peran sertifikasi cafÉ practices pada perubahan … · skripsi ini merupakan penelitian tentang...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIA
PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI
SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS: KABUPATEN TORAJA UTARA, TANA TORAJA &
ENREKANG)
SKRIPSI
FATHIA HASHILAH 0906514866
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN GEOGRAFI
DEPOK
JUNI 2013
UNIVERSITAS INDONESIA
PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA PERUBAHAN POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI
SULAWESI SELATAN (STUDI KASUS: KABUPATEN TORAJA UTARA, TANA TORAJA &
ENREKANG)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sains
FATHIA HASHILAH 0906514866
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
DEPARTEMEN GEOGRAFI
DEPOK
JUNI 2013
HAL AMA N PERNYATAAN ORISINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Fathia Hashilah
NPM : 0906514866
Tanda tangan :
Tanggal : 08 Juli 2013
i
HAL AMA N PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Fathia Hashilah
NPM : 0906514866
Program Studi : Geografi
Judul Skripsi : Peran Sertifikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus : Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan dewan penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada program studi Il mu Geografi, Fakultas Matematika dan
Il mu Pengetahuan Alam, Univesitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Ketua Sidang : Dra. M.H. Dewi Susilowati M.S. (………………………….)
Pembimbing I : Hafid Setiadi S.Si., M. T. (………………………….)
Pembimbing II: Dra. Widyawati MSP (………………………….)
Penguji I : Drs. Triarko Nurlambang, MA (………………………….)
Penguji II : Drs. Hari Kartono M.S. (………………………….)
Ditetapkan di : Depok, Jawa Barat
Tanggal : 08 Juli 2013
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada All ah SWT, karena atas berkah dan
rahmat-Nya, penuli s dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
dilakukan dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Jurusan Geografi pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Universitas Indonesia. Skripsi ini merupakan penelitian tentang peran sertifikasi
CAFÉ Practices pada perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi di Sulawesi
Selatan.
Penulis menyadari bahwa, tanpa bimbingan, bantuan dan dukungan dari
berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT, karena tanpa rahmat dan hidayah-Nya, penulis tidak akan
mampu menyelesiakan skripsi ini
2. Ibu dan Ayah yang tiada henti mendoakan, memberi semangat dan selalu
mengingatkan untuk selalu berdoa dan berusaha
3. Uni Rani, Bang Ais, Bang Icat, Bang Abduh, Uni Dela, dan Uni Welly,
yang telah memberikan doa, dukungan dan semangat kepada penulis
hingga akhir penyusunan skripsi
4. Mas Hafid, Ibu Widya dan Pak Jeff, yang telah memberi kesempatan pada
penulis untuk mendapatkan pengalaman yang sangat berharga serta telah
mendukung dan membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini.
Terimakasih juga atas berbagai bacaan dan tulisan yang diberikan sebagai
pendukung penyusunan penelitian ini
5. Mas Arko, yang telah berbaik hati memberikan masukan dan bantuan
terkait materi dan cara presentasi yang baik dan benar
6. Pak Hari dan Bu Dewi selaku penguji, yang telah memberi kritik, masukan
dan saran yang sangat berharga demi menghasilkan skripsi yang lebih baik
7. Flick, yang telah membantu penulis berdiskusi terkait penelitiandan sangat
membantu dalam memberi gambaran bagaimana sebuah peneli tian yang
iii
baik
8. Pak Sarjana, Pak Jabir, Ibu dan Bapak Ajeng, Ibu Nita, Ibu Margareth, Pak
Burhan, Pak Lukas, Judith, Nita, Ajeng serta teman lain yang ada di
Sulawesi Selatan yang telah banyak membantu baik terkait
informasi,tempat tinggal selama peneli tian, serta keramahan yang
diberikan kepada penulis sehingga penulis merasa nyaman melakukan
penelitian walaupun di tempat yang asing bagi penulis
9. Muti dan Tari yang telah membantu mengoreksi, bersedia menjadi pelatih
presentasi serta bersedia memberi semangat pada penulis
10. Danny, Aulia, Mayang, Geografi 2009, Mbak Qiqi, serta teman-teman lain
yang telah memberi semangat dan dukungannya
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat
beberapa kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan pembaca dapat
mengembangkan tulisan dan peneli tian ini agar menjadi sumbangan bagi
pengembangan ilmu Geografi di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Depok, Juni 2013
Penulis
iv
HALAM AN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKAS I
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEM IS
Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Fathia Hashilah
NPM : 0906514866
Program Studi : S-1
Departemen : Geografi
Fakultas : Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA)
Jenis Karya : Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberiikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty- Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul :
Peran Serti fikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus : Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & En rekang)
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian Pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di: Depok
Pada Tanggal : 08 Juli 2013
Yang menyatakan:
(FATHIA HASHILAH)
v
ABSTRAK
Nama : Fathia Hashilah Program Studi : Geografi Judul : Peran Sertifikasi CAFÉ Practices pada Perubahan Pola Mata
Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan (Studi Kasus : Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)
Sertifikasi CAFÉ Practices merupakan standarisasi yang diterapkan oleh
Starbucks Coffee agar mampu menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang
berkelanjutan dan mampu memenuhi standar konsumen. Sertifikasi itu sendiri
hanya akan efektif dan efisien diterapkan pada karakter wilayah dan petani
tertentu. Di Sulawesi Selatan Terdapat beberapa wilayah penghasil kopi yang
memiliki karakter berbeda-beda yang akibatnya setelah diterapkan sertifikasi
CAFÉ Practices menghasilkan perubahan pola mata rantai nilai. Adanya ikatan
yang kuat dengan tanah adat, penerapan sertifikasi menghasilkan perpanjangan
pola mata rantai nilai kopi. Perpanjangn pola ditandai dengan munculnya simpul
baru yang menandakan penerapan sertifikasi tidak efisien di wilayah yang ikatan
dengan tanah adatnya masih kuat.
Kata Kunci : Aktor, pola mata rantai nilai, aktivitas, CAFÉ Practices, efisien
vi
ABSTRACT
Name : Fathia Hashilah Program Study : Geography Title : The Role of CAFÉ Practices Certification in The Changing of
Coffee Value Chain Pattern in South Sulawesi (Cases Study: Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang)
CAFÉ Practices certification is a standardization applied by Starbucks
Coffee to create a sustainable coffee trade and to fulfill the consumers standards.
Certification will be effective and efficient in a particular character of region and
farmer. South Sulawesi has various characters of farmers and regions. Those
characters influential to the changing of coffee value chain pattern after the
assembling of CAFÉ Practices Certification. The tied of land custom is the
strongest cause of the changing pattern. It makes the value chain become longer,
it indentified by the appearance of a new node, which is mean a new actor of the
chain. The appearance of a new node after applying CAFÉ Practices indicates
inefficiency of that certification applied in a region which is has a strong tide of
custom land.
Kata Kunci : Actors, value chain pattern, activity, CAFÉ Practices, efficient
vii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………………………………………………………………....ii i
Abstrak……………………………………………………………………….....vi
Daftar Isi……………………………………………………………………….vii i
Daftar Gambar………………………………………………………………….xi
Daftar Peta……………………………………………………………………..xii
Daftar Tabel…………………………………………………………………...xiii
Daftar Sketsa…………………………………………………………………..xiv
BAB 1
Pendahuluan……………………………………………………………………...1
1.1 Latar Belakang……………………………………………………………..1
1.2 Masalah Penelitian………………………………………………………....3
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………………..3
1.4 Batasan Penelitian………………………………………………………….4
BAB 2
Tinjauan Pustaka………………………………………………………………...7
2.1 Konsep Pemasaran………………………………………………………....7
2.1.1 Pemahaman TNC (Trans National Corporation)……………………...7
2.2 Konsep Sertifikasi……………………………………………………….....8
2.2.1 Latar belakang munculnya sertifikasi…………………………….........8
2.2.2 CAFÉ Practices……………………………………………………….9
2.3 Konsep Rantai Nilai (Value Chain)……………………………………....10
2.4 Jaringan Komoditas (Commodity Network)……………………………....13
2.5 Pengambilan Keputusan………………………………………………......13
2.6 Aksesibilitas……………………………………………………………....14
2.7 Keaslian Penelitian……………………………………………….............14
viii
BAB 3
Metodologi Penelitian…………………………………………………………....19
3.1 Alur Pikir Penelitian…………………………………………………….....19
3.2 Alur Kerja……………………………………………………………….....20
3.3 Pengolahan Data…………………………………………………………...21
3.4 Analisis Data……………………………………………………………....21
BAB 4
Pengusahaan Kopi di Sulawesi Selatan………………………………................24
4.1 Karakteristik Wilayah Penghasil Kopi…………………………………....24
4.2 Sejarah Industri Kopi………………………………………………….......31
4.3 Kondisi Umum Industri Kopi………………………………………….....32
BAB 5
Peran Serti fikasi CAFÉ Practi ces pada Perubahan Pola Mata Rantai Nilai
Lokal Kopi di Sulawesi Selatan…………..……………………………………..34
5.1 Kondisi Mata Rantai Nila Kopi…………………………………………...34
5.1.1 Manusia/aktor dalam sistem mata rantai nilai lokal Kopi..........……….......………………………………………................34
5.1.1.1 Tingkat Pendidikan Aktor………………………………………...34
5.1.1.2 Kontribusi Pengusahaan Kopi Pada Pendapatan Petani…………..36
5.1.1.3 Pengaruh Budaya Pada Pengusahaan Kopi…………………….....37
5.1.2 Aktifitas utama mata rantai nilai lokal kopi………………………....39
5.1.3 Aktifitas pendukung mata rantai nilai lokal kopi…………………....47
5.2 Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Pada Sistem Mata Rantai Nilai
Lokal Kopi……………………………………………………………….49
5.2.1 Aspek peningkatan kualitas ……………………………………….....51
5.2.2 Aspek jaminan jual beli…………………………………….………...54
5.3Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan……...55
5.3.1 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Sebelum Penerapan
ix
Sertifikasi CAFÉ Practices (1997-2007)…………………………....55
5.3.2 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Setelah Penerapan
Sertifikasi CAFÉ Practices ( ≥ 2008)………………………………..61
5.3.3 Efisiensi Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Dilihat dari
Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal………………..…………...66
BAB 6
Kesimpulan…………………………………………………………………….....73
Daftar Pustaka…………………………………………………………………...xv
Lampiran……………………………………………………………………......xvii
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Grafik pertumbuhan ekspor kopi Arabika dari Makasar, nilai dalam
Ton dan USD/Kg…………………………................................................................2
Gambar 2.1 Konsep dasar sistem mata rantai nilai……………………………...11
Gambar 3.1Alur Pikir Penelitian………………………………………………....20
Gambar 3.2 Alur Kerja Penelitian……………………………………………......23
Gambar 4.1Bentang alam perkebunan kopi Toraja Utara……………………......26
Gambar 4.2 Kondisi jalan menuju perkebunan kopi Toraja Utara…………….....27
Gambar 4.3 Kopi tanduk asal Toraja Utara……………………………………...27
Gambar 4.4 Kopi kulit tanduk asal Tana Toraja………………………………...28
Gambar 4.5 Bentang alam perkebunan kopi di Enrekang…………………….....29
Gambar 4.6 Kondisi jalan menuju perkebunan kopi di Enrekang…………….....29
Gambar 5.1 Contoh makam adat Toraja………………………………………....37
Gambar 5.2 Jaringan komoditas (arus produksi dan tenaga/power)………….....40
Gambar 5.3 Pemrosesan kopi oleh petani…………………………………….....41
Gambar 5.4 Kopi biji hijau / green bean………………………………………...42
Gambar 5.5 Kondisi jalan menuju pasar Sapan……………………………….....47
Gambar 5.6 Penyortiran kopi kulit tanduk oleh anak-anak……………………...52
Gambar 5.7 Bagan faktor yang mempengaruhi munculnya simpul baru setelah
diterapkannya CAFÉ Practices di Toraja Utara dan Tana
Toraja.......................................................................................................................69
Gambar 5.8 Bagan faktor yang menjelaskan alasan tidak berubahnya pola mata
rantai nilai kopi lokal di Enrekang……………………..........................................71
xi
DAFTAR PETA
Peta 4.1 Wilayah Penghasil Kopi di Sulawesi Selatan………………………….25
Peta 4.2 Administrasi Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang……..30
Peta 5.1 Lokasi pembelian dan penjualan kopi…………………………………46
xii
DAFTAR TA BEL
Table 2.1 Berbagai Penelitian Terkait Rantai Nilai, Rantai Komoditas dan
Upgrading……………………………………………………................................16
Tabel 4.1 Asal pembelian kopi oleh Toarco dan KUD Sane, Sumber: Data
administrasi KUD & Toarco 2008……………………………............................31
Tabel 5.1 Hubunganantar aktor dengan aspek spasial…………………………....43
Tabel 5.2Aktifitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi
Selatan sebelum penerapan sertifikasi……………………………….....................58
Tabel 5.3 Aktifitas Utama mata rantai nilai lokal kopi Kabupaten Setelah penerapan sertifikasi…………………………………………...................64
Tabel 5.4 Aktifitas Utama mata rantai nilai lokal kopi Kabupaten Toraja Utara & Tana Toraja Setelah penerapan sertifikasi………………….....................65
xiii
DAFTAR SKETSA
Sketsa 5.1 Respon aktor terhadap penerapan aspek peningkatan kualitas
produk………………………………………………………..................................50
Sketsa 5.2 Respon aktor terhadap penerapan aspek jaminan jual beli antar
aktor…………………………………………………………………......................53
Sketsa 5.3 Pola mata rantai saat awal KUD Sane masuk di Sulawesi
Selatan 1997-2004………………………………………………….......................57
Sketsa 5.4 Pola mata rantai kopi di Sulawesi selatan 2005-2007………………..60
Sketsa 5.5 Pola mata rantai nilai setelah diterapkanya CAFÉ Practices
(≥ 2008)…………………………………………………………….....................63
Sketsa 5.6Pola simpul (mata rantai) sebelum dan sesudah penerapan
CAFÉ Practices…………………………………………………….......................72
xiv
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini, kopi asal Sulawesi Selatan khususnya yang berasal dari
Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang bertanggung jawab
memproduksi kopi unggulan untuk dijual ke pasar internasional. Peningkatan
minat pasar internasional terhadap kopi unggulan membuat persaingan
perdagangan kopi menjadi sangat ketat. Volume ekspor kopi Arabika asal
Sulawesi Selatan semakin tinggi setiap tahunya yang menandakan permintaan
terhadap kopi juga tinggi (Gambar 1.1). Selain itu, harga kopi Toraja juga lebih
tinggi dibanding harga kopi rata-rata dunia. Terdapat beberapa aktor / perusahaan
internasional yang berperan dalam pembelian kopi asal Sulawesi ini. Salah
satunya adalah Starbucks Coffee yang berperan sebagai pembeli dalam jumlah
terbesar, yaitu lebih dari 50% jumlah produksi kopi arabika di Sulawesi (Neilson,
et al. 2007) .
Starbucks Coffee merupakan perusahaan kopi asal AS yang memiliki
peran sangat penting dalam sistem perdagangan kopi internasional. Dalam upaya
mencapai suatu sistem perdaganagan kopi yang berkelanjutan, Starbucks Coffee
harus terus meningkatkan kualitas dan mengejar standar pasar yang terus
meningkat. Akibat persaingan ketat yang disebabkan adanya pasar bebas,
produsen berinovasi dengan cara meningkatkan kualitas dan standar keamanan
produk yang dijadikan objek dalam siklus pemasaranaya (Dolan & Humprey,
2004). Cara yang digunakan Starbucks Coffee agar memiliki sifat kegiatan
ekonomi yang berkelanjutan adalah terus mengikuti permintaan pasar yang
diaplikasikan dalam bentuk pemberian sertifikasi pada satu sistem mata rantai
nilai kopi Starbucks dan salah satunya adalah penerapan skema sertifikasi CAFÉ
Parctices di sistem mata rantai nilai spesialiti kopi Sulawesi Selatan. CAFÉ
Practices bertujuan untuk menilai, mendorong dan memberi penghargaan pada
petani, prosesor dan suplayer untuk mengadopsi aktifitas pengusahaan kopi yang
berkelanjutan. Hal ini dilakukan agar aktor lokal dalam sistem mata rantai nilai
2
Universitas Indonesia
kopi dapat terus berpartisipasi dalam perdagangan kopi global (C.A.F.E.
Practices Overview, 2004).
Sertifikasi sendiri dapat diaartikan sebagai dekomodifikasi suatu produk
yang homogen (Blackmore & Keeley, 2012). Maksud dekomodifikasi produk
adalah membuat sedemikian rupa suatu barang mentah hingga memiliki nilai
tambah, agar dapat dijual ke pasar. Secara eksplisit, sertifikasi dapat
meningkatkan nilai dari suatu produk karena diberlakukannya sistem standarisasi.
Gambar 1.1 Grafik pertumbuhan ekspor kopi Arabica dari Makasar , nilai dalam Ton dan USD/Kg. (Sumber: Neilson, et all. 2007)
Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi,
lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley,
2012). Salah satu skema sertifikasi yang digunakan di Toraja dan sangat
berpengaruh pada rantai perkopian di daerah tersebut adalah CAFÉ Practices (
Neilson, 2007). CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang hanya
digunakan oleh Starbucks Coffee (TNC). Tujuan utama dari skema sertifikasi
Ton USD/Kg
3
Universitas Indonesia
CAFÉ Practices adalah menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang
berkelanjutan, dengan cara:
1. Meningkatkan kualitas produk
2. Menciptakan transparansi transaksi jual beli agar tidak ada pihak
yang dirugikan
3. Adanya tanggung jawab sosial yang terkait dalam satu rantai
produksi
4. Serta terciptanya kegiatan produksi hingga konsumsi yang ramah
lingkungan (C.A.F.E. Practices Generic Evaluation Guedlines 2.0,
2007).
