peradilan agama - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/uu peradilan agama dalam 1...

92
UNDANG UNDANG PERADILAN AGAMA HASIL PERUBAHAN & &&& &&& &&& &&& &&& &&& &&& &&& &&& & DISUSUN SATU NASKAH DALAM UNDANG UNDANG NOMOR 50 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Upload: ngotuyen

Post on 26-Aug-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

UNDANG UNDANG

PERADILAN AGAMA

HASIL PERUBAHAN

&

&&&

&&&

&&&

&&&

&&&

&&&

&&&

&&&

&&&

&

DISUSUN SATU NASKAH

DALAM

UNDANG UNDANG NOMOR 50 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS

UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

Page 2: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, akhirnya rangkuman dari berbagai sumber ini selesai

disusun. Rangkuman ini terdiri dari dua bagian, yaitu bagian pertama tentang kumpulan

peraturan perundang-undangan Pengadilan Agama mulai Undang Undang Nomor 7

Tahun 1989, Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 sampai Undang Undang Nomor 50

Tahun 2009 dan bagian kedua tentang peraturan maupun yurisprudensi yang terkait

dengan pasal-pasal dalam undang undang tersebut.

Rangkuman ini berawal dari catatan pribadi namun akhirnya dirasakan lebih

afdhol apabila diedit secara rapi dan teratur sehingga dapat dibaca oleh orang lain. Sudah

barang tentu subyektifitas dan tingkat keilmuaannya sangat kurang, namun

demikiandiharapkan dengan membawa rangkuman ini persoalan yang terkait dengan

peradilan agama dapat dijawab dengan cepat dan tidak perlu membutuhkan buku atau

catatan yang lain.

Adapun tata cara memahami peraturan peradilan agama hasil perubahan adalah

sebagai berikut :

1. Tanda * : Teks asli UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak dirubah.

2. Tanda *) : UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 3 Tahun 2006

3. Tanda *)) : Diadakan baru oleh UU Nomor 3 Tahun 2006.

4. Tanda **): UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 50 Tahun 2009

6. Tanda **)) : UU Nomor 3 Tahun 2006 dirubah oleh UU Nomor 50 tahun

2009

7. Tanda **))): Diadakan baru oleh UU Nomor 50 tahun 2009.

Menyadari akan segala kekurangan dalam tulisan ini, sebagai penyunting

mohon kiranya pembaca yang budiman memberikan saran dan pendapat demi

kebaikan kita semua.

Akhirnya, ilaika al musytakaa wa anta al musta’aan.

Pontinak, 15 Januari 2015

Penyunting,

Ali M. Haidar

Page 3: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

1

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 50 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka

untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum

dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga

peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa

keadilan dalam masyarakat;

b. bahwa Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang

Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama sudah tidak

sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat

dan ketatanegaraan menurut Undang Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan dimaksud pada huruf a dan

huruf b perlu membentuk Undang Undang tentang Perubahan

Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama;

Mengingat : 1. Pasal 20, pasal 21, pasal 24 dan pasal 25 Undang Undang

DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah

Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985

Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 3316), sebagaimana telah diubah terakhir dengan

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan

Kedua Atas Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4958);

3. Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989, Nomor 49,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3400)

sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 3

Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611);

4. Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

Page 4: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

2

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009, Nomor

157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5076);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN

Menetapkan : UNDANG UNDANG TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS

UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG

PERADILAN AGAMA.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Bagian Pertama

Pengertian

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan :

1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama

Islam.*

2. Pengadilan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama di

lingkungan Peradilan Agama.*

3. Hakim adalah hakim pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi

Agama.*

4. Pegawai Pencatat Nikah adalah Pegawai Pencatat Nikah pada Kantor

Urusan Agama.*

5. Juru Sita dan/Juru Sita Pengganti adalah Juru Sita dan/Juru Sita Pengganti

pada Pengadilan Agama.*

6. Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman

sebagaimana dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.**)))

7. Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.**)))

8. Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai kewenangan

untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya

dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada

dibawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.**)))

Page 5: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

3

9. Hakim ad hoc adalah Hakim yang bersifat sementara yang memiliki

keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili

dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-

undang. **)))

Bagian Kedua

Kedudukan

Pasal 2

Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi

rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang

diatur dalam undang-undang ini.*)

Pasal 3

(1) Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh :

a. Pengadilan Agama.

b. Pengadilan Tinggi Agama.*

(2) Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Agama berpuncak pada

Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.*

Pasal 3A

(1) Di lingkungan Peradilan Agama dapat dibentuk pengadilan khusus yang

diatur dengan undang-undang.**))

(2) Peradilan Syari’ah Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam

merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama

sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan Agama,

dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Umum

sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Peradilan

Umum.**)))

(3) Pada pengadilan khusus dapat diangkat Hakim ad hoc untuk memeriksa,

mengadili dan memutus perkara yang membutuhkan keahlian dan

pengalaman dalam bidang tertentu dan dalam jangka waktu tertentu.**)))

(4) Ketentuan mengenai syarat, tata cara pengangkatan dan pemberhentian

serta tunjangan Hakim ad hoc diatur dalam peraturan perundang-

undangan.**)))

Bagian Ketiga

Tempat Kedudukan

Pasal 4

(1) Pengadilan Agama berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota dan

daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten atau kota.*)

(2) Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah

hukumnya meliputi wilayah provinsi.*

Page 6: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

4

Bagian Keempat

Pembinaan

Pasal 5

(1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi dan finansial

pengadilan dilakukan oleh Mahkamah Agung.*)

(2) Pembinaan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak boleh

mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.*)

BAB II

SUSUNAN PENGADILAN

Bagian Pertama

U m u m

Pasal 6

Pengadilan terdiri dari :

1. Pengadilan Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama.*

2. Pengadilan Tinggi Agama, yang merupakan Pengadilan Tingkat

Banding.*

Pasal 7

Pengadilan Agama dibentuk dengan Keputusan Presiden.*

Pasal 8

Pengadilan Tinggi Agama dibentuk dengan undang-undang.*

Pasal 9

(1) Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,

Panitera, Sekretaris dan Juru Sita.*

(2) Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,

Panitera dan Sekretaris.*

Pasal 10

(1) Pimpinan Pengadilan Agama terdiri dari seorang Ketua dan seorang Wakil

Ketua.*

(2) Pimpinan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari seorang Ketua dan

seorang Wakil Ketua.*

(3) Hakim Anggota Pengadilan Tinggi Agama adalah Hakim Tinggi.*

Bagian Kedua

Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Panitera dan Juru Sita

Paragraf 1

Ketua, Wakil Ketua dan Hakim

Pasal 11

(1) Hakim pengadilan adalah pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan

kehakiman.*)

(2) Syarat dan tata cara pengangkatan, pemberhentian serta pelaksanaan tugas

Hakim ditetapkan dalam undang-undang ini.*

Page 7: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

5

Pasal 12

(1) Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh

Mahkamah Agung.*)

(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak

boleh mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara.*

Pasal 12A

(1) Pengawasan internal atas tingkah laku Hakim dilakukan oleh Mahkamah

Agung.**)))

(2) Selain pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk menjaga

dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim,

pengawasan eksternal atas perilaku Hakim dilakukan oleh Komsisi

Yudisial.**)))

Pasal 12B

(1) Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian tidak tercela, jujur, adil,

profesional, bertakwa dan berakhlak mulia serta berpengalaman di bidang

hukum.**)))

(2) Hakim wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**)))

Pasal 12C

(1) Dalam melakukan pengawasan Hakim sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 12, Komisi Yudisial melakukan kordinasi dengan Mahkamah

Agung.**)))

(2) Dalam hal terdapat perbedaan antara hasil pengawasan internal yang

dilakukan oleh Mahkamah Agung dan hasil pengawasan eksternal yang

dilakukan oleh Komisi Yudisial, pemeriksaan dilakukan bersama oleh

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.**)))

Pasal 12D

(1) Dalam melaksanakan pengawasan eksternal sebagaimana dimaksud

dalam pasal 12A ayat (2), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan

pengawasan terhadap perilaku Hakim berdasarkan Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim.**)))

(2) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),

Komisi Yudisial berwenang :

a. Menerima dan menindak lanjuti pengaduan masyarakat dan/atau

informasi tentang dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim.**)))

b. Memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran atas Kode etik dan

Pedoman Perilaku Hakim.**)))

c. Dapat menghadiri persidangan di pengadilan.**)))

