bab ii pergeseran paradigma misi sepanjang …
TRANSCRIPT
BAB II
PERGESERAN PARADIGMA MISI SEPANJANG SEJARAH GEREJA
Misi Kristen mula-mula adalah melibatkan pribadi Yesus sendiri, namun kita tidak dapat
membatasi pribadi Yesus dengan rumusan apapun juga. Misi dari masa Gereja awal dapat dilihat
lebih jelas dalam pemikiran dan praktek misi yang terkandung dalam Matius. Arti misi dalam
Matius adalah memberitakan Kristus sebagai Tuhan. Dalam Matius dikatakan bahwa
berdasarkan pelayanan Yesus di dunia, kematian dan kebangkitanNya membuka jalan misi
kepada orang-orang bukan Yahudi. Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 selalu
menjadi inspirasi yang kuat dan memainkan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan
pekerjaan pekabaran injil yang dilakukan misi-misi Kristen selama berabad-abad.1
Misi adalah sebuah pelayanan berwajah banyak, sehubungan dengan kesaksian, pelayanan,
keadilan penyembuhan, perujukan, pembebasan, perdamaian, penginjilan, persekutuan,
penanaman gereja, kontekstualisasi dan lebih banyak lagi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan
misi adalah sesuatu yang baru. Gereja Kristen mula-mula tidak melakukan hal itu. Dan pada
dekade-dekade terakhir, telah terjadi peningkatan dalam penggunaan istilah ‘misi’.
Matius 28:18-20, yang sering disebut Amanat Agung, berisikan perintah kepada orang
Kristen untuk menjadikan murid, membaptis dan mengajar orang-orang di seluruh dunia.
Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 ini ‘memberikan tugas’ kepada orang Kristen
untuk melakukan kristenisasi atau orang Kristen mempunyai tanggung jawab dalam proses
pertambahan jumlah orang Kristen di bumi. Misi yang seutuhnya ini menuruti karya Yesus,
sebab misi Yesus senantiasa berlangsung dengan seutuhnya. Yesus memberitakan Injil dan
1
1
Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 7
menyembuhkan orang. Oleh karena itu konsultasi United in Mission 1998 sudah merumuskan
dengan sangat tepat: “Kita tidak berhak untuk membuat Injil impian sorgawi saja. Yesus
menyenangkan orang lapar dan membasuh kaki yang kotor. Yesus menyembuhkan orang sakit
dan menghiburkan orang yang berdukacita. Yesus memanggil orang kaya dan berkuasa untuk
bertobat. Oleh karenanya adalah merupakan suatu tugas menyebutkan nama Yesus yang melebihi
segala nama di bawah kolong langit ini (kisah Para Rasul 4 : 12) dan berjuang untuk keadilan di
sisi orang yang tertindas dan terasing.”2
Pada awal kemunculannya, misi dan pekabaran Injil dipahami sebagai dua sisi mata uang,
hal yang tak bisa dipisahkan. Pandangan tersebut menjadi usang tatkala, keduanya dianggap
memiliki fungsinya masing-masing. Adalah John Stott, yang mempelopori perubahan paradigma
di kalangan Injili tentang pengertian misi. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup
penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi.3 Murid-murid diutus untuk
melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia
tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial. Dalam pergerakan
misi, hal yang perlu diperhatikan adalah usaha untuk dapat mensejahterakan para penerima misi
tersebut. Sama halnya pergerakan misi yang terjadi di bumi Indonesia, bangsa barat (Eropa)
datang ke Indonesia untuk melakukan ‘ekspansi’. Namun selain melakukan ekspansi tentu ingin
memperkenalkan suatu kebudayaan baru bagi bangsa Indonesia pada awalnya.
Bosch merumuskan penginjilan sebagai dimensi dan aktivitas misi Gereja, dengan kata,
perbuatan, dan dalam terang situasi serta konteks tertentu, yang menawarkan kepada setiap
2
2
Beyer, Ulrich. Dr; “United Evangelical Mission, Bersekutu untuk Misi Bersama-sama” (Menggapai Gereja Inklusif); Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004, hal: 226
3
3
John R. W. Stott, Christian Mission in the Modern World, 15.
orang dan komunitas di segala tempat suatu kemungkinan yang sah untuk secara langsung
ditantang memasuki suatu reorientasi radikal atau hidup mereka yang meliputi pembebasan dari
perbudakan dunia dan kekuatan-kekuatannya serta menyambut Kristus sebagai Juru Selamat dan
Tuhan, menjadi anggota yang hidup dari komunitas Gereja, terlibat dalam pelayanan rekonsiliasi,
perdamaian, dan keadilan di dunia, serta memiliki komitmen sesuai dengan tujuan Allah yang
menempatkan segala hal di bawah Kristus.4
Gereja melaksanakan Pekabaran Injil karena adanya pengutusan, dan Pekabaran Injil
yang dilakukan oleh gereja merupakan penggenapan Misi di dunia. Di sini berarti bahwa gereja
melaksanakan Pekabaran Injil atas perintah Allah Tritunggal. Seperti Allah Bapa mengutus Putra
dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiga-Nya mengutus gereja ke tengah-tengah dunia.
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa misi gereja di dunia ini adalah menciptakan kerajaan
ALLAH dan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya serta menjadikan bumi ini
untuk layak didiami.
Mayoritas lembaga-lembaga penginjilan yang bertugas di Indonesia diprakarsai oleh
kebangkitan Pietisme dan Revival di Eropa. Sehingga, dalam perjalanan misinya, gerakan ini
bergaya Pietisme yang menekankan pertobatan perorangan dan bersikap kritis terhadap ilmu
duniawi. Kemudian juga, gerakan ini menekankan adanya penyatuan dan tidak boleh membawa
paham dari gereja-gereja tertentu darimana mereka berasal.5 Gaya Pietisme ini bahkan dianut
4
4
David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen : Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Transforming Mission Paradigm Shifts Teology of Mission), Maryknoll, New York : Orbis Books, 1991, 644.
5
5
Dr. Th. Van Den End, Ragi Carita 1 (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2006, 156.
hingga utusan-utusan zending yang datang ke Indonesia pada abad 19. Dan dalam tahun 1800-
1900, pekabaran Injil dengan realitas penjajahan (kolonialisme) semakin menonjol.6
Sejarah PI adalah bagian dari sejarah gereja. Ditinjau dari sudut tertentu dan menentukan,
Prof. J.H. Bavink membedakan sejarah PI menurut motif atau dorongan melakukan PI.7
1. Masa sesudah para rasul.
Pada masa ini, belum ada motif atau dorongan yang pasti untuk melakukan PI, semua
dilakukan dengan spontan. Namun ada catatan penting pada masa ini, bahwa PI kurang
berminat terhadap hal-hal yang berbau politik dan juga tidak berminat pada kebudayaan.
Penginjilan pada masa awal-awal kekristenan ini dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga
penginjilan yang terorganisir dengan baik, tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara
penginjilan secara perorangan dan spontan.
2. Agama Negara, sekitar tahun 350 – 1700.
Pada masa ini, motif melakukan PI adalah gerejani, politik dan pertapaan. Sehingga PI
mulai meluas hingga ke dalam dunia kebudayaan dan politik. Catatan penting masa ini
adalah Kristen dipakai sebagai agama negara dan PI berarti perluasan Negara Kristen.
3. Pietisme, Methodisme, sekitar abad ke-17.
Masa ini, PI tidak lagi mencampuri dunia politik dan melepaskan diri dari gereja
(negara). Pada masa ini, kesalehan perorangan sangat diutamakan, PI dilakukan dengan
memberi kritik kepada kebudayaan dan pelaksanaan PI dengan memberikan penekanan
pada dimensi eskhatologia.
4. Abad ke-19.
6
6
Prof. B.F. Drewes, M.Th. dan Pdt. Julianus Mojau, M.Th, Apa itu Teologi? (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2003, 55.