Seperti disebutkan sebelumnya, sertifikasi digunakan sebagai cara
meningkatkan kualitas dan suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada
karakter lokasi, lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore
& Keeley, 2012). Dalam penelitian ini, penulis menjadikan skema sertifikasi
CAFÉ Practices sebagai studi kasus, untuk melihat apakah sertifikasi CAFÉ
Practices ini merubah pola mata rantai nilai kopi arabika di tiga karakter wilayah
produksi yang berbeda (Studi kasus: Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang)
sejak diterapkan pada tahun 2008.
1.2 Masalah Penelitian
1. Bagaimana pola mata rantai nilai lokal / local value chain kopi arabika
sebelum dan sesudah diberlakukanya skema sertifikasi CAFÉ Practices
di Sulawesi Selatan?
2. Bagaimana efisisensi penerapan sertifikasi CAFÉ Practices tersebut
dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai kopi arabika di Sulawesi
Selatan ?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah melihat efisiensi penerapan
sertifikasi CAFÉ Practices dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai
kopi di Sulawesi Selatan, yaitu Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja dan
Enrekang.
4
Universitas Indonesia
1.4 Batasan Penelitian
a. Sertifikasi dalam penelitian ini diartikan sebagai sebuah skema yang
digunakan untuk memberikan nilai tambah baik dalam peningkatan
kualitas produk kopi maupun faktor eksternal dari produk kopi seperti
lingkungan dan sosial petani. Dalam penelitian ini, skema sertifikasi yang
digunakan sebagai studi kasus adalah sertifikasi CAFÉ Practices.
b. CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang bertujuan
menciptakan kegiatan produksi kopi yang bersifat berkelanjutan yang
diterapkan oleh Starbucks Coffee. Ada empat point penting yang menjadi
fokus skema sertifikasi ini; kualitas produk, transparansi keuangan,
tanggung jawab sosial dan menejemen lingkungan. Keempat point ini
dimaksud agar mampu menciptakan suatu sistem yang bersifat
berkelanjutan.
c. Rantai Nilai Lokal (Local Value chain) merupakan keseluruhan kegiatan
produksi komoditas kopi mulai dari inbound logistic, operation hingga
outbound logistic, yaitu komoditas kopi dalam bentuk biji hijau (green
bean) yang siap ekspor (belum sampai konsumen langsung). Dalam dua
tahapan inbound logistic dan operation terdiri dari tiga aktor (simpul) yang
selalu terkait dengan faktor lokasi pada setiap perpindahan tangan kopi.
Aktor yang terlibat dalam rantai nilai kopi ini adalah petani, tengkulak
(supplier) dan eksportir.
d. Analisis Mata Rantai Nilai/VC pada penelitian ini digunakan untuk
melihat bagaimana nilai tambah yang ada pada setiap aktor sebelum dan
setelah penerapan CAFÉ Practices. Dengan melihat hal tersebut, dapat
diketahui bagaimana respon/pengambilan keputusan yang dilakukan aktor
dan apa faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan tersebut yang
nantinya berpengaruh pada pola mata rantai nilainya.
e. Inbound Logistic merupakan tahap awal dalam satu kegiatan utama sistem
mata rantai nilai kopi yang terkait pada kegiatan mengusahakan kopi di
perkebunan.
f. Operation merupakan tahapan pengolahan kopi hingga dapat
didistribusikan ke aktor lain.
5
Universitas Indonesia
g. Outbound Logistic merupakan aktifitas utama yang terkait dengan
kegiatan pergudangan dan ekspor (distribusi barang ke aktor lain).
h. Aspek Tanggung Jawab Sosial pada penelitian ini diartikan sebagai
jaminan terjalinnya aktivitas jual beli kopi antara produsen dan pembeli
yang berkelanjutan.
i. Rewarding diartikan sebagai perpanjangan kontrak jual beli oleh eksportir
hasil dari kontinuitas penjualan pasokan kopi oleh tengkulak agar tercipta
aktifitas jual beli kopi yang berkelanjutan.
j. Aksesibilitas merupakan kemampuan petani kopi menentukan kepada
siapa kopi hasil panennya dijual serta biaya yang dikeluarkan agar mampu
menyalurkan kopi ke tangan berikutnya. Aksesibilitas bisa juga dilihat
dari biaya/ongkos yang dikeluarkan untuk bisa menjual kopi ke aktor/ordo
lebih tinggi.
k. Efisiensi pada penelitian ini dilihat dari sudut pandang masyarakat lokal di
wilayah penghasil kopi.
Efisien ≈ ∑ mrt2 ≤ mr t1
Tidak Efisien ≈ ∑ mrt2 > mr t1
mr = mata rantai (simpul)
t1= sebelum penerapan CAFÉ Practices
t2= setelah penerapan CAFÉ Practices
l. Petani kopi (produsen) diartikan sebagai seorang yang memiliki
pekerjaan mengusahakan kopi mulai dari menanam, pemetikan buah ceri
kopi hingga pengolahan menjadi kopi kulit tanduk.
m. Tengkulak /Supplier adalah seorang yang berperan membeli kopi dari
petani. Tengkulak membeli kopi dari petani dalam bentuk kopi kulit
tanduk.
n. Eksportir merupakan sebuah instansi / badan usaha yang berperan
membeli kopi dalam bentuk kopi tanduk, kemudian melakukan
pengupasan menjadi kopi biji hijau yang siap diekspor.
6
Universitas Indonesia
o. Kopi Kulit Tanduk merupakan hasil pengupasan tahap satu dari buah
kopi.
p. Kopi Biji Hijau merupakan hasil pengusahaan tahap dua dari buah kopi
atau hasil pengupasan dari kopi kulit tanduk.
q. Liter Buco merupakan satuan liter yang digunakan tengkulak ketika
membeli kopi dari petani. Liter buco memiliki spesifikasi liter
memunjung.
r. Liter Perez merupakan satuan liter yang digunakan ekportir ketika
membeli kopi dari tengkulak. Liter perez memiliki kuantitas lebih sedikit
dibandingkan liter Buco.
7
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Pemasaran Terkait Perdagangan Internasional
Konsep pemasaran adalah mengetahui dan memahami konsumen dengan
baik sehingga dapat menghasilkan produk maupun jasa yang sesuai dengan
kebutuhan konsumen (Kotler, 2002). Tugas dari pemasar adalah membuat suatu
kebutuhan menjadi sebuah keinginan dan akhirnya menjadi sebuah permintaan.
Produk yang menjadi sebuah permintaan harus dapat memuaskan konsumen.
Untuk menganalisis hal tersebut, pemasar harus mengidentifikasi segmen pasar
yang diinginkan (Perreault et al, 2010), berdasarkan kondisi demografi,
psikografi, dan kebiasaan yang berbeda antar tiap pembeli.
Ketika suatu perusahaan telah memiliki konsumen, perusahaan harus tetap
membangun hubungan dengan konsumen tersebut agar tercipta suatu
keberlanjutan transaksi. Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan
peningkatan kualitas agar konsumen merasa puas dan tercipta suatu keberlanjutan
transaksi (Kotler, 2002). Dalam penelitian ini, inovasi dan standarisasi yang
diaplikasikan Starbucks Coffee adalah dalam bentuk skema sertifikasi CAFÉ
Practices.
Transformasi sistem perekonomian dunia setelah perang dunia dua telah
memberikan dampak yang luar biasa hingga saat ini. Dampak yang sangat
signifikan terasa adalah munculnya perusahaan internasional / Trans Nasional
Corporations (TNC) yang mendominasi sistem perekonomian dunia. Proses
produksi yang tadinya hanya terikat di satu wilayah, berubah melintasi batas
Negara (Golledge et al, 1997). Inilah yang disebut era globalisasi dimana batas
Negara tidak lagi menjadi hambatan dalam setiap kegiatan, terutama kegiatan
ekonomi.
2.1.1 Pemahaman TNC (Trans National Corporation)
TNC (Trans National Corporation) merupakan perusahan yang
memproduksi dan mendagangkan suatu produk dengan melewati batas nasional
(Waitt et al, 2000). TNC ini sendiri memiliki peran paling besar dalam satu sistem
8
Universitas Indonesia
pasar global. Hal ini dapat terjadi karena TNC lah yang mampu memproduksi
barang dengan menggunakan bahan baku dari negara berbeda dan didistribusikan
ke Negara lain pula. Pada penelitian ini, TNC diperankan oleh Starbucks Coffee
yang dalam satu sistem mata rantai nilai kopinya tidak hanya terletak di satu
daerah lokal, tapi juga melewati batas Negara. Sulawesi Selatan menjadi salah
satu wilayah produksi kopi yang terikat dengan sistem mata rantai nilai Starbucks
Coffee.
2.2 Konsep Sertifikasi
2.2.1 Latar Belakang Munculnya Sertifikasi
Dasar munculnya sertifikasi tidak lepas dari konsep dasar pemasaran, yaitu
mengetahui dan memahami konsumen dengan baik sehingga suatu produk
maupun jasa dapat sesuai dengan kebutuhan konsumen (Kotler, 2002). Tugas dari
pemasar adalah membuat suatu kebutuhan menjadi sebuah keinginan dan akhirnya
menjadi sebuah permintaan. Untuk menganalisis hal tersebut, pemasar harus
mengidentifikasi segmen pasar yang diinginkan (Perreault et al, 2010),
berdasarkan kondisi demografi, psikografi, dan kebiasaan yang berbeda antar tiap
pembeli.
Ketika suatu perusahaan telah memiliki konsumen, perusahaan harus tetap
membangun hubungan dengan konsumen tersebut agar tercipta suatu
keberlanjutan transaksi. Caranya adalah dengan melakukan inovasi dan
peningkatan kualitas agar konsumen merasa puas dan tercipta suatu keberlanjutan
transaksi (Kotler, 2002).
Di era globalisasi ini, segala jenis informasi dengan mudah didapat oleh
konsumen, mulai dari sumber produk, bagaimana produk diolah, bagaimana
perusahaan bertanggung jawab atas tenaga kerja, mulai dari bahan mentah hingga
barang jadi, bahkan bagaimana tanggung jawab perusahaan dengan ekosistem
terkait dengan kegiatan produksi. Mudahnya informasi didapat oleh konsumen
menjadi tantangan tersendiri bagi para perusahaan.
Selain kepuasan yang didapat dari suatu produk, konsumen yang telah
memiliki cara pandang lebih tinggi seperti kesadaran atas keseluruhan sistem
9
Universitas Indonesia
rantai produksi harus ramah lingkungan dan tidak merugikan pekerja, menjadi
aspek penting yang harus diperhatikan perusahaan agar konsumennya tetap
setia. Perubahan selera konsumen saat ini berubah, ditandai dengan
meningkatnya permintaan terkait produk yang sehat dan berkualitas tinggi serta
kesadaran proses produksi yang etis (Barret et al 1999). Maka atas dasar ini
muncul suatu standarisasi, yang dalam kaitannya dengan mata rantai nilai kopi
disebut sertifikasi.
Terdapat berbagai jenis sertifikasi yang dipakai oleh perusahaan kopi
tergantung target konsumen mereka. Ada yang orientasinya khusus pada
keberlanjutan ekosistem sekitar perkebunan kopi, yaitu sertifikasi Rain Forest
Alliance. Khusus Starbucks Coffee, skema sertifikasi yang digunakan adalah
CAFÉ Practices yang bertujuan menciptakan suatu sistem mata rantai nilai kopi
yang berkelanjutan.
Sertifikasi dapat diartikan sebagai dekomodifikasi suatu produk yang
homogen. Secara eksplisit, Sertifikasi dapat meningkatkan nilai dari suatu produk,
contohnya adalah kopi, komoditas yang akan menjadi bahasan utama dalam
penelitian ini. Terkait dengan konsep pemasaran, sertifikasi ini diartikan sebagai
inovasi dan peningkatan kualitas agar dapat memuaskan konsumen. Sertifikasi itu
sendiri hanya akan efektif tergantung karakter tempat, lingkungan, kemampuan
dan kapasitas petani yang sesuai. Jika dikaitkan dengan modal bantuan yang
dikeluarkan untuk menciptakan suatu produk kopi dengan tujuan meningkatkan
minat beli konsumen, maka sertifikasi disini dapat dikatakan sebagai bentuk baru
dari monopoli perdagangan (private regulation) dimana perusahaan mengambil
alih suatu keputusan dari permintaan pasar (Blackmore & Keeley, 2012).
2.2.2 CAFÉ1 Practices
CAFÉ Practices merupakan skema sertifikasi yang bertujuan menciptakan
kegiatan produksi kopi yang bersifat berkelanjutan. Ada empat point penting yang
menjadi fokus skema sertifikasi ini, kualitas produk, transparansi keuangan,
tanggung jawab sosial dan menejemen lingkungan. Keempat poin ini dimaksud
agar mampu menciptakan suatu sistem perdagangan kopi yang bersifat
1 Coffee and Farmer Equity
10
Universitas Indonesia
berkelanjutan. Dalam penelitian ini, cakupan penerapan sistem CAFÉ Practices
adalah semua aktor yang berada di Sulawesi Selatan setelah tahun 2008, yaitu saat
di mana skema CAFÉ Practices diterapkan di Sulawesi Selatan.
2.3 Konsep Rantai Nilai (Value Chain)
Value chain dapat diartikan sebagai keseluruhan aktivitas yang akan
menghasilkan sebuah produk ataupun servis yang terdiri dari beberapa proses,
yang hasil akhirnya akan diantarkan kepada konsumen (Hellin & Meijer, 2006).
Tujuan utama dari value chain adalah untuk menciptakan produk atau layanan
yang memiliki nilai tambah untuk pasar dengan cara mengolah sumber daya
dengan menggunakan sarana yang tersedia. Dalam implementasinya, selain ada
peluang juga terdapat hambatan terkait lingkungan di dalam sistem tersebut.
Hambatan yang terkait pengembangan sistem ini adalah sudut pandang yang
terkait dengan akses pasarnya, baik lokal, regional maupun internasional. Selain
akses ke pasar, hambatan yang termasuk dalam sistem ini adalah orientasi pasar
(Grunert et al. 2005), ketersediaan sumber daya, infrastruktur fisik (Porter 1998:
factor conditions ) serta institusi terkait (Regulative, Cognitive and Normative;
Scott 1995).
Value chain itu sendiri terdiri dari dua aktifitas, yaitu aktifitas utama dan
pendukung (Porter, 1998). Yang termasuk dalam aktifitas utama pada mata rantai
nilai:
a. Inbound Logistic: Proses kegiatan dari menerima, menggudangkan
komoditas mentah dan mendistribusikanya ke tempat pengolahan
pertama
b. Operation: proses merubah produk mentah menjadi barang jadi
serta adanya adanya pemberian servis
c. Outbond logistic: pergudangan dan pendistribusian barang jadi
d. Marketing: kegiatan mengidentifikasi kebutuhan konsumen untuk
peningkatan penjualan
e. Sales: Kegiatan pendukung (pelayanan) pada konsumen setelah
produk dan servis telah terjual pada konsumen
11
Universitas Indonesia
Sedangkan yang termasuk kegiatan pendukung:
a. Infrastruktur perusahaan: struktur organisasi, sistem
pengontrolan, budaya dalam dalam perusahaan
b. Menejemen sumber daya manusia: perekrutan tenaga kerja,
penerimaan, pelatihan, pengembangan dan pembayaran gaji
c. Pengembangan teknologi: teknologi yang dipakai untuk
mendukung kegiatan dalam memberi nilai tambah
d. Procurement: proses pembayaran/transaksi dalam usaha
memperoleh material, supplai dan peralatan yang terkait
Semua yang masuk dalam kegiatan pendukung ada pada setiap tingkat
kegiatan utama.
Terkait dengan mata rantai nilai, adanya standarisasi yang
diaplikasikan dalam bentuk sertifikasi seharusnya memeiliki dampak
yang positif untuk kegiatan produksi dan jual beli antar aktor.
Sertifikasi (standarisasi) seharusnya mampu meningkatkan efisiensi
Gambar 2.1 Konsep dasar sistem mata rantai nilai (Porter, 1998)
12
Universitas Indonesia
dengan mengurangi ongkos transaksi antar aktor yang berbeda dalam
satu mata rantai nilai (Cooper & Graffham, 2009)
2.3.1 Linkages
Biaya dalam setiap aktivitas penambahan nilai tidak akan pernah lepas dari
aktifitas lain yang ada dalam satu sistem mata rantai nilai. Kaitan selalu muncul
antar tiap aktifitas menjadikan munculnya dua tipe keterkaitan (linkage) (Porter,
1998):
1. Kaitan (linkage) dalam satu mata rantai nilai
Keterkaitan dalam setiap aktivitas penambahan nilai selalu masuk dalam satu
sistem mata rantai nilai. Secara umum, keterkaitan ini terjadi antar aktifitas utama.
Seperti keterkaitan antara inbound logistic dengan operation ataupun outbound
logistic. Dalam keperluannya untuk meminimalisir biaya, maka butuh dilakukan
analisis, dengan pertanyaan apa saja yang akan terpengaruh dalam melakukan
suatu aktifitas? Jika telah menemukan kunci keterkaitan antar aktifitas, maka
sebuah perusahaan akan dapat mengambil suatu tindakan yang bertujuan
meminimalisisr biaya mulai dari produksi hingga pemasaran (Porter, 1998).
2. Kaitan (linkage) antar aktor dalam rantai nilai dan kaitannya dengan
efisiensi
Keterkaitan lain dalam sitem mata rantai nilai adalah keterkaitan antar aktor.
