peran perpustakaan dalam membantu pengembangan ilmu...
TRANSCRIPT
PERAN PERPUSTAKAAN DALAM MEMBANTU PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN MASA ISLAM KLASIK (SEBUAH KAJIAN HISTORIS TENTANG PERPUSTAKAAN MASA BANI ABBASIYAH)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Oleh :
Riana Intan NIM: 104025000878
JURUSAN ILMU PERPUSTAKAAN DAN INFORMASI
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
ABSTRAK
RIANA INTAN Peran Perpustakaan dalam Membantu Pengembangan Ilmu Pengetahuan Masa Islam Klasik (Sebuah Kajian Historis tentang Perpustakaan Masa Bani Abbasiyah) Hasil dari penelitian ini mengenai ilmu pengetahuan yang berkembang masa Abbasiyah yang berkaitan erat dengan dibangunnya perpustakaan-perpustakaan, saat itu banyak ilmu pengetahuan yang berkembang antara lain: bidang kedokteran, bidang filsafat Islam, bidang astronomi dan matematika, bidang kimia, bidang geografi, bidang sejarah, bidang teologi, kajian hukum dan etika, serta bidang sastra dan kesenian. Banyaknya macam ilmu pengetahuan yang berkembang menjadikan khalifah-khalifah saat itu yang sangat peduli dengan ilmu pengetahuan, mendirikan sarana untuk menyimpan khazanah tersebut. Di sini perpustakaan merupakan sarana penunjang perkembangan ilmu bagi masyarakat dan juga merupakan media penghubung antara sumber informasi dengan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya dengan para pemakainya. Koleksi yang ada pada perpustakaan saat itu sangat bervariasi tergantung pada minat pemilik perpustakaan. Perpustakaan-perpustakaan masa Abbasiyah biasanya didirikan oleh para khalifah yang sangat peduli akan ilmu pengetahuan, perpustakaan dijadikan tempat penyimpanan koleksi yang dimiliki oleh para khalifah tersebut. Perpustakaan saat itu juga berfungsi sebagai tempat penelitian para ilmuwan, pusat penerjemahan sehingga para penerjemah saat itu memperoleh status yang baik di mata masyarakat, dan menjadi tempat penyusunan serta penyalinan buku-buku. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui bagaimana peran perpustakaan sebagai penunjang perkembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, selain itu untuk mengetahui bagaimana peran perpustakaan sebagai media penghubung antara sumber informasi dengan ilmu pengetahuan. Sehingga kiranya perlu kesadaran yang tinggi untuk menyadari betapa pentingnya perpustakaan bagi masyarakat, karena dengan tersedianya perpustakaan, tersedia pula sumber informasi dari berbagai cabang ilmu yang dapat mendukung kegiatan pembelajaran dan penelitian.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................
KATA PENGANTAR ..................................................................................
DAFTAR ISI ................................................................................................
i
ii
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .......................................................
B. Pembatasan dan Perumusan .................................................
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................
D. Metodologi Penelitian ..........................................................
E. Sistematika Penulisan ...........................................................
1
5
5
6
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perpustakaan .....................................................
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Perpustakaan......
C. Fungsi dan Peran Perpustakaan ...........................................
10
11
15
BAB III KEPUSTAKAAN ISLAM
A. Sejarah Bani Abbasiyah
1. Berdirinya Bani Abbasiyah ……………………………
2. Kemajuan yang Dicapai Bani Abbasiyah ………...........
3. Kehancuran Bani Abbasiyah ………………………......
B. Perpustakaan Masa Abbasiyah
21
22
26
1. Sejarah Perpustakaan Masa Abbasiyah ………..............
2. Perkembangan Perpustakaan Masa Abbasiyah ………..
3. Hancurnya Perpustakaan Masa Abbasiyah ……………
27
30
39
BAB IV PERAN PERPUSTAKAAN DALAM MEMBANTU
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MASA
ISLAM KLASIK
A. Perpustakaan sebagai Penunjang Perkembangan Ilmu
Pengetahuan bagi Masyarakat .............................................
B. Perpustakaan sebagai Media Penghubung antara Sumber
Informasi dengan Ilmu Pengetahuan ...................................
42
52
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...........................................................................
B. Saran-Saran ..........................................................................
68
70
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
71
74
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam telah membawa perubahan besar pada bangsa Arab dan
seluruh pemeluknya. Masyarakat Muslim berhasil membentuk sebuah kerajaan
besar yaitu Bani Abbasiyah yang wilayahnya meliputi jazirah Arabia, sebagian
benua Afrika, Asia dan Eropa dari abad ke-7 sampai ke-12 Masehi, sejak
munculnya Bani Abbasiyah inilah kejayaan Islam semakin terlihat.
Islam sebagai agama yang dianut mayoritas masyarakat dalam Bani
Abbasiyah tidak hanya berfungsi sebagai aturan hidup ritual keagamaan,
melainkan juga menaungi, memberi arahan dan aturan terhadap segala aspek
kehidupan dan paradaban yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakatnya.
Kebesaran (masyarakat Muslim) hampir empat setengah abad benar-benar
telah mengubah masyarakat Arab yang dikenal keras menjadi masyarakat yang
berperadaban maju. Pada kurun waktu ini pulalah, peradaban Islam amat berjasa
dalam mempersiapkan dasar-dasar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern.1
Islam sebagai sebuah ajaran memberikan sebuah konsep tersendiri
terhadap ilmu dan penyebaran ilmu bagi pemeluknya. Islam benar-benar
1W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam: kajian kritis dari tokoh orientalis. Terj. Hartono
Hadikusuma (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. vii.
menjadikan menuntut ilmu pengetahuan sebagai kewajiban.2 Kesadaran akan
kewajiban terhadap ilmu yang tidak hanya terbatas pada kewajiban mencari dan
mendalami ilmu saja, telah mendorong umat Islam mengembangkan lembaga-
lembaga yang menjalankan fungsi pemrosesan dan penyebaran ilmu seperti
lembaga pendidikan dan perpustakaan.
Pada permulaan Bani Abbasiyah, belum terdapat pusat-pusat pendidikan
formal, seperti sekolah-sekolah, yang ada hanya beberapa lembaga non formal
yang disebut Ma’ahid. Baru pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid
didirikanlah lembaga pendidikan formal seperti Bait al-Hikmah yang kemudian
dilanjutkan dan disempurnakan oleh al-Ma’mun yang berfungsi sebagai perguruan
tinggi, observatorium, perpustakaan, dan lembaga penerjemahan. Dari lembaga
inilah banyak melahirkan para sarjana dan ahli ilmu pengetahuan yang membawa
kejayaan Bani Abbasiyah dan umat islam pada umumnya.3
Perpustakaan menurut sistem ulama Islam dahulu, bukan saja tempat
membaca, membahas dan menyelidik, bahkan juga tempat berhalaqah, seperti di
masjid. Perpustakaan adalah sebagai institut ilmu pengetahuan masa sekarang,
disamping usahanya memberi kesempatan kepada umum untuk membaca buku-
buku dalam perpustakaan tersebut. Oleh sebab itu perpustakaan termasuk salah
satu tempat pendidikan. Perpustakaan dapat diibaratkan sebagai telaga ilmu yang
tidak pernah kering.
Budaya masyarakat Muslim yang mendorong usaha pencarian dan
penyebaran ilmu telah mendorong tumbuh dan berkembangannya perpustakaan.
2Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21. Terj. Priyono dan Ilyas Hasan, (Bandung:
Mizan, 1980), h. 39. 3Muhammad Nagib, “Sekilas Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Zaman Islam
Klasik”, artikel diakses pada 13 Mei 2008 dari http://ngbmulty.multiply.com/journal/item/38
Dari abad ke-9 M telah menjadi hal yang berkaitan dengan gengsi bagi para
bangsawan dan orang kaya di seluruh dunia Islam untuk mengumpulkan karya-
karya keagamaan, ilmiah dan sastra dan menyajikan koleksi tersebut terbuka bagi
ilmuwan dan palajar.
Perhatian kaum Muslimin dalam membangun perpustakaan-perpustakaan
ternyata telah meninggalkan pengaruh besar dalam perputaran roda pendidikan
dan ilmu pengetahuan. Perpustakaan dalam Islam telah berkembang sedemikian
rupa sehingga dapat dibanggakan. Di sebagian besar masjid, sekolah-sekolah, dan
gedung-gedung pendidikan, terdapat perpustakaan-perpustakaan yang berisi
berbagai jenis buku dan referensi yang jarang bandingannya untuk dipergunakan
oleh para siswa, ulama, pembaca, dan para penyalin setiap saat.4
Salah satu perpustakaan yang pernah berjaya di masa Bani Abbasiyah
adalah perpustakaan Bait al-Hikmah yang didirikan pada tahun 830 M oleh
Khalifah Harun al-Rasyid, kemudian dikembangkan lagi oleh anaknya yaitu
Khalifah al-Ma’mun. Berisi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi
sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2.400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan
perak disimpan di ruang terpisah. Menurut Cyril Elgood yang dikutip dari buku
Mehdi Nakosteen: “Buku-buku tentang fiqih, tata bahasa, retorika, sejarah,
biografi, astronomi, ilmu kimia dan lainnya tersusun dan tersimpan rapih dalam
rak”.5 Di samping dikenal sebagai perpustakaan yang besar, Bait al-Hikmah juga
dikenal sebagai perguruan tinggi pertama dalam sejarah Islam. Adapun ilmu-ilmu
4Muhammad ‘Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Terj. Bustami A.
Gani dan Djohar Bahri. (Jakarta: Bulan Bintang, 1970), h. 87. 5Cyril Elgood, “A Medical History of Persia and the Eastern Caliphate” dalam Mehdi
Nakosteen, History Of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with: an Introduction to Medieval Muslim Education. Terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 95.
yang berkembang saat itu salah satunya adalah kajian Historiografi yaitu ilmu
yang membahas tentang masa lampau, biasanya menceritakan legenda dan
anekdot yang terkait dengan masa pra-Islam, dan tradisi keagamaan yang berkisar
pada nama dan kehidupan Nabi.
Maka tak heran jika para khalifah-khalifah pada zaman keemasan Islam
semakin sadar akan pentingnya ilmu pengetahuan, untuk itu mereka mendirikan
perpustakaan-perpustakaan sebagai pusat intelektual muslim, di mana kota
Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam
yang terpenting dalam sejarah intelektual Islam.
Dipilihnya topik yang berjudul Peran Perpustakaan dalam Membantu
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Masa Islam Klasik (sebuah kajian historis
tentang perpustakaan masa Bani Abbasiyah) karena perpustakaan merupakan
sumber ilmu dan telah menjadi bukti sebuah kesuksesan peradaban Islam dimasa
lalu. Dengan melihat sejarah tersebut, maka dapat menjadi acuan kita untuk
mampu memelihara tradisi keilmuan di masa lalu dengan menjadikan
perpustakaan sebagai tempat pengkajian dan pengembangan ilmu pengetahuan
sehingga penulis tertarik untuk membahasnya. Selain itu, alasan lainnya adalah
topik ini masih jarang diangkat oleh para mahasiswa, khususnya di lingkungan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Mengingat banyaknya permasalahan yang ada di atas dan terbatas
kemampuan penulis, maka masalah yang diteliti akan dibatasi kepada permasalah
tentang perkembangan ilmu pengetahuan di masa klasik Islam khususnya masa
Bani Abbasiyah yang berpengaruh atas berdirinya perpustakaan-perpustakaan di
masa itu yang turut membantu pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam
penelitian ini yang dimaksud perkembangan ilmu pengetahuan di masa klasik
Islam adalah Masa Bani Abbasiyah pada pemerintah Harun ar-Rasyid dan
putranya al-Makmun.
Dari latar belakang masalah dan pembatasan masalah di atas, dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Perpustakaan sebagai penunjang perkembangan ilmu pengetahuan bagi
masyarakat?
2. Perpustakaan sebagai media penghubung antara sumber informasi dengan
ilmu pengetahuan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Untuk memperjelas sasaran yang akan dicapai melalui penelitian ini,
sesuai dengan masalahnya, maka tujuan penelitian ini :
1. Untuk mengetahui bagaimana peran perpustakaan sebagai penunjang
perkembangan ilmu pengetahuan bagi masyarakat.
2. Untuk mengetahui bagaimana peran perpustakaan sebagai media penghubung
antara sumber informasi dengan ilmu pengetahuan.
Adapun manfaat dari penelitian ini ada tiga, di antaranya:
1. Kegunaan keilmuan atau ilmiah/akademik
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan kajian
keilmuan pendidikan khususnya ilmu perpustakaan dalam rangka pendidikan
Islam secara universal.
2. Kegunaan praktis
Penelitian ini dapat diperoleh sumbangan pemikiran bagi para pengambil
keputusan agar menggunakan strategi yang tepat dalam mengembangkan
lembaga perpustakaan-perpustakaan sebagai wadah sumber ilmu pengetahuan
dan sarana menambah wawasan praktek dalam pelaksanaan kepustakawanan.
3. Untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam meraih gelar kesarjanaan strata
satu (S1) Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Ilmu Perpustakaan dan
Informasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ketiga hal di atas menjadi landasan pemanfaatan utama penulis dalam
penulisan skripsi, karena sesungguhnya ilmu bukanlah sekedar untuk kepentingan
sendiri akan tetapi ilmu untuk kepentingan kesejahteraan manusia dalam
menopang kehidupannya.
D. Metodologi Penelitian
1. Bentuk dan Jenis Penelitian
Topik yang dikaji mengenai “Peran Perpustakaan dalam Pengembangan
Ilmu Pengetahuan Masa Islam Klasik (sebuah kajian historis tentang perpustakaan
masa Bani Abbasiyah” karenanya pendekatan atau metode penelitian dan
penulisan skripsi ini menggunakan jenis penelitian sejarah (historis)6. Metode
penelitian sejarah adalah sekumpulan asas dan kaidah yang sistematis yang dibuat
secara efektif dapat membantu pengumpulan sumber bahan-bahan sejarah,
menilainya secara kritis, dan menyajikan sebuah sintesa (umumnya dalam bentuk
tertulis) dari hasil yang diperoleh. Selain memperhatikan sumber primer dan
6Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), cet.ke-1, h. 6.
sekunder juga mengadakan kritik ekstern dan intern, karena penelitian ini
bertujuan mendeskripsikan dan menganalisis peristiwa-peristiwa masa lampau.
2. Sumber Data
Adapun sumber-sumber data atau informasi yang dimaksud kebanyakan
diperoleh dari perpustakaan. Maka penelitian ini dilihat dari sudut objeknya
bersifat kepustakaan, karenanya teknik pengumpulan data (sumber) menggunakan
metode Library Research, dalam kaitan ini penulis langsung mencari,
mengumpulkan bahan-bahan, sumber atau referensi dari perpustakaan baik
berbentuk buku, literatur, dokumen, artikel, ensiklopedi, dan lain-lain yang
dibutuhkan.
3. Analisi Data
Analisis data di sini adalah proses pengorganisasian yang mengurut-
urutkan data yang terkumpul dalam berbagai jenis ke dalam suatu pola atau
kategori untuk dijadikan sebagai uraian dasar (deskripsi awal) sehingga dapat
ditemukan tema dan hipotesa kerja.7 Data yang terkumpul segera dianalisis dan
dituangkan ke dalam satu laporan ringkas. Proses kerjanya sebagaimana lazimnya
penulisan karya sejarah, ada empat tahapan, yaitu:
a. Heuristik, yaitu dengan mencari data primer maupun sekunder, tetapi
dalam hal ini penulis mendasarkan pada penelitian kepustakaan yang
mayoritas terdiri dari karya-karya yang ditulis oleh para ilmuwan yang
memberi perhatian pada perpustakaan masa Abbasiyah dalam
perkembangan ilmu pengetahuan.
