peradilan islam dalam transisi

Upload: budijuliandi

Post on 11-Feb-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    1/16

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    2/16

    2

    Resume Disertasi

    Judul:

    Peradilan Islam dalam Transisi: Studi Sosio-Hukum

    Hakim Pengadilan Agama di Indonesia

    Oleh:

    Budi Juliandi

    Bab I

    Pengantar

    Latar Belakang Masalah

    Penelitian berdasarkan kenyataan bahwa kajian-kajian tentang pengadilan

    agama di kalangan ulama Indonesia sangat terbatas. Sebagian besar buku yang

    tersedia dan artikel yang ditulis oleh para praktisi dan pejabat di luar dan di dalam

    lingkungan pengadilan agama, lebih ditujukan untuk penggunaan praktis danempiris.

    Signifikansi Penelitian

    Penelitian ini signifikan untuk menemukan bagaimana lembaga tradisional

    Islam (Pengadilan Agama) mampu bertahan, mempertahankan diri, dan

    memajukan eksistensinya, serta beradaptasi dengan perubahan kondisi masyarakat

    plural dan modern.

    Rumusan Masalah

    Beberapa pokok masalah dirumuskan sebagai berikut:

    1. Bagaimana hubungan antara negara dan agama, terkait dengan sistemhukum.

    2. Apa peran dan fungsi hakim pengadilan agama di Indonesia sebelum danselama pemerintahan Orde Baru.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    3/16

    3

    Tujuan dan Kegunaan Penelitian

    Penelitian ini diarahkan untuk tujuan berikut:

    1. Untuk mengetahui latar belakang sosial para hakim, sikap dan perilakumereka, vis a vis dengan perubahan di pengadilan agama, terhadap hukum

    yang harus mereka terapkan, serta lingkungan agama dan politik selama

    periode tersebut.

    2. Untuk menggambarkan hubungan interprofesi antara hakim di pengadilanagama dengan hakim di pengadilan umum, dan antara hakim di pengadilan

    agama dengan pegawai/pejabat di kementerian agama, antara hakim di

    pengadilan agama dengan rekan independen mereka seperti ulama.

    3. Untuk menguji modus dan tingkat institusionalisasi lembaga pengadilanagama dan profesi hakim di Indonesia.

    4. Untuk memberikan kontribusi dalam mengungkap kemungkinan-kemungkinan dan masalah-masalah yang terkait dengan integrasi hukum

    Islam dan lembaga-lembaga hukum ke dalam sistem hukum nasional yang

    masih dalam proses mencari format nasional.

    Kerangka Konseptual

    Setidaknya konsep utama (key consepts) penelitian ini berdasarkan pada

    rumusan teoritis berikut, yaitu: agama, negara, dan hukum. Beberapa klarifikasi

    ini diperlukan sebelum dilakukan analisis. Pembahasan tentang hubungan antara

    agama dan hukum, membawa kita kembali kepada bagaimana seseorang

    mendefinisikan dua konsep besar tersebut.

    Metodologi dan Pengumpulan Data

    Sumber utama data untuk penelitian ini adalah interview pribadi dengan

    hampir seratus hakim Pengadilan Agama dari berbagai provinsi di Indonesia.

    Penulis mengirim kuesioner kepada beberapa hakim yang tinggal di provinsi yang

    tidak bisa dikunjunginya. Wawancara juga dilakukan dengan beberapa

    pejabat/pegawai di Direktorat Peradilan Islam dan Departemen Agama di Jakarta,

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    4/16

    4

    di mana sebagian besar catatan dan laporan tentang pengadilan Islam dan hakim

    dikumpulkan. Penulis juga mewawancarai beberapa orang ulama dan dosen

    fakultas Syariah IAIN di setiap provinsi yang dikunjunginya dilengkapi dengan

    observasi partisipan.

    Data yang digunakan dalam penelitian ini, selain apa yang telah

    disebutkan di atas, berasal dari dua sumber. Data primer telah dikumpulkan dari

    pengamatan peserta, wawancara dan kuesioner survei tertulis. Data tambahan

    diambil dari literatur yang relevan, dokumen resmi dan peraturan perundang-

    undangan.