Keterkaitan antar aktor juga sangat berperan dalam pengeluaran biaya suatu
perusahaan. Keterkaitan antar aktor ini dapat dicontohkan sebagai keterkaitan
antara penyaluran barang mentah hingga ke perusahaan pengolah. Dengan adanya
hubungan antar aktor, perusahaan berpeluang meminimalisisr biaya penyaluran
dari lokasi produksi barang mentah (Porter, 1998). Terkait dengan penelitian pola
mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan, keterkaitan antar aktor ini akan sangat
13
Universitas Indonesia
menentukan suatu efisiensi. Keterkaitan antar aktor ini bisa berdampak pada
peningkatan biaya yang dibayar perusahaan, maupun peningkatan biaya yang
dibayar petani agar hasil produksi barang mentahnya sampai ke tangan
perusahaan. Keterkaitan antar aktor ini dapat dijadikan dasar analisis efisiensi atau
kegagalan efisiensi akibat penerapan sertifikasi CAFÉ Practices.
2.4 Jaringan Komoditas (Commodity Network)
Dalam membahas rantai nilai suatu komoditas tidak akan lepas dari
berbagai proses produksi hingga konsumsi. Hubungan antara produksi hingga
konsumsi dapat diaplikasikan dalam bentuk jaringan / network concept (Hughes,
2004). Jadi, secara utuh, konsep jaringan digunakan untuk menyederhanakan
koneksi antara berbagai pemeran dalam rantai nilai, seperti manusia, perusahaan,
organisasi dll (Dicken et al., 2001; Thrift dan Olds, 1996). Analisis netwok dapat
dikembangkan dengan pendekatan teori actor-network (ANT). ANT (Actor
Network Theory) merupakan konseptualisasi spasial dari sebuah jaringan. Secara
singkat, ANT menyatakan bahwa jaringan komoditas selalu berada pada suatu
lokasi, bekerja pada suatu tempat dan waktu yang sudah jelas (Hughes, 2004).
2.5 Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan merupakan proses tingkah laku manusia yang
memiliki peran signifikan dalam konsep geografi. Terdapat berbagai aspek yang
mempengaruhi seorang individu dalam mengambil suatu keputusan, beberapa
diantaranya adalah aspek lingkungan, sosial, politik dan budaya (Golledge et al,
1997). Pembuktian aspek tersebut sebagai hal yang berpengaruh dalam
pengambilan keputusan dapat dilihat dari variabel struktural dan fungsional
individu seperti pekerjaan, agama, umur, status pernikahan. Sedangkan dari
variabel sosial/ budaya/politik adalah seperti pendapatan, kelas sosial, tingkat
pendidikan, etnis, kependudukan. Dari variabel spasial terdapat lokasi, kepadatan
dan distribusi karakter lokasi.
14
Universitas Indonesia
Sedangkan dalam penelitian ini, variabel yang dijadikan alat penentu
pengambilan keputusan oleh aktor mata rantai nilai kopi Sulawesi Selatan adalah
tingkat pendidikan, pendapatan, budaya dan karakter fisik (ketinggian dan
aksesibilitas). Pengambilan keputusan dalam sistem mata rantai nilai kopi menjadi
hal penting karena dalam setiap pergantian aktor terdapat aspek yang
mendasarinya yang terlihat diwakili oleh variabel tersebut.
2.6 Aksesibilitas
Aksesibilitas merupakan kemudahan suatu tempat dicapai dari tempat
lain. Aksesibilitas dapat diukur dari unsur jarak, waktu ataupun biaya yang terkait
infrastruktur. Selain ketiga tolok ukur aksesibilitas yang telah disebutkan, ada
tolok ukur non fisik yang menjadi tolok ukur akses ke suatu tempat, yaitu kelas
sosial atau etnis tertentu (Pacione, 2009). Kondisi jalan, ongkos dan relasi menjadi
variabel karena dirasa akan sangat signifikan berpengaruh dalam pengambilan
keputusan oleh aktor.
2.7 Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai peran sertifikasi CAFÉ Practices terhadap perubahan
pola mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan ini didasari oleh beberapa
penelitian ilmiah. Terdapat sekitar tiga penelitian yang terkait dengan mata rantai
nilai dan upgrading. Penelitian yang pertama adalah “Mempertahankan
Profitabilitas Industri Kopi Toraja”, (2007). Kopi merupakan salah satu komoditas
ekspor pemerintah provinsi Sulawesi Selatan. Hal ini tentunya mengakibatkan
banyak tenaga kerja yang terikat dalam sistem produksi ini. Penelitian ini
bertujuan memberikan solusi dan saran agar sistem produksi kopi ini terus
berjalan dan dapat menghasilkan keuntungan bagi keseluruhan aktor dalam
sistem.
Penelitian kedua adalah “Agricultural Value Chains in Developing
Countries A Framework for Analysis”, (2011). Globalisasi memberikan peluang
pada Negara berkembang untuk berkontribusi dalam pasar nasional maupun
internasional. Adanya kegiatan perdagangan internasional di Negara berkembang
15
Universitas Indonesia
akan memberi dampak pada berbagai aktor. Terutama produsen skala kecil,
mereka berada dalam pihak yang agak dirugikan karena minimnya modal yang
diinvestasikan, hanya menggunakan teknik tradisional, tenaga kerjanya hanya
bergantung pada saudara dan minimnya akses terhadap pasar internasional (De
Janvry dan Sadoulet 2005; Daviron dan Gibbon 2002; Reardon dan Barret 2000
dalam Trienekens, 2011). Atas dasar hal ini, produsen besar yang bergantung pada
produsen kecil sebagai suplayer bahan baku butuh meningkatkan kontrol dalam
kegiatan produksi, perdagangan dan distribusi dalam menjamin kualitas dan nilai
tambah suatu produk agar tetap laku di pasaran. Yang menjadi fokus penelitian ini
adalah bagaimana produsen kecil di Negara berkembang mendapatkan manfaat
dari adanya sistem perdagangan bebas ini. Metode yang digunakan adalah
menggunakan analisis kerangka mata rantai nilai.
Penelitian berikutnya yang terkait dengan mata rantai dan upgrading
adalah “From farm to super market: The trade in fresh horticultural produce from
sub-Saharan Africa to the United Kingdom”, (2004). Dalam dua puluh tahun
terakhir, produksi hortikultural segar telah ikut dalam perdagangan internasional.
Negara-negara berkembang seperti Kenya, Mexico dan Brazil merupakan
penghasil produk tersebut yang nantinya akan dijual ke Negara-negara
berkembang, seperti Negara di Eropa dan Amerika Utara (Barret et al, 2004).
Tingginya permintaan konsumen terhadap buah-buahan dan sayur seperti stroberi
dan kacang-kacangan juga berpengaruh terhadap tingginya angka impor
komoditas tersebut ke Negara-negara di Eropa, salah satunya adalah United
Kingdom. Negara-negara di sub-sahara merupakan produsen buah-buahan dan
sayuran yang dikirim ke United Kingdom. Menganalisis fenomena ini sebagai
evaluasi dari perdagangan bebas akan sangat bermanfaat bagi keberlanjutan
perdagangan di era globalisasi ini. Dalam penelitian, Pendekatan jaringan
digunakan untuk menganalisis bagaimana sistem rantai perdagangan produk
hortikultural. Studi kasus pada penelitian ini difokuskan pada Negara Kenya dan
Gambia yang mengekspor buah dan sayuran segar ke United Kingdom.
16
Universitas Indonesia
Judul, Tahun Wilayah
Penelitian
Ide Dasar
Tujuan Penelitian
Hasil Penelitian / Rekomendasi
Mempertahankan Profitabilitas
Industri Kopi Toraja, 2007,
Toraja-Sulawesi Selatan Oleh
Jeff neilson & Tony Marsh
Kopi memiliki peran
penting sebagai
komoditas ekspor
Sulawesi Selatan
Mengidentifikasi dan
memprioritaskan
hambatan-hambatan yang
mempengaruhi
profitabilitas komoditas
kopi di Toraja
Mengetahui kapasitas
industry dan lembaga-
lembaga pendukung
dalam berkontribusi
terhadap pembangunan
daerah di Toraja untuk
kesejahteraan petani
rakyat
Memberikan rekomendasi
bagaimana hambatan-
Melakukan kemitraan
industry
Pengkajian sosial
ekonomi atas proses
pengambilan keputusan
yang dimiliki oleh petani
Peningkatan praktik
pertanian yang baik serta
praktik yang mendukung
kelestarian lingkungan
Pembentukan mutu fisik
di Sulawesi
Perlindungan terhadap
merek dagang regional
dan kekhasan geografis
Table 2.1 Berbagai Penelitian Terkait Rantai Nilai, Rantai Komoditas dan Upgrading
17
Universitas Indonesia
hambatan itu dapat
diselesaikan
Mengidentifikasi para
kolaborator potensial di
Indonesia dan Australia
untuk proyek-proyek
masa depan SADI di KTI
Agricultural Value Chains in
Developing Countries A
Framework for Analysis, 2011,
Negara-negara berkembang Oleh
Jacques H. Trienekens
Globalisasi memeberikan
peluang pada Negara
berkembang untuk
berkontribusi dalam pasar
nasional maupun
internasional
Produsen butuh
meningkatkan kontrol
dalam kegiatan produksi,
perdagangan dan
distribusi dalam
Menunjukan kerangka
analisis rantai nilai
pertanian di Negara
berkembang
Mengidentifikasi
hambatan utama
upgrading dalam sistem
rantai nilai
Terdapat tiga elemen
utama dalam analisis
rantai nilai: Struktur
jaringan, Nilai tambah
dan Penguasaan
(termasuk susunan
organisasi antar aktor
rantai nilai)
Setiap aktor dalam rantai
nilai akan termotivasi
untuk meningkatkan
18
Universitas Indonesia
menjamin kualitas dan
nilai tambah suatu produk
posisi dalam rantai
dengan memberikan nilai
tambah
From farm to super market: The
trade in fresh horticultural
produce from sub-Saharan Africa
to the United Kingdom Oleh
Hazel R. Barret et al dalam
Geographie Of Commodity
Chain, 2004
Dalam 20 tahun terakhir,
hortikultural segar telah
diperdagangkan secara
global
Negara-negara sub-sahara
di Afrika merupakan
pengekspor hortikultural
segar ke Eropa,
khususnya United
Kingdom
Meninjau ulang berbagai
pendekatan studi
mengenai jaringan
komoditas global
horticultural segar
menggunakan pendekatan
jaringan
Akses terhadap
pendidikan, teknologi dan
inovasi menjadi faktor
penting dalam kesuksesan
ekonomis jaringan global
komoditas hortikultura
19
Universitas Indonesia
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Alur Pikir Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran sertifikasi CAFÉ Practices
pada perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi dan melihat efisiensi penerapan
sertifikasi CAFÉ Practices dilihat dari perubahan pola mata rantai nilai lokal
kopi itu sendiri di tiga karakter lokasi yang berbeda, yaitu Toraja Utara, Tana
Toraja dan Enrekang. Tujuan dari penelitian ini didasari oleh kutipan pernyatanan
“Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan,
kemampuan dan kapasitas petani tertentu” (Blackmore & Keeley, 2012).
Dalam penelitian ini, unsur yang akan dikaji adalah bagaimana respon
dari penerapan skema sertifikasi CAFÉ Practices pada aktor yang berperan dalam
keseluruhan mata rantai nilai lokal kopi arabika, yaitu dimulai dari petani,
supplier/tengkulak dan eksportir. Selain aktor yang berperan dalam mata rantai
nilai kopi ini, karakter fisik lokasi yaitu ketinggian sebagai dasar penentu lokasi
perkebunan, kondisi sosial petani, yaitu pendidikan, ekonomi yang dilihat dalam
mata pencaharian utama serta karakter budaya yang dilihat dari status kepemilikan
tanah atas dasar adat akan menjadi unsur yang unik dan berbeda di tiga lokasi
sebagai penentu pengambilan keputusan oleh petani.
Aksesibilitas berupa ongkos kirim dan kedekatan sosial serta ikatan
kontrak dengan eksportir juga akan menjadi bahan analisis penentu pengambilan
keputusan oleh para aktor yang terlibat dalam mata rantai nilai lokal di wilayah
penelitian. Hasil dari penelitian ini akan memperlihatkan bagaimana sertifikasi
berdampak pada pola mata rantai nilai dan bagaimana efisiensi penerapan
sertifikasi dilihat dari dampak yang dihasilkan pada pola mata rantai nilai.
20
Universitas Indonesia
3.2 Alur Kerja
Alur kerja penelitian dibagi kedalam empat poin, titik awal, kegiatan, hasil
kegiatan dan titik akhir. Agar lebih mudah dipahami, alur kerja dapat dilihat
dalam bentuk bagan (Gambar 3.2). Penentuan informan dilakukan dengan metode
purposive sampling (Yunus, 2010), yaitu mencari informan yang dianggap
mewakili untuk memberikan informasi dalam satu sistem mata rantai nilai lokal
kopi Sulawesi Selatan.
Gambar 3.1. Alur Pikir Penelitian
21
Universitas Indonesia
3.3 Pengolahan Data
Data diolah dengan pembuatan matriks dari data primer berdasarkan
variabel yang mempengaruhi perubahan mata rantai terkait penerapan sertifikasi
CAFÉ Practices. Karakter lokasi, kondisi sosial masyarakat, kondisi ekonomi,
kondisi budaya dan skala ekonomi merupakan unsur yang disesuaikan untuk
memahami alasan dari respon aktor dalam sistem mata rantai nilai setelah
penerapan sertifikasi CAFÉ Practices. Setelah data dikategorisasi dengan matriks,
maka dilakukan konstruksi bentuk respon penerapan sertifikasi CAFÉ Practices
yang menghasilkan sketsa pola respon aktor terhadap penerapan sertifikasi CAFÉ
Practices. Foto hasil lapang juga dikategorisasi, disesuaikan dengan kategori yang
telah dibentuk pada data hasil observasi dengan informan.
3.4 Analisis Data dan Penarikan Kesimpulan
Analisis yang dilakukan pada penelitian ini adalah analisis temporal,
analisis interaksi keruangan dan analisis komparasi keruangan. Analisis temporal
dilakukan karena ingin melihat fenomena di dua dimensi waktu berbeda, yaitu
pola mata rantai nilai sebelum dan setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ
Practices. Alasan mengapa dilakukan analisis interaksi keruangan adalah karena
pada penelitian ini setiap lokasi memiliki peran yang berbeda dalam aktifitas
mata rantai nilai kopi. Ada yang berperan sebagai lokasi produksi, ada yang
berperan sebagai lokasi jual beli dan ada pula yang berperan sebagai lokasi
pengolahan. Berbedanya aktifitas di setiap lokasi menyebabkan terciptanya arus
distribusi komoditas kopi.
Selain analisis interaksi keruangan, analisis komparasi keruangan juga
digunakan untuk melihat bagaimana fenomena distribusi komoditas kopi tersebut
di tiga daerah kajian yang berbeda. Analisis pada penelitian ini dilakukan setelah
dihasilkan 3 sketsa dari pengolahan data. Analisis pada penelitian ini bersifat
deskriptif yang mengacu pada :
a. Sketsa pola respon aktor terhadap penerapan skema sertifikasi
CAFÉ Practices dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi
Selatan
22
Universitas Indonesia
b. Sketsa pola mata rantai nilai lokal kopi sebelum diterapkan skema
sertifikasi
c. Sketsa pola mata rantai nilai lokal kopi setelah diterapkan skema
sertifikasi
Setelah melakukan analisis data, maka dilakukan pengambilan kesimpulan
berdasarkan data yang telah diolah dan dianalisis sehingga didapat informasi
mengenai dampak penerapan sertifikasi CAFÉ Practices pada pola mata rantai
nilai kopi dan bagaimana efisiensi penerapan sertifikasi dilihat dari pola mata
rantai nilai tersebut. Kesimpulan diambil berdasarkan relevansi antara masalah
penelitian dengan hasil analisis data.
23
Universitas Indonesia
Gambar 3.1. Alur Kerja Penelitian
24
Universitas Indonesia
BAB 4
PENGUSAHAAN KOPI DI SULAWESI SELATAN
4.1 Karakteristik Wilayah Penghasil Kopi
Dalam budidaya penanamanya, wilayah penghasil kopi di Sulawesi Selatan
terbagi ke dalam tiga daerah administrasi berbeda (Peta 4.1). Tiga daerah
administrasi tersebut, yaitu Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang dan memiliki
karakter fisik yang berbeda pula.
4.1.1 Kabupaten Toraja Utara
Kabupaten Toraja Utara beribukota di Rantepao, terletak antara 2°35’ -
3°09’ Lintang Selatan dan 119°36’ - 120°18’ Bujur Timur, yang berbatasan
dengan Kabupaten Luwu Utara dan Sulawesi Barat di sebelah Utara, pada sebelah
Timur berbatasan dengan Kabupaten Palopo dan Luwu serta pada sebelah Barat
berbatasan dengan Sulawesi Barat (Peta 4.2). Kabupaten Toraja ini sendiri juga
baru diresmikan pada tahun 2008 setelah adanya pemekaran wilayah. Awalnya
Toraja Utara ini merupakan bagian dari kabupaten Tana Toraja.
Luas wilayah Kabupaten Toraja Utara tercatat 1.151,47 km2
yang
meliputi 21 Kecamatan. Kecamatan Baruppu dan Kecamatan Buntu Pepasan
merupakan dua Kecamatan terluas dengan luas masing-masing 162,17 km2
dan
131,72 km 2
atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 25,52 % dari seluruh
wilayah Toraja Utara (BPS Torut, 2010).
Secara umum, wilayah penghasil kopi yang terdapat di Toraja Utara
terletak pada ketinggian ≥ 1500 mdpl. Bentang alam Toraja Utara terdiri dari tiga
buah dataran tinggi berlembah yang sejajar (Neilson, 2007).
25
Universitas IndonesiaPeta 4.1 Wilayah Penghasil Kopi di Sulawesi Selatan (Sumber: Pengolahan data 2013)
Bentang alam perkebunan
fisik jalan yang buruk mengakibatkan
sulit diakses (Gambar 4.1)
petani menggunakan motor
Tidak heran sering terjadi
rusak (Gambar 4.2).