7
7
Venema, Injil untuk Semua, 210.
Masa ini ditandai dengan memberikan reaksi terhadap Pietisme. Badan-badan PI sudah
terlepas sepenuhnya dari unsur pemerintah, meskipun masih sering mengikuti jejak-jejak
kolonialisme. Pada masa ini, teologia yang mulai dipakai adalah teologi yang mengarah
kepada teologi liberal dengan penekanan kepada sudut-sudut sosial dan peradaban. PI
sangat giat dilakukan, namun mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Ada beberapa
motif yang dipakai untuk melaksanakan PI pada masa ini, yaitu kasih dan ketaatan.
5. Masa baru, sejak 1914.
Pada masa ini, badan-badan PI pada umumnya sudah mulai digerejanikan, gereja-gereja
‘muda’ mulai didewasakan. PI mulai berkembang ke arah oikumene, perhatian kepada
kaum awam ditingkatkan, namun penekanan PI masih pada dimensi eskhatologia. Masa
ini juga ditandai dengan adanya penghalang pelaksanaan PI yaitu nasionalisme barat dan
timur.
Pembagian sejarah PI yang dituliskan oleh Bavink di atas, sebenarnya hanya merupakan
salah satu bentuk pembagian sejarah PI yang dibuat oleh para ahli. Namun setidaknya pembagian
ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang bagaimana sejarah PI itu
berlangsung dari waktu ke waktu.
2.1. Konsep-Konsep Misi dalam Pemikiran Para Reformator
Secara langsung meskipun tidak ada pembahasan para reformator tentang penginjilan, namun
dengan belajar dasar-dasar teologis secara Apriori( Fakta yang dibela itu tetap merupakan
sesuatu yang tidak dapat dimengerti, namun ia adalah fakta yang tidak dapat disangkal) dari
mereka maka kita akan mengetahui secara biblis/tekstual, tentang pemikiran para reformator
dalam konteksnya tentang misi Pekabaran Injil. Sebut saja Calvin dari uraiannya tentang jabatan
gerejawi yang didasarkan pada Matius 28:19 yang adalah tugas gereja masa kini dari IV
Institutio, latar belakang pemikirannya adalah polemik terhadap gereja Katolik Roma yang
akhirnya seolah-olah memindahkan perhatian dari visi pekabaran Injil yang begitu jelas dalam
pasal sebelumnya(Inst.IV,4) kepada jabatan secara polemis (Inst. IV,5-6). Menurut Luther dalam
tafsirannya, Abraham menjadi berkat yang jauh lebih besar dari materi, ini tidak datang dari
pribadi Abraham melainkan asalnya dari Allah Sendiri. Kemudian menurutnya cerita mengenai
Sara di Mesir dalam tafsirannya Ia memberitakan dan mengajarkan firman Allah kepada
pembesar-pembesar Mesir, di sini Luther melihat pemberitaan firman Allah/Injil Sebagai sesuatu
yang melekat kepada Setiap orang Percaya. Secara singkat titik tolak teologi Luther adalah
misoner, tetapi tidak terwujud dalam praktek. Dinamika misionernya tidak dapat bertahan dalam
Lutheranisme. Baru Tahun 1984 ia ditemukan kembali hal ini berdasarkan kesimpulan Kirche
aus Allen Volkern. Martinus Burcer disebut sebagai “pietis” di kalangan reformator” ia
dimunculkan oleh Afred Erichson dari Strassburg. 1885, ia dikenal sebagai seorang misioner
(zendingsman), karena seruan untuk pelaksanaan Pekabaran Injil di tahun 1538. Secara ringkas
menurut A.M. Brouwer 1930. Motif-motif yang luhur dalam Pekabaran Injil sampai ke ujung
bumi tersebar dalam karya-karyanya yang penting. Burcer Bertolak dari janji yang diberikan
sesudah Kejatuhan manusia (Kj. 3:15), namun dosa makin menguasai manusia. 8
8
8
Studi Institut Misiologi Prasetia 1992: Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual.
Lihat Bagian I Perspektif Sejarah T. Kobong. Konsepsi Misi Dalam Teologi Para
Reformator(Jakarta: Prasetia, 1992)1-15. Dalam pembahasannya dengan menunjukan
secara tidak langsung dalam kaitan dengan Misi pekabaran injil menurutnya di
kesimpulan bahwa misi para reformator sangatlah kontekstual pada konteks mereka
karena reformasi sebagai tugas utama yang memerlukan segala kemampuan berteologi
agar kontra-reformasi jangan meninggalkan reformasi, reformasi sibuk membenahi
warga gereja yang merupakan prioritas utama dengan penakanan pada teaching dan
Secara Alkitabiah pemikiran, dan pemahaman iman yang juga secara langsung maupun tidak
langsung semacam ini sangat mempengaruhi konsep berpikir gereja-gereja yang lahir dari
reformasi termasuk injili, dan ekumenis, yang nampak dalam pemahaman imannya maupun
misinya yang berkembang hingga saat ini. Maka banyak teolog yang terpengaruh oleh cara
berpikir dan praktek misi yang diwariskan dari para Bapa gereja untuk menggumuli misi kristen
dalam denominasinya, dan perkembangan misi secara lebih luas.
2.2. Pengertian Penginjilan
Penginjilan adalah membagi atau memberitakan kabar baik kepada orang lain. Penginjilan
merupakan pemberitaan tentang Yesus yang hidup, mati dan bangkit sehingga otoritasNya atas
manusia sebagai Tuhan dan Raja yang sekarang ini duduk disebelah kanan Allah Bapa. Dalam
hal ini penginjil tidak boleh terjebak dalam pengertian teologis, dimana tujuannya menjadi faktor
untuk mengukur suatu penginjilan yang diperkenankan Tuhan.
Penginjilan dalam pengertian deontologis menurut Stott: Penginjilan tidak boleh
didefenisikan dalam pengertian penerima-penerima Injil, tidak boleh didefinisikan dalam
preaching. Hal ini nampak dari khotbah-khotbah, tafsiran-tafsiran dan kuliah-kuliah. Juga
dari segi kehidupan jemaat, liturgi, dan disiplin kita bisa melihat usaha pembenaan.
Reformasi juga tidak lepas dari kontra reformasi karena dalam kerangka ini kita dapat
mengerti nada-nada polemis terhadap gereja Khatoliik Roma. Konteks Politis pun kait-
mengkait dengan kedua konteks diatas dan sangat mempengaruhi jalannya reformasi.
Konteks corpus Christianum-pun masih tetap ada dan dengan demikian IPI hanya bisa
dipikirkan dalam kerangka menaklukan kuasa-kuasa yang berada di luar corpus
Christianum itu. Lebih Lanjut Gereja-gereja kita dituntut untuk mengembangkan visi
yang sama dalam konteks yang berbeda.
pengertian hasil, inti penginjilan adalah pemberitaan injil. Pemberitaan tersebut bukan tugas
dunia, bukan tugas orang tidak percaya, pemberitaan adalah tugas esensial dari gereja. Misi
termasuk penginjilan adalah mandat Yesus Kristus kepada gereja sebagaimana Ia berkata:
”pergilah keseluruh dunia dan beritakanlah kabar baik kepada segala mahkluk” (Mrk. 16:15-20).
Jadi baik penginjilan maupun persoalan sosial manusia merupakan hal yang penting untuk
perwujudan kerajaan Allah dalam arti yang luas. Namun dalam hal yang paling utama
penginjilan merupakan hal yang utama. Karena penginjilan adalah perhatian utama Injil, dimana
semua orang mendapat kesempatan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan
Juruselamat mereka. Karena gereja adalah agen penginjilan, yaitu alat untuk menyebarluaskan
injil keseluruh dunia. Penyebarluasan injil ini diikuti oleh pengaruh injil itu sendiri yang
membawa pembaharuan manusia di semua sektor kehidupan sosial.9
Maka pemikiran semacam ini telah diakui dan ditegaskan bahwa tugas penginjilan dan
kehidupan sosial gereja, keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena
itu bagian dari misi gereja yang juga penting. Namun paling utama yang harus diutamakan
adalah pemberitaan injil atau penginjilan karena gereja merupakan agen misi, maka lingkup
sosialpun akan berjalan didalam terang injil.