    Sebagian besar wawancara dilakukan dalam satu sesi yang berlangsung

    selama sekitar satu jam dan dilakukan dalam Bahasa Indonesia. Wawancara

    dengan beberapa informan kunci dan sarjana tertentu mengambil lebih lama dan

    berada di beberapa occations. Kuesioner ini digunakan sebagai panduan

    wawancara, tetapi responden bebas untuk menjawab dengan kata-kata mereka

    sendiri. Meskipun ini membuat tabulasi lebih sulit, namun memberi kesempatan

    kepada mereka untuk menguraikan beberapa poin yang mereka anggap penting

    untuk penelitian yang kadang-kadang tidak dimasukkan dalam kuesioner.

    Populasi penelitian ini adalah hakim di Pengadilan Agama Indonesia.

    Metode purposive sampling digunakan dalam penelitian ini untuk

    menggambarkan perwakilan dari hakim di Pengadilan Agama Indonesia. Ada tiga

    cara untuk mendistribusikan kuesioner kepada responden.

    Hipotesis

    Hipotesis utama dari studi ini adalah bahwa pengundangan peraturan

    perundang-undangan tertentu dan pelaksanaan prosedur perekrutan hakim baru

    telah mempengaruhi perubahan, tidak hanya dalam struktur kelembagaan dan

    yurisdiksi tetapi juga dalam sikap, peran dan perilaku hakim agama. Terkait

    dengan hal ini, penelitian ini ingin menguji hipotesis bahwa kebijakan Pemerintah

    Orde Baru telah memulai proses profesionalisasi dan birokratisasi para hakim

    agama.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    5/16

    5

    Hipotesis yang pertama adalah bahwa sifat-sifat profesional hakim agama

    bervariasi sesuai dengan latar belakang pendidikan mereka. Hakim yang memiliki

    pendidikan, baik dalam hukum Islam maupun hukum perdata, lebih reseptif

    terhadap ciri-ciri profesionalisme, liberalisme dan birokrasi daripada mereka yang

    hanya memiliki latar belakang pendidikan hukum Islam saja. Hipotesis kedua,

    adalah bahwa hakim yang lebih banyak melibatkan diri dengan kegitan di luar

    kampus, selama menjadi mahasiswa (extra-university education), dan atau lebih

    banyak melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan kantor, akan lebih professional

    dan lebih liberal dalam sikap. Kegiatan-kegiatan ekstra-kantor (extra-official

    activities) memainkan peran penting dalam proses profesionalisasi para hakim

    agama. Oleh sebab itu, mereka yang membatasi diri dalam pendidikan formal dan

    tidak berpartisipasi dalam kegiatan non-yudisial, cenderung konservatif. Hipotesis

    lain adalah bahwa gender merupakan faktor penentu dalam pembentukan peran,

    fungsi profesi, dan subyek yang diteliti.

    Sampel penelitian berdasarkan pada wilayah geografis. Wilayah Indonesia,

    yang terdiri dari lebih dari 13.000 pulau, secara administratif dibagi menjadi 27provinsi di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Faktor lain yang

    dipertimbangkan, yaitu usia, tempat kelahiran, afiliasi, etnis dan latar belakang

    pendidikan. Komposisi sampel cukup representatif.

    Sistematika Pembahasan (Structure of the Study)

    Disertasi ini terdiri dari enam bab. Bab I, yang merupakan pendahuluan,

    menyajikan ruang lingkup, tujuan dan signifikansi penelitian. Hal ini juga

    membahas dasar-dasar konseptual, kerangka teori dan metode penelitian.

    Bab II, menjelaskan latar belakang sejarah pluralisme hukum, dan

    peradilan di nusantara masa kerajaan, kesultanan dan masa pemerintahan kolonial.

    Di akhir masa kolonial muncul kebangkitan nasional dan Islam yang akan

    berperan dalam membentuk masa depan dan sejarah di negara ini. Sebuah diskusi

    tentang perkembangan sistem hukum dan peradilan dan kondisi pengadilan agama

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    6/16

    6

    selama era Soekarno (1945-1966) menjadi fokus utama pada bagian terakhir bab

    ini.

