peran militer mesir dalam demokratisasi pasca presiden husni mubarak

Upload: ezka-amalia

Post on 13-Jul-2015

516 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Februari 2011, Mubarak dipaksa mundur oleh rakyatnya karena sistem pemerintahannya yang otoriter dan mengingat kesejahteraan rakyat tidak diperhatikan. Setelah Mubarrak resmi mengundurkan diri lewat pidato resmi wakil presidennya, militer kemudian maju dan berjanji untuk mengawal proses demokratisasi di Mesir.

TRANSCRIPT

PERAN MILITER MESIR DALAM DEMOKRATISASI PASCA PRESIDEN HUSNI MUBARAKdisusun untuk memenuhi tugas akhir mata kuliah Militer dan Politik Dosen Pengampu: Prof. Jahja Muhaimin Muhammad Rum, IMAS

Oleh: Ezka Amalia 09/283366/SP/23675

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2011

BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG Selama ini, keterlibatan militer suatu negara dalam kehidupan politik dan kenegaraan seringkali dikaitkan dengan kudeta dan otoritarianisme. Apalagi ketika militer yang memiliki pengaruh yang kuat dalam suatu negara merasa kebutuhan ataupun kepentingan mereka tidak dipenuhi oleh pemerintah. Suatu negara yang berada di bawah pemerintahan militer seringkali tidak demokratis atau otoriter. Keotoriteran pemerintah tersebut kemudian menimbulkan keinginan untuk terjadinya demokratisasi. Keotoriteran juga seringkali menimbulkan hubungan yang tidak selaras antara sipil dengan militer. Republik Arab Mesir sebagai salah satu negara yang pernah mengalami kudeta militer pun tak lepas dari kecenderungan tersebut. Kudeta pertama di Mesir yang terjadi pada tahun 1952 terhadap pemerintahan Raja Farouk dilakukan oleh militer yang tergabung dalam Free Officers Group yang dikomando oleh Kolonel Gamal Abdul Nasser. Kudeta tersebut membuat Mesir berada di bawah rezim militer. Kepenguasaan militer di pemerintahan Mesir kemudian diwujudkan dalam Revolution Command Council (RCC) dengan Jenderal Muhammad Naguib sebagai presiden. Seperti kecenderungan pemerintahan otoriter, pemerintahan Mesir saat itu juga menerapkan beberapa larangan termasuk larangan adanya partai politik. Naguib kemudian digantikan oleh Nasser. Meski hanya memperbolehkan satu organisasi politik di Mesir yaitu Arab Socialist Union, di bawah kepemimpinan Nasser, demokrasi mulai diperkenalkan ke Mesir. Setelah Nasser, Anwar Sadat yang juga berasal dari militer maju sebagai presiden Mesir. Sadat memiliki cita-cita mulia untuk menghapus jejak-jejak otoritarian di Mesir misalnya dengan membentuk Partai Demokrat Nasional (NDP) namun dianggap sebagai alat politik untuk mengendalikan kekuasaan militer dan menguasai proses politik Mesir. Setelah terbunuhnya Sadat di tahun 1981, posisi presiden kemudian diisi oleh Husni Mubarak yang merupakan wakil presiden dan saat itu juga menjabat sebagai panglima tertinggi angkatan perang Mesir. Di masa pemerintahannya meski batas-batas partisipasi politik dikurangi, koridor politiknya tetap terbatas. Selain itu, bagi Mubarak demokrasi di Mesir butuh waktu untuk penerapannya mengingat karakteristik masyarakat Mesir yang berbeda dari masyarakat-masyarakat 2

