perempuan dan politik studi tentang aksesibilitas ...journal.unair.ac.id/download-fullpapers-108-128...

21
108 * Mahasiswa S 1 Ilmu Politik FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya Perempuan dan Politik Studi tentang Aksesibilitas Perempuan Menjadi Anggota Legislatif Di Kabupaten Sampang Mohammad Yusuf Pambudi* ABSTRAK Demokrasi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga negara yang memenuhi syarat untuk dapat memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat tanpa adanya diskriminasi terhadap suku, ras, agama, dan gender. Hal ini dikuatkan dengan adanya kebijakan afirmasi yaitu kuota 30% keterwakilan perempuan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Namun dalam prakteknya, parpol terkesan setengah-setengah dalam mengimplementasikannya karena dianggap sebagai persyaratan administratif yang sifatnya hanya formalitas. Jalan panjang yang harus ditempuh oleh perempuan untuk menjadi anggota legislatif tidaklah mudah dan butuh pengorbanan. Sehingga banyak cara yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk menembus dominasi laki-laki di dunia politik. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengambil Kabupaten Sampang sebagai lokasi penelitian. Religiusitas masyarakat Sampang telah dikenal luas sebagai bagian dari keberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi (ajaran) Islam dalam realitas kehidupan sosial budayanya. Hal tersebut memberikan pembenaran atas penempatan perempuan dalam ranah domestik dan laki- laki pada ranah publik serta melanggengkan budaya patriarki dalam kehidupan bermasyarakat. Dominasi elit politik yang mayoritas adalah laki-laki, menjadi faktor utama penghambat partisipasi perempuan di dunia politik. Melalui wawancara dengan informan yang merupakan calon legislatif perempuan pada pemilu legislatif 2009 lalu, telah memberi gambaran tentang aksesibilitas perempuan menjadi anggota legislatif di Kabupaten Sampang. Kata Kunci: Gender, Kebijakan Afirmasi, Dominasi, Budaya Patriarki, Religiusitas, Elit Politik, Aksesibilitas.

Upload: truongxuyen

Post on 27-May-2019

230 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

108

* Mahasiswa S 1 Ilmu Politik FISIP, Universitas Airlangga, Surabaya

Perempuan dan Politik

Studi tentang Aksesibilitas Perempuan Menjadi Anggota Legislatif

Di Kabupaten Sampang

Mohammad Yusuf Pambudi*

ABSTRAK

Demokrasi memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga negara yang memenuhi syaratuntuk dapat memilih dan dipilih sebagai wakil rakyat tanpa adanya diskriminasi terhadap suku, ras, agama,dan gender. Hal ini dikuatkan dengan adanya kebijakan afirmasi yaitu kuota 30% keterwakilan perempuanyang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota Dewan PerwakilanRakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor2/2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagiperempuan dalam politik, terutama di lembaga perwakilan rakyat. Namun dalam prakteknya, parpolterkesan setengah-setengah dalam mengimplementasikannya karena dianggap s e b a g a ipersyaratan administratif yang sifatnya hanya formalitas.Jalan panjang yang harus ditempuh oleh perempuan untuk menjadi anggota legislatif tidaklah mudah danbutuh pengorbanan. Sehingga banyak cara yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk menembus dominasilaki-laki di dunia politik.Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang mengambil KabupatenSampang sebagai lokasi penelitian. Religiusitas masyarakat Sampang telah dikenal luas sebagai bagian darikeberagamaan kaum muslimin Indonesia yang berpegang teguh pada tradisi (ajaran) Islam dalam realitaskehidupan sosial budayanya. Hal tersebut memberikan pembenaran atas penempatan perempuan dalam ranahdomestik dan laki- laki pada ranah publik serta melanggengkan budaya patriarki dalam kehidupanbermasyarakat.Dominasi elit politik yang mayoritas adalah laki-laki, menjadi faktor utama penghambat partisipasi perempuandi dunia politik. Melalui wawancara dengan informan yang merupakan calon legislatif perempuan padapemilu legislatif 2009 lalu, telah memberi gambaran tentang aksesibilitas perempuan menjadi anggota legislatifdi Kabupaten Sampang.

Kata Kunci: Gender, Kebijakan Afirmasi, Dominasi, Budaya Patriarki, Religiusitas, Elit Politik, Aksesibilitas.

109Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

A. PENDAHULUAN

Pembahasan permasalahan perempuandan politik selalu mengalami sebuah pasangsurut yang pada akhirnya berakhir padapenyempurnaan. Ketimpangan jumlahrepresentasi perempuan dalam legislatif, kinimendapat perhatian lebih ketika kebijakanaffirmasi terhadap perempuan dalam bidangpolitik telah disahkan melalui UU Nomor

12 Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD,dan DPRD. Peningkatan keterwakilanperempuan berusaha dilakukan dengan caramemberikan ketentuan agar partai politikpeserta Pemilu memperhatikan keterwakilanperempuan sekurang-kurangnya 30% didalam mengajukan calon anggota DPR, DPD,dan DPRD. Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 12Tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD, danDPRD menyatakan: „Setiap Partai

Politik Peserta Pemilu dapat mengajukancalon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRDKabupaten/Kota untuk setiap DaerahPemilihan dengan memperhatikanketerwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Hal tersebut menjadi titikkulminasi dari perjuangan perempuan dalammeraih kesetaraan di bidang politik. Namunpada kenyataannya, praktek afirmasi tersebutbelum membuahkan hasil yang memuaskan.

Dari banyak studi tentang gender yangmembahas tentang kuota 30% padaperempuan, lebih banyak menitikberatkanpada proses hadirnya kebijakan afirmasitersebut, penerapannya dan hasil yangdidapat. Tentu saja hasil dari studi tersebutmerupakan bukti betapa kebijakan afirmasikuota 30% pada perempuan ini menyedotperhatian banyak pihak dan memberikankontribusi pada perjuangan politikperempuan. Namun bagi peneliti dalam skripsiini, studi tersebut nyatanya belum begituefektif untuk dijadikan acuan danpembelajaran bagi perempuan untukberkiprah secara langsung dalam dunia politik.

Peneliti beranggapan bahwaproblematika utama yang dihadapiperempuan, dimulai saat dia memutuskanuntuk terjun ke dunia politik. Masuknyaperempuan ke dalam sebuah tradisi ataubudaya politik yang telah lama terkonstruksisecara pat riarki menjadi faktor utama yang

menjadi hambatan bagi perempuan secaranyata untuk berkiprah secara total di duniapolitik.

Sebagaimana tujuan dari studi ini yangmemfokuskan pada aksesibilitas

perempuan menjadi anggota legislatif,maka dalam studi ini, peneliti menitikberatkanpada permasalahan hambatan dan peluangyang dimiliki perempuan untuk menjadianggota legislatif di mana proses tersebutberhubungan secara langsung dengankuantitas dan kualitas perempuan dalam duniapolitik.

Dalam studi ini, peneliti mengkaitkanpermasalahan yang diakibatkan olehkonstruksi sosial dengan salah satu unsurbudaya yang diyakini masyarakat sangatfundamental, sensitif dan patriarki, dimanaunsur tersebut yakni sistem kepercayaan atauagama. Banyak pihak mengatakan bahwaagama juga memberikan pengaruhnyaterhadap budaya patriarki yang dipercaya dandijalankan oleh masyarakat, membuat penelitimencoba untuk mendeskripsikan aksesibilitasperempuan menjadi anggota legislatif diKabupaten Sampang.

Dalam sejarah pemilihan umum,masyarakat Indonesia masih menjadikanperempuan sebagai pilihan kedua untukmenduduki jabatan politik. Hal ini bisadibuktikan dari data yang ada dalam sejarahpolitik Indonesia sejak pemilihan pertamatahun 1955.Pada pemilihan umum pertamatahun 1955 hanya ada 3,8 % perempuan diparlemen Indonesia dan tahun 1960-an ada 6,3%. Angka tertinggi ada pada periode 1987-1992 yaitu 13 %. Tetapi turun lagi menjadi 12,5peratus tahun 1992-1997, 10,8 % menjelangSoeharto jatuh, dan hanya 9 % pada periode1999-2004. Sedangkan pada tahun 2004-2009,hanya ada 11,4 % atau sekitar 63 perempuansaja yang menjadi anggota parlemen (DPR)periode 2004-2009. Padahal jumlah anggotalegislatif di Indonesia mencapai 500 orang.Angka ini jelas belum bisa mewakili powerperempuan agar dapat bergerak lebih leluasasehingga mampu memperjuangkan aspirasikaum perempuaan secara keseluruhan.

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128110

Sedangkan di Kabupaten Sampang sendirikondisinya bahkan lebih mengenaskan lagi.Dari kesekian kali pemilihan umum legislatif,baru 1 orang perempuan saja yang dapatduduk menjadi anggota legislatif di DPRDKabupaten Sampang.

Tabel I.2Prosentase Perempuan di DPRD

Kabupaten Sampang dari masa ke masa

Sumber: diolah dari Sekretariat DPRDKabupaten Sampang tahun 2009

Merujuk dari tabel di atas, sungguh ironiketika melihat jumlah wakil perempuan diDPRD Kabupaten Sampang hanya 1 orang jikakita komparasi dengan proporsi jumlahpenduduk di Sampang yaitu laki-laki sebanyak424.545 jiwa dan perempuan sebanyak439.468 jiwa atau sebanyak 51 % penduduk

Jen is K elam in Pere mp ua n L a ki- la ki Pe riod e J um la h % J um la h %

19 50 -1 95 5 (D P R S e menta ra )

9

3 .8

23 6

96 .2

1 95 5-1 960 1 7 6 .3 27 2 93 .7 Ko n stitu ant e: 1 95 6-19 59 2 5 5 .1 48 8 94 .9

1 97 1-1 977 3 6 7 .8 46 0 92 .2 1 97 7-1 982 2 9 6 .3 46 0 93 .7 1 98 2-1 987 3 9 8 .5 46 0 91 .5 1 98 7-1 992 6 5 1 3.0 50 0 87 .0 1 99 2-1 997 6 5 1 2.5 50 0 87 .5 1 99 7-1 999 5 4 1 0.8 50 0 89 .2 1 99 9-2 004 4 5 9 .0 50 0 91 .0 2 00 4-2 009 1 1 1 0.7 55 0 89 .3 2 00 9-2 014 3 2 17 .4 9 52 8 82 .5 1

Sumber: diolah dari jurnal Perempuan dan Politik, Angelina Sondakh, Anggota KomisiX DPR – RI Fraksi Partai Demokrat, tahun 2007.

Sampang berjenis kelamin perempuan (DataBPS tahun 2009). Sungguh secara politis bukanmerupakan “equal representation” ataukesetaraan perwakilan di DPRD. Maka bisadipastikan bahwa wajah DPRD KabupatenSampang jika dilihat dari kebijakan yangdihasilkan tentu akan lebih bersifat maskulinatau akan bias gender.

Partai politik belum sepenuhnyaathome dengan kewajiban 30mencalonkan perempuan sebagai caleg (calonanggota legislatif ) nomor jadi. Yang adaperempuan justru dipasang sebagai simbolakomodatif, dengan nomor–nomor sepatuyang susah meloloskan perempuan menujukursi parlemen. Minimnya partisipasiperempuan dalam politik lebih disebabkanadanya keragu-raguan dari perempuan terjunke dunia politik. Selain itu, ada sebagianperempuan yang berpendapat bahwa politikitu keras dan hanya menjadi urusan laki-lakisehingga perempuan tidak perlu berpolitik.Pandangan tersebut barangkali membuatperempuan tidak mau memasuki dunia politik.Budaya patriarki nampaknya masih melekatpada masyarakat Indonesia.

