan biofisik yang jelas (Impron
dkk, 2012).
“Adaptive capacity refers to the potential, capability, or ability of a system
to adapt to climate change stimuli or their effects or impacts. Adaptive capacity
greatly influences the vulnerability of communities and regions to climate change
effects and hazards.” (Kemampuan adaptif mengacu pada potensi, kapasitas,
maupun kemampuan sebuah sistem untuk beradaptasi dengan stimulus perubahan
iklim atau efek maupun dampaknya. Kemampuan adaptif sangat mempengaruhi
kerentanan masyarakat dan daerah terhadap dampak dan bahaya perubahan iklim
yang ditimbulkan) (Bohle et al., 1994; Downing et al., 1999; Kelly and Adger,
1999; Mileti, 1999; Kates, 2000 dalam IPCC, 2001). Sedangkan Smit dan Wandel
menekankan kemampuan adaptif sebagai sebuah potensi yang dimiliki komunitas
untuk beradaptasi terhadap perubahan ketika dan saat dibutuhkan dimana
kemampuan adaptif cenderung berbeda-beda antara tempat yang satu dengan
37
Universitas Indonesia
lainnya maupun antarkomunitas satu dengan komunitas lainnya serta antarwaktu
yang berbeda pula.
“Adaptive capacity refers to the potential to adapt, as and when needed,
and not necessarily the act of adapting, or its outcome. Adaptive capacity
is multidimensional and the elements that make up an individual’s
adaptive capacity are not entirely agreed. It essentially relates to whether
people have the right tools and the necessary enabling environmrnt to
allow them to adapt successfully over the long term. Also important to
bear in mind is that adaptive capacity is context specific and varies from
country to country, community to community, between social groups and
individuals, and over time.” (Smit dan Wandel, 2006 dalam Ludi, dkk
2011)
(Kemampuan adaptif mengacu pada potensi untuk beradaptasi, saat dan
ketika diperlukan, serta tentu otomatis bertindak adaptasi, atau hasilnya.
Kemampuan adaptif cenderung multidimensional dan unsur-unsur yang
membentuk kapasitas adaptasi pada individu tidak sepenuhnya disetujui.
Hal ini pada dasarnya berkaitan dengan apakah masyarakat
mempergunakan alat yang tepat dan lingkungan yang kondusif diperlukan
untuk mendukung masyarakat beradaptasi dalam jangka panjang. Hal
penting untuk diingat bahwa kemampuan adaptif merupakan konteks yang
spesifik dan cenderung bervariasi antara negara satu dengan negara
lainnya, masyarakat satu dengan masyarakat lainnya, antara kelompok-
kelompok sosial dan individu, yang terjadi dari waktu ke waktu) (Smit dan
Wandel, 2006 dalam Ludi dkk, 2011)
Kemampuan adaptif merupakan suatu kemampuan sistem mengubah
perilaku komunitas lokaluntuk mengetahui potensi maupun dampak negatif dari
fenomena alam terkait dengan upaya aksi adaptasi terhadap konservasi karbon
hutan dan pendekatan untuk mengantisipasi dampak negatif deforestasi dan
degradasi.
38
Universitas Indonesia
“Adaptive capacity is the property of a system to adjust its
characteristics or behavior, in order to expand its coping range under
existing climate variability or future change conditions. The expression of
adaptive capacity as actions that lead to adaptation can serve to enhance
a system’s coping capacity and increase its coping range thereby
reducing its vulnerability to climate hazards. The adaptive capacity
inherent in a system represents the set of resources available for
adaptation, as well as the ability or capacity of that system to use these
resources effectively in the pursuit of adaptation. It is possible to
differentiate between adaptive potential, a theoretical upper boundary of
responses based on global expertise and anticipated developments within
the planning horizon of the assessment, and adaptive capacity that is
constrained by existing information, technology and resources of the
system under consideration.” (UNDP, 2005 dalam Levina dan Tirpak,
2006)
(Kemampuan adaptif adalah kemampuan sebuah sistem untuk mengubah
karakteristik atau perilaku, dalam rangka memperluas jangkauan coping
variabilitas iklim eksisting atau perubahan kondisi iklim di masa
mendatang. Kemampuan adaptif diungkapkan sebagai tindakan yang
mengawali adaptasi melaui cara meningkatkan kapasitas penanganan
sistem dan meningkatkan jangkauan coping yang sehingga mengurangi
kerentanan terhadap bahaya iklim. Kemampuan adaptif yang melekat
dalam sebuah sistem merupakan seperangkat sumberdaya yang tersedia
untuk adaptasi, serta kemampuan ataukapasitas dari sistem tersebut untuk
menggunakan sumberdaya secara efektif dalam praktik adaptasi yang
sesuai. Hal ini dimungkinkan untuk membedakan antara potensi adaptif,
batas teoritis atas tanggapan berdasarkan keahlian global dan
mengantisipasi perkembangan dalam horizon perencanaan penilaian dan
kemampuan adaptif dibatasi oleh informasi yang ada, teknologi dan
sumberdaya sistem yang dipertimbangkan) (UNDP, 2005 dalam Levina
dan Tirpak, 2006)
39
Universitas Indonesia
“Adaptive capacity is the ability of a system to adjust, modify or change its
characteristics or actions to moderate potential damage, take advantage of
opportunities or cope with the consequences of shock or stress.”(Kemampuan
adaptif adalah kemampuan sistem untuk menyesuaikan, memodifikasi atau
mengubah karakteristik atau tindakan moderat terhadap potensi kerusakan,
memanfaatkan peluang atau mengatasi konsekuensi dari guncangan atau tekanan)
(Brooks, 2005 dalam Graham, 2012). Kemampuan adaptif akan terbentuk setelah
komunitas local mendapat bekal pengetahuan melalui partisipasi langsung
maupun tidak langsung dalam serangkaian kegiatan DA REDD+. Dengan
demikian, partisipasi komunitas local menjadi bagian penting dalam menciptakan
aksi adaptasi. Dimana upaya adaptasi perlu didukung oleh semua komponen
masyarakat. “Adaptation is made up of actions throughout society, by individuals,
groups, and governments.” (Adaptasi perlu didukung oleh semua komponen
masyarakat, baik individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah) (Smitt et al,
2000 dalam Adger, Arnell, & Tompkins, 2005). Kelembagaan yang berkaitan
dengan adaptasi melibatkan kelembagaan formal (pemerintah) dan non formal
(LSM). Atribut dari kapasitas kepemerintahan dan individu, organisasi atau
komunitas untuk beradaptasi menentukan keberhasilan adaptasi terhadap
perubahan iklim (Pelling dan High 2005 dalam Locatelli 2009).
Dalam melakukan adaptasi, semua komponen masyarakat perlu
menyesuaikan dengan sistem yang ada. Dimana adaptasi yang terbentuk dapat
bersifat sebagai penjaring “Adjustment in natural or human systems in response
to actual or expected climatic stimuli or their effects, which moderates harm or
exploits beneficial opportunities.” (Penyesuaian sistem alam maupun manusia
dalam menanggapi stimulus iklim aktual atau yang akan datang atau efek yang
ditimbulkan, dengan mengontrol kerusakan atau mengeksploitasi peluang yang
menguntungkan) (IPCC TAR, 2001). Manusia tidak dapat melepaskan
interaksinya dengan alam karena alam memiliki potensi sumberdaya yang
melimpah. Oleh karena itu manusia perlu menyesuaikan diri dengan melakukan
adaptasi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan di masa mendatang.
40
Universitas Indonesia
“A suitable enabling environment is needed to ensure that individuals and
societies are capable of making the changes necessary to respond to climate
change and other changes. (Kondisi lingkungan yang mendukung diperlukan
untuk memastikan bahwa individu maupun kelompok komunitas mampu
membuat perubahan yang diperlukan untuk menanggapi perubahan iklim serta
perubahan lain yang mungkin ditimbulkan) (Levine, Ludi, dan Jones, 2011).
Dengan dukungan dari lembaga pemerintah maupun LSM, kemampuan yang
semakin berkembang seiring dengan pengetahuan yang bertambah, diharapakan
akan membentuk keinginan sebagai wujud kesadaran pribadi maupun komunitas
terutama terkait dengan upaya konservasi karbon hutan melalui pelestarian hutan
dan kekayaan sumberdaya hayati yang ada di Taman Nasional Meru Betiri.
Adaptasi dalam implementasinya melibatkan 3 (tiga) komponen yang
terangkai dalam sebuah sistem yang berkembang untuk saling mendukung.
Sebagaimana IPCC TAR (2001) mengungkapkan, Adaptation as an adjustment in
ecological, social or economic systems in response to observed or expected
changes in climatic stimuli and their effects and impacts in order to alleviate
adverse impacts of change or take advantage of new opportunities. (Adaptasi
sebagai sebuah bentuk penyesuaian dalam sistem ekologi, sosial atau ekonomi
untuk menanggapi perubahan yang tampak atau yang diharapkan dalam
rangsangan iklim serta efek dan dampak untuk mengurangi dampak negatif dari
perubahan atau mengambil keuntungan dari peluang baru). Adaptasi merupakan
penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang akan meningkatkan
kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal (Brooks, 2003 dalam
Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia terhadap sebuah
lingkungan baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC TAR, 2001 dalam
Bappenas, 2012). Keberhasilan praktik adaptasi membutuhkan rangkaian proses
yang panjang. “Adaptation does not occur instantaneously a person or community
requires agency, ability, and willingness to realise their adaptive capacity and
adapt succesfully.” (Perilaku adaptasi individu maupun kelompok tidak dapat
tercipta secara instant dimana dibutuhkan peran kelembagaan, kemampuan, dan
keinginan untuk mewujudkan kemampuan adaptif dan upaya adaptasinya
berhasil) (Adger et al, 2004 dalam Levine, Ludi, dan Jones, 2011).
41
Universitas Indonesia
Dalam melakukan aksi adaptasi diperlukan kemampuan adaptif yang turut
menunjang bagi pelaksanaan aksi adaptasi. “Adaptive capacity means having the
skills, resources, and flexibility to adjust a course of action and prevail in light of
changing conditions. In the context of climate change, adaptive capacity
objectives seek to improve the quality of readiness for dealing with both known
and uncertain effects of climate variability and climate change. Adaptive capacity
fosters forward thinking, planning, and laying the groundwork to avoid harm and
capitalize on opportunity.” (Kemampuan adaptif diartikan sebagai kemampuan
yang dimiliki, sumberdaya dan fleksibilitas untuk menyesuaikan dengan tindakan
dan perbuatan untuk merubah suatu kondisi. Dalam konteks perubahan iklim,
tujuan pencarian kemampuan adaptif untuk meningkatkan kualitas persiapan yang
berkaitan dengan perihal yang diketahu serta efek yang tidak pasti dari variabilitas
iklim maupun perubahan iklim. Kemampuan adaptif mendorong gagasan ke
depan, perencanaan, dan meletakkan dasar untuk menghindari kerusakan dan
kapitalisasi peluang) (Spearman & McGray, 2011).
Dalam praktiknya, untuk meningkatkan kemampuan adaptif masyarakat
perlu dilakukan sebuah intervensi dimana perannya adalah untuk meningkatkan
dan memberdayakan potensi masyarakat yang belum dikembangkan dengan baik.
Suatu intervensidapat meningkatkan kualitasdan ketersediaan sumberdaya
masyarakat untuk beradaptasi, atau memperbaiki kemampuan untuk
memanfaatkan sumberdaya secara efektif. “Building the capacity for a population
to adapt provides a foundation for anticipating and adjusting to climate
conditions that will continue to change over a long period of time.” (Membangun
kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dapat mendukung dasar untuk
antisipasi dan menyesuaikan dengan kondisi iklim yang akan berlanjut pada
perubahan dalam jangka panjang (Spearman & McGray, 2011)
Adanya kegiatan DA REDD+ merupakan bagian dari adanya bentuk
intervensi pembangunan hutan berkelanjutan, dimana masyarakat memiliki peran
penting dalam sebuah sistem yang ada. “Intervention help people and
communities to adapt to new configuration of their natural, socio-economic and
political environment, and the relationship between them.” (Intervensi dinilai
42
Universitas Indonesia
membantu masyarakat maupun komunitas untuk beradaptasi kepada pola baru
yang terbentuk dari lingkungan alam, sosial ekonomi dan politik serta hubungan
diantara ketiga komponen tersebut) (Levine, Ludi, & Jones, 2011). Intervensi
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta peningkatan karbon
hutan (REDD+) dapat membantu masyarakat dan hutan untuk beradaptasi dengan
perubahan iklim melalui melestarikan dan menguatkan jasa keanekaragaman
hayati dan ekosistem hutan (Pramova, Locatelli, Mench, Marbyanto, Kartika, &
Prihatmaja, 2013).
2.3.2 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)
Kemampuan adaptif masyarakat akan diidentifikasi lebih lanjut oleh
peneliti dengan menggunakan kerangka Local Adaptive Capacity (LAC) yang
dikembangkan oleh ACCRA (Africa Climate Change Reilience Alliance). LAC
difokuskan kepada komunitas lokal dan dikembangkan untuk mengetahui
karaktersitik kemampuan adaptif masyarakat setelah masa DA REDD+ di Taman
Nasional Meru Betiri. Identifikasi kemampuan adaptif masyarakat menggunakan
5 (lima) komponen karaktersitik yang berbeda tetapi sifatnya saling berkaitan satu
dengan lainnya dan saling mempengaruhi (Gambar 2.3), yaitu terdiri dari :
Gambar 2.3 Kerangka Local Adaptive Capacity (LAC)
Sumber : ACCRA
43
Universitas Indonesia
a. Asset Base (Aset dasar)
Dulal (2008) dalam Levine, Ludi, dan Jones (2011) menyebutkan bahwa
penilaian dalam pembentukan kemampuan adaptif yang terjadi di komunitas lokal
difokuskan pada indikator aset dan kapital yang dimiliki.“A community’s ability
to respond to change is strongly influenced by the types of assets it holds, and
access to and control over those assets.”(Kemampuan masyarakat dalam
merespon sebuah perubahan dipengaruhi oleh aset yang dimiliki, serta bagaimana
mengakses dan mengontrol semua aset yang ada) (Daze et al., 2009; Prowse dan
Scott, 2008 dalam Graham, 2012). Aset yang dimaksud antara lain terdiri dari
natural capital, physical capital, financial capital, human capital, dan sosial
capital. Kelima aset tersebut mampu menggambarkan bagaimana kondisi
kehidupan komunitas lokal terutama berkaitan dengan sikap penerimaan dan
kesadaran untuk berperilaku adaptif terutama dalam menghadapi fase setelah
masa DA REDD+ berakhir. Semakin baik dan beragamnya aset dasar yang
dimiliki, maka akan meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal.
DFID (1999) dalam Graham (2012) mengemukakan mengenai 5 asset
base yang terdiri dari :
a. Natural capital adalah kekayaan sumberdaya alam yang mencukupi
kebutuhan sumberdaya dan menyediakan jasa ekosistem untuk mendukung
livelihood masyarakat.
b. Physical capital merupakan infrastruktur dasar, alat dan peralatan
yang dibutuhkan oleh masyarakat yang berfungsi lebih produktif
untuk mendukung mata pencaharian masyarakat. Physical capital
terdiri dari unsur-unsur seperti transportasi yang terjangkau, tempat
tinggal yang aman dan bangunan, penyediaan air dan sanitasi yang
bersih, energi yang terjangkau dan akses ke layanan komunikasi.
c. Financial capital adalah sumber daya keuangan yang digunakan
masyarakat untuk mengadopsi strategi mata pencaharian yang berbeda.
d. Human capital berupa keterampilan, pengetahuan, kemampuan bekerja dan
kesehatan yang baik yang secara bersama mendukung masyarakat untuk
mengejar strategi penghidupan yang berbeda. Human capital dinilai sebagai
44
Universitas Indonesia
komponen pokok dan sangaat berharga dan mendukung bagi keempat asset
lainnya.
e. Social capital adalah sumber daya sosial yang dimanfaatkan untuk
mendukung tujuan peningkatan livelihood masyarakat. Sumber daya
sosial dikembangkan melalui jaringan informal dan koneksi,
keanggotaan kelompok formal dan hubungan kepercayaan dan saling
menguntungkan yang memfasilitasi kerjasama serta dapat memberikan
jaring pengaman informal bagi masyarakat miskin. Jejaring, aksi kolektif
dan social capital yang melekat juga merupakan kunci penentu untuk
menanggapi perubahan dan untuk mencapai pengelolaan sumberdaya alam
yang berkelanjutan (Adger 2003; Tompkins dan Adger 2004; Pelling dan
High 2005 dalam Locatelli dkk 2009).
b. Institutions and Entitlements (Kelembagaan dan Persamaan Pengakuan Hak)
Pada lembaga tingkat masyarakat biasanya secara informal akan
menentukan hak dan akses terhadap sumber daya, transfer pengetahuan dan akses
untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Masyarakat akan
mengembangkan dan mendefinisikan lembaga sosial dengan baik serta mampu
merespon perubahan lingkungan lebih baik dibandingkan dengan pengaturan
kelembagaan kurang efektif (Jones et al, 2010 dalam Graham, 2012). Dimana
dalam hal ini lembaga memiliki peran penting dalam mendukung kemampuan
adaptif komunitas lokal. Lembaga merupakan kontrol dari sistem regulasi dan
struktur organisasi yang ada (Ostrom, 2005 dalam Graham, 2012). Lembaga
lebih ditekankan pada lembaga yang bersifat formal (pemerintah) maupun
lembaga yang bersifat non formal (Lembaga Swadaya Masyarakat/LSM).
Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan
mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang
mendukung kemampuan adaptif masyarakat untuk menjaga hutan. “...These
include rules such as land tenure rules like claims to common property resources;
cultural beliefs and practices concerningthe rights and roles of women; and
family, clan and church networks through which assets are shared.” (…termasuk
aturan seperti aturan kepemilikan lahan seperti klaim untuk sumberdaya milik
45
Universitas Indonesia
bersama; keyakinan dan praktik budaya tentang hak dan peran perempuan; dan
keluarga, klien) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012). Oleh karena itu,
partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan keputusan pada level komunitas
dinilai penting karena terkait dengan bagaimana sebuah lembaga memberdayakan
atau tidak memberdayakan individu maupun kelompok (Jones et al, 2010 dalam
Graham, 2012).
“The adaptability and flexibility of institutions to respond to climate
change impacts will also influence how well communities are able to adapt.”
(Kemampuan adaptasi dan fleksibilitas sebuah institusi dalam menanggapi
dampak perubahan iklim akan mempengaruhi kelompok masyarakat dalam
beradaptasi) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012). Kemampuan adaptasi dan
fleksibilitas sebuah institusi dalam menanggapi dan mempersiapkan DA REDD+
akan mempengaruhi kemampuan komunitas lokaldalam beradaptasi terhadap
upaya konservasi karbon hutan. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana eksistensi
peran lembaga dalam mengatur dan menciptakan partisipasi komunitas
lokaldalam upaya perwujudan konservasi karbon di Taman Nasional Meru Betiri.
c. Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
Pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas lokal serta informasi yang
didapat melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan
adaptif masyarakat. Semakin banyak pengetahun dan informasi yang diperoleh,
serta pemahaman dari setiap rangkaian kegiatan dan tujuan DA REDD+
komunitas lokalakan memiliki banyak pilihan dan menentukan sikap sebagai
bentuk kesadarannya dalam menjaga eksistensi kawasan hutan dan kesejahteraan
hidupnya baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. “Appropriate
knowledge about the future threats of climate change, methods to adapt to these
and the support available to do so is likely to contribute to adaptive capacity of
communities.” (Pengetahuan yang memadai tentangan ancaman di masa
mendatang terkait perubahan iklim, metode adaptasi dan ketersediaan dukungan
untuk melakukan adaptasi akan berkontribusi terhadap kemampuan adaptif
masyarakat) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012).Pembekalan mengenai
46
Universitas Indonesia
pengetahun dan informasi mutlak diperlukan sebagai bagian dari upaya
peningkatan kesadaran yang akan mengubah perilaku kehidupan komunitas
lokalsehari-hari.
“The way in which informations is generated, collected, analysed, and
disseminated will be important in determining community level adaptive
capacity as well as the adaptive capacity of groups within communities.
This is obviously closely linked to institutions, and communities will need
systems to optimise informal knowledge generation and sharing as well as
best utilise more formal kinds of knowledge (Frankhauser and Tol, 1997
dalam Graham, 2012). The ability to assess the adaptation options
available, given longer term development pressures and changing
community needs, as well as the capacity to implement them is also
required for communities to be able to use knowledge and information in a
way that will contribute to adaptive capacity.”(Jones et al, 2010 dalam
Graham, 2012)
(Langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis
dam disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan
adaptasi masyarakat. Hal ini jelas berkaitan erat dengan keberadaan
lembaga-lembaga, dan masyarakat yang akan membutuhkan sistem untuk
mengoptimalkan generasi pengetahuan informal dan berbagi serta terbaik
memanfaatkan jenis pengetahuan yang lebih formal) (Frankhauser and
Tol, 1997 dalam Graham, 2012).Kemampuan untuk menilai ketersediaan
pilihan adaptasi, telah memberi tekanan pembangunan jangka panjang dan
kebutuhan perubahan pada masyarakat,sebagaimana kemampuan untuk
mengimplementasikannya juga dibutuhkan peran masyarakat untuk
menggunakan pengetahuannya dan informasinya sehingga akan
berkontribusi dalam kemampuan adaptifnya (Jones et al, 2010 dalam
Graham 2012).
Pentingnya pengetahuan, pembelajaran dan pemikiran dianggap sebagai
kunci bagi kemampuan adaptif diamini oleh hasil kerja yang lebih luas dalam hal
perubahan di luar perdebatan perubahan iklim, misalnya di literatur mengenai
47
Universitas Indonesia
pengelolaan bersama yang adaptif untuk hutan (Colfer 2005; Armitage 2008
dalam Locatelli, dkk 2009).
d. Innovation (Inovasi)
Masyarakat membutuhkan suatu inovasi untuk meningkatkan kemampuan
adaptifnya,sehingga akan mendukung perilaku adaptif terhadap upaya konservasi
karbon hutan. Dimana inovasi berkaitan erat dengan ketersediaan asset,
fleksibilitas lembaga, serta akses informasi yang diperoleh masyarakat.
“Innovation closely linked to knowledge and information sharing as individuals
analyse how best to take advantage of opportunities or response to threats
presented by the climate change. It is also closely linked to the assets base, which
determined people’s economics ability to take risks and invest in innovation.”
(Inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi tambahan yang
diperoleh individu untuk menganalisis bagaimana mengambil peluang atau
menanggapi ancaman dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga juga terkait erat
dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi ekonomi seseorang dalam
mengambil resiko maupun mengembangkan investasi dalam inovasi)(Ludi et al,
2011 dalam Graham, 2012).
Inovasi antar individu maupun kelompok cenderung berbeda sesuai dengan
pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini menggambarkan bahwa
semakin banyak seseorang maupun kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan
DA REDD+, maka inovasinya akan lebih baik. Banyak hal baru yang akan
dilakukan dalam upaya mempraktikkan dan mengembangkan pengetahuan yang
dimiliki. “The ability of a system to support new practices and foster innovation is
a key characteristic of adaptive capacity (Smith et al., 2003 dalam Graham, 2012).
This will be required as social and environmental conditions change and existing
practices and behaviours need to be altered in response, and in some cases totally
changed. Experimentation, innovation and adoption are key features that enable a
system to do this.”(Kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan
meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik
kemampuan adaptif. Hal ini tentunya dibutuhkan perubahan kondisi sosial dan
lingkungan dan praktik-praktik yang ada dan perubahan perilaku diperlukan untuk
48
Universitas Indonesia
menanggapi respon, dan dibeberapa kasus telah terjadi perubahan total. Percobaan,
inovasi, dan adopsi merupakan kunci yang dapat mendukung sebuah sistem untuk
beradaptasi) (Jones et al., 2010 dalam Graham, 2012).
Sistem yang dimaksud adalah seluruh pihak yang terlibat dan
bertanggungjawab dalam menciptakan keharmonisan di alam, yaitu manusia
(yang terdiri dari masyarakat lokal maupun peran sebuah institusi). Inovasi yang
dibutuhkan tidak hanya terkonsentrasi pada inovasi berteknologi tinggi ataupun
ide-ide berskala besar, tetapi akan lebih terpusat pada inovasi pada level mikro.
Komunitas lokalbagian dari sebuah sistem mikro dimana kemampuan serta
pengetahuannya berbagi informasi akan menjadi sebuah solusi dalam
menciptakan peluang dan merespon upaya konservasi karbon hutan.
Inovasi yang berkembang di dalam individu maupun kelompok, secara
tidak langsung akan mendapat pengaruh dari luar yang cukup kuat. Dalam
kegiatan DA REDD+ yang didukung oleh pihak Manajemen Taman Nasional
Meru Betiri dan LSM Lokal yang mendampingi kegiatan pemberdayaan
masyarakat dinilai akan berdampak positif bagi timbulnya inovasi individu
maupun kelompok.
e. Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Keterbukaan
dan orientasi ke depan, pengambilan keputusan, dan tata kelola
organisasi/pemerintahan)
Dalam sebuah sistem yang bekerja diperlukan keterlibatan secara bersama
untuk menciptakan sebuah komponen utuh yang saling bekerjasama untuk
mengatasi dampak perubahan iklim. Kemampuan adaptif individu akan
dipengaruhi oleh setiap keputusan yang telah dibuat. Hal ini tentunya tidak
terlepas dari kepentingan yang ada, apakah keputusan tersebut dapat menjadi
gambaran mengenai keadaan komunitas lokalyang sesungguhnya, bagaimana
hubungan kekuasaan dalam komunitas lokalyang dipengaruhi oleh faktor sosial
dan budaya.
“The ability of a system to anticipate change, incorporate relevant
information and integrate relevant initiatives into future planning and
governance is an important aspect of adaptive capacity. Key features of
49
Universitas Indonesia
adaptive governance include transparency, prioritisation, collaboration
and the use of relevant information in the decision-making process. This
type of governance and decision-making is likely to be more responsive,
adaptable and better able to cope with changing circumstances.”(Jones et
al., 2010 dalam Graham, 2012)
(Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan,
menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam
perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan
aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif. Hal ini terutama
berkaitan dengan peran pemerintah. Pemerintah juga diharuskan untuk
adaptif dalam pengimplementasian perencanaan pengurangan dampak
perubahan iklim yang diwujudkan dalam bentuk transparansi,
memprioritaskan kerjasama, dan menggunakan informasi yang relevan
dalam proses pengambilan kebijakan. Tata kelola dan pengambilan
keputusan yang demikian cenderung lebih responsif, dan dapat
meningkatkan kemampuan beradaptasi untuk mengatasi perubahan iklim
dan menciptakan pembangunan hutan berkelanjutan) (Jones et al., 2010
dalam Graham, 2012)
Dalam praktiknya, penentuan kemampuan adaptif masyarakat tidak dapat
terlepas dari kondisi-kondisi mendasar seperti tingkat penghasilan dan pendidikan,
kapasitas tata kelola, serta akses terhadap informasi dan teknologi (Burton et al,
2006 dalam Bappenas, 2012).Tata kepemerintahan dengan struktur, mekanisme
dan institusi-institusinya adalah kunci penentu bagi kemampuan adaptif (Adger et
al 2004;Brooks et al 2005 dalam Locatelli, dkk, 2009) karena ia menentukan
kerangka dimana adaptasi terjadi atau dimana adaptasi dibutuhkan (Locatelli, dkk
2009).
2.4 Konsep Pemikiran
Kawasan Hutan TNMB merupakan merupakan kawasan hutan konservasi
dimana hutan adalah milik negara, sejak diberlakukannyaKeputusan Menteri
Kehutanan Nomor: 277/Kpts-VI/1997 terhadap penetapan Meru Betiri sebagai
Taman Nasional. Secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan pengelolaan
50
Universitas Indonesia
kawasan, dimana akses masyarakat menjadi tertutup dalam pemanfaatan hasil
hutan. Padahal sebagian besar masyarakat desa penyangga khususnya memiliki
ketergantungan penuh pada hasil hutan TNMB. Namun, kegiatan deforestasi
maupun degradasi hutan masih sering terjadi di kawasan TNMB. Sehingga, untuk
mengurangi tingginya deforestasi dan degradasi hutan, maka diputuskanlah
pengelolaan hutan secara partisipatif dengan melibatkan masyarakat melalui
pengelolaan kawasan hutan khususnya dengan diberlakukannya zona rehabilitasi.
Zona rehabilitasi merupakan zona yang diperuntukkan bagi masyarakat untuk
mengelola hutan dan lahan pertanian dengan sistem agroforestry dimana kegiatan
ini pada dasarnya ditujukan untuk menghijaukan kembali lahan hutan yang dulu
pernah ada.
Isu REDD+ menjadi semakin hangat diperbincangkan di kalangan
internasional dimana upaya pengurangan emisi karbon melalu sektor kehutanan
menjadi slaah satu kuncinya. Indonesia sebagai pemilik hutan tropis ketiga
terbesar di dunia,menyatakan turut berpartisipasi dalam penanggulangan
perubahan iklim melalui sector kehutanan yaitu dengan mengurangi kegiatan
deforestasi dan degradasi hutan. Wujud nyata partisipasi tersebut telah
ditindaklanjuti ke dalam beberapa program DA REDD+ di Indonesia, salah
satunya di kawasan hutan konservasi yaitu Taman Nasional Meru Betiri. Pelibatan
TNMB ke dalam DA REDD+ merupakan bagian dari intervensi pemerintah yang
dilakukan untuk menjaga kelestarian kawasan hutan di masa mendatang. Melalui
beberapa kegiatan yang dilakukan baik yang berkaitan dengan perhitungan karbon
maupun pelibatan masyarakat melalui kegiatan pemberdayaan menjadikan nilai
penting bagi masyarakat dengan diakuinya eksistensi mereka dalam pelestarian
hutan.
Rangkaian kegiatan DA REDD+ dinilai dpaat memberikan dampak positif
bagi peningkatan kemampuan adaptif masyarakat yang diwujukan dalam
perubahan perilaku adaptif serta aksi adaptasi dalam kontribusinya pada
konservasi hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemampuan adaptif
masyarakat akan diidentifikasi dalam 5 komponen karakteristik yang
dikemukakan oleh ACCRA yang terdiri dariAsset Base; Institutions and
51
Universitas Indonesia
Entitlements;Knowledge and Information;Innovation; dan Flexible and forward
thinking, decision making, and governance.Kemampuan adaptif yang terbentuk
dalam masyarakat akan mempengaruhi aksi adaptasinya.Adaptasi diperlukan
untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan dimana tercipta hutan
yang lestari melalui konservasi hutan tanpa mengabaikan kesejahteraan
masyarakat. Untuk lebih jelasnya, konsep pemikiran dalam penelitian ini dapat
dilihat dari bagan konsep berikut :
Kegiatan DA REDD+
Intervensi
KEGIATAN TERKAIT KARBON
Mengurangi emisi karbondari deforestasi dandegradasi
Meningkatkan stok karbon
PARTISIPASI MASYARAKAT
Meningkatkan kesadarandan partisipasi masyarakatuntuk konservasi hutan
Meningkatkan matapencaharian masyarakat
KawasanHutan TNMB
Kondisi Eksisting
Keputusan MenteriKehutanan Nomor :277/Kpts-VI/1997
Meru Betiri sebagai TamanNasional – hutan milik
negara
Zona rehabilitasi untukmengakomodir kebutuhan
penduduk di desapenyangga
KemampuanAdaptif
Perlindungan sumberdayaalam hayati dan ekosistemhutan (konservasi hutan)
MeningkatkanKesejahteraan masyarakat
Aksi Adaptasi
PEMBANGUNAN HUTAN
BERKELANJUTAN
Dampak DA REDD+
52
Universitas Indonesia
BAB 3KEGIATAN DEMONSTRATION ACTIVITY (DA) REDD+
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI
3.1 Gambaran Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri
Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang memiliki potensi flora, fauna dan ekosistem serta gejala dan
keunikan alam yang khas. TNMB merupakan hutan hujan tropis Indonesia dengan
formasi hutan bervariasi yang unik dengan 5 macam vegetasi yaitu vegetasi hutan
pantai, vegetasi hutan mangrove, vegetasi hutan rawa, vegetasi hutan rheophyte
dan vegetasi hutan hujan dataran rendah. Kawasan ini juga memiliki keunikan
khas flora dan fauna perwakilan hutan hujan tropis dataran rendah (Balai Taman
Nasional Meru Betiri, 2012).
3.1.1 Sejarah Kawasan Taman Nasional Meru Betiri
Berdasarkan sejarah perkembangannya (Proyek TNMB, 1995), pada tahun
1931 kawasan hutan Meru Betiri telah ditetapkan sebagai hutan lindung melaui
Besluit Van Den Directur van Landbouw Nederheiden Handel Nomor : 7347/B
tanggal 29 Juli 1931, serta Besluit Directur van Economiche Zaken Nomor : 5751
tanggal 28 April 1938. Pada tahun 1967 kawasan Meru Betiri ditunjuk sebagai
calon Suaka Alam, dan kemudian pada tahun 1972 dengan /keputusan Menteri
Pertanian Nomor : 276/Kpts/Um/6/1972 tanggal 6 Juni 1972 ditetapkan sebagai
Suaka Margasatwa, seluas 50.000 Ha, dengan tujuan utama perlindungan terhadap
jenis harimau jawa (Phantera tigris sondaica). Wilayah Suaka Margasatwa Meru
Betiri kemudian diperluas menjadi 58.000 Ha melalui Keputusan Menteri
Pertanian Nomor 529/Kpts/Um/7/1982 Tanggal 21 Juni 1982. Perluasan ini
meliputi wilayah Perkebunan Bandealit dan Sukamade seluas 2.155 Ha dan
kawasan perairan laut seluas 845 Ha yang membentang sepanjang pantai selatan
Samudera Hindia. Bersamaan dengan Kongres Taman Nasional se Dunia III di
Denpasar, Bali, Suaka Margastawa Meru Betiri ditetapkan sebagai (calon) Taman
Nasional berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 736/Mentan/X/1982,
52
53
Universitas Indonesia
tanggal 14 Oktober 1982. Akhirnya melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 277/Kpts-VI/1997, tanggal 23 Mei 1997, kawasan Meru Betiri ditetapkan
sebagai Taman Nasional. Luas yang disepakati adalah 58.000 Ha yang terdiri dari
luas daratan 57.155 Ha dan luas lautan 845 Ha meliputi dua wilayah Kabupaten
yaitu Jember dan Banyuwangi (Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS WIBB,
2003).
Sumber : Balai Taman Nasional Meru Betiri
3.1.2 Keadaan Umum Kawasan Taman Nasional Meru Betiri
3.1.2.1 Kondisi Geografis
Secara geografis Taman Nasional Meru Betiri terletak antara 8020’48” –
8033’48” LS dan 113038’48” – 113058’30 BT. Kawasan TNMB mencakup luasan
58.000 Ha yang terbagi dua wilayah yaitu 37.585 Ha di Kabupaten Jember dan
20.415 Ha di wilayah Kabupaten Banyuwangi. Kawasan TNMB berbatasan
dengan :
sebelah utara berbatasan dengan Sungai Sanen dan Perkebunan Malangsari,
sebelah timur, perkebunan Sumberjambe dan Perkebunan Treblasala,
sebelah selatan, berbatasan dengan Samudera Hindia,
sebelah barat, Desa Curahnongko, Curahtakir, dan Perkebunan Kota Blater
Balai Taman Nasioanl Meru Betiri selaku pihak yang diberi kewenangan
atas pengelolaan kawasan membagi zonasi berdasarkan Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor SK.101/IV-SET/2011
tanggal 20 Mei 2011 dengan pembagian zonasi sebagai berikut :
HutanLindung
Penunjukan CalonSuaka Alam
Penetapan SMMeru Betiri
Perluasan SMMeru Betiri
Calon TamanNasional
Meru Betiri
29 Juli 193128 April 1938 Tahun 1967 6 Juni 1972 21 Juni 1982 14 Oktober 1982
Jaman kolonialBelanda
50.000 Ha 58.000 Ha23 Mei 1997
Penunjukan TN Meru Betiri
54
Universitas Indonesia
a. Zona Inti, terletak di bagian timur dan sebagian bagian barat kawasan Taman
Nasional Meru Betiri; dimana pada zona ini mutlak dilindungi, di dalamnya
tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
Kegiatan yang diperbolehkan pada zona ini hanya yang berhubungan dengan
ilmu pengetahuan, pendidikan dan penelitian.
b. Zona Rimba, tersebar mengelilingi zona inti, namun sebagian besar terletak di
bagian barat laut dan sebagian kecil terletak di bagian selatan kawasan Taman
Nasional Meru Betiri, dimana pada zona ini dapat dilakukan kegiatan
sebagaimana kegiatan pada zona inti dan kegiatan wisata alam yang terbatas.
c. Zona Perlindungan Bahari, merupakan zona rimba yang berada di wilayah
perairan laut memanjang di sebelah selatan Resort Wonoasri hingga Resort
Rajegwesi.
d. Zona Pemanfaatan, terletak pada empat lokasi terpisah, yaitu di Pantai
Nanggelan, Pantai Bandealit, Pantai Sukamade, dan Pantai Rajegwesi
kawasan Taman Nasional Meru Betiri, dimana pada zona ini dapat dilakukan
kegiatan sebagaimana pada zona inti dan zona rimba, dan diperuntukkan bagi
pusat pembangunan sarana/prasarana dalam rangka pengembangan
kepariwisataan alam dan rekreasi.
e. Zona Rehabilitasi, terletak di dua lokasi terpisah, disebelah barat dan sebagian
kecil bagian tenggara kawasan Taman Nasional Meru Betiri, dimana pada
zona ini dapat dilakukan kegiatan rehabilitasi kawasan yang sudah rusak
akibat perambahan.
f. Zona Tradisional, secara sporadik di bagian barat kawasan Taman Nasional
Meru Betiri. Zona ini merupakan bagian taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahannya mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
g. Zona Khusus, terletak di sebelah tenggara (Rajegwesi) dan sebagian kecil di
sebelah barat laut (Bandealit). Zona ini adalah bagian dari taman nasional
karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan terdapat kelompok masyarakat
dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut
ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik.
55
Universitas Indonesia
3.1.2.2 Kondisi Topografi
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki topografi yang beragam
yaitu berbukit dan dataran rendah pantai. Kawasan TNMB bagian utara relatif
berbukit dengan kisaran elevasi mulai dari tepi laut hingga ketinggian 1.223 m
dari permukaan laut (dpl) di puncak Gunung Betiri. Gunung yang terdapat di
Seksi Konservasi Wilayah II Ambulu adalah Gunung Rika (535 m dpl), Gunung
Guci (329 m dpl), Gunung Alit (534 m dpl), Gunung Gamping (538 m dpl),
Gunung Sanen (437 m dpl), Gunung Butak (609 m dpl), Gunung Mandilis (844 m
dpl) dan Gunung Meru (344 m dpl). Sedangkan gunung yang terdapat di Seksi
Konservasi Wilayah I Sarongan adalah Gunung. Betiri (1.223 m dpl) yang
merupakan gunung tertinggi, Gunung Gendong (840 m dpl), Gunung Sukamade
(806 m dpl), Gunung Sumberpacet (760 m dpl), Gunung Permisan (568 m dpl),
Gunung Sumberdadung (520 m dpl) dan Gunung Rajegwesi (160 m dpl).
Sedangkan kawasan TNMB bagian selatan sepanjang pantai berbukit-bukit
sampai bergunung-gunung dengan tebing yang curam. Sedangkan pantai datar
yang berpasir hanya sebagian kecil, dari Timur ke Barat adalah Pantai Rajegwesi,
Pantai Sukamade, Pantai Permisan, Pantai Meru dan Pantai Bandealit. Sungai-
sungai yang berada di kawasan Taman Nasional Meru Betiri antara lain Sungai
Sukamade, Sungai Permisan, Sungai Meru dan Sungai Sekar Pisang yang
mengalir dan bermuara di pantai selatan Pulau Jawa.
3.1.2.3 Kondisi Iklim
Kawasan TNMB memiliki dua tipe iklim yang berbeda berdasarkan tipe
iklim Schmidt dan Ferguson yaitu untuk kawasan Taman Nasional yang berada di
bagian utara dan tengah termasuk ke dalam klasifikasi tipe iklim B yang
bercirikan tidak memiliki musim kering dan hutan hujan tropika yang selalu hijau,
dan dibagian lainnya termasuk ke dalam tipe iklim C dimana daerah ini memiliki
iklim kering nyata dan merupakan peralihan hutan hujan tropika ke hutan musim.
56
Universitas Indonesia
3.1.2.4 Kondisi Hidrogeologi
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri memiliki air tanah dan
produktivitas akifer yaitu a) akifer bercelah atau berarang, produktifitasnya kecil
dan daerah air tanah langka. Daerah air langka ini terdapat di sebagian besar
kawasan Taman Nasional Meru Betiri. Akifer produktif kecil berarti umumnya
keterusan air sangat rendah, air tanah setempat dangkal dalam jumlah terbatas
dapat diperoleh pada zona pelapukan dari batuan padu; b) Akifer dengan aliran
melalui ruang antar butir. Terdapat di daerah dataran pantai, cekungan antar
gunung dan kaki gunung api.
3.1.2.5 Kondisi Sosial Ekonomi
Kawasan Taman Nasional Meru Betiri dikelilingi oleh 12 desa penyangga,
dimana 8 desa penyangga termasuk dalam wilayah Kabupaten Jember, dan 4 desa
penyangga termasuk dalam wilayah Kabupaten Banyuwangi.Penelitian ini
dilakukan di 3 (tiga) wilayah desa penyangga yang berada di sekitar Kawasan
Taman Nasional Meru Betiri, Propinsi Jawa Timur khususnya yang berada dalam
batas administratif Kabupaten Jember. Wilayah desa tersebut terdiri dari Desa
Curahnongko, Desa Andongrejo, dan Desa Wonoasri.
a. Desa Curahnongko
Desa Curahnongko secara administratif termasuk di dalam Kecamatan
Tempurejo, Kabupaten Jember. Desa Curahnongko berbatasan di sebelah utara
dengan Perkebunan PTPN XII Kalisanen, sebelah timur berbatasan dengan Desa
Andongrejo, sebelah selatan berbatasan dengan kawasan hutan TNMB, dan
sebelah barat berbatasan dengan Desa Wonoasri.Aksesibilitas menuju Desa
Curahnongko tidak ditunjang dengan kondisi jalan yang cukup memadai. Untuk
menuju wilayah desanya, terlebih dahulu melewati kawasan perkebunan Karet
Kotablater milik PTPN.
Kondisi demografis Desa Curahnongko dapat digambarkan bahwa
sebagian besar penduduknya bekerja di sector pertanian, yaitu sebagai buruh tani
(470 jiwa) dan petani pemilik (142 jiwa) (Gambar 3.1). Petani di Desa
Curahnongko dikarakteristikkan sebagai
rehabilitasi dan buruh tani perkebunan
mencukupi secara keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian
penduduk,sehingga sebagian ada yang bekerja di lahan perkebunan karet milik
PTPN dan sebagai petani rehabilitasi
hak pengelolaan atas lahan di zona rehabilitasi
kewajiban untuk menjaga dan menanam tanaman tegakan yang merupakan
tanaman pokok yang harus ditanam seba
bersama melalui sistem agroforestry.
Gambar 3.1
Sumber : MoF, DGFPNC, 2010
Desa Curahnongko merupakan desa percontohan rehabilitasi hutan melalui
intervensi komunitas
kawasan lahan hutan seluas 7 Ha yang ditanami oleh beberapa
pokok yaitu kemiri, kedawung, serta
merupakan species khas TNMB
itu, kegiatan pendampingan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lebih
banyak digalakkan di Desa Curahnongko, sehingga
masyarakatnya lebih unggul dan mandiri dibandingkan dengan dua desa lainnya.
Kelompok petani rehabilitasi memiliki peran yang cukup strategis dalam
menghidupkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi yang ada di desa
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
Pemilik Buruh tani
Universitas Indonesia
Curahnongko dikarakteristikkan sebagai petani yang khusunya mengelola lahan
dan buruh tani perkebunan. Ketersediaan lahan sawah tidak dapat
mencukupi secara keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian
,sehingga sebagian ada yang bekerja di lahan perkebunan karet milik
an sebagai petani rehabilitasi. Masyarakat Desa Curahnongko
hak pengelolaan atas lahan di zona rehabilitasi, dimana petani rehabilitasi diberi
kewajiban untuk menjaga dan menanam tanaman tegakan yang merupakan
tanaman pokok yang harus ditanam sebagai salah satu strategi pengelolaan hutan
bersama melalui sistem agroforestry.
1 Mata Pencaharian Penduduk Desa Curahnongko
Sumber : MoF, DGFPNC, 2010
Desa Curahnongko merupakan desa percontohan rehabilitasi hutan melalui
intervensi komunitas dengan pendampingan LSM lokal yaitu dalam pengelolaan
kawasan lahan hutan seluas 7 Ha yang ditanami oleh beberapa
pokok yaitu kemiri, kedawung, serta berbagai jenis tanaman obat
merupakan species khas TNMB yang telah berlangsung sejak tahun 1993
itu, kegiatan pendampingan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lebih
n di Desa Curahnongko, sehingga secara kapasita
masyarakatnya lebih unggul dan mandiri dibandingkan dengan dua desa lainnya.
Kelompok petani rehabilitasi memiliki peran yang cukup strategis dalam
menghidupkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi yang ada di desa
Buruh tani
57
Universitas Indonesia
petani yang khusunya mengelola lahan
Ketersediaan lahan sawah tidak dapat
mencukupi secara keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian
,sehingga sebagian ada yang bekerja di lahan perkebunan karet milik
Desa Curahnongko memiliki
, dimana petani rehabilitasi diberi
kewajiban untuk menjaga dan menanam tanaman tegakan yang merupakan
tegi pengelolaan hutan
Mata Pencaharian Penduduk Desa Curahnongko
Desa Curahnongko merupakan desa percontohan rehabilitasi hutan melalui
dalam pengelolaan
kawasan lahan hutan seluas 7 Ha yang ditanami oleh beberapa jenis tanaman
berbagai jenis tanaman obat-obatan yang
yang telah berlangsung sejak tahun 1993. Selain
itu, kegiatan pendampingan yang terkait dengan pemberdayaan masyarakat lebih
secara kapasitas
masyarakatnya lebih unggul dan mandiri dibandingkan dengan dua desa lainnya.
Kelompok petani rehabilitasi memiliki peran yang cukup strategis dalam
menghidupkan dan menggerakkan kegiatan ekonomi yang ada di desa
58
Universitas Indonesia
b. Desa Andongrejo
Desa Andongrejo merupakan desa hasil pemekaran Desa Curahnongko.
Secara administratif, Desa Andongrejo sebelah utara berbatasan dengan PTPN XII
Kalisanen dan kawasan hutan TNMB, sebelah timur dan selatan berbatasan
dengan kawasan hutan TNMB, dan sebelah barat berbatasan dengan Desa
Curahnongko dan PTPN XII Kalisanen. Aksesibilitas menuju Desa Andongrejo
tidak ditunjang dengan kondisi jalan yang cukup memadai. Untuk menuju wilayah
desanya, terlebih dahulu melewati kawasan perkebunan Karet Kotablater milik
PTPN dan Desa Curahnongko.
Kondisi demografis pendudukDesa Andongrejomemliki karakteristik
agraris, ditandai dengan tingginya mata pencaharian petani baik buruh tani (561
jiwa) dan petani pemilik (163 jiwa) (Gambar 3.2). Petani di Desa Andongrejo
dikarakteristikkan sebagai petani yang khusunya mengelola lahan rehabilitasi dan
buruh tani perkebunan. Ketersediaan lahan sawah tidak dapat mencukupi secara
keseluruhan kebutuhan akan lahan pertanian penduduk,sehingga sebagian ada
yang bekerja di lahan perkebunan karet milik PTPN dan sebagai petani
rehabilitasi. Masyarakat Desa Andongrejo juga diberi hak pengelolaan atas lahan
rehabilitasi, seperti halnya di Desa Curhnongko. Masyarakat yang diberi hak
pengelolaan lahan rehablitasi, diwajibkan untuk menanam tanaman pokok yang
hasilnya boleh dimanfaatkan petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dengan
syarat tidak menebang tanaman pokoknya. Di bawah tanaman tegakan,
diperbolehkan untuk ditanami tanaman palawija. Konsep tersebut menjadi bagian
dari penerapan sistem agroforestry.
Jika melihat kondisi geografisnya yang relatif berdekatan dengan kawasan
hutan TNMB, mengindikasikan bahwa ketergantungan masyarakat sangat tinggi
akan sumberdaya hutan. Aksesibilitas keluar wilayah yang relatif berjauhan
dengan kawasan pusat kecamatan memungkinkan bahwa alternatif mata
pencaharian terbatas. Hal ini terlihat dari Gambar 3.2, keberagaman mata
pencaharian sehingga ketergantungannya tinggi terhadap hasil pertanian maupun
hutan.
Gambar 3.
Sumber : MoF, DGFPNC, 2010
Desa Andongrejo merupakan salah satu desa yang juga mendapat
pendampingan dari LSM lokal khususnya untuk
kelompok ibu-ibu budidaya pengelolaan jamu tradisional.
pendampingan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
inovasi kegiatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung dengan
sertakepedulian terhadap konservasi hutan.
Dalam kegiatan DA REDD+ di TNMB, Desa Curahnongko da
Andongrejo merupakan desa yang mendapat intervensi kegiatan pemberdayaan
masyarakat dimana proses pendampingannya dilakukan langsung oleh LSM lokal
yaitu KAIL. Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk
meningkatkan partisipasinya konser
kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya kegiatan DA REDD+ lebih
diupayakan kepada kegiatan pemberdayaan yang bersifat penguatan.
ini akan menjadi contoh dalam praktik keberhasilan pengelolaan hutan bersa
masyarakat, yang kemudian nanti dapat direplikasikan pada desa penyangga
lainnya.
0
100
200
300
400
500
600
Pemilik Buruh tani
Universitas Indonesia
Gambar 3.2 Mata Pencaharian Penduduk Desa Andongrejo
Sumber : MoF, DGFPNC, 2010
Desa Andongrejo merupakan salah satu desa yang juga mendapat
pendampingan dari LSM lokal khususnya untuk kelompok petani rehabilitasi dan
ibu budidaya pengelolaan jamu tradisional.
pendampingan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat
inovasi kegiatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung dengan
kepedulian terhadap konservasi hutan.
Dalam kegiatan DA REDD+ di TNMB, Desa Curahnongko da
Andongrejo merupakan desa yang mendapat intervensi kegiatan pemberdayaan
masyarakat dimana proses pendampingannya dilakukan langsung oleh LSM lokal
Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk
meningkatkan partisipasinya konservasi karbon hutan telah dilakukan sebelum
kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya kegiatan DA REDD+ lebih
diupayakan kepada kegiatan pemberdayaan yang bersifat penguatan.
ini akan menjadi contoh dalam praktik keberhasilan pengelolaan hutan bersa
masyarakat, yang kemudian nanti dapat direplikasikan pada desa penyangga
Buruh tani
59
Universitas Indonesia
rian Penduduk Desa Andongrejo
Desa Andongrejo merupakan salah satu desa yang juga mendapat
kelompok petani rehabilitasi dan
ibu budidaya pengelolaan jamu tradisional. Kegiatan
pendampingan ini ditujukan untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam hal
inovasi kegiatan ekonomi agar tidak terlalu bergantung dengan hasil hutan
Dalam kegiatan DA REDD+ di TNMB, Desa Curahnongko dan
Andongrejo merupakan desa yang mendapat intervensi kegiatan pemberdayaan
masyarakat dimana proses pendampingannya dilakukan langsung oleh LSM lokal
Beberapa kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam upaya untuk
vasi karbon hutan telah dilakukan sebelum
kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya kegiatan DA REDD+ lebih
diupayakan kepada kegiatan pemberdayaan yang bersifat penguatan. Kedua Desa
ini akan menjadi contoh dalam praktik keberhasilan pengelolaan hutan bersama
masyarakat, yang kemudian nanti dapat direplikasikan pada desa penyangga
60
Universitas Indonesia
c. Desa Wonoasri
Desa Wonoasri secara administratif terletak di Kecamatan Tempurejo,
Kabupaten Jember. Desa Wonoasri sebelah utara berbatasan dengan PTPN XII
Kalisanen; sebelah timur berbatasan dengan PTPN XII Kalisanen dan Desa
Curahnongko; sebelah selatan berbatasan dengan PTPN XII Kotablater dan
kawasan hutan TNMB; dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Ambulu
(Kecamatan Ambulu). Letak Desa Wonoasri relatif berdekatan dengan pusat Ibu
Kota Kecamatan Ambulu sehingga aksesibilitas masuk dan keluar wilayahnya
cukup tinggi.
Kondisi demografis Desa Wonoasri digambarkan bahwa sebagian besar
penduduknya sebagai petani yaitu petani pemilik sawah (3.166 jiwa) dan buruh
tani (2.177 jiwa) (Gambar 3.3). Sebagian besar masyarakat Desa Wonoasri
memiliki lahan pertanian sawah, karena secara topografi kondisi wilayahnya
relatif datar dan penggunaan lahannya sebagian besar berupa sawah tadah hujan
sawah irigasi. Sedangkan buruh tani merupakan buruh tani yang bekerja di
perkebunan karet yang dikelola PTPN.
Desa Wonoasri merupakan salah satu desa penyangga di kawasan TNMB
dimana dalam kegaitan DA REDD+ hanya dilakukan upaya peningkatan
pengetahuan dan kesadaran melalui penyuluhan tentang manfaat dan fungsi hutan,
perubahan iklim, dan REDD+ yang ditujukan untuk meningkatkan konservasi
karbon hutan. Sedangkan, untuk kegiatan pemberdayaan masyarakatnya terkait
dengan kegiatan DA REDD+ tidak dilakukan.
Gambar 3.
Sumber : MoF, DGFPNC, 2010
0
500
1000
1500
2000
2500
3000
3500
Pemilik Buruh tani
Petani
Universitas Indonesia
Gambar 3.3 Mata Pencaharian Masyarakat Desa Wonoasri
Sumber : MoF, DGFPNC, 2010
Buruh tani
Pedagang PNS Konstruksi Nelayan Jasa
61
Universitas Indonesia
Mata Pencaharian Masyarakat Desa Wonoasri
Wiraswasta
62
Universitas Indonesia
Lokasi Penelitian : Desa Curahnongko,Desa Andongrejo, dan Desa Wonoasri
63
Universitas Indonesia
3.2 Kegiatan DA REDD+ di Kawasan Konservasi Taman Nasional Meru
Betiri
Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki hutan hujan tropis
terluas ketiga di dunia, serta luasan hutan konservasi yang mencapai 26,8 juta Ha
yang terdiri dari Taman Nasional, Cagar Alam, dan Hutan Rekreasi berpotensi
untuk turut berkontribusi dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dan
peningkatan stok karbon hutan melalui skema REDD+.
Dalam fase persiapan sebelum implementasi REDD+, Indonesia telah
mengadakan kegiatan Demonstration Activity (DA) di kawasan konservasi, yang
salah satunya di Taman Nasional Meru Betiri. Kawasan Taman Nasional Meru
Betiri memiliki keanekaragaman tipe vegetasi yang tinggi yang terbentang dari
pegunungan hingga daerah pesisir, dimana kekayaan ini memberikan dampak
positif dan negative dalam mendukung kelestarian hutan seiring dengan
keberadaan masyarakat yang tinggal relatif berdekatan dengan kawasan hutan
konservasi.
Penyelenggaran kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri
dilakukan atas kerjasama Pemerintah Indonesia (Badan Litbang Kehutanan
melalui Pusat Litbang Perubahan Iklim dan Kebijakan serta Balai Taman Nasional
Meru Betiri dan Lembaga Alam Tropika Indonesia/LATIN) yang dibiayai oleh
International Tropical TimberOrganization/ITTO (PD 519/08 Rev 1 (F) dengan
kontribusi dari Perusahaan Jepang yaitu Seven and I Holdings Company, dengan
nilai kegiatan (hibah) sebesar US $ 814.590. Tujuan terselenggaranya DA
REDD+ ini yaitu untuk memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan
melalui peningkatan stok karbon hutan dan partisipasi masyarakat dalam
konservasi serta pengelolaan kawasan hutan.
