peran utilitarianisme john stuart mill dalam etika media
TRANSCRIPT
Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media
Nadia Carolina Hutabarat
Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424
E-mail: [email protected]
Abstrak
Informasi merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi kehidupan manusia. Pentingnya informasi bagi kehidupan manusia, mendorong media untuk memberitakan informasi yang akurat. Akan tetapi aktivitas pemberitaan ini tidak selalu bebas dari masalah. Persoalan etika turut masuk di dalamnya dalam menentukan mana tindakan yang benar dan yang salah. Jurnalisme yang baik umumnya dikaitkan dengan nilai kebenaran, objektivitas, dan juga autentisitas. Bukan hanya itu saja, hal yang sering dijadikan perbincangan dalam dunia jurnalisme adalah mengenai tanggung jawab dan problem privasi. Dalam hal ini, Utilitarianisme John Stuart Mill mampu bekerja dan ia merupakan jawaban atas dilema etis yang terjadi dalam media.
Kata Kunci : dilema etis, jurnalisme, kebenaran, objektivitas, autentisitas, tanggung jawab, privasi, etika media, utilitarianisme.
The Role of John Stuart Mill’s Utilitarianism in Media Ethics
Abstract
Information is one of the things that effects human life. The importance of information for human life, enforce media to report accurate informations. However, this activity of reporting does not always free from problems. Ethics involved in deciding the right or wrong action. Ethical journalism in general usually associated with the value of truth, objectivity, and also authenticity. Moreover, other things that usually be discussed is media and journalist’s responsibility, and the problem of privacy. In this case, John Stuart Mill’s Utilitarianism affords to work and it is the answer for ethical dilemma occurring in the media.
Keywords : ethical dilemma, journalism, truth, objectivity, authenticity, responsibility, privacy, media ethics, utilitarianism.
Pendahuluan
Informasi kini telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat kontemporer dan kondisi ini
memaksa media untuk terus bergerak memberikan berita akurat bagi seluruh masyarakat.
Dalam hal ini, jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan dan
pemberitaan informasi, dengan kata lain jurnalisme merupakan bagian dari media. Istilah
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
“Media” sering diartikan sebagai medium atau sarana untuk menyampaikan informasi kepada
massa. Barbie Zelizer yang mengutip Raymond William menunjukan bahwa ‘media’
merupakan konotasi “a social”, yaitu aktivitas dan institusi dilihat sebagai agen-agen lebih
dari tujuan umum mereka1. Dalam hal ini, tujuan umum media adalah memberitakan
peristiwa dan informasi. Sebut saja sebagai contoh, salah satu fungsi media sebagai
“pengawas” kinerja pemerintahan, informasi menjadi penting demi menjaga kelangsungan
demokrasi. “Information provided the social glue as well as the grease of society,”2 sehingga
peran informasi merupakan hal yang penting. Dalam hal ini, media juga bisa didefinisikan
sebagai bangunan institusi yang bergerak dalam sebuah sistem tertentu dalam menyediakan
informasi kepada masyarakat.
Berbicara mengenai teknologi, selain teknologi pengolah data digital atau komputer
muncul, teknologi kamera juga turut membantu kemajuan dunia jurnalistik. Media bukan
hanya lagi terfokus kepada tulisan, melainkan juga terfokus pada pemberitaan yang bersifat
visual pada televisi, koran, maupun internet. Penggunaan gambar atau foto dalam sebuah
artikel dimaksudkan mampu memberikan gambaran atau bayangan bagi setiap orang yang
melihat sehingga berita tersebut lebih mudah untuk ditangkap masyarakat. Secara psikologis,
gambar atau foto mampu menarik perhatian sehingga tidak heran mengapa buku anak-anak
banyak menyelipkan gambar. Teknologi kamera sudah semakin berkembang pada abad ke
21. Berawal dari teknologi kamera obscura3, kini kamera sudah bertransformasi menjadi
kamera digital. Bagi para jurnalis, kamera merupakan sahabat dekat mereka yang tidak akan
pernah lupa untuk dibawa kemanapun mereka pergi. Mereka tidak ingin kehilangan momen
dari suatu peristiwa.
Foto jurnalistik bukan hanya persoalan memotret belaka melainkan juga memiliki
peran penting dalam menceritakan sebuah peristiwa. Informasi tanpa memberikan foto, dirasa
kurang mampu meyakinkan para pembaca. Dalam hal ini, fotografi4 merupakan hal yang
berbeda dengan melukis atau menggambar. Sekalipun istilah fotografi sering dijelaskan
sebagai proses ‘melukis menggunakan cahaya’, tetap saja fotografi berbeda dengan
1BarbieZelizer,TakingJournalismSeriously(USA:SagePublications,2004),hlm.26.2PhilipPattersondanLeeWilkins,MediaEthics:IssuesandCase8thEdition(USA:McGraw-Hill,2014),hlm.24.3KameraObscura,teknologiyangbersifatoptik.IstilahCameraObscuraberangkatdaribahasalatin,“camera”yangberartiroomdan“Obscura” yangberartidark. Dengankata laincameraobscuraberarti“darkroom.”Lihat Robert Legat , A History of Photography :From its beginnings till the 1920s,http://lnx.phototeka.it/documenti/Cenni_storici_fotografia.pdf4IstilahFotografi(dalambahasainggrisPhotography)berasaldaribahasaYunaniyaitu“Photos”yangberarticahaya dan “Grapho” yang berarti melukis/menulis. Menurut Patrick Maynard, fotografi lebih ditunjukankepada proses produksinya daripada hasil fotonya. PatrickMaynard,The Engine of Visualization: ThinkingthroughPhotography(London:CornellUniversityPress,1997),hlm.9.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
menggambar/melukis menggunakan kuas atau alat tulis lainnya. Gambar atau lukisan realis
sekalipun, tentu bukan merupakan hal yang sama dengan foto. Seorang pelukis realis akan
melukis objek rill yang ada sekalipun objek tersebut tidak ada/hadir dihadapannya (ada di
dalam pikirannya, ia memiliki gambaran akan objek real yang dilukisnya), sedangkan
fotografi, seorang fotografer melukis menggunakan cahaya dan objeknya nyata tepat berada
dihadapannya5. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mempercayai foto dibandingkan
dengan gambar atau lukisan. Pemahaman umum menunjukan bahwa foto merupakan sebuah
bukti sehingga ketika suatu berita menyertakan bukti (foto) maka berita tersebut akan lebih
dipercaya dibandingkan dengan gambar atau lukisan. Informasi yang berbentuk foto disebut
juga sebagai foto jurnalistik.
Bila dilihat dari istilahnya, foto jurnalistik (photojournalism6) merupakan gabungan
antara photography dan Journalism. Dengan kata lain, foto jurnalistik tidak lain adalah
aktivitas yang berhubungan dengan pemberitaan yang mengunakan foto sebagai media
komunikasi untuk menyampaikan sebuah berita. Sekalipun istilah ini merupakan istilah yang
terbilang cukup baru, tetapi dalam praktiknya, berita melalui foto sudah ada sebelum istilah
photojournalism digunakan.
