peredaran matahari menurut al- studi atas...
TRANSCRIPT
PEREDARAN MATAHARI MENURUT AL-QUR’AN
(STUDI ATAS PENAFSIRAN FAKHRUDDIN AL-RĀZĪ DALAM KITAB
MAFĀTĪH AL-GHAIB)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Ahmad Rizal Sidik
NIM: 1112034000139
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1440 H /2019 M
i
ABSTRAK
Ahmad Rizal Sidik
Peredaran Matahari Menurut Al-Qur’an (Studi Atas Penafsiran Fakhruddin
Al-Rāzī Dalam Kitab Mafātīh Al-Ghaib)
Skripsi ini membahas argumentasi al-Rāzī atas peredaran matahari di
dalam al-Qur’an. Sejauh ini ada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa al-
Rāzī adalah seorang mufasir yang berpaham Geocentric ataupun Heliocentric.
Teori Geocentric beranggapan bahwa matahari adalah pusat peredaran bagi
matahari dan planet-planet lainnya sedangkan teori Heliocentris beranggapan
bahwa matahari adalah merupakan pusat peredaran planet-planet, termasuk di
dalamnya adalah bumi.
belum banyak penelitian yang dilakukan dalam tema ini, terkhusus tafsir
al-Rāzī itu sendiri. Melalui penafsiran al-Rāzī perihal peredaran matahari di dalam
al-Qur’an, dapat diketahui bagaimanakah hakikat, fungsi dan pola peredaran
matahari.
Penelitian ini mengklasifikasikan argumentasi al-Rāzī terkait peredaran
matahari di dalam al-Qur’an, untuk kemudian mendeskripsikannya berdasarkan
penafsirannya dari ayat-ayat yang berkaitan dengan peredaran matahari
menggunakan metode analisa deskriptik analitik. Sumber primernya adalah kitab
Mafātīh Al-Ghaib karya Fakhruddin Al-Rāzī dan data sekundernya meliputi buku,
jurnal yang berkaitan dengan penelitian ini.
Dari hasil pengkodingan ayat-ayat yang terkait dengan penelitian ini,
penulis menemukan bahwa pengklasifikasian argumentasi Al-Rāzī atas peredaran
matahari di dalam al-Qur’an terbagi menjadi tiga bagian. Pertama, tentang
hakikat peredaran matahari yang sangat lekat dengan kuasa Allah SWT.
Bagaimana Allah dengan segala kekuasaannya bisa menetapkan setiap gerakan
dan segalanya terhadap matahari. Kedua, berbicara tentang fungsi dari peredaran
matahari yang bisa memberikan manfaat untuk semua makhluknya di dunia ini.
Dan ketiga, tentang pola peredaran matahari di orbitnya.
Untuk memudahkan pencarian data yang akan diolah pada kitab Mafātīh Al-
Ghaib, penulis menggunakan bantuan aplikasi Maktabah Syamela. Sehingga
penulis bisa menentukan metode analisis isi kualitatif sebagai metode yang
penulis anggap pas untuk mengolah data yang terkumpul.
Setelah penulis melakukan penelitian, penulis menganggap bahwa argumen
Al-Rāzī atas peredaran matahari di dalam al-Qur’an adalah ketiga hal diatas dan
tidak ada penafsirannya yang mengatakan bahwa al-Rāzī adalah seorang mufasir
yang berpaham Geocentric ataupun Heliocentric. Itu keliru karena tidak
ditemukannya redaksi ataupun makna dari penafsiran al-Rāzī yang menjelaskan
tentang hal itu. Maka perlu adanya peninjauan ulang terhadap argumentasi
tersebut. Apakah Al-Rāzī mencantumkan pada kitab lain atau tidak. Karena jika
fokus pada kitab Mafātīh Al-Ghaib saja, maka tidak cukup kuat untuk mengatakan
bahwa peredaran matahari di dalam al-Qur’an adalah hanya tentang hakikat kuasa
Allah, fungsi dan pola peredarannya.
Kata Kunci: Al-Rāzī dan Peredaran Matahari
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan segala kenikmatannya sehingga
skripsi dengan judul “Peredaran Matahari Menurut Al-Qur‟an (Studi Atas
Penafsiran Fakhruddin Al-Rāzī Dalam Kitab Mafātīh Al-Ghaib)” ini mampu
penulis selesaikan meskipun masih dalam kategori banyak kekurangannya.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Nabi
Muhammad Saw.
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak lepas
dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, dengan segala
kerendahan hati, penulis menghaturkan banyak terimakasih yang tak terhingga
kepada mereka. Semoga Allah membalas dengan sebaik-baik balasan.
Juga kepada segenap civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis., M.A., selaku Rektor Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah, Dr. Yusuf Rahman, M.A., selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin, Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur„an
dan Tafsir, Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-
Qur„an dan Tafsir yang selalu melayani penulis dalam urusan administrasi
akademik, dan juga penulis haturkan terimakasih kepada seluruh dosen Fakultas
Usuluddin yang telah banyak mengajarkan ilmu kepada penulis.
Ucapan terimakasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada yang
terhormat Dr. Eva Nugraha, M.Ag selaku pembimbing yang telah memberi
banyak bimbingan dan arahannya. Penulis sangat merasa terbantu karena
kehadiran beliau di tengah terciptanya skripsi ini.
Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Sahabat-sahabat
PMII Komfuspertum, Keluarga Besar Mahasiwa Galuh Jaya Jabodetabek,
Keluarga Besar El-Arsy (Alumni Pondok Pesantren Darussalam Bogor angkatan
2010), dulur-dulur Himabo Jakarta, teman-teman TH D 2012. Bersama mereka
semua, penulis berproses bersama-sama.
Untuk Keluarga Evanger‟12, Sahroni, Kholik Ramdan Mahesa, Acep Sabiq,
Ali Muharom, Aang Istikhori, Imam Zamakhsyari, Aan Suherman, Rojali
iv
Hidayatullah, Moh Sufyan, dsb. Atas semua bantuan dan suportnya, Ucapan
terimakasih dan penghargaan patut penulis sampaikan, kalian !!.
Juga ungkapan terima kasih (yang hampir istimewa) penulis ucapkan teruntuk
Mobile Legend: Bang Bang (sebuah game berjenis MOBA yang dikembangkan
oleh Moonton) dan aplikasi GameGuardian berikut skripnya yang menemani
penulis di sela-sela terciptanya skripsi ini.
Terakhir, ucapan terimakasih yang teristimewa penulis sampaikan kepada
kedua orang tua penulis, Ayahanda Ahmad Jaelani dan Ibunda (Almarhumah)
Nani. Mertua pun tak lupa pula penulis sebutkan, papah Taufik dan mamah
Rosita. Juga kepada Ema Hani selaku nenek penulis dan Uwa Acih, Hanya Allah
yang bisa membalas kasih sayang, do„a dan semua pemberian mereka yang tak
pernah terhingga untuk penulis. Juga isteri tercinta, Firda Devy Rahmawati yang
sedang menyelesaikan Study di universitas dan fakultas yang sama dengan
penulis, semoga cepat lulus, mendapat ilmu yang berkah dan bermanfaat, kau lah
jawaban dari semua doa yang selalu ku sebut tiap harinya. Berkat kesabaran dan
dukunganmu, penulisan skripsi ini bisa berjalan lancar, dan kepada mereka semua
yang sudah disebutkan pula skripsi ini penulis persembahkan.
Ciputat, 06 Mei 2019
Penulis
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI
1. Padanan Aksara
Huruf
Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż zet dengan titik atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
vii
ẓ zet dengan titik bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh ge dan ha غ
F Ef ؼ
Q Qi ؽ
K Ka ؾ
L El ؿ
M Em ـ
N En ف
W We ك
H Ha ق
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.
Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah ـ
I Kasrah ـ
viii
U Ḍammah ـ
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ Ai a dan i
ك ـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab dilambangakan
dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ىا
Ī i dengan topi di atas ىي
Ū u dengan topi di atas ىػو
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan huruf
dialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah maupun huruf اؿ
qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata الضركرة tidak ditulis ad-
ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
ix
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
-Al-jāmi‘ah al اجلامعة اإلسالمية
islāmiyyah Diikuti oleh kata sifat
waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata benda كحدة الوجود
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih aksara
huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang berlaku dalan
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan permukaan kalimat,
huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang, dan lain-lain. Jika nama
seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital
adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya: Muḥammad Mutawalli al-Sya‘rāwī
bukan Muḥammad Mutawalli Al-Sya‘rāwī.
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka demikian
halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait nama, untuk
nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak
dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Contoh:
Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan diatas:
Kata Arab Alih Aksara
ر Innā naḥnu nazzalnā al-żikra إنا ن ن نػزل نا الذك
wa innā lahū laḥāfiẓūn كإنا له لافظوف
Yaḥkumu bihā al-nabiyyūna ي كم با النبيوف
لموا al-lażīna aslamū الذين أس
x
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
xii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ................................................................................. iii
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................ vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................... 6
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah................................................ 6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 7
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................... 7
F. Metodologi Penelitian ....................................................................... 8
G. Sistematika Penulisan ....................................................................... 10
BAB II TINJAUAN UMUM PEREDARAN MATAHARI
A. Peredaran Matahari Dalam Ilmu Astronomi ..................................... 12
1. Gerak Hakiki Matahari ............................................................... 12
2. Gerak Semu Matahari................................................................. 13
B. Matahari dan Peredarannya Menurut Masa Klasik ........................... 13
C. Peredaran Matahari Menurut Ahli Tafsir .......................................... 16
1. Penafsiran Al-Maraghi ............................................................... 16
2. Penafsiran Tantawi Jauhari ........................................................ 20
3. Penafsiran Ibnu Katsir ................................................................ 21
BAB III BIOGRAFI DAN GAMBARAN UMUM TAFSĪR MAFĀTĪH AL-
GHAIB
A. Profil Pengarang ................................................................................ 24
1. Sejarah Singkat al-Rāzī ............................................................... 24
2. Keilmuannya ............................................................................... 25
B. Karya-karya Pengarang ..................................................................... 31
C. Sistematika Penulisan Mafātīḥ al-Ghaib .......................................... 34
1. Latar Belakang Penulisan ............................................................ 34
2. Sistematika Penulisan ................................................................. 35
xiii
3. Metodologi Penafsiran ................................................................ 36
4. Corak Penafsiran ......................................................................... 38
5. Penilaian Ulama .......................................................................... 39
BAB IV PEREDARAN MATAHARI: HAKIKAT, FUNGSI DAN
POLA
A. Hakikat Peredaran Matahari .............................................................. 41
1. Tafsir Surah Ar-Ra’adu [13] Ayat 2 ........................................... 42
2. Tafsir Surah Yasin [36] Ayat 38 ................................................. 43
3. Tafsir Surah Yasin [36] Ayat 40 ................................................. 44
B. Fungsi Peredaran Matahari ............................................................... 46
1. Tafsir Surah Ibrahim [14] Ayat 33 .............................................. 46
2. Tafsir Surah Al-Anbiya [21] Ayat 33 ......................................... 47
3. Tafsir Surah Yasin [36] Ayat 38 ................................................. 47
C. Pola Peredaran Matahari ................................................................... 49
1. Tafsir Surah Al-Anbiya [21] Ayat 33 ......................................... 49
2. Tafsir Surah Yasin [36] Ayat 38 ................................................. 51
3. Tafsir Surah Yasin [36] Ayat 40 ................................................. 52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ....................................................................................... 56
B. Saran-saran ........................................................................................ 57
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 58
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur'an sebagai sebuah kitab suci, ternyata tidak hanya mengandung ayat-
ayat yang berdimensi aqidah, syari'ah dan akhlaq semata, akan tetapi juga
memberikan perhatian yang sangat besar bagi perkembangan ilmu
pengetahuan1. Jika membaca al-Qur'an secara seksama, akan kita temukan sangat
banyak ayat-ayat yang mengajak kepada manusia untuk bersikap ilmiah, berdiri di
atas prinsip pembebasan akal dari takhayul dan kebebasan akal untuk berpikir. Al-
Qur'an selalu mengajak manusia untuk melihat, membaca, memperhatikan,
memikirkan, mengkaji serta memahami dari setiap fenomena yang ada terlebih
lagi terhadap fenomena-fenomena alam semesta yang perlu mendapatkan
perhatian khusus karena darinya bisa dikembangkan sains dan teknologi untuk
perkembangan umat manusia dan dengan itu pula akan didapatkan pemahaman
yang utuh dan lengkap.
Pada dasarnya al-Qur’an adalah kitab suci yang menetapkan masalah akidah
dan hidayah, hukum syari’at dan akhlak. Bersamaan dengan hal itu, di dalamnya
di dapati juga ayat-ayat yang menunjukkan tentang berbagai hakikat (kenyataan)
ilmiah yang memberikan dorongan kepada manusia untuk mempelajari,
membahas dan menggalinya. Sejak dahulu sebagian kaum muslimin telah
berusaha menciptakan hubungan seerat-eratnya antara al-Qur’an dan ilmu
1 Kata ilmu dan derivasinya dalam al-Qur’an sering dipakai untuk arti umum, yakni
pengetahuan, termasuk arti makna sains/ilmu pengetahuan alam dan kemanusiaan. Dengan
demikian ilmu al-Qur’an merupakan segala macambentuk ilmu baik ilmu alam, ilmu sosial,
humaniora dan ilmu lainnyayang dapat digunakan untuk kemaslahatan umat.
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, (Jakarta: Amzah, 2007) hlm.
47
2
pengetahuan. Mereka berijtihad menggali beberapa jenis ilmu pengetahuan dari
ayat-ayat al-Qur’an, dan di kemudian hari usaha ini semakin meluas, dan tidak
ragu lagi, hal ini telah mendatangkan hasil yang banyak faedahnya.2
Al-Qur’an pun turun dengan segala kekayaan ilmunya di alam dunia ini,
demikian sains modern,3 membuat beberapa mufasir menciptakan penafsiran al-
Qur’an bernuansakan ilmu pengetahuan4 yang pada akhirnya lebih dikenal
dengan tafsir ‘ilmi.5
Ilmu pengetahuan berkembang dengan pesat. Baik dalam bidang Biologi,
Kimia, Fisika maupun Astronomi. Banyak ilmuwan yang melakukan penelitian-
penelitian sehingga mampu dan berhasil melahirkan khazanah ilmu-ilmu baru.
Semakin canggihnya alat-alat teknologi pada era zaman saat ini, semakin
mempermudah mereka dalam melakukan penelitian.
Penelitian, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Dibutuhkan kejelian,
waktu yang tidak sedikit, dan ilmu yang cukup dalam bidang tersebut.
