peran lembaga widyo budoyo dalam pelestarian...
TRANSCRIPT
1
PERAN LEMBAGA WIDYO BUDOYO DALAM PELESTARIAN WARISAN
BUDAYA ISLAM JAWA DI KERATON YOGYAKARTA TAHUN 1941-1989
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memperoleh Gelar
S1 Sarjana Humaniora
Oleh :
NUR SIROJUDIN
NIM. 21613015
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2017
2
3
4
5
6
Halaman Motto
“Ilmu pada awalnya pahit rasanya, tapi manis melebihi madu pada
akhirnya.
Takkan ada yang sia sia jika kita mau berusaha”
“Dan Perlu Di Ingat, Seseorang Tak
Akan Pernah Berhasil Ketika Dia Hidup
Dalam Kesendirian Tanpa Ada Usaha
Untuk Membuka Ruang Pada Orang
Lain”
by. judhin
7
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya Tulis ini Kupersembahkan Untuk :
Bapak dan ibuku tercinta yang telah mendidik, membesarkan buah hatinya
dan motivasi serta do’anya demi keberkasilan putra tercintanya
Kepada keluarga besarku terutama kakak-kakak ku dan adekku tercinta
Spesial buat Allah SWT
“kata syukur saya haturkan kepada Mu yang telah membimbing dan
memberikan Hidayah Nya sehingga saya tetap berada dalam jalan benar,
tetap tuntun hamba sampai persimpangan jalan yang terakhir”
8
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-
Nya saya bisa menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran Lembaga Tepas Widyo
Budoyo Dalam Pelestarian Warisan Budaya Islam Jawa Di Keraton Yogyakarta
Tahun 1941-1989” sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan gelar
Sarjana Humaniora dari program Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga. Saya menyadari betul bahwa
tanpa ada dukungan dan dorongan selama masa perkuliahan hingga penyusunan
skripsi ini, tentunya skripsi ini tidak akan selesai tepat pada waktunya. Oleh
karena itu pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan banyak-banyak
terima kasih kepada :
1. Dekan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga
2. Ketua dan ekretaris Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN Salatiga
3. Bapak Haryo Aji Nugroho. M Sos selaku ketua Progdi SPI dan
pembimbing akademis penulisan skripsi
4. Bapak Adif Fahrizal Arifyadipura. M Hum yang telah mencurahkan
waktu, tenaga dan ilmunya dalam mendampingi penulis dengan penuh
kesabaran hingga akhir penulisan skripsi ini
5. Bapak dan Ibu dosen di lingkungan Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam
yang telah mencurahkan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama
menempuh studi di fakultas ushuuddin adab dan humaniora IAIN Salatiga
9
6. Staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora IAIN
Salatiga yang telah membantu penulis selama menempuh perkuliyahan
maupun dalam penyusunan skripsi
10
11
INTISARI
PERAN LEMBAGA WIDYO BUDOYO DALAM PELESTARIAN WARISAN
BUDAYA ISLAM JAWA DI KERATON YOGYAKARTA TAHUN 1941-1989
Nur Sirojudin
NIM: 21613015
Prodi Sejarah Peradaban Islam Institut Agama Islam Negeri Salatiga
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar peran dari tepas Widya
Budoyo dalam pelestarian budaya Islam Jawa di Keraton Yogyakarta pada masa
Hamengku Buwono IX, pada penelitian ini akan sedikit dibahas mengenai
bagaimana perjumpaan Islam dengan budaya Keraton, sejarah Keraton
Yogyakarta, gambaran umum tepas widya budaya dan seberapa besar peran tepas
widya budaya dalam pelestarian budaya Islam Jawa di Keraton Yogyakarta. Pada
penelitian ini akan diulas mengenai seberapa besar peran dari tepas widya budaya
Keraton Yogyakarta dalam tradisi upacara Sekaten, upacara Labuhan dan upacara
Gerebeg Mulud. Peran tepas Widya Budaya terhadap pelestarian warisan budaya
Keraton Yogyakarta pada tahun 1941-1989 banyak mengalami perubahan yang
signifikan. Hal tersebut disebabkan karena adanya deskriminasi sosial yang
dilakukan oleh kepedudukan Jepang serta perkembangan di zaman modernisasi
yang menyebabkan melemahnya budaya. Jenis penelitian ini adalah penelitian
kualitatif dengan menggunakan metode sejarah yaitu heuristik, verifikasi,
interpretasi dan historiografi. Pengumpulan sumber pada penelitian ini
menggunakan literatur buku, arsip-arsip yang sezaman dan dokumentasi.
Informan penelitian ini adalah abdi dalem dari tepas widya budaya Keraton
Yogyakarta. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa seberapa besar
pengaruhnya tepas widya budaya dalam pelestarian budaya Islam Jawa di
Keraton Yogyakarta. Peran dari tepas widya budaya terlihat dalam beberapa
rangkaian upacara-upacara budaya Keraton seperti upacara sekaten, upacara
labuhan dan upacara gerebeg baik dalam segi persiapan maupun pelaksanaannya
yang kemudian memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kebudayaan
Keraton Yogyakarta dimasa Hamengku Buwono IX.
Kata kunci: Keraton Yogyakarta, Tepas Widyo Budoyo, Budaya Keraton
12
ABSTRACT
THE ROLE OF INSTITUTIONS WIDYO BUDOYO IN THE PRESERVATION
OF JAVANESE ISLAMIC CULTURE IN THE PALACE OF YOGYAKARTA
IN 1941-1989
Nur Sirojudin
NIM: 21613015
Sejarah Peradaban Islam Institute Agama Islam Negeri Salatiga
This research aims to fid out how farthe role of the Tepas widya Budaya in
preservation of Javanese Islamic culture in the Yogyakarta palace in the era of
hamengku buwono IX, In this research will be discussed about how the encounter
of Islam with the culture of the palace, History of Yogyakarta palace,Overview of
the broad of the Tepas widya budaya and how far the role of the Tepas widya
budaya in the preservation of Javanese Islamic culture in yogyakarta Palace. In
this research will be discussed about how far the role of the Tepas widya budaya
yogyakarta in the tradition of sekaten ceremony, labuhan ceremony and grebeg
mulud ceremony. This type of the research is qualitative research with use
historical method that is heuristic, verification, interpretation and historigraphy.
The collection of sources in this research used the literature of the books, archives
of the contemporaries and documentation. The informant of this research is the
courtier from the Tepas widya budaya of Yogyakarta. The results of the research
indicate that how far influence the Tepas widya budaya in the preservation of
Javanese Islamic culture in the yogyakarta Palace. The role of the Tepas widya
budaya seen in the series of cultural ceremonies of the palace such as sekaten
ceremony, labuhan ceremony and grebeg ceremony in terms of preparation and
implementation which then gives a significant impact for culture Yogyakarta
palace in the era hamengkubuwno IX.
Keyword : Yogyakarta Palace, Tepas Widyo Budoyo, Palace culture
13
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN....................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iv
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAKS ................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
DAFTAR BAGAN ......................................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................1
B. Rumusan dan Batasan Masalah ...........................................................5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .........................................................6
D. Tinjauan Pustaka .................................................................................8
E. Kerangka Konseptual ..........................................................................11
F. Metode Penelitian ................................................................................14
G. Sistematika Penulisan ..........................................................................17
BAB II ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA ........................................... 20
A. Sejarah Perjumpaan Islam dan Kebudayaan Jawa .............................. 20
B. Pengaruh Islam dan Kebudayaan Jawa................................................ 21
1. Tata Nilai ................................................................................. 21
14
2. Tradisi Ritual ............................................................................24
C. Pengaruh Islam Dalam Keraton Yogyakarta ....................................... 29
BAB III SELAYANG PANDANG TENTANG KERATON
YOGYAKARTA.............................................................................................33
A. Sejarah Berdirinya Keraton Yogyakata .............................................. 34
B. Batas Pembagian Wilayah dan Struktur Pemerintahan Keraton
Yogyakarta ...........................................................................................42
1. Pembagian Wilayah Keraton Yogyakarta ................................42
2. Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta ............................45
BAB IV GAMBARAN UMUM LEMBAGA TEPAS WIDYO BUDOYO
KERATON YOGYAKARTA ..........................................................................50
A. Latar Belakang Pembentukan dan Kondisi Lembaga Tepas Widyo
Budoyo Keraton Yogyakarta ................................................................ 50
1. Latar Belakang Pembentukan Lembaga Tepas Widyo Budoyo
Keraton Yogyakarta ................................................................. 50
2. Perkembangan Lembaga Tepas Widya Budaya Keraton
Yogyakarta ............................................................................... 52
B. Tujuan Pembentukan Lembaga Tepas Widyo Budoyo Keraton
Yogyakarta ........................................................................................... 55
C. Struktur Organisasi Lembaga Tepas Widyo Budoyo Di Keraton
Yogyakarta ........................................................................................... 56
D. Tugas Lembaga Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta .............. 61
BAB V PERAN LEMBAGA WIDYO BUDOYO DALAM PELESTARIAN
WARISAN BUDAYA ISLAM JAWA DI KERATON YOGYAKARTA ....... 64
15
A. Peran Lembaga Tepas Widyo Budoyo dalam Tradisi Sekaten .............. 65
B. Peran Lembaga Tepas Widyo Budoyo dalam Tradisi Labuhan ............. 71
C. Peran Lembaga Tepas Widyo Budoyo dalam Tradisi Gerebeg Mulud... 75
BAB VI PENUTUP ........................................................................................... 81
A. Kesimpulan ............................................................................................. 81
B. Saran ....................................................................................................... 84
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 86
LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 89
16
Daftar Bagan
A. Bagan Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta
B. Bagan Struktur Organisasi Tepas widya Budaya Keraton Yogyakarta
17
DAFTAR LAMPIRAN
A. Lampiran Foto Keraton Yogyakarta
B. Lampiran Foto Kantor Tepas Widya Budaya Keraton Yogyakarta
C. Lampiran Foto Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
D. Lampiran Foto Upacara Sekaten, Labuhan dan Gerebeg Keraton
Yogyakarta
E. Lampiran Arsip-arsip Keraton Yogyakarta tahun 1941- 1989
F. Lampiran Surat Kabar Kegiatan Abdi Dalem Keraton Yogyakarta
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Daerah Istimewa Yogyakarta adalah provinsi tertua kedua setelah
di pulau Jawa setelah Jawa Timur.1 Provinsi ini memiliki status istimewa
atau otonomi khusus yang merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum
kemerdekaan. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam sebagai
cikal bakal atau asal usul Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki status
sebagai “Kerajaan Vasal atau Negara bawahan (dependent state)” selama
dalam pemerintahan penjajah, mulai dari VOC, Hindia Prancis (Republik
Bataav Belanda-Perancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), Hindia
Belanda (Kerajaan Naderland) dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI
Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai
Zelfbestuurende Lanschappen dan oleh Jepang disebut Koti atau Kooti.
Status ini membawa konskuensi hukum dan politik berupa kewenangan
khusus untuk mengatur dan mengurus wilayah atau negaranya sendiri di
bawah pengawasan pemerintahan penjajahan Belanda. Status ini pula yang
kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh bapak pendiri bangsa
1 Jawa timur menjadi provinsi pertama di tanah Jawa yang dibentuk pada tahun 1947
setelah agresi militer Belanda. Namun disahkan pada tahun 1950 oleh RI yang saat itu dipimpin
oleh Ario Soeryo. https://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Timur sumber diakses pada tanggal 24 Juli
2017
19
Indonesia, Soerkarno, yang duduk dalam BPUPKI dan PPKI sebagai
sebuah daerah, bukan sebagai sebuah negara.2
Keberadaan Keraton Yogyakarta dan Kadipaten Pakualam sebagai
cikal bakal terwujudnya Daerah Istimewa Yogyakarta banyak memberikan
nilai-nilai budaya tersendiri bagi Yogyakarta. Kesultanan Yogyakarta
merupakan kerajaan Islam di bagian selatan Jawa yang masih bertahan
sampai sekarang. Keberlangsungan Keraton Yogyakarta disebabkan
karena kuatnya masyarakat Yogyakarta dalam mempertahankan
feodalisme3 berupa dukungan secara formal maupun kultural. Kesultanan
Yogyakarta menjadi sosok kerajaan yang berdiri kuat di tengah desakan
modernisasi di era reformasi.4
Dalam menjalankan kekuasaannya atas kesultanan, seorang sultan
dibantu oleh Nayaka reh jero5 dan Nayaka reh jobo
6. Nayaka reh jero
terdiri dari empat komponen atau Kenayakan7 yaitu kanayakan kaparak
kiwo dan kanayakan kaparak tengen yang keduanya bertugas mengurusi
yayasan, pekerjaan umum, dan pesuruh sri Sultan. Adapun dua buah
2Langgeng Wahyu Santoso. 2015. Keistimewaan Yogyakarta Dari Sudut Pandang
Geomorfologi. Yogyakarta. Gajah Mahda University Press. Hal. 1 3 Hiro tugiman. Budaya jawa dan mundurnya presiden soeharto. Yogyakarta. Kanicius.
1999. Hal. 93-94. Feodalisme tak lain adalah suatu mental ettitude, sikap mental terhadap sesama
dengan mengadakan sikap khusus karena adanya perbedaan dalam usia atau kedudukan 4 Sri Lestari. Skripsi. Kehidupan Para Abdi Dalem Dalam Lingkungan Keraton
Yogyakarta. Universitas sunan kalijaga. Yogyakarta. 2008. Hal. 42 5 Nayaka reh jero merupakan bahasa keraton yang magsudnya adalah lembaga yang
bertugas untuk mengurus segala urusan yang ada di dalam keratin. Sri Wintala Akhmad dan
Krisna Bayu Adji. 2014. Geger Bumi Mataram. Yogyakarta. Araska Yogayakarta. Hal. 126 6 Nayaka reh jobo merupakan bahasa keraton yang magsudnya adalah lembaga yang
bertugas untuk mengurus segala urusan yang ada di luar keratin. Ibid : 126 7 Kanayakan adalah istilah kepegawaian yang digunakan oleh keraton Hadiningrat
Yogyakarta. Ibid : 126
20
kanayakan yang lain adalah kayanakan Gedhong Kiwo dan kayanakan
Gedhong Tengen yang keduanya mengurusi hasil bumi dan keungan
keratin. Keberadaan abdi dalem tak terlepas dari 8 Tepas Parentah
Hageng Keraton8 yang mendapat perintah dari sultan untuk mengurusi
para abdi dalem. Pada dasarnya, abdi dalem keraton bermula atau muncul
bersamaan dengan berdirinya keraton Yogyakarta. Akan tetapi
terbentuknya suatu tepas dalam keraton baru berdiri pada akhir masa
pemerintahan Hamengkubuwono II.9
Dalam menjalankan tradisi atau budaya keraton Yogyakarta,
upacara tradisi budaya Keraton tidak pernah lepas dari peran lembaga
tepas Widyo Budoyo keraton Yogyakarta. Lembaga tepas Widyo Budoyo
bertugas untuk menjaga dan mengurusi tradisi budaya yaitu bagian
kebudayaan dan upacara Keraton. KHP Widyo Budoyo atau tepas widyo
budoyo muncul pada masa-masa akhir pemerintahan Hamengkubuwono
II, dengan kepandaian yang dimiliki Sultan peran para abdi dalem menjadi
terstruktur dalam menjalankan tugas-tugasnya begitu pula dengan para
tugas abdi dalem Widyo Budoyo. Widyo Budoyo merupakan salah satu
lembaga atau tepas yang sangat berperan penting dalam menjalankan
tradisi ritual keraton. Widyo Budoyo adalah tepas atau lembaga yang
ditugaskan oleh sultan untuk mengurus dan menjaga tradisi kebudayaan
yang ada di keraton Yogyakarta, bukan hanya tradisi ritual sekaten,
8 Lembaga atau kantor tertinggi dalam keraton Yogyakarta
9 P.J. Soerwarno. Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta
1942-1974. Yogyakarta. Kanisius. 1994. Hal. 69
21
larungan dan tradisi malam satu Suro yang dijaga dan dilestarikan oleh
tepas widyo budoyo tetapi semua hal yang mencangkup kebudayaan
keraton, misalnya pementasan wayang kulit yang dilakukan di dalam
keraton ketika ada kunjungan wisatawan dan lain-lain.
Dalam era modernisasi pada masa Hamengku Buwono IX.
Pelestarian kebudayaan dianggap sangat penting apabila dibandingkang
dengan masa-masa zaman dahulu. Pelestarian kebudayaan yang dilakukan
oleh Keraton Yogyakarta pada masa Hamengku Buwono IX diamanatkan
kepada lembaga tepas widyo budoyo. Pada masa Hamengku Buwono IX
Keraton telah memasuki era modernisasi, yang berdampak pada
keberadaan budaya Jawa yang makin melemah dan perlahan-lahan mulai
tergerus dengan kemajuan teknologi. Mengingat kebudayaan Jawa yang
termasuk dalam warisan budaya, Sultan Hamengku Buwono IX mencoba
melestarikan kebudayaan-kebudayaan Jawa yang ada di keraton
Yogyakarta. Selain sebagai pelestarian warisan budaya, kebudayaan Jawa
yang akan terus terlihat dapat memberikan pengetahuan kepada
masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya. Kebudayaan Jawa yang ada di
keraton Yogyakarta memang sangatlah banyak jumlahnya, salah satu
budaya keraton Yogyakarta yang bernilai Islam yang sampai sekarang
masih terus dilestarikan adalah sekaten, grebeg dan tradisi larungan.