Page 8: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

6

d. Menerima dan menindak lanjuti pengaduan Mahkamah Agung dan

badan-badan peradilan dibawah Mahkamah Agung atas dugaan

pelanggaran Kode Etik dan Perilaku Hakim.**)))

e. Melakukan verifikasi terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud

dalam huruf a dan huruf d.**)))

f. Meminta keterangan atau data kepada Mahkamah Agung dan/atau

pengadilan.**)))

g. Melakukan pemanggilan dan memutus keterangan dari Hakim yang

diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim untuk

kepentingan pemeriksaan, dan/atau**)))

h. Menetapkan keputusan berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana

dimaksud dalam huruf b.**)))

Pasal 12E

(1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

12A, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib :

a. Menaati norma dan peraturaan perundang-undangan.**)))

b. Menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**)))

c. Menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh.**)))

(2) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.**)))

(3) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh

mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutus

perkara.**)))

(4) Ketentuan mengenai pengawasan eksternal dan pengawasan internal

Hakim diatur dalam undang-undang.**)))

Pasal 12F

Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat

serta perilaku Hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan pengadilan

yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi

untuk melakukan mutasi Hakim.**)))

Pasal 13

(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Agama, seseorang harus

memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.*

b. Beragama Islam.*

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*

d. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.**)

e. Sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam.**)

f. Lulus pendidikan Hakim.**)))

g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kewajiban.**)))

Page 9: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

7

h. Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela.*

i. Berusia paling rendah 25 (dua puluh lima) tahun dan paling tinggi 40

(empat puluh) tahun.**)

j. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara karena melakukan kejahatan

berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap.**)))

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan

Agama, Hakim harus berpengalaman paling singkat 7 (tujuh) tahun

sebagai Hakim Pengadilan Agama.**))

Pasal 13A

(1) Pengangkatan Hakim Pengadilan Agama dilakukan melalui proses seleksi

yang transparan, akuntabel dan partisipatif.**)))

(2) Proses pengangkatan Hakim Pengadilan Agama dilakukan bersama oleh

Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.**)))

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur oleh Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial.**)))

Pasal 13B

(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim ad hoc, seseorang harus memenuhi

syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1), kecuali huruf e dan

huruf f.**)))

(2) Larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf c tetap

berlaku kecuali undang-undang menentukan lain.**)))

(3) Tata cara pelaksanaan ketentuan ayat (1) diatur dalam peraturan

perundang-undangan.**)))

Pasal 14

(1) Untuk dapat diangkat sebagai Hakim Pengadilan Tinggi Agama, seorang

Hakim harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) huruf a, huruf

b, huruf c, huruf d, huruf g dan huruf j.**))

b. Berumur paling rendah 40 (empat puluh) tahun.**))

c. Berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai Ketua, Wakil

Ketua Pengadilan Agama atau 15 (lima belas) tahun sebagai Hakim

Pengadilan Agama.**))

d. Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung, dan*))

e. Tidak pernah dijatuhi sanksi pemberhentian sementara akibat

melakukan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**)))

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama harus

berpengalaman paling singkat 5 (lima) tahun sebagai Hakim Pengadilan

Tinggi Agama atau 3 (tiga) tahun bagi Hakim Pengadilan Tinggi Agama

yang pernah menjabat ketua pengadilan.*)

(3) Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama

harus berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun sebagai Hakim

Page 10: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

8

Pengadilan Tinggi Agama atau 2 (dua) tahun bagi Hakim Pengadilan

Tinggi Agama yang pernah menjabat Ketua Pengadilan Agama.*)

Pasal 15

(1) Hakim pengadilan diangkat oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah

Agung.*)

(1a) Hakim pengadilan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua

Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial melalui Ketua Mahkamah

Agung.**)))

(1b) Usul pemberhentian Hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial

sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) hanya dapat dilakukan apabila

Hakim yang bersangkutan melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku

Hakim.**)))

(2) Ketua dan wakil ketua pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh Ketua

Mahkamah Agung.**)

Pasal 16

(1) Sebelum memangku jabatannya, Ketua, Wakil Ketua dan Hakim

pengadilan wajib mengucapkan sampah menurut agama Islam.*)

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban

Hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-

lurusnya menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 serta berbakti kepada nusa dan bangsa”*)

(3) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Agama diambil sumpahnya oleh

Ketua Pengadilan Agama.*)

(4) Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama serta Ketua Pengadilan

Agama diambil sumpahnya oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama.*)

(5) Ketua Pengadilan Tinggi Agama diambil sumpahnya oleh Ketua

Mahkamah Agung.*)

Pasal 17

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Hakim

tidak boleh merangkap menjadi :

a. Pelaksana putusan pengadilan.*

b. Wali, pengampu dan pejabat yang berkaitan dengan suatu perkara

yang diperiksa olehnya.*

c. Pengusaha.*

(2) Hakim tidak boleh merangkap sebagai Advokat.*)

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim selain jabatan

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut

dengan Peraturan Pemerintah.*

Page 11: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

9

Pasal 18

(1) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan diberhentikan dengan hormat

dari jabatannya karena :

a. Atas permintaan sendiri secara tertulis.**)

b. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus.*

c. Telah berumur 65 (enam puluh lima) tahun bagi Ketua, Wakil Ketua

dan Hakim Pengadilan Agama, dan 67 (enam puluh tujuh) tahun bagi

Ketua, Wakil Ketua dan Hakim Pengadilan Tinggi Agama, atau**))

d. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.*

(2) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan yang meninggal dunia dengan

sendirinya diberhentikan dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden.*)

Pasal 19

(1) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan diberhentikan tidak dengan

hormat dari jabatannya dengan alasan :

a. Dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.**)

b. Melakukan perbuatan tercela.*

c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus

menerus selama 3 (tiga) bulan.**)

d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.**)

e. Melanggar larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan/atau

f. Melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.**))

(2) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf a diajukan oleh Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden.**))

(3) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial.**)

(4) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf c, huruf d, dan huruf e diajukan oleh Mahkamah Agung.**))

(5) Usul pemberhentian dengan alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf f, diajukan oleh Komisi Yudisial.**)))

(6) Setelah Mahkamah Agung dan/atau Komisi Yudisial mengajukan usul

pemberhentian karena alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ayat

(4) dan ayat (5), Hakim pengadilan mempunyai hak untuk membela diri di

hadapan Majelis Kehormatan Hakim.**)))

(7) Majelis Kehormatan Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur

sesuai dengan peraturan perundang-undangan.**)))

Pasal 20

Dalam hal Ketua atau Wakil Ketua pengadilan diberhentikan dengan hormat

dari jabatannya kerana atas permintaan sendiri secara tertulis sebagaimana

dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf a, tidak dengan sendirinya

diberhentikan sebagai Hakim.**))

Page 12: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

10

Pasal 21

(1) Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan sebelum diberhentikan tidak

dengan hormat sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf b,

huruf c, huruf d, huruf e dan huruf f dapat diberhentikan sementara dari

jabatannya oleh Ketua Mahkamah Agung.**))

(1a) Pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

diusulkan oleh Komisi Yudisial.**)))

(2) Terhadap pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

berlaku juga ketentuan dimaksud dalam pasal 19 ayat (2).*)

(3) Pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 6

(enam) bulan.*))

Pasal 22

(1) Apabila terhadap seorang Hakim ada perintah penangkapan yang diikuti

dengan penahanan, dengan sendirinya Hakim tersebut diberhentikan

sementara dari jabatannya.*

(2) Apabila seorang Hakim dituntut di muka pengadilan dalam perkara pidana

sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (4) Undang Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana tanpa tahanan, maka ia dapat

diberhentikan sementara dari jabatannya.*

Pasal 23

Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dengan hormat,

pemberhentian tidak dengan hormat dan pemberhentian sementara serta hak-

hak pejabat yang dikenakan pemberhentian diatur dengan Peraturan

Pemerintah.*

Pasal 24

(1) Kedudukan protokol Hakim pengadilan diatur dengan peraturan

perundang-undangan.**)

(2) Selain mempunyai kedudukan protokoler, Hakim Pengadilan berhak

memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun dan hak-hak

lainnya.**)

(3) Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :

a. Tunjangan jabatan.**)

b. Tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan.**)

(4) Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa :

a. Rumah jabatan milik negara.**)

b. Jaminan kesehatan.**)

c. Sarana transportasi milik negara.**)

(5) Hakim pengadilan diberi jaminan keamanan dalam melaksanakan

tugas.**)

(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan dan hak-hak

lainnya beserta jaminan keamanan bagi Ketua, Wakil Ketua dan Hakim

pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan.**)

