peran pendidik terhadap tingkah laku murid · pdf file3 pendidikan adalah sejarah pendidikan,...
TRANSCRIPT
1
PERAN PENDIDIK TERHADAP TINGKAH LAKU MURID SUATU TINJAUAN FILOSOFIS BERDASARKAN FILSAFAT ESENSIALISME
PENDAHULUAN1
Berkaitan dengan judul makalah peran pendidik terhadap tingkah laku “murid”2, peran
guru kemudian menjadi sangat penting atau vital. Guru tidak hanya sekedar mentrasfer3
pengetahuan melainkan lebih dari itu, guru sebagai pendidik harus memberikan pengaruh dan
“teladan”.4 Peran pendidik dalam sudut pandang ini adalah upaya secara terus menerus dala
proses “pemberian bantuan kepada anak didik agar supaya anak didik dapat mengenali diri
dan bertingkah laku wajar”.5
Hal “mengenali diri”6 dalam proses pemberian bantuan merupakan hal penting
sehingga anak dalam “mengaktualisasikan diri”,7 dapat mengaktualisasikannya secara wajar
tanpa “person”. Dalam hal ini, peserta didik dapat mengaktualisasi diri secara “utuh”8
sehingga tingkah laku ataupun karakter sebagai “nilai”9 yang dituju bahkan sebagai “ultim”10
dapat tercapai.
Dalam melaksanakan profesinya, profesional harus mengacu pada standar profesi.
Standar profesi adalah prosedur dan norma-norma dan prinsip-prinsip yang dipergunakan
sebagai pedoman agar keluaran kuantitas dan kualitas pelaksanaan profesi tinggi sehingga
kebutuhan orang dan masyarakat ketika diperlukan dapat dipenuhi.
1 Makalah ini merupakan pengembangan dari Artikel yang telah saya muat di Jurnal Dinamika Pendidikan (JDP), Universitas Kristen Indonesia, Fakultas FKIP, pada edisi Juli 2013
2 Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah murid serarti dengan pelajar dan pada umumnya berada di jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Karena itu, penulis menggunakan istilah anak dalam penulisan ini, seyogyanya merujuk pada istilah murid. Hal ini lebih dipengaruhi oleh permasalahan psikologis khususnya psikologi perkembangan.
3 Bandingkan tiga filosofi pendidikan: behavirostik, konstruktifistik dan destruktifistik 4 Dalam konteks budaya Jawa, “guru” dipandang sebagai pribadi yang “digugu dan ditiru”. 5 Singgih D. Gunarsa, Psikologi Perkembangan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hlm. 13 6 George R. Knight, Isu-isu dan Alternatif dalam Filosofi Pendidikan, Bogor: Yayasan Kasih Abadi,
2006. Sebuah terobosan dari filsafat eksistensialisme adalah manusia harus berusaha mendefinisikan pokok dari dirinya. Bagaimana ia datang dalam aktivitas kehidupannya dengan membuat pilihan dan mengembangkannya.
7 Noh Ibrahim Boiliu, Pengantar Filsafat, Jakarta: STTB The Way, 2007. Hal “aktualisasi diri” oleh sebagian orang dipandang sebagai hal yang biasa. Namun harus diketahui bahwa individu dalam mengaktualisasikan diri, ia akan mengaktualisasikan diri dalam cara beradanya dan dalam cara ‘ia mempersepsi dunianya”.
8 P.A. vander weij, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2007. Weij berpendapat bahwa manusia harus tampil secara total sebagai manusia dalam nilai.
9 Max Scheler, memandang nilai dalam konteks filsafat axiologi (axios) 10 Bandingkan dengan, Adelbert Snidjers, Filsafat Manusia, Jogjakarta: Kanisius, 2007
2
Berkaitan dengan makalah yang sedang dibahas dalam konteks filsafat pendidikan,
filsafat pendidikan dikembangkan oleh Aristoteles, Augustinus dan John Locke tentang
“proses pendidikan sebagai bagian dari system filsafat, konteks teori-teori etika, politik,
epistemology, dan metafisika”.11 Sedangkan bidang-bidang kajian yang masuk dalam ilmu
11Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005, hlm. 82
3
pendidikan adalah sejarah pendidikan, psikologi pendidikan dan sosiologi pendidikan. Berikut hubungan filsafat dengan teori pendidikan.
FILOSOFIS
Bagan 1(GeorgeRKnight,2006:80)
Teori PENDIDIKAN
IDEALISME
ESENSIALISME REALISME
BEHAVIORISME
POSITIFISME
NEOSKOLASTIKISME PERENEALISME
REKONSTRUKSIONISME MASA DEPAN
PRAGMATISME PROGRESIFISME HUMANISME
EKSISTENSIALISME PENDIDIKAN DI LUAR SEKOLAH
Jadi, jika demikian,
seperti apakah peran
pendidik terhadap
tingkah laku anak
dalam sudut pandang
Filsafat esinsealisme?
Secara singkat akan
diuraikan dalam
makalah ini.
4
PERAN PENDIDIK TERHADAP KELAKUAN MURID DALAM PERSPEKTIF ALIRAN FILSAFAT ESENSIALISME
A. Peran Pendidik
Guru sebagai pendidik ataupun sebagai pengajar merupakan faktor penentu
keberhasilan pendidikan di sekolah. Tugas guru yang utama adalah memberikan
pengetahuan (cognitive), sikap/nilai (affective), dan keterampilan (psychometer) kepada
anak.
Adlan mengemukakan bahwa:
Dalam menjalankan kewenangan profesionalnya, kompetensi guru dibagi dalam tiga bagian yaitu: (1) kompetensi kognitif, yaitu kemampuan dalam bidang intelektual, seperti pengetahuan tentang belajar mengajar, dan tingkah laku individu, (2) Kompetensi afektif, yaitu kesiapan dan kemampuan guru dalam berbagai hal yang berkaitan dengan tugas profesinya, seperti menghargai pekerjaannya, mencintai mata pelajaran yang dibinanya, dan (3) kompetensi perilaku, yaitu kemampuan dalam berperilaku, seperti membimbing dan menilai12 Sedangkan Sudjana mengemukakan empat kompetensi guru: (1) mempunyai
pengetahuan tentang belajar dan tingkah laku manusia, (2) mempunyai pengetahuan dan
menguasai bidang studi yang dibinanya, (3) mempunyai sikap yang tepat tentang diri
sendiri, sekolah, teman sejawat, dan bidang studi yang dibinanya, dan (4)
mempunyai keterampilan teknik mengajar.13
Banyak peran yang diperlukan dari guru sebagai pendidik seperti yang disebutkan
Djamarah. Djamarah mencatat tiga belas peran yang harus dilakukan guru atau pendidik.14
1. Korektor. Sebagai korektor guru harus bisa membedakan mana nilai yang baik dan buruk,
keduanya harus betul-betul dipahami oleh seorang guru dalam kehidupannya di
masyarakat. Koreksi yang harus guru lakukan terhadap sikap dan sifat anak didik tidak
hanya di sekolah, tetapi di luar sekolah pun harus dilakukan. Sebab tidak jarang diluar
sekolah anak didik justru lebih banyak melakukan pelanggaran terhadap norma-norma
susila, moral, sosial dan agama yang hidup di masyarakat.