    Munculnya pemerintahan Orde Baru pada tahun 1966 membawa

    penekanan yang berbeda. Pengembangan sistem hukum pada masa ini

    menekankan pembangunan ekonomi dan negara, serta dampaknya terhadap

    lembaga peradilan Islam dan profesi hakim menjadi topik Bab III.

    Seperti ditegaskan kembali dalam kerangka teoritis, kajian hukum di sini

    terbagi dalam tiga aspek: substantif, institusional dan profesional. Aspek-aspek

    yang akan menjadi fokus dari Bab IV-V, membentuk bagian utama dari studi ini.

    Aspek substantif hukum dalam penelitian ini dibahas dalam Bab IV. Bab ini

    berkaitan dengan referensi klasik hukum Islam, perdebatan tentang reaktualisasi

    aspek-aspek tertentu dari hukum Islam, dan diakhiri dengan diskusi tentang unsur-

    unsur hukum Islam dalam undang-undang hukum nasional.

    Bab V, terfokus pada kesinambungan dan perubahan hakim pengadilan

    agama selama pemerintahan Orde Baru. Berdasarkan kuesioner survei, ciri-ciritertentu dari profesionalisasi para hakim agama akan diuji.

    Akhirnya, Bab VI dikhususkan untuk merangkum temuan penelitian dan

    menyajikan beberapa catatan tentang prospek peradilan Islam dalam masa transisi,

    tidak hanya untuk bertahan hidup (survive), tetapi juga untuk kemajuan, dalam

    sebuah negara-bangsa (nation-state) Indonesia yang berkembang pesat. Sebuah

    catatan implikasi kebijakan dan rekomendasi penelitian disimpulkan pada

    penelitian selanjutnya.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    7/16

    7

    Bab II

    HUKUM DAN PERADILAN DI INDONESIA

    Hukum Kolonial dan Nasional

    Bab ini menyajikan pengembangan sistem hukum dan peradilan yang telah

    ada di kepulauan Indonesia, dan menjelaskan interaksi antara berbagai sistem

    hukum dan lembaga peradilan sejak kedatangan Islam sampai dengan tahap

    pertama era kemerdekaan. Hal ini terutama berkaitan dengan evolusi pluralisme

    hukum dan lembaga peradilan. Usaha ini dilakukan untuk melacak munculnya

    hukum, fungsi dan perubahan hukum Islam dan lembaga peradilan Islam dalam

    interaksi dan pengembangan sejak kemunculannya di wilayah tersebut.

    Pembahasan dibagi menjadi tiga sub-bab: kerajaan Islam, masa kolonial dan era

    kemerdekaan. Perkembangan pasca-kolonial ditekankan selama periode Sukarno,

    dan pembahasan subjek selama pemerintahan Orde Baru akan dilakukan dalam

    bab tersendiri. Selain menghadirkan perubahan besar hukum formal dan efek

    kelembagaan, bab ini melihat ke dalam perdebatan ideologis dan latar belakangsosial dari pelaku utama.

    Masa Kerajaan Islam

    Sejarah perkembangan kerajaan Islam nusantara, mencatat bahwa ada

    setidaknya tiga benteng Islam: yaitu, pengadilan, dan pesantren. Lembaga terakhir

    sebagai tempat di mana para siswa dididik dan dilatih untuk menjadi ulama dan

    berfungsi melayani ummat. Pada periode ini, terdapat kerja sama antar ulama dan

    pesantren, tapi ada juga kasus di mana mereka berada dalam konflik. Ini adalah

    kondisi umum ketika kekuatan Barat kolonial menerobos ke nusantara.