Page 13: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

11

Pasal 25

Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pengadilan dapat ditangkap atau ditahan

hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua

Mahkamah Agung, kecuali dalam hal :

a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau*)

b. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan

pidana mati, atau*)

c. Disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan

negara.*

Paragraf 2

P a n i t e r a

Pasal 26

(1) Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang dipimpin

oleh seorang Panitera.*

(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Pengadilan Agama dibantu oleh

seorang Wakil Panitera, beberapa Panitera Muda, beberapa orang Panitera

Pengganti dan beberapa orang Juru Sita.*

(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Panitera Pengadilan Tinggi Agama

dibantu oleh seorang Wakil Panitera, beberapa orang Panitera Muda dan

beberapa orang Panitera Pengganti.*

Pasal 27

Untuk dapat diangkat sebagai Panitera Pengadilan Agama, seorang calon

harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.*

b. Beragama Islam.*

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*

d. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.*)

e. Berijazah sarjana syari’ah, sarjana hukum Islam atau sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam.**))

f. Berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera, 5

(lima) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Agama atau menjabat

Wakil Panitera Pengadilan Tinggi Agama, dan*)

g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kewajiban.**)

Pasal 28

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama, seorang

calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf

b, huruf c huruf d dan huruf g.*)

b. Berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum yang menguasai hukum

Islam.*

Page 14: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

12

c. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera

atau 5 (lima) tahun sebagai Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama atau

3 (tiga) tahun sebagai Panitera Pengadilan Agama.*)

Pasal 29

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera Pengadilan Agama, seorang

calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Syarat-syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf

b, huruf c, huruf d, huruf e dan huruf g.*)

b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera Muda

atau 4 (empat) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama.*)

Pasal 30

Untuk dapat diangkat menjadi Wakil Panitera pengadilan Tinggi Agama,

seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf

c,huruf d, huruf e dan huruf g.*)

b. Dihapus. **) (semula berbunyi : berijazah sarjana syari’ah atau sarjana

hukum yang menguasai hukum Islam, dan)

c. Berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun sebagai Panitera Muda

Pengadilan Tinggi Agama, 5 (lima) tahun sebagai Panitera Pengganti

Pengadilan Tinggi Agama atau 3 (tiga) tahun sebagai Wakil Panitera

pengadilan Agama atau menjabat sebagai Panitera Pengadilan Agama.*)

Pasal 31

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Agama, seorang

calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c,

huruf d huruf e dan huruf g.*)

b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera

Pengganti Pengadilan Agama.*)

Pasal 32

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Muda Pengadilan Tinggi Agama,

seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf

c, huruf d, huruf e dan huruf g.*)

b. Berpengalanan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun sebagai Panitera

Pengganti Pengadilan Tinggi Agama, atau 3 (tiga) tahun sebagai Panitera

Muda atau 5 (lima ) tahun sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Agama

atau menjabat Wakil Panitera Pengadilan Agama.*)

Pasal 33

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Agama, seorang

calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :

Page 15: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

13

a. Syarat sebagimana yang dimaksud pasal 27 huruf a, huruf b, huruf c, huruf

d, huruf e dan huruf g.*)

b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri

pada Pengadilan Agama.*)

Pasal 34

Untuk dapat diangkat menjadi Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama,

seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Syarat sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 27 huruf a, huruf b, huruf

c, huruf d, huruf e dan huruf g.*)

b. Berpengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai Panitera

Pengganti Pengadilan Agama atau 6 (enam) tahun sebagai pegawai negeri

pada Pengadilan Tinggi Agama.*)

Pasal 35

Panitera tidak boleh merangkap menjadi :

a. Wali.*

b. Pengampu.*

c. Advokat, dan/atau*

d. Pejabat peradilan yang lain.**)

Pasal 36

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pengadilan

diangkat dan diberhentikan dari jabatannya oleh Mahkamah Agung.*)

Pasal 37

(1) Sebelum memangku jabatannya, Panitera, Wakil Panitera, Panitera

Muda dan Panitera Pengganti mengucapkan sumpah menurut agama

Islam di hadapan Ketua Pengadilan yang bersangkutan.*)

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan

saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau

cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu

kepada siapapun juga”.

“Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau

tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”

“Saya bersumbah bahwa saya, akan setia kepada dan akan

mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan

ideologi negara, Undang Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang

serta peraturan perundang-undangan yang beerlaku bagi Negara Kesatuan

Repulik Indonesia.

“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya

ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan

akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan

Page 16: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

14

seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Panitera, Wakil Panitera,

Panitera Muda, Panitera Pengganti yang berbudi baik dan jujur dalam

menegakan hukum dan keadilan”*)

Paragraf 3

Juru Sita

Pasal 38

Pada setiap Pengadilan Agama ditetapkan adanya Juru Sita dan Juru Sita

Pengganti.*

Pasal 38A

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pengadilan

diberhentikan dengan hormat dengan alasan :

a. Meninggal dunia.**)))

b. Atas permintaan sendiri secara tertulis.**)))

c. Sakit jasmani atau rohani secara terus menerus.**)))

d. Telah berumur 60 (enam puluh) tahun bagi Panitera, Wakil Panitera,

Panitera Pengganti Pengadilan Agama.**)))

e. Telah berumur 62 (enam puluh dua) tahun bagi Panitera, Wakil Panitera,

Panitera Muda dan Panitera Pengganti Pengadilan Tinggi Agama; dan

/atau**)))

f. Ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.**)))

Pasal 38B

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti pengadilan

diberhentikan dengan tidak hormat dengan alasan :

a. Dipidana penjara karena melakukan kejahatan berdasarkan putusan

pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.**)))

b. Melakukan perbuatan tercela.**)))

c. Melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya terus-

menerus selama 3 (tiga) bulan.**)))

d. Melanggar sumpah atau janji jabatan.**)))

e. Melanggar larangan sebagaiman dimaksud dalam pasal 35; dan /atau**)))

f. Melanggar Kode Etik Panitera.**)))

Pasal 39

(1) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita, seorang calon harus memenuhi

syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.*

b. Beragama Islam.*

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*

d. Setia kepada Pancasila dan Unmdang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.*)

e. Berijazah pendidikan menengah.**)

Page 17: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

15

f. Berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai Juru Sita

Pengganti dan*)

g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kewajiban.**)

(2) Untuk dapat diangkat menjadi Juru Sita Pengganti, seorang calon harus

memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,

huruf d, huruf e dan huruf g; dan *)

b. Berpengalaman paling singkat 3 (tiga) tahun sebagai pegawai negeri

pada Pengadilan Agama.*)

Pasal 40

(1) Juru Sita diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Mahkamah Agung atas

usul Ketua pengadilan yang bersangkutan.*)

(2) Juru Sita Pengganti diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Pengadilan

yang bersangkutan.*)

Pasal 41

(1) Sebelum memangku jabatannya, Juru Sita dan Juru Sita Pengganti

mengucapkan sumpah menurut agama Islam dihadapan Ketua pengadilan

yang bersangkutan.*)

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk memperoleh jabatan

saya ini, langsung atau tidak langsung dengan menggunakan nama atau

cara apapun juga, tidak memberikan atau menjanjikan barang sesuatu

kepada siapapun juga”.

“Saya bersumpah bahwa saya, untuk melakukan atau tidak melakukan

sesuatu dalam jabatan ini, tidak sekali-kali akan menerima langsung atau

tidak langsung dari siapapun juga suatu janji atau pemberian”

“Saya bersumbah bahwa saya, akan setia kepada dan akan

mempertahankan serta mengamalkan Pancasila sebagai dasar dan

ideologi negara, Undang Undang Dasar 1945 dan segala undang-undang

serta peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Negara Kesatuan

Repulik Indonesia.

“Saya bersumpah bahwa saya senantiasa akan menjalankan jabatan saya

ini dengan jujur, seksama dan dengan tidak membeda-bedakan orang dan

akan berlaku dalam melaksanakan kewajiban saya sebaik-baiknya dan

seadil-adilnya seperti layaknya bagi seorang Juru Sita, Juru Sita Pengganti

yang berbudi baik dan jujur dalam menegakan hukum dan keadilan”*)

Pasal 42

(1) Kecuali ditentukan lain oleh atau berdasarkan undang-undang, Juru Sita

tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu dan pejabat yang

berkaitan dengan perkara yang didalamnya ia sendiri berkepentingan.*)

(2) Juru Sita tidak boleh merangkap menjadi Advokat.*)

Page 18: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

16

(3) Jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh Juru Sita selain jabatan

sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut

oleh Mahkamah Agung.*)

Bagian Ketiga

Sekretaris

Pasal 43

Pada setiap pengadilan ditetapkan adanya sekretariat yang dipimpin oleh

seorang Sekretaris dan dibantu oleh seorang Wakil Sekretaris.

