peran fasilitator_2009fmu-7.pdf
TRANSCRIPT
![Page 1: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/1.jpg)
65
PERAN FASILITATOR DALAM IMPLEMENTASI PNPM MPd
Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai tindakan sosial
dimana penduduk sebuah komunitas mengorganisasikan diri dalam membuat
perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan masalah sosial atau
memenuhi kebutuhannya sesuai dengan kemampuan dan sumberdaya yang
dimilikinya. Kenyataannya seringkali proses ini tidak muncul secara otomatis,
melainkan tumbuh dan berkembang berdasarkan interaksi masyarakat setempat
dengan pihak luar atau adanya intervensi dari fasilitator yang bekerja secara
profesional. Dalam aktivitas pada PNPM MPd di lapangan fasilitator ini berperan
sebagai pendamping sosial bagi partisipan penerima program. Peran seorang
fasilitator di lapngan ini dapat peneliti uraikan menjadi tiga bagian, yaitu peran
teknik, fasilitasi, dan pendidik.
Peran Teknik
Peran teknik dilakukan oleh fasilitator untuk menjamin bahwa PNPM
MPd mengakibatkan partisipan atau masyarakat penerima program mendapat
prasarana yang bermutu baik sebagai hasil karya sendiri, dan masyarakat
menjadi semakin mampu dalam proses pengelolaan pembangunan secara
mandiri. Pada acara musyawarah desa pertama, masyarakat akan memilih
kader‐kader desa, di antaranya satu orang kader teknik. Kader teknik merupakan
asistennya Fasilitator Teknik di desa, sehingga harus banyak menambah ilmu
teknik sipil dan manajemen konstruksi. Produk utama dari peran teknik seorang
fasilitator adalah gambar desain serta perhitungan kebutuhan bahan, tenaga,
peralatan, dan biaya. Kebutuhan untuk program pemberdayaan masyarakat tidak
sama dengan kebutuhan di pekerjaan yang diborongkan kepada kontraktor atau
perusahaan swasta. Gambar desain yang dibutuhkan adalah gambar yang dapat
dipegang oleh masyarakat sebagai dasar konstruksi dan gambar yang
merupakan dasar perhitungan volume pekerjaan di desa lokasi kegiatan.
Masyarakat di Desa Teluk mengungkapkan bahwa kualitas dan volume
bangunan yang dibuat oleh PPK maupun PNPM MPd jauh lebih baik ketimbang
proyek yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU. Mereka mencontohkan ada
bangunan madrasah dengan nilai hampir 400 juta yang dikerjakan oleh rekanan
Dinas PU dengan sumber dana dari APBD kabupaten, volumenya lebih kecil,
yaitu hanya mampu membangun tiga ruang kelas dengan kualitas rendah yang
mengecewakan jika dibandingkan dengan bangunan yang dikerjakan oleh
![Page 2: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/2.jpg)
66
masyarakat melalui PNPM MPd dengan biaya yang jauh lebih murah yaitu hanya
sekitar 200 juta rupiah, tetapi berhasil membangun empat ruang kelas dengan
kualitas yang jauh baik. Alhasil bangunan madrasah yang dikerjakan oleh
rekanan Dinas PU tersebut sampai kini belum diserahterimakan dan ditolak oleh
warga karena beberapa bagian dari bangunan tersebut ternyata sudah banyak
yang retak sebagaimana juga terlihat dari dekat ketika peneliti melakukan
observasi di lapangan.
Gambar 8. Bangunan Infrastruktur Madrasah yang dikerjakan oleh rekanan Dinas PU di Desa Teluk
Berbeda dengan gambar di atas, bangunan madrasah yang dibangun
oleh PNPM MPd yang berada persis di sampingnya terlihat kokoh, rapi dan lebih
berkualitas. Saat ini bangunan madrasah tersebut terus digunakan untuk aktivitas
pendidikan agama (sekolah sore) bagi anak-anak warga Desa Teluk. Diyakini
bahwa faktor fasilitator dalam melakukan pendampingan kepada masyarakat
dalam setiap tahapan pembangunan madrasah dan selalu menjaga agar kualitas
bangunan betul-betul maksimal menjadi sangat menentukan. Beberapa mantan
pelaku PPK yang terlibat dalam pembangunan madrasah tersebut menuturkan
bahwa fasilitator sangat rajin memberikan motivasi dan mengajak semua
komponen masyarakat untuk terlibat dalam setiap tahapan pembangunan.