Model yang dipakai partai padaperempuan hanya simbolik atau lips servicesebagai strategi dari partai yang ujung–ujungnya menarik konstituen memilih partaiyang ada. Tidak tahu apa alasan perempuan dipartai cuma dipajang, kesan bahwaperempuan tidak memiliki syarat standar dan

Periode Perempuan Laki-laki Jumlah % Jumlah %

1971-1977 0 0 45 100 1977-1982 0 0 45 100 1982-1987 0 0 45 100 1987-1992 0 0 45 100 1992-1997 0 0 45 100 1997-1999 0 0 45 100 1999-2004 0 0 45 100 2004-2009 0 0 45 100 2009-2014 1 2.22 44 97.

78

Tabel I.1 Prosentase Perempuan di DPR dari masa ke masa

111Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

cenderung lemah dan terbatas adalahargumentasi yang bersifat apologi ataumencari–cari kelemahan perempuan saja.Sikap ambivalensi partai yang cenderungmendua dalam melihat perempuan adalahgambaran dari sikap masyarakat kita yangbelum sepenuhnya melihat perempuansebagai kekuatan perubahan dalammasyarakat.1

Upaya affirmative action untukmendorong keterwakilan perempuan dalampolitik terus disuarakan, seperti padapelaksanaan pemilu 2009, peraturanperundang- undangan telah mengatur kuota30% perempuan bagi partai politik (parpol)dalam menempatkan calon anggotalegislatifnya. Undang-Undang (UU) Nomor 10/2008 tentang Pemilu Umum Anggota DewanPerwakilan Rakyat, Dewan PerwakilanDaerah, dan Dewan Perwakilan RakyatDaerah (pemilu legislatif) serta UU Nomor 2/2008 tentang Partai Politik telah memberikanmandat kepada parpol untuk memenuhi kuota30% bagi perempuan dalam politik, terutamadi lembaga perwakilan rakyat.

Pasal 8 butir d UU Nomor 10/2008,misalnya, menyebutkan penyertaan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuanpada kepengurusan parpol tingkat pusatsebagai salah satu persyaratan parpol untukdapat menjadi peserta pemilu. Selain itu, Pasal53 UU Pemilu Legislatif tersebut jugamenyatakan daftar bakal calon juga memuatpaling sedikit 30% keterwakilan perempuan.Lebih jauh, Pasal 66 ayat 2 UU Nomor 10/2008juga menyebutkan KPU, KPU provinsi, danKPU kabupaten/kota mengumumkanpersentase keterwakilan perempuan dalamdaftar calon tetap parpol pada media massacetak harian dan elektronik nasional.Sementara di Pasal 2 ayat 3 UU Parpoldisebutkan bahwa pendirian danpembentukan parpol menyertakan 30%keterwakilan perempuan. Lebih jauh, diPasal 20 tentang kepengurusan parpol.Politik dan Keterwakilan Perempuandisebutkan juga tentang penyusunannya yangmemperhatikan keterwakilan perempuan pal-ing rendah 30%

Melihat dari latar belakang masalah danpertanyaan-pertanyaan penelitian ini makapeneliti membuat rumusan masalahpenelitiannya adalah, Bagaimana aksesibilitas

perempuan untuk menjadi anggota legislatif diKabupaten Sampang? Apa saja hambatan yangdihadapi perempuan untuk menjadi anggotalegislatif di Kabupaten Sampang?

B. PEMBAHASANI. Posisi Perempuan dalam KonstruksiSosial di Kabupaten Sampang

Masyarakat Sampang dikenal sebagaikomunitas yang patuh dalam menjalankanajaran agama Islam. Karenanya, Sampangdapat dikatakan identik dengan Islam,meskipun tidak semua orang Sampangmemeluk agama Islam. Dengan kata lain, Islammenjadi bagian dari identitas etnik. Dengandemikian, sebagai agama orang Sampang, Is-lam tidak hanya berfungsi sebagai referensikelakuan sosial dalam kehidupan masyarakat.Akan tetapi, Islam juga merupakan salah satuunsur penanda identitas etnik di KabupatenSampang. Kedua unsur tersebut salingmenentukan dan keanggotaan seseorangdalam kelompok etnik di KabupatenSampang sangat ditentukan oleh kepemilikanidentitas Islam pada orang tersebut. Karenanyadapat dikatakan bahwa budaya yangberkembang di Sampang merupakanrepresentasi nilai- nilai Islam.

Hingga saat ini, salah satu budaya yangberkembang dalam masyarakat Sampangadalah penghormatan yang tinggi kepada pilar-pilar penyangga kebudayaan Sampang, yaknibhuppa’-bhabhu’-ghuru-rato, yang dalambahasa Indonesia berarti bapak - ibu - guru(kyai) - ratu (pemerintah). Ungkapan inisering muncul dalam pergaulan sehari-haripada masyarakat Sampang hingga saat ini.

Sistem budaya patriarki yangberkembang di Sampang juga menjadi struktursosio-religius yang memapankan posisi bapaksebagai orang yang kali pertama harusdihormati. Patriarki merupakansebuah sistem sosial yang mendukungdan membenarkan dominasi laki-laki, sehinggamenimbulkan pemusatan kekuasaan danprivilige di tangan kaum laki-laki danmengakibatkan kontrol dan sub-ordinasiperempuan serta menciptakan ketimpangansosial antar gender2. Dengan kata lain,budaya patriarki adalah kebiasaan-kebiasaanmasyarakat yang dijadikan warisan sosialdengan memposisikan laki-laki sebagaipenguasa atau pendominasi atas perempuan

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128112

dalam sendi-sendi kehidupan sosial. Secarakultural, sistem patriarki tersebutmerupakan sebuah konstruksi sosial terhadaprelasi gender antara laki-laki dan perempuan.Konstruksi sosial ini dapat berupa anggapan-anggapan masyarakat, mitos- mitos relasi gen-der dan bisa berupa kebiasaan-kebiasaan yangdianggap suatu kewajaran yang diaplikasikandalam kehidupan sosial. Kekuatan religius jugaikut menopang kemapanan posisi bapak diurutan pertama orang yang harus dipatuhi.Legitimasi agama ini menjadi sejarah awalmunculnya budaya patriarki dalam kehidupanmasyarakat. Hal ini timbul dari adanyakepercayaan terhadap Tuhan dalam suatuagama, dan kemudian muncul kesan yang telahterpatri dalam alam bawah sadar masyarakatbahwa Tuhan adalah laki-laki. Sedangkanpenempatan bhabhu’ (ibu) di urutan keduasesungguhnya tidak bisa dilepaskan daripersoalan perempuan yang berada di bawahhegemoni kaum laki- laki sebagaimana tampakdari uraian di atas. Namun demikian, orangSampang mengkonstruksi struktur (structuredstructure) yang berkembang sehingga kaumperempuan Sampang memiliki nilai khususdalam masyarakat dan kebudayaan Sampang.Nilai khusus tersebut berwujud adanyaperhatian yang lebih kepada anak perempuandibandingkan anak laki-laki. Perhatian yangkhusus tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan Sampang, seperti strukturpemukiman dan sistem kewarisan.

Pola-pola pemukiman tradisional orangSampang terwujud dalam tanean lanjang(halaman luas yang terdiri dari beberaparumah dalam satu kekerabatan). Deretanrumah yang dibangun dalam kesatuanpemukiman itu diperuntukkan bagi anak- anakperempuan. Masing-masing penghuninyaterikat oleh hubungan kekerabatan. Jika anakperempuan itu sudah menikah, suami akanmenetap di rumah yang telah disediakan olehorang tua perempuan (matrilokal).Sebaliknya, anak laki-laki akan keluar rumahsetelah mereka menikah dan menetap di rumahyang disediakan oleh orang tua perempuan.Dalam hal ini, anak laki-laki tidak memilikitempat khusus dalam keluarga mereka ataukeluarga intinya.

Demikian juga dalam hal pewarisanharta keluarga. Sekalipun orang

Sampang beragama Islam, aturan

pewarisan mengikuti sistem adat setempat.Harta warisan dibagi ketika orang tua masihhidup. Pada umumnya, perempuan akanmemperoleh bagian lebih besar daripada laki-laki. Harta warisan seperti rumah dan tanahpekarangan, umumnya, diberikan kepadaperempuan dan tidak boleh dijual kepadasiapapun. Sedangkan tanah ladang (teghalan)diberikan kepada anak laki-laki dan bolehdijual kepada orang lain. Dalam hal pembagianwarisan ini, jarang sekali laki- lakimendapatkan bagian lebih banyak. Bagiananak perempuan ini lebih banyak karenaperempuan akan menjadi tempat berpulangbagi saudara laki-lakinya jika terjadiperceraian atau kasus lainnya.

Posisi perempuan yang demikianmenjadikan masyarakat Madura sangat

menjaga martabat dan kehormatanperempuan. Dalam pandangan orang Madura,perempuan, terutama istri, merupakan simbolkehormatan rumah tangga atau laki-lakiMadura. Gangguan terhadap istri atauperempuan ditafsirkan sebagai pelecehanharga diri orang Madura. Kasus inilah yangsangat potensial mengarah pada terjadinyacarok.3

Jika disimpulkan dari penjelasan di atas,terdapat sebuah komplikasi yang diberikanoleh laki-laki mengenai posisi kaumperempuan di Kabupaten Sampang. Di satu sisi,perempuan adalah kaum yang sangat dihargai,dihormati dan dilindungi. Kaum perempuandiberikan keistimewaan secara finansial dansangat dimuliakan dalam kehidupan sosial dimasyarakat. Namun di sisi lain, hal itu secaraimplisit menempatkan posisi perempuan diranah domestik. Penempatan semacam itulahyang dijadikan alasan bagi kaum laki-laki untukmenghambat kiprah perempuan di ranahpublik dalam hal ini bidang politik. Dankesadaran untuk berkecimpung di luar ranahdomestik bagi kaum perempuan sangat sulitsekali ditumbuhkan. Mengingat kuatnyahegemoni dan dominasi kaum laki-laki sertaditambah dengan pembenaran sistemsemacam itu oleh budaya dan sistemkeagamaan.

II. Perempuan dan Politik dari SudutPandang Islam di Kabupaten SampangII.1 Hadirnya Nyai sebagai ElitPerempuan dalam Kancah Politik

113Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

Religiusitas masyarakat Sampang telahdikenal luas sebagai bagian dari keberagamaankaum muslimin Indonesia yang berpegangteguh pada tradisi (ajaran) Islam dalam realitaskehidupan sosial budayanya. Walaupun punbegitu, kekentalan dan kelekatan keislamanmereka tidak selalu mencerminkan nilai-nilainormatif ajaran agamanya. Kondisi itu dapatdipahami karena penetrasi ajaran Islam yangdipandang relatif berhasil ke dalam komunitasetnik Madura dalam realitasnya berinteraksidengan kompleksitas elemen-elemensosiokultural yang melingkupinya, terutamavariabel keberdayaan ekonomi, orientasipendidikan, dan perilaku politik. Hasilpenetrasi Islam ke dalamnya kemudianmenampakkan karakteristik tertentu yangkhas dan sekaligus juga unik.