Pasal 44

Dihapus dengan Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009

Semula

Dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 berbunyi :

“Panitera pengadilan merangkap Sekretaris pengadilan”

Dalam Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 berbunyi :

“Panitera pengadilan tidak merangkap Sekretaris pengadilan”

Pasal 45

Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris atau Wakil Sekretaris Pengadilan

Agama , seorang calon harus memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Warga Negara Indonesia.*

b. Beragama Islam.*

c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.*

d. Setia kepada Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.*)

e. Berijazah sarjana syari’ah atau sarjana hukum Islam, sarjana hukum yang

menguasai hukum Islam atau sarjana administrasi.**)

f. Berpengalaman paling singkat 2 (dua) tahun di bidang adminstrasi

peradilan, dan**)

g. Mampu secara rohani dan jasmani untuk menjalankan tugas dan

kewajibannya.**))

Pasal 46

Dihapus oleh Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006

Pasal 46**)))

Untuk dapat diangkat menjadi Sekretaris atau Wakil Sekretaris Pengadilan

Tinggi Agama, seorang calon harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :

a. Syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 huruf a, huruf b,

huruf c, huruf d, huruf e dan huruf g, dan**)))

b. Berpengalaman paling singkat 4 (empat) tahun di bidang

administrasi.**)))

Page 19: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

17

Pasal 47

Sekretaris dan Wakil Sekretaris pengadilan diangkat dan diberhentikan oleh

Ketua Mahkamah Agung.*)

Pasal 48

(1) Sebelum memangku jabatannya, Sekretaris dan Wakil Sekretaris

mengucapkan sumpah menurut agama Islam dihadapan Ketua pengadilan

yang bersangkutan.*)

(2) Sumpah sebagaimana dimaksud ayat (1) berbunyi sebagai berikut :

“Demi Allah, saya bersumpah bahwa saya, untuk diangkat menjadi

Sekretaris/WakilSekretaris akan setia dan taat sepenuhnya kepada

Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945,Negara dan pemerintah.

“Saya bersumpah bahwa saya, akan menaati peraturan perundang-

undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang

dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran dan

tanggung jawab”

“ Saya bersumpah bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi

kehormatan negara, pemerintah, martabat sekretaris/wakil sekretaris

serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara dari pada

kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan”

“Saya bersumpah bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu yang

menurut sifatnya atau perintah harus saya rahasiakan”

“Saya bersumpah bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat

dan bersemangat untuk kepentingan Negara”*)

BAB III

KEKUASAAN PENGADILAN

Pasal 49

Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan

menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam

di bidang :

a. Perkawinan.*

b. Waris.*

c. Wasiat.*

d. Hibah.*

e. Wakaf.*

f. Zakat.*))

g. Infaq.*))

h. Shadaqoh, dan*

i. Ekonomi syari’ah.*))

Pasal 50

(1) Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, khusus mengenai objek sengketa

tersebut harus dputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan

Peradilan Umum.*)

Page 20: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

18

(2) Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek

sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara

sebagaimana dimaksud dalam pasal 49.*))

Pasal 51

(1) Pengadilan Tinggi Agama bertugas dan berwenang mengadili perkara

yang yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama.*

(2) Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang mengadili di

tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan antar Pengadilan

Agama di daerah hukumnya.*

Pasal 52

(1) Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat

tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya,

apabila diminta.*

(2) Selain tugas dan kewenangan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49

dan pasal 51, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan lain oleh

atau berdasarkan undang-undang.*

Pasal 52A

Pengadilan Agama memberikan itsbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan

awal bulan pada tahun Hijriyah.*))

Pasal 53

(1) Ketua pengadilan melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas

Hakim.**)

(2) Ketua pengadilan selain melakukan pengawasan sebagaimana yang

dimaksud dalam ayat (1), juga mengadakan pengawasan terhadap

pelaksanaan tugas dan perilaku Panitera, Sekretaris, dan Juru Sitadi daerah

hukumnya**).

(3) Selain tugas melakukan pengawasan sebagaiamana pada ayat (1) dan ayat

(2), Ketua Pengadilan Tinggi Agama di daerah hukumnya mengadakan

pengawasan terhadap jalannya peradilan di tingkat Pengadilan Agama dan

menjaga agar peradilan dilselenggarakan dengan seksama dan

sewajarnya. **)

(4) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam

ayat (1) dan ayat (2), Ketua pengadilan dapat memberikan petunjuk,

teguran dan peringatan yang dipandang perlu.**)

(5) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana yang dimaksud dalam

ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), tidak boleh mengurangan kebebasan Hakim

dalam memeriksa dan memutus perkara.**)

BAB IV

HUKUM ACARA

Bagian Pertama

Umum

Page 21: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

19

Pasal 54

Hukum Acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan peradilan

agama adalah hukum acara perdata yang berlaku pada pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam

undang-undang ini.*

Pasal 55

Tiap pemeriksaan perkara di pengadilan dimulai sesudah diajukannya suatu

permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara telah dipanggil

menurut ketentuan yang berlaku.*

Pasal 56

(1) Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan memutus suatu

perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak jelas atau kurang

jelas, melainkan wajib memeriksa dan memutusnya.*

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) tidak menutup

kemungkinan usaha penyelesaian perkara secara damai.*

Pasal 57

(1) Peradilan dialakukan DEMI KEADILAN BERDASRKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA.*

(2) Tiap penetapan dan putusan dimulai dengan kalimat

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM diikuti dengan DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.*

(3) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.*

Pasal 58

(1) Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang.*

(2) Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-

kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya

peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.*

Pasal 59

(1) Sidang pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum, kecuali apabila

undang-undang menentukan lain atau jika Hakim dengan alasan-alasan

penting yang dicatat dalam berita acara sidang, memerintahkan bahwa

pemeriksaan secara keseluruhan atau sebagian akan dilakukan dengan

sidang tertutup untuk umum.*

(2) Tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1)

mengakibatkan seluruh pemeriksaan beserta penetapan atau putusannya

batal demi hukum.*

(3) Rapat permusyawaratan Hakim bersifat rahasia.*

Page 22: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

20

Pasal 60

Penetapan dan putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan

hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.*

Pasal 60A

(1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, Hakim harus bertanggung jawab

atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.**)))

(2) Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus

memuat pertimbangan hukum Hakim yang didasarkan pada alasan dan

dasar hukum yang tepat dan benar.**)))

Pasal 60B

(1) Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan

hukum.**)))

(2) Negara menanggung biaya perkara bagi pencari keadilan yang tidak

mampu.**)))

(3) Pihak yang tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus

melampirkan keterangan tidak mampu dari kelurahan tempat domisili

yang bersangkutan.**)))

Pasal 60C

(1) Pada setiap Pengadilan Agama dibentuk pos bantuan hukum untuk pencari

keadilan yang tidak mampu dalam memperoleh bantuan hukum.**)))

(2) Bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara

cuma-cuma kepada tingkat peradilan sampai putusan terhadap perkara

tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.**)))

(3) Bantuan hukum dan pos bantuan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.**)))

Pasal 61

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Agama dapat dimintakan banding

oleh para pihak yang berperkara, kecuali apabila undang-undang menentukan

lain.*

Pasal 62

(1) Segala penetapan dan putusan pengadilan, selain harus memuat alasan-

alasan juga harus memuat pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan

yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

untuk mengadili.*

(2) Tiap penetapan dan putusan pengadilan ditanda tangani oleh Ketua dan

Hakim-hakim yang memutus serta Panitera yang ikut bersidang pada

waktu penetapan dan putusan itu diucapkan.*

Page 23: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

21

(3) Berita Acara tentang pemeriksaan ditanda tangani oleh Ketua dan Panitera

yang bersidang.*

Pasal 63

Atas penetapan dan putusan Pengadilan Tinggi Agama dapat dimintakan

kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak yang berperkara.*

Pasal 64

Penetapan dan putusan pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi,

pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya

menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu

meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi.*

Pasal 64A

(1) Pengadilan wajib memberikan akses kepada masyarakat untuk

memperoleh informasi yang berkaitan dengan putusan dan biaya perkara

dalam proses persidangan.**)))

(2) Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada para pihak dalam

jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak putusan

diucapkan.**)))

(3) Apabila pengadilan tidak melaksanakan ketentuan dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (2), Ketua Pengadilan dikenai sanksi sebagaimana diatur

peraturan perundang-undangan.**)))

