perbedaan dalam pembelajara

27
FAKTOR- FAKTOR PERKEMBANGAN PERSONAL 1. FAKTOR HEREDITAS (Pembawaan) Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu. Ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Karakteristik tersebut menyangkut fisik (seperti setruktur tubuh, warna kulit dan bentuk rambut) dan pshikis atau sifat-sifat mental (seperti emosi, kecerdasan dan bakat). Hereditas atau keturunan merupakan aspek individu yang bersikap bawaan dan memiliki potensi utuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan inividu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung pada perkembangan hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan (environment) merupakan faktor penting di samping hereditas yang menentukan perkembangan individu. Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai “totalitas” karakteristik individu yang diwariskan orangtua pada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimilki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh 1

Upload: kasman-renyaan

Post on 18-Nov-2015

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

FAKTOR- FAKTOR PERKEMBANGAN PERSONAL1. FAKTOR HEREDITAS (Pembawaan)Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa hereditas tertentu. Ini berarti bahwa karakteristik individu diperoleh melalui pewarisan dari pihak orang tuanya. Karakteristik tersebut menyangkut fisik (seperti setruktur tubuh, warna kulit dan bentuk rambut) dan pshikis atau sifat-sifat mental (seperti emosi, kecerdasan dan bakat).Hereditas atau keturunan merupakan aspek individu yang bersikap bawaan dan memiliki potensi utuk berkembang. Seberapa jauh perkembangan inividu itu terjadi dan bagaimana kualitas perkembangannya, bergantung pada perkembangan hereditas dan lingkungan yang mempengaruhinya. Lingkungan (environment) merupakan faktor penting di samping hereditas yang menentukan perkembangan individu.Hereditas merupakan faktor pertama yang mempengaruhi perkembangan individu. Dalam hal ini hereditas diartikan sebagai totalitas karakteristik individu yang diwariskan orangtua pada anak, atau segala potensi, baik fisik maupun psikis yang dimilki individu sejak masa konsepsi (pembuahan ovum oleh sperma) sebagai pewarisan dari pihak orangtua melalui gen-gen.Factor Hereditas ini mempengaruhi perkembangan individu yang diwariskan orang tua kepada anak atau segala potensi berupa fisik maupun psikis yang dimiliki individu sejak masa konsepsi sebagai warisan dari pihak orang tua melalui gen-gen. Pembuahan kembar yang berasal dari satu sel telur disebut identical twins (kembar identik) yang memiliki sifat-sifat yang sama, jenis kelamin yang sama. Sedangkan kembar yang berasal bukan dari satu sel telur tetapi dari dua sel telur yang sama kuat yang keduanya dibuahi sperma yang disebut kembar saudara (fraternal twins) yang berbeda jenis kelamin tetapi juga sama. Mengenai proses pembuahan ada dua yaitu proses pembuahan biasa (normal) dan proses pembuahan kembar.2. LINGKUNGANYang dimaksud lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi individu di dalam hidupnya, baik dalam bentuk lingkungan fisik seperti orangtuanya, rumahnya, kawan-kawan yang bermain, masyarakat sekitarnya maupun dalam bentuk lingkungan psikologis seperti misalnya perasaan-perasaan yang dialaminya, cita-citanya, persoalan-persoalan yang dihadapinya dan sebagainya. Sejak lahir, malahan sejak dalam kandungan, seorang individu selalu dipengaruhi oleh lingkungannya, (Patty, 1982: 58).a. Lingkungan KeluargaKeluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama yang memberikan pengaruh berbagai aspek-aspek perkembangan sosial anak. Keluarga merupakan media sosialisasi yang paling efektif bagi anak. Dalamkeluarga berlaku nilai dan norma kehidupan yang harus di ikuti dan di patuhi oleh anak. Sikap orang tua yang terlalu mengekang dan membatasi pergaulan akan berpengaruh terhadap perkembangan sosial bagi anak-anaknya. Sebaliknya, sikap orang tua yang terlalu memberikan kebebasan bergaul menyebabkan perkembangan sosial anak-anaknya cenderung tidak terkendali. Keluarga memiilki peranan yang sangat penting dalam upaya mengembangkan pribadi anak. Perawatan orangtua yang penuh kasih sayang dan pendidikan tentang nilai-nilai kehidupan, baik agama maupun sosial budaya yang diberikannya merupakan faktor yang kondusif untuk mempersiapkan anak menjadi pribadi dan anggota masyarakat yang sehat. Keluarga juga dipandang sebagai institusi (lembaga) yang dapat memenuhi kebutuhan insani (manusiawi), terutama kebutuhan bagi pengembangan kepribadiannya dan pengembangan ras manusia. b. Lingkungan Teman