peranan satuan polisi pamong praja (satpol …balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/arwin...
TRANSCRIPT
0
PERANAN SATUAN POLISI PAMONG PRAJA (SATPOL-PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH
DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
A. DISUSUN :
O L E H
ARWIN HASIBUAN
NPM : 095114050
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUSLIM NUSANTARA (UMN) AL WASHLIYAH
M E D A N
2 0 1 3
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah mengkaruniakan kesehatan dan kelapangan berpikir kepada penulis sehingga
akhirnya tulisan ilmiah dalam bentuk skripsi ini dapat juga terselesaikan oleh penulis.
Skripsi penulis ini berjudul “PERANAN SATUAN POLISI PAMONG
PRAJA (SATPOL-PP) DALAM PENEGAKAN PERATURAN DAERAH DI
KOTA MEDAN”. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan
dalam penyusunan skripsi pada Fakultas Hukum Universitas Muslim Nusantara Al
Washliyah Medan.
Dalam menyelesaikan tulisan ini penulis telah banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, maka pada kesempatan yang berbahagia ini penulis ingin
mengucapkan terima-kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Drs. H. Kondar Siregar, MA, selaku Rektor Universitas Muslim Nusantara
Al-Wasliyah Medan.
2. Ibu Hj. Adawiyah Nasution, SH., M.Kn, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Muslim Nusantara Al-Wasliyah Medan.
3. Bapak DR. Marzuki, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I Penulis.
4. Bapak H. A. Mahdi Siregar, SH, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II Penulis.
5. Kedua orang tua penulis, yang selalu memberikan dorongan baik secara moril
maupun materil.
6. Teman-teman seangkatan penulis.
7. Bapak dan ibu Dosen serta seluruh staf di Fakultas Hukum Universitas Muslim
Nusantara Al-Wasliyah Medan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna untuk menjadi
sebuah karya ilmiah yang berkualitas. Hanya dengan saran dan kritikan dari semua
pihak, kekurangan itu dapat terpenuhi.
Akhir kata, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan rahmat dan karunia-
Nya kepada kita semua. Amin.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Globalisasi merupakan sebuah fenomena di mana negara-negara di dunia
secara langsung maupun tidak langsung mengharapkan terjadinya sebuah interaksi
antar masyarakat yang jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan saat-saat
sebelumnya. Seperti layaknya dua sisi pada mata uang, fenomena globalisasi
menjanjikan sebuah lingkungan dan suasana kehidupan bermasyarakat yang jauh lebih
baik, sementara di sisi lain, terdapat pula potensi terjadinya chaos jika perubahan ini
tidak dikelola secara baik. Karena pada suatu titik ekstrem seorang individu di sebuah
negara dapat melakukan apa saja yang dikehendakinya (misalnya berdagang, bermitra,
berkolaborasi, berbuat kejahatan, berkolusi, dan lain-lain) dengan individu yang
berada di negara lain, maka jelas bahwa kehidupan masyarakat harus dapat terlebih
dahulu ditata dengan baik di dalam sebuah sistem yang menjamin bahwa negara yang
bersangkutan akan memperoleh manfaat yang besar di dalam lingkungan global,
bukan sebaliknya.
Pada era globalisasi tersebut semakin menampakkan kepentingannya tatkala
pintu otonomi melalui Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah semakin terbuka lebar. Pada keadaan ini semua sektor lini pemerintahan
sangat dibutuhkan dalam hal menciptakan suatu sistem tata kelola pemerintahan yang
baik atau apa yang dikenal dengan istilah good governance. Salah satu lembaga yang
sangat berperan dalam mendukung terciptanya prinsip pemerintahan yang baik di
lingkungan Pemerintahan Daerah adalah Satuan Polisi Pamong Praja.
Berkaitan dengan eksistensi Satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakkan
hukum (represif), sebagai perangkat pemerintah daerah, kontribusi satuan Polisi
Pamong Praja sangat diperlukan guna mendukung suksesnya pelaksanaan Otonomi
Daerah dalam penegakan peraturan daerah menciptakan pemerintahan yang baik.
Dengan demikian aparat Polisi Pamong Praja merupakan garis depan dalam hal
motivator dalam menjamin kepastian pelaksanaan peraturan daerah dan upaya
menegakkannya ditengah-tengah masyarakat, sekaligus membantu dalam menindak
segala bentuk penyelewengan dan penegakan hukum.
Kepala Daerah mempunyai kewajiban menegakan peraturan perundang-
undangan dan memelihara ketertiban dan kententraman masyarakat. Ketertiban adalah
suasana yang mengarah kepada peraturan dalam masyarakat menurut norma yang
berlaku sehingga menimbulkan motivasi bekerja dalam rangka mencapai tujuan yang
diinginkan.1 Tugas kewajiban Kepala Daerah selain berasal dari tugas yang timbul
karena inisiatif sendiri dari alat perlengkapan daerah (Otonomi Daerah) dapat juga
diperintahkan oleh penguasa yang lebih atas atau yang disebut tugas pembantuan. 2
Dalam melaksanakan kewenangan guna menegakkan Peraturan Daerah dan
keputusan kepala daerah, sebagai salah satu tugas utama dari Polisi Pamong Praja,
1Dirjen Pemerintahan Umum, Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong
Praja, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005, hal.9. 2 Irawan Soejito, Sejarah Daerah Indonesia,:Pradanya Paramita, Jakarta 1984, hal.100.
tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan, terlebih dalam melaksanakan
kewenangan ini Polisi Pamong Praja dibatasi oleh kewenangan represif yang sifatnya
non yustisial. Aparat Polisi Pamong Praja seringkali harus menghadapi berbagai
kendala ketika harus berhadapan dengan masyarakat yang memiliki kepentingan
tertentu dalam memperjuangkan kehidupannya, yang akhirnya bermuara pada
munculnya konflik (bentrokan).
Dalam menghadapi situasi seperti ini Polisi Pamong Praja harus dapat
mengambil sikap yang tepat dan bijaksana, sesuai dengan paradigma baru Polisi
Pamong Praja yaitu menjadi aparat yang ramah, bersahabat, dapat menciptakan
suasana batin dan nuansa kesejukan bagi masyarakat, namun tetap tegas dalam
bertindak demi tegaknya peraturan yang berlaku.
Dengan diterbitkanya Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, dalam pasal 148 ayat 1 disebutkan bahwa Polisi Pamong Praja
ditetapkan sebagai perangkat pemerintah daerah dengan tugas pokok menegakkan
peraturan daerah, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat,
sebagai pelaksana tugas desentralisasi. Desentralisasi sendiri adalah suatu cara
pemerintahan dimana sebagian dari kekuasaan mengatur dan mengurus dari
Pemerintah Pusat diserahkan kepada kekuasaan-kekuasaan bawahan.3 Pada dasarnya
setiap daerah mempunyai 2 macam kekuasaan, yaitu otonomi dan medebewind
3 Hazairin, Otonomi dan Ketatanegaraan (dalam Ceramah Kongres III Serikat Sekerja
Kementrian dalam Negeri,Bogor, 3-5 Desember 1953, di muat dalam buku 7 Tahun Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri (SSKDN), 1954, hal. 160.
(memberi kuasa untuk dijalankan)4. Otonomi ialah hak untuk mengatur dan mengurus
rumah tangga daerahnya, sedangkan medebewind adalah hak menjalankan peraturan-
peraturan dari Pemerintah Pusat atau daerah tingkat atasan berdasarkan perintah pihak
atasan itu.5
Keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Medan khususnya dalam
menjalankan tugasnya diatur di dalam Peraturan Walikota Medan No. 8 Tahun 2012
tentang Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan.
Sehubungan dengan permasalahan yang timbul dalam penegakan peraturan
daerah di Kota Medan menunjuk aparat yang bertugas untuk menjaga ketentraman dan
ketertiban umum serta perlindungan masyarakat dan penegakan peraturan daerah dan
keputusan kepala daerah adalah Satuan Polisi Pamong Praja. Polisi Pamong Praja
Pemerintah Kota Medan dalam peranannya menjaga ketentraman dan ketertiban
umum sangatlah membantu, terutama yang berkaitan dengan pembinaan keamanan,
penyuluhan, dan penggalangan masyarakat. Sikap Satpol PP dalam menghadapi
masyarakat secara umum dapat mengambil sikap dengan tepat dan bijaksana, sehingga
tercipta aparat yang ramah dan bersahabat namun tetap tegas dalam bertindak sesuai
peraturan yang berlaku, sehingga dapat menciptakan pemerintah yang baik.
4 Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. PT Ichtiar baru van hoeve, Jakarta, 2003, hal.
80 & 397. 5 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia, Liberty,
Yogyakarta , 1993, hal, 99.
Permasalahan
Berkaitan dengan ketentraman dan ketertiban umum, maka permasalahan yang
akan penulis uraikan dalam skripsi ini antara lain:
1. Bagaimana kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan dalam
pelaksanaan penegakan peraturan daerah?
2. Bagaimana pelaksanaan penegakan peraturan daerah yang dilakukan oleh Satuan
Polisi Pamong Praja di Kota Medan ?
3. Apakah faktor-faktor yang menjadi hambatan yang dihadapi satuan polisi pamong
praja dalam penegakan peraturan daerah di Kota Medan dan bagaimana upaya
mengatasi permasalahan tersebut?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Sebagai suatu bentuk sumbangan pengetahuan bagi masyarakat tentang peran
Satuan Polisi Pamong Praja dalam pelaksanaan penegakan peraturan daerah.
2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi dan
peningkatan kemampuan dari peranan Satuan Polisi Pamong Praja khususnya di
bidang penegakan peraturan daerah.
3. Sebagai bahan yang dapat menambah wawasan berpikir bagi peneliti sendiri
tentang peranan Satuan Polisi Pamong Praja khususnya di bidang penegakan
peraturan daerah.
Manfaat Penelitian
Berangkat dari permasalahan-permasalahan di atas penelitian ini diharapkan
dapat memberikan manfaat dalam penambahan literatur di bidang hukum khususnya
tentang peran dan fungsi satuan Polisi Pamong Praja dalam penegakan peraturan
daerah.
Penelitian ini juga diharapkan memberikan manfaat dari segi praktis yaitu
suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan para pihak khususnya masyarakat
luas tentang Polisi Pamong Praja itu sendiri.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Otonomi dan Desentralisasi
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
bahwa otonomi daerah adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Otonomi Daerah, sebagaimana dikandung dalarn UU No. 32 Tahun 2004
tersebut adalah usaha memberi kesempatan kepada daerah untuk memberdayakan
potensi ekonomi, sosial-budaya dan politik di wilayahnya.
Sedangkan desentralisasi dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 adalah
penyerahan wewenang pemerintah oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik.
Otonomi Daerah menurut UU No. 32 Tahun 2004 dari sudut pandang
desentralisasi fiscal. Tujuan utama otonomi daerah adalah untuk mendorong
terselenggaranya pelayanan publik sesuai tuntutan masyarakat daerah, mendorong
efisiensi alokatif penggunaan dana pemerintah melalui desentralisasi kewenangan dan
7
pemberdayaan daerah.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Tujuan desentralisasi dan otonomi berdasarkan dua sudut pandang
kepentingan, yaitu kepentingan pemerintah pusat dan kepentingan pemerintah daerah.
Dilihat dari sudut pandang pemerintah pusat sedikitnya ada 4 (empat) tujuan utama
dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yaitu:
1. Pendidikan politik
2. Pelatihan kepemimpinan
3. Menciptakan stabilitas politik
4. Mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan di daerah.
Sementara bila dilihat dari sisi kepentingan daerah otonomi daerah adalah
mewujudkan yang disebut dengan :
1. Politik quality, ini berarti bahwa melalui pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah, diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat untuk
berpartisipasi dalam bebagai aktivitas politik di tingkat lokal.
2. Local accountability, ini berarti akan meningkatkan kemampuan pemerintah
daerah dalam memperhatikan masyarakatnya.
3. Local responsiveness, pemerintah daerah dianggap lebih banyak mengetahui
berbagai masalah yang dihadapi oleh masyarakatnya, maka kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah diharapkan akan mempermudah antisipasi
terhadap berbagai masalah yang muncul dan sekaligus meningkatkan percepatan
pembangunan sosial dan ekonomi.
Dan lebih jauh lagi, tujuan utama dari konsep desentralisasi dan otonomi
daerah dengan tidak hanya membatasinya pada konteks hubungan kekuasaan antara
pemerintah pusat dan daerah, maka semuanya bermuara pada pengaturan mekanisme
hubungan antara Negara dan masyarakat. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
bertujuan untuk membuka akses yang lebih besar kepada masyarakat sipil untuk
berpartisipasi baik pada proses pengambilan keputusan di daerah maupun didalam
pelaksanaannya.