Hal yang menjadi prinsip dalam dunia jurnalistik adalah menyangkut hak setiap
masyarakat untuk mengetahui, mencari, atau mendapatkan informasi mengenai peristiwa
yang terjadi di publik. Hal ini juga tercantum pada bagian awal pembukaan kode etik NPPA:
“The National Press Photographers Association, a professional society that promotes the
highest standards in visual journalism, acknowledges concern for every person's need both
to be fully informed about public events and to be recognized as part of the world in which
we live”7 Pendasaran atas hak seseorang untuk menerima informasi tidak berhenti disitu saja. Hak
untuk bersuara (freedom of speech) juga merupakan salah satu landasan dalam jurnalistik.
Richard Keeble yang mengutip Ian Hargeaves menunjukan bahwa freedom of speech
5“What,then,isspecialaboutphotography?Thereisonwcleardifferencebetweenphotographyandpainting.Aphotographisalwaysaphotographofsomethingwhichactuallyexist.EvenwhenphotograpghsportraysuchnonentitiesasWarewolvesandMartians,theyarenonthelessphotographsofactualthings:actors,stagesets,costumes.Paintingneedn’tpictureactualthings.ApaintingofAprodite,executedwithouttheuseofamodel,depicts nothing real. But this is by nomeans that thewhole story .” Lihat Kendall L.Walton, ”TransparentPictures:OntheNatureofPhotographicRealism,”dalamScottWalden,PhotographyandPhilosophy,EssaysonthePencilofNature.(USA:BlackwellPublishing,2008),hlm.20.6“Thecombinationofphotographyandjournalism,orphotojournalism--atermcoinedbyFrankLutherMott,historiananddeanoftheUniversityofMissouriSchoolofJournalism--reallybecamefamiliarafterWorldWarII(1939-1945).” Lihat A Brief History of Photography andPhotojournalism,http://www.ndsu.edu/pubweb/~rcollins/242photojournalism/historyofphotography.html7Ibid.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
merupakan wujud dari pendasaran demokrasi dan konsep free press muncul dari pemikiran
John Stuart Mill mengenai freedom of expression dalam tulisannya On Liberty.8 Sudah
menjadi sebuah tanggung jawab bagi media untuk menyediakan infomasi dikarenakan hak
masyarakat untuk menerima informasi. Hak tersebut juga tercantum dalam deklarasi hak
asasi manusia, setiap orang memiliki kebebasan untuk berekspresi, menyampaikan pendapat,
dan juga mendapatkan informasi.9
Dengan adanya kebebasan, persoalan etika pun turut masuk dalam rangka pemilihan
tindakan. Kebebasan juga turut menyangkut baik-buruknya seseorang sebagai manusia.
Namun, hal ini kian menjadi semakin sulit mengingat jurnalistik itu sendiri merupakan hal
yang begitu kompleks. Bukan hanya itu saja, internet telah menghubungkan antar negara
sehingga informasi dengan mudah bisa didapatkan. Dengan kata lain, peristiwa yang terjadi
di suatu tempat bisa diakses dalam waktu yang singkat sekalipun jaraknya sangat jauh. Berita
sudah semakin mendunia dan hal ini mengindikasikan bahwa terdapat tanggung jawab yang
besar atas sebuah pemberitaan.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dunia jurnalistik berupaya untuk
menyediakan dan memberikan informasi mengenai suatu peristiwa dengan landasan bahwa
setiap orang berhak untuk mengetahuinya. Untuk menjaga hal tersebut, terbentuklah kode
etik dalam foto jurnalistik. Hal yang menjadi tujuan atau primary goal bagi seorang
fotografer jurnalis adalah untuk mengahasilkan foto yang jujur (photographic truth). Seorang
fotografer jurnalis ternyata dituntut bukan hanya dalam nilai esetetis suatu foto melainkan
juga pada keaslian dan kebenaran dalam suatu peristiwa. Kata kunci dari fotojurnalistik
adalah akurasi. Jelas upaya untuk memodifikasi atau memanipulasi foto menghilangkan nilai
objektif suatu foto. Dengan demikian, fotografer jurnalistik dituntut untuk menghasilkan foto
yang apa adanya (objektif) tanpa memasukkan unsur subjektif pada foto tersebut (tidak
memihak).
Untuk cakupan yang lebih luas, persoalan etika media (dalam ranah jurnalistik),
sering berujung kepada perdebatan yang akhirnya memposisikan subjek pada kondisi dilema.
Sebagai contoh, kapankah bisa dilakukan pemberitaan secara live atau tidak, apakah baik
menggunakan kamera tersembunyi untuk mencari informasi, apakah yang akan terjadi ketika
8 “Free expressionwas essential not only for thepolitical healthof the country but for humanity’s ability toexpand itsknowledgeandprogressscientifically.”RichardKeeble,Ethics for journalistsecondedition, (USA:Routledge,2001),hlm.8.9 “Everyonehas the right to freedomofopinionandexpression; this right includes freedomtoholdopinionswithoutinterferenceandtoseek,receiveandimpartinformationandideasthroughanymediaandregardlessoffrontiers”DeclarationofHumanRoghts,article19.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
suatu informasi menyangkut informasi personal (privasi), dan begitu juga ketika ia masuk
kepada level yang lebih tinggi yang berhubungan dengan komunitasnya. Merujuk kepada
fakta, pemberitaan dalam media sering masuk pada posisi dilematis untuk menentukan
tindakan mana yang baik dan benar. Problem dalam foto jurnalistik merupakan salah satu
contoh problem yang terjadi dalam dunia pemberitaan. Dilema dalam pilihan untuk menjadi
saksi mata dan memposisikan diri diluar dari sebuah peristiwa atau turut campur dalam
sebuah peristiwa tersebut. Pertanyaan bermuatan nilai etis ini sering dihadapkan kepada
subjek yang berada pada peristiwa tragedi. Sebagai contoh peperangan, kemiskinan dan
bencana. Hal ini menjadi begitu penting, karena fotografer jurnalis turut bermain dengan
waktu (timing). Ketika ia kehilangan momen, maka ia tidak mampu memberikan gambarasn
informasi yang tepat. Perbedaan tipis mampu memberikan dampak yang signifikan juga.
Persoalan dilema etik bukan hanya terjadi kepada para fotografer jurnalis, reporter,
atau agen dalam media lainnya, mengingat dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang manusia
juga dihadapkan dengan pilihan dilematis. Persoalan ini merupakan titik beranjaknya
problem yang diangkat dalam etika media, yaitu dalam keadaan dilematis tersebut,
diperlukan adanya landasan bagi seorang jurnalis untuk bertindak sehingga bisa ditemukan
tindakan yang etis atau tepat. Melihat dari problem yang terjadi dalam dunia jurnalistik,
penulis melihat bahwa etika media memerlukan landasan untuk menjawab problem dilematis
yang terjadi.
Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian awal, penulisan skripsi ini
dilatarbelakangi oleh dilema yang dialami oleh jurnalis ketika ia dihadapkan kepada konflik,
baik konflik moral tanggung jawab ataupun konflik nilai. Melalui hal tersebut, dibutuhkan
sebuah landasan dalam pertimbangan etika untuk mendasari benar-salahnya tindakan yang
dilakukan oleh subjek yang mengalami dilema, karena dalam hal ini, panduan atau kode etik
yang ditujukan untuk seorang jurnalis belum mampu menjawab. Dalam hal ini, penalaran
dalam etika merupakan hal yang penting untuk menghindari kondisi pesimis terhadap tidak
adanya pilihan yang bisa dijustifikasi benar salahnya yang bisa berimplikasi tidak adanya lagi
putusan baik buruk dalam tindakan manusia
Setidaknya terdapat tiga aliran besar etika yang memilki prinsip masing-masing dalam
menentukan benar atau salahnya tindakan yang kita lakukan. Teori etika tersebut menunjukan
kartakteristik masing-masing yakni, berlandaskan kepada kewajiban, keutamaan dan
konsekuensi. Akan tetapi dalam hal ini, penulis mengambil teori etika Utilitarianisme sebagai
landasan dalam etika media. Banyak pemahaman umumnya yang melihat bahwa teori
utilitarianisme tidak mampu bekerja ketika diaplikasikan kedalam media dan cenderung
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
melandaskan kepada teori yang bersifat kewajiban dalam mengikuti peraturan-peraturan yang
ada dalam media. Akan tetapi penulis melihat bahwa sebaliknya, teori Utilitarianisme justru
mampu bekerja dalam etika media.
Selain prinsip etika Utilitarianisme, perlu juga dipahami mengenai nilai-nilai yang
umumnya dipegang dalam jurnalisme, baik itu jurnalisme visual maupun jurnalisme
pemberitaan yang bersifat artikel. Pada umumnya terdapat tiga karakteristik utama yang
disepakati sebagai nilai yang baik dalam jurnalisme. Ketiga hal tersebut adalah nilai
kebenaran, objektivitas dan juga autentisitas. Sekalipun demikian, ternyata pemikiran atas
nilai-nilai yang dipahami dalam jurnalisme telah mengalami perubahan pandangan dan
bahkan sampai sekarang masih diperdebatkan. Pada dasarnya, pandangan ketiga hal tersebut
masih dipahami dalam karakteristik pemikiran pada masa pencerahan, yaitu ketika masa
dimana penelitian dan ilmu sains semakin berkembang menunjukan semangat pencerahan
atau pemahaman yang bersifat korespondensi, observasi dan sebagainya.
Selain itu, nilai yang paling umum diperbincangkan dalam jurnlisme adalah mengenai
nilai tanggung jawab dan nilai privasi, tentunya hal ini bukan tetutup kepada kedua hal
tersebut karena terdapat juga persoalan lainnya yang secara tidak langsung tercakup
didalamnya. Tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang jurnalis, dianggap sebagai tanggung
jawab sosial terhadap masyarakat. Dengan kata lain, jurnalis berkerja untuk menyediakan
informasi kepada masyarakat demi memenuhi kebutuhan publik. Namun, upaya pemberitaan
mengenai hal yang mengandung kebutuhan masyarakat terkadang sering bertolak belakang
dengan nilai privasi. Dikotomi publik dan privasi menjadi persoalan yang juga turut
diperdebatkan. Privasi merupakan kebutuhan manusia, namun dilain hal, intrusi terhadap
privasi bisa saja terpaksa dilakukan untuk mendapatkan kebenaran terutama untuk
mengungkap kasus-kasus kriminal yang meresahkan masyarakat.
Pada akhirnya, persoalan dilema tersebut merupakan kajian atau persoalan dalam
etika media. Etika media merupakan analisis kritis terhadap moral yang masuk dalam lingkup
media dengan berpacu kepada tiga karakter teori etika yang telah disebutkan sebelumnya.
Masuk dalam hal ini, penulis melihat bahwa landasan yang paling umum digunakan dalam
media adalah asas kemanfaatan dalam artian mana yang baik dan berguna untuk diberitakan
kepada masyarakat merupakan hal yang sepantasnya dimaksimalkan atau dijunjung dengan
catatan sebisa mungkin tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi masyarakat banyak.
Melalui tulisan ini, penulis ingin menunjnukan bahwa Utilitarianisme John Stuart Mill
dapat diterapkan dan merupakan jalan keluar untuk menjawab dilema etis serta menegakkan
etika media. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai landasan teori etika dalam
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
media dan dilanjutkan dengan teori utilitarianisme John Stuart Mill. Pada bagian
pembahasan, penulis juga akan menganalisis kerja utilitarianisme dalam etikia media.
Tinjauan Teoritis
Untuk menganalisis problem dilema etika dalam media, penulis menggunakan
pemikiran John Stuart Mill mengenai etika Utilitarianisme. Etika Utilitarianisme merupakan
salah satu cabang dari teori etika konsekunsionalisme. Dengan kata lain, suatu tindakan
dikatakan benar atau salah dilihat dari konsekuensinya. Merujuk pada teori Utilitarianisme,
suatu tindakan dikatakan benar atau salah dilihat dari sejauh apakah tindakan tersebut
menimbulkan kegunaan atau kebahagiaan bagi orang banyak. Pemikiran ini beranjak dari
pemikiran Bentham, moralitas suatu tindakan ditentukan oleh penimbangan apakah tindakan
tersebut bisa menghasilkan kegunaan atau kebahagiaan bagi masyarakat banyak. Prinsip
inilah yang kemudian dirumuskan dalam “the greatest happiness for the greatest number.”
Mill mengungkap pikiran yang tidak jauh berbeda dengan prinsip itu, tetapi ia mengkritik
Bentham. Alasannya, bagi Mill moralitas tindakan bukan hanya ditentukan secara kuantitas
melainkan juga kualitas. Bentham menunjukan bahwa hasil dari perhitungan sisi negatif dan
positif, apabila menghasilkan selisih yang positif, maka tindakan tersebut dikatakan benar,
sebaliknya apabila menghasilkan selisih yang negatif, maka tindakan tersebut bukan tidakan
yang buruk/tidak menghasilkan utilitas. Berbeda dengan Bentham, Mill menekankan pada
kualitas kebahagiaan yang dihasilkan dari suatu tindakan. Mill melihat kebahagiaan mana
yang lebih berkualitas, apakah kebahagiaan seseorang yang sedang menonton TV atau
kebahagiaan yang lebih daripada hal itu.