Bagian Kedua

Pemeriksaan Sengketa Perkawinan

Paragraf 1

U m u m

Pasal 65

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan

kedua belah pihak.*

Paragraf 2

Cerai Talak

Pasal 66

(1) Seorang suami yang beragama Islam yang akan menceraikan isterinya

mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk mengadakan sidang

guna menyaksikan ikrar talak.*

(2) Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diajukan kepada

pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman termohon,

kecuali apabila termohon dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman

yang ditentukan bersama tanpa izin pemohon.*

(3) Dalam hal termohon bertempat kediaman di luar negeri, permohonan

diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat

kediaman pemohon.*

Page 24: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

22

(4) Dalam hal pemohon dan termohon bertempat kediaman di luar negeri,

maka permohonan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.*

(5) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta

bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan

cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan.*

Pasal 67

Permohonan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 66 diatas memuat :

a. Nama, umur dan tempat kediaman pemohon, yaitu suami dan termohon,

yaitu isteri.*

b. Alasan-alasan yang menjadi dasar cerai talak.*

Pasal 68

(1) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan oleh Majelis Hakim

selambat-lambatmya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat

permohonan cerai talak didaftarkan di kepaniteraan.*

(2) Pemeriksaan permohonan cerai talak dilakukan dalam sidang tertutup.*

Pasal 69

Dalam pemeriksaan perkara cerai talak ini berlaku ketentuan-ketentuan pasal

79, pasal 80 ayat (2), pasal 82 dan pasal 83.*

Pasal 70

(1) Pengadilan setelah berkesimpulan bahwa kedua belah pihak tidak

mungkin lagi didamaikan dan telah cukup alasan perceraian, maka

pengadilan menetapkan bahwa permohonan tersebut dikabulkan.*

(2) Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), isteri

dapat mengajukan banding.*

(3) Setelah penetapan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap, pengadilan

menentukan hari sidang penyaksian ikrar talak, dengan memanggil suami

dan isteri atau wakilnya untuk menghadiri sidang tersebut.*

(4) Dalam sidang itu, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam

suatu akte otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar

talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya.*

(5) Jika isteri telah mendapat panggilan secara sah atau patut, tetapi tidak

datang menghadap sendiri atau tidak mengirim wakilnya, maka suami atau

wakilnya dapat mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau

wakilnya.*

(6) Jika suami dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak ditetapkan hari

sidang penyaksian ikrar talak, tidak datang menghadap sendiri atau tidak

mengirim wakilnya meskipun telah mendapat panggilan secara sah atau

patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut, dan perceraian tidak

dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.*

Pasal 71

Page 25: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

23

(1) Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang ikrar talak.*

(2) Hakim membuat penetapan yang isinya menyatakan bahwa perkawinan

putus sejak ikrar talak diucapkan dan penetapan tersebut tidak dapat

dimintakan banding atau kasasi.*

Pasal 72

Terhadap penetapan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 71 berlaku

ketentuan-ketentuan dalam pasal 84 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4)

serta pasal 85.*

Paragraf 3

Cerai Gugat

Pasal 73

(1) Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada pengadilan

yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat, kecuali

apabila penggugat dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman

bersama tanpa izin tergugat.*

(2) Dalam hal penggugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan

perceraian diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi

tempat kediaman tergugat.*

(3) Dalam hal penggugat dan tergugat bertempat kediaman di luar negeri,

maka gugatan diajukan kepada pengadilan yang daerah hukumnya

meliputi tempat perkawinan mereka dilangsungkan atau kepada

Pengadilan Agama Jakarta Pusat.*

Pasal 74

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan salah satu pihak mendapat

pidana penjara, maka untuk memperoleh putusan perceraian, sebagai bukti

penggugat cukup menyampaikan salinan putusan pengadilan yang berwenang

yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa

putusan itu telah memperoleh kekuatan hukum tetap.*

Pasal 75

Apabila gugatan perceraian didasarkan atas alasan bahwa tergugat mendapat

cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajiban

sebagai suami, maka Hakim dapat memerintahkan tergugat untuk

memeriksakan diri kepada dokter.*

Pasal 76

(1) Apabila gugatan perceraian didasarkan pada alasan syiqaq, maka untuk

mendapatkan putusan perceraian harus didengar keterangan saksi-saksi

yang berasal dari keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami

isteri.*

Page 26: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

24

(2) Pengadilan setelah mendengar keterangan saksi tentang sifat pertengkaran

antara suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga

masing-masing pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.*

Pasal 77

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau

tergugat atau atas pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan,

pengadilan dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam

satu rumah.*

Pasal 78

Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat,

pengadilan dapat :

a. Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.*

b. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan

pendidikan anak.*

c. Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-

barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang

menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.*

Pasal 79

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya

putusan pengadilan.*

Pasal 80

(1) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh Majelis Hakim selambat-

lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah berkas atau surat gugatan

perceraian didaftarkan di kepaniteraan.*

(2) Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.*

Pasal 81

(1) Putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum.*

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat hukumnya

terhitung sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.*

Pasal 82

(1) Pada sidang pertama pemeriksaan gugatan perceraian, Hakim berusaha

mendamaikan kedua belah pihak.*

(2) Dalam sidang perdamaian tersebut, suami isteri harus datang secara

pribadi, kecuali apabila salah satu pihak bertempat kediaman di luar

negeri, dan tidak dapat datang menghadap secara pribadi dapat diwakili

oleh kuasanya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.*

(3) Apabila kedua belah pihak bertempat kediaman di luar negeri, maka

penggugat pada sidang perdamaian tersebut harus menghadap secara

pribadi.*

Page 27: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

25

(4) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan

pada setiap sidang pemeriksaan.*

Pasal 83

Apabila terjadi perdamaian, maka tidak dapat diajukan perceraian baru

berdasarkan alasan yang ada dan telah diketahui oleh penggugat sebelum

perdamaian tercapai.*

Pasal 84

(1) Panitera pengadilan atau pejabat pengadilan yang ditunjuk berkewajiban

selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari mengirimkan satu helai salinan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, tanpa

bermeterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang wilayahnya meliputi

tempat kediaman penggugat dan tergugat, untuk mendaftarkan putusan

perceraian dalam sebuah daftar yang disediakan untuk itu.*

(2) Apabila perceraian dilakukan di wilayah yang berbeda dengan wilayah

Pegawai Pencatat Nikah tempat perkawinan dilangsungkan, maka satu

helai salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap tanpa bermeterai dikirimkan pula

kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat perkawinan dilangsungkan dan

oleh Pegawai Pencatat Nikah tersebut dicatat pada bagian pinggir daftar

catatan perkawinan.*

(3) Apabila perkawinan dilangsungkan di luar negeri, maka satu helai salinan

putusan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) disampaikan pula

kepada Pegawai Pencatat Nikah di tempat didaftarkannya perkawinan

mereka di Indonesia.*

(4) Panitera berkewajiban memberikan akta cerai sebagai surat bukti cerai

kepada para pihak selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari terhitung setelah

putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap tersebut diberitahukan

kepada para pihak.*

Pasal 85

Kelalaian pengiriman salinan putusan sebagaimana yang dimaksud dalam

pasal 84, menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan atau pejabat

pengadilan yang ditunjuk, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian

bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.*

Pasal 86

(1) Gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan harta

bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan gugatan

perceraian ataupun sesudah putusan perceraian memperoleh kekuatan

hukum tetap.*

(2) Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu

perkara harta bersama tersebut sampai ada putusan pengadilan dalam

Page 28: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

26

lingkungan peradilan umum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

tentang hal itu.*

Paragraf 4

Cerai Dengan Alasan Zina

Pasal 87

(1) Apabila permohonan atau gugatan cerai diajukan atas alasan salah satu

pihak melakukan zina, sedangkan pemohon atau penggugat tidak dapat

melengkapi bukti-bukti dan termohon atau tergugat menyanggah alasan

tersebut, dan Hakim berpendapat bahwa permohonan atau gugatan itu

bukan tiada pembuktian sama sekali serta upaya peneguhan alat bukti

tidak mungkin lagi diperoleh baik dari pemohon atau penggugat maupun

dari termohon atau tergugat, maka Hakim karena jabatannya dapat

menyuruh pemohon atau penggugat untuk bersumpah.*

(2) Pihak termohon atau tergugat diberi kesempatan pula untuk meneguhkan

sanggahannya dengan cara yang sama.*

Pasal 88

(1) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1)

dilakukan oleh suami, maka penyelesaiannya dapat dilakukan dengan cara

li’an.*

(2) Apabila sumpah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 87 ayat (1)

dilakukan oleh isteri, maka penyelesaiaannya dilaksanakan dengan hukum

acara yang berlaku.*

Bagian Ketiga

Biaya Perkara

Pasal 89

(1) Biaya perkara dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat

atau pemohon.*

(2) Biaya perkara penetapan atau putusan pengadilan yang bukan merupakan

penetapan atau putusan akhir akan diperhitungkan dalam penetapan atau

putusan akhir.*

Pasal 90

(1) Biaya perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 89, meliputi :

a. Biaya kepaniteraan dan biaya meterai yang diperlukan untuk perkara

tersebut.*)

b. Biaya untuk para saksi, saksi ahli, penerjemah dan biaya pengambilan

sumpah yang diperlukan dalam perkara tersebut.*)

c. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan setempat dan tindakan-

tindakan lain yang diperlukan pengadilan dalam perkara tersebut,

dan*)

d. Biaya pemanggilan, pemberitahuan dan lain-lain atas perintah

pengadilan yang berkenaan dengan perkara tersebut.*)

