peran utilitarianisme john stuart mill dalam etika media

19
Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media Nadia Carolina Hutabarat Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424 E-mail: [email protected] Abstrak Informasi merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi kehidupan manusia. Pentingnya informasi bagi kehidupan manusia, mendorong media untuk memberitakan informasi yang akurat. Akan tetapi aktivitas pemberitaan ini tidak selalu bebas dari masalah. Persoalan etika turut masuk di dalamnya dalam menentukan mana tindakan yang benar dan yang salah. Jurnalisme yang baik umumnya dikaitkan dengan nilai kebenaran, objektivitas, dan juga autentisitas. Bukan hanya itu saja, hal yang sering dijadikan perbincangan dalam dunia jurnalisme adalah mengenai tanggung jawab dan problem privasi. Dalam hal ini, Utilitarianisme John Stuart Mill mampu bekerja dan ia merupakan jawaban atas dilema etis yang terjadi dalam media. Kata Kunci : dilema etis, jurnalisme, kebenaran, objektivitas, autentisitas, tanggung jawab, privasi, etika media, utilitarianisme. The Role of John Stuart Mill’s Utilitarianism in Media Ethics Abstract Information is one of the things that effects human life. The importance of information for human life, enforce media to report accurate informations. However, this activity of reporting does not always free from problems. Ethics involved in deciding the right or wrong action. Ethical journalism in general usually associated with the value of truth, objectivity, and also authenticity. Moreover, other things that usually be discussed is media and journalist’s responsibility, and the problem of privacy. In this case, John Stuart Mill’s Utilitarianism affords to work and it is the answer for ethical dilemma occurring in the media. Keywords : ethical dilemma, journalism, truth, objectivity, authenticity, responsibility, privacy, media ethics, utilitarianism. Pendahuluan Informasi kini telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat kontemporer dan kondisi ini memaksa media untuk terus bergerak memberikan berita akurat bagi seluruh masyarakat. Dalam hal ini, jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan dan pemberitaan informasi, dengan kata lain jurnalisme merupakan bagian dari media. Istilah Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Upload: others

Post on 12-Nov-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

Nadia Carolina Hutabarat

Program Studi Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424

E-mail: [email protected]

Abstrak

Informasi merupakan salah satu hal yang turut mempengaruhi kehidupan manusia. Pentingnya informasi bagi kehidupan manusia, mendorong media untuk memberitakan informasi yang akurat. Akan tetapi aktivitas pemberitaan ini tidak selalu bebas dari masalah. Persoalan etika turut masuk di dalamnya dalam menentukan mana tindakan yang benar dan yang salah. Jurnalisme yang baik umumnya dikaitkan dengan nilai kebenaran, objektivitas, dan juga autentisitas. Bukan hanya itu saja, hal yang sering dijadikan perbincangan dalam dunia jurnalisme adalah mengenai tanggung jawab dan problem privasi. Dalam hal ini, Utilitarianisme John Stuart Mill mampu bekerja dan ia merupakan jawaban atas dilema etis yang terjadi dalam media.

Kata Kunci : dilema etis, jurnalisme, kebenaran, objektivitas, autentisitas, tanggung jawab, privasi, etika media, utilitarianisme.

The Role of John Stuart Mill’s Utilitarianism in Media Ethics

Abstract

Information is one of the things that effects human life. The importance of information for human life, enforce media to report accurate informations. However, this activity of reporting does not always free from problems. Ethics involved in deciding the right or wrong action. Ethical journalism in general usually associated with the value of truth, objectivity, and also authenticity. Moreover, other things that usually be discussed is media and journalist’s responsibility, and the problem of privacy. In this case, John Stuart Mill’s Utilitarianism affords to work and it is the answer for ethical dilemma occurring in the media.

Keywords : ethical dilemma, journalism, truth, objectivity, authenticity, responsibility, privacy, media ethics, utilitarianism.

Pendahuluan

Informasi kini telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat kontemporer dan kondisi ini

memaksa media untuk terus bergerak memberikan berita akurat bagi seluruh masyarakat.

Dalam hal ini, jurnalisme merupakan kegiatan yang berhubungan dengan pengumpulan dan

pemberitaan informasi, dengan kata lain jurnalisme merupakan bagian dari media. Istilah

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 2: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

“Media” sering diartikan sebagai medium atau sarana untuk menyampaikan informasi kepada

massa. Barbie Zelizer yang mengutip Raymond William menunjukan bahwa ‘media’

merupakan konotasi “a social”, yaitu aktivitas dan institusi dilihat sebagai agen-agen lebih

dari tujuan umum mereka1. Dalam hal ini, tujuan umum media adalah memberitakan

peristiwa dan informasi. Sebut saja sebagai contoh, salah satu fungsi media sebagai

“pengawas” kinerja pemerintahan, informasi menjadi penting demi menjaga kelangsungan

demokrasi. “Information provided the social glue as well as the grease of society,”2 sehingga

peran informasi merupakan hal yang penting. Dalam hal ini, media juga bisa didefinisikan

sebagai bangunan institusi yang bergerak dalam sebuah sistem tertentu dalam menyediakan

informasi kepada masyarakat.

Berbicara mengenai teknologi, selain teknologi pengolah data digital atau komputer

muncul, teknologi kamera juga turut membantu kemajuan dunia jurnalistik. Media bukan

hanya lagi terfokus kepada tulisan, melainkan juga terfokus pada pemberitaan yang bersifat

visual pada televisi, koran, maupun internet. Penggunaan gambar atau foto dalam sebuah

artikel dimaksudkan mampu memberikan gambaran atau bayangan bagi setiap orang yang

melihat sehingga berita tersebut lebih mudah untuk ditangkap masyarakat. Secara psikologis,

gambar atau foto mampu menarik perhatian sehingga tidak heran mengapa buku anak-anak

banyak menyelipkan gambar. Teknologi kamera sudah semakin berkembang pada abad ke

21. Berawal dari teknologi kamera obscura3, kini kamera sudah bertransformasi menjadi

kamera digital. Bagi para jurnalis, kamera merupakan sahabat dekat mereka yang tidak akan

pernah lupa untuk dibawa kemanapun mereka pergi. Mereka tidak ingin kehilangan momen

dari suatu peristiwa.

Foto jurnalistik bukan hanya persoalan memotret belaka melainkan juga memiliki

peran penting dalam menceritakan sebuah peristiwa. Informasi tanpa memberikan foto, dirasa

kurang mampu meyakinkan para pembaca. Dalam hal ini, fotografi4 merupakan hal yang

berbeda dengan melukis atau menggambar. Sekalipun istilah fotografi sering dijelaskan

sebagai proses ‘melukis menggunakan cahaya’, tetap saja fotografi berbeda dengan

1BarbieZelizer,TakingJournalismSeriously(USA:SagePublications,2004),hlm.26.2PhilipPattersondanLeeWilkins,MediaEthics:IssuesandCase8thEdition(USA:McGraw-Hill,2014),hlm.24.3KameraObscura,teknologiyangbersifatoptik.IstilahCameraObscuraberangkatdaribahasalatin,“camera”yangberartiroomdan“Obscura” yangberartidark. Dengankata laincameraobscuraberarti“darkroom.”Lihat Robert Legat , A History of Photography :From its beginnings till the 1920s,http://lnx.phototeka.it/documenti/Cenni_storici_fotografia.pdf4IstilahFotografi(dalambahasainggrisPhotography)berasaldaribahasaYunaniyaitu“Photos”yangberarticahaya dan “Grapho” yang berarti melukis/menulis. Menurut Patrick Maynard, fotografi lebih ditunjukankepada proses produksinya daripada hasil fotonya. PatrickMaynard,The Engine of Visualization: ThinkingthroughPhotography(London:CornellUniversityPress,1997),hlm.9.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 3: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

menggambar/melukis menggunakan kuas atau alat tulis lainnya. Gambar atau lukisan realis

sekalipun, tentu bukan merupakan hal yang sama dengan foto. Seorang pelukis realis akan

melukis objek rill yang ada sekalipun objek tersebut tidak ada/hadir dihadapannya (ada di

dalam pikirannya, ia memiliki gambaran akan objek real yang dilukisnya), sedangkan

fotografi, seorang fotografer melukis menggunakan cahaya dan objeknya nyata tepat berada

dihadapannya5. Dengan demikian, masyarakat akan lebih mempercayai foto dibandingkan

dengan gambar atau lukisan. Pemahaman umum menunjukan bahwa foto merupakan sebuah

bukti sehingga ketika suatu berita menyertakan bukti (foto) maka berita tersebut akan lebih

dipercaya dibandingkan dengan gambar atau lukisan. Informasi yang berbentuk foto disebut

juga sebagai foto jurnalistik.