7Arikunto, Prosedur Penelitian (Yogyakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 128.; Moleong,
Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 1997), h. 130.
b. Kritik, yakni meneliti/menganalisa kevalidan informasi dari sekian banyak
sumber tertulis yang ada, baik kritik intern maupun ekstern.
c. Interpretasi, yaitu menafsirkan fakta-fakta yang saling berhubungan
dengan menggunakan pendekatan deskriptif analitis.
d. Hasil dari keseluruhan proses berbentuk penulisan sejarah ini berupa
skripsi yang berjudul Peran Perpustakaan dalam Membantu
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Masa Islam Klasik (sebuah kajian
historis tentang perpustakaan masa Bani Abbasiyah), penulisan sejarah ini
merupakan interaksi penulis dengan karya-karya terkait.
E. Sistematika Penulisan
Akan dijelaskan satu persatu bab-bab yang terdapat pada tulisan ini,
dengan sistematika penulisan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN; Pada bab ini berisi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode
penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA; Bab ini berisi pengertian perpustakaan,
sejarah pertumbuhan dan perkembangan perpustakaan, fungsi dan peran
perpustakaan.
BAB III KEPUSTAKAAN ISLAM; Bab ini menguraikan tentang
sejarah masa Abbasiyah yang mencakup berdirinya Bani Abbasiyah, kemajuan
yang dicapai oleh masa Abbasiyah, dan kehancuran Bani Abbasiyah,
perpustakaan masa Abbasiyah yang terdiri dari sejarah dan perkembangan
perpustakaan masa Abbasiyah serta hancurnya perpustakaan masa itu.
BAB IV PERAN PERPUSTAKAAN DALAM MEMBANTU
PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MASA ISLAM KLASIK; Bab
ini menguraikan tentang perpustakaan sebagai penunjang perkembangan ilmu
pengetahuan bagi masyarakat, dan perpustakaan sebagai media penghubung
antara sumber informasi dengan ilmu pengetahuan.
BAB V PENUTUP; berisi kesimpulan pembahasan skripsi dan penulis
memberikan saran-saran yang merupakan masukan/sumbangan pemikiran penulis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Perpustakaan
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, pustaka artinya kitab, buku.8
Dalam bahasa Inggris, dikenal dengan istilah library. Istilah ini berasal dari kata
Latin liber atau libri artinya buku. Dari kata Latin tersebut, terbentuklah istilah
librarius yang artinya tentang buku. Istilah itu berasal dari kata biblia bahasa
Yunani artinya tentang buku, kitab. Istilah kitab suci Bible, juga berasal dari kata
biblia yang juga artinya buku, kitab. Karena itu, terjemahan Bible ke dalam
bahasa Indonesia ialah Alkitab. Dengan demikian, tidaklah aneh bila dalam semua
bahasa istilah perpustakaan, library, dan bibliotheek selalu dikaitkan dengan buku
atau kitab.9
Menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia, perpustakaan adalah kumpulan
buku-buku yang tersimpan disuatu tempat tertentu, milik suatu instansi/lembaga
tertentu. Di dalam perpustakaan terdapat buku-buku yang bisa dipinjam selama
beberapa hari atau minggu, tetapi ada juga yang hanya boleh dibaca di
perpustakaan seperti buku-buku referensi.10
8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 713.
9Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan (Jakarta: PT Gramedia, 1993), h. 3.
10Liliana D. Tedjasudhana, Ensiklopedi Nasional Indonesia (Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), Jil. 13, h. 112.
Webster's Third Edition International Dictionary edisi 1961 menyatakan
bahwa perpustakaan merupakan kumpulan buku, manuskrip, dan bahan pustaka
lainnya yang digunakan untuk keperluan studi atau bacaan, kenyamanan, atau
kesenangan. Definisi tersebut masih melihat perpustakaan dari segi koleksi buku
dikaitkan dengan tujuan perpustakaan. Dalam Encyclopaedia Britanica dituliskan
tentang pengertian perpustakaan yaitu: “A Library (from Lat. Liber, “book”) is a
collection of written, printed or other graphic material (incliding film, slide,
phonograph record and tapes) organized for use”.
Pengertian di atas dapat diartikan bahwa suatu perpustakaan (dari bahasa
Latin liber, “buku”) adalah suatu himpunan bahan-bahan tertulis, tercetak ataupun
grafis lainnya (termasuk film, slide, rekaman-rekaman fonografis dan tape-tape)
yang diatur untuk digunakan.11
Dari definisi perpustakaan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
perpustakaan adalah sebuah ruangan, ataupun gedung yang digunakan untuk
menyimpan buku, maniskrip dan terbitan pustaka lainnya, yang disimpan menurut
tata susunan tertentu untuk digunakan pembaca atau pengunjung perpustakaan,
bukan untuk dijual.
B. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Perpustakaan
Perkembangan perpustakaan tidak dapat dipisahkan dari sejarah manusia
karena perpustakaan merupakan produk manusia. Dalam sejarahnya, manusia
mula-mula tidak menetap tetapi mengembara dari satu tempat ke tempat lain.
11Zurni Zahara, “Konsep Dasar Ilmu Perpustakaan” artikel diakses pada
tanggal 24 Juni 2008 dari http://library.usu.ac.id/download/fs/perpus-zurni3.pdf
Kehidupan seperti itu sering disebut kehidupan nomaden. Dalam
pengembaraannya, manusia memperoleh pengalaman bahwa bila dia memberi
tanda pada sebuah batu, pohon, papan, lempengan serta benda lainnya, ternyata
manusia dapat menyampaikan berita ke manusia lainnya. Pesan ini dipahatkan
pada batu atau pohon atau benda lainnya. Manusia berhubungan dengan manusia
lain melalui bahasa lisan maupun bahasa isyarat. Setelah menggunakan berbagai
tanda yang di pahatkan pada pohon ataupun batu ataupun benda lainnya, manusia
mulai berkomunkasi dengan kelompok lain melalui bahasa tulisan.12
Dari segi lain, tanda ataupun tulisan yang dipahatkan pada pohon atau batu
atau benda lain dapat digunakan sebagai cantuman (record) mengenai apa yang
dikatakan manusia maupun apa yang perlu diketahui seseorang. Adanya tulisan
tersebut dapat membantu daya ingat manusia karena kini manusia dapat melihat
”catatannya” pada pohon, batu, dan lempengan. Pesan dalam berbagai pahatan itu
dapat diteruskan ke generasi berikutnya. Bila kegiatan memberi tanda pada
berbagai benda itu dilakukan dari satu generasi ke generasi berikutnya maupun
dari satu suku ke suku lainnya maka banyak dugaan bahwa perpustakaan dalam
bentuknya yang sangat sederhana sudah mulai dikenal ketika manusia mulai
melakukan kegiatan penulisan pada berbagai benda. Benda itu dapat diteruskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya ataupun dapat dibaca oleh suku lain.
Walaupun demikian, kita tidak pernah mengetahui kapan perpustakaan pertama
kali berdiri. Hanya berdasarkan bukti arkeologis diketahui bahwa perpustakaan
pada awal mulanya tidak lain berupa tumpukan catatan transaksi niaga. Dengan
kata lain, perpustakaan purba tidak lain merupakan sebuah kemudahan untuk
12Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, h. 19.
menyimpan catatan niaga. Karena kegiatan perpustakaan purba tidak lain
menyimpan kegiatan niaga maka ada kemungkinan bahwa perpustakaan dan arsip
semula bersumber pada kegiatan yang sama untuk kemudian terpisah.13
Seperti telah disebutkan di atas, manusia berusaha mencatat kegiatannya
dengan cara memahatkan catatannya pada kayu, batu, dan lempengan. Lambat
laun catatan itu dianggap kurang praktis karena sulit digunakan serta sukar
disimpan. Catatan pada batu atau lempengan tanah liat memang dapat digunakan
namun kurang praktis. Karena itu, manusia berusaha menemukan alat tulis yang
lebih baik daripada alat tulis periode sebelumnya. Salah satu usaha yang berhasil
ialah, penemuan orang Mesir sekitar tahun 2500 sebelum Masehi. Penemuan
tersebut sederhana namun memuaskan serta mempunyai pengaruh besar bagi
peradaban manusia. Orang Mesir berhasil menemukan bahan tulis berupa papyrus
yang dibuat dari sejenis rumput yang tumbuh di sepanjang Sungai Nil. Rumput
tersebut dipukul-pukul agar rata kemudian dikeringkan. Sesudah itu baru ditulisi
dengan menggunakan pahatan dan tinta.14
Dari kata papirus berkembanglah istifah paper, papier, papiere, papiros
yang berarti kertas. Penemuan kertas dari rumput papirus ini dianggap penting
bagi manusia karena serat selulosenya merupakan landasan kimiawi bagi
pembuatan kertas zaman modern. Hingga sekitar tahun 700-an Masehi, papirus
masih digunakan sebagai bahan tulis, kemudian mulai digunakan bahan lain
seperti kulit binatang.15
13Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan.
14Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, h. 21.
15Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan.
Sekitar abad pertama Masehi, sejenis bahan yang mirip dengan kertas yang
kita gunakan dewasa ini telah ditemukan di Cina. Namun karena pengetatan yang
dilakukan penguasa Cina terhadap semua benda yang keluar masuk dari Cina
maka penemuan kertas itu tidak dikenal di Eropa hingga tahun 1150-an. Eropa
baru mengenal kertas pada abad ke-12, sedangkan mesin cetak baru dikenal pada
abad ke-15 maka pengembangan perpustakaan berjalan lambat. Ketika kertas
sudah dikenal, sedangkan teknik pencetakan masih primitif, di Eropa Barat
dikenal sejenis terbitan bernama incunabulla yang berarti buku yang dicetak
dengan menggunakan teknik bergerak (movable tipe) sebelum tahun 1501.
Kesemuanya itu merupakan bahan tulis yang bagus, kuat, tahan lama namun
untuk membuatnya memerlukan waktu yang lama, sedangkan produknya terbatas.
Pengaruhnya bagi perpustakaan adalah perpustakaan terutama di Eropa hanya
menyimpan naskah tulisan tangan lazim yang disebut "manuskrip". Manuskrip ini
umumnya berbentuk gulungan atau biasa disebut scroll.16
Kalau dilihat dari kenyataan di atas, nyatalah bahwa pada masa itu
peradaban Cina jauh lebih maju daripada peradaban Eropa. Misalnya, dalam hal
cetak mencetak orang-orang Cina telah menemukan sejenis bentuk cetakan,
berupa cetakan blok dengan cara memahat sebuah aksara pada blok kayu. Teknik
tersebut kemudian dikembangkan lagi menjadi tipe gerak yang artinya sebuah
aksara dapat dipindahkan ke blok lain. Proses semacam ini baru dikenal di Eropa
Barat sekitar tahun 1440 tatkala Johann Gutenberg dari kota Mainz, Jerman
mencetak buku dengan tipe cetak gerak. Sejak penemuan Gutenberg ini
(sebenarnya penemuan untuk kawasan Eropa) pembuatan manuskrip yang semula
16Sulistyo-Basuki, Pengantar Illmu Perpustakaan, h. 21
ditulis tangan, kini dapat digandakan dengan mesin cetak. Karena teknik
pencetakan yang masih sederhana ini maka hasilnya pun masih sederhana
dibandingkan dengan buku cetakan masa kini. Buku yang diterbitkan semasa ini
hingga abad ke-16 dikenal dengan nama incunabula.17
Mesin cetak penemuan Gutenberg kemudian dikembangkan lagi sehingga
mulai abad ke-16 pencetakan buku dalam waktu singkat mampu menghasilkan
ratusan eksemplar. Hasilnya bagi perpustakaan ialah terjadinya revolusi
perpustakaan artinya dalam waktu singkat perpustakaan diisi dengan buku cetak.
Revolusi yang mirip sama terjadi hampir 400 tahun kemudian ketika buku mulai
digantikan bentuk elektronik. Dari Jerman, mesin cetak kemudian tersebar ke
seluruh Eropa, kemudian dibawa lagi ke Asia tempat asal usul mesin cetak. Inilah
hasil sampingan penemuan mesin cetak serta dampaknya terhadap perpustakaan.
Mesin cetak yang diasosiasikan dengan buku menimbulkan dampak sosial yang
besar.18
C. Fungsi dan Peran Perpustakaan
Berbicara mengenai fungsi perpustakaan, maka dibahas tentang tugas-
tugas yang harus dilakukan oleh sebuah perpustakaan agar perpustakaan tersebut
berjalan sebagaimana mestinya.
Sulistyo-Basuki dalam bukunya “pengantar Ilmu perpustakaan” secara
rinci menuliskan beberapa fungsi perpustakaan, di antaranya:19
17Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan.
18Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan.
19Sulistyo-Basuki, Pengantar Ilmu Perpustakaan, h. 28-30.
1. Sebagai sarana simpan karya manusia. Perpustakaan di sini berfungsi sebagai
tempat menyimpan karya manusia, khususnya karya cetak seperti buku,
majalah, sejenisnya serta karya rekaman seperti kaset, piringan hitam, dan
sejenisnya. Perpustakaan berfungsi sebagai arsip umum bagi produk
masyarakat berupa buku dalam arti luas. Dalam kaitannya dengan fungsi
simpan, perpustakaan bertugas menyimpan khazanah budaya hasil masyarakat.
Salah satu jenis perpustakaan yang benar-benar berfungsi sebagai sarana
simpan ialah perpustakaan nasional. Dimanapun tempatnya, perpustakaan
nasional sebuah negara selalu bertugas menyimpan semua buku yang
diterbitkan di negara yang bersangkutan.
2. Fungi informasi. Bagi anggota masyarakat yang memerlukan informasi dapat
memintanya ataupun menanyakannya ke perpustakaan. Informasi yang
diminta dapat berupa informasi mengenai tugas sehari-hari, pelajaran maupun
informasi lainnya. Dengan koleksi yang tersedia, perpustakaan harus
berusaha menjawab setiap pertanyaan yang diajukan ke perpustakaan. Bila
tidak terjawab, dapat minta bantuan ke perpustakaan lain yang dianggap
mampu menjawab pertanyaan tersebut karena pada hakekatnya semua
perpustakaan melaksanakan fungsi informasi.
3. Fungsi rekreasi. Masyarakat dapat menikmati rekreasi kultural dengan cara
membaca dan bacaan ini disediakan oleh perpustakaan. Fungsi rekreasi ini
tampak nyata pada perpustakaan umum yaitu perpustakaan yang dikelola
dengan dana umum serta terbuka untuk umum. Umum artinya setiap orang
tanpa memandang perbedaan jenis kelamin, usia, pekerjaan, agama, dan
warna kulit. Dalam menjalankan fungsi rekreasi ini maka perpustakaan
menjalin kerjasama dengan berbagai komponen seperti penulis yang menulis
buku, penerbit yang menerbitkan buku, produsen kertas, toko buku, unsur
pembaca yang berasal dari semua pihak dan dengan sendirinya juga
pengelola perpustakaan. Kegiatan membaca sebagai bagian fungsi rekreasi
dikaitkan pula dengan tingkat melek huruf. Berbeda dengan anggapan bahwa
melek huruf sudah berarti tahu aksara, sedangkan dalam kenyataannya
terdapat berbagai tingkat melek huruf dilihat dari segi penggunaan
pustaka. Melek huruf ini terbagi atas: (1) golongan yang tidak dapat membaca
dalam arti tahu aksara, namun tidak tahu cara membacanya; (2) golongan
yang memiliki kemampuan terbatas, dalam arti mereka ini dianggap setengah
melek huruf; (3) golongan sedang belajar aksara serta mungkin melek huruf;
(4) golongan yang melek huruf, namun tidak membaca kecuali bacaan
terbatas pada kehidupan sehari-hari; (5) golongan yang melek huruf
namun bukan pembaca buku; (6) golongan melek huruf namun bukan
pembaca buku yang tetap; dan (7) golongan melek huruf serta pembaca tetap.