Kebanyakan dari meraeka dari orang-orang non-muslim. Penelitian berawal dari
2 Muhammad Nor Ichwan. Memasuki Dunia Al-Qur’an.(Semarang: Lubuk Raya, 2001)
hlm253 3 Muhammad Husain al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun dalam DVD ROM al-Maktabah
al-Syamilah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), juz V, hlm. 4. 4 Benih tafsir ‘ilmi bermula pada Dinasti Abbasiyah, abad ke-5 Hijriyah. Hal ini
diasumsikan karena akibat penerjemahan kitab-kitab ilmiah seperti ilmu pengetahuan Yunani,
filsafat kuno, dan kebijakan asing. Adapun tokoh yang paling gigih mendukung penafsiran ilmiah
adalah Al-Gazali (w. 1059-1111 M) dalam kitabnya Ihya Ulum al-Din, diaia memberikan alasan-
alasan untuk membuktikan pendapatnya. Al-Gazali kemudian mengatakan bahwa: “Segala macam
ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu, maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui
ataupun belum, semuanya bersumber dari al-Qur’an. Lihat Abu Hamid Al-Gazali, Ihya Ulum al-
Din, dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), juz. I, hlm.
297. 5 Tafisr ‘ilmi atau tafsir dengan corak ilmiah adalah tafsir dengan menggunakan pendekatan
teori-teori ilmiah yang bertujuan untuk menggali teori-teori ilmiah dan pemikiran filosofis dari
ayat-ayat al-Qur’an. Lihat Muhammad Husain al-Zahabi, , al-Tafsir wa al-Mufassirun dalam DVD
ROM al-Maktabah al-Syamilah (Bandung: Pustaka Ridwan, 2008), juz. V, hlm. 4. Lihat pula
Abdul Mustaqim, “Kontroversi Tentang Corak Tafsir Ilmi” (Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan
Hadis: Vol. 7 no. 1, Janiuari 2006), hlm. 24.
3
sikaf objektivitas pada kajian penelitianya untuk memunculkan pengetahuan baru.
Banyak dari mereka berhasil dalam melakukan penelitianya, namun seiring
berkembangnya zaman hasil penelitian mereka dianggap tidak tepat, karena
muncul peneliti baru yang hasilnya dianggap lebih kongrit dan tepat. Hal tersebut
seperti penelitian dalam ilmu Astronomi dalam membahas matahari. Pada
awalnya, ditemukan penelitian bahwasanya matahari bergerak mengelilingi bumi
sebagai pusatnya, atau diistilahkan sebagai Geocentris. Namun, dengan
perkembangannya zaman, yang mana ilmu Astronomi semakin lebih maju,
ditemukan pendapat baru, tidak menguatkan pendapat yang pertama, yaitu
matahari bergerak mengelilingi bumi sebagai pusatnya, tapi sebaliknya Ilmuwan
Astronomi menemukan bahwa yang terjadi justru sebaliknya, ternyata bahwa
bumi bergerak mengelilingi matahari atau disebut sebagai Heliocentris. Berikut
adalah beberapa ayat yang berbicara tentang pergerakan matahari:
surah al-Ra`du ayat 2:
ل س والرقمر كم مر ر الش ش وسخ ت وى على الرعرر ن ها ثم اسر ماو ات بغير عمد ت رور اللم الذي رفع السمر تموقنمون 6 مر بلقاء ربكم لم اآليت لعلكم ر ي مفص ى يمدبرم األمر يرري ألجل ممسم
“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas Arasy, dan menundukkan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah
mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya),
supaya kamu meyakini pertemuan (mu) dengan Tuhanmu”.(QS. 13:2).
Dan surah Yasin ayat 38:
ديرم الرعزيز الرعليم ت قر لا ذلك ت قر سر سم ترري لمم مر 7والش “Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”. (QS. 36:38)
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT Syamil Cipta
Media, 2005), hlm. 221 7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Bandung: PT Syamil Cipta
Media, 2005), hlm. 932
4
Abad ke-13 SM konsep Heliocentris dikemukakan oleh seorang filosof
Yunani: Aristarchus. Namun teori tersebut masih sebatas hipotesa, dan
berseberangan dengan pendapat Aristoteles. Teori Heliocentris belum mampu
menggantikan teori Geocentris, lebih-lebih dengan hadirnya Ptolomeus (tahun 140
M) yang dikenal sebagai pelopor teori Geocentris, yang menulis buku besarnya
berjudul Almagest dan menjadi rujukan para Astronom selama berabad-abad.
Namun setelah Nicolaus Copernicus menulis buku dengan judul De
Revolutionibus Orbium Coelestium yang mempublikasikan teori Heliocentris,
akhirnya teori ini mampu meruntuhkan teori Geocentris yang telah lama mapan.
Al-Qur’an yang diwahyukan jauh sebelum teori ini dikemukakan telah
menjelaskan konsep astronomi tentang gerak bumi dan selaras dengan teori
Heliocentris.
Dalam al-Qur’an terdapat ayat–ayat tentang matahari, seperti surat ar-
Ra’adu ayat 2, surat al-Anbiya ayat 33, surat Ibrahim ayat 33, surat Yasin ayat 38
dan 40. Permasalahan ini sebenarnya adalah permasalahan klasik, para sarjana
muslim kawakan pada masa lampau kurang lebih juga melakukan hal serupa.
Sebut saja Fakhruddin al-Rāzī, saat berbicara tentang peredaran matahari, al-Rāzī
acap kali diindikasikan memiliki paham yang cenderung Geocentris8. Namun
yang perlu kita acungi jempol adalah kemampuannya memisahkan pengetahuan
dari landasan filosofis pengetahuan itu, dalam bahasa sederhana, walaupun ia
mengambil pengetahuan dari Yunani, ia tidak memandang realitas seperti yang
dilakukan orang Yunani.
8 Diambil dari skripsi Muhammad Abqori yang berjudul “Bentuk bumi dalam perspektif al-
Qur’an: studi komparatif antara Tafsir Mafātīh al-Ghaib dan Tafsir al-Mannar, 2017 dan
Ptolemaic Astronomy, Islamic Planetary Theory, and Copernicus's Debt to the Maragha School".
Science and Its Times. Thomson Gale. 2006.
5
Nama lengkapnya adalah Fakhrudin al-Rāzī adalah Abu ‘Abdullah
Muhammad bin ‘Umar bin Husein bin Hasan bin ‘Ali al-Tamymi al-Bakrial-
Tabarastani al-Rāzī, gelarnya adalah Fakhr al-Din dan terkenal dengan Ibn al-
Khatib al-shafi’i.9 Ayahnya seorang ulama besar di kotanya, ia bernama Diya’ al-
Din yang terkenal dengan nama al-Khatib al-Ray, dan merupakan keturunan
Khalifah Abu Bakar al-Siddiq.10
Pada pembahasan tafsirnya, beliau
juga memperbincangankan integrasi al-Qur’an dengan sains untuk membuktikan
kemu’jizatan al-Qur’an dari aspek ilmiah agar dapat memberikan alasan yang
logis guna mempertegas kebenaran al-Qur’an.
Mafātīh al-Ghaib merupakan tafsir yang menawarkan pendekatan yang unik
terhadap al-Quran. Kitab ini mencakup ruang yang begitu luas dalam pembahasan
setiap subjeknya, seperti teologi, filsafat, logika, fiqh, dan astronomi. Al-Rāzī
mendasarkan penafsirannya dengan ayat al-Quran dengan al-Quran, al-Quran
dengan hadis dan secara luas dengan pertimbangan rasional dan hasil ijthad.
Pemikiran al-Rāzī dalam kitab tafsir ini didominasi ilmu-ilmu rasional, seperti
ilmu kedokteran, logika, filsafat, dan hikmah.11
Merujuk pada paradigma di atas maka penulis ingin menulusuri lebih jauh
bagaimana pandangan Fakhruddin al-Rāzī terhadap teori peredaran matahari.
B. Identifikasi Masalah
Dari penjelasan latar belakang di atas, penulis menemukan beberapa
masalah yang bisa dijadikan bahan penelitian, diantaranya;
9 Di Afghanistan dan Iran, beliau dikenali sebagai Imam Razi. Di Heart beliau dijuluki
dengan Shaykh Al-Islam. Muhammad Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Kairo:
Maktabah Wahbah, t.t.), II: 206. 10
Fakhr al-Din al-Rāzī, Roh itu Misterius, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Kaf, (Jakarta:
Cendikia Centra Muslim, 2001), 17. 11
Mana’ Khalil al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq El-Mazni
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), 480
6
1. Adanya perbedaan pendapat di kalangan filusuf hingga mufasir terkait
peredaran matahari.
2. Fakhruddin al-Rāzī yang dianggap memiliki paham Geocentris ataupun
Heliocentric dalam teori peredaran matahari.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka penulis membatasi masalah
ini pada:
Bagaimana Fakhruddin al-Rāzī menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan
dengan peredaran matahari ?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah maka tujuan penelitian ini
adalah:
1. Mengetahui biografi dari seorang Fakhruddin al-Rāzī.
2. Memperdalam pengetahuan matahari dan pola peredarannya.
3. Memahami pandangan Fakhruddin al-Rāzī terhadap teori peredaran matahari.
4. Guna melengkapi salah satu persyaratan pada akhir program Sarjana Jurusan
Ilmu Al-Qur’an & Tafsir, Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam meraih gelar Sarjana Strata Satu
(S1).
Adapun manfaat yang bisa diambil dari penelitian ini adalah:
1. Menambah khasanah keilmuan, khususnya di bidang tafsir.
2. Ikut andil dalam sumbangsih pemikiran terhadap wacana keislaman, terutama
untuk melengkapi buku-buku dan sumber bacaan lain yang juga membahas
tafsir.
7
E. Tinjauan Pustaka
Telah ada beberapa tulisan, baik berbentuk buku maupun artikel yang
membahas dan berhubungan dengan peredaran matahari ataupun tentang
pemikiran Fakhruddin al-Rāzī, diantaranya:
1. Matahari Mengelilingi Bumi oleh Ahmad Sabiq bin Abdul Latif Abu Yusuf.
Buku ini membahas dari segi Islam, apakah teori bumi mengelilingi matahari
benar apa justru sebaliknya.
Buku ini mengajak untuk menelaah dan mengkaji kembali teori-teori yang
telah ada sebelumnya, alhasil buku ini dapat menambah pengetahuan sebagai
pembacanya. Namun dalam buku ini terkesan menghujat agama lain selain islam,
sehingga harus dibaca oleh orang-orang yang tepat (kaum muslim) agar tidak
terjadi kekeliruan.
Walaupun banyak terdapat terjemahan-terjemahan dari Al-Qur’an,
Penyajian bahasa dalam buku ini cukup bisa dimengerti, sebab terjemahan
tersebut dijelaskan kembali dengan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti
oleh penulis.
2. Astronomi Islam Dan Teori Heliosentris Nicolaus Copernicus oleh Selamet
Hambali. Diambil dari jurnal Al-Ahkam volime 23, nomor 2 keluaran oktober
2003. Berbicara tentang bagaimana konsep Geocentris yang sudah mapan selama
berabad-abad yang dipelopori oleh Ptolomeus (tahun 140 M), dapat diruntuhkan
oleh Nicolaus Copernicus dengan konsep Heliocentrisnya.
3. Peredaran Matahari Dalam Al-Qur’an (Studi Atas Penafsiran Tantawi
Jauhari Dalam Kitab Al-Jawahir Fi Tafsir Al-Qur’an Al-Karim), oleh Khoirun
Nisa di Fakultas Ushuludin Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga.
8
4. Tafsir Surat Ar-Rahman Menurut Imam Fakhruddin Ar-Razi Dalam Kitab
Mafātīh Al-Gaib oleh Nujaimatul Adzkiya’Biminnatil Udhma di Fakultas
Ushuludin Universitas Islam Negeri Islam Sunan Kalijaga.
Sejauh yang penulis telusuri, belum ada buku maupun skripsi yang
membahas tentang peredaran matahari dalam pandangan Fakruddin Al-Rāzī,
sebagaimana yang penulis lakukan dalam skripsi ini. Sehingga, jika, memang
demikian, penelitian yang dilakukan oleh penulis menjadi penelitian perdana yang
mengangkat tema ini.
F. Metodologi Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (Library Reserch). Studi
kepustakaan adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan studi
penelaahan terhadap buku-buku, litertur-literatur, catatan-catatan, dan laporan-
laporan yang ada sehingga diperoleh data-data yang diperlukan yang berhubungan
dengan masalah yang akan dipecahkan.12
Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan dengan
menggali informasi atau pesan dari bahan-bahan tertulis yang tersedia berupa
buku-buku. Sumber data primer adalah kitab Mafātīh al-Ghaib karya Fakhr al-
Din al-Rāzī. Adapun sumber data sekunder berupa kitab-kitab tafsir seperti Tafsir
Ibn Katsir, Tafsir al-Maraghi, dan Tafsir al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-
Karim, serta buku-buku yang memberikan penjelasan ke arah penelitian ini.
Karya-karya ini dijadikan bahan tambahan bagi sumber primer. Dari sumber
primer maupun sekunder, diharapkan data kualitatif sesuai yang diinginkan.
12
M. Nzair, Metode Penelitian (Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003), h.27.
9
Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis,
yakni data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan baru
kemudian dianaslisa.13
Dengan rincian bahwa untuk menggali penafsiran Fakhr
al-Din al-Rāzī terhadap peredaran matahari diperlukan tafsir itu sendiri. Setelah
data-data terkumpul, lalu dijelaskan serta dianalisis secara mendalam, sehingga
akan tampak jelas jawaban atas persoalan yang berhubungan dengan pokok
permasalahannya.
Adapun panduan penulisan skripsi ini berdasarkan pada Pedoman Akademik
Tahun 2011/2012 Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
diterbitkan oleh Biro Administrasi dan Akademik UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Sedangkan mengenai transliterasi dalam penulisan skripsi ini mengacu
pada sistem transliterasi Jurnal Ilmu Ushuluddin, diterbitkan oleh Hipius
(Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin).
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran singkat kerangka penelitian ini, penulis
membaginya ke dalam lima bab, masing-masing bab berisi persoalan-persoalan
tertentu dengan tetap saling berkaitan satu sama lain.
Bab I berisi pendahuluan yang merupakan penjelasan secara umum
tentang penelitian ini, dengan mencakup latar belakang masalah, identifikasi
masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
13
Winarmo Surachmad, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah
(Bandung: Tarsio, 1972), h. 132, Gay (1962) mendefinisikan metode penilitian deskriptif sebagai
kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan
yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penilitian., Consuelo
G. Sevila, dkk., Pengantar Metode Penilitian, terj. Alimuddin Tuwu (Jakarta: UI-PRESS, 1993), h.
71. Menurut Komaruddin, Decriptive Research adalah suatu riset yang tujuannya untuk
mengumpulkan fakta yang disertai penafsiran. Komaruddin, Kamus Riset (Bandung: Angkasa,
1987), h. 69.
