peran asean disabilty forum dalam pengadvokasian...

128
PERAN ASEAN DISABILTY FORUM DALAM PENGADVOKASIAN AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-2018 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) Oleh: Hayuningtyas Aneswari Pujantoro 11151130000021 PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2020

Upload: others

Post on 13-Apr-2020

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

PERAN ASEAN DISABILTY FORUM DALAM

PENGADVOKASIAN AKSES PENDIDIKAN BAGI

KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-2018

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Hayuningtyas Aneswari Pujantoro

11151130000021

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2020

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI

Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:

Nama : Hayuningtyas Aneswari Pujantoro

NIM : 11151130000021

Program Studi : Hubungan Internasional

Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:

PERAN ASEAN DISABILITY FORUM (ADF) DALAM PENGADVOKASIAN

AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-

2018

dan telah memenuhi syarat untuk diuji.

Jakarta, 18 Januari 2019

PENGESAHAN

iv

ABSTRAK

Dalam skripsi penulis meneliti peran ASEAN Disability Forum (ADF)

dalam upaya pengadvokasian guna meningkatkan aksesbilitas pendidikan bagi

kaum disabilitas di Indonesia tahun 2016-2018. Tujuan penelitian ini untuk

mendeskripsikan permasalahan akses pendidikan disabilitas di Indonesia,

mengetahui berbagai kebijakan ADF serta mengidentifikasi hambatan-hambatan

dari pengimplementasian kebijakan tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui

wawancara langsung dengan pihak ADF dan studi kepustakaan baik melalui buku,

jurnal dan artikel, maupun data-data lainnya yang menunjang penelitian ini.

Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa Vietnam menjadi negara pertama dengan

penyandang disabilitas tertinggi di Asia Tenggara serta Indonesia menduduki

peringkat ketiga setelah Vietnam dan Singapura. Melihat hal ini, ADF sebagai

satu-satunya organisasi regional yang merepresentasikan kaum disabilitas di Asia

Tenggara, berkewajiban melebarkan tugas dan perannya serta menjamin hak-hak

dasar terutama pendidikan untuk kaum disabilitas agar terpenuhi.

Penelitian ini dimulai pada 2016 ketika ADF melakukan langkah

signifikan yakni mendukung disahkannya Masterplan 2025, yang kemudian akan

menjadi dasar dari berbagai kebijakan untuk kaum disabilitas di negara anggota

ASEAN mulai 2018. Melalui analisa menggunakan teori organisasi internasional

dan hak asasi manusia, diketahui bahwa ADF cukup berupaya dalam memberikan

hak yang setara untuk kaum disabilitas serta cukup berhasil menjalankan peran

organisasi internasionalnya terutama dalam peran arena dan instrumen. Namun

sayangnya, ADF tidak dapat menjalankan peran aktor independen organisasi

internasional secara maksimal karena memiliki tugas yang lebih mendominasi

pada advokasi dan kurang pada pengimplementasian langsung. Hal tersebut dirasa

sangat kurang karena ADF merupakan organisasi utama yang diharapkan dapat

secara signifikan membantu penyetaraan hak untuk kaum disabilitas.

Kata Kunci: ADF, ASEAN, disabilitas, Indonesia, organisasi internasional, hak

asasi manusia, pendidikan.

v

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahi Rabbil ‘Aalamiin, puji dan syukur selalu penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya. Sholawat dan salam

juga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta dengan

keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau, sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Peran ASEAN Disability Forum dalam

Pengadvokasian Meningkatkan Aksesbilitas Pendidikan bagi Kaum

Disabilitas di Indonesia 2016-2018”.

Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada orang tua penulis yang

telah memberikan dukungan moral dan materiil serta selalu mendo’akan penulis,

Bapak Anto Pujantoro Nugroho dan Ibu Misnawati Lily serta Ayah Suparman.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kedua adik penulis, Yuditya Nugroho

yang telah menjadi inspirasi penulis untuk mengangkat topik dalam skripsi ini dan

Nahlan Muhammad. Penulis berdo’a semoga kalian selalu dalam lindungan dan

rahmat Allah SWT. Selama kurun waktu 4-5 tahun menjalani perkuliahan di

Program Studi Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik,

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada

beberapa pihak dalam maupun luar sivitas UIN Jakarta.

Dengan sepenuh hati dan segenap rasa hormat, penulis mengucapkan

terima kasih kepada:

1. Ibu Riana Mardila S.Sos., MIR selaku dosen pembimbing penulis yang

menyempatkan waktunya untuk terus dengan sabar memberi arahan,

motivasi serta kritik yang membangun dalam penulisan skripsi ini.

2. Bapak Ahmad Alfajri, MAIR selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga telah sabar

vi

memberi arahan dan bantuan baik saat konversi nilai WSU maupun ketika

menjadi ketua jurusan dan dosen pembimbing seminar proposal penulis.

3. Bapak Kiky Rizky, M.Si yang turut juga membantu penulis dengan

memberi arahan dan masukan dalam penyusunan penelitian ini saat

seminar proposal.

4. Seluruh Bapak/Ibu dosen pengajar pada Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional, serta para karyawan dan staff Program Studi Ilmu Hubungan

Internasional UIN Syarif Hidayatullah yang tidak dapat disebutkan satu

persatu, namun tidak mengurangi rasa hormat.

5. Ibu Wike Devi Erianti selaku Program Manager dari ASEAN Disability

Forum (ADF) yang telah membantu penulis mendapatkan informasi

dengan bersedia diwawancarai mengenai ADF serta segala kebijakannya

dan permasalah kaum disabilitas di Indonesia dan ASEAN.

6. International Studies Club (ISC) serta panitia Java Model United Nations

(JAVAMUN) yang telah memberikan penulis pengalaman organisasi tak

terlupakan serta senantiasa membantu penulis mengembangkan diri,

terutama untuk para senior Kak Astrid, Kak Maulida Ayu, Kak Auzan,

Kak Luthfan, Kak Abib, Kak Aisyah, Kak Ola, Kak Arkan, Kak Ekal, Kak

Yaqub, Kak Zia, maupun angkatan 2015 kebawah seperti Faisal, Syifa,

Nanda, Vinny, Obie, Aul, tim setia Substance JAVAMUN Nida, Indah,

Athir, Elsa, Dina, dan masih banyak lagi yang tidak dapat penulis sebutkan

satu persatu.

7. Rekan-rekan seperjuangan HI UIN Jakarta 2015 terutama untuk Tami,

Suci, Verenia, Luthfiatul, Wila, Aulia Vinanda, Rifqi Rahman, Fariz

Fauzan, Fazlurrahman, Arif Yanfa, Rizki Hanif serta teman-teman kelas

HI A 2015 “The Dank Team A” yang selalu memotivasi dan memberi

pengetahuan yang sangat banyak kepada penulis.

8. Penulis sangat berterima kasih kepada teman-teman kos Suci, Ve, Nabila

dan Lela yang bersedia penulis tumpangi kosannya selama waktu

perkuliahan, serta tim kos Upi, Aul dan Wila atas ketersediannya

menampung saya selama satu minggu bahkan lebih di kossannya.

vii

9. Teman-teman KKN 191 MASAJUANG terutama Umi, Asry, Dayat, Dwi,

Lani, Dila, Ana, Didim, Lutfi, Ahmad, Wahyu, Haikal, Fatih, Tian dan

lainnya. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-

teman organisasi lainnya seperti AIESEC dan lainnya yang tidak dapat

disebutkan satu persatu, atas pengetahuan yang diberikan pada penulis.

10. Terima kasih juga saya ucapkan pada tim Biru Marmara Group/MUSIAD

Indonesia, Ust. Doddy Cleveland H.P., Ust. Azhar, Pak Achmal, Pak Riki,

Pak Annas, Mas Furkan, Mba Wulan, Mas Aufar, Mba Awa, Mba Intan,

Mba Lika, Mba Eka, Mas Fatih, Mba Yena, Nisa dan Febi, yang memberi

penulis kesempatan untuk kerja sambil kuliah dan terima kasih untuk

pengertiannya mengizinkan penulis untuk mengikuti kelass dan

menyelesaikan skripsi.

11. Teman-teman baik saya terutama Hayara Khairia, Asry Kaloko, Nunung

Fildayanti, Rahmat Rizki dan Nur Hidayat yang senantiasa menemani

serta memberi motivasi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

12. Mitra ojek online seperti GO-JEK dan GRAB yang senantiasa membantu

mempermudah perjalanan penulis menuju kampus maupun kantor, bahkan

mendo’akan agar urusan perkuliahan penulis mendapat kemudahan.

Penulis berharap bahwa semoga bentuk dukungan dan kebaikan

hati tersebut mendapatkan balasan setimpal dari Allah SWT. Penulis

menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan dan jauh

dari kata sempurna, untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak akan

sangat membantu penulis dalam memperbaiki penelitian skripsi ini.

Penulis berharap skripsi ini dapat memberi manfaat bagi yang

membacanya.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 16 Januari 2020

Hayuningtyas Aneswari Pujantoro

viii

DAFTAR ISI

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI .......................................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI .......................................................................................... ii

ABSTRAK ............................................................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR............................................................................................................................. v

DAFTAR ISI ........................................................................................................................................ viii

DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................................................... xi

DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................................ xii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1

A. Pernyataan Masalah ........................................................................................................................ 1

B. Pertanyaan Penelitian ...................................................................................................................... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................................................... 10

D. Tinjauan Pustaka .......................................................................................................................... 11

E. Kerangka Pemikiran ...................................................................................................................... 14

1. Konsep Organisasi Internasional ................................................................................................ 14

2. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM) ........................................................................................... 21

F. Metode Penelitian ......................................................................................................................... 23

G. Sistematika Penulisan ................................................................................................................... 24

BAB II ASEAN DISABILITY FORUM ............................................................................................. 26

A. Respon ASEAN pada Isu Disabilitas ............................................................................................ 26

B. ASEAN Disability Forum ............................................................................................................. 33

C. Upaya ADF dalam Mempromosikan Hak Kaum Disabilitas di Negara Anggota

ASEAN ............................................................................................................................................. 40

BAB III ISU DISABILITAS ............................................................................................................... 47

A. Respon Masyarakat Internasional terhadap Isu Disabilitas............................................................. 47

1. Isu Disabilitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa ........................................................................... 47

2. Isu Disabilitas di Asia Tenggara................................................................................................. 52

B. Isu Disabilitas di Indonesia ........................................................................................................... 54

ix

C. Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Aksesibilitas Pendidikan Kaum Disabilitas

2016-2018 ......................................................................................................................................... 60

BAB IV PERAN ASEAN DISABILITY FORUM DALAM PENGADVOKASIAN

AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-2018 ........................ 65

A. Peran ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di

Indonesia 2016-2018 ......................................................................................................................... 65

1. Peran ADF sebagai Arena Organisasi Internasional dalam Pengadvokasian Akses

Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018 ............................................................ 65

2. Peran ADF sebagai Instrumen Organisasi Internasional dalam Pengadvokasian

Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018 .................................................. 71

3. Peran ADF sebagai Aktor Independen Organisasi Internasional dalam

Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018 ........................ 75

B. Hambatan ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas ......................... 77

1. Kurangnya Perhatian Mengenai Isu Disabilitas di Indonesia....................................................... 77

2. Kurangnya Peran ADF di ASEAN dan Media Sosial ................................................................. 80

BAB V PENUTUP ............................................................................................................................... 88

A. Kesimpulan .................................................................................................................................. 88

B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya ................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... xix

LAMPIRAN ...................................................................................................................................... xxvi

x

DAFTAR GRAFIK

Grafik III. 1. Jenis Perundang-undangan Disabilitas di Indonesia ....................... 57

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Teks Wawancara .......................................................................... xxvi

Lampiran 2 Teks Wawancara ........................................................................ xxxix

xii

DAFTAR SINGKATAN

ACWC ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights

of Women and Children

ADF Asean Disability Forum

AEC ASEAN Economic Community

AHRD ASEAN Human Rights Declaration

AICHR The ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights

APF ASEAN People’s Forum

APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

APSC ASEAN Political Security Community

ASCC ASEAN Socio Cultural Community

ASCCO Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security

Community

ASEAN Association of Southeast Asian Nations

ASN Aparatur Sipil Negara

BPJS Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

BPS Badan Pusat Statistik

CRPD Convention on the Rights of Persons with Disabilities

CEDAW The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination

against Women

CBR Community-Based Rehabilitation

CRC UN Convention on the Rights of of the Child

CSO Civil Society Organization

CAT Computer Assisted Test

Dikti Pendidikan Tinggi

DPA Disabled Peoples’ Association

DPI Disabled Peoples’ Institution

xiii

DPO Disabled People Organization

DPIAP Disabled Peoples’ International Asia-Pacific

DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

FEB Fakultas Ekonomi dan Bisnis

FGD Focus Group Discussion

FKPCTI Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat Tubuh Indonesia

FNKDI Federasi Nasional Kesejahteraan Disabilitas Intelektual

FNKTRI Federasi Nasional Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia

GERKATIN Gerakan Kaum Tuli Indonesia

GO Governmental Organization

GPK Guru Pendamping Khusus

HAM Hak Asasi Manusia

HDI Hari Disabilitas Internasional

HWDI Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia

ICJ International Court of Justice

IGO International Governmental Organization

INGO International Non-Governmental Organization

ILO International Labour Organization

IPTEK Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Kemensos Kementerian Sosial

Kemlu Kementerian Luar Negeri

Kemnaker Kementerian Ketenagakerjaan

KIA Kartu Identitas Anak

Komnas Komisi Nasional

KPD Kartu Penyandang Disabilitas

KTP Kartu Tanda Penduduk

KTT Konferensi Tingkat Tinggi

xiv

LPEM Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat

Monas Monumen Nasional

MDG Millenium Development Goals

NGO Non-governmental Organization

NKRI Negara Kesatuan Republik Indonesia

OECD Organisation for Economic Cooperation and Development

OHANA Organisasi Harapan Nusantara

OIC Organization of Islamic Cooperation

OOSCY ASEAN Declaration on Strengthening Education for Out-of-School

Children and Youth

OPEC The Organization of the Petroleum Exporting Countries

OPD Organisasi Penyandang Disabilitas

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

Perbara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara

Permensos Peraturan Menteri Sosial

Pokja UU Kelompok Kerja Undang-undang

PP Peraturan Pemerintah

PPCI Persatuan Penyandang Cacat Indonesia

PPDI Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia

PUSDATIN Pusat Data dan Informasi

Riskesdas Riset Kesehatan Dasar

Ristekdikti Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi

RIPID Rencana Induk Pembangunan Inklusif Disabilitas

RPP Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional

SD Sekolah Dasar

SDG Sustainable Development Goals

xv

SIM Surat Izin Mengemudi

SKPD Satuan Kerja Perangkat Daerah

SLB Sekolah Luar Biasa

SMA Sekolah Menengah Atas

SNMPTN Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri

SOMSWD Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development

STNK Surat Tanda Nomor Kendaraan

UIN Universitas Islam Negeri

UNESCAP United Nations Economic and Social Commission for Asia and the

Pacific

UNESCO United Nations Economic and Social Council

UKM Usaha Kecil dan Menengah

UNMUL Universitas Mulawarman

UPIAS Union of the Physically Impaired against Sagregation

UU Undang-undang

UUD Undang-undang Dasar

WHO World Health Organization

YAI Yayasan Autisma Indonesia

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Konsep keamanan internasional pasca Perang Dingin kini tidak sekedar

meliputi perang, militer, dan negara sebagai aktor utamanya. Saat ini, konsep

keamanan juga berkonsentrasi pada dimensi non-tradisional. Keamanan non-

tradisional tersebut berputar pada masyarakat dimana kelangsungan sosial-

ekonomi menjadi perhatian utama. Konsep keamanan non-tradisional ini juga

didefinisikan sebagai konsep human security.1 Dalam laporan The United Nations

Human Development Report tahun 1990, Mahbub ul-Haq menyatakan bahwa

proses pembangunan seharusnya lebih fokus kepada manusia daripada sekedar

keamanan batas negara, dan juga fokus kepada peningkatan taraf kesehatan,

pendidikan, dan kebebasan politik.2 Dengan hadirnya konsep human security, isu-

isu konvensional seperti hak asasi manusia, kesehatan, pendidikan, dan

lingkungan, mulai mendapat perhatian lebih dari komunitas internasional.

Meskipun isu-isu non-konvensional kini marak menjadi perhatian berbagai negara,

isu disabilitas masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat internasional dan

tidak terlalu terdengar apabila dibandingkan isu-isu minoritas lainnya seperti isu

buruh migran, maupun isu perempuan.

1 “Traditional and Non-traditional Issues in Foreign Policy”, Shodhganga Indian Electronic Thesis & Dissertations, 22 http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/29666/9/09_chapter%202.pdf diakses pada 21 Oktober 2018. 2 Gary King dan Christopher J.L. Murray, 2013, Rethinking Human Security, Political Science Quarterly, 587. https://doi.org/10.2307/798222

2

Dalam merespon isu non-konvensional serta mempererat integrasi antar

kesepuluh negara di Asia Tenggara, pada akhir 2015, ASEAN membentuk tiga

pilar utama pembangunan kawasan, yakni APSC (ASEAN Political Security

Community), AEC (ASEAN Economic Community), dan ASCC (ASEAN Socio

Cultural Community). Pada pilar ASCC, salah satu dari 18 sektor yang

diprioritaskan dalam blueprint pilar tersebut adalah sektor pembangunan dan

kesejahteraan sosial yang mana kerjasama dalam sektor tersebut difokuskan pada

pemenuhan hak dan akses yang setara bagi kelompok rentan (vulnerable groups)

seperti wanita, anak-anak, lansia, dan kaum penyandang disabilitas. 3 Bali

Declaration on the Enhancement of the Role and Participation of the Persons

with Disabilities in ASEAN Community merupakan salah satu bentuk

implementasi kerangka kebijakan dalam sektor pembangunan dan kesejahteraan

sosial yang tertera pada blueprint ASCC. Deklarasi tersebut dibuat sebagai bukti

nyata keseriusan ke-10 negara anggota ASEAN termasuk Indonesia, dalam

menjamin pemenuhan hak-hak dasar kaum penyandang disabilitas di Asia

Tenggara sebagai salah satu anggota vulnerable groups yang kerap menjadi objek

diskriminasi sosial.4

3 ASEAN 2012 dikutip dalam Alkadrie, Jafar Fikri dan Jeniar Mooy, 2016, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, Dinamika Global Volume 01 No. 2, 59. 4 ASEAN 2011 dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 60.

3

Menurut World Health Organization (WHO), disabilitas merupakan istilah

bersama untuk mendefinisikan keterbatasan meliputi gangguan, keterbatasan

aktivitas, dan keterbatasan partisipasi. Gangguan didefinisikan sebagai masalah

dalam fungsi atau struktur tubuh; Keterbatasan aktivitas adalah kesulitan yang

dihadapi oleh individu dalam melaksanakan tugas atau tindakan; sementara

keterbatasan partisipasi adalah masalah yang dialami oleh seorang individu yang

terlibat dalam situasi kehidupan. Namun demikian, penyandang disabilitas

memiliki kebutuhan kesehatan yang sama dengan orang yang tidak cacat – untuk

imunisasi, skrining kanker, dan lain-lain.5 Indonesia sendiri juga memiliki definisi

penyandang disabilitas yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 2016,

yang mendefinisikan disabilitas sebagai setiap orang yang mengalami

keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama

yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan

kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara

lainnya berdasarkan kesamaan hak.6

Lebih dari satu milyar orang, hidup dengan disabilitas atau sekitar 15%

populasi masyarakat dunia, data nominal tersebut berdasarkan hasil pengukuran

populasi global 2010. Angka ini lebih tinggi dari perhitungan WHO pada tahun

1970an yang menghitung sebesar 10%.7 Berdasarkan ESCAP Disability Survey

2015, New Zealand berada diposisi paling atas, dengan angka populasi kaum

5 WHO, World Health Organization: Disabilities. http://www.who.int/topics/disabilities/en/ diakses pada 21 Oktober 2018 6 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. http://pug-pupr.pu.go.id/_uploads/PP/UU.%20No.%208%20Th.%202016.pdf diakses pada 21 Oktober 2018 7 WHO, WHO Disability Survey, 2011, 7. http://www.who.int/disabilities/world_report/2011/report/en/ diakses pada 21 Oktober 2018.

4

disabilitas dari seluruh negara sebesar 24%, peringkat kedua ditempati oleh

Australia dengan 10,5%. Pada kawasan Asia Tenggara, Vietnam menempati

peringkat teratas dengan angka 7,8%. Timor Leste berada pada urutan kedua

sebesar 4,6%, Singapura 3,0%, Indonesia 2,5%, Myanmar 2,3%, Thailand 2,2%,

Kamboja 2,1%, Brunei Darussalam 1,9%, Filipina 1,6%, Malaysia 1,3%, dan

Laos 1,0%.8 Dilihat dari survei tersebut, dapat disimpulkan bahwa, Indonesia

berada pada urutan ke-3 negara dengan kaum disabilitas terbanyak untuk negara

anggota ASEAN.9

ASEAN Disability Forum (ADF) merupakan badan kolektif regional untuk

organisasi kaum disabilitas yang dibentuk pada 2011 dan merepresentasikan

seluruh anggota ASEAN, seperti Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia,

Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Forum ini merupakan

platform kaum disabilitas dan multi-stakeholders untuk mempromosikan dan

mengimplementasikan the ASEAN Decade of Persons with Disabilities 2011-2020.

Sekretariat ADF berlokasi di Jakarta, Indonesia. ADF bekerja dalam seluruh area,

terutama pengembangan kapasitas kaum disabilitas dan membentuk ASEAN yang

lebih adil dan inklusif. Fokus ADF diutamakan untuk mendukung formulasi

kebijakan disabilitas yang inklusif dan implementasinya di wilayah Asia Tenggara.

8 ESCAP Disability Survey 2015 dikutip dalam United Nations ESCAP (Economic and Social Commissions for Asia and the Pacific, Disability at Glance 2015: Strengthening Employment Prospects for Persons with Disabilities in Asia and the Pacific, 4. https://www.unescap.org/sites/default/files/SDD%20Disability%20Glance%202015_Final.pdf diakses pada 21 Oktober 2018. 9 ESCAP Disability Survey 2015 dikutip dalam Disability at Glance 2015, 4.

5

Setiap tahunnya, ADF mengorganisir konferensi guna meningkatkan kesadaran

dan isu kaum disabilitas di Asia Tenggara.10

ADF memiliki misi untuk menyatukan kaum disabilitas di wilayah

ASEAN guna mempercepat realisasi Convention on the Rights of Persons with

Disabilities (CRPD), dengan meningkatkan kesadaran mengenai hak kaum

disabilitas sebagai isu hak asasi manusia (HAM). Mendukung pengembangan

kebijakan dan advokasi yang berbasis nyata mengenai disabilitas dan

pengembangan inklusif dari perspektif hak asasi manusia; Advokasi pemerintahan

negara-negara ASEAN yang strategis, media, pelaku bisnis, non-governmental

organizations (NGOs) dan pemangku kepentingan lainnya dalam multi CRPD,

disabilitas, dan pembangunan.11

Meskipun ADF memiliki misi untuk meningkatkan kesadaran hak kaum

disabilitas, hal ini dinilai belum maksimal. Pasalnya, masih banyak penyandang

disabilitas yang belum bisa mendapatkan akses terhadap hak-hak fundamentalnya,

seperti kehidupan dan pekerjaan yang layak serta pengakuan dari lingkungan

sosialnya.12 Taraf hidup para penyandang disabilitas pun masih terbilang rendah,

hal ini disebabkan oleh keterbatasan dalam mendapatkan akses pendidikan yang

memadai terutama hingga ke perguruan tinggi meskipun telah dijamin dalam

Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945. Kurangnya infrastruktur pendukung,

10 ASEAN Disability Forum, 2014, The 4th ASEAN Disability Forum Report. https://www.themimu.info/sites/themimu.info/files/documents/Report_ASEAN_Disability_Forum_2014.pdf diakses pada 21 Oktober 2018. 11 ASEAN Disability Forum, ASEAN Disability Forum. http://aseandisabilityforum.org/digaleri/ diakses 18 April 2019 12 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 60.

6

perhatian pemerintah, dan pemahaman masyarakat akan potensi kaum disabilitas

di Indonesia menjadi hambatan akses pendidikan untuk kaum disabilitas. ADF

sebagai satu-satunya forum disabilitas untuk negara ASEAN, membutuhkan

langkah kongkrit serta aplikatif yang akan membantu mengoptimalkan perbaikan

kehidupan khususnya akses terhadap pendidikan bagi kaum disabilitas di Asia

Tenggara.13

Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik 2016 menunjukkan,

dari 4,6 juta anak yang tidak menempuh pendidikan formal, satu juta diantaranya

adalah anak-anak berkebutuhan khusus. 14 Selama ini, penyelenggaraan

pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus atau anak dengan disabilitas

lebih banyak dilakukan di satuan pendidikan khusus atau Sekolah Luar Biasa

(SLB). Padahal, tidak semua daerah di Indonesia memiliki SLB. Data

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, dari total 514

kabupaten/kota di Indonesia, 62 di antaranya tidak memiiki SLB. Selain itu, hanya

1,6 juta atau sekitar 10% anak berkebutuhan khusus di Indonesia yang bersekolah

di SLB15 dan baru 18% yang mendapatkan layanan pendidikan inklusi.16 Project

Manager Yayasan Sayangi Tunas Cilik Wiwied Triesnadi menyatakan ada

beberapa penyebab yang melatari persoalan tersebut. Sekitar 2.000 SLB yang ada

13 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 60. 14 Olyvia Filani, “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”, 2017, CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170829083026-20-237997/satu-juta-anak-berkebutuhan-khusus-tak-bisa-sekolah diakses pada 21 Oktober 2018 15 Filani, “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”. 16 Kementerian dan Kebudayaan RI, 2017, Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB Dukung Pendidikan Inklusi. https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi diakses pada 21 Oktober 2018.