2.3. Misi Gereja yang Berakar pada Misi Allah
Pemikiran misi ini dilandasi atas amanat agung, kemudian secara nyata dihubungkan dengan
hakekat gereja bagi sebuah misi kristen dan, gereja itu sendiri merupakan ekspresi misi Allah.
9
9
Stott : Pengertian Penginjilan. Dalam bukunya Stevri. I. Lumintang. Misiologia
Kontemporer ( Malang: Departemen Literatur PP II, 2006) 132-148.
Oleh sebab itu gereja harus kembali kepada Alkitab sebagai dasar dan sumber misi gereja. Yesus
berkata: Damai sejahtera bagimu! Seperti Bapa telah mengutus Aku demikian Aku mengutus
kamu.” Dan Ia menghembusi mereka dan berkata: terimalah Roh Kudus” (Yoh. 20:21-22). Ayat-
ayat ini menyampaikan kepada kita tiga hal yakni pertama bahwa misi Allah Bapa juga
merupakan misi Allah Anak. Kedua, Allah Tritunggallah yang mengutus gereja kedalam dunia
ini dengan otoritas Allah Sendiri. Ketiga bahwa misi Allah adalah misi Allah Bapa, Allah Anak
dan Allah Roh Kudus.10
Selain itu Alkitab jugalah yang memberikan fondasi misi kristen. Dalam perjanjian lama
Abraham yang diutus kepada bangsa-bangsa dan kita sebagai keturunnya diutus untuk
melanjutkan misi Allah tersebut. Karena, jika dengan iman kita jadi milik Kristus, maka kita
adalah anak-anak rohani Abraham dan memikul tanggungjawab untuk semua umat manusia. Para
nabi perjanjian lama juga telah mengatakan bagaimana Allah akan menjadikan Sang Kristus ahli
waris dan terang untuk bangsa-bangsa.
Dalam perjanjian baru, Yesus juga bernubuat bahwa dari timur barat dan dari utara selatan”
dan akan” duduk makan bersama Abraham, Ishak dan Yakub di dalam kerajaan Surga (Mat
8:11;Luk13:29). Setelah klaim maha hebat bahwa” segala kuasa di surga, dan di bumi” telah
diberikanNya kepadaNya (Mat.28:18). Dalam konsekuensi universalnya itulah Ia memerintahkan
para pengikutNya untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptis mereka ke dalam umat
baru-Nya, dan mengajarkan kepada mereka semua dan demikian pula hal ini terjadi pada jemaat
atau orang kristen perdana.11 Hal ini menjadi faktor yang paling penting dalam memperkokoh
10
1
Ibid.,129-131.
11
1
John R.W.Stott, Johanes Verkuyl dkk. Misi Menurut Perspektif Alkitab
(JakartaYayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007) 10-20.
dasar berpikir tentang tugas setiap orang percaya yang diambil dari Matius 28:18-20.12 Inilah ciri
khas utama dalam paradigma misi injili yang sangat menonjol.
2.4. Kontekstualisasi Penginjilan
A. Teologi Kontekstualisasi13
Pemikiran ini mengganggap bahwa Alkitab perlu ditekankan sebagaimana kita melihat teks
dan konteks teks. Bahkan juga melihat situasi konkrit yang terjadi sebagai proses penginjilan
secara kontekstual dapat dilakukan secara dinamis. Prinsip kerja konsep kontekstualisasi
berhubungan erat dengan sifat teologi situasional. Maksudnya ialah kontekstualisasi
berhubungan erat dengan refleksi teologi yang mengaitkan teks (Alkitab) dengan konteks (situasi
kehidupan). Hubungan ini adalah suatu interaksi dinamis yang daripadanya muncullah ‘suatu
teologi kontekstualisasi” sifat teologi kontekstualisasi yang berhubungan dengan refleksi adalah
sebagai berikut:
1. Refleksi teologi bersifat kritis dan propertikal.
Penekanan yang pertama menekankan tentang refleksi teologi harus memahami teks
Alkitab dalam situasi aslinya dan berusaha untuk menerapkannya dalam situasi dan
12
1
E.B Surbakti. Benarkah Injil Kabar Baik ?(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) 29.
13
1
Y.Y. Tomatala. Penginjilan Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 1997) 63-67.
kondisi masa kini, dalam terang firman itu orang kristen pada setiap tempat menganalisa,
menafsirkan dan menghakimi sejarah.
2. Refleksi teologi secara kondisional dibungkus oleh kenyataan sejarah dan budaya dari
setiap konteks sejarah.
Di sini, dalam suatu masyarakat dari sekelompok orang kristen cara berpikir, konsep, dan
lambang merupakan alat bagi ekspresi iman tersebut.
3. Refleksi teologi kontekstualisasi berdasarkan sikap “self determination” yaitu sikap
menetapkan sendiri pandangan teologi tanpa dipengaruhi oleh refleksi teologi atau budaya asing.
Pengutamaannya terletak pada kebenaran firman Allah harus diterjemahkan dalam situasi
budaya secara keseluruhan, sehingga firman itu dapat diterima dan dipastikan menjadi milik
budaya tersebut. Refleksi teologi kontekstualisasi menuntut perlibatan diri melalui tindakan
refleksi dalam berteologi. Ajaran Alkitab harus diterapkan dalam struktur pikir dan kehidupan
budaya, sehingga Kristus menjadi Tuhan atas dan dalam setiap budaya tersebut.
B. Dimensi Penginjilan dalam Konsep Kontekstualisasi14
1. Teologi kontekstualisasi yang sah mempertahankan keunggulan supremasi Alkitab
sebagai norma iman dan perbuatan dalam setiap budaya.
2. Teologi kontekstualisasi harus menekankan kesadaran akan lingkungan sekitar sebagai
hasil karya ciptaan Allah.
14
1
Ibid.,69.
3. Teologi Kontekstualisasi yang sah harus peka atau tanggap dengan keadaan lingkungan
atupun budaya, serta harus bisa membela setiap orang yang tertindas dan melakukan pembebasn
dengan penuh kebenaran.
2.5. Paradigma Misi Ekumenis
2.5.1. Akar Oikumene
Sebelum berbicara mengenai gerakan ekumenis maka perlu diketahui terlebih dahulu kata
ekumenis/Oikumene. Kata ini berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja Oikeo yang berarti
tinggal, berdiam atau mendiami. Oleh sebab itu secara harafiah berarti tinggal atau mendiami’.
Tetapi participum ini telah memiliki arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah
geografis: Dunia yang didiami (Luk.4:5,Rom. 10:18,Ibr. 1:6 dan lain-lain). Dari sana kata ini
juga dapat berarti: Seluruh umat manusia (Kis. 17:31,19:27, Why.12:9), kemudian istilah ini
mendapat arti politik dari kekaisaran Romawi (Kis.24:5 sedangkan dari bidang politik istilah
oikumene dan oikumenis mulai dipakai oleh gereja. Oikumene seluruh dunia yang didiami dan
yang di kuasai oleh kekaisaran Romawi menjadi tempat gereja menjalani misinya.15 Pemahaman
yang modern baru muncul pertengahan abad lalu mula- mula diartikan sebagai rela untuk
melampaui dan mengatasi batas-batas konfensional yang memisahkan orang-orang kristen.