2. Inspirator. Sebagai inspirator guru harus dapat memberikan ilham atau petunjuk bagi
kemajuan belajar anak didik. Petunjuk itu tidak harus dengan teori-teori belajar namun
dapat juga melalui pengalaman.
12 Aidin Adlan. 2000. Hubungan Sikap Guru Terhadap Matematika dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja. Matahari No.1. hlm. 32. 13 Nana Sudjana. 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, hlm. 17. 14 Saiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik, Jakarta, Rineka Cipta, 2008, hlm. 43 - 48
5
3. Informator. Sebagai informator guru harus bisa memberikan informasi tentang
perkembangan ilmu teknologi, karena informasi yang baik dan efektif masih diperlukan
dari seorang guru.
4. Organisator. Sebagai organisator sisi lain dari peranan yang diperlukan dari guru selain
mengajar, guru juga memilki pengelolaan kegiatan akademik, misalnya dalam menyusun
tata tertib sekolah, menyusun kalender akademik.
5. Motivator. Sebagai motivator, guru hendaknya dapat mendorong anak didik agar
bergairah dan aktif belajar
6. Inisiator. Guru harus dapat menjadi pencetus ide-ide kemajuan dalam pendidikan dan
pengajaran.
7. Fasilitator. Guru hendaknya dapat menyediakan fasilitator yang memungkinkan
kemudahan kegiatan belajar anak didik.
8. Pembimbing. Peranan ini harus dipentingkan, karena kehadiran guru di seklah adalah
untuk membimbing anak didik menjadi manusia dewasa, susila yang cakap.
9. Demonstrator. Tidak semua pelajaran dapat anak didik pahami melihat intelegensia yang
anak miliki, guru harus berusaha membantunya.
10. Pengelola Kelas. Guru hendaknya dapat mengelola kelas dengan baik, karena kelas
adalah tempat berhimpun semua anak didik dalam rangka menerima bahan pelajaran dari
guru.
11. Mediator. Guru hendaknya memilki pengetahuan dan pengalaman yang cukup tentang
media pendidikan dalam berbagai bentuk dan jenisnya, baik media non material maupun
materiil.
12. Supervisor. Guru hendaknya dapat membantu, memperbaiki dan menilai secara kritis
terhadap proses pengajaran.
13. Evaluator. Guru dituntut untuk menjadi seorang evaluator yang baik dan jujur, dengan
memberikan penilaian yang menyentuh aspek ekstrinsik dan intrinsik.
Selain Djamarah, Sijabat juga mencatat “dua belas peran pendidik”15 yang harus
dikerjakan, yakni:
1. Guru berperan sebagai pendidik, yang memperlengkapi anak didik dengan berbagai
kebutuhan supaya bertumbuh kuat dan dewasa.
2. Guru sebagai pengajar dan pembelajar.Guru harus mempersiapkan diri dengan baik
ketika ia akan mengajar, maka terlebih dahulu ia juga perlu belajar.
15 B.S. Sijabat, Mengajar Secara Profesional, Bandung: Kalam Hidup, 2009, hlm. 99-132
6
3. Guru sebagai pelatih, yang berfokuskan pada pemberian keterampilan pada peserta didik
agar siap terjun dalam dunia kerja,
4. Guru sebagai fasilitator, dimana guru harus memahami kebutuhan belajar peserta didik,
untuk itu ia harus mempersiapkan berbagai sarana dan prasarana pengajaran dengan baik,
5. Guru sebagai motivator, guna memberi semangat peserta didik dalam belajar.
6. Guru sebagai pemimpin, yang mempunyai otoritas dalam mengelola terjadinya proses
pembelajaran.
7. Guru sebagai komunikator yang berperan sebagai penyampai informasi berkaitan dengan
hasil belajar peserta didik, serta penyampai berbagai informasi yang didapat berkaitan
dengan proses pembelajaran.
8. Guru sebagai agen asosiator, yang berperan memberikan tugas dalam tim belajar peserta
didik.Guru sebagai agen asosiator juga berperan sebagai penengah guna terjadinya
interaksi edukatif yang menyenangkan.
9. Guru sebagai pembimbing, yang selalu melakukan pendekatan kepada peserta didik guna
mendengar keluh-kesah dan memberikan solusi yang tepat.
10. Guru sebagai pemberita Injil, yang berperan menjelaskan Injil melalui pendekatan pribadi
atau kelompok.
11. Guru sebagai imam dan nabi, yang berperan sebagai pengantara antara peserta didik dan
Tuhan Allah.Sebagai imam atau nabi guru juga berperan sebagai pelayan guna
menyampaikan berkat Allah kepada peserta didik.
12. Guru sebagai teolog, yang berperan menyampaikan kebenaran-kebenaran teologi yang
bersumber pada Alkitab yang dikemas berdasarkan kebutuhan peserta didik.
Tabel peran guru, Djamarah dan Sijabat
Dari tabel di atas, kita mendapati bahwa ada perbedaan antara peran guru secara umum dan
guru Kristen. Sebagai guru Kristen, sudah harus tahu bahwa “Anda (guru) adalah pemberita
NO JENIS PERAN NO JENIS PERAN 1 Korektor 1 Pendidik 2 Inspirator 2 Pengajar dan Pembelajar 3 Informator 3 Pelatih 4 Organisator 4 Fasilitator 5 Motivator 5 Motivator 6 Inisiator 6 Pemimpin 7 Fasilitator 7 Komunikator 8 Pembimbing 8 Asosiator 9 Demonstrator 9 Pembimbing 10 Pengelola kelas 10 Pemberita Injil 11 Mediator 11 Imam dan nabi 12 Supervisor 12 Teolog 13 Evaluator
7
Injil dan teolog” bukan sekadar “kolektor” rupiah. Harus ada sebuah pembayangan yang
bersifat futuristik.