7

di Indonesia, 75% merupakan SLB swasta yang menarik biaya lebih mahal. Selain

itu, penyebaran SLB menurut Triesnadi juga sangat terbatas. Lokasi SLB pada

umumnya berada di daerah perkotaan. Hal ini berdampak pada akses pendidikan

bagi anak berkebutuhan khusus.17

Pada praktiknya, ADF banyak memfasilitasi pertemuan-pertemuan formal,

seminar maupun diskusi yang dilakukan dalam ruangan tertutup dengan konsep

yang formal untuk membahas hak-hak kaum penyandang disabilitas dalam

melaksanakan fungsinya. 18 Namun, program-program tersebut terasa belum

maksimal dalam memperjuangkan HAM penyandang disabilitas dikarenakan

sifatnya yang terkesan sangat kaku dan formal. Selain itu, program-program yang

dicanangkan ADF masih terbatas pada mekanisme government to government

sehingga pencapaian kerjanya masih terbatas pada berbagi informasi, pengetahuan,

serta diskusi-diskusi terkait berbagai kendala yang dihadapi dalam proses

pemenuhan hak-hak dasar kaum disabilitas di negara anggota ASEAN.19

ADF belum pernah secara langsung menginisiasi suatu langkah strategis

yang bersifat solutif dan dapat ditempuh negara-negara ASEAN guna

meningkatkan kesadaran masyarakatnya. Seharusnya, suatu institusi dapat

memberikan serangkaian manfaat bagi negara anggotanya. ASEAN tidak hanya

berperan memfasilitasi pertemuan dan pertukaran antar negara di kawasan Asia

17 Filani, “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”. 18 Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69. 19 Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, 2016, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69.

8

Tenggara, lebih dari itu, diharuskan mampu berkontribusi dalam pemenuhan hak-

hak seluruh masyarakat ASEAN termasuk kelompok yang termarginalkan seperti

kaum penyandang disabilitas. Namun, realita di lapangan menunjukkan

pembentukan serta upaya ADF dirasa belum menghasilkan dampak yang

signifikan terhadap perbaikan taraf hidup kelompok disabilitas. Kegiatan serta

program yang dilakukan ADF masih cenderung mengarah pada kegiatan formal

dengan mekanisme top-bottom yang bertujuan untuk meningkatkan penyadaran

akan pentingnya pemenuhan hak-hak dasar kaum penyandang disabilitas. 20

Mekanisme top-bottom ini tidak selalu berjalan lancar. Hal tersebut dikarenakan

para stakeholder belum mampu menyebarluaskan nilai-nilai yang telah

didiskusikan dalam ADF karena berbagai kendala, salah satunya ialah pemerintah

masih cenderung fokus pada isu-isu dalam negeri yang dianggap lebih vital

seperti permasalahan ekonomi dan kestabilan politik.21

Maka, untuk mengetahui peran ADF dalam pengadvokasian akses

pendidikan bagi kaum disabilitas di Indonesia, dalam penelitian ini akan dibahas

dengan judul: “Peran ASEAN Disability Forum dalam Pengadvokasian Akses

Pendidikan bagi kaum Disabilitas di Indonesia 2016-2018”. Isu akses pendidikan

bagi kaum disabilitas dipilih karena telah menjadi isu internasional, namun,

kurang disorot dunia internasional itu sendiri, termasuk ASEAN. Selain itu, ADF

sebagai organisasi internasional dipilih karena secara khusus karena

20 ASEAN Disability Forum dikutip dalam Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, 2016, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69. 21 Disabled Peoples’ International-Asia Pacific/DPI-AP Region dikutip dalam Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 69.

9

merepresentatifkan kaum disabilitas serta organisasi yang berfokus pada bidang

tersebut di ASEAN. Riset ini juga berfokus pada metode pengadvokasian ADF

dikarenakan cara tersebut menjadi cara utama ADF untuk membantu kaum

disabilitas memperoleh hak pendidikannya.

B. Pertanyaan Penelitian

Dari penjelasan mengenai latar belakang permasalahan akses pendidikan

di Indonesia pada 2016-2018 masih sulit didapatkan oleh kaum disabilitas. Hal

tersebut menunjukkan bahwa ADF dalam menjalankan fungsinya sebagai

Organisasi Internasional guna memenuhi HAM bagi masyarakat dengan

disabilitas masih belum optimal dan efektif. Adapun pertanyaan penelitian dalam

penelitian ini yaitu:

Bagaimana peran ASEAN Disability Forum dalam pengadvokasian akses

pendidikan bagi kaum disabilitas di Indonesia periode 2016-2018?

Periode 2016-2018 ditentukan karena The Task Force on the

Mainstreaming of the Rights of Persons with Disabilities in the ASEAN

Community (Task Force) yang diinisiatifkan oleh ADF sebagai badan gabungan

dan antar pilar yang beranggotakan perwakilan dari The ASEAN

Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), sepuluh pemimpin

Senior Officials Meeting on Social Welfare and Development (SOMSWD), dan

dua representatif dari the ASEAN Commission on the Promotion and Protection of

the Rights of Women and Children (ACWC) memiliki mandat untuk

mencanangkan pembentukan Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the

10

Rights of Persons with Disabilities22 pada 201623 sebagai acuan negara anggota

ASEAN agar menjadi wilayah yang disabled-people friendly, dan baru

direalisasikan pada 15 November 2018. 24 Dengan adanya Masterplan ini

diharapkan ADF telah atau memiliki langkah-langkah yang signifikan dalam

pengadvokasian guna membantu peningkatan akses pendidikan kaum penyandang

disabilitas di ASEAN, terutama di Indonesia.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendiskripsikan permasalahan akses pendidikan bagi kaum disabilitas

khususnya di Indonesia

2. Mengetahui bagaimana kebijakan ASEAN Disability Forum sebagai badan

regional khusus mengarustamakan isu disabilitas dengan cara pengadvokasian

akses pendidikan kaum disabilitas di Indonesia.

3. Mengidentifikasi hambatan-hambatan yang terjadi pada ASEAN Disability

Forum dalam pengupayaannya mengadvokasikan akses pendidikan kaum

disabilitas di Indonesia.

22 ASEAN, 2016, ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities Adopted at the 33rd ASEAN Summit, 3. 23 ASEAN, 2016, First Meeting of the Task Force on the Mainstreaming of the Rights of Persons with Disabilities in the ASEAN Community, 5-6 December 2016, Bangkok, Thailand. https://asean.org/8th-meeting-task-force-mainstreaming-rights-persons-disabilities-asean-community-14-15-september-2018-bangkok-thailand/ diakses 1 Maret 2019. 24 Election Access, “ASEAN Launches Disability Mainstreaming Materplan”, 2018, electionaccess.org, http://electionaccess.org/en/media/news/80/ diakses 1 Maret 2019

11

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Memberikan pengaruh yang signifikan terhadap khazanah penelitian

selanjutnya terkait isu hak asasi kaum disabilitas.

2. Memberikan wawasan tambahan bagi akademisi maupun masyarakat awam

mengenai isu disabilitas serta bagaimana suatu organisasi atau badan internasional

berupaya menyelesaikan masalah tersebut.

3. Mampu menjadi bahan acuan maupun perbandingan bagi penelitian yang akan

datang.

D. Tinjauan Pustaka

Terdapat studi terdahulu untuk mencari informasi mengenai isu

peningkatan akses pendidikan untuk kaum disabilitas. Dalam upaya menganalisa

poin pertanyaan skripsi ini, penelitian ini merujuk pada beberapa penelitian terkait.

Diharapkan, dengan merujuk pada penelitian sebelumnya, skripsi ini mampu

melengkapi penelitian yang telah ada. Pertama, artikel berjudul Optimalisasi

Peran ASEAN Disability Forum (ADF) dan Akses Pendidikan bagi Kaum

Penyandang Disabilitas ditulis oleh Jafar Fikri Alkadrie dan Jeniar Mooy. Artikel

tersebut membahas mengenai kondisi pendidikan kaum disabilitas di negara

anggota ASEAN serta peran dan performa ADF juga kontribusinya pada kaum

disabilitas di Asia Tenggara.

Kedua penulis tersebut menjabarkan kondisi lapangan, hambatan serta

memberikan masukan aksi yang dapat mengoptimalkan program ADF sesuai

12

dengan tujuan organisasi tersebut. Menurut mereka, tugas ADF masih terbilang

sangat terlimitasi, karena organisasi ini hanya memberikan masukan atau sebagai

advokasi antara kaum disabilitas dengan pemangku jabatan guna merumuskan

kebijakan yang berkaitan dengan kaum disabilitas. Alkadrie dan Mooy kemudian

memberikan masukan berupa sistem bottom-top guna mengoptimalkan kinerja

ADF, sehingga tidak hanya berfokus pada tingkat elit.

Persamaan penelitian ini dengan artikel tersebut terletak pada isu yang

dikaji yakni pendidikan bagi kaum disabilitas dan bagaimana peran ASEAN

Disability Forum. Perbedaannya adalah artikel tersebut mengobservasi hambatan

ADF dalam mengoptimalkan programnya pada masa organisasi tersebut baru

terbentuk yaitu 2011 serta memberikan gambaran umum kinerja ADF di seluruh

negara anggota ASEAN. Selain itu, penelitian Alkadrie dan Mooy tidak berfokus

pada suatu metode khusus ADF dalam menangani isu disabilitas, sedangkan

penelitian ini berfokus pada metode advokasi ADF untuk menjamin hak kaum

disabilitas. Perbedaan lainnya terletak pada tahun penelitian, yakni ditetapkan

pada 2016-2018 dimana pada tahun tersebut ASEAN mulai merencanakan dan

meresmikan pembentukan Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights

of Persons with Disabilities.

Kedua, artikel berjudul Pengaruh ASEAN Disability Forum Terhadap

Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia ditulis oleh

Demeiati Nur Kusumaningrum, Olivia Afina, Riska Amalia Agustin, dan Mega

Herwiandini. Penelitian tersebut berfokus pada bagaimana ADF menyelesaikan

permasalahan kesempatan kerja bagi kaum disabilitas guna meningkatkan taraf

13

hidup mereka. Persamaan artikel tersebut dengan penelitian in adalah negara dan

organisasi yang dikaji, yaitu Indonesia dan ASEAN Disability Forum. Sedangkan

perbedaannya terletak pada isu yang dikaji, artikel yang ditulis Kusumaningrum

dkk. berfokus pada pengembangan ekonomi dan kesempatan kerja untuk kaum

disabilitas. Penelitian ini mengkaji peran ADF dalam pengadvokasian akses

pendidikan kaum disabilitas guna mengoptimalkan penyeteraan hak asasi manusia

untuk kelompok marginal tersebut.

Selain kedua artikel tersebut, penelitian ini juga menggunakan skripsi yang

telah ada guna menunjang penelitiannya. Skripsi berjudul “Pengaruh CRPD

(Convention on the Right of Person with Disabilities) terhadap Pemenuhan Hak-

Hak Kaum Disabilitas di Indonesia” disusun oleh Dian Sugiarti, mahasiswi

Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2014.

Penelitiannya dibatasi pada bagaimana Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang

Disabilitas memenuhi hak dasar kaum disabilitas dengan fokus negara di

Indonesia. Persamaan penelitian Dian dengan penelitian ini terletak pada isu serta

negara yang menjadi fokus penelitian, yaitu isu disabilitas atau disabilitas dan

Indonesia. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek yang menjadi fokus

kajian. Penelitian Dian mengkaji aspek bagaiamana Konvensi mengenai Hak-Hak

Penyandang Disabilitas atau CRPD membantu pemenuhan hak dasar kaum

disabilitas agar setara dengan non-disabilitas di Indonesia. Sedangkan penelitian

ini mengkaji bagaimana organisasi kaum disabilitas tingkat regional, yaitu ASEAN

Disability Forum melakukan advokasi guna membantu hak untuk memperoleh

pendidikan yang layak dan setara bagi kaum disabilitas di Indonesia.

14

E. Kerangka Pemikiran

1. Konsep Organisasi Internasional

Konsep komunitas negara-negara yang damai telah dicetuskan pada tahun

1795, dalam Perpetual Peace: A Philosophical Sketch karya Immanuel Kant.

Kant memberikan ide liga bangsa-bangsa guna mengkontrol konflik serta

mempromosikan perdamaian antar negara. 25 Kant mengungkapkan konsepnya

tersebut merupakan upaya pembentukan komunitas dunia yang damai, bukan

pembentukan pemerintahan global, tujuannya adalah agar tiap negara yang

merdeka menghormati warga-warganya serta dapat menerima warga asing sebagai

sesama manusia. Hal tersebut kemudian dapat mempromosikan perdamaian

masyarakat dunia. Kerjasama internasional guna mempromosikan keamanan yang

kolektif dimulai pada Diplomasi 1815-1914 (Concert of Europe) yang kemudian

berkembang setelah Perang Napoleon dengan usaha untuk menjaga status quo

antar negara-negara Eropa serta untuk menghindari perang.26

Perang Napoleon yang menghasilkan Kongres Wina 1814-1815

merupakan awal mula berkembangnya organisasi internasional, kemudian

semakin berkembang saat berakhirnya Perang Dunia II dan Perang Dingin

ditandai dengan pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Saat ini, organisasi

internasional mengalami perkembangan yang signifikan karena meningkatkanya

kesadaran antar negara akan perlunya interdependensi untuk menyelesaikan

25 Immanuel Kant, 1795, Perpetual Peace: A Philosophical Sketch. https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/kant/kant1.htm diakses pada 1 Maret 2019 26 Hillel Rapoport, “Coordination, Altruism and Under-Development”, KYKLOS International Review for Social Sciences Vol. 48 – 1995 – Fasc. 3, 389-407.

15

permasalahan non-konvensional seperti perkembangan dan krisis ekonomi,

pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan, dan lainnya.27

Organisasi Internasional atau lebih spesifiknya adalah International

Governmental Organization (IGO) merupakan sebuah institusi transnasional yang

memiliki peraturan resmi serta beranggotakan tiga negara atau lebih. Organisasi

internasional memiliki karakteristik aturan yang berfungsi untuk mengatur

hubungan antar negara anggotanya dengan badan-badan resmi yang menjelaskan

serta mengawasi aturan tersebut.28 Tidak hanya IGO, terdapat juga bentuk lain

dari organisasi internasional, yakni INGO (International Non-Governmental

Organization). Perbedaan keduanya terletak pada aktor dalam organisasinya. Pada

IGO, keanggotaan organisasi terbuka hanya untuk negara-negara, dimana otoritas

pengambilan keputusan diserahkan pada perwakilan dari negara-negara tersebut.

Contoh IGO meliputi PBB, OPEC, OIC, ASEAN, Liga Arab, dan lainnya. 29

Sedangkan INGO merupakan organisasi internasional yang keanggotaannya tidak

berasal dari negara, melainkan individu. Contoh INGO dapat dilihat pada

Greenpeace dan Amnesty International.30

Dalam bukunya International Organization: Principals and Issues, A.

Lerroy Benett menyatakan bahwa fungsi utama organisasi internasional adalah

27 Andrew Heywood, 2011, Global Politics: Chapter 18, International Organization and the United Nation, United States: Palgrave Macmillan, 432-435. 28Beth. A. Simmons dan Martin Lisa L., 2002, International Organization and Institution in Walter Carlsnaes, Thomas Risse and Beth A. Simmons, Handbook of international Relations, SAGE Publications, 256-261. 29 Clive Archer, 2011, International Organizations, London: Rouledge, 63. 30 Clive Archer, International Organizations, 63.

16

sebagai platform atau sarana kerjasama antar negara. 31 Dengan kata lain,

organisasi internasional merupakan wadah berkumpulnya berbagai entitas untuk

kemudian saling bekerjasama. Wadah tersebut memiliki struktur formal yang

dibentuk berdasarkan kesepakatan para anggotanya, baik negara maupun non-

negara, minimal dua atau lebih yang memiliki tujuan dan kepentingan yang sama.

Bennett juga menyatakan bahwa tujuan sebuah organisasi adalah

mengkoordinasikan berbagai kegiatan. Sedangkan metode organisasi adalah

melangsungkan koordinasi secara rutin dengan membagi tugas dan tugas khusus.

Koordinasi dapat dijalankan secara formal dengan struktur resmi dan aparat

lembaga, maupun secara informal dengan melibatkan sistem praktik yang tidak

tertulis, dimana tiap unit dalam sistem tersebut memiliki peranan yang berbeda

seperti menjadi pemimpin atau yang dipimpin.32

Lebih detil, Harold K. Jacobson menjabarkan bahwa terdapat beberapa

fungsi organisasi internasional, yakni:33

a. Fungsi Informasi, yakni organisasi internasional berfungsi menyediakan

informasi, mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data, serta

membantu menyebarluaskan informasi melalui penyelenggaraan forum dimana

tiap individu dapat bertukar pikiran.

31 A. Lerroy Bennett, 1995, International Organization: Principals and Issues. New Jersey University of Delaware Englewood Cliffs: New Jersey-Prentice Hall, 2-3. 32 Benett, 1995, International Organization: Principals and Issues, 2-3. 33 Harold K. Jacobson, 1979, Networks of Interdependence International Organizations and the Global Political System Second Edition, (New York: Alfred A. Knopf, Inc.m), 82-83.

17

b. Fungsi Normatif, yaitu organisasi internasional mengadopsi prinsip-

prinsip dari sebuah deklarasi. Fungsi ini bersifat tidak mengikat, namun

berpengaruh dalam penentuan kebijakan.

c. Fungsi Operasional, adalah penggunaan sumber daya dalam organisasi

internasional, misalnya membantu keuangan dan teknis bagi masyarakat.

d. Fungsi role-supervisory, meliputi pengambilan tindakan guna menjamin

berjalannya peraturan oleh para aktor internasisonal. Terdapat beberapa langkah

dalam fungsi ini, yaitu penyusunan fakta-fakta terhadap pelanggaran yang

dilakukan, kemudian verifikasi fakta guna pembebanan saksi.

Peran organisasi internasional meliputi instrumen atau alat, arena dan

aktor. Sebagai instrumen, organisasi internasional memiliki mekanisme dimana

negara dapat memenuhi kepentingan nasionalnya serta menjadi alat diplomasinya.

Hal tersebut dapat dilihat pada IGO, dimana negara memiliki kekuatan untuk

melimitasi tindakan independen oleh organisasi internasional. 34 Pada saat

organisasi internasional dibentuk, perjanjian antar negara juga tercapai. Perjanjian

tersebut terbentuk dalam institusional dan berguna untuk berbagai aksi dan

kebijakan negara dalam menangani suatu bidang. Organisasi internasional

menjadi penting guna merealisasikan kepentingan nasional suatu negara. Hal

tersebut dikarenakan koordinasi multirateral merupakan tujuan nyata tiap negara

serta berkesinambungan dengan pemerintahan nasionalnya. Namun demikian,

organisasi internasional juga memiliki kekurangan yakni sangat memungkinkan

34 Archer, International Organizations, 69.

18

terjadinya pertikaian antar negara anggota yang memiliki kekuatan untuk

mendominasi organisasi tersebut, yang akhirnya melimitasi tindakan independen

organisasi.35

Sebagai arena, institusi bertindak sebagai forum yang memfasilitasi

pembahasan dan pertukaran informasi serta berperan sebagai lembaga permanen

dalam pertemuan-pertemuan diplomatik. 36 Menurut Stanley Hoffman, sebagai

sebuah arena, organisasi internasional digunakan tidak hanya untuk berkompetisi

mengutarakan pendapat tiap kelompok atau negara, namun juga untuk melakukan

diplomasi sesuai kepentingan nasionalnya. Selain itu, secara tradisional,

organisasi internasional juga membuka kesempatan dalam peningkatan sudut

pandang serta saran dari tiap negara anggotanya pada forum publik dan lebih

terbuka jika dibandingkan dengan kerjasama diplomatik. Salah satu bentuk nyata

organisasi internasional dapat dilihat pada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa, jika negara anggota organisasi tersebut ingin bernegosiasi, setuju atau

tidak setuju pada suatu isu, mereka dapat melakukannya dalam tingkat bilateral

maupun multilateral. Mereka dapat mengatur pertemuan ad hoc sesuai tujuan

negara mereka. Pertama, mereka harus setuju pada waktu, tempat, protokol,

hingga bentuk meja pertemuannya dan dimana saja para delegasi akan duduk.

Mereka juga harus memutuskan agenda pertemuan, metode pengambilan suara

(voting), serta peraturan negosiasi.37

35 Archer, International Organizations, 73-74. 36 Archer, International Organizations, 73-74. 37 Archer, International Organizations, 78.

19

Sedangkan sebagai aktor independen, organisasi internasional

memungkinkan negara mengambil tindakan berdasarkan keputusan bersama

untuk menyelesaikan suatu persoalan. Namun, tidak hanya negara, organisasi

internasional juga memungkinkan menjadi aktor independen. Viotti dan Kauppi

mengemukakan bahwa dalam isu-isu tertentu, OI dapat berperan sebagai aktor

yang independen dengak hak-haknya sendiri. OI memiliki peranan penting dalam

mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan yang timbul dari

adanya keputusan-keputusan yang dibuat oleh negara-negara.38 Arnold Wolfers

beranggapan terdapat cukup bukti bahkan pada awal era 1960an bahwa terdapat

sejumlah entitas non-negara, termasuk organisasi internasional, yang dapat

memengaruhi dunia internasional. Ketika hal tersebut terjadi, entitas-entitas itu

menjadi aktor dalam arena internasional serta saingan negara-negara.39 Salah satu

contoh nyata organisasi internasional dapat menjadi aktor independen terlihat

pada the International Court of Justice (ICJ). Struktur ICJ menghalangi intervensi

apapun dalam melaksanakan tanggungjawabnya. Selain itu, hakim-hakim yang

ditunjuk oleh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), meskipun

berasal dari berbagai negara dengan peraturan nasional yang berbeda-beda, namun

mereka bukanlah perwakilan masing-masing negaranya. Keputusan para hakim

diambil secara independen, tidak berdasarkan instruksi negara asalnya, dan setiap

38 Viotti dan Kauppi , 1990, International Relations Theory, 28 dikutip dalam Hardi, Rendi. BAB II Tinjauan Pustaka. Bandung: Universitas Komputer Indonesia, 42 https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=94576 diakses pada 23 September 2019 39 Archer, International Organizations, 79.

20

kasus diputuskan sesuai standar hukum internasional, tanpa campur tangan hukum

nasional.40

Dalam buku International Organizations karya Clive Archer, Organisasi

Internasional tidak luput dari hambatan, kendala tersebut meliputi anggaran yang

berkurang, birokrasi yang tidak efisien, dan gangguan nasional yang lebih besar.41

Dalam menjalankan programnya, organisasi internasional membutuhkan dana.

Namun, realita di lapangan menunjukkan anggaran tersebut belum sepenuhnya

dapat terimplementasikan karena berbagai faktor seperti prioritas isu, krisis

keuangan, maupun bencana alam atau perang. Hambatan lainnya adalah birokrasi

yang tidak efisien. Dalam menjalin kerjasama dengan negara-negara di seluruh

dunia, organisasi internasional tidak sedikit menghadapi negara yang birokrasinya

sulit sehingga bantuan atau program yang diberikan belum efisien seperti tidak

kooperatifnya negara tersebut dalam merespon program dari organisasi

internasional ditunjukkan dengan penolakan bantuan dan penghadangan bantuan

dari pemerintah setempat. Selain itu, gangguan nasional seperti sumber daya

manusia, budaya, agama, isu politik, dan lainnya juga menjadi hambatan bagi

organisasi internasional untuk mengejarkan tugasnya secara efisien.42

Konsep organisasi internasional relevan dengan pertanyaan penelitian ini.

Dengan adanya organisasi internasional, suatu isu dunia termasuk isu disabilitas

dapat dirundingkan dengan negara lain dan dihasilkannya suatu langkah kongkrit

untuk mengatasi problematika tersebut. Organisasi internasional ini juga dapat

40 Archer, International Organizations, 80. 41 Archer, International Organizations, 178. 42 Archer, International Organizations, 178.

21

mengakomodir berbagai pihak tidak hanya negara untuk ikut andil menyelasikan

suatu isu. Namun, organisasi internasional juga memiliki beberapa hambatan

dalam mengoptimalkan fungsinya, salah satunya adalah hambatan birokrasi.

ASEAN Disability Forum sebagai badan khusus merepresentasikan kaum

disabilitas di negara anggota ASEAN dinilai kurang efektif dan efisien dalam

menjalankan tugasnya. Hal ini salah satunya dikarenakan pemerintah di negara

anggota ASEAN masih memiliki kesadaran yang kurang atas isu disabilitas.

2. Konsep Hak Asasi Manusia (HAM)

Menurut Cranston dikutip dalam Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia:

Menuju Democratic Governances, hak asasi manusia secara definisi merupakan

hak moral universal, dimana tiap manusia, dimanapun dan kapanpun memilikinya,

sesuatu yang tidak dapat direnggut oleh pihak lain tanpa mendapat hukuman, dan

sesuatu yang diperoleh tiap manusia secara lahiriah.43 Sedangkan Undang-Undang

No. 39 Tahun 1999 tentang HAM mendefinisikan hak asasi manusia adalah

seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai

makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib

dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah,

dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat

manusia.44

Dikutip dalam HAM di Indonesia: Menuju Democratic Governances,

Immanuel Kant membagi tiga macam hak asasi. Hak pertama mengenai civil

43 Kurniawan Kanto Yuliarso dan Nunung Prajarto, 2005, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 8, Nomor 3, 293. 44 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

22

rights, dimana tiap individu dapat menikmati hidupnya sebagai warga negara.

Hak kedua mereferensikan hak internasional yang dinikmati tiap negara dalam

berinteraksi satu sama lain. Hak ketiga merupakan hak kosmopolitan atau

cosmopolitan rights yang dinikmati masyarakat internasional. Kant percaya tiap

manusia memiliki hak-hak asasinya masing-masing.45

Namun, permasalahan HAM tidak hanya mencakup pada upaya-upaya

pencapaian standar internasional HAM maupun penerimaan universalitas terhadap

konsep tersebut. Definisi Cranston belum cukup lengkap jika dijadikan acuan

untuk menyelesaikan permasalahan HAM di Indonesia. Sejumlah kejadian

pelanggaran HAM di Indonesia menjadi bukti nyata bahwa pemahaman HAM

tidak terlimitasi pada fakta bahwa HAM dimiliki oleh semua manusia, namun

juga pelayanan terhadap HAM tersebut perlu dilakukan tiap manusia. Tidak hanya

itu, pemahaman terhadap HAM di Indonesia perlu ditingkatkan agar tidak hanya

terfokus pada permasalahan HAM yang umum seperti pembunuhan, perusakan

massal, dan genosida. Nilai-nilai HAM perlu diterapkan secara menyeluruh di

segala lapisan masyarakat agar segala bentuk diskriminasi, rasis, seksual, dan

abilitas mendapat perhatian yang benar-benar memadai. Selain itu, pandangan

awam yang terlalu menyederhanakan HAM juga perlu diluruskan.46

Masih minimnya akses pendidikan pada kaum disabilitas di Indonesia

merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia bagi warga disabilitas.

45 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 1107. 46 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 295.

23

Pemerintah Indonesia bertanggung jawab penuh memaksimalkan kekurangan

tersebut. Tidak hanya itu, isu kurangnya akses pendidikan kaum disabilitas ini

tidak hanya menjadi permasalah nasional, namun juga terjadi di negara-negara

lain. Oleh karenanya, problematika ini harus ditangani oleh masyarakat

internasional termasuk ASEAN Disability Forum sebagai wadah yang dipercayai

dapat mengatasi permasalahan disabilitas di kawasan Asia Tenggara.

F. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang akan

dijabarkan secara deskriptif. Penelitian kualitatif menggunakan pendekatan yang

berbeda dari penelitian kuantitatif dalam mengolah data, analisis, interpretasi, dan

penulisan laporan. Penelitian kuantitaf umumnya menggunakan angka, sedangkan

penelitian kualitatif menggunakan pendekatan penelitian naratif, fenomonologi,

grounded theory, etnografi, dan studi kasus. 47 Adapun penelitian deskriptif

merupakan sebuah riset yang mengeskplor dan menjelaskan suatu individu,

kelompok, atau peristiwa. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk

mendeskripsikan karakteristik dan fungsi. 48 Dengan kata lain, riset deskriptif

mendefinisikan aspek-aspek sebuah penelitian, seperti siapa, apa, dimana, kapan,

mengapa, dan terkadang bagaimana penelitiannya. 49 Penulis menggunakan

metode kualitatif deskriptif analitik dalam mengeksekusi penelitian terkait peran

47 John W Creswell, 2003, Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc, 23. 48 S. Surbhi, 2016, “Difference Between Exploratory and Descriptive Research”, Keydifference.com. https://keydifferences.com/difference-between-exploratory-and-descriptive-research.html diakses 23 Mei 2019. 49 Jajoo Dinesh, 2016, “A Study of Buying Decisions in Malls”. Devi Ahilya Vishwavidyalaya University, 39. http://hdl.handle.net/10603/97412

24

ASEAN Disability Forum dalam pengadvokasian akses pendidikan bagi kaum

disabilitas di Indonesia.

Untuk menjawab pertanyaan penelitian skripsi ini digunakan data primer

dan sekunder. Untuk data primer, peneliti melakukan wawancara pada pihak

ASEAN Disability Forum sebagai organisasi yang terlibat dalam tiap isu

disabilitas. Sedangkan data sekunder adalah data-data yang didapat dalam bentuk

publikasi. Metode dilakukan melalui studi kepustakaan baik itu berupa buku,

artikel dalam jurnal, laporan resmi, berita daring (online), serta data-data lainnya

yang dapat menunjang penelitian ini.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini tersusun menjadi lima bagian, yaitu:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu: pernyataan masalah,

pertanyaan penelitian, tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II ASEAN DISABILITY FORUM

Bab ini akan membahas secara umum mengenai respon ASEAN terhadap

isu disabilitas. Pembahasan akan dilanjutkan dengan gambaran umum mengenai

ASEAN Disability Forum. Pembahasan akan ditutup dengan upaya ASEAN

Disability Forum mempromosikan hak kaum disabilitas di negara anggota

ASEAN.

25

BAB III ISU DISABILITAS

Pada bagian ini akan dibahas mengenai respon masyarakat internasional

terhadap isu disabilitas. Pembahasan akan dilanjutkan dengan gambaran umum

mengenai isu disabilitas di Indonesia serta berbagai kasus diskriminasi sosial

terhadap kelompok tersebut. Pembahasan akan ditutup dengan upaya pemerintah

Indonesia pada tahun 2016-2018 dalam meningkatkan akses pendidikan kaum

disabilitas.

BAB IV PERAN ASEAN DISABILITY FORUM DALAM

PENGADVOKASIAN AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI

INDONESIA TAHUN 2016-2018

Bagian ini merupakan analisis peran ASEAN Disability Forum dalam

upayanya serta hambatannya melakukan advokasi akses pendidikan bagi kaum

disabilitas di Indonesia tahun 2016-2018. Analisis dalam bab ini akan diperkuat

dengan konsep organisasi internasional dan hak asasi manusia.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari penelitian dimana jawaban atau

argumen penulis terkait pertanyaan penelitian akan dicantumkan. Jawaban

penelitian berasal dari penjabaran data serta analisis pada bab-bab sebelumnya.

Bab V merupakan bagian kesimpulan dari penelitian ini.

26

BAB II

ASEAN DISABILITY FORUM

A. Respon ASEAN pada Isu Disabilitas

Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) atau yang biasa

disebut sebagai Association of South East Asian Nations (ASEAN) merupakan

organisasi geopolitik dan ekonomi negara-negara kawasan Asia Tenggara, yang

dibentuk pada 8 Agustus 1967 dengan ditandatanganinya Deklarasi Bangkok.

Deklarasi ini ditandatangani oleh lima negara pendiri ASEAN, yaitu Indonesia,

Malaysia, Singapura, Filipina, dan Thailand. Organisasi ini bertujuan untuk

meningkatkan perekonomian, pertumbuhan sosial, pengembangan sosial budaya

negara anggotanya, memajukan perdamaian dan stabilitas tingkat regional, serta

menyelesaikan perbedaan atau permasalahan antar negara anggotanya secara

damai.50 Tujuan tersebut tercantum dalam Deklarasi Bangkok, dimana artikel satu

berbunyi “meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial, dan pengembangan

budaya dalam wilayah ASEAN” sedangkan artikel dua berbunyi

“mempromosikan perdamaian dan stabilitas.”51 Selain berfokus pada regionalnya,

ASEAN juga menghubungkan negara anggotanya dengan negara-negara di Asia

Pasifik serta kawasan lainnya.

Pada awal berdirinya ASEAN, Deklarasi Bangkok menjadi satu-satunya

instrumen hukum internasional, hingga pada 2006 sampai 2007, negara anggota

50 ASEAN, About ASEAN, https://asean.org/asean/about-asean/ diakses pada 11 April 2019. 51 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Difabel”, 2018, Solider.id, https://www.solider.id/baca/4732-51-asean-kontribusinya-dalam-upaya-perlindungan-hak-difabel diakses 19 Maret 2019.

27

organisasi tersebut mulai menggagas instrumen hukum bernama Piagam ASEAN.

Piagam ini tidak hanya memperkuat personalitas ASEAN sebagai organisasi

internasional, namun juga menjadi dasar ASEAN dalam menjunjung

penghormatan terhadap hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi.

Penghormatan tersebut ditunjukkan dengan adanya pengaturan mengenai hak

asasi manusia dalam Piagam ASEAN dan di dirikannya ASEAN

Intergovernmental Commission On Human Rights (AICHR) atau yang sering juga

di sebut dengan badan HAM ASEAN. 52 Divisi HAM ASEAN pada saat ini

diketuai oleh Le Thi Nam Huong.53 Dalam upaya merealisasikan prinsip utama

dan tujuannya dalam bidang mempromosikan serta melindungi hak asasi manusia

dan hak-hak dasar, meningkatkan demokrasi, memajukan good governance, dan

sesuai dengan peraturan hukum, para pemimpin ASEAN mengadopsi ASEAN

Human Rights Declaration (AHRD) pada 2012.54 Bersama dengan Phnom Penh

Statement on the Adoption of the AHRD, dua dokumen tersebut mewujudkan

komitmen ASEAN untuk melindungi hak asasi manusia serta hak-hak dasar

seluruh masyarakat ASEAN, termasuk kaum penyandang disabilitas. Pada 2016,

seluruh negara anggota ASEAN telah meratifikasi the United Nations Convention

on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). 55 Dengan diratifikasinya

CRPD oleh kesepuluh anggota ASEAN, hak bagi penyandang disabilitas

kemudian bermunculan sebagai salah satu bidang hak yang tak terduga dari

prinsip utama ASEAN dalam menjunjung tinggi hak asasi manusia di kawasan

52 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Difabel”, Solider.id, 53 ASEAN, 2018, ASEAN Secretariat Organisational Structure https://asean.org/asean/asean-structure/organisational-structure-2/ diakses pada 31 Januari 2020. 54 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 1. 55 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 1.

28

Asia Tenggara. Adanya CRPD memungkinkan ASEAN untuk meningkatkan

komunitasnya kepada pendekatan “people-oriented and people-centered” dalam

integrasi serta kerjasama regionalnya.56

Selama berdirinya, ASEAN telah secara konsisten memprioritaskan

promosi serta proteksi hak-hak kaum penyandang disabilitas. Kerangka kebijakan

ASEAN terhadap peningkatan hak dan kesejahteraan masyarakat disabilitas

berasal dari the Bali Declaration on the Enhancement of the Role and

Participation of Persons with Disabilities in ASEAN Community tahun 2011

dimana deklarasi tersebut menyadarkan anggota ASEAN akan pentingnya inklusi

bagi kaum disabilitas yang dapat diwujudkan melalui pengembangan aksi rencana

nasional, diversifikasi layanan sosial, pengembangan skema jaminan sosial,

pendidikan yang dapat diakses, tersedianya peluang kerja, dan lainnya. Deklarasi

tersebut juga memperkenalkan the Mobilisation Framework of the ASEAN

Decade of Persons with Disabilities (2011-2020) guna mempromosikan

pengembangan inklusif-disabilitas di ASEAN. Prinsip inklusi, sebagai arah

kebijakan utama ASEAN, telah menjadi acuan inisiatif dan program ASEAN

dalam menangani persamaan hak bagi penyandang disabiltias dalam

komunitasnya. Komitmen ASEAN menuju komunitas inklusif tertuang dalam

ASEAN Community Vision 2025, sebuah rencana stratejik sepuluh tahun ASEAN,

yang bercita-cita mewujudkan ASEAN menjadi komunitas berorientasi dan

berpusat pada masyarakat, dimana masyarakat dapat menikmati hak asasi manusia

56 IFES Organization, 2018, Supporting ASEAN to Mainstream Disability Rights, https://www.ifes.org/news/supporting-asean-mainstream-disability-rights diakses pada 4 Februari 2019.

29

serta hak-hak dasar, kualitas hidup yang lebih tinggi dan manfaat dari

pembangunan masyarakat. Secara khusus, the ASEAN Socio-Cultural Community

(ASCC) Blueprint 2025 menguraikan langkah-langkah strategis spesifik yang

bertujuan untuk mengurangi hambatan dan memastikan aksesibilitas kaum

penyandang disabilitas, pada saat bersamaan juga mempromosikan serta

melindungi hak asasi kaum tersebut.57

Adapun upaya-upaya ASEAN maupun negara anggotanya dalam

meningkatkan hak kaum disabilitas, adalah sebagai berikut: Hanoi Declaration

on the Enhancement of the Welfare and Development of ASEAN Women and

Children (2010) yang bertujuan untuk menjamin kesetaraan gender dalam

pendidikan dan pendaftaran sekolah untuk anak-anak disabilitas dan berkebutuhan

khusus; Kuala Lumpur Declaration on a People-Oriented, People-Centred

ASEAN (2015) menghimbau untuk mempromosikan serta melindungi hak-hak

kaum penyandang disabilitas dan mempromosikan keinginan sekaligus

kesejahteraan mereka di agenda-agenda ASEAN yang akan datang; ASEAN

Declaration on Strengthening Education for Out-of-School Children and Youth

(OOSCY) menyatakan bahwa akses pendidikan merupakan sebuah prioritas untuk

menjamin manfaat yang optimal bagi seluruh anak dan remaja, terlepas apakah

mereka penyandang disabilitas atau bukan; Declaration on the Elimination of

Violence Against Women and Elimination of Violence Against Children in ASEAN

(2013) bertujuan untuk melindungi wanita dan anak-anak dengan disabilitas dari

segala kekerasan, perlakuan kejam, dan eksploitasi; ASEAN Declaration on

57 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 1.

30

Strengthening Social Protection (2013) menyatakan bahwa kaum penyandang

disabilitas berhak memiliki akses yang setara dalam perlindungan sosial dan

menghimbau negara anggota ASEAN untuk mendukung kebijakan-kebijakan

nasional, strategi-strategi serta berbagai mekanisme guna memperkuat

implementasi program perlindungan sosial, sekaligus sistem penargetan yang

efektif untuk menjamin pelayanan perlindungan sosial akan berjalan di waktu

yang dibutuhkan.58

Kebijakan ASEAN dalam meningkatkan hak dan kesejahteraan kaum

penyandang disabilitas terinspirasi oleh sekaligus berkontribusi untuk

pembangunan global. Salah satu bentuk pembangunan global tersebut adalah

Sustainable Development Agenda 2030, dengan kebijakannya untuk tidak

mendiskriminasi siapapun, sesuai dengan visi ASEAN yakni komunitas ASEAN

adalah komunitas yang “people-oriented, people-centred”. Tidak hanya SDGs,

terdapat berbagai kebijakan internasional di tingkat regional yang juga

menginspirasi ASEAN untuk meningkatkan penyetaraan hak untuk kaum

disabilitas, seperti Incheon Strategy to “Make the Right Real” for Persons with

Disabilities in Asia and the Pacific yang menyerukan untuk mempromosikan

partisipasi kaum penyandang disabilitas dengan cara menghapus hambatan serta

meningkatkan aksesbilitas, dan menjamin kesetaraan gender, melalui pendekatan

lintas sektoral dan multi-stakeholder. The Sendai Framework for Disaster Risk

Reduction yang menyerukan respon inklusif terhadap disabilitas dan pemulihan

dari bencana, menuju pembangunan ketahanan bagi kaum penyandang disabilitas

58 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 2.

31

serta menyadari perannya yang signifikan dalam menilai resiko dan merancang

program. The New Urban Agenda menyerukan untuk “perwujudan progresif hak

atas perumahan yang layak untuk semua sebagai komponen dari hak atas standar

kehidupan yang memadai”, termasuk kaum penyandang disabilitas. Agenda

tersebut juga menghimbau promosi “langkah-langkah yang tepat di kota-kota dan

pemukiman yang memfasilitasi akses untuk kaum penyandang disabilitas agar

setara dengan lainnya, khususnya ruang publik, transportasi umum, perumahan,

fasilitas pendidikan dan kesehatan, informasi publik dan masyarakat (termasuk

teknologi dan sistem informasi dan komunikasi) serta fasilitas dan layanan lain

yang terbuka atau disediakan untuk umum, baik di daerah perkotaan maupun

pedesaan”. Selain itu, agenda tersebut juga mendorong “partisipasi efektif dan

kolaborasi antar semua pemangku kekuasaan yang relevan, termasuk kaum

penyandang disabiltias, guna mengidentifikasi kesempatan untuk pembangunan

ekonomi urban serta mengidentifikasi dan mengatasi tantangan yang ada dan akan

muncul”. Pembangunan global tersebut, mempengaruhi dan membentuk dasar

kebijakan ASEAN untuk kaum penyandang disabilitas.59

Diratifikasinya CRPD oleh kesepuluh negara anggota ASEAN memberi

keuntungan bagi AICHR sebagai badan HAM ASEAN. Mengetahui hal tersebut,

AICHR langsung menginisiasi pengembangan instrumen regional baru guna

memperluas penyetaraan hak asasi kaum disabilitas di seluruh rencana

pembangunan ASEAN. Inisiatif pengembangan instrument regional tersebut

berkembang menjadi ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the

59 ASEAN, ASEAN Enabling Masterplan 2025, 2.

32

Rights of Persons with Disabilities. 60 Untuk membentuk masterplan yang

diimpikan, AICHR dengan saran ADF membentuk the Task Force on

Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, yang terdiri atas

perwakilan dari AICHR, SOMSWD, serta ACWC. Mengikuti ASEAN Community

Vision 2025, berbagai blueprints pembangunan untuk pilar-pilar keamanan-politik,

ekonomi dan sosial budaya di kawasan dibentuk, rencana baru tersebut akan

menjamin hak-hak kaum disabilitas memainkan peran integral dalam agenda

pembangunan kawasan Asia Tenggara.61

Dengan berjalannya perumusan inisiatif masterplan pada 2018, berbagai

organisasi kaum penyandang disabilitas (OPD) berkumpul serta berkoordinasi

dengan aktor-aktor regional lainnya, seperti ASEAN Disability Forum. Inisiatif

tersebut juga termasuk dengan pertemuan OPD lainnya guna menghasilkan

position paper mengenai partisipasi politik kaum disabilitas. Position paper dan

rekomendasi kebijakan tersebut akan berfungsi sebagai poin utama diskusi pada

pertemuan Task Force dan akan membantu pembentukan masterplan.62

Meskipun ASEAN telah memperlihatkan upayanya dalam isu hak kaum

disabilitas, pada 2020, isu ini belum termasuk dalam prioritas ASEAN. Para

petinggi ASEAN setuju untuk mempercepat integrasi 11 sektor prirotias dalam

Framework Agreement for the Integration of Priority Sectors dan dan 11 Protokol

Integrasi Sektoral ASEAN menegaskan kembali komitmen ASEAN untuk

mempercepat jalur integrasi menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang

60 IFES Organization, Supporting ASEAN Mainstream Disability Rights. 61 IFES Organization, Supporting ASEAN Mainstream Disability Rights. 62 IFES Organization, Supporting ASEAN Mainstream Disability Rights.

33

disepakati oleh Para Pemimpin ASEAN pada tahun 2020. MEA dipertimbangkan

sebagai pasar tunggal dan basis produksi dengan aliran barang, jasa yang bebas,

investasi, tenaga kerja terampil dan aliran modal yang lebih bebas. 11 sektor

prioritas tersebut adalah elektronik, e-ASEAN, kesehatan, produk berbahan kayu,

automotif, produk berbahan karet, tekstil dan pakaian jadi, produk berbahan agro,

perikanan, perjalanan udara dan turisme. Sektor-sektor terpilih berdasarkan

keuntungan komparatif dalam sumbangan sumber daya alam, keterampilan

pekerja dan daya saing biaya serta kontribusi nilai tambah untuk ekonomi

ASEAN.63

B. ASEAN Disability Forum

Menguatnya penghormatan hak asasi manusia di ASEAN dengan ditandai

berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR),

juga membuat hak asasi manusia bagi kaum disabilitas yang termasuk kelompok

minoritas mulai disuarakan. Perwakilan negara ASEAN menganggap bahwa

permasalahan disabilitas cukup mengkhawatirkan, oleh karenanya, diperlukan

sebuah perlindungan terhadap aspirasi hak disabilitas.64 ADF menjadi forum bagi

negara anggota ASEAN untuk mendukung perlindungan terhadap kaum

disabilitas.65ADF diinisiasi pada tahun 2009 ketika perwakilan Disable People’s

Organisations (DPOs) atau OPD menghadiri ASEAN People’s Forum guna

63 ASEAN, 2012, “Media Release “ASEAN Accelerates Integration of Priority Sectors”, Asean.org, https://asean.org/?static_post=media-release-asean-accelerates-integration-of-priority-sectors diakses pada 31 Januari 2020. 64 Demeiati Nur Kusumaningrum, Alivia Afina, Riska Amalia Agustin dan Mega Herwiandini, 2017, “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, Jurnal Insignia 2017 Vol.4 No.1.2.2, 2. 65 Kusumaningrum, Afina, Agustin dan Herwiandini, 2017, “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, 2.

34

mempromosikan serta menyadarkan tentang hak-hak disabilitas yang wajib

dilindungi.66

Berdirinya ADF dimulai dari sebuah forum yang disebut dengan ASEAN

People’s Forum. ASEAN People’s Forum merupakan forum dibawah ASEAN

Civil Society Forum dimana semua aspirasi warga ASEAN akan didengar pada

forum tersebut. Salah satu aspirasi yang didengar berasal dari OPD yang

kemudian ditindaklanjuti dengan adanya Bali Declaration on the Enhancement of

the Role and Participation of the Persons with Disabilities in ASEAN Community

yang juga menjadi instrumen pendirian ADF. Pentingnya dibangun ADF sebagai

wadah untuk menyuarakan hak disabilitas dan bukan melalui ASEAN Civil Society

Forum maupun ASEAN People’s Forum (APF) dikarenakan pembicaraan

mengenai isu disabilitas di forum lain seperti kedua forum tersebut tidak terlalu

terdengar jika dibandingkan dengan isu-isu kelompok minoritas lainnya seperti

isu buruh migran, isu LGBT, atau isu feminis.67

Secara rinci, ADF memiliki wewenang sebagai berikut:68

1. Memfasilitasi pertukaran informasi, lesson learnt, best practices yang

dimiliki oleh masing-masing organisasi di negara ASEAN untuk pemajuan

dan perlindungan hak penyandang disabilitas.

2. Mendorong multi-stakeholders di ASEAN untuk mempromosikan hak-hak

penyandang disabilitas.

66 Kusumaningrum, Afina, Agustin dan Herwiandini, 2017, “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia”, 2. 67 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Difabel”, solider.id 68 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

35

3. Membuat rekomendasi untuk kebijakan publik, program-program, projek,

untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas diadopsi dalam

mekanisme maupun framework atau dokumen-dokumen hak asasi manusia

di ASEAN.

4. Untuk meningkatkan kesadaran organisasi penyandang disabilitas di

ASEAN.

5. Untuk memberikan peningkatan kapasitas stakeholders terkait organisasi

penyandang disabilitas dalam merubah perspektif hak-hak penyandang

disabilitas dari pendekatan medis menjadi hak asasi manusia.

6. Untuk mempromosikan pelayanan komunitas yang inklusif kepada

penyandang disabilitas dan multi-stakeholders dalam upaya menciptakan

kemandirian hidup penyandang disabilitas.

Pada dasarnya, tugas ADF di tiap negara anggota ASEAN hampir sama,

yakni seperti tetap mengadakan konferensi, karena ADF merupakan organisasi

regional yang membutuhkan koordinasi antar anggotanya di negara-negara

ASEAN. Namun, untuk pengimplementasian secara rinci, masing-masing

memiliki tugas dan wewenang yang berbeda sesuai kapasitasnya serta kebutuhan

DPO lainnya di masin-masing negara ASEAN.69

Selain wewenang, ADF juga melakukan upaya evaluasi setelah program

advokasi dilaksanakan, yakni dengan melihat pelaksanaan program melalui

capaian target outcome atau indikator-indikator yang ditetapkan ADF.

Pelaksanaan keseluruhan program menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi 69 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

36

substansi per kegiatan program berdasarkan penilaian kekuatan, kelemahan,

tantangan, dan kesempatan yang dapat diambil pelajarannya setelah program

selesai.70

Melalui ADF, ASEAN memberdayakan kaum disabilitas dengan

memberikan wadah untuk berdiskusi serta turut berpartisipasi dalam proses

pembentukan dan implementasi kebijakan di ASEAN. ADF menjadi wadah

penyambung kaum penyandang disabilitas dengan para pemangku jabatan. ADF

terdiri dari para penyandang disabilitas yang secara rutin bertemu untuk

memperjuangkan hak-hak serta memperjuangkan kebutuhan penyandang

disabilitas agar menjadi hal yang lumrah dalam framework kebijakan dan

mekanisme di ASEAN. Selama pembentukannya, ADF telah berperan membawa

aspirasi penyandang disabilitas dalam masyarakat ASEAN baik secara lokal,

nasional, dan internasional.

Tujuan organisasi ini adalah untuk merepresentasikan keberadaan gerakan

penyandang disabilitas di kawasan serta memberi kesempatan bagi masyarakat

yang memperjuangkan hak penyandang disabilitas agar selalu masuk dalam

agenda kebijakan ASEAN. Dengan hadirnya ADF, para kaum penyandang

disabilitas dapat mengembangkan kemampuan berorganisasi, serta memfasilitas

pembagian informasi. 71 Visi ADF adalah menjadi komunitas yang bersahabat

dimana kaum penyandang disabilitas mendapatkan kesempatan yang setara serta

70 Wike Devi Erianti, Wawancara, 31 Januari 2020. 71 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI, 2014, Masyarakat ASEAN Edisi 11: Mewujudkan Masyarakat ASEAN yang Dinamis, Media Publikasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI.

37

berpartisipasi dalam aktivitas sosial di ASEAN. Sedangkan Misi ADF adalah

untuk menyatukan kaum disabilitas dari wilayah ASEAN untuk memajukan

CRPD di wilayah Asia Tenggara dengan meningkatkan kesadaran mengenai hak

penyandang disabilitas sebagai isu hak asasi manusia. Selain itu, ADF juga

memiliki misi advokasi untuk memasukkan seluruh pilar dan mekanisme HAM

ASEAN; mendukung pengembangan kebijakan dan advokasi berbasis nyata

dalam disabilitas dan pengembangan inklusif dari perspektif hak asasi manusia;

advokasi pemerintah strategis ASEAN, media, bisnis, LSM dan pemangku

kepentingan lainnya dalam multi-CRPD, disabilitas, dan pembangunan.72

ADF juga bertujuan untuk bekerjasama dengan pemerintah di negara

anggota ASEAN, media, pelaku bisnis, non-governmental organisations (NGOs)

dan berbagai pemangku jabatan untuk mengimplementasikan serta mengevaluasi

kebijakan dan layanan inklusif. Tidak hanya itu, tujuan lainnya adalah mendapat

dukungan anggota dan organisasi kaum penyandang disabilitas di tingkat negara

melalui advokasi dan pengembangan kapasitas kepemimpinan, termasuk

memfasilitasi kerjasama dengan pemangku jabatan, termasuk pemerintah,

masyarakat sosial dan sektor privat; Melobi ASEAN untuk melakukan kegiatan

paralel dengan ASEAN People’s Forum, mengumpulkan badan-badan untuk hak

asasi manusia, Pertemuan Pejabat Senior Kesejahteraan Sosial dan Pembangunan

atau biasa disebut Senior Officials Meeting of Social Welfare and Development

(SOMSWDs) dan KTT ASEAN. Organisasi masyarakat mengenai HAM termasuk

ADF penting guna advokasi kebijakan serta membantu terbangunnya kesadaran

72 ADF. ASEAN Disability Forum http://aseandisabilityforum.org/digaleri/ diakses pada 18 April 2019.

38

yang efektif. Pembagian pengetahuan dapat dilakukan melalui pelatihan

kepemimpinan, pelatihan untuk pelatih bagi para pemimpin lokal.73

Sebagai tambahan, menurut situs resmi ADF, organisasi ini telah

bekerjasama dengan pemerintah, penyedia layanan, dan publik. Dalam banyak

kasus, ADF merupakan kendaraan yang membawa aspirasi kaum penyandang

disabilitas ke dalam komunitas ASEAN; ADF merupakan platform aksi untuk

membawa suara organisasi-organisasi kaum disabilitas dari akar rumput ke

pengambil kebijakan serta untuk menghubungkan masyarakat dengan para

pemangku jabatan yang berada di negara anggota ASEAN. 74 Selain itu, ADF

menyertakan mereka kembali dalam kehidupan aktif masyarakat ASEAN, sebagai

masyarakat dengan hak sipil, politik, sosial, ekonomi, dan budaya yang setara.75

Pada tingkat ASEAN, ADF bekerjasama dengan Sekretariat ASEAN

untuk koordinasi dan komunikasi terkait pelaksanaan dan monitoring serta

evaluasi pelaksanaan dokumen-dokumen terkait perlindungan hak disabilitas di

ASEAN. Secara khusus, ADF juga bekerjasama dengan badan-badan di dalam

ASEAN untuk divisi HAM seperti AICHR, ACWC, dan SOMSWD. Koordinasi

dan kerjasama dengan tiga lembaga tersebut dapat dilakukan secara mandiri oleh

masing-masing anggota ADF di negara-negara ASEAN atau langsung dilakukan

oleh ADF sendiri.76

73 ADF. ASEAN Disability Forum. 74 ADF. ASEAN Disability Forum. 75 Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. Masyarakat ASEAN Edisi 11: Mewujudkan Masyarakat ASEAN yang Dinamis. 2014. Media Publikasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. 76 Wike Devi Erianti, Wawancara, 31 Januari 2020.