Lingkungan perkembangan menurut Urie Bronfren Brenner dan Crouter merupakan berbagai peristiwa, situasi atau kondisi di luar orgenisme yang diduga mempengaruhi / atau dipengaruhi oleh perkembangan individu yang terdiri atas fisik dan social. Lingkungan perkembangan siswa adalah keseluruhan fenomena fisik/social yang mempengaruhi perkembangan siswa.Mempunyai peranan yang sangat penting bagi perkembangan kepribadian anak. Peranan kelompok teman sebaya bagi remaja adalah memberikan kesempatan untuk belajar tentang : Bagaimana interaksi dengan orang lain Mengontrol tingkah laku orang social Mengembangkan keterampilan dan minat sesuai usianya Saling bertukar perasaan dan masalahPeter dan Anna Freud mengemukakan bahwa teman sebaya telah memberikan kesempatan penting untuk memperbaiki bencana kerusakan psikologis semasa anak dan dapat mengembangkan hubugan baru yang lebih baik antara satu dengan yang lainnya.Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangana. EmpatiIstilah empati menurut Jumarin (Panuntun, 2012), berasal dari perkataan yunani yaitu phatos yang artinya perasaan mendalam atau kuat. Selain itu, istilah empati juga berasal dari kata einfuhlung yang digunakan oleh seorang psikolog Jerman, yang secara harfiah yaitu memasuki perasaan orang lain (feeling into).Hurlock (1999: 118) mengungkapkan bahwa empati adalah kemampuan seseorang untuk mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Kemampuan untuk empati ini mulai dapat dimiliki seseorang ketika menduduki masa akhir kanak-kanak awal (6 tahun) dengan demikian dapat dikatakan bahwa semua individu memiliki dasar kemampuan untuk dapat berempati, hanya saja berbeda tingkat kedalaman dan cara mengaktualisasikannya. Empati seharusnya sudah dimiliki oleh remaja, karena kemampuan berempati sudah mulai muncul pada masa kanak-kanak awal.Empati dalam hubungannya dengan kecerdasan emosional merupakan suatu komponen yang sangat penting. Empati dibangun berdasarkan kesadaran diri, semakin terbuka seseorang terhadap emosinya, maka semakin terampil juga seseorang membaca perasaan orang lain. Jadi, empati membutuhkan pembedaan antara emosi dan keinginan pribadi dengan emosi dan keinginan orang lain. Ketepatan dalam berempati sangat dipengaruhi kemampuan seseorang dalam menginterprestsikan informasi yang diberikan orang lain mengenai situasi internalnya yang dapat diketahui melalui perilaku dan sikap-sikap mereka.Goleman (1997) menyatakan terdapat 3 (tiga) karakteristik kemampuan seseorang dalam berempati, yaitu:1. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang LainIndividu mampu membedakan antara apa yang dikatakan atau dilakukan orang lain dengan reaksi dan penilaian individu itu sendiri. Dengan perkembangan aspek kognitif seseorang, kemampuan untuk menerima sudut pandang orang lain dan pemahaman terhadap perasaan orang lain akan lebih lengkap dan akurat sehingga ia akan mampu memberikan perlakuan dengan cara yang tepat.2. Memiliki Kepekaan Terhadap Perasaan Orang LainIndividu mampu mengidentifikasi perasaan-perasaan orang lain dan peka terhadap hadirnya emosi dalam diri orang lain melalui pesan non verbal yang ditampakkan, misalnya nada bicara, gerak-gerik dan ekspresi wajah. Kepekaan yang sering diasah akan dapat membangkitkan reaksi spontan terhadap kondisi orang lain.3. Mampu Mendengarkan Orang LainMendengarkan merupakan sebuah ketrampilan yang perlu dimiliki untuk mengasah kemampuan empati. Sikap mau mendengar memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap perasaan orang lain dan mampu membangkitkan penerimaan terhadap perbedaan yang terjadi.b. Memecahkan Masalah sosialSetiap anak berkembang secara bertahap dan teratur untuk maju, mereka memerlukan kompetisi yang berbeda untuk mencapai tahap perkembangan masing-masing. Memasuki proses perkembangan, anak-anak merasa aman membuat kesalahan dalam mencoba dan menemukan hal-hal yang baru yang kemudian akan diungkapkannya pada lingkungan sekitar atau orang-orang terdekatnya (orang tua).Dalam masa perkembangan ini, diharapkan anak-anak mampu memecahkan masalah yang dihadapinya dengan lebih baik dengan pendidikan yang diterimanya. Usia 4-5 tahun, merupakan masa anak-anak yang sering disebut dengan masa Golden Age, masa yang peka untuk anak mendapatkan rangsanganrangsangan yang berkaitan dengan aspek fisik motorik, kognitif, sosial, emosional, agama, dan bahasa. Perkembangan awal sangat penting, karena dasar awal cenderung bertahan dan mempengaruhi sikap dan perilaku anak sepanjang hidupnya (Hurlock, 1995: 27). Peran pendidik (orangtua, guru, dan orang dewasa lain) sangat diperlukan