Gambaran umum tentang tujuan ideal dari kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah diatas, keberhasilan akan sangat bervariasi serta relative dan
konseptual sifatnya pada tiap-tiap daerah. Seperti dari perspektif ekonomi politik,
salah satu faktor penting yang dapat mengganggu pencapaian tujuan desentralisasi dan
otonomi daerah. Kenyataan ini tidak dapat dipungkiri, karena potensi sumberdaya,
kelengkapan prasarana sosial ekonomi dan kemampuan kelembagaan daerah
(masyarakat) masih sangat terbatas. Kemajuan antar daerah, antar kelompok
pendapatan, dan antar sektor kegiatan ekonomi belum sepenuhnya berimbang.
Sehingga pemerintah daerah dalam hal ini harus tetap berpegang pada koridor bahwa
pembangunan daerah yang ada harus dilakukan dari, untuk dan oleh pelaku-pelaku
pembangunan daerah yang bersangkutan.
B. Sejarah, Tugas dan Wewenang Polisi Pamong Praja
Satuan Polisi Pamong Praja, disingkat Satpol PP, adalah perangkat Pemerintah
Daerah dalam memelihara ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan
Peraturan Daerah. Organisasi dan tata kerja Satuan Polisi Pamong Praja ditetapkan
dengan Peraturan Daerah. Satpol PP dapat berkedudukan di Daerah Provinsi dan
Daerah /Kota.
- Di Daerah Provinsi, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris
Daerah
- Di Daerah /Kota, Satuan Polisi Pamong Praja dipimpin oleh Kepala yang berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota melalui Sekretaris
Daerah.
Pamong Praja berasal dari kata Pamong dan Praja, Pamong artinya pengasuh
yang berasal dari kata Among yang juga mempunyai arti sendiri yaitu mengasuh.
Mengasuh anak kecil misalnya itu biasanya dinamakan mengemong anak kecil,
sedangkan Praja adalah pegawai negeri. Pangreh Praja atau Pegawai Pemerintahan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pamong Praja adalah Pegawai Negeri yang
mengurus pemerintahan Negara.6
Definisi lain Polisi adalah Badan Pemerintah yang bertugas memelihara
keamanan dan ketertiban umum atau pegawai Negara yang bertugas menjaga
6 Alwi, Hasan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hlm.817.
keamanan.7 Berdasarkan definisi-definisi yang tersebut diatas dapat disimpulkan
bahwa Polisi Pamong Praja adalah Polisi yang mengawasi dan mengamankan
keputusan pemerintah di wilayah kerjanya.
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 tentang
Pedoman Satuan Polisi Pamong Praja disebutkan “Polisi Pamong Praja adalah
aparatur Pemerintah Daerah yang melaksanakan tugas Kepala Daerah dalam
memelihara dan menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan
Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah”.
Keberadaan Polisi Pamong Praja dimulai pada era Kolonial sejak VOC
menduduki Batavia di bawah pimpinan Walikota Jenderal Pieter Both, bahwa
kebutuhan memelihara ketentraman dan ketertiban penduduk sangat diperlukan karena
pada waktu itu Kota Batavia sedang mendapat serangan secara sporadis baik dari
penduduk lokal maupun tentara Inggris sehingga terjadi peningkatan terhadap
gangguan ketenteraman dan keamanan. Untuk menyikapi hal tersebut maka
dibentuklah BAILLUW, semacam Polisi yang merangkap Jaksa dan Hakim yang
bertugas menangani perselisihan hukum yang terjadi antara VOC dengan warga serta
menjaga ketertiban dan ketenteraman warga. Kemudian pada masa kepemimpinan
Raaffles, dikembangkanlah Bailluw dengan dibentuk Satuan lainnya yang disebut
Besturrs Politie atau Polisi Pamong Praja yang bertugas membantu Pemerintah di
Tingkat Kawedanan yang bertugas menjaga ketertiban dan ketenteraman serta
keamanan warga. Menjelang akhir era Kolonial khususnya pada masa pendudukan
7 Ibid., hal. 886.
Jepang Organisasi polisi Pamong Praja mengalami perubahan besar dan dalam
prakteknya menjadi tidak jelas, dimana secara struktural Satuan Kepolisian dan peran
dan fungsinya bercampur baur dengan Kemiliteran. Pada masa Kemerdekaan tepatnya
sesudah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia Polisi Pamong Praja tetap
menjadi bagian Organisasi dari Kepolisian karena belum ada Dasar Hukum yang
mendukung keberadaan Polisi Pamong Praja sampai dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948. Secara definitif Polisi Pamong Praja mengalami
beberapa kali pergantian nama namun tugas dan fungsinya sama, adapun secara rinci
perubahan nama dari Polisi Pamong Praja dapat dikemukakan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1948 pada tanggal 30
Oktober 1948 didrikanlah Detasemen Polisi Pamong Praja Keamanan Kapanewon
yang pada tanggal 10 Nopember 1948 diubah namanya menjadi Detasemen Polisi
Pamong Praja.
2. Tanggal 3 Maret 1950 berdasarkan Keputusan Mendagri No.UP.32/2/21 disebut
dengan nama Kesatuan Polisi Pamong Praja.
3. Pada Tahun 1962 sesuai dengan Peraturan Menteri Pemerintahan Umum dan
Otonomi Daerah No. 10 Tahun 1962 nama Kesatuan Polisi Pamong Praja diubah
menjadi Pagar Baya.
4. Berdasarkan Surat Menteri Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah No.1 Tahun
1963 Pagar Baya dubah menjadi Pagar Praja.
5. Setelah diterbitkannnya UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan
di Daerah, maka Kesatuan Pagar Praja diubah menjadi Polisi Pamong Praja,
sebagai Perangkat Daerah.
6. Dengan Diterbitkannya UU No.22 Tahun 1999 nama Polisi Pamong Praja diubah
kembali dengan nama Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai Perangkat Daerah.
7. Terakhir dengan diterbitkannya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, lebih memperkuat keberadaan Satuan Polisi Pamong Praja sebagai
pembantu Kepala Daerah dalam menegakkan Peraturan Daerah dan
Penyelenggaraan Ketertiban umum dan ketenteraman Masyarakat dibentuk Satuan
Polisi Pamong
Meskipun keberadaan kelembagaan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan
Masyarakat telah beberapa kali mengalami perubahan baik struktur organisasi maupun
Nomenklatur, yang kemungkinan dikemudian hari masih berpeluang untuk berubah,
namun secara substansi tugas pokok Satuan Polisi Pamong Praja dan Perlindungan
Masyarakat tidak mengalami perubahan yang berarti.
“Keberadaan Polisi Pamong Praja dalam jajaran Pemerintah Daerah
mempunyai arti khusus yang cukup strategis, karena tugas-tugasnya membantu Kepala
Daerah dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban serta penegakan Peraturan
Daerah sehinga dapat berdampak pada upaya Peningkatan Pendapatan Asli Daerah”.8
Mengenai pengertian Polisi Pamong Praja mengalami perbedaan atau
perubahan antara Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004. Pengertian Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5
8 Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja, 1995, Jakarta, Dirjen Pemerintahan Umum dan
Otonomi Daerah (PUOD).
Tahun 1974 adalah perangkat wilayah yang bertugas membantu kepala wilayah dalam
menyelenggarakan pemerintah umum khususnya dalam melaksanakan wewenang,
tugas dan kewajiban di bidang ketentraman dan ketertiban masyarakat (Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah).
Pengertian Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah perangkat daerah yang bertugas membantu
kepala daerah dalam rangka menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum
serta menegakkan Peraturan Daerah (Pasal 148 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Bila melihat pengertian Polisi Pamong Praja tersebut diatas, dapat disimpulkan
bahwa perbedaan Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974
dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah :
1. Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah
sebagai aparat daerah yang bertanggung jawab kepada kepala wilayah artinya
aparat pemerintah pusat yang dipekerjakan di daerah, (Undang-undang No. 5
Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah). Sedangkan Polisi
Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah sebagai
aparat daerah yang bertanggung jawab kepada Kepala Daerah (Pasal 148 ayat (1)
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ).
2. Ruang lingkup tugas kerja Polisi Pamong Praja menurut Undang-undang Nomor 5
Tahun 1974 hanya membantu Kepala wilayah di bidang ketentraman dan
ketertiban masyarakat, (Undang-Undang No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah). Sedangkan ruang lingkup tugas Polisi Pamong Praja
menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 diperluas selain
menyelenggarakan pembinaan ketentraman dan ketertiban umum juga
ketenteraman masyarakat dalam penegakan Peraturan Daerah (Pasal 148 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat maka dalam melaksanakan tugasnya Polisi Pamong Praja melakukan berbagai cara seperti memberikan penyuluhan, kegiatan patroli dan penertiban terhadap pelanggaran Peraturan Daerah, keputusan kepala daerah yang didahului dengan langkah-langkah peringatan baik lisan maupun tertulis.9
Lingkup fungsi dan tugas Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman
dan ketertiban umum pada dasarnya cukup luas, sehingga dituntut kesiapan aparat
baik jumlah anggota, kualitas personil termasuk kejujuran dalam melaksanakan tugas-
tugasnya. Polisi Pamong Praja sebagai lembaga dalam pemerintahan sipil harus tampil
sebagai pamong masyarakat yang mampu menggalang dan dapat meningkatkan
partisipasi aktif masyarakat dalam menciptakan dan memelihara ketentraman dan
ketertiban sehingga dapat menciptakan iklim yang lebih kondusif di daerah.
Penampilan Polisi Pamong Praja dalam pembinaan ketentraman dan ketertiban
harus berbeda dengan aparat kepolisian (Polisi Negara), karena kinerja Polisi Pamong
Praja akan bertumpu pada kegiatan yang lebih bersifat penyuluhan dan pengurusan,
bukan lagi berupa kegiatan yang mengarah pada pemberian sanksi atau pidana.
Tugas Polisi Pamong Praja adalah selain melakukan penegakan Peraturan
9 Ibid.
Daerah, juga membantu Kepala Daerah dalam melaksanakan pembinaan ketentraman
dan ketertiban (Pasal 148 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah).
Mengingat luasnya daerah dan menjamin tindakan yang cepat serta tepat pada
waktunya Kepala Daerah dalam “keadaan biasa” diberikan wewenang pembinaan
ketentraman dan ketertiban di daerahnya yang meliputi (Peraturan Pemerintah Nomor
25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonomi) :
1. Wewenang pengaturan untuk dapat mendorong terciptanya ketentraman dan
ketertiban masyarakat.
2. Wewenang pengaturan-pengaturan kegiatan penanggulangan bencana alam
maupun bencana akibat perbuatan manusia.
3. Wewenang pengaturan kegiatan-kegiatan dibidang politik, ekonomi dan sosial
budaya.
Tujuan dari pembinaan kentraman dan ketertiban adalah untuk menghilangkan
atau mengurangi segala bentuk ancaman dan gangguan terhadap ketentraman dan
ketertiban didalam masyarakat, serta menjaga agar roda pemerintahan dan peraturan
pemerintah serta peraturan perundang-undangan di daerah dapat berjalan lancar,
sehingga pemerintah dan rakyat dapat melakukan kegiatan secara umum, tertib dan
teratur dalam rangka memantapkan ketahanan nasional (Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 2 Pasal 2 Tahun 1993 tentang pembinaan ketentraman dan ketertiban di
daerah).
Ketentraman dan ketertiban yaitu suatu keadaan dimana pemerintah dan rakyat
dapat melakukan kegiatan secara aman, tertib dan teratur (Peraturan Menteri Dalam
Negeri No. 2 Pasal 1 Tahun 1993 tentang pembinaan ketentraman dan ketertiban di
daerah). Pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah adalah segala usaha, tindakan
dan kegiatan yang berhubungan dengan perencanaan, penyusunan, pengembangan,
pengarahan, pemeliharaan serta pengendalian segala masalah ketentraman dan
ketertiban secara berdaya guna dan berhasil guna meliputi kegiatan pelaksanaan atau
penyelenggaraan dan peraturan agar segala sesuatunya dapat dilakukan dengan baik,
tertib dan seksama sesuai ketentuan petunjuk, sistem dan metode yang berlaku untuk
menjamin pencapaian tujuan secara maksimal (Pasal 150 ayat (1) Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan dan melaksanakan
pembangunan mutlak diperlukan adanya suatu kondisi ketentraman dan ketertiban
yang mantap. Dalam hal ini urusan pembinaan ketentraman dan ketertiban daerah,
Walikota atau Bupati dalam tugasnya dibantu oleh yang namanya Polisi Pamong Praja
(Undang-undang No. 32 Pasal 148 ayat 1 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah).
C. Pengertian Peraturan Daerah
Peraturan Daerah adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah
(Bupati/Walikota). Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan
dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.10
Peraturan Daerah terdiri atas:
a. Peraturan Daerah Provinsi, yang berlaku di provinsi tersebut. Peraturan Daerah
Provinsi dibentuk oleh DPRD Provinsi dengan persetujuan bersama Gubernur.
b. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, yang berlaku di kabupaten/kota tersebut.
Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibentuk oleh DPRD Kabupaten/Kota dengan
persetujuan bersama Bupati/Walikota. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota tidak
subordinat terhadap Peraturan Daerah Provinsi. 11
Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Peraturan Daerah dikenal dengan
istilah Qanun. Di Provinsi Papua, dikenal istilah Peraturan Daerah Khusus dan
Peraturan Daerah Provinsi. Peraturan Daerah (Perda) adalah instrumen aturan yang
secara sah diberikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
pemerintahan di daerah. Sejak Tahun 1945 hingga sekarang ini, telah berlaku beberapa
undang-undang yang menjadi dasar hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah
dengan menetapkan Perda sebagai instrumen yuridisnya.
Kedudukan dan fungsi Perda berbeda antara yang satu dengan lainnya sejalan
dengan sistem ketatanegaraan yang termuat dalam UUD/Konstitusi dan UU
Pemerintahan Daerahnya. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi
10 Sari Nugraha, Problematika Dalam Pengujian dan Pembatalan Perda Oleh Pemerintah
Pusat, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 1 Tahun 2004, hal. 27. 11 Ibid.
muatan yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah
daerah.
Demikian juga terhadap mekanisme pembentukan dan pengawasan terhadap
pembentukan dan pelaksanaan Perda mengalami perubahan seiring dengan perubahan
pola hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Setiap perancang
Perda, terlebih dahulu harus mempelajari dan menguasai aturan hukum positip tentang
UU Pemerintahan Daerah, UU tentang Perundang-undangan, Peraturan pelaksanaan
yang secara khusus mengatur tentang Perda.12
Untuk merancang sebuah Perda, perancang pada dasarnya harus menyiapkan
diri secara baik dan mengusai hal-hal sebagai berikut:
a. Analisis data tentang persoalan sosial yang akan diatur.
b. Kemampuan teknis perundang-undangan.
c. Pengetahuan teoritis tentang pembentukan aturan.
d. Hukum perundang-undangan baik secara umum maupun khusus tentang Perda.13
Melalui amandemen UUD 1945 yang kedua, Perda mendapatkan landasan
konstitusionalnya di dalam konstitusi yang keberadaannya digunakan untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [vide Pasal 18 ayat (6) UUD 1945].
Selanjutnya Pasal 12 UU No. 10/2004 menggariskan materi muatan Perda adalah
seluruh materi muatan dalam rangka: penyelenggaraan otonomi dan tugas
12 Ibid. 13 E. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Terjemahan Moh. Saleh Djindang, Sinar
Harapan, Jakarta, 1989, hal. 116.
pembantuan, menampung kondisi khusus daerah, serta penjabaran lebih lanjut
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Perda adalah peraturan yang paling banyak menanggung beban. Sebagai
peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, Perda secara
teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit karena tidak boleh menyimpang dari
sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan jumlahnya. Dalam pendekatan Stufenbau
des Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi
berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebutlah kemudian dalam
ilmu hukum turun menjadi asas “lex superior derogat legis inferiori.” 14
Perda dianggap sebagai peraturan yang paling dekat untuk mengagregasi nilai-
nilai masyarakat di daerah. Peluang ini terbuka karena Perda dapat dimuati dengan
nila-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itulah banyak
Perda yang materi muatannya mengatur tentang pemerintahan terendah yang bercorak
lokal seperti Nagari di Sumatera Barat, Kampong di Aceh, atau yang terkait
pengelolaan sumberdaya alam seperti Perda pengelolaan hutan berbasis masyarakat,
hutan rakyat, pertambangan rakyat dan lain sebagainya.15 Di samping itu, posisi Perda
yang terbuka acap juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda pajak daerah atau
14 Ibid. 15 EKM Masinambow, Hukum dan kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
2000, hal. 76.
Perda retribusi daerah. Perda jenis terakhir inilah yang paling mendominasi jumlah
Perda sepanjang otonomi daerah yang bergulir sejak berlakunya UU No 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah.
Sejak otonomi daerah digulirkan, sudah ribuan Perda dibuat oleh pemerintah
daerah baik pada level provinsi maupun kabupaten/kota. Data yang diperoleh dari
Departemen Keuangan, sampai Desember 2006 terdapat 9.617 Perda yang terkait
dengan perizinan, pajak dan retribusi di daerah. Dari sejumlah itu Departemen
Keuangan sudah merekomendasikan kepada Departemen Dalam Negeri untuk
membatalkan 895 Perda yang terkait dengan pajak dan retribusi di daerah. Data yang
diperoleh dari Departemen Dalam Negeri menunjukkan bahwa sejak tahun 2002
sampai tahun 2007 Perda yang dibatalkan baru berjumlah 761 Perda. Perda-Perda
yang dianggap bermasalah itu menimbulkan ekonomi biaya tinggi di daerah serta juga
membebani masyarakat dan lingkungan.16
Terkait dengan banyaknya Perda yang dianggap bermasalah, karena
menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan
berdampak pada kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya, maka
Indonesia memiliki perangkat hukum untuk menyelesaikan konflik yang ditimbulkan
dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesai konflik peraturan dilakukan lewat
pengujian peraturan perundang-undangan. Sekarang ini, Perda yang dianggap
bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang
16 S. Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985, hal 16.
lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga lewat dua model kewenangan, yaitu judicial
review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah c.q Departemen
Dalam Negeri. 17
Mahkamah Agung sebagai lembaga yang melakukan kekuasaan kehakiman
diberi kewenangan oleh UUD 1945 untuk dapat melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-Undang Dasar terhadap undang-undang.
Kewenangan demikian ini kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau
pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah
Agung, kewenangan judicial review juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang
berwenang menguji undang-undang terhadap UUD. Bila dikaitkan dengan jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 UU No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Mahkamah Agung
memiliki kewenangan menguji: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan
Peraturan Daerah.
Dasar kewenangan Mahkamah Agung dapat melakukan pengujian terhadap
tiga jenis peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan.
Mulai dari dasar konstitusional dalam Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945, kemudian Pasal
11 ayat (2) huruf b UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, selanjutnya
Pasal 31 ayat (2) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: Mahkamah Agung memberi ukuran atau
alasan suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, yaitu: karena
17 Ibid., hal. 17.
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materil),
atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).
Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945: Mahkamah agung berwenang mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.
Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman: Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung.
Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung: Mahkamah Agung
menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas
alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
Untuk melaksanakan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan,
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1
Tahun 1999 tentang Hak Uji Materil yang sudah diganti dengan Perma No. 1 Tahun
2004. Anehnya, Perma ini mempersempit kewenangan pengujian oleh Mahkamah
Agung yang oleh UUD dan UU diberi kewenangan menguji materil dan formil
peraturan perundang-undangan menjadi hanya melakukan pengujian materil terhadap
materi muatan peraturan perundang-undangan. Hal ini berarti Mahkamah Agung tidak
akan memeriksa atau menguji aspek formil penyusunan dan pembentukan peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang, termasuk Perda. Dasar hukumnya
adalah Pasal 1 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Material.
Sejak tahun 2003 sampai tahun 2007, Mahkamah Agung telah menerima 175
permohonan pengujian peraturan perundang-undangan, 28 dari jumlah itu adalah
permohonan pengujian Perda. 18
Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian Perda lahir dari
kewenangan yang disebut judicial review.19 Dalam hal itu, maka Mahkamah Agung
adalah lembaga yang diberi tugas menyelesaikan konflik norma yang timbul dari
lahirnya suatu produk peraturan perundang-undangan misalkan Perda. Dalam
menjalankan fungsi itu, Mahkamah Agung bersifat pasif menanti datangnya
permohonan keberatan dari para pihak yang berkepentingan di daerah. Ukuran yang
dijadikan Mahkamah Agung dalam menguji Perda adalah menjawab pertanyaan,
apakah suatu Perda: bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku. 20
Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji
Material, bila satu Perda yang dimohonkan bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi dan/atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku, maka
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan dan memerintahkan pemerintah daerah
18 Iman Nugraha., Op.Cit. 19 Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hal. 99. 20 Iman Nugraha., Op.Cit.
bersama dengan DPRD untuk mencabut Perda tersebut paling lama dalam waktu 90
hari. Terhadap putusan pembatalan Perda yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung
tidak dapat diajukan peninjauan kembali (PK).
Berdasarkan Pasal 2 ayat (4) Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji
Material ditemukan bahwa Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah
undang-undang lainnya hanya dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian)
kepada Mahkamah Agung paling lambat sebelum 180 (seratusdelapanpuluh) hari
pengundangan peraturan tersebut. Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap
terbatasnya hak warganegara untuk mengajukan permohonan pengujian peraturan
yang dianggap bermasalah dikemudian hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh
Mahkamah Agung tersebut.
Tidak jelas benar dari mana asal muasal batas waktu 180 tersebut, dan
mengapa tidak lebih cepat atau lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu
yang dapat dimengerti secara rasional, karena bila syarat untuk mengajukan
permohonan keberatan terhadap berlakunya suatu Perda adalah anggapan kerugian
publik dari pemohon, maka potensi kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya.
Bisa saja, misalnya Perda yang sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak
bermasalah oleh masyarakat, kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun
setelah berlakunya Perda tersebut baru menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal
tersebut terjadi maka masyarakat kehilangan hak untuk mengajukan permohonan
karena dipangkas oleh aturan yang dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.
Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji
Materil oleh Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian
peraturan perundang-undangan, termasuk Perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya
kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama
waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara
pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis
mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak
warganegara untuk menyampaikan permohonan keberatan.
Ketiadaan batas waktu pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah
menumpuknya perkara kasasi di Mahkamah Agung berpotensi membuat Perda yang
sedang diuji terkatung-katung pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama.
Perma No 1 Tahun 2004 juga tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat
mengawasi jalannya proses pengujian oleh Mahkamah Agung. Dari rumusan Perma
No. 1 Tahun 2004 sendiri sudah nampak bahwa Mahkamah Agung masih bersifat
tertutup, padalah objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait dengan
kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di
masyarakat. 21
Model pengujian Perda yang kedua dilakukan oleh pemerintah c.q Departemen
Dalam Negeri. Pengujian Perda oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian
peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah executive review lahir dari
21 Ibid.
kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap penyelenggaraan (otonomi)
pemerintahan daerah. 22
UU No 32 Tahun 2004 memberi perintah bahwa Perda yang dibuat oleh DPRD
bersama kepala daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari
setelah ditetapkan. Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 ayat (4) UU No
32/2004 tentang Pemda menyebutkan bahwa “Perda dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
Kemudian Pasal 145 ayat (2) UU tersebut menyebutkan “Perda yang bertentangan
dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dapat dibatalkan oleh pemerintah.” Ayat (3) menyebutkan “Keputusan pembatalan
Perda ... ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak
diterimanya Perda...” selanjutnya ayat (5) menyebutkan “Apabila
provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda dengan
alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah
dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.”
Ada dua bentuk pengawasan dalam executive reviewi yang dapat dilakukan
oleh pemerintah yaitu pengawasan preventif dan pengawasan represif. Pengawasan
preventif dilakukan terhadap rancangan Perda yang bermuatan APBD, pajak daerah
dan retribusi daerah serta Perda tata ruang. Pengawasan preventif terhadap rancangan
Perda APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang kabupaten/kota
22 Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), UU Press, Yogyakarta, 2005,
hal. 47.
dilakukan oleh Walikota, sedangkan Pengawasan preventif terhadap rancangan Perda
APBD, pajak daerah dan retribusi daerah serta tata ruang provinsi dilakukan oleh
pemerintah (pusat). Selanjutnya pengawasan represif dilakukan terhadap seluruh Perda
yang sudah dibuat oleh pemerintah daerah, termasuk Perda yang pada dasarnya sudah
dilakukan pengawasan preventif.23
Berbeda dengan judicial review, Perda yang dilakukan pengawasan oleh
lembaga kehakiman, Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk
pengawasan oleh pemerintah dilakukan melalui beberapa lembaga negara departemen,
yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Keuangan terhadap Perda bermuatan
keuangan, Kementerian Pekerjaan Umum terhadap Perda tata ruang, serta departemen
sektoral sumberdaya alam terhadap Perda yang bermuatan sumberdaya alam. Tidak
jarang proses evaluasi/pengujian Perda oleh pemerintah dilakukan lintas departemen
yang dikoordinasikan oleh Departemen Dalam Negeri selaku “pembina” pemerintah
daerah. Pengujian Perda merupakan kewenangan pemerintah dalam rangka
pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh
pemerintah daerah.
Berdasarkan Pasal 26 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan Peraturan Daerah
(RanPerda) dapat berasal dari DPRD atau kepala daerah (Gubernur, Bupati, atau
Walikota). RanPerda yang disiapkan oleh Kepala Daerah disampaikan kepada DPRD.
23 Ibid.
RanPerda yang disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD kepada
Kepala Daerah.
Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pembahasan RanPerda di DPRD
dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur atau Bupati/Walikota. Pembahasan bersama
tersebut melalui tingkat-tingkat pembicaraan, dalam rapat komisi/panitia/alat
kelengkapan DPRD yang khusus menangani legislasi, dan dalam rapat paripurna.
Berdasarkan Pasal 42 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan RanPerda yang telah disetujui bersama
oleh DPRD dan Gubernur atau Bupati/Walikota disampaikan oleh Pimpinan DPRD
kepada Gubernur atau Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi Perda, dalam jangka
waktu paling lambat 7 hari sejak tanggal persetujuan bersama. Raperda tersebut
disahkan oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan menandatangani dalam jangka
waktu 30 hari sejak Raperda tersebut disetujui oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota. Jika dalam waktu 30 hari sejak RanPerda tersebut disetujui bersama
tidak ditandangani oleh Gubernur atau Bupati/Walikota, maka Raperda tersebut sah
menjadi Perda dan wajib diundangkan.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan merupakan landasan yuridis pembentukan peraturan perundang-
undangan baik di tingkat pusat maupun daerah. Undang-Undang ini memuat secara
lengkap pengaturan baik menyangkut sistem, asas, jenis dan materi muatan, proses
pembentukan yang dimulai dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan,
perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Tertib
pembentukan peraturan perundang-undangan, baik di tingkat pusat maupun daerah,
diatur sesuai dengan proses pembentukan dari jenis dan hirarki serta materi muatan
peraturan perundang-Undangan.
Untuk kepastian hukum dan ketertiban dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan, di tingkat pusat telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2005 Tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi
Nasional, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2005 Tentang Tata
Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan
Peraturan Presiden, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2007
Tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-
Undangan.
Berdasarkan perintah Pasal 27 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan
Pasal 140 ayat (3) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, perlu ditetapkan Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pengajuan Rancangan
Peraturan Daerah. Rancangan Peraturan Presiden tersebut telah disiapkan oleh
Departemen Dalam Negeri dan Departemen Hukum dan HAM dan telah disampaikan
kepada Presiden untuk ditetapkan menjadi Peraturan Presiden.24
24 Ibid., hal. 47.
Urgensi pengaturan tata cara pengajuan Rancangan Peraturan Daerah adalah
agar lebih tercapai koordinasi antara Satuan Kerja Perangkat Daerah dalam penyiapan
Rancangan Peraturan Daerah dan efektifitas proses pengharmonisasian Rancangan
Peraturan Daerah. Kondisi yang baik dalam perencanaan dan persiapan penyusunan
Rancangan Peraturan Daerah dan harmonisasi materi atau substansi Rancangan
Peraturan Daerah antar Satuan Kerja Perangkat Daerah akan melahirkan Peraturan
Daerah yang baik dan berkualitas.
Pasal 27 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 berunyi: Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara mempersiapkan rancangan peraturan daerah yang berasal dari
Gubernur atau Bupati/Walikota diatur dengan Peraturan Presiden.
Pasal 140 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 berunyi: Tata cara
mempersiapkan rancangan Perda yang berasal dari Gubernur atau Bupati/Walikota
diatur dengan Peraturan Presiden.
Secara normatif dan umum, Pasal 136 ayat (4) Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 menegaskan bahwa Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan
kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Penjelasan
Pasal 136 ayat (4) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bertentangan dengan
kepentingan umum adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar
warga masyarakat, terganggunya pelayanan umum, dan terganggunya ketentraman,
ketertiban umum, serta kebijakan yang bersifat diskriminatif. Norma yang ada dalam
pasal dan penjelasan pasal tersebut bersifat umum, sehingga perlu parameter atau
kriteria yang lebih rinci.
Konsekuensi dari Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan
umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi adalah dibatalkannya
Peraturan Daerah tersebut. Larangan Peraturan Daerah bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi selain sesuai dengan hirarki peraturan
perundang-undangan, juga menjaga agar Peraturan Daerah tetap berada dalam sistem
hukum nasional.25
Sejak tahun 1999 sampai dengan November 2007 sebanyak 1.406 Peraturan
Daerah telah dibatalkan oleh Pemerintah. Peraturan Daerah yang telah dibatalkan
tersebut umumnya Peraturan Daerah yang mengatur mengenai pajak daerah dan
retribusi daerah. Di samping Peraturan Daerah yang telah dibatalkan, terdapat
berbagai Peraturan Daerah yang kontroversial di tengah masyarakat terkait dengan hak
asasi manusia, diskriminatif, kesetaraan jender, pencemaran lingkungan, dan
sebagainya. Terhadap Peraturan Daerah terkait sebagian telah diajukan judicial review
ke Mahkamah Agung. Terkait dengan banyaknya Peraturan Daerah yang telah
dibatalkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyampaikan kritik dan
arahan yang disampaikan dalam Keterangan Pemerintah tentang Kebijakan
Pembangunan Daerah pada tanggal 23 Agustus 2006 di depan sidang paripurna
Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagai berikut:
“Pemerintah Pusat, setelah mengkaji berbagai jenis Peraturan Daerah (Perda) tentang
pungutan dan retribusi daerah yang bertentangan dengan undang-undang, telah
25 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni, Bandung,
2002, hal. 81.
mengambil langkah membatalkannya. Saya minta perhatian Pemerintah Daerah untuk
tidak menerbitkan lagi Peraturan Daerah tentang pajak, pungutan, dan retribusi yang
bertentangan dengan undang-undang dan peraturan yang lebih tinggi. Penyusunan
Perda haruslah dikoordinasikan dengan instansi-instansi Pemerintah Pusat. Aspek-
aspek hukum penyusunan Perda itu, akan menjadi lebih baik jika dikoordinasikan
dengan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, baik langsung, maupun dengan
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM yang ada di setiap provinsi.”26
Departemen Dalam Negeri telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor
188.34/1586/S tanggal 25 Juli 2006 perihal Tertib Perancangan dan Penetapan
Peraturan Daerah. Dalam Surat Edaran tersebut ditegaskan bahwa para Walikota,
Bupati/Walikota, dapat mendayagunakan keberadaan Kantor Wilayah Departemen
Hukum dan HAM di daerah masing-masing untuk melakukan evaluasi dan
harmonisasi Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah.
Merespons dan menindaklanjuti arahan Presiden, Departemen Hukum dan HAM
bekerja sama dengan UNDP membentuk tim yang terdiri dari Departemen/LPND serta
para pakar untuk menyusun “Panduan Praktis Teknik Pembuatan Peraturan Daerah.”27
Pertama, menyangkut materi/substansi Rancangan Peraturan Daerah. Terkait
materi atau substansi Peraturan Daerah, dalam kajian ini akan dimuat parameter agar
Rancangan Peraturan Daerah memuat atau setidak-tidaknya tidak bertentangan
dengan:
26Iman Nugraha, Op.Cit. 27 Ibid.
1. Prinsip hak asasi manusia, termasuk kesetaraan jender.
2. Prinsip good sustainable development.
3. Prinsip dan arahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah mengenai APBD,
pajak dan retribusi daerah, dan tata ruang.
4. Arahan materi Peraturan Daerah yang mengatur perangkat organisasi daerah.28
Kriteria/parameter di atas merupakan titik tolak, tolak ukur, dan kendali bagi
pembentuk termasuk perancang pembuatan Rancangan Peraturan Daerah agar
Peraturan Daerah yang dihasilkan sesuai dengan asas pembentukan peraturan
perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 10
Tahun 2004 yang berbunyi:
Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan. b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan. d. Dapat dilaksanakan. e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan. f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan.
Kedua, menyangkut teknik penyusunan. Ketentuan mengenai teknik
penyusunan peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Lampiran Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2004 berisi teknik penyusunan terhadap semua jenis
peraturan perundang-undangan. Para perancang peraturan perundang-undangan di
tingkat daerah memerlukan pedoman penyusunan untuk peraturan perundang-
28 Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Terjemahan alimandan, Rineka
Cipta, Jakarta, 2001, hal. 21.
undangan di tingkat daerah. Membuat rumusan yang jelas termasuk asas pembentukan
peraturan perundang-undangan. Mulai dari judul, pembukaan, batang tubuh (termasuk
ketentuan pidana dan ketentuan peralihan), penjelasan, pendelegasian kewenangan,
dan juga penggunaan bahasa harus dipahami secara baik oleh perancang peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah.
Tertib pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk elemen penting
untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Peran aparatur Pemerintahan
Daerah dalam pembentukan Peraturan Daerah sangat ditentukan oleh kompetensi dan
kapasitasnya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Dalam pelaksanaan tugas dan
fungsi pembentukan Peraturan Daerah, diperlukan aparatur pemerintahan daerah
khususnya tenaga perancang peraturan perundang-undangan yang berkualitas, yang
mempunyai tugas menyiapkan, mengolah, dan merumuskan Rancangan Peraturan
Daerah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian merupakan tempat dimana penulis dapat memperoleh data
yang diperlukan. Dalam hal ini penulis mengadakan penelitian di Satuan Polisi
Pamong Praja Pemerintah Kota Medan.
B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Tujuan utama penelitian kualitatif adalah
untuk memahami (to understand) fenomena atau gejala sosial dengan lebih menitik
beratkan pada gambaran yang lengkap tentang fenomena yang dikaji daripada
memerincinya menjadi variabel-variabel yang saling terkait. Harapannya ialah
diperoleh pemahaman yang mendalam tentang fenomena untuk selanjutnya dihasilkan
sebuah teori.
C. Populasi dan Sampel
Populasi dapat berupa kumpulan dari setiap obyek penelitian. Pada dasarnya,
populasi adalah himpunan semua hal (keseluruhan realitas sosial) yang ingin
diketahui. 29
29 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 22.
36
Sehubungan penelitian yang dilakukan yang pada dasarnya dilakukan secara
deskriptip maka pada penelitian ini populasi yang diajukan berupa semua populasi
yang terdapat di Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan.
Memandang sekian banyaknya populasi yang diajukan sementara penelitian
difokuskan pada perwujudan pemerintahan yang baik maka akan diambil 5 orang
sampel dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan yang berstatus sebagai PNS.
D. Teknik Pengumpulan Data
Dari penyempurnaan penyusunan skripsi ini, sangat diperlukan data-data yang
lengkap sebagai perbandingan dan mampu mendukung serta melengkapi suatu analisa
yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain dipergunakan data primer
dan data sekunder.
Data primer didapatkan melalui penelitian pada Satuan Polisi Pamong Praja
Pemerintah Kota Medan. Sedangkan data sekunder didapatkan melalui:
Materi penelitian yang dipergunakan bersumber dari data sekunder, yakni
dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan objek atau materi
penelitian yang meliputi:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun I998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka
Umum, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi
Pamong Praja dan Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja, Jakarta, Dirjen
PUOD, 1995.
b. Bahan hukum sekunder, berupa bacaan yang relevan dengan materi yang diteliti.
c. Bahan hukum tertier, yaitu dengan menggunakan kamus hukum dan kamus Bahasa
Indonesia.
E. Analisis Data
Penelitian ini menggunakan Analisis data kualitatif Empiris. Analisis data
kualitatif empiris dilakukan dengan menganalisa data sekunder yang bersifat narasi
maupun data yang bersifat empiris berupa teori, definisi dan substansinya dari
beberapa literature, dokumen dan peraturan perundang-undangan serta didukung
dengan data yang diperoleh dari hasil wawancara, kemudian dianalisis dalam rangka
menjawab permasalahan tentang Penegakan Perda yang baik dalam kaitannya dengan
kedudukan satuan polisi pamong praja di Kota Medan.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan Dalam Pelaksanaan
Penegakan Peraturan Daerah
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan:
1) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan dipimpin oleh seorang Kepala dan
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah melalui
Sekretariat Daerah.
2) Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan mempunyai tugas memelihara dan
menyelenggarakan ketenteraman dan ketertiban umum, menegakkan Peraturan
Daerah dan Keputusan Daerah.
Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 Tahun 2005 tentang
Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan,
maka Polisi Pamong Praja memiliki fungsi:
a. Menyusun program dan pelaksanaan ketentraman dan ketertiban umum,
penegakan peraturan daerah dan keputusan kepala daerah.
b. Melaksanakan kebijakan pemeliharaan dan penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum di daerah.
c. Melaksanakan kebijakan penegakan peraturan daerah dan keputusan kepala
daerah.
39
d. Melaksanakan koordinasi pemeliharaan dan penyelenggaraan ketenteraman dan
ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah
dengan aparat Kepolisian Negara, Penyidik Pegawai Negersi Ipil (PPNS) dan atau
aparatur lainnya.
e. Mengawasi terhadap masyarakat agar mematuhi dan menaati Peraturan Daerah
dan Keputusan Kepala Daerah.
f. Melaksanakan seluruh kewenangan yang sesuai dengan bidang tugasnya.
g. Melaksanakan tugas-tugas lain yang diberikan oleh Kepala Daerah.
Berdasarkan ketentuan di atas dapat dipahami bahwa kedudukan Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Medan di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Daerah
melalui Sekretariat Daerah. Artinya pelaksanaan tugas dari Satuan Polisi Pamong
Praja Kota Medan adalah kepada Kepala Daerah.