10
Bab II merupakan landasan teori dari penelitian ini, gambaran umum
tentang peredaran matahari sebagai kerangka untuk melihat bagaimana para
mufasir memaknai perihal peredarannya. Bab ini terdiri dari pandangan dari ilmu
astronomi, masa klasik dan beberapa mufasir terhadap peredaran matahari.
Bab III sekilas mengenai Tafsīr Mafātīh al-Ghaib, merupakan penyajian
data yang dibaca oleh bab dua. Bab ini meliputi biografi singkat al-Rāzī,
gambaran umum pemikiran al-Rāzī dan profil Tafsīr Mafātīh al-Ghaib.
Bab IV berisi argumen peredaran matahari, yang merupakan hasil analisis
penulis berdasarkan pendekatan kualitatif berupa tela‘ah atas makna peredaran
matahari menurut Fakhruddin al-Rāzī. Bab ini meliputi tentang hakikat, fungsi
dan pola dari peredaran matahari tersebut. Termasuk analisis dari penulis dari
penafsirannya tersebut.
Bab V merupakan penutup sebagai jawaban atas pertanyaan dari rumusan
masalah yang berupa kesimpulan, dan saran sebagai dampak atau implikasi dari
penelitian ini.
11
BAB II
TINJAUAN UMUM PEREDARAN MATAHARI
A. Matahari dan Peredarannya Dalam Astronomi
Matahari merupakan pusat tata surya kita. Bumi, planet-planet dan benda
langit yang berada di jangkauan gravitasi Matahari, bergerak bersamaan
mengitari Matahari. Pada saat yang bersamaan Matahari juga terus bergerak di
alam semesta ini bersamaan bintang-bintang lainnya. Dalam keilmuan astronomi
gerak Matahari dibagi menjadi dua macam, yakni gerak hakiki dan gerak semu.
1. Gerak Matahari Hakiki
Menurut Slamet Hambali Gerak Matahari Hakiki adalah gerakan
sebenarnya yang dimiliki oleh Matahari. Gerakan Matahari Hakiki ada dua,
yakni:
a. Rotasi Matahari. Matahari berputar pada porosnya dengan waktu rotasi
yang berbeda-beda pada tiap bagiannya, yakni sekitar 25,5 hari pada
bidang ekuator dan 27 hari pada daerah kutubnya. Perbedaan tersebut
disebabkan Matahari sebenarnya merupakan bola gas pijar raksasa yang
berada di luar angkasa yang terus bergerak.14
b. Gerak Matahari di antara gugusan bintang. Matahari bersamaan dengan
sistem tata surya-nya bergerak di alam semesta ini dari suatu tempat
menuju tempat yang lainnya mengitari pusat galaksi Bimasakti dengan
kecepatan sekitar 20 km/detik atau 72.000 km/jam atau 600 juta
14
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak (Banyuwangi: Bismillah Publisher, 2012), h.
212-213
12
km/tahun. Daerah yang dituju oleh Matahari disebut dengan apeks dan
daerah yang telah ditinggalkan oleh Matahari disebut anti-apeks.15
2. Gerak Semu Matahari
Jika diamati dari permukaan Bumi, Matahari terlihat seperti bergerak dari
timur ke barat mengitari Bumi. Posisi terbit dan terbenam Matahari tidak selalu
tetap, melainkan berubah secara gradual dari satu titik ke titik yang lain hingga
akhirnya kembali ke titik awal lagi. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam
buku “Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik” karangan Muhyiddin Khazin,
Lintasan Matahari tersebut kemudian membentuk lingkaran besar yang disebut
lingkaran ekliptika. Lingkaran ekliptika tidak berimpit dengan ekuator, namun
membentuk sudut sekitar 23°27’.16
Secara umum gerak semu Matahari dapat
dibagi menjadi dua, yakni gerak semu harian dan gerak semu tahunan.
a. Gerak Semu Harian, terjadi akibat rotasi Bumi. Periode menengahnya
yakni 24 jam. Arah pergerakannya adalah dari timur ke barat. Kemiringan
lintasan gerak harian Matahari tergantung letak geografis pengamat.
Lintasan pada bagian ekuator Bumi adalah berupa lingkaran tegak, di
bagian kutub mendatar, di belahan Bumi selatan terlihat miring ke arah
utara dan sebaliknya di belahan Bumi utara terlihat miring ke selatan.
Besar kemiringan tersebut berbanding lurus dengan besar lintangnya.17
b. Gerak Semu Tahunan, arah gerak semu tahunan Matahari yakni ke arah
timur sekitar 0°59’/hari. Periode gerak semu tahunan Matahari adalah
15
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, h. 212-213 16
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik (Yogyakarta: Buana Pustaka,
2008), h. 126 17
Abdur Rachim, Ilmu Falak (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1983), h. 1
13
sekitar 365,25 hari, akibatnya arah terbit dan tenggelam Matahari selalu
berubah letaknya sepanjang tahun.18
Pada tanggal 21 Maret dan 23 September Matahari terbit tepat di titik timur
dan tenggelam tepat di titik barat, pada tanggal 22 Juni Matahari terbit dan
tenggelam sejauh 23,5° ke arah utara dari titik timur dan barat, sebaliknya pada
tanggal 22 Desember Matahari berada 23,5° ke arah selatan dari titik timur dan
barat. Posisi Matahari ketika berada di dua titik terakhir disebut dengan soltitium,
yang artinya pemberhentian Matahari. Hal tersebut karena pada saat itu
perubahan deklinasi Matahari sangat lambat seolah-olah berhenti. Sebaliknya
pada titik ekuinox, yakni ketika lintasan Matahari berada tepat pada titik timur
dan barat, perubahan deklinasi berlangsung cepat.19
B. Matahari Dan Peredarannya Menurut Masa Klasik
Menurut Ali Anwar, pada masa klasik sampai masa Copernicus masih
diperdebatkan apa pusat alam semesta.20
Sebagian orang mengatakan pusat
semesta adalah api besar. Ada pula yang mengatakan Bumi. Bahkan, para
ilmuwan modern mengatakan bahwa pusat alam semesta adalah Matahari.21
Ptolomeus (100-170) menyempurnakan sistem jagad raya Aristoteles
dengan melakukan melakukan pengamatan astronomis di Aleksandria selama
tahun 127-141. Hasil pengamatannya digunakan untuk membangun model
geometri tentang jagad raya di dalam risalah the Almagest (Sistem Besar) yang
memuat teori matematik tentang gerak Matahari, Bulan dan planet-planet.
18
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik, h. 127 19
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, h.. 214 20
Ali Anwar dan Tono, Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat Islam (Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2005), h. 39. 21
John D. Fix, Astronomy: Journey to the Cosmic Fronter: Fourth Edition (Amerika:
McGraw-Hill Higher Education, 2006) h. 61.
14
Ptolomeus menggambarkan bumi dikelilingi lingkaran-lingkaran, pada lingkaran-
lingkaran ini terdapat lingkaran-lingkaran kecil dan planet-planet serta Matahari
bergerak pada lingkaran-lingkaran kecil ini.
Sistem jagat raya Aristotelian-Ptolomeus yang menempatkan Bumi sebagai
pusatnya dikenal sebagai sistem atau model geosentric. Tahun 1542 Nicolas
Copernicus (1473-1543) menawarkan pandangan baru dengan risalah De
Revolutionibus Orbium Coelestium (Revolusi Bola-Bola Langit) yang
mengemukakan model heliosentric. Planet-planet bergerak mengelilingi Matahari
dalam lintasan lingkaran dengan planet yang lebih lambat mempunyai orbit lebih
jauh dari Matahari.
Nicolaus Copernicus sebenarnya bukanlah orang pertama yang
memunculkan teori Heliocentric, sebelumnya pada abad ke-13 sebelum Masehi
(SM) sudah ada Filosof Yunani yang bernama Aristarchus22
yang mengutarakan
bahwa bumi dan planet-planet berputar mengelilingi matahari, namun ketika itu
Aristarchus baru sebatas hipotesa, belum dituangkan dalam bentuk karya tulis,
apalagi pada saat itu pendapat Aristarchus tidak sejalan dengan pendapat
Aristotels (384 SM-322 SM), sehingga teori Heliocentris Aristarchus tersisihkan
oleh teori Geocentris yang menganggap bumi menjadi pusat perputaran bintang-
bintang, planet-planet termasuk di dalamnya adalah matahari dan bulan, lebih-
lebih dengan munculnya Ptolomeus (tahun 140 M)23
yang dikenal sebagai
22
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj, H.
Mahbub Djunaidi, cet. vii (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986), hal. 149 23
Harold H. Titus, et.al., Living Issues in Philosophy, terj. Prof. Dr. H.M. Rosyidi
"Persoalan-Persoalan Filsafat" Cet. I (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1984), h. 273. Lihat juga
Zubayr Umar al-Jaylanī, al-Khulāṣah al-Wafiyyah fī ’l-Falaq bi Jadwāl al-Lughatimiyyah (Kudus:
Menara Kudus, t.th.), h. 21.
15
pelopor teori Geocentris, dengan karya tulis buku besarnya berjudul "Almagest"
yang dijadikan rujukan para Astronom selama berabad-abad.
Karya besar Nicolaus Copernicus yang berjudul "De Revolutionibus
Orbium Coelestium" (Tentang Revolusi Bulatan Benda-Benda Langit) yang
melukiskan teorinya secara terperinci dan mengedepankan pembuktian-
pembuktiannya24
, pada saat itu mendapat tantangan keras dari banyak kalangan,
di antaranya kaum Lutheran yang merupakan pihak pertama menyebut buku De
Revolutionibus Orbium Coelestium itu "tidak masuk akal"25
. Gereja Katholik,
meski pada mulanya tidak menyatakan kecaman, telah memutuskan bahwa buku
De Revolutionibus Orbium Coelestium itu bertentangan dengan doktrin-doktrin
resminya dan pada tahun 1616 M. mencantumkan karya Nicolaus Copernicus ke
dalam buku-buku terlarang, kemudian dicabut dari daftar terlarang baru pada
tahun 1828 M.26
Teori heliocentric Nicolaus Copernicus ini juga mendapat perhatian besar
dari para filosof sesudahnya. Setelah melakukan pengamatan dan penelitian yang
panjang dan mendalam, mereka membenarkan, mendukung dan
menyempurnakan teori heliocentric-nya Nicolas Copernicus tersebut. Mereka di
antaranya adalah Isaac Newton (1642-1727 M)27
, Galileo Galilei (1564-1642
M)28
dan Johannes Kepler (1571-1630 M).29
Nicolaus Copernicus disanjung oleh
banyak orang dan diberi julukan sebagai Bapak Astronomi Modern, bahkan
24
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub
Djunaidi, cet. vii (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986), hal. 149 25
Nicolaus Copernicus, Father of Modern Astronomy, Blackbirch Inc. 2003. 26
Nicolaus Copernicus, Father of Modern Astronomy, Blackbirch Inc. 2003. 27
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub
Djunaidi, cet. vii (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986), hal. 35 28
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub
Djunaidi, cet. vii (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986), hal. 95 29
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj. Mahbub
Djunaidi, cet. vii (Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986), hal. 96
16
seorang astrofisikawan Owen Gingerich menyatakan bahwa, "Copernicus-lah
yang dengan karyanya memperlihatkan kepada kita bagaimana rapuhnya konsep
ilmiah yang sudah diterima untuk waktu yang lama". Melalui pengamatan,
penelitian, dan matematika, Copernicus menjungkirbalikkan konsep ilmiah dan
agama yang berurat berakar tetapi keliru dalam pemikiran manusia.
C. TAFSIRAN ATAS PEREDARAN MATAHARI
1. Penafsiran Al-Marāghī
Dalam penjelasan mufradat kata “li mustaqarrin”, al-Marāghī
menafsirkannya "Di sekitar tempat tinggal matahari. Al-Marāghī mengatakan
"Sungguh mengagumkan, wahai pembaca al-Qur'an al-Karim yang budiman.
Kenapakah al-Qur'an itu ternyata telah menetapkan sesuatu yang kemudian
ditunjukkan kebenarannya oleh penemuan sekarang dan membantah pendapat-
pendapat yang telah tersebut di masa turunnya al-Qur'an di kalangan para ahli
falak dari Yunani, India maupun Cina."30
Al-Marāghī pernah menemui dan meminta penjelasan kepada Abdul Hamid
Samahah31
, pimpinan teropong bintang di Mesir yang terletak di Hulwan tentang
hal-hal yang telah menjadi ketetapan para ahli falak sekarang, berkaitan dengan
teori-teori yang terkandung pada ayat-ayat al-Qur'an. Kemudian Abdul Hamid
menulis kepada al-Al-Marāgh sebagai berikut:
a. Bukti Pertama: Pergantian Siang dan Malam
30
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Juz 23, Terj. Anwar Rasyidi, et al.“Tafsir
alMaraghiy” (Semarang: Toha Putra, 1980), hal. 9 31
Muhammad Shaleh Abdul aAziz al-Ujayrī: Salah seorang ahli astronomi Islam,
dilahirkan di Kuwait pada tahun 1921 M/1340 H. Al-Ujayrī dianggap sebagai tokoh perancang
Kalender Islam Kuwait. Lihat dalam http://museumastronomi.com/tag/muhammad-shaleh-abdul-
aziz-al-ujairy/ diakses pada 5 Maret 2013.
17
Di antara bukti-bukti kekuasaan Allah dengan ciptaan-Nya yang indah ialah
adanya pergantian, yakni senantiasa terjadinya pergantian siang dan malam. Hal
ini telah disebutkan berkali-kali dalam al-Qur'an al-Karim, karena mengingat
gejala astronomi ini sangat penting bagi kehidupan umat manusia maupun
makhluk-makhluk lainnya yang tinggal di atas bumi.
Ayat Allah ini termasuk hal yang patut dipikirkan agar dapat dijadikan
sebagai bukti atas kebesaran Penciptanya. Malam dipilah dari siang dan siangpun
dipilah dari malam. Sebagai hasil dari perputaran bumi mengelilingi sumbunya
dari barat ke timur yang disebut gerak rotasi bumi, maka muncul matahari pada
ufuk bagian timur dan terbenam pada ufuk bagian barat dengan sangat teratur dan
indah.32
b. Bukti Kedua: Gerak Hakiki Matahari
Selain matahari secara lahiriyah terlihat melakukan peredaran tahunan di
tengah-tengah masyarakat bintang-bintang, sebagai akibat dari beredarnya bumi
mengelilingi matahari sekali dalam setahun yang disebut gerak revolusi bumi,
maka terbukti pula oleh para ahli akhir-akhir ini, bahwa matahari itu juga
mempunyai gerakan lain yang hakiki:
Pertama, beredarnya matahari pada porosnya 1 kali pada tiap kira-kira 26
hari. Hal ini ditunjukkan oleh peneropongan terhadap noda-noda matahari, yaitu
bintik-bintik hitam yang nampak pada permukaannya dari masa ke masa, yang
ternyata tempat-tempatnya tidak menetap di permukaan matahari, dan menempuh
jarak antara dua bulatan matahari dalam tempo 13 hari lamanya.