dalam upaya pengembangan potensi anak. Upaya pengembangan tersebut harus dilakukan melalui kegiatan bermain sambil belajar seraya bermain. Dengan bermain anak memiliki kesempatan untuk bereksplorasi, menemukan, mengekspresikan perasaan, berkreasi, belajar secara menyenangkan. Selain itu bermain membantu anak mengenal dirinya sendiri, orang lain dan lingkungan. Dalam bermain, kemampuan anak yang dicapai dari suatu tahapan pengalaman belajar dalam satu kompetensi dasar yang dapat mdisebut dengan hasil belajar dapat terlihat.Kemampuan berfikir dapat mempengaruhi banyak hal, seperti kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Perkembangan emosi perpengaruh sekali terhadap perkembangan sosial anak. Anak yang berkemampuan intelek tinggi akan berkemampuan berbahasa dengan baik. Oleh karena itu jika perkembangan ketiganya seimbang maka akan sangat menentukan keberhasilan perkembangan sosial anak.3. PERKEMBANGAN PISIKOSOSIAL DARI ERIKSONEric Erikson mengembangkan teori psikososial sebagai pengembangan teori psikoanalisis dari Freud. Di dalam teori psikososial disebutkan bahwa tahap perkembangan individu selama siklus hidupnya, dibentuk oleh pengaruh sosial yang berinteraksi dengan individu yang menjadi matang secara fisik dan psikologis. a. Psikososial Tahap 1Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5 tahun (infancy).Bayi pada usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung pada orang lain, perkembangan rasa percaya yang dibentuk oleh bayi tersebut berdasarkan kesungguhan & kualitas penjaga (yang merawat) bayi tersebut. Apabila bayi telah berhasil membangun rasa percaya terhadap si penjaga, dia akan merasa nyaman & terlindungi di dalam kehidupannya. Akan tetapi, jika penjagaannya tidak stabil & emosi terganggu dapat menyebabkan bayi tersebut merasa tidak nyaman dan tidak percaya pada lingkungan sekitar.Kegagalan mengembangkan rasa percaya menyababkan bayi akan merasa takut dan yakin bahwa lingkungan tidak akan memberikan kenyamanan bagi bayi tersebut, sehingga bayi tersebut akan selalu curiga pada orang lain.b. Psikososial Tahap 2 Otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu. Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/mascular stages), masa ini disebut masa balita yang berlangsung mulai usia 1-3 tahun (early childhood). Pada masa ini anak cenderung aktif dalam segala hal, sehingga orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak. Namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun yang dia mau.Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Begitu pun sebalikny, jika anak terlalu diberi kebebasan mereka akan cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa memperhatikan baik buruk tindakan tersebut. Sehingga orang tua dalam mendidik anak pada usia ini harus seimbang antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak. Karena dengan cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.c. Psikososial Tahap 3Inisiatif vs kesalahanTahap ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age)Anak-anak pada usia ini mulai berinteraksi dengan lingkungak sekitarnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya.Mereka mencoba mengambil banyak inisiatif dari rasa ingin tahu yang mereka alami. Akan tetapi bila anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang salah, mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri. Sikap berdiam diri yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari suatu kesalahan-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan. d. Psikososial Tahap 4Kerajinan vs inferioritasTahap ini merupakan tahp laten usia 6-12 tahun (school age) ditingkat ini anak mulai keluar dari lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah sehingga semua aspek memiliki peran misal orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya. Pada usia ini anak dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil melalui tuntutan tersebut. Anak dapat mengembangkan sikap rajin, jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (infieoritas), anak dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini usaha yang sangat baik pada tahap ini adalah dengan mengembangkan kedua karakteristik yang ada. Dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.e. Psikososial Tahap 5Identitas vs kekacauan identitas Tahap ini merupakan tahap adolense (remaja), dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18 tahun/anak. Di dalam tahap ini lingkup lingkungan semakin luas, tidak hanya di lingkungan keluarga atau sekolah, namun juga di masyarakat. Pencarian jati diri mulai berlangsung dalam tahap ini. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun sebaliknya, jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja tersebut.f. Psikososial Tahap 6Keintiman vs isolasiTahap ini terjadi pada masa dewasa awal (young adult), usia sekitar 18/20-30 tahun. Dalam tahap ini keintiman dan isolasi harus seimbang untuk memunculkan nilai positif yaitu cinta. Cinta yang dimaksud tidak hanya dengan kekasih melainkan cinta secara luas dan universal (misal pada keluarga, teman, sodara, binatang, dll).g. Psikososial Tahap 7Generatifitas vs stagnasiMasa dewasa (dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang berusia yang berusia sekitar 20 tahunan sampai 55 tahun (middle adult). Dalam tahap ini juga terdapat salah satu tugas yang harus dicapai yaitu dapat mengabdikan diri guna mencapai keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generatifitas) dengan tidak melakukan apa-apa (stagnasi). Harapan yang ingin dicapai dalam masa ini adalah terjadinya keseimbangan antara generatifitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai positif yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generational dan otoritisme. Generational merupakan interaksi yang terjalin baik antara orang-orang dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme merupakan interaksi yang terjalin kurang baik antara orang dewasa dengan para penerusnya karena adanya aturan-aturan atau batasan-batasan yang diterapkan dengan paksaan.h. Psikososial Tahap 8Integritas vs keputusasaanTahap ini merupakan tahap usia senja (usia lanjut). Ini merupakan tahap yang sulit dilewati karena orang pada masa ini cenderung melakukan introspeksi diri. Mereka akan memikirkan kembali hal-hal yang telah terjadi pada masa sebelumnya, baik itu keberhasilan maupun kegagalan. Jika dalam masa sebelumnya orang tersebut memiliki integritas yang tinggi dalam segala hal dan banyak mencapai keberhasilan maka akan menimbulkan kepuasan di masa senja nya. Namun sebaliknya, jika orang tersebut banyak mengalami kegagalan maka akan timbul keputus asaan.

4. PENGEMBANGAN KONSEP DIRIa. Konsep DiriKonsep diri merupakan salah satu aspek perkembangan psikologi peserta didik yang penting yang dialami oleh seorang guru. Karena merupakan salah satu variabel yang menentukan dalam proses pendidikan. Rendahnya prestasi siswa dan motivasi belajar siswa serta terjadinya penyimpangan-penyimpangan perilaku siswa dikelas banyak disebabkan oleh persepsi dan sikap negatif siswa terhadap diri sendiri. Sama hal nya terhadap siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar banyak disebabkan oleh sikap siswa yang memandang dirinya tidak mampu melaksanakan tugas-tugas di sekolah.Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, konsep diri merupakan faktor bentukan dari pengalaman individu selama proses perkembangan dirinya menjadi dewasa. Proses pembentukan tidak terjadi dalam waktu singkat melainkan melalui proses interaksi secara berkesinambungan. Menurut Burns konsep diri berkembang terus sepanjang hidup manusia, namun pada tahap tertentu, perkembangan konsep diri mulai berjalan dalam tempo yang lebih lambat. Secara bertahap individu akan mengalami sensasi dari badannya dan lingkungannya, dan individu akan mulai dapat membedakan keduanya.b. Konsep Diri Dan Hubunganya Dengan PrestasiSejumlah ahli psikologi dan pendidikan berkeyakinan bahwa konsep diri dan prestasi belajar mempunyai hubungan yang erat. Nylor (1972) mengemukakan bahwa banyak peneliti yang membuktikan hubungan positif yang kuat antara konsep diri dengan prestasi belajar disekolah. Siswa yang memiliki konsep diri positif , memperlihatkan prestasi yang baik disekolah, atau siswa tersebut memeiliki penilaian diri yang tinggi serta menunjukkan antar pribadi yang positif pula. Walsh (dalam Burns, 1982) siswa-siswa yang tergolong underchiver mempunyai konsep diri yang negatif, serta memperlihatkan beberapa karakteristik kepribadian; 1) mempunyai perasaan dikeritik, ditolak, dan diisolir. 2) melakukan mekanisme pertahanan diri dengan cara menghindar dan bahkan bersikap menentang. 