4. Fungsi pendidikan. Perpustakaan merupakan sarana pendidikan non formal
dan informal, artinya perpustakaan merupakan tempat belajar di luar bangku
sekolah maupun juga tempat belajar dalam lingkungan sekolah. Dalam hal
ini, yang berkaitan dengan pendidikan nonformal ialah perpustakaan
umum, sedangkan yang berkaitan dengan pendidikan informal ialah
perpustakaan sekolah dan perpustakaan perguruan tinggi. Bagi mereka
yang sudah meninggalkan bangku sekolah maupun putus maka
perpustakaan merupakan tempat belajar yang praktis, berkesinambungan
serta murah. Dalam sejarah, banyak terjadi tokoh dunia menghabiskan
sebagian waktunya di perpustakaan serta memperoleh banyak bahan dari
perpustakaan sekolah. Seperti Abraham Lincoln (Presiden AS ke-16) yang
dikenal banyak memperoleh pendidikan nonformal dari perpustakaan,
Jawaharlal Nehru (Perdana Menteri pertama India), Karl Marx (penulis
buku Manifesto Komunis) yang menghabiskan waktunya di British Library
di London.
5. Fungsi kultural. Perpustakaan merupakan tempat untuk mendidik dan
mengembangkan apresiasi budaya masyarakat. Pendidikan ini dapat dilakukan
dengan cara menyelenggarakan pameran, ceramah, pertunjukan kesenian,
pemutaran film bahkan bercerita untuk anak-anak. Dengan cara demikian
masyarakat dididik mengenal budayanya. Di sini budaya memiliki arti segala
ciptaan manusia. Seringkali fungsi ini disalahgunakan sebagai sarana
propaganda politik penguasa, terutama di negara totaliter seperti Jerman
semasa Hitler. Pada masa itu, pihak Nazi mengisi perpustakaan dengan buku
yang mendukung Nazi, sedangkan buku karangan Yahudi dibakar.
Kelima fungsi di atas masih dilaksanakan oleh berbagai, perpustakaan
hingga sekarang. Betapapun majunya teknologi, penulis yakin bahwa
perpustakan masih mampu melaksanakan kelima fungsi tersebut.
Perpustakaan sebagai sumber informasi ilmu pengetahuan, teknologi dan
kebudayaan yang mempunyai fungsi berbeda antara satu dan lainnya ini memiliki
peran tersendiri, di antaranya sebagai penyerap yang menyebabkan melimpahnya
informasi dalam berbagai jenis maupun bentuk media, serta tersedianya perangkat
yang mampu menunjang kegiatan yang sulit dilakukan di masa-masa lalu yang
mau tak mau memberikan peluang besar untuk melakukan perubahan dalam pola
layanan maupun peranan yang diberikan, sebagai mediator informasi, penunjuk
jalan, fasilitator, pedamping pendidik. Untuk lebih lengkapnya, peran
perpustakaan tersebut, berikut ini:
1. Perpustakaan merupakan media atau jembatan yang menghubungkan antara
sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam koleksi
perpustakaan dengan para pemakainya.
2. Perpustakaan sebagai sarana untuk menjalin dan mengembangkan komunikasi
antara sesama pemakai, dan antara penyelenggara perpustakaan dengan
masyarakat yang dilayani.
3. Perpustakaan sebagai lembaga untuk mengembangkan minat baca, kegemaran
membaca, kebiasaan membaca, dan budaya baca, melalui penyediaan berbagai
bahan bacaan yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
4. Perpustakaan berperan aktif sebagai fasilitator, mediator dan motivator bagi
mereka yang ingin mencari, memanfaatkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan dan pengalamannya.
5. Perpustakaan merupakan agen perubahan, agen pembangunan dan agen
kebudayaan umat manusia. Sebab berbagai penemuan, sejarah, pemikiran dan
ilmu pengetahuan yang ditentukan pada masa lalu, direkam dalam bentuk
tulisan atau bentuk tertentu yang disimpan di perpustakaan dapat dipelajari,
diteliti, dikaji dan dikembangkan oleh generasi sekarang, dan kemudian
dipergunakan sebagai landasan penuntun untuk merencanakan masa depan
yang lebih baik.
6. Perpustakaan sebagai lembaga pendidikan nonformal bagi masyarakat dan
pengunjung perpustakaan. Mereka dapat belajar secara mandiri, melakukan
penelitian, menggali, memanfaatkan dan mengembangkan sumber informasi
dan ilmu pengetahuan.
7. Perpustakaan sebagai pembimbing dan memberikan konsultasi kepada
pemakai atau melakukan pendidikan pemakai.
8. Perpustakaan menghimpun dan melestarikan koleksi bahan pustaka agar tetap
dalam keadaan baik semua hasil karya umat manusia yang tak ternilai
harganya.
9. Perpustakaan dapat berperan sebagai ukuran atas kemajuan masyarakat dilihat
dari intensitas kunjungan dan pemakaian perpustakaan. Sebab masyarakat
yang sudah maju dapat ditandai dengan adanya perpustakaan yang sudah maju
pula, sebaliknya masyarakat yang berkembang belum mempunyai
perpustakaan yang memadai dan representatif.
Secara tidak langsung, perpustakaan yang berfungsi dan dimanfaatkan
dengan baik, dapat ikut berperan dalam mengurangi dan mencegah kenakalan
remaja seperti tawuran, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, dan tindak
indisipliner. Perpustakaan dengan bahan bacaan yang berisi pendidikan, informasi
dan rekreasi yang sehat dan positif serta dipahami dan dijiwai oleh pembacanya.
Materi bacaan tersebut mampu menggugah aspirasi dan mengembangkan minat
dan bakat kemudian diarahkan untuk melakukan hal-hal positif dan produktif baik
bagi dirinya sendiri maupun orang lain.20
20Sutarno, Perpustakaan dan Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2003), h. 54-57.
BAB III
KEPUSTAKAAN ISLAM
A. Sejarah Bani Abbasiyah
1. Berdirinya Bani Abbasiyah
Al-Saffah menjadi pendiri Bani Arab Islam ketiga -setelah Khulafa al-
Rasyidin dan Bani Umayyah- yang sangat besar dan berusia lama. Dari 750 M
sampai dengan 1258 M, penerus Abu al-Abbas memegang peranan
pemerintahan, meskipun mereka tidak selalu berkuasa.21
Abu al-Abbas al-Saffah (750-754 M) adalah pendiri Bani Abbasiyah.
Akan tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far al-Manshur (754-
775 M) yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan Bani
Abbasiyah. Pada tahun 762 M, Abu Ja’far al-Manshur memindahkan ibukota
dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian dipindahkan lagi ke Baghdad. Oleh
karena itu, ibukota pemerintahan Bani Abbasiyah berada di tengah-tengah
bangsa Persia.22
Abu Ja’far al-Manshur sebagai pendiri Abbasiyah setelah Abu al-
Abbas al-Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas,
21Phillip K. Hitti, History of The Arabs: from the earliest time to the present, Terj.
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 358.
22Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2006), h. 50-51.
ditangannyalah Abbasiyah mempunyai pengaruh yang kuat. Selama Dinasti
ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan pola
politik itu para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani
Abbasiyah menjadi lima periode:23
a. Periode Pertama (750-847 M), disebut periode pengaruh Persia
pertama.
b. Periode Kedua (847-945 M), disebut masa pengaruh Turki pertama.
c. Periode Ketiga (945 M-1055 M), masa kekuasaan Bani Buwaih dalam
pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa
pengaruh Persia kedua.
d. Periode Keempat (1055-1194 M), masa kekuasaan Dinasti Bani sejak
dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan
masa pengaruh Turki kedua.
e. Periode Kelima (1194-1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh
Dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.
2. Kemajuan yang Dicapai Bani Abbasiyah
Setiap Dinasti atau rezim mengalami fase-fase yang dikenal dengan
fase pendirian, fase pembangunan dan kemajuan, fase kemunduran dan
kehancuran. Akan tetapi durasi dari masing-masing fase itu berbeda-beda
karena bergantung pada kemampuan penyelenggara pemerintahan yang
bersangkutan.
23Yatim, Sejarah Peradaban Islam, h. 49-50.
Pada masa pemerintahan, masing-masing memiliki berbagai kemajuan
dari beberapa bidang, diantaranya bidang politik, bidang ekonomi, bidang
sosial. Pada masing-masing bidang memiliki kelebihan dan kekurangan.24
a. Bidang Politik
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan gerakan
politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan ini seperti sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di
Afrika utara, gerakan zindik di Persia, gerakan Syi’ah dan konflik
antar bangsa serta aliran pemikiran keagamaan, semuanya dapat
dipadamkan.
b. Bidang Ekonomi
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan
peningkatan di sektor pertanian, melalui irigasi dan peningkatan hasil
pertambangan seperti perak, emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu
dagang transit antara timur dan barat juga banyak membawa kekayaan.
Bahsrah menjadi pelabuhan yang penting.
c. Bidang Sosial
Popularitas Bani Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah
Harun al-Rasyid (786-809 M) dan putranya Al-Ma’mun (813-833 M).
kekayaan yang banyak di manfaatkan Harun al-Rasyid untuk
24Ratnanengsih, “Sejarah Peradaban Islam pada Zaman Bani Abbasiyah di
Baghdad” artikel diakses pada 26 Juli 2008 dari http://amgy.wordpress.com/2008/02/11/sejarah-peradaban-islam-pada-zaman-Bani-Abbasiyah-di-bagdad/
keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan, dokter, dan
farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak 800 orang
dokter. Disamping itu pemandian-pemandian juga dibangun. Tingkat
kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini,
kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan dan
kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya.
Adapun penyebab keberhasilan kaum penganjur berdirinya Bani
Abbasiyah ialah karena mereka berhasil menyadarkan kaum muslimin pada
umumnya, bahwa Bani Abbasiyah adalah keluarga yang paling dekat kepada
Nabi Muhammad SAW, dan bahwasanya mereka akan mengamalkan al-
Qur’an dan Sunnah rasul dan menegakkan syari’at Allah.
Jika dasar-dasar pemerintahan Bani Abbasiyah diletakkan dan
dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far Al-Manshur, maka puncak
keemasan dari Dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-
Mahdi (775-785 M), al-Hadi (775-786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-
Ma’mun (813-833 M), al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M),
dan al-Mutawakkil (847-861 M).25
a. Kemajuan dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah
dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara
menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di antaranya
adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non
25Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: Pustaka Bani Quraisyi,
2004), h. 77.
Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual dan budaya riset yang sudah
lama melingkupi kehidupan mereka. Mereka diberikan fasilitas berupa materi
atau finansial dan tempat untuk terus melakukan berbagai kajian ilmu
pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah ditulis atau dikaji oleh
masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata membawa dampak yang
sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan sains
yang membawa harum Dinasti ini.26 Dengan demikian, banyak bermunculan
ahli dalam bidang ilmu pengetahuan, seperti Filsafat, filosuf yang terkenal saat
itu antara lain adalah Al Kindi (801-873 M). Abu Nasr al-Faraby, (870-950
M) dan lain-lain.27
Kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban Islam juga terjadi pada
bidang ilmu sejarah, ilmu bumi, astronomi dan sebagainya. Diantaranya
sejarawan muslim yang pertama yang terkenal yang hidup pada masa ini
adalah Muhammad bin Ishaq (w. 768 M).28
Khalifah Harun al-Rasyid dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni
dan ilmu. Ia banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan
ilmuwan dan mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni. Al-Rasyid
mengembangkan satu akademi Gundishapur yang didirikan oleh Anushirvan
pada tahun 555 M. Pada masa pemerintahannya lembaga tersebut dijadikan
26Fahmi Hidayati, “Bani Abbasiyah” artikel di akses pada 26 Juli 2008 dari
http://spik13.blogspot.com/2008/04/Bani-Abbasiyah.21.html
27Hidayati, “Bani Abbasiyah.”
28Hidayati, “Bani Abbasiyah.”
sebagai pusat pengembangan dan penerjemahan bidang ilmu kedokteran, obat
dan falsafah.29
Dari gambaran diatas terlihat bahwa, Daulah Bani Abbas pada periode
pertama lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam
daripada perluasan wilayah. Disinilah perbedaan pokok antara Bani Abbasiyah
dan Bani Umayyah.
b. Kemajuan dalam Ilmu Agama Islam
Masa pemerintahan Bani Abbasiyah yang berlangsung lebih kurang
lima abad (750-1258 M), dicatat sebagai masa-masa kejayaan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam. Kemajuan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam ini, khususnya kemajuan dalam bidang ilmu agama, tidak
lepas dari peran serta para ulama dan pemerintah yang memberi dukungan
kuat, baik dukungan moral, material dan finansial, kepada para ulama.
Perhatian yang serius dari pemerintah ini membuat para ulama yang ingin
mengembangkan ilmu ini mendapat motivasi yang kuat, sehingga mereka
berusaha keras untuk mengembangkan dan memajukan ilmu pengetahuan dan
peradaban Islam. Diantaranya ilmu pengetahuan agama Islam yang
berkembang dan maju adalah ilmu hadits, ilmu tafsir, ilmu fiqih dan tasawuf.30
3. Kehancuran Bani Abbasiyah
Berakhirnya kekuasaan Bani Seljuk atas Baghdad atau khalifah
Abbsiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini, khalifah
Abbasiyah tidak lagi berada dibawah kekuasaan suatu Dinasti tertentu,
29Hidayati, “Bani Abbasiyah.”
30Hidayati, “Bani Abbasiyah.”
walaupun banyak sekali Dinasti islam berdiri. Ada diantaranya Dinasti yang
cukup besar, namun yang terbanyak adalah Dinasti kecil. Para khalifah
Abbasiyah, sudah merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad
sekitarnya. Wilayah kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukan
kelemahan politiknya. Pada masa inilah tentara Mongol dan Tar-tar
menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan dihancurluluhkan tanpa
perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat serangan tentara
Mongol ini adalah awal babak baru dalam sejarah islam, yang disebut masa
pertengahan.31
Sebagaimana dalam periodisasi khalifah Abbasiyah, masa kemunduran
dimulai sejak periode kedua, namun demikian faktor-faktor penyebab
kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba, benih-benihnya sudah terlihat
pada periode pertama, hanya khalifah pada saat periode itu sangat kuat, benih-
benih ini tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani Abbas
terlihat bahwa apabila kalifah kuat, para mentri cenderung berperan sebagai
pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa mengatur roda
pemerintahan.32
B. Perpustakaan Masa Abbasiyah
1. Sejarah Perpustakaan Masa Abbasiyah
31Ratnanengsih, “Sejarah Peradaban Islam pada Zaman Bani Abbasiyah di
Baghdad.”
32Ratnanengsih, “Sejarah Peradaban Islam pada Zaman Bani Abbasiyah di Baghdad.”
Bani Abbasiyah, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual.
Kekhalifahan Baghdad yang didirikan oleh al-Saffah dan al-Mansur mencapai
masa keemasannya antara masa khalifah ketiga, al-Mahdi, dan khalifah
kesembilan, al-Watsiq, dan lebih khusus lagi adalah masa Harun al-Rasyid
dan anaknya al-Ma’mun. Terutama karena khalifah yang hebat itulah Bani
Abbasiyah memiliki kesan baik dalam ingatan publik, dan mencapai Dinasti
yang paling terkenal dalam sejarah Islam.33 Bani Abbasiyah berkembang pesat
dan menjadikan dunia Islam sebagai pusat pengetahuan dengan
menerjemahkan dan melanjutkan tradisi keilmuan Yunani dan Persia.
Kekhalifahan ini naik kekuasaan setelah mengalahkan Bani Umayyah. Bani
Abbasiyah dibentuk oleh keturunan dari paman Nabi Muhammad yaitu
Abbasiyah. Berkuasa mulai tahun 750 M dan memindahkan ibukota dari
Damaskus ke Baghdad. Meskipun usianya kurang dari setengah abad.
Baghdad pada saat itu muncul menjadi pusat dunia dengan tingkat
kemakmuran dan peran internasional yang luar biasa. Kejayaannya berjalan
seiring dengan kemakmuran kerajaan, terutama ibukotanya. Saat itulah
Baghdad menjadi “kota yang tiada bandingannya di seluruh dunia.”34
Sejarah dan berbagai legenda menyebutkan bahwa zaman keemasan
Baghdad terjadi selama masa kekhalifahan Harun al-Rasyid (786-809 M).
Pada masa kekhalifahan ini dunia Islam mengalami peningkatan besar-besaran
di bidang ilmu pengetahuan. Khalifah Harun al-Rasyid adalah khalifah
Abbasiyah yang dikenal sebagai khalifah yang mencintai seni dan ilmu. Ia
33Hitti, History of The Arabs, h. 369.