Terkait kualitas kopi,
premium hasil produk kopinya
4.3). Bukan karena bagaimana
melainkan faktor alamiah
membuat kualitas kopi di
faktor yang berpengaruh adalah
1500 mdpl. Sappan merupaka
kualitas kopinya (Sarjana, Kepala KUD Sane
Gambar 4.1 Bentang alam
Universitas Ind
entang alam perkebunan kopi di Toraja Utara yang terjal dan
yang buruk mengakibatkan wilayah penghasil kopi di Toraja Utara
(Gambar 4.1). Umumnya, untuk mencapai ke perkebunan
unakan motor besar agar mampu melewati jalan yang sangat
sering terjadi longsor di wilayah ini mengakibatkan jalan
t kualitas kopi, Toraja Utara sangat terkenal dengan
hasil produk kopinya (kopi kulit tanduk asal Toraja Utara dalam Gamb
karena bagaimana perlakuan yang diberikan kepada tanaman
faktor alamiah dari lokasi tersebut yang para ahli kopi
kualitas kopi di Toraja Utara memiliki kualitas premium. Salah
berpengaruh adalah ketinggian lokasi penanaman kopi yang berada
l. Sappan merupakan salah satu desa penghasil kopi yang terkenal
kualitas kopinya (Sarjana, Kepala KUD Sane).
Bentang alam perkebunan kopi Toraja Utara, (Sumber: Survey lapang 2012)
26
Universitas Indonesia
erjal dan kondisi
kopi di Toraja Utara ini
ke perkebunan kopi,
jalan yang sangat terjal.
mengakibatkan jalan menjadi
terkenal dengan kualitas
Utara dalam Gambar
kepada tanaman kopi,
para ahli kopi katakan
premium. Salah satu
penanaman kopi yang berada ≥
desa penghasil kopi yang terkenal bagus
Survey lapang 2012)
27
Universitas Indonesia
4.1.2 Kabupaten Tana Toraja
Kabupaten Tana Toraja yang beribukota di Makale terletak antara 2°39’
- 3°24’ Lintang Selatan dan 119°21’ - 120°03’ Bujur Timur, yang berbatasan
dengan Kabupaten Toraja Utara dan Propinsi Sulawesi Barat di sebelah Utara dan
Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang di Selatan, serta pada sebelah Timur
dan Barat masing-masing berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Propinsi
Sulawesi Barat. Kabupaten Tana Toraja dilewati oleh salah satu sungai terpanjang
yang terdapat di Propinsi Sulawesi Selatan, yaitu Sungai Saddang (Peta 4.2).
Sebelum adanya pemekaran wilayah, Luas wilayah Tana Toraja tercatat
3.205,77 km2
yang terdiri dari 40 kecamatan. Setelah adanya pemekaran wilayah,
luas wilayah Kabupaten Tana Toraja tercatat 2.054,30 km2
yang meliputi 19
Kecamatan. Kecamatan Malimbong Balepe dan Kecamatan Bonggakaradeng
merupakan dua Kecamatan terluas dengan luas masing-masing 211,47 km2
dan
206,76 km2
atau luas kedua kecamatan tersebut merupakan 20,35 persen dari
seluruh wilayah Tana Toraja (BPS Tator, 2010). Karakter fisik perkebunan Toraja
Utara dan tana Toraja sesungguhnya hampir sama, hanya ketinggian saja yang
sedikit membedakan wilayah perkebunan Toraja Utara dengan Tana Toraja.
Umumnya perkebunan kopi di Tana Toraja terletak antara ketinggian 1000-1500
mdpl. Bituang dan Ge’tengan merupakan sebagian desa penghasil kopi yang ada
di Tana Toraja. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, kualitas kopi
Gambar 4.2 Kondisi jalan menuju perkebunan kopi Toraja Utara. (Sumber: Survey lapang 2012)
Gambar 4.3 Kopi tanduk asal Toraja Utara.(Sumber: Survey lapang 2012)
28
Universitas Indonesia
Tana Toraja umumnya lebih rendah dibandingkan dengan Toraja Utara.
Perbedaan dapat dilihat dengan membandingkan kondisi kopi kulit tanduk asal
Toraja Utara (Gambar 4.3) dengan asal Tana Toraja (Gambar 4.4).
4.1.3 Kabupaten Enrekang
Kabupaten Enrekang secara geografis terletak antara 3014’36’’ – 3
050’
Lintang Selatan dan antara 119040’53’’ – 120
06’33’’ Bujur Timur. Ketinggian
wilayah di kabupaten Enrekang ini pula bervariasi antara 47 – 3.329 mdpl.
Kabupaten Enrekang dibatasi oleh empat kabupaten berbeda, Kabupaten Tana
Toraja di Utara, Kabupaten Luwu di sebelah Timur, Kabupaten Sidenreng
Rappang di sebelah Selatan dan Kabupaten Pinrang di sebelah Barat (Peta 4.2).
Luas wilayah kabupaten ini adalah 1.786,01 km2 atau sekitar 2,83 % dari luas
Propinsi Sulawesi Selatan. Kabupaten Enrekang terdiri dari 12 kecamatan.
Kecamatan yang memiliki wilayah terluas adalah Maiwa yaitu sekitar 22 % dari
luas Enrekang (BPS Enrekang, 2010).
Gambar 4.4 Kopi kulit tanduk asal Tana Toraja. (Sumber: Survey lapang 2012)
Ketinggian wilayah
yang ada di Tana Toraja yaitu
perkebunan kopi dapat diliha
kopi yang dimiliki oleh kopi
Kondisi lereng yang terjal
menuju perkebunan di daerah
(Gambar 4.6). Kondisi jalan
Hal ini sangat terkait dengan dist
Gambar 4.
Gambar 4.6
Universitas Ind
layah perkebunan kopi di Enrekang hampir sama
Tana Toraja yaitu sekitar ketinggian 1000-1500 m, dan bentang
kopi dapat dilihat di Gambar 4.5. Hal ini menyebabkan kualitas ala
dimiliki oleh kopi Enrekang tidak sebaik yang ada di Toraja
lereng yang terjal di Enrekang ini, khususnya Baraka membuat
perkebunan di daerah ini menjadi sangat buruk akibat tanah yang
Kondisi jalan akan semakin buruk jika sedang terjadi musim hujan.
i sangat terkait dengan distribusi kopi yang ada.
.5 Bentang alam perkebunan kopi di Enrekang. (Sumber: Survey lapang 2012)
Kondisi jalan menuju perkebunan kopi di Enrekang.(Sumber: Survey lapang 2012)
29
Universitas Indonesia
hampir sama dengan
, dan bentang alam
nyebabkan kualitas alami
ada di Toraja Utara.
Baraka membuat akses
akibat tanah yang longsor
usim hujan.
30
Universitas Indonesia
Peta 4.2 Administrasi Kabupaten Toraja Utara, Tana Toraja & Enrekang (Sumber: Pengolahan data 2013)
31
Universitas Indonesia
4.2 Sejarah Industri Kopi di Sulawesi Selatan
Perusahan yang pertama kali berkecimpung di industri kopi Sulawesi
Selatan khususnya Toraja adalah Key Coffee asal Jepang. Sekitar tahun 1976,
Key Coffe menugaskan Toarco sebagai eksportir kopinya untuk membina dan
mengelola berbagai kegiatan pengusahaan kopi agar memiliki kualitas bagus.
Pembinaan petani di Toraja dimulai oleh Toarco sekitar tahun 1977. Petani dibina
karena mereka tidak punya kemampuan bertanam yang baik, padahal potensi
alamnya sangat cocok untuk produksi kopi.
Setelah hampir 20 tahun menjadi pembeli tunggal, sekitar tahun 1997,
Starbucks Coffee yang diwakili oleh KUD Sane sebagai eksportir mulai
berkecimpung dalam sistem mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan. Starbucks
masuk sebagai pendatang dengan konsekuensi yang sangat besar. Starbucks harus
memliki kekuatan agar mampu bertahan melawan pemain senior di Sulawesi
Selatan. Membeli kopi dengan harga tinggi, yaitu sama dengan harga Toarco,
serta terbukanya KUD menerima kopi dari siapapun membuat Toarco cukup
tersaingi. Ditambah lagi Toarco hanya membatasi pembelian kopinya untuk
daerah Toraja Utara dan sedikit Tana Toraja. Hal ini menyebabkan Toarco kadang
kesulitan mendapat kopi karena produksi kopi di daerah tersebut tidak stabil.
Untuk KUD Sane, agar mereka tetap dapat membeli kopi dari Sulawesi Selatan,
mereka juga membeli dari petani Enrekang yang dapat dikatakan produksi
kopinya konsisten. Tabel 4.1 di bawah ini memperlihatkan perbandingan asal
pembelian kopi antara KUD Sane dan Toarco:
Tabel 4.1Asal pembelian kopi oleh Toarco dan KUD Sane, (Sumber: Data administrasi KUD & Toarco
2008)
Asal Pembelian Kopi Oleh Toarco Asal Pembelian Kopi Oleh KUD Sane
Sapan Bittuang Ke'pe Bituang AllaMinanga Ge'tengan Sapan Toraja Campur BarakkaSarambu Makale Minanga
LandorundunBaruppu
Ke'peSesean KeteranganBuntu Toaraja Utara
Parindingan Tana TorajaRantepao Enrekang
Bokin
32
Universitas Indonesia
4.3 Kondisi Umum Industri Kopi
4.3.1 Kondisi Umum Industri Kopi Toraja Utara
Dalam produksi hasil perkebunan, tanaman perkebunan yang dominan di
Kabupaten Toraja Utara adalah tanaman kopi yang berproduksi sebesar 2.102,00
ton pada 2009. Jumlah produksi kopi arabika dihasilkan paling banyak di
kecamatan Buntu Papasan yaitu sekitar 372 ton pada tahun 2009 dari perkebunan
rakyat seluas 1.553 Ha dari keseluruhan perkebunan rakyat seluas 8.832 Ha (BPS
Toraja Utara, 2010). Umumnya, desa yang memproduksi kopi terbanyak terletak
pada ketinggian ≥ 1500 mdpl dan umumnya pula memiliki kondisi jalan yang
buruk (Neilson, 2007).
Petani kopi di Toraja Utara umumnya adalah petani yang hanya
mengusahakan pertanian kopi nya dengan cara tradisional. Umumnya, petani di
lokasi ini tidak memiliki modal untuk mengusahakan kopi yang ditanam, karena
ada kebutuhan seperti upacara adat yang menurut mereka lebih penting. Sappan
dan Ke’pe merupakan sebagaimana wilayah produksi kopi utama yang memasok
kopi ke KUD Sane dan menjadi studi kasus penelitian perubahan mata rantai nilai
lokal kopi arabika di wilayah ketinggian ≥ 1500 mdpl.
Berdasarkan fakta lapang, kopi hasil produksi Toraja Utara tidak hanya
dibeli oleh KUD Sane, melainkan juga Tarco, yaitu sebagai pemain senior dalam
industri kopi Toraja. Adanya dua perusahan besar yang ikut andil dalam satu
lokasi penghasil kopi seperti di Toraja ini membuat suatu persaingan pembelian
kopi yang sangat ketat. Persaingan semakin ketat karena jumlah produksi kopi
asal Toraja Utara yang tidak banyak dibandingkan dengan Enrekang, hanya
sekitar 100-200 kg/Ha (Neilson 2007).
4.3.2 Kondisi Umum Industri Kopi Tana Toraja
Sama seperti Toraja Utara, tanaman perkebunan yang dominan di
Kabupaten Tana Toraja adalah tanaman kopi yang berproduksi sebesar 2.351 ton
pada 2009. Jumlah produksi kopi arabika dihasilkan paling banyak di kecamatan
Bittuang yaitu sekitar 462 ton pada tahun 2009 dari perkebunan rakyat seluas
33
Universitas Indonesia
1.459,25 Ha dari keseluruhan perkebunan rakyat seluas 8.940,75 Ha (BPS Tana
Toraja, 2010). Sedangkan untuk ketinggian perkebunan di Tana Toraja, umumnya
terletak pada 1000 – 1300 mdpl (Neilson, 2007).
Petani skala kecil juga menjadi karakter petani kopi di Tana Toraja.
Bituang dan Ge’tengan merupakan wilayah produksi kopi yang juga memasok
sebagian kopi ke KUD Sane. Wilayah produksi ini berada pada rata-rata
ketinggian 1000-1500 mdpl. Toarco juga masih berperan dalam pembelian kopi di
Tana Toraja, namun persaingan tidak terlalu ketat seperti di Toraja Utara.
4.3.3 Kondisi Umum Industri Kopi Enrekang
Berbeda dari Toraja Utara dan Tana Toraja, kopi bukanlah komoditas
dominan dibandingkan dengan sayur-sayuran. Walaupun demikian, bukan berarti
Enrekang sama sekali tidak memproduksi kopi.
Berdasarkan data BPS 2009, Kecamatan Baraka dan Buntu Batu
merupakan daerah yang memiliki perkebunan kopi paling luas dibanding
kecamatan lain di Enrekang, yaitu 1990 Ha dan 2116 Ha dengan produksi kopi
781,2 ton dan 935,7 ton. Selain itu, berbanding lurus dengan luas perkebunan dan
hasil produksi kopi, jumlah petani terbanyak juga terdapat di kecamatan ini, yaitu
2.221 dan 3.373 petani. (BPS Enrekang, 2010).
Di Enrekang, Baraka menjadi salah satu wilayah produksi kopi yang
cukup berperan memasok kopi ke KUD Sane. Rata-rata ketinggian wilayah
produksi kopi di Enrekang terletak pada 1000-1500 mdpl.
Sangat berbeda dengan Toraja Utara dan Tana Toraja, Toarco tidak ikut
bersaing dalam pembelian kopi di Enrekang ini. Hanya KUD Sane yang menjadi
pembeli tunggal kopi asal Enrekang. Keuntungan juga didapat KUD karena
walupun pengusahaan kopi masih tradisional, jumlah produksi kopi di Enrekang
ini jauh lebih besar dibanding dua lokasi sebelumnya (Tana Toraja dan Toraja
Utara). Enrekang bisa menghasilkan sekitar 400-500 kg/Ha kopi dalam setiap
panen (Neilson, 2007).
34
Universitas Indonesia
BAB 5
PERAN SERTIFIKASI CAFÉ PRACTICES PADA PERUBAHAN
POLA MATA RANTAI NILAI LOKAL KOPI DI SULAWESI
SELATAN
5.1 Kondisi Mata Rantai Nilai kopi
5.1.1 Manusia / Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi
Selain kaitan dengan karakter fisik, sistem mata rantai nilai kopi di
Sulawesi Selatan juga memiliki kaitan kuat dengan peranan manusia/aktor di
dalamnya. Karakter manusia yang berbeda dipengaruhi oleh beberapa indikator.
Beberapa karakter yang mempengaruhi para aktor dalam setiap pengambilan
keputusan atau suatu tindakan dibagi kedalam tiga kelompok, sosial, ekonomi dan
Budaya (Goledge, 1997). Indikator yang diambil dalam karakter sosial dalam
penelitian ini adalah tingkat pendidikan para aktor, sedangkan dari ekonomi
adalah besar kontribusi kopi pada keseluruhan pendapatan (khusus petani),
sedangkan dari sisi budaya adalah ikatan dengan acara seremonial serta aturan
dalam pengaturan status kepemilikan tanah.
5.1.1.1 Tingkat Pendidikan Aktor Dalam Sistem Mata Rantai Nilai
a. Petani kopi
Berdasarkan hasil observasi dengan beberapa petani di Sulawesi Selatan,
umumnya mereka lulusan SD bahkan ada yang tidak lulus. Di Toraja Utara
contohnya “ Saya mah SD aja ga lulus” (Ibu Nita, petani kopi Toraja Utara). Hal
ini juga terjadi di Tana Toraja dan Enrekang. Terdapat hal menarik pada petani di
Enrekang, tingkat pendidikan rendah tidak menjamin petani selalu diam tanpa
inisiatif. Pak Burhanudin misalnya, beliau adalah seorang petani di Baraka, dilihat
dari perjalanannya sebagai petani, Pak Burhanudin termasuk ulet sehingga dapat
masuk ke dalam dunia perkopian Sulawesi Selatan. Pak Burhanudin lebih melihat
dampak jangka panjang dalam pengusahaan kopi. Jika konsisten dalam bidang
35
Universitas Indonesia
perkopian, Pak Burhanudin beranggapan bahwa akan ada hasil memuaskan yang
didapat, asal ada niat baik.
Sedangkan petani di Toraja Utara maupun Tana Toraja umumnya hanya
menanam jika harga kopi tinggi dan bekerja hanya musim panen. Mereka jarang
merawat pohon kopi, seperti memotong pucuk yang terlalu tinggi dan menanam
tanaman penaung, bahkan saat harga kopi rendah, mereka lebih memilih tidak
mengolah kebun kopinya, atau jika pun ada kopi hanya hasil yang tumbuh secara
alami tanpa ada usaha pemeliharaan. Dalam kasus penelitian ini, status pendidikan
pada petani tidak menjadi penghalang untuk memajukan pengusahaan pertanian
kopi. Hal ini tergantung sifat dan karakter individu masing-masing yang
dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi dan budaya.
b. Tengkulak Relasi
Berdasarkan hasil penelitian, tengkulak yang memiliki ikatan jual beli
dengan KUD adalah tengkulak relasi. Hasil wawacara dengan tengkulak relasi,
umumnya mengindikasikan bahwa tengkulak lebih melihat prospek jangka
panjang dari industri kopi. Umumnya, tengkulak mengenyam pendidikan lebih
tinggi atau memiliki kemampuan baca dan berhitung lebih baik dibanding petani
bisaa.