Masyarakat, terutama pelaku ditingkat desa (TPK) bersama-sama komponen
masyarakat lain ikut mempersiapkan, mengerjakan dan memantau hingga
pembangunan madrasah tersebut kelar.
Gambar 9. Bangunan Madrasah yang dikerjakan oleh Masyarakat melalui PPK
![Page 3: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/3.jpg)
67
di Desa Teluk
Selain bangunan madrasah seperti terlihat pada gambar di atas, tahun
2004 juga dibangun rehab MTs di desa tersebut dengan kualitas yang juga
sangat memuaskan warga. Seorang tokoh agama di Desa Teluk yaitu Ustadz
Zawawi yang juga pernah menjadi anggota tim enam PPK tahun 2003
menyatakan bahwa untuk pembangunan sarana fisik, beliau mengakui bahwa
kualitas maupun manfaat dari bangunan yang dikerjakan oleh PPK sangat
dirasakan oleh masyarakat. Berikut adalah penuturan beliau:
“Bangunan madrasah ini sudah hampir roboh sementara anak-anak harus terus bersekolah, jadi setelah ada pembangunan gedung baru oleh PPK kita merasa bersyukur sekali dan aktifitas sekolah kembali lancar. Apalagi bangunannya cukup kokoh dan permanen jika dibandingkan sebelumnya”.
Bagaimana dengan bangunan fisik yang dikerjakan oleh PNPM MPd?
Tahun 2008 di Desa Teluk telah dibangun jalan desa (perkerasan jalan) yang
melintasi areal perkebunan kelapa sawit dan durian milik warga. Jalan tersebut
saat ini dimanfaatkan oleh warga untuk mempermudah akses mengeluarkan
hasil panen kebun mereka. Berbeda dengan pembangunan madrasah,
pembangunan jalan ini selain dikerjakan oleh sebagian warga Desa Teluk, juga
melibatkan tenaga kerja dari luar Desa Teluk. Menurut pengurus TPK Desa
Teluk, hal ini dilakukan karena ada beberapa pekerjaan yang membutuhkan
keahlian dan untuk menjamin kualitas bangunan diperlukan tenaga dari luar
desa. Pendapat ini agak berbeda dengan penuturan beberapa RTM yang sempat
peneliti temui. Mereka menyatakan, sebenarnya semua komponen pekerjaan itu
bisa dilakukan oleh warga desa sehingga mereka yang tergolong RTM bisa
mendapatkan tambahan penghasilan dari pekerjaan tersebut. Mereka juga
kurang paham maksud atau tujuan dari pengurus TPK, mengapa harus merekrut
tenaga kerja dari luar desa. Beberapa warga yang lain menuturkan, terlepas
siapa yang mengerjakan yang penting bangunan tersebut memberikan manfaat
![Page 4: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/4.jpg)
68
yang besar bagi warga terutama bagi mereka yang memiliki kebun yang dilintasi
jalan tersebut. Harus diakui memang, proyek fisik yang dikerjakan oleh PPK
maupun PNPM MPd melalui pendampingan yang intensif oleh fasilitator
memberikan dampak positif bagi warga setempat.
Pendapat tentang hal serupa juga muncul dari Bapak Habibullah. Beliau
adalah mantan pelaku PPK dan sekarang menjadi ketua BKAD Kecamatan
Pemayung. Menurutnya, peran fasilitator dari aspek fisik diakui cukup berhasil.
Hal ini bisa ditunjukkan oleh begitu banyak pembangunan sarana fisik yang telah
dibangun di wilayah Kecamatan Pemayung, seperti pembangunan jalan rabat
beton, perkerasan jalan desa, pembangunan gedung TK, madrasah dan irigasi.
Kesemua bangunan tersebut sangat terjamin kualitasnya karena melibatkan
masyarakat secara langsung dalam pengerjaan bangunan pada setiap tahapan.
Berikut adalah penuturan dari beliau:
“Harus kita akui bahwa proses pembangunan fisik, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi memang melibatkan masyarakat desa. Pengawasan yang cukup rapi dari seluruh komponen masyarakat desa mampu meningkatkan efisiensi dan lebih manjamin kualitas bangunan, terutama jika dibandingkan dengan proyek yang dibangun oleh rekanan seperti proyek APBN maupun APBD yang lain.