Dalam hal ini, homogenitas masyarakatSampang khususnya perempuan yangmayoritas memeluk agama Islam telahmemunculkan sosok elit perempuan yangbiasa disebut Nyai. Di Sampang terdapat relasipatronase antara Nyai dan paraperempuannya, baik yang hidup di lingkunganpesantren maupun masyarakat umum.Hubungan patronase antara paraperempuan di Sampang dengan para Nyaidilatarbelakangi oleh kebutuhan danketergantungan para perempuan terhadappara Nyai. Ada empat kategori Nyai4 : NyaiKompolan, Nyai Pesantren, Nyai Panggung dan

Nyai Politik. Eksistensi dan peran Nyaiditopang dengan modal ekonomi, modalkultural, modal simbolik, serta modal politikyang dimiliki para Nyai. Oleh para Nyai, modalini senantiasa diproduksi, diperbaharui,direproduksi, melalui media dakwah,pendidikan, organisasi sosial keagamaan,lembaga politik serta pesantren yangberkembang pesat di Sampang. Sementara,meskipun keempat kategori Nyai memilikibeberapa kesamaan, namun mereka memilikiperbedaan motif antara Nyai yang satu denganNyai yang lainnya. Nyai Kompolan dan NyaiPesantren lebih berorientasi pada pengabdian,pengetahuan dan pemberdayaan perempuan.Sedangkan Nyai Panggung memiliki tujuanyang lebih luas, dengan motif ekonomi danpengetahuan. Dan Nyai Politik, lebihberorientasi mensukseskan proyek-proyekdan undang-undang yang lebih bersifatpragmatis dalam ekonomi. Dalam hubungan

patronase ini, antara Nyai dan para Perempuandi Sampang sama-sama memperolehkeuntungan, walaupun masih diwarna i unsurdominatif, subordinatif, meski terdapat upayapemberdayaan.

Hubungan patronase antara Nyai denganpara perempuan di Sampang, apapun motivasipribadi para Nyai, pada intinya bermaksudmemberdayakan perempuan Sampang.Kuatnya pengaruh Nyai terhadap upayapemberdayaan perempuan disana di topangoleh empat modal, yakni : 1. Modal simbolik,dimaknai sebagai hubungan kekeluargaanatau kekerabatan yang sifatnya given danberakibat pada prestise dan kemashuran yangdi peroleh dari keluarga atau nama yang disandang para Nyai. 2. Modal kultural berkaitandengan kedalaman pengetahuan(intelektualitas) para Nyai, cara memperolehdan m e n s t r a n s f e r m a s i k a n n y a .Intelektualitas para Nyai tidak ditentukanoleh perolehan ijazah pendidikan, tetapiberkait dengan pendidikan charakter buildingyang di dalami para Nyai, di peroleh darikeluarga dan pesantrennya. 3. Modal ekonomiberupa perjuangan para Nyai dalam bekerjadan memperoleh harta juga berupa harta yangdi wariskan kepada para Nyai berupapesantren dan tanah yang bisa untukmembangun suatu lembaga. 4. Modal politikberkait dengan peluang para Nyai untukmelakukan peran politik.

Para Nyai di Sampang memilikikemampuan yang tinggi dalam memahamimodal dan ketepatan menggunakan modalmelalui media para Nyai, yakni kompolan,pesantren, organisasi sosial politik dan mediamassa (radio dan televisi). Tingginyakemampuan para Nyai dalam memanfaatkanmodal melalui media tadi semakinmeneguhkan posisi para Nyai dalammasyarakat dan komunitas perempuan diSampang. Sementara perbedaan akumulasimodal di antara para Nyai, membedakan tinggirendahnya pengaruh para Nyai yangbersangkutan.

Relasi patron-klien antara para Nyaidengan perempuan Sampang di topang modalsosial dan dikuatkan reproduksi media, selainmenguatkan eksistensi sosial- ekonomi-politik para Nyai juga menguatkan posisiperempuan di Sampang, dalam arti posisisemakin meluasnya pengetahuan para

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128114

perempuan, legitimasi dan keyakinan adanyakeberkahan dalam kehidupan. Lebih jauhhubungan patron-klien para Nyai danperempuan Sampang telah berpengaruhpositif terhadap pemberdayaan perempuandan penyetaraan gender di Sampang. Para Nyaidi Sampang juga mampu menginspirasi danmemotivasi kaum perempuan untukmeningkatkan pengetahuan dan keterampilan,sehingga kaum perempuan di Sampang mampumengenali dan mampu mandiri dalammenyelesaikan setiap peroalan yang dihadapi.Artinya peran Nyai di Sampang masih sangatpenting untuk mempercepat prosestransformasi perempuan dan masyarakatSampang.

Dalam konteks ini kehadiran N y a iseringkali memberikan i l u s t r a s ipenghargaan kepada masyarakat dalamaktivitas yang dilaksanakan secara bersama-sama. Pada aktivitas tersebut, perempuan dannyai telah terjadi hubungan yang intensif danluas dalam relasi sosial kemasyarakatan. Relasiini menempatkan Nyai sebagai bagian pentingdalam relasi kuasa dan kekuasaan antarperempuan pada masyarakat tradisional.Seiring dengan otonomi daerah yangmenempatkan Nyai pada level puncak dalamstruktur sosial, tidak bisa dipungkiri akanberpengaruh pada relasi kuasa dan kekuasaanselalu melingkupi aktivitas perempuanpedesaan. Relasi ini menggiring jaringankekerabatan menjadi relasi kekuasaan antarelit masyarakat Sampang (Rozaki, 2004).

Gerak transformasi perempuan menjadisemakin menemukan eksistensinya ketikaberbagai kebutuhan dan persoalan masyarakatmenjadi bagian dari kebutuhan dan persoalanNyai rakyat. Eksistensi keperempuanan yangdibawa oleh perempuan menjadikan isu dankekuatan mobilitas sosial dengan diiringikerekatan sosial yang tinggi antara Nyai rakyatdengan perempuan. Rakyat dimaksudkansebagai komunitas perempuan yang selama inidiabaikan dalam persoalan-persoalan rumahtangga, sosial budaya, ekonomi bahkan politik.Pada beberapa tempat kita menemukan nyaitampil sebagai bagian dari kehidupan sosial,ekonomi dan politik masyarakat.

Di samping itu pilihan politik orangMadura juga didasarkan dimensi agama yaitupada partai Islam, baik itu pada masa Orde Baruatau sesudahnya5. Beberapa hal tersebut

semakin menguatkan bahwa kehadiran elitagama mempunyai posisi penting dalamkeseharian masyarakat Madura. Agama yangdijalankan oleh masyarakat Madura terustumbuh dan berkembang serta mengalamiproses perubahan dan transformasi sosial6.Transformasi sosial yang dibingkai agama iniberlangsung tidak saja di daerah pedesaandengan basis santri, namun merambah keperkotaan yang memiliki basis priyayi danpegawai. Basis ini dikelola dengan strukturyang masih oleh Nahdlatul

Ulama’ (NU), terutama yang bergerakpada organisasi perempuan seperti, Muslimatdan Fatayat. Pada tingkat struktur yang lebihrendah (basis masyarakat) mereka “hadir”sebagai dinamisator dan katalisator melaluitokoh-tokoh agama seperti kyai maupunsantri serta ustadz dan guru ngaji al-Qur’an.

III Aksesibilitas Politisi Perempuan diKabupaten SampangIII.1 Keikutsertaan Perempuan di PartaiPolitik

Partai politik adalah merupakan salah satusarana atau wadah bagi warga negaraberpartisipasi di bidang politik (Haryanto1982). Menurut Budiardjo (dikutip olehKoirudin 1994), bahwa partisipasi politikadalah kegiatan seseorang atau sekelompok or-ang untuk ikut serta secara aktif dalamkehidupan politik, yaitu dengan jalan memilihpemimpin negara dan secara langsung atautidak langsung memengaruhi kebijakanpemerintah. Kegiatan ini mencakupseperti memberikan suara dalam pemilu,menghadiri rapat umum, dan menjadi anggotasuatu partai atau interest group.

Partisipasi politik dapat terwujud dalamberbagai bentuk. Studi-studi tentang partisipasidapat menggunakan skema-skema klasifikasiyang agak berbeda-beda, namun kebanya-kanriset belakangan ini membedakan jenis-jenisperilaku menjadi (a) kegiatan pemilihan; (b)lobbying; (c) kegiatan organisasi; (d)mencari koneksi; (e) tindak kekerasan (Hun-tington dan Nelson 1994).

Berdasarkan jenis-jenis partisipasi politikdi atas, setidaknya ada tiga jenis partisipasiyang partai politik terlibat di dalamnya, yaitukegiatan pemilihan, lobbying, dan kegiatanorganisasi. Di tiga jenis partisipasi inikedudukan partai politik benar- benar

115Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

diperhitungkan dan sangat berpengaruh. Halini dapat dimaklumi karena memang peraturanperundang-undangan dan keadaanlah yangmemaksa parpol untuk terlibat langsung.

Dalam kegiatan pemilihan atau pemilu,parpol sangat berperan dan berpartisipasiaktif sebagai pemilik resources yaitu calon-calon legislator dan atau pimpinan eksekutif.Sebagai agen partisipasi politik, parpolharuslah menyediakan orang-orang terbaikyang akan duduk sebagai pihak yang terlibatdalam decision makers (pembuat kebijakan).Disinilah peran kehadiran parpol menjadipenting dalam setiap kali pemilu.

Kader-kader terbaik di parpol diajukansebagai calon-calon pemimpin bangsa untukbertarung dengan calon dari parpol lainnya.Untuk konteks Indonesia sampai saat ini hanyaparpol yang memilki keabsahan untukmencalonkan seseorang dalam pemilu.Walaupun ada wacana pencalonan secaraindependen tanpa parpol, penulis rasa masihsangat sulit dilaksanakan sekarang ini, sebabada beberapa hal penting yang tidak dikuasaidan bahkan tidak dimiliki oleh calonindependen.

Dalam konteks Kabupaten Sampang, darihasil wawancara peneliti dengan limainforman, menunjukkan bahwa beberapapartai telah melaksanakan fungsi kaderisasiterhadap kader perempuan melalui prosesrekruitmen. Beberapa juga dari informan yangberasal dari kalangan Nyai, mendapatkan aksesyang mudah untuk terjun ke dunia politik yaitudengan melalui jalur kekeluargaan yang jugamenjadi pengurus parpol, yaitu Hj. Siti Zumroh(biasa disebut Nyai Zumroh) merupakan calonlegislatif dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB,partai pemenang pemilu legislatif tahun 2009 diKabupaten Sampang) yang terjun ke duniapolitik karena nama besar keluarga yangberasal dari keturunan Kyai.

“...Dalam rangka PKB membuatkepengurusannya, dibutuhkan perempuanuntuk melengkapi kepengurusan, ... dan sayapribadi didukung oleh rekan-rekan penguruspartai PKB.. Ya berhubung memang, PKB itu,Partai PKB itu yang saya ikuti, itu PKB itudilahirkan oleh NU, dan memang kita adalahturunan (keturunan) oleh NU bahkan penegakdari NU itu sendiri dari mbah (kakek) saya KyaiMakki adalah pejuang NU, jadi ya tidak

masalah bahkan didukung...”Pernyataan tersebut sudah jelas

menggambarkan bahwa seorang Nyai diKabupaten Sampang memiliki akses yang lebihmudah untuk terjun ke dunia politik. Relasikekerabatan dari para tokoh Islam diKabupaten Sampang yang diperkuat dengankepatuhan masyarakat terhadap sosokseorang Nyai, seakan memberikan legitimasikepada para Nyai untuk berkontestasi di duniapolitik. Hal tersebut berlangsung turuntemurun akibat kondisi sosial budaya yangdibalut dalan bingkai agama Islam. Sehinggatidaklah mengherankan jika partai bersis Islamini mendapatkan dukungan suara yang sangatmassive dari masyarakat.