Keberlangsungan tradisi atau ritual budaya Keraton Yogyakarta
tidaklah terlepas dari para abdi dalem dan tepas Widyo Budoyo keraton
Yogyakarta. Hal itulah yang menarik minat peneliti untuk melakukan
22
sebuah penelitian tentang bagaimana peran dari lembaga atau tepas Widyo
Budoyo dalam melangsungkan tradisi ritual yang di laksanakan setiap
tahunnya oleh keraton Yogyakarta. Dari berbagai penjelasan diatas,
peneliti menemukan sebuah permasalahan yang cukup menarik untuk di
jadikan sebuah penelitian yaitu mengenai bagaimana peran lembaga
Widyo Budoyo dalam menjaga, melestarikan dan melangsungkan tradisi
budaya keraton Yogyakarta.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
a. Batasan Masalah
Pada penelitian ini, peneliti membatasi pokok
permasalahan-permasalahan mengenai tema “Peran Lembaga
Widyo Budoyo Dalam Pelestarian Warisan Budaya Islam Jawa Di
Keraton Yogyakarta Tahun 1941-1989” serta bagaimana tepas
Widyo Budoyo dalam melestarikan dan menjaga budaya islam
Jawa di Keraton Yogyakarta. Pada penulisan ini, peneliti akan
membatasi pokok kajian yang akan dijadikan obyek penelitian
yaitu dalam tradisi Sekaten, Labuhan, Malam Satu Suro, dari tiga
hal tersebut sekiranya cukup bagi peneliti untuk dijadikan sebuah
obyek penelitian. Pada batasan spasial, peneliti mencoba
membatasi wilayah penelitian di Daerah Yogyakarta. Disertai
dengan batasan temporal atau waktu yang dalam kurun tahun 1941
sampai tahun 1989 dalam wilayah Keraton Yogyakarta Propinsi
23
Daerah Istimewa Yogyakarta. Hal tersebut peneliti merujuk pada
masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono IX.
b. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang permasalah tersebut, maka
penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan penelitian sebagai
berikut:
1. Seperti apakah perjumpaan Islam dengan kebudayaan Jawa?
2. Bagaimanakah sejarah terbentuknya Keraton Yogyakarta?
3. Bagaimanakah gambaran umum Tepas Widyo Budoyo keraton
Yogyakarta?
4. Bagaimanakah peran lembaga widyo budoyo dalam menjaga dan
melestarikan budaya Islam di keraton Yogyakarta?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan
Penelitian tentang peran lembaga Widyo Budoyo terhadap
warisan budaya islam di keraton Yogyakarta mempunyai tujuan
sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui seperti apakah perjumpaan Islam dengan
budaya Jawa.
2. Untuk mengetahui bagaimana sejarah Keraton Yogyakarta
terbentuk
24
3. Untuk mengetahui bagaimanakah pembentukan dan
gambaran umum struktur organisasi Tepas Widyo budoyo
keraton Yogyakarta.
4. Untuk mengetahui bagaimana peran dari tepas Widyo
Budoyo dalam menjaga tradisi budaya islam di Keraton
Yogyakarta.
b. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan di bidang
sejarah maupun budaya bahwa suatu fenomena budaya itu
dapat berakibat besar bagi perkembangan kehidupan
masyarakat dan dapat menjadi inspirasi bagi penelitian
selanjutnya terkait struktur keraton-keraton islam di
Nusantara
2. Sebagai sumber informasi bagi masyarakat umum yang
ingin mengetahui tentang warisan ilmu budaya Keraton
Yogyakarta terutama dalam peran lembaga tepas Widyo
Budoyo dalam melestarikan dan menjaga warisan budaya
Islam di Keraton Yogyakarta.
25
D. Tinjauan Pustaka
Kepustakaan merupakan bahan-bahan yang dapat dijadikan acuan
dan berhubungan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas pada
sebuah penulisan skripsi maupun karya tulis. Pada tema diatas,
pembicaraan mengenai seluk beluk keraton Yogyakarta dan para abdi
dalem keraton Yogyakarta memang bukan merupakan suatu hal yang baru,
akan tetapi karya tulis yang meneliti tentang peran lembaga tepas Widyo
budoyo terhadap warisan budaya islam di keraton Yogyakarta sejauh ini
belum ditemukan.
Diantara beberapa karya ilmiah yang pernah mengupas tentang
keraton Yogyakarta dan para abdi dalem keraton Yogyakarta adalah Dwi
Ratna Nurhajarini dkk (2012) dalam bukunya yang berjudul Yogyakarta
Dari Hutan Beringin Ke Ibukota Daerah Istimewa. Yogyakarta. Balai
Pelestarian Sejarah. Menjelaskan mengenai sejarah terbentuknya suatu
daerah pada masa Mataram sekitar tahun 1755 M, dan dalam buku ini pula
dijelaskan bagaimana perkembangan kota Yogyakarta yang semula hanya
sebuah hutan belantara menjadi sebuah kota yang penuh dengan
kebudayaan untuk saat ini. Dalam buku ini hanya menjelaskan tentang
terbentuknya kota Yogyakarta dan belum menyinggung mengenai keraton
dan para abdi dalem keraton Yogyakarta.
Buku karangan Noto Suroto terbitan Departemen Pendidikan tahun
1985 banyak menjelaskan mengenai Kasultanan Yogyakarta yang pada
awalnya menjelaskan tentang Kerajaan Mataram Islam dan dalam
26
perkembangan waktu kerajaan tersebut terpecah menjadi dua kerajaan
besar yaitu kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Buku ini
hanya menjelaskan bagaimana terbentuknya Kasultanan Yogyakarta dan
dinamika keraton Yogyakarta.
Buku lain adalah buku karangan dari P.J. Soerwarno. 1994 yang
berjudul Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942-1974. Yogyakarta. Kanisius. 1994. Banyak menjelakan
mengenai gambaran keraton Yogyakarta baik dari masa-masa pertama
yaitu masa pangeran Mangkubumi dalam membangun kerajaan atau
kasultanan Yogyakarta dan menggambarkan sedikit tentang para abdi
dalem keraton dalam menjalankan tugas dikeraton Yogyakarta atas
perintah perintah dari Sultan, dalam buku ini pula telah dijelaskan adanya
pembagian tugas dari sultan untuk para abdi dalem agar lebih mudah
dalam menjalankan setiap tugasnya masing-masing dari setiap abdi dalem.
Akan tetapi dalam buku yang ditulis oleh P.J Soewarno belum
menyinggung mengenai peran lembaga tepas widyo budoyo terhadap
warisan budaya islam di keraton Yogyakarta.
Inajati Adrisinjanti dalam jurnal Penelitian yang diterbitkan pada
tahun 2007 UGM yang berjudul Kota Yogyakarta Sebagai Kawasan
Pusaka Budaya Potensi Dan Permasalahannya, banyak memberikan
gambaran mengenai bagaimana Yogyakarta menjaga dan melestarikan
kebudayaan masa lalu yang kemudian menjadi daya terik tersendiri bagi
wisatawan lokal maupun asing, dalam jurnal ini dijelaskan bagaimana
27
tradisi yang telah lama tersebut masih dilakukan atau dijalankan didaerah
keraton Yogyakarta seperti halnya sekaten, malam satu suro dan lain
sebagainya.
Septiani Rahayu dalam skripsi yang berjudul Konsep Nerimo
Dalam Ranah Kerja Abdi Dalem Keraton Yogyakarta, Universitas Sunan
Kalijaga. Yogyakarta. 2015, banyak menjelaskan tentang bagaimana
kinerja para abdi dalem keraton Yogyakarta dalam penjalankan segala
perintah dari sultan. Disertai dengan bagaimana para abdi dalem bertindak
dalam menerima perintah dari sultannya yang kemudian disebut dengan
konsep nerimo.
Sri Lestari dalam skripsi nya yang berjudul Kehidupan Para Abdi
Dalem Dalam Lingkungan Keraton Yogyakarta. Universitas sunan
kalijaga. Yogyakarta. 2008, telah banyak memberi gambaran tentang
kehidupan para abdi dalem dalam lingkup lingkungan keraton Yogyakarta,
dan dalam karya tulis ini pula Sri Lestari sedikit menjelaskan tentang
tugas-tugas para abdi dalem dalam kesehari-hariannya sesuai dengan apa
yang telah diperintah oleh raja atau Sultan.
Nurani Siti Ansyori. Jurnal yang berjudul MAKNA KERJA
(Meaning of Work) Suatu Studi Etnografi Abdi Dalem Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat Daerah Istimewa Yogyakarta menjelaskan
tentang bagaimana kinerja orang-orang abdi dalem dalam menjalankan
tugas yang diberikan oleh Sultan.
28
Atmakusumah. 1982 dalam bukunya yang berjudul tahta untuk
rakyat. Jakarta. Gramedia. 1982, menjelaskan bagaimana nama awal mula
terbentuknya Yogyakarta yang diusung oleh HB II. Buku karangan Agnes
koen dkk yang berjudul Profil daerah kabupaten dan kota. Jakarta. Buku
kompas. 2003, terdapat penjelasan mengenai bagaimana awal mula
terbentuknya Kasultanan Yogyakarta yang di bangun oleh raja pertama
yaitu raja Mangkubumi atau yang biasa dipanggil dengan sebutan HB I.
Pembeda dari penelitian sebelumnya, penulisan skripsi ini lebih
memfokuskan pada bagaimana peran dari lembaga tepas Widyo Budoyo
terhadap warisan budaya Islam di keraton Yogyakarta dalam bidang
kebudayaan seperti sekaten, tradisi larungan, tradisi malam satu suro dan
lain sebagainya.
E. Kerangka Konseptual
Dalam perkembangan metodologi sejarah, peneliti harus berusaha
untuk bisa saling mengkaitkan atau mendekatkan antara sejarah dengan
ilmu-ilmu yang lain, maka ketika akan menganalisis berbagai suatu
peristiwa atau fenomena masa lampau, peneliti menggunakan konsep-
konsep dari berbagai ilmu-ilmu sosial yang relevan dengan pokok kajian.
Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan suatu pendekatan
dengan ilmu bantu lain yaitu tentang pendekatan sosial dan pendekatan
patron klien. pendekatan sosial adalah suatu ilmu yang mempelajari
tentang kehidupan seseorang dalam masyarakat atau dalam suatu
29
lingkungan tertentu dan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia
tentang kehidupan mayarakat.10
Dalam lingkup kehidupan para abdi dalem
keraton Yogyakarta, Keberadaan dan keterbukaan keraton Yogyakarta
membuat semua orang merasa memilikinya termasuk para abdi dalem
keraton. Keterbukaan akan kesejahteraan sosial11
itulah yang kemudian
menjadi cara pandang bagi semua abdi dalem keraton Yogyakarta merasa
memiliki loyalitas yang tinggi terhadap keraton. Oleh karena itu, teori
sosial menjadi dasar yang relevan dari penelitian ini karena penempatan
dan peranan abdi dalem dalam lingkungan keraton yang membuat adanya
hubungan antara Sultan dan para abdi dalem itu sendiri.
Pendekatan patron klien menurut James C. Scott. patron klien
merupakan suatu kasus khusus dalam ikatan (dyadic) dua pihak yang
menyangkut suatu persahabatan, di mana seorang individu dengan status
sosial-ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan
sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan
atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), yang
sebaliknya membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara
umum, termasuk pelayanan pribadi kepada patron tadi12
. Secara
sederhana, relasi patron klien dapat ditandai dengan ada dua posisi yang
berbeda dan saling membutuhkan, dimana dalam masing-masing posisi
10
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Pt RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2009, halaman 1 – 2 11
George Ritzer menuturkan adalah konsep sosial ialah dengan adanya hubungan
(komunikasi) antara instansi satu dengan yang lainnya atau individu satu dengan yang lainnya 12
James C. Scott, 1972, Patron Client, Politics and Political Change in South Asia dalam
Yujiro Hayami dan Masao Kikuchi, Dilema Ekonomi Desa : Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap
Perubahan Kelembagaan di Asia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1987, hlm.14
30
tersebut terlekat konsekuensi bagi orang atau individu yang ada di
dalamnya.
Patron klien menjadi suatu bentuk relasi atau hubungan yang khas.
Pada dasarnya relasi sosial tersebut mengandung keterlibatan dua aktor
yang berasal dari posisi atau kedudukan yang berbeda. Karena merekalah
yang akhirnya berperan sebagai patron dan klien. Antara keduanya terkait
oleh konsekuensi peran masing-masing, dimana patron berkewajiban
menyediakan bantuan ataupun perlindungan bagi klien dan klien pun
wajib membalasnya dengan dukungan dan jasa-jasa tertentu sesuai yang
dibutuhkan patron.
Dalam konteks ini, peneliti mencoba mengungkap mengenai
bagaimana relasi hubungan sosial antara Keraton Yogyakarta dengan
lembaga-lembaga yang menjalankan keseluruhan kegiatan-kegiatan
keraton Yogyakarta khususnya lembaga tepas Widyo Budoyo Keraton
Yogyakarta dalam menjaga dan melestarikan warisan budaya islam di
Keraton Yogyakarta. Pendekatan patron klien sangatlah cocok dalam
penelitian ini dikarenakan terdapatnya suatu hubungan timbal balik antara
patron dan klien yaitu antara Keraton dengan lembaga-lembaga yang ada
di Keraton Yogyakarta termasuk kehidupan dan kegiatan para abdi dalem
Keraton Yogyakarta.
31
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian sejarah, peneliti menggunakan metode penelitian
sejarah di antaranya yaitu:
1. Heuristik
Tahap pertama adalah heuristik atau mencari sumber. Sumber
sejarah dapat berupa bukti yang ditinggalkan manusia yang
menunjukkan segala aktifitasnya di masa lampau baik berupa
peninggalan-peninggalan maupun catatan-catatan.13
Pada tahap ini,
peneliti akan mencari sumber yang berkaitan dengan abdi dalem,
peran abdi dalem dan juga tentang tradisi ritual Keraton itu sendiri.
Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk
mendapatkan data-data dan informasi yang dibutuhkan untuk
menyusun penelitian ini yakni:
Lokasi atau tempat penelitian berada di Daerah Yogyakarta
pada umumnya dan di Keraton Yogyakarta pada khususnya.
Peneliti menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat penelitian
dikarenakan tempat tersebut merupakan tempat diadakannya atau
diselenggarakannya tradisi ritual budaya keraton seperti sekaten,
larungan, dan tradisi satu Suro. Alasan lain peneliti mengadakan
penelitian di daerah tersebut adalah dikarenakan sumber-sumber
yang berkaitan dengan penelitian berada di daerah tersebut.
13
Prof. A. Daliman, M. Pd. Metode penelitian sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2012, hal. 27
32
Adapun untuk mencari sumber dokumen dalam penelitian
ini, penulis akan mengunjungi perpustakaan Daerah Salatiga,
disana menemukan berbagai buku tentang kota Yogyakarta.
Perpustakaan kota Yogyakarta penulis menemukan buku mengenai
Keraton Yogyakarta yang berjudul sistem birokrasi kota
Yogyakarta pada masa Hamengkubuwono IX. Perpustakaan
Universitas Gajah Mada, perpustakaan Universitas Sunan Kalijaga,
peneliti menemukan berbagai sumber pendukung lainnya.
perpustakaan Keraton Yogyakarta, Perpustakaan Mangkunegaran,
BPAD Yogyakarta dan Badan Arsip Keraton Yogyakarta.
2. Verifikasi
Dalam penulisan sejarah dikenal ada dua macam jenis
sumber yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer
adalah kesaksian dari seseorang dengan mata kepala sendiri atau
saksi dengan panca indra yang lain atau dengan alat mekanis.
Sumber sekunder, adalah merupakan kesaksian dari siapapun yang
bukan saksi mata, yakni dari orang yang tidak hadir pada peristiwa
yang dikisahkan. Dalam tahab ini, peneliti akan mencoba memilah
dan memilih sumber-sumber yang telah ditemukan dan akan
dilakukan kritik terhadap sumber tersebut. Hal ini dilakukan untuk
menguji kebenaran dan kredibilitas sumber tersebut terhadap suatu
peristiwa tertentu, selain itu penulis juga akan mengklarifikasikan
33
atau mengelompokan sumber yang telah dikritik kedalam bentuk
sumber primer dan sekunder.14
Yang mana pada tahab sebelumnya
peneliti telah menemukan berbagai sumber mengenai gambaran
tentang Keraton Yogyakarta dan para abdi dalem Keraton
Yogyakarta.
3. Interpretasi
Tahap selanjutnya adalah interpretasi atau penafsiran
sejarah. Dalam tahap ini dilakukan analisis berdasarkan data-data
atau sumber-sumber yang diperoleh yang akhirnya dihasilkan suatu
sintesis dari seluruh hasil penulisan yang utuh atau disebut dengan
historiografi. Setelah peneliti mengkomunikasikan hasil
penelitiannya maka disebut tulisan atau karya sejarah. Interpretasi
adalah menafsirkan fakta sejarah dan merangkai fakta tersebut
hingga menjadi satu kesatuan yang harmonis dan masuk akal.15
Dalam interpretasi akan dilakukan mengenai penafsiran terhadap
sumber-sumber baik itu sumber primer dan sumber sekunder guna
menyelesaikan penelitian ini.
14
Prof. A. Daliman, M. Pd. Metode penelitian sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2012, hal.
29-30 15
Prof. A. Daliman, M. Pd. Metode penelitian sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2012, hal.
31-32
34
4. Historiografi
Setelah melakukan proses analisis dan sintesis pada tahab-
tahab sebelumnya, proses kerja mencapai tahap akhir yaitu
historiografi atau penulisan sejarah. Proses penulisan dilakukan
agar fakta-fakta yang sebelumnya terlepas satu sama lain dapat
disatukan, sehingga menjadi satu perpaduan yang logis dan
sistematis dalam bentuk narasi kronologis. Pada tahab ini, akan
dilakukan mengenai penulisan sejarah dengan menyusun fakta-
fakta sejarah dan berbagai sumber yang telah diseleksi dan
dilakukan interpretasi ke dalam sebuah bentuk penulisan sejarah.