3.2.1 Peraturan Perundangan untuk Kegiatan di Kawasan Konservasi
Dalam Permenhut No. 20/2012 tentang Penyelenggaraan Karbon Hutan
menyebutkan kawasan konservasi layak (eligible) untuk kegiatan REDD. Dalam
pelaksanaannya, kegiatan REDD akan melibatkan masyarakat, oleh sebab itu
64
Universitas Indonesia
perlu diketahui peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan kawasan
konservasi, terutama menyangkut keterlibatan masyarakat dalam kegiatan di
kawasan konservasi. Berbagai peraturan perundangan yang telah dikeluarkan
yaitu :
a. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya,
b. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengganti UU Pokok
Kehutanan No. 5 Tahun 1967,
c. Undang-Undang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman
Hayati No. 5 Tahun 1994,
d. Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997,
e. Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan
Kawasan Pelestarian Alam,
f. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004
tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian alam,
g. Permenhut No. P.56/Menhut-II/2006 tentang Panduan Zonasi Taman Nasional
Kementerian Kehutanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan
(Permenhut) Nomor P.19/Menhut-II/2004 tentang kolaborasi Pengelolaan
Kawasan Suaka alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang memungkinkan
keterlibatan pihak lain dalam pengelolaan kawasan konservasi, khususnya dalam
Taman Nasional. Didukung pula dengan terbitnya Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional yang
memungkinkan penataan ruang (zonasi) Taman Nasional, termasuk penetapan
ruang atau zona khusus untuk masyarakat yang berada di dalam Taman Nasional
(Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
Dalam Permenhut Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional dijelaskan bahwa zonasi Taman Nasional adalah suatu proses
pengaturan ruang dalam Taman Nasional menjadi zona-zona. Zona Taman
Nasional adalah adalah wilayah di dalam kawasan Taman nasional yang
dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologi, sosial, ekonomi, dan budaya
65
Universitas Indonesia
masyarakat. Zona Taman Nasional bisa terdiri dari zona inti, zona rimba, zona
perlindungan bahari untuk wilayah perairan, zona pemanfaatan dan zona lain,
misal zona zona tradisional, zona rehabilitasi, zona religi, zona budaya dan sejarah
serta zona khusus (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
Zona khusus diartikan sebagai zona untuk mengakomodasi kelompok
masyarakat yang telah tinggal di kawasan Taman Nasional sebelum ditetapkan
dan atau mengkomodasi sarana/prasarana, seperti telekomunikasi, transportasi,
dan listrik. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kondisi wilayah potensial zona
khusus berbeda-beda di setiap Taman Nasional. Batasan zona khsuus dna kriteria
penetapannya seharusnya beragam, sesuai deengan kondisi setempat dan
kesepakatan para pihak. Zona khusus diharapkan menjadi sarana mengatasi
konflik antara masyarakat dengan Taman Nasional. Zona khusus ini menawarkan
ruang negosiasi yang hasilnya diharapkan berupa kesepakatan mengenai
pengelolaan bersama (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
3.2.2 Pelaksanaan Kegiatan DA REDD+ di TNMB
Kegiatan DA REDD+ di TNMB telah berlangsung sejak Januari 2010
yang diresmikan oleh Kementerian Kehutanan. Kegiatan ini diselenggarakan
sebagai wujud dari komitmen pemrintah untuk berpartisipasi dalam upaya
pengurangan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020 dari sektor kehutanan.
Kegiatan DA REDD+ di TNMB 6telah diselenggarakan selama 4 tahun dari 2010
hingga 2013 dengan executing agency Badan Litbang Kehutanan melalui Pusat
Litbang Perubahan Iklim dan Kebiajakn yang bekerjasama dengan Balai Taman
Nasional Meru Betiri dan LATIN. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan
partisipasi dan kesejahteraan masyarakat, dan kegiatan yang mendukung
tercapainya peningkatan kapasitas dalam persediaan sumberdaya dasar dan
akuntansi karbon dalam terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi (MRV).
Dalam pelaksanaan kegiatan DA REDD+ selama Tahun 2010 – 2013, terdapat 3
macam kegiatan yang terdiri dari :
66
Universitas Indonesia
a. Kegiatan terkait karbon
Kegiatan DA REDD+ merupakan salah satu upaya mitigasi perubahan
iklim yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang melibatkan
sektor kehutanan. Kegiatan DA REDD+ terkait dengan karbon ditujukan untuk
memperoleh pembeljaran dalam rangka pengembangan metodologi terkait
estimasi cadangan karbon dan potensi lokasi dalam penyerapan karbon serta
upaya konservasinya (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012). Beberapa kegiatan
DA REDD+ yang terkait karbon menurut pedoman teknis kegiatan di TNMB
antara lain :
1) Meninjau metodologi eksisting tentang perhitungan karbon
Dalam penghitungan karbon digunakan metode Intergovernmental Panel
Climate Change (IPCC) dan Verified Carbon Standard (VCS). Metode IPCC
yang diperlukan untuk inventory terdiri dari dua elemen yaitu (1) data
kegiatan, data yang menunjukkan besarnya kegiatan manusia dalam
penurunan atau peningkatan emisi pada periode tertentu, (2) faktor emisi
suatu koefisien yang menunjukkan tingkat emisi atau serapan per unit
kegiatan. Faktor emisi umumnya didasarkan pada perhitungan emisi atau
serapan data rata-rata sampel kegiatan per periode. Data kegiatan
dikelompokkan dalam enam kategori lahan yaitu lahan hutan, lahan pertanian,
padang rumput, lahan basah, permukiman, dan lahan lainnya.
Untuk Verified Carbon Standard (VCS) pada pertanian, kehutanan dan
peruabhan penggunaan lahan (AFOLU), dalam Wibowo, Maryani, &
Partiani(2012) proses untuk MRV terdiri dari beberapa tahap yaitu :
a. Identifikasi ruang lingkup (scope) kegiatan termasuk menentukan batasan
geografispelaksanaan kegaitan, tipe gas rumah kaca yang akan diukur
(CO2, N2O, CH4) dan pool perhitungan emisi dan serapan
b. Menentukan baseline termasuk memperkirakan unit voluntary carbon
yang akan dihasilkan
c. Membuktikan adanya penambahan atau additionality, termasuk validasi
dari metodolgi, yang merupakan urutan bagaimana meperkirakan emisi
atau serapan
67
Universitas Indonesia
d. Menelaah dan mengelola resiko untuk ketidakpastian atau kehilangan
karena kebocoran
e. Memperkirakan dan memantau perbedaan bersih emisi atau serapan
dibandingkan dengan tingkat baseline
f. Mengidentifikasi dampak potensi negatif terhadap lingkungan dan sosial
ekonomi serta upaya untuk menguranginya.
2) Mengembangkan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk pengukuran
lapangan
Standar Operasioanl Prosedur untuk pelaksanaan pengukuran karbon di
lapangan menggunakan metodologi yang diterapkan IPCC guideline 2006
yang membagi cadangan karbon ke dlaam lima bagian yaitu biomassa di atas
taanh, biomassa di bawah taanh, serasah, sisa kayu dan taanh. Pengukuran
lapanagn karbon juga disesuaikan dengan zonasi dan jenis vegetasi yang ada
di kawasan taman nasional yaitu dengan menerapkan desain stratified
sampling.
3) Mengorganisasi dan melakukan pelatihan workshop untuk perhitungan
karbon bagi stakeholder terkait
Pelatihan penghitungan karbon dilakukan bekerjasama dengan Universitas
Brawijaya dengan 2 tahap yaitu tahaap pertama dilakukan di Kabupaten
Jember dan tahap kedua di Kalibaru, Kabupaten Banyuwangi. Dimana setiapa
tahapan kegiatan meliputi diskusi dan berbagi pengalaman anatara peserta
dan nara sumber yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam;
kunjungan lapangan dna mengukur biomassa pohon di lahan kering; dan
menganalisis dan menafsirkan data.
Namun, sebelum dilakuakn pelatihan para peserta dibekali denga pengukuran
dan akuntansi stok karbon dilapangan, para peserta diberi beberapa materi
yang berkaitan dengan MRV yaitu definisi perubahan iklim, penyebab dan
efeknya; definisi emisi, karantina, adaptasi, mitigasi, perubahan lahan,
penggunaan lahan, REDD, dan REDD+; serta MRV kegiatan dan
penghitungan karbon menggunakan RaCSA (Carbon Stok Appraisal secara
cepat) (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
4) Melakukan analisis penginderaan jauh
68
Universitas Indonesia
Salah satu pendekatan perhitungan karbon hutan yang paling mungkin yaitu
menggunakan interpretasi data spasial melalui analisis perubahan penggunaan
lahan dan gas rumah kaca dengan tingkat tertinggi (Tier 3) yang berpedoman
pada IPCC guideline 2006. Analisis citra satelit menggunakan data SPOT 4
(1997 dan 2005), Landsat 7 ETM+ (1997,1999, 2001,2002,2003,2007, dan
2010), ALOS AVNIR-2 (2007 dan 2009), serta topografi (2000).
5) Menentukan batasan wilayah proyek untuk memfasilitasi pengukuran dan
pemantauan perubahan karbon stok
Hasil dari kegiatan ini telah menetapkan batas proyek DA REDD yang
meliputi seluruh kawasan Taman Nasional Meru Betiri yaitu seluas 58.000
Ha. Dalam kajian spasial menggunakan GIS, dihasilkan peta batas proyek dan
penentuan 40 petak contoh permanen (Permanent Sample Plots/PSP) untuk
memfasilitasi pengukuran karbon. Beberapa informasi yang dibutuhkan
mencakup peta penutupan lahan, peta vegetasi, peta DAS, topografi, geologi
dan permukaan bumi. Berdasarkan rencana pengelolaan, TNMB dibagi
kedalam beberapa zona yaitu zona inti, zona rimba, zona rehabilitasi, zona
pemanfaatan khusus, dan zona pemanfaatan intensif. Sedangkan menurut tipe
hutan, TNMB terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan rawa, hutan
hujan tropik dan hutan bambu (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
6) Mengembangkan SOP untuk pengukuran biodiversitas
Kegiatan REDD+ memiliki peran penting juga dalam menjaga
keanekaragaman hayati (biodiversitas) sehingga dalam kegaitan DA REDD+
mencoba untuk membuat standar yang mendukung penilaian kenekaragaman
hayati di kawasan konservasi TNMB.
7) Melakukan analisis perubahan penggunaan lahan dan penutup lahan dan
menghitung perubahan stok karbon untuk menentukan baseline proyek
Penyiapan abseline estimasi emisi di TNMB dilakukan dengan beberapa
langkah yaitu :
Melakukan analisa perubahan penutupan lahan dengan menggunakan citra
satelit. Menyiapkan matriks perubahan penutupan lahan (LCM) untuk
periode 1997-2010 yang menjadi 6 kategori penutupan lahan menurut
69
Universitas Indonesia
IPCC Guideline 2006 yaitu lahan hutan, lahan pertanian, padang rumput,
lahan basah, permukiman dan lahan lainnya.
Melakukan estimasi tingkat deforestasi tahunan untuk periode 1997-2010
Mengumpulkan data kerusakan hutan yang disebabkan oleh degradasi
(pembalakan liar, kebakaran hutan dan perambahan lahan)
Menghitung biomassa dan karbon dari masing-masing tipe hutan
(Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
8) Meninjau metodologi REDD+ dan menyiapakan Dokumen Desain Proyek
sesuai standar yang ditentukan
Dalam pelaksanaan DA REDD+ di TNMB menggunakan metode VM-0015
yang dikembangkan oleh VCS yaitu pengurangan emisi dari pencegahan
deforestasi dan degradasi yang tidak terencana (avoided uplanned
deforestation).
9) Mempersiapkan sistem kelembagaan untuk memantau stok karbon hutan di
TNMB
Kegiatan ini ditujukan untuk memudahkan akses informasi mengenai stok
karbon di TNMB melalui platform web. Sistem kelembagaan yang
mendukung pemantauan stok karbon membutuhkan sumberdaya yang dapat
menjadi hambatan. Sistem ini juga dapat digunakan untuk tujuan lain tidak
hanya karbon, tetapi juha informasi tentang masyarakat, perlindungan hutan
dan keanekaragaman hayati. Pemantauan juga didukung dengan melibatkan
masyarakat dimana kegiatan ini dapat menjadi andalan dan lebih murah dari
segi pembiayaan untuk pemantauan sumberdaya alam. Sistem pemantauan
karbon stok juga secara umum mendukung keberlanjutan keseluruhan
kawasan konservasi TNMB. Platform web juga perlu dikembangkan agar
dapat digunakan oleh pihak lain dan mendukung MRV di tingkat provinsi
serta nasional (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
10) Mengidentifikasi pengukuran untuk meningkatkan pengurangan emisi yang
berkelanjutan dan meningkatkan stok karbon di TNMB
Taman Nasional Meru Betiri sebagaimana telah ditetapkan sebagai Kawasan
Konservasi melalaui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 277/Kpts-
VI/1997, tanggal 23 Mei 1997 maka kegiatan deforestasi tidak terlalu tinggi,
70
Universitas Indonesia
berbeda halnya dengan degradasi hutan. Semakin tingginya populasi
penduduk di sekitar kawasan hutan menjadi ancaman bagi TNMB. Dalam
Wibowo, Maryani, & Partiani (2012), penelitian ini kemudian ditujukan
untuk mengidentifikasi langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon dan
peningkatan stok karbon hutan, melalui beberapa kegiatan yaitu :
Menghindari deforestasi, jumlah emisi yang dapat dikurangi dengan
menghentikan praktik deforestasi selama periode kredit adalah sekitar
295.036 ton CO2e.
Menghindari degradasi,degradasi hutan merupakan sumber potensial
emisi dari LULUCF. Di TNMB, kegiatan menghindari degradasi termasuk
pengendalian pengambilan kayu bakar, penebangan liar, perambahan
hutan, dan pengendalian kebakaran.
Konservasi, luas kawasan hutan TNMB adalah 47.771 Ha. Dengan asumsi
pertumbuhan alam sebesar 0,25 ton/ha/tahun, akan ada peningkatan stok
karbon sebesar 0,25 x 148,7 ton/ha/tahun = 37.175 ton/ha/tahun. Atau
peningkatan karbon sebesar 47.771 x 37.175 = 1.775.515 ton C/ tahun atau
5.580.191 ton CO2e/tahun.
Meningkatkan stok karbon, kondisi saat ini memiliki kerapatan pohon
sekitar 124 pohon/ha. Jumlah penyerapan GRK melalui penanaman pohon
dengan skenario 160 pohon/ha adalah 1.020.966 t CO2e, 200 pohon/ha
sekitar 1.189.387 t CO2e dan 300 pohon/ha sekitar 1.610.441 t CO2e.
b. Kegiatan terkait pelibatan masyarakat
Pelatihan masyarakat dalam kegiatan teknis DA REDD+ bertujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal disekitar Taman Nasional
Meru Betiri. Masyarakat menjadi bagian penting dalam upaya mewujudkan
keberhasilan implementasi kegiatan DA REDD+. Beberapa kegiatan tersebut
antara lain :
1) Meninjau skema eksisting dan pembelajaran dari wilayah sekitar proyek
Beberapa kegiatan yang bertujuan untuk upaya konservasi hutan telah
dilakukan melalui kerjasama yang telah ada dengan melibatkan partisipasi
masyarakat khususnya di sektor pertanian dan penanaman disekitar kawasan
71
Universitas Indonesia
hutan misalnya penanaman di zona rehabilitasi, penanaman tanamn obat
keluarga, dan pemeliharaan ternak. Kegiatan ini tentunya perlu melibatkan
beberapa stakeholder terkait khusunya dari partisipasi masyarakat yang
didalamnya diharapkan dapat meningkatkan pengelolaan kehutanan dan
kesejahteraan masyarakat serta partisipasi dalam upaya konservasi hutan.
Dalam hal ini masyarakat menjadi subyek sekaligus obyek dalam kegiatan
dimana pemberian bekal pengetahuan menjadi penting misalnya terkait
dengan pemberian informasi/sosialisasi tentang pendidikan konservasi, sistem
agroforestry, proses dan pemasaran hasil pertanian, eowisata dan teknologi
alternatif yang aplikatif.
2) Melaksankaan pertemuan stakeholder untuk mengidentifikasi skema yang
paling layak untuk TNMB
Kegiatan FGD maupun diskusi langsung yang melibatkan beberapa
stakeholder yang meliputi masyarakat lokal, manajemen Taman Nasional
Meru Betiri, LSM lokal, tokoh masyarakat, pemerintah daerah, dan pihak
swasta menghasilkan bahwa selama ini telah terjalin berbagai kerjasama
dengan masyarakat lokal dan stakeholder terkait khususnya untuk beberapa
hal misalnya pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan TNMB maupun
upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Hasil konsultasi menyebutkan bahwa partisipasi masyarakt tidak dapat
diharapkan keberlangsunganya, apabila tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat berbasis konservasi tidak terwujud. Berkaitan dengan upaya
mitigasi perubahan iklim, partisipasi masyarakat sekarang belum dapat
menjamin terhentinya perambahan dan kebarakan hutan, karena itu partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan TNMB perlu ditingkatkan, antara lain dengan
penguatan kepastian hukum dalam partisipasi, konsistensi aturan
pembangunan mekanisme komunikasi, peningkatan penggunaan lahan yang
optimal dan dukungan dari peemrintah lokal dan swasta dalam peningkatan
produkticitas, teknologi, dan pasar (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
3) Melakukan program kegiatan penyadaran
Program peningkatan kesadaran ditujukan untuk meningkatkan pemahaman
masyarakt tentang isu perubahan iklim, peran hutan, REDD+ dan pada
72
Universitas Indonesia
akhirnya mengurangi penebangan liar dan perambahan hutan melalui
peningkatan kesadaran tentang pentingnya menjaga fungsi ekosistem
(Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
4) Melakukan pelatihan khusus untuk ketua kelompok masyarakat, pilisi, dan
staf pemerintahan daerah
Pelatihan yang dilakukan memilih tema mengenai pengamanan hutan dan
pencegahan kebakaran hutan dengan melibatkan tokoh masyaraakt, pihak
kepolisian, staf pemerintah daerah, dan fasilitator. Tujuannya untuk melatih
sikap yang harus diambil oleh masyarakat dan para pihak yang terkait
penyimpangan dan gangguan yang dilakukan di dalam dan sekitar TNMB
(seperti pencurian kayu, perambahan hutan, pemburuan satwa, dan gangguan
lainnya); dan melatih sikap penanganan terhadap kebakaran hutan agar dapat
menghentikan penyebaran api dan meminimalisir dampak kerusakannya.
5) Meningkatkan potensi kegiatan ekonomi melalui Program Kerjasama
Kehutanan Masyarakat
Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung peningkatan sosial ekonomi
masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi emisi dan meningkatkan
stok karbon. Masyarakat diarahkan untuk menuju pola pemanfaatan lahan
agroforestry yang optimal. Telah diidentifikasi pola pemanfaatan lahan yang
optimum terkait nilai ekonomi dan stok karbon, yatiu 6 jenis agroforestry di
Desa Curahnongko. Selain itu difasilitasi adanya kemitraan di enam desa
lainnya. Kegaitan ini ditunjang pula dengan kegiatan pemetaan yang
dilakuakn melalui kerjasama masyarakat, LSM dan petugas TNMB, dimana
kegiatan pemetaan meliputi jenis agroforestry di zona rehabilitasi TNMB
yang dikelola oleh kelompok tani Desa Curahnongko. Dalam Wibowo,
Maryani, & Partiani(2012), kegiatan pemetaan batas agroforestry yang
dikelola oleh kelompok tani atau individu memiliki 3 manfaat, yaitu :
a. Hasil pemetaan menjelaskan semua lokasi lahan masing-masing individu
secara rinci termasuk batas, jenis, dan jumlah pohon di lahan tertentu.
Oleh karena itu hasil pemetaan otomatis akan menggambarkan distribusi
jenis agroforestry dan pemiliknya.
73
Universitas Indonesia
b. Hasil pemetaan berguna sebagai sumber untuk studi ekonomi dan ekologi
dari setiap jenis agroforestry
c. Hasil pemetaan diguanakn sebagai pelengkap perjanjian kerjasama antara
petani dan pengelolaan TNMB. Kegiatan telah menghasilkan hasil data
primer dan sekunder dalam bentuk peta dengan skala 1 :75.000.
6) Meningkatkan peran kelembagaan lokal untuk upaya mengurangi illegal
logging dan pemberdayaan
Kegiatan penyuluhan mengenai aspek hukum terkait kehutanan, peran
penting TNMB, dan sanksi hukum bagi mereka yang melakukan gangguan
hutan seperti kebakaran, penebangan liar dan perambahan hutan. Output dari
kegiatan selama 3 tahun akan mencakup ketersediaan data gangguan hutan
(illegal logging, perambahan hutan, dan lain-lain), peningkatan kapasitas
kelembagaan SPKP di desa-desa penyangga TNMB untuk mendukung
kelestarian hutan. serta pelatihan yang diberikan kepada masyarakat dan
bantuan peralatan untuk mengembangkan jamur tiram (Wibowo, Maryani, &
Partiani, 2012).
7) Mengorganisir dan melakukan pelatihan workshop untuk inventarisasi
sumberdaya yang melibatkan stakeholder terkait
Pelatihan dilakukan dengan melibatkan petani agar dpaat melakukan
inventarisasi aset/tanaman yang ada di lahannya. Kegiatan tersebutdiawali
dengan menentukan lokasi lahan yang akan diinventarisasi, memetakan, dan
menghitung nilai ekonomi dan nilai kandungan karbon di dalam areal lahan
miliknya.
8) Meningkatkan skala pembelajaran dan praktik yang baik dan
mendiseminasikannya
Tujuannya adalah untuk mendiseminasikan ke skala yang lebih luas
pembelajaran dari pelaksanaan DA REDD+ di TNMB terkait pelibatan
masyarakat dan MRV dalam perhitungan karbon serta mencari masukan guna
mengatasi berbagai masalah yang ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan di
lapangan. workshop yang dilakukan menyajikan beberapa topik terkait yaitu
1) Kemajuan pelaksanaan DA REDD+ di TNMB, 2) Penyiapan Project
Design Document/PDD, 3) MRV dalam perhitungan karbon, 4) Pelaksanaan
74
Universitas Indonesia
REDD+ di kawasan konservasi, 5) Pemberdayaan masyarakat, 6) Kesiapan
Balai TNMB dalam pelaksanaan REDD+, 7) Pelatihan kepada masyarakat,
dan 8) Pembelajaran dari pelaksanaan DA di TN Berbak (Wibowo, Maryani,
& Partiani, 2012).
9) Meningkatkan stok karbon di zona rehabilitasi melalui keterlibatan
masyarakat
Rehabilitasi hutan atau penanaman pohon di kawasan hutan TNMB pada
zona rehabilitasi adalah cara untuk meningkatkan stok karbon dlaam konteks
REDD+. Kegiatan ini melibatkan masyarakat lokal secara keseluruhan
termasuk mahasiswa. Tidak hanya dari proyek REDD+, keterlibatan
masyarakat lokal dalam rehabilitasi hutan juga harus didukung oleh berbagai
pihak. Para pihak seperti RECOFT telah mendukung kegiatan melalui studi
adaptasi, serta kemitraan dengan SOFEDEV serta bantuan dari peserta study
tour dari Kamboja untuk mendukung program PINTAR. Program PINTAR
adalah program yang diinisiasi oleh LSM yang memberikan insentif kepada
masyarakat yang menjaga kelestarian hutan dan melakukan penanaman
tanaman kehutanan. Program ini juga diperkenalkan untuk mendapatkan
dukungan dari perusahaan swasta seperti Sampoerna Foundation, Unilever,
Koran Tempo, Jarum, Pertamina, dan lainnya (Wibowo, Maryani, & Partiani,
2012).
10) Kunjungan lapangan
Kunjungan lapangan biasanya dilakukan ke Taman Nasional Meru Betiri
sebelum pertemuan PSC. Kunjungan yang diikuti oleh anggota PSC dan
perwakilan dari ITTO dan Seven and i Holdings Company dimaksudkan
untuk melihat progress pelaksanaan di lapangan dan hambatan yang ditemui.
Pada berbagai kesempatan kunjungan lapangan, difokuskan kepada
kunjungan dan diskusi dengan berbagai elemen masyarakat misalnya
kelompok tani, kelompok kerajinan masyarakat, sekolah dasar dan sekolah
menengah, serta kelompok ibu-ibu pengusaha industri rumah tangga.
Berbagai kegiatan dilaksanakan misalnya pertemuan kelompok tani untuk
membahas MoU, diskusi terbuka, penanaman serta pelaksanaan
75
Universitas Indonesia
kompetisi/lomba menggambar dan pembacaan puisi yang bertemakan
lingkungan (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
Kegiatan DA REDD+ dilakukan didalam kawasan TNMB dengan prioritas
kegiatan di zona rehabilitasi. Zona rehabilitasi merupakan zona yang khusus
diperuntukkan bagi masyarakat yang tinggal di kawasan desa penyangga untuk
mengurangi interaksi negatif masyarakat terhadapzona inti kawasan TNMB.
Menurut sejarahnya, pada awal tahun 1997 terjadi perambahan besar-besaran
terhadap areal yang dulunya merupakan perkebunan jati oleh sejumlah pihak yang
tidak bertanggungjawab. Sehingga kemudian, pihak TNMB memberikan hibah
lahan untuk masyarakat dengan ditetapkannya zona rehabilitasi.
Program rehabilitasi sudah dilaksanakan sejak tahun 1999 secara swadaya
dengan tujuan awal agar lahan terbuka dapat segera tertutup. Sejak tahun 2002
program rehabilitasi mulai dilakukan secara intensif mulai dari pembentukan
kelompok tai mitra rehabilitasi (Ketan Merah), pendampingan-pendampingan,
penyediaan bibit, monitoring dan evaluasi. Prinsip dasar program rehabilitasi
adalah mengembalikan fungsi hutan seperti semula dengan melibatkan peran aktif
masyarakat sekitar kawasan dengan azas yang saling menguntungkan diserai
dengan kesepakatan tertulis. Bagi pihak balai TNMB mendapatakan keuntungan
dari tertanamnya tanaman pokok yang telah ditentukan sedangkan bagi
masyarakat adalah memperoleh keuntungan melalui pemanfaatan lahan untuk
tanaman umpangsari (semusim) serta buah (berkhasiat obat seperti kedawung,
kluwek, kemiri, dll) dari tanaman pokok. Sampai dengan tahun 2009 lahan
terbuka dari 2500 Ha yang ditanami seluas 1375 Ha dengan melibatkan 5242 KK
masyarakat yang dibagi menjadi 116 kelompok tani yang tersebar di 4 resort dan
akan dilakukan penanaman hingga mencapai 2500 Ha (Taman Nasional Meru
Betiri, 2010).
c. Kegiatan di tingkat pusat
1) Pertemuan PSC (Project Steering Committee)
Project Steering Committeeyang diketuai oleh Kepala Badan Litbang
Kehutanan secara rutin melaksanakan pertemuannya yang dihadiri oleh
76
Universitas Indonesia
para anggota (dari berbagai eselon 1 terkait dan Pemerintah Daerah) dan
perwakilan dari Kedutaan Besar Jepang, wakil dari ITTO, wakil dari
Seven and i Holdings Company dan para kontributor. PSC meeting telah
dilaksanakan sebanyak lima kali. Pertemuan PSC dilaksanakan dengan
mengevaluasi pelaksanaan kegiatan dan memberikan arahan pelaksanaan
kegiatan (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
2) Proses registrasi
Peraturan Direktorat Jenderal PHKA No. P.7/IV-Set/2012 tentang tata cara
permohonan dan penilaian registrasi serta penyelenggaraan DA REDD+ di
hutan konservasi dikeluarkan pada tanggal 31 Oktober 2012, berisi 12
pasal, sebagai acuan bagi pemrakarsa, mitra dan pemerintah dalam
pengajuan registrasi dan penyelenggaraan DA REDD+ di kawasan
konservasi. DA REDD+ di TNMB telah mengajukan proposal registrasi
bersama-sama dengan DA REDD+ di Taman Nasional lainnya yaitu
Berbak, Tesso Nilo, dan Sebangau. Pada prinsipnya proses registrasi telah
disetujui oleh Dirjen PHKA melalui Surat Nomor S-25/IV-
PJLKKHL/2012/2012 tanggal 22 Januari 2013 (Wibowo, Maryani, &
Partiani, 2012).
3) Seminar/workshop
Berbagai seminar dan workshop telah dilaksanakan sebagai sarana untuk
tukar menukar informasi terkait pelaksanaan DA di berbagai tempat di
Indonesiaselain itu, berbagai pertemuan dilakukan Dirjen PHKA untuk
mendukung upaya pengelolaan dan pemanfaatan kawasan konservasi
secara alami (Wibowo, Maryani, & Partiani, 2012).
3.2.3 Manfaat Kegiatan DA REDD+ DI TNMB
Sebagaimana dijelaskan dalam tujuan Penyelenggaraan DA REDD+ di
TNMB yaitu memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi dari deforestasi
dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan melalui
peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi dan pengelolaan Taman
Nasional Meru Betiri tertuang dalam berbagai bentuk kegiatan. Rangkaian
kegiataan DA REDD+ tersebut menjadi salah satu konsep pembelajaran untuk
penerapan mekanisme REDD di kawasan hutan konservasi sebelum
diimplementasikan secara
Konservasi hutan menjadi tujuan utama dimana didalamnya mencakup
upaya perbaikan fungsi ekosistem hutan. Hutan TNMB dikenal sebagai salah satu
hutan yang memiliki nilai biodiversitas tinggi untuk kekayaan flora dan fauna.
Berbagai jenis tipe hutan
mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Di dalamnya tumbuh
aneka flora seperti bunga Rafflesia (
sp.), Api-api (Avicennia sp.), waru (
inophyllum), Rengas (
(Alstonia scholaris), Bendo (
obat. Selain itu, kawasan TNMB merupakan habitat dari beberapa satwa yan
dilindungi termasuk 29 jenis mamalia, 180 jenis burung, dan 3 jenis penyu (penyu
belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau).
Upaya konservasi hutan dan pelestarian ekosistem akan berjalan dengan
baik seiring dengan meningkatnya kesadaran dan partisip
kegiatan konservasi akan berjalan dengan baik jika masyarakat dilibatkan secara
langsung dalam rangakain kegiatan proyek. Masyarakat adalah aktor utama yang
Kerjasamakelembagaan
dan kemitraan
Universitas Indonesia
penerapan mekanisme REDD di kawasan hutan konservasi sebelum
diimplementasikan secara penuh.
Konservasi hutan menjadi tujuan utama dimana didalamnya mencakup
upaya perbaikan fungsi ekosistem hutan. Hutan TNMB dikenal sebagai salah satu
hutan yang memiliki nilai biodiversitas tinggi untuk kekayaan flora dan fauna.
Berbagai jenis tipe hutan yang terdapat di kawasan TNMB antara lain hutan
mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Di dalamnya tumbuh
aneka flora seperti bunga Rafflesia (Rafflesia zollingeriana), bakau (
api (Avicennia sp.), waru (Hibiscus tiliaceus), nyamplung (
), Rengas (Gluta renghas), Bungur (Lagerstroemia speciosa
), Bendo (Artocarpus elasticus), serta berbagai jenis tanaman
obat. Selain itu, kawasan TNMB merupakan habitat dari beberapa satwa yan
dilindungi termasuk 29 jenis mamalia, 180 jenis burung, dan 3 jenis penyu (penyu
belimbing, penyu sisik, dan penyu hijau).
Upaya konservasi hutan dan pelestarian ekosistem akan berjalan dengan
baik seiring dengan meningkatnya kesadaran dan partisipasi masyarakat. Setiap
kegiatan konservasi akan berjalan dengan baik jika masyarakat dilibatkan secara
langsung dalam rangakain kegiatan proyek. Masyarakat adalah aktor utama yang
ManfaatDA REDD+
TNMB
KonservasiHutan
Peningkatanpartisipasi
masyarakat
PeningkatanKesejahteraan
Masyarakat
Kerjasamakelembagaan
dan kemitraan
77
Universitas Indonesia
penerapan mekanisme REDD di kawasan hutan konservasi sebelum
Konservasi hutan menjadi tujuan utama dimana didalamnya mencakup
upaya perbaikan fungsi ekosistem hutan. Hutan TNMB dikenal sebagai salah satu
hutan yang memiliki nilai biodiversitas tinggi untuk kekayaan flora dan fauna.
yang terdapat di kawasan TNMB antara lain hutan
mangrove, hutan rawa, dan hutan hujan dataran rendah. Di dalamnya tumbuh
), bakau (Rhizophora
), nyamplung (Calophyllum
Lagerstroemia speciosa), Pulai
), serta berbagai jenis tanaman
obat. Selain itu, kawasan TNMB merupakan habitat dari beberapa satwa yang
dilindungi termasuk 29 jenis mamalia, 180 jenis burung, dan 3 jenis penyu (penyu
Upaya konservasi hutan dan pelestarian ekosistem akan berjalan dengan
asi masyarakat. Setiap
kegiatan konservasi akan berjalan dengan baik jika masyarakat dilibatkan secara
langsung dalam rangakain kegiatan proyek. Masyarakat adalah aktor utama yang
Peningkatanpartisipasi
masyarakat
78
Universitas Indonesia
memiliki hubungan emosional dan interakasi langsung dengan eksistensi kawasan
TNMB. Beberapa metodologi yang dikembangkan dalam kegiatan pelibatan
masyarakat yaitu peningkatan kapasitas (capacity building), penyadaran
(awareness rising) dan peningkatan pendapatan.
Peningkatan kapasitas ditujukan untuk meningkatkan keterlibatan
masyarakat dalam tahapan implementasi proyek yaitu pada kegiatan yang
berkaitan dengan MRV, dimana masyarakat dilatih dan diberi pengetahuan yang
berkaitan dengan upaya mengurangi aktivitas yang dapat mereduksi cadangan
karbon hutan serta di sisi lain meningkatkan stok karbonnya (Wibowo, Partiani, &
Rachmawati, Demostration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional Meru
Betiri, 2013). Peningkatan kapasitas juga dimaksudkan untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat. Hal ini merupakan kunci pokok untuk mengurangi
interaksi negatif masyarakat terhadap TNMB seperti pembalakan liar dan
perambahan hutan. Beberapa upaya alternatif sumber pendapatan masyarakat
yang termasuk dalam desa penyangga mulai digalakkan dengan difasilitasi oleh
LSM lokal melalui pemberdayaan secara optimal terkait sumberdaya wilayah
yang ada.
Kegiatan DA REDD+ menjadi salah satu gerbang pembuka untuk
melibatkan sejumlah pihak turut berpartisipasi dan menyadarkan fungsi serta
perannya masing-masing dalam upaya konservasi hutan. Peningkatan kapasitas
kelembagaan dan sumberdaya manusia melalui pengembangan metode
inventarisasi kawasan hutan konservasi, perhitungan karbon dan pengelolaan basis
data dinilai dapat memberikan kontribusi signifikan pada upaya mitigasi
perubahan iklim. Selain itu, kegiatan ini dianggap sebagai pelopor pendekatan
kemitraan antara pihak TNMB dan masyarakat sekitar desa penyangga (Wibowo,
Partiani, & Rachmawati, Demostration Activity (DA) REDD+ di Taman Nasional
Meru Betiri, 2013).
79
Universitas Indonesia
BAB 4PERILAKU ADAPTASIKOMUNITAS LOKAL DALAM UPAYA
KONSERVASI KARBON HUTANPASCA DA REDD+
DI KAWASAN TAMAN NASIONAL MERU BETIRI KABUPATEN
JEMBER
Bab ini merupakan uraian temuan lapangan dari studi kasus mengenai
dampak kegiatan DA REDD+ yang ditinjau dari sisi kemampuan adaptif beserta
aksi adaptasikomunitas lokalpasca pelaksanaan DA REDD+ di 3 desa penyangga
Taman Nasional Meru Betiri yaitu Desa Andongrejo dan Desa Curahnongko
(Resort Andongrejo); dan Desa Wonoasri (Resort Wonoasri).
4.1Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA REDD+
Kegiatan DA REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri yang bertujuan
untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan serta meningkatkan
cadangan karbon hutan melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam
konservasi dan pengelolaan kawasan hutan diimplementasikan melalui beberapa
kegiatan yang berkaitan dengan karbon dan pelibatan komunitas lokal. Dari
rangkaian kegiatan tersebut kemudian penelitian ini difokuskan pada dampak
yang ditimbulkan dari kegiatan DA REDD+ khususnya kemampuan adaptif
komunitas lokal. Dalam pengidentifikasiankemampuan adaptif, peneliti
menggunakan kerangka yang dikemukakan oleh ACCRA yang terdiri atas 5
karakteristik.
Berdasarkan pengenalan dasar mengenai pemahaman ini selanjutnya
akan diidentifikasi kemampuan adaptif dari komunitas lokal di 3 desa penyangga
Kawasan TNMB.Hal ini digunakan untuk mengetahui lebih jauh konsep
kepemahaman dapat menjadi bagian dari perwujudan kemampuan adaptif
komunitas lokaldalam upaya konservasi hutan TNMB.
79
4.1.1 Asset Base (Ase
Aset dasar yang dimiliki
yaitu :
a. Natural Capital
Sebagai status desa penyangga, masyarakat sekitar TNMB berhak
menerima lahan rehabilitasi sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan
masyarakat dalam m
perambahan di zona rimba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pihak manajemen
Balai TNMB.“Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan adanya lahan
rehabilitasi. Dengan harapan masyarakat itu tidak ak
kayu maupun non kayu.” (Ngh, Mei 2014)
Natural capital
oleh semua informan.
rehabilitasi yang merupakan pemberian dari pihak manajemen TNMB
status ijin pengelolaan saja bukan merupakan hak milik
Andongrejo dan Curahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90% mas
sini punya lahan di rehab.” (Skw, Mei, 2014)
Gambar 4.
Sumber : Dokumen Penelitian
Hal yang sama diungkapan oleh Sjt
kehidupan sekitar desa penyangga itu sudah sejahtera, tidak terlalu bergantung
sama hutan.” Seperti halnya Sjt, Sri pun mengungkapkan hal yang sama. “Adanya
Universitas Indonesia
(Aset Dasar)
Aset dasar yang dimiliki komunitas lokaldibedakan menjadi
Sebagai status desa penyangga, masyarakat sekitar TNMB berhak
menerima lahan rehabilitasi sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonominya serta tidak melakukan
perambahan di zona rimba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pihak manajemen
Balai TNMB.“Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan adanya lahan
rehabilitasi. Dengan harapan masyarakat itu tidak akan merambah hasil hutan baik
kayu maupun non kayu.” (Ngh, Mei 2014)
Natural capital yang merupakan salah satu aset dasar yang hampir dimiliki
eh semua informan. Natural capital berkaitan dengan aset lahan di zona
rehabilitasi yang merupakan pemberian dari pihak manajemen TNMB
status ijin pengelolaan saja bukan merupakan hak milik. “Mayoritas masyarakat di
urahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90% mas
sini punya lahan di rehab.” (Skw, Mei, 2014)
Gambar 4. 1 Lahan rehabilitasi di Desa Curahnongko
Sumber : Dokumen Penelitian
Hal yang sama diungkapan oleh Sjt (2014), “Adanya lahan rehab itu taraf
desa penyangga itu sudah sejahtera, tidak terlalu bergantung
Seperti halnya Sjt, Sri pun mengungkapkan hal yang sama. “Adanya
80
Universitas Indonesia
dibedakan menjadi 4 kelompok
Sebagai status desa penyangga, masyarakat sekitar TNMB berhak
menerima lahan rehabilitasi sebagai upaya untuk mengakomodir kepentingan
emenuhi kebutuhan ekonominya serta tidak melakukan
perambahan di zona rimba. Hal ini diperkuat dengan pernyataan pihak manajemen
Balai TNMB.“Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan adanya lahan
an merambah hasil hutan baik
yang merupakan salah satu aset dasar yang hampir dimiliki
berkaitan dengan aset lahan di zona
rehabilitasi yang merupakan pemberian dari pihak manajemen TNMB dengan
. “Mayoritas masyarakat di
urahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90% masyarakat
Lahan rehabilitasi di Desa Curahnongko
Adanya lahan rehab itu taraf
desa penyangga itu sudah sejahtera, tidak terlalu bergantung
Seperti halnya Sjt, Sri pun mengungkapkan hal yang sama. “Adanya
rehab itu lebih banyak kemajuan. Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita
mencari kayu, sekarang kan nggak perl
menambah penghasilan.” (Sri, Mei 2014)
Namun, bagi kedua desa yaitu Curahnongko dan Andongrejo, keberadaan
lahan di rehabilitasi menjadi sangat penting utamanya untuk mendukung kegiatan
perekonomiannya dalam mencukupi
berlaku di Desa Wonoasri, yang sebagian besar masyarakatnya tidak terlalu
menggantungkan pad
Bagi masyarakat Wonoasri, hasil dari lahan rehab hanya meru
sampingan.“Sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu bergantung sama lahan
rehab, tapi kebanyakan masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti kalau
sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa
selalu diandalkan hasilnya, apalagi kayak sekarang lagi
kemarau).” (Ssw, Mei 2014).
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pnm (Mei, 2014),
sambilan aja mbak, nungguin lahan punya orang.
tidak dapat diandalkan sepenuhnya, karena cenderung bergantung dengan musim,
musim penghujan akan lebih menguntungkan bagi petani untuk mengolah lahan
jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tanaman sulit untuk tumbuh, hanya
jenis tanaman tertentu yang bis atumbuh dengan baik. Selain itu, bekerja sebagai
buruh di kebun juga menjadi alasan mengapa penduduk Wonoasri hanya
menjadikan lahan rehab sebagai sampingan.
Gambar 4. 2 Perkebunan Karet sebelu
Sumber : Dokumen Penelitian
Universitas Indonesia
rehab itu lebih banyak kemajuan. Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita
mencari kayu, sekarang kan nggak perlu lagi. Adanya lahan rehab sudah bisa
menambah penghasilan.” (Sri, Mei 2014)
Namun, bagi kedua desa yaitu Curahnongko dan Andongrejo, keberadaan
lahan di rehabilitasi menjadi sangat penting utamanya untuk mendukung kegiatan
perekonomiannya dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Namun hal ini tidak
aku di Desa Wonoasri, yang sebagian besar masyarakatnya tidak terlalu
da hasil dari sistem pengelolaan agroforestri lahan rehabilitasi.
Bagi masyarakat Wonoasri, hasil dari lahan rehab hanya merupakan penghasilan
sampingan.“Sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu bergantung sama lahan
rehab, tapi kebanyakan masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti kalau
sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa
elalu diandalkan hasilnya, apalagi kayak sekarang lagi mangsa ketiga
kemarau).” (Ssw, Mei 2014).
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pnm (Mei, 2014),
sambilan aja mbak, nungguin lahan punya orang.” Keberadaan lahan rehabilitasi
tidak dapat diandalkan sepenuhnya, karena cenderung bergantung dengan musim,
musim penghujan akan lebih menguntungkan bagi petani untuk mengolah lahan
jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tanaman sulit untuk tumbuh, hanya
jenis tanaman tertentu yang bis atumbuh dengan baik. Selain itu, bekerja sebagai
buruh di kebun juga menjadi alasan mengapa penduduk Wonoasri hanya
menjadikan lahan rehab sebagai sampingan.
Perkebunan Karet sebelum memasuki Lahan Rehabilitasi di Desa
Wonoasri
Penelitian
81
Universitas Indonesia
rehab itu lebih banyak kemajuan. Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita
u lagi. Adanya lahan rehab sudah bisa
Namun, bagi kedua desa yaitu Curahnongko dan Andongrejo, keberadaan
lahan di rehabilitasi menjadi sangat penting utamanya untuk mendukung kegiatan
kebutuhan hidupnya. Namun hal ini tidak
aku di Desa Wonoasri, yang sebagian besar masyarakatnya tidak terlalu
lahan rehabilitasi.
pakan penghasilan
sampingan.“Sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu bergantung sama lahan
rehab, tapi kebanyakan masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti kalau
sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa
mangsa ketiga (musim
Hal ini diperkuat dengan pernyataan Pnm (Mei, 2014), “Disini cuma
Keberadaan lahan rehabilitasi
tidak dapat diandalkan sepenuhnya, karena cenderung bergantung dengan musim,
musim penghujan akan lebih menguntungkan bagi petani untuk mengolah lahan
jika dibandingkan dengan musim kemarau. Tanaman sulit untuk tumbuh, hanya
jenis tanaman tertentu yang bis atumbuh dengan baik. Selain itu, bekerja sebagai
buruh di kebun juga menjadi alasan mengapa penduduk Wonoasri hanya
m memasuki Lahan Rehabilitasi di Desa
Gambar 4.
Sumber : Dokumen Penelitian
b. Human Capital
Human capital
perannya sangat penting dalam mengetahui karakteristik dan potensi individu
dalam upaya konservasi.
peran individu maupun kelompok memiliki pengaruh yang
petani rehabilitasi di Desa Curahnongko memiliki
khususnya terkait dengan kesadaran individu maupun beberapa kelompok petani
rehabilitasi. Seperti penuturan
itu bagus, tapi ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau kelompok saya masih
bisa dikatakan mereka peduli dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah
yang sadar, kalau yang enggak ya susah diajak kerjasama menjaga hutan.
Keasadaran yang dimiliki petani reha
Universitas Indonesia
Gambar 4.3 Lahan Rehabilitasi di Desa Wonoasri
Penelitian
Human capital merupakan asset dasar yang dimiliki individu dimana
perannya sangat penting dalam mengetahui karakteristik dan potensi individu
dalam upaya konservasi. Dalam upaya peningkatan konservasi karbon hutan,
peran individu maupun kelompok memiliki pengaruh yang besar.
rehabilitasi di Desa Curahnongko memiliki human capital
khususnya terkait dengan kesadaran individu maupun beberapa kelompok petani
Seperti penuturan Pnm (2014), “Individu masyarakat Curahnongko
tapi ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau kelompok saya masih
bisa dikatakan mereka peduli dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah
yang sadar, kalau yang enggak ya susah diajak kerjasama menjaga hutan.
Keasadaran yang dimiliki petani rehabilitasi di Desa Curahnongko relatif tidak
82
Universitas Indonesia
Lahan Rehabilitasi di Desa Wonoasri
merupakan asset dasar yang dimiliki individu dimana
perannya sangat penting dalam mengetahui karakteristik dan potensi individu
Dalam upaya peningkatan konservasi karbon hutan,
besar. Kelompok
human capital yang baik,
khususnya terkait dengan kesadaran individu maupun beberapa kelompok petani
Individu masyarakat Curahnongko
tapi ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau kelompok saya masih
bisa dikatakan mereka peduli dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah, itu kalau
yang sadar, kalau yang enggak ya susah diajak kerjasama menjaga hutan.”
bilitasi di Desa Curahnongko relatif tidak
83
Universitas Indonesia
sama, karena setiap individu memiliki tingkat kepedulian dan kesadaran yang
berbeda terkait upaya konservasi karbon hutan TNMB.
Human capital yang dimiliki kelompok wanita di Desa Curahnongko
nampaknya belum memiliki motivasi yang kuat dalam meningkatkan upaya
konservasi hutan. Dapat digambarkan bahwa hanya sebagian kelompok wanita
saja terutama ketua kelompok pengajian yang cukup memiliki semangat dan
kepedulian tinggi terhadap hutan. “Susah kalau semua ibu-ibu itu bisa mau terima
yang disarankan. Kan tergantung sama orangnya, niatnya apa sama hutan.” (Syh,
Mei 2014). Sejumlah upaya penyadaran ke kelompok wanita anggota pengajian,
nampaknya tidak memiliki pengaruh yang besar untuk mengajak kaum lelaki
khususnya yang terlibat langsung dalam pengelolaan lahan rehabilitasi. Kaum
lelaki memiliki pengaruh kuat dalam membentuk kondisi human capital
kelompok wanita. Lelaki terkesan mendominasi dalam kehidupan keluarga dan
bermasyarakat, mengingat bahwa peran agama cukup kuat mempengaruhi stigma
kelompok wanita bahwa lelaki adalah kepala keluarga yang memegang kekuasaan
tertinggi dalam kehidupan berumah tangga dan sebagai penentu pengambilan
keputusan keluarga.
Lain halnya dengan human capital yang tergambarkan di Desa
Andongrejo, khususnya pada kelompok petani rehabilitasi. Kesadaran masing-
masing kelompok petani rehabilitasi cenderung beragam. Namun, masih banyak
dijumpai kelompok petani yang kurang sadar dengan upaya konservasi hutan.
Kelompok petani tidak secara general mengetahui apa manfaat hutan,
kecenderungannya adalah tidak berhasilnya reforestasi di lahan rehabilitasi.
Motivasi dari dalam individu maupun kelompok petani masih kurang, karena
tidak didukung oleh pengetahuan yang memadai serta tingkat kepedulian terhadap
konservasi hutan yang rendah.
Human capital yang dimiliki kelompok wanita relatif baik jika ditinjau
dari tingkat pengetahuan dan kesadaran dalam upaya konservasi hutan yang juga
terwujud dalam tindakan nyata untuk turut serta menjaga kelestarian hutan. Hal
ini tergambarkan dari pernyataan kelompok wanita TOGA di Andongrejo yang
mengungkapkan bahwa, “Kalau dari kelompok TOGA itu semangatnya tinggi
84
Universitas Indonesia
untuk menjaga hutan, soalnya kalau hutannya gundul TOGA ikut merasakan...”
(Mn, Mei 2014). Kesadaran yang dimiliki masyarakat menjadi modal awal untuk
pelibatan partisipatif kelompok wanita dalam upaya konservasi hutan.Kesadaran
itu timbul karena secara tidak langsung kondisi hutan di lahan rehabilitasi akan
mempengaruhi hasil TOGA. Jika hutannya gundul, siklus hidup tanaman empon-
empon akan terganggu, sehingga tanaman pokok hutan perlu dijaga agar empon-
empon dapat tumbuh dengan baik.
Kelompok petani rehabilitasi di Wonoasri, human capital yang dimiliki
masing-masing individu sudah relatif baik terkait kesadaran dan kemauan untuk
turut serta menjaga hutan. menurut Tmn (2014), yang merupakan salah satu ketua
kelompok tani menyatakan bahwa,“Masyarakat Wonoasri, Alhamdulillah sudah
hampir 70% ada tanaman pokoknya, artinya masyarakat sudah sadar untuk
melestarikan hutan. Beda dengan desa lainnya seperti Curahnongko, Andongrejo.
Masyarakat sini lebih nurut dan pangerten (pengertian).” (Tmn, Mei 2014).Hal ini
juga diperkuat dengan pernyataan Mst (2014), “Orang Wonoasri mudah dibina,
masyarakatnya cenderung nurut. Beda dengan masyarakat desa lainnya.”
Masyarakat Wonoasri memiliki karakteristik yang mudah untuk diajak
berkomunikasi dan bekerjasama khususnya untukmenjaga tanaman pokok di lahan
rehabilitasi.
Human capital kelompok wanita di Desa Wonoasri tidak dapat
digambarkan secara jelas, karena pengaruh dan perannnya dalam upaya
konservasi hutan relatif kecil. Kepedulian terhadap lahan rehabilitasi tidak begitu
menonjol, hal ini dikarenakan pola kehidupan kelompok wanita lebih banyak
bekerja di perkebunan karet milik PTPN dan mengurus rumah tangga. Interaksi
dengan lahan rehabilitasi tidak dilakukan secara intens. Selain itu, terlihat bahwa
kurangnya inisiatif dan kemampuan dari individu maupun kelompok untuk
berinovasi melalui pengelolaan hasil hutan.
c. Social Capital
Karakteristik social capital masyarakat di 3 desa cenderung beragam. Ada
yang menggambarakan hubungan antarkelompok terjalin begitu kuat. Sehingga ini
menjadi modal untuk menggerakkan masyarakat melalui partisipasi dalam upaya
85
Universitas Indonesia
konservasi karbon hutan. Gambaran social capital Desa Curahnongko yang
terjalin baik yaitu kelompok petani rehabilitasi dan kelompok wanita (jamaah
muslimatan/tibakan). “Kelompok petani disini mudah digerakkan (Jaketresi), pagi
pagi pun kalau disuru kumpul ya kumpul, setiap tahun saya sering merayakan
ulang tahunnya Jaketresi, biasanya ada acara selamatan nanti mengundang TN. Ya
ini sebagai bentuk kearifan lokal lah.” (Prm, Mei 2014). Seperti juga yang
dikemukakan oleh Sri (2014), “Curahnongko itu orangnya kompak Mbak dari
dulu, kalau ada acara kumpul kumpul kita selalu kompak dateng. Sampai sekarang
itu. Disitu nanti ada omong-omong dari ketua kelompoknya, kalau habis ikut
pelatihan, ya disampaikanlah disitu.” Kondisi social capital digambarkan dari
loyalitas anggota kelompok tani untuk bersama-sama menjaga kelestarian hutan.
Peran ketua kelompok tani merupakan kunci kekuatan bagi terbentuknya social
capital yang terbentuk di kelompok petani rehabilitasi.
Pihak Manajemen TNMB memperkuat dukungan bahwa social capital
yang dimiliki kelompok tani Curahnongko tidak dimiliki kelompok tani di desa
lainnya.“Kalau di Curahnongko - Jaketresi pasti setiap bulan ada pertemuan
kelompok. Tapi kalau yang lain sepertinya enggak.” (Ngh, 2014). Pertemuan rutin
tersebut menjadi upaya dari ketua kelompok tani untuk mempererat hubungan
antaranggota. Pertemuan tidak hanya dilakukan dalam acara formal, tetapi juga
informal misalnya ketika sedang bercocok tanam di lahan rehabilitasi. Hal ini
menjadi modal sekaligus potensi yang dapat dikembangkan untuk melibatkan
kelompok petani rehabilitasi dalam upaya konservasi karbon hutan.
Peran pendampingan yang dilakukan oleh LSM KAIL menjadi pendorong
yang mampu memotivasi kelompok petani. Masyarakat dianggap sebagai modal
yang dapat dimanfaatkan untuk diajak bekerjasama dalam menjaga kelestarian
hutan. Adanya pengembangan pola kemitraan dalam pengelolaan hutan TNMB di
lahan rehabilitasi, dinilai menjadi hal penting dalam meningkatkan social capital
kelompok petani rehabilitasi. Kelompok petani di Desa Curahnongko menjadi
salah satu model pengelolaan hutan dalam kerangka kemitraan. “Masyarakat
makin tentrem, adem oh berarti inisiatif kami yang dahulunya dianggap sebagai
pelanggaran, sekarang justru dijadikan model bagaimana masyarakat bisa
86
Universitas Indonesia
mengelola kawasan dalam kerangka kemitraan. Sedangkan lokasi-lokasi lain
belum tentu ada yang seperti ini. Bagaimana masyarakat mengembangkan
kemitraan dalam pengelolaan lahan.” (Nrh, Mei 2014)
Kelompok wanitadi Desa Curahnongkotergambarkan kondisi social
capital-nyaterbentukdari hubungan kedekatan kumpulan ibu-ibu dalam.kegiatan
pengajian rutin mingguan. Kumpulan pengajian ini dipandang sebagai bentuk
organisasi semi formal yang memiliki peran strategis dalam melibatkan dan
meningkatkan peran kelompok wanita dalam upaya konservasi. “Kumpulan
jamaah muslimatan itu rajin setiap minggu, ibu-ibu disini kompak kalau ada
pengajian gitu. Banyak kelompoknya, biasanya selain pengajian juga ada omong-
omong pelestarian hutan.Tapi ya gitu Mbak, susah kalau semua ibu-ibu itu bisa
mau terima yang disarankan. Kan tergantung sama orangnya, niatnya apa sama
hutan”(Syh, Mei 2014).
Social capital di Desa Andongrejo dapat digambarkan pada kelompok
petani rehabilitasi menunjukkan hubungan yang tidak terlalu baik. Hal ini dinilai
dari kurang aktifnya kepengurusan kelompok petani rehabilitasi. Menurut Skr
(2014), “Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif.” Begitu pula hal yang sama
dikemukakan Sjt (2014), “SPKP nggak jalan, pengurusnya itu sudah nggak terlalu
minat buat ngurusi kegiatan yang nggak ada penghasilannya”. Kelompok petani
memiliki peran penting dalam upaya konservasi karbon hutan. Kelompok petani
merupakan aktor utama yang kesehariannya terlibat langsung dengan kegiatan di
lahan rehabilitasi. Peran ketua kelompok tani tidak cukup strategis untuk
menggerakkan anggota kelompok tani lainnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
social capital kelompok tani rehabilitasi yang digambarkan di Desa Andongrejo
tidak menunjukkan hasil yang positif. Peran social capital dalam kelompok petani
rehabilitasi tidak dapat dijadikan sebagai kunci pelibatan partisipasi masyarakat
dalam upaya konservasi karbon hutan.
Lain halnya dengan kelompok wanita di Desa Andongrejo yang cenderung
lebih aktif dan terkesan hidup. Hal ini dapat dilihat dari eksistensi kelompok
wanita jamu tradisional Sumber Waras yang terbentuk sejak tahun 1993 hingga
saat ini masih tetap eksis. “Dibentuk kelompok untuk pembuatan jamu, untuk
mempermudah koordinasi. Kelompok itu dipilih yang berdekatan. Setiap
87
Universitas Indonesia
kelompok punya tugas membuat jamu yang beda-beda, tapi itu nanti bergilir.”
(Ktm, Mei 2014).
Kekompakan yang dimiliki kelompok wanita ini menjadi salah satu potensi
dalam upaya pelibatan peran wanita dalam kegiatan konservasi karbon hutan.
Kelompok ini menjadi salah satu sasaran dalam kegiatan pemberdayaan
masyarakat terkait implementasi program kegiatan DA REDD+. kegiatan yang
dilakukan yaitu budidaya tanaman empon-empon di lahan rehabilitasi untuk
kemudian diolah menjadi ramuan jamu tradisional. Jaringan dalam kelompok
wanita ini, memiliki peran strategis untuk menggerakkan peran wanita lainnya di
Desa Andongrejo terutama untuk menjaga tanaman pokok di lahan rehabilitasi
serta budidaya empon-empon. Tidak terlepas dari pendampingan yang dilakukan
oleh LSM KAIL sehingga eksistensinya cukup tampak nyata dalam sejumlah
kegiatan ekonomi produktif.
Social capital di Desa Wonoasri pada kelompok petani rehabilitasi yang
cukup strategis. Pertemuan antarkelompok petani rehabilitasi juga sering
dilakukan dimana kegiatan ini merupakan fasilitasi untuk mengakomodir
kepentingan petani terutama jika ditemui permasalahan di lahan rehabilitasi
sehingga kemudian akan diberikan solusi pemecahan hasil diskusi bersama.
Jaringan kelompok petani rehabilitasi di Desa Wonoasri menjadi kunci penentu
dalam upaya konservasi hutan, dimana keterlibatan kelompok wanita tidak cukup
memiliki peran strategis. Kesadaran yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi
untuk menjaga kelestarian hutan dapat menjadi penggerak utama untuk mengubah
perilaku positif ke arah konservasi hutan walaupun tanpa pendampingan LSM.
