“peran matematika, sains, dan terapannya dalam pengelolaan

243

Upload: others

Post on 03-Nov-2021

11 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan
Page 2: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

Prosiding Seminar Nasional

MIPA danTerapannya Tahun 2018

“Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam untuk Mendukung Kepentingan Bangsa”.

Reviewer

Yusuf Bungkang, Yohanis Irenius Mandik, Irfan Wahyudi, Puguh Sujarta, Elsye

Gunawan, Ervina Indrayani, dan Mingsep Rante Sampebua

Didukung Oleh:

Page 3: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI................................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR ............................................................................................................... iv

POTENSI DAYA HAMBAT EKSTRAK KASAR RUMPUT LAUT(Eucheuma cottoni)

TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI PATOGEN (Staphylococus aureus) DI

KAMPUNG WASORI DISTRIK BIAK UTARA KABUPATEN BIAK NUMFOR

(PAPUA) Amelia Noriwari1, Iriani Ira Bukorpioper2, dan Inggrid Nortalia Kailola3 ............................... 1

DIVERSIFIKASI PENGOLAHAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.) MENJADI PRODUK

OLAHAN MI UNTUK MENINGKATKAN LAMANYA DAYA SIMPAN SAGU GUNA

MENUNJANG KEMANDIRIAN PANGAN LOKAL DI PAPUA Linus Y. Chrystomo1, I Made Budi2 dan Ign. Joko Suyono 3.................................................... 7

PERBANDINGAN AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL DAUN GATAL

(Laportea decumana) ASAL BIAK DENGAN MEMBERAMO Eva Susanty Simaremare1, Elsye Gunawan1, Elizabeth Holle2, dan Yuliana Ruth Yabansabra2

............................................................................................................................................... 12

SIMULASI PENGARUH KOEFISIEN DRAG PADA GERAK JATUH BEBAS Rahman1 dan Sudarmono2 ...................................................................................................... 18

PEMODELAN KOEFISIEN ABSORBSI CAHAYA DAN FREKUENSI GETAR

MOLEKUL PADA LAPISAN SENSITIZER SEL SURYA BUAH GOWOK Hubertus Ngaderman1 dan Ego Srivajawati2 .......................................................................... 26

PENDUGAAN SEBARAN LAPISAN AKUIFER AIR TANAH MENGGUNAKAN

METODE GEOLISTRIK RESISITIVITAS KONFIGURASI WENNER ALFA SECARA

LATERAL DI KAMPUNG WISITEN ARSOPURA, DISTRIK SKANTO, KABUPATEN

KEEROM Steven Y.Y. Mantiri1, Yusuf Bungkang2, dan Eka Rismartha S.3 ........................................... 34

NILAI EKONOMI MANFAAT LANGSUNG EKOSISTEM PADANG LAMUN TELUK

YOUTEFA BAGI MASYARAKAT KAMPUNG TOBATI DAN ENGGROS Basa T. Rumahorbo1, Henderina J. Keiluhu2 dan Baigo Hamuna3 ......................................... 43

STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVEDI KAMPUNG KUNEF DISTRIK

SUPIORI SELATANKABUPATEN SUPIORI Maklon Warpur ...................................................................................................................... 49

POTENSI DAN PEMANFAATAN AMPAS SAGU (Metroxylon Sp.) SEBAGAI PAKAN

TERNAK RUMINANSIA DI PAPUA Usman1 dan Siska Tirajoh2 ..................................................................................................... 55

PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI USAHATANI JAGUNG KOMPOSIT DI

WILAYAH PERBATASAN KOTA JAYAPURA Fransiskus1 Palobo dan Siska Tirajoh2 ................................................................................... 62

SISTEM USAHATANI INTEGRASI PADI – SAPI POTONG RAMAH LINGKUNGAN

DI KOTA JAYAPURA, PAPUA Siska Tirajoh1 dan Usman2 ..................................................................................................... 71

Page 4: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

ii

PERBANDINGAN METODE ESTIMASI PARAMETER UNTUK MENENTUKAN

MAGNITUDO GEMPA BUMI Alvian Sroyer1, Tiku Tandiangnga2, Felix Reba3,dan Ishak Beno4 ......................................... 81

MODEL PENYEBARAN TUBERKULOSIS DENGAN CHEMOPROPHYLAXIS DAN

PENGOBATAN YANG TIDAK TUNTAS Jonner Nainggolan ................................................................................................................. 87

TRACE DARI MATRIKS BERPANGKAT BILANGAN BULAT POSITIF Arinvia Cindy Nirvani1, Westy B. Kawuwung2, dan Tiku Tandiangnga3 ............................... 93

INVERS MOORE-PENROSE DAN PENERAPANNYA PADA SISTEM PERSAMAAN

LINEAR Rizal Mahifa1 , Tiku Tandiangnga2, dan Abraham3 .............................................................. 103

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN TUBERKULOSIS DENGAN FAKTOR

VAKSINASI Abraham1 dan Jonner Nainggolan2 ....................................................................................... 107

IDENTIFIKASI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA (OPERASI HITUNG) DAN

KONSEP FISIKA PADA PENYELESAIAN SOAL FISIKA TENTANG PESAWAT

SEDERHANA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA UNIVERSITAS

CENDERAWASIH Hardiyanti1, Triwiyono2, dan Albert Lumbu3 ....................................................................... 116

KETERLAKSANAAN MENGAJARKAN ASPEK MENELITI DALAM

PEMBELAJARAN FISIKA KELAS XI SMA YPPK TERUNA BHAKTI

HUBUNGANNYA DENGAN GURU TERSERTIFIKASI Florentina Maria Panda1 dan Albert Lumbu2 ........................................................................ 124

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI MASYARAKAT

(STM) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN KONSEP SISWA KELAS VIII SMP

MUHAMMADIYAH JAYAPURA PADA MATERI TEKANAN Maya Pujowati1, Albert Lumbu2, dan Triwiyono3 ................................................................ 132

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK MENINGKATKAN

KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA DIDIK SMP MUHAMMADIYAH

JAYAPURA PADA MATERI TEKANAN ZAT CAIR TAHUN AJARAN 2017/2018 Misda Ramadani1, Paulus G.D Lasmono2, dan Albert Lumbu3 ............................................ 139

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING MENGGUNAKAN

SMARTPHONE BERBASIS WEC UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN

GENERIK SAINS PESERTA DIDIK KELAS X MIIA SMA YPPL TERUNA BAKTI

JAYAPURA PADA MATERI MOMENTUM DAN IMPULS Victoria Dian Pratami Kurniawan1, Albert Lumbu2, dan Auldry Fransje Walukow3 ........... 146

BENTUK PENGELOLAAN SAGU (STUDI KASUS: SORONG SELATAN, MALANGKE

BARAT DAN AMBON) Helena Tuririday1,2, dan Musa Koibur1,3.............................................................................. 154

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM-BASED LEARNING PADA

MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR Raoda Ismail ........................................................................................................................ 159

IDENTIFKASI KEBERADAAN AIR TANAH ENDAPAN BERUMUR TERSIER

BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK DAERAH NIMBOKRANG, KABUPATEN

SENTANI, PAPUA Virman1, Frans Tambing2 ..................................................................................................... 171

Page 5: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

iii

PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUGAMPING DENGAN MENGGUNAKAN

SURFER 11 DI KAMPUNG BOROWAY DISTRIK GENYEM KABUPATEN

JAYAPURA Bevie Marcho Nahumury¹, Djuardrensi Patabang² ............................................................... 177

APLIKASI E-LIBRARY PADA SMP ADVENT ABEPURA Mingsep Rante Sampebua1, Westy Kawuwung2, dan Septiani Mangiwa3 ........................... 186

PERANCANGAN SISTEM PENGELOLA DATA PENERIMA TUNJANGAN

SERTIFIKASI GURU (Studi Kasus Bagian Keuangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kota Jayapura) Yuli Susanti, Remuz MB Kmurawak, Yokelin Tokoro 1 ..................................................... 192

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PENGOLAHAN DATA KENAIKAN GAJI

BERKALA GURU PADA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN KOTA

JAYAPURA Becky Kareni, Remuz M.B Kmurawak, Yokelin Tokoro, S.T., M.Cs. ................................. 197

POTENSI REMBESAN HIDROKARBON BERDASARKAN EKTRAKSI KELURUSAN

DAN ANOMALI HIDROKARBON DENGAN CITRA LANDSAT 8 OLI PADA

CEKUNGAN SALWATI, PAPUA Marcelino Yonas .................................................................................................................. 201

IDENTIFIKASI PENYEBARAN AIR TANAH BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK

DAERAH KAMPUNG TIBA-TIBA DISTRIK ABEPURA, KOTA JAYAPURA, PAPUA Rizky A. Luciano1, Kristine N. Pamjaitan2Virman............................................................... 210

ANALISIS DATA GEOLISTRIK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI DAN KUALITAS

AIR TANAH DAERAH DISTRIK KURIK KABUPATEN MERAUKE Kristine N. Panjaitan, Rizky A. Luciano1, Virman2 .............................................................. 216

ANALISIS DIMORFISME KUPU-KUPU SAYAP BURUNG (Ornithoptera

sp.)ENDEMIK PAPUA Evie Lilly Warikar1, Euniche R.P.F Ramandey2, dan Hendra K. Maury3 ............................. 223

SIMULASI EFEK MAGNUS PADA GERAK BENDA BERSPIN Rahman1 dan Sudarmono2 .................................................................................................... 232

Page 6: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas petunjuk dan karunia-

Nya yang diberikan kepada Panitia Penyelenggara, sehingga dapat diselesaikannya

Prosiding SeminarNasionalMIPA dan Terapannya Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengertahuan Alam Universitas Cenderawasih 2018 yang bertema

“PERANANMATEMATIKA, SAINS DAN TERAPANNYA DALAM PENGELOLAAN

SUMBER DAYA ALAM UNTUK MENDUKUNG KEPENTINGAN BANGSA”.

Seminar ini merupakan kegiatan berskala nasionalyang diselenggarakan oleh Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitasCenderawasih.dengan harapan menjadi

perintis untuk kegiatan ilmiah berskala nasional di waktu yang akan datang, sehingga menjadi wadah

pertemuan ilmiah antara matematikawan,guru,peneliti,dan praktisi yang tidak hanya terbatas di

bidang MIPA saja, melainkan juga penerapannya dalam berbagai bidang ilmu. Seminar ini

mengundang empat orang pembicara dari kalangan akademisi dan praktisi yang akan berbagi

pengalaman,gagasan,dan pikiran.

Semoga prosiding ini dapat memberi kemanfaatan bagi kita semua, untuk kepentingan

pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di samping itu, diharapkan juga dapat menjadi

referensi bagi upaya pembangunan bangsa dan negara.

Akhir kata, Panitia Penyelenggara menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada semua pihak yang telah ikut mensukseskan/membantu terselenggaranya Seminar

Nasional MIPA dan Terapannya dan penerbitan prosiding ini.

Jayapura, Oktober 2018

Ketua Panitia,

Dr. Jonner Nainggolan, M.Si.

Page 7: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

1

POTENSI DAYA HAMBAT EKSTRAK KASAR RUMPUT

LAUT(Eucheuma cottoni) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI

PATOGEN (Staphylococus aureus) DI KAMPUNG WASORI

DISTRIK BIAK UTARA KABUPATEN BIAK NUMFOR (PAPUA)

Amelia Noriwari1, Iriani Ira Bukorpioper2, dan Inggrid Nortalia Kailola3

Universitas Ottow Geissler Papua1,2,3 [email protected]

[email protected]

Abstrak. Rumput laut alga merah Euceheuma cottoni merupakan salah sau jenis rumput laut

merah (Rhodophyceae). Rumput laut (alga merah) dapat menghasilkan biomasa berupa bahan

aktif metabolit untuk melindungi dirinya dari serangan berbagai penyakit dan predator, E. cottoni

dapat menghambat pertumbuhan bakteri, baik gram negatif maupun gram positif. Penelitian ini

bertujuan untuk mengetahui aktivitas antibakteri ekstrak rumput laut Eucheuma cottoni terhadap

bakteri S. aureus. Selanjutnya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi hambat

minimum bakteri S. aureus. E. cottoni. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli 2017- Oktober

2017. Pembuatan ekstrak rumput laut dengan menggunakan maserasi sedangkan pengujian

akivitas antibakteri dengan menggunakan metode difusi agar. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa ekstrak E. cottoni mampu menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus yang ditujukkan

dengan warna bening disekitar ekstrak. Nilai zona hambat terhadap bakteri S.aureus sebesar

3,64 mm pada konsentrasi 0,5% .

Kata kunci : Antibakteri Eucheuma cottoni, Staphylococus aureus, konsentrasi hambat

Minimum.

1. PENDAHULUAN

Provinsi Papua memiliki keanekaragaman hayati (bioderversity) laut yang tinggi, seperti

ekosistem terumbu karang (coral reef), ekosistem padang lamun (seagrass beds), ekosistem

rumput laut (seaweed), ekosistem hutan mangrove (mangrove forest) dan ekosistem rumput laut

(seaweed) (Laksono, dkk. 2001). Salah satu pulau di Indonesia yang merupakan daerah tropis

sehingga mengakibatkan prevalensi penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri masih tetap

tinggi adalah daerah Papua. Penyakit infeksi yang sering terjadi adalah infeksi pada kulit.

Bakteri Staphylococcusepidermidis dan Pseudomonas aeruginosa merupakan kuman patogen

yang sering menyebabkan infeksi kulit pada manusia (Refdanita dkk, 2004; Aydin dkk, 2005).

Disisi lain penggunaan antibakteri secara terus-menerus dapat menyebabkan kecenderungan

terjadinya resistensi bakteri terhadap antibakteri yang ada. Salah satu bakteri yang saat ini sudah

bersifat resisten terhadap beberapa jenis antibiotik komersial adalah bakteri Sthapylococcus

aureus (Anwar 1994).

Bakteri S.aureus merupakan bakteri gram positif yang berbentuk kokus dan bersifat aerob

fakultatif.Bakteri S. aureus merupakan bakteri flora normal pada kulit dan selaput lendir pada

manusia. S.aureus dapat menjadi penyebab infeksi baik pada manusia maupun pada hewan.

Bakteri S. aureus dapat mengakibatkan infeksi kerusakan pada kulit atau luka pada organ tubuh

jika bakteri ini mengalahkan mekanisme pertahanan tubuh. Saat bakteri masuk ke peredaran

darah. Bakteri dapat menyebar ke organ lain dan meyebabkan infeksi (Anwar, 1994).

Kabupaten Biak Numfor merupakan salah satu daerah yang berada di Provinsi Papua yang

memiliki tipe perairan pasang surut yang dibentuk atau disusun oleh hamparan terumbu karang,

padang lamun dan rumput laut yang sangat luas memiliki tempat yang masih alami yang jauh dari

kerusakan mengakibatkan Kabupaten Biak Numfor memiiki keunikan sumber daya alam yang

sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal (Coremap II, 2007). Berdasarkan

Page 8: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

2

alasan diatas maka, tujuan penelitian ini di harapkan memberikan informasi potensi rumput laut

E.cottoni yang berada di Kampung Wasori Biak Numfor sebagai antibakteri S.aureus.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan selama empat bulan yaitu pada bulan Juli – Oktober 2017. Sampel

rumput laut diambil dari perairan Kampung Wasori Distrik Yawosi, Kabupaten Biak

Numfor.Ekstraksi sampel rumput laut dan Analisis Mikrobiologi dilakukan di Laboratorium

Mikrobiologi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih, Papua.

3. PENGAMBILAN SAMPEL

Pengambilan sampel rumput laut Eucheuma cottoni dengan kedalaman 1m. Pengambilan

sampel dilakukan secara selektif, dengan menyelam dalam dasar laut. Rumput laut diambil

dengan dipotong dengan menggunakan pisau kemudian dimasukkan ke dalam plastik berwarana

hitam. Setelah itu dilakukan dokumentasi pengambilan sampel. Rumput laut kemudian dicuci

dengan air laut steril dan dimasukan kedalam kemudian disimpan dalam cool boox berisi es batu

untuk analisis selanjutnya di laboratorium Mikrobilogi.

3.1. Pembuatan Ekstrak Rumput Laut

( Eucheuma cottoni )

Proses pembuatan ekstrak dilakukan dengan cara sampel dibilas dengan air laut steril agar

terbebas dari kotoran setelah itu sampel dipotong dengan menggunakan gunting. Selanjutnya

diblender hingga menjadi serbuk simplisia, kemudian simplisia ditimbang sebanyak 500 gram

dan dimasukan ke dalam gelas Erlemenyer 500 ml. Sampel direndam (maserasi) dengan alkohol

70 % sebanyak 900 ml. Maserasi dilakukan 3x 24 jam. Hasil maserasi disaring menggunakan

kertas saring (whtmann no. 42), hasil penyaringan disimpan dibotol sampel dan diletakan di

dalam lemari es. Kemudian ekstrak dievaporasi sampai ekstrak mengental lalu ditimbang.

Ekstrak sampel E. cottoni dapat dilihat pada gambar 4.2 dibawah ini.

3.2. Peremajaan Bakteri

Biakan bakteri S.aureus sebanyak satu ose diinokulasikan ke dalam medium Natrient Agar (NA)

secara terpisah dengan meletakkan jarum ose yang mengandung biakan pada dasar kemiringan

agar dan tarik dengan gerakan zig-zag. Bakteri S.aureus sebanyak dua ose dinokulasikan

kedalam medium Natrient Agar (NA) yang terpisah. Selanjutnya diinkubasi pada 37oC selama

24 jam. Suspensi bakteri yang telah siap digunakan dinokulasi sebanyak 5 tetes dalam media

Natrient Agar (NA) dengan menggunakan spuid 3 cc, kemudian dengan metode poure plate

diratakan menggunakan batang L.

3.3. Pengujian Aktivitas AntibakteriEucheuma cotooni terhadap bakteri Sthapylococcus

aureus.

Uji aktivitas antibakteri dilakukan terhadap satu jenis bakteri yaitu bakteri. S. aureus. Pengujian

antibakteri dilakukan dengan metode difusi cakram. Cara kerja metode difusi cakram adalah

bakteri uji yang telah diremajakan diinokulasikan ke dalam NA sebanyak 100 μl lalu diratakan

dengan menggunakan batang L. Ke dalam medium yang berisi bakteri, kemudian dimasukkan

kertas cakram 6 mm dan ditetesi dengan larutan ekstrak dengan konsentrasi 10 % 5 % 1 % 0,5

% sebanyak 20 μl/disk (5 μg/disk). Setelah itu diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC

selanjutnya diukur diameter hambatan yang terbentuk menggunakan jangka sorong.

3.4. Penetapan Nilai Konsentrasi Hambat Minimum (KHM)

Penetapan nilai konsentrasi hambat minumum hambat (KHM) ada untuk mengetahui kadar

terendah dari sampel ekstrak yang masih memberikan aktivitas antibakteri terhadap bakteri uji.

Metode penetapan yang dilakukan adalah dengan metode agar padat. Sampel ekstrak dibuat

Page 9: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

3

dengan berbagai konsentrasi mulai dari yang besar hingga yang kecil yaitu, 10%, 5%, 1%, dan

0,5%. Pelarut yang digunakan adalah aquades. Selanjutnya di uji aktivitas anti bakterinya.

3.5. Konsentrasi Hambat Minimum

Konsentrasi Hambat Minimum ditentukan dengan metode difusi agar dari diameter zona hambat

yang terbentuk dari hasil ekstraksi dimana dilakukan uji dengan konsentrasi 10%, 5%, 1%, dan

0,5%

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Uji Antibakteri

Hasil uji zona hambat yang dihasilkan ekstrak Eucheuma cottoni terhadap bakteri

Staphylococus aureus menunjukkan hasil bening yang berarti aktivitas antibakteri bekerja

dengan baik. Hasil uji aktivitas Eucheuma cottoni dapat di lihat pada gambar 1 dan Tabel 1 .

Gambar 1. Uji antibakteri ekstrak Eucheuma cottonidengan konsentrasi 0,5 %(a), 1%(b), 5% (c), 10%

(d), ciprofloksasin (+) (e) terhadap bakteri Staphylococus aureus

Tabel 1. Dimeter Zona Hambat Ekstrak Eucheuma cottoni Terhadap Bakteri Staphylococus

aureus

Berdasarkan hasil pengukuran yang didapat membuktikan bahwa ekstrak E. cottoni memiliki

aktivitas antibakteri terhadap bakteri S. aureus. Dimana daya hambat terhadapt bakteri S. aureus

pada konsentrasi 10% (6.47 mm), konsentrasi 5% (6.32 mm),termasuk kategori kuat. konsentrasi

1% (3.4 mm), konsentrasi 0,5% (3.64 mm) termasuk kategori sedang, dan kontrol Cipfloxacin

(+) (22.92 mm). Penentuan kriteria daya hambat berdasarkan Davis & Stot (1971) yang

Konsentrasi

(%)

Zona Hambat (mm )

S aureus

0.5 3, 64

1 3,4

5 6,32

10 6,47

Kontrol

(+)ciprofloksasin

22, 92

Rata – rata 42.75

Page 10: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

4

melaporkan bahwa ketentuan daya antibakteri sebagai berikut : daerah hambat 5 mm atau kurang

termasuk kategori lemah, daerah hambat 5-10 mm termasuk kategori sedang, 10-20 mm atau lebih

termasuk kategori sangat kuat. Uji aktivitas antibakteri biasanya dipengaruhi oleh beberapa

faktor antara lain konsentrasi ekstrak, kandungan senyawa ekstrak, kamampuan difusi ekstrak dan

jenis bakteri.

Hasil penelitian didukung dengan penelitian- penelitian sebelumnya yang mana pada hasil

penelitian Sartika, Riska (2013), menunjukkan bahwa ekstrak etanol E. cottoni mampu

menghambat pertumbuhan bakteri S. aureus dengan konsentrasi maksimum yaitu 17,33 mm,

Nilai zona hambat ekstrak E. cottoni dapat di kategorikan dalam kategori sedang.

Berdasarkan hasil uji aktivitas ekstrak E. cottoni terhadap bakteri S. aureus menunjukkan

diameter daerah hambat pada bakteri gram positif. Hal ini menunjukkan antibakteri ekstrak E.

cottoni lebih efektif terhadap bakteri gram positif perbedaan signifikan bakteri terhadap

antibakteri dipengaruhi oleh struktur dinding sel. Bakteri gram positif memiliki dinding sel yang

mengadung banyak sel yang mengadung banyak lapisan peptidoglikan dan asam teikoat. Asam

teikoit merupakan polimer yang terlarut dalam air yang berfungsi sebagai transport ion positif

untuk keluar masuk zat. Sifat larut air inilah yang menunjukkan bahwa dinding sel bakteri gram

positif bersifat polar. Sehingga dinding sel ini relative lebih tahan terhadap kerusakan mekanisme

atau zat antibakteri sulit untuk masuk ke dalam sel (Jawetz,2007 ; Desmawaty, 2016).

Aktivitas Antibakteri terhadap bakteri patogen manusia dan organisme Budidaya. Pengujian

aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode difusi agar menggunakan paper disc yang

bertujuan untuk melihat aktivitas senyawa metabolit sekunder dari isolat bakteri Staphylococus

aureus dalam menghambat bakteri patogen. Bakteri yang memiliki aktivitas antibakteri ditandai

dengan adanya zona bening di sekitar paper disc. Isolat yang di uji aktivitas antibakterinya

merupakan isolat yang memiliki daya hambat berdasarkan uji antagonis dan telah diuji

patogenisitasnya.

5. KESIMPULAN

1. Adanya potensi aktivitas antibakteri Euchema cottoniuntuk menghambat pertumbuhan bakteri

Staphylococus aureus

2. Konsentrasi hambat minimum bakteri Staphylococusaureus pada rumput laut Eucheuma

cottoni pada konsentrasi terkecil yaitu 0.5 % dengan diameter zona hambat 3.64 mm.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anggadiredja, J.,T. Zantika A., Purwoto H. dan S. Istini, (2006), Seri Agribisnis Rumput

laut Penyebar Swaday, Jakarta

[2] Ahdyanti, S., Pia Dwihandita,N. Pambayu, A.S. Luhur, R.F, (2008), Kapsularisasi Ekstrak

anggur Laut (Caulerpa rasemosa) sebagai sumber antioksidan alami, Institute Pertanian.

Bogor.

[3] Aslan, (1991), Budidaya rumput laut, Kanisinus Yogyakarta

[4] Aslan M dan Laode, (1998), Budidaya rumput laut, Kanisininus Yogkarta

[5] Angka S. L. &M.T.Suhartono (2000), bioteknologi hasil laut, Pusat Kajian Sumberdaya

Pesisir dan lautan Institut Pertanian Bogor

[6] Atmajda, W.S., A. kadi; Sulistijo dan Rachmaniar, (1996), Pengenalan jenis-jenis rumput

laut Indonesia, Puslitbang Oseanlogi- LIPI. Jakarta.

[7] Andriani, dkk, (2015), Uji penghabat aktivitas Eucheuma pada ekstrat methanol, Skripsi

di terbitkan di Jakarta.

Page 11: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

5

[8] Dimara, L., dan T.N.B. Yenusi, (2011), “Uji aktivitas antibakteri dan antioksidan ekstrak

pigmen klorofil rumput laut caulerpa racemosa (Frosskal) J.Agard”, Jurnal Biologi

Papua.

[9] Doty, (1985), Eucheuma cottoni. University of hawai.p A-21

[10] Dwyana Z, Johannes E, ( 2009), Uji aktivitas Ekstrak kasar alga merah Eucheuma cattoni

sebagai antibakteri terhadap bakteri pathogen

[11] Davis and stot, (1971), “Disc plate Methods of Microbiological Antibiotics Assay”,

Microbiology 22: 659- 665

[12] Desmawaty,Hickma, (2006),Uji aktivitas Antibakteri Alga coklat (Sargasum Sp)Asal

pantai Base-G terhadapt bakteri Sthaphylococus aureus dan Escheriachia coli, Skripsi.

FMIPA. Universitas Cenderawasi. Jayapura

[13] Febriany,S, (2004), Pengaruh beberapa ekstrak berpotensi meningkatkan aktivitas lipase

enzim, Bogor fakultas MIPA

[14] Haryanti, S, (2011), Uji aktivitasnya sebagai anti bakteri dan antifungi. Skripsi program

sutudi kimia fakultas Matematika dan ilmu pengetahuan alam Universitas Haluoleo.

Kendari

[15] Hanapi, A. Ghanaim fasya, (2013), uji aktivitas dan antibakteri ekstrak methanol alga

merah Eucheuma spinosum, Fakultas sains dan Teknologi UIN mualana Malik Ibrahim

Malang

[16] Hidaya,A, (2016), uji efektivitas ekstrak sargasum muticum sebagai alternative obat bisul

akhibat aktivitas staphylococcus aureus. Jurusan biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.

[17] Istini, S. Zantika, A. dan Suhaimi, (1998), Manfaat dan pengelolaan rumput laut, Staf

Deputi Pengkajian Ilmu dan Terapan BPP teknologi, Jakarta.

[18] Jawetz, E., Melnick, J.L., dan adelbeng’s, (2001), Mikrobiologi kedokteran diterjemahkan

oleh bagian mikrobiologi fakultas kedokteran Universitas Airlangga. Jakarta.

[19] Jawetz, E., Melnick, J.J., & Adelberg E.A. 2013. Mikrobiologi kedokteran Edisi 26: EGC.

[20] Kimball, J., Soetarmi S., Sugiri N. (1983). Biologi Jilid 3, edisi ke 5. Erlangga: Jakarta.

[21] Laksono, P. M., Prasodjo, T., Mustika, A., Hendrijani, A.B., Gunawan dan Riomanda, T.

2001. Kepulauan padaido haruskah habis terkurus. Jogjakarta : KEHATI, PSAP – UGM.

[22] Maduriana I. M, sudira Iw. 2009. Skrining dan Uji aktivitas Antibakteri beberapa Rumput

laut dari pantai baku Bolong canggu dan serangan. Bulletin vateriner Udaya

[23] Muzayyinah.2005. keanekaragaman tumbuhan tak berpumbulun. LPP UNS pres.

Surakarta.

[24] Melki. 2010. Uji antibakteri ekstrak Gracilaria Sp terhadap bakteri Escherichia coli dan

Staphylococus aureus. Program study ilmu Kelautan FMIPA Universitas Sriwijaya,

Indralaya. Indonesia.

[25] Nurcahyanti R. D. A. Martosupono.M. 2009 Menggali kandungan Nutrisi dan Manfaat

Kesehatan Dari Sayuran Rumput laut. Program Pascasarjana Magister Biologi, Universitas

Satya Wacana , Salatiga

[26] Pelczar, M.J.& Chan,E.C.S. (1986). Dasar-Dasar Mikribiologi, jilid I. Hadioetomo, R. S,

Tjitrosomo, S.S, Angka, S.L & Imas, T. ( penerjemah). Penerbit UI Press. Yakarta.

[27] Redanita. 2004. Brock Biology of Microorganisme Ed. Prentince Hall, Upper sadlle River

New. Jersey.

[28] Susanto, A.2009. Wakame. Program Pascasarjana Magister Biologi Universitas Kristen

Satya Wacana, Salatiga.

[29] Sulistyowati dan Widyastuti, A. 2008. Pemanfaatan centella asiatica sebagai bahan

antibakteri sebagai bahan antibakteri Salmonella tryphi.

[30] Sartika dan Melki, 2013. Aktivitas antibakteri ekstrak rumput laut. Universitas sriwijaya.

[31] Trainor, F.R. 1978. Introductory phycology. Vol I. jhon W iley and Sons.New York

Page 12: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

6

[32] Wulandari. 2010. Uju aktivitas antibakteri Ekstrak etanol, fraksi n- Heksana dan

etilasesat Daun sidaguri (sida rhombifolia L) terhadap beberapa bakteri. Universitas

Sumatera Medan.

[33] Yenusi T., N., B. 2011. Fotostabillitas ekstrak kasar pigmen klorofil rumput Laut

(caulerpa racemosa (forsskal) J. Agardh) di perairan Pulau Insumbrei Supiori dan Sampel

dagangan di pasar Youtefa Abepura . Skripsi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan

Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Cenderawasih Jayapura.

Page 13: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

7

DIVERSIFIKASI PENGOLAHAN SAGU (Metroxylon sagu Rottb.)

MENJADI PRODUK OLAHAN MI UNTUK MENINGKATKAN

LAMANYA DAYA SIMPAN SAGU GUNA MENUNJANG

KEMANDIRIAN PANGAN LOKAL DI PAPUA

Linus Y. Chrystomo1, I Made Budi2 dan Ign. Joko Suyono 3 Department ofBiology, Facultyof Mathematicsand Natural Sciences,

Universitas Cenderawasih1,2,3 SentraP3T Dinas Kesehatan Provinsi Papua1,2

e-mail: [email protected]

Abstrak. Tumbuhan sagu (MetroxylonsaguRottb.) merupakan anugerah kekayaan

alamIndonesiayang paling luasdidunia.Luaslahansaguduniadiperkirakan mencapai2,2juta

hektar(ha),sekitar50% berada diIndonesia.Daerahpenghasil saguutama

ialahPapua,Maluku(terutama SeramdanHalmahera), Sulawesi,

Kalimantan(terutamaKalimantanBarat)danSumatera (terutamaRiau).

Penyebaranhutansagusecaraalamitumbuhliardisepanjangdataranrendah

pantaisampaididaerahmuarasungai.Penelitianinibertujuanmembuat inovasi

pengolahansagumenjadiprodukolahanmiuntukmeningkatkan lamanya daya

simpansagugunamenunjang kemandirianpanganlokaldiPapua.Metode penelitian

yangdigunakanadalahmetodemekanikteknologitepat gunayang

dapatmemproduksiolahanmisagu.Berdasarkanhasilpengolahantepung sagu yang dicampur air

secukupnya kemudian dikukus lalu simasukkan ke dalam mesinteknologitepatgunayang

dapatmenghasilkanprodukolahanmi,maka dapatdisimpulkanbahwatepung

sagudapatdiproduksimenjadiolahanmisagu. Misaguyangsudahdikeringkandandisimpan

dalamkemasandaya simpannya

menjadilebihlama.Hasildiversifikasipengolahansagumenjadiprodukolahan misagu dapat

menunjangkemandirian pangan lokal di Papua. Kata kunci: Sagu (Metroxylon sagu Rottb.), diversifikasi, pengolahan, produk mi

1. LATARBELAKANG

Indonesia kayaakan olahan bahan panganyang berasal dari sumberdaya alamyang

beranekaragamyang tumbuhdiseluruhwilayahIndonesia.Kekayaan keanekaragaman

sukudiIndonesiamenjadikan olahanbahanpangandiIndoensia menjadiberanekaragampula. Salah

satucontohadalaholahanbahanpanganyang berasal dari tanaman sagudan ubi jalar di Papua. TanamansagumerupakananugerahkekayaanalamIndonesiayang paling luasdidunia.

Diperkirakanluaslahansagudunia mencapai2,2juta hektar (ha), sekitar 50%berada

diIndonesia.Arealpenanaman sagudiIndonesiatersebar di Papua, Maluku,

SulawesiUtara,SulawesiTengah, SulawesiTenggara, Kalimantan Barat dan Selatan, Jambi, Riau

dan Kepulauan Riau(Anonim,2015a). Daerahpenghasilsaguutama ialahPapua,Maluku(terutama Seramdan Halmahera),

Sulawesi,Kalimantan(terutamaKalimantanBarat) danSumatera (terutamaRiau).

Hutansagualamyang luasterdapatdi sepanjangdataranrendah

pantaidanmuarasungaiPapua,Seram, Halmahera danRiau. Didaerahlainhutan

saguyangadasekarangkebanyakanmerupakankebunsaguyang meliarmenjadi hutankarena

tidakadapemeliharaandi Jawasagutidakterdapat umumdan ditemukansecaraterbatasdiBanten

dandibeberapatempatsepanjang pantaiutara

JawaTengah(NotohadiprawirodanLouhenapessy,2006).

Page 14: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

8

MenurutBintoro(2008)bahwatanamansagudapattumbuhpadaberbagai kondisihidrologidariyang terendamsepanjangmasasampaikelahanjalanyang

tidakterendamair.Bentukpohonyang tegakdankuatdenganukurantinggi dandiameterbatangyang

berbeda-bedamenurut jenis dan umurnya. Perkembangan industripengolahan patimenyebabkan peningkatan hasil sampinganberupa

limbahsaguyang berupa kulitbatang,seratdanampassagu.Pati atautepungsaguyang

dihasilkandarisatubatangsagu berkisar17-25%,sedangkan ampas sagu 75-

83%,komposisikandungan zatkimia sagu(Flach 1993)dapatdi lihat padaTabel 1. Tabel 1.Komposisi kimiasagu

Jenis Jumlah (%) Kadarair 78,34% Karbohidrat 6,67% Protein 1,31% Lemak 0,20% Seratkasar 13,48%

Sumber: Haryanto dan Pangloli (1992)

Tumbuhan sagutidakhanya menghasilkanpatiterbesar, tetapijuga menghasilkanpatisepanjang

tahun. Setiapbatangdapatmenghasilkansekitar200 kg tepung sagu basah pertahundanbermacam-

macamrupamakanan pokokdan kue-kuedibuat orangdari tepungsagu.(Wiragunadkk., 2009). Olahanpangan dari bahansagudapatdijadikanberbagaivariasimakanan

sepertibubursagudancampurankue(Anonim,2015b),serta dapatdigunakan sebagaiobatsakitperut

(Anonim,2015c),halinimenunjukkanbahwatelahadapemanfaatandanpengembanganpengolahanb

ahanpanganlokalsagusejakjaman dulu. Pati atautepungsagu mengandung27%amilosa dan 73%amilopektin. Perbandingan

komposisikadaramilosa danamilopektinakan mempengaruhi sifat

pati.Semakintinggikadaramilosamakapatibersifatkurangkering,kurang lekat dan mudah

menyerap airatau higroskopis (Yuwono,2015). Padaumumnyasagumemang hanyadikonsumsidalambentukbatangan, namunrupanyadapatdiolah

menjadiberbagaivariasimakanan.Sepertibubur sagu,

bahancampurankue,puding,papeda(makanan khasMalukuyang dimakandengan

ikancakalang.Jugayang paling banyakdikonsumsiolehmasyarakatluasadalah bubur

mutiara.Mutiarainiterbuatdari sari patisaguyangdibentukbola-bola kecil, paling

enakjikadimakandengankuahsantanyanggurihdanmanis.Sagujugabisa dibuat hingga menjadi

tepung yang berguna untuk membuat kue, dan sebagai larutan pengental

padamasakan(Anonim,2015b). Hasildiversifikasipengolahanbahanpangan yangberbasis tepungsagu

dapatdipergunakansebagaibahanolahanlainseperti donatsagudankueIndia yangdapat

meningkatkannilai ekonomi masyarakatPapua (Budi dkk, 2015) Berdasarkanuraiandankajiandiatasmaka perludilakukanpenelitianlebih

lanjuttentangdiversifikasipengolahanpanganlokalguna mengembangkanpotensi sumber

dayaalam Papua,untuk menunjangkemandirianpangan lokal di Papua. 2. METODE DAN BAHAN

Metode yangdigunakan dalam penelitian ini adalah metode mekanik

denganmenggunakanteknologitepatguna.Bahanyang digunakanadalahtepung

sagudaribahanpanganlokalyangtelahdiproduksidenganteknologitepatguna oleh CV. Budi

MulyaAsih(Chrystomoet.al., 2016).

3. HASIL

Page 15: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

9

Darihasilpenelitianinitepung sagudapatdiolahmenjadiprodukolahan berupa misagu.Produk

misaguhasilolahankemudiandikeringkanuntukmenjadi mikeringsaguyang

kemudiandilakukanpengemasan(packaging)sehinggasiap untuk dikonsumsiatau dipasarkan.

4. PEMBAHASAN

Diversifikasipengolahantepung sagumenjadimisagudilakukanmelalui tahapan-tahapanprosedur

sebagai berikut (Gambar 1.)

Gambar1. Proses pengolahan tepungsagu menjadi mi

Sedangkan gambaran visualprosespengolahan tepungsagu menjadi mi dapat diperlihatkan

dalam gambar-gambar sebagai berikut:

Page 16: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

10

Pembuatan mi dari tepung sagu hasilnya menjadi lebih baik atau lebih

mudahdibentukmenjadimikarena kandungan amilopektinnya lebihtinggi(73%)

dibandingamilosanya(27%) sehingga menjadilebihlekat,lebihkeringdantidak mudah

menyerapair ataunon higrokospis (Yuwono, 2015)

Page 17: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

11

5. KESIMPULAN

Berdasarkananalisishasildan pembahasanmakadapat disimpulkan bahwa: 1). Tepungsagu dapat diinovasi menjadi olahan produk misagu kering 2). Produk olahan mikeringdalam kemasan dapatmeningkatkan lamanyadaya simpan sagu 3). Produkolahanyang dayasimpannyalebih lama dapat menunjangkemandirian pangan lokal

di Papua

6. UCAPANTERIMAKASIH

Kamimenyampaikanpenghargaanyang tinggiatasdukungandanbantuan material ataupunnon

material dalam penelitian ini kepadaDirektur C.V.Budi MulyaAsihWaena

JayapuradanSentraP3T(SentraPengembangan,Penerapan dan Pengobatan Tradisional) Dinas

Kesehatan Provinsi Papua.

DAFTARPUSTAKA

[1] Anonim, 2015a,Potensi Sagu Luar Biasa Untuk Pangan dan Energi,

(http://agro.kemenperin.go.id/2156-Potensi-Sagu-Luar-Biasa.-Untuk- [2] Pangan-dan-Energi)diaksestanggal 11 Oktober 2015 [3] Anonim, 2015b, Sagu Bahan Makanan Yang Sehat Untuk Tubuh,

http://www.peterparkerblog.com/3643/sagu-bahan-makanan-yang-sehat-untuk-

tubuh/diakses 10 Nopember2015. [4] Anonim, 2015c, http://www.dnaberita.com/berita-3738--gak-perlu-berobat-mahalmahal-

tepung-sagu-ampuh-kok-sembuhkan-sakit-maag.html/diakses tanggal 10 Nopember2015. [5] Bintoro,H.M.H. 2008. BercocokTanamSagu.InstitutPertanianBogor(IPB) Press. Bogor. [6] Budi,I. M.; L.Y. Chrystomo; P. Sujarta & A.K.Karim. 2015. Penyuluhan Model

Pengembangan Pengolahan PanganLokal (MP3L)Bagi Kelompok UMKM di CV Budi

MulyaAsihWaena Jayapura.LaporanPengabdian Kepada Masyarakatyangtidak

dipbublikasikan. 22p. [7] Chrystomo, L.Y.; I. M. Budi & A. K. Karim. 2016. Innovation of Model Processing

oftheLocalFoodSagoPalm(MetroxylonsaguRottb.)from Papua. Proceeding The International

Conference on Biosciences “AdvancingBiodiversity for SustainableFoodSecurity”

Udayana University, Bali, 27th-28ndJuly 2016.Postgraduate Study on Biology, Faculty of

Mathematics and Natural Sciences,Udayana University,Bali, Indonesia and The North

Dakota State University, United States of America. Pp.177-181

[8] Flach,M.1997.Sagopalm.MetroxylonsaguRottb.Promotingtheconservationanduseofunderutil

izedandneglectedcrops.13.InstituteofPlantGenetics

Page 18: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

12

PERBANDINGAN AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL

DAUN GATAL (Laportea decumana) ASAL BIAK DENGAN

MEMBERAMO

The Comparation Toxicity Activities of Ethanolic Extract ofStingging

Nettle (Laporte decumana)form Biak and Memberamo Eva Susanty Simaremare1, Elsye Gunawan1, Elizabeth Holle2, dan Yuliana Ruth

Yabansabra2

Program Studi Farmasi Jurusan Farmasi, FMIPA Universitas Cenderwasih1

Program Studi Kimia Jurusan Kimia, FMIPA Universitas Cenderwasih2

email: [email protected]

Abstrak. Lazimnya penelitian bahan alam yang diduga berpotensi sebagai obat maupun secara

empiris dapat diawali dengan uji pre-klinis toksisitas untuk memprediksi tingkat keamanannya.

Daun gatal salah satu tanaman yang secara empiris sudah digunakan sebagai antinyeri pada

masyarakat. Daun gatal dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh masyarakat sebagai obat rasa

sakit, kaku atau pegal, sakit kepala, sakit perut, nyeri otot dan sendi, dan memar. Daun gatal

berupa tanaman perdu yang berasal dari FamiliUrticaceae yang jika dioleskan ke seluruh tubuh

akan menimbulkan efek yang sangat gatal yang dipercaya oleh masyarakat sebagai obat antinyeri.

Uji toksisitas tumbuhan daun gatal telah dilakukan dengan menggunakan metode Brine Shrimp

Letahality Test (BSLT). Sampel daun gatal diambil dari Memberamo Tengah dan Biak, diekstraksi

dengan pelarut etanol, kemudian diuji toksisitasnya terhadap larva Artemia salina Leach. Uji

toksisitas dilakukan dengan konsentrasi 50, 100, 250, 500, 750, dan 1000 ppm. Hasil uji toksisitas

daun gatal (Laportea decumana) asal Biak menunjukkan LC501250,05 ppm sedangkan daun gatal

asal Memberamo menunjukkan LC50350,38 ppm

Kata Kunci: Toksisitas, Daun gatal (Laportea decumana), Artemia salina Leach, LC50

1. PENDAHULUAN

Kanker merupakan penyakit yang menempati peringkat kedua sebagai penyakit mematikan. Ada

beberapa jenis pengobatan kanker yang dilakukan seperti penyinaran dengan sinar-x, pengobatan

dengan senyawa kimia, dan lain-lain. Akan tetapi usaha-usaha ini masih terus belum maksimal

sehingga pengembangan penelitian untuk menemukan obat-obat baru terus berkembang, bahkan

bahan alampun kini banyak diteliti untuk pengobatan penyakit ini.

Penelitian tentang daun gatal sudah mulai dilakukan seperti pengujian data farmakognostik

penetapan kadar abu (Tualeka, 1986), kajian aktivitas antibakteri (Yasni dan Puro, 2012), skrining

fitokimia (Simaremare, 2014), aktifitas antibakteri (Simaremare dkk, 2017), sitotoksik,

antioksidan analgetik, dan antiinflamasi (Simaremare et al, 2018). Penelitian teknologi farmasi

tentang pemanfaatan tumbuhan ini sudah juga dilakukan seperti pembuatan salep daun gatal

(Simaremare dkk, 2014; Simaremare dkk, 2016) dan obat gosok dimana produk-ini sudah

dievaluasi di laboratorium seperti uji organoleptik, pH, daya sebar, homogenitas, dan tingkat

iritan dari dua genus daun gatal (Simaremare dkk, 2015). Penelitian ini berguna untukmenguji

aktifitas sitotoksik dari ekstrak etanol daungatal terhadaplarva udang (Artemia

salinaLeach)dengan metode BSLT.

Page 19: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

13

2. METODE PENELITIAN

2.1. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah timbangan analitik, alat gelas, gunting, botol coklat, vial, rotary

evaporator, pendingin, corong pisah, tempat penetasan telur dan erator. Bahan berupa daun gatal

asal Biak, etanol 96%, larva udang L. Salina, DMSO, air laut, dan pereaksi.

2.2. Pembuatan simplisia Daun gatal

Sampel daun gatal dari Biak dan Memberamo Tengah, masing-masing dikumpulkan dan

dimasukkan ke dalam karung. Daun gatal dibersihkan lalu dikeringkan selama 1 minggu dengan

suhu 500C. Daun yang sudah kering dihaluskan dan diayak menggunakan ayakan 175µm.

2.3. Ekstraksi daun gatal

Sebanyak 150g serbuk daun gatal dimasukkan ke dalam gelas kimia kemudian ditambahkan

pelarut etanol 96% sebanyak 750 mL ditutup dan dibiarkan selama 3 hari terlindung dari cahaya.

Setelah 3 hari, rendaman disaring sebagai filtrat 1 dan sisanya diekstrak lagi dengan etanol 95%

sebanyak 450mL selama 2 hari sebagai filtrat 2. Filtrat 1 dan 2 digabung kemudian diuapkan

dengan dengan rotary evaporator pada suhu 400C sampai didapat ekstrak pekatnya.

2.4. Uji Toksisitas

Ekstrak etanol sampel uji dibuat larutan stok 1000 ppm. Dibuat pengenceran 1000, 750, 500, 250,

100, dan 50 ppm. Pengujian dilakukan dengan memasukkan 10 ekor A. salina berumur 48 jam ke

dalam vial yang terisi sampel uji, DMSO, dan air laut dengan total semua 50µL. Setelah 24 jam,

jumlah larva yang mati dihitung dengan bantuan alat kaca pembesar (Nurhayati dkk, 2006). Data

yang diperoleh dihitung LC50 dengan metode probit dengan membuat kurva hubungan antara

persen penghambatan dengan dosis (Fadhliet al, 2012).

2.4.1. Penetasan Telur Artemia salina

Telur Artemia salina ditetaskan dalam wadah penetas telur dengan dua bagian ruang bersekat,

satu bagian ruang gelap dan yang satu terang. Sekat dibuat berlubang dengan diameter 2 mm. Air

laut dimasukkan ke dalam wadah serta dimaerasi menggunakan aerator. Sejumlah 2 gram telur

A.salina dimasukkan kedalam satu ruang, kemudian ruang ini ditutup. Sisi yang lain dibiarkan

terbuka dan diberi lampu untuk menarik Artemia salina Leach yang telah menetas melalui lubang

sekat. Telur akan menetas setelah kira-kira 24 jam menjadi larva. Larva yang berumur 48 jam

dapat digunakan untuk uji toksisitas (McLaughin, 1991).

2.4.2. Uji LC50

Larutan uji dibuat dari larutan induk/stok (1000ppm), selanjutnya vial yang berisi larutan uji

dikeringkan sampai semua pelarutnya menguap selama beberapa hari pada suhu kamar sehingga

tidak berbau pelarut dan dapat ditunjukkan dengan proses pengeringan menghasilkan

penimbangan yang konstan dengan bobot tetap agar kematian larva tidak dipengaruhi oleh

pelarutnya. Larutan kontrol negatif dibuat dengan cara yang sama tanpa menambahkan ekstrak.

Larutan kontrol terdiri atas 5ml air laut yang berisi pelarut dan 1-2 tetes DMSO 1% dan 10 ekor

larva A.salina. Penggunaan DMSO 1 % sebanyak 1-2 tetes (50-100 μL) berfungsi untuk

membantu kelarutan. Dimetilsulfoksida (DMSO) merupakan cairan tak berwarna yang memiliki

rumus (CH3)2SO merupakan pelarut yang dapat melarutkan senyawa polar maupun non polar.

Vial berisi sampel yang sudah diuapkan pelarutnya diisi air laut 1 mL. Selanjutnya setiap vial

diisi dengan 10 ekor larva yang diambil dengan menggunakan pipet tetes. kemudian ditambahkan

dengan air laut hingga volume 5 mL. Larva udang yang digunakan yaitu larva yang berumur 48

jam setelah menetas. Larva yang berumur 48 jam adalah dalam keadaan paling peka karena

dinding selnya masih lunak sehingga hanya diperlukan konsentrasi sampel yang kecil untuk

menimbulkan efek yang diamati.Jumlah larva A. salina yang mati dihitung setelah 24 jam dan

dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan (Meyer et al, 1982). Untuk persentase kematian larva,

dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Page 20: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

14

% kematian =𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑙𝑎𝑟𝑣𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑚𝑎𝑡𝑖

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖x 100%

Bila terdapat larva Artemia yang mati pada kontrol, maka digunakan rumus sebagai Abbot’s

yaitu:

% kematian = 𝑀𝑎−𝑀𝑘

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ ℎ𝑒𝑤𝑎𝑛 𝑢𝑗𝑖 x 100%

Ma = mortalitas uji

Mk = mortalitas control

2.4.3. Analisis Data Perhitungan LC50

Data hasil penelitian adalah data primer yang didapatkan dari jumlah larva A. salina yang mati

24 jam setelah perlakuan pada tiap-tiap konsentrasi ekstrak daun gatal. Setelah melewati proses

data dianalisis dengan analisis probit menggunakan untuk mengetahui harga LC50 dengan selang

kepercayaan 95%. Nilai LC50 adalah konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh 50% larva

udang. Nilai LC50 ditentukan dengan analisis probit. ApabilaLC50< 30 ppm maka ekstrak sangat

toksik dan berpotensi mengandung senyawa bioaktif antikanker. Meyer (1982)menyebutkan

tingkat toksisitas suatu ekstrak sebagai berikut:

Tabel 1. Tingkatan aktivitas toksisitas berdasarkan nilai LC50

Nilai LC50 Keterangan

≤ 30 ppm Sangat toksik

31ppm-1000ppm Toksik

> 1000 ppm Tidak toksik

3. HASIL YANG DICAPAI

3.1. Preparasi dan ekstraksi sampel

Sampel penelitian ini adalah daun gatalyang diperoleh dari kota Biak dan Memberamo Tengah.

Prinsip utama dalam ekstraksi sampel daun gatal ini adalah senyawa polar akan tertarik oleh

pelarut polar (etanol), senyawa semipolar akan tertarik pada pelarut semipolar dan untuk senyawa

nonpolar akan tertarik pada pelarut non-polar.

Uji Aktivitas Sitotoksik BSLT

Metode BSLT dilakukan dengan cara pemaparan larutan ekstrak senyawa yang diuji kepada larva

udang. Pengaruh ekstrak pada masing-masing pelarut dengan berbagai konsentrasi terhadap larva

udang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Hasil Uji aktivitas ekstrak etanol daun gatal asal Biak terhadap Artemia salina

Konsentrasi

(ppm)

Rata-rata

kematian

%

Kematian Log

Konsentrasi

Angka

Probit

Persamaan garis LC50

(ppm)

1000 6,67 67% 3,0 5,44

y=

1,4217x+0,5971 1250,05

750 2,67 27% 2,9 4,39

500 2,00 20% 2,7 4,1

250 1,33 13% 2,4 3,87

100 0,67 7% 2,0 3,52

50 0,33 3% 1,7 3,12

0 0,00 0% 0,0 0

Page 21: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

15

Tabel 3. Hasil Uji aktivitas ekstrak etanol daun gatal asal Memberamo Tengah terhadap

Artemia salina

Konsentrasi

(ppm)

Rata-rata

kematian

%

Kematian Log

Konsentrasi

Angka

Probit

Persamaan

garis

LC50

(ppm)

1000 9,67 97% 3,0 6,88

y=

2,4487x-

0,8571

350,38

750 7,67 77% 2,9 5,74

500 3,67 37% 2,7 4,67

250 2,33 23% 2,4 4,26

100 1,33 13% 2,0 3,87

50 0,33 3% 1,7 3,12

0 0,00 0% 0,0 0

Berdasarkan hasil pengujian BSLT dapat dilihat bahwa berbagai konsentrasi dari masing-masing

ekstrak daun gatal pada penelitian ini memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kematian larva.

Pada ekstrak etanol daun gatal asal Biak konsentrasi 1250, 05 ppm menyebabkan rata- rata

kematian larva. Sedangkan pada ekstrak etanol daun gatal asal Memberamo konsentrasi 350, 38

ppm.

3.2. Analisis data

Data yang diperoleh dari jumlah larva udang yang mati 24 jam setelah perlakuan pada tiap-tiap

konsentrasi ekstrak daun gatal. Setelah melewati proses data dianalisis dengan analisis probit

menggunakan program Excel untuk mengetahui harga LC50 dengan selang kepercayaan 95%.

Nilai LC50 adalah konsentrasi yang diperlukan untuk membunuh 50% larva udang Artemia salina

Leach. Nilai LC50 ditentukan dengan analisis probit.

Hasilanalisis yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang kuat antara

konsentrasi dengan presentase kematian larva udang. Semakin tinggi konsentrasi semakin tinggi

presentase kematian dan semakin rendah konsentrasi semakin rendah presentase kematian larva.

LC50 (Lethal Concentration 50) merupakan konsentrasi zat yang menyebabkan terjadinya

kematian pada 50 % hewan percobaan yaitu larva udang. Berdasarkan nilai LC50 yang diperoleh

dikatakan ekstrak etanol daun gatalpada percobaan ini bersifat toksik terhadap Artemia salina.

Penelitian (Meyer et al., 1982) juga melaporkan bahwa suatu ekstrak menunjukkan aktivitas

ketoksikan dalam BSLT jika ekstrak dapat menyebabkan kematian 50% hewan uji pada

konsentrasi kurang dari 1000 ppm. Nilai LC50 dari ekstrak etanol daun gatal yang lebih kecil dari

1000 ppm menunjukkan bahwa ekstrak tersebut mempunyai potensi aktivitas sitotoksik yang

dapat dikembangkan sebagai antikanker. Menurut (Geran dkk., 1972) Suatu zat dikatakan aktif

atau toksik bila nilai LC50 kurang dari 20 μg/mL, sedangkan menurut (Doyle dkk., 2000) suatu

ekstrak dikatakan aktif jika LC50 kurang dari 1000 μg/mL.

Uji sitotoksik dengan metode BSLT ini merupakan uji toksisitas akut dimana efek toksik dari

suatu senyawa ditentukan dalam waktu singkat, yaitu rentang waktu selama 24 jam setelah

pemberian dosis uji. Larva udang yang digunakan berumur 48 jam karena pada umur tersebut

larva udang, bersifat paling peka. Hal ini disebabkan dinding sel larva masih lunak sehingga

senyawa asing dalam air laut yang diserap melalui dinding selnya akan segera mempengaruhi

hidupnya. Senyawa asing yang bersifat racun akan menyebabkan kematian pada larva udang

(Purwantini et al., 2002).

Page 22: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

16

Pada penelitian uji aktivitas sitotoksik ekstrak etanol daun gatal ini menggunakan hewan uji A.

salina, dimana penentuan nilai LC50 dilakukan pada tahap perkembangan nauplius. ada

perkembangan nauplius A. salina lebih sensitif terhadap senyawa toksik. Jalur pemaparan

senyawa toksik ekstrak etanol daun gatal pada hewan uji A. salina dimulai melalui oral dan bagian

dermal. Pada bagian mulut senyawa toksik ini diabsorbsi masuk ke dalam saluran pencernaan,

sedangkan pada bagian dermal, terjadi proses absorbsi melalui membran sel. Setelah proses

absorbsi dilanjutkan dengan proses distribusi senyawa toksik ke dalam tubuh A. salina dan terjadi

proses reaksi metabolisme.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ekstrak daun gatal mempunyai aktivitas sitotoksik. Ini

berkaitan dengan senyawa yang terdapat pada daun gatal yaitu alkaloid memiliki aktivitas

sitotoksik yang dapat menyebabkan kematian larva Artemia Salina Leach (Ren et al., 2003).

Senyawa alkaloid memiliki peranan dalam penghambatan pertumbuhan sel kanker, misalnya

senyawa vinkristin dan vinblastin yang terdapat pada daun tapak dara. Senyawa ini berperan

sebagai antimitotic agent dengan mengikat dimer tubulin yang dapat mengganggu munculnya

mikrotubul pada saat metafase, akibatnya proses mitosis sel akan terganggu, sehingga proliferasi

sel kanker terhambat (Mardiyaningsih, 2011).

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa uji toksisitas daun gatal (L. decumana) asal

Biak menunjukkan LC501250,05 ppm tidak toksik sedangkan daun gatal asal Memberamo

menunjukkan LC50350,38 ppm yang bersifat toksik.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Doyle, A. and Griffiths, J.B. 2000. Cell and Tissue Culture for Medical Research. John

Willey and Sons, ltd. New York.

[2] Fadhli, H., Teruna, H. Y., dan Jose, C. 2012. Uji Toksisitas Ekstrak Kulit Batang Puai

Basung (Alstonia spatula BL) dengan Metode Brine Shrimp Lethality Test. J. Ind. Che.

Acta.

[3] Geran, R.I., Greenberg, N.H., Macdonald, M.M., Schumacher, A.M., and Abbott, B.J.

1992. Protocol for Screening Chemical Agents and Natural Product Against Animal

Tumurs and Other Biological System. Cancer Chemother. Vol 3:59-61.

[4] Mardiyaninsih, A, dan Ismiyati N. 2014. Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Daun Alpukat

(Persea Americana. Mill) Pada Sel Kanker Leher Rahim Hela. Trad Med. Vol 19(1) P 24-

28.

[5] McLaughlin, J.L. 1991. Crown Gall Tumours On Potato Disc And Brine Shrimp Lethality:

Two Simple Bioassay For Higher Plant Screening And Fractionation. Methods in plant

biochemistr. Vol 6(1):1-30

[6] Meyer, B.N., Ferigni, N.R., Putnam, J.E., Jaconsen, L.B., Nichols, D.F., and Mc laughin

JL. 1982. Brine Shimp A Convenient General Bioassay for Active Plant Constituents.

Planta Medica. 45, 31-34.

[7] Nurhayati, A. P. D., Abdulgani, N., dan Febrianto, R.. 2006. Uji Toksisitas Ekstrak

Eucheuma Alvarezii terhadap Artemia Salina sebagai Studi Pendahuluan Potensi Anti

kanker. Akta Kimindo. p. 41-46

[8] Purwantini I, Setyowati EP, Hertiani T. 2002. Uji Toksitas Ekstrak Etanol Buah Biji, Daun

Mahkota Dewa (Phaleria marcocarpa) terhadap Artemia SalinaLeach dan Profil

Kromatografi lapis Tipis Ekstrak Aktif. Majalah Farmasi Indonesia: 101-106.

[9] Ren, W., Qiao, Z., Wang, H., Zhu, L., and Zhang, L., 2003, Flavonoids: Promising

Anticancer Agents.Medicinal Research Review. Vol 23 (4): 519-53

Page 23: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

17

[10] Simaremare, E. S., E. Gunawan, A. Ruban, M. T. Nainggolan, dan C. Yenusi. 2014.

Formulasi dan evaluasi Salep daun gatal. Seminar Nasional Tanaman Obat Indonesia.

Universitas Katolik. Widya Mandala. Surabaya.

[11] Simaremare, E. S. 2014. Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Daun Gatal (Laportea

decumana (Roxb.) Wedd). Pharmacy. Vol 11(01): 98-107.

[12] Simaremare, E. S., E. Holle, Y.R. Yabansabra, I. M. Budi., dan E. Gunawan. 2015. Analisis

Perbandingan Efektifitas Antinyeri Salep Daun Gatal Dari Simplisia Laportea Aestuans

(L) Chew dan Laportea Decumana (Roxb) Wedd. Pharmacy. Vol 12 (1):1-10.

[13] Simaremare, E.S., Y. R. Yabansabra, E. Gunawan, A. Ruban. 2016. Uji Mutu Fisik

Sediaan Salep Daun Gatal (Laportea decumana (Roxb.) Wedd.) Sebagai Kandidat

Antinyeri. Galenika. Vol 3(2): 55-60.

[14] Simaremare, E. S., A. Ruban, dan D. Runtuboi. 2017. Aktivitas Antibakteri Ekstrak Etanol

Daun Gatal (Laportea aestuans (L) Chew). Jurnal Biologi Papua. Vol 9(1):1-7.

[15] Simaremare, E. S., E. Holle, E. Gunawan, Y. R. Yabansabra, F. Octavia, and R. D. Pratiwi.

2018. Toxicity, Antioxidant, Analgesic, and Anti-inflamantory of Ethanol Extract of

Laportea aestuans (Linn.) Chew. Journal of Chemical and Pharmaceutical Research. Vol

10(5):16-23.

[16] Tualeka, S. 1986. Pemeriksaan Farmakognostik dan Usaha Skrining Komponen secara

Kromatografi Lapis Tipis daun gatal (Laportea decumana (roxb.) Wedd) asal Maluku.

Skripsi. Universitas Hasanuddin.

[17] Yasni dan Puro. 2012. Kajian Aktivitas Antibakteri Daun Gatel (Laportea decumana

(Roxb.) Wedd.) dan Daun Benalu Cengkeh. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.

Page 24: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

18

SIMULASI PENGARUH KOEFISIEN DRAG PADA GERAK

JATUH BEBAS

Rahman1 dan Sudarmono2

Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Cenderawasih1,2

e-mail:[email protected]

e-mail:[email protected]

Abstrak. Sebuah benda yang bergerak jatuh bebas merupakan gerak ideal sebuah benda yang

dilepaskan dari ketinggian tertentu. Dengan adanya udara di sekitar benda yang bergerak jatuh

bebas maka akan mempengarahi gerak benda. Gaya gesek oleh udara dipengaruhi oleh beberapa

faktor diantaranya adalah koefisien drag.

Metode yang dilakukan pada penelitian ini adalah metode komputasi dengan menggunakan

metode Euler terhadap persamaan gerak benda jatuh bebas yang dipengaruhi gaya gesek udara.

Hasil penelitian yang didapatkan adalah terdapat pengaruh koefisien drag pada gerak jatuh bebas

benda, berupa penurunan nilai percepatan benda dan bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk

tiba di permukaan tanah dengan kenaikan nilai koefisien drag pada sebuah benda.

Kata Kunci : Koefisien Drag, Metode Euler, dan metode komputasi

1. PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan dalam gerak translasi adalah gerak jatuh bebas (free fall), yaitu gerak

yang tidak diberikan kecepatan awal dan hanya dipengaruh oleh gaya tarik dari gravitasi bumi.

Gerak jatuh bebas merupakan salah satu kasus dari permasalahan gerak di bidang mekanika, yang

kemudian dikembangkan dengan memberikan pengaruh tambahan kepada gaya yang bekerja

pada benda tersebut, yaitu sebuah gaya yang menghambat gerak tersebut, diantaranya adalah gaya

tahanan udara.

Tahanan udara yang bekerja pada sebuah benda dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya

adalah bentuk dari benda yang melakukan gerak jatuh bebas. Besarnya tahanan udara ini

ditentukan dari koefisien drag sebuah benda, dan terdapat berbagi macam nilai dari koefisien drag

yang sangat bergantung pada model bendanya.

Tujuan penelitian adalah membuat program komputer yang memasukkan pengaruh koefisien drag

pada gerak jatuh bebas sebuah benda dan menganalisa hasil komputasi yang didapatkan.

2. DASAR TEORI

Ketika sebuah benda dilepaskan dari ketinggian h tanpa kecepatan awal dan hanya dipengaruhi

oleh gravitasi bumi maka percepatan yang dialami benda sebesar percepatan gravitasi bumi di

tempat terjadi kejadian tersebut. Gerak benda ini disebut sebagai gerak jatuh bebas. Besarnya

kecepatan benda pada setiap saat adalah

𝑣𝑡 = −𝑔𝑡 (1)

Tanda negatif berarti kecepatan benda mengarah ke bawah, dan 𝑔 adalah percepatan gravitasi

bumi. Sedangkan jarak tempuh benda sebesar

𝑦 =1

2𝑔𝑡2 (2)

Udara merupakan salah satu contoh dari fluida sehingga diterapkan prinsip-prinsip fluida dalam

membahas hambatan yang disebabkan oleh udara pada gerak benda yang jatuh bebas.

Arah gaya hambat fluida yang bekerja pada suatu benda selalu berlawanan dengan arah kecepatan

benda tersebut. Besarnya hambatan fluida bertambah dengan bertambahnya kecepatan benda

Page 25: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

19

yang melalui fluida, hal ini berlawanan dengan karakteristik gaya gesek kinetik diantara dua

permukaan benda yang bersentuhan dimana besarnya gaya gesek kinetik tidak dipengaruhi oleh

kecepatan. Secara umum persamaan gaya hambat suatu fluida dinyatakan dengan persamaan

𝐹𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 ≈ −𝐵1𝑣 − 𝐵2𝑣2 (3)

𝑣 menyatakan kecepatan benda, B1 dan B2merupakan konstanta adapun tanda minus (-)

menyatakan bahwa arah gaya hambat ini berlawanan dengan arah gerak benda.

Jika suatu benda bergerak dengan kecepatan rendah maka besarnya gaya hambat fluida sebanding

dengan kecepatan benda tersebut sehingga persamaan (3) dapat dinyatakan dalam bentuk

𝐹𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 ≈ −𝐵1𝑣 (4)

Apabila benda bergerak dengan kecepatan tinggi,maka besarnya gaya fluida sebanding dengan

kuadrat kecepatan benda tersebut. Pada kecepatan rendah maka suku pertama yang mendominasi

dan koefisien B1 dapat dihitung untuk benda dengan bentuk teratur. Sedangkan pada kecepatan

tinggi maka suku kedua yang mendominasi.

Pada kasus ini besarnya gaya hambat sebanding dengan kuadrat laju benda.Nilai B2 tidak dapat

dihitung secara eksak bahkan untuk benda sederhana seperti bola, apalagi jika bentuk bendanya

cukup rumit. Pendekatan yang dapat dilakukan untuk memperkirakan nilai B2 dengan cara

berikut, misalkan sebuah benda bergerak dalam udara yang mendorong udara tersebut, massa

udara yang dipindahkan karena dorongan benda dalam waktu ∆𝑡 adalah𝑚𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 = 𝜌𝐴𝑣∆𝑡 dengan

𝜌 menyatakan kerapatan udara dan 𝐴adalah luas permukaan benda, sehingga energi kinetiknya

menjadi

𝐸𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 ≈1

2𝑚𝑣2 (5)

besarnya gaya kinetik ini sama dengan usaha yang dilakukan gaya gesek (gaya yang bekerja pada

benda karena hambatan udara) dalam waktu ∆𝑡, sehingga

𝑓𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘𝑣 ∆𝑡 = 𝐸𝑢𝑑𝑎𝑟𝑎 (6)

dengan menggabungkan persamaan (5) dan (6) diperoleh persamaan berikut

𝑓𝑔𝑒𝑠𝑒𝑘 ≈ −1

2𝐶𝜌𝐴𝑣2

dengan 𝐶 menyatakan koefisien gesek yang dikenal sebagai koefisien drag.

Adanya gesekan udara dengan benda maka benda mendapatkan gaya gesek yang disebut dengan

gaya hambat udara, yang arahnya berlawanan dengan arah gerak benda (gambar 3.1)

m

W

fg

Gambar 1. Sebuah benda jatuh bebas dengan adanya hambatan udara

Sebuah benda dengan dengan massa m, jatuh bebas akibat pengaruh gravitasi bumi dan

mendapatkan gaya hambat oleh udara sebesar 𝑓𝑔, dengan menerapkan hukum Kedua Newton

kepada sistem tersebut,

∑ = 𝑚 ⟹ 𝑊 − 𝑓𝑔 = 𝑚 (7)

dimana 𝑊adalah gaya berat benda 𝑊 = 𝑚𝑔, dan 𝑓𝑔 adalah gaya gesek yang berupa gaya hambat

udara yagn besarnya bergantung pada koefisien drag (𝐶), luas penampang dan kuadrat kecepatan

(𝑣2)dari benda, maka didapatkan

Page 26: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

20

𝑎 = 𝑔 −𝐶𝜌𝐴𝑣2

2 𝑚 (8)

Dengan menerapkan salah satu metode numerik yaitu sesuai dengan permasalahan yang dihadapi

yaitu metode Euler maka persamaan 2 dapat diselesaikan secara numerik, yaitu

𝑣(𝑡 + ∆𝑡) = 𝑣(𝑡) + 𝑎(𝑡) ∆𝑡 (9)

𝑦(𝑡 + ∆𝑡) = 𝑦(𝑡) + 𝑣(𝑡) ∆𝑡 (10)

dimana𝑣(𝑡 + ∆𝑡) adalah kecepatan benda pada waktu (𝑡 + ∆𝑡), 𝑦(𝑡 + ∆𝑡)adalah posisi benda

pada waktu (𝑡 + ∆𝑡), adalah posisi benda pada waktu 𝑡 sedangkan ∆𝑡 adalah besar penambahan

waktu.

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian dasar, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerapkan suatu

teori, metode atau konsep fisika dan pemograman terhadap fenomena gerak jatuh bebas pada

benda yang memiliki koefisien drag.

4. HASIL DAN PEMBAHSAN

Hasil yang didapat pada penelitian ini berupa program yang dibuat dengan menggunakan program

MS Excel 2016, yang dibuat berdasarkan persamaan 8, 9 dan 10.Program yang dibuat

menggunakan perintah dasar perulangan (looping atau iterasi). Perulangan yang dilakukan

terhadap variabel masukkan waktu, dikarenakan kedudukan bola merupakan fungsi dari waktu.

Proses perulangan dilakukan sampai dengan kedudukan bola kembali ke tanah sehingga dalam

pembuatan program diperhatikan batasan kedudukan bola yang tidak boleh bernilai negatif (h>

0).

Nilai masukkan awal untuk simulasi yang dilakukan pada persamaan efek magnus adalah sebagai

berikut

Nilai percepatan gravitasi bumi (g) = 9,8 m/s2

Nilai rapat udara (ρ) = 1,2 kg/m3

Massa bola (m) = 0,5 kg

Jari-jari bola (r) = 0,05 m

Kasus 1, Koefisien Drag = 0.

Gambar 2.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 0

Dari gambar 1, terlihat bahwa percepatan benda bernilai konstan yaitu sebesar 9,8 m/s2 yaitu yang

ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk sebuah garis lurus. Hal ini

memberikan informasi bahwa tidak terlihat adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.

Hal ini yang menyebabkan gerak benda murni berupa gerak jatuh bebas.

Waktu yang diperlukan oleh benda untuk tiba di tanah dapat ditentukan secara langsung yaitu

sebesar 4,5175s. Dari gambar 4, terlihat bahwa titik potong antara kurva posisi (berwarna hijau)

-20

0

20

40

60

80

100

120

0 1 2 3 4 5Waktu (s)

a h Linear (a)

Page 27: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

21

dengan sumbu waktu (sumbu x) berada dinilai sekitar 4,5 s. Jika nilai posisi dilihat langsung pada

perhitungan yang dilakukan pada MS Excel terlihat bahwa titik potong sumbu waktu (sumbu x)

berada di nilai 4,4 dan 4,5. Dengan nilai koefisien drag bernilai 0, maka benda bergerak layaknya

benda jatuh bebas.

Kasus 2, Koefisien Drag = 0,5.

Gambar 3.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 0,5

Dari gambar 2, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan

bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk

sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Hal ini

memberikan informasi bahwa adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.

Dengan nilai koefisien drag bernilai 0,5, maka benda bergerak benda jatuh bebas dengan adanya

hambatan atau gesekan udara yanag menghambat gerak benda, dan ini terlihat dari mengecilnya

nilai percepatan benda dan waktu tiba di tanah yang lebih besar.

Kasus 3, Koefisien Drag = 1,0.

y = -1,3328x + 10,64

-20

0

20

40

60

80

100

120

0 1 2 3 4 5 6

waktu (s)

a h Linear (a)

y = -1,8399x + 10,586

-20

0

20

40

60

80

100

120

0 1 2 3 4 5 6

a h

Page 28: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

22

Gambar 4.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 1,0

Dari gambar 3, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan

bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk

sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Nilai gradien

yang didapatkan lebih kecil dari gradien pada kasus nilai koefisien dragnya sebesar 0,5. Dari

gambar 3, terlihat bahwa titik potong antara kurva posisi (berwarna hijau) dengan sumbu waktu

(sumbu x) memiliki nilai yang lebih besar dari nilai 4,5 s.

Kasus 4, Koefisien Drag = 1,5.

Gambar 5.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 1,5

Dari gambar 4, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan

bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk

sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Nilai gradien

yang didapatkan lebih kecil dari gradien pada kasus nilai koefisien dragnya sebesar 1,0. Hal ini

memberikan informasi bahwa adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.

Dari gambar 4, terlihat bahwa titik potong antara kurva posisi (berwarna hijau) dengan sumbu

waktu (sumbu x) memiliki nilai yang lebih besar dari nilai 4,5 s.

Kasus 5, Koefisien Drag = 2,0.

y = -1,9384x + 10,093

-20

0

20

40

60

80

100

120

0 1 2 3 4 5 6

a h

Page 29: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

23

Gambar 6.Nilai percepatan dan Posisi Benda pada nilai koefisien drag = 2,0

Dari gambar 5, terlihat bahwa nilai percepatan benda menurun (mengecil) sejalan dengan

bertambahnya waktu, yang ditampilkan oleh kurva yang berwarna orange yang membentuk

sebuah garis lurus yang arahnya makin menurun dan memiliki nilai gradien negatif. Nilai gradien

yang didapatkan lebih kecil dari gradien pada kasus nilai koefisien dragnya sebesar 1,5. Hal ini

memberikan informasi bahwa adanya pengaruh gesekan udara kepada gerak benda.

Dari kasus-kasus yang dibahas di atas didapatkan bahwa dengan bertambahnya koefisien drag

maka nilai percepatan benda bergantung pada waktu dan nilai akan menurun dengan pertambahan

waktu.

Hal ini dapat dilihat pada gambar 6, yang merupakan rangkuman dari grafik-grafik pada tiap kasus

yang hanya menampilkan nilai percepatan pada setiap saat di setiap kasus yang dibahas.

Gambar 7.Grafik nilai percepatan fungsi waktu untuk setiap kofisien drag

Dari gambar 6, terlihat bahwa dengan bertambahnya nilai koefisien drag maka nilai percepatan

benda akan bergantung terhadap waktu dan bernilai semakin kecil. Pada nilai koefisien drag

bernilai 0 maka nilai percepatan benda tidak bergantung pada waktu, sehingga nilai percepatan

benda bernilai konstan, yaitu sebesar nilai percepatan gravitasi bumi, yang merupakan ciri dari

gerak jatuh bebas.

y = -1,8529x + 9,4221

-20

0

20

40

60

80

100

120

0 1 2 3 4 5 6 7

a h

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4 5 6 7

C 0 C 0,5 C 1 C 1,5 C 2

Page 30: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

24

Pengaruh koefisien drag pada lama waktu benda untuk menjangkau tanah dapat dilihat dari

gambar 7, dengan bertambahnya koefisien drag yang merubah nilai percepatan benda yaitu

semakin kecil maka waktu tempuh yang dibutuhkan untuk mencapai permukaan tanah akan

bertambah.

Gambar 8.Grafik waktu tempuh untuk setiap kofisien drag

Pada gambar , terlihat bahwa semakin besar nilai koefisien drag maka waktu yang diperlukan

untuk mencapai tanah semakin besar. Untuk kasus yang tidak memakai hambatan udara

(koefisien drag bernilai 0) maka waktu yang diperlukan berkisar di nilai 4,5 s, sedangkan untuk

yang koefisen dragnya terbesar maka waktu yang diperlukan benda lebih lama yaitu hampir

bernilai 6 s.

Dengan melihat hasil ini didapatkan bahwa koefisien drag yang berhubungan dengan gaya hambat

udara pada benda memberikan efek pada perubahan nilai percepatan benda dan waktu tempuh

yang dibutuhkan benda untuk tiba ke permukaan tanah.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari analisis hasil yang didapatkan pada penerapan metode Euler terlihat bahwa adanya pengaruh

koefisien drag pada gerak jatuh bebas sebuah benda, yaitu

a. Bertambahnya nilai koefisien drag berpengaruh pada nilai percepatan benda yang akan

berkurang dan nilai ini bergantung pada waktu,

b. Bertambahnya nilai koefisien drag berpengaruh pada waktu tempuh benda menuju ke

permukaan bumi yaitu waktu tempuh akan bertambah sejalan dengan bertambahnya nilai

koefisien drag.

Ucapan Terima Kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat

Universitas Cenderawasih yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alan M. Nathan, The effect of spin on the flight of a baseball, Am. J. Phys., Vol.

76, No. 2, February 2008

[2] Benson, H., 1991, University Physics, John Wiley and Sons Inc, New York.

-20

0

20

40

60

80

100

120

0 1 2 3 4 5 6 7

C 0 C 0,5 C 1 C 1,5 C 2

Page 31: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

25

[3] Carre, M. J., et all, The curve kick of a football II: flight through the air, Journal

Sports Engineering Volume 5, 193–200, Blackwell Science Ltd.

[4] Crespo da Silva, 2004, Intermediate Dynamics : Complemented with Simulations

and Animations, McGraw Hill, printed in Singapore.

[5] Cayzac, R., et all, Magnus effect: Physical Origin and Numerical Prediction,

Journal of Applied Mechanics , American Society of Mechanical Engineers,

September 2011.

[6] Dianto, Analisis Lintasan Gerak Bola yang Memiliki Spin dalam Permainan Sepak

bola”, Proseding Seminar Fisika 2011, UniveristasNegeri Surabaya.

[7] Halliday, D., R. Resnick, J. Walker, 2001, Fundamentals of Physics Extended,

Sixth Edition, John Wiley and Sons Inc, New York.

Page 32: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

26

PEMODELAN KOEFISIEN ABSORBSI CAHAYA DAN

FREKUENSI GETAR MOLEKUL PADA LAPISAN SENSITIZER

SEL SURYA BUAH GOWOK

Hubertus Ngaderman1 dan Ego Srivajawati2

Jurusan Fisika, FMIPA, Universitas Cenderawasih1,2

[email protected]

Abstrak. DSSC merupakan salah satu kandidat yang berpotensi sebagai sel surya generasi

mendatang karena tidak memerlukan material dengan tingkat kemurnian tinggi sehingga biaya

proses produksi yang dapat ditekan. Sensitizer yang digunakan sebagai material penyerap cahaya

atau dye dapat berupa produk sintetik maupun organik. Untuk mengurangi biaya produksi, DSSC

berbasis organik pada material sensitizer dikembangkan pada saat sekarang ini. DSSC

menggunakan prinsip yang sama dengan cara kerja fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan. Dye

bertingkah laku seperti klorofil yang menyerap cahaya dan memproduksi pembawa (carrier).

Fokus penelitian ini adalahmenentukan parameter-parameter yang berkaitan erat dengan absorpsi

cahaya pada dye buah gowok. Parameter tersebut adalah koefisien absorpsi, konsentrasi molekul

yang menyerap cahaya pada dye, besar muatan molekul yang terionisasi, konduktivitas elektrik

dye dan frekuensi serapan energi cahaya pada molekul dye. Peneliti akan melakukan pengukuran

efektifitas terbesar serapan cahaya tampak pada sampel dengan menggunakan spektrofotometer

UV-visible. Sampel yang disinari adalah dye buah gowok.

Menentukan serapan spektra terbesar pada daerah cahaya tampak pada lapisan zat warna

buahyang akan menyerap cahaya tampak. Zat warna tersebut berfungsi sebagai sensitizer.

Menentukan parameter-parameter yaitu koefisien absorpsi, konsentrasi molekul yang menyerap

cahaya pada dye, besar muatan molekul yang terionisasi, konduktivitas elektrik dye dan frekuensi

serapan energi cahaya pada molekul dye. Manfaat utama dari hasil penelitian ini adalah

pemahaman komprehensif serapan cahaya tampak pada lapisan zat warna buah gowokyang

berfungsi sebagai sensitizer. Menyumbangkan sesuatu yang baru dalam ilmu Fisika yaitu

menentukan frekuensi getaran molekul dye ketika mendapat radiasi gelombang elektromagnetik

cahaya tampak.

Kata Kunci : koefisien absorbsi, frekuensi molekul, dye buah gowok.

1. LATAR BELAKANG Semenjak publikasi awal, dye sensitized solar cells (DSSC) menjadi sesuatu yang disoroti karena

berkaitan dengan keistimewaan DSSC tersebut dalam fabrikasi divais dengan biaya yang rendah

dibandingkan dengan sel surya (SS) konvensional. DSSC menggunakan Ru-kompleks,

efisiensinya 11% pada 1.5 AM sedangkan sensitizer organik hanya menunjukkan efisiensi

konversi daya antara 6% and 10% (Hyo Jeong Jo et al, 2013). Meskipun begitu, dye organik

mempunyai beberapa keuntungan, seperti mudah desain, harga rendah dan ramah lingkungan,

kelemahannya adalah spektrum absorbsi sempit.

Riset pada masa lalu hanyalah terletak pada pendekatan eksperimen empiris belaka, harapannya

adalah untuk meningkatkan efisiensi, pemodelan bisa mengurangi tingkatan empiris tersebut.

Proses foto transfer muatan baik pada Sel Surya Organik maupun DSSC bersifat fundamental

untuk semua aplikasi tetapi proses foto transfer masih belum dipahami sepenuhnya (Neha

Agnihotri, 2013). Pemodelan bisa mengatasi pemahaman proses foto transfer serapan cahaya

pada tingkat molekular.

Page 33: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

27

Riset ini akan terfokus pada penentuan parameter yang berkaitan erat dengan absorbsi cahaya.

Parameter tersebut adalah koefisien absorbsi, konsentrasi molekul yang menyerap cahaya pada

dye, koefisien redaman dan frekuensi serapan cahaya pada molekul dye. Peneliti akan melakukan

pengukuran efektifitas terbesar serapan cahaya tampak pada sampel dye buah gowok dengan

menggunakan spektrofotometer UV-visible. Tujuan penelitian ini adalah (a) Menentukan serapan

spektra terbesar pada daerah cahaya tampak pada lapisan zat warna buahyang akan menyerap

cahaya tampak, zat warna tersebut berfungsi sebagai sensitizer. (b) Menentukan parameter-

parameter yaitu koefisien absorbsi, konsentrasi molekul yang menyerap cahaya pada dye,

koefisien redaman dye dan frekuensi serapan energi cahaya pada molekul dye. Manfaatnya adalah

pemahaman serapan cahaya tampak pada lapisan zat warna buah gowokdalam proses

photocurrent.

2. TINJAUAN PUSTAKA DSSC terdiri dari material dye, semikonduktor oksida dan elektrolit. Dye bertingkah laku seperti

klorofil yang menyerap cahaya dan memproduksi pembawa (carrier). Proses yang terjadi: (a)

Energi foton diserap oleh dye, elektron dari dye mendapatkan energi untuk dapat tereksitasi (D*)

dan bergerak ke pita konduksi TiO2. Dye kemudian dalam keadaan teroksidasi (D+). (b) Elektron

ditransfer melewati rangkaian menuju elektroda karbon. (c) Elektrolit redoks bertindak sebagai

mediator elektron sehingga menghasilkan proses siklus dalam sel, menangkap elektron yang

berasal dari rangkaian luar. (d) Elektron tereksitasi kembali dan bereaksi dengan elektrolit menuju

dye teroksidasi. Elektrolit menyediakan elektron pengganti untuk molekul dye teroksidasi

sehingga dye kembali kepada keadaan awalnya. Dye berfungsi sebagai donor elektron yang menyebabkan timbulnya hole saat terkena sinar

matahari sehingga dye dapat dikatakan sebagai semikonduktor tipe-p. Ketebalan lapisan

semikonduktor itu mengatur fungsidye dimana kerapatan optis semikonduktor dan dye

menghasilkan efisiensi serapan cahaya. Kerapatan optis tersebut menyatakan besarnya transmisi

optik dengan panjang gelombang tertentu. Kerapatan optis merupakan perbandingan antara

intensitas awal dan intensitas transmisi. TiO2 hanya mampu menyerap sinar matahari pada

spektrum ultraviolet (350-380nm), untuk meningkatkan serapan spektra TiO2 di daerah tampak

dibutuhkan material pelapis untuk menyerap cahaya tampak tersebut, material pelapis tersebut

berfungsi sebagai sensitizer. Elektroda kerja merupakan kaca yang sudah dilapisi oleh TiO2 yang

telah terabsorbsi oleh dye yang mana TiO2 berfungsi sebagai kolektor elektron sehingga dapat

disebut sebagai semikonduktor tipe-n.

DSSC ideal akan memenuhi kriteria berikut: (1) strukturnya memfasilitasi elektron transfer dan

menginjeksikannya ke TiO2, oleh karena itu akseptor dan ruang 𝜋akan berada hampir di seluruh

bidang. (2) Lowest Unoccupied Molecular Orbital (LUMO) dye akan terletak di atas pita

konduksi TiO2 dengan demikian injeksi elektron dye ke elektroda akan efisien dan penempatan

level orbital molekular dye Highest Occupied Molecular Orbital (HOMO) akan terletak di bawah

HOMO elektrolit iodine/triiodide, menciptakan efisiensi oksidasi. (3) Dye akan menyerap cahaya

pada wilayah yang lebar kekuatan osilasi yang tinggi, gap energinya lebih pendek HOMO–

LUMO (Jieqiong Li et al).

Terciptanya photocurrent berisi beberapa langkah: (1) sensitizing pada permukaan film TiO2

menyerap cahaya, menciptakan keadaan eksitasi sensitizer dye; (2) sensitizer pada keadaan

eksitasi menginjeksikan elektron ke pita konduksi yang lebar untuk semikonduktor oksida

kemudian elektron bertransportasi melaluinya, mengalir ke rangkaian luar; (3) kation radikal

sensitizer dikurangi oleh donasi elektron elektrolit yang diinfiltrasi ke pori film semikonduktor;

(4) elektron-elektron yang masuk dari rangkaian luar memulihkan pasangan redoks di dalam

elektrolit pada kounter elektroda. Efisiensi konversi arus (incident photon-to-current conversion

efficiency) IPCE, dideskripsikan dengan persamaan berikut

𝐼𝑃𝐶𝐸(𝜆) = 𝐴𝑃𝐶𝐸 × 𝐿𝐻𝐸(𝜆) = Φinj × 𝜂col × 𝐿𝐻𝐸(𝜆) (1)

Page 34: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

28

APCE adalah efisiensi konversi arus IPCE. Efisiensi injeksi elektron secara menyeluruh (Φinj)

antara sensitizer dan semikonduktor elektroda dan kolektif muatan secara keseluruhan SS (𝜂col). 𝐿𝐻𝐸(𝜆) adalah efisiensi panenan cahaya dan 𝜆 panjang gelombang cahaya datang. Arus foto

dipengaruhi oleh proses panenan cahaya, injeksi elektron, koleksi muatan dan tegangan

maksimum di bawah iluminasi yang dialami oleh perbedaan antara kuasi level Fermi

semikonduktor oksida dan pasangan redoks di dalam elektrolit (Taojun Zhuang et al, 2014).

Apabila cahaya memasuki suatu medium, sinar datang akan dipantulkan, diserap dan sisanya akan

diteruskan oleh medium itu. Intensitas sinar datang dinyatakan oleh 𝐼0, intensitas sinar serap 𝐼𝑎,

intensitas yang diteruskan 𝐼𝑡 dan intensitas sinar pantul 𝐼𝑟. Persamaanmya dituliskan:

𝐼𝑜 = 𝐼𝑎 + 𝐼𝑡 + 𝐼𝑟 (3)

Penggunaan kaca sebagai substrat maka sekitar 4 persen cahaya masuk dipantulkan oleh karena

itu 𝐼𝑟 biasanya terhapus. Pers (3) menjadi:

𝐼𝑜 = 𝐼𝑎 + 𝐼𝑡 (4)

Absorbansi adalah perbandingan intensitas cahaya yang diserap dengan cahaya datang.

Perbandingan intensitas cahaya pantul dengan cahaya datang disebut refleksitansi (𝑅). Perbandingan intensitas cahaya transmisi dengan cahaya datang disebut transmitansi (𝑇). Absorbsi cahaya adalah peristiwa penyerapan cahaya oleh suatu bahan yang dilewati oleh cahaya

tersebut. Secara kualitatif absorbsi cahaya dapat diperoleh dengan pertimbangan absorbsi cahaya

pada daerah tampak. Besarnya nilai transmisi dan absorbsi cahaya pada suatu bahan bergantung

pada tebal dan koefisien absorbsi dari bahan tersebut. Hubungan transmitansi (𝑇) dan absorbansi

(𝐴) dinyatakan dengan hukum Lambert-Beer yang berbunyi : “Jumlah radiasi cahaya tampak

yangdiserap atau diteruskan oleh sampel merupakan suatu fungsi eksponen darikonsentrasi zat

dan tebal larutan”.

Berdasarkan hukum Lambert-Beer di atas, rumus yang digunakan untuk menghitung banyaknya

cahaya yang ditransmisikan:

𝑇 =

𝐼𝑡𝐼𝑜

(5)

%𝑇 =

𝐼𝑡𝐼𝑜𝑥100%

(6)

dan absorbansi dinyatakan dengan rumus :

𝐴 = − log 𝑇 = −𝑙𝑜𝑔

𝐼𝑡𝐼𝑜

(7)

dengan 𝐼0 merupakan intensitas cahaya datang dan 𝐼𝑡 merupakan intensitas cahaya setelah

melewati sampel. Perhitungan nilai transmisi dan absorbsi sering dilakukan dengan menggunakan

spektrofotometer. Absorbansi bisa juga diberikan dengan kaitan dengan transmitansi

𝐴 = 2 − log(%𝑇) (8)

Spektrum absorbsi adalah plot antara absorbansi versus panjang gelombang cahaya datang.