Melalui hal tersebut, penulis menekankan landasan teori pada utilitarianisme John
Stuart Mill. Menurut teori Utilitarianisme Mill, suatu tindakan dikatakan benar apabila
menghasilkan manfaat dan mendatangkan kebahagiaan yang berkualitas, dan menjauhkan
seseorang dari keburukan. Dengan demikian, tindakan yang menghasilkan keburukan dan
penderitaan bagi banyak orang merupakan tindakan yang tidak benar. Kebahagiaan dan
kebebasaan kita dari penderitaan inilah yang diinginkan sebagai tujuan.10 Kebahagiaan
berkualitas yang disebutkan oleh Mill menujukan bahwa kualitas kebahagiaan memiliki
tingkat tertentu dan berbeda-beda, merujuk pada tulisannya, pleasure yang dimaksud bukan
hanya berlaku bagi orang yang bersangkutan tetapi juga menyangkut pada banyak orang. Hal
10JohnStuartMill,“Utilitarianism“dalamMaryWarnock,UtilitarianismandOnliberty,IncludingMill’s‘EssayonBentham’andselectionsfromthewritingsofJeremyBenthamandJohnAustin(USA:BlackwellPublishing,2003),hlm.186.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
ini dijelaskan dengan: ketika sejumlah orang telah mengalami dua pleasure yang berbeda,
maka salah satu pleasure yang merupakan pilihan terbanyak layak dijadikan tujuan11
Pembahasan
1. Landasan Teori Etika dalam Media
Jurnalisme tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau perdebatan mengenai nilai
kebenaran, obejektivitas dan autentisitas. Seiring perkembangan filsafat sejak dahulu kala,
masih memperdebatkan mengenai ketiga hal tersebut. Dalam ranah epistemologi, terdapat
dua teori kebenaran yaitu korespondensi dan koherensi. Hal ini juga bisa nampak dalam
dunia jurnalisme. Korespondensi adalah ketika apa yang diberitakan benar-benar
berkorespondensi dengan kenyataan. Koherensisi adalah ketika pemberitaan sesuai dengan
informasi lainnya, atau dengan kata lain koheren dengan data-data yang ada. Lain hal dengan
pandangan Pragmatis, kebenaran dikatakan sebagai apa yang mampu bekerja. Ketika sesuatu
mampu berguna dan bekerja maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai kebenaran.
Nampak bahwa dunia jurnalisme masa kini, kebenarannya bertumpu pada teori
korespondensi. Adanya korespondensi dengan realitas sesungguhnya yang “ditangkap” dalam
foto menyebabkan munculnya pemahaman tradisional bahwa foto merupakan kebenaran. Hal
ini merupakan konsep awal kemunculan logika berpikir “seeing is believing” karena foto
merupakan kebenaran dan tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Kebenaran dalam
hal ini dioposisikan dengan fiksi. Dengan demikian, ketika membicarakan mengenai
kebenaran dalam jurnalisme, nilai tersebut terletak pada pendekatan yang dilakukan seorang
jurnalis yaitu harus merujuk atau sesuai dengan konteks peristiwa yang ada. Hal ini memang
terkesan rumit karena terlihat bahwa kebenaran merupakan konsep ideal yang memerlukan
banyak ketelitian. Namun dengan demikian dibutuhkan sebuah latihan bagi para jurnalis
untuk memberitakan kebenaran. Phillip Patterson mengutip pemikiran Sissela Bok
menjelaskan bahwa menceritakan kebenaran bukan hanya sekadar persoalan moral,
melainkan juga persoalan apresiasi dan refleksi serius terhadap situasi nyata.12
Objektif dalam hal ini diartikan dengan tidak adanya unsur subjektif yang masuk
dalam proses pengumpulan berita. Objektif yang dioposisikan dengan subjektif menandakan
bahwa seorang jurnalis harus mampu membedakan mana fakta dan mana yang opini serta
memisahkan perasaan, emosi, dan interpretasi terhadap sebuah objek. Umumnya dunia
11Ibid.,hlm.187.12PhillipPattersonandLeeWilkins,op.cit.,hlm.25.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
jurnalisme menjelaskan bahwa hal yang objektif adalah dengan memberikan informasi dadi
keduabelah pihak atau lebih. Hal ini menjadi nampak seperti hal yang bersifat prosedural.
Akan tetapi memandangn objektivitas dalam kacamata filsafat, hal ini masih menjadi
perdebatan. Apakah hal yang obejektif mampu dicapai?
Oleh karena itu, muncul beberapa pandangan yang tak jarang mengkritik konsep
objektivitas yang bersifat positivistik. Melihat esai yang ditulis oleh Matthew Kieran
mengenai kritik terhadap objektivitas yang dilayangkan oleh Richard Rorty, nampak terdapat
beberapa poin yang bisa diperhatikan.13 Rorty menekankan kepada kontingensi dalam
pemikiran hermeneutikanya. Ia berpendapat bahwa epistemologi berupaya mencari
kebenaran seutuhnya yang objektif, namun hal tersebut baginya tidak bisa dijustifikasi.
Dalam hal ini, Rorty melayangkan kritik dalam ranah epistemologi. Baginya kebenaran
merupakan sesuatu yang sifatnya dibuat dan bukan ditemukan. Kritik terhadap objektivitas
ini di satu sisi memunculkan konsekuensi yang cukup ekstrim. Hal ini mampu berimplikasi
pada banyaknya dan beragamnya interpretasi terhadap informasi. Oleh karena itu, untuk
mendamaikannya, objektivitas bisa disebutkan sebagai bagaimana seorang jurnalis
melakukan pendekatan sekritis mungkin terhadap sebuah peristiwa.
Dalam hal ini, nilai autentisitas yang diangkat merupakan konsep yang berfokus
kepada nilai autentisitas sebuah laporan baik ia bersifat tulisan, laporan reporter, rekaman
maupun foto. Autentisitas atau otentik umumnya diartikan sebagai keaslian, originalitas,
kebenaran dan sebagainya. Foto umumnya disebutkan sebagai data autentik . Dalam hal ini
nilai autentisitas menjadi penting untuk menghindari kemunculannya alterasi atau modifikasi
foto. Autentisitas foto juga didukung dengan keterangan yang sesuai dengan konteks foto.
Nilai autentisitas menunjukan pentingnya akurasi35 dalam pengumpulan berita tersebut.
Dibutuhkan ketepatan dalam sebuah foto untuk mampu menggambarkan sepenuhnya
peristiwa yang terjadi. Ketepatan pemilihan bahasa untuk menjelaskan konteks juga niscaya
penting untuk mengarahkan para pembaca pada konteks (situasi faktual) yang terjadi.
Selain perdebatan mengenai nilai kebenaran, objektivitas dan autentisitas, terdapat
dua hal lain yang sering menjadi perbindangan dalam etika media, yaitu nilai tanggun jawab
dan nilai privasi. Dunia jurnalisme menekankan nilai tanggung jawab atas dasar memenuhi
hak seluruh masyarakat yaitu untuk menyediakan informasi (right to know). Hal ini juga
berkaitan dengan kebebasan pers (freedom of expressuion), yakni seorang jurnalis memiliki
kebebasan untuk berkspresi. Akan tetapi, kebebasan dalam hal ini bukan berarti memberikan 13MatthewKieran,“Objectivity,ImpartialityandGoodJournalism,”dalamMediaEthics(NewYork:Routledge,1998),hlm.24.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
lampu hijau kepada setipa tindakan yang dilakukan oleh pers. Jurnalis bertanggung kawab
atas setiap pemberitaan yang ia pubilkasikan. Hal ini sangat penting mengingat efek atau
konsekuensi yang dihasilkan dari sebuah berita.
Dikotomi antara ruang publik dan ruang privasi juga turut menjadi persoalan sensitif
dan kerap menjadi perdebatan dalam dunia jurnalisme. Terdapat beberapa pengertian
mengenai privasi dan beberapa kesalahan dalam mendefinisikan privasi. Dalam ranah
informasi, Parent mendefinisikan privasi sebagai “the condition of not having undocumented
personal knowledge about one possessed by others.”14 Sederhananya, privasi bisa dipahami
dengan kondisi dimana saya (dan orang lain) tidak mengetahui informasi personal tentang
seseorang tersebut. Masih dalam pendefinisian yang dirumuskan oleh Parent, ia menjelaskan
bahwa “informasi personal” adalah fakta tentang seseorang yang tidak terbuka untuk orang
lain. Fakta tersebut umumnya merupakan hal yang bersifat sensitif sehingga tidak tersingkap
bagi orang lain kecuali suami/istri, keluarga, atau sahabat dekat. Perdebatan yang muncul
adalah bagaimana seorang jurnalis menimbang apakah privasi seseorang bisa diintrusi demi
memberikan informasi kepada masyarakat. Kembali lagi, konsekuensi merupakan hal yang
patut dipertimbangkan.