32
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, h. 231
18
Kedua, peredaran matahari (dengan segala benda-benda angkasa yang
menjadi pengikutnya, yaitu planet-planet dan dengan bulannya masing-masing)
mengelilingi pusat alam semesta (sistem bintang) dengan kecepatan kira-kira 200
mil perdetik. Jadi matahari adalah salah satu di antara jutaan bintang yang
membentuk alam semesta ini, dan yang terbukti bahwa alam semesta atau sistem
bintang itu beredar mengelilingi pusatnya. Dan oleh karena matahari itu ternyata
tidak tetap pada pusatnya, maka matahari itu mempunyai gerakan berkeliling.
Adapun yang menjadi pemahaman para ahli ilmu pasti tentang kata م dari suatu
tubuh yang melakukan gerakan berkeliling ialah, bahwa kata-kata itu berarti
poros tetap dimana gerakan berputar berpusat padanya. Atau berarti pusat
lingkaran dari gerakan ini. Dengan arti pertama, maka م berarti garis yang
terentang antara dua kutub matahari. Sedang dalam arti yang kedua, berarti pusat
dari sistem bintang selurunya, di mana seluruh bintang-bintang beredar
mengelilingi matahari.33
c. Bukti Ketiga: Gerak Semu matahari
Sebagaimana telah dikatakan, bahwa matahari itu beredar mengelilingi
bumi dalam gerakan lahiriyah yang ditimbulkan dari beredarnya bumi
mengelilingi matahari. Gerakan lahiriyah seperti seperti yang dirasakan
penumpang kereta api ketika ia melihat pohon-pohon, tiang telepon dan desa-desa
tampak bergerak tanpa ia merasakan gerakannya sendiri, karena ia berada di
dalam kereta api.34
Demikianlah kiranya gerakan matahari sebagai akibat dari beredarnya bumi
mengelilingi matahari di tengah bintang-bintang lainnya pada garis edar yang
33
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, h. 231 34
Slamet Hambali, Pengantar Ilmu Falak, h. 231
19
sangat luas dengan garis tengah 93 juta mil. Bumi beredar mengelilingi matahari
satu kali putaran penuh dalam masa satu tahun. Gerakan seperti ini ditunjukkan
oleh berpindahnya matahari di tengah buruj dengan standar satu buruj pada setiap
bulan, atau satu derajat setiap hari.35
2. Penafsiran Tantawi Jauhari
Mengenai penafsiran Tantawi Jauhari tentang ayat peredaran matahari
dalam kitab Al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, ada beberapa kesimpulan
sebagaimana berikut yaitu:
Berdasarkan penafsiran tentang peredaran matahari, ada beberapa poin
yang menjadi garis besar pemikiran Tantawi Jauhari tentang konsep peredaran
matahari, yaitu:
a. Matahari dan semua yang terdapat di langit dan bumi baik berakal ataupun
tidak, semua sujud dan tunduk terhadap sistem yang sangat teratur. Mereka
bersujud secara terus menerus sebagai bentuk ibadah kepada Allah dan mereka
bersujud atas ketundukan mereka sampai hari kiamat.36
b. Matahari beredar secara teratur pada lintasan atau orbit tertentu. Maksudnya
matahari berjalan sesuai pada batas waktu matahari berhenti beredar, batas
tempat berada di titik tertinggi dan titik terendah. Dalam pergerakannya,
matahari melakukan dua gerakan, yaitu gerakan cepat (gerakan harian) yakni
gerakan matahari melintasi orbit yang dilakukan setiap siang dan malam dari
arah timur kea rah barat kemudian berputar lagi dari arah barat kea rah timur.
Kedua gerakan lambat (gerak tahunan), yakni titik potong matahari berada
35
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Juz 23, Terj. Anwar Rasyidi, et al.“Tafsir
al-Maraghiy” (Semarang: Toha Putra, 1980), hal. 8-16 36
Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz. 7 (Mesir: Mushtafa al-
Babi al-Halabi, 1350 H), h. 192
20
pada rasi bintang pada bulan syamsiah, dan beredar dari arah selatan kea rah
utara, dan kemudia berputar lagi dari arah utara kle arah timur.37
c. Matahari adalah benda angkasa terbesar dalam tata surya berupa sekumpulan
gas yang berpijar. Dalam ilmu astronomi, matahari termasuk benda langit yang
digolongkan ke dalam jenis bintang. Oleh karena itu dalam al-Qur’an,
matahari selalu disandingkan dengan kata diya’, karena matahari merupakan
satu-satunya benda langit yang mengeluarkan cahaya dari dirinya sendiri.38
3. Penafsiran Ibnu Katsir
Sehubungan dengan makna kalimat لمستقر لها, Ibnu Katsir menjelaskan ada
dua pendapat:
Pendapat pertama, mengatakan bahwa makna yang dimaksud mustaqarril
laha ialah tempat menetapnya matahari, yaitu di bawah ‘Arsy yang letaknya
berhadapan dengan letak bumi bila dilihat dari arah ‘Arsy. Dengan kata lain, di
mana pun matahari berada, ia tetap berada di bawah ‘Arsy, demikian pula semua
makhluk lainnya, mengingat ‘Arsy merupakan atap bagi kesemuanya. Bentuk
‘Arsy itu bukan bulat, tidak seperti yang disangka oleh para ahli ilmu ukur dan
bentuk. Sesungguhnya ia berbentuk seperti kubah yang mempunyai tiang-tiang,
dipikul oleh para malaikat letak ‘Arsy berada di atas semesta alam, yakni berada
di atas semua manusia. Matahari itu apabila berada di tengah kubah falak di
waktu siang, maka saat itulah mentari berada paling dekat dengan ‘Arsy. Dan
apabila berputar di garis edarnya hingga letaknya berlawanan dengan kedudukan
tersebut, yaitu bila berada di tengah malam, maka mentari berada di tempat yang
37
Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz. 7, h. 193 38
Tantawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, h. 193
21
paling jauh dengan ‘Arsy. Pada saat itulah mentari bersujud dan meminta izin
untuk terbit lagi.39
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan mustaqarril laha ialah titik
akhir perjalanannya, puncak perjalanannya yang paling tinggi di langit, yaitu di
musim panas kemudian jarak perjalanannya yang paling bawah, yaitu di musim
dingin.40
Pendapat yang kedua, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan
mustaqarril laha ialah batas terakhir perjalanannya, yaitu pada hari kiamat nanti
perjalanannya terhenti dan diam tidak bergerak lagi, serta di gulung
(dipadamkan), maka alam semesta ini telah mencapai usianya yang paling
maksimal. Berdasarkan pengertian ini, berarti yang dimaksud dengan mustaqar
ialah berkaitan dengan zaman dan waktu, bukan dengan tempat seperti yang ada
pada pendapat pertama.41
Qatadah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya,
Limustaqarril laha," artinya sampai batas waktunya yang telah ditentukan baginya
dan tidak dapat dilampauinya.42
Menurut pendapat lain. makna yang dimaksud ialah mentari itu terus-
menerus berpindah-pindah di tempat terbitnya dalam musim panas sampai batas
waktu yang tidak lebih dari panjangnya musim panas, kemudian berpindah-
pindah pula di tempat terbitnya dalam musim dingin selama masa musim dingin
tidak lebih darinya.43
39
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2004), h.
646 40
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir, h. 648 41
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir, h. 648 42
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir, h. 648 43
Ibnu Katsir, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir, h. 649
24
BAB III
GAMBARAN UMUM KITAB MAFĀTĪH AL-GHAIB
A. Profil Pengarang
1. Sejarah Singkat al-Rāzī
Disebutkan dalam kitab Al-Ma’alim fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh bahwa nama
lengkap beliau adalah Muhammad bin ‘Umar bin al-Husein bin al-Husein bin ‘Ali
al-Tamimi al-Bakri al-Tabaristani al-Rāzī yang dikenal dengan “Fakhr al-Din al-
Rāzī”.44
Kata al-Bakri di akhir namanya adalah nisbah kepada Sayyidina Abu
Bakar al-Siddiq khalifah pertama. Syams al-Din Muhammad bin ‘Ali al-Diwudi
menjelaskan, jika ditelusuri silsilah keturunannya, akan bersambung ke atas dari
Fakhr al-Din al-Rāzī lalu ayahnya hingga sampai ke Abu Bakar al-Siddiq.45
Al-Rāzī hidup pada abad ke-6 H, yaitu antara tahun 544-606 H. Tepatnya
lahir pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H di kota Ray yang merupakan salah
satu daerah terkenal di Dilm dekat dengan Khurasan.46
Kota Ray adalah salah satu
kota bersejarah karena merupakan ibu kota Parsi, selain itu juga pusat peradaban
Islam waktu itu.47
Dalam kitab Lubab al-Isyarat wa al-Tanbihat pula disebutkan bahwa ayah
al-Rāzī merupakan salah satu dari ulama besar di daerah Ray dan khatib di sana.
Beliau juga seorang Faqih dalam mazhab Syafi’i yang sangat menguasai ilmu
perbandingan mazhab dan Usul al-Fiqh. Penyebaran dakwah yang dilakukan ayah
al-Rāzī sangatlah disenangi oleh penduduk karena disampaikan dengan keindahan
44
Fakhr al-Din al-Rāzī, Al-Ma’alim fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Ma’rifah
Muassisah Mukhtar li al-Nasr wa Tauzi’ al-Kutub, 1998), hal. 28. 45
Syams al-Din Muhammad bin ‘Ali al-Diwudi, Tabaqat al-Mufassirin, Jil. 2, (Kairo:
Maktabah Wahbah, Cet. I, 1972), hal. 216. 46
Fakhr al-Din al-Rāzī, ‘Ismah al-Anbiya’, (Kairo: Maktabah al-Madani, Cet. I, 1986), hal.
3. 47
Baqut al-Mahmudi, Mu’jam al-Badāni, (Teheran: Maktabah al-As’adi, 1965), hal. 892
23
balaghahnya. Selain itu beliau juga mempunyai beberapa karya dalam bidang Fiqh
yang sudah tersebar di daerah Ray. Dari Ayahnya, al-Rāzī banyak belajar tentang
ilmu mazhab fiqh sejak kecil, sehingga dari kecil beliau sudah hidup dalam
lingkungan yang berpendidikan, disiplin, berbudi dan penuh fadhilah.48
Ali Muhammad Hasan 'Amari menerangkan dalam kitabnya bahwa al-Rāzī
menikah di Ray dengan salah satu anak seseorang dokter ahli yang memiliki
kekayaan melimpah. Sejak pernikahannya terjadi, al-Rāzī menjadi orang yang
berkecukupan dalam hal ekonomi. Dari pernikahannya ini al-Rāzī dikaruniai tiga
anak laki-laki dan dua anak perempuan. Ketiga anak laki-lakinya bernama Dhiya'
alDin, Shams al-Din dan Muhammad yang telah meninggal pada saat al-Rāzī
masih hidup dan dengan kematian putranya membuat al-Rāzī sangat bersedih.
Bahkan al-Rāzī mengungkapkan kesedihannya dengan menyebut nama
Muhammad berkali-kali dalam tafsir surat Yunus, Hud, al-Ra'd, dan Ibrahim.49
2. Keilmuannya
Fakhr al-Din al-Rāzī adalah seorang ahli Fiqh dan Ushul al-Fiqh,
Mutakallim, Failusuf, Thabib, Mufassir, ahli hikmah, penulis, imam dalam ilmu-
ilmu umum, dan imam dalam ilmu syari’ah. Karya-karyanya telah menyebar luas
sehingga menarik hati banyak orang dan menyebabkan mereka sengaja berhijrah
dari daerahnya untuk menimba ilmu langsung kepada al-Rāzī sekaligus menjadi
muridnya.50
48
Fakhr al-Din al-Rāzī, Lubab al-Isyarat wa al-Tanbihat, (Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-
Azhariyah, 1986), hal. 4. 49
Ali Muhammad Hasan 'Amari, al-Imam Fakhr al-Din al-Rāzī: Hayatuhu wa Atsaruhu,
(t.tp.: al-Majlis al-A’la lial-Shu’un al-Islamiyyah, 1969), hal. 24-26. 50
Fakhr al-Din al-Rāzī, Al-Ma’alim fi ‘Ilmi Ushu al-Fiqh. (Kairo: Daral-Ma’rifah
Muassisah mukhtar li al-Nasr wa Tauzi’u al-Kutub, 1998), hal. 29
24
Di dalam pendahuluan kitab Mafātīh al-Ghaib sebenarnya sudah dijelaskan
mengenai guru-guru yang mempengaruhi al-Rāzī. Berikut penjelasan detailnya:
1. Guru yang berpengaruh terhadap al-Rāzī adalah Abi Muhammad al-
Baghawi dalam bidang hadis. Adapun dalam bidang teologi dan filsafat
belajar kepada Madjid al-Jaili yang merupakan murid imam al-Ghazali.51
Setelah beberapa tahun belajar di Simnan, al-Rāzī melanjutkan perjalanan
ke Khawarizm. Akan tetapi di Khawarizm banyak berdebat dengan kaum
mu’tazilah dan akhirnya ia kembali ke Ray.52
2. Dalam ilmu ushul, al-Rāzī belajar dari ayahnya sendiri, yakni Dhia al-
Din Umar. Garis belajarnya sangat jelas, dimana ayahnya belajar kepada
Abi al-Qasim Sulaiman Ibn Nasir al-Anshari dan seterusnya hingga Hasan
al-Asy’ari.53
3. Dalam ilmu fiqh al-Rāzī belajar pada ayahnya juga, namun guru
ayahnya dalam bidang fiqh adalah Abi Muhammad al-Husain Ibn Mas’ud
al-Fara al-Baghawi, seterusnya hingga sampai imam Syafi’i.54
Dari berbagai tokoh yang mempengaruhi, al-Rāzī memiliki banyak gelar.
Al-Rāzī dikatakan sebagai ahli fiqh. Salah satu karyanya dalam bidang fiqh adalah
Thariqah al-A’Alaiyah yang merupakan Syarah al-Wajiz milik al-Ghazali.