Spektrum transmitansi adalah plot antara transmitansi atau %𝑇 versus panjang gelombang cahaya

datang. Absorbansi bisa juga dinyatakan oleh hukum Lambert Beer dalam bentuk linear sebagai

berikut

𝐴 = 𝜀 × 𝑙 × 𝑐 (9)

Page 35: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

29

dimana 𝐴 absorbansi (tidak bersatuan), 𝜀 absorbtivitas molar atau koefisien ekstinsi molar dalam

satuan L/mol. cm. Jarak penjalaran cahaya melalui sampel adalah 𝑙 dalam satuan cm. Variabel 𝑐

adalah konsentrasi jenis absorbsi sampel dalam satuan mol/L. Pers (10) mempunyai bentuk yang

setara dengan bentuk linear pada umumnya yaitu

𝑦 = 𝑎 𝑥 (10)

dimana 𝑎 adalah lekukannya

3. METODOLOGI Bahan danalat yang digunakan: TCO, triton, aquades, buah gowok, magneticstirrer, hotplate,

penjepit kertas, penjepit buaya, beaker glass 25ml, pipet tetes, spatula, batang gelas, timbangan

digital, tisu, spin coaster SCS 6800 dan Spektrofotometer UV-Vis Genesys.Siapkan buah gowok

secukupnya dan letakkan pada gelas beaker setelah itu gerus dengan menggunakan mortar,

masukkan etanol 75% kedalam gelas beaker sebanyak 15 ml setelah itu diamkan selama 2 jam

lalu pisahkan dye dengan menggunakan spin coaster SCS 6800 selama 2 menit.

Spektrofotometer UV-Vis bertujuan untuk mengetahui daya absorbansi dari buah gowok, alat

tersebut diperlihatkan pada Gambar 4. Cahaya tampak memasuki monokromator setelah itu

memasuki sampel yang berisi dye buah gowok. Monokromator berfungsi untuk memecah cahaya

yang adalah polikromatis menjadi monokromatis, cahaya yang ditransmisi kemudian terdeteksi.

Menggunakan SCA (System Computer Analyser) maka hasil transmisi akan terplot seperti pada

grafik Gambar 4.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 2. Variabel absorbsi versus panjang gelombang

Gambar 3.

Gambar 4

Page 36: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

30

Bahan yang bukan konduktor seperti dye mempunyai struktur molekul yang saling berikat dimana

elektronnya terlekat kuat (Gambar 5).

𝐹ikat = −𝑘𝑦 = −𝑚𝜔0

2𝑦 , (12)

Pergeseran 𝑦, massa elektron 𝑚 dan frekuensi osilasi alami 𝜔0, √𝑘/𝑚. Model ini adalah model

atomik sederhana. Memperluas energi potensial dalam deret Taylor:

𝑈(𝑦) = 𝑈(0) + (

𝜕𝑈

𝜕𝑦)𝑦 +

1

2(𝑑2𝑈

𝑑𝑦02)𝑦

2 +⋯ (13)

Suku pertama konstan, (𝑈(0) = 0), suku kedua lenyap, karena 𝑑𝑈/𝑑𝑦 = −𝐹 dan alaminya gaya

di titik itu nol. Suku ketiga energi potensial pegas

𝑘 =

𝑑2𝑈

𝑑𝑦02

(14)

Ketika elektron berosilasi akan terdapat beberapa gaya redaman:

𝐹redaman = −𝑚𝛾

𝑑𝑦

𝑑𝑡 .

(15)

Redaman harus berlawanan dengan arah kecepatan. Dalam kehadiran gelombang elektromagnetik

berfrekuensi 𝜔, elektron mempunyai gaya hanyut

𝐹hanyut = 𝑞𝐸 = 𝑞𝐸0 cos𝜔𝑡 , (16)

dimana 𝑞 muatan elektron dan 𝐸0 amplitudo gelombang elektromagnetik (𝐸 maksimum pada 𝑡 =0). Menggunakan hukum Newton kedua maka

𝑚𝑑2𝑦

𝑑𝑡2= 𝐹tot = 𝐹ikat + 𝐹redaman + 𝐹hanyut ,

(17)

atau

𝑚𝑑2𝑦

𝑑𝑡2+𝑚𝛾

𝑑𝑦

𝑑𝑡+𝑚𝜔0

2𝑦 = 𝑞𝐸0 cos𝜔𝑡 (18)

Pers (18), ditulis dengan penambahan bagian kompleksnya :

𝑑2

𝑑𝑡2+ 𝛾

𝑑

𝑑𝑡+ 𝜔0

2 =𝑞

𝑚𝐸0𝑒

−𝑖𝜔𝑡 . (19)

Dalam keadaan setimbang, sistem berosilasi dengan frekuensi tertentu:

(𝑡) = 0𝑒−𝑖𝜔𝑡 . (20)

Masukkan ini ke dalam (19), ditemukan

0 =

(𝑞/𝑚)

(𝜔02 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝜔

𝐸0. (21)

Momen dipol adalah

(𝑡) = 𝑞(𝑡) =

(𝑞2/𝑚)

(𝜔02 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝜔

𝐸0𝑒−𝑖𝜔𝑡 .

(22)

Keadaan elektron bersama pada molekul menunjukkan frekuensi alami yang berbeda. Katakan

terdapat 𝑓𝑗 elektron dengan frekuensi 𝜔𝑗 dan redaman 𝛾𝑗 pada setiap molekul. Jika terdapat 𝑁

molekul tiap satuan volume, polarisasi 𝑃 diberikan oleh

Gambar 5. Gelombang elektromagnetik yang bergerak

degan suatu kecepatan 𝑣 mendatangi elektron yang

dicantelkan pada pegas dengan konstanta 𝑘

Page 37: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

31

=𝑁𝑞2

𝑚(∑

𝑓𝑗(𝜔0

2 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝜔𝑗

) .

(23)

Suseptibilitas listrik adalah konstanta yang bersesuaian dengan dan ( = 𝜖0𝜒𝑒). Polarisasi

kompleks bersesuaian dengan medan kompleks dan suseptibilitas kompleksnya akan

menjadi:

= 𝜖0𝜒𝑒 (24)

Kesesuaian antara dan adalah permitivitas kompleks = 𝜖0(1 + 𝜒𝑒), dimana model

ini mengambil bentuk

𝜖 = 𝜖0 [1 +𝑁𝑞2

𝑚𝜖0∑

𝑓𝑗

(𝜔𝑗2 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝑗𝜔𝑗

].

(25)

Medium dispersif persamaan gelombangnya adalah

∇2 =

1

𝜖𝜇0

𝜕2

𝜕𝑡2 ,

(26)

dengan 𝜖 fungsi kompleks 𝜔, memuat solusi gelombang bidang seperti sebelumnya

(𝑥, 𝑡) = 0𝑒𝑖(𝑘𝑥−𝜔𝑡) (27)

bilangan gelombangnya adalah

𝑘 = √𝜖𝜇0𝜔 (28)

adalah kompleks sebab 𝜖. Menulis 𝑘 berkaitan dengan real dan imajiner,

𝑘 = 𝑘+ + 𝑖𝑘− (29)

(21) menjadi

(𝑥, 𝑡) = 0𝑒−𝑘−.𝑥𝑒𝑖(𝑘+𝑥−𝜔𝑡). (30)

Dengan jelas 𝑘− besaran redaman gelombang. Intensitas bersesuaian dengan 𝐸2 (disini 𝑒−2𝑘−𝑥),

kuantitas

𝛼 = 2𝑘− (31)

disebut koefisien absorbsi.

Diandaikan bahwa khusus untuk dye yang terdiri atas molekul-molekul yang tidak saling terikat

kuat maka suku kedua dalam (30) adalah kecil dan akar kuadrat menggunakan √1 + 𝑥 ≅ 1 +1/2𝑥. Kemudian (30) memberikan

𝑘 =𝜔

𝑐√𝜖

𝜖0≅𝜔

𝑐𝜖0 [1 +

𝑁𝑞2

2𝑚𝜖0∑

𝑓𝑗

(𝜔𝑗2 −𝜔2) − 𝑖𝛾𝑗𝜔𝑗

],

(32)

dan

𝛼 = 2𝑘− ≅

𝑁𝑞2𝜔2

𝑚𝜖0𝑐∑

𝑓𝑗𝛾𝑗

(𝜔𝑗2 −𝜔2)

2+ 𝛾𝑗

2𝜔2𝑗

. (34)

N adalah jumlah molekul yang menyerap cahaya pada suatu panjang gelombang tertentu. Disini

dye bermassa 25 gr, dengan demikian

𝑁 = 6,02. 1023 .mdye

MR

(35)

dimana MR adalah massa molekul relatif yang bernilai 12 gr, oleh karena itu N bernilai

1,254. 1024 molekul.

𝜔 = 2𝜋𝑐

𝜆

(36)

Dengan menggunakan (36) maka frekuensi maksimum cahaya tampak yang diabsorbsi oleh setiap

molekul dye pada panjang gelombang 540 nm adalah 5,23.1015Hz. Jumlah elektron bebas yang

dihuni di dalam setiap molekul dye adalah 𝑓𝑗 yang nilainya sama dengan jumlah molekul N yaitu

1,254. 1024partikel. Koefisien absorbsi pada pers (34) mempunyai nilai 3 pada panjang

gelombang 540 nm (absorbsi maksimum yang dimiliki dye pada panjang gelombang itu, lihat

Page 38: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

32

Gambar 6 dan 7). Koefisien redaman 𝛾𝑗 adalah suatu besaran yang bernilai 1 karena pada absorbsi

maksimum yang bernilai 3 adalah serapan maksimum (pada serapan maksimum terjadi

resonansi). Dengan menginput nilai-nilai tersebut pada pers (34), maka

𝛼 =

𝑁𝑞2𝜔2

𝑚𝜖0𝑐∑

𝑓𝑗𝛾𝑗

(𝜔𝑗2 − 𝜔2)

2+ 𝛾𝑗

2𝜔2𝑗

. (34)

Dengan memasukkan parameter-parameter pada pers (34), maka

𝜔𝑗4 − 5,47. 1031𝜔𝑗

2 = 1,5. 1074 (37)

Mengakali

𝜔𝑗2 = 𝑥 (38)

dan masukkan ke dalam (37), maka

𝑥2 − 5,47. 1031𝑥 − 1,5. 1074 = 0 (39)

Mencari 𝑥 dengan menggunakan teknik komputasi, maka

𝑥 = 1,22. 1037 (40)

Maka didapat frekuensi molekul pada dye buah gowok

𝜔𝑗 = 3,5. 1018 (41)

5. KESIMPULAN Dye organik mempunyai beberapa keuntungan, seperti mudah desain, harga rendah dan ramah

lingkungan, kelemahannya adalah spektrum absorbsi yang sempit. Salah satu kriteria DSSC ideal

adalah dye akan menyerap cahaya pada wilayah yang lebar kekuatan osilasi yang tinggi, gap

energi pendek HOMO–LUMO. Pemodelan mengambil struktur molekul sederhana. Jumlah

molekul terhitung yang menyerap cahaya adalah 1,254. 1024 molekul. Frekuensi maksimum

cahaya yang diabsorbsi pada panjang gelombang 540 nm adalah 5,23.1015Hz. Koefisien absorbsi

bernilai 3 pada panjang gelombang 540 nm. Koefisien redaman 𝛾𝑗 adalah suatu besaran yang

bernilai 1 karena pada absorbsi maksimum yang bernilai 3 adalah serapan maksimum (pada

serapan maksimum terjadi resonansi). Frekuensi molekul pada dye buah gowok 3,5. 1018Hz.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Barrow G, 1962. Introduction to Molecular Spectroscopy. New York, McGrawHill.

[2] Boas M L, 1983. Mathematical Methods In The Physical Science. John Wiley and Sons,

De Paul University.

[3] Durst R W, Wrolstad R E, 2005. Characterization and Measurement ofAnthocyanins by

UV–visible Spectroscopy. Handbook ofanalytical food chemistry. NewYork: John Wiley

& Sons.

[4] Grifiths D J. Introduction To Electrodynamics. Prentice Hall Of India Private Limited.

Gambar 6. Grafik panjang gelombang cahaya vs

koefisien serapan 𝛼 pada dye buah gowok.

Gambar 7. Grafik panjang gelombang cahaya dalam

spektrum cahaya tampak vs koefisien serapan 𝛼 pada

dye buah gowok.

Page 39: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

33

[5] Krane Keneth S, 1992. Fisika Modern. John Wiley and Sons.

[6] Kumara M, Prajitno G, 2012.Studi Awal Fabrikasi Dye Sensitized Solar Cell (DSSC)

Dengan Menggunakan Ekstraksi Daun Bayam (Amaranthus Hybridus) Sebagai Dye

Sensitizer Dengan Variasi Jarak Sumber Cahaya Pada DSSC. Institut Teknologi Sepuluh

Nopember.

[7] Olea, Georgiana P, P J Sebastian, 1999. Electron Transfer via Organic Dyes for

SolarConversion. Solar Energy Materials and Solar Cells.

[8] Puspita, Nurisma, 2012. Studi Awal Pembuatan Prototype Dye Sensitizer Solar Cell

(DSSC)Menggunakan ekstraksi Rosella (Hibiscus Sabdariffa) Sebagai Dye Sensitizer

Dengan variabel Luas permukaan lapisan TiO2. ITS Surabaya.

[9] Robert D.G, 1989. Modern Optics. John Wiley and Sons, Duke University.

[10] Smestad, Greg P, 1998. Education and Solar Conversion : Demonstrating Electron

Transfer. Solar Energy Materials and Solar Cells.

Page 40: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

34

PENDUGAAN SEBARAN LAPISAN AKUIFER AIR TANAH

MENGGUNAKAN METODE GEOLISTRIK RESISITIVITAS

KONFIGURASI WENNER ALFA SECARA LATERAL DI

KAMPUNG WISITEN ARSOPURA, DISTRIK SKANTO,

KABUPATEN KEEROM

Steven Y.Y. Mantiri1, Yusuf Bungkang2, dan Eka Rismartha S.3

Program Studi Geofisika, FMIPA UNCEN Jayapura1, 2, 3

email : [email protected]

email : [email protected]

email : [email protected]

Abstrak.Penelitian tentang pendugaan letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer

menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner alfa secara lateral dilakukan di

Kampung Wisiton Arsopura Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Kajian ini dilakukan untuk

menduga letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer yang mengandung air tanah bawah

permukaan tanah. Metode geolistrik merupakan metode terbaik dalam penelitian air tanah dengan

melaksanakan pengukuran berdasarkan sifat-sifat listrik yaitu resisitivitas dari batuan di lapangan.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei lapanganmenggunakan alat geolistrik

resistivitymeter IRES T300f. Pengukuran ini memberikan nilai tegangan dan kuat arus listrik.

Model survei dilakukan secara lateral. Resistivitas semu dihitung berdasarkan tegangan dan kuat

arus listrik yang terukur di lapangan. Resistivitas sebenarnya dan pola sebaran lapisan diberikan

pada analisis oleh perangkat lunak RES2DINV ver 3.4.

Pengukuran geolistrik dilakukan pada 3 lintasan dengan spasi dasar elektroda adalah 20 m untuk

lintasan I dan II yang memiliki bentangan yang sama masing-masing 600 m dan spasi dasar 10

meter untuk lintasan III yang memiliki bentangan 300 m. Rata-rata lapisan akuifer bernilai ≤ 7,74

Ωm dengan litologi lanau pasiran bercampur sedikit kerikil kecil. Lapisan akuifer pada lintasan I

tersebar memanjang di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 0 – 600 m dari titik lateral

(titik 0) dengan kedalaman 20 – 117 m dari permukaan tanah. Lapisan akuifer pada lintasan II

tersebar pada 2 anomali tertutup yaitu pada jarak 190 – 290 m dari titik lateral (titik 0 ) dengan

kedalaman 20 – 45 m dari permukaan tanah dan pada jarak 360 – 500 m dari titik lateral (titik 0)

dan kedalaman 30 – 90 m dari permukaan tanah. Lapisan akuifer pada lintasan III tersebar di

sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 50 – 300 m dari titik lateral (titik 0) dengan

kedalaman rata-rata 20 m sampai lebih dari 60 m ke bawah.

Kata kunci : akuifer, metode geolistrik, resistivitas, Wenner alfa, lateral, Wisiten Arsopura

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Air merupakan kebutuhan pokok manusia yang harus dipenuhi untuk kehidupan sehari-hari. Air

dapat diperoleh dari berbagai sumber air, salah satunya adalah air tanah. Air tanah merupakan air

yang tersimpan di bawah permukaan tanah. Keberadaan air tanah di alam sangat tergantung dari

ada tidaknya batuan yang dapat menyimpan dan meloloskan air dalam jumlah yang bearti atau

dalam hal ini disebut sebagai akuifer. Akuifer merupakan suatu batuan/formasi batuan yang

mempunyai kemampuan menyimpan dan mengalirkan air tanah dengan jumlah yang berarti.

Secara alami tidak semua batuan dapat bertindak sebagai akuifer, mengingat akan sangat

bergantung pada ruang antar butiran (pori) dan permeabilitasnya.

Page 41: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

35

Pada zaman modern ini, survei untuk mendeteksi keberadaan lapisan akuifer dapat dilakukan

dengan menggunakan metode-metode geofisika. Beberapa metode penyelidikan permukaan tanah

untuk untuk mendeteksi lapisan akuifer yaitu: metode gravitasi, metode magnetik, metode

seismik, dan metode geolistrik. Metode geolistrik merupakan salah satu cara dalam penelitian air

tanah dengan melaksanakan pengukuran berdasarkan sifat-sifat listrik yaitu sifat tahanan jenis

dari batuan di lapangan. Keunggulan metode ini adalah dapat digunakan untuk mengadakan

ekspolarasi dangkal yang tidak bersifat merusak dalam pendeteksiannya (Kirsch, 2009)[5].

Survei akuifer dengan metode geolistrik merupakan survei geofisika yang bersifat survei aktif

namun ramah lingkungan. Di Indonesia, survei geolistrik merupakan metode survei yang terbaik

untuk eksplorasi air tanah. Budiman, dkk. (2013)[1] melakukan penelitian pendugaan potensi air

tanah dengan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger di Jorong Tampus

Kanagarian, Ujung Gading, Kecamatan Lembah Malintang, Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera

Barat. Darsono (2016)[2] melakukan pengkajian tentang identifikasi akuifer dangkal dan akuifer

dalam dengan metode geolistrik konfigurasi Schlumberger secara vertikal dan lateral di

Kecamatan Masaran. Iswahyudi, dkk. (2017)[4] melakukan pengukuran geolistrik tahanan jenis

untuk menentukan letak akuifer air bawah tanah di Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa

Utara, Sulawesi Utara.

Kampung Wisiten Arsopura terletak di Distrik Skanto Kabupaten Keerom. Kampung ini awalnya

adalah sebuah lahan yang luasnya 1000 m × 900 m, dimana lahan tersebut digunakan oleh

sebagian penduduk sebagai ladang untuk menanam kebutuhan pangan seperti cabai, jagung, tebu,

serai, dan lain-lain. Kampung ini merupakan salah satu perkampungan baru yang akan dilakukan

pembangunan rumah-rumah penduduk. Kajian ini dilakukan untuk menduga letak, kedalaman

dan pola sebaran lapisan akuifer yang mengandung air tanah bawah permukaan tanah. Perkiraan

ini dapat dijadikan sebagai informasi awal bagi pemerintah dan masyarakat Kampung Wisiton

Arsopura Distrik Skanto, Kabupaten Keerom tentang letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan

akuifer.

1.2 Tinjauan Pustaka

(1) Air tanah

Air tanah adalah air yang mengisi celah-celah atau ruang pori-pori tanah dan batuan yang berada

dibawah tanah.Air tanah berasal dari bermacam sumber.Air tanah yang berasal dari peresapan air

permukaan disebut air meteorik (meteoric water). Selain berasal dari air permukaan, air tanah

dapat juga berasal dari air yang terjebak pada waktu pembentukan batuan sedimen. Air tanah

ditemukan pada formasi geologi permeabel (tembus air) yang dikenal sebagai akuifer (juga

disebut reservoir air tanah, formasi pengikat air). Akuifer merupakan formasi pengikat air yang

memungkinkan jumlah air yang cukup besar untuk bergerak melaluinya pada kondisi lapangan

yang biasa. Menurut Krussman dan Ridder (1970)[6], jenis-jenis akuifer terdiri atas: akuifer bebas

(unconfined aquifer), akuifer tertekan (confined aquifer), akuifer semi tertekan (semi confined

aquifer), dan akuifer semi bebas (semi unconfined aquifer). Akuifer bebas (unconfined aquifer)

adalah lapisan lolos air yang hanya sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air.

Akuifer tertekan (confined aquifer) adalah akuifer yang seluruh jumlahnya air yang dibatasi oleh

lapisan kedap air, baik yang di atas maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar

dari pada tekanan atmosfer. Akuifer semi tertekan (semi confined aquifer) adalah akuifer yang

seluruhnya jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dan di bagian

bawahnya merupakan lapisan kedap air. Akuifer semi bebas (semi unconfined aquifer) adalah

akuifer yang bagian bawahnya yang merupakan lapisan kedap air, sedangkan bagian atasnya

merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan

adanya gerakan air.

(2) Metode Geolistrik

Metode geolistrik merupakan salah satu metode geofisika yang mempelajari sifat aliran listrik

dalam bumi dan bagaimana cara mendeteksinya di permukaan bumi. Dalam hal ini meliputi

pengukuran arus dan medan elektromagnetik yang terjadi baik secara alamiah maupun akibat

Page 42: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

36

injeksi arus kedalaman bumi. Oleh karena itu metode geolistrik mempunyai banyak macam,

termasuk di dalamnya yaitu: Potensial diri (self potential), Arus tellurik, Magnetotelluric,

Elekromagnetik, Polarisasi terinduksi (Induced Polarization, IP), Resistivitas (tahanan jenis)

(Hendrajaya dan Arif, 1988)[3].

Metode resisitivitas merupakan metode geolistrik yang mempelajari sifat resisitivitas (tahanan

jenis) listrik dari lapisan batuan di dalam bumi. Resistivitas atau tahanan jenis batuan adalah

besaran atau parameter yang menunjukkan tingkat hambatannya terhadap arus listrik dari suatu

batuan. Batuan yang memiliki resistivitas makin besar, menunjukkan bahwa batuan tersebut sulit

untuk dialiri oleh arus listrik. Menurut Hendrajaya dan Arif (1988)[3], berdasarkan tujuan

penyelidikan, metode geolistrik tahanan jenis dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok besar yaitu:

Metode resistivitas lateral (mapping) dan Metode reisistivitas vertikal (sounding/drilling).

Metode resistivitas leteral (mapping) merupakan metode resisitivitas yang bertujuan untuk

mempelajari variasi tahanan jenis lapisan bawah permukaan secara horizontal. Oleh karena itu,

pada metode ini dipergunakan konfigurasi elektroda yang sama untuk semua titik pengamatan di

permukaan bumi. Hasil analisis metode memberikan kontur isoresistivitas. Metode resistivitas

vertikal (sounding) merupakan metode resistivitas yang bertujuan untuk mempelajari variasi

resistivitas batuan di bawah permukaan secara vertikal. Pada metode ini, pengukuran pada suatu

titik vertikal dilakukan dengan jalan mengubah-ubah jarak elektroda. Pengubahan jarak elektroda

ini dilakukan secara teratur mulai dari jarak elektroda kecil kemudian membesar secara gradual.

Jarak elektroda ini sebanding dengan kedalaman lapisan batuan yang terdeteksi.

(3) Konfigurasi Elektroda

Pengukuran metode geolistrik resisitivitas secara umum menggunakan 4 (empat) buah elektroda

yang terdiri atas 2 (dua) buah elektroda untuk arus listrik dan 2 (dua) buah elektroda untuk

potensial listrik. Pada metode gelistrik resisitivitas, arus listrik dialirkan/diinjeksikan ke dalam

bumi melalui dua elektroda arus. Besarnya potensial yang disebabkan karena arus listrik yang

diinjeksikan diukur di permukaan bumi melalui dua elektroda potensial. Besarnya beda potensial

di antara kedua elektroda potensial tersebut selain tergantung pada besarnya arus yang dialirkan

ke dalam bumi, juga tergantung pada letak kedua elektroda potensial terhadap letak kedua

elektroda arus yang dipakai. Dalam hal ini tercakup juga pengaruh keadaan batuan yang dilewati

arus listrik tersebut. Aturan-aturan penempatan keempat elektroda (2 buah elektroda arus dan 2

buah elektroda potensial) disebut konfigurasi elektroda. Terdapat berbagai macam bentuk

konfigurasi elektroda yaitu: Wenner (Wenner alfa, Wenner beta dan Wenner gamma),

Schlumberger, Wenner-Schlumberger, Bipole-dipole, Pole-dipole, Reverse pole-dipole, dan

Pole-pole. Masing-masing konfigurasi elektroda di atas mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Oleh karena itu, sebelum dilakukan pengukuran, harus diketahui dengan jelas tujuannya sehingga

dapat dipilih jenis konfigurasi yang terbaik.

(4) Faktor Geometri, Resistivitas Semu dan Resisitivitas Sebenarnya

Letak dua elektroda potensial terhadap letak kedua elektroda arus mempengaruhi besarnya beda

potensial di antara kedua elektroda potensial tersebut. Besaran koreksi letak kedua elektroda

potensial terhadap letak kedua elektroda arus disebut faktor geometri (geometrical factor). Secara

umum skema konfigurasi elektroda pada survei geolistrik ditunjukkan pada gambar 1. Secara

umum resistivitas batuan dinyatakan dengan persamaan

=

Vk

I (1)

dimana k adalah faktor geometri yang berkaitan dengan geometri elektroda. Setiap konfigurasi

elektroda memiliki nilai faktor geometri yang berbeda-beda. Dengan mengukur ΔV dan I dan

mengetahui konfigurasi elektroda, maka resistivitas ρ dapat ditentukan. Pada tanah homogen

isotropik, nilai resistivitas ini akan konstan untuk setiap arus dan pengaturan elektroda.

Page 43: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

37

Gambar 1. Skema susunan elektroda

Jika tanah tidak homogen dan jarak elektroda bervariasi atau jarak tetap ditetapkan sementara

seluruh rangkaian dipindahkan, maka rasionya akan berubah secara umum. Hal ini menghasilkan

nilai ρyang berbeda untuk setiap pengukuran. Besarnya secara tidak langsung berhubungan

dengan susunan elektroda. Kuantitas yang diukur ini dikenal sebagai resistivitas semu (apparent

resistivity), 𝜌𝑎. Meskipun resistivitas ini merupakan diagnostik dari resistivitas sebenarnya

(actual resistivity) suatu zona di sekitar rangkaian elektroda, namun resisitivitas semu bukanlah

nilai rata-rata dan hanya pada kasus bumi homogen sama dengan resisitivitas sebenarnya. Istilah

lain yang sering ditemukan dalam literatur adalah apa yang disebut resistivitas permukaan

(surface resisitivity). Resisistivitas ini adalah nilai 𝜌𝑎yang diperoleh dengan jarak elektroda kecil.

Tentunyan resisitivitas ini sama dengan resisitivity sebenarnya hanya jika tanahnya seragam di

atas volume kira-kira dari dimensi elektroda secara terpisah.

(5) Konfigurasi Wenner

Aturan elektroda Wenner pertama kali diperkenalkan oleh Wenner pada tahun 1915. Aturan ini

banyak berkembang di Amerika. Konfigurasi Wenner cenderung diterapkan hanya pada daerah

yang permukaanya relatif datar. Jika konfigurasi ini diterapkan untuk kasus permukaan bumi yang

miring maka perlu adanya koreksi yang diberlakukan. Susunan elektroda arus dan elektroda

potensial konfigurasi Wenner ditunjukkan pada gambar 2. Pada konfigurasi ini, elektroda-

elektroda, baik arus maupun potensial diletakkan secara simetris terhadap titik tengah (titik

pengukuran/datum). Jarak antara elektroda arus adalah 3 (tiga) kali jarak antara elektroda

potensial (Telford, et al., 1990)[7]. Keempat elektroda dengan titik amat/tengah (titik

pengukuran/datum) harus membentuk satu garis. Konfigurasi Wenner paling cocok untuk

penyelidikan dangkal dan relatif datar. Konfigurasi Wenner memiliki kedalaman semu sebesar 15

dari bentangan terluar AB. Faktor geometri untuk konfigurasi Wenner adalah

2=k a (2)

dimana a adalah jarak antar elektroda. Kolaborasi persamaan (1) dan (2) memberikan resistivitas

semu untuk konfigurasi Wenner adalah

2

=a

Va

I (3)

Page 44: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

38

Gambar 2. Susunan elektroda konfigurasi Wenner

Tabel 1. Resistivitas mineral (Telford, et al., 1990)[7]

No. Mineral Formula

Resistivitas (Ωm)

Kisaran Rata-rata

1 Bismutinit Bi2S3 18 – 570

2 Covellite CuS 3 × 10-7 – 8 × 10-5 2 × 10-5

3 Kalkosit Cu2S 3 × 10-5 – 0,6 10-4

4 Kalkopirit CuFeS2 1,2 × 10-5 – 0,3 4 × 10-3

5 Bornit Cu5FeS4 2,5 × 10-5 – 0,5 3 × 10-3

6 Pirit FeS2 2,9 × 10-5 – 1,5 3 × 10-1

7 Pirotit FenSm 6,5 × 10-6 – 5 × 10-2 10-4

8 Cinabar HgS 2 × 107

9 Molibdenit MoS2 10-3 – 106 10

10 Galena PbS 3 × 10-5 – 3 × 102 2 × 10-3

11 Milerit NiS 3 × 10-7

12 Stanit Cu2FeSnS2 10-3 – 6 × 103

13 Stibnit Sb2S3 105 – 1012 5 × 106

14 Spalerit ZnS 1,5 × 107 102

15 Kobaltit CoAsS 3,5 × 10-4 – 10-1

16 Arsenopirit FeAsS 2 × 10-5 – 15 10-3

17 Nikolit NiAs 10-7 – 2 × 10-3 2 × 10-5

18 Bauksit Al2O3.nH2O 2 × 102 – 6 × 103

19 Kuprit Cu2O 10-3 – 300 30

20 Kromit FeCr2O4 1 – 106

21 Spekularit Fe2O3 6 × 10-3

22 Hematit Fe2O3 3,5 × 10-3 – 107

23 Limonit 2Fe2O3.3H2O 103 – 107

24 Magnetit Fe3O4 5 × 10-5 – 5,7 × 103

25 Ilmenit FeTiO3 10-3 – 50

26 Wolframit Fe.Mn.WO4 10 – 105

27 Pirolusit MnO2 5 × 10-3 – 10

Page 45: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

39

28 Kuarsa SiO2 4 × 1010 – 2 × 1014

29 Kasiterit SnO2 4 × 10-4 – 104 0,2

30 Rutil TiO2 30 – 1000 500

31 Uraninit (pitchblende) UO2 1 – 200

32 Anhidrit CaSO4 109

33 Kalsit CaCO3 2 × 1012

34 Fluorit CaF2 8 × 1013

35 Siderit Fe2(CO3)3 70

36 Garam batu NaCl 30 – 1013

37 Silvit KCl 1011 – 1012

38 Intan (berlian) C 10 – 1014

39 Serpentin 2 × 102 – 3 × 103

40 Hornblende 2 × 102 – 106

41 Mika 9 × 102 – 1014

42 Biotit 2 × 102 – 106

43 Bitum, batubara 0,6 – 103

44 Antrasit 10-3 – 2 × 105

45 Lignit 9 – 200

46 Lempung api 30

47 Air meteorik 30 – 103

48 Air permukaan (batuan beku) 0,1 - 3 × 103

49 Air permukaan (sedimen) 10 – 100

50 Air tanah 100

51 Air alami (batuan beku) 0,5 – 150

52 Air alami (sedimen) 1 - 100 3

53 Air laut 0,2

54 Air garam, 3% 0,15

55 Air garam, 20% 0,05

(6) Resisitivitas Batuan

Dari semua sifat fisika batuan dan mineral, resistivitas listrik menunjukkan variasi terbesar.

Sebaliknya interval pada densitas, kecepatan gelombang elastik, dan kandungan radioaktif adalah

cukup kecil. Konduktor biasanya didefinisikan sebagai material dengan resistivitas lebih kecil

dari 10-5 Ωm, sedangkan isolator memiliki resistivitas lebih besar dari 107 Ωm. Di antara batas-

batas ini terdapat semikonduktor. Logam dan grafit adalah konduktor; yang mengandung

Page 46: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

40

sejumlah besar elektron bebas yang mobilitasnya sangat besar. Semikonduktor juga membawa

muatan oleh gerakan elektron tetapi memiliki lebih sedikit. Isolator terkarakterisasi oleh ikatan

ionik sehingga elektron-elektron valensi tidak bebas bergerak (Telford, et al., 1990)[7]. Pada

klasifikasi bebas, batuan dan mineral dibagi ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu: Konduktor baik

yaitu mineral dengan nilai resistivitas 10-8 sampai sekitar 1 Ωm, Konduktor menengah yaitu

mineral dan batuan dengan resistivitas 1 sampai 107 Ωm, dan Konduktor buruk dengan resistivitas

di atas 107 Ωm. Variasi resistivitas dari mineral tertentu ditunjukkan pada tabel 1.

2. METODE

Penelitian ini dilakukan di Kampung Wisiten Arso IV, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei lapangan dengan melakukan pengukuran

langsung menggunakan alat geolistrik resistivitymeter IRES T300f. Pengukuran dengan alat ini

memberikan nilai tegangan dan kuat arus listrik. Model survei menggunakan metode lateral.

Resistivitas semu dihitung berdasarkan tegangan dan kuat arus listrik yang terukur di lapangan.

Resistivitas sebenarnya dan pola sebaran lapisan diberikan pada analisis oleh perangkat lunak

RES2DINV versi 3.4. Pengukuran dilakukan pada 3 lintasan seperti ditunjukkan pada gambar 3.

Lintasan I memiliki panjang 600 m dengan koordinat titik C1 pada 02047’51.76” LS dan

140033’41.63” BT, dan titik C2 pada 02047’49.03” LS dan 140033’22.45” BT. Pengukuran di

lintasan I berada pada azimuth 285o. Lintasan II memiliki panjang 600 m dengan koordinat C1

pada 02047’49.73” LS dan 140033’31.19” BT, dan titik C2 pada 02047’33.75” LS dan

140033’33.42” BT. Pengukuran di lintasan II berada pada azimuth 352o. Lintasan III memiliki

panjang 300 m dengan koordinat C1 pada 02047’44.07” LS dan 140033’38.70” BT, dan titik C2

pada 02047’42.87” LS dan 140033’29.54” BT. Pengukuran lintasan III berada pada azimuth 285o.

Gambar 3. Lokasi penelitian geolistrik

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pendugaan letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer dilakukan dengan metode geolistrik

resistivitas di Kampung Wisiten Arsopura, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Kampung ini

bertopografi datar sehingga sangat cocok menggunakan konfigurasi Wenner alfa secara lateral

(horizontal). Pengukuran dilakukan dengan spasi dasar elektroda adalah 20 m untuk lintasan I dan

II yang memiliki bentangan yang sama masing-masing 600 m dan spasi dasar 10 meter untuk

lintasan III yang memiliki bentangan 300 m.

Page 47: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

41

Sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada lintasan I ditunjukkan pada gambar 4. Pengolahan data

memberikan interval resistivitas sebenarnya 4,615 – 24,5 Ωm dengan kesalahan perhitungan

cukup kecil 6,0%. Pada tampilan ini menunjukkan bahwa lapisan akuifer terduga pada rentang

nilai resistivitas ≤ 7,68 Ωm berlitologi lanau pasiran dengan sedikit kerikil kecil. Lapisan ini

tersebar di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 0 – 600 m dari titik lateral (titik 0)

dengan kedalaman 20 – 117 m dari permukaan tanah, hal ini berarti ketebalan lapisan akuifer

sekitar 97 m. Hal ini menunjukkan ketersediaan air tanah bawah permukaan cukup banyak pada

arah lintasan ini.

Gambar 4. Profil lapisan lateral pada lintasan I

Sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada lintasan II ditunjukkan pada gambar 5. Pengolahan data

memberikan interval resistivitas sebenarnya 4,14 – 21,6 Ωm dengan kesalahan perhitungan cukup

kecil 8,6%. Pada tampilan ini menunjukkan bahwa lapisan akuifer terduga pada rentang nilai

resistivitas ≤ 7,6 Ωm berlitologi lanau pasiran dengan sedikit kerikil kecil. Lapisan ini tersebar

pada 2 anomali tertutup di tempat yang berbeda. Tempat pertama pada jarak 190 – 290 m dari

titik lateral (titik 0 ) dan kedalaman 20 – 45 m dari permukaan tanah. Tempat kedua pada jarak

360 – 500 m dari titik lateral (titik 0) dan kedalaman 30 – 90 m dari permukaan tanah. Hal ini

menunjukkan ketersediaan air tanah bawah permukaan pada arah lintasan ini sangat sedikit.

Gambar 5. Profil lapisan lateral pada lintasan II

Sebaran nilai resistivitas sebenarnya pada lintasan III ditunjukkan pada gambar 6. Pengolahan

data memberikan interval resistivitas sebenarnya 6,613 – 17,5 Ωm dengan kesalahan perhitungan

kecil 4,3%. Pada tampilan ini menunjukkan bahwa lapisan akuifer terduga pada rentang nilai

resistivitas ≤ 7,94 Ωm berlitologi lanau pasiran dengan sedikit kerikil kecil. Lapisan ini tersebar

di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 50 – 300 m dari titik lateral (titik 0) dengan

kedalaman rata-rata 20 m sampai lebih dari 60 m ke bawah, hal ini berarti ketebalan lapisan

akuifer sekitar lebih dari 40 m ke bawah. Hal ini menunjukkan ketersediaan air tanah bawah

permukaan cukup banyak pada arah lintasan ini.

Gambar 6. Profil lapisan lateral pada lintasan III

Page 48: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

42

Analisis hasil perhitungan memberikan pola sebaran lapisan akuifer pada lintasan I dan III sama

yaitu memanjang searah lintasan sedangkan pada lintasan II berbentuk anomali tertutup yang

terdiri dari 2 anomali. Secara keseluruhan interval resistivitas sebenarnya yang terevaluasi untuk

lapisan akuifer pada kisaran rata-rata ≤ 7,74 Ωm dengan lapisan pelindung sekitar 7,74 – 24,5

Ωm. Interval nilai untuk lapisan pelindung menunjukkan litologi tanah lanau dengan sedimen

halus tergolong batuan sedimen dengan persentase kandungan lempung dan pasir tertentu. Hal ini

menunjukkan bahwa air tanah pada lapisan akuifer yang terduga diperkirakan keruh atau kabur

karena masih dipengaruhi kuat oleh jenis tanah di sekitar lapisan atau lapisan pelindung.

4. KESIMPULAN

Penelitian tentang pendugaan letak, kedalaman dan pola sebaran lapisan akuifer air tanah bawah

permukaan tanah menggunakan metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner alfa secara

lateral dilakukan di Kampung Wisiton Arso IV Distrik Skanto, Kabupaten Keerom. Rata-rata

lapisan akuifer bernilai ≤ 7,74 Ωm dengan litologi lanau pasiran bercampur sedikit kerikil kecil.

Lapisan akuifer pada lintasan I tersebar memanjang di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari

jarak 0 – 600 m dari titik lateral (titik 0) dengan kedalaman 20 – 117 m dari permukaan tanah.

Lapisan akuifer pada lintasan II tersebar pada 2 anomali tertutup yaitu pada jarak 190 – 290 m

dari titik lateral (titik 0 ) dengan kedalaman 20 – 45 m dari permukaan tanah dan pada jarak 360

– 500 m dari titik lateral (titik 0) dan kedalaman 30 – 90 m dari permukaan tanah. Lapisan akuifer

pada lintasan III tersebar di sepanjang lintasan pengukuran mulai dari jarak 50 – 300 m dari titik

lateral (titik 0) dengan kedalaman rata-rata 20 m sampai lebih dari 60 m ke bawah.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Budiman, A., Delhasni, dan Widjojo, S.A.H.S., (2013). Pendugaan Potensi Air Tanah

dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis, Konfigurasi Schlumberger (Jorong Tampus

Kanagarian Ujung Gading, Kecamatan Lembah Malintang, Kabupaten Pasaman Barat,

Sumatera Barat), Jurnal Ilmu Fisika (JIF), Vol. 5, No. 2, 72 – 78.

[2] Darsono, (2016). Identifikasi Akuifer Dangkal dan Akuifer Dalam dengan Metode Geolistrik

(Kasus: Di Kecamatan Masaran), Indonesian Journal of Applied Physics, April 2016, 40 –

49.

[3] Hendrajaya, L. dan Arif, I., (1988). Geolistrik Tahanan Jenis, Laboratorium Fisika Bumi,

Jurusan Fisika, ITB Bandung.

[4] Iswahyudi, A., Prabawa, S.E., Warnana, D.D., dan Rochman, J.P.G.N., 2017. Pengukuran

Geolistrik Tahanan Jenis untuk Menentukan Letak Aquifer Air Bawah Tanah (Studi Kasus:

Kecamatan Airmadidi, Kabupaten Minahasa Utara), Prosiding Seminar Nasional Aplikasi

Teknologi Prasarana Wilayah X (ATPW), Surabaya, 05 Agustus 2017.

[5] Kirsch, R., 2009. Groundwater Geophysics; A Tool for Hydrogeology, Second Edition,

Springer, Verlag-Berlin.

[6] Krussman, G.P. and Ridder, N.A. 1970. Analysis and Evaluation of Pumping Test Data,

International Institute for Land Reclamation and Improvement,Wageningen.

[7] Telford, W.M., Geldart, L.P., and Sheriff, R.E. 1990. Applied Geophysics Second Edition,

Cambridge University Press, Cambridge.

Page 49: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

43

NILAI EKONOMI MANFAAT LANGSUNG EKOSISTEM PADANG

LAMUN TELUK YOUTEFA BAGI MASYARAKAT KAMPUNG

TOBATI DAN ENGGROS

Basa T. Rumahorbo1, Henderina J. Keiluhu2 dan Baigo Hamuna3

Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura, Papua1,2

Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, FMIPA Universitas Cenderawasih, Kota Jayapura,Papua3

email : [email protected]

email : [email protected]

email : [email protected]

Abstrak.Kawasan padang lamun di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa sangat berperan penting

dan bermanfaat bagi kehidupan masyarakat di sekitar Teluk Youtefa. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui seberapa besar manfaat langsung ekonomi padang lamun di kawasan Taman

Wisata Alam Teluk Youtefa. Pengumpulan data dilakukan pada bulan maret sampai April 2018

yang berlokasi di dua kampung adat sekitar Teluk Youtefa, yaitu Kampung Tobati (46 responden)

dan Kampung Enggros (82 responden). Metode pengambilan data pada penelitian ini adalah

contingent valuation method dengan menggunakan kuisioner dan pendugaan nilai manfaat

ekonomi menggunakan metode market price (harga pasar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa

nilai total manfaat langsung padang lamun sebesar Rp. 6,676,666,666.67/tahun. Nilai total

tersebut mencakup nilai manfaat padang lamun sebagai penyedia sumberdaya ikan sebesar Rp.

4,467,600,000.00/tahun, sebagai penyedia sumberdaya kepiting sebesar Rp.

882,666,666.67/tahun dan sebagai penyedia sumberdaya kerang sebesar Rp.

1,326,400,000.00/tahun. Berdasarkan hasil tersebut, masyarakat Kampung Tobati dan Enggros

memperoleh manfaat langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp. 52,161,458.33/rumah

tangga/tahun atau sebesar Rp. 4,346,788.19/rumah tangga/bulan. Tingginya nilai manfaat

langsung ekosistem padang lamun di kawasan Teluk Youtefa tersebut, maka diperlukan upaya

konservasi untuk kelestarian ekosistem padang lamun sehingga meningkatkan kesejahteraan

masyarakat lokal di sekitarnya.

Kata kunci : contingent valuation method, market price, manfaat langsung, ekosistem lamun,

Teluk Youtefa

1. PENDAHULUAN

Ekosistem padang lamun merupakan salah satu ekosistem di pesisir yang memiliki produktivitas

yang tinggi. Tingginya produktivitas lamun tidak terlepas dari peranannya sebagai produktivitas

primer di perairan dangkal ekosistem laut (Supriadi et al., 2012; Rangkuti et al., 2017).

Keberadaan lamun yang penting bagi keberlangsungan hidup ikan dan lingkungannya,

mendapatkan ancaman yang cukup serius akibat meningkatnya aktivitas penduduk di wilayah

pesisir seperti pembangunan pelabuhan, konversi lahan menjadi kawasan industri dan pemanfatan

areal ekosistem pesisir termasuk lamun yang bersifat destruktif (Dahuri et al., 2001).

Secara ekologis, ekosistem padang lamun memiliki fungsi sebagai pendukung keberlanjutan

sumberdaya ikan yaitu sebagai daerah asuhan dan perlindungan (nursery ground), sebagai tempat

Page 50: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

44

memijah (spawning ground) dan sebagai padang penggembalaan atau tempat mencari makan

(feeding ground). Padang lamun memiliki produktivitas sekunder dan dukungan yang besar

terhadap kelimpahan dan keragaman ikan (Gillanders, 2006). Secara ekonomi dan sosial,

ekosistem padang lamun juga memberikan jasa lingkungan bagi masyarakat (Tebaiy dan

Mampioper, 2017; Rangkuti et al., 2017). Nilai ekonomi langsung ekosistem padang lamun

merupakan nilai pilihan yang menunjukkan nilai pelestarian fungsi ekosistempadang lamun dan

pemakaiannya di masa yang akan mendatang (Tebaiy, 2012).

Ekosistem padang lamun di wilayah pesisir Kota Jayapura dominan ditemukan di bagian dalam

Teluk Youtefa. Luas ekosistem padang lamun dalam kawasan Teluk Youtefa diperkirakan sekitar

110.83 ha (Tebaiy et al., 2014b). Beberapa jenis lamun ditemukan di kawasan Teluk Youtefa

antara lain Thallasia hemprichii,Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan Halophila Minor

dengan komposisi jenis termasuk dalam jenis pionir dan klimaks (Tebaiy et al., 2014b). Selain

itu, juga terdapat jenis lamun Thalassodendrom ciliatume, Cymodocea rotundata dan Halodule

pinifolia (UNIPA, 2006). Kawasan lamun di Teluk Youtefa sangat berperan penting bagi

kehidupan masyarakat di sekitar kawasan Teluk Youtefa yang bermata pencaharian sebagian

besar sebagai nelayan dan pencari kerang (bia). Selain itu, ditemukan sebanyak 79 spesies dari

36 famili ikan di Teluk Youtefa yang menjadikan padang lamun sebagai tempat hidupnya

(Tebaiy, 2012; Tebaiy et al., 2014a). Oleh sebab itu, habitat lamun menjadi input bagi

produktivitas hasil tangkapan ikan yang menjadi produk akhir bagi masyarakat di sekitar Teluk

Youtefa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar nilai ekonomi manfaat langsung

ekosistem padang lamun di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa. Hasil penelitian ini

diharapkan bisa menjadi informasi bagi pemerintah maupun masyarakat dalam pengambilan

keputusan dan kebijakan untuk pengelolaan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, serta

pemanfaatan yang tepat untuk kawasan padang lamun yang ada di kawasan Taman Wisata Alam

Teluk Youtefa agar dapat memberikan manfaat ekologi dan ekonomi.

2. METODE

Penelitian ini dilaksanakan di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa, Jayapura.

Pengumpulan data dilakukan pada bulan maret sampai April 2018 yang berlokasi di dua kampung

yang berada di kawasan Taman Wisata Alam Teluk Youtefa yakni Kampung Tobati dan

Kampung Enggros, dimana kedua kampung tersebut merupakan kampung adat masyarakat asli

Kota Jayapura yang sebagian besar penduduknya memiliki mata pencaharian utama sebagai

nelayan tradisional.

Teknik pengumpulan data dikumpulkan secara langsung dengan wawancara yang berpedoman

pada kuisioner (daftar pertanyaan). Kategori masyarakat yang dijadikan sebagai responden adalah

masyarakat yang menetap di kawasan Teluk Youtefa sebagai pemanfaat ekosistem padang lamun

atau masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dengan mata pencaharian sebagai utama dan

sambilan sebagai nelayan (laki-laki dan perempuan). Total jumlah responden pada penelitian ini

sebanyak 128 responden (Kampung Tobati sebanyak 46 responden, Kampung Enggros sebanyak

82 responden.

Nilai manfaat langsung (direct use value) adalah nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan secara

langsung dari suatu sumberdaya. Identifikasi manfaat langsung ekosistem padang lamun

Page 51: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

45

berdasarkan jenis pemanfaatan saat ini oleh masyarakat adat Kampung Tobati dan Enggros antara

lain manfaat memperoleh ikan, kepiting dan kerang. Beberapa asumsi yang digunakan dalam

perhitungan nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun antara lain (1) semua rumah tangga

yang terdapat di dua kampung tersebut memanfaatkan ekosistem padang lamun sebagai daerah

penyedia sumberdaya ikan, kepiting dan kerang, (2) jumlah hari produktif rata-rata adalah 5 hari

(aktifitas masyarakat biasanya sekitar 4-6 hari dan tidak ada aktifitas pada hari minggu, dan (3)

biaya produksi hanya mencakup biaya untuk pembelian bahan bakar dan biaya transportasi untuk

menjual hasil produksi di pasar.

Untuk mengestimasi nilai manfaat langsung dari ekosistem padang lamun digunakan pendekatan

market price (Bann, 1998; Malik et al., 2015). Informasi jumlah produksi setiap bentuk manfaat

diperoleh dengan menggunakan contingent valuation method. Adapun formula untuk

memperoleh nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun sebagai berikut:

• Nilai manfaat ikan (NMI)

NMIK = Produksi ikan (kg/tahun) x Harga (Rp/kg) – Biaya Produksi (Rp/tahun)

• Nilai manfaat kerang (NMKr)

NMKr = Produksi kerang (kg/tahun) x Harga (Rp/kg) – Biaya Produksi (Rp/tahun)

• Nilai manfaat kepiting (NMKp)

NMKp = Produksi kepiting (ekor/tahun) x Harga (Rp/ekor) – Biaya Produksi (Rp/tahun)

Nilai total manfaat langsung ekosistem padang lamun dapat diperoleh dengan menggunakan

menjumlahkan semua manfaat langsung ekosistem padang lamun yang telah terkuantifikasi, yaitu

sebagai penyedia sumberdaya ikan, kerang dan kepiting.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.2. Karakteristik Responden

Masyarakat pada dua kampung di Teluk Youtefa, yaitu Kampung Tobati dan Enggros pada

dasarnya merupakan pemilik hak ulayat terhadap pemanfaatan kawasan dan sumberdaya alam

Teluk Youtefa, Kota Jayapura. Sebagian besar penduduk dua kampung tersebut memiliki mata

pencaharian utama dan sambilan sebagai nelayan.

Karakteristik responden pada penelitian yang dilakukan yaitu jenis kelamin, umur, tingkat

pendidikan, penghasilan per bulan dan pekerjaan (Tabel 1). Sebagian besar responden berjenis

kelamin laki-laki dengan mata pencaharian dominan sebagai nelayan dengan tingkat penghasilan

yang beragam. Adapun tingkat pendidikan responden sebagian besar bersekolah hingga Sekolah

Menengah Atas. Dalam bidang konservasi, beberapa responden merupakan anggota pengelolaan

ekosistem pesisir kawasan Teluk Youtefa dan sekitar 36 responden pernah mengikuti kegiatan

pelatihan atau seminar tentang ekosistem pesisir yang diadakan oleh pemerintah daerah maupun

oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Tabel 1. Karakteristik responden

Karakteristik Frekuensi Persentase (%)

Jenis kelamin Laki-laki 78 60.94

Perempuan 50 39.06

Umur < 20 tahun 4 3.13

21 – 30 tahun 24 18.75

31 – 40 tahun 20 15.63

Page 52: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

46

41 – 50 tahun 30 23.44

51 – 60 tahun 26 20.31

> 60 tahun 24 18.75

Tingkat Pendidikan SD 34 26.56

SMP 28 21.88

SMA 48 37.50

Diploma/Sarjana 18 14.06

Penghasilan

(Rp/bulan)

< Rp 1,000,000 37 28.91

Rp 1,000,000 – Rp 2,000,000 63 49.22

Rp 2,000,001 – Rp 3,000,000 22 17.19

Rp 3,000,001 – Rp 4,000,000 4 3.13

> Rp 4,000,000 2 1.56

Pekerjaan Nelayan 60 46.88

Ibu rumah tangga 40 31.25

Pekerja swasta 6 4.69

PNS 22 17.19

3.3. Nilai Manfaat Langsung Ekosistem Padang Lamun

Nilai ekonomi secara langsung ekosistem padang lamun adalah nilai pilihan yang menunjukkan

nilai pelestarian fungsi ekosistemnya dan pemakaiannya di masa mendatang (Tebaiy, 2012). Pada

dasarnya, nilai manfaat langsung merupakan nilai yang langsung dapat dirasakan oleh

masyarakat. Manfaat langsung ekosistem padang lamun yang diperoleh masyarakat Kampung

Tobati dan Enggros antara lain sebagai daerah penyedia sumberdaya ikan, kepiting dan kerang.

Hal ini sesuai dengan pendapat Tebaiy (2016), terdapat berbagai manfaat langsung ekosistem

padang lamun yang telah dirasakan oleh masyarakat antara lain berbagai produk ekonomi seperti

ikan, kepiting, udang, kerang (bia) dan teripang. Berdasarkan hasil wawancara, hampir setiap hari

(kecuali hari minggu) masyarakat di kawasan Teluk Youtefa (Kampung Tobati dan Enggros)

melakukan aktifitas untuk mencari ikan, kepiting dan kerang di kawasan padang lamun.

Berdasarkan hasil wawancara dan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan, kepiting dan kerang

yang dikalikan dengan jumlah hari produktif dan jumlah responden, sehingga diperoleh total hasil

tangkapan ikan sebanyak 9,320 kg/bulan atau 111,840 kg/tahun, kepiting sebanyak 3,697.78

kepiting/bulan atau 44,373.33 kepiting/tahun, dan kerang sebanyak 5,546.67 kg/bulan atau 66,560

kg/tahun. Rata-rata biaya produksi yang dikeluarkan sebesar Rp. 6,000,000.00/tahun untuk

aktifitas penangkapan ikan dan sebesar Rp. 4,800,000.00/tahun untuk aktifitas mencari kepiting

dan kerang. Sebagian besar hasil tangkapan ikan dan kerang biasanya dijual dalam satuan tumpuk

(bukan per kg), dan berat produk dalam satu tumpuk pun bervariasi. Dari hasil perkiraan kasar,

maka harga jual untuk ikan campur sebesar Rp. 40,000.00/kg, kepiting sebesar Rp.

20,000.00/kepiting, dan kerang sebesar Rp. 20,000.00/kg. Berdasarkan data jumlah produksi,

harga jual produk dan biaya produksi, maka dapat diperoleh nilai manfaat langsung padang lamun

untuk penyedia produk ikan sebesar Rp. 2,790,000,000.00/tahun, manfaat langsung sebagai

penyedia kepiting, sebesar Rp. 882,666,666.67/tahun dan manfaat langsung sebagai penyedia

kerang sebesar Rp. 1,326,000,000.00/tahun.

Page 53: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

47

Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh manfaat langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp.

6,676,666,666.67/tahun, dimana 66.91% berasal dari manfaat padng lamun sebagai penyedia

sumberdaya ikan, 16.03% sebagai penyedia sumberdaya kepiting dan 19.87% sebagai penyedia

sumberdaya kerang (Tabel 2).Dari nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun tersebut,

dapat dipastikan bahwa kawasan ekosistem padang lamun di Taman Wisata Alam Teluk Youtefa

sangat bermanfaat secara langsung bagi kehidupan ekonomi masyarakat adat di kawasan Teluk

Youtefa, dimana setiap rumah tangga dapat memperoleh manfaat langsung ekosistem padang

lamun sebesar Rp. 52,161,458.33/tahun atau Rp. 4,346,788.19/bulan. Sama halnya dengan

kawasan mangrove, besarnya manfaat padang lamun tersebut terutama dirasakan bagi perempuan

Papua karena kawasan mangrove dan padang lamun merupakan lumbung makanan dan tempat

berinteraksi sosial dan budaya bagi perempuan Papua pada saat mencari kepiting, kerang dan

udang pada dua kawasan tersebut.

Apabila dibandingkan dengan nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun Teluk Youtefa

pada penelitian Tebaiy (2012), nilai manfaat langsung sebagai penyedia sumberdaya ikan pada

penelitian ini tergolong kecil. Pada penelitian Tebaiy (2012) diperoleh nilai manfaat langsung

sebagai penyedia sumberdaya ikan sebesar Rp. 15,235,539,193.44/tahun. Tingginya nilai yang

diperoleh karena pada penelitian tersebut menggunakan sampel kelompok nelayan yang

menangkap ikan dengan menggunakan alat tangkap jaring sebanyak 375 nelayan. Sedangkan

sampale pada penelitian ini adalah nelayan yang menggunakan jaring dan alat pancing, kemudian

dilakukan standarisasi jumlah hasil tangkapan. Hal ini sangat berpengaruh karena jumlah

tangkapan nelayan akan lebih banyak dibandingkan hasil tangkapan nelayan yang menggunakan

alat tangkap pancing. Untuk nilai manfaat langsung sebagai penyedia kerang reltif tinggi, dimana

pada penelitian Tebaiy (2012) diperoleh nilai manfaat langsung kerang-kerangan sekitar Rp.

1,176,879,481.50/tahun yang dilakukan oleh 150 nelayan pengumpul.

Tabel 2. Nilai manfaat langsung ekosistem padang lamun Teluk Youtefa, Jayapura

Produk Nilai manfaat langsung

Rp/tahun Rp/ha/tahun Rp/rumah tangga/tahun

Ikan 4,467,600,000.00 40,310,385.27 34,903,125.00

Kepiting 882,666,666.67 7,964,149.30 6,895,833.33

Kerang 1,326,000,000.00 11,964,269.60 10,362,500.00

Total 6,676,666,666.67 60,238,804.17 52,161,458.33

4. KESIMPULAN

Manfaat langsung ekosistem padang lamun di Teluk Youtefa sebesar Rp. 6,676,666,666.67/tahun

atau sebesar Rp. 60,238,804.17/ha/tahun. Nilai manfaat langsung tersebut terdiri dari manfaat

padng lamun sebagai penyedia sumberdaya ikan sebesar Rp. 4,467,600,000.00/tahun, sebagai

penyedia sumbedaya kepiting sebesar Rp. 882,666,666.67/tahun dan sebagai penyedia

sumberdaya kerang sebesar Rp. 1,326,000,000.00/tahun.Dari nilai manfaat langsung ekosistem

padang lamun tersebut, dapat dipastikan bahwa kawasan ekosistem padang lamun di Taman

Wisata Alam Teluk Youtefa sangat bermanfaat secara langsung bagi kehidupan ekonomi

masyarakat adat di kawasan Teluk Youtefa, dimana setiap rumah tangga dapat memperoleh

manfaat langsung ekosistem padang lamun sebesar Rp. 52,161,458.33/tahun atau Rp.

4,346,788.19/bulan.

Page 54: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

48

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bann, C. (1998). The Economic Valuation of Mangroves: A Manual for Researchers,

Economy and Environment Program for Southeast Asia (EEPSEA), Singapore.

[2] Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S.P., Sitepu, M.J. (2001). Pengelolaan Sumberdaya Wilayah

Pesisir dan Lautan secara Terpadu, Pradnya Paramita, Jakarta.

[3] Gillanders, B.M. (2006). Seagrasses, fish and fisheries. In: Larkum AWD, Orth RJ, Duarte

M (eds.). Seagrasses: biology, ecology and conservation, Springer, Netherlands.

[4] Malik, A., Fensholt, R., Mertz, O. (2015). Economic valuation of mangroves for comparison

with commercial aquaculture in South Sulawesi, Indonesia, Forests 2015; 6; 3028-3044.

[5] Rangkuti, A., Cordova, M.M.R., Rahmawati, A., Yulma, Adimu, E.H. (2017). Ekosistem

Pesisir dan Laut Indonesia, PT Bumi Aksara, Jakarta.

[6] Supriadi, Kaswadji, R.F., Bengen, D.G., Hutomo, M. (2012). Produktivitas Komunitas

Lamun di Pulau Barrang Lompo, Makassar, Jurnal Akuatika 3; 2; 159-168.

[7] Tebaiy, S. (2012). Kontribusi Ekonomi Sumberdaya Padang Lamun Berdasarkan Fungsinya

Sebagai Habitat Ikan Di Teluk Youtefa Jayapura Papua. Prosiding Seminar Nasional Ikan

ke-8, Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Perikanan dan Ilmu Kelautan UNIPA. Papua

Barat. Hal: 143-152.

[8] Tebaiy, S. (2016). Connectivity Pattern of Socio-Ecology System of Youtefa Bay

Community in Utilizing Seagrass Ecosystem, KnE Social Sciences 2016; 44-54.

[9] Tebaiy, S., Mampioper, D.C. (2017). Kajian Potensi Lamun dan Pola Interaksi Pemanfaatan

Sumberdaya Perikanan Lamun (Studi Kasus Kampung Kornasoren dan Yenburwo, Numfor,

Papua), Jurnal Pengelolaan Perikanan Tropis 1; 1; 59-69.

[10] Tebaiy, S., Yulianda, F., Fahrudin, A., Muchsin, I. (2014a). Struktur Komunitas Padang

Lamun dan Strategi Pengelolaan di Teluk Youtefa Jayapura Papua, Jurnal Segara 10; 2; 137-

146.

[11] Tebaiy, S., Yulianda, F., Fahrudin, A., Muchsin, I. (2014b). Struktur Komunitas Ikan pada

Habitat Lamun di Teluk Youtefa Jayapura Papua, Jurnal Iktiologi Indonesia 14; 1; 49-65.

[12] Universitas Negeri Papua (UNIPA). (2006). Survei Potensi sumberdaya Teluk Youtefa

Berkelanjutan Berbasis Masyarakat di Kota Jayapura, Unipa Press, Manokwari.

Page 55: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

49

STRUKTUR VEGETASI HUTAN MANGROVEDI KAMPUNG

KUNEF DISTRIK SUPIORI SELATANKABUPATEN SUPIORI

Maklon Warpur

Jurusan Ilmu Perikanan dan Kelautan

FMIPA, Universitas Cenderawasih

email: [email protected]

Abstrak. Ekosistem hutan mangrove merupakan suatu vegetasi yang tumbuh di

lingkunganestuaria pantai yang dapat ditemukan pada garis pantai tropika dan subtropika yang

memiliki fungsi secara ekologi, biologi, ekonomi dan sosial budaya, namun saat ini

keberadaannya telah mengalami degradasi akibat pemanfaatan yang kurang tepat, dan/atau

mengalami perubahan fungsi. Penelitian tentang struktur vegetasi hutan mangrove di Kampung

Kunef Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori dilakukan pada bulan Maret 2018 dengan tujuan

untuk mengetahui struktur vegetasi hutan mangrove di kampung Kunef. Metode yang digunakan

dalam penelitian ini adalah metode transek garis (line transect). Hasil analisis data menunjukkan

bahwa struktur vegetasi hutan mangrove di Kampung Kunef terdiri atas 6 jenis dari 3 famili

dengan komposisi vegetasi antara 3.49%-19.32%, sedangkan nilai keanekaragaman jenis

(H’)termasuk kategori sedang, karena memiliki Nilai H’<3, yaitu berkisar antara 1.09-2.04.

Kata kunci: Vegetasi Hutan mangrove, Masyarakat Kunef

1. PENDAHULUAN

Indonesia sebagai daerah tropis mempunyai keanekaragaman hayati tinggi, baik di darat maupun

di laut khususnya di wilayah pesisir. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut tidak lepas dari

kondisi dan letak geografis perairan Indonesia (Begen 2002; Supriharyono 2002; Dahuri et al,

2001). Salah satu unsur keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan laut adalah ekosistem hutan

mangrove. Hutan mangrove sebagai suatu kelompok tumbuhan yang terdiri atas berbagai macam

jenis dari suku yang berbeda, namun memiliki daya adaptasi, morfologi dan fisiologi yang sama

terhadap habitat yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Kustanti, 2011; Arief, 2007).

Hutan bakau atau hutan mangrove memiliki beberapa nilai penting, baik secara ekologis maupun

ekonomis dan sial budaya bagi masyarakat di sekitarnya,

Secara ekologis keberadaan hutan mangrove merupakan suatu ekosistem penyangga bagi

ekosistem di kawasan pesisir lainnya seperti ekosistem pantai, ekosisten padang lamun,

ekosistem terumbu karang. Selain itu berfungsi sebagai habitat bagi berbagai biota air seperti

ikan, udang, kepiting, dan organisme lainnya yaitu sebagai daerah asuhan (nursery ground),

daerah untuk bertelur (spawning ground), dan daerah untuk mencari makan (feeding ground).

Fungsi secara ekonomi adalah hutan mangrove dimanfaatkan sebagai tempat mencari ikan,

udang, kepiting, kerang, kayu bakar, bahan konstruksi rumah dan jembatan, bahan obat-obatan

tradisonal serta kegunaan lainnnya bagi masayarakat di sekitarnya. Sedangkan fungsi secara

budaya adalah sebagai tempat upacara adat. Walaupun memiliki fungsi ganda, namun saat ini

keberadaan hutan mangrove telah mengalami degradasi akibat pemanfaatan yang kurang tepat,

dan/atau mengalami perubahan fungsi. Degradasi ekosistem hutan mangrove diakibatkan oleh

berbagai faktor teutama faktor kebutuhan ekonomi dan kegagalan kebijakan.

Provinsi Papua memiliki ekosistem hutan mangrove terluas di Indonesia yaitu sekitar 1.326.990

ha atau 30% dari luas hutan mangrove yang terdapat di Indonesia (Paramudji 2010 dalam Troce

dkk, 2017) yang tersebar luas teruatama selatan Papua. Kabupaten Supiori menurut BPDAS

Page 56: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

50

Mamberamo (2007) memiliki hutan mangrove seluas 3036 ha dengan perincian 1349 ha telah

mengalami rusak berat, 1236 ha rusak, dan 431 ha tidak mengalami kerusakan. Penurunan luas

mangrove juga terjadi di Kabupaten Supriori akibat dari aktivitas manusia, seiring dengan

meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk yang diikuti oleh peningkatan kebutuhan hidup

yang terus bertambah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui struktur

vegetasi hutan mangrove dan pemanfaatannya pada masyarakat Kunef.

2. METODE PENELITIAN

Untuk mengetahui struktur vegetasi mangrove dilakukan dengan menggunakan metode transek

garis (Fahrul, 2007) yang diletakkan tegak lurus dengan garis pantai. Pengambilan data vegetasi

mangrove dilakukan pada 3 stasion pengamatan, dan masing-masing stasion dibuat 2 transek

dengan 5 plot tiap transek. Selanjutnya dibuat petak ukuran bertingkat masing-masing 10 m²x10

m² untuk tingkat pohon (∅> 10 cm), 5 m² x 5 m² untuk tingkat pancang ( 4 cm <∅< 10 cm), dan

1m x 1m untuk tingkat semai (∅< 4 cm).

Arah Laut Arah Darat

Arah Kontur

Keterangan :

Petak a : Sub-plot ukuran 10 m x 10 m, untuk pohon

Petak b : Sub-plot ukuran 5 m x 5 m, untuk pancang

Petak c : Sub-plot ukuran 1 m x 1 m, untuk semai

3. ANALISIS DATA

Analisis strukutur vegetasi hutan mangrove dilakukan dengan menghitung nilai kerapatan,

frekwensi, dominansi, dan indeks nilai penting dengan menggunakan formula analisa vegetasi

menurut Cox (1985); Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalamKustanti, 2011)sebagai

berikut:

Indeks Nilai Penting: dihitung berdasarkan seluruh nilai frekwensi relatif, kerapatan relatif

dan dominansi relatif yang diperoleh sebagai berikut:

Kerapatan

Kerapatan relatif

Frekwensi

Frekwensi Relatif

Dominansi

=

=

=

=

=

Jumlah individu suatu jenis

Luas seluruh plot pengamatan

Kerapatan suatu jenis

x 100%

Kerapatan seluruh jenis

Jumlah plot ditemukan suatu jenis

Jumlah seluruh plot

Frekwensi suatu jenis

x 100%

Frekwensi seluruh jenis

Luas basal areal

Luas petak contoh

Domonansi suatu jenis

a

b c

a

a

b

b

c

c

Page 57: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

51

Dominansi

Relatif

=

x 100%

Dominansi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting (INP) = Kerapatan relatif + Frekwensi relatif + Dominansi relatif

2. Tingkat keanekaragaman jenis (H´), dihitung dengan menggunakanrumus indeks

keanekaragaman berdasarlan Shannon-Wienner (1949) dalam Fakhrul (2007)

n

H' = -∑ ni/Nlog ni/N

i=1

Dimana : H' = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wienner

ni = Jumlah individu dari suatu jenis i, i= 1,2,3,...

N = Jumlah total individu seluruh jenis

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi dan Strukutr Vegetasi Hutan Mangrove

4.1. Komposisi Vegetasi Hutan mangrove

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan menunjukkan bahwa penyebaran hutan

mengrove di Kampung Kunef relatif terbatas, mengingat kawasan pesisir yang ada di daerah ini

merupakan pulau-pulau karang dengan substrat berupa pasir berkarang dan pasir berlumpur.

Penyebaran hutan mangrove di Kampung Kunef yang relatif terbatas secara tidak langsung dapat

berpengaruh terhadap jumlah jenis tumbuhan mangrove yang dijumpai pada lokasi tersebut.

Berdasarkan hasil survey vegetasi yang telah dilakukan di Kampung Kunef telah tercatat

sebanyak 8 jenis tumbuhan mangrove dari 4 famili dengan jumlah individu 1120 yang terdiri atas

vegetasi tingkat pohon, pancang dan semai. Hasil analisi komopsisi vegetasi hutan mangrove di

Kunef menunjukkan bahwa jenis Rhizophora apiculata memiliki jumlah individu terbanyak (216)

dengan komposisi vegetasi 19.32%, sedangkan Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan

jumlah individu dan komposisi vegetasi terkecil, yaitu 39 individu dengan komposisi vegetasi

3.49% (Tabel 1).

Tabel 1. Jumlah Famili dan Jenis Tumbuhan mangrove

Di Kampung Kunef

No Famili Jenis Jumlah

individu

Komposisi

vegetasi

mangrove (%)

1.

2.

3.

Rhizophoraceae

Soneratiaceae

Meliacaee

1. Rhizophora apiculata

2. Rhizophora stylosa

3. Bruguiera gymnorrhissa

4. Bruguiera sexangula

5. Bruguiera cylindrica

6. Sonneratia alba

7. Sonneratia caseolaris

8. Xylocarpus granatum

216

197

183

179

162

78

67

39

19.32

17.62

16.37

16.01

14.22

6.98

5.99

3.49

Junlah 1121 100

4.2. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove

a. Kerapatan Jenis

Kerapatan merupakan jumlah suatu individu jenis per unit luas atau per unit volume. Hasil analisis

data menunjukkan bahwa Jenis Rhizophora apiculata, Rhizophora stylosa dan Bruguiera

gymnorrhissa memiliki penyebaran yang merata dan selalu hadir dalam setiap plot pengamatan

dengan jumlah indivudu yang lebih banyak dari jenis lainnya, sehingga lebih dominan pada lokasi

pengamatan baik pada tingkat pohon, pancang, maupun semai (tabel 2). Menurut Kustanti (2011),

bahwa Rhizophora merupakan salah satu jenis tumbuhan mangrove yang dominan dalam suatu

Page 58: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

52

kawasan hutan mangrove karena mampu beradabtasi dengan baik terhadap lingkungannya jika

dibandingkan dengan jenis lainnya.

Tabel 2. Kerapatan Relatif, Frekwensi Relatif dan Dominansi Relatif

Tingkat Pohon, Pancang dan Semai

Jenis Tingkat Pohon Pancang Semai

KR FR DR KR FR DR KR FR

Rhizophora

apiculata 17,23 18,62 17,37 21,19 19,55 14,93

17,3

7

21,7

4

R.stylosa 14,77 17,24 15,68 20,00 18,05 13,43

15,6

8

19,1

3

Bruguera

gymnoriza 14,15 16,55 15,25 18,10 17,29 14,93

15,2

5

16,5

2

B.cylindrica 13,54 13,79 13,98 14,52 15,79 13,43

13,9

8

15,6

5

B.sexangula 12,92 11,72 11,02 12,86 9,77 11,94

11,0

2 9,57

Sonneratia alba 11,38 10,34 9,75 5,71 6,77 10,45 9,75 6,96

S.caseolaris 10,77 5,52 8,05 4,52 4,51 11,94 8,05 5,22

Xylocarpus granatum 5,23 6,21 8,90 3,10 8,27 8,96 8,90 5,22

100 100 100 100 100 100 100 100

Dari analisis Tabel 2 diketahui bahwa jenis Rhizophora apiculata, memiliki nilai kerapatan relatif

yang tinggi untuk tingkat pohon (17,23%) (21.19%) untuk tingkat pancang dan (17,37%) untuk

tingkat semai. Kemudian diikuti oleh R.stylosa dengan nilai kerapatan relatif (14. 77%) untuk

tingkat pohon, (20.00%) untuk tingkat pancang dan (15.68%) untuk tingkat semai. Selanjutnya

B. Gymnoriza dengan nilai kerapatan relatif (14.15%) untuk tingkat pohon, (18.10%) untuk

tingkat semai dan (15.25%) untuk tingkat semai. Tingginya nilai kerapatan relatif ke 3 jenis

tersebut didukung oleh faktor lingkungan berupa substrat pasir berkarang dan pasir berlumpur

dengan suplai air tawar dari sungai kecil di sekitar lokasi pengamatan. Sedangkan jenis

Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan nilai kerapatan relatif kerkecil baik pada tingkat

pohon, pancang maupun semai, hal ini dikarenakan substrat pada lokasi pengamatan menjadi

faktor penghambat bagi penyebaran dari jenis tersebut. Nilai kerapan vegetasi mangrove di Kunef

baik pada tingkat pohon, pancang dan semai lebih kecil jika dibandingkan dengan nilai kerapatan

vegetasi mangrove di Kampung Rayori (Warpur, 2012). Berdasarkan hasil analisis struktur

vegetasi yang dikompilsikan dengan hasil pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa

vegetasi hutan mangrove di Kunef telah mengalami gangguan terutama dari aktivitas masyrakat.

Menurut Fachrul (2007) kerapatan dapat digunakan untuk melihat besarnya gangguan terhadap

suatu habitat. jika nilai kerapatan jenis tumbuhan pada suatu habitat rendah/kecil maka pada

habitat tersebut telah mengalami kerusakan, sebaliknya jika nilai kerapatan jenis tumbuhan

tersebut besar/tinggi maka pada habitat tersebut belum mengalami kerusakan.

b. Frekwensi

Frekuensi adalah jumlah kehadiran suatu jenis dalam petak contoh penganatan. Hasil analisis data

dalam tabel 2 di atas menunjukkan bahwa Jenis Nilai frekwensi relatif (FR) R.apiculata untuk

tingkat pohon adalah 18.62%, kemudian 19.55% untuk tingkat pancang serta 21.74% untuk

tingkat semai. Selanjutnya diikuti oleh R.stylosa dengan nilai frekwnsi relatif 17.24% untuk

tingkat pohon, 18.05 untuk tingkat semai serta 19.13% untuk tingkat semai. B.gymnoriza

merupakan jenis yang memiliki nilai frekwensi terbesar ketiga, yaitu 16.55% untuk tingkat pohon,

17.29% untuk tingkat pancang, serta 16.52% untuk tingkat semai.Secara umum nilai frekuensi

Page 59: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

53

tumbuhan mangrove di Kampung Kunef dikategorikan ke dalam kategori sangat rendah berkisar

antara 5.22%- 21.74%. Menurut Indriyanto (2006) jika nilai frekwesni berkisar antara 1-20%

dikategorikan ke dalam kelas A yaitu sangat rendah, kemudian jika nilai frekwensi berkisar antara

21-40% dikategorikan ke dalam kelas B yaitu rendah, 41%-60% kelas C yaitu sedang, 61-80 %

kelas D yaitu tinggi, dan 82-100% sangat tinggi.

Tingginya nilai frekwensi relatif dari R.apiculata, R. stylosa dan B.gymnorrhissa karena selalu

hadir dalam setiap plot pengamatan dengan jumlah indivudu yang lebih banyak dari jenis lainnya,

sehingga lebih dominan pada lokasi pengamatan baik pada tingkat pohon, pancang, maupun

semai (tabel 2). Hal ini diperkuat oleh pendapat Kustanti (2011), bahwa Rhizophora merupakan

salah satu jenis tumbuhan mangrove yang dominan dalam suatu kawasan hutan mangrove karena

mampu beradabtasi dengan baik terhadap lingkungannya jika dibandingkan dengan jenis lainnya.

Menurut Abdulhaji (2001) dalam Alik dkk(2012), bahwa sebagian besar hutan mangrove yang

ada di Indonesia didominasi oleh familia Rhizophoracaceae.

c. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’)

Indeks Nilai Penting (lNP) atau Impontant Value Index yang digunakan untuk menggambarkan

kedudukan ekologis suatu jenis dalam suatu komunitas vegetasi atau menunjukkan penguasaan

ruang suatu jenis pada suatu tempat. Apabila INP suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis

itu sangat mempengaruhi kestabilan. Hasil analisis indeks nilai penting (INP) menunjukkan

bahwa jenis R. Apiculata memiliki INP tertinggi diantara jenis lainnya yaitu 53.33% untuk tingkat

pohon, kemudian 55.66% untuk tingkat pancang, serta 42.30% untuk tingkat semai. Sedangkan

jenis Xylocarpus granatum merupakan jenis dengan INP terkecil yaitu 20.34 untuk tingkat pohon,

20.32 untuk tingkat pancang, dan 7.75 untuk tingkat semai. Jika hasil analisis nilai penting

tersebut dikategorikan kedalam kategorisasi INP menurut Fakhrul (2007), maka R.apiculata

berada dalam kategori tinggi, sedangkan X.granatum berada dalam kategori rendah, dimana INP

> 42,66 dikategorikan tinggi, INP 21,96 – 42,66 dikategorikan sedang, INP< 21,96 dikategorikan

rendah.

Menurut Begen (2002) Stabilitas dan keberadaan ekosistem mangrove sangat ditentukan oleh

jenis penyusun ekosistem mangrove tersebut dimana peranan satu jenis mangrove terhadap jenis

lainnya dapat dilihat dari indeks nilai penting. Jika suatu jenis menunjukkan nilai penting yang

tinggi maka peranan jenis tersebut sangat besar terhadap jenis lainnya dalam ekosistem

mangrove. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Rhizophora apiculata mempunyai peranan

yang cukup besar terutama dalam hal kontribusi bahan organik terhadap ekosistem mangrove di

Kampung Kunef. Indeks nilai penting jenis mangrove pada tingkat pohon, sapihan, dan semai di

kampung Kunef dapat dilihat pada tabel 4.21 di bawah ini.

Tabel 3. Indeks Nilai Penting (INP) dan Indeks Keanekaragaman (H’) Jenis Pohon Pancang Semai

INP H’ INP H’ INP H’

Rhizophora apiculata 53,22 0,30 55,66 0,30

42,3

0 0,32

R.stylosa 47,69 0,28 51,48 0,28

39,1

3 0,32

Bruguera gymnoriza 45,96 0,28 50,31 0,27

35,1

1 0,31

B.cylindrica 41,31 0,27 43,75 0,21

31,7

1 0,29

B.sexangula 35,66 0,26 34,57 0,24

23,3

7 0,27

Sonneratia alba 31,48 0,25 22,93 0,27

11,7

5 0,14

Page 60: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

54

S.caseolaris 24,34 0,24 20,98 0,20 8,88 0,12

Xylocarpus granatum 20,34 0,15 20,32 0,15 7,75 0,09 300 2,04 300,00 2,03 200 1,90

d. Indeks Keanekaragaman

Tingkat keanekaragaman jenis vegetasi dapat dilihat dari jumlah individu dalam setiap jenis,.

Menurut Barnes et al., (1998) komponen dari keanekaragaman jenis terdiri atas penyebaran dan

kekayaan jenis. Perhitungan H’ (indeks keanekaragaman jenis Shanon Wienner) di lokasi

pengamatan menghasilkan nilai yang berkisar antara 0.15-0.30 untuk vegetasi tingkat pohon,

kemudian 0.15-0.30 untuk vegetasi tingkat pancang dan 0.09- 0.32 untuk tingkat semai (Tabel

3). Jika dilihat perjenis maka nilai H’ untuk semua tingkatan vegetasi adalah rendah karena H<1,

tetapi secara keseluruhan untuk vegetasi tingkat pohon adalah 2.04, kemudian vegetasi tingkat

pancang 2.03, serta semai 1.09 dengan demikian keanekaragaman jenis pada daerah tersebut

tergolong sedang karena menurut klasifikasi Odum (1971) dalam Warpur (2016) nilai ideks

keanekaragaman antara 1 – 3 memiliki nilai keanekaragaman sedang dan indeks keanekaragaman

lebih dari tiga merupakan keanekaragaman yang tinggi.

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan, dijumlai sebanyak 8 jenis tumbuhan

mangrove dari 3 familia dengan jumlah inividu 1121. Komposisi vegetasi mangrove berkisar

antara 3.49%-1932%. Nilai Keanekaragaman jenis di Kampung Kunef termasuk kategori sedang,

karena memiliki Nilai H’<3, yaitu berkisar antara 1.09-2.04.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alik. T.S.D, Umar M.R,. Priosambodo D. 2012. analisis vegetasi mangrove di pesisir pantai

mara’bombang - kabupaten pinrang. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam. Universitas Hasanuddin, Makassar

[2] Arief, A. 2007. Hutan Mangrove: Fungsi dan Manfaat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

[3] Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Mamberamo. 2007. Direktorat Jenderal

Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Departemen Kehutanan. Jakrta.

[4] Bambang, M. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan Ekologi Bakau. Departemen

Kelautan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap. Proyek Pembangunan Masyarakat Pantai

dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta: Penerbit Cofish Proyect.

[5] Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara.

[6] Kustanti, A. 2011. Manajemen Hutan mangrove. Bogor: PT.Penerbit IPB Press.

[7] Noor, Y.R., Khazali, M., Suryadiputra. I.N.N. 2006. Panduan Pengenalan Mangrove di

Indonesia. Wetlands International. Indonesia Program. Bogor.

[8] Supriharyono, 2008. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut

Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[9] Troce Mayor, Herny E.I. Simbala, Roni Koneri 2017 Biodiversitas Mangrove di Pulau

Mansuar Kabupaten Raja Ampat Provinsi Papua Barat (The Biodiversity of Mangrove in the

Mansuar Island Raja Ampat District West Papua Province). Program Studi Biologi, Jurusan

Biologi FMIPA UNSRAT Manado. jurnal bioslogos, vol. 7 nomor 2 agustus 2017,

[10] Warpur M. 2016. Struktur Vegetasi Hutan Mangrove dan Pemanfaatannya di Kampung

Ababiaidi Distrik Supiori Selatan Kabupaten Supiori. Jurnal Biodjati 1(1): 19-26.

[11] Warpur M. 2012. Etnoekologi Hutan mangrove pada Masyarakat Supiori Sebagai Landasan

Penyusunan Model Kelembagaan Dalam Pengelolaan Hutan Secara Berkelanjutan di

kabupaten Supori. Disertasi. PPS.Unpad. bandung.

Page 61: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

55

POTENSI DAN PEMANFAATAN AMPAS SAGU (Metroxylon Sp.)

SEBAGAI PAKAN TERNAK RUMINANSIA DI PAPUA

(Potential and Utilization of Sago Waste as Ruminant Feed in Papua)

Usman1 dan Siska Tirajoh2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua1,2

e-mail: [email protected]

Abstrak.Luas lahan sagu di Papua mencapai sekitar 4,7 juta ha, dan baru dimanfaatkan secara

tradisional sekitar 14.000 ha. Sagu merupakan sumber pangan lokal bagi masyarakat asli Papua.

Tulisan ini bertujuan menyajikan data dan informasi terkait potensi dan pemanfaatan ampas sagu

sebagai pakan ternak ruminansia di Papua. Sagu merupakan sumber pangan lokal yang sangat

penting di Papua. Dari hasil ekstraksi sagu, akan dihasilkan ampas sagu sekitar 14% dari total

berat batang sagu. Belum dimanfaatkannya ampas sagu secara optimal akan berdampak terhadap

pencemaran lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ampas sagu memiliki potensi yang

cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan alternatife ternak ruminansia. Namun

mengalami kendala dalam pemanfaatannya adalah kandungan protein kasar (PK) yang rendah

(0,06-3,07%). Akan tetapi melalui teknologi fermentasi, kandungan gizi ampas sagu berupa PK

dapat ditingkatkan sekitar 4,56-15,49%. Pemberian ampas sagu fermentasi pada ternak Sapi Bali

sebesar 50% dalam ransum dapat meningkatkan pertambahan bobot badan harian (PBBH) sebesar

0,58 kg/hari, lebih tinggi dibandingkan dengan tampa fermentasi. Demikian pula pada ternak

kambing, pemberian sampai 20% dapat meningkatkan PBBH sebesar 78,75 g/ekor/hari, lebih

tinggi dibandingkan kontrol (0% ampas sagu). Dapat disimpulkan bahwa AS memilik potensi

yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia di Papua.

Kata kunci : Ampas sagu, pakan, ternak ruminansia.

1. PENDAHULUAN

Luas lahan sagu di Provinsi Papua yang belum dioptimalkan mencapai sekitar 4,7 juta ha. Hal

ini disampaikan oleh Laduani Ladamay (Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi

Papua) dalam kegiatan Festival Sagu Papua (http://kompas.id), dan baru dimanfaatkan secara

tradisional sekitar 14.000 ha dengan potensi kisaran 0,33-5,67 pohon/ha (http://bisnisukm.com).

Berdasarkan BPS (2017), bahwa luas areal tanaman sagu mencapai 35.351 ha, dengan produksi

sebesar 28.340 ton. Wilayah penyebaran, tersebar pada beberapa kabupaten yaitu Jayapura

(Sentani), Mimika, Mamberamo, Merauke, Wasior, Serui, Waropen, dan Sarmi. Tanaman sagu

sebagian besar tumbuh dan berkembang secara tradisional dan hanya sebagian kecil yang

dibudidayakan. Umur panen tanaman sagu sangat tergantung dari jenisnya yaitu sekitar 10-18

tahun, Di Maluku rata-rata jumlah pohon masak tebang adalah 82,12 pohon/ha, dengan produksi

tepung basah antara 100-500 kg/pohon atau 292 kg/pohon, tergantung jenisnya (Alfons, 2006).

Pohon sagu siap panen berkisar antara 15-60 pohon/ha (Tim Sagu Maluku, 1980).

Proses pengolahan tanaman sagu setelah panen dilakukan melalui penghancuran empulur dari

batang untuk memperoleh aci dan dapat dilakukan melalui dua cara adalah menokok dan mekanik

(menggunakan mesin pangkur sagu). Salah satu komponen terbesar dalam tepung sagu adalah

pati (karbohidrat). Di Papua, tepung sagu merupakan sumber pangan lokal dan sering dibuat

menjadi Papeda sebagai makanan tradisional, khususnya dalam acara adat. Selain itu, juga

merupakan bahan baku pembuatan kue dalam industri rumah tangga. Proses pengolahan sagu

menjadi tepung sagu akan dihasilkan produk samping (by product) berupa ampas sagu. Pada

sentra-sentra produksi sagu, limbah ampas sagu pada umumnya belum dimanfaatkan dan

ditumpuk begitu saja yang pada akhirnya akan mencemari lingkungan (Kompianget al, 1995).

Page 62: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

56

Ampas sagu yang dihasilkan selama ini, khususnya di Provinsi Papua belum dimanfaatkan secara

optimal. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan belum dimanfaatkannya ampas sagu oleh

petani antara lain, karena petani belum memahami teknologi pengelolaannya, baik sebagai pupuk

organik maupun sebagai pakan alternatif bagi ternak. Ampas sagu memiliki potensi yang cukup

besar dan berpeluang untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, khususnya pada ternak

ruminansia (Sapi dan Kambing) karena ampas sagu yang tersedia terdiri dari campuran ampas

dan sisa pati yang tidak terekstraksi (Rumalatu, 1981), Demikian pula kandungan energi cukup

tinggi (3.860-4.148 kkal/kg), akan tetapi kandungan protein kasarnya sangat rendah (0,06-3,07%)

sehingga menjadi salah satu kendala dalam penggunaannya sebagai pakan ternak. Oleh karena

itu, perlu suatu upaya terhadap peningkatan kualitas ampas sagu melalui teknologi fermentasi

menggunakan bakteri berupa Probion, Aspergillus niger, dan Ragi tape.

Makalah ini bertujuan untuk memberikan informasi dan data tentang potensi dan pemanfaatan

ampas sagu sebagai pakan ternak ruminansia di Provinsi Papua.

BAHAN DAN METODE

Ampas sagu adalah hasil dari proses pengolahan sagu menjadi tepung sagu dan belum

dimanfaatkan oleh masyarakat secara optimal, bahkan dibiarkan menumpuk sehingga akan

berdampak terhadap pencemaran lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatan ampas sagu sebagai

pakan ternak, khususnya pada ternak ruminansia diharapkan dapat menjadi salah satu solusi

dalam mengatasi permasalahan lingkungan. Ampas sagu memiliki potensi yang cukup besar

untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak, karena ampas sagu terdiri dari campuran ampas dan

sisa pati yang tidak terekstraksi dalam proses pengolahan.

Makalah ini merupakan reviuw dari hasil penelitian tentang pemanfaatan ampas sagu

sebagai pakan ternak. Jenis data yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Data

primer diperoleh melalui hasil pengamatan dilapangan. Sedangkan data sekunder selain diperoleh

dari Badan Pusat Statistik juga diperoleh melalui penelusuran studi pustaka (literature).