Bila dilihat dari istilahnya, foto jurnalistik (photojournalism6) merupakan gabungan

antara photography dan Journalism. Dengan kata lain, foto jurnalistik tidak lain adalah

aktivitas yang berhubungan dengan pemberitaan yang mengunakan foto sebagai media

komunikasi untuk menyampaikan sebuah berita. Sekalipun istilah ini merupakan istilah yang

terbilang cukup baru, tetapi dalam praktiknya, berita melalui foto sudah ada sebelum istilah

photojournalism digunakan.

Hal yang menjadi prinsip dalam dunia jurnalistik adalah menyangkut hak setiap

masyarakat untuk mengetahui, mencari, atau mendapatkan informasi mengenai peristiwa

yang terjadi di publik. Hal ini juga tercantum pada bagian awal pembukaan kode etik NPPA:

“The National Press Photographers Association, a professional society that promotes the

highest standards in visual journalism, acknowledges concern for every person's need both

to be fully informed about public events and to be recognized as part of the world in which

we live”7 Pendasaran atas hak seseorang untuk menerima informasi tidak berhenti disitu saja. Hak

untuk bersuara (freedom of speech) juga merupakan salah satu landasan dalam jurnalistik.

Richard Keeble yang mengutip Ian Hargeaves menunjukan bahwa freedom of speech

5“What,then,isspecialaboutphotography?Thereisonwcleardifferencebetweenphotographyandpainting.Aphotographisalwaysaphotographofsomethingwhichactuallyexist.EvenwhenphotograpghsportraysuchnonentitiesasWarewolvesandMartians,theyarenonthelessphotographsofactualthings:actors,stagesets,costumes.Paintingneedn’tpictureactualthings.ApaintingofAprodite,executedwithouttheuseofamodel,depicts nothing real. But this is by nomeans that thewhole story .” Lihat Kendall L.Walton, ”TransparentPictures:OntheNatureofPhotographicRealism,”dalamScottWalden,PhotographyandPhilosophy,EssaysonthePencilofNature.(USA:BlackwellPublishing,2008),hlm.20.6“Thecombinationofphotographyandjournalism,orphotojournalism--atermcoinedbyFrankLutherMott,historiananddeanoftheUniversityofMissouriSchoolofJournalism--reallybecamefamiliarafterWorldWarII(1939-1945).” Lihat A Brief History of Photography andPhotojournalism,http://www.ndsu.edu/pubweb/~rcollins/242photojournalism/historyofphotography.html7Ibid.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 4: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

merupakan wujud dari pendasaran demokrasi dan konsep free press muncul dari pemikiran

John Stuart Mill mengenai freedom of expression dalam tulisannya On Liberty.8 Sudah

menjadi sebuah tanggung jawab bagi media untuk menyediakan infomasi dikarenakan hak

masyarakat untuk menerima informasi. Hak tersebut juga tercantum dalam deklarasi hak

asasi manusia, setiap orang memiliki kebebasan untuk berekspresi, menyampaikan pendapat,

dan juga mendapatkan informasi.9

Dengan adanya kebebasan, persoalan etika pun turut masuk dalam rangka pemilihan

tindakan. Kebebasan juga turut menyangkut baik-buruknya seseorang sebagai manusia.

Namun, hal ini kian menjadi semakin sulit mengingat jurnalistik itu sendiri merupakan hal

yang begitu kompleks. Bukan hanya itu saja, internet telah menghubungkan antar negara

sehingga informasi dengan mudah bisa didapatkan. Dengan kata lain, peristiwa yang terjadi

di suatu tempat bisa diakses dalam waktu yang singkat sekalipun jaraknya sangat jauh. Berita

sudah semakin mendunia dan hal ini mengindikasikan bahwa terdapat tanggung jawab yang

besar atas sebuah pemberitaan.

Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dunia jurnalistik berupaya untuk

menyediakan dan memberikan informasi mengenai suatu peristiwa dengan landasan bahwa

setiap orang berhak untuk mengetahuinya. Untuk menjaga hal tersebut, terbentuklah kode

etik dalam foto jurnalistik. Hal yang menjadi tujuan atau primary goal bagi seorang

fotografer jurnalis adalah untuk mengahasilkan foto yang jujur (photographic truth). Seorang

fotografer jurnalis ternyata dituntut bukan hanya dalam nilai esetetis suatu foto melainkan

juga pada keaslian dan kebenaran dalam suatu peristiwa. Kata kunci dari fotojurnalistik

adalah akurasi. Jelas upaya untuk memodifikasi atau memanipulasi foto menghilangkan nilai

objektif suatu foto. Dengan demikian, fotografer jurnalistik dituntut untuk menghasilkan foto

yang apa adanya (objektif) tanpa memasukkan unsur subjektif pada foto tersebut (tidak

memihak).

Untuk cakupan yang lebih luas, persoalan etika media (dalam ranah jurnalistik),

sering berujung kepada perdebatan yang akhirnya memposisikan subjek pada kondisi dilema.

Sebagai contoh, kapankah bisa dilakukan pemberitaan secara live atau tidak, apakah baik

menggunakan kamera tersembunyi untuk mencari informasi, apakah yang akan terjadi ketika

8 “Free expressionwas essential not only for thepolitical healthof the country but for humanity’s ability toexpand itsknowledgeandprogressscientifically.”RichardKeeble,Ethics for journalistsecondedition, (USA:Routledge,2001),hlm.8.9 “Everyonehas the right to freedomofopinionandexpression; this right includes freedomtoholdopinionswithoutinterferenceandtoseek,receiveandimpartinformationandideasthroughanymediaandregardlessoffrontiers”DeclarationofHumanRoghts,article19.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 5: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

suatu informasi menyangkut informasi personal (privasi), dan begitu juga ketika ia masuk

kepada level yang lebih tinggi yang berhubungan dengan komunitasnya. Merujuk kepada

fakta, pemberitaan dalam media sering masuk pada posisi dilematis untuk menentukan

tindakan mana yang baik dan benar. Problem dalam foto jurnalistik merupakan salah satu

contoh problem yang terjadi dalam dunia pemberitaan. Dilema dalam pilihan untuk menjadi

saksi mata dan memposisikan diri diluar dari sebuah peristiwa atau turut campur dalam

sebuah peristiwa tersebut. Pertanyaan bermuatan nilai etis ini sering dihadapkan kepada

subjek yang berada pada peristiwa tragedi. Sebagai contoh peperangan, kemiskinan dan

bencana. Hal ini menjadi begitu penting, karena fotografer jurnalis turut bermain dengan

waktu (timing). Ketika ia kehilangan momen, maka ia tidak mampu memberikan gambarasn

informasi yang tepat. Perbedaan tipis mampu memberikan dampak yang signifikan juga.