Peran guru tentu berada dalam taraf keterhubungan antar personal, guru-
murid/pendidik-nara didik. Menurut Thomas Gordon,16 hubungan guru – murid dikatakan
baik apabila hubungan itu memilki sifat keterbukaan sehingga baik guru maupun murid saling
bersikap jujur dan membuka diri satu sama lain; tanggap bilamana seseorang tahu bahwa dia
dinilai oleh orang lain; saling ketergantungan antara satu dengan yang lain; kebebasan yang
memperbolehkan setiap orang tumbuh dan mengembangkan keunikannya, kreatifitasnya dan
kepribadiannya; saling memenuhi kebutuhan, sehingga tidak ada kebutuhan satu orang pun
yang tidak terpenuhi.
Bagaimanpun juga kelakuan murid tentu dipengaruhi juga oleh kelakuan guru. Ada
beberapa tipe hubungan guru-murid:
a. Tipe peranan guru yang dominan atau otoriter. Di mana guru selalu mendominasi atau
selalu menguasai serta menentukan dan mengatur kelakuan murid dan menginginkan
konformitas dalam kelakuan mereka. Guru ini sering mencampuri apa yang dilakukan
oleh murid sehingga sering menimbulkan konflik antara guru dengan murid. Dari hasil
penelitian guru yang otoriter, suka mencela. Marah dan sering menyindir . biasanya tidak
disukai oleh peserta didiknya. Biasan murid atau peserta didik juga tidak akan menyukai
pelajaran yang diampu oleh guru tersebut yang pada akhirnya akan mempengaruhi
prestasi belajar siswa itu sendiri.
b. Tipe peranan guru yang Integratif atau Demokratif. Pada tipe ini guru sekedar
memberikan saran kemudian anak didik dapat menentukan sendiri menurut kemampuan
dan cara masing-masing. Murid diajak berunding untuk merencanakan pelajaran dalam
mecapai tujuan yang ditentukan bersama. Guru yang bersifat demokratif cocok untuk
urikulum yang “student – centered”. Sikap serupa ini lebih mengembangkan kepribadian
anak menjadi orang yang dapat berdiri sendiri, dapat memilih sendiri dengan tanggung
jawab. Dalam suatu penelitian ternyata bahwa pertambahan pengetahuan murid dalam
pelajaran rendah korelasinya dengan taraf disukainya guru oleh murid, ternyata gur yang
demokratif bukan guru yang efektif dalam menyampaikan ilmu, walaupun penelitian ini
belum dapat dipercayai sepenuhnya, namun dapat memberi petunjuk bahwa guru yang
demokratif tidak sebaik guru yang otoriter dalam menambah pengetahuan murid.
16Thomas Gordon, Guru yang Efektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm. 26
8
Ketika guru berada di tingkat realisasi peran, maka guru mau tidak mau harus
membangun hubungan yang persuasif dan kondusif. Persuasifitas dan kondusifitas hubungan
yang dikehendaki adalah hubungan yang demokratis-paternalistik (tanpa motivasi eksploitir
hak-hak individual). Keberhasilan guru sebagai pendidik dalam memainkan perannya
sehingga berpengaruh terhadap kelakuan murid adalah guru harus memperhatikan
komunikasinya dengan murid.
B. Filsafat Esensialisme Pada bagian ini, akan dipaparkan definisi esensialisme, hakikat esensialisme dan
diakhiri dengan esensialisme dalam pendidikan. Sedangkan tokoh dari aliran filsafat ini tidak
akan dibahas secara mendetail, hanya akan disebutkan di catatan kaki.
Di setiap bidang studi keilmuan, pasti dicari landasan berpikir filosofisnya. Termasuk
di dalamnya pendidikan. Filsafat pendidikan yang dianut akan memberikan arah bahkan
sebagai metode pendekatan dalam mencari arah ke tingkat penerapan. Menurut Peterson, “the
philosophy of education is the attempt to bring the insights and methods of philosophy to bear
on the educationed enterprise”.17 Teori dapat menjadi titik berangkat menuju aktifitas
penerapan. Kedua wilayah ini, teori-praktek menjadi bagian penting, “these two dimensions of
philosophy have an impact on educational theory at key point...as a subject matter
(metaphysics and epistemology) and as an activity (this is the intellectual functions: syntetic,
analytic, descriptive, and normative)”.18 Dalam konteks ini, sangat penting filsafat
(pendidikan) dalam membangun teori pendidikan. Sebab, sejak sebuah teori pendidikan
dibangun kita sudah dapat mengerti filsafat apa dibalik teori tersebut. Dalam prosesnya
(pendidikan), kita dapat memahaminya sehingga akhir dari teori tersebut apakah dapat
membangun nilai, baik di tingkat personal maupun masyarakat umum. Tentu ini berkaitan
dengan pengaruh pendidikan terhadap pribadi dan masyarakat. Hal senada juga diungkapkan
oleh Maritain dalam esaynya, “Thomist Views on Education”,19 bahwa ada hubungan bahkan
17 Michael L. Peterson, Philosophy of Education. Issues and Options, Illionis: InterVarsity Press, 1999, p.
17 18 Ibid, p. 18-22. Bandingkan dengan, George F. Keneller, Introduction to the Philosophy of Education, p.
1-2. Kneller menyebutnya “three modes of philosoph. Speculative, prescriptive, and the analytic. 19 Nelson B. Henry (ed), Modern Philosophies and Education. The Fifty-fourth Year Book of the Natioal
Society for the Study of Education, part I, Illionis: University of Chichago Press, 1960, p. 57-90
9
pengaruh antara “education and the individual”,20 “school and society”,21 school and
religion”.22 Filsafat dan pendidikan merupakan dua term saling terkait ketika kita membicarakan
filsafat pendidikan. Tidak dapat dinafikan bahwa filsafat pun berkonsentrasi dengan teori.
“Philosophy is primarily concerned with theory, the examination of ideas and ideals. Ideas
about the meaning of the human venture, of the existence of God, the nature of knowledge,
the principles of morality...”23 Dalam hal ini, para pengajar profesional harus menyadari
bahwa berpikir logis-analitik adalah sangat penting. Di sinilah, penting filsafat dapat
membangun konsep dimaksud.