Untuk menganalisis potensi ampas sagu yang di hasilkan di Provinsi Papua dalam setiap

tahunnya digunakan asumsi dari perbandingan produksi tepung sagu dan ampas sagu adalah 1:6

(Flach, 1997) dan (Rumalatu, 1981) atau potensi ampas sagu tersedia sekitar 1.320 kg/pohon

Rumalatuh, (1981). Sementara berat panen 1 pohon sagu dapat mencapai 1 ton, kandungan acinya

berkisar 15-30% berat basah (Tirta et al, 2013). Sedangkan kemampuan ampas sagu dalam

memenuhi kebutuhan ternak ruminansia selama 1 tahun dianalisis berdasarkan Thahar dan

Mahyudin (1993) bahwa kebutuhan bahan kering (BK) pakanternak ruminansia dalam satu satuan

ternak (ST) adalah minimal 1,14 ton BK/tahun atau setara 3,1 kg BK/hari, dan Parakkasi (1999),

bahwa konsumsi BK berkisar 3,5 – 4,6 kg/hari atau rata-rata sebesar 4,0 kg/hari. Sedangkan

ternak kambing diasumsikan kebutuhan BK pakan adalah sebesar 3,8% dari bobot hidup (NRC

1981).

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1. Potensi Ampas Sagu

Ampas sagu merupakan bagian dari limbah tanaman sagu pasca panen, dan dihasilkan dari proses

pengolahan sagu menjadi tepung sagu. Menurut Mc Clatchey et al. (2006), bahwa proses

pengolahan sagu menghasilkan limbah ikutan berupa kulit batang sekitar 17-25% dan ampas sagu

75-83%. Ampas sagu dapat dimanfaatkan sebagai campuran substrat biogas karena banyak

mengandung bahan organik terutama unsur karbon dan pakan ternak bila diolah dengan baik (Lay

& Patrik 2010). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ampas sagu memiliki kandungan bahan

kering 54,03%; GE 3,912 kkal/kg; BO 48,75%; PK 5,02%; NDF 67,78% dan ADF 43,47%

(Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN 2014).

Berdasarkan BPS (2017) menunjukkan bahwa luas areal tanaman sagu di Provinsi Papua

mencapai 35.351 ha, dengan produksi sagu sebesar 28.340 ton/tahun. Dengan demikian, jika

Page 63: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

57

perbandingan sagu dengan ampas sagu adalah 1:6, maka akan dihasilkan ampas sagu sebanyak

170.040 ton/tahun atau setara dengan 109.675,8 ton BK/tahun. Menurut Thahar dan Mahyudin

(1993) bahwa kebutuhan pakanternak ruminansia dalam satu satuan ternak (ST) adalah minimal

1,14 ton BK/tahun (3,1 kg BK/hari). Sedangkan menurut Parakkasi (1999), bahwa sapi jantan

dengan bobot badan 135-180 kg/ekorkonsumsi BK berkisar 3,5 – 4,6 kg/hari atau rata-rata sebesar

4,0 kg/hari. Hal ini berarti konsumsi BK sapi dewasa berkisar antara 3,1 – 4,6 kg BK/hari atau

rata-rata sebesar 3,85 kg BK/hari atau 1,41 t/tahun. Oleh karena itu, jika potensi ketersediaan

ampas sagu sebesar 109.675,8 ton BK/tahun dan diberikan diberikan sebagai pakan tunggal akan

mampu memenuhi kebutuhan sebesar 77.784 ekor/tahun.

Pemberian ampas sagu sebagai pakan tunggal sebelum fermentasi pada ternak tidak dianjurkan.

Hal ini disebabkan karena kandungan gizi pada ampas sagu belum mencukupi standar gizi dalam

memenuhi kebutuhan hidup pokok. Agar ternak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal,

maka perlu dilakukan subtitusi dengan bahan baku pakan hijauan lainnya sebagai sumber protein,

seperti daun gamal, lamtoro dan indigofera. Pangsopan et al. (1984)dalam Kasmirah (2012)

menyatakan bahwa ampas sagu dapat dipergunakan sebagai bahan pakan untuk sapi Peranakan

Onggol (PO) sampai tingkat 45% dalam ransum. Sedangkan hasil penelitian Sisriyenni et al.

(2017) bahwa ampas sagu dapat diberikan hingga 50%. Oleh karena itu, jika subtitusi ampas sagu

dalam ransum diberikan sekitar 45 – 50%, maka akan mampu memenuhi kebutuhan pakan sebesar

163.695 ekor/tahun. Menurut Sisriyenni et al. (2017) bahwa produksi limbah sagu sebanyak

2.640 ton/tahun mampu memenuhi kebutuhan 2.411 ekor sapi Bali/tahun.Sedangkan pada ternak

kambing, jika dapat diberikan ampas sagu dalam campuran pakan sebanyak 1-2 kg/ekor/hari

mampu memenuhi kebutuhan pakan pada ternak kambing sebanyak 232.929-465.858 ekor/tahun.

2.2. Kandungan Nutrisi Ampas Sagu

Belum dimanfaatkannya ampas sagu sebagai pakan ternak di Provinsi Papua, disebabkan karena

ampas sagu memiliki kendala dalam femanfaatannya, diantaranya mempunyai kandungan gizi

berupa protein kasar (PK) rendah yaitu sekitar 0,06-3,38%, sementara kandungan serat kasar (SK)

tinggi yaitu sekitar 9,0-20,3% (Tabel 1). Selain itu ampas sagu umumnya tidak disukai ternak

dibandingkan dengan rumput atau hijauan lainnya. Demikian pula teknologi pemanfaatannya

sebagai pakan ternak belum diketahui oleh petani-peternak.

Tabel 1. Kandungan gizi ampas sagu dan hijauan

Bahan pakan Bahan

Kering (%)

Kandungan Gizi (%)

Protein

Kasar

Serat

Kasar

Lemak

Kasar

BETN TDN

Ampas sagu1) 43,32 0,06 9,99 - - -

Ampas sagu2) 86,40 2,1 20,3 1,8 71,3 50,1

Ampas sagu3) - 3,38 12,44 1,01 - -

Ampas sagu4)

Ampas sagu5)

Ampas sagu6)

Hijauan

-

54,03

90,05

26,57

2,23

5,02

3,07

8,25

18,86

-

-

20,00

-

-

2,71

1,23

70,04

67,78

-

59,18

-

43,47

-

51,90

Sumber : 1)Hasil analisa proksimat Laboratorium Loka Penelitian Sapi Potong, 2016. 2)Sangadji, I. 2009. (Hasil analisis Lab. Biologi Hewan PAU, IPB).

3)Hasil analisis Laboratorium Nutrisi Ruminansia, Fakultas Peternakan Universitas Andalas, 2005 4)Hangewa (1992) 5)Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas Pertanian dan Peternakan UIN, 2014 6)Simanihuruk et al. (2013).

Page 64: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

58

Hasil analisis (Tabel 1) menunjukkan bahwa kandungan nutrisi yang terdapat pada ampas sagu

sangat beragam,karena kandungan gizi ampas sagu dapat dipengaruhi oleh spesies, umur,

ekosistem, dan proses pengolahannya. Kandungan gizinya hampir setara dengan pakan hijauan,

sehingga sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi potong.Menurut Ralahalu,

(2012) bahwa kandungan nutrisi ampas sagu sangat rendah terutama PK berkisar antara 2,30-

3,36%, tetapi kandungan pati dalam ampas sagu masih cukup tinggi yaitu 52,98%. Haryati et al.

(1995)dalam Kasmirah (2012) bahwa kandungan protein pada ampas sagu hanya 1,65%, akan

tetapi kandungan patinya masih cukup tinggi, yaitu 45,90%. Beragamnya kandungan gizi dalam

ampas sagu, dapat dipengaruhi oleh jenis sagu, proses pengolahan dan faktor lingkungan.

Rendahnya kandungan PK dan tingginya SK pada ampas sagu menyebabkan tingkat

penggunaanya dalam campuran pakan menjadi sangat terbatas. Salah satu upaya untuk

meningkatkan nilai nutrisi ampas sagu dapat dilakukan melalui teknologi fermentasi.

Peningkatan kualitas nutrisi ampas sagu dengan teknologi fermentasi dapat dilakukan

menggunakan mikroorganisme (starter) berupa Aspergillus niger, ragi tempe, dan probion.

Menurut Buckle et al. (1987) bahwa proses fermentasi bahan pangan oleh mikroorganisme

menyebabkan perubahan-perubahan yang menguntungkan seperti perbaikan mutu bahan pangan

baik dari aspek gizi maupun gaya cernanya serta meningkatkan daya simpanannya. Hasil

penelitian Uhi (2007) menunjukkan bahwa proses fermentasi ampas sagu menggunakan

campuran probion 300 g dan urea 300 g, dapat meningkatkan kandungan nutrisi ampas sagu

(Tabel2).

Tabel 2. Kandungan nutrisi ampas sagu sebelum dan setelah fermentasi

Jenis

Sagu

Sebelum Fermentasi Setelah Fermentasi

PK

(%)

SK

(%)

LK

(%)

EM

(kkal/kg)

PK

(%)

SK

(%)

LK

(%)

EM

(kkal/kg)

Sagu Ihur 1,01 10,50 0,93 3969 4,81 5,49 0,73 3.860

Sagu Tuni 0,92 9,22 0,87 4105 4,56 6,25 0,71 3.508

Sumber : Uhi (2007).

Sedangkan proses fermentasi ampas sagu menggunakan Aspergillus niger pada aras starter 4%

dengan lama pemeraman 12 hari dapat meningkatkatkan PK sebesar 10,51%, dan SK sebesar

9,44% (Iskandar dan Tampubolon, 2009). Tetapi penggunaan Aspergillus niger ditambah urea

5% dan zeolit 5% mampu meningkatkan kadar protein kasar ampas sagu hasil fermentasi sebesar

15,49% (Muhsafaat et al, 2015). Febrina (2012) menyatakan bahwa kombinasi onggok-urea-

zeolit yang difermentasi dengan Aspergillus niger dapat meningkatkan nilai protein kasar dan

protein murni, serta dapat menurunkan serat kasar. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa jenis sagu dan penggunaan starter atau mikroba dalam proses fermentasi ampas sagu

sangat menentukan kualitas ampas sagu.

2.3. Pemanfaatan Ampas Sagu

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan menunjukkan bahwa ampas sagu yang dihasilkan

dalam proses pengolahan sagu menjadi tepung sagu selama ini belum dimanfaatkan secara

optimal dan dibiarkan menumpuk disekitar tempat pengolahan sagu. Namun sebagian kecil

masyarakat Sentani di Kabupaten Jayapura telah memanfaatkan sebagai media pertumbuhan

jamur dan ulat sagu. Ampas sagu selain dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak juga dapat

digunakan sebagai media pertumbuhan jamur, pupuk organik, dan sumber biogas.

Page 65: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

59

Kandungan nutrisi pada ampas sagu berupa bahan kering 54,03%; GE 3,912 kkal/kg; BO 48,75%;

PK 5,02%; NDF 67,78% dan ADF 43,47% (Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Kimia Fakultas

Pertanian dan Peternakan UIN 2014), menunjukkan bahwa kandungan nutrisi yang terdapat pada

ampas sagu sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak ruminansia. Menurut

Simanihuruk et al. (2013) bahwa ampas sagu mempunyai potensi yang tinggi sebagai bahan

pakan ternak ruminansia terutama ternak kambing. Demikian pula ampas sagu dapat menjadi

alternatif bahan pakan sumber energi karena mengandung bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)

yang tinggi yaitu 76,51%, tetapi kurang baik bila digunakan sebagai pakan tunggal karena

memiliki kandungan PK yang rendah (Sisriyenni et al, 2017). Selanjutnya dilaporkan bahwa

untuk memanfaatkan sebagai pakan tunggal atau sebagai bahan campuran dalam pakan komplit

harus difermentasikan agar nilai nutrisi dapat ditingkatkan.

Pemanfaatan ampas sagu sebagai pakan ternak dapat diberikan secara langsung dalam bentuk

segar (tanpa fermentasi), namun sebaiknya diberikan setelah melalui proses fermentasi. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa pemberian ampas sagu pada ternak sapi Bali tanpa fermentasi

sebanyak 2% (4-5 kg) dari berat badan (BB) ditambah pakan basal (hijauan 100%) dapat

meningkatkan pertambahan berat badan harian (PBBH) sebesar 0,43 kg/ekor. Namun pemberian

ampas sagu tanpa fermentasi hingga 3% menurunkan PBBH menjadi 0,37 kg/ekor. Sehingga

disarankan agar pemberian ampas sagu tanpa fermentasi tidak melibihi 3% (Batseba dan Usman,

2017). Akan tetapi pemberian ampas sagu terfermentasi hingga 50% dalam campuran pakan

pada sapi Bali dapat meningkatkan PBBH sebesar 0,58 kg/hari (Sisriyenni et al, 2017).

3. KESIMPULAN

Ampas sagu memiliki potensi yang cukup besar untuk dimanfaatkan sebagai pakan ternak

ruminansia. Pada luas areal 35.351 ha tanaman sagu di Papua dapat dihasilkan ampas sagu

109.675,8 ton/tahun. Jika ampas sagu diberikan sebagai pakan alternatif ternak sapi 50% dan

ternak kambing 40% dalam ransum, maka mampu memenuhi kebutuhan pakan, masing-masing

sebesar 163.695 ekor/tahun dan 1.370.948 ekor/tahun.

Pemanfaatan ampas sagu sebagai bahan pakan dalam ransum sebelum fermentasi dan setelah

fermentasi dapat diberikan hingga 30% dan 50%. Sedangkan pada ternak kambing dapat

diberikan hingga 40%.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alfons JB.2006. Diversifikasi sumber daya sagu di Maluku. Makalah Disampaikan pada

Lokakarya Sagu. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Maluku. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Ambon.

[2] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, 2017. Papua dalam Angka.

[3] Bintoro, M.H.B. Hariyanto, T. Honigone, M.P. Marangkey, E. Sakaguchi And Y. Takamura.

1990. Feeding value of pith and pith residue from sago palm. Proc. TakahashiShi Nutrition

Conference, Okayama. pp. 1 – 12.

[4] Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet and M. Wooton. 1987 Ilmu Pangan UI–Press,

Jakarta Fardiaz, S. 1998. Fisiologi Fermentasi. PAU. Pangan dan Gizi Institut Pertanian

Bogor.

[5] Febrina WP. 2012. Kualitas nutrien onggok yang difermentasi Aspergillus niger dengan

penambahan level urea dan zeolit yang berbeda. (Skripsi). Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor..

[6] Flach, M., 1997. Sago palm. Metroxylon sagu Rottb. Promoting the conservation and use of

underutilized and neglected crops. Rome: International Plant Genetic Resources Institute.

[7] Haryanto, B dan Pangloli P. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius Yogyakarta. (1992).

[8] http://kompas.id. Pangan Lokal. Kompas 21 Juni 2018.

[9] http://bisnisukm.com. Potensi sagu di tanah Papua.

Page 66: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

60

[10] Iskandar B, dan M. Tampoebolon. 2009. Kajian Perbedaan Aras Dan Lama Pemeraman

Fermentasi Ampas Sagu Dengan Aspergillus Niger Terhadap Kandungan Protein Kasar Dan

Serat Kasar. Seminar Nasional Kebangkitan Peternakan – Semarang, 20 Mei 2009.

[11] Kasmirah D. 2012. Penggunaan Ampas Sagu (Metroxylon sago) Fermentasi Sebagai Pakan

Ternak Unggas. livestock-livestock.blogspot.com

[12] Kiat LJ. 2006. Preparation and characterization of carboxymethyl sago waste and its

hydrogel. (Thesis). Malaysia (MY): Universitas Putra Malaysia.

[13] Kompiang, I.D, Zainuddin, D, Supriyati. 1995. Pemanfaatan limbah sagu sebagai ransum

ternak ayam. Kumpulan Hasil-hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor.

[14] Lay AF, Patrik M. 2010. Optimalisasi pengolahan sagu (Metroxylon sp) menjadi biofuel.

Warta Penelitian dan Pengembangan Tanaman.

[15] Louhenapessy JE. 1988. Sagu di Maluku (harapan dan tantangan dalam pembangunan)

disampaikan dalam seminar berkala pada pusat studi Maluku, Unpatti, Ambon.

[16] Muhsafaat L, H.A. Sukria, Suryahadi. 2015. Kualitas Protein dan Komposisi Asam Amino

Ampas Sagu Hasil Fermentasi Aspergillus niger dengan Penambahan Urea dan Zeolit.

Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia (JIPI), Agustus 2015. ISSN 0853-4217. EISSN 2443-3462.

[17] McClatchey WM, Harley I, Craig ER. 2006. Metroxylon Spp. London (UK): Ecology Papers

Inc.

[18] Nurkurnia E. 1989. Hasil fermentasi rumen kambing Kacang betina dengan pemberian

beberapa tingkat ampas sagu (Metroxylon sp) dalam ransum (Skripsi). Bogor (Indonesia):

Institut Pertanian Bogor.

[19] NRC. 1981. Nutrient Requirement of Goats: Angora, Dairy, and Meat Goats in Temperate

and Tropical Countries. National Academy Pr., Washington DC.

[20] Pantjawidjaja, Pongsapan SP, Tandilinting FK.1984. penggunaan berbagai tingkat ampas

sagu dalam ransum sapi Peranakan Ongole yang sedang tumbuh. Ilmu Peternakan. 1:163-

166.

[21] Parakkasi A. 1999. Ilmu nutrisi dan makanan ternak ruminan. Jakarta (Indonesia): UI Press.

[22] Prastowo B. 2007. Potensi sektor pertanian sebagai penghasil dan pengguna energi

terbarukan. Perspektif 6(2): 84 – 92.

[23] Ralahalu, T.N. 2012. Potensi Ampas Sagu dan Limbah Udang sebagai Sumber Serat dalam

Ransum dan Pengaruhnya terhadap Kadar Kolesterol serta Kualitas karkas Babi. Disertasi.

Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

[24] Rumalatu, FJ. 1981. Distribusi dan Potensi Pati Beberapa Sagu (Metroxylon sp.) di Daerah

Seram Barat. Karya Ilmiah. Fakultas Pertanian/Kehutanan yang Berafiliasi dengan Fakultas

Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[25] Sangadji I. 2009. Mengoptimalkan Pemanfaatan Ampas Sagu sebagai Pakan Ruminansia

Melalui Biofermentasi dengan Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus) dan Amoniasi. Disertasi.

Program Studi Ilmu Ternak. Institut Pertanian Bogor.

[26] Sianipar J, Simanihuruk K, Sirait J, Hutauruk M. 2008. Penggunaan Tape Kulit Kakao

Sebagai Pakan Kambing Sedang Tumbuh. Laporan Tahunan 2008. Loka Penelitian Kambing

Potong, Sei Putih, Sumatera Utara.

[27] Simanihuruk K, Antonius, Sirait J. 2013. Penggunaan Ampas Sagu Sebagai Campuran

Pakan Komplit Kambing Boerka Fase Pertumbuhan. Seminar Nasional Teknologi

Peternakan dan Veteriner 2013.

[28] Sisriyenni D, Simanjuntak A, Adelina T. 2017. Potensi dan Penggunaan Limbah Sagu

Fermentasi Sebagai Pakan Sapi di Kabupaten Meranti. Prosiding Seminar Nasional

Teknologi Peternakan dan Veteriner 2017.

[29] Thahar A, Mahyudin P. (1993). Feed Resources. In Teleni. E., R.S.F. Cambell and D.

Hoffmann (edits) : Draught Animal Systems and management : An Indonesian Study.

ACIAR. Camberra. Hal : 41 – 50.

[30] Tiro BMW, Usman. 2016. Kajian Peningkatan Produktivitas Sapi Potong Melalui

Pemanfaatan Ampas Sagu Mendukung Pengembangan Kawasan Sapi Potong Di Kabupaten

Jayapura, Papua. Laporan Akhir (Belum publikasi). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

(BPTP) Papua.

Page 67: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

61

[31] Tim Sagu Maluku. 1980. Pengembangan dan Pendayagunaan Sagu di Maluku (Tidak

dipublikasi).

[32] Tirta P.W.W.K, Indrianti N, Ekafitri R. 2013. Potensi Tanaman Sagu (Metroxylon sp.)

Dalam Mendukung Ketahanan Pangan Di Indonesia. 22(1), 61-78.

[33] Trisnowati, 1991. Kecernaan in vitro Ampas Sagu Metroxylon yang Diperlakukan Secara

Biologis. Skripsi. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[34] Uhi, H.T. 2007. Peningkatan Nilai Nutrisi Ampas Sagu (Metroxylon Sp.) Melalui Bio-

Fermentasi (Improvement of Nutritive Value of Sago Waste by Biofermentation) Jurnal Ilmu

Ternak, Juni 2007, Vol. 7 No. 1, 26 – 31

Page 68: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

62

PENERAPAN INOVASI TEKNOLOGI USAHATANI JAGUNG

KOMPOSIT DI WILAYAH PERBATASAN KOTA JAYAPURA

Fransiskus1 Palobo dan Siska Tirajoh2

Balai pengkajian teknologi pertanian Papua1,2

e-mail: [email protected]

Abstrak.Pengaturan sistem tanam pada suatu lahan pertanian merupakan salah satu cara yang

memiliki pengaruh terhadap hasil dari tanaman, pengaturan sistem jarak tanam berkaitan terhadap

kepadatan suatu populasi di area lahan, proses penerimaan cahaya matahari yang tentunya

berkaitan dengan proses fotosintesis tanaman dan persaingan hara antar tanaman. Tujuan

mengetahui tingkat produktivitas pada berbagai sistem tanam dan menganalisis kelayakan

usahatani jagung komposit di wilayah perbatasan kota jayapura. Inovasi yang di introduksikan

adalah on-farm denganperlakuan Sistem Tanam Jajar Legowo (100 x 50 x 20 cm), Sistem tanam

tunggal (100 x 40 cm), sistem tanam jajar legowo tumpangsari jeruk (100 x 50 x 20 cm) dan

sistem tunggal tumpangsari jeruk (100 x 40 cm), luas lahan untuk setiap perlakuan masing-masing

25 x 100 m. Hasil uji sederhana PUTK sebelum penanaman menunjukan Nitrogen status sedang,

phospor status tinggi, kalium status sedang, pH 5-6 agak masam dan C-organik status rendah.

Penanaman benih 1 biji per lubang kemudian ditutup pupuk kandang yang telah di campur kapur

dolomoit masing-masing perlubang 5 gram. NPK 300 kg/ha, Urea 250 kg/ha, kapur dolomit 200

kg/ha. Hasil pipil kering menunjukan sistem tegel 4,2 ton/ha nilai R/C 1.74, B/C 0.74, sistem

double row 4,8 ton/ha nilai R/C 2.16, B/C 1.16, sistem tunggal tumpangsari jeruk 5,4 ton/ha

nilai R/C 2.24, B/C 1.24, sistem double row tumpang sari jeruk 6,4,ton/ha R/C 2,66, B/C

1.66.

Kata kunci : Perbatasan, Sistem tanam, Jagung komposit

1. PENDAHULUAN

Jagung adalah salah satu komoditas pangan yang menjadi sasaran peningkatan produksi melalui

program PTT. Upaya peningkatan produksi jagung mempunyai peran strategis dalam penguatan

ketahanan pangan menuju kemandirian pangan dan peningkatan kesejahteraan petani. Oleh

karena itu pemerintah menargetkan swasembada jagung dalam periode 2015- 2019 (Kementerian

Pertanian, 2015).

Kawasan perbatasan adalah bagian dari wilayah negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang

batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal batas wilayah negara di darat, kawasan

perbatasan berada di kecamatan/distrik (BNPP, 2015). Wilayah perbatasan merupakan beranda

terdepan yang menjadi manivestasi kedaulatan negara, cermin pertahanan dan keamanan negara,

simbol ketertiban, penegakan hukum, dan simbol kemakmuran suatu negara (Hadi, 2011;

Batubara, 2011; dan Marlissa, 2011). Wilayah perbatasan mempunyai peran strategis sebagai

pengendali keamanan wilayah, khususnya untuk masyarakat Indonesia yang tinggal di wilayah

perbatasan. Kaitannya dengan kondisi tersebut diatas, dalam Rencana Pembangunan Jangka

menengah Nasional (RPJMN) bidang pangan dan pertanian 2015-2019 secara eksplisit

menyebutkan pentingnya pembangunan ekonomi nasional yang inklusif dan berkeadilan.

Ditambahkan juga, prioritas Pembangunan Nasional yang terkait dengan upaya untuk

memperkuat “Dimensi Keadilan di Semua Bidang” adalah Prioritas Nasional No: 10 yaitu:

Daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar dan Pasca–Konflik (Biro Perencanaan Kementan, 2013).

Kaitannya dengan isu wilayah perbatasan, secara umumhasil kunjungan kerja tematik Forum Profesor

Riset (FKPR) pada wilayah-wilayah perbatasan di Indonesia mengimplikasikan bahwa pengembangan wilayah

perbatasan tidak dapat dipisahkan dengan sektor pertanian, dimana sebagian besar penduduk setempat bergantung pada

sektor tersebut (Tim FKPR, 2013).

Page 69: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

63

Upaya peningkatan produksi jagung dilakukan melalui peningkatan produktivitas dan perluasan

areal tanam pada berbagai lingkungan yang beragam, mulai dari lingkungan berproduktivitas

tinggi (lahan subur) sampai berproduktivitas rendah (lahan suboptimal). Rata-rata tingkat

produktivitas jagung nasional dari areal panen sekitar 3,97 juta ha baru mencapai 4,78 t/ha

(Kementerian Pertanian 2012). Penelitian jagung di berbagai institusi pemerintah maupun swasta

telah menghasilkan varietas unggul dengan produktivitas 7,0- 14,0 t/ha (Puslitbangtan 2009),

bergantung pada potensi lahan dan teknologi produksinya. Perkembangan teknologi yang

semakin maju menuntut perbaikan atau modifikasi terhadap komponen teknologi yang sudah ada

dan diterapkan petani untuk meningkatkan pendapatan. Kariyasa dan Sinaga (2004) menyarankan

agar upaya peningkatan produksi jagung sebaiknya diprioritaskan padaperbaikan teknologi

produksi dibanding instrumen lainnya.

Seiring perubahan lingkungan strategis dimana lahan pertanian semakin menyempit, anggaran

Pemerintah semakin terbatas dan cekaman iklim semakin tidak menentu, maka upaya peningkatan

produktivitas jagung melalui penggunaan sistem tanam untuk peningkatan populasi merupakan

salah satu upaya yang paling logis dalam meningkatkan produktivitas jagung. Pengkajian ini

bertujuan mengetahui tingkat produktivitas pada berbagai sistem tanam dan menganalisis

kelayakan usahatani jagung komposit di wilayah perbatasan kota jayapura, papua

2. BAHAN DAN METODE

2.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan Kota Jayapura secara sengaja (purposive) sesuai program kementrian

pertanian untuk dukungan teknologi di daerah perbatasan dengan membuatDemplot dalam

rangka mewujudkan lumbung pangan kawasan perbatasan. Dilaksanakan di lahan kering Koya

timur Distrik muaratami. Daerah ini merupakan salah satu sentra pengembangan jagung di Kota

Jayapura. kajian dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2017.

2.2. Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari data

agronomis tanaman antara lain; Tinggi tanaman, Panjang tongkol, Diameter tongkol, Jumlah

baris biji pertongkol, Berat tongkol kering panen, Berat 100 biji, Produksi/hasil. Data sekunder

meliputi perkembangan luas panen dan produksi jagung, Luas tanam jagung, dikumpulkan dari

dinas pertanian Kota Jayapura.

2.3. Metode Analisis

Menggunakan (1) Analisis ragam menurut rancangan acak kelompok untuk semua data

pengamatan, dengan perlakuan, Sistem tanam tunggal (100 x 40 cm), Sistem Tanam double row

(100 x 50 x 20 cm), sistem tunggal tumpangsari jeruk (100 x 40 cm) dan sistem tanam double

row tumpangsari jeruk (100 x 50 x 20 cm).Luas lahan untuk setiap perlakuan masing-masing 25

x 100 m, (2) menganalisis pendapatan usahatani jagung menggunakan analisis imbangan

penerimaan dan biaya atau R/C rasio dan B/C ratio adalah ukuran perbandingan antara

pendapatan. Pendapatan usahatani dianalisis berdasarkanstukturpenerimaandenganpembiayaan

usahatani.

• Return Cost Ratio (R/C)

R/C Ratio merupakan perbandingan antara total penerimaan dengantotal biaya yang

dikeluarkan selama satu periode,Analisis R/C Ratio ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan

suatu usaha (Suratiyah, K. 2012) dengan rumus :

Keterangan :

TR = Total Penerimaan,

TC = Total Biaya Produksi

R/C Ratio= R/C ratio = TR/TC

Page 70: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

64

Jika nilai :

1. R/C > 1, maka usahatani padi sawah tersebut menguntungkan.

2. R/C<1, maka usahatani padi sawah tersebut tidak menguntungkan atau rugi.

3. R/C = 1, maka usahatani padi sawah tersebut berada pada titik pulang atau titik impas yaitu

total cost sama dengan total Reveune

• Benefit Cost Ratio (B/C)

B/C adalah ukuran perbandingan antara pendapatan (Benefit = B) dengan Total Biaya

produksi (Cost = C). Dalam batasan besaran nilai B/C dapat diketahui apakah suatu usaha

menguntungkan atau tidak menguntungkan dengan (Hendayana, 2016), rumus:

Keterangan :

TB = Jumlah Pendapatan,

TC = Total Biaya Produksi

Jika nilai :

B/C ratio ≥ 1 = usaha layak dilaksanakan

B/C ratio < 1 = usaha tidak layak atau merug

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Keragaan Komponen Pertumbuhan, Komponen Hasil

Komponen pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun,

panjang daun pada umur (30 HST, 50 HST, saat panen), panjang tongkol, diameter tongkol,

Jumlah biji perbaris, jumlah baris pertongkol, berat basah ton/ha, berat kering biji ton/ha.

Berat 100 biji

3.2. Komponen Pertumbuhan Tinggi Tanaman

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen pertumbuhan tinggi

tanaman 30 hst, 50 hst dan saat panen dapat dilihat (gambar 1).

Pada gambar 1 menunjukan umur 30 hst laju pertumbuhan tinggi tanaman nyata pada

berbagai sistem tanam dengan yang tertinggi sistem double row tumpang sari jeruk 97,3

diikuti sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row dan sistem tegel masing-masing

83.8; 82,8; dan 75,7 cm. Pada umur 50 hst laju pertumbuhan tinggi tanaman yang tertinggi

75,7 82,8 83,897,3

162,7

185,2 188,0197,8

222,6235,0

267,3 276,0

0,0

50,0

100,0

150,0

200,0

250,0

300,0

Sistem tunggal sistem double row Sistem tunggaltumpangsari jeruk

Sistem double rowtumpangsari jeruk

Tin

ggi t

anam

an (

cm)

30 hst

50 hst

saat panen

B/C Ratio= B/C ratio = TB/TC

Gambar 2. Komponen pertumbuhan diameter batang berbagai sistem tanam

Page 71: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

65

sistem jarwo tumpang sari jeruk 197,8 diikuti Sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem

double row dan sistem tegel masing-masing 188,0; 185,2 dan 162,7 cm. Sedangkan saat

panen tinggi tanaman sangat nyata pada berbagi sistem tanam tertinggi sistem double row

tumpang sari jeruk 276,0 diikuti sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row dan

sistem tegel masing-masing 267,3; 235,0; dan 222,6 cm.

3.3. Komponen Pertumbuhan Diameter Batang

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen pertumbuhandiameter

batang pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 2).

Pada gambar 2 menunjukan umur 30 hst laju pertumbuhan diameter batang nyata pada

berbagai sistem tanam dengan yang terbesar sistem tunggal tumpangsari jeruk 1.65 diikuti

sistem double row tumpang sari jeruk, sistem tegel, Sistem double row dan masing-masing

1,55; 1,44; dan 1,17 cm. Sedangkan saat panen diameter batang sangat nyata pada berbagi

sistem tanam terbesar sistem tegel 2,40 diikuti sistem double row tumpang sari jeruk Sistem

tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row dan masing-masing 2,16; 2,06; dan 1,89 cm

3.4. Komponen Hasil Panjang Tongkol Dan Diameter Tongkol

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil panjang tongkol dan

diameter tongkol pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 3).

Pada gambar 3dibawah ini menunjukan bahwa panjang tongkoltidak nyata pada berbagai

sistem tana m dengan yang terpanjang sistem tunggal tumpangsari jeruk 16,78 diikuti sistem

double row tumpang sari jeruk, sistem tunggal, Sistem double row dan masing-masing 16,2;

15,59 dan 15,45 cm. Sedangkan diameter tongkol nyata pada berbagi sistem tanam terbesar

Sistem tunggal tumpangsari jeruk sistem tegel 16,78 diikuti sistem double row tumpang sari

jeruk, sistem tunggal dan sistem double row masing-masing 16,2; 15,59; dan 15,45 cm.

Menurut Takdir et al., 2003Pertanaman dengan diameter tongkol dan bobot 100 biji tinggi

memberikan hasil biji yang juga tinggi.

1,44

1,17

1,651,55

2,4

1,892,06

2,16

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

Sistem tunggal sistem double row Sistem tunggaltumpangsari jeruk

Sistem double rowtumpangsari jeruk

Dia

met

er b

atan

g (c

m)

30 hst

saat panen

Gambar 2. Komponen pertumbuhan diameter batang berbagai sistem tanam

Page 72: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

66

3.5. Komponen Hasil Jumlah baris pertongkol dan jumlah biji perbaris

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil jumlah biji perbarisdan

jumlah baris pertongkol pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 4).

Pada gambar 4 menunjukan bahwa jumlah baris pertongkoltidak nyata pada berbagai sistem

tanam dengan yang terbanyak sistem double row 12,88 diikuti sistem double row tumpang

sari jeruk, sistem tunggal, dan sistem tunggal tumpangsari jeruk masing-masing 12,81; 12,67

dan 12,37 cm.Sedangkan jumlah biji perbaris nyata pada berbagi sistem tanam terbanyak

sistem double row tumpangsari jeruk 32,03 diikuti, tunggal tumpangsari jeruk, sistem double

row dan sistem tunggal masing-masing 30,75; 26,7 dan 25,88cm

15,59 15,4516,78 16,2

3,86 4,06 4,19 4,11

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

Sistem tunggal sistem double row Sistem tunggaltumpangsari jeruk

Sistem double rowtumpangsari jeruk

Pan

jan

g d

an d

iam

eter

to

ngk

ol

Panjang tongkol Diameter tongkol

25,88 26,7

30,75 32,03

0

5

10

15

20

25

30

35

Jum

lah

biji

per

bar

is(b

iji)

Gambar 4. Komponen hasil jumlah baris pertongkol dan jumlah biji perbaris berbagai

sistem tanam

Gambar 2. Komponen hasil panjang tongkol dan diameter tongkol berbagai sistem

tanam

12,67

12,88

12,37

12,81

12,112,212,312,412,512,612,712,812,9

13

Jum

lah

bar

is p

ert

on

gko

l (b

iji)

Page 73: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

67

3.6. Komponen Hasil Berat Pertongkol dan berat basah

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil berat pertongkol dan

berat basah pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 5).

Pada gambar 5 menunjukan bahwa berat pertongkolnyata pada berbagai sistem tanam

dengan yang terberat sistem tunggal tumpangsari jeruk 219,1 diikuti sistem double row

tumpang sari jeruk, sistem double row dan sistem tunggal masing-masing 216,98, 172,63 dan

1160,3 gr. Sedangkan berat basah ton/ha nyata pada berbagi sistem tanam tertinggi sistem

double row tumpang sari jeruk 10307,7 diikuti, sistem tunngal tumpangsari jeruk, sistem

double row dan sistem tunggal masing-masing 8620; 8367,5; 8007,5 kg.

3.7. Komponen Hasil Berat 100 biji dan berat kering pipil

Hasil analisis menunjukkan bahwa keragaan antara setiap komponen hasil berat 100 biji dan

berat kering pipil pada berbagai sistem tanam dapat dilihat (gambar 6).

Gambar 5. Komponen hasil berat pertongkol dan berat basah berbagai sistem tanam

Gambar 5. Komponen hasil berat 100 biji dan berat kering pipil berbagai sistem tanam

160,3172,6

219,1 217,0

0

50

100

150

200

250

Ber

at p

erto

ngk

ol (

g)

8007,5 8367,5 8620

10307,5

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

Ber

at B

asah

to

n/h

a

35,3

27,5

37,3 36,3

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

35,0

40,0

Ber

at 1

00 b

iji (

g)

4,24,8

5,4

6,4

0,0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

Ber

at p

ipil

keri

ng

(t/h

a)

Page 74: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

68

Pada gambar 6 menunjukan bahwa berat kering pipilnyata pada berbagai sistem tanam

dengan yang terberat sistem tunggal tumpangsari jeruk 37,3 diikuti sistem double row

tumpang sari jeruk, sistem tegel dan sistem double row masing-masing 36,3; 35,3 dan 27,5

gr. Sedangkan berat kering pipil nyata pada berbagi sistem tanam tertinggi sistem double row

tumpang sari jeruk 6,4 diikuti, sistem tunggal tumpangsari jeruk, sistem double row dan

sistem tunggal masing-masing 5,4; 4,8; dan 4,2 ton/ha.

3.8. Analisis UsahataniJagung Komposit Pada Berbagai Sistem Tanam

Biaya usahatani, harga jual dan harga beli sarana produksi yang sangat mempengaruhi

pendapatan/keuntungan usahatani. Hasil usahatanisistem tegel 4,2 ton/ha, sistem double row

4,8 ton/ha, sistem tunggal tumpangsari jeruk 5,4 ton/hasistem double row tumpang sari jeruk

6,4,ton/ha.

Sudiana et al.,2012 menyatakan beberapa keuntungan pemanfaatan lahan pada musim

kemarau untuk budidaya jagung, diantaranya hasil cukup tinggi, produktivitas lahan meningkat.

Untuk mengetahui besarnya pendapatan, maka terlebih dahulu harus diketahui total dari

penerimaan yang diperoleh, kemudian dikurangi dengan total biaya yang telah digunakan dari

kegiatan usahatani yang dilakukan. Pendapatan dalam kegiatan usahatani dikatakan

menguntungkan apabila penerimaan yang diperoleh lebih besar dari biaya yang dikeluarkan

oleh petani. Berikut ini adalah uraian dari biaya produksi, penerimaan, pendapatan dan

kelayakan dari usahatani. Hasil analisis pendapatan usahatani jagung hibrida di kawasan

perbatasan Merauke dapat dilihat di tabel 2.

Tabel 2.Analisis pendapatan usahatani Jagung komposit dengan berbagai sistem tanam di

wilayahperbatasanKota Jayapura, Papua.

No. Uraian Sistem

Tunggal

Sistem

Double row

Sistem

tunggal

tumpangsari

jeruk

Sistem

double row

tumpangsari

jeruk

2 Produksi (t/ha) 4.200 5.200 5.400 6.400

3 Harga gabah GKP (Rp/kg) 5.000 5.000 5.000 5.000

4 Nilai Produksi (Rp) 21.000.000 26.000.000 27.000.000 32.000.000

5 Biaya variabel

1. Benih (Rp. 200.000 200.000 200.000 200.000

2. Pupuk (Rp) 2.875.000 2.875.000 2.875.000 2.875.000

3. Pestisida 920.000 920.000 920.000 920.000

4. Tenaga kerja 5.900.000 5.900.000 5.900.000 5.900.000

6 Biaya tetap

penyusutan alat 15.375 15.375 15.375 15.375

7 Total biaya produksi 12.000.375 12.000.375 12.000.375 12.000.375

8 Pendapatan bersih 8.999.625 13.999.625 14.999.625 19.999.625

R/C ratio 1.74 2.16 2.24 2.66

B/C Ratio 0.74 1.16 1.24 1.66

Sumber data : Data primer diolah, 2017

Produksi jagung ditentukan oleh penggunaan input-inputnya baik benih, pupuk, pestisida

dan tenaga kerja, sistem tanam. Analisis fungsi produksi menggambarkan hubungan produksi

dengan input-inputnya dimana dalam penelitian ini menggunakan fungsi produksi menggunakan

Page 75: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

69

pendekatan kelayakan perubahan teknologi. Analisis fungsi produksi dilakukan untuk melihat

faktor-faktor yang mempengaruhi produksi padi di lokasi penelitian. Pada fungsi produksi awal

diduga dengan delapan variabel yaitu lahan, bibit, pupuk, obat, input lain, tenaga kerja, persil

garapan milik, dan luas garapan milik. Menurut Boediono (2000) menyatakan bahwa, biaya

mencakup suatu pengukuran nilai sumber daya yang harus dikorbankan sebagai akibat dari

aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencari keuntungan.

Pada tabel 1 diatas terlihat bahwa total biaya usahatani jagung komposit dengan beberapa

sistem tanam di kawasan perbatasan kota Jayapura untuk ke empat perlakuan yaitu Rp

12.000.375/ha per MT. Dengan masing-masing proporsi biaya variabel Rp 7.990.000. Sedangkan

biaya tetap yaitu Rp 15.375. Produksi sistem tunggal yaitu 4.200 kg pipil kering dengan harga

Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan Rp21.000.000 maka diperoleh pendapatan Rp 8.999.625

dengan R/C 1.74 atau B/C 0.74, kemudiansistem double row yaitu 5.200 kg pipil kering dengan

harga Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan Rp26.000.000 maka diperoleh pendapatan Rp

13.999.625 dengan R/C 2.16 atau B/C 1.16.sedangkan sistem tunggal tumpangsari jerukproduksi

5.400 kg pipil kering dengan harga Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan Rp27.000.000 maka

diperoleh pendapatan Rp 14.999.625 dengan R/C 2.24 atau B/C 1.24 dan sistem double row

tumpangsari jerukproduksi 6.400 kg pipil kering dengan harga Rp 5.000/kg diperoleh penerimaan

Rp 32.000.000 maka diperoleh pendapatan Rp 19.999.625 dengan R/C 2.66 atau B/C 1.66.

4. KESIMPULAN

Penerapan inovasi teknologi di wilayah perbatasan dengan berbagai sistem tanam pada komponen

pertumbuhan tinggi tanaman sistem double row tumpang sari jeruk memberikan hasil tertinggi

dan pertumbuhan diameter batang sistem tunggal tumpangsari jeruk terbesar. Sedangkan

komponen hasil berat pertongkol pada sistem tunggal tumpangsari jeruk dan berat kering

pipil ton/ha sistem double row tumpang sari jeruk memberikan hasil terbaik. Hasil analisis

pendapatan dari setiap perlakuan dengan menggunakan kriteria nilai R/C rasio Sistem Tunggal

1.74; Sistem Double row 2,16; Sistem tunggal tumpangsari jeruk 2,24; Sistem double row

tumpangsari jeruk 2.66 dapat di artikan bahwa usahatani layak untuk di kembangkan. Untuk

kriteria nilai B/C rasio Sistem Tunggal 0.74; Sistem Double row 1,16; Sistem tunggal

tumpangsari jeruk 1,24; Sistem double row tumpangsari jeruk 1.66 dari keempat perlakuan ini

artinya bahwa sistem double row, Sistem tunggal tumpangsari jeruk, Sistem double row

tumpangsari jeruk layak dilaksanakan namun sistem tunggal tidak laksanakan/rugi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Badan perencanaan. 2011. Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan

Perbatasan di Indonesia 2011-2025. Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Jakarta.

[2] Biro Perencanaan Kementan, 2013. Rencana Pembangunan Jangka menengah Nasional

(RPJMN), Biro perencaan kementrian pertanian, Jakarta

[3] Batubara, H. 2011. Membangun Sistem Pertahanan dan Rasa Aman oleh Masyarakat di

Wilayah Perbatasan. Makalah Workshop Nasional Pertahanan Kawasan Perbatasan,

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1-2 November 2011.

[4] Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan RI. 2015. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan

Negara 2015 – 2019. Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Jakarta.

[5] Badan Nasional Pengelola Perbatasan. 2011. Grand Design Pengelolaan Batas Wilayah

Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia 2011-2025. Badan Nasional Pengelola

Perbatasan. Jakarta.

[6] Boediono, 2000. Analisa usahatani padi. (online). Tersedia,

http:///respository.ipb.ac.id/handle/1 23456789/A08ana.pdf. Diakses 15September

2018

[7] Hendayana. 2016. Analisis Data pengkajian. Cara cerdas cermat menggunakan alat analisis

data untuk karya tulis Ilmiah. Cetakan pertama, Desember 2016. ISBN : 9786021280966

Page 76: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

70

[8] Hadi, S. 2011. Peranan Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal dalam Percepatan

Pembangunan Daerah Tertinggal di Perbatasan. Makalah Workshop Nasional Pertahanan

Kawasan Perbatasan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1-2 November 2011.

[9] Kariyasa, I.K. dan B.M. Sinaga. 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi prilaku pasar

jagung di Indonesia. Jurnal Agroekonomi 22(2):167-193. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Departemen Pertanian.

[10] Kementerian Pertanian. 2012. Statistik pertanian 2012. Penerbit Pusat Data dan Sistem

Informasi Pertanian. Kementerian Pertanian. Republik Indonesia. 348p.

[11] Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015-2019.

Jakarta. Hlm. 107-108.

[12] Marlissa, E.R. 2011. Pembangunan dan Kebutuhan Penduduk di Seputar Wilayah

Perbatasan Antar Negara di Provinsi Papua. Makalah Workshop Nasional Pertahanan

Kawasan Perbatasan, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 1-2 November 2011.

[13] Puslitbangtan. 2009. Deskripsi varietas unggul palawija 1918-2009. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

[14] Suratiyah, K. 2012. Kecamatan Ngawen Kabupaten Gunungkidul Ditinjau dari Ekonomi

Rumah Tangga Petani Tahun 2010-2011. Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas

Pertanian Universitas Gadjah Mada.

[15] Sudiana, M.I. dan N.GA. Gde Eka Martininggsih. 2012. Penerapan teknologi jarak tanam

dan varietas jagung hibrida berbasis semi organik. Jurnal Ngayah, vol 3 (4); 34-43.

[16] TIMFKPR,2013.LaporanKunjunganKerja WilayahPerbatasanKota Jayapura,Papua

[17] Takdir, A.M., R.N.M. Iriany dan M. Dahlan. 2003. Penampilan jagung hibrida umur dalam

tamnet. Risalah Penelitian Tanaman Serealia, Vol. 8 : 27-34.

Page 77: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

71

SISTEM USAHATANI INTEGRASI PADI – SAPI POTONG

RAMAH LINGKUNGAN DI KOTA JAYAPURA, PAPUA

Siska Tirajoh1 dan Usman2

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua1,2

[email protected]

Abstrak. Sistem usahatani integrasi tanaman-ternak adalah salah satu alternatif sistem usaha

pertanian terpadu yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Upaya untuk mengembangkan

potensi wilayah dengan mengoptimalkan produktivitas lahan dan sumberdaya lokal adalah

melalui sistem usahatani terpadu tanaman dan ternak. Sistem integrasi tanaman ternak merupakan

sistem yang saling menguntungkan dimana limbah tanaman padi bisa dimanfaatkan sebagai

pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dalam bentuk kompos digunakan sebagai pupuk

kandang/pupuk organik. Kota Jayapura merupakan wilayah agropolitan dan sentra

pengembangan padi dengan luas panen mencapai 1.140 ha, dengan produktivitas 4,119 t/ha,

meningkatnya luas panen berdampak terhadap keberadaan limbah jerami yang dihasilkan sebesar

1,995 ton BK. selain itu ternak sapi potong juga merupakan komoditas unggulan daerah, populasi

sapi potong sebanyak 6.939 ekor dan dalam 5 tahun terakhir hanya sedikit mengalami kenaikan

sebesar 26,69%. (BPS Papua dalam angka, 2017). Upaya untuk meningkatkan produktivitas

tanaman dan ternak diperlukan sistem usahatani integrasi tanaman dan ternak. Tujuan penulisan

ini adalah untuk memberikan informasi dan data terkait potensi limbah padi di sentra

pengembangan tanaman padi dan ternak sapi potong di wilayah Kota Jayapura. Hasil kajian

sistem usahatani padi dan sapi menunjukan bahwa, pemanfaatan jerami padi fermentasi dapat

meningkatkan rata-rata bobot badan sapi sebesar 0,34 kg/ekor/hari dibandingkan pola petani

hanya 0,10 kg/ekor/hari, dan penambahan pupuk organik pada tanaman padi sebanyak 5-6 ton/ha.

Kata Kunci : Padi, Sapi Potong, Integrasi, Ramah Lingkungan, Kota Jayapura

1. PENDAHULUAN

Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk atau perkembangan populasi penduduk maka

faktor lahan sebagai aset usaha pertanian perlahan-lahan cenderung mengalami penurunan akibat

dari alih fungsi lahan melalui perubahan tata ruang wilayah, sehingga berdampak pada sistem

usahatani yang semakin terbatas dan semakin sempitnya lahan budidaya pertanian yang tersedia.

Semakin banyaknya lahan pertanian yang mengalami konversi menjadi lahan non pertanian,

menurunnya tenaga kerja produktif di sektor pertanian dan menurunnya produktivitas lahan

merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pemenuhan kebutuhan beras sehingga

memerlukan pengelolaan dengan teknologi yang tepat (Purwono dan Purnamawati, 2009). Disisi

lain pada sistem usaha ternak, areal penggembalaan untuk peternakan bersaing dengan usahatani

tanaman pangan, hortikultura maupun perkebunan dimana kondisi saat ini sangat berpotensi

memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan sehingga berdampak negative terhadap tata ruang

untuk penggembalaan ternak kedepan.

Berbagai cara harus ditempuh dalam pengembangan usahatani berkelanjutan yaitu melakukan

diversifikasi usahatani melalui penerapan model system usahatani system integrasi tanaman dan

ternak (Priyanto et al., 2009). Pernyataan ini merujuk pernyataan Dwiyanto dan Haryanto (2003)

bahwa pola integrasi ternak dengan tanaman pangan atau crop livestock system (CLS) mampu

menjamin keberlanjutan produktivitas lahan melalui kelestarian sumber daya alam yang ada.

Page 78: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

72

Konsep pertanian terpadu yang melibatkan tanaman dan ternak sebenarnya sudah diterapkan oleh

para petani sejak mereka mengenal pertanian, namun penerapannya masih secara tradisional,

tanpa memperhitungkan untung dan rugi, baik secara finansial maupun dalam konteks pelestarian

lingkungan hidup. Penelitian sistem tanaman-ternak secara sistematis telah dilakukan sejak awal

1980-an, dengan mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan (sustainable) yang ramah

lingkungan (environmentally tolerable), secara sosial diterima masyarakat (socially acceptable),

secara ekonomi layak (economically feasible) dan diterima secara politis (politically desirable)

(Diwyanto et al, 2002). Yuniarsih dan Nappu, 2014 menyatakan bahwa sistem integrasi tanaman-

ternak berpeluang untuk terus dikembangkan baik di daerah dengan luasan lahan pertanian yang

terbatas maupun di daerah dengan potensi lahan pertanian yang luas, dengan harapan akan mampu

meningkatkan produksi, populasi, produktivitas, dan daya saing produk peternakan.

Kota Jayapura merupakan ibu kota Provinsi Papua dan wilayah agropolitan juga sentra

pengembangan padi dengan luas panen mencapai 1.140 ha, dengan produktivitas 4,119 t/ha,

meningkatnya produktivitas padi berdampak terhadap keberadaan limbah jerami yang dihasilkan

sebesar 1,995 ton BK. Disamping itu ternak sapi potong juga merupakan komoditas unggulan

daerah, populasi sapi potong sampai akhir tahun 2016 mencapai 6.939 ekor dan dalam kurun

waktu 5 tahun terakhir hanya sedikit mengalami kenaikan sebesar 26,69%. (BPS Papua dalam

angka, 2017). Upaya untuk meningkatkan produktivitas tanaman dan ternak diperlukan suatu

model system usahatani integrasi tanaman dan ternak yang sesuai kondisi spesifik lokasi.

Sistem usahatani integrasi tanaman-ternak merupakan salah satu alternatif sistem usaha pertanian

terpadu yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pengembangan ternak pola integrasi dalam

suatu sistem pertanian yang ramah lingkungan merupakan suatu strategi yang sangat penting

dalam mewujudkan kesejahteraan rumah tangga petani dan masyarakat pedesaan secara lestari

(Diwyanto dan Priyanti, 2001).

Upaya untuk mengembangkan potensi wilayah dengan mengoptimalkan produktivitas lahan dan

sumberdaya lokal adalah melalui sistem usahatani terpadu tanaman dan ternak. Sistem integrasi

tanaman ternak merupakan sistem yang saling menguntungkan dimana limbah tanaman padi bisa

dimanfaatkan sebagai pakan ternak, sedangkan kotoran ternak dalam bentuk kompos digunakan

sebagai pupuk kandang/pupuk organik. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi

dan data terkait potensi limbah padi di sentra pengembangan tanaman padi dan ternak sapi potong

dan konsep model sistem pertanian terpadu tanaman padi dan ternak sapi potong ramah

lingkungan di wilayah Kota Jayapura.

2. DESKRIPSI KOTA JAYAPURA

Kota Jayapura merupakan Ibukota Provinsi Papua, secara administratif berdiri sejak

21 September 1993 berdasarkan Undang-Undang No. 6 Tahun 1993. Kota Jayapura memiliki luas

940 km2 atau 94.000 hektar atau 0,30 persen dari luas wilayah Provinsi Papua dan merupakan

daerah terkecil di Provinsi Papua. Kota Jayapura terletak antara 1370 271 – 1410 411 Bujur Timur

dan 10 271 – 30 491 Lintang Selatan. Penduduk asli Kota Jayapura yaitu masyarakat Kayu batu,

Kayu pulo, Tobati, Enggros, Nafri, Waena, Yoka, Skouw Yambe, Skouw Mabo dan Skouw Sae,

dengan jumlah penduduk sampai tahun 2016 sebanyak 288.786 orang atau meningkat 1,87 persen

dari tahun sebelumnya dengan kepadatan penduduk Kota Jayapura 307 jiwa/Km2 (BPS Kota

Jayapura, 2017). Kota Jayapura memiliki 5 distrik (Jayapura Utara, Jayapura Selatan, Heram,

Abepura, dan Muara Tami), 25 kelurahan, 14 kampung dan 1.203 RT/RW. Distrik Muara Tami

merupakan distrik terluas, yaitu mencapai 626,7 km2 atau 66,67% dari keseluruhan Kota Jayapura

yang terbagi menjadi 2 Kelurahan (kelurahan Koya Barat dan kelurahan Koya Timur) dan 6

Kampung (kampung Holtekam, Skouw Yambe, Skouw Mabo, Skouw Sae, Koya Tengah dan

kampung Mosso). Distrik Muara Tami merupakan Distrik yang wilayahnya langsung berbatasan

darat dengan Provinsi Sandaun, Negara PNG, yang beribukota terletak di Kampung Skouw Mabo

sedangkan Pos lintas batas yang berbatasan langsung di Distrik Muara Tami terletak di Desa

Wutung Kampung Skouw Sae. Berdasarkan informasi topografi Kodam XVII Cenderawasih

Page 79: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

73

bahwa kelurahan/kampung dengan luas terbesar adalah kelurahan Koya Barat mencapai 34,63%

dari luas wilayah Distrik Muara Tami sebesar 217 km2, sedangkan kelurahan/kampung dengan

luas terkecil yaitu kampung Holtekam sebesar 2,12% (13,3 km2) seperti disajikan pada Gambar

1. Sedangkan jarak terdekat dari Kota Jayapura adalah Kampung Holtekam dengan jarak 29 Km

sedangkan Kampung paling jauh adalah Kampung Mosso (Kecamatan Muara Tami Dalam

Angka, 2017).

Gambar 1. Persentase luas wilayah Distrik Muara Tami dirinci menurut Kelurahan/Kampung

Kondisi Luas Panen dan Produktivitas Padi Sawah Selama 2012-2016

Kondisi yang ada di Kota Jayapura berdasarkan data luas panen, produksi, produktivitas dan daya

dukung limbah jerami padi, padi sawah di Distrik Muara Tami disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Padi sawah di Distrik Muara Tami, 5 Tahun

Terakhir di Kota Jayapura TA 2012-2016

Tahun Luas Panen

(ha)

Produksi (ton) Produktivitas (t/ha) Potensi limbah

jerami padi

(t/BK/tahun)*)

2012 1.100 4.119 3,68 1,925

2013 1.110 2.242 4,43 1,943

2014 1.112 5.431 4,88 1,946

2015 506 4.030 3,63 886

2016 1.140 4.070 3,70 1,5995

Sumber : Kota Jayapura dalam Angka 2017; *)data diolah

Pada tahun 2015 terjadi penurunan luas panen disebabkan penanaman padi dilakukan hanya 1

kali tanam dalam setahun akibat adanya perbaikan saluran irigasi yang sering terjadi

pendangkalan/pengendapan lumpur. Selain itu iklim sangat mempengaruhi dan menentukan

terutama pada musim kemarau yang relative panjang sehingga ketersediaan air tidak mencukupi

yang berakibat menurunnya produksi padi termasuk tanaman pangan lainnya yang diusahakan

petani. Diperlukan penyediaan pompanisasi di tingkat petani untuk meningkatkan produksi dan

produktivitas budidaya pertanian. Faktor lainnya terjadinya alih fungsi lahan pertanian produktif

yang biasanya untuk pengembangan sawah terutama di daerah transmigrasi beralih menjadi

perumahan, industri dan kolam ikan di wilayah Kelurahan Koya Barat dan Koya Timur dimana

menjadi pusat lumbung pangan Kota Jayapura sebelumnya.

Page 80: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

74

Pertanaman padi sudah dilakukan 2 kali setahun (IP200) dan saat ini dapat ditingkatkan menjadi

Indeks pertanaman (IP) padi menjadi 3 kali setahun (IP300) apabila air irigasi dapat dimanfaatkan

terus menerus tidak terkendala dengan pendangkalan serta tenaga kerja dapat diatasi. Sehubungan

dengan masalah tenaga kerja sudah dapat diatasi oleh sebagian besar petani di Kelurahan Koya

Barat dan Koya Timur melalui penggunaan alat mekanisasi seperti penggunaan hand traktor, untuk

mempercepat pengolahan lahan, penggunaan alat tanam padi (rice transplanter) dan penggunaan

combineharvester untuk panen.

Terkait tugas dan fungsi BPTP Papua merupakan unit pelaksana teknis Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian di daerah melalui kegiatan model

pengembangan inovasi pertanian di wilayah perbatasan Kota Jayapura telah melaksanakan salah

satu demfarm VUB Padi Sawah (Inpari 32, Inpari 33 dan Inpari 43) seluas 5 ha dengan inovasi

teknologi budidaya padi Jajar Legowo Super yang dilaksanakan di Kelompok Tani Jaya, kelurahan

Koya Barat Distrik Muara Tami Kota Jayapura.

Populasi ternak Sapi di Kota Jayapura Selama 5 Tahun Terakhir (2012-2016)

Kondisi yang ada di Kota Jayapura selama 5 tahun terakhir berdasarkan data populasi

ternak sapi, produksi daging dan produksi kotoran sapi disajikan pada Tabel 2.

Tahun Populasi Sapi Potong

(ekor)

Produksi Daging (kg) Produksi kotoran sapi

(kg/bk)*)

2012 5.087 652.436 22.256

2013 5.377 717.698 33.606

2014 5.848 782.960 36.550

2015 6.270 790.789 39.188

2016 6.939 200.919 43.369

Sumber : Kota Jayapura dalam Angka 2017; *) data diolah

Inovasi Teknologi Budidaya Padi

Perbaikan teknologi budidaya padi telah terbukti dapat meningkatkan produksi tanaman padi

secara nyata melalui pengelolaan tanaman terpadu yang merupakan salah satu model pengelolaan

padi sawah dengan komponen teknologi budidaya memberikan efek sinergis, serasi, dan saling

komplementer untuk mendapatkan hasil panen optimal dan kelestarian lingkungan (Sumarno et

al., 2000 dalam Basuni et al., 2010), pengelolaan tanaman terpadu (PTT) ini menggunakan

varietas unggul, jarak tanam legowo, memanfaatkan pupuk organik, dan memberikan pupuk SP-

36 dan KCl berdasarkan hasil analisis tanah, serta pupuk urea berdasarkan bagan warna daun

(BWD).

PTT padi merupakan suatu pendekatan inovatif dalam upaya peningkatan efisiensi usahatani padi

dengan menggabungkan komponen teknologi yang memiliki efek sinergistik artinya tiap

komponen teknologi tersebut saling menunjang dan memberikan pengaruh yang lebih baik

terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Komponen teknologi dasar dalam PTT yaitu :

penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi

tinggi; benih bermutu dan berlabel; pemupukan berimbang berdasarkan kebutuhan tanaman dan

status hara tanah (spesifik lokasi); pengendalian hama dan penyakit secara terpadu (PHT)

sedangkan komponen teknologi pilihan dalam PTT yaitu : penanaman bibit umur muda dengan

jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per lubang; peningkatan populasi tanaman; penggunaan

kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah; pengaturan

pengairan dan pengeringan berselang; pengendalian gulma; panen tepat waktu dan perontokan

gabah sesegera mungkin (BBP2TP, 2008).

Selain komponen teknologi diatas ada komponen lainnya yang mempengaruhi produktivitas padi

yaitu penanganan pascapanen padi merupakan upaya strategis dalam rangka mendukung

Page 81: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

75

peningkatan produksi padi. Kontribusi penanganan pascapanen terhadap peningkatan produksi

padi dapat tercermin dari penurunan kehilangan hasil dan tercapainya mutu gabah/beras sesuai

persyaratan mutu. Sutrisno dan Raharjo (2004) dalam Hidayat (2014), melaporkan bahwa

penanganan pasca panen padi mencakup beberapa hal tahapan yaitu penentuan saat panen,

pemanenan, penumpukan sementara di lahan sawah, pengumpulan padi di tempat perontokan,

penundaan perontokan, perontokan, pengangkutan gabah kerumah petani,pengeringan gabah,

pengemasan dan penyimpanan gabah, penggilingan, pengemasan dan penyimpanan beras. Ada

tiga kegiatan utama yang saling terkait satu sama lain dalam mencapai tujuan akhir yaitu

mendapatkan beras giling yang mutu serta rendemennya tinggi yaitu: (1) panen, (2) pengeringan

dan (3) penggilingan.

Balitbangtan sejak tahun 2016 sudah menghasilkan dan menerapkan inovasi teknologi padi

melalui sistem tanam jajar legowo super yang mampu memperbaiki dan meningkatkan produksi

padi. Teknologi jajar legowo super merupakan teknologi budidaya terpadu padi sawah irigasi

berbasis tanam jajar legowo 2:1. Teknologi ini dihasilkan oleh Balitbangtan setelah melalui

penelitian dan pengkajian pada berbagai lokasi di indonesia, selain menggunakan sistem tanam

jajar legowo 2:1 sebagai basis penerapan di lapangan, bagian penting dari teknologi jajar legowo

super adalah : varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi seperti VUB inpari 32, inpari 33

dan inpari 43); biodekomposer, diberikan saat pengolahan tanah (pembajakan kedua); pupuk

hayati diberikan pada benih diaplikasikan melalui (seed treatment) dan pemupukan berimbang

berdasarkan PUTS; pengendalian opt, menggunakan pestisida nabati dan pestisida anorganik

berdasarkan ambang kendali; alat dan mesin pertanian, untuk tanam (jarwotransplanter) dan

panen (combine harvester), keberhasilan penerapan teknologi jajar legowo super ditentukan oleh

komponen teknologi dan teknik budidaya yang dilakukan (Balitbangtan, 2016).

Inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi padi terus dilakukan untuk mendapatkan paket

teknologi spesifik diantaranya dengan sistem tanam jajar legowo 2:1. Paket teknologi yang sudah

dihasilkan tidak sepenuhnya diterapkan oleh petani, seperti pemupukan berimbang, karena sangat

tergantung kepada kemampuan ekonomi, tetapi kalau komponen teknologi tersebut tidak

memerlukan tambahan dana serta memberikan nilai tambah, cepat diadopsi dan berkembang

(Septiana et al.,2016).

Inovasi Teknologi Budidaya Sapi

Inovasi teknologi budidaya sapi untuk penggemukan diperlukan teknologi yang dapat

meningkatkan efisiensi penggunaan pakan sehingga untuk setiap kenaikan satu kg bobot badan

ternak diperlukan kurang lebih 10 kg bahan kering pakan. Paket teknologi adalah pemberian

Bioplus yang diberikan kepada ternak dengan pakan dasar ransum yang kandungan seratnya lebih

dari total ransum yang diberikan. Hasil pengujian di lapangan pada sapi Peranakan Ongole (PO)

menunjukkan bahwa ternak yang diberi Bioplus mampu bertahan bahkan tetap mempunyai

kenaikan bobot badan pada masa pancaroba, padahal pada masa pancaroba ini pakan yang

tersedia apa adanya dan umumnya berkualitas rendah dengan kandungan serat yang tinggi

(Winugroho dan Widiawati, 2004). Hasil penelitian di Grati, Jatim seperti yang dilaporkan

Winugroho et al., (2002) bahwa pertambahan bobot badan harian pedet yang diberi pakan dasar

rumput tanpa pemberian bioplus hanya sebesar 70 g/ek/hr lebih rendah dibandingkan dengan

pemberian konsentrat (pemberian bioplus dan khamir S. cerevisiae) lebih tinggi sebesar 180

g/ek/hr. Penelitian yang sama dilakukan di Bekasi Jawa Barat menunjukkan bahwa pertambahan

bobot badan harian (pbbh) pedet sapi Bali jantan yang diberi pakan dasar rumput dan konsentrat

dengan dan tanpa pemberian Bioplus dan Khamir S. cerevisiae masing-masing sebesar 247

g/ek/hr dan 415 g/ek/hr.

Selain penerapan teknologi penggemukan ada juga penerapan teknologi teknik jam biologis pada

sapi induk untuk memperbaiki status reproduksinya, dengan pemberian pakan suplemen berupa

tanaman leguminosae seperti Gliricidia (Gamal), Kaliandra, Leucaena (Lamtoro), Sesbania dan

Page 82: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

76

lain-lain dan pemberian probiotik Bioplus. Penerapan jam biologis pada sapi PO dan sapi Bali

berhasil meningkatkan status reproduksinya yaitu memperpendek jarak beranak sapi Bali dari 15

bulan menjadi 13 bulan dan menaikkan tingkat kebuntingan sapi PO dari 15% menjadi 90%

(Winugroho et al., 1995 dalam Winugroho dan Widiawati, 2004).

Hasil kajian Tiro et al., 2014 melaporkan bahwa salah satu komponen teknologi yang telah

dihasilkan dalam sistem usahatani integrasi ternak sapi-padi adalah pemanfaatan jerami padi

fermentasi sebagai pakan sapi potong dan pemanfaatan limbah ternak sebagai pupuk organik bagi

tanaman padi. Hasil kajian menunjukkan bahwa untuk produksi kotoran ternak 1 ekor ternak sapi

dewasa adalah 10 – 15 kg/hari, sehingga menghasilkan 0,63 m3 biogas (15 x 0,040) dengan

demikian 1 ekor sapi dewasa menghasilkan 0,63 m3 biogas atau setara 0,36 liter minyak tanah.

Terkait teknologi pembuatan jerami padi fermentasi dan teknologi pembuatan biogas memberikan

suatu alternatif penyediaan pakan bagi sapi potong dan sumber energi alternatif dalam mengatasi

kelangkaan dan harga bahan bakar yang cukup mahal. Hasil yang diperoleh menunjukkan terjadi

peningkatan nilai nutrisi jerami padi fermentadi dibandingkan tanpa fermentasi, 2). Pertambahan

bobot harian sapi Bali yang mengkonsumsi jerami padi fermentasi cukup tinggi yaitu 0,34

kg/ekor/hari lebih tinggi dibandingkan tanpa fermentasi jerami hanya 0,10 kg/ekor/hari.

Berbagai program utama dukungan inovasi teknologi ternak sapi yang telah dilakukan Balai

Penelitian Ternak Ciawi, Bogor antara lain : Paket teknologi untuk meningkatkan dan

mempertahankan SKT dan status reproduksi : a) Pakan aditif Kalem (Kalsium lemak) diberikan

setiap hari sebagai sumber energi sehingga meningkatkan bobot badan; b) Pakan aditif Probiotik

Bioplus serat diberikan satu kali /awal musim kemarau atau 2 bulan sebelum induk melahirkan

dan meningkatkan efisiensi pakan dan BB; c) Pakan aditif Minoxvit diberikan setiap hari,

(memperbaiki status reproduksi induk); d) Pakan aditif Zn-Biokompleks, diberikan setiap hari

(dapat meningkatkan reproduksi induk). Penerapan Teknik Jam Biologis, yaitu : suplementasi

leguminosa selama 4 bulan (usia kebuntingan 8 bulan sampai 2 bulan setelah melahirkan),

pemberian Bioplus serat pada usia kebuntingan 8 bulan akan menghasilkan pedet dengan bobot

lahir yang baik, mengurangi kehilangan bobot badan induk setelah melahirkan, dan mempercepat

estrus kembali setelah lahir. Paket teknologi untuk mencegah kematian dan meningkatkan bobot

badan pedet : a) Pakan aditif Probiotik Bioplus pedet, diberikan satu kali pada pedet umur 30 hari:

dapat mempercepat kemampuan pedet untuk mengkonsumsi hijauan, meningkatkan kesehatan,

dan meningkatkan bobot badan pedet; b) Pakan aditif Kalem (kalsium lemak), diberikan setiap

hari sebagai sumber energi, dapat meningkatkan PBBH pedet; c) Paket teknologi untuk

meningkatkan kualitas semen pejantan: i)Pakan aditif Minoxvit, diberikan setiap hari, dapat

meningkatkan kualitas sperma (jumlah sperma yang hidup, motilitas, mengurangi jumlah sperma

mati pada saat pembuatan semen beku); ii) Paket teknologi reproduksi balitnak mendukung Siwab

: a) Teknologi nano hormon prostaglandin untuk sinkronisasi estrus; b) Sinkronisasi estrus dan

ovulasi dengan ib terjadwal pada kerbau; c) Inseminasi buatan menggunakan spermatozoa x dan

y untuk mendapatkan jenis kelamin anak yang diharapkan d) Mikroenkapsulasi spermatozoa

untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan waktu IB terlalu awal (Puslitbangnak, 2017).

Inovasi Teknologi Pengolahan Pupuk

Upaya meningkatkan lahan pertanian yang ramah lingkungan membutuhkan alternative

penerapan teknologi system usaha pertanian berbasis ternak yang diharapkan mampu

memperbaiki produktivitas lahan yang berasal dari kotoran ternak untuk dijadikan bahan organik.

Bahan organic tanah merupakan bagian integral dari tanah dan memegang peranan penting serta

menentukan sifat fisik serta kimia tanah, bahan organik dalam tanah perlu dipertahankan pada

tingkat kadar yang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman (Sudaryanto dan Jamal, 2000).

Dwiyanto dan Hariyanto (2002) melaporkan bahwa setiap satu ekor sapi dewasa dapat

menghasilkan 4-5 kg pupuk organik/hari setelah mengalami pemrosesan. Pupuk kandang atau

pupuk organic yang dihasilkan dari ternak sapi sangat berguna untuk memperbaiki struktur tanah

yang miskin unsur hara akibat penggunaan pupuk anorganik secara terus menerus.

Page 83: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

77

Hasil analisis biaya dan pendapatan dari integrasi usaha padi-sapi mampu meningkatkan

pendapatan hingga 100%, jika dibandingkan dengan pola tanam padi tanpa memelihara sapi

dimana sekitar 40% dari hasil tersebut berasal dari pupuk organik diperoleh dari sapi. Sedangkan

hasil beberapa penelitian lainnya menunjukkan pada umumnya integrasi tanaman dan ternak

dapat memberikan nilai tambah yang cukup tinggi (Dwiyanto et al., 2001).

Terkait dengan Kota Jayapura sebagai wilayah agropolitan bahwa sistem pertanian terutama

untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi sebagian kelompok tani/petani sudah mengarah

kepada system pertanian modern yang menggunakan mesin pertanian dalam operasionalnya

misalkan untuk teknik menanam padi, sebagian petani sudah menggunakan alat tanam (rice

transplanter) dan untuk panen padi menggunakan alat panen (combine harvester) penggunaan alat

mesin pertanian ini sangat membantu petani dalam hal mengefisiensikan waktu, tenaga dan biaya

selain itu saat ini buruh tani atau tenaga kerja usahatani sangat terbatas dan cukup mahal.

Sedangkan upaya untuk meningkatkan lahan pertanian dilakukan pengolahan tanah/pembajakan

dengan membalikkan jerami kembali kedalam lahan menggunakan aplikasi biodekomposer

merupakan komponen teknologi perombak bahan organik diaplikasikan sebanyak 2-4 kg/ha untuk

mendekomposisi 2-4 ton jerami segar yang dicampur secara merata dengan 400 liter air bersih.

Larutan biodekomposer disiramkan secara merata pada tunggul dan jerama pada petakan sawah

kemudian digelebeg dengan traktor dan tanah dibiarkan dalam kondisi lembab dan tidak

tergenang minimal 7 hari. Biodekomposer M-Dec mampu mempercepat pengomposan jerami

secara insitu dari 2 bulan menjadi 3-4 minggu. Pengomposan jerami dengan aplikasi

biodekomposer mempercepat residu organik menjadi bahan organik tanah dan membantu

meningkatkan ketersediaan hara NPK didalam tanah, sehingga meningkatkan efisiensi

pemupukan dan menekan perkembangan penyakit tular tanah selain itu juga untuk mencegah

kebbiasaan petani melakukan pembakaran jerami yang menimbulkan emisi gas carbon yang

mengganggu kesehatan lingkungan. Perlu diperhatikan bahwa apabila seluruh jerami

dikembalikan kedalam tanah diperkirakan sebanyak 4-5 ton jerami /ha sehingga dibutuhkan 4-5

kg biodekomposer/ha (Balitbangtan, 2016).

3. MODEL PENGEMBANGAN INTEGRASI PADI – SAPI POTONG

Berbagai program pertanian dan peternakan terus digalakkan pemerintah untuk meningkatkan

produktivitas padi dan ternak sapi potong. Program-program yang dijalankan belum sepenuhnya

mampu menerapkan inovasi teknologi yang ada disebabkan beberapa kendala atau permasalahan,

sehingga diperlukan inovasi teknologi yang tepat guna, tepat sasaran dan spesifik lokasi.

Dalam menetapkan teknologi yang akan dipilih untuk dikembangkan perlu diingat bahwa

teknologi tersebut harus memenuhi syarat dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan,

ramah lingkungan, secara sosial diterima masyarakat, secara ekonomi layak dan secara politis

diterima. Inovasi teknologi yang dimanfaatkan antara lain adalah teknologi pengelolaan pakan

dan kompos, budidaya ternak termasuk aspek veteriner serta didukung dengan pengembangan

sistem kelembagaan. Teknologi dan manajemen dalam penggunaan sumber pakan lokal meliputi

peningkatan kualitas jerami melalui amoniasi dan fermentasi menggunakan probiotik,

penyimpanan pakan, pemberian pakan tambahan yang murah, serta cara pemberian pakan yang

ekonomis juga teknologi pengolahan kompos diharapkan dapat memberikan sumbangan

pendapatan yang signifikan (Diwyanto, 2008).

Sistem usahatani integrasi antara tanaman dan ternak merupakan salah satu upaya untuk memacu

pengembangan sektor pertanian dengan mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya di suatu

kawasan. Penerapan berbagai keunggulan pengelolaan usaha pertanian yang berazaskan

komplementer menghasilkan interaksi positif dan merupakan landasan dasar bagi pengembangan

diversifikasi usaha dalam pertanian terpadu (Sudaryanto dan Jamal, 2000).

Sistem integrasi ternak dan tanaman pangan dapat menjadi andalan dalam upaya meningkatkan

produktivitas tanaman pangan, ternak, selain melestarikan kesuburan tanah dengan adanya pupuk

Page 84: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

78

organik, karena itu sistem ini berpotensi meningkatkan pendapatan petani-peternak (Haryanto et

al., 2003).

Pengembangan usaha tani tanaman dan ternak secara bersama-sama menambah pendapatan

petani (Haryanto, 2009). Adapun komponen teknologi yang diaplikasikan seperti pada tabel 3.

Tabel 3. Komponen Teknologi Yang Diaplikasikan

Komoditas Komponen Petani Kooperator

Padi Varietas, Benih Varietas Unggul dan benih

bersertifikat

Penggunaan bibit Bibit 2-3 batang

Cara tanam Jarak Tanam Legowo

Pengendalian Organisme

Penyakit Tanaman (OPT)

Konsep Penyakit Hama Tanaman

Pemupukan Pemupukan berimbang berdasarkan

bagan warna daun (BWD) dan peta

status hara P dan K

Pupuk Organik Pemanfaatan Kompos

Sapi Sistem Pemeliharaan Kandang kelompok, Kesehatan ternak

Pakan Utama Jerami Fermentasi

Pakan Tambahan Konsentrat

Pengolahan Limbah Pengolahan jerami padi dan pupuk

kandang

Sumber : Basuni,et al., 2010

Pada sistem integrasi tanaman ternak, pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah

ternak menjadi pupuk dan sumber energi alternatif merupakan potensi yang perlu dikembangkan.

Inovasi teknologi pakan ternak dalam sistem integrasi tanaman-ternak bebas limbah (SITT-BL)

memberikan peluang yang menggembirakan menuju green and clean agricultural development.

SITT-BL merupakan salah satu strategi usahatani yang harus mampu : memenuhi permintaan dan

kebutuhan pasar; memperkuat dan memperluas sumber pendapatan rumah tangga petani;

menekan resiko kegagalan dalam mengembangkan usaha; memanfaatkan hubungan sinergis

antara tanaman dan ternak; menyediakan bioenergy pada tingkat rumah tangga dalam bentuk

biogas dan tidak mencemari lingkungan (haryanto, 2009).

4. KESIMPULAN

Pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan, serta limbah ternak menjadi pupuk dan sumber

energy alternative merupakan potensi yang perlu dikembangkan dalam model system integrasi

tanaman padi dan sapi potong yang ramah lingkungan. Inovasi teknologi pengolahan limbah

kotoran ternak sapi dalam system integrasi tanaman ternak yang ramah lingkungan memberikan

peluang untuk dikembangkan sesuai kondisi spesifik lokasi.

Penanganan limbah kotoran ternak sapi yang dihasilkan sebagai bahan organic sangat tepat

diaplikasi di wilayah Kota Jayapura yang merupakan wilayah agropolitan yang menuntut

lingkungan yang tidak tercemar sehingga perlu didukung dengan berbagai inovasi teknologi

budidaya padi dan ternak sapi potong.

Pendampingan oleh penyuluh dan peneliti BPTP dalam mengawal inovasi teknologi sangat

diperlukan mengingat percepatan akselerasi teknologi ditingkat petani akan lebih cepat

Page 85: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

79

terdesiminasi melalui bimbingan teknologi dan berbagai pelatihan selain bermanfaat dalam

peningkatan produk pertanian tentunya berdampak pada peningkatan pendapatan petani-ternak.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Balitbangtan, 2016. Budidaya Padi Jajar Legowo Super. Petunjuk Teknis. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.

[2] Basuni R., Muladno, C Kusmana, dan Suryahadi. 2010. Model Sistem Integrasi Padi-Sapi

Potong Di Lahan Sawah. Forum Pascasarjana 33 : 3. Pp 177-190.

[3] BBP2TP, 2008. Teknologi Budidaya Padi. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan

Teknologi Pertanian Bogor. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[4] BPS Kota Jayapura, 2017. Kota Jayapura dalam Angka 2017. Badan Pusat Statistik Kota

Jayapura.

[5] BPS Kota Jayapura, 2017. Kecamatan Muara Tami dalam Angka 2017. Badan Pusat

Statistik Kota Jayapura.

[6] Diwyanto, K dan A. Priyanti. 2001. Prospek Pengembangan Ternak Pola Integrasi Berbasis

Sumberdaya Lokal. Prosiding Lokakarya Pengembangan Sistem Integrasi Kelapa Sawit-

Sapi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor.

[7] Dwiyanto, K, B.R. Prawiradiputra, D. Lubis. 2001. Integrasi Tanaman-Ternak Dalam

Pengembangan Agribisnis Yang Berdaya Saing, Berkelanjutan Dan Berkerakyatan.

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner, Bogor, 17-18 September

2001. Puslitbangnak.

[8] Dwiyanto K, B. Hariyanto. 2002. Crop Livestock System Dalam Mengakselerasi Produksi

Padi dan Ternak. Wartazoa 12 (1): 1-8.

[9] Diwyanto, K., BR Prawiradiputra, dan D Lubis. 2002. Integrasi Tanaman Ternak dalam

Pengembangan Agribisnis yang Berdaya Saing. Wartazoa 12 (1).

[10] Dwiyanto, K. 2008. Pemanfaatan Sumber Daya Lokal dan Inovasi Teknologi Dalam

Mendukung Pengembangan Sapi Potong di Indonesia. Pengembangan Inovasi Pertanian

1(3) 2008: 173-188.

[11] Dwiyanto, K. 2015. Parameter Terukur Manajemen Perkawinan/Reproduksi Sapi Dalam

Pendampingan Integrasi Tanaman-Ternak. Koordinasi Pendampingan Integrasi Tanaman-

Ternak. Puslitbangnak Bogor, 25 Maret 2015 (Bahan Presentasi). (

[12] Haryanto, B., I. Inounu, I.G.M. Budiarsana, dan K. Diwyanto. 2003. Pedoman Teknis.

Sistem Integrasi Padi dan Ternak Sapi. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

[13] Haryanto, B. 2009. Inovasi Teknologi Pakan Ternak Dalam Sistem Integrasi Tanaman-

Ternak Bebas Limbah Mendukung Upaya Peningkatan Produksi Daging. Pengembangan

Inovasi Pertanian 2(3) : 163 – 176.

[14] Hidayat, MA. 2014. Inovasi Teknologi Untuk Pengelolaan Padi (Oryza sativa) Pada Proses

Pengeringan dan Penggilingan di Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Prosiding Seminar

Nasional Lahan Sub Optimal (Palembang, 26-27 September 2014).

[15] Priyanto, D., A. Priyanti, dan RA. Saptati. 2009. Peran Kelembagaan dan Sosial Ekonomi

Dalam Sistem Integrasi Tanaman Ternak. Sistem Integrasi Ternak Tanaman : Padi – Sawit

– Kakao. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian.

[16] Purwono dan H. Purnamawati. 2009. Budidaya 8 Jenis Tanaman Pangan Unggul. Penebar

Swadaya, Jakarta.

[17] Puslitbangnak, 2017. Dukungan Inovasi Teknologi Peternakan Mendorong Percepatan

Capaian Target Upsus Siwab. Rakor Pendampingan Upsus SIWAB, Bogor, 22-23 Maret

2017 (Bahan Presentasi).

[18] Sudaryanto, B., T. Suhendrata, dan E. Kushartanti. 2009. Dinamika dan Keragaan Sistem

Integrasi Padi - ternak Sapi Bebas Limbah di Berbagai Daerah di Indonesia. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[19] Septiana AF., Pujiharto, dan S Budiningsih. 2016. Kajian Adopsi Inovasi Pola Tanam Jajar

Legowo pada Usahatani Padi Sawah. Agritech : Vol. XVIII No.1 Juni 2016: 1-8.

Page 86: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

80

[20] Sudaryanto, T dan E. Jamal. 2000. Pengembangan Agribisnis Peternakan Melalui

Pendekatan Corporate Farming Untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Seminar

Nasional Peternakan dan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan Bogor.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

[21] Yuniarsih, ET dan Nappy, MB. 2014. Prospek Pengembangan Sistem Integrasi Tanaman

Ternak di Sulawesi Selatan. Prosiding Seminar Nasional Hari Pangan Sedunia ke-34.

Pertanian Bioindustri Berbasis Pangan Lokal Potensial.

[22] Winugroho, M., Y. Widyastuti, Y. Saepudin dan S. Marijati. 2002. Studi Penggunaan

Bubuk Kolostrum dan Bioplus untuk Produksi Susu (Konsistensi Efektifitas Bioplus Yang

Disimpan Pada Ternak Fistula). Kumpulan Hasil Penelitian APBN TA 2001. Balai

Penelitian Ternak, Ciawi Bogor.

[23] Winugroho M dan Y. Widiawati. 2004. Penguasaan dan Pemanfaatan Inovasi Teknologi

Pengkayaan Pakan Sapi Potong/Sapi Perah. Lokakarya Nasional Sapi Potong.

[24] Tiro, B.M.W., Usman, S.R.D. Sihombing dan E. Ayakeding. 2014. Gelar Teknologi

Pemanfaatan Jerami Padi FermentasiSebagai Pakan Sapi Potong Dan Limbah Ternak

Untuk Pembuatan Biogas. Laporan Tahunan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua.

Page 87: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

81

PERBANDINGAN METODE ESTIMASI PARAMETER UNTUK

MENENTUKAN MAGNITUDO GEMPA BUMI

(Studi KasusDataFrekuensi Gempa Bumi Susulan Kabupaten Nabire, Papua)

Alvian Sroyer1, Tiku Tandiangnga2, Felix Reba3,dan Ishak Beno4

Department of Mathematics, Cenderawasih University, Papua, Indonesia1234 e-mail: [email protected]

e-mail: [email protected],

e-mail: [email protected] e-mail: [email protected]

Abstark. Banyak peneliti mengestimasi pamameter skala dan bentuk distribusi Weibull

menggunakan dua metode estimasi seperti Maximum likelihood danLeast Squares

Method. Studi kasus yang digunakan salah satunya seperti mengitung kecepatan angin.

Pada tulisan ini, kami menggunakantiga metode untuk estimasiparameter skala dan

bentuk distribusi Weibull. Tiga metode tersebut diantaranya Maximum likelihood,Least

Squares Method, dan Grafic Method. Kami membandingkan ketiga metode dengan

kriteria mean square error (MSE), untuk memilih metode terbaik. Hasil estimasi

parameter dari data kemudian digunakan untuk menentukan mean dan magnitude gempa

Studi kasus dalam penelitian ini menggunakan data frekuensi gempabumi susulan

kabupaten Nabire, Papua.Setelah dilakukan uji kesesuaian dengan uji Kolmogorov-

Smirnov, diperoleh bahwa data mengikuti pola distribusi Weibull. Selanjutnya hasil

penelitian menunjukkan bahwa metode terbaik diantara ketiga metode adalah metode

Maximum Likelihood (MLE). Dengan mean = 50.0199 dan magnitude = 5.9584 pada jam

15.00-21.00 serta mean = 43.2749 dan magnitude = 6.0253 pada jam 03.00-09.00.

Keyword: Weibull distribution, MLE, Least Squares Method (LSM), Grafic Method,

Kolmogorov Smirnov, Magnitude.

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara yang termasuk rawan gempa, hal ini dikarenakan

Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik. Kondisi ini menjadikan

wilayah Indonesia sebagi daerah tektonik aktif dengan tingkat seismiksitas atau

kegempaan yang tinggi [1]. Salah satunya termasuk di daerah Papua dan Papua Barat.

Kondisi ini menyebabkan wilayah Papua dan Papua Barat banyak digoncang

gempabumi [2]. Banyak penelitian terdahulu yang menggunakan distirbusi Poisson,

Eksponensial, Gamma dan Weibull untuk menganalisis probabilitas terjadinya gempa

dalam tiap jam dengan membandingkan beberapa metode. Seperti yang dibahas oleh Al-

Fawzan, yaitu Methods for estimating the parameters of the Weibull distribution [3] dan

A comparison of methods for the estimation of Weibull distribution parameters yang

ditulis oleh Nwobi dan Ugomma [4].Juga Comparative study of five methods to estimate

Weibull parameters for wind speed on Phangan Island, Thailandoleh Werapun,

Tirawanichakul, dan Waewsak [5]. Penelitian sebelumnya membandingkan beberapa

metode dalam mengestimasi parameter distribusi Weibull. Metode yang terbaik dalam

menduga parameter distribusi Weibull adalah metode yang memiliki rata-rata kuadrat

galat minimum [6]. Namun pada penelitian ini, setelah diketahui metode terbaik dalam

Page 88: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

82

mengestimasi parameter, maka parameter dari data digunakan untuk menentukan

magnitude gempa bumi. Kendala dalam penelitian ini adalah skala richter gempa bumi

adalah kumulatif dari data gempa bumi susulan. Diharapkan penelitian selanjutnya

parameter gempa bumi (p 𝑑𝑎𝑛 𝑞) harus diestimasi,sehingga dapat digambarkan secara

detail skala richter gempa tiap jamnya.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis magnitude yang dihasilkan dari data

banyaknya gempa bumi susulan tiap 6 jam, dengan menggunakan dua metode estimasi

parameter. Dimana metode terbaik adalah metode yang menghasilkan error terkecil. Hasil

penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana gempa bumi pada masa yang

akan datang.

2. TINJAUN PUSTAKA

2.1. Metode Estimasi parameter distribusi Weibull

Dalam menduga parameter distribusi Weibull dengan dua parameter, digunakan

Metode Least Square Method (LSM), dan Metode Grafik.