Persoalan dilema etik bukan hanya terjadi kepada para fotografer jurnalis, reporter,

atau agen dalam media lainnya, mengingat dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang manusia

juga dihadapkan dengan pilihan dilematis. Persoalan ini merupakan titik beranjaknya

problem yang diangkat dalam etika media, yaitu dalam keadaan dilematis tersebut,

diperlukan adanya landasan bagi seorang jurnalis untuk bertindak sehingga bisa ditemukan

tindakan yang etis atau tepat. Melihat dari problem yang terjadi dalam dunia jurnalistik,

penulis melihat bahwa etika media memerlukan landasan untuk menjawab problem dilematis

yang terjadi.

Sebagaimana yang telah disebutkan pada bagian awal, penulisan skripsi ini

dilatarbelakangi oleh dilema yang dialami oleh jurnalis ketika ia dihadapkan kepada konflik,

baik konflik moral tanggung jawab ataupun konflik nilai. Melalui hal tersebut, dibutuhkan

sebuah landasan dalam pertimbangan etika untuk mendasari benar-salahnya tindakan yang

dilakukan oleh subjek yang mengalami dilema, karena dalam hal ini, panduan atau kode etik

yang ditujukan untuk seorang jurnalis belum mampu menjawab. Dalam hal ini, penalaran

dalam etika merupakan hal yang penting untuk menghindari kondisi pesimis terhadap tidak

adanya pilihan yang bisa dijustifikasi benar salahnya yang bisa berimplikasi tidak adanya lagi

putusan baik buruk dalam tindakan manusia

Setidaknya terdapat tiga aliran besar etika yang memilki prinsip masing-masing dalam

menentukan benar atau salahnya tindakan yang kita lakukan. Teori etika tersebut menunjukan

kartakteristik masing-masing yakni, berlandaskan kepada kewajiban, keutamaan dan

konsekuensi. Akan tetapi dalam hal ini, penulis mengambil teori etika Utilitarianisme sebagai

landasan dalam etika media. Banyak pemahaman umumnya yang melihat bahwa teori

utilitarianisme tidak mampu bekerja ketika diaplikasikan kedalam media dan cenderung

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 6: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

melandaskan kepada teori yang bersifat kewajiban dalam mengikuti peraturan-peraturan yang

ada dalam media. Akan tetapi penulis melihat bahwa sebaliknya, teori Utilitarianisme justru

mampu bekerja dalam etika media.

Selain prinsip etika Utilitarianisme, perlu juga dipahami mengenai nilai-nilai yang

umumnya dipegang dalam jurnalisme, baik itu jurnalisme visual maupun jurnalisme

pemberitaan yang bersifat artikel. Pada umumnya terdapat tiga karakteristik utama yang

disepakati sebagai nilai yang baik dalam jurnalisme. Ketiga hal tersebut adalah nilai

kebenaran, objektivitas dan juga autentisitas. Sekalipun demikian, ternyata pemikiran atas

nilai-nilai yang dipahami dalam jurnalisme telah mengalami perubahan pandangan dan

bahkan sampai sekarang masih diperdebatkan. Pada dasarnya, pandangan ketiga hal tersebut

masih dipahami dalam karakteristik pemikiran pada masa pencerahan, yaitu ketika masa

dimana penelitian dan ilmu sains semakin berkembang menunjukan semangat pencerahan

atau pemahaman yang bersifat korespondensi, observasi dan sebagainya.

Selain itu, nilai yang paling umum diperbincangkan dalam jurnlisme adalah mengenai

nilai tanggung jawab dan nilai privasi, tentunya hal ini bukan tetutup kepada kedua hal

tersebut karena terdapat juga persoalan lainnya yang secara tidak langsung tercakup

didalamnya. Tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang jurnalis, dianggap sebagai tanggung

jawab sosial terhadap masyarakat. Dengan kata lain, jurnalis berkerja untuk menyediakan

informasi kepada masyarakat demi memenuhi kebutuhan publik. Namun, upaya pemberitaan

mengenai hal yang mengandung kebutuhan masyarakat terkadang sering bertolak belakang

dengan nilai privasi. Dikotomi publik dan privasi menjadi persoalan yang juga turut

diperdebatkan. Privasi merupakan kebutuhan manusia, namun dilain hal, intrusi terhadap

privasi bisa saja terpaksa dilakukan untuk mendapatkan kebenaran terutama untuk

mengungkap kasus-kasus kriminal yang meresahkan masyarakat.

Pada akhirnya, persoalan dilema tersebut merupakan kajian atau persoalan dalam

etika media. Etika media merupakan analisis kritis terhadap moral yang masuk dalam lingkup

media dengan berpacu kepada tiga karakter teori etika yang telah disebutkan sebelumnya.

Masuk dalam hal ini, penulis melihat bahwa landasan yang paling umum digunakan dalam

media adalah asas kemanfaatan dalam artian mana yang baik dan berguna untuk diberitakan

kepada masyarakat merupakan hal yang sepantasnya dimaksimalkan atau dijunjung dengan

catatan sebisa mungkin tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan bagi masyarakat banyak.

Melalui tulisan ini, penulis ingin menunjnukan bahwa Utilitarianisme John Stuart Mill

dapat diterapkan dan merupakan jalan keluar untuk menjawab dilema etis serta menegakkan

etika media. Pada bagian selanjutnya, akan dijelaskan mengenai landasan teori etika dalam

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 7: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

media dan dilanjutkan dengan teori utilitarianisme John Stuart Mill. Pada bagian

pembahasan, penulis juga akan menganalisis kerja utilitarianisme dalam etikia media.

Tinjauan Teoritis

Untuk menganalisis problem dilema etika dalam media, penulis menggunakan

pemikiran John Stuart Mill mengenai etika Utilitarianisme. Etika Utilitarianisme merupakan

salah satu cabang dari teori etika konsekunsionalisme. Dengan kata lain, suatu tindakan

dikatakan benar atau salah dilihat dari konsekuensinya. Merujuk pada teori Utilitarianisme,

suatu tindakan dikatakan benar atau salah dilihat dari sejauh apakah tindakan tersebut

menimbulkan kegunaan atau kebahagiaan bagi orang banyak. Pemikiran ini beranjak dari

pemikiran Bentham, moralitas suatu tindakan ditentukan oleh penimbangan apakah tindakan

tersebut bisa menghasilkan kegunaan atau kebahagiaan bagi masyarakat banyak. Prinsip

inilah yang kemudian dirumuskan dalam “the greatest happiness for the greatest number.”

Mill mengungkap pikiran yang tidak jauh berbeda dengan prinsip itu, tetapi ia mengkritik

Bentham. Alasannya, bagi Mill moralitas tindakan bukan hanya ditentukan secara kuantitas

melainkan juga kualitas. Bentham menunjukan bahwa hasil dari perhitungan sisi negatif dan

positif, apabila menghasilkan selisih yang positif, maka tindakan tersebut dikatakan benar,

sebaliknya apabila menghasilkan selisih yang negatif, maka tindakan tersebut bukan tidakan

yang buruk/tidak menghasilkan utilitas. Berbeda dengan Bentham, Mill menekankan pada

kualitas kebahagiaan yang dihasilkan dari suatu tindakan. Mill melihat kebahagiaan mana

yang lebih berkualitas, apakah kebahagiaan seseorang yang sedang menonton TV atau

kebahagiaan yang lebih daripada hal itu.