Singkat kata arti modern tidak lagi menunjuk kepada kenyataan seperti dulu tetapi kepada suatu
15
1
Christian De Jong. Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993)
2.
tujuan usaha dan pergumulan, yaitu gereja yang satu (esa) untuk itu harus diwujudkan secara
nyata. Inilah perkembangan sejarah gereja mula mula khususnya mengenai akar-akar oikumene.
2.5.2. Kemunculan Gerakan Ekumenis
Paradigma misi ekumenis yang sangat kental dipengaruhi oleh sejarah masa lalu, didasarkan
pada gejolak-gejolak dalam masyarakat terutama konflik dan keprihatinan-keprihatinan
ekonomi, sosial yang lebih luas. Secara singkat masalah-masalah ini yang kemudian
menghasilkan prinsip keesaan gereja, keutuhan ciptaan, dan konteks-konteks konkrit lainnya
menjadi hal utama dalam paradigma misi ekumenis.
Kesadaran ini pada awal puncaknya dimulai dari diadakannya pertemuan di Edinburgh 1910,
sebagai puncak dari seluruh rangkaian pertemuan yang pernah diadakan untuk membahas
tentang kesatuan gereja dan umat kristen melalui pemikiran maupun praktek misi kristen yang
luas.16 Sebagai akibatnya para teolog humanis baik dari khatolik maupun protestan, menjadi
pelopor dalam gerakan perkembangan paradigma misi ekumnis yang dikemudian hari
mempunyai ciri khas yang paling menonjol yaitu misi kemanusian dalam arti yang luas
berdasarkan konteks.
2.6. Hakekat Misioner
16
1
Ibid., 9-32. Bandingkan pula, S. Marantika. Ekumene Dalam Pembangunan
Bangsa (Jakarta: Sinar Harapan Anggota IKAPI,1983) 28.
David J. Bosch berpendapat bahwa;17 Unsur yang paling penting untuk memahami hakekat
missioner adalah (a) kegiatan missioner bukanlah terutama karya gereja melainkan sebagai
gereja yang berkarya ini adalah tugas yang berkaitan dengan seluruh gereja karena Allah adalah
Allah yang missioner dan umat Allah adalah umat yang missioner. (b) Gereja dan misi saling
terkait sejak semula, sebuah gereja tanpa misi atau sebuah misi tanpa gereja sama-sama adalah
kontradiksi. (c) Dimensi missioner dari kehidupan sebuah gereja lokal menampakan diri, antara
lain bila ia sungguh-sungguh merupakan suatu komunitas yang beribadah; ia mampu menyambut
orang luar dan membuat mereka merasa betah; ini adalah gereja yang mana sang pendeta tidak
memegang monopoli dan anggota-anggotanya bukan sekedar objek dari pemeliharaan pastoral;
anggota-anggotanya dilengkapi untuk melaksanakan panggilan mereka dalam masyarakat;
secara struktur ia lentur dan inovatif; dan tidak membela hak-hak kelompok khusus. Dimensi
missioner gereja semacam ini membangkitkan intensional yakni keterlibatan langsung-nya
didalam masyarakat; ia sesungguhnya bergerak melampaui tembok-tembok gereja dan terlibat
dalam titik-titik konsentrasi” missioner seperti penginjilan karya keadilan dan perdamaian.
2.6.1. Misi Sebagai Misio Dei
Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran misi yang luas. Misi
yang dimaksudkan ada di dalam terang Allah sendiri.18 Misio Dei bukanlah secara sempit sebagai
perluasan gereja, atau misi keselamatan dalam sejarah gereja. Namun misi ini adalah misi Allah.
17
1
David J Bosch. Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)
571-572.
18
1
Ibid.,596-601.
Allah adalah Allah yang missioner. Bukan gereja yang mempunyai misi keselamatan yang harus
digenapi didalam dunia. Ini adalah misi Sang Anak dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikut
sertakan dunia” dengan begitu, misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia
dan gereja dipandang sebagai sebuah Alat, tanda dan sakramen.,19 untuk misi Allah tersebut.
Gereja ada karena ada misi bukan sebaliknya. Ikut serta dalam misi berarti ikut serta di
dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber dari kasih yang
mengutus. Allah adalah sumber kasih yang mengutus diriNya sendiri dan misi ada karena Allah
mengasihi manusia.
2.6.2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan
Misi ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk yang ada dalam konteks perjanjian lama,
yaitu nabi-nabi mengkritik pemerintahan raja-raja karena ketidakadilan yang terjadi dalam
bangsa Israel lebih daripada itu konteks gereja mula-mula banyak pula ketidakadilan yang terjadi
dalam gereja di zaman Romawi yang merupakan sumber ketidakdilan yang besar dalam sejarah
perjalanan kekristenan. Untuk itu, sifat dari keadilan dalam injil inilah yang kini penting untuk
diperhatikan dan dicermati dalam upaya sebuah misi yang relevan meskipun hal ini sering kontra
dengan pemahaman kasih namun ini merupakan sosok dari injil yang bersifat memanusiakan
manusia karena inilah intisari yang penting untuk melihatnya dalam terang misi kekristenan
sambil mempertimbangan aspek etis yang mengaturnya yaitu bagaimana keadilan itu seharusnya
di tegakan dalam terang injil yang konkrit dan benar.20
19
1
Ibid.,571-576.
20
2
Ibid.,614-626.
2.6.3. Misi Sebagai Kontekstualisasi
Dalam menguraikan misi sebagai kontekstualisasi maka terdapat beberapa pikiran utama
yang menjadi pertimbangan misi dilihat sebagai kontekstualisasi;21
1.Misi sebagai kontekstualisasi adalah pemahaman tentang Allah telah berpaling kepada dunia.
Situasi dunia yang historis bukanlah semata-mata suatu kondisi luar bagi misi gereja; sebaliknya
ia harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke dalam pemahaman kita tentang misi,
tujuan dan organisasinya. Sikap seperti itu sepenuhnya sesuai dengan pemahaman Yesus tentang
misi-Nya seperti yang dicerminkan dalam injil-injil kita; Ia tidak membumbung tinggi ke langit
melainkan menenggelamkan diriNya ke dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang
orang miskin mereka yang tertawan, yang buta, dan tertindas. Masa kinipun, Kristus berada di
antara yang lapar sakit, yang dihisap disisihkan. Kuasa kebangkitanNya mendorong sejarah umat
manusia menuju akhir, di bawah panji-panji” lihatlah Aku menjadikan semuanya baru (Why
21:5). Seperti Tuhannya, gereja di dalam misi harus memihak, demi kehidupan dan menentang
maut, demi keadilan dan menentang penindasan.
2. Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal. Dalam
defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus dipribumikan.
Kontekstualisasi mengusulkan sifat yang eksperimental dan sementara dari semua
teologi. Selain itu untuk mengantisipasi sifat relativisme yang muncul dari teologi
kontekstual perlunya juga dimensi universal dan transenden dari teologi karena ada
tradisi-tradisi kristen yang universal yang dapat diterima secara universal. Perspektif-
21
2
Ibid.,652-662.
perspektif yang semata-mata sementara perlu diimbangi oleh suatu penekanan pada
perspektif-perspektif meta-teologis. Karena hal ini untuk pembahasan tentang
keterkaitan dari perspektif-perspektif ini dalam teologi dan budaya. Oleh sebab itu,
teologi kontekstual kini menjadi penting di pendidikan teologi dunia pertama.
3. Perlunya juga mempertimbangkan bukan hanya bahaya relativisme dalam teologi
kontekstual tetapi sikap absolutisme karena secara singkat ini terjadi di barat dan juga
tidak kebal terhadap negara dunia ketiga.