Jika melihat keberadaan Satpol PP bisa dikaji dari dua aspek. Yang pertama
adalah aspek sosiologis. Satuan Polisi Pamong Praja, dari pilihan kata untuk
penyebutan sudah jelas bahwa dimaksudkan instusi ini adalah polisi milik pamong
praja atau polisi untuk pamong praja. Pamong Praja adalah kata lain dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS), maka Satpol PP adalah penegak hukum di kalangan pamong praja.
Dari unsur kata-kata pembentukannya, Satpol PP mempunyai tugas pembinaan ke
dalam atau dalam lingkup internal aparatur pemerintahan. Namun jika diartikan
sebagai polisi milik pamong praja, maka tugasnya adalah bagaimana membantu
pelaksanaan kinerja pamong praja.30 Di sini semakin jelas bahwa peran Satpol PP
memang melekat pada kinerja pamong praja, dalam hal ini birokrat.
Kedua, ditinjau dari aspek hukum keberadaan Satpol PP didasarkan pada
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dijabarkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi
Pamong Praja. Dalam PP Nomor 32 Tahun 2004, disebutkan bahwa Satpol PP
bertugas membantu kepala daerah dalam penegakan peraturan daerah (Perda) dan
penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban masyarakat. Dari aspek hukum terlihat
bahwa Satpol PP juga mempunyai tugas pembinaan ke masyarakat atau tugas
eksternal.31
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan pada pasal 5
bahwa kewenangan Polisi Pamong Praja adalah :
h. Menertibkan dan menindak warga masyarakat atau badan hukum yang
mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.
i. Melakukan pemeriksaan terhadap warga atau badan hukum yang melakukan
pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
j. Melakukan tindakan represif non yustisial terhadap warga masyarakat atau badan
hukum yang melakukan pelanggaran atas Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
30 Hasil Wawancara Dengan Bapak Rushendi, selaku Kepala Bidang Operasi dan Pembinaan
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013. 31 Hasil Wawancara Dengan Bapak Rushendi, selaku Kepala Bidang Operasi dan Pembinaan
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013.
Daerah.32
Dari rumusan tersebut di atas secara jelas ditegaskan bahwa Satpol PP
mempunyai tugas untuk melakukan penertiban terhadap masyarakat. Sebutan tindakan
represif non yustisial, menunjukkan bahwa Satpol PP bisa melakukan tindakan-
tindakan yang tergolong kegiatan penindakan. Namun dengan penyebutan ’non
yustisial’ menjadi tidak jelas, tindakan apa yang bisa dikategorikan didalam ’bukan
dalam wilayah hukum’ itu. Karena sanksi atas tindakan pelanggaran sudah diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Namun jika melihat lagi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 149,
pada ayat (1) disebutkan bahwa Anggota Satuan Polisi Pamong Praja dapat diangkat
sebagai ’Penyidik Pegawai Negeri Sipil’ (PPNS). Hal ini menunjukkan bahwa
keberadaan Satpol PP sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 menjadi harus
seirama dengan yang diatur pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI serta Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana.33 Dalam dua undang-undang tersebut
ditegaskan bahwa penyidik selain Polisi adalah juga Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Ini artinya bahwa dalam rangka penyidikan terhadap pelanggaran atas ketentuan
Perda, Satpol PP yang sudah diangkat sebagai PPNS bisa melakukan aktivitas
32 Hasil Wawancara Dengan Bapak Rushendi, selaku Kepala Bidang Operasi dan Pembinaan
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013. 33 Hasil Wawancara Dengan Bapak Donni Damanik, selaku Kepala Seksi Operasi Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013.
menjalankan hukum negara (pro justisia).34
Melihat ketentuan yuridis yang ada, menunjukkan bahwa posisi Satpol PP
sangatlah strategis, karena posisi Satpol PP sangatlah dominan dalam proses
penegakan hukum atas Peraturan Daerah ataupun Keputusan Daerah. Apalagi jika
statusnya juga sebagai PPNS maka yang dilakukan akan merupakan bagian dari sistem
peradilan pidana (criminal justice system). Ini artinya bukan lagi represif non yustisial
tetapi bisa melakukan represif pro justisia.
Yang menjadi masalah selama ini, muncul kesan bahwa keberadaan Satpol PP
tidak sesuai dengan paradigma baru kepemerintahan yang sekarang sedang dianut oleh
negeri ini. Banyak peristiwa yang dapat dilihat ketika massa harus berhadapan dengan
Satpol PP yang akan menggusur mereka yang mengakibatkan jatuh korban jiwa baik
pada pihak Satpol PP maupun masyarakat menunjukkan ada yang tidak pas dalam
kinerja Satpol PP. Pasca reformasi tahun 1998 muncul paradigma baru yang
menempatkan kembali posisi birokrat bukan dalam status sebagai penguasa namun
sebagai abdi masyarakat. Konsep Pamong Praja kembali dihadirkan, dalam
pemaknaan bahwa pemerintah harus bisa melindungi, mengayomi, dan melayani
masyarakat. Apalagi jika dikaitkan dengan semangat good governance, dimana kinerja
birokrat harus diproyeksikan bagi kepentingan dan kesejahtaraan masyarakat.35
Potret kiprah Satpol PP dalam memainkan perannya sebagai bagian dari
34 Hasil Wawancara Dengan Bapak Donni Damanik, selaku Kepala Seksi Operasi Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013. 35 Hasil Wawancara Dengan Bapak Donni Damanik, selaku Kepala Seksi Operasi Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013.
birokrasi, oleh masyarakat saat ini dinilai kurang mencerminkan paradigma baru
mengenai konsep birokrasi, yaitu sebagai sebuah negara demokratis maka orientasinya
harus selalu berpihak pada rakyat. Dari berbagai berita yang muncul di media massa,
dikesankan Satpol PP arogan, tidak professional, tidak berpihak kepada rakyat, hanya
menjadi alat “Penguasa Daerah”.
Kondisi ini sangatlah tidak menguntungkan bagi citra birokrasi karena akan
berdampak pada stigma buruk oleh masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan
efek tidak produktifnya kinerja birokrasi dalam melayani masyarakat. Padahal jika
melihat esensi pembentukan Satpol PP, kehadirannya sangatlah diperlukan oleh
karena Satpol PP mempunyai peran untuk untuk membantu Kepala Daerah, dalam hal
penegakan peraturan daerah dan penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban
masyarakat.36
Jika melihat peran ini, posisi Satpol PP adalah sangat strategis, karena
kehadirannya akan menjadi bagian signifikan penentu keberhasilan Kepala Daerah
menjalankan program-program pemerintahan. Dengan demikian, perlu dikaji kembali
mengenai keberadaan Satpol PP, untuk melihat dimana letak kesalahannya serta
dicarikan alternatif solusi pemecahan, agar pembentukan Satpol PP tidak menjadikan
jalannya pemerintahan semakin buruk, tetapi justru memberikan kontribusi
terbentuknya good governance, dan berjalannya program-program pembangunan,
karena Peraturan Daerah bisa berjalan dengan baik dan masyarakat bisa mengalami
36 Hasil Wawancara Dengan Bapak Donni Damanik, selaku Kepala Seksi Operasi Satuan
Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013.
kondisi tentram dan tertib.
Terganggunya ketentraman dan ketertiban umum di beberapa daerah termasuk
di Provinsi Sumatera Utara telah mengakibatkan Indonesia dijuluki negara beresiko
(country risk) yang tinggi di antara negara Asean. Country Risk yang tinggi telah
mengakibatkan hilangnya daya tarik bagi negara lain untuk menanamkan modalnya
(investasi) di Indonesia, bahkan investasi di dalam negeri bisa beralih ke luar negeri
mencari negara dengan country risk yang rendah. Larinya investasi yang sangat
dibutuhkan berakibat pada rendahnya pertumbuhan ekonomi dan rendahnya
pertumbuhan ekonomi akan berdampak pada meningkatnya pengangguran, rendahnya
pendapatan, dan mendorong tindak kriminal. Dengan kata lain gangguan ketrentraman
dan ketertiban akan menimbulkan gangguan ekonomi. Apabila kondisi ini dibiarkan
secara terus menerus akan menimbulkan gangguan kehidupan generasi mendatang
yang tidak bisa berperan optimal pada masanya.
Dengan berdasarkan pada pemahaman tersebut maka bisa ditarik suatu
kesimpulan, bahwa masalah ketentraman dan ketertiban umum, sebenarnya
merupakan salah satu kebutuhan dasar hidup yang harus terpenuhi dahulu, sebelum
kebutuhan dasar yang lainnya.37 Masalah ketentraman dan ketertiban umum sudah
menjadi amanat nasional yang tidak boleh dihindari, dimana tanggung jawab
keamanan, ketentraman, dan ketertiban umum berada di bawah koordinasi pemerintah.
Dalam ruang lingkup nasional, keamanan negara dari gangguan negara asing menjadi
37 Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan Dalam Pembangunan Nasional,
Gunung Agung, Jakarta, 1999. Hal. 56.
tanggung jawab dan berada di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sedangkan keamanan dan ketertiban umum / masyarakat (Kamtibmas) dalam lingkup
nasional berada di bawah tanggung jawab Polri. Dalam pemahaman birokrasi
pemerintahan, cakupan TNI dan Polri yang sangat luas tidaklah bisa mengakomodir
seluruh renik kepentingan daerah. Karena itu tanggung jawab akan ketentraman dan
ketertiban umum di daerah dalam pandangan birokrasi pemerintahan adalah tanggung
jawab pemerintah daerah. Dalam hal ini salah satu lembaga yang diberi kewenangan
untuk penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum adalah Polisi Pamong Praja.
Sesuai dengan isi Pasal 148 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah disebutkan, bahwa Satuan Polisi Pamong Praja mempunyai
tugas pokok membantu Kepala Daerah dalam penyelenggaraan ketentraman dan
ketertiban umum serta penegakan Peraturan Daerah. Sehingga semua permasalahan
ketentraman dan ketertiban umum yang terkait langsung dengan Penegakan Peraturan
Daerah yang diindikasikan belum bereskalasi luas menjadi tanggung jawab Polisi
Pamong Praja.
Dalam melaksanakan kegiatannya untuk menjalankan perannya selaku aparat
penegak hukum Peraturan Daerah serta menyelenggarakan ketertiban umum dan
ketentraman masyarakat, ternyata Satpol PP oleh sebagian besar masyarakat dinilai
negatif. Tentu saja banyak faktor yang mempengaruhi mengapa kinerja Satpol PP
justru memberikan citra yang buruk bagi birokrat dalam hal ini pegawai Pemerintah
Daerah.38
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004 secara tegas menyebutkan (dalam
Pasal 7), bahwa dalam melaksanakan tugasnya, Polisi Pamong Praja wajib
menjunjung tinggi norma hukum, norma agama, hak asasi manusia dan norma-norma
sosial lainnya yang hidup berkembang di masyarakat. Namun pada kenyataan di
lapangan kewajiban tersebut tidak sepenuhnya dapat dilakukan, sehingga muncullah
persepsi negatif dari masyarakat atas kehadiran Satpol PP.
Berikut ini akan digambarkan struktur organisasi Satuan Polisi Pamong Praja
Kota Medan.
Gambar 1
Struktur Organisasi Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan
38 Prajudi Admosoedirjo, Hukum Administrasi Negara, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta,
2004, hal. 42.
Walikota
Kepala
Bagian Tata Usaha
Sub Bagian Kepeg. Sub Bagian Umum
Bidang Pengawasan Bidang Operasi & Pembinaan
Bidang Penuntutan & Peradilan
Seksi Operasi
Seksi Pembinaan
Seksi Usaha Industri
Seksi Usaha Non Industri
Seksi Pengaduan & Bukti-Bukti
Seksi Penuntutan dan Penindakan
Kelompok Jabatan Fungsional
B. Pelaksanaan Penegakan Peraturan Daerah Yang Dilakukan Oleh Satuan
Polisi Pamong Praja Di Kota Medan
Peran Polisi Pamong Praja dalam menegakkan Peraturan Daerah di Kota
Medan cukup berperan karena Polisi Pamong Praja sudah melaksanakan tugas pokok
yaitu membantu Walikota atau Kepala Daerah dalam melaksanakan tugas
Pemerintahan dibidang ketentraman dan ketertiban masyarakat serta penegakan
Peraturan Daerah. Berdasarkan wawancara dengan Kepala Polisi Pamong Praja Kota
Medan ”Polisi Pamong Praja sudah cukup berperan dalam rangka penegakan
Peraturan Daerah dengan melakukan kegiatan penyuluhan, mengadakan operasi
dengan sistem stasioner, operasi dengan sistem hunting (mobil), mengadakan patroli-
patroli rutin dan kewilayahan, mengadakan penjagaan tempat-tempat rawan,
pembinaan sarana lalu lintas”.