1. Definisi “Filsafat”24 dan “Esensialisme”.
Untuk memahami arti esensi maka kita perlu membuat analisis etimologis antara kata
esensi dan eksistensi. Eksistensi sendiri berbeda dengan esensi. Dalam bahasa Latin istilah
esentia memiliki kesepadanan arti dengan istilah ousia dalam bahasa Yunani yang artinya
ada. Esensi adalah “apa yang membuat sesuatu menjadi apa adanya”.25 Dalam hal ini esensi
mengacu pada permanenitas sesuatu dan berlawanan dengan sesuatu yang temporal, berubah-
ubah atau “fenomenal”.26 Eksistensi tidak sama arti dengan esensi dan aksidensi. Arti yang
luas dari aksidensi adalah segala sesuatu yang ditambahkan pada substansi. Fungsinya sebagai
determinasi (untuk mendeterminir atau membatasi) lebih lanjut terhadap substansi (Latin:
substantia artinya bahan, hakikat, zat, isi. Dari kata sub berarti “di bawah” dan stare berarti
20 Ibid, p. 70. Maritain mengangkat kembali pemikiran Aquinas ars co-operativa naturae. Pengaruh ini
adalah bahwa murid akan berubah dengan adanya pendidikan. Jika demikian, dalam desain kurikulum, kurikulum tidak didesain untuk guru melainkan murid. Itulah yang dikutip oleh Maritain dari Thomas Aquinas, the principal agent in the educational process is not teacher nut the student
21 Ibid, p. 72 22 Ibid, p. 83. Maritain melihat hal ini pada tingkat pendidikan moral dan agama (moral education and
religion). Pada point teaout God and the relation of man to Godching of theology, ia mengatakan bahwa “truth to be known about and relation of man to God matters more to religious faith than human action to regulated.
23 Peterson, ibid, p. 17 24 Untuk definisi filsafat, cukuplah di sini kita katakan Istilah filsafat dalam bahasa Yunani disebut
philosophia dari akar kata philos artinya cinta dan sophos berarti hikmat, kebijaksanaan, kearifan atau sahabat. Philosophia berarti mencintai hikmat; sahabat hikmat atau mencintai kearifan. Istilah ini dalam bahasa yang lain, Arab – falsafah; Inggris – philosophy selalu merujuk pada pengertian yang sama dengan philosophia dalam bahasa Yunani. Definisi tadi hanya sebatas definisi literal. Sebab setiap filsuf selalu berangkat dengan konsep dan definisi yang berfariatif. Artinya konsep dan definisi para filsuf tidak sama. Dalam World Book, dikatakan, Philosophy is a study that seeks to understand the mysteries of existence and reality. It tries to discover the nature of truth and knowledge and to find what is of basic value and importance in life. It also examines the relationships between humanity and nature and between the individual and society.
25 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2007, hlm. 215. 26 Fenomenal merupakan istilah yang sudah lazim. Meski demikian, dalam konteks ini, fenomenal
mengacu pada istilah fenomen (gejala) dan berbeda pula dengan nomenon (numin = inti)
10
“berdiri atau berada”). Aksiden membutuhkan substansi untuk melekat. Istilah da sein (da
artinya “di sana” dan sein berarti “berada”) menurut Heidegger sama dengan istilah eksistensi.
2. Hakikat Esensialise
Esensialisme merupakan aliran filsafat yang muncul dari pertemuan idealisme27 dan
realisme28 (perhatikan bagan Knight). Tidak mungkin kita mengerti esensialisme tanpa
memahami dua aliran pembentuk esensialisme. Idealisme29 dan realisme30 adalah aliran
filsafat yang membentuk corak “esensialisme”.31 Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung
esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama
pada dirinya masing-masing. Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya
konsep-konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu,
esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme
pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad
pertengahan. Maka, disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia
dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan zaman.
27 Perhatikan catatan Knight tentang idealisme pada halaman 39-50. Idealisme dalam tataran filosofisnya
lebih merupakan suatu metafisika, di mana akal sebagai suatu realitas ada. Maka segi epistemologinya adalah apakah realitas “akal” sebagai ada tadi dapat diketahui atau tidak. Jika ya maka apakah mentodenya; bahkan jika sudah diketahui realitas dari akal, maka apa manfaatnya (axiologis). Jika tidak bermanfaat maka tidak berfungsi (bandingkan dengan tiga alam pikiran yang dikemukakan van Peursen dalam strategi kebudayaan. Di mana alam pikir ketiga adalah tahap fungsionalis. Dapat membacanya dalam buku Strategi Kebudayaan). Di sisi axilogis inilah titik tolak pragmatisme.
Idealisme pun sebetulnya menemukan kekuatannya dalam pemikiran Imanuel Kant. Kant juga sebenarnya memadukan dua pemikiran yang sebelumnya menjadi pokok perdebatan antara kaum rasionalis (Rene Deskartes dengan semboyan Cogito Ergo Sum juga Cogito Aliquid) dengan kaum empiris (John Locke, David Hume, Francis Bacon, dll). Dari sini jualah, analisis-analisis deduktifis dan induktifis. Yang kemudian hari diadopsi teologi yang mana digunakan dalam ilmu herneneutika dan secara teknis digunakan dalam tafsir.
Dalam hubungannya, idealisme-pendidikan, kaum idealis melihat manusia sebagai perluasan dari pribadi individu yang sempurna; kesempurnaan sebagai orientasi. Apapun yang dikerjakan, maka akan dikerjakan sejauh “mereka” dapat. Bagi kaum idealis, pengajar adalah pribadi yang dengan dunia kesempurnaan pengetahuan.
28 J. Donald Butler, Four Philosopies. And their praktice in education and religion, New York: Harper & Brothers Publisher, 1957, p. 344. Konsentrasi filsafat realisme adalah “to see in what way the rationale of the school is conceived by realists. Dalam konteks ini, John Amos Comenius berkata “man is not made a man only by his biological birth. If he is to be made a man, human culture must give direction and form to his basic potentialities. Realisme vs Idealisme; kebebasan berpikir vs abstraksi; Aristoteles vs Plato (murid vs guru); universalitas vs individualitas. Di sinilah pemikiran John Locke tentang teori tabula rasa (pikiran adalah sebuah lembaran kosong) dan Anda akan menerima pengaruh dari lingkungan. Dalam tataran, akal – realitas; realitas – akal inilah idealisme dan realisme bersebrangan. Idealisme memandang akal sebagai realitas (realitas ada di dalam akal) sedangkan realis memandang kehidupan manusialah yang membentuk kenyataan. Di siniah kita dapat mengerti epistemologi dari realisme yakni kebenaran melalui observasi dengan memanfaatkan metode induktif (bandingkan Metode Kuantitatif dan kualitatif). Bahkan dikemudian hari beralih pada teori korespondensi (misalnya, apakah benar bahwa bahasa Roh mempengaruhi kelakuan murid).
