pergeseran paradigma hukum
TRANSCRIPT
-
8/17/2019 Pergeseran Paradigma Hukum
1/3
Pergeseran Paradigma Hukum
Saat ini perbincangan mengenai reformasi berbagai aspek kemasyarakatan dankenegaraan telah menjadi milik kalangan luas masyarakat dan cukup mendominasi
tema keseharian kita. Pada pokoknya sebagian besar pengamatan memberi prioritas
utama pada perlunya reformasi di tiga aspek, yakni hukum, ekonomi dan politik.Ketiga aspek tersebut boleh jadi mempunyai nilai signifikansi dan bobot yang samabagi keberhasilan reformasi secara keseluruhan. Namun sayangnya, perhatian atas
aspek hukum masih belum sebesar perhatian atas aspek ekonomi dan politik.
Yang mencuat mengenai aspek hukum hanyalah persoalan pencabutan paket lima
undang-undang politik dan undang-undang subversi, yang notabene pemberlakuanserta kelangsungannya hanya merupakan hasil dari proses yang menyangkut teknik
dan politik perundang-undangan. ulisan ini sebagai sumbang saran mencobamendiskusikan apa yang dinamakan dalam tulisan ini sebagai pergeseran paradigma,
terutama menyangkut teknik dan politik perundang-undangan dalam pembentukanhukum. Pergeseran paradigma ini menurut pandangan penulis penting diupayakan
untuk memberi iklim kondusif bagi pelaksanaan reformasi. !nti pergeseranparadigma tersebut mencakup tiga hal, yakni dari jargon konstitusional menuju
pemurnian pelaksanaan "ndang-undang #asar $%&', dari formalisme menujusubstansialisme, dan dari absolutisme menuju dinamisme.
Pertama, pergeseran dari jargon (konstitusional) menuju pemurnian pelaksanaan"ndang-"ndang #asar $%&'. #alam hal ini eksekutif dan legislatif tidak lagi
menyembunyikan kepentingannya dalam jargon (secara konstitusional) dalammenanggapi keinginan perubahan. Karena pada intinya atau bila diartikan lebih
lanjut, jargon (secara konstitusional) tersebut berkecenderungan untuk tetapmengedepankan peraturan perundangan atau peraturan tata tertib yang memangkas
kedaulatan rakyat. Sebagai contoh di antaranya adalah penggunaan hak-hak #P*,seperti hak inisiatif, amandemen dan budgeter dalam pemberdayaan potensi
perancangan maupun korektif #P* terhadap kinerja pemerintahan. +ak-hak tersebuttidak dapat dipraktekkan secara leluasa, karena belenggu peraturan tata tertib #P*
sendiri. leh karenanya tidak menjadi aneh apabila pihak legislatif padakenyataannya lamban dalam menyikapi keinginan perubahan. +al ini dapat dilihat
secara konkrit dalam tanggapan berbagai pihak mengenai press-release Pimpinan#P*P* agar Presiden mengundurkan diri. Press-release yang dibacakan tanggal $/
ei $%%/ tersebut, 0alaupun sifatnya baru merupakan himbauan, bukan Ketetapanatau Keputusan, dianggap menyalahi "ndang-undang danatau ata ertib #P*P*.
Semenjak mencuatnya gagasan reformasi, jargon reformasi yang konstitusionalkerap dipakai kalangan eksekutif dan legislatif dalam memberikan tanggapan
terhadap keinginan reformasi. Namun jargon tersebut terkesan dipergunakan untuk
melambat-lambatkan keinginan reformasi, bahkan menyembunyikan kecenderunganmempertahankan status 1uo. leh karenanya jargon (secara konstitusional)
dipandang oleh banyak pihak sebagai tanda bagi kelumpuhan paradigma 2paradigm
paralisys3 dinamika kehidupan bangsa melalui jalur formal. Padahal akan berbahayasekali bilamana kesadaran kelumpuhan tersebut berujung pada pikiran bah0a tidak
ada jalan lain bagi perubahan, kecuali melalui revolusi.
4alan terbaik yang mendesak diupayakan sebenarnya adalah bagaimana kita sebagai
sebuah bangsa berani kembali kepada kemurnian pelaksanaan pasal-pasal undang-
1
-
8/17/2019 Pergeseran Paradigma Hukum
2/3
undang dasar kita, dan bukannya menggunakan peraturan perundangan organikatau peraturan tata tertib yang pada kenyataannya membuat kedaulatan rakyat
menjadi sulit dicapai. Sejarah ketatanegaraan kita pernah melakukan hal yang patutditeladani dalam rangka pemurnian pelaksanaan "ndang-"ndang #asar $%&'. Yakni
diadakannya peninjauan kembali produk-produk legislatif Negara yang berupaKetetapan P*S dan di luar produk P*S, yakni yang berbentuk Penetapan
Presiden, Peraturan Presiden, "ndang-undang, maupun Peraturan PemerintahPengganti "ndang-undang 2Perpu3. +al tersebut diatur dalam Ketetapan P*S No.55P*S$%66 dan Ketetapan P*S No. 5!5P*S$%66. Pelaksanaan dua
Ketetapan tersebut berhasil melakukan pencabutan beberapa produk legislatif
negara, yang isi serta tujuannya dipandang bertentangan dengan suara hati nuranirakyat.
Sebagai tindakan a0al yang sejalan dengan paradigma ini, adalah relevan untukmemenuhi tuntutan pencabutan paket lima undang-undang politik. Namun untuk
mencapai tahap reformasi yang mencukupi, segala peraturan perundangan dan tatatertib yang menghambat keberdayaan ke0enangan legislasi #P* harus secara
langsung dicabut dan diganti.