2.2. Distribusi Weibull dua parameter

Suatu variabel random kontinu 𝑇 mempunyai distribusi Weibull dengan parameter bentuk

𝑐 > 0 dan parameter skala 𝑏 > 0, jika fungsi densitas probabilitasnya :

𝑓(𝑡|𝑏, 𝑐) = 𝑐

𝑏(𝑡

𝑏)𝑐−1

exp −(𝑡

𝑏)𝑐

𝑡 > 0, 𝑐 > 0, 𝑏 > 0 (𝟏)

0, 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑖𝑛

Untuk fungsi distribusi kumulatifnya adalah sebagai berikut :

F(t) = 1 − S(t) = 1 − exp −(𝑡

𝑏)𝑐

, 𝑡 > 0 (𝟐)

Dalam analisis ketahanan hidup fungsi ketahanan hidup 𝑆(𝑡) diperoleh dari fungsi

distribusi kumulatif sehingga :

𝑆(𝑡) =𝑓(𝑡)

ℎ(𝑡)=

𝑐

𝑏(𝑡

𝑏)𝑐−1

exp − (𝑡

𝑏)𝑐

𝑐

𝑏(𝑡

𝑏)𝑐−1 = exp − (

𝑡

𝑏)𝑐

, 𝑡 > 0 (𝟑)

Setelah parameter bentuk dan skala di ketahui, maka mean dan magnitudegempa bumi

dapat ditentukan. Karena untuk nilai harapan 𝑇 disimbolkan dengan 𝐸(𝑇) dan

didefinisiskan sebagai berikut :

𝐸(𝑇) = ∫ 𝑡 𝑓(𝑡)𝑑𝑡∞

−∞

. (4)

Maka, 𝐸(𝑇) = 𝑏𝛤 (1

𝑐+ 1)

Selanjutnya, karena hubungan frekuensi magnitudeyang diusulkan olehGutenberg-

Richter adalah :𝐿𝑜𝑔 𝑁(𝑀) = 𝑝 − 𝑞𝑀 (5)

Untuk Indonesia(p= 7.30 𝑑𝑎𝑛 𝑞 = 0.94), Maka 𝐿𝑜𝑔 𝑁(𝑀) = 7.30 − 0.94𝑀.

Dimana,M = Skala Richter, N(M) = Jumlah kumulatif suatu gempa yang skala richternya

M dan (p,q) = konstanta yang disebut sebagai parameter seismisitas.

2.3. Least Squares Method (LSM)

Page 89: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

83

Teknik estimasi kedua yang akan diskusikan adalah MetodeKuadrat Terkecil. Metode ini

sangat umum diterapkan dalam masalah teknik dan matematika. Penggunaan metode

kuadrat terkecil untuk distribusi Weibull adalah sebagai berikut :

=

𝑛.∑ (ln 𝑡𝑖𝑛𝑖=1 ). (lnln[

1

1−𝑖

𝑛+1

]) − ∑ ln(ln[1

1−𝑖

𝑛+1

]). ∑ ln 𝑡𝑖𝑛𝑖=1

𝑛𝑖=1

𝑛.∑ (ln 𝑡𝑖𝑛𝑖=1 )2 − ∑ (ln 𝑡𝑖

𝑛𝑖=1 )

2 (𝟖)

= 𝑒(−

𝑐⁄ ) (𝟗)

2.4. Metode Grafik

Biasanya, ada metode fisik yang digunakan karena kesederhanaan dan kecepatan.

Namun, mereka melibatkan kemungkinan kesalahan yang lebih besar. Selanjutnya kita

membahas dua hal utamametode grafis. Jika kedua sisi cdf di persamaan (1)

ditransformasikan dengan 𝑙𝑛 (1

1−𝑡), maka akan diperoleh :

𝑙𝑛 (1

1 − 𝐹(𝑡𝑖)) = (

𝑡𝑖𝑏)𝑐

(𝟏𝟎)

Maka,

𝑙𝑛 [𝑙𝑛 (1

1 − 𝐹(𝑡𝑖))] = 𝑐 ln 𝑡𝑖 − 𝑐 ln 𝑏 (𝟏𝟏)

2.5. Metode Penilaian dan Seleksi

Rata-Rata Kuadrat Galat (Mean Square Error) untuk menentukan metode terbaik dalam

menduga parameter distribusi Weibull dengan dua parameter. Rata-Rata Kuadrat Galat

adalah ukuran keakuratan dari penduga. Metode yang terbaik dalam menduga parameter

distribusi

2.6. Uji Keandalan

Pada dasarnya uji kecocokan berdasarkan pada salah satu dari dua elemen distribusi,

yaitu fungsi distribusi kumulatif (Cumulative Ditribution Function) ataufungsi

probabilitas (Probability Density Function). Kolmogorov Simirnov berdasarkan pada

fungsi distribusi kumulatif. Misalkan variabel random 𝑇1, 𝑇2, … , 𝑇𝑛 berasal dari

distribusi yang tidak diketahui𝐹(𝑡),dan misalkan 𝑇(1) < 𝑇(2) < ⋯ < 𝑇(𝑛)adalah statistik

terurut. akan diuji hipotesis bahwa 𝐹(𝑡) adalah sama dengan suatu distribusi tertentu

𝐹0(𝑡). Statistik uji Kolmogorov Smirnov 𝐷𝑛 didefinisikan sebagai :

𝐷𝑛 = 𝑚𝑎𝑘𝑠(𝐷+, 𝐷−) (𝟏𝟐) 𝐷+ = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹𝑛(𝑡) − 𝐹0(𝑡𝑖)] (𝟏𝟑) 𝐷− = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹0(𝑡𝑖) − 𝐹𝑛−1(𝑡)] (𝟏𝟒)

Dengan𝑖 = 1,2, … , 𝑛. 𝐹𝑛(𝑡)adalah fungsi distribusi empiris. Fungsi distribusi empiris

berguna sebagai penduga dari fungsi distribusi yang tidak diketahui 𝐹(𝑡).

2.7. Perbandingan Metode Estimasi

Kriteria Mean Squared Error (MSE) diberikan oleh

𝑀𝑆𝐸 = 1

𝑛∑[(𝑡𝑖) − 𝐹(𝑡𝑖)]

2 (𝟏𝟓)

𝑛

𝑖=1

Page 90: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

84

dimana (𝑡𝑖) diperoleh dengan mensubstitusikan nilai parameter 𝑐 𝑑𝑎𝑛 𝑏 (untuk setiap

metode) pada (2) sedangkan 𝐹(𝑡𝑖) =1

𝑛adalah fungsi distribusi empiris. Metode dengan

minimum squared error kuadrat 𝑀𝑆𝐸𝑚𝑖𝑛 menjadi metode terbaik untuk

mengestimasiparameter distribusi Weibull.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Jenis dan sumber data

Data yang akan digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BMKG Prov. Papua.

3.2.Teknik pengolahan data

Data diolah dengan menggunakansoftware Matlab dan R sebagai alat bantu. Prosedur

simulasi sebagai berikut:

1. Mulai input data gempa bumi

2. Pengujian Hipotesis menggunakan Kolmogorov-Smirnov

3. Estimasi parameter dengan menggunakan LSM dan Metode Grafik

4. Output berupa Parameter 𝑏 dan c

5. MSE untuk melakukan seleksi dalam menentukan metod terbaik

6. Menentukan magnitude gempa bumi susulan

4. HASIL YANG DICAPAI

4.1. Metode Penilaian dan Seleksi

Rata-Rata Kuadrat Galat (Mean Square Error) untuk menentukan metode terbaik dalam

menduga parameter distribusi Weibull dengan dua parameter. Rata-Rata Kuadrat Galat

adalah ukuran keakuratan dari penduga. Metode yang terbaik dalam menduga parameter

distribusi

4.2. Uji Keandalan

Pada dasarnya uji kecocokan berdasarkan pada salah satu dari dua elemen distribusi,

yaitu fungsi distribusi kumulatif (Cumulative Ditribution Function) ataufungsi

probabilitas (Probability Density Function). Kolmogorov Simirnov berdasarkan pada

fungsi distribusi kumulatif. Misalkan variabel random 𝑇1, 𝑇2, … , 𝑇𝑛 berasal dari

distribusi yang tidak diketahui𝐹(𝑡),dan misalkan 𝑇(1) < 𝑇(2) < ⋯ < 𝑇(𝑛)adalah statistik

terurut. akan diuji hipotesis bahwa 𝐹(𝑡) adalah sama dengan suatu distribusi tertentu

𝐹0(𝑡). Statistik uji Kolmogorov Smirnov 𝐷𝑛 didefinisikan sebagai :

𝐷𝑛 = 𝑚𝑎𝑘𝑠(𝐷+, 𝐷−) (𝟏𝟐) 𝐷+ = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹𝑛(𝑡) − 𝐹0(𝑡𝑖)] (𝟏𝟑) 𝐷− = 𝑚𝑎𝑘𝑠[𝐹0(𝑡𝑖) − 𝐹𝑛−1(𝑡)] (𝟏𝟒)

Dengan𝑖 = 1,2, … , 𝑛. 𝐹𝑛(𝑡)adalah fungsi distribusi empiris. Fungsi distribusi empiris

berguna sebagai penduga dari fungsi distribusi yang tidak diketahui 𝐹(𝑡).

4.3. Perbandingan Metode Estimasi

Kriteria Mean Squared Error (MSE) diberikan oleh

𝑀𝑆𝐸 = 1

𝑛∑[(𝑡𝑖) − 𝐹(𝑡𝑖)]

2 (𝟏𝟓)

𝑛

𝑖=1

Page 91: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

85

dimana (𝑡𝑖) diperoleh dengan mensubstitusikan nilai parameter 𝑐 𝑑𝑎𝑛 𝑏 (untuk setiap

metode) pada (2) sedangkan 𝐹(𝑡𝑖) =1

𝑛adalah fungsi distribusi empiris. Metode dengan

minimum squared error kuadrat 𝑀𝑆𝐸𝑚𝑖𝑛 menjadi metode terbaik untuk

mengestimasiparameter distribusi Weibull.

4.4. Hasil

Berdasarkan (tabel 1),rata-rata galat error (MSE) menunjukan bahwa metode yang terbaik

dalam menduga parameter data frekuensi gempa bumi susulan Kabupaten Nabire, Papua

adalah maximum likelihhod (MLE). Dimana magnitudo yang di hasilkan sebesar 5.9584

pada jam 15.00 –21.00 dan pada jam 03.00 – 09.00 magnitudo sebesar 6.0253.

Tabel 1. Parameter Skala dan Bentuk, Mean, Skala Richter

Gambar 1

Berdasarkan (gambar 1), terlihat jelas bahwa jam 03.00 - 09.00 memiliki frekuensi

gempa yang lebih tinggi dibandingan dengan jam-jam lainnya. Dimana parameter bentuk

dan skala yang dihasilkan berturut-turut adalah (𝑐 = 1.3941 𝑑𝑎𝑛 𝑏 = 47.4489), Dengan demikian gempa susulan yang terjadi di Nabire Papua Tahun 2004 pada jam

03.00 - 09.00, gempa ini mengakibatkan semua orang lari keluar ruangan, bahkan

dirasakan orang yang mengendarai mobil, bangunan yang konstruksinya kurang baik

runtuh.

5. KESIMPULAN

Hal terpenting dalam mengkaji suatu distribusi adalah pendugaan parameter. Dalam

penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kuadrat terkecil, metode maximum

likelihood dan metode grafik. Parameter yang diduga adalah data frekuensi gampa bumi

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 2000

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

1

Frekuensi Gempa

F(t

)

MLE

LSM

Grafic

Metode Jam Parameter Skala

Richter Mean MSE

Skala Bentuk

MLE 15.00 –21.00 54.8117 1.3889 5.9584 50.0199 6.876443

03.00 – 09.00 47.4489 1.3941 6.0253 43.2749 7.938585

LSM 15.00 – 21.00 49.489 1.6307 5.9633 49.489 7.643076

03.00 – 09.00 43.716 1.5075 6.0206 43.716 8.354454

GRAFIK 15.00 – 21.00 47.2601 1.7389 7.5158 47.2601 8.696648

03.00 – 09.00 40.9555 1.6714 7.5349 40.9555 8.88584

Page 92: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

86

susulan kabupaten Nabire, Papua. Dan Metode terbaik dalam pendugaan parameter data

gempa bumi susulan dalah metode maximum likelihood (MLE).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Gaillard, J. C., Clavé, E., Vibert, O., Denain, J. C., Efendi, Y., Grancher, D., ... &

Setiawan, R. (2008). Ethnic groups’ response to the 26 December 2004 earthquake

and tsunami in Aceh, Indonesia. Natural Hazards, 47(1), 17-38.

[2] Anton, L., & Gibson, G. (2008). Analysing earthquake hazard in Papua New Guinea.

Earthquake Engineering in Australia, AEES2008, Ballarat Victoria, Australia, 21-

23.

[3] Al-Fawzan, M. A. (2000). Methods for estimating the parameters of the Weibull

distribution. King Abdulaziz City for Science and Technology, Saudi Arabia.

[4] Nwobi, F. N., & Ugomma, C. A. (2014). A comparison of methods for the estimation

of Weibull distribution parameters. Metodoloski zvezki, 11(1), 65.

[5] Werapun, W., Tirawanichakul, Y., & Waewsak, J. (2015). Comparative study of five

methods to estimate Weibull parameters for wind speed on Phangan Island, Thailand.

Energy Procedia, 79, 976-981.

[6] Saleh H. Abou El-Azm Aly A, Abdel-Hady S, Assessment of different methods used

to estimate Weibull distribution parameters for wind speed in Zafarana wind farm,

Suea Gulf, Eypt. Energy 2012;44:710-719.

[7] Johnson, N. L. Kotz, S. and Balakrishnan, N. (1994): Maximum Likelihood

Estimation for Weibull Distribution. John Wiley & Sons, New York.

Page 93: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

87

MODEL PENYEBARAN TUBERKULOSIS DENGAN

CHEMOPROPHYLAXIS DAN PENGOBATAN YANG TIDAK

TUNTAS

Jonner Nainggolan

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih

Email: [email protected]

Abstrak. Pada tulisan ini dikaji model penularan TB dengan chemoprophylaxis dan pengobatan

yang tidak tuntas. Kemudian menganalisis titik ekuilibrium dan menentukan jumlah reproduksi

dasar. Berdasarkan simulasi numerik menunjukkan chemoprophylaxis dan pengobatan kasus TB

aktif efektif menurunkan epidemi TB; sedangkan chemoprophylaxis dan pengobatan yang tidak

tuntas menunjukkan tidak terlihat mempengaruhi dinamika jumlah individu kompartemen

infected yang gagal berobat.

Kata kunci:model penularan TB, chemoprophylaxis, pengobatan, titik ekuilibrium, jumlah

reproduksi dasar

1. PENDAHULUAN

Tuberkulosis adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium

tuberculosis. Terdapat beberapa spesies Mycobacterium, antara lain: M. tuberculosis, M.

africanum, M. bovis, M. Leprae dsb. Yang juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA).

Kelompok bakteri Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang bisa menimbulkan

gangguan pada saluran nafas dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than tuberculosis)

yang terkadang bisa mengganggu penegakan diagnosis dan pengobatan TBC Jumlah kasus baru

TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan

jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan

pada perempuan (Indah, 2018).

Masalah klinis yang kompleks membutuhkan waktu yang lama dan kerjasama antara petugas

kesehatan dan keluarga. Dimana petugas tidak hanya menyelesaikan masalah klinis pasien, tetapi

juga mencari dan memberi solusi atas permasalahan-permasalahan dalam lingkungan yang

mempengaruhi kesehatan pasien dan keluarga (Zettira, 2017) .

Berdasarkan Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016 angka keberhasilan pengobatan masih

dibawah target yaitu 83,6% dari target 90%. Hal ini disebabkan karena ketidakpatuhan pasien TB

untuk menjalani pengobatan pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan secara teratur. Keberhasilan

pengobatan juga ditentukan oleh penemuan kasus secara mikroskopis. Rendahnya penemuan

kasus akan mengalami penundaan pengobatan (keterlambatan pengobatan), dan meningkatkan

mortalitas dan morbiditas yang lebih tinggi karena penyakit yang berkepanjangan dan

perkembangan komplikasi, serta peningkatan risiko penularan infeksi lebih lanjut (Indah, 2018).

Pengendalian tuberculosis telah banyak dikaji oleh peneliti antara lain hasil penelitian yang dikaji

oleh Nainggolan at al. (2013) menunjukkan bahwa vaksinasi mampu mengurangi jumlah populasi

laten dan infeksi. Kontrol pada pengobatan untuk mengurangi individu yang terinfeksi TB

(Nainggolan et al., 2014. Egonmwan (2018) telah menganalisis model tuberculosis dengan

diagnosis, sedangkan Trauner (2014) mengkonstruksi model tuberculosis dengan transmisi yang

tinggi di daerah Asia-Pasifik. Trauner et al. (2014) mengkonstruksi model TB dengan transmisi

yangtti di daerah Asia-pasifik. Pada penelitian mengembangkan penelitian (Liu and Wang, 2016)

analisis TB dengan pengobatan terganggu dengan menambahkan parameter chemoprophylaxis.

Page 94: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

88

2. Model

Transmisi penyebaran penyakit tuberkulosis pada penelitian ini pengembangan dari model Liu

dkk., (2016) dengan faktor chemoprophylaxis. Populasi pada model penyebaran penyakit

tuberkulosis yang dikaji dibagi dalam enam kompartemen yaitu: Individu kompartemen

susceptible yaitu individu yang sehat dan rentan terinfeksi penyakit disimbolkan dengan S.

Individu kompartemen exposed dan masih sensitif terhadap chemopropohylaxis yaitu individu

tetapi belum dapat menularkan penyakit ke kompartemen yang laindinotasikan dengan E. Jumlah

individu kompartemen terinfeksi yaitu individu yang dapat menularkan penyakit ke

kompartemen yang lain dinotasikan dengan I. Jumlah individu kompartemen gagal pengobatan

yaitu individu yang terinfeksi dan telah diobati tetapi pengobatannya tidak tuntas dinotasikan

dengan D. Jumlah individu kompartemen yang sembuh karena chemoprophylaxis dan

pengobatan dinotasikan dengan R.

Model transmisi tuberkulosis yang dikaji dengan memperhatikan dengan memperhatikan

chemoprophylaxis seperti pada Gambar 1:

Gambar 1. Diagram skematik Transmisi TB dengan pengobatan tidak tuntas

Asumsi yang digunakan pada perumusan model adalah sebagai berikut:

1) Populasi adalah tertutup dan bersifat homogen.

2) Laju rekruitmen masuk ke kompartemen S.

3) Memperhatikan chemoprophylaxis yang tidak tuntas

4) Memperhatikan pengobatan yang tidak tuntas

5) Chemoprophylaxis dan pengobatan yang tidak tuntas masuk ke kompartemen D

6) Masing-masing kompartemen mengalami kematian alamiah

7) Tidak memperhatikan reinfeksi

8) Setiap individu yang terinfeksi penyakit tuberkulosis aktif memiliki probabilitas yang

sama untuk menularkan ke setiap individu yang rentan terinfeksi dan individu yang

sembuh.

9) Terdapat kematian karena sakit.

10) Fungsi kompartemen-kompartemen 𝑆(𝑡), 𝐸(𝑡), 𝐼(𝑡), 𝐷(𝑡), 𝑅(𝑡) terdiferensial terhadap

waktu t.

Berdasarkan diagram pada Gambar 1, asumsi model, parameter-parameter dan variabel-

variabel yang ada kemudian dibangun model matematika yang dinyatakan dalam sistem

persamaan berikut:

E

E qcE prI ( + d1)I

R

𝛽𝑆𝐼

𝑁

𝜎𝑆𝐷

𝑁 (1 – q)cE kD

(1 – p)rI

S ( + d2)D

E

S

I

D

R

Page 95: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

89

𝑑𝑆

𝑑𝑡= Λ −

𝛽𝑆𝐼

𝑁−

𝜎𝑆𝐷

𝑁− 𝜇𝑆

𝑑𝐸

𝑑𝑡=

𝛽𝑆𝐼

𝑁+

𝜎𝑆𝐷

𝑁− (𝜇 + + 𝑐)𝐸

𝑑𝐼

𝑑𝑡= 𝐸 + 𝑘𝐷 − (𝜇 + 𝑑1 + 𝑟)𝐼

𝑑𝐷

𝑑𝑡= (1 − 𝑞)𝑐𝐸 + (1 − 𝑝)𝑟𝐼 − (𝜇 + 𝑑2 + 𝑘)𝐷

𝑑𝑅

𝑑𝑡= 𝑞𝑐𝐸 + 𝑝𝑟𝐼 − 𝜇𝑅

(1)

dengan deskripsi dan nilai estimasi parameter-parameter dinyatakan pada Tabel 1. Sebagian besar

nilai-nilai parameter diambil dari Liu et al. (2016) dan sebagian lagi diasumsikan.

Kondisi awal dari model (1) yaitu: S(0) = S0 0, E(0) = E0 0, I(0) = I0 0, D(0) = D0 0 dan

R(0) = R0 0, sedemikian sehingga𝑑𝑆0

𝑑𝑡> 0,

𝑑𝐸0

𝑑𝑡> 0,

𝑑𝐼0

𝑑𝑡> 0,

𝑑𝐷

𝑑𝑡> 0 dan

𝑑𝑅0

𝑑𝑡> 0. Hal ini

berarti bahwa jika jumlah awal dari suatu kompartemen sama dengan nol, maka turunan

kompartemen tersebut persatuan waktu selalu bernilai positif. Jika sebuah syarat awal diberikan

dalam daerah domain biologis, maka solusi dari model akan terdefinisi untuk setiap waktu t 0

dan tetap berada di dalam daerah tersebut. Oleh karena itu persamaan (1) mempunyai solusi

dalam daerah nonnegatif 𝑹≥05 , daerah domain biologis persamaan (1) adalah

𝐺 = (S, 𝐸, 𝐼, 𝐷, 𝑅) ∈ 𝑹+𝟓 : 𝑆 + 𝐸 + 𝐼 + 𝐷 + 𝑅 ≤

𝜇,

dimana

𝜇 adalah jumlah populasi pada waktu non-endemik. Tambahan persamaan yang

diperoleh dari persamaan (1)

𝑑𝑁

𝑑𝑡= Λ − 𝜇𝑁 − 𝑑1𝐼 − 𝑑2𝐷 ≤ Λ − 𝜇𝑁

Jelas bahwa jika 𝑁 >

𝜇,𝑑𝑁

𝑑𝑡< 0. Karena penyelesaian persamaan (1) semuanya nilai awal non-

negatif di ruang 𝑹+𝟓 terbatas dan berada pada interval [0, +).

Tabel 1. Simbol, Deskripsi, dan Estimasi Parameter-Parameter ModelTuberkulosis dengan

Pengobatan Tidak Tuntas.

Parameter Keterangan Estimasi

Laju rekruitmen yang masuk ke kompartemen S 3000 orang per tahun

Laju transmisi dari S ke I akibat S kontak dengan I 0,6 pertahun

Laju transmisi dari S ke I akibat S kontak dengan D 0,1 pertahun

Laju kematian alamiah masing-masing kompartemen (1/70) pertahun

k Laju transmisi dari D ke I 0.3 pertahun

Laju transmisi dari E ke I 0,2 pertahun

c Lajuchemoprophylaxis dari E ke R dengan 0,7 per tahun

r Laju kesembuhan karena pengobatan dari I ke R

dengan peluang p

0,5 pertahun

d1 Laju kematian I karena sakit 0,08 pertahun

d2 Laju kematian D karena sakit 0,08 perthun

Page 96: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

90

p Peluang kesembuhan chemoprophylaxis 0.7 pertahun

q Peluang kesembuhan pengobatan 0,5 pertahun

3. PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas analisis transmisi tuberkulosis dengan tindakan chemoprophylaxis dan

pengobatan, angka reproduksi dasar dan simulasi numerik.

3.1 Analisis Model Transmisi Tuberkulosis dengan Chemoprohylaxis dan Pengobatan

yang Tidak Tuntas

Analisis yang dilakukan pada model transmisi penyakit tuberkulosis (1) adalah

menentukan titik ekuilibrium dan kestabilan lokal non-endemik dan angka reproduksi dasar

(R0).Titik ekuilibrium non-endemik persamaan (1) dengan syarat 𝑑𝑆

𝑑𝑡= 0,

𝑑𝐸

𝑑𝑡= 0,

𝑑𝐼

𝑑𝑡= 0,

𝑑𝐷

𝑑𝑡=

0,𝑑𝑅

𝑑𝑡= 0 dan tidak ada infeksi (E = 0, I = 0, dan D = 0) diperoleh

𝑄0 = (𝑆0, 𝐸0, 𝐼0, 𝐷0, 𝑅0) = (Λ

𝜇, 0,0,0,0) (2)

Titik ekuilibrium endemik persamaan (1) dengan syarat 𝑑𝑆

𝑑𝑡= 0,

𝑑𝐸

𝑑𝑡= 0,

𝑑𝐼

𝑑𝑡= 0,

𝑑𝐷

𝑑𝑡=

0,𝑑𝑅

𝑑𝑡= 0 diperoleh

𝑄1 = (𝑆1, 𝐸1, 𝐼1, 𝐷1, 𝑅1) , dengan

𝑆1 =𝑁𝑘1(𝑘𝑝𝑟 − 𝑘𝑟 + 𝑘2𝑘3)

−𝛽𝑐𝑘𝑞 − 𝑐𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑐𝑘 + 𝛽𝛾𝑘3 + 𝑐𝑘𝜎 + 𝛾𝑘3𝜎

𝐸1

=((𝑐𝑘2 + 𝛾𝑟 − 𝑐𝑘2𝑞 + 𝛾𝑝𝑟)(𝑁𝑘𝑘1𝜇𝑟(1 − 𝑝) − 𝑁𝑘1𝑘2𝑘3𝜇 + Λ𝑐(−𝛽𝑘𝑞 − 𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑘 + 𝑘𝜎) + Λ𝛾𝑘3(β + σ))

(𝛽 + 𝜎)(−𝑐𝑘𝑞 + 𝑐𝑘 + 𝛾𝑘3)𝑘1

𝐼1 =(−𝑁𝑘1(𝑘𝜇𝑝𝑟 − 𝑘𝜇𝑟 + 𝑘2𝑘3𝜇) − Λ𝑐𝑘(𝛽𝑞 + 𝑞𝜎 − 𝛽 − 𝜎) + Λ𝑘3(𝛽𝛾 + 𝛾𝜎))

𝑘1(𝛽𝑘𝑝𝑟 + 𝑘𝑝𝑟𝜎 − 𝛽𝑘𝑟 + 𝛽𝑘2𝑘3 − 𝑘𝑟𝜎 + 𝑘2𝑘3𝜎

𝐷1

=((𝑐𝑘2 + 𝛾𝑟 − 𝑐𝑘2𝑞 + 𝛾𝑝𝑟)(𝑁𝑘𝑘1𝜇𝑟(1 − 𝑝) − 𝑁𝑘1𝑘2𝑘3𝜇 + Λ𝑐(−𝛽𝑘𝑞 − 𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑘 + 𝑘𝜎) + Λ𝛾𝑘3(β + σ))

((𝑘𝑟(𝛽𝑝 + 𝑝𝜎 − 𝛽 − 𝜎) + 𝑘2𝑘3(𝛽 − 𝜎))(−𝑐𝑘𝑞 + 𝑐𝑘 + 𝛾𝑘3)𝑘1

𝑅1

=((𝑐𝑘2 + 𝛾𝑟 − 𝑐𝑘2𝑞 + 𝛾𝑝𝑟)(𝑁𝑘𝑘1𝜇𝑟(1 − 𝑝) − 𝑁𝑘1𝑘2𝑘3𝜇 + Λ𝑐(−𝛽𝑘𝑞 − 𝑘𝑞𝜎 + 𝛽𝑘 + 𝑘𝜎) + Λ𝛾𝑘3(β + σ))

((𝑘𝑟(𝛽𝑝 + 𝑝𝜎 − 𝛽 − 𝜎) + 𝑘2𝑘3(𝛽 − 𝜎))(−𝑐𝑘𝑞 + 𝑐𝑘 + 𝛾𝑘3)𝑘1

+ (𝑐𝑘𝑟(𝑝−𝑞)+𝑐𝑘2𝑘3𝑞+𝛾𝑘3𝑝𝑟)

𝜇(𝑘𝑝𝑟(𝛽+𝜎)−𝛽𝑘𝑟−𝑘𝑟𝜎+𝑘2𝑘3(𝛽+𝜎))(−𝑐𝑘𝑞+𝑐𝑘+𝛾𝑘3)𝑘1,

dimana: k1 = + + c, k2 = + d1 + r, k3 = + d2 + k.

3.2 Angka Reproduksi Dasar (R0)

Angka reproduksi dasar vaksinasi (R0) adalah rata-rata banyaknya kasus sekunder yang

diakibatkan oleh satu individu yang terinfeksi selama masa menularnya ketika masuk ke suatu

populasi yang susceptible (Van den Driessche and Watmough, 2002). Angka reproduksi dasar

(R0) dari persamaan (1). Penentuan R0 dari model diperoleh dengan menggunakan Next

Generation Matrix(Driessche dan Watmough, 2002) yaitu:

𝑅0 =√(𝜇(𝑐+𝑑1+𝛾+𝜇+𝑟)+𝑐𝑑1+𝑐𝑟+𝛾𝑑1+𝛾𝑟)Λ𝛽𝛾

√𝜇𝑁(𝜇(𝑐+𝑑1+𝛾+𝜇+𝑟)+𝑐𝑑1+𝑐𝑟+𝛾𝑑1+𝛾𝑟).

Page 97: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

91

3.3 Simulasi Numerik

Simulasi numerik untuk model sistem persamaan (1) menggunakan metode Runge-Kutta orde

empat dengan program Matlab. Nilai parameter yang digunakan pada Tabel 1 dan kondisi awal

yaitu: S(0) = 100000, E(0) = 20000, I(0) = 10000, D(0) = 5000, dan R(0) = 0. Adapun

dinamikagrafik kompartemen exposed, infected, dan infected gagal pengobatan dan

recoveredpenyakit tuberkulosis dinyatakan pada Gambar 2, Gambar 3 dan Gambar 4 dan Gambar

5.

Pada Gambar 2 terdapat perbedaan jumlah individu kompartemen exposed dengan

chemoprophylaxis dan tanpa chemoprophylaxis. Jumlah individu kompartemen exposed,

denganchemoprophylaxis menurun dari waktu awal sampai waktu t = 30 tahun. Sedangkan

jumlah individu kompartemen exposed, tanpa chemoprophylaxis meningkat dari waktu awal

sampai waktu t = 30 tahun.

Gambar 2. Dinamika kompartemen Exposed

Gambar 3. Dinamika kompartemen infected

Pada Gambar 3 terdapat perbedaan jumlah individu kompartemen infected dengan pengobatan

dan tanpa pengobatan. Jumlah individu kompartemen infected, denganpengobatan menurun dari

waktu awal sampai waktu t = 30 tahun. Sedangkan jumlah individu kompartemen infected,

tanpapengobatan meningkat dari waktu awal sampai waktu t = 30 tahun.

Gambar 4. Dinamika kompartemen infected gagal pengobatan

0 5 10 15 20 25 30

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10x 10

4 Dinamika Kompartemen Exposed

Waktu (Tahun)

Kom

part

emen

Exp

osed

Dengan chemoprophylaxis

Tanpa chemoprophylaxis

0 5 10 15 20 25 30

0

1

2

3

4

5

6x 10

4 Dinamika Kompartemen Infected

Waktu (Tahun)

Kom

parte

men

Infe

cted

Dengan peengobatan

Tanpa pengobatan

0 5 10 15 20 25 30

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3x 10

4 Dinamika Kompartemen Infected Gagal Pengobatan

Waktu (Tahun)

Kom

parte

men

Infe

cted

Gag

al P

engo

bata

n

dengan chemo tanpa obat

dengan obat tanpa chemo

Dengan chemo dan obat

0 5 10 15 20 25 30

0

1

2

3

4

5

6

7x 10

4 Dinamika Kompartemen Recovered

Waktu (Tahun)

Kom

parte

men

Rec

over

ed

Dengan chemo tanpa obat

Dengan chemo dan obat

Dengan obat tanpa chemo

Tanpa chemo dan obat

Page 98: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

92

Gambar 5. Dinamika kompartemen recovered

Pada Gambar 4 dinamika jumlah individu kompartemen infected yang gagal chemoprophylaxis

atau pengobatan. Jumlah individu kompartemen infected yang gagal pengobatan dari awal sampai

waktu t = 6 tahun, jumlah individu meningkat, tetapi setelah t = 6 tahun sampai waktu t = 30

tahun jumlah individu menurun.

Pada Gambar 5 dinamika jumlah individu kompartemen recovered tanpa chemoprophylaxis dan

pengobatan monoton dari awal sampai waktu t = 30 tahun. Jumlah individu kompartemen

recovered dengan chemoprophylaxis dan atau pengobatan meningkat dari waktu awal sampai

waktu t = 30 tahun.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil kajian model transmisi penyebaran tuberkulosis dengan

chemoprophylaxis dan pengobatan yang gagal diperoleh bahwa:

1. Tindakan chemoprophylaxis efektif menurunkan jumlah individu kompartemenexposed.

2. Tindakan pengobatan efektif menurunkan jumlah individu kompartemen terinfeksi.

3. Tindakan chemoprophylaxis dan pengobatan secara bersama-sama efektif meningkatkan

jumlah individu kompartemen recovered.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Driessche, P.v. D. and Watmough, J.2002. “Reproduction Numbers and Sub-Threshold

Endemic Equilibria for Compartmental Models of Disease Transmission”, Math Biosci.,180,

29–48 (2002). [2] Indah, M., 2018. Infodati, Pusat Data dan Informasi Kemenkes RI, Kementerian RI, 2018.

[3] Liu, L. and Wang, L.2016. Analysis of a TB Model with Treatment Interruptions, J.

Nonlinear Sci. Appl. 9, 1549–1563.

[4] Nainggolan, J., Supian, S., Supriatna, A. K., and Anggriani, N. 2013. Mathematical Model of

Tuberculosis Transmission with Reccurent Infection and Vaccination, Journal of Physics:

Conference Series423, 012059, 1-8.

[5] Nainggolan, J., Supian, S., Supriatna, A. K., and Anggriani, N., and Detiatrimargini, 2014.

Optimal Control Solution of A Tuberculosis Transmission Model with Reccurent Infection

and Vaccination Using C# Programming,J. Advanced Science Letters: Volume 20, Number

1, p. 51-55(5).

[6] Zettira, Z. dan Sari, M. I., 2017. Penatalaksanaan Kasus Baru TB Paru dengan Pendekatan

Kedokteran Keluarga, J. Medula Unila, 7 (3), h. 68-79.

[7] Egonmwan, A. O. and Okuonghae1, D., 2018. Analysis of a mathematical model for

tuberculosiswith diagnosis, J. Appl. Math. Comput, 10.1007/s12190-018-1172-1.

[8] Trauer, J.M. .Denholm, J.T., and McBryde, E. S. 2014. Construction of a Mathematical

Model for Tuberculosis Transmission in Highly Endemic Regions of The Asia-Pacific,

Journal of Theoretical Biology, 358, 74–84.

Page 99: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

93

TRACE DARI MATRIKS BERPANGKAT

BILANGAN BULAT POSITIF

Arinvia Cindy Nirvani1, Westy B. Kawuwung2, dan Tiku Tandiangnga3

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih1,2,3

e-mail : [email protected]

e-mail : [email protected]

Abstrak.Trace dari matriks 𝐴𝑛×𝑛 = [𝑎𝑖𝑗] didefinisikan sebagai jumlah dari entri pada diagonal

utama matriks tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk umum untuk

menentukan trace dari matriks yang dipangkatkan n kali dengan n bilangan bulat positif.

Diperoleh:

(1) Untukn𝑛nganjil,m( 1) 2

0

( 1)( ) [ ( 1)][ ( 2)]...[ (

!

rnn

r

tr A n n r n r n rr

=

−= − + − + − +

( )( ) ( 2 )( 1)]. det ( ( )) ,r n rr A tr A −− dengan rZ .

(2) Untuk 𝑛 genap, 2

0

( 1)( ) [ ( 1)][ ( 2)]... ( ( 1) .

!

rnn

r

tr A n n r n r n r rr=

−= − + − + − + −

( )( ) ( 2 ) det ( ( )) ,r n rA tr A −

dengan rZ .

Diperoleh pula rumus untuk menentukan 𝑡𝑟(𝐴𝑛), jika diketahui 𝑡𝑟(𝐴) = 0 atau det(𝐴) = 0.

Kata kunci : trace, determinan, matriks berpangkat

1. PENDAHULUAN

Yang dimaksud dengan matriks berpangkat 𝐴𝑛 adalah perkalian matriks 𝐴 sebanyak 𝑛 kali dengan

𝑛 bilangan bulat positif. Dalam publikasinya, Brezinski (2012) menulis bahwa trace dari matriks

berpangkat seringkali dibahas pada beberapa bagian dari matematika seperti analisis jaringan,

teori bilangan, sistem dinamik, teori matriks, dan persamaan diferensial [3]. Sebelumnya, Avron

(2010) menyatakan bahwa suatu masalah yang penting ketika menganalisis jaringan yang rumit

adalah masalah menentukan banyaknya segitiga yang termuat dalam graf terhubung sederhana

𝐺(𝐸, 𝑉) yang merepresentasikan jaringan tersebut. Dari hasil penelitiannya Avron memperoleh

rumus umum 𝑡𝑟(𝐴3)/6 dimana 𝐴 adalah matriks ketetanggaan dari graf 𝐺(𝐸, 𝑉) tersebut [2].

Pada tahun 2015, Jagdish Pahade dan Manoj Jha menerbitkan publikasinya berupa artikel

mengenai trace dari suatu matriks𝐴, yaitu matriks yang berukuran 2 × 2 dengan entri bilangan

real, yang berpangkat bilangan bulat positif [4].Penelitian ini merupakan pengembangan dari

artikel tersebut.

2. METODE

Jika 𝐴 adalah sebuah matriks persegi, maka trace dari 𝐴, yang dinyatakan sebagai 𝑡𝑟(𝐴), didefinisikan sebagai jumlah entri-entri pada diagonal utama 𝐴. Trace dari 𝐴 tidak dapat

didefinisikan jika 𝐴 bukan matriks persegi.

Jika 𝐴 adalah matriks persegi, maka definisi pangkat bilangan bulat positif dari 𝐴 adalah sebagai

berikut:

i. 𝐴0 = 𝐼, dengan I adalah matriks identitas

ii. 𝐴𝑛 = 𝐴. 𝐴.⋯ . 𝐴 , dengan 𝑛 > 0

𝑛 faktor

Page 100: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

94

Untuk menentukan nilai trace dari matriks berpangkat 𝐴𝑛 dengan nilai 𝑛 yang cukup besar

tidaklah mudah, diperlukan penghitungan yang tidak sederhana. Penelitian ini bertujuan untuk

mencari bentuk umum untuk menentukan 𝑡𝑟(𝐴𝑛) dimana 𝐴 adalah matriks yang berukuran 2 × 2

dan 𝑛 adalah bilangan bulat positif. Penelitian dimulai dengan nilai 𝑛 yang kecil, meningkat,

hingga diperoleh hasil yang diharapkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertama-tama diperoleh bentuk umum untuk menentukan trace dari matriks berpangkat 𝐴𝑛

untuk 𝑛 bilangan ganjil.

Teorema 1

Jika 𝐴 matriks yang berukuran 2 × 2 maka untuk setiap 𝑛 bilangan ganjil berlaku

tr(An)= ∑(-1)

r

r!n[n-(r+1)][n-(r+2)]…[

(n-1)/2

r=0

n-(r+(r-1)](det(A))r(tr(A))(n-2r)

dengan 𝑟 ∈ ℤ

Bukti:

Misalkan diketahui matriks 𝐴 = [𝑎 𝑏𝑐 𝑑

], maka

𝑡𝑟(𝐴) = 𝑎 + 𝑑

det(𝐴) = 𝑎𝑑 − 𝑏𝑐

𝐴3 = 𝐴. 𝐴. 𝐴

𝐴3 = [𝑎 𝑏

𝑐 𝑑] [𝑎 𝑏

𝑐 𝑑] [𝑎 𝑏

𝑐 𝑑]

𝐴3 = [𝑎2 + 𝑏𝑐 𝑏(𝑎 + 𝑑)

𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑏𝑐 + 𝑑2] [𝑎 𝑏

𝑐 𝑑]

𝐴3 = [(𝑎2 + 𝑏𝑐)𝑎 + (𝑏(𝑎 + 𝑑))𝑐 (𝑎2 + 𝑏𝑐)𝑏 + (𝑏(𝑎 + 𝑑))𝑑

(𝑐(𝑎 + 𝑑))𝑎 + (𝑏𝑐 + 𝑑2)𝑐 (𝑐(𝑎 + 𝑑))𝑏 + (𝑏𝑐 + 𝑑2)𝑑]

𝐴3 = [𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑎2𝑏 + 𝑏2𝑐 + 𝑏𝑑(𝑎 + 𝑑)

𝑎𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐2 + 𝑐𝑑2 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3]

𝑡𝑟(𝐴3) = 𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3

Page 101: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

95

𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3

𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 3𝑎𝑏𝑐 + 3𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3

𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)

𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) − 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) + 3𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)

𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) − 3𝑎2𝑑 − 3𝑎𝑑2 + 3𝑎𝑏𝑐 + 3𝑏𝑐𝑑

𝑡𝑟(𝐴)3 = 𝑎3 + 𝑑3 + 3𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑) − 3(𝑎2𝑑 − 𝑎𝑑2 − 𝑎𝑏𝑐 − 𝑏𝑐𝑑)

𝑡𝑟(𝐴)3 = (𝑎 + 𝑑)3 − 3(𝑎 + 𝑑)(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)

𝑡𝑟(𝐴3) = (𝑡𝑟(𝐴))3− 3det(𝐴) 𝑡𝑟(𝐴) (1)

𝐴5 = 𝐴3. 𝐴2

= [𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑎2𝑏 + 𝑏2𝑐 + 𝑏𝑑(𝑎 + 𝑑)

𝑎𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐2 + 𝑐𝑑2 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3] [𝑎2 + 𝑏𝑐 𝑏(𝑎 + 𝑑)

𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑏𝑐 + 𝑑2]

𝑡𝑟(𝐴5) = (𝑎2 + 𝑏𝑐)[𝑎3 + 𝑎𝑏𝑐 + 𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)]

+𝑐(𝑎 + 𝑑)[𝑎2𝑏 + 𝑏2𝑐 + 𝑏𝑑(𝑎 + 𝑑)]

+𝑏(𝑎 + 𝑑)[𝑎𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐2 + 𝑐𝑑2]

+(𝑏𝑐 + 𝑑2)[𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑 + 𝑑3]

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑎3𝑏𝑐 + 𝑎2𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑎3𝑏𝑐 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑)

+𝑎2𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑(𝑎 + 𝑑)2 + 𝑎𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)2

+𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2𝑑 + 𝑏𝑐𝑑3

+𝑏𝑐𝑑2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏𝑐𝑑3 + 𝑑5

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑) + 𝑎𝑏2𝑐2 + 4𝑏2𝑐2(𝑎 + 𝑑)

+𝑏𝑐𝑑(𝑎 + 𝑑)2 + 𝑎𝑏𝑐(𝑎 + 𝑑)2 + 2𝑏𝑐𝑑2(𝑎 + 𝑑) + 𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 4𝑎𝑏2𝑐2

+4𝑏2𝑐2𝑑 + 𝑏𝑐𝑑(𝑎2 + 2𝑎𝑑 + 𝑑2) + 𝑎𝑏𝑐(𝑎2 + 2𝑎𝑑 + 𝑑2) + 2𝑎𝑏𝑐𝑑2

+2𝑏𝑐𝑑3 + 𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 4𝑎𝑏2𝑐2

+4𝑏2𝑐2𝑑 + 𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 𝑏𝑐𝑑3 + 𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏𝑐𝑑2

+2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 2𝑏𝑐𝑑3 + 𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3

Page 102: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

96

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑎3𝑏𝑐 + 2𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 + 2𝑎3𝑏𝑐

+2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 2𝑏𝑐𝑑3 + 𝑎3𝑏𝑐 + 3𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 3𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 𝑏𝑐𝑑3

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 5𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 5𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 5𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 5𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑

+10𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 10𝑎𝑏𝑐𝑑2 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑 − 10𝑎𝑏𝑐𝑑2

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 + 5𝑎𝑏2𝑐2

+5𝑏2𝑐2𝑑 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑 − 10𝑎𝑏𝑐𝑑2

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑

−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑

−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 − 5𝑎3𝑑2 − 5𝑎2𝑑3 + 5𝑎3𝑑2

+5𝑎2𝑑3 + 5𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑)3 − 5𝑎𝑑(𝑎 + 𝑑)3

𝑡𝑟(𝐴)5 = 𝑎5 + 𝑑5 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑

−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 − 5𝑎3𝑑2 − 5𝑎3𝑑2 − 5𝑎2𝑑3

+5𝑎3𝑑2 + 5𝑎2𝑑3 + 5𝑎4𝑑 + 15𝑎3𝑑2 + 15𝑎2𝑑3 + 5𝑎𝑑4 − 5𝑎4𝑑

−15𝑎3𝑑2 − 15𝑎2𝑑3 − 5𝑎𝑑4

𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎5 + 5𝑎4𝑑 + 10𝑎3𝑑2 + 10𝑎2𝑑3 + 5𝑎𝑑4+ 𝑑5) − 5𝑎4𝑑 − 15𝑎3𝑑2

−15𝑎2𝑑3 − 5𝑎𝑑4 + 5𝑎3𝑏𝑐 + 15𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 15𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏𝑐𝑑3

−10𝑎2𝑏𝑐𝑑 − 10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑏2𝑐2𝑑 + 5𝑎3𝑑2 + 5𝑎2𝑑3

𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎4𝑑 − 3𝑎3𝑑2 + 3𝑎2𝑑3 + 𝑎𝑑4 − 𝑎3𝑏𝑐 − 3𝑎2𝑏𝑐𝑑

−3𝑎𝑏𝑐𝑑2 − 𝑏𝑐𝑑3) + 5𝑎3𝑑2 − 10𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 5𝑎𝑏2𝑐2 + 5𝑎2𝑑3

−10𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 5𝑏2𝑐2𝑑

𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)(𝑎3 + 3𝑎2𝑑 + 3𝑎𝑑2 + 𝑑3) − 5(𝑎3𝑑2

−2𝑎2𝑏𝑐𝑑 + 𝑎𝑏2𝑐2 + 𝑎2𝑑3 − 2𝑎𝑏𝑐𝑑2 + 𝑏2𝑐2𝑑)

𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)(𝑎 + 𝑑)3 − 5(𝑎2𝑑2 − 2𝑎𝑏𝑐𝑑 + 𝑏2𝑐2)(𝑎 + 𝑑)

𝑡𝑟(𝐴)5 = (𝑎 + 𝑑)5 − 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)(𝑎 + 𝑑)3 + 5(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)2(𝑎 + 𝑑)

𝑡𝑟(𝐴5) = (𝑡𝑟(𝐴))5− 5det (𝐴)(𝑡𝑟(𝐴))

3+ 5(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴)) (2)

Page 103: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

97

Dari Persamaan (1) dan (2) diperoleh

𝑡𝑟(𝐴3) = (𝑡𝑟(𝐴))3− 3det(𝐴) 𝑡𝑟(𝐴)

𝑡𝑟(𝐴3) =(−1)0

0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))

3−(2×0)

+(−1)1

1!3(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))

3−(2×1)

𝑡𝑟(𝐴5) = (𝑡𝑟(𝐴))5− 5𝑑𝑒𝑡(𝐴)(𝑡𝑟(𝐴))

3+ 5(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

𝑡𝑟(𝐴5) =(−1)0

0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))

5−(2×0)

+(−1)1

1!5(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))

5−(2×1)+(−1)2

2!5(5 − 3)

(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))5−(2×2)

00 (2 0)( 1)

( ) (det( )) ( ( ))0!

n ntr A A tr A − −=

( )( )( ) ( )( )

( )1

1 2 11det

1!

n

n A tr A− −

+( )

21

2!

−+

( ) ( )( ) ( )( )( )2 2 2

n n 3 detn

A tr A−

− +

( )( )( )

331

( 4)( 5) det3!

n n n A−

− −( )( )

( )2 3n

tr A−

( )( )

( )( )( )1 /2

11 / 2 1

(( 1) / 2)!

n

n n nn

−−

++ − − + −

( )( )( ) ( )( ) ( )( )( )( )1 / 2 2 1 / 2 1 / 2 1n n n n n − − + − − + − −

( )( )( )

( )( )( )( )( )1 /2 2 1 /2

detn n n

A tr A− − −

( )( ) ( )( ) ( ) ( )( ) ( )( )2 2 4

( ) ( ( ) det n 3 d2

et)n nn n

n A trn

tr A t trr A A A A− −

= −− +

( )( ) ( )( )( )

( )1 /263

..1

( 4)( 5) det(( 1) / 2)

.!6

nn

nn

n A tr An

−−

+ +−

− − −−

( )( )( ) ( )( )( )1 / 2 1 1 / 2 2n n n n n − − + − − +

( )( ) ( )( )( )( ) ( )( )( )

( )( )( )( )( )1 /2 2 1 /2

1 / 2 1 / 2 1 detn n n

n n n A tr A− − − − − + − −

Teorema 2

Jika 𝐴 matriks yang berukuran 2 × 2 maka untuk setiap 𝑛 bilangan genap berlaku:

( )( )2

0

( 1)( ) [ ( 1)][ ( 2)]... ( ( 1) . det

!

rnrn

r

tr A n n r n r n r r Ar=

−= − + − + − + −

( 2 )( ( )) ,n rtr A −

dengan 𝑟 ∈ ℤ

Page 104: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

98

Bukti:

𝐴2 = 𝐴. 𝐴

𝐴2 = [𝑎 𝑏

𝑐 𝑑] [𝑎 𝑏

𝑐 𝑑]

𝐴2 = [𝑎2 + 𝑏𝑐 𝑏(𝑎 + 𝑑)

𝑐(𝑎 + 𝑑) 𝑏𝑐 + 𝑑2]

𝑡𝑟(𝐴2) = 𝑎2 + 𝑏𝑐 + 𝑏𝑐 + 𝑑2

𝑡𝑟(𝐴2) = 𝑎2 + 2𝑏𝑐 + 𝑑2

𝑡𝑟(𝐴2) = 𝑎2 + 2𝑎𝑑 + 𝑑2 − 2𝑎𝑑 + 2𝑏𝑐

𝑡𝑟(𝐴2) = (𝑎 + 𝑑)2 − 2(𝑎𝑑 − 𝑏𝑐)

𝑡𝑟(𝐴2) = (𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴) (3)

Untuk menentukan 𝑡𝑟(𝐴4), ganti 𝐴pada Persamaan (3)menjadi 𝐴2

𝑡𝑟((𝐴2)2) = 𝑡𝑟(𝐴4)

𝑡𝑟((𝐴2)2) = (𝑡𝑟(𝐴2))2− 2det(𝐴2)

𝑡𝑟((𝐴2)2) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]2 − 2(det(𝐴))2

𝑡𝑟((𝐴2)2) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)] − 2(det(𝐴))2

𝑡𝑟(𝐴4) = (𝑡𝑟(𝐴))4− 4det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

2+ 2(det(𝐴))2 (4)

Pada Persamaan (1), ganti 𝐴 menjadi 𝐴2 diperoleh

𝑡𝑟((𝐴2)3) = 𝑡𝑟(𝐴6)

𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴2))3− 3det(𝐴2) (𝑡𝑟(𝐴))

2

𝑡𝑟((𝐴2)3) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]

3− 3(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)]

𝑡𝑟((𝐴2)3) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)]

[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] − 3(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)]

𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴))4− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

2

+4(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] − 3(det(𝐴))2

[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]

Page 105: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

99

𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4

+4(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4+ 4(det(𝐴))2

(𝑡𝑟(𝐴))2+ 4(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

2− 8(det(𝐴))3 − 3(det(𝐴))2

[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2 det(𝐴)]

𝑡𝑟((𝐴2)3) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4+ 12(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

2

−8(det(𝐴))3 − 3(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))2+ 6(det(𝐴))3

𝑡𝑟(𝐴6) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4+ 9(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

2

−2(det(𝐴))3 (5)

Pada Persamaan (4), ganti 𝐴 menjadi 𝐴2

𝑡𝑟((𝐴2)4) = 𝑡𝑟(𝐴8)

𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴2))4 − 4det(𝐴2) ((𝑡𝑟(𝐴))2)2

+ 2 (det(𝐴2))2

𝑡𝑟((𝐴2)4) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]

4− 4 (det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)]

2

+2(det(𝐴))4

𝑡𝑟((𝐴2)4) = [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)]

[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] [(𝑡𝑟(𝐴))

2− 2det(𝐴)] − 4 (det(𝐴))2

[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]

2

+ 2(det(𝐴))4

𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4+ 12(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

2

−8(det(𝐴))3 [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)] − 4(det(𝐴))2

[(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]

2

+ 2(det(𝐴))4

𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

6+ 12 (det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

4

−8(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

6+ 12(det(𝐴))2

(𝑡𝑟(𝐴))4− 24(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))

2+ 16(det(𝐴))4

−4(det(𝐴))2 [(𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)]

2+ 2(det(𝐴))4

Page 106: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

100

𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

6+ 24 (det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

4

−32(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2+ 18(det(𝐴))4 − 4(det(𝐴))2

[(𝑡𝑟(𝐴))4− 4det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

2+ 4(det(𝐴))2]

𝑡𝑟((𝐴2)4) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

6+ 24 (det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

4

−32(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2+ 18(det(𝐴))4 − 4(det(𝐴))2

(𝑡𝑟(𝐴))4+ 16(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))

2− 16(det(𝐴))4

𝑡𝑟(𝐴8) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

6+ 20(det(𝐴))2

(𝑡𝑟(𝐴))4− 16(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))

2+ 2(det(𝐴))4 (6)

Dari Persamaan (3), (4), (5), dan (6) diperoleh

𝑡𝑟(𝐴2) = (𝑡𝑟(𝐴))2− 2det(𝐴)

𝑡𝑟(𝐴2) =(−1)0

0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))

2−(2×0)

+(−1)1

1!2(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))

2−(2×1)

𝑡𝑟(𝐴4) = (𝑡𝑟(𝐴))4− 4det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

2+ 2(det(𝐴))2

𝑡𝑟(𝐴4) =(−1)0

0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))

4−(2×0)

+(−1)1

1!4(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))

4−(2×1)

+(−1)2

2!4(4 − 3)(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

4−(2×2)

𝑡𝑟(𝐴6) = (𝑡𝑟(𝐴))6− 6det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

4+ 9(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

2

−2(det(𝐴))3

𝑡𝑟(𝐴6) =(−1)0

0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))

6−(2×0)

+(−1)1

1!6(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))

6−(2×1)

+(−1)2

2!6(6 − 3)(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

6−(2×2)

Page 107: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

101

+(−1)3

2!6(6 − 4)(6 − 5)(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))

6−(2×3)

𝑡𝑟(𝐴8) = (𝑡𝑟(𝐴))8− 8det(𝐴) (𝑡𝑟(𝐴))

6+ 20(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

4

−16(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))2+ 2(det(𝐴))4

𝑡𝑟(𝐴8) =(−1)0

0!(det(𝐴))0(𝑡𝑟(𝐴))

8−(2×0)

+(−1)1

1!8(det(𝐴))1(𝑡𝑟(𝐴))

8−(2×1)

+(−1)2

2!8(8 − 3)(det(𝐴))2(𝑡𝑟(𝐴))

8−(2×2)

+(−1)3

3!8(8 − 4)(8 − 5)(det(𝐴))3(𝑡𝑟(𝐴))

8−(2×3)

+(−1)4

4!8(8 − 5)(8 − 6)(8 − 7)(det(𝐴))4(𝑡𝑟(𝐴))

8−(2×4)

00 (2 0)( 1)

( ) (det( )) ( ( ))0!

n ntr A A tr A − −=

( )( )( ) ( )( )

( )1

1 2 11det

1!

n

n A tr A− −

+( )

21

2!

−+

( ) ( )( ) ( )( )( )2 2 2

n n 3 detn

A tr A−

− +( )

( )( )3

31( 4)( 5) det

3!n n n A

−− −

( )( )( )2 3n

tr A− ( )

( )( ) ( )( )/2

1/ 2 1 / 2 2 ...

( / 2)!

n

n n n n nn

− ++ − + − +

( ) ( )( )( )/ 2 / 2 1n n n − + − ( )( ) ( )( )

( )( )/2 2 /2

detn n n

A tr A−

4. KESIMPULAN

Untuk memudahkan dalam menentukan trace dari matriks berpangkat diperoleh bentuk umum

sebagai berikut:

1. Untuk matriks 𝐴 yang berukuran 2 × 2 dan pangkat n bilangan ganjil berlaku:

tr(An)= ∑(-1)

r

r!n[n-(r+1)][n-(r+2)]…[

(n-1)/2

r=0

n-(r+(r-1)](det(A))r(tr(A))(n-2r)

dengan 𝑟 ∈ ℤ

2. Untuk matriks 𝐴 yang berukuran 2 × 2 dan pangkat n bilangan genap berlaku:

( )( ) ( ) ( )( )

/2

0

1( ) 1 2 ( ( 1) . det

!

rn

rn

r

tr A n n r n r n r r Ar=

−= − + − + − + − ( )

2( )

n rtr A

−,

dengan 𝑟 ∈ ℤ

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anton, H. dan C. Rorres. (2004). Aljabar Linear Elementer versi Aplikasi (Edisi Kedelapan).

Terjemahan oleh Refina Indriasari dan Irzam Harmen. Erlangga, Jakarta.

Page 108: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

102

[2] Avron, H. (2010). Counting Triangles in Large Graphs Using Randomized Matrix Trace

Estimation. Proceedings of Kdd-Ldmta’10, 2010.

[3] Brezinski, C. Fika, P. dan M. Mitrouli,. (2012). Estimations of the trace of powers of positive

by extrapolation of the moment, Electronic Transactions on Numerical Analysis; 39; 144-

155.

[4] Pahade, J. dan M. Jha. (2015). Trace of Positive Integer Power of Real 2 × 2 Matrices.

Advances in Linear Algebra & Matrix Theory; 5;150-155.

[5] Rosen, K.H. (2007). Discrete Mathematics and Its Application, Seventh Ed., McGraw-Hill,

Singapore.

Page 109: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

103

INVERS MOORE-PENROSE DAN PENERAPANNYA

PADA SISTEM PERSAMAAN LINEAR

Rizal Mahifa1 , Tiku Tandiangnga2, dan Abraham3

Program Studi Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih1,2,3

e-mail : [email protected]

e-mail : [email protected]

e-mail : [email protected]

Abstrak. Dalam ilmu aljabar, diketahui 𝐴−1 merupakan invers matriks bujur sangkar 𝐴 berukuran

𝑛 × 𝑛 yang non-singular. Matriks non-singular adalah matriks bujursangkar dimana matriks

tersebut mempunyai nilai determinan tidak sama dengan nol. Dalam menentukan invers suatu

matriks, digunakan konsep determinan dalam perhitungannya sehingga syarat suatu matriks non-

singular haruslah terpenuhi. Namun saat ini telah diketahui adanya invers untuk suatu matriks

berukuran 𝑚 × 𝑛 yang disebut Invers Moore Penrose. Invers Moore Penrose adalah suatu matriks

yang dinotasikan dengan 𝐴+. Konsep invers matriks 𝑛 × 𝑛 dapat digunakan sebagai alternatif

untuk mencari solusi dari suatu sistem persamaan linier yang berbentuk 𝐴𝑥 = 𝑏. Jika 𝐴 adalah

suatu matriks yang non-singular, maka solusi sistem persamaan tersebut dapat dihitung

menggunakan rumus 𝑥 = 𝐴−1𝑏. Jika matriks 𝐴 dari sistem tersebut berukuran 𝑚 × 𝑛 maka solusi

sistem tidak dapat dicari menggunakan aturan tersebut, sehingga dalam penelitian ini penulis akan

mendeskripsikan cara menghitung invers matriks yang berukuran 𝑚 × 𝑛 dan mengaplikasikan

invers Moore Penrose untuk menentukan solusi dari suatu sistem persamaan linier. Untuk

menentukkan solusi sistem persamaan linear dengan menggunakan invers Moore-Penrose, akan

digunakan masalah kuadrat terkecil, sehingga solusi yang diperoleh adalah solusi pendekatan

terbaik.

Kata kunci : Invers, Non-singular, Invers Moore-Penrose, Sistem Persamaan Linear

1. PENDAHULUAN

Dalam dalam ilmu aljabar, kita pernah mendengar istilah tentang matriks. Matriks adalah jajaran

empat persegi panjang dari bilangan-bilangan. Bilangan-bilangan dalam jajaran tersebut diebut

entri dari matriks. Matriks juga mempunyai ukuran bisasa dikenal dengan ordo suatu matriks.

Notasi 𝑚 × 𝑛 menunjukkan bahwa ukuran suatu matriks yang mempunyai 𝑚 baris dan 𝑛 kolom

. Ada beberapa operasi yang berlaku pada matriks, salah satunya yaitu invers matriks. Dalam

menentukan invers suatu matriks ada beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu matriks tersebut

merupakan matriks dengan ukuran 𝑛 × 𝑛 (matriks bujursangkar) dan non-singular.

Apabila ukuran matriks 𝑚 × 𝑛, maka metode umum yang digunakan untuk menentukan invers

suatu matriks berukuran 𝑛 × 𝑛 tidak dapat digunakan untuk menentukan invers matriks 𝑚 × 𝑛.

Untuk menentukan invers suatu matriks 𝑚 × 𝑛, dapat digunakan konsep Invers Moore-Penrose.

Invers Moore-Penrose adalah invers suatu matriks yang diperluas berdasakan invers matriks

bujursangkar. Invers Moore-Penrose biasa dinotasikan dengan 𝐴+. Ada beberapa syarat yang

harus dipenuhi sehingga suatu matriks dapat dikatakan suatu invers Moore-Penrose dari matriks

𝑚 × 𝑛 dan langkah-langkah dalam menentukan invers Moore-Penrose. Perlu diketahui bahwa

konsep invers Moore-Penrose juga dapat digunakan untuk menentukan solusi pendekatan dari

suatu sistem persamaan linear. Sehingga dalam penelitian ini akan dibahas mengenai cara

menentukan invers Moore-Penrose dan penerapannya pada sistem persamaan linear.

Page 110: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

104

2. METODE

Dalam penelitian ini, untuk menentukan invers Moore-Penrose suatu matriks adalah dengan

menggunakan sifat-sifat atau proposisi dari invers Moore-Penrose dimana invers dari 𝐴𝐴𝑇

terdefinisi (det(𝐴𝐴𝑇 ≠ 0)) atau invers dari 𝐴𝑇𝐴 terdefinisi (det(𝐴𝑇𝐴 ≠ 0)). Sedangkan untuk

penerapan invers Moore-Penrose untuk menentukan solusi sistem persamaan linear menggunakan

konsep masalah kuadrat terkecil.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Definisi 3.1

Diketahui matriks 𝐴 ∈ ℳ𝑚×𝑛. Jika 𝑋 ∈ ℳ𝑛×𝑚 adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 maka 𝑋 =𝐴+ dan memenuhi empat kondisi Penrose sehingga :

i. 𝐴𝐴+𝐴 = 𝐴

ii. 𝐴+𝐴𝐴+ = 𝐴+

iii. (𝐴𝐴+)∗ = 𝐴𝐴+

iv. (𝐴+𝐴)∗ = 𝐴+𝐴

dimana 𝐴∗ adalah transpose konjugat dari 𝐴. Jika 𝐴 adalah matriks dengan elemen bilangan real

maka 𝐴∗ = 𝐴𝑇. Jika 𝐴 adalah matriks persegi yang non-singular maka 𝐴−1 adalah invers Moore-

Penrose dari 𝐴 atau dengan kata lain 𝐴−1 = 𝐴+.

Teorema 3.1

Jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴, maka 𝐴+ tunggal.

Bukti :

Andaikan 𝐴1+ dan 𝐴2

+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 dengan 𝐴1+ ≠ 𝐴2

+ sehingga sesuai

Definisi (3.1) diperoleh :

𝐴1+ = 𝐴1

+𝐴𝐴1+ 𝐴2

+ = 𝐴2+𝐴𝐴2

+

= (𝐴1+𝐴)∗𝐴1

+) = 𝐴2+(𝐴𝐴2

+)∗

= 𝐴∗(𝐴1+)∗𝐴1

+ = 𝐴2+(𝐴2

+)∗𝐴∗

= (𝐴𝐴2+𝐴)∗(𝐴1

+)∗𝐴1+ = 𝐴2

+(𝐴2+)∗(𝐴𝐴1

+𝐴)∗

= 𝐴∗(𝐴𝐴2+)∗(𝐴1

+)∗𝐴1+ = 𝐴2

+(𝐴2+)∗𝐴∗(𝐴𝐴1

+)∗

= 𝐴∗(𝐴2+)∗𝐴∗(𝐴1

+)∗𝐴1+ = 𝐴2

+(𝐴2+)∗𝐴∗𝐴𝐴1

+

= (𝐴2+𝐴)∗(𝐴1

+𝐴)∗𝐴1+ = 𝐴2

+(𝐴𝐴2+)∗𝐴𝐴1

+

= 𝐴2+𝐴𝐴1

+𝐴𝐴1+ = 𝐴2

+𝐴𝐴2+𝐴𝐴1

+

= 𝐴2+𝐴𝐴1

+ = 𝐴2+𝐴𝐴1

+

Karena 𝐴1+ = 𝐴2

+𝐴𝐴1+ = 𝐴2

+,maka pengandaian salah dan harus diingkari. Jadi yang benar adalah

jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 maka 𝐴+ tunggal.

Proposisi 3.1

Jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴 maka berdasarkan definisi dan ketunggalan invers

Moore – Penrose berlaku :

i. (𝐴+)+ = 𝐴

ii. (𝐴𝑇)+ = (𝐴+)𝑇

Bukti :

i. Diketahui A+ adalah invers Moore – Penrose dari A, maka A+ memenuhi Definisi (3.1).

Misalkan A+ = B sehingga diperoleh :

a). 𝐴𝐵𝐴 = 𝐴 ⇔ 𝐴 = 𝐵+

b). 𝐵𝐴𝐵 = 𝐵 ⇔ 𝐴 = 𝐵+

c). (𝐴𝐵)∗ = 𝐴𝐵 ⇔ 𝐴 = 𝐵+

d). (𝐵𝐴)∗ = 𝐵𝐴 ⇔ 𝐴 = 𝐵+

Akibatnya, berdasarkan Teorema 3.1, diperoleh :

𝐵𝐴𝐵 = 𝐵 ⇔ 𝐴 = 𝐵+

Page 111: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

105

= (𝐴+)+

Jadi terbukti bahwa (A+)+ = A

Untuk bagian (ii) pembuktian menggunakan Definisi (3.1)

Proposisi 3.2

Suatu invers Moore – Penrose 𝐴+ dari 𝐴 memenuhi hubungan di bawah ini :

i. 𝐴+ = 𝐴+(𝐴+)∗𝐴∗

ii. 𝐴 = 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗

iii. 𝐴∗ = 𝐴∗𝐴𝐴+

iv. 𝐴+ = 𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+

v. 𝐴 = (𝐴+)∗𝐴∗𝐴

vi. 𝐴∗ = 𝐴+𝐴𝐴∗

Proposisi 3.3

Jika 𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴, maka sifat berikut berlaku :

i. (𝐴𝐴∗)+ = (𝐴∗)+𝐴+

ii. 𝐴+ = 𝐴∗(𝐴𝐴∗)+

iii. 𝐴+ = (𝐴∗𝐴)+𝐴∗

Bukti :

i. Akan dibuktikan (𝐴𝐴∗)+ = (𝐴∗)+𝐴+ atau dengan kata lain, akan dibuktikan (𝐴∗)+𝐴+ adalah invers Moore – Penrose dari 𝐴𝐴∗. Misalkan (𝐴∗)+𝐴+ = 𝐵 akan

ditunjukkan 𝐵 memenuhi Definisi (3.1). Karena (𝐴∗)+ = (𝐴+)∗, maka :

a). Perhatikan 𝐴𝐴∗, dengan menggunakan Proposisi (3.2) bagian ii dan vi

diperoleh:

𝐴𝐴∗ = 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴∗

= 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴∗

= 𝐴𝐴∗𝐵𝐴𝐴∗ (1)

b). Karena (𝐴∗)+ = (𝐴+)∗, maka dengan menggunakan Definisi 3.1.2 bagian ii

dan Proposisi 3.1.2 bagian iv diperoleh :

𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+

= (𝐴+)∗𝐴+

= (𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴+

= (𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+

= 𝐵𝐴𝐴∗𝐵 (2)

c). Karena 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+, maka dengan menggunakan Proposisi

3.1.2 bagian ii diperoleh : (𝐴𝐴∗)𝐵 = 𝐴𝐴∗(𝐴+)∗𝐴+

= 𝐴𝐴+ (3)

d). Karena 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+, maka dengan menggunakan Proposisi

3.1.2 bagian vi diperoleh :

𝐵(𝐴𝐴∗) = (𝐴+)∗𝐴+𝐴𝐴∗

= (𝐴+)∗𝐴∗

= (𝐴∗)+𝐴∗ (4)

Berdasarkan (1), (2), (3) dan (4), dapat dilihat bahwa 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+

memenuhi Definisi (3.1) yang dapat disimpulkan 𝐵 = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+ adalah invers

Moore-Penrose dari 𝐴𝐴∗ atau dengan kata lain (𝐴𝐴∗)+ = (𝐴∗)+𝐴+ = (𝐴+)∗𝐴+.

Untuk bagian (ii) dan (iii) pembuktian menggunakan bagian (i) dan Proposisi (3.2).

Definisi 3.2

Page 112: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

106

Solusi kuadrat terkecil untuk system persamaan linear adalah vektor sedemikian rupa sehingga ‖𝑟0‖ = ‖𝐴𝑥0 − 𝑏‖ ≤ ‖𝐴𝑥 − 𝑏‖

Teorema 3.2

Jika 𝐴 adalah sebuah matriks 𝑚 × 𝑛, maka pernyataan-pernyataan berikut ini adalah ekuivalen.

i. 𝐴 memiliki vektor-vektor kolom yang bebas linear.

ii. 𝐴𝑇𝐴 dapat dibalik.

Teorema 3.3

Jika 𝐴 adalah sebuah matriks 𝑚 × 𝑛 yang memiliki vektor-vektor kolom yang bebas linear, maka

untuk setiap matriks 𝑏, 𝑚 × 1, sistem linear 𝐴𝑥 = 𝑏 memiliki sebuah solusi kuadrat terkecil yang

unik. Solusi ini diberikan oleh

𝑥 = (𝐴𝑇𝐴)−1𝐴𝑇𝑏 = 𝐴+𝑏

Teorema 3.4

𝑥0 = 𝐴+𝑏adalah solusi pendekatan terbaik dari 𝐴𝑥 = 𝑏.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan invers Moore-

Penrose suatu matriks dapat menggunakan Proporsi 3.3 bagian (ii) dan (iii). Menentukan invers

Moore-Penrose menggunakan Proporsi 3.3 bagian (ii) dan (iii) dapat digunakan untuk invers dari

𝐴𝐴𝑇 terdefinisi (det(𝐴𝐴𝑇 ≠ 0)) atau invers dari 𝐴𝑇𝐴 terdefinisi (det(𝐴𝑇𝐴 ≠ 0)). Sedangkan

untuk menentukan solusi sistem persamaan linear menggnakan invers Moore-Penrose dapat

menggunakan Teorema 3.4.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anton, H., C. Rorres. (2004). Aljabar Linear Elementer Jilid 1. Erlangga. Jakarta.

[2] Barata, J. C. A., M. S. Hussein. (2012). The Moore-Penrose pseudoinverse: A tutorial review

of the theory. Brazilian Journal of Physics. [42]. 146-165.

[3] MacAusland, Ross. (2014). The Moore-Penrose Inverse and Least Squares.

http://buzzard.ups.edu/courses/2014spring/420projects/math420-UPS-spring-2014

macausland-pseudo-inverse.pdf. diakses pada 27 September 2018 pukul 18.45.

Page 113: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

107

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN TUBERKULOSIS

DENGAN FAKTOR VAKSINASI

Abraham1 dan Jonner Nainggolan2

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura1,2

e-mail: [email protected]

e-mail : [email protected]

Abstrak.Pada penelitian ini dikaji model penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi. Model

penyebaran tuberculosis dengan vaksinasi merupakan pengembangan dari model penyebaran

tuberkulosis tanpa vaksinasi yang terdiri dari empat kompartemen yaitu S (Susceptible) yaitu

individu-individu yang rentan terhadap penyakit, L (Latent) yaitu individu-individu yang telah

terinfeksi penyakit tetapi tidak dapat menularkan penyakit, I (Infectious) yaitu individu-individu

yang terinfeksi penyakit dan dapat menularkan penyakit ke individu rentandan R (Recovered)

yaitu individu-individu yang telah pulih dari penyakit. Sedangkan model penyebaran dengan

vaksinasi dilakukan dengan penambahan kompartemen M (Immunized) yaitu individu-individu

yang diimunisasi terhadap resiko penyakit melalui vaksinasi sehingga menghasilkan model

𝑀𝑆𝐿𝐼𝑅. Model yang dikaji kemudian dianalisis dan ditentukan titik equilibrium dan Basic

Reproduction Number(𝑅0). Hasil analisis menunjukkan bahwa titik tetap tanpa penyakit stabil

asimtotik ketika 𝑅0 < 1, sedangkan titik tetap endemik stabil asimtotik ketika 𝑅0 > 1.

Kata Kunci:Model epidemik SLIR, model epidemik MSLIR, tuberkulosis,titik equilibrium,

basic reproduction number, vaksinasi.

1. PENDAHULUAN

Model matematika adalah salah satu alat yang dapat membantu mempermudah penyelesaian

masalah dalam kehidupan nyata. Masalah-masalah tersebut dibentuk ke dalam model matematis

dengan menggunakan asumsi-asumsi tertentu. Kemudian dari model yang didapat dicari

solusinya baik secara analitik maupun numerik.

Model matematika yang digunakan untuk mengetahui penyebaran suatu penyakit di daerah

tertentu dikenal sebagai model epidemi. Dalam pembuatan model penyebaran suatu penyakit

individu-individu dikategorikan ke dalam kompartemen atau kelas yang berbeda dan saling

berkaitan, misalnya kelas rentan terhadap penyakit (Susceptiple), kelas terinfeksi penyakit

(Infectious), dan kelas sembuh dari penyakit (Recovered). Salah satu penyebaran penyakit yang

dapat dibentuk ke dalam model matematika epidemi adalah tuberkulosis.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang sangat berbahaya

disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit tersebut dapat menyerang siapa

saja tanpa mengenal jenis kelamin mauun usia. Pemberian vaksin Bassilus Calmette Guerin

(BCG) merupakan upaya untuk mencegah penyebaran tuberkulosis.

Pada penelitian ini akan ditentukan titik equilibrium dan basic reproduction number penyebaran

tuberkulosis dengan vaksinasi. Selanjutnya dibuat simulasi numerik untuk melihat efektifitas

vaksinasi menurunkan jumlah individu yang terinfeksi TB dibandingkan dengan tanpa vaksinasi

serta untuk melihat pengaruh pengobatan dan tanpa pengobatan terhadap penurunan jumlah

individu yang terinfeksi TB.

Page 114: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

108

2. LANDASAN TEORI

2.1 Matriks Jacobian

Matriks Jacobian adalah matriks dari semua orde pertama derivatif parsial dari vektor nilai

fungsi. Matriks Jacobian dapat dinyatakan dalam bentuk:

𝐽(𝑥) =

[ 𝜕𝑓1𝜕𝑥1𝜕𝑓2𝜕𝑥1

𝜕𝑓1𝜕𝑥2𝜕𝑓2𝜕𝑥2

⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥1

⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥2

……

𝜕𝑓1𝜕𝑥𝑛𝜕𝑓2𝜕𝑥𝑛

⋱…

⋮𝜕𝑓𝑛𝜕𝑥𝑛]

𝐽(𝑥) adalah matriks Jacobian yang berukuran 𝑛 × 𝑛. Matriks ini sering juga ditulis sebagai

matriks [𝜕𝑓𝑖

𝜕𝑥𝑗], 𝑖 = 1, 2,… , 𝑛, 𝑗 = 1, 2, … , 𝑛.

2.2 Basic Reproduction Number

Bilangan Reproduksi Dasar (Basic Reproduction Number) adalah jumlah rata-rata infeksi yang

terjadi saat satu individu yang terinfeksi masuk ke dalam populasi rentan selama periode

terinfeksi. Kondisi yang akan timbul adalah satu diantara tiga kemungkinan berikut :

a. Jika 𝑅0 < 1, maka penyakit akan berkurang atau menghilang dalam populasi.

b. Jika 𝑅0 = 1, maka penyakit akan menetap dalam populasi.

c. Jika 𝑅0 > 1, maka penyakit akan meningkat menjadi wabah dalam populasi.

2.3 Titik equilibrium dan kestabilan

Misal suatu sistem persamaan diferensial dinyatakan sebagai berikut : 𝑑𝒙

𝑑𝑡= = 𝒇(𝒙)

Titik equilibrium merupakan titik tetap yang tidak berubah terhadap waktu. Maka titik

equilibrium dari sistem persamaan ini diperoleh dengan syarat 𝑑𝒙

𝑑𝑡= 𝟎. Kestabilan suatu titik

equilibrium dapat diperiksa dari akar-akar karakteristik atau nilai eigen dengan menyelesaikan |𝜆𝐼 − 𝐴| = 0 dimana 𝐴

Jenis kestabilan titik equilibrium berdasarkan nilai dari akar-akar karakteristiknya.

2.4 Kestabilan Routh-Hurwitz

Nilai eigen dari 𝐴 adalah akar polinomial karakteristik

𝑑𝑒𝑡(𝜆𝐼 − 𝐴) = 𝑎0𝜆𝑛 + 𝑎1𝜆

𝑛−1 + 𝑎2𝜆𝑛−2 +⋯+ 𝑎𝑛−1𝜆 + 𝑎𝑛.

Prosedur dari kestabilan Routh-Hurwitz adalah sebagai berikut:

1. Menuliskan polinomial dalam 𝜆 sesuai dengan bentuk berikut:

𝑎0𝜆𝑛 + 𝑎1𝜆

𝑛−1 + 𝑎2𝜆𝑛−2 +⋯+ 𝑎𝑛−1𝜆 + 𝑎𝑛 = 0,

dimana 𝑎0 > 0.

2. Jika terdapat koefisien dari polinomial bernilai nol atau negatif, maka sistem itu tidak stabil.

3. Banyaknya akar yang tidak stabil dapat dilihat dari banyaknya perubahan tanda pada kolom

pertama Tabel Routh-Hurwitz.

4. Syarat perlu dan cukup untuk sistem stabil, adalah:

a. Semua koefisien polinomial bertanda positif.

b. Semua kolom pertama dari Tabel Routh-Hurwitz bertanda positif.

3. Pembahasan

Page 115: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

109

3.1 Pembentukan Model penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi.

Berdasarkan standar model MSLIR, populasi dibagi ke dalam 5 kompartemen, yaitu

M(Immunized),S (Susceptible), L (Latent), I (Infectious) dan R (Recovered). M(t) menyatakan

jumlah individu yang diimunisasi terhadap resiko TB melalui vaksinasi pada waktu 𝑡, S(t)

menyatakan jumlah individu rentan terhadap penyakit TB pada saat t, L(t) menyatakan jumlah

individu yang terinfeksi TB tetapi belum menunjukan gejala TB dan tidak dapat menularkan TB

pada saat t, I(t) menyatakan jumlah individu yang terinfeksi penyakit TB dan dapat menularkan

TB pada orang lain pada saat t, R(t) menyatakan banyaknya individu yang sembuh dari penyakit

pada saat t, dan N(t) menyatakan total individu pada saat t. Selanjutnya M(t),S(t), L(t), I(t), R(t),

dan N(t) ditulis M, S, L, I, R, N.

Asumsi-asumsi yang digunakan dalam model penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi sebagai

berikut :

1. Populasi heterogen, yaitu individu-individu yang membentuk populasi dapat dikelompokkan

menjadi kompartemen atau kelompok yang berbeda sesuai dengan keadaan epidemiologi.

2. Jumlah populasi dikompartemen bergantung terhadap waktu dan proses epidemi secara

deterministik.

3. Kekebalan pada individu dengan vaksinasi mempunyai batasan waktu tertentu.

4. Populasi homogen, yaitu semua individu yang rentan mungkin terinfeksi oleh individu pada

kelas I (Infectious) dalam kasus kontak langsung.

5. Individu yang terinfeksi kemungkinan akan sembuh dengan pengobatan atau secara alami.

6. Individu yang telah sembuh kemungkinan dapat rentan terinfeksi kembali.

7. Individu setiap kompartemen memiliki tingkat kematian alami yang sama yaitu 𝛽.

8. Semua bayi yang baru lahir sebelumnya tidak terinfeksi TB sebagian masuk ke kompartemen

Immunized atau Susceptible.

9. Jika individu kompartemen Susceptible kontak dengan individu kompartemen Infectious

maka individu kompartemen Susceptible masuk ke kompartemen Latent.

10. Tidak memperhatikan usia pada tiap kompartemen.

11. Tidak ada imigran dan emigran. Satu-satunya cara untuk masuk ke populasi adalah melalui

bayi baru lahir dan keluar hanya melalui kematian alami atau kematian akibat terinfeksi TB.

Adapun parameter-parameter yang digunakan dalam model adalah sebagai berikut :

1. 𝜑 menyatakan laju berakhirnya efikasi vaksin.

2. 𝑘 menyatakan laju individu yang rentan menjadi laten terinfeksi TB.

3. 𝜇 menyatakan laju terinfeksi secara laten menjadi aktif terinfeksi.

4. 𝜓menyatakan laju individu yang terinfeksit TB aktif sembuh dari infeksi TB secara alami.

5. 𝑟 menyatakan laju individu yang terinfeksi TB aktif sembuh dari infeksi TB melalui

pengobatan.

6. 𝑞 menyatakan laju individu yang terinfeksi secara laten pulih dari TB melalui pengobatan.

7. 𝑣 menyatakan laju individu pulih menjadi rentan terhadap infeksi TB lagi.

8. 𝜂 menyatakan kematian akibat infeksi TB aktif.

9. 𝛽 menyatakan kematian alami.

10. 𝑃 menyatakan populasi kelahiran baru bergabung dipopulasi 𝑁.

11. 𝑐𝑃 menyatakan proporsi kelahiran baru yang telah diimunisasi melalui vaksinasi.

12. 𝑁 menyatakan ukuran total populasi.

model matematika penyebaran tuberkulosis dengan vaksinasi sebagai berikut :

𝑑𝑀

𝑑𝑡= 𝑐𝑃 − (𝜑 + 𝛽)𝑀

𝑑𝑆

𝑑𝑡= (1 − 𝑐)𝑃 + 𝜑𝑀 + 𝑣𝑅 − (𝑘𝐼 + 𝛽)𝑆

𝑑𝐿

𝑑𝑡= 𝑘𝑆𝐼 − (𝑞 + 𝜇 + 𝛽)𝐿 (3.1) (3.18)

Page 116: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

110

𝑑𝐼

𝑑𝑡= 𝜇𝐿 − (ψ + 𝑟 + 𝜂 + β)𝐼

𝑑𝑅

𝑑𝑡= 𝑞𝐿 + ψ𝐼 + 𝑟𝐼 − (𝑣 + 𝛽)𝑅

𝑁(𝑡) = 𝑀(𝑡) + 𝑆(𝑡) + 𝐿(𝑡) + 𝐼(𝑡) + 𝑅(𝑡)

3.2 Titik equilibrium

Untuk mencari titik equilibrium, Sistem (3.1) dibuat konstan terhadap waktu (𝑡) yaitu kondisi

dimana 𝑑𝑀

𝑑𝑡=

𝑑𝑆

𝑑𝑡=

𝑑𝐿

𝑑𝑡=

𝑑𝐼

𝑑𝑡=

𝑑𝑅

𝑑𝑡= 0, sehingga diperoleh dua titik equilibrium yaitu :

1. Titik equilibrium non-endemik

𝐸0 = (𝑀∗, 𝑆∗, 𝐿∗, 𝐼∗, 𝑅∗) = (

𝑐𝑃

(𝜑 + 𝛽),𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)

𝛽(𝜑 + 𝛽), 0,0,0)

2. Titik equilibrium endemik

𝐸1 = (𝑀∗∗, 𝑆∗∗, 𝐿∗∗, 𝐼∗∗, 𝑅∗∗), dengan

𝑀∗∗ =𝑐𝑃

(𝜑+𝛽) ,

𝑆∗∗ =(𝐴)(𝐵)

𝑘𝜇

𝐿∗∗ =(𝐵)[𝑘𝜇𝑃(𝜑 + 𝛽) − 𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃 − 𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝐴)(𝐵)](𝑣 + 𝛽)

𝑘𝜇(𝜑 + 𝛽)(𝑣 + 𝛽)[𝛽(𝐵) + 𝜇(𝜂 + 𝛽)] + 𝛽[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟]

𝐼∗∗ =[𝑘𝜇𝑃(𝜑 + 𝛽) − 𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃 − 𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝐴)(𝐵)](𝑣 + 𝛽)

𝑘(𝜑 + 𝛽)(𝑣 + 𝛽)[𝛽(𝐵) + 𝜇(𝜂 + 𝛽)] + 𝛽[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟]

𝑅∗∗ =[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟][𝑘𝜇𝑃(𝜑 + 𝛽) − 𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃 − 𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝐴)(𝐵)]

𝑘𝜇(𝜑 + 𝛽)(𝑣 + 𝛽)[𝛽(𝐵) + 𝜇(𝜂 + 𝛽)] + 𝛽[𝑞(𝐵) + 𝜇𝜓 + 𝜇𝑟]

dimana 𝐴 = (𝑞 + 𝜇 + 𝛽) dan 𝐵 = (𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽)

3.1.2 Penentuan basic reproduction number

𝑅0 diperoleh dengan menggunakan Next Generation Matrix. Menurut Driessche dan Watmough

(2002), Diberikan 𝑥 = (𝐿, 𝐼, 𝑆)𝑇, sehingga dari Persamaan (3.1), diperoleh

= 𝑓(𝑥) = ℱ(𝑥) − 𝒱(𝑥)

= ℱ(𝑥) − (𝒱−(𝑥) − 𝒱+(𝑥))

dengan (3.11).

ℱ(𝑥) = (𝑘𝐼𝑆00)

𝒱(𝑥) = (

(𝑞 + 𝜇 + 𝛽)𝐿

−𝜇𝐿 + (𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽)𝐼(1 − 𝑐)𝑃 + 𝜑𝑀 + 𝑣𝑅 − (𝑘𝐼 + 𝛽)𝑆

)

diperoleh

𝐹 = (0 𝑘𝑆∗

0 0)

𝑉 = (𝐴 0−𝜇 𝐵

)

𝑅0adalah nilai eigen determinan dari 𝐹𝑉−1, sehingga diperoleh

Page 117: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

111

𝑅0 =𝜇𝑘[𝑃𝜑+𝛽(𝑃−𝑐𝑃)]

𝛽𝐴𝐵(𝜑+𝛽)

Sebelumnya telah dicari 𝑅0tanpa vaksinasi yang dinotasikan 𝑅𝑡𝑣, dengan

𝑅𝑡𝑣 =𝛼𝜇𝑘

𝛽𝐴𝐵

Berdasarkan 𝑅0 dan 𝑅𝑡𝑣 yang telah diperoleh

𝜇𝑘[𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)]

𝛽𝐴𝐵(𝜑 + 𝛽)<𝛼𝜇𝑘

𝛽𝐴𝐵

maka

𝑅0 < 𝑅𝑡𝑣

yang artinya jumlah penderita penyakit tuberkulosis dengan vaksinasi lebih kecil dari pada jumlah

penderita penyakit tanpa vaksinasi.

Selanjutnya diperoleh 𝑅0 tanpa pengobatan yang dinotasikan 𝑅𝑡𝑝 dengan

𝜇𝑘[𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)]

𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝑞 + 𝜇 + 𝛽)(𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽)<

𝜇𝑘[𝑃𝜑 + 𝛽(𝑃 − 𝑐𝑃)]

𝛽(𝜑 + 𝛽)(𝑞 + 𝜇 + 𝛽)(𝜓 + 𝜂 + 𝛽)

maka

𝑅0 < 𝑅𝑡𝑝

yang artinya jumlah penderita penyakit tuberkulosis dengan pengobatan lebih kecil dari pada

jumlah penderita penyakit tanpa pengobatan.