3) tidak mampu mengekspresikan perasaan dan prilaku.Morison dan Thomson (1973) dan Lecky (dalam Nylor, 1972) Pendapat mereka mengenai hubungan konsep diri dengan prestasi di sekolah :Siswa yang memiliki konsep diri positif menampilkan prestasi yang baik di sekolah, menunjukkan hubungan pribadi (baik dengan guruteman) yang positif. Mereka menentukan targer prestasi belajar yang realistis dan mengarahkan kecemasan akademis dengan belajar keras dan tekun.Penting diciptakan situasi sekolah yang mengembangkan konsep diri positif siswa, yaitu memungkinkan mereka mendapatkan pengharagaan, sokongan dan pengakuan dari guru dan teman mereka. Sangat penting bagi guru mengusahakan agar semua siswa sukses dan menghindari kegagalan dalam mencapai prestasi di sekolah dalam rangka mengembangkan konsep diri positif siswa.Kemudian, Kougehnet (1979) para siswa kelas terbuka (open classroom) cenderung memiliki konsep diri lebih tinggi dari pada siswa dari sekolah tradisional. Open classroom tdk belajar di kelas yang sangat diatur oleh guru, tapi berlajar berkelompok, observasi, wawancara, diskusi, percobaan dan berbagai proyek belajar bersama lainnya. Dan menurut Durr dan Schemat (1964), Caplin (1969) dan Quinby (1967) bahwa Siswa yang berprestasi di bawah potensi intelektual yang sebenarnya (underachiever) dan siswa yang berprestasi diatas potensi intelektualnya berbeda konsep diri mereka. Overachiever memiliki konsep diri yang lebih tinggi daripada underachiever.Maka tingkah laku guru yang dapat mengembangkan konsep diri positif siswa adalah sebagai berikut :1. Guru yang suka memberikan penguatan Ireinforcement) dan menciptakan situasi belajar yang memberi kesempatan siswa memperoleh penguatan.2. Guru yang suka memberikan sokongan/dukungan dan menciptakan situasi yang menyebabkan keputusan atau kegiatan siswa tersokong atau disetujui.3. Guru yang selalu berpikir positif tentang siswa.4. Guru yang menciptakan situasi yang memungkinkan siswa merasa sukses melalui pengalaman belajar yang sukses yaitu belajar dengan siswa aktif.5. Guru yang menghargai usaha siswa melebihi hasil, bukan memberikan penghargaan dari apa yang bukan hasil usaha siswa. Para guru yang berusaha mengembangkan bakat dan ketrampilan pada siswa. Sehingga mereka merasa berguna dan berarti.5. PERKEMBANGAN MORAL a. Teori Kohlberg Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang berdasarkan perkembangan penalaran moralnya seperti yang diungkapkan oleh Lawrence Kohlberg. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatanYaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat.Tahap II. Individualisme dan tujuanPada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.Tingkat Dua : Penalaran KonvensionalPenalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stndar-stndar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stndar-stndar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.Tahap III. Norma-norma InterpersonalYaitu : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.Tingkat IV. Moralitas Sistem SosialYaitu : dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.Tingkat Tiga : Penalaran PascakonvensionalYaitu : Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individualYaitu : nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis UniversalYaitu : seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional. Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum.Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :Tingkat Satu : Moralitas PrakonvensionalYaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.Tahap 2. Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.Tingkat Dua : Moralitas KonvensionalYaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman. Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan. Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak.Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan. Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturaN Hukum harus ditaati oleh semua orang.Tingkat Tiga : Moralitas PascakonvensionalYaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan. Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial. Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik. Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alsan-alasan tertentu.Tahap 6. Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain. Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.

b. Perkembangan Moral dan Implikasinya dalam pembelajaranDalam teori Kohlberg, Guru bisa memperkenalkan perkembangan moral di kelasnya dalam berbagai cara. Ketika mereka menjelaskan dan menerapkan sistem manajemen mereka, mereka harus menekankan tanggung jawab setiap orang dan fungsi alami peraturan yang dirancang untuk melindungi hak-hak orang lain. Peserta didik harus didukung untuk berpikir mengenai topic seperti kejujuran dan rasa hormat untuk orang lain dalam terminologi konsekuensi untuk orang lain dan prinsip dasar rasa hormat manusia. Ketika guru berinteraksi dengan Peserta Didik, mereka harus mengenali pengaruh kuat yang mereka miliki sebagai panutan dalam mendukung perkembangan moral peserta didiknya.

1