34Hitti, History of The Arabs, h. 375.
banyak meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan kalangan ilmuwan dan
mempunyai apresiasi yang tinggi terhadap seni.
Sejak peradaban Islam menguasai teknologi pembuatan kertas,
aktivitas penulisan buku di akhir abad ke-8 M kian menggeliat. Jumlah buku
yang terbit di era kekuasaan Bani Abbasiyah itu sungguh melimpah. Pada era
itu minat baca sangat tinggi, sehingga setiap orang berlomba membeli dan
mengoleksi buku.35
Guna menampung buku-buku yang terbit setiap saat, pada abad ke-9
M di seluruh kota Islam sudah ada perpustakaan-perpustakaan untuk
menampung buku-buku yang terbit saat itu. Masyarakat Islam menyebutnya
sebagai dar al-‘ilm. Peradaban di era kekhalifahan tidak hanya memiliki
perpustakaan yang banyak. Masyarakat muslim di masa keemasan juga
memperkenalkan konsep perpustakaan modern.
Setidaknya ada dua kondisi masyarakat saat itu yang menyebabkan
banyak terbentuknya perpustakaan:
a. Timbulnya kecintaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan di
masyarakat muslim, sehingga buku-buku yang terbit masa itu
menempati kedudukan yang istimewa dalam masyarakat.
Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan merupakan hasil dukungan
yang diberikan oleh khalifah dan golongan penguasa.
b. Adanya minat yang besar untuk memperoleh dan mengumpulkan
buku dengan timbulnya industri kertas yang pada akhirnya
35Heri Ruslan, “Khazanah: Perpustakaan Lumbung Ilmu di Era Kekhalifahan,”
Republika, 9 September 2008, h. 8.
mendorong berkembangnya perdagangan dan pasar buku. Dalam
hal ini pemerintah kerajaan memberikan dukungan dalam bentuk
pembebasan pajak buku.
Dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam, perpustakaan pada
masa itu sampai puncak kejayaannya menunjukkan suatu peran yang sangat
besar dalam pendidikan masyarakat. Dalam aktivitas ilmiah, ada beberapa
aktivitas ilmiah yang berlangsung di kalangan umat Islam pada masa Bani
Abbasiyah yang mengantar mereka mencapai kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan. Misalnya dalam bidang penerjemahan, aktivitas penerjemahan
mencapai puncaknya pada masa Al Ma’mun. Khalifah ini juga seorang
cendekiawan yang sangat besar perhatiannya kepada ilmu pengetahuan.36
2. Perkembangan Perpustakaan Masa Abbasiyah
Pada masa Bani Abbasiyah, kota Baghdad menjadi pusat intelektual
Muslim, dimana terjadi perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam. Perpustakaan adalah salah satu tempat yang ditempuh orang dahulu
untuk menyiarkan ilmu pengetahuan. Munculnya perpustakaan-perpustakaan
masa itu tidak terlepas dari peran pemerintah yang sangat peduli dengan ilmu
pengetahuan yang berkembang. Saat itu para khalifah berlomba-lomba
mengoleksi buku sebanyak mungkin, walaupun saat itu harga buku sangat
mahal. Para khalifah juga mendirikan perpustakaan-perpustakaan yang
dijadikan sebagai tempat penyimpanan koleksi buku yang dimiliki. Biasanya
perpustakaan didirikan oleh bangsawan atau orang-orang kaya sebagai
lembaga-lembaga kajian yang terbuka untuk umum. Banyak perpustakaan
36Munthoha, dkk. 2002. Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 40.
yang tidak hanya didirikan di tempat-tempat umum oleh penguasa (Khalifah),
tapi juga di kediaman (rumah) para penguasa saat itu. Sehingga terdapat empat
jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum, semi umum, khusus dan
sekolah. Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang terbuka untuk umum.
Perpustakaan semi umum, di sisi lain terbuka untuk satu kelompok yang
terpilih. Perpustakaan khusus, sebagaimana sebutannya dimiliki oleh para
cendekiawan untuk kebutuhan pribadi. Dan perpustakaan sekolah adalah
perpustakaan yang tergabung pada sebuah sekolah dikelola oleh sekolah untuk
menunjang kegiatan belajar. Berikut penjelasannya:
a. Perpustakaan umum adalah perpustakaan yang didirikan untuk digunakan
orang ramai, yang diselenggarakan oleh pemerintahan atau wakaf dari para
ulama dan sarjana, tujuannya untuk mensponsori kegiatan ilmiah dengan
sumber dana dari wakaf atau subsidi pemerintah. Sistem layanan yang
digunakan yaitu sistem terbuka. Koleksi yang ada pada perpustakaan ini
berupa buku-buku ilmu agama Islam dan bahasa Arab. Bermacam-macam
ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu. Buku-buku terjemah
bahasa Yunani, Persia, India, Qibty dan Arami. Menerjemahkan karya-
karya umum termasuk literasi humaniora, buku-buku Aristoteles dan
Hipocrates.37 Contoh perpustakaan umum masa itu sebagai berikut:
1) Perpustakaan Bait al-Hikmah
Perpustakaan yang didirikan oleh Khalifah al-Ma’mun ini,
diperkirakan sebagai perpustakaan besar pertama yang ada di Baghdad.
Perpustakaan ini berdiri sekitar tahun 830 M. Sebenarnya perpustakaan ini
37Mahmud Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam (Jakarta: Mutiara, 1966), h. 78.
sudah ada sejak pemerintahan Khalifah Harun-al-Rasyid, ayah dari
Khalifah al-Ma’mun, yang berkuasa tahun 786-809 M, kemudian
perpustakaan ini dikembangkan dan diperbesar oleh Khalifah al-
Ma’mun.38
Di samping dikenal sebagai perpustakaan yang besar, Bait al-
Hikmah juga dikenal sebagai perguruan tinggi pertama dalam sejarah
Islam. Lembaga ini terdiri dari observatorium astronomi dan perpustakaan,
juga berfungsi sebagai lembaga penerjemahan. Di observatorium milik
Bait al-Hikmah para ilmuwan mempelajari, meneliti, dan menulis dalam
berbagai bidang ilmu. Para ilmuwan yang bekerja di lembaga ini
memperoleh beasiswa dari pemerintah. Perpustakaan Bait al-Hikmah ini
merupakan bagian dari bangunan istana khalifah, yang dilengkapi dengan
ruang tersendiri unuk para, penyalin, penjilid dan pustakawan.39
Jumlah koleksi yang ada pada perpustakaan ini tercatat dalam al-
Fihrist karya Ibn al-Nadim sekitar 60.000 buah. Perpustakaan ini
mempunyai daftar judul buku yang berfungsi sebagai katalog
perpustakaan. Koleksi perpustakaan juga mencakup berbagai bidang ilmu
karena minat khalifah Abbasiyah saat itu sudah meluas tidak saja terbatas
pada ilmu-ilmu agama.40
Pada pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid perpustakaan Bait al-
Hikmah merupakan tempat menyimpan buku yang dipimpin oleh seorang
38Hitti, History of The Arabs, h. 410.
39Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21. Terj. AE Priyono dan Ilyas Hasssan (Bandung: Mizan, 1991), h. 49.
40Sardar, Tantangan Dunia Islam, h. 45.
kepala dan dibantu oleh sejumlah staf. Untuk pengembangan koleksi
Khalifah Harun al-Rasyid melantik Yuhana ibn Masuwiyah untuk
menerjemahkan buku-buku dan menyediakan staf untuk membantu
pekerjaannya. Usaha penerjemahan ini dilanjutkan oleh Khalifah al-
Ma’mun, karena penerjemahan ini merupakan kegiatan penting di Bait al-
Hikmah.
Ada dua orang ilmuwan yang tercatat sebagai pustakawan di
perpustakaan Bait al-Hikmah pada masa Khalifah al-Ma’mun. Tanggung
jawab para pustakawan itu meliputi keseluruhan lembaga tidak terbatas
pada perpustakaan saja. Salm (terkadang disebut Salma atau Salman),
salah satu dari mereka, dikenal sebagai orang yang mempunyai minat
besar terhadap ilmu. Tugas yang diembannya sebagai kepala perpustakaan
adalah pengumpulan dan menerjemahkan buku-buku ilmiah. Pustakawan
yang bekerja bersama Salman adalah Sahl ibn Harun. Sahl ibn Harun
adalah pustakawan Bait al-Hikmah yang paling terkenal. Sahl,
berkebangsaan Persia, dikagumi karena sikapnya, kemampuannya sebagai
penyair dan pembicara, kebijaksanaannya, kelembutannya dan
pengetahuannya mengenai buku.
2) Perpustakaan Al-Haidariyah
Perpustakaan ini berlokasi di kota Najaf di Irak. Perpustakaan ini
termasuk dalam lingkungan makam Ali ibn Abu Thalib. Nama
perpustakaan ini diambil dari julukan yang diberikan oleh golongan Syi’ah
untuk Ali r.a, yaitu Haidar yang artinya singa. Koleksi perpustakaan ini
yang masih ada sampai dengan tahu 1950 meliputi sejumlah besar buku-
buku berharga dalam bahasa Arab dan Persia yang kebanyakan ditulis
tangan oleh pengarangnya sendiri. Di sini juga terdapat sejumlah besar
koleksi al-Qur’an yang ditulis dengan kaligrafi dengan ukiran-ukiran yang
sangat indah.41
3) Perpustakaan Darul Hikmah di Cairo (Mesir)
Perpustakaan ini didirikan oleh al-Hakim Biamrillah al-Fatimy
tahun 1004 M. Dalam perpustakaan itu terdapat buku-buku dengan
berbagai macam bidang ilmu pengetahuan. Perpustakaan ini terbuka
untuk umum, semua orang pencinta ilmu diperbolehkan mengunjungi
perpustakaan. Diantara mereka ada yang datang untuk membaca kitab,
ada yang datang untuk menyalin buku dan ada juga untuk belajar.
Pada semua pintu dan lorongnya dipasangi tirai. Di situ
ditempatkan pula para penanggung jawab, karyawan dan petugas. Di
situ dihimpun buku-buku yang belum pernah dihimpun oleh seorang
raja pun. Perpustakaan itu mempunyai 40 lemari. Bahkan ada salah satu
lemari yang memuat 18.000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Semua orang
boleh masuk ke situ. Di antara mereka ada yang datang untuk membaca
buku, menyalin atau untuk belajar. Di situ terdapat segala yang
diperlukan (tinta, pena, kertas dan tempat tinta).
b. Perpustakaan semi umum yaitu perpustakaan yang khusus untuk para
ulama, sarjana dan pelajar, perpustakaan ini tidak dibuka untuk umum
tetapi diperbolehkan kepada ahli-ahlinya saja, didirikan oleh khalifah atau
41Kusuma, “Peran Perpustakaan Bagi Pemikiran dan Peradaban Islam.” artikel
diakses pada 26 Juli 2008 dari http://ardiankoesoema.multiply.com/journal/item/16
raja-raja yang berlokasi di dalam kerajaan atau lembaga kekhalifahan
dengan tujuan untuk menunjang kebutuhan dan kemudahan
studi/penelitian. Kebutuhan informasi khalifah dan kalangan istana,
sumber dana dari khalifah atau dana dari kerajaan, perpustakaan semi
umum ini menganut sistem layanan tertutup. Koleksi di sini terdiri dari
kitab-kitab fiqh, nahwu, bahasa, hadist, sejarah, hikayat raja-raja, ilmu
perbintangan, kerohanian dan ilmu kimia.42
1) Perpustakaan An-Nashir Li Dinillah
Didirikan oleh khalifah An-nashir Li Dinillah yang dianggap telah
mampu mengembalikan keagungan dan kemegahan kekhalifahan.
Khalifah al-Nasir ini adalah seseorang yang mempunyai perhatian besar
terhadap kemajuan ilmu pengetahuan. Untuk menunjang kegiatannya
dalam bidang ilmu, khalifah membangun sebuah perpustakaan pribadi, dan
perpustakaan ini terbuka bagi kalangan tertentu yang telah memperoleh
izin darinya.
2) Perpustakaan Al-Musta’shim Billah
Didirikan oleh khalifah terakhir dari Bani Abbasiyah, yang telah
memberikan andil besar bagi ilmu pengetahuan. Al-Musta’shim ini adalah
khalifah terakhir Bani Abbasiyah yang berkuasa pada tahun 1242-1258 M.
Dinding perpustakaan miliknya ini bertuliskan bait-bait syair.
c. Perpustakaan khusus yaitu perpustakaan pribadi yang dimiliki oleh para
pembesar dan ulama, pemiliknya ulama atau para pembesar yang berlokasi
di rumah para ulama atau pembesar dengan tujuan untuk koleksi dan
42Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam. h. 80.
kepentingan ulama atau pembesar tersebut, sebab rata-rata mereka sangat
menyukai buku, sumber dana berasal dari pembesar atau ulama tersebut
karena mereka mempunyai dana khusus untuk mengelola perpustakaannya
dan sistem layanannya hanya untuk digunakan pribadi tetapi terkadang
memperbolehkan orang luar untuk menggunakan koleksinya. Koleksi yang
ada pada perpustakaan ini biasanya bidang-bidang ilmu yang sesuai
dengan keinginan dan kebutuhan pemiliknya.43
1) Perpustakaan Hunain Ibnu Ishaq
Beliau adalah seorang dokter dan penterjemah yang paling
terkemuka di masa Al-Ma’mun. Beliau banyak menerjemahkan buku-buku
filsafat dan kedokteran. Kebesaran perpustakaan pribadi miliknya dapat
diperkirakan dari banyaknya buku yang telah diterjemahkan olehnya,
buku-buku karangannya, dan buku-buku yang dijadikan sumber
karangannya.
2) Perpustakaan Al-Fathu Ibnu Haqam
Al-Fathu Ibnu Haqam adalah seorang wazir dari Mutawakil al-
Abbasiyahi, dia adalah seorang yang gemar membaca dan berwawasan
luas. Untuk memenuhi kebutuhan membacanya dia membangun sebuah
perpustakaan yang besar. Perpustakaan ini berisi buku yang dipilih oleh
Ali ibn Yahya Abi Mansur al-Munajjin seorang ilmuwan dan sastrawan.
3) Perpustakaan Al-Muwaffaq Ibnul Matran
Beliau adalah seorang yang cerdas dan rajin serta mempunyai
bidang keahlian pada ilmu kedokteran dan banyak mengarak buku dalam
43Yunus, Sedjarah Pendidikan Islam. h. 79.
bidang kedokteran pula. Muwaffaq ibnul Matran sangat menyukai buku
dan berusaha keras mengumpulkan buku untuk koleksi perpustakaannya.
Selain menulis dan menyalin buku dengan tangannya sendiri. Kebanyakan
buku yang ada di perpustakaannya telah dikoreksi olehnya. Jumlah koleksi
perpustakaannya mencapai 10.000 buah dalam bidang kedokteran dan
bidang-bidang lainnya. Dia juga dikenal sebagai seorang yang pemurah
dan sering memberikan hadiah kepada murid-muridnya, sebagai
pendorong bagi mereka agar giat belajar.
4) Perpustakaan Al-Mubassyir Ibnu Fatik
Beliau adalah seorang pangeran Mesir terkemuka dan dikenal
sebagai ulama yang mahir dalam ilmu falak, ilmu pasti, filsafat dan ilmu
kedokteran. Dia juga seorang penulis hebat. Al-Mubasysyir banyak
menulis buku, menyalin kembali buku-buku karya pengarang terdahulu
dan mengumpulkan buku-buku untuk koleksi perpustakaannya.