(2) Besarnya biaya perkara diatur oleh Mahkamah Agung.*)

Page 29: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

27

Pasal 91

(1) Jumlah biaya perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 90 harus

dimuat dalam amar penetapan atau putusan pengadilan.*

(2) Jumlah biaya yang dibebankan oleh pengadilan kepada salah satu pihak

berperkara untuk dibayarkan kepada pihak lawannya dalam perkara itu

harus dicantumkan juga dalam amar penetapan atau putusan pengadilan.*

Pasal 91A

(1) Dalam menjalankan tugas peradilan, peradilan agama dapat menarik biaya

perkara.**)))

(2) Penarikan biaya perkara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) wajib

disertai dengan tanda bukti pembayaran yang sah.**)))

(3) Biaya perkara sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya

kepaniteraan dan biaya proses penyelesaian perkara.**)))

(4) Biaya kepaniteraan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) merupakan

penerimaan negara bukan pajak, yang ditetapkan sesuai dengan peraturan

perundang-undangan.**)))

(5) Biaya proses penyelesaian perkara sebagaimana yang dimaksud pada ayat

(3) dibebankan kepada pihak atau para pihak yang berperkara yang

ditetapkan oleh Mahkamah Agung.**)))

(6) Pengelolaan dan pertanggungjawaban atas penarikan biaya perkara

sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), diperiksa oleh Badan

Pemeriksa Keuangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.**)))

Pasal 91 B

(1) Setiap pejabat peradilan dilarang menarik biaya selain biaya perkara

sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 91A ayat (3).**)))

(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)

dikenai sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagaimana dimaksud

dalam pasal 19 dan pasal 38B.**)))

BAB V

KETENTUAN KETENTUAN LAIN

Pasal 92

Ketua pengadilan mengatur tugas para Hakim.*

Pasal 93

Ketua pengadilan membagikan semua berkas perkara dan atau surat-surat lain

yang berhubungan dengan perkara yang diajukan ke pengadilan kepada

Majelis Hakim untuk diselesaikan.*

Pasal 94

Ketua pengadilan menetapkan perkara yang harus diadili berdasarkan nomor

urut, tetapi apabila terdapat perkara tertentu yang karena menyangkut

kepentingan umum harus segera diadili, maka perkara itu didahulukan.*

Page 30: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

28

Pasal 95

Ketua pengadilan wajib mengawasi kesempurnaan pelaksanaan penetapan

atau putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.*

Pasal 96

Panitera pengadilan bertugas menyelengggarakan administrasi perkara dan

mengatur tugas Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti.*

Pasal 97

Panitera, Wakil Panitera, Panitera Muda dan Panitera Pengganti bertugas

membantu Hakim dengan menghadiri dan mencatat jalannya sidang

pengadilan.*

Pasal 98

Panitera bertugas melaksanakan penetapan atau putusan pengadilan.*

Pasal 99

(1) Panitera wajib membuat daftar semua perkara yang diterima di

kepaniteraan.*

(2) Dalam daftar sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), tiap perkara

diberi nomor urut dan dibubuhi catatan singkat tentang isinya.*

Pasal 100

Panitera membuat salinan atau turunan penetapan atau putusan pengadilan

menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.*

Pasal 101

(1) Panitera bertanggung jawab atas pengurusan berkas perkara, penetapan

atau putusan, dokumen, akta, buku daftar, biaya perkara, uang titipan

pihak ketiga, surat-surat berharga, barang bukti dan surat-surat lain yang

disimpan di kepaniteraan.*

(2) Semua daftar, catatan, risalah, berita acara, serta berkas perkara tidak

boleh dibawa keluar dari ruangan kepaniteraan, kecuali atas izin Ketua

pengadilan berdasarkan ketentuan undang-undang.*

(3) Tata cara pengeluaran surat asli, salinan atau turunan penetapan atau

putusan, risalah, berita acara, akta dan surat-surat lain diatur oleh

Mahkamah Agung.*

Pasal 102

Tugas dan tanggung jawab serta tata kerja kepaniteraan pengadilan diatur

lebih lanjut oleh Mahkamah Agung.*

Page 31: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

29

Pasal 103

(1) Juru Sita bertugas :

a. Melaksanakan semua perintah yang diberikan oleh Ketua Sidang.*

b. Menyampaikan pengumuman-pengumuman, teguran-teguran dan

pemberitahuan penetapan atau putusan pengadilan menurut cara-cara

berdasarkan ketentuan undang-undang.*

c. Melakukan penyitaan atas perintah Ketua pengadilan*

d. Membuat berita acara penyitaan, yang salinan resminya diserahkan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan.*

(2) Juru Sita berwenang melakukan tugasnya di daerah hukum pengadilan

yang bersangkutan.*

Pasal 104

Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Juru Sita diatur oleh

Mahkamah Agung.*

Pasal 105

(1) Sekretaris pengadilan bertugas menyelenggarakan administrasi umum

pengadilan.*

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, tanggung jawab, susunan

organisasi dan tata kerja Sekretaris diatur oleh Mahkamah Agung.*)

BAB VI

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 106

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini :

1. Semua Badan Peradilan Agama yang telah ada dinyatakan sebagai Badan

Peradilan Agama menurut undang-undang ini.*

2. Semua peraturan pelaksanaan yang telah ada mengenai peradilan agama

dinyatakan tetap berlaku selama ketentuan baru berdasarkan undang-

undang ini belum dikeluarkan, sepanjang peraturan itu tidak bertentangan

dengan undang-aundang ini.*

Pasal 106A

Pada saat undang-undang ini mulai berlaku, peraturan perundang-undangan

pelaksana Undang Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama

masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti

berdasarkan undang-undang ini.*))

BAB VII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 107

(1) Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka :

a. Peraturan tentang peradilan agama di Jawa dan Madura (Staatsblad

Tahun 1882 Nomor 152 dan Staatsblad Tahun 1937 Nomor 116 dan

Nomor 610),*

Page 32: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

30

b. Peraturan tentang Kerapan Qadi dan Kerapatan Qadi Besar untuk

sebagian Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatsblad Tahun

1937 Nomor 638 dan 639;*

c. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957 tentang Pembentukan

Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah di luar Jawa dan Madura

(Lembaran Negara Tahun 1957 Nomor 99), dan*

d. Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 63 ayat (2)

Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran

Negara Tahun 1974, Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor

3019), dinyatakan tidak berlaku.*

(2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 236 a Reglemen

Indonesia Yang Diperbaharui (RIB), Staatsblad Tahun 1941, Nomor 44,

mengenai permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan diluar

sengketa antara orang-orang yang beragama Islam yang dilakukan

berdasarkan hukum Islam, diselesaikan oleh Pengadilan Agama.*

Pasal 108

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.*

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-

undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia.*

Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989, disahkan pada tanggal

29 Desember 1989.

Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006, disahkan pada tanggal

20 Maret 2006.

Undang Undang Nomor 50 Tahun 2009, disahkan pada tanggal

29 Oktober 2009

Page 33: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

31

P E N J E L A S A N

A T A S

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG

PERADILAN AGAMA

I. U M U M

1. Dalam Negara Republik Indonesia ….. dan seterusnya.

Keragaman dasar hukum peradilan agama tersebut

mengakibatkan beragamnya pula susunan, kekuasaan dan hukum acara

peradilan agama. Dalam rangka penerapan wawasan nusantara di

bidang hukum yang merupakan pengejawantahan Pancasila sebagai

sumber dari segala sumber hukum, maka keragaman tersebut perlu

segera diakhiri demi terciptanya kesatuan hukum yang mengatur

peradilan agama dalam kerangka sistem dan tata hukum nasional yang

berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

2. Kekuasaan Kehakiman di lingkungan peradilan agama …… dan

seterusnya.

Bidang perkawinan yang dimaksud disini adalah hal-hal yang

diatur dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Bidang kewarisan adalah mengenai penentuan siapa-siapa

yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan

bagian masing-masing ahli waris dan pelaksanaan pembagian harta

peninggalan, bilamana pewarisan tersebut dilakukan berdasarkan

hukum Islam.

Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum

berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang

akan dipergunakan dalam pembagian warisan.

II. PASAL DEMI PASAL.

Pasal 1. Cukup jelas. …… dan seterusnya.

Pasal 49 ayat (2)

Yang dimaksud dengan perkawinan yang diatur dalam Undang Undang

Nomor 1 Tahun 1974 antara lain adalah :

1. Izin beristeri lebih dari seorang.

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh sat) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga

dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

3. Despensasi kawin.

4. Pencegahan perkawinan.

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

6. Pembatalan perkawinan.

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.