Historiografi adalah proses penyusunan fakta-fakta sejarah
dan berbagai sumber yang telah diseleksi dalam sebuah bentuk
penulisan sejarah mengenai peran abdi dalem widyo budoyo dalam
tradisi ritual keraton Yogyakarta tahun 1989-1998. Oleh karena itu,
pada tahab ini diperlukan dipertimbangkan berbagai struktur dan
gaya bahasa penulisannya. Peneliti harus menyadari dan berusaha
agar orang lain dapat mengerti pokok-pokok pemikiran yang
diajukan pada penelitian ini.
G. Sistematika Penulisan
Pada sistematika penelitian, peneliti akan membahas beberapa hal
yang sekiranya penting dan bersangkutan dengan tema atau judul dalam
penelitian ini. Pada bab satu, peneliti akan membahas mengenai latar
35
belakang permasalahan, rumusan masalah yang ada dalam penelitian
tersebut, tujuan dan ruang lingkup penelitian, kerangka konseptual yang
digunakan dalam penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan
sistematika penelitian.
Bab dua pada penelitian ini akan membahas mengenai pengaruh
islam dalam kebudayaan Jawa. Pada bab ini akan dibahas tiga sub bab
penting yang ada hubungannya dengan topik penelitian yaitu tantang
daerah asal kebudayaan Jawa, tata nilai kebudayaan Jawa, dan ritual
kebudayaan jawa dalam pandangan islam, dan juga pengaruh Islam dalam
Keraton Yogyakara.
Pada bab tiga ini lebih memfokuskan terhadap gambaran umum
keraton Yogyakarta diantaranya ada tiga sub bab yang akan menjelaskan
tentang keraton Yogyakarta yaitu dimulai dengan sejarah berdirinya
keraton Yogyakarta, filosofi keraton Yogyakarta dan yang terakhir adalah
struktur pemerintahan keraton Yogyakarta. Ketiga sub bab tersebut dirasa
cukup bagi peneliti untuk memberikan gambaran terhadap keraton
Yogyakarta.
Bab empat pada penelitian ini banyak menjelaskan tentang tepas
Widyo Budoyo. Pada bab ini akan dibahas empat sub bab yang sekiranya
penting dan berhubungan dengan bab tersebut salah satunya ialah latar
belakang terbentuknya lembaga tepas Widyo Budoyo di Keraton
Yogyakarta, Tujuan terbentuknya Lembaga Widyo Budoyo Di Keraton
Yogyakarta, Struktur Organisasi Tepas Widyo Budoyo Keraton
36
Yogyakarta dan bagaimana Tugas Tepas Widyo Budoyo Terhadap
Warisan Budaya Islam Di Keraton Yogyakarta
Pada bab lima peneliti akan membahas mengenai peran lembaga
widyo budoyo dalam pelestarian warisan budaya Islam Jawa di Keraton
yogyakarta, yang mana pada bab ini banyak menjelaskan mengenai peran
dari lembaga tepas Widyo budoyo dalam menjaga dan melestarikan
budaya-budaya islam di keraton Yogyakarta diantaranya Peran Lembaga
Tepas Widyo budoyo Dalam Tradisi Sekaten, Peran Lembaga Tepas
Widyo budoyo Dalam Tradisi Labuhan, Peran Lembaga Tepas Widyo
budoyo Dalam Tradisi Gerebeg Mulud. Ketiga sub bab diata sekiranya
cukup untuk bisa menjelaskan tentang lembaga tepas Widyo Budoyo
dalam berperan menjaga dan melestarikan warisan budaya islam di
Keraton Yogyakarta.
Bab yang terakhir adalah penutup, pada bab ini akan dijelaskan
mengenai kesimpulan terhadap suatu keseluruhan penelitian yang telah
terlaksana dan pada bab ini pula akan ditambahkannya mengenai saran-
saran terhadap peneliti guna menjadi koreksi dan intropeksi diri apabila
akan melakukan suatu penelitian lainnya.
37
BAB II
ISLAM DAN KEBUDAYAAN JAWA
A. Sejarah Perjumpaan Islam Dan Kebudayaan Jawa
Penyebaran agama Islam oleh penyiar agama di daerah pedalaman
sudah dimulai sejak ekspansi militer yang dilancarkan oleh kerajaan
Demak. Para penyiar agama melakukan perjalanan dengan menjadi guru
agama dan menjadi tokoh-tokoh agama dalam suatu wilayah. Meluasnya
agama islam ke daerah pedalaman pulau Jawa memberikan dampak yang
signifikan bagi perkembangan masyarakat pedesaan baik itu dalam bidang
pendidikan agama maupun dalam bidang kebudayaan lokal.
Persinggungan antara kebudayaan Jawa dengan Islam bermula ketika
kerajaan-kerajaan islam di Jawa mulai berkembang. Kerajaan Demak yang
merupakan salah satu kerajaan terbesar di pulau Jawa memberikan banyak
pengaruh dalam kebudayaan Jawa. Salah satu contoh adanya
persinggungan antara kebudayaann Jawa dengan Islam adalah ketika
sunan Kalijaga seorang wali dari kerajaan Demak melakukann metode
dakwah dengan memasukkan nilai-nilai islam di dalam kebudayaan Jawa.
Dan dari peran para wali dan sunan di pulau Jawa itulah kebudayaan islam
dan Jawa dapat bersinggungan dengan baik tanpa adanya perlawanan. 16
Pada dasarnya karakteristik kebudayaan Jawa pada zaman Kewalen
(islam), baik dimulai pada zaman kerajaan Demak, Pajang maupun
Mataram di kemudian hari masih tetap mempertahankan tradisi hindu-
16
Yudhi AW. 2013. Babad Walisongo. Narasi Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 241
38
Budha masa Majapahit, termasuk juga tradisi animisme dinamisme dengan
diperkaya dan disesuaikan dengan suasana Islam, selain itu juga nampak
juga karakter Keraton sentris dan sifat mistisnya. Ciri lain yang menonjol
dalam kebudayaan Jawa selain itu adalah kepercayaan atas suratan nasib
(takdir Tuhan, kodrat Alam) dan ramalan sangat mempengaruhi kehidupan
masyarakat jawa. Hal ini berkaitan dengan falsafah mistik yang
mempercayai adanya orang-orang pilihan (para wali Allah) yang mampu
menyikap rahasia alam gaib serta dapat mengetahui suratan nasib yang
telah digariskan Tuhan.17
B. Pengaruh Islam Dalam Kebudayaan Jawa
Agama islam merupakan salah satu agama yang menjunjung tinggi
nilai-nilai toleransi antar umat beragama, selain itu agama islam yang
berkembang di tanah Jawa seringkali memberikan corak atau karakteristik
nilai keislaman dalam kebudayaan Jawa, dan dari sebab itulah islam
banyak memberikan pengaruh yang amat penting dalam kebudayaan Jawa.
Berikut adalah pengaruh islam dalam kebudayaan Jawa :
a) Tata Nilai
Bentuk agama islam orang Jawa yang disebut agami Jawi atau
Kejawen adalah suatu kompleks keyakinan dan konsep-konsep Hindu-
Budha yang cenderung ke arah mistik, yang tercampur menjadi satu
sebagai agama yang diakui sebagai agam islam. Varial agami Islam
17
Simuh. 2016. Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Narasi-
Pustaka Promethea. Yogyakarta. Hal. 156
39
Santri yang walaupun juga tidak sama sekali bebas dari unsur-unsur
animisme dan unsur-unsur Hindu Budha lebih dekat pada dogma-
dogma ajaran Islam yang sebenarnya. Walaupun Agami Jawi
kelihatannya lebih dominan di daerah-daerah Nagariagung di Jawa
Tengah, di Bagelan dan di daerah Mancanagari, sedangkan varian
agama Islam Santri lebih dominan di daerah Banyumas dan daerah
pesisir, Surabaya, daerah pantai utara, ujung timur pulau Jawa serta
daerah-daerah pedesaan di lembah sungai Solo dan sungai Brantas,
tidak ada daerah-daerah yang khusus membatasi daerah tempat tinggal
para penganut dari dua varian tersebut. Orang Kejawen dan Santri
terdapat dalam segala lapisan masyarakat Jawa. Tempat-tempat yang
di dominasi oleh orang-orang Kejawen juga di diami oleh orang-orang
Santri yang tinggal disuatu daerah khusus yang dinamakan Kauman.
Namun sebaliknya yang di dominasi oleh orang-orang Santri
umumnya tidak ada bagian-bagian khusus di dalam suatu kota tempat
tinggal orang-orang beragama Kejawen.18
Ketika dalam paroh kedua abad ke 16 pengaruh Islam dari
daerah pantai timur laut berhasil masuk ke daerah pedalaman dengan
munculnya kerajaan Pajang yang berhaluan Iislam di daerah lembah
sungai Solo di Jawa Tengah, pengaruh agama Iislam tersebut pada
waktu itu tentu dianggap oleh penduduk sebagai suatu agama yang
asing, karena penduduk di daerah itu tidak mendapat kesempatan
18
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 312
40
untuk mengenalnya dengan baik dan menerimanya kedalam
kehidupan mereka. Bahkan kekuatan Islam belum cukup besar di
Pajang, terbukti dengan adanya serangan dari kerajaan Mataram yang
kemudian merupakan penghalang terhadap proses meluasnya agama
islam. Walaupun demikian raja Mataram tidak pula mengabaikan
usaha untuk membina hubungan baik dengan para penguasa Islam,
demi perdagangan dan hubungan politik persahabatan dengan negara-
negara Islam di luar pulau Jawa. Dengan meningkatnya kekuasaan
dalam paroh pertama abad ke 17 Mataram senantiasa berusaha
mengacaukan dan merongrong pusat-pusat kekuatan islam di daerah
delta sungai Brantas dan Surabaya dan berhasil menghalangi
meluasnya kekuatan pulitik agama islam untuk sementara. Dengan
demikian penduduk Jawa di pedalaman pulau Jawa berhasil
mempertahankan unsur-unsur yang paling utama dari peradaban Jawa
Hindu-Budha.19
Para penguasa-penguasa kerajaan Islam telah mengutus sang
wali agama Islam dan berhasil memulai proses penyebaran islam
dengan memanfaatkan sistem pendidikan kuno, yaitu lembaga
pendidikan agama mandala di daerah pedesaan yang kemudian diubah
menjadi komuniti pondhok pesantren. Dengan demikian muncullah
sejumlah besar pesantren di daerah lembah sungai Solo dan Brantas
yang pada waktu itu merupakan jalan utama ke daerah lembah di
19
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 315
41
antara gunung-gunung berapi di pedalaman Jawa Tengah yang subur
dimana tempat kerajaan Mataram berada dan melindungi kehidupan
peradaban kuno hindu-Budha. Agama Islam yang diajarkan oleh wali
dalam pondok pesantren pada waktu itu mengandung unsur-unsur
mistik sehingga memudahkan hubungan dengan penduduk yang sejak
lama terbiasa sengan konsep-konsep dan pikiran-pikiran mistik.
Disertasi P.J Zoetmulder yang berjudul Pantheisme en Mpnisme in de
Javaansche Soeloek Litteratuur (1935) dapat memberikan pengertian
yang lebih mendalam mengenai kesusasteraan suluk dan cara berfikir
mistik para penyebar agama islam di pesantren-pesantren, para imam,
para guru dan para muridna dalam abad ke 17 dan ke 18. Di dalam
buku ini menjelaskan bagaimana hasil dari suatu aktifitas
kesusanteraan dalam lingkungan pondok pesantren di daerah
pedesaan. 20
b) Tradisi Ritual
Agama Islam mengajarkan para pemeluknya melakukan kegiatan-
kegiatan ritualistik tertentu, yang dimagsud dengan kegiatan ritualistik
meliputi berbagai bentuk ibadah yang tertera dalam rukun iman dan Islam
yaitu syahadat, solat, puasa, zakat, dan haji. Khusus mengenai salat dan
puasa, di samping terdapat solat wajib dan puasa wajib terdapat pula solat
dan puasa-puasa sunah. Intisari dari salat adalah doa, oleh karena itu
20
Ibid : 317
42
harfiah solat juga doa yang ditujukan kepada Allah, sedangkan puasa
adalah suatu bentuk pengendalian nafsu dalam rangka penyucian rohani.
Aspek doa dan puasa tampak mempunyai pengaruh yang sangat luas,
mewarnai berbagai bentuk upacara tradisional orang Jawa.21
Bagi orang Jawa, hidup ini penuh dengan upacara, baik upacara-
upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup manusia sejak dari
keberadaanya dalam perut ibu, lahir, kanak-kanak, remaja, dewasa, sampai
dengan saat kematiannya atau juga upacara-upacara yang berkaitan dengan
aktivitas kehidupan sehari-hari. Upacara itu semula dilakukan dalam
rangka menangkal pengaruh buruk dari daya kekuatan gaib yang tidak
diketahui yang akan membahayakan bagi kelangsungan hidup manusia.
Dalam kepercayaan lama, upacara dilakukan dengan mengadakan sesaji
atau semacam korban yang disajikan kepada daya-daya kekuatan gaib
tertentu. Secara luwes Islam memberikan warna baru pada upacara-
upacara itu dengan sebutan kenduren atau slametan. Pokok di dalam
upacara slametan ini adalah pembacaan do’a yang dipimpin oleh orang
yang dipandang memiliki pengetahuan tentang Islam. Dengan pola ini
serupa itulah nilai-nilai Islam telah merasuki pelaksanaan upacara
slametan dalam berbagai bentuk.22
Berkaitan dengan lingkaran hidup terdapat berbagai jenis upacara,
antara lain:
21
H. Abdul Jamil, Abdurrahman Mas’ud dkk. 2000. Islam Dan Kebudayaan Jawa.
Gama Media Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 130
22 Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 344-346
43
a. Upacara mitoni
Upacara mitoni dilakukan pada saat janin berusia tujuh
bulan dalam kandungan. Dalam tradisi santri pada upacara seperti
ini dilakukan di daerah Bagelan dengan dibacakan nyanyian
berjanjen23
dengan alat musik tabuhan kecil.
b. Upacara kelahiran
Upacara kelahiran dilakukan pada saat anak diberi nama
dan pemotongan rambut (bercukur) pada waktu bayi berumur tujuh
hari atau sepasar, karena itu slametan pada upacara ini disebut juga
dengan slametan nyepasari. Dalam tradisi Islam santri upacara ini
disebut dengan korban aqiqah yang diucapkan dalam lidah jawa
kekah ditandai dengan penyembelihan hewan aqiqah berupa
kambing.24
c. Upacara sunatan
Upacara sunatan dilakukan ada saat anak laki-laki dikhitan.
Pelaksanaan khitan ini sebagai bentuk perwujudan secara nyata
tentang pelaksanaan hukum Islam. Sunatan atau khitanan ini
merupakan pernyataan pengukuhan sebagai orang Islam, oleh
karena itu seringkali sunatan disebut selam, sehingga
23
nyanyian ini sesungguhnya merupakan riwayat Nabi Muhammad yang bersumber dari
kitab al Barzanji
24 Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. Hal. 354
44
mengkhitankan dikatakan nyelamaken yang mengandung makna
mengislamkan (ngislamaken).
d. Upacara perkawinan
Upacara perkawinan dilakukan pada saat pasangan muda
mudi akan memasuki jenjang kerumah tangga. Upacara ini ditandai
secara khas dengan pelaksanaan syari’at Islam yakni akad nikah
yang dilakukan oleh pihak wali mempelai wanita dengan pihak
mempelai pria dan disaksikan oleh dua orang saksi. Slametan yang
dilakukan berkaitan dengan upacara perkawinan ini sering
diaksanakan dalam beberapa tahap akad nikah dan tahap sesudah
aqad nikah (ngunduh manten, resepsi pengantin). Antara upacara
aqad nihah dengan resepsi dari segi waktu pelaksanaannya dapat
secara beruntun atau secara terpisah.
e. Upacara kematian
Upacara kematian, pada saat mempersiapkan penguburan
orang mati yang ditandai dengan memandikan, mengkafani,
menshalati, dan pada akhirnya menguburkan. Setelah penguburan
itu selama sepekan, tiap malam hari diadakan slametan mitung
dino (tujuh hari) yaitu kirim doa dengan didahului bacaan tasybih,
tahmid, takbir, tahlil dan shalawat nabi yang secara keseluruhan
rangkaian bacaan itu disebut tahlilan. Isltilah tahlil itu sendiri
berarti membaca dzikir dengan bacaan laa ilaaha illallaah.