5) Perpustakaan Jamaluddin Al-Qifthi
Didirikan oleh seorang wazir yang terkenal dengan keahliannya
dalam berbagai disiplin ilmu, seperti linguistik, nahwu, fiqh, hadits, ilmu
Qur’an, Ushul dan sebagainya. Jamaluddin sangat senang mengumpulkan
buku dan sering dikunjungi para penulis dan penjual buku yang ingin
menjual buku kepadanya. Koleksi buku-bukunya itu, yang diperkirakan
bernilai 50.000 dinar.
d. Perpustakaan Sekolah merupakan salah satu sarana pendukung sistem
pendidikan sekolah. Keberadaan sebuah perpustakaan di sekolah
memegang peranan yang sangat penting dalam membantu tercapainya
tujuan pendidikan sekolah. Betapa pentingnya perpustakaan sehingga
orang sulit untuk menemukan sekolah atau madrasah yang tidak memiliki
perpustakaan. Salah satu perpustakaan sekolah yang terkenal pada masa
Abbasiyah adalah perpustakaan sekolah Nizamiyah di Baghdad. Pada saat
itu perpustakaan sangat kuat karena didukung oleh para penguasa dan
cendekiawan serta kebanyakan masyarakat.44
Pada saat itu seluruh kota Islam terdapat berbagai perpustakaan yang
besar yang melayani semangat ilmiah masyarakat sekitarnya. Beberapa
perpustakaan ini merupakan lembaga besar dan megah di mana terdapat
sejumlah besar karya-karya berharga. Ini menunjukkan perpustakaan-
perpustakaan dalam peradaban Islam lebih lengkap di bandingkan dengan
perpustakaan yang ada pada saat ini yang cukup keras dengan peraturan.
Pembangunan perpustakaan dalam paradaban Islam kala itu, amat
diberi perhatian tinggi oleh pemerintah, para ilmuwan, bangsawan bahkan
orang awam sekalipun. Pendiri perpustakaan di anggap orang yang mulia dan
terpandang dalam masyarakat. Perpustakaan pada masa itu telah menjadi
perhiasan rumah, bahkan merupakan suatu kemestian.
Kesadaran akan pentingnya membaca sebagai jalan masuknya ilmu telah
mendorong generasi terdahulu umat Islam untuk mendirikan fasilitas yang bisa
menampung bahan bacaan karya-karya ulama Islam waktu itu.
3. Hancurnya Perpustakaan Masa Abbasiyah
44Kusuma, “Peran Perpustakaan Bagi Pemikiran dan Peradaban Islam.”
Sebagai lembaga yang diciptakan dan tumbuh berkembang bersama
masyarakatnya, perpustakaan sangat dipengaruhi oleh kondisi masyarakat
tempat perpustakaan tersebut berada. Seperti perpustakaan lain dalam sejarah,
banyak perpustakaan yang dibangun umat Islam mengalami kemunduran
selama masa perang dan kondisi politik yang tidak stabil.45
Kemunduran perpustakaan Islam merupakan salah satu faktor dari
hancurnya peradaban Islam. Kehancuran perpustakaan Islam disebabkan oleh
perbuatan musuh-musuh Islam maupun dari kalangan umat Islam itu sendiri
dengan bermacam alasan.
Pertama, faktor internal, seperti (1) Konflik politik antar umat Islam;
(2) Kemunduran kerajaan-kerajaan Islam; (3) Menurunnya minat terhadap
ilmu pengetahuan; (4) Pencurian koleksi perpustakaan;(5) Pengelolaan yang
kurang professional.
Kedua, Faktor Eksternal, di antaranya: (1) Serangan dari pasukan
asing; (2) Pencurian dari orang luar; (3) Bencana Alam, Gempa bumi serta
Banjir dan tanah longsor.46
Banyak peristiwa yang sama terjadi dalam rangka penghancuran dunia
perpustakaan. Sangat disayangkan banyak dari perpustakaan itu hancur karena
perang. Pada saat pendudukan Mongol, perpustakaan Baghdad dihancurkan.
Mereka membakar dan membuang ke sungai Tigris koleksi buku perpustakaan
Baghdad. Ini adalah pemusnahan buku paling mengerikan dalam sejarah
perpustakaan Islam. Petaka serangan Salib juga telah membuat kita kehilangan
45Hidayati, “Bani Abbasiyah.”
46Kusuma, “Peran Perpustakaan Bagi Pemikiran dan Peradaban Islam.”
perpustakaan-perpustakaan paling berharga yang ada di Tripoli, Maarrah, Al-
Quds, Ghazzah, Asqalan, di kota-kota lainnya yang dihancurkan mereka.47
Kejayaan perpustakaan yang pernah muncul di masa Bani Abbasiyah
tersebut pamornya sedikit merosot sepeninggal Al-Ma’mun. Meski Bait al-
Hikmah masih tetap berjaya sampai kepemimpinan Khalifah Al-Mu’tasim
(833-842 M) dan Khalifah Al-Wathiq (842-847 M). Namun, pamor Bait al-
Hikmah kian memudar pada zaman kekuasaan Khalifah Al-Mutawakil (847-
861 M). Meredupnya obor pengetahuan –Bait al-Hikmah– terjadi lantaran
Khalifah Al-Mutawakil melarang berkembangnya paham Mu’tazilah.
Pada tahun 1258 ketika kota itu diporak-porandakan oleh Mongol, ada
36 perpustakaan yang tercatat oleh para ahli sejarah. Tapi selanjutnya
Baghdad menderita kemunduran.
47Kusuma, “Peran Perpustakaan Bagi Pemikiran dan Peradaban Islam.”
BAB IV
PERAN PERPUSTAKAAN DALAM MEMBANTU PENGEMBANGAN
ILMU PENGETAHUAN MASA ISLAM KLASIK
Setelah mendapatkan informasi dari berbagai sumber tertulis, pada bab
ini akan dijelaskan mengenai pembahasan dan hasil penemuan dari berbagai
sumber informasi yang diperoleh. Sesuai dengan teknik penelitian dalam
skripsi ini yang berupa kajian sejarah (historis) maka penelitian ini dilakukan
dengan mempelajari buku-buku, literatur, dokumen, dan artikel. Dengan
maksud untuk mendapatkan gambaran karangka teori sesuai dengan
pembahasan skripsi yang akhirnya menghasilkan penjelasan tentang Peran
Perpustakaan dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Masa Bani Abbasiyah.
Pada bab ini penulis juga akan memaparkan hasil analisis terhadap apa
yang dibahas. Adapun analisisnya dengan memberikan komentar dan pendapat
pada masing-masing sub bab.
Topik yang dikaji dalam penelitian ini adalah substansi yang
berhubungan dengan peran perpustakaan sebagai penunjang perkembangan
ilmu pengetahuan bagi masyarakat yang ada pada masa Abbasiyah, ilmu
pengetahuan yang berkembang masa itu antara lain: bidang kedokteran, filsafat
Islam, astronomi dan matematika, kimia, geografi, sejarah, teologi, hukum dan
etika Islam, dan bidang sastra dan kesenian. Kemudian peran perpustakaan
sebagai media penghubung antara sumber informasi dengan ilmu pengetahuan
diantaranya berupa aspek-aspek perpustakaan yang mencakup koleksi dan
organisasi koleksi, gedung dan fasilitas perpustakaan juga kegiatan-kegiatan
perpustakaan yang membantu dalam pengembangan ilmu pengetahuan.
A. Perpustakaan sebagai Penunjang Perkembangan Ilmu Pengetahuan bagi
Masyarakat
Keberhasilan umat Islam pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah
dalam pengembangan ilmu pengetahuan sains dan peradaban Islam secara
menyeluruh, tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung. Di antaranya
adalah kebijakan politik pemerintah Bani Abbasiyah terhadap masyarakat non
Arab (Mawali), yang memiliki tradisi intelektual yang sudah lama melingkupi
kehidupan mereka. Munculnya gerakan intelektual ini sebagian besar
disebabkan oleh pengaruh asing, sebagian Indo-Persia, Suriah, dan Yunani.
Gerakan intelektual itu ditandai oleh kegiatan penerjemahan karya-karya
Persia, Sansekerta, Suriah, dan Yunani ke bahasa Arab. Mereka diberikan
fasilitas berupa materi atau finansial dan tempat untuk terus melakukan
berbagai kajian ilmu pengetahuan melalui bahan-bahan rujukan yang pernah
ditulis atau dikaji oleh masyarakat sebelumnya. Kebijakan tersebut ternyata
membawa dampak yang sangat positif bagi perkembangan dan kemajuan ilmu
pengetahuan dan sains yang membawa harum dinasti ini.48
Tiga abad lebih setelah berdirinya Baghdad, dunia literatur Arab telah
memiliki karya-karya filsafat utama Aristoteles, neo-Platonis, dan tulisan-
tulisan kedokteran Galen, juga karya-karya ilmiah Persia dan India. Hanya
48Phillip K. Hitti, History of The Arabs: from the earliest time to the present, Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), h. 381.
dalam waktu beberapa puluh tahun para sarjana Arab telah menyerap ilmu dan
budaya yang dikembangkan selama berabad-abad oleh Yunani.49
Baghdad menjadi pusat ilmu pengetahuan, masa itu muncul ulama-
ulama terkenal seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam
Hambali, Imam Bukhari, Imam Muslim, Hasan Al-Basri, Abu Bakar Ar-Razy,
dan lain-lain.50 Ulama-ulama inilah yang menyemarakkan perkembangan ilmu
pengetahuan melalui bidang-bidang ilmu yang mereka kuasai dengan
menyumbangkan penemuan baru di masing-masing bidang keilmuwan.
Semasa kepemimpinan Harun al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun,
dinasti Abbasiyah mendulang kesuksesan dalam bidang ilmu dan pendidikan.
Banyak madrasah, dari tingkat dasar, menengah, hingga atas, berdiri di kota-
kota besar. Puncaknya berdirilah Bait al-Hikmah di Baghdad. Di tangan al-
Ma’mun, lembaga tersebut berfungsi sebagai perguruan tinggi, perpustakaan,
dan lembaga penelitian.
Perpustakaan masa itu merupakan sarana penunjang perkembangan
ilmu pengetahuan bagi masyarakat. Karena dengan tersimpannya berbagai
jenis ilmu melalui buku atau apa saja yang menjadi koleksi perpustakaan,
masyarakat dapat mengakses dan mempelajarinya sesuka hati. Dengan
demikian, pengetahuan masyarakat bertambah, ilmu pengetahuan pun
berkembang. Karena masyarakatlah yang menyebarluaskan ilmu pengetahuan
yang diperolehnya dari sumber-sumber di perpustakaan.
49Hitti, History of The Arabs, h. 382.
50Indah, “Perkembangan pada masa Bani Abbasiyah”, artikel di akses pada 14 Juni 2008 dari http://razorbladed.blogspot.com/2007/07/perkembangan-pada-masa-bani-abbasiyah.html
Corak gerakan keilmuwan pada Dinasti Abbasiyah lebih bersifat
spesifik. Kajian keilmuwan yang kemanfaatannya bersifat keduniaan bertumpu
pada ilmu kedokteran, di samping kajian yang bersifat pada al-Qur’an dan al-
Hadits, sedang astronomi, mantik, dan sastra baru dikembangkan dengan
penerjemahan dari Yunani. Berikut kemajuan ilmu pengetahuan yang dicapai
masa Bani Abbasiyah.
1. Kajian dalam Bidang Kedokteran
Dalam hal ini, ada catatan yang penting, kala itu di Irak dan daerah
Islam lainnya sering terjadi sakit mata, maka fokus kedokteran paling awal
diarahkan untuk menangani penyakit itu. Dari tulisan Ibn Masawayh, kita
mendapat sebuah risalah sistematik berbahasa Arab paling tua tentang
gangguan pada mata. Kisah tentang Jibril ibn Bakhtiarsyu, dokter khalifah al-
Rasyid, al-Ma’mun, juga keluarga Barmark, telah mengumpulkan kekayaan
sebanyak 88.800.000 dirham, ini memperlihatkan bahwa profesi dokter bisa
menghasilkan banyak uang. Sebagai dokter pribadi al-Rasyid, Jibril menerima
100 ribu dirham dari khalifah, ia juga menerima jumlah yang sama karena
jasanya memberikan obat penghancur makanan di usus. Keluarga Bakhtiarsyu
melahirkan enam atau tujuh generasi dokter ternama hingga paruh pertama
abad ke-11, banyak kemajuan berarti yang dilakukan orang Arab pada masa
itu. Merekalah yang membangun apotek pertama, mendirikan sekolah farmasi
pertama, dan menghasilkan buku daftar obat-obatan.51
Para penulis utama bidang kedokteran adalah orang Persia yang
menulis dalam bahasa Arab: Ali al-Thabari, al-Razi, Ali ibn al-Abbas al-
51Hitti, History of The Arabs, h. 455-456.
Majusi, dan Ibn Sina.52 Al-Razi merupakan dokter Muslim terbesar dan penulis
paling produktif. Karya utamanya adalah al-Hawi (buku yang komprehensif),
yang pertama kali diterjemahkan ke bahasa Latin dengan judul Continens,
seperti yang tercermin dari judulnya, buku ini dimaksudkan sebagai
ensiklopedia kedokteran. Selain merangkum pengetahuan kedokteran Yunani,
Persia, dan Hindu yang telah dikuasai oleh orang Arab saat itu, buku itu juga
memuat konstribusi orisinal dalam bidang kedokteran. Karya al-Razi tentang
kedokteran ini selama berabad-abad telah memberi pengaruh besar terhadap
pemikiran orang Barat Latin.53
2. Bidang Filsafat Islam
Bagi orang Arab, filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran
dalam arti yang sebenarnya, sejauh hal itu bisa dipahami oleh pikiran
manusia.54 Filosof pertama, al-Kindi atau Abu Yusuf ibn Ishaq, ia memperoleh
gelar “filosof bangsa Arab”, dan ia memang merupakan representasi pertama
dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni
keturunan Arab. Al-Kindi lebih dari sekedar seorang filosof. Ia ahli
perbintangan, kimia, ahli mata dan musik.55
Penyeragaman antara filsafat Yunani dengan Islam, yang dimulai oleh
al-Kindi, seorang keturunan Arab, dilanjutkan oleh al-Farabi, seorang
keturunan Turki dan disempurnakan oleh Ibn Sina, seorang keturunan Suriah.
52Hitti, History of The Arabs, h. 457.
53Hitti, History of The Arabs, h. 457-458.
54Hitti, History of The Arabs, h. 462
55Hitti, History of The Arabs, h. 463.
Sistem filsafat al-Farabi merupakan campuran antara Platonisme,
Aristotelianisme, dan mistisisme, yang membuatnya dijuluki sebagai “guru
kedua” (al-mu’allim al-tsani), setelah Aristoteles. Salah satu karya al-Farabi
adalah Risalah Fushush al-Hikam (Risalah Mutiara Hikmah) dan Risalah fi
Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (Risalah tentang Penduduk Kota Ideal).56
3. Bidang Astronomi dan Matematika
Kajian ilmiah tentang perbintangan dalam Islam mulai dilakukan
seiring dengan masuknya pengaruh buku India, Siddhanta (bahasa Arab
sindhind). Seorang ahli astronomi lainnya yang terkenal pada masa itu adalah
Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani dari Fargana Transoxiana. Karya utama al-
Farghani adalah al-Mudkhil ila ‘Ilm Haya’ah al-Aflak.57 Diterjemahkan ke
bahasa Latin pada 1135 oleh John dari Seville dan Gerard dari Cremona ke
bahasa Ibrani. Dalam versi bahasa Arab, buku itu ditemukan dengan judul
yang berbeda.58
Pada saat itu Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah observatorium
dengan supervisor seorang Yahudi yang baru masuk Islam yaitu Sind ibn ‘Ali
dan Yahya ibn Abi Mansur. Di observatorium itu, para astronom kerajaan
“tidak saja mengamati dengan seksama dan sistematis berbagai gerakan benda-
benda langit, tetapi juga menguji semua unsur penting dalam almagest (sebuah
karya dari Ptolemius) dan menghasilkan amatan yang sangat akurat yaitu sudut
56Hitti, History of The Arabs, h. 464.
57Hitti, History of The Arabs, h. 467-473.