Melalui hal tersebut, penulis menekankan landasan teori pada utilitarianisme John

Stuart Mill. Menurut teori Utilitarianisme Mill, suatu tindakan dikatakan benar apabila

menghasilkan manfaat dan mendatangkan kebahagiaan yang berkualitas, dan menjauhkan

seseorang dari keburukan. Dengan demikian, tindakan yang menghasilkan keburukan dan

penderitaan bagi banyak orang merupakan tindakan yang tidak benar. Kebahagiaan dan

kebebasaan kita dari penderitaan inilah yang diinginkan sebagai tujuan.10 Kebahagiaan

berkualitas yang disebutkan oleh Mill menujukan bahwa kualitas kebahagiaan memiliki

tingkat tertentu dan berbeda-beda, merujuk pada tulisannya, pleasure yang dimaksud bukan

hanya berlaku bagi orang yang bersangkutan tetapi juga menyangkut pada banyak orang. Hal

10JohnStuartMill,“Utilitarianism“dalamMaryWarnock,UtilitarianismandOnliberty,IncludingMill’s‘EssayonBentham’andselectionsfromthewritingsofJeremyBenthamandJohnAustin(USA:BlackwellPublishing,2003),hlm.186.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 8: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

ini dijelaskan dengan: ketika sejumlah orang telah mengalami dua pleasure yang berbeda,

maka salah satu pleasure yang merupakan pilihan terbanyak layak dijadikan tujuan11

Pembahasan

1. Landasan Teori Etika dalam Media

Jurnalisme tidak bisa dilepaskan dari pandangan atau perdebatan mengenai nilai

kebenaran, obejektivitas dan autentisitas. Seiring perkembangan filsafat sejak dahulu kala,

masih memperdebatkan mengenai ketiga hal tersebut. Dalam ranah epistemologi, terdapat

dua teori kebenaran yaitu korespondensi dan koherensi. Hal ini juga bisa nampak dalam

dunia jurnalisme. Korespondensi adalah ketika apa yang diberitakan benar-benar

berkorespondensi dengan kenyataan. Koherensisi adalah ketika pemberitaan sesuai dengan

informasi lainnya, atau dengan kata lain koheren dengan data-data yang ada. Lain hal dengan

pandangan Pragmatis, kebenaran dikatakan sebagai apa yang mampu bekerja. Ketika sesuatu

mampu berguna dan bekerja maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai kebenaran.

Nampak bahwa dunia jurnalisme masa kini, kebenarannya bertumpu pada teori

korespondensi. Adanya korespondensi dengan realitas sesungguhnya yang “ditangkap” dalam

foto menyebabkan munculnya pemahaman tradisional bahwa foto merupakan kebenaran. Hal

ini merupakan konsep awal kemunculan logika berpikir “seeing is believing” karena foto

merupakan kebenaran dan tidak ada alasan untuk tidak mempercayainya. Kebenaran dalam

hal ini dioposisikan dengan fiksi. Dengan demikian, ketika membicarakan mengenai

kebenaran dalam jurnalisme, nilai tersebut terletak pada pendekatan yang dilakukan seorang

jurnalis yaitu harus merujuk atau sesuai dengan konteks peristiwa yang ada. Hal ini memang

terkesan rumit karena terlihat bahwa kebenaran merupakan konsep ideal yang memerlukan

banyak ketelitian. Namun dengan demikian dibutuhkan sebuah latihan bagi para jurnalis

untuk memberitakan kebenaran. Phillip Patterson mengutip pemikiran Sissela Bok

menjelaskan bahwa menceritakan kebenaran bukan hanya sekadar persoalan moral,

melainkan juga persoalan apresiasi dan refleksi serius terhadap situasi nyata.12

Objektif dalam hal ini diartikan dengan tidak adanya unsur subjektif yang masuk

dalam proses pengumpulan berita. Objektif yang dioposisikan dengan subjektif menandakan

bahwa seorang jurnalis harus mampu membedakan mana fakta dan mana yang opini serta

memisahkan perasaan, emosi, dan interpretasi terhadap sebuah objek. Umumnya dunia

11Ibid.,hlm.187.12PhillipPattersonandLeeWilkins,op.cit.,hlm.25.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 9: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

jurnalisme menjelaskan bahwa hal yang objektif adalah dengan memberikan informasi dadi

keduabelah pihak atau lebih. Hal ini menjadi nampak seperti hal yang bersifat prosedural.

Akan tetapi memandangn objektivitas dalam kacamata filsafat, hal ini masih menjadi

perdebatan. Apakah hal yang obejektif mampu dicapai?

Oleh karena itu, muncul beberapa pandangan yang tak jarang mengkritik konsep

objektivitas yang bersifat positivistik. Melihat esai yang ditulis oleh Matthew Kieran

mengenai kritik terhadap objektivitas yang dilayangkan oleh Richard Rorty, nampak terdapat

beberapa poin yang bisa diperhatikan.13 Rorty menekankan kepada kontingensi dalam

pemikiran hermeneutikanya. Ia berpendapat bahwa epistemologi berupaya mencari

kebenaran seutuhnya yang objektif, namun hal tersebut baginya tidak bisa dijustifikasi.

Dalam hal ini, Rorty melayangkan kritik dalam ranah epistemologi. Baginya kebenaran

merupakan sesuatu yang sifatnya dibuat dan bukan ditemukan. Kritik terhadap objektivitas

ini di satu sisi memunculkan konsekuensi yang cukup ekstrim. Hal ini mampu berimplikasi

pada banyaknya dan beragamnya interpretasi terhadap informasi. Oleh karena itu, untuk

mendamaikannya, objektivitas bisa disebutkan sebagai bagaimana seorang jurnalis

melakukan pendekatan sekritis mungkin terhadap sebuah peristiwa.

Dalam hal ini, nilai autentisitas yang diangkat merupakan konsep yang berfokus

kepada nilai autentisitas sebuah laporan baik ia bersifat tulisan, laporan reporter, rekaman

maupun foto. Autentisitas atau otentik umumnya diartikan sebagai keaslian, originalitas,

kebenaran dan sebagainya. Foto umumnya disebutkan sebagai data autentik . Dalam hal ini

nilai autentisitas menjadi penting untuk menghindari kemunculannya alterasi atau modifikasi

foto. Autentisitas foto juga didukung dengan keterangan yang sesuai dengan konteks foto.

Nilai autentisitas menunjukan pentingnya akurasi35 dalam pengumpulan berita tersebut.

Dibutuhkan ketepatan dalam sebuah foto untuk mampu menggambarkan sepenuhnya

peristiwa yang terjadi. Ketepatan pemilihan bahasa untuk menjelaskan konteks juga niscaya

penting untuk mengarahkan para pembaca pada konteks (situasi faktual) yang terjadi.

Selain perdebatan mengenai nilai kebenaran, objektivitas dan autentisitas, terdapat

dua hal lain yang sering menjadi perbindangan dalam etika media, yaitu nilai tanggun jawab

dan nilai privasi. Dunia jurnalisme menekankan nilai tanggung jawab atas dasar memenuhi

hak seluruh masyarakat yaitu untuk menyediakan informasi (right to know). Hal ini juga

berkaitan dengan kebebasan pers (freedom of expressuion), yakni seorang jurnalis memiliki

kebebasan untuk berkspresi. Akan tetapi, kebebasan dalam hal ini bukan berarti memberikan 13MatthewKieran,“Objectivity,ImpartialityandGoodJournalism,”dalamMediaEthics(NewYork:Routledge,1998),hlm.24.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 10: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

lampu hijau kepada setipa tindakan yang dilakukan oleh pers. Jurnalis bertanggung kawab

atas setiap pemberitaan yang ia pubilkasikan. Hal ini sangat penting mengingat efek atau

konsekuensi yang dihasilkan dari sebuah berita.