3.3 Analisis Kestabilan titik equilibrium

Analisis kestabilan titik equilibrium diperoleh berdasarkan matriks Jacobian, untuk itu perlu

dibentuk matriks Jacobian dari Sistem Persamaan (3.1), diperoleh

𝐽(𝑀, 𝑆, 𝐿, 𝐼, 𝑅) =

[ −(𝜑 + 𝛽) 0 0

𝜑 −(𝑘𝐼 + 𝛽) 0

000

𝑘𝐼00

−(𝐴)𝜇𝑞

0−𝑘𝑆 𝑘𝑆 −(𝐵)

𝜓 + 𝑟

0𝑣00

−(𝑣 + 𝛽)]

(3.2)

dengan 𝐴 = 𝑞 + 𝜇 + 𝛽 dan 𝐵 = 𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽

1. Analisis kestabilan titik equilibrium non-endemik

Kestabilan titik equilibrium non-endemik dapat diperoleh berdasarkan teorema berikut:

Teorema 3.1 :

Titik equilibrium non-endemik 𝐸0 bersifat stabil asimtotik jika 𝑅0 < 1 dan tidak stabil jika 𝑅0 >1

Bukti :

Untuk menganalisis kestabilan titik equilibrium non-endemik dapat dilakukan dengan cara

melihat nilai eigen pada matriks 𝐽𝐸0. Untuk mendapatkan matriks 𝐽𝐸0 yaitu dengan

mensubsttitusi 𝐸0 = (𝑀∗, 𝑆∗, 𝐿∗, 𝐼∗, 𝑅∗), ke Persamaan (3.2) diperoleh

Page 118: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

112

𝐽𝐸0 =

[ −(𝜑 + 𝛽) 0 0

𝜑 −𝛽 0

000

000

−(𝐴)𝜇𝑞

0 −𝑘𝑆∗

𝑘𝑆∗

−(𝐵)𝜓 + 𝑟

0𝑣00

−(𝑣 + 𝛽)]

(3.3)

dengan 𝐴 = (𝑞 + 𝜇 + 𝛽) dan 𝐵 = (𝜓 + 𝑟 + 𝜂 + 𝛽). Selanjutnya dengan menghitung nilai eigen

dari Persamaan (3.3), diperoleh

(𝜆 + 𝜑 + 𝛽)(𝜆 + 𝛽)(𝜆 + 𝑣 + 𝛽)[𝜆2 + 𝑌𝜆 + 𝑍] = 0

dengan 𝑌 = (𝐴 + 𝐵) dan 𝑍 = (𝐴𝐵 − 𝜇𝑘𝑆∗∗)

Untuk (𝜆 + 𝜑 + 𝛽)(𝜆 + 𝛽)(𝜆 + 𝑣 + 𝛽) = 0, diperoleh

𝜆1 = −(𝜑 + 𝛽), 𝜆2 = −𝛽 dan 𝜆2 = −(𝑣 + 𝛽)

dan nilai eigen dari persamaan 𝜆2 + 𝑌𝜆 + 𝑍 = 0 diperoleh dengan menggunakan kestabilan

routh-hurwitz, diperoleh

Tabel 3.1 Kestabilan Routh-Hurwitz Titik Equilibrium Non Endemik

Berdasarkan tabel Routh-Hurwitz, jika 𝑌, 𝑍 > 0, jelas bahwa 𝑌 > 0, selanjutnya harus

ditunjukkan 𝑍 > 0. Untuk menunjukkan 𝑍 > 0, maka

𝐴𝐵 − 𝜇𝑘𝑆∗ > 0

⇔𝜇𝑘𝑆∗

𝐴𝐵< 1

⟺ 𝑅0 < 1

2. Analisis Kestabilan titik equilibrium endemik

Untuk menganalisis kestabilan titik equilibrium endemik dapat dilakukan dengan cara melihat

nilai eigen pada matriks 𝐽𝐸1. Untuk mendapatkan matriks 𝐽𝐸1 yaitu dengan mensubstitusi 𝐸1 =(𝑀∗∗, 𝑆∗∗, 𝐿∗∗, 𝐼∗∗, 𝑅∗∗) ke Persamaan (3.2) diperoleh

𝐽𝐸1 =

[ −(𝜑 + 𝛽) 0 0

𝜑 −(𝑘𝐼∗∗ + 𝛽) 0

000

𝑘𝐼∗∗

00

−(𝐴)𝜇𝑞

0 −𝑘𝑆∗∗

𝑘𝑆∗∗

−(𝐵)𝜓 + 𝑟

0𝑣00

−(𝑣 + 𝛽)]

(3.4)

Selanjutnya dengan menghitung nilai eigen dari Persamaan (3.4), diperoleh

(𝜆 + 𝜑 + 𝛽)[𝜆4 +𝑊𝜆3 + 𝑋𝜆2 + 𝑌𝜆 + 𝑍 = 0], dengan

𝑊 = 𝐴 + 𝐵 + 2𝛽 + 𝜈 + 𝑘𝐼∗∗

Variabel Koefisien

𝜆2 1 𝑍 0

𝜆1 𝑌 0 0

𝜆0 𝑍 0 0

Page 119: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

113

𝑋 = 𝛽𝜈 + 𝛽𝑘𝐼∗∗ + 𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝐵 + 2𝐴𝛽 + 𝐴𝜈 + 𝐴𝑘𝐼∗∗ + 2𝐵𝛽 + 𝐵𝜈 + 𝐵𝑘𝐼∗∗ + 𝛽2

− 𝜇𝑘𝑆∗∗ 𝑌= 2𝐴𝜇𝛽 + 𝐴𝐵𝜈 + 𝐴𝐵𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝛽𝜈 + 𝐴𝛽𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐵𝛽𝜈 + 𝐵𝛽𝑘𝐼∗∗

+ 𝐵𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝛽2 + 𝐵𝛽2 − 2𝛽𝜇𝑘𝑆∗∗ − 𝜇𝜈𝑘𝑆∗∗ − 𝑞𝜈𝑘𝐼∗∗

𝑍 = 𝐵𝛽𝜈 + 𝐴𝐵𝛽𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝐵𝜈𝑘𝐼∗∗ + 𝐴𝐵𝛽 − 𝛽𝜇𝜈𝑘𝑆∗∗ − 𝐵𝑞𝜈𝑘𝐼∗∗ − 𝜇𝜓𝜈𝑘𝐼∗∗ − 𝐵𝑟𝜈𝑘𝐼∗∗

− 𝛽2𝜇𝑘𝑆∗∗ Berdasarkan perhitungan kestabilan Routh-Hurwitz, diperoleh tabel kestabilan Routh-Hurwitz

titik equilibrium endemik.

Tabel 3.2 Kestabilan Routh-Hurwitz Titik Equilibrium Endemik

Titik equilibrium endemikdikatakan stabil jika

𝑊 > 0,𝑊𝑋−𝑌

𝑊> 0, 𝑌 −

𝑊2𝑍

𝑊𝑋−𝑌> 0, 𝑍 > 0.

Maka titik equilibrium endemik 𝐸1stabil asimtotik jika

𝑊, 𝑍 > 0, 𝑋 >𝑌

𝑊, 𝑌 >

𝑊2𝑍

𝑊𝑋−𝑌,

atau ekuivalen dengan

𝑅0 > 1 dimana 𝑅0 =𝜇𝑘[𝑃𝜑+𝛽(𝑃−𝑐𝑃)]

𝛽(𝜑+𝛽)(𝐴)(𝐵)

3.4 Analisis basic reproduction number penyebaran tuberkulosis tanpa vaksinasi

Untuk mengetahui model penyebaran penyakit tuberkulosis dengan vaksinasi, akan dilihat

berdasarkan kompartemen 𝐼 pada titik equilibrium endemiknya. Jika 𝐼∗∗ = 0, maka non-endemik

(bebas penyakit), dan jika 𝐼∗∗ > 0, maka endemik.

Untuk 𝐼∗∗ > 0, diperoleh [𝑘𝜇𝑃(𝜑+𝛽)−𝑘𝜇𝛽𝑐𝑃−𝛽(𝜑+𝛽)(𝐴)(𝐵)](𝑣+𝛽)

𝑘(𝜑+𝛽)(𝑣+𝛽)[𝛽(𝐵)+𝜇(𝜂+𝛽)]+𝛽[𝑞(𝐵)+𝜇𝜓+𝜇𝑟]> 0(3.5)

Dari Persamaan (3.5) diperoleh bahwa 𝑅0 > 1, yang artinya yang artinya penyakit akan menyebar

dan meningkat, sehingga populasi S akan berkurang

4. Kesimpulan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan adanya pemberian vaksinasi dapat menurunkan

jumlah penderita TB dibandingkan tanpa vaksinasi. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa

semakin besar nilai parameter pengobatan pada individu terinfeksi maka semakin menurun

Variabe

l Koefisien

𝜆4 1 𝑋 𝑍 0

𝜆3 𝑊 𝑌 0 0

𝜆2 𝑊𝑋 − 𝑌

𝑊 𝑊 0 0

𝜆1

𝑌

−𝑊2𝑍

(𝑊𝑋 − 𝑌)

0 0 0

𝜆0 𝑍 0 0 0

Page 120: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

114

jumlah penderita TB dan semakin besar nilai parameter efikasi vaksin maka semakin

meningkatkan kekebalan tubuh individu kompartemen rentan terinfeksi TB.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aditama, Tjandra Yoga. 1994. Tuberkulosis Paru: Masalah dan Penanggulangannya.

Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.

[2] Anton, H dan C. Rorres. 2004. Aljabar Linear Elementer Versi Aplikasi (Edisi Kedelapan).

Terjemahan oleh Refina Indriasari dan Irzam Harmein, Jakarta: Erlangga.

[3] Ayres, Frank dan P. A. Schmidt. 2004. Schaum’s Outlines Matematika Universitas (Edisi

Ketiga). Terjemahan oleh Alit Bondan. Jakarta : Erlangga.

[4] Bronson, R. dan G. B. Costa. 2007. Schaum’s Outlines Persamaan Diferensial (Edisi

Ketiga). Terjemahan oleh Thombi Layukallo. Jakarta: Erlangga.

[5] DEPKES. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan TBC.

http://www.dokternida.rekansejawat.com/dokumen/DEPKES-Pedoman-Nasional-

Penanggulanggan-TBC-2011-Dokternida.com.pdf. Diakses 25 Januari 2017.

[6] Driessche, P.v.d., dan J. Watmough. 2002. Reproduction Numbers and Sub-Threshold

Endemic Equilibria for Compartmental Models of Disease Transmission, Mathematical

Biosciences 180, 29–48.

[7] Fredlina, K. Q, Tjokorda B. Oka, dan I Made Eka Dwipayana. 2012. Model SIR

(Susceptible, Infectious, Recovered) Untuk Penyebaran Penyakit Tuberkulosis. E-Jurnal

Matematika Vol 1: 52-58.

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=14853&val=980. Diakses 23 Januari

2017.

[8] Iswanto, R. J. 2012. Pemodelan Matematika, Aplikasi dan Terapannya. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

[9] Kartono. 2012. Persamaan Differensial Biasa: Model Matematika Fenomena Perubahan.

Yogyakarta: Graha Ilmu.

[10] Moghadas, S, M dan Gumel, A, B. 2002. Analysis Of A Model For Transmission Dynamics

of TB, Volume 10, number 3. Canadian Applied Mathematics Quarterly.

[11] Ozcaglar C, Shabbeer A, Vandenberg SL, Yener B, Bennett KP. 2012. Epidemiological

models ofMycobacterium tuberculosis complex infections. Mathematical Biosciences.

236:77-96.doi:10.1016.

[12] Purcell, E.J. dkk. 2004. Kalkulus Jilid 2 (Edisi Kedelapan). Terjemahan oleh Ir. Julian

Gressando. Jakarta: Erlangga.

[13] Purwanto, H. dkk. 2006. Matematika Diskrit. Jakarta: PT. ERCONTARA RAJAWALI.

[14] Qomala, Henny N. I. 2015. Model Matematika Epidemik SEIR. Skripsi. Fakultas MIPA

Universitas Cenderawasih, Jayapura.

[15] Rafflesia, Ulfasari . 2014. Model Penyebaran Penyakit Tuberkulosis (TBC). Jurnal Gradien

Vol 10. No. 2 Juli 2014: 983-986.

http://download.portalgaruda.org/article=299411&val=7286&title=Model%20Penyebara

n%20Penyakit%20Tuberkulosis%20(TBC). Diakses 23 November 2016.

[16] Santosa, Budi. 2008. Matlab Untuk Statistika Dan Teknik Optimasi. Yogyakarta: GRAHA

ILMU.

[17] Setiarini, Indah. 2008. Penggunaan Vaksin BCG untuk Pencegahan Tuberculosis.

(Online). http://yosefw.wordpress.com/2008/01/02/penggunaan-vaksin-bcg-untuk-

pencegahan-tuberculosis/?_e_pi_=7%2CPAGE_ID10%2C2870881851. Diakses 02

Februari 2016.

[18] Syafruddin dan Wahida. 2016. Pemodelan Matematika Pada Penularan Penyakit

Tuberculosis. Makassar: Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar.

[19] Ugwa, Kalu A. dkk. 2013. Mathematical Analysis Of The Endemic Equilibrium Of The

Transmission Dynamics Of Tuberculosis. International Journal Of Scientific & Technology

Research Volume 2, Issue 12, December 2013.

Page 121: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

115

[20] Varberg, D., E.J Purcell, dan S.E Rigdon. 2010. Kalkulus Jilid 1(Edisi Kesembilan).

Terjemahan oleh I Nyoman Susila. Jakarta: Erlangga.

[21] Wahab W. dan A. Subiantoro. 2008. Fundamental of Control Systems Stability

CriterionRouth-Hurwitz.StaffUI(On-line).http://staff.ui.ac.id/

system/files/users/wahidin.wahab/material/lecture5-stabilitycriterion-routh

hurwitztest20oct08.pdf. Diakses 23 November 2016.

[22] Widowati dan Sutimin. 2007. Buku Ajar Pemodelan Matematika. Jurusan Matematika

Universitas Diponegoro. Diakses 23 Januari 2017.

Page 122: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

116

IDENTIFIKASI PEMAHAMAN KONSEP MATEMATIKA

(OPERASI HITUNG) DAN KONSEP FISIKA PADA

PENYELESAIAN SOAL FISIKA TENTANG PESAWAT

SEDERHANA PADA MAHASISWA PENDIDIKAN FISIKA

UNIVERSITAS CENDERAWASIH

Hardiyanti1, Triwiyono2, dan Albert Lumbu3

Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Cenderawasih1,2,3

e-mail: [email protected]

e-mail: [email protected]

e-mail: [email protected]

Abstrak.Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tentang pemahaman konsep hitung dasar

dan pemahaman fisika dasar pada materi fisika dengan topik Pesawat Sederhana, kesalahan dalam

pengerjaan soal matematika dan fisika, dan kesulitan dalam pengerjaan soal-soal fisika. Penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Penelitian ini dilakukan

pada bulan November 2017 sampai Maret 2018. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara

mendalam, observasi, dan dokumentasi. Data dianalisis dengan teknik reduksi, data display, dan

verifikasi. Hasil dari penelitian ini yaitu, sebagian besar mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan

2017 Universitas Cenderawasih sudah memahami tentang bilangan bulat tetapi masih perlu

belajar lagi pada materi operasi hitung pecahan. Pada soal matematika dasar (Operasi Hitung)

ditemukan 6,67% kesalahan konsep; 9,33% kesalahan hitung; dan 0% kesalahan acak sebagai

akibat ketidakpahaman terhadap soal. Mahasiswa masih harus belajar lagi pada materi Pesawat

Sederhana. Kesalahan-kesalahan dalam pengerjaan soal fisika pada materi Pesawat Sederhana

yaitu kesalahan terjemahan 8,42%; kesalahan strategi 8,42%; kesalahan konsep 14,74%;

kesalahan hitung 2,1%; dan tidak diketahuinya kesalahan akibat tidak diresponnya soal 2,1 %.

Kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal fisika pada materi Pesawat Sederhana yaitu tidak

dapat menerjemahkan soal, tidak mampu menerapkan konsep dan rumus, tidak melakukan

perhitungan dengan benar, dan tidak mengecek jawaban sebelum dikumpulkan.

Kata kunci: Pemahaman konsep, operasi hitung, pesawat sederhana

1. PENDAHULUAN

Keberhasilan siswa tidak terlepas dari peran guru sebagai katalisator, moderator, motivator,

fasilitator, dan evaluator. Sehingga, untuk meningkatkan mutu pendidikan harus didampingi

dengan peningkatan kualitas guru. Guru yang berkualitas baik akan menghasilkan output yang

berkualitas juga. Banyak upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah dalam memacu dan

meningkatkan kompetensi guru yang baik seperti penataran guru-guru sains, membentuk

musyawarah guru bidang studi, bantuan alat-alat laboratorium, dan juga melakukan penyusunan

kurikulum baru pada setiap jenjang dan sistem pendidikan. Tidak terlepas dari peran pemerintah

untuk meningkatkan kualitas guru, guru pun harus mampu menjadikan dirinya sebagai guru yang

berkualitas, salah satunya dengan meningkatkan kompetensi profesional yang dimilikinya.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudjana (2002:42) menunjukkan bahwa 76,6% hasil belajar

siswa dipengaruhi oleh kinerja guru, dengan rincian kemampuan guru mengajar memberikan

sumbangan 32,43%, penguasaan materi pelajaran memberikan sumbangan 32,38%, dan sikap

guru terhadap mata pelajaran memberikan sumbangan 8,60%. Berdasarkan penelitian tersebut

Page 123: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

117

dapat kita simpulkan bahwa kemampuan mengajar seorang guru harus didampingi dengan

kemampuan penguasaan materi untuk menghasilkan pembelajaran yang berkualitas.

Fisika adalah salah satu cabang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Berdasarkan Depdiknas dalam

Rizal (2014) menyatakan bahwa Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari

tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan

pengetahuan berupa fakta-fakta, konsep-konsep atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan

suatu proses penemuan. Fisika merupakan bidang keilmuan sains yang mempelajari gejala alam

dari benda atau materi dari lingkup ruang dan waktu yang dapat dijelaskan dalam berbagai

perhitungan secara kuantitatif. Perhitungan secara kuantitatif dalam fisika pada dasarnya

merupakan abstraksi dari teori atau hukum alam yang disederhanakan dengan berlandaskan pada

asumsi-asumsi yang menyatakan bahwa objek-objek empiris mempunyai sifat keragaman,

memperlihatkan sifat berulang dan memiliki pola-pola tertentu (Sumiasumantri dalam Wardani,

2016). Asumsi-asumsi tersebut memungkinkan dilakukan analisis secara mendalam terhadap

masalah yang dikaji dalam fisika dan melakukan prediksi tentang peristiwa alam yang akan terjadi

sehingga diperlukan kemampuan dan keterampilan tertentu dalam perhitungan matematika

karena banyak pernyataan-pernyataan fisika yang lebih efisien dan efektif jika dinyatakan dalam

bahasa matematis (Abrams dalam Wardani, 2016). Jadi, fisika berkaitan dengan cara mencari tahu

tentang alam secara sistematis, sehingga sains bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan

yang berupa fakta, konsep-konsep atau prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses

penemuan, sehingga dapat mengembangkan kemampuan berpikir analisis, induktif, dan deduktif

dalam menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan menggunakan persamaan (rumus) serta

dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap percaya diri.

Fisika berkembang melalui pengamatan eksperimen dan pengukuran kuantitatif dengan tujuan

utamanya untuk menemukan hukum-hukum dasar tentang alam.Selanjutnya, hukum-hukum

dasar tersebut digunakan dalam pengembangan teori untuk meramalkan hasil eksperimen-

eksperimen berikutnya.Hukum-hukum dasar dalam teori fisika diekspresikan dalam bahasa

matematika.Ini berarti matematika memegang peranan yang sangat penting dalam menjabarkan

dan menjelaskan gejala fisika yang makroskopik maupun mikroskopik.Representasi matematis

dalam pemerian konsep fisika dapat membantu pebelajar dalam memahami gejala fisika terkait

(Halliday et al dalam Kereh dkk., 2014).Oleh karena itu, matematika merupakan materi yang

esensial untuk dipelajari dalam pendidikan calon pendidik fisika.

Menurut Wardoyo dkk. dalam Mulyadi (2013), pelajaran fisika berhubungan langsung dengan

matematika, dimana setiap permasalahan fisika dapat diselesaikan dengan cara matematis dan

matematika memegang peran utama, selain kemampuannya untuk memecahkan masalah fisika

dari yang sederhana sampai bentuk yang paling rumit, matematika sangat membantu penalaran

seseorang dalam menelususri liku-liku fisika yang ternyata tidak mudah. Dengan didukung

kemampuan matematis yang dimiliki, peserta didik dilatih untuk mengembangkan kemampuan

berpikir dan bernalar yang taat asas, serta kemampuan berpikir dan bernalar ini dialihkan melalui

pengelolaan data yang akurat, yang kebenarannya tidak diragukan lagi (Depdiknas dalam Hartati,

2010). Mata pelajaran fisika menjadi sesuatu yang ditakuti siswa karena hubungan erat dengan

matematika. Kemampuan matematis siswa yang lemah secara otomatis akan mengalami kesulitan

dalam memahami fisika, karena sebagian besar penyelesaian soal-soal fisika dilakukan dengan

konsep matematika.

Guru harus memiliki kompetensi profesional yang lebih dari siswa-siswi sehingga pembelajaran

akan berjalan dengan baik. Seorang guru tidak akan mampu melaksanakan pembelajaran jika

kurangnya kompetensi profesional yang dimiliki.

Page 124: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

118

2. METODE

Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif melalui

pendekatan studi kasus. Penelitian dilakukan terhadap mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan

2017 di Universitas Cenderawasih untuk mengidentifikasi kemampuan pemahaman konsep

hitung dasar dan pemahaman konsep fisika pada materi Pesawat Sederhana, kesalahan dalam

pengerjaan soal matematika dan fisika, dan kesulitan dalam pengerjaan soal-soal fisika yang

dilaksanakan di kampus Pendidikan Fisika Universitas Cenderawasih pada bulan November

2017.

Untuk dapat mengidentifikasi pemahaman konsep hitung dasar dan pemahaman fisika dasar pada

materi fisika dengan topik Pesawat Sederhana, kesalahan dalam pengerjaan soal matematika dan

fisika, dan kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal-soal fisika materi Pesawat Sederhana

maka subjek yang telah ditentukan adalah mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017

Universitas Cenderawasih sebanyak 5 orang yang dipilih secara acak.

Untuk dapat mengungkapkan secara mendalam pemahaman konsep matematika dasar dan fisika,

faktor kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal-soal fisika materi Pesawat Sederhana,

kesalahan dalam pengerjaan soal matematika dan fisika, objek penelitian yang ditentukan

meliputi: pemahaman konsep hitung dasar dan pemahaman konsep fisika pada materi Pesawat

Sederhana sertakesalahan dalam pengerjaan soal matematika dan fisika dengan memberikan uji

tes, pendapat mahasiswa pendidikan fisika tentang kesulitan saat mengerjakan soal fisika.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1.Persentase Kesalahan Jawaban Soal Matematika

Nomor Soal Kesalahan

Konsep

Kesalahan

Hitung

Kesalahan

Acak

Soal tidak

Direspon

Jawaban

Benar

1 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %

2 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %

3 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %

4 0 % 20 % 0 % 0 % 80 %

5 0 % 0 % 0 % 0 % 100 %

6 0 % 0 % 0 % 20 % 80 %

7 20 % 20 % 0 % 0 % 60 %

8 20 % 20 % 0 % 0 % 60 %

9 0 % 20 % 0 % 20 % 60 %

10 0 % 0 % 0 % 20 % 80 %

11 20 % 20 % 0 % 20 % 40 %

12 0 % 0 % 0 % 20 % 80 %

13 0 % 20 % 0 % 20 % 60 %

14 0 % 20 % 0 % 20 % 60 %

15 40 % 0 % 0 % 20 % 40 %

Rata-Rata

Persentase

Kesalahan

6,67 %

9,33 %

0 %

10,67 %

73,33 %

Page 125: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

119

Tabel 2. Persentase Kesalahan Jawaban Soal Fisika

Jenis Kesalahan Banyak Kesalahan Persentase

Kesalahan Terjemahan 8 8,42 %

Kesalahan Strategi 8 8,42 %

Kesalahan Konsep 14 14,74 %

Kesalahan Hitung 2 2,1 %

Soal Tidak Direspon 2 2,1 %

Soal nomor 1-6 memuat materi tentang operasi hitung bilangan bulat. Berdasarkan hasil

penelitian yang dilakukan, sebagian besar telah memahami materi tersebut dengan baik. Tetapi,

1 dari 4 narasumber tidak merespon soal nomor 6 yaitu mahasiswa B.Dan 1 dari 5 narasumber

salah dalam melakukan perhitungan pada soal nomor 4 yaitu mahasiswa E yang diakibatkan

kecerobohan dalam menghitung hingga menyebabkan hasil akhir tidak sesuai.

Soal nomor 7-15 memuat tentang materi operasi hitung bilangan pecahan. Semua narasumber

memiliki kesalahan pada operasi hitung bilangan pecahan. Hanya di nomor 10 dan 12 yang tidak

terdapat kesalahan dari kelima narasumber tersebut.

Kesalahan yang ditemukan pada jawaban soal nomor 7, yaitu kesalahan hitung dan kesalahan

konsep yang dilakukan oleh mahasiswa A dan B. Pada lembar jawaban mahasiswa A di nomor 7

hanya terjadi kesalahan hitung akibat kecerobohan dalam menghitung.Sedangkan, pada lembar

jawaban mahasiswa B di nomor 7 terjadi kesalahan konsep yang diakibatkan tidak pahamnya

mahasiswa B pada konsep pengurangan pecahan.

Pada soal nomor 8 terjadi kesalahan hitung dan kesalahan konsep yang dilakukan oleh mahasiswa

A dan B. Pada lembar jawaban mahasiswa A di nomor 8, terjadi kesalahan hitung saat mengubah

pecahan campuran ke pecahan biasa. Kesalahan pada lembar jawaban mahasiswa A di nomor 8

bukan merupakan kesalahan konsep dikarenakan dua pecahan campuran sebelumnya diubah

dengan benar ke pecahan biasa.Sehingga, dapat disimpulkan bahwa yang terjadi adalah kesalahan

hitung. Pada lembar jawaban mahasiswa B di nomor 8, terjadi kesalahan konsep yaitu konsep

pengurangan pecahan seperti pada nomor 7.

Pada nomor 9 hanya terdapat kesalahan hitung pada lembar jawaban mahasiswa A saat

menyamakan penyebut. Sedangkan, pada mahasiswa B tidak menjawab soal nomor 9.

Pada nomor 11, ditemukan kesalahan konsep dan kesalahan hitung yang dilakukan oleh

mahasiswa A dan D serta mahasiswa B yang tidak merespon soal nomor 11. Pada lembar jawaban

mahasiswa A di nomor 11 terjadi kesalahan konsep dalam perkalian pecahan dimana seharusnya

pecahan campuran tersebut diubah terlebih dahulu ke pecahan biasa kemudian dikalikan.Tetapi,

mahasiswa A mengalikan antara bilangan bulat dan mengalikan antara pembilang serta

mengalikan antara penyebut sehingga menghasilkan jawaban yang salah (dapat dilihat pada tabel

4.2). Sedangkan, pada lembar jawaban mahasiswa D di nomor 11 ditemukan kesalahan hitung

saat mengalikan antara pembilang.

Pada nomor 13 hanya ditemukan kesalahan pada mahasiswa A berupa kesalahan hitung saat

mengalikan antara pembilang. Serta mahasiswa B yang tidak merespon soal nomor 13.

Pada nomor 14 hanya ditemukan kesalahan hitung pada lembar jawaban mahasiswa C saat

mengalikan bilangan bulat dengan pembilang. Selain itu, mahasiswa B tidak merespon soal

nomor 14.

Pada soal nomor 15, Hanya 2 mahasiswa yang menjawab benar. Mahasiswa B tidak merespon

soal nomor 15 sedangkan 2 narasumber lainnya tidak memahami konsep bilangan yang dibagikan

nol. Berdasarkan lembar jawaban kedua narasumber tersebut, mahasiswa C dan D menjawab nol.

Page 126: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

120

Akan tetapi, pada saat wawancara keduamahasiswa C menjawab tidak terhingga sedangkan

mahasiswa D yang awalnya menjawab nol pada wawancara pertama mengubah pernyataannya

menjadi tidak terhingga.

Mahasiswa C menyatakan bahwa suatu bilangan yang dibagi nol jawabannya adalah tak terhingga

yang konsep tersebut didapat dari guru semasa masih sekolah. Mahasiswa D mengakui

ketidakpahamannya pada hasil pecahan yang penyebutnya nol.

Miskonsepsi merupakan suatu konsep seseorang yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau

pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu (Suparno dalam Aziszah, 2015).

Miskonsepsi dalam matematika dapat menjadi masalah serius jika tidak segera diperbaiki, sebab

kesalahan satu konsep dasar saja dapat menuntun seseorang pada kesalahan selanjutnya. Karena

sebuah konsep dasar dalam matematika akan terus diaplikasikan ke materi selanjutnya.

Pada proses wawancara pertama, 4 dari narasumber mengatakan merasa memahami materi

operasi bilangan bulat maupun pecahan dikarenakan sudah dipelajari dari SD. Sedangkan,

keempatnya melakukan kesalahan dalam pengerjaan soal matematika dasar tersebut terutama

pecahan. Untuk materi bilangan bulat dianggap semua sudah memahami dikarenakan dari soal 1-

6 berdasarkan jawaban kelima narasumber tersebut hanya 1 orang yang salah pada 1 nomor dan

1 orang yang tidak merespon pada 1 nomor. Hanya mahasiswa B yang mengaku masih perlu

belajar lagi pada materi matematika dasar. Pada lembar jawaban mahasiswa B tidak ditemukan

jawaban yang benar pada soal yang memuat materi pecahan dikarenakan sebagian besar tidak

direspon dan yang lainnya salah. Pada mahasiswa A, 6 dari 9 soal yang memuat materi pecahan

ditemukan kesalahan berupa kesalahan hitung dan konsep. Sedangkan yang lainnya hanya 1 atau

2 nomor yang terdapat kesalahan hitung ataupun konsep dari 9 nomor yang memuat materi

pecahan. Hanya mahasiswa E saja yang tidak ditemukan kesalahan konsep. Selain itu, di hasil

akhir sebagian besar tidak menyederhanakan pecahan. Pada wawancara kedua, mahasiswa

mengakui tidak menyederhanakan pecahan dikarenakan bingung dengan pecahan campuran.

Berdasarkan hasil lembar jawaban soal Matematika dan wawancara, sebagian besar mahasiswa

Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas Cenderawasih memahami tentang bilangan bulat

tetapibeberapa mahasiswa perlu belajar lagi pada materi operasi hitung pecahan.

Berdasarkan analisis lembar jawaban soal Matematika kelima narasumber tersebut, ditemukan

73,33% menjawab benar, 10,67% tidak merespon soal, 6,67% kesalahan konsep yang diakibatkan

tidak memahami suatu konsep, 9,33% kesalahan hitung sebagai akibat kecerobohan dalam

melakukan perhitungan dan 0% kesalahan acak sebagai akibat ketidakpahaman terhadap soal.

Pada soal fisika nomor 1, semuanya sudah benar dalam menjawab. Untuk soal nomor 2,

ditemukan kesalahan konsep pada lembar jawaban mahasiswa B dan E. Pada mahasiswa B tidak

mengetahui contoh katrol sedangkan mahasiswa E tidak mengetahui contoh bidang miring.

Pada soal nomor 3, ditemukan kesalahan terjemahan, konsep, strategi, dan hitung pada lembar

jawaban kelima narasumber. Kesalahan terjemahan ditemukan pada lembar jawaban mahasiswa

A dan B. Kesalahan konsep diakibatkan tidak dapat memahami soal sehingga terjadi kesalahan

pada diketahui dan ditanya yang tidak sesuai dengan isi soal. Kesalahan konsep ditemukan pada

semua lembar jawaban narasumber. Mahasiswa B tidak dapat mencari gaya tarik menggunakan

rumus keuntungan mekanik. Selain itu, semua narasumber tidak dapat membedakan usaha dan

gaya berat.Usaha satuannya Joule dan gaya berat satuannya Newton sehingga jelas berbeda.

Mereka pun terkecoh dikarenakan lambangnya yang sama-sama w padahal usaha lambangnya W

dan gaya berat lambangnya w. Sehingga, saat ditanyakanusaha, mahasiswa B dan D

menggunakan rumus gaya berat. Serta penggunaan lambang usaha yang disamakan ataupun

terbalik. Kesalahan strategi ditemukan pada lembar jawaban mahasiswa B dan D yang diawali

dengan kesalahan konsep.Sehingga, tidak ditemukan hasil akhir yang benar. Kesalahan hitung

ditemukan pada lembar jawaban mahasiswa B.

Page 127: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

121

Pada soal nomor 4, ditemukan kesalahan terjemahan, konsep, strategi, dan hitung pada lembar

jawaban 3 dari 5 narasumber. 1 dari 5 narasumber menjawab benar tanpa adanya kesalahan dan

1 dari 5 narasumber tidak merespon soal. Pada lembar jawaban narasumber C hanya terdapat

kesalahan konsep dalam menuliskan lambang usaha sebagai w. Pada lembar jawaban mahasiswa

E ditemukan kesalahan konsep dan strategi dikarenakan menganggap gaya berat sebagai usaha

dan salah menuliskan lambang usaha sebagai w. Pada mahasiswa D, terdapat kesalahan

terjemahan, konsep, strategi, dan hitung sehingga menyebabkan jawaban akhir yang salah.

Pada soal nomor 5, 1 dari 5 narasumber tidak merespon soal dan 4 dari 5 narasumber ditemukan

kesalahan yang sama pada lembar jawaban mereka yaitu kesalahan terjemahan, konsep dan

strategi. Kesalahan terjemahan mengakibatkan apa yang diketahui dan ditanya tidak sesuai

dengan isi soal. Kesalahan konsep dikarenakan kurangnya pemahaman antara usaha dan gaya

berat sehingga mengakibatkan kesalahan strategi.

Berdasarkan analisis lembar jawaban kelima narasumber dalam menjawab soal fisika, mahasiswa

Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas Cenderawasih memahami konsep pengertian dan

contoh Pesawat Sederhana. Tetapi, harus belajar lagi pada konsep yang menggunakan rumus.

Diakui oleh narasumber, kesalahan pada konsep atau rumus pada materi Pesawat Sederhana

sebagai akibat dari lupa, tidak pernah diajarkan, dan miskonsepsi.

Skemp dalam Lubis (2009) membedakan tingkatan pemahaman mahasiswa menjadi dua.

Tingkatan pemahaman yang pertama disebut pemahaman instruksional (instructional

understanding). Pada tingkatan ini dapat dikatakan bahwa mahasiswa baru berada di tahap tahu

atau hafal suatu rumus dan dapat menggunakannya untuk menyelesaikan suatu soal fisika, tetapi

dia belum atau tidak tahu mengapa rumus tersebut dapat digunakan. Lebih lanjut, mahasiswa pada

tahapan ini juga belum atau tidak bisa menerapkan rumus tersebut pada keadaan baru yang

berkaitan. Selanjutnya, tingkatan pemahaman yang kedua disebut pemahaman relasional

(relational understanding). Pada tahapan tingkatan ini, menurut Skemp, mahasiswa tidak hanya

sekedar tahu dan hafal tentang suatu rumus, tetapi dia juga tahu bagaimana dan mengapa rumus

itu dapat digunakan. Lebih lanjut, dia dapat menggunakannya untuk menyelesaikan masalah-

masalah yang terkait pada situasi lain.

Berdasarkan hasil penelitian, kelima narasumber masih berada pada tingkatan pemahaman yang

pertama yaitu pemahaman instruksional (instructional understanding) dikarenakan masih dalam

tahap menghafal rumus dan kurang memahaminya.

Sedangkan, kesalahan-kesalahan yang ditemukan dalam pengerjaan soal fisika materi Pesawat

Sederhana yaitu kesalahan terjemahan 8,42%; kesalahan strategi 8,42%; kesalahan konsep

14,74%; kesalahan hitung 2,1%; dan tidak diketahuinya kesalahan akibat tidak diresponnya soal

2,1 %. Kesalahan strategi berkaitan dengan kesalahan konsep. Saat terdapat kesalahan strategi,

diawali dengan adanya kesalahan konsep. Selain itu, banyak ditemukan dalam proses pengerjaan

soal tidak menyertakan satuan.

Berdasarkan hasil penelitin ini, kesalahan hitung merupakan kesalahan terendah yang ditemukan

pada lembar jawaban soal fisika kelima narasumber. Akan tetapi, pentingnya kita untuk

meningkatkan kemampuan matematis dikarenakan matematika merupakan alat untuk

menyelesaikan soal-soal fisika. Dengan meningkatkan kemampuan matematis, akan

meningkatkan kemampuan bernalar yang diperlukan dalam penyelesaian soal fisika.

Menurut Wardoyo dkk. dalam Mulyadi (2013),pelajaran fisika berhubungan langsung dengan

matematika, dimana setiap permasalahan fisika dapat diselesaikan dengan cara matematis dan

matematika memegang peran utama, selain kemampuannya untuk memecahkan masalah fisika

dari yang sederhana sampai bentuk yang paling rumit, matematika sangat membantu penalaran

seseorang dalam menelusuri liku-liku fisika yang ternyata tidak mudah. Dengan didukung

kemampuan matematis yang dimiliki, peserta didik dilatih untuk mengembangkan kemampuan

Page 128: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

122

berpikir dan bernalar yang taat asas, serta kemampuan berpikir dan bernalar ini dialihkan melalui

pengelolaan data yang akurat, yang kebenarannya tidak diragukan lagi (Depdiknas dalam Hartati,

2010).Mata pelajaran fisika menjadi sesuatu yang ditakuti karena hubungan erat dengan

matematika. Kemampuan matematis yang lemah secara otomatis akan mengalami kesulitan

dalam memahami fisika, karena sebagian besar penyelesaian soal-soal fisika dilakukan dengan

konsep matematika.

Berdasarkan lembar jawaban soal fisika materi Pesawat Sederhana kelima narasumber dan hasil

wawancara, kesulitan yang dialami mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas

Cenderawasih dalam mengerjakan soal fisika materi Pesawat Sederhana yaitu, tidak dapat

menerjemahkan soal yang mengakibatkan tidak bisa menuliskan apa yang diketahui dan ditanya,

tidak mampu menerapkan konsep dan rumus yang tepat dalam menyelesaikan soal terlebih jika

terdapat pengecoh pada soal, tidak dapat melaksanakan proses perhitungan secara benar, serta

tidak mengecek jawaban kembali saat mereka mengerjakan soal tersebut.

Menurut Lerner dalam Sari (2013), beberapa kekeliruan umum yang dilakukan adalah

kekurangan pemahaman tentang simbol, nilai tempat, perhitungan, penggunaan proses yang

keliru, dantulisan yang tidak terbaca.

Hasil penelitian tersebut mendukung hasil penelitian Istrada (2013) yang menyatakan bahwa

faktor dari dalam diri yang menyebabkan kesulitan dalam memahami suatu materi dalam Fisika

yaitu kesulitan memahami konsep, menelaah rumus yang sulit dipahami, kesulitan dalam

menerapkan rumus, dan operasi matematika.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1) Mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas Cenderawasih sebagian besar

sudah memahami tentang materi bilangan bulat tetapi beberapa mahasiswa masih perlu

belajar lagi pada materi operasi hitung pecahan.

2) Berdasarkan analisis lembar jawaban soal Matematika kelima narasumber tersebut,

ditemukan 6,67% kesalahan konsep yang diakibatkan tidak memahami suatu konsep;

9,33% kesalahan hitung sebagai akibat kecerobohan dalam melakukan perhitungan; dan

0% kesalahan acak sebagai akibat ketidakpahaman terhadap soal.

3) Berdasarkan analisis lembar jawaban kelima narasumber dalam menjawab soal fisika

materi Pesawat Sederhana, mahasiswa Pendidikan Fisika angkatan 2017 Universitas

Cenderawasih memahami konsep pengertian dan contoh Pesawat Sederhana. Tetapi,

harus belajar lagi pada konsep yang menggunakan rumus. Diakui oleh narasumber,

kesalahan pada konsep atau rumus pada materi Pesawat Sederhana sebagai akibat dari

lupa, tidak pernah diajarkan, dan miskonsepsi.

4) Jenis kesalahan yang ditemukan dalam pengerjaan soal fisika materi Pesawat Sederhana

yaitu kesalahan terjemahan 8,42%; kesalahan strategi 8,42%; kesalahan konsep 14,74%;

kesalahan hitung 2,1%; dan tidak diketahuinya kesalahan akibat tidak diresponnya soal

2,1 %. Kesalahan strategi berkaitan dengan kesalahan konsep. Saat terdapat kesalahan

strategi diawali dengan adanya kesalahan konsep.

5) Kesulitan yang dialami dalam pengerjaan soal fisika materi Pesawat Sederhana yaitu

tidak dapat menerjemahkan soal, tidak mampu menerapkan konsep dan rumus, tidak

melakukan perhitungan dengan benar dan tidak mengecek jawaban sebelum

dikumpulkan.

Page 129: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

123

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aziszah, N. (2015). Analisis Miskonsepsi Siswa Kelas XI Bangunan 2a dalam

Menyelesaikan Soal Cerita pada Pokok Bahasan Permutasi dan Kombinasi di SMK Negeri

3 JayapuraTahun Ajaran 2014/2015. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Skripsi.

[2] Hartati, B. (2010). Pengembangan Alat Peraga Gaya Gesek untuk Meningkatkan

Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMA.Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia.Hal. 128-

132.

[3] Istrada, E. (2013). Deskripsi Pemahaman Konsep, Cara Belajar dan Faktor-Faktor

Penyebab Kesulitan Memahami Konsep pada Materi Cahaya di Kelas VIII di SMP

Pembangunan V Yapis Waena. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Skripsi.

[4] Kereh, C. T., dkk. (2014). Korelasi Penguasaan Materi Matematika Dasar dengan

Penguasaan Materi Pendahuluan Fisika Inti..Vol. 10. No. 2. Hal. 140-149.

[5] Lubis, I. S. (2009). Tingkatan Pemahaman Mahasiswa pada Konsep Fisika. Media

Infotama. Vol. 4. No. 8. Hal. 14-22.

[6] Mulyadi. (2013). Pengaruh Pemahaman Konsep Matematika (Operasi Hitung) terhadap

Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas VIII B SMA MUHAMMADIYAH Kota Jayapura Tahun

2012-2013 pada Pokok Bahasan Cahaya. Jayapura: Universitas Cenderawasih. Skripsi.

[7] Rizal, M. (2014). Pengaruh Pembelajaran Inkuiri Terbimbing dengan Multi Representasi

terhadap Keterampilan Proses Sains dan Penguasaan Konsep IPA Siswa SMP. Jurnal

Pendidikan Sains. Vol. 2. No. 3. Hal. 159-165.

[8] Sari, D. M., dkk. (2013). Analisis Kesalahan dalam Menyelesaikan Soal Materi

Termodinamika pada Siswa SMA. Jurnal Materi dan Pembelajaran Fisika (JMPF). Vol. 3.

N0. 1. Hal. 5-8.

[9] Sudjana N. (2014). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru

Algesindo.

[10] Wardani, I. K. (2016). Pengaruh Pemahaman Konsep Matematika Vektor Mahasiswa

FMIPA UNIPDU terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika Mekanika. Jurnal

Pedagogi A.Vol. 5. No. 2. Hal. 215-224.

Page 130: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

124

KETERLAKSANAAN MENGAJARKAN ASPEK MENELITI

DALAM PEMBELAJARAN FISIKA KELAS XI SMA YPPK

TERUNA BHAKTI HUBUNGANNYA DENGAN GURU

TERSERTIFIKASI

Florentina Maria Panda1 dan Albert Lumbu2

Program Studi P. Fisika, Jurusan PMIPA, FKIP, Universitas Cenderawasih1,2

email : [email protected]

email : [email protected]

Abstrak. Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian

ini adalah mengetahui dan mendeskripsikan tingkat keterlaksanaan aspek meneliti dalam

pembelajaran Fisika Kelas XI baik melalui metode observasi, metode demonstrasi maupun

eksperimen hubungannya dengan guru telah disertifikasi.Penelitian ini merupakan jenis penelitian

evaluasi dengan menggunakan metode kuantitatif. Populasi penelitian ini adalah seluruh Siswa

Kelas XI IPA 3 dan 4 SMA YPPK Teruna Bakti. Pada penelitian ini menggunakan metode sensus.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model

triangulasi yakni melalui kuesioner, observasi, dan penilaian dokumen.Penelitian yang telah

dilakukan dengan hasil penelitian ditemukan berdasarkan rekapan hasil kuesioner guru, observasi,

dan penilaian dokumen diperoleh bahwa keterlaksanaan aspek meneliti mulai dari tahap

perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan yaitu kuisioner memiliki skor 71 dalam kriteria guru

melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan perencanaan pembelajaran; observasi memilik skor

68 dengan kriteria guru melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan pelaksanaan di kelas, dan

penilaian dokumen memiliki skor 65 dengan kriteria guru melaksanakan aspek meneliti sesuai

dengan RPP.

Kata Kunci : Keterlaksanaan, Aspek Meneliti, Guru Tersertifikasi

1. PENDAHULUAN

Sains (IPA) merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis, dan dalam

penggunaannya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam. Hakikat IPA meliputi empat

unsur, yaitu (1) sikap meliputi rasa ingin tahu tentang benda, fenomena alam, makhluk hidup,

serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui

prosedur yang benar, (2) proses mencakup prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah;

metode ilmiah meliputi penyusunan hipotesis, perancangan eksperimen atau percobaan, evaluasi,

pengukuran, dan penarikan kesimpulan, (3) produk berupa fakta, prinsip, teori, dan hukum, (4)

aplikasi yang berkaitan dengan penerapan metode ilmiah dan konsep IPA dalam kehidupan

sehari-hari.

IPA merupakan ilmu yang pada awalnya diperoleh dan dikembangkan berdasarkan percobaan

(induktif) namun pada perkembangan selanjutnya sains juga diperoleh dan dikembangkan

berdasarkan teori (deduktif). Kajian IPA berkaitan dengan cara mencari tahu tentang fenomena

alam secara sistematis, sehingga IPA bukan semata-mata penguasaan kumpulan pengetahuan

yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu

proses penemuan. Ada dua hal yang berkaitan dengan IPA yang tidak terpisahkan, yaitu IPA

sebagai produk yaitu pengetahuan IPA yang berupa pengetahuan faktual, konseptual, prosedural,

metakognitif, dan IPA sebagai proses yaitu kerja ilmiah. Produk maupun proses sains, keduanya

Page 131: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

125

merupakan objek kajian IPA. Fisika merupakan salah satu cabang IPA yang mendasari

perkembangan teknologi maju dan konsep hidup harmonis dengan alam. Sebagai ilmu yang

mempelajari fenomena alam, fisika juga memberikan pelajaran yang baik kepada manusia untuk

hidup selaras berdasarkan hukum alam. Karakter fisika terbagi menjadi empat yaitu empiris,

rasional, probabilitas dan relativistik. Dalam pembelajaran fisika SMA di kelas atau laboratorium

rata-rata guru menggunakan karakter fisika yang bersifat empiris.

Pembelajaran fisika dapat menciptakan kondisi tercapainya hasil pemahaman konsep dan

komponen proses keilmuan fisika yang berkaitan dengan prosedur pemecahan masalah melalui

metode ilmiah. Menurut Kindsvatter, Wilen, & Ishler (Paul Suparno, 2006: 95) model inquiry

secara sederhana dapat dijelaskan sebagai model pengajaran yang menggunakan proses sebagai

berkut: (1) indentifikasi persoalan, (2) membuat hipotesis, (3) mengumpulkan data, (4) mengalisis

data dan (5) mengambil kesimpulan. Dari langkah-langkah tersebut jelas bahwa model inquiry

menggunakan prinsip metode ilmiah atau saintifik dalam menemukan prinsip, hukum, ataupun

teori. Terkait dengan kegiatan pembelajaran IPA, menurut Funk (Dimyati & Mudjiono, 2009:

140), membagi proses sains menjadi 16 proses sains yang selanjutnya disebut keterampilan proses

sains.

Sesuai dengan Permen No. 23 Tahun 2006a tentang Standar Kompetensi Lulusan khusus mata

pelajaran fisika salah satunya dituntut agar siswa melakukan percobaan, antara lain merumuskan

masalah, mengajukan dan menguji hipotesis, menentukan variabel, merancang dan merakit

instrumen, mengumpulkan, mengolah dan menafsirkan data, menarik kesimpulan, serta

mengkomunikasikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. Kegiatan eksperimen dan observasi

untuk siswa SMA merupakan metode yang digunakan untuk membentuk keterampilan proses

terintegrasi yang dilakukan untuk menemukan suatu konsep atau prinsip baru bagi siswa yang

didasarkan pada konsep atau prinsip yang telah ada dan dirumuskan oleh para ahli.

Berdasarkan uraian di atas mengajarkan aspek penelitian merupakan tuntutan kurikulum sehingga

merupakan bagian program yang penting di evaluasi keterlaksanaannya, maka perlu dilakukan

penelitian secara mendalam dan terfokus mengenai bagaimana keterlaksanaan kegiatan

mengajarkan aspek penelitian sebagai bentuk aktivitas dalam pembelajaran fisika kelas XI SMA

YPPK Teruna Bhakti hubungannya dengan guru telah tersertifikasi. Disamping itu penelitian ini

untuk mengungkap dan mengetahui lebih jauh tentang keterlaksanaan mengajarkan aspek

penelitian dalam pembelajaran fisika dalam memberikan pengaruh secara langsung terhadap

efektivitas kerja individual.

Sesuai dengan fokus penelitian yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah

mengetahui dan mendeskripsikan tingkat keterlaksanaan aspek meneliti dalam pembelajaran

Fisika Kelas XI baik melalui metode observasi, metode demonstrasi maupun eksperimen

hubungannya dengan guru telah disertifikasi.

2. METODE

Penelitian ini merupakan jenis penelitian evaluasi dengan menggunakan metode kuantitatif.

Model evaluasi yang digunakan yaitu evaluasi model Discrepancy yang akan ditekankan untuk

mengetahui kesenjangan yang terjadi pada setiap komponen program. Evaluasi kesenjangan

dimaksudkan untuk mengetahui tingkat kesesuaian antara standar yang sudah ditentukan dalam

program dengan penampilan aktual dari program tersebut.

Penelitian yang akan dilakukan untuk mengukur antara standar aspek meneliti yang dibuat oleh

pakar dengan implementasi di sekolah, mengetahui kelemahan aspek meneliti yang belum

terlaksana dan memberi rekomendasi untuk upaya-upaya perbaikan bagi SMA YPPK Teruna

Bhakti. Populasi penelitian ini adalah seluruh Siswa Kelas XI IPA 3 dan 4 SMA YPPK Teruna

Bakti. Pada penelitian ini menggunakan metode sensus. Teknik pengumpulan data yang

Page 132: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

126

Perencana

an;

26,33%

Pelaksana

an;

32,00%

Pelaporan;

6,67%

0,00%

20,00%

40,00%

digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan model triangulasi yakni melalui kuesioner,

observasi, dan penilaian dokumen.

Penelitian evaluasi ini bersifat deskriptif kuantitatif dan kualitatif yang bertujuan memberikan

gambaran realitas tentang pelaksanaan pembelajaran mata pelajaran Fisika Kelas XI pada jenjang

SMA YPPK Teruna Bhakti hubungannya dengan guru yang terlah disertifikasi dilihat dari aspek

guru dengan menerapkan konsep teori yang telah dikembangkan terhadap hal-hal yang dievaluasi.

Semua data yang dikumpulkan dari kuesioner, observasi, dan penilaian dokumen dianalisis

dengan menggunakan skor kriteria kemudian dideskripsikan dan diambil kesimpulan tentang

masing-masing komponen atas dasar kriteria yang telah ditentukan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

a. Kuesioner

1) Persepsi Guru Tersertifikasi

Persepsi Guru dapat dilihat dari hasil kuesioner guru yang digunakan untuk mengungkap persepsi

guru terhadap keterlaksanaan pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas

XI di SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura yang terdiri dari Perencanaan (8 pernyataan),

Pelaksanaan (10 pernyataan), dan Pelaporan (2 pernyataan) dari satu orang guru Fisika yang telah

disertifikasi adalah sebagai berikut:

Tabel 1 Persepsi Guru Tersertifikasi Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti

Skor Persepsi Guru

Tersertifikasi

Aspek Meneliti

Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan

Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)

5 Dilakukan hampir selalu

pada tiap KD 5 13 % 5 10 % 0 0 %

4 Dilakukan pada

sebagian besar KD 16 40 % 16 32% 4 40 %

3 Dilakukan pada sebagian

kecil KD 6 15 % 12 24% 3 20%

2 Dilakukan hanya pada 1

atau 2 KD 2 5% 2 4% 0 0 %

1 Belum pernah dilakukan 0 0% 0 0 % 0 0 %

Jumlah dan Persentase dari

seluruh tahapan (0 – 100) 29 29 % 35 35% 7 7 %

Total Keseluruhan Tahapan 71

Kriteria Keterlaksanaan Sesuai dengan Perencanaan Pembelajaran (RPP)

Persepsi Guru Tersertifikasi terhadap keterlaksanaan Aspek Meneliti pada tabel 3ditemukan

bahwa pada tahap perencanaan memiliki kontribusi 29%, pada tahap pelaksanaan memiliki

kontribusi 35%, dan tahap pelaporan memiliki kontribusi 7%, sehingga keterlaksanaan aspek

meneliti memiliki skor sebesar 71 dengan kriteria keterlaksanaan sesuai dengan perencanaan

pembelajaran (RPP). Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1 Persentase Hasil Kuesioner Guru

Page 133: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

127

Perencanaan

; 32,85%

Pelaksanaan

; 40,64%

Pelaporan;

8,09%

0,00%

10,00%

20,00%

30,00%

40,00%

50,00%

2) Persepsi Peserta Didik

Hasil kuesioner mengenai persepsi peserta didik dapat dilihat terhadap keterlaksanaan

pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas XI di SMA YPPK Teruna

Bhakti Jayapura, yang terdiri dari Perencanaan (8 pernyataan), Pelaksanaan (10 pernyataan), dan

Pelaporan (2 pernyataan) yang diambil dari 53 peserta didik adalah sebagai berikut:

Tabel 2 Persepsi Peserta Didik Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti

Skor Persepsi Peserta Didik

Aspek Meneliti

Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan

Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)

5 Hampir selalu dilakukan

pada tiap pokok bahasan 805 37,97% 1020 38,49% 190 35,85%

4 Dilakukan pada sebagian

besar pokok bahasan 656 30,94% 796 30,04% 152 28,68%

3 Dilakukan pada sebagian

kecil pokok bahasan 252 11,89% 300 11,32% 81 15,28%

2 Hanya dilakukan pada 1

atau 2 pokok bahasan 26 1,23% 22 0,83% 6 1,13%

1 Belum pernah dilakukan 2 0,09% 16 0,60% 0 0 %

Jumlah dan Persentase dari

seluruh tahapan (0 – 100) 1741 32,85% 2154 40,64% 429 8,09%

Total Keseluruhan Tahapan 4324 : 53 siswa = 81,58

Kriteria Keterlaksanaan Sangat Sesuai dengan Perencanaan Pembelajaran (RPP)

Persepsi peserta didik terhadap keterlaksanaan Aspek Meneliti pada tabel 4ditemukan bahwa

pada tahap perencanaan memiliki kontribusi 32,85%, pada tahap pelaksanaan memiliki kontribusi

40,64%, dan tahap pelaporan memiliki kontribusi 8,09%, sehingga keterlaksanaan aspek meneliti

memiliki skor sebesar 81,58 dengan kriteria keterlaksanaan sangat sesuai dengan perencanaan

pembelajaran (RPP). Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2 Persentase Hasil Kuesioner Peserta Didik

b. Observasi

Hasil observasi oleh tiga (3) observer dilakukan di SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura yang

digunakan untuk mengungkap kesesuaaian antara persepsi guru dan siswa terhadap

keterlaksanaan pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas XI dari tiga (3)

orang observer adalah sebagai berikut:

Page 134: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

128

Perencanaa

n; 26,33%

Pelaksanaa

n; 32,00%

Pelaporan;

6,67%

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

30,00%

35,00%

Tabel 3 Hasil Observasi Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti

No. Kategori Hasil Observasi

Aspek Meneliti (oleh 3 Observer)

Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan

Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)

5 Sangat sesuai dengan RPP

(SS) 25 20,83% 30 20,00% 5 16,67%

4 Sesuai dengan RPP (S) 28 23,33% 40 26,67% 8 26,67%

3 Cukup sesuai dengan RPP

(CS) 18 15,00% 21 14,00% 6 20,00%

2 Tidak sesuai sesuai dengan

RPP (TS) 8 6,67% 8 5,33% 2 6,67%

1 Sangat tidak sesuai dengan

RPP (STS) 2 1,67% 3 2,00% 0 0,00%

Jumlah dan Persentase dari

seluruh tahapan (0 – 100) 81 27,00% 102 34,00% 21 7,00%

Total Keseluruhan Tahapan 204 : 3 observer = 68

Kriteria Keterlaksanaan Sesuai dengan Pelaksanaan Pembelajaran di Kelas

Pada tabel 5 hasil observasi terhadap keterlaksanaan aspek meneliti ditemukan bahwa pada tahap

perencanaan memiliki kontribusi 27%, pada tahap pelaksanaan memiliki kontribusi 34%, dan

tahap pelaporan memiliki kontribusi 7%, sehingga keterlaksanaan aspek meneliti memiliki skor

sebesar 68 dengan kriteria keterlaksanaan sesuai dengan perencanaan pembelajaran (RPP).

Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 3 Persentase Hasil Observasi

c. Penilaian Dokumen

Penilaian Dokumen dilakukan oleh tiga (3) observer di SMA YPPK Teruna Bhakti Jayapura, data

tersebut digunakan untuk melihat kesesuaaian antara persepsi guru dan siswa terhadap

keterlaksanaan pembelajaran aspek penelitian dalam pembelajaran fisika di kelas XI yang terdiri

dari tiga (3) orang observer, data penilaian dokumen tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 4 Hasil Penilaian Dokumen Terhadap Keterlaksanaan Aspek Meneliti

Skor Kategori Hasil

Penilaian Dokumen

Aspek Meneliti (oleh 3 Observer)

Perencanaan Pelaksanaan Pelaporan

Jmlh (%) Jmlh (%) Jmlh (%)

5

Hampir selalu

ditercantum pada tiap

pokok bahasan

20 16,67% 20 13,33% 0 00,00%

Page 135: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

129

Perencanaan;

26,33%

Pelaksanaan;

32,00%

Pelaporan;

6,67%

0,00%

5,00%

10,00%

15,00%

20,00%

25,00%

30,00%

35,00%

4

Tercantum pada

sebagian besar pokok

bahasan

32 26,67% 44 29,33% 12 40,00%

3

Dilakukan pada

sebagian kecil pokok

bahasan

18 15,00% 18 12,00% 6 20,00%

2 Hanya dilakukan pada 1

atau 2 pokok bahasan 6 5,00% 10 6,67% 2 6,67%

1 Belum pernah

dilakukan 3 2,50% 4 2,67% 0 0,00%

Jumlah dan Persentase dari

seluruh tahapan (0 – 100) 79 26,33% 96 32% 20 6,67%

Total Keseluruhan Tahapan 195 : 3 Penilai = 65

Kriteria Keterlaksanaan Sesuai dengan Perencanaan Pembelajaran (RPP)

Pada tabel 4 hasil penilaian dokumen terhadap keterlaksanaan aspek meneliti ditemukan bahwa

pada tahap perencanaan memiliki kontribusi 26,33%, pada tahap pelaksanaan memiliki kontribusi

32%, dan tahap pelaporan memiliki kontribusi 6,67%, sehingga keterlaksanaan aspek meneliti

memiliki skor sebesar 65 dengan kriteria keterlaksanaan sesuai dengan perencanaan pembelajaran

(RPP). Keterlaksanakan tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 4 Persentase Hasil Penilaian Dokumen

3.2. Pembahasan

Sesuai dengan tujuan penelitian pada bab pendahuluan dan hasil penelitian diatas, maka ruang

lingkup pembahasan pada penelitian ini mengenai keterlaksanaan aspek meneliti dalam

pembelajaran Fisika Kelas XI baik melalui metode observasi, metode demonstrasi maupun

eksperimen hubungannya dengan guru telah disertifikasi yang ditinjau dari hasil kuesioner guru

& peserta didik, observasi, dan penilaian dokumenterdiridari tahap: (1) Perencanaan, (2)

Pelaksanaan, dan (3) Pelaporan, pembahasan secara lengkap adalah sebagai berikut:

a. Keterlaksanaan Perencanaan Aspek Meneliti

Aspek penelitian pada tahap perencanaan seperti Tabel 1, 2, 3, dan 4 ditemukan bahwa persentase

keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap perencanaan ditinjau dari persepsi guru

dan persepsi peserta didik adalah 29% dan 32,85% guru hampir selalu mengajarkan tahap

perencanaan. Dari persentase terbesar keterlaksanaan aspek penelitian pada tahap perencanaan

menurut persepsi guru dan persepsi peserta didik ada kecocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa

guru hampir selalu mengajarkan aspek penelitian pada tahap perencanaan pada pembelajaran

fisika di kelas XI SMAYPPK Taruna Bhakti.Berdasarkan kecocokan antara persepsi guru dan

peserta didik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu didukung dengan data observasi

dan penilaian dokumenketerlaksanaan di sekolah. Persentase keterlaksanaan mengajarkan aspek

Page 136: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

130

penelitian pada tahap perencanaan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan penilaian dokumen

secara berturut-turut adalah 29% (hampir selalu mengajarkan), 27% (sesuai dengan RPP), dan

26,33% (tercantum pada sebagian besar pokok bahasan). Secara keseluruhan dari data di atas,

maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap

perencanaan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan penilaian dokumen dapat dikatakan sudah

dilakukan namun perlu tingkatkan agar dapat mengurangi kesenjangan.

b. Keterlaksanaan Pelaksanaan Aspek Meneliti

Pada tabel 1, 2, 3, dan 4 yang merupakan hasil penelitian mengenai aspek penelitian pada tahap

perencanaan ditemukan bahwa persentase keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada

tahap pelaksanaan ditinjau dari persepsi guru dan persepsi peserta didik adalah 35% dan 40,64%

guru mengajarkan pada sebagian besartahap pelaksanaan. Dari persentase terbesar keterlaksanaan

aspek penelitian pada tahap pelaksanaanmenurut persepsi guru dan persepsi peserta didik ada

kecocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa guru mengajarkan aspek penelitian pada sebagain

besar tahap pelaksanaan pembelajaran fisika di kelas XI SMAYPPK Taruna Bhakti. Berdasarkan

kecocokan antara persepsi guru dan peserta didik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu

didukung dengan data observasi dan penilaian dokumen keterlaksanaan di sekolah. Persentase

keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap pelaksanaan ditinjau dari persepsi guru,

observasi, dan penilaian dokumen secara berturut-turut adalah 35% (sebagian besar

mengajarkan), 26,67% (sesuai dengan RPP), dan 13,33% (tercantum pada sebagian besar pokok

bahasan). Secara keseluruhan dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan

mengajarkan aspek penelitian pada tahap pelaksanaan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan

penilaian dokumen dapat dikatakan sudah dilakukan namun perlu tingkatkan agar dapat

mengurangi kesenjangan.

c. Keterlaksanaan Pelaporan Aspek Meneliti

Hasil penelitian mengenai aspek penelitian pada tabel 1, 2, 3, dan 4 yang tercantum tahap

pelaporan ditemukan bahwa persentase keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap

pelaporan ditinjau dari persepsi guru dan persepsi peserta didik adalah 7% dan 8,09% guru

mengajarkan pada sebagian besar tahap pelaporan. Dari persentase terbesar keterlaksanaan aspek

penelitian pada tahap pelaksanaan menurut persepsi guru dan persepsi peserta didik ada

kecocokan, sehingga dapat dikatakan bahwa guru mengajarkan aspek penelitian pada sebagain

besar tahap pelaporan pembelajaran fisika di kelas XI SMAYPPK Taruna Bhakti. Berdasarkan

kecocokan antara persepsi guru dan peserta didik seperti yang telah dijelaskan di atas, maka perlu

didukung dengan data observasi dan penilaian dokumen keterlaksanaan di sekolah. Persentase

keterlaksanaan mengajarkan aspek penelitian pada tahap pelaporan ditinjau dari persepsi guru,

observasi, dan penilaian dokumen secara berturut-turut adalah 7% (sebagian besar mengajarkan),

7% (sesuai dengan RPP), dan 6,67% (tercantum pada sebagian besar pokok bahasan). Secara

keseluruhan dari data di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan mengajarkan aspek

penelitian pada tahap pelaporan ditinjau dari persepsi guru, observasi, dan penilaian dokumen

dapat dikatakan sudah dilakukan namun perlu tingkatkan agar dapat mengurangi kesenjangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa keterlaksanaan membelajarakan aspek

penelitian pada tahap perencanaan dan pelaksanaan sudah terlaksana, seangkan pada tahap

pelaporan masih kurang dilakukan. Selain itu juga terlihat dari metode belajar yang digunakan

oleh guru, ditemukan bahwa hampir seluruh guru menggunakan motode pembelajaran inkuiri dan

eksperimen pada sebagian besar KD, terlihat juga dari langkah-langkah pembelajaran yang

dilakukan guru, serta Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibuat oleh guru sebagai bahan bagi

peserta didik untuk membuat laporan. Sesuai dengan pendapat Carin & Sund (1989:6) bahwa

pembelajaran sains adalah pembelajaran untuk mengenalkan kepada peserta didik bagaimana para

saintis menemukan konsep baru dengan melakukan investigasi baru terhadap fenomena alam

menggunakan proses ilmiah berlandaskan pada sikap ilmiah. Berdasarkan pendapat diatas, maka

menurut Trowbrigde dan Bybee (Suparno, 2006:65) secara umum inquiry adalah proses di mana

Page 137: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

131

saintis mengajukan pertanyaan tentang alam dunia ini dan bagaimana mereka secara sistematis

mencari jawabannya.

4. KESIMPULAN

Penelitian yang telah dilakukan dengan hasil penelitian dan pembahasan pada bab IV, maka dapat

disimpulkan bahwa berdasarkan rekapan hasil kuesioner guru, observasi, dan penilaian dokumen

diperoleh bahwa keterlaksanaan aspek meneliti mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, dan

pelaporan yaitu kuisioner memiliki skor 71 dalam kriteria guru melaksanakan aspek meneliti

sesuai dengan perencanaan pembelajaran; observasi memilik skor 68 dengan kriteria guru

melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan pelaksanaan di kelas, dan penilaian dokumen

memiliki skor 65 dengan kriteria guru melaksanakan aspek meneliti sesuai dengan RPP.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bambang Subali. (2009). Pengukuran Ketrampilan Proses Sains Pola Divergen dalam

Mapel Biologi SMA di Provinsi DIY dan Jawa Tengah. Disertasi doktor, tidak diterbitkan,

Universitas Negeri Yogyakarta.

[2] Bambang Subali & Das Salirawati. (2009). Kesesuaian Standar Kompetensi dan Kompetensi

Dasar Mata Pelajaran IPA untuk Pengembangan Ideational Learning pada SMP RSBI Kelas

VIII di Provinsi DIY. Jurnal Cakrawala Pendidikan

[3] Depdiknas. (2006). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23, Tahun 2006,

tentang Standar Kompetensi Lulusan.

[4] Dimyati & Mujiono. (2009). Belajar dan Pembelajaran. Cetakan Kedua. Jakarta: PT Rineka

Cipta, Departemen Pendidikan dan Kebudayan RI.

[5] Trowbridge, & Bybee, Rodger W. 2000. Becoming a Seconddary School Science Teacher.

Ohio: Merill.

Page 138: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

132

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN SAINS TEKNOLOGI

MASYARAKAT (STM) UNTUK MENINGKATKAN PENGUASAAN

KONSEP SISWA KELAS VIII SMP MUHAMMADIYAH

JAYAPURA PADA MATERI TEKANAN

Maya Pujowati1, Albert Lumbu2, dan Triwiyono3

Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Cenderawasih1,2,3

e-mail: [email protected]

e-mail:[email protected]

e-mail:[email protected]

Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk (1) meningkatkan penguasaan konsep siswa dengan

menerapkan model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM). (2) mengetahui perbedaan

peningkatan penguasaan konsep antara siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran Sains

Teknologi Masyarakat (STM) dan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung.

Metode yang digunakan adalah quasi experimental design dan bentuk desainnya adalah

nonequivalent control groups pretest-posttest experimental design, pada kelas eksperimen siswa

diajarkan dengan model pembelajaran STM dan pada kelas control siswa diajarkan dengan

pembeljaran langsung. Populasi berjumlah 143 siswa yaitu kelas VIII semester II SMP

Muhammadiyah Jayapura Tahun Ajaran 2015/2016. Sampel diambil dengan teknik non

probability sampling dengan cara purposive sampling. Sampel terdiri dari 58 siswa. Data

penguasaan konsep siswa dikumpulkan melalui pre-test dan post-test. Untuk mengetahui

peningkatan penguasaan konsep siswa digunakan analisis N-Gain. Analisi uji beda digunakan

untuk melihat perbedaan penguasaan konsep siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran

STM dan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: (1) penerapan model pembelajaran STM dapat meningkatkan penguasaan

konsep siswa. N-Gain siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran STM sebesar 0,56 lebih

tinggi dibandingkan dengan siswa yang diajarkan dengan pembelajaran langsung yaitu 0,39. (2)

terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep yang signifikan antara yang diajarkan dengan

model pembelajaran STM dan siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran langsung.

Kata kunci: Model pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM), penguasaan konsep,

tekanan.

1. PENDAHULUAN

Pendidikan adalah salah satu hal yang sangat penting di dalam perkembangan sebuah masyarakat.

Pendidikan merupakan fungsi terpenting dalam pengembangan pribadi seorang individu dan

pengembangan kebudayaan nasional. Pendidikan yang efektif dan bermutu memiliki peran yang

strategis dalam mewujudkan manusia yang berkualitas.

Perkembangan IPTEK yang sangat pesat mendorong terjadinya perubahan pola pikir manusia.

Dalam hal ini ada beberapa manusia yang mengambil nilai positif dan nilai negatif akan kemajuan

IPTEK. Kemajuan teknologi itu sendiri tak lepas dari perkembangan akan pengetahuan manusia

mengenai apa yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan IPTEK dalam

kehidupan sehari-hari terutama dunia pendidikan khususnya pembelajaran IPA (fisika) sangat

berkaitan sekali. Sebagai contoh banyak sekali alat-alat yang diciptakan karena kemajuan IPTEK

(televisi, radio, hp, dll). Banyaknya alat-alat yang ada dalam kehidupan sehari-hari karena adanya

kemajuan IPTEK perlu diimbangi dengan pengetahuan awal siswa mengenai sains (fisika)

sehingga siswa dapat memahami akan fungsi teknologi. Pada saat ini banyak sekali

Page 139: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

133

penyalahgunaan kemajuan IPTEK yang dilakukan oleh siswa, karena itu diperlukan pengetahuan

awal siswa mengenai sains.

Tidak hanya itu, dalam proses pembelajaranbiasanya guru hanya menjelaskan IPA sebatas produk

(yang sudah ada) dan sedikit proses tanpa pembuktian. Salah satu alasan yang menyebabkan

adalah banyaknya materi yang harus dibahas dan diselesaikan berdasarkan kurikulum yang

berlaku. Padahal, dalam membahas IPA tidak cukup hanya menekankan pada produk, tetapi yang

lebih penting adalah proses untuk membuktikan atau mendapatkan suatu teori atau hukum.Oleh

karena itu, model, metode,pendekatandanalat peraga/praktikum sebagai alat media pendidikan

untuk menjelaskan IPA (fisika) sangat diperlukan.

Perkembangan sains dan teknologi serta perubahan kondisi masyarakat yang sangat pesat ini

mengharuskan para guru meningkatkan kemampuan dan mengembangkan keahliannya. Kini

tugas guru semakin kompleks dan menantang, sehingga selalu dituntut untuk mengembangkan

kemampuannya, baik secara individu maupun kelompok. Tugas utama seorang guru adalah

membantu siswa dalam belajar, yakni berupaya menciptakan situasi dan kondisi yang

memungkinkan terjadinya proses pembelajaran.

Paradigma baru dalam pembelajaran sains adalah pembelajaran dimana siswa tidak hanya dituntut

untuk lebih banyak mempelajari konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains secara verbalistis,

hafalan, pengenalan rumus-rumus, dan pengenalan istilah-istilah melalui serangkaian latihan

secara verbal, namun hendaknya dalam pembelajaran sains, guru lebih banyak memberikan

pengalaman kepada siswa untuk lebih memotivasi siswa agar dapat menggunakan pengetahuan

tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. Namun pada kenyatannya sebagian besar siswa tidak

mampu menghubungkan antara pengetahuan yang didapat dari proses belajar di sekolah dalam

pemanfaatannya di kehidupan nyata. Hal tersebut tentu cenderung membuat siswa malas untuk

berpikir secara maksimal dan membuat siswa terbiasa untuk menggunakan sebagian kecil potensi

yang dimiliknya sehingga penguasaan konsep siswa menjadi rendah. Salah satu dampak dari

rendahnya penguasaan konsep siswa dapat terlihat dari hasil belajar yang belum tercapai. Selain

penguasaan konsep siswa yang rendah,pembelajaran di sekolah masih didominasi dengan

penggunaan pembelajaran langsung. Kegiatan siswa selama pembelajaran berlangsung hanya

mendengarkan penjelasan guru, mencatat hal-hal yang dianggap penting oleh siswa. Tidak jarang

pula, siswa hanya diberi catatan dan latihan soal oleh guru tanpa ada penjelasan mengenai materi

yang diberikan.

Hal ini bisa dilihat dari hasil wawancara penulis dengan seorang guru fisika kelas VIII di SMP

Muhammadiyah Jayapura, bahwa 40% dari seluruh siswa kelas VIII SMP Muhammadiyah

Jayapura pada tahun 2016, hasil fisikanya belum mencapai KKM yang telah ditentukan. Hal ini

disebabkan: 1) dalam proses pembelajaran fisika, guru cenderung berperan aktif dibandingkan

dengan siswa (guru menerapkan model pembelajaran langsung) sehingga membuat siswa menjadi

bosan, 2) rendahnya penguasaan konsep siswa.

Dalam hal ini,salah satu pendekatan pembelajaran dalam IPA (fisika) yaitu Model Pembelajaran

Sains Teknologi Masyarakat (STM). Model Sains Teknologi Masyarakat (STM) merupakan suatu

gerakan reformasi dalam pembelajaran sains di sekolah, sebagai upaya membuat warga negara

melek sains dan teknologi (science and technological literacy) yang telah dimulai sejak dua

decade yang lalu di negara-negara yang telah maju.

Untuk itu pembelajaran sains dengan menggunakan pendekatan pembelajaran yaitu model

pembelajaran STM dapat mengantisipasi beberapa hal pokok dalam membekali peserta didik,

diantaranya: a) menghindari ‘materi oriented’ dalam pendidikan tanpa tahu masalah-masalah di

masyarakat secara lokal, nasional, maupun internasional, b) mempunyai bekal yang cukup bagi

peserta didik untuk menyongsong era globalisasi, c) peserta didik mampu menjawab dan

mengatasi setiap masalah setiap masalah yang berkaitan dengan kelestarian bumi, isu-isu global,

Page 140: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

134

misalnya masalah pencemaran, pengangguran, kerusuhan social, dampak hasil teknologi dan lain-

lainya hingga pada akhirnya bermuara menyelamatkan bumi, dan d) membekali peserta didik

dengan kemampuan memecahkan masalah-masalah dengan penalaran sains, lingkungan,

teknologi, social secara integral, baik di dalam maupun di luar kelas.

2. METODE PENELITIAN

Design yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Quasi-experimental design (eksperimen semu).

Adapun rancangan design yang digunakan adalah Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group

Design. Penelitian ini dilakukan di kelas VIII SMP Muhammadiyah Jayapura pada bulan Januari

sampai Mei tahun ajaran 2015/2016. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kelas VIII SMP

Muhammadiyah Jayapura yang tersebar menjadi lima kelas yaitu VIII A, VIII B, VIII C, VIII D,

dan VIII E dengan jumlah siswa 143 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik Non

probability sampling dengan cara purposive sampling. Sampel penelitian ini diambil 2 kelas yaitu

VIII A yang berjumlah 29 siswa ebagai kelas eksperimen dan kelas VIII D yang berjumlah 29

siswa sebagai kelas konntrol. Jumlah sampel seluruhnya 58 siswa. Variabel bebas dalam

penelitian ini adalah model pembelajaran yang terdiri dari dua dimensi yaitu model pembelajaran

STM yang diterapkan pada kelas eksperimen dan model pembelajaran langsung yang diterapkan

pada kelas kontrol. Variabek terikat dalam penelitian ini adalah penguasaa konsep siswa.Data

yang dicari dalam penelitian ini dikumpulkan dengan tes penguasaan konsep dalam bentuk pilihan

ganda (Multiple choice item test).Adapun uji prasyarat yang harus dilakukan adalah uji validitas

reliabel, uji N-Gain, Uji Normalitas, Uji Homogenitas. Setelah uji prasyarat dilakukan dan jika

hasilnya normal maka dilanjutkan dengan uji T (T-Test),namunjika hasilnya tidak normal maka

menggunakan uji Mann Whithney-U.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Hasil

a. Hasil Analisis N-Gain Penguasaan Tiap Konsep

Dari perhitungan nilai N-Gaindiperoleh nilai N-Gain penguasaan untuk tiap konsep seperti

disajikan pada gambar 1.

Gambar 1. Diagram hasil N-Gain rata-rata PK tiap konsep

Untuk PK Tekanan hidrostatis pada kelas eksperimen nilai N-Gain sebesar 0,47 tergolong

kategori sedang dan N-Gain kelas kontrol sebesar 0,37 tergolong kategori sedang juga. Untuk PK

Hukum Pascal pada kelas eksperimen nilai N-Gain sebesar 0,60 dan pada kelas control sebesar

0,45 tergolong kategori sedang, sedangkan untuk PK Hukum Archimedes pada kelas eksperimen

0,61 dan pada kelas control 0,36 tergolong kategori sedang. Karena N-Gain tiap konsep pada

kelas eksperimen lebih tinggi dibanding pada kelas kontrol, dapat disimpulkan bahwa penguasaan

konsep siswa kelas eksperimen lebih tinggi dibanding penguasaan konsep siswa di kelaskontrol.

b. Hasil Analisis N-Gain Penguasaan Seluruh Konsep

Hasil analisis N-Gain penguasaan seluruh konsep diperoleh dari hasil pengolahan data rata-rata

N-Gain tiap konsep ditunjukkan pada gambar 2.

0

0,2

0,4

0,6

0,8

PK 1 PK 2 PK 3

0,47

0,6 0,61

0,370,45

0,36

N-Gain

PK konsep

Eksperimen

Page 141: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

135

Gambar2. Diagram hasil N-Gain rata-rata PK seluruh konsep

Nilai PK Tekanan pada kelas eksperimen sebesar 0,56 dan pada kelas kontrol sebesar 0,39 dengan

kategori sedang. Dapat disimpulkan bahwa Nilai N-Gain pada kelaseksperimen lebih tinggi

daripada kelas kontrol dengan selisih N-Gain 0,17.

3.2. PEMBAHASAN

a. Pembahasan Hasil Analisis PK N-Gain Tiap Konsep

Konsep Tekanan (Tekanan Hidrostatis)

Di mana nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan

model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 46,25 dan 71,77. Nilai rata-rata

pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran

langsung dengan metode demonstrasi sebesar 45,04 dan 65,22, serta N-Gain untuk siswa yang

diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan siswa yang

diterapkan dengan model langsung dengan metode demonstrasi adalah 0,47 dan 0,37 dengan

kategori sedang.

Konsep Tekanan (Hukum Pascal)

Di mana nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan

model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 31,72 dan 72,59. Nilai rata-rata

pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran

langsung dengan metode demonstrasi sebesar 53,28 dan 74,48, serta N-Gain untuk siswa yang

diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan siswa yang

diterapkan dengan model pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi adalah 0,60 dan

0,45 dengan kategori sedang.

Konsep Tekanan (Hukum Archimedes)

Dimana nilai rata-rata pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan

model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 25,52 dan 71,03. Nilai rata-rata

pretest dan nilai rata-rata posttest untuk siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran

langsung dengan metode demonstrasi sebesar 36,55 dan 59,31, serta N-Gain untuk siswa yang

diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan siswa yang

diterapkan dengan model pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi adalah 0,61 dan

0,36 dengan kategori sedang.Jika ditinjau dari N-Gain setiap konsep tekanan, dapat terlihat bahwa

siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi mengalami

peningkatan konsep yang lebih tinggi dari siswa yang diterapkan dengan model pembelajaran

langsung dengan metode demonstrasi. Namun, tidak selamanya N-Gain untuk setiap konsep

tekanan mengalami peningkatan yang tinggi. Hal ini dapat dilihat di kelas eksperimen pada

konsep hukum Archimedes dimana N-Gain untuk kelas tersebut mengalami peningkatan yang

kecil dibandingkan peningkatan pada konsep hukum Pascal. Hal ini dikarenakan dalam proses

pelaksanaan pembelajaran menggunakan model STM dengan metode demonstrasi pada konsep

hukum Archimedes mengalami beberapa kendala, seperti kurangnya waktu dalam jam pelajaran,

sehingga kegiatan belajar mengajar berjalan kurang efektif. Hal ini sesuai dengan pendapat

0

0,2

0,4

0,6

0,56

0,39

N-Gain

PK Keseluruhan

Eksperimen

Kontrol

Page 142: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

136

Poedjiadi (2010:137) bahwa pembelajaran dengan model STM memerlukan waktu yang lebih

lama bila dibandingkan dengan model pembelajaran yang lain. Selain itu tidak mudah untuk

mencari isu atau masalah pada tahap pendahuluan yang terkait dengan topik yang dibahas atau

dikaji. Hal ini disebabkan karena pembelajaran ini merupakan pembelajaran yang pertama kalinya

bagi siswa, sehingga guru membutuhkan waktu yang lama untuk menjelaskan langkah-langkah

model pembelajaran STM. Serta masih banyak siswa yang belum memahami dengan baik

instruksi yang diberikan oleh guru untuk membangkitkan rasa ingin tahu, kemandirian dan

kreatifitas siswa.

b. Hasil Analisis PK N-Gain Seluruh Konsep

Hal ini dapat dilihat pada gambar 2 diperoleh bahwa penguasaan konsep siswa yang

diajarkan menggunakanmodel pembelajaran STM memiliki peningkatan penguasaan konsep

lebih tinggi dibandingkan siswa yang diajarkan menggunakan pembelajaran langsung. Hasil N-

Gain seluruh konsep pada kelas eksperimen yaitu sebesar 0,56 dan pada kelas kontrol sebesar

0,39. Jadi, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran STM yang dilakukan untuk

membelajarkan siswa pada konsep tekanan lebih efektif jika dibandingkan dengan model

pembelajaran langsung.

c. Hasil Analisis Uji-T PK Tiap Konsep

Tabel 4.1 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas, dan Uji Beda Penguasaan Konsep Tiap

Konsep

Berdasarkan hasil uji beda pada table1 diperoleh bahwa terdapat perbedaan peningkatan

penguasaan konsep siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dengan

penguasaan konsep siswa yang diajarkan denganpembelajaran langsung pada konsep tekanan

hidrostatis. Hal ini ditunjukkan oleh hasil signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,012. Pada

penguasaan konsep hukum Pascal dengan signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,006. Hasil yang

diperoleh menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep siswa yang

diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dengan siswa yang diajarkan dengan model

pembelajaran langsung. Penguasaan konsep siswa pada hukum Archimedes pada materi tekanan

terlihat pula bahwa ada perbedaan peningkatan penguasaan konsep siswa yang diajarkan

menggunakan model pembelajaran langsung. Hal ini ditunjukkan oleh hasil signifikansi < 0,05

yaitu sebesar 0,008. Dimana jika nilai sig. (2-tailed) < 0,05, maka Ho ditolak dan Ha diterima

yang artinya terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep antra siswa yang diajarkan

menggunakan model pembelajaran STM dan siswa yang diajarkan menggunakan model

pembelajaran langsung.

Page 143: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

137

d. Hasil Analisis Uji-T PK Seluruh Konsep

Tabel 2 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas, dan Uji Beda Penguasaan Konsep Seluruh

Konsep

Berdasarkan hasil uji beda pada tabel 2 terlihat bahwa terdapat perbedaan penguasaan konsep

antara siswa yang diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dengan siswa yang

diajarkan dengan model pembelajaran langsung. Hasil uji beda yang diperoleh dengan

signifikansi < 0,05 yaitu sebesar 0,000. Dimana jika nilai sig. (2-tailed) < 0,05, maka Ho ditolak

dan Ha diterima yang artinya terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep antra siswa yang

diajarkan menggunakan model pembelajaran STM dan siswa yang diajarkan menggunakan model

pembelajaran langsung. Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ferdi

Novrizal pada tahun 2010 yang mana hasilnya menunjukkan bahwa terdapat peningkatan

penguasaan konsep fisika dengan menggunakan penerapan model pembelajaran STM yang

ditunjukkan dari thitung sebesar 2,22 ternyata lebih besar dari ttabel sebesar 1,996. Sehingga, dapat

disimpulkan bahwa penguasaan konsep fisika siswa yang diajarkan dengan model STM lebih

tinggi daripada penguasaan konsep fisika siswa yang diajarkan dengan model STM.Hal itu sama

dengan penelitian yang dilakukan oleh Agustini,Suardana, dan Subagia pada tahun 2013

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan peningkatan penguasaan konsep antara siswa yang

mengikuti model pembelajaran STM dan model pembelajaran langsung. Hasil tersebut dapat

dilihat dari nilai Fhitung sebesar 45,940; p< 0,05.

4. KESIMPULAN

Sesuai dengan rumusan masalah dan berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa:

1) Pembelajaran dengan model pembelajaran STM dapat meningkatkan penguasaan konsep siswa

khususnya pada konsep tekanan di kelas VIII SMP Muhammadiyah Jayapura. Peningkatan

penguasaan konsep dapat dilihat dari hasil N-gain siswa yang diajarkan menggunakan model

pembelajaran STM dengan metode demonstrasi sebesar 0,56 dan siswa yang diajarkan

menggunakan model pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi sebesar 0,39. N-Gain

penguasaan konsep pada kedua kelas tersebut tergolong pada kategori sedang, 2) Terdapat

perbedaan penguasaan konsep siswa yang signifikan antara siswa yang diajarkan dengan

pembelajaran menggunakan model pembelajaran STM dengan metode demonstrasi dan

pembelajaran langsung dengan metode demonstrasi, untuk seluruh konsep yang terdiri dari

tekanan hidrostatis, hukum Pascal, serta hukum Archimedes pada materi tekanan. Hal ini dapat

dilihat dari nilai sig.(2-tailed) < 0,05 yaitu sebesar 0,000.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Agustini,Suardana, danSubagia. 2013. Pengaruh ModelPembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) Terhadap Penguasaan Materi dan Keterampilan Pemecahan Masalah

Siswa pada Mata Pelajaran IPA di MTs. Negeri Patas. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28

PM]

[2] Bayu, A I W. 2012. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat (STM)

Terhadap Literasi Sains dan Teknologi Ditinjau dari Gaya Kognitif Siswa. Tesis(tidak

Page 144: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

138

diterbitkan). Singaraja: Pasca sarjana UNDIKSHA. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28 PM]

[3] Hidayat. 2011. Menyusun Skripsi dan Tesis Edisi Revisi. Bandung: Informatika.

[4] Iriyanto, Yuli Sugeng dkk. 2008. Ilmu Pengetahuan Alamjilid 2 untuk SMP dan MTS kelas

VIII (BSE). Jakarta: Pusat perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.

[5] Kanginan, Marthen. 2006. IPA FISIKA untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Penerbit Erlangga.

[6] Kartini, Ni Nyoman, dkk. 2014. Pengaruh Pendekatan Pembelajaran Sains Teknologi

Masyarakat (STM) Terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah dan Sikap Ilmiah Siswa.

[Diakses 17 Agustus 2015 10.23 PM]

[7] Muslich, Masnur. 2009. Bagaimana Menulis Skripsi. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.

[8] Novrizal, F. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat Terhadap

Peningkatan Penguasaan Konsep Fisika Pada Konsep Usaha dan Energi Di SMP Negeri

48 Jakarta Selatan. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. [Diakses

17 Agustus 2015 10.23 PM]

[9] Poedjiaji, A. 2005. Sains teknologi masyarakat: Model Pembelajaran Kontekstual

Bermuatan Nilai. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

[10] Prasodjo, Budi, dkk. 2006. Teori dan Aplikasi Fisika SMP Kelas VIII. Bogor: Penerbit

Yudhistira.

[11] Rahmawati, Lailatul Fikria. Perbedaan Hasil Belajar Fisika Antara Model Pembelajaran

Sains Teknologi Masyarakat dan Model Pembelajaran Direct Instruction Pada Siswa

Kelas X SMA Negeri 1 Palu. Skripsi (tidak diterbitkan). Sulteng: Universitas Tadulako.

[Diakses 9 Januari 2016 9.56 AM]

[12] Rianita. 2010. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat Pada Konsep

Energi Bernuansa Nilai Terhadap Hasil Belajar Siswa. Skripsi (tidak diterbitkan). Jakarta:

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. [Diakses 12 Januari 2015 4.12 PM]

[13] Saiful, Sagala. 2005. Konsep dan Makna Pembelajaran. Bandung: Cv. Alfabeta.

[14] Silaban, Bajongga. 2014. Hubungan Antara Penguasaan Konsep Fisika Dan Kreativitas

Dengan Kemampuan Memecahkan Masala Pada Materi Listrik Statis. Jurnal Penelitian

Bidang Pendidikan Volume 20 No. 1. [Diakses 28 November 2015 12.24 PM]

[15] Sugiyono. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif.

Bandung: Cv. Alfabeta.

[16] ______.2012. Statistik Untuk Penelitian.Bandung: Cv. Alfabeta.

[17] Suryadewi, I.A.P. 2011. Pengaruh Model Pembelajaran Sains Teknologi Masyarakat

Terhadap Keterampilan Berpikir Kreatif dan Kecerdasan Emosional Siswa SMP.

Tesis(tidak diterbitkan). Universitas Pendidikan Ganesha. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28

PM]

[18] Tim Penyusun. Buku PR IPA Terpadu Kelas VIII Semester 2. Intan Pariwara.

[19] Wardani, N.P.S. 2008. Eksperimentasi Pendekatan Sains Teknologi Masyarakat dalam

kaitannya dengan Pencapaian Hasil Belajar Mata Pelajaran Biologi Ditinjau dari

Motivasi Belajara Pada Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Penebel. Jurnal Ilmiah Penelitian

Pendidikan. Universitas Pendidikan Ganesha. [Diakses 31 Agustus 2015 11.28].

Page 145: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

139

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING UNTUK

MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS PESERTA

DIDIK SMP MUHAMMADIYAH JAYAPURA PADA MATERI

TEKANAN ZAT CAIR TAHUN AJARAN 2017/2018

Misda Ramadani1, Paulus G.D Lasmono2, dan Albert Lumbu3

Program Studi Pendidikan Fisika PMIPA FKIP Universitas Cenderawasih1.2.3

e-mail : [email protected]

e-mail : [email protected]

e-mail : [email protected]

Abstrak. Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui (1) peningkatan

kemampuan berpikir kritis antara peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model

PBL dan peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada

materi tekanan zat cair, (2) perbedaanpeningkatan kemampuan berpikir kritis antara peserta didik

yang mendapatkan pembelajaran dengan model PBL dan peserta didik yang mendapatkan

pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada materi tekanan zat cair. Metode

penelitian ini adalah penelitian kuantitatif, dengan quasy experimental. Desain eksperimen yang

digunakan adalah nonequivalen pretest-posttest control group design. Populasi berjumlah 150

peserta didik yaitu kelas VIII semester II SMP Muhammadiyah Jayapura Tahun Ajaran

2017/2018. Sampel yang digunakan adalah kelas VIII A dan VIII B dengan jumlah sampel

sebanyak 60 peserta didik. Pengambilan sampel digunakan teknik non probability sampling

dengan cara purposive sampling. Data kemampuan berpikir kritis dikumpulkan melalui pretest

dan posttest. Penelitian ini menggunakan instrumen tes kemampuan berpikir kritis dalam bentuk

pilihan ganda beralasan yang telah diuji validitas, reliabilitas, taraf kesukaran, dan daya pembeda.