    Masa Kolonial

    Peran ulama yang berpikiran pemimpin nasionalis selama periode ini

    memainkan peran penting dalam memobilisasi kekuatan politik. Mereka

    berkomitmen untuk membela dan mempromosikan lembaga-lembaga Islam dalam

    skala nasional di masa pembentukan kemerdekaan.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    8/16

    8

    Pada awal abad 20, para pemimpin dan intelektual Indonesia mulai

    mengorganisir gerakan nasional untuk membebaskan penduduk Indonesia dan

    tanah air dari keterbelakangan, penindasan dan kolonialisme. Gerakan nasional ini

    diprakarsai oleh Serikat Dagang Islam, Budi Utomo, Muhammadiyah, NU, dan

    PNI. Di antara organisasi-organisasi nasionalis ada yang dibentuk berdasarkan

    pada cita-cita dan nilai-nilai Islam, dan yang lain memiliki akar priyayi Jawa

    (bangsawan) dan kemudian muncul kelas sosial berpendidikan Barat (newly-

    emerged Western educated class) yang tujuan utamanya adalah untuk

    mengembangkan komunitas tanpa menghilangkan warisan tradisional mereka.

    Yang pertama diwakili oleh SDI. Muhammadiyah, NU, dan beberapa organisasi

    Muslim lainnya yang lebih kecil. Sementara Budi Utomo adalah contoh awal dari

    aliran yang terakhir yang kemudian digantikan oleh PNI.

    Masa Sukarno

    Masa ini, pengadilan agama Islam tidak mendapatkan perlakuan istimewa

    dari pemerintah revolusioner demokrasi terpimpin (guided democracy)

    Sukarno, namun para pemimpin Muslim dan birokrat yang sukses, setidaknya,

    mampu mempertahankan status quo masa kolonial dalam mempertahankan

    sebagian besar generasi baru hakim Islam yang muncul selama periode

    revolusioner sementara di seluruh penjuru nusantara. Konsolidasi dan perhatian

    terhadap pelatihan, pendidikan dan dakwah Islam di tingkat akar rumput cukup

    ditekankan. Kondisi ini menjadi lebih penting dalam fase berikutnya setelah

    Indonesia merdeka yang akan menjadi fokus dari bab berikut.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    9/16

    9

    Bab III

    DI BAWAH PEMERINTAHAN ORDE BARU

    Pelembagaan dan Unifikasi Pengadilan Islam

    Bab ini menjelaskan perubahan hukum dan peradilan yang dibawa oleh

    pemerintah Orde Baru dan menganalisis dampak ideologi Pancasila dan

    Pembangunan dua kata kunci dari kebijakan dasar rezim Orde Baru

    terhadap Hukum Islam dan lembaga, terutama pengadilan Agama. Melemahnya,

    dan hilangnya kemudian partai politik Islam di panggung politik nasional, dan

    penegakan kepatuhan asas tunggal Pancasila dilakukan untuk menekan dan

    menahan kemajuan hukum Islam dan lembaga dalam sistem hukum nasional. Bab

    ini menunjukkan bahwa kebijakan-kebijakan dan program, di samping menjadi

    tantangan yang luar biasa bagi para pendukung hukum Islam dan lembaga, pada

    saat yang sama menciptakan peluang berharga dan iklim yang menguntungkan

    bagi hukum Islam dan lembaga untuk mengembangkan, beradaptasi dan

    berpartisipasi dalam pembentukan sistem hukum dan peradilan nasional.

    Pendekatan Orde Baru dalam mencari sistem hukum nasional, dan

    kemudian juga untuk modernitas dan posisi dan kontribusi hukum Islam dan

    pengadilan Islam keadilan dalam proses yang sedang berjalan. Sebuah diskusi

    tentang konstitusi menegaskan kembali dan mereformasi hukum yang diprakarsai

    oleh pemerintah baru akan membantu untuk menempatkan pembahasan kemudian

    peran hukum Islam dan pengadilan Agama dalam sistem hukum nasional yang

    muncul dalam konteks yang tepat. Bab ini juga akan melihat ke dalam perubahan

    dalam pemerintahan Orde Baru terhadap Islam dan lembaga hukumnya.

    Keberhasilan pelaksanaan beberapa bagian dari hukum Islam dan adopsi

    unsur-unsur tertentu dari nilai-nilai Islam ke dalam hukum positif nasional

    dimungkinkan oleh kondisi politik yang menguntungkan dan dengan kerjasama

    dengan segmen masyarakat lain. Pengkondisian ini dapat menjadi keharusan jika

    tren ini terus berlanjut. Kontribusi birokrat dan profesional Muslim yang

    umumnya tidak fasih, atau bahkan tidak puas terhadap hukum Islam tradisional

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    10/16

    10

    tidak bisa dikesampingkan begitu saja dalam proses ini. Kerjasama dan dialog

    konstruktif antara kedua pendukung hukum Islam, terlepas dari perbedaan mereka

    dalam apa yang mereka sebut sebagai hukum Islam, tidak hanya dibutuhkan

    dalam pembangunan hukum nasional tetapi juga dalam menghidupkan kembali

    suatu sistem hukum yang sesuai dengan tuntutan masyarakat modern.