Page 34: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

32

8. Perceraian karena talak.

9. Gugatan perceraian.

10. Penyelesaian harta bersama.

11. Mengenai penguasaan anak.

12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana

bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.

13. Penentuan kewajiban memberi biaya kehidupan oleh suami kepada

bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.

16. Pencabutan kekuasaan wali.

17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan, dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut.

18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup

umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada

hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah

kekuasaannya.

20. Penetapan asal usul anak.

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

perkawinan campuran.

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 35: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

33

PENJELASAN

ATAS UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 3 TAHUN 2006

TENTANG

PERADILAN AGAMA

I. U M U M

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945……

dan seterusnya.

Dalam Undang Undang ini kewenangan peradilan agama diperluas,

hal ini sesuai perkembangan hukum masyarakat, khususnya masyarakat

muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syari’ah.

Dalam kaitannya dengan perubahan undang undang ini pula, kalimat

yang terdapat dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 7 Tahun

1989 tentang Peradilan Agama yang menyatakan “Para pihak sebelum

berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang

akan dipergunakan dalam pembagian warisan”, dinyatakan dihapus.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1 (cukup jelas)

Pasal 49

Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan

syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya.

Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam”

adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya

menundukan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal

yang menjadi kewenangan peradilan agama sesuai dengan ketentuan pasal

ini.

Huruf a.

Yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur dalam

atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku yang

dilakukan menurut syari’ah, antara lain :

1. Izin beristeri lebih dari seorang.

2. Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21

(dua puluh sat) tahun, dalam hal orang tua atau wali atau keluarga

dalam garis lurus ada perbedaan pendapat.

3. Despensasi kawin.

4. Pencegahan perkawinan.

5. Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

6. Pembatalan perkawinan.

7. Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri.

8. Perceraian karena talak.

9. Gugatan perceraian.

10. Penyelesaian harta bersama.

11. Penguasaan anak-anak.

Page 36: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

34

12. Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak, bilamana

bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya.

13. Penentuan kewajiban memberi biaya kehidupan oleh suami kepada

bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri.

14. Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak.

15. Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua.

16. Pencabutan kekuasaan wali.

17. Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan, dalam hal

kekuasaan seorang wali dicabut.

18. Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup

umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya pada

hal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya.

19. Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah

menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah

kekuasaannya.

20. Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak

berdasarkan hukum Islam.

21. Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan

perkawinan campuran.

22. Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Huruf b

Yang diamksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang

menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan

bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta

peninggalan tersebut; serta penetapan pengadilan atas permohonan

seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan

bagiam masing-masing ahli waris.

Huruf c :

Yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang memberikan

suatu benda atau manafa’at kepada orang lain atau lembaga/badan hukum,

yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.

Huruf d :

Yang dimaksud dengan “hibah” adalah pemberian suatu benda secara

sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada

orang lain atau badan hukum untuk dimilki.

Huruf e :

Yang dimaksud dengan “wakaf” adalah perbuatan seseorang atau

sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan

sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk

jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan

ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.

Huruf f :

Yang dimaksud dengan “zakat” adalah harta yang wajib disisihkan oleh

seorang muslim atau badan hukum yang dimliki oleh orang muslim sesuai

Page 37: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

35

dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak

menerimanya.

Huruf g :

Yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang memberikan

sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhamn hidup, baik berupa

makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia), atau

menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas dan

karena Allah swt.

Huruf h :

Yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang

memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara

spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan

mengharap ridho Allah swt dan pahala semata.

Huruf i :

Yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau

kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain

meliputi :

a. Bank syari’ah.

b. Lembaga keuangan mikro syari’ah.

c. Asuransi syari’ah.

d. Reasuransi syari’ah.

e. Reksa dana syariah.

f. Obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah.

g. Sekuritas syari’ah.

h. Pembiayaan syari’ah.

i. Pegadaian syari’ah.

j. Dana pensiun lembaga keuangan.

k. Bisnis syari’ah.

Pasal 50 ayat (2)

Ketentuan ini memberi wewenang kepada Pengadilan Agama untuk

sekaligus memutuskan sengketa milik atau keperdataan lain yang terkait dengan

objek sengketa yang diatur dalam pasal 49 apabila subjek sengketa antara orang-

orang yang beragama Islam.

Hal ini menghindari upaya memperlambat atau mengulur waktu

penyelesaian sengketa karena alasan adanya sengketa milik atau keperdataan

lainnya tersebut sering dibut oleh pihak yang merasa dirugikan dengan adanya

gugatan di Pengadilan Agama.

Sebaliknya apabila subjek yang mengajukan sengketa hak milik atau

keperdataan lain tersebut bukan yang menjadi subjek bersengketa di Pengadilan

Agama, sengketa di pengadilan Agama ditunda untuk menunggu putusan gugatan

yang diajukan ke pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Penagguhan dimaksud hanya dilakukan jika pihak yang berkeberatan telah

mengajukan bukti ke Pengadilan Agama bahwa telah didaftarkan gugatan di

Pengadilan Negeri terhadap objek sengketa yang sama dengan sengketa di

Pengadilan Agama.

Page 38: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

36

Dalam hal objek sengketa lebih dari satu objek dan yang tidak terkait

dengan objek sengketa yang diajukan keberatannya, Pengadilan Agama tidak

perlu menangguhkan putusannya, terhadap objek sengketa yang tidak terkait

dimaksud.

Pasal 52 :

Selama ini Pengadilan Agama diminta oleh Menteri Agama untuk

memberikan penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau

menyaksikan hilal bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan

Syawal tahun Hijriyah dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan

secara nasional untuk penetapan 1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal.

Pengadilan Agama dapat memberikan keterangan atau nasehat mengenai

perbedaan penentuan arah qiblat dan penentuan waktu shalat.

Page 39: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

37

PENJELASAN

ATAS

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 50 TAHUN 2009

TENTANG

PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1989

TENTANG PERADILAN AGAMA

I. UMUM

Undang Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945….. dan

seterusnya.

Perubahan kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama telah meletakan dasar kebijakan bahwa segala urusan

mengenai peradilan agama, pengawasan tertinggi baik menyangkut teknis

yudisial maupun non yudisial yaitu urusan organisasi, administrasi dan

finansial berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Sedangkan untuk

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku

Hakim, pengawasan eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial. Perubahan

kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan

Agama dimaksudkan untuk meperkuat prinsip dasar dalam

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu agar prinsip kemandirian

peradilan dan prinsip kebabasan Hakim dapat berjalan pararel dengan

prinsip integritas dan akuntabilitas Hakim.

Perubahan penting lainnya atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1989

tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang

Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama antara lain sebgai

berikut :

1. Penguatan pengawasan Hakim, baik pengawasan internal oleh

Mahkamah Agung maupun pengawasan eksternal atas perilaku Hakim

yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dalam menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku Hakim.

2. Memperketat persyaratan pengangkatan Hakim, baik Hakim pada

Pengadilan Agama maupun Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama,

antara lain melalui proses seleksi Hakim yang dilakukan secara

transparan, akuntabel dan partisipatif serta harus melalui proses atau

lulus pendidikan Hakim.

3. Pengaturan mengenai pengadilan khusus dan Hakim Ad Hoc.

4. Pengaturan mekanisme dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian

Hakim

5. Keamanan dan kesejahteraan Hakim.

6. Transparansi putusan dan limitasi pemberian salinan putusan.

7. Transparansi biaya perkara serta pemeriksaan pengelolaan dan

pertanggungjawaban biaya perkara.

8. Bantuan hukum, dan

Page 40: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

38

9. Majelis kehormatan Hakim dan kewajiban Hakim untuk menaati Kode

Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

Perubahan secara umum atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang

Undang Nonor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, pada dasarnya

untuk mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa yang dilakukan

melalui penataan sistim peradilan yang terpadu (integrated system),

terlebih peradilan agama secara konstitusional merupakan badan

peradilan di bawah Mahkamah Agung.

II. PASAL DEMI PASAL

Dan seterusnya.

C A T A T A N :

-Tanda * : Teks asli UU Nomor 7 Tahun 1989 yang tidak dirubah.

- Tanda *) : UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 3 Tahun 2006

-Tanda *)) : Diadakan baru oleh UU Nomor 3 Tahun 2006.

-Tanda **) : UU Nomor 7 Tahun 1989 dirubah oleh UU Nomor 50 Tahun 2009

-Tanda **)) : UU Nomor 3 Tahun 2006 dirubah oleh UU Nomor 50 tahun 2009

-Tanda **))): Diadakan baru oleh UU Nomor 50 tahun 2009.