2. Teori Utilitarianisme John Stuart Mill
Utilitarianisme merupakan salah satu teori etika konsekuensionaliasme. Dengan kata
lain, justifikasi suatu tindakan bisa dikatakan benar atau salah hanya dengan meoihat
konsekuensi yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan teori etika kewajiban yang
berlandaskan kepada kewajiban itu sendiri. Teori utilitarianisme merupakan teori yang
dikermbangkan oleh John Stuart Mill setelah sebelumnya dikembangkan oleh pamannya
Jeremy Bentham. “Utility” sebagai kata dasar dari Utilitarianisme, sering dianggap rendah
dan hanya sebagai pembahasan keseharian saja mengenai mana yang bermanfaat, yang
berguna dan sebagainya. Sebelumnya disebutkan bahwa konsep prinsip kegunaan bergerak
dari obsesi untuk menemukan sebuah fondasi dasar yang bisa dijadikan panduan dalam
banyak hal termasuk sebagai landasan moralitas. Pembelaan Mill yang pertama bertumpu
pada sangkalan bahwa prinsip kegunaan tidak bertolak belakang dengan kebahagiaan
melainkan konsep tersebut memiliki makna tertuju kepada tujuan akhir yaitu kebahagiaan itu
sendiri. Dengan demikian, prinsip kegunaan ini berbunyi bahwa suatu tindakan harus
14W.A.Parent,“Privacy,MoralityandtheLaw,”dalamElliotD.Cohen,PhilosphicalIssuesinJournalism(NewYork:OxfordUniversityPress,1992),hlm.92.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
dianggap benar apabila ia cenderung mendukung kebahagiaan, salah apabila ia cenderung
menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan15. Justifikasi benar atau salah suatu tindakan dilihat
dari apakah tindakan tersebut mampu mendorong kebahagian atau sebaliknya tindakan
tersebut justru mengahasilkan kebalikan dari kebahagiaan yaitu rasa sakit. Prinsip ini tidak
memiliki kontradikisi ketika ia dijadikan sebagai landasan dalam persoalan moralitas. Sejauh
ini kita bisa melihat rumusan pertama (first principle) atas apa yang dikemukakan oleh Mill,
yaitu prinsip kegunaan sebagai landasan moralitas.
Nilai yang diangkat oleh John Stuart Mill adalah bahwa kenikmatan dan kebebasan
dari perasaan sakit merupakan tujuan karena kedua hal tersebut merupakan hal yang
diinginkan demi dirinya sendiri. Standar moralitas Utilitarianisme terbentuk dengan landasan
mengusahakan kenikmatan dan menghindari atau mencegah munculnya perasaan sakit.
Kebahagiaan sebagai dasar merupakan teori nilai dalam Utilitarianisme dan sebutannya
adalah teori kebahagiaan terbesar karena efek dari suatu tindakan bukan hanya untuk
menunjang kebahagiaan seseorang saja melainkan mampu menimbulkan kebahagiaan lain
bagi setiap orang yang bersangkutan. Hal ini merupakan rumusan lanjutan setelah prinsip
utilitas.
Dalam hal ini, Mill mengkoreksi pemikiran pamannya karena utilitarian Benthamite
tak jarang mendapat cemooh dari orang-orang yang membacanya dengan sebutan ‘pig
philosophy’. Kenikmatan yang disamaratakan (equal) , dengan kata lain kenikmatan seekor
babi dianggap setara dengan kenikmatan seorang manusia (sama-sama baik). Bentham hanya
memperhitungkan kuantitas dari kenikmatan yang didapatkan. Melalui hal tersebut, setiap
kebahagiaan dianggap sama baiknya. Koreksi Mill tertuju kepada kebahagiaan atas
kenikmatan yang lebih sejati dalam arti bukan sekedar kenikmatan jasmani melainkan rohani
atau juga yang bersifat kenikmatan intelektual. Kenikmatan juga memiliki kualitas tertentu.
Salah satu pernyataan Mill yang cukup terkenal ketika membicarakan mengenai konsep
kenikmataan disebutkan dalam: “It is better to be a human being dissatisfied than a pig
satisfied; better to be Socrates dissatisfied than a fool satisfied.”16
Pemikiran Bentham yang dilanjutkan oleh Mill akhirnya menjadi salah satu
beranjaknya variasi dari teori Utilitarianisme. Sebagai landasan moralitas, justifikasi benar
15“Thecreedwhichacceptsasthefoundationofmorals,Utility,ortheGreatestHappinessPrinciple,holdsthatactionsarerightinproportionastheytendtopromotehappiness,wrongastheytendtoproducethereverseofhappiness.” John Stuart Mill (1861) “Utilitarianism” dalam Mary Warnock, Utilitarianism and On liberty,IncludingMill’s‘EssayonBentham’andselectionsfromthewritingsofJeremyBenthamandJohnAustin(USA:BlackwellPublishing,2003),hlm.186.16Ibid.,hlm.188.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
salah suatu tindakan secara objektif ditentukan dari konsekuensi yang dihasilkan, benar
apabila tindakan tersebut mampu memberikan efek baik kepada banyak orang; salah apabila
konsekuensi yang dihasilkan justru menjauhkan banyak orang dari kebahagiaan (kebaikan).
Pada dasarnya pemikiran Mill berimplikasi terhadap kemunculan dua pemahaman terhadap
Utilitarianisme. Keduanya adalah Utilitarianisme tindakan (act utilitarianism) dan
Utilitarianisme aturan (rule utilitarianism). Dikotomi Utilitarianisme ini bukan merupakan
hasil pemikiran Mill sendiri, melainkan pemahaman pemikir setelahnya.