“ Saya lulusan D3 di Toraja, tapi saya lebih memilih kembali
berkecimpung di bidang perkopian, karena sepertinya prospeknya bagus” (Lukas,
tengkulak Toraja Utara).
Pak Lukas telah cukup lama memiliki relasi dengan KUD, dia mengatakan
bahwa lebih baik konsisten menjual kopi pada satu perusahaan, karena relasi akan
sulit dibangun jika kita tidak konsisten.
c. KUD Sane
Berbeda denga petani dan tengkulak, sumber daya manusia yang direkrut
di KUD Sane secara umum lebih memiliki keterampilan. Tenaga kerja yang
dibutuhkan adalah yang cukup ahli dan memiliki pengetahuan mengenai pertanian
dan ekonomi. Tenaga ahli di KUD Sane umumnya didatangkan dari Jawa,
36
Universitas Indonesia
sedangkan pegawai diambil dari sekolah kejuruan yang ada di Toraja. Tingginya
status pendidikan yang dimiliki oleh KUD ini pula yang berpengaruh pada
pengambilan keputusan membeli maupun menolak kopi dari tengkulak.
5.1.1.2 Kontribusi Pengusahaan Kopi Pada Pendapatan Petani
a. Toraja Utara
Kontribusi penjualan kopi di Toraja Utara hanya 21 % dari keseluruhan
pendapatan yang diperoleh (Neilson et al, 2011). Sisa pendapatan diperoleh dari
kiriman anak yang bekerja di luar Toraja (remittance). Selain itu, dari 23 rumah
tangga di Toraja Utara, hanya satu keluarga yang terindikasi menggantungkan
pendapatannya pada kopi (Shonk, 2012). Kontribusi yang diberikan kopi kepada
petani nantinya dapat dijadikan penjelasan atas fenomena yang terjadi setelah
diterapkannya skema sertifikasi.
b. Tana Toraja
Tidak seberapa jauh dengan Toraja Utara yang kontribusi kopi dibawah
50%, di Tana Toraja besarnya hanya 13 % (Neilson et al, 2011). Dan sisanya
menggantungkan hidup pada kiriman anak yang bekerja di luar Toraja.
Fenomena ini hanya terjadi di Toraja dan akan berbeda dengan karakter
Enrekang, khususnya Baraka. Kecilnya kontribusi kopi ini akan lebih jelas lagi
dibahas pada karakter budaya masyarakat Toraja.
c. Enrekang
Berbeda dengan petani kopi di Toraja Utara dan Tana Toraja, petani kopi
Enrekang khususnya Kecamatan Baraka sangat besar menggantungkan
pendapatannya pada kopi.
“ Kalo dikira-kira, petani di sini 70 % pendapatannya ya dari kopi,
sisanya menanam sayur atau salak. Kopi harganya bagus, dan sepertinya
pasarnya jelas. Kalo ga dari kopi, buat makan pasti susah” (Burhanudin, Petani
& Tengkulak).
37
Universitas Indonesia
Berdasarkan bahasan mengenai kontribusi kopi terhadap pendapatan
petani, terdapat variasi di tiga lokasi berbeda. Besaran kontribusi dari kopi pada
keseluruhan pendapatan petani akan sangat berpengaruh pada respon petani jika
sertifikasi CAFÉ Practices diterapkan. Respon ini dapat dilihat dan akan masuk
kedalam bahasan penerapan skema sertifikasi CAFÉ Practices pada sub bab 5.2.
5.1.1.3 Pengaruh Budaya Pada Pengusahaan Kopi
a. Toraja Utara dan Tana Toraja
Toraja Utara dan Tana Toraja memiliki kesamaan budaya yang kental.
Upacara adat yang khas asal Toraja ternyata sampai saat ini masih sangat kuat
diterapkan di lingkungan penduduk desa. Salah
satunya adalah upacara adat pemakaman.
Dalam melaksanakan upacara adat pemakaman
penduduk Toraja membutuhkan biaya yang
sangat besar dan dalam kepercayaan mereka,
salah satu biaya terbesar digunakan untuk
merancang dan menghias makam (Gambar
5.1).
Walaupun biaya yang dikeluarkan untuk
upacara pemakaman sangat mahal, masyarakat
Toraja harus tetap melaksanakan upacara
pemakaman jika ada keluarga yang meninggal.
Bagi kerabat yang berduka, mereka harus membawa bingkisan jika sedang
melayat. Bingkisan itu bisa berupa kerbau atau bisa juga babi. Jika tidak
membawa bingkisan, mereka akan malu dan dianggap sebagai keluarga yang
tidak memiliki jiwa sosial.
Oleh karena itu, umumnya masyarakat Toraja lebih memilih merantau
untuk mencari uang sebanyak mungkin agar dapat dikirim untuk melakukan
upacara pemakaman maupun membeli kerbau atau babi sebagai bingkisan untuk
keluarga yang berduka. Inilah alasan mengapa jika harga kopi turun, penduduk
Gambar 5.1 Contoh makam adat Toraja. (Sumber: Survey lapang 2012)
38
Universitas Indonesia
Toraja enggan menanam kopi, karena hasil yang diperoleh tidak seberapa. Jika
harga kopi tinggi, penduduk Toraja bersedia menanam kopi kembali.
Selain acara seremonial, faktor kepemilikan tanah juga sangat berperan.
tanah yang dimiliki petani kopi di Toraja adalah tanah adat yang merupakan
warisan nenek moyang. Adanya ikatan dengan tanah adat mengakibatkan petani
tidak bisa menjual dan mereka tidak akan bisa membeli tanah orang lain dengan
bebas (Sarjana, Kepala KUD Sane). Jika dikaitkan dengan skala ekonomi, jumlah
produksi kopi yang dihasilkan dari luas tanah yang sempit akan sedikit, bahkan
cenderung menurun. Ikatan yang kuat dengan tanah adat menghambat petani
memperbesar skala produksi kopinya. Jumlah produksi kopi pun tidak
proporsional dengan biaya angkut (ongkos transport) yang ada. Petani yang luas
tanahnya sempit, menanam kopinya hanya saat kopi memiliki harga tinggi.
Sedangkan saat harga kopi turun, pohon kopi tidak dirawat. Petani umumnya
hanya mengusahakan kopi saat musim panen (Neilson, 2007). Akan sulit
memang menggantungkan pendapatan pada kopi, terlebih lagi tuntutan
memperoleh pendapatan besar untuk upacara pemakaman selalu jadi masalah
utama. Oleh karena itu banyak generasi muda yang memilih merantau untuk
mencari uang sebanyak mungkin agar nantinya dapat dikirim ke desa. Hal inilah
yang menyebabkan jumlah produksi kopi di Toraja tidak terlalu besar, padahal
kualitas kopi di sini sudah diakui bagus oleh pasar ( Neilson, 2007).
b. Enrekang
Jauh berbeda dengan Toraja yang memiliki ikatan kuat dengan budayanya,
kegiatan produksi dan penjualan kopi oleh petani di Enrekang sama sekali tidak
terikat dengan budaya maupun adat. Kontribusi kopi yang tinggi pada
pendapatan menggambarkan dengan jelas bahwa kopi adalah mata pencaharian
utama. Selain itu, status kepemilikan tanah di Enrekang sama pada daerah lain di
Indonesia pada umumnya, tanah bisa dibeli jika antara dua pihak pemilik dan
pembeli setuju. Seperti yang dikatakan Pak Burhanudin, bahwa saat ini dia punya
tanah perkebunan kopi seluas 4 Ha, padahal awalnya tidak seluas itu. Karena dia
terus mendapat keuntungan dengan konsisten menanam dan merawat kopi,
untung yang dia peroleh disisihkan untuk membeli tanah baru untuk digarap.
39
Universitas Indonesia
Berdasarkan perbandingan tiga lokasi yang berbeda pada penelitian ini,
selain pendidikan dan kontribusi pengusahaan kopi pada pendapatan, ikatan
budaya juga memiliki peran sangat kuat dalam pengusahaan kopi di Sulawesi
Selatan terutama dalam ikatan dengan tanah adat.
5.1.2 Aktivitas Utama Dalam Sistem Mata Rantai Nilai Lokal Kopi
Dalam menganalisis satu sistem mata rantai nilai kopi, harus kita ketahui
terlebih dahulu aktivitas utama dan pendukung. Dalam tinjauan aktivitasnya,
perdagangan kopi arabika di Sulawesi Selatan tidak bisa lepas dari kekuatan
perusahan internasional (Starbucks) (Gambar 5.2), yaitu sebagai salah satu
perusahaan internasional pembeli kopi terbesar yang ada di Sulawesi Selatan.
Starbucks Coffee berperan membawa kopi arabika asal Sulawesi Selatan masuk
ke pasar internasioanl. Jika hanya mengandalkan petani lokal, kemungkinan kopi
arabika asal Sulawesi Selatan untuk masuk pasar internasional akan sangat kecil,
dan bahkan tidak mungkin. Oleh karena itu, agar mampu memasuki pasar
internasional, dibutuhkan adanya tenaga / power yang diberikan ke aktor lokal
seperti petani.
Kopi arabika selama ini memang menjadi komoditas ekspor di Sulawesi
Selatan. Meminum kopi belum menjadi sebuah kebisaaan masyarakat Sulawesi
Selatan, sehingga komoditas yang mereka Tanam (kopi arabika) bukan lah untuk
konsumsi lokal (Berdasarkan obesrvasi lapang, 2012). Selain itu, jikapun
masyarakat ingin meminum kopi, mereka lebih memilih kopi robusta atau kopi
bungkus merek lokal. Oleh karena itu, melihat kopi arabika tumbuh sangat baik di
Sulawesi Selatan, ditambah lagi penduduk tidak terlalu tertarik mengkonsumsi
kopi arabika, maka para pengusaha internasional melirik kesempatan pasar ini
agar mampu memperoleh keuntungan yang besar dengan melakukan penambahan
nilai. Ketertarikan pasar terhadap kopi arabika membuat pengusaha mengeluarkan
modal untuk dapat memperoleh kesempatan berinvestasi pada kopi arabika
Sulawesi Selatan.
40
Universitas Indonesia
Jika merujuk pada konsep Porter (1998), suatu sistem mata rantai nilai
memiliki dua aktivitas, yaitu aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Pada
aktivitas utama memungkinkan keseluruhan sistemnya melewati batas Negara.
Pada penelitian mata rantai nilai kopi lokal Sulawesi ini, hanya akan
dibahas sampai tahap tiga pada aktivitas utama, yaitu inbound logistic, operation
dan outbound logistic.
a. Inbound Logistic
Aktivitas inbound logistic berbeda pada setiap aktor. Inbound logistic
yang dilakukan petani yaitu aktivitas di perkebunan oleh petani, yang
Gambar 5.2 Jaringan komoditas kopi (arus produksi dan tenaga/power). ( Sumber: Modifikasi dari Barrett et al, 1999)
41
Universitas Indonesia
dimulai dari penanaman bibit, hingga panen dalam bentuk buah kopi.
Setelah panen, barulah dilakukan pengolahan lokal oleh petani sendiri
(pengolahan tahap 1), karena jika tidak langsung diolah buah kopi bisa
busuk dan nilai jualnya bisa menurun. Pengolahan yang dilakukan
petani berakhir hingga mendapatkan hasil kopi kulit tanduk. Setelah
itu, kopi kulit tanduk dijual ke aktor dengan ordo lebih tinggi. Setelah
sampai pada bentuk kopi kulit tanduk, petani menjual nya ke
tengkulak. Dari tengkulak relasi dilakukan penyortiran kopi kulit
tanduk agar sesuai dengan kriteria KUD Sane Maupun Toarco.
Sedangkan untuk Tengkulak dan eksportir, indbound logistic dilihat
dari upaya memperoleh (membeli) kopi.
b. Operation
Yaitu kegiatan mengolah kopi. Pengolahan ini berbeda sesuai dengan
tugas para aktor. Petani bertugas memproses buah kopi hingga
Gambar 5.3 Pemrosesan kopi oleh petani. (Sumber: Survey lapang 2012)
42
Universitas Indonesia
menghasilkan biji tanduk, tengkulak ada yang bertugas menyortir, dan
eksportir bertugas merubah kopi tanduk jadi kopi biji hijau. Eksportir
diperankan oleh KUD Sane/Toarco untuk diolah hingga menjadi kopi
biji hijau / green bean (Gambar 5.4).
c. Outbound Logistic
Merupakan kegiatan menggudangkan dan mendistribusikan barang
kepada aktor yang berbeda. Bagi petani, outbound logistic adalah
mendistribusikan kopi tanduk kulitnya ke tengkulak. Aktivitas
outbound logistic tengkulak adalah mendistribusikan kopi hasil beli
dari petani ke eksportir seperti KUD maupun Toarco. Sedangkan
Eksportir adalah melakukan kegiatan pergudangan hingga pengiriman
kopi biji hijau yang sudah siap diekspor.
Secara umum, aktivitas utama mata rantai nilai kopi di Sulawesi Selatan
adalah produksi dan ekspor. Dari aktivitas utama itu sendiri terdapat unsur
transportasi, aksesibilitas dan sumberdaya manusia yang mendukung kegiatan
utama tahap satu (produksi) oleh petani, kemudian diolah hingga menjadi kopi
Gambar 5.4 Kopi biji hijau / green bean. (Sumber: Survey lapang 2012)
43
Universitas Indonesia
kulit tanduk. Setelah menjadi kulit tanduk dijual ke tengkulak dan disortir, baru
lah setelah disortir dijual ke KUD. Sedangkan dalam aktivitas utama tahap dua,
yaitu operation, diperankan oleh KUD Sane / Unit Usaha Otonom Agribisnis
Toraja. Setiap aktivitas yang dilakukan dalam satu sistem mata rantai nilai kopi
yang dilakukan oleh para aktor di Sulawesi Selatan juga mengandung berbagai
aspek spasial. Hal ini dapat dilihat dalam kaitan aktor, aktivitas dan lokasinya (
Tabel 5.1).
Buntu Pepasan, Barupu, Bituang, Mengkendek dan Baraka merupakan
wilayah penghasil kopi yang tersebar di Toraja Utara, Tana Toraja dan Enrekang
dan merupakan sumber produksi kopi yang akan dijual ke KUD Sane/ Unit Usaha
Otonom Agribisnis Toraja. Hampir seluruh kopi di Silawesi Selatan memiliki
produk kopi yang memiliki kualitas baik, namun Buntu pepesan dan wilayah
penghasil kopi di Utara lainnya dikenal memiliki kualitas terbaik dikarenakan
faktor alamnya yaitu yang umumnya kebun kopi berada di ketinggian ≥ 1500
mdpl.
Tabel 5.1 Hubungan antar aktor dengan aspek spasial. (Sumber: Pengolahan data 2013)
Aktor Aspek spasial Tempat
Petani
Lokasi
perkebunan Kebun
Lokasi pengolahan Rumah
Petani
Penentuan
tengkulak Pasar
Tengkulak
Lokasi penyortiran Rumah
tengkulak
Penentuan buyer Lokasi
Pembelian
Eksportir
Lokasi
pengupasan
Di KUD /
Toarco
Lokasi
pembungkusan
Di KUD /
Toarco
Penentuan
eksport
Di KUD /
Toarco
44
Universitas Indonesia
Starbucks Coffee baru memasuki memasuki persaingan kopi arabika di
Sulawesi Selatan sekitar tahun 1997 yang diwakili oleh KUD Sane/ Unit Usaha
Otonom Agribisnis Toraja dan pada awal masuknya, Starbucks sudah memiliki
pesaing berat yang merupakan pelopor pengembangan kopi di Sulawesi Selatan,
khususnya Toraja, yaitu Key Coffee asal Jepang yang pembeliannya diwakili oleh
Toarco. Alasan utama mengapa Starbucks Coffee adalah karena harga yang
diberikan Starbucks Coffee cukup bersaing.
Ketika itu, sekitar tahun 1997, harga kopi melunjak tinggi membuat
hampir semua petani berlomba-lomba memproduksi kopi ditambah lagi muncul
KUD Sane yaitu sebagai perwakilan Starbucks dalam membeli kopi dari petani.
Peluang petani dibagian Selatan, seperti Tana Toraja dan Enrekang yang memiliki
peluang kecil menjual kopi ke Toarco karena seleksi kualitas yang sulit. Tidak
menutup kemungkinan tengkulak maupun petani yang tadinya menjual kopinya
ke Toarco mencoba peruntungan menjual kopinya ke KUD Sane.
Pada awal masuknya Starbucks, banyak petani yang langsung menjual
kopi ke KUD untuk mendapatkan harga maksimum dan ada pula yang memilih
menjual ke tengkulak di pasar terdekat dengan alasan lokasi aktivitas pengusahaan
kopi oleh petani dengan pasar lebih dekat agar tidak banyak ongkos dikeluarkan.
“Pada Awalnya, relasi (petani, maupun tengkulak yang memiliki
perjanjian menjual kopi ke KUD) kami bisa mencapai ratusan”, (Pak Sarjana,
Pimpinan KUD Sane / Unit Usaha Otonom Agribisnis Toraja).
Dalam prosesnya, terdapat beberapa lokasi yang sangat berperan pada
pertukaran aktor. Hal ini dimaksudkan sebagai tempat penjualan dan pembelian
kopi (Peta 5.1). Dari aktor pertama ke aktor kedua melakukan transaksi di pasar
yang bergilir / pindah setiap harinya. Sedangkan dari tangan aktor
kedua/tengkulak menjual kopinya ke tempat pembelian kopi oleh KUD Sane di
Lampan maupun di Ge’tengan. Dua lokasi pembelian ini berada di Toraja Utara
dan Tana Toraja. Umumnya, tempat pembelian di Lampan (masuk dalam
administrasi Toraja Utara) merupakan tempat pembelian kopi asal Sapan, Ke’pe
dan perkebunan lain yang terletak di bagian Utara.