58Hitti, History of The Arabs, h. 469-470.
ekliptik bumi, ketepatan lintas matahari, panjang tahun matahari, dan
sebagainya.59
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi adalah tokoh utama dalam kajian
matematika Arab. Sebagai seorang pemikir Islam terbesar, ia telah
memengaruhi pemikiran dalam bidang matematika yang hingga batas tertentu
lebih besar daripada penulis Abad Pertengahan lainnya. Di samping menyusun
tabel astronomi, al-Khwarizmi juga menulis karya tertua tentang aritmatika
yang hanya diketahui lewat terjemahannya. Salah satu karyanya adalah “Hisab
al-Jahr wa al-Muqabalah.” Karya-karya al-Khwarizmi juga turut berperan
memperkenalkan ke benua Eropa angka-angka Arab yang disebut alogaritma,
sesuai dengan namanya. Di antara ahli matematika yang dipengaruhi oleh al-
Khwarizmi adalah ‘Umar al-Khayyam, Leonardo Fibonacci dari Pisa
(meninggal setelah 1240) dan Master Jacob dari Florence, yang menulis buku
matematika pada 1307, yang memuat enam jenis pembagian kuadrat yang
ditemukan oleh seorang ahli matematika muslim, Aljabar al-Khayyam.60
4. Perkembangan Bidang Kimia
Bapak kimia bangsa Arab adalah Jabir ibn Hayyan, ia tokoh terbesar
dalam bidang ilmu kimia pada Abad Pertengahan. Sebuah legenda
menyebutkan bahwa putra mahkota Dinasti Umayyah, Khalid ibn Yazid ibn
Mu’awiyah dan Imam Syiah ke-4 Jafar al-Shadiq dari Madinah, pernah
menjadi gurunya. Ia telah mengakui dan menyatakan pentingnya eksperimen
secara lebih seksama daripada ahli kimia sebelumnya, dan ia lebih maju baik
59Hitti, History of The Arabs, h. 469.
60Hitti, History of The Arabs, h. 474-475.
dalam perumusan teori maupun dalam praktik kimia. Secara umum, Jabir
memodifikasi teori Aristotelian tentang unsur pembentuk logam yang tetap
menjadi rujukan penting dengan beberapa perubahan kecil sampai awal era
kimia modern pada abad ke-18.61 Para ahli kimia muslim belakangan
mengklaim bahwa Ibn Hayyan adalah guru mereka, bahkan yang terbaik di
antara mereka sekalipun.
5. Bidang Geografi
Perkembangan geografi ini kemudian menjadi salah satu disiplin ilmu
yang banyak dipengaruhi oleh khazanah Yunani. Buku geografi karya
Ptolemius yang menyebutkan berbagai tempat berikut garis bujur dan lintang
buminya, diterjemahkan beberapa kali ke bahasa Arab langsung dari bahasa
aslinya, atau dari terjemahannya dalam bahasa Suriah, terutama oleh Tsabit ibn
Qurrah. Dengan meniru buku itu, Khwarizmi menyusun karyanya Surah al-
Ardh (Gambar/Peta Bumi) yang menjadi acuan bagi karya-karya berikutnya.
Karya al-Khwarizmi disertai dengan “gambar bumi”, sebuah peta yang ia buat
dan dibantu oleh 69 sarjana lainnya atas perintah Khalifah al-Ma’mun. ini
adalah sebuah peta bumi dan angkasa luar pertama dalam sejarah Islam.62
Pengaruh ilmu geografi al-Khwarizmi tampak pada beberapa penulis muslim
hingga abad ke-14.
6. Bidang Sejarah
Pada periode Abbasiyah, ilmu sejarah telah matang untuk melahirkan
karya tentang sejarah formal yang didasarkan atas legenda, tradisi, biografi,
61Hitti, History of The Arabs, h. 476-477.
62Hitti, History of The Arabs, h. 481.
geneologi dan narasi. Model ini ditulis dalam bahasa Persia dan diwakili oleh
karya berbahasa Pahlawi, Khudzay-namah (buku tentang para raja) yang
diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Ibn al-Muqaffa’ dengan judul Siyar Muluk
al-‘Ajam. Konsep tentang sejarah dunia, tempat berlangsungnya peristiwa-
peristiwa masa lalu, merupakan pengantar menuju sejarah Islam, dapat dilacak
asalnya dalam tradisi Yahudi-Kristen. Namun, bentuk penyajiannya kemudian
mengambil model tradisi Islam.63
Penulisan sejarah Arab mencapai puncaknya pada masa al-Thabari dan
al-Mas’udi, dan mengalami kemunduran drastis setelah Miskawayh. Seperti
kebanyakan khasanah ilmu sejarah yang ditulis dalam bahasa asing, karya-
karya al-Thabari, al-Mas’udi, Ibn al-Atsir, dan para pengikutnya, tidak bisa
dibaca oleh orang Timur Abad Pertengahan. Pada masa modern, sudah
diterjemahkan dalam bahasa Eropa modern.64
7. Kajian Teologi
Ilmu pengetahuan paling penting yang muncul dari kecenderungan
orang Arab sebagai orang Arab sekaligus orang Muslim, yaitu teologi, hadits,
fikih, filologi, dan linguistik. Perhatian dan minat orang Arab Islam pada masa
paling awal tertuju pada cabang keilmuwan yang lahir karena motif
keagamaan. Kebutuhan untuk memahami al-Qur’an menjadi landasan kejian
teologis dan linguistik yang serius.65
63Hitti, History of The Arabs, h. 487.
64Hitti, History of The Arabs, h. 491.
65Hitti, History of The Arabs, h. 492.
Dalam kajian berikutnya, hadits (sunnah), yaitu perilaku, ucapan, dan
persetujuan Nabi, yang kemudian menjadi sumber ajaran paling penting.
Awalnya hanya diriwayatkan dari mulut ke mulut, hadits Nabi kemudian
direkam dalam bentuk tulisan pada abad kedua Hijriah.66 Dengan kata lain,
hadits didefinisikan sebagai catatan perilaku atau perkataan Nabi. Bagi seorang
muslim yang saleh, ilmu hadits merupakan ilmu yang paling utama, untuk
mencari ilmu itulah para calon ulama melakukan perjalanan panjang dan
melelahkan. Karena perjalanan mencari ilmu (al-rihlah fi thalab al-’ilm)
dipandang sebagai bentuk kesalehan, orang yang meninggal saat mencari ilmu
sama dengan orang yang gugur dalam perang suci.67
8. Bidang Hukum dan Etika Islam
Setelah orang Romawi, orang Arab adalah satu-satunya bangsa pada
abad pertengahan yang melahirkan Ilmu Yurisprudensi, dan darinya
berkembang sebuah sistem yang independen. Sistem tersebut dinamakan Fikih,
pada prinsipnya didasarkan atas al-Quran dan hadits, yang disebut ushul, dan
dipengaruhi oleh sistem Yunani-Romawi. Fikih adalah ilmu perintah Allah
sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an dan diuraikan dalam hadits yang
diwariskan pada generasi berikutnya. Yurisprudensi Islam, selain berprinsip
pada al-Qur’an dan Hadits, juga berpedoman pada analogi dan konsensus.
Adapun tentang ra’y, yaitu penalaran rasional, meskipun sering dijadikan
sandaran, hal tersebut hampir tidak pernah dipandang sebagai sumber hukum
kelima. Dalam bidang fiqih ini, telah lahir fuqaha legendaris seperti Imam
66Hitti, History of The Arabs.
67Hitti, History of The Arabs, h. 493.
Hanifah (700-767 M), Imam Malik (713-795 M), Imam Syafei (767-820 M)
dan Imam Ahmad ibnu Hambal (780-855 M).
Karya-karya etika yang didasarkan atas al-Qur’an dan hadits, meskipun
sangat banyak jumlahnya, tidak mendominasi semua literatur berbahasa Arab
tentang moral (akhlak). Setidaknya ada tiga jenis karya etika. Karya-karya
semacam itu membahas tentang tatanan moral, serta peningkatan kualitas
semangat dan perilaku (adab).68
9. Bidang Sastra dan Kesenian
Sastra Arab dalam pengertian yang sempit, yakni adab, mulai
dikembangkan oleh Al-Jahiz (w. 868-869), guru para sastrawan Baghdad.
Masa ini juga menyaksikan munculnya bentuk baru sastra, yaitu maqamah
yang diciptakan oleh Badi al-Zaman al-Hamdzani. Maqamah adalah sejenis
anekdot dramatis yang substansinya berusaha dikesampingkan oleh penulis
untuk mengedepankan kemampuan puitis, pemahaman dan kefasihan
bahasanya. Pada kenyataannya, bentuk karya semacam maqamah bukanlah
karya satu orang, ia merupakan perkembangan alami dari prosa berirama.69
Tidak lama sebelum pertengahan abad ke-10, draft pertama dari sebuah
karya yang kemudian dikenal dengan Alf Laylah wa Laylah (Seribu Satu
Malam) terbit di Irak. Ini adalah karya Persia klasik, berisi beberapa kisah dari
India. Kisah Persia ini dituturkan dengan cara Buddha oleh ratu Esther kepada
Khalifah Harun Al-Rasyid di Kairo. Kisah ini menjadi begitu populer di
kalangan masyarakat Barat, karena telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa
68Hitti, History of The Arabs, h. 502.
69Hitti, History of The Arabs, h. 505.
di belahan bumi Eropa. Selain kisah tersebut, terdapat juga beberapa puisi
klasik, contohnya Abu Nawas yang mampu menyusun lagu terbaik tentang
cinta dan arak.70
Begitulah dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa Bani
Abbasiyah. Terlihat bahwa berbagai cabang ilmu berkembang dengan pesat
dan di masa itu banyak para tokoh Islam menyumbangkan ilmu-ilmu baru di
berbagai bidang yang secara tidak langsung memberi kontribusi kepada dunia
intelektual Muslim dan Barat.
B. Perpustakaan sebagai Media Penghubung antara Sumber Informasi
dengan Ilmu Pengetahuan
Salah satu fungsi dari perpustakaan merupakan wadah dan tempat
penyimpanan karya-karya ilmu pengetahuan yang berkembang di masyarakat.
Mulai dari karya lama yang berupa naskah-naskah kuno sampai yang terbaru
sekalipun semua dapat disimpan di perpustakaan.
Perpustakaan masa Abbasiyah merupakan media yang menghubungkan
antara sumber informasi dan ilmu pengetahuan yang terkandung di dalam
koleksi perpustakaan dengan para pemakainya. Dengan menyediakan berbagai
macam koleksi ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan berperan sebagai
lembaga untuk mengembangkan minat baca, kegemaran membaca, kebiasaan
membaca, dan budaya baca, melalui penyediaan berbagai bahan bacaan yang
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Perpustakaan juga
berperan aktif sebagai fasilitator, mediator dan motivator bagi mereka yang
70Hitti, History of The Arabs, h. 506.
ingin mencari, memanfaatkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan
pengalamannya.
Perpustakaan merupakan agen perubahan, agen pembangunan dan agen
kebudayaan umat Islam. Sebab berbagai penemuan, sejarah, pemikiran dan
ilmu pengetahuan yang ditentukan pada masa itu, direkam dalam bentuk
tulisan atau bentuk tertentu yang disimpan di perpustakaan dapat dipelajari,
diteliti, dikaji dan dikembangkan dan kemudian dipergunakan sebagai landasan
penuntun untuk merencanakan masa depan yang lebih baik.
Selain itu perpustakaan sebagai lembaga pendidikan nonformal bagi
masyarakat dan pengunjung perpustakaan. Mereka dapat belajar secara
mandiri, melakukan penelitian, menggali, memanfaatkan dan mengembangkan
sumber informasi dan ilmu pengetahuan. Perpustakaan menghimpun dan
melestarikan koleksi bahan pustaka yang tak ternilai harganya.71
Umat Islam mencapai masa keemasan ketika pemerintahan Bani
Abbasiyah dengan berdirinya perpustakaan-perpustakaan yang menjadi bukti
perkembangan ilmu pengetahuan. Sebagai bagian dari umat, perpustakaan
dapat pula ikut ambil bagian dalam pembentukan komunitas belajar dengan
bertindak sebagai fasilitator atau mitra pendidik bagi umat untuk berlatih
berpikir kritis dan belajar secara mandiri. Penyediaan forum diskusi,
kesempatan mengerjakan proyek bersama secara berkolaborasi, artikel-artikel
interaktif, kesempatan berekspresi melalui portofolio merupakan contoh-
contoh kegiatan perpustakaan dengan peranan baru. Tak bisa dipungkiri,
perpustakaan Islam telah memberikan andil besar (informasi) bagi kemajuan
71Sutarno, Perpustakaan dan Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 54-57.
umat manusia. Perpustakaan Islam bahkan telah lahir dari awal Islam, terutama
dari perpustakaan masjid, di mana orang-orang Islam menyimpan al-Qur’an
dan kitab-kitab tentang Islam di masjid.
Masjid pada saat itu bukan hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga
untuk menyampaikan informasi dari penguasa, melakukan proses peradilan,
dan menanamkan aspek kehidupan intelektual Islam (dalam hal ini melalui
perpustakaannya).72 Masjid dan perpustakaan pada zaman kejayaan Islam tak
bisa dipisahkan. Sebab masjid juga memainkan peran penting lainnya, yakni
sebagai perpustakaan. Kehadiran perpustakaan di dunia Islam juga berasal dari
aktivitas keilmuwan yang berlangsung di masjid. Pada masa itu masyarakat
Muslim menyerahkan koleksi bukunya ke masjid untuk disimpan di dar al-
kutub (perpustakaan).73
Untuk itulah perpustakaan perlu menjaga kelestarian koleksi-koleksinya
agar dapat bermanfaat dengan baik melalui kegiatan-kegiatan kepustakaan dan
menyediakan layanan yang mempermudah masyarakat dalam mengakses
informasi. Di masa klasik Islam (masa Abbasiyah) yang merupakan masa
keemasan Islam, pada masa itu masyarakat dan pemerintah Islam sangat peduli
dan haus akan informasi dan pengetahuan. Karena itu sebuah perpustakaan
juga harus terus menyediakan koleksi yang bermutu dan terjamin bagi
masyarakat yang haus akan pengetahuan. Berikut adalah penjelasan mengenai
72Ardian Kusuma, “Peran Perpustakaan Bagi Pemikiran dan Peradaban Islam” artikel
diakses pada 26 Juli 2008 dari http://ardiankoesoema.multiply.com/journal/item/16
73Heri Ruslan, “Khazanah: Perpustakaan Lumbung Ilmu di Era Kekhalifahan”, Republika. 9 September 2008, h. 8.
aspek dan kegiatan perpustakaan yang dapat berperan dalam penyebaran dan
perkembangan ilmu pengetahuan masa klasik Islam.
1. Aspek-aspek Perpustakaan
a. Koleksi perpustakaan
1) Cakupan koleksi
Satu aspek yang menarik pada perpustakaan saat itu adalah
luasnya jenis subjek yang mereka miliki. Kecuali untuk karya-karya
keagamaan dari agama lain, umat Islam masa itu mengumpulkan,
menyalin, dan menerjemahkan segala sesuatu yang bisa mereka
peroleh, dalam semua subjek, periode, dan bahasa. Karya klasik Yunani
dan Latin, filsafat Sansekerta, sejarah Mesir, epic Hindu, dan puisi cinta
Prancis abad pertengahan, juga biografi, ilmu alam, dan pseudoscience
dari berbagai kurun waktu dan tempat semua itu dapat di temui dalam
koleksi perpustakaan.74
Sifat koleksi perpustakaan yang bervariasi sangat tergantung
pada minat pemilik perpustakaan. Koleksi perpustakaan besar dan
pribadi yang banyak di bangun oleh kalangan istana sangat bervariasi
mencakup berbagai bidang. Pada masa selanjutnya ketika banyak
perpustakaan berada di masjid dan sekolah-sekolah agama, koleksi
cenderung lebih terbatas pada buku-buku yang berhubungan dengan
penjelasan al-Qur’an, teologi dan hukum-hukum agama. Meskipun
demikian seringkali koleksi perpustakaan jenis ini juga diperluas
dengan karya-karya dalam bidang geografi, sejarah, bahasa, dan subjek
74Elmer P. Johnson. A History of Libraries in Western World (New York: Scarecrow, 1982), h. 74.
yang diperlukan dalam pembahasan ilmu-ilmu agama.75 Koleksi
perpustakaan masjid yang luas mencakup banyak subjek, dapat ditemui
di masjid-masjid yang fungsinya tidak terbatas pada kegiatan
keagamaan.