Dikotomi antara ruang publik dan ruang privasi juga turut menjadi persoalan sensitif

dan kerap menjadi perdebatan dalam dunia jurnalisme. Terdapat beberapa pengertian

mengenai privasi dan beberapa kesalahan dalam mendefinisikan privasi. Dalam ranah

informasi, Parent mendefinisikan privasi sebagai “the condition of not having undocumented

personal knowledge about one possessed by others.”14 Sederhananya, privasi bisa dipahami

dengan kondisi dimana saya (dan orang lain) tidak mengetahui informasi personal tentang

seseorang tersebut. Masih dalam pendefinisian yang dirumuskan oleh Parent, ia menjelaskan

bahwa “informasi personal” adalah fakta tentang seseorang yang tidak terbuka untuk orang

lain. Fakta tersebut umumnya merupakan hal yang bersifat sensitif sehingga tidak tersingkap

bagi orang lain kecuali suami/istri, keluarga, atau sahabat dekat. Perdebatan yang muncul

adalah bagaimana seorang jurnalis menimbang apakah privasi seseorang bisa diintrusi demi

memberikan informasi kepada masyarakat. Kembali lagi, konsekuensi merupakan hal yang

patut dipertimbangkan.

2. Teori Utilitarianisme John Stuart Mill

Utilitarianisme merupakan salah satu teori etika konsekuensionaliasme. Dengan kata

lain, justifikasi suatu tindakan bisa dikatakan benar atau salah hanya dengan meoihat

konsekuensi yang dihasilkan. Hal ini berbeda dengan teori etika kewajiban yang

berlandaskan kepada kewajiban itu sendiri. Teori utilitarianisme merupakan teori yang

dikermbangkan oleh John Stuart Mill setelah sebelumnya dikembangkan oleh pamannya

Jeremy Bentham. “Utility” sebagai kata dasar dari Utilitarianisme, sering dianggap rendah

dan hanya sebagai pembahasan keseharian saja mengenai mana yang bermanfaat, yang

berguna dan sebagainya. Sebelumnya disebutkan bahwa konsep prinsip kegunaan bergerak

dari obsesi untuk menemukan sebuah fondasi dasar yang bisa dijadikan panduan dalam

banyak hal termasuk sebagai landasan moralitas. Pembelaan Mill yang pertama bertumpu

pada sangkalan bahwa prinsip kegunaan tidak bertolak belakang dengan kebahagiaan

melainkan konsep tersebut memiliki makna tertuju kepada tujuan akhir yaitu kebahagiaan itu

sendiri. Dengan demikian, prinsip kegunaan ini berbunyi bahwa suatu tindakan harus

14W.A.Parent,“Privacy,MoralityandtheLaw,”dalamElliotD.Cohen,PhilosphicalIssuesinJournalism(NewYork:OxfordUniversityPress,1992),hlm.92.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 11: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

dianggap benar apabila ia cenderung mendukung kebahagiaan, salah apabila ia cenderung

menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan15. Justifikasi benar atau salah suatu tindakan dilihat

dari apakah tindakan tersebut mampu mendorong kebahagian atau sebaliknya tindakan

tersebut justru mengahasilkan kebalikan dari kebahagiaan yaitu rasa sakit. Prinsip ini tidak

memiliki kontradikisi ketika ia dijadikan sebagai landasan dalam persoalan moralitas. Sejauh

ini kita bisa melihat rumusan pertama (first principle) atas apa yang dikemukakan oleh Mill,

yaitu prinsip kegunaan sebagai landasan moralitas.

Nilai yang diangkat oleh John Stuart Mill adalah bahwa kenikmatan dan kebebasan

dari perasaan sakit merupakan tujuan karena kedua hal tersebut merupakan hal yang

diinginkan demi dirinya sendiri. Standar moralitas Utilitarianisme terbentuk dengan landasan

mengusahakan kenikmatan dan menghindari atau mencegah munculnya perasaan sakit.

Kebahagiaan sebagai dasar merupakan teori nilai dalam Utilitarianisme dan sebutannya

adalah teori kebahagiaan terbesar karena efek dari suatu tindakan bukan hanya untuk

menunjang kebahagiaan seseorang saja melainkan mampu menimbulkan kebahagiaan lain

bagi setiap orang yang bersangkutan. Hal ini merupakan rumusan lanjutan setelah prinsip

utilitas.

Dalam hal ini, Mill mengkoreksi pemikiran pamannya karena utilitarian Benthamite

tak jarang mendapat cemooh dari orang-orang yang membacanya dengan sebutan ‘pig

philosophy’. Kenikmatan yang disamaratakan (equal) , dengan kata lain kenikmatan seekor

babi dianggap setara dengan kenikmatan seorang manusia (sama-sama baik). Bentham hanya

memperhitungkan kuantitas dari kenikmatan yang didapatkan. Melalui hal tersebut, setiap

kebahagiaan dianggap sama baiknya. Koreksi Mill tertuju kepada kebahagiaan atas

kenikmatan yang lebih sejati dalam arti bukan sekedar kenikmatan jasmani melainkan rohani

atau juga yang bersifat kenikmatan intelektual. Kenikmatan juga memiliki kualitas tertentu.

Salah satu pernyataan Mill yang cukup terkenal ketika membicarakan mengenai konsep

kenikmataan disebutkan dalam: “It is better to be a human being dissatisfied than a pig

satisfied; better to be Socrates dissatisfied than a fool satisfied.”16

Pemikiran Bentham yang dilanjutkan oleh Mill akhirnya menjadi salah satu

beranjaknya variasi dari teori Utilitarianisme. Sebagai landasan moralitas, justifikasi benar

15“Thecreedwhichacceptsasthefoundationofmorals,Utility,ortheGreatestHappinessPrinciple,holdsthatactionsarerightinproportionastheytendtopromotehappiness,wrongastheytendtoproducethereverseofhappiness.” John Stuart Mill (1861) “Utilitarianism” dalam Mary Warnock, Utilitarianism and On liberty,IncludingMill’s‘EssayonBentham’andselectionsfromthewritingsofJeremyBenthamandJohnAustin(USA:BlackwellPublishing,2003),hlm.186.16Ibid.,hlm.188.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 12: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

salah suatu tindakan secara objektif ditentukan dari konsekuensi yang dihasilkan, benar

apabila tindakan tersebut mampu memberikan efek baik kepada banyak orang; salah apabila

konsekuensi yang dihasilkan justru menjauhkan banyak orang dari kebahagiaan (kebaikan).

Pada dasarnya pemikiran Mill berimplikasi terhadap kemunculan dua pemahaman terhadap

Utilitarianisme. Keduanya adalah Utilitarianisme tindakan (act utilitarianism) dan

Utilitarianisme aturan (rule utilitarianism). Dikotomi Utilitarianisme ini bukan merupakan

hasil pemikiran Mill sendiri, melainkan pemahaman pemikir setelahnya.