45
Universitas Indonesia
Dapat dilihat pula (Peta 5.1), tempat pembelian kopi oleh Toarco juga
terletak lebih dekat dengan wilayah penghasil kopi di Utara, yaitu di Tondok
Litak. Posisi strategis yang dimiliki Toarco dalam membeli kopi asal Utara
agaknya menyebabkan KUD hanya memiliki sedikit kuota untuk memperoleh
kopi asal Utara . Hal ini karena perhitungan ongkos yang lebih murah bagi aktor
kopi asal Utara yang ingin menjual kopinya ke Toarco. Selain itu, petani dan
tengkulak di Utara merasa lebih memiliki kedekatan sosial yang lebih tinggi
dengan Toarco karena Toarco dirasa telah berjasa memberi penyuluhan pada
masyarakat untuk menanam kopi dengan baik sejak tahun 1976.
Oleh karena itu, agar dapat mempertahankan keberlanjutan pembelian
kopi di Sulawesi Selatan, Starbucks yang diwakili oleh KUD membuka pusat
pembelian kopi di Tana Toraja yang juga dekat dengan Enrekang. KUD juga
menjadi pembeli tunggal di Enrekang. Usaha yang dilakukan KUD agar
memperoleh kopi kualitas baik adalah dengan melakukan penyuluhan. Walaupun
tidak seperti Toraja yang faktor alaminya baik untuk kopi, dengan adanya
pengusahaan lebih oleh petani, kopi asal Enrekang memiliki kualitas yang cukup
bersaing.
46
Universitas Indonesia
Peta 5.1 Lokasi pembelian dan penjualan kopi. (Sumber: Pengolahan data 2013)
47
Universitas Indonesia
5.1.3 Aktivitas Pendukung Mata Rantai Nilai Lokal Kopi
Selain kegiatan utama, terdapat aspek yang mendukung kegiatan utama.
Beberapa diantaranya adalah transportasi dan menejemen sumber daya manusia
(Porter, 1998):
5.1.3.1 Transportasi
Transportasi merupakan unsur penting dalam satu sistem mata rantai nilai.
Transportasi menjadi satu pertimbangan dalam setiap keputusan yang diambil
oleh tiap aktor untuk mendistribusikan kopi. Berdasarkan hasil penelitian, ongkos
yang dikeluarkan jika menggunakan angkutan umum di wilayah ketinggian ≥
1500 mdpl cenderung mahal, yaitu sekitar Rp. 10.000 satu kali jalan. Oleh karena
itu, KUD Sane mendirikan pusat pembelian kopi di Lampan yang memudahkan
tengkulak maupun petani relasi asal Toraja Utara yang ingin menjual kopi ke
KUD Sane tidak perlu ke Ge’tengan (Tana Toraja).
Beberapa faktor yang mempengaruhi mahalnya ongkos adalah
infrastruktur jalan yang tidak memadai, di Toraja Utara, jalan menuju pasar Sapan
hanya bisa dilalui satu truk, sehingga bila ada kendaraan dari arah berlawanan
harus menunggu terlebih dahulu. Selain itu, kondisi fisik jalan yang buruk juga
memperlambat gerak kendaraan sehingga bahan bakar yang digunakan juga
semakin banyak. Mahalnya biaya angkutan umum ini menjadi pertimbangan
tersendiri bagi petani untuk menjual kopinya langsung ke pusat pembelian kopi
KUD Sane.
Gambar 5.5 Kondisi jalan menuju pasar Sapan. (Sumber: Survey lapang 2012)
48
Universitas Indonesia
Selain itu, jumlah produksi kopi tiap petani tidak seberapa banyak untuk
mampu menutupi ongkos. Biaya tiap karung kopi juga dipatok sebesar Rp.
15.000/karungnya. Oleh karena itu, ketika harga kopi menurun, petani kopi lebih
memilih menjual kopinya ke tengkulak. Kasus seperti ini pun juga terjadi di Tana
Toraja. .
5.1.3.2 Menejemen Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia menjadi hal yang sangat krusial dalam suatu sistem
mata rantai nilai, hal ini juga dialami sistem mata rantai nilai kopi Sulawesi
Selatan. Sejak awal masuknya Starbucks Coffe ke Sulawesi, sudah dilaksanakan
pelatihan kepada petani untuk menghasilkan kopi dengan kualitas ekspor. Namun
pada awal masuk hingga sebelum 2008, belum ada peningkatan standar. Barulah
setelah 2008, peningkatan standar diterapkan dengan mengikuti CAFÉ Practices.
Umumnya petani yang perkebunannya ada di Toraja Utara dan Tana
Toraja sudah pernah mengikuti standar yang diberikan oleh Key Coffee sebagai
TNC pelopor. Namun karena memang kualitas kopi asal Utara kualitasnya tinggi,
perlakuan yang diberikan oleh petani menjadi tidak begitu berperan. Lain halnya
dengan petani di Enrekang, umumnya baru memulai berTanam kopi ketika
Starbucks masuk sekitar 1997.
“Saya mulai nanam kopi sekitar tahun 1997, dan KUD Sane memberi saya
pelatihan bagaimana cara menanm kopi yang baik. Saya karena saya cukup
berhasil saat itu, banyak penduduk lain yang tertarik belajar pada saya.
Enrekang tanahnya tidak sesubur Toraja, jadi kita butuh usaha lebih untuk
mengolah tanah agar kopi hasil tanaman lebih bagus” (Burhanudin, petani &
tengkulak relasi asal Baraka).
Dapat disimpulkan, pada kasus penelitian di Sulawesi Selatan ini,
menejemen SDM akan menghasilkan respon yang berbeda tergatung latar
belakang sosial, budaya maupun ekonomi masyarakatnya.
49
Universitas Indonesia
5.2 Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Pada Sistem Mata Rantai Nilai
Lokal Kopi
Dalam upaya mencapai suatu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan,
Starbucks Coffee harus terus meningkatkan kualitas dan mengejar standar pasar
yang terus meningkat. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan memenuhi standar
pasar itu diaplikasikan dalam bentuk sertifikasi, yaitu sertifikasi CAFÉ Practices.
Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi, lingkungan,
kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley, 2012). Salah satu
skema sertifikasi yang digunakan di Toraja dan sangat berpengaruh pada rantai
perkopian di daerah tersebut adalah CAFÉ Practices ( Neilson, 2007). CAFÉ
Practices merupakan skema sertifikasi yang hanya digunakan oleh Starbucks
Coffee (TNC). Tujuan utama dari skema sertifikasi CAFÉ Practices adalah
menciptakan satu sistem perdagangan kopi yang berkelanjutan, dengan cara:
1. Meningkatkan kualitas produk
2. Menciptakan transparansi transaksi jual beli agar tidak ada pihak
yang dirugikan
3. Adanya tanggung jawab sosial yang terkait dalam satu rantai
produksi
4. Serta terciptanya kegiatan produksi hingga konsumsi yang ramah
lingkungan
(C.A.F.E. Practice Generic Evaluation Guedlines 2.0, 2007)
“Skema sertifikasi CAFÉ Practices baru diterapkan di Toraja pada tahun
2008”, (Pak Sarjana, Kepala KUD Sane/UUO Agribisnis Toraja). Selama
melakukan tinjauan antara keempat poin penilaian CAFÉ Practices, poin ke 1 dan
3 lah yang memiliki dampak pada perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi
Sulawesi Selatan. Dalam penggunaan istilah operasionalnya dalam penelitian ini,
aspek tanggung jawab sosial diartikan sebagai jaminan terjalinnya aktivitas jual
beli kopi antar aktor.
50
Universitas Indonesia
Sketsa 5.1 Respon aktor terhadap penerapan aspek peningkatan kualitas produk. (Sumber: Pengolahan data 2013)
51
Universitas Indonesia
5.2.1 Aspek Peningkatan Kualitas
Berdasarkan Sketsa 5.1 dapat dilihat bahwa yang respon penerapan
aspek peningkatan kualitas produk terdiri dari berbagai aktor.
a. Respon tengkulak kategori 1
Untuk daerah Toraja Utara dan Tana Toraja, tengkulak relasi melakukan
respon kategori 1. Respon kategori 1 terdiri dari aktivitas penyortiran kopi kulit
tanduk, agar meminimalisir adanya kopi kulit tanduk yang tidak sesuai standar.
Hal ini dilakukan karena petani di Toraja Utara dan Tana Toraja tidak terlalu
memahami standar yang sesuai dengan sertifikasi CAFÉ Practices.
Ketidak tahuan akan standar kualitas kopi ini merupakan implikasi dari
faktor ekonomi dan budaya yang menyebabkan petani kopi di Toraja acuh
terhadap perawatan dan proses penanaman pohon kopi. Seperti dijelaskan pada
bagian sub kajian karakter manusia (5.1.1.1, 5.1.1.2 & 5.1.1.3), kontribusi hasil
produksi kopi tidak terlalu signifikan terhadap pendapatan para petani kopi di
Toraja dan Tana Toraja. Ditambah lagi budaya Toraja menuntut mereka untuk
mencari pendapatan yang tinggi agar dapat melaksanakan satu upacara kematian
yang biayanya sangat mahal. Petani lebih memilih mengirim anak mereka
merantau untuk mencari uang sebanyak mungkin. Untuk memenuhi kebutuhan
makan, mereka makan dari pada hasil tanaman sendiri. Hampir setiap keluarga di
Toraja memiliki sawah padi. Beras hanya cukup dikonsumsi sendiri, mereka tidak
menjual hasil tanamannya.
Hal ini berdampak pada tengkulak relasi yang harus mengeluarkan biaya
lebih tinggi untuk menyewa tenaga kerja tambahan sebagai penyortir kopi kulit
tanduk. Pak Lukas contohnya, dia mengajak anak-anak sekitar rumahnya untuk
menyortir kopi yang dia beli dari petani maupun tengkulak kecil ( Gambar 5.6).
52
Universitas Indonesia
Oleh Karena itu, banyak tengkulak relasi yang mungkin tidak mempunyai
modal untuk menyortir kopi agar tidak ditolak penjualan kopinya oleh KUD Sane,
menurunkan status tengkulak relasinya menjadi tengkulak yang hanya membeli
kopi dari petani. Akibat hal ini, maka pola mata rantai lokal kopi menjadi
bertambah satu simpul.
b. Respon tengkulak kategori 2
Berbeda dengan kondisi yang ada di Enrekang, Karena kontribusi produksi
kopi sangat besar terhadap pendapatan mereka, maka petani ikut memahami
sedikit mengenai perawatan dan penanaman kopi yang baik agar kopi yang
dihasilkan sesuai dengan standar CAFÉ Practices. Umumnya petani memahami
keterampilan menanam dari belajar dengan petani maupun tengkulak yang
terlebih dahulu telah berhasil dan telah lama menjadi relasi KUD Sane, salah
satunya belajar dengan Pak Burhanudin asal Baraka.
Sedangkan untuk tengkulak, mereka melakukan respon kategori dua, yaitu
melakukan penyuluhan kepada petani yang ingin belajar dan melakukan
penyortiran dari kopi yang dibeli dari petani. Pahamnya petani untuk menanam
sesuai standar tidak serta merta membuat tengkulak langsung menjual kopinya ke
KUD. Hal ini dilakukan agar peluang kopi yang terjual semakin tinggi karena
tuntutan pemenuhan kehidupan sehari-hari. Berbeda dengan Toraja, aspek
peningkatan kualitas tidak terlalu berdampak signifikan pada pola mata rantai
lokal kopi di Enrekang.
Gambar 5.6 Penyortiran kopi kulit tanduk oleh anak-anak. (Sumber: Survey lapang 2012)
53
Universitas Indonesia
Sketsa 5.2 Respon aktor terhadap penerapan aspek jaminan jual beli antar aktor. (Sumber: Pengolahan data 2013)
54
Universitas Indonesia
5.2.2 Aspek Jaminan Jual Beli Antar Aktor
Pada poin jaminan jual beli (Sketsa 5.2), CAFÉ Practices mengutamakan
terciptanya suatu sistem pembelian kopi yang berkelanjutan dengan memberi
kepercayaan / rewarding kepada tengkulak yang konsisten menjual kopinya pada
KUD Sane yaitu berupa perpanjangan kontrak relasi. Jadi, setiap tengkulak relasi
yang dianggap tidak konsisten menjual kopinya ke KUD akan dicabut status
relasinya. Jika kita melihat rewarding dari sisi perusahaan, ini merupakan satu
cara agar mengurangi usaha penyortiran oleh KUD.
a. Respon tengkulak kategori 1
Adanya poin jaminan jual beli ini berpengaruh pada tengkulak sehingga
terjadi dua respon yang berbeda. Gugurnya beberapa relasi yang tidak konsisten
dari awalnya berjumlah ratusan hingga saat ini hanya berjumlah 28 relasi,
membuat relasi yang kontraknya diperpanjang harus semakin ketat membeli dan
menyortir kopi tanduk agar tidak ditolak penjualannya oleh KUD Sane. Respon
kategori 1 terjadi di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu tengkulak beralih
menjadi tengkulak perantara. Tengkulak perantara merupakan tengkulak yang
membeli kopi dari petani dan menjual lagi ke tengkulak relasi.
Tengkulak Toraja umumnya banyak yang gugur dari tengkulak relasi
karena sulit memperoleh kopi dari petani, dan jika ada hanya sedikit. Sedikitnya
kopi yang didapat dari petani diakibatkan faktor sosial, ekonomi dan budaya
seperti yang dibahas pada sub bab 5.1.1.1, 5.1.1.2 dan 5.1.1.3 serta adanya
pesaing di Toraja, yaitu Toarco yang akhirnya berdampak sistemik kepada
tengkulak relasi KUD. Hal ini mengakibatkan tidak tertutupnya modal untuk
menyewa pekerja sortir. Ditambah lagi biaya transport menuju tempat pembelian
oleh KUD sangat tidak sebanding dengan kopi yang diperoleh dari petani.
Oleh karena itu, banyak tengkulak relasi di Toraja Utara dan Tana Toraja
menjadi tengkulak perantara yang menyebabkan munculnya simpul baru dan
membuat pola mata rantai nilai lokal kopi di Toraja Utara maupun Tana Toraja
semakin panjang.
55
Universitas Indonesia
b. Respon tengkulak kategori 2
Berbeda dengan Enrekang yang petaninya konsisten menanam dan
merawat pohon kopi walau harga kopi turun, tidak menyebabkan adanya
penambahan simpul. Respon yang dilakukan oleh tengkulak Enrekang hanya
berupa penyuluhan perawatan dari tengkulak relasi kepada petani agar kopi dapat
berproduksi dengan konsisten sehingga baik untuk prospek jangka panjang
kehidupan para petani. Sama seperti aspek poin peningkatan kualitas, aspek
jaminan jual beli juga tidak merubah simpul mata rantai nilai lokal kopi di
Enrekang.
5.3 Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi di Sulawesi Selatan
5.3.1 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Sebelum Penerapan
Sertifikasi CAFÉ Practices (1997-2007)
Sketsa 5.3 dan 5.4 menjelaskan bagaimana pola mata rantai nilai kopi
sebelum diterapkannya skema sertifikasi CAFÉ Practices. Pola mata rantai
sebelum penerapan sertifikasi dibagi kedalam dua tahap, yaitu 1997-2004 dan
2005-2007. Dasar dari pembagian dua waktu tersebut adalah pada 1997, KUD
terbuka pada siapapun yang ingin menjadi relasi penjualan dengan KUD, dan ini
berlangsung hingga tahun 2004 disaat KUD berhenti membuka bebas relasinya.
Kemudian tahap kedua, yaitu 2005-2007, yaitu masa dimana KUD berhenti
terbuka pada relasi yang masuk dan sebelum penerapan CAFÉ Practices.
5.3.1.1 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi (1997-2004)
Pada sketsa 5.3, kita dapat melihat arus distribusi kopi bersumber dari
berbagai aktor, mulai dari petani hingga tengkulak. Hal ini dikarenakan Starbucks
yang saat itu baru memasuki pasar kopi terbuka bagi siapa saja yang ingin
menjadi relasi (menjual kopi produksinya ke KUD Sane). Hal yang
mempengaruhi lainnya adalah harga kopi yang saat itu tinggi disaat terjadi krisis
ekonomi, membuat petani berlomba menjual kopi sebanyak mungkin ke pada
siapapun yang ingin membeli.
56
Universitas Indonesia
Pada fase ini, terdapat dua pola mata rantai nilai di Toraja Utara dan
Tana Toraja. Ada petani yang langsung menjual kopi ke KUD dan ada pula yang
menjualnya ke tengkulak relasi. Petani yang langsung menjual kopi ke KUD saat
ini agaknya lebih menguntungkan karena harga jual kopi tanduknya tidak
terpotong oleh aktor perantara seperti tengkulak. Hal ini dapat terjadi karena KUD
masih membuka relasi dan saat krisis harga kopi melambung tinggi membuat
petani tertarik langsung menjual ke KUD. Pola kedua adalah petani yang tetap
menjual ke tengkulak. Dapat disimpulkan pada fase ini, simpul mata rantai nilai
kopi lokal di Toraja Utara maupun Tana Toraja berjumlah 1-2 simpul sebelum
sampai ke KUD.
Toraja Utara dan Tana Toraja yang memang sudah lebih dulu
berkecimpung dalam mata rantai kopi di Sulawesi menampakan volume produksi
yang cukup besar dibanding Enrekang. Berdasarkan wawacara yang dilakukan
kepada seorang informan di Enrekang:
“Enrekang memang masih baru berkecimpung dalam rantai kopi di
Sulawesi, yaitu sekitar tahun 1997, saat krismon. Ketika itu, harga kopi yang ada
di Toraja tinggi, membuat kami berpikir untuk mencoba juga. Kebetulan, KUD
Sane juga melakukan penyuluhan untuk bagaimana menanam kopi dengan baik.