Kegiatan operasi Polisi Pamong Praja dalam penegakan Peraturan Daerah di
Kota Medan :
1. Kegiatan operasi (Patroli) wilayah yang dilakukan setiap hari pada waktu pagi,
sore dan malam. Kegiatan operasi Polisi Pamong Praja Kota Medan tahun 2012
adalah :
a. Operasi Pekat ( Penyakit Masyarakat ) dilakukan 1 (satu) minggu sekali.
b. Operasi Penertiban HO (Hinder Ordonansie) atau Ijin Gangguan dilakukan 1
(satu) bulan sekali.
c. Operasi Penertiban IMB (ijin mendirikan bangunan) dilakukan 1 (satu) bulan
sekali.
d. Operasi Penertiban reklame dilakukan 1 (satu) bulan sekali.
e. Operasi Penertiban PKL (pedagang kaki lima) dilakukan 1 (satu) Minggu
sekali.
f. Patroli rutin terhadap para pelanggan Peraturan Daerah dilaksanakan secara
rutin setiap hari pagi, sore dan malam.
2. Penyuluhan terhadap masyarakat tentang Peraturan Daerah yang menyangkut
penertiban kepentingan umum.
Dengan adanya kegiatan operasi dan penyuluhan yang dilakukan Polisi Pamong
Praja, pelanggaran Peraturan Daerah Kota Medan dari tahun ke tahun mengalami
penurunan. Hal tersebut dilihat dari jumlah pelanggaran Peraturan Daerah yang
masuk ke Kantor polisi Pamong Praja Kota Medan selama 3 tahun terakhir. Hal itu
berdasarkan data yang diambil pada waktu mencari data di Kantor Polisi Pamong
Praja.39
Dari penelitian yang dihasilkan diatas menunjukkan adanya penurunan jumlah
pelanggaran Peraturan Daerah di Kota Medan. Namun pada dasarnya perlu dikaji
pula mengenai kegiatan, prosedur pelaksanaan dan dasar hukum yang
melatarbelakangi menurunnya pelanggaran Peraturan Daerah karena hal tersebut
dapat menambah pengetahuan data mengenai Polisi Pamong Praja di Kota Medan.
Berdasarkan hasil wawancara ”Peran Polisi Pamong Praja di Kota Medan cukup
berperan dalam penegakan Peraturan Daerah, ini dilihat menurunnya tingkat
39 Hasil Wawancara Dengan Bapak Safrizal, selaku Kepala Seksi Pembinaan Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013.
pelanggaran Peraturan Daerah di Kota Medan”.40
Hal itu juga diungkapkan dari hasil wawancara bahwa ”Peran Polisi Pamong Praja
cukup berperan dalam penegakan Perturan Daerah, dengan aktif mengadakan
kegiatan operasi ketentraman, ketertiban dan Peraturan Daerah di Kota Medan”.41
Hasil wawancara juga menjelaskan ”Saya rasa peran Polisi Pamong Praja sudah
cukup dalam melaksanakan tugasnya karena saya dan anggota lainnya melakukan
patroli atau operasi setiap hari pada waktu pagi dan sore, Polisi Pamong Praja
hanya bertugas memberi teguran secara lesan dan tertulis kepada pelanggar dan
sering melakukan kegiatan operasi agar penegakan Peraturan Daerah dapat
berjalan lancar”.42
Secara operasional teguran secara lesan dan tertulis sebanyak 3 kali, setelah itu di
lakukan penindakan. Pembentukan dan susunan organisasi Polisi Pamong Praja
sebagaimana dalam tugasnya membantu Kepala Daerah berpedoman pada
Peraturan Pemerintah. Dimana peran dari Polisi Pamong Praja sudah cukup dan
sesuai dengan prosedur yang ada dan berpijak pada Peraturan Daerah yang
berlaku. Jika semua itu dipatuhi mungkin tidak akan terjadi kesalahpahaman antara
satuan Polisi Pamong Praja dengan masyarakat. Hal tersebut menjelaskan “Peran
Polisi Pamong Praja dalam menegakkan Peraturan Daerah sudah baik dan cukup,
40 Hasil Wawancara Dengan Bapak Safrizal, selaku Kepala Seksi Pembinaan Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013. 41 Hasil Wawancara Dengan Bapak Safrizal, selaku Kepala Seksi Pembinaan Satuan Polisi
Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013. 42 Hasil Wawancara dengan Bapak Herman, selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013.
ini dilihat dari adanya pemberian izin usaha dan saya sebagai pengusaha akan
lebih tenang dalam melakukan pekerjaan”.43
Sebagaimana diketahui dalam pasal 148 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dimana tugas pokok dari Polisi Pamong
Praja adalah membantu Walikota atau Kepala Daerah dalam melaksanakan tugas
pemerintahan dibidang ketentraman dan ketertiban masyarakat serta penegakan
peraturan daerah, oleh karena itu didalam susunan organisasi Kantor Polisi Pamong
Praja Kota Medan ada Seksi Penegakan Peraturan Daerah yang sesuai dengan
Peraturan Daerah Nomor 20 tahun 2000 pasal 143 tentang organisasi dan tata kerja
perangkat Daerah Kota Medan.
Didalam pelaksanaan Peraturan Daerah, Polisi Pamong Praja Kota Medan
cukup berperan karena sering melakukan kegiatan operasi dan penyuluhan terhadap
masyarakat tentang Peraturan Daerah. Hal ini dilihat dari menurunnya tingkat
pelanggaran Peraturan Daerah di Kota Medan dan juga tingkat kedisiplinan Polisi
Pamong Praja yang tinggi.
Pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah oleh Polisi Pamong Praja harus
sesuai dengan prosedur yang ada. Prosedur Operasional :
1. Investasi para pelanggar Peraturan Daerah atau Perda
2. Pembinaan dengan pendekatan kemanusiaan
3. Pemanggilan atau teguran.
43 Hasil Wawancara dengan Bapak Herman, selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013.
4. Koordinasi dengan instansi terkait.
5. Operasi preventif non Yustisia atau pengambilan (penyitaan) barang
6. Kelengkapan administrasi (surat tugas)
7. Pembuataan berita acara pengambilan barang.
8. Kegiatan operasi yang dilaksanakan oleh Polisi Pamong Praja Kota Medan selalu
melibatkan dinas atau instansi terkait.
9. PPNS yang ada di Kota Medan (termasuk yang berada di Kantor Polisi Pamong
Praja) belum dilantik sehingga manakala ada kegiatan operasi Yustisi penyidikan
dilaksanakan oleh penyidik kepolisian.
Dalam mewujudkan tugas dan fungsi pokoknya, Polisi Pamong Praja Kota
Medan sudah berupaya optimal, ini dilihat dengan melakukan kegiatan operasional.
Kegiatan operasional Polisi Pamong Praja tahun 2012 sebagai berikut :
1. Kegiatan
Dalam Tahun anggaran 2012 kegiatan di bidang pembinaan (preventif) maupun
penindakan (represif) adalah sebagai berikut :
a) Penyuluhan kepada masyarakat terutama kepada pengusaha dan awak
kendaraan angkutan umum, dan masyarakat yang lain baik di tempat maupun
di lapangan melalui surat-surat edaran, selebaran, spanduk, sticker dan siaran
keliling serta radio.
b) Mengadakan operasi dengan sistem stasioner yang meliputi :
1) Operasi kendaraan umum/lalu lintas
2) Operasi penertiban becak
3) Operasi KTP
c) Operasi dengan sistem mobil (Hunting) yang meliputi :
1) Operasi penertiban lalu lintas
2) Operasi Yustisi Kebersihan dan Tertib Pedagang Kaki Lima
3) Operasi penertiban IMB
4) Operasi PGOT dan WTS/germo liar
5) Operasi penertiban spanduk
6) Operasi minuman keras.
d) Mengadakan patrolli-patroli rutin terhadap pelanggaran produk Hukum
Daerah.
e) Mengadakan penjagaan tempat-tempat rawan pelanggaran
f) Mengadakan patroli kewilayahan.
g) Pembinaan sarana lalu lintas
h) Monitoring, evaluasi dan pelaporan.
i) Pengiriman personil Polisi Pamong Praja dalam diklat teknis maupun
fungsional.
j) Pembinaan dan pendekatan teknis bagi personil Polisi Pamong Praja.
2. Pelaksanaan dan Penyuluhan
a. Penyuluhan kepada pengusaha dan awak kendaraan angkutan umum
dilaksanakan dalam bentuk temu muka Walikota dan Muspida dengan para
pengusaha dan Awak Kendaraan Angkutan Umum sebanyak dua kali dalam
setahun. Unsur-unsur yang terkait :
- Unsur Muspida
- Pengadilan Negeri
- Seluruh anggota tim pengadilan lalu lintas terpadu.
Penyuluhan lapangan kepada para pengemudi dan kernet serta masyarakat
pemakai jalan lainnya, yang dilaksanakan secara rutin pada jam-jam sibuk. Materi
yang disampaikan berupa himbauan, peringatan/teguran, arahan dan penerangan-
penerangan yang berhubungan dengan tata tertib lalu lintas, K3, kewaspadaan.
b. Razia stasioner dengan pelaksanaan sidang di tempat.
1. Operasi lalu lintas terpadu sistem stationer dengan sasaran operasi kepada
pelanggaran muatan lebih, kelengkapan dan sebagainya, operasi setiap hari
pada waktu jam sibuk dilakukan oleh :
- Kepolisian Kota Medan
- Dinas Perhubungan Kota Medan.
- Polisi Pamong Praja Kota Medan
- Kejaksaan
- Pengadilan.
2. Operasi becak dengan tindakan tipiring :
Sasaran operasi diarahkan pada kelengkapan becak dan penggunaan becak
siang dan malam. Unsur yang terlibat :
- Polisi Pamong Praja Kota Medan
- Dinas Perhubungan Kota Medan.
3. Razia KTP dilaksanakan pada tempat-tempat keramaian seperti pasar,
pertokoan dan sebagainya, razia dilakukan setiap hari. Unsur yang terlibat :
- Kepolisian Kota Medan
- PPNS
- Polisi Pamong Praja Kota Medan
- Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Kota Medan
c. Operasi penertiban
1. Operasi lalu lintas dengan sistem hunting dilakukan dengan sasaran
kendaraan yang kedapatan melakukan pelanggaran mencolok seperti
melanggar rambu larangan, muatan dan pelanggaran yang bisa
mengakibatkan kesemrawutan jalan, yang dilakukan setiap hari secara
rutin.
2. Operasi Yustisi kebersihan dan tertib pedagang kaki lima dilakukan secara
rutin tiap bulan.
Sasaran operasi yaitu masyarakat yang kedapatan membuang
sampah/kotoran tidak pada tempatnya dan para PKL/masyarakat lain yang
berjualan pada tempat yang bukan peruntukannya.
- Kepolisian Kota Medan
- Polisi Pamong Praja Kota Medan
- Sub Dinas Kebersihan dan Pertamanan pada Dinas Pekerjaan Umum
Kota Medan
- PPNS
- Kejaksaan.
- Pengandilan
- Bagian Perekonomian Setda Kota Medan.
Operasional Penertiban IMB dilakukan secara rutin setiap bulan dengan
sasaran bangunan baru, memperbaiki atau merubah bangunan tanpa IMB.
Unsur yang terlibat :
- Kepolisian Kota Medan
- Polisi Pamong Praja
- Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan.
3. Operasi PGOT, WTS / Germo liar dilakukan setiap hari secara terpadu. Unsur
yang terlibat :
- Kepolisian Kota Medan
- Polisi Pamong Praja
- Dinas Pariwisata Kota Medan.
4. Operasi penertiban spanduk dilakukan dengan sasaran spanduk yang tidak
berizin, izin habis dan spanduk yang tidak dipasang pada tempat spanduk yang
disediakan, penertiban dilakukan setiap bulan sekali. Unsur yang terlibat :
- Kepolisian Kota Medan
- Polisi Pamong Praja
- Dinas Pertamanan Kota Medan.
5. Operasi Minuman Keras dilakukan secara insidentil bersama-sama dengan
Polres, Polisi Pamong Praja, Kodim, dan Dinas Kesehatan dengan sasaran toko
/ warung yang menjual minuman keras tanpa izin.
d. Patroli rutin terhadap pelanggaran Peraturan Daerah untuk pengendalian
Kamtibcarlantas dilakukan patroli untuk mencegah terjadinya pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi, patroli ini bersifat prefentif dengan tujuan menekan
kecenderungan para pengemudi dan masyarakat pemakai jalan untuk ditertibkan,
Patroli ini dilakukan rutin setiap hari baik secara terpadu maupun fungsional.
e. Penjagaan tempat-tempat rawan pelanggaran. Mengingat bahwa para pemakai
jalan belum sepenuhnya mentaati peraturan atau rambu-rambu lalu lintas yang ada
maka pada jam-jam sibuk ditempatkan petugas penjaga bersama-sama dengan
petugas Kepolisian dan Dinas Perhubungan dan Pariwisata.
f. Patroli Kewilayahan. Dalam rangka menggiatkan kegiatan Gerakan Siskampling di
desa-desa dilakukan patroli kewilayahan yang sekaligus juga memonitor pelaksaan
tugas jaga kantor desa atau kelurahan disamping untuk meningkatkan
kewaspadaan masyarakat terhadap gangguan kamtibnas, yang dilakukan jam 22.00
sampai selesai setiap hari. Unsur-unsur yang terlibat :
- Polisi Pamong Praja
- Kepolisian Kota Medan.
g. Pembinaan sarana lalu lintas.