Lain halnya dengan informan yangberasal dari partai yang berideologikan non-agama. Umumnya calon perempuan dari partainon-agama harus berjuang lebih keras dalammenghadapi persaingan di dunia politik jikadibandingkan dengan dua informansebelumnya yang notabene memiliki statussosial sebagai seorang Nyai. Informan penelitiselanjutnya bernama Sri Rizkiyah yangmerupakan calon legislatif dari Partai GolonganKarya ini memiliki pengalaman yang berbedasaat terjun ke dunia politik.

“...Awal mula saya terjun di dunia politikitu, direkrut oleh ormasnya Golkar dikosgoro, klo ga salah. Saya langsungmenangani di GPPK, gerakan pemberdayaanperempuan kosgoro, di mana di situ saya yabanyak belajar lah untuk bagaimanabersosialisasi dengan masyarakat, bagaimanadunia politik yang sebenarnya. Akhirnya satutahun saya berkiprah disitu saya langsungdirekrut ke pengurusan golkar, langsungduduk di pengurus harian...”

Dari petikan wawancara di atas bahwamemang umumnya partai-partai besar telahmelakukan sistem rekruitmen kader secaraprosedural. Dalam artian terdapat sebuahtahapan / prosedur yang harus dijalani calonkader parpol sehingga pada akhirnya diangkatmenjadi pengurus partai. Idealnya rekrutmenpolitik adalah seleksi dan pemilihan atau seleksipengangkatan seseorang atau sekelompok or-ang untuk melaksanakan sejumlah peranandalam sistem politik pada umumnya dan sistempemerintahan pada khususnya (Surbakti,

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128116

Ramlan: 2003).Memang, mulai ada respon positif dari

partai politik dalam melakukan pemenuhankuota 30% untuk perempuan pada jajarankepengurusan partai maupun pada pencalonandi tingkat legislatif. Namun kenyataannya,langkah-langkah yang dilakukan oleh parpoldalam rangka pemenuhan kuota tersebutterkesan hanya setengah-setengah bahkansekedar formalitas saja. Hal ini terbukti saatpeneliti melakukan wawancara denganseorang calon legislatif perempuan dari PartaiBintang Reformasi yaitu Nur Laily.

“awalnya sih ya Cuma disuruh suami,apa ya, ya disuruh suami gitu aja (begitu

saja)...”

Sejumlah partai politik memberi peranstrategis kepada kaum perempuan dalamkepemimpinan partai politik. Tetapi lebihbanyak yang memberi peran figuran untuksekedar memenuhi formalitas yang ditentukanundang-undang perempuan lebih kurangditempatkan pada posisi sekretaris, bendaharaatau peran-peran yang terkait dengankonsumsi, dan kesenian. Dalam daftar calonlegislatif yang diserahkan kepada KPU,sebagian partai politik berusaha memenuhibatas minimum kuota perempuan. Karenalangkanya kader perempuan yang dimilikitidak jarang aroma nepotisme dalamrekrutmen calon anggota legislatif sulitdielakan. Soal kualitas calon perempuan masihmenjadi tanda tanya, karena tidak sedikit partaipolitik yang belum sempat menempa kader-kader perempuan yang dimiliki untukditampilkan sebagai wakil rakyat yang cerdas,dan cekatan mampu menangkap aspirasirakyat dan paham dinamika politik.

Dalam hal penentuan calon legislatif pun,beberapa partai yang calon legislatif nyasempat peneliti wawancara menunjukkanbahwa proses kandidasi di internal partaiterbilang cukup mudah. Hal ini disebabkankarena memang selain usaha partai politikdalam rangka pemenuhan kuota keterwakilan30% perempuan dalam jajaran kepengurusanpartai maupun dalam penentuan calonlegislatif, kandidasi di lingkungan partai cukupmudah juga disebabkan karena memangrendahnya minat dari perempuan itu sendiri.Stigma bahwa perempuan memang secara

kodrati berada dalam lingkungan domestik(rumah tangga) secara tidak langsung menjadikendala bagi perempuan itu sendiri untukterjun di dunia politik. Sebaliknya, seharusnyahal ini dapat dijadikan keuntungan bagi calonlegislatif perempuan yang ingin berkontestasidalam pemilu legislatif lalu. Sebab dengandemikian persaingan di tingkat partai akansemakin mudah, dan karena pilihan juga akansemakin mengerucut. Kemudahanpersyaratan untuk menjadi calon legislatiftidak dibarengi dengan pendidikan politikkepada kader- kader perempuan. Sehinggapada saat nantinya caleg perempuan ini akanbertarung di pemilu legislatif, caleg perempuanini akan mendapatkan dukungan suara darirakyat.

III.3.2 Tujuan dan Motivasi PerempuanMenjadi Calon Legislatif

Jika ditinjau dari motivasi informan untukmenjadi calon legislatif, peneliti mendapatkanjawaban yang beragam. Informan yangpertama yaitu Nur Laily yang berasal daripartai PBR mengatakan bahwa motivasinyamenjadi calon legislatif adalah untukmendapatkan kesempatan menjadi anggotaDPRD dalam hal ini untuk memperolehjabatan / kekuasaan. Informan selanjutnyayaitu Sri Rizkiyah dari Golkar mengatakanbahwa faktor finansial juga menjadi motivasidirinya menjadi anggota. Lebih lanjut informanmengatakan terdapat juga motivasi sekitarmasalah prestise / harga diri individu danharga diri keluarga dan yang lebih luaslagi prestise / kredibilitas lembaga tempatnaungannya masing-masing. Informanberikutnya yaitu Murti Ama dari PKNUmengemukakan motivasinya untukberprestasi dalam menjadi anggota legislatif,artinya jika nanti terpilih sebagai anggotadewan ia akan berbuat sesuatu demi rakyat,menjadi pengabdi rakyat danmensejahterakan rakyat secara umum bukanhanya konstituennya saja. Intinya membuatterobosan atau ide agar kesejahteraan rakyatmenjadi semakin baik.

Sementara informan yang lain, yaituNyai Jannah dari partai PPNUI mengatakanbahwa pada awalnya tidak tertarik untukmencalonkan diri, hanya mencobameramaikan suasana reformasi saja, namunlama kelamaan termotivasi untuk berupaya

117Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

walaupun bertentangan dengan hati nurani.Hal ini peneliti pandang sebagai suatudorongan yang muncul dari luar namun tidakdisertai dengan dorongan kuat yang ada padadiri informan; dan kemungkinan doronganyang demikian hanyalah sekedar ikut- ikutantanpa mempunyai suatu ambisi untukmemenangkan pesta demokrasi tersebut. Halini terbukti dengan pernyataan informan yangdengan tulus mengungkapkan kurang respectterhadap pencalonannya oleh karena berawaldari ketidak siapannya untuk menjadi caleg danbahkan dapat dikatakan sebagai “terpaksa”saja.

Informan berikutnya yaitu Nyai Zumrohdari PKB yang telah cukup memahami tugasyang harus diembannya nanti jika terpilihmenjadi anggota legislatif dengan tegasmotivasinya adalah demi mengaktualisasikanapa yang telah diperoleh selama ini, serta dalamrangka menyalurkan impiannya tentangkehidupan berpolitik di era demokrasisekarang.

Berdasarkan jawaban informan terhadapdorongan untuk menjadi caleg tersebutternyata dapat dikategorikan sebagaidorongan yang muncul dari dalam diri sendirisebagai dorongan yang kuat dengan segalaeksistensinya yang melekat di dalamnya, sertadorongan yang muncul dari luar yang ternyatadorongan itu tidaklah sekuat dorongan yangmuncul dari dalam diri sendiri. Hal ini akanmembawa suatu konsekuensi yang nyataterhadap semangat, niat yang sungguh-sungguh dan ambisi si caleg dalam setiapaktivitas selama masa rangkaian pemilu dariawal sampai akhir.

Terhadap pernyataan informan seputardorongan untuk menjadi caleg dalam pemilulegislatif 2009 yang mengemuka antara laindapat disebutkan:1. Supaya dapat mengaktualisasikan apa yang

telah diperoleh selama ini,2. Sebagai bentuk penyaluran obsesi tentang

kehidupan berpolitik3. Perubahan derajat hidup dari segi keuangan

dan martabat keluarga, serta4. Sekedar ikut-ikutan dalam rangka untuk

memenuhi kuota 30% perempuan dilembaga legislatif tanpa memperhitungkannomor urut jadi ataupun tidak.

Sementara itu terhadap tujuan yang ingindicapai untuk menjadi caleg sebagian besar

informan hanya untuk menambah wawasandalam dunia politik di era demokrasi sekarangini dan menikmati secara nyata prakteknyadengan terjun langsung ke dunia politik sertatujuan yang mulai dan sudah dalam tataran atasadalah panggilan hati nurani untukmemperjuangkan aspirasi rakyat. Hal inilahdalam kenyataan yang seringkali disangsikanoleh rakyat sendiri, karena kehidupan artisyang sangat jauh berbeda dengan kehidupanrakyat kebanyakan, akankah artis yang nantiduduk sebagai anggota legislatif akanbenar-benar memperjuangkan aspirasirakyat?. Dalam perjuangan ini seringkali yangdirasakan adalah sesuatu yang tidakmenyenangkan, apakah artis mampu terusberjuang untuk itu?

Terdapat dorongan yang sifatnya spesifikhanya untuk golongan/kelompok tertentuyakni dalam hal ini kaum perempuan,dengan adanya keinginan memperjuangkanketerwakilan kaum perempuan di lembagalegislatif di mana selama ini perempuandianggap negatif, sehingga dengan menjadianggota legislatif menjadikan perempuanlebih dihargai. Namun tujuan ini ternyatalemah karena informan menyatakan: “Jikanggak jadi ya nggak masalah mesti disyukuri.Suatu kehormatan bila dipercaya, sebenarnyatidak pantas menjadi wakil rakyat, namundiberi kesempatan melalui partai politikamanah rakyat jangan disia-siakan.”Nampaknya nuansa ini berkembangkhususnya di kalangan caleg perempuan,karena adanya ketentuan peraturanperundang-undangan (UU No.12 Tahun 2003tentang Pemilu anggota DPR, DPRD Provinsidan Kota/Kabupaten serta DPD) yangmemberikan kuota 30% perempuan, sehinggacalon yang muncul hanya sekedar pelengkapsaja.

Berkaitan dengan untung ruginya menjadicaleg, informan sebagian besar tidak sekedarmempermasalahkan untung ruginya menjadicaleg, tetapi sebagai bentuk kepeduliannyaterhadap perkembangan kehidupan demokrasidi Indonesia. Namun terdapat juga anggapanakan adanya keuntungan bagi masyarakatkarena suara rakyat perwujudanharapan-harapan (ekspektasi) mereka.Dengan demikian keuntungan itu adalahkeuntungan bersama serta perjuangan demibersama juga.

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128118

IV Hambatan Calon Legislatif Perempuandalam Merebut Akses Politik menuju kursiDPRDIV.1 Hambatan Politik

Sejarah panjang perjuangan perempuandalam dunia politik sangatlah dinamis dan padaakhirnya menyisakan pertanyaan “Mengapa”dan “Apa”. Mengapa partisipasi perempuandalam dunia politik sangat rendah? Apapenyebab partisipasi perempuan dalam duniapolitik ini sangat rendah? Tentu sajajawabannya adalah karena dalam prosesnya,perempuan akan menjumpai hambatan yang“sengaja” diciptakan oleh sistem dan kemudiandijalankan dan dilanggengkan oleh elit politikyang dalam hal ini adalah laki-laki. Hambatan-hambatan ini yang menjadi penghalang secaralangsung maupun tidak langsung terhadapperjuangan perempuan untuk merebut aksesdi dunia politik. Berikut adalah beberapahambatan politik yang dialami perempuanyang terjun ke dunia politik di KabupatenSampang.