Slametan yang sama dilakukan pada saat kematian itu sudah
45
mencaai 40 hari (matang puluh), 100 hari (nyatus), satu tahun
(mendhak sepisan), dua tahun (mendhak pindo), dan tiga tahun
(nyewu). Tahlilan kirim do’a kepada leluhur terkadang dilakukan
juga oleh keluarga secara bersama-sama pada saat ziarah kubur,
khususnya pada waktu menjelang bulan ramadhan. Upacara zairah
kubur ini disebut dengan upacara nyadran.25
Sementara itu, masih terdapat jenis upacara tahunan yaitu upacara yang
dilaksanakan sekali setahun, termasuk dalam jenis upacara ini adalah
perngatan hari Nabi Muhammad tanggal 12 bulan Mulud biasa disebut
Muludan. Berkenaan dengan muludan ini dibeberapa keraton dirayakan
pesta Sekaten dan Grebeg Mulud. Upacara ini terdapat di masjid dan
halaman kraton Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon. Pada upacara ini
dimainkan seperangkat gamelan sejak dari jam enam pagi hingga jam dua
belas malam tanpa henti, dan menjadi tontonan orang-orang yang datang
dri berbagai daerah. Pada malam 11 Mulud, Sultan Yogyakarta dan Sunan
Surakarta yang diiringi oleh para membesar dan pengawal Keraton
masing-masing berjalan dalam suatu prosesi menuju kemasjid untuk
melakukan sembahyang, mendengarkan khotbah, dan akhirnya makan
bersama. Puncak dari perayaan sekaten ini adalah saat dibagikannya
makanan makanan keramat yang dinamakan gunungan kepada rakyat,
yang terdiri atas 10 sampai 12 tumpengan raksasa. Pada awalnya upacara
ini merupakan kreasi dari para wali sebagai media dakwah dalam upaya
25
H. Abdul Jamil, Abdurrahman Mas’ud dkk. 2000. Islam Dan Kebudayaan Jawa.
Gama Media Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 134
46
menarik orang Jawa masuk Islam. Kata Sekaten berasal dari syahadatain,
dua kalimat syahadat yang diucapkan sebagai tanda persaksian bahwa
seseorang dinyatakan sebagai pemeluk agama Islam.26
C. Pengaruh Islam Di Keraton Yogyakarta
Pengaruh islam dalam Keraton Yogyakarta dapat ditemukan dalam
serat Kyai Suryaraja sebagai salah satu benda pusaka di Keraton
Yogyakarta yang ditulis pada hari senin legi atas dasar saran dari
Hamengku Buwono II sewaktu masih menjadi putera Mahkota. Sultan
Hamengku Buwono I sang pendiri Keraton Yogyakarta memerintah antara
tahun 1755-1792 yang sementara itu Sultan Hamengku Buwono
Iiresminya memerintah antara tahun 1792-1828 M. Masa pemerintahan
Hamengku Buwono I sering disebut sebagai masa pembentukan Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat maka dalam lahirnya karya sastra yang
berwujud Kyai Suryaraja ini tentu memiliki nilai kesejarahan yang cukup
penting. Sebeb, sekalipun perjanjian Gianti 1755 telah ditandatangani,
namun masa-masa ketegangan hubungan antara Sultan Hamengku
Buwono III plus VOC masih terus berlangsung setelah itu, dan dalam
masa seperti itulah serat Kyai Suryaraja ditulis. 27
Dalam serat Kyai Suryaraja menggambarkan tentang interaksi
ajaran islam dengan tradisi besar Keraton Yogyakarta yang terlihat jelas
26
Ibid : 135
27 Muhammad Damami dkk. 2002. Kanjeng Kyai Surya Raja, Kitab Pusaka Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia dan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Hal. 22
47
beberapa peristilahan keislaman berhasil masuk dalam khazanah budaya
kerohanian Keraton Yogyakarta. dalam tulisan serat tersebut misalnya
istilah almulku lilahi (al mulku lillahi)28
datolah sifatolah afngalolah
(dzatullah shifatullah af’alullah)29
sarak, tauhid (syara, taqlid)30
dan
tanajul, tarki (tanazzul, taraqqy)31
, hanya saja patut dicatat bahwa ajaran
keislaman yang diserap diatas tidak secara utuh dalam arti tidak dituliskan
ajaran Islam dalam hal tertentu secara tuntas sekalipun istilah teknisnya
dicuplik dan dipakai. Contoh dalam Kyai Suryaraja dicuplik istilah sarak
(syara) tetapi didalamnya tidak dijelaskan apa pengertian istilah tersebut
secara definitif. Malahan terdapat gambaran yang sangat jelas bahwa
pencomotan istilah-istilah keislaman ternyata diramu sedemikian rupa
sehingga tidak terkesan cukup disiplin dalam menggunakannya.
Magsudnya terdapat kecenderungan istilah dalam disiplin ilmu tertentu
dicomot dan diramu dengan iistilah dalam disiplin ilmu lain, istilah dalam
ilmu fiqih dan diramu pula dengan istilah dalam ilmu tasawuf dan
sebagainya. Cara pemakaian seperti ini tidak lazim dipakai di kalangan
tradisi besar pesantren atau masyarakat santri pada umumnya.
Sungguhpun begitu, hal semacam ini dappat dimaklumi karena, pertama
Serat Kyai Suryaraja bukanlah dimaksudkan sebagai karya sastra yang
dikhususkan bermuatan ajaran agama atau dalam istilahnya disebut karya
sastra kitab melainkan menitik beratkan sebagai karya cerita sejarah.
28
Serapan dari Al Qur’an 29
Serapan dari ilmu tauhid 30
Serapan dari ilmu fiqih 31
Serapan dari ilmu Tasawuf
48
Sungguhpun dalam naskah serat Kyai Suryaraja memberikan pesan-pesan
keislaman yang dapat terlihat, namun kalau menengok aspek lain yakni
dari sudut sejarah nampaknya hubungan islam dengan Keratoj Jawa jelas
kuat, seperti diketahui lahirnya Kasultanan Yogyakarta adalah hasil
perjuangan yang panjang dari Pangeran Mangkubumi, dalam perjuangan
tersebut unsur dukungan umat Islam tidaklah sedikit. Diantara tanda
betapa pihak Keraton Yogyakarta dalam menaruh perhatian terhadap umat
Islam adalah dibangunnya pathok negeri dengan wujud bangunan masjid
dan kemudian terkenal dengan sebutan masjid pathok negeri.32
Sejauh ini yang diketahui sebagai masjid pathok negeri yang
pertama adalah masjid yang terletak di plosokuning, Babadan, Mlangi dan
Dongkela. Masjid-masjid ini selain sebagai sarana ibadah juga berfungsi
sebagai pusat pertahanan keamanan rakyat terhadap kerajaan Islam
Ngayogyakarta Hadiningrat. Di samping itu masjid-masjid tersebut juga
sebagai tempat dilaksanakannya peradilan agama ditengah masyarakat
sebagai kepanjangan dari Mahkamah al Kabirah Masjid Gede yang
dikepalai oleh adbi dalem penghulu Keraton. Diantara ciri masjid pathok
adalah atapnya tumpang gasal, denah bujur sangkar dengan lantai pondasi
yang lebih tinggi dari bangunan lain dan sekitarnya bermihrab, mimbar,
maksura, pesantren, serambi dan lain sebagainya. Fungsi lain dari
dibangunnya masjid ini adalah untuk mengekalkan sulahturahmi keluarga
32
Muhammad Damami dkk. 2002. Kanjeng Kyai Surya Raja, Kitab Pusaka Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia dan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Hal. 29
49
nerandra Kasultanan Yogyakarta dengan nerandra Kasunanan Surakarta
yang suka cinta damai dan tidak suka perselisih memperebutkan
kekuasaan pilitik yang sangat dipengaruhi oleh kompeni VOC.33
Keeratan Islam dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta terlihat
jelas dalam sejarah Jawa, yakni dalam masa perang Diponegoro pada
tahun 1825-1830. Seperti yang diketahui pengeran Diponegoro adalah
salah satu seorang pengeran dari keluarga besar Kasultanan Yogyakarta.
Sikap pangeran Diponegoro juga mirip dengan pengeran Mangkubumi
atau Hamengku Buwono I yang anti terhadap VOC.34
33
Muhammad Damami dkk. 2002. Kanjeng Kyai Surya Raja, Kitab Pusaka Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia dan IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta. Hal. 30 34
Ibid. Hal. 31
50
BAB III
SELAYANG PANDANG TENTANG KERATON YOGYAKARTA
Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I
beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton
ini adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
Pesanggrahan ini digunakan untuk istirahat iring-iringan jenazah raja-raja
Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri.
Versi lain menyebutkan lokasi keraton merupakan sebuah mata air, Umbul
Pacethokan, yang ada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati
Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono I tinggal di Pesanggrahan
Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping
Kabupaten Sleman.35
Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh
kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamandhungan
Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan,
Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul
(Balairung Selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai
warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun benda-benda kuno
dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu
lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah
35
Sri Wintala Achmad dan Krisna Baju Adji. 2014. Geger Bumi Mataram. Araska.
Yogyakarta. Hal. 122
51
mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi
Keraton Yogyakarta.36
Berikut ini adalah berbagai penjelasan mengenai Keraton
Yogyakarta atau Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
1. Sejarah Berdirinya Keraton Yogyakarta
Dari empat kerajaan di Jawa yaitu Paku Buwono, Hamengku
Buwono, Mangkunegaran dan Paku Alam, kesemuanya merupakan
kesatuan dari Dinasti Mataram. Para raja Yogyakarta berasal dari
Hamengku Buwono. Sejarah Keraton Yogyakarta dimulai tahun 1755
tanggal 13 Pebruari pada saat penandatanganan perjanjian Gianti, yang
memisahkan Kerajaan Mataram menjadi dua kerajaan yaitu sebagian
menjadi Kerajaan Surakarta dengan pimpinannya Susuhunan dan yang lain
menjadi Kerajaan Yogyakarta dengan pimpinannya Sultan Yogyakarta.37
Ketika Susuhunan Paku Buwono II menyerahkan kerajaan
Mataram kepada kompeni, pangeran Mangku Bumi menggunakan gelar
Paku Buwono Senopati Mataram, ini oleh beliau dianggap penting dan
perlu karena diadakannya transaksi antara Susuhunan dan fihak Kompeni.
Pangeran Mangku Bumi kemudian melakukan pendekatan dengan paman
dan penasehatnya yang bernama Raden Mas Said. Bahkan pangeran
36
Witton, P.; Elliott, M. (2003). Indonesia (7th ed.). Footscray: Lonely Planet
Publications. pp. hlm. 217
37 Noto Suroto. 1985-1986. Kesultanan Yogyakarta. Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional. Yogyakarta. Hal 1
52
Mangku Bumi berhasil mempersunting putri sulung Raden Mas Said, yang
dapat mengkokohkan hubungan diantara mereka. Pada tahun 1750
pecahlah peperangan melawan kompeni dan pada akhirnya dimenangkan
oleh pangeran Mangku Bumi, dengan waktu yang sama Raden Mas Said
yang gigih dalam berperang juga mengalami banyak kemenangan-
kemenangan. Pada tahun 1751 Mangku Bumi berhasil menaklukkan De
Clercq di Kedu dan Raden Mas Said berhasil memporak-porandakan bala
tentara Mayor Hoff. Pihak kompeni kemudian meminta bantuan dari
orang-orang Madura dan dari Batavia. Pengangkatan para Bupati dari
Ponorogo dan Madiun menyebabkan percecokan antara mangku Bumi dan
Raden Mas Said. Diadakan perundingan dari pihak kompeni dengan
Raden Mas Said dan ada syarat yang harus diajukan oleh Raden Mas Said
yakni, bahwa pihak belanda harus meninggalkan Sukowati lalu terjadilah
apa yang diinginkan. Kesempatan yang bagus untuk memutuskan
hubungan kompeni yang berada di Surakarta dan sekitarnya membuahkan
rujuk antara Mangku Bumi dan Raden Mas Said tetapi mereka berdua
masih terjadi peperangan. 38
Maka perundingan antara Raden Mas Said dan pihak kompeni
diadakan lagi. Begitu keadaan perang dan damai silih berganti, Raden Mas
Said makin lama makin takabur sikapnya. Pihak Mangku Bumi mulai
menunjukkan tanda-tanda pendekatan oleh pihak Kompeni, Mangku Bumi
dijanjikan separo dari kerajaan Mataram bila Mangku Bumi mau
38
Ibid : 8
53
membantu kompeni melawan Raden Mas Said. Wakil dari Kompeni
Hartingh berhasil merujukkan kembali hubungan antara Sri Susuhunan
dan Mangku Bumi. Sebelum peristiwa itu, tepatnya pada tanggal 13
Pebruari 1755 telah ditanda tangani surat perjanjian di Gianti antara
Mangku Bumi dan pihak Kompeni, lalu dengan demikian Mangku Bumi
menerima Gelar Sultan Hamengku Buwono dan sebagian dari tanah Jawa
dari pihak Kompeni. Dalam Babad Tanah Jawa pembagian ini dikenal
sebagai “Palihan Nagari”.39
Dengan demikian terjadilah kerajaan Jawa kedua dengan sebutan
Kesultanan Yogyakarta disamping kerajaan Susuhunan Surakarta. Di sebut
Yogya karena Mangku Bumi telah mengangkat dirinya sebagai Susuhunan
di tempat itu pada tahun 1749 dan sebagai analogi dengan Surakarta nama
lengkanya menjadi Ngayogyakarta Adiningrat.40
Sultan yang pertama adalah Pangeran Mangku Bumi yang bertahta
dari 13 Februari 1755 hingga 24 Maret 1792 M dengan nama Hamengku
Buwono 1. Penobatan Hamengku Buwono 1 sebagai sultan ialah tanggal
11 Oktober 1755 nama yang terkenal bagi para sejarawan ialah “sultan
Swargi”. Hamengku Buwono 1 dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1717
sebagai putera Amangkurat IV (Sunan Prabu), dan merupakan dari
kerajaan Mataram. Hamengku Buwono 1 terkenal sebagai raja yang kuat,
angkuh dan cerdik, sangat sopan dan jujur, memiliki watak berkuasa,
39
Ibid : 9
40 Ibid : 9
54
teguh pada pendirian sendiri, tetapi juga peka dan terbuka untuk pendapat-
pendapat yang masuk akal.41
Di bawah pemerintahan Sultan Hamengku Buwono I, kerajaan
Yogyakarta mengalami banyak kemajuan-kemajuan yang berupa
kemakmuran yang dialami oleh seluruh masyarakat daerah kekuasaan
Kerajaan Yogyakarta, kemajuan yang dicapai oleh Hamengku Buwono I
salah satunya adalah adanya pembayaran terhadap kerusakan-kerusakan
dan ganti rugi selama peperangan-peperangan yang terjadi antara kerajaan
Yogyakarta dan Kerajaan Surakarta dalam perebutan wilayah kekuasaan
yang oleh Hamengku Buwono I dibayar lunas sehingga tidak nampak
adanya kerusakan-kerusakan dan kerugian-kerugian yang diterima oleh
kerajaan Yogyakarta. Pada tahun 1792 M Sultan Hamengku Buwono I
wafat pada usia 82 tahun dan sejak tahun 1758, putera Hamengku Buwono
I yang bernama Raden Mas Sendoro42
dianggat menjadi Pangeran Adipati
Anom. Akan tetapi sifat dan ulah Raden Mas Sendoro memberikan
simpatik yang kurang berkenan dihati Hamengku Buwono I, maka ketika
itu pula Hamengku Buwono I berencana mengangkat puteranya yang
kedua yang bernama Pangeran Noto Kusumo, tetati pada saat yang tepat
untunglah Hamengku Buwono I sadar bahwa ketika Raden mas Sendoro
digantikan oleh adinya Pangeran Noto Kusumo bisa menimbulkan perang
41
Ibid : 12
42 Nama lain dari Raden Mas Sendoro adalah Sindoro yang diberi nama menurut Gunung
Sindoro diberikannya nama tersebut karena sayng pangeran dilahirkan di daerah desa Telahap kaki
Gunung Sindoro. Ibid : 17
55
saudara diantara keduanya. Pergantian tahta kekuasaan yang terjadi di
Kasultanan Yogyakarta merupakan suau peristiwa yang sangat luar biasa
dan pentingnya menggegerkan seluruh daerah kekuasaan Keraton
Yogyakarta untuk menyaksikan pergantian tahta kekuasaan antara
Hamengku Buwono I dengan Raden Mas Sendoro atau yang biasa disebut
Pangeran Adipati Anom. Pada tanggal 2 April 1792 terjadilah pergantian
kekuasaan di kasultanan Yogyakarta dan pangeran Adipati Anom resmi
menyandang gelar sebagai Hamengku Buwono II.43
Perjalanan panjang keraton Yogyakarta tidak terlepas dari para
pemimpin-pemimpin tertingggi yang memimpin kerajaan. Berikut adalah
daftar-daftar nama para Sultan Yogyakarta
a. Hamengku Buwono I = Sultan Swargi, yang dilahirkan
pada tanggal 6 Agustus 1717, putera dari Amangku Rat IV,
Hamengku Buwono I dinobatkan menjadi Sultan
Yogyakarta pada tanggal 11 Oktober 1755. Sebelum itu,
Hamengku Buwono I bernama pangeran Mangku Bumi.
Hamengku Buwono I wafat pada tahun 1792 dan
memerintah Kasultanan Yogyakarta selama 1755-1792 M.
b. Hamengku Buwono II = Sultan Sepuh, dilahirkan pada
tahun 1750 putera dari Hamengku Buwono I, pada tahun
1810 Hamengku Buwono II diturunkan dari Kasultanan dan
pada tahun 1811 Hamengku Buwono II diperbolehkan
43
Ibid : 17
56
tinggal di dalam Keraton. Masa pemerintahannya dimulai
pada tahun 1792-1810 M
c. Pangeran Adipati Anom Hamengku Buwono, lahir pada
tahun 1770, putera dari Hamengku Buwono II. Pangeran
Adipati Anom memulai masa pemerintahannya pada tahun
1810-1877
d. Hamengku Buwono III = Sultan Raja, Hamengku Buwono
III wafat pada tahun 1814 dan menjabat menjadi sultan
Yogyakarta mulai dari tahun 1812-1814
e. Hamengku Buwono IV = Sultan jarot atau Sedo Pasiar,
lahir ada tahun 1804, dan putera dari Hamengku Buwono
III. Terpaksa dibawah perwalian Sri Paku Alam (putera
Hamengku Buwono I), pada tanggal 27 Januari 1820 baru
dinyatakan cukup umur untuk kemudian memerintah
kekuasaannya sendiri. Hamengku Buwono IV wafat pada
tahun 1822 dan masa pemerintahannya dimulai dari tahun
1814-1822.
f. Hamengku Buwono V = Sultan Menol lahir pada tahun
1820, Sultan Menol putera dari Hamengku Buwono IV.