Pembinaan sarana lalu lintas yang menyangkut perambuan, marka jalan dan
prasarana jalan dilaksanakan secara rutin dan terpadu. Secara periodik
mengadakan rapat koordinasi dengan semua anggota tim untuk membahas
masalah-masalah yang timbul dalam rangka mewujudkan tibcarlantas dan untuk
mempertahankan Penghargaan Wahana Tata Nugraha.
h. Monitoring, evaluasi dan pelaporan.
Untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan hasil kegiatan-kegiatan operasi, selalu
diadakan monitoring untuk dievaluasi yang selanjutnya dijadikan bahan laporan
kepada Walikota Kota Medan. Dari hasil ini evaluasi tersebut digunakan sebagai
pedoman untuk menentukan langkah-langkah kegiatan yang akan datang.
i. Pengiriman personil Polisi Pamong Praja dalam diklat teknis maupun fungsional.
Guna meningkatkan profesiolisme dan kemampuan teknis dalam melaksanakan
tugas, secara berkala mengirimkan personil Polisi Pamong Praja dalam diklat
teknis maupun fungsional juga dalam rangka menyiapkan personil Polisi Pamong
Praja menjadi Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sebab sampai dengan saat ini belum
ada Polisi Pamong Praja yang menjadi PPNS.
j. Pembinaan dan pembekalan teknis bagi personil Polisi Pamong Praja.
Pembinaan dan pembekalan teknis disini bersifat intern yang dilakukan oleh
Kepala Kantor Polisi Pamong Praja dalam rangka meningkatkan kinerja Polisi
Pamong Praja dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya.
Pelaksaanaan penegakan Peraturan Daerah oleh Polisi Pamong Praja di Kota
Medan berpijak pada dasar hukum Peraturan Daerah antara lain :
1. Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2000 tentang Jalan.
2. Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 1996 tentang K-3.
3. Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 1999 tentang Izin Gangguan / HO.
4. Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2004 tentang IMB.
5. Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2004 tentang PKL atau Pedagang Kaki
Lima.
6. Peraturan Daerah Nomor 12 tahun 2004 tentang Minuman Beralkohol.
7. Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1998 tentang Usaha Rekreasi dan Hiburan
Umum.
8. Peraturan Daerah Nomor 9 tahun 1998 tentang Pajak Reklame.
9. Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 1998 tentang Pemanfaatan Air Bawah Tanah
dan Air Permukaan.
10. Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan
Pengolahan Bahan Galian Golongan C.
Perihal pelaksanaan penegakan Peraturan Daerah yang dilakukan oleh Satuan
Polisi Pamong Praja di Kota Medan tatkala dipertanyakan langsung kepada
masyarakat yang pada penelitian ini diwakili oleh dua orang pedagang pasar Petisah
maka diketahui bahwa masyarakat kurang mengetahui peran dari Satuan Polisi
Pamong Praja dalam kaitannya dengan pelaksanaan penegakan peraturan daerah.
Masyarakat hanya mengetahui bahwa tugas Satuan Polisi Pamong Praja adalah
sebagai aparatur pemerintahan yang berada di bawah perintah walikota Medan untuk
melakukan penertiban terhadap para pedagang, khususnya pedagang kaki lima.44
44 Hasil Wawancara Dengan Ibu Ida Siregar dan Harman Koto, selaku Pedagang Pasar petisah
Medan tanggal 27 Agustus 2013.
C. Faktor-Faktor Yang Menjadi Hambatan Yang Dihadapi Satuan Polisi
Pamong Praja Dalam Penegakan Peraturan Daerah Di Kota Medan Dan
Upaya Mengatasi Permasalahan Tersebut
Didalam melaksanakan kegiatan walaupun telah direncanakan dengan terarah,
pasti akan terdapat hambatan atau kendala. Begitu juga dengan Polisi Pamong Praja
dalam menegakkan Peraturan Daerah yang datangnya bisa didalam (intern) maupun
dari luar (external).
Berdasarkan hasil wawancara” Polisi Pamong Praja dalam melaksanakan tugas
penegakan Peraturan Daerah mempunyai hambatan”. Hambatan hambatan tersebut
adalah :45
1. Kelembagaan : Meskipun sudah ada program kerja tahunan tentang rencana
operasional pembinaan dan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah, namun pada pelaksanaan masyarakat di daerah (yang jauh dari pusat Kota
Kota Medan) cenderung tidak taat pada peraturan yang berlaku.
2. Sumber Daya Manusia : Adanya tuntutan masyarakat terhadap kecepatan
pelayanan oleh aparat, namun kemampuan dan ketrampilan teknis operasi kurang
memadai.
3. Jaringan Kerja : Kurangnya kerjasama dengan instansi terkait dalam rangka
penegakan Peraturan Daerah dan kurangnya peraturan yang mendasari tentang
koordinasi Polisi Pamong Praja dengan instansi lainnya.
45 Hasil Wawancara dengan Bapak Herman, selaku Kepala Sub Bagian Kepegawaian
Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013.
4. Lingkungan yang belum Kondusif : Sarana dan prasarana pendukung teknis
operasional pembinaan ketentraman dan ketertiban serta penegakan Peraturan
Daerah masih kurang. Di sisi lain terjadi penurunan tingkat kesadaran dan ketaatan
masyarakat terhadap peraturan yang berlaku.
Selain hambatan-hambatan diatas disebutkan juga gangguan- gangguan yang
terjadi di bidang ketentraman dan ketertiban yaitu :46
1. Gangguan yang di timbulkan oleh alam. Banjir yang menyebabkan berbagai
kendala dan hambatan Polisi Pamong Praja dalam melakukan tugas dilapangan
dan juga sebagai penghambat pembangunan daerah Kota Medan.
2. Gangguan yang di timbulkan oleh manusia. Perkelahian antar Pelajar di Kota
Medan juga banyak terjadi di tempat-tempat umum dan hal ini sangat meresahkan
dan mengganggu ketentraman dan ketertiban masyarakat.
3. Gangguan di bidang ekonomi. Banyak Pedagang Kaki Lima berjualan tidak pada
tempatnya atau berjualan diatas trotoar dan dipinggir jalan yang mengganggu
pengguna jalan, dan tidak sesuai dengan Tata Ruang Kota.
4. Gangguan di bidang sosial budaya. Pengamen yang banyak dijumpai di jalan
terutama di Trafik Light sangat meresahkan pengguna jalan raya.
Hal itu juga diungkapkan dari hasil wawancara ”Hambatan-hambatan dan
gangguan dalam penegakan Peraturan Daerah yang pernah saya tangani dan ketahui
adalah masalah sumber daya manusia berupa pelayanan pada masyarakat dan sosial
46 Hasil Wawancara dengan Bapak Hendro S.M. Mulianto TP Bolon, selaku Kepala Sub
Bagian Umum Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013.
budaya termasuk penanganan pengamen jalanan yang meresahkan pengguna jalan”.
Hal tersebut juga di ungkapkan dari hasil wawancara bahwa ”Pelanggaran
Peraturan Daerah di Kota Medan memang sulit diatasi kebanyakan di bidang sosial
budaya, seperti gelandangan dan pengamen jika sudah ditangkap beberapa hari
berkeliaran lagi di jalan” 47
Mungkin hal itu disebabkan oleh sanksi hukum pelanggaran yang sangat
ringan. Hal itu dikuatkan oleh Gunawan alias Cebol pengamen di Jalan Ahmad Yani
“Pengamen dan Pengemis disini tidak takut sama sekali oleh razia Polisi Pamong
Praja, paling kalau ketangkap didata lalu dilepas lagi kalau tidak dengan jaminan
keluarga”. 48
Mengenai gangguan penegakan Peraturan Daerah di Kota Medan, dilihat dari
data yang masuk ke Kantor Polisi Pamong Praja ternyata gangguan dibidang sosial
budaya menempati urutan pertama, selanjutnya dibidang ekonomi, gangguan yang
ditimbulkan manusia dan yang menempati urutan terakhir ditimbulkan oleh alam.
Secara rata- rata 35% gangguan di bidang sosial budaya, 29% oleh faktor ekonomi,
gangguan manusia 20%, terakhir yang di timbulkan alam 16%.
Dilihat dari segi aspek hukum Peraturan Daerah, sanksinya memang rendah
ditambah lagi menurut penulis di Kota Medan sangat jarang terjadi pelanggaran
Peraturan Daerah yang berat tidak seperti di daerah-daerah besar lainnya.
47 Hasil Wawancara dengan Bapak Hendro S.M. Mulianto TP Bolon, selaku Kepala Sub
Bagian Umum Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013. 48 Hasil Wawancara dengan Bapak Hendro S.M. Mulianto TP Bolon, selaku Kepala Sub
Bagian Umum Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013.
Sudah barang tentu dalam melaksanakan kegiatan yang telah direncanakan
seringkali mengalami kendala atau hambatan. Dimana hambatan atau kendala tersebut
datangnya bisa dari dalam (intern) maupun dari luar (ekstern). Demikian juga dengan
Polisi Pamong Praja Kota Medan dalam melaksanakan kegiatan yang sesuai dengan
tugas pokok dan fungsinya mengalami hambatan antara lain :
1. Kelembagaan
Meskipun sudah ada program kerja tahunan tentang rencana operasional
pembinaan dan penegakan Peraturan Daerah, namun pada masa transisi pelaksanaan
debirokrasi dan demokrasi masyarakat di daerah (yang jauh dari pusat Kota Kota
Medan) cenderung tidak taat pada peraturan yang berlaku dan hal ini disebabkan
karena belum adanya petunjuk pelaksanaan atau teknis tentang prosedur penanganan
pelanggaran terhadap Peraturan Daerah.
2. Sumber Daya Manusia
Adanya tuntutan masyarakat terhadap kecepatan dan ketepatan pelayanan oleh
Sumber Daya Manusia aparatnya, namun kemampuan dan ketrampilan teknis aparat
kurang memadai. Hal ini disebabkan belum optimalnya diklat teknis atau fungsional
bagi personil Polisi Pamong Praja.
3. Jaringan Kerja
Di dalam Polisi Pamong Praja sudah ada Tim Tibcarlantas yang merupakan
dasar dalam melakukan koordinasi dibidang ketertiban dan kelancaran lalu lintas, dan
sudah ada peraturan-peraturan dasar yang lain dalam mengatur koordinasi dengan
dinas atau instansi maupun dalam rangka pemberian kewenangan Polisi Pamong Praja.
4. Lingkungan yang Belum Kondusif.
Sarana dan prasarana pendukung teknis operasional pembinaan ketentraman
dan ketertiban serta penegakan Peraturan Daerah masih kurang. Disisi lain terjadi
penurunan tingkat kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap peraturan yang
berlaku, dimana hal ini disebabkan oleh kondisi politik yang saat ini belum mantap
(tidak menentu).
Prinsip dasar yang diambil Satuan Polisi Pamong Praja di Kota Medan dalam
penertiban dan penegakkan Peraturan Daerah adalah diupayakan tidak menimbulkan
masalah baru dan lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan dan koordinasi.
Contoh penertiban yang dilaksanakan tidak adanya hambatan yang fatal antara
lain :
1. Pembongkaran tower
2. Penghentian pembangunan rumah yang belum memiliki IMB
3. Pembongkaran rumah di bataran sungai
4. Pemindahan PKL dari trotoar.
5. Pemindahan warga yang menempati tanah PJKA.
6. Dan lain-lain.
Berdasarkan data yang diperoleh melalui pengamatan dan penelitian di
lapangan maupun berdasarkan laporan-laporan dari daerah, terdapat berbagai bentuk
dan jenis gangguan yang sering terjadi di bidang ketentraman dan ketertiban yang
pada pokoknya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Gangguan yang ditimbulkan karena alam.
Banjir yang melanda Kota Medan membuat Polisi Pamong Praja mengalami
hambatan dalam rangka penegakan Peraturan Daerah dan menghambat pembangunan
yang sedang dan akan dilaksanakan di daerah. Untuk itu Polisi Pamong Praja secara
koordinatif dengan instansi terkait memberikan bimbingan atau motivasi dan
pengawasan kepada aparat tingkat bawah dan masyarakat luas mengenai usaha dan
kegiatan penanggulangan sampah atau kebersihan lingkungan dengan sasaran pusat-
pusat kegiatan masyarakat seperti pasar, pertokoan, terminal, sekolah, pemukiman
berupa selokan, saluran gorong-gorong, genangan, pembuatan dan pemanfaatan
saluran air limbah.