Kedua, pergeseran dari formalisme menuju substansialisme. #alam hal ini proses
pembetukan suatu hukum haruslah pertama-tama didasarkan pada materi atausubstansi peraturan perundangan yang bersangkutan, dan bukan pada bentuk
peraturan perundangannya. aksudnya adalah bah0a perlunya kedaulatan rakyatdilibatkan, yang dalam konteks negara kita melalui persetujuan #P*, bukan dilihat
bah0a peraturan perundangan yang bersangkutan akan dituangkan dalam bentukundang-undang atau peraturan perundangan di ba0ah undang-undang, misalnya
Peraturan Pemerintah atau Keppres. Namun apakah substansi peraturan
perundangan tersebut merupakan materi yang boleh dibentuk oleh eksekutif sajaataukah harus dengan persetujuan legislatif. Sebagai contoh misalnya bah0a
selayaknya setiap pembebanan ke0ajiban, terutama menyangkut ekonomi dan
finansial kepada 0arga negara haruslah mendapat persetujuan #P*. 4adi peraturan
perundangannya harus berbentuk undang-undang. Sehingga tidak dapat dituangkandalam bentuk yang untuk pemberlakuannya tidak memerlukan persetujuan #P*,misalnya Peraturan Pemerintah atau Keputusan Presiden.
Saat ini bisa dilihat bah0a peraturan perundangan berbentuk Keppres diberlakukanuntuk hal-hal yang membebani secara ekonomis kepada rakyat. 7ontoh terbaru dari
hal ini adalah Keppres Nomor 6% dan 89 tahun $%%/ tentang kenaikan harga :ahan:akar inyak dan kenaikan arif #asar ;istrik. Suatu peraturan perundangan
-
8/17/2019 Pergeseran Paradigma Hukum
3/3
diinginkan bagian terbesar masyarakat harus mendapat tempat dalam prosespembentukan hukum. Sehingga tidak perlu terjadi misalnya suatu konsensus dari
satu kelompok masyarakat pada masa tertentu mengabsolutkan keberlakuan danpenafsiran peraturan perundangan. #alam hal ini, budaya menempatkan
amandemen dan addendum yang memang dibutuhkan terhadap suatu peraturanperundangan, tidak dipersulit dengan lingkaran setan aturan mengenai referendum
yang berlaku saat ini. Sejalan dengan ini adalah pengamatan #* >dnan :uyungNasution yang menyimpulkan, bah0a tidak ada satupun negara di dunia ini yangbahkan undang-undang dasarnya sekalipun tidak bisa dirubah atau ditambah.
Secara umum upaya terbaik bagi terselenggaranya pergeseran paradigma
absolutisme menuju dinamisme adalah dikembalikannya gairah intelektualismedalam kajian konstitusi di tengah masyarakat kita. Seluruh potensi pemikiran dan
kritik dari kalangan yang seluas-luasnya mengenai tema ini perlu diperlakukansebagai sesuatu yang sah dan dihargai sebagai sebuah partisipasi dalam
menegakkan demokrasi dan kedaulatan rakyat. ingkat kesadaran ini memangmemerlukan satu metode yang perlu dipahami bersama secara lebih mendalam.
Yakni bah0a segala proses dan hasil dari kajian konstitusi bukan merupakan suatudoktrin yang ketat, sehingga menjadi tafsir baku yang alergi terhadap kritik dan
perbedaan. Segala kajian, baik itu yang bersifat resmi kelembagaan negara, semisalbutir-butir Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila 2P&3, maupun bersifat
umum dari kalangan intelektual dan masyarakat, harus diperlakukan selayaknyasebuah ilmu atau diskursus yang setiap saat siap untuk dipelajari dan dikritisi.
engenai intelektualisme ini, kita dapat mengambil hikmah dari kegairahansebagaimana terjadi pada tahap a0al kemerdekaan *epublik !ndonesia sampai
dekade pertama dari masa pemerintahan Presiden Soekarno. Seluruh komponen
kritis bangsa pada 0aktu itu ikut berpartisipasi menyumbangkan pemikirannyaterhadap konstitusi dan penafsirannya, baik berupa buku, pidato maupun bentuk
lain. :ahkan terhadap perancangan undang-undang dasar sendiri terjadi perdebatan
penting antara dua kubu yang berlainan konsep dan 0a0asannya. Yakni yang dalam
istilah sekarang sering disebut sebagai kubu integralistik, yang di0akili pemikiranSoepomo dan Soekarno, berhadapan dengan kubu liberal, yang di0akili pemikiran+atta dan Syahrir.
Selain itu di tingkat undang-undang dasar kita juga bisa belajar dari apa yangpernah dilakukan Konstituante dalam melaksanakan mandatnya untuk menyusun
konstitusi baru. ?alaupun gagal, namun gairah intelektualisme dan keberanianberfikir dalam tubuh legislatif tetap patut dijadikan contoh bagi #P* sekarang ini.
Sedangkan di tingkat undang-undang dan peraturan perundangan di ba0ahnya,intelektualisme dapat ditumbuhkembangkan salah satunya dengan memberikan hak
uji materiil 2judicial revie03, terutama pada komponen yudikatif, yakni ahkamah>gung. #engan demikian, secara kelembagaan ahkamah >gung dapat berfungsi
tidak saja sebagai agent of justice, namun juga sebagai the agent of democracy. #ansecara umum, masukan atau koreksi yuridis yang berasal dari masyarakat akan
mendapat saluran yang lebih luas, ber0iba0a, serta sistemik. Sehingga padagilirannya nanti dapat membantu membiasakan cara-cara demokratis dan
berkedaulatan rakyat ke tengah-tengah masyarakat !ndonesia.
3