Ketika peneliti berjalan ke desa-desa lokasi kegiatan PNPM MPd yang
lain memang terlihat, bahwa peran teknik dari fasilitator yang ber-output
bangunan fisik ini sangat menonjol ketimbang peran-peran lain. Hal ini bisa
dimaklumi karena memang aktivitas program umumnya adalah pembangunan
sarana fisik yang membutuhkan pendampingan kepada partisipan pada aspek
teknis. Dalam dokumen-dokumen yang peneliti telusuri juga terlihat jelas begitu
padatnya aktivitas fasilitator dalam menjalankan peran teknis, apalagi sejak
tahun 2007 cakupan lokasi kegiatan PNPM MPd yang diperluas ditambah lagi
program P2SPP yang juga membutuhkan pendampingan dari fasilitator yang
sama. Dokumen tersebut menjelaskan aktivitas teknis yang mesti diselesaikan
secara tepat waktu, misalnya pembuatan RAB dan desain gambar bangunan
pada masing-masing desa lokasi.
Untuk melakukan pendampingan di lapangan, sebenarnya dipersiapkan
dua orang fasilitator yaitu fasilitator pemberdayaan dan fasilitator teknik, tetapi
karena volume dan cakupan lokasi pekerjaan pada aspek teknis sangat besar
serta dituntut oleh target dan waktu yang sangat mekanistis. fasilitator
pemberdayaanpun juga kerap terjebak sibuk dengan aktivitas fisik yang
seyogianya dijalankan oleh fasilitator teknis, sehingga peran-peran lain termasuk
![Page 5: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/5.jpg)
69
aktivitas sosial fasilitator seperti berkunjung, berdiskusi dan mendengar keluhan
dan kebutuhan warga ke desa-desa lokasi di luar konteks kerja teknis menjadi
jarang dilakukan.
Suatu ketika yaitu pada tanggal 24 Maret 2008, peneliti juga sempat
mengikuti ekspose hasil audit dari BPKP dari Provinsi Jambi tentang
implementasi P2SPP dan PNPM MPd se-Kabupaten Batang Hari yang digelar di
aula kantor bupati setempat. Uraian hasil ekspose audit tersebut hampir
keseluruhan mengevaluasi dan memonitoring kerja-kerja teknis di lapangan,
misalnya menyangkut apakah kualitas dan volume bangunan jalan, jembatan,
sekolah dan posyandu dikerjakan sesuai dengan PTO? Bagaimana penggunaan
dana untuk kegiatan tersebut benar-benar transparan?. Hanya sedikit sekali
disinggung evaluasi tentang aktivitas pemberdayaan bagi partisipan. Hal ini tentu
saja akan mendorong dan menjadikan fasilitator serta pelaku lainnya selalu
mengoptimalkan kerja-kerja fisik dan karena keterbatasannya tersebut bisa
menjadikan peran-peran lain menjadi sulit dijalankan.
Untuk memperkuat kemampuannya dalam menjalankan peran teknik ini,
fasilitator akan menerima In�Service Training (IST) yang biasanya disampaikan
oleh FKab satu bulan sekali. In‐Service Training (IST) yang diterima di tingkat
kabupaten topik dan lamanya ditentukan oleh Fasilitator Kabupaten, kecuali ada
hal-hal tertentu yang telah di atur secara khusus oleh tim PNPM MPd pusat atau
dari provinsi. IST menyangkut topik�topik pelatihan yang dianggap perlu
diketahui oleh fasilitator, termasuk topik teknis, topik manajemen, topik aturan
atau prinsip program, topik pengembangan profesi, serta topik
keterampilan�keterampilan yang perlu dikuasai oleh seorang fasilitator. Karena
tuntutan peran teknis yang begitu besar umumnya materi IST juga dominan
menyangkut hal-hal yang bersifat teknis.
Peran Fasilitasi
Selain pembangunan infrastrukur atau fisik, PNPM MPd di Desa Teluk
juga menyelengggarakan program Simpan Pinjam Khusus Perempuan (SPP).