51
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), Juz 1,
Hal. 4 52
Mahmud Mani’ Abdul Halim, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), Hal. 322 53
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), Juz 1,
Hal. 4 54
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), Juz 1,
Hal. 4
25
Kemudian al-Rāzī juga merupakan tokoh dalam bidang teologi, filosof, mufassir,
dan kedokteran.55
Penjelasan di atas merukapan kunci bagaimana memahami kedudukan al-
Rāzī sesungguhnya. Pemaparan di atas menunjukan bahwa al-Rāzī merupakan
tokoh di berbagai bidang. Al-Rāzī berhasil dalam menguasai filsafat dan
kedokteran yang pernah ia peroleh dari para gurunya yang ia refleksikan dalam
karyanya yang berjudul Syarah al-Isyarat dan kitab Syarh al-Kulliyyat li al-
Qanun karya Ibnu Sina.56
Dari pengertian di atas menimbulkan pertanyaan, siapakah al-Rāzī
sesungguhnya? Lalu kedudukan apa yang pantas untuk al-Rāzī? Untuk menjawab
itu Madjid Fakhry menjelaskan bahwa al-Rāzī merupakan teolog yang
memoderasikan pemikiran teologi tradisional. Al-Rāzī mencoba menjembatani
antara teologi dan filsafat yang menurutnya bertentangan. Dengan kata lain,
pemikiran teologis al-Rāzī dikaji dengan pendekatan filofofis.57
Djayadi Cahyadi
menegaskan bahwa al-Rāzī melakukan perdebatan dengan ulama terkemuka
denga menggunakan dealektika filosofis.58
Dengan demikian dapat disimpulkan
dari tokoh dan karya yang ada, al-Rāzī merupakan teolog yang filosofis.
Al-Rāzī banyak mendapatkan pujian yang istimewa seperti yang dikatakan
oleh al-Qifti bahwa ia adalah seorang yang memiliki pemikiran yang tajam serta
memiliki daya analisa yang kuat. Sehingga ia dapat menguasai beberapa ilmu
55
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), Juz 1,
Hal. 5-6 56
Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ijtihad, (Jakarta: Gaung
Persada Press, 2010), hal. 100 57
Madjid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Jaya, 1986), hal. 121 58
Salah satu skripsi UIN Syarif Hidayatullah, lihat Djayadi Cahyadi, Konsep Takdir
Fakhruddin al-Rāzī, hal. 21
26
pengetahuan termasuk di dalamnya ilmu kedokteran yang banyak dipuji oleh para
muridnya yang mempelajari ilmu kedokteran darinya.59
Karena keluasan ilmu yang dimiliki dan juga kemampuan al-Rāzī dalam
membela agama Islam serta pengaruhnya yang luar biasa dalam perbaikan akhlak
umat Islam, membuat orang-orang di zamannya sangat takjub karena belum ada
ulama sebelumnya yang mampu berdakwah dengan pengaruh yang luar biasa di
daerah tersebut. Selain itu beliau mampu menguasai bahasa Arab dengan baik dan
juga mampu berbicara dengan bahasa Persia. Meskipun disisi lain ada juga pihak
yang menentang dakwahnya dan menuduh bahwasanya al-Rāzī telah pandai
menyimpangkan makna ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an. Tetapi,
walaupun dengan kondisi seperti itu, al-Rāzī masih tetap eksis dalam penulisan
karya-karya baru dengan gaya khasnya yang memperhatikan hujjah dan dalil al-
Naqli serta dalil al-‘Aqli. Sehingga beliau dijuluki sebagai “syaikh Islam” di
Herat.60
Al-Rāzī wafat di Herat pada hari Senin, bulan Syawwal tahun 606 H/1209
M dikarenakan sakit hingga menjelang ajalnya. Beliau dikuburkan pada tengah
siang di gunung dekat dengan Muzdakhan daerah Herat.61
Namun ada sumber lain
yang mengatakan bahwasanya penyebab kematian al-Rāzī adalah kebencian
kelompok Karamiyah62
hingga suatu waktu kebencian kelompok ini memuncak
59
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), Juz 1,
Hal. 7
60
Fakhr al-Din al-Rāzī, Al-Ma’alim fi ‘Ilmi Ushu al-Fiqh. (Kairo: Daral-Ma’rifah
Muassisah mukhtar li al-Nasr wa Tauzi’u al-Kutub, 1998), hal. 29 61
Fakhr al-Din al-Rāzī, ‘Ismah al-Anbiya’, (Kairo: Maktabah al-Madani, Cet. I, 1986), hal.
5 62
Al-Karamiyah adalah sekte yang dikenal dan dikaitkan kepada Muhammad bin Karam
al-Sijistani, seorang ahli ilmu kalam. Di antara ajarannya adalah pembolehan penggunaan hadis
yang mengandung bid’ah. Selain itu ajaran akidah yang diyakini oleh mereka bahwasanya akidah
27
dan melakukan strategi untuk meracuni al-Rāzī hingga akhirnya meninggal
dunia.63
Sebelum kematiannya, al-Rāzī mendiktekan sebuah wasiat kepada muridnya
Ibrahim bin abu bakr al asfahan tepatnya pada hari Ahad 121 Muharram 606 H.
para penulis biografi, seperti al dzahabi, al safadi serta al subki tidak menuliskan
wasiat ini secara keseluruhan kecuali ibn abi usaybi’ah.64
Wasiat ini setidaknya menggambarkan keluasan ilmu dari al-Rāzī yang
dipenhi dengan sikap tawadhu. Pemikiran kritisnya tidak menjadikannya orang
yang lupa akan Allah. Hal yang sama terjadi ketika ia selalu menutup tafsir per-
suratnya dengan berbagai doa atas kebodohan dirinya. Oleh sebab itu gelar imam
al musyakkik bukan gelar peyoratif bagi diri seorang al-Rāzī karena kebenaran
yang ia cari bukanlah pembenaran yang ada dalam diri seorang tetapi dari Allah.65
Sebagaimana tafsirnya, penyebab serta tempat ia dikuburkan pun
mengandung perdebatan. Di antara para sarjana ada yang menyatakan bahwa al-
Rāzī meninggal di Herat tahun 606 H. diantara para sarjana ada yang beranggapan
bahwa kematiannya disebabkan penyakit yang al-Rāzī tidak dapat sembuh
adalah kepercayan yang hanya perlu pembuktian dari lisan tanpa diwajibkan pembuktian dari
perbuatan. Kelompok inilah yang secara tegas dan terang-terangan menolak dakwah al-Rāzī dan
mengkafi rkannya, karena ceramah al-Rāzī dianggap menyerang keyakinan mereka tersebut.
(Lihat selengkapnya, Muhammad bin A.W. al-‘Aqil, Manhaj ‘Aqidah Imam al-Syafi ’i, (T.K:
Niaga Swadaya, 2002), hal. 604. 63
Muhammad Husain al-Dhahabi, Tafsir wa al-Mufassir, Juz: 1, (Kairo: Maktabah Wahbah
al-Qahirah, 2000), hal. 207. 64
Salah satu tesis dari UIN Syarif Hidayatullah tentang al-Rāzī. Lihat Aramdhan Kodrat
Permana, “Nuansa Tasawwuf Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhr al-Din al-Rāzī”, hal.
63 65
Salah satu tesis dari UIN Syarif Hidayatullah tentang al-Rāzī. Lihat Aramdhan Kodrat
Permana, “Nuansa Tasawwuf Dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib Karya Fakhr al-Din al-Rāzī”, hal.
63
28
darinya66
dan ada juga riwayat yang mengatakan bahwa salah satu anggota
karramiyyah meracuni makanan yang dimakan oleh al-Rāzī.67
Argumen yang paling valid adalah kematian al-Rāzī yang disebabkan oleh
penyakit yang menimpanya, bukan racun yang diberikan oleh karramiyyah. Hal
ini nampak dari wasiatnya, “seorang hamba yang penuh harap pada Tuhannya
Maha Kuat dengan kemuliaan Tuhannya, dan ia pada akhir masanya berada di
dunia yang akan kembali ke akhirat dan pada awalnya ia berada di akhirat”.
Wasiat ini menunjukan bahwa kematiannya tidak mungkin disebabkan oleh racun.
Karena orang yang teracuni tidak mungkin bisa berfikir seperti yang ia tulis dalam
sebuah wasiat.68
Sebagaimana yang dinyatakan oleh al dzahabi “ ausa bihadzihi al
Wasyiyyah lamma ihtadara”, bahwa al-Rāzī menulis ketika ia tertimpa musibah.69
Argument ini sebagaimana disampaikan oleh ibnu abu usaibi’ah, “saya
mencatat bahwa al-Rāzī dalam keadaan sakit parah ketika ia menulis surat untuk
muridnya, Ibrahim bin abu bakr bin ‘ali al asfahan” pada hari Ahad 20 Muharram
606 H. dan penyakitnya berkelanjutan sampai pada kematian pada awal Syawwal.
Perdebatan yang lain perihal waktu kematian al-Rāzī. Sebagian besar para
sejarawan mencatat kematiannya pada Hari ‘Ied awal Syawal 606 H dan sebagian
66
Ibn Abi Usaibi’ah, ‘Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba’, (Kairo: al-Matba’ al-Wahbiya,
1982), hal. 466 67
Ibn Abi Usaibi’ah, ‘Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba’, (Kairo: al-Matba’ al-Wahbiya,
1982), hal. 466 68
Salah satu desertasi dari UIN Syarif Hidayatullah tentang al-Rāzī, Aswadi mencatat
bahwa kematiannya disebabkan oleh racun yang diberikan oleh Karamiyyah. Lihat Aswadi,
“Konsep Syifa dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib”. Hal. 37 69
Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam Wa wafiyat al-Masyahir Wal A’lam, (Beirut: Dar al-Qutub
al-‘Araby, 1987) jilid. 1, hal. 211
29
kecil mengatakan al-Rāzī meninggal di bulan Dzulhijjah. Menurut al-Qifti, al-
Rāzī dikuburkan di rumahnya, bukan di sebuah gunung dekat Herat.70
B. Karya-karya Pengarang
Dalam dunia islam Fahruddin al-Rāzī merupakan salah satu penulis
produktif dalam sejarah. Tulisannya terdiri dari bererbagai cabang keilmuan mulai
dari tafsir, teologi filsafat, kedokteran, linguistic, fisika, astronomi, sejarah,
astrologi fisiognomi (firasat) dan masih banyak lagi. Konon karangan al-Rāzī
lebih dari 200 buah karangan, baik beberupa risalah, syarah, maupun kitab yang
berjilid-jilid.71
Al-Baghdadi mengklasifikasikan karangan al-Rāzī menjadi
sepuluh, dengan rincian sebagai berikut:72
Dalam bidang studi al-Quran: Al-tafsir al-Kabir (Mafatih al-Ghaib, Asrar
al-Tanzil wa Asrar al-Tafsir (Tafsir al-Qur’an al-Saghir), Tasir Surat al-Fatihah,
Tafsir surat al-Baqarah, Tafsir surat al-Ikhlas, Risalah fi Tanbih ‘ala Ba’d al-
Asrar al-Mudi’ah fi Ba’d Ayat al-Qur’an al-Karim.
Dalam bidang Ilmu Kalam: Al-Arba’in fi Usul al-Din, Asas al-Taqdis,
Tahsil al-Haqq, Al-Qada wa al-Qadar, Sharh al-Asma Allah al-Husna, ‘Ismah al-
Anbiya’ ,Al-Mahsul (fi ‘Ilm Kalam), Al-Ma’alim fi Usul al-Din, Nihayah al-’Uqul
fi Dirayah al-Usul, Ajwibat al-Masa’il al-Najjariyyah
Dalam bidang Ilmu Logika, Filsafat, dan Etika: Al-Ayat al-Bayyinat fi al-
Mantiq, al-Mantiq al-Kabir, Ta’jiz al-Falsifah, Sharh al-Isharah wa al-Tanbihat
70
Ali Ibn Yusuf al-Qifti, Tarikh al-Hukama, (kairo: Mahad Tarikh al-Arabiyya wal
Islamiyya, 1970), hal. 291 71
Mani' Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 321 72
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991), Juz 1,
Hal. 5
30
(li Ibn Sina), Syarh ‘Uyun al-Hikmah (li Ibn Sina), Al-Mabahith fi al-
Mashriqiyyah ,Muhassah Afkar al-Mutaqadimin wa al-Muta’akhirin min ‘Ulama
wa al-Hukama’ wa al-Mutakalimin, Al-Matalib al-‘Aliyyah, Al-Akhlaq
Dalam permasalahan Hukum: Ibtal al-Qiyas, Ihkam al-Ahkam, Al-Ma’alim
fi Usul Fiqh, Muntakhab al-Mahsul fi Usul Fiqh, Al-Barahim wa al-Barahiyah
,Nihayah al-Bahaiyyah fi al-Mabahith al-Qiyasiyyah, Dalam Ilmu Bahasa, Sharh
Nahj al-Balaghah, Al-Muharrir fi Haqa’iq (atau Daqa’iq) al-Nahw
Dalam bidang Sejarah: Fada’il al-Sahabah al-Rashidin, Manaqib Imam al-
shafi’I, Dalam bidang Matematika dan Astronomi, Al-Handasah, Al-Risalah fi
‘Ilm Hay’ar, Dalam bidang kedokteran, Al-Tib al-Kaba’ir, Al-Ashribah, Al-
Tashyir, Sharh al-Qanun li Ibn Sina, Masa’il fi al-Tib
Dalam bidang Sihir dan Astrologi: Ahkam al-‘Ala’iyyah fi A’lan
alSamawiyyah, Kitab fi Raml, Sir al-Maktum
Karya umumnya adalah I’tiqad Firaq al-Muslimin wa al-Mushrikin. Dari
sekian banyak karya-karyanya yang menjadi unggulan adalah kitab Mafatih al-
Ghaib atau Tafsir al-Kabir yang fenomenal. Kitab ini merupakan kajian yang
komprehensif dari tafsir Bil al-Ra’y. kitab ini terdiri dari 32 juz yang ditulis pada
akhir masa dari kehidupannya. Melihat dari kronologinya kitab ini ditulis pada
saat al-Rāzī mencapai kematangan dalam keilmuannya.
Bebagai pendapat kuat mengatakan bahwa al-Rāzī tidak menyelesaikan
tafsirnya. Bagian pertama ditulis oleh al-Rāzī dan bagian kedua ditulis oleh
pengikutnya, yakni al-Shaykh Najm al-Din Ahmad bin Muhammad al-Qamuli
31
(767 H.) dan shihab al-Din bin Khalil al-Khuwayya. Secara berurutan al-Rāzī
menulis hingga surat al-Anbiya (surat ke-21). Disamping itu, secara acak (tidak
mengikuti mushaf) al-Rāzī menafsirkan surat-surat lainnya seperti alShu'ara, al-
Qiyamah, al-Humazah, al-Qalam, al-Ma'arij dan al-Naba.73
Walaupun diyakini bahwa al-Rāzī tidak menyelesaikan seluruh tafsirnya,
namun kitab yang sekarang dinisbatkan kepadanya ini tetap memiliki kesatuan ruh
dalam pandangan, gaya bahasa, dan pemaparannya sebagai buah karya dari satu
orang. Dengan kata lain tidak terdapat kontradiksi antara satu bagian dan bagian
yang lainnya dengan ide serta pemikiran al-Rāzī.