Koleksi perpustakaan Islam pada saat itu sudah mencapai
jumlah yang tak terbilang banyaknya, contohnya pada perpustakaan
Bait al-Hikmah yang didirikan oleh Khalifah Harun al-Rasyid di kota
Baghdad berisi tidak kurang dari 100 volume, sebanyak 600 jilid buku,
termasuk 2400 buah al-Qur’an berhiaskan emas dan perak yang
disimpan di ruang terpisah. Lain lagi dengan perpustakaan para khalifah
dinasti Fatimiyah di Kairo, koleksinya berupa mushaf-mushaf dan
buku-buku yang sangat berharga. Jumlah seluruh buku yang ada
mencapai 2.000.000 (dua juta) eksemplar. Perpustakaan Darul Hikmah
di Kairo, mempunyai 40 lemari. Bahkan ada salah satu lemari yang
memuat 18,000 buku tentang ilmu-ilmu kuno. Perpustakaan Al-Hakam
di Andalus sangat besar dan luas untuk ukuran di zamannya. Buku yang
ada pada perpustakaan ini mencapai 400.000 buah.76
Para khalifah terlihat sangat perduli dengan penyebaran ilmu
pengetahuan di masa itu. Mereka bahkan berusaha berlomba-lomba
untuk menyaingi perpustakaan khalifah lain, berusaha untuk memiliki
sebuah buku yang dianggap terkenal dari seorang penulis walaupun
75R. S. Mackensen. “Four Great Libraries of Medieval Baghdad”, Library Quarterly, 2
(1932), h. 280.
76“Mengenang kemajuan perpustakaan Islam” artikel di akses pada 29 April 2008 dari http://bikinperpus.wordpress.com/
harus menempuh jarak yang sangat jauh dan membutuhkan
pengorbanan materi dan tenaga. Ini dikarenakan setiap perpustakaan
mempunyai seorang/beberapa orang yang bertugas untuk menambah
koleksi dengan survei buku-buku apa yang sedang diminati masyarakat
masa itu.
2) Organisasi koleksi
Penerapan prinsip kepustakawanan dalam penyusunan koleksi
terlihat dari penempatan koleksi buku di perpustakaan saat itu.
Penempatan koleksi biasanya berdasarkan subyek dan aturan tertentu
dengan mempertimbangkan kenyamanan pemakai.77
Susunan ini tidak semata-mata hanya berdasarkan materi subyek
tetapi juga berdasarkan satu skema klasifikasi tertentu. Pola-pola
pengklasifikasian banyak muncul bersamaan dengan berkembangnya
buku dan perpustakaan yang diiringi oleh kemajuan ilmu pengetahuan.
Perhatian para Ilmuwan Muslim yang besar terhadap konsep ilmu tidak
saja membuat mereka dapat menciptakan berbagai macam definisi ilmu
pengetahuan tetapi membuat pembagian dan pengklasifikasian ilmu
pengetahuan. Di antaranya yang paling terkenal adalah hasil
pengklasifikasian oleh Al-Kindi (801-973 M), Al-Farabi (wafat 950 M),
Ibn Sina (980-1037 M), Al-Ghazali (1058-1111 M), Al-Razi (864-925
M), dan Ibn Khaldun (1332-1403 M).78
77Johnson. A History of Libraries.
78Ziauddin Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21. Terj. Priyono dan Ilyas Hasan, (Bandung: Mizan, 1980), h. 39.
Berikut contoh Klasifikasi ilmu menurut Ibn Sina yang dikutip
dari Asas-asas Pendidikan Islam.79
Ilmu
Sementara Abadi: hikmah
Sebagai Tujuan Sebagai Alat: Logika
- Ilmu Tabi’I - Akhlak - Ilmu Matematika - Pengurusan Rumah - Ilmu Metafisika - Pengurusan Kota (Politik) - Ilmu Universal - Syari’ah (Hukum Agama)
Koleksi yang sudah disusun berdasarkan subjek kemudian
disimpan dalam ruangan-ruangan terpisah yang dapat dikunci. Dalam
perpustakaan yang lebih kecil, buku-buku disimpan dalam peti-peti atau
kotak-kotak yang mempunyai daftar isi di bagian luarnya. Perpustakaan
besar terkadang mempunyai subjek spesialis yang bertugas di setiap
ruangan tersebut.
Umumnya perpustakaan kecil ketika itu sudah mempunyai
katalog berbentuk lembaran-lembaran yang merupakan daftar dokumen
yang dimiliki perpustakaan.80 Sedangkan perpustakaan-perpustakaan
besar diperkirakan telah membuat katalog dalam bentuk buku. Bentuk
katalog ini berbeda dengan yang umumnya berkembang sekarang ini
yaitu katalog dalam bentuk kartu atau yang lebih praktis yaitu katalog
online yang ada pada perpustakaan saat ini. Katalog berbentuk buku
merupakan bentuk katalog yang pertama kali ada. Sebagian sumber
79Hassan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka, Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991), h. 108.
80Johnson. A History of Libraries, h. 74.
menyatakan ada sekitar 12 sampai dengan 40 jilid katalog di sebuah
perpustakaan yang besar.
Koleksi perpustakaan dikatalogkan menurut subjek. Kemudian
tiap buku disusun menurut urutan dalam tiap kelas. Karena penempatan
bahan di ruangan atau di lemari berdasarkan susunan subjek maka
katalog tersebut tampak seperti buku induk berkelas. Katalog dalam
bentuk ini pada masanya dapat berfungsi dengan baik dan digunakan
secara luas meskipun katalog ini hanya memberikan satu macam
pendekatan, yaitu pendekatan subjek dalam penelusuran koleksi.81
Kemudahan proses temu kembali di perpustakaan-perpustakaan masa
itu terbantu dengan banyaknya petugas yang disediakan perpustakaan
untuk melayani pemakai.
Diperkirakan katalog ini juga digunakan sebagai daftar
inventaris buku di perpustakaan selain sebagai sarana temu kembali. Di
samping itu sebagian katalog juga mencantumkan keterangan tentang
halaman-halaman yang sudah hilang, atau bagian-bagian dari buku itu
yang sudah tidak ada lagi.82
Gambaran mengenai katalog ini dapat dilihat dalam al-fihrist
karya Ibn al-Nadim. Ada ahli sejarah yang menganggap karya Ibn al-
Nadim ini sebagai katalog induk dari beberapa perpustakaan besar saat
itu, sementara sebagian yang lain berpendapat bahwa al-fihrist adalah
sebuah bibliografi yang dimaksudkan untuk mendaftar seluruh buku
81Johnson. A History of Libraries, h. 75.
82Ahmad Shalaby, Sejarah Pendidikan Islam. Terj. Muchtar Yahya dan Sanusi Latief. (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 145.
dalam bahasa Arab yang ada pada masa Abbasiyah, baik karya
terjemahan maupun karya asli. Selain itu al-fihrist juga memuat biodata
pengarang dan penyusun buku, pemilik buku yang terdaftar, juga
tempat perdagangan buku.
Al-fihrist disusun oleh Abu al-Faraj Muhammad ibn Ishaq, atau
yang lebih dikenal dengan nama Ibn al-Nadim, pada tahun 988 M di
Konstatinopel. Al-fihrist dibagi atas 10 kelas utama, yaitu (1) al-Qur’an,
(2) Tata bahasa, (3) Sejarah, (4) Puisi, (5) Filsafat scholastik
(dogmatis), (6) Hukum, (7) Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Kuno, (8)
Bacaan ringan (9) Agama (10) Kimia. Enam kelas pertama untuk buku-
buku Islam sedangkan empat yang terakhir untuk buku-buku non-
Islam.83
Pada masa itu belum dikenal cara penempatan buku dalam rak
seperti yang umumnya dilakukan sekarang ini, yaitu penempatan buku
secara tegak lurus. Cara penempatan buku yang biasa dilakukan pada
saat itu adalah penempatan secara horizontal. Buku diletakkan pada
bagian sisinya, yang satu di atas yang lain.84 Karena buku diletakkan
pada bagian sisinya maka banyak terjadi kerusakan pada bagian sampul
luar, dan halaman judul.
Pada umumnya layanan perpustakaan bersifat terbuka. Siapa
saja bisa dengan bebas mengambil buku-buku yang ingin dibacanya
83Mehdi Nakosteen, History Of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350 with:
an Introduction to Medieval Muslim Education. Terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 41-44.
84Ibn Jama’ah, Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim yang dikutip oleh Shalaby, Sejarah Pendidikan, h. 142.
dari rak. Apabila pemakai perpustakaan mengalami kesulitan
menemukan buku yang diperlukannya dia dapat meminta bantuan
kepada staf perpustakaan. Memang ada sebagian koleksi yang disimpan
dalam rak-rak tertutup, khususnya untuk koleksi yang berharga atau
langka. Untuk koleksi jenis ini pemakai harus memperoleh izin dari
pemilik atau kepala perpustakaan agar bisa menggunakannya.85
b. Gedung dan fasilitas perpustakaan
Desain, tata letak dan arsitektur perpustakaan juga mendapat
perhatian dari masyarakat saat itu. Perpustakaan dirancang agar pemakai
perpustakaan dapat menggunakan koleksi dan fasilitas-fasilitas yang
diperlukan dengan mudah. Banyak perpustakaan di kalangan umat Islam
saat itu memiliki ruang lain selain ruang baca, seperti ruang untuk
pertemuan dan ruang-ruang lain yang lebih kecil yang dapat digunakan
untuk berdiskusi dan berdebat. Kondisi ekonomi yang sehat
memungkinkan masyarakat masa itu membangun perpustakaan dengan
fasilitas yang lengkap.
Dalam buku Mehdi Nakosteen, Olga Pinto menggambarkan tentang
kondisi fisik sebuah perpustakaan “abad pertengahan” Muslim:
“Kaum Muslimin telah menumpahkan perhatian besar terhadap pembangunan gedung-gedung untuk perpustakaan-perpustakaan umum. Untuk perpustakaan Syraz, Cordova dan Kairo umpamanya didirikan bangunan-bangunan yang khusus, dengan bentuk yang khusus pula. Bangunan-bangunan ini dilengkapi dengan kamar-kamar dan ruang-ruang yang banyak untuk bermacam-macam keperluan, seperti galeri dengan rak-rak tempat menyimpan buku-buku, ruangan tempat pengunjung dapat membaca dan belajar, ruang yang diatur berpisahan untuk pembuatan salinan dari manuskrip-manuskrip, ruangan-ruangan yang disediakan untuk pertemuan-
85Shalaby, Sejarah Pendidikan, h. 145.
pertemuan sastra dan bahkan ada perpustakaan-perpustakaan yang mempunyai ruangan yang dipergunakan untuk pertunjukan musik, pengunjung dapat menikmati musik dan melepaskan lelah dan mengembalikan kekuatan sesudah membaca buku, menyalin, dan belajar. Semua ruangan dibuat sedemikian mewah dan menyenangkan. Di atas lantai digelar karpet dan lapik-lapik (keset) tempat para pembaca dalam gaya Asia Timur, duduk bersila membaca bahkan menulis. Jendela-jendela dan pintu-pintu tertutup oleh tirai (horden), pintu masuk utama memiliki tirai dengan berat khusus agar bisa menghalagi masuknya udara dingin.”86
Tidak hanya para cendekiawan yang dengan bebas
menggunakan perpustakaan dan semua fasilitasnya untuk mengejar
usaha-usaha ilmiah, di antaranya makanan dan pemondokan khususnya
bagi mahasiswa miskin, orang-orang yang berasal dari tempat yang
jauh dan bagi para warraq. Bahan-bahan untuk menulis dan bantuan-
bantuan lain yang disediakan berupa alat yang menyenangkan bagi
siapa saja yang datang dari negeri yang jauh, dalam rangka menuntut
ilmu pengetahuan. Perpustakaan terbuka untuk siapa saja yang suka
menggunakannya, termasuk para mahasiswa miskin. Mereka semua
menerima bantuan finansial khalifah.
Perpustakaan-perpustakaan masa itu dilengkapi dengan berbagai
fasilitas untuk kemudahan kepada para pengguna. Sebagai contoh,
perpustakaan milik penyair Ibnu Hamdan memberikan pena dan kertas
secara percuma kepada cendekiawan yang miskin dan dibenarkan
bermalam di perpustakaan.87
86Islamic Culture, III, 1929, 227. Dikutip oleh Syalaby, Sejarah Pendidikan, h. 72.
87Shaharom TM Sulaiman, “Perpustakaan Peradaban Islam” artikel diakses pada 29 April 2008 dari http://161.139.39.251/akhbar/libraries/1999/um99218.htm
Kebaikan para khalifah kepada para mahasiswa miskin dan siapa
saja yang menjadi pengguna dan pengunjung perpustakaan
dimaksudkan agar siapa saja yang datang merasakan kenyamanan dari
fasilitas yang disediakan perpustakaan. Dengan demikian ini
merupakan salah satu strategi promosi perpustakaan yang dilakukan
khalifah untuk tujuan memberikan media pembelajaran pada
masyarakat melalui perpustakaannya. Sehingga penyebaran ilmu
pengetahuan dapat merata kepada seluruh masyarakat tanpa
memandang kasta dan tingkatan sosial.
2. Kegiatan Perpustakaan
Kegiatan utama yang diberikan oleh perpustakaan milik umat Islam
masa itu seperti umumnya sebuah perpustakaan yang ada sekarang yaitu
layanan baca di tempat dan sirkulasi (peminjaman dan pengembalian).
Peminjaman buku atau koleksi perpustakaan pada pengguna sangat dianjurkan
selama tidak merugikan. Jelas, bahwa perpustakaan-perpustakaan pada masa
itu sudah melakukan layanan sirkulasi kepada masyarakat umum.
Kebijaksanaan peraturan peminjaman sangat bergantung pada kekuatan koleksi
perpustakaan.88
Layanan lain yang diberikan perpustakaan di luar layanan sirkulasi
tidak diketahui tetapi dalam banyak kasus bentuk layanan seperti
penerjemahan, menyalin, dan bantuan berupa pemberian bahan-bahan untuk
menulis sering dilakukan oleh perpustakaan-perpustakaan masa itu. Beberapa
perpustakaan juga mengadakan kuliah-kuliah dan ceramah yang biasanya
88Johnson. A History of Libraries, h. 72.
diberikan oleh ilmuwan pemilik perpustakaan atau ilmuwan yang bekerja di
sana sebagai pustakawan.89
Perpustakaan memegang peranan penting dalam kehidupan budaya
masyarakat. Perpustakaan merupakan tempat berkumpul para ilmuwan dan
orang-orang terpelajar. Perpustakaan saat itu bukanlah tempat penyimpanan
buku yang pengap dan jarang digunakan. Buku-buku di perpustakaan telah
dikumpulkan oleh orang-orang yang mencintainya, dan terus-menerus
digunakan oleh ilmuwan dan pelajar dengan bersemangat.
Perpustakaan menjadi sponsor utama atas semua kegiatan
penerjemahan tersebut. Hal ini telah mendapatkan respon sangat positif
sehingga para penerjemah memperoleh status yang baik di mata masyarakat.
Situasi seperti ini terlihat pada saat mulai didirikannya perpustakaan yang
pertama di dunia Islam. Aktivitas ilmiah yang dilakukan oleh kaum Muslimin
mengantarkan mereka mencapai puncak kemajuan ilmu pengetahuan pada
masa Abbasiyah. Penerjemahan yang dilakukan secara giat menyebabkan
mereka dapat menguasai warisan intelektual dari tiga jenis kebudayaan, yaitu
Yunani, Persia, dan India, yang pada akhirnya kaum Muslimin mampu
membangun kebudayaan ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu filsafat dan sains
(umum).90
Sejak upaya penerjemahan meluas, kaum Muslim dapat mempelajari
ilmu-ilmu itu langsung dalam bahasa Arab sehingga muncul sarjana Muslim
yang turut memperluas penyelidikan ilmiah, memperbaiki atas kekeliruaan
89Shalaby, Sejarah Pendidikan, h. 43.