    Bab IV

    LITERATUR HUKUM ISLAM DAN HUKUM SUBSTANTIF

    Mencari Mazhab Indonesia

    Setelah membahas teks-teks hukum sebagai rujukan ulama Indonesia dan

    hakim Islam untuk memperoleh putusan hukum, upaya baru gerakan pembaruan

    Islam, pengaruh, dan penerimaan dari unsur hukum Islam dalam pengundangan

    hukum substantif negara, kita dapat melihat tidak hanya sekedar eksistensi upaya

    untuk mendefinisikan hukum Islam yang melayani kebutuhan umat Islam

    Indonesia saat ini, tetapi juga bahwa upaya mereka telah berbuah dalam tindakan

    hukum, dan aplikasi hukum, serta dengan kepatuhan hukum yang dimotivasi oleh

    nilai-nilai agama untuk formulasi baru aspek-aspek tertentu dari hukum Islam.

    Konflik antara hukum Islam dan Hukum Negara telah berkurang karena adanya

    ijma politik untuk mengadopsi kedua revitalisasi hukum Islam dan transformasi

    nilai-nilai dan unsur-unsur hukum Islam ke dalam hukum nasional. Proses ini

    masih dalam tahap awal dan tampaknya lebih mengandalkan kemauan politik dari

    para elit yang berkuasa. Perubahan persepsi, dan sikap elite penguasa terhadap

    ummat dan institusi Islam selama sepuluh tahun terakhir telah memberikan

    kesempatan besar dalam modifikasi hukum Islam sebagai bagian dari sistem

    hukum nasional. Hubungan dekat eksponen Muslim dan elit penguasa,

    menciptakan kondisi yang menguntungkan untuk mendefinisikan dan menegaskan

    kembali keberadaan hukum Islam di negara ini. Di satu sisi, orang dapat melihat

    sebuah nasionalisasi hukum Islam, dan di sisi lain, seseorang dapat berdebat

    tentang Islamisasi hukum nasional. Kedua tren dapat berjalan seiring dan terlalu

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    11/16

    11

    dini untuk memberikan hasilnya. Namun, proses tersebut tampaknya diarahkan

    lebih ke arah aspekad hoc substantif dan organisasi, namun mengabaikan prinsip

    hukum yang lebih teoritis yang akan memberikan kerangka umum. Kurangnya

    aspek penting ini dapat menghambat proses yang sedang berlangsung dengan

    menjadi parsial. Dalam seluruh proses ini, hakim pengadilan Islam secara

    otomatis menjadi subyek dan obyek pembangunan. Peran dan kontribusi mereka

    cukup penting dan dibutuhkan. Persoalan tersebut akan dibahas dalam bab

    berikut.

    Bab V

    PERADILAN ISLAM

    Dari Pelataran Masjid ke Gedung Pengadilan

    Ada tiga aspek penting dari kebijakan ini: pelembagaan, birokratisasi dan

    profesionalisasi. Bab ini akan menguji hipotesis bahwa birokratisasi di

    Pengadilan Agama telah berlangsung dan telah mengubah para hakim agama yang

    sebelumnya relatif independen, bermasyarakat, berorientasi dan termotivasi secara

    agama untuk kemudian menjadi birokrat yang berorientasi secara penuh kepada

    negara. Hal ini diasumsikan bahwa dampak birokratisasi tersebut berkontribusi

    pada upaya nasionalisasi lembaga Islam dan fungsinya.