C. Sistematika Penulisan Mafātīḥ al-Ghaib
1. Latar Belakang Penulisan
Fakhr ad-Dīn al-Rāzīhidup pada tahun ke-enam Hijriyah, masa ini adalah
masa kesempitan dalam kehidupan umat Islam, baik dalam hal politik, sosial,
keilmuan dan akidah. Dan kelemahan ini sudah sampai pada puncaknya pada
masa Daulah Abbasyiah. Ada kabar tentang tentang perang salib di Syam. Pada
masa itu terjadi perselisihan madzhab dan akidah, dan di Ray sendiri ada tiga
golongan, yaitu Syafi'iyyah, Hanafiyyah, dan Syi'ah. Dan muncul pula banyak
golongan kalam dan perdebatan perdebatannya, di antaranya yaitu golongan
Syi'ah, Mu'tazilah, Murji'ah, Bathiniyyah dan Kurrasiyyah.
Kemudian, Fakhr ad-Dīn al-Rāzīyang ahli dalam berbagai bidang keilmuan,
menulis kitab tafsir ini yang berjumlah 8 jilid besar. Al-Rāzīyang bermadzhab
Syafi'i dalam penulisan tafsirnya beliau selalu membantah Mu'tazilah ketika ada
73
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Bairut: Dar al-Fikr,
1976), Jilid 1, hal. 209
32
kesempatan atau cela. Tafsir ini ditulis oleh al-Rāzī sebagai tanggapan terhadap
tafsir ideologi karangan Zamakhsyari (Al-Kassyaf). Di mana Al-Rāzīyang
beraliran Asy'ariyyah berusaha mempertahankan alirannya dan mencari-cari jalan
untuk membenarkannya.74
Dalam penulisan Tasfīr Mafātīḥ al-Ghaib ini al-
Rāzīhanya menafsirkan sampai Surat al-Anbiyā, kemudian dilengkapi oleh
Syihabuddin al-Khubiy, namun al-Khubiy juga belum sempurna kemudian
dilanjutkan lagi oleh Najm ad-Din al-Qamuliy sampai akhir.75
Meskipun al-Rāzī
tidak menafsirkannya secara sempurna, akan tetapi tidak ditemukan perbedaan
penulisan baik dalam bidang metode atau cara penafsiran serta dalam
keistimewaan antara kedua penulisnya dalam tafsir ini.76
2. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan Tasfīr Mafātīḥ al-Ghaib yaitu menyebut
nama surat, kemudian tempat turunnya, bilangan ayatnya, perkataan-perkataan
yang ada di dalamnya, kemudian menyebut satu atau beberapa ayat, lalu mengulas
munasabah antara satu ayat dengan ayat sesudahnya, sehingga pembaca dapat
terfokus pada satu topik tertentu pada sekumpulan ayat, tidak hanya munasabah
antara ayat saja, ia juga menyebut munasabah antara surat.
Setelah itu mulai menjelaskan masalah dan jumlah masalah tersebut,
misalnya ia mengatakan bahwa dalam sebuah ayat al-Qur'an terdapat beberapa
yang jumlahnya mencapai sepuluh atau lebih. Lalu menjelaskan masalah tersebut
dari sisi nahwunya, ushul, sebab nuzul, dan perbedaan qiroat dan lain sebagainya.
74
Mundhir, Studi Kitab Tafsir Klasik, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), hal. 77 75
Muhammad Husain Adz-Dzahabi, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn, (Bairut: Dar al-Fikr,
1976), Jilid 1, hal. 293 76
Manna' Khalil Qaththan, Mabāhits fi 'Ulūm al-Qur'an, (Mansyurat al-'Ashr al-Hadits,
1973), hal.368
33
Sebelum ia menjelaskan suatu ayat, beliau terlebih dahulu mengungkapkan
penafsiran yang bersumber dari Nabi, Sahabat, Tabi'in ataupun memaparkan
masalah antara nasikh dan mansukh, bahkan jarh wa ta'dil baru kemudian
menafsirkan ayat disertai argumentasi ilmiahnya di bidang ilmu pengetahuan,
filsafat, ilmu alam maupun yang lainnya.
3. Metodologi Penafsiran
Tafsir al-Rāzī termasuk dalam kategori metode taḥlīlī (analisis),
sebagaimana yang dijelaskan oleh Dr. Abd Hayy al-Farmawy dalam bukunya
Metode Tafsir Maudlu'i. Metode taḥlīlī adalah metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur'an dari seluruh aspeknya. Di dalam
tafsirnya, penafsir mengikuti runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun
dalam mushaf. Penafsir memulai uraiannya dengan mengemukakan arti kosakata
diikuti dengan penjelasan mengenai arti global ayat. Ia juga menjelaskan
munasabah (hubungan) ayat-ayat serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat
tersebut satu sama lain. Begitu pula penafsir membahas mengenai asbabun nuzul
dan dalil-dalil yang berasal dari Nabi Muhammad, Sahabat, atau para Tabi'in,
yang kadangkadang bercampur-baur dengan pendapat para penafsir itu sendiri dan
diwarnai oleh latar belakang pendidikannya. Dan sering pula bercampur baur
dengan pembahasan kebahasaan dan lainnya yang dipandang dapat memahami
nash al-Qur'an tersebut.77
Adapun metode al-Rāzī dalam tafsirnya bisa disimpulkan sebagai berikut:
77
Abd. Al-Hayy al-Farmawy, Metode Tafsir Maudlu'i, ( Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996) , hal. 12
34
a. Menerangkan hubungan-hubungan antara satu ayat dengan ayat lainnya
dan hubungan satu surat dengan satu surat yang mengikutinya. Adakalanya beliau
tidak menjelaskan satu hubungan saja, melainkan lebih dari satu hubungan.
b. Berbicara panjang lebar dalam menjelaskan argumentasi, seperti filsafat,
matematika, dan ilmu eksak lainnya. Sampai-sampai Ibn Taimiyah berkata
"segalanya ada di dalam Tafsir ar-Rāzī, kecuali tafsir itu sendiri".
c. Menentang keras madzhab Mu'tazilah dan membantahnya dengan segala
kemampuannya. Sebab itu beliau tidak pernah melewatkan setiap kesempatan
untuk membantah pendapat Mu'tazilah.
d. Terkadang suka melantur dalam membahas masalah-masalah ushul fiqh,
nahwu dan balaghoh. Hanya saja dalam masalah ini beliau tidak terlalu berlebihan
seperti yang beliau lakukan dalam masalah eksakta dan ilmu-ilmu alam.78
e. Kalau ia menemui sebuah ayat hukum, maka ia selalu menyebutkan
madzhab fuqaha. Akan tetapi, ia lebih cenderung kepada madzhab Syafi'i yang
merupakan pegangannya dalam ibadah dan muamalat.79
4. Corak Penafsiran
Tafsir Mafātīḥ al-Ghaib ini dikategorikan kedalam tafsir bi al-Ra'y, dengan
pendekatan madzhab Syafi'iyah dan Asy'ariyah. Tafsir bi al-Ra'y adalah
penjelasan-penjelasan yang bersumber dari ijtihad dan akal, berpegang kepada
78
Mundhir, Studi Kitab Tafsir Klasik, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015), hal. 80 79
Mani' Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003), hal. 4
35
kaidah-kaidah bahasa dan adat istiadat orang arab dalam mempergunakan
bahasanya.80
Dilihat dari corak penafsirannya, Kitab Mafātīḥ al-Ghaib menggunakan
metode tafsir Ilmi, Falsafi dan Adabi wal Ijtima', dengan rincian:
a. Digunakannya metode tafsir Ilmi ini dapat dilihat dari banyaknya al-
Rāzī menggunakan teori ilmu pengetahuan modern untuk mendukung
argumentasinya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, terutama ayat-
ayat Qauniyah yang menyangkut masalah astronomi, sebagaimana yang
terlihat ketika al-Rāzī menafsirkan ayat Qauniyah.
b. Digunakannya metode tafsir Falsafi dapat dibuktikan dari banyaknya al-
Rāzī mengemukakan pendapat ahli filsafat dan ahli kalam, serta
dipergunakannya metode filsafat dalam menafsirkan ayat al-Qur’an.
Metode Falsafi ini dipergunakan terutama untuk menentang konsep-
konsep pemikiran teologi rasionalis Mu’tazilah. W. Montgo Mery Watt,
mengatakan bahwa munculnya teologi al-Rāzī dalam beberapa karya
diantaranya karya tafsir yang mempunyai karakteristik, serta menjadi
pembeda dari tafsir lain adalah dimasukkan di dalamnya bahasan teologi
dan filsafat dalam berbagai masalah yang selaras dengan sudut pandang
teologi Sunni yang berkembang.81
c. Digunakannya metode tafsir Adabi dalam tafsir Mafātīḥ al-Ghaib dapat
dibuktikan dengan banyaknya al-Rāzī menggunakan analisis-analisis
80
Hasbi ash-Shiddieqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an, ( Jakarta: Bulan Bintang,
1990), hal. 227 81
W. Montgo Mery Watt, Pengantar Studi Islam, Terj. Taufik Adnan Amal,
(JakartaRajawali: Press, 1991), hal. 267.
36
kebahasaan dalam menjelaskan dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
terutama dalam segi Balaghah dan Qawaid al-Lughahnya.
5. Penilaian Ulama
Banyak ulama yang memberikan komentar atau penilaian terhadap tafsir
Mafātīḥ al-Ghaib, di antaranya sebagai berikut;
a. Imam as-Suyūṭi mengatakan; “Sesunggguhnya al-Rāzī memenuhi
tafsirnya dengan perkataan-perkataan hukama dan filosof, dan
mengecualikan sesuatu dari sesuatu sehingga peneliti merasa takjub”.82
b. Abi Hayyan berkata dalam kitabnya Bahru Muhīṭ; “Al-Rāzī
mengumpulkan segala sesuatu yang banyak dan panjang dalam tafsirnya
di mana hal tersebut tidak dibutuhkan dalam kajian tafsir”.
c. Ibnu Hajar al-Asqalani di dalam kitab Lisān al-Mīzān menemukan
bahwa saya membaca dalam Iksir fi al-Ilmi at-Tafsīr yang disusun oleh
at-Ṭufi, ia mengatakan bahwa banyak kekurangan yang ditemukan
dalam kitab Tafsir al-Kabir.83
82
Muhammad bin Luthfi as-Shibagh, Lamhāt fi 'Ulūm al-Qur‟ān wa atTijāh at-Tafsīr,
(Beirut: Maktab al-Islami, 1990) hal. 291 83
Mundhir, Studi Kitab Tafsir Klasik, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015) hal. 82
37
BAB IV
PEREDARAN MATAHARI: HAKIKAT, FUNGSI & POLA
Untuk mendadapatkan penafsiran yang komprehensif dari peredaran
matahari, diperlukan adanya penelitian yang mendalam terkait dengan ayat yang
mengindikasikan peredaran matahari itu sendiri. Penulis menemukan ada 5 ayat
yang secara jelas mengisyaratkan peredaran matahari: surat ar-Ra’adu ayat 2,
surat al-Anbiya ayat 33, surat Ibrahim ayat 33, surat Yasin ayat 38 dan 40.
Maka pada bab ini berisi uraian tentang penafsiran al-Rāzī terhadap
peredaran matahari dari ayat-ayat diatas. Penulis mencoba melakukan penelitian
dengan struktur sebagaimana berikut. Pertama, tentang hakikat peredaran
matahari yang sangat lekat dengan kuasa Allah SWT. Bagaimana Allah dengan
segala kekuasaannya bisa menetapkan setiap gerakan dan segalanya terhadap
matahari. Kedua, berbicara tentang fungsi-fungsi dari peredaran matahari yang
bisa memberikan manfaat untuk semua makhluknya di dunia ini. Ketiga, tentang
bagaimana pola peredaran matahari di orbitnya. Dan keempat, analisis dari penulis
terhadap penasfisan al-Rāzī dan yang lainnya tentang ketiga struktur diatas.
A. Hakikat Peredaran Matahari
1. Surah ar-Ra’adu [13] ayat 2
Redaksi ayat:
ت وى على الر ن ها ثم اسر موات بغير عمد ت رور ل اللم الذي رفع الس س والرقمر كم مر ر الش ش وسخ عررمر تموقنمون مر بلقاء ربكم يت لعلكم لم اآلر ر ي مفص مر ى يمدبرم األر يرري ألجل ممسم
“Allah-lah yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy, dan menundukan matahari
dan bulan. Masing-masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah
38
mengatur urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-
Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan Tuhanmu”
Penafsiran ayat:
Menurut pandangan al-Rāzī, Allah sudah mengatur segala sesuatu yang
ada di alam semesta ini dengan ketentuan yang sudah diperhitungkan oleh-Nya.
Dimulai dari pengadaan maupun penghilangannya, penghidupan dan
mematikannya. Dan Allah pun telah mengatur semuanya, baik hal fisik ataupun
non fisik dan dari yang terkecil sampai yang terbesar.84
Begitupun terhadap
peredaran matahari yang penulis bahas dalam skripsi ini. Dan itu tidak sama sekali
membuat Allah merasa tersibukkan. Bahwa dari itu semua menunjukkan Allah
Swt dalam kebesaran zat-Nya, sifat-Nya, ilmu-Nya, dan kekuasaan-Nya yang
tidak akan ada yang bisa menyerupai-Nya.85
Yang terpenting dari kalimat ى ل يرري ألجل ممسم adalah Allah كم
menetapkan setiap satu dari benda-benda langit orbit khusus, menuju jalur yg
khusus, dengan kadar kecepatan dan kelambatan yang khusus pula.86
Dan pula ketika hari akhir tiba, benda sedahsyat matahari pun tidak luput
dari ketentuan-Nya. Sebagaimana penafsiran al-Rāzī dalam tafsirnya yang
menyebutkan bahwa akhir dari peredaran matahari adalah hari kiamat. Ia
menjelaskan ketika datang hari itu, maka terhenti lah pergerakannya dan
terbatalkan lah orbitnya sebagaimana firman Allah dalam: al-Takwir ayat 1-2, al-
Insyiqoq ayat 1, al-Infithor ayat 1, al-Qiyamah ayat 9 dan al-An’am ayat 2.87
2. Surah Yasin [36] ayat 38
84
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 11 (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991),
hal. 103 85
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 11, hal. 103 86
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 11, hal. 112 87
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 11, hal. 113
39
Redaksi ayat:
ديرم الرعزيز الرعليم ت قر لا ذلك ت قر سر سم ترري لمم مر والش
“Dan matahari beredar di tempat peredarannya. Demikian lah ketetapan
Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui”
Penafsiran ayat:
Dalam ayat ini al-Rāzī menafsirkan lafadz ت قر menjadi beberapa macam ممسر
arti:
a. Adalah hari kiamat. Manakala ini terjadi maka terhenti lah segala
pergerakannya dan selesai sudah lah tugasnya untuk mengitari
orbitnya.88
b. Bahwa matahari lah yang menjadi sebab adanya musim-musim di bumi
karena perbedaan rotasinya. Ketika ada di puncak rotasinya maka
menjadi musim kemarau dan di titik terendahnya akan menjadi musim
dingin.89
c. Pada akhirnya matahari akan kembali ke rumahnya di awal, bisa itu
adalah ‘Arsy ataupun hari akhir (kiamat).90
Hampir serupa dengan penjelasan al-Rāzī, Dalam penjelasan mufradat kata
“li mustaqarrin”, al-Marāghī menafsirkannya "Di sekitar tempat tinggal matahari.