Beberapa desa sudah memanfaatkannnya sejak beberapa tahun yang lalu.
Sedangkan untuk Desa Teluk baru digulirkan pada tahun ini. Bergulirnya
program ini ternyata menuai kontroversi dari berbagai kalangan masyarakat.
Menurut beberapa warga hampir seluruh tokoh masyarakat terutama tokoh
agama dan adat menolak SPP, karena bunga pinjaman dalam SPP tersebut di
anggap riba (haram) tetapi oleh pihak kecamatan tetap dipaksakan untuk
![Page 6: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/6.jpg)
70
diterima dan warga desa tak kuasa menolak. Penolakan di Desa Teluk ini
dituturkan oleh beberapa tokoh masyarakat berikut ini :
“Kita kebobolan dan ini menjadi kemunduran bagi warga desa serta menjadi catatan sejarah yang tidak baik. Program SPP itu dipaksakan untuk diterima oleh warga. Kalau ada warga yang mau pinjam uang di Bank dan ada bunganya itu adalah persoalan individu tetapi untuk SPP ini kita semua dipaksa secara bersama untuk melegalkan praktek riba ini” (Uz).
“Ada intimidasi dari pihak-pihak tertentu kalau tidak mau menerima SPP maka program lain (misalnya pembangunan infrastruktur) akan dianggap tidak layak dan tidak akan diverifikasi. Ada pencucian otak secara sistematis oleh tim dari kecamatan sehingga SPP masuk dalam daftar usulan desa” (Ib).
Kasus penolakan SPP oleh warga di atas merupakan salah satu contoh
dimana fasilitator belum mampu melaksanakan peran fasilitasi secara baik.
Fasilitasi merupakan suatu kegiatan yang menjelaskan pemahaman, tindakan,
keputusan yang dilakukan seseorang dengan atau bersama orang lain untuk
memberdayakan partisipan. Dalam proses pemberdayaan, fasilitasi mengandung
pengertian membantu dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan
masalah dan memenuhi kebutuhannya sendiri sesuai potensi yang dimilikinya
bukan dengan cara-cara pemaksaan yang justru menjauhkan fasilitator dari
partisipan.
Aturan simpan pinjam, pada SPP yang mengadopsi sistem sebagaimana
yang berlaku pada perbankan secara umum di desa-desa tertentu ternyata
menuai protes. Fasilitator sesungguhnya bisa memerankan diri dengan
memfasilitasi dan menguatkan masyarakat agar dapat memecahkan masalah
yang dihadapi oleh partisipan sesuai konteks lokal tanpa harus menyeragamkan
aturan di tempat lain yang justru mengundang kontroversi tidak produktif.
Bersama dengan beberapa tokoh agama, peneliti sempat berdiskusi dan
menanyakan apa sebenarnya keinginannya dalam konteks SPP. Mereka tidak
memungkiri membutuhkan modal untuk pengembangan usaha, tetapi apakah
tidak ada cara lain selain membungakan “riba” uang. Sebenarnya ada solusi
yang bisa ditawarkan oleh fasilitator bersama pelaku PNPM MPd dengan
menawarkan jasa pinjaman uang SPP dengan sistem syariah mengingat Desa
Teluk sangat kental dan menjaga agar nilai-nilai agama Islam tetap lestari.
Kegiatan fasilitasi bukan hanya sekedar menjejalkan sejumlah
pengetahuan dan pengalaman fasilitator maupun pelaku PNPM MPd dari tempat
lain kepada partisipan melainkan upaya penyadaran melalui proses belajar
![Page 7: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/7.jpg)
71
bersama dan mendorong prakarsa masyarakat secara mandiri untuk
menentukan keputusannya. Fasilitator di samping melakukan transfer
pengetahuan dan pengalaman juga harus mau belajar kepada budaya lokal agar
program yang dibawa bisa diterima oleh partisipan. Lalu bagaimana dengan
desa-desa lain? apakah program SPP ini berjalan semestinya?