di negara barat maupun negara berkembang lainnya. Februari 2011, Mubarak dipaksa mundur oleh rakyatnya karena sistem pemerintahannya yang otoriter dan mengingat kesejahteraan rakyat tidak diperhatikan. Setelah Mubarrak resmi mengundurkan diri lewat pidato resmi wakil presidennya, militer kemudian maju dan berjanji untuk mengawal proses demokratisasi di Mesir. B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana peran militer dalam proses demokratisasi di Mesir pasca kejatuhan Presiden Husni Mubarak? C. Landasan Konseptual 1. Tipologi Prajurit Amos Perlmutter Tipologi yang dikemukakan oleh Amos Perlmutter merupakan pembagian tipe-tipe militer terkait dengan reaksi militer terhadap jenis kekuasaan atau politik dalam lembaga pemerintahan. Perlmutter membaginya menjadi tiga tipe yaitu: a. Prajurit Profesional Profesionalisme menempatkan tentara profesional sebagai prajurit yang memiliki kecakapan-kemahiran-kepandaian dalam bidang militer. Perwira profesional di zaman modern merupakan suatu jenis kelas sosial baru, dengan ciri-ciri dasar: 1). Keahlian, 2). Tanggung Jawab, 3). Korporatisme, dan 4). Ideologi. Perlmutter memposisikan variabel ketiga dan keempat, yakni korporatisme dan ideologi jauh lebih penting diantara variabel lainnya. b. Prajurit Pretorian Pretorianisme menggambarkan praktik kediktatoran militer atau keterlibatan militer dalam politik suatu negara, atau dengan kata lain politisasi militer atau militerisasi politik. Politisasi militer bisa diidentifikasi apabila tentara menjalankan tugas-tugas nonkemiliteran seperti misalnya membuat kebijakan baik domestik maupun luar negeri, terlibat secara aktif dalam pergantian jabatan pemerintahan atau memegang jabatan politis dalam pemerintahan. Sedangkan militerisasi politik adalah penggunaan koersif angkatan bersenjata dari aktor-aktor politik dalam suatu negara. Kecenderungan keterlibatan militer dalam politik ini disebabkan rendahnya tingkat budaya politik. c. Prajurit Revolusioner 3

Prajurit revolusioner adalah bagian dari suatu kelompok profesional yang berusaha meningkatkan persyaratan profesionalisme tetapi tidak memandang dirinya sebagai suatu perkumpulan eksklusif para ahli yang membela tingkat kompetensi teknis perse, dan tidak membela kepentingan kelas.1 Oleh karena itu dalam tipe ini muncul hubungan klien yang merujuk kepada siapa prajurit mengabdi dan berubah tiap fase revolusi yang mana siapapun yang dibela oleh prajurit adalah mereka yang melawan rezim. Ciri khas lain dari tipe ini yaitu intensitas mereka yang tinggi dalam keterlibatan berbagai bentuk tindak kekerasan, akan tetapi tidak berusaha melembagakan kekerasan sebagai okupasi yang otonom dan eksklusif. Perlmutter menyatakan bidang keahlian prajurit revolusioner tidak dipandang sebagai sarana mobilitas sosial. Komitmen revolusionernya memperkokoh keahlian dan keterampilan sekaligus merupakan nilai tambah tersendiri karena mereka tidak secara eksklusif masuk kedalam suatu kelompok fungsional yang terspesialisasi. D. Argumen Utama Dengan pernyataan yang dikemukakan oleh pihak militer sehari sebelum Mubarak mundur dari kursi presiden yaitu militer mendukung sipil dan akan mengawal jalannya demokrasi di Mesir, maka seharusnya peran militer dalam pemerintahan Mesir saat ini adalah sebagai prajurit praetorian, lebih khusus prajurit arbitrator. Hal ini turut diperjelas pada peran yang saat ini dipegang oleh Dewan Agung Militer sebagai pemerintahan transisional dengan jangka waktu enam bulan atau sampai dilaksanakannya pemilihan anggota parlemen dan presiden.

BAB II PEMBAHASANA. Keterlibatan Militer Mesir dalam Pemerintahan1

A. Pelrmutter, The Military and Politics in Modern Times, edisi bahasa Indonesia Militer dan Politik, edisi kedua, diterjemahkan oleh PT. RajaGrafindo Persada, PT. Raja Grafindo Pustaka, Jakarta, 2000, p. 300.