Al-Marāghī mengatakan "Sungguh mengagumkan, wahai pembaca al-Qur'an al-
Karim yang budiman. Kenapakah al-Qur'an itu ternyata telah menetapkan sesuatu
yang kemudian ditunjukkan kebenarannya oleh penemuan sekarang dan
88
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26 , hal. 212 89
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 212 90
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 213
40
membantah pendapat-pendapat yang telah tersebut di masa turunnya al-Qur'an di
kalangan para ahli falak dari Yunani, India maupun Cina." 91
Disini memang Al-Marāghī secara jelas berpendapat bahwa teori-teori
perihal matahari yang sudah lama eksis di masa lampau itu terbantahkan oleh teori
setelahnya. Teori yang dimaksud disini adalah teori Geocentric yang sudah eksis
terlebih dahulu pada masa awal ahli falak dari Yunani, India maupun Cina yang
terbantahkan oleh teori setelahnya, yaitu Heliocentric.
3. Surah Yasin [36] ayat 40
Redaksi ayat:
بحم ل ف ف لك يسر هار وكم رك الرقمر ول الليرلم سابقم الن بغي لا أنر تمدر سم ي ن ر مر ون ل الش
”Tidak mungkin lah bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun
tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis
edarnya”
Penafsiran ayat:
Menurut pendapat al-Rāzī siang dan malam itu terjadi karena peredaran
matahari yang juga disebabkan oleh peredaran orbitnya yang disebut juga arsy
sebagaimana dalam firmannya surah al-a’raf [12] ayat 54:
ش ت وى على الرعرر ثم اسر
“lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy”
Adapula sebab terjadinya siang dan malam karena pergerakan dari pusat
orbit dan itu terjadi dalam waktu yang sekejap.92
91
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Juz 23, Terj. Anwar Rasyidi, et al.“Tafsir
al-Maraghiy” (Semarang: Toha Putra, 1980), hal. 13
41
Sesungguhnya Allah menjelaskan tentang cara penciptaan langit-langit,
maka kami menjadikan tujuh langit dalam waktu dua hari dan ia memerintahkan
pada tiap-tiap langit urusannya.93
Maka ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah memberi sesuatu
kekhususan kepada setiap langit itu dengan kelembutan cahaya ketuhanannya.94
Quraisy Shihab menerangkan bahwa Allah SWT menciptakan alam
semesta ini beserta isinya dengan penuh keserasian, keharmonisan dan
keteraturan. Semua itu bukan tanpa kebetulan, melainkan dengan haq, di mana
terdapat tujuan dan manfaat dalam penciptanya. Tujuan dan manfaat untuk
kehidupan makhluk di Bumi, serta untuk menuntun manusia menuju keimanan
dan penghambaan kepada-Nya.95
Penulis memang melihat ketiga pendapat mufasir ini hampir serupa perihal
kuasa Allah Swt dalam menggerakan matahari, namun Al-Marāghī lebih tegas
menyatakan soal bagaimana beredarnya matahari tersebut dan berani membantah
pendapat-pendapat para ahli falak yang sebelumnya yang menyatakan bahwa
bumi sebagai pusat peredaran orbit bagi planet-planet lain termasuk matahari.
Berbeda dengan al-Rāzī yang tidak menjelaskan bagaimana posisi matahari dalam dua
teori tersebut.
B. Fungsi Peredaran Matahari
1. Surah Ibrahim [14] ayat 33
Redaksi ayat:
92
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 218 93
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26 ,hal. 219 94
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 219 95
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. 13, (Jakarta: Lentera Hati, 200), hal. 21-22
42
هار مم الليرل والن ر لكم وسخ س والرقمر دائب ير مر مم الش ر لكم وسخ
“Dan Dia telah menundukan bagimu matahari dan bulan yang terus-
menerus beredar. Dan telah menundukan bagimu malam dan siang”
Penafsiran ayat:
Menurut al-Rāzī, manfaat dari peredaran matahari dan bulan itu amatlah
banyak. Telah dijelaskan oleh Allah dalam ayat-ayat-Nya: Surah Nuh [71] ayat
16, surah ar-Rahman [55] ayat 5, surah al-Furqon [25] ayat 61, surah Yunus [10]
ayat 5, surah Yusuf [12] ayat 47.96
Al-Rāzī juga memaparkan bahwa matahari dan bulan beredar pada
orbitnya masing-masing, serta masing-masing memiliki cahayanya dalam
menghilangkan kegelapan dan dalam penghidupan tumbuhan dan hewan-hewan,
maka sesunguhnya matahari itu adalah rajanya siang dan bulan adalah rajanya
malam, dan seandainya tidak adanya matahari maka tidak akan adanya empat
musim, dan tidak adanya pula kehidupan di alam ini. 97
2. Surah al-Anbiya [21] ayat 33
Redaksi ayat:
ون بحم ل ف ف لك يسر س والرقمر كم مر هار والش و الذي خلق الليرل والن وهم
“Dan Dia lah yang menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan.
Masing-masing beredar pada garis edarnya”
Penafsiran ayat:
Andai Allah menciptakan langit dan bumi tapi belum menciptakan
matahari dan bulan, maka tidak akan lengkap lah nikmat dari Allah. Baik dari
96
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 12, hal. 24 97
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 12, hal. 25
43
tidak adanya siang dan malam maupun tidak adanya rasa panas dan dingin karena
matahari. Dan itu terjadi karena ada peredaran mereka di dalam orbitnya.98
3. Surah Yasin [36] ayat 38
Penafsiran ayat:
Al-Rāzī menyebutkan bahwa lafadz ت قر لا سر سم ترري لمم مر adalah والش
nikmatnya siang setelah hilangnya malam.99
Setelah kembalinya siang hari maka
datang lah matahari dengan segala manfaatnya.
Kalaupun Allah memerintahkan matahari untuk berhenti berputar, maka
akan terbakarlah bumi.100
Begitupun Allah menjadikan gerak matahari lebih
lambat dari bulan dan lebih cepat dari planet-planet yang jauh dari bumi karena
matahari memiliki cahaya yang amat panas. Andai kadar kelambatan geraknya
tidak diatur maka planet-planet di sekitarnya pasti lah akan terbakar juga. 101
Dan Allah pun menetapkan jarak matahari dari permukaan bumi
dimaksudkan agar menjaga kelembaban isi perut bumi dan pohon-pohon dimusim
dingin. Kemudian menetapkan dekatnya jarak matahari dengan bumi agar
tanaman-tanaman bisa berbuah dan pohon-pohon juga tumbuh.102
Allah telah menetapkan terbit dan tenggelamnya matahari agar manusia
tidak terus bekerja dan bisa mengistirahatkan badan dan mata mereka karena
lelahnya pekerjaan dan juga agar alam tidak rusak karena gelap yang terus
menerus.103
98
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 32 99
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 112 100
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 113 101
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 113 102
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 113 103
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 114
44
Bila matahari berada di utara khatulistiwa terjadilah musim panas di bumi
sebelah utara dan musim dingin dibelahan bumi selatan. Dan bila matahari berada
di selatan, terjadi lah musim panas di belahan bumi selatan dan musim dingin di
belahan bumi utara. Dan diantara musim dingin dan musim panas itu terjadi lah
dua kali musim sedang. Pertama, dinamakan musim gugur antara musim panas
dan musim dingin. Kedua, dinamakan musim semi antara musim dingin dan
musim panas.104
Perubahan musim itu mempunyai pengaruh yang amat hebat dan besar
terhadap segala macam makhluk di permukaan bumi ini. Perubahan itu berbeda
dari satu daerah dengan daerah lain.105
Apakah gerangan yang terjadi bila matahari tidak miring ke utara dan ke
selatan? Bukan saja berakibat tidak adanya musim-musim, tapi akan
mengakibatkan tidak adanya musim berbagai buah. Hanya akan ada buah yang
tidak bermusim. Dengan tidak adanya buah-buahan yang tumbuhnya bermusim
itu, manusia akan kekurangan berbagai zat yang amat dibutuhkan untuk hidup.106
Disini penulis sedikit mengkritik pendapat dari al-Rāzī yang hanya
menyebutkan dua musim saja, musim panas dan musim dingin. Padahal di
belahan bumi yang lainnya terdapat musim-musim yang lainnya seperti musim
semi dan musim gugur. Tidak seperti penjelasan Bey Arifin yang lebih rinci
memberikan penjelasan hingga musim-musim buah pun terpengaruh karena
adanya peredaran matahari.
C. Pola Peredaran Matahari
1. Surah al-Anbiya [21] ayat 33
104
Bey Arifin, Samudera al-Fatihah,(Surabaya: Bina Ilmu, 1976), hal. 124 105
Bey Arifin, Samudera al-Fatihah, hal. 124 106
Bey Arifin, Samudera al-Fatihah, hal. 125
45
Penafsiran ayat:
Telah dijelaskan oleh al-Rāzī bahwa sesungguhnya planet-planet itu
memiliki peredaran yg berbeda-beda. Dan yang bergerak dari timur ke barat yaitu
matahari kecuali di hari akhir ketika ia harus bergerak sebaliknya.107
Al-Rāzī mengutip hadis riwayat Ibnu Abbas dalam kitab Mafātīh al-
Ghaib: matahari memiliki 180 manāzil, setiap harinya memiliki satu manzīl dan
itu disempurnakan dalam waktu enam bulan. Kemudia diulangi kembali di enam
bulan berikutnya. Begitu pun bulan memiliki 28 manāzil.108
Yang terpenting dari kalimat ى ل يرري ألجل ممسم adalah Allah كم
menetapkan setiap satu dari benda-benda langit orbit khusus, menuju jalur yg
khusus, dengan kadar kecepatan dan kelambatan yang khusus pula.109
Menurut al-Rāzī, orang Arab berkata bahwa orbit itu adalah segala sesuatu
yang berputar. Sedangkan para ilmuwan berkata yang sebaliknya. Maka sebagian
dari mereka berpendapat:
a. Orbit itu bukan lah bentuk fisik, sesungguhnya itu adalah jalur
daripada bintang-bintang dan termasuk matahari di dalamnya110
b. Dan menurut banyaknya ilmuan mengatakan bahwa itu adalah bentuk
fisik dan bintang-bintang di langit mengitarinya. dan pemaparan ini
lah yang paling dekat dengan penjelasan dari al-Qur’an.111
107
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 33 108
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 34 109
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 35 110
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 35 111
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 35
46
Dan sebagian pula berbeda pendapat, mereka berpendapat bahwa orbit itu
bentuknya seperti gelombangdan berputar di dalamnya matahari, bulan dan
bintang-bintang lainnya.112
Menurut al-Rāzī pun, manusia mengalami perbedaan pendapat dalam
pergerakan bintang-bintang (planet-planet): Pertama, adalah kemungkinan orbit
itu diam (tidak bergerak) dan planet-planet di dalamnya bergerak mengitarinya
layaknya ikan yang berenang di dalam air yang tenang. Kedua, kemungkinan lain
bahwa orbit itu bergerak dan planet-planet di dalamnya ikut bergerak.113
2. Surah Yasin [36] ayat 38
Penafsiran ayat:
Menurut paparan al-Rāzī, matahari mengalami dua kali puncak jarak
tertinggi dalam setahun. Jika ia mengalami puncak jarak tertinggi, maka bumi
akan mengalami musim kemarau dan musin dingin di puncak jarak
terendahnya.114
Matahari juga memiliki puncak terbitnya, maka sesungguhnya di setiap
harinya ia memiliki tempat untuk terbit dan itu berlangsung selama enam bulan
lamanya. Lalu akan diulangi ke jalur itu kembali. Karena sesungguhnya
perbedaan jarak terbitnya matahari disebabkan oleh perbedaan tingginya jarak
matahari juga.115
112
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 35 113
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 17, hal. 36 114
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 212 115
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 213
47
Juga menurut al-Rāzī, lafadz ت قر memiliki dua makna: pertama, kata ممسر
petunjuk tempat yang berarti puncak tertinggi dan terendahnya matahari dan
sesungguhnya itu meliputi seluruh dunia. Dan kedua, kata petunjuk waktu yang
berarti tahun dan pergantian siang menujun malam.116
Dalam kitab tafsirnya, Tantawi Jauhari menyatakan bahwa matahari
beredar secara teratur pada lintasan atau orbit tertentu. Maksudnya matahari
berjalan sesuai pada batas waktu matahari berhenti beredar, batas tempat berada
di titik tertinggi dan titik terendah. Dalam pergerakannya, matahari melakukan
dua gerakan, yaitu gerakan cepat (gerakan harian) yakni gerakan matahari
melintasi orbit yang dilakukan setiap siang dan malam dari arah timur kea rah
barat kemudian berputar lagi dari arah barat kea rah timur. Kedua gerakan lambat
(gerak tahunan), yakni titik potong matahari berada pada rasi bintang pada bulan
syamsiah, dan beredar dari arah selatan kea rah utara, dan kemudia berputar lagi
dari arah utara ke arah timur.117
3. Surah Yasin [36] ayat 40
Penafsiran ayat:
Dalam ayat ini al-Rāzī menjelaskan perihal peredaran matahari yang
memiliki dua macam:
a. Peredaran dengan ukuran dzatnya. Sesungguhnya ia selesaikan dalam
waktu satu tahun penuh. Disebabkan oleh hal ini, maka terjadilah
tahun.118
116
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 213 117
Tantawi Jauhari, “al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim”, (Mesir: Mushtafa al-Babi
al-Halabi, 1350 H),Juz. 7, hal. 193 118
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 217
48
b. Peredaran yang disebabkan oleh pergerakan orbit pusat. Dan
pergerakan ini selesai dalam waktu satu hari satu malam.119
Adapula sebab pergantian siang dan malam adalah karena adanya
peredaran matahari yang disebabkan juga oleh peredaran orbitnya yang bisa
disebut juga ‘Arsy sebagaimana firmannya dalam surah al-a’raf [12] ayat 54
ش ت وى على الرعرر ثم اسر
“lalu dia bersemayam di atas ‘Arsy”
Dari pemaparan diatas, pada akhirnya penulis membuat kesimpulan bahwa
tidak ada satu pun penafsiran dari al-Rāzī tentang peredaran matahari yang
menyebutkan tentang bagaimana matahari yang beredar mengelilingi bumi.