90Munthoha, dkk. Pemikiran dan Peradaban Islam. (Yogyakarta: UII Press, 2002), h. 41-42.
pemahaman kesalahan pada masa lampau, dan menciptakan pendapat-pendapat
atau ide baru.
Adapun tokoh-tokoh penerjemahan karya-karya klasik dibagi ke dalam
tiga kelompok. Pertama, karya-karya utama (masterpiece) dari filosof Muslim
seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, al-Ghazali, Suhrawardi, Ibn Rusyd, Quthb
al-Din al-Syirazi, Nashir al-Din Thusi, Mir Damad, Mulla Shadra, Mulla Hadi
Sabzawari dan sebagainya. Kedua, karya-karya tentang biografis para filosof,
seperti yang ditulis oleh Ibn al-Nadim (al-fihrist), Ibn Abi Ushaibi’ah (‘Uyun
Anba fi Thabaqat al-Athibba’), Syams al-Din Syahrazuhri (Nuzhat al-Arwah
wa Raudlat al-Afrah), dan lain-lain, yang secara keseluruhan memuat biografi
dari ribuan filosof dan ilmuwan Muslim, yang banyak di antaranya belum kita
kenal. Yang ketiga, adalah beberapa monograf yang bermutu dan lengkap
tentang hidup dan karya para filosof Muslim tertentu baik yang sudah dikenal,
seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd, maupun yang belum dikenal seperti Abu
Sulaiman al-Sijistani, al-’Amiri dan Quthb al-Din al-Syirazi. Pada masa
khalifah Harun al-Rasyid, penerjemahan terus berjalan dan mulai
diterjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan Yunani mengenai kedokteran,
filsafat dan lain sebagainya.91
Karena dianggap sebagai amanat dari Allah, maka perpustakaan-
perpustakaan besar sepenuhnya dapat dipergunakan oleh masyarakat umum.
Perpustakaan terbuka bagi semua orang dari berbagai latar belakang dan
91Indah, “Perkembangan pada masa Bani Abbasiyah.”
golongan. Hampir semua orang memperoleh izin untuk membaca dan menyalin
buku-buku yang disukainya.92
Perpustakaan umat Islam umumnya dilengkapi dengan kegiatan
penerbitan dan penggandaan buku. Karena pada masa itu belum dikenal teknik
percetakan, maka perpustakaan banyak mempekerjakan para penyalin.93
Penyalinan buku dilakukan oleh para penyalin yang telah dikenal dapat bekerja
dengan rapi dan memiliki tulisan yang bagus.
Adapun proses penerbitan masa itu cukup rumit yaitu, sebelum
diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus mempresentasikan isi bukunya
kepada publik. Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibacakan atau
didiktekan. Paparan penulis itu lalu didengarkan masyarakat umum dan dikopi
oleh seorang wariqqin yang bekerja sebagai penulis yang menyalin berbagai
manuskrip yang dipesan para pelanggannya.94
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, proses menyalin sebuah buku
membutuhkan proses yang berbelit dan rumit. Seorang penyalin juga harus
memberikan versi yang berbeda dengan apa yang ditulis oleh penulis awal
buku tersebut untuk memperoleh pengesahan. Seorang penyalin dalam hal ini
berperan juga sebagai seorang editor terhadap naskah yang ditulis oleh
seseorang.
Perpustakaan juga mempekerjakan para penjilid. Tugas penjilid adalah
penyempurnakan pekerjaan para penyalin untuk menjadikan buku yang telah
92Sardar, Tantangan Dunia Islam Abad 21, h. 48.
93Shalaby, Sejarah Pendidikan, h. 156.
94“Khazanah: Perpustakaan Lumbung Ilmu dari Era Kekhalifahan.”
disalin siap dipakai.95 Di beberapa perpustakaan pribadi milik orang-orang
kaya dan juga dibeberapa perpustakaan umum, seni menghias buku dan dan
penjilidan mencapai tingkat perkembangan yang tinggi. Di kalangam
masyarakat muslim, seni kaligrafi dan tulisan Arab telah menghasilkan buku-
buku yang indah. Penggunaan vellum yang berkualitas baik dan dikeringkan
dengan warna-warna yang menarik, juga penggunaan tinta yang berwarna-
warni, dan pemberian ornamen, serta penjilidan kulit yang memakai hiasan
timbul, menghasilkan sejumlah buku yang sangat indah yang pernah ada di
dunia.96
Administrasi perpustakaan yang meliputi berbagai macam pekerjaan
menunjukkan bahwa manajemen kegiatan lembaga ini pada masa itu lebih
sesuai dikerjakan oleh pengusaha daripada ilmuwan. Kondisi ini memang
demikian khususnya untuk perpustakaan yang mendapat bantuan dari usaha
yang dapat mendatangkan keuntungan.97
Demikianlah bab pembahasan yang penulis paparkan sesuai dengan
hasil penelitian yang didapat dari sumber-sumber informasi.
95Shalaby, Sejarah Pendidikan, h. 159.
96Johnson. A History of Libraries, h. 75.
97Johnson. A History of Libraries.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mendapatkan informasi dari berbagai sumber tertulis, pada bab
ini penulis akan mengemukakan kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian
yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Kesimpulan dari hasil penelitian
yang membahas tentang peran perpustakaan dalam membantu pengembangan
ilmu pengetahuan masa Islam klasik (sebuah kajian historis tentang
perpustakaan masa Abbasiyah).
Pada masa Abbasiyah ini perpustakaan berperan sebagai sarana
penunjang perkembangan ilmu bagi masyarakat karena dengan tersedianya
berbagai macam jenis ilmu di perpustakaan masyarakat dapat mengaksesnya
sesuka hati sebab masyarakatlah yang menyebarkan ilmu pengetahuan yang
diperolehnya dari sumber-sumber di perpustakaan, dan juga perpustakaan
merupakan media penghubung antara sumber informasi dan ilmu pengetahuan
yang ada di dalamnya dengan para pemakainya, dengan menyediakan berbagai
macam koleksi ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan berperan sebagai
lembaga untuk mengembangkan minat baca, kegemaran membaca, kebiasaan
membaca, dan budaya baca, melalui penyediaan berbagai bahan bacaan yang
sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Kemajuan ilmu pengetahuan yang berkembang masa Abbasiyah tidak
terlepas dari kebijakan politik saat itu terhadap orang-orang non Arab yang
memiliki tradisi intelektual. Kemajuan ini terlihat ketika masa Khalifah Harun
al-Rasyid dan putranya al-Ma’mun, karena kepedulian para khalifah saat itu
sangat mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu-ilmu yang
berkembang antara lain, bidang kedokteran yang melahirkan tokoh utama
dalam bidang ini yaitu al-Razi, kemudian bidang filsafat Islam melahirkan
tokoh al-Kindi yang memperoleh gelar “filosof bangsa Arab”, bidang
astronomi tokohnya adalah al-Farghani dan matematika tokohnya yaitu al-
Khwarizmi, bidang kimia dengan tokoh terbesar saat itu adalah Jabir ibn
Hayyan, bidang geografi yang banyak dipengaruhi oleh khazanah Yunani,
bidang sejarah, kajian teologi, hukum dan etika Islam, serta sastra dan
kesenian. Banyaknya ilmu-ilmu yang berkembang saat itu maka perpustakaan
Islam memegang peranan yang penting. Perpustakaan telah merubah dan
mendampingi sejarah pemikiran dan peradaban Islam untuk dapat berkembang
dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan.
Koleksi perpustakaan disusun menurut skema klasifikasi tertentu dan
dibuat sarana temu kembali, seperti katalog perpustakaan yang berdasarkan
subjek sistematis dan penunjukan koleksi dalam rak berupa daftar judul yang
ditempelkan di tiap rak atau di pintu ruangan tempat penyimpanan koleksi.
Perpustakaan berfungsi sebagai penyebar informasi dengan cara
perpustakaan digunakan sebagai tempat penelitian para ilmuwan, perpustakaan
menjadi pusat penerjemahan, dan perpustakaan menjadi tempat untuk
penyusunan dan penyalinan buku-buku. Semua kegiatan itu, adalah suatu
upaya pemimpin-pemimpin kekhalifahan dan para tokoh masyarakat serta
ilmuwan pada masa itu agar masyarakat umum bisa mendapatkan informasi
dan ilmu yang mereka butuhkan untuk kemajuan peradaban umat Islam itu
sendiri.
B. Saran
Jika melihat sejarah dan menyaksikan keberadaan perpustakaan saat ini,
kiranya diperlukan kesadaran yang tinggi untuk menyadari betapa pentingnya
perpustakaan bagi masyarakat. Terbukti pada masa awal Islam, peradaban Islam
sangat dipengaruhi oleh maju mundurnya sebuah perpustakaan. Dengan demikian
cara untuk mengembalikan kejayaan Islam adalah salah-satunya dengan membina
perpustakaan dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu
pengetahuan dan informasi yang ada di dalamnya.
Dan akhirnya sangat diperlukan suatu kesadaran bersama bagi masyarakat
Islam untuk merubah pemikiran mereka bahwa kemajuan tidak dapat dicapai
tanpa usaha dan penguasaan terhadap suatu ilmu pengetahuan. Salah satu aspek
yang diperlukan adalah tersedianya sumber informasi dan ilmu (suatu
perpustakaan) yang memadai untuk mendukung kegiatan pembelajaran dan
sebagai tempat untuk penelitian untuk menemukan ilmu-ilmu baru sebagaimana
dilakukan oleh para ulama dan ilmuwan Islam terdahulu.
Demikianlah kesimpulan dan saran yang bisa penulis kemukakan pada bab
ini sebagai penutup dari penelitian skripsi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Terj.
Bustami A. Gani dan Djohar Bahri. Jakarta: Bulan Bintang, 1970. Akbar, “Perpustakaan Peradaban Islam” artikel diakses pada tanggal 29 April
2008 dari: http://161.139.39.251/akhbar/libraries/1999/um99218.htm Arikunto. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta, 1993. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Djaenuddin, Muhammad, “Napak Tilas Perpustakaan Islam” artikel diakses pada
tanggal 29 April 2008 dari: http://jaen2006.wordpress.com/2007/04/14/ napak-tilas-perpustakaan-Islam/
Hidayati, Fahmi. “Dinasti Abbasiyah” artikel diakses pada 26 Juli 2008 dari
http://spik13.blogspot.com/2008/04/dinasti-Abbasiyah.21.html Hitti, Phillip K. History of The Arabs: from the earliest time to the present. Terj.
R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Indah, “Perkembangan pada masa Bani Abbasiyah”, artikel di akses pada 14 Juni
2008 dari http://razorbladed.blogspot.com/2007/07/perkembangan-pada-masa-bani-abbasiyah.html
Johnson, Elmer P. A History of Libraries in Western World. York: Scarecrow,
1982. Kaka, “Mengenang Kemajuan Perpustakaan Islam” artikel diakses pada tanggal
29 April 2008 dari http://bikinperpus.wordpress.com/2008/01/03/ mengenang-kemajuan-per-pustakaan-islam
Kusuma, Ardian. “Peran Perpustakaan Bagi Pemikiran dan Peradaban Islam”
artikel diakses pada 26 Juli 2008 dari http://ardiankoesoema.multiply.com
Langgulung, Hassan. Asas-asas Pendidikan Islam. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementrian Pendidikan Malaysia, 1991.
Moleong. Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1997. Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam. Bandung: Pustaka Bani Quraisyi, 2004. Munthoha, dkk. 2002. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: UII Press,
2002. Mutahhari, Murthada. Masyarakat dan Sejarah, Kritik Islam atas Marxisme dan
Teori Lainnya. Terj. M. Hashem dari judul asli Society and History, Bandung: Mizan, 1986.
Nakosteen, Mehdi. History Of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-
1350 with: an Introduction to Medieval Muslim Education. Terj. Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah. Surabaya: Risalah Gusti, 1995.
Nasuhi, Hamid. dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi). Jakarta: Ceqda, 2006. Ratnanengsih, “Sejarah Peradaban Islam pada Zaman Dinasti Abbasiyah di
Baghdad” artikel di akses pada 26 Juli 2008 dari http://amgy.wordpress.com/2008/02/11/sejarah-peradaban-islam-pada-zaman-dinasti-Abbasiyah-di-bagdad/
Ruslan, Heri “Khazanah: Perpustakaan Lumbung Ilmu di Era Kekhalifahan,”
Republika, 9 September 2008. Sardar, Ziauddin. Tantangan Dunia Islam Abad 21. Terj. AE Priyono dan Ilyas
Hasssan. Bandung: Mizan, 1991. Shalaby, Ahmad. History of Muslim Education. Beirut: Dar al-Kashshaf, 1954. --------------------- Sejarah Pendidikan Islam. Terj. Muchtar Yahya dan Sanusi
Latief. Jakarta: Bulan Bintang, 1975. Sulaiman, Shaharom TM, “Perpustakaan Peradaban Islam”, artikel diakses pada
tanggal 29 April 2008 dari http://161.139.39.251/akhbar/libraries/1999/ um99218.htm
Sulistyo-Basuki. Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia, 1993. Surtikanti, Ratih. ”Perpustakaan Masa Kerajaan Abbasiyah” Skripsi Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Indonesia, 1996. Sutarno. Perpustakaan dan Masyarakat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Tedjasudhana, Liliana D. Ensiklopedi Nasional Indonesia. Jilid. 13. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990.
Usman dan Akbar. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Bumi Aksara, 1995. Watt, W. Montgomery. Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis.
Terj. Hartono Hadikusuma. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. Yatim, Badri. Historiografi Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997. ----------------- Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II. Jakarta: PT.
Grafindo Persada, 2006. Yunus, Mahmud. Sedjarah Pendidikan Islam. Jakarta: Mutiara, 1966. Zahara, Zurni. “Konsep Dasar Ilmu Perpustakaan” artikel diakses pada tanggal 24
Juni 2008 dari http://library.usu.ac.id/download/fs/perpus-zurni3.pdf “Perpustakaan” artikel diakses pada tanggal 24 Juni 2008 dari
http://www.ubaya.ac “Saat Buku Menjadi Simbol Peradaban”. artikel diakses pada tanggan 13 Mei
2008 dari http://www.mualaf.com/hikmah-dan-kajian/Hikmah/19-hikmah -dan-kajian/66-saat-buku-menjadi-simbol-peradaban?tmpl=component& print=1&page=
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Berikut adalah contoh penyimpanan buku dalam rak pada perpustakaan masa Bani
Abbasiyah yang dikutip dari buku Ahmad Shalaby “History of Muslim
Education.”
Sementara
ILMU
Berikut contoh Klasifikasi ilmu menurut Ibn Sina dikutip dari buku Hassan
Langgulung yang berjudul “Asas-asas Pendidikan Islam.”
Abadi: Hikmah
Sebagai Tujuan Sebagai Alat: Logika
- Akhlak - Pengurusan Rumah - Pengurusan Kota - Syari’ah (hukum
agama)
- Ilmu Tabi’i - Ilmu Matematika - Ilmu Metafisika - Ilmu Universal
Bentuk klasifikasi ilmu menurut Ihsa al-‘Ulum oleh al-Farabi dikutip dari buku
Hassan Langgulung yang berjudul “Asas-asas Pendidikan Islam”.
Unsur mengenal bahasa seperti Nahwu (tata bahasa), dikte, dan resitasi Ilmu Bahasa dan cabang-cabangnya Prosody Kategori-kategori Peri Termenias Logika dan Prior analitis cabang-cabangnya Posterior analitis Topiks Sofistiks Retoriks Syair
Hitungan Geometri Ilmu Hitung Optiks
Ilmu- Menghitung dan Astronomi ilmu cabang-cabangnya Ilmu tentang berat Alat mekanik Musik Prinsip filsafat tabi’i Kajian benda sederhana Sains Tabi’i Generasi dan Ilmu-ilmu Tabi’i korupsi (ilmu alam) Aksiden mengenai elemen-elemen Mineral Tumbuh-tumbuhan Hewan
Ilmu wujud Ilmu Prinsip Sains
Metafisika Pembahasan ten-tang hal-hal bukan benda
Ilmu-ilmu Masyarakat Fiqhi (fiqih) Dan cabang-cabangnya Kalam