4

Militer Mesir, beserta akademi militernya, pertama kali dibentuk oleh Muhammad Ali, yang dianggap sebagai pendiri Mesir modern.2 Militer Mesir saat itu hingga akhir tahun 1940an dan awal 1950an bertujuan untuk berperang dan memenangkan perang. Namun semenjak militer membentuk Free Officers Group di bawah komando Kolonel Gamal Andel Nasser dan rasa kekecewaan yang dirasakan oleh militer terhadap pemerintahan sipil di bawah Raja Farouk, militer mulai bergerak masuk ke dalam politik. Pergerakan dan intervensi militer dalam politik Mesir diawali dengan kudeta militer tahun 1952 yang dilakukan dengan mengatasnamakan rakyat Mesir terhadap pemerintahan sipil di bawah Raja Farouk, dan semenjak saat itu tercatat empat presiden Mesir berasal dari kalangan militer yaitu Jenderal Muhammad Naguib, Letnan Kolonel Gamal Abdel Nasser, Jenderal Besar Muhammad Anwar Sadat, dan Laksamana Jenderal Husni Mubarak. Kudeta militer 1952 yang dilakukan oleh Free Officers Group mengakhiri kekuasaan monarkhi di bawah Raja Farouk dan menempatkan Jenderal Muhammad Naguib sebagai perdana menteri dan Nasser sebagai deputi perdana menteri. Pemilihan Naguib didasari alasan bahwa dia merupakan pahlawan yang terkenal dalam perang Arab-Israel serta dipercaya oleh tentara. 3 Kemudian dibentuklah Revolutionary Command Council (RCC) yang menjadi motor pendukung pemerintahan militer saat itu. Naguib menunda pemilihan umum hingga Februari 1953, mengumumkan pencabutan Konstitusi 1923 dan bahwa Mesir berada di bawah Pemerintahan Transisional serta pemimpin Revolusi akan memegang kekuasaan kedaulatan tertinggi.4 Semua partai politik yang ada di Mesir saat itu dilarang dan digantikan Liberation Rally yang berfungsi sebagai gerakan nasional. Pada tanggal 18 Juni 1953 sistem monarki dihapus dan Mesir menjadi negara republik. Keputusan tersebut kemudian menempatkan Jenderal Mohammad Naguib sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, dengan Letnan Kolonel Gamal Abdel Nasser sebagai deputi perdana menterinya dan menteri dalam negeri.5 Kepemimpinan dwi-tunggal militer tersebut kemudian mulai mengalami perpecahan pada 28 Februari 1954 ketika Naguib diminta mundur dari dunia politik oleh RCC. Setelah sempat mengundurkan diri sebagai presiden Mesir, Naguib kembali menduduki jabatan presiden setelah terjadi demo besar-besaran yang menuntut kembalinya Naguib. Nasser kemudian menjadi perdana2

Egypt State Information Service, Modern Era (online), , 8 Mei 2011. 3 P. Coutsoukis, Egypt: The Revolution and the Early Years of the New Government: 1952-56 (online), 21 Mei 2011. 4 S.E. Finer, THE MAN ON HORSEBACK: The Role of The Military in Politics, Frederick A. Praeger Inc., New York, 1962, p. 37. 5 J. Sitohang, S. Dam, dan A.R. Rahman, Militer dan Demokratisasi di Nigeria, Mesir, dan Afrika Selatan, P2P-LIPI, Jakarta, 2001, p. 64.