Menurut penuturan Mst (2014), “Kelompok tani sebagai prasarana untuk
menampung hal yang menjadi kebutuhan setiap kelompok tani, dibentuk ini biar
nggak semrawut, jadi biar nggak masing-masing petani tidak membuat usul
sendiri-sendiri. Kelompok petani disini bagus hubungannya. Perannya ke
kelompok tani juga mendukung dan memfasilitasi.”
d. Financial Capital
Financial capital dari kegiatan DA REDD+ dapat dipahami bahwa
terdapatalternatif mata pencaharian serta upaya peningkatan pendapatan yang telah
dilakukan melalui sejumlah kegiatan DA REDD+ misalnya Budidaya Jamur
88
Universitas Indonesia
Tiram. Menurut penuturan salah satu staf TNMB,“Tujuan DA REDD+ sendiri itu
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program peningkatan
kesejahteraan melalui DA REDD+ baik peningkatan penghasilan. Salah satunya
dari budidaya jamur tiram.” (Ngh, Mei 2014)
Adanya kegiatan DA REDD+ dinilai dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat, hal itu didukung oleh penuturan beberapa informan yang dinilai
memberikan gambaran kondisi komunitas lokal dari kondisi financial capital dari
kegiatan DA REDD+ melalui budidaya jamur tiram. “Waktu itu saya ikut
pelatihan budidaya bibit jamur tiram di Malang, dan saya juga sudah praktek di
rumah sampai sekarang Alhamdulillah lumayan hasilnya, per kilo harganya Rp.
10.000.” (Prm, Mei 2014). Selain itu, kegiatan budidaya jamur tiram juga mampu
mengurangi ketergantungan individu terhadap hasil hutan. “Budidaya jamur tiram
bantuan dari TN itu kan tujuannya supaya bisa menambah pendapatan. Contohnya
sehari saya dapat sepuluh ribu, 5 ribu dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan
artinya nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa mengurangi sekian
persennya ketergantungan terhadap hutan.” (Skw, Mei 2014)
Dampak dari finanacial capital dari kegiatan DA REDD+, menurut
pengamatan salah satu aparat Desa Curahnongko, menyebutkan bahwa budidaya
jamur itu hanya dirasakan oleh individu saja, tidak sampai merata pada semua
kelompok masyarakat yang ada.“Kalau dari segi ekonomi nampaknya belum bisa
dikatakan baik, karena hanya sebagian kecil saja yang menerima dampak dari
kegiatan ekonomi (budidaya jamur), kecuali nanti sudah ada mekanisme
pembagian kredit karbon dari penerapan REDD+. Mungkin masyarakat bisa
merasakan dampak dari segi ekonominya. Budidaya jamur yang ada itu hanya
beberapa orang saja, bukan kelompok disini yang saya lihat.” (Abh, Mei 2014).
Pada dasarnya, budidaya jamur tiram diberikan pada kelompok namun untuk
pengembangannya dilimpahkan pada perorangan, dengan tujuan agar jika
pengelolaan perorangan berhasil akan dapat ditiru dan dikembangkan dengan
kelompok lainnya. Tetapi nyatanya proses itu tidak cukup berhasil untuk
dikembangkan secara turun temurun dalam anggota kelompok petani lainnya.
Selain budidaya jamur, upaya peningkatan kesejahteraan komunitas lokal
menyasar pada kelompok wanita melalui budidaya jamu tradisional. “Kalau dari
89
Universitas Indonesia
kelompok TOGA penambahan bertambah, di lahan rehab ditanami jamu jamuan,
diolah dijual dan kluarnya ya mahal”( Mn, Mei 2014). Pendapatan tersebut dinilai
bertambah setelah terbentuk kesadaran penduduk untuk menjaga tanaman pokok,
sehingga produktivitas empon-empon tidak terganggu. “Pendapatan meningkat
walaupun tidak langsung, secara bertahap, karena kesadaran petani untuk
menanami pohon (tanaman pokok) dan peje misalnya. Tanaman dibawahnya jadi
subur. Yang dibawah kan saya tanami empon-empon.” (Ktm, Mei 2014).
Beberapa kegiatan diatas, dipandang sebagai financial capital yang
dimiliki kelompok komunitas lokal untuk menciptakan strategi baru mata
pencaharian yang berbeda. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan
komunitas lokal dan mengurangi ketergantungan pada hasil hutan di lahan
rehabilitasi maupun di zona inti.
4.1.2Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
Kegiatan DA REDD+ di Kawasan TNMB tidak secara langsung
melibatkan seluruh komponen masyarakat yang ada, tetapi dalam kegiatannya
hanya melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh dan peran
penting dalam komunitas lokal. Pihak Manajemen Balai TNMB menerangkan
bahwa tidak ada pemilihan khusus untuk melibatkan partisipasi komunitas lokal di
desa penyangga. Namun, demi terlaksananya transferability pengetahuan
mengenai REDD+secara baik dan menyeluruh, maka keterlibatan tokoh sentral
dalam suatu komunitas diangap penting karena memiliki pengaruh yang dapat
mengubah perilaku komunitas maupun kelopok tertentu dalam menwujudkan
konservasi karbon hutan.
Peneliti melakukan identifikasi pemahaman komunitas lokal mengenai
REDD+ (Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus) dengan
tujuan untuk mengetahui pemahaman komunitas lokal terhadap definisi REDD+
yang secara tidak langsung mampu merekonstruksi hasil informasi dan
pengetahun ke dalam tindakan/perilaku nyata sehingga mampu meningkatkan
kemampuan adaptif komunitas lokal.. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan,
komunitas lokal yang mengikuti kegiatan DA REDD+ maupun yang tidak
mengikuti memiliki perbedaan dalam pemahaman mengenai konsep REDD+.
90
Universitas Indonesia
Secara umum, komunitas lokal lebih menekankan pengertian REDD+ pada upaya
pelestarian hutan. Berikut hasil identifikasi pemahaman komunitas lokal mengenai
REDD+ yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) konsep yaitu :
(1) sebagai konsep upaya pelestarian hutan;
Komunitas lokal yang mengikuti kegiatan DA REDD+ mendefinisikan
REDD+ sebagai bagian dari konsep upaya pelestarian karbon. “REDD+ itu kan
tujuan intinya penghijauan, pengembalian fungsi hutan yang ada. Hutan berjalan
mengembangkan penghijauan, di daerah perdesaan tanah tanah kosong
dikembangkan juga penghijauan” (Skw, Mei 2014). Pernyataan tersebut seiring
dengan yang diungkapkan oleh petani di Wonoasri. “REDD+ itu seingat saya
tentang karbon, karbon hutan dari pohon di hutan. jadi, kita itu wajib menjaga
pohon di hutan utamanya lahan rehab. Intinya kegiatan itu tentang pelestarian
hutan. kita diberi pelatihan-pelatihan.” (Tmn, Mei, 2014)
Seperti halnya kelompok wanita berpendapat REDD+ merupakan bagian
dari upaya pelestarian hutan. “Yang diajarkan bagaimana cara melestraikan hutan
kembali. Tanaman boleh ditebang tapi harus ditanami lagi, kalau enggak nanti es
di kutub utara bisa meleleh karena hutan gundul.jadi kita juga ikut menjaga,
antisipasi dengan hutan jangan dibiarkan” (Ktm, Mei 2014). Pemahaman
mengenai REDD+ diperoleh dari pelatihan yang diadakan oleh LSM Lokal
dimana konsep yang dipahami juga menjadi bagian upaya pelestarian hutan.
“REDD+ itu kayak pelestarian hutan Mbak. Saya pernah ikut pelatihannya sama
KAIL. Masyarakat itu disuru menjaga hutan, pohon jangan ditebang.” (Syh, Mei,
2014)
Kelompok aparat desa yang memaknai REDD+ sebagai konsep
pelestarian hutan dituturkan oleh Abr, “REDD+ itu kan semacam program
penghijauan di lahan rehabilitasi. Pernyataan ini dikuatkan oleh pernyataan aparat
Desa Curahnongko. “Masyarakat diminta sumbangsih untuk melestarikan
hutan,ini sudah ada sejak dulu dimana notabene masyarakat wajib menjaga
hutannya. Masyarakat belum paham betul mengenai mekanisme REDD+ dan
karbon, yang mereka pahami hanya sebatas menjaga hutan.” (Abh, Mei 2014)
Tidak hanya kelompok komunitas yang mengikuti kegiatan REDD+ yang
memaknai REDD+ sebagai upaya pelestarian hutan. Kelompok yang tidak
91
Universitas Indonesia
mengikuti kegiatan DA REDD+juga memperoleh pemahaman yang sama
mengenai REDD+ dari pertemuan kelompok tani rehabilitasi. Pemahaman yang
diperoleh tentang REDD+ sebagai konsep pelestarian hutan diutarakan “REDD+
itu penanaman kembali dan melestarikan hutan lagi, setelah hutan itu ada
tegakannya dan menghasilkan oksigen” (Sjt, Mei 2014). “...yang saya ingat ya
tentang usaha melestarikan hutan, utamanya di lahan rehab. Kita disuru menjaga
taneman pokok, jangan ada yang ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet
disulam” (Sri, Mei 2014).
Konsep REDD+ terkait dengan upaya pelestarian hutan merupakan
konsep yang banyak dipahami oleh komunitas lokal yang ada di 3 wilayah desa
penelitian.
(2) sebagai akibat dari pemanasan global;
Pemahaman mengenai pemanasan global sebagai akibat dari hutan gundul
dipahami sebagai bagian dari REDD+.
“Lha disitulah orang-orang itu sadar kalau hutan gundul itu bisa
menyebabkan pemanasan global, itu ada istilah musim yang ndak
menentu dengan adanya rusaknya hutan. nah sekarang dgn adanya hutan
yg gundul terus sudah agak rimbun, hawanya agak dingin. Kalau dulu
waktu hutan hutan gundul itu, jam 9 itu panas, sudah nggak kuat kalau
mau ke lahan, tapi sekarang sudah agak rimbun” (Prm, Mei 2014)”
Pernyataan diperkuat oleh Ktm (2014), “Semua merasakan hawa panas
nggak karuan, karena hutan gundul. Pernyataan mengenai REDD+ sebagai bagian
dari pemanasan global yang menyebabkan bencana banjir dikemukakan oleh Mn
(2014), “Hutan perlu dijaga biar nggak banjir yang disekitarnya. Kemarin setahun
itu banjir berapa kali disini dari atas hutan itu. “
(3) sebagai bagian dari emisi yang dikeluarkan oleh hutan.
Pendapat bahwa REDD+ berkaitan dengan emisi yang dikeluarkan oleh
tumbuhan dikemukakan oleh Skw (2014), “REDD+ itu kan hubungan juga
dengan CO2, karbon apa itu kalau bahasa kampus. Jadi kalau pohon ditebang nanti
mengeluarkan emisi, dibakar juga akan mengeluarkan emisi.”Pernyataan itu
92
Universitas Indonesia
didukung dengan pernyataan Sjt mengenai pemahaman REDD+ dalam konteks
emisi yang dikeluarkan oleh hutan. Sjt mengetahui REDD+ sebagai sumber emisi
karbon berasal dari informasi teman-teman kelompok tani yang pernah mengikuti
kegiatan DA REDD+. “Kalau dari temen-temen yang sudah ikut REDD+, seperti
membakar hutan itu mengeluarkan emisi dan mengeluarkan racun. Pengetahuan
saya seperti itu. Degradasi kan mengeluarkan emisi termasuk mengeluarkan
racun, kalau menanam kan kita mendapat karbon dan mengeluarkan oksigen.”
(Sjt, Mei 2014).
Pemahaman yang diperoleh komunitas kelompok petani rehabilitasi dan
kelompok wanita diperoleh dari adanya transferability yang dilakukan oleh ketua
kelompok tani yang terlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+ kepada anggota
kelompok tani yang tidak terlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+. Hal ini
juga terjadi pada kelompok wanita. Karena tidak semua dilibatkan langsung dalam
kegiatan DA REDD+, maka kelompok wanita yang terlibat langsung dalam
kegiatan REDD+ berkewajiban menyampaiakan hasil yang diperoleh dari DA
REDD+ kepada kelompok wanita lainnya.
Proses transferability ini sangat dipengaruhi oleh peran aktif ketua
kelompok tani. Seperti halnya yang dilakukan oleh ketua kelompok petani
rehabilitasi di Curahnongko kepada anggota kelompok taninya. “Menyampaikan
ke masyarakat bisa di rumah dengan mengumpulkan masyarakat sewaktu ada
kegiatan kumpul-kumpul rutin, kadang juga sewaktu di lahan. Kalau di lahan
memberi masukan ke masyarakat itu lebih mudah. Kalau di rumah kan kadang-
kadang ngundang orang sepuluh, yang datang cuma 5-2 orang kalau langsung
terjun di lahan kan enak bisa sambil santai, orang lebih ngerti.” (Prm, Mei 2014).
Seperti halnya yang terjadi dikalangan kelompok wanita pengajian
muslimatan Desa Curahnongko, penyampaian dilakukan sewaktu kumpul
mingguan, “Pengajian tibakan itu ketuanya pernah menyampaikan soal pelestarian
hutan, ada ayat-ayatnya juga di Al-Qur’an kan. Ibu ketuanya yang nyampaikan”
(Sra, Mei 2014).Keterlibatan kelompok wanita pengajian merupakan bagian dari
melibatkan peran wanita dimana diharapkan terjadi internalisasi upaya konservasi
hutan melaui pendekatan agama, sebagaimana diturukan oleh manajemen LSM
93
Universitas Indonesia
KAIL. “…menghubungkan aspek keagamaan dalam konteks kehutanan. Jadi nanti
diperkenalkan ayat ayat mengenai konservasi, perlindungan hutan, jadi agama
tidak hanya berbicara mengenai ibdh maghda, tetapi juga dengan lingkungan
dimana menjadi bagian dari perintah agama, mengapa kemudian kita mengajak
ibu ibu pengajian. Ini kita anggap sebagai bentuk kearifan lokal yang diambil dari
dimensi keagaman, nilai etik yang diambil dari Quran.” (Nrh, Mei 2014).
Kelompok petani di Desa Andongrejo memperoleh pemahaman mengenai
DA REDD+ dari perkumpulan dengan kelompok petani di Desa Curahnongko.
“Saya itu tau info-info kalau pas lagi kumpul-kumpul sama petani petani, baik
yang dari Andongrejo maupun Curahnongko.” (Sjt, Mei 2014).
Pendekatan pada kelompok wanita di Desa Andongrejo, selain melalui
kegiatan kelompok pengajian juga pada kelompok wanita pengelola budidaya
jamu tradisional. Penyampaiannya pun sama seperti yang dilakukan di Desa
Curahnongko melalui pengajian muslimatan. “Penyampaian lewat muslimatan
juga bisa, kelompok muslimatan itu saya juga ketuanya. Sekaligus dari perwakilan
kelompok TOGA.” (Ktm, Mei 2014). Cara penyampaian ketua kelompok jamu
Sumber Waras cenderung unik. Agar penyampaian mudah dimengerti oleh
masyarakat, REDD+ lebih dipahamkan dengan konsep “pelestarian hutan”.
Beberapa hal yang disampaikan waktu itu berkenaan dengan upaya pelestarian
hutan. “Ketua kelompoknya itu menyampaikan ke ibu ibu yang lain, cara
melestarikan hutan. Misalnya hutan itu harus dijaga, pohonnya jangan sampai
ditebang, biar nggak panas, banjir. Nanti kalau banjir kita sendiri juga yang rugi.”
(Msr, Mei 2014)
Berbeda dengan Desa Wonoasri, transferability mengenai REDD+
cenderung tidak merata, anggota kelompok tani tidak semuanya paham dengan
REDD+ dan lingkup kegiatannya. Hal ini terlihat dari tanggapan dari kelompok
petani rehabilitasi ketika peneliti bertanya mengenai REDD+. “Saya nggak pernah
denger mbak apa itu. Jangan tanya saya kalau soal itu, saya nggak tahu apa-apa.”
(Srs, Mei 2014). Pernyataan ini diperkuat dengan Pnm (2014) yang menyatakan
“Nggak pernah tau itu mbak. Saya juga jarang ikut kumpul-kumpul.”
94
Universitas Indonesia
Tidak semua pihak yang mengikuti kegiatan pelatihan DA REDD+
menyampaikan hasil kegiatannya kepada kelompok petani maupun masyarakat
lainnya. “Nanti hasil dari pelatihan disampaikan ke kelompok tani, tapi
nyampaikannya nggak ke semua, kalau yang kebetulan ketemu saja misalnya dari
pertemuan yang diadakan rutin dari kelompok tani sendiri. Tapi nyampaikannya
bukan REDD+, ya pelestarian hutanlah Mbak biar mereka ngerti.” (Tmn, Mei
2014)
Hal ini diperkuat dengan pernyataan ketua kelompok tani lainnya yang
menyatakan, “Tidak semua orang tau apa itu REDD+, cuma orang tertentu saja
yang mungkin tahu, utamanya yang ikut pelatihan itu. Kalau REDD+ sendiri ya
tidak disampaikan ke petani lainnya.” (Dsr, Mei 2014). Seperti halnya pihak
manajemen Balai TNMB yang menyatakan bahwa istilah mengenai REDD+
maupun kegiatan DA REDD+ tidak diketahui oleh semua masyarakat Wonoasri
karena tidak adanya peran LSM lokal yang bergerak untuk melakukan
pemberdayaan masyarakat. “Kalau kelompok tani di Wonoasri itu tidak semuanya
tahu mungkin kegiatan REDD+, yang tahu mungkin hanya ketua kelompok tani
yang dulu pernah ikut kegiatan di hotel. Karena apa, karena tidak dimasuki oleh
LSM” (Adi, Mei 2014).
Selain dari transferability mengenai pemahaman REDD+ dan rangkaian
kegiatannya, untuk kelompok masyarakat yang memahami konsep REDD+
terbentuk suatu kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh tersebut. Hal ini dapat
digambarkan dari perilaku kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok wanita
(ibu-ibu pengelolaan budidaya jamu tradisional dan kelompok ibu-ibu pengajian
muslimatan). Sejumlah tanggapan yang berbeda muncul untuk menanggapi
REDD+ dan praktiknya yang terjadi di komunitas lokal selama ini.
Di Desa Curahnongko, pemahaman bagi kelompok petani rehabilitasi yang
mengikuti kegiatan DA REDD+ dari informasi yang diperoleh kemudian
berdampak pada pengetahuan yang dimiliki oleh petani, sehingga mempengaruhi
kemampuan adaptif kelompok petani khususnya terkait dengan upaya menjaga
hutan.
95
Universitas Indonesia
“Kita semua kan punya lahan rehab, kita kan sudah merasakan udara
sekarang dan dulu itu lain, yang kedua itu masalah mata air. Dulunya itu
kalau musim tembakau kan membuat peresemaaian dibelakang rumah itu
ada hutan bambu, mata air nggak pernah kering walaupun bulan berapa,
ternyata setelah hutan itu gundul sumber airnya habis. Jangankan mau buat
persemaian tembakau, buat minum aja susah. Nah sekarang walaupun
hutan belum 100% normal kembali lagi. Air sudah agak normal lah.”
(Prm, Mei 2014).
Pemahaman dari kelompok petani rehabilitasi jika hutan gundul gangguan
terhadap perubahan iklim akan semakin nyata dirasakan. Pergantian musim yang
sulit untuk diprediksi berdampak langsung maupun tidak langsung dalam kegiatan
ekonomi petani.
“Sebelum ada perubahan iklim, hutannya masih lebat. Musim itu kalau
dulu bisa ditentukan, kalau bulan januari – hujan sehari hari, desember –
gede gedenya sumber itu masih tepat, oktober – bulan mongso songo,
jangan coba-coba menanam apaun yg ada di lahan, nggak tumbuh nanti.
Tapi sekarang cuaca sudah tidak bisa diprediksi lagi. Biasanya bulan 12-2
itu musim hujan, masuk bulan 3-4 masih mengurangi, 6 bulan positif
kemarau, kalau sekrang sudah nggak bisa. Bulan 6-7 hujan terus. Sekarang
ini bisa merasakan perubahan iklim.” (Skw, Mei 2014)
Manfaat dari kegiatan DA REDD+ secara tidak langsung juga diperoleh
kelompok petani yang tidak mengikuti DA REDD+, “Kalau saya sendiri, saya
jadi tahu yang namanya fungsi hutan itu. Dulu saya nggak pernah mikir, apalagi
kepikiran, yang penting ya ambil saja, saya bisa hidup, bisa makan dari hasil
hutan. sekarang saya sadar kalau hutan gundul itu jadi lebih panas. Sekarang aja
panasnya kayak gini.” (Sri, Mei 2014)
Menurut beberapa tokoh masyarakat di Desa Curahnongko
mengungkapkan kesadaran masyarakat bertambah seiring dengan bentuk beberapa
kegiatan raising awareness, namun tidak bisa dipungkiri bahwa kegiatan
pembalakan liar maupun pencurian kayu masih saja dapat ditemukan di
96
Universitas Indonesia
masyarakat. “Adanya REDD memberi tambahan pengetahuan bagi masyarakat
sekitar khususnya terkait pemahaman dan perilaku untuk menjaga dan
melestarikan hutan walaupun sebenarnya dari dulu kesadaran masyarakat sudah
ada.” (Abh, Mei 2014). Meskipun masyarakat itu sadar akan pentingnya
pelestarian hutan, tetapi kegiatan illegal logging juga masih sering ditemukan di
kawasan TNMB. “Dengan adanya rehabilitasi masyarakat sudah sadar tentang
pelestarian hutan kembali. Cuman kadang ada beberapa warga yang masih
melakukan illegal logging.”(Srs, Mei 2014)
Hal tersebut juga ditunjang dengan pendapat kelompok wanita. Secara
pribadi, sebenarnya komunitas lokal memiliki kesadaran untuk menjaga hutan.
Melalui berbagai upaya penyadaran baik dari penyuluhan maupun pelatihan
tentang REDD+ dan pelestarian hutan. Namun, kegiatan tersebut tidak bisa
diterima langsung olehsemua komunitas lokal.Salah satu informan yang
merupakan ketua kelompok pengajian muslimatan mengungkapkan bahwa,
“Banyak kegiatan yang diperkenalkan ke masyarakat, penyuluhan juga, tapi ya
gitu saya rasa hutannya malah nggak bisa lestari. Masyarakat juga susah dibilangin
gitu itu.” (Syh, Mei 2014)
Salah satu tokoh masyarakat di Desa Andongrejo beranggapan bahwa
adanya kegiatan pelatihan REDD+ itu memberi dampak positif dalam upaya
peningkatan kesadaran peran dan fungsi hutan. “Adanya REDD+ memberi
tambahan pengetahuan bagi masyarakat sekitar khususnya terkait pemahaman dan
perilaku untuk menjaga dan melestarikan hutan walaupun sebenarnya dari dulu
kesadaran masyarakat sudah ada.” (Abh, Mei 2014).
Kemampuan adaptif yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi dan
kelompok wanita khususnya pasa DA REDD+ tidak dapat digeneralisir pada
semua anggota kelompok lainnya terlait dengan kesadaran dan kepedulian pada
upaya konservasi karbon. Hanya elemen tertentu dalam kelompok komunitas yang
memiliki kemampuan adaptif yang diwujudkan dalam kesadaran untuk berperilaku
positif terhadap upaya pengelolaan lahan rehabilitasi dan hutan di zona inti.
97
Universitas Indonesia
Karakteristik kelompok petani rehabilitasi yang tidak mengikuti DA
REDD+ di Desa Andongrejo digambarkan kesadaran kelompok petani yang
diusahakan untuk menjaga pohon tegakan di hutan. “...jadi kita nggak boleh
nebang pohon yang ada di dalam hutan sembarangan, termasuk di rehab. Karena
hutan itu harus kita jaga biar lestari, tetap hijau, lingkungan nggak panas.” (Skr,
Mei 2014). Kesadaran setiap individu cenderung berbeda walaupun sebelum
maupun setelah diperkenalkannya REDD+. “Sebenernya kalau dikatakan sadar, ya
sadar masyarakat sini Mbak. Tapi kan nggak semuanya sadar buat nanem menjaga
pohon, itu tergantung orangnya. Sebelum REDD+ juga sudah sadar.” (Sjt, Mei
2014)
Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh terkait dengan manfaat hutan
bila kelestariannya terjaga. Hal positif sejalan digambarkan oleh kelompok ibu-ibu
pengelola budidaya jamu tradisional. “...Kalau hutannya gundul, TOGA juga ikut
merasakan. Soalnya tanah juga nggak subur lagi, terlalu panas. Kalau dulu hutan
itu belum gundul, nanem apa saja bisa tumbuh, tapi kalau hutan gundul susah.”
(Mn, Mei 2014). Hal ini juga didukung dengan pernyataan “Orang orang semangat
mau nanam, berarti kan dia juga diberi kesadaran dan merasakan buktinya mereka
mau nanem pohon. Kalau dibiarkan hutan tanaman habis, bagaimana nanti yang
diandalkan oleh orang sini kalo nggak mau nanem. Petani kelompok rehab tidak
merasa ogah-ogahan untuk menanam.” (Ktm, Mei 2014)
Seperti halnya yang terjadi di Desa Curahnongko, hal yang sama juga
tergambarkan di Desa Andongrejo. Menurut penuturan slaah satu aparatur desa,
pasca kegiatan DA REDD+, kesadaran masyarakat dalam upaya konservasi tidak
sepenuhnya berhasil ditanamkan. Kegiatan perambahan hutan masih banyak
ditemui di kawasan TNMB. “Banyaknya kegiatan penyuluhan belum berdampak
optimal pada perubahan perilaku masyarakat utamanya dalam kasus kegiatan
perambahan. Hal ini susah dijelaskan, masyarakat tidak peduli atau sok tidak
peduli.” (Ryd, Mei 2014). Setiap elemen pada kelompok komunitas memiliki
motivasi dan kepentingan politik terhadap hutan baik di lahan rehabilitasi maupun
di zona inti.
98
Universitas Indonesia
Dengan adanya pendampingan LSM KAIL di Desa Curahnongko dan Desa
Andongrejo, harapan bahwa kemampuan adaptif komunitas lokal pasca DA
REDD+ khususnya dari segi informasi dan pengetahuan yang diperoleh dapat
berkontribusi positif pada aksi nyata untuk menjaga tanaman pokok di lahan
rehabilitasi serta tidak melakukan perambahan di zona inti. Sebagaimana dengan
pola pelibatan komunitas lokal dalam pengelolaan hutan TNMB yang sudah sejak
lama dilakukan, maka kemudian pihak LSM KAIL tidak hanya berbicara REDD+
dalam konteks perdagangan karbon, tetapi hal yang paling mendasar yaitu upaya
menghasilkan kemitraan dengan masyarakat dalam kegiatan konservasi.
“Kita berusaha bahwa dalam REDD+ tidak hanya berkutat dari karbon
tetapi juga penangana hasil panen, tetapi juga mengkapitalisasi apa yang
dimiliki oleh masyarakat supaya berdampak pada ekonomi dan konservasi
juga kita dorong.Sehingga REDD+ tidak hanya berbicara soal
perdagangan karbon, tetapi kita mendorong supaya ada upaya-upaya
meghasilkan kemitraan dengan masyarakat yang dihasilkan dari kegaitan
konservasi itu menjadi bagian yang tumbuh dari masyarakat.” (Nrh, Mei
2014)
4.1.3 Innovation (Inovasi)
Setelah mendapatkan pengetahuan mengenai pemahaman REDD+,
rangkaian kegiatan DA REDD+ serta fungsi dan peran hutan, inovasi akan
muncul sebagai gambaran kemampuan adaptif yang dimiliki pasca DA REDD+
dalam komunitas lokal. Inovasi akan digolongkan ke dalam 3 komponen yang
tergambarkan pada kemampuan adaptif yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi
dan kelompok wanita pada level komunitas lokal, serta dukungan dari LSM
Lokal, dan Pemerintah.
1. Inovasi budidaya tanaman
Lahan rehabilitasi merupakan bagian dari hutan kawasan TNMB, dimana
diperlukan rehabilitasi kawasan agar menjadi hutan kembali. Oleh karena itu,
penanaman sejumlah tanaman pokok merupakan kewajiban yang harus dilakukan
oleh kelompok petani rehabilitasi selaku pengelola. Jenis tanaman pokok yang
99
Universitas Indonesia
ditanam pun diharapkan memiliki nilai karbon tinggi tetapi juga memiliki nilai
ekonomis. Dalam penentuannya melibatkan partisipasi kelompok petani agar turut
menjaga tanaman pokoknya.
“Selain itu juga ada penanaman tanaman yang memiliki serapan karbon
tinggi tetapi juga memiliki nilai ekonomi misalnya tanaman kedawung,
kemiri. Pemilihan pohon berdasarkan diskusi dengan masyarakat, hal ini
secara tidak langsung diharapkan dapat mendorong masyarakat. Memilih
tanaman bersama masyarakat, pengelolaanya bersama masyarakat maka
diharapkan masyarakat juga akan timbul kesadaran.” (Nrh, Mei 2014)
Melalui penerapan metode Multi Purpose Trees Species (MPTS), tanaman
yang dipilih tidak untuk ditebang karena nantinya akan diperuntukkan bagi upaya
pelestarian hutan.“MPTS itu memadukan tanaman yang bernilai konservasi
dengan tanaman yang memiliki nilai ekonomi. Ada aspek konservasi juga
memberikan income dari buah yang ada di pohon itu. Hal ini juga ditujukan untuk
mengakomodir kepentingan masyarakat juga,karena mereka memiliki
ketergantungan terhadap hutan di TN.” (Nrh, Mei 2014)
Sejumlah inovasi muncul dari kelompok petani rehabilitasi terkait dengan
pengelolaan lahan rehabilitasi. Inovasi yang tumbuh umumnya terkait dengan
inovasi budidaya tanaman dengan berbagai macam jenis. Kelompok petani
rehabilitasi di 3 desa memiliki karakteristik inovasi penanaman jenis tanaman
yang hampir sama seperti sengon laut, peje, empon-empon, lombok serta tanaman
palawija. Di Desa Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi melakukan alternatif
penanaman tumbuhan di bawah tegakan tanaman pokok. “Sebenernya penanaman
sengon laut itu sudah sejak 10 tahun yang lalu, Cuma baru serentak dan banyak
yang mulai nanem lagi ya setelah adanya REDD+ itu.” (Skw, Mei 2014). Selain
sengon laut, penanaman tanaman peje banyak dilakukan oleh petani rehabilitasi di
3 desa penelitian. “Peje itu mbak tanaman rambat di hutan, tumbuhnya ya gitu
dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak, menjalar kemana mana, bijinya kecil-
kecil. Kalau sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli. Tanemannya tahan
panas, terus bisa itu mencegah tanah longsor kalau pas hujan.” (Sri, Mei 2014).
100
Universitas Indonesia
Tanaman peje memiliki manfaat ganda selain dari segi ekonomis, juga memiliki
manfaat untuk menjaga kesuburan tanah di hutan.
Kelompok wanita di Desa Curahnongko juga melakukan penanaman jenis
tanaman peje. “Tanah di lahan rehab itu nggak diolah, tapi ditanami peje.
Sekarang ditanami nangka, pete, kedawung, kemiri, pisang. Nanti setelah hasil
dari peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami lainnya” (Syh, Mei 2014).
Kondisi tanah di lahan rehabilitasi tidak selalu dapat diandalkan. Hanya beberapa
jenis tanaman tertentu yang bisa tumbuh dengan baik. Tanaman peje banyak
ditanam oleh petani ketika memasuki musim kemarau. “Lahan saya sekarang
ditanami peje, mau musim kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas cuma
peje” (Sra, Mei 2014). Setelah musim kemarau berakhir dan memeasuki musim
penghujan, maka petani akan mengganti tanaman peje dengan tanaman lainnya
yang juga bernilai ekonomis.
Kelompok petani rehabilitasi di Desa Andongrejo juga melakukan
penanaman tumbuhan alternatif di bawah tegakan tanaman pokok baik empon-
empon maupun peje. Kedua tanaman ini memiliki ketahanan yang cukup baik
dengan kondisi naungan di lahan rehabilitasi yang cukup rindang. “Lahan rehab
juga saya tanami peje sama empon-empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per
kilonya mahal Mbak, kalau empon-empon itu kan bisa dijual juga ke tengkulak.”
(Sjt, Mei 2014).
Beberapa tanaman palawija juga pernah ditanam oleh sejumlah petani
rehabilitasi di Desa Wonoasri, tetapi seiring dengan pemanfaatan lahan yang
intensif tingkat kesuburannya akan mempengaruhi produktivitas pertanian di
masa sekarang. Kesuburan tanah semakin menurun, sehingga produktivitasnya
juga menurun, sehingga diperlukan alternatif penanaman tumbuhan lain. “Petani
sini kreatif, dulu ada yang nanem peje terus hasilnya kalau dijual mahal, akhirnya
banyak yang ikut-ikut. Termasuk saya. dulu peje itu per kilo Rp 110.000 per kilo,
tapi sekarang sudah turun jadi Rp. 25.000. Tapi ya tetep tanaman pokok tetap
dijaga, biar hutannya nggak rusak, itu juga wajib bagi lahan rehabilitasi” (Tmn,
Mei 2014).
101
Universitas Indonesia
Inovasi penanaman tanaman juga dilakukan oleh petani yang tidak
mengikuti kegiatan DA REDD+. “Setiap musim itu ganti-ganti Mbak, sekarang
saya lagi nanem kacang hijau, nanti pas puasa bisa dipanen. Ganti-ganti itu
tujuannya tergantung sama musim, kan palawija udah nggak bagus lagi hasilnya.”
(Pnm, Mei 2014). Pergantian musim yang tidak menentu serta menurunnya
kesuburan tanah di hutan mengharuskan petani lebih kreatif untuk mengolah
lahannya dan bercocok tanam dengan spesies flora yang baru agar memperoleh
nilai ekonomis. Sejumlah tanaman musiman juga ditanam demi menghasilkan
nilai ekonomis. Petani mencoba menanam tanaman alternatif seperti lombok.
“Saya lagi nanem lombok, masih disemai sekarang. Kalau palawija kayak padi,
jagung gitu sudah nggak terlalu bagus hasilnya, beda dengan dulu.” (Ssw, Mei
2014). Hal yang sama juga dilakukan oleh Sur dengan menanam kacang-
kacangan. “Kacang ijo, lumayan nanti bisa dipanen pas bulan puasa. Taneman
pokoknya itu nangka, ada yang mati tapi. Daunnya sudah agak berkurang.” (Sur,
Mei 2014).
Inovasi yang dilakukan kelompok petani rehabilitasi yang tidak mengikuti
kegiatan DA REDD+ di Desa Wonoasri berasal dari inisiatif pribadi, berawal dari
mengenali karaketeristik lahan rehabilitasi baik dari segi kondisi tanah serta jenis
tanaman yang tahan dengan kondisi tanah yang tidak membutuhkan banyak air.
Gambar 4. 4 Tanaman peje yang banyak dikembangkan oleh petani
rehabilitasi
Sumber : Dokumen penelitian
102
Universitas Indonesia
2. Inovasi untuk meningkatkan pendapatan
Kegiatan DA REDD+ khususnya terkait dengan pemberdayaan pada
dasarnya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat. Agar masyarakat tidak lagi
terlalu bergantung dengan hutan serta memperoleh penghasilan tambahan. Hal ini
seperti dikemukakan oleh pihak manajemen Balai TNMB, “Sekarang juga
berkembang kegiatan peningkatan kapasitas untuk peningkatan penghasilan.
Tadinya mereka yang bergantung sama hutan setidaknya bisa dikurangi lah, tetapi
masih ada juga masyarakat yang tetap bergantung dengan hutan, karena hutan itu
dianggap sesuatu yg menarik.” (Adi, Mei 2014)
Inovasi yang diterapkan di lahan rehabilitasi melalui pengelolaan hutan
dengan sistem agroforestry, dimana penanaman pohon di bawah tegakan tanaman
pokok boleh ditanami tanaman palawija maupun jenis tanmaan lainnya yang tidak
mengganggu tanaman pokok. Halini menjadi upaya untuk memberikan kontribusi
peningkatan pendapatan. Misalnya yang diperkenalkan kepada kelompok wanita
di Desa Andongrejo melalui penanaman empon-empon. “...Dari sisi ekonomi, ada
kegiatan yang bersifat intangible melalui pemberdayaan masyarakat, ada TOGA.”
(Nrh, Mei 2014).
Inovasi ini dapat dilihat dari kelompok wanita datang dari kelompok ibu-
ibu budidaya pengolahan jamu tradisional Sumber Waras di Desa Andongrejo.
“Lahan di rehab saya tanami empon-empon, kalau mau butuh buat ramuan jamu
tinggal ambil saja.” (Ktm, Mei 2014). Dengan kondisi kerapatan tutupan hutan
yang semakin teduh, salah satu strategi dengan menanam empon-empon bisa
menjadi alternatif pendapatan khususnya bagi kelompok wanita.
Sedangkan inovasi untuk peningkatan pendapatan melalui usaha budidaya
jamur juga dilakukan oleh kelompok tani rehabilitasi di Desa Curahnongko,
dimana pemberian bibitnya diberikan kepada kelompok tani sedangkan
pengelolaannya diserahkan pada individu. “Budidaya jamur tiram bantuan dari
TN itu kan tujuannya supaya bisa menambah pendapatan. Contohnya sehari saya
dapat sepuluh ribu, 5 ribu dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan artinya
103
Universitas Indonesia
nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa mengurangi sekian
persennya ketergantungan terhadap hutan.” (Skw, Mei 2014)
Inovasi yang dilakukan kelompok petani rehabilitasi maupun kelompok
wanita di Desa Curahnongko dan Desa Andongrejo, terbentuk dari informasi dan
pengetahuan yang diperoleh pasca DA REDD+ melalui kegiatan pendampingan
yang dilakukan LSM KAIL. Dengan adanya pendampingan LSM yang menyasar
pada kegiaatn pemberdayaan masyarakat, inovasi yang dilakukan kelompok petani
maupun kelompok wanita dapat meningkatkan kemampuan adaptifnya terutama
dalam upaya mensinergikan antara kegiatan konservasi karbon hutan dan
kesejahteraan masyarakat desa penyangga khususnya.
Gambaran yang didapatkan dari kegiatan inovasi yang diperoleh dari
kelompok petani rehabilitas di Desa Wonoasri yaitu adanya inovasi penanaman
tumbuhan yang mulai dikembangkan, dirasa dapat meningkatkan pendapatan
petani. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang erat dan bersifat saling
mendukung. “Dulu kan petani masih sangat bergantung dengan padi, jagung,
tetapi sekarang masyarakat lebih diperkenalkan dengan jenis tanaman baru seperti
empon empon (cabe jawa, jahe merah) ini semakin meningkatkan ekonomi
masyarakat, penghasilan meningkat” (Dsr, Mei 2014).
3. Inovasi pengelolaan lahan rehabilitasi
Inovasi pengelolaan lahan rehabilitasi diinisiasi oleh LSM KAIL
melaluiupaya meningkatkan motivasi konservasi hutan kelompok petani
rehabilitasi diwujudkan melalui program PINTAR. Program PINTAR merupakan
bentuk apresiasi kepada petani rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di
lahan rehabilitasi sesuai dengan skema sistem klasifikasi lahan berdasarkan
jumlah tanaman pokok yang ada. Program ini baru diterapkan di Desa
Curahnongko dan Andongrejo. “Kita memberikan suatu program yang namanya
program PINTAR (Program Intensif Petani Rehabilitas) kepada masyarakat yang
termasuk dalam klasifikasi 5 dan 6, program ini dikhususkan bagi masyarakat
yang memiliki tanaman 150 ke atas, sebagai apresiasi kepada petani yang sangup
menjaga tanamannya sejumlah 150 ke atas.” (Nrh, Mei 2014)
104
Universitas Indonesia
Selain itu, ada pemetaan tanaman pokok di lahan rehabilitasi di Desa
Curahnongko yang dilakukan dengan pendataan jumlah pohon. “Melakukan
identifikasi tentang yang ada di kawasan. Kegiatan rehabilitasi sudah ada sejak
1999 sudah berjalan tanaman tegakan sudah tumbuh, lalu kita bikin sampel di
Curahnongko, kita hitung tanaman/pohon yang ada di lahan rehabilitasi.” (Nrh,
Mei 2014)
Serta upaya untuk menghitung kerapatan tanaman dengan mendata jumlah
pohon yang berbatasan dengan zona diatasnya, dimana hal ini ditujukan untuk
melibatkan tanggungjawab komunitas terhadap kawasan rehabilitasinya dan
jumlah tegakan pohon. “Setiap lahan rehabilitasi nanti akan dihitung kerapatan
tanamannya, pendataan masyarakat dilakukan dipinggir zona rehablitasi, data
masyarakat yang ada di pinggir ini ditujukan untuk masyarakat menjaga tanaman
yang ada di atasnya agar tidak terjadi pencurian kayu. Setelah mendata, kemudian
dikumpulkan dengan TN, pihak polisi, ini ditujukan juga untuk menyertakan
masyarakat dalam pengelolaan hutan, sebagai salah satu upaya untuk melibatkan
masyarakat dalam pola pengawasan.” (Nrh, Mei 2014)
Gambar 4.5 Pendataan masyarakat yang memiliki lahan berbatasan
langsung dengan Zona Rimba
Sumber : Dokumentasi penelitian
105
Universitas Indonesia
Beberapa program yang dirancang dan dikembangkan oleh LSM KAIL
ditujukan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi kelompok petani
rehabilitasi dalam upaya konservasi karbon hutan. Dari beberapa program tersebut
telah terwujud sebagian dalam kesadaran kelompok petani rehabilitasi sehingga
dapat disimpulkan bahwa kemampuan adaptif kelompok petani terbentuk melalui
sejumlah inovasi baik dari segi inovasi budidaya tanaman maupun alternatif
peningkatan pendapatan. Gambaran ini dapat secara nyata terlihat di Desa
Curahnongko dan Andongrejo, dimana kegiatan pemberdayaan dalam rangkaian
kegiatan DA REDD+ lebih intensif diperkenalkan dan dikembangkan.
4.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)
Dukungan kelembagaan dan persamaan hak merupakan salah satu hal
yang terbentuk atas dukungan baik dari pemerintah maupun LSM lokal yang
memiliki peran dalam upaya menggiatkan komunitas local dalam upaya
konservasi karbon. Contoh nyata yang ada yaitu terbentuknya kelembagaan SPKP
(Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan) yang merupakan himpunan kelompok
tani rehabilitasi hasil bentukan dari Manajemen TNMB yang terbentuk di setiap
desa penyangga. Sedangkan kelompok tani rehabilitasi yang merupakan bentukan
LSM KAIL memiliki nama yang berbeda di tiap desa.
Kelembagaan yang berada di bawah binaan LSM KAIL sudah terbentuk
sebelum adanya kegiatan DA REDD+.Namun, sejak berlangsungnya kegiatan DA
REDD+ keberadaan lembaga diperkuat dengan mengajak kelompok petani
rehabilitasi secara bersama dalam sejumlah kegiatan misalnya penghitungan
karbon, inventarisasi tanaman pokok di masing-masing lahan rehabilitasi untuk
dipetakan bersama. “Terbentuknya kelompok tani rehabilitasi sudah sejak tahun
2000, sebelum REDD dikenalkan. Masing-masing desa memiliki kelompok petani
rehabilitasi yang telah terbentuk jaringan. Kalau di Curahnongko-Jaketresi
diketuai Pak Parman, himpunan dari 17 kelompok-kelompok tani rehab, di
Andongrejo-Permataresi.” (Nrh, Mei 2014).Upaya ini dianggap sebagai
penggerak komunitas lokal khususnya di tingkat kelompok petani rehabilitasi
untuk lebih peduli dalam menghutankan kembali lahan rehabilitasi dengan
menjaga tanaman pokoknya.
106
Universitas Indonesia
Setelah dilakukan tinjauan lapangan, hasil yang sama juga diperoleh
bahwa keberadaan LSM hanya berada di 2 desa wilayah penelitian yaitu Desa
Andongrejo dan Curahnongko. “Kalau di Curahnongko itu Jaketresi (lembaga yg
murni mengendalikan lahan di rehab-KAIL) sedangkan dari mitra TN dibentuk
lembaga SPKP-TN, tapi misinya sama, pengurusnya juga sama. Beberapa
kegiatan kita didampingi oleh KAIL.” (Skw, Mei 2014). Serta pernyataan Pkn
(2014), “Ada Jaketresi sama SPKP mbak, aktif kalau disini. Pertemuan bulanan
itu bisa dibilang rutin. Walaupun kadang di lahan, pas kita lagi santai.”
Sedangkan di Andongrejo ada Permataresi yang juga merupakan bentukan
KAIL, namun eksistensinya tidak terlalu bagus jika dilihat dari eksistensi
kelompok dalam keaktifan membina sesama anggota kelompok tani. Menurut
beberapa kelompok tani mengungkapkan bahwa, “... dari KAIL ada permataresi,
kalau dari TN-SPKP nya jalan di tempat, pengurusnya kehidupannya sudah di atas
rata rata jadi untuk usaha seperti ini kurang peduli.” (Skr, Mei 2014). Kurang
aktifnya kelompok tani Permataresi dikarenakan petaninya lebih berorientasi
kepada materi. Ketua kelompok tani hanya mau berpartisipasi dalam suatu
kegiatan ataupun mengadakan kegiatan juga dirasa petani akan memperoleh
keuntungan sebanding dengan penghasilannya sehari. “SPKP maupun Permataresi
nggak jalan, pengurusnya itu sudah nggak terlalu minat buat ngurusi kegiatan
yang nggak ada penghasilannya.“ (Sjt, Mei 2014).
Dalam upaya meningkatkan partisipasi kelompok wanita, LSM KAIL di
Desa Curahnongko dan Andongrejo melakukan pendekatan kepada ibu-ibu
pengajian.
“REDD melibatkan ibu-ibu pengajian menghubungkan aspek keagamaan
dalam konteks kehutanan. Jadi nanti diperkenalkan ayat-ayat mengenai
konservasi, perlindungan hutan, jadi agama tidak hanya berbicara
mengenai ibadah maghdha, tetapi juga dengan lingkungan dimana menjadi
bagian dari perintah agama, mengapa kemudian kita mengajak ibu-ibu
pengajian. Ini kita anggap sebagai bentuk kearifan lokal yang diambil dari
dimensi keagaman, nilai etik yang diambil dari Quran.” (Nrh, Mei 2014)
107
Universitas Indonesia
Jika di Desa Curahnongko pendekatan murni pada kegiatan pengajian
kelompok wanita, karena merupakan salah satu kumpulan semi formal yang dapat
diajak bersama untuk upaya melestarikan hutan. Dahulu sebelum adanya kegiatan
DA REDD+, juga pernah dibentuk kelompok wanita budidaya jamu tradisional,
tetapi hingga saat ini kelompok tersebut sudah bubar. Berbeda halnya dengan di
Desa Andongrejo. Terbentuknya kelompok wanita pengelola budidaya jamu
tradisional Sumber Waras sejak tahun 1993, hingga saat ini masih cukup eksis
dianggap sebagai peluang untuk mengajak dan mengembangkan upaya konservasi
karbon. “Pembentukan kelompok ibu-ibu budidaya jamu Sumber Waras di
Andongrejo, juga upaya kami meningkatkan peran partisipasi wanita dalam
kegiatan DA REDD+” (Nrh, Mei 2014). Sebagaimana ketua kelompok jamu
tradisional juga menyatakan hal yang sama. “Kelompok Jamu Sumber Waras, itu
bentukan LATIN sejak tahun 1993 – 1997, kemudian dilepas, untuk
memberdayakan ibu-ibu. Sudah terbentuk lama, tapi sekarang masih ada dan
masih didampingi. Ibu ibu kelompok Sumber Waras juga sering diundang sebagai
nara sumber di beberapa kota misalnya NTT, Kuningan, Ujung Kulon, Bogor,
atau ada pameran kadang dari desa Andongrejo juga diundang.” (Ktm, Mei 2014).
Secara tidak langsung, kelompok wanita memiliki keterkaitan penting
dengan upaya konservasi karbon hutan di lahan rehabilitasi. Keterlibatan
kelompok wanita dalam kegiatan DA REDD+ juga dinilai menjadi potensi untuk
menggiatkan konservasi hutan melalui budidaya tanaman empon-empon.
Intervensi kegiatan DA REDD+ dengan bantuan pendampingan LSM lokal dinilai
dapat membantu komunitas lokal untuk merespon perubahan lingkungan secara
lebih baik serta dapaat menyikapi dengan bijak terhadap kegiatan DA REDD+
untuk upaya konservasi karbon hutan.
Gambar 4. 6 Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa
Sumber : Dokumen Penelitian
Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan
mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang
mendukung kemampuan
terbentuknya kelembagaan di tingkat lokal bai
KAIL, peran dari polisi hutan/resort juga tidak dapat dilepaskan dalam kerangka
mendukung kemampuan
bertanggungjawab dalam kegiatan pengawasan langsung pada hutan
upaya-upaya yang mendukung peran tupoksi
pelestarian kawasan hutan.
hutan/resort yaitu dengan meningkatkan pendekatan pada komunitas lokal.
Menyatu dengan masyarakat tidaklah mudah, perlu strategi khusus dalam
praktiknya.Tidak dengan cara kekerasan, namun dengan cara pendekatan personal
melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat baik formal
maupun informal. “Pendekatan info
sering ketemu, semakin masyarakat itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau
menebang hutan.” (Jum, Mei 2014)
Selama ini petugas Resort Andongrejo telah berupaya untuk melakukan
pendekatan personal maupun kelompok
santai dan tidak kaku
masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat itu nggak bisa kita secara
formal saja, tapi informal juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi n
Universitas Indonesia
Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa
Andongrejo
Sumber : Dokumen Penelitian
Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan
mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang
kemampuan adaptif masyarakat untuk upaya konservasi hutan. Selain
terbentuknya kelembagaan di tingkat lokal baik dari pemerintah maupun LSM
, peran dari polisi hutan/resort juga tidak dapat dilepaskan dalam kerangka
mendukung kemampuan adaptif komunitas lokal. Sebagai pihak yang
bertanggungjawab dalam kegiatan pengawasan langsung pada hutan
aya yang mendukung peran tupoksi polisi hutan dalam perlindungan dan
pelestarian kawasan hutan. Beberapa upaya yang telah dilakukan polisi
hutan/resort yaitu dengan meningkatkan pendekatan pada komunitas lokal.
Menyatu dengan masyarakat tidaklah mudah, perlu strategi khusus dalam
praktiknya.Tidak dengan cara kekerasan, namun dengan cara pendekatan personal
melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat baik formal
Pendekatan informal lebih cenderung efektif. Semakin kita
sering ketemu, semakin masyarakat itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau
(Jum, Mei 2014).
Selama ini petugas Resort Andongrejo telah berupaya untuk melakukan
personal maupun kelompok melalui penyuluhan yang sifatnya lebih
santai dan tidak kaku.“Penyuluhan dari resort juga ada, door to door
masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat itu nggak bisa kita secara
formal saja, tapi informal juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi n
108
Universitas Indonesia
Kios jamu tradisional yang dikelola kelompok wanita di Desa
Peran lembaga dan kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan
mengakui eksistensi masyarakat dalam perannya sebagai aktor utama yang
upaya konservasi hutan. Selain
k dari pemerintah maupun LSM
, peran dari polisi hutan/resort juga tidak dapat dilepaskan dalam kerangka
adaptif komunitas lokal. Sebagai pihak yang
bertanggungjawab dalam kegiatan pengawasan langsung pada hutan, diperlukan
polisi hutan dalam perlindungan dan
Beberapa upaya yang telah dilakukan polisi
hutan/resort yaitu dengan meningkatkan pendekatan pada komunitas lokal.
Menyatu dengan masyarakat tidaklah mudah, perlu strategi khusus dalam
praktiknya.Tidak dengan cara kekerasan, namun dengan cara pendekatan personal
melalui sejumlah kegiatan yang diselenggarakan oleh masyarakat baik formal
rmal lebih cenderung efektif. Semakin kita
sering ketemu, semakin masyarakat itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau
Selama ini petugas Resort Andongrejo telah berupaya untuk melakukan
elalui penyuluhan yang sifatnya lebih
door to door ke
masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat itu nggak bisa kita secara
formal saja, tapi informal juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi ngumpul-
109
Universitas Indonesia
ngumpul nanti kita datangi, hey..kamu nggak boleh begini sama hutan. Tapi
keberhasilan ini juga tidak bisa kita nilai efektif, seperti kalau dalam kelas tidak
mungkin semua murid itu paham dengan 1+1 = 2, jadi itu tergantung individunya
juga.” (Ads, Mei 2014). Upaya yang dilakukan polisi hutan/resort tidak
selamanya bisa diterima oleh individu maupun kelompok, karena ada dasarnya
komunitas tersebut sudah memiliki pandangan tersendiri terkait dengna
pengelolaan hutan dan keberadaan hutan TNMB.
Kelembagaan di Desa Wonoasri dibentuk oleh pihak TNMB yaitu
padakelompok petani rehabilitasi (SPKP), OPR (Organisasi Petani Rehabilitasi),
dan LMDHK (Lembaga Masyarakat Desa Hutan Konservasi) Wonomulyo, tetapi
tidak ada kelompok petani rehabilitasi bentukan LSM KAIL karena tidak ada
peran pendampingan dari LSM KAIL khusus di Desa Wonoasri. LMDHK
merupakan motor penggerak dalam upaya konservasi karbon hutan di Wonoasri.
“Kelompok tani yang ada disini itu Wonomulyo, Ketuanya Pak Kasiyo.
Kelompok ini aktif bergerak ke petani-petani di sini.”(Mst, Mei 2014). Hal ini
diperkuat dengan pernyataan yang mengemukakan keaktifan kelompok tani
Wonomulyo.“Ada kelompok tani Wonomulyo, nanti dibagi bagi jadi beberapa
koordinator untuk bertanggungjawab dengan lahan rehab. Karena tempatnya
nggak sama dan berjauhan. Di Wonoasri ada 4 koordinator, 26 kelompok tani.”
(Tmn, Mei 2014).
Dengan tidak adanya peran pendampingan dari LSM lokal di Desa
Wonoasri, menunjukkan bahwa peran wanita kurang dilibatkan dalam upaya
konservasi karbon. Tidak adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat
mengakibatkan kemampuan adaptif kelompok wanita menjadi rendah jika dilihat
dari keterlibatan kelompok wanita.
Tidak adanya pendampingan LSM Lokal di Desa Wonoasri, disebabkan
oleh sejumlah permasalahan yang pernah terjadi antara komunitas lokal
khususnya petani rehabilitasi dengan LSM khsusunya dalam hal pengelolaan dan
transparansi. “Disini tidak ada LSM, karena kita semua nggak mau. Kita bisa kok
nanganin sendiri...”(Tmn, Mei 2014). Keberadaan LSM dianggap tidak terlalu
penting karena permasalahan keuangan yang tidak transparan. “LSM di Wonoasri
110
Universitas Indonesia
terkesan tidak ada hasilnya, karena persoalan uang yang tidak transparan.” (Dsr,
2014).
Oleh karena itu, dalam rangkaian meningkatkan kemampuan adaptif
kelompok petani rehabilitasi khususnya, peran dari pemerintah yang ditingkat
lokal menjadi bagian dari tanggungjawab polisi hutan/resort serta dukungan Balai
TNMB.Petugas Resort Andongrejo, hal yang sama juga dilakukan oleh petugas
Resort Wonoasri. “Masyarakat sekarang tidak bisa dicegah menggunakan
kekerasan, karena jika dikerasi masyarakat akan cenderung mengerahkan massa.
Teknisnya sekarang lebih cenderung ke pertemanan. Kalau ketemu pelaku, diajak
omong-omongan baik-baik aja. Jangan sampai nanti ketika kita ketemu pelaku di
hutan langsung diborgol, nanti akan malah membahayakan petugas. Jadi lebih
cenderung ke pendekatan personal.” (Mst, Mei 2014). Selain itu, upaya melalui
pendekatan dalam sejumlah kegiatan kemasyarakat juga dilakukan sebagai bentuk
menjalin hubungan kedekatan yang lebih intensif. “Pendekatan yang dilakukan
oleh petugas yaitu jika masyarakat mengadakan pertemuan, petugas akan ikut
menghadiri. Petugas bisa membaur bersama masyarakat, karena mendekati orang
desa itu harus seperti itu.” (Mst, Mei 2014)
4.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And Governance
(Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola
Pemerintahan)
Karakteristik kemampuan adaptif yang terkait dengan fleksibel dan
orientasi ke depan, pengambilan keputusan serta tata kelola pemerintahan lebih
dikaitkan erat dengan bentuk peran pemerintah lokal maupun LSM dalam
melibatkan peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi
karbon hutan pasca DA REDD+. Di dalam temuan lapangan, peneliti
mengklasifikasikanke dalam 2 hal penting yaitu terkait dengan transparency
(transparansi) dan collaboration (upaya kerjasama).
Dalam hal transparency ditemuakan fakta mengenai upaya pihak
manajemen Balai TNMB dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat terkait
dengan land use regulation yaitu dengan adanya zona rehabilitasi, yaitu
111
Universitas Indonesia
pemberian hak pengelolaan atas zona rehabilitasi. Sejumlah masyarakat di 3 desa
menyatakan hal yang sama terkait dengan hak masyarakat atas pengelolaan di
zona rehabilitasi. Seperti halnya dikemukakan oleh salah satu staf TNMB
mengenai zona rehabilitasi. “Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan
adanya lahan rehabilitasi. Dengan harapan masyarakat itu tidak akan merambah
hasil hutan baik kayu maupun non kayu.” (Ngh, Mei 2014).