39

Dalam strukturnya, ADF beranggotakan perwakilan OPD dari 10 negara

anggota ASEAN yakni Brunei, Kamboja, Myanamar, Indonesia, Laos, Malaysia,

Filipina Singapura, Vietnam, dan Thailand. Anggota-anggota ADF pada tingkat

negara akan merepresentasikan ADF dan berkolaborasi dengan pemerintah,

organisasi kaum penyandang disabilitas, organisasi masyarakat atau civil society

organisations (CSOs), pelaku bisnis, media dan organisasi-organisasi relevan

lainnya untuk mengimplementasi bermacam kegiatan termasuk advokasi, melobi,

menginformasi, dan bekerja bersama dengan sekretariat ADF di Jakarta. 77

Anggota eksekutif ADF memiliki peran tambahan dalam mengembangkan strategi

organisasional, strategi penggalangan dana, strategi media dengan rencana kerja

serta menentukan time frame yang mencakup badan terutama sekretariat agar

memiliki otoritas untuk membuat keputusan pada isu-isu yang berhubungan

dengan organisasinya.78

Sekretariat ADF berlokasi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan

Sekretariat ASEAN serta kantor pusat The Foundation berlokasi di Jakarta.

Alasan lainnya adalah representatif permanen negara anggota ASEAN juga

berlokasi disitu. Dengan begitu, Sekretariat ADF diharapkan akan lebih mudah

dalam berhubungan dengan organisasi masyarakat lainnya dan berkerjasama

dengan ASEAN. Sekretarif ADF yang berlokasi di Jakarta ini juga memudahkan

ADF melaksanakan fungsi kontrol guna memastikan program-program ADF

terlaksana sesuai yang direncanakan. Ketua ADF dapat memberikan delegasi

kepada Sekretaris Jenderal ADF yang berada di Indonesia untuk melakukan

77 ADF. ASEAN Disability Forum. 78 ADF. ASEAN Disability Forum.

40

fungsi kontrol dalam tugas dan fungsi koordinasi perencanaan, monitoring, dan

evaluasi program advokasi secara regional, khususnya yang akan dilakukan di

Indonesia. 79 Saat ini, Sekretaris Jenderal ADF dipimpin oleh Maulani A.

Rotinsulu berasal dari Indonesia.80 Selain itu, melihat demografi Indonesia yang

banyak dengan kaum penyandang disabilitas masuk dalam kategori tinggi, yakni

sekitar 4.000.000 jiwa menjadi salah satu alasan Sekretariat ADF ditempatkan di

Indonesia.81

C. Upaya ADF dalam Mempromosikan Hak Kaum Disabilitas di Negara

Anggota ASEAN

Sebelum dibentuk secara resmi pada 2011, Disabled Peoples’

International Asia-Pacific (DPIAP) melihat tugas ADF masih minim. Oleh

karenanya, pada 30 November dan 1 Desember 2010, DPIAP mengadakan

konsultasi informal dengan ADF di Jakarta. Pertemuan tersebut dihadiri oleh para

ahli dari berbagai sektor, termasuk organisasi kaum penyandang disabilitas (OPD),

organisasi-organisasi induk mereka dan para donor internasional. Diskusi ini

menghasilkan Deklarasi Jakarta yang diadopsi 2 Desember 2010 dalam

Konferensi Regional pada ASEAN dan Disabilitas. Deklarasi tersebut berisikan

sebagai berikut:82

79 Wike Devi Erianti, Wawancara, 31 Januari 2020. 80 ADF, ASEAN Disability Forum Executive Board, https://www.aseandisabilityforum.com/about diakses pada 31 Januari 2020. 81 ADF. ASEAN Disability Forum http://aseandisabilityforum.org/digaleri/ diakses pada 18 April 2019. 82 ADF, ASEAN Disability Forum.

41

i. ASEAN Disability Forum harus dibangun sebagai upaya bersama multi-

stakeholders, termasuk Sekretariat ASEAN, negara anggota ASEAN,

agensi-agensi pembangunan internasional, organisasi masyarakat, media,

sektor bisnis, kelompok akademik, organisasi yang berhubungan dengan

disabilitas serta organisasi kaum penyandang disabilitas dan organisasi

yang berhubungan.

ii. ASEAN Disability Forum akan mengorganisirkan pertemuan perdananya

pada 2011 di Bangkok, Thailand dan akan melaksanakan pertemuan

tahunan dengan peserta meliputi multi-stakeholders.

Pada November 2010, Pertemuan Menteri ASEAN pada Kesejahteraan

Sosial dan Pembangunan dilaksanakan di Brunei Darussalam. Pertemuan tersebut

mengadopsi 2nd Strategic Framework for Social Welfare and Development (2011-

2015) dimana ADF diposisikan sebagai bagian dari kebijakan disabilitas, terutama

dibawah Forum GO-NGO atau forum organisasi pemerintah dan non-pemerintah.

Pemerintah Indonesia mengusulkan sebuah deklarasi disabilitas untuk diadopsi

oleh 19th Bali ASEAN Summit di bulan yang sama. Pemerintah Thailand juga

mengusulkan proklamasi the ASEAN Decade of Persons with Disability di

pertemuan yang sama. Diharapkan bahwa deklarasi ini akan menyebut ADF

sebagai bagian yang mendukung ASEAN Decade. Tidak hanya dua negara yang

memberi saran, Sekretariat ASEAN juga mengusulkan agar ADF mendapatkan

akreditiasi ASEAN. Dengan akreditasi sebagai organisasi masyarakat yang

terdaftar, kinerja ADF juga akan diperkuat dan lebih berpengaruh untuk

42

mempromosikan hak-hak kaum penyandang disabilitas. 83 ADF resmi

mendapatkan akreditasinya sebagai ASEAN Associated Entities pada 2016.84

Peresmian ASEAN Disability Forum dilaksanakan pada 18 hingga 19

September 2011, di Bangkok, Thailand. Pada peresmian tersebut, ADF

mengadopsi Deklarasi Bangkok, dimana deklarasi tersebut menyediakan masukan

untuk mempromosikan kebijakan inklusif bagi penyandang disabilitas, the

Stategic Framework of Social Welfare and Development 2011-2015 (sebagai

bagian dari 2011-2002 Dekade ASEAN kaum penyandang disabilitas). Hingga

sekarang, ADF telah melaksanakan berbagai kampanye advokasi penting, seperti:

a) Sejalan dengan KTT ASEAN 2012, diadakan Konferensi Tahunan

Pertama ADF (28-31 Maret).

b) Deklarasi Phnom Penh yang mendorong Pemerintahan Kamboja untuk

mengakselerasi ratifikasi CRPD, yang mana dilaksanakan 9 bulan

setelahnya, yakni Desember 2012.

c) Berpartisipasi dalam Konsultasi Regional 2 dengan Organisasi

Masyarakat pada ASEAN Intergovernmental Commission on Human

Rights dibawah the ASEAN Declaration of Human Rights (AICHR), di

Manila, Filipina, Pada pertemuan ini, hak kaum penyandang disabilitas

dimasukkan dalam Deklarasi pertemuan ini.

83 European Union, “Disability and Development Network ASEAN Disability Forum Bangkok”, https://europa.eu/capacity4dev/disability-and-development-network/event/asean-disability-forum-bangkok diakses 14 Maret 2019. 84 ASEAN, 2018, “Register of Entities Associated with ASEAN: Update List of Entities of Associated with ASEAN on ASEAN website 23 March 2018.” https://asean.org/storage/2012/05/Rev_REGISTER-OF-ENTITIES-ASSOCIATED-WITH-ASEAN-as-of-23-March-2018.pdf diakses 22 September 2019.

43

d) Selain itu, ADF juga telah diadvokasikan di hadapan Komisi ASEAN

untuk Promosi dan Proteksi Hak-Hak Perempuan dan Anak-Anak atau

biasa disebut the ASEAN Commission for the Promotion and

Protection of the Rights of Women and Chidren (ACWC), yang

sekarang menganggap disabilitas sebagai komponen isu gender.85

Pada dasarnya, ADF sekarang memiliki setidaknya sembilan fungsi.

Fungsi tersebut meliputi:86

Mengadvokasi dan membiasakan hak kaum penyandang disabilitas dalam

Komunitas ASEAN agar menjadi inklusif, termasuk dalam pemerintah,

media, bisnis, organisasi non-pemerintah, dan pemangku jabatan lainnya

dalam multi CRPD, disabilitas, dan pengembangan.

Menghapus batasan, mendorong peran, dan partisipasi aktif untuk kaum

penyandang disabilitas di segala aspek Komunitas ASEAN.

Meningkatkan kesadaran mengenai kaum penyandang disabilitas sebagai

isu hak asasi manusia, melakukan advokasi dalam seluruh pilar dan

mekanisme hak asasi manusia ASEAN.

Mendukung pengembangan kebijakan berdasarkan bukti dan

mengadvokasi pada disabilitas serta pembangunan inklusif dari perspektif

hak asasi manusia.

85 ADF. ASEAN Disability Forum. 86 Goodpitch Organization, ASEAN Disability Forum, https://goodpitch.org/orgs/asean-disability-forum-adf diakses pada 30 April 2019

44

Advokasi untuk pengembangan penelitian yang inklusif dan komprehensif

untuk kebijakan berdasarkan bukti dengan partisipasi aktif dari kaum

penyandang disabilitas.

Memonitor dan mengevaluasi kebijakan-kebijakan ASEAN dan

implementasinya sesuai dengan hak penyandang disabilitas di kawasan

Asia Tenggara.

Mempromosikan partisipasi kaum penyandang disabilitas pada tiga pilar

ASEAN termasuk hidup mandiri.

Mempromosikan desain, pengembangan, produksi, dan distribusi

informasi, teknologi komunikasi, dan sistem yang dapat diakses dan hemat

biaya.

Mempromosikan ratifikasi dan implementasi Perjanjian Marrakesh untuk

Memfasilitasi Akses ke Karya-Karya yang Diterbitkan untuk Orang-Orang

yang Buta, Tunanetra atau Cetak Khusus Kaum Disabilitas (the Marrakesh

Treaty to Facilitate Access to Published Works for Persons Who Are Blind,

Visually Impaired or Otherwise Print Disabled).

Mayoritas program yang dicanangkan oleh AD berbentuk konferensi dan

advokasi. Salah satu konferensi tersebut diselenggarakan dari tanggal 11 sampai

14 Desember 2017, dimana tiap OPD di negara anggota ASEAN hadir dalam

konferensi dan latihan capacity building ADF di Manila bersama dengan rekan

ASEAN lainnya. Dari acara tersebut, para peserta mendapat pengetahuan dari

beberapa diskusi panel mengenai berbagai topik relevan hingga implementasi

CRPD di ASEAN, seperti “Menyelesaikan berbagai macam bentuk diskriminasi

45

dan meningkatkan kerjasama kaum penyandang disabilitas di ASEAN serta

komite-komite monitoring independen untuk ASEAN Decade dan implementasi

CRPD”, dan “Alat pembangunan Sustainable Development Goals (SDGs) untuk

implementasi CRPD serta pemenuhan Hak-Hak Kaum Penyandang Disabilitas”.

Terdapat juga diskusi mengenai Millenium Development Goals (MDGs) seperti

“Mengakhiri kemiskinan dan kelaparan, serta hidup sehat dan akses air bersih”,

dan “membangun sistem modern dan sesuai untuk kehidupan yang lebih baik

melalui teknologi, ide, membangun perkotaan lebih aman, dan inklusif untuk

seluruh masyarakat”. Diskusi tersebut bertujuan untuk meningkatkan keamanan

dalam pengimplementasian sistem-sistem infrastruktural. Sesi Capacity Building

digunakan untuk menganalisis Deklarasi Bali 2011, dan memahami bagaimana

implementasi CRPD dapat meningkatkan negara asal peserta. Salah satu peserta

asosiasi, seperti Disabled Peoples’ Association (DPA) berhasil memberikan

pengetahuan mengenai perkembangan laporan parallel CRPD, serta menekankan

beberapa kriteria yang seharusnya dapat dimasukkan dalam Deklarasi Bali, seperti

aksesbilitas dalam layanan web pemerintah.87

Selain konferensi, aksi terkini yang dilakukan ADF adalah mendorong

implementasi Enabling Masterplan ASEAN 2025 agar dilaksanakan penuh dengan

pelibatan langsung kelompok disabilitas dalam tiap tahap implementasi,

monitoring, serta evaluasinya. Masterplan ini merupakan rencana kerja ASEAN

untuk lebih mempromosikan dan melindungi hak-hak kaum disabilitas di ASEAN

dan memiliki program kerja hingga 2025. Oleh karena itu, ADF

87 Disabled People’s Association Singapore, 2017, ASEAN Disability Forum, https://www.dpa.org.sg/our-event/asean-disability-forum-adf/ diakses 14 Maret 2019

46

merekomendasikan dibentuknya Joint Working Group on Persons with

Disabilities sebagai supporting group guna memastikan pengimplementasian

Enabling Masterplan yang efektif.88

Joint working group tersebut direncanakan akan bekerja dalam dua area

yakni sebagai supporting group yang akan memberikan masukan pada pemerintah

ASEAN, dalam hal ini kelompok itu beranggotakan perwakilan dari AICHR,

ACWC, dan SOMSWD. Selain itu, working group tersebut juga akan memastikan

agenda masterplan ini diimplementasikan dengan baik di masing-masing negara

anggota ASEAN. Joint working group memiliki tiga mandat. Pertama, fungsi

memastikan implementasi masterplan di tiga pilar ASEAN, yakni the ASEAN

Political-Security Community (APSC), the ASEAN Economic Community (AEC),

dan the ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC). Kedua, fungsi monitoring

pengimplementasian Masterplan. Ketiga, memberikan masukan atau advisory

dalam pengimplementasian masterplan. Joint working group tersebut juga akan

diisi oleh perwakilan OPD yang memiliki kompetensi dan independensi dari

masing-masing negara anggota ASEAN, seleksinya akan diserahkan pada proses

nasional.89

88 Disabled People’s Association Singapore, ASEAN Disability Forum. 89 Disabled People’s Association Singapore, ASEAN Disability Forum.

47

BAB III

ISU DISABILITAS

A. Respon Masyarakat Internasional terhadap Isu Disabilitas

1. Isu Disabilitas di Perserikatan Bangsa-Bangsa

Kaum penyandang disabilitas terhitung berjumlah 15% dari total populasi

dunia, atau sekitar satu milyar orang, dimana 80% nya hidup di negara-negara

berkembang.90 Menurut pendekatan medis atau medical model, disabilitas adalah

masalah individu yang disebabkan oleh keterbatasan fungsi atau ketidaknormalan

fisik atau mental. Pada intinya, masalah disabilitas merupakan suatu kekurangan

atau kelainan pada seseorang dengan menggunakan ukuran kelengkapan tubuh

atau indra dari orang normal.91 Paradigma tersebut mulai bergeser pada dekade

70-an dimana UPIAS (Union of the Physically Impaired against Sagregation)

mulai memperkenalkan model sosial (social model). Dalam pendekatan tersebut,

disabilitas diartikan sebagai konstruksi sosial dan berkaitan dengan masyarakat

dan lingkungan. Lingkungan dibentuk oleh kelompok “normal” sehingga tidak

memberi ruang dan kesempatan bagi penyandang disabilitas.92 Pada sejarahnya,

HAM bagi penyandang disabilitas terbilang tertinggal sejak awal kemunculan

HAM pasca perang dunia dua. Para penyandang disabilitas telah diabaikan selama

90 United Nations, 2016, Inclusive and Equitable Education: Leaving No One Behind, United Nations Sustainable Development. https://sustainabledevelopment.un.org/index.php?page=view&type=20000&nr=432&menu=2993 Diakses pada 1 Mei 2019. 91 Slamet Thohari, 2014, “Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik bagi Penyandang Disabilitas di Kota Malang”, Indonesia Journal of Disability Studies, Vol. 1 Issue 1, 34. 92 Fajri Nursyamsi, Estu Dyah Arifianti, Muhammad Faiz Aziz, Putri Bilqish dan Abi Marutama, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 34.

48

tiga dekade awal pembentukan PBB. Tak satupun klausal megenai HAM seperti

Deklrasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), Kovenan Internasional tentang

Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan Kovenan Internasional tentang Ekonomi,

Sosial, dan Budaya (1966) secara eksplisit menyebutkan disabilitas sebagai

kategori yang dilindungi. Adapun kata disabilitas yang dirujuk sebagai isu HAM

hanya berkaitan dengan jaminan sosial dan kebijakan kesehatan preventif.

Diakuinya penyandang disabilitas sebagai subyek dari deklarasi HAM muncul

pada tahun 1970-an, dengan diundangkannya Deklarasi Orang dengan

Terbelakangan Mental (1971). Namun demikian, instrumen awal tersebut masih

mencerminkan gagasan disabilitas sebagai model medis.93

Majelis Umum PBB menghasilkan sejumlah resolusi pada tahun 1970-an

dan 1980-an, dimana hal tersebut berdampak pada dilaksanakannya Program Aksi

Dunia Penyandang Disabilitas tahun 1982. Instrumen tersebut mengarahkan pada

Dekade PBB Penyandang Disabilitas 1982-1993. Tujuan awal dari program aksi

itu adalah pencegahan dan rehabilitasi. Tujuan selanjutnya ialah persamaan

kesempatan, yang kemudian merubah paradigma disabilitas di tingkat

internasional. Momentum besar lainnya yang membantu mengubah paradigma

pendekatan medis menjadi sosial terlihat pada dua laporan tematik yang

dipersiapkan oleh Komisi PBB, yaitu HAM di bidang kesehatan mental dan

pelanggaran HAM yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Kedua laporan

tersebut mengakui disabilitas sebagai subjek dalam divisi HAM PBB, dimana

dalam perkembangannya membantu membangun pemahaman bahwa penyandang

93 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 34.

49

disabilitas bukan hanya sebagai penerima belas kasihan tetapi juga sebagai subyek

HAM. Namun, Komisi HAM PBB tidak memberi kegiatan tindak lanjut. Di lain

sisi, pedoman dan standar yang diadopsi selama pelaksanaan Dekade PBB

Penyandang Disabilitas periode 1982-1993 yang berbentuk proposal perjanjian

mengenai perlindungan HAM bagi penyandang disabilitas tidak mendapat

dukungan mayoritas dalam Rapat Majelim Umum PBB pada 1987.94

Guna merealisasikan komitmen PBB untuk menciptakan perdamaian dan

keamanan, pengembangan hak asasi manusia dan sosio-ekonomi untuk seluruh

masyarakat, PBB berupaya menanggapi isu disabilitas sebaik mungkin. Hal ini

dapat dilihat pada perkembangannya, PBB telah banyak menghasilkan resolusi

dan deklarasi guna mendukung penyeteraan hak bagi kaum penyandang

disabilitas. Hingga pada 13 Desember 2006, PBB berhasil mengadopsi the

Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD) dan berlaku pada 3

Mei 2008 untuk melindungi serta menjamin hak asasi manusia dan kebebasan

fundamental untuk seluruh kaum penyandang disabilitas. 95 Konvensi ini telah

diratifikasi oleh 177 negara dan ditandatangani oleh 161 negara, menjadi langkah

baru bagi PBB dalam melihat kaum penyandang disabilitas yang sebelumnya

dianggap sebagai “objek” sumbangan, perawatan medis, dan proteksi sosial

menjadi “subjek” dengan hak asasi. Mereka mampu menuntut hak-hak tersebut

dan membuat keputusan untuk kehidupannya sendiri berdasarkan keinginannya

94 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 34. 95 United Nations, UN Disability. www.un.org/disability diakses pada 30 April 2019

50

serta merupakan anggota aktif masyarakat. 96 Pada 2015, diadopsi the 2030

Agenda for Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai hasil pembaharuan

Millennium Development Goals tahun 2000, yang merupakan rencana

pembangunan global dengan spesifik meliputi kaum penyandang disabilitas. 97

Pada SDGs terdapat 5 referensi ekplisit untuk disabilitas, dengan 6 Goals

tambahan secara implisit berhubungan dengan kaum penyandang disabilitas

melalui mandat untuk tidak meninggalkan sipapun di belakang.98

Dalam hal aksesbilitas pendidikan, Millennium Development Goals Report

2010 mengindikasikan hubungan antara disabilitas dan marginalisasi dalam

pendidikan merupakan hal yang nyata pada tiap negara di segala tingkat

pembangunan. Hal tersebut dapat dilihat bahkan di negara-negara yang hampir

mencapai pendidikan dasar universal, anak-anak dengan disabilitas mayoritasnya

termarginalkan. Diperkirakan lebih dari sepertiga siswa yang berhenti sekolah

memiliki disabilitas. Resolusi 65/186 Majelis Umum PBB pada disabilitas

menghimbau untuk mengarustamakan disabilitas dan kaum penyandang

disabilitas dalam segala proses pembangunan serta mendorong pemerintah dan

PBB untuk memperkuat pengoleksian data dan statistik disabilitas.99

96 United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities. United Nations – Disability Department of Economic and Social Affairs. https://www.un.org/development/desa/disabilities/convention-on-the-rights-of-persons-with-disabilities.html diakses 19 Mei 2019 97 United Nations, Convention on the Rights of Persons with Disabilities. 98 High-Level Intergovernmental Meeting on the Midpoint Review of the Asian and Pacific Decadeof Persons with Disabilities, 2017, Disability in Asia and the Pacific: The Facts 2013-2022, 4. 99 United Nations, Panel Discussion on Making Education a Reality for Children with Disabilities 5 July 2011, UN – Disability Department of Economic and Social Affairs.

51

Menurut UNESCO, sebanyak 90% anak dengan disabilitas di negara-

negara berkembang tidak bersekolah. Selain itu, dikutip dari studi UNDP pada

1998, melek huruf bagi penyandang disabilitas yang telah dewasa hanya sebanyak

3%, dan 1% untuk wanita dengan disabilitas. Di negara-negara Organisation for

Economic Cooperation and Development (OECD), siswa dengan disabilitas di

perguruan tinggi tetap kurang terwakili, meskipun jumlah mereka meningkat.100

Pada dasarnya, saat ini PBB menghimbau terciptanya pendidikan inklusif bagi

anak penyandang disabilitas. Pendidikan ini dianggap dapat mempromosikan

pemenuhan primer pendidikan secara universal serta hemat biaya dan dapat

mengeliminasi diskriminasi. Sistem edukasi perlu beradaptasi menjadi pendekatan

yang berpusat pada peserta didik dengan perubahan dalam kurikulum, metode

mengajar dan materi, serta sistem penilaian dan ujiannya. Selain itu, pelatihan

guru maupun pengajar dalam mengajar anak penyandang disabilitas juga

merupakan hal yang penting.101 Hal tambahan lainnya yang perlu diperhatikan

adalah pengubahan sarana kelas yang ramah disabilitas. Beberapa anak akan

membutuhkan akses terhadap layanan bantuan termasuk pengajar edukasi

spesialis, asisten pengajar, dan layanan terapi.102

https://www.un.org/development/desa/disabilities/panel-discussion-on-making-education-a-reality-for-children-with-disabilities-5-july-2011.html diakses 30 April 2019 100 United Nations, Factsheet on Persons with Disabilities, UN – Disability Department of Economic and Social Affairs. https://www.un.org/development/desa/disabilities/resources/factsheet-on-persons-with-disabilities.html diakses 1 Mei 2019 101 World Health Organization & World Bank, 2011, World Report on Disability 2011, 15. https://apps.who.int/iris/handle/10665/44575 diakses 21 Oktober 2018. 102 United Nations, Factsheet on Persons with Disabilities.

52

Komitmen PBB terhadap HAM terlihat pada Piagam PBB dan Deklarasi

Universal Hak Asasi Manusia (1948). Namun, PBB tidak dapat bertindak banyak

jika tidak mendapat persetujuan dan bantuan finansial dari negara anggotanya.

Oleh karenanya, dukungan terhadap prinsip-prinsip PBB oleh negara anggotanya

sangat penting, baik dalam level nasional maupun lokal dengan cara mengajar

pemerintah negara-negara tersebut untuk membentuk komitmen yang jelas pada

perkembangan kemanusiaan dan sosial secara umum dan HAM untuk anak dan

orang dewasa dengan disabilitas secara khusus.103

2. Isu Disabilitas di Asia Tenggara

Menurut WHO, kawasan Asia Tenggara termasuk kedua tertinggi

penyandang disabilitas tingkat menengah sebanyak 16% dan ketiga tertinggi

penyandang disabilitas tingkat berat sebesar 12,9%. Kedua persentase

diasumsikan masih diremehkan sejumlah negara di kawasan tersebut. Hal ini

dikarenakan sebagian besar negara-negara di Asia Tenggara menggunakan

definisi berbasis kecacatan terhadap penyandang disabilitas, kecuali Indonesia dan

Thailand. 104 Pada akses pendidikan, anak-anak dengan disabilitas cenderung

sedikit menempuh bangku sekolah, oleh karenanya mengalami kesempatan yang

terbatas dan penurunan tenaga kerja serta berkurangnya produktivitas pada masa

dewasa. Kesenjangan siswa sekolah dasar antara yang normal dan memiliki

disabilitas di negara-negara Asia Tenggara terhitung dari 10% hingga 60% di

Indonesia. Di Thailand, 60% anak dengan disabilitas usia pendidikan telah

103 Mitchell, D, 2005, Contextualising Inclusive Education: Evaluating New and Old Perspectives, Ch. 18 The Global Context of Inclusive Education: The Role of the United Nations, London: Routledge, 1. 104 WHO, Disability in the Southeast Asia , 2013, WHO Regional Office for South-East Asia, 1.