    Selain itu, bahwa birokratisasi Pengadilan Agama membuat pemerintah

    melakukan modernisasi dan simbolisasi lembaga Islam. Bab ini akan dimulai

    dengan menunjukkan peningkatan jumlah hakim di Pengadilan Agama. Hal ini

    diikuti dengan diskusi tentang kriteria seleksi dan rekrutmen hakim Pengadilan

    Agama. Salah satu aspek penting dari reformasi peradilan selama pemerintahan

    Orde Baru adalah syarat yang membatasi bahwa hanya sarjana syariah dan hukum

    yang dapat mengambil bagian dalam ujian penerimaan hakim di Pengadilan

    Agama. Ini akan menjadi fokus dari bagian berikutnya yang memandang

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    12/16

    12

    pentingnya latar belakang pendidikan para hakim. Bagian terakhir dari bab ini

    menjelaskan perubahan sikap dan perilaku para hakim Pengadilan Agama.

    Perubahan sikap dan perilaku hakim Pengadilan Agama bahkan telah

    membuat beberapa pemimpin Muslim khawatir bahwa mereka akan menjadi

    terlalu birokratis dan liberal, melupakan fungsi sebagai hakim agama dan ulama,

    untuk sepenuhnya menjadi birokrat di pemerintahan. Kecuali itu, para hakim yang

    diteliti tampaknya berfluktuasi antara dua peran, sebagai hakim negara (state

    judge) di satu sisi, dan ulama di sisi lain. Para hakim tua tampaknya cenderung

    untuk yang kedua, sementara rekan-rekan mereka yang lebih muda bersandar

    kepada hakim pendahulu mereka.

    Seluruh proses legislasi, bersama-sama dengan upaya peningkatan

    lembaga pendidikan dan tuntutan lingkungan politik, mengubah pengadilan

    Agama dari orientasinya yang bersifat lokal (locally-oriented), ulama yang

    bersandar pada keadilan agama (ulama-initiated religious justice), menjadi

    lembaga peradilan yang menyatu di seluruh negeri (unified country-wide state

    courts), dan menjadi bagian integral dari sistem hukum nasional. Secara simbolis,

    transformasi tersebut tercermin dari perubahan tempat halaman depan masjid yang

    dibangun atas dukungan komunitas Muslim (the community-sponsored mosque),

    ke Gedung Pengadilan yang dibiayai oleh negara (the state-financed building of

    the hall of justice). Penelitian ini menunjukkan bahwa sebuah transisi tidak hanya

    terjadi di tempat di mana ia beroperasi, tetapi juga dalam peran dan fungsinya dan

    bagaimana melakukan peran dan fungsi tersebut. Pertanyaan tentang arahan

    lembaga dan profesi ini menjadi terbuka untuk spekulasi, tetapi tren yang berlaku

    secara internal di kalangan hakim di pengadilan Agama dan di antara penduduk

    Muslim dan politik nasional pada umumnya menunjukkan bahwa Pengadilan

    Agama dan para hakim tersebut, tidak hanya akan mampu bertahan tetapi juga

    kemungkinan besar mampu memperluas peran dan signifikansinya dalam sistem

    hukum dan peradilan di Indonesia.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    13/16

    13

    Bab VI

    PERADILAN ISLAM DALAM KONTEKS NASIONAL:

    Kesimpulan dan Rekomendasi

    Penelitian ini menguji peradilan Islam di Indonesia dalam tiga aspek

    utama: lembaga, yaitu Pengadilan Agama, substansi dan prosedur hukum, serta

    pelaku utamanya, yaitu para hakim. Hal ini terlihat dari diskusi sebelumnya

    bahwa Peadilan Islam di negara Muslim terpadat di dunia ini mengalami

    transformasi yang signifikan dalam tiga aspek tersebut.

    Peradilan Islam dengan berbagai kondisi dan struktur kelembagaan di

    beberapa kesultanan menjadi lembaga peradilan tertua yang paling penting (the

    full-fledget most important judicial body), mulai membangun sebuah kepentingan

    dan jaringan kuasi-nasional (a quasi-national interestand network) di bawah

    tekanan kebijakan kolonial. Peran pengadilan agama di negara itu

    dikonsolidasikan dan diperpanjang selama fase pertama pasca-kolonial di

    Indonesia. Selama masa pemerintahan Orde Baru, terlihat jelas bahwa dalam hal

    struktur kelembagaan, Pengadilan Agama telah sepenuhnya terkooptasi ke dalam

    sistem peradilan nasional.