IV.1.1 Hambatan Kelembagaan / InstitusiPolitik

Institusi politik dalam hal ini partai politikmenjadi instrumen paling penting dalamrangka meningkatkan partisipasi perempuandalam dunia politik. Sebab salah

satu fungsi yang dimiliki dan harusdijalankan oleh partai politik adalah fungsipendidikan politik, sosialisasi politik, dankaderisasi politik. Sistem kepemiluan d In-donesia masih memberikan dukunganterhadap kekuasaan yang dipegang oleh elitpolitik, meskipun sistem daftar calon terbukasudah mulai diperkenalkan pada pemilu.

Dalam sistem yang baru ini, pemilih bisamemilih partai politik, atau parpol dan calonlegislatif, atau calon legislatif dari daftar calon.Peraturan pemilihan umum ini diharapkandapat mendobrak monopoli pimpinan parpoldalam menentukan siapa yang akan mewakilikepentingan rakyat. Meskipun demikian,sistem baru ini tidak membawa banyakperubahan. Di pemilihan umum yang palingterakhir, hanya satu orang dari 171 calonlegislatif perempuan mencapai ambang bataspemilu. Berikut adalah beberapa hambatanpolitik yang dialami perempuan dalam partaipolitik.

Elit Parpol. Kebijakan yang diambil oleh

elit parpol tentang penetapancalon legislatif, nomor urut, daerah

pemilihan, serta penetapan calon terpilih,dalam kenyataannya masih bias gender.Praktik yang berlaku di masyarakat luas padaakhirnya berdampak pada cara-cara parpolberoperasi.. Bagi perempuan, hal ini seringkaliberarti nama mereka tidak akan tercantumsebagai nomor urut awal di daftar calonlegislatif dari parpol mereka, danketidakmampuan mereka bernegosiasi dalamsistem ini. Partai- partai politik di Sampangtidak berinvestasi dalam pengembangan kadermereka. Perempuan tidak terpilih untukmenduduki posisi-posisi pengambil keputusandi dalam struktur partai, karenanya merekatidak memiliki kesempatan belajarketerampilan di bidang politik. Karenamarjinalisasi dan pengecualian perempuandalam struktur partai, mereka tidak mampumempengaruhi agenda-agenda politik yangdiusung oleh partai mereka.

Pengurus semua partai politik sebagianbesar adalah laki-laki yang pada

umumnya tidak memiliki perspektif gen-der. Bila ada ketua atau pengurus perempuan,pada umumnya tidak di posisi kunci dan belumtentu berwawasan gender juga. Seperti yangdisampaikan oleh informan Nyai Jannah,“kalau laki-laki jelas-jelas kan keluar siangmalam kan dekat (bebas), kalau perempuankan terikat rumah tangga...”. Budaya dankebiasaan di partai sangat “macho” danperempuan menjadi terpinggirkan, misalnya

: melakukan rapat di malam hari ataubahkan diluar kota dan kurang mendapat porsi

yang memadai dalam pendidikan politik/kaderisasi disemua tingkatan. Kepercayaanyang diberikan pada umumnya juga tidakbesar sehingga perempuan menjadi kurangberpengalaman dibanding dengan mitra laki-laki yang mempunyai keleluasaan secara kulturdan struktur dibanding perempuan sejak lamademikian juga ditengah masyarakat masihterjadi peminggiran perempuan sehinggauntuk rekrutmen jabatan public oleh parpolmaka perempuan masih belummemperoleh porsi semestinya. U n tu kperubahannya diperlukan political will dariparpol dengan menerapkan kebijakan khusussementara atau biasa dikenal dengan afirmasi.

Elit parpol menggunakan kekuasaan yangdimilikinya untuk kepentingan pribadi.

119

Sehingga pun kebijakan yang dihasilkan akanmerugikan perempuan.

Penetapan nomor urut dan daerahpemilihan. Nomor urut tidak dapatdipungkiri menjadi salah satu faktor yangmenentukan apakah seorang calon legislatifterpilih atau tidak. Walaupun saat ini sistemyang dipakai dalam pemilu legislatif adalahsistem proporsional terbuka dalam hal iniadalah sistem suara terbanyak. Sistem inidiharapkan dapat mendongkrak jumlahanggota legislatif perempuan. Nomor urut awal(1 atau 2) terbukti mendapatkan suara yangcukup signifikan dalam pemilu legislatif lalu.Hal ini cukup membantu sebab nomor urutawal ini cukup mudah diingat dan posisinya disurat suara tidak terlalu membingungkan.Sedangkan kelima informan mendapatkannomor urut buncit yang menyebabkanperolah suara mereka tidak sebanyak daricaleg dengan nomor urut awal. Nyai Zumrohdari PKB dengan nomor urut 7, Sri Rizkiyahdari Golkar dengan nomor urut 7, Murti Amadari PKNU dengan nomor urut 9, Nyai Jannahdari PPNUI dengan nomor urut 2, dan Nur Lailydari PBR dengan nomor urut 2. Seperti yangdikatakan oleh informan Sri Rizkiyah. “kalauurusan nomor urut itu tergantung berapa lamadia mengabdi di partai”. Dan penetapan nomorurut itu juga merupakan wewenang dari elitpartai.

Penetapan daerah pemilihan jugamemegang peranan penting bagi calonlegislatif untuk mendapatkan suara.Penempatan seorang calon pada daerahpemilihan yang sudah “dikuasai” dalam hal inicaleg telah memiliki popularitas danelektabilitas yang cukup tinggi di suatu daerahpemilihan, akan memiliki peluang yang lebihbesar untuk terpilih menjadi anggota legislatif.Namun sayangnya, kebijakan parpol yangmenempatkan caleg perempuan pada daerahpemilihan yang “tidak dikuasai” jugaberdampak pada jumlah perolehan suara.Informan Murti Ama yang merasa optimisdengan perolehan suaranya jika di tempatkanpada dapil V (Omben, Camplong) karenamemiliki peluang yang lebih besar. Namunkebijakan partai berkata lain.

“Yang menjadi hambatan saya waktu itu,pertamanya saya ingin berangkat dair dapil V,Cuma waktu itu ada anggep (anggap) sajawaktu itu yang jadi sesepuh menaruh saya di

dapil I, sebenernya saya ga (tidak) mau, Cumamau gimana (bagaimana) lagi, wong katanyaanggep yang nyari masa ya itu”

Kebijakan yang merugikan perempuansemacam ini jelas-jelas menjadi hambatan bagiperempuan untuk bisa tampik di dunia politik.Sebab perempuan secara tidak langsungdipinggirkan oleh elit yang bermain untukkepentingan pribadinya sendiri.

Pendidikan Politik. Salah satu fungsiparpol adalah untuk memebrikan pendidikanpolitik pada seluruh kadernya tanpaterkecuali. Dengan demikian, pendidikanpolitik ini bertujuan untuk m e n c e t a kkader-kader yang mumpuni, berkualitas,cerdas, dan siap untuk mengikuti seluruhagenda politik baik itu dalam agenda partaiataupun dalam pemilihan unum. Dalam halpemilihan umum legislatif di KabupatenSampang tahun 2009 lalu, informanmenyatakan bahwa partai terkesan setengah-setengah dalam menyiapkan kader-kaderperempuan untuk menjadi anggota legislatif.Lemahnya pendidikan politik yang diberikanoleh parpol kepada caleg perempuan yangakan bertarung pada pemilu legislatif,merupakan salah satu penyebab kekalahanmereka.

Kebocoran Suara pada Pemilu.Keputusan Mahkamah Konstitusi yangmenetapkan calon terpilih pada pemilulegislatif melalui penghitungan suaraterbanyak, rupanya telah menimbulkan prokontra di kalangan parpol. Bagi pihak yang propada putusan ini, khususnya caleg perempuan,merasa diuntungkan karena mereka jugamempunyai kesempatan yang sama dengancalon laki-laki untuk menjadi anggota legislatif.Sistem suara terbanyak ini menjadikan semuacalon legislatif baik perempuan ataupun laki-laki untuk sama-sama berusahamemperoleh dukungan sebanyak-banyaknya dari masyarakat pada pemilulegislatif.

Namun bagi pihak yang kontra, yaitu yanganti dengan sistem suara terbanyak ini merasadirugikan. Calon legislatif yang duduk dinomor urut awal akhirnya kehilangankesempatan untuk menjadi anggota legislatif.Karena posisi mereka akan sejajar dengancaleg yang memiliki nomor urut buncit. Calegyang sudah memiliki masa jabatan cukup lama

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128120

di parpol atau yang telah “membayar” untukmemperoleh nomor urut awal, merasa kecewadengan putusan MK ini. Akhirnya timbullahniatan untuk menghalalkan segala carauntuk menjadi calon terpilih. Yaitudengan membelokkan suara untukkepentingan pribadi. Hal ini sesuai denganpernyataan Nyai Zumroh yang merasa telahkehilangan suara pada penghitungan suarapileg 2009 lalu.

“... saya tidak membuat saksi pribaditidak, menurut saya cukup partai, ya kalaupartai tidak mendukung ya ndak (tidak) jadimas, kan bisa dibelokkan.. ya misalnya PKB,PKB, PKB nanti dipasang ke sapa yangdimaui...”

Hal senada juga disampaikan oleh SriRizkiyah yang bertarung di dapil V.

“dengan kenal saya, dengan saya bicara,walaupun cuma jual omongan saja, merekarespect, terbukti hasilnya memang sayamengejutkan kemaren itu, dalam artian PakYuti7 saja sempat ciut kemaren itu, karenamungkin ada permainan dan lain sebagainyasehingga saya tidak menguasai PPK nyasampai ke tingkat kecamatan tidak sayakawal, suara saya hilang percuma, terbuangsia-sia...”

Dari petikan wawancara tersebut,tampak jelas bahwa ada oknum yangmelakukan kecurangan pada penghitungansuara pemilu. Oknum tersebut menggunakanotoritas yang dimiliki untuk kepentingandirinya sendiri. Tidak hanya itu, usaha untukmenghalalkan segala cara ini tampaknya telahberhasil menghambat tampilnya calon legislatifperempuan menjadi anggota legislatif.

IV.1.2 Money Politic / Politik UangIronis memang, negeri penganut sistem

demokrasi ini, dalam pelaksanaanya selaludikotori dengan cara-cara yang tidak baik.Money politic kini tidak hanya terjadi ditingkatpemerintahan pusat, tapi sudah sampaidipelosok daerah yang jauh dari pusatpemerintahan. Sudah tidak asing memang,bahkan pelakunya tidak lagi sembunyi-sembunyi tapi sudah berani terang-terangan.Baik lewat sumbangan sarana prasarana,

perbaikan jalan, renovasi sarana sosial, sampaimasing-masing individu menerima uang“panas”, dengan syarat memberikan suaranyapada ajang pemilihan dan pemungutan suara.

Dalam proses pendaftaran calon legislatifdi tingkat partai, istilah “uang pendaftaran”sekarang sudah marak dilakukan. Praktikseperti ini merupakan sebuah kelaziman yangdilegalkan dalam setiap agenda politik. Dalamkonteks pemilu legislatif di KabupatenSampang tahun 2009 lalu, seringkali dijumpaipraktik politik uang baik dalam internal parpolmaupun pada saat berkampanye dimasyarakat. Hal tersebut dibenarkan olehinforman tentang adanya uang pendaftaranpada saat proses kandidasi di tingkat parpol.Jumlahnya pun beragam sesuai dengankeputusan setiap parpol.