Semula Sultan Menol berada dibawah perwalian neneknya,
ibunya, pakdhenya, yang bernama Pangeran Mangku Bumi
putera dari Hamengku Buwono II dan pamannya yang
bernama Pangeran Dipo Negoro putera dari Hamengku
57
Buwono III. Keduanya kemudian digantikan oleh Murda-
ning-Rat putera dari Hamengku Buwono II dan Panular
putera dari Hamengku Buwono I yang kemudian keduanya
gugur dalam perang pada tahun 1826 M di desa Lengkong.
Masa pemerintahan Hamengku Buwono V dimulai pada
tahun 1822-1826
g. Hamengku Buwono V (diulang kembali) dibawah
perwalian Mangku Kusumo putera dari Hamengku Buwono
I yang diangkat menjadi wali pada tanggal 21 Januari 1828
dan Pangeran Adiwinoto putera dari Hamengku Buwono II
dan kemudian sejak tanggal 20 April 1830 setelah Dipo
Nagoro ditangkap pada tanggal 28 Maret yang bertindak
sebagai wali ketiga, tetapi pertama dalam urutan
pemangkatan. Wali Pangeran Mangku Bumi kini diangkat
menembahan Mangkurat dan pada tangggal 26 November
1836 dinyatakan sudah dewasa, kemudian Pangeran
Mangku Bumi wafat pada tahun 1855. Pangeran Mangku
Bumi menjadi Sultan keraton sejak tahun 1828-1855 M
h. Hamengku Buwono VI = Sultan Mangku Bumi, putera
Hamengku Buwono IV adik dari Hamengku Buwono V.
Hamengku Buwono VI wafat pada tahun 1877 dan
menjalani masa pemerintahannya dari tahun 1855-1877
58
i. Hamengku Buwono VII dilahirkan pada tanggal 4 Februari
1839, putera dari Hamengku Buwono VI sebelum
menyandang gelar Hamengku Buwono VII, Hamengku
Buwono VII bernama asli Pangeran Ngabehi. Pada tanggal
17 April 1872 Hamengku Buwono VII diangkat menjadi
pangeran Adipati Anom. Hamengku Buwono VII menjalani
masa pemerintahan selama 1877-1921 M.44
j. Hamengku Buwono VIII yang memiliki nama asli GPH
Puruboyo banyak melakukan rehabilitasi bangunan
dikomplek Keraton Yogyakarta diantaranya adalah Bangsal
Pagelaran, Tratag Siti Higil, Gerbang Donopratopo dan
Masjid Gedhe. Hamenghu Buwono VIII meninggal pada
tanggal 22 Oktober 1939 di rumah sakit Pantirapih
Yogyakarta.45
k. Hamengku Buwono IX
Hamengku Buwono IX lahir pada tangal pada tanggal 12
April 1912. Hamengku Buwono IX menjadi Sultan
menggantikan Hamengku Buwono VIII dan memerintah
dari tahun 1941 sampai 1988. Hamengku Buwono IX
44
Noto Suroto. 1985-1986. Kesultanan Yogyakarta. Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional. Yogyakarta. Hal. 53
45 Sri Wintala Akhmad dan Krisna Bayu Adji. 2014. Geger Bumi Mataram. Yogyakarta.
Araska Yogayakarta. Hal. 144
59
meninggal di Amerika pada tangggal 2 Oktober 1988 di
usia 76 tahun.46
l. Hamengku Buwono X
Bendara Raden Mas Herjuno Darpito atau Sri Sultan
Hamengkubuwana X lahir pada tanggal 2 April 1946.
Hamengku Buwono X adalah putera dari Hamengku
Buwono IX dan memimpin keraton sejak tahun 1989
sampai sekarang. Hamengku Buwono X mengenyam
pendidikan di Universitas Gajah Mada Yogyakarta.
2. Pembagian Wilayah Dan Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta
1. Pembagian Wilayah Kasultanan Yogyakarta
Wilayah Kasultanan Yogyakarta bukanlah wilayah yang utuh,
namun banyak enklave dan eksklave wilayah Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran. Wilayah-wilayah tersebut merupakan hasil dari
perjanjian palihan nagari yang ditandatangani di Giyanti. Dalam
perjalanan waktu wilayah tersebut berkurang akibat perampasan oleh
Deendels dan Raffles. Setelah perang Diponegoro selesai pada tahun 1830,
pemerintah Hindia Belanda akhirnya merampas seluruh wilayah Manca
Nagara dan pada tanggal 27 September 1830, ditandatangani pula sebuah
perjanjian Klaten yang menegaskan wilayah dan batas-batas kasultanan
Yogyakarta dengan kasunanan Surakarta. Wilayah Kasultanan Yogyakarta
46
Tempo. 1988. Sri Sultan Hari-Hari Hamengku Buwono IX. Grafirypers. Hal. 188
60
hanya meliputi Mataram dan Gunung Kidul dengan luas 2.902.54 km.
Diwilayah tersebut terdapat enklave Surakarta yaitu (kotagede dan
imogiri), Mangkunegaran (Ngawen), dan Paku Alaman (Kabupaten kota
Paku Alaman)47
. Wilayah kasultanan Yogyakarta sendiri dibagi menjadi
beberapa lapis yaitu Nagari Ngayogyakarta, Nagari Agung, dan Manca
Nagara. Total luas keseluruhan Nagari Ngayogyakarta dan Nagari Agung
adalah 53.000 karya ( 309.864500 km). Total luas keseluruhan Nagara
adalah 33.950 karya atau 198.488.675 km. Selain itu, Kasultanan
Yogyakarta masih memiliki tambahan wilayah dari Danurejo I di
Banyumas, yakni seluas 1.600 karya.48
Berikut adalah penjelasan tentang Nagari Ngayogyakarta, nagara
Agung, dan Manca Nagara:
1. Nagari Ngayogyakarta adalah wilayah ibukota Kasultanan
Yogyakarta yang daerah-daerahnya meliputi:
1) kota tua Yogyakarta yang berada di antara sungai code dan
sungai winongo.
2) Daerah sekitarnya dengan batas Masjid Pathok Nagara
47
Sri Wintala Akhmad dan Krisna Bayu Adji. 2014. Geger Bumi Mataram. Bantul
Yogyakarta. Araska. Hal. 122
48 Ibid : 123
61
2. Nagara Agung adalah wilayah utama dari Kasultanan
Yogyakarta yang meliputi:
1) Daerah Siti Ageng Mlaya Kusuma yaitu yang berada di
wilayah Siti Ageng49
bagian timur yang tidak jelas batasnya
dengan wilayah kasunanan.
2) Daerah Siti Bumijo yang terletak diwilayah Kedu dari
Sungai Progo sampai Gunung Merbabu.
3) Daerah Siti Numpak Anyar yaitu wilayah Bagelan antara
sungai Bagawanta dan sungai Progo.
4) Daerah Siti Panekar yaitu wilayah pajang bagian timur dari
sungai samin ke selatan sampai Gunung Kidul, ke timur
sampai Kaduwang.
5) Daerah Siti Gadhing Mataram meliputi wilayah Mataram
Yogyakarta50
3. Manca Nagara merupakan wilayah terluar dari Kasultanan
Yogyakarta. wilayah-wilayah terluar dari Kasultanan
Yogyakarta meliputi:
1) Wilayah Madiun yang terdiri dari daerah-daerah Madian
kota, Magetan, Caruban, dan setengah dari wilayah Pacitan.
2) Wilayah Kediri yang terdiri dari wilayah-wilayah
Kertosuro, Kalangbret, dan Ngrowo Tulung Agung
49
Wilayah Siti Ageng merupakan wilayah yang berada di daerah antara Pajang dengan
Demak. Ibid : 123
50 Daerah atau wilayah di antara Gunung Berapi sampai dengan Samudera Hindia. Ibid :
123
62
3) Wilayah Surabaya yang meliputi daerah Japan Mojokerto
4) Wilayah Rembang yang meliputi daerah-daerah Jipang
(Ngawen), dan Teras Karas (Ngawen)
5) Wilayah Semarang yang meliputi daerah-daerah Selo atau
Seselo (makam nenek moyang raja Mataram), Warung
(kuwu, Wirosari), dan sebagian Grobogan.51
Selain pembagian-pembagian wilayah di atas, pembagian wilayah
kasultanan Yogyakarta berdasarkan perjanjian Palihan Nagari dengan
pembagian adbi dalem52
dan kawulo dalem53
yang menggunakan wilayah
keraton Yogyakarta. Hal ini sangat berkaitan dengan sistem penggunaan
tanah yang pada waktu itu menggunaan sistem pelungguh.54
Diperkirakan
penduduk Kasultanan Yogyakkarta sewaktu perjanjian Giyanti berjumlah
522.300 jiwa. Dalam starta sosial, penduduk diklarifikasikan kedalam 3
golongan, bandara55
, abdi dalem, dan kawulo dalem. Maka saat itu sultan
merupakan anggota lapisan bangsawan terpuncak dalam sistem sosial.
2. Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta
Nagari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat adalah negara
independen yang berbentuk kerajaan. Kedaulatan dan kekuasaan
51
Sri Wintala Akhmad dan Krisna Bayu Adji. 2014. Geger Bumi Mataram. Bantul
Yogyakarta. Araska. Hal.123-124
52 Pegawai Kerajaan
53 Rakyat Jelata
54 Tanah Jabatan
55 Kaum bangsawan
63
pemerintahan diatur dan dilaksanakan menurut perjanjian atau kontrak
politik yang dibuat oleh negara induk kerajaan Belanda bersama-sama
dengan negera dependen kesultanan Ngayogyakarta. Kontrak politik
terakhir antara negara induk dengan Kasultanan adalah perjanjian politik
194056
sebagai konsekuensi dari bentuk negara kesatuan yang dipilih oleh
kesatuan Republik Indonesia sebagai negara induk, maka pada tahun 1950
status negara dependen Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat diturunkan
menjadi daerah istimewa Yogyakarta.57
Berikut adalah susunan pemerintahan dalam negeri Kasultanan
Yogyakarta.58
56
Perjanjian politik kasultanan Ngayogyakarta dengan Hindia Belanda tertanggal 18
Maret 1940 merupakan perjanjian politik terakhir yang dilakukan oleh kasultanan Yogyakarta
dengan pemerintah Hindia Belanda. Perjanjian ini juga diakui dan digunakan pleh pemerintah
indonesia sebagai bahan pertimbangan dalam menetapkan daerah Kasultanan Yogyakarta dan
daerah Paku Alam menjadi daerah Istimewa setingkat Provinsi. Ibid. 124
57 KPH. Mr. Soedarisman Poeworkoesosmo. 1985. Kesultanan Yogyakarta Suatu
Tinjauan Tentang Kontrak Politik (1877-1940). Yogyakarta. Gajah Mada Press. Hal. 13
58 Sumber arsip keraton Yogyakarta. struktur pemerintahan Keraton Yogyakarta . nomor
1596 .diakses pada tanggal 17 April 2017
64
susunan pemerintahan dalam negeri Kasultanan Yogyakarta
Bagan 1
65
Penjelasan bagan struktur pemerintahan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat59
1) Jabatan Ngarsa Dalem Sampejan Dalem Ingkan Sinoewoen adalah Sri
Sultan yang dalam konteks ini adalah pemimpin Keraton Yogyakarta yang
bertugas untuk memimpin dan menjaga Keraton.
2) Papatih Dalem merupakan wakil dari Sri Sultan. Tugas dari wakil sultan
atau Ratu adalah memonitoring dan menjalankan urusan-urusan Keraton
dengan dibantu lembaga-lembaga kepengurusan Keraton diantaranya yaitu
Kepanitraan, Ratjana dan Pentjarwan, Ajahan Oemoem, Wijata Praja dan
lain Sebagainya
3) Kapanitraan merupakan lembaga keraton yang bertugas untuk mengurusi
keluar masuknya dan penyaluran atau penyebaran surat Keraton
Yogyakarta
4) Ratjana dan Pentjarwan merupakan lembaga keraton yang bertugas untuk
menyusun dan membuat rencana dan propaganda kegiatan Keraton
Yogyakarta. Salah satu kegiatannya adalah mengelola arsip dan dokumen-
dokuman lama Keraton Yogyakarta serta menjaga tradisi budaya Keraton
Yogyakarta
59
Arsip Keraton Yogyakarta. Senerai Arsip HB IX. Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942-1944,1945-1956 Masa HB IX. Nomor Arsip 1597 tahun 1951 diakses pada
tanggal 17 April 2017 beserta penjelasan dari kantor lembaga Widya Budaya Keraton Yogyakarta
66
5) Ajahan Oemoem atau urusan umum adalah lembaga keraton yang bertugas
untuk menjaga tempat-tempat Keraton Yogyakarta misalnya prajurit atau
polisi Keraton Yogyakarta
6) Wijata Praja atau Pengajaran, bertugas untuk memberikan pembelajaran
kepada masyarakat Keraton Yogyakarta yang berupa ilmu pengetahuan
7) Ekonomi, Keraton Yogyakarta membentuk lembaga perekonomian rakyat
dengan tujuan untuk mengatur masyarakat dalam kebutuhan ekonomi,
misalnya kepada para petani, pedagang, pekerja dan lain sebagainya
8) Jajasan oemoem atau yayasan umum Keraton Yogyakarta bertugas untuk
menyediakan dan merawat gedung-gedung pertemuan yang ada di daerah
sekitar Keraton untuk keperluan masyarakat.
67
BAB IV
GAMBARAN UMUM LEMBAGA TEPAS WIDYO BUDOYO KERATON
YOGYAKARTA
A. Latar Belakang Pembentukan dan Kondisi Lembaga Tepas Widyo Budoyo
Di Keraton Yogyakarta
1. Latar Belakang Pembentukan Lembaga Tepas Widyo Budoyo
Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta dibangun pada jaman pemerintahan
Sultan Hamengku Buwono I, yaitu pada 1756 Masehi atau tahun
Jawa 1682 yang ditandai dengan adanya perjanjian Giyanti
menjadi titik awal berdirinya Kerajaan Kasultanan Yogyakarta atau
yang biasa disebut Ngayogyakarta Hadiningrat. Segera setelah
memperoleh wilayah Yogyakarta yang merupakan setengah dari
kerajaan Mataram. Hamengku Buwono I atau yang lebih dikenal
dengang nama Pangeran Mangkubumi mendirikan Kasultanan
Yogyakarta dan mengkukuhkan dirinya sebagai raja pertama
Kasultanan Yogyakarta.60
Keraton Yogyakarta yang memiliki berbagai warisan
budaya baik dalam bentuk upacara maupun benda-benda kuno dan
bersejarah. Di sisi lain Keraton juga merupakan institusi tradisional
60
Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. 2010. Catatan Perjalanan Keistimewaan
Yogya. Pustaka Pelajar Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 125
68
lengkap dengan pemangku kepentingan adat. Nilai-nilai filsafat
serta mitologi mengelilingi Keraton Yogyakarta sehingga Keraton
Yogyakarta menjadi pusat tradisi dan menjadi kiblat dari
masyarakat sekitar untuk menggunakan kearifan lokal dalam
melakukan nilai-nilai kehidupan.61
Setelah berdirinya Keraton Yogyakarta di tahun 1755,
Hamengku Buwono I mulai membentuk perangkat kepengurusan
Keraton Yogyakarta. Pada tahun 1755 Hamengku Buwono I
membentuk beberapa lembaga salah satunya adalah Kawedanan
Hageng Punakawan Parasraya budaya yang terdiri dari KHP
wahana sarta kriya (kendaraan, kebersihan dan pemeliharaan)
dann KHP widya budaya (upacara Keraton).62
Kawedanan Hageng punakawan atau yang disingkat
dengan KHP Widya Budoyo berada dibawah pimpinan Kawedanan
Hageng Nitya Budaya. KHP Widya Budoyo merupakan lembaga
atau tepas yang menjaga dan melestarikan budaya-budaya Keraton
Yogyakarta. Budaya-budaya Keraton yang dijaga dan dilestarikan
diantaranya adalah budaya gerebeg mulud, sekaten, larungan,
budaya labuhan, siraman pusaka, pementasan wayang dan lain
sebagainya. Budaya-budaya Keraton itulah yang kemudian di jaga
61
Deon Kurniawan. 2003. Skripsi. Upacara keagamaan gerebeg mulud di keraton
Yogyakarta. Universitas Negeri Surakarta. Hal 32 62
Noto Suroto. 1985-1986. Kesultanan Yogyakarta. Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional. Yogyakarta. Hal. 38
69
dan dilestarikan oleh tepas Widya Budoyo atas dasar perintah dari
Keraton.
Tepas Widya Budaya juga merupakan tempat penyimpanan
koleksi manuskrip, arsip-arsip Keraton dan buku-buku langka
Keraton. Koleksi tersebut merupakan koleksi-koleksi naskah kuno
Keraton Yogyakarta. Naskah kuno Keraton Yogyakarta yang
disimpan di ruang arsip Widya Budaya diperlakukan sebagaimana
benda-benda pusaka yang dikeramatkan. Beberapa diantaranya
bahkan tidak dapat diakses kecuali oleh ngarsa dalem atau abdi
dalem Keraton, seperti naskah Surya Raja. Naskah ini mendapat
gelar kehormatan khusus dengan sebutan Kanjeng Kyai Surya Raja
dan hanya dikeluarkan setahun sekali pada bulan syura untuk
diadakan upacara siraman atau pembersihan. Naskah lain yang
dikeramatkan seperti naskah Bratayuda dan Kanjeng Kyai Al-
Qur’an.63
2. Perkembangan Lembaga Tepas Widya Budaya Keraton
Yogyakarta
Pada masa Hamengku Buwono IX, ketika Sri Sultan
menjabat sebagai raja Keraton Yogyakarta di tahun 1941,
kebijakan terhadap kepengurusan tepas widya budaya berubah.
Perubahan dilakukan oleh Hamengku Buwono IX dengan
63
Dureau J, Clements D. 1990. Dasar-dasar pelestarian dan pengawetan bahan pustaka.