Untuk mengetahui peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik digunakan N-gain.

Untuk melihat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang diajarkan

dengan model PBL dan model kooperatif tipe STAD dilakukan analisis statistik uji beda (uji-t).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) pembelajaran dengan model PBL dapat meningkatkan

kemampuan berpikir kritis peserta didik. Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik

pada kelas eksperimen sebesar 0,61 lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol sebesar 0,46. (2)

terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara peserta didik

yang diajarkan dengan menggunakan model PBL dan peserta didik yang diajarkan dengan

menggunakan model kooperatif tipe STAD pada materi tekanan zat cair yang ditunjukkan nilai

signifikan α < 0,05 yaitu sebesar 0,003.

Kata kunci : PBL, kemampuan berpikir kritis, tekanan zat cair.

1. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan suatu masalah yang sangat menarik untuk dibahas karena melalui

pendidikan diharapkan tujuan pendidikan akan segera tercapai salah satunya untuk meningkatkan

mutu pendidikan. Tujuan pendidikan nasional seperti yang dirumuskan pada Undang-Undang No

20 Tahun 2003 Pasal 3 tentang sistem pendidikan nasional bertujuan untuk mengembangkan

potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis serta bertanggung jawab. Salah satu ilmu yang diajarkan di sekolah pada jenjang

Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah IPA. Proses pembelajaran IPA (fisika) menekankan

pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi peserta didik agar

Page 146: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

140

dapat memahami alam sekitar yang dilakukan secara penelitian ilmiah yang bertujuan

menumbuhkan kemampuan pikir, bekerja, bersikap ilmiah serta mengkomunikasikannya.

Salah satu tujuan pembelajaran IPA adalah mengembangkan kemampuan berpikir. Menurut

Heong, dkk (Kurniawati dkk, 2014, hal. 37) kemampuan berpikir merupakan dasar dalam suatu

proses pembelajaran. Menurut Krulik & Rudnik (Kurniawati dkk, 2014, hal. 37) berpikir kritis

memungkinkan peserta didik untuk menganalisis pikirannya dalam menentukan pilihan dan

menarik kesimpulan dengan cerdas. Kemampuan berpikir kritis merupakan bagian dari

kemampuan berpikir tingkat tinggi. Apabila peserta didik diberi kesempatan untuk menggunakan

pemikiran dalam tingkatan yang lebih tinggi di setiap tingkat kelas, pada akhirnya mereka akan

terbiasa membedakan antara kebenaran dan kebohongan, penampilan dan kenyataan, fakta dan

opini, pengetahuan dan keyakinan. Menurut Ennis (Suryani, 2015, hal. 6) kemampuan berpikir

kritis merupakan cara berpikir reflektif dan beralasan yang difokuskan pada pengambilan

keputusan untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, proses mental ini akan memunculkan

kemampuan berpikir kritis peserta didik untuk dapat menguasai IPA khususnya fisika secara

mendalam. Dalam rangka mewujudkan tujuan pembelajaran IPA (fisika) tersebut, maka

menumbuhkan kemampuan berpikir peserta didik terutama kemampuan berpikir kritis sangat

diperlukan sehingga pemahaman suatu konsep oleh peserta didik tidak hanya berupa hafalan dari

sejumlah konsep yang telah dipelajarinya, tetapi juga dapat menganalisis, mensintesis dan

mengevaluasi.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan beberapa peserta didik di SMP Muhammadiyah

Jayapura ditemukan kendala yaitu (1) peserta didik beranggapan pelajaran IPA (fisika) sebagai

pelajaran yang sulit dan membosankan karena disertakan hitung-hitungan dan penggunaan

rumus-rumus, (2) tingkat pemahaman peserta didik dalam pelajaran IPA (fisika) masih rendah,

(3) dalam pembelajaran guru kurang mengaitkan pelajaran IPA (fisika) dengan praktikum. Dalam

pengamatan peneliti menemukan bahwa kegiatan belajar mengajar masih berpusat pada guru,

rendahnya interaksi yang terjadi antara peserta didik dan guru dalam pembelajaran ditandai dari

kurangnya peserta didik dalam bekerja sama saat kegiatan pembelajaran sehingga peserta didik

kurang semangat dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan dari guru. Hal ini terlihat dari

peserta didik acuh tak acuh mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Dengan masalah ini,

berdampak bahwa peserta didik cenderung kurang aktif dalam kegiatan pembelajaran dimana

peserta didik terbiasamenggunakan sebagian kecil saja dari potensi atau kemampuan pikirnya dan

juga peserta didik malas untuk berpikir mandiri meskipun di sekolah telah diterapkan kurikulum

2013. Padahal seharusnya peserta didik turut menggunakandanmengembangkan kemampuan

berpikir kritis yang dimilikinya dalam menangkap pelajaran agar dapat menghubungkan antara

konsep yang dipelajari dengan situasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Dari permasalahan yang tertera kiranya perlu upaya perbaikan. Untuk itu menggunakan model

pembelajaran yang memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk menemukan sendiri

pengetahuannya serta berperan aktif dalam pembelajaran sehingga mampu memahami konsep

dengan baik, meningkatkan kemampuan berpikir kritisadalah model problem based learning.

Model problem based learning (PBL) sebagai suatu model pembelajaran yang menggunakan

masalah sebagai titik tolak pembelajaran. Menurut Trianto, 2009, hal. 90 model pembelajaran

berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya

permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan

penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata. Dengan menerapkan model PBL pada

pembelajaran IPA (fisika) diharapkan peserta didik akan mampu menggunakan dan

mengembangkan kemampuan berpikir kritis untuk menyelesaikan masalah dengan menggunakan

berbagai strategi penyelesaian dibandingkan model kooperatif tipe STAD. Berikut merupakan

sintaksis model PBL Menurut Arends, 2008, hal. 57 yang disajikan pada tabel 1.

Page 147: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

141

Tabel 1 Sintaksis Model PBL

Fase Perilaku Guru

Fase 1 : Memberikan orientasi tentang

permasalahannya kepada peserta didik

Guru membahas tujuan pelajaran mendeskripsikan

berbagai kebutuhan logistik penting, dan memotivasi

peserta didik untuk terlibat dalam kegiatan mengatasi

masalah

Fase 2 : Mengorganisasikan peserta

didik untuk meneliti

Guru membantu peserta didik untuk mendefiniskan

dan mengorganisasikan tugas-tugas belajar yang

terkait dengan permasalahannya

Fase 3 : Membantu investigasi mandiri

dan kelompok

Guru mendorong peserta didik untuk mendapatkan

informasi yang tepat, melaksanakan eksperimen, dan

mencari penjelasan dan solusi

Fase 4 : Mengembangkan dan

mempresentasikan hasil karya dan

memamerkan

Guru membantu peserta didik dalam merencanakan

dan menyiapkan hasil karya yang tepat, seperti

laporan, rekaman video, dan model-model, dan

membantu mereka untuk menyampaikannya kepada

orang lain

Fase 5 : Menganalisis dan

mengevaluasi proses mengatasi

masalah

Guru membantu peserta didik untuk melakukan

refleksi terhadap investigasinya dan proses-proses

yang mereka gunakan

Pengaplikasian model PBL tugas guru adalah memberikan kasus atau masalah kepada peserta

didik untuk dipecahkan dan dalam pemecahan masalah sebaiknya tidak diberikan bimbingan yang

lebih rinci oleh guru. Guru menghadapkan peserta didik pada persoalan yang harus diselesaikan

baik masalah individu maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-

sama untuk mencapai tujuan pembelajaran. Menurut Martinis dan Bansu (Sari, 2012, hal. 20-21)

penggunaan model PBL digunakan dalam pembelajaran memiliki keunggulan yaitu membantu

peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan baru untuk kepentingan persoalan berikutnya.

Kemudian dapat membantu peserta didik belajar mentrasnsfer pengetahuan mereka ke dalam

persoalan nyata. Pembelajaran berdasarkan masalah dapat mengembangkan keterampilan

berpikir kritis dan membantu peserta didik dalam mengevaluasi pemahamannya. Menurut

Setyorini dkk, 2011 mengenai penerapan model PBL untuk meningkatkan kemampuan berpikir

kritis siswa SMP bahwa penerapan model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis

peserta didik dibanding menggunakan model kooperatif tipe STAD. Hal ini memungkinkan untuk

meningkatkan berpikir kritis peserta didik bukan hanya untuk menghapal konsep maupun rumus

tetapi dapat memahami konsep dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Bertolak dari

uraian diatas maka peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai model PBL untuk melihat

peningkatan kemampuan berpikir kritispeserta didik dan peneliti ingin melihat perbedaan hasil

belajar kemampuan berpikir kritis peserta didik di SMP Muhammadiyah Jayapura pada materi

tekanan zat cair. Tujuan dalam penelitian ini adalah, Untuk mengetahui (1) peningkatan

kemampuan berpikir kritis antara peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model

PBL dan peserta didik yang mendapatkan pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada

materi tekanan zat cair (2) perbedaanpeningkatan kemampuan berpikir kritis antara peserta didik

yang mendapatkan pembelajaran dengan model PBL dan peserta didik yang mendapatkan

pembelajaran dengan model kooperatif tipe STAD pada materi tekanan zat cair.

Page 148: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

142

2. METODE

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan quasi

eksperimental atau biasa disebut eksperimen semu. Desain eksperimen yang digunakan adalah

nonequivalen pretest-posttest control group design (Sugiono, 2016, hal. 77-79). Kelas kelompok

eksperimen diajarkan dengan menggunakan model PBL sedangkan kelas kelompok kontrol

diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD.

Penelitian dilakukan pada peserta didik kelas VIII semester genap tahun ajaran 2017/2018 yang

bertempat di SMP Muhammadiyah Jayapura. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai

Mei semester genap tahun ajaran 2017/2018.

Dalam penelitian ini, yang menjadikan populasi adalah seluruh peserta didik kelas VIII SMP

Muhammadiyah yang tersebar menjadi lima kelas, yaitu kelas VIII A, VIII B, VIII C, VIII D,

VIII E dengan jumlah peserta didik 150 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan teknik Non probability sampling dengan cara purposive sampling yaitu teknik

penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiono, 2016, hal. 85). Teknik pengambilan

sampel yang digunakan purposive sampling dimana pertimbangan yang dimaksud adalah

pertimbangan dari guru mata pelajaran di SMP Muhammadiyah Jayapura. Dari hasil purposive

sampling dipilih dua kelas yaitu VIII A yang berjumlah 31 peserta didik dan kelas VIII B yang

berjumlah 29 peserta didik. Jumlah keseluruhan sampel yaitu 60 peserta didik. Kelas VIII A dan

kelas VIII B dipilih menjadi sampel karena kedua sampel memiliki kemampuan dan karakteristik

yang hampir sama. Dari kedua kelas yang terpilih kemudian ditentukan kelas eksperimen dan

kelas kontrolnya dengan cara pengundian.

Instrumen dalam penelitian ini adalah instrumen tes. instrumen tes ialah tes tertulis untuk

mengukur kemampuan berpikir kritis peserta didik. Tes ini digunakan untuk

mengukurkemampuan berpikir kritis peserta didik sebelum pembelajaran (pretest) dan sesudah

pembelajaran (posttest) pada materi tekanan zat cair.Tes berupa soal tes objektif dengan indikator

tes untuk melihat kemampuan berpikir kritis peserta didik yang dibatasi, yaitu (1) mengobservasi

dan mempertimbangkan hasil observasi, (2) membuat keputusan dan mempertimbangkan

hasilnya, pada ranah kognitif. Tes kemampuan berpikir kritis terdiri dari soal pilihan ganda

beralasan dengan empat jawaban alternatif yaitu a, b, c, dan d.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian berupa kemampuan berpikir kritis dalam aspek pengetahuan dalam pembelajaran

dengan menggunakan model PBL dan model kooperatif tipe STAD.

Tabel 3.1 Hasil Uji N-gain Rata-rata Peserta Didik Seluruh Konsep

Kelas Skor

N-gain Selisih N-gain Pretest Posttest

Eksperimen 12,83 30,46 0,61 0,15

Kontrol 12,16 26,00 0,46

Terlihat pada kelas eksperimen terdapat 10 (42%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain

tinggi, 13 (54%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain sedang dan 1 (4%) peserta didik

termasuk dalam kategori N-gain rendah. Pada kelas kontrol terdapat 0 (0%) peserta didik

termasuk dalam kategori N-gain tinggi, 24 (96%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain

sedang dan 1 (4%) peserta didik termasuk dalam kategori N-gain rendah.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan hasil analisis untuk melihat peningkatan

kemampuan berpikir kritis pada kelas eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model

PBL dan kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD sama-

sama mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis dalam kategori sedang. Hal ini

dikarenakan pada kedua kelas baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol menggunakan metode

Page 149: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

143

pembelajaran yang sama yaitu eksperimen dan diskusi kelompok yang membedakan hanyalah

sintaksis dari model yang diterapkan. Namun peningkatan lebih tinggi terjadi pada kelas

eksperimen yang diajarkan dengan menggunakan model PBL dibandingkan pada kelas kontrol

yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD sebesar 0,61 dan 0,46. Hasil

ini ditunjukkan dengan adanya perolehan selisih nilai N-gain dari kedua kelas sebesar 0,15. Sesuai

dengan hasil temuan Sari, 2012, hal 89 mengenai penerapan model PBL untuk meningkatkan

kemampuan berpikir kritis peserta didik pada pembelajaran IPA kelas VIII SMP Negeri 5 Sleman

bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VIII dapat ditingkatkan melalui penerapan

model PBL. Tingginya perolehan nilai N-gain kelas eksperimen disebabkan karena perubahan

model pembelajaran yang mencakup kegiatan untuk melatih kemampuan berpikir kritis peserta

didik. Sesuai dengan pendapat Pratiwi, 2012, hal 57 bahwa dalam penggunaan model PBL peserta

didik aktif berpikir mengenali masalah, merumuskan masalah, melakukan penyelidikan, untuk

menjawab masalah yang dihadapi dan mencari jawaban masalah yang dihadapi. Model PBL

mengajak peserta didik secara langsung lebih aktif dalam proses pembelajaran. Dalam

pembelajaran menggunakan model PBL peserta didik lebih aktif dalam mengumpulkan data pada

kegiatan penyelidikan, berdiskusi bersama teman kelompok dalam memecahkan masalah untuk

mencari solusi, sehingga dapat menggunakan danmengembangkan kemampuan berpikir kritis

untuk menyelesaikan masalah. Pada tahap diskusi paserta didik dapat saling berbagi informasi

yang didapatkan terkait penyelidikan yang dilakukan. Dalam keadaan ini peserta didik terlibat

aktif menyelesaikan masalah secara berkelompok dan pemahaman mereka lebih mendalam

sehingga peserta didik lebih terampil didalam memberikan penjelasan terkait masalah yang dikaji

tanpa disadari secara tidak langsung proses berpikir kritis peserta didik sudah dilatih. Hal ini

sesuai dengan pendapat Trianto, 2009, hal. 96 bahwa kelebihan model PBL adalah memupuk

inkuiri peserta didik, ingatan konsep peserta didik menjadi kuat, dan memupuk kemampuan

problem solving. Sama halnya dengan pendapat Arends, 2008, hal. 41 bahwa PBL membantu

peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan keterampilan menyelesaikan

masalah dari kegiatan penyelidikan. Peserta didik diberi kebebasan untuk mengumpulkan

pengetahuannya sendiri sehingga mampu memahami konsep dengan baik. Ini sesuai dengan

pendapat Setyorini dkk, 2011, hal. 55 model PBL tersebut memiliki ciri-ciri bahwa sebelum

pembelajaran dimulai, peserta didik sudah dalam keadaan siap untuk belajar. Peserta didik

dikelompokkan menjadi beberapa kelompok kecil pada saat pembelajaran berlangsung. Dengan

kelompok-kelompok kecil dimaksudkan agar semua peserta didik dapat bekerja sama, saling

bertukar pendapat (bertanya, berpendapat), dan dapat menghargai pendapat orang lain, sampai

dapat memutuskan kesimpulan yang disepakati bersama. Namun pada pembelajaran

menggunakan model PBL memiliki kendala yaitu keterbatasan waktu. Hal ini sesuai dengan

pendapat Trianto, 2009, hal. 96 model PBL memerlukan banyak waktu yang lebih banyak.

Sedangkan pada kelas kontrol yang diajarkan dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD,

sebelum dibentuk kelompok-kelompok kecil, guru menyajikan informasi terkait dengan materi

dimana peserta didik mendengar dan menyimak penjelasan guru. Sehingga peserta didik menjadi

pasif dan merasa bosan. Dengan hal ini peserta didik sudah mempunyai pengetahuan dan

pemahaman masing-masing yang didapatkan dari guru. Kemudian peserta didik dibentuk

beberapa kelompok untuk diarahkan melakukan praktikum. Pemahaman dan pengetahuan setiap

peserta didik terhadap materi yang disajikan oleh guru tentu saja berbeda-beda, sehingga pada

saat peserta didik harus menyelesaikan masalah secara kelompok terjadi pertikaian akibat

perbedaan masing-masing pendapat yang mengakibatkan beberapa peserta didik yang bertikai

merasa malas dan bermain-bermain sendiri dalam kelompok menjadikan peserta didik kurang

antusias dalam pembelajaran. Walaupun keaktifan dan antusias peserta didik sangat diperlukan

dalam proses pembelajaran dimana lebih menonjol keaktifan pembelajaran pada kelas eksperimen

dibandingkan pada kelas kontrol yang menyebabkan kemampuan berpikir kritis peserta didik

pada kelas kontrol lebih rendah dibandingkan kelas eksperimen. Jadi dapat disimpulkan bahwa

model PBL yang dilakukan untuk membelajarkan peserta didik pada konsep tekanan zat cair lebih

efektif jika dibandingkan dengan model kooperatif tipe STAD.

Page 150: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

144

Tabel 3.2 Hasil Uji Normalitas, Homogenitas dan Uji Beda Kemampuan Berpikir Kritis

Seluruh Konsep

Kelas

Distribusi Variansi Uji Beda

Sig(2-

tailed) Ket.

Sig(2-

tailed) Ket.

Sig(2-

tailed) Ket.

Eksperimen 0,711 Normal 0,005

Tidak

Homogen 0,003

Terdapat

perbedaan Kontrol 0,997 Normal

Dengan menggunakan model PBL peserta didik dikenali dengan masalah tentang realita yang

terjadi dan terkait dengan materi yang diajarkan untuk membangkitkan rasa ingin tahuan dan

memotivasi peserta didik. Model PBL mengajak peserta didik secara langsung lebih aktif dalam

proses pembelajaran. Dimana peserta didik aktif berpikir mengenali masalah, merumuskan

masalah, melakukan penyelidikan, untuk menjawab masalah yang dihadapi dan mencari jawaban

masalah yang dihadapi. Hal tersebut juga diungkapkan Hartati & Sholihin, 2015, hal. 4 bahwa

model PBL dapat membantu peserta didik dalam membuat keputusan terbaik dari proses berpikir

kritis untuk menyelesaikan serangkaian masalah yang dihadapi selama proses pembelajaran. Hal

ini juga menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran telah dilakukan dengan salah satu tujuan

model PBL menurut Trianto, 2009, hal 94-96 bahwa dapat mengembangkan kemampuan berpikir

dan keterampilan pemecahan masalah.

Pembelajaran dengan model PBL memberi pengaruh positif terhadap kemampuan berpikir kritis

peserta didik. Penelitian sejalan dengan salah satu hasil penelitian yang telah dilakukan oleh

Pratiwi, 2012, hal 67 yaitu ada pengaruh secara signifikan penggunaan model PBL terhadap

kemampuan berpikir kritis siswa pada pembelajaran biologi. Dalam pembelajaran menggunakan

model PBL peserta didik aktif mengumpulkan data pada kegiatan penyelidikan, berdiskusi

dengan teman kelompok dalam memecahkan masalah untuk mencari solusi dari permasalahan

yang dihadapi. Salah satu karakteristik dari model PBL adalah penyelidikan autentik dimana

mengharuskan peserta didik untuk melakukan penyelidikan untuk menemukan solusi nyata untuk

masalah nyata. Tujuannya agar peserta didik dapat menemukan solusi dari permasalahan secara

kolaborasi. Kelompok-kelompok yang dibentuk dalam pembelajaran terlihat menarik dan tidak

membosankan, karena peserta didik diberi kebebasan dalam memecahkan masalahnya sendiri

sehingga daya serap peserta didik pada pembelajaran akan kuat dan meningkat. Guru hanya

mengawasi dalam kegiatan pembelajaran dikelas. Berbeda pada kelas kontrol berdasarkan

pengamatan peneliti, diawal pembelajaran peserta didik sudah merasa bosan karena mendengar

penjelasan materi dari guru, sehingga peserta didik menjadi pasif dan kurang antusias. Dalam

kegiatan praktikum terlihat beberapa peserta didik mengerjakan LKPD sesuai dengan petunjuk

guru, sedangkan sebagian peserta didik yang lain hanya bermain-main sendiri apalagi saat diskusi

kelompok. Ini menunjukkan proses pembelajaran peserta didik yang saling berkolaborasi tidak

sejalan dengan baik. Hal ini terlihat jelas perbedaan tingkat kemampuan berpikir kritis peserta

didik pada kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan pada kelas kontrol.

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa model PBL membuat peserta didik merasa tidak

cepat bosan dan lebih antusias terlihat peserta didik lebih berani dalam mempresentasi hasil

temuannya di depan kelas. Hal ini berdampak kemampuan berpikir kritis peserta didik dan

membangun pengetahuan peserta didik. Diperkuat oleh hasil temuan Hartati & Sholihin, 2015,

hal 4 mengenai meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa melalui Implementasi model PBL

pada pembelajaran IPA Terpadu siswa SMP bahwa penerapan model PBL pada pembelajaran

IPA terpadu memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan kemampuan berpikir kritis

siswa.

Page 151: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

145

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat

disimpulkan :

1) Pembelajaran dengan menggunakan model PBL dapat meningkatkan kemampuan berpikir

kritis peserta didik SMP Muhammadiyah Jayapura pada materi tekanan zat cair.

Peningkatan kemampuan berpikir kritis seluruh konsep pada kelas eksperimen yang

diajarkan dengan menggunakan model PBL dengan N-gain sebesar 0,61 lebih tinggi

dibandingkan pada kelas kontrol N-gain sebesar 0,46. N-gain kemampuan berpikir kritis

pada kedua kelas tergolong pada kategori sedang.

2) Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis yang signifikan antara peserta

didik yang diajarkan dengan menggunakan model PBL dan peserta didik yang diajarkan

dengan menggunakan model kooperatif tipe STAD untuk materi tekanan zat cair yang

ditunjukkan nilai signifikan α < 0,05 yaitu sebesar 0,003.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Arends. (2008). Learning To Teach (7nd Edition ed.). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[2] Hartati, Risa., Sholihin, Hayat. (2015). Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa

Melalui Implementasi Model Problem Based Learning (PBL) Pada Pembelajaran IPA

Terpadu Siswa SMP. Inovasi dan Pembelajarann Sains.

[3] Kurniawati., dkk. (2014). Pengaruh Pembelajaran Inkuiri Terbimbing Integrasi Peer

Instruction terhadap Penguasaan Konsep dan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa. Pendidikan

Fisika Indonesia , 10, 36-46.

[4] Pratiwi, Y. P. (2012, Juli 12). Digilib uns. Dipetik Desember 3, 2017, dari digilib uns:

http://digilib.unsac.id

[5] Sari, D. D. (2012, Juni 27). Lumbung Pustaka UNY. Dipetik Desember 2017, 3, dari

Lumbung Pustaka UNY: http://eprints.uny.ac.id/9174

[6] Setyorini., dkk. (2011). Penerapan Model Problem Based Learning Untuk Meningkatkan

Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik pada Pembelajaran IPA Kelas VIII SMP Negeri

5 Sleman. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 7 , 52-56.

[7] Sugiono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif. Bandung: Cv. Alfabeta.

[8] Suryani, E. B. (2015, September 14). Digilib unnes. Dipetik Desember 2, 2017, dari digilib

unnes: http://lib.unnes.ac.id/21061/

[9] Trianto. (2009). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif. Jakarta: Kencana.

Page 152: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

146

PENERAPAN MODEL PROBLEM BASED LEARNING

MENGGUNAKAN SMARTPHONE BERBASIS WEC UNTUK

MENINGKATKAN KETERAMPILAN GENERIK SAINS PESERTA

DIDIK KELAS X MIIA SMA YPPL TERUNA BAKTI JAYAPURA

PADA MATERI MOMENTUM DAN IMPULS

Victoria Dian Pratami Kurniawan1, Albert Lumbu2, dan Auldry Fransje Walukow3

Alumni Sarjana Pendidikan Fisika, FKIP-Universitas Cenderawasih1

Dosen Pendidikan Fisika, FKIP-Universitas Cenderawasih2,3

email: [email protected]

email: [email protected]

[email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) peningkatan keterampilan generik

sains (KGS) peserta didik kelas X MIIA yang diterapkan model pembelajaran berbasis masalah

(problem based learning-PBL) menggunakan smartphone berbasis WEC (web enhanced course)

pada materi momentum dan impuls. (2) perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik yang

diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang

diterapkan model pembelajaran langsung. Metode yang digunakan adalah quasi experiment

(eksperimen semu) dan bentuk desainnya adalah Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group

Design. Pada kelas eksperimen peserta didik diterapkan model PBL menggunakan smartphone

berbasis WEC untuk mengetahui peningkatan KGS peserta didik digunakan N-gain. Populasi

penelitian adalah seluruh peserta didik kelas X di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura berjumlah

283 peserta didik. Teknik sampling yang digunakan adalah nonprobability sampling dengan cara

purposive sampling. Sampel yang digunakan berjumlah 70 sampel peserta didik, yaitu 35 sampel

kelas X MIIA 1 yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan 35

sampel kelas X MIIA 3 yang diterapkan model pembelajaran langsung. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa: (1) ada peningkatan KGS peserta didik kelas X MIIA yang diterapkan

model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC, yaitu sebesar 0,74 dengan kategori

tinggidan peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung, yaitu sebesar 0,60 dengan

kategori sedang pada materi momentum dan impuls. (2) terdapat perbedaan peningkatan KGS

yang signifikan antara peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone

berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung.

Kata kunci: Model PBL, KGS, smartphone berbasis WEC.

1. PENDAHULUAN

Pendidikan di Indonesia masih monoton dan belum ada perubahan secara signifikan. Berdasarkan

hasil yang diungkapkan oleh Programme for International Student Assesment (PISA), hasil

studinya pada tahun 2009 menempatkan Indonesia pada peringkat 10 besar dari bawah, dari 65

negara peserta PISA (PISA Indonesia, 2010). Tidak berbeda jauh dengan hasil literasi PISA 2015

yang baru saja dirilis 6 Desember 2016. Indonesia masih masuk peringkat 9 besar terbawah. Salah

satu hal yang menarik adalah indeks kesenangan belajar sains Indonesia yang cukup tinggi yaitu

0,65, lebih tinggi dari pada Singapura yang memperoleh rangking 1 yaitu hanya 0,59 bahkan

Jepang -0,33. Hal ini merupakan tantangan dan tanda untuk meningkatkan mutu pendidikan

Indonesia supaya tidak tertinggal dalam hal daya saing dengan negara-negara lain (Iswadi, 2016).

Page 153: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

147

Penggunaan internet dengan perangkat mobile (smartphone) yang tinggi di Indonesia seharusnya

dimanfaatkan dalam bidang pendidikan. Menurut hasil survey data statistik APJII (Asosiasi

Penyelenggara Jasa Internet Indonesia) yang dilakukan pada tahun 2016 di Indonesia. Jumlah

pengguna internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta user. Pada saat melakukan browsing,

pengguna internet paling banyak menggunakan perangkat mobile (smartphone) sebesar 89,9 juta

atau 67,8% (Isparmo, 2016). Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa smartphone adalah media

yang paling mudah dalam mengakses internet karena penggunanya yang begitu banyak.

Menurut Isparmo dan hasil survey tahun 2016, pengguna pada usia 10-24 tahun, menunjukkan

angka yang cukup besar yaitu sekitar 24,4 juta user. Hal ini menunjukkan bahwa peserta didik di

SMA memang melakukan penjelajahan di internet melalui smartphone. Namun, Penggunaan

smartphone di sekolah justru diminimalisir bahkan dilarang oleh pihak sekolah terutama di SMA

YPPK Teruna Bakti Jayapura. Sehingga menjadi masalah bagi perkembangan teknologi dan

informasi bagi peserta didik. Hal ini dikemukakan berdasarkan aturan yang dibuat dan tertuang

secara tertulis di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura.

Masalah lain yang terjadi di sekolah yaitu kurang terlatihnya KGS peserta didik yang sebenarnya

sudah ada di dalam diri peserta didik. KGS tidak diperoleh secara tiba-tiba melainkan

keterampilan itu harus dilatih agar terus meningkat. KGS merupakan keterampilan yang dapat

digunakan untuk mempelajari berbagai konsep dan menyelesaikan masalah dalam sains

(Brotosiswoyo, 2000). Menurut Brotosiswoyo, terdapat sembilan keterampilan generik yang

dapat dikembangkan melalui pengajaran fisika, yaitu: 1) pengamatan langsung; 2) pengamatan

tidak langsung; 3) kesadaran tentang skala besaran; 4) bahasa simbolik; 5) kerangka taat asas dari

hukum alam; 6) inferensi atau konsistensi logika; 7) hukum sebab akibat; 8) pemodelan

matematis; dan 9) membangun konsep. Dampak dari kurang terasahnya KGS, peserta didik lebih

cenderung menghafal setiap rumus, konsep dan hukum tanpa melatih keterampilan-keterampilan

sainsnya terutama KGS. Penelitian tentang KGS di lapangan sangat jarang terutama di Papua.

Hal ini dikemukakan penulis berdasarkan hasil observasi dan pencarian di google tentang

penelitian KGS di Papua terutama di Jayapura pada tahun 2017.

Alternatif pemecahan masalah yang ditawarkan dalam penelitian ini berpijak pada Empat pilar

pendidikan seumur hidup dan problem based learning (PBL). Ada beberapa model pembelajaran

yang dapat mengakomodasi empat pilar pendidikan seumur hidup, salah satunya adalah model

PBL (Sadia, 2014, p. 66). Menurut penelitian Daud (2013), yang berjudul problem-based

learning: A process for the acquisition of learning and generic skills dengan tema PBL across

cultures. Menyimpulkan bahwa belajar melalui PBL dapat meningkatkan keterampilan generik

peserta didik yang mana dapat berkontribusi dalam mengembangkan keterampilan kerja mereka

dan meningkatkan daya saing mereka di lokal dan luar negeri.

Hasil belajar peserta didik di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura belum mencapai kriteria

ketuntasan minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah yaitu ≥ 75. Dari 32 peserta didik pada suatu

kelas, hanya 28% (9 orang) yang dapat mencapai KKM tanpa perbaikan dari guru dan 72% (23

orang) lainnya belum mencapai KKM yang ditetapkan. Hal ini diperoleh berdasarkan wawancara

dengan guru bidang studi fisika. Pembelajaran di kelas pun sebagian besar masih berpusat pada

guru bukan pada peserta didik. Dari informasi-informasi tersebut dapat diketahui juga bahwa

KGS peserta didik kemungkinan besar masih rendah dan kurang terlatih.

Dengan pertimbangan tersebut peneliti memutuskan untuk menggunakan alternatif pemecahan

masalahnya dengan penerapan Model PBL dan pendukungnya digunakan bantuan smartphone

berbasis WEC. Artinya ada bantuan smartphone dengan penggunaan internet sebagai penunjang

kualitas pembelajaran yang dilakukan di kelas. Kemudian diharapkan bahwa dengan penerapan

model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dapat meningkatkan KGS peserta didik.

Pentingnya penelitian ini dilakukan demi peningkatan kualitas pembelajaran, KGS, dan minat

peserta didik terhadap fisika serta diharapkan penggunaan internet dengan smartphone ini

menjadikan pelajaran fisika lebih akrab, mudah dan menyenangkan di mata peserta didik. Selain

Page 154: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

148

itu menjadi referensi penyegaran bagi model yang digunakan dan penunjang pembelajaran di

dalam kelas.

2. METODE

Metode penelitian yang digunakan adalah quasi experiment (eksperimen semu). Desain penelitian

yang digunakan adalah “Nonequivalent Pretest-Posttest Control Group Design”. Paradigma

penelitian ini terdiri atas satu variabel bebas yaitu model PBL menggunakan smartphone berbasis

WECdan satu variabel terikat yaitu KGS peserta didik.Populasi dalam penelitian ini adalah

seluruh peserta didik kelas X di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura yang berjumlah 283 peserta

didik. Teknik sampling yang digunakan adalah nonprobability sampling dengan cara purposive

sampling. Kelas eksperimen dan kontrol ditetapkan melalui purposive sampling, diambil pada

kelas dengan level yang sama. Sampel yang digunakan berjumlah 70 sampel peserta didik, yaitu

35 sampel kelas X MIIA 1 dan 35 sampel kelas X MIIA 3.

Penelitian ini dilakukan pada semester genap tahun ajaran 2017/2018. Prosedur penelitian

dilakukan dalam tiga tahap, yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap akhir penelitian.

Sebelum pelaksanaan pembelajaran, kedua kelompok kelas dilakukan tes awal (pretest).

Selanjutnya dilaksanakan pembelajaran, dimana pada kelas eksperimen diterapkan model PBL

menggunakan smartphone berbasis WEC sedangkan kelas kontrol diterapkan model

pembelajaran langsung.Setelah pelaksanaan pembelajaran, baik kelas eksperimen maupun kelas

kontrol kembali dilakukan tes yaitu tes akhir (posttest). Perbedaan KGS antara keadaan awal

dengan keadaan akhir diasumsikan sebagai efek dari perlakuan yang diberikan. Untuk mengetahui

peningkatan KGS peserta didik, digunakan N-gain.Peningkatan KGS dihitung dengan

menggunakan gain ternormalisasi oleh Hake (Risayanti, 2015) dengan klasifikasi; jika g > 0,7

maka kategori N-gain tinggi, jika 0,3 ≤ g ≤ 0,7 maka kategori N-gain sedang dan jika g <

0,7 maka kategori N-gain rendah.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal pilihan ganda (PG) untuk mengukur

KGS peserta didik.Sebelum instrumen tersebut digunakan, maka dilakukan uji valid dan reliabel

terlebih dahulu. Kelas yang digunakan untuk ujicoba adalah kelas yang telah mendapat materi,

yaitu kelas X MIIA 2. Uji valid dan reliabel menggunakan bantuan SPSS 16. Setelah dilakukan

ujicoba, dapat diketahui soal PG yang lulus uji valid dan reliabel sehingga dapat digunakan di

kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Untuk teknik analisis data pada tahap akhir penelitian,

digunakan analisis N-gain, uji normalitas data, uji homogenitas, dan uji t.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian ini meliputi data KGS peserta didik untuk materi momentum dan

impuls pada masing-masing kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Berikut tabel

hasil analisis N-gain KGS peserta didik:

Tabel 1. Hasil Analisis KGS Peserta Didik pada Materi Momentum dan Impuls

No Konsep Kelas Skor Test

N-gain Pre Post

1 Momentum dan Impuls E 35,14 81,43 0,71

K 39,43 72,86 0,55

2 Hub Momentum dan Impuls serta

hukum kekekalan momentum

E 7,50 81,43 0,79

K 19,29 66,43 0,58

3 Jenis-jenis tumbukan serta

penerapan momentum dan impuls.

E 30,48 82,86 0,75

K 35,24 78,57 0,66

4 Hasil Uji N-gain keseluruhan E 29,76 81,79 0,74

K 31,90 72,14 0,60

E : Eksperimen.

K : Kontrol.

Page 155: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

149

Dari tabel 1 dapat disimpulkan bahwa N-gain pada RPP 1 (momentum dan impuls), RPP 2

(hubungan momentum dan impuls serta hukum kekekalan momentum) , RPP 3 (jenis-jenis

tumbukan serta penerapan momentum dan impuls), dan hasil uji N-gain keseluruhan materi

momentum dan impuls mengalami peningkatan baik di kelas eksperimen maupun kontrol.

Namun, N-gain di kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.

Terlihat dalam gambar diagram berikut ini bahwa hasil analisis N-gain KGS rata-rata peserta

didik tiap sub pokok bahasan di kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol.

Gambar 1. Diagram N-Gain Rata-Rata Hasil KGS Peserta Didik pada

Materi Momentum dan Impuls

Sedangkan hasil analisis N-gain KGS peserta didik jika ditinjau secara keseluruhan

materi momentum dan impuls dapat dilihat dalam bentuk diagram berikut:

Gambar 2. Diagram N-Gain KGS Peserta Didik pada

Seluruh Pokok Bahasan Materi Momentum dan Impuls

Data KGS peserta didik kelas eksperimen yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone

berbasis WEC dan kelas kontrol yang diterapkan model pembelajaran langsung kemudian

dianalisis dengan uji normalitas dan uji homogenitas sebelum dilakukan uji beda atau uji t. Tabel

hasil uji normalitas dan uji homogen setiap konsep dan seluruh materi momentum dan impuls

disajikan sebagai berikut:

0.710.79 0.75

0,550,58

0,66

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

N-Gain RPP

1

N-Gain RPP

2

N-Gain RPP

3

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

0,74

0,6

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

N-Gain KGS Keseluruhan

Kelas Eksperimen

Kelas Kontrol

Page 156: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

150

Tabel 2. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Setiap Konsep

dan Seluruh Materi Momentum dan Impuls

No. Konsep Kelas Sig. Uji

Normalitas

Sig. Uji

Homogenitas

1. Momentum & Impuls Eksperimen 0,448

0,196 Kontrol 0,756

2.

Hubungan Momentum & Impuls

serta Hukum Kekekalan

Momentum

Eksperimen 0,389

0,082 Kontrol 0,307

3. Jenis Tumbukan serta Penerapan

Momentum & Impuls

Eksperimen 0,062

0,133 Kontrol 0,107

4. Seluruh Materi Momentum &

Impuls

Eksperimen 0,808

0,856 Kontrol 0,819

Hasil analisis uji normalitas dan uji homogenitas untuk tiap sub pokok bahasan dan seluruh materi

momentum dan impuls adalah berdistribusi normal dan homogen. Data berdistribusi normal dan

homogen karena hasil analisis diperoleh signifikansi > 0,05.

Analisis dapat dilanjutkan ke uji beda dengan menggunakan Independent Sample t-test. Dengan

ketentuan jika nilai signifikansi < 0,05, maka Ha diterima dan Ho ditolak, yang artinya terdapat

perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan

smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung pada

konsep yang diuji. Sebaliknya jika nilai nilai signifikansi > 0,05, maka Ha ditolak dan Ho

diterima, artinya tidak terdapat perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik yang diterapkan

model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model

pembelajaran langsung pada konsep yang diuji.

Berikut hasil analisis uji beda tiap sub pokok bahasan dan seluruh materi momentum dan impuls:

Tabel 3. Hasil Uji Beda KGS Peserta Didik pada Materi Momentum dan Impuls

No. Konsep Taraf

Signifikansi

Nilai Sig.

(2-tailed) Keputusan Keterangan

1. Momentum &

Impuls

0,05 0,006 Ha diterima Terdapat perbedaan

peningkatan KGS Ho ditolak

2. Hub. Momentum &

Impuls serta

Hukum Kekekalan

Momentum

0,05 0,000 Ha diterima Terdapat perbedaan

peningkatan KGS Ho ditolak

3. Jenis Tumbukan

serta Penerapan

Momentum &

Impuls

0,05 0,013 Ha diterima Terdapat perbedaan

peningkatan KGS Ho ditolak

4. Seluruh Materi

Momentum &

Impuls

0,05 0,003 Ha diterima Terdapat perbedaan

peningkatan KGS

peserta didik pada

materi momentum &

impuls

Ho ditolak

Page 157: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

151

Pembahasan:

Jika ditinjau dari N-gain setiap konsep dalam materi momentum dan impuls, dapat dilihat pada

tabel dan gambar 1 bahwa peserta didik di kelas eksperimen mengalami peningkatan yang lebih

tinggi dari pada peserta didik di kelas kontrol. Artinya bahwa ada peningkatan hasil KGS peserta

didik di setiap konsep dan peningkatan tersebut lebih tinggi di kelas eksperimen. Kemudian

dilihat dari N-gain keseluruhan materi momentum dan impuls di kelas eksperimen yaitu sebesar

0,74 dengan kategori tinggi dan kelas kontrol yaitu sebesar 0,60 dengan kategori sedang. Hal

inimenunjukkan bahwa N-gain kelas eksperimen secara keseluruhan lebih tinggi dan selisih N-

gain kedua kelas tersebut adalah 0,14.

Perbedaan peningkatan dalam penelitian ini dimaksudkan pada data N-gain KGS di kelas

eksperimen (X MIIA 1) dan kelas kontrol (X MIIA 3) yang dianalisis dengan uji-t. Sebelumnya

telah dilakukan uji syarat yaitu uji normalitas uji homogenitas. Data N-Gain diperoleh dari data

pretest dan posttest yang dilakukan di awal dan akhir pembelajaran. N-Gain menunjukkan hasil

yang lebih tinggi pada kelas eksperimen dibandingkan kelas kontrol dan menunjukkan perbedaan

peningkatan yang signifikan. Selisihnya untuk setiap konsep berturut-turut yaitu 0,18, 0,21 dan

0,15. Hal yang menarik di sini, selisih pada sub pokok bahasan kedua yaitu hubungan momentum

dan impuls serta hukum kekekalan momentum mendapatkan selisih yang paling tinggi.

Berdasarkan hasil analisis uji beda pada pada tabel 3, terdapat perbedaan KGS yang signifikan

antara peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan

peserta didik yang diterapkan model pembelajaran langsung. Hasil uji beda yang diperoleh

berturut-turut, dengan sig. (2-tailed) < 0,05 yaitu sebesar 0,006, 0,000 dan 0,013. Dapat diartikan

bahwa semakin kecil nilai signifikansi maka semakin besar perbedaan peningkatan yang dialami

kelas X MIIA 1 dan X MIIA 3. Sedangkan hasil uji beda KGS peserta didik pada materi

momentum dan impuls diperoleh, dengan sig. (2-tailed) < 0,05 yaitu sebesar 0,003, maka Ho

ditolak dan Ha diterima yang artinya, terdapat perbedaan peningkatan KGS antara peserta didik

yang diterapkan model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang

diterapkan model pembelajaran langsung.

Hasil ini sesuai dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Ika Permata Sari dkk (2015)

yang mana hasilnya menunjukkan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar antara peserta didik

yang diterapkan model PBL berbantuan media kartu bergambar dan peserta didik yang diterapkan

model pembelajaran langsung. Dalam jurnal tersebut juga dibahas kelebihan PBL yaitu dapat

mengembangkan kemampuan berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah yang tentunya

dapat membantu dan mendasari KGS inferensi logika peserta didik. Indikator inferensi logika

yang dimaksud yaitu memahami aturan-aturan, berargumentasi berdasarkan aturan, menjelaskan

masalah berdasarkan aturan, dan menarik kesimpulan berdasarkan hukum-hukum terdahulu.

Penelitian yang juga mendukung dilakukan oleh M.F. Daud (2013) tentang PBL Lintas Budaya

dengan sub judul PBL: sebuah proses memperoleh pembelajaran dan KGS. Hal ini pun

ditunjukkan dengan antusias dan keaktifan peserta didik di dalam kelas.

Sintaks Model PBL yang dilakukan di dalam kelas yaitu memberikan orientasi permasalahan

kepada peserta didik, mengorganisasikan peserta didik untuk penyelidikan, membantu investigasi

mandiri dan kelompok, mengembangkan dan mempresentasikan sesuai LKPD (mengembangkan

dan menyajikan hasil), menganalisis dan mengevaluasi proses mengatasi masalah (proses

penyelidikan). Model PBL memberikan peserta didik tanggung jawab untuk membentuk dan

mengarahkan pembelajarannya sendiri dengan menggunakan kelompok-kelompok kecil. Pada

saat berkelompok dan diberikan masalah dalam bentuk LKPD, peserta didik secara tidak

langsung telah melatih KGS mereka yaitu pengamatan langsung, inferensi logika (konsistensi

logika) dan membangun konsep. Peserta didik dituntut untuk menampilkan apa yang telah mereka

pelajari, di sini keterampilan komunikasi ilmiah mereka telah dilatih.

Page 158: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

152

4. KESIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA YPPK Teruna Bakti Jayapura dan hasil yang

diperoleh, serta pembahasan yang telah diuraikan, maka kesimpulan yang dapat diambil dari

penelitian ini adalah:

(1) Adanya peningkatan hasil KGS peserta didik yang diterapkan model PBL menggunakan

smartphone berbasis WEC, yaitu sebesar 0,74 dengan kategori tinggi dan peserta didik yang

diterapkan model pembelajaran langsung, yaitu sebesar 0,60 dengan kategori sedang pada materi

momentum dan impuls.

(2) Terdapat perbedaan peningkatan yang signifikan antara KGS peserta didik yang diterapkan

model PBL menggunakan smartphone berbasis WEC dan peserta didik yang diterapkan model

pembelajaran langsung pada materi momentum dan impuls. Hal ini dapat dilihat dari nilai Sig (2-

tailed) sebesar 0,003 pada materi momentum dan impuls, dimana nilai 0,003 < 0,05.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alfath, S. N., Ellianawati, & Sukisno, M. (2013). “Pengembangan Media Blended Learning

Berbasis Web Enhanced Course pada Mata Kuliah Fisika Dasar 2 Jurusan Fisika Unnes”.

Unnes Physics Education Journal, 2(1), 1–6. Diakses dari https://journal.unnes.ac.id

[2] Aqib, Z. (2013). Model-Model, Media, dan Strategi Pembelajaran Kontesktual (Inovatif).

Yrama Widya, Bandung.

[3] Arends, R.I. (2008). Learning to teach (7th ed.). Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

[4] Arikunto, S. (2016). Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan Edisi 2. Bumi Aksara, Jakarta.

[5] Asyahri, A., & Diani, R. (2017). “Pembelajaran Fisika Berbasis Web Enhanced Course:

Mengembangkan Web-Logs Pembelajaran Fisika Dasar I. Jurnal Inovasi Teknologi

Pendidikan, 4(1), 13-25. Diakses dari http://journal.uny.ac.id

[6] Atmaja, N. P. (2016). Buku Super Lengkap Evaluasi Belajar-Mengajar. Diva Press,

Yogyakarta.

[7] Brotosiswoyo, B.S. (2000). “Hakikat Pembelajaran MIPA (Fisika) di Perguruan Tinggi”.

Proyek Pengembangan Universitas Terbuka Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.

[8] Daud, M.F. (2013). “Problem-Based Learning: A Process for the Acquisition of Learning

and Generic Skills”.The 4th International Research Symposium on Problem-Based Learning

(IRSPBL), 47-55. Diakses dari https://www.researchgate.net

[9] Dwi, I.M., Arif, H., & Sentot, K. (2013). “Pengaruh Strategi Problem Based Learning

Berbasis ICT terhadap Pemahaman Konsep dan Kemampuan Pemecahan Masalah Fisika”.

Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia, 9(2), 8-17. Diakses dari http://journal.unnes.ac.id

[10] Fatimah, S., & Mufti. Y. (2014). “Pengembangan Media Pembelajaran IPA-Fisika

Smartphone Berbasis Android sebagai Penguat Karakter Sains Siswa”. J. Kaunia, 10(1), 59-

64. Diakses dari https://www.neliti.com atau http://ejournal.uin-suka.ac.id

[11] Hosnan, M. (2014). Pendekatan Saintifik dan Kontekstual dalam Pembelajaran Abad 21.

Ghalia Indonesia, Bogor.

[12] Irwandani. (2014). “Model pembelajaran Just In Time Teaching (JITT) berbantuan website

pada topik listrik arus bolak-balik untuk meningkatkan keterampilan berpikir kreatif siswa

SMA”. Jurnal Ilmiah Pendidikan Fisika Al-Biruni, 3(2), 35–56. Diakses dari

https://download.portalgaruda.org

[13] Irwanto, N & Suryana, Y. (2016). Kompetensi Pedagogik Untuk Peningkatan dan Penilaian

Kinerja Guru dalam Rangka Implementasi Kurikulum Nasional. Genta Group Production,

Surabaya.

[14] Isparmo. (2016). Data Statistik Pengguna Internet Tahun 2016. Diakses dari

http://isparmo.web.id

[15] Iswadi, H. (2016). Sekelumit dari Hasil PISA 2015 yang Baru Dirilis. UBAYA. Diakses dari

http://www.ubaya.ac.id

[16] Komalasari, K. (2010). Pembelajaran Kontekstual. Refika Aditama, Bandung.

Page 159: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

153

[17] Krisianto, A. (2017). JagoGoogling. PT Elex Media Komputindo, Jakarta.

[18] Machali, I. (2017). Metode Penelitian kuantitatif. UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

[19] Risayanti. (2015). Penerapan Model Pembelajaran ARIAS dalam Pembelajaran Fisika

untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep Siswa kelas XI SMA Negeri 1 Jayapura pada

Pokok Bahasan Fluida Dinamis. Universitas Cenderawasih, Jayapura. Skripsi.

[20] Sadia, W. (2014). Model-Model Pembelajaran Sains Kontruktivistik. Graha Ilmu,

Yogyakarta.

[21] Sani, R. A. (2017). Pembelajaran Saintifik untuk Implementasi Kurikulum 2013. Bumi

Aksara, Jakarta.

[22] Sari, I.P., Yushardi., & Subiki. (2015). “Penerapan Model Problem Based Learning (PBL)

Berbantuan Media Kartu Bergambar terhadap Kemampuan Berpikir Kritis dan Hasil Belajar

Siswa dalam Pembelajaran Fisika SMK Negeri Di Kabupaten Jember”. Jurnal

Pembelajaran Fisika, 4(3), 268-273. Diakses dari https://jurnal.unej.ac.id

[23] Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta, Bandung.

[24] Sujarweni, V.W. (2015). SPSS untuk Penelitian. Pustaka Baru Press, Yogyakarta.

[25] Sunardi, dkk. (2016). Buku Guru Fisika untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Peminatan

Matematika dan Ilmu-Ilmu Alam. Yrama Widya, Bandung.

[26] Sunardi, dkk. (2016). Fisika untuk SMA/MA Kelas X Kelompok Peminatan Matematika Dan

Ilmu Pengetahuan Alam. Yrama Widya, Bandung.

[27] Sutirman. (2013). Media & Model-Model Pembelajaran Inovatif. Graha Ilmu, Yogyakarta.

[28] Tawil, M. & Liliasari. (2014). Keterampilan-Keterampilan Sains dan Implementasinya

dalam Pembelajaran IPA. Badan Penerbit Universitas Negeri Makassar, Makassar.

[29] ______________. (2010). Ranking Indonesia pada PISA 2009 dan 10 Terbaik. PISA

Indonesia. Diakses dari https://pisaindonesia.wordpress.com/2010/12/17/ranking-indonesia-

pada-pisa-2009-dan-10-terbaik/

Page 160: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

154

BENTUK PENGELOLAAN SAGU

(STUDI KASUS: SORONG SELATAN, MALANGKE BARAT DAN

AMBON)

Helena Tuririday1,2, dan Musa Koibur1,3

1Jurusan Pend.Bilogi-Fkip Unipa, 2PDD-AK Kab. Sorong Selatan,

3Magister Teknologi Pertanian-UGM

[email protected]

Abstrak. Pengelolaan Sagu : Studi Kasus Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon, bertujuan

untuk mendeskripsikan pola pengolahan sagu. Hasil kajian ini diharapkan dapat menjadi

informasi awal untuk mengembangkan pola pengolahan sagu. Metodologi penelitian yang

digunakan adalah Observasi lapang dan Studi Pustaka, dengan membandingkan laporan hasil-

hasil observasi lapang, praktikum, maupun laporan praktek mahasiswa, yang selanjutnya diolah

secara deskriptif dan ditampilkan dalam bentuk tabel dan gambar. Pengelolaan sagu

dideskripsikan berdasarkan 3 aspek, yakni budidaya, industri dan agribisnis sagu. Persentase

pengelolaan sagu berdasarkan tiga aspek ini pada kota yang berbeda masih sekitar 30-34 %.

Sorong Selatan, memiliki potensi HSA (44,88% dari luas wilayah), namun belum dikembangkan

secara maksimal, berbeda dengan Ambon dan Malangke Barat yang memiliki habitat sagu lebih

rendah, tetapi mengembangkan perkebunan sagu. Aspek agroindustri sagu di Malangke Barat

dan Ambon telah berkembang industri sagu skala rumahan dan produk sagu. Produk sagu baik

tradisional maupun modern yang diproduksi secara kontinu dan tersedia di pasar tradisional -

modern. Beberapa produk pati kering telah memiliki merk dagang (Saguta dan D’S). Aspek

industri berpengaruh positif terhadap aspek bisnis, di Sorong Selatan lebih rendah pengelolaanya

dibandingkan kedua lokasi tersebut. Secara keseluruhan, gambaran pengelolaan sagu dari aspek

budidaya, agroindustri dan agribisnis berkembang dengan baik berturut-turut di Malangke Barat

(42 %), Ambon ( 38 %) dan Sorong Selatan (20%). Aspek pengelolaan yang dominan

berkembang dengan baik di Malangke Barat dan Ambon adalah aspek industry dan pemasaran.

Beberapa factor perlu dikembangkan sebagai model atau bentuk pengolahan sagu berbasis

masyarakat, seperti model perkebunan sagu berbasis hutan alam, menyediakan akses pasar/alur

penjualan sagu, menyediakan industri sagu berbasis rumahan dan pengembangan SDM khusus

sagu, tetapi juga disediakan regulasi tentang pengolahan sagu.

Kata Kunci: Sagu, Sorsel, Malangke, Ambon

1. LATAR BELAKANG

Tumbuhan sagu kini tidak hanya dikenal sebagai bahan pangan tradisional, tetapi banyak manfaat,

bahkan disebut sebagai tumbuhan multifungsi, sebab seluruh bagian tubuh tumbuhan ini

bermanfaat hingga limbahnya. Penyebaraannya di Indonesia merupakan yang terbanyak didunia

atau sebesar 1,5 ha. Dan 90% dari jumlah tersebut atau 1.015 juta ha berkembang di Provinsi

Papua dan Maluku (Lakuy dan Limbongan, 2003). Data UP4B tahun 2013 menyebutkan bahwa

secara indikatif luas potensi sagu di Provinsi Papua 4.749.325 ha (15,29%) dan di Provinsi Papua

Barat 510.213 ha (5,27%).

Peluang memiliki hutan sagu yang luas, tidak seiring dengan meningkatnya aspek pengolahannya,

ini terbukti dengan pendeknya alur pemasaran sagu di Papua, berbeda dengan wilayah sentra sagu

lainnya. Usaha untuk mengenal bentuk pengelolaan sagu yang telah dikembangkan diharapkan

dapat memberikan informasi dalam mengembangkan sagu yang berkelanjutan.

Page 161: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

155

2. TUJUAN

Kajian ini bertujuan untuk mengidentifikasi bentuk pengelolaan sagu di Kabupaten Sorong

Selatan, Malangke Barat dan Ambon sebagai daerah sentra sagu di Indonesia.

3. RUANG LINGKUP

Bentuk pengelolaan secara umum sangat luas, namun pada kajian ini difokuskan pada bentuk

pengelolaan dari aspek budidaya, agroindustri dan agribisnis sagu, pada ketiga lokasi yang

berbeda.

4. METODOLOGI

Metode yang digunakan adalah observasi lapangan dan kajian pustaka. Artinya bahwa data yang

diperoleh dilapangan, disusun dan dibandingkan dengan beberapa hasil kajian pustaka yang

relevan terkait pengelolaan sagu. Data tersebut selanjutnya disusun secara deskritif dalam bentuk

tabel dan gambar. Observasi Malangke Barat pada tahun Maret – April 2017di Desa Pengkajoang,

dan Ambon April tahun 2018di Ihamahu, Waai dan Saparua.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengolahan sagu diharapkan menjadi sumber pendapatan masyarakat, sebab masyarakat yang

memiliki Hutan Sagu Alam (HSA), konsep ini di beberapa wilayah sentra sagu di Indonesia

berkembang dengan baik, misalnya di Sulawesi Selatan, namun sedapat mungkin berbeda dengan

Sorong Selatan misalnya. Secara rinci bentuk pengelolaan sagu dapat dikategorikan dalam tiga

aspek besar yakni, aspek Budidaya, Agroindustri dan Agribisnis. Aspek lain yang juga menunjang

pengeloaan sagu adalah.

Mentan, 2014 mendefinisikan ketiga aspek ini sebagai berikut, aspek budidaya bukan hanya soal

menyiapkan lahan perkebunan, tetapi menerapkan prinsip budidaya pada HSA, tujuannya untuk

menjaga keragaman genetik dan kualitas pati sagu sekaligus meningkatkan kualitas ekonomi

petani sagu di daerah sentra sagu. Sedangkan aspek agroindustri disejajarkan denga proses

produksi pati sagu menjadi (bahan baku) untuk dikembangkan dalam produksi pangan, industri

kimia, kosmetik, farmasi, dll. Aspek Bisnis dapat diartikan sebagai pemasaran sagu. Aspek bisnis

ini merupakan magnet bagi pengembangan sagu, dengan demikian sagu harus dinilai sebagai

komuditi yang memiliki nilai ekonomis tinggi, sehingga dikelola dengan sistem bisnis.

Kabupaten Sorong Selatan merupakan daerah sentra sagu terbesar kedua di provinsi Papua Barat

setelah Kab. Teluk Bintuni, Malangka Barat, merupakan salah satu sentra sagu di Luwu Utara,

dan Kota Ambon Provinsi Maluku, Saparua dan Wai merupakan sentra pengolahan sagu. Masing-

masing wilayah ini memiliki keunggulan masing-masing dalam mengelola sagu, secara rinci

dapat disajikan pada tabel 1. Angka 0-3 dipakai sebagai range untuk mendeskripsikan bentuk

pengolahan sagu di Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon.

Tabel. 1. Bentuk Pengolahan Sagu di Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon

ASPEK

SO

RS

EL

MA

LA

NG

KE

AM

BO

N

KETERANGAN

Budidaya

Potensi HSA 3 1 1

Luas HSA sekitar 45% dari total luas

wilayah Kab. Sorong Selatan, tersebar di 8

dari 13 Distrik

Page 162: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

156

Sagu Tanam 1 3 3

Di tanam di Habitat asli, tanpa menerapkan

prinsip budidaya

Usaha Perkebunan

1 3 1

Di Teminabuan dlakukan pada Distrik

Seremuk (jumlah luas hutan terbatas, 1

ha/kampung, ditanam sejak tahun 2015.

Sedangkan di Malangke Barat, sejak tahun

2010 (menerapkan prinsip budidaya)

Industri

Produksi Pati

Basah/kering

1 3 3 Pati sebagai bahan baku olahan pangan,dan

variasi produk pangan berbahan dasar sagu

di Sorong Selatan rendah dibandingkan di

Malangke dan Ambon Keragaman Produk 1 3 3

Industri Kecil 0 3 3 Menjadi salah satu factor rendahnya rantai

pemasaran sagu di Teminabuan

Perusahan Sagu 1 0 0 Belum beroperasi (nilai jual rendah) karena

merupakan sagu alam.

Agribisnis

Rantai pemasaran

sagu 1 3 3

Rantai pemasaran sagu di Sorong Selatan

sangat pendek, berbeda dengan di Malangke

dan Ambon

Perencanaan

Pengolahan Sagu 1 3 3

Direncanakan secara bertahap mulai dari

tingkat desa, dan PERDA (kasus Malangke

Barat)

Pengembangan

SDM 3 3 3

Tersedianya pendidikan Vokasi khusus

komuditi sagu (Kasus Sorong Selatan)

Skala :0 : Tidak ada 1 = ada tapi tidak dikelola baik, 3 : Ada dan baik pengolahannya

Data pada tabel 1 menggambarkan deskripsi bentuk pengelolaan sagu pada 3 lokasi sentra sagu.

Malangke Barat dan Ambon masih unggul yakni pada aspek industry dan bisnis, berturut-turut

sebesar 42% dan 38%, sedangkan di Sorong Selatan, memiliki potensi HSA namun belum

dimanfaatkan secara baik (20%). Bentuk dan proses pengolahan secara rinci dapat dijelaskan

sebagai berikut :

1. Potensi HSA,

sagu yang melimpah dihutan sagu namun pemanfaatannya berbeda, data menunjukkan bahwa

yang aspek industri di Kab. Sorong Selatan sangat rendah, ini terlihat dengan kurangnya

variasi produk, tidak adanya UMKM. Produksi pati atau panen dilakukan hanya untuk

memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga dipanen sesuai kebutuhan, faktor inilah yang

menyebabkan banyak tegakan pohon yang mati atau tidak dipanen. Data hasil survey

menyebutkan angka 5,5 juta pohon tidak dipanen di Sorong Selatan di tahun 2014 (Bappeda

Sorsel, 2014). HSA yang tidak dikelola dengan baik, mempengaruhi kualitas dan

kuantitaspati.Jong (2011),dimana rata-rata produktivitas pati pada hutan sagu diSorong Selatan mencapai 152 kg per pohon, nilai ini lebih rendah jika dibandingkan dengan di Maluku. Louhenapessy,dkk.,(2010), menyebutkan bahwa produksi pati mencapai 640 kg (berat basah per pohon)

Page 163: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

157

2. Rendahnya Industri sagu

Bentuk pengolahan industry sangat rendah, tergambar dari, rendahnya produksi pati kering

(diproduksi sesuai kebutuhan), produksi pangan bahan dasar sagu rendah. Faktor lain yang

juga menggambarkan rendahnya industri sagu adalah tidak tersedianya kelompok usaha kecil

menengah (UMKM) berbasis berbasis rumahan. Berbeda dengan pengolahan industry sagu

di Maluku dan Malangke Barat, yang menghasilkan produk sagu dengan beragam variasi, dan

dijumpai tidak hanya di pasar tradisional saja, tetapi juga pasar modern. Sebut saja bagea,

sagu vorna, bangket sagu, serut sagu, dll. Bahan baku atau pati pun diproduksi secara kontinu

dengan merk dagang, ”Nyong Ambon” , D’S dan “Saguta”. Sedangkan di Sorong Selatan pati

kering diproduksi di AKNESS tetapi belum mencapai pasar lokal.

3. Pola Pemasaran Sagu

Pola pemasaran sagu, antara Sorong Selatan, Malangke dan Ambon , mendeskripsikan pola

pengembangan sagu, atau bagaimana sagu dikelola oleh masyarakat. Rantai pasaran sagu

pada tiap lokasi ini pun berbeda, di Sorong Selatan misalnya, Petani sagu – pasar – konsumen

(kebuuhan konsumsi harian), merupakan alur yang sangat pendek, sedangkan di Ambon dan

Malangke Barat lebih panjang, tersaji pada gambar 2.

Petani Sagu

Gambar 2. Skema Alur Pemasaran Sagu

Ada point penting terkait pola pemasaran sagu di Malangke Barat bahwa perencanaan hingga

distribusi olahan sagu disusun mulai dari tingkat kampung, sehingga produk yang dihasilkan

terdistribusi mencapai pasar modern bahkan hingga ke luar kota. Pola Pemasaran menurut Tahitu,

2016 di jelaskan bahwa Kemampuan pengelola sagu memasarkan produk

masih pada tingkat pasar lokal. Di Ambon Misalnya hanya dari Ihamahu dan Tulehu yang

produksinya bisa menembus pasar Kota Ambon bahkan ke luar kota. Pola pemasaran sagu ini

dikendalikan pula melalui cara pandang, Girsang dan Papilaya, 2009, menyebutkan bahwa salah

satu kendala mengembangkan pemasaran sagu adalah pandangan pengelola sagu yang tidak

menganggap sagu sebagai bisnis yang menguntungkan.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

1. KESIMPULAN

Hasil kajian ini dapat disimpulkan sebagai berikut :

a) Kabupaten Sorong Selatan, Malangke Barat dan Ambon, memiliki potensi HSA yang

luas namun belum dimanfaatkan secara optimal

b) Produksi Pati dan variasi olahan berbahan dasar sagu sangat rendah ditemukan

berkembang cukup baik di Ambon dan Malangke Barat jika dibandingkan dengan

Sorong Selatan

c) Rantai Pemasaran sagu sangat pendek di Sorong Seltan dibandingkan dengan

Malangke Barat dan Ambon, yang juga dijual hingga ke luar kota

2. SARAN

Berdasarkan hasil kajian ini, rekomendasi untuk pengembangan sagu adalah sebagai

berikut :

a) Potensi HSA harus dikelola melalui penerapan prinsip budidaya, tanpa merusak

habitat aslinya. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pati,sehingga

dapat merubah harga pati sagu alam.

Pati Basah

Pati Kering

Pasar UMKM

Produ

Page 164: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

158

b) Perencanaan pengelolaan sagu sebaiknya direncanakan oleh masyarakat dari tingkat

terendah. Konsep inilah yang dapat membangun usaha berbasis masyarakat

c) Menyiapkan PERDA khusus pengelolaan sagu yang berpihak kepada masyarakat,

sehingga komuditi sagu dapat dikembangkan secara optimal.

d) Menyiapkan pengelola sagu yang mandiri melalui pendampingan dan menyiapkan

modal usaha, bukan sekedar memberikan pelatihan dan ketrampilan.

e) Menyiapkan SDM sebagai pengelola sagu, melalui pengembangan pendidikan vokasi,

yang juga dapat berperan sebagai pusat pendidikan sagu bagi masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Flach, M.F. 1983. The Sago Palm: Domestication, exploitation and products F.A.O. palm

production and protection paper. AGPC/MISC/PREPRINT. A development paper

presented at the FAO sponsored expert consultation on the sago palm and its product.

F.A.O. Rome.

[2] Girsang, W. dan E. Ch Papilaya. 2009. “Improvement of Sago Competitiveness for Food

Security in Maluku”, dalam Investing in Food Quality, Safety and Nutrition (Proceeding).

Southeast Asian Food Science and Technology (SEAFAST) Centre. Bogor: Agricultural

University Bogor

[3] Jong, F.S. 2011. Growth and Yield Parametersof Natural Sago Forests for Commercial

perations. Abstract In Program Book: The 10 International Sago Symposium. Sago for

Food ecurity, Bio-energy, and Industry from Research to Market. IPB

InternationalConvention Center. 29-30 October 2011,Bogor, Indonesia.

[4] Lakuy, H. dan J. Limbongan. 2003. Beberapa hasil kajian dan teknologi yang diperlukan

untukpengembangansagu di Provinsi Papua. Dalam Prosiding Makalah pada Seminar

Nasional Sagu, Manado, 6 Oktober 2003

[5] Louhenapessy, J. E., M. Luhukay., S. Talakua., et. al.2010. Sagu: Harapan dan

Tantangan. Jakarta: PT.Bumi Aksara.

[6] Bappeda Sorsel, 2014. Master Paln Sagu Kab. Sorong Selatan tahun 2014-2018. Bappeda

Sorsel. Teminabuan

[7] Menpan, 2014. Panduan Budidaya Sagu. Kementrian Pertanian Republik Indonesia.

Jakarta

[8] Tahitu M, Saleh A, Lubis d & Susanto J. 2016. Strategi Pengembangan Kapasitas Pengelola

Sagu Di Maluku engah Provinsi Maluku.Jurnal Sosiohumaniora, vol. 1 No. 18. (Hal. 37-

43)

Page 165: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

159

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN

PROBLEM-BASED LEARNING

PADA MATERI BANGUN RUANG SISI DATAR

Raoda Ismail

Program Studi Pendidikan Matematika, FKIP, Universitas Cenderawasih

[email protected]

Abstrak. Dalam proses pembelajaran dibutuhkan model pembelajaran yang tepat dalam

membelajarkan peserta didik. Pembelajaran berbasis masalah (Problem-based Learning)

merupakan suatu model pembelajaran yang menyajikan masalah kontekstual sehingga

merangsang siswa untuk belajar. pembelajaran berbasis masalah juga merupakan salah satu model

pembelajaran yang ditekankan untuk diimplementasikan dalam proses pembelajaran pada

Kurikulum 2013 (K13). Pembelajaran berbasis masalah dilakukan dengan adanya pemberian

stimulus berupa masalah-masalah yang kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh siswa yang

diharapkan dapat menambah keterampilan siswa dalam pencapaian materi pembelajaran. Dengan

menerapkan model pembelajaran berbasis masalah dapat mengembangkan keterampilan

pemecahan masalah dan pengaturan diri. Hal ini terlihat dari langkah-langkah dalam

pembelajaran berbasis masalah. Langkah-langkah tersebut yaitu: (1) menemukan masalah, (2)

membangun struktur kerja, (3) menetapkan masalah, (4) mengumpulkan berbagai informasi, (5)

merumuskan solusi, dan (6) evaluasi.Geometri penting dipelajari di sekolah karena geometri

merupakan salah satu cabang matematika yang sangat esensial dan sangat terkait dengan

kehidupan. Geometri telah lama dimasukkan dalam kurikulum matematika sekolah di mana siswa

belajar untuk mengemukakan alasan dan melihat struktur aksiomatik matematika. Mempelajari

geometri, diharapkan siswa dapat mengasah, merangsang, dan menantang kemampuan siswa

dalam memahami dan memanipulasi objek-objek geometris, dan mengembangkan keterampilan

penalaran, serta membangun kebiasaan berpikir matematika yang ilmiah dan logis. Oleh karena

itu penting bagi guru untuk mengetahui bagaimana cara pengimplementasian model pembelajaran

berbasis masalah pada materi geometri khususnya pada bangun ruang sisi datar.

Kata Kunci:Model Pembelajaran, Problem-based Learning, Bangun Ruang Sisi Datar

1. PENDAHULUAN

Model pembelajaran berbasis masalah menekankan pada aspek pemecahan masalah. Pemecahan

masalah diakui sebagai keterampilan hidup yang penting yang melibatkan berbagai proses

termasuk menganalisis, menafsirkan, menalar, memprediksi, mengevaluasi dan merefleksikan.

Untuk itu alasan mendidik siswa sebagai pemecah masalah yang efisien adalah peran penting dari

pendidikan matematika (Karatas & Baki (2013: 49)).

Pemecahanmasalah adalahketerampilanpraktis yangcukupumum, yang bisa dipelajari, danyang

terdiridariempat faseatau prinsip-prinsip: (a)memahami masalah(tujuan, apa yang diketahui, apa

yang tidak diketahui), (b) menyusun rencanaatausolusipendekatan, (c) melaksanakan rencana

tersebutdanmengkonfirmasikebenaranpelaksanaan, dan (d) memeriksasolusi,pastikanhasilnya,

danmempertimbangkan apakahsolusi alternatifyang mungkin (Ifenthaler, et al, 2011: 2; Polya,

1988: 214-226).

Tujuan pendidikan matematika menurut Ernest (2004: 125) terkait dengan kelompok-kelompok

sosial serta ideologi yang mendasarinya, baik secara umum maupun yang berkaitan dengan

matematika. Tujuan pendidikan dewasa ini bukan hanya tertuju pada pengembangan pengetahuan

dan keterampilan yang mutakhir, namun juga dapat membentuk kompetensi siswa yang sesuai

Page 166: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

160

pada ranah afektif. Hal ini sesuai dengan pernyataan Van de Walle (2010: 3) bahwa matematika

saat ini tidak hanya membutuhkan keterampilan berhitung, tetapi juga kemampuan untuk berfikir

dan berargumen matematis dalam rangka memecahkan masalah dan belajar ide-ide baru yang

akan dihadapi siswa di masa depan.

Tujuan umum pembelajaran matematika yang dirumuskan oleh National Council of Teachers of

Mathematics (NCTM, 1989: 5) yaitu agar siswa: (1) belajar menghargai matematika; (2) percaya

diri terhadap kemampuannya dalam mengerjakan matematika; (3) menjadi pemecah masalah

matematika; (4) belajar untuk berkomunikasi secara matematis; dan (5) belajar untuk melakukan

penalaran secara matematik. Berdasarkan pada hal tersebut, maka dapat dipahami bahwa tujuan

dari pembelajaran matematika tidak hanya berorientasi pada perkembangan pengetahuan, tetapi

juga pada perkembangan sikap dan keterampilan dalam matematika.

Pada umumnya banyak guru belum menggunakan model pembelajaran inovatif seperti halnya

model pembelajaran berbasis masalah karena masih bingung atau belum terbiasa dalam

menerapkan sintaks dari setip model pembelajaran pada materi yang akan dibelajarkan pada

siswa. Oleh karena itu, penulis akan memaparkan bagaimana mengimplementasikan sintaks dari

model pembelajaran berbasis masalah pada salah satu materi geometri yaitu bangun ruang sisi

datar. Hal ini diharapkan dapat menjadi salah satu contoh bagi para guru dalam

mengimplementasikan model pembelajaran berbasis masalah pada proses pembelajaran

matematika di sekolah.

2. PEMBAHASAN

a. Karakteristik Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)

Siswa SMP di Indonesia pada umumnya berusia 12-15 tahun. Menurut Slavin (2011: 52), pada

perkembangan aspek kognitif, usia tersebut masuk pada periode 11 tahun ke atas, yang masuk

pada tahap operasional formal. Menurut Muijs & Reynolds (2011: 25), pada tahap ini, semua

yang telah dipelajari pada tahap-tahap sebelumnya masih kuat, tetapi pada tahap ini siswa dapat

melihat dan mengalami secara nyata salah satu situasi dari beberapa situasi yang mungkin terjadi.

Pada usia ini, yang berkembang pada siswa adalah kemampuan berfikir secara simbolis dan bisa

memahami sesuatu secara bermakna tanpa memerlukan objek yang konkret atau bahkan objek

yang visual. Siswa telah memahami hal-hal yang bersifat imajinatif. Dalam tahap

perkembangannya, siswa SMP berada pada periode perkembangan yang sangat pesat dari segala

aspek. Perkembangan yang sangat erat kaitannya dengan pembelajaran yaitu perkembangan

aspek kognitif, psikomotoris, dan afektif. Perkembangan kognitif remaja dalam pandangan Jean

Piaget berada pada periode terakhir dan tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasional formal.

Menurut Schunk (2012: 333), pada tahapan operasional, pikiran anak tidak hanya terfokus pada

hal-hal yang dapat dilihat, anak-anak mampu bepikir tentang situasi-situasi hipotesis atau

pengandaian. Kapabilitas penalaran mereka meningkat dan mereka dapat berpikir tentang lebih

dari satu dimensi dan karakter-karakter abstrak. Egosentrisme muncul pada diri remaja di mana

mereka membandingkan antara kenyataan dan kondisi ideal sehingga mereka sering

memperlihatkan berpikir yang idealistik.

Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha

memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Muhibbin (2014: 72) juga

menyatakan bahwa “Dalam perkembangan kognitif tahap akhir ini seorang remaja telah memiliki

kemampuan mengkoordinasikan baik secara serentak maupun berurutan dua ragam kemampuan

kognitifnya, yakni: 1) kapasitas menggunakan hipotesis; dan 2) kapasitas menggunakan prinsip-

prinsip”. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka

dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan

akibat atau hasilnya.

Page 167: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

161

Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir

multidimensi. Para siswa pada tahap ini tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi akan

memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka

juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan

menjadi konklusi, prediksi, dan rencana. Dengan kemampuan operasional formal ini, siswa

mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar.

Berdasarkan penjabaran mengenai karakteristik siswa SMP di atas, maka pembelajaran

matematika yang sesuai dengan karakteristik siswa SMP adalah pembelajaran matematika yang

memuat kemampuan berpikir secara simbolis, logis, dan abstrak. Selain itu juga, pada

karakteristik siswa SMP yang telah mampu menggunakan hipotesis dan prinsip-prinsip,

pembelajaran matematika dapat disajikan dalam bentuk penelitian. Dengan menyajikan

pembelajaran matematika yang menekankan pada proses mengkontruksi makna, maka siswa

dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan

akibat atau hasilnya. Oleh karena itu, karakteristik siswa pada tahap ini telah mendukung untuk

dilaksanakannya pembelajaran yang menekankan pada proses pemahaman yang lebih mendalam.

b. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran adalah upaya membelajarkan siswa agar program belajar tumbuh dan berkembang

secara optimal. Upaya yang dimaksud adalah aktivitas guru memberi bantuan, memfasilitasi,

menciptakan kondisi yang memungkinkan siswa dapat mencapai atau menguasai kompetensi

pengetahuan, keteampilan, dan sikap. Pembelajaran merupakan proses yang dirancang guru

sedemikian rupa sehingga membuat siswa belajar.

Dalam matematika, salah satu cara membantu siswa dalam mencapai tujuan belajar adalah dengan

menetapkan standar kurikulum dalam pembelajaran matematika. Menurut NCTM (2000: 4),

“mathematics for life. Knowing mathematics can be personally satisfying and empowering”.

Matematika untuk kehidupan, dengan mengetahui matematika, secara pribadi dapat memuaskan

dan memberdayakan. Matematika dapat memuaskan dan memberdayakan manusia karena

matematika merupakan ilmu tentang sesuatu yang memiliki pola keteraturan dan urutan yang

logis. Terkait pula dengan tujuan pendidikan matematika menurut Ernest (2004: 125) tujuan

pendidikan matematika harus berhubungan dengan kelompok-kelompok sosial yang terlibat, serta

ideologi yang mendasarinya. Selanjutnya Van de Walle (2010: 3) mengemukakan bahwa

“mathematics today requires not only computational skills but also the ability to think and reason

mathematically in order to solve the new problems and learn the new ideas that the students will

face in the future”. Matematika saat ini tidak hanya membutuhkan keterampilan berhitung, tetapi

juga kemampuan untuk berfikir dan berargumen matematis dalam rangka memecahkan masalah

dan belajar ide-ide baru yang akan dihadapi siswa di masa depan. NCTM (2000: 14-16)

mengemukakan tiga prinsip kurikulum matematika, yaitu: “1) a mathematics curriculum should

be coherent, 2) a mathematics curriculum should focus on important mathematics, 3) a

mathematics curriculum should be well articulated across the grades”. Hal ini berarti: 1)

kurikulum matematika harus koheren, 2) kurikulum matematika harus fokus pada pentingnya

matematika, dan 3) kurikulum matematika harus dapat diartikulasikan dengan baik di seluruh

kelas.

Lebih lanjut lagi NCTM (2000: 16) mengemukakan bahwa:

Learning mathematics involves accumulating ideas and building successively deeper and

more refind understanding. A school matehamatics curriculum should provide a road

map that helps teachers guide students to increasing levels of sophistication and depths

of knowledge.

Pernyataan tersebut mengandung makna bahwa proses pembelajaran matematika dibutuhkan

upaya untuk mengumpulkan ide-ide dan konsep yang dapat dipahami lebih dalam. Oleh karena

itu, kurikuluum matematika sekolah harus menyediakan proses pembelajaran matematika yang

Page 168: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

162

dapat membantu guru membimbing siswa untuk dapat meningkatkan pemahaman dan kedalaman

pengetahuan siswa.

Berdasarkan beberapa penjabaran di atas, maka pada pembelajaran matematika harus

menyediakan kondisi untuk membantu siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran matematika.

Kondisi di mana siswa dapat mengetahui matematika secara holistik, dengan cara mengumpulkan

ide-ide dan konsep yang dapat dipahami lebih dalam sehingga siswa dapat memahami konsep

matematika dan menggunakannya dengan tepat dalam pemecahan masalah serta memiliki sikap

menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingi tahu, perhatian, dan

minat dalam mempelajari matematika, serta percaya diri dalam pemecahan masalah.

c. Problem-based Learning

1) Pengertian Model Pembelajaran Problem-based learning

Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang menggunakan masalah nyata atau

otentik, yang tidak terstruktur, dan bersifat terbuka. Masalahnya dapat berupa masalah yang

tidak terstruktur seperti masalah yang samar, tidak jelas, atau belum teridentifikasi. Sering

kali situasi yang membingungkan dan kompleks, dengan masalah yang saling terkait. Hal ini

terkait dengan apa yang disampaikan oleh Forgaty (1997: 2), yang menyatakan bahwa

Problem based-learning is a curriculum model designed around real-life problems

that are ill-structured, open ended, or embiguous. An ill-structured problem is fuzzy,

unclear, or not yet identified. It is often a situation that is confusing and complex,

with a number or interrelated concerns.

Hal senada juga dikemukakan oleh Tan (2009: 15), “problem-based learning (PBL) has been

widely touted to be an effective instructional method for the present climate of change and

innovation”. Artinya, pembelajaran berbasis masalah telah banyak disebut sebagai metode

pembelajaaran yang efektif sebagai inovasi dan perubahan saat ini. Pembelajaran berbasis

masalah dipandang sebagai metodologi pembelajaran yang berfungsi menyiapkan siswa

untuk menghadapi berbagai perubahan pengetahuan berbasis perkembangan masyarakat.

Selanjutnya Hmelo-Silver (Eggen & Kauchak, 2012: 307) mengemukakan bahwa

“pembelajaran berbasis masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan

masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi,

dan pengaturan diri”. Lebih lanjut lagi Eggen & Kauchak (2012: 307) menerangkan bahwa

pelajaran dalam pembelajaran berbasis masalah dilakukan secara berkelompok, yang cukup

kecil (tidak lebih dari empat) sehingga semua siswa terlibat dalam proses itu.

Lebih lanjut lagi Barell (Fogarty, 1997: 2) menjelaskan bahwa “problem-Based Learning

engages students in intriguing, real, and relevant intellectual inquiry and allows them to

learn from them to learn from these life situations”. Pembelajaran berbasis masalah

melibatkan para siswa dalam penyelidikan intelektual yang nyata dan relevan, dan

memungkinkan mereka untuk belajar dari situasi kehidupan ini. Pembelajaran berbasis

masalah dilakukan dengan adanya pemberian rangsangan berupa masalah-masalah yang

kemudian dilakukan pemecahan masalah oleh siswa yang diharapkan dapat menambah

keterampilan siswa dalam pencapaian materi pembelajaran.

Selanjutnya Kemendibud (2013: 229) memandang model pembelajaran berbasis masalah

sebagai suatu model pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”,

serta bekerja secara kelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Lebih

jauh lagi Abidin (2014: 160) mendeskripsikan bahwa “model pembelajaran berbasis masalah

merupakan model pembelajaran yang menyediakan pengalaman otentik yang mendorong

siswa untuk belajar aktif, mengkontruksi pengetahuan, dan mengintegrasikan konteks belajar

di sekolah dan belajar di kehidupan nyata secara alamiah”.

Page 169: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

163

Pembelajaran berbasis masalah dimulai dengan memberikan masalah yang sering ditemui

siswa dalam kehidupannya sehari-hari. Berdasar pada beberapa definisi di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa pembelajaran berbasis masalah merupakan model pembelajaran yang

dimulai dengan menemukan masalah, menganalisis masalah, membangun struktur kerja,

menetapkan masalah, mengumpulkan berbagai informasi, merumuskan solusi, dan evaluasi.

2) Prinsip-Prinsip Problem-based Learning

Prinsip utama model pembelajaran berbasis masalah menurut Hosnan (2014: 300) adalah

“penggunaan masalah nyata sebagai sarana bagi siswa untuk mengembangkan kemampuan

berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah”. Masalah nyata yang dimaksud adalah

masalah yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan bermanfaat langsung apabila

diselesaikan. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Delisle (1997: 8) bahwa “problem-

based learning deals with problems that are as close to real-life situation as posible”, yang

berarti bahwa pembelajaran berbasis masalah berhubungan dengan masalah dalam

kehidupan nyata.

Pemilihan atau penentuan masalah nyata dapat dilakukan oleh guru maupun siswa yang

disesuaikan dengan kompetensi dasar tertentu. Masalah ini bersifat terbuka (open-ended),

yaitu masalah yang memiliki banyak jawaban atau strategi penyelesaian yang mendorong

keingintahuam siswa untuk mengidentifikasi strategi-strategi dan solusi-solusi tersebut.

Masalah itu juga bersifat tidak terstruktur dengan baik (ill-structured) yang tidak dapat

diselesaikan secara langsung dengan cara menerapkan formula atau strategi tertentu,

melainkan perlu informasi lebih lanjut untuk memahami serta perlu mengkombinasikan

beberapa strategi atau bahkan mengkreasi strategi sendiri untuk menyelesaikannya.

3) Tujuan Problem-based Learning

Tujuan pembelajaran berbasis masalah menurut Hosnan (2014: 298) adalah “... membantu

siswa agar memperoleh berbagai pengalaman dan mengubah tingkah laku siswa, baik dari

segi kualitas maupun kuantitas”. Perubahan tingkah laku yang dimaksud meliputi

pengetahuan, keterampilan, dan nilai atau norma yang berfungsi sebagai pengendali sikap

dan perilaku siswa. Tujuan utama pembelajaran berbasis masalah bukanlah penyampaian

sejumlah besar pengetahuan kepada siswa, melainkan pada pengembangan kemampuan

berpikir kritis dan kemampuan pemecahan masalah dan sekaligus mengembangkan

kemampan siswa untuk secara aktif membangun pengetahuannya sendiri. Menurut Anderson

& Karthwohl (2001: 98), fokus pembelajaran yang bermakna sesuai dengan pandangan

bahwa belajar adalah mengkonstruksi pengetahuan yang ada di dalamnya, siswa berusaha

memahami pengalaman-pengalaman mereka.

4) Langkah-Langkah Problem-based Learning

Langkah-langkah pembelajaran berbasis proyek telah dirumuskan secara beragam oleh

beberapa ahli pembelajaran. Langkah-langkah berikut yang dipaparkan oleh Abidin (2014:

163) merupakan sintaks hasil pengembangan yang dilakukan atas sintaks terdahulu.

Langkah-langkah pembelajaran berbasis masalah hasil pengembangan tersebut disajikan

dalam gambar sebagai berikut.

Prapembelajaran

Tahapan ini merupkaan kegiatan yang dilakukan guru sebelum pembelajaran inti dimulai.

Pada tahap ini guru merancang, mempersiapkan media dan sumber belajar, mengorganisasi

siswa, dan menjelaskan prosedur pembelajaran.

Fase 1: Menemukan Masalah

Pada tahap ini, siswa membaca permasalahan yang disajikan oleh guru. Menurut Delisle

(1997: 27) “... students should feel that the problem is important and worth their time and

attention”. Siswa dapat menyadari bahwa masalah tersebut adalah penting dan

membutuhkan waktu dan perhatian untuk dipecahkan Berdasarkan hasil membaca, siswa

menuliskan berbagai informasi penting, menemukan hal yang dianggap sebagai masalah,

Page 170: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

164

dan menentukan pentingnya masalah tersebut bagi dirinya secara individu. Tugas guru pada

tahap ini adalah memotivasi siswa untuk mampu merumuskan masalah.

Fase 2: Membangun Struktur Kerja

Delisle (1997: 28) mengemukakan bahwa “once the teacher is sure that students have made

a connection with the issue, the next step is create the structure for working through the

problem”. Setelah guru memastikan bahwa siswa telah memahami permasalahan yang

diajukan, maka langkah selanjutnya adalah membuat struktur kerja. Pada tahap ini siswa

secara individu membangun struktur kerja yang akan dilakukan dalam menyelesaikan

masalah.

Upaya membangun struktur kerja ini diawali dengan aktivitas siswa mengungkapkan apa

yang mereka ketahui tentang masalah, apa yang ingin diketahui dari masalah, dan ide apa

yang bisa digunakan untuk memecahkan masalah. Hal terakhir yang harus siswa lakukan

pada tahap ini adalah merumuskan rencana aksi yang akan dilakukan dalam menyelesaikan

masalah. Tugas guru pada tahap ini adalah memberikan kesadaran akan pentingnya rencana

aksi untuk memecahkan masalah.

Fase 3: Menetapkan Masalah

Pada tahap ini siswa menetapkan masalah yang dianggap paling penting atau masalah yang

mereka hadapi dalam kehidupan nyata. Masalah tersebut selanjutnya dikemas dalam bentuk

pertanyaan menjadi sebuah rumusan masalah. Bentuk rumusan masalah berisi masalah

utama apa yang ada dan bagaimana memecahkannya. Tugas guru pada tahap ini adalah

mendorong siswa untuk menemukan masalah utama dan membantu siswa menyusun

rumusan masalah.

Fase 4: Mengumpulkan dan Berbagi Informasi

Pada tahap ini siswa melakukan kegiatan pengumpulan data melalui kegiatan penelitian atau

kegiatan sejenis lainnya. Berdasarkan informasi yang telah siswa peroleh secara individu,

selanjutnya siswa berbagi informasi tersebut dengan temannya dalam kelompok yang telah

ditetapkan.

Fase 5: Merumuskan Solusi

Pada tahap ini siswa secara berkelompok mencoba merumuskan solusi bagi pemecahan

masalah yang dihadapi. Proses perumusan solusi dilakukan secara kolaboratif dan kooperatif

dengan menekankan komunikasi efektif dalam kelompok. Semua solusi yang mungkin

dituliskan oleh masing-masing anggota dan kemudian ditampung oleh seorang siswa yang

ditunjuk dalam kelompok. Tugas guru adalah memastikan proses kelompok terjadi secara

kolaboratif, kooperatif, dan komunikatif.

Fase 6: Menentukan Solusi Terbaik

Pada tahap ini siswa menimbang kembali berbagai solusi yang dihasilkan dan mulai memilih

beberapa solusi yang dianggap paling tepat untuk memecahkan masalah. Tugas guru adalah

meyakinkan siswa pentingnya meninjau ulang dan menimbang keefektifan solusi yang telah

dihasilkan pada tahap sebelumnya.

Fase 7: Manyajikan Solusi

Pada tahap ini perwakilan siswa tiap kelompok memaparkan hasil kerjanya. Pemaparan

dilanjutkan diskusi kelas dengan dimoderatori dan difasilitatori oleh guru. Pada tahap ini

guru juga melakukan penilaian atas performa yang dihasilkan oleh siswa.

Pascapembelajaran

Pada tahap ini guru membahas kembali masalah dan solusi alternatif yang bisa digunakan

untuk memecahkan masalah tersebut. Dalam prosesnya guru membandingkan antara solusi

satu dengan solusi lain hasil pemikiran siswa atau juga dibandingkan dengan solusi teoritis

yang telah ada.