Act Utilitarianism merupakan Utilitarianisme yang melihat justifikasi benar salah
dilihat dari hasil langsung suatu tindakan. Dalam hal ini konsekuensi dilihat dari hasil apa
saja yang langsung dihasilkan ketika melakukan tindakan. Apakah hal tersebut mampu
memaksimalkan kebahagiaan atau tidak. Lain dengan rule utilitarianism, suatu tindakan
secara objektif benar apabila ia sesuai dengan peraturan yang mampu menunjang
kebahagiaan bagi banyak pihak. Melalui hal ini, rule utilitarianism menunjukan adanya dua
hal: (1) suatu tindakan partikular merupakan tindakan yang benar apabila ia sesuai dengan
aturan moral dan (2) suatu aturan moral bisa dijustifikasi benar apabila aturan tersebut
mampu memberikan kebahagiaan.17 Melalui Utilitarianisme aturan, berbohong merupakan
tindakan yang salah akibat ia berlawanan atau tidak sesuai dengan aturan yang mampu
mempromosikan kebahagiaan. Lain dengan Utilitarianisme tindakan, dimana ketika
berbohong tersebut mampu memaksimalkan kebahagiaan atau kebaikan maka ia merupakan
tindakan yang benar. Dalam Utilitarianisme aturan, nilai moral atau aturan moral yang
berlaku patut dijadikan pertimbangan untuk menentukan aturan manakah yang mampu
menunjang kebahagiaan. Untuk memikirkan kepentingan yang langsung terkena dampak dari
suatu tindakan merupakan hal yang sudah cukup bagi Mill, terlebih lagi ketika ia memikirkan
dampak yang akan terjadi ketika semua orang melakukan tindakan.18
Dalam hal ini, ketika dihadapkan kepada kasus partikular, Mill lebih cocok
disebutkan sebagai seorang multi-level act utilitarianism.19 Act utilitarianism Mill terlihat
dari first principle-nya, sedangkan multi-level-nya terlihat dari bagaimana secondary
principle, dalam istilah Mill disebut sebagai customary morality, dijadikan pertimbangan
juga. Dengan kata lain, suatu tindakan yang benar adalah tindakan partikular yang mampu
memaksimalkan kebaikan dengan memerlukan panduan yaitu aturan moral yang ada. Dalam
hal ini Mill sendiri menganalogikannya dengan bagaimana seorang pelayar menggunakan
17LihatRogerCrisp,MillonUitilitarianism(London:Routledge,1997),hlm.102.18FranzMagnisSuseno,op.cit.,hlm.175.19Ibid.,hlm.113.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
Nautical Almanack sebelum ketika ia berlayar.20 Aturan moral merupakan hal yang dibuat
dengan merujuk kepada pengalaman yang telah terjadi di masa lampau. Sebagai contoh,
membunuh, merujuk pada pengalaman, tindakan tersebut mampu memberika konsekuensi
yang merugikan. Dengan demikian, aturan moral pada umumnya mengatakan pelarangan
untuk membunuh. Namun, merujuk kepada Mill, untuk kasus tertentu, melanggar aturan
moral juga mampu memaksimalkan kebaikan dan tindakan tersebut bisa disebutkan sebagai
tindakan yang benar.
Selain itu, ketika tejadi konflik antara aturan moral (secondary principle) yang ada
di masyarakat, maka yang bisa dilakukan adalah kembali kepada prinsip pertama sebagai
basis penentuan tindakan. Melalui hal ini, nampak bahwa Mill menginginkan kita untuk tetap
mengikuti peraturan moral yang ada apabila tidak terjadi konflik diantaranya. Namun, ketika
terjadi konflik antar aturan moral di masyarakat, maka dalam hal ini first principle harus
muncul sebagai landasan.
3. Analisis Teori Utilitarianisme dalam Etika Media
Melihat pemikiran Mill yang menunjukan terdapat dua prinsip yaitu prinsip pertama
dan kedua. Pada dasarnya dalam persoalan etika media, nilai-nilai dalam media (kebenaran,
objektivitas, autentisitas, tanggung jawab dan privasi merupakan secondary principle. Ketika
kelima hal tersebut tidak bertentangan atau bertabrakan maka, prinsip pertama tidak harus
muncul. Akan tetapi, ketika terjadi dilema ketika dua hal atau lebih berseinggungan, maka hal
yang bisa dilakukan adalah dengan kembali kepada prinsip utama (first prinsiple), yaitu mana
yang mampou memberikan konsekuensi yang paling menghasilkan kebaikan. Bila
memandang sebuah kasus dilema etika melalui perspektif teori Utilitarianisme John Stuart
Mill sebagai landasannya, first principle (atau prinsip kegunaan tersebut) merupakan jalan
keluar untuk menjawab konflik antar aturan moral yang dihadapi seseorang. “We must
remember that only in these cases of conflict between secondary principles is it requisite that
first pinciples should be appleaed to.”21 Perdebatan mengenai nilai ataupun aturan moral
yang ada, menunjukan posisi dilema bagi seorang jurnalis dalam menentukan mana yang
lebih baik. Hal ini menunjukan bahwa masing-masing aturan moral merupakan hal yang
penting. Oleh karena itu, satu hal yang bisa dipahami adalah teori ini membantu memberikan
pertimbangan dalam menentukan pilihan dalam dilema, dengan bertumpu kepada prinsip
20JohnStuartMill,op.cit.,hlm.200-201.21Ibid.,hlm.202.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
kegunaan, tindakan manakah yang mampu memberikan konsekuensi yang paling baik dan
juga paling meminimalkan hal yang merugikan/membahayakan.
Melihat tindakan yang dilakukan oleh Carter, kasus mengenai foto anak kecil
kelaparan di Sudan merupakan salah satu kasus yang menunjukan bahwa utilitarianisme
mampu bekerja dalam etika media. Melalui perspekttif Utilitarianisme, foto tersebut mampu
memberikan konsekuensi pada meningkatnya kepedulian masyarakat luas terhadap wilayah-
wilayah yang memprihatinkan dan membutuhkan pertolongan terutama wilayah Sudan.
Apabila pada saat itu ia memilih untuk menolong dan mengantarkan anak tersebut ke tempat
makan dan tidak menghasilkan foto tersebut, maka apa yang berlangsung disana hanya
diketahui kalangan yang terlibat di lokasi tersebut. Dengan demikian tanpa foto itu,
masyarakat dunia tidak mengetahui situasi yang terjadi di Sudan dan hidup tanpa kesadaran
atas begitu memprihatinkannya sebuah peristiwa di Sudan. Dapat dilihat bahwa tindakan
yang dilakukan Carter merupakan tindakan yang berguna dan memberikan kebaikan bagi
masyarakat luas, khususnya kepada masyarakat Sudan yang memerlukan perhatian dunia
demi meningkatkan kesejahteraan. Melalui foto tersebut, ia mampu memberikan pertolongan
secara tidak langsung kepada masyarakat banyak di Sudan. Dengan demikian, dilema
dijawab dengan mengacu kepada hal yang mampu memberikan kebaikan bagi masyarakat
banyak.
Kasus Kevin Carter merupakan salah satu kasus dalam foto jurnalistik yang berakhir
menyedihkan. Lain halnya dengan “The Terror of War”, Nick Ut seorang fotografer pada
masa itu, memomtret Kim Phuc yang berlari telanjang dengan kobaran api dibelakang
punggungnya. Pada dasarnya, terdapat aturan bahwa sebuah foto tidak boleh menunjukan
ketelanjangan anak kecil tersebut. Akan tetapi melihat persitiwa siatuasi yang terjadi dalam
foto tersebut, muncul pilihan yang mampu memberikan konsekuensi yang baik bagi
masyarakat banyak yaitu dengan maksud menghentikan peperangan. Melalui perspektif
Utilitarianisme, pilihan untuk mempubilkasikan foto tersebut mampu memberikan “the
greater good.” Akan tetapi, berbeda dengan Kevin Carter yang berakhir dengan bunuh diri,
Nick Ut yang menolong Kim Phuc setelah memotretnya, akhirnya selamat dan mereka
berteman setelah kejadian tersebut.