Dalam kitab tafsirnya, Tantawi Jauhari menyatakan bahwa matahari
beredar secara teratur pada lintasan atau orbit tertentu. Maksudnya matahari
berjalan sesuai pada batas waktu matahari berhenti beredar, batas tempat berada
di titik tertinggi dan titik terendah. Dalam pergerakannya, matahari melakukan
dua gerakan, yaitu gerakan cepat (gerakan harian) yakni gerakan matahari
melintasi orbit yang dilakukan setiap siang dan malam dari arah timur kea rah
barat kemudian berputar lagi dari arah barat kea rah timur. Kedua gerakan lambat
(gerak tahunan), yakni titik potong matahari berada pada rasi bintang pada bulan
syamsiah, dan beredar dari arah selatan kea rah utara, dan kemudia berputar lagi
dari arah utara ke arah timur.120
Hampir sama dengan penafsiran Tantawi Jauhari, al-Marāghī menjelaskan
bahwa peredaran matahari mengelilingi pusat alam semesta (sistem bintang)
119
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 217 120
Tantawi Jauhari, “al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim”, (Mesir: Mushtafa al-Babi
al-Halabi, 1350 H),Juz. 7, hal. 193
49
dengan kecepatan kira-kira 200 mil perdetik. Jadi matahari adalah salah satu di
antara jutaan bintang yang membentuk alam semesta ini, dan yang terbukti bahwa
alam semesta atau sistem bintang itu beredar mengelilingi pusatnya. Dan oleh
karena matahari itu ternyata tidak tetap pada pusatnya, maka matahari itu
mempunyai gerakan berkeliling. Adapun yang menjadi pemahaman para ahli
ilmu pasti tentang kata م dari suatu tubuh yang melakukan gerakan berkeliling
ialah, bahwa kata-kata itu berarti poros tetap dimana gerakan berputar berpusat
padanya. Atau berarti pusat lingkaran dari gerakan ini. Dengan arti pertama,
maka م berarti garis yang terentang antara dua kutub matahari. Sedang dalam arti
yang kedua, berarti pusat dari sistem bintang selurunya, di mana seluruh bintang-
bintang beredar mengelilingi matahari.121
Memang dalam penafsiran lainnya al-Rāzī menafsirkan perihal
karakteristik dari bumi yang sebagaimana berikut. Bahwa itu bumi harus tenang,
tidak bergerak, baik itu berotasi maupun berevolusi. Karena seandainya bumi
berevolusi maka bumi akan menjadi tempat yang tidak bisa ditempati. Orang yang
melayang di tempat yang tinggi tidak akan kembali lagi ke bumi, karena bumi
bergerak, dan pergerakan bumi lebih cepat dibandingkan manusia. Hal itu
disebabkan karena pergerakan benda yang ringan dan berat akan lebih cepat
pergerakan benda yang berat. Selain itu jika seandainya bumi berotasi, maka
manusia tidak akan bisa pergi ketempat tujuannya. Karena pergerakan bumi lebih
cepat dari pada pergerakan manusia. Sehingga seandainya bumi itu bergerak ke
timur, dan manusia berjalan ke barat, dia tidak akan sampai ketempat yang
ditujunya karena perputaran bumi lebih cepat dari perjalanannya. Oleh karena itu
121
Aḥmad Musṭafā al-Marāghī, Tafsīr al-Marāghī, Juz 23, Terj. Anwar Rasyidi, et
al.“Tafsir al-Maraghiy” (Semarang: Toha Putra, 1980), hal. 13
50
al-Rāzī berpendapat bahwa bumi itu tenang tidak bergerak seperti berotasi
maupun berevolusi. Alasan mengapa bumi itu diam tidak bergerak. Pertama
adalah bentuk bumi itu bukan bulat seperti bola, melainkan separuh bola, atasnya
berupa lengkungan dan bawahnya datar. Air dan udara berada dibawah
lengkungan.122
Dari penafsiran diatas dijelaskan bahwa bumi itu tidak berevolusi, tapi itu
tidak membuktikan pula bahwa bumi menjadi pusat peredaran dari matahari
karena tidak adanya redaksi ataupun makna dari penafsirannya yang menjelaskan
bahwa matahari yang bergerak atau beredar mengelilingi bumi.
Maka penulis menganggap bahwa pendapat-pendapat yang mengatakan
bahwa al-Rāzī adalah seorang mufasir yang berpaham Geocentric ataupun
Heliocentric itu keliru karena tidak ditemukannya redaksi ataupun makna dari
penafsiran al-Rāzī yang menjelaskan tentang hal itu.
122
Fakhruddin al-Rāzī, Mafātīh al-Ghaib, Juz 26, hal. 218
51
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian ini, berdasarkan atas rumusan masalah
yang telah penulis cantumkan pada bab pertama adalah sebagai berikut:
Dari uraian penjelasan tentang argumentasi al-Rāzī atas peredaran
matahari di dalam al-Qur’an, penulis mengklasifikasikan argumentasinya tersebut
menjadi tiga bagian. Pertama, tentang hakikat peredaran matahari yang sangat
lekat dengan kuasa Allah SWT. Bagaimana Allah dengan segala kekuasaannya
bisa menetapkan setiap gerakan dan segalanya terhadap matahari. Kedua,
berbicara tentang fungsi dari peredaran matahari yang bisa memberikan manfaat
untuk semua makhluknya di dunia ini. Dan ketiga, tentang pola peredaran
matahari di orbitnya.
Oleh karena itu, dengan klasifikasi di atas mengenai ungkapan al-Rāzī
bahwa peredaran matahari di dalam al-Qur’an itu berbicara tentang hakikat yang
pada dasarnya segala hal yang terjadi atas matahari adalah kuasa Allah dengan
segala manfaat yang dihasilkannya. Begitu pun pola peredaran matahari yang
mengakibatkan adanya berbagai musim di bumi ini, Penulis mengira perlu adanya
peninjauan ulang terhadap argumentasi al-Rāzī. Apakah al-Rāzī mencantumkan
pada kitab lain atau tidak. Karena jika fokus pada kitab Mafātīh al-Ghaib saja,
maka tidak cukup kuat untuk mengatakan bahwa al-Rāzī adalah seorang mufasir
yang berpaham Geocentric ataupun Heliocentric karena tidak ada satu pun dari isi
52
tafsirnya yang gamblang berbicara perihal peredaran matahari yang mengelilingi
bumi ataupun sebaliknya.
B. Saran-saran
Setelah melalui proses pembahasan dan pengkajian Argumentasi al-Rāzī
atas peredaran matahari di dalam al-Qur’an. Kiranya penulis perlu untuk
mengemukakan saran sebagai kelanjutan dari kajian penulis. Antara lain:
1. Perlu adanya penelitian ulang terhadap kitab-kitab al-Rāzī yang lainnya
untuk melacak apakah peredaran matahari di dalam al-Qur’an adalah
benar-benar hanya tentang kekuasaan Allah, fungsi dan pola peredarannya
saja.
2. Begitu pun pendapat yang mengatakan bahwa al-Rāzī adalah seorang
mufasir yang berpaham teori Geocentric ataupun Heliocentric. Penulis
mengira masih harus diadakannya penelitian yang lebih mendalam lewat
karya-karya lainnya.
3. Perlu adanya referensi lain dari beberapa ulama tafsir untuk bisa
menemukan penafsiran yang lebih sempurna berbicara tentang peredaran
matahari di dalam al-Qur’an.
Pembahasan dalam skripsi ini bukanlah pembahasan yang sempurna, maka
penulis sangat mengharapkan kritik dan koreksi yang bila mana lebih
menyempurnakan pembahasan ini.
53
DAFTAR PUSTAKA
Halim, Mahmud Mani’ Abdul, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode
Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Abqori, Muhammad, “Bentuk bumi dalam perspektif al-Qur’an: studi komparatif
antara Tafsir Mafātīh al-Ghaib dan Tafsir al-Mannar”, Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Negeri Islam Walisongo Semarang, 2017.
Adz-Dzahabi, Muhammad Husain, at-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Bairut: Dar al-
Fikr, 1976.
Al-‘Aqil, Muhammad bin A.W, Manhaj ‘Aqidah Imam al-Syafi ’i. T.K: Niaga
Swadaya, 2002.
Al-Dhahabi, Muhammad Husain, Tafsir wa al-Mufassir, Juz: 1. Kairo: Maktabah
Wahbah al-Qahirah, 2000.
Al-Diwudi, Syams al-Din Muhammad bin ‘Ali, Tabaqat al-Mufassirin, Cet. I,
Jilid 2 Kairo: Maktabah Wahbah 1972.
Al-Dzahabi, Tarikh al-Islam Wa wafiyat al-Masyahir Wal A’lam, Beirut: Dar al-
Qutub al-‘Araby, 1987.
Al-Farmawy, Abd. Al-Hayy, Metode Tafsir Maudlu'i, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1996.
Al-Jaylanī, Zubayr Umar, al-Khulāṣah al-Wafiyyah fī ’l-Falaq bi Jadwāl al-
Lughatimiyyah. Kudus: Menara Kudus, t.th.
54
Al-Mahmudi, Baqut, Mu’jam al-Badāni. Teheran: Maktabah al-As’adi, 1965.
Al-Maktabah al-Syamila, versi 3.48. Al-Maktab al-ta’awun li al-dakwah bi al-
Raudhah: www.arrawdah.com http://shamela.ws
Al-Marāghī, Aḥmad Musṭafā, Tafsīr al-Marāghī, Juz 23, Terj. Anwar Rasyidi, et
al.“Tafsir alMaraghiy”. Semarang: Toha Putra, 1980.
Al-Qaththan, Mana’ Khalil, Pengantar Studi Ilmu Al-Quran, terj. Aunur Rafiq El-
Mazni. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
Al-Qifti, Ali Ibn Yusuf, Tarikh al-Hukama. kairo: Mahad Tarikh al-Arabiyya wal
Islamiyya, 1970.
Al-Rāzī, Fakhr al-Din, ‘Ismah al-Anbiya’, Kairo: Maktabah al-Madani, Cet. I,
1986
Al-Rāzī, Fakhr al-Din, Al-Ma’alim fi ‘Ilmi Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Ma’rifah
Muassisah Mukhtar li al-Nasr wa Tauzi’ al-Kutub, 1998.
Al-Rāzī, Fakhr al-Din, Lubab al-Isyarat wa al-Tanbihat, Kairo: Maktabah al-
Kulliyat al-Azhariyah, 1986.
Al-Rāzī, Fakhruddin, Mafātīh al-Ghaib, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1991.
Al-Zahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun dalam DVD ROM al-
Maktabah al-Syamilah. Bandung: Pustaka Ridwan, 2008.
Amari, Ali Muhammad Hasan, al-Imam Fakhr al-Din al-Rāzī : Hayatuhu wa
Atsaruhu, t.tp.: al-Majlis al-A’la lial-Shu’un al-Islamiyyah, 1969.
55
Anshori, Tafsir Bil Ra’yi: Menafsirkan Al-Qur’an Dengan Ijtihad, Jakarta: Gaung
Persada Press, 2010.
Anwar, Ali dan Tono, Ilmu Perbandingan Agama dan Filsafat Islam Bandung:
CV. Pustaka Setia, 2005.
Ash-Shiddieqiy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur'an, .Jakarta: Bulan
Bintang, 1990.
Aswadi, “Konsep Syifa dalam Tafsir Mafātīh al-Ghaib”, Disertasi Sekolah Pasca
Sarjana Universitas Negeri Islam Jakarta, 2007
Cahyadi, Djaya, “Konsep Takdir Fakhruddin al-Rāzī”, Skripsi S1 Fakultas
Ushuluddin, Universitas Negeri Islam Jakarta, 2011
Copernicus, Nicolaus, Father of Modern Astronomy, Blackbirch Inc. 2003.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Bandung: PT Syamil
Cipta Media, 2005.
Fakhry, Madjid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Jaya, 1986
Fix, John. D, Astronomy: Journey to the Cosmic Fronter: Fourth Edition
Amerika: McGraw-Hill Higher Education, 2006.
Hambali, Slamet, Pengantar Ilmu Falak. Banyuwangi: Bismillah Publisher, 2012.
Hart, Michael. H, Seratus Tokoh yang paling Berpengaruh dalam Sejarah, terj, H.
Mahbub Djunaidi, cet. Vii. Jakarta: Midas Surya Grafindo, 1986.
56
http://museumastronomi.com/tag/muhammad-shaleh-abdul-aziz-al-ujairy/ diakses
pada 12 April 2019.
Ichwan, Muhammad Nor . Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang: Lubuk Raya,
2001.
Jauhari, Tantawi, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, Juz. 7. Mesir:
Mushtafa al-Babi al-Halabi, 1350 H.
Katsir, Ibnu, Lubaabut Tafsir Min Ibni Katsir, Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,
2004.
Khazin, Muhyiddin, Ilmu Falak Dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Buana
Pustaka, 2008.
Mahmud, Mani' Abd Halim, Metodologi Tafsir, Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003.
Mundhir, Studi Kitab Tafsir Klasik, Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, 2015.
Nzair, Muhammad, Metode Penelitian. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2003.
Ptolemaic Astronomy, Islamic Planetary Theory, and Copernicus's Debt to the
Maragha School". Science and Its Times. Thomson Gale. 2006
Qaththan, Manna' Khalil, Mabāhits fi 'Ulūm al-Qur'an, Mansyurat al-'Ashr al-
Hadits, 1973.
Rachim, Abdur, Ilmu Falak, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1983.
57
Rosadisastra, Andi, Metode Tafsir Ayat-ayat Sains dan Sosial, Jakarta: Amzah,
2007.
Sevila, Consuelo. G, dkk., Pengantar Metode Penilitian, terj. Alimuddin Tuwu.
Jakarta: UI-PRESS, 1993.
Surachmad, Winarmo, Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah.
Bandung: Tarsio, 1972.
Titus, Harold. H, et.al., Living Issues in Philosophy, terj. Prof. Dr. H.M. Rosyidi
"Persoalan-Persoalan Filsafat" Cet. I. Jakarta: Midas Surya Grafindo,
1984.
Usaibi’ah, Ibn Abi, ‘Uyun al-Anba’ fi Tabaqat al-Atibba’, Kairo: al-Matba’ al-
Wahbiya, 1982.