Hal ini diperkuat dengan pernyataan komunitas lokal yang tinggal di
kawasan desa penyangga. “Masyarakat difasilitasi lahan di zona rehabilitasi agar
tidak merambah hasil hutan yang di zona rimba.” (Ryd, Mei 2014). Hak
pengelolaan diberikan sebagai upaya pelibatan partisipasi komunitas lokal dalam
pelestarian hutan.“Oleh TN, masyarakat diberi peluang untuk memanfaatkan
hutan melalui lahan rehab itu, tapi dengan syarat kalo harus ditanami tanaman
pokok. TN menyediakan bibit, suruh tanam petani, tanahnya suru mengelola,
hasilnya juga suruh ambil. Ini berlaku sejak 1999.” (Dsr, Mei 2014).
Sejak adanya lahan rehabilitasi, komunitas lokal merasa bersyukur telah
diberi kepercayaan oleh TN untuk mengelola dan menjaga hutan sehingga dapat
menghidupi keluarganya. “Kalau sekarang enggak, sudah ada lahan rehab, pihak
TN sudah merestui bahwa masyarakat boleh beraktivitas di wilayah TN tetapi
harus ada kesepakatan konkrit, diantaranya masyarakat boleh menanam palawija,
tapi TN minta masyarakat mematuhi aturan TN yang menyebutkan bahwa
masyarakat harus mengembalikan lahan hutan yang sudah gundul dgn menanam
tanaman tegakan/keras supaya lahan rehab bisa dihutankan kembali.” (Skw, Mei
2014). Hak pengelolaan juga mewajibkan masyarakat untuk menjaga tanaman
pokok di hutan dengan tujuan untuk menghijaukan kembali lahan hutan, dimana
bantuan berupa bibit juga sering didatangkan oleh TN untuk mendukung upaya
konservasi hutan. “Kita dikasi lahan rehabilitasi dari TN, ini kan artinya
pemerintah sudah mau memberi kita kesempatan untuk memanfaatkan lahan. Kita
dikasi lahan, dikasi bibit suru nanem, hasilnya buat kita, TN nggak minta apa-apa
lagi.” (Sri, Mei 2014).
Adanya kegiatan DA REDD+ di kawasan TNMB dinilai semakin
memperkuat posisi masyarakat dalam zona rehabilitasi. “Dengan adanya REDD,
112
Universitas Indonesia
intensitas penegakan hukumnya lebih baik, tetapi tidak semua hal tidak boleh,
tetap boleh tetapi lebih memperhatikan konsep konservasi itu sendiri.” (Abh, Mei
2014). Seperti halnya yang dikemukakan oleh Ketua LSM KAIL,
“Di Curahnongko sudah ada MoU antara TN dan masyarakat sebagai
contoh. General agreement dimana masyarakat terlibat dalam
merehabilitasi kawasan, melestarikan kawasan secara keseluruhan. Dari
sisi formal, ada MoU (Curahnongko), pengakuan semakin kuat dari
pemerintah terhadap kegiatan rehablitasi dalam kawasan meskipun tidak
diwujudkan dalam tulisan tetapi dalam bentuk penunjukkan sebagai lokasi
DA REDD dengan pengakuan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
kawasan memperkuat, inisiatif pengelolaan masyarakat di lahan
rehabilitasi diakui.” (Nrh, Mei 2014)
Selain dalam hal transparansi, pihak manajemen Balai TNMB juga
mengajak masyarakat turut serta dalam upaya menjaga hutan melalui
pembentukan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). MMP biasaya dipilih dari
kelompok petani rehabilitasi yang cukup memiliki peran penting dalam struktur
kelompok dan aktif dalam setiap kegiatan. Sebagaimana telah dikemukakan oleh
pihak manajemen Balai TNMB. “Masyarakat juga dilibatkan dalam kegiatan
MMP (Masyarakat Mitra Polhut). Sebagai upaya dari pihak TN mengikut sertakan
masyarakat dalam perlindungan hutan.” (Adi, Mei 2014)
Hal ini juga diperkuat pernyataan dari Mst (2014), “Selain itu juga kita
melibatkan komunitas lokal/petani lainnya untuk membantu mengawasi hutan.
Alasan lain yang menyertai pelibatan komunitas lokal itu adalah kurangnya
personil pengaman resort yang dirasa kurang memadai dalam melakukan
pengawasan dengan luasan hutan TNMB yang mencapai 58.000 Ha.”
Dalam hal decision making, pihak resort selaku penanggungjawab
pengawasan Kawasan hutan TNMB dalam menindaklanjuti kasus-kasus pencurian
dan pembalakan liar menurut informan masih memiliki toleransi penegakan
hukum. “Sebenarnya tidak boleh masyarakat mengambil kayu atau apapun yang
ada di hutan, tetapi kita tidak bisa langsung sekeras itu, kita punya toleransi apa
113
Universitas Indonesia
yang boleh dilakukan masyarakat terhadap hutan.” (Feb, Mei 2014). Sanksi yang
diberikan kepada masyarakat yang tertangkap mencuri kayu rambahan di hutan
misalnya ranting pohon, masih tergolong ringan. Petugas tidak langsung
menghakimi tersangka, tetapi dengan diberi peringatan terlebih dahulu. “Untuk
beberapa kasus pencurian hutan, petugas tidak berniat semena mena menghakimi
tersangka. Kadang mereka ditangkap untuk diinterogasi di pos, kita tidak langsung
menangkap tetapi bertanya dulu sudah berapa kali, ambil apa saja disana. Pertama
kali kami peringatkan dulu, dua kali, tiga kali. Setelah itu baru ada tindak lanjut
kalau mereka ketahuan lagi mencuri di hutan.” (Mst, Mei 2014)
Secara singkat uraian mengenai kemampuan adaptif kelompok masyarakat
di 3 wilayah desa penyangga dapat digambarkan dalam tabel berikut :
Tabel 4. 1 Ringkasan Kemampuan Adaptif Komunitas Lokal Desa PenyanggaPasca DA REDD+
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
Asset base (Aset dasar)
a. NaturalCapital
Lahan rehabilitasi - komunitas lokal desa penyangga memperoleh hakpengelolaan terhadap lahan rehabilitasi dengan beberapa ketentuan yaitumenjaga tanaman pokok serta diperbolehkan mengambil hasil manfaatdengan tidak menebang tanaman pokok; melakukan penyulaman jikatanaman pokok mati/roboh; tidak melakukan perambahan pada zona intiyang bersebelahan dengan zona rehabilitasi.
Khusus di Desa Curahnongko sudah ada MoU antara TN dan masyarakatdalam pengakuan keterlibatan masyarakat terkait pengelolaan lahanrehabilitasi.
b. HumanCapital
Kesadaran individu/kelompok petani cukupbaik dalam upayamenjaga tanaman pokokdi lahan rehabilitasi,walaupun tidak dapatdigeneralisir padaseluruh elemenkelompok petanirehabilitasi
Kesadaran individu/kelompok petani cukupbaik dalam upayamenjaga tanamanpokok di lahanrehabilitasi, walaupuntidak dapatdigambarkan padaseluruh elemenkelompok petanirehabilitasi serta upayamenjaga kelestarianhutan
Kesadaran individu/kelompok petanicukup baik dalamupaya menjagatanaman pokok dilahan rehabilitasi
114
Universitas Indonesia
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
Kesadaran kelompokwanita cukup tinggidalam konservasikarbon, namun perannyadalam komunitas masihtergolong rendah terkaitupaya konservasi karbonhutan.
Pengetahuan dankesadaran yang dimilikikelompok wanitaterwujud dalamsemangatnya yangtinggi untuk menjagatanaman pokok di lahanrehabilitasi
Peran wanita tidakcukup dominandalam kegiatankonservasi karbonhutan. Kesadarankelompok wanitacukup rendah padaupaya pelestarianhutan, karena kurangpedulinya
c. SocialCapital
Perkumpulan rutinkelompok petanirehabilitasi; loyalitasanggota kelompok taniyang tinggi - kelompokpetani rehabilitasimenjadi modelpengelolaan hutan dalamkerangka kemitraan
Kelompok petanirehabilitasi tidak bisadijadikan sebaagipenggerak upayakonservasi hutankarena pada levelkomunitas, kelompokini tidak cukupdominan dan berperandalam kegiatankonservasi. Kelompokpetani cenderung pasif.
Kelompok petanirehabilitasi memilikiperan strategis dalamkonservasi karbonkarena hubungankeeratan yangdimiliki kelompokserta kesadaranbersama untukmenjaga kelestarianhtan agar tidakmenimbulkandampak negatif darikondisi hutan yanggundul
Kelompok wanitapengajian sebagianpeduli dengankonservasi hutan, tetapipengaruhnya tidakcukup besar dalammengadvokasi upayakonservasi danpelestarian hutan baik dilahan rehabilitasimaupun zona intikepada komunitas lokal
Kelompok wanitakhsusunya pengelolabudidaya jamutradisional SumberWaras cukup memilikipengaruh dalam upayakonservasi karbonhutan di lahanrehabilitasi, khususnyaperannya dalammengajak ibu-ibupengajian
Peran wanita tidakcukup dominandalam kegiatankonservasi karbonhutan, kelompokwanita cenderungpasif
115
Universitas Indonesia
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
d. FinancialCapital
Alternatif peningkatanpendapatan melaluibudidaya jamur tiramyang dilakukan olehkelompok petanirehabilitasi secaraperseorangan
Alternatif peningkatanpendapatan melaluibudidaya jamutradisional yangdilakukan olehkelompok wanita yangdikelola secarakelompok yangterorganisir
Tidak ada upayapeningkatanpendapatan daridampak pascakegiatan DA REDD+- karena fokuskegiatanpemberdayaan untukpeningkatankesejahteraanmasyarakat hanyapada DesaCurahnongko danAndongrejo
Knowledge And Informastion (Pengetahuan Dan Informasi)
Transferabilitypengetahuan danpemahaman terkaitREDD+ pada kelompokpetani rehabilitasi cukupefektif dalammemberikanpemahaman danpengetahuan padaanggota kelompokpetani dalam pertemuanformal maupuninformal.
Transferabilitypengetahuan danpemahaman terkaitREDD+ padakelompok petanirehabilitasi diperolehmelalui perkumpulaninformal dengankelompok petanirehabilitasi di DesaCurahnongko, karenakelompok petanirehabilitasi diAndongrejo tidakcukup efektif dalamkegiatan kelompok,inisiatif dari ketuakelompok rendahdalam upayamengumpulkan anggotakelompok tani
Tidak semua anggotakelompok tanimengetahui danmemahamipemaknaan terhadapREDD+, krenaprosest transferabilitytidak terjadi antaraketua kelompok tanidengan anggotakelompok tani
116
Universitas Indonesia
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
Transferability padakelompok wanitadilakukan oleh ketuakelompok pengajianmelalui internalisasiagama (kandungan Al-Qur'an) yang diakitkandengan upaya konservasihutan
Transferability padakelompok wanitadilakukan oleh ketuakelompok pengajianyang sekaligus ketuakelompok budidayajamu tradisional yaitumelalui pengajian rutinserta memotivasikelompok wanita untuklebih aktif dalamkegiatan konservasiterutama melaluibudidaya empon-empon agar dapatmemperoleh manfaatganda dimana hutanlestari serta pendapatanmeningkat
Kelompok wanitatidak mengetahui danmemahami REDD+selain dari tidakadanya transferabilityjuga tidak adanyaperan pendampingandari LSM lokal
Innovation (Inovasi)
Inovasi budidaya tanaman dilakukan oleh kelompok petani rehabilitasidengan menanam tanaman yang tidak membutuhkan panas mataharilangsung mengingat bahwa tegakan tanaman pokok yang semakin rindang,sehingga sejumlah alternatif penanaman tanaman dilakukan misalnya peje,empon-empon, dll. Selain bermanfaat untuk menjaga erosi di hutan danmenyuburkan tanah di lahan rehabilitasi, tumbuhan tersebut dapatmemeberikan nilai ekonomis.
Inovasi terbentuk dari adanya kegiatanpendampingan yang dilakukan oleh LSM KAILkhususnya dalam upaya peningkatan pendapatanagar tidak terlalu bergantung pada hasil hutan danmengurangi ketergantungan dengan hasil hutan. DiDesa Curahnongko, menyasar pada kelompokpetani rehabilitasi melalui budidaya jamur tiram;sedangkan di Desa Andongrejo menyasar padakelompok wanita melalui pengelolaan budidayajamu tradisional
Tidak ada dampakyang dirasakan padapeningkatanpendpaatan jikamelihat inovasi yangterbentuk padakomunitas lokal dariadanya kegiatanpasca DA REDD+karena tidak adaperan pendampinganLSM pada kegaiatanpemberdayaanmasyarakat
Berkaitan dengan kegiatan DA REDD+ yang melibatkan beberapa
stakeholder terkait, maka kemudian dapat disimpulkan ke dalam ringkasan tabel
117
Universitas Indonesia
mengenai pemahaman kemampuan adaptif selain dari kelompokpetani rehabilitasi
dan kelompok wanita.
Tabel 4. 2 Ringkasan Kemampuan Adaptif Kelompok LSM, Polisi Hutan/Resortdan Balai TNMB
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)
LSM KAIL Penguatan Kelembagaan Jaketresi (Curahnongko)dan Permataresi (Andongrejo) - kelompok petanirehabilitasi sebagai penggerak di tingkat lokaldalam upaya konservasi karbon
Tidak ada kegiatanpendampingan yangdilakukan oleh LSMKAIL karena fokus
kegiatanpemberdayaan
masyarakat padarangkaian kegiataanDA REDD+ hanya
pada DesaCurahnongko dan
Andongrejo.
Melibatkan kelompokwanita khususnya ibu-ibu pengajian dalamkegiatan konservasihutan melaluiinternalisasi agama. Halini dianggap sebagaibentuk kearifan lokaldimana agama menjadidasar pendekatan untukmenanamkan nilai-nilaihubungan keterkaitananatara amal perbuatandi dunia dengan alamakhirat.
Melibatkan kelompokwanita khususnya ibu-ibu pengajian dalamkegiatan konservasihutan melaluiinternalisasi agama. Halini dianggap sebagaibentuk kearifan lokaldimana agama menjadidasar pendekatan untukmenanamkan nilai-nilaihubungan keterkaitananatara amal perbuatandi dunia dengan alamakhirat. di DesaAndongrejo jugaditunjang dengankegiatan pendampinganpengelolaan budidayajamu tradisional yangmemaanfaatkantumbuhan khas yangbanyak ditemukan dikawasan hutan TNMBuntuk kemudiandibudidayakan di lahanrehabilitasi.
118
Universitas Indonesia
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
Polisihutan/Resort
Melakukan pendekatan personal maupunkelompok melalui penyuluhan yang sifatnya lebihsantai dan tidak kaku. Tetapi cara ini belum bisadikatakan efektif karena tergantung dengankesadaran komunitas karena pada dasarnya setiapindividu maupun kelompok memiliki carapandang tersendiri dalam upaya pengelolaanhutan dan kegiatan konservasi hutan
Meningkatkanpengawasan melaluipatroli hutankhususnya diperbatasan zonarehabilitasi denganzona inti maupunzona rehabilitasisendiri; Melakukanpendekatan padakomunitas lokal baiksecara personalmaupun kelompokdengan terlibatlangsung dalamkegiatan perkumpulawarga
Balai TNMB Terkait dengan kegiatan pemberdayaanmasyarakat dalam kegaitan DA REDD+ menjaditanggungjawab KAIL, pihak TNMB hanya dalamteknis perhitungan karbon
Penguatankelembagaan SPKP,OPR, dan LMDHKWonomulyo
Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And Governance (Fleksibel danOrientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola Pemerintahan)
LSM KAIL Adanya DA REDD+ semakin memperkuat posisimasyarakat dalam zona rehabilitasi. Khusus diDesa Curahnongko sudah ada MoU antara TN danmasyarakat dalam pengakuan keterlibatanmasyarakat terkait pengelolaan lahan rehabilitasi
Tidak ada kegiatanpendampingan yangdilakukan oleh LSMKAIL karena fokuskegiatanpemberdayaanmasyarakat padarangkaian kegiataanDA REDD+ hanyapada DesaCurahnongko danAndongrejo.
Polisihutan/Resort
Penguatan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) dimana melibatkan kelompokpetani rehabilitasi. Penunjukan beberapa orang petani rehabilitasididasarakan pada peran yang dimiliki dalam struktur kelompok petanirehabilitasi serta keaktifannya dalam kegiatan konservasi hutan; sertamenindaklanjuti kasus-kasus illegal logging
119
Universitas Indonesia
KemampuanAdaptif
Resort Andongrejo Resort Wonoasri
Curahnongko Andongrejo Wonoasri
Balai TNMB Balai TNMB memfasilitasi kebutuhan komunitas terhadap kebutuhanlahan melalui penerapan land use regulation dengan wujud penetapanzona rehabilitasi dimana komunitas desa penyangga diberi hakpengelolaan dengan sejumlah kewajiban yang diberlakukan. Hal inibertujuan untuk mengurangi interaksi komunitas lokal dengan zona intiTNMB.
4.2Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+
Upaya mengidentifikasi aksi adaptasi komunitas lokalsekitar TNMB di 3
(tiga) wilayah desa penyangga, peneliti terlebih dulu akan menjelaskan rangkaian
hubungan komunitas lokal dengan kawasan hutan TNMB. Sebagaimana
komunitas lokalmemaknai hubungannya dengan hutan, secara tidak langsung
dapat menjadi dasar bagi pembentukan perilaku aksi adaptasi yang terbentuk
selain ditunjang dari kemampuan adaptif yang dimiliki setelah memperoleh
pemahaman mengenai REDD+.
Berdasarkan hasil identifikasi wawancara, hubungan komunitas lokal
dengan hutan kawasan TNMB dibedakan menjadi 5 konsep pemaknaan yang
berbeda yaitu :
(1) Komunitas lokal bertanggungjawab atas upaya pelestarian hutan
Beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep komunitas lokal
bertanggungjawab penuh atas upaya pelestarian hutan.Menurut pendapat Ketua
LSM KAIL mengemukakan bahwa,“Petani/masyarakat menjadi ujung tombak
dalam upaya konservasi. Seperti tanaman pohon jika kesadaran masyarakat
kurang untuk menjaga tanaman pohonnya, maka tidak bisa hidup. Jadi sebenarnya
masyarakat adalah ujung tombak dari semua program.” (Nrh, Mei 2014). Petani
memiliki peran penting dalam upaya konservasi, dimana petani turut
bertanggungjawab dalam menjaga kelestarian hutan di TNMB khususnya.
Interaksi masyarakat dengan kawasan hutan TNMB tidak dapat dilepaskan
begitu saja. Hutan memiliki makna tersendiri bagi petani rehabilitasi. “Hutan itu
120
Universitas Indonesia
sumber kehidupan baik untuk manusianya, untuk keanakeragaman hayati, visi dari
meru betiri itu kan hutan lestari masyarakat sejahtera” (Sjt, Mei 2014). Sejalan
dengan pernyataan Dsr (2014), “Bagaikan anak dengan orang tua saling
membutuhkan, kalau kita memerlukan alam itu/hutan, tapi kalau kita mau hidup
dengan hutan itu, kita juga harus memberi hidup hutan itu. Jadi kita juga turut
melestarikan hutan. Jadi hutan yang ada sekarang juga akn bisa dinikmati oleh
anak cucu kita di masa mendatang. Kita juga harus menjaga hutan, kalau hutan
gundul nanti banjir kita juga yang merugi.”
(2) Hutan sebagai sumber mata pencaharian
Hutan dengan segala keanekaragaman hayati di dalamnya menyediakan
sebagian besar sumberdaya yang bisa dimanfaatkan oleh komunitas lokal yang
tinggal disekitar kawasan hutan TNMB khususnya. Pemanfaatan sumberdaya
hutan bagi komunitas local yang tinggal disekitarnya merupakan suatu kewajaran,
tetapi bagaimana pola pemanfaatan sumberdaya itulah yang menjadi tindakan
yang mencerminkan kecintaan dan kesadarannya kepada hutan. Hutan
memberikan dampak langsung dan tidak langsung bagi keberlangsungan
masyarakat yang hidup disekitarnya. Hal ini dikemukakan dalam beberapa
pernyataan informan.
“Kalau dulu, hutan itu jadi andalan banget mbak, kan banyak hasil hutan
itu kayak madu, kayu rambahan nanti bisa dijual, bambu untuk gedek.
Kalau sekarang kan sudah nggak boleh, sudah dikasi lahan rehab sama
TN. Dulu itu sering juga ada illegal logging, tapi biasanya dari masyarakat
luar. Kalau orang sini aja butuhnya mungkin kayak cuma bikin rumah,
itupun seumur hidup sekali aja.” (Sra, Mei 2014)
Hutan menjadi anadalan bagi komunitas lokal khususnya desa penyangga
terutama untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Masyarakat secara alami
memiliki hubungan batin yang dekat dengan hutan walaupun mereka juga
mengambil hasil hutan, tetapi tidak sampai merusak hutan. Kesadaran ini
tertanam pada sebagian komunitas lokal yang memiliki kepedulian tinggi
terhadap hutan. “Masalahnya kan kita tinggal dipinggir hutan, hubungan kita itu
erat sekali. Hutan itu sumber mata pencaharian kalau buat masyarakat sini. Tapi
121
Universitas Indonesia
bagaimanapun saja arahnya bagi yang peduli dengan hutan akan cenderung
menjaga hutan. Kalau yang nggak peduli ya masih nebangi hutan. Masyarakat
juga sebenarnya nanti akan rugi sendiri kalau hutannya rusak.” (Syh, Mei 2014)
Hutan dianggap sebagai lahan bisnis bagi komunitas lokal tertentu dimana
keuntungan akan diperoleh seiring dengan semakin banyaknya hasil kayu yang
diperoleh dari hasil hutan TNMB. “Masyarakat sangat besar sekali
ketergantungannya dengan hutan. penghasilan masyarakat dari hutan yg tanpa
merusak hutan. Ini kan di lahan rehab. Orang yang tidak bisnis, akan
memanfaatkan hasil lahan rehab. Tapi kalau masyarakat yang bisnis, cenderung
melakukan pembalakan.” (Srs, Mei 2014). Banyaknya kasus illegal logging yang
terjadi di kawasan TNMB, memberikan pandangan yang menilai bahwa,
perbuatan illegal logging hanya merupakan bentuk ketidakpuasan manusia atas
apa yang belum termiliki. “Kalau masalah illegal logging itu bukan urusan perut
lapar, tapi keserakahan orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Bukan urusan
perut lapar lalu nebang kayu itu endak” (Sjt, Mei 2014).
Hutan sebagai pendukung untuk kegiatan budidaya pertanian empon-
empon dimana value added diperoleh dari pengelolaan jamu tradisional. “Hutan
itu penting buat masyarakat sini, apalagi saperti saya ini yang juga budidaya
empon-empon, nanemnya kan di hutan, ngambilnya juga dari hutan, kalau hutan
gundul, tanemannya mati.” (Mn, Mei 2014)
Balai TNMB berpendapat bahwa pelestarian hutan berkaitan erat dengan
kesejahteraan masyarakat sebagaimana tercantum dalam visi dan misi Balai
TNMB seperti yang dikemukakan berikut.
“Pelestarian hutan dan kesejahteraaan masyarakat sesuai dengan visi dan
misi kita. Kalau interkasi antar hutan dan masyarakat sangat intens.
Terutama dengan masyarakat yang dekat dengan kawasan itu sangat intens
karena sebagian besar masyarakat itu bergantung dengan alam (hutan),
tetapi kesadarannya rendah, terutama ketergantungan. Hidupnya masih
tergantung dengan hutan. sedangkan TN konsepnya ke 3P – Perlindungan,
122
Universitas Indonesia
Pengawetan, dan Pemanfaatan tapi sekarang 4P ditambah dengan
Pemberdayaan.” (Ngh, Mei 2014)
(3) Hutan sebagai sumber alternatif mata pencaharian
Keberadaan hutan TNMB tidak selamanya menjadi sumber mata
pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk di kawasan TNMB, hal ini
ditunjukkan khususnya bagi masyarakat yang tinggal di Desa Wonoasri, dimana
kedekatan geografis dengan hutan tidak memiliki pengaruh besar dalam upaya
pemanfaatan hutan sebagai pendukung kegiatan ekonomi. “Kalau tergantung
sepenuhnya enggak, karena masyarakat sini masih bekerja di perkebunan. Tapi
hutan itu cukup memberikan hasil buat masyarakat sini. Kita juga tidak boleh
merambah hutan yg bagian dalem, bolehnya ya Cuma di lahan rehab saja” (Ssw,
Mei 2014). Masyarakat Wonoasri juga memiliki lahan pertanian sawah, sehingga
tidak speenuhnya bergantung dengan lahan rehabilitasi. “Masyarakat disini
kebanyakan petani biasanya lari ke lahan desa milik sendiri (sawah di dataran
rendah) atau kebun. Lahan rehab itu hanya sampingan aja. Tidak sepenuhnya
dicurahkan disitu.” (Tmn, Mei 2014)
(4) Keterbatasan sumberdaya lahan di sekitar kawasan TNMB
Bagi sejumlah informan, menilai bahwa hutan menjadi salah satu
sumberdaya lahan yang bisa diandalakan ketika lahan yang tersedia di wilayah
desa tidak dapat mengakomodir kebutuhan seluruh penduduk yang ada. tetapi
kesadaran masyarakat untuk menjaga hutan masih dimiliki dalam pribadi
informan. “Letak geografis disini itu, jumlah penduduk dengan lahan pertaniannya
nggak imbang, jadi sangat tergantung sekali dengan hutan, dalam artian tidak
merusak hutan”. (Skr, Mei 2014). Penyataan tersebut didukung oleh Skw (2014),
“Petani yang nggak punya lahan pertanian di sawah ya mengandalkan lahan di
rehab. Kan nggak mungkin orang sebanyak ini semuanya punya lahan disawah,
sementara sawah yang ada itu cuma sedikit, ya otomatis mengandalkan lahan di
rehab. Misalnya begini ada masyarakat yang mencari joho, kemiri di hutan.”
(5) Hutan memiliki manfaat bagi ekosistem lingkungan
123
Universitas Indonesia
Hutan memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem alam.
Pemahaman ini dirasakan oleh sejumlah informan. “Sebelum 2010, masyarakat
sendiri sudah memiliki tanggungjawab penuh dan merasa menjadi bagian dari
hutan, melestarikan secara bersama. Hutan sebagai tata guna air, penghasil
oksigen, dan mendukung sumber penghidupan lainnya bagi masyarakat shg
mereka juga turut menjaga hutannya.” (Abh, Mei 2014)
Ekosistem hutan yang terganggu akan menimbulkan dampak pada
lingkungan sekitar. Misalnya bencana banjir. Jika pohon di hutan semakin
gundul, maka wilayah lain disekitarnya akan terkena banjir karena limpasan air
hujan akan lagsung jatuh ke tanah tanpa ditahan oleh tutupan vegetasi. “TNMB
berdekatan langsung dengan wonoasri, memiliki hubungan yang saling
membutuhkan. Manfaat hutan juga banyak untuk Wonoasri, jika terjadi hujan
pasti air yang dari andong, Curahtakir, Curahnongko bermuara di Wonoasri.
Sehingga banjir juga bisa dirsakan oleh masyarakat Wonoasri.” (Abr, Mei 2014)
Hubungan masyarakat dengan kawasan hutan TNMB akan menjadi
pendukung untuk mendalami aksi adaptasi komunitas lokal selain melalui
gambaran kemampuan adaptif.Aksi adaptasi komunitas lokal selanjutnya
dikelompokkankedalam dua jenis yaitu kelompok petani rehabilitasi dan
kelompok wanita baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam
kegiatan DA REDD+. Berikut hasil temuan lapangan dari identifikasi aksi adaptasi
yang dilakukan dua kelompok tersebut.
4.2.1 Kelompok petani rehabilitasi
Aksi adaptasi kelompok masyarakat cenderung berbeda sesuai dengan
kemampuan adaptif yang dimiliki sertakesadaran akan perannya dalam menjaga
ekosistem. Aksi adaptasi kelompok petani rehabilitasi baik di Curahnongko,
Andongrejo maupun Wonoasri lebih kepada upaya inovasi untuk menambah
alternatif mata pencaharian, dan alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi dengan
menjaga tanaman pokok.
a. Aksi adaptasi untuk menambah alternatif mata pencaharian
124
Universitas Indonesia
Kelompok petani rehabilitasi Desa Curahnongkobaik yang mengikuti
kegiatan DA REDD+ maupun tidak mewujudkan aksi adaptasinya melalui upaya
melakukan alternatif kegiatan ekonomi dengan alternatif budidaya jamur tiram,
peje dan penanaman pohon buah. “Saya mencoba budidaya jamur tiram. Lahan di
rehab kan nggak bisa ditungguin terus. Ada musimnya.” (Prm, Mei 2014). Selain
itu juga petani banyak menanam tanaman peje yang dirasa mudah ditanaam tetapi
menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. “Peje itu mbak tanaman rambat di hutan,
tumbuhnya ya gitu dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak, menjalar kemana-
mana, bijinya kecil-kecil. Kalau sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli.
Tanemannya tahan panas, terus bisa itu mencegah tanah longsor kalau pas hujan.”
(Sri, Mei 2014). Beberapa petani juga berinisiatf menanam tanaman buah-buahan.
“Kalau nggak boleh manen kayu, lahan saya saya kasi taneman buah. Sirsak,
Alpukat. Buahnya bisa diambil, nanti dijual.” (Skw, Mei 2014)
Selain itu, aksi adaptasi kelompok petani di Desa Andongrejo juga
diwujudkan dengan mengembangkan alternatif mata pencaharian agar tidak
bergantung pada hasil hutan di TNMB khususnya kayu. Upaya ini dilakukan
dengan melakukan penanaman eberapa jenis tanaman di bawah naungan tanaman
pokok seperti peje, empon-empon. “Lahan rehab juga saya tanami peje sama
empon-empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per kilonya mahal Mbak, kalau
empon-empon itu kan bisa dijual juga ke tengkulak.” (Sjt, Mei 2014).
b. Aksi adaptasi melalui pengelolaan lahan rehabilitasi
Aksi adaptasi nyata juga dilakukan oleh petani rehabilitasi yang tidak
terlibat langsung dalam kegiatan DA REDD+ di Desa Curahnongkodiwujudkan
melalui upaya menjaga tanaman pokok yang ada di lahan rehabilitasinya. Seperti
penuturan, Sri (2014), “Kalau kita menjaga hutan, usaha melestarikan hutan,
utamanya di lahan rehab. Kita disuru menjaga taneman pokok, jangan ada yang
ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet disulam.” Aksi adaptasi ini juga
didukung oleh pendampingan yang dilakukan LSM KAIL. “Dari pelatihan KAIL,
kita kan disuru mengawasi tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya itu kita
jaga bersama-sama kelompok” (Sri, Mei 2014).
125
Universitas Indonesia
Aksi adaptasi di Desa Andongrejo dan Curahnongko, tidak terlepas dari
adanya peran LSM KAIL yang turut menyertakan masyarakat menjaga secara
bersama zona rimba yang berbatasan dengan zona rehabilitasi agar timbul
kesadaran adaptasi dan upaya degradasi hutan dapat terhindarkan. “Dari pelatihan
KAIL, kita kan disuru mengawasi tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya
itu kita jaga bersama-sama kelompok” (Skw, Mei 2014).
Kelompok petani rehabilitasi di Desa Andongrejo yang tidak mengikuti
kegiatan DA REDD+ mewujudkan aksi adaptasi salah satunya melalui kegiatan
alternatif pengelolaan lahanrehabilitasi yaitu dengan melakukan penyulaman
tanaman pokok yang telah mati. “Saya pribadi menyadari kalau di lahan rehab ada
tanaman yang mati/rusak biasanya saya sulam. Bibitnya ya nanti saya sendiri,
swadayalah Mbak” (Sjt, Mei 2014). Penyulaman itu tidak lain karena kesadaran
yang dimiliki, hal ini dibuktikan dengan kesukarelaan petani untuk menanam
tanaman pokok secara swadaya walaupun terkadang juga mendapat bantuan bibit
dari Balai TNMB. “Nyulam lahan rehab itu swadaya mbak, masing-masing petani,
tapi kalau ada bantuan bibit dari TN juga disulam lagi”(Skr, Mei 2014).
Aksi adaptasi juga diwujudkan dalam upaya perlindungan lahan
rehabilitasi dari kebakaran hutan, yaitu dengan tidak membakar sampah yang ada
di hutan. “Seperti membakar sampah di hutan itu nanti mengeluarkan racun ke
udara. Jadi saya nggak pernah membakar lagi” (Sjt, Mei 2014). Hal ini menjadi
salah satu bukti bahwa petani memiliki kepedulian nyata untuk menjaga hutan.
Hasil emisi dari pembakaran hutan akan mencemari udara dan membuat gas
rumah kaca di atmosfer bumi semakin tinggi.
Seperti halnya di dua desa lainnya, Desa Wonoasri aksi adaptasi juga
diwujudkan melalui alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi dengan menjaga
tanaman pokok. Penyulaman yang dilakukan sebagai upaya untuk menjaga
tanaman pokok. “Petani biasanya menyulami sendiri tanaman tegakan yang mati
atau roboh, atau kadang juga bibit itu dikasi dari TN untuk penyulaman. Jadi
kadang TN ada pembagian bibit.” (Tmn, Mei 2014). Penanaman bibit yang
diberikan oleh TN dimaksudkan untuk mengajak kelompok komunitas lokal secara
bersama melakukan penanaman. “Nanem bibit yang dikasi TN itu bagian dari
126
Universitas Indonesia
usaha petani untuk menjaga hutan. dari situ pengennya hutan hijau lagi,
masyarakat ikut berpartisipasi menjaga pohonnya.” (Dsr, Mei 2014).
Kelompok petani rehabilitasi mengungkapkan bahwa sebenarnya
kemampuan masyarakat beradaptasi itu sudah dimilki sejak dulu dengan kesadaran
yang dimiliki melalui upaya menjaga hutan. Hal ini dapat dilihat dari perilaku
masyarakat yang dituturkanDsr (2014),“Kemampuan adaptasi itu ada kok dari
dulu sudah terbentuk di masyarakat. Mereka itu tau kalau hutannya gundul, banjir
yang akan datang dari atas sana. Jadi, kalau buat yang punya lahan yang miring
diatas, mereka tanami peje. Biar air hujan yang turun tidak langsung jatuh ke lahan
yang bawah.”
Seperti halnya kelompok petani rehabilitasi yang mengikuti kegiatan DA
REDD+, petani yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+ juga memiliki
kesadaran yang sama seperti diungkapkan Sis (2014), “Kalau di lahan yang
miring, susah buat diolah. Jadi bisa ditanami peje, biar kalau hujan nggak langsung
jatuh airnya, ada yang nahan.” Aksi adaptasi ini menjadi bagian dalam upaya
alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi.
Aksi adaptasi tidak hanya dirasakan oleh kelompok petani Wonoasri yang
mengikuti DA REDD+, namun juga diikuti dengan petani yang tidak mengikuti
kegiatan DA REDD+. Berdasarkan temuan lapangan, aksi adaptasi yang dilakukan
kelompok tani patut ditiru. Aksi adaptasi nyata langsung dilakukan dengan
melakukan penanaman pada tanaman tegakan yang telah mati atau roboh. “Petani
sini baik-baik orangnya, sudah sadar sendiri kalau ada yang mati atau roboh
disulam sendiri” (Pnm, Mei 2014). Keterlibatan petani dalam aksi adaptasi
menentukan keberhasilan upaya konservasi hutan. Adaptasi akan berjalan secara
kontinyu jika kesadaran timbul dari dalam diri masing-masing individu.“Kita yang
punya lahan di rehab, wajib menjaga tegakan pohon. Kalau ada yang mati, cepet-
cepet disulam.” (Ssw, Mei 2014). Hal yang sama juga dilakukan oleh Srs (2014),
“Walaupun nggak ada yang nyuruh, sulam tanaman itu pasti dilakukan sama
petani.”
127
Universitas Indonesia
4.2.2 Kelompok wanita
Seperti halnya kelompok petani rehabilitasi, kelompok wanitadi Desa
Curahnongko juga melakukan hal yang sama dalam upaya mewujudkan aksi
adaptasinyauntuk menjaga kelestarian hutan melalui alternatif pengelolaan lahan
rehabilitasi dengan menjaga tanaman pokok. “Tanah di lahan rehab itu nggak
diolah, tapi ditanami peje. Sekarangg ditanami nangka, pete, kedawung, kemiri,
pisang. Nanti setelah hasil dari peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami
lainnya.” (Syh, Mei 2014). Tidak hanya Syh yang menanm peje sebagai alternatif
pengelolaan lahan rehabilitasi, hal ini juga dinyatakan oleh Sra (2014), Lahan saya
sekarang ditanami peje, mau musim kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas
cuma peje.
Sedangkan aksi adaptasi kelompok wanita di Desa Andongrejo dilakukan
melalui alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi dengan menanam tanaman
palawija dan empon-empondibawah tanaman pokok. “Tanaman pokok yang
besar-besar, dibawahnya ditanami palawija seperti jagung, padi, dan empon-
empon. Jadi petaninya juga untuk dimakan ada, untuk menjaga hutan juga ada.
Untuk kebutuhan ekonomi, bisa dijual empon empon, padi, peje.” (Katemi, 2014).
Hal yang sama juga dilakukan oleh Mn (2014), “Empon-empon juga tidak hanya
ditanam di lahan rehab, sebagian ibu-ibu yang punya lahan di rumahnya, ditanami
empon-empon juga.”
Aksi adaptasi yang dilakukan kelompok wanita pengelola budidaya jamu,
salah satunya karena kesadaran dan semangat yang timbul dari dalam pribadinya.
“Hutan gundul perlu dilestarikan, karena jika hutan gundul akan menimpa ke
manusianya juga, jadi TOGA akan ikut prihatin kalu hutannya gundul. Jadi juga
semangat untuk mengembalikan kelestarian hutan.” (Ktm, Mei 2014).Hal ini
diwujudkan dengan menjaga tanaman pokok, yaitu dengan tidak menebanginya.
Jika hutan gundul, maka pertumbuhan empon-empon akan terganggu karena
kerapatan vegetasi yang rendah sehingga panas matahari akan langsung menyinari
tumbuhan yang membuat tumbuhan akan mati karena radiasi matahari terlalu kuat
diterima.
128
Universitas Indonesia
Keinginan untuk menghijaukan hutan kembali juga didukung oleh salah
satu ibu kelompok TOGA, namun untuk menyadarkan dan melibatkan seluruh
masyarakat dalam aksi adaptasi agaknya terkendala dengan karakter individu.
Tidak semua orang berkeinginan dan beraksi nyata untuk melestarikan hutan.
“Ingin hutannya hijau lagi kayak dulu. Tapi ya susah ngasitau masyarakat itu suru
nanem. Padahal sering ada kegiatan pelatihan, di kumpulan tibakan juga sering
disampaikan. Tergantung orangnya Mbak. Orang kan beda-beda maunya.” (Mn,
Mei 2014)
Sedangkan aksi adaptasi kelompok wanita di Desa Wonoasri terhadap
upaya konservasi karbon hutan khususnya di lahan rehabilitasi tidak cukup
berperan besar. Tidak adanya kegiatan pendampingan LSM yang mampu
memotivasi kelompok wanita untuk berbuat nyata dalam aksi adaptasi untuk
konservasi karbon hutan.
Selain dua kelompok tersebut, aksi adaptasi juga perlu mendapat dukungan
dari aparatur desa, polisi hutan/resort, LSM lokal, serta pihak pemerintah yang
dalam hal ini yaitu Balai TNMB.
4.2.3 Aparatur desa
Aparatur desa yang dilibatkan dalam penelitian ini meliputi kepala desa,
sekretaris desadan KAUR desa. Menurut penuturan aparatur desa Curahnongko
masyarakat lokal sebenarnya memiliki local knowledge sendiri untuk
mempraktikkan kemampuannya dalam beradaptasi.
“Kalau saya bilang, masyarakat itu punya local knowledge sendiri tentang
bagaimana dia menjaga hutan, beradaptasi. Tapi masalahnya ya itu Mbak,
masyarakat itu kan pikirannya beda-beda, kemampuan buat berbuat itu
juga beda, maunya aja beda. Kalau mau kita kan masyarakat itu boleh
mengambil hasil hutan, tapi tidak merusak pohonnya. Katakanlah ambil
madu, buah, ya ambil hasilnya, tapi pohonnya nggak usah ditebang. Biar
aja seperti itu, biar nanti bisa dapat ngambl madu atau buahnya tadi.”
(Abh, Mei 2014)
129
Universitas Indonesia
Untuk meningkatkan kemampuan adaptasi masyarakatsejumlah upaya dari
pemerintah Desa Curahnongko telah dilakukan yaitu dengan mengadakan
pelatihan yang digalakkan sebelum adanya kegiatan DA REDD+ maupun setelah
kegiatan DA REDD+.“Kalau untuk pemerintah desa sudah rasanya ndak kurang-
kurang melakukan penyuluhan ke masyarakat, biasanya kersama dengan TN, itu
gunanya untuk menyadarkan masyarakat, mengajak ikut sama-sama menjaga
hutannya.” (Srs, Mei 2014). Hal ini dipandang sebagai upaya peningkatan
kemampuan adaptif komunitas lokal dan meningkatkan peran pemerintah sebagai
salah satu institusi lokal yang memiliki pengaruh penting dalam konservasi hutan
Sejumlah upaya melalui kegiatan penyuluhan baik pra maupun pasca DA
REDD+ telah dilakukan untuk menyadarkan komunitas lokal dalam menjaga
kelestarian hutan. “Kita berusaha memberi penyuluhan ke masyarakat.
Penyuluhan itu sudah ada sejak dulu, bahkan sebelum REDD+ ada. Itu tugas kita
untuk membentuk kesadaran masyarakat tentang pentingnya hutan” (Ryd, Mei
2014). Bahkan, kegiatan penyuluhan tidak hanya dilakukan oleh aparatur desa,
tetapi juga didukung oleh Balai TNMB maupun LSM. Namun efektifitas dari
kegiatan penyuluhan dalam mengubah dan menyadarkan perilaku komunitas lokal
untuk menjaga kelestarian hutan nampaknya belum efektif. “Ada, penyuluhan dari
desa, TN, LSM itu sering ke masyarakat. Tapi kan nanti akhirnya kembali ke
pribadinya lagi. Penyuluhan itu sifatnya membantu, mendorong dan mengajak
masyarakat untuk ikut dalam menjaga dan melestarikan hutan. Kalau dari
masyarakat sendiri saya kira ada beberapa yang ingin hutannya hijau lagi. Tapi itu
cuma sedikit saja. Nyatanya penanaman belum berhasil baik untuk menghijaukan
kembali hutan” (Ryd, Mei 2014).
Lain halnya dengan penilaian aparatur Desa Wonoasri. Dari pihak
pemerintah desa, upaya menyadarkan komunitas lokal dilakukan melalui kegiatan
penyuluhan maupun pendekatan personal maupun kelompok dengan turut hadir
dalam sejumlah kegiatan perkumpulan rutin yang diadakan. Melalui beberapa
kegiatan tersebut, pengetahuan komunitas lokal menjadi bertambah khususnya
terkait dengan manfaat hutan. “Masyarakat disini mampu beradaptasi, buktinya
Wonoasri bagus hutannya. Sering-sering kegiatan penyuluhan itu menambah
manfaat buat masyarakat sini, jadi lama
apa yang nggak boleh dilakukan dengan hutan
masyarakat di Desa Wonoasri yang mudah untuk diajak bekerjasama dan lebih
terbuka, menjadi nilai penting dalam upaya pelibatan konservasi.
Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya, contohnya kalau ada tanaman yang rusak,
dilakukan penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya mereka beradaptasi
(Abr, Mei 2014). Hal ini didukung
semangat dari petani itu besar untuk meghijaukan kembali hutan di lahan rehab.
“Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga mau semangat menanam.
Menjaga pohonnya. Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah deng
pencurian kayu yang dilakukan masyarakat asli
masyarakat sini” (Pai, Mei 2014)
4.2.4 LSM KAIL
Seperti halnya peran pemerintah dalam mengatur regulasi pengeloaan
kawasan hutan TNMB. Peran LSM
berkaitan dengan peran
upaya perlindungan hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh LATIN.
KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun 2001. Nah selama kurun waktu itu kita
melakukan kegiatan pelestar
pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun 1999 terjadi penjarahan massal, ketika
LATIN bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan masyarakat untuk
menghijaukan lahan kawasan Meru Betiri kembali (Nrh, Mei 2
Universitas Indonesia
manfaat buat masyarakat sini, jadi lama-lama masyarakat itu paham fungsi hutan,
apa yang nggak boleh dilakukan dengan hutan” (Abr, Mei 2014).
masyarakat di Desa Wonoasri yang mudah untuk diajak bekerjasama dan lebih
menjadi nilai penting dalam upaya pelibatan konservasi.
Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya, contohnya kalau ada tanaman yang rusak,
dilakukan penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya mereka beradaptasi
Hal ini didukung oleh pernyataan yang mengemukakan bahwa
semangat dari petani itu besar untuk meghijaukan kembali hutan di lahan rehab.
Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga mau semangat menanam.
Menjaga pohonnya. Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah deng
yang dilakukan masyarakat asli. Kebanyakan dari luar dan bukan
(Pai, Mei 2014)
Seperti halnya peran pemerintah dalam mengatur regulasi pengeloaan
kawasan hutan TNMB. Peran LSM KAIL juga memiliki peran
berkaitan dengan peran pemberdayaan masyarakat. “KAIL sudah melakukan
upaya perlindungan hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh LATIN.
KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun 2001. Nah selama kurun waktu itu kita
melakukan kegiatan pelestarian kawasan di zona rehabilitasi yang diawali dengan
pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun 1999 terjadi penjarahan massal, ketika
LATIN bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan masyarakat untuk
menghijaukan lahan kawasan Meru Betiri kembali (Nrh, Mei 2014).
130
Universitas Indonesia
lama masyarakat itu paham fungsi hutan,
(Abr, Mei 2014).Karakteristik
masyarakat di Desa Wonoasri yang mudah untuk diajak bekerjasama dan lebih
menjadi nilai penting dalam upaya pelibatan konservasi. “Masyarakat
Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya, contohnya kalau ada tanaman yang rusak,
dilakukan penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya mereka beradaptasi.”
oleh pernyataan yang mengemukakan bahwa
semangat dari petani itu besar untuk meghijaukan kembali hutan di lahan rehab.
Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga mau semangat menanam.
Menjaga pohonnya. Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah denger ada
Kebanyakan dari luar dan bukan
Seperti halnya peran pemerintah dalam mengatur regulasi pengeloaan
juga memiliki peran utamanya
AIL sudah melakukan
upaya perlindungan hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh LATIN.
KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun 2001. Nah selama kurun waktu itu kita
di zona rehabilitasi yang diawali dengan
pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun 1999 terjadi penjarahan massal, ketika
LATIN bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan masyarakat untuk
014).
Gambar 4.7
Sumber : Dokumen pribadi
Kegiatan yang dilakukan LSM KAIL dalam upaya
untuk bersama menciptakan kelestarian hutan telah berlangsung sejak sebelum
terlaksananya DA REDD+. Kepercayaan LSM KAIL bahwa masyarakat
merupakan komponen penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan DA
REDD+ dalam upaya konservasi
“Masyarakat itu mampu kalau didorong dan difasilitasi. Mereka memiliki
knowledge yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya kita berhasil
mengembangkan tanaman TOGA di lahan 7 Ha dengan melibatkan masy
Itu jadi pengukuran karbon kemarin.” (Nrh, Mei 2014)
Keberhasilan
Curahnongko akan menjadi contoh bagi individu maupun kelompok masyarakat
lainnya untuk meningkatkan upaya dalam mendukung kesada
hutan. Optimisme LSM KAIL terhadap potensi masyarakat lokal menjadi
motivasi internal yang akan dapat ditanamkan dalam kelompok petani Desa
Curahnongko.“Curahnongko yang jadi
bisa jadi contoh untuk upaya konservasi hutan di desa penyangga lainnya, melalui
pemberdayaan petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau masyarakat itu bisa
diajak kerjasama dengan pemerintah dan sama
2014). Masyarakat memiliki peran penting dalam konservasi hutan, dimana untuk
meningkatkan kesadarannya diperlukan pendekatan dan pendampingan dari LSM.
Dukungan kelembagaan baik dari organisasi pemerintah maupun LSM
Lokal sudah berlangsung sejak sebelum
Universitas Indonesia
7 Lahan Demplot 7 Ha di Desa Curahnongko
Sumber : Dokumen pribadi
Kegiatan yang dilakukan LSM KAIL dalam upaya merangkul masyarakat
untuk bersama menciptakan kelestarian hutan telah berlangsung sejak sebelum
terlaksananya DA REDD+. Kepercayaan LSM KAIL bahwa masyarakat
merupakan komponen penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan DA
REDD+ dalam upaya konservasi hutan. Aksi adaptasi masyarakat diungkapkan,
Masyarakat itu mampu kalau didorong dan difasilitasi. Mereka memiliki
yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya kita berhasil
mengembangkan tanaman TOGA di lahan 7 Ha dengan melibatkan masy
Itu jadi pengukuran karbon kemarin.” (Nrh, Mei 2014)
partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan di
Curahnongko akan menjadi contoh bagi individu maupun kelompok masyarakat
lainnya untuk meningkatkan upaya dalam mendukung kesada
hutan. Optimisme LSM KAIL terhadap potensi masyarakat lokal menjadi
motivasi internal yang akan dapat ditanamkan dalam kelompok petani Desa
Curahnongko yang jadi sample demplot percontohan, diharapkan
bisa jadi contoh untuk upaya konservasi hutan di desa penyangga lainnya, melalui
pemberdayaan petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau masyarakat itu bisa
diajak kerjasama dengan pemerintah dan sama-sama menjaga hutan.” (Nrh, Me
Masyarakat memiliki peran penting dalam konservasi hutan, dimana untuk
meningkatkan kesadarannya diperlukan pendekatan dan pendampingan dari LSM.
Dukungan kelembagaan baik dari organisasi pemerintah maupun LSM
Lokal sudah berlangsung sejak sebelum dilaksanakannya kegiatan DA REDD+,
131
Universitas Indonesia
merangkul masyarakat
untuk bersama menciptakan kelestarian hutan telah berlangsung sejak sebelum
terlaksananya DA REDD+. Kepercayaan LSM KAIL bahwa masyarakat
merupakan komponen penting dalam mendukung terlaksananya kegiatan DA
adaptasi masyarakat diungkapkan,
Masyarakat itu mampu kalau didorong dan difasilitasi. Mereka memiliki local
yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya kita berhasil
mengembangkan tanaman TOGA di lahan 7 Ha dengan melibatkan masyarakat.
partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan di
Curahnongko akan menjadi contoh bagi individu maupun kelompok masyarakat
lainnya untuk meningkatkan upaya dalam mendukung kesadaran konservasi
hutan. Optimisme LSM KAIL terhadap potensi masyarakat lokal menjadi
motivasi internal yang akan dapat ditanamkan dalam kelompok petani Desa
percontohan, diharapkan
bisa jadi contoh untuk upaya konservasi hutan di desa penyangga lainnya, melalui
pemberdayaan petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau masyarakat itu bisa
sama menjaga hutan.” (Nrh, Mei
Masyarakat memiliki peran penting dalam konservasi hutan, dimana untuk
meningkatkan kesadarannya diperlukan pendekatan dan pendampingan dari LSM.
Dukungan kelembagaan baik dari organisasi pemerintah maupun LSM
dilaksanakannya kegiatan DA REDD+,
132
Universitas Indonesia
tetapi dukungan tersebut lebih diperkuat sejak kegaitan DA REDD+ berlangsung.
Dukungan tersebut terlihat dalam bentuk penguatan kelembagaan dan partisipasi
komunitas lokal dalam upaya konservasi hutan.
4.2.5 Polisi hutan/resort
Aksi adaptasi tidak hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dan petani
rehabilitasi, melainkan juga dari staf resort yang memiliki tugas dalam
perlindungan dan pelestarian hutan. Keinginan untuk mewujudkan aksi adaptasi
lebih ditekankan pada peningkatan pengawasan terhadap hutan. “Kalau keinginan
itu ada mungkin, tapi nggak semua masyarakat. Pemikirannya kan beda-beda.
Kalau yang peduli sama hutan, ya nggak menebang pohon. Menjaga tanaman
pokoknya. Itu kalau dari sisi masyarakatnya. Kalau dari kita sebagai petugas, ya
kita meningkatkan pengawasan saja. Hutan ini kan milik negara, bersama juga,
jadi masyarakat yang nyuri kayu itu bisa sadarlah. Sama-sama peduli jaga
hutannya.” (Jum, Mei 2014).
Selain itu, aksi adaptasi yang dilakukan oleh petugas resort diwujudkan
dalam meningkatkan kemampuan petugas dalam menjalin hubungan kedekatan
dengan komunitas lokal. Menurut penuturan salah satu staf Resort Andongrejo,
Patroli dilakukan dengan dibantu dan mengajak MMP. Serta didukung dengan
upaya pendektaan partisipatif seperti,“Menjalin hubungan dekat dengan
masyaraakat agar masyarakat sadar dan tidak lagi melakukan perambahan.” (Jum,
Mei 2014)Hal yang dilakukan staf Resort Wonoasri yang bertanggungjawab
dalam pengamanan dijelaskan sebagai berikut.“Menindaklanjuti oknum yang
melakukan pencurian hutan. tergantung pada tingkat kegiaatnnya. Meningkatkan
pengawasan pada kawasan hutan juga.” (Mst, Mei 2014).
4.2.6 Balai TNMB
Salah satu bentuk aksi adaptasi yang dilakukan oleh pemerintah yaitu
dengan pengaturan kelembagaan dimana telah terbentuk kelembagan di tingkat
desa yang berfokus pada kegiatan pemberdayaan (SPKP) dan keamanan hutan
(MMP). Berdasarkan penuturan staf resort Andongsari dan Wonoasri menjelaskan
133
Universitas Indonesia
bahwa, “Ada lembaga KAIL sama SPKP bentukan TN. Ini untuk mengkoordinir
petani rehab. Kumpulan kelompok di Curahnongko yang aktif, sering ngumpul-
ngumpul.” (Jum, Mei 2014). Hal yang sama juga terjadi di Wonoasri, “Di
Wonoasri itu ada SPKP, MMP, OPR. Itu lembaga beda-beda fungsinya. SPKP
sama OPR itu fungsinya untuk mengkoordinir petani. Perkumpulan kelompok
buat ngomong-ngomong, diskusi masalah pertanian. Kalau MMP itu pelibatan
masyarakat untuk menjaga hutan, pemantauan. Kan kemarin waktu REDD+ itu
kita diikutkan. Fungsi kita adalah untuk meningkatkan pengawasan kawasan
hutan Meru Betiri.” (Mst, Mei 2014).
Aksi adaptasi yang dilakukan bersama oleh seluruh komponen masyarakat
maupun pemerintah menjadi bagian dari wujud kesadaran dan kepedulian dengan
hutan. Peran resort, tidak dapat berdiri sendiri tanpa dibantu dengan masyarakat,
pembangunan hutan berkelanjutan tidak akan tercapai. Seperti yang dikemukakan
oleh Feb (2014),“Hutan terlindungi, masyarakat juga baik kehidupan ekonominya.
Dan masyarakat ngertilah tugas kita sebagai penjaga juga manusia. Kalau hutan
rusak, yang rugi juga kita, jadi minimal masyarakat itu menjagalah pohon di lahan
nya (lahan rehabilitasi).”
Pemerintah khususnya Manajemen Balai TNMB, memiliki kekuatan
penuh dalam pengawasan dan pelaksanaan fungsi untuk meningkatkan aksi
adaptasi komunitas lokal dalam rangka meningkatkan stok karbon hutan sebagai
bagian dari salah satu tujuan dari terselenggaranya DA REDD+ dengan
melakukan pengaturan kelembagaan. Hal ini dibuktikan dengan penguatan
kelembagaan MMP di tingkat lokal. MMP dalam pelaksanaan tugas pengawasan
melibatkan komunitas lokal dan lebih diperkuat untuk menjaga wilayah
hutan.“Ada kegiatan penguatan kelembagaan di tingkat petani (pertemuan
kelmpok-kelompok, OPR) terkait dengan pemberdayaan, ada juga SPKP” (Ngh,
Mei 2014).
Selan itu upaya pendekatan partisipatif kepada komunitas lokal juga
dilakukan. Dalam proses pendekatan kepada komunitas tentunya tidak
membutuhkan waktu yang singkat. Butuh mengenalinya secara mendalam untuk
bisa melebur dan mendapat kepercayaan dari komunitas. Hal ini tidak mudah
134
Universitas Indonesia
dilakukan karena diperlukan strategi khusus. “…dalam pendekatan ke masyarakat
itu harus tau latar belakang maysarakat seperti apa, orangnya wataknya seperti
apa, keluarganya seperti apa, kemudian di masyarakat apakah jd tokoh atau tidk.
Itulah yang kita lihat. Setelah dari lihat itu, kita ambil titik lemahnya dia, titik
lemah bukan brarti kekurangan, maksudnya kita bisa masuk ke masyarakat itu
seperti apa” (Msf, Mei 2014)
135
Universitas Indonesia
BAB 5PEMBAHASAN
Meningkatnya fokus perhatian dunia terkait dengan peran hutan dalam
upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim menjadi suatu peluang dan ancaman
khususnya bagi masyarakat yang tinggal di sekitar maupun di dalam kawasan
hutan, khususnya di Taman Nasional Meru Betiri. Turut berpartisipasinya
Indonesia dalam upaya pengurangan karbon sebesar 26% dengan skema business
as usual dan 41% dengan bantuan dana Internasional, membawa sejumlah
tantangan bagi pemerintah untuk mewujudkan kontribusi aktif pengurangan emisi
dari deforestasi dan degradasi hutan. Hal ini tidak dapat terlepas dari peran
masyarakat dimana masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek yang memiliki
keterkaitan langsung utamanya untuk mengakses sumberdaya yang disediakan
oleh hutan baik berupa kayu maupun non kayu.