53

disediakan edukasi, namun, sekitar 25% kaum penyandang disabilitas yang lebih

dari 5 tahun tidak mendapat akses pendidikan, dan hampir 60% memiliki tingkat

pendidikan paling tinggi dibawah sekolah dasar.105

Sepuluh negara di kawasan Asia Tenggara memiliki rencana nasional

untuk pencegahan dan rehabilitasi disabilitas. Sejak 2003, kesempatan kerja untuk

kaum penyandang disabilitas telah ditinjau oleh negara-negara anggota,

representatif industri, organisasi non-pemerintah, ILO dan WHO. Kegiatan

pencegahan dan pengurangan ketulian di kawasan juga telah berkembang secara

signifikan sejak 2005 dan telah bergerak maju untuk integrasi dalam Community-

Based Rehabilitation (CBR). Pihak Regional WHO untuk Asia Tenggara, sebagai

bagian dari Satuan Tugas WHO untuk disabilitas yang dibentuk pada 2008, juga

telah meningkatkan kesadaran mengenai CRPD dengan kantor-kantor WHO di

negara kawasan Asia Tenggara beserta Departemen Kesehatan melalui beberapa

briefing dan seminar. Kantor Regional WHO untuk Asia Tenggara merupakan

gedung WHO pertama yang menyelesaikan Audit Akses Disabilitas dan ramah

terhadap disabilitas.106

Tidak ada data statistik yang dapat dipercaya dan up-to-date mengenai

disabilitas di kawasan ASEAN. Data yang ada berdasarkan proyeksi, seperti

menggunakan tingkat prevalensi rata-rata WHO/World Bank, atau pada survei

sampel. Variasi tingkat prevalensi di berbagai studi tergantuing pada perbedaan

definisi disabilitas yang digunakan. CRPD menggunakan definisi disabilitas

105 WHO, Disability in the Southeast Asia 2013, 9. 106 WHO, Disability in the Southeast Asia 2013, 9.

54

secara luas: “Persons with disabilities include those who have long-term physical,

mental, intellectual or sensory impairments which in interaction with various barriers

may hinder their full and effective participation in society on an equal basis with

others”. Banyak negara masih menggunakan definisi medis yang sempit dalam

hukum negaranya. Definisi yang terbatas tersebut seringkali menunjuk pada

keterbatasan tubuh tertentu. Sebagian besar negara masih menggunakan definisi

disabilitas yang sempit.107

Setidaknya terdapat 16 juta kaum penyandang disabilitas di kawasan

ASEAN jika diukur menggunakan definisi disabilitas yang sempit. Jika

menggunakan definisi disabilitas yang lebih luas (seperti yang telah dilakukan

dalam CRPD), data penyandang disabilitas di Asia Tenggara dapat mendekati 95

juta. Diperkirakan kurang dari 10% anak-anak dengan disabilitas di kawasan

tersebut mengikuti kegiatan sekolah. Pemerintah di negara kawasan Asia

Tenggara telah mengambil sejumlah langkah legislatif dan kebijakan yang

mengindikasikan komitmen untuk meningkatkan hak penyandang disabilitas.

Pada waktu bersamaan, kesenjangan hukum dan kebijakan yang signifikan tetap

ada.108

B. Isu Disabilitas di Indonesia

Pada 2010, data Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) dari Kementerian

Sosial (Kemensos) memperkirakan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia

adalah 11.580.117 orang. Sedangkan jika merujuk data Kementerian Tenaga

107 WHO, Disability in the Southeast Asia 2013, 9. 108 WHO, Disability in the Southeast Asia 2014, WHO Regional Office for South-East Asia, 2.

55

Kerja dan Transmigrasi, pada 2010 jumlah penyandang disabilitas adalah

7.126.409. Menurut Badan Pusat Statistik, Survei Angkatan Kerja Nasional

(SAKERNAS) 2011, diperkirakan 10% dari penduduk Indonesia yakni sekitar 24

juta adalah penyandang disabilitas. 109 Untuk tahun 2016, Tim Riset Lembaga

Penyeledikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis (LPEM

FEB) Universitas Indonesia mengestimasi jumlah penyandang disabilitas di

Indonesia sebesar 12,15%, dari angka 12,15% penyandang disabilitas, 45,74%

tingkat pendidikan penyandang disabilitas tidak pernah atau tidak lulus sekolah

dasar (SD). Persentase ini sangat jauh jika dibandingkan non-penyandang

disabilitas sebanyak 87,31% berpendidikan SD keatas. Jumlah penyandang

disabilitas di Indonesia juga lebih banyak dialami oleh perempuan yaitu 53,37%,

sedangkan sisanya sebesar 46,63% adalah laki-laki.110 Meskipun terdapat berbagai

data mengenai kondisi disabilitas di Indonesia, data tersebut masih terbilang

kurang akurat. 111 Hal ini dapat dilihat dari perbedaan data yang ditampilkan

Kemensos, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), dan Badan Pusat Statistik

(BPS) dimana ketiganya memiliki data yang berbeda mengenai disabilitas sesuai

dengan definisi konsep yang digunakan serta tergantung tujuan dan kebutuhan

masing-masing.112 Sejak 2007, data penyandang disabilitas dikumpulkan melalui

109 ILO, 2013, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf diakses 21 Oktober 2018. 110 Desy Susilawati. 2016. “Indonesia Miliki 12 Persen Penyandang Disabilitas”. Republika.co.id. https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ruf384-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas diakses 10 Mei 2019 111 ILO, 2013, Inklusi Penyandang Disabilitas di Indonesia. 112 Kementerian Kesehatan. 2014. “Situasi Penyandang Disabilitas”. Buletin Jendela Data dan Infromasi Kesehatan. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15033100002/situasi-penyandang-disabilitas.html diakses 21 Oktober 2018, 6.

56

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan oleh Kementerian

Kesehatan, dan telah dilaksanakan juga pada tahun 2010 dan 2013. Data yang

dikumpulkan Riskesdas adalah data penyandang disabilitas umur 15 tahun ke atas

dan merupakan kondisi disabilitas dalam kurun waktu sebulan sebelum survei.

Kondisi disabilitas diukur menurut penilaian responden mengenai tingkat

kesulitan dirinya menggunakan fungsi tubuh, individu, dan sosial.113

Setelah disahkannya CRPD, disabilitas di Indonesia tidak lagi dipandang

hanya sebagai charity based, namun juga social based. Dengan kata lain,

penyandang disabilitas tidak lagi dipandang sebagai kelompok yang hanya patut

dikasihani, namun juga dilindungi hak-hak mereka sebagai manusia.114 Terdapat

setidaknya 114 peraturan perundang-undangan yang masih berlaku sampai saat ini

terkait dengan isu disabilitas.115

113 Kementerian Kesehatan. 2014. “Situasi Penyandang Disabilitas”. Buletin Jendela Data dan Infromasi Kesehatan. https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15033100002/situasi-penyandang-disabilitas.html diakses 21 Oktober 2018, 6. 114 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 14. 115 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, 14.

57

Grafik III. 1. Jenis Perundang-undangan Disabilitas di Indonesia

Sumber: Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, 2015.116

Pada bidang pendidikan, pemerintah memiliki program untuk menyatukan

penyandang disabilitas ke dalam pendidikan regular. Program ini dikenal dengan

pendidikan inklusif. Penyelenggaraan pendidikan untuk kaum disabilitas telah

diatur dalam melalui UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional. Selain itu, pemerintah juga menyediakan satuan pendidikan khusus bagi

peserta didik disabilitas, baik pada jenjang pendidikan dasar maupun menengah,

sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan

Penyelenggaraan Pendidikan Pasal 133. 117 Gambaran sekolah inklusif di

Indonesia dapat ditinjau salah satunya melalui tingkatan Sekolah Menengah

Pertama (SMP). Jumlah SMP inklusif 2015/2016 sebanyak 3.817 dengan rincian

2.465 sekolah negeri dan 1.352 swasta. Siswa inklusif berjumlah 24.985 dengan

rincian 15.590 sekolah negeri dan 9.395 swasta. Sedangkan Guru Pendamping

116 Nursyamsi, Arifianti, Aziz, Bilqish dan Marutama, 2015, Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia: Menuju Indonesia Ramah Disabilitas, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 29. 117 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016, Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia: Tinjauan Sekolah Menengah Pertama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, 2.

58

Khusus (GPK) hanya sebanyak 1.101 dengan rincian 728 negeri dan 373 swasta.

Dengan demikian, secara keseluruhan SMP inklusif di Indonesia belum cukup

memadai. Hal ini terlihat pada kesenjangan antara total siswa inklusif dengan

GPK yang ada.118

Tidak hanya pada tingkatan sekolah, program inklusif ini juga mewajibkan

seluruh universitas untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif bagi penyandang

disabilitas sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang

Perguruan Tinggi.119 Namun demikian, realita dilapangan memperlihatkan dilema

jurusan di perguruan tinggi. Banyak jurusan tersebut memberikan opsi persyaratan

untuk calon mahasiswa yang mendaftar, seperti tidak tunanetra, tunarungu,

tunawicara, tunadaksa, buta warna sebagian, buta warna keseluruhan maupun

sebagian. Salah satu contoh adalah jurusan arsitektur di Universitas Indonesia,

terdapat peryaratan kode 1 (tunanetra), 2 (tunarungu), dan 5 (buta warna sebagian).

Hal ini menurut kebanyakan kaum disabilitas maupun aktivis hak kaum disabilitas

merupakan suatu diskriminasi terhadap kaum disabilitas. Namun di lain hal, pihak

penyelenggara Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)

2014 maupun perguruan tinggi, tidak bermaksud untuk mendiskriminasikan suatu

kaum, tetapi, jurusan tersebut mewajibkan suatu peraturan dikarenakan

persyaratan itu penting untuk diikuti, jika tidak, ditakutkan mahasiswa disabilitas

118 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gambaran Sekolah Inklusif di Indonesia: Tinjauan Sekolah Menengah Pertama, 2. 119 Dion Teguh Pratomo, Sudarsono dan Mohammad Fadli, 2014, “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo”, Malang: Universitas Brawijaya, 6.

59

yang mendaftar pada jurusan tersebut tidak dapat mengikuti pembelajaran dengan

baik, atau lebih parah, dapat membahayakan nyawanya sendiri.

Selain dilema persyaratan jurusan, masih banyak perguruan tinggi yang

belum memberi layanan yang layak bagi penyandang disabilitas, baik dalam segi

fasilitas kampus maupun tenaga pengajar. Beberapa perguruan tinggi yang tercatat

telah memberikan layanan bagi penyandang disabilitas adalah Universitas Islam

Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Universitas Brawijaya, UIN Syarif

Hidayatullah, dan Universitas Diponegoro dari 4.310 Perguruan Tinggi Negeri

(PTN) dan swasta yang terdata dalam Direktorat Jenderal Kelembagaan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) dan Perguruan Tinggi (Dikti), Kementerian

Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti). 120 Dengan demikian,

penyandang disabilitas yang mengenyam pendidikan tinggi cukup sedikit.

Berdasarkan BPS tahun 2015, hanya 36,49% penyandang disabilitas usia 5-29

tahun yang bersekolah, 41,89% tidak bersekolah atau putus sekolah, 21,61%

bahkan tidak pernah bersekolah. Untuk mengatasi kasus tersebut, pemerintah

berupaya meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas untuk mengenyam

pendidikan di perguruan tinggi dengan mengeluarkan Peraturan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 46 Tahun 2014 tentang Pendidikan Khusus di

Perguruan Tinggi 121 dimana peraturan tersebut menginstruksikan agar seluruh

120 Hidayat, Reja. "Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas". 2016. tirto.id. https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-disabilitas-bHGp diakses 23 Mei 2019. 121 Pratomo, Sudarsono dan Fadli, “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo”, 1.

60

universitas baik swasta maupun negeri membuka akses seluas-luasnya bagi kaum

disabilitas untuk dapat menempuh pendidikan tinggi sesuai pilihan mereka.122

C. Upaya Pemerintah dalam Meningkatkan Aksesibilitas Pendidikan Kaum

Disabilitas 2016-2018

Penjabaran UUD NKRI 1945 telah dilakukan terhadap pendidikan bagi

penyandang disabilitas, serta kebijakan dasar penyelenggaraan pendidikan

nasional juga dapat dilihat dalam Pembukaan UUD’ 45 alinea keempat, yang juga

merupakan satu kesatuan integral tujuan negara, yakni mencerdaskan kehidupan

bangsa.123 Upaya pemerintah dalam melindungi kehidupan penyandang disabilitas

dapat dilihat pada UU yang belum lama ini diterbitkan yaitu UU Nomor 8 Tahun

2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai pengganti dari UU Nomor 4 Tahun

1997 tentang Penyandang Cacat. 124 Peraturan Pemerintah (PP) harus segera

disusun maksimal 2 tahun setelah UU tersebut disahkan. Para penyandang

disabilitas merekomendasikan setidaknya harus terdapat 15 PP, agar dapat

mengakomodasi kepentingan kaum disabilitas sepenuhnya. Namun demikian,

pemerintah memutuskan hanya akan membuat satu PP.125 Hal ini dinilai sangat

mengecewakan bagi para penyandang disabilitas serta aktivisnya. Pemerintah

Jokowi dinilai melanggar janji kampanyenya sendiri yang tertuang dalam Piagam

122 Pratomo, Sudarsono dan Fadli, “Pelaksanaan Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas (People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo”, 8. 123 Jazim Hamidi, 2016, Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, 671. 124 Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, 2016, Artikel Kebijakan Penyandang Disabilitas. https://www.kemhan.go.id/pusrehab/2016/11/24/artikel-kebijakan-penyandang-disabilitas.html diakses 19 Mei 2019. 125 Nurhadi Sucahyo, 2017, “Penyandang Disabilitas Pertanyakan Komitmen Pemerintahan Jokowi”, VOAIndonesia.com. https://www.voaindonesia.com/a/penyandang-disabilitas-pertanyakan-komitmen-pemerintahan-jokowi/3980179.html diakses23 Mei 2019.

61

Soeharso. Dalam piagam tersebut, secara tertulis Jokowi berjanji bahwa

pemerintahannya akan dibangun dengan persepsi bahwa penyandang disabilitas

bukanlah beban, namun aset negara. Prinsip tersebut akan diberlakukan dalam

setiap pengambilan kebijakan politik regulasi maupun kebijakan politik anggaran.

Oleh karenanya, keputusan hanya akan membuat satu PP dinilai tidak

menggambarkan pelaksanaan Piagam Soeharso. Menurut Kelompok Kerja

Implementasi UU Penyandang Disabilitas, selama ini pemerintah tidak secara

resmi melibatkan kelompok pendukung disabilitas dalam pembahasan regulasi.

Selain itu, menurut kelompok kerja tersebut, keputusan pemerintah untuk

membuat 1 PP dikarenakan ketiadaan komitmen dan faktor anggaran.

Selain kurang maksimalnya upaya pembentukan PP bagi penyandang

disabilitas, pemerintah Jokowi juga dinilai kurang mengayomi kaum disabilitas

dalam hal ketenagakerjaan. Dunia lapangan kerja cenderung memberi persyaratan

yang sangat tinggi bagi kaum disabilitas, seperti persyaratan wajib lulus SMA.

Hal ini dirasa memberatkan karena untuk mendapatkan pendidikan inklusif masih

terbilang susah. Melihat hal tersebut, Federasi Kesejahteraan Penyandang Cacat

Tubuh Indonesia (FKPCTI) meminta agar dihapuskan syarat pendidikan serta

menggantinya dengan syarat keterampilan. Jika mengacu pada syarat tenaga kerja

minimal SMA, S1, S2, dan S3, hal tersebut dirasa menjadi hambatan penyandang

disabilitas dalam mencari pekerjaan. Kementerian Ketenagakerjaan mengakui

adanya persyaratan tinggi yang ditetapkan oleh perusahaan bagi penyandang

62

disabilitas, oleh karenanya, Kemnaker akan membantu menegosiasikan kepada

perusahaan.126

Meskipun mendapat kritikan, pemerintahan Jokowi juga terbukti

menjalankan kontribusi demi melangsungkan hidup yang layak bagi kaum

disabilitas. Mantan Menteri Sosial Khofifah Indarprawansa pada 28 November

2017 menerbitkan Peraturan Menteri Sosial (Permensos) Republik Indonesia

Nomor 21 Tahun 2017 tentang Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas, UU ini

kemudian diundangkan di Jakarta pada 4 Desember 2017 pada Berita Negara

Nomor 1730 tahun 2017. Permensos ini diterbitkan untuk melaksanakan

ketentuan Pasal 121 ayat 3 UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang

Disabilitas.127

Pada Pasal 121 UU 6 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas diatur

mengenai pendataan kaum disabilitas di Indonesia serta penerbitan Kartu

Penyandang Disabilitas. 128 Pasal 2 Permensos tentang Penerbitan Kartu

Penyandang Disabilitas menjelaskan bahwa tiap penyandang disabilitas berhak

mendapatkan Kartu Penyandang Disabilitas (KPD). Lebih lanjut, pada pasal 3

menyebutkan tujuan penerbitan KPD adalah untuk memberikan identitas bagi

Penyandang Disabilitas yang telah masuk dalam data nasional Penyandang

126 Hidayat, Reja, 2016, "Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas", tirto.id. https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-disabilitas-bHGp diakses 23 Mei 2019. 127 “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas”, 2017, Jogloabang.com. https://www.jogloabang.com/pustaka/permensos-21-tahun-2017-tentang-kartu-penyandang-disabilitas diakses pada 23 Mei 2019 128 “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas”, 2017, Jogloabang.com.

63

Disabilitas guna memperoleh akses layanan dalam penghormatan, pemajuan,

perlindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.129

Selain penerbitan KPD, pada 2018, dalam rangka memperingati Hari

Disabilitas Internasional (HDI), Kementerian Sosial menghadirkan ekspos

program atau layanan inklusif dan produk penyandang disabilitas. Ekspos

Program, Layanan Inklusif, dan Produk Penyandang Disabilitas ini menampilkan

70 gerai dengan 7 kelompok berbeda. Untuk menghadirkan layanan di setiap gerai,

Kemensos bekerjasama dengan berbagai organisasi penyandang disabilitas,

lembaga pemerintah, dan kementerian terkait.130 Beberapa gerai memiliki layanan

yang berbeda, sebagai contoh, gerai pertama berisikan Gerai Pendataan dan

Identitas, Politik, Keadilan dan Perlindungan Hukum. Dalam gerai ini, kaum

disabilitas dapat mendaftarkan KTP, Akte Lahir, KIA, perpanjangana STNK dan

SIM untuk kaum disabilitas. Tidak hanya itu, terdapat juga Layanan Informasi

dan Pendataan untuk Kartu Disabilitas, Layanan Informasi dan Konsultasi

mengenai Pemilu Akses, serta pembuatan dan perpanjangan paspor penyandang

disabilitas.131

Gerai kedua merupakan Gerai Pendidikan, Pekerjaan, Kewirausahaan dan

UKM. Dalam gerai ini, disajikan profil sekolah dan kampus inklusi, pendidikan

vokasi, program Return to Work, pendaftaran Kepersataan BPJS Ketenagakerjaan,

129 “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas”, 2017, Jogloabang.com. 130 Kementerian Sosial Republik Indonesia, 2018, “Kemensos Hadirkan Beragam Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.” https://www.kemsos.go.id/siaranpers/kemensos-hadirkan-beragam-layanan-dan-program-bagi-penyandang-disabilitas 24 Mei 2019 131 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kemensos Hadirkan Beragam Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.

64

Program KLOB (kepribadian kerja, minat kerja, dan nilai kerja), profil disabilitas

yang menjadi Aparatur Sipil Negera (ASN), Simulasi tes Computer Assisted Test

(CAT) bagi penyandang disabilitas, layanan informasi penempatan tenaga kerja,

bursa penerimaan karyawan disabilitas, serta terdapat juga pameran kerajinan

tangan, aksesoris dan produk disabilitas.132 Selain gerai pertama dan kedua, masih

terdapat lima gerai dengan layanan yang berbeda.

132 Kementerian Sosial Republik Indonesia, Kemensos Hadirkan Beragam Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.

65

BAB IV

PERAN ASEAN DISABILITY FORUM DALAM PENGADVOKASIAN

AKSES PENDIDIKAN BAGI KAUM DISABILITAS DI INDONESIA 2016-

2018

Pada Bab 4 ini menganalisis bagaimana peran yang dilaksanakan oleh

ASEAN Disability Forum (ADF) dalam pengadvokasiannya mengenai akses

pendidikan kaum disabilitas di Indonesia 2016-2018. Bab ini akan menunjukkan

peran ADF sesuai dengan tiga peran organisasi internasional, yakni sebagai arena,

instrumen, dan aktor independen. Selain menjelaskan peran, bab ini juga akan

memaparkan fungsi organisasi internasional apa saja yang telah diikuti ADF.

Kemudian, bab 4 ini juga akan menjabarkan berbagai hambatan yang dialami

oleh ADF dalam upaya pengadvokasiannya pada hak-hak kaum disabilitas

terutama dalam bidang pendidikan.

A. Peran ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum

Disabilitas di Indonesia 2016-2018

1. Peran ADF sebagai Arena Organisasi Internasional dalam

Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-

2018

Menurut wawancara yang dilakukan dengan Program Officer ADF, Wike

Devi Erianti, ADF yang merupakan organisasi regional berfokus pada pemenuhan

civil rights yakni tiap individu dapat menikmati hidupnya sebagai warga

66

negara.133 Pada umumnya memiliki peran sebagai perantara antara OPD maupun

kaum disabilitas di tiap negara ASEAN pada tingkat grassroots dengan

mekanisme atau struktur kerjasama HAM di ASEAN. Dengan demikian, ADF

telah memenuhi hak kedua yakni hak internasional yang dinikmati tiap negara

dalam berinteraksi satu sama lain.134

Terhubungnya OPD dengan struktur kerjasama HAM di ASEAN berguna

untuk memastikan advokasi perlindungan dan pemajuan hak penyandang

disabilitas masuk dalam kebijakan atau frameworks yang diadopsi oleh ASEAN.

Untuk menjamin terlaksananya perlindungan terhadap penyandang disabilitas,

ADF rutin melakukan advokasi terhadap negara-negara ASEAN guna memastikan

jalannya CRPD, Masterplan 2025, dan berbagai framework disabilitas yang telah

diadopsi ASEAN. Selain itu, ADF juga berupaya meningkatkan jejaring OPD di

ASEAN untuk turut memonitori pelaksanaan Masterplan 2025 dengan mengajak

berbagai civil society organization (CSO) dan para ahli dalam memberikan

masukan atau rekomendasi terkait pelakasanaan ASEAN Enabling Masterplan di

tingkat nasional. Dengan adanya peningkatan kapasitas kepada OPD, diharapkan

bentuk jejaring ini nanti dapat dikembangkan menjadi bentuk working group

dengan berbasis pada advokasi inklusif secara kolektif antar masyarakat sipil di

ASEAN. 135 Tidak hanya itu, dari data yang diperoleh dari OPD, ADF dapat

melaksanakan advokasi kebijakan tingkat regional maupun nasional melalui

133 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 291. 134 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 291. 135 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

67

kesadaran kepada seluruh stakeholders termasuk pemerintah dan masyarakat di

negara anggota ASEAN. Pada tingkat internal, ADF juga melakukan peningkatan

kapasitas kepada anggota dan jaringannya sebagai upaya pelibatan serta

partisipasi aktif dalam mekanisme HAM ASEAN.136

Selain wewenang, ADF dapat juga menambah program atau projeknya

guna meningkatkan upaya terwujudunya tujuan ADF. Penambahan tugas tersebut

meliputi:137

1. Pengimplementasian dokumen ASEAN seperti ASEAN Decade on Persons

with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan 2025:

Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon Strategy,

dan sebagainya.

2. Mengarustamakan perspektif hak penyandang disabilitas sebagai hak asasi

manusia kepada multi-stakeholders terutama pemangku kebijakan masing-

masing negara serta masyarakat ASEAN.

3. Menyediakan peningkatan kapasitas kepada stakeholders terkait

khususnya pemerintah dan organisasi penyandang disabilitas untuk

merubah perspektif pendekatan medis kepada hak asasi manusia dalam

memajukan dan melindungi hak penyandang disabilitas.

Guna mencapai program tersebut, ADF dapat mengambil inisiatif projek

lain seperti melakukan penelitian dan riset untuk mendukung advokasi, kampanye,

dan peningkatan kesadaran di masyarakat. Selain itu, ADF juga dapat melakukan

136 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 137 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

68

kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil pada isu bantuan hukum,

perempuan, anak serta HAM untuk meningkatkan kapasitas dan pencapaian hasil

advokasi yang maksimal dalam tujuannya untuk memajukan dan melindungi hak

penyadang disabilitas. Pada praktiknya, kini ADF tetap berkomitmen mengadakan

forum disabilitas tahunan sebagai wadah bagi organisasi regional dan nasional di

ASEAN dalam berdialog, berkonsultasi dengan pemerintah, berdiskusi mengenai

situasi terkini atau sharing dengan para ahli, serta meningkatkan kesadaran para

stakeholders dan masyarakat mengenai hak-hak kaum disabilitas di ASEAN.