Yogyakarta. Arsip Yogyakarta. Hal 11-12
70
menambahkan tugas pengelolaan arsip Keraton yang ketika masa
Hamengku Buwono VIII dijadikan satu tempat dengan
perpustakaan Keraton. Kebijakan itu dilakukan oleh Sultan guna
memberikan ruang tersendiri terhadap penyimpanan dan
pengelolaan arsip-arsip Keraton Yogyakarta.64
Pada tahun 1962
tepas widya budaya meminta penambahan ruangan penyimpanan
benda-benda pusaka Keraton dan balai pengkajian arsip.65
Lingkungan KHP Widya Budaya merupakan tempat yang
tersembunyi dari hingar bingar pengunjung Keraton Yogyakarta.
wisatawan tidak diperkenankan masuk karena ditakutkan ada
koleksi atau benda-benda pusaka yang hilang atau rusak. Selain itu
yang diperbolehkan masuk hanyalah peneliti yang memiiki izin
dari pihak Keraton. Demi menjaga keamanan dan isi intelektual
Keraton Yogyakarta, maka KHP Widya Budaya tidak diperuntukan
untuk masyarakat umum yang tidak memiliki kepentingan umum.66
Pada tahun 1977 tepas Widya Budaya menjadi satu
kompleks tersendiri yang berada dibelakang kantor tepas
keamanan dengan tujuan atas keamanan manuskrip Keraton dan
benda-benda pusaka Keraton Yogyakarta. Dimasa-masa akhir
64
Larasati purwaningtias. 2012. Skripsi. Pelestarian Manuskrip Berdasarkan Kearifan
Lokal Di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Jurusan Ilmu Perpustakaan. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Depok. Hal. 47 65
Larasati purwaningtias. 2012. Skripsi. Pelestarian Manuskrip Berdasarkan Kearifan
Lokal Di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Jurusan Ilmu Perpustakaan. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Depok. Hal. 48 66
Penjelasan abdi dalem Widyo Candra selaku carik tepas widyo budoyo. Pada tanggal 7
Juni 2017. Pukul 10.00 wib
71
kepemimpinan Hamengku Buwono IX tahun 1980 sampai tahun
1989, kondisi tepas Widya Budoyo tidak banyak mengalami
perubahan sampai pada masa peralihan kekuasaan dari Hamengku
Buwono IX kepada Hamengku Buwono X, kondisi lingkungan
tepas Widya Budaya tidak mengalami banyak perubahan yang
berarti.67
Di lingkungan KHP Widya Budaya sendiri terdapat
beberapa bangunan. Bangunan pertama adalah tepas keamanan
yang merupakan kantor para abdi dalem yang bekerja di bidang
keamanan. Bangunan KHP Widya Budaya tidak berdiri sendiri,
melainkan terdapat beberapa bangunan yang mengelilinginya.
Walaupun terdapat dalam satu lingkaran namun pada dasarnya
tepas Widya Budaya dan tepas Keamanan merupakan bangunan
yang berbeda. Namun karena tepas Widya Budaya tidak
diperkenankan untuk umum maka didampingi dengan tepas
Keamanan yang juga tidak diperkenankan untuk umum. KHP
widya budaya merupakan tempat yang cukup megah namun tetap
terlihat sisi tradisional Jawa nya karena bantuk bangunannya.
Bangunan yang cukup luas dan nyaman sering kali digunakan
untuk mengkaji dan mempersiapkan kegiatan-kegiatan Keraton.68
67
Larasati purwaningtias. 2012. Skripsi. Pelestarian Manuskrip Berdasarkan Kearifan
Lokal Di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Jurusan Ilmu Perpustakaan. Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. Depok. Hal. 35 68
Ibid. Penjelasan abdi dalem Keraton
72
B. Tujuan Pembentukan Lembaga Tepas Widyo Budoyo Keraton
Yogyakarta
Sebagai sebuah Kerajaan, Kasultanan Yogyakarta mempunyai
sistem pemerintahan tersendiri. Dimana Kasultanan Yogyakarta dapat
mengatur dan menjalankan pemerintahannya atas dasar perintah dari Sri
Sultan. Lembaga tepas Widyo Budoyo yang merupakan salah satu
organisasi Keraton Yogyakarta yang dibentuk oleh Hamengku Buwono I
dengan tujuan untuk menjaga dan melestarikan budaya Keraton
Yogyakarta. Pentingnya untuk menjaga dan melestarikan budaya Keraton
memanglah sudah ada sejak pemerintahan Hamengku Buwono I.
Kebudayaan Keraton yang telah ada sejak masa Hamengku Buwono I
itulah yang menjadi karakteristik atau nilai tersendiri bagi Keraton
Yogyakarta apabila dibandingkan dengan Keraton-keraton lain di tanah
air.69
Selain menjaga dan melestarikan budaya Keraton, perawatan buku
dan arsip-arsip Keraton merupakan tujuan lain dari tepas Widyo Budoyo.
Selain budaya, pentingnya menjaga arsip-arsip Keraton menjadi prioritas
untuk melakukan perawatan atas naskah kuno yang menjadi suatu bukti
keberadaan Keraton pada masa lalu. Naskah kuno yang disimpan di
penyimpanan arsip tepas Widyo Budoyo diantaranya adalah sistem
birokrasi pemerintahan Hamengku Buwono I sampai dengan Hamengku
Buwono IX, dokumen-dokumen Keraton, perjalanan Keraton Yogyakarta,
69
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta.
Widyo Candra. Pada tanggal 7 Juni 2017. Pukul 10.00 wib
73
kegiatan-kegiatan Keraton yang dibukukan, surat-surat Keraton dan lain
sebagainya.70
C. Struktur Organisasi Lembaga Tepas Widyo Budoyo Di Keraton
Yogyakarta
Perubahan besar dalam pemerintahan Yogyakarta terjadi saat Sri
Sultan Hamengku Buwono IX naik tahta pada tahun 1940, khususnya
selama kependudukan Jepang di tahun 1942-1945. Secara perlahan sultan
melakukan restorasi dan membentuk badan-badan pemerintahan baru
untuk menampung urusan pemerintahan yang diserahkan oleh tentara
pendudukan Jepang. Badan tersebut dinamakan Paniradya yang masing-
masing dikepalai oleh Paniradyapati. Paniradyapati tidak lagi berada di
bawah kekuasaan patih melinkan angsung berada dibawah kekuasaan
Sultan. Pada akhirnya Sultan dapat memulihkan kembali kekuasaannya
selaku kepala pemerintahan dan pada saat itulah Sultan membentuk
birokrasi kesultanan yang dibedakan menjadi dua bagian, yakni urusan
dalam dan urusan luar istana.71
Urusan dalam istana ditangani oleh parentah ageng Keraton yang
mengkoordinir seluruh badan maupun kantor pemerintahan di istana.
Urusan dalem Keraton tersebut langsung di pimpin oleh saudara atau
70
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta. Widyo
Candra selaku carik tepas widyo budoyo. Pada tanggal 7 Juni 2017. Pukul 10.00 wib 71
Sri Wintala Ahmad, Krisna Bayu Adji. 2014. Geger Bumi Mataram. Yogyakarta. Araska.
Hal 128
74
putera Sultan, sementara Sultan memimpin lembaga luar Keraton. Di
dalam melaksanakan tugasnya, putera Sultan dibantu oleh para lembaga-
lembaga Keraton, salah satunya adalah tepas Widya Budaya. Tepas Widya
Budaya dalam menjalankan tujuan maupun tugas-tugasnya Keraton
Yogyakarta dibentuklah susunan atau struktur kepengurusan tepas Widya
Budaya. Struktur kepengurusan tepas Widya Budaya adalah sebagai
berikut:72
Struktur Kepengurusan Lembaga Tepas Widya Budaya Keraton Yogyakarta
Bagan 2. Struktur Organisasi Tepas Widya Budaya
72
Badan arsip tepas widya budaya Keraton Yogyakarta.Sistem Kepengurusan Tepas Widya
Budaya Keraton Yogyakarta. diakses pada tanggal 7 juni 2017
PENGHAGENG II (A)
WAKIL PENGHAGENG II (B
CARIK (C)
KAHARTAKAN (D)
75
Keterangan Struktur kepengurusan lembaga tepas Widya Budaya
Keraton Yogyakarta, adalah sebagai berikut:73
A. Penghageng II
Penghageng II merupakan pimpinan dari tepas Widya Budaya yang
bertugas mengatur dan memberikan masukan dari tepas Widya Budaya
atas dasar perintah dari Sultan. Penghageng II ini dipimpin oleh KRT
Purwadiningrat. Tugas dari penghageng II ialah memberikan instruksi
atau arahan kepada anggota tepas Widya Budaya dalam menjalankan
tugas-tugasnya dalam mempersiapkan berbagai hal dalam kegiatan
budaya.
73
Penjelasan dari abdi dalem tepas widya budaya. Bpk.Widya candra. Dalam studi
pendahuluan di tepas widya budaya pada tanggal 7 Juni 2017
UPACARA (E)
KAPUSTAKAN
(F)
KAPUJANGGAN
(G)
PASINAON (H)
76
B. Wakil penghageng II
Dalam menjalankan tugasnya penghageng II dibantu oleh wakil
penghageng II yang dipegang KRT Rinta Iswara. Tugas dari wakil
penghageng ialah membantu dan mengingatkan penghageng II dalam
menjalankan tugas-tugasnya.
C. Carik
Carik tepas widya budaya dikoordinasi oleh KRT Widyacandra
Ismadiningrat. Posisi carik disini merupakan sekretaris tepas Widya
Budaya yang bertugas membuat laporan, surat-surat, dan lain sebagainya.
D. Kahartakan
Kahartakan ialah bendahara dalam struktur kepanitiaan saat ini.
Kahartakan di tepas Widya Budaya dipegang oleh abdi dalem RW
Budyarusmandaru. Tugas dari kahartakan tepas Widya Budaya ialah
mengelola pemasukan dan pengeluaran tepas widya budaya.
E. Upacara
Devisi upacara tepas Widya Budaya yang dikoordinasi oleh R. Ry
Widya Bayukusuma bertugas dalam mempersiapkan beberapa upacara
Keraton Yogyakarta seperti upacara gerebeg, upacara siraman pusaka,
upacara labuhan dan lain sebagainya. Semua budaya yang berkaitan
dengan upacara diatur oleh tepas Widya Budaya bagian kepengurusan
upacara.
F. Kapustakan
77
Kepusakaan tepas Widya Budaya dikoordinasi oleh Drs. R. Ry
Widya Darukusuma, yang bertugas mengatur dan merawat naskah-naskah
kuno Keraton.
G. Kapujanggan
Kapujanggan tepas Widya Budaya dikoordinasi oleh KRT Rinto
Iswara. Tugas dari kapujanggan ialah melakukan perawatan terhadap
bangunan-bangunan lama Keraton dan melestarikan adat istiadat Keraton
Yogyakarta.
H. Pasinaon
Pasinaon merupakan tempat untuk mengadakan pembelajaran dan
diskusi para abdi dalem dan masyarakat umum yang ingin mengetahui
tentang Keraton. Pasinaon tepas widya budaya di koordinasi oleh R. Ry
Hanantianegara, yang bertugas untuk memberikan kajian terhadap naskah-
naskah kuno Keraton Yogyakarta.
D. Tugas Lembaga Tepas Widyo Budoyo Terhadap Warisan Budaya Di
Keraton Yogyakarta
Setiap lembaga dalam Keraton selain memiliki sejarah dan tujuannya
masing-masing juga memiliki tugas. Tugas dari tepas Widyo Budoyo
dalam keberadaannya didalam Keraton Yogyakarta dibagi dalam empat
bagian dengan tujuan untuk mempermudah dalam menjalankan tugasnya
antara menjaga kebudayaan Keraton dan perawatan naskah kuno Keraton
78
Yogyakarta. Berikut adalah tugas dari tepas Widyo Budoyo yang dibagi
dalam empat bagian.74
1) Pengadaan Upacara
upacara kebudayaan yang dilakukan keraton Yogyakarta
dalam melakukan ritual budayanya menjadi tugas tepas Widyo
Budoyo untuk mempersiapkannya. Salah satu budaya yang
mengadakan upacara yaitu upacara gerebeg mulud, uacara siraman
pusaka, upacara labuhan dan upacara pameran kebudayaan
Yogyakarta. upacara-upacara tersebut dilaksanakan atas dasar
waktu yang berbeda-beda tergantung dengan waktunya budaya
tersebut.75
2) Kapujanggan atau Adat Istiadat
Keraton Yogyakarta yang terkenal dengan adat Jawanya
sangat memperhatikan betul nilai-nilai dan tradisi adat istiadat
tersebut, hal ini bisa dilihat dari cara berpakaian seorang Sri Sultan
maupun para abdi dalem Keraton yang selalu mengenakan busana
adat istiadat Jawa. Selain itu, adat istiadat seperti rumah Jawa
(Joglo) menjadi perhatian tersendiri dalam merawat dan menjaga
bangunan tua yang ada di dalam Keraton maupun diluar Keraton.
Dalam hal kapujanggan, tugas dari tepas widyo budoyo adalah
74
Badan arsip tepas widya budaya Keraton Yogyakarta. Sistem Kepengurusan Tepas
Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Nomor arsip 1597 tahun 1951. Di akses pada tanggal 7 Juni
2017 75
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta. Widyo
purwadiningrat selaku penghageng tepas widyo budoyo. Pada tanggal 7 Juni 2017. Pukul 11.00
wib
79
menjaga dan melestarikan adat istiadat Keraton, baik itu dalam segi
budaya, kesenian maupun penyusunan naskah Jawa.76
3) Kapustakaan atau Kearsipan
Pentingnya naskah-naskah kuno Keraton Yogyakarta
menjadi tugas tersendiri bagi lembaga tepas widyo budoyo dalam
merawat dan menjaga arsip-arsip dan naskah kuno Keraton
Yogyakarta. Naskah-naskah kuno Keraton bisa dilihat di kantor
widyo budoyo dan bisa diakses oleh kalangan umum.77
4) Pasinaon atau pengkajian naskah kuno
Selain merawat dan menjaga naskah kuno, tugas lain dari
tepas Widyo Budoyo adalah untuk mengkaji ulang naskah kuno
dan menterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang kemudian
bisa di pahami oleh banyak orang, khususnya bagi pelajar sejarah
yang ingin mengenal Keraton Yogyakarta secara mendalam.78
76
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta. Widyo
purwadiningrat selaku penghageng tepas widyo budoyo. Pada tanggal 7 Juni 2017. Pukul 11.10
wib 77
Penjelasan abdi dalem Widyo Candra selaku carik tepas widyo budoyo. Pada tanggal 7
Juni 2017. Pukul 10.00 wib 78
ibid
80
BAB V
PERAN LEMBAGA WIDYO BUDOYO DALAM PELESTARIAN WARISAN
BUDAYA ISLAM JAWA DI KERATON YOGYAKARTA
Keraton Yogyakarta dengan segala adat istiadat dan budayanya menjadi
ruh kehidupan bagi masyarakat Yogyakarta. Keraton Yogyakarta menjadi obyek
wisata di Kota Yogyakarta baik dari sisi peninggalan bangunannya maupun adat
istiadat yang ada di dalamnya. Di Kraton Yogyakarta di samping dapat dinikmati
keindahan masa lalu melalui arsitektur bangunannya, dapat juga dinikmati
kesenian tradisional yang disajikan setiap harinya di Bangsal Manganti. Saat ini
Keraton Yogyakarta ditempati oleh keluarga Sultan Hamengku Buwana X yang
menjadi raja sekaligus gubernur di Yogyakarta. Selain itu Keraton Yogyakarta
juga memiliki berbagai warisan budaya yang berbentuk upacara maupun benda-
benda kuno dan bersejarah. Selain itu, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu
lembaga adat istiadat yang cukup lengkap dengan pemangku adatnya.
Kebudayaan Islam Keraton Yogyakarta yang telah ada sejak masa berdirinya
Keraton Yogyakarta merupakan hasil dari peninggalan sejarah yang cukup lama.
Pelaksanaan budaya atau tradisi Islam Jawa Keraton Yogyakarta seperti upacara
Sekaten, upacara Gerebeg Mulud dan upacara labuhan menjadi tanggung jawab
tersendiri dari Kasultanan Yogyakarta.79
Berlangsungnya upacara dan tradisi
Kraton tidaklah lepas dari lembaga KHP Widya Budaya. Ada beberapa upacara
79
http://kratonjogja.id/pariwisata/hari-besar-islam diakses pada tanggal 3 Agustus 2017.
Jam 22.00 wib
81
dan tradisi Kraton yang dilestarikan oleh KHP Widya Budaya diantaranya adalah
sebagai berikut:
A. Peran Lembaga Tepas Widyo Budoyo Dalam Tradisi Sekaten
a. Gambaran Umum Tradisi Sekaten
Ketika kerajaan Mataram pecah menjadi dua kerajaan
dengan perjanjian Giyanti, yang kemudian dikenal dengan istilah
Jawa Paliyan Nagari pada tahun 1755, maka kerajaan dibagi
menjadi dua wilayah yaitu wilayah Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta bukan hanya wilayah yang dibagi menjadi
dua melainkan segala warisan kerajaan termasuk benda-benda
pusaka dan gamelan sekaten juga dibagi dua. Kasunanan Surakarta
mendapatkan gamelan pusaka kyai sekati dan kasultanan
Yogyakarta Hadiningrat mendapatkan gamelan pusaka nyai sekati.