Pelibatan masyarakat menjadi penting dalam setiap implementasi kegiatan
di TNMB dimana masyarakat merupakan aktor lokal yang secara langsung
memiliki hubungan keterkaitan tinggi dengan keberadaan sumberdaya hutan yang
disediakan oleh TNMB. Melalui berbagai macam kegiatan yang diselenggarakan
dengan kerjasama berbagai pihak baik pemerintah pusat, pemerintah lokal
maupun masyarakat diupayakan dapat menciptakan pembentukan karakter
masyarakat yang tangguh dan peduli terhadap upaya perlindungan kelestarian
hutan dan keanekaragaman hayati.
Sebagaimana tergambarkan kondisi geografis kawasan TNMB yang relatif
berdekatan dengan kawasan permukiman penduduk dipandang sebagai bentuk
ancaman sekaligus potensi dalam upaya perlindungan dan pelestarian hutan.
Keanekaragaman hayati dan kekayaan sumberdaya ekosistem hutan yang dimiliki
oleh TNMB menjadi salah satu sumber mata pencaharian penduduk baik yang
tinggal di kawasan desa penyangga maupun sekitar kawasan TNMB. Mengingat
bahwa TNMB merupakan kawasan konservasi dimana di dalam Undang-Undang
No. 41/1999 tentang Kehutanan, hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan
hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan
135
136
Universitas Indonesia
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Berdasarkan definisi
tersebut, secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa masyarakat tidak memiliki
hak dalam mengakses sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu beserta
ekosistem yang ada di dalamnya.
Dalam implementasinya, kawasan TNMB tidak dapat diproteksi dari
aktivitas masyarakat khususnya masyarakat yang tinggal disekitar kawasan desa
penyangga. Pihak Balai Taman Nasional Meru Betiri berupaya untuk
memfasilitasi kepentingan masyarakat dalam upaya menjamin kesejahteraannya
sekaligus upaya perlindungan dan pelestarian kawasan hutan dengan melibatkan
partisipasi masyarakat melalui penetapan Zona Rehabilitasi. Sebagaimana sejarah
membentuk penetapan Zona Rehabilitasi sebagai zona yang ditujukan untuk
mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar TNMB agar tidak melakukan
perambahan di Zona Inti kawasan.
Taman Nasional Meru Betiri yang merupaakan salah satu kawasan hutan
konservasi yang termasuk dalam kegiatan Demonstration Activity (DA) REDD+
di Indonesia. Serangkaian kegiatan DA REDD+ yang dilaksanakan memiliki
tujuan umum yaitu memberikan kontribusi dalam pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan, serta meningkatkan cadangan karbon hutan
melalui peningkatan partisipasi masyarakat dalam konservasi hutan dan
pengelolaan TNMB dan tujuan khusus yaitu (1) meningkatkan peran, kesadaran,
dan mata pencaharian masyarakat lokal yang tinggal di dalam dan di sekitar areal
TNMB melalui partisipasi dalam menghindari deforestasi, degradasi, dan
hilangnya keanekaragaman hayati; serta (2) mengembangkan sistem estimasi
cadangan karbon yang kredibel, dapat diukur, dilaporkan, dan diverifikasi (MRV)
untuk memantau kegiatan REDD+ di TNMB. Sejumlah kegiatan (Bab 3 Hal 80)
yang telah dilakukan, diuapayakan dapat memberikan dampak positif bagi
eksistensi kawasan TNMB dan perlindungan kesejahteraan masyarakat.
Dalam penelitian ini akan dikaji secara mendalam mengenai dampak
kegiatan DA REDD+ terhadapkemampuan adaptif serta aksi adaptasi komunitas
lokal.
137
Universitas Indonesia
5.1 Kemampuan AdaptifKomunitas Lokal Desa Penyangga Pasca DA
REDD+
Kegiatan DA REDD+ merupakan salah satu bentuk intervensi komunitas
yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan hutan, meningkatkan stok
karbon hutan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui upaya
pengembangan masyarakat lokal. Dengan adanya kegiatan DA REDD+
diharapkan masyarakat dapat meningkatkan kemamuan adaptifnya. Jika merujuk
pada pemahaman kemamuan adaptif yang dikemukakan oleh UNDP (Bab 2, Hal.
38), bahwa kemampuan adaptif diungkapkan sebagai tindakan awal aksi adaptasi
yang dilakukan oleh komunitas lokal, dimana dalam praktiknya dipergunakan
pengelolaan sumberdaya secara efektif dengan segenap pengetahuan dan
informasi yang dimiliki serta teknologi yang mendukung. Dengan demikian,
ketika masyarakat memahami makna, secara tidak langsung akan terbentuk dalam
pemikirannya sebagai refleksi dari fenomena alam yang harus dihadapi dan segera
diatasi.
Kegiatan DA REDD+ dianggap sebagai strategi pembangunan efektif
untuk mengurangi dampak perubahan iklim dimana didalamnya terdapat 3
tuntutan (triple wins) yaitu menjaga emisi karbon hutan agar tetap rendah,
membangun ketahanan komunitas lokal terutama untuk menghadapi perubahan
iklim dan mendorong pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dalam suatu
rangkaian yang sejalan. Untuk selanjutnya kemudian dianalisis kedalam 5
karakteristikkemampuan adaptif komunitas lokalyang diwujudkan setelah masa
kegiatan DA REDD+ berakhir tahun 2013 melalui kerangka LAC yang diterapkan
oleh ACCRA.
5.1.1 Asset Base (Aset Dasar)
a. Natural capital
Natural capital merupakan kekayaan sumber daya alam yang digunakan
untuk mencukupi kebutuhan sumberdaya untuk mendukung livelihood masyarakat
(Bab 2, Hal. 43). Menurut Caravani dan Graham (2011) dalam Graham (2012),
menyebutkan bahwa,Dengan mengintegrasikan penggunaan asset alam yang
138
Universitas Indonesia
dimiliki oleh masyarakat dalam desain REDD+, maka biaya peluang yang
dikeluarkan oleh masyarakat dapat diminimalisir, dan masyarakat juga akan
bersedia berpartisipasi dalam REDD+.
TNMB merupakan kawasan konservasi sesuai dengan Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor : 277/Kpts-VI/1997 tanggal 23 Mei 1997, Kawasan Meru
Betiri ditetapkan sebagai Taman Nasionaldimana hutan TNMB menjadi milik
negara. Hak tenurial lahan hutan menjadi penuh milik negara dan masyarakat
tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun termasuk memanfaatkan segala
sumberdaya hutan yang berupa kayu maupun non kayu. Sejak penetapan itu hak
tenurial komunitas lokal atas sumberdaya hutan menjadi terbatas. Sehingga
kemudian, terjadi perambahan besar-besaran sewaktu peralihan orde baru menuju
reformasi, dimana terjadi perambahan hutan secara besar-besaran. Sebagai upaya
mengantisipasi semakin maraknya perambahan, maka kemudian ditetapkanlah
zona rehabilitasi dimana komunitas lokal diberi kewenangan untuk pengelolaan
lahan dengan tujuan rehabilitasi kawasan.Pihak Manajemen Balai TNMB juga
beraharap dengan adanya lahan rehabilitasi, dapat mengakomodir kepentingan
kegiatan ekonomi komunitas lokal desa penyangga agar tidak melakukan
pengrusakan dan perambahan terhadap hutan di zona inti TNMB.
Aset berupa lahan rehabilitasi (Lihat Peta Zonasi Kawasan TNMB)
kemudian dibagikan kepada komunitas lokal desa penyangga dengan luasan
perorangan berkisar 0,25 Ha. Hal ini menjadi bagian dari upaya pemberian hak
tenurial lahan hutan dimana komunitas lokal desa penyangga diakui
kewenangannya dan terlibat langsung dalam kegiatan rehabilitasi hutan, serta
boleh memanfaatkan, mengelola dan menggunakan sumberdaya yang ada di
masing-masing laahn rehabilitasi yang dimiliki kelompok petani rehabilitasi.
Dengan adanya pengakuan hak tenurial lahan terutama pada lahan
rehabilitasi, maka kegiatan deforestasi dan degradasi dapat diminimalisir. Hal ini
sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Caravani dan Graham (2011). Jika
akses terhadap lahan terpenuhi, maka ketahanan komunitas lokal dalam upaya
mendukung terciptanya hutan yang lestari dapat terpenuhi seiring dengan
kemampuan adaptif yang dimiliki oleh komunitas lokal.
139
Universitas Indonesia
Hak tenurial yang diberikan TNMB pada komunitas lokal desa penyangga
bertujuan untuk upaya konservasi karbon hutan. Dalam hal ini, pelaksanaannya
menggunakan metode partisipatif, artinya secara bersama pemerintah maupun
komunitas lokal berperan dan turut terlibat dalam proses rehabilitasi hutan.
Ketentuan yang diterapkan adalah petani berkewajiban menanam tanaman pokok
di masing-masing lahan rehabilitasi, namun dengan menerapkan sistem
agroforestry. Menurut King dan Chandler (1968) dalam Rianse dan Abdi (2010),
Agroforestri merupakan sistem pengelolaan lahan berkelanjutan dan mampu
meningkatkan produksi lahan secara keseluruhan, merupakan kombinasi produksi
tanaman pertanian (termasuk tanaman tahunan) dengan tanaman hutan dan/atau
hewan/ternak baik secara bersama atau bergiliran, dilaksanakan pada suatu bidang
lahan dengan menerapkan teknik pengelolaan praktis sesuai dengan budaya
masyarakat setempat.
Dalam praktik kegiatan DA REDD+, lahan rehabilitasi menjadi salah satu
plot kegiatan penghutanan kembali kawasan hutan yang melibatkan peran serta
masyarakat dalam upaya peningkatan stok karbon. Aset berupa lahan rehabilitasi
menjadi jaminan (safeguards) bagi komunitas lokal untuk meningkatkan
kesejahteraannya sehingga kemampuan adaptif komunitas lokal dalam
menghadapi pasca DA REDD+ dapat terus terlaksana dan pembangunan hutan
berkelanjutan dapat terwujud secara berkesinambungan.
140
Universitas Indonesia
141
Universitas Indonesia
b. Human capital
Human capital diidentifikasi sebagai keterampilan, pengetahuan,
kemampuan bekerja dan kesehatan yang baik yang secara bersama mendukung
masyarakat untuk mengejar strategi penghidupan yang berbeda. Human capital
yang dimiliki individu maupun kelompok untuk menyadarkan perannya dalam
peningkatan konservasi karbon hutan. Karaktersitik human capital yang dimiliki
oleh kelompok masyarakat di 3 desa wilayah penelitian memiliki tingkatan human
capital yang berbeda.
Desa Curahnongko, kelompok petani rehabilitasi memiliki human capital
yang bagus dalam kaitannya denan kesadaran yang dimiliki untuk berpartisipasi
dalam upaya konservasi hutan, tetapi hal ini tidak bisa digeneralisir pada semua
individu kelompok tani. Hanya individu kelompok tani yang aktif dan dekat
dengan petugas saja yang memiliki kesadaran tinggi untuk menjaga
hutannya.Sedangkan pada kelompok wanita, human capital yang dimiliki terkait
dengan kesadaran dalam upaya konservasi hutan dimiliki oleh tokoh-tokoh
wanita, namun perannya dalam mengadvokasi kelompok wanita untuk
berpartisipasi menjaga kelestarian hutan masih rendah.
Sedangkan di Andongrejo human capital yang bagus dimiliki oleh
kelompok wanita yaitu ibu-ibu pengelola budidaya jamu tradisional. Hal ini dapat
dilihat dari kemampuan dan pengetahuan kelompok wanita yang dimiliki tentang
ramuan tradisional untuk berbagai macam penyakit dengan memanfaatkan apotik
hidup yang merupakan kekayaan hayati TNMB. Kelompok wanita pengelola
budidaya jamu tradisonal menjadi andalan bagi Desa Andongrejo untuk
menggiatkan dan mengajak kelompok wanita lainnya dalam upaya konservasi
karbon hutan. Hal ini tidak lain dari motivasi yang dimiliki individu untuk lebih
maju dan berkembang dalam upaya meningkatkan kapasitas pribadinya serta
dukungan dari pendampingan LSM KAILyang berpengaruh dalam menjamin
keberlangsungan kegiatan budidaya jamu tradisional yang dilakukan oleh wanita.
Warisan ini dimiliki oleh kelompok wanita yang kemudian diupayakan
disebarkan melalui tetangga, rekan, maupun keluarganya. Keinginan untuk
memajukan kelompok wanita dan upaya untuk menjaga hutan khususnya di zona
rehabilitasi sangat besar. Kemampuan adaptif kelompok wanita sangat baik
142
Universitas Indonesia
dengan keikutsertaannya peduli pada upaya pelestarian hutan dan konservasi
karbon dengan tetap menjaga tanaman pokok di lahan rehabilitasi.
Berbeda halnya dengan kelompok wanita yang ada di Desa Wonoasri.
Kelompok wanita tidak terlalu berperan aktif dalam mewujudkan kegiatan
REDD+ khususnya di TNMB. Hal ini dikarenakan, peran pendampingan hanya
terfokus pada Desa Andongrejo dan Curahnongko, yang digagas sebagai pilot
project untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat dalam implementasi kegiatan
DA REDD+ serta kurangnya motivasi dari individu masing-masing. Berbeda
halnya dengan kelompok petani rehabilitasi di Wonoasri yang memiliki tingkat
human capital yang cukup baik dalam kaitannya dengan kepedualian untuk upaya
konservasi karbon, ditandai dengan kesadaran yang dimiliki oleh individu untuk
menjaga hutannya serta perannya secara bersama dengan pihak-pihak terkait
untuk menjaga kelestarian hutan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan informan
mengenai keberhasilan rehabilitasi hutanmelalui partisipasi komunitas lokal pada
lahan rehabilitasi mencapai70% di Desa Wonoasri.
Potensi human capital yang dimiliki masing-masing kelompok akan
berpengaruh pada kemampuan adaptif terutama dalam upaya konservasi karbon.
Semakin banyak pengetahun yang dimiliki kelompok tani, maka semakin terampil
mereka dalam melakukan inovasi-inovasi untuk mengelola lahan dan bersikap
bijak pada pengelolaan hutan TNMB.
c. Social Capital
Social capital digambarkan sebagai sumber daya sosial yang
dimanfaatkan untuk mendukung tujuan peningkatan livelihood masyarakat
(DFID, 1999 dalam Graham, 2012). Dalam social capital bentuk hubungan
antarindividu maupun antarkelompok yang terjalin untuk saling menguatkan satu
dengan lainnya. Hal ini menjadi modal utama untuk meningkatkan partisipasi
komunitas lokal serta meningkatkan kemampuan adaptifnya baik yang dimiliki
individu maupun komunitas dalam mendukung upaya konservasi karbon hutan.
Karaketeristik social capital kelompok masyarakat TNMB cenderung berbeda
dimana hal ini akan berpengaruh pada implementasi kegiatan khususnya yang
terkait dengan upaya pelestarian hutan.
143
Universitas Indonesia
Desa Curahnongko memiliki social capital yang bagus yang terjalin
antarindividu maupun antarkelompok, dimana terlihat bahwa peran seorang ketua
kelompok petani rehabilitasi sangat mempengaruhi anggota kelompok tani
lainnya. Keaktifan dan keluwesan ketua kelompok dalam melakukan pendekatan
kepada warga serta merangkul warganya menjadi kunci untuk menghidupkan
peran kelompok dalam meningkatkan kemampuan adaptifnya. Tingginya social
capitaldapat dilihat dari loyalitas individu untuk berkumpul dalam acara-acara
yang diselenggarakan formal maupun informal oleh ketua kelompok tani.
Social capital di kelompok ibu-ibu pengajian di Desa Curahnongko pada
dasarnya memiliki hubungan yangkuat,. Intensitas dari pertemuan mingguan dan
kekompakan ibu-ibu menjadi salah satu sasaran untuk mendekati kelompok
wanita dalam upaya peningkatakan kemampuan adaptif yang salah satunya
diinisiasi oleh LSM KAIL. Keinginan melibatkan kelompok pengajian didasari
pada keinginan untuk menginternalisasi upaya konservasi dalam nilai-nilai agama
dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat sehingga hal ini tidak hanya
dipahami sebagai bentuk kegiatan saja tapi diharapkan dapat menjadi kemasan
langkah ibadah dan menanam kebaikan. Stigma yang ditanamkan adalah dengan
upaya melestarikan hutan akan memberi manfaat tidak hanya bagi manusia
sendiri, tetapi bagi makhluk ciptaan Tuhan lainnya seperti hewan tumbuhan juga
menjadi bagian dari ladang amal. Menciptakan kehidupan harmonis antara alam
dengan manusia adalah menjadi peran utama manusia sebagai khalifah di bumi.
Sedangkan di Andongrejo social capital yang bagus dimiliki oleh
kelompok ibu-ibu pengelola budidaya jamu tradisional Sumber Waras. Kelompok
ini aktif untuk mengembangkan ramuan jamu untu mengobati beberapa penyakit
serta aktif dalam perkumpulan pengajian mingguan.kelompok ini sudah terbentuk
sejak tahun 1993 oleh LATIN (Bogor). Social capital dalam kelompok ini
menjadi salah satu potensi dalam upaya melibatkan partisipasi masyarakat
khususnya kelompok wanita untuk turut serta dalam meningkatkan konservasi
karbon. Kesadaran dan peran pentingnya dalam menjaga hutan diharapkan dapat
menjadi kunci untuk bersama meningkatkan kepedulian terhadap hutan demi
kelestarian hutan dan terjaminnya kesejahteraan komunitas lokal.
144
Universitas Indonesia
Desa Wonoasri merupakan desa yang tidak mendapat pendampingan
langsung dari LSM KAIL, namun peransocial capital yang dimiliki antarindividu
maupun antarkelompok petani dalam upaya konservasi karbon hutan cukup besar.
Tidak hanya peran kelompok tani tetapi peran aparatur desa cukup menjadi faktor
penentu dalam mempengaruhi perilaku warganya. Menurut staf Balai TNMB,
kegiatan masyarakat untuk peduli kepada kegiatan konservasi sangat dipengaruhi
oleh pimpinan yaitu kepala desa.
Aset yang dimiliki oleh masyarakat merupakan modal utama dan penting
bagi upaya meningkatkan kemampuan adaptif masyarakat dalam upaya
konservasi karbon khususnya pasca kegiatan DA REDD+
berlangsung.Kemampuan adaptif komunitas lokaldi 3 kawasan desa penyangga
yaitu Desa Curahnongko, Andongrejo dan Wonoasri memiliki kemampuan
adaptif yang dimiliki. Komunitas lokal akan cenderung merespon sebuah
perubahan untuk beradaptasi ketika aset yang dimiliki dapat terpenuhi.
d. Financial capital
Financial capital dipandang sebagai sumber daya keuangan yang
digunakan masyarakat untuk mengadopsi strategi mata pencaharian yang
berbeda (DFID, 1999). Berkaitan dengan kondisi financial capital yang
dimiliki oleh komunitas lokal desa penyangga terkait dengan kemampuan
yang dimiliki komunitas untuk mengalihkan mata pencaharian alternatif
untuk mengurangi interaksi dan ketergantungan terhadap hasil hutan di
kawasan TNMB. Dengan demikian, kemampuan adaptif komunitas lokal
dalam upaya konservasi karbon dapat terwujud melalui strategi
pengembangan mata pencaharian alternatif, dimana komunitas lokal desa
penyangga tidak mengandalkan kehidupannya pada hasil hutan berupa kayu
saja melainkan dengan melakukan budidaya dari hasil hutan berupa non
kayu untuk diolah agar memberikan nilai tambah.
5.1.2 Knowledge And Information (Pengetahuan Dan Informasi)
Menurut Frankhauser dan Tol, 1997 (Bab 2, Hal. 46) mengemukakan
bahwa langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis
dam disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan
145
Universitas Indonesia
adaptifkelompok masyarakat. Hal ini jelas berkaitan erat dengan keberadaan
lembaga-lembaga, dan masyarakat yang akan membutuhkan sistem untuk
mengoptimalkan generasi pengetahuan informal dan berbagi serta terbaik
memanfaatkan jenis pengetahuan yang lebih formal.
Pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat serta informasi yang didapat
melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan adaptif
komunitas lokal. Semakin banyak pengetahun dan informasi yang diperoleh, serta
pemahaman dari rangkaian kegiatan dan tujuan DA REDD+, komunitas
lokaldapat membangun kesadarannya sertamemiliki banyak pilihanuntuk
menentukan aksi adaptasi dalam upaya konservasi karbon hutan demi menjamin
kesejahteraan hidup masyarakat masa sekarang maupun di masa yang akan
datang.
Dalam kegiatan DA REDD+ tidak semua komponen dalam komunitas
dilibatkan, tetapi hanya tokoh-tokoh tertentu yang memiliki peran dan posisi
strategis dan penting dalam komunitas masyarakat lokal, misalnya ketua
kelompok tani, ketua kelompok wanita, aparat desa, petugas resort. Hal ini
tentunya akan membentuk suatu wacana mengenai bagaimana kemampuan adaptif
yang akan terbentuk berbeda antara kelompok yang aktif dilibatkan dalam
kegiatan DA REDD+ maupun yang tidak aktif, karena akan terjadi proses
transferability pengetahuan yang berbeda pada setiap elemen kelompok
masyarakat sehingga kesadaran yang terbangun dalam diri individu maupun
kelompok akan berbeda khususnya dalam menanggapi upaya konservasi karbon
hutan.
Dalam proses transferability, akan diperoleh informasi dan pengetahuan
yang dimiliki komunitas lokal baik pada kelompok petani rehabilitasi maupun
kelompok wanita. Rekonstruksi pemahaman informan pada kedua kelompok
terkait dengan REDD+ merupakan salah satu upaya untuk mengidentifikasi
kemampuan adaptif komunitas lokal pascakegiatan DA REDD+. Kemampuan
adaptif komunitas lokal cenderung memiliki karakteristik yang berbeda
antarkelompok dan antardesa di wilayah penelitian. Sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Wandel dan Smit (Bab 2, Hal. 36), dimana kemampuan
146
Universitas Indonesia
adaptif yang dimiliki komunitas lokal untuk mengatasi perubahan ketika dan di
saat dibutuhkan cenderung berbeda antara tempat yang satu dengan lainnya
maupun antrakomunitas satu dengan lainnya, serta antarwaktu yang berbeda pula.
Memahami konteks REDD+ sebagai upaya pelestarian dan perlindungan
hutan dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan, dimana plus di dalamnya
mencakup 3 aspek yaitu peningkatan stok karbon, keanekaragaman biodiversitas,
dan partisipasi masyarakat. Namun di dalam suatu komunitas, konteks
pemahaman REDD+ lebih mudah dipahami sebagai salah satu upaya pelestarian
hutan khususnya di lahan rehabilitasi yang dilakukan dengan cara menjaga
tanaman pokok sebagai penghasil karbon. Istilah REDD+ sendiri bukan
merupakan istilah yang mudah dimengerti bagi kelompok masyarakat. Istilah ini
terlalu berat untuk dipahami mengingat tingkat pendidikan mereka yang relatif
rendah. Dari ketiga konstruksi pemahaman mengenai REDD+ (Bab 4, Hal.85)
komunitas lokal lebih lazim dengan istilah “Upaya Pelestarian Hutan”.
Konsep ini juga dipahami oleh kelompok petani rehabilitasi yang tidak
mengikuti kegiatan DA REDD+sebagai upaya pelestarian hutan kembali yang
mewajibkan petani rehabilitasi untuk menanam dan menjaga tanaman pokok.
Pandangan masyarakat mengenai REDD+ sebagai akibat dari pemanasan global
sebenarnya lebih tepat merefleksikan bahwa rusaknya hutan akan menyebabkan
pemanasan global dimana secara ilmiah kegiatan deforestasi maupun degradasi
akan menghasilkan emisi CO2 yang terlepas ke atmosfer.
Berdasarkan hasil identifikasi di lapangan, ditemui sejumlah fenomena
menarik. Pemahaman REDD+ ternyata lebih dipahami oleh kelompok komunitas
lokalyang tinggal di Desa Andongrejo dan Curahnongko. Rata-rata masyarakatnya
memahami REDD+ sebagai upaya pelestarian hutan. Kesadaran dan kepedulian
untuk pelestarian hutan di Desa Curahnongko dan Andongrejo tidak dapat
digeneralisir bahwa masyarakat menyadari dan bertindak menghijaukan hutan.
Masih terdapat kelompok masyarakat yang tidak memiliki kesadaran penuh atas
peran dan fungsi hutan. Tetapi cenderung lebih mementingkan kegiatan ekonomi
dan sibuk mensejahterakan pribadinya dengan tindakan yang melanggar hukum.
147
Universitas Indonesia
Lain halnya dengan di Desa Wonoasri, dimana kelompok masyarakat
khususnya petani yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+ tidak memahami
apa yang dimaksud dengan REDD+. REDD+ hanya dipahami oleh sebagian
kelompok tani yang mengikuti kegiatan REDD+ dan petugas resort
Wonoasri.Keberadaan LSM Lokal sepertinya memiliki peran besar dalam hal
proses transferability mengenai pemahaman konsep REDD+ itu seperti apa.
Sedangkan untuk peran kelompok tani sendiri tidak begitu besar untuk
menyatakan bahwa mereka benar-benar melakukan transferability tersebut kepada
anggota kelompok tani lainnya. Namun uniknya adalah lahan rehabilitasi yang
dimiliki oleh petani di Desa Wonoasri memiliki tingkat kerapatan tanaman yang
lebih baik jika dibandingkan dengan dua desa lainnya. Hal ini dikarenakan
kesadaran komunitas local sendiri untuk ikut serta menjaga hutan di lahan
rehabilitasi yang dimiliki petani.Walaupun pengetahuan tidak diperoleh secara
merata pada elemen kelompok masyarakat, tingkat kesadaran dan kepeduliannya
untuk menjaga hutan masih relatif bagus jika dibandingkan dengan 2 desa lainnya.
Namun untuk tingkat keberhasilan dalam upaya transferability pengetahun terkait
dengan kegiatan DA REDD+ tidak dapat berjalan optimal.
Tetapi nilai pentingnya adalah kesadaran individu maupun kelompok
dalam upaya konservasi karbon hutan cenderung baik. Hal ini berkorelasi dengan
hubungan yang terbentuk antara komunitas lokal dengan hutan tidak memiliki
keterkaitan langsung, artinya dalam hal ekonomi, komunitas lokal Desa Wonoasri
tidak bergantung sepenuhnya pada hutan, karena sebagian besar masyarakat lebih
mengandalkan bekerja sebagai buruh perkebunan yang banyak mengelilingi
kawasan TNMB. Kegiatannya di lahan rehabilitasi hanya sebagai sampingan saja.
Tetapi kesadaran untuk tetap menjaga hutannya disadari cukup baik.
Berdasarkan pengamatan yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa
transferability akan berpengaruh pada tingkat kesadaran dari pengetahuan yang
diperoleh dimana akan mempengaruhi kemampuan adaptif komunitas lokal
dapat mempraktikan upaya konservasi karbon hutan.
148
Universitas Indonesia
5.1.3 Innovation (Inovasi)
Seperti pada teori Ludi (2011) dalam Graham (2012) (Bab 2 Hal 47),
menyebutkan bahwa inovasi berkaitan erat dengan pengetahuan dan informasi
tambahan yang diperoleh individu untuk menganalisis bagaimana mengambil
peluang atau menanggapi ancaman dari perubahan iklim. Dimana inovasi juga
juga terkait erat dengan aset dasar yang mencerminkan kondisi ekonomi
seseorang dalam mengambil resiko maupunmengembangkan investasi dalam
inovasi.Inovasi antarindividu maupun antarkelompok cenderung berbeda sesuai
dengan pengetahuan dan informasi yang diperoleh serta kesadaran yang dimiliki.
Dalam hal ini menggambarkan bahwa semakin banyak individu maupun
kelompok terlibat dalam rangakain kegiatan DA REDD+ semakin banyak
informasi dan pengetahuan yang dimiliki sehingga inovasinya akan semakin baik.
Banyak hal baru yang akan dilakukan (inovasi) dalam upaya mempraktikkan dan
mengembangkan pengetahuan yang dimiliki sebaagi bentuk wujud kemampuan
adaptif (Gambar 5.1).
Gambar 5. 1 Hubungan keterkaitan asset base, information and knowledge, dan
innovation dalam membentuk kemampuan adaptif
Kemampuan sebuah sistem dalam mendukung praktik baru dan
meningkatkan inovasi menjadi kunci utama dalam menentukan karakteristik
Asset base
Information
and KnowledgeInnovation
Intervention Intervention
Adaptive capacity
Opportunity
Threathness
149
Universitas Indonesia
perilaku adaptif. Sistem yang dimaksud adalah seluruh pihak yang terlibat dan
bertanggungjawab dalam menciptakan keharmonisan di alam, yaitu manusia
(yang terdiri dari komunitas lokal maupun peran institusi). Berdasarkan hasil
temuan lapangan inovasi akan dikelompokkan menjadi 3 yaitu (1) Inovasi
budidaya tanaman; (2) Inovasi untuk meningkatkan pendapatan; dan (3) Inovasi
pengelolaan lahan rehabilitasi.
Inovasi pertama, melalui budidaya tanaman yang dilakukan oleh
kelompok petani rehablitasi dengan menanam tanaman yang memiliki kandungan
karbonnya tinggi serta menguntungkan dari segi ekonomis, dan tahan terhadap
naungan yang teduh sehingga pertumbuhannya tidak terganggu.Untuk
mewujudkan inovasi pertanam, dilakukan dengan metode MPTS (Multi Purpose
Trees Species). Hal ini juga ditujukan untuk mengakomodir kepentingan
masyarakat karena pada dasarnya masyarakat memiliki ketergantungan tinggi
terhadap hasil hutan.
Inovasi kedua, diterapkan untuk mendukung upaya peningkatan
pendapatan masyarakat melalui program pemberdayaan masyarakat. Dalam hal ini
beberapa kegiatan yang dilakukan yaitu dengan mengembangkan tanaman empon-
empon untuk budidaya pengelolaan jamu tradisional dengan sistem agroforestry
serta pembudidayaan jamur tiram. Hal ini menjadi upaya untuk memberikan
kontribusi alternatif peningkatan pendapatan ketika rapatan tegakan hutan
semakin tinggi, sehingga tercipta kreasi baru dari petani untuk menanam tanaman
yang lain dan bernilai ekonomis. Salah satu penerapannya dilakukan di Desa
Andongrejo yang menyasar pada kelompok wanita pengelola budidaya jamu
tradisional.
Inovasi ketiga, Inovasi untuk meningkatkan motivasi konservasi hutan
diwujudkan melalui program PINTAR. Program PINTAR merupakan bentuk
apresiasi kepada petani rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di lahan
rehabilitasi sesuai dengan skema sistem pengeklasan lahan berdasarkan jumlah
tanaman pokok/tegakan yang ada. program ini baru diterapkan di Desa
Curahnongko dan Andongrejo. Program ini diinisiasi oleh LSM KAIL untuk
meningkatkan dan membangun partisipasi masyarakat dalam upaya konservasi
150
Universitas Indonesia
karbon hutan. Dimana penerapannya diberlakukan pada petani yang memiliki
nilai kelas lahan pada peringkat 5 dan 6 dengan kondisi bahwa kerapatan tanaman
di rehabilitasi sudah mencapai anatara 100 hingga 150 pohon. Petani tersebut
kemudian akan diberikan fasilitas pemotongan harga sembilan bahan pokok
dengan pemotongan Rp 3.000,- pada setiap pembelian di toko yang telah
disediakan, dengan maksimal jumlah pemotongan satu tahan sebesar Rp 150.000,-
Serta pelibatan partisipasi masyarakat untuk menjaga kawasan hutan TNMB
khsusunya yang berbatasan langsung dengan zona rimba pada lahan rehabilitasi.
Pemetaan partisipatif telah dibentuk sebaagi bentuk pertanggungjawaban,
komitmen dan kesadaran individu untuk tidak melakukan perambahan di hutan
(Bab 4., Hal 117). Hal ini sayangnya masih hanya terjadi di Desa Curahnongko
saja, dan belum dpaat diimplementasikan ke wilayah desa lainnya karena
keterbatasan pembiayaan program.
Menurut Smith et al (2003) dalam Graham (2011), kemampuan sebuah
sistem dalam mendukung praktik baru dan meningkatkan inovasi menjadi kunci
utama dalam menentukan karakteristik kapasitas adaptif. Hal ini tentunya
dibutuhkan perubahan kondisi sosial dan lingkungan dan praktik-praktik.
Beberapa inovasi tersebut telah diwujukan oleh LSM KAIL khususnya di
kelompok masyarakat Desa Andongrejo dan Curahnongko.Berpedoman
padaTeori Smith, dengan pengamatan yang dilakukan di 2 Desa yaitu
Curahnongko dan Andongrejo jika dikaitkan antara dukungan kelembagaan LSM
cukup efektif untuk mengubah perilaku adaptif kelompok masyarakat untuk upaya
konservasi hutan. Namun, hal ini tidak dapat digeneralisisr kepada semua
komponen kelompok petani maupun masyarakat karena beberapa kasus terkait
illegal logging masih saja ditemukan di kawasan Resort Andongrejo yang
meliputi dua Desa tersebut. Inovasi terbentuk karena adanya intervensi LSM
dalam bidang pengembangan masyarakat lokal terkait dengan peningkatan
livelihoodnya. Inovasi pada level mikro akan cenderung lebih efektif dan menjadi
solusi dalam menciptakan peluang serta merespon upaya konservasi karbon hutan.
151
Universitas Indonesia
5.1.4 Institutions And Entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan Hak)
Kelembagaan memiliki peran penting dalam mendukung pola perilaku
adaptif. Menurut Ostrom, 2005 (Bab 2, Hal. 44), lembaga merupakan kontrol dari
sistem regulasi dan struktur organisasi yang ada, dimana lembaga tersebut dapat
bersifat formal (lembaga pemerintahan) maupun non formal (Lembaga Swadaya
Masyarakat/LSM). Peran kelembagaan sangat penting untuk mengatur dan
mengakui eksistensi komunitas sebagai aktor utama yang mendukung
keberhasilan upaya konservasi hutan pasca DA REDD+ dimana dapat
meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal desa penyanggan. Dukungan
kelembagaan dan persamaan hak baik dari pemerintah maupun LSM lokal yang
memiliki peran untuk menggiatkan kelompok dalam komunitas lokal untuk upaya
konservasi karbon. Contoh nyata yang ada yaitu terbentuknya kelembagaan SPKP
(Sentra Penyuluhan Kehutanan Perdesaan) yang merupakan himpunan kelompok
tani rehabilitasi hasil bentukan dari Manajemen TNMB yang terbentuk di setiap
desa penyangga. Sedangkan kelompok tani rehabilitasi yang merupakan bentukan
LSM KAIL memiliki nama yang berbeda di tiap desa namun fungsinya adalah
sama yaitu sebagai wadah untuk mengakomodir kegiatan pengembangan
masyarakat lokal.
Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan
kemamampuan adaptif sebagaimana dijelaskan dalam teori yang dikemukakan
oleh Jones (2010). Adaptabilitas dan fleksibilitas suatu lembaga akan
mempengaruhi peran komunitas dalam menentukan kapasitas adaptifnya. Kondisi
ini tidak terlepas dari eksistensi peran lembaga dalam mengatur dan menciptakan
partisipasi kelompok masyarakat dalam upaya perwujudan konservasi karbon di
TNMB. Dukungan kelembagaan dalam hal ini lebih menitikberatkan pada
penguatan karena lembaga di tingkat lokal sudah terbentuk sejak sebelum
diselenggarakannya DA REDD+, sehingga dalam masa periode kegiatan DA
REDD+ eksistensi lembaga ini lebih diperkuat perannya khususnya di tingkat
lokal.
Dukungan kelembagaan yang berasal dari kegiatan pendampingan LSM
KAIL lebih dipusatkan pada dua desa yaitu Desa Curahnongko dan Andongrejo.
152
Universitas Indonesia
Melalui dukungan kelembagaan pada kelompok petani rehabilitasi dan kelompok
wanita tersebut, tingkat ketahanan dalam membentuk kapasitas adaptif dalam
konservasi karbon dirasa memliki potensi besar dalam upaya melibatkan
partisipasi komunitas lokal. Dukungan pada kelompok petani rehabilitasi
dilakukan melalui pembentukan kelembagaan semi formal antar anggota
kelompok tani rehabilitasi serta beberapa usaha budidaya untuk mengurangi
kebergantungan kelompok petani rehabilitasi pada hasil hutan serta dapat
meningkatkan pendapatannya. Sedangkan pada kelompok wanita, upaya yang
dilakukan yaitu melalui budidaya pengelolaan jamu tradisional, dimana penguatan
kelembagan menjadi salah satu bekal untuk mewujudkan eksistensi kelompok
wanita. Perannya begitu penting dalam melakukan advokasi terhadap anggota
kelompok wanita lainnya untuk kegiatan rehabilitasi hutan. Peran kelompok
wanita ini dapat dilihat di Desa Andongrejo. Sedangkan di Desa Curahnongko,
penguatan kelompok wanita pada kelembagaan semi formal yaitu perkumpulan
ibu-ibu pengajian menjadi andalan bagi upaya penyadaran kelompok wanita yang
ditanamkan melalui elemen agama dan budaya.
Sebagaimana telah dikemukakan oleh Ostrom (2005) bahwalembaga
merupakan kontrol dari sistem regulasi dan struktur organisasi yang ada.Dalam
hal ini berkaitan dengan peran LSM dimana memiliki peran strategis untuk
mendukung keberhasilan program kegiatan DA REDD+ khususnya pasca
pelaksanaan DA REDD+ dalam mengupayakan tingkat ketahanan komunitas
lokal.
Jika dibandingkan dengan kelompok petani rehabilitasi di Desa Wonoasri,
bila dilihat dari tingkat kesadaran mereka memiliki tingkat kesadaran yang tinggi
pada upaya rehabilitasi hutan. Kelompok petani rehabilitasi di Desa Wonoasri
cenderung lebih sadar untuk upaya kegiatan konservasi lahan rehabilitasi. Dimana
hampir 70% wilayah hutannya sudah akan menjadi hijau kembali. Peran
kelompok tani Wonomulyo begitu besar dalam dalam menggiatkan penghijauan di
kelompok petani rehabilitasi, serta dukungan dari aparatur desa setempat yang
melakukan berbagai pendekatan dengan komunitas lokal. Lain halnya dengan
kelompok wanita yang tidak memiliki kesadaran tinggi pada upaya rehabilitasi
153
Universitas Indonesia
hutan karena interaksinya terhadap hutan di lahan rehabilitasi relatif rendah.
Kelompok wanita tidak memiliki tingkat ketahanan yang baik karena tidak adanya
pendamppingan dari LSM yang dapat membantu meningkatkan motivasi dalam
menggiatkan kegiatan ekonomi melalui budidaya pengelolaan hasil hutan.
Selain dukungan LSM, peran pemerintah juga penting dalam upaya
meningkatkan kemampuan adaptif komunitas lokal. Hal ini dibuktikan dengan
adanya peningkatan kapasitas kelembagaan misalnya SPKP, dan MMP, serta
peran resort. Pemerintah telah berupaya untuk melibatkan masyarakat dalam
upaya pengawasan dan perlindungan hutan dengan adanya MMP (Masyarakat
Mitra Polhut). Dengan adanya hal ini diharapkan partisipasi aktif kelompok
masyarakat dalam MMP menjadi bagian dari wujud kemampuan adaptif dari
terselenggaranya kegiatan DA REDD+.
5.1.5 Flexible And Forward Thinking, Decision Making, And Governance
(Fleksibel dan Orientasi Ke Depan, Pengambilan Keputusan, serta Tata Kelola
Pemerintahan)
Menurut Jones et al. (2010) dalam Graham (2011), kemampuan sebuah
sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan informasi yang relevan
serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa mendatang dan mengatur
tata kelolanya merupakan aspek penting dalam menentukan kemampuan adaptif.
Hal ini terutama berkaitan dengan peran pemerintah dan LSM lokal terkait.Dalam
sebuah sistem yang bekerja diperlukan keterlibatan secara bersama untuk
menciptakan sebuah komponen utuh yang saling bekerjasama mengatasi dampak
perubahan iklim.
Kemampuan adaptif individu akan dipengaruhi oleh setiap keputusan yang
telah dibuat. Hal ini tentunya tidak terlepas dari kepentingan yang ada, apakah
keputusan tersebut dapat menjadi gambaran mengenai keadaan kelompok
komunitas yang sesungguhnya, bagaimana hubungan kekuasaan dalam kelompok
komunitasyang dipengaruhi oleh faktor sosial dan budaya.
Karakteristik kemampuan adaptif yang terkait dengan fleksibel dan
orientasi ke depan, pengambilan keputusan serta tata kelola pemerintahan lebih
154
Universitas Indonesia
dikaitkan erat dengan peran pemerintah lokal maupun LSM dalam melibatkan
peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi karbon. Di
dalam temuan lapangan, peneliti mengklasifikasikan ke dalam 2 (dua) hal penting
yaitu terkait dengan transparency (transparan) dan collaboration (upaya
kerjasama).
Dalam hal transparency ditemuakan fakta mengenai upaya pihak
manajemen Balai TNMB dalam memfasilitasi kebutuhan masyarakat terkait
dengan land regulation di zona rehabilitasi, yaitu pemberian hak pengelolaan atas
lahan rehabilitasi. Komunitas lokal di 3 desa penyangga mendapat hak atas
pengelolaan lahan di zona rehabilitasi. Keterlibatan masyarakat menjadi kunci
untuk meningkatkan kesadaran yang terbentuk dalam upaya konservasi hutan.
Pasca kegiatan DA REDD+, telah terbentuk MoU yang didalamnya terkandung
pernyataan mengenai pengakuan keterlibatan komunitas lokal desa penyangga
khususnya di Desa Curahnongko. Hal ini secara tidak langsung menjadi bagian
dalam memperkuat posisi komunitas lokal dalam keterlibatan pengelolaan lahan
rehabilitasi. Pengakuan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan
memperkuat kedudukan masyarakat sebagai pengelola lahan rehabilitasi sehingga
inisiatif pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat dapat diwujudkan melalui
perilaku adaptifnya. Desa Curahnongko menjadi model desa percontohan dalam
perwujudan MoU, dimana tingkat keberhasilan program rehabilitasi telah berhasil
di sebagian lahan yang ada dengan partisipasi komunitas lokal tentunya.
Keberhasilan ini tidak terlepas dari peran pendampingan LSM lokal dalam
membina kelompok petani rehabilitasi.
Sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Jones (2010) yang
menyebutkan kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan,
menggabungkan informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam
perencanaan di masa mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek
penting dalam menentukan kemampuan adaptif komunitas lokal. Jika memandang
sebuah keberhasilan program kegiatan DA REDD+ dimana hanya diberlakukan
pada satu Desa, agaknya kurang dapat mewakili pemerataan konsep pembangunan
dan keadilan sosial. Kawasan TNMB yang memiliki 12 desa penyangga
155
Universitas Indonesia
seharusnya terlibat secara bersama dalam upaya konservasi karbon hutan dan
menerima program pemberdayaan masyarakat. Keberadaan komunitas lokal desa
penyangga dengan hutan TNMB tidak dapat terpisahkan, bagaimanapun
hubungan antara keduanya saling mempengaruhi. Komunitas lokal juga memiliki
peran tanggungawab dalam mengelola dan memnfaatkan hutan secara lestari dan
berkelanjutan, sementara hutan TNMB sebagai penyedia sumberdaya yang dapat
membantu memenuhi kebutuhan komunitas lokal baik dari segi ekonomi maupun
segi lingkungan.
Pihak manajemen Balai TNMB telah berupaya melibatkan partisipasi
komunitas dalam upaya menjaga hutan melalui pembentukan Masyarakat Mitra
Polhut (MMP). Setiap desa penyangga memiliki MMP yang biasanya dipilih dari
kelompok petani rehabilitasi yang cukup memiliki peran penting dalam struktur
kelompok dan aktif dalam setiap kegiatan.Tata kepemerintahan dengan struktur,
mekanisme dan institusi-institusinya adalah kunci penentu bagi kemampuan
adaptif (Adger et al 2004; Brooks et al 2005 dalam Locatelli, dkk, 2009) karena ia
menentukan kerangka dimana adaptasi terjadi atau dimana adaptasi dibutuhkan
(Locatelli, dkk 2009).
Selain upaya perlindungan terhadap hak tenurial atas masyarakat desa
penyangga, diperlukan sistem hukum yang tegas terhadap sejumlah aksi illegal
logging yang dinilai cukup merugikan. Keberanian institusi pemerintah untuk
menerapkan hukuman yang tegas bagi pelaku illegal logging sangat menentukan
bagi keberlangsungan kelestarian hutan TNMB. Pada dasarnya kegiatan illegal
logging tidak hanya merugikan bagi pihak pemerintah saja, melainkan juga bagi
komunitas desa penyangga sendiri dimana dampaknya akan dirasakan ketika
hutan semakin gundul dapat menyebabkan bencana yang tidak dapat diprediksi
datangnya.
Ketersediaan polisi hutan yang masih belum mencukupi untuk menjaga
dan mengawasi kawasan hutan TNMB yang mencapai 58.000 Ha, sebaiknya perlu
dievaluasi. Hal ini menjadi titik kelemahan bagi pemerintah dan menjadi peluang
bagi pelaku illegal logging. Sehingga secara tidak langsung komponen pemerintah
yang bersinergi dengan LSM dan komunitas lokal akan dapat meningkatkan
156
Universitas Indonesia
kemampuan adaptif kelompok komunitas dalam menghadapi dan beradaptasi
dalam upaya konservasi arbon hutan.
5.2 Aksi Adaptasi Komunitas LokalDesa Penyangga Pasca DA REDD+
Adaptasi merupakan penyesuaian perilaku dan karakteristik sistem yang
akan meningkatkan kemampuannya dalam menghadapi tekanan eksternal
(Brooks, 2003 dalam Bappenas, 2012) atau penyesuaian sistem alam atau manusia
terhadap sebuah lingkungan baru atau sebuah lingkungan yang berubah (IPCC
TAR, 2001 dalam Bappenas, 2012). Proses pembangunan aksi adaptasidiawali
dengan pembangunan kemampuan adaptif melalui intervensi sosial dimana tujuan
intervensi adalah mencari cara bagaimana meningkatkan kualitas dan ketersediaan
kebutuhan sumberdaya untuk diadaptasi, atau bagaimana mengolah kemampuan
untuk menggunakan sumberdaya secara efektif.
Pengidentifikasian perilaku aksi adaptasi yang dilakukan oleh kelompok
komunitas lokal terlebih dulu akan ditinjau mengenai keterkaitan hubungan
komunitas lokal desa penyangga dengan keberadaan TNMB. Hubungan ini
menjadi dasar bagi pembentukan upaya adaptasi selain didukung dari gambaran
dampak yang ditimbulkan pada perilaku adaptifkomunitas lokal. Konsep
pemaknaan hubungan yang terjalin antara komunitas lokal dengan
hutantergambarkan ke dalam 5 konsep (Bab 4, Hal. 119) yang terdiri dari (1)
Masyarakat bertanggungjawab atas upaya pelestarian hutan; (2) Hutan sebagai
Sumber mata penchaarian; (3) Hutan sebagaialternatif mata pencaharian; (4)
Keterbatasan sumberdayalahan di sekitar kawasan TNMB; dan (5) Hutan
memiliki manfaat bagi ekosistem lingkungan.
Secara umum pemaknaan tersebut bergantung pada hal. kedekatan lokasi
geografis kawasan yang mempengaruhi hubungan keterkaitan. Seperti yang
tergambar dalam masyarakat Wonoasri yang tercermin dalam pernyataan (Bab 4
hal 122), lokasi Desa Wonoasri yang tidak berbatasan langsung dengan Kawasan
hutan TNMB mengindikasikan hubungan interaksi yang rendah terhadap kawasan
hutan. Lain halnya dengan 2 desa lainnya yang relatif sangat berdekatan dengan
157
Universitas Indonesia
kawasan hutan TNMB mengindikasikan bahwa hutan menjadi sumber mata
pencaharain utama (Bab 4 Hal 120).
Hubungan masyarakat dengan hutan mengisyaratkan bahwa masyarakat
memiliki tanggungjawab penuh terhadap upaya pelestarian hutan. Komunitas lokal
desa penyangga merupakan ujung tombak bagi upaya konservasi hutan maupun
semua keberlangsungan program kegiatan DA REDD+ di TNMB.Komunitas local
merupakan aktor kunci dalam upaya perwujudan kegiatan konservasi hutan,
dimana masyaraakt merupakan subyek sekaligus obyek yang dikenai program
kegiatan. Hak-hak komunitas lokal atas hutan harus terpenuhi walaupun
sebenranya secara hukum mereka tidak memiliki hak yang utuh jika melihat pada
Undang-Undang yang menyatakan hutan konservasi sebagai hutan yang dikuasai
oleh negara. Tetapi terlepas dari itu, bagaimanapun komunitas lokal telah ada
sebelum penetapan Undang-Undang itu dibentuk, jadi hak-hak mereka semestinya
sudah harus terpenuhi untuk menjamin keberlengsungan hidup dan kelestarian
hutan TNMB secara berkelanjutan.
Keterbatasn sumberdaya lahan menjadikan hutan sebagai tumpuan hidup
bagi sejumlah masyarakat yang tinggal di desa penyangga. Namun, masyarakat
menyadari perannya sebaagi manusia, tidak boleh melakukan ekploitasi yang
berlebihan terhadap sumberdaya hutan. Adaptasi terhadap hutan akan sangat
penting untuk mendorong upaya mengatur stok karbon dalam jangka panjang,
meskipun di banyak wilayah struktur dan fungsi hutan telah berubah sejak lama
(Noss, 2001 dalam Graham, 2012). Perubahan dapat dimimalisir dengan
melakukan adaptasi sebagai upaya mitigasi kerusakan hutan. Dengan mengetahui
pandangan masyarakat terhadap hutan TNMB dan pemahaman yang tercipta atas
konstruksi kegiatan DA REDD+ dapat menjadi kontiribusi penting bagi upaya
penerapan aksi adaptasi yang dilakukan setelah kegiatan DA REDD+
berlangsung.
Aksi adaptasi perlu didukung oleh semua komponen komunitas lokal ,
baik individu, kelompok-kelompok formal/informal, maupun pemerintah dimana
dalam keberhasilannya diperlukan waktu yang tidak singkat karena di dalamnya
membutuhkan proses penyadaran dan pemahaman atas sesuatu hal yang baru dan
158
Universitas Indonesia
memerlukan pembiasaan. Peran aktif kelembagaan baik pemerintah maupun non
pemerintah, kemampuan serta keinginan seluruh komponen untuk bekerjasama
membangun sebuah aksi adaptasi sangat diperlukan untuk mewujudkan aksi
adaptasi komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon.
5.2.1 Kelompok petani rehabilitasi
Kegiatan DA REDD+ merupakan bagian dari adanya bentuk intervensi
pembangunan hutan berkelanjutan, dimana komunitas lokal memiliki peran
penting dalam sebuah sistem yang ada. Intervensi ini dinilai membantu
masyarakat maupun komunitas untuk beradaptasi.Intervensi DA REDD+ dengan
pendampingan LSM lokal di 2 desa yaitu Desa Andongrejo dan Desa
Curahnongko, dimana desa ini menjadi contoh penerapan keberhasilan upaya
pengembangan masyarakat melalui intervensi sosial yang diharapkan dapat
menjadi contoh bagi desa penyangga lainnya. Kemampuan adaptif komunitas
lokal untuk melakukan sejumlah inovasi terkait dengan upaya pengurangan
kebergantungan terhadap hutan dilakukan dengan melakukan pengelolaan lahan
rehabilitasi dimana dalam implementasinya melalui penanaman sejumlah
tanaman yang memilki nilai ekonomis namun tidak merusak ekosistem hutan.
Berbeda dengan di lahan rehabilitasi di Desa Andongrejo dan
Curahnongko, secara kemampuan adaptasi, hanya kelompok masyarakat tertentu
yang memiliki kesadaran akan konservasi hutan, yaitu kelompok petani
rehabilitasi. Dimana dalam kelompok mendapat intervensi sosial dari LSM lokal
yaitu KAIL untuk melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Jika aksi
adaptasi yang dilakukan kelompok komunitas lokal khususnya petani rehabilitasi
dan kelompok wanita di Andongrejo dan Curahnongko terbentuk berdasarkan
binaan LSM. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi,
dan Jones (2011), bahwa intervensi dinilai membantu masyarakat maupun
komunitas untuk beradaptasi kepada pola baru yang terbentuk dari lingkungan
alam, sosial ekonomi dan politik serta hubungan diantara ketiga komponen
tersebut.
159
Universitas Indonesia
Lain halnya dengan aksi adaptasi terhadap upaya konservasi karbon yang
tergambarkan di Desa Wonoasri tanpa pendampingan LSM. Kesadaran komunitas
lokal menjadi bagian penting dalam upaya rehabilitasi hutan.Tanpa pendampingan
pun, kelompok petani rehabilitasi secara mandiri mampu melakukan aksi
adaptasinya yang terwujud ke dalam upaya menjaga tanaman pokok di masing-
masing lahan rehabilitasi. Namun, teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan
Jones (2011), mengenai peran intervensi dalam keberhasilan aksi adptasi tidak
sepenuhnya dibenarkan dalam fenomena yang terjadi di Desa Wonoasri. Sebelum
adanya kegiatan DA REDD+, komunitas lokal Desa Wonoasri sudah memiliki
kesadaran untuk menjaga hutan dan lahan rehabilitasinya. Hal ini tidak lain
karena, kesadaran yang dimiliki serta rasa tanggungjawab yang tinggi terhadap
komitmen yang telah disepakati bersama antara pemerintah dengan kelompok
petani rehabilitasi.
5.2.2 Kelompok wanita
Kelompok wanita memiliki peran dan kedudukan penting dalam
mendukung terciptanya aksi adaptasi, dimana keterlibatannya menjadi sangat
diperhitungkan khususnya bila dikaitkan dengan upaya pemberdayaan
masyarakat. Di Desa Andongrejo contohnya, pelibatan kelompok wanita lebih
menyasar pada kegiatan yang berdampak langsung pada ekonomi, dimana
perannya cukup strategis dalam mendukung keberhasilan program rehabilitasi
lahan hutan. Jika hutan terganggu, maka kegiatan ekonominya akan terganggung
pula, sehingga secara tidak langsung kesadaran untuk mejaga hutan akan
terbentuk melalui aksi adaptasi dan persuasif pada kelompok wanita lainnya.
Sedangkan di Desa Curahnongko, internalisasi agama dan wujud
pengetahuan menjadi bekal utama dalam membentuk stigma upaya konservasi
karbon hutan di kalangan kelompok wanita. Agama menjadi dasar kuat bagi
sebagian besar komunitas lokal di desa penyangga, dimana karakteristik
masyarakat Jember secara umum dipandang sebagai karakter masyarakat yang
agamis. Peran kelompok wanita di Desa Wonoasri berbeda dengan gambaran di
Desa Andongrejo dan Curahnongko. Peran kelompok wanita tidak nampak pada
Desa Wonoasri, dimana kelompok wanita cenderung pasif. Kelompok wanita
160
Universitas Indonesia
tidak memiliki pengaruh penting dalam sistem sosial yang berkembang di
masyarakat. Selain itu, tidak adanya peran pendampingan LSM lokal dalam upaya
pemberdayaan wanita membuat kepedulian kelompok wanita dalam upaya
konservasi hutan tidak cukup menonjol.
Dalam melakukan adaptasi, semua komponen masyarakat perlu
menyesuaikan dengan sistem yang ada.Penyesuaian sistem alam maupun
manusia dalam menanggapi stimulus iklim aktual atau yang akan datang atau efek
yang ditimbulkan, dengan mengontrol kerusakan atau mengeksploitasi peluang
yang menguntungkan) (IPCC TAR, 2001). Manusia tidak dapat melepaskan
interaksinya dengan alam karena alam memiliki potensi sumberdaya yang
melimpah. Oleh karena itu manusia perlu menyesuaikan diri dengan melakukan
adaptasi untuk menjamin keberlanjutan pembangunan di masa mendatang.
5.2.3 Aparatur Desa
Dukungan aparatur desa akan mempengaruhi kemampuan (abilitiy)
kelompok masyarakat untuk melakukan aksi adaptasi nyata terhadap konservasi
karbon hutan TNMB. Sejumlah upaya telah dilakukan pihak pemerintah desa
yang bekerjasama dengan Balai TNMB, Polisi hutan dan LSM lokal untuk
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran komunitas lokal pada perlindungan
hutan. Pada dasarnya setiap komponen kelompok masyarakat memiliki local
knowledge tentang adaptasi terhadap hutan, namun terkadang terdapat motivasi-
motivasi yang timbul untuk melakukan dan berbuat sesuatu yang lebih demi
keuntungan yang ingin diraih.
5.2.4 LSM KAIL
Dalam mendukung aksi adaptasi tidak terlepas dari peran dukungan
pemerintah maupun LSM lokal yang membantu meningkatkan kemampuan
adaptif komunitas lokal untuk melakukan aksi adaptasinya terutama untuk
mendukung konservasi karbon hutan. Sejak berlangsungnya kegiatan DA
REDD+, dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan melibatkan
peran aktif masyarakat sebagai pelaku utama yang memiliki keterkaitan langsung
dengan keberadaan hutan TNMB, kegiatan konservasi dan DA REDD+.
161
Universitas Indonesia
Dukungan kelembagaan memiliki peran penting dalam upaya aksi adaptasi yang
dilakukan oleh komunitas lokal.