2. Gangguan yang ditimbulkan oleh manusia.
Perkelahian antar pelajar di Kota Medan merupakan permasalahan yang sering
terjadi dan sangat meresahkan warga masyarakat, untuk itu Polisi Pamong Praja
melakukan penertiban pelajar pada waktu jam pelajaran di tempat-tempat umum. Dan
dalam penertiban Polisi Pamong Praja memberi penyuluhan pada para Pelajar dengan
cara mendatangi sekolah-sekolah.
3. Gangguan dibidang ekonomi.
Pedagang Kaki Lima (PKL) yang banyak dijumpai di atas trotoar atau di
pinggir jalan umum sangat mengganggu pejalan kaki, lalu lintas, kebersihan dan
keindahan lingkungan dan merusak Tata Ruang Kota, Polisi Pamong Praja berusaha
menertibkan Pedagang Kaki Lima untuk dipindahkan pada tempat yang telah
disediakan oleh Pemerintah Kota Medan.
4. Gangguan dibidang sosial budaya .
Banyak Pengamen jalanan yang mengganggu para pengguna jalan raya
disekitar wilayah kota, Polisi Pamong Praja berupaya menertibkan atau merazia
dengan cara menangkap dan mendata untuk diserahkan ke tempat rehabilitasi untuk
penampungan, penyantunan, pendidikan (panti karya), pemulihan kemampuan dan
penyaluran kembali ke daerah asal atau transmigrasi untuk mengembalikan peran
mereka sebagai masyarakat.
Prinsip dasar yang diambil Polisi Pamong Praja di Kota Medan dalam
mengatasi hambatan dalam rangka penegakkan Peraturan Daerah adalah diupayakan
tidak menimbulkan masalah baru dan lebih mengutamakan pendekatan kemanusiaan
dan koordinasi.
Berdasarkan hasil wawancara”Polisi Pamong Praja sudah cukup berupaya
dalam mengatasi hambatan-hambatan dibidang kelembagaan, sumber daya manusia,
jaringan kerja, lingkungan yang belum kondusif”.
Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut maka Polisi Pamong Praja
melakukan berbagai upaya antara lain :
1. Kelembagaan :
Penanganan pelanggaran ketentraman dan ketertiban Peraturan Daerah di wilayah
yang sama pada wilayah berbeda ditangani oleh Polisi Pamong Praja tingkat
kecamatan di bawah komando Polisi Pamong Praja.
2. Sumber Daya Manusia :
Dalam rangka peningkatan kinerja Polisi Pamong Praja di Kota Medan
rekruitment personil Polisi Pamong Praja harus sesuai ketentuan yang berlaku dan
Polisi Pamong Praja berupaya mengirimkan personilnya dalam diklat teknis
maupun fungsional.
3. Jaringan Kerja :
Menjalin kerja sama dengan instansi-instansi terkait dalam penanganan Peraturan
Daerah dengan didasari hukum yang berlaku.
4. Lingkungan yang belum kondusif :
Memberikan penyuluhan dan bimbingan terhadap masyarakat tentang Peraturan
Daerah dan personil Polisi Pamong Praja memerlukan sarana dan prasarana yang
memadai agar kinerja Polisi Pamong Praja bisa optimal.
”Polisi Pamong Praja cukup berupaya dalam mengatasi hambatan yang
dihadapi dengan mengirim personil dalam diklat teknis untuk kelembagaan dan
penyuluhan terhadap masyarakat agar terciptanya lingkungan yang kondusif”.49
49 Hasil Wawancara Dengan Bapak Rushendi, selaku Kepala Bidang Operasi dan Pembinaan
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan, tanggal 12 Mei 2013.
“Saya dan anggota Polisi Pamong Praja lainnya memang pernah di kirim
dalam diklat teknis yang bertujuan untuk mewujudkan anggota Polisi Pamong Praja
yang mampu melaksanakan tugas secara efektif dan efisien” .50
Polisi Pamong Praja dalam menegakkan Peraturan Daerah belum pernah melakukan
penindakan, paling teguran secara lesan atau tertulis tetapi Polisi Pamomg Praja sering
melakukan operasi mengenai Peraturan Daerah dan juga saya bersama pengusaha di
Kota Medan lainnya sering di beri penyuluhan tentang Peraturan Daerah.
Menurut pernyataan di atas Polisi Pamong Praja dalam mengatasi hambatan-
hambatan dalam- melaksanakan tugas dan fungsinya sudah berupaya optimal dalam
menegakan Peraturan Daerah. Upaya–upaya yang telah di lakukan dengan cara sering
melakukan pengiriman personil Polisi Pamong Praja ke dalam diklat dan penyuluhan
terhadap masyarakat tentang Peraturan Daerah. Dalam pelaksaan kegiatan operasional
Polisi Pamong Praja bekerjasama dengan instansi-instansi terkait.
Pada Bab 1V telah dijelaskan, bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Kota
Medan nomor 20 tahun 2000, Polisi Pamong Praja Kota Medan merupakan unsur
penunjang pemerintah Kota Medan dibidang ketentraman dam ketertiban masyarakat
serta melakukan penegakan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.
Dalam mewujudkan tugas dan fungsi pokoknya, Polisi Pamong Praja Kota
Medan sudah cukup berupaya optimal. Namun masih ada hambatan yang dihadapi
Polisi Pamong Praja dalam melakukan tugas penegakan Peraturan Daerah. Untuk
50 Hasil Wawancara dengan Bapak Hendro S.M. Mulianto TP Bolon, selaku Kepala Sub
Bagian Umum Satuan Polisi Pamong Praja Pemerintah Kota Medan, tanggal 11 Mei 2013.
mengatasi hambatan-hambatan tersebut maka Polisi Pamong Praja melakukan
berbagai upaya antara lain :
1. Kelembagaan
Satuan Polisi Pamong Praja disamping sebagai aparat daerah juga sangat
terkait dengan kepentingan pusat sehingga disini kedudukan Polisi Pamong Praja
sebagai perekat kesatuan bangsa, karena langkah dibidang ketentraman dan ketertiban
tidak bersifat kedaerahan akan tetapi bersifat nasional dengan demikian kepanjangan
tanganan lembaga Polisi Pamong Praja mempunyai peran yang strategis di tiap-tiap
kecamatan Satuan Polisi Pamong Praja di bawah komando langsung Kantor Polisi
Pamong Praja
2. Sumber Daya Manusia
Dalam rangka pengembangan sumber daya manusia Polisi Pamong Praja ke
depan seiring dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maka tugas
pokok dan fungsi Polisi Pamong Praja semakin luas. Untuk itu perlu didukung oleh
personil Polisi Pamong Praja yang kualitas dan kuantitasnya memenuhi kebutuhan dan
profesional di bidang tugasnya baik pada saat rekruitment maupun mengirim personil
Polisi Pamong Praja secara berkala dalam diklat teknis dan fungsional guna
peningkatan ketrampilan serta pengembangan lebih lanjut di bidang keahlian dalam
proses penyelesaian perkara.
3. Jaringan Kerja
Guna pencapaian sasaran-sasaran tugas suatu lembaga sangat memerlukan
landasan hukum dan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain. Begitu juga dengan
Polisi Pamong Praja dalam gerak operasionalnya harus didukung oleh peraturan-
peraturan yang jelas baik dalam bentuk Keputusan Presiden atau Keputusan Walikota
yang dijabarkan dalam Peraturan Daerah, sehingga dalam melaksanakan tugas pokok
dan wewenangnya mempunyai landasan yang kuat dan bekerjasama dengan instansi
terkait dalam penanganan pelanggaran Peraturan Daerah.
4. Lingkungan yang Belum Kondusif
Keberhasilan tugas suatu lembaga tidak mungkin terwujud tanpa didukung
oleh sarana dan prasarana yang memadai sesuai dengan ruang lingkup dan beban
tugas. Sehingga di Kantor Polisi Pamong Praja diperlukan kelengkapan kantor,
personil dan mobilitas serta anggaran yang memadai agar dalam melaksanakan fungsi
dan tugasnya bisa optimal.
Untuk penurunan tingkat kesadaran masyarakat terhadap hukum Peraturan
Daerah Polisi Pamong Praja memberikan penyuluhan dan bimbingan kepada
masyarakat tentang Peraturan Daerah guna terciptanya lingkungan yang kondusif.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Kedudukan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan di bawah dan bertanggung
jawab kepada Kepala Daerah melalui Sekretariat Daerah. Artinya pelaksanaan
tugas dari Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan adalah kepada Kepala Daerah.
2. Pelaksanaan penegakan peraturan daerah yang dilakukan oleh Satuan Polisi
Pamong Praja di Kota Medan Peran Polisi Pamong Praja dalam penegakkan
Peraturan Daerah dilakukan dengan cara melakukan kegiatan operasi yang
meliputi operasi dengan sistem stasioner, operasi dengan sistem mobil (Hunting),
mengadakan patroli-patroli rutin terhadap pelanggaran Peraturan Daerah,
mengadakan penjagaan tempat-tempat rawan pelanggaran Peraturan Daerah,
mengadakan patroli kewilayahan, pengiriman personil Polisi Pamong Praja dalam
diklat teknis maupun fungsional, pembinaan dan pendekatan teknis bagi personil
Polisi Pamong Praja dan penyuluhan terhadap masyarakat tentang Peraturan
Daerah.
3. Faktor-faktor yang menjadi hambatan yang dihadapi Satuan Polisi Pamong Praja
dalam penegakan peraturan daerah di Kota Medan dan upaya mengatasi
permasalahan tersebut.
Hambatan: adalah secara kelembagaan, Sumber Daya Manusia, Jaringan Kerja,
Lingkungan yang belum Kondusif
Upaya-upaya Polisi Pamong Praja dalam mengatasi hambatan yang dihadapi 71
sebagai berikut: evaluasi terhadap kelembagaan Satuan Polisi Pamong Praja,
peningkatan Sumber Daya Manusia, peningkatan jaringan kerja serta pembenahan
lingkungan yang belum kondusif menjadi kondusif.
B. Saran
1. Polisi Pamong Praja disamping sebagai aparat daerah juga sangat terkait
dengan kepentingan pemerintah Pusat, sehingga disini kedudukan Polisi
Pamong Praja sebagai perekat kesatuan bangsa, karenanya langkah dibidang
ketentraman dan ketertiban tidak boleh bersifat kedaerahan, akan tetapi bersifat
nasional.
2. Memperbanyak pengiriman personil Polisi Pamong Praja dalam diklat-diklat
teknis fungsional dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan teknis
operasional mereka di lapangan.
3. Untuk meningkatkan profesionalisme Polisi Pamong Praja Kota Medan
disamping adanya jabatan struktural, perlu dikembangkan Job fungsional.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku: Alwi, Hasan., Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005. Bagir Manan, Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian), UU Press, Yogyakarta,
2005. Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2003. Dirjen Pemerintahan Umum, Pedoman Prosedur Tetap Operasional Satuan Polisi
Pamong Praja, Departemen Dalam Negeri, Jakarta, 2005. F. Utrecht. Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Terjemahan Moh. Saleh Djindang,
Sinar Harapan, Jakarta, 1989. Hazairin, Otonomi dan Ketatanegaraan (dalam Ceramah Kongres III Serikat Sekerja
Kementrian dalam Negeri,Bogor, 3-5 Desember 1953, di muat dalam buku 7 Tahun Serikat Sekerja Kementerian Dalam Negeri (SSKDN), 1954.
Hilman Hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia, Alumni, Bandung, 1992. Irawan Soejito, Sejarah Daerah Indonesia,:Pradanya Paramita, Jakarta 1984. Masinambow, EKM, Hukum dan kemajemukan Budaya, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2000. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Alumni,
Bandung, 2002. Pedoman dan Petunjuk Polisi Pamong Praja, 1995, Jakarta, Dirjen Pemerintahan
Umum dan Otonomi Daerah (PUOD). Robert H. Lauer, Perspektif tentang Perubahan Sosial, Terjemahan alimandan, Rineka
Cipta, Jakarta, 2001. Sari Nugraha, Problematika Dalam Pengujian dan Pembatalan Perda Oleh
Pemerintah Pusat, Jurnal Hukum Bisnis, Volume 23 No. 1 Tahun 2004. S. Pamudji, Kepemimpinan Pemerintahan di Indonesia, Bina Aksara, Jakarta, 1985.
The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Republik Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1993.
Wojowasito, Kamus Umum Belanda Indonesia. PT Ichtiar baru van hoeve, Jakarta,
2003. B. Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2004 tentang Pedoman Satuan Polisi Pamong
Praja Peraturan Daerah Kota Medan No. 3 Tahun 2005 tentang Pembentukan Organisasi
dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan Peraturan Walikota Medan No. 48 Tahun 2010 tentang Tugas Pokok dan Fungsi
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan Peraturan Walikota Medan No. 8 Tahun 2012 Tentang Prosedur Tetap Operasional
Satuan Polisi Pamong Praja Kota Medan