5) Keunggulan Pembelajaran Berbasis Masalah

Mergendoller, Maxwell, & Bellisimo (2007: 49) mengungkapkan bahwa dengan

menerapkan pembelajaran berbasis masalah, maka siswa akan lebih percaya diri terhadap

kemampuannya dalam memecahkan masalah. Pembelajaran berbasis masalah juga memiliki

beberapa keunggulan lain, yakni pengetahuan yang diperoleh akan lebih dihayati dan lebih

Page 171: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

165

lama bertahan diingatan siswa. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh Uden & Beaumont

(2006: 31) yang menyatakan bahwa “PBLstudents retain knowledge much longer than

students taught using traditional teaching although their learning may be less than that of

traditional students”. Hal ini berarti bahwa meskipun waktu belajar yang relatif lebih

singkat, namun mempertahankan pengetahuan yang mereka pelajari lebih lama dibanding

siswa yang belajar dengan pendekatan pembelajaran tradisional.

Selanjutnya, Kemendikbud (2013: 231) sebagai berikut.

a) Dengan model pembelajaran berbasis masalah akan terjadi pembelajaran bermakna.

Siswa yang belajar memecahkan suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang

dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Belajar dapat

semakin bermakna dan dapat diperluas ketika siswa berhadapan dengan situasi tempat

konsep diterapkan.

b) Dalam situasi model pembelajaran berbasis masalah, siswa mengintegrasikan

pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks

yang relevan.

c) Model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis,

menumbuhkan inisiatif siswa dalam bekerja, memotivasi internal untuk belajar, dan

dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

Pembelajaran berbasis masalah berkontribusi dalam meningkatkan dan mempertahankan

keberhasilan akademis, meningkatkan keterampilan kinerja, memiliki efek positif terhadap

pembelajaran, meningkatkan komunikasi dan belajar mandiri, serta menghasilkan solusi

yang lebih logis untuk mengatasi masalah yang dihadapi. Berdasarkan pada keunggulan-

keunggulan dari pembelajaran berbasis masalah, maka diindikasikan bahwa pembelajaran

berbasis masalah dapat menstimulus keefektifan pembelajaran ditinjau dari ketercapaian

tujuan pembelajaran siswa, yaitu percaya diri, penacapaian belajara matematika, dan

keterampilan pemecahan masalah.

d. Bangun Ruang Sisi Datar

Geometri berasal dari bahasa Yunani yaitu Geo yang berarti bumi dan metro yang berarti

mengukur. Geometri merupakan materi yang menarik serta bernilai estetika dan intelektual

karena merupakan bagian dari pengembangan informasi dalam kehidupan. Namun, materi ini

cukup sulit bagi siswa untuk dipelajari. Hal ini dapat dipengaruh oleh objek geometri yang

dipelajari tidak dapat dibayangkan oleh siswa secara nyata atau bersifat abstrak.

Geometri menempati posisi khusus dalam kurikulum matematika, karena banyak konsep-konsep

yang termuat di dalamnya. Pada dasarnya geometri mempunyai peluang yang besar untuk

dipahami siswa dibandingkan dengan cabang matematika yang lain, namun bukti-bukti di

lapangan menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah. Banyak siswa yang masih

mengalami kesulitan dalam memahami materi geometri. Aspek penting dari geometri adalah

membangun dan memanipulasi pikiran melalui objek berdimensi dua dan tiga, serta memahami

objek dari sudut pandang yang berbeda (NCTM, 2000: 41). Oleh sebab itu, dalam pembelajaran

geometri diperlukan strategi yang tepat sehingga dapat tercipta pembelajaran yang lebih efektif.

Menurut French (2004: 2),

Geometrical problems can be approached in a variety of ways. It can be an experimental,

practical subject where problem are solves by measurements and calculation, but to a

mathematician geometry is essentially a deductive subject whuch either uses purely

geometrical reasoning or embraces algebraic produces as well.

Pernyataan tersebut berarti bahwa masalah geometri dapat didekati dengan berbagai cara. Cara

tersebut bisa secara praktis melalui percobaan di mana masalah tersebut diselesaikan dengan

menggunakan pengukuran dan perhitungan, tetapi bagi ahli geometri pada dasarnya hal tersebut

merupkan sebuah pelajaran yang bersifat deduktif baik menggunakan penalaran geometris murni

maupun mencakup prosedur aljabar.

Page 172: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

166

Geometri penting dipelajari di sekolah karena geometri merupakan salah satu cabang matematika

yang sangat esensial dan sangat terkait dengan kehidupan. Berdasarkan NCTM (2000: 41)

“geometry has long been regarded as the place in the school mathematics curriculum where

students learn to reason and to see the axiomatic structure of mathematics.” Hal ini berarti bahwa

geometri telah lama dimasukkan dalam kurikulum matematika sekolah di mana siswa belajar

untuk mengemukakan alasan dan melihat struktur aksiomatik matematika. Oleh karena itu,

dengan mempelajari geometri, diharapkan siswa dapat mengasah, merangsang, dan menantang

kemampuan siswa dalam memahami dan memanipulasi objek-objek geometris, dan

mengembangkan keterampilan penalaran, serta membangun kebiasaan berpikir matematika yang

ilmiah dan logis.

3. KESIMPULAN

Simpulan dari makalah ini yaitu bagaimana menerapkan model pembelajaran Problem-based

learning pada materi geometri khususnya pada materi bangun ruang sisi datar. Adapun

implementasi penerapan sintaks pada model pembelajaran berbasis masalah diuraikan pada

contoh di bawah ini

LKS Problem-based learning

Kelompok : .....................................

Nama : 1. .................................

2. .................................

3. .................................

4. .................................

5. ..................................

Petunjuk:

1. Tuliskan identitas kelompok dan nama anggota pada kolom yang

telah disediakan.

2. Selesaikan permasalahan berikut ini bersama teman kelompokmu.

3. Tuliskan hasil kerja pada tempat yang telah disediakan.

Tujuan Pembelajaran:

1. Menentukan bagian-bagian kubus serta

mengidentifikasi sifat-sifatnya.

2. Menentukan bagian-bagian balok serta mengidentifikasi sifat-sifatnya.

Page 173: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

167

KEGIATAN 1

Amatilah bentuk rumah di samping.

Rumah bergaya minimalis tersebut

terdiri dari gabungan beberapa model

bangun ruang sisi datar. Bangun ruang sisi

datar apa sajakah yang terlihat pada

gambar tersebut?

Gambar ruang kelas pada gambar (a) tersebut adalah contoh nyata yang dapat dianggap

sebagai model kubus dan jika digambar dalam bentuk geometri maka akan berbentuk

seperti pada gambar (b).

Sumber: www.rumahminimalis.com

Sumber: www.google.com

1

D

H

E

A

C

G

F

B

(a)

(b)

Page 174: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

168

Ruang kelas tersebut berbentuk kubus dengan panjang rusuk 4 meter.

Amatilah bahwa:

• Dinding kelas tersebut dapat dipandang sebagai sisi pada kubus.

• Perpotongan antara dua dinding depan dan samping dapat

dipandang sebagai rusuk pada kubus.

• Titik perpotongan antara tiga rusuk dapat dipandang sebagai titik

sudut pada kubus.

Identifikasi bagian-bagian dari ruang kelas tersebut yang

dapat dipandang sebagai bagian-bagian dari kubus.

Setelah mengidentifikasi bagian-bagian dari kubus,

selidikilah sifat-sifat kubus.

Tuliskan apa yang kamu ketahui dari permasalah di atas, dan ide apa yang bisa kamu gunakan dalam pemecahan masalah tersebut.

Page 175: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

169

Tuliskan masalah yang kamu peroleh dalam bentuk pertanyaan.

Tuliskan informasi apa yang kamu peroleh dari buku, pakar, internet dan diskusikan dengan kelompokmu.

Tuliskan semua solusi dari teman kelompokmu terkait penyelesaian masalah tersebut.

Page 176: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

170

DAFTAR PUSTAKA [1] Abidin, Y. (2014). Desain sistem pembelajaran dalam konteks Kurikulum 2013. Bandung:

PT Refika Aditama.

[2] Anderson, L. W., & Krathwohl, D. R. (2001). A taxonomy for learning, teaching, and

assessing: a revision of bloom’s taxonomy of educational objectives. A bridged edition. New

York: Addision Wesley Longman, Inc.

[3] Delisle, R. (1997). How to use problem-based learning in the classroom. Alexandria:

Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).

[4] Eggen, & Kauchak, D. (2012). Strategi dan model pembelajaran: mengajarkan konten dan

keterampilan berpikir. (Terjemahan Satrio Wahono) Boston: Pearson.

[5] Ernest, P. (2004). The philosophy of matematics education. London: Falmer Press.

[6] Fogarty, R. (1997). Problem-based learning and other curriculum models for the multiple

intelligences classroom. Glenview, Illinois: Pearson SkyLight.

[7] French, D. (2004). Teaching and learning geometry: issues and methods in mathematical

education. New York: Continuum.

[8] Hosnan, M. (2014). Pendekatan saintifik dan kontekstual dalam pembelajaran abad 21.

Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia.

[9] Ifenthaler, D., Isaias, P., Spector, J. M, Sampson, D. G., & Kinshuk. (2011). Multiple

perspectives on problem solving in the digital age. New York: Springer Science Business

Media.

[10] Karatas, B. & Baki, A. (2013). The effect of learning environments based on problem solving

on students’ achievements of problem solving. International Electronic Journal of

Elementary Education, Volume 5, No. 3, 249-268.

[11] Kemendikbud. (2013). Materi pelatihan guru implementasi Kurikulum 2013. Jakarta:

Kemendikbud.

[12] McElmeel, S. L. (2002). Character education. Colorado: Greenwood Publishing Group, Inc.

[13] Mergendoller, J. R., Maxwell, N., & Bellisimo, Y. (2007). The effectiveness of problem-

based instruction: a comparative study of instructional methods and student characteristics.

The Interdisciplinary Journal of Problem-based Learning, Volume 1, No 2, 49-69.

[14] NCTM. (2000). Principles and standards school mathematics. Reston: The National Council

of Teachers of Mathematics, Inc.

[15] Slavin, R. E. (2006). Educational psychology: theory and practice (8th ed). Boston: Allyn &

Bacon.

[16] Slavin. (2011). Psikologi pendidikan teori dan praktek edisi kesembilan. (Terjemahan

Marianto Samosir). Jakarta: PT Indeks.

[17] Tan, A. (2007). Creativity: A handbook for teachers. Singapore: World Scientific.

[18] Tan, O. S. (2009). Problem-based learning and creativity. Singapore: Chengange Learning.

[19] Uden, L. & Beaumont, C. (2006). Technology and probelem-based learning. London:

Information Science Publishing.

[20] Van de Walle. (2010). Elementary and middle school mathematics teaching

developmentally. Boston: Pearson Education Inc.

Page 177: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

171

IDENTIFKASI KEBERADAAN AIR TANAH ENDAPAN

BERUMUR TERSIER BERDASARKAN DATA GEOLISTRIK

DAERAH NIMBOKRANG, KABUPATEN SENTANI, PAPUA

Virman1, Frans Tambing2

Program Studi Pendidikan Fisika Jurusan MIPA, FKIP Uncen1

Program Studi Teknik Pertambangan, Jurusan Teknik Pertambangan, Fak. Teknik Uncen2

Abstrak. Sumber daya air bersih sangat penting dalam meningkatkan kesehatan lingkungan atau

masyarakat, yakni menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan dengan air, dan

meningkatkan standar atau taraf/kualitas hidup. Persoalan air bersih hingga saat ini masih bermasalah baik

kualitas maupun kuantitas, hal ini dipicu antara lain tingginya pencemaran yang terjadi akibat jumlah

penduduk, industry dan pertanian. Penebangan hutan yang tidak terkontrol menyebabkan run off lebih besar

dari infiltarsi sehingga berdampak langsung pada tersedianya air tanah. Air tanah adalah salah satu sumber

air alternative terbaik apabila air permukaan tidak lagi mencukupi. Telah dilakukan pengukuran geolistrik

tahanan jenis untuk pemetaan air tanah (lapisan akuifer) di Nimbokrang Area Kelapa Sawit (PT. Rimba

Matoa Lestari). Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi pengambilan/pengukuran, pengolahan dan

analisis data. Penelitian geolistrik tahanan jenis menggunakan konfigurasi Schlumberger dilakukan

sebanyak 2 lintasan. Data-data hasil pengukuran diolah menggunakan software IPI2Win, hasilnya berupa

tahanan jenis sebenarnya yang dapat menggambarkan litologi dan kedalaman setiap lapisan. Dari hasil

pengolahan data maka air tanah di lokasi penelitian 001 terdapat pada lapisan 5 yaitu pada kedalaman

>23,7 meter dan di lokasi pengukuran 002 air tanah terdapat pada kedalaman mulai 27 dengan tahanan

jenis 4.23 hingga 4.49 ohm m. Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis tersebut maka secara makroskopi

kondisi bawah permukaan daerah penelitian strukturnya lebih dominan berupa lempung (clay), pasir

maupun campuran pasir dan lempung.

Kata kunci: akuifer, tahanan jenis, konfigurasi Schlumberger

1. PENDAHULUAN

Penyediaan air bersih untuk masyarakat mempunyai peran yang sangat penting dalam meningkatkan

kesehatan lingkungan, yakni menurunkan angka penderita penyakit, khususnya yang berhubungan dengan

air, dan meningkatkan standar atau kualitas hidup masyarakat. Oleh karena itu pemerintah melalui UU

No. 7/2004, dinyatakan bahwa negara menjamin ketersediaan dan akses air bagi setiap orang. Hasil

penelitian bersama antara Bank Dunia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di ketahui bahwa ada sekitar

40% populasi dunia mengalami kelangkaan air. Air bersih di Indonesia masih menjadi permasalahan

hingga saat ini, laporan MDGs tahun 2010 saja menyatakan akses air bersih di daerah perkotaan hanya

mencapai 49,82% sementara di pedesaan 45,72%. Ke depan tantangan ini akan semakin besar seiring

dengan terus menigkatnya tingkat pencemaran sumber air baku dan kerusakan lingkungan , kondisi ini

berdampak negative terhadap ketersediaan air bersih.

Nimborang adalah salah satu daerah yang secara administrasi termasuk Distrik Genyem , yang dapat

ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda empat atau dua kurang lebih 3 jam. Daerah ini oleh

pemerintah dijadikan sebagai perkebunan kelapa sawit dengan luas sekitar 17 ha. Masyarakat di sekiatar

area kelapa sawit mengalami kesulitan dalam mengakses air bersih, air bersih untuk minum minum setiap

hari diperoleh dengan membeli seharga Rp. 20.000 pergalon.

Berdasarkan permasalahan air bersih tersebut maka penggunaan air tanah dianggap sebagai salah satu

solusi terbaik apabila air permukaan tidak lagi mencukupi. Air tanah adalah salah satu sumber daya alam

yang sangat penting bagi kehidupan manusia, baik untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun

untuk kepentingan lainnya seperti pertanian dan industry yang dikenal boros penggunaan air. Menurut

Fetter (1988) air tanah bawah permukaan jumlahnya sekitar 68 kali jumlah air permukaan. Sejauh ini

pemanfaatan air tanah oleh manusia masih kurang dari 1%. Dimasa-masa mendatang diperkirakan

kebutuhan air oleh manusia lebih banyak dicukupi dari eksplorasi air tanah. Salah satu metode yang banyak

digunakan dalam eksplorasi air tanah adalah metode geofisika.

Page 178: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

172

Geofisika adalah ilmu yang mempelajari penerapan konsep dan hukum fisika pada masalah atau fenomena

kebumian. Dalam geofisika dikenal beberapa metode eksplorasi yaitu teknik-teknik yang didasarkan pada

konsep dan hukum fisika untuk memperkirakan distribusi parameter atau sifat fisika bawah permukaan.

Distribusi parameter fisika seperti rapat arus, suseptibilitas magnetic, kecepatan rambat gelombang seismic,

resistivitas atau konduktivitas dan sebagainya berasosiasi dengan kondisi dan struktur geologi tertentu.

Dengan demikian penyelidikan menggunakan metode geofisika dapat dimanfaatkan untuk keperluan studi

geologi, eksplorasi sumber aya alam (air tanah, mineral, geothermal, minyak dan gas bumi) serta studi

lingkungan.

Salah satu metode geofisika yang banyak digunakan untuk eksplorasi air tanah adalah geolistrik tahanan

jenis. Metode ini memiliki kelebihan dalam hal tingkat akurasi, biaya operasional yang relative murah serta

peralatan yang lebih praktis. Beberapa peneliti terdahulu yang memanfaatkan metode geolistrik untuk

eksplorasi air tanah diantaranya Hago, H.A., 2000; Rosid, S., 2008; Braga, A. C., 2006; Kuswanto, A.,

Wibowo, M., 2001. Penelitian masalah air tanah menggunakan geolistrik menurut Wibowo, M., 2001

umumnya bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari akifer seperti geometri, penyebaran dan

kedalaman.

Penelitian geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi melibatkan pengukuran diatas

permukaan bumi dari parameter-parameter fisika yang dimiliki oleh batuan di dalam bumi. Dari

pengukuran ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan kondisi dibawah permukaan bumi baik itu secara

vertikal maupun lateral (Telford, 1990).

Metode ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini tahanan

jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari

lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-

lapisan tersebut. Oleh karena itu harga tahanan jenis yang diukur bukan merupakan nilai tahanan jenis

untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang lebar. Harga tahanan jenis yang terukur

tersebut disebut nilai tahanan jenis semu (apparent resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai

(Loke, 2002):

𝜌𝑎= 𝐾

∆𝑉

𝐼 ; 𝑅 =

∆𝑉

𝐼 …………………....(1)

Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara kedua

elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan.

Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada geometri

konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki beberapa konfigurasi yang

dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll.

Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi Schlumberger.

Dari persamaan (1) apabila diturunkan maka diperoleh faktor geometri untuk konfigurasi Schlumberger

sbb:

𝜌𝑠= 𝐾𝑠

∆𝑉

𝐼 , dengan Ks=

𝜋 (𝐿2−𝑙2 )

2𝑙 ..………….(2)

Dimana L adalah panjang elektroda arus (AB/2), dan l panjang elektroda potensial (MN/2)

Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali atau lebih

jarak elektroda potensial (P1 P2)

Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran

penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan konfigurasi

elektroda, faktor lain adalah jenis struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada.

2. Metodologi

2.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi Kegiatan Kebun Sawit (PT. Rimba Matoa Lestari) dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda

empat dengan waktu tempuh 3 jam. Pengukuran geolistrik tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 lintasan

dengan bentangan berarah timur – barat, lokasi kegiatan berada pada elevasi 22 m dpal. Pengukuran

dilakukan pada tanggal 31 Agustus 2018.

Page 179: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

173

2.2 Desain Penelitian

Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 titik, titik ukur 001 berarah timur-barat dengan panjang

bentangan antara AB/2 antara 300 m sedangkan titik ukur 002 berarah timur-barat panjang bentangan

(AB/2) adalah 300 m. Daerah penelitian memiliki topografi yang relatif rata serta tersedia lahan kosong

untuk bentangan terpanjang sehingga bentangan maksimum dapat dicapai yaitu 300 meter (AB/2).

Pengukuran tahanan jenis di lapangan dilakukan dengan mengukur beda potensial (volt) dan kuat arus

(amper) yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan MN. Pada pengukuran ini digunakan

konfigurasi Schlumberger, konfigurasi ini baik untuk mapping maupun sounding. Untuk kegiatan

pengukuran di Kebun Kelapa Sawit (PT. Rimba Matoa Lestari) digunakan resisitivitas sounding hal ini

berdasarkan target penelitian yaitu air tanah. Pada konfigurasi Schlumberger elektroda-elektroda potensial

diam pada suatu tempat pada garis sentral AB sedangkan elektroda-elektroda arus digerakkan secara

simetri.

2.3 Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan:

Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama Noniura NRD

328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial (Volt). Output

pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang diperlukan adalah:

- Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF.

- Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara alat dengan

permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial.

- Kabel penghubung antara alat dengan elektroda

- Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap titik ukur.

- Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda.

Prosedur Kerja:

Persiapan pengukuran

Pada penelitian ini yang pertama dilakukan adalah survei awal di lokasi yang bertujuan untuk

mencari posisi pengukuran di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan peralatan yang

diperlukan untuk akuisisi data lapangan. Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan desain

interpretasi yang dikehendaki serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi

penelitian. Dalam penelitian ini diterapkan metode tahanan jenis konfigurasi Schlumberger.

2.4 Tahapan pengukuran

Tahapan pengambilan data metode geolistrik di lapangan adalah sebagai berikut:

- Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang dibawah dalam

kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu memenuhi syarat yaitu 12 volt.

sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu.

- Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar diperoleh

kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan pendukung untuk

kelancaran di lapangan.

- Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus mendapat

arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang dipercayakan (setting

peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran). Total pengukuran yang dilakukan

sebanyak 2 titik, adapun proses pengukuran sebagai berikut: :

1. Menancapkan elektroda pada permukaan tanah dengan spasi teratur.

2. Membentangkan kabel yang digunakan sebagai penghantar arus dan potensial yang

menghubungkan antara elektroda dengan alat resistivitymeter

3. Memasang kabel ke elektroda untuk menghubungkan kabel dengan elektroda

- Menghubungkan terminal kabel dan data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup

arus listrik (Amper) dan beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik

melalui dua elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi

yang memiliki nilai hambatan (ohm m).

Page 180: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

174

2.5 Pengolahan Data dan Analisis

Data yang diperoleh berupa bedapotensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut kemudian

disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis semunya. Tahanan jenis

semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan true resistivitymenggunakan IPI2win

hasilnya seperti pada Gambar 4.1 dan 4.2. Gambar tersebut merepresentasikan jenis litologi, kedalaman

dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga tahanan jenisnya.

Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-dasar sebagai berikut:

- Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil dibandingkan

dengan yang kompak pada batuan yang sama.

- Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil dibandingkan

dengan yang kompak pada batuan yang sama.

- Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang lebih besar.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Titik pengukuran geolistrik yang tersebar di dua titik dapat memberikan deskripsi litologi tentang daerah

penelitian di Kebun Kelapa Sawit (PT. Rimba Matoa Lestari). Data yang diperoleh melalui pengukuran

berupa beda potensial dan arus kemudian dihitung tahanan jenis semunya. Selanjutnya nilai tersebut diolah

menggunakan IPI2win untuk mendapatkan tahanan jenis sebenarnya. Tahanan jenis sebenarnya merupakan

model yang menggambarkan ketebalan perlapisan dan jenis batuan pada tiap-tiap pengukuran. Untuk

mengetahui jenis – jenis batuan yang ada pada masing-masing titik disesuaikan dengan besar kecilnya nilai

tahanan jenis yang dimiliki serta data geologi pada daerah penelitian. Data tahanan jenis yang sudah

melalui tahap pengolahan dapat berupa model yang menggambarkan jumlah perlapisan dan

kedalaman(Gambar 4.1 dan 4.2).Selanjutnya model tersebut dianalisis berdasarkan konsep yang

dikembangkan oleh Telford, 1990.

Hasil pengolahan data didapatkan bahwa nilai tahanan jenis relatif rendah, ini menunjukkan bahwa secara

umum lokasi penelitian tersusun oleh material seperti lempung, pasir atau campuran antara lempung dan

pasir. Tahanan jenis resistif terdapat pada lapisan 2 titik ukur 001 yaitu 62,9 ohm m Adapun hasil analisis

terhadap model yang diperoleh berupa struktur bawah permukaan adalah sebagai berikut:

3.1 Pengukuran di Titik 001

Titik pengukuran 001 dengan panjang bentangan seluruhnya 600 meter atau AB/2 adalah 300 meter, arah

bentangan timur-barat. Berdasarkan hasil pengolahan data yang menggunkan software IPI2win, lintasan ini

terdiri atas lima lapisan. Hasil pengukuran dan pengolahan data menggunakan metode geolistrik daerah

001 ditunjukkan pada Gambar 4.1. Berdasarkan Gambar 4.1 didapatkan bahwa secara umum perlapisan

batuan yang ada memiliki sifat fisik yang dominan bersifat konduktor. Kalaupun ditemukan fluktuasi nilai

tahanan jenis ini disebabkan karena komposisi penyusun lapisan seperti fluida, pasir, lempung, breksi yang

berbeda. Komposisi batuan setiap lapisan otomatis sangat berpengaruh terhadap kualitas air yang

dikandungnya. Biasanya untuk air yang memenuhi standar kualitas untuk minum berada pada lapisan pasir

atau dominan pasir, apabila ditemukan lempung lebih dominan maka air tanah dianggap memiliki

kandungan unsur atau mineral lebih banyak. Berdasarkan konsep tersebut maka kualitas air yang ada di

lokasi penelitian dapat dikategorikan sebagai air yang banyak mengandung mineral ini ditunjukkan nilai

tahanan jenis yang rendah yaitu 3.98 ohm m. Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis batuannya

setiap lapisan di lokasi 001 adalah sebagai berikut:

Lapisan pertama, merupakan top soil tahanan jenisnya 13.9 ohmm, ketebalan 2.61 m dan kedalaman

2.60 m, jenis batuan berupa lempung, pasir dan campuran

Lapisan kedua, tahanan jenisnya 62,9 ohm m berada pada kedalaman 5.1 m dengan ketebalan 2.46 m.

Pada lapisan ini struktur perlapisannya masih serupa dengan lapisan pertama yaitu pasir, breksi dan

lempung. Nilia tahanan jenis yang relative tinggi ini menunjukkan bahwa kadar lempung lebih kecil.

Page 181: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

175

Hasil Pengolahan Data Menggunakan IPI2WinLokasi Pengukuran 001 (Kebun Kelapa Sawit)

Gambar 4.1 Hasil pengolahan data menggunakan software IPI2win lokasi 001

Lapisan ketiga, tahanan jenisnya 3,98 ohm m dan memiliki ketebalan 4.74 m serta kedalam hingga

9,80 m. Nilai tahanan jenis yang relative rendah ini jika dibanding pada lapisan 2 (dua) menunjukkan

dua alternative yaitu system perlapisannya dominan lempung atau air tanah bebas yang kadarnya

dipengaruhi oleh mineral lempung.

Lapisan keempat, tahanan jenisnya 155 ohm m dengan ketebalan 13,9 m serta berada pada kedalaman

23,7 m. Berdasarkan nilai tahanan jenisnya maka lapisan ini strukturnya berupa lempung berpasir,

diprediksi sebagai lapisan kedap air yang membuat air tanah terdapat pada lapisan 5 (lima)

berasosiasi dengan tekanan sehingga tergolong sebagai air tanah tertekan (confined aquifer).

Lapisan kelima, tahanan jenisnya 4.49 ohm m dan berada pada kedalaman >23,7 m. Pada lapisan ini

strukturnya tidak kompak biasanya berupa pasir, lempung atau campuran antara lempung dan pasir.

Litologi ini dikenal sebagai lapisan akuifer.

3.2 Pengukuran di Titik 002

Titik pengukuran 002 berjarak sekitar 1 km dari titik pengukuran 001, dengan panjang bentangan 600

meter atau AB/2 adalah 300 meter, arah bentangan timur – barat. Hasil pengolahan data yang menggunkan

software IPI2win seperti pada Gambar 4.2. Berdasarkan Gambar 4.2 tersebut, didapatkan jumlah lapisan

sebanyak 3 (tiga), apabila dikorelasikan dengan titik pengukuran di lokasi 001 maka pengukuran di titik

002 untuk kedalaman hingga 14 meter memiliki sifat fisik perlapisan sama yakni 30,4 ohm m, pada

kedalaman hingga 27 meter sifat fisik berubah menjadi lebih konduktif. Apabila dibandingkan dengan

kondisi permukaan daerah penelitian maka pada lapisan 2 (dua) air tanah dapat dijumpai, namun

kualitasnya dikontrol oleh mineral lempung. Memasuki lapisan 3 (tiga), perubahan sifat fisika lapisan

bertambah hingga mencapai 24,5 ohm m pada kedalaman diatas 27 meter hal ini memungkinkan sifat air

tanah apabila ditemukan kualitasnya relative baik. Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis

batuannya setiap lapisan adalah sebagai berikut:

Lapisan pertama, tahanan jenisnya 30,4 ohmm, ketebalan 14,26 m dan kedalaman 14.26 m, merupakan

lapisan yang dikategorikan kondukstif, jenis batuan berupa pasir, breksi, dan lempung. Nilai tahanan

jenis pada lapisan ini secara umum dapat diintepretasi sebagai lapisan yang tidak mengandung air

tanah.

Lapisan kedua, tahanan jenisnya 4.23 ohm m berada pada kedalaman 27 meter dengan ketebalan lapisan

12,7 meter. Lapisan ini bersifat relative lebih konduktif jika dibanding dengan titik pengukuran 001.

Perubahan sifat fisik lapisan ini sebagai tanda hadirnya fluida atau air tanah yang kualitasnya dikontrol

oleh mineral lempung.

Lapisan ketiga, tahanan jenisnya 24,5 ohm m dan memiliki kedalaman > 27 meter. Lapisan 3 (tiga)

ini masih dikategorikan sebagai lapisan konduktif dimana peran air tanah masih dapat dijumpai dengan

kualitas relative lebih baik.

Page 182: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

176

Gambar 4.2 Hasil pengolahan data menggunakan IPI2win lokasi 002

4. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai hasil pengolahan data geolistrik maka dapat diambil kesimpulan

sebagai berikut:

1. Secara makroskopis struktur permukaan daerah penelitian berupa batuan lempung, pasir, breksi

dan campuran pasir dan lempung. Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis maka struktur

perlapisan yang dianggap sebagai akifer berada pada lapisan 2 (dua) dengan ketebalan 12,3 meter.

Lapisan ini jika dikorelasikan dengan titik pengukuran 001 maka berada pada lapisan 5 (lima)

dengan tahanan jenis berkisar antara 4.23-4.49 ohm m. Lapisan akuifer tersebut berupa pasir,

kerakal dominan lempung. Variasi nilai tahanan jenis pada titik ukur 001 menggambarkan adanya

perbedaan kadar atau komposisi pasir, lempung dan kerakal yang menyusun setiap lapisan.

Komposisi kadar ini tidak terjadi pada titik ukur 002 hal ini diperkuat oleh nilai tahanan jenis sebesar

30 ohm m yang menerus hingga kedalaman 27 meter.

2. Berdasarkan kesimpulan di atas tersebut maka disarankan untuk kegiatan pemboran air tanah

sebaiknya dilakukan pada kedalaman diatas 27 meter dengan tahanan jenis antara 4.23 – 4,49 ohm

m.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Braga, A. C. O., Fiho, W. M and, 2006. Resistivity (DC) method applied to aquifer protection studies.

Sociedade Brasileira de Geof´ısica

[2] Hago, H. A., 2000. Application of electrical resistivity method in kuantitative assessment of

groundwater reserve of unconfined aquifer. Thesis presented to the senate of Universiti Putra

Malaysia.

[3] Grandis, H dan Yudistira, T., 2000. Studi pendahuluan identifikasi penyebaran polutan bawah

permukaan menggunakan metode geolistrik. Prosiding HAGI. p. 81-91.

[4] Rosid, S., dan Johan, M., 2008. Pemetaan hidrologi dengan menggunakan metode geolistrik.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung.

[5] Sulistijo, B., 2003. Peranan teknologi geofisika dalam memantau masalah lingkungan. Jurnal Teknik

Pertambangan.

[6] Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge University

Press, New York.

[7] Wibowo, M., 2001. Potensi sumberdaya air di Surabaya berdasarkan survey geolistrik. Jurnal

Teknologi Lingkungan-BPPT.

Page 183: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

177

PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUGAMPING DENGAN

MENGGUNAKAN SURFER 11 DI KAMPUNG BOROWAY

DISTRIK GENYEM KABUPATEN JAYAPURA

Bevie Marcho Nahumury¹, Djuardrensi Patabang² Jurusan Teknik PertambanganFakultas Teknik, Universitas Cenderawasih1,2

e-mail1: [email protected]

Abstark. Sebaran potensi sumberdaya mineral Batugamping di Kabupaten Jayapura cukup

potensial, hal ini dibuktikan dengan adanya perencanaan pembangunan pabrik semen oleh

pemerintah Kabupaten Jayapura yang akan memanfaatkan potensi Batugamping tersebut. Potensi

Batugamping di Kabupaten Jayapura sebarannya tersebat dari wilayah Doyo Lama sampai daerah

Genyem, namun sampai saat ini masih terdapat beberapa wilayah atau daerah yang belum

diketahui sebaran, jumlah volume bahkan jumlah cadangannya. Potensi Batugamping ini dapat

merupakan peluang investasi yang baik apabila dikembangkan menjadi sebuah tambang rakyat

yang dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kegiatan

pemetaan geologi dan juga perhitungan nilai sumberdaya bahkan cadangan. Dalam hal ini

menyangkut kuantitas dan kualitas endapan untuk dapat memberikan informasi sebagai database

mineral bagi masyarakat sebagai pemilik lahan dan juga sangat bermanfaat untuk pemerintah

Kabupaten Jayapura sebagai potensi sumber daya mineral sektor pertambangan yang berada di

lokasi pemerintahannya, sehingga apabila dikelola dengan baik dapat memberikan nilai tambah

bagi pemerintah kota dan juga masyarakat sebagai pemilik hak ulayat.

Penelitian yang dilakukan ini bertujuan untuk mengetahui jumlah volume Batugamping yang

nantinya dapat dimanfaatkan pada saat kegiatan penambangan. Penelitian itu juga memanfaatkan

aplikasi Surfer 11 untuk pembuatan peta topografi dan menghitung jumlah volume Batu

Lempung. Adapun metode penelitian yang akan dilakukan adalah Metode Observasi, dan

Pengambilan data secara langsung di lapangan lewat kegiatan pemetaan dan pengukuran Metode

Pustaka. Jumlah volume Batu Lempung yang nantinya akan sangat memberikan informasi

penting pada saat kegiatan penambangan dilakukan.

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode Cross Section maka total volume

Batugamping pada daerah Boroway Distrik Genyem adalah sebesar surfer 11 adalah sebesar

1.905.001,67m³ dan merupakan klasifikasi sumberdaya terukur, yang artinya masih perlu

pembuktian lanjut sampai pad tahapan penambangan.

Kata Kunci : Sumberdaya, Batugamping, Cross Section, Surfer 11, Cadangan

I. PENDAHULUAN

Provinsi Papua merupakan daerah yang memiliki berbagai jenis sumberdaya mineral, contohnya

Kota Jayapura. Didaerah ini terdapat berbagai jenis sumberdaya mineralmulai dari mineral

batuan, mineral non logam, dan mineral logam.Salah satu sumberdaya mineral batuan yang dapat

kita temui yaitu batu lempung.

Batu lempung merupakan batuan sedimen yang terbentuk akibat pelapukan terdahulu dan

tertransportasi oleh aliran sungai yang kemudian material lempung ini mengalami proses

diagenesa sehingga membentuk batu lempung.Di daerah Jayapura, diperkirakan lokasi

keterdapatan batu lempung yaitu di daerah Tanah Hitam dan Abe Pantai.Namun untuk

memastikan keberadaan, mengidentifikasi dan menentukan gambaran geologi dari sumber daya

cebakan mineral tersebut maka perlu dilakukan kegiatan eksplorasi.

Page 184: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

178

Kegiatan eksplorasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengetahui letak, ukuran,

bentuk, sebaran, kuantitas, dan kualitas dari endapan mineral.Salah satu cara yang dilakukan pada

kegiatan eksplorasi ini adalah melakukan pemetaan topografi daerah potensi mineral Batu

Lempung untuk selanjutnya dapat menghitung jumlah atau nilai volume endapan yang dimiliki.

Untuk menghitung jumlah volume cebakan mineral, banyak metode yang dapat digunakan,

namun pada penelitian ini metode yang digunakan untuk menghitung jumlah dan volume Batu

Lempung yaitu dengan metode cross section dan dengan bantuan aplikasi Surfer 11.

Dengan adanya perhitungan volume endapan batu lempung dapat memberikan manfaat kepada

kepemilikan hak ulayat masyarakat di sekitar lokasi keterdapatan endapan agar dapat mencari

investor untuk dapat bekerjasama untuk membuka kegaiatan penambangan yang nantinya dapat

meningkatkan pendapatan dan juga dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar lokasi

keterdapatan endapan batu lempung tersebut, sehingga dapat meningkatpertumbuhan ekonomi

pemerintah Kota Jayapura terkhusus pada daerah yang memilki potensi sumberdaya mineral

tersebut.

II. METODE PENELITIAN

Metodologi penelitian yang dipergunakan dalam penelitian adalah :

• Studi literatur

Studi literatur dilakukan dengan

membaca penelitian-penelitian terdahulu mengenai pemetaan topografi, perhitungan volume dan

perhitungan cadangan serta hal-hal yang terkait dengan analisis perhitungan permodelan endapan

Batugamping pada daerah penelitian dan lain-lain.

• Perumusan masalah

Menentukan hal-hal yang menjadi fokus perhatian pada penelitian mengenai perhitungan

cadangan dan arah permodelan penambangan Batugamping di daerah Daerah Boroway Distrik

Genyem Kabupaten Jayapura.

• Penelitian lapangan

Dilakukan untuk memperoleh data primer mengenai pemetaan topografi daerah

penelitian, data eksplorasi daerah penelitian berupa kondisi geologi, morfologi dan kondisi batuan

yang terdapat pada lokasi penelitian.

• Pengumpulan data

Data-data yang dikumpulkan berupa :

Data Primer adalah data-data yang diambil dari pengamatan lapangan antara lain :

1. Pemetaan topografi

Page 185: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

179

2. Data koordinat lokasi penelitian

3. Kondisi morfologi dan sebaran batuan

4. Struktur geologi, dan lain-lain.

Data Sekunder adalah data-data pendukung penelitian bisa diambil dari lokasi penelitian dan

juga berasal dari studi literatur, antara lain Peta geologi, tinjauan umum lokasi dan lain-lain.

• Pengolahan dan Analisis data

Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan aplikasi surfer 11 untuk

menghasilkan peta topografi, pembuatan sayatan pada peta topografi, perhitungan volume

endapan Batugamping.

• Laporan Akhir

Penyusunan laporan sebagai hasil akhir dari penelitian mengenai Volume Batugamping.

III. PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUGAMPING DI KAMPUNG BOROWAY

DISTRIK GENYEM.

Penelitian terletak didaerah kampung Boroway yang berada dalam wilayah

pemerintahan Kabupaten Jayapura Distrik Genyem. Lokasi penelitian ini bisa ditempuh dengan

kendaraan roda dua maupun roda empat kurang lebih 1 – 2 jam dari kampus Universitas

Cenderawasih Waena.

Data Pengukuran

Permodelan arah penambangan diawali dengan pengambilan data pengkuran pada lokasi

penelitian, data pengukuran langsung dilapangan dengan mengunakan GPS (Global Position

System) Garmin 60, dimana data ini berupa data koordinat lokasi penelitian dan juga data elevasi

yang nantinya data-data ini akan diolah lagi dengan program Surfer 11 untuk pembuatan peta

Topografi daerah penelitian.

Data Koordinat Lokasi Penetian

Koordinat X Koordinat Y Elevasi

431868 9713962 156

431866 9713987 156

431873 9714040 115

431886 9714093 115

431887 9714101 115

431892 9714149 122

431878 9714162 122

431869 9714136 122

431864 9714097 162

431858 9714038 162

431852 9713975 156

431846 9713928 155

431845 9713928 155

431836 9713915 155

431825 9713927 155

431825 9713929 155

431826 9713952 156

Page 186: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

180

431827 9713974 156

431828 9713977 156

431831 9714011 156

431832 9714015 156

431832 9714021 156

431834 9714029 156

431841 9714070 162

431842 9714076 162

431851 9714133 171

431851 9714138 171

431833 9714143 171

431810 9714089 162

431802 9714011 156

431802 9713956 156

431802 9713954 156

431800 9713931 155

431798 9713929 155

431776 9713933 188

431776 9713937 188

431776 9713938 188

431776 9713940 188

431777 9713978 194

431777 9713981 194

431777 9713984 194

431781 9714021 156

431781 9714026 156

431782 9714033 156

431788 9714077 162

431789 9714080 162

431790 9714085 162

431791 9714090 162

431796 9714127 171

431772 9714082 215

431763 9714050 215

431763 9714049 215

431764 9713996 194

431758 9713945 194

431749 9713934 188

Peta Topografi Daerah Penelitian dengan menggunakan Sofwere Surfer 11

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran dilapangan, selanjutnya diolah dengan

menggunkan program softwere Surfer 11 untuk membuat peta topografi, dimana peta topografi

ini berfungsi untuk memberikan gambaran rona muka bumi atau daerah penelitian yang akan

Page 187: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

181

menunjukkan atau menggambarkan luasan sebaran batugamping pada daerah Kampung Boroway

yang nantinya akan dilakukan kegiatan penambangan.

Gambar 5.2. Peta Topografi Daerah Penelitian

Selain itu dengan menggunakan softwere Surfer 11 juga bisa membantu menggambarkan

lokasi penelitian secara tiga dimensi (3D) yang bertujuan untuk memberikan keterangan secara

rinci kenampakan morfologi pada lokasi penelitian.

Perhitungan Volume Batugamping dengan menggunakan metode Cross Section softwere Surfer

11

Dari hasil pengukuran yang olah menjadi peta topografi, maka langkah selanjutnya adalah

menghitung volume Batugamping.Perhitungan volume Batugamping dilakukan dengan

menggunakan metode cross section Surfer 11 berdasarkan grid volume computation. Perhitungan

volume Batugamping dilakukan untuk dapat mengetahui nilai sebaran dan juga nantinya dapat

menjadi acuan dalam penentuan arah penambangan yang akan dilakukan. Berikut ini adalah hasil

sayatan metode cross section.

Sayatan 1 :

Page 188: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

182

Sayatan 2 :

Sayatan 3 :

Sayatan 4 :

Sayatan 5 :

Page 189: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

183

Sayatan 6 :

Sayatan 7 :

Sayatan 10 :

Sayatan 11 :

Page 190: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

184

Sayatan 12 :

Sayatan 13 :

Sayatan 14 :

Sayatan 16 :

Page 191: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

185

Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode cross section surfer 11 maka total

volume batugamping di Kampung Boroway Distrik Genyem Kabupaten Jayapura adalah sebesar

1.905.001, 67 m³.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan Hasil perhitungan pada penelitian yang dilakukan maka dapat disimpulkan

bahwa :

1. Total nilai Volume Batugamping kampung Boroway Distrik Genyem dengan menggunakan

surfer 11 adalah sebesar 1.905.001,67m³

2. Metode yang digunakan untuk menghitung sumberdaya Batugamping adalah Metode Cross

section yang merupakan metode khusus untuk perhitungan mineral batuan.

Saran

1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan metode perhitungan lainnya agar dapat

meningkatkan tingkat keyakinan tentang sebaran Batugamping.

2. Perlu dilakukan sosialisasi terhadap kepemilikan lahan atau hak ulayat tentang sebaran batuan

beku ultrabasa baik secara teknis dan ekonomis tentang kegiatan penambangan serta dampak yang

ditimbulkan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Abdul Rauf. 1998. Perhitungan Cadangan, Penerbit Yogyakarta

[2] Adjat Sudrajad, 1999. Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Mineral, Penerbit ITB

Bandung.

[3] Ajun Ferdinandus Leba. 2011. Penaksiran Sumber daya Batubara dengan Metode Cross

Section di PT. Stria Mayangkara Sejahtera, Tanjung Telang, Lahat Sumatra Selatan,

Universitas Pembangunan Nasional, Veteran Yogyakarta

[4] Doddy Setia Graha, 1987, Batuan dan Mineral,Penerbit Nova Bandung

[5] George J. Young, 1946, Elements of Mining, McGRAW-Hill Book Company, Inc New

York and London.

[6] Sutarto , 2008. Endapan Mineral Cadangan Bahan Galian,Teknik Geologi, Universitas

Pembangunan Nasional, Veteran : Yogyakarta.

Page 192: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

186

APLIKASI E-LIBRARY PADA SMP ADVENT ABEPURA

Mingsep Rante Sampebua1, Westy Kawuwung2, dan Septiani Mangiwa3

Jurusan Matematika Program Studi Sistem Informasi FMIPA Universitas Cenderawasih1

Jurusan Matematika FMIPA Universitas Cenderawasih2

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Cenderawasih3

Email : [email protected]

Email : [email protected]

Email : [email protected]

Abstrak. Perpustakaan pada sekolah SMP Advent abepura adalah salah satu sarana pendidikan

penunjang kegiatan belajar siswa yang memegang peranan penting dalam memacu dan

meningkatkan tercapainya tujuan pendidikan. Proses yang berjalan saat ini seperti informasi

buku-buku yang ada di perpustakaan, peminjaman buku, pengembalian buku, pendataan buku,

dan pelaporan perpustakaan masih dilakukan secara manual yaitu mencatat pada buku induk atau

melihat informasi pada buku induk. Hal ini menyebabkan lambatnya pelayanan perpustakaan,

kesulitan dalam mencari informasi buku-buku yang diperlukan siswa, transaksi peminjaman dan

pengembalian buku menjadi rumit, informasi buku yang statusnya dipinjam perlu dicari dan

ditelusuri pada buku induk dan berbagai persoalan yang muncul jika tidak menerapkan aplikasi

e-library. Tujuan penelitian adalah membuat aplikasi e-Library berbasis komputer dengan

menggunakan pemograman PHP dan database MySQL. Aplikasi e-Library mempermudah

pengelolaan buku-buku perpustakaan, mempermudah transaksi peminjaman dan pengembalian

buku, mempermudah pencarian data pustaka, dan mempercepat pembuatan laporan.

Kata kunci :SMP Advent Abepura, perpustakaan, aplikasi e-library, buku.

1. PENDAHULUAN

Perpustakaan sekolah adalah salah satu sarana pendidikan yang diperlukan dalam kegiatan belajar

siswa untuk memacu tercapainya tujuan pendidikan di sekolah. Melalui perpustakaan peserta

didik dan guru memperoleh kesempatanuntuk memperluas dan memperdalam pengetahuan yang

dimiliki dengan membaca bahanperpustakaan yang telah diseleksi dan diorganisir secara

sistematis dan teratur. SMP Advent Abepura Papaua merupakan salah satu dari beberapa sekolah

yang sistem perpustakaan yang belum menerapkan aplikasi e-Librarysehingga pengelolaan buku-

buku perpustakaan dan pelayanan-pelayanan yang akan diperlukan oleh siswa masih dilakukan

secara manual seperti peminjaman buku masih ditulis pada buku induk, pencarian buku oleh siswa

pad rak-rak buku. Keterbatasan sistem informasi yang ada pada perpustakaan SMP Advent

Abepura membuat pustakawan ataupun pengunjung harus melakukan pekerjaan secara manual.

Kesulitan siswa dalam proses pencarian buku dan kerumitan pengelola dalam mencatat transaksi

peminjaman buku perpustakaan serta pelaporan yang tidak efektif memerlukan penerapan

aplikasi e-Library. Sistem informasi perpustakaan berbasis komputer dapat membantu petugas

perpustakaan dalam melakukan pengolahan data dan transaksi serta membantu pengunjung

mendapatkan informasi tentang buku (Muhamad, 2014). Gambar 1 memperlihatkan aktivitas

siswa yang sedang berjalan saat in pada perpustakaan SMP Advent Abepura Papua.

Page 193: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

187

Gambar 1. Aktivitas Siswa Pada Perpustakaan

Peminjaman buku di perpustakaan dapat dilakukan jika pengunjung sudah menjadi anggota

perpustakaan, dengan jangka waktu peminjaman 7 hari. Jika pengunjung belum mengembalikan

pada saat waktu yang telah ditentukan maka pengunjung tersebut akan dikenakan denda perhari.

Buku yang dipinjam kemudian dicatat oleh petugas perpustakaan sebagai bukti dan laporan

transaksi peminjaman. Ashutosh dan Ashish (2012) mengembangkan perangkat lunak sistem

pengelolaan perpustakaaan secara online untuk memantau dan mengendalikan transaksi di

perpustakaan. Sistem manajemen perpustakaan dikembangkan berfokus pada operasi dasar di

perpustakaan seperti menambah anggota baru, menambah data buku, memperbarui informasi

buku, mencari informasi buku dan anggota serta fasilitas untuk peminjaman dan pengembalian

buku. Pengelolaan perpustakaan yang baik salah satunya tercermin dari kemudahan akses konten-

konten pada perpustakaan tersebut. Jika konten perpustakaan dapat diakses secara luas tanpa

tergantung ruang dan waktu, maka dapat menambah daya tarik pengunjung baik mahasiswa

maupun masyarakat umum terhadap perpustakaan itu (Rickhki, 2015). Berdasarkan uraian di atas

maka SMP Advent Abepura perlu menerapkan aplikasi e-Library untuk meningkatkan kualitas

pendidikan dan meningkatkan budaya belajar dengan teknologi maju berbasis komputer dan

paperless. Mingsep dan Septiani (2017) meneliti desain aplikasi smart school sebagai model

pembelajaran inovatif yang dapat menciptakan lingkungan belajar yang powerfull karena aplikasi

smart school sebagai belended learning dari pembelajaran di sekolah sehingga siswa dapat belajar

di rumah secara online.

2. METODE

Metode penelitian yang penulis gunakan meliputi dua bagian utama yaitu metode pengumpulan

data dan metode pengembangan aplikasi e-Library. Metode pengumpulan data terdiri atas

observasi, wawancara, dan studi pustaka. Metode pengembangan aplikasi e-Library

menggunakan pendekatan prototype. Metode pengumpulan data adalah bagian awal sebagai dasar

untuk pengembangan aplikasi e-Library yang meliputi tiga bagian. Observasi adalah kegiatan

mempelajari suatu gejala dan peristiwa melalui upaya mengamati dan mencatat data atau

informasi secara sistematis tentang pelayanan perpustakaan pada SMP Advent Abepura.

Wawancaradengan pengelola perpustakaan untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab

sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu. Pertanyaan-pertanyaan dalam

wawancara ditetapkan terlebih dahulu dengan tujuan untuk menjawab fokus penelitian agar tidak

keluar dari maksud dan tujuan penelitian. Wawancara berisi pertanyaan-pertanyaan tentang

sistem pelayanan perpustakaan, permasalahan yang dihadapi sehubungan dengan pelayanan

perpustakaan, dan data-data yang simpan atau dicatat pada buku induk perpustakaan. Studi

pustaka yaitu teknik pengumpulan data dan informasi melalui buku-buku dan sumber tertulis

lainnya yang berhubungan dengan perpustakaan, yang dijadikan sebagai referensi untuk

pengembangan aplikasi e-Library. Pengembangan aplikasi e-Library dengan pendekatan

prototype meliputi beberapa tahapan yaituidentifikasi kebutuhan sistem, membuat prototype

aplikasi e-Library, menguji prototype, dan memperbaiki prototype. Tahap pertama yaitu

Page 194: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

188

identifikasi kebutuhan sistem didasarkan pada hasil observasi, wawancara dan studi pustaka yang

berhubungan dengan data-data buku, data transaksi peminjaman dan pengembalian buku, kategori

buku, sistem pelaporan kegiatan perpustakaan, dan data pengguna / pengelola perpustakaan yang

meliputi data siswa, data guru dan data pegawai perpustakaan. Tahap kedua yaitu membuat

prototype dengan cara membuat desain dan pengkodean program aplikasi e-Library

menggunakan pemrograman PHP dan database Mysql. Program aplikasi e-Library yang telah

dibuat diperlihatkan kepada pengguna aplikasi untuk menentukan apakah aplikasi tersebut telah

sesuai dengan kebutuhan. Tahap ketiga penulis melakukan uji coba prototype aplikasi e-Library

untuk memastikan bahwa sistem tersebut dapat digunakan dengan baik dan benar, sesuai

kebutuhan pemakai. Tahap keempat yaitu memperbaiki prototype sesuai saran dan masukan

pengguna. Pada tahap ini dilakukan perbaikan desain dan pengkodean aplikasi e-Library untuk

memenuhi kebutuhan pengguna. Setelah dilakukan perbaikan maka perlu dilakukan pengujian

kembali aplikasi e-Library.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Perancangan aplikasi e-Library menggunakan Data Flow Diagram (DFD) yang merupakan

model untuk menggambarkan fungsi-fungsi yang dilakukan oleh aplikasi e-Library sebagai

jaringan kerja yang saling berhubungan. Input data perpustakaan dan akses informasi dikelola

dalam database Mysql. Gambar 2 berikut memperlihatkan desain Diagram konteks aplikasi e-

Library yang meliputi empat pengguna layanan aplikas yaitu guru, anggota, kordinator

perpustakaan, dan kepala sekolah. Pengelolaan layanan aplikasi e-Libarary sepenuhnya dilakukan

oleh kordinator perpustakaan, guru dan anggota perpustakaan (siswa) menggunakan aplikasi

untuk mencari data buku dan dapat mengetahui buku yang masih dalam status dipinjam tetapi

tidak bisa melakukan input data, mengubah data, atau menghapus data.

Desain 2. Diagram Konteks Aplikasi e-Library

Tampilan antarmuka aplikasi e-Library digunakan oleh pengguna aplikasi untuk mencari data

buku, informasi tentang buku yang sedang dipinjam, transaksi peminjaman buku, dan pengelolaan

aplikasi e-Library. Antarmuka aplikasi e-Library diperlihatkan pada gambar 4, 5, dan gambar 6.

Page 195: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

189

Gambar 3. Menu Utama E-Library

Gambar 4. Login

Page 196: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

190

Gambar 5. Menu Cari Buku

Gambar 6. Menu Admin Untuk Pengelolaan Aplikasi E-Library

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini tidak dapat dihindari untuk mendukung

peningkatan kualitas dan keberhasilan proses belajar-mengajar di sekolah. Pengelolaan data

buku-buku perpustakaan dan pelayanan perpustakaan yang masih bersifat manual sangat

mempersulit pihak pengelola dalam menata dan menulis data buku-buku perpustaan, sulit dalam

melakukan transaksi peminjaman dan pengembalian buku, dan pembuatan laporan kegiatan

perpustakaan. Berdasarkan kekurangan sistem perpustakaan yang berjalan saat ini, maka perlu

untuk membuat dan menerapkan aplikasi e-LibraryBerbasis teknologi informasi sesuai kebutuhan

SMP Advent Abepura. Dengan adanya aplikasi e-Libraryteknologi informasi, maka siswa, guru

dan pengunjung lain perpustakaan dapat dengan mudah dalam mencari buku-buku yang ingin

dibaca. Jika terjadi penambahan buku atau penggantian buku yang rusak, maka pengelola dapat

melakukan update dan perubahan data pada aplikasi e-Library.

Page 197: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

191

4. KESIMPULAN

Aplikasi e-Library mempermudah pengelolaan data buku-buku perpustakaan, transaksi

peminjaman dan pengembalian buku, mempermudah pencarian data pustaka, dan mempercepat

pembuatan laporan. Proses input data sampai proses output data lebih akurat dan dapat melihat

data-data buku atau informasi kegiatan pelayanan perpustakaan dengan cepat pada saat

diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ashutosh Tripathi dan Ashish Srivastava, 2012. Online Library Management System, IOSR

Journal of Engineering (IOSRJEN), ISSN: 2250-3021, Vol. 2 Issue 2, Feb.2012, pp. 180-

186.

[2] Darmono, 2007. Perpustakaan Sekolah, Pendekatan Aspek Manajemen dan Tata Kerja,

Grasindo, Jakarta.

[3] Mingsep Sampebua and Septiani Mangiwa, (2017). The desain smart school application to

increase education in junior high school. International Journal of Computer Science and

Information Security (IJCSIS), ISSN: 1947-5500 Vol. 15, No. 10, October 2017

[4] Muhamad S. Muarie, 2014. Sistem Informasi Perpustakaan SMP Negeri 5 Palembang

Menggunakan PHP dan MySQL, Jurnal Teknik Informatika Politeknik Sekayu, Volume 1,

No. 1.

[5] Richki Hardianto, 2015. Pengembangan Sistem Informasi Perpustakaan Menggunakan

Kerangka PIECES, Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Terapan Volume I, No 3, ISSN: 2407

- 3911

Page 198: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

192

PERANCANGAN SISTEM PENGELOLA DATA PENERIMA

TUNJANGAN SERTIFIKASI GURU

(Studi Kasus Bagian Keuangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan

Kota Jayapura)

Yuli Susanti, Remuz MB Kmurawak, Yokelin Tokoro 1 Program Studi Sistem Informasi, FMIPA Universitas Cenderawasih

email : [email protected]

Abstrak. Proses Pengolahan data penerima tunjangan sertifikasi guru pada sub bagian keuangan

masih dikerjakan secara sederhana menggunakan Microsotf Excel dan proses penyimpanan arsip

dilakukan secara konvensional. Dampaknya adalah data menjadi rentan hilang, proses pencarian

arsip yang tidak efektif dan pengolaan informasi yang tidak transparan. Penelitian ini bertujuan

untuk mengembangkan suatu sistem pengelolaan data tunjangan sertifikasi guru yang

memungkinkan pengolahan informasi dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Pengembangan

sistem menggunakan metode prototype, yang sifatnya sangat cepat dan menghemat waktu.

Adapun tahapan dalam pengembangan sistem yang dilakukan adalah: (1.) Pengumpulan

Kebutuhan (2.) Membangun Prototype / Prototyping (3.) Evaluasi Prototyping (4.) Mengkodekan

Sistem(5.) Menguji Sistem. Sistem ini menggunakan Code Igniter sebagai bahasa pemrograman

dan mySQL sebagai database server. Hasil penelitian telah memberikan efisiensi dalam

pengolahan data tunjangan pada Bagian Keuangan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota

Jayapura.

Kata kunci : tunjangan sertifikasi, dinas pendidikan dan kebudayaan, PHP framerwork, model

prototype

1. PENDAHULUAN

Dinas Pendidikan Kota Jayapura memiliki peranan penting untuk meningkatkan mutu pendidikan

yang ada di wilayah Jayapura dengan adanya sistem informasi pada instansi pemerintah maupun

swasta dapat mempermudah dalam pengelolaan data dengan lebih baik. Pengelolaan data yang

baik akan mendukung kinerja dari suatu instansi. Proses pengolahan data penerima tunjangan

sertifikasi guru pada dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura masih dilakukan secara

manual. Prosesnya dilakukan mengguakan aplikasi microsotf excel dan proses penyimpanan arsip

dilakukan secara konvensional.

Dampaknya adalah data menjadi rentan hilang, proses pencarian arsip yang tidak efektif dan

pengolaan informasi yang tidak transparan. Perancangan Sistem Pengolahan Data Penerima

Tunjangan Sertifikasi Guru adalah solusi permasalahan tersebut. Dengan adanya sistem ini

sehingga pengelolaan data tunjangan menjadi lebih mudah dan efektif karena data-data masukan

disimpan dalam suatu database atau sistem yang bertujuan untuk mempermudah admin dalam

mengolah data serta memberikan informasi dengan lebih efektif dan efisien.

2. LANDASAN TEORI

a. Sistem Informasi

Sistem informasi berasal dari kata sistem dan informasi, sistem dapat diartikan sebagai kumpulan

dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu sebagai satu kesatuan.

Page 199: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

193

Informasi merupakan kumpulan data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berarti bagi yang

menerimanya. Informasi adalah data yang diolah menjadi bentuk yang lebih berguna dan lebih

berarti bagi yang menerimanya.Sistem informasi adalah suatu sistem di dalam suatu

organisasi yang mempertemukan kebutuhan pengolahan transaksi harian, mendukung

operasi, bersifat manajerial dan kegiatan strategi dari suatu organisasi dan menyediakan

pihak luar tertentu dalam laporan-laporan yang diperlukan. Sistem informasi bertujuan

untuk menyajikan informasi guna mendukung fungsi operasional, manajemen, dan

pengambil keputusan dalam sebuah organisasi(Ari & Syani, 2017).

b. Sertifikasi Guru

Sertifikasi guru adalah proses uji kompetensi yang dirancang untuk mengungkapkan penguasaan

kompetensi seseorang sebagai landasan pemberian sertifikat pendidik. Secara khusus sertifikat

pendidik adalah bukti formal dari pemenuhan dua syarat, yaitu kualifikasi akademik minimum

dengan penguasaan kompetensi minimal sebagai guru. Sertifikasi berasal dari kata certification

yang artinya diploma atau pengakuan secara resmi kompetensi seseorang untuk memangku

jabatan profesional. Istilah sertifikasi dapat diartikan sebagai surat keterangan (sertifikat) dari

lembaga berwenang yang diberikan kepada profesi, dan sekaligus sebagai penyataan (lisensi)

terhadap kelayakan profesi untuk melaksanakan tugas. Bagi guru agar dianggap layak dalam

mengembang tugas profesi pendidik, maka guru harus memiliki sertifikat pendidik. Sertifikat

pendidik diberi kepada guru dan dosen yang telah memenuhi persyaratan. Sertifikasi tersebut

dapat diikuti oleh guru dalam jabatan yang telah memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau

diploma empat (D-IV) (Syamsuri & Nurdin, 2016).

c. Tunjangan Profesi

Tunjangan profesi adalah tunjangan yang diberikan kepada guru yang telah memiliki sertifikat

pendidik dan memenuhi persyaratan lainnya. Guru yang dimaksud adalah guru PNS dan guru

bukan PNS yang diangkat oleh pemerintah, pemerintah daerah atau yayasan/masyarakat

penyelenggara pendidikan baik yang mengajar di sekolah negeri maupun sekolah swasta.

Tunjangan profesi bersifat tetap selama guru yang bersangkutan melaksanakan tugas sebagai guru

dengan memenuhi semua persyaratan dan ketentuan yang berlaku dalam Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Nomor 36 Tahun 2007 tentang penyaluran tunjangan profesi seorang

guru berhak menerima tunjangan profesi apabila memenuhi kriteria/persyaratan sebagai berikut:

1. Memiliki satu atau lebih sertifikat pendidik yang telah diberi satu nomor regisrasi guru oleh

Departemen Pendidikan Nasional;

2. Memenuhi beban kerja sebagai guru;

3. Mengajar sebagai guru mata pelajaran dan / atau guru kelas pada satuan pendidikan yang

sesuai dengan peruntukan sertifikat pendidik yang dimilikinya;

4. Terdaftar pada Departemen Pendidikan Nasional sebagai guru tetap;

5. Berusia paling tinggi 60 (enam puluh) tahun; dan

6. Tidak terikat sebagai tenaga tetap pada instansi selain satuan pendidikan tempat dia bertugas

(Mulyasa, 2007).

d. Code Igniter

Code Igniter merupakan aplikasi open source yang berupa framework dengan model MVC

(Model, View, Controller ) untuk membangun website dinamis dengan menggunakan PHP.

CodeIgniter memudahkan pengembang (developer) untuk membuat aplikasi web dengan cepat

dan mudah dibandingkan dengan membuatnya dari awal. (Supardi, 2018).

e. Unified Modelling Language (UML)

Unified Modelling Language adalah suatu bahasa pemodelan untuk sistem atauperangkatlunak

yang digunakan untuk menyederhanakan permasalahan-permasalahan yang kompleks sehingga

Page 200: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

194

lebih mudah dipelajari dan dipahami. Dalam kerangka pengembangan sistem, UML sebagai

bahasa pemodelan berguna sebagai sarana analisis, pemahaman, visualisasi, komunikasi,

dokumentasi danjuga bermanfaat dalam melakukan pengujian terhadap aplikasi yang telah selesai

dikembangkanRosa & Shalahuddin, 2015).

F. Pengujian Black Box

Digunakanuntuk menguji fungsi-fungsi khusus dari perangkat lunak yang

dirancang.Kebenaran perangkat lunak yang diuji hanya dilihat berdasarkan keluaran yang

dihasilkan dari data atau kondisi masukan yang diberikan untuk fungsi yang ada tanpa melihat

bagaimana proses untuk mendapatkan keluaran tersebut.Dari keluaran yang dihasilkan,

kemampuan program dalam memenuhi kebutuhan pemakai dapat diukur sekaligus dapat

diketahui kesalahan-kesalahannya. Berdasarkan konsep pengujianblack box (functionality)

testing mengidentifikasi kesalahan yang berhubungan dengan kesalahan fungsionalitas perangkat

lunak yang tampak dalam kesalahan output (Sidi, Fajri, & Rahmadi, 2015).

3. METODE PENGEMBANGAN SISTEM

Gambar 1. Metode Prototype

Model yang akan digunakan dalam pembuatan perancangan sistem pengolahan data penerima

tunjangan sertifikasi guru (studi kasus pada sub bagaian keuangan Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kota Jayapura ) adalah Prototipe.

Tahapan-tahapan dalam model Prototipe sebagai berikut :

1. Pengumpulan Kebutuhan Pada tahappengumpulan kebutuhan, costumer memaparkan apa saja

yang dibutuhkan dalam sistem yang akan dibuat.

2. Membangun Prototyping Pada tahap pembangunan prototyping, pengembang dan pembuat

sistem bersama-sama membuat formatinput maupun output yang akan dihasilkan oleh sistem

yang dibuat.

3. Evaluasi Prototyping Selanjutnya, setelah tahap pembangunan prototyping, prototype yang

telah dirancang akan dievaluasi untuk dkerjakan pada tahap selanjutnya.

4. Mengkodekan sistem pada tahap ini, sistem yang ingin dibuat akan dibuatkan kedalam bahasa

pemograman baik pascal, visual basic, php, dan sebagainya.

Page 201: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

195

5. Menguji System Pada tahap pengujian system, koding yang telah dibuat sebelumnya akan diuji

apakah dapat berjalandengan baik ataukan masih ada bagian-bagian yang perlu diperbaiki atau

apakah masih ada bagian yangbelum sesuai dengan keinginan pelanggan.

4. PERANCANGAN SISTEM

Kelola Data Guru

golongan/

pangkat

tempat tugas

<<include>>distrik

<<include>>jenjang

tunjangan

<<include>>

pajak potongan<<include>>

gajiKelola Laporan

Informasi Tunjangan

Guru

Admin

Logout

<<include>>

Login

<<include>>

<<include>>

<<include>>

<<include>>

Pimpinan

kelola admin

<<include>>

<<include>>

<<include>>

<<include>>

Gambar 2. Perancangan Usecase

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3. Tampilan login Gambar 4. Tampilan menu utama

Gambar 5. Tampilan data guru Gambar 6. Tampilan data tunjangan

Page 202: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

196

Gambar 7. Tampilan laporan tunjangan

5. KESIMPULAN

1) Sistem pengolahan data tunjangan sertifikasi guru dapat membantu staf dalam

pengolahan data penerima tunjangan pada sub bagian keuangan Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Kota Jayapura.

2) Proses pengolahan data tersebut meliputi proses pendataan admin, pendataan guru,

golongan, jenjang, distrik, tempat tugas, dan proses pemasukan data tunjangan pada guru.

3) Dengan adanya sistem pengolahan data tunjangan dapat merubah proses manual menjadi

sebuah sistem yang terkomputerisasi sehingga informasi seperti data tunjangan yang telah

diperoses per triwulan dapat memberikan laporan dengan cepat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ari, F. P., & Syani, M. (2017). Sistem Informasi Pengolahan Sertifikat Berbasis Web Divisi

Training Seamolec. Jurnal Masyarakat Informatika Indonesia (JMMI Vol 1/IV/2016), 75.

[2] Mulyasa, H. (2007). Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru. Bandung: Rosda Karya.

[3]Rosa, & Shalahuddin, M. (2015). Rekayasa Perangkat Lunak. Bandung: INFORMATIKA.

[4] Sidi, M. M., Fajri, R. F., & Rahmadi, H. (2015). Pengujian Aplikasi Menggunakan Black Box

Testing Boundary Analysis. Jurnal Ilmiah Teknologi Informasi Terapan Volume I, No 3, 10

Agustus 2015, 34.

[5]Syamsuri, A. S., & Nurdin. (2016). Profesionalisme Guru Pascasertifikasi. Jurnal Equilibrium

Pendidikan Sosiologi Volume IV No.2 November 2016, 157.

[6] Yakub. (2012). Pengantar Sistem Informasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Page 203: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

197

PERANCANGAN SISTEM INFORMASI PENGOLAHAN DATA

KENAIKAN GAJI BERKALA GURU

PADA DINAS PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

KOTA JAYAPURA

Becky Kareni, Remuz M.B Kmurawak, Yokelin Tokoro, S.T., M.Cs. Program Sistem Informasi FMIPA Universitas Cenderawasih

email : karenibecki.com

Abstrak. Proses perhitungan kenaikan gaji berkala, dilakukan dengan cara mencatat nama-nama

guru yang telah memenuhi persyaratan untuk kenaikan gaji berkala pada kertas lalu

menyimpannya. Proses tersebut menimbulkan kendala karena memerlukan jumlah tenaga kerja

maupun waktu yang sangat banyak dalam mengarsipkan data kenaikan gaji berkala, maupun

proses inventarisi arsip yang sangat tidak efisien. Penelitian ini bertujuan untuk memodelkan

pengolahan data kenaikan gaji berkala guru, dalam sebuah sistem . Dengan adanya sistem

informasi kenaikan gaji berkala tersebut, waktu dan sumberdaya manusia yang diperlukan

menjadi lebih efisien dan efektif. Penelitian ini menggunakan metode prototype, yang terdiri dari

beberapa tahapan, yaitu: (1.) Pengumpulan Kebutuhan (2.) Membangun Prototype / Prototyping

(3.) Evaluasi Prototyping (4.) Mengkodekan Sistem (5.) Menguji Sistem. Pengumpulan

kebutuhan dilakukan menggunakan obsrevasi, wawancara dan studi pustaka. Aplikasi

dimodelkan dengan menggunakan Unified Modeling Language ( UML), serta PHP framework

digunakan sebagai bahasa pemrogramannya. mySQL digunakan sebagai database server. Hasil

dari pengembangan sistem ini dapat meningkatkan efisiensi kerja dilingkungan Dinas Pendidikan

dan Kebudayaan Kota Jayapura dalam pendataan kenaikan gaji berkala guru.

Kata kunci : Sistem Infromasi, Gaji berkala, Php Framework, MySql , Metode Prototype.

1. PENDAHULUAN

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura merupakan instansi Pemerintah yang didirikan

untuk menjadi sentral dari Sekolah, Guru dan Siswa/siswi, dan masalah yang ditemukan adalah

dimana setiap Kenaikan Gaji Berkala masih terdapat data yang tidak sesuai dengan Surat

keterangan pegawai yang terjadi karena data yang ada masih dilakukan dengan cara manual.

Kenaikan gaji berkala adalah kenaikan gaji yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil yang

telah mencapai masa kerja golongan yang ditentukan untuk kenaikan gaji berkala yaitu setiap 2

tahun sekali dan apabila telah memenuhi persyarat berdasarkan peraturan perundangundangan

yang berlaku.

2. METODE

Model prototipe dapat digunakan untuk menyambungkan ketidakpahaman pelanggan mengenai

hal teknis dan memperjelas spesifikasi kebutuhan yang diinginkan pelanggan kepada

pengembang perangkat lunak. Program prototipe ini dievaluasi oleh pelanggan atau user sampai

Page 204: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

198

ditemukan spesifikasi yang sesuai dengan keinginan pelanggan atau user. Berikut adalah gambar

dari model prototipe:

Gambar 0.1 Ilustrasi Model Prototipe

Berikut ini merupakan penjelasan pengembangan metode prototipe menurut (Indriasari, 2012)

adalah:

1. Mendengarkan pelanggan

Pada tahap ini dilakukan pengumpulan kebutuhan dari sistem dengan cara mendengar

keluhan dari pelanggan. untuk membuat sistem yang sesuai kebutuhan dan harus diketahui

terlebih dahulu bagaimana sistem yang sedang berjalan untuk kemudian mengetahui masalah

yang terjadi.

2. Membangun/memperbaiki Prototipe

Pada tahan ini, dilakukan perancangan dan membuat prototipe sistem. Prototipe yang

dibuat disesuaikan dengan kebutuhan sistem yang telah didefinisikan sebelumnya dari

keluhan pelanggan atau pengguna.

3. Uji coba

Pada tahap ini, prototipe dari sistem di uji coba oleh pelanggan atau pengguna.

Kemudian dilakukan evaluasi kekurangan-kekurangan dari kebutuhan pelanggan.

Pengembangan kemudian kembali mendengarkan keluhan dari pelanggan untuk

memperbaiki prototipe yang ada.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Unified Modeling Language (UML)

Berikut ini merupakan Unified Modeling Language perancangan sistem informasi pengolahan

kanaikan gaji berkala guru yang menggambarkan proses dan hubungan dengan objek-objek

yang berkaitan dalam perancangan sistem informasi pengolahan kenaikan gaji berkala guru pada

Kantor Dinas Pendidikan Kota Jayapura.

3.2. Use Case Diagram

Use Case Diagrampada admin mendeskripsikan interaksi antara aktor dengan sistem. Untuk

dapat mengakses bagian-bagian didalam sistem admin harus melakukan login terlebih dulu.

Didalam Use Case Diagram admin disebut sebagai aktor yang dapat mengelola data seperti

menambah data, mengubah, menghapus dan melihat informasi yang ada.

Page 205: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

199

Admin

(Pegawai)

User

( Guru)

Kelola Data Guru

Kelola Data Kenaikan

Gaji Berkala Guru

Gajisk Kenaikan Gaji Berkala

Laporan

Login

Melihat Data Kenaikan Gaji Berkala

<<extend>>

<<extend>>

Tempat Kerja pangkat

<<extend>>

<<extend>><<extend>><<extend>> <<extend>>

Logout <<include>>

<<include>>

Dalampembuatanaplikasi,antarmukajugamemegangperanyangpenting. Antarmukadapat

memudahkanuserdalammengoperasikanaplikasiyang telah dibuat.Olehkarena itu,antar mukapada

aplikasi

1. Tampilan Login 2. Tampilan Menu Utama

Gambar 5.2 Tampilan Login Gambar 5.45 Tampilan Menu Utama

3 Tampilan Data Guru 4. Tampilan SK Kenaikan Gaji Berkala

Gambar 5.46 Tampilan Login Gambar 5.47Tampilan Login

Page 206: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

200

4. KESIMPULAN

a. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diperoleh dari skripsi Perancangan Sistem Informasi Pengolahan Data

Kenaikan Gaji Berkala Guru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura, yaitu informasi

Kenaikan Gaji Berkala yang telah dibuat dan dapat membantu proses pengolahan Data kenaikan

Gaji Berkala Guru.

Dengan adanya Perancangan Sistem Informasi Pengolahan Data Kenaikan Gaji Berkala Guru

tersebut dapat mengubah proses manual menjadi sebuah sistem yang terkomputerisasi sehingga

informasi yang diperlukan dapat diperoleh dengan cepat dan tepat guna.

b. Saran

Saran yang dapat dikemukakan untuk Perancangan Sistem Informasi Pengolahan Data Kenaikan

Gaji Berkala Guru Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Jayapura sebagai berikut:

Pengembangan pada sistem informasi masih perlu dikembangkan karena kelengkapan fitur yang

ada masih kurang seperti filter pada sistem. Dengan adanya pengembangan, sistem yang dibangun

dapat bermanfaat dan berfungsi sesuai dengan kebutuhan

DAFTAR PUSTAKA

[1] Indriasari, S. (2012, Agustus 31). Sistem Informasi Web Untuk Membantu Kegiatan Tracer

Study Program Diploma Institut Pertanian Bogor. Jurnal Sains Terapan Edisi II, 2, 4. Dipetik

Maret 09, 2016

Page 207: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

201

POTENSI REMBESAN HIDROKARBON BERDASARKAN

EKTRAKSI KELURUSAN DAN ANOMALI HIDROKARBON

DENGAN CITRA LANDSAT 8 OLI PADA CEKUNGAN SALWATI,

PAPUA

Marcelino Yonas

Jurusan Teknik Geologi dan Pertambangan, Universitas Cenderawasih, Jayapura e-mail : [email protected]

Abstrak - Secara geografis, daerah penelitian terletak pada bagian kepala burung pulau Papua

atau termasuk dalam wilayah administratif Kotamadya Sorong, Propinsi Papua Barat. Daerah

penelitian merupakan area konsesi dari PT. Petrochina Bermuda, Ltd dan secara geologi

merupakan bagian dari Cekungan Salawati. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk

melakukan interpretasi terhadap potensi keberadaan hidrokarbon melalui analisis citra Landsat 8

OLI. Metode penelitian dilakukan secara kuantitatif yang diawali dengan melakukan ekstraksi

terhadap kelurusan di permukaan bumi. Ekstraksi kelurusan pada permukaan bumi dilakukan

secara digital pada data DEM. Sementara itu, ekstraksi permukaan secara manual dilakukan pada

data citra Landsat 8 OLI. Selanjutnya, dilakukan analisis densitas kelurusan di permukaan bumi

untuk menganalisis daerah dengan pengaruh struktur geologi. Analisis anomali hidrokarbon

terhadap citra Landsat dilakukan dengan menggunakan metode “Segitiga Almeido-Filho” dan

analisis nilai threshold mineral untuk menentukan daerah anomali rembesan mikro dan alterasi

mineral di daerah penelitian. Justifikasi dari penelitian ini akan didasarkan pada data sumur-

sumur produksi pada Blok Arar dan Blok Walio di Cekungan Salawati. Selanjutnya, dari hasil

analisis anomali dan rembesan mikro hidrokarbon menunjukkan sebaran anomali berada pada

bagian utara, tengah dan selatan daerah penelitian. Untuk menentukan area prospek hidrokarbon,

maka dilakukan pembobotan terhadap masing-masing paramater mulai dari yang terbesar hingga

yang terkecil, yakni densitas kelurusan, anomali hidrokarbon dan alterasi mineral. Hasil akhir

penelitian adalah berupa proses tumpang susun dari parameter ini yang menunjukkan area

prospek hidrokarbon di daerah penelitian berada pada kisaran prospek “sedang-tinggi” yang

tersebar secara setempat-setempat di bagian utara, tengah dan selatan daerah penelitian.

Kata Kunci : kelurusan, citra landsat 8 OLI, densitas, segitiga Almeida-Filho

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ketersediaan cadangan energi fosil di seluruh dunia mengakibatkan pola kebijakan energi dunia

lebih menekankan pada kegiatan eksplorasi terhadap sumber-sumber energi yang terbarukan,

akan tetapi kebijakan tersebut masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk dilaksanakan

secara global di seluruh dunia terkait masalah sosialisasi dan ketersediaan infrastruktur yang

memadai. Untuk mengatasi dan mencari solusi dari kebutuhan energi yang semakin meningkat,

maka salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan menggiatkan kembali aktivitas eksplorasi

pada cekungan-cekungan sedimenter yang masih memiliki potensi hidrokarbon.

Tatanan tektonik di Pulau Papua yang sangat kompleks mengakibatkan keberadaan sesar-sesar

mayor dan kelurusan-kelurusan akan dapat dijumpai pada Cekungan Salawati. Imbas dari

aktifnya Sesar Sorong pada kala Pliosen menjadi jalur migrasi bagi hidrokarbon dari batuan induk

berupa Formasi Klasafet dan Lower Klasaman ke batuan reservoir dari Formasi Kais. Teknologi

penginderaan jauh merupakan salah satu teknologi yang dapat digunakan dalam melakukan

interpretasi terhadap potensi dari rembesan hidrokarbon pada permukaan bumi. Ekstraksi

Page 208: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

202

kelurusan (lineament) permukaan akibat aktivitas tektonikdan analisis anomali hidrokarbon

berdasarkan Citra Landsat 8 OLI akan menjadi salah satu hal yang menarik untuk dikaji lebih

jauh.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana cara melakukan ekstraksi kelurusan di permukaan bumidari data Citra Landsat 8

OLI?

2. Bagaimana menganalisis anomali potensi keterdapatan Hidrokarbon melalui proses alterasi

mineral dan proses pelapukan kimiawi di permukaan bumi?

3. Bagaimana cara menganalisa hubungan antara potensi hidrokarbon dan densitas kelurusan?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan hubungan antara densitas kelurusan dengan potensi hidrokarbon di daerah

penelitian.

1. Menentukan daerah anomali rembesan hidrokarbon dan interpretasi threshold mineral alterasi

di daerah penelitian.

2. Mendapatkan potensi hidrokarbon berdasarkan interpretasi keterdapatan kelurusan di

permukaan bumi yang dikorelasikan dengan analisis citra Landsat untuk memprediksi daerah

prospek hidrokarbon di daerah penelitian.

2. METODE

2.1 Alat dan Bahan.

Adapun alat dan bahan yang digunakan penulis selama melakukan penelitian ini adalah sebagai

berikut :

A. Alat.

- Komputer

- Printer

B. Bahan.

- Peta Geologi Regional lembar Sorong skala 1 : 250.000

- Data DEM resolusi 30 meter

2.2. Tahapan Penelitian

Penelitian mengenai ekstraksi kelurusan pada Area Konsesi PT. Petrochina Bermuda terdiri atas

beberapa tahapan, antara lain ; tahap persiapan, pengumpulan data berupa data primer maupun

sekunder, ekstraksi kelurusan dari data SRTM dan Citra Landsat 8 OLI, pengolahan data,

kompilasi data dan penyusunan tesis

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Kelurusan Digital dari Data DEM

Kelurusan secara digital dianalisis pada citra hasil proses weighted overlay dengan menggunakan

perangkat lunak PCI Geomatica yang menggunakan algoritma parameter tertentu. Penentuan

algoritma parameter dilakukan dengan melakukan percobaan pada beberapa nilai untuk

menghasilkan kelurusan yang paling tepat sehingga nantinya akan menghasilkan peta kelurusan

daerah penelitian.(Gambar 2). Tahapan pertama dalam ekstraksi kelurusan secara digital adalah

dengan menentukan algoritma parameter penarikan kelurusan. Parameter yang dipakai dalam

analisis ini adalah RADI=10, GTHR=25, LTHR=5, FTHR=3, ATHR=15 dan DTHR=5.

3.2 Kelurusan Manual dari Data Citra Landsat 8 OLI

Berbeda halnya dengan ekstraksi digital pada data DEM, maka pada ekstraksi kelurusan di citra

Landsat dilakukan secara manual/visual dengan menggunakan beberapa metode, yang diharapkan

Page 209: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

203

akan menghasilkan kelurusan yang lebih baik. Metode-metode tersebut, antara lain : metode

Principal Component, Ratio Band dan Filtering.

3.2.1 Metode Principal Component

Pada penelitian ini, penulis menggunakan 6 buah saluran pada citra Landsat 8 yakni saluran 2, 3,

4, 5, 6 dan 7 untuk membuat kenampakan fitur multispektral yang menghasilkan citra baru dan

memuat hingga 89.098 % untuk PC1, 10.98 % untuk PC2 dan 0.0007 % untuk PC3 dan bila

ditotal menghasilkan 99.89 % sehingga dengan 3 saluran citra ini dianggap mewakili keseluruhan

saluran citra Landsat serta sangat efisien dalam melakukan analisis citra untuk keperluan

identifikasi kelurusan geologi.

3.2.2 Metode Ratio Band

Pada metode ini, penulis menekankan pada beberapa formula rasio saluran yang berkaitan dengan

analisis geologi yang telah dimodifikasi berdasarkan jenis data set yang digunakan, yang dalam

hal ini citra Landsat 8 +ETM, yaitu rasio saluran 6/7, ¾ dan 4/5 (Abrams et.al, 1983) dalam format

Red, Green dan Blue (RGB), dengan spesifikasi rasio saluran sebagai berikut :

• Rasio 6/7 digunakan dalam mengidentifikasi litologi yang mengandung unsur Al-OH.

Mineral-mineral ini sangat baik digunakan sebagai indikator dari kehadiran air sepanjang zona

rekahan.

• Rasio ¾ digunakan dalam mengidentifikasi tingkat kepadatan vegetasi.

• Rasio 4/5 digunakan untuk menampilkan area yang terganggu dalam rona yang

gelap/hitam dan menunjukkan dominasi mineral FeO yang kaya akan aluminosilikat.

3.2.3 Metode Filtering

Metode ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas image data raster dengan cara melakukan

tumpang tindih secara statistik dengan data di sekitarnya (neighborhood statistic). Penyaringan

dilakukan terhadap saluran 8 dari citra Landsat 8 +ETM sebagai saluran pankromatik karena

memiliki resolusi spasial 15 meter yang lebih baik bila dibandingkan dengan saluran-saluran citra

Landsat lainnya, sehingga diharapkan identifikasi kelurusan menjadi lebih baik dan teliti tanpa

mengandalkan subjektifitas dari peneliti. Secara umum, saluran pankromatik yang dianalisis

sebelumnya telah mendapatkan koreksi geometrik dan atmosferik guna menghasilkan

kenampakan citra yang lebih baik.Pada penelitian ini menekankan pada frekuensi spasial citra

atau dengan kata lain, operasi penyaringan akan mempertajam batas antara unit-unit yang ada

untuk mengidentifikasi kehadiran kelurusan pada daerah penelitian. Penggunaan metode

penyaringan arah (directional filtering) adalah untuk meningkatkan, mengekstrak, dan

mengklasifikasikan arah orientasi kelurusan. Arah kelurusan akan sangat bergantung kepada

kenampakan struktur geologi serta pengaruh tektonik yang bekerja di daerah penelitian, sehingga

penyaringan arah akan diterapkan dengan menggunakan proses konvolusi dengan matriks 3x3

dari penyaring Sobel-Kernel yang akan membantu dalam mendapatkan akurasi kelurusan yang

paling baik.

3.3 Karakteristik Kelurusan dan Sesar Daerah Penelitian

Hampir semua lapangan minyak dan gas yang ada di Cekungan Salawati terhubung dengan dapur

pembentukan hidrokarbon yang ada di downdip melalui sesar normal, menandakan bahwa sesar

dan fraktur di Cekungan Salawati merupakan jalur bagi migrasi hidrokarbon. Sesar-sesar ini

secara umum berkedudukan paralel terhadap arah migrasi. Dalam hal ini, sesar yang paralel

memperbesar jalur aliran migrasi, sementara sesar yang tegak lurus terhadap arah migrasi

cenderung menhambat laju migrasi hidrokarbon.(Satyana, 1999).

Didalam melakukan rekonstruksi terhadap kelurusan dan rekahan pada permukaan bumi yang

telah diidentifikasi, tidak terlepas dari implikasinya terhadap Formasi batuan yang dijumpai pada

permukaan bumi. Dari pembahasan sebelumnya dapat terlihat bahwa Formasi Klasafet (Tmk)

yang tersusun oleh Batulumpur gampingan dan Batunapal memiliki nilai standar deviasi dari

panjang kelurusan yang lebih besar dari panjang rata-rata kelurusan di Formasi tersebut sehingga

diinterpretasikan sebagai akibat dari tingkat pelapukan di permukaan bumi yang masih dominan.

Page 210: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

204

Gambar 1. Peta Gabungan Kombinasi Kelurusan dengan Metode Penyaringan Sobel-Kernel.

3.4 Data Kumulasi Hidrokarbon Blok Arar dan Walio

3.4.1 Blok Arar

Merupakan salah satu blok migas dari PT. Petrochina Bermuda, Ltd di Salawati-Sorong, Papua

yang masih beroperasi hingga saat ini . Berdasarkan data dari pihak perusahaan, sumur “Kyanite

06” memiliki jumlah kumulatif gas yang terbesar hingga saat ini di Blok Arar dengan jumlah

cadangan sebesar 115119.2 MMSC dan sumur “Titanite 01” dengan kumulatif gas yang terkecil

dengan 453.3 MMSC, sementara sumur dengan kumulatif Minyak Bumi yang terbesar adalah

sumur “Kyanite 06” dengan 6067 Mbbl dan sumur “Klagagi” dengan jumlah kumulatif 21 Mbbl.

3.4.2 Blok Walio

Merupakan blok migas dari PT.Petrochina Bermuda, Ltd di Salawati-Sorong, Papua yang terletak

di bagian selatan Cekungan Salawati yang juga masih beroperasi hingga saat ini. Berdasarkan

data dari pihak perusahaan, sumur “Quartz” merupakan sumur produksi Minyak Bumi yang

terbesar di Blok Walio dengan jumlah kumulatif Minyak Bumi sebesar 202.523 Mbbl dan

kumulatif gas sebesar 16.030 MMSC sementara sumur “Granite” dengan produksi kumulatif

Page 211: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

205

minyak dan Gas Bumi yang paling sedikit dengan jumlah kumulatif Minyak Bumi sebesar 2 Mbbl

dan Gas Bumi dengan jumlah kumulatif 24.9 MMSC.

Gambar 2. Peta Densitas Kelurusan dan Lapangan Migas Blok Arar (a) dan Blok Walio (b)

3.5 Analisis Anomali Rembesan dalam Eksplorasi Hidrokarbon

3.5.1 Analisis Threshold Mineral

Berdasarkan uraian sebelumnya, dalam mendeteksi anomali keberadaan potensi hidrokarbon,

maka analisis terhadap mineral-mineral alterasi lempung dilakukan dengan melakukan

perhitungan secara statistik terhadap saluran-saluran citra Landsat yang memiliki karakteristik

terhadap rasio saluran tertentu (Tabel 3.3), dimana dalam penelitian melakukan analisis terhadap

alterasi mineral felspar berupa kaolinit, illit dan klorit (Gambar 5.23). Masing-masing mineral ini

dicirikan dengan nilai respon perbandingan panjang gelombangnya (Lampiran), yang diuraikan

sebagai berikut :

• Mineral Kaolinit, berdasarkan nilai spektral mineral, maka mineral ini memiliki respon

yang maksimum pada saluran 5 dan respon minimum pada saluran 2 dari citra Landsat. Hasil

analisis threshold statistik upper dan lower limit rasio 5/2 menunjukkan sebaran mineral kaolinit

berada pada bagian timur dan tengah daerah penelitian.

• Mineral Illit, berdasarkan nilai spektral mineral, maka mineral ini memiliki respon yang

maksimum pada saluran 6 dan respon minimum pada saluran 5 dari citra Landsat. Hasil analisis

threshold statistik upper dan lower limit rasio 6/5 menunjukkan sebaran mineral kaolinit berada

pada bagian utara dan menyebar secara setempat-setempat hingga bagian tengah daerah

penelitian.