    Terlepas dari keberadaan para eksponen hukum Islam dan lembaga-

    lembaga hukum, hampir tidak ada dari mereka yang berada di puncak hierarki

    peradilan nasional, yaitu Mahkamah Agung dan Departemen Kehakiman. Kondisi

    sosial dan politik telah mendorong pemerintah untuk mengup-grade peran dan

    fungsi hukum Islam dan pengadilan Islam. Kemajuan ini lebih mungkin dibentuk

    oleh kompromi politik (political trade-off), dibandingkan dengan dinamika

    internal dan daya tawar para hakim Muslim. Tampaknya peran yang tidak

    menantang dan terbatasnya kekuasaan Pengadilan Agama menjadi salah satu

    pertimbangan untuk menjawab fakta di atas. Terlepas dari penghapusan resmi

    partai politik Islam dari politik perebutan kekuasaan, telah memaksa pemerintah

    yang berkuasa untuk mengakomodasi program keislaman dalam batas tertentu.

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    14/16

    14

    Hal ini terjadi bahwa hukum, pengadilan, dan pendidikan Islam merupakan salah

    satu target utama program pembangunan pemerintah.

    Pengakuan tidak langsung hukum Islam secara terbatas sebagai salah satu

    sumber pembangunan hukum dan undang-undang di Indonesia telah meningkat

    pengaruhnya dan signifikansinya di kalangan mayoritas penduduk. Pada saat yang

    sama, kalangan Muslim mengalami kemajuan dalam menata ulang cita-cita Islam

    dalam berbagai program keislaman. Namun, hukum Islam tidak menjadi prioritas

    gerakan Muslim, bahkan beberapa eksponen terkemuka telah meremehkan dan

    mengabaikan pentingnya fiqh berbasis hukum Islam. Mereka menganggap

    perjuangan terhadaap hukum Islam sebagai sesuatu yang merugikan kesadaran

    Islam dan kemajuan modernisasi masyarakat Muslim dalam bingkai negara

    kesatuan. Upaya memperjuangkan hukum Islam dianggap terlalu sensitif dibawa

    pada panggung politik nasional.

    Studi ini mengidentifikasi beberapa pemimpin nasionalis-Muslim

    Indonesia yang berpikir bahwa untuk menjadi Indonesia yang baik, makmur dan

    kuat, umat harus menuju kepada nilai-nilai universal substantif Alquran dan hadis

    tanpa terjebak dalam formulasi harfiahnya tanpa kemudian melakukan penafsiran

    kontekstual dan temporal, dan kemudian menerapkan nilai-nilai tersebut untuk

    konteks Indonesia. Pendapat ini mengemuka di sebagian besar elit Muslim

    berpendidikan Barat (the Western-educated Muslim elites). Namun pengaruh

    mereka jelas di antara para pembuat kebijakan nasional.

    Sistem pendidikan yang berbeda membawa kita ke satu temuan dari studi

    ini. Berdasarkan data yang tersedia, studi ini menemukan bahwa tidak ada

    perbedaan yang signifikan antara kelompok hakim: antara sarjana Syariah dan

    sarjana hukum umum, antara lulusan pesantren lulusan sekolah umum, dan

    terakhir, betapapun kecilnya porsi data, antara laki-laki dan hakim wanita.

    Variabel yang tampaknya menjadi lebih signifikan dalam mempengaruhi sikap

    dan perilaku adalah keterlibatan dengan kegiatan ekstra-kurikuler dan organisasi

    ektra kampus (extra-university organizations). Semakin aktif seorang hakim

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    15/16

    15

    selama masa studinya, maka ia semakin profesional dan liberal dalam fungsi

    yudisialnya. Tampaknya, kampus dan sekolah masing-masing memberikan

    pengetahuan dasar dan keahlian yang hampir sama, tapi sosialisasi extra-sekolah

    berperan dan berpengaruh menanamkan nilai-nilai (values) dan wawasan dunia

    (world-view) kepada mereka.