Murti Ama yang berasal dari PKNUmengatakan bahwa pada saat dia mendaftarsejumlah uang sebagai syarat administratif.Berbeda dengan Nyai Zumroh dari PKB yangmengatakan secara eksplisit adanya uangpendaftaran pada saat kandidasi di tingkatpartai yang jumlahnya cukup fantastis.

“...keputusan partai itu, dulu membayar kepartai itu 10 juta, dengan perjanjian, nantikalau tidak jadi yang 7,5 nya biar dicicil olehyang jadi. Akhirnya ada keputusan lain, bahwasudah kembalikan saja 5 jutanya, yang 5jutanya ga (tidak) usah dicicil, anggap hilangsebagai pendaftaran”

Yang sangat disayangkan ternyatakeputusan partai yang menetapkan adanyauang pendaftaran untuk menjadi calon legislatifjuga menjadi faktor penghambat bagiperempuan. Sebab tidak semua perempuanyang mendaftar menjadi calon legislatif beradadalam kondisi finansial yang baik. Sehinggamereka terpaksa harus berhutang untukmemenuhi uang perdaftaran yangdipersyaratkan oleh partai.

Jual beli suara. Bentuk lain dari politikuang pada pemilu legislatif di KabupatenSampang tahun 2009 lalu adalah praktik jualbeli suara. Suara calon perempuan yangkurang dari batas yang dipersyaratkan sebagaicalon terpilih, dibeli dalam arti yangsebenarnya oleh mereka yang kekurangansuara. Dalam hal ini praktik jual beli suara

121Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

dilakukan oleh kebanyakan calon laki-lakiyang memiliki modal yang banyak. Sepertipengakuan dari informan Nur Laily dari PBR.

“jadi awalnya, suara yang sudah masukke suara terbanyak itu dibeli. Iya tapi sudah

ada perjanjian harga segini. Waktu itupersuara Rp 5.000,-“

Pada saat itu Nur Laily mendapatkansekitar 1500 suara. Jika satu suara dihargai Rp

5.000,- maka informan ini mendapatkanuang sejumlah tujuh juta lima ratus ribu rupiahdari hasil menjual suaranya.

Pelaku praktek money politic ini tentumengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalammenjalankan prakteknya tersebut, sehinggasetelah dia menerima kekuasaan makaterjadi penyelewengan kekuasaanseperti eksploitasi APBD, kapitalisasikebijakan, dan eksploitasi sumber daya yangada sebagai timbal-balik atas biaya besar padasaat pelaku money politic itu melakukankampaye.Perlunya penafsiran ulang mengenaikeputusan Mahkamah Konstitusi dalammenyelesaikan masalah- masalah di pemiluyang terkadang menyalahi aturan UU yangberlaku. Calon-calon dalam pemilu pastimelakukan kampanye, kampaye inimemerlukan dana yang tidak sedikit. Banyakpihak-pihak yang membantu pendanaan dalammelakukan kampanye suatu partai atauperorangan, namun hal ini terkadang bisa disebut suatu penyuapan politik. Pihak-pihakyang memberikan pendanaan biasanyamengharapkan imbalan setelah partai atauperorangan tersebut terpilih dan memegangkekuasaan. Misalnya, anggota legislative yangterpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihaktertentu khususnya pihak yang mendanaipartai atau perorangan dalam kampanyetersebut. Dalam pemilu banyak aksi moneypolitic yang dapat memengaruhi hasil pemilukarena aturan yang tidak tegas bahkan petingginegara seperti badan legislative, eksekutif, danyudikatif beberapa diantaranya bisa di suapsehingga petinggi negara yang memilikikekuasaan tersebut dengan mudah dapatmenetapkan kebijakan-kebijakan ataumelakukan kecurangan yang menguntungkanpihak yang memiliki banyak uang tesebut.

Penjelasan tentang hambatan politik di

atas telah mendukung teori oligarki parpolyang digunakan oleh peneliti dalammenganalisis aksesibilitas politik perempuanmenjadi anggota legislatif di KabupatenSampang. Oligarki memang menjadi sumberbahaya untuk demokrasi sekaligus bencanauntuk publik. Oligarki merefleksikankebiasaan para penguasa yang sukamenghimpun keuntungan ekonomi dan politikke dalam lingkaran kekerabatan kekuasaan.Kekuatan ekonomi dan keunggulan politikyang diamankan di satu tangan kekuasaanmenjelaskan oligarki politik. Jika membacaKabupaten Sampang dalam sudut pandang itudapat dikatakan bahwa figur baru politik diSampang berada pada kekuatan yang memilikiakar yang sama. Mereka menguasai sumber-sumber ekonomi politik di Indonesia.

Skenario demokrasi yang harusdipentaskan di atas panggung kekuasaanmemang sedang ditangani sutradara yangbernama kaum oligarki politik. Mereka yangmenentukan bagaimana demokratisasi harusmengalir. Mereka yang memastikan ke arahmana keuntungan keuntungan ekonomi-politik merembes dengan rapi. Tidakterbantahkan konsolidasi dua sisi kekuatan itumembawa implikasi yang rumit dan penuhrisiko untuk masa depan demokrasi danperadaban politik di Kabupaten Sampang.

Oligarki partai yang sangat kentaldirasakan dalam setiap tarikan napas dan gerakpartai politik. Hal ini menjadi hambatan utamabagi perempuan parpol. Tidak adanyaketerbukaan dalam rekrutmen serta absennyakebijakan khusus sementara internal partaijuga memberikan kontribusi lambannyapeningkatan partisipasi perempuan dalampolitik, misalnya : tidak adanya bantuankeuangan atau alat peraga kampanye bagi calegperempuan, penempatan pada nomor urutawal yang membuka ruang keterpilihan lebihbesar, kepastian daerah binaan kader dan tidakdipindahkan ke dapil lain menjelang pemilu.Hal-hal lain adalah masih hidupnya budayaKKN, sistem pemilu yang berubah secaramendadak dipenghujung masa kapanye yangpanjang, pragmatism caleg dan juga pemilih.

Bila seorang kader perempuan, sekalipunsangat potensial, berani mempertanyakanapalagi mempermasalahkan kebijakan partai/pimpinan, sudah pasti akibatnya akan sangatfatal baginya alias bunuh diri dan kariernya,

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128122

tidak mendapat “kapling” dalam jabatan partaidan daftar calon. Maka sangat dimengertibahwa menghadapi oligraki partai yangsedemikain rupa, kader perempuan partaisebagus dan sekuat apapun, tidak dapat secaraleluasa “menyuarakan” aspirasinya karenaakan berdampak pada penilaian akan normakepatuhan, loyalitas dan integritas kepadapartai dengan tolak ukur Anggaran Dasar danAnggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.

IV.2 Hambatan StrukturalIV.2.1 Hambatan Pribadi dan Psikologis

Dunia politik yang begitu keras yangmenuntut perjuangan dan pengorbanan secarapenuh, nampaknya memang penyebab darirendahnya partisipasi perempuan di duniapolitik. Kurangnya rasa percaya diri dari kaumperempuan serta belenggu kodrati yangmengharuskan perempuan berada dalamsebuah kewajiban mengurus rumah tangga,merawat keluarga, serta pekerjaan domestiklainnya membuat perempuan menjadi raguuntuk berkontestasi dalam politik. Sepertipernyataan dari informan Nur Laily berikut ini.

“Mungkin kendalanya kalau perempuanini kurang luwes kalau ke masyarakat,mungkin lebih banyak malu”

Kaum perempuan m e m i l i k iperan ganda yang jauh lebihbanyak dibandingkan laki-laki. Masalahmempersatukan keluarga dengan pekerjaanbagi perempuan jauh lebih rumit dibandingkandengan laki-laki, karena perempuan secaratradisional selalu diasumsikan untuk selaluberada dekat dengan anak-anaknyasepanjang hari, sekaligus mengerjakanpekerjaan rumah tangga. Akibatnya,perempuan pekerja mempunyai tuntutanperan simultan dari pekerjaan dan keluarga.Perempuan masih sering diposisikan sebagaipihak yang harus bersikap “menerima” tanpaperlawanan (reserve) sehingga pada akhirnyakaum perempuan lebih dilihat sebagai objekdari pada sebagai subjek yang menjadi mitrakaum laki-laki.

Perempuan berkeluarga seringmengalami hambatan-hambatan tertentu,khususnya persoalan izin dari pasanganmereka. Banyak suami cenderung menolakpandangan-pandangan mereka dan aktifitas

tambahan mereka diluar rumah. Kegiatan-kegiatan politik biasanya membutuhkantingkat keterlibatan yang tinggi danpenyediaan waktu dan uang yang besar, danbanyak perempuan sering memegang jabatan-jabatan yang tidak menguntungkan secarafinansial. Pengecualian terjadi ketika kaumperempuan mendapat jabatan-jabatan yangdianggap menguntungkan secara finansial,seperti terpilih menjadi anggota legislatif.

IV.2.2 Hambatan Sosio-kulturalSeperti yang telah dijelaskan pada sub

bahasan posisi perempuan dalam struktursosial di Kabupaten Sampang, praktik budayapatriarki yang membelenggu perempuanuntuk tetap di ranah domestik dan tidak tampilke ranah publik, menyebabkan partisipasiperempuan dalam dunia politik sangat rendah.Mayoritas masyarakat Sampang, masihdidominasi oleh cara pandang dan sikap yangcenderung melihat serta memperlakukankaum perempuan sebagai pelengkap kaumlaki-laki. Persepsi semacam ini, tidak jarangpada akhirnya melihat dan menempatkankaum perempuan sebagai pelengkap laki-lakibahkan dalam tingkat tertentu hanya dilihatsebagai objek semata. Secara kultural dimanasudut pandang patrinial (laki-laki dilihat lebihsuperior) menjadi acuan utama dalam melihatdan menempatkan perempuan, telahmenyebabkan peranan perempuan selaludikonotasikan dengan hal-hal yang bersifatpelengkap kaum laki-laki, bukan sebagai mitrayang mempunyai kedudukan sejajar sehinggaberhak mendapatkan peluang yang samadiberbagai bidang sendi kehidupan.

Hambatan kultural merupakan hambatanyang cukup fundamental karena kultur/budayaakan membentuk persepsi dan persepsi padaakhirnya akan bermuara pada pola perilakudalam kehidupan sehari-hari. Oleh sebab itu,sudah menjadi kewajiban bersama untukmeluruskan cara pandang budaya yang kurangtepat dalam memahami dan memandang kaumperempuan sehingga kaum perempuan dapatmemainkan peran dan fungsinya lebihmaksimal lagi.

IV.2.3 Hambatan EkonomiParadigma yang berkembang saat ini

tentang perjuangan meraih kursi legislatif itu“mahal” benar adanya. Kampanye ke

123Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

masyarakat serta “ongkos politik” yang harusdikeluarkan untuk suksesi pemenangan pemilutidaklah murah. Dan nominalnya terbilangcukup fantastis. Inilah yang menjadi faktoryang cukup signifikan yang menjadikan ciutnyali perempuan untuk terjun ke dunia politik.Kendala ini juga disampaikan oleh informanMurti Ama.

“pertama faktor karena kekurangan danasaya, jadi misalkan sampeyan (Anda) musuhsaya, ya itu karena sampeyan uangnya lebihbanyak, bukan terjadi sama saya saja, banyaksaya kira”

Caleg perempuan yang ada di Sampangumumnya tidak berasal dari kalangan yangmandiri secara ekonomi. Sehingga merekamerasa keberatan untuk membayar ongkospolitik yang harus dikeluarkan untukmenjadikan dirinya sebagai anggota legislatifterpilih.bahkan menghambat mereka untukberpartisipasi secara aktif di dunia politik.