29 Bandingkan dengan,J. Donald Butle, iIdealism in Education, New York: Harper and Row Publishers, 1966
30 Wm. Oliver Martin, Realism in Education, New York: Harper and Row Publishers, 1969 31 George R. Knight, Philosophy and Education. An Introduction in Christian Perspective, Michigan:
Andrews University Press, 1980, p. 108
11
Esensialisme tidak sepaham dengan perenealis dan progresifis. Dalam aliran
esensialis, prinsip utama mereka adalah: “The school’s first task is to teach bacic knowledge,
leraning is hard work and requires disciple, the teacher is the locus of clssroom authority”.32
Tiga prinsip esensialis dalam pendidikan bila dilihat berkaitan dengan kurikulum maka dapat
didesain bertinggkat, mulai dari pengetahuan dasar, penerapan dari pengetahuan dasar dan
bahwa guru sebagai pusat.
Meski dala istilah yang berbeda namun sama dalam isi, Kneller juga berkata demikian,
“the essentialist devote their main efforts to (a) reexmaning curricular matters, (b)
distinguishing the essential and the nonessential in school programs, and (c) reestablishing
the authority of the teacher in the classroom”.33
Dari pemikiran Knight dan Kneller, guru memainkan peran penting seperti yang
disebutkan pada point ketiga yakni “teacher is the locus of classroom authority” atau
“reestablishing the authority of the teacher in the classroom. Guru dituntut untuk
mempersiapkan diri secara baik, baik dari segi kepribadian maupun penguasaan materi
sehingga dapat mendesain kelas dengan lebih baik. Dengan catatan, guru harus menyadari
bahwa yang belajar adalah murid bukan guru, karena itu harus mempersiapkan sesuai
kebutuhan murid.
Sebagaimana aliran-aliran filsafat sebelumnya seperti idealisme, realisme,
pragmatisme, progresivisme dan lain-lain yang memiliki pandangan tentang pendidikan,
aliran esensialisme juga memiliki pandangan yang berkaitan dengan pendidikan. Secara
umum, persoalan pendidikan yang disoroti oleh aliran esensialisme adalah bagaimana
sebenarnya tujuan pendidikan yang ideal?, bagaimana konsep kurikulumnya.?, Dan apa
peran guru dan sekolah untuk mempersiapkan subjek didik yang diinginkan oleh penganut
esensialime.?
Kurikulum. Dalam konteks peran guru, Pazmino mengatakan bahwa “para pendidik
yang menganut filsafat esensialisme menekankan keunggulan akademis, penguatan intelek,
serta transmisi dan asimilasi dari sekaian mata pelajaran yang wajib sifatnya”.34 Ini berarti
dalam desain kurikulum para desainer akan benar-benar menyadari (konteks filsafat
esensialisme) hal apa yang akan ditekankan dan dari segi marketing, hal yang diunggulkan itu
ditawarkan. Dengan kata lain ou put sudah “terbayangkan” ketika kurikulum didesain.
32 Knight, ibid, p. 109-111 33 Kneller, ibid, p. 57 34 Robert W. Pazmini, Fondasi Pendidikan Kristen, Jakarta: BPK Gunun Mulia-STT Bandung, 2012,
hlm. 159
12
Pembayangan itu (futuris) bukan tanpa alasan sebab telah tergambar melalui desain
kurikulum. Dengan demikian out put seperti apa sudah terbayangkan.
Metode. Metode yang ditawarkan dalam filsafat esensialisme adalah “penelitian
dengan logika yang cermat.”35 Perhatikanlah bahwa dua hal ini, penelitian dan logika yang
cermat merupakan dua cara yang berbeda dalam idealisme dan realisme. Kekayaan berpikir
dari idealisme, yakni “kekuatan dalam abstraksi, kemampuan konseptual, logika, dll”
diadopsi”;; sejalan dengan itu, kekayaan berpikir dari realisme pun diadopsi, yakni “penelitian
sebagai cara”. Hal ini akan disokong oleh teori korespondensi.
Guru. Para esensialistik berpandangan bahwa “pendidik teladan adalah seorang yang mengerti kesusastraan dan ilmu pengetahun, yang mengikuti perkembangan zaman modern
dan yang telah mencapai tingkat seorang ahli dalam kompetensinya”.36 Pemikiran ini khas
idealistik. Guru dipandang sebagai “knower and thinker atau guru menjadi rule model bagi
murid. Disamping guru menjadi rule model-nya murid, para esensialitik juga tidak menafikan
bahwa “peserta didik dipandang sebagai makhluk rasional yang menguasai fakta-fakta
esensial dan keterampilan yang menunjang disiplin intelektualnya dalam rangka
menyesuaikan diri dengan lingkungan secara fisik dan sosial”.37
Kekuatan dan kelemahan filsafat esensialisme. Kekuatan dari teori ini adalah pada
dsiplin belajar yang tinggi dan penelitian. Namun kelehaman dari teori ini adalah bahwa
kecenderungannya pada rasionalis. Hal ini juga yang dikemukakan Pazmino bahwa bisa
“mengarah pada ekskulsivisme”38 rasionalistik bahkan “tidak berhubungan dengan
pengalaman yang bersifat personal atau korporat”.39 Padahal, logikanya seseorang yang sudah
belajar, dapat menekuni bidangnya dan memiliki hubungan personal yang baik. Jika itu yang
dipikirkan maka itu bisa disebut idealisme dalam belajar.
3. Teori Pendidikan Esensialis
Jika filsafat esensialisme diadaptasikan dalam teori pendidikan dan juga teori belajar
maka bagi pihak yang membahas materi pelajaran dapat mempertimbangkan kebutuhan siswa
untuk dapat hidup produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan
serta bebas dari bias politik dan agama. Secara umum esensialisme adalah model pendidikan
transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini.
35 Loc, cit. Boleh kita katakan bahwa gaya filsafat dan teori pendidikan esensialisme merupakan model “akomodatif” sebab mengakomodir, gaya idealisme dan realisme
36 Loc, cit 37 Loc, cit 38 Op, cit, hlm. 160 39 Loc, cit
13
Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan
program-program esensialis di sekolah-sekolah. Tujuan utama dari program-program tersebut
di antaranya 1) Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk
berkomunikasi dengan logis. 2) Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara
aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang
berwenang atau orang yang memiliki otoritas. 3) Sekolah-sekolah memprogramkan
pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya
untuk hidup. 4) tetap mengusung semangat idealisme dan realisme, yakni berpikir logis dan
adaptatif.