Act Utilitarianism merupakan Utilitarianisme yang melihat justifikasi benar salah

dilihat dari hasil langsung suatu tindakan. Dalam hal ini konsekuensi dilihat dari hasil apa

saja yang langsung dihasilkan ketika melakukan tindakan. Apakah hal tersebut mampu

memaksimalkan kebahagiaan atau tidak. Lain dengan rule utilitarianism, suatu tindakan

secara objektif benar apabila ia sesuai dengan peraturan yang mampu menunjang

kebahagiaan bagi banyak pihak. Melalui hal ini, rule utilitarianism menunjukan adanya dua

hal: (1) suatu tindakan partikular merupakan tindakan yang benar apabila ia sesuai dengan

aturan moral dan (2) suatu aturan moral bisa dijustifikasi benar apabila aturan tersebut

mampu memberikan kebahagiaan.17 Melalui Utilitarianisme aturan, berbohong merupakan

tindakan yang salah akibat ia berlawanan atau tidak sesuai dengan aturan yang mampu

mempromosikan kebahagiaan. Lain dengan Utilitarianisme tindakan, dimana ketika

berbohong tersebut mampu memaksimalkan kebahagiaan atau kebaikan maka ia merupakan

tindakan yang benar. Dalam Utilitarianisme aturan, nilai moral atau aturan moral yang

berlaku patut dijadikan pertimbangan untuk menentukan aturan manakah yang mampu

menunjang kebahagiaan. Untuk memikirkan kepentingan yang langsung terkena dampak dari

suatu tindakan merupakan hal yang sudah cukup bagi Mill, terlebih lagi ketika ia memikirkan

dampak yang akan terjadi ketika semua orang melakukan tindakan.18

Dalam hal ini, ketika dihadapkan kepada kasus partikular, Mill lebih cocok

disebutkan sebagai seorang multi-level act utilitarianism.19 Act utilitarianism Mill terlihat

dari first principle-nya, sedangkan multi-level-nya terlihat dari bagaimana secondary

principle, dalam istilah Mill disebut sebagai customary morality, dijadikan pertimbangan

juga. Dengan kata lain, suatu tindakan yang benar adalah tindakan partikular yang mampu

memaksimalkan kebaikan dengan memerlukan panduan yaitu aturan moral yang ada. Dalam

hal ini Mill sendiri menganalogikannya dengan bagaimana seorang pelayar menggunakan

17LihatRogerCrisp,MillonUitilitarianism(London:Routledge,1997),hlm.102.18FranzMagnisSuseno,op.cit.,hlm.175.19Ibid.,hlm.113.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 13: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

Nautical Almanack sebelum ketika ia berlayar.20 Aturan moral merupakan hal yang dibuat

dengan merujuk kepada pengalaman yang telah terjadi di masa lampau. Sebagai contoh,

membunuh, merujuk pada pengalaman, tindakan tersebut mampu memberika konsekuensi

yang merugikan. Dengan demikian, aturan moral pada umumnya mengatakan pelarangan

untuk membunuh. Namun, merujuk kepada Mill, untuk kasus tertentu, melanggar aturan

moral juga mampu memaksimalkan kebaikan dan tindakan tersebut bisa disebutkan sebagai

tindakan yang benar.

Selain itu, ketika tejadi konflik antara aturan moral (secondary principle) yang ada

di masyarakat, maka yang bisa dilakukan adalah kembali kepada prinsip pertama sebagai

basis penentuan tindakan. Melalui hal ini, nampak bahwa Mill menginginkan kita untuk tetap

mengikuti peraturan moral yang ada apabila tidak terjadi konflik diantaranya. Namun, ketika

terjadi konflik antar aturan moral di masyarakat, maka dalam hal ini first principle harus

muncul sebagai landasan.

3. Analisis Teori Utilitarianisme dalam Etika Media

Melihat pemikiran Mill yang menunjukan terdapat dua prinsip yaitu prinsip pertama

dan kedua. Pada dasarnya dalam persoalan etika media, nilai-nilai dalam media (kebenaran,

objektivitas, autentisitas, tanggung jawab dan privasi merupakan secondary principle. Ketika

kelima hal tersebut tidak bertentangan atau bertabrakan maka, prinsip pertama tidak harus

muncul. Akan tetapi, ketika terjadi dilema ketika dua hal atau lebih berseinggungan, maka hal

yang bisa dilakukan adalah dengan kembali kepada prinsip utama (first prinsiple), yaitu mana

yang mampou memberikan konsekuensi yang paling menghasilkan kebaikan. Bila

memandang sebuah kasus dilema etika melalui perspektif teori Utilitarianisme John Stuart

Mill sebagai landasannya, first principle (atau prinsip kegunaan tersebut) merupakan jalan

keluar untuk menjawab konflik antar aturan moral yang dihadapi seseorang. “We must

remember that only in these cases of conflict between secondary principles is it requisite that

first pinciples should be appleaed to.”21 Perdebatan mengenai nilai ataupun aturan moral

yang ada, menunjukan posisi dilema bagi seorang jurnalis dalam menentukan mana yang

lebih baik. Hal ini menunjukan bahwa masing-masing aturan moral merupakan hal yang

penting. Oleh karena itu, satu hal yang bisa dipahami adalah teori ini membantu memberikan

pertimbangan dalam menentukan pilihan dalam dilema, dengan bertumpu kepada prinsip

20JohnStuartMill,op.cit.,hlm.200-201.21Ibid.,hlm.202.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 14: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

kegunaan, tindakan manakah yang mampu memberikan konsekuensi yang paling baik dan

juga paling meminimalkan hal yang merugikan/membahayakan.

Melihat tindakan yang dilakukan oleh Carter, kasus mengenai foto anak kecil

kelaparan di Sudan merupakan salah satu kasus yang menunjukan bahwa utilitarianisme

mampu bekerja dalam etika media. Melalui perspekttif Utilitarianisme, foto tersebut mampu

memberikan konsekuensi pada meningkatnya kepedulian masyarakat luas terhadap wilayah-

wilayah yang memprihatinkan dan membutuhkan pertolongan terutama wilayah Sudan.

Apabila pada saat itu ia memilih untuk menolong dan mengantarkan anak tersebut ke tempat

makan dan tidak menghasilkan foto tersebut, maka apa yang berlangsung disana hanya

diketahui kalangan yang terlibat di lokasi tersebut. Dengan demikian tanpa foto itu,

masyarakat dunia tidak mengetahui situasi yang terjadi di Sudan dan hidup tanpa kesadaran

atas begitu memprihatinkannya sebuah peristiwa di Sudan. Dapat dilihat bahwa tindakan

yang dilakukan Carter merupakan tindakan yang berguna dan memberikan kebaikan bagi

masyarakat luas, khususnya kepada masyarakat Sudan yang memerlukan perhatian dunia

demi meningkatkan kesejahteraan. Melalui foto tersebut, ia mampu memberikan pertolongan

secara tidak langsung kepada masyarakat banyak di Sudan. Dengan demikian, dilema

dijawab dengan mengacu kepada hal yang mampu memberikan kebaikan bagi masyarakat

banyak.

Kasus Kevin Carter merupakan salah satu kasus dalam foto jurnalistik yang berakhir

menyedihkan. Lain halnya dengan “The Terror of War”, Nick Ut seorang fotografer pada

masa itu, memomtret Kim Phuc yang berlari telanjang dengan kobaran api dibelakang

punggungnya. Pada dasarnya, terdapat aturan bahwa sebuah foto tidak boleh menunjukan

ketelanjangan anak kecil tersebut. Akan tetapi melihat persitiwa siatuasi yang terjadi dalam

foto tersebut, muncul pilihan yang mampu memberikan konsekuensi yang baik bagi

masyarakat banyak yaitu dengan maksud menghentikan peperangan. Melalui perspektif

Utilitarianisme, pilihan untuk mempubilkasikan foto tersebut mampu memberikan “the

greater good.” Akan tetapi, berbeda dengan Kevin Carter yang berakhir dengan bunuh diri,

Nick Ut yang menolong Kim Phuc setelah memotretnya, akhirnya selamat dan mereka

berteman setelah kejadian tersebut.