Beberapa desa yang sempat peneliti telusuri, kegiatan SPP memang
telah bergulir sejak PPK dan tidak dipersoalkan oleh warga tentang “keabsahan”
program. Akan tetapi program mendapatkan kritik terutama dari RTM karena
ternyata dana yang digulirkan justru dimanfaatkan oleh mereka yang sudah
mapan ekonominya. Alasannya adalah RTM dianggap tidak mampu membayar
cicilan secara rutin kepada pengurus UPK. Hal ini tentu sangat kontras dengan
tujuan program untuk memberdayakan RTM “kaum marginal”. Dalam konteks ini
dapatlah dinyatakan bahwa belum/tidak terjadi proses pemberdayaan
(khususnya bagi warga miskin) karena tidak terjadi transfer daya kepada warga
miskin, sebab program lebih dimanfaatkan oleh kelompok yang mampu. Apa
dampaknya kemudian ? RTM menjadi enggan untuk terlibat dalam program-
program berikutnya. Rapat-rapat sebagai instrument menggali gagasan yang
“partisipatif” menjadi sulit untuk menghadirkan RTM.
Konsultan Manajemen (KM) PNPM MPd Provinsi Jambi ketika
dikonfirmasi oleh peneliti tentang aktivitas PNPM MPd di wilayahnya memberikan
tanggapan yang cukup relevan sebagaimana yang peneliti temukan di lapangan.
Untuk program pembangunan infrastruktur beliau mengakui bahwa selama ini
berharap ada peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai multiplier effect
dari kegiatan, misalnya terbukanya lapangan kerja baru bagi RTM.
Pemberdayaan dalam artian sesungguhnya yang mampu membangun
kesadaran bagi RTM untuk keluar dari lingkaran kemiskinan memang belum
maksimal kita dapatkan. Sementara untuk kegiatan Simpan Pinjam Khusus
Perempuan (SPP) harus diakui bahwa perkembangannya di UPK cukup pesat.
Untuk Kecamatan Pemayung, saat ini telah memiliki omset kurang lebih satu
Milyar. Tetapi persoalannya kelompok perempuan miskin yang sejatinya
memanfaatkan untuk mengembangkan ekonomi keluarga ternyata tidak
memperoleh akses untuk memanfaatkan program ini. Lebih lanjut beliau secara
terbuka juga menceritakan alur aktivitas PNPM MPd yang menurutnya akan sulit
membawa misi pemberdayaan. Beliau mengakui bahwa ada penurunan kualitas
![Page 8: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/8.jpg)
72
pada aktivitas program ketimbang pada PPK sebelumnya sebagaimana
diungkapan oleh beliau berikut ini :
“Kita harus akui bahwa proses yang berjalan dalam PNPM ini sangat mekanistis sekali. Aktivitas yang berjalan selalu berpedoman pada PTO yang dikejar oleh target sehingga pemberdayaan masyarakat yang mestinya bisa didapat pada setiap tahapan program sangat sulit dijalankan”.
Pada sisi lain juga terungkap bahwa TPK PNPM MPd di Desa Teluk
mengeluhkan aturan main untuk pelaksanaan program mulai tahun ini (tahun
2009). Mereka mengungkapkan bahwa sejak tahun ini diminta untuk
mengumpulkan dana swadaya dari masyarakat yang jumlahnya sudah
ditetapkan oleh pihak kabupaten sebesar lima persen. Menurutnya selama ini
warga memang selalu diminta untuk menyumbang selama pelaksanaan program.
Beberapa warga ada yang menyumbangkan bahan-bahan material seperti pasir,
semen dan batu, tenaga kerja dan peralatan pekerjaan yang nilainya bisa jadi
lebih dari lima persen karena merasakan bahwa program ini penting bagi
kepentingan mereka tetapi ini dilakukan dengan prinsip sukarela tanpa ada
paksaan dari pihak manapun. Mereka berpendapat dengan penetapan angka
minimal lima persen apalagi jika dilakukan secara terus menerus justru akan
menyebabkan warga menyumbang karena ada unsur keterpaksaan dari pihak
atas. Ketika persoalan ini peneliti pertanyakan kepada pengurus UPK di tingkat
kecamatan mereka menyatakan sebenarnya tentang persoalan ini sudah sering
dilakukan protes oleh mereka dan teman-teman dari UPK yang lain tetapi tidak
ada respon dari pihak kabupaten. Menurut orang di kabupaten ketentuan ini
sudah menjadi aturan baku yang tidak bisa dirubah.