14
MASALAH-MASALAH LAPANGAN
Sebuah artikel dalam majalah TIMES mencatat bahwa generasi saat ini adalah
generasi yang mengalami krisis secara global. Walaupun pada realitanya tidak semua
mengalami krisis, tetapi searah perkembangan zaman generasi ini sudah dipengaruhi oleh
beberapa faktor yang dapat mengubah seluruh aspek kehidupan. Stephen Tong mengatakan
bahwa:
Generasi ini dipengaruhi beberapa faktor yang jika dibiarkan dan tidak ada pembimbingan secara serius dan terus menerus maka akan memunculkan generasi pemberontak. Beliau menyebutkan beberapa faktor itu antara lain: “media massa yang memberikan sajian gambar amoral,penyalahgunaan obat-obatan terlarang secara berlebihan, konsep intelektualitas menggantikan moralitas, gerakan zaman baru yang memberikan harapan-harapan palsu”.40
Hal-hal di atas menurut Stephen Tong akan memunculkan generasi pemberontak. Itu berarti
sudah kehilangan “norma, tata krama, dan nilai-nilai agama”.41
Banyak hal yang dilakukan oleh generasi ini khususnya anak dan remaja yang sejak
kecil sudah dicekoki oleh suguhan yang mengandung unsur kekerasan, di mana unsur-unsur
budaya sudah hilang. Gambaran tentang anak ideal bagi negara dan terutama bagi orang tua
sudah mulai hilang mengingat kondisi yang dialami oleh anak-anak dan remaja saat ini.
Sebuah survey yang telah dilakukan oleh pemerhati anak dan remaja pada tahun
2005/2006 menunjukkan kemerosotan yang begitu drastis mengenai keadaan anak yang
semakin parah seiring perkembangan zaman. Hasil survey tersebut menunjukkan:
a. 51 anak bunuh diri b. 67 remaja meninggalkan rumah c. 21 remaja melahirkan di luar rumah d. 24 anak di bawah umur melakukun aborsi e. 686 anak menggunakan obat-obatan terlarang f. 169 menyalahgunakan minuman keras.42
Data yang diperoleh di atas menunjukkan hal yang menakutkan karena merupakan
suatu kemerosotan nilai-nilai moral yang semakin lama jika tidak ditanggulangi akan semakin
parah. Data di atas wajar terjadi jika sedari dini anak-anak dan remaja tidak diberi bekal yang
mendalam seperti nilai-nilai agama, sosial, norma dll karena dari para pendidik seperti
orangtua, guru, pengajar tidak memberikannya.
40 Stephen, Tong,, Arsitek Jiwa 1, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,2001), hlm. 12.
41 Bandingkan dengan, Paul Lewis, 40 Cara Mengarahkan Anak, Bandung: Kalam Hidup, 1997, 153-163. Pada Bagian 27, Lewis mengetengahkan tips mengajarkan kejujuran kepada anak. Baginya, kejujuran merupakan salah satu nilai inti yang dapat membentuk integritas dan kepribadian anak. 42 Seto, “Survey Anak Masa Kini”, Artikel, Kompas, 20 November 2006, Kol 4.
15
Sedapat mungkin mereka harus menerima pembinaan dan pembimbingan yang
terbaik, dari segi jasmani, rohani, pendidikan, dan kebutuhan lainnya. Pemenuhan segi ini
merupakan hak yang wajib dimiliki oleh anak dan anak berhak untuk mendapatkan semua
itu. Selain itu anak juga memiliki hak istimewa yang lain yaitu setiap anak berhak
mendapatkan perlakuan yang baik, menerima pendidikan yang layak, menerima bimbingan
yang terus menerus. Tetapi pada realitanya kita sering mendapatkan anak-anak mendapat
perlakuan yang tidak baik, baik dari keluarga maupun dari lingkungannya.
Rose Mini dalam bukunya “Perilaku Anak Usia Dini” mengatakan bahwa:
Anak merupakan hal terpenting bagi penerus generasi oleh sebab itu anak berhak mendapatkan yang terbaik dalam hidupnya seperti hidup yang layak,pendidikan yang terjamin, kebutuhan jasmani dan rohani yang cukup dll.43
Setiap hak di atas dapat dimiliki oleh anak jika guru dan orang tua sadar akan keberadaannya
sebagai pendidik yang sangat bertanggungjawab akan perkembangan dan tingkah laku anak.
Hal ini juga disampaikan oleh Sarumpaet bahwa “pendidikan yang lengkap adalah pendidikan
yang seimbang”.44 Keseimbangan pendidikan dapat dilihat pada segi, jasmani, mental dan
spiritual. Dalam hal ini, karakter menjadi hal penting dalam pendidikan. Ellen White dalam
Sarumpaet mengatakan, “karakter adalah usaha yang paling penting yang pernah diberikan
kepada manusia...pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang
benar”.45 Setuju dengan Sarumpaet bahwa jika pendidikan bukanlah untuk mendidik dan
mengembangkan tabiat atau tingkah laku anak maka buat apa membuat sistem pendidikan.
Sistem pendidikan tidak hanya berfokus pada “how know” tetapi juga “how do”. Jika
pendidikan karakter terpinggirkan atau menjadi tujuan nomor dua, tiga dan selanjutnya maka
kita akan mendapati sistem pendidikan yang pincang (partial). Maka jangan heran jika
korupsi “menggurita”. Ini juga berarti filosofi pendidikan harus diubah.
43 Rose Mini, Perilaku Anak Usia Dini, (Jakarta:Kalam Hidup, 2002), hlm. 76 44 R.I. Sarumpaet, Rahasia Mendidik Anak, Bandung: Indonesia Publishing House, 2005, hlm. 1 45 Ibid
16
ANALISIS DAN SOLUSI
A. Analisis Seperti pemaparan di atas tentang peran yang harus “dimainkan” guru, maka tidak
berlebihan jika dikatakan guru memiliki pengaruh dan peran yang besar terhadap kelakuan
anak. Sebab mendidik anak tidak hanya sebagian dari “hidupnya” atau bersifat parsialitis.