4. Kita harus memandang pada seluruh masalah ini dari sudut pandang yang lain lagi yakni”
membaca tanda tanda zaman” memang ada kemungkinan untuk kita melihat ke
belakang dan masa kini namun penekanan yang paling utama adalah dengan memakai
terang injil sebagai norma dan ketika kita berjuang demi keadilan, kebebasan komunitas,
perujukan kesatuan dan kebenaran dalam semangat kasih dan sikap tidak mementingkan
diri sendiri kita boleh diberanikan untuk melihat Allah bekerja. Keyakinan ini
memampukan kita untuk bersikap berani dan mengambil keputusan-keputusan meskipun
relatif sifatnya karena penilaian kita tidak sama persis dengan penghakiman akhir.
5. Jadi meskipun tak dapat disangkal pentingnya sifat dan peran konteks, hal itu tidak boleh
ditanggapi sebagai kewibawaan satu-satunya yang paling mendasar untuk refleksi
teologis dan untuk ini konteks secara sederhana juga memerlukan peran penting teori
secara kritis.
6. Kita juga membutuhkan dimensi penciptaan atau representasi imaginatif dari gambaran
gambaran yang evokatif- membangkitkan kesadaran. Orang tidak hanya perlu melihat
kebenaran (teori) dan keadilan(praksis) mereka juga membutuhkan keindahan simbol-
simbol yang kaya, kesalehan, ibadah, kasih, ketakjuban dan misteri. Terlalu sering dalam
tarik-menarik antara prioritas kebenaran dan prioritas keadilan, dimensi ini hilang.
2.6.4. Misi Sebagai Pembebasan
Pemikiran ini terkait kepada sebuah pendalaman tentang teologi kontekstual karena menurut
Bosch Teologi Pembebasan Adalah sebuah gejala yang berwajah banyak, yang menampakan
dirinya sebagai teologi hitam teologi hispanik, teologi Amerika latin dan sebagainya yang secara
langsung membangun pemikiran dan praktek misi yang memperjuangkan pembebasan dalam
kerangka berteologi misi.22
Kemudian lebih dari itu misi ini dalam dunia ketiga khususnya berbicara tentang inkulturasi
budaya yang mana telah diketahui bahwa ragam budaya dunia pertama kedua dan khususnya
ketiga berbeda dan untuk itulah membentuk cara berteologi yang berbeda berdasarkan budaya
masing-masing dan hal ini berdasarkan tidak terdapat misi pembebasan dari kaum misionaris
barat dan lebih penting lagi misi pembebasan ini terkait langsung dengan struktural dunia secara
global antara dunia pertama, kedua dan ketiga yang dilanda kemiskinan dalam arti yang luas
yaitu korban masyarakat baik yang dimarjinalkan dan tidak mendapat kesempatan partisipasi
aktif dimasyarakat di mana hal ini merupakan persoalan misi yang penting antara persoalan injil
juga dibantu dengan unsur etika sosial orang-orang yang mengetahuinya yang turut terlibat
22
2
Ibid., 663-685. Pendapat yang tidak jauh berbeda dapat dilihat dalam Stephen B.
Bevans. Model-Model Teologi Kontekstual(Maumere: Ledalero, 2002) 1.
Khususnya tentang tidak ada sesuatu yang disebut “teologi”; yang ada hanya
teologi kontekstual: Teologi pembebasan, teologi Asia-Amerika teologi Afrika dll.
dalam penindasan ini, ditobatkan dan disadarkan untuk memahami dan tidak menyangkali
realitas yang ada.
2.6.5. Misi Sebagai Inkulturasi23
Paradigma misi ini dimulai dengan kesadaran pluralisme budaya, yang juga pada zaman
sebelumnya dihancurkan oleh dunia barat terhadap dunia ketiga. Padahal dengan adanya
keragaman budaya maka terdapat pula keragaman teologi. Perkembangan inkulturasi ini dimulai
dari dalam teolog-teolog dunia ketiga dan bukan lagi teolog barat atau misionaris.
Perbedaan yang kedua adalah tekanannya ada pada situasi lokal di mana baik bahasa sosial
politik ekonomi keagamaan bahkan pendidikan tergabung menjadi bagian-bagian yang utuh
dalam inkulturasi. Sambil perlu diperdebatkan secara regional perbedaan kebudayaan ini apakah
ia diterima ataukah tidak. Inkulturasi juga secara sadar mengikuti model inkarnasi dalam hal ini
masalah pokok utama dari paradigma ini adalah gereja yang dilahirkan kembali dari konteksnya.
Berikutnya bahwa model inkulturasi ini harus ditata dalam bentuk Kristologis meskipun dalam
model lainnya memperlihatkan adanya interaksi kebudayaan dan injil.
Karena dengan demikian inkulturasi memberikan kesan sebuah gerakan ganda: pada saat
bersamaan ada inkulturasi terhadap kekristenan dan Kristenisasi’ terhadap kebudayaan.
Kemudian terakhir injil harus terus melakukan perjumpaan dengan budaya secara inklusif. Maka
pengalaman ini akan menjadi satu kekuatan yang menghidupkan dan memperbaharui
kebudayaan dari dalam.
Dari kepelbagaian inkulturasi yang dikemukakan inkulturasi kemudian tetap memiliki
batasannya yaitu secara sederhana pada tingkat injil yang tetap memiliki dimensi yang berbeda
23
2
Ibid., 686-700.
dengan kebudayaan dan yang kedua adalah penerimaan firman yang pada hakekatnya injil dapat
menjadi peringatan bagi kebudayaan tetapi injilpun dapat berjalan bersama-sama kebudayaan.
Dalam hakekat ini yang paling penting dari budaya dan injil adalah menciptakan suatu
kehidupan baru yang ditransformasikan secara tajam melalui proses yang saling mendukung,
ataupun bertolak belakang pada sisi atau bagian-bagian tertentu. Tetapi bahkan lebih daripada itu
kita membutuhkan interkulturasi yaitu suatu pertukaran teologi yang juga sangat penting dalam
konteks saling belajar hal-hal yang mungkin baru pada konteks yang berbeda-beda dalam tataran
lokal dengan cara berpikir yang global karena pekerjaan Allah melibatkan partisipasi seluruh
umat manusia terkhususnya gereja dimanpun berada untuk itu perlu melihat dunia lokal dengan
pikiran global.
2.6.6. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain
Pada dasarnya misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat
keberagaman agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana
menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi, yang penting untuk diperhatikan dalam
konteks berteologi misi dengan memperhatikan perbedaan yang bukan hanya dari dalam tetapi
yang lebih besar lagi yaitu dari luar agama tersebut yang berhadapan dengan agama lain,
terutama yang dikatakan Bosch tentang teologi agama agama.24
2.6.7. Misi Sebagai Teologi
Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan misi
gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai ladang misi,
24
2
Ibid., 727-731.
dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang keilmuan tentunya misi
yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah tidak hanya terbatas pada
pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa melainkan misiologi adalah upaya
berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah bidang ilmu yang melihat dunia sebagai lahan
berteologi dengan memperhatikan kenyataan kenyataan disekitarnya.
2.7. Tanah Batak sebagai tujuan misi Kristen
Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan suku. Salah satu dari suku yang banyak itu
ialah suku Batak yang menurut sejarah pada mulanya berdiam di pinggiran Danau Toba,
Sumatera Utara, Indonesia. Suku Batak dalam konteks Indonesia Raya adalah bagian dari bangsa
Indonesia. Suku ini dikenal memiliki sejumlah kebudayaan yang sejajar dengan kebudayaan
suku bangsa lain.25 Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah Batak, yang memiliki beberapa
sub-suku, di antaranya Batak Toba.