Sejumlah kelembagaan yang diinisiasi oleh pemerintah maupun LSM
KAIL telah terbentuk sebelum kegiatan DA REDD+, namun setelah adanya
kegiatan DA REDD+ peran kelembagaan lebih ditingkatkan dengan penguatan
kapasitas serta pelibatan aktif komunitas lokal. Segala bentuk lembaga yang ada
pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu sebagai wadah untuk
memfasilitasi hubungan pemerintah dengan komunitas lokal; LSM dengan
komunitas lokal, serta LSM dengan pemerintah. Hal ini tidak terlepas dari fungsi
lembaga dimana keberadaanya mampu menjadi penyeimbang dan kontrol dalam
mewujudkan kesadaran komunitas lokal untuk beradaptasi dalam upaya
konservasi karbon hutan.
Upaya pelibatan masyarakat dalam membentuk aksi adaptasi yang
dilakukan oleh LSM KAIL dengan mengajaknya ikut serta dalam
mengembangkan tanaamn TOGA di lahan 7 Ha salah satunya. Hal ini sudah lama
dilakukan yaitu sejak 1993, namun keberadaan DA REDD+ menjadi pendorong
bagi upaya peningkatan komunitas lokal dalam upaya konservasi karbon. Sesuai
dengan teori yang dikemukakan oleh Levine, Ludi, dan Jones (2011), yang
menyebutkan bahwa kondisi lingkungan yang mendukung diperlukan untuk
memastikan bahwa individu maupun kelompok komunitas mampu membuat
perubahan yang diperlukan untuk menanggapi perubahan iklim serta perubahan
lain yang mungkin ditimbulkan. Dengan diterapkannya pola pendampingan
pemberdayaan masyarakat di Desa Andongrejo dan Curahnongko, kelompok
petani rehabilitasi maupun kelompok wanita memliki ketahanan untuk
menanggapi kebijakan dari dari DA REDD+ dimana perolehan hak tenurial sudah
diakui oleh pemerintah. Komunitas lokal desa penyangga dilibatkan langsung
dalam upaya konservasi karbon hutan khususnya di lahan rehabilitasi.
Dengan pendampingan yang dilakukan LSM lokal, kelompok komunitas
lebih mampu berinovasi dan kreatif untuk melakukan diversifikasi usaha,
sehingga kecenderungannya adalah lebih aktif dalam sejumlah kegiatan ekonomi
baru yang memungkinkan untuk mengurangi kebergantungannya pada hasil hutan.
162
Universitas Indonesia
Hal ini dapat dipertahankan dan terus dikembangkan untuk menjamin
keberlangsungan peningkatan kesejahteraan komunitas lokal desa penyangga serta
upaya menciptakan hutan yang lestari dpaat tercapai.
5.2.5 Polisi Hutan/Resort
Sedangkan dari resort aksi adaptasi diwujudkan melalui kegiatan
pengawasan dan perlindungan kawasan hutan sesuai dengan tupoksinya. Resort
bertanggungjawab dalam menjaga keamanan kawasan hutan TNMB dengan
upaya mendekatkan diri dengan masyarakat sebagai bagian dari bentuk
pendekatan partisipastif. Kemampuan resort untuk menjaga hutan tidak bisa
terlepas dari peran keterlibatan komunitas lokal. Kedua komponen ini pada
dasarnya memiliki sifat saling mendukung satu dengan lainnya. Sebagaimana
Smit (2000) mengemukakan bahwa adaptasi perlu didukung oleh semua
komponen masyarakat, baik individu, kelompok-kelompok, dan pemerintah.
Kebersamaan untuk saling mendukung antar komponen stakeholder dalam
mewujudkan aksi adaptasi memiliki pengaruh yang besar. Masyarakat tidak dapat
dilepas sendiri tanpa dilakukan pendampingan baik dari pemerintah maupun LSM
lokal yang ada, karena potensi dan kemampuan yang dimiliki jauh akan lebih
berkembang dengan pendampingan yang dilakukan. Sehingga secara mandiri akan
terbentuk dalam pribadi individu maupun kelompok dimana keadaan yang
kondusif mampu tercipta.
5.2.6 Balai TNMB
Pemerintah khususnya Manajemen Balai TNMB, memiliki kekuatan
penuh dalam pengawasan dan pelaksanaan fungsi untuk meningkatkan aksi
adaptasi komunitas lokal dalam rangka meningkatkan stok karbon hutan sebagai
bagian dari salah satu tujuan dari terselenggaranya DA REDD+ salah satunya
dengan melakukan pengaturan kelembagaan. Membangun kelembagaan di tingkat
lokal komunitas dapat menciptakan hubungan kedekatan antara pemerintah
dengan komunitas lokal. Keberhasilan pemerintah dalam mewujudkan
pembangunan hutan yang berkelanjutan tidak dapat terlepas dari aksi adaptasi
seluruh komponen yang ada baik yang berkaitan langsung dengan hutan maupun
163
Universitas Indonesia
tidak langsung. Atribut dari kapasitas kepemerintahan dan individu, organisasi
atau komunitas untuk beradaptasi menentukan keberhasilan adaptasi terhadap
perubahan iklim (Pelling dan High 2005 dalam Locatelli 2009).
Adanya kegiatan DA REDD+ merupakan bagian dari adanya bentuk
intervensi pembangunan hutan berkelanjutan, dimana masyarakat memiliki peran
penting dalam sebuah sistem yang ada. Aksi adaptasi yang dilakukan bersama
oleh seluruh komponen masyarakat maupun pemerintah menjadi bagian dari
wujud kesadaran dan kepedulian dengan hutan. Pemerintah harus menjamin
keberadaan masyarakat bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai potensi yang
dapat dibina secara bersama untuk membantu mewujudkan kelestarian hutan dan
tujuan DA REDD+.
Gambar 5. 2 Komponen penting dalam Aksi Adaptasi
Pemerintah
Komunitas lokalLSM
AKSI ADAPTASIKONSERVASI
KARBON HUTAN
164
Universitas Indonesia
BAB 6KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian mengenai dampak dari adanya kegiatan DA
REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri yang telah diselenggarakan selama 4
tahun di 3 (tiga) desa penyangga (Desa Curahnongko, Desa Andongrejo, dan
Desa Wonoasri), maka dapat diperoleh kesimpulan penelitian yaitu :
1. Aset dasar yang dimiliki oleh kelompok masyarakat terdiri dari (1) Natural
capital, hutan sebagai common property sebenarnya terdapat hak komunitas
lokal untuk turut serta mengelolanya dan mengambil manfaatnya dengan bijak.
Jika akses kebutuhan terhadaplahan dapat terpenuhi, maka kerelaan komunitas
lokal untuk berkontribusi dalam kegiatan konservasi hutan akan terpenuhi.
Aset lahan menjadi penting bagi komunitas lokal dalam upaya menjaga
kesejahteraannya; (2) Human Capital,potensi dan kemampuan yang dimiliki
kelompok masyarakat yang mengikuti kegiatan DA REDD+ maupun tidak
cenderung berbeda. Kelompok komunitas lokal yang mengikuti kegiatan DA
REDD+ kapasitas human capitalnya lebih baik dan terasah. Hal ini terlihat dari
eksistensi kelompok wanita pengelolaan budidaya jamu tradisonal Desa
Andongrejo untuk menggiatkan dan mengajak kelompok wanita lainnya dalam
upaya konservasi karbon hutan serta kelompok petani rehabilitasi di Desa
Wonoasri yang memiliki kesadaran tinggi dalam penyulaman tanaman pokok
di lahan rehabilitasi; dan (3) Social capital, terlihat dari hubungan keeratan
yang terbentuk pada kelompok tani Desa Curahnongko terlihat dari
kekompakan dan loyalitas anggota kelompok. Peran Lembaga bentukan LSM
KAIL – Jaketresi dan bentukan TN - SPKP menjadi lembaga yang memliki
peran aktif dalam konservasi karbon hutan.
2. Dukungan kelembagaan memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan
kemampuan adaptif dimana peran lembagasebagaikontrol dari sistem regulasi
dan struktur organisasi memberikan nilai positif bagi upaya pengembangan
164
165
Universitas Indonesia
pemberdayaan masyarakat.Keberadaan LSM di Curahnongko dan Andongrejo
mampu membentuk kemampuan adaptif komunitas lokaldalam upaya
konservasi hutan, namun tingkat keberhasilannya belum optimal karena belum
merata pada seluruh lapisan komunitas lokal. Hanya sebagian komunitas lokal
tertentu saja yang menyadari peran perilaku adaptif dalam menjaga kelestarian
hutan.
3. Langkah bagaimana sebuah informasi dihasilkan, dikumpulkan, dianalisis dam
disebarluaskan akan menjadi penting dalam menentukan kemampuan adaptaif
kelompok masyarakat. Proses transferability berkaitan erat dengan dukungan
LSM dimana pendekatan yang dilakukan lebih bersifat informal namun
memiliki hubungan yang kuat dalam membangun karakter personal maupun
kelompok dalam upaya penyadaran kepedualian terhadap konservasi hutan di
TNMB.Pengetahuan yang dimiliki oleh komunitas lokalserta informasi yang
didapat melalui kegiatan DA REDD+, akan berpengaruh pada kemampuan
adaptif yang dimiliki komunitas lokal. Hal ini dapat terlihat dari perilaku
adaptif komunitas lokal di Desa Andongrejo dan Curahnongko.
4. Inovasi antar individu maupun kelompok cenderung berbeda sesuai dengan
pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dalam hal ini menggambarkan
bahwa semakin banyak seseorang maupun kelompok terlibat dalam rangakain
kegiatan DA REDD+, maka inovasinya akan lebih baik. Inovasi berdasarkan
analisa temuan lapangan, diklasifikasikan menjadi 3 kelompok yaitu
(1) Inovasi untuk meningkatkan motivasi konservasi hutan, untuk
meningkatkan motivasi konservasi hutan diwujudkan melalui program
PINTAR. Program PINTAR merupakan bentuk apresiasi kepada petani
rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya di lahan rehabilitasi sesuai
dengan skema sistem pengkelasan lahan berdasarkan jumlah tanaman
pokok/tegakan yang ada. program ini baru diterapkan di Desa Curahnongko
dan Andongrejo
(2) Inovasi untuk budidaya tanaman, penanaman tanaman yang memiliki
nilai karbon tinggi tetapi juga bersifat ekonomis. Dalam penentuannya
166
Universitas Indonesia
melibatkan partisipasi kelompok petani agar turut menjaga tegakan
pohonnya.
(3) Inovasi untuk meningkatkan pendapatan, untuk mendukung upaya
peningkatan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan hutan dengan
sistem agroforestry, dimana penanaman pohon di bawah tegakan tanaman
pokok boleh menanam tanaman palawija..
5. Kemampuan sebuah sistem untuk mengantisipasi perubahan, menggabungkan
informasi yang relevan serta memadukan inisiatif dalam perencanaan di masa
mendatang dan mengatur tata kelolanya merupakan aspek penting dalam
menentukan kemampuan adaptif komunitas lokal. Hal ini terutama berkaitan
dengan peran pemerintah dan LSM lokal terkait
6. Membangun kapasitas komunitas lokal untuk adaptasi dapat mendukung dasar
untuk antisipasi dan menyesuaikan dengan kondisi iklim yang akan berlanjut
pada perubahan dalam jangka panjang. Proses pembangunan aksi adaptasi
perlu dilakukan melalui intervensi sosial salah satunya melalui kegiatan DA
REDD+. Dilakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan dengan
melibatkan peran aktif masyarakat sebagai pelaku yang memiliki keterkaitan
langsung dengan kegiatan konservasi beserta peningkatan kelembagaan yang
telah ada baik yang dibentuk oleh LSM KAIL maupun pemerintah.
7. Dukungan kelembagaan akan mempengaruhi kemampuan komunitas
lokaluntuk melakukan aksi adaptasi nyata terhadap konservasi karbon.
Kemampuan kelompok masyarakat dalam membentuk perilaku adaptasi
bergantung pada peran yang dimiliki. Sebagai kelompok petani rehabilitasi
maupun kelompok wanita di 3 desa wilayah penelitian cenderung pada upaya
inovasi untuk menambah alternatif kegiatan ekonomi agar tidak terlalu
bergantung pada hasil hutan.
167
Universitas Indonesia
6.2 Saran
Pelaksanaan kegiatan DA REDD+ di TNMB khususnya terkait dengan
pemberdayaan masyarakat padakomunitas lokal di 3 (tiga) desa penyangga
menunjukkan bahwa kemempuan adaptifnya cenderung beragam. Intervensi
melalui pendampingan LSM pada Desa Andongrejo dan Curahnongko cenderung
lebih efektif dalam menunjang keberhasilan program DA REDD+ sebagai upaya
konservasi karbon hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kegiatan
pendampingan yang selama ini hanya terfokus pada dua desa penyangga dari 12
total desa penyangga yang ada, terkesan timpang. Oleh karena itu, dalam praktik
selanjutnya diperlukan peran pendampingan LSM dalam upayapemberdayaan
masyarakat. Hal ini secara tidak langsung akan berkorelasi pada karakter
kemampuan adaptif yang dimliki oleh komunitas lokal setempat dalam
menanggapi DA REDD+. Gambaran ini menjadi masukan bagi pihak Litbang
Kehutanan sebagai Koordinator Project DA REDD+ di Kawasan TNMB.
168
Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Adger, W. N., Arnell, N. W., & Tompkins, E. L. (2005). Succesful Adaptation toClimate Change Across Scales. Science Direct, 77-86.
Aliadi, A. (2010). Stakeholder Consultation to Determine the Most Viable Schemeof Community and Other Stakeholders to be Applied at Meru BetiriNational Park. Bogor: Forestry Research and Development Agency,Ministry of Forestry Indonesia.
Angelsen , Arid; Brockhaus, Maria. (2012). Melihat REDD+ melalui 4I : SebuahKerangka Kerja Ekonomi Politis. Dalam A. Angelsen, M. Brockhaus, W.D. Sunderlin, & L. V. Verchot, Menganalisi REDD+ : SejumlahTantangan dan Pilihan (hal. 17). Bogor: CIFOR.
Angelsen , Arild. (2010). Pengantar : Pemikiran tentang REDD+ Berhadapandengan Kenyataan. Dalam M. Brockhaus, M. Kanninen, E. Sills, W. D.Sunderlin, & S. W. Kanounnikoff, Mewujudkan REDD+ : StrategiNasional dan Berbagai Pilihan Kebijakan (hal. 2). Bogor: CIFOR.
Angelsen, A., & Kanounnikoff, S. W. (2009). Kerangka REDD+ di TingkatGlobal dan Nasional : Memadukan Kelembagaan dan Tindakan. Dalam M.Brockhaus, M. Kanninen, E. Sills, W. D. Snderlin, & S. W. Kanounnikoff,Mewujudkan REDD+ : Strategi nasional dan Berbagai Pilihan Kebijakan(hal. 13). Bogor: CIFOR.
Arifanti, V. B., Bainnaura, A., & Ginoga, K. L. (2010). Landcover ChangeAnalysis Using Remote Sensing and GIS : Initial Phase of MeasuringCarbon Sequestration for REDD+ in Meru Betiri National Park,Indonesia. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan KementerianKehutanan.
Arizona, Y. (2008). Karakter Peraturan Daerah Sumberdaya Alam : KajianKritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi HakMasyarakat terkait Pengelolaan Hutan . Jakarta: HuMa.
Awang, San Afri. (2004). Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat danKeadilan Lingkungan. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS WIBB. (2003). Laporan : KajianKriteria dan Indikator Penetapan Zonas Taman Nasional Meru Betiri -Jember i . Surakarta: Balitbang Kehutanan Departemen Kehutanan .
Balai Taman Nasional Meru Betiri. (2012). Buku Informasi KegiatanPemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Meru Betiri. Jember: BalaiTaman Nasional Meru Betiri.
Bappenas. (2010). Draft 1 : Strategi Nasional REDD+. Jakarta: Bappenas.
169
Universitas Indonesia
Bappenas. (2012). Buku 1 Strategi Pengarusutamaan Adaptasi ke DalamPerencanaan Pembangunan Nasional : Kerangka Integrasi . Jakarta:Kementerian Bappenas.
Bappenas. (2014). Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API) .Jakarta : Kementerian Bappenas.
Diop, C., Hess, J., Lempert, R., Li, J., Wood, R. M., & Myeong, S. (2012).Section III Climate Change : New Dimensions in Disaster Risk, Exposure,Vulnerability, and Resilience. Dalam A. Lavell, & M. Oppenheimer,Managing the Risks of Extreme Events and Disasters to Advance ClimateChange Adaptation : Special Report of the Intergovernmental Panel onClimate Change (hal. 34). Cambridge: Cambridge University Press.
FORDA. (2013, Agustus). Standar Nasional Indonesia (SNI) 7848:2013 tentangPenyelenggaraan Demonstratin Activity (DA) REDD+ . Brief Info No. 42,hal. 1.
Graham, Kristy. (2012). REDD+ and Adaptation : Will REDD+ Contribute toAdaptive Capacity at The Local Level. Overseas Development Institute.
Hadi, Sutrisno. (1986 a). Metode Observasi. Yogyakarta: Yayasan PeenrbitanFakultas Psikologi, UGM.
Hadi, Sutrisno. (1986 b). Metodologi Research 2 : Untuk Penulisan Paper,Skripsi, Thesis dan Disertasi. Yogyakarta: Yayasan Penerbitan FakultasPsikologi, UGM.
Heriyanto, N M; Garsetiasih, R; Subiandono, Endro. (2006). PemanfaatanSumberdaya Hutan oleh Masyarakat Lokal di Taman NAsional MeruBetiri, Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam VolumeIII Nomor 2 , 297-308.
Iklim (hal. 4). Jakarta: Pusat Standardisasi dan Lingkungan, KementerianKehutanan.
Impron; Bassar, Emilia; Sugiarto, Yon; Muhammad, Ari; Fahmi, Selma F;Andaru, Ben; Yuliantri, A. Rachmi; Aryoseno, Ardiyanto. (2012).Adaptasi Perubahan Iklim : Informasi, Sinergi dan Efektifitas KegiatanAdaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
IPCC. (2001). Climate Change 2001 : Impacts, Adaptation and Vulnerability .Geneva: World Meteorological Organisation.
IPCC. (2012). Managing The Risks of Extreme Events and Disasters To AdvanceClimate Change Adaptation : Special Report of The IntergovernmentalPanel on Climate Change. New York, USA: Cambridge University Press.
Iskandar, Nur. (2011). Peran Pengusaha Hutan di dalam REDD di Indonesia.Identification of Deforestation and Forest Degradation Drivers andActivities that Result in Reduced Emissions, Increased Removals, and
170
Universitas Indonesia
Stabilization of Forest Carbon Stocks (hal. 9-14). Balikpapan: PusatStandarisasi dan Lingkungan, Kemenhut dan Forest Carbon PartnershipFacility-World Bank.
Jurgens, Emile; Kornexl, Werner; Oliver, Chloe; Gumartini, Tini. (2013).Integrating Communities into REDD+ in Indonesia. Amerika Serikat :ProFor.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2009). Buku Panduan KajianKerentanan dan Dampak Perubahan Iklim untuk Pemerintah Daerah.Jakarta: JICA.
Kementerian Kehutanan. (2011). Mengelola Peran Kehutanan dalam TargetPengurangan Emisi 26%. Komunikasi Stakeholder tentang PenangananIsu Perubahan Iklim (hal. 1). Jakarta: Pusat Standardisasi dan LingkunganKementerian Kehutanan.
Kementerian Kehutanan. (2012). System for Information Provision on REDD+Safeguards/SIS REDD+ Development in Indonesia. Jakarta: PusatStandardisasi Lingkungan dan Perubahan Iklim.
Kementerian Kehutanan. (2012). Memahami Konsep Ekonomi Hijau danKontribusi Sektor Kehutanan dalam Implementasinya di Indonesia.Prosiding Pertemuan Stakeholder tentang Penanganan Isu Perubahan
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. (2009). Buku Panduan KajianKerentanan dan Dampak Perubahan Iklim untuk Pemerintah Daerah.Jakarta: JICA.
Krantz, Lasse. (2001). The Sustainable Livelihood Approach to Poverty Reduction: An Introduction. Stockholm: SWEDISH INTERNATIONALDEVELOPMENT COOPERATION AGENCY
Levina, E., & Tirpak, D. (2006). Adaptation to Climate Change : Key Terms.France: OECD.
Locatelli, B., Kanninen, M., Brochaus, M., Colfer, C. P., Murdiyarso, D., &Santoso, H. (2009). Menghadapi Masa Depan yang Tak Pasti :Bagaimana Hutan dan Manusia Beradaptasi terhadap Perubahan Iklim .Bogor: CIFOR.
Levine, Simon; Ludi, Eva; Lindsay Jones. 2011. Rethinking Support for AdaptiveCapacity to Climate Change : Role of Development Interventions. Ethiopia: ODI
Ludi, E., Getnet, M., Wilson, K., Tesfaye, K., Shimelis, B., Levine , S., et al.(2011). Preparing for The Future? Understanding the Influence ofDevelopment Interventions on Adaptive Capacity at Local Level inEthiopia. Addis Ababa: ACCRA.
171
Universitas Indonesia
Lugina, Mega; Zuhud, Ervizal A.M.; Ginoga, Kirsfianti. (2010). Review : ExistingSchemes and Lesson Learned from The Surrounding Areas. Bogor:Forestry Research and Development Agency, Ministry of Forestry
Masripatin, N. (2012). Penanganan Penyebab Deforestasi dan Degradasi Hutandalam Implementasi REDD+ : Mandat Internasional dan KepentinganNasional. Identification of Deforestation and Forest Degradation Driversand Activities that Result in Reduced Emissions, Increased Removals, andStabilization of Forest Carbon Stocks (hal. 17). Ambon dan Banjarmasin:Pusat Standarisasi dan Lingkungan, Kemenhut dan Forest CarbonPartnership Facility-World Bank.
Oktavia. (2012, Februari 2). SIS REDD+ sebagai Instrumen Pelayanan Informasidari Implementasi Aksi REDD+. Jakarta, DKI Jakarta, Indonesia.
Praturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan SuakaAlam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
Perpres Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan EmisiGas Rumah Kaca
Pramova, E., Locatelli, B., Mench, A., Marbyanto, E., Kartika, K., & Prihatmaja,H. (2013). Mengintegrasikan Adaptasi ke Dalam REDD+ : DampakPotensial dan Rentabilitas Sosial di Setulang, Kabupaten Malinau,Indonesia. Bogor: CIFOR.
Puspijak, Balitbang Kehutanan. (2012). Perubahan Iklim, REDD+ dan KomitmenNasional. Bogor: Puspijak .
REDD, S. (2010). REDD+ dan Satgas Keseimbangan REDD+ : SebuahPengantar. Jakarta: Satgas REDD+.
Rianse, U., & Abdi. (2010). Agroforestri : Solusi Sosial dan EkonomiPengelolaan Sumberdaya Hutan. Bandung: Alfabeta Bandung.
Sakuntaladewi, Niken. (2013). Teknik Survey Sosial Ekonomi. Dalam N.Sakuntaladewi, Y. Rochmayanto, I. S. Dharmawan, M. Gultom , & T.Butarbutar, Modul Capacity Building untuk Kerangka KErja REDD+ diKPH (hal. 73). Bogor: Puspijak dan Forest Carbon Partnership Facility .
Santosa, A., & Silalahi, M. (2011). Laporan Kajian Kebijakan KehutananMasyarakat dan Kesiapan dalam REDD+. Forum Komunikasi KehutananMasyarakat.
Saragih , Sebastian ; Lassa, Jonatan ; Ramli , Afan. (2007). KerangkaPenghidupan Berkelanjutan (Sustainable Livelihood Framework ).http://www.zef.de/module/register/media/2390_SL-Chapter1.pdf.
Sasmitaningdyah, S. (2009). Kajian Kerusakan Lingkungan Zona RehabilitasiTaman Nasional Meru Betiri di Jember Jawa Timur. Yogyakarta: ProgramPascasarjana Universitas Gadjah Mada.
172
Universitas Indonesia
Satgas REDD. (2010). REDD+ dan Satgas Keseimbangan REDD+ : SebuahPengantar . Jakarta: Satgas REDD+.
Silalahi, U. (2009). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Rafika Aditama.
Soemarno. (2011). Model Desa Konservasi. Dipetik Januari 3, 2014, darihttp://marno.lecture.ub.ac.id/files/2012/01/MODEL-DESA-KONSERVASI.docx
Soemarno. (2011). Model Desa Konservasi. Malang, Jawa Timur, Indoensia.
Somantri, Gumilar Rusliwa. (2005). Memahami Metode Kualitatif. Makara,Sosial Humaniora Volume 09 No. 02, 57-65.
Spearman, M., & McGray, H. (2011). Making Adaptation Count : Concepts andOptions for Monitoring and Evaluation of Climate Change Adaptation.Germany: GIZ.
Streck, C., & Parker, C. (2013). Pendanaan REDD+. Dalam A. Angelsen , W.Brockhaus, W. D. Sunderlin, & L. V. Verchot, Menganalisis REDD+ :Strategi Tantangan dan Pilihan (hal. 129). Bogor: CIFOR.
Sukadri, D. S. (2012, April 3). Progress Towards Establishment of NationalREDD+ SIS in Indonesia. Nairobi, Kenya.
Sulistyaningsih. (2013). Perlawanan Petani Hutan : Studi Atas ResistensiBerbasis Pengetahuan Lokal. Bantul: Kreasi Wacana.
Sumarhani. (2003). Implementasi Social Forestry di Zona Rehabilitasi TamanNasional Meru Betiri, Jawa Timur. Bogor: Balitbang Kehutanan, PusatPenelitian dan Pengembangan HUtan dan Konservasi Alam.
Sumarhani. (2005). Kajian secara Partisipatif Kawasan Penyangga TamanNasional Meru Betiri, Jawa Timur. Bogor: Balitbang Kehutanan, PusatPenelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam .
Sumaryanto. (2013). Strategi Peningkatan Kapasitas Adaptasi Petani TanamanPangan Menghadapi Perubahan Iklim. Bogor: Pusat Sosial Ekonomi danKebijakan Pertanian.
Taman Nasional Meru Betiri. (2010). Laporan Tahunan Balai Taman NasionalMeru Betiri Tahun 2009. Jember: Departemen Kehutanan DirektoratJenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai TNMB.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
UN-REDD Programme Indonesia . (2012). Penerapan Padiatapa : ProsesPembelajaran dan Uji Coba untuk Membangun Kesepakatan denganWarga di Desa Lembah Mukti, Kecamatan Damsol, Kabupaten Donggala,Sulawesi Tengah. Jakarta: UN-REDD Programme Indonesia.
173
Universitas Indonesia
Wibowo, Ari. (2012). Demostration Activity (DA) REDD+ di Taman NasionalMEru Betiri, Jawa TImur ITTO PD 519/08 REV (1). Prosiding WorkshopKerjasama Internasional (hal. 3-12). Jakarta: Balitbang PUSPIJAKKemenhut.
Wibowo, Ari; Maryani, Retno; Hariyanto; Supriyanto, Bambang. (2012).Informasi Teknis Pelaksanaan Kegiatan DA REDD+ di KawasanKonservasi. Bogor: Puspijak Balitbang Kehutanan, Kemenhut dan ITTO.
Wibowo, A., Maryani, R., & Partiani, T. (2012). Infromasi Teknis : PelaksanaanKegiatan Demostration Activity (DA) REDD+ di Kawasan Konservasi.Bogor: Puspijak, Balitbang, Kemenhut RI.
Wibowo, A., Partiani, T., & Rachmawati, M. (2013). Demostration Activity (DA)REDD+ di Taman Nasional Meru Betiri. Bogor: Puspijak BalitbangKemen Kehutanan dan ITTO.
Wibowo, Ari. (2010). Measurable, Reportable, and Verifiable (MRV) untuk EmisiGas Rumah Kaca dari Kegiatan Kehutanan. Dalam W. Ari, G. Kirsfianti,F. Nurfatriani, Indartik, H. Dwiprabowo, S. Ekawati, et al., REDD+ andForest Governance (hal. 3). Bogor: Pusat Penelitian dan PengembanganPerubahan Iklim dan Kebijakan.
LAMPIRAN 1
Pedoman Pertanyaan Penelitian
Tujuan 1 :
Mengetahui kemampuan adaptif komunitas lokal desa penyangga pasca DA REDD+ di Kawasan
Taman Nasional Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon hutan
No. Informan Pertanyaan
1. Petani rehabilitasi (yang
terlibat langsung
maupun yang tidak
terlibat langsung dalam
kegiatan DA REDD+);
Kelompok wanita;
Tokoh Masyarakat;
a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?
b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?
c. Bagaimana pemahaman terhadap REDD+?
d. Bagaimana tanggapan terhadap kegiatan REDD+?
e. Apakah dampak dan manfaat dari kegiatan REDD+ bagi
petani dari segi pendapatan, pengetahuan, dan pola
pengelolaan hutan?
f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk
menciptakan strategi penghidupan yang baru?
g. Bagaimana keberlangsungan strategi penghidupan yang baru
tersebut?
h. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional
setelah kegiatan DA REDD+?
i. Apakah masyarakat memperoleh akses untu pengelolaan
hutan?
j. Apakah ada upaya kegiatan REDD+ mendukung dan
memperkuat organisasi kelompok tani?
k. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani
rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi setelah
adanya REDD+ di TNMB ? apakah ada perbedaan dengan
sebelum REDD+?
l. Bagaimanakah peran pemerintah dalam mendukung kegiatan
REDD+?
2. Polisi Hutan/Petugas
Resort
a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?
b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?
c. Bagaimana tanggapan terhadap kegiatan REDD+?
d. Bagaimanakan peran pemerintah dan NGO lokal dalam
mendukung kegiatan REDD+?
e. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi
lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan
peran dalam upaya konservasi karbon?
f. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau
mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi
lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi
karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?
g. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional
setelah kegiatan DA REDD+?
h. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani
rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi setelah
adanya DA REDD+ di TNMB ?
i. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?
Bagaimana perilaku masyarakat setelah diperkenalkan DA
REDD+?
3. NGO lokal (KAIL) a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?
b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?
c. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap REDD+?
d. Apakah peran NGO dalam DA REDD+?
e. Apa saja manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD+ dari
segi 1) pengetahuan, informasi, dan keterampilan; 2) inovasi
pengelolaan hutan; 3) dalam pengambilan keputusan di tingkat
lokal masyarakat?
f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk
menciptakan strategi penghidupan yang baru?
g. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi
lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan
peran dalam upaya konservasi karbon?
h. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau
mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi
lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi
karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?
i. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional
setelah kegiatan DA REDD+?
j. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani
rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi di
TNMB?
k. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?
l. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu mendukung inovasi
aset, institusi, atau kebijakan untuk upaya pengelolaan hutan
(pengurangan deforestasi dan degradasi hutan)?
4. Manajemen Balai
Taman Nasional Meru
Betiri
a. Bagaimana hubungan masyarakat dengan hutan TNMB?
b. Bagaimana peran masyarakat dalam pengelolaan TNMB?
c. Bagaimana pemahaman masyarakat terhadap REDD+?
d. Apakah peran Balai TNMB dalam kegiatan DA REDD+?
e. Apa saja manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD+ dari
segi 1) pengetahuan, informasi, dan keterampilan; 2) inovasi
pengelolaan hutan; 3) dalam pengambilan keputusan di tingkat
lokal masyarakat?
f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk
menciptakan strategi penghidupan yang baru?
g. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi
lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan
peran dalam upaya konservasi karbon?
h. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau
mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi
lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi
karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?
i. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional
setelah kegiatan DA REDD+?
j. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani
rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi di
TNMB?
k. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?
l. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu mendukung inovasi
aset, institusi, atau kebijakan untuk upaya pengelolaan hutan
(pengurangan deforestasi dan degradasi hutan)?
8. Koordinator Proyek DA
REDD+ (Puspijak
Litbang Kementerian
Kehutanan)
a. Apa yang menjadi alasan kegiatan DA REDD+
diselenggarakan di TNMB?
b. Bagaimana pelaksanaan PADIATAPA di TNMB?
c. Kegiatan apa saja yang menjadi rangakain kegiatan DA
REDD+?
d. Siapa sajakah yang terlibat dalam kegiatan DA REDD+?
e. Bagaimana peran pemerintah lokal dan NGO dalam kegiatan
DA REDD+?
f. Apakah kegiatan REDD+ memungkinkan petani untuk
menciptakan strategi penghidupan yang baru?
g. Apakah kegiatan DA REDD+ mendukung institusi
lokal/organisasi informal dalam membantu meningkatkan
peran dalam upaya konservasi karbon?
h. Apakah kegiatan DA REDD+ mampu melengkapi atau
mengganti peran tradisional yang dimainkan oleh institusi
lokal/organisasi informal dalam upaya pengurangan emisi
karbon dari deforestasi dan degradasi hutan ?
i. Bagaimana hukum yang berlaku di kawasan taman nasional
setelah kegiatan DA REDD+?
j. Bagaimanakah hak dan kewajiban kelompok petani
rehabilitasi terhadap pengelolaan kawasan rehabilitasi di
TNMB?
k. Apakah DA REDD+ berkontribusi dalam upaya penyelamatan
emisi dari deforestasi dan degradasi hutan TNMB?
Tujuan 2 :
Mengetahui aksi adaptasi komunitas lokal desa penyangga pasca DA REDD+ di Kawasan Taman Nasional
Meru Betiri dalam upaya konservasi karbon hutan
No Informan Pertanyaan
1. Petani rehabilitasi (yang a. Bagaimana peran pemerintah dan NGO dalam mendukung
terlibat langsung
maupun yang tidak
terlibat langsung dalam
kegiatan DA REDD+);
Kelompok wanita;
Tokoh Masyarakat;
Polisi Hutan/Petugas
Resort; NGO lokal
(KAIL); Manajemen
Balai Taman Nasional
Meru Betiri.
upaya konservasi karbon hutan?
b. Bagaimana tanggapan anda terhadap upaya konservasi karbon
hutan?
c. Apa upaya yang dilakukan individu/kelompok dalam upaya
konservasi karbon hutan?
LAMPIRAN 2
Profil Informan
No Kelompok
masyarakat Nama Keterangan
DESA CURAHNONGKO
1. Petani rehabilitasi Prm Ketua kelompok tani Jaketresi, yang mengikuti kegiatan DA
REDD+. selain itu Prm juga sebagai ketua RW dan anggota
MMP. Bapak Prm cukup aktif untuk menggerakkan masyarakat
dalam upaya menjaga hutan. beliau salah satu tokoh penting di
Desa Curahnongko terlihat dari perannya yang begitu banyak
dan cukup berpengaruh bagi masyarakat maupun petani
rehabilitasi.
Skw Bendahara kelompok tani Jaketresi, yang mengikuti kegiatan DA
REDD+. Beliau juga cukup memiliki pengaruh untuk mengajak
masyarakat turut berpartisipasi dalam upaya konservasi hutan.
Sri Anggota kelompok tani dari Bapak Prm yang belum pernah
mengikuti kegiatan DA REDD+.
Pai Anggota kelompok tani dari Bapak Prm yang belum pernah
mengikuti kegiatan DA REDD+
2 Kelompok Wanita Syh Merupakan ibu ketua kelompok pengajian yang pernah
mengikuti penyuluhan dari KAIL. Ibu Syh ditunjuk untuk
mengikuti kegiatan dengan harapan bahwa hasil dari
penyuluhannya akan disampaikan dalam kegiatan pengajian
dengan melibatkan ibu-ibu dalam kegiatan konservasi.
Sra Anggota kelompok pengajian, yang tidak mengikuti kegiatan
penyuluhan REDD+ dan memiliki lahan rehabilitasi
3 Aparat Desa Srs Sekretaris Desa Curahnongko
Abh KAUR Desa Curahnongko dan juga terlibat dalam LSM KAIL
DESA ANDONGREJO
1 Kelompok petani Sjt Ketua kelompok tani yang tidak pernah mengikuti kegiatan
penyuluhan REDD+
Skr Anggota kelompok tani, yang memperoleh informasi REDD+
dari ketua kelompok tani
2 Kelompok wanita Ktm Ketua kelompok budidaya pengelolaan jamu tradisional Sumber
Waras yang mengikuti kegiatan penyuluhan REDD+
Mn Anggota kelompok budidaya pengelolaan jamu tradisional
Sumber Waras
Msr Kelompok masyarakat yang tidak mengikuti kegiatan REDD+
tetapi mendapat pengetahuan dari REDD+ ketika ikut dalam
kelompok pengajian
3 Aparat Desa Ryd Sekretaris Desa Andongrejo
DESA WONOASRI
1 Kelompok petani Tmn Ketua kelompok tani dan MMP di Resort Wonoasri, pernah
mengikuti kegiatan DA REDD+
Dsr Anggota kelompok tani yang merupakan putra dari Ketua
Kelompok LMDHK Wonomulyo, sering mewakili kegiatan
Bapak ketua untuk ikut kegiatan DA REDD+
Ssw Anggota kelompok tani yang memiliki lahan rehabilitasi,
No Kelompok
masyarakat Nama Keterangan
sekaligus bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tidak
pernah mengikuti kegiatan DA REDD+
Sur Anggota kelompok tani yang memiliki lahan rehabilitasi,
sekaligus bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tidak
pernah mengikuti kegiatan DA REDD+
Pnm Anggota kelompok tani yang memiliki lahan rehabilitasi,
sekaligus bekerja sebagai buruh perkebunan karet dan tidak
pernah mengikuti kegiatan DA REDD+
2 Aparat Desa Abr Kepala Desa Wonoasri, cukup peduli dengan kegiatan
pelestarian hutan di Wonoasri
Pai Pamong tani
Son Aparatur desa yang juga mendapat bantuan untuk kegiatan
budidaya empon-empon (halaman rumahnya)
PETUGAS RESORT
1 Andongrejo Feb Staf Resort Andongrejo
Jum Staf Resort Andongrejo
Ads Staf resort Bandealit
2 Wonoasri Mst Staf Resort Wonoasri (MMP), Ketua OPR kelompok tani
rehabilitasi Wonoasri
LSM KAIL
1 LSM lokal Nrh Ketua LSM KAIL
Manajemen Balai TNMB
1 Staf TNMB Ngh Staf TNMB yang bertanggungjawab pada kegiatan Teknis
Pelaksanaan kegiatan DA REDD+ di TNMB
Adi Staf TNMB
Mus Staf TNMB
LAMPIRAN 3
Transkrip wawancara Kelompok Masyarakat
A. DESA CURAHNONGKO
PETANI REHABILITASI (yang mengikuti kegiatan DA REDD+)
DESA CURAHNONGKO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Keterbatasan Sumberdaya Lahan
Masyarakat yang tinggal di sekitar desa penyangga
ini kan tidak semua memiliki lahan sawah,
penduduknya berapa sawahnya berapa, jadi nggak
cukup semua penduduk (Prm, Mei 2014).
Petani yang nggak punya lahan pertanian di sawah
ya mengandalkan lahan di rehab. Kan nggak
mungkin orang sebanyak ini semuanya punya lahan
disawah, sementara sawah yang ada itu Cuma
sedikit, ya otomatis mengandalkan lahan di rehab.
Misalnya begini ada masyarakat yang mencari
joho, kemiri, di hutan (Skw, Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Upaya pelestarian hutan
REDD+ itu intinya kan melestarikan hutan,
walaupun kesana kemari itu intinya. Hutan yang
sudah gundul gundul, petani itu harus menanam
lagi (Prm, Mei 2014)
REDD+ itu kan tujuan intinya penghijauan,
pengembalian fungsi hutan yang ada. Hutan
berjalan mengembangkan penghijauan, di daerah
perdesaan tanah tanah kosong dikembangkan juga
penghijauan (Skw, Mei 2014).
2 Dampak Pemanasan global
Lha disitulah orang orang itu sadar kalau hutan
gundul itu bisa menyebabkan pemanasan global,
itu ada istilah musim yang ndak menentu dengan
adanya rusaknya hutan. nah sekarang dgn adanya
hutan yg gundul terus sudah agak rimbun, hawanya
agak dingin. Kalau dulu waktu hutan hutan gundul
itu, jam 9 itu panas, sudah nggak kuat kalau mau ke
lahan, tapi sekarang sudah agak rimbun (Prm, Mei
2014).
3 Emisi yang dikeluarkan oleh hutan
REDD+ itu kan hubungan juga dengan CO2,
Karbon apa itu kalau bahasa kampus. Kalau pohon
ditebang nanti mengeluarkan emisi, dibakar juga
mengeluarkan emisi (Skw, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a. Social Capital
Kelompok petani disini mudah digerakkan
(Jaketresi), pagi pagipun kalau disuru kumpul ya sebagai modal
untuk
kumpul, setiap tahun saya sering merayakan ulang
tahunnya Jaketresi, biasanya ada acara selamatan
nanti mengundang TN. Ya ini sebagai bentuk
kearifan lokal lah (Prm, Mei 2014).
meningkatkan
upaya konservasi
hutan – alasan
mengapa
Curahnongko
menjadi
percontohan untuk
sample plot 7 ha –
konservasi karbon
b. Financial Capital
waktu itu saya ikut pelatihan budidaya bibit jamur
tiram di Malang, dan saya juga sudah praktek di
rumah sampai sekarang Alhamdulillah lumayan
hasilnya, per kilo harganya Rp. 10.000 (Prm, Mei
2014).
Budidaya jamur tiram bantuan dari TN itu kan
tujuannya uspaya bisa menambah pendapaatan.
Contohnya sehari saya dapat sepuluh ribu, 5 ribu
dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan artinya
nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa
mengurangi sekian persennya ketergantungan trhdp
hutan (Skw, Mei 2014)
c. Natural capital
kita dapat bantuan bibit tanaman untuk ditanam di
rehabilitasi seperti nangka, sukun, pete, kedawung,
alpukat waktu 2010. Hasilnya lumayan untuk dijual
(Prm, Mei 2014).
Mayoritas masyarakat di andongrejo dan
curahnongko punya lahan di rehab. Lebih dari 90%
punya lahan di rehab, sedangkan di tanah
pemajekan (pertanian sawah) itu cuma 10%.
Alhamdulillah sejak th 98, bisa merasakan
perbedaannya, kalau dulu itu ketergantungan kita
kepala rumah tangga harus kerja keras, kalau nggak
dandangnya miring (susah untuk mencari sumber
nafkah) (Skw, Mei 2014)
bantuan bibit itu
salah satunya untuk
upaya konservasi
hutan di lahan
rehabilitasi agar
menjadi hutan
kembali serta
masyarakat juga
dapat memperoleh
hasil ekonomi dari
kegiatan panen.
d Human Capital
Individu masyarakat Curahnongko itu bagus, tapi
ya nggak bisa dikatakan semua bagus. Kalau
kelompok saya masih bisa dikatakan mereka peduli
dengan lahan rehab garapannya. Sadarlah.. itu
kalau yang sadar, kalau yang enggak ya susah
diajak kerjasama menjaga hutan (Prm, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Ada lembaga Jaketresi disini bentukan KAIL sama
SPKP bentukan TN. Orang-orangnya sama yang
mengelola, jadi nggak susah untuk koordinasi. Itu
lembaga yang untuk masalah-masalah hutan. ada
lagi Pamswakarsa, sekarang namanua MMP
(Masyarakat Mitra Polhut). (Prm, Mei 2014).
Kalau di curahnongko itu Jaketresi (lembaga yg
murni mengendalikan lahan di rehab-KAIL)
sedangkan dari mitra TN dibentuk lembaga SPKP-
TN, tapi misinya sama, pengurusnya juga sama.
Beberapa kegiatan kita didampingi oleh KAIL.
(Skw, Mei 2014)
Kelembagaan ini
sudah dibentuk
sebelum adanya
kegiatan DA
REDD+, namun
perannya lebih
ditingkatkan
kembali setelah
adanya kegiatan
DA REDD+ -
penggerak di
tingkat lokal pada
kelompok petani
rehabilitasi
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a. Transferability pengetahuan
Menyampaikan ke masyarakat bisa di rumah
dengan mengumpulkan masyarakat sewaktu ada
kegiatan kumpul kumpul rutin, kadang juga
sewaktu di lahan. Kalau di lahan memberi masukan
ke masyarakat itu lebih mudah. Kalau di rumah kan
kadang-kadang ngundang orang sepuluh, yang
datang cuma 5-2 orang kalau langsung terjun di
lahan kan enak bisa sambil santai, orang lebih
ngerti (Prm, Mei 2014).
Penyampaiannya lisan sambil Ngobrol Ngobrol
(Skw, Mei 2014)
b. Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh
Kita semua kan punya lahan rehab, kita kan sudah
merasakan udara sekarang dan dulu itu lain, yang
kedua itu masalah mata air. Dulunya itu kalau
musim tembakau kan membuat peresemaaian
dibelakang rumah itu ada hutan bambu, mata air
nggak pernah kering walaupun bulan berapa,
ternyata setelah hutan itu gundul sumber airnya
habis. Jangankan mau buat persemaian tembakau,
buat minum aja susah. Nah sekarang walaupun
hutan belum 100% normal kembali lagi. Air sudah
agak normal lah (Prm, Mei 2014).
Sebelum ada perubahan iklim, hutannya masih
lebat. Musim itu kalau dulu bisa ditentukan, kalau
bulan januari – hujan sehari hari, desember – gede
gedenya sumber itu masih tepat, oktober – bulan
mongso songo, jangan coba-coba menanam apaun
yg ada di lahan, nggak tumbuh nanti. Tapi sekarang
cuaca sudah tidak bisa diprediksi lagi. Biasanya
bulan 12-2 itu musim hujan, masuk bulan 3-4
masih mengurangi, 6 bulan positif kemarau, kalau
sekrang sudah nggak bisa. Bulan 6-7 hujan terus.
Sekarang ini bisa merasakan perubahan iklim
(Skw, Mei 2014).
Kalau kata bahasa kampus, CO2 di udara itu tebal.
CO2 yang turun ke bumi, naik ke atas lalu kembali
lagi. Kalau siang itu wajar panasnya seperti itu,
wong ada matahari, lha kalau malem panas nya
apa, matahari aja nggak ada. Tapi panas sekali,
pakai baju aja nggak betah. (Skw, Mei 2014)
Pelatihan-pelatihan itu sebenernya memberi
manfaat buat kita, misalnya kita bisa tahu gimana
caranya budidaya, manfaat hutan lebih banyak
(Skw, Mei 2014)
Pengetahuan
mengenai manfaat
hutan
4 Innovation (Inovasi)
a. Inovasi Budidaya Tanaman
Sebenernya penanaman sengon laut itu sudah sejak
10 tahun yang lalu, Cuma baru serentak dan
banyak yang mulai nanem lagi ya setelah adanya
REDD+ itu (Skw, Mei 2014)
Sengon laut itu ada oksigennya, sekarang itu
sengon jadi tanaman pokok. (Skw, Mei 2014)
Inisiatif untuk
menanam seNGOn
laut yang timbul
setelah adanya
REDD+ - selain
bernilai ekonomis,
serapan karbonnya
juga tinggi
Nanem panen, nanem lagi, panen nanti kayunya
dijual.nanem lagi, 3 tahun sudah bisa panen.
Sebelumnya tidak ada yang nanem sengon laut dan
jabon. Kalau sekarang kan kita sudah tahu, selain
menambah oksigen, menambah karbon, dan
menambah pendapatan. Tebang kayu, kayunya
dijual laku. Jadi kesinambungannya ada (Skw, Mei
2014)
Tanaman yang banyak serapan karbonnya itu
trembesi. Pohonnya rindang sekali. Saya nanem
itu. (Prm, Mei 2014)
b. Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan
Waktu itu saya ikut pelatihan budidaya jamur tiram
di Malang, dan saya juga sudah praktek di rumah
sampai sekarang . Lumayan hasilnya buat tambah
tambah penghasilan, selain di rehab (Prm, Mei
2014).
Budidaya jamur tiram bantuan dari TN itu kan
tujuannya uspaya bisa menambah pendapaatan.
Contohnya sehari saya dapat sepuluh ribu, 5 ribu
dari TN, 5 ribu dari budidaya jamur. Kan artinya
nambah dari pendapatan budidaya jamur. Jadi bisa
mengurangi sekian persennya ketergantungan trhdp
hutan (Skw, Mei 2014)
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a. Transparency (Transparansi)
Kalau sekarang enggak, sudah ada lahan rehab,
pihak TN sudah merestui bahwa masyarakat boleh
beraktivitas di wilayah TN tetapi harus ada
kesepakatan konkrit, diantaranya masyarakat boleh
menanam palawija, tapi TN minta masyarakat
mematuhi aturan TN yang menyebutkan bahwa
masyarakat harus mengembalikan lahan hutan yang
sudah gundul dgn menanam tanaman tegakan/keras
supaya lahan rehab bisa dihutankan kembali. (Skw,
Mei 2014)
b. Collaboration (Kerjasama)
Jadi sekarang itu hubungan TN dan masyarakat itu
bisa dikatakan sinergi, masyarakat beribu kali
mengucapkan terima kasih ke pihak TN. Jadi pihak
TN tidak ragu-ragu untuk bermitra dengan
masyarakat penyangga Skw, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Ada lembaga Jaketresi disini bentukan KAIL sama
SPKP bentukan TN. Orang-orangnya sama yang
mengelola, jadi nggak susah untuk koordinasi. Itu
lembaga yang untuk masalah-masalah hutan. ada
lagi Pamswakarsa, sekarang namanya MMP
(Masyarakat Mitra Polhut). Kelembagaan ini
melibatkan masyarakat terpilih, khususnya yang
peduli. (Prm, Mei 2014).
Bentukan
pemerintah dan
LSM
2 Alternatif Mata Pencaharian
Saya mencoba budidaya jamur tiram. Lahan di
rehab kan nggak bisa ditungguin terus. Ada
musmnya (Prm, Mei 2014).
Kalau nggak boleh manen kayu, lahan saya saya
kasi taneman buah. Sirsak, Alpukat. Buahnya bisa
diambil, nanti dijual (Skw, Mei 2014)
3 Upaya pendampingan untuk menyadarkan komunitas lokal
Dari pelatihan KAIL, kita kan disuru mengawasi
tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya itu
kita jaga bersama-sama kelompok (Skw, Mei
2014).
PETANI REHABILITASI (yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+)
DESA CURAHNONGKO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Sumber Mata Pencaharian
Saya pribadi itu tergantung sekali sama hutan,
hampir tiap hari keluar masuk hutan cari bambu.
Saya kan dulu membuat gedek. Tapi sejak ada
lahan rehab, saya nggak ke hutan lagi, Cuma di
lahan rehab saja (Sri, Mei 2014).
Dulu sebelum 97/98 masyarakat itu takut mau
masuk hutan, lalu ada kejadian perambahan besar-
besaran tahun 97/98 itu, pas jamannya Gus Dur,
hutan jadi milik perhutani itu gundul. Lalu diambil
alih sama TN, dijadikan lahan rehabilitasi. Kesini-
sini malah banyak illegal logging walaupun ada
lahan rehab (Pai, Mei 2014).
2 Alternatif Sumber Mata Pencaharian
Adanya rehab itu lebih banyak kemajuan.
Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita
mencari kayu, sekarang kan nggak perlu lagi.
Adanya lahan rehab sudah bisa menambah
penghasilan, kita tidak perlu merambah hutan (Pai,
Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Pelestarian Hutan
kalau kata Pak Parman yang pernah ikut kegiatan
itu ( DA REDD+), yang saya ingat ya tentang
usaha melestarikan hutan, utamanya di lahan rehab.
Kita disuru menjaga taneman pokok, jangan ada
yang ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet
disulam (Sri, Mei 2014)
REDD+ itu kayak penghijauan, buat melestarikan
hutan yang gundul di lahan rehab utamanya (Pai,
Mei 2014).
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Social capital
Curahnongko itu orangnya kompak mbak dari
dulu, kalau ada acara kumpul kumpul kita selalu
kompak dateng. Sampai sekarang itu. Disitu nanti
ada omong-omong dari ketua kelompoknya, kalau
habis ikut pelatihan, ya disampaikanlah disitu (Sri,
Mei 2014)
b Natural capital
Hutan meru betiri itu kan kaya sekali, banyak hasil
hutannya mulai dari kayu kayuan, bambu, taneman
obat macem-macem, bunga itu mbak yang besar
(rafflesia), madu, macem-macem burung, harimau
jawa (Sri, Mei 2014)
Adanya rehab itu lebih banyak kemajuan.
Pendapatan meningkat, kalau dulu biasanya kita
mencari kayu, sekarang kan nggak perlu lagi.
Adanya lahan rehab sudah bisa menambah
penghasilan (Sri, Mei 2014)
Bersifat Positif
Kalau dulu, lahan rehabilitasi itu hasilnya lumayan
Mbak, tapi kalau sekarang ya hasilnya nggak
terlalu bagus. Tanahnya kurang subur, pohonnya
juga sudah besar-besar. Hasilnya yang diandalkan
ya dari peje, empon-empon itu, apalgi sekarang
sudah mangsa ketiga (musim kemarau) (Pai, Mei
2014)
Bersifat Negatif
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
ada mbak disini, ada Jaketresi – ketuanya Pak
Parman, ada SPKP juga. Kalau jaketresi itu
bentukan KAIL, kalau SPKP itu bentukan TN (Sri,
Mei 2014).
NGO KAIL juga ada, kita dibina. Yang sering ikut
juga Pak Parman itu. Ada lahan 7 Ha di sana,
sekarang sudah bagus, sudah lebat, jadi hutan lagi
(Sri, Mei 2014)
Ada Jaketresi sama SPKP mbak, aktif kalau disini.
Pertemuan bulanan itu bisa dibilang rutin.
Walaupun kadang di lahan, pas kita lagi santai (Pai,
Mei 2014).
Kelembagaan di
tingkat lokal
masyarakat
bentukan NGO
KAIL dan TNMB,
serta peran NGO
besar di
Curahnongko
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability pengetahuan
iya, itu sini ketua kelompoknya aktif. Selalu ikut
kalau ada pelatihan-pelatihan. Nanti hasilnya
diceritain ke yang lain (Pai, Mei 2014)
Penambahan
pengetahuan dari
ketua kelompok
tani
b Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh
kalau saya sendiri, saya jadi tahu yang namanya
fungsi hutan itu. Dulu saya nggak pernah mikir,
apalagi kepikiran, yang penting ya ambil saja, saya
bisa hidup, bisa makan dari hasil hutan. sekarang
saya sadar kalau hutan gundul itu jadi lebih panas.
Sekarang aja panasnya kayak gini (Sri, Mei 2014)
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi budidaya tanaman
Peje itu mbak tanaman rambat di hutan, tumbuhnya
ya gitu dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak,
menjalar kemana mana, bijinya kecil-kecil. Kalau
sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli.
Ini bentuk inovasi
yang didapat
sebelum ada
kegiatan DA
Tanemannya tahan panas, terus bisa itu mencegah
tanah longsor kalau pas hujan (Sri, Mei 2014)
dulu saya yang pertama kali nanem peje disini, lalu
hasilnya waktu dijual per kilo bisa sampai Rp
110.000 – Rp 150.000, lumayan mbak saya untung
waktu itu. Belum ada yang nanem juga, sekarang
sudah banyak yang ikut nanem. (Sri, Mei 2014)
saya juga lagi coba nanem sirsak, lumayan
buahnya bisa dijual. Kemarin alpukat, gagal. (Sri,
Mei 2014)
REDD+, tetapi
secara tidak
langsung inovasi ini
berdampak pada
upaya pelestarian
hutan – mencegah
tanah longsor, dan
menjaga kesuburan
tanah (peje) dan
alternatif tanaman
musim kemarau.
...dari empon-empon yang di lahan rehab itu ada
pembuatan jamu, kalau dulu disini ada. Tapi
sekarang Cuma di Andongrejo yang masih jalan
(Pai, Mei 2014)
Empon-empon
merupakan bahan
baku dari jamu
yang sudah
dikembangkan dari
dulu, tetapi setelah
adanya kegiatan
DA REDD+
pembuatan jamu
tradisional hanya
mampu optimal
berkembang di
Andongrejo
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi)
Kita dikasi lahan rehabilitasi dari TN, ini kan
artinya pemerintah sudah mau memberi kita
kesempatan untuk memanfaatkan lahan. Kita dikasi
lahan, dikasi bibit suru nanem, hasilnya buat kita,
TN nggak minta apa-apa lagi (Sri, Mei 2014).
Sebagian orang sini punya lahan di rehab, jadi
kepedualian orang sini juga tinggi untuk
mengikutsertakan masyarakat dikegiatan
penanaman TN, pemberian bibit dari TN (Pai, Mei
2014)
Regulasi
pemerintah terkait
upaya pelibatan
masyarakat dalam
pengelolaan hutan
konservasi
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
ada Jaketresi – ketuanya Pak Parman, ada SPKP
juga. Kalau jaketresi itu bentukan KAIL, kalau
SPKP itu bentukan TN. Fungsinya buat tukar
pikiran kalau kita lagi ada masalah di lahan. (Sri,
Mei 2014).
Ada Jaketresi sama SPKP mbak, aktif kalau disini.
Pertemuan bulanan itu bisa dibilang rutin.
Walaupun kadang di lahan, pas kita lagi santai (Pai,
Mei 2014).
2 Alternatif mata pencaharian
Peje itu mbak tanaman rambat di hutan, tumbuhnya
ya gitu dibiarin aja, nanti seminggu udah banyak,
menjalar kemana mana, bijinya kecil-kecil. Kalau
sekarang belum ada bijinya, nanti biasanya Juli.
Tanemannya tahan panas, terus bisa itu mencegah
tanah longsor kalau pas hujan (Sri, Mei 2014)
dulu saya yang pertama kali nanem peje disini, lalu
hasilnya waktu dijual per kilo bisa sampai Rp
110.000 – Rp 150.000, lumayan mbak saya untung
waktu itu. Belum ada yang nanem juga, sekarang
sudah banyak yang ikut nanem. (Sri, Mei 2014)
saya juga lagi coba nanem sirsak, lumayan
buahnya bisa dijual. Kemarin alpukat, gagal. (Sri,
Mei 2014)
3 Menjaga Tanaman Pokok
Dari pelatihan KAIL, kita kan disuru mengawasi
tanaman yang di pinggir zona rehabilitasi. Ya itu
kita jaga bersama-sama kelompok (Sri, Mei 2014).