5

menteri sekaligus ketua RCC, dan mengumumkan pencabutan keputusan terkait pengembalian kekuasaan kepada sipil hingga tiga tahun masa pemerintahan transisional berakhir yaitu tahun 1956. November 1954 Naguib menjadi tahanan rumah dan jabatan tertinggi di Mesir jatuh ke tangan Nasser. Akhir tahun 1954, militer menjadi satu-satunya kelompok yang kuat di Mesir. Di bawah Nasser dan dukungan penuh dari RCC, Mesir kembali diperintah oleh militer. Militer digunakan oleh Nasser sebagai dasar untuk legitimasi dan kekuasaan. Susunan pemerintahanpun didominasi oleh perwira militer, misalnya saja semua wakil presiden berasal dari militer dan kementrian-kementrian yang dianggap sebagai pos penting seperti kementrian perang dan kementrian dalam negeri diberikan kepada militer.6 Bahkan dewan pengurus redaksi organisasi press seperti al-Ahram dikontrol oleh perwira militer. Selain itu, satu-satunya organisasi politik yang dibentuk dan diperbolehkan oleh pemerintah saat itu dikontrol oleh militer. Di bawah kekuasaan militer, konstitusi baru dirumuskan pada tahun 1956 yang memberikan kekuasaan absolut pada presiden yaitu presiden memiliki hak untuk menunjuk maupun memberhentikan menteri. Organisasi mobilisasi rakyat Liberation Rally kemudian diganti menjadi Nasional Union (NU) yang akan memilih kandidat untuk Majelis Nasional yang merupakan badan legislatif tertinggi, sekaligus juga kandidat Presiden. National Union dibentuk dengan tujuan untuk memenangkan dukungan publik dan menghapus konflik antar kelas. 7 23 Juni 1956, Nasser kembali terpilih menjadi presiden Mesir yang disusul pembubaran RCC. Meski anggota Majelis Nasional mayoritas merupakan perwira militer, mereka tetap memperbolehkan beberapa diskusi bebas dan debat tentang isu-isu yang kontroversial.8 Tahun 1958, bersamaan dengan pembentukan United Arab Republic (UAR) dengan Syria, dibentuklah konstitusi baru. Meskipun Konstitusi 1958 menjamin adanya kebebasan dasar seperti kebebasan pers, kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, dan kepemilikan pribadi, konstitusi juga memperluas dan memperpanjang kekuasaan presiden. Misalnya presiden yang menentukan keanggotaan Majelis Nasional, presiden juga memiliki hak untuk memveto undangundang meski veto dapat dibatalkan oleh 2/3 suara Majelis, dan sidang Majelis baru bisa diadakan jika sudah ada surat perintah dari presiden. Tahun 1962, setelah Syria memisahkan diri, dibuatlah Undang-undang Konstitusional yang diikuti dengan dibuatnya Piagam Nasional 1962. Piagam6

I. Harb, The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation, Middle East Journal, vol. 57, no. 2, 2003, p. 279-8. 7 Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, Houghton Mifflin Company, Boston, 1973, p. 156. 8 Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 148.

6

Nasional tersebut selain menggabungkan pengaturan-pengaturan sebelumnya ke dalam kebijakan yang sosialis, juga menetapkan Arab Socialist Union atau ASU sebagai satu-satunya organisasi politik yang diakui oleh pemerintah dan menggantikan National Union. Dalam konstitusi baru tersebut, Presiden memiliki hak untuk membubarkan Majelis. Selain itu, dengan adanya kebijakan nasionalisasi perusahaan asing yang telah dimulai sejak 1957 dan memuncak pada tahun 1961 dan dengan adanya dekrit semakin memperluas keterlibatan militer dalam politik Mesir ketika Nasser menempatkan perwira dalam posisi-posisi kunci dalam negara misalnya dalam perencanaan pembentukan kebijakan ekonomi dan sosial. Para perwira juga ditempatkan dalam pos diplomatik senior, bahkan dalam bidang kebudayaan, radio, pers, dan televisi.9 Meski Nasser tetap menyediakan posisi bagi birokrat sipil, perwira militer tetap mendominasi pemerintahan. Terutama dalam ASU yang tujuan awalnya sebagai pemersatu kekuatan-kekuatan di Mesir, pada akhirnya tetap didominasi perwira militer, bahkan mantan anggota RCC. Tahun 1964, Nasser merilis sebuah rancangan konstitusi yang berfungsi sampai tahun 1971 dan didasarkan pada Piagam Nasional yang menekankan kebebasan, sosialisme, dan kesatuan.10 Namun, kekalahan Mesir dalam peperangan Enam Hari tahun 1967 dengan Israel mulai menurunkan otoritas pemerintahan Nasser dan sekaligus mencoreng citra militer dan merusak posisi istimewa mereka dalam negara.11 Nasser sempat mengundurkan diri namun ditolak oleh rakyat Mesir, Kabinet dan Majelis Nasional. Nasser kemudian juga tetap menjabat sebagai panglima tertinggi, bahkan memperbesar kekuasaan politiknya dengan mengambil peran sebagai Perdana Menteri dan menjadi sekretaris jenderal ASU. Maret 1968 terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa dan pekerja di Kairo, Alexandria, dan Hulwan. Meski penyebab langsung demonstrasi adalah keputusan pengadilan militer yang hanya menghukum dua perwira yang dianggap lalai dalam Perang 1967, demonstrasi tersebut juga didasari frustasi rakyat atas penindasan yang dilakukan oleh pemerintah dan kurangnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan. Nasser kemudian melakukan reformasi sistem politik yang meliputi pembentukan konstitusi baru, reformasi ASU, adanya kontrol parlemen atas pemerintah, dan jaminan kebebasan personal dan pers yang lebih besar, serta melaksanakan pemilu untuk memilih anggota Majelis9

Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 149. Coutsoukis, Egypt: Nasser and Arab Socialism (online), 4 Juli 2002, http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nasser_and_arab_socialism.html>, 21 Mei 2011. 11 Feit, THE ARMED BUREAUCRATS: Military-Administrative Regimes and Political Development, p. 157-8.10

, 2 April 2011. 14 Harb, The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation, p. 282. 15 Harb, The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation, p. 283-4.

, 21 Mei 2011.

pada 21 Mei 2011. ________________. 2002. Egypt: The Revolution and the Early Years of New Government (online). Diunduh dari pada 21 Mei 2011. ________________. 2002. Egypt: Nasser and Arab Socialism (online). Diunduh dari < http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_nasser_and_arab_socialism.html> pada 21 Mei 2011. ________________. 2002. Egypt: Nasser Legacy (online). Diunduh dari pada 21 Mei 2011. ________________. 2002. Egypt: Sadat Takes Over, 1970-73 (online). Diunduh dari 21 Mei 2011. _________________. 2002. Egypt: Political Developments, 1971-78 (online). Diunduh dari pada 21 Mei 2011. __________________. 2002. Egypt: Mubarak and the Middle Way (online). Diunduh dari pada 21 Mei 2011. Egypt State Information Service. Modern Era (online). Diunduh dari pada 8 Mei 2011. Egypt State Information Service, Formation of the Armed Forces Supreme Council, , 8 Mei 2011. Egypt State Information Service, The Supreme Council of the Armed Forces: Constitutional Proclamation, , 1 Juni 2011. pada On the Treshold of Revolution (online). Diunduh dari < http://workmall.com/wfb2001/egypt/egypt_history_on_the_threshold_of_revolution_1945_52.

17

Era Muslim. 2011. Ikut Cara Mubarak, Penguasa Mesir Tunjuk 18 Gubernur dari Kalangan Militer (online). Diunduh dari pada 1 Juni 2011. Harb, Imad. 2003. The Egyptian Military in Politics: Disengagement or Accommodation (online). Middle East Journal (vol. 57, no. 2). Diunduh dari < http://ezproxy.ugm.ac.id:2056/stable/pdfplus/4329881.pdf> pada 23 April 2011. Kamrava, Mehran. 2000. Military Professionalization and Civil Military Relations in the Middle East Pike, (online). John. Political Science Quarterly Military (Vol. in 115, No. 1). Diunduh dari dari < pada 2 April 2011. 2011. Egypt: Politics. Diunduh http://www.globalsecurity.org/military/world/egypt/politics-military.htm> pada 2 April 2011. Media Indonesia. 2011. Militer Akan Penuhi Keinginan Demonstran. Diunduh dari pada 26 Mei 2011.

18