Dalam memainkan perannya, guru harus memiliki konsep yang utuh (bukan partial) tentang
anak didik sebagai manusia. Sentot Sadono46 dalam bukunya Psikologi Pendidikan sepaham
bahwa manusia itu homo potens dan harus dilihat secara utuh. Sebab hal yang paling
mendesak untuk diimplementasikan adalah membuka ruang berpikir yang lebih konstruktif
dalam menanggapi pola pendidikan yang dikerjakan atas bangsa ini yang cenderung bahkan
sudah terbukti melanggar keberadaan manusia sebagai homo potens. Pendidikan harus
menjawab bahwa “selain sebagai makhluk spesifik yang dilengkapi dengan kemampuan-
kemampuan biologis dalam kehidupannya manusia tidak hanya sepenuhnya diprogram oleh
kemampuan biologisnya.
Starch dalam membahas problem dan cakupan psikologi pendidikan, mengatakan
bahwa “education is production of useful changes in human beingis”.47 Starch kemudian
mengklasifikasikan change atau perubahan dalam tiga divisi. “These change mey be
classified in to three divisions: change in knowledge, in skills, and in ideals”.48 Jika
pendidikan diasumsikan sebagai yang membawa perubahan, baik perubahan pengetahun,
keterampilan dan ide. Bagi Starch, ketiga divisi perubahan di atas memiliki pengaruh yang
besar sebab bagaimanapun dapat dipahami secara neurologis.
Telah menjadi prinsip umum dalam proses pendidikan bahwa pendidik harus
mengenal anak didik. Hal mengenal anak didik merupakn kunci penting dalam memainkan
peran dan dalam memberikan pengaruh. “Para pendidik berusaha mengenal, mengerti dan
mengasihi peserta didik mereka sehingga pengajarannya berbicara langsung pada kebutuhan
peserta didik”.49 Ini harus disadari oleh pendidik jika ingin berhasil dalam menjalankan
perannya.
46 Sentot Sadono, Psikologi Pendidikan, Semarang: STBI, 2011, hlm. 8 47 Daniel Starch, Educational Psychology, Michigan: Univ. Of Wisconsin, 1929, p. 1 48 Ibid 49 Pazmino, Fondasi Pendidikan Kristen, op, it. hlm. 5
17
Bahkan Pazmino mengusulkan agar para pendidik mempertimbangkan “fondasi
sosiologis dan psikologis”50 dalam proses pendidikan. Bahwa:
Fondasi psikologis memberikan pengetahuan bagi pendidik untuk mengerti bagaimana caranya mengerti perkembangan seseorang, belajar, dan berinteraksi dengan orang lain. Pengertian ini juga bisa didapatkan dari fondasi sosiologis agar para pendidik mengerti bagaimana pendidik berhubungan dan berinteraksi dengan berbagai kelompok orang dan struktur yang berhubungan dengan latar pendidikan, apakah di rumah, sekolah, gereja atau suatu komunitas. Dampak dari faktor sosiologi pada fondasi psikologi ini mengindikasikan adanya interaksi antar-berbagai dimensi yang berbeda dalam proses pendidikan, dan juga adanya potensi keterbatasan dari cara pandang pendidikan yang analitis, atau sangat sistemik Diagram sistem...51
Dari segi sosiologisnya52 adalah bahwa Pendidikan sedapat mungkin harus diperjuangkan dan
didasarkan pada pemberdayaan manusia pada keunikannya dan dalam persatuannya dengan
diri dan lingkungannya. Pendidikan harus menjawab manusia akan perbuatannya, baik itu
menyangkut keputusan bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebab
itu, guru harus mengerti perannya yang krusial dalam mendidik murid. Seperti run down
Ruang Lingkup Sosiologi Pendidikan, bahwa dalam ruang lingkup tersebut ada “pengaruh
sekolah terhadap perilaku dan kepribadian semua pihak di lembaga pendidikan”.53 Artinya,
ada pengaruh (dalam rugas yang diberikan, dosen memilih peran) kepribadian guru/tenaga
kependidikan terhadap kelakuan anak/peserta didik”.54 Kedua bidang di atas menjadi sangat
penting dalam pendidikan.
Jika peran guru dimainkan dengan baik maka kemungkinan untuk menekan tindakan-
tindakan yang mengarah pada tindakan yang fandalistik dan sejenisnya dapat ditekan. Ini
50 Loc, cit, hlm. 5. Ilmu psikologi dan ilmu pendidikan bagaikan koin atau uang logam yang masing-
masing sisinya memberi kontribusi nilai yang sama dan sama-sama menjadikannya bermakna. Permasalahan pendidikan yang tidak pernah ada habisnya telah membuat para ahli pendidikan senantiasa mengupayakan sebuah bangunan pendidikan yang lebih baik, yang tidak manusia dari kehidupannya yana adalah seutuhnya sebagai sasaran pendidiKan. Sasaran pendidikan adalah manusia. Pendidikan bermaksud untuk membantu peserta didik (sebagai manusia utuh) untuk mengembangkan potensi-potensi kemanusiaannya. Pemahaman pendidik terhadap hakikat manusia akan membentuk peta tentang karakteristik manusia yang akan rnenjadi landasan dan acuan baginya dalam bersikap, menyusuh strategi, metode dan teknik, serta memilih pendekatan dan orientasi dalam merancang dan melaksanakan komunikasi transaksional di dalam interaksi edukatif'
51 Loc, cit, hlm. 5. Psikologi memberikan kontribusi untuk membangun pemahaman yang lebih baik tentang tujuan pendidikan, yaitu dengan mendefinisikan tujuan pendidikan tersebut membuat tujuan semakin lebih jelas; yakni dengan membuat pembatasan tujuan tersebut menunjukan kepada kita apa yang bisa dilakukan dan apa yang tidak bisa: dan dengan mempertimbangkan hal-hal baru yang harus dibuat menjadi bagian dan tujuan tersebut
52 H.Mahmud, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012. Hlm. 17-18. Peran guru dalam konteks sosiologi, berada dalam ranah sosiologi pendidikan dan tujuan sosiologi pendidikan.
53 Ibid 54 Loc, cit, hlm. 18. Domaian kajian sosiologi pendidikan adalah interaksi antara individu dengan
individu, individu dengan kelompok bahkan di luar sistem.
18
berarti, setiap orang yang ingin menjadi guru harus “berpikir dua kali lipat” sebelum
memutuskan menjadi guru. Tidak hanya karena motiv ekonomi sebagai faktor pendorong.
Selain faktor keilmuan, maka yang perlu dipertimbangkan adalah pendidikan karakter
dalam konstelasi pendidikan nasional Indonesia. Meski materi ini belum sepenuhnya masuk
dalam kurikulum pendidikan nasional. Dengan kata lain masih mencari status dalam
kurikulum pendidikan nasional. Hal ini pun dipersoalkan oleh Doni Koesoema A55 dalam
bukunya “Pendidikan Karakter. Utuh dan Menyeluruh”.