Pentingnya memotret dan memberitakan sebuah peristiwa yang terjadi di Sudan

maupun Vietnam, ternyata juga dirasakan oleh Martin Luther King sebagaimana melihat

tragedi yang terjadi di Selma, Alabama, sebuah parade civil rights berujung kepada

kerusuhan yang memakan banyak korban. Salah satu fotografer Life Magazine, melihat

kepolisian melakukan kekerasan fisik terhadap anak kecil. Namun, ia lebih memilih untuk

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 15: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

menolong anak tersebut dan berhenti untuk mengambil gambar. Berita itu kemudian didengar

oleh Martin Luther King dimana King berbicara kepada fotografer tersebut: “The world

doesn’t know this happened, because you didn’t photograph it. I’m not being cold-blooded

about it, but it is so much more important for you to take a picture of us getting beaten up

than for you to be another person joinning the fray.”22 Melalui poin ini, bisa dilihat bahwa

peran jurnalis dalam mempublikasikan tragedi tersebut akan lebih bermanfaat, terutama

untuk menyuarakan perjuangan kaum tertindas. Nilai tanggung jawab sebagai seorang

jurnalis sebagai pewarta berita dalam kasus ini, merupakan hal yang penting, terutama dalam

kasus ini, mengangkat suara atas kesetaraan hak dan kebebasan dari penindasan tersebut

merupakan kebahagiaan yang dijunjung khalayak manusia.

Akan tetapi, diperlukan juga pemikiran kritis dalam menghadapi persoalan dalam

media, terutama ketika hal ini menyangkut self-interest, rating dan sebagainya. Konsep

kebermanfaatn dalam utilitarianisme, bukanlah sekedar kualitas kenikmatan memperoleh laba

dan rating, akan tetapi demi memberikan kebaikan bagi seluruh khalayak masyarakat.

Dengan demikian Jurnalis yang etis adalah mereka yang mengedepankan konsekuensi yang

baik dan bukan mengumbar sensasi demi mencapai rating (keuntungan pribadi).

Kesimpulan dan Refleksi Kritis

Media memerlukan etika dalam menentukan bagaimana masing-masing subjek

bertindak, baik dalam ranah jurnalisme, dalam ranah memilih hiburan (entertainment) yang

layak, begitu juga periklanan. Pertimbangan etis merupakan hal yang penting karena media

merupakan konsumsi publik, terdapat berjuta-juta manusia yang merasakan dampak dari

pemberitaan media.

Merujuk kepada teori etika yang ditujukan kedalam media, Utilitarianisme merupakan

salah satu preferensi dalam memilih pendasaran justifikasi benar salah tindakan. Sekalipun

teori ini memiliki kekurangan dan kesulitan-kesulitan tertentu ketika ia dipraktikan, pada

dasarnya ia memiliki jasa dalam filsafat atau analisis kritis terhadap moral. Teori ini secara

tidak langsung menuntut seseorang untuk berpikir kritis dan rasional dalam memahami

moral. Dalam bertindak, seseorang bukan hanya sekedar menaati dan mengikuti peraturan-

peraturan yang telah tersedia di masyarakat melainkan mampu memberikan pemahaman

mendalam atas tindakan yang dilakukan seseorang sebagai manusia. Utilitarianisme

22PatrickLeePlaisance,op.cit.,hlm.125-126.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 16: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

menciptakan suasana pertanggungjawaban: suatu keputusan, sikap dan tindakan secara moral

belum beres asal saja sesuai dengan suatu keputusan abstrak, melainkan harus dapat

dipertanggungjawabkan dari akibat-akibatnya bagi semua pihak yang terkena.23

Teori ini menuntut manusia untuk bertindak atau bergerak menuju kepada

konsekuensi-konsekuensi yang diharapkan dan diinginkan individu dan masyarakat secara

kumulatif. Dengan demikian, selain ia menghargai adanya kebebasan manusia, teori ini juga

memberikan pemahaman mendasar bahwa akibat-akibat yang dihasilkan seseorang

merupakan tanggung jawab dirinya. Dengan demikian, akibat buruk yang kita hasilkan tidak

bisa dilimpahkan kepada orang lain atau kepada peraturan. Lain halnya ketika seseorang

bertindak sekedar mengikuti peraturan, ia terpaksa untuk menuruti peraturan sehingga ia bisa

saja menyalahkan peraturan tersebut dan bukan menyalahi dirinya sendiri. Arthur Dyck,

seorang etikawan Harvard, sebagaimana yang dikutip oleh Philip Patterson, mengatakan

bahwa teori Utilitarianisme telah membuktikan dirinya bahwa ia mampu berhubungan baik

dengan pemikiran barat, terutama mengenai hak asasi :

“He took the view that the rightness or wrongness of any action is decided by its

consequences.... His particular understanding of what is best on the whole was

that which things bring about the most happiness or the least suffering, i.e., the

best balance of pleasure over pain for the greatest number”24

Untuk menyikapi perihal moral media pada masa kini, nampak bahwa terdapat

pemahaman yang kurang kritis atas utilitarianisme. Prinsip kegunaan yang diusung oleh

Mill, melatih manusia untuk mempertimbangkan nilai-nilai yang seharusnya dimaksimalkan.

Dalam hal ini tujuan media dalam memberikan informasi nampak bias. Apakah azas

kebermanfaatan ditujukan untuk kebaikan masyarakat umum, atau malah dikaitkan dengan

persoalan ekonomi yaitu mencari keuntungan ekonomi untuk pihak-pihak tertentu, misalnya

rating. Terdapat penyalahgunaan terhadap prinsip ini, demi mencapai interest, padahal

menurut Mill, yang seharusnya dipertimbangkan adalah kebahagiaan khalayak umum.

Melalui teori Utilitarisnisme John Stuart Mill, justifikasi benar atau salah bisa

dilakukan dengan melihat konsekuensi yang dihasilkan. Mill sendiri meyakini bahwa

manusia memiliki kemampuan untuk memikirkan konsekuensi karena manusia mampu

belajar dari pengalaman masa lalu. Akan tetapi, dalam hal ini, diperlukan thought

experiments untuk menganalisis kerja utilitarianisme. Bagaimana ketika subjek dihadapkan

bahkan kepada situasi yang ekstrim? Andaikan saja dalam the trolley problem, dimana 23FranzMagnisSuseno,op.cit.,hlm.125.24PatrickLeePlaisance,op.cit.,hlm.125.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 17: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

seseorang dihadapkan pada pilihan membiarkan trolley tersebut membunuh 5 orang atau

mengarahkan trolley tersebut ke jalur yang lain dimana hanya terdapat satu orang. Jawaban

Utilitarianisme menunjukan bahwa mengarahkan trolley tersebut ke jalur yang hanya terdapat

satu orang merupakan tindakan yang benar. Namun, andaikan beberapa lama kemudian,

seorang yang terbunuh tersebut ternyata dikabarkan sebagai donor organ untuk kelima orang

pekerja tersebut. Akhirnya kelima pekerja tersebut kehilangan pendonornya. Dalam hal ini,

nampak bahwa Utilitarianisme mengalami kesulitan, berawal dari maksud untuk memperoleh

kebahagiaan tersbesar, ternyata bisa berakhir tidak mampu memaksimalkan kebaikan. Selain

itu, hal ini juga menunjukan bahwa terdapat penundaan (delay) dalam justifikasi benar atau

salah dari suatu tindakan.