2.7.1. Antropologis Suku Batak
Pertama-tama, menurut penelitian antropologis yang pernah dilakukan, orang (atau suku)
Batak biasanya digolongkan ke dalam beberapa sub-suku (Toba, Angkola, Mandailing,
Simalungun, Pakpak-Dairi, Karo, dsb) yang termasuk apa yang disebut Melayu Kuno (Proto-
Malays) yang secara bergelombang datang dari Cina Selatan menyebar ke seluruh Asia Tenggara
melalui semenanjung Melayu pada akhir zaman es pertama. Mereka mendesak sisa-sisa suku
bangsa penduduk asli ke daerah pegunungan di pedalaman. Ribuan tahun kemudian gelombang
25
2
Ibrahim Gultom. Agama Malim di Tanah Batak, jakarta: Bumi Aksara, 2010., 1
berikut yang terdiri atas suku-suku bangsa yang disebut Deutro-Malays (Melayu Muda)
mendesak Melayu Kuno ke daerah pegunungan.26
2.7.2. Pembagian Wilayah Batak Toba
Suku Batak Toba merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Sumatera utara.
Masyarakat batak toba umumnya mendiami wilayah kabupaten Toba Samosir, yang meliputi
Balige, Laguboti, Parsoburan dan sekitarnya. Dahulu kala, ketika kerajaan Batak masih jaya
berdiri, pemerintahan nya dipusatkan di wilayah Bakara. Ketika kekuasaan dipegang oleh dinasti
Sisingamangaraja, kerajaan dibagi menjadi empat daerah yang disebut sebagai Raja Maropat,
yang terdiri atas Raja Maropat Silindung, Raja Maropat Samosir, Raja Maropat Humbang, dan
Raja Maropat Toba. Bisa ditebak, daerah Batak Toba masuk ke dalam otoritas Raja Maropat
Toba yang meliputi kabupaten Toba Samosir kini hingga pantai timur dan berbatasan dengan
kerajaan Johor Malaysia.
2.7.3. Kehidupan Suku Batak Toba
Dalam kehidupan masyarakat batak toba sehari-hari, mereka memegang prinsip-prinsip adat
maupun umum, di antaranya adalah kekerabatan (baik darah maupun suku), religi (agama
tradisional maupun modern), konsep hagabeon (doa banyak keturunan dan panjang umur).
Selain itu masih ada prinsip nilai hasangapon(kemuliaan, kewibawaan, kharisma) nilai
26
2
Simatupang Maurits, Prof. Dr. Majalah HKBP (Immanuel) sebagai Sarana Pengembangan Intelektualisme Batak Kristen, dalam buku “Menggapai Gereja Inklusif”; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung ; 2004; hal 4-5
hamoraon (mencari rezeki yang banyak) nilai hamajuon (merantau dan menuntut ilmu), nilai
hukum (menegakkan kebenaran dan mencari keadilan), pengayoman, dan mengatasi konflik
kekerabatan dengan sesama suku batak ritual-ritual adat juga tidak lepas dari suku Batak Toba.
Gambaran tentang masyarakat Batak yang diberikan orang luar biasanya kurang lengkap dan
mengandung bias, kecuali tentunya hasil peneliatian ilmiah yang dikerjakan oleh para pakar
setelah tanah Batak terbuka. Namun dapat diduga, masyarakat Batak sebelum perjumpaannya
dengan zaman modern tidaklah “semiskin” dan “seliar” yang diperkirakan orang. Masyarakat
Batak, walaupun belum memiliki teknologi yang tinggi dan pranata sosial yang lengkap telah
dapat mengatur dan mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Pertanian mereka sudah menggunakan
irigasi. Mereka mempunyai perangkat hukum (adat) yang diharapkan dapat menjamin ketertiban
masyarakat. Mereka memiliki aturan-aturan berinteraksi (yang dikenal dengan dalihan na tolu)
yang mempunyai sanksi. Mereka mempunyai lembaga-lembaga yang merupakan ciptaan mereka
sendiri. Mereka mempunyai kesenian sendiri, lengkap dengan seni sastra (terutama sastra lisan),
musik, tari, ukir, tenun, dan sebagainya, sebagai ungkapan rasa keindahan mereka dan sarana
untuk memuja dewa-dewa dan roh leluhur mereka. Mereka mempunyai tulisan sendiri.
Semuanya merupakan unsur-unsur budaya yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kehidupan
bermasyarakat yang memenuhi kebutuhan mereka pada zaman itu. Secara kultural, mereka juga
sama sekali tidak terisolasi dari budaya-budaya lain. Tulisan Batak, misalnya, merupakan
turunan tulisan yang berasal dari India Selatan, konsep-konsep keagamaan pra-Kristen Batak
juga dipengaruhi oleh konsep-konsep agama Hindu dan Budha.27
27
2
Simatupang Maurits, Prof. Dr. Majalah HKBP (Immanuel) sebagai Sarana Pengembangan Intelektualisme Batak Kristen, dalam buku “Menggapai Gereja Inklusif”; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung ; 2004; hal: 4
Agama batak berpusat pada Debata Mulajadi Na Bolon, sebagaimana yang telah
diamanatkannya: “jika penghuni Banua Tonga (manusia) dapat bertemu dengan penghuni Banua
Atas, haruslah dengan sesaji sebagai alas tangan, di mana sesaji itu haruslah bersih dan suci”,
maka kepercayaan Siraja Batak disebut Parmalim atau Parbaringin, yang selanjutnya disebut
Agama Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan pengabdian yang sunguh-sungguh,
sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti
nama Parmalim. Parmalim berasal dari kata “Par” sebagai awalan, dan “Malim” yang artinya
dalam segala kesucian badan dan rohani.28
Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Sang Khalik Besar),
dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah keluarga Raja Sisingamangaraja,29
sebab hanya Raja Sisingamangaraja dipandang sebagai perantara orang batak dengan Debata
Mulajadi Na Bolon.30 Perkembangan selanjutnya, setelah kematian Raja Sisingamangaraja XII,
pemimpinnya adalah datu (dukun) yang dipercayai mampunyai wibawa untuk meneruskan
agama parmalim, sehingga walaupun agama ini berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon,
tetapi peranan datu (dukun), sangat besar dalam acara-acara keagamaan. Datu sangat dihormati
oleh semua anggotanya, karena ia yang melangsungkan acara-acara kerohanian.31 Datu yang
mempunyai hak untuk melakukan upacara-upacara pengorbanan dan pemujaan di tempat
masing-masing, seperti pada saat sebelum dan sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada
28
2
T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74
29
2
Raja Sisingamangaraja disebut Datu Bolon yaitu dukun yang mempunyai kekuasaan yang melebihi seluruh orang batak
30
3
B. Sijabat. Ahu Sisingamangaraja, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 157
31
3
T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 75
hari penetapan jodoh, pesta perkawinan dan pada upacara kematian. Dan mereka jugalah yang
menentukan hari dan tanggal baik berdasarkan perhitungan almanak parhalaan (almanak khusus
para datu).32 Artinya selain yang bersifat kerohanian, datu juga yang memimpin upacara-upacara
dalam adat-istiadat.