III.5 Strategi yang digunakan CalegPerempuan untuk Menjadi AnggotaLegislatif di Kabupaten SampangIII.5.1 Melalui Pendekatan OrganisasiPerempuan

Mayoritas penduduk Sampang yangmemeluk agama islam, telah membuatorganisasi keagamaan Islam untuk perempuantumbuh subur. Dalam hal ini seperti contohMuslimat NU, kelompok pengajian Al-Hidayah, serta organisasi sayap dari parpolyang bersangkutan. Pertama yang akandibahas adalah Muslimat NU. Calon legislatifyang berasal dari kader NU, tentu saja tidakakan melewatkan Muslimat NU sebagai objekkampanye. Anggota Muslimat NU di Sampangyang tersebar hingga di tingkat desa,merupakan ladang basah untuk menambahpundi-pundi suara dari calon legislatif. Tidakjarang calon legislatif menghadiri setiappengajian yang diadakan Muslimat NU sebagaibentuk kampanyenya.

Yang kedua adalah melalui organisasisayap dari parpol. Seperti contoh Al-Hidayahdan KPPG (Kesatuan Perempuan PartaiGolkar). Informan Sri Rizkiyah yang jugasebagai ketua KPPG dengan terangmenjelaskan bahwa organisasi ini merupakanandalan dari suksesnya pemenangan pemilu.

KPPG ini disebutkan sebagai penggerak daripartai induknya yaitu Golkar.

III.5.2 Melalui Pendekatan TokohMasyarakat

Harus diakui bahwa hubungan patronaseantara tokoh masyarakat dengan masyarakattelah menciptakan sebuah kepatuhan secaravertikal. Di mana ucapan dari tokohmasyarakat tersebut, diartikan sebagaihukum atau aturan yang tidak tertulissehingga memiliki sangsi sosial apabila tidakdilaksanakan. Peluang inilah yang dilihat olehcaleg perempuan yang bertarung dalam pemilulegislatif di Kabupaten Sampang.

Dalam beberapa studi mengenai Madurapada tingkat grassroot masyarakatmempunyai pemimpin lokal yang cukupmereka hormati dan diakui otoritasnya yaitupemimpin agama (religious leader), kyai.Ketaatan masyarakat Madura terhadap kyaidalam beberapa studi tersebut berbeda ataubahkan tidak dapat dibandingkan denganketaatan terhadap pemimpin lokal lain yaituklebun. Klebun bagi masyarakat adalahpemimpin pemerintah yang menurutkeyakinan masyarakat Madura mereka tidakada kewajiban untuk mentaati sebagaimanakepatuhan terhadap kyai. Namun begituterbukti klebun memiliki peran untukmemobilisasi massa dan merupakan objekpendekatan bagi calon legislatif yang inginmemperoleh suara dari msyarakat pedesaan.

III.5.3 Melalui Pendekatan ProgramPemberdayaan Masyarakat

Tidak bisa dipungkiri bahwa rasionalitaspemilih pada masa sekarang ini sudah semakinmeningkat. Masyarakat tentu tidak ingin jatuhke lubang yang sama dalam hal ini tidak ingintertipu dengan janji-janji kampanye dari paracalon legislatif. Hal ini menyebabkan para calegperempuan diharuskan untuk terjun kemasyarakat dan melihat langsung kebutuhandari masyarakat di setiap daerah pemilihan.

Pendekatan praktis yang dimaksudpeneliti dalam bahasan ini sebenarnya adalahbentuk lain dari money politic. Dengan motifmemberikan sumbangan kepada masyarakat.Hal ini nampaknya sudah menjadi tradisiyang dilakukan setiap calon legislatif, tidakhanya caleg perempuan namun juga caleg laki-laki. Dengan harapan untuk mendapatkan

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128124

simpati dari masyarakat, sehingga membuatmasyarakat untuk memilihnya dalam pemiluHal ini lebih lanjut dikatakan secara eksplisitoleh informan Nyai Zumroh, “Muslimatnya ituminta seragam, Iya. Minta atasnya dulu Nyi’(Nyai), nanti kalau sudah jadi barubawahannya, Oke saya berikan.”

V. Perempuan dan PolitikdiKabupaten Sampang, SebuahAnalisis Menggunakan Teori OligarkiParpol

Keberadaaan oligarki dalam sebuatsistem politik memang sesuatu yang sulituntuk dihilangkan, sekalipun itu di Negarademokratis. Oligarki akan tetap hidup sebagaisesuatu yang alamiah. Lebih jelasnya, sistempolitik apapun, baik otoritarian, demokrasi,monarki dan berbagai turunannya selalumembutuhkan elit sebagai kelompokminoritas yang mengatur, mengorganisasi,dan menciptakan tatanan bagi kelompokmassa yang lebih besar. Demokrasirepresentatif tidak terelakkan dari hukumtersebut. Meskipun warga negara memilikihak untuk memilih siapa yang menjadiwakilnya di pemerintahan, sifat representatifitu sendiri menyebabkan warga negara sebagaigolongan terbesar menjadi terasing dengansistem politik yang berlaku. Hanya wakil-wakil yang dipilih oleh-nya lah yang mampusecara aktif mempengaruhi dan berpartisipasidalam lingkaran pembuat kebijakan.Sementara konstituennya hanya mampuberharap apakah kebijakan yang dihasilkanoleh sekelompok kecil elit tersebut mampumewakili kepentingan mereka. Hal ini makinmenjadi ketika wakil yang mereka pilih tidakdengan hati nurani melihat kepentingan rakyatsebagai kewajiban moral yang seharusnyamereka perjuangkan, dan memilih berbagaimacam bentuk agenda dan ambisi politikpribadi sebagai tujuan untuk duduk dalamlingkaran elit.

Dalam hal ini, keikutsertaanperempuan sebagai calon legislatif diKabupaten Sampang nampaknya juga kurangmendapat tempat dalam budaya politik diSampang. Hal ini ditunjukkan denganrendahnya jumlah anggota legislatifperempuan di DPRD Sampang. Kebijakan elitparpol dalam mengarusutamakan hak-hakpolitik yang setara bagi kaum perempuan,

tampaknya masih jauh dari harapan. Betapatidak, dukungan yang pada awalnya diberikan(dijanjikan) kepada caleg perempuan berujungpada pemanis belaka. Itu tercermin dariketidak adilan yang diterima caleg perempuanselama proses kandidasinya menuju kursilegislatif. Kecurangan-kecurangan yangdilakukan oleh oknum yang ingin memperolehkekuasaan, menjadi faktor utama yangmenghambat partisipasi perempuan diKabupaten Sampang.

Partai politik, sebagai jalur konservatifbagi pengumpulan kepentingan dan suararakyat menjadi jalur yang nihil, karena sudahpada asalnya partai politik bersifat elitis dandipimpin oleh beberapa tokoh utama yangmenjadi bintang panggung. Dan tidak bualanlagi ketika kita melihat secara faktualdibutuhkan modal yang tidak sedikit untukmasuk dalam lingkungan “bintang panggung”tersebut. Pada akhirnya, hanya mereka yangmemiliki cukup modal, baik modal finansialmaupun akses yang memadai mampumengatur kemana arah dan tujuan nasionalbangsa. Jalur partisipasi rakyat umummenjadi terhambat.

Dominasi dan nepotisme yang dilakukanoleh elite masih menjadi isu sentral politik diKabupaten Sampang. Hal itu terlihat darisusunan anggota legislatif terpilih dimana eliteparpol yang secara finansial mampu danmenguasai “jalan pintas” sajalah yang mampududuk di kursi legislatif. Fenomena langkayaitu hanya satu anggota legislatif perempuanterpilih di Kabupaten Sampang pada Pileg2009 lalu, ternyata juga masih memilikihubungan kekerabatan dengan elite di tingkatmasyarakat. Peneliti kemudianmenyimpulkan bahwa betapa kuatnyacengkraman elite dalam sistem politik diKabupaten Sampang.

Fenomena oligarki politik ini setidaknyadisebabkan empat hal. Pertama, imbas darisistem pemilu dan persaingan yang kian liberal.Karena itu, nama besar dan ketokohansejumlah keluarga petinggi parpol diyakinidapat menjadi modal meraup suara. Kedua,potret kegagalan parpol dalam mengikatkonstituennya. Karena itu, elite parpolcenderung mencari siasat untuk menarikkonstituennya dengan menempatkan calegyang layak jual. Cara instan yang digunakanadalah melirik figur terkenal yang menguasai

125Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

sumber-sumber ekonomi dan memiliki namabesar di masyarakat. Ketiga, lemahnya sistemkaderisasi dan pola rekrutmen di internalparpol, terutama mekanisme dalam penentuancaleg. Keempat, terlalu besarnya dayacengkeram kekuasaan para elite parpol.

Dari keempat faktor itu, yang palingdominan menyebabkan terjadinyaoligarki politik adalah faktor keempat, kuatnyadaya cengkeram kekuasaan elite. Maraknyaoligarki politik di tubuh parpol akan mengarahpada dinastitokrasi politik. Pada saat itu, suatupartai dikuasai dan dikelola sebuah keluargabesar. Parpol seolah menjadi kerajaan keluargayang dikuasai dan dikelola turun-temurun.Kondisi ini akan membahayakan prosesdemokrasi yang dibangun karenaakan memengaruhi kelembagaan politik in-ternal partai. Parpol pun tidak akan kunjungterlembaga sebagai organisasi modern dandemokratis. Oligarki politik tidak hanya akanmenutup peluang kader atau aktivis partai yangbenar-benar berjuang meniti karier politikdari bawah, tetapi juga mendorongberkembangnya personalisasi kekuasaan danmenyuburkan kepemimpinan oligarkis partai.Pada tahap itulah akan bertambah suburoligarki elite dan dinastitokrasi politik di in-ternal parpol. Realitas politik itu seolahmenguatkan analisis Daniel Dhakidae tentangOligarki Partai Politik bahwa di setiaporganisasi partai politik, pada hakikatnyahanya dikuasai segelintir elite.

Memutus rantai Selain d i p e r l u k a nperbaikan sistem kaderisasi danmeritokrasi internal partai, agendademokratisasi untuk menyelamatkan parpoldari bencana oligarki politik adalah memutusmata rantai oligarki elite di tubuh partai. Initerutama rantai proses kebijakan penentuancaleg, baik kekuasaan untuk menyusun daftarcaleg (hulu proses rekrutmen) maupunkekuasaan dalam menentukan caleg terpilih(hilir proses rekrutmen). Mekanismepenetapan caleg terpilih yang sebelumnyamasih menggunakan nomor urutberkontribusi dalam menyuburkan praktikoligarki elite di tubuh parpol. Namun, hal ituterselamatkan oleh keputusan MahkamahKonstitusi tentang suara terbanyak. Untukjangka panjang, keputusan MK ini akanmemutus mata rantai oligarki elite parpolmeski tidak meningkatkan jumlah kaum

perempuan di DPRD Kabupaten Sampang.Kewenangan elite partai yang semula cukupbesar dalam penentuan caleg terpilih otomatisakan berkurang. Namun, cengkeramankekuasaan elite partai masih cukup kuat dalamproses menyusun daftar caleg yang merupakanbagian hulu dari rantai kebijakan dalam prosesrekrutmen caleg. Elite parpol tidak akansemudah itu untuk memberikan jalan mulusbagi caleg perempuan untuk menjadi calegterpilih. Justru hal tersebut akan menimbulkankecurangan-kecurangan baru yangdilakukakan untuk menghambat hak-hakpolitik caleg perempuan untuk terpilihmenjadi anggota legislatif. Untuk memutusmata rantai oligarki yang kedua ini,penyusunan daftar caleg di parpol seharusnyadipilih lewat proses internal yang transparan,bukan lagi kewenangan penuh elite partai.Karena itu, ke depan, diperlukan sistem pemiluinternal yang melibatkan kader dan konstituenpartai untuk memilih bakal caleg atau pejabatpublik dari suatu partai. Denganmengikutsertakan perempuan dalam posisistrategis untuk mempengaruhi pengambilankeputusan di tingkat partai, pada akhirnyaakan mendongkrak jumlah perempuan diDPRD Kabupaten Sampang.