    Terkait dengan kegiatan ini, para hakim melibatkan diri saat ini dengan

    organisasi selain korps resmi dan formal pegawai negeri. Secara umum, para

    hakim menahan melibatkan diri dalam organisasi lainnya. Para hakim

    mengecualikan diri dari setiap afiliasi politik partisan dalam hidup dan karir

    mereka. Hal ini cukup mencolok untuk mengetahui interest murahan dan

    keterlibatan para hakim dalam hubungan profesional mereka sendiri. Sebagiaan

    ini dapat dijelaskan oleh fakta bahwa hubungan yang ada, Ikatan Hakim Agama

    atau IKAHA (Agama Judges Association) lebih berorientasi kepada pemerintah.

    Mungkin diperlukan waktu atau asosiasi lain, untuk memperjuangkan kepentingan

    para hakim. Namun, tanpa organisasi seperti ini, para hakim tidak akan memiliki

    daya tawar yang kuat dan itu akan menghambat upaya untuk mengembangkan danmeningkatkan profesi mereka.

    Terlepas dari peran ini, secara terbatas, tetapi tumbuh dari asosiasi profesi,

    para hakim telah mencapai lebih dari ciri-ciri profesi permanen mereka.

    Keberadaan dan penguasaan lembaga khusus pengetahuan esoteris dan keahlian,

    kewenangan untuk menerapkannya kepada klien, otonomi untuk mengatur dirinya

    sendiri adalah salah satu ciri yang telah mulai tumbuh. Hal ini telah berlangsung

    bersamaan dengan program besar fungsionalisasi Pengadilan Agama sebagai

    bagian dari sistem peradilan nasional. Meskipun diundangkan dan pelaksanaan

    undang-undang dan peraturan pemerintah, dan dengan menawarkan insentif dan

    disinsentif, program ini telah berhasil mengubah pengadilan dan para hakim

    tersebut, secara efektif, telah menjadi organ birokrasi dan fungsional Negara. Jelas

    tugas resmi, ruang lingkup kewenangan, aturan prosedural, disiplin sistematis dan

    kontrol, hirarki, karir dengan gaji, serta sistem peringkat telah merampas

    pengadilan dan hakim. Penelitian ini mengafirmasi pendapat bahwa ciri-ciri

    http://budijuliandi.blogspot.com

  • 7/23/2019 Peradilan Islam dalam Transisi

    16/16

    16

    profesional dan birokrat tidak selalu bertentangan dan membatalkan satu sama

    lain, tetapi mereka mungkin ada dan terbentuk dalam satu lembaga dan profesi.

    Namun, jika seseorang ingin membedakan keduanya untuk kepentingan analisis,

    penelitian ini menemukan bahwa ciri-ciri birokrasi adalah yang lebih kuat dan

    sangat lebih menekan daripada yang lain. Menimbang bahwa profesi lainnya

    seperti hakim pengadilan lain dan pengacara telah memulai untuk membangun

    kontrak konstruktif dan hubungan yang saling menguntungkan. Bentuk interaksi

    interprofesi ini tidak hanya menghasilan dalam mempercepat profesionalitas

    kedua kubu, tetapi juga bermanfaat dalam memperjuangkan kepentingan

    profesional dan kemajuan mereka.

    Pengadilan Agama dan hakim telah mengalami transformasi yang

    signifikan dan dalam transisi untuk menjadi pengadilan dan hakim generasi baru,

    dan itu berada di luar ruang lingkup penelitian ini untuk memprediksi hal itu.

    Gagasan hukum sebagai bentuk interaksi sosial telah masih ada di ilmu sosial,

    hukum suatu kelompok sosial tertentu akan dipahami lebih baik tidak hanya

    dengan menganalisis isinya secara formal, tetapi juga yang lebih penting denganmengetahui struktur kontekstual dalam suatu interaksi sosial. Dengan berpikir

    secara mendalam, adalah tepat untuk menunjukkan bahwa penelitian lanjutan

    yang lebih komprehensif diperlukan untuk memahami peran pengadilan dan

    interaksi mereka dengan agama, politik dan budaya dalam masyarakat modern

    yang plural.

    http://budijuliandi.blogspot.com