Forum tahunan ini diadakan tiap akhir tahun bersamaan dengan pertemuan

tahunan board dan steering committee ADF.138

Berdasarkan peran dan wewenang, ADF telah menjalankan fungsi

normatif dan informasi dari sebuah organisasi internasional. Pada fungsi

normatif, ADF menganut berbagai deklarasi ASEAN seperti ASEAN Decade on

Persons with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan 2025:

Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon Strategy, dan

sebagainya, yang berpengaruh pada upaya pengadvokasiannya kepada negara-

negara anggota ASEAN. Sedangkan pada fungsi informasi, ADF berupaya untuk

menyediakan informasi, mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data,

serta membantu menyebarluaskan informasi melalui penyelenggaraan forum

dimana tiap individu dapat bertukar pikiran. Bukti lainnya adalah sebelum

terlaksananya ASEAN Enabling Masterplan 2025 ini ditingkat nasional, ADF

telah melakukan peningkatan kesadaran atau sosialisasi kepada OPD dan

138 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

69

pemerintah terlebih dahulu mengenai ASEAN Enabling Masterplan dan

mendiskusikan strategi pelakasanaannya dengan pemangku kepentingan terutama

pemerintah. Untuk mendiskusikan hal tersebut, ADF melobi berbagai pihak

utamanya dengan Kementerian Sosial, Kementerian Luar Negeri, AICHR, ACWC,

SOMSWD, Permanent Mission Indonesia to ASEAN, dan kementerian/lembaga

terkait hingga Disabled People’s Institution (DPI) dalam sebuah dialog kebijakan

publik pada awal tahun 2018.139

Tidak hanya itu, unuk menjalankan fungsi informasinya serta memastikan

terlaksananya ASEAN Enabling Masterplan, ADF berencana menyusun penelitian

terkait situasi penyandang disabilitas di ASEAN. Dengan advokasi berbasis data,

diharapkan pemangku kepentingan terkait terutama pemerintah dapat membuat

kebijakan yang tepat sasaran dan sesuai dengan situasi yang terjadi di lapangan

dengan pembuatan kebijakan yang berbasis pada pendekatan bottom-up.140

Melihat tugas ADF, organisasi ini lebih cenderung memainkan perannya

sebagai arena yakni memfasilitasi pertukaran pikiran141 dan ide bersama OPD di

negara-negara ASEAN dan stakeholders – terutama ASEAN – yang relevan.142

Pada ranah advokasi regional di tingkat ASEAN, ADF telah terdaftar sebagai

ASEAN Associated Entities sejak 2016. Dengan status tersebut, ADF telah diakui

akreditasinya oleh ASEAN untuk turut berpartisipasi dalam berbagai proses

pembuatan kebijakan, peningkatan kapasitas, kesadaran, dan sebagainya yang

139 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 140 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 141 Jacobson, Networks of Interdependence International Organizations and the Global Political System Second Edition, 88-90. 142 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

70

bertujuan untuk mengarustamakan pemajuan dan perlindungan hak penyandang

disabilitas di ASEAN. Dengan akreditasi dari ASEAN, ADF telah terlibat secara

aktif dalam proses penyusunan beberapa instrument dan frameworks yakni

diantaranya ASEAN Decade on Persons with Disabilities, Bali Declaration, dan

yang paling terkini, yaitu ASEAN Enabling Masterplan 2025. Penyusunan ini

dilakukan guna mendukung pemenuhan cosmopolitan rights melalui pemenuhan

lingkungan yang inklusif serta penyetaraan hak. 143 Selain terlibat aktif dalam

penyusunan Masterplan 2025 bersama AICHR, ACWC, dan SOMSWD, ADF

juga dimintai pandangan dan masukan oleh ASEAN dalam tiap pilar

kerjasamanya, salah satunya oleh pilar politik dan keamanan melalui pertemuan

tahunan Coordinating Conference for the ASEAN Political-Security Community

(ASCCO).144

Dalam ranah peningkatan aksesbilitas pendidikan di ASEAN, saat ini ADF

sedang meneliti implementasi agenda berkelanjutan SDGs Goal 4 mengenai

pendidikan di sejumlah negara anggota ASEAN, seperti Indonesia, Thailand,

Singapura, Vietnam, dan Filipina. Penelitian ini juga dimaksudkan untuk melihat

komitmen negara-negara tersebut dalam pemenuhan hak pendidikan penyandang

disabilitas sesuai dengan CRPD. Penelitian ini dilakukan berdasarkan dari kondisi

pendidikan inklusif di sejumlah negara anggota ASEAN. Pendidikan inklusif

dapat dikatakan mengalami kemajuan di beberapa negara ASEAN, namun hanya

terbatas pada negara-negara yang maju dan terkonsentrasi di kota-kota besar,

143 Yuliarso dan Prajarto, “Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances”, 293. 144 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

71

seperti Singapura, Malaysia, Indonesia, dan Filipina. Di sisi lain, negara-negara

berkembang seperti Kamboja, Myanmar, Laos, dan Vietnam masih harus berjuang

dalam menyediakan akses dan fasilitas pendidikan inklusif. Berdasarkan laporan

United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific

(UNESCAP) tahun 2015/2017, penerimaan anak-anak penyandang disabilitas

lebih rendah dibandingkan dengan anak non-disabilitas pada tingkat sekolah dasar

dan menengah. Selain itu, di sejumlah negara tidak ditemukan adanya sekolah

berkebutuhan khusus yang memadai pada tingkat lokal, sehingga akses

pendidikan untuk anak disabilitas sangat terbatas. Padahal kebutuhan pendidikan

inklusif tidak hanya di sekolah umum di kota-kota besar, namun juga, penyediaan

sarana dan prasarana sekolah berkebutuhan khusus di daerah-daerah.145

2. Peran ADF sebagai Instrumen Organisasi Internasional dalam

Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-

2018

Selain sebagai arena, ADF juga memiliki peran instrumen dari sebuah

organisasi internasional, terutama pada tingkat nasional. ADF bekerjasama

dengan pemerintah masing-masing negara anggota ASEAN termasuk pemerintah

Indonesia. Salah satu bentuk kerjasama yang dilakukan adalah dengan secara aktif

berdialog dan melibatkan partisipasi OPD lokal untuk memberikan masukan

kepada pemerintah melalui Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM,

Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Komisi Nasional

145 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

72

(Komnas) HAM, Komnas Perempuan, dan kementerian atau lembaga lain dalam

proses pembuatan atau monitoring implementasi kebijakan. Sebagai focal point

ASEAN di Indonesia, ADF secara rutin juga berkoordinasi dan berkomunikasi

melalui dialog kebijakan dan audiensi dengan Kementerian Sosial, Wakil

SOMSWD, Wakil AICHR, Wakil ACWC, Perwakilan tetap RI untuk ASEAN,

dan Kementerian Luar Negeri Indonesia. Dengan demikian, ADF memfasilitasi

pemenuhan kepentingan Indonesia dalam hal perancangan peraturan untuk kaum

penyandang disabilitas.146

Dalam ranah pendidikan untuk kaum disabilitas, Kementerian Pendidikan

di Indonesia telah mengeluarkan program pendidikan inklusi sejak 2012 dengan

target 2.021 sekolah inklusi pada 2019. Namun, dari 29.700 sekolah yang ada di

Indonesia, hanya 12% yang sudah menerapkan sistem inklusi. Kementerian

Pendidikan saat ini sedang menyiapkan roadmap untuk meneliti masih realistis

atau tidak untuk mencapai target 2021 sekolah inklusi. Jika tidak, target tersebut

akan diperpanjang hingga 2024. Saat ini, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran

(RPP) Pendidikan masih dalam proses di dalam kementerian dan dibahas dibagian

biro hukum.147

Guna meningkatkan hak pendidikan kaum disabilitas di Indonesia, ADF

turut aktif bekerjasama dengan OPD nasional di Indonesia, seperti Perkumpulan

Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Himpunan Wanita Disabilitas

Indonesia (HWDI), Perhimpunan Jiwa Sehat, FNKTRI (Federasi Nasional

146 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 147 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

73

Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia), FKPCTI (Federasi Kesejahteraan

Penyandang Cacat Tubuh Indonesia), FNKDI (Federasi NasionalKesejahteraan

Disabilitas Intelektual), OHANA Indonesia (Organisasi Harapan Nusantara),

PPCI (Persatuan Penyandang Cacat Indonesia), GERKATIN (Gerakan Kaum Tuli

Indonesia) dan lainnya. Namun, PPDI, HWDI dan Perhimpunan Jiwa Sehat

menjadi fokus ADF karena selain ketiga organisasi tersebut merupakan anggota

ADF, mereka juga tergabung dalam Kelompok Kerja (Pokja) UU Disabilitas dan

berkordinasi intens dengan ADF dan pemerintah Indonesia dalam pemberian

masukan, rekomendasi, serta diskusi mengenai rancangan peraturan pemerintah

tentang pendidikan inklusi. Selain itu, ADF juga bekerjasama dengan organisasi

HAM lainnya dalam melakukan upaya pemantauan implementasi kebijakan dan

CRPD melalui pembuatan laporan masyarakat sipil. Saat ini, ADF menargetkan

Kementerian Pendidikan sebagai advokasi utama ADF dalam menyelesaikan

rancangan peraturan pemerintah untuk pendidikan inklusif sesuai dari amanat UU

No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.148

Salah satu contoh kerjasama ADF dengan stakeholders di Indonesia ialah

ikut andil dalam kegiatan Konsultasi Publik Kementerian Luar Negeri bersama

dengan Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN, Kementerian Luar Negeri dan

Pusat Studi ASEAN Universitas Mulawarman (UNMUL). Kegiatan ini diadakan

guna meningkatkan kesadaran mengenai perlindungan dan pemajuan hak-hak

penyandang disabilitas. Konsultasi Publik ini sendiri menjadi program kerja

Ditjen Kerja Sama ASEAN, Kemlu RI setelah disahkannya ASEAN Enabling

148 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

74

Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities pada

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-33 di Singapura pada November

2018. Kegiatan diawali dengan sosialisasi publik mengenai kerjasama ASEAN

pada ratusan siswa Sekolah Lanjutan Atas di Kota Samarinda dengan tema

“ASEAN Goes to School”. Acara ini dilaksanakan bekerjasama dengan Dinas

Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Timur. Kegiatan tersebut

dirangkai dengan Focus Group Discussion (FGD) yang berkolaborasi dengan

Dinas Sosial Kota Samarinda. FGD tersebut bertujuan meningkatkan kerjasama

terkait isu disabilitas di ASEAN serta mendorong Kota Samarinda untuk menjadi

kota inklusif ramah penyandang disabilitas. Narasumber pada acara ini diisi dari

Kemlu cq Dit. KSBA, Kementerian Sosial, Dinas Sosial Kota Samarinda,

Sekretaris Jenderal ASEAN Disability Forum (ADF), dan akademisi atau Pusat

Studi ASEAN UNMUL. Selain itu, hadir juga wakil-wakil dari OPD, Satuan

Kerja Perangkat Daerah (SKPD), dan DPRD Kota Samarinda. Menurut Direktur

Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN, kegiatan ini diselenggarakan sebagai bentuk

implementasi visi ASEAN 2025: “Melangkah Maju Bersama” yang bertujuan

mengonsolidasikan pembangunan Masyarakat ASEAN, khususnya dalam

meningkatkan kualitas hidup melalui kerjasama yang berorientasi pada rakyat,

berpusat pada rakyat, dan digagas oleh rakyat. 149 Dengan demikian, dapat

disimpulkan, adanya ADF ini terutama di cabang Indonesia, menjadi wadah bagi

Indonesia untuk memenuhi kepentingan nasionalnya yakni terus mempromosikan

149 Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 2019, Bersama Pusat Studi ASEAN UNMUL, Kemlu Tingkatkan Kepedulian terhadap Hak-Hak Penyandang Disabilitas.https://kemlu.go.id/portal/lc/read/386/berita/bersama-pusat-studi-asean-unmul-kemlu-tingkatkan-kepedulian-terhadap-hak-hak-penyandang-disabilitas diakses pada 16 Juli 2019

75

penyadaran terhadap hak kaum disabilitas serta mendorong negaranya guna

menjadi negara yang ramah disabilitas.

3. Peran ADF sebagai Aktor Independen Organisasi Internasional dalam

Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum Disabilitas di Indonesia 2016-

2018

Dapat dilihat pada penjelasan diatas bahwa ADF kurang memainkan

peran aktor independen yakni organisasi internasional mampu

mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi perselisihan. Hal ini

dikarenakan wewenang ADF yang masih minim terbatas pada melakukan

advokasi, memonitor, dan melakukan riset mengenai isu disabilitas.150 Anggota

ADF yang merupakan gabungan OPD lokal dari seluruh negara ASEAN dapat

memonitor jalannya framework disabilitas di tiap negara ASEAN, namun, tidak

dapat mengimplementasikan langsung kebijakan-kebijakan ASEAN maupun

resolusi internasional lainnya seperti CRPD atau ASEAN Enabling Masterplan

2025 atau menengahi perselisihan antar negara anggota ASEAN. Namun

demikian, ADF dapat mengacu pada kedua kebijakan tersebut dalam menjalankan

tugasnya seperti mengadvokasikan CRPD dan ASEAN Enabling Masterplan ke

pemerintah negara-negara anggota ASEAN agar dapat diimplementasikan dalam

penyusunan kebijakan dan undang-undang di masing-masing negara di Asia

Tenggara. Selain kurang berfokus pada peran sebagai aktor independen, ADF juga

tidak dapat menjalankan fungsi sebagai operasional yaitu fungsi pemanfaatan

150 Hardi, Rendi. BAB II Tinjauan Pustaka, 3.

76

serta pengoperasian sumber daya organisasi tersebut. Hal tersebut meliputi

pendanaan, pengoperasian, sub organisasi dan penyebaran operasi militer.151 ADF

tidak memiliki wewenang dalam hal pendanaan pelaksanaan kebijakan yang

tercipta. Pendanaan ini dilakukan oleh masing-masing negara anggota ASEAN

guna melaksanakan kebijakan disabilitas di masing-masing negaranya. Meskipun

demikian, tiap anggota ADF, yang merupakan gabungan OPD lokal dari tiap

negara ASEAN wajib membayar iuran jika menjadi anggota tetap maupun tidak

tetap guna mendukung kegiatan advokasi dan sekretariat.152153 Namun, hingga

2020, iuran tersebut belum berjalan.154 Walaupun ADF memiliki program untuk

melakukan riset mengenai sikap negara-negara ASEAN terhadap isu disabilitas,

ADF tidak dapat mengadili pelanggaran disabilitas yang terjadi di negara-negara

tersebut. Oleh karena itu, jika melihat definisi fungsi role-supervisory sebagai

pengembalian tindakan guna menjamin berjalannya peraturan oleh para aktor

internasisonal yang membutuhkan langkah penyusunan fakta-fakta terhadap

pelanggaran yang dilakukan, kemudian verifikasi fakta guna pembebanan saksi.

Maka, fungsi ini tidak dapat dilaksanakan ADF, karena pembebanan sanksi

dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN. Namun, ADF melalui anggota

OPD lokal, dapat melakukan advokasi pada pemerintah mengenai pelanggaran

disabilitas yang terjadi di tiap negara anggota ASEAN.

151 Jacobson, Networks of Interdependence International Organizations and the Global Political System Second Edition, 88-90. 152 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 153 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta 31 Januari 2020. 154 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta 31 Januari 2020.

77

B. Hambatan ADF dalam Pengadvokasian Akses Pendidikan bagi Kaum

Disabilitas

1. Kurangnya Perhatian Mengenai Isu Disabilitas di Indonesia

Pada tingkat ASEAN, permasalahan yang dihadapi ADF dalam

meningkatkan hak kaum disabilitas adalah belum meratanya perubahan perspektif

terkait hak penyandang disabilitas di ASEAN. Diskriminasi maupun pelanggaran

HAM berbasis disabilitas yang juga melibatkan faktor gender maupun usia,

seperti anak-anak, hingga saat ini masih banyak ditemukan. Ketidaktahuan

tersebut menyebabkan tidak disusunnya kebijakan berbasis HAM dan inklusif

pada penyandang disabilitas oleh pemangku kebijakan, yang berdampak pada

tidak adanya peningkatan kesadaran masyarakat umum mengenai hak-hak

penyandang disabilitas.155

Selain kurangnya awareness mengenai hak kaum disabilitas di kalangan

masyarakat ASEAN, pengimplementasian ASEAN Enabling Masterplan juga

mengalami kendala, seperti masih minimnya pengetahuan antara pemerintah

selaku pemangku jabatan dalam memahami poin-poin aksi Masterplan yang

tersebsar dalam tiga pilar tersebut. Pada saat ini, kementerian yang menerima

tugas pokok pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan adalah Kementerian Sosial,

Namun sebenarnya, nilai atau esensi dari Masterplan ini ialah mengarustamakan

dan melaksanakan ASEAN Enabling Masterplan pada seluruh sektor untuk

menciptakan komunitas ASEAN yang inklusif serta ramah penyandang disabilias.

Kurangnya pemahaman akan hal tersebut menjadi penghambat dalam

155 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

78

mensingergikan dan mengkoordinasikan implementasi ASEAN Enabling

Masterplan di tingkat nasional maupun daerah di negara-negara anggota

ASEAN.156

Tidak hanya itu, di Indonesia saat ini belum terlihat signifikansi

pengimplementasian ASEAN Enabling Masterplan jika pelaksanaannya

menggunakan indikator yang terintegrasi dalam Rancangan Induk Pembangunan

Inklusif Disabilitas (RIPID) dan UU Penyandang Disabilitas. Indikator utama

yang menjadi rujukan adalah belum selesainya beberapa rancangan peraturan

pemerintah UU Penyandang Disabilitas serta belum tersosialisasikannya ASEAN

Enabling Masterplan di seluruh kementerian atau lembaga sebagai pemangku

kepentingan. Namun demikian, di lain sisi, terdapat kemajuan yang cukup baik

dalam pemajuan dan perlindungan hak penyandang disabilitas dari segi

aksesibilitas transportasai serta tempat umum di kabupaten atau kota. Beberapa

daerah kabupaten/kota juga telah memiliki peraturan daerah terkait pembangunan,

pasar kerja, atau pendidikan inklusif. Selain itu, terdapat juga inisiatif kota ramah

HAM dan kota inklusi yang diinisiatifkan oleh Kementerian Hukum dan HAM

serta UNESCO dengan Asosiasi Kabupaten/Kota di Indonesia guna mendukung

pemajuan dan perlindungan hak asasi penyandang disabilitas di Indonesia.157

Dalam bidang peningkatan hak kaum disabilitas, menurut ADF, selama

melakukan berbagai advokasinya, pemerintah Indonesia masih belum banyak

melakukan upaya peningkatan kapasitas dan kesadaran terhadap kementerian atau

156 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 157 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

79

lembaganya sendiri terkait hak-hak penyandang disabilitas di Indonesia. Hal

tersebut dapat dilihat pada ego sektoral lembaga, budget, dan juga pengetahuan

staff mengenai hak-hak penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, kementerian atau

lembaga juga masih meletakkan penyandang disabilitas sebagai isu kemiskinan

atau sosial yang harus ditangani oleh kementerian sosial. Padahal, isu disabilitas

menjadi isu yang harus dilihat dari perspektif hak asasi manusia, inklusif, dan

universal. Oleh karenanya, perlu perhatian dan komitmen dari seluruh stakeholder,

kementerian, dan lembaga terkait. Selain itu, pemerintah juga belum memiliki

data yang lengkap terkait jumlah dan segregasi penyandang disabilitas di

Indonesia yang terbagi dalam berbagai sektor. 158

Selain pada sektor pemerintah, ADF juga mengalami hambatan dalam

meningkatkan pemahaman hak kaum disabilitas di kalangan masyarakat. Isu

penyandang disabilitas masih dilihat sebagai isu medical approach bagi sebagian

masyarakat. Oleh karenanya, banyak dari mereka menilai charity menjadi salah

satu pendekatan terbaik untuk penyandang disabilitas. Padahal, masih banyak

hak-hak penyandang disabilitas yang perlu dilindungi, dimajukan, serta dipenuhi

sesuai dengan prinsip CRPD. Kurangnya kesadaran juga pembangunan

masyarakat yang inklusif, maka, penghargaan dan pemenuhan hak penyandang

disabilitas masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat umum. ADF

berpendapat kesadaran baru akan muncul apabila pemerintah dapat mendorong

pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui pembuatan dan

158 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

80

pengimplementasian kebijakan yang partisipatif dengan melibatkan penyandang

disabilitas dalam kehidupan sosial bermasyarakat.159

Kurangnya pemahaman hak-hak penyandang disabilitas juga berdampak

pada kurangnya akses pendidikan inklusi bagi kaum tersebut. Menurut ADF,

hambatan dalam meningkatkan aksesibilitas pendidikan bagi kaum disabilitas

adalah sebagai berikut:160

Belum adanya kebijakan pendidikan inklusif (RPP Pendidikan

Inklusif) yang menjadi amanah UU Disabilitas.

Belum adanya perubahan mindset atau perspektif pemangku

kepentingan dalam membuat kebijakan yang mengutamakan hak

pendidikan untuk anak penyandang disabilitas.

Masih terbatasnya anggaran pendidikan untuk penyediaan sarana

dan prasarana pendidikan inklusi dan sekolah berkebutuhan khusus

dari APBN.

Belum adanya data yang terintegrasi mengenai jumlah anak

berkebutuhan khusus.

2. Kurangnya Peran ADF di ASEAN dan Media Sosial

Selain hambatan dari pemerintah dan masyarakat umum, hambatan juga

sebenarnya datang dari ADF. Peran ADF dinilai memiliki wewenang yang minim.

Deklarasi Bali yang menjadi asal muasal terbentuknya ADF, tidak banyak

mengatur wewenang yang dimiliki ADF, selain menjadi forum pertukaran

159 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019. 160 Wike Devi Erianti, Wawancara, Jakarta, 8 September 2019.

81

informasi. Hal ini dianggap wajar karena bahkan ASEAN Intergovernmental

Commission on Human Rights (AICHR), yang merupakan bagian resmi ASEAN

serta memiliki fungsi promosi dan proteksi HAM pun juga belum dapat

sepenuhnya melakukan perlindungan terhadap permasalahan HAM yang terjadi

sejak dibentuknya badan tersebut pada 2009. 161 Tidak hanya itu, ADF hanya

berstatus CSO162 pada peresmiannya sebagai Associated Entities di 2016 oleh

ASEAN. Hal ini mengakibatkan ADF tidak dapat merumuskan kebijakan di

tingkat ASEAN mengenai hak penyandang disabilitas dan hanya berfokus pada

advokasi pada stakeholders yang relevan.

Selain tugas yang kurang jelas, ADF juga terlihat kurang aktif dalam

membagikan pemahaman mengenai hak penyandang disabilitas di media sosial.

ADF yang seharusnya menonjol pada peran advokasi dan fungsinya sebagai

penyedia informasi – dimana fungsi tersebut mencakup memberi informasi,

mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data, serta membantu

menyebarluaskan informasi – kurang terlaksana dengan baik disebabkan oleh

minimnya penyebarluasan informasi di media sosial ADF sendiri. Padahal,

pembagian informasi melalui media ini sangat penting di era digital. Pembagian

informasi seharusnya bukan hanya pada DPO lokal seperti dijelaskan sebelumnya,

tetapi juga pada masyarakat yang masih awam terhadap isu hak pendidikan bagi

161 “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak Disabilitas”, 2018, Solider.id. 162 ASEAN, Register of Entities Associated with ASEAN: Updated List of Entitles Associated with ASEAN on ASEAN Website 23 March 2018.

82

kaum disabilitas. Saat ini, ADF memiliki facebook, ASEAN Disability Forum,163

sebagai wadah utama membagikan perkembangan kegiatan dan aksi mereka pada

khalayak umum. Selain itu, ADF juga memiliki website resmi seperti

aseandisabilityforum.org (http://aseandisabilityforum.org/digaleri/) untuk berbagi

informasi mengenai kondisi kaum disabilitas di negara-negara ASEAN. Namun,

website ini tidak digunakan secara maksimal oleh ADF untuk membagikan

informasi lebih lanjut. Oleh karenanya, pada 2019, ADF meluncurkan lagi website

barunya, aseandisabilityforum.com (https://www.aseandisabilityforum.com/).

Namun, hingga akhir 2019, belum banyak informasi yang diunggah di laman

tersebut, begitupun dengan media sosial twitternya, @DisabilityFrm, dimana 2016

merupakan tahun update terakhir dari akun tersebut.164

ADF sebagai organisasi disabilitas regional diharapkan mampu

memberikan banyak manfaat bagi seluruh pihak serta menjadi wadah efekif guna

mengorganisasikan negara-negara anggota ASEAN dalam memenuhi hak-hak

kaum penyandang disabilitas. ADF diharapkan mampu berkontribusi positif bagi

pemenuhan hak kaum disabilitas, tidak hanya berperan memfasilitasi pertukaran

pikiran antar negara anggota ASEAN. Namun, dalam penyadaran pentingnya

pemenuhan hak kaum disabilitas, ADF condong memiliki kegiatan yang bersifat

formal atau dengan mekanisme top-bottom dengan cara pengadaan diskusi serta

163 Penulis mengunjungi berbagai media sosial dan situs resmi ADF untuk melakukan riset mengenai platform yang digunakan ADF untuk membagikan isu disabilitas dan kebijakan ADF, termasuk Facebook ADF, “ASEAN Disability Forum” https://www.facebook.com/ASEAN.Disability.Forum.ADF/ diakses pada 22 September 2019 164 Penulis mengunjungi berbagai media sosial dan situs resmi ADF untuk melakukan riset mengenai platform yang digunakan ADF untuk membagikan isu disabilitas dan kebijakan ADF, termasuk Twitter ADF, “@DisabilityFrm” https://twitter.com/DisabilityFrm diakses pada 22 September 2019

83

antar pihak yang relevan. Hal ini dianggap kurang optimal karena para pemangku

jabatan tersebut belum mampu menyebarluaskan nilai-nilai hak penyandang

disabilitas karena berbagai kendala. Salah satu kendala tersebut ialah pemerintah

yang cenderung lebih fokus pada isu stabilisasi ekonomi ataupun politik.

Kurangnya perhatian terhadap pemenuhan hak kaum minoritas seperti disabilitas

dinilai sangat disayangkan, karena hal ini menyangkut nilai-nilai kemanusiaan

yang bersifat universal.165

Melihat hal tersebut, seharusnya ADF sebagai organisasi regional yang

sangat fokus terhadap advokasi dan penyebaran awareness mengenai hak

penyandang kaum disabilitas, mampu menginisiasi langkah-langkah penyadaran

yang lebih efektif pada negara-negara anggota ASEAN, baik pada pemerintah

maupun masyarakat. Kurangnya inisiasi dari ADF dalam melakukan langkah

penyadaran yang kreatif, berdampak pada rendahnya taraf pendidikan kaum

disabilitas di negara-negara Asia Tenggara. Oleh karena itu, dalam rangka

meningkatkan pemahaman akan hak kaum disabilitas pada masyarakat dan

pemerintah ASEAN, ADF dapat menginisasi sebuah langkah seperti campaign

project melalui media sosial. Kampanye digital ini lebih mudah dan cepat

tersampaikan di era globalisasi seperti sekarang.166

Kampanye yang diinisiasi ADF dapat mengambil platform tertentu seperti

ADF Education Campaign for Disability People: Stand for Them. Platform

165 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 70. 166 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 70-71.