Jika filsafat esensialisme diadaptasikan dalam teori pendidikan dan juga teori belajar
maka bagi pihak yang membahas materi pelajaran dapat mempertimbangkan kebutuhan siswa
untuk dapat hidup produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan
serta bebas dari bias politik dan agama. Secara umum esensialisme adalah model pendidikan
transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam masyarakat masa kini.
Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan menerapkan
program-program esensialis di sekolah-sekolah. Tujuan utama dari program-program tersebut
di antaranya 1) Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk
berkomunikasi dengan logis. 2) Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara
aktif tentang nilai-nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepada pihak yang
berwenang atau orang yang memiliki otoritas. 3) Sekolah-sekolah memprogramkan
pendidikan yang bersifat praktis dan memberi anak-anak pengajaran yang mempersiapkannya
untuk hidup. 4) tetap mengusung semangat idealisme dan realisme, yakni berpikir logis dan
adaptatif
B. Solusi Dari uraian dan analisis di atas maka solusi yang ditawarkan adalah
1. Krusial bahwa ketika para desainer kurilum mendesain kurikulum, bayangkanlah “seolah-
olah” Anda atau kita yang mendasai kurikulum tersebut akan ada di dalamnya
(analoginya: sorang desainer busana membayangkan busana yang didesainnya jika
dipakai oleh di Mr atau Mrs. “X” akan terlihat anggun, cantik, dsb atau jika ia yang
menggunakannya betapa cantiknya).
2. Guru /pendidik harus mengerti fungsi pokok kependidikan atau keguruan sehingga
guru/pendidik dapat menjalankan tugas secara profesional.
55 Doni Koesoema A, Pendidikan Karakter. Utuh dan Menyeluruh, Jogjakarta: Kanisius, 2013.
19
3. Guru/pendidik harus mengenal muridnya dengan baik. Tujuannya adalah agar guru dapat
menawarkan solusi yang tepat sesuai dengan kebutuhan. Sebab murid memiliki
kepribadian yang berbeda-beda. Guru sebai yang digugu dan ditiru harus dapat
“memahami perbedaan tiap individu.56
4. Cara pandang guru terhadap murid harus diubah. Murid bukan objek melainkan subjek
56 E. Handayani Tyas, Memahami Perbedaan Individu, Jakarta: Jurnal Dinamika Pendidikan, vol. 4, 2011, hlm. 120.
20
KESIMPULAN
Guru atau pendidik tidak perlu menjadi risau dengan kelakuan murid. Yang harus
dipikirkan oleh guru adalah bagaimana mengajar secara profesional dengan memperhatikan
peran-perannya baik sebagai fasilitator, mediator, moderator, motivator, organisator,
administrator, evaluator, dan lain-lain, maka adalah tidak mungkin tidak memberikan
pengaruh pada murid.
Guru/pendidik perlu mengembangkan tipe peranan guru yang Integratif atau
Demokratif. Pada tipe ini guru sekedar memberikan saran kemudian anak didik dapat
menentukan sendiri menurut kemampuan dan cara masing-masing. Murid diajak berunding
untuk merencanakan pelajaran dalam mecapai tujuan yang ditentukan bersama.
Memperlakukan orang lain seperti diri kita adalah kunci memahami setiap pribadi.
Guru sebagai tenaga ahli telah dibekali dengan keilmuan, Psikologi Pendidikan dan
khususnya guru Kristen, Kristus harus menjadi figur dan panutan secara patoka dalam
memainkan peran. Alhasil guru dapat memahami perta didiknya baik dalam sifat, gaya
belajar, perilaku, sikap, karakter, perangai maupun hobby.
Sebagai guru dalam memainkan peran, kita dapat membayangkan bagaimana anak
didik, suatu saat akan berada di pentas dunia untuk mementaskan hasil karya (proses belajar)
dan kita sebagai guru/pendidik adalah seorang yang pernah ada dalam hidupnya, ikut
menyokong dia dalam pementasan itu.
21
Daftar Pustaka
Adlan. Aidin, Hubungan Sikap Guru Terhadap Matematika dan Motivasi Berprestasi dengan Kinerja. Matahari No.1, 2000
Boiliu, Noh Ibrahim, Pengantar Filsafat, Jakarta: STTB The Way, 2007 Gunarsa, Singgih D. Psikologi Perkembangan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 Djamarah Saiful Bahri, Guru dan Anak Didik, Jakarta, Rineka Cipta, 2008 Gordon, Thomas, Guru yang Efektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990 Henry, Nelson B, ed., Modern Philosophies and Education, Chichago: University of Chichago Press, 1960 Koesoema Doni, Pendidikan Karakter. Utuh dan Menyeluruh, Jogjakarta: Kanisius, 2013 Kneller, George, F. Introduction to the Philosophy of Education, New York: John Wiley & Sons, inc, 1972 Knight, George R. Isu-isu dan Alternatif dalam Filosofi Pendidikan, Bogor: Yayasan Kasih
Abadi, 2006. Knight, George R. Philosophy and Education, Michigan, Andrews University Press, 1980 Lewis, Paul, 40 Cara Mengarahkan Anak, Bandung: Kalam Hidup, 1997 Mahmud, Sosiologi Pendidikan, Bandung: Pustaka Setia, 2012. Mini, Rose Perilaku Anak Usia Dini, Jakarta:Kalam Hidup, 2002 Pazmini, Robert W. Fondasi Pendidikan Kristen, Jakarta: BPK Gunun Mulia-STT Bandung,
2012 Paterson, Michael, L. Philosophy of Education. Issues and Options, Illionis: InerVarsity Press, 1999 Sudjana, Nana, Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru, 1989. Sijabat, B.S. Mengajar Secara Profesional, Bandung: Kalam Hidup, 2009 Seto, “Survey Anak Masa Kini”, Artikel, Kompas, 20 November 2006, Kol 4. Sarumpaet, R.I. Rahasia Mendidik Anak, Bandung: Indonesia Publishing House, 2005 Sadono, Sentot, Psikologi Pendidikan, Semarang: STBI, 2011 Starch, Daniel, Educational Psychology, Michigan: Univ. Of Wisconsin, 1928
22
Tong, Stephen, Arsitek Jiwa 1, Jakarta: BPK Gunung Mulia,2001 Weij, P.A. vander, Filsuf-filsuf Besar Tentang Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 2007 Tyas, E. Handayani, Memahami Perbedaan Individu, Jakarta: JDP, 2011