Karena gamelan sekaten itu lengkapnya harus sejodoh atau satu
pasang, maka Surakarta lalu membuat tiruan Nyai Sekati dan
Yogyakarta membuat tiruan Kyai Sekati. Dengan demikian
Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
memiliki dua perangkat gamelan sekaten. Pada masa Hamengku
Buwono I gamelan sekaten Keraton Yogyakarta dinamakan Kyai
Gunturmadu dan Nyai Nagawilaga.80
Upacara sekaten merupakan upacara ritual Keraton
Yogyakata yang diselenggarakan setiap setahun sekali yaitu pada
80
Drs. Suratmin. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta. Departemen Penddikan dan Kebudayaan. Hal. 34
82
saat menjelang peringatan maulud Nabi Muhammad saw. Upacara
sekaten adalah suatu tradisi yang telah ada sejak jaman kerajaan
Demak dan sampai saat ini masih dilestarikan oleh Keraton
Yogyakarta dan Surakarta. Dalam tradisi kerajaan Demak upacara
sekaten diselenggarakan sebagai usaha untuk memperluas serta
memperdalam rasa keislaman bagi segenap masyarakat. Usaha ini
dilaksanakan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan wali
sanga. Para wali memahami dan yakin bahwa rakyat menggemari
bunyi gamelan. Sunan Giri salah satu dari seorang Wali Sanga
memahami teknik dari pembuatan gamelan, kemudian membuat
seperangkat gamelan yang telah dinamakan Kyai Seketi yang
kemudian dibunyikan setiap tahunnya untuk memerihkan
peringatan hari lahirnya Nabi Muhammad saw.81
Nama dari sekaten ternyata memuat beberapa macam
tafsiran dan pendapat orang. Diantaranya ialah:
1. Ada orang yang berpendapat bahwa sekaten berasal dari
kata sekati yang mempunyai arti nama dari dua perangkat
gamelan pusaka Keraton yang ditabuh atau dibunyikan
dalam rangkaian acara peringatan hari maulid Nabi
Muhammad saw.82
81
Suyami. 2008. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam
Budaya Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 30 82
Drs. Suratmin. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Penddikan dan Kebudayaan. Hal. 37
83
2. Pendapat lain mengemukakan bahwa kata sekaten diambil
dari kata syahadatain yang magsudnya dua kalimat sahadat.
Syahadat yang pertama disebut syahadat taukid, berbunyi
asyhadu alla ila ha illalah yang mempunyai arti saya
bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah SWT. Dan
yang kedua disebut syahadat Rosul yang berbunyi
Waashadu anna Muhammadarrosulullah yang artinya saya
bersaksi bahwa Nabi Muhammad itu adalah utusan Allah.83
Upacara Sekaten yang diselenggarakan selama tujuh hari,
ialah dari tanggal 5 sampai tanggal 11 bulan Mulud atau
Robiulawal. Selanjutnya tentang waktu-waktu penyelenggaraan
acara sekaten ialah sebagai berikut.84
1) Tahab gamelan sekaten mula-mula dibunyikan sebagai
pertanda dimulainya upacara sekaten yang dimulai dari
pukul 16.00 sampai pukul 23.00 pada tanggal 5
robiulawal.
2) Tahab gamelan sekaten dipindahkan ke pagongan
dihalaman masjid besar. Di pagongan ini gamelan
sekaten dipukul pada waktu siang dan malam
3) Tahab Sri Sultan dan pengiringnya hadir di serambi
masjid besar untuk mendengarkan pembacaan riwayat
83
Ibit. Hal. 38 84
Ibit. Hal. 41
84
maulid nabi Muhammad saw yang dimulai pukul 20.00
sampai 23.00 pada tanggal 11 robiulawal.
4) Tahab dikembalikannya gamelan sekaten dari halaman
masjid besar ke keraton sebagai pertanda diakhirinya
upacara sekaten pada tanggal 11 robiul awal pukul
23.00 wib.
Pada dasarnya penyelenggaraan upacara Sekaten dilakukan di
komples Keraton Yogyakarta dan masjid besar dengan dihadiri semua
pihak-pihak yang ada dalam ikatan Keraton Yohyakarta.85
b. Peran Tepas Widyo Budoyo Dalam Tradisi Sekaten
Tradisi sekaten menjadi salah satu budaya Keraton Yogyakarta
yang terbentuk sejak Sultan Hamengku Buwno I. Tradisi sekaten
menjadi salah satu budaya Keraton Yogyakarta yang terbentuk sejak
Sultan Hamengku Buwno I. Ketika Hamengku Buwono IX menjadi
Sultan Keraton Yogyakarta ditahun 1942 upacara sekaten
dilaksanakan secara sederhana di kawasan Keraton, dikarenakan pada
saat itu wilayah kekuasaan Keraton sedang tidak baik akibat dari
kependudukan Jepang di Indonesia. Tahun 1950 upacara sekaten
dilaksanakan didaerah Keraton sampai dengan alun-alun utara
Keraton Yogyakarta hal tersebut disebabkan oleh kurangnya tepas
Widya Budaya dalam mempersiapkan pelaksanaan upacara sekaten
85
Ibit. Hal. 43
85
yang bersamaan dengan upacara gerebeg. Perubahan terjadi di tahun
1970, persiapan upacara sekaten tidak lagi dilakukan oleh tepas Widya
Budaya sendiri, melainkan dibantu oleh semua anggota abdi dalem
Keraton Yogyakarta dalam persiapan maupun pelaksanaannya.86
Kebijakan tersebut berjalan hingga kekuasaan Sultan Hamengku
Buwono X sampai dengan sekarang. Peran Widya Budaya secara
umum yang dibantu oleh abdi dalem Keraton dalam mempersiapkan
upacara sekaten ialah sebagai berikut: Di dalam penyelenggaraan
upacara sekaten, diadakanlah dua jenis persiapan yaitu persiapan fisik
dan persiapan non fisik. Persiapan fisik berwujud benda-benda dan
perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan dalam penyelenggaraan
upacara, sedangkan persiapan non fisik berwujud sikap dan perbuatan
yang harus dilakukan pada waktu sebelum pelaksanaan upacara
sekaten.87
Sejak beberapa waktu menjelang penyelenggaraan upacara
sekaten, tepas Widya Budaya perintah bahwasanya bagi para abdi
dalem yang nantinya terlibat di dalam penyelenggaraan upacara untuk
mempersiapkan diri terutama mempersiapkan mental mereka untuk
mengemban tugas yang dianggap sakral. Lebih-lebih para abdi dalem
yang akan bertugas memukul gamelan sekaten diharuskan untuk
86
Rita yulilestari. 1999. Upacara Tradisional Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam
Tinjauan Historis. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. IKIP Yogyakarta. Hal. 47 87
Drs. Suratmin. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Penddikan dan Kebudayaan. Hal. 45
86
melakukan penyucian diri dengan cara berpuasa.88
Adapun persiapan
yang berupa fisik ialah berwujud benda-benda dan perlengkapan yang
akan diperlukan dalam penyelenggaraan upacara sekaten. Benda-
benda tersebut adalah benda-benda upacara, benda-benda pusaka
Keraton dan perlengkapan para penabuh gamelan sekaten.89
c. Nilai-nilai Islam Dalam Tradisi Sekaten
Niai-nilai islam yang muncul dalam tradisi Sekaten bahwa
upacara sekaten berpaduan antara kegiatan dakwah dan seni.
Perangkat gamelan sekaten dan gending-gending sekaten yang
memiliki seni yang indah sehingga sanggup memberikan daya tarik
kepada masayarakat. Di sini islam menambah kekayaan keindahan
seni gamelan seperti adanya laras pelog dan beberapa alat baru yang
sebelumnya belum ada. Di samping itu gending yang bernilaikan
rohani mulai dialirkan kedalam sekaten. Para wali memadukan nilai
keindahan dengan kebenaran. Para wali menyebarkan agama yang
mempunyai nilai kebenaran melalui unsur kesenian karawitan
(gamelan) yang mempunyai nilai keindahan. Ternyata kebenaran yang
dipadukan dengan keindahan memiliki daya tarik yang sangat kuat
88
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta. KRT
Rinta Iswara selaku penghageng II tepas widyo budoyo. Pada tanggal 21 Juni 2017. Pukul 13.00
wib 89
Suyami. 2008. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam Budaya
Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 59
87
sehingga dengan ikhlas dan senang hati rakyat memeluk islam tanpa
adanya rasa terpaksa.90
B. Peran Lembaga Tepas Widyo budoyo Dalam Tradisi Labuhan
a. Gambaran Umum Tradisi Labuhan
Kata labuhan berasal dari kata labuh yang artinya sama
dengan larung yaitu membuang sesuatu kedalam air sungai atau
laut. Dalam konteks ini yang di magsud upacara labuhan adalah
memberi sesaji kepada roh halus yang berkuasa disuatu tempat.
Khusus di Keraton Yogyakarta, upacara labuhan juga sering
disebut dengan istilah labuh dalem. Kata dalem dipakai untuk
menyebut Sri Sultan sebagai penguasa atau raja di Keraton
Yogyakarta.91
Upacara labuhan diselenggarakan serangkaian dengan
upacara selametan sugengan tinggalan dalem yaitu upacara
selametan untuk memperingati hari penobatan Sri Sultan sebagai
raja di Keraton Yogyakarta. Upacara labuhan dilaksanakan oleh
Keraton Yogyakarta sejak berdirinya Keraton Kasultanan
Yogyakarta, yaitu pada masa pemerintahan Hamengku Buwono I.
Sejak masa pemerintahan hamengku Buwono I upacara labuhan di
Keraton Yogyakarta dilaksanakan setiap tahun, yaitu satu hari
90
Drs. Suratmin. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Penddikan dan Kebudayaan. Hal. 39 91
Suyami. 2008. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam
Budaya Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 101
88
setelah peringatan jumenengan dalem92
. Sejak kemerdekaan RI
pada tahun 1950 yaitu pada masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengku Buwono IX, upacara labuhan di Keraton Yohyakarta
tidak lagi dilaksanakan dalam kaitannya dengan peringatan
penobatan (jumenengan) melainkan dengan peringatan hari
kelahiran Hamengku Buwono IX yaitu satu hari setelah peringatan
hari kelahiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang disebut
tinggalan wiyosan atau tinggalan dalem tahunan. Perubahan
jadwal penyelenggaraan upacara labuhan tersebut karena Sri Sultan
Hamengku Buwono IX tidak mau memperingati hari penobatannya
sebagai raja sebab penobatannya dilakukan oleh imperialis
Belanda.93
Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X
yang dinobatkan pada tanggal 7 Maret 1989, pelaksanaan upacara
labuhan kembali dilaksanakan dalam rangka tinggalan jumenengan
dalem (peringatan penobatan), yaitu dilaksanakan satu hari setelah
sugengan tinggalan jumenengan dalem (selametan peringatan
penobatan) berdasarkan perhitungan tahun Jawa. Oleh karena hari
penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono X pada tanggal 7 Maret
1989 tersebut bertepatan pada tanggal 29 Rajab, maka pelaksanaan
upacara labuhan dilaksanakan satu hari setelah tanggal 29 Rajab
92
Arti dari kata jumenengan dalem adalah penobatan raja yang sedang berkuasa 93
Suyami. 2008. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam
Budaya Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 102
89
yaitu bertepatan pada tanggal 30 Rajab. Upacara lanuhan yang
diselenggarakan Kraton Yogyakarta ada dua macam, yaitu labuhan
alit dan labuhan agung. Labuhan alit diadakan tiap tahun,
diselenggarakan ditiga tempat yaitu pantai parangkusumo, gunung
merapi dan gunung lawu. Sedangkan labuhan agung diadakan
setiap delapan tahun sekali, yaitu pada setiap tahun Dal,
diselenggarakn di empat tempat yaitu parangkusuma, gunung
merapi, gunung lawu dan dlepih kayangan. Penyelenggaraan
upacara labuhan di keempat tempat tersebut berkaitan dengan
sejarah pendiri dinasti Mataram, yaitu penembahan senopati.
Konon sebelum menduduki tahta raja Mataram, panembahan
senopati sering melakukan tapa brata (bertapa) untuk memohon
petunjuk dan kemurahan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Magsud
dan tujuan diselenggarakannya upacara labuhan adalah sebagai
persembahan kepada makhluk halus yang telah berjasa kepada
dinasti Mataram.94
b. Peran Tepas Widyo Budoyo Dalam Tradisi Labuhan
Tradisi labuhan menjadi salah satu budaya Keraton
Yogyakarta yang terbentuk sejak Sultan Hamengku Buwno I.
94
Ibit. Hal. 103
90
Pelestarian dan penjagaan budaya Keraton menjadi sangat penting
bagi Keraton Yogyakarta. ketika dimasa Hamengku Buwono IX
menjabat sebagai sultan 1941-1989 tidak banyak memberikan
perubahan terhadap peran dari tepas Widya Budaya itu sendiri.
Akan tetapi pada tahun 1970 Hamengku Buwono IX memberikan
amanat kepada tepas Widya Budaya untuk melestarikan budaya
atau tradisi labuhan baik dari segi persiapan tempat,
penyelenggaraan teknis upacara dan mengatur pihak-pihak yang
terlibat dalam upacara labuhan tersebut tanpa melibatkan anggota
abdi dalem lainnya.95
sampai dengan berakhirnya masa Hamengku
Buwono IX di tahun 1989, tradisi labuhan sampai dengan sekarang
dipersiapkan sendiri oleh tepas Widya Budaya.
c. Nilai-nilai Islam Dalam Tradisi Labuhan
Upacara labuhan yang merupakan budaya Keraton
Yogyakarta dan telah ada sejak pada masa Hamengku Buwono I
merupakan sebuah upacara syukuran atas keberhasilan raja-raja
Yogyakarta selama memerintah kerajaannya. Selain memberikan
nilai rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, upacara labuhan
juga memberikan penghormatan kepada maghluk-maghluk gaib
yang ada di tiga tempat yaitu pantai Parangkusuma, Gunung
95
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta. KRT
Rinta Iswara selaku penghageng II tepas widyo budoyo. Pada tanggal 21 Juni 2017. Pukul 13.00
wib
91
Merapi dan Gunung Lawu. Rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa atas keberhasilan penobatan Sultan menjadi cermin
bahwasanya upacara labuhan mengandung unsur-unsur nilai
keislaman.96
C. Peran Lembaga Tepas Widyo Budoyo Dalam Tradisi Gerebeg Mulud
a. Gambaran Umum Tradisi Gerebeg Mulud
Upacara gerebeg mulud ialah upacara tradisional yang telah
sejak lama dikenal di Jawa. Sebelum agama Islam masuk dan
berkembang di Jawa, upacara semacam itu hidup di dalam
kebudayaan Jawa. Dalam kitab Nagarakartagama, pupuh nomor
36, terdapat adanya uraian tentang upacara sesaji pasadran agung
yaitu upacara suci yang diselenggarakan oleh Maharaja
Hayamuruk untuk menghornmati arwah leluruhnya. Setelah
kerajaan Majapahit yang beragama Budha jatuh, muncullah
kerajaan Demak yang berada di bawah pemerintahan Raden Patah
dan pada saat itulah agama islam pun mulai berkembang. Dengan
kebijaksanaan para wali maka upacara sesaji pasadran agung
tersebut pada saat penyelenggaraannya ditempatkan pada hari-hari
besar Islam, ialah Maulid Nabi Muhammad saw, Idul Fitri, dan
Idul Adha yang sedikit banyak mengandung unsur persamaan.
Dengan cara seperti yang ditempuh oleh para wali itulah
96
Suyami. 2008. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam Budaya
Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 110
92
penyebaran agama Islam di Jawa dapat terlaksana dengan pesat
serta karena masuknya Islam tidak dihadapi dengan sikap
menentang dari rakyat yang telah lebih dulu memeluk agama
budha.97
Dalam kata bahasa Jawa gerebeg bermakna suara angin
menderu. Sedangkan kata gerebeg di Kraton Yogyakarta
mempunyai makna khusus yaitu upacara kerajaan yang
diselenggarakan untuk keselametan negara (wilujengan nagari)
yaitu berupa keluarnya gunungan dari Kraton untuk diperbutkan
oleh para pengunjung sebagai kucah dalem (sedekah raja) untuk
rakyatnya. Upacara gerebeg yang dilaksanakan oleh Kraton
Yogyakarta terdiri dari tiga macam, yaitu upacara Gerebeg Mulud
untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad saw, upacara
Gerebeg Syawal untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri, upacara
Gerebeg Besar untuk merayakan hari raya idul adha. Jadi setiap
tahun Kraton Yogyakarta menyelenggarakan upacara gerebeg
sebanyak tiga kali yaitu upacara Gerebeg Mulud, upacara Gerebeg
Syawal, dan upacara Gerebeg Besar.98
Berdasarkan etimologi tersebut arti atau pengertian dari
upacara gerebeg ialah menunjuk pada adanya suatu keramaian atau
perayaan dalam pengertian sekarang. Dapat dipahami bahwa suatu
97
Drs. Suratmin. 1991. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Penddikan dan Kebudayaan. Hal. 35 98
Suyami. 2008. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam
Budaya Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. Hal. 55
93
perayaan akan diikuti atau akan menimbulkan suatu riuh, bising,
ramai atau seperti deru angin. Istilah gerebeg disini masih
merunjuk pada makna fisik dari upacara gerebeg yang memang
hingga kini sekalipun dalam zaman modern tetap dihadiri ribuan
orang yang menimbulkan riuh gemuruh pada saat perebutan
gunungan dihalaman masjid Agung Kraton Yogyakarta.99
b. Peran tepas Widyo Budoyo Dalam Tradisi Gerebeg Mulud
Selain mempersiapkan upacara sekaten dan labuhan, tepas
Widya Budaya juga harus mempersiapkan upacara gerebeg.