Kegiatan pendampingan untuk mendidik partisipan bukanlah
memaksakan apalagi memberikan materi yang “tidak sehat” kepada partisipan
melainkan upaya penyadaran melalui proses belajar bersama dan mendorong
prakarsa masyarakat secara mandiri untuk menentukan keputusanya. Untuk
mendukung usaha ini profesi sebagai fasilitator memang membutuhkan
keseriusan dan ketekunan yang cukup tentang masyarakat.
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa proses dialog yang mesti muncul
dalam pengambilan keputusan pada setiap aktivitas program ternyata belum
terjadi. Dalam dialog seharusnya fasilitator membuka ruang “berbicara dan
mendengar” yang setara” sehingga komunikasi antara fasilitator dan pelaku
PNPM MPd dengan partisipan tidak terkesan menggurui atau bahkan
memaksakan kehendak.
![Page 9: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/9.jpg)
73
Di lokasi penelitian, peran fasilitasi memang tidak begitu tampak
dijalankan oleh fasilitator. Kegiatan fasilitasi umumnya hanya dilakukan dalam
rangka aktivitas teknis yang menjadi unggulan dari program. Misalnya
memfasilitasi setiap pertemuan dalam pelaksanaan tahapan PNPM MPd,
fasilitasi dan membantu survey lapangan, melakukan survey harga satuan dan
menerapkannya dalam RAB dan memfasilitasi dalam penanganan dan
penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan program fisik.
Beberapa warga dalam beberapa kesempatan ngobrol dengan peneliti juga
menyampaikan bahwa fasilitator hanya datang ketika proyek akan berjalan.
Sementara untuk fasilitasi program-program yang lain termasuk hadir dan
berkunjung ke desa sekedar untuk merajut kebersamaan dengan warga jarang
dilakukan. Kegiatan memfasilitasi yang merupakan tugas paling rutin fasilitator
adalah pendampingan pembelajaran bersama kelompok yang harus diawali
dengan interaksi sosial yang harmoni antara fasilitator dan partisipan. Apapun
kegiatannya, proses fasilitasi yang dikembangkan oleh fasilitator harus selalu
berorientasi pada proses pembelajaran yang bertumpu pada partisipan.
Dalam beberapa kesempatan sebagaimana diungkapkan oleh salah
seorang pelaku PNPM MPd, fasilitator bersama pelaku PNPM MPd yang lain
pernah menjadi mediator ketika terjadi ketegangan dan konflik antar kelompok
yang berlawanan. Pernah suatu ketika terjadi ketegangan antara warga
masyarakat dengan kontraktor yang melaksanakan pekerjaan pembangunan
jalan. Saat itu sebagaimana dituturkan oleh Ketua BKAD, kontraktor meminta
dibayar lunas sementara pekerjaan belum selesai. Warga tetap bersikukuh untuk
tidak membayar. Kontraktor sempat mengancam dan mengadukan persoalan ini
kepada Kejaksaan Negeri Muara Bulian. Oknum kejaksaan bersama kontraktor
tersebut sempat mengeluarkan ancaman untuk membawa persoalan ini ke meja
hukum. Akhirnya setelah melalui proses mediasi persoalan tersebut dapat
diselesaikan dengan baik antara warga dan pihak kontraktor.
Sebenarnya peran fasilitasi mediasi yang lain yang bisa dilakukan
misalnya membantu masyarakat untuk bisa mengakses potensi-potensi dan
sumber daya yang dapat mendukung pengembangan dirinya, seperti sektor
swasta, perguruan tinggi, LSM dan peluang pasar. Akan tetapi peran-peran ini
belum muncul. Sering ditemui di lapangan bahwa masyarakat jarang mengetahui
dan mengenal potensi dan kapasitasnya sendiri. Seorang fasilitator mestinya
mampu merangsang dan mendorong masyarakat untuk menemukenali potensi
![Page 10: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/10.jpg)
74
dan kapasitasnya sendiri. Dengan fungsinya tersebut fasilitator mampu
mendorong masyarakat sehingga dapat melaksanakan berbagai kegiatan
pembangunan secara mandiri.
Peran Pendidik
Peran pendidik yang mesti dijalankan oleh fasilitator di lokasi kegiatan
PNPM MPd adalah berperan aktif dalam proses pengembangan guna
merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan partisipan. Kegiatan itu tidak
saja sekedar membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-
arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai oleh
fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam
membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari.