Karena tuntutan ekonomi, kami mencoba peruntungan di bidang kopi. Saat
memulai bertani kopi, luas tanah yang saya miliki hanya 0,5 Ha.” (Pak
Burhanudin, Petani &Tengkulak).
Pernyataan Pak Baraka di atas mengisyaratkan bahwa pengusahaan kopi
bagi masyarakat Enrekang masih baru, sehingga pada saat itu, hanya ada sedikit
aktor dalam rantai kopi yaitu petani. Petani di Enrekang sangat diuntungkan
dengan adanya KUD sebagai pembeli kopi mereka. Dari hasil pengusahaan kopi,
Pak Burhan mampu menghidupi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Pak
Burhan mengakui bahwa beliau adalah pelopor pengusahaan kopi di Enrekang,
khususnya Baraka. Jika dibandingkan dengan di Toraja, jumlah simpul mata
rantai nilai di Enrekang sebelum sampai ke KUD hanya satu, yaitu petani. Hal ini
akan berubah pada fase 2005-2007.
57
Universitas Indonesia
Sketsa 5.3 Pola mata rantai saat awal KUD Sane masuk di Sulawesi Selatan 1997-2004. (Sumber: Pengolahan data 2013)
58
Universitas Indonesia
Tabel 5.2 Aktivitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan sebelum penerapan CAFÉ Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)
5.3.1.2 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi (2005-2007)
Pada Sketsa 5.4, dapat dilihat adanya perubahan. Petani yang awalnya
banyak langsung menjual kopi ke KUD pada saat itu hanya menjual kopinya ke
tengkulak. Hal ini terjadi karena dua faktor. Pertama, KUD sudah menutup
pembukaan peluang menjadi relasi dan faktor kedua adalah harga kopi yang sudah
mulai menurun (Lihat Grafik 1, BAB 1). Di Toraja jumlah simpul mata rantai
nilai tidak ada lagi yang hanya berjumlah satu. Pada fase ini, mata rantai nilai
lokal di Toraja Utara maupun Tana Toraja berjumlah 2 simpul sebelum sampai ke
KUD.
“Di Toraja itu petani kopinya hanya ikut-ikutan nanem sebenernya, kalo
harga tinggi berbondong-bondong semua nanem, tapi kalo harga turun, pada ga
nanem. Kalo kopi murah, kadang mereka malah membiarkan kebun kopinya
terlantar, jadi sayang, padahal kalo dirawat, potensi menghasilkan jumlah kopi
yang lebih besar itu sangat mungkin. Penduduk Toraja dan Tana Toraja
59
Universitas Indonesia
umumnya karakternya sama, hanya saja kabupaten yang beda. Budaya mereka
sama, lebih mementingkan pesta. Pesta itu adalah acara pemakaman, setiap ada
yang meninggal pasti dirayain dan tamu yang dating harus bawa babi atau
kerbau. Sedangkan hasil dari penjualan kopi hanya buat kehidupan hari-hari”
(Pak Sarjana, kepala KUD Sane).
Hal ini dibuktikan dengan persenan pendapatan hasil kopi dari keseluruhan
pendapatan. Kopi , hanya berperan sekitar 20 % di Toraja Utara dan 13 % di Tana
Toraja dari keseluruhan pendapatan (Neilson, 2009).
Berbeda dengan Toraja, jumlah petani yang ada di Baraka semakin
meningkat malah semakin bertambah. Berdasarkan pengakuan informan,
“ Saya itu bisa dibilang pelopor keberhasilan produksi kopi di Enrekang,
saya awalnya hanya punya tanah buat nanem 0,5 Ha, tapi karena setiap ada
pemasukan, saya Tanam buat beli tanah, sekarang saya punya tanah 4 Ha. Terus
penduduk sekitar yang melihat keberhasilan saya dan melihat pohon kopi saya
yang bagus, mereka pada minta ajarin. Jadi ya sekarang banyak petani yang
mulai mencari nafkah sebagai petani kopi, dan dari pendapatan yang diterima,
kopi menyumbang sebesar 70% dari keseluruhan pendapatan ”, (Burhanudin,
Baraka-Enrekang).
Penutupan peluang menjadi relasi oleh KUD membuat masyarakat Baraka
yang mulai mencoba pengusahaan kopi menjual kopinya ke Pak Burhan karena
dia yang memiliki relasi dan dianggap senior. Akibat penutupan peluang menjadi
relasi oleh KUD adalah munculnya simpul baru di sistem mata rantai nilai kopi
Enrekang (Baraka), yaitu menjadi dua simpul yang awalnya hanya satu simpul
dihitung sebelum sampai ke tangan KUD (Sketsa 5.4). Kendati demikian, petani
tetap termotivasi untuk mengusahakan tanaman kopi. Hal ini juga tidak lepas dari
keberhasilan Pak Burhanudin yang mampu meluaskan perkebunannya hasil dari
pengusahaan tanaman kopi.
60
Universitas Indonesia
Sketsa 5.4 Pola mata rantai kopi di Sulawesi Selatan 2005-2007. (Sumber: Pengolahan data 2013)
61
Universitas Indonesia
5.3.2 Pola Mata Rantai Nilai Lokal Kopi Setelah Penerapan
Sertifikasi CAFÉ Practices ( ≥ 2008)
Berdasarkan pengamatan dampak yang dihasilkan oleh tiap unit standar
sertifikasi CAFÉ Practices, aspek peningkatan kualitas dan aspek jaminan jual beli
dapat berdampak pada perubahan pola mata rantai nilai, yaitu berdampak pada
meningkatnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai di Sulawesi Selatan
khususnya Toraja Utara dan Tana Toraja (Sketsa 5.5).
Aspek peningkatan kualitas menyebabkan tengkulak relasi yang ada harus
memiliki kopi kulit tanduk yang sesuai dengan kriteria pembelian oleh KUD.
Ketergantungan pendapatan petani kopi di Toraja terhadap kopi yang kecil,
mengakibatkan tanaman kopi tidak terlalu maksimal terawat sehingga jumlah
produksi juga sedikit. Ketergantungan pendapatan petani terhadap pengusahaan
kopi yang sangat sedikit merupakan faktor pertama yang mengakibatkan
tengkulak relasi sulit memperoleh kopi karena jumlah produksi sedikit. Jika ada
kopi yang didapat haruslah disortir untuk mendapatkan kopi kulit tanduk yang
bagus. Penyortiran itu sendiri butuh biaya untuk menyewa tenaga kerja penyortir.
Akan sangat merugikan jika kopi yang didapat sedikit, namun juga harus
mengeluarkan biaya untuk membayar penyortir. Faktor kedua adalah adanya
pesaing kuat, yaitu Toarco yang memang lebih dulu berkecimpung di sistem
rantai nilai kopi Toraja. Adanya pesaing menyebabkan semakin kecil jumlah kopi
yang diperoleh oleh tengkulak relasi KUD. Dua hal inilah yang mengakibatkan
beberapa tengkulak relasi tersisih dari segi penyaringan kualitas karena ditolak
penjualan kopinya oleh KUD. Hanya beberapa yang berhasil bertahan menjadi
relasi, dan tengkulak yang tersisih berujung turun satu tingkat menjadi tengkulak
yang hanya membeli kopi kulit tanduk dari petani.
Fenomena yang cukup berbeda terjadi di pengusahaan kopi Enrekang.
Mengingat kopi berkontribusi tinggi terhadap pendapatn masyarakat Enrekang,
khususnya kecamatan Baraka, maka petani antusias agar kopi hasil tanamannya
masuk standar kriteria pembelian oleh KUD. Ini cukup menguntungkan bagi
tengkulak relasi KUD karena bisa dikatakan kopi kulit tanduk dari petani terjamin
62
Universitas Indonesia
tersedia. Keuntungan juga diperoleh KUD karena tidak ada pesaing seperti Toarco
di Enrekang.
Aspek jaminan jual beli antar aktor, yaitu memberi sebuah perpanjangan
kontrak relasi pada tengkulak relasi yang kontinu menjual kopinya ke KUD.
Mengingat adanya peningkatan kualitas, maka beberapa tengkulak relasi Toraja
yang kekurangan modal untuk biaya penyortiran kesulitan memperoleh kopi untuk
dijual ke KUD. Ini berakibat tidak berlanjutnya tengkulak menjual kopi ke KUD.
Dalam pendataan KUD, kasus ini digolongkan kedalam relasi yang tidak kontinu
menjual kopinya ke KUD. Akibatnya, hilanglah status relasi yang dimiliki
beberapa tengkulak setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices.
Kondisi berlawanan terjadi pada tengkulak relasi di Enrekang. Tengkulak
relasi memang lebih diuntungkan dibanding dengan tengkulak di Toraja. Petani
yang ada di Enrekang lebih memiliki usaha tinggi dalam mengusahakan
pertanian kopi. Hal ini berakibat pada kualitas kopi yang baik dan produksi yang
konsisten ada untuk dijual ke tengkulak.
Pola perubahan yang terjadi setelah penerapan CAFÉ Practices tidak lepas
dari aktivitas penambahan nilai pada komoditas kopi. Berdasarkan hasil
pengamatan, ada beberapa perlakuan terhadap kopi yang berbeda antara sebelum
(Tabel 5.2) dan setelah diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices (Tabel 5.3 &
5.4).
63
Universitas Indonesia
Sketsa 5.5 Pola mata rantai nilai setelah diterapkannya CAFÉ Practices (≥ 2008). (Sumber: Pengolahan data 2013)
64
Universitas Indonesia
Tabel 5.3 Aktivitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan (Kabupaten Toraja Utara & Tana Toraja) setelah penerapan CAFÉ Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)
65
Universitas Indonesia
Tabel 5.4 Aktivitas Utama dalam mata rantai nilai lokal kopi Sulawesi Selatan (Kabupaten Enrekang) setelah penerapan CAFÉ Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)
66
Universitas Indonesia
Pola mata rantai nilai lokal kopi setelah ada penerapan sertifikasi CAFÉ
Practices dapat dilihat pada Sketsa 5.5. Dari evaluasi hasil penerapan aspek
peningkatan kualitas produk dan aspek jaminan jual beli, dapat dilihat adanya
perubahan pola mata rantai di Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu meningkatnya
jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai kopi. Sebelum penerapan
sertifikasi, jumlah simpul di Toraja Utara dan Tana Toraja adalah dua buah
(dihitung sebelum sampai tangan KUD). Sedangkan setelah diterapkannya
sertifikasi, jumlah simpul mata rantai nilai kopi di Toraja menjadi tiga buah.
Hasil yang berbeda terjadi di Enrekang. Pola mata rantai nilai kopi di Enrekang
tidak berubah antara sebelum dan sesudah penerapan sertifikasi CAFÉ Practices.
Jumlah simpul yang ada tetap sama, yaitu dua buah.
5.3.3 Efisiensi Penerapan Sertifikasi CAFÉ Practices Dilihat dari
Perubahan Pola Mata Rantai Nilai Lokal
Suatu skema sertifikasi hanya akan efektif pada karakter lokasi,
lingkungan, kemampuan dan kapasitas petani tertentu (Blackmore & Keeley,
2012). Efektif dan efisien dalam penelitian ini dilihat dari berbagai sudut
pandang, sudut pandang perusahaan dan sudut pandang masyarakat sebagai
produsen. Efektif dan efisien dari sudut pandang perusahaan adalah jika tercipta
suatu sistem jual beli kopi yang berkelanjutan setelah diterapkannya CAFÉ
Practices. Sedangkan dari sudut pandang masyarakat petani, semakin panjang
mata rantai nilai kopi di suatu lokasi akibat penerapan sertifikasi, maka semakin
tidak efisien penerapan sertifikasi diterapkan di lokasi tersebut. Semakin
panjangnya mata rantai nilai kopi diindikasikan dari meningkatnya jumlah
simpul pada sistem mata rantai nilai. Jika hal berlawanan terjadi, yaitu saat pola
mata rantai nilai semakin pendek atau tetap dari pola mata rantai nilai sebelum
diterapkan sertifikasi, maka sertifikasi yang digunakan efisien diterapkan di
lokasi tersebut. Semakin pendek maupun tetapnya pola mata rantai nilai
diindikasikan dari jumlah simpul yang berkurang ataupun tetap. Alasan
dikatakannya semakin panjang mata rantai semakin tidak efisien penerapan
sertifikasi adalah karena keuntungan yang didapat akan semakin kecil, khususnya
bagi aktor dengan ordo terendah (petani). Sedangkan alasan mata rantai nilai
67
Universitas Indonesia
yang tetap dapat dianggap efisien adalah karena kualitas produk kopinya menjadi
lebih baik karena optimalisasi saat pengolahan di perkebunan dan mampu
mempertahankan penjualan kopi ke perusahaan sehingga dapat menghasilkan
pendapatan yang optimal dan berkelanjutan bagi petani walaupun dengan jumlah
simpul yang sama antara sebelum penerapan sertifikasi.
Jika dilihat dari sub bab 5.3.3, kita dapat melihat penambahan jumlah
simpul dan tidak berubahnya jumlah simpul di lokasi yang berbeda.
Bertambahnya jumlah simpul dalam sistem mata rantai nilai kopi terjadi di
Toraja Utara dan Tana Toraja, yaitu dari 2 buah menjadi 3 buah simpul setelah
diterapkannya sertifikasi CAFÉ Practices. Bertambahnya jumlah simpul yang
ada di Toraja Utara dan Tana Toraja disebabkan oleh beberapa faktor (Gambar
5.7 ). Kontribusi pengusahaan kopi terhadap pendapatan masyarakat sangat
kecil. Pengaruh dari masih adanya ikatan dengan tanah adat membuat petani sulit
memperbesar skala produksi mereka. Berdasarkan hasil observasi, mereka
mengatakan tanah yang mereka miliki dari warisan orang tua tidak luas sehingga
sulit untuk meningkatkan produksi, ditambah lagi ada hama dan cuaca yang tidak
menentu membuat produksi kopi cenderung menurun. Hal terkait pada kecilnya
peran kopi pada pendapatan petani. Petani di Toraja yang masih ada ikatan kuat
dengan tanah adat merasa jumlah produksi yang kecil dari kopi tidak mungkin
dijadikan pendapatan utama dan kecilnya hasil dari pengusahaan kopi oleh petani
membuat pengusahaan tanaman kopi juga rendah. Hal ini dilihat dari jarangnya
petani merawat pohon kopi dan merawat kebun kopinya. Umumnya, petani di
Toraja hanya bekerja saat masa panen saja (Neilson, 2007). Sedikitnya perawatan
membuat hasil produksi kopi tidak stabil, terkadang menghasilkan, terkadang
tidak. Selain masalah dari sisi petani, terdapat faktor lain yang berpengaruh.
KUD bukanlah pembeli kopi tunggal di Toraja. Pesaing KUD adalah Toarco
yang sejarahnya adalah aktor yang telah lama berperan dalam industri kopi
Toraja sejak 1976. Walaupun memang KUD tidak sepenuhnya kehilangan kuota
memperoleh kopi dari Toraja, namun adanya dua pembeli besar akan
mengurangi jumlah kopi yang diperoleh. Ditambah lagi produksi kopi di Toraja
relatif sedikit dan berdasarkan wawancara dengan petani kopi, ikatan emosional
penduduk Toraja lebih dekat dengan Toarco karena dianggap berjasa
68
Universitas Indonesia
mempelopori pengusahaan kopi. Sedikitnya produksi kopi mengakibatkan
tengkulak relasi tidak menjamin bisa selalu menjual kopi ke KUD. Dampak pada
pola mata rantai nilai lokal kopi Toraja sangat terasa ketika diterapkannya skema
sertifikasi. Aspek jaminan jual beli yang bertujuan memberi perpanjangan
kontrak bagi relasi yang konsisten sulit diupayakan oleh tengkulak relasi Toraja.
Hal ini disebabkan sulitnya memperoleh kopi dari petani. Selain itu, adanya
peningkatan kualitas produk menuntut tengkulak relasi menyortir kopi kulit
tanduk agar sesuai dengan standar sertifikasi. Sayangnya, penyortiran kopi kulit
tanduk membutuhkan pekerja yang harus dibayar. Bagi tengkulak relasi yang
tidak punya modal cukup membayar penyortir,ini menjadi kendala besar untuk
menjual kopi ke KUD, karena kemungkinan besar kopi nya tidak akan dibeli.
Oleh karena itu, bagi beberapa tengkulak yang tidak mendapatkan kopi dari
petani dan tidak punya modal sendiri akan kehilangan status relasinya dan
memilih jadi tengkulak perantara antara petani, dengan tengkulak relasi KUD,
yang tidak harus menyortir kopi dari petani. Berbeda kasusnya dengan pola mata
rantai nilai di Enrekang, tidak terjadi penambahan simpul di mata rantai nilai
kopi Enrekang. Alasan pola mata rantai di Enrekang tetap juga dipengaruhi oleh
beberapa faktor (Gambar 5.8).
Kontribusi pengusahaan kopi pada petani di Enrekang tergolong besar,
yaitu sekitar 70 % dari keseluruhan pendapatan. Selain itu, berbeda dengan
penduduk Toraja yang orientasi hidupnya adalah mecari uang untuk upacara
adat, orientasi hidup petani Enrekang lebih cenderung untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan untuk menyekolahkan anak mereka. Karena kopi
menjadi tumpuan utama penduduk Enrekang khusunya kecamatan Baraka, maka
pengusahan kopi oleh petani sangatlah maksimal. Hal ini berdampak pada
konsistensi produksi kopi yang baik. Perawatan kebun juga dilakukan secara
berkala. Petani selalu konsisten menjual kopinya ke tengkulak relasi, dan hal ini
berdampak sangat baik pada tengkulak relasi. Konsistensi penjualan kopi ke
KUD dan kualitas yang dijual baik serta banyak, membuat KUD menjadikan
Enrekang sebagai lokasi kunci agar tercipta keberlanjutan sistem mata rantai nilai
kopi, mengingat jika mengandalkan kopi dari Toraja akan sangat rentan. Akibat
69
Universitas Indonesia
Gambar 5.7 Bagan faktor yang mempengaruhi munculnya simpul baru setelah diterapkannya CAFÉ Practices di Toraja Utara dan Tana Toraja. (Sumber: Pengolahan data 2013)
Kontribusi pengusahaan
tanaman kopi terhadap
pendapatan masyarakat sangat
kecil.