Selama perang pasifik atau pada zaman pendudukan Jepang tahun
1942-1945 tidak diselenggarakan upacara gerebeg, melainkan
diganti dengan hajad dalem yang berupa selametan atau kenduri
dengan tujuan yang sama.100
Pelaksanaan selametan sebagai
pengganti upacara gerebeg mulud Keraton Yogyakarta berlangsung
sampai pada tahun 1960 an, dari beberapa tahun itulah peran dari
tepas Widya Budaya terhadap upacara gerebeg Keraton
Yogyakarta diurus sendiri tanpa melibatkan anggota abdi dalem
lainnya.101
Pada tahun 1970 Sultan Hamengku Buwono IX
memerintahkan tepas Widya Budaya untuk mempersiapkan uacara
99
Martinah PW dkk. 1994. Laporan Penelitian. Upacara Gerebeg Di Yogyakarta Arti
Dan Sejarahnya. IKIP Yogyakarta. Hal. 25 100
Hartinah dkk. 1994. Upacara Gerebeg Di Yogyakarta, Arti dan Sejarahnya. Fakultas
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. IKIP Yogyakarta. Hal. 26 101
Ibid. Hal 28
94
gerebeg dan upacara sekaten secara terbuka di Keraton Yogyakarta
dengan sifat sederhana. Tahun 1974 tepas Widya Budaya
mendapat mandat dari Sultan untuk mempersiapkan upacara
gerebeg secara penuh dengan melibatkan abdi dalem Keraton
secara keseluruhan.102
Dalam melaksanakan tugasnya, tepas Widya Budaya
dibantu oleh seluruh abdi dalem Keraton dalam mempersiapkan
upacara gerebeg, dikarenakan upacara gerebeg ini membutuhkan
tenaga yang banyak baik dimulai dari persiapan pembuatan
tumpeng dan penyelenggaraan teknis upacara. Perlengkapan-
perlengkapan yang harus dipersiapkan oleh tepas Widya Budaya
dalam menjalankan upacara gerebeg ialah perlengkapan masing-
masing prajurit kesatuan Keraton, termasuk panji-panji, senjata dan
alat-alat musik untuk setiap kesatuan prajurit Keraton. Dalam
penyelenggaraan upacara gerebeg, tepas Widya Budaya
menghimbau kepada semua abdi dalem yang bertugas dalam
menjalankan upacara agar mereka bersikap dan bertindak serius,
tidak main-main, upacara dan perbuatan yang tercela harus
dihindari selama persiapan dan selama berlangsungnya
penyelenggaraan upacara gerebeg.103
102
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. Hal . 368 103
Wawancara dengan abdi dalem KHP Tepas Widyo Budoyo Keraton Yogyakarta. KRT
Rinta Iswara selaku penghageng II tepas widyo budoyo. Pada tanggal 21 Juni 2017. Pukul 13.00
wib
95
c. Nilai-nilai Islam Dalam Tradisi Gerebeg Mulud
Upacara gerebeg yang telah ada sejak lahirnya Kraton
Yogyakarta bahkan telah ada sejak kerajaan Demak banyak
memberikan nilai-nilai positif terhadap kerajaan dan masyarakat.
Keterlibatan para penyebar agama Islam (Wali Sanga) dalam
menyebarkan agama Islam yang salah satunya menggunakan
budaya sebagai media dakwahnya banyak memasukkan nilai-nilai
Islam dalam upacara gerebeg. Upacara Gerebeg yang dilakukan
oleh Kraton Yogyakarta sebagai wujud rasa syukur atau meminta
keselametan bagi Kraton dan sekitarnya dengan mengeluarkan
gunungan tumpeng sebagai gambaran dari rasa syukur kepada
Yang Maha Esa. Selain untuk mengungkapkan rasa syukur,
upacara gerebeg mulud dilakukan untuk memperingati hari
lahirnya Nabi Muhammad saw104
104
Martinah PW dkk. 1994. Laporan Penelitian. Upacara Gerebeg Di Yogyakarta Arti
Dan Sejarahnya. IKIP Yogyakarta. Hal. 35
96
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyebaran agama Islam di pulau Jawa yang dilakukan oleh para
penyiar agama dimasa Kerajaan Demak banyak memberikan pengaruh
terhadap budaya Jawa. Pasalnya para penyiar agama Islam memanfaatkan
betul situasi dan kondisi masyarakat Jawa terhadap kepekaan budaya
mereka. Para penyiar agama memanfaatkan budaya sebagai salah satu cara
penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Budaya yang menjadi metode
dakwah para penyebar Islam dengan cara memasukkan nilai-nilai ajaran
agama Islam dalam sebuah kebudayaan. Setelah Islam mulai berkembang
dipulau Jawa, para penyebar agama Islam mulai mendirikan pondok-
pondok pesantren sebagai tempat pembelajaran agama Islam.
Kepengaruhan Islam terhadap kebudayaan Jawa sangatlah jelas terlihat
dalam konteks tata nilai Islam dalam budaya Jawa dan tradisi ritual Islam
terhadap kebudayaann Jawa. Penyebaran agama Islam di pulau Jawa juga
banyak memberikan pengaruh terhadap keberadaan kerajaan-kerajaan
Islam di pulau Jawa. Salah satunya adalah Kerajaan Ngayogyakarta
Hadiningrat (Keraton Yogyakarta) selain budaya, pengaruh Islam terhadap
Keraton terlihat pada arsitektur bangunan dan tata letak kerajaan.
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau yang lebih dikenal
dengan sebutan Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku
97
Buwono I melalui perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang memisahkan
Kerajaan Islam Mataram menjadi dua kerajaan besar yaitu Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Pangeran Mangku Bumi atau yang
lebih dikenal dengan Hamengku Buwono I mendirikan Kasultanan
Yogyakarta sekaligus menjadi Sultan pertama pada tahun 1755-1792 M.
Penobatan Hamengku Buwono I sebagai Sultan pada tanggal 11 oktober
1755. Setelah Hamengku Buwono I wafat pada tahun 1792, kemudian
gelar Sultan digantikan oleh Hamengku Buwono II yang mulai berkuasa
dari tahun 1792-1810 M dan seterusnya sampai dengan Hamengku
Buwono X di tahun 1989 sampai sekarang.
Setelah Keraton Yogyakarta berdiri pada tahun 1755, pada saat itu
pula Hamengku Buwono I langsung membentuk beberapa kepengurusan
Keraton, salah satunya adalah tepas Widya Budaya. Tepas Widya Budaya
yang dibentuk oleh Hamengku Buwono I pada tahun 1755 bertujuan untuk
mengurus dan menjaga tradisi-tradisi budaya Jawa Keraton Yogyakarta.
keberadaan tepas Widya Budaya dalam Keraton Yogyakarta dianggap
cukup penting. Pasalnya selain untuk mengurusi tradisi budaya Keraton,
tugas lain dari tepas Widya Budaya ialah merawat dan menjaga benda-
benda pusaka dan manuskrip Keraton Yogyakarta. oleh karena itu
penjagaan terhadap kantor tepas Widya Budaya sangatlah diperhatikan.
Keberadaan lembaga tepas Widya Budaya yang berada dibelakang tepas
Keamanan Keraton Yogyakarta dirasa cukup aman untuk menjaga dan
merawat benda-benda Keraton. Selain menjaga dan merawat benda-benda
98
Keraton, tugas lain dari tepas Widya Budaya ialah melestarikan budaya
Keraton. Salah satu kebudayaan Islam Jawa Keraton Yogyakarta adalah
tradisi Sekaten, tradisi Labuhan, dan tradisi Gerebeg. Kebudayaan atau
tradisi upacara Keraton tersebut dilakukan setiap tahun oleh Keraton
Yogyakarta. Berlangsungnya tradisi Keraton tidak terlepas dari peran
lembaga tepas Widya Budaya. Peran tepas Widya Budaya dalam
melaksanakan tradisi upacara Keraton baik dimulai dari persiapan,
pelaksanaan dan lain sebagainya dengan dibantu oleh para abdi dalem
Keraton. Akan tetapi ketika masa Hamengku Buwono IX pada tahun
1942-1989 perubahan tradisi upacara dilakukan oleh Hamengku Buwono
IX, hal tersebut dikarenakan pada tahun 1942-1945 masa kependudukan
Jepang kondisi Keraton Yogyakarta sedikit kurang baik. Tradisi upacara
dilakukan seperti biasa ketika tahun 1977, dimana Sultan Hamengku
Buwono IX memberikan tugas terhadap tepas Widya Budaya untuk
mempersiapkan upacara-upacara kebudayaan Keraton seperti Sekaten,
Gerebeg Mulud dan Labuhan dilakukan secara besar-besaran dengan
melibatkan keseluruhan anggota kerajaan. Berpengaruhnya tepas Widya
Budaya terhadap pelestarian budaya Keraton sangatlah jelas terlihat
sampai sekarang, yang mana kebudayaan Islam Jawa yang telah ada sejak
masa Hamengku Buwono I hingga Hamengku Buwono X masih dapat
dilihat dan dinikmati oleh masyarakat Yogyakarta dan masyarakat luar
Yogyakarta.
99
B. Saran
Berdasarkan data yang ditemukan dalam penelitian ini, maka peneliti
mengajukan beberapa saran yaitu:
1. Bagi Keraton Yogyakarta
Saran peneliti untuk pihak Keraton Yogyakarta, teruslah tingkatkan pengelola
dan pelestarian budaya-budaya Jawa yang telah ada dalam Keraton Yogyakarta
dan jangan sampai budaya-budaya tersebut hilang karna budaya-budaya tersebut
adalah simbol dan karakteristik adanya sebuah kerajaan di pulau Jawa
2. Bagi Tepas Widya Budaya Keraton Yogyakarta
Saran peneliti bagi widya budaya dalam hal ini hendaknya para abdi dalem widya
budaya tetap menjaga dan menjalankan tugas-tugas yang telah ada dalam tepas
widya budaya atas dasar dari Keraton Yogyakarta
3. Bagi Masyarakat Pada Umumnya
Saran peneliti bagi masyarakat adalah hendaknya kita dapat belajar dan
mengambil inspirasi dari sejarah Keraton Yogyakarta dalam hal betapa
pentinggya menjaga dan melestarikan budaya-budaya Jawa baik yang ada pada
Keraton itu sendiri maupun yang berada diluar Keraton itu sendiri
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Saran peneliti bagi peneliti selanjutnya yang akan melakukan penelitian dengan
tema budaya Islam Jawa Keraton Yogyakarta hendaknya dapat menemukan
sumber-sumber yang menjadi acuan penulisan sejarah agar tidak menyimpang
dari tema yang akan dibahas. Untuk peneliti yang berbasis sejarawan hendaknya
100
mau melakukan penelitian dengan tema pelestarian budaya Islam Jawa Keraton
Yogyakarta hendaknya menggunakan metode penelitian sejarah dengan
melakukan studi pendahuluan terlebih dahulu
101
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Pranowo. Memahami Islam Jawa. Pustaka Alvabet. Jakarta Timur.
2009
Deon Kurniawan. Skripsi. Upacara keagamaan gerebeg mulud di keraton
Yogyakarta. Universitas Negeri Surakarta. 2003
Drs. Suratmin. Upacara Tradisional Sekaten Daerah Istimewa Yogyakarta.
Departemen Penddikan dan Kebudayaan. 1991.
Dureau J, Clements D. Dasar-dasar pelestarian dan pengawetan bahan pustaka.
Yogyakarta. Arsip Yogyakarta. 1990.
George Ritzer, Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda, Pt Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2009
H. Abdul Jamil, Abdurrahman Mas’ud dkk. Islam Dan Kebudayaan Jawa. Gama
Media Yogyakarta. Yogyakarta. 2000
Haryadi Baskoro dan Sutomo Sunaryo. Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya.
Pustaka pelajar Yogyakarta. Yogyakarta. 2010
Heddy Shri Ahimsa Putra. Hubungan Parton Klien Di Sulawesi Selatan. Gajah
Mada Press. Yogyakarta. 1988
Hiro tugiman. Budaya jawa dan mundurnya presiden soeharto. Yogyakarta.
Kanicius. 1999
Koentjaraningrat. Kebudayaan Jawa. Balai Pustaka. Jakarta. 1984
KPH. Mr. Soedarisman Poeworkoesosmo. Kesultanan Yogyakarta Suatu Tinjauan
Tentang Kontrak Politik (1877-1940). Yogyakarta. Gajah Mada Press. 1985
Langgeng Wahyu Santoso. Keistimewaan Yogyakarta Dari Sudut Pandang
Geomorfologi. Yogyakarta. Gajah Madha University Press. 2015
102
Martinah PW dkk. Laporan Penelitian. Upacara Gerebeg Di Yogyakarta Arti Dan
Sejarahnya. IKIP Yogyakarta. 1994.
Muhammad Damami dkk. Kanjeng Kyai Surya Raja, Kitab Pusaka Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia dan
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2002.
Muhammad Roem dkk. Tahta Untuk Rakyat Celah-celah Kehidupan Sultan
Hamengku Buwono IX. PT Gramedia Jakarta. Jakarta. 1982
Noto Suroto. Kesultanan Yogyakarta. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional.
Yogyakarta. 1985-1986
P.J. Soerwarno. Hamengkubuwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan
Yogyakarta 1942-1974. Yogyakarta. Kanisius. 1994
Prof. A. Daliman, M. Pd. Metode penelitian sejarah, Ombak, Yogyakarta, 2012
Prof. H. Asymuni A. Rahman. Khasanah Budaya Keraton Yogyakarta II.
Yayasan Kebudayaan Islam Indonesia bekerja sama dengan IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta. 2001
Rita yulilestari. Upacara Tradisional Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam
Tinjauan Historis. Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. IKIP
Yogyakarta. 1999.
Simuh. Sufisme Jawa, Transformasi Tasawuf Islam Ke Mistik Jawa. Narasi-
Pustaka Promethea. Yogyakarta. 2016
Sri Lestari. Skripsi. Kehidupan Para Abdi Dalem Dalam Lingkungan Keraton
Yogyakarta. Universitas sunan kalijaga. Yogyakarta. 2008
Sri Wintala Ahmad, Krisna Bayu Adji. Geger Bumi Mataram. Yogyakarta.
Araska. 2014
Subardi DL. Museum Pribadi Sultan Hamengku Buwono IX. Djaka Lodang
Yogyakarta. Yogyakarta. 1990
103
Suyami. Upacara Ritual Di Keraton Yogyakarta Refleksi mitologi Dalam Budaya
Jawa. Kepel Press Yogyakarta. Yogyakarta. 2008.
Tempo. Sri Sultan Hari-Hari Hamengku Buwono IX. Grafirypers. 1988
Witton, P.; Elliott, M. Indonesia (7th ed.). Footscray: Lonely Planet Publications.
pp. 2003
Yudhi AW. Babad Walisongo. Narasi Yogyakarta. Yogyakarta. 2013
Daftar Arsip
Senerai Arsip HB IX. Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1934-
1940 Masa HB IX. Nomor Arsip 1596 tahun 1951
Senerai Arsip HB IX .Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-
1944,1945-1956 Masa HB IX. Nomor Arsip 1597 tahun 1951
Senerai Arsip HB IX. Surat Kegiatan Tepas Widya Budaya 1988. Nomor
Arsip 1600 Tahun 1988
Senerai Arsip HB IX. Sistem Birokrasi Keraton Yogyakarta. Nomor Arsip
1052 tahun 1874
Perpustakaan Rekso Budoyo. Kebudayaan Posisi Keraton Ditegah
Perubahan Zaman. Nomor 1828. Surakarta. Tahun 1992
Arsip Mangku Negaran. Nomor Arsip B. 944 Surat Kabar. Sejarah. Sultan
Hamengku Buwono I Arsitek Kang Mumpini. Mekar Sari 29 April 1992
Arsip Mangku Negaran. Nomor Arsip B. 946 Surat Kabar. Sejarah. Sultan
Hamengku Buwono I Arsitek Kang Mumpini. Mekar Sari 9 Mei 1992
Arsip Mangku Negaran. Nomor Arsip B. 945 Surat Kabar. Sejarah. Sultan
Hamengku Buwono I Arsitek Kang Mumpini. Mekar Sari 8 Mei 1990
104
Lampiran 1 koleksi foto Keraton Yogyakarta
Koleksi foto Keraton Yogyakarta tahun 1980
105
Koleksi foto Keraton tahun 1988
106
107
Lampiran 2. Kondisi Kantor Tepas Widya Budaya
Pintu Kantor Widya Budaya
108
Halaman Depan Kantor Tepas Widya Budaya
109
110
Ruangan Tepas Widya Budaya
111
Lampiran 3
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta105
Abdi Dalem Keraton Yogyakarta tahun 1977
105
Sumber foto. Koleksi tepas Widya Budaya Keraton Yogyakarta
112
Abdi Dalem Keraton dalam rangka upacara Gerebeg tahun 1966
Pemindahan Kendaraan Keraton Oleh para abdi dalem Tepas widya budaya tahun 1989
113
Pengumpulan abdi dalem Keraton oleh Sultan Hamengku Buwono IX
114
Lampiran 4
tradisi upacara budaya Keraton Yogyakarta106
Gerebeg Mulud Keraton Yogyakarta tahun 1949
106
Arsip Keraton Yogyakarta. Senerai Arsip HB IX. Koleksi Foto Keraton Yogyakarta masa HB
IX nomor 1251
115
Perayaan Sekaten dan Gerebeg Mulud Keraton Yogyakarta tahun 1950
Foto prajurit dalam pagelarang upacara Sekaten Keraton Yogyakarta tahun 1973
116
Perebutan tumbeng dalam upacara Gerebeg mulud Keraton Yogyakarta tahun 1973
Persiapan pagelaran upacara gerebeg mulud dan sekaten Keraton Yogyakarta tahun 1989
117
Prosesi upacara labuhan Keraton Yogyakarta tahun 2001107
107
http://kratonjogja.id/ diakses pada tanggal 6 Agustus 2017
118
DAFTAR BAGAN
BAGAN 1. Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta
119
BAGAN 2.
Struktur Organisasi Tepas Widya
Budoyo
120