Pentingnya memotret dan memberitakan sebuah peristiwa yang terjadi di Sudan
maupun Vietnam, ternyata juga dirasakan oleh Martin Luther King sebagaimana melihat
tragedi yang terjadi di Selma, Alabama, sebuah parade civil rights berujung kepada
kerusuhan yang memakan banyak korban. Salah satu fotografer Life Magazine, melihat
kepolisian melakukan kekerasan fisik terhadap anak kecil. Namun, ia lebih memilih untuk
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
menolong anak tersebut dan berhenti untuk mengambil gambar. Berita itu kemudian didengar
oleh Martin Luther King dimana King berbicara kepada fotografer tersebut: “The world
doesn’t know this happened, because you didn’t photograph it. I’m not being cold-blooded
about it, but it is so much more important for you to take a picture of us getting beaten up
than for you to be another person joinning the fray.”22 Melalui poin ini, bisa dilihat bahwa
peran jurnalis dalam mempublikasikan tragedi tersebut akan lebih bermanfaat, terutama
untuk menyuarakan perjuangan kaum tertindas. Nilai tanggung jawab sebagai seorang
jurnalis sebagai pewarta berita dalam kasus ini, merupakan hal yang penting, terutama dalam
kasus ini, mengangkat suara atas kesetaraan hak dan kebebasan dari penindasan tersebut
merupakan kebahagiaan yang dijunjung khalayak manusia.
Akan tetapi, diperlukan juga pemikiran kritis dalam menghadapi persoalan dalam
media, terutama ketika hal ini menyangkut self-interest, rating dan sebagainya. Konsep
kebermanfaatn dalam utilitarianisme, bukanlah sekedar kualitas kenikmatan memperoleh laba
dan rating, akan tetapi demi memberikan kebaikan bagi seluruh khalayak masyarakat.
Dengan demikian Jurnalis yang etis adalah mereka yang mengedepankan konsekuensi yang
baik dan bukan mengumbar sensasi demi mencapai rating (keuntungan pribadi).
Kesimpulan dan Refleksi Kritis
Media memerlukan etika dalam menentukan bagaimana masing-masing subjek
bertindak, baik dalam ranah jurnalisme, dalam ranah memilih hiburan (entertainment) yang
layak, begitu juga periklanan. Pertimbangan etis merupakan hal yang penting karena media
merupakan konsumsi publik, terdapat berjuta-juta manusia yang merasakan dampak dari
pemberitaan media.
Merujuk kepada teori etika yang ditujukan kedalam media, Utilitarianisme merupakan
salah satu preferensi dalam memilih pendasaran justifikasi benar salah tindakan. Sekalipun
teori ini memiliki kekurangan dan kesulitan-kesulitan tertentu ketika ia dipraktikan, pada
dasarnya ia memiliki jasa dalam filsafat atau analisis kritis terhadap moral. Teori ini secara
tidak langsung menuntut seseorang untuk berpikir kritis dan rasional dalam memahami
moral. Dalam bertindak, seseorang bukan hanya sekedar menaati dan mengikuti peraturan-
peraturan yang telah tersedia di masyarakat melainkan mampu memberikan pemahaman
mendalam atas tindakan yang dilakukan seseorang sebagai manusia. Utilitarianisme
22PatrickLeePlaisance,op.cit.,hlm.125-126.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
menciptakan suasana pertanggungjawaban: suatu keputusan, sikap dan tindakan secara moral
belum beres asal saja sesuai dengan suatu keputusan abstrak, melainkan harus dapat
dipertanggungjawabkan dari akibat-akibatnya bagi semua pihak yang terkena.23
Teori ini menuntut manusia untuk bertindak atau bergerak menuju kepada
konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan diinginkan individu dan masyarakat secara
kumulatif. Dengan demikian, selain ia menghargai adanya kebebasan manusia, teori ini juga
memberikan pemahaman mendasar bahwa akibat-akibat yang dihasilkan seseorang
merupakan tanggung jawab dirinya. Dengan demikian, akibat buruk yang kita hasilkan tidak
bisa dilimpahkan kepada orang lain atau kepada peraturan. Lain halnya ketika seseorang
bertindak sekedar mengikuti peraturan, ia terpaksa untuk menuruti peraturan sehingga ia bisa
saja menyalahkan peraturan tersebut dan bukan menyalahi dirinya sendiri. Arthur Dyck,
seorang etikawan Harvard, sebagaimana yang dikutip oleh Philip Patterson, mengatakan
bahwa teori Utilitarianisme telah membuktikan dirinya bahwa ia mampu berhubungan baik
dengan pemikiran barat, terutama mengenai hak asasi :
“He took the view that the rightness or wrongness of any action is decided by its
consequences.... His particular understanding of what is best on the whole was
that which things bring about the most happiness or the least suffering, i.e., the
best balance of pleasure over pain for the greatest number”24
Untuk menyikapi perihal moral media pada masa kini, nampak bahwa terdapat
pemahaman yang kurang kritis atas utilitarianisme. Prinsip kegunaan yang diusung oleh
Mill, melatih manusia untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang seharusnya dimaksimalkan.
Dalam hal ini tujuan media dalam memberikan informasi nampak bias. Apakah azas
kebermanfaatan ditujukan untuk kebaikan masyarakat umum, atau malah dikaitkan dengan
persoalan ekonomi yaitu mencari keuntungan ekonomi untuk pihak-pihak tertentu, misalnya
rating. Terdapat penyalahgunaan terhadap prinsip ini, demi mencapai interest, padahal
menurut Mill, yang seharusnya dipertimbangkan adalah kebahagiaan khalayak umum.
Melalui teori Utilitarisnisme John Stuart Mill, justifikasi benar atau salah bisa
dilakukan dengan melihat konsekuensi yang dihasilkan. Mill sendiri meyakini bahwa
manusia memiliki kemampuan untuk memikirkan konsekuensi karena manusia mampu
belajar dari pengalaman masa lalu. Akan tetapi, dalam hal ini, diperlukan thought
experiments untuk menganalisis kerja utilitarianisme. Bagaimana ketika subjek dihadapkan
bahkan kepada situasi yang ekstrim? Andaikan saja dalam the trolley problem, dimana 23FranzMagnisSuseno,op.cit.,hlm.125.24PatrickLeePlaisance,op.cit.,hlm.125.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
seseorang dihadapkan pada pilihan membiarkan trolley tersebut membunuh 5 orang atau
mengarahkan trolley tersebut ke jalur yang lain dimana hanya terdapat satu orang. Jawaban
Utilitarianisme menunjukan bahwa mengarahkan trolley tersebut ke jalur yang hanya terdapat
satu orang merupakan tindakan yang benar. Namun, andaikan beberapa lama kemudian,
seorang yang terbunuh tersebut ternyata dikabarkan sebagai donor organ untuk kelima orang
pekerja tersebut. Akhirnya kelima pekerja tersebut kehilangan pendonornya. Dalam hal ini,
nampak bahwa Utilitarianisme mengalami kesulitan, berawal dari maksud untuk memperoleh
kebahagiaan tersbesar, ternyata bisa berakhir tidak mampu memaksimalkan kebaikan. Selain
itu, hal ini juga menunjukan bahwa terdapat penundaan (delay) dalam justifikasi benar atau
salah dari suatu tindakan.