• Mineral Klorit, berdasarkan nilai spektral mineral, maka mineral ini memiliki respon

yang maksimum pada saluran 5 dan respon minimum pada saluran 3 dari citra Landsat. Hasil

analisis threshold statistik upper dan lower limit rasio 5/3 menunjukkan sebaran mineral kaolinit

secara setempat-setempat pada bagian utara daerah penelitian.

(A) (B)

Page 212: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

206

Gambar 3. (a) Kenampakan Peta NDVI Daerah Penelitian (b) Kenampakan Peta Analisis

Threshold.

3.5.2 Analisis Ratio Band

Perbandingan saluran citra Landsat sangat membantu dalam melakukan analisis terhadap

mineralisasi di permukaan bumi yang disebabkan oleh proses kimiawi. Proses reduksi di

permukaan bumi merupakan bagian dari fenomena kehadiran rembesan hidrokarbon yang bersifat

pasif (microseepage) yang mengubah komposisi mineral limonit dalam bleaching red bed.

Berdasarkan hal-hal tersebut, perbandingan saluran citra Landsat 8 OLI dari saluran 3 (0.52-0.6

μm) dan saluran 4 (0.63-0.69 μm) dapat digunakan dalam mengestimasi distribusi limonit di

permukaan, yang diindikasikan dengan nilai minimum pada rasio TM ¾. Berbeda halnya dengan

limonit, maka nilai maksimum rasio TM ¾ akan menunjukkan keterdapatan besi oksida dalam

jumlah yang lebih sedikit. Akan tetapi, tutupan vegetasi juga akan menunjukkan nilai maksimum

pada rasio ¾, akibat respon yang tinggi pada panjang gelombang hijau dan merah. Keterdapatan

tutupan vegetasi yang “sehat” tanpa pengaruh proses kimiawi pada soil dapat diestimasi dengan

nilai indeks vegetasi yang melibatkan rasio saluran 5 (0.76-0.9 μm) dan saluran 4. Penggunaan

false colour composite (FCC) dalam mengidentifikasi anomali alterasi mineral pada soil dan

identifikasi keterdapatan jejak hidrokarbon di bawah permukaan bumi sangat membantu dalam

mendeliniasi area yang mengalami pengaruh-pengaruh kimiawi yang telah dijelaskan

sebelumnya. Penentuan warna rasio dengan “Almeida-Filho Triangle” sangat membantu dalam

menentukan pengaruh rasio saluran untuk setiap warna hasil pengolahan citra Landsat.(Gambar

5.24). Rasio saluran RGB TM3/4:TM5/4:(diff.TM3/4-TM5/4) akan menunjukkan sebaran warna

hijau dan kuning mengindikasikan tutupan vegetasi karena memiliki respon maksimum terhadap

rasio saluran TM3/4 dan TM5/4 namun dilain pihak, respon maksimum pada rasio TM ¾ dan

(A) (B)

Page 213: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

207

diff.TM3/4-TM5/4 akan ditunjukkan oleh warna magenta yang mengindikasikan daerah

fenomena microseepage. (Almeida, 2002)

3.6 Analisis Daerah Prospek Hidrokarbon

Pembobotan merupakan teknik pengambilan keputusan pada suatu proses yang melibatkan

berbagai faktor secara bersama-sama dengan cara memberi bobot pada masing-masing faktor

tersebut (Saaty, 1980). Pembobotan dapat dilakukan secara objektif dengan perhitungan statistik

atau secara subjektif dengan menetapkannya berdasarkan pertimbangan tertentu. Penentuan

secara subjektif harus dilandasi pemahaman tentang proses tersebut (Saaty, 1980). Pada penelitian

ini, penentuan pembobotan dilakukan secara subjektif dimana pada penentuan daerah prospek

hidrokarbon, faktor-faktor yang menjadi pertimbangan adalah data kelas densitas kelurusan, data

anomali microseepage hidrokarbon dan data sebaran threshold mineral alterasi. Masing-masing

faktor tersebut memiliki peran yang berbeda dan diindikasikan dengan perbedaan bobot antara

faktor-faktor tersebut. Pada penelitian ini, pemberian bobot dari masing-masing faktor secara

sederhana ditampilkan sebagai berikut (Tabel 1) :

Tabel 1.Tabel Analisis Pembobotan Data.

No. Parameter Bobot 1. Kelas Densitas Kelurusan 3

2. Anomali Microseepage Hidrokarbon 2

3. Threshold Mineral Alterasi 1

Berdasarkan tabel di atas, maka bobot tertinggi diberikan pada Faktor Kelas Densitas Kelurusan

dan bobot terendah diberikan kepada faktor threshold Mineral Alterasi. Pembobotan ini

didasarkan pada faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap prospek kehadiran

hidrokarbon di daerah penelitian. Kelas Densitas Kelurusan diberikan bobot tertinggi karena

faktor kelurusan dapat diinterpretasikan sebagai representasi kehadiran struktur geologi berupa

sesar-sesar sebagai jalur migrasi hidrokarbon berdasarkan data permukaan dan bawah permukaan,

sehingga memiliki pengaruh yang lebih dominan terhadap kemungkinan keterdapatan

hidrokarbon di daerah penelitian. Pada penelitian ini, Kelas Densitas Kelurusan hanya dianalisis

hingga Kelas Densitas VII sebagai Kelas Densitas tertinggi dengan kehadiran kumulasi minyak

dan gas bumi. Sementara itu, faktor analisis deteksi anomali hidrokarbon berdasarkan Citra

Landsat 8 OLI diberikan bobot yang lebih rendah karena metode ini hanya menginterpretasikan

kehadiran rembesan mikro hidrokarbon melalui reflektansi soil pada bagian permukaan bumi.

Faktor Threshold Mineral Alterasi diberikan bobot yang paling rendah karena metode ini hanya

mengidentifikasi kemungkinan kehadiran hidrokarbon melalui alterasi mineral akibat proses

kimiawi yang terjadi di permukaan bumi dan diwakili oleh Threshold mineral klorit, illit dan

kaolinit.Proses selanjutnya adalah menentukan skala prospek area potensi hidrokarbon yang di

dasarkan pada nilai tertinggi dan terendah dari hasil proses tumpang susun data yang tersaji dalam

Tabel 2 berikut ini :

Tabel 2. Tabel Status Prospek Hidrokarbon

Skala Prospek Status Area Prospek Hidrokarbon

< 1 Rendah

2 - 4 Sedang

5 < Tinggi

Dengan melakukan pembobotan dan tumpang susun data-data penunjang, maka didapatkan skala

area prospek hidrokarbon tertinggi (warna merah) secara setempat-setempat berada pada bagian

utara dan selatan daerah penelitian, prospek area tertinggi di luar Blok Arar dan Walio secara

setempat dijumpai pada bagian tengah daerah penelitian. Sementara itu, skala area

prospek hidrokarbon dalam skala sedang (warna hijau) teridentifikasi berada secara vertikal dari

bagian utara hingga ke bagian tengah daerah penelitian. Selanjutnya, skala area prospek

Page 214: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

208

hidrokarbon dalam skala rendah (warna merah muda) dapat diidentifikasi secara setempat pada

bagian tengah daerah penelitian. (Gambar 7).

Gambar 4. Peta Sebaran Lapangan Migas dan Interpretasi Area Prospek Hidrokarbon di

Daerah Penelitian.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pengutaraan data dan analisis kelurusan terhadap kumulasi dan produksi

hidrokarbon di daerah penelitian, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

1. Pendekatan dengan metode densitas kelurusan menunjukkan pengaruhnya terhadap

terhadap jumlah kumulasi hidrokarbon hanya memiliki pengaruh yang cukup signifikan

pada Blok Walio. Kondisi ini menunjukkan kelurusan-kelurusan yang diekstraksi pada

wilayah selatan yang berarah relatif barat laut-tenggara sebagai jalur migrasi yang baik

bagi hidrokarbon terhadap sumur-sumur migas di Blok Walio. Kelurusan dan sesar pada

Blok Arar yang relatif berarah barat laut-tenggara sebagian terdiri atas sesar dengan

efisiensi sedang sampai tinggi atau bersifat menghambat migrasi hidrokarbon, sehingga

pada beberapa sumur dengan kelas densitas perpotongan kelurusan berderajat rendah

(low lineament density) dapat pula dijumpai kumulasi hidrokarbon yang besar.

2. Penggunaan Citra Landsat untuk mendeteksi anomali microseepage hidrokarbon dengan

metode Almeida-Filho menunjukkan daerah anomali microseepage berada pada bagian

barat dan menyebar dari utara ke selatan daerah penelitian.

3. a. Proses analisis pembobotan dan tumpang susun antara data kelas densitas kelurusan,

anomali microseep hidrokarbon dan sebaran threshold mineral alterasi menunjukkan

klasifikasi area prospek hidrokarbon “tinggi” berada di bagian utara, tengah dan selatan

Page 215: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

209

daerah penelitian. Sedangkan area prospek hidrokarbon “sedang” berada di bagian utara

hingga tengah daerah penelitian dan area prospek hidrokarbon “rendah” berada di bagian

utara, tengah dan timur daerah penelitian.

b. Validasi metode pembobotan dan tumpang susun di daerah penelitian dengan

keberadaan lapangan migas dan sumur-sumur produktif pada Blok Arar dan Blok

Walio menunjukkan area prospek hidrokarbon berada pada kisaran “sedang-tinggi”.

6. DAFTAR PUSTAKA [1] Beik, F., 2008, Preparing Digital Lineament Map of Bangestan Structure using Satellite Data and

Remote Sensing Techniques, Exploration Directorate, National Iranian Oil Company.

[2] Camps, G. and Bruzcone, L., 2009, Kernel Methods for Remote Sensing Data Analysis, John Willey

and sons, Ltd, West Sussex, United Kingdom.

[3] Cox, R., 1982, Use of Remote Sensing Techniques and Statistics in Petroleum Exploration, Permian

Basin, Texas, Thessis in Geosciences from Texas Tech University, unpublished, Hal.27 -47.

[4] Danoedoro, P., 2012, Pengantar Penginderaan Jauh Digital, Penerbit ANDI, Yogyakarta, Indonesia.

[5] Elias, M., 2003, Multiple Dataset Integration for Structural and Stratigraphic Analysis of Oil and Gas

Bearing Formation using GIS, Map India Conference.

[6] Mourri, S., 2004, Using Streams and Faults as Lineaments to Delineate Aquifer Characteristics,

Thessis from The University at Texas, Austin, USA.

[7] Pireno, G.E., 2005, Hydrocarbon Potential of the West Salawati Block, West Papua, Prepared for Pearl

Oil (Salawati)Ltd.

[8] Poritte, S.E., 1982, Seasat Orbital Radar Image Applied to Lineament Analysis and Relationships with

Hydrocarbon Production in Wartburg Basin Area, Tennesse, University of Tennesse, Knoxville,

unpublished

[9] Prabaharan, S. et.all., Remote Sensing and GIS tool to detect Hydrocarbon Prospect in Nagapattinam

Sub Basin, India, Journal Geotech Geology Engineering, India, Hal.267-277.

[10] Prost, G.L, 2001, Remote Sensing for Geologists : A Guide to Image Interpretation, Gordon and

Breach Science Publishers, Canada.

[11] Riadini, P. and Sapii, B., 2011, The Sorong Fault Zone Kinematics: Implication for Structural

Evolution on Salawati Basin, Seram, Misool, West Papua, Indonesia, ePoster AAPG Annual

Convention and Exhibition, Houston, Texas, USA.

[12] Simandjuntak, et.al., 1987, Peta Geologi Lembar Sorong, Irian Jaya, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi (P3G), Bandung

[13] Soenarmo, S.H, 2009, PenginderaanJauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis untuk Bidang

Ilmu Kebumian, Penerbit ITB, Bandung.

[14] Sutanto, 1986, Penginderaan Jauh, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Page 216: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

210

IDENTIFIKASI PENYEBARAN AIR TANAH BERDASARKAN

DATA GEOLISTRIK DAERAH KAMPUNG TIBA-TIBA DISTRIK

ABEPURA, KOTA JAYAPURA, PAPUA

Rizky A. Luciano1, Kristine N. Pamjaitan2Virman

Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Uncen1

Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Uncen2

Abstrak. Air tanah merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, volume

atau kualitas antara lain dikontrol oleh vegetasi, batuan permukaan, curah hujan dan lain-lain.

Air tanah merupakan sumber air alternative apabila air permukaan tidak lagi mencukupi. Telah

dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memetakan lapisan akuifer yang dianggap memiliki

potensi air tanah baik kualitas maupun kuantitas. Penelitian berlokasi di Kampung Tiba-Tiba

Distrik Abepura, Kota Jayapura Papua. Kampung Tiba-tiba terletak cukup strategis di Distrik

Abepura, hal ini menyebabkan pesatnya perkembangan tidak hanya jumlah penduduk tetapi juga

bangunan fisik seperti hotel, perkantoran, baik swasta maupun pemerintah yang membutuhkan

air dalam jumlah banyak. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang ada tidak lagi mampu

mensuplai air bersih, memasuki musim kemarau saat ini PDAM memberlakukan system

pemadaman bergilir. Penelitian ini memanfaatkan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi

Schlumberger. Daerah penelitian memiliki topografi yang tidak datar, tersusun oleh jenis batuan

berupa tuf dan breksi gunungapi, sisipan napal dan konglomerat. Berdasarkan hasil pengolahan

data maka di daerah Kampung Tiba-Tiba lapisan akuifer di titik pengukuran 001 (Tanah Hitam)

memiliki ketebalan sekitar 38 meter dan muka air tanah berada pada kedalaman 26 meter, lapisan

ini memiliki tahanan jenis 22,7 ohm m. Sedangkan pengukuran di titik 002 (Kampung Tiba-Tiba)

lapisan akuifer berada pada lapisan 3 (lima) kedalaman 25 meter dan nilai tahanan jenis 48.6

ohm m.

Katakunci: air tanah, geolistrik, akuifer

1. PENDAHULUAN

Pesatnya perkembangan pembangunan di berbagai sektor di kota-kota besar, termasuk di

Kampung Tiba-Tiba Distrik Abepura, Kota Jayapura dapat memacu kebutuhan sumber daya alam

dan kemungkinan timbulnya permasalahan yang berkaitan dengan kondisi lingkungan hingga

permasalahan ekonomi. Salah satu kebutuhan tersebut adalah tersedianya sumber air sebagai

faktor utama untuk berlangsungnya kegiatan baik skala rumah tangga maupun industri.

Pemanfaatan air tanah merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan air di masa sekarang dan

yang akan datang, serta merupakan alternatif yang terbaik apabila air di permukaan sudah tidak

mencukupi atau terjangkau. Dalam membahas air tanah salah satu faktor yang dianggap penting

untuk dibahas adalah formasi geologi sehingga penting untuk dipelajari karakteristiknya. Formasi

geologi adalah formasi batuan yang berfungsi menyimpan air tanah dalam jumlah besar, formasi

geologi tersebut dikenal sebagai akifer atau lapisan akuifer. Lapisan ini terdiri atas bahan lepas

seperti pasir dan kerikil atau bahan yang mengeras seperti batu pasir dan batu gamping.

Air di dalam pori akuifer terpengaruh oleh gaya grafitasi sehingga cenderung untuk mengalir

kebawah melalui pori bahan tersebut. Perlawanan terhadap pengaliran bawah tanah itu sangat

berbeda-beda dan kelulusan bahan merupakan ukuran bagi perlawanan itu. Penghantar (akuifer)

dengan pori besar-besar seperti kerakal disebut memiliki kelulusan tinggi dan lapisan dengan pori

sangat kecil seperti lempung, yang porinya hanya dapat dilihat dibawah mikroskop, kelulusannya

rendah.

Page 217: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

211

Akuifer dibedakan menjadi dua yaitu akuifer bebas (unconfined aquifer) dan akuifer tertekan

(confined aquifer). Akuifer bebas terbentuk ketika tinggi muka air tanah (water table) menjadi

batas atas zone tanah jenuh. Tinggi muka air tanah berfluktuasi tergantung pada jumlah dan

kecepatan air (hujan) masuk ke dalam tanah, pengambilan air tanah, dan permeabilitas tanah.

Sedangkan akifer tertekan dikenal sebagai artesis, terbentuk ketika air tanah dalam dibatasi oleh

lapisan kedap air (impermeable) sehingga tekanan di bawah lapisan tersebut lebih besar daripada

tekanan atmosfir, (Rahma Hi., dkk (2018)

Penyebaran air tanah di bawah permukaan tidak merata sehingga untuk eksploitasinya dilakukan

kajian pendahuluan yang biasanya memanfaatkan metode geofisika. Salah satu metode yang

banyak digunakan diantaranya geolistrik tahanan jenis, metode ini menurut Todd (2006) banyak

digunakan untuk masalah hidrologi karena memiliki kelebihan diantaranya biaya relative

tercangkau, memiliki akurasi, cepat dan sebagainya.

Metode geolistrik tahanan jenis ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen

isotropis. Dengan asumsi ini tahanan jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi

elektroda. Pada kenyataannya, bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga

potensial yang terukur merupakan pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Oleh karena itu harga

tahanan jenis yang diukur bukan merupakan nilai tahanan jenis untuk satu lapisan saja, hal ini

terutama untuk spasi elektroda yang lebar. Harga tahanan jenis yang terukur tersebut disebut nilai

tahanan jenis semu (apparent resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai (Loke, 2002):

𝜌𝑎 = 𝐾 ∆𝑉

𝐼 ; 𝑅 =

∆𝑉

𝐼 ………....(1)

Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara

kedua elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan.

Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada

geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki

beberapa konfigurasi yang dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi

Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll. Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi

Schlumberger. Dari persamaan (1) nilai faktor geometri (K) untuk konfigurasi Schlumberger

sebagai berikut:

𝜌𝑠 = 𝐾𝑠∆𝑉

𝐼 , dengan Ks=

𝜋 (𝐿2−𝑙2 )

2𝑙 ..(2)

Dimana L adalah panjang elektroda arus (AB/2) sedangkan l adalah panjang elektroda potensial

(MN/2).

Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali

atau lebih jarak elektroda potensial (P1 P2). Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman

yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor

yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan konfigurasi elektroda, faktor lain adalah jenis

struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada.

Banyak factor yang mempengaruhi harga resistivitas ini, antara lain:

- Kandungan air, medium yang mengandung air resistivitasnya semakin kecil

- Porositas, yaitu perbandingan antara volume rongga (pori-pori) terhadap volume batuan itu

sendiri. Porositas dinyatakan dalam % volume. Volume pori-pori batuan yang besar akan

memberikan kandungan cairan yang lebih banyak sehingga harga resistivitas akan semakin

kecil. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat suatu rumusan empiris yang disebut sebagai

Hukum Archie, sebagai berikut:

𝜌 = 𝑎𝜌𝑤 ∅𝑛𝑆𝑚 …….(3)

Page 218: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

212

dimana 𝜌 = resistivitas batuan yang berisi cairan (ohm m), a dan m adalah konstanta (0,5 <

a < 2,5 ; 1,3 < m < 2,5), 𝜌𝑤 = resistivitas air (ohm m) , ∅ = porositas, n = 2 dan S adalah

bagian dari pori-pori batuan yang berisi fluida.

- Suhu, resisitivitas suatu batuan berbanding terbalik dengan suhunya, hubungan suhu dengan

resistivitas ditunujukkan oleh persamaan berikut:

𝜌𝑤 = 𝑘 𝑒−0,00821 𝑡

Diamana 𝜌𝑤 adalah resistivitas fluida (ohm m), k = konstanta, tergantung konsentrasi

elektrolit dalam fluida dan t = suhu. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diketahui bahwa

jika suhu naik, maka resistivitas akan turun secara eksponensial.

2. METODOLOGI

2.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian terletak di Kampung Tiba-Tiba, dimana secara administratif termasuk dalam

wilayah Distrik Abepura. Kampung Tiba-Tiba merupakan salah satu kampung di Distrik Abepura

yang terletak di bagian tenggara Kota Jayapura. Untuk mencapai lokasi pekerjaan dari Jayapura

menuju Kampung Tiba-Tiba dapat dicapai melalui jalur darat dengan menggunakan kendaraan

roda dua maupun kendaraan roda empat dengan akses yang sangat mudah kurang lebih 20 menit.

Kota Jayapura berada di wilayah Indonesia bagian Timur, tepatnya berada dibagian utara Provinsi

Papua pada 2° 30’ 00” – 2° 38’ 29” LS dan 140° 36’ 48” – 140° 45’ 00” BT dengan luas wilayah

940 km2 (0,3 % dari luas daratan Provinsi Papua). Berikut merupakan batas Kota Jayapura :

- Sebelah utara : Samudera Pasifik

- Sebelah selatan : Kabupaten Keerom

- Sebelah Timur : Negara Papua New Guinea

- Sebelah Barat : Kabupaten Jayapura

2.2 Desain Penelitian

Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 (dua) titik, panjang bentangan AB/2 antara

antara 250 m hingga 275 m. Daerah penelitian memiliki topografi yang bergelombang serta

terdapat beberapa bangunan disekelilingnya yang merupakan salah satu factor pembatas sehingga

bentangan maksimum sulit dicapai. Pengukuran lapangan dilakukan dengan mengukur beda

potensial(volt) dan kuat arus (amper) yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan

MN. Pada pengukuran ini digunakan konfigurasi Schlumberger, konfigurasi ini baik untuk

mapping maupun sounding. Untuk kegiatan pengukuran Kampung Tiba-tiba Distrik Abepura

digunakan resisitivitas sounding hal ini berdasarkan target penelitian yaitu air tanah. Untuk

resistivitas sounding, jarak spasi elektroda diubah-ubah secara graduil untuk titik amat. Untuk

aturan elektroda Schlumberger, spasi elektroda arus jauh lebih besar dari spasi elektroda

potensial.

Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan:

Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama

Noniura NRD 328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial

(Volt). Output pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang

diperlukan adalah:

- Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF.

- Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara alat

dengan permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda potensial.

- Kabel penghubung antara alat dengan elektroda

- Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap titik

ukur.

- Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda.

Page 219: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

213

Prosedur Kerja:

Persiapan pengukuran

Pada penelitian ini yang pertama dilakukan adalah survei awal di lokasi yang bertujuan untuk

mencari posisi pengukuran di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan peralatan yang diperlukan

untuk akuisisi data lapangan. Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan desain interpretasi

yang dikehendaki serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi penelitian. Dalam

penelitian ini diterapkan metode tahanan jenis konfigurasi Schlumberger.

Tahapan pengukuran

Adapun urutan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

- Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang

dibawah dalam kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu memenuhi

syarat yaitu 12 volt, sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu .

- Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar

diperoleh kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan

pendukung untuk kelancaran di lapangan.

- Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus

mendapat arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang

dipercayakan (setting peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran).

Total pengukuran yang dilakukan sebanyak 2 titik, adapun proses pengukuran seperti pada

Lampiran 3

- Data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup arus listrik (Amper) dan

beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik melalui dua

elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi yang

memiliki nilai hambatan (ohm m).

2.3 Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh berupa bedapotensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut

kemudian disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis semunya.

Tahanan jenis semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan true

resistivitymenggunakan IPI2win. Gambar tersebut merepresentasikan jenis litologi, kedalaman

dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga tahanan jenisnya.

Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-dasar sebagai berikut:

- Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil

dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.

- Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil

dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.

- Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang

lebih besar.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pegukuran geolistrik Daerah Kampung Tiba-tiba menggunakan metode geolistrik tahanan jenis

konfigurasi Schlumberger, hasil pengolahan data menggunakan IPI2win diperoleh berupa

grafik, yang menggambarkan ketebalan dan kedalaman lapisan batuannya beserta nilai tahanan

jenis sebenarnya. Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan IPI2win, secara vertikal

dikemukakan adanya layer-layer (lapisan) yang berbeda berdasarkan harga tahanan jenis. Setiap

lapisan dapat diketahui jenis litologi, ketebalan dan kedalamnnya. Akan tetapi bukan berarti setiap

harga tahanan jenis mewakili satu jenis litologi. Hal ini disebabkan harga tahanan jenis dari

litologi merupakan harga kisaran. Agar didapatkan hasil intepretasi yang lebih baik maka

disamping mendasarkan pada harga tahanan jenis hasil pengukuran juga digunakan beberapa data

pendukung seperti data singkapan permukaan, tabel tahanan jenis yang sudah ada (Telford, 1996),

Page 220: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

214

dan data bor. Hasil pengolahan data berupa kurva selanjutnya di sederhanakan seperti

ditunjukkan pada Tabel 1.

Berdasarkan Tabel 1 tersebut maka dapat dikatakan bahwa lapisan akuifer berada pada lapisan

3 (tiga), lapisan tersebut memiliki tahanan jenis yaitu 17.1-22.7 ohm m dan berada pada

kedalaman 26 meter. Adapun jenis batuan pada kedalaman tersebut berupa pasir ukuran butir

sedang-kasar, warna abu-abu, bentuk butir menyudut tanggung.

Bentang alam di daerah ini berupa suatu perbukitan dengan dataran yang sempit dan sebagian

besar adalah perbukitan sedimen. Kemiringan lereng >20 % di daerah perbukitan hingga > 45 di

daerah dataran bergelombang dengan beda tinggi 2-10 m. Endapan permukaan yang dominan

adalah endapan lepas aluvium berbutir halus hingga kasar hasil endapan perbukitan Abepura, dan

setempat dijumpai endapan hasil pelapukan batuan ultrabasa yang terubah menjadi serpentinit.

Dibagian selatan dari lokasi pengeboran terdiri dari grewake berselingan dengan batulanau dan

batulempung, sisipan napal dan konglomerat.

Tabel 1. Nilai tahanan jenis sebenarnya titik sounding di GKI Kairos

Titik Sounding Lapisan

Hasil Penafsiran

Perkiraan Litologi Kedalaman

(m)

Ketebalan

(m)

Tahanan

Jenis

(ohm m) 001 002

Tanah

Hitam

GKI

Kairos

Kampung

Tiba-tiba

1 1.8 – 21.2 1.8 29.5-66.4

Top soil, ukuran

butir pasir kasar,

kerikil sampai

karakal warna

abu-abu,

2 21.2 – 25.6 23 33.9-99.6

Pasir lepas,

ukuran butir

sedang-kasar,

warna keabuan,

bentuk butir

menyudut-

menyudut

tanggung,

3 25.6 – 48.6 48.6 17.1-22.7

Pasir ukuran butir

sedang-kasar,

warna abu-abu,

bentuk butir

menyudut

tanggung,

4 > 48.6 ~ 33-4.34

Meterial lepas

ukuran butir pasir

sedang-kasar

Vegetasi yang padat terdapat di bagian selatan serta curah hujan yang cukup tinggi merupakan

faktor utama tingginya air hujan yang berubah menjadi air tanah. Menurut Iwan Ayomi (2018)

Wilayah Kota Jayapura pada umumnya beriklim tropis basah dengan curah hujan yang cukup

tinggi. Selama tahun 2013, Kota Jayapura mengalami suhu tertinggi pada Bulan Juni yang

mencapai 32,2 0C, sedangkan suhu terendah terjadi pada Bulan Juli mencapai 27,5 0C.

Kelembaban udara yang terjadi selama tahun 2013 sebesar 80 persen. Kota Jayapura mendapat

penyinaran cahaya matahari sepanjang tahun. Hujan terjadi hampir setiap bulan selama tahun

2013.

Page 221: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

215

Jumlah hari hujan terbanyak terjadi di Bulan Januari sebanyak 23 hari, dan jumlah hari hujan

paling sedikit pada Bulan Agustus, yaitu hanya terjadi 15 hari saja. Sementara itu banyaknya

curah hujan yang turun selama tahun 2013 mencapai 4.095,3 mm. Curah hujan terbanyak terjadi

pada Bulan Januari mencapai 841,8 mm, sedangkan curah hujan terendah terjadi pada Bulan

Oktober yaitu hanya mencapai 118,6 mm.

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil pengolahan data maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Geologi lokasi pekerjaan tersusun oleh litologi batupasir, batunapal, graywacke dan

serpentinit merupakan kelompok batuan ultrabasa yang tersingkap di lokasi pemboran,

dengan kemiringan lereng >20 % dan beda tinggi >7 m.

2. Apabila hasil inversi atau tahanan jenis sebenarnya dikorelasi dengan beberapa data

pendukung maka air tanah dapat dijumpai pada kedalaman 25 meter atau lapisan 3 (tiga),

dengan struktur berupa pasir ukuran butir sedang-kasar, warna abu-abu, bentuk butir

menyudut tanggung.

3. Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh maka disarankan untuk kegiatan pemboran

dapat dilaksanakan untuk memastikan anomali tahanan jenis yang terdapat pada kedalaman

antara 15-182 m. Lapisan tersebut memiliki tahanan jeniyang diprediksi sebagai lapisan

akuifer yaitu 17.1-22.7 ohm m.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Iwan Ayomi dan Virman. Eksplorasi air tanah menggunakan metode geolistrik konfigurasi

Schlumberger daerah GKI Devia, Kampung Harapan Sentani

[2] Loke, M.H., 2002. A Practical Guide to 2-D and 3-D Surveys, Malaysia.

[3] Rahma Hi, Manrulu, dan Lis Dahlia Hamid. 2018. Pendugaan sebaran air tanah menggunakan

metode geolistrik resistivitas konfigurasi Wenner-Schlumberger di Kampus 2 Universitas

Cokroaminonto, Palopo. Jurnal Fisika FLUX. Vol. 5. Nomor1.

[4] Todd, D. K., 1980. Groundwater hidrogeology. John Wiley & Sons, New York.

[5] Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge

University Press, New York.

Page 222: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

216

ANALISIS DATA GEOLISTRIK UNTUK IDENTIFIKASI POTENSI

DAN KUALITAS AIR TANAH DAERAH DISTRIK KURIK

KABUPATEN MERAUKE

Kristine N. Panjaitan, Rizky A. Luciano1, Virman2

Program Studi Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Uncen1

Program Studi Pendidikan Fisika, FKIP Uncen2

Abstrak.Pertumbuhan penduduk semakin meningkat sepanjang tahun. Hal ini juga meningkatkan

kebutuhan masyrakat akan pentingnya memanfaatkan sumberdaya alam yang ada. Salah satu

sumber daya alam yang sangat penting dan perlu untuk kelangsungan hidup masyarakat adalah

air bersih. Air bersih digunakan untuk keperluan memasak, minum, mandi, mencuci, bahkan

untuk industri maupun pertanian. Masyarakat di Distrik Kurik selama ini mengandalkan system

pelayanan air bersih dengan system perpipaan, namun pipa air minum yang ada tidak lagi mampu

mensuplai kebutuhan air bersih bagi masyarakat yang terus bertambah. Oleh karena itu

pemanfaatan air tanah dianggap sebagai sumber air alternative yang paling memungkinkan bagi

masyarakat. Berdasarkan pentingnya air bersih tersebut maka telah dilakukan penelitian yang

bertujuan untuk mengetahui potensi dan kualitas air tanah di Distrik Kurik Kabupaten Merauke,

Papua. Penelitian ini menggunkan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi Schlumberger.

Data pengukuran berupa kuat arus (mA) dan beda potensial (volt) diolah untuk mendapatkan

tahanan jenis semu (apparent resistivity) dan untuk tahanan jenis sebenarnya (true resistivity)

menggunakan software IPI2win. Hasil penelitian diperoleh nilai tahanan jenis, ketebalan dan

kedalaman. Berdasarkan nilai tahanan jenis maka akifer tergolong akifer baik, berada pada

kedalaman diatas 50.41 m dengan tahanan jenis 68.3 m. Hasil ini tidak sesuai dengan pengukuran

yang dilakukan di titik 001 dimana akifernya tergolong tercemar (tahanan jenisnya 0.329 ohm

m).

Kata kunci: akuifer, tahanan jenis, impermeable, konfigurasi Schlumberger

1. PENDAHULUAN

Manusia dan semua mahluk hidup lainnya membutuhkan air. Air merupakan material yang

membuat kehidupan terjadi di bumi. Menurut dokter dan ahli kesehatan, manusia wajib minum

air putih minimal 2 liter (8 gelas) perhari dan maksimum 7% dari berat badan. Tumbuhan (flora)

dan binatang (fauna) juga mutlak membutuhkan air. Tanpa air keduanya akan mati. Sehingga

dapat dikatakan air merupakan salah satu sumber kehidupan. Dengan kata lain air merupakan zat

yang paling esensial dibutuhkan oleh mahluk hidup.

Air merupakan kebutuhan primer dalah hidup manusia, kebutuhan air saat ini sebagian besar

diperoleh dari pemanfaatan sumber air permukaan seperti sungai, danau, mata air, maupun sumur

dangkal. Irosnisnya dari waktu ke waktu cadangan air permukaan cenderung berkurang di lain

pihak populasi manusia semakin hari makin bertambah besar. Seperti halnya yang terjadi di

Distrik Kurik Kabupaten Merauke, masyarakat mengalami krisis air bersih. Air bersih yang

dikelola oleh PDAM Kota Merauke telah berusia cukup lama sehingga tidak lagi mampu

memenuhi permintaan yang terus bertambah.

Salah satu sumber air bersih yang menjadi alternative terbaik apabila air permukaan tidak lagi

mencukupi adalah air tanah. Air tanah adalah air yang menempati rongga-rongga pada lapisan

geologi dalam keadaan jenuh dan dengan jumlah yang cukup. Keberadaannya di bawah

permukaan tidak merata dan dikontrol antara lain oleh vegetasi, jenis batuan permukaan, curah

hujan.

Page 223: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

217

Keberadaan air tanah di bawah bumi dapat diketahui dengan menggunakan metode geofisika,

metode ini mengukur parameter-parameter fisika yang berasosiasi dengan air tanah tersebut.

Salah satu metode geofisika adalah geolistrik tahanan jenis. Prinsip dasar metode ini adalah

mempelajari variasi harga tahanan jenis batuan bawah permukaan yang berasosiasi dengan air

tanah (sumber daya alam). Parameter resistivitas diperoleh dengan mengukur arus yang

diinjeksikan ke dalam bumi dan mengukur beda potensial yang ditimbulkannya. Oleh karena itu

alat resistivitas terdiri dari dua bagian yaitu transmitter dan receiver. Transmiter berfungsi untuk

menginjeksikan arus sementara receiver berfungsi untuk pembacaan bedapotensial yang

dihasilkan. Pemanfaatan geolistrik tahanan jenis oleh para ahli telah banyak digunakan untuk

mengetahui air tanah dibawah permukaan, diantaranya Hago, H.A., 2000; Rosid, S., 2008; Braga,

A. C., 2006; Kuswanto, A., Wibowo, M., 2001. Penelitian masalah air tanah menggunakan

geolistrik menurut Wibowo, M., 2001 umumnya bertujuan untuk mengetahui karakteristik dari

akifer seperti geometri, penyebaran dan kedalaman. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian

ini adalah untuk mengetahui letak dan kedalaman akuifer berdasarkan distribusi resistivitas

batuan bawah permukaan dengan menggunakan metode geolistrik tahanan jenis konfigurasi

Schlumberger di Distrik Kurik, Kabupaten Merauke.

Geolistrik tahanan jenis merupakan salah satu metode geofisika yang banyak digunakan untuk

masalah eksplorasi air tanah, panas bumi, masalah lingkungan dan lain-lain. Metode ini

mengamati perlapisan batuan berdasarkan perbedaan sifat konduktifitas batuan. Prinsip dasar

metode geofisika adalah adanya anomali yaitu perbedaan besaran fisis dari benda yang dicari

dengan tanah yang menutupinya. Besaran fisis untuk metode geolistrik tahanan jenis adalah sifat

listrik (Telford, 1990). Penelitian geofisika untuk mengetahui kondisi di bawah permukaan bumi

melibatkan pengukuran diatas permukaan bumi dari parameter-parameter fisika yang dimiliki

oleh batuan di dalam bumi. Dari pengukuran ini dapat ditafsirkan bagaimana sifat-sifat dan

kondisi dibawah permukaan bumi baik itu secara vertikal maupun lateral (Telford, 1990).

Metode ini menggunakan asumsi bahwa bumi bersifat homogen isotropis. Dengan asumsi ini

tahanan jenis yang terukur sebenarnya tidak bergantung pada spasi elektroda. Pada kenyataannya,

bumi terdiri dari lapisan-lapisan dengan ρ berbeda. Sehingga potensial yang terukur merupakan

pengaruh dari lapisan-lapisan tersebut. Oleh karena itu harga tahanan jenis yang diukur bukan

merupakan nilai tahanan jenis untuk satu lapisan saja, hal ini terutama untuk spasi elektroda yang

lebar. Harga tahanan jenis yang terukur tersebut disebut nilai tahanan jenis semu (apparent

resistivity). Tahanan jenis semu dirumuskan sebagai (Loke, 2002):

𝜌𝑎 = 𝐾 ∆𝑉

𝐼 ; 𝑅 =

∆𝑉

𝐼 ……………....(1)

Dimana ρa adalah tahanan jenis semu, K adalah faktor geometri, ∆V adalah beda potensial antara

kedua elektroda potensial dan I adalah kuat arus yang diinjeksikan.

Berdasarkan persamaan (1) dapat diketahui bahwa nilai tahanan jenis semu tergantung pada

geometri konfigurasi elektroda yang digunakan. Metode geolistrik tahanan jenis memiliki

beberapa konfigurasi yang dapat digunkan diantaranya konfigurasi Schlumberger, konfigurasi

Wenner, konfigurasi dipole-dipole dll. Dalam penelitian ini digunakan konfigurasi Schlumberger

(Gambar 1).

Untuk aturan elektroda Schlumberger, spasi elektroda arus jauh lebih lebar dari spasi elektroda

potensial seperti pada Gambar 1.

Page 224: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

218

Gambar 1. Konfigurasi Schlumberger (Telford, 1990))

dari persamaan (1) apabila diturunkan maka diperoleh tahanan jenis semu untuk konfigurasi

Schlumberger sbb:

𝜌 = 2𝜋 [(1

𝑟1−

1

𝑟3) − (

1

𝑟2 −

1

𝑟4)]−1 ∆𝑉

𝐼

Dimana:

r1 = jarak dari titik P1 ke sumber arus positif (L - l)

r2 = jarak dari titik P1 ke sumber arus negative (L + l)

r3 = jarak dari titik P2 ke sumber arus positif (L + l

r4 = jarak dari titik P2 ke sumber arus negatif (L - l)

Hal ini menghasilkan faktor geometri (K) dan tahanan jenis semu untuk elektroda Schlumberger

adalah (Telford, 1990):

𝜌𝑠 = 𝐾𝑠∆𝑉

𝐼 , dengan Ks=

𝜋 (𝐿2−𝑙2 )

2𝑙 ……….(2)

Umumnya metode Sclumberger ini dilakukan dengan jarak elektroda arus (C1 C2) dibuat 10 kali

atau lebih jarak elektroda potensial (P1 P2)

Setiap konfigurasi mempunyai penetrasi kedalaman yang tidak sama, sehingga dalam pengukuran

penetrasi kedalaman merupakan salah satu faktor yang menjadi pertimbangan dalam pemilihan

konfigurasi elektroda, faktor lain adalah jenis struktur, sensitivitas alat, tingkat nois yang ada.

2. METODOLOGI

2.1 Desain Penelitian

Pengukuran tahanan jenis dilakukan sebanyak 2 titik seperti pada Gambar 2, panjang bentangan

antara AB/2 adalah 100 m. Daerah penelitian memiliki topografi yang relatif rata serta terdapat

beberapa bangunan disekelilingnya yang merupakan salah satu factor pembatas sehingga

bentangan maksimum sulit dicapai. Pengukuran lapangan dilakukan dengan mengukur beda

potensial dan kuat arus yang ditimbulkan pada setiap perubahan elektroda AB dan MN. Pada

pengukuran ini digunakan konfigurasi Schlumberger, konfigurasi ini baik untuk mapping maupun

sounding. Untuk kegiatan pengukuran di Distrik Kurik digunakan resisitivitas sounding hal ini

berdasarkan target penelitian yaitu air tanah. Untuk resistivitas sounding, jarak spasi elektroda

diubah-ubah secara graduil untuk titik amat. Untuk aturan elektroda Schlumberger, spasi

Page 225: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

219

elektroda arus jauh lebih besar dari spasi elektroda potensial.

Gambar 2 titik pengukuran geolistrik tahanan jenis (warna merah).

2.2 Peralatan Geolistrik Tahanan Jenis yang Digunakan:

Pelaksanaan pengukuran tahanan jenis menggunakan peralatan geolistrik dengan alat utama

Noniura NRD 328 HF, parameter yang dapat diukur yaitu arus listrik (Amper) dan bedapotensial

(Volt). Output pengukuran adalah tahanan jenis bawah permukaan. Beberapa alat penunjang yang

diperlukan adalah:

- Accu, sebagai sumber arus listrik yang dihubungkan ke alat Noniura NRD 328 HF.

- Elektroda terbuat dari tembaga, merupakan komponen yang menghubungkan antara

alat dengan permukaan tanah, terdiri atas dua elektroda arus dan dua elektroda

potensial.

- Kabel penghubung antara alat dengan elektroda

- Global Positioning System (GPS) alat yang digunakan untuk menentukan posisi setiap

titik ukur.

- Palu dan meteran untuk proses pemindahan elektroda.

Prosedur Kerja:

Persiapan pengukuran

Pada penelitian ini yang pertama dilakukan adalah survei awal di lokasi yang bertujuan untuk

mencari posisi pengukuran di lapangan. Setelah itu dilakukan persiapan peralatan yang

diperlukan untuk akuisisi data lapangan. Lintasan pengukuran ditentukan berdasarkan desain

interpretasi yang dikehendaki serta mempertimbangkan kondisi alam daerah sekitar lokasi

penelitian. Dalam penelitian ini diterapkan metode tahanan jenis konfigurasi Schlumberger,

adapaun teknis pengukuran yang dilakukan seperti pada Gambar 1.

Page 226: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

220

2.3 Tahapan pengukuran

Adapun urutan kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:

- Langkah pertama adalah melakukan kalibrasi alat, yaitu memastikan peralatan yang

dibawah dalam kondisi yang baik (kabel tidak ada yang putus, baterai atau accu

memenuhi syarat yaitu 12 volt. sebaiknya dilakukan uji coba terlebih dahulu.

- Sebelum kegiatan pengukuran, sangat dianjurkan melakukan pengenalan lapangan agar

diperoleh kepastian terutama titik ukur, arah bentangan, jumlah pengukuran, peralatan

pendukung untuk kelancaran di lapangan.

- Agar pengukuran dapat berjalan lancar maka masing-masing anggota yang terlibat harus

mendapat arahan/penjelasan sehingga dapat bekerja berdasarkan tanggungjawab yang

dipercayakan (setting peralatan, memindahkan elektroda, mencatat data pengukuran).

Total pengukuran yang dilakukan sebanyak 2 titik (Gambar 2).

- Data yang dikumpulkan adalah data geolistrik yang mencakup arus listrik (Amper) dan

beda potensial (Volt). Data ini diperoleh dengan menginjeksi arus listrik melalui dua

elektroda arus dan mencatat beda potensial akibat penjalaran arus pada medium bumi

yang memiliki nilai hambatan (ohm m).

2.4 Pengolahan Data

Data yang diperoleh berupa bedapotensial dalam volt dan arus dalam amper, data tersebut

kemudian disubtitusikan kedalam persamaan (2) untuk mendapatkan nilai tahanan jenis

semunya. Tahanan jenis semu hasil perhitungan selanjutnya diolah lagi untuk mendapatkan

true resistivitymenggunakan IPI2win. Hasil tersebut merepresentasikan jenis litologi,

kedalaman dan ketebalan masing-masing lapisan dengan didasarkan pada perbedaan harga

tahanan jenisnya. Kemudian untuk menafsirkan jenis litologi dari tiap lapisan dipakai dasar-

dasar sebagai berikut:

- Batuan sedimen yang lepas akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil

dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.

- Batuan yang mengandung air akan mempunyai harga tahanan jenis yang lebih kecil

dibandingkan dengan yang kompak pada batuan yang sama.

- Harga tahanan jenis semakin kecil bila air yang ada mempunyai kandungan garam yang

lebih besar.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh melalui pengukuran berupa beda potensial dan arus kemudian dihitung

tahanan jenis semunya. Selanjutnya nilai tersebut diolah menggunakan IPI2win untuk

mendapatkan tahanan jenis sebenarnya. Tahanan jenis sebenarnya merupakan model yang

menggambarkan ketebalan perlapisan dan jenis batuan pada tiap-tiap pengukuran. Untuk

mengetahui jenis – jenis batuan yang ada pada masing-masing titik disesuaikan dengan besar

kecilnya nilai tahanan jenis yang dimiliki serta data geologi pada daerah penelitian. Data tahanan

jenis yang sudah melalui tahap pengolahan dapat berupa model yang menggambarkan jumlah

perlapisan dan kedalaman. Selanjutnya model tersebut dianalisis berdasarkan konsep yang

dikembangkan oleh Telford, 1990. Adapun hasil analisis terhadap model yang diperoleh berupa

struktur bawah permukaan adalah sebagai berikut:

No. Pengukuran 001:

Titik pengukuran pertama dilakukan dengan bentangan 200 meter atau AB/2 adalah 100 meter,

arah bentangan utara – selatan. Berdasarkan hasil pengolahan data yang menggunkan software

IPI2win, lintasan ini terdiri atas lima lapisan. Adapun distribusi tahanan jenis dan prediksi jenis

batuannya setiap lapisan adalah sebagai berikut:

Lapisan pertama, memiliki ketebalan 2.57m, harga tahanan jenis 137ohm mmerupakan

tanah penutup.

Page 227: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

221

Lapisan keduamemiliki ketebalan 2.7 m dengan nilai tahanan jenis 84.5 ohm m. Dari

permukaan, lapisan ini berada pada kedalaman hingga 5.28 m. Berdasarkan nilai tahanan

jenis maka lapisan kedua strukturnya berupa batu pasir.

Lapisan ketiga, lapisan bertahanan jenis 8.01 ohm m, dengan ketebalan 9.54 m berada

hingga kedalaman 14,82 m. Lapisan ini strukturnya berupa lempung pasiran.

Lapisan keempat, adalah lapisan yang tahanan jenisnya 243 ohm m dengan ketebalan 28.5

meter, dari permukaan sekitar 43.3 meter. Lapisan ini strukturnya berupa batu berpasir.

Berdasarkan nilai tahanan jenis maka pada lapisan ini kondisi air tanahnya/strukturnya

berupa batu pasir. Kemungkinan lain yang menyebabkan tingginya nilai tahanan jenis ini

adalah kandung gas-gas pada lapisan ini.

Lapisan kelima, merupakan lapisan yang berada pada kedalaman >43.3 m. Lapisan ini

memiliki tahanan jenis paling rendah yaitu 0.329 ohm m, sifat konduktif ini menunjukkan

bahwa air tanahnya mengandung banyak unsur atau mineral terlarut termasuk gas akibat

reaksi kimia pada lapisan ini, biasanya dikategorikan sebagai akifer tercemar.

No. Pengukuran 002

Untuk titik pengukuran kedua yang berarah utara-selatant, panjang bentangan 400 m atau AB/2

adalah 100 meter. Berdasarkan hasil pengolahan data maka titik pengukuran ini terdiri atas lima

lapisan dengan struktur bawah permukaan sebagai berikut:

Lapisan pertama, ketebalan0.75 m, harga tahanan jenis 1295 ohm m. merupakan lapisan

penutup. Nilai tahanan jenis yang lebih tinggi disamping akibat posisi yang lebih tinggi

yaitu 14 m dpal.

Lapisan kedua, ketebalan 3.18 m berada pada kedalaman 3.93 m dari permukaan.

Tahanan jenis pada lapisan ini adalah 331 ohm m berdasarkan nilai tahanan jenis

strukturnya berupa batu pasir.

Lapisan ketiga, lapisan bertahanan jenis 63 ohm m, jenis batuannya berupa pasir

berlempung, merupakan lapisan akifer berada pada kedalaman 9.63 m dari permukaan.

Lapisan keempat, adalah lapisan yang tahanannya jenisnya 9267 ohm m, berada pada

kedalaman 50.4 meter dengan ketebalan lapisan 40.8 meter.Lapisan ini termasuk

lapisan yang kedap air dapat berfubgsi sebagai lapisan impermeable. Apabila hal ini

terbukti maka diharapkan lapisan bawahnya bisa menjadi akifer yang baik.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi adalah lapisan ini mengandung banyak gas-gas

akibat terjadinya reaksi kimia.

Lapisan kelima adalah lapisan dengan tahanan jenis 68.3ohm m, berada pada kedalaman

>68.3 m, merupakan lapisan akifer baik. Berdasarkan nilai tahanan jenis di lapisan empat

maka pada lapisan ini jenis akifer yang ada berupa akifer tertekan.

4. KESIMPULAN DA SARAN

Hasil penelitian pendugaan keberadaan air tanah daerah Distrik Kurik, menggunkan metode

geolistrik tahanan jenis dapat disimpulkan:Lapisan Akifer berada pada lapisan 5 yakni pada

kedalaman > 50.41 m, berdasarkan nilai tahanan jenis maka tergolong akifer baik berada pada

titik pengukuran 002 tahanan jenisnya 68.3. Sedangkan pada pengukuran 001, tahanan jenis 0.329

ohm m jenis akifernya tergolong akifer tercemardan model air tanah berupa air tanah tertekan.

Saran

Berdasarkan distribusi nilai tahanan jenis pada pengukuran 001 dan 002 maka disarankan untuk

pemboran air tanah dilakukan pada kedalaman > 50 m.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Braga, A. C. O., Fiho, W. M and, 2006. Resistivity (DC) method applied to aquifer protection

studies. Sociedade Brasileira de Geof´ısica

Page 228: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

222

[2] Hago, H. A., 2000. Application of electrical resistivity method in kuantitative assessment of

groundwater reserve of unconfined aquifer. Thesis presented to the senate of Universiti Putra

Malaysia.

[3] Grandis, H dan Yudistira, T., 2000. Studi pendahuluan identifikasi penyebaran polutan

bawah permukaan menggunakan metode geolistrik. Prosiding HAGI. p. 81-91.

[4] Rosid, S., dan Johan, M., 2008. Pemetaan hidrologi dengan menggunakan metode geolistrik.

Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung.

[5] Sulistijo, B., 2003. Peranan teknologi geofisika dalam memantau masalah lingkungan.

Jurnal Teknik Pertambangan.

[6] Telford, W. M., Geldart, L. P., dan Sherif, R. E., 1990. Applied Geophysics, Cambridge

University Press, New York.

[7] Wibowo, M., 2001. Potensi sumberdaya air di Surabaya berdasarkan survey geolistrik.

Jurnal Teknologi Lingkungan-BPPT.

Page 229: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

223

ANALISIS DIMORFISME KUPU-KUPU SAYAP BURUNG

(Ornithoptera sp.)

ENDEMIK PAPUA

Evie Lilly Warikar1, Euniche R.P.F Ramandey2, dan Hendra K. Maury3

JurusanBiologiFMIPAUniversitasCenderawasih Jayapura1,2,3

email:[email protected]

email:[email protected]

Abstrak.Ornitophera sp. merupakan salah satu kelompok kupu-kupu endemik Papua dan Papua

Barat. Perbedaan morfologi yang menyolok antara kupu-kupu jantan dan betina (dimorfisme)

yaitu pada bentuk, ukuran dan warna sayap. Karakteristik morfologi merupakan sumber informasi

yang penting. Berdasarkan hasil koleksi spesimen di Laboratorium Koleksi Serangga Papua

(KSP) Jayapura, terdapat beberapa spesies dari berbagai lokasi di Papua. Variasi dimorfisme

kemungkinan terdapat pada spesies ini yang memunculkan sub spesies baru. Tujuan penelitian

ini adalah mendata dimorfisme kupu-kupu Sayap Burung endemik Papua yang telah tersimpan di

Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP)Jayapura. Metode yang digunakan adalah

pengukuran langsung pada morfologi spesimen kupu-kupu sayap burung yang tersimpan di

Laboratorium KSP. Data morfometri dianalisis menggunakan program SPSS 20 dan MVSP 3.1

(Multi Variate Statistical Package). Hasil yang diperoleh adalah terdapat 7 spesies Ornithoptera

yang tersimpan di Laboratorium KSP Jayapura, yaitu O.chiamera, O. goliath, O. meridionalis,

O. paradise, O.priamus, O. thitonus dan O. rothschildi. Berdasarkan pengamatan terdapat

perbedaan menyolok warna, bentuk dan ukuran antara jantan dan betina pada spesies yang sama.

Kata kunci: Kupu –kupu sayap burung, Ornithoptera spp., KSP Jayapura, dimorfisme

1. PENDAHULUAN

Ornitophera spp. dikenal kupu-kupu sayap burung merupakan salah satu kupu-kupu endemik

Papua dan Papua Barat. Kupu – kupu sayap burung ini dilindungi berdasarkan Peraturan

Pemerintah no. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Menurut laman

resmi IUCN, status kupu-kupu ini belum mengawatirkan atau Least Concern.

Kupu-kupu Ornitophera ditemukan di berbagai daerah di Papua seperti Yapen Waropen,

Mamberamo, Timika, Sarmi dan Jayapura (Supriyanto, 1997; Van Mastrigt dan Rosariyanto,

2005). Sedangkan di Pegunungan Arfak (Papua Barat) terdapat sub spesies kupu-kupu ini

O.paradisea arfakensis (Van Mastrigt dkk, 2010). Keadaan geografis yang berbeda-beda pada

berbagai wilayah kemungkinan dapat menyebabkan keragaman pada suatu spesies.Perbedaan

karakteristik morfologi dan fisiologi yang dimiliki oleh suatu spesies juga terkadang berbeda jika

spesies tersebut ditemukanpada area yang terpisah oleh jarak yang jauh. Karakteristik morfologi

merupakan sumber informasi yang penting bagi kebanyakan wilayah kajian biologi, termasuk di

dalamnya sistematika dan taxonomi. Suatu spesies seringkali dapat diidentifikasi daerah asalnya

berdasarkan kekhasan morfologinya.

Berdasarkan hasil koleksi spesimen di Laboratorium Koleksi Serangga Papua (KSP) Jayapura,

terdapat beberapa spesies kupu-kupu sayap burung dari berbagai lokasi di Papua. Variasi

dimorfisme kemungkinan terdapat pada spesies ini. Hal ini perlu dibuktikan dengan pengukuran

karakter menggunakan uji yang berkaitan. Oleh karena itu, penelitian mengenai analisis variasi

dimorfisme kupu-kupu Sayap Burung perlu dilakukan.

Page 230: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

224

2. BAHANDANMETODE

Penelitian telah berlangsung selama empat bulan dari bulan Juni sampai dengan bulan September

2018. Populasi dalam penelitian ini adalah semua spesimen kupu-kupu Ornithoptera yang

tersimpan di Laboratorium Koleksi Serangga Papua, FMIPA UNCEN sedangkan sampelnya

adalah spesimen kupu-kupu Ornithoptera yang bentuk sayapnya sempurna.

Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur berupa jangka sorong, lembar

data, alat tulis, dan kamera digital. Perangkat lunak MVSP 3.1 atau Multi Variate Statistical

Package digunakan untuk menyajikan dendogram jarak minimum ketidakserupaan morfometri

(Kovack, 2007).Penelitian ini menggunakan metode pengukuran langsung pada morfologi

spesimen kupu-kupu O. paradisea tersimpan di Laboratorium KSP.

Prosedur Kerja

Pengukuran standar yang biasa dilakukan untuk kupu-kupu meliputi pengukuran panjang kepala,

panjang thorak, panjang abdomen, panjang antena, panjang sayap dan lebar sayap (Mastrigt dan

Warikar, 2013). Selain karakter standar yang berupa ukuran tubuh dilakukan juga pengukuran

terhadap venasi sayap (Gambar 1).

Gambar 1. Karakter Morfologi yang diukur (Lemauk, 2003; dalamMakhzuni dkk, 2013) (Sumber

Foto: www.nmr-pics.nl dan en.butterflycorner.net)

Analisis Data

Karakter morfometri dibuat data biner untuk analisis clutering. Matriks data biner morfometri

yang diperoleh disimpan dalam program Excell 2007. Data morfometri dianalisis menggunakan

program SPSS 20 untuk menentukan persamaan regresi linier dan signifikansi parameter

(Makhzuni dkk, 2013). Analisis clustering menggunakan metode UPGMA (unweighted pair

group with arithmetic average) melalui bantuan program MVSP 3.1 (Multi Variate Statistical

Package) (Kovack, 2007).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Sampel Kupu-Kupu Sayap Burung Ornithoptera spp.

Identifikasi sampel kupu-kupu sayap burung Ornithoptera spp. dilakukan dengan mempelajari

karakter morfologi berdasarkan Parsons (1999). Tujuan identifikasi adalah memperoleh data

karakter pembeda antar spesies kupu-kupu. Kupu-kupu sayap burung termasuk dalam Filum

Page 231: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

225

Arthropoda karena memiliki kaki yang beruas-beruas; anggota Ordo Lepidoptera karena struktur

sayap serangga dewasa seperti sisik halus yang mudah terlepas (Gambar 2). Kupu-kupu

Ornithoptera termasuk Famili Papilionidae karena kebanyakan anggota famili ini memiliki sayap

besar dan beranekaragam (polimorfisme). Kelompok kupu-kupu ini memiliki sayap besar

menyerupai sayap burungjadi dikelompokkan pada Genus Ornithoptera.

Gambar 2. Struktur sayap Ornithoptera spp. seperti sisik yang mudah terlepas

Berdasarkan data sampel yang tersimpan di Laboratorium Kelompok Entomologi Papua terdapat

7 spesies kupu-kupu Ornithoptera, yaitu O. chiamera (Rothschild, 1904), O. goliath (Oberthur,

1888), O. meridionalis (Rothschild, 1897), O.paradisea (Staudinger, 1893), O. priamus

(Linnaeus, 1758), O. rothschildi (Kenrick, 1911)dan O. thitonus (De Haan, 1841). Ciri khusus

masing-masing spesies terletak pada morfologi sayapnya (Gambar 3).

O. chiamera jantan O. chiamera betina

O. goliath jantan O. goliath betina

Page 232: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

226

O. meridionalis jantan O. meridionalis betina

O. paradisea jantan O.paradisea betina

O.priamus jantan O.priamus betina

O. rothschildi jantan O. rothschildi betina

O. thitonus jantan O. thitonus betina

Gambar 3. Morfologi sayap tujuh spesies Ornithoptera

Page 233: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

227

Rentang sayap O.meridionalis terkecil di antara anggota genus lainnya yaitu, jantan 58 – 99 mm

dan betina 69 – 124 mm. Ciri khusus O.meridionalis jantan adalah warna sayap depan garis

kuning hitam, sayap belakang jantan agak mereduksi, berbentuk tetragonal dan berwarna kuning.

Pada bagian ujung sayap belakang terdapat sepasang “cell” memanjang berbentuk seperti ekor

filament yang mudah rusak. Sayap depan dan belakang betina berwarna cokelat tua dengan motif

warna abu-abu.

O.paradisea memiliki rentang sayap jantan 75 – 125 mm dan betina 100 – 170 mm.O.paradisea

jantan memiliki sayap depan berwarna hijau hitam dan terdapat bulatan hitan. Sayap belakang

perpaduan warna hijau, hitam dan kuning keemasan. Ujung sayap belakang terdapat ekor filament

yang memanjang. Sayap betina berwarna cokelat tua dengan perpaduan abu – abu. Sayap

belakang betina terdapat perpaduan warna cokelat muda dan pada lateral abdomen berwarna

merah.

O.chiamera jantan 80 – 145 mm dan betina 95 – 160 mm. sayap kupu – kupu jantan berwarna

hitam kuning kehijauan. Terdapat dua bulatan warna hitam pada sayap depan dan belakang. Sayap

betina berwarna cokelat tua perpaduan dengan abu – abu.

Rentang sayap O.priamus jantan 80 – 140 mm dan betina 98 – 180 mm. sayap jantan warna hijau

hitam sedangkan sayap betina warna cokelat tua dengan perpaduan abu – abu. O.thitonus jantan

berwarna hitam hijau dengan perpaduan kuning, sedangkan betina warna cokelat tua abu - abu.

Pada lateral sayap belakang jantan terdapat rambut – rambut. Rentang sayap O.goliath jantan 91

– 147 mm dan betina 110 – 147 mm. Sayap kupu – kupu jantan warna hitam dan kuning kehijauan,

sedangkan betina cokelat tua dengan sayap belakang terdapat warna kuning kecokelatan. Rentang

sayap O. rothschildi jantan70 – 90 mm, sedangkan betina 100 – 150 mm. Sayap jantan warna

hitam dan kuning. Sayap betina warna cokelat tua dengan sayap belakang perpaduan warna

cokelat muda kuning dan abu – abu.

Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Nomor

P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang dilindungi

bahwa 7 spesies Ornithoptera yang tersimpan di laboratorium KSP termasuk dalam spesies yang

dilindungi secara nasional. Menurut Collins dan Morris (1985) dan IUCN (2018) bahwa 5 spesies

kupu – kupu yang terdapat di laboratorium KSP yang dilindungi secara internasional adalah

O.meridionalis termasuk kategori “Vulnerable (V)”, O.paradisea, O.chiamera dan O. rothschildi

termasuk kategori “Indeterminate (I)” sedangkanO.thitonus dalam kategori “Insufficiently

Known (K)”. menungkapkan suatu spesies dikelompokkan dalam kategori Interminate (I) jika

spesies tersebut diketahui terancam punah, rentan atau langka namun belum cukup informasi

pendukung tentang spesies tersebut. Insufficiently Known (K) jika suatu spesies yang

diprediksikan terancam namun belum dapat digolongkan pada kategori terancam punah, rentan

atau langka karena kekurangan informasi ilmiah mengenai spesies tersebut. Vulnerable (V)

apabila suatu spesies sedang mengalami kepunahan akibat berbagai faktor seperti eksploitasi

berlebihan dan degradasi lahan.

Penyebaran Kupu-Kupu Sayap Burung di Papua

Penyebaran kupu – kupu sayap burung di wilayah Papua mulai dari dataran rendah sampai dataran

tinggi. O. chiamera, O. meridionalis menyebar luas di daerah pegunungan Papua (1.000 – 4.000

mdpl). Penyebaran O.goliath,O. paradisea dan O.priamus mulai dari wilayah Mamberamo

sampai Pegunungan Cyclops. O.goliath dan O. paradisea ditemukandidataran rendah sampai

pegunungan (200 – 1.200 mdpl). O.priamus menyebar luas di Papua mulai 0 – 1.000 mdpl.

O.thitonus dan O.rothschildi menyebar di dataran tinggi 20.000 – 2.700 mdpl.

Morfometri Sampel Kupu-Kupu Sayap Burung Ornithoptera spp.

Karakterisasi morfometri merupakan suatu teknik sederhana untuk membedakan bentuk tubuh

anggota genus Ornithoptera spp. Karakter morfometri yang digunakan sebagai acuan pembeda

Page 234: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

228

pengamatan sampel adalah rasio rerata panjang dan lebar sayap depan serta sayap belakang; cell

sayap depan dan belakang (Makhzuni dkk, 2013 dengan modifikasi). Pengukuran sampel pada

morfologi kupu – kupu lainnya seperti, antena, kepala, kaki dan abdomen tidak memungkinkan

karena sampel telah kaku dan rapuh. Penggunaan alat ukur seperti jangka sorong atau penggaris

dapat menyebabkan kerusakan pada sampel kupu – kupu tersebut. Oleh karena itu, metode yang

digunakan adalah penambahan pengukuran foto sampel dengan bantuan software CorelDRAW

X7. Keunggulan software ini dapat menampilkan ukuran dimensi gambar yang proposional

sehingga mampu memperkirakan rasio objek sesuai aslinya (CorelDRAW, 2014). Hasil pengujian

terhadap 7 spesies anggota genus Ornithoptera jantan dan betina berjumlah 70 individu, dengan

38 karakter yang diamati.

Berdasarkan Tabel 1 bahwa hasil morfometri menunjukkan bahwa ukuran panjang sayap

O.chiamera jantan lebih kecil (rata – rata 58 mm) dibanding spesies lainnya. sedangkan ukuran

sayap O. chiamera betina lebih besar (rata – rata 201 mm) dibandingkan spesies lainnya. Rasio

rerata panjang sayap depan dan lebar sayap depan O. Chiamera dan O.goliath sama, tampak

bahwa rasio pada spesies lainnya lebih bervariasi. Hal ini dimungkinkan karena adanya variasi

ukuransayap jantan dan betina pada semua spesies Ornithoptera. Fungsi sayap sebagai salah satu

alat mobilisasi dan pertahanan diri kupu kupu dari berbagai musuhnya.

Tabel 1. Morfometri dasar Ornithoptera spp.

Morfometri O.rothschildi O.thitonus O. chiamera O. goliath O.

meridionalis

O.

paradisea O. priamus

Panjang

sayap depan

(mm)

102,34±8,79

(87,68-

110,61)

98,71±1,57

(89,34-

108,75)

116,49±32,65

(58,57-

201,26)

100,95±6,01

(94,48-

111,90)

101,37±8,19

(94,03-

122,42)

101,19±0,37

(95,16-

110,50)

106,68±0,19

(90,22-

116,65)

Panjang

sayap

belakang

(mm)

60,23±8,94

(48,91-

71,25)

61,14±1,97

(52,04-

68,45)

75,94±24,07

(33,85-

135,32)

61,13±11,21

(47,14-

73,89)

57,15±6,24

(48,57-

67,24)

55,80±6,30

(43,47-

62,19)

57,23±7,52

(46,05-75,08)

Lebar sayap

depan (mm)

54,71±7,50

(48,86-

62,11)

54,48±0,89

(46,25-

60,73)

69,37±23,66

(32,51-

137,07)

57,08±2,42

(51,96-

62,39)

53,65±3,99

(48,47-

60,81)

50,36±3,55

(45,20-

55,33)

57,36±0,83

(48,63-63,35)

Lebar sayap

belakang

(mm)

44,50±10,48

(32,99-

54,35)

40,75±0,01

(36,50-

46,25)

58,14±27,46

(21,43-

133,22)

43, 72±2,28

(36,34-

52,16)

33,70±5,70

(26,25-

41,25)

34,32±7,51

(25,16-

42,25)

48,97±6,23

(40,10-59,02)

Cell sayap

depan

51,36±3,60

(48,27-

55,59)

49,87±2,05

(34,58-

58,78)

54,12±6,29

(31,04-98,02)

51,56±0,55

(47,68-

54,96)

53,01±5,61

(41,57-

60,05)

49,45±0,99

(46,23-

57,24)

52,65±0,34

(43,48-59,57)

Cell sayap

belakang

31,11±2,15

(27,56-

33,57)

32,50±2,68

(25,09-

40,84)

35,32±6,29

(18,62-64,13)

32,50±0,20

(29,76-

35,82)

28,76±3,37

(21,34-

31,70)

27,40±2,42

(23,98-

31,98)

29,70±2,95

(27,40-2,42)

Rasio rerata

panjang

sayap depan:

rerata lebar

sayap depan

1 : 1,88 1 : 1,82 1 : 1,78 1 : 1,78 1 : 1,89 1 : 2,02 1 : 1,86

Rasio rerata

panjang

sayap depan:

rerata lebar

sayap

belakang

1 : 1,71 1 : 1,62 1 : 2,47 1 : 1,67 1 : 1,79 1 : 1,83 1 : 1,89

Page 235: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

229

Rasio rerata

panjang

sayap

belakang:

rerata lebar

sayap

belakang

1 : 1,37 1 : 1,13 1 : 1,54 1 : 1,40 1 : 1,73 1 : 1,66 1 : 1,17

Rasio rerata

cell sayap

depan: rerata

cell sayap

belakang

1 : 1,65 1 : 1,54 1 : 1,56 1 : 1,59 1 : 1,85 1 : 1, 81 1 : 1,78

Karakter morfologi yang banyak mengalami variasi adalah bagian cell dan venasi sayap. Variasi

ini juga mempengaruhi ukuran dan bentuk sayap terutama sayap belakang, contoh pada O.goliath

dan O.meridionalis jantan. (Gambar 4). Sayap merupakan organ yang terpenting bagi pergerakan

kupu-kupu berupa selaput tipisdan dilengkapi dengan vena-vena (tail) sehingga memperkuat

melekatnya sayap pada toraks.

Gambar 4. Variasi sayap belakang O.goliath dan O.meridionalis jantan

Analisis Variasi Genetik Berdasarkan Morfologi

Karakter morfologi didasarkan pada hereditas Mendel sederhana, seperti bentuk, warna, ukuran

dan berat (Bateson, 2007), maka perbedaan morfologi yang dimiliki antar spesies dijadikan

identifikasi polimorfisme. Dendogram similaritas berdasarkan 38 karakter morfologi

menunjukkan bahwa secara umum persentase kemiripan antara ketujuh spesies lebih dari 40%

(Gambar 5). Kemiripan ketujuh spesies pada bentuk sayap sayap depan. Sedangkan perbedaan

terlihat pada ukuran dan warna kedua jenis sayap. Sayap belakang terdapat variasi tail

memanjang, gerigi dan berambut.

Anggota dari genus Ornithoptera jantan dan betina memperlihatkan perbedaan yang signifikan.

Banyaknya karakter morfologi yang mengungkapkan berbagai perbedaan secara signifikan,

mengindikasikan bahwa telah terjadi diferensiasi morfologi yang cukup tinggi.

Page 236: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

230

Gambar 5. Dendogram Ornithoptera spp.jantan (a) dan betina (b) berdasarkan karakter

morfologi yang dianalisis dengan cluster UPGMA.

Hal ini dapat dilihat pada pola fenogram kekerabatan fenetik anggota genus Ornithoptera jantan

dan betina (Gambar 5) yang memperlihatkan pengelompokkan antar spesies berdasarkan 38

karakter morfometri. Pada gambar tersebut diketahui bahwa Ornithoptera spp. betina dan jantan

sama-sama terdiferensiasi menjadi dua cluster. Pada dendogram jantan (gambar 5a) cluster

pertama terdiri dari O. priamus, cluster kedua adalah O.thitonus, O.meridionalis, O.paradisea,

O.chiamera, O.goliath dan O.rothschildi. Pemisahan genus Ornithoptera yang ditunjukkan pada

dendogram yang dibuat berdasarkan 38 karakter morfologi ini dengan menggunakan analisis

cluster UPGMA, hasil pengelompokkannya juga sangat relevan dengan yang diperlihatkan pada

Tabel 1. Pada dendogram betina (Gambar 5b) menunjukkan perbedaan anggota cluster, cluster

pertama adalah O.chiamera sedangkan cluster kedua O. priamus, O.thitonus, O.meridionalis,

O.paradisea, O.goliath dan O.rothschildi. Persentase kemiripan terbanyak lebih dari 90%

terdapat pada spesies O.paradisea, dan O.goliath juga O.priamus dan O. meridionalis.

4. KESIMPULAN

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terdapat dimorfisme menyolok pada ketujuh

spesies Ornithoptera pada bentuk ukuran dan warna sayap. Persamaan anggota spesies ini hanya

terletak pada bentuk sayap depan, sedangkan sayap belakang mengalami banyak modifikasi

seperti adanya ekor (tail), berambut dan adapula yang bentuk sayap bergerigi.

Page 237: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

231

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bateson, W. 2007. Mendel’s Principles of Heredity. Cosimo Inc. New York.

[2] Brower, J.E. & J.H. Zar. 1984. Field and Laboratory Methods for General Ecology.

Second Edition. Browen Publisher. USA.

[3] Breuker, C.J., M. Gibbs, Stefan Van Dongen, T. Merckx & Hans Van Dyck.2010. The

Use of Geometric Morphometrics in Studying Butterfly Wings in an Evolutionary

Ecological Context. A.M.T. Elewa (ed.), Morphometrics for Nonmorphometricians,

Lecture Notes in EarthSciences 124, DOI 10.1007/978-3-540-95853-6_12.

[4] Collins N.M dan M.G. Morris. 1985. Treatened Swallowtails Butterflies of the World

The IUCN Red Data Book. IUCN, Gland. Switzerland and Cambridge. UK.

[5] CorelDraw. 2014. CorelDraw X7 User Guide. ConceptShare Inc. Canada. US.

www.corel.com/patent.

[6] Frankham, R., J.D Ballou and D.A. Briscoe. 2002. Introduction to conservation genetics.

Cambridge University Press. New York.

[7] IUCN. 2018. The IUCN Red List of Threatened Species.http://www.iucnredlist.org

ISSN 2307-8235

[8] Kovack Computing Services. 2007. MVSP plus version 3.1 users’ manual.

KovachComputing Services. Pentraeth, Wales, U.K.

[9] Lewandowski, M., A. Sznyk & A. Bednarek. 2004. Biology and morphometry of

Lycoriella ingenua (Diptera: Sciaridae). BIOL. LETT. 2004, 41(1): 41–5

[10] Makhzuni , R., Syaifullah & Dahelmi. 2013. Variasi Morfometri Papilio polytes L.

(Lepidoptera: Papilionidae) di Beberapa Lokasi di Sumatera Barat. Jurnal Biologi

Universitas Andalas 2(1) : 50-56

[11] Novita, R. Saepudin & Sutriyono. 2013. Analisis Morfometri Lebah Madu Pekerja Apis

cerana Budidaya pada Dua Ketinggian Tempat yang Berbeda. Jurnal Sain Peternakan

Indonesia 8 (1): 41-56.

[12] Padro, P. R. R., Luciano da F. Costa, E. M. Moraes, M. H. Manfrin & F. M. Sene. 2006.

Curvature Measurement as a Tool for the Analysis of Moorphometric variation

Using Drosophila Wings as a Model. Braz. J. morphol. Sci. 23(3-4), 333-342.

[13] UNEP World Conservation Monitoring Centre. 2012. Review of Butterflies from Asia

and Oceania Subject to Long Standing Positive Opinions. European Commission.

[14] van Mastrigt H., Warikar E. 2013. Buku Panduan Lapangan Kupu-kupu untuk

Wilayah Pulau-pulau Teluk Cenderawasih Terfokus pada Numfor, Supiori, Biak dan

Yapen. Kelompok Entomologi Papua. Jayapura. KEP (Kelompok Entomologi Papua).

Page 238: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

232

SIMULASI EFEK MAGNUS PADA GERAK BENDA BERSPIN

Rahman1 dan Sudarmono2

Program Studi Fisika, FMIPA, Universitas Cenderawasih1,2

e-mail: [email protected]

e-mail:[email protected]

Abstrak. Tujuan penelitian ini adalah membuat program komputer yang memasukkan efek

magnus pada persamaan gerak parabola sehingga menghasilkan keluaran berupa lintasan benda

tersebut agar dapat diinterprestasikan gerak benda tersebut.Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah metode komputasi yang didasarkan pada persamaan yang memasukkan efek

magnus pada gerak parabola di dalam bidang 2 dimensi. Pemograman yang digunakan adalah

program Matlab.Hasil penelitian yang didapatkan adalah adanya pengaruh dari efek magnus

terhadap lintasan bola yaitu yang arah putaran searah jarum jam akan memperpendek lintasan

bola sedangkan yang berlawanan jarum jam akan memperpanjang lintasan bola.

Kaca kunci : Efek Magnus, Lintasan Bola, Arah Putaran Bola.

1. PENDAHULUAN

Ilmu fisika sebagai salah satu ilmu dasar sangat berhubungan erat dengan kehidupan manusia.

Hampir semua kegiatan manusia dapat dijelaskan dengan menggunakan ilmu fisika, salah satu

adalah pada saat kita melaksanakan kegiatan berolah raga terutama olah raga yang menggunakan

sarana bola (benda yang berbentuk bundar) diantaranya sepak bola, tenis meja (yang dikenal

dengan nama ping pong), baseball dan billyard.

Pada pertandingan sepak bola dunia, efek tendangan bola yang menghasilkan perubahan bentuk

lintasan dikenal dengan nama tendangan pisang (“banana kick”) yang sering dilakukan oleh

pemain bola asal Brasil yaitu Roberto Carlos. Roberto Carlos adalah salah satu pemain bola

dengan spesialis penendang bola mati ketika sebuah pelanggaran berada di sekitar gawang lawan

dikarena efek dari tendangan bebas yang dilakukan sering kali berbuah gol di gawang lawan.

Salah satu tendangan bebas Roberto Carlos yang fenomenal adalah tendangan bebas yang

dilakukan pada saat pertandingan kesebelasan Brasil melawan kesebelasan Perancis pada

pertandingan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Juni 1997.

Tujuan penelitian ini adalah membuat program komputer yang memasukkan efek magnus pada

persamaan gerak parabola sehingga menghasilkan keluaran berupa lintasan benda tersebut agar

dapat diinterprestasikan gerak benda tersebut.

2. DASAR TEORI

Kinematika adalah cabang dari mekanika (salah satu cabang ilmu fisika) yang mempelajari gerak

suatu benda dalam ruang dan waktu tanpa melihat penyebab gerakan benda tersebut. Secara

umum gerak sebuah benda diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu gerak translasi, gerak rotasi

dan gerak vibrasi.

Jika sebuah benda (dalam hal ini sebuah bola) yang sedang bergerak di udara dan dalam

pergerakkannya benda bergerak translasi murni dan udara di sekelilingnya memiliki koefisien

hambatan maka pada benda tersebut akan bekerja dua buah gaya yang arahnya akan menghambat

pergerakan benda.

Page 239: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

233

Gambar 1. Gaya-gaya yang bekerja pada bola yang bergerak di udara, bola bergerak

dengan keadaan translasi murni

Pada gambar 1, bola yang bergerak di udara tidak mengalami gerak rotasi pada sumbu bola,

sehingga hanya terdapat tiga buah gaya yang bekerja pada benda yaitu gaya yang searah dengan

gerak benda, gaya hambat udara yang berlawanan dengan arah gerak benda dan gaya berat bola.

Dengan menerapkan Hukum II Newton bahwa ∑ = 𝑚, maka didapatkan persamaan gerak

benda adalah (Carre, M. J., et all, 2002)

𝐷 + 𝑊 = 𝑚𝑏 (1)

Ketika bola yang bergerak di udara juga melakukan gerak rotasi pada sumbunya dengan frekuensi

anguler (frekuensi sudut) sebesar 𝜔, maka gaya yang bekerja pada bola tersebut akan mendapat

satu tambahan gaya selain kedua gaya yang telah disebut kasus bola yang bergerak linear murni.

Gaya tambahan ini dikenal dengan nama gaya magnus atau dalam beberapa tulisan dikenal

dengan nama gaya angkat (lift force). Gaya magnus ini dihasilkan karena adanya rotasi bola

dengan kecepatan benda untuk maju ke depan. Secara skematis gaya-gaya yang bekerja pada bola

tersebut digambarkan pada gambar 2.

Gambar 2.Gaya-gaya yang bekerja pada bola yang bergerak di udara,bola bergerak

dengan keadaan translasi murni

Dengan menerapkan Hukum Newton II, maka bentuk persamaan gerak dari sistem mekanik

tersebut adalah

𝐷 + 𝑊 + 𝐿 = 𝑚𝑏 (2)

𝐷 adalah gaya yang disebabkan oleh hambatan udara yang besarnya 𝐹𝑑 =1

2𝐶𝑑𝜌𝐴𝑣

2 dan 𝐹𝐿 =

𝐶𝐿𝜌𝑑3𝑓𝑣 dengan 𝐶𝑑, 𝐶𝐿 merupakan konstanta yang berhubungan dengan hambatan udara dan

efek magnus, 𝜌 adalah massa jenis udara, 𝑣 adalah kecepatan bola, 𝐴 adalah luas penampang bola,

𝑑 adalah diameter bola dan 𝑓 adalah frekuensi putaran bola yang berhubungan dengan frekuensi

angular bola 𝜔 dengan hubungan 𝜔 = 2𝜋𝑓.

2.1. Perumusan Gaya Magnus

Persamaan gaya magnus dapat diturunkan dengan menggunakan persamaan Bernoulli. Hukum

Bernoulli yang menyatakan bahwa jumlah tekanan dan kecepatan adalah konstan di dalam aliran

fluida yang konstan.

Perhatikan gambar 3, yang merupakan visualisasi dari gerak bola yang bergerak dalam sebuah

fluida, selain melakukan gerak translasi, bola juga melakukan gerak rotasi dengan kecepatan

sudut 𝜔 dan bola memiliki jari-jari sebesar 𝑟.

Page 240: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

234

ω

v

Aliran Fluida

vmax

vmin

Gambar 3. Gerak bola yang melakukan rotasi dalam aliran fluida

Sehingga besar kecepatan aliran udara yang mengalir di atas dan di bawah bola yang berputar

memiliki besar

𝑣𝑚𝑎𝑥 = 𝑣 + 𝜔𝑟 dan 𝑣𝑚𝑖𝑛 = 𝑣 − 𝜔𝑟 (3)

Dengan menggunakan persamaan Bernoulli,

𝑝1 +1

2𝜌(𝑣 + 𝜔𝑟)2 + 𝜌𝑔ℎ1 = 𝑝2 +

1

2𝜌(𝑣 − 𝜔𝑟)2 + 𝜌𝑔ℎ2 (4)

dengan ℎ1 = ℎ2, maka didapatkan

∆𝑝 = 1

2𝜌[(𝑣 + 𝜔𝑟)2 − (𝑣 − 𝜔𝑟)2] = 2𝜌𝜔𝑟𝑣 (5)

dengan ∆𝑝 = 𝑝1 − 𝑝2.

Dengan menggunakan definisi tekanan yaitu perbandingan antara gaya yang bekerja pada suatu

luasan (𝑝 =𝐹

𝐴), maka besar gaya yang dihasilkan oleh beda tekanan pada bola, sebesar

𝐹 = ∆𝑝𝐴 = (2𝜌𝜔𝑟𝑣)(𝜋𝑟2) = 2𝜋𝜌𝜔𝑟3𝑣 (6)

dimana 𝐴 adalah luas penampang bola yang berbentuk lingkaran. Persamaan 6 dapat ditulis dalam

bentuk vektor yaitu

= 2𝜋𝜌𝑟3( × ) (7)

Jadi besar gaya magnus sebanding (proporsional) terhadap besarnya rapat fluida, jari-jari bola,

kecepatan rotasi bola dan kecepatan translasi bola atau jika dianggap bolanya diam maka

berhubungan dengan kecepatan translasi fluida.

2.2. Persamaan Gerak Bola yang memiliki Spin

Misalkan sebuah bola ditendang ke arah kiri dengan kecepatan awal 𝑣0, sudut elevasi 𝜃 dan bola

berputar (spin) dengan frekuensi 𝑓 ke depan (searah jarum jam), sehingga kecepatan aliran udara

di bagian atas bola lebih rendah daripada di bagian bawahnya sehingga tekanan di bagian atas

lebih besar daripada di bagian bawah bola. Hal ini menyebabkan bola akan melengkung ke bawah.

Dengan menerapkan Hukum II Newton dan menambahkan adanya efek magnus akibat adanya

spin pada bola,

∑ = 𝑚

𝐹𝑙 −𝑚𝑔𝑗 = 𝑚(𝑎𝑥𝑖 + 𝑎𝑦𝑗)

𝐶𝑙𝜌𝑑3𝑓(−𝑣𝑥𝑗 + 𝑣𝑦𝑖) − 𝑚𝑔𝑗 = 𝑚(𝑎𝑥𝑖 + 𝑎𝑦𝑗) (8)

Dengan menyelesiakan persamaan 8, didapatkan

𝑥 =𝑔

𝜔𝑡 +

𝐴

𝜔sin(𝜔𝑡) +

𝑣0 sin(𝜃)

𝜔cos(𝜔𝑡) −

𝑣0 sin(𝜃)

𝜔 (9)

𝑦 = −𝐴

𝜔cos(𝜔𝑡) +

𝑣0 sin(𝜃)

𝜔sin(𝜔𝑡) +

𝐴

𝜔 (10)

3. METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian dasar, yaitu penelitian yang bertujuan untuk menerapkan suatu

teori, metode atau konsep fisika dan pemograman terhadap fenomena gerak benda yang bergerak

secara translasi dan rotasi secara bersamaan.

Page 241: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

235

Metode yang digunakan adalah metode komputasi, yaitu merumuskan permasalahan fisis menjadi

suatu program komputer dengan bahasa pemograman yang sesuai sehingga mendapatkan hasil

yang dapat menggambarkan fenomena tersebut.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Nilai masukkan awal untuk simulasi yang dilakukan pada persamaan efek magnus adalah sebagai

berikut

Nilai percepatan gravitasi bumi (g) = 10 m/s2

Nilai koefisien magnus (Cl) = 1.23

Nilai rapat udara (ρ) = 1,2 kg/m3

Massa bola (m) = 0,43 kg

Diameter bola (d) = 0,22 m

Kecepatan awal bola (𝑣0) = 30 m/s

Sudut elevasi = 300

Kasus 1, Bola tidak berotasi dengan f = 0 putaran/detik.

Hasil simulasi yang didapatkan diberikan pada gambar 4

Gambar 4. Tampilan grafik untuk kasus bola yang tidak berotasi

Dari grafik pada gambar 4 terlihat bahwa bentuk lintasan dari gerak yang frekuensi putarannya

bernilai 0 membentuk lintasan parabola, dan tidak terlihat efek magnusnya.

Dari grafik terlihat bahwa bentuk lintasan berupa parabola dengan tinggi maksimum bola berada

pada nilai antara 10 sampai 12 meter dan jarak maksimum bola berada dekat dengan nilai 80

meter. Sedangkan nilai hasil perhitungan teoritis tinggi maksimum 11,25 meter dan jarak

maksimum yang dicapai 77,94 meter. Dari hasil analitik dan numerik terlihat menghasilkan hasil

yang sama.

Bola berotasi searah jarum jam

Hasil simulasi yang didapatkan diberikan pada gambar 5

Page 242: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

236

(a) Frekuensi 1 (b) Frekuensi 5 (c) Frekuensi 10

Gambar 5. Tampilan grafik untuk kasus berotasi searah jarum jam

Dari ketiga grafik terlihat bahwa pengaruh dari putaran yang diberikan kepada bola yang searah

jarum jam mengakibatkan memendeknya lintasan yang dapat ditempuh oleh gerak parabola dan

menurunnya tinggi maksimum yang dapat dicapai oleh gerak parabola. Pada setiap gambar

diberikan pembandinga berupa lintasan gerak parabola yang tidak diberikan efek magnus, yang

diwakili oleh lintasan parabola yang berwarna biru.

Pada awalnya kedua grafik berimpit tetapi setelah benda berada di jarak sekitar 10 – 20 meter dan

ketinggian 6 – 8 meter kedua grafik berpisah. Untuk lintasan yang berwarna biru tetap

menghasilkan lintasan seperti pada kasus 1 yaitu bola tidak berotasi sedangkan lintasan yang

berwarna merah memiliki nilai yang lebih kecil. Pada lintasan berwarna merah ketinggian

maksimum yang dapat dicapai berada pada kisaran nilai 8 – 10 meter dan jangkauan maksimum

berada dikisaran nilai 70 an meter.

Untuk waktu awal efek magnus belum berpengaruh terhadap gerak bola tetapi dengan

bertambahnya waktu maka efek magnus akan memberikan dampak yaitu membuat bola memiliki

percepatan yang lebih besar dari percepatan gravitasi bumi sehingga lintasannya menjadi lebih

pendek dan lebih rendah.

Bola berotasi berlawanan arah jarum jam

(a) Frekuensi 1 (b) Frekuensi 5 (c) Frekuensi 10

Gambar 6.Tampilan grafik untuk kasus berotasi berlawanan arah jarum jam

Dengan adanya putaran bola yang berlawanan arah dengan arah jarum jam menyebabkan

timbulnya gaya magnus dengan arah ke atas yang berlawanan dengan arah gaya berat bola

sehingga nilai percepatan benda ke arah sumbu y mengecil dibandingkan dengan nilai percepatan

gravitasi bumi sehingga memperlambat turunnya bola.

Adanya putaran bola yang berlawanan arah dengan arah jarum jam menyebabkan timbulnya gaya

magnus dengan arah ke atas yang berlawanan dengan arah gaya berat bola sehingga nilai

percepatan benda ke arah sumbu y mengecil dibandingkan dengan nilai percepatan gravitasi bumi

sehingga memperlambat turunnya bola.

Pada gambar 6, memperlihatkan bahwa jangkauan maksimum yang dapat dicapai lintasan bola

yang ada pengaruh efek magnusnya bernilai hampir mendekati 180 meter, sedangkan yang tidak

terdapat efek magnus hanya sekitar 80 meter. Jangkau maksimum bernilai lebih dua kali lipat dari

jangkau maksimum yang dapat dicapai oleh kasus tanpa efek magnus atau gerak parabola murni.

Tidak nampaknya penurunan ketinggian dari lintasan bola disebabkan nilai percepatan yang

arahnya ke bawah sangat kecil sehingga bola akan lama untuk mencapai tinggi maksimum dan

akan mengalami penurunan.

Page 243: “Peran Matematika, Sains, dan Terapannya dalam Pengelolaan

237

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa

1. Program yang dibuat berdasarkan hasil analisis dari gerak parabola yang diberikan efek

magnus.

2. Dari analisis terhadap grafik yang dihasilkan oleh program yang dibuat didapatkan bahwa

efek magnus akibat rotasi bola searah jarum jam akan membuat lintasan dan tinggi

maksimum bola semakin kecil sedangkan untuk arah rotasi yang berlawanan arah jarum

jam akan memperpanjang jangkauan dan meningkatkan tinggi maksimum bola yang dapat

dicapai.

6. UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Penelitian dan Pengabdian Universitas

Cenderawasih yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Alan M. Nathan, The effect of spin on the flight of a baseball, Am. J. Phys., Vol. 76, No. 2,

February 2008

[2] Benson, H., 1991, University Physics, John Wiley and Sons Inc, New York.

[3] Carre, M. J., et all, The curve kick of a football II: flight through the air, Journal Sports

Engineering Volume 5, 193–200, Blackwell Science Ltd.

[4] Crespo da Silva, 2004, Intermediate Dynamics : Complemented with Simulations and

Animations, McGraw Hill, printed in Singapore.

[5] Cayzac, R., et all, Magnus effect: Physical Origin and Numerical Prediction, Journal of

Applied Mechanics , American Society of Mechanical Engineers, September 2011.

[6] Dianto, Analisis Lintasan Gerak Bola yang Memiliki Spin dalam Permainan Sepak bola”,

Proseding Seminar Fisika 2011, UniveristasNegeri Surabaya.

[7] Halliday, D., R. Resnick, J. Walker, 2001, Fundamentals of Physics Extended, Sixth Edition,

John Wiley and Sons Inc, New York.