Mengkritisi Utilitarianisme dalam persoalan masa kini, salah satu kasus yang bisa

diangkat adalah mengenai kematian seorang anak kecil bernama Engeline di Bali.25 Kematian

Engeline mengakibatkan maraknya media menampilkan foto Engeline bahkan terdapat juga

media yang mempublikasikan foto mayat Engeline tanpa melakukan sensor. Apakah

Utilitarianisme dalam hal ini bekerja?

Untuk melihat kasus Engeline, pada dasarnya bisa dilihat bahwa tujuan pemublikasian

kisah Engeline tersebut bermaksud untuk memberikan informasi yaitu mengenai kematian

seorang anak kecil yang belum diketahui pembunuhnya. Awalnya Engeline dikabarkan

hilang, bahkan sudah disebarkan pamflet untuk disebarkan dengan tujuan supaya masyarakat

membantu untuk mencari dimana Engeline. Namun, beberapa lama setelah keluarga

melaporkan kehilangan Engeline, polisi kembali menyelidiki rumah tempat dimana ia tinggal

dan ternyata tubuh Engeline ditemukan terkubur dibelakang kandang ayam.

Terdapat institusi media yang menampilkan foto jelas mayat Engeline di media sosial.

Hal ini kembali menjadi pertanyaan apakah tindakan institusi tersebut merupakan tindakan

etis atau tidak. Selain itu, seiring dengan berita yang menyedihkan mengenai kematian

Engeline, muncul publikasi foto Engeline di berbagai media, terutama dalam media sosial

seperti twitter.

Dalam hal ini, jurnalis dan media harus kritis dalam menentukan pilihan untuk

mempublikasikan foto-foto tersebut atau tidak. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab

sebelumnya, salah satu goal dalam aktivitas jurnalisme adalah dengan mengurangi atau

25LihatAngelinedanDistorsiPesan,http://koepang.com/angeline-dan-distorsi-pesan-2/Diaksespada12Juni2013,pukul18.20.LihatAngelineditemukanTerkubur,KPAIIngatkanparaOrangTua,http://www.kpai.go.id/berita/angeline-ditemukan-terkubur-kpai-ingatkan-para-orang-tua/,Diaksespada12Juni2013,pukul19.05.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 18: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

meminimalisir hal-hal yang merugikan (minimize harm). Akan tetapi, dalam hal ini

mempublikasikan foto Engeline merupakan salah satu bentuk yang mampu memberikan

kerugian. Salah satunya adalah memberikan dampak traumatis kepada keluarga dan semua

pihak yang terkait dengan kasus Engeline. Untuk hal ini, penggunaan foto untuk memberikan

informasi juga tidak bisa dilakukan dengan berlebihan, karena yang terjadi bukanlah

minimize harm melainkan malah memberikan banyak kerugian dari pada kebaikan.

Persoalan mengenai foto anak kecil merupakan hal yang sensitif. Dengan demikian,

jurnalis dan media harus bertanggung jawab dalam memberikan informasi. Mereka harus

mampu memikirkan konsekuensi yang akan terjadi di masa depan. Untuk kasus Engeline,

pemberian informasi yang bermaksud untuk memberikan kebaikan, ternyata malah banyak

menimbulkan hal-hal yang merugikan.

Melihat kerja Utilitarianisme dalam media, untuk beberapa kasus ia mampu bekerja

dengan baik. Akan tetapi untuk beberapa kasus lainnya diperlukan pemikiran kritis dalam

menentukan tindakan yang benar. Sebagai kesimpulan teori Utilitarianisme di satu sisi juga

bisa memiliki kekurangan dan kegagalan bekerja dalam sebuah kasus. Namun, terlepas dari

kekuangannya, Utilitarianisme John Stuart Mill mampu memberikan refleksi dan

penghayatan terhadap pemilihan tindakan manusia, sehingga seseorang tidak bisa

sembarangan dalam menentukan pilihan karena setiap tindakan mampu memberikan

konsekuensi tertentu. Hal yang bisa dilakukan adalah dengan berusaha menghasilkan

konsekuensi-konsekuensi yang mampu memberikan kebaikan terbesar.

Daftar Referensi Allan, Stuart. 2010. The Routledge Companioin to News and Journalism. USA: Routledge. Bentham , Jeremy. 1789. An Introduction to the Principle of Moral and Legislation dalam

Mary Warnock. 2003. Utilitarianism adn On Liberty, Including Mill’s ‘Essay on Bentham’ and Selection from the Writings of Jeremy Bentham and John Austin. USA: Blackwell Publishing.

Bertens, K. 2002. Etika. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Barthes, Roland. 1981. Camera Lucida (diterjemahkan oleh Richard Howard). New York:

Hill and Wang Cohen, Elliot D. 1992. Philosophical Issues in Journalism. New York: Oxford University

Press. Crisp, Roger. 1997. Mill on Utilitarisnism. London: Routledge J, Sudarminta. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta : Kanisius Keeble, Richard. 2001. Ethics for Journalist, second edition. USA: Routledge. Kieran, Matthew. 1998. Media Ethics. New York: Routledge. Mill, John Stuart. 1861. Utilitarianism dalam Mary Warnock. 2003. Utilitarianism and On

liberty, Including Mill’s ‘Essay on Bentham’ and selections from the writings of Jeremy Bentham and John Austin. USA: Blackwell Publishing.

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015

Page 19: Peran Utilitarianisme John Stuart Mill dalam Etika Media

----------, 1859. On Liberty Suseno, Franz Magnis. 1987. Etika Dasar. Yogyakarta: Kanisius. ----------, 1997. Tiga Belas Pendekatan Etika. Yogyakarta: Kanisius. Maynard, Patrick. The Engine of Visualization: Thinking through Photography, London:

Cornell University Press, 1997 Patterson, P dan Lee Wilkins. Media Ethics: Issues and Cases, 8th Edition, 2014, USA:

McGraw-Hill Pettit, Phillip. 1990. Consequentionalism, dalam Peter Singer. A Companion to Ethics. UK:

Blackwell. Plaisance, Patrick L. 2014. Media Ethics: Key Principles for Responsible Practice.

California: Sage Scarre, Geoffrey. 1996. Utilitarianism. USA: Routledge Sontag, Susan. 2005. On Photography New York: rosetta Books Walden, Scott. 2008. Photography and Philosophy, Essays on the Pencil of Nature. USA:

Blackwell Publishing West, Henry R.. 2004. An Introduction to Mill’s Utilitarian Ethics.UK: Cambridge

University Press Zelizer, Barbie. 2004. Taking Journalism Seriously. USA: Sage Publications. Jurnal Elliott, Deni (2007) 'Getting Mill Right', Journal of Mass Media Ethics, 22: 2, 100 — 112 Peck, L. A. (2006). A ‘‘fool satisfied’’? Journalists and Mill’s Principle of Utility. Journalism and Mass Communication Educator, 61, 205–213 Website A Brief History of Photography and Photojournalism

http://www.ndsu.edu/pubweb/~rcollins/242photojournalism/historyofphotography.html

Declaration of Human Rights, article 19 http://www.un.org/en/documents/udhr/

Ethics, internet encyclopedia of Philosophy, The type of Utilitarianism http://www.iep.utm.edu/ethics/

Code of Ethics, National Press Photographer Association https://nppa.org/code_of_ethics

Media Covered James Foley beheading: NYPost's front page like death porn (Commentary) Diakses pada 18 April 2015, pukul 01.00 http://www.imediaethics.org/News/4737/How_media_covered_james_foley_beheading__nyp

osts_front_page_like_death_porn_commentary.php PDF, Robert Leggat A History of Photography, From its beginnings till the 1920s lnx.phototeka.it/documenti/Cenni_storici_fotografia.pdf

Peran utilitarianisme ..., Hutabarat, Nadia Carolina, FIB UI, 2015