Sadar Mbak, kalau kita menjaga hutan, usaha
melestarikan hutan, utamanya di lahan rehab. Kita
disuru menjaga taneman pokok, jangan ada yang
ditebang. Kalau ada yang mati suru cepet disulam
(Sri, Mei 2014)
KELOMPOK WANITA
DESA CURAHNONGKO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Sumber Mata Pencaharian
Kalau dulu, hutan itu jadi andalan banget mbak,
kan banyak hasil hutan itu kayak madu, kayu
rambahan nanti bisa dijual, bambu untuk gedek.
Kalau sekarang kan sudah nggak boleh, sudah
dikasi lahan rehab sama TN. Dulu itu sering juga
ada illegal logging, tapi biasanya dari masyarakat
luar. Kalau orang sini aja butuhnya mungkin kayak
cuma bikin rumah, itupun seumur hidup sekali aja
(Sra, Mei 2014)
Masalahnya kan kita tinggal dipinggir hutan,
hubungan kita itu erat sekali. Hutan itu sumber
mata pencaharian kalau buat masyarakat sini. Tapi
bagaimanapun saja arahnya bagi yang peduli dgn
hutan akan cenderung menjaga hutan. kalau yang
nggak peduli ya masih nebangi hutan. Masyarakat
juga sebenarnya nanti akan rugi sendiri kalau
hutannay rusak (Syh, Mei 2014).
B Pemahaman terhadap REDD
1 Pelestarian Hutan
REDD+ itu yang saya tau dari kumpul-kumpul ya
tentang gimana kita melestarikan hutan gundul.
Kalau disini ya gimana kita menjaga tanaman
pokok di rehab (Sra, Mei 2014).
REDD+ itu kayak pelestarian hutan Mbak. Saya
pernah ikut pelatihannya sama KAIL. Masyarakt
itu disuru menjaga hutan, pohon jangan ditebang
(Syh, Mei 2014).
2 Dampak Pemanasan Global
Dulu nggak sepanas ini, waktu perambahan besar
besaran, air itu kalau kemarau kering. Selain itu
kalau panas, pakai kipas angin saja itu nggak kerasa
(Sra, Mei 2014).
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Natural capital
orang sini itu kalau yang nggak punya sawah,
punya lahan di rehab. Tapi banyakan rehab sih
Mbak. Itu dulu di kasi TN tahun 1999 (Syh, Mei
2014)
b Social Capital
Kumpulan jamaah muslimatan itu rajin setiap
minggu, ibu-ibu disini kompak kalau ada pengajian
gitu. Banyak kelompoknya, biasanya selain
pengajian juga ada omong-omong pelestarian
hutan. Tapi ya gitu Mbak, susah kalau semua ibu-
ibu itu bisa mau terima yang disarankan. Kan
tergantung sama orangnya, niatnya apa sama hutan.
(Syh, Mei 2014)
c Human Capital
Susah kalau semua ibu-ibu itu bisa mau terima
yang disarankan. Kan tergantung sama orangnya,
niatnya apa sama hutan. (Syh, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Persamaan hak (Peran Pemberdayaan Wanita)
Kelompok wanita sini kurang aktif, susah Mbak
kalau ngajak ibu-ibu itu. Ada bantuan juga belum
tentu mau, untungnya nggak seberapa bilangnya.
Yang jalan kegiatannya itu kebanyakan bapak-
bapak. Yang bagus sini itu kelompok tibakan ibu-
ibu, semacam kumpulan kelompok pengajian
mingguan (Sra, Mei 2014)
Ibu-ibu muslimatan itu diajakin pelatihan kegiatan
REDD+ sama KAIL, kelompok muslimatannya sini
itu banyak Mbak. Katanya biar ibu ibu juga bisa
ikut kegiatan melestarikan hutan (Syh, Mei 2014).
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability Pengetahuan
Kalau untuk ibu-ibu sendiri saya menyarankan,
untuk mengingatkan bagi yang merambah hutan
mbok ya diingatkan bpknya, setelah bapaknya
diingatkan, bilangnya gini, katanya bu syahadat
nggak boleh menebangi hutan apa bu syahadat
ngasi makan kalo nggak boleh menebangi hutan?
(Syh, Mei 2014)
Pengajian tibakan itu ketuanya pernah
menyampaikan soal pelestarian hutan, ada ayat-
ayatnya juga di Al-Qur’an kan. Ibu ketuanya yang
nyampaikan. (Sra, Mei 2014)
b Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh
Banyak kegiatan yang diperkenalkan ke
masyarakat, penyuluhan juga, tapi ya gitu saya rasa
hutannya malah nggak bisa lestari. Masyarakat juga
susah dibilangin gitu itu (Syh, Mei 2014)
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi Budidaya tanaman
Tanah di lahan rehab itu nggak diolah, tapi
ditanami peje. Skrg ditanami nangka, pete,
kedawung, kemiri, pisang. Nanti setelah hasil dari
peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami
lainnya (Syh, Mei 2014)
Lahan saya sekarang ditanami peje, mau musim
kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas cuma
peje (Sra, Mei 2014)
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi)
“Itu (lahan rehabilitasi) dulu di kasi TN tahun
1999. Dikasi gratis, biar masyarakat nggak
menjarah hutan lagi, tapi sampai sekarang masih
ada aja yang merambah hutan (Syh, Mei 2014)
b Collaboration (Kerjasama)
“Pamswakarsa, sekarang jadi MMP itu kan
bentukan resort, biar masyarakat ikut menjaga
hutan. ada perwakilan dari tiap desa, setiap resort
ada kalau nggak salah itu. (Sra, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Resortnya itu kurang mengawasi dan tegas
sepertinya. Lha itu buktinya masih ada yang nebang
kayu. Kalau siang-siang itu kedengeran senso dari
sana (Syh, Mei 2014)
“Pamswakarsa, sekarang jadi MMP itu kan
bentukan resort, biar masyarakat ikut menjaga
hutan. ada perwakilan dari tiap desa, setiap resort
ada kalau nggak salah itu. (Sra, Mei 2014)
2 Alternatif Pengelolaan Lahan Rehabilitasi
Tanah di lahan rehab itu nggak diolah, tapi
ditanami peje. Sekarangg ditanami nangka, pete,
kedawung, kemiri, pisang. Nanti setelah hasil dari
peje diambil, tumbuhannya dibabat, lalu ditanami
lainnya (Syh, Mei 2014)
Lahan saya sekarang ditanami peje, mau musim
kemarau ini sudah soalnya, yang kuat panas cuma
peje (Sra, Mei 2014)
Hutan bisa hijau lah, warga itu sadar untuk tidak
merambah hutan, kalau mau ambil hasil hutan ya
nggak usah nebang kayunya lah. Biar aja pohonnya
tetap hidup. Di lahan saya sendiri, saya tanami
pisang, nangka, jahe merah, peje, empon-empon.
Yang penting saya jaga punya saya dulu (Syh, Mei
2014)
3 Menjaga Tanaman Pokok
Nanti kalau kita nebang pohon, takutnya dibawa
resort. Jadi ya kita jaga pohonnya jangan sampe ada
yang mati atau rusak (Sra, Mei 2014)
TOKOH MASYARAKAT
DESA CURAHNONGKO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Pelestarian hutan
Hutan lestari masy sejahtera. Hutan lestari bisa
digambarakan bagus jika tidak ada kontaminasi
tangan tangan jahil. Tapi ukuran masy sejahtera
saya masih belum bisa memahami secara benar.
Hutan tidak rusak, tetapi masy bisa mengambil
hasil hutan tanpa merusak hutan itu sendiri. Contoh
masy bisa mengambil madu, mengambil hasil buah
di hutan tapi ini tentu saja tanpa merusak hutan.
(Abh, Mei 2014)
Saya punya kriteria sendiri ttg makna sejahtera.
Kalau menurut saya, ukuran sejahtera menurut saya
bisa makan 4 sehat syukur bisa 5 sempurna. Kalau
masy sini saya kira sdh masuk sejahtera, rata rata
mereka punya kendaraan sendiri, (Abh, Mei 2014)
2 Manfaat hutan
Sebelum 2010, masyarakat sendiri sudah memiliki
tanggungjwb penuh dan merasa menjadi bagian
dari hutan, melestarikan secara bersama. Hutan
sebagai tata guna air, penghasil oksigen, dan
mendukung sumber penghidupan lainnya bagi
masyarakat shg mereka juga turut menjaga
hutannya. (Abh, Mei 2014)
3 Sumber mata pencaharian
Masyarakat sangat besar sekali ketergantungannya
dgn hutan. penghasilan masyarakat dari hutan yg
tanpa meruska hutan. ini kan di lahan rehab. Orang
yang tidak bisnis, akan memanfaatkan hasil lahan
rehab. Tapi kalau masyarakat yg bisnis, cenderung
melakukan pembalakan. (Srs, Mei 2014)
Sebelum 2010, adaptasi masy thdp hutan lebih
baik. Masyarakat lbh bertanggungjwb, penghasilan
mrk dgn hutan menjadi sesuatu yg cukup bagus.
Terlepas dari bantuan dr TN maupun kail.
Tetapi setelah 2010 ke atas, kondisinya tidak
sebaik sekarang. (Abh, Mei 2014)
Bentuk adapatasi
masyarakat
Pemahaman masy lebih bagus sekarang, misalnya
penyuluhan lebih ditingkatkan untuk
mensosialisakan pelestarian hutan. seminggu bisa
beberapa kali, jika dibanding dulu. Upaya
penyadaran ini akan mempengaruhi pola masy scr
tidak langsung dalam upaya pelestarian hutan.
(Abh, Mei 2014)
Akan menciptakan
pola adaptasi bagi
masyarakat
B Pemahaman terhadap REDD
1 Peran masyarakat dalam REDD+
Mekanisme REDD itu tidak mudah untuk
diterapkan. Perlu banyak kajian-kajian lagi (Abh,
Mei 2014)
Mekanisme penerapan REDD di masy perlu
penataan yang baik. Hal ini terkait dengan
keberadaan masy juga, bagaimana upaya mereka
untuk menjaga pohon yang ada. Bagaimana
menyelamtkan kawasan. Kalau masy hanya
sekedar tahu bgmn REDD itu seperti apa, ada nilai
karbonnya. Masy jg harus tahu brp kandungan
karbon yang ada dari setiap pohon yg mereka
tanam, berapa nilai jualnya, apa yang akan
diperoleh oleh masy dr menjaga pohonnya itu
(Abh, Mei 2014).
2 Benefit sharing
Tetapi ketika kita bicara soal nominal karbon, perlu
kajian lebih mendalam. Kalau tidak dikhawatrikan
ada kerajaan dalam kerajaan. Bagaimana benefit
sharing dari penjualan karbon, dimana posisi TN
mendapat titah langsung dari pusat, tetapi seacara
geografis wil TNMB berada di kab jember lalu apa
yg akan diperoleh pem kab sendiri (Abh, Mei
2014).
3 Pelestarian hutan
Selama ini ada pelatihan mengenai REDD tetapi
masy blm dipahamkan dgn mekanisme nilai jual
karbon dalam skema REDD (Abh, Mei 2014).
Masyarakat diminta sumbangsih untuk
melestarikan hutan,ini sudah ada sejak dulu dimana
notabene masy wajib menjaga hutannya. Masy
belum paham betul mengenai mekanisme REDD+
dan karbon, yang mereka pahami hanya sebatas
menjaga hutan. (Abh, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Financial capital
Kalau dari segi ekonomi nampaknya belum bisa
dikatakan baik, karena hanya sebagian kecil saja
yang menerima dampak dari kegiatan ekonomi
(budidaya jamur), kecuali nanti sudah ada
mekanisme pembagian kredit karbon dari
penerapan REDD+. Mungkin masyarakat bisa
merasakan dampak dari segi ekonominya.
Budidaya jamur yang ada itu hanya beberapa orang
saja, bukan kelompok disini yang saya lihat (Abh,
Mei 2014).
untuk empon empon itu sudah ada sejak dahulu,
tetapi sejak adanya REDD+ ada peningkatan
pemahaman, dan ada intensitas penambahan
kegiatan dari budidaya empon-empon itu sendiri.
(Abh, Mei 2014).
b Natural capital
beberapa petani punya lahan di rehabilitasi dan itu
sudah diakui oleh pihak TN dan itu bersertifikat.
Tapi bukan sertifikat hak milik, Cuma untuk
mengetahui ibaratnya siapa yang
bertanggungjawab atas lahan itu (Srs, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan kelembagaan
Masy melaporkan jika ada sesuatu masalah di
hutan, itu bagian dari bentuk keterlibatan masy dan
kepedulian masy untuk menjaga hutan (Abh, Mei
2014).
Disini dibentuk MMP (Masyarakat Mitra Polhut) ,
yang dlibatkan itu petani rehabilitasi yang peduli
dengan hutan. tugasnya ikut menjaga hutan, kalau
ada pencurian kayu atau penebangan pohon,
mereka nanti lapor ke resort. Kan nggak mungkin
mengandalkan cuma beberapa orang resort,
sementara hutannya luas sekali (Srs, Mei 2014)
Curahnongko ini didampingi oleh KAIL (NGO
lokal) untuk kegiatan pemberdayaan sejak dulu
hingga sekarang waktu REDD+ berlangsung.
Karena disini dijadikan percontohan kegiatan,
kalau sukses nanti bisa di diterapkan ke desa lain
(Abh, Mei 2014)
Ada pembentukan
MMP walaupun
dulu juga sudah
ada, tetapi ada
upaya penguatan
fungsi kelembagaan
Pendampingan
NGO
b Persamaan hak (Peran Pemberdayaan Perempuan)
REDD dgn melibatkan ibu-ibu yg tergabung dalam
jamaah tibakan, diharapkan nanti mereka akan
menyampaikan kepada kelompok ibu ibu lainnya
yang terlibat dalam pengajian itu. Ibu2 yg kita ajak
waktu itu cukup memiliki peran penting dalam
kelompok, dan disegani oleh masy (Abh, Mei
2014).
Hanya orang tertentu, artinya tidak semua masy
disini dilibatkan. Untuk kriterianya tidak ada, tetapi
umumnya kelompok yg memiliki lahan di
rehabilitasi, tetapi juga kelompok muslimatan ibu-
ibu (ketua kelompok). Ibu-ibu juga terlibat dalam
kegiatan di lahan rehab (Abh, Mei 2014).
Keterlibatan
perempuan dan
petani rehabilitasi
khususnya
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh
Adanya REDD memberi tambahan pengetahuan
bagi masyarakat sekitar khususnya terkait
pemahaman dan perilaku untuk menjaga dan
melestarikan hutan walaupun sebenarnya dari dulu
kesadaran masyarakat sudah ada. Tidak semua
orang bisa dibilang baik, kalau dalam konteks ini
Tambahan
pengetahuan dan
pemahaman
akan berkorelasi
dengan tingkat
kesadaran
setelah masy mengenal hutan. masy bisa dibilang
sudah 70-80% sdh sadar unuk melestarikan hutan
(Abh, Mei 2014).
Dengan adanya rehabilitasi masyarakat sudah sadar
tentang pelestarian hutan kembali. Cuman kadang
ada beberapa warga yang masih melakukan illegal
logging (Srs, Mei 2014)
b Transferability Pengetahuan
Selama ini ada pelatihan mengenai REDD+ (Srs,
Mei 2014).
Pemahaman masy lebih bagus sekarang, misalnya
penyuluhan lebih ditingkatkan untuk
mensosialisakan pelestarian hutan. seminggu bisa
beberapa kali, jika dibanding dulu. Upaya
penyadaran ini akan mempengaruhi pola masy scr
tidak langsung dalam upaya pelestarian hutan.
(Abh, Mei 2014)
Penyuluhan
dilakukan tidak
hanya ketika ada
REDD, namun dari
pihak TN juga ada
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi budidaya tanaman
Masyarakat menginovasi – secara bersama mrk
menanam peje, harga jualnya mahal. Setelah
ditanam peje, akan menambah kesuburan ke tanah,
soalnya tanahnya jadi gembur, humusnya tinggi
(Abh, Mei 2014).
Inovasi tanaman
peje untuk
mencegah longsor
dan kesuburan
tanah
b Inovasi untuk meningkatkan pendapatan
Kelompok ibu ibu di curahnongko tidak terlalu
aktif, karena pengurusnya sudah pindah. Kalau
dulu sempat aktif, tapi sudah lama nggak aktif lagi.
Bu ekonya pindah ke ambulu, jadinya nggak ada
lagi. (Srs, Mei 2014)
Budidaya jamur dikelola oleh kelompok tani, tetapi
sepertinya tidak berjalan cukup baik. Karena
kelompok petaninya juga susah, biasanya yg gerak
cuma yg punya lahan hutan saja (Srs, Mei 2014).
Kalau tidak ada
penggerak,
masyarakatnya
agak susah untuk
memotivasi diri
sendiri
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi) Dengan adanya REDD, intensitas penegakan
hukumnya lebih baik, tetapi tidak semua hal tidak
boleh, tetapi boleh tetapi lebih memperhatikan
konsep konservasi itu sendiri (Abh, Mei 2014).
Adanya MoU
antara masyaraakt
dan pemerintah -
Eksistensi
masyarakat di
lahan rehabilitasi
diakui oleh TN
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan Disini dibentuk MMP (Masyarakat Mitra Polhut) ,
yang dlibatkan itu petani rehabilitasi yang peduli
dengan hutan. tugasnya ikut menjaga hutan, kalau
ada pencurian kayu atau penebangan pohon,
mereka nanti lapor ke resort. Kan nggak mungkin
mengandalkan cuma beberapa orang resort,
sementara hutannya luas sekali (Srs, Mei 2014)
Curahnongko ini didampingi oleh KAIL (NGO
lokal) untuk kegiatan pemberdayaan sejak dulu
hingga sekarang waktu REDD+ berlangsung.
Karena disini dijadikan percontohan kegiatan,
kalau sukses nanti bisa di diterapkan ke desa lain
(Abh, Mei 2014)
2 Alternatif Pengelolaan lahan rehabilitasi
Masyarakat menginovasi – secara bersama mereka
menanam peje, harga jualnya mahal. Setelah
ditanam peje, akan menambah kesuburan ke tanah,
soalnya tanahnya jadi gembur, humusnya tinggi
(Abh, Mei 2014)
3 Upaya pendampingan untuk menyadarkan komunitas lokal
Pendampingan dari luar itu kan diupayakan untuk
meningkatkankesadaran masyarakat supaya ikut
menjaga hutan. ada masyarakat yang nurut, tapi ya
juga ada yang nggak nurut. Kalau yang masih
nebang itu kan dia pasti punya kepentingan lain
(Abh, Mei 2014)
B. DESA ANDONGREJO
PETANI REHABILITASI (yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+)
DESA ANDONGREJO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Pelestarian hutan
Hutan itu sumber kehidupan baik untuk
manusianya, untuk keenakeragaman hayati, visi
dari meru betiri itu kan hutan lestari masyarakat
sejahtera (Sjt, Mei 2014)
Hutan sebagai
sumber kehidupan
yang harus tetap
dijaga
kelestariannya,
ketersediaan lahan
persawahan yang
sedikit tidak bisa
mencukupi
kebutuhan seluruh
penduduk jadi
salah satu sumber
mata pencaharian
andalan dari hutan
2 Sumber mata pencaharian
Letak geografis disini itu, jumlah penduduk dgn
lahan pertaniannya nggak imbang, jadi sangat
tergantung sekali dengan hutan, dalam artian tidak
merusak hutan (Skr, Mei 2014)
Kalau masalah illegal logging itu bukan urusan
perut lapar, tapi keserakahan orang-orang yang
tidak bertanggungjawab. Bukan urusan perut lapar
lalu nebang kayu itu endak (Sjt, Mei 2014)
Di wilayah desa penyangga besar sekali,
kehidupannya sangat menggantungkan terhadap
hasil hutan. dalam artian tidak merusak hutan (Skr,
Mei 2014)
3 Alternatif Sumber mata pencaharian
kalau sekarang sudah agak berkurang hubungannya
dengan hutan, kan kita sudah dikasi lahan
rehabilitasi mbak. Jadi ya nggak ke hutan lagi (Sjt,
Mei 2014)
Interaksi dengan
hutan berkurang
sejak ada lahan
rehabilitasi
B Pemahaman terhadap REDD
1 Upaya Pelestarian Hutan
REDD+ itu penanaman kembali dan melestarikan
hutan lagi, setelah hutan itu ada tegakannya dan
menghasilkan oksigen (Sjt, Mei 2014) .
Saya sangat setuju dgn REDD+, sekarang
katakanlah suhu yang dekat hutan aja seperti ini,
apalagi yg di kota seperti apa. Jam sekian sudah
panas seperti ini, (Sjt, Mei 2014).
Pemahaman
REDD+
dikelompokkan
menjadi 2 yaitu
tentang konsep
pelestarian hutan
dan dampak
perubahan suhu
yang dirasakan
REDD+ itu kalau yang saya tau tentang
penghijauan, biar hutan kembali hijau selebihnya
saya nggak tau (Skr, Mei 2014)
2 Emisi yang dikeluarkan oleh hutan
Kalau dari temen-temen yang sudah ikut REDD+,
seperti membakar hutan itu mengeluarkan emisi
dan mengeluarkan racun. Pengetahuan saya seperti
itu. Degradasi kan mengeluarkan emisi termasuk
mengeluarkan racun, kalau menanam kan kita
mendapat karbon dan mengeluarkan oksigen.
Seperti membakar hutan itu nanti mengeluarkan
racun ke udara. (Sjt, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Natural capital
Adanya lahan rehab itu taraf kehidupan sekitar
desa penyangga itu sudah sejahtera. Tidak terlalu
bergantung sama hutan. bibitnya juga dikasi TN,
hasilnya kita yang ngambil. Kita nggak keluar apa-
apa, tapi terima hasilnya (Sjt, Mei 2014)
...saya juga punya lahan di rehab, tapi kalau cuma
mengandalkan rehab ya nggak bisa, rehab itu
Cuma bisa hasil kalau lagi musim hujan, kalau
kemarau itu nggak terlalu bagus (Skr, Mei 2014)
b Social capital
Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif (Skr,
Mei 2014)
SPKP nggak jalan, pengurusnya itu sudah nggak
terlalu minat buat ngurusi kegiatan yang nggak ada
penghasilannya (Sjt, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Andongrejo, dari KAIL ada permataresi, kalau dari
TN-SPKP nya jalan di tempat, pengurusnya
kehidupannya sudah di atas rata rata jadi untuk
usaha seperti ini kurang peduli (Skr, Mei 2014).
Pamswakarsa yang dari resort itu juga tugasnya
ngawasi hutan, patroli. (Skr, Mei 2014).
Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif, kalau
nggak ada undangan dari KAIL atau TN nggak
akan ada acara kumpul-kumpul (Sjt, Mei 2014).
SPKP juga nggak jalan, pengurusnya itu sudah
nggak terlalu minat buat ngurusi kegiatan yang
nggak ada penghasilannya. Kan dia bisa dikatakan
ekonominya diatas rata-rata, jadi ya nggak terlalu
peduli, susah digerakinnya (Sjt, Mei 2014)
Kelembagaan di
tingkat masyarakat
lokal kurang bagus
dan orientasinya
pada kegiatan yang
bersifat
memberikan
materi, inisiatif dari
pribadi warga
masih kurang
b Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Perempuan)
yang jalan disini itu, pengolahan jamu tradisional
Mbak. Jamu Sumber Waras, ketuanya Ibu Katemi.
TOGA -.
Upaya untuk
(Sjt, Mei 2014)
ibu-ibu kelompok Jamu Sumber Waras Mbak, itu
bahan-bahannya bisa ambil dari lahan rehab.
Sampai sekarang masih ada (Skr, Mei 2014)
mengajak peran
wanita untuk peduli
dengan hutan dan
konservasi.
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability Pengetahuan
Saya itu tau info-info kalau pas lagi kumpul-
kumpul sama petani petani, baik yang dari
Andongrejo maupun Curahnongko (Sjt, Mei 2014)
Saya tau dari ketua kelompok, kalau yang sering
ikut kegiatan itu kan ketua kelompok (Skr, Mei
2014).
b Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh
..jadi kita nggak boleh nebang pohon yang ada di
dalam hutan sembarangan, termasuk di rehab.
Karena hutan itu harus kita jaga biar lestari, tetap
hijau, lingkungan nggak panas (Skr, Mei 2014)
sebenernya kalau dikatakan sadar, ya sadar
masyarakat sini Mbak. Tapi kan nggak semuanya
sadar buat nanem menjaga pohon, itu tergantung
orangnya. Sebelum REDD+ juga sudah sadar (Sjt,
Mei 2014)
Lahan di Andongrejo ini nggak semuanya hijau,
masih ada aja yang gundul. Walaupun ada
REDD+. Kan nggak semua masyarakat setuju
kalau hutannya penuh lagi, jadi rimbun, susah
ditanami yang dibawahnya (Sjt, Mei 2014)
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi Budidaya tanaman
Saya pribadi menyadari kalau di lahan rehab ada
tanaman yang mati/rusak biasanya saya sulam.
Bibitnya ya nanti saya sendiri, swadayalah Mbak.
(Sjt, Mei 2014).
Lahan rehab juga saya tanami peje sama empon-
empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per
kilonya mahal Mbak, kalau empon-empon itu kan
bisa dijual juga ke tengkulak (Sjt, Mei 2014).
Nyulam lahan rehab itu swadaya mbak, masing-
masing petani, tapi kalau ada bantuan bibit dari
TN juga disulam lagi (Skr, Mei 2014)
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparancy (Transparansi)
Dengan adanya lahan rehab ini, pihak TN
merespon kebutuhan masyarakat boleh ditanami
tumpangsari, dengan catatan mengembalikan lagi
hutan yang gundul itu dengan ditanami tanaman
pokok. Itu kewajiban, sementara tanamannnya
belum tegak, masyarakat boleh menanami dgn
tanaman tumpangsari, agar masyarakat juga bisa
menikmati hasil dari hutan utnuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-harinya (Sjt, Mei 2014)
b Collaboration (Kerjasama)
Anggota masyarakat sini juga ada yang jadi
petugas di resort, ikut bantu-bantu kalau patroli.
Kan petugas resort itu nggak cukup kalau ngawasi
hutan seluas ini (Sjt, Mei 2014)
Ada Mbak, Pamswakarsa itu, 2 orang kalau nggak
salah dari Andongrejo, dari Curahnongko juga ada
2 orang. Mereka ikut patroli ke lahan biasanya
(Skr, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Andongrejo, dari KAIL ada permataresi, kalau dari
TN-SPKP nya jalan di tempat, pengurusnya
kehidupannya sudah di atas rata rata jadi untuk
usaha seperti ini kurang peduli (Sukarto, 2014).
Pamswakarsa yang dari resort itu juga tugasnya
ngawasi hutan, patroli. (Skr, Mei 2014).
Kalau kelompok tani disini ini kurang aktif, kalau
nggak ada undangan dari KAIL atau TN nggak
akan ada acara kumpul-kumpul (Sjt, Mei 2014).
SPKP juga nggak jalan, pengurusnya itu sudah
nggak terlalu minat buat ngurusi kegiatan yang
nggak ada penghasilannya. Kan dia bisa dikatakan
ekonominya diatas rata-rata, jadi ya nggak terlalu
peduli, susah digerakinnya (Sjt, Mei 2014)
2 Alternatif Pengelolaan Lahan rehabilitasi
Saya pribadi menyadari kalau di lahan rehab ada
tanaman yang mati/rusak biasanya saya sulam.
Bibitnya ya nanti saya sendiri, swadayalah Mbak.
(Sjt, Mei 2014).
Nyulam lahan rehab itu swadaya mbak, masing-
masing petani, tapi kalau ada bantuan bibit dari
TN juga disulam lagi (Skr, Mei 2014)
3 Alternatif mata pencaharian
Lahan rehab juga saya tanami peje sama empon-
empon, peje lumayan hasilnya kalau dijual per
kilonya mahal Mbak, kalau empon-empon itu kan
bisa dijual juga ke tengkulak (Sjt, Mei 2014).
4 Upaya menjaga hutan
Seperti membakar sampah di hutan itu nanti
mengeluarkan racun ke udara. Jadi saya nggak
pernah membakar lagi. (Sjt, Mei 2014)
KELOMPOK WANITA
DESA ANDONGREJO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Sumber Mata Pencaharian
Kalau masyarakat sini sudah jarang yang masuk
hutan ambil ambil hasil gitu, banyaknya
masyarakat bukan dari sini. Kalau masyarakat sini
sudah cukup dari lahan rehab aja (Ktm, Mei 2014)
Hutan itu penting buat masyarakat sini, apalagi
saperti saya ini yang juga budidaya empon-empon,
nanemnya kan di hutan, ngambilnya juga dari
hutan, kalau hutan gundul, tanemannya mati (Mn,
Mei 2014)
Orang-orang itu masih sering cari nafkah di hutan,
sebenernya nggak boleh, tapi Cuma cari rumput,
ramban, tapi ada juga yang nebang pohon (Msr,
Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Pelestarian Hutan
Yang diajarkan bagaimna cara melestraikan hutan
kembali. Tanaman boleh ditebang tapi harus
ditanami lagi, kalau enggak nanti es di kutub utara
bisa meleleh karena hutan gundul.jadi kita juga
ikut menjaga, antisipasi dengan hutan jangan
dibiarkan (Ktm, Mei 2014).
upaya melestarikan hutan, utamanya yang disuru
itu di lahan rehabilitasi. Dulu kan rusak, sekarang
sudah agak lumayan (Mn, Mei 2014)
kalau Ngomong ke masyarakat itu saya biasanya
bukan REDD+, tapi gimana melestarikan hutan
(Ktm, Mei 2014)
Pelestarian hutan, ya ikut menjaga hutan. Pohon di
rehab itu dijaga, taneman pokoknya jangan
ditebang (Msr, Mei 2014)
2 Pemanasan Global
Semua merasakan hawa panas nggak karuan,
karena hutan gundul. (Ktm, Mei 2014)
Dulu aja sungai itu mengalirnya terus berangsur,
tapi sekarang enggak. Besar besar tapi kalau habis
ya habis. Tapi sekarang enggak ada seperti dulu
waktu pertama di rehab hutan itu gundul. (Ktm,
Mei 2014)
Hutan perlu dijaga biar nggak banjir yang
disekitarnya. Kemarin setahun itu banjir berapa
kali disini dari atas hutan itu. (Mn, Mei 2014).
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Social capital
Dibentuk kelompok untuk pembuatan jamu, untuk
mempermudah koordinasi. Kelompok itu dipilih
yang berdekatan. Setiap kelompok punya tugas
membuat jamu yang beda-beda, tapi itu nanti
bergilir (Ktm, Mei 2014)
– terbentuk sejak
tahun 1993 dengan
dampingan LATIN,
dan saat kegiatan
REDD+ kelompok ini
dianggap memiliki
pengaruh dalam upaya
rehabilitasi lahan juga
khususnya budidaya
empon-empon
b Human capital Kalau dari kelompok TOGA itu semangatnya
tinggi untuk menjaga hutan, soalnya kalau
hutannya gundul TOGA ikut merasakan. Kita itu
semangat soalnya bisa menyembuhkan orang sakit,
walaupun nggak bisa langsung sembuh (Mn, Mei
2014)
c Natural Capital Lahan rehabilitasi yang sudah tidak subur sekarang
ini ditanami empon-empon, peje. Hasilnya
lumayan untuk bahan ramuan jamu dari kelompok
TOGA (Ktm, Mei 2014)
Adanya lahan rehabilitasi dapat membantu
perekonomian keluarganya, walaupun penebangan
kayu masih tinggi tapi tidak separah dahulu
sewaktu tahun 97/98. Sekarang sudah banyak yang
ditanami tanaman pokok yang diwajibkan TN.
(Msr, Mei 2014).
d Financial Capital
Kalau dari kelompok TOGA penambahan
bertambah, di lahan rehab ditanami jamu jamuan,
diolah dijual dan kluarnya ya mahal.( Mn, Mei
2014)
Pendapatan meningkat walaupun tidak langsung,
secara bertahap, karena kesadaran petani untuk
menanami pohon (tanaman pokok) dan peje
misalnya. Tanaman dibawahnya jadi subur. Yang
dibawah kan saya tanami empon-empon. (Ktm,
Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Kelompok Jamu Sumber Waras, itu bentukan
LATIN sejak tahun 1993 – 1997, kemudian
dilepas, untuk memberdayakan ibu-ibu. Sudah
terbentuk lama, tapi sekarang masih ada dan masih
didampingi. Ibu ibu kelompok Sumber Waras juga
sering diundang sebagai nara sumber di beberapa
kota misalnya NTT, Kuningan, Ujung Kulon,
Bogor, atau ada pameran kadang dari desa
Andongrejo juga diundang. (Ktm, Mei 2014)
Kelembagaan –
terbentuk
kelompok TOGA
Persamaan hak -
Pemberdayaan
perempuan
Kelompok jamu Sumber Waras itu satu-satunya
yang masih ada di Andongrejo, di Curahnongko
sudah nggak ada (Mn, Mei 2014).
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh
...Kalau hutannya gundul, TOGA juga ikut
merasakan. Soalnya tanah juga nggak subur lagi,
terlalu panas. Kalau dulu hutan itu belum gundul,
nanem apa saja bisa tumbuh, tapi kalau hutan
gundul susah (Mn, Mei 2014).
Hutan gundul perlu dilestarikan, karena jika hutan
gundul akan menimpa ke manusianya juga, jadi
TOGA akan ikut prihatin kalu hutannya gundul.
Jadi juga semangat untuk mengembalikan
kelestarian hutan (Ktm, Mei 2014).
Orang orang semangat mau nanam, berarti kan dia
juga diberi kesadaran dan merasakan buktinya
mereka mau nanem pohon. Kalau dibiarkan hutan
tanaman habis, bagaimana nanti yang diandalkan
oleh orang sini Kalo nggak mau nanem. Petani
kelompok rehab tidak merasa ogah ogahan untuk
menanam (Ktm, Mei 2014)
Secara tidak
langsung terlibat
dalam upaya
pelestarian hutan di
lahan rehabilitasi
b Transferability pengetahuan
Tidak semua orang yang diikutkan di kegiatan
REDD, jadi cuma perwakilan. Nah, nanti akan
disampaikan hasilnya di pertemuan kelompok yang
diadakan sebulan dua kali. Harapannya ibu ibu itu
nanti akan diomongkan ke suaminya. (Mona, 2014)
Penyampaian lewat muslimatan juga bisa,
kelompok muslimatan itu ibu ketuanya. Kalau saya
dari kelompok TOGA (Ktm, Mei 2014).
Ketua kelompoknya itu menyampaikan ke ibu ibu
yang lain, cara melestarikan hutan. Misalnya hutan
itu harus dijaga, pohonnya jangan sampai ditebang,
biar nggak panas, banjir. Nanti kalau banjir kita
sendiri juga yang rugi. (Msr, Mei 2014)
kalau ada kumpul-kumpul kelompok jamu itu,
nanti NGOmong-NGOmong soal bahan ramuan
untuk penyakit ini apa cocoknya (Msr, Mei 2014)
Kita itu semangat soalnya bisa menyembuhkan
orang sakit, walaupun nggak bisa langsung sembuh
(Mn, Mei 2014)
Pengetahuan
mengenai potensi
tanaman TOGA tidak
hanya disampaikan ke
masyarakat sekitar,
tetapi ibu ibu juga
sering diundang
sebagai nara sumber
di beberapa kota
misalnya NTT,
Kuningan, Ujung
Kulon, Bogor, atau
ada pameran kadang
dari desa Andongrejo
juga diundang. info
tambahan
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi Budidaya Tanaman
tanaman pokok yang besar-besar, dibawahnya
ditanami palawija sperti jagung, padi, dan empon-
Sistem pertanian
agroforestry –
empon. Jadi petaninya juga untuk dimakan ada,
untuk menjaga hutan juga ada. Untuk kebutuhan
ekonomi, bisa dijual empon empon, padi, peje
(Ktm, Mei 2014)
empon-empon juga tidak hanya ditanam di lahan
rehab, sebagian ibu-ibu yang punya lahan di
rumahnya, ditanami empon-empon juga (Mn, Mei
2014)
dari empon-empon itu, kita nanti bikin racikan
jamu, misalnya kayak kanker tumor itu racikannya
umbi dewa, telo umpat, kunyit pepet; kalau untuk
asam urat itu karena sumbatan-peredaran darah
nggak lancar diberi jahe, sumbatannya yang
menghancurkan sumbatan diberi lidah ayam,
meniran untuk mengeluarkan racun di dalam tubuh,
persendian kaku diberi daun wungu untuk
melemaskan; kesemutan diberi murbay atau
besaran. Nanti bahan itu dikumpulkan jadi satu,
ditumbuk, diperes, kalau sudah mengendap baru
diminum. Kalau asam urat nggak bisa tidur
ditambah lagi pala (Ktm, Mei 2014).
Setiap hari kita butuh temulawak, untuk menjaga
kekebalan tubuh, jadi untuk menjaga
keseimbangan kita, bisa diberi itu. (Mn, Mei 2014).
diperkenalkan oleh
pihak TN, dan
masyarakat sudah
cukup kreatif untuk
mengelola lahan
rehabilitasi
Menanam di lahan
rumahnya
Local knowledge yang
berkembang di
kelompok wanita
tidak berkembang
secara instan, tapi
butuh proses dan
pendampingan dari
LATIN/KAIL –
sehingga ini menjadi
potensi untuk
meningkatkan peran
wanita dalam upaya
konservasi hutan
b Inovasi untuk Pendapatan
Lahan di rehab saya tanami empon-empon, kalau
mau butuh buat ramuan jamu tinggal ambil saja
(Ktm, Mei 2014)
Ibu ibu kelompok Sumber Waras juga sering
diundang sebagai nara sumber di beberapa kota
misalnya NTT, Kuningan, Ujung Kulon, Bogor,
atau ada pameran kadang dari desa Andongrejo
juga diundang. (Ktm, Mei 2014)
kalau ada acara pameran di Jember, kadang kadang
kita diajak, kita bawa ramuan jamunya. Biar orang-
orang itu tahu disini ada kelompok budidaya jamu
tradisonal (Mn, Mei 2014)
Upaya KAIL untuk
menggerakkan
kelompok wanita –
menghidupkan
potensi alam
kekayaan hutan
TNMB dengan
memanfaatkan
pengetahuan warga
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi) ... masyarakat sini sudah cukup dari lahan rehab
aja. Lahan itu diolah, ditanami, hasilnya juga bisa
dijual. Itu dikasi TN dulu Mbak. (Msr, Mei 2014)
Kita dikasi lahan di rehabilitasi, disuru nanem.
Saya juga nanem empon-empon disana, selain
tanaman wajib (Mn, Mei 2014)
Lahan rehabilitasi dulu dikasi TN, buat masyarakat
sini biar nggak ngerusak hutan yang dalemnya.
Soalnya dulu pernah perambahan besar-besaran,
jati yang diambil Mbak (Ktm, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Kelompok Jamu Sumber Waras, itu bentukan
LATIN sejak tahun 1993 – 1997, kemudian
dilepas, untuk memberdayakan ibu-ibu. Sudah
terbentuk lama, tapi sekarang masih ada dan masih
didampingi (Ktm, Mei 2014)
Kelompok jamu Sumber Waras itu satu-satunya
yang masih ada di Andongrejo, di Curahnongko
sudah nggak ada (Mn, Mei 2014).
2 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi
Tanaman pokok yang besar-besar, dibawahnya
ditanami palawija seperti jagung, padi, dan empon-
empon. Jadi petaninya juga untuk dimakan ada,
untuk menjaga hutan juga ada. Untuk kebutuhan
ekonomi, bisa dijual empon empon, padi, peje
(Katemi, 2014)
Empon-empon juga tidak hanya ditanam di lahan
rehab, sebagian ibu-ibu yang punya lahan di
rumahnya, ditanami empon-empon juga (Mn, Mei
2014)
3 Upaya Menjaga hutan
Hutan gundul perlu dilestarikan, karena jika hutan
gundul akan menimpa ke manusianya juga, jadi
TOGA akan ikut prihatin kalu hutannya gundul.
Jadi juga semangat untuk mengembalikan
kelestarian hutan (Ktm, Mei 2014).
4 Menjaga tanaman pokok
Sekarang sudah banyak yang ditanami tanaman
pokok yang diwajibkan TN. Petani wajib nanem,
menjaga pokoknya jangan ditebang pohonnya.
Kalau ditebang nanti dilaporkan ke petugas (Msr,
Mei 2014).
TOKOH MASYARAKAT
DESA ANDONGREJO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Manfaat Hutan
TNMB merupakan salah satu hutan yang masih ada
di Jawa, dan itu perlu dijaga. Ini juga menjadi
tanggungjawab Balai TN, tetapi juga perlu
didukung oleh masyarakat (Ryd, Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Emisi yang dikeluarkan oleh hutan
REDD+ sendiri yang dibutuhkan kan karbon
terjaga, oksigen banyak, otomatis kan yang
dibutuhkan tanaman yang banyak, pohon yg
rindang (Ryd, Mei 2014)
Dalam usaha untuk mengurangi karbon terkait
dengan REDD+ dirasa belum tampak nyata, belum
ada kegiatan nyata yang tampak yang bisa
mengurangi karbon. Selama ini kegiatan yang ada
hanya sebatas workshop, pelatihan. Jadi ini Cuma
semacam wacana-wacana saja kalau saya
menilainya (Ryd, Mei 2014).
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Natural Capital Kalau dilihat dari ketersediaan lahan, terus terang
tidak bisa mencukupi semua kebutuhan masyarakat
disini. Masyarakat disini kan banyak, sementara
lahan pertanian yang tersedia sedikit, jadi kemudian
keberadaan lahan rehabilitasi itu sangat dibutuhkan
masyarakat (Ryd, Mei 2014).
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Perbuatan jelek itu kalau terkoordinir akan
mengalahkan usaha yang bagus, nanti kita jadi
kuwalahan. Sudah coba diingatkan, tetapi ya susah
juga untuk mengatasi perambahan itu (Ryd, Mei
2014).
Perambahan yang terjadi sebenarnya kalau dilihat
kasat mata tidak dipengaruhi oleh kondisi sosial
ekonomi, itu hanya oknum oknum tertentu yang
ingin mempercepat kaya. Mereka cenderung tidak
peduli dengan hutan (Ryd, Mei 2014).
Organisasi
terstruktur –
terkait kegiatan
illegal logging
b Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Perempuan)
Industri jamu itu sudah ada sejak 97, dulu didirikan
oleh LATIN bogor kalau sekarang dengan KAIL.
Sampai sekarang pun masih ada di Andongrejo, itu
khusus kelompok ibu-ibu (Ryd, Mei 2014)
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a. Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh
Banyaknya kegiatan penyuluhan belum berdampak
optimal pada perubahan perilaku masy utamanya
dalam kasus kegiatan perambahan. Hal ini susah
dijelaskan, masyarakat tidak peduli atau sok tidak
peduli (Ryd, Mei 2014)
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi Budidaya Tanaman
Peje itu Mbak, denger denger masyarakat sini
banyak yang nanem peje, harga jualnya mahal. Jadi
banyak yang ikut ikutan nanem peje. Nggak Cuma
itu, ada buah-buahan juga. Masyarakat tahu kalau
lahan rehab itu nggak bisa diandalkan terus,
tergantung musim, jadi cukup pintar untuk
menanami aneka tumbuhan (Ryd, Mei 2014)
b Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan
Ada kegiatan budidaya jamur tiram, TOGA. TOGA
itu kan bahan ramuannya sebagian diambil dari
lahan rehabilitasi, kalau diolah dijadikan jamu nanti
masyarakat mendapat nilai tambah dari olahan itu
(Ryd, Mei 2014).
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Collaboration (Kerjasama) dan orientasi
ke depan, pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi) Masyarakat difasilitasi lahan di zona rehabilitasi
agar tidak merambah hasil hutan yang di zona
rimba (Ryd, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
MMP itu melibatkan masyarakat. Kalau masyarakat
dilibatkan kan jadi ada kesadaran masyarakat sendir
untuk mengawasi hutan, menjaga hutan (Ryd, Mei
2014).
2 Meingkatkan kesadaan
masyarakat
Kita berusaha memberi penyuluhan ke masyarakat.
Penyuluhan itu sudah ada sejak dulu, bahkan
sebelum REDD+ ada. Itu tugas kita untuk
membentuk kesadaran masyarakat tentang
pentingnya hutan (Ryd, Mei 2014).
Ada, penyuluhan dari desa, TN, LSM itu sering ke
masyarakat. Tapi kan nanti akhirnya kembali ke
pribadinya lagi. Penyuluhan itu sifatnya membantu,
mendorong dan mengajak masyarakat untuk ikut
dalam menjaga dan melestarikan hutan. Kalau dari
masyarakat sendiri saya kira ada beberapa yang
ingin hutannya hijau lagi. Tapi itu cuma sedikit
saja. Nyatanya penanaman belum berhasil baik
untuk menghijaukan kembali hutan (Ryd, Mei
2014).
C. DESA WONOASRI
PETANI REHABILITASI (yang mengikuti kegiatan DA REDD+)
DESA WONOASRI
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Alternatif Sumber Mata Pencaharian
kalau disini kan penduduk itu tidak langsung dekat
dengan hutan, dari rumah penduduk masih ada
perkebunan PTP itu, jadi hutan disini masih
mending dibanding curahnongko, andongrejo,
sama sanenrejo (Tmn, Mei 2014).
Masyarakat disni kebanyakan petani biasanya lari
ke lahan desa milik sendiri (sawah di dataran
rendah) atau kebun. Lahan rehab itu hanya
sampingan aja. Tidak sepenuhnya dicurahkan
disitu. Seperti saya ini lebih banyak di sawah,
soalnya di lahan rehab itu tanaman keras kan nggak
bisa diandalakan sepenuhnya. Punya saya ditanami
peje, empon empon dibawahnya (Tmn, Mei 2014).
Masyarakat tidak
terlalu tergantung
dengan hutan
karena ada
alternatif mata
pencaharian
2 Pelestarian hutan
Bagaikan anak dgn orang tua saling membutuhkan,
kalau kita memerlukan alam itu/hutan, tapi kalau
kita mau hidup dengan hutan itu, kita juga harus
memberi hidup hutan itu. Jadi kita juga turut
melestarikan hutan. Jadi hutan yang ada sekarang
juga akn bisa dinikmati oleh anak cucu kita di masa
mendatang. Kita juga harus menjaga hutan, kalau
hutan gundul nanti banjir kita juga yang merugi
(Dsr, Mei 2014).
Hutan memiliki
peran penting bagi
masyarakat, begitu
pula sebaliknya
B Pemahaman terhadap REDD
1 Upaya pelestarian hutan
Saya pernah ikut kegiatan REDD+, karena saya
kelompok tani disini. REDD+ itu seingat saya
tentang karbon, karbon hutan dari pohon di hutan.
jadi, kita itu wajib menjaga pohon di hutan
utamanya lahan rehab. Intinya kegiatan itu tentang
pelestarian hutan. kita diberi pelatihan-pelatihan
(Tmn, Mei 2014)
REDD+ itu kegiatan pelestarian hutan kan mbak,
sama kayak itu. Kaitannya sama lahan rehab, kita
nggak boleh nebang pohon, harus dijaga, kalau
mati ya di sulam (Dsr, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Human capital
Masyarakat Wonoasri, alhamdulillah sudah hampir
70% ada tanaman pokoknya, artinya masyarakat
sudah sadar untuk melestarikan hutan. Beda
dengan desa lainnya seperti curahnongko,
kesadaran
masyarakat untuk
melestarikan hutan
telah terbentuk
andongrejo. Masyarakat sini lebih nurut dan
pangerten (pengertian) (Tmn, Mei 2014).
Masyarakat itu sudah sadar kewajibannya sama
menanam pohon, sebelum ada kegiatan REDD+
juga TN sering ada kegiatan pelatihan. Jadi
masalah nanam menanam itu sudah kesadaran
masyarakat sendiri (Dsr, Mei 2014)
Kalau di desa wonoasri, cenderung lebih gampang
masyarakatnya. Tingkat SDM nya lain, karena
lebih mudah diajak komunikasi orang sini. Beda
dengan sanen, curahnongko, atau andong yang
notabene adalah masy suku Madura. Mereka lebih
susah untuk diatur. Beda dengan sini yang adat
jawa (Dsr, Mei 2014)
b Financial capital
budidaya jamur tiram itu sejak sekitar tahun 2010,
mulanya bibit jamur itu dikasi ke kelompok tani,
lalu dikembangkan di 4 titik, disini itu Pak Kasiyo,
Pak Wagiman, Pak Ruslan, dan saya (Tmn, Mei
2014).
C Social capital
semua tokoh masyarakat ikut memberi penyuluhan
kepada petani kalau ada kegiatan pengajian.
Buktinya disini nggak ada perambahan hutan.
masyarakat disini ini nggak susah dikasitau
masyarakatnya, kebanyakan sudah sadar kaalu
nggak boleh nebang pohon di hutan (Tmn, Mei
2014).
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
ada kelompok tani wonomulyo, nanti dibagi bagi
jadi beberapa koordinator untuk bertanggungjawab
dengan lahan rehab. Karena tempatnya nggak sama
dan berjauhan. Di Wonoasri ada 4 koordinator, 26
kelompok tani (Tmn, Mei 2014)
Disini tidak ada LSM, karena kita semua nggak
mau. Kita bisa kok nanganin sendiri, dulu pernah
ada, tapi masyarakt banyak yang nggak mau,
akhirnya sampai sekarang nggak ada (Tmn, Mei
2014)
Biasanya kelompok tani itu mendiskusikan
masalahnya dgn kelompoknya atau ketuanya, nanti
dicari pemecahan permasalahannya gimana (Dsr,
Mei 2014).
LSM di wonoasri terkesan tidak ada hasilnya,
karena persoalan uang. Tidak transparan (Dsr, Mei
2014).
Peran kelompok
tani di Wonoasri
lebih solid . Tidak
ada peran NGO
yang mendukung
upaya
pemberdayaan
masyarakat, yang
ada hanya dari
pihak TN sama
kelompok tani.
B Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Wanita)
Wanita disini nggak terlalu berperan besar, ada
kelompok wanita ketuanya Bu Ndoni sama istrinya
Kultur
patrialinisme masih
Pak Tamin, tapi ya nggak jalan sepertinya. Malah
disini itu Bapak-bapaknya yang perannya besar.
(Dsr, Mei 2014)
begitu kuat di
wilayah perdesaan
– perempuan tidak
terlalu dominan
dan perannya kecil
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a. Transferability pengetahuan
Kalau yang ikut pelatihan itu biasaynya ketua
kelompok tani, sekretaris. Nanti hasil dari pelatihan
disampaikan ke kelompok tani, tapi
nyampaiakannya nggak ke semua, kalau yang
kebetulan ketemu saja misalnya dari pertemuan
yang diadakan rutin dari kelompok tani sendiri.
Tapi nyampaikannya bukan REDD+, ya pelestarian
hutanlah mbak biar mereka ngerti. (Tmn, Mei
2014)
4 Innovation (Inovasi)
a. Inovasi Budidaya Tanaman
petani sini kreatif, dulu ada yang nanem peje terus
hasilnya kalau dijual mahal, akhirnya banyak yang
ikut ikut. Termasuk saya. dulu peje tu per kilo Rp
110.000 per kilo, tapi sekarang sudah turun jadi
Rp. 25.000. Tapi ya tetep tanaman pokok tetap
dijaga, biar hutannya nggak rusak, itu juga wajib
bagi lahan rehabilitasi (Tmn, Mei 2014)
petani biasanya menyulami sendiri tanaman
tegakan yang mati atau roboh, atau kadang juga
bibit itu dikasi dari TN untuk penyulaman. Jadi
kadang TN ada pembagian bibit (Tmn, Mei 2014)
Dulu kan petani masih sangat bergantung dengan
padi, jagung, tetapi sekarang masyarakat lebih
diperkenalkan dengan jenis tanaman baru seperti
empon empon (cabe jawa, jahe merah) ini semakin
meningkatkan ekonomi masyarakat, penghasilan
meningkat (Dsr, Mei 2014).
Menambah sumber
pendapatan
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a. Transparency (Transparansi)
Oleh TN, masyarakat diberi peluang untuk
memanfaatkan hutan melalui lahan rehab itu, tapi
dengan syarat kalo harus ditanami tanaman pokok.
TN menyediakan bibit, suruh tanam petani,
tanahnya suru mengelola, hasilnya juga suruh
ambil. Ini berlaku sejak 1999 (Dsr, Mei 2014).
Setiap orang memiliki lahan rehab yang berbeda-
beda, tergantung seberapa kuat dia dulu membabat
hutan. Rata rata sih ¼ ha (Dsr, Mei 2014)..
b. Collaboration (Kerjasama)
Masyarakat dilibatkan dalam kegiatan patroli,
walaupun itu sudah ada sejak dulu. Namanya
MMP. Nanti kita juga diajak patroli sama Resort,
ikut ke lahan (Tmn, Mei 2014).
Pelibatan
masyarakat dalam
kegiatan DA
REDD+
Yang dilibatkan di kegiatan REDD+ itu nggak
semua mbak, Cuma beberapa saja, kayak saya
ketua kelompok tani, pak Mistar, Pak Kasiyo itu
(Tmn, Mei 2014).
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Resort itu juga cukup aktif Mbak buat mantau
lahan, hampir tiap hari ada nanti yang jalan-jalan
ngelihat taneman di lahan. Kalau ada pelaku yang
ngerambah hutan, nanti dibawa ke pos atau
ditanya-tanyain di lahan itu (Dsr, Mei 2014).
Ada kelompok tani wonomulyo, nanti dibagi bagi
jadi beberapa koordinator untuk bertanggungjawab
dengan lahan rehab. Karena tempatnya nggak sama
dan berjauhan. Di Wonoasri ada 4 koordinator, 26
kelompok tani (Tmn, Mei 2014)
Kelembagaan kuat
hanya di level
pemerintah yang
diwakili oleh resort
selaku
penanggungjawab
keamanan dan
perlindungan hutan
2 Upaya menjaga hutan
Saya rasa kalau kemampuan itu masih sama,
masyarakat itu sudah mampu untuk menjaga hutan.
ini kalau bicara masyarakat Wonoasri loh Mbak.
masyarakat sudah sadar, ya walaupun nggak
semua. Itu kan bentuk adaptasi gimana petani itu
menjaga hutan (Tmn, Mei 2014).
Kemampuan adaptasi itu ada kok dari dulu sudah
terbentuk di masyarakat. Mereka itu tau kalau
hutannya gundul, banjir yang akan datang dari atas
sana. Jadi, kalau buat yang punya lahan yang
miring diatas, mereka tanami peje. Biar air hujan
yang turun tidak langsung jatuh ke lahan yang
bawah. (Dsr, Mei 2014).
3 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi
petani biasanya menyulami sendiri tanaman
tegakan yang mati atau roboh, atau kadang juga
bibit itu dikasi dari TN untuk penyulaman. Jadi
kadang TN ada pembagian bibit (Tmn, Mei 2014)
ada juga pohon yang hasil nyulam sendiri. Kita
usaha sendiri biar taneman pokoknya tetap ada
(Dsr, Mei 2014)
4 Menjaga tanaman pokok
Nanem bibit yang dikasi TN itu bagian dari usaha
petani untuk menjaga hutan. dari situ pengennya
hutan hijau lagi, masyarakat ikut berpartisipasi
menjaga pohonnya (Dsr, Mei 2014)
PETANI REHABILITASI (yang tidak mengikuti kegiatan DA REDD+)
DESA WONOASRI
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Alternatif Mata Pencaharian
Kalau tergantung sepenuhnya enggak, karena
masyarakat sini masih bekerja di perkebunan. Tapi
hutan itu cukup memberikan hasil buat masyarakat
sini. Kita juga tidak boleh merambah hutan yg
bagian dalem, bolehnya ya Cuma di lahan rehab
saja. (Ssw, Mei 2014)
Kan nggak boleh mbak masyarakat itu masuk hutan
ngambilin kayunya, nanti bisa ditangkep sama
resortnya. Kita takut Mbak. Orang-orang sini juga
sudah banyak yang kerja di perkebunan itu, jadi ya
nggak ke hutan. Biasanya ke hutan kalau butuh
buat cari makan kambing (Sur, Mei 2014)
Sebelum ada pembukaan lahan untuk rehab dulu
bekerja di perkebunan. Lahan rehab ini kan dibuka
sejak tahun 1999, jamannya Gusdur kalau nggak
salah. Tapi masyarakat Wonoasri sudah banyak
yang bekerja di kebun, jadi nggak terlalu pengaruh
hutan itu. Tapi kita dikasi bagian lahan rehab juga
sama TN (Pnm, Mei 2014).
Masyarakat
Wonoasri tidak
mengandalkan
hutan sebagai
sumber mata
pencaharian,
karena mereka
rata-rata bekerja di
perkebunan. Sejak
dibukanya lahan
rehab baru
masyarakat sini
banyak ke lahan
rehab
B Pemahaman terhadap REDD
1 Transferability Pengetahuan
tidak semua orang tau apa itu REDD+, cuma
orang tertentu saja mungkin yang tahu, utamanya
yang ikut pelatihan itu. Kalau REDD+ sendiri ya
tidak disampaikan ke petani lainnya, yang
disampaikan cuma pelestarian hutan saja (Dsr,
Mei 2014) – Anak dari Ketua Kelompok Tani
Wonomulyo
saya nggak pernah denger mbak apa itu. Jangan
tanya saya kalau soal itu, saya nggak tahu apa-apa
(Sur, Mei 2014)
nggak pernah tau itu mbak. Saya juga jarang ikut
kumpul-kumpul (Pnm, Mei 2014).
wah..apa itu mbak? Saya nggak tau. .... Oh sama
kayak pelestarian hutan gitu? saya pernah tahu dari
Pak Kasiyo itu (Ssw, Mei 2014).