Kontribusi pengusahaan
kopi dalam pendapatan petani di
Toraja Utara dan Tana Toraja
masing-masing hanya sekitar 21
% dan 13 % dari keseluruhan
pendapatan (Neilson et al, 2011).
Pengaruh Budaya.
Orientasi hidup masyarakat Toraja Utara maupun Tana Toraja adalah mencari uang sebanyak mungkin untuk dapat melaksanakan upacara adat
Kepemilikan tanah hanya didasari oleh warisan orang tua (Tanah Adat). Tidak ada peluang memperluas lahan perkebunan
Kopi tidak menjadi sumber pendapatan utama masyarakat,
maka pengusahaan Tanaman kopi pun minim (perawatan kebun dan
pohon)
Hasil produksi sedikit
Ada pesaing (Toarco)
Tengkulak KUD sulit mendapatkan kopi
dari petani
Tidak kontinu menjual kopi ke KUD
karena sulit dapat kopi dan jika dapat,
tidak ada biaya untuk sortir
Penerapan sertifikasi
Jaminan jual beli antar aktor: jika tidak kontinu jual kopi maka status relasi akan dicabut
Jika kualitas
tidak sesuai standar: maka kopi ditolak
Sebagian tengkulak relasi kehilangan status relasisnya mengakibatkan
statusnya turun satu tingkat jadi tengkulak
perantara yang mengumpulkan kopi tandukn dari petani:
Muncul simpul baru
70
Universitas Indonesia
beberapa faktor ini, tidak ada simpul baru maupun simpul yang hilang dari
sistem mata rantai nilai kopi di Enrekang.
Hasil evaluasi perubahan pola mata rantai nilai lokal kopi menunjukan
beberapa fakta. Jika kita melihat dari sudut pandang perusahaan Starbucks yang
diwakili KUD, CAFÉ Practices efektif karena berhasil menciptakan suatu sistem
jual beli kopi yang berkelanjutan. Selain itu sertifikasi membuat perusahaan lebih
efisien dalam upaya meningkatkan kualitas karena petani dan tengkulaklah yang
mengusahakan kopi agar memiliki kualitas baik agar dapat dijual ke perusahaan.
Namun pada penelitian ini, efisien tidak dilihat dari sudut pandang perusahaan,
melainkan dari sudut pandang masyarakat petani. Efisien dari sudut pandang
perusahaan berbeda dengan sudut pandang masyarakat petani. Jika dilihat dari
sudut pandang petani, penerapan CAFÉ Practices nyatanya menyulitkan
tengkulak relasi menjual kopi ke perusahaan khususnya di Toraja. Kesulitan ini
dikarenakan tidak optimalnya pengusahaan kopi saat di perkebunan oleh petani.
Selain itu, kesulitan ini berdampak pada munculnya simpul baru yang
mengakibatkan harga jual kopi oleh petani menjadi semakin rendah dan sangat
merugikan petani Toraja. Pengelolaan perkebunan yang tidak optimal di Toraja
membuat tengkulak relasi harus melakukan penyortiran agar mampu
menyesuaikan standar pembelian KUD. Akibat dari peningkatan standar,
tengkulak relasi yang tidak memiliki biaya untuk menyortir kopi yang dibeli dari
petani akhirnya memilih menjadi tengkulak perantara. Selain itu, karena jumlah
kopi dari petani sedikit, maka keuntungan yang diperoleh tidak sebanding dengan
onkos transport yang harus dikeluarkan untuk mendistribusikannya ke tempat
pembelian. Oleh karena itu sebagian dari tengkulak relasi yang modalnya kecil
memilih untuk menjadi tengkulak perantara dan menjual kopi yang dibeli dari
petani ke tengkulak relasi. Munculnya simpul baru ini menandakan bahwa
penerapan sertifikasi tidak efisien diterapkan di Toraja karena harus ada biaya
lebih yang dikeluarkan agar mampu menyesuaikan standar perusahaan. Kasus
yang berbeda terjadi di Enrekang. Pengelolaan perkebunan kopi lebih maksimal,
maka tengkulak tidak lagi perlu khawatir akan kehilangan kesempatan menjual
kopi ke KUD. Optimalisasi pengelolaan perkebunan oleh petani merupakan alasan
mengapa tidak adanya biaya penyortiran yang dikeluarkan oleh tengkulak relasi.
71
Universitas Indonesia
Gambar 5.8 Bagan faktor yang menjelaskan alasan tidak berubahnya pola mata rantai nilai kopi lokal di Enrekang. (Sumber: Pengolahan data 2013)
Kontribusi pengusahaan
Tanaman padi terhadap
pendapatan petani tinggi
Kontribusi pengusahaan
kopi dalam pendapatan petani di
Enrekang tinggi, yaitu sekitar 70
% dari keseluruhan pendapatan
Orientasi hidup hanya untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari dan menyekolahkan anak
Kopi menjadi sumber pendapatan utama masyarakat Enrekang
(khususnya kecamatan Baraka):
Tercipta optimalisasi pengusahaan kopi di perkebunan kopi agar dapat terus menjual dan
men
dapat penghasilan dari kopi
Konsisten memproduksi kopi
Tidak ada pesaing. KUD Sane adalah
pembeli kopi tunggal
Tengkulak KUD konsisten membeli
kopi dari petani
Tengkulak konsisten jual kopi ke KUD
Penerapan sertifikasi
Jaminan jual beli antar aktor: jika kontinu jual kopi maka status relasi akan dicabut
Jika kualitas tidak
sesuai standar: maka kopi ditolak
Tengkulak tetap memiliki status sebagai relasi:
Tidak ada penambahan
simpul
Kepemilikan Tanah di Enrekang tidak terikat dengan warisan nenek
moyang. Pembelian Tanah bebas asalkan antara pihak
penjual dan pembeli menjalin sebuah kesepakatan
jual beli
72
Universitas Indonesia
Oleh karena itu, jumlah simpul yang tetap antara sebelum dan setelah penerapan
CAFÉ Practices menandakan bahwa efisiensi penerapan CAFÉ Practices tercapai
di Enrekang (Sketsa 5.6).
Sketsa 5.6 Pola simpul (mata rantai) sebelum dan sesudah penerapan CAFE Practices. (Sumber: Pengolahan data 2013)
73
Universitas Indonesia
BAB 6
KESIMPULAN
1. Pola mata rantai nilai setelah penerapan CAFÉ Practices semakin panjang
di wilayah yang penduduknya masih memiliki ikatan kuat dengan tanah
adat. Panjangnya pola rantai nilai ditandai dengan munculnya simpul/mata
rantai baru dalam rantai nilai setelah penerapan CAFÉ Practices.
Pola mata rantai nilai setelah penerapan CAFÉ Practices tidak berubah
pada wilayah yang penduduknya tidak memiliki ikatan dengan tanah adat.
2. Dibandingkan wilayah yang penduduknya memiliki ikatan kuat dengan
tanah adat, penerapan CAFÉ Practices lebih efisien diterapkan di wilayah
yang penduduknya tidak memiliki ikatan dengan tanah adat.
xv
DAFTAR PUSTAKA
Barrett, H., Ilbery, B., Browne, A. dan Binns, T. 1999. Globalization &Tthe
Changing Networks of Food Supply:The Importation of Fresh
Horticultural Produce from Kenya into The UK. Transactions of the
Institute of British Geographers, 24, pp. 159–74.
Blackmore, Emma dan Keeyley, James. 2012. Pro-Poor Certification: Assessing The Benefits of Sustainibility Certification for Small-Scale Farmers in Asia. United Kingdom: IIED.
C.A.F.E. Practice Generic Evaluation Guedlines 2.0. 2007.
C.A.F.E. Practice Generic Overview. 2004.
Cooper , J dan Graffham. 2009. Glogal GAP version 3: Threat or opportunity
for small-scale African growers.
Dicken, P, et al. 2001. Chain and Networks, Teritories and Scales : Towards a Relational Framework for Analysing the Global Economy, Global Networks, 1 (2), pp. 89-112.
Golledge, Reginald G, et al. 1997. Spatial Behavior: A Geographic Perspective. New York: The Guilford Press.
Grunert, K., J. Fruensgaard, L. Risom, K. Jespersen dan A. Sonne. 2005. Market
Orientation of Value Chains: A Conceptual Framework Based on
Four Case Studies from The Food Industry. European Journal of
Marketing 39(5/6): 429-455.
Hellin, Jon dan Meijer, Madelon. 2006. Guiedlines for Value chain Analysis.
Hughes, Alex dan Reimer, Suzanne. 2004. Geographies of Comodities Chain. London: Routledge.
Humphrey, J., & Schmitz, H. 2004. Governance in global value chains dalam H.
Schmitz (Ed.), Local enterprises in the global economy (hal. 95–109).
Cheltenham: Edward Elgar.
Kotler, Philip. 2002. Marketing Management: Millenium Edition. USA: Pearson
Costum Publishing.
Neilson, Jeff. 2007. Global private Regulation and Value-Chain Restructuring in Indonesian Smallholder Coffee System. Sydney: Elsevier.
xvi
Neilson, J, et al. 2011. Quality Upgrading in Specialty Coffee Chains and Smallholder Livelihoods in Eastern Indonesia: Opportunities and Challenges.
Perreault, et al. 2010. Essential of Marketing. Mc Graw-Hill Companies, Inc.
Porter, Michael E. 1998. Competitive Advantage: Creating and Sustaining
Superior Performance: With A New Introduction. USA: The Free
Press.
Roduner, Daniel. 2005. Value-Chains What is behind this ‚new’ key word? And
what is the role of development agencies in value chain development in
developing countries?.Rural Development News.
Scott, W. Richard. 1995. Institutions and Organizations Foundations for
Organizational Science. London: SAGE Publications Ltd.
Shonk, Felicity. 2012. Coffee, Buffalo and Remittances. Sydney: University of
Sydney.
Thrift, Nigel dan Olds, Kris. 1996. “Refuguring the economic in Economic Geography”, Progress in Human Geography, Vol. 27 (3), pp. 323-40.
Trienekens, Jacques H. 2011. Agricultural Value Chains in Developing Countries
A Framework for Analysis. International Food and Agribusiness
Management Review Volume 14, Issue 2.
Van Dijk, P.M dan Trienekens, Jacques. 2012. Global Value Chain: Linking
Local Producers from Developing Countries. Amsterdam: Amsterdam
University Press.
Waitt, Gordon, et al. 2000. Introducing Human Geography: Globalisation, Difference and Inequality. NSW. : Pearson Education Australia.
Yunus, H.S. 2010. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. DIY: Pustaka
Pelajar.
xvii
LAMPIRAN
xviii
PERTANYAAN KUNCI
Lampiran 1 Informan : Petani Asal:
Petani
1997-2007 ≥ 2008
Upaya Pengusahaan kopi (Mulai dari menanam hingga merawat)
Kepemilikan kebun
Kepada siapa kopi dijual+ (Alasan) Misal: ongkos, kedekatan/ dll
Asal informasi harga dan bagaimana persetujuan jual belinya
Kontribusi kopi terhadap pendapatan
Peruntukan Pendapatan
xix
Lampiran 2 Informan : Tengkulak Perantara Asal:
Tengkulak Perantara
1997-2007 ≥ 2008
Awal memulai pekerjaan jadi tengkulak
Asal kopi yang dibeli
Kepada siapa kopi dijual+ (Alasan) Misal: ongkos, kedekatan/ dll
Asal informasi harga dan bagaimana persetujuan jual belinya
Perlakuan terhadap kopi setelah pembelian
xx
Lampiran 3 Informan: Tengkulak Relasi KUD/Toarco Asal:
Tengkulak Relasi
1997-2007 ≥ 2008
Awal memulai pekerjaan jadi tengkulak
Asal kopi yang dibeli
Asal informasi harga dan bagaimana persetujuan jual belinya
Perlakuan terhadap kopi setelah pembelian
Alasan masih bertahan menjadi relasi
Perlakuan terhadap kopi setelah pembelian
xxi
Lampiran 4 Informan: KUD Sane (Pak Sarjana) Asal:
KUD sane
1997-2007 ≥ 2008
Asal kopi
persaingan perolehan kopi
Jumlah relasi
Proses penyeleksian kopi dari tengkulak relasi
Informasi harga
Perlakuan terhadap kopi setelah dilakukan pembelian pembelian
xxii
Lampiran 5 Informan: Toarco Jaya ( Pak Jabir Amin) Asal:
Toarco
Sejarah Kopi
1997-2007 ≥ 2008
Asal kopi
persaingan perolehan kopi
xxiii
Lampiran 6 Data Informan
Nama Asal Profesi
Nita Batutumonga, Toraja Utara Petani
Yuli Landorundun, Toraja Utara Tengkulak Relasi Toarco
Margaret Landorundun, Toraja Utara Tengkulak Relasi Toarco
Lukas Landorundun, Toraja Utara Tengkulak Relasi KUD
Titus Minggu Buntu Pepasan, Toraja
Utara Petani
Hendra Buntu Pepasan, Toraja
Utara Petani
Tomas Sapan, Toraja Utara Tengkulak Perantara
Toarco
Martin Ke'pe, Toraja Utara Tengkulak Perantara
Saleh Bituang, Tana Toraja Tengkulak Perantara
Adol Bituang, Tana Toraja Tengkulak Perantara
Ge'tengan, Tana Toraja Tengkulak Perantara
Ge'tengan, Tana Toraja Tengkulak Perantara
Burhanudin Baraka, Enrekang Tengkulak Relasi KUD
Sarjana DIY Pimpinan Utama KUD Sane/ UUO Agribisnis
Toraja
Jabir Amien Rantepao, toraja Utara Pimpinan Utama TOARCO Jaya
xxiv
Lampiran 7 Kutipan Hasil Wawancara dengan Informan
“ Saya amah SD aja ga lulus”
(Ibu Nita, petani kopi Toraja Utara)
“ Saya lulusan D3 di Toraja, tapi saya lebih memilih kembali berkecimpung di
bidang perkopian, karena sepertinya prospeknya bagus”
(Lukas, tengkulak Toraja Utara)
“ Kalo dikira-kira, petani di sini 70 % pendapatannya ya dari kopi, sisanya
nanem sayur atau salak. Kopi harganya bagus, dan sepertinya pasarnya jelas.
Kalo ga dari kopi, buat makan pasti susah”
(Burhanudin, Petani & Tengkulak)
“Pada Awalnya, relasi (petani, maupun tengkulak yang memiliki perjanjian
menjual kopi ke KUD) kami bisa mencapai ratusan”
(Pak Sarjana, Pimpinan KUD Sane / Unit Usaha Otonom Agribisnis Toraja)
“Saya mulai nanam kopi sekitar tahun 1997, dan KUD Sane member saya
pelatihan bagaimana cara menanm kopi yang baik. Saya karena saya cukup
berhasil saat itu, banyak penduduk lain yang tertarik belajar pada saya.
Enrekang tanahnya ga sesubur Toraja, jadi kita bustuh usaha lebih untuk
mengolah tanah agar kopi hasil tanaman lebih bagus”
(Burhanudin, Petani & Tengkulak Baraka)
“Skema sertifikasi Café practice baru diterapkan di Toraja pada tahun 2008”
(Pak Sarjana, Kepala KUD Sane/UUO Agribisnis Toraja)
xxv
“Enrekang memang masih baru berkecimpung dalam rantai kopi di Sulawesi,
yaitu sekitar tahun 1997, saat krismon. Ketika itu, harga kopi yang ada di Toraja
tinggi, membuat kami berpikir untuk mencoba juga. Kebetulan, KUD Sane juga
melakukan penyuluhan untuk bagaimana menanam kopi dengan baik. Karena
tuntutan ekonomi, kami mencoba peruntungan di bidang kopi. Saat memulai
bertani kopi, luas tanah yang saya miliki hanya 0,5 Ha.”
(Pak Burhanudin, Petani &Tengkulak)
“Di Toraja itu petani kopinya hanya ikut-ikutan nanem sebenernya, kalo harga
tinggi berbondong-bondong semua nanem, tapi kalo harga turun, pada ga nanem.
Kalo kopi murah, kadang mereka malah membiarkan kebun kopinya terlantar,
jadi sayang, padahal kalo dirawat, potensi menghasilkan jumlah kopi yang lebih
besar itu sangat mungkin. Penduduk Toraja dan Tana Toraja umumnya
karakternya sama, hanya saja kabupaten yang beda. Budaya mereka sama, lebih
mementingkan pesta. Pesta itu adalah acara pemakaman, setiap ada yang
meninggal pasti dirayain dan tamu yang dating harus bawa babi atau kerbau.
Sedangkan hasil dari penjualan kopi hanya buat kehidupan hari-hari”
(Pak Sarjana, kepala KUD Sane)
“ Saya itu bisa dibilang pelopor keberhasilan produksi kopi di Enrekang, saya
awalnya hanya punya tanah buat nanem 0,5 Ha, tapi karena setiap ada
pemasukan, saya tanam buat beli tanah, sekarang saya punya tanah 4 Ha. Terus
penduduk sekitar yang melihat keberhasilan saya dan melihat pohon kopi saya
yang bagus, mereka pada minta ajarin. Jadi ya sekarang banyak petani yang
mulai mencari nafkah sebagai petani kopi, dan dari pendapatan yang diterima,
kopi menyumbang sebesar 70% dari keseluruhan pendapatan ”
(Burhanudin, Baraka-Enrekang)