Mengkritisi Utilitarianisme dalam persoalan masa kini, salah satu kasus yang bisa
diangkat adalah mengenai kematian seorang anak kecil bernama Engeline di Bali.25 Kematian
Engeline mengakibatkan maraknya media menampilkan foto Engeline bahkan terdapat juga
media yang mempublikasikan foto mayat Engeline tanpa melakukan sensor. Apakah
Utilitarianisme dalam hal ini bekerja?
Untuk melihat kasus Engeline, pada dasarnya bisa dilihat bahwa tujuan pemublikasian
kisah Engeline tersebut bermaksud untuk memberikan informasi yaitu mengenai kematian
seorang anak kecil yang belum diketahui pembunuhnya. Awalnya Engeline dikabarkan
hilang, bahkan sudah disebarkan pamflet untuk disebarkan dengan tujuan supaya masyarakat
membantu untuk mencari dimana Engeline. Namun, beberapa lama setelah keluarga
melaporkan kehilangan Engeline, polisi kembali menyelidiki rumah tempat dimana ia tinggal
dan ternyata tubuh Engeline ditemukan terkubur dibelakang kandang ayam.
Terdapat institusi media yang menampilkan foto jelas mayat Engeline di media sosial.
Hal ini kembali menjadi pertanyaan apakah tindakan institusi tersebut merupakan tindakan
etis atau tidak. Selain itu, seiring dengan berita yang menyedihkan mengenai kematian
Engeline, muncul publikasi foto Engeline di berbagai media, terutama dalam media sosial
seperti twitter.
Dalam hal ini, jurnalis dan media harus kritis dalam menentukan pilihan untuk
mempublikasikan foto-foto tersebut atau tidak. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab
sebelumnya, salah satu goal dalam aktivitas jurnalisme adalah dengan mengurangi atau
25LihatAngelinedanDistorsiPesan,http://koepang.com/angeline-dan-distorsi-pesan-2/Diaksespada12Juni2013,pukul18.20.LihatAngelineditemukanTerkubur,KPAIIngatkanparaOrangTua,http://www.kpai.go.id/berita/angeline-ditemukan-terkubur-kpai-ingatkan-para-orang-tua/,Diaksespada12Juni2013,pukul19.05.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
meminimalisir hal-hal yang merugikan (minimize harm). Akan tetapi, dalam hal ini
mempublikasikan foto Engeline merupakan salah satu bentuk yang mampu memberikan
kerugian. Salah satunya adalah memberikan dampak traumatis kepada keluarga dan semua
pihak yang terkait dengan kasus Engeline. Untuk hal ini, penggunaan foto untuk memberikan
informasi juga tidak bisa dilakukan dengan berlebihan, karena yang terjadi bukanlah
minimize harm melainkan malah memberikan banyak kerugian dari pada kebaikan.
Persoalan mengenai foto anak kecil merupakan hal yang sensitif. Dengan demikian,
jurnalis dan media harus bertanggung jawab dalam memberikan informasi. Mereka harus
mampu memikirkan konsekuensi yang akan terjadi di masa depan. Untuk kasus Engeline,
pemberian informasi yang bermaksud untuk memberikan kebaikan, ternyata malah banyak
menimbulkan hal-hal yang merugikan.
Melihat kerja Utilitarianisme dalam media, untuk beberapa kasus ia mampu bekerja
dengan baik. Akan tetapi untuk beberapa kasus lainnya diperlukan pemikiran kritis dalam
menentukan tindakan yang benar. Sebagai kesimpulan teori Utilitarianisme di satu sisi juga
bisa memiliki kekurangan dan kegagalan bekerja dalam sebuah kasus. Namun, terlepas dari
kekuangannya, Utilitarianisme John Stuart Mill mampu memberikan refleksi dan
penghayatan terhadap pemilihan tindakan manusia, sehingga seseorang tidak bisa
sembarangan dalam menentukan pilihan karena setiap tindakan mampu memberikan
konsekuensi tertentu. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan berusaha menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi yang mampu memberikan kebaikan terbesar.
Daftar Referensi Allan, Stuart. 2010. The Routledge Companioin to News and Journalism. USA: Routledge. Bentham , Jeremy. 1789. An Introduction to the Principle of Moral and Legislation dalam
Mary Warnock. 2003. Utilitarianism adn On Liberty, Including Mill’s ‘Essay on Bentham’ and Selection from the Writings of Jeremy Bentham and John Austin. USA: Blackwell Publishing.
Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida (diterjemahkan oleh Richard Howard). New York:
Hill and Wang Cohen, Elliot D. 1992. Philosophical Issues in Journalism. New York: Oxford University
Press. Crisp, Roger. 1997. Mill on Utilitarisnism. London: Routledge J, Sudarminta. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta : Kanisius Keeble, Richard. 2001. Ethics for Journalist, second edition. USA: Routledge. Kieran, Matthew. 1998. Media Ethics. New York: Routledge. Mill, John Stuart. 1861. Utilitarianism dalam Mary Warnock. 2003. Utilitarianism and On
liberty, Including Mill’s ‘Essay on Bentham’ and selections from the writings of Jeremy Bentham and John Austin. USA: Blackwell Publishing.
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015
----------, 1859. On Liberty Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius. ----------, 1997. Tiga Belas Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius. Maynard, Patrick. The Engine of Visualization: Thinking through Photography, London:
Cornell University Press, 1997 Patterson, P dan Lee Wilkins. Media Ethics: Issues and Cases, 8th Edition, 2014, USA:
McGraw-Hill Pettit, Phillip. 1990. Consequentionalism, dalam Peter Singer. A Companion to Ethics. UK:
Blackwell. Plaisance, Patrick L. 2014. Media Ethics: Key Principles for Responsible Practice.
California: Sage Scarre, Geoffrey. 1996. Utilitarianism. USA: Routledge Sontag, Susan. 2005. On Photography New York: rosetta Books Walden, Scott. 2008. Photography and Philosophy, Essays on the Pencil of Nature. USA:
Blackwell Publishing West, Henry R.. 2004. An Introduction to Mill’s Utilitarian Ethics.UK: Cambridge
University Press Zelizer, Barbie. 2004. Taking Journalism Seriously. USA: Sage Publications. Jurnal Elliott, Deni (2007) 'Getting Mill Right', Journal of Mass Media Ethics, 22: 2, 100 — 112 Peck, L. A. (2006). A ‘‘fool satisfied’’? Journalists and Mill’s Principle of Utility. Journalism and Mass Communication Educator, 61, 205–213 Website A Brief History of Photography and Photojournalism
http://www.ndsu.edu/pubweb/~rcollins/242photojournalism/historyofphotography.html
Declaration of Human Rights, article 19 http://www.un.org/en/documents/udhr/
Ethics, internet encyclopedia of Philosophy, The type of Utilitarianism http://www.iep.utm.edu/ethics/
Code of Ethics, National Press Photographer Association https://nppa.org/code_of_ethics
Media Covered James Foley beheading: NYPost's front page like death porn (Commentary) Diakses pada 18 April 2015, pukul 01.00 http://www.imediaethics.org/News/4737/How_media_covered_james_foley_beheading__nyp
osts_front_page_like_death_porn_commentary.php PDF, Robert Leggat A History of Photography, From its beginnings till the 1920s lnx.phototeka.it/documenti/Cenni_storici_fotografia.pdf
Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015