Pada masa lalu, mereka kerap mengadakan pesta persembahan kurban (pesta bius) yang
dilakukan sebagai permohonan kepada para dewa untuk menghilangkan musim kemarau yang
berkepanjangan. Suku Batak Toba dahulu masih percaya kepada dewa-dewa, dan roh-roh orang
yang sudah mati. Paganisme orang Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan keagamaan
kepada dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh orang yang sudah meninggal, dan
dinamisme. Di dalam banyak tata cara dan adat istiadat, ketiga bentuk pemikiran religius ini
masih bercampur baur tak terpisah satu sama lain. Dalam penerapannya, batas-batas ketiga unsur
itu tidak tampak dengan jelas, baik ia berlangsung dalam kalangan orang biasa, di lingkungan
para pemimpin yang sudah mantap ataupun dalam praktik religius-magis.33
Didalam keseharian masyarakat Batak Toba dahulu tidak terlepas akan peran serta dewa-
dewa ataupun roh-roh nenek moyang. Dalam setiap kesempatan selalu dihubungkan dengan
dewa atupun roh (begu), oleh karena itu juga untuk memulai ataupun mengakhiri suatu pekerjaan
selalu diadakan pesta. Pesta yang dimaksudkan adalah pesta pemujaan kepada dewa ataupun roh-
roh, pesta ini sebagai cara untuk meminta berkat dari roh-roh nenek moyang ataupun para dewa,
sebagi contoh adalah pesta untuk memulai musim tanam. Pesta ini diselenggarakan setiap tahun
untuk menghindari paceklik, wabah penyakit dan kelaparan. Suku Batak Toba juga meyakini
32
u
Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 19
33
Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (yogyakarta, LKIS)2004, 73-74
bahwa roh leluhur masih berperan dalam kehidupan mereka, karena roh leluhur selalu memantau
kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, mereka juga menggelar ritual hahomion
(rahasia) supaya roh leluhur senantiasa memberikan kemakmuran dan ketentraman bagi
keturunannya.34
2.7.4. Masuknya Injil di Tanah Batak
Masuknya injil di tanah Batak tidak terlepas dari adanya penjajahan. Bangsa barat datang
untuk melakukakan ekspansi. Mereka datang selain untuk mengambil hasil-hasil perkebunan,
melakukan perluasan wilayah, dan mengenalkan suatu kebudayaan baru. Bangsa barat datang
untuk mengenalkan kebudayaan baru tersebut, bisa dikatakan sebagai ungkapan balas jasa karena
mereka telah memperoleh hasil bumi dari tanah Batak. Mereka juga merasa kasihan dengan
kebudayaan bangsa Batak dahulu yang masih terbelakang, dan belum mengenal Tuhan. Oleh
karena itu para misionaris bisa dikatakan datang bersama penjajah.
Beberapa Misi yang dilakukan oleh Gereja Kristen Barat salah satunya adalah Pekabaran
Injil di Sumatera Utara dimulai pada tahun 1824, penginjil yang pertama yakni Richard Burton
dan Nathaniel Ward utusan zending Baptist Mission Society of England sebuah lembaga
pekabaran Injil dari Inggris, mereka mencoba untuk melakukan pekabaran Injil di tanah Batak.35
Melalui dari daerah pesisir Sumatera mereka berhasil menerobos sampai ke wilayah orang Batak
Toba di daerah Silindung, akan tetapi mereka terpaksa mundur dari tempat itu karena pemerintah
Belanda menolak untuk memberi izin bekerja di daerah itu.36 Kemudian pada tahun 1834 Pdt.
34
http://www.anneahira.com/batak-toba.htm. 28/09/2011. 11.04
35
.
Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975), 45-46.
36
1
Dr.Th. Van den End. Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Cerita 2, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 182.
Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman utusan Amerika Board of Commisioners for Foreign
Missions sebuah kongsi zending Amerika (Boston) datang ke tanah Batak untuk melakukan
pekabaran Injil. Pada 23 Juni 1834 mereka meninggalkan Sibolga mengikuti jejak Burton dan
Ward ke Lembah Silindung, akan tetapi mereka berdua tewas terbunuh di Lobu Pining dalam
perjalanan menuju daerah Silindung.37 Maka Pada tahun 1840-1842 F. Junghuhn, seorang
ilmuwan antropolog Jerman datang ke tanah Batak untuk melakukan ekspedisi penelitian di
pedalaman Sumatera. Kemudian dia menerbitkan karangannya dan melalui karangannya orang
Eropa dapat mengenal orang Batak. Karangan itu sampai ke tangan tokoh-tokoh lembaga Alkitab
di Belanda, lalu pada tahun 1849 mereka mengutus H. Neubronner van der Tuuk ke Sumatera.
Van der Tuuk seorang utusan Kongsi Bible Netherland (NZG) yang merupakan perintis jalan
untuk pelayanan zending kepada suku Batak. Beliau menerjemahkan sebagian isi Alkitab
Perjanjian Lama ke dalam bahasa Batak, menulis tata bahasa Batak dan membuat kamus bahasa
Batak – Belanda. Dengan adanya misi pekabaran Injil yang dilakukan bangsa-bangsa barat, maka
dengan segera Badan Zending Rheinshe (RMG) mengalihkan konsentrasinya dalam
menyebarkan Injil ke daerah Batak dengan mengutus Pdt. D.R. Fabri ke sana.
Tanah Batak dan masyarakat Batak sebelum kekristenan sering digambarkan sebagai daerah
yang terisolasi dan “liar” serta menakutkan, suatu daerah hutan belantara yang dihuni binatang-
binatang buas dan orang-orang yang masih mempraktekkan kanibalisme. Informasi tentang
keadaan tanah Batak yang sebenarnya sulit diperoleh. Pengetahuan dunia luar tentang tanah
Batak terutama terdiri atas laporan-laporan perjalanan (ekspedisi) yang secara sporadis dan
terutama terdiri atas laporan lisan, baik yang dilakukan oleh orang luar dan orang Batak sendiri.
37
3
Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, 48-50.
Menurut penelitaian Parkin (1978), orang Batak dapat lebih mudah menerima agama Kristen
karena mereka sudah terlebih dahulu mendapat pengaruh agama Hindu (“Hindu thought”) yang
memperlihatkan adanya unsur-unsur yang mereka kenal dalam agama Hindu dan telah
mempengaruhi agama mereka sebelumnya, memiliki kemiripan dengan agama Kristen. Dengan
kata lain, pengaruh Hindu itu semacam “preparation evangelium” (Parkin, 1978).38
Dengan masuknya para penjajah ke tanah Batak seakan membuka kehidupan baru bagi
bangsa Batak. Bangsa Batak yang dahulu masih di dalam “kegelapan”, kini telah sedikit berubah
dan siap menuju era modernisasi. Meskipun penjajahan sangatlah dikecam, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa dengan adanya penjajahan akan memberikan dampak baik secara moril
maupun materil. Penjajahan di tanah batak sangatlah membantu para misionar, untuk bisa
mengabarkan injil keselamatan bagi bangsa Batak yang masih hidup di dalam kegelapan.
Para misionaris yang datang ke tanah Batak, berhasil membawa keluar bangsa batak menuju
terang. Perubahan pun banyak terjadi mulai dari kekerabatan, hukum serta agama juga
mengalami perubahan. Bangsa Batak yang dahulu hidup dalam masa kegelapan, yang masih
percaya kepada dukun dan dewa-dewa, kini berubah mereka telah mau masuk Kristen dan
memilih Yesus sebagai Juruselamatnya. Di dalam kehidupan sehari-hari juga bangsa Batak
banyak mengalami perubahan, yang dahulu masih tertutup akan keberadaan orang baru kini
menjadi terbuka. Dan sistem perbudakan juga telah hilang, bangsa Batak telah menyadai bahwa
setiap manusia itu adalah sama, yaitu merupakan mahkluk ciptaan Tuhan. Kehidupan beragama
juga berubah, bangsa Batak sudah mau untuk beribadah di hari minggu, dan mengadakan
pertemuan-pertemuan ibadah di hari lainnya. Meskipun perubahan itu tidaklah drastis langsung
38
3
Simatupang Maurits, Prof. Dr. Majalah HKBP (Immanuel) sebagai Sarana Pengembangan Intelektualisme Batak Kristen, dalam buku “Menggapai Gereja Inklusif”; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung ; 2004; hal 3-4
berubah dalam segi kehidupan bangsa batak, namun perubahan itu telah membuat bangsa batak
hidup dalam menuju kebaikan, dan telah siap untuk berubah kepada yang lebih baik lagi.
2.8. Kesimpulan Bab II
Perkembangan paradigma misi yang terus berkembang dan mengalami berbagai pergeseran
baik pada pemahaman dan praktek dalam sejarah, sampai pada pasca modern memberikan arti
dan peran yang mendalam bahwa misi itu pada hakekatnya adalah misi Allah, dan gereja hanya
sebagai alat. Karena penggenapan misi itu ada di dalam terang kerjasama Allah dan manusia.