84

tersebut dapat berfungsi sebagai wadah perkumpulan stakeholder dengan

masyarakat sipil maupun penyandang disabilitas. Dengan platform tersebut, ADF

dapat mendorong pemerintah negara anggota ASEAN untuk mengambil aksi

penyadaran hak kaum disabilitas. Di sisi lain, ADF juga dapat meningkatkan

kesadaran serta menggalang dukungan masyarakat akan hak kaum disabilitas

terutama dalam bidang pendidikan, khususnya hak untuk mengakses dan

melanjutkan studi hingga jenjang tertinggi. 167 Bentuk kampanye lainnya dapat

dimulai dengan tagar.168 Kampanye menggunakan cara tersebut telah dilakukan

oleh Yayasan Autisma Indonesia (YAI) yang memunculkan hashtag

#LightItUpBlue, #WorldAutismMonth dan #UnderstandAutism tiap tanggal 2

April guna memperingati hari Autisma se-dunia. Tidak hanya itu, YAI juga

mengadakan perkumpulan serta kampanye langsung dalam rangka Light It Up

Blue ini. Tempat kampanye dapat dilakukan sesuai titik kumpul, tahun 2019, YAI

mengumpulkan massanya di Tugu Monumen Nasional (Monas), Jakarta.169

Kegiatan promosi kesadaran hak kaum disabilitas dapat diselenggarakan

sekreatif mungkin. ADF dapat membuat merchandise seperti pin atau sticker

berlogo ADF dengan tagline atau hashtag seperti “Stand with Me!” atau

“#EducationIsEqual”. Tagline tersebut menginformasikan pada seluruh

masyarakat ASEAN bahwa akses pendidikan hingga tingkat tertinggi merupakan

167 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 71. 168 Tagar adalah singkatan dari tanda pagar, digunakan untuk topik pada media Twitter atau Instagram. Moch Rizky Prasetya Kurniadi, 2020, “Arti Tagar Menurut KBBI”. HTTPS://LEKTUR.ID/ARTI-TAGAR/ diakses pada 25 Januari 2020 169 Yayasan Autisma Indonesia, 2018, “Light It Up Blue YAI 2018”. http://autisme.or.id/2018/03/light-it-blue-yai-2018/ diakses pada 23 September 2019

85

hak dasar kaum yang penting didapatkan para penyandang disabilitas. Oleh

karena itu, dukungan dari seluruh pihak di ASEAN sangat dibutuhkan. ADF juga

dapat berkerjasama dengan pemerintah negara-negara ASEAN dengan cara

menjualkannya serta meminta pemerintah mempromosikannya melalui media

sosial. Tidak hanya itu, ADF juga dapat melaksanakan lomba selfie atau groupfie

bersama merchandise yang telah terbeli di media sosial dengan pemberian reward,

guna menyebarluaskan kampanye digital ini. Foto-foto tersebut kemudian dapat

dilihat dari followers atau teman para pembeli sehingga semakin banyak orang

yang sadar akan pentingnya hak pendidikan bagi kaum disabilitas, bahkan tidak

menutup kemungkinan, akan banyak juga yang tergerak untuk mendukung

kampanye tersebut.170

Selain kampanye via media sosial, ADF juga dapat mengadakan

kampanye langsung dengan cara bekerjasama dengan pihak-pihak tertentu,

misalnya pemerintah. Kampanye ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan

olahraga bersama kaum penyandang disabilitas,171 seperti ASEAN Autism Games

yang telah diselenggarakan tiap tahun oleh ASEAN Autism Network, dimana acara

olahraga tersebut menampilkan dua cabang perlombaan – lomba lari dan renang –

untuk anak Austima seluruh ASEAN.172 Selain kegiatan olahraga, kegiatan pentas

seni juga dapat dilakukan. Pentas seni ini dapat menampilkan bakat-bakat kaum

170 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 73. 171 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 73. 172 Tim Kumparan, “6 Fakta ASEAN Autism Games 2018; Ajang Olahrga untuk Anak Autisme”, 2018, kumparan.com. https://kumparan.com/berita-heboh/6-fakta-asean-autism-games-2018-ajang-olahraga-untuk-anak-berspektrum-autisme-1540017623722698223 diakses pada 23 September 2019.

86

penyandang disabilitas agar menarik perhatian masyarakat awam. Tidak hanya itu,

kampanye juga dapat dilakukan dengan cara penggalangan dana atau pemberian

bantuan sosial ke SLB atau yayasan yang khusus menangani kaum disabilitas.

Dalam acara ini juga, dapat diundang tokoh-tokoh daerah atau nasional yang

peduli terhadap nasib kaum disabilitas guna memberikan orasi-orasi penyadaran

aksesbilitas pendidikan bagi kaum disabilitas. Contoh kegiatan lain adalah

pelaksanaan konser amal dengan menggunakan tema kampanye di media sosial

dan penjualan merchandise sebagai modal keuntungan. Dalam konser ini, dapat

ditampilkan beberapa seniman yang peduli akan pendidikan bagi kaum disabilitas

atau dapat pula menampilkan aksi-aksi dari para penyandang disabilitas.

Keuntungan dari konser ini dapat dibagikan bagi penyandang disabilitas yang

kurang mampu melanjutkan pendidikan atau pada pihak sekolah maupun yayasan

guna mendukung peningkatan aksesbilitas pendidikan bagi kaum disabilitas.173

Pada intinya, penyebaran informasi mengenai hak disabilitas dapat

dilakukan secara kreatif melalui kegiatan kampanye baik media sosial dan

langsung secara berkala dan berkelanjutan serta tetap dimonitori oleh ADF.

Diharapkan dengan berbagai kegiatan kampanye tersebut, baik masyarakat

maupun pemerintah di negara-negara anggota ASEAN dapat semakin sadar akan

pentingnya akses pendidikan hingga level tertinggi bagi kaum penyandang

disabilitas. Dengan demikian, isu ini dapat lebih diprioritaskan oleh pemerintah

karena mendapat dukungan dari seluruh elemen masyarakat di Indonesia maupun

173 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 74.

87

ASEAN, 174 sehingga mempermudah pengambilan kebijakan yang efektif dan

efisien bagi masalah ini.

ADF yang merupakan organisasi regional representatif kaum disabilitas

terasa memiliki kontribusi yang masih minim. Pasalnya, wewenang dari

organisasi ini terbilang tidak banyak sekaligus metode yang digunakan masih

bersifat formal dengan fokus pada pengadaan konferensi. Selain itu, ADF

mengandalkan peran advokasinya dalam mencapai tujuan untuk meningkatkan

kesadaran akan isu disabilitas di ASEAN. Namun, ADF dirasa masih kurang

dalam peran advokasi tersebut. Hal ini dikarenakan peningkatan kesadaran akan

pentingnya isu disabilitas secara kreatif dan kontinu pada masyarakat ASEAN

yang awam akan isu tersebut juga kurang dimaksimalkan.

174 Alkadrie dan Mooy, Optimalisasi Peran ASEAN Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang Disabilitas, 74-75.

88

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Konsep organisasi internasional yang dikemukakan oleh Clive Archer

menyatakan bahwa sebuah organisasi internasional memiliki tiga peran, yakni

sebagai arena, instumen dan aktor independen. Dalam riset mengenai peran ADF

ini, diketahui bahwa ADF hampir mencakupi seluruh peran organisasi

internasional tersebut kecuali peran sebagai aktor independen. ADF berhasil

menjalankan perannya sebagai arena organisasi internasional dengan cara

memfasilitasi pertukaran ide antar OPD masing-masing negara ASEAN maupun

stakeholders yang relevan. Selain itu, ADF juga berhasil memenuhi peran

instrumen organisasi internasional, secara umum, negara-negara ASEAN

diuntungkan dengan hadirnya ADF ini, karena dengan adanya organisasi ini,

mereka dapat memenuhi kepentingan negaranya dalam bidang pemenuhan hak

bagi kaum disabilitas. Meskipun ADF berhasil memenuhi kedua peran organisasi

internasional, ADF tidak memainkan peran aktor independen yakni organisasi

internasional berperan untuk mengimplementasikan, memonitor, dan menengahi

perselisihan. Hal ini dikarenakan wewenang ADF yang masih minim terbatas

pada melakukan advokasi, memonitor, dan melakukan riset mengenai isu

disabilitas.

Selain hampir memenuhi peran organisasi internasional, ADF juga

memenuhi tiga dari empat fungsi organisasi internasional yang dikemukakan

Harold K. Jacobson, yaitu fungsi informasi, normatif, operasional, dan role-

89

supervisory. Fungsi informasi dapat dilihat pada upaya ADF untuk menyediakan

informasi, mengumpulkan, menganalisa, dan mempublikasikan data, serta

membantu menyebarluaskan informasi melalui penyelenggaraan forum. Fungsi

normatif dilakukan dengan menganut berbagai deklarasi ASEAN seperti ASEAN

Decade on Persons with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan

2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon Strategy,

dan sebagainya. Fungsi organisasi internasional yang tidak dapat dijalankan ADF

adalah fungsi operasional dan role-supervisory. Funsgi operasional tidak dapat

dijalankan karena ADF tidak memiliki wewenang dalam hal pendanaan

pelaksanaan kebijakan yang tercipta. Pendanaan dilakukan oleh masing-masing

negara anggota ASEAN guna melaksanakan kebijakan disabilitas di masing-

masing negaranya. Sedangkan fungsi role-supervisory tidak dapat dilaksanakan

ADF karena pembebanan sanksi dilakukan oleh masing-masing negara ASEAN.

Namun, ADF melalui anggota DPO lokal, dapat melakukan advokasi pada

pemerintah mengenai pelanggaran disabilitas yang terjadi.

Berdasarkan pemaparan data-data pada keempat bab sebelumnya, dapat

dilihat ADF memenuhi dua dari tiga HAM penting yakni civil rights dan hak hak

internasional yang dinikmati tiap negara dalam berinteraksi satu sama lain.

Namun, masih minimnya penyetaraan hak bagi kaum disabilitas terutama dalam

bidang pendidikan, selain dikarenakan minimnya pemahaman warga Indonesia

dan banyaknya persyaratan pada jurusan juga melimitasi kesempatan kaum

disabilitas untuk mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Hal tersebut

menjadi halangan terciptanya pendidikan yang inklusif di Indonesia maupun

90

cosmopolitan rights. Selain itu, teridentifikasi pada bab keempat bahwa hambatan

lain juga datang dari ADF itu sendiri. Minimnya tugas serta inisiatif kreatif dari

ADF juga mengakibatkan minimnya realisasi perannya. Oleh karena itu,

disimpulkan bahwa terdapat berbagai upaya yang dilakukan ADF untuk menjamin

hak yang sama bagi kaum disabilitas di Indonesia, namun, hal ini masih dirasa

kurang melihat minimnya peran ADF itu sendiri yang lebih berfokus pada

government to government dan upaya grassroots pada orang awam untuk

menyebarkan kesadaran akan pentingnya isu disabilitas juga tidak dimaksimalkan.

B. Rekomendasi untuk Penelitian Selanjutnya

Guna meningkatkan keberlanjutan riset dan akademis, penulis

menyarankan untuk melakukan penelitian rinci terhadap peran ADF di negara-

negara ASEAN selain Indonesia serta signifikansi organisasi tersebut dalam

upaya pengadvokasian maupun upaya lainnya meningkatkan hak kaum disabilitas

terutama dalam bidang pendidikan. Hal tersebut dirasa perlu, melihat masih

minimnya realisasi peran ADF bagi kaum disabilitas di ASEAN, meskipun ADF

ini telah terbentuk lumayan lama yakni pada 2011.

xix

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Archer, Clive. 2011. International Organizations. London: Rouledge.

Benett, A. Lerroy. 1995. International Organization: Principals and Issues. New

Jersey University of Delaware Englewood Cliffs: New Jersey-

Prentice Hall.

Creswell, John W. 2003. Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed

Methods Approaches. Thousand Oaks: Sage Publications, Inc.

Dirjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI. Masyarakat ASEAN

Edisi 11: Mewujudkan Masyarakat ASEAN yang Dinamis. 2014.

Media Publikasi Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN

Kementerian Luar Negeri RI.

Heywood, Andrew. 2011. Global Politics: Chapter 18, International

Organization and the United Nation. United States: Palgrave

Macmillan.

Jacobson, Harold K. 1979. Networks of Interdependence International

Organizations and the Global Political System Second Edition,

(New York: Alfred A. Knopf, Inc.m).

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. 2016. Gambaran Sekolah Inklusif di

Indonesia Tinjauan Sekolah Menengah Pertama. Jakarta: Pusat

Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan.

Mitchell, D. 2005. Contextualising Inclusive Education: Evaluating New and Old

Perspectives, Ch. 18 The Global Context of Inclusive Education:

The Role of the United Nations. London: Routledge.

Nursyamsi, Fajri. Estu Dyah Arifianti. Muhammad Faiz Aziz. Putri Bilqish dan

Abi Marutama. 2015. Kerangka Hukum Disabilitas di Indonesia:

Menuju Indonesia Ramah Disabilitas. Pusat Studi Hukum dan

Kebijakan Indonesia.

Simmon, Beth. A. dan Martin Lisa L. 2002. International Organization and

Institution in Walter Carlsnaes, Thomas Risse and Beth A.

Simmons, Handbook of international Relations. SAGE

Publications.

Jurnal dan Artikel

Alkadrie, Jafar Fikri dan Jeniar Mooy. 2016. “Optimalisasi Peran ASEAN

Disability Forum dan Akses Pendidikan bagi Kaum Penyandang

Disabilitas.” Dinamika Global Volume 01 No. 2.

xx

Dinesh, Jajoo. “A Study of Buying Decisions in Malls.” Devi Ahilya

Vishwavidyalaya University. http://hdl.handle.net/10603/97412

Hamidi, Jazim. 2016. “Perlindungan Hukum terhadap Disabilitas dalam

Memenuhi Hak Mendapatkan Pendidikan dan Pekerjaan.”

Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Hardi, Rendi. “BAB II Tinjauan Pustaka.” Bandung: Universitas Komputer

Indonesia. https://elib.unikom.ac.id/download.php?id=94576

Kusumaningrum, Demeiati Nur. Alivia Afina. Riska Amalia Agustin dan Mega

Herwiandini. 2017. “Pengaruh Asean Disability Forum Terhadap

Pengembangan Ekonomi Penyandang Disabilitas di Indonesia.”

Jurnal Insignia 2017 Vol.4 No.1.2.2

King, Gary dan Christopher J.L. Murray. 2013. “Rethinking Human Security.”

Political Science Quarterly. https://doi.org/10.2307/798222

Pratomo, Dion Teguh. Sudarsono dan Mohammad Fadli. 2014. “Pelaksanaan

Perlindungan Hak Atas Pendidikan bagi Penyandang Disabilitas

(People with Disability) di Universitas Negeri Gorontalo.”

Malang: Universitas Brawijaya.

Rapoport, Hillel. 1995. “Coordination, Altruism and Under-Development.”

KYKLOS International Review for Social Sciences Vol. 48 – 1995

– Fasc. 3. https://doi.org/10.1111/j.1467-6435.1995.tb02321.x

Thohari, Slamet. 2014. “Pandangan Disabilitas dan Aksesibilitas Fasilitas Publik

bagi Penyandang Disabilitas di Kota Malang.” Indonesia Journal

of Disability Studies, Vol. 1 Issue 1.

Yuliarso, Kurniawan Kanto dan Nunung Prajarto. 2005. “Hak Asasi Manusia

(HAM) di Indonesia: Menuju Democratic Governances.” Jurnal

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 8, Nomor 3.

Laporan On-Line Resmi

ASEAN. 2018. “ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of

Persons with Disabilities Adopted at the 33rd ASEAN Summit.”

https://asean.org/storage/2018/11/ASEAN-Enabling-Masterplan-

2025-Mainstreaming-the-Rights-of-Persons-with-Disabilities.pdf

ASEAN Disability Forum. 2014. “The 4th ASEAN Disability Forum Report.”

https://www.themimu.info/sites/themimu.info/files/documents/Re

port_ASEAN_Disability_Forum_2014.pdf

High-Level Intergovernmental Meeting on the Midpoint Review of the Asian and

Pacific Decade of Persons with Disabilities, 2013-2022. 2017.

“Disability in Asia and the Pacific: The Facts.”

xxi

International Labour Organization. 2013. “Inklusi Penyandang Disabilitas di

Indonesia.” https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---

ro-bangkok/---ilo-

jakarta/documents/publication/wcms_233426.pdf

Kementerian Kesehatan. 2014. “Situasi Penyandang Disabilitas.” Buletin Jendela

Data dan Infromasi Kesehatan.

https://pusdatin.kemkes.go.id/article/view/15033100002/situasi-

penyandang-disabilitas.html

United Nations ESCAP (Economic and Social Commissions for Asia and the

Pacific. 2015. “Disability at Glance 2015: Strengthening

Employment Prospects for Persons with Disabilities in Asia and

the Pacific.”

https://www.unescap.org/sites/default/files/SDD%20Disability%2

0Glance%202015_Final.pdf

World Health Organization & World Bank. 2011. “World Report on Disability

2011.” https://apps.who.int/iris/handle/10665/44575 diakses 21

Oktober 2018.

WHO. 2011. “WHO Disability Survey.”

http://www.who.int/disabilities/world_report/2011/report/en/

______.WHO Regional Office for South-East Asia. 2013. “Disability in the

Southeast Asia.”

http://origin.searo.who.int/entity/disabilities_injury_rehabilitation

/topics/disabilityinsear2013.pdf

______.WHO Regional Office for South-East Asia. 2014. “Disability in the

Southeast Asia.”

https://www.sida.se/globalassets/sida/eng/partners/human-rights-

based-approach/disability/rights-of-persons-with-disabilities-

south-east-asia.pdf

Basis Data On-Line Resmi

ADF. “ASEAN Disability Forum.” http://aseandisabilityforum.org/digaleri/

______. “ASEAN Disability Forum.” http://aseandisabilityforum.org/digaleri/

ASEAN. “About ASEAN.” https://asean.org/asean/about-asean/

______. 2012. “Media Release “ASEAN Accelerates Integration of Priority

Sectors.” https://asean.org/?static_post=media-release-asean-

accelerates-integration-of-priority-sectors diakses pada 31 Januari

2020.

______. 2016. “First Meeting of the Task Force on the Mainstreaming of the

Rights of Persons with Disabilities in the ASEAN Community, 5-6

December 2016.” Bangkok, Thailand. https://asean.org/8th-

meeting-task-force-mainstreaming-rights-persons-disabilities-

asean-community-14-15-september-2018-bangkok-thailand/

xxii

ASEAN. 2018. “ASEAN Secretariat Organisational Structure.”

https://asean.org/asean/asean-structure/organisational-structure-2/

______. 2018. “Register of Entities Associated with ASEAN: Update List of

Entities of Associated with ASEAN on ASEAN website 23 March

2018.” https://asean.org/storage/2012/05/Rev_REGISTER-OF-

ENTITIES-ASSOCIATED-WITH-ASEAN-as-of-23-March-

2018.pdf

Disabled People’s Association Singapore. 2017. “ASEAN Disability Forum.”

https://www.dpa.org.sg/our-event/asean-disability-forum-adf/

European Union. “Disability and Development Network ASEAN Disability Forum

Bangkok.” https://europa.eu/capacity4dev/disability-and-

development-network/event/asean-disability-forum-bangkok

Goodpitch Organization. “ASEAN Disability Forum.”

https://goodpitch.org/orgs/asean-disability-forum-adf

IFES Organization. 2018. “Supporting ASEAN to Mainstream Disability Rights.”

https://www.ifes.org/news/supporting-asean-mainstream-

disability-rights

Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. 2016. “Artikel Kebijakan

Penyandang Disabilitas.”

https://www.kemhan.go.id/pusrehab/2016/11/24/artikel-

kebijakan-penyandang-disabilitas.html

Kementerian Sosial Republik Indonesia. 2018. “Kemensos Hadirkan Beragam

Layanan dan Program Bagi Penyandang Disabilitas.”

https://www.kemsos.go.id/siaranpers/kemensos-hadirkan-

beragam-layanan-dan-program-bagi-penyandang-disabilitas 24

Mei 2019.

Kementerian dan Kebudayaan RI. 2017. “Sekolah Inklusi dan Pembangunan SLB

Dukung Pendidikan Inklusi.”

https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2017/02/sekolah-

inklusi-dan-pembangunan-slb-dukung-pendidikan-inklusi diakses

21 Oktober 2018.

Kementerian Luar Negeri RI. 2019. “Bersama Pusat Studi ASEAN UNMUL,

Kemlu Tingkatkan Kepedulian terhadap Hak-Hak Penyandang

Disabilitas.”

https://kemlu.go.id/portal/lc/read/386/berita/bersama-pusat-studi-

asean-unmul-kemlu-tingkatkan-kepedulian-terhadap-hak-hak-

penyandang-disabilitas diakses pada 16 Juli 2019.

Surbhi, S. 2016. “Difference Between Exploratory and Descriptive Research.”

Keydifference.com. https://keydifferences.com/difference-

between-exploratory-and-descriptive-research.html diakses 23

Mei 2019.

xxiii

“Traditional and Non-traditional Issues in Foreign Policy.” Shodhganga Indian

Electronics Theses & Dissertations.

http://shodhganga.inflibnet.ac.in/bitstream/10603/29666/9/09_cha

pter%202.pdf

Kurniadi, Moch Rizky Prasetya. 2020. “Arti Tagar Menurut KBBI”.

https://lektur.id/arti-tagar/ diakses pada 25 Januari 2020

UN. “UN Disability.” www.un.org/disability

______. “Factsheet on Persons with Disabilities.” UN – Disability Department of

Economic and Social Affairs https://www.un.org/development/desa/disabilities/resources/facts

heet-on-persons-with-disabilities.html

______. 2011. “Panel Discussion on Making Education a Reality for Children

with Disabilities 5 July 2011.” UN – Disability Department of

Economic and Social Affairs. https://www.un.org/development/desa/disabilities/panel-

discussion-on-making-education-a-reality-for-children-with-

disabilities-5-july-2011.html

______. “Convention on the Rights of Persons with Disabilities.” United Nations

– Disability Department of Economic and Social Affairs.

https://www.un.org/development/desa/disabilities/convention-on-

the-rights-of-persons-with-disabilities.html

______. 2016. “Inclusive and Equitable Education: Leaving No One Behind.”

United Nations Sustainable Development

https://sustainabledevelopment.un.org/index.php?page=view&typ

e=20000&nr=432&menu=2993

WHO. “World Health Organization: Disabilities.”

http://www.who.int/topics/disabilities/en/

Berita On-Line Resmi

Election Access. “ASEAN Launches Disability Mainstreaming Materplan”. 2018.

electionaccess.org, http://electionaccess.org/en/media/news/80/

Filani, Olyvia. “Satu Juta Anak Berkebutuhan Khusus Tak Bisa Sekolah”. 2017.

CNN Indonesia.

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20170829083026-20-

237997/satu-juta-anak-berkebutuhan-khusus-tak-bisa-sekolah

diakses 21 Oktober 2018

Hidayat, Reja. "Menghentikan Diskriminasi Penyandang Disabilitas". 2016.

tirto.id. https://tirto.id/menghentikan-diskriminasi-penyandang-

disabilitas-bHGp

Jogloabang. “Permensos 21 Tahun 2017 tentang Kartu Penyandang Disabilitas.”

2017. Jogloabang.com

xxiv

https://www.jogloabang.com/pustaka/permensos-21-tahun-2017-

tentang-kartu-penyandang-disabilitas

Katharina, Gloria Fransisca. “3 Tugas Pokok ADF Lindungi Hak-Hak Disabilitas

di ASEAN”. 2018. kabar24.bisnis.com.

https://kabar24.bisnis.com/read/20180614/79/806210/3-tugas-

pokok-adf-lindungi-hak-hak-disabilitas-di-asean

Kumparan. “6 Fakta ASEAN Autism Games 2018; Ajang Olahrga untuk Anak

Autisme”. 2018. kumparan.com. https://kumparan.com/berita-

heboh/6-fakta-asean-autism-games-2018-ajang-olahraga-untuk-

anak-berspektrum-autisme-1540017623722698223

Safitri, Marisa. “Jamin Hak Kaum Disabilitas, ASEAN Kembangkan Enabling

Masterplan 2025”. 2019. idntimes.com.

https://www.idntimes.com/news/indonesia/marisa-safitri-2/jamin-

hak-kaum-disabilitas-asean-kembangkan-enabling-

masterplan/full

Solider. “51 Tahun ASEAN dan Kontribusinya dalam Upaya Perlindungan Hak

Difabel”. 2018. Solider.id, https://www.solider.id/baca/4732-51-

asean-kontribusinya-dalam-upaya-perlindungan-hak-difabel

Sucahyo, Nurhadi. “Penyandang Disabilitas Pertanyakan Komitmen Pemerintahan

Jokowi.” 2017. VOAIndonesia.com.

https://www.voaindonesia.com/a/penyandang-disabilitas-

pertanyakan-komitmen-pemerintahan-jokowi/3980179.html

Susilawati, Desy. “Indonesia Miliki 12 Persen Penyandang Disabilitas”. 2016.

Republika.co.id.

https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/12/16/oi9ru

f384-indonesia-miliki-12-persen-penyandang-disabilitas

Yayasan Autisma Indonesia. “Light It Up Blue YAI 2018”. 2018. Yayasan

Autisma Indonesia, http://autisme.or.id/2018/03/light-it-blue-yai-

2018/

Sumber Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-

tahun-1999-tentang-$H9FVDS.pdf

Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyandang Disabilitas. http://pug-

pupr.pu.go.id/_uploads/PP/UU.%20No.%208%20Th.%202016.p

df

xxv

Media Sosial On-Line

Facebook ADF. ASEAN Disability Forum.

https://www.facebook.com/ASEAN.Disability.Forum.ADF/

diakses pada 22 September 2019

Twitter ADF. @DisabilityFrm. https://twitter.com/DisabilityFrm

Wawancara

Wike Devi Erianti, Program Manager dari ASEAN Disability Forum (ADF), 8

September 2019.

Wike Devi Erianti, Program Manager dari ASEAN Disability Forum (ADF), 31

Januari 2020.

xxvi

LAMPIRAN

Lampiran 1 Teks Wawancara

Teks wawancara dengan Wike Devi Erianti (Program Manager) dari ASEAN

Disability Forum (ADF), 8 September 2019.

A. Identitas Narasumber

1. Apa posisi Anda dalam ADF?

Posisi saya di ADF adalah sebagai Program Manager untuk

implementasi program dan project yang dikoordinasikan oleh Sekretariat

ADF. Dalam melaksanakan posisi ini saya berkoordinasi secara langsung

dengan Sekretaris Jenderal ADF, Ibu Maulani Rotinsulu sebagai Direktur

atau Penanggung Jawab Sekretariat ADF. Selain dengan beliau, saya juga

berkoordinasi dengan Chairman ADF yang berbasis di Singapura yaitu

Mr. PT Lim.

2. Sejak kapan Anda bergabung dengan organisasi ADF?

Saya terlibat dalam struktur di secretariat ADF sejak tahun 2017 semenjak

Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia melakukan

penandatangan kerjasama dengan ADF untuk advokasi perlindungan dan

pemajuan hak-hak penyandang disabilitas di ASEAN. Organiasi utama

saya adalah HRWG dan sejak penandatangan kerjasama tersebut saya

diposisikan dalam struktur secretariat ADF untuk membantu implementasi

program dan projek advokasi yang dilakukan oleh ADF secara regional.

3. Apakah Anda pernah terlibat dalam pemberian saran atau pengambilan

keputusan dalam ADF?

Semenjak saya bergabung dengan ADF, saya pernah beberapa kali melihat

proses pengambilan keputusan yang melibatkan ADF Steering Committee

dari masing-masing negara. Untuk posisi saya sendiri tidak memiliki hak

xxvii

dalam pengambilan keputusan namun sebagai bagian dari secretariat saya

membantu mengorganisasi atau memfasilitasi keperluan teknis untuk

pengambilan keputusan organisasi. Misalnya dengan menyiapkan

pertemuan board tahunan, dokumen-dokumen yang akan dibahas, dan juga

melaporkan hasil pertemuan dan keputusan yang disetujui oleh para board

kepada semua board.