REDD+ tidak
disampaikan
kepada kelompok
tani di wonoasri,
yang tahu mengenai
REDD+ hanya yang
ikut
REDD+ dipahami
sebagai upaya
pelestarian hutan
pelatihan saja
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Natural capital
sebenarnya masyarakat sini tidak terlalu
bergantung sama lahan rehab, tapi kebanyakan
masyarakat sini itu bekerja di perkebunan. Nanti
kalau sudah siang atau selo baru nanti kita ke lahan
rehab. Lahan rehab sendiri tidak bisa selalu
diandalkan hasilnya, apalagi kayak sekarang lagi
mangsa ketiga (musim kemarau) (Ssw, Mei 2014).
lahan sini cuma buat tambahan aja untuk anak
sekolah. Kalau Cuma ngandalkan dari hasil rehab
tidak bisa, lha wong tanahnya sudah tidak subur
lagi sekarang (Sur, Mei 2014)
Saya sama suami sama-sama kerja di perkebunan
Blater, ya walaupun Cuma buruh lumayan untuk
biaya hidup, anak sekolah. Disini cuma sambilan
aja mbak, nungguin lahan punya orang Pnm, Mei
2014).
b Social Capital
kumpul kelompok ya ada, kelompok tani yang
sering ikut itu bapaknya Kalau saya nggak aktif itu
disana. Bapak-Bapak sih yang sering kumpul, kalau
ibunya kan cuma bantu aja di lahan (Sur, Mei
2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Tidak ada pendampingan NGO di Wonoasri jadi untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait
kegiatan DA REDD+ hanya sebatas raising awareness saja.
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability pengetahuan
Saya nggak pernah denger mbak apa itu. Jangan
tanya saya kalau soal itu, saya nggak tahu apa-apa
(Sur, Mei 2014)
Nggak pernah tau itu mbak. Saya juga jarang ikut
kumpul-kumpul (Pnm, Mei 2014).
wah..apa itu mbak? Saya nggak tau. .... Oh sama
kayak pelestarian hutan gitu? saya pernah tahu dari
Pak Kasiyo itu. Pak Kasiyo itu ketua Tani
Wonomulyo (Ssw, Mei 2014).
Transefrability soal
pengetahuan baik
tentang REDD+,
perubahan iklim,
fungsi dan manfaat
hutan tidak diperoleh
secara merata, ada
yang mengetahui,
tetapi ada yang tidak
mengetahui. Hal ini
karena stakeholder
yang dilibatkan
dalam kegiatan
pelatihan DA
REDD+ hanya
stakeholder yang
memiliki peran kunci
dalam kegiatan
kehutanan desa, dan
nilai
transferabilitynya
rendah
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi Budidaya Tanaman
Setiap musim itu ganti-ganti Mbak, sekarang saya
lagi nanem kacang hijau, nanti pas puasa bisa
dipanen. Ganti-ganti itu tujuannya tergantung sama
musim, kan palawija udah nggak bagus lagi
hasilnya (Pnm, Mei 2014)
Saya lagi nanem lombok, masih disemai sekarang.
Kalau palawija kayak padi, jagung gitu sudah
nggak terlalu bagus hasilnya, beda dengan dulu.
Inovasi budidaya
tanaman mereka
dapat dari
perkumpulan
kelompok tani,
bukan dari
kegiatan DA
REDD+.
(Ssw, Mei 2014)
Kacang ijo, lumayan nanti bisa dipanen pas bulan
puasa. Taneman pokoknya itu nangka, ada yang
mati tapi. Daunnya sudah agak berkurang (Sur, Mei
2014)
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi)
TN itu sudah baik, masyarakat disini dikasi lahan,
tapi ya untuk ditanami lagi biar jadi hutan nantinya
(Ssw, Mei 2014).
Dulu kan kita nggak punya lahan rehab, jadi
tergantung sama kebun. Tapi saya dapat waktu itu
dari pemerintah lahan rehab (Sur, Mei 2014)
b Collaboration (Kerjasama)
Resortnya itu sering patroli ke lahan, ada juga
masyarakat kelompok tani yang dilibatkan, seperti
Pak Mistar itu, sama Pak Tamin. Mereka itu
pamswakarsa. (Pnm, Mei 2014)
kalau ada pelaku yang mencuri di hutan kadang
kita lapor, kadang enggak juga. Kalau lapor nanti
kita yang kena juga, bisa-bisa lahan kita dirusak.
Paling kalau lapor Cuma, ―Pak, itu tadi ada
ngambil kayu di hutan?‖ kalau ditanya siapa, ya
kita jawab nggak tahu, pokoknya ada (Ssw, Mei
2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Tidak ada pendampingan NGO di Wonoasri jadi
untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat terkait
kegiatan DA REDD+ hanya sebatas raising
awareness saja.
Informasi
tambahan
2 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi
Kalau di lahan yang miring, susah buat diolah. Jadi
bisa ditanami peje, biar kalau hujan nggak langsung
jatuh airnya, ada yang nahan (Srs, Mei 2014).
Petani sini baik-baik orangnya, sudah sadar sendiri
kalau ada yang mati atau roboh disulam sendiri
(Pnm, Mei 2014)
Walaupun nggak ada yang nyuruh, sulam tanaman
itu pasti dilakukan sama petani (Srs, Mei 2014).
Kemampuan
dimiliki dari
kegiatan kelompok
petani
Keinginan untuk
berpartisipasi
dalam menjaga
hutan diwujudkan
secara sadar dari
kelompok tani
3 Menjaga tanaman pokok
Kita yang punya lahan di rehab, wajib menjaga
tegakan pohon. Kalau ada yang mati, cepet-cepet
disulam (Ssw, Mei 2014)
TOKOH MASYARAKAT
DESA WONOASRI
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Upaya Pelestarian hutan
Desa wonoasri sebagai desa penyangga, memiliki
keterkaitan langsung dengan fungsi TNMB.
Beberapa kegiatan penghijauan yang dilibatkan
oleh TNMB melibatkan masy wonoasri Karena
secara tidak langsung jika terjadi kerusakan hutan,
dampak banjir juga dirasakan oleh masyarakat
wonoasri. Penanaman itu difokuskan di wonoasri
(Abr, Mei 2014)
Pelibatan
masyarakat dalam
kegiatan
penghijauan
2 Manfaat hutan
TNMB berdekatan langsung dengan wonoasri,
memiliki hubungan yang saling membutuhkan.
Manfaat hutan juga banyak untuk wonoasri, jika
terjadi hujan pasti air yang dari andong, Curahtakir,
Curahnongko bermuara di Wonoasri. Sehingga
banjir juga bisa dirsakan oleh masyarakat Wonoasri
(Abr, Mei 2014).
Masyarakat
Wonoasri secara
tidak langsung
memiliki hubungan
pengaruh yang
kuat jika terjadi
bencana.
3 Sumber mata pencaharian
Hutan bagi masyarakat wonoasri penting mengingat
bahwa lokasi sekitar kita berdekatan dengan hutan,
banyak hasil hutan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat sekitar untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya sehari-hari. Kalau masyarakat sendiri
sekarang tidak bisa selamanya bergantung degnan
hutan, sekarang sudah tidak terlalu subur lagi.
Masyarakat juga tidak sepenuhnya
menggantungkan diri dengan hutan, mereka juga
bekerja sebagai buruh perkebunan. Kalau musim
kemarau, lahan rehab tidak bisa diandalkan (Pai,
Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Upaya pelestarian hutan
REDD+ itu kan semacam program penghijauan di
lahan rehabilitasi (Abr, Mei 2014)
Peraturan dari dulu, masyarakat tidak boleh
menebang hutan sembarangan. Kalau memotong
satu pohon, masyarakat harus mengganti dengan
pohon. Seiring dengan sosialisasi yang sudah sering
dilakukan, dan penghijauan masyarakat lebih sadar
untuk menjaga hutannya (Abr, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Human capital
Masyarakat sudah sadar dan menyadarkan diri,
petani itu diberi leluasa di lahan rehab untuk
mengelola tanah di TN sduah selain tanaman pokok
juga sudah dipenuhi masyarakat boleh menanami
palawija seperti padi, jagung. Menanam tanaman
keras harus ada, sedangkan tanaamn di bawahnya
boleh palawija itu (Pai, Mei 2014)
b Natural capital
Lahan pertanian tidak mencukupi kebutuhan
penduduk yang ada di wonoasri, sawah masih
terbatas, tetapi setelah dibuka lahan rehab yang
dikhususkan untuk masyarakat petani bisa
memperoleh tambahan lahan yang dapat membantu
masy untuk memperoleh pendapatan (Son, Mei
2014)
Lahan yang sudah rusak diberikan ke petani, suruh
ambil hasilnya, dari TN pun tidak mengambil
hasilnya, diberi bibit berupa tanaman pokok,
tanaman pokoknya ya nangka, mengkudu (Son, Mei
2014).
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan kelembagaan
Dibentuk MMP dengan pelibatan masyarakat
khususnya petani rehabilitasi yang memiliki power
disini, dalam artian disegani masyarakat (Abr, Mei
2014)
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability pengetahuan
Tidak semua penduduk desa mengikuti keg REDD,
pertemuan itu diupayakan dapat menjangkau
seluruh masy desa agar dapat meningkatkan
kesadaran kegiatan penyuluhan dilakukan oleh
aparat desa bekerjasama dengan TN dan resort
(Abr, Mei 2014).
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi budidaya tanaman
Penanaman empon empon juga dilakukan di rehab
untuk menciptakan pendapatan baru artinya
mengurangi ketergantungan terhadap tanaman
palawija, sekarang kan sudah susah palawija kalo
tumbuh berkembang. Pohonnya sudah besar besar,
jadi matahari nggak bisa langsung ketutupan pohon
(Son, Mei 2014)
Tapi ini bukan
menjadi bagian
dari kegiatan DA
REDD+
kegiatan ini murni
bantuan dari TN
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Collaboration (Kerjasama)
Masyarakat desa dilibatkan dalam upaya
pengawasan.Pembagian kelompok kelompok tani
dilakukan untuk mendukung pelestarian hutan.
Setiap kelompok sudah memiliki kekuasaan atas
lahan yang sudah menjadi bagiannya, dengan tidak
boleh merambah hutan rimba. Dalam kelompok tani
ada koordinator meliputi keseluruhan kelompok
tani dimana juga berfungsi untuk mengawasi – jika
ada kelompok tani yang mengetahui kegiatan
perambahan, maka kel tani akan melaporkan ke
coordinator (Son, Mei 2014).
Masyarakat kelompok tani juga dilibatkan dalam
pamswakarsa (sekarang MMP) (Son, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Dibentuk MMP dengan pelibatan masyarakat
khususnya petani rehabilitasi yang memiliki power
disini, dalam artian disegani masyarakat (Abr, Mei
2014)
Bentukan
pemerintah
2 Meningkatkan kesadaran masyarakat
Masyarakat disini mampu beradaptasi, buktinya
Wonoasri bagus hutannya. Sering-sering kegiatan
penyuluhan itu menambah manfaat buat masyarakat
sini, jadi lama-lama masyarakat itu paham fungsi
hutan, apa yang nggak boleh dilakukan dengan
hutan (Abr, Mei 2014).
3 Alternatif pengelolaan lahan rehabilitasi
Masyarakat Wonoasri itu sadar sendiri sebenarnya,
contohnya kalau ada tanaman yang rusak, dilakukan
penyulaman, secara swadaya. Itu kan buktinya
mereka beradaptasi (Abr, Mei 2014).
Ingin sekali hutan itu hijau lagi, masyarakat juga
mau semangat menanam. Menjaga pohonnya.
Kalau di Wonoasri itu saya nggak pernah denger
ada pencurian kayu yang dilakukan masyarakat asli.
Kebanyakan dari luar dan bukan masyarakat sini
(Pai, Mei 2014)
LAMPIRAN 4
Transkrip wawancara dengan Manajemen Resort
RESORT ANDONGREJO
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Sumber Mata Pencaharian
Dulu tahun 1997 era reformasi identik dengan
pengrusakan, hutan jati kita 3000 ha dirusak
masyarakat. Dan tanahnya juga mau dijarah juga,
dengan kesigapan TN mereka dibilang silahkan
lahan itu digarap tapi dibebani dgn tanaman pokok
seperti pakem, kemiri, kedawung. (Ads, Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Praktik Kegiatan REDD+
REDD+ sendiri itu ada beberapa kegiatan yaitu
pengukuran karbon di lapangan secara fisik, dan
juga kegiatan yang berhubungan dgn masy. Kalau
TN itu secara fisik, sedangkan untuk yang hub
dengan masyarakat itu dgn KAIL (Ads, Mei 2014).
2 Stakeholder yang terlibat
Tidak semuanya terlibat dalam kegiatan REDD+,
biasanya yang terlibat itu ketua kelompoknya.
Karena kalau ketua kelompok akan lebih mudah
untuk menyampaikan ke anggota kelompoknya. Itu
lebih efektif, kalau yang dilibatkan itu anggota
kelompoknya, itu akan lebih susah (Ads, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Human capital Masyarakat sini bisa dikatakan 50% mudah untuk
diberi penyadaran, 50% lainnya juga susah untuk
diberi penyadaran (Ads, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan Ada upaya pelibatan partisipasi masyarakat, MMP
(masyarakat mitra polhut) dulunya Pamswakarsa,
disini ada 4 orang curahnongko 2, andongrejo 2.
(Feb, Mei 2014)
Pemilihan MMP paling nggak mereka peduli
dengan hutan. dan termasuk sebagai petani rehab
(Ads, Mei 2014).
Jumlah personil di andongrejo yang 8 orang itu
masih sangat kurang, dibandingkan dengan luas
hutan meru betiri yang sebesar ini (Jum, Mei 2014).
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability Pengetahuan
Pembinaan-pembinaan itu sudah sering dilakukan,
penyuluhan, pelatihan apapun bahkan sebelum ada
kegiatan REDD+ maupun setelah REDD+ (Ads,
Mei 2014)
Penyuluhan dari resort juga ada, door to door ke
masyarakat (Jum, Mei 2014).
4 Innovation (Inovasi)
a Strategi Pendekatan Partisipatif
Penyuluhan dari resort juga ada, door to door ke
masyarakat. Cara mendekatkan diri ke masyarakat
itu nggak bisa kita secara formal saja, tapi informal
juga. Misalnya kalau kebetulan mereka lagi
ngumpul-ngumpul nanti kita datangi, hey..kamu
nggak boleh begini sama hutan. Tapi keberhasilan
ini juga tidak bisa kita nilai efektif, seperti kalau
dalam kelas tidak mungkin semua muris itu paham
dengan 1+1 = 2, jadi itu tergantung individunya
juga (Ads, Mei 2014)
Pendekatan informal lebih cenderung efektif.
Semakin kita sering ketemu, semakin masyarakat
itu sungkan, nanti nggak enak kalau mau menebang
hutan (Jum, Mei 2014).
Cara pendektaan kita
itu bisa
menyesuaikan
dengan karakter
orangnya.
Tingkat
keberhasilan
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan
a Decission Making
Sebenarnya tidak boleh masyarakat mengambil
kayu atau apapun yang ada di hutan, tetapi kita
tidak bisa langsung sekeras itu, kita punya toleransi
apa yang boleh dilakukan masyarakat terhadap
hutan (Feb, Mei 2014).
MMP nanti tugasnya mencatat kalau ada kayu
roboh di hutan, itu sebagai bentuk
pertanggungjawaban. Kemudian dilaporkan ke
resort, lalu ditindaklanjuti oleh kepala resort.
Didatangi pemiliknya, kenapa kayu ini roboh.
Nanti kemudian petani wajib menyulam pohon
yang tumbang (Jum, 2014).
b Collaboration (kerjasam)
―Mereka sangat membantu, kalau kita patroli
mereka juga ikut. Kalau kita melakukan
penyuluhan mereka juga ikut (Jum., Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Ada lembaga KAIL sama SPKP bentukan TN. Ini
untuk mengkoordinir petani rehab. Kumpulan
kelompok di Curahnongko yang aktif, sering
ngumpul-ngumpul (Jum, Mei 2014)
Ada upaya pelibatan partisipasi masyarakat, MMP
(masyarakat mitra polhut) dulunya Pamswakarsa,
disini ada 4 orang curahnongko 2, andongrejo 2
(Feb, Mei 2014).
2 Pendekatan partisipatif
Menjalin hubungan dekat dengan masyaraakat agar
masyarakat sadar dan tidak lagi melakukan
perambahan (Jum, Mei 2014).
Patroli dilakukan dengan dibantu dan mengajak
MMP (Feb, Mei 2014)
3 Meningkatkan pengawasan
Kalau keinginan itu ada mungkin, tapi nggak
semua masyarakat. Pemikirannya kan beda-beda.
kalau yang peduli sama hutan, ya nggak menebang
pohon. Menjaga tanaman pokoknya. Itu kalau dari
sisi masyarakatnya. Kalau dari kita sebagai
petugas, ya kita meningkatkan pengawasan saja.
Hutan ini kan milik negara, bersama juga, jadi
masyarakat yang nyuri kayu itu bisa sadarlah.
Sama-sama peduli jaga hutannya (Jum, Mei 2014)
Hutan terlindungi, masyarakat juga baik kehidupan
ekonominya. Dan masyarakat ngertilah tugas kita
sebagai penjaga juga manusia. Kalau hutan rusak,
yang rugi juga kita, jadi minimal masyarakat itu
menjagalah pohon di lahan nya (lahan rehabilitasi)
(Feb, Mei 2014)
RESORT WONOASRI
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
hutan berdampingan dengan masyarakat, kalau di
masyarakat wonoasri sendiri baik baik, tetapi tetap
ya pencurinya ada, sehingga pelanggaran
pelanggaran itu juga ada (Mst, Mei 2014)
Contoh kecil cari ramban di kawasan tetelan, cari
daun mengkudu, daun nangka sering dicari orang
untuk makan kambing, yang kedua mencari kayu
bakar sebenarnya cari kayu bakar dari kayu yang
sudah kering seperti kayu gupon, kalisono, itu
nggak boleh (Mst, Mei 2014).
Pembalakan liar juga masih tinggi – pelakunya ya
kurang lebih masyarakat (Mst, Mei 2014)
Masyarakat belum teralu peduli dengan hutan.
Hutan itu milik kita, per orang. Masyarakat nggak
tahu fungsinya apa, tapi lama kelamaan masy juga
sadar seiring dengan kegiatan penyuluhan yang
diberikan. Hutan itu milik semua, memliki dalam
artian ikut melestarikan dan menjaga hutan.
Adanya anggpaan bahwa hutan itu milik masy tatpi
masy beda memaknainya. (Mst, Mei 2014)
Sejak Gus dur mengungkapkan hutan ini milik
masy – masy menjadi salah kaprah dalam
memaknainya. Jadi sejak itu kemudian maarak
penggundulan hutan jati. (Mst, Mei 2014)
B Pemahaman terhadap REDD
1 Pelestarian hutan
REDD+ itu bagian dari upaya menjaga hutan,
masyarakat terlibat dalam menjaga hutan agar
karbon itu tetap terjaga, oksigen banyak yang
dihasilkan sehingga nafaspun rasanya jadi mudah
(Mst, Mei 2014)
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Social capital
Kelompok tani sebagai prasarana untuk
menampung hal yang menjadi kebutuhan setiap
kelompok tani, dibentuk ini biar nggak semrawut,
jadi biar nggak masing-masing petani tidak
membuat usul sendiri-sendiri . Kelompok petani
disini bagus Mbak hubungannya. Perannya ke
kelompok tani juga mendukung dan memfasilitasi
(Mst, Mei 2014).
b Human Capital
Orang wonoasri mudah dibina, masyarakatnya
cenderung nurut. Beda dengan masyarakat desa
lainnya (Mst, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Petani beranggapan pendamping LSM hanya
bersifat memberdayakan masyarakat/diperalat
(LSM Cuma cari duit, bkin proposal untuk bantuan
ini itu, nanti setelah turun yang dibuat laporan
petani, yang dapet duit LSM), cenderung
memanfaatkan masy. Kelompok petani
beranggapan bahwa LSM cenderung minteri, jadi
kita sebaiknya sendiri saja. Kita juga sudah ada
kelompok tani. Kelompok tani lebih berperan
penting, ketua kelompok/coordinator bisa diajak
berkomunikasi bersama (Mst, Mei 2014).
Kelompok tani lebih berperan penting dalam
koordinasi kegiatan (ketua kelompok tani, anggota
kelompok tani, OPR (org petani rehab),
koordintaor) – susunan kerjasamanya, petani
memiliki ketua kelompok, ketua kelompok
membawahi beberap org petani, nanti jika ketua
kelompok punya keperluan apapun dari petani,
misalnya musim ini petani butuh bibit, pupuk –
nanti disampaikan ke ketua kelompok, lalu ke
coordinator (dipilih oleh petani juga) – diadakan
pertemuan kelompok tani untuk mengorganisir
kelompok (Mst, Mei 2014)
Di wonoasri tidak
ada NGO
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Kesadaran dari pengetahuan yang diperoleh
Perubahan itu ada, tadinya seperti orang itu
melanggar setelah diikutkan dengan kegiatan orang
jadi tahu fungsinya hutan ini, fungsinya kayu ini.
Orang yang awalnya tidak tahu menjadi lebih tahu.
Petugas harus pandai menyelami masyarakat (Mst,
Mei 2014).
Pada dasarnya,
masyarakat sendiri
terkadang belum
mengetahui persis
apa itu fungsi
hutan, bagaimana
menjaga hutan
4 Innovation (Inovasi)
a Strategi Pendekatan Partisipatif
Masyarakat sekarang tidak bisa dicegah
menggunakan kekerasan, Karena jika dikerasi
masyarakat akan cenderung mengerahkan massa.
teknisnya sekarang lebih cenderung ke pertemanan.
Kalau ketemu pelaku, diajak omong omongan baik
baik aja. Jangan sampai nanti ketika kita ketemu
pelaku di hutan langsung diborgol, nanti akan
malah membahayakan petugas. Jadi lebih
cenderung ke pendekatan personal (Mst, Mei
2014).
Pendekatan yang dilakukan oleh petugas yaitu jika
masyarakat mengadakan pertemuan, petugas akan
ikut menghadiri. Petugas bisa membaur bersama
masyarakat, karena mendekati orang desa itu harus
seperti itu (Mst, Mei 2014).
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi)
Arahan bagi petani rehab 1) petani rehab juga sdh
dikasi lahan menanam apa saja yang tidak di larang
(coklat,kopi/tanaman perkebunan dll); petani rehab
menanam tan pokok yang ada manfaatnya, jangan
asal tanam kalau idak bisa dimanfaatkan buahnya.
Misalnya nagka kan memiliki nilai ekonomis bisa
dijual nangkanya, tewelnya; duren bisa dijual
buahnya. 3) petai diberi tanggungjawab tanaman
hutan; tan pokok dijaga kesuburannya, petani juga
wajib mengganti tan pokok yang mati (karena ada
standar minimal jumlah pohon – ¼ ha minimal ada
100 pohon, jadi jika kurang dari 100 petani harus
berinisiatif untuk menambah tanamannya ((Mst,
Mei 2014)).
b Decision Making
bukum yang berlaku cenderung tetap saja seperti
dahulu. Hal yang boleh dan tidak boleh masih tetap
berlaku, kita menyesuaikan dengan faktanya, apa
yang dilakukan oleh masyarakat ((Mst, Mei 2014)).
Peringatan yang dilakukan oleh petugas untuk
pencurian kayu, juga tidak bisa dilakukan semena
mena. Tergantung dengan tingkat pencurian
kayunya, masing masing punya tingkatan ((Mst,
Mei 2014)).
Untuk beberapa kasus pencurian hutan, petugas
tidak berniat smeena mena menghakimi tersangka.
Kadang mereka ditangkap untuk diinterogasi di
pos, kita tidak langsung menangkap tetapi bertanya
dulu sudah berapa kali, ambil apa saja disana.
Pertama kali kami peringatkan dulu, dua kali, tiga
kali. Setelah itu baru ada tindak lanjut kalau mereka
ketahuan lagi mencuri di hutan ((Mst, Mei 2014)).
Penerapan hukum
Selain itu, juga kita melibatkan masyarakat/petani
lainnya untuk membantu mengawasi hutan. Kalau
mengandalkan petugas saja terus terang kita tidak
mampu, petugas disini hanya 5 orang kalau suruh
ngawasi hutan yang segitu luasnya ya nggak
mampu. Jadi kita juga punya orang di lahan, nanti
membantu ngawasi, caranya kita juga memberi
fasilitas alat komunikasi misalnya hp dan pulsa
((Mst, Mei 2014)).
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Di wonoasri itu ada SPKP, MMP, OPR. Itu
lembaga beda-beda fungsinya. SPKP sama OPR itu
fungsinya untuk mengkoordinir petani.
Perkumpulan kelompok buat ngomong—ngomong,
diskusi masalah pertanian. Kalau MMP itu
pelibatan masyarakat untuk menjaga hutan,
pemantauan. Kan kemarin waktu REDD+ itu kita
diikutkan (Mst, Mei 2014).
2 Pemberlakuan sanksi tegas
Menindaklanjuti oknum yang melakukan pencurian
hutan. tergantung pada tingkat kegiaatnnya.
Meningkatkan pengawasan pada kawasan hutan
juga (Mst, Mei 2014).
3 Pendekatan partisipatif
Aparat desa, TN itu mau melakukan pendekatan ke
pelaku yang mencuri kayu dan masyarakat.
Penyuluhan juga penting, tapi kayak kita datang
ikut ngempul ngumpul itu sepertinya lebih bagus
buat membangun kedekatan. Kalau mereka itu
kenal kita dan kita dekat dengan mereka, mereka
akan sungkan kalau mau nyuri di hutan (Mst, Mei
2014)
LAMPIRAN 5
Transkrip Wawancara dengan NGO Lokal
NGO lokal
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Pelestarian hutan
Petani/masyarakat menjadi ujung tombak
dalam upaya konservasi. Seperti tanaman
pohon jika kesadaran masyarakat kurang
untuk menjaga tanaman pohonnya, maka tidak
bisa hidup. Jadi sebenarnya masyarakat adalah
ujung tombak dari semua program (Nrh, Mei
2014).
2 Sumber Mata Pencaharian
Masyarakat memiliki ketrgantungan tinggi
terhadap lahan hutan di TN, jika tidak
diakomodir dan dikelola dengan baik maka
lahan hutan di TN akan rusak. Sementara basic
need masyarakat dapat terpenuhi dari hasil
hutan. Sehingga adanya lahan rehabilitasi
dianggap sebagai solusi untuk mengakomodir
kebutuhan masyarakat dan kepentingan
pemerintah (Nrh, Mei 2014).
B Pemahaman terhadap REDD
1 Pelestarian hutan
REDD – Reducing Emission From
Deforestation And Degradation – ada aspek
perlindungan hutan bagaimana upaya kita
melindungi hutan yang rusak menjadi hijau
kembali. Yang real dilakukan bersama
masyarakat (Nrh, Mei 2014).
Upaya perlindungan
hutan
DA REDD+ untuk semuanya TNMB, tetapi
focus KAIL di lahan rehabilitasi untuk aplikasi
kegiatan DA REDD+ yang sudah sejak 1993
(rintisan), 1995 demplot 7 ha, 1999 mulai
lahan ..ha. 4023 ha, lahan rehabilitasi
merupakan perluasan dari TN yang merupakan
pemberian dari perhutani. Dimana terlibat
4000 kk (Nrh, Mei 2014).
Kegiatan REDD+ lebih difokuskan ke
curahnongko disana ada sampel demplot
(contoh) tetapi untuk pendataan semua
andongrejo, memang ada beberapa kegiatan
yang harus dibikin contoh sehingga nanti bisa
dikembangkan oleh pihak TN, karena kita
sendiri keterbatasan pembiayaan tidak
memungkinkan untuk semuanya teratasi. NGO
hanya membikin model. Tetapi di kelompok
lain juga disampaikan soal REDD terkait
pendataan (Nrh, Mei 2014).
Pengimplementasian DA
REDD+ pilot project
dalam konteks REDD, tidak semua program
yang ada dapat menangani semua
permasalahan yang ada di desa, sememntr ini
program REDD hanaya difokuskan untuk
ekonomi, informasi perubahan iklim, adaptasi
dan mitigasi, pelatihan yang dilakukan oleh
latin (Nrh, Mei 2014).
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Human capital
Kalau masyarakat terpenuhi kegiatan
ekonominya, secara tidak langsung akan
memunculkan kesadaran masyarakat untuk
menjaga kawasan termasuk pohon yang dia
tanam. Jika dia merasa bahwa pohon yang dia
tanam dapat menghasilkan nilai ekonomi dari
buah yang dia tanamn, maka dia akan
menjaga, sedangkan jika tidak ada manfaat
yang diberikan dari segi ekonomi masyarakat
cenderung ogah-ogahan untuk menjaga
tanamannya (Nrh, Mei 2014).
Kita tidak selalu mejanjikan kepada
masyarakat jika kita punya pohon akan
mendapatkan uang sekian dari perdagangan
karbon. Kita mengkreasi bagaimana supaya
potensi yang ada bisa dikapitalisasi untuk
kepentingan konservasi, ekonomi, dan sosial
masyarakat. Kita mendidik juga masyarakat
khsusunya ke arah enterpreunership dalam
bidang kehutanan. Ketika bicara perdagangan
karbon yang datang nggak datang, yang mau
dibeli juga nggak nampak (Nrh, Mei 2014).
b Social Capital
Masyarakat makin tentrem, adem oh berarti
inisiatif kami yang dahuunya dianggap sebagai
pelanggaran, sekarang justru dijadikan model
bagaimana masyarakat bisa mengelola
kawasan dalam kerangka kemitraan.
Sedangkan lokasi-lokasi lain belum tentu ada
yang seperti ini. Bagaimana masyarakat
mengembangkan kemitraan dalam
pengelolaan lahan (Nrh, Mei 2014)..
Pembentukan kelompok ibu-ibu budidaya
jamu sumber Waras di Andongrejo, juga
upaya kami meningkatkan peran partisipasi
wanita dalam kegiatan DA REDD+ (Nrh, Mei
2014)
Beda dengan taman
nasional lainnya, susah
untuk membangun
kerjasama antar masy
dengan pihak TN
c Natural capital
Masyarakat disekitar kawasan cenderung
miskin lahan, sehingga adanya rehabilitasi
dianggap sebagai salah satu cara
menyelesaikan masalah kebutuhan lahan
sehingga jika tidak dikelola dengan baik akan
merusak hutan (Nrh, Mei 2014).
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Kelembagaannya – terbentuknya kelompok
tani rehabilitasi sudah sejak tahun 2000,
sebelum REDD dikenalkan. Masing-masing
desa memiliki kelompok petani rehabilitasi
yang telah terbentuk jaringan. Kalau di
Curahnongko-Jaketresi diketuai Pak Parman,
himpunan dari 17 kelompok-kelompok tani
rehab. Di Andongrejo-Permataresi, Sanennrejo
- Jangkar (jaringan kelompok tani krajan) itu
wujud dari penguatan kelembagaan di tingkat
petani. Sewaktu ada kegiatan REDD,
kelompok ini kemudian dikuatkan dengan
posisinya sebagai penggerak di tingkat
kelompok petani rehabilitasi. Di tingkat
kabupaten juga ada jaringan yang terbentuk
sebagai bentuk komunikasi dengan para pihak.
Kegiatan ini tidak hanya bisa dilakukan oleh
satu pihak saja, tetapi perlu keterlibatan semua
sektor (Nrh, Mei 2014).
Kalau di Wonoasri, tidak ada campur tangan
dari KAIL. Dulu pernah diminta oleh TN
untuk ditangani sebagai wujud praktik TN
dalam upaya pemberdayaan masyarakat (Nrh,
Mei 2014)
Dan apa yang kita lakukan tidak bisa
mengkover semua masalah yang ada di
seluruh kawasan. Pada workshop 8-9 januari
kami membentuk pokja REDD di tingkat kab
yang sifatnya masih informal, belum ada SK
dimana itu menjadi bagian dari kesadaran dari
peserta untuk mengatasi masalahREDD+
dimana masalah REDD+ tidak hanya menjadi
masalah TN tetapi melibatkan pemerintah
kabupaten dan juga pemerintah desa, petani,
masyarakat, disperindag, pelatihan dari puslit
bogor yang memberikan pelatihan (Nrh, Mei
2014).
Koperasi menjadi raw model dari pengelolaan
REDD tidak hanya tanam menanam, tetapi
berbicara masalah enterpreunership
bagaimana menghubungkan dengan pasar dari
hasil yang sudah ditanam oleh masyarakat
(Nrh, Mei 2014)..
Dengan adanya kegiatan REDD dan
pernyataan dari berbagai pihak dari orang-
orang yang punya pengetahuan konservasi
yang menyatakan peran masyarakat sangat
signifikan dan vital dalam konteks pelestarian
kawasan, pengkayaan karbon, dsb sehingga
memperkuat akses mereka terhadap lahan
walaupun belum teralisasi dalam bentuk
formal (Nrh, Mei 2014)..
Kegiatan rehabilitasi dianggap sebagai upaya
yang kraetif dalam merangkul masyarakat dan
pemerintah untuk melakukan pengelolaan
Inisiatif pembentukan
koperasi – bukan dari
kegiatan DA REDD+,
tapi LSM KAIL
berusaha untuk
menindaklanjuti
kegiatan setelah adanya
DA REDD+
hutan secara bersama. Waktu itu terjadi
ketakutan akan kegaitan rehabilitasi tersebut,
dikarenakan tidak ada paying hukum yang
mendasari (Nrh, Mei 2014).
KAIL sudah melakukan upaya perlindungan
hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh
LATIN. KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun
2001. Nah selama kurun waktu itu kita
melakukan kegiatan pelestarian kawasan di
zona rehabilitasi yang diawali dengan
pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun
1999 terjadi penjarahan massal, ketika LATIN
bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan
masyarakat untuk menghijaukan lahan
kawasan meru betiri kembali (Nrh, Mei 2014).
Tambahan informasi
b Persamaan Hak (Peran Pemberdayaan Wanita)
REDD melibatkan ibu ibu pengajian
menghubungkan aspek keagamaan dalam
konteks kehutanan. jadi nanti diperkenalkan
ayat ayat menegnai konservasi, perlindungan
hutan, jadi agama tidak hanya berbicara
mengenai ibadah maghdha, tetapi juga dengan
lingkungan dimana menjadi bagian dari
perintah agama, mengapa kemudian kita
mengajak ibu ibu pengajian. Ini kita anggap
sebagai bentuk kearifan lokal yang diambil
dari dimensi keagaman, nilai etik yang diambil
dari Quran (Nrh, Mei 2014)..
Di dalamnya terkandung perintah dan
motivasi, misalnya barangsiapa yang
menanam pohon,maka dia akan berpahala
sepanjang pohon itu masih hidup – salah satu
motivasi yang digunakan untuk menyadarkan
masyarakat . barang siapa yang menanam
pohon, lalu hasilnya dimakan oleh burung
binatang manusia, maka yang menanam pohon
nanti akan mendapat pahala. Ini menjadi slaah
satu wisdom yang ada di amsyarakat yang kita
coba untuk internalisasikan dalam kesdaran
agama. (Nrh, Mei 2014).
Keterlibatan wanita
dalam upaya konservasi
internalisasi
pengetahuan melalui
budaya
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh
Kita berusaha bahwa dalam REDD+ tidak
hanya berkutat dari karbon tetapi juga
penangana hasil panen, tetapi juga
mengkapitalisasi apa yang dimiliki oleh
masyarakat supaya berdampak pada ekonomi
dan konservasi juga kita dorong. Sehingga
REDD+ tidak hanya berbicara soal
perdagangan karbon, tetapi kita mendorong
supaya ada upaya-upaya meghasilkan
kemitraan dengan masyarakat yang dihasilkan
dari kegaitan konservasi itu menjadi bagian
yang tumbuh dari masyarakat (Nrh, Mei
2014)..
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan
Dari sisi kehutanannya kita melakukan upaya
penghijauan lahan yang dulu rusak kembali
baik dari sisi swadaya, juga melibatkan
pemerintah dan pihak terkait. Dari sisi
ekonomi , ada kegiatan yang bersifat
intangible melalui pemberdayaan masyarakat
ada TOGA, koperasi multi usaha lestari yang
membidangi pengolahan keripik nangka dan
penjualan hasil hutan yaitu pisang. Sedangkan
untuk pengelolaan lahannya kita menggunakan
sistem agroforestry yang selain ditanamai
taaman pokok pertanian, masyarakat boleh
menanam tanaman padi kedelai jagung yang
memmberikan kontribusi bagi peningkatan
pendapatan masyarakat (Nrh, Mei 2014).
Selain itu disana juga ada tanaman peje, yang
menutupi lahan sebagai penyubur. Tanamna
itu sebagai salah satu kreasi masyarakat ketika
tanaman pokok sudah tidak bisa menghasilkan
nilai ekonomi lagi, beberapa kawasan masih
juga ada yang gundul (Nrh, Mei 2014)..
Inovasi dari KAIL di
bidang budidaya dan
kegiatan ekonomi
b Inovasi untuk Meningkatkan Motivasi Konservasi Hutan
Kita memberikan apresiasi kepada petani
rehabilitasi yang berhasil menjaga tanamannya
di lahan rehabilitasi terkait dengan sistem
pengkelasan lahan berdasarkan jumlah
tanaman pokok/tegakan. Kita memberikan
suatu program yang namanya program
PINTAR (program intensif petani
rehabilitas)kepada masyarakat yang termasuk
dalam klasifikasi 5 dan 6, program ini
dikhususkan bagi masyarakat yang memiliki
tanaman 150 ke atas, sebagai apresiasi kepada
petani yang sangup menjaga tanamannya
sejumlah 150 ke atas. Intensif dari PINTAR
ada 4 yaitu pendidikan, kesehatan, ekonomi,
dan konservasi. Namun, terkendala dengan
dana yang keberlanjutan jadi focus kami hanya
di bidang ekonomi dengan memilih 50 orang
dengan bentuknya tidak kita kasih cash tetapi
terpusat pada satu toko dengan sistem 50
petani yang memilki jumlah tanaman bagus
tersebut akan mendapat diskon untuk membeli
sembako (gula, dll) satu minggu 3000,
misalnya beli gula 11000 nanti dapet diskon
3000, pembiayaan dicarikan dari sumber lain.
Wilayahnya tidak hanya di curahnongko,
tetapi petani juga di andongrejo. Selain itu hal
ini juga ditujukan untuk memacu petani
lainnya, agar mau berpartispasi menghijaukan
lahannya dengan menanami tanaman (Nrh,
Mei 2014)..
Melakukan identifikasi tentang yang ada di
Inovasi yang
meningkatkan motivasi
penduduk untuk giat
menanam, tetapi ini
masih diterapkan di
Desa Curahnongko dan
Andongrejo saja –
wilayahnya relatif
berdekatan, dan
termasuk dalam
kegiatan pilot project
kawasan. Kegiatan rehabilitasi sudah ada sejak
1999 sudah berjalan tanaman tegakan sudah
tumbuh, lalu kita bikin sampel di
curahnongko, kita hitung tanaman/pohon yang
ada di lahan rehabilitasi. Ada berapa pohon
yang sudah dihitung. 8000 pohon hasilnya,
dari situ kita memaksa petani secara tidak
langsung untuk giat menanam. Kita
melakukan pengkelasan di setiap lahan
rehabilitasi terhadap jumlah pohon yang ada
(Nrh, Mei 2014)..
Setiap lahan rehabilitasi nanti akan dihitung
kerapatan atanmannya, pendataan masyarakat
dilakukan dipinggir zona rehablitasi, data
masyarakat yang ada di pinggir ini ditujukan
untuk masyarakat menjaga tanaman yang ada
di atasnya agar tidak terjadi pencurian kayu.
Setelah mendata, kemudan dikumpulkan
dengan TN,pihak polisi, ini ditujukan juga
untuk menyertakan masyarakat dalam
pengelolaan hutan, sebagai salah satu upaya
untuk melibatkan masyarakat dalam pola
pengawasan, karena jumlah tenaga TNMB
sendiri tidak akan mampu mengatasi dan
mengawasi TN yang jumlahnya luas tersebut
dimana petugas yang ada hanya 5-6 orang.
Untuk memberikan semanagt, kita memberi
gelar Masyarakat yang ikut berpartisipasi
menjaga hutan kita anggap sebagai pahlawan
hidup, jadi pahlawan itu tidak hanya orang
yang memegang senajat di medan perang
tetapi menjaga hutan juga bagian dari
pahlawan. Membangun swakarsa
masyarakat. (Nrh, Mei 2014).
Inovasi untuk
meningkatkan
partisipasi masyarakat
dalam upaya konservasi
c Inovasi budidaya tanaman
Selain itu juga ada penanaman tanaman yang
memiliki serapan karbon tinggi tetapi juga
memiliki nilai ekonomi misalnya tanaman
kedawung, kemiri. Pemilihan pohon
berdasarkan diskusi dengan masyarakat, hal
ini secara tidak langsung diharapkan dapat
mendorong masyarakat. Memilih tanaman
bersama masyarakat, pengelolaanya bersama
masyarakat maka diharapkan masyarakat juga
akan timbul kesadaran (Nrh, Mei 2014)..
Pohon yang dipilih yaitu tanaman-tanaman
yang tidak untuk ditebang yaitu untuk
pelestarian dan dapat dimanfaatkan untuk
ekonomi masyarakat . tanaman yang
digunakan yiatu multi purpose trees species
(MPTS) memadukan tanaman yang bernilai
konservasi dengan tanaman yang memiliki
nilai ekonomi. Ada aspek konservasi juga
memberikan income dari buah yang ada di
pohon itu. Hal ini juga ditujukan untuk
mengakomodir kepentingan masyarakat juga,
karnea mereka memiliki ketergantungan
terhadap hutan di TN (Nrh, Mei 2014).
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Fleksibel dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Transparency (Transparansi)
Hal yang unik ketika perubahan itu muncul
dari inisiatif sebelumnya, saya ditanya berapa
lama, mengenai keamanan masyarakat dalam
jangka panjang, pokoknya kita buktikan
masyarakat dapat mengelola hutan secara baik
sehingga masyarakat mau menjaga hutan.
Perubahan tidak bisa dilakukan secara tiba
tiba, harus ada inisiatif yang mendahului.
Jika kita bisa buktikan masyarakat dapat
mengelola kawasan dengan baik, masyarakat
dapat berpartisipasi optimal dalam
pengelolaan kawasan, hal ini dpaat dijadikan
contoh bahwa masyarakat bukan merupakan
ancaman tetapi sebagai potensi yang
didayagunakan untuk mnjg hutan yang
terdegradasi dan terdeforetasi untuk didorong
sebagai probem solver bukan part of problem
(Nrh, Mei 2014).
TN ada zonasi, kalau bisa didorong lahan
rehabilitasi yang bagus bisa diamnfaatkan
untuk zona pemanfaatan tradisional artinya
masyarakat bisa selaamanya mengelola disitu.
masyarakat diakui untuk memanfaatkan lahan
itu. Memiliki payung hukum yang jelas tanpa
ada batas waktunya, yang penting ada
pelestarian, pemanfaatan secara lestari (Nrh,
Mei 2014).
Di Curahnongko sudah ada MoU antara TN
dan masyarakat sebagai contoh. General
agreement dimana masyarakat terlibat dalam
merehabilitasi kawasan, melestarikan kawasan
secara keseluruhan. Ada payung nanti
diturunkan lagi dengan perjanjian yang
spesifik terkait pengelolaan misalnya terkait
jangka panajang pengelolaan lahan rehabilitasi
spesifik misalnya berapa lama. Hal ini menjadi
panduan sebagai pertimbangan untuk
mendukung perjanjian, misalnya bibit yang
tertanam sekian, petani A memiliki lahan 1 ha
dengan 100 pohon, sedangkan idealnya 400
pohon, sehingga kurangnya 300 pohon, jadi
diperlukan penambahan bibit pohon. Hal ini
dapat dijadikan dasar/materi untuk usulan
penambahan bibit (Nrh, Mei 2014).
Dari sisi formal, ada MoU (curahnongko),
pengakuan semakin kuat dari pemerintah
terhadap kegiatan rehablitasi dalam kawasan
meskipun tidak diwujudkan dalam tulisan
tetapi dalam bentuk penunjukkan sebagai
Bentuk pengakuan
keberadaan masyarakat
untuk pelibatan dalam
upaya pengelolaan
hutan; Pengakuan hak
masyarakat untuk
dilibatkan dalam upaya
konservasi
lokasi DA REDD dengan pengakuan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan
kawasan memperkuat, inisiatif pengelolaan
masyarakat di laahan rehabilitasi diakui (Nrh,
Mei 2014).
b Collaboration (Kerjasama)
Kita LSM sebagai pendamping sebagai
stimulus sehingga kreasi yang ada di
masyarakat harus dikembangkan. Dahulu kita
berbicara hanya tentang menanam saja, ketika
sudah mulai panen maka muncul bagaimana
menangani pemasarannya. Sehingga kemudian
muncul kreasi kreasi pemasarannya (Nrh, Mei
2014)..
Peran NGO dalam
upaya Pemberdayaan
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
KAIL sudah melakukan upaya perlindungan
hutan sejak 1993 yang waktu itu diinisiasi oleh
LATIN. KAIL sendiri baru berdiri sejak tahun
2001. Nah selama kurun waktu itu kita
melakukan kegiatan pelestarian kawasan di
zona rehabilitasi yang diawali dengan
pembuatan demplot 7 ha. Waktu itu, tahun
1999 terjadi penjarahan massal, ketika LATIN
bikin demplot 7 ha sebagai upaya dengan
masyarakat untuk menghijaukan lahan
kawasan meru betiri kembali (Nrh, Mei 2014).
Kelembagaannya – terbentuknya kelompok
tani rehabilitasi sudah sejak tahun 2000,
sebelum REDD dikenalkan. Masing-masing
desa memiliki kelompok petani rehabilitasi
yang telah terbentuk jaringan. Kalau di
Curahnongko-Jaketresi diketuai Pak Parman,
himpunan dari 17 kelompok-kelompok tani
rehab. Di Andongrejo-Permataresi, Sanennrejo
- Jangkar (jaringan kelompok tani krajan) itu
wujud dari penguatan kelembagaan di tingkat
petani. Sewaktu ada kegiatan REDD,
kelompok ini kemudian dikuatkan dengan
posisinya sebagai penggerak di tingkat
kelompok petani rehabilitasi (Nrh, Mei 2014).
2 Alternatif mata pencaharian
Masyarakat itu mampu kalau didorong dan
difasilitasi. Mereka memiliki local knowledge
yang bagus tentang adaptasi sendiri. Buktinya
kita berhasil mengembangkan tanaman TOGA
di lahan 7 Ha dengan melibatkan masyarakat.
Itu jadi pengukuran karbon kemarin (Nrh, Mei
2014)
3 Upaya pendampingan untuk menyadarkan komunitas lokal
Curahnongko yang jadi sample demplot
percontohan, diharapkan bisa jadi contoh
untuk upaya konservasi hutan di desa
penyangga lainnya, melalui pemberdayaan
petani rehabilitasi. Ini loh buktinya kalau
masyarakat itu bisa diajak kerjasama dengan
pemerintah dan sama-sama menjaga hutan
(Nrh, Mei 2014).
LAMPIRAN 6
Transkrip Wawancara dengan Balai Taman Nasional Meru Betiri
Balai Taman Nasional Meru Betiri
No Pointer Verbatim Keterangan
A Hubungan masyarakat dengan hutan TNMB
1 Sumber mata pencaharian
Pelestarian hutan dan kesejahteraaan masyarakat
sesuai dgn visi dan misi kita. Kalau interkasi antar
hutan dan masy sangat intens. Terutama dengan
masyarakat yang dekat dengan kawasan itu sangat
intens karena sebagian besar masyarakat itu
bergantung dengan alam (hutan), tetapi
kesadarannya rendah, terutama ketergantungan.
Hidupnya masih tergantung dengan hutan.
sedangkan TN konsepnya ke 3P – Perlindungan,
Pengawetan, dan pemanfaatan tapi sekarang 4P
ditambah dengan Pemberdayaan (Ngh, Mei 2014).
B Tentang Program REDD
Tujuan DA REDD+ sendiri itu untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui program
peningkatan kesejahteraan melalui DA REDD+
baik peningkatan penghasilan (Ngh, Mei 2014).
Tujuan DA REDD+
Kegiatan REDD+ di lapangan itu ada 3 yaitu
penelitian, pengelolaan, dan pemberdayaan. Untuk
epenlitian dari Puspijak Bogor, kalau Pengelolaan
itu balai, sednagkan pemberdayaan dilakukan oleh
KAIL/LATIN. Ini pun tidak dilakukan di 12 desa
penyangga, hanya di Sanenrejo, andongrejo, dan
Curahnongko (Ngh, Mei 2014).
Kegiatan DA
REDD+
Kalau tugas kita itu menyiapkan semua data terkait
yang dibutuhkan untuk implementasi REDD+,
misalnya deforestasinya berapa, melalui kegiatan
ini kita bisa masuk ke masyarakat untuk melakukan
awareness raising bagaimana memanfaatkan dan
melestarikan hutan. setelah itu ada pembuatan
PDD, untuk kemudian hasilnya dikaji apakah
REDD+ tersebut hanya lesson learned atau result
based untuk implementasi REDD+ (Ngh, Mei
2014).
Tugas TNMB
dalam kegiatan DA
REDD+
Peningkatan stok karbon ada dari masyarakat
melalui rehabilitasi, jadi mereka menanam tanaman
pokok itu salah satu upaya untuk meningkatkan
stok karbon dan dikasi kesempatan menanam
tanaman semusim. Jadi untuk keterlibtn masyarakat
itu di zona rehab. Masyarakat terlibat hanya untuk
perhitungan karbon (Ngh, Mei 2014).
Keberhasilannya ini relatif rendah, karena rata rata
masyarakat menanam tanaman pokoknya di tepi
tepi. Di tengahnya masih kosong, biar bisa ditanami
(Ngh, Mei 2014)
Upaya peningkatan
stok karbon di
lahan rehabilitasi
Adanya rehabilitasi, sebenarnya masyarakat
mengambil buah di zona rehabilitasi itu tidak boleh,
bolehnya hanya di zona tradisional. Mau ada DA
REDD+ atau enggak tetap nggak boleh. Cuma
adanya rehabilitasi itu kan upaya untuk
mengakomodir kepentingan masyarakat agar tidak
merusak hutan rimbanya (Ngh, Mei 2014).
C Karakteristik kapasitas adaptif
1 Asset base (Aset Dasar)
a Natural Capital
Dari TN itu sudah memfasilitasi masyarakat dengan
adanya lahan rehabilitasi. Dengan harapan
masyarakat itu tidak akan merambah hasil hutan
baik kayu maupun non kayu (Ngh, Mei 2014).
b Social Capital
Kalau di Curahnongko - jaketresi pasti setiap bulan
ada pertemuan kelompok. Tapi kalau yang lain
sepertinya enggak (Ngh, Mei 2014)
c Financial Capital
Tujuan DA REDD+ sendiri itu untuk peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui program
peningkatan kesejahteraan melalui DA REDD+
baik peningkatan penghasilan. Salah satunya dari
budidaya jamur tiram (Ngh, Mei 2014)
2 Institutions and entitlements (Dukungan Kelembagaan dan Persamaan hak)
a Penguatan Kelembagaan
Sudah pengelolaan kawasan - ada kegiatan
penguatan kelembagaan di tingkat petani
(pertemmuan kelmpok-kelompok, OPR) terkait
dengan pemberdayaan, ada juga SPKP (Ngh, Mei
2014)
Upaya untuk menjaga rehabilitasi – kalau dari sisi
polhut permasalahan disana itu sangat kompleks,
kita dalam satu resot ditugasi sangat banyak tidak
hanya 3 pilar. Rata-rata kita di resrot itu
membawahi sekian ratus ha zona rehabilitasi yang
notabene permasalahannya cukup kompleks, dan
diluar itu kita juga menangani permasalahan tindak
pidana kehutanan secara umum, seperti perburuhan
dan pencurian kayu, sedangkan kondisi disana
sudah tau sendiri seperti apa keadaannya ya
memang tenaganya tidak cukup. Kalau secara detail
melakukan pembinaan, masy itu sudah lain orang
lain kemauan disitu, lain motivasinya dan artinya
kita harus bisa menampung itu semua (Msf, Mei
2014)
Ketidakmampuan
pengawasan untuk
3P di TNMB
karena
keterbatasan
anggota polhut dan
banyak kasus yang
harus ditangani
3 Knowledge and Information (Pengetahuan dan Informasi)
a Transferability Pengetahuan
Kalau kelompok tani di wonoasri itu tidak
semuanya tahu mungkin kegiatan REDD+, yang
tahu mungkin hanya ketua ketua kelompok tani
yang di pernah ikut kegiatan di hotel. Karena apa,
karena tidak dimasuki oleh LSM. Adanya kegiatan
budidaya jamur misalnya, petani wonoasri taunya
itu kegiatan TN bukan bagian dari REDD+ (Adi,
Mei 2014)
Sebaran
pengetahuan tidak
merata
Kalau di curahnongko - jaketresi pasti setiap bulan
ada pertemuan kelompok. Tapi kalau yang lain
sepertinya enggak. Transferability tentang DA
REDD+ yang berhasil itu di Curahnongko (Ngh,
Mei 2014)
.
Mereka punya kelompok tani, biasanya pertemuan
kelompok itu tidak selalu di rumah, kadang di
lahan. Nggak selalu formal mereka itu. Kadang kan
mereka nggak mau dategn ke pertemuan yang
nggak ada apa-apanya. Biasanya sambil di lahan
sambil menanam. Tidak semua mentransfer apa
yang diketahui dari pelatihan, wong kadang mereka
itu Cuma ikut-ikutan aja. (Adi, Mei 2014)
b Kesadaran dari Pengetahuan yang diperoleh
Perubahan itu ada walaupun kecil, perubahan ke
pengetahuan itu jelas. Tapi itu nggak berlaku semua
(Ngh, Mei 2014).
Secara umum masyarakat itu pada dasarnya sadar
untuk menjaga hutannya, tetapi kalau dilihat dari
tingkat keberhasilan rehabilitasi di 3 desa
anongrejo, curahnongko, dan wonoasri yang bagus
ya wonoasri (Adi, Mei 2014).
4 Innovation (Inovasi)
a Inovasi untuk Meningkatkan Pendapatan
Kegiatan Pemberdayaan Budidaya jamur itu sudah
ada sebelum REDD+, jadi kegiatan REDD+ (Ngh,
Mei 2014)
Sekarang juga berkembang kegiatan peningkatan
kapasitas untuk peningkatan penghasilan. Tadinya
mereka yg bergantung sama hutan setidaknya bisa
dikurangi lah, tetapi masih ada juga masyarakat
yang tetap bergantung dengan hutan, karena hutan
itu dianggap sesuatu yg menarik. Kalau kerja di
sawah atau di kebun itu cuma dapat berapa, di
kebun 17000 seminggu paling nggak 3-4 kali (Adi,
Mei 2014)
Motivasi mereka (petani rehab) karena keterbatasan
lahan dikasi lahan, ya akan selamanya dia akan
disitu, dan bisa ditanami tanaman semusim,
sementara pihak TN motivasinya beda, ketika nanti
lahan rehab itu sudah penuh pohonnya, lahan itu
kemudian akan dijadikan sebagai zona pemanfaatan
tradisonal (Msf, Mei 2014)
5 Flexible and forward thinking, decision making, and governance (Kerjasama dan orientasi ke depan,
pengambilan keputusan, dan tata kelola organisasi/pemerintahan)
a Collaboration (Kerjasama)
Tidak ada pemilihan khusus masyarakat,
sebenernya kita pengennya semua, tapi dari segi
waktu, tempat itu nggak mungkin. Jadi kita
milihnya ya tokoh-tokoh yang punya peran di
masyarakat, harapannya nanti merkea bisa
menyampaikan hasil kegiatan ke kelompok yang
lain (Ngh, Mei 2014)
Masyarakat juga dilibatkan dalam kegiatan MMP
(Masyarakat Mitra Polhut). Sebagai upaya dari
pihak TN mengiuktsertakan masyarakat dalam
perlindungan hutan (Adi, Mei 2014)
D Aksi Adaptasi
1 Pengaturan Kelembagaan
Sudah pengelolaan kawasan - ada kegiatan
penguatan kelembagaan di tingkat petani
(pertemmuan kelmpok-kelompok, OPR) terkait
dengan pemberdayaan, ada juga SPKP (Ngh, Mei
2014).
Kalau di curahnongko - jaketresi pasti setiap bulan
ada pertemuan kelompok. Tapi kalau yang lain
sepertinya enggak. Transferability tentang DA
REDD+ yang berhasil itu di Curahnongko (Ngh,
Mei 2014)
2 Pendekatan partisipatif
Kebetulan saya juga keliling ke perbatasan zona
rimba. Tantangannya berat. Kalau kita tidak kenal
ya memang banyak musuhnya, kalau kita dekati si
A si B ... ya Cuma butuh waktu, tidak cukup waktu
1,2 bulan, karena apa kita dalam pendekatan ke
masyarakat itu harus tau latar belakang maysarakat
seperti apa, orangnya wataknya seperti apa,
keluarganya seperti apa, kemudian di masyarakat
apakah jd tokoh atau tidk. Itulah yang kita lihat.
Setelah dari lihat itu, kita ambil titik lemahnya dia,
titik lemah bukan brarti kekurangan, maksudnya
kita bisa masuk ke masyarakat itu seperti apa (Msf,
Mei 2014).
Kemampuan
adaptasi yang
dilakukan Polhut