Pada akhirnya, hambatan yang berasaldari oligarki politik inilah yang merupakanfaktor utama yang menghambat aksesibilitasperempuan menjadi anggota legislatif diKabupaten Sampang.

KesimpulanPenelitian ini menghasilkan gambaran

betapa jalan panjang merebut akses politikuntuk kaum perempuan di KabupatenSampang sangatlah penuh dengan jerih payahdan pengorbanan. Tampaknya perjuanganpolitisi perempuan di Kabupaten Sampanguntuk menjadi anggota legislatif masih sangatberat. Mengingat dominasi politisi laki-lakiyang begitu kuat. Walaupun sebenarnyapemerintah telah memberikan peluang yangsama bagi kaum perempuan melalui UU nomor2 tahun 2008 tentang Partai Politik,implementasinya di Kabupaten Sampangbelum menunjukkan hasil yang signifikan. Darihasil penelitian tersebut, peneliti menemukanbeberapa kesimpulan sebagai berikut.1. Posisi perempuan dalam struktur sosial di

Kabupaten Sampang masih menempatkan

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128126

perempuan sebagai makhluk nomer dua. Initerlihat dari salah satu budaya yangberkembang dalam masyarakat Sampangadalah penghormatan yang tinggi kepada pi-lar-pilar penyangga kebudayaan Sampang,yakni bhuppa’-bhabhu’-ghuru-rato, yangdalam bahasa Indonesia berarti bapak - ibu -guru (kyai) - ratu (pemerintah). Ungkapanini sering muncul dalam pergaulan sehari-hari pada masyarakat Sampang hingga saatini. Budaya patriarki yang dibingkai dalamframe sosio-religius keislaman yang selamaini berkembang dan dianut oleh masyarakatSampang telah mendukung danmembenarkan pendominasian laki-laki,sehingga menimbulkan pemusatankekuasaan dan privilige di tangan kaum laki-laki dan mengakibatkan kontrol dan sub-ordinasi perempuan serta menciptakanketimpangan sosial antar gender.

2. Keikutsertaan perempuan di dunia politik diKabupaten Sampang masih didasari olehbeberapa hal berikut, yaitu Pertama karenalatar belakang keluarga yang memang sudahsecara turun temurun menguasai sumber-sumber politik yang ada, seperti contohpada caleg perempuan yang berasal darikeluarga Kyai. Anggota keluarga perempuanyang berasal dari keluarga kyai ini yangdisebut dengan Nyai, telah bertransformasisebagai elit perempuan yang juga berkiprahdi dunia politik, selain pada tugasnya sebagaipemimpin pengajian untuk kaumperempuan. Kedua, perempuan yang terjundi dunia politik di Kabupaten Sampangadalah memang berlatarbelakang sebagaiseorang aktivis atau tokoh perempuan yangtelah berkecimpung dalam organisasiperempuan di Kabupaten Sampang. Yangketiga, perempuan yang terjun ke duniapolitik di Kabupaten Sampang hanyalahsebagai pelengkap saja, sebagai formalitaspersyaratan administratif kuota 30%.

3. Motivasi dan tujuan perempuan untuk terjunke dunia politik juga beragam seperti yangtelah disimpulkan peneliti dari wawancaradengan kelima informan, yaitu yang pertamaadalah caleg perempuan ingin mengangkatderajat dan kualitas hidup kaum perempuandengan menyuarakan aspirasinya ke ranahlegislatif melalui program pemberdayaanperempuan. Kedua karena motivasi pribadiyaitu untuk meningkatkan

kondisi keuangan keluarga dan menaikkanprestis dan martabat keluarga. Ketiga, calegperempuan ini hanya sekedar ikut-ikutansaja, untuk memenuhi kuota perempuan30% tanpa memperhitungkan peuang jadiataupun tidak.

4. Hambatan yang ditemui perempuan selamaproses pencalonannya sebagai caleg danpada saat berkampanye di masyarakatadalah, pertama, dominasi elita parpol yangmayoritas adalah laki-laki denganmenempatkan perempuan pada posisi yangtidak strategis pada kepengurusan, sehinggaperempuan memiliki sedikit peran untukmempengaruhi proses pngambilankeputusan. Kedua, penempatan calegperempuan pada nomor urut buncit danpada dapil yang bukan “wilayahnya” jugadapat merugikn caleg [erempuan dari segiperolehan suara. Ketiga, fungsi parpol untukmemberikan pendidikan politik dansosialisasi politik yang sesuai denganketentuan tidak dijalankan. Inimenyebabkan kualitas caleg perempuanmenjadi rendah, dan pada akhirnyamempengaruhi pada elektabilitas danpopularitas yang juga rendah. Keempat,adanya kecurangan yang dilakukan oknum-oknum yang berambisi denganmenghalalkan segaa cara untuk menjadianggota legislatif terpilih seperti denganpolitik uang untuk memuluskan jalannya kekursi legislatif. Caleg perempuan yangsebagian besar tidak berasal dari kalanganyang memiliki modal besar, tentu akanmenjadi ciut ketika harus berhadapandengan caleg laki-laki yang menguasaisumber ekonomi yang berlimpah.

5. Strategi yang digunakan perempuan untukmenjadi anggota legislatif di KabupatenSampang adalah sebagai berikut, pertamamelalui pendekatan organisasi perempuanmisalnya Muslimat NU, Al-Hidayah, KPPG,merupakan organisasi perempuan yangdijadikan lumbung suara tidak hanyabagi caleg perempuan melainkan juga bagicaleg laki-laki. Kedua melalui pendekatantokoh masyarakat. Hubungan patronaseantara sosok pemimpin agama maupunpemimpin admistratif (klebun) diKabupaten Sampang telah menciptakankepatuhan yang memiliki sanksi sosial jika

127Mohammad Yusuf Pambudi: Perempuan dan Politik

tidak dilaksanakan. Oleh sebab itu, calegperempuan berlomba-lomba untukmendapatkan restu dari kedua tokohtersebut dengan harapan para pengikutnyaakan memberikan suaranya pada calegperempuan yang bertarung dalam pemilulegislatif. Ketiga, melalui pendekatan pro-gram pemberdayaan masyarakat.Rasionalitas pemilih yang semakinmeningkat dewasa ini menyebabkan calonlegislatif harus terjun langsung kemasyarakat dan menjaring aspirasi sertakebutuhan masyarakat khususnya dimasing-masing dapil. Keempat, melaluipendekatan praktis dalam hal ini berbentuksumbangan. Sumbangan adalah bentuklain dari money politik. A l i h - a l i hmemberikan bantuan baik berupa modalatau barang, para calon legislatif sebenarnyamelakukan hal tersebut tidak lain karenaingin mendapatkan simpati masyarakatsehingga pada saat hari H pemilihanlegislatif, masyarakat tersebut akan memilihcaleg yang bersangkutan.

Berbagai realitas politik yang ditemuipenulis selama penelitiannya di KabupatenSampang, menguatkan analisis DanielDhakidae tentang Oligarki Partai Politikbahwa di setiap organisasi partai politik, padahakikatnya hanya dikuasai segelintir elite.Dominasi elite parpol yang ditunjukkandalam kebijakan dan keputusan di tingkatinternal partai yang menempatkan perempuanpada posisi yang tidak menguntungkan masihmenjadi faktor yang sangat kuat untukmenghambat aksesibilitas perempuanmenjadi anggota legislatif di KabupatenSampang.

DAFTAR PUSTAKAPaxton, Pamela. 2007. Women, Politics, and

Power: A Global Perpective. London: PineForge PressSastriyani, Siti Hariti. 2009. Gender and Poli-

tics. Yogyakarta: Tiara WacanaAnugrah SH, Astrid. 2009. Keterwakilan

Perempuan dalam Politik. Jakarta :Pancuran

AlamConway, M. Margaret. 1997. Women and po-

litical participation: Cultural change inthe

political arena. Washington: CQ Press

Shapiro, Ian. 2009. Political Representation.Cambridge University Press

Mulia, Siti Muadah. 2005. Perempuan danPolitik. Jakarta: Gramedia

Budiardjo, Miriam. 1991. Dasar-Dasar IlmuPolitik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Harrison,Lisa. 2007. Metodologi PenelitianPoltik. Jakarta: Kencana Pernada Media

Group

Miles dan Huberman. 1992. Analisa DataKualitatif. Jakarta: UI Press.

Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami IlmuPolitik. Jakarta: PT GramediaWidiasarana

Indonesia.

Sihite, Romany. 2007. Perempuan,Kesetaraan, & Kedadilan: SuatuTinjauan

Berwawasan Gender. Jakarta: PT RajaGrasindoPersada

Dhakidae, Daniel. 2004, Partai-partai PolitikIndonesia: Ideologi dan Program 2004-

2009, Buku Kompas, Jakarta.

M. Lips, Hilary. 2007, Sex&Gender: An Introduc-tion, McGraw-Hill Education, New

Jersey.

Wilson, H.T. 1989, Sex and Gender: MakingCultural Sense of Civilization, E.J Brill,New York.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang.2010. Kabupaten Sampang Dalam Angka

2010. Sampang: BPS Kabupaten Sampang

Badan Pusat Statistik Kabupaten Sampang.2011. Kabupaten Sampang Dalam Angka

2011. Sampang: BPS Kabupaten Sampang

Idi Subandi dan Hanif Suranto. 1998. SebuahPengantar” dalam Wanita dan Media.

Jakarta: PT. Remaja Rosdakarya hlm. LIV.

Abdurrahman. 1979. Masalah Carok diMadura, dalam Madura III (KumpulanMakalah-makalah Seminar Tahun

Jurnal Politik Muda, Vol. 1, No. 1, Oktober-Desember 2012, hal 108-128128

1979). Jakarta: Departemen P dan K, hlm.42-56

Kuntowijoyo. 2002. Perubahan sosial dalammasyarakat agraris Madura 1850-1940,Jogjakarta: Mata Bangsa.

Iik Arifin Mansurnoor. 1990 Islam in anIndonesian World: Ulama’ Madura,

Yogyakarta: UGM Press, hlm. 89-93

Jurnal dan Literatur

Jurnal Perempuan ed. 34. 2004. Politik danKeterwakilan Perempuan

Profil Kabupaten Sampang 2009. Sumber :Badan Perencanaan PembangunanDaerah

Kabupaten Sampang 2009

Haliq, Fathol. 2010. ISLAM MADURA: StudiKonflik, Adaptasi, Harmoni Kelas

Menengah Madura Setelah Keruntuhan OrdeBaru. Banjarmasin

Hidayati, Tatik. 2009. Perempuan MaduraAntara Tradisi dan Industrialisasi

Sumber Lain (Internet)

http://bit.ly/KXgWko diakses tanggal 30 Mei2012 http://bit.ly/LYk68G diaksestanggal 01 Juni 2012 http://bit.ly/M4KRVj diakses tanggal 01 Juni 2012http://bit.ly/N5wqDn diakses tanggal 02Juni 2012 http://scr.bi/Mjpf5N diaksestangal 03 Juni 2012 http://bit.ly/LuMufVdiakses tanggal 05 Juni 2012