B. ASEAN Disability Forum

1. Bentuk organisasi apa sebenarnya ADF ini?

ASEAN Disability Forum adalah organisasi regional yang memiliki

anggota dan jaringan di negara-negara ASEAN berupa organsisasi

penyandang disabilitas dengan beragam focus isu dan bentuk yang

tujuannya adalah untuk melindungi dan memajukan hak-hak penyandang

disabilitas. Sebagai organisasi regional, ADF bertindak sebagai perantara

antara organisasi penyandang disabilitas di tingkat grassroots dan

mekanisme atau struktur kerjasama HAM di ASEAN untuk memastikan

advokasi perlindungan dan pemajuan hak penyandang disabilitas masuk

dalam kebijakan atau frameworks yang diadopsi oleh ASEAN.

Untuk itu, ADF beperan penting dalam melakukan advokasi kebijakan

tingkat regional berdasarkan data yang diperoleh dari organisasi

penyandang disabilitas di tingkat nasional melalui peningkatan kesadaran

kepada seluruh stakeholders termasuk pemerintah dan masyarakat di

negara-negara ASEAN. Sebaliknya ADF juga melakukan peningkatan

kapasitas kepada anggota dan jaringannya sebagai upaya pelibatan serta

partisipasi yang aktif dalam mekanisme HAM ASEAN.

2. Apa wewenang dan kewajiban yang dimiliki ADF?

Wewenang yang dimiliki ADF dalam kapasitas fungsinya sebagai

organsasi regional untuk pemajuan dan perlindungan hak penyandang

disabilitas adalah sebagai berikut:

xxviii

1. Memfasilitas pertukaran informasi, lesson learnt, best practices yang

dimiliki oleh masing-masing organisasi di negara ASEAN untuk

pemajuan dan perlindungan hak penyandang disabilitas.

2. Mendorong multi-stakeholders di ASEAN untuk mempromosikan hak-

hak penyandang disabilitas.

3. Membuat rekomendasi untuk kebijakan public, programs, projek,

untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas diadopsi dalam

mekansime maupun framework/dokumen-dokumen hak asasi manusia

di ASEAN.

4. Untuk meningkatkan kesadaran organisasi penyandang disabilitas di

ASEAN

5. Untuk memberikan peningkatan kapasitas stakeholders terkait

termasuk orgasisasi penyandang disabilitas dalam merubah perspektif

hak-hak penyandang disabilitas dari pendekatan medis kepada hak

asasi manusia.

6. Untuk mempromosikan pelayanan komunitas yang inklusif kepada

penyandang disabilitas dan multi-stakeholders dalam upaya

menciptakan kemandiran hidup penyandang disabilitas.

3. Selain wewenang tersebut, apakah ADF dapat menambah

wewenangnya/programnya?

Selain fungsi atau wewenang diatas, ADF juga dapat menambah program

atau projeknya untuk meningkatkan upaya terwujudnya tujuan ADF yaitu

1) mengimplementasikan dokumen ASEAN diantaranya ASEAN Decade

on Persons with Disabilities, Bali Declaration, Enabling Masterplan

2025: Mainstreaming the Rights of Persons with Disabilities, Incheon

Strategy, dsb, 2) Mengarusutamakan perspektif hak penyandang

disabilitas sebagai hak asasi manusia kepada multi-stakeholders terutama

pemangku kebijakan masing-masing negara serta masyarakat ASEAN, 3)

xxix

menyediakan peningkatan kapasitas kepada stakeholders terkait

khususnya pemerintah dan organisasi penyandang disabilitas untuk

merubah perspektif pendekatan medis kepada hak asasi manusia dalam

memajukan dan melindungi hak penyandang disabilitas.

Untuk mencapai tujuan tersebut, ADF dapat mengambil inisiatif program

atau projek lain misalnya melakukan penelitian dan riset untuk

mendukung advokasi, kampanye, dan peningkatan kesadaran di

masyarakat. Selain itu, ADF juga melakukan kerjasama dengan

organisasi masyarakat sipil di isu bantuan hokum, perempuan, anak, serta

hak asasi manusia untuk meningkatkan kapasitas dan pencapaian hasil

advokasi yang maksimal dalam memajukan dan melindungi hak

disabilitas. ADF juga berkomitmen mengadakan forum disabilitas

tahunan untuk menjadi platform bagi organisasi regional dan nasional di

ASEAN dalam berdialog, berkonsultasi dengan pemerintah, berdikusi

tentang situasi terkini atau sharing best practices atau lesson learnt, serta

meningkatkan kesadaran para stakeholders dan masyarakat mengenai

hak-hak penyandang disabilitas di ASEAN. Forum tahunan ini diadakah

setiap akhir tahun berbarengan dengan pertemuan tahunan board dan

steering committee ADF.

4. Misal mengadakan acara olahraga bagi disabilitas seperti Asian Para

Games?

Anggota ADF di Indonesia yaitu Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia

(HWDI) terlibat sangat aktif dalam persiapan Asian Para Games 2018

lalu dengan menjadi pelatih etika berinteraksi dengan penyandang

disabilitas bagi para relawan Asian Para Games. Etika berinteraksi

tersebut sangat dibutuhkan dan bermanfaat bagi para relawan sebagai

duta atau ambassador dalam mengarusutamakan hak-hak penyandang

disabilitas kepada masyarakat luas yang turut hadir dalam pagelaran

xxx

Asian Para Games dan juga partner-partner atau stakeholders yang

terlibat didalamnya.

5. Bagaimana alur untuk menjadi anggota ADF?

Setiap organisasi penyandang disabilitas dapat mendaftar menjadi

anggota tetap dan tidak tetap. Untuk presedur, proses, format, dan

persetujuan pendaftaran anggota akan dilakukan oleh Steering Committee.

Setiap member akan diminta biaya atau iuran anggota secara regular

untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan ADF. Jumlah iuran tersebut

diatur lebih lanjut dalam AD/ART ADF baik untuk anggota tetap maupun

tidak tetap. Untuk anggota tetap, mereka akan diberikan hak dipilih

sebagai steering committee semantara anggota tidak tetap diberikan hak

sebagai observer.

6. Bagaimana pola kerjasama ADF dengan organisasi DPO lainnya?

Seperti sudah dijelaskan diatas, ADF bekerjasama dengan organisasi

penyandang disabiltas lain di negara-negara ASEAN sebagai anggota dan

secretariat. Sebagai secretariat, ADF membawahkan organisasi-

organisasi penyandang disabilitas lokal untuk meningkatkan kapasitas

terkait mekanisme HAM regional dan internasional serta menjadikan

mereka partner dalam melakukan advokasi hak penyandang disabilitas di

tingkat nasional. Sebagai partner lokal, organisasi penyandang disabilitas

yang menjadi steering committee atau member memiliki peranan penting

dalam sebagai focal point atau perwakilan ADF dalam melaksanakan

program dan menyebarluaskan informasi advokasi ditingkat nasional.

7. Bagaimana pola kerjasama ADF dengan ASEAN?

Dalam advokasi regional di tingkat ASEAN, ADF sejak tahun 2016 sudah

terdaftar menjadi salah satu organisasi yang mempunyai status ASEAN

Associated Entities. Dengan status tersebut, ADF sudah diakui

akreditasinya oleh ASEAN untuk turut berpartisipasi dalam proses-proses

xxxi

pembuatan kebijakan, peningkatan kapasitas, kesadaran, dan sebagainya

yang bertujuan untuk mengarusutamakan pemajuan dan perlindungan hak

penyandang disabilitas di ASEAN.

Dengan status tersebut, ADF telah dilibatkan secara aktif dalam proses

pembuatan beberapa instrument dan frameworks yaitu diantaranya ASEAN

Decade on Persons with Disabilities, Bali Declaration, dan terakhir adalah

ASEAN Enabling Masterplan 2025: Mainstreaming the Rights of Persons

with Disabilities. ADF menjadi anggota yang secara aktif dan regular

dilibatkan dalam Taskforce untuk pembuatan ASEAN Enabling

Masterplan bersama dengan AICHR, ACWC, dan SOMSWD. Selain itu,

ADF juga dimintai pandagan dan masukannya oleh ASEAN dalam setiap

pilar kerjasamanya salah satunya oleh pilla politik dan keamanan melalui

pertemuan tahunan ASCCO.

8. Bagaimana pola kerjasama ADF dengan pemerintah negara anggota

ASEAN terutama Indonesia?

Di tingkat nasional, ADF bekerja sama dengan pemerintah masing-masing

negara termasuk pemerintah Indonesia. Salah satu bentuk kerjasama yang

dilakukan adalah dengan secara aktif berdialog dan melibatkan partisipasi

DPO local untuk memberikan masukan kepada pemerintah melalui

Kementerian Sosial, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian

Perempuan dan Perlindungan Anak, Bappenas, Komnas HAM, Komnas

Perempuan, dan kementerian/lembaga lain dalam proses pembuatan atau

monitoring implementasi kebijakan. Sebagai focal point ASEAN di

Indonesia, ADF secara rutin juga berkoordinasi dan berkomunikasi

melalui dialog kebijakan dan audiensi dengan kementerian social, Wakil

SOMSWD, Wakil AICHR, Wakil ACWC, Perwakilan tetap RI untuk

ASEAN, dan Kementerian Luar Negeri Indonesia.

xxxii

C. Permasalahan Disabilitas di ASEAN

1. Apa yang menjadi hambatan bagi ADF dalam bekerjasama meningkatkan

hak kaum disabilitas di ASEAN?

Hal utama yang menjadi hambatan adalah belum meratanya perubahan

perspektif terkait hak penyangdang disabilitas di ASEAN. Hingga saat ini

masih banyak stigma, diskriminasi, pelanggaran HAM berbasis disabilitas

yang juga melibatkan factor gender maupun usia contohnya anak-anak.

Ketidak tahuan tersebut yang menyebabkan pemangku kebijakan tidak

membuat kebijakan yang berbasis ham dan inklusif kepada penyandang

disabilitas yang juga berdampak pada tidak adanya peningkatan kesadaran

masyarakat umum mengenai hak-hak penyandang disabilitas.

2. Bagaimana kondisi pendidikan inklusif di negara-negara anggota ASEAN

sekarang? Apakah sudah baik?

Pendidikan inklusif saat ini sudah mengalami kemajuan di beberapa

negara ASEAN namun hanya terbatas pada negara-negara yang maju saja

dan terkonsentrasi di kota-kota besar seperti Singapura, Malaysia,

Indonesia, dan Filipina.

Sementara negara berkembang masih harus berjuang keras dalam

menyediakan akses dan fasilitas pendidikan inklusif untuk anak-anak

penyangdang disabilitas misalnya di negara-negara Kamboja, Myanmar,

Laos, dan Vietnam.

Berdasarkan laporan UNESCAP tahun 2015/2017, ditemukan data bahwa

penerimaan anak-anak penyandang disabilitas di sekolah dasar dan

menengah lebih rendah bila dibandingkan dengan anak non disabilitas. Di

beberapa negara juga ditemukan tidak adanya sekolah-sekolah

berkebutuhan khusus yang memadai di tingkat lokal sehingga akses

pendidikan untuk mereka sangat terbatas. Padahal kebutuhan pendidikan

xxxiii

inklusif bukan hanya di sekolah umum namun juga penyediaan saran dan

prasarana sekolah berkebutuhan khusus di daerah-daerah.

3. Langkah seperti apa yang telah diambil ADF guna meningkatkan

aksesbilitas pendidikan untuk penyandang kaum disabilitas di ASEAN?

Saat ini ADF sedang meneliti implementasi dari agenda berkelanjutan

SDGs goal 4 mengenai pendidikan di beberapa negara ASEAN yaitu

Indonesia, Thailand, Singapore, Viet Nam dan juga Philippines. Penelitian

ini juga akan melihat bagaimana komitmen negara-negara tersebut dalam

memenuhi hak-hak pendidikan kepada penyandang disabilitas berdasarkan

CRPD yang sudah diratifikasi oleh semua negara ASEAN. Di tingkat

nasional, pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan

menjadi target advokasi utama anggota ADF dalam menyelesaikan

rancangan peraturan pemerintah untuk pendidikan inklusif amanat dari UU

No.8/2016 mengenai Penyandang Disabilitas.

D. Permasalahan Disabilitas di Indonesia

1. Menurut ADF, bagaimana kondisi pendidikan inklusif di Indonesia

sekarang? Apakah sudah cukup baik atau belum?

Kementerian Pendidikan sudah mengeluarkan program pendidikan inklusi

sejak 2012 dengan target 2021 sekolah inklusif tahun 2019. Namun dari

29.700 sekolah yang ada di Indonesia, baru 12% yang sudah menerapkan

sistem inklusi. Kementerian Pendidikan saat ini sedang menyiapkan

roadmap untuk meneliti apakan masih realistis untuk mencapai target 2021

sekolah inklusi. Karena jika tidak, akan diperpanjang targetnya sampai

tahun 2024. Saat ini RPP Pendidikan masih dalam proses di dalam

kementerian dan dibahas dibagian biro hukum.

2. Di Indonesia, langkah seperti apa yang telah diambil ADF guna

meningkatkan aksesbilitas pendidikan untuk penyandang kaum disabilitas?

xxxiv

ADF turut aktif melalui anggotanya di Indonesia melalui PPDI, HWDI

dan Perhimpunan Jiwa Sehat yang tergabung dalam Pokja UU Disabilitas

untuk memberikan masukan, rekomendasi, dan berdiskusi mengenai

rancanang peraturan pemerintah mengenai pendidikan inklusi. Selain itu,

ADF juga berkerja sama dengan organisasi HAM lain dalam melakukan

upaya pemantauan implementasi kebijakan serta CRPD melalui

pembuatan laporan alternatif masyarakat sipil.

3. Apa saja hambatan yang dialami ADF dalam mendorong pemerintah

meningkatkan hak kaum disabilitas?

Dalam melakukan berbagai advokasinya, ADF menemukan bahwa

pemerintah masih belum banyak melakukan upaya peningkatan kapasitas

dan kesadaran terhadap kementerian/lembaganya sendiri terkait hak-hak

penyandang disabilitas di Indonesia. Hal tersebut dapat terlihat dari ego

sektoral lembaga, budget, dan juga pengetahuan staff mengenai hak-hak

penyandang disabilitas.

Terlepas dari itu kementerian/lembaga juga masih meletakan penyandang

disabilitas sebagai isu kemiskinan atau sosial yang harus ditangani oleh

kementerian sosial. Padahal, isu disabilitas menjadi isu yang harus dilihat

dari perspektif hak asasi manusia, inklusif, dan universal. Oleh karena nya

perlu perhatian dan komitmen dari semua stakeholder, kementerian, dan

lembaga terkait. Selain itu, pemerintah juga belum memiliki data yang

lengkap terkait jumlah dan segregasi penyandang disabilitas di Indonesia

yang terbagi dalam berbagai sektor.

4. Apa hambatan yang dialami ADF dalam membantu meningkatkan akses

pendidikan inklusif bagi kaum disabilitas?

Belum adanya kebijakan pendidikan inklusif (RPP Pendidikan

inklusif) yang menjadi amanah UU DIsbailitas

xxxv

Belum adanya perubahan mindset atau perspektif pemangku

kepentingan dalam membuat kebijakan yang mengutamakan hak

pendidikan untuk anak penyandang disabilitas.

Masih terbatasnya anggaran pendidikan untuk penyediaan sarana

dan prasarana pendidikan inklusi dan sekolah berkebutuhan khusus

dari APBN.

Belum adanya data yang terintegrasi mengenai jumlah anak

berkebutuhan khusus.

5. Apakah ADF mengalami hambatan dalam meningkatkan awareness

mengenai disabilitas di kalangan masyarakat Indonesia?

Isu penyandang disabilitas masih dilihat sebagai isu berdasarkan medical

approach yang berubah menjadi social based approach di mata masyarakat.

Oleh kerena nya banyak masyarakat yang menilai charity menjadi salah

satu pendekatan yang terbaik kepada penyandang disbilitas padahal masih

banyak hak-hak penyangdang disabilitas yang perlu dilindungi, dimajukan,

dan dipenuhi sesuai dengan prinsip CRPD. Karena kurangnya kesadaran

dan juga pembangunan masyarakat yang inklusif maka penghargaan dan

pemenuhan hak penyangdang disabilitas masih dinilai sebalah mata oleh

masyarakat umum. Kesadaran baru akan muncul apabila pemerintah dapat

mendorong pemenuhan hak penyandang disabilitas melalui pembuatan

dan implementasi kebijakan yang partisipatif dengan melibatkan

penyandang disabilitas dalam kehidupan social bermasyarakat.

6. Apa tanggapan ADF mengenai SLB di Indonesia?

Berdasarkan data yang ada sekolah luar biasa atau berkebutuhan khusus

masih rendah dibandingankan dengan sekolah inklusif. Oleh karena itu,

pemerintah perlu mengidentifikasi terlebih dahulu data anak penyandang

disabilitas berkebutuhan khusus yang tersebar di kabupaten/kota dan

daerah pelosok Indonesia. Masalah yang sering ditemukan adalah

xxxvi

banyaknya anak penyandang disabilitas di daerah yang sulit mengakses

sekolah luar biasa karena akses yang sangat jauh, saran, dan prasaran yang

tidak mendukung. Pendidikan khusus bagi tenaga pendidik dan kurikulum

sangat diperlukan sementara hal tersebut masih menjadi kendala yang

besar di system pendidikan inklusif di Indonesia.

7. Solusi atau saran apa yang ADF sarankan mengenai pendidikan inklusif di

Indonesia?

Identifikasi kebutuhan anak penyandang disabilitas di Indonesia mulai

dari jenis, jumlah, dan penyebarannya.

Menggunakan budget APBN dan APBD untuk mengembangkan

sistem pendidikan inklusif di daerah yang terintegrasi dengan

pelaksanaan RPP Pendidikan dan amanah UU Penyandang disabilitas.

Mengembangkan kapasitas pengajar dan pendidik untuk memahami

hak-hak anak dan penyandang disabilitas.

Membuat kurikulum dan mata pelajaran etika bersosialisasi dengan

penyandang disabilitas.

E. ASEAN Enabling Masterplan 2025

1. Bagaimana perkembangan pengimplementasian ASEAN Enabling

Masterplan 2025 di negara anggota ASEAN terutama Indonesia?

ASEAN Enabling Masterplan sudah diadopsi pada tahun 2018 yang lalu

oleh seluruh negara ASEAN. Tujuan utamanya adalah untuk

mengarusutamakan hak penyandang disabilitas di tiga pillar utama

ASEAN yaitu politik-keamanan, ekonomi, dan sosial-budaya. Pasca

setahun semenjak disahkannya Enabling Masterplan, ASEAN mulai

menjalankan poin-poin aksinya yang tersebar dalam tiga pillar tersebut

diantaranya adalah dengan memastikan setiap pillar mengerjakan program

xxxvii

dan projek dengan mengikutsertakan partisipasi penyandang disabilitas

terutama dengan menggunakan basis pendekatan HAM.

Beberapa diantara negara ASEAN sudah mengadopsi ASEAN Enabling

Masterplan kedalam rencana aksi nasional atau menerjemahkannya dalam

bentuk aturan pelaksana di tingkat nasional. Misalnya di Indonesia,

Bappenas sudah menggunakan ASEAN Enabling Masterplan ke dalam

Rencana Induk Pembangunan Disabilitas (RIPID). Sementara Indonesia

juga memiliki rencana aksi lain teruntuk hak asasi manusia dan RPJMN

yang bisa diinergikan dengan pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan

berdasarkan CRPD dan SDGs. ASEAN Enabling Masterplan akan

dievaluasi tengah periode pada tahun 2021 dan akhir periode pada tahun

2025. Sebelum masa tengah periodenya, ADF berharap dapat melihat

perkembangan pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan di negara-negara

ASEAN.

2. Apa saja yang telah dilakukan ADF setelah dilegalkannya ASEAN

Enabling Masterplan?

Pasca diadopsinya ASEAN Enabling Masterplan 2025, ADF fokus pada

pemantauan atau monitoring implementasi ASEAN Enabling Masterplan.

Sebelum terlaksananya framework ini ditingkat nasional, ADF melakukan

peningkatan kesadaran atau sosialisasi kepada DPO dan pemerintah

terlebih dahulu mengenai ASEAN Enabling Masterplan dan

mendiskusikan strategi pelakasanannya dengan pemangku kepentingan

terutama pemerintah. Untuk mendiskusikan hal tersebut, ADF melakukan

lobby dengan berbagai pihak utamanya dengan Kementerian Sosial,

Kementerian Luar Negeri, AICHR, ACWC, SOMSWD, Permanent

Mission Indonesia to ASEAN, dan kementerian/lembaga terkait hingga

DPI dalam sebuah dialog kebijakan publik pada awal tahun 2018.

3. Bagaimana langkah ADF untuk menjamin terimplementasinya ASEAN

Enabling Masterplan?

xxxviii

Untuk memastikan terlaksananya ASEAN Enabling Masterplan, ADF akan

membuat penelitian terkait situasi penyandang disabilitas di ASEAN.

Dengan advokasi berbasi data diharapkan pemangku kepentingan terkait

terutama pemerintah dapat membuat kebijakan yang tepat sasaran dan

sesuai dengan situasi yang terjadi di lapangan dengan pembuatan

kebijakan yang berbasis pada pendekatan bottom-up.

Selain itu, ADF bermaksud meningkatkan jejaring DPO di ASEAN untuk

turut memonitori pelaskanaan ASEAN Enabling Masterplan dengan

mengajak CSOs dan para eksperts dalam memberikan masukan atau

rekomendasi terkait pelakasanaan ASEAN Enabling Masterplan di tingkat

nasional. Dengan adanya peningkatan kapasitas kepada DPO diharapkan

bentuk jejarin ini nanti akan dapat dikembangkan menjadi bentuk working

group dengan berbasis pada advokasi inklusif secara kollektif antar

masyarakat sipil di ASEAN.

4. Hal apa saja yang menjadi hambatan ADF setelah dilegalkannya ASEAN

Enabling Masterplan?

Yang menjadi kendala utama saat ini adalah, belum adanya pengetahuan

yang cukup dan sepadan antara pemerintah selaku pemangky kepentingan

dalam memahami poin-poin aksi Enabling Masterplan yang tersebar

dalam tiga pillar. Sejauh ini kementerian yang menerima tugas pokok atau

utama untuk pelaksana ASEAN Enabling Masterplan adalah Kementerian

Sosial namun, nilai atau esensi dari ASEAN Enabling Masterplan adalah

pengarusutamaan dan pelaksanaan ASEAN Enabling Masterplan disemua

sector untuk menciptakan komunitas ASEAN yang inklusif dan ramah

penyandang disabilitas. Ketimpangan pemahamam ini yang menjadi

penghambat dalam mensinergikan dan mengkoordinasikan implementasi

ASEAN Enabling Masterplan di tingkat nasional dan daerag di negara-

negara ASEAN.

xxxix

5. Menurut ADF, apakah respon pemerintah Indonesia mengenai

pengimplementasian ASEAN Enabling Masterplan dapat dinilai baik?

Sejauh ini implementasi ASEAN Enabling Masterplan belum dapat dilihat

secara komprehensif dan maksimal jika menggunakan indikator

pelaksanaan nya yang terintegrasi dalam RIPID dan UU Penyandang

Disabilitas. Indikator utama yang menjadi rujukan adalah belum

selesainya beberapa rancangan peraturan pemerintah UU Penyangdang

Disabilitas dan belum tersosialisasikannya ASEAN Enabling Masterplan di

semua kementerian/lembaga sebagai pemangku kepentingan. Namun

ditengah situasi tersebut, ada kemajuan yang cukup baik dalam pemajuan

dan perlindungan hak penyandang disabilitas dari sisi aksesibilitas

terutama di bidang transportasi dan gedung-gedung publik di

kabupaten/kota. Beberapa daerah kabupaten/kota juga sudah ada yang

membuat peraturan daerah terkait pembangunan, pasar kerja, atau

pendidikan inklusif. Selain itu ada juga inisatif kota ramah ham dan kota

inklusif yang dikerjakan oleh Kementerian Hukum dan Ham serta

UNESCO dengan Asosiasi Kabupaten/Kota di Indonesia untuk

mendukung pemajuan dan pelindungan hak asasi penyandang disabilitas di

Indonesia.

Lampiran 2 Teks Wawancara

Teks wawancara dengan Wike Devi Erianti (Program Manager) dari ASEAN

Disability Forum (ADF), 31 Januari 2020.

1. Sebelumnya narasumber menyebutkan bahwa terdapat iuran untuk

anggota ADF. Kira-kira berapa jumlah iuran tersebut dan digunakan untuk

apa iuran tersebut?

Seyogyanya ada iuran yang dibayarkan oleh anggota untuk mendukung

kegiatan advokasi dan sekretariat ADF, namun sejak saya bergabung

dengan ASEAN Disability Forum, iuran yang dimaksud tidak berjalan.

xl

2. Seberapa jauh fungsi kontrol yang dilakukan oleh ADF untuk memastikan

program ADF berjalan sesuai dengan yang direncanakan di Indonesia?

Sekretariat ADF berada di Jakarta, Indonesia sehingga Ketua ADF dapat

memberikan delegasi kepada Sekretaris Jenderal ADF yang berada di

Indonesia untuk melakukan fungsi kontrol dalam tugas dan fungsi

koordinasi perencanaan, monitoring, dan evaluasi program advokasi

secara regional, khususnya yang akan dilakukan di Indonesia.

3. ADF bekerjasama dengan stakeholders mana saja dari tiap negara-negara

ASEAN?

Di ASEAN, ADF bekerjasama dengan ASEAN Secretariat untuk

koordinasi dan komunikasi terkait pelaksanaan dan monitoring serta

evaluasi pelaksanaan dokumen-dokumen terkait perlindungan hak

disabilitas di ASEAN. Secara khusus, ADF juga bekerjasama dengan

badan-badan di dalam ASEAN untuk divisi HAM seperti AICHR, ACWC,

dan SOMSWD. Koordinasi dan kerjasama dengan tiga lembaga tersebut

dapat dilakukan secara mandiri oleh masing-masing anggota ADF di

negara-negara ASEAN atau langsung dilakukan oleh ADF sendiri.

4. Bagaimana mekanisme evaluasi yang dilakukan ADF untuk memastikan

programnya terimplementasi dengan baik?

Upaya evaluasi yang dilakukan setelah program advokasi selesai adalah

dengan melihat pelaksanaan program melalui capaian target outcome atau

indikator-indikator yang ditetapkan. Pelaksaaan keseluruhan program

menjadi pintu masuk untuk melakukan evaluasi substansi per kegiatan

program berdasarkan penilaian kekuatan, kelemahan, tantangan, dan

kesempatan yang dapat diambil pelajarannya setelah program selesai.