Pengertian ini merujuk pada upaya memberikan kemudahan, kepada siapa saja
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Dalam situasi kritis, peran
pendampingan tidak hanya memberikan kemudahan terhadap berbagai akses
bantuan saja tetapi secara proaktif juga melakukan intervensi langsung kepada
masyarakat. Disisi inilah fasilitator mencoba mengambil peran sebagai perantara
atau katarsis untuk mempercepat proses belajar dan peningkatan kesejahteraan.
Kegiatan yang dimungkinkan dapat dilakukan adalah melalui pelatihan
keterampilan bagi partisipan.
Menurut penuturan beberapa warga, termasuk pelaku PNPM MPd,
aktivitas PNPM MPd hanya ditunjukkan oleh pembangunan sarana fisik.
Sementara program-program pemberdayaan, seperti pelatihan-pelatihan bagi
RTM nyaris tidak pernah ada sebagaimana dituturkan oleh ketua BKAD warga
berikut ini :
Kegiatan PNPM-MPd yang betul-betul menyentuh kebutuhan dan memberdayakan masyarakat miskin sebagaimana tujuan PNPM MPd terutama yang terkait dengan upaya peningkatan keterampilan berusaha (ekonomi) bagi warga miskin tidak pernah ada. Seperti pelatihan menjahit, border, industri rumah tangga. Hampir semua usulan dari desa yang pernah muncul terkait dengan pelatihan selalu tidak mendapatkan prioritas termasuk dari tim. Selalu saja yang diunggulkan dan mendapatkan prioritas usulan adalah bangunan fisik saja, walaupun pada tahun-tahun sebelumnya telah pernah mendapatkan program PNPM juga dalam bentuk bangunan fisik sehingga keberadaan orang miskin di desa tidak pernah mengalami perubahan. Mereka tetap miskin dan tidak berdaya”
Ketua BKAD juga mengungkapkan bahwa dalam rapat-rapat di tingkat
kecamatan kita selalu mengingatkan agar selalu melibatkan dan mengutamakan
kebutuhan RTM, tetapi selalu saja mentah dalam forum. Utusan dari masing-
![Page 11: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/11.jpg)
75
masing desa beralasan kalau sarana fisik yang dibangun diperlukan semua
orang, sementara kalau pelatihan atau yang sejenis hanya beberapa orang saja
yang bisa memanfaatkan. Dengan demikian kepentingan program untuk
memberdayakan orang miskin selalu terabaikan. Mengapa selalu terjadi hal
demikian ? Menurutnya hal ini dikarenakan usulan program selalu dibawa oleh
tim enam yang umumnya adalah elit desa. Beberapa usulan program yang
digagas sejak MMDD, baik di tingkat RT, dusun dan desa maupun MKP,
terkesan hanya sebagai prasyarat program saja, toh yang akan membawa dan
memperjuangkan untuk mendapatkan program adalah tim enam juga. Sehingga
yang terjadi adalah usulan dari RTM dan perempuan tidak benar-benar
diperjuangkan oleh tim enam pada MAD prioritas usulan (kompetisi) di
kecamatan. Hal lain yang menjadi persoalan adalah tidak adanya keterlibatan
stakeholder lain yang mendukung aktivitas pemberdayaan di lapangan.
Seharusnya dalam Musrenbang baik di tingkat desa maupun kecamatan
menghadirkan dinas-dinas terkait yang dibutuhkan oleh masyarakat penerima
program untuk pemberdayaan mereka.