Dengan demikian misi adalah bagaimana gereja menjawab tanggungjawabnya. Melalui
panggilannya di manapun gereja berada untuk melakukan sebuah transformasi jemaat dan
masyarakat secara luas tanpa menjatuhkan dan mengganggu siapapun dengan bahasa kasih yang
diterjemahkan dalam praktek hidup sehari-hari sebagai wujud partisipasi dalam keselamatan dan
tanggungjawab menghadirkan kerajaan Allah ditengah dunia.
Pada pemahaman-pemahaman yang telah dikemukakan baik itu misi penginjilan, yang selalu
mengingatkan dan menekankan pemberitaan firman dalam konteks, maupun komunitas kristen
yang cenderung sangat tekstual dalam kitab suci, untuk pekabaran injil, maupun dengan aksi
sosial sebagai pendukungnya yang bentuk konkritnya masih terus dalam pergumulan terutama
dalam kehidupan orang percaya. Dalam konteks dan mengkontekstualisasikan berdasarkan
Alkitab merupakan kelemahan yang konkrit dari paradigma misi Penginjilan. Karena jika semua
orang berhasil menjadi kristen, perlu dipertanyakan kualitas kekristenannya yang merupakan
proses belajar seumur hidup.
Pemahaman dan praktek misi yang telah berkembang hingga menjangkau tanah Batak
(Indonesia), merupakan sebuah langakah besar dalam pergerakan misi. Bangsa-bangsa barat
yang datang ke tanah Batak, boleh dikatakan sangat berhasil. Hal ini dikarenakan, bangsa barat
yang belum mengenal sama sekali tanah Batak, namun berani datang dan merubah kehidupan
bangsa Batak. Masyarakat Batak yang pada awalnya belum “terjamah” akan perubahan kini
dapat berubah. Dalam segi kehidupan masyarakat Batak pada zaman dahulu tentu misi yang
dikerjakan oleh bangsa barat sangatlah berat. Namun dengan kegigihan bangsa barat, maka
masyarakat batak dapat merasakan misi yang dari Allah.
Berbagai pemahaman dan praktek misi dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat Batak,
yaitu;
1. Misi Sebagai Misio Dei
Dalam hal ini Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran
misi yang luas. Tanah Batak sebagai ladang misi tentu mendapatkan Terang Ilahi dari
para Pekerja misi. Allah sebagi sumber misi, tentu telah menetapkan ataupun
menggambarkan bangsa Batak harus mendapatkan pencerahan dan hidup dari Terang
Allah.
2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan
Pada misi para misionaris yang datang ke tanah Batak tentu saja harus berhadapan
pada tetua-tetua adat (raja) yang ada di tanah batak. Mereka datang kepada raja-raja
tersebut untuk minta izin agar bisa menetap di tanah Batak, namun seiring perjalan
waktu para misionaris tentu melihat banyaknya kejanggalan-kejanggalan yang terjadi
dalam kehidupan masyrakat batak tersebut. Dan tentu saja para raja tersebut mendapat
kritik dan ajaran hidup yang benar, yang sesuai dengan Firman Allah. Maka dalam
kegiatan misi yang dibawa para misionaris tersebut dengan sendirinya kan berjalan
dengan lancar, karena para misionaris melakukan perubahan hidup didalam kehidupan
bermasyakat orang Batak.
3. Misi Sebagai Kontekstualisasi
Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal.
Dalam defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus
dipribumikan. Pemahaman orang Batak tentang Debata Mulajadi Na Bolon, masih
seperti pada agama suku, akibatnya pemahaman orang Batak tentang Injil tidak
mendasar karena pengaruh agama suku dan adat Batak.39 Pertentangan batiniah pada
orang Batak oleh karena mereka dengan jelas menyadari adanya suatu Tuhan yang
Mahatinggi yang menciptakan dunia, sehingga kekristenan orang Batak menurut
Lothar Schreiner, masih turun-temurun dari orangtua kepada anak,40 akibatnya banyak
orang Batak Kristen bukan Kristen Batak, yang hubungan orang meninggal dengan
orang hidup tidak pernah terputus. Karena orang Batak pada zaman dahulu masih
sering memuja orang yang sudah mati.
Persoalan selanjutnya, apakah suku Batak dulu hanya menerima Injil hanya sebatas
pergantian nama, tanpa mengerti akan makna dan isi daripada ajaran keristenan
tersebut? Pertanyaan ini sampai saat ini masih terus dilontarkan, sebab pada prinsipnya
orang Batak masih mengutamakan budayanya daripada agamanya, artinya kebudayaan
39
3
Krisis HKBP, Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila (Pearaja: Tarutung, 1995), 22
40
4
Lothar Schreiner, Adat dan Injil; (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 59
atau adat-istiadat lebih dijunjung tinggi dari pada agama. Pendapat ini tentu
mempunyai alasan yang sangat kuat, sebab sebelum keKristenan sampai ke tanah
Batak, orang Batak telah hidup dalam adat yang kuat, sehingga kehadiran para
missionar Pendeta Burton dan Pendeta Ward dari gereja Babtis Inggris, pada tahun
1824 tidak mendapat tempat, karena orang Batak mencurigai kehadiran mereka untuk
merusak tatanan adat telah baik dan baku.41 Namun pada sisi lain, harus diakui bahwa
Injil banyak membawa perubahan, pada suku Batak, di mana yang sebelumnya suku
batak tertutup pada dunia luar, tetapi dengan hadirnya Injil, suku Batak kini mengenal
dunia luar melalui pendidikan.
4. Misi Sebagai Pembebasan
Pembebasan orang Batak dari hidup kegelapan tentu merupakan langkah awal bagi
kehidupan orang batak selanjutnya. Para misionaris berhasil membebaskan orang
batak dari kuasa kegelapan, dari kehidupan perbudakan menjadi manusia bebas, dan
berhasil memperkenalkan kehidupan baru, kehidupan yang bersifat modern.
5. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain.
Misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat keberagaman
agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana
41
4
Ibid, Almanak HKBP, 448. (di mana tahun 1711-1824 Sumatera berada dibawah kekuasaan Inggris, namun Tapanuli tidak dapat diduduki karena kepemimpinan Raja Sisingamangaraja, sehingga kedatangan Tuan Burton dan tuan Ward dari Inggris (1824) sebagai Missionaris pertama ke Tanah Batak tidak mendapat tempat, dan karena tahun 1824, Inggris menyerahkan kekuasaannya ke tangan Belanda. Hampir bersamaan dengan peralihan kekuasaan dari Inggris ke pemerintahan Belanda, terjadi pula Perang Bonjol/Paderi di tanah Batak, sehingg kehadiran Pendeta Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman tahun 1834 yang dikirim Zending Boston, Amerika Serikat ke Tapanuli harus dibayar dengan mahal, di mana mereka berdua mati dibunuh di Lobu Pining, namun alasan yang utama mereka dicurigai untuk merusak adat batak.
menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi. Masyarakat Batak yang
sebelumnya beragama suku, yaitu Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan
pengabdian yang sunguh-sungguh, sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh
untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti nama Parmalim. Parmalim berasal dari
kata “Par” sebagai awalan, dan “Malim” yang artinya dalam segala kesucian badan
dan rohani.42 Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan
Sang Khalik Besar), dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah
keluarga Raja Sisingamangaraja.43
6. Misi Sebagai Teologi
Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan
misi gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai
ladang misi, dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang
keilmuan tentunya misi yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah
tidak hanya terbatas pada pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa
melainkan misiologi adalah upaya berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah
bidang ilmu yang melihat tanah batak sebagai lahan berteologi dengan memperhatikan
keadaan lingkungan disekitarnya.
42
4
T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74
43
4
Raja Sisingamangaraja disebut Datu Bolon yaitu dukun yang mempunyai kekuasaan yang melebihi seluruh orang batak