Catatan penting yang juga dapat peneliti ungkap di lapangan terkait
dengan aspek pendidikan adalah adanya situasi yang memaksa perilaku “tidak
jujur” dari pelaku kepada partisipan PNPM MPd. Salah seorang pelaku di Desa
Teluk menceritakan kepada peneliti tentang hal ini. Menurutnya ada kesan
skenario yang tidak jujur dari pelaku di tingkat desa (TPK) dan diajarkan oleh tim
verifikasi di kecamatan serta kabupaten. Pada aspek pelestarian kegiatan,
fasilitas yang pernah dibangun oleh PPK dan PNPM MPd pada tahun-tahun
sebelumnya dengan berbagai cara harus disulap sehingga seolah-olah sangat
terawat atau paling tidak ada tanda-tanda upaya ingin dirawat, misalnya ada
tumpukan material di samping bangunan sehingga usulan desa bisa lolos untuk
verifikasi program pada tahun berikutnya. Kondisi ini sebenarnya tidak mesti
terjadi ketika monitoring dan evaluasi rutin dilakukan oleh pelaku program. Dalam
sebuah obrolan dengan pelaku di kabupaten disebutkan, dahulu pada program
PPK, monitoring ini rutin dilakukan bahkan oleh tim dari Depdagri dan Bank
Dunia. Akan tetapi sejak PNPM MPd monitoring menjadi jarang dilakukan. Dalam
konteks pendidikan hal ini tentu sangat tidak arif dilakukan oleh pelaku PNPM
MPd ditingkatan yang lebih tinggi yang seyogianya harus mendorong
transparansi “apa adanya” sebagai ciri program pemberdayaan.
![Page 12: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/12.jpg)
76
Beberapa kegiatan pada aspek pendidikan yang pernah diselenggarakan
oleh fasilitator di lokasi penelitian juga belum maksimal dijalankan. Pelatihan
hanya diberikan kepada pelaku PNPM MPd saja bukan kepada warga komunitas
apalagi RTM. Hanya KPMD, TPU, TP3, kader teknik dan TPK yang terpilih dalam
musyawarah desa sosialisasi yang akan menerima pelatihan. Peserta pelatihan
ini selanjutnya diharapkan akan memandu serangkaian tahapan kegiatan PNPM
MPd yang diawali dengan proses penggalian gagasan di tingkat RT, dusun dan
kelompok masyarakat. Pelatihan TPU dilaksanakan tanggal 27 s.d 28 Januari
2009 sedangkan pelatihan TP3 dilaksanakan pada tanggal 28 Februari 2009
berjumlah 12 orang. Ironisnya untuk tahun 2009 ini pelatihan bagi KPMD tidak
dilaksanakan. Padahal KPMD adalah perpanjangan tangan fasilitator yang akan
membantu kerja-kerja pemberdayaan di tingkat desa. KPMD sendiri umumnya
selalu berganti setiap tahun di setiap desa. Artinya kemampuan kognisi KPMD
mestinya di up grade secara rutin untuk menjadi pelopor pemberdayaan di
desanya. Menurut pengurus UPK karena ada kendala teknis sehingga pelatihan
batal dilakukan. Pada tahun-tahun sebelumnya selalu dilaksanakan dengan
peserta dua utusan dari masing-masing desa (satu orang laki-laki dan satu
orang perempuan).
Sebagai pendidik, sesungguhnya fasilitator bisa menjadi nara sumber
(resource person) karena keahliannya berperan sebagai sumber informasi
sekaligus mengelola, menganalisis dan mendesiminasikan dalam berbagai cara
atau pendekatan yang dianggap efektif. Fasilitator juga bisa menjadi pelatih
(trainer) melakukan tugas pembimbingan, konsultasi atas masalah yang dihadapi
warga dan penyampaian materi untuk peningkatan kapasitas dan perubahan
perilaku ke arah yang lebih baik bagi partisipan.
Ikhtisar
Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa peran fasilitator dominan
pada aspek teknik, sementara peran fasilitasi dan pendidikan terkesan
terabaikan. Kegiatan PNPM MPd sebagai bagian dari policy pemerintah yang
termuat dalam PTO menuntut sistem kerja yang mekanisitis dan dominan pada
aspek teknis yaitu pembangunan sarana dan prasarana infrastruktur. Sehingga
walaupun di lapangan dipersiapkan dua orang fasilitator yaitu fasilitator
pemberdayaan dan fasilitator teknik, karena volume dan cakupan lokasi
pekerjaan pada aspek teknis sangat besar serta dituntut oleh target dan waktu
![Page 13: Peran Fasilitator_2009fmu-7.pdf](https://reader038.vdokumen.com/reader038/viewer/2022110110/5889c53d1a28ab584c8c6add/html5/thumbnails/13.jpg)
77
yang telah ditetapkan program maka fasilitator pemberdayaanpun ikut terjebak
pada kerja teknis sehingga peran fasilitasi dan pendidikan sebagai ruh dari
proses pemberdayaan terkesan diabaikan.