Demak, 29 Desember 2009

Editor

Ali M. Haidar

Page 41: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

1

CATATAN PENTING

ATAS HAL-HAL YANG TERKAIT

DENGAN UNDANG UNDANG PERADILAN AGAMA

(UU NO. 7/1989, UU NO. 3/2006 DAN UU NO. 50/2009)

1. Konsideran :

1.1. Judul Undang Undang adalahUndang Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang

Peradilan Agama.

1.2. Dalam menyebut undang-undang yang telah beberapa kali dirubah dengan

menggunakan istilah seperti “Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang Undang

Nomor 3 Tahun 2009”.

2. Pasal 2 (Pengadilan Agama sebagai salah satu kekuasaan kehakiman dan

pengertian peradilan dan pengadilan), menurut Hartono, 1977, hal. 95 :

2.1. Peradilan adalah tugas atau fungsi menegakkan hukum dan keadilan yang

dibebankan kepada pengadilan.

2.2. Pengadilan adalah organisasi atau badan yang menjalankan tugas dan fungsi

peradilan tersebut.

2.3. Dasar hukum peradilan agama dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 24 :

2.3.1. Ayat (1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang

merdekauntuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan.

2.3.2. Ayat (2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,

lingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha

negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

2.3.3. Ayat (3) Badan badan lain yang fungsinya berkaitan dengan

kekuasaan kehakiman diatur dalam undang undang.

2.4. Filosofi kekuasaan kehakiman di Indonesia :

2.4.1. Sistim hukum menurut UUD 1945 menganut teori single system of

court (satu sistem peradilan), yaitu Mahkamah Agung dan badan

peradilan dibawahnya yang kesemuanya disebut sebagai peradilan

negara.

2.4.2. Namun sebelum maupun setelah kemerdekaan sampai dengan tahun

1963 masih menganut teori multy system of court (banyak sistem

peradilan). Ada pengadilan adat, pengadilan swapraja, pengadilan

negeri dan pengadilan agama.

2.4.3. Mahkamah Agung sebagai badan peradilan negara tertinggi dan juga

sebagai lembaga tinggi negara.

2.4.4. Sedangkan peradilan dibawah Mahkamah Agung menganut sistem

lingkungan, yaitu :

2.4.4.1. Lingkungan peradilan umum.

2.4.4.2. Lingkungan peradilan agama.

Page 42: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

2

2.4.4.3. Lingkungan peradilan militer.

2.4.4.4. Lingkungan peradilan tata usaha negara.

2.4.5. Peradilan umum adalah peradilan negara yang melaksanakan tugas

peradilan di bidang pidana dan perdata secara umum.

2.4.6. Tiga peradilan yang lain adalah peradilan khusus :

2.4.6.1. Khusus yustiabelennya (pencari keadilan/subyek hukumnya) :

2.4.6.1.1. Orang Islam di Pengadilan Agama.

2.4.6.1.2. Anggota militer di Pengadilan Militer.

2.4.6.1.3. Pegawai negeri di PTUN.

2.4.6.2. Khusus hukum yang diberlakukan/diterapkan :

2.4.6.2.1. Hukum Islam di Pengadilan Agama.

2.4.6.2.2. Hukum pidana militer di Pengadilan Militer.

2.4.6.2.3. Hukum administrasi negara di PTUN.

2.4.7. Peradilan agama adalah sub sistem peradilan negara Republk

Indonesia yang khusus melayani pencari keadilan yang beragama

Islam, mengenai perkara tertentu, yang didasarkan pada hukum Islam.

2.4.8. Tata hukum ketatanegaraan Negara Republik Indonesia menganut

sistem peradilan dalam dua tingkat :

2.4.8.1. Peradilan tingkat pertama, seperti pengadilan agama.

2.4.8.2. Peradilan ulangan, seperti pengadilan tinggi agama.

2.4.9. Kasasi adalah mengajukan pembatalan putusan peradilan kepada

peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung.

2.4.10. Peninjauan Kembali adalah mengajukan permohonan mengadili ulang

kepada peradilan tertinggi yakni Mahkamah Agung.

2.5. Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal

42 ayat (2) menyatakan bahwa pengalihan organisasi, administrasidan

finansial dalam lingkungan peradilan agama dilaksanakan paling lambat

tanggal 30 Juni 2004.

2.6. Keputusan Presiden Nomor 21 Tahun 2004 :

2.6.1. Pasal 2 menegaskan bahwa organisasi, administrasi dan finansial pada

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Departemen Agama,

PTA/MSAceh, PA dan MS terhitung tanggal 30 Juni 2001 dialihkan

dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.

2.6.2. Pasal 3 menerangkan bahwa pembinaan organisasi, administrasi dan

finansial berada di bawah Mahkamah Agung.

2.7. Sema Nomor 4 Tahun 1959 tanggal 01-03-1959 :

2.7.1. PP Nomor 43 Tahun 1958 Pasal 3 tentang penggunaan lambang negara.

2.7.2. Di ruang sidang hanya dipasang lambang garuda tanpa yang lain dan

tepatdiatas kursi Ketua Majelis Hakim.

2.8. Sema Nomor 6 Tahun 1966 tanggal 11-09-1966 :

2.8.1. Dalam sidang hakim memakai toga.

2.8.2. Di luar sidang hakim memakai pakaian dinas.

2.8.3.SK Menteri Agama Nomor 62 Tahun 1985 tentang Pakaian Hakim

dalam Sidang.

2.9. Peraturan tentang pakaian dinas aparat peradilan :

2.10.SK Ketua MA Nomor KMA/033/SK/V/2004 tanggal 11-05-2004 tentang

stempel, logo papan nama, pakaian dinas dan bendera pengadilan :

Page 43: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

3

2.10.1. Pakaian pegawai :

2.10.1.1. Baju model PDH.

2.10.1.2. Warna baju hijau muda, warna celana dan rok hijau tua.

2.10.1.3. Pakai papan nama.

2.10.1.4. Pakai logo.

2.10.2. Pakaian hakim dan pejabat struktural :

2.10.1.2.1. Baju model jas mini.

2.10.1.2.2. Celana panjang bagi pria atau rok bagi wanita.

2.10.1.2.3. Warna biru dongker.

2.10.1.2.4. Pakai papan nama.

10.2.SK Sekretaris Mahkamah Agung tentang Pakaian Hari Jum’at memakai

pakaian olah raga dan batik lengan panjang atau lengan pendek.

10.3. SK Ketua PTA Pontianak Nomor W14-A/827/HK.03.5/IX/2008 tanggal

08-09-2008 tentang Tata Tertib Kedinasan pada PTA Pontianak dan

Pengadilan Agama se Wilayah Hukum PTA Pontianak.

2.11. Keputusan Sekretaris MA Nomor 039/Sek/SK/IX/2008 tanggal 17-09-2008 :

2.11.1. Jumlah seluruh peradilan agama tingkat pertama ada 343 Pengadilan

Agama/Mahkamah Syariah.

2.11.2. Dengan perincian :

2.11.2.1. Pengadilan Agama/MS Kelas IA sebanyak 52.

2.11.2.2. Pengadilan Agama/MS Kelas IB sebanyak 92.

2.11.2.3. Pengadilan Agama/MS Kelas II sebanyak 199.

2.12. SK Ketua MA Nomor KMA/043/SSK/VIII/1999 tentang Hari Jadi MA :

2.12.1. Hari Jadi Mahkamah Agung jatuh pada tanggal 19 Agustus 1945.

2.12.2. HUT Mahkamah Agungdiadakan setiap tanggal 19 Agustus.

2.12.3. Filosofinya, terhitung pengangkatan Dr. Mr. RSE Koesoema Atmadja

sebagai Ketua MA yang pertama oleh Presiden Ir. H. Soekarno.

3. Pasal 5 (pembinaan teknis peradilan, organisasi dan finansial) dan Pasal 12

(pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim) :

3.1. Keputusan Ketua MA Nomor MA/Kumdil/207/VIII/K/1994 tanggal 09-08-

1994 tentang Pengawasan dan Evaluasi Hasil Pengawasan.

3.2. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/096/SK/X/2006 tanggal 19-10-2006

tentang Tanggung jawab Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua

Pengadilan Tingkat Pertama Dalam Melaksanakan Tugas Pengawasan.

3.3. Keputusan Ketua MA Nomor 215/KMA/SK/XII/2007 tanggal 19-12-2007

tentang Petunjuk Pelaksanaan Pedoman Perilaku Hakim.

3.4. Keputusan Ketua MA Nomor 071/KMA/SK/V/2008 tanggal 14-05-2008

tentang Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja.

3.5. Keputusan Bersama Ketua MA dan Ketua KY tanggal 08-04-2009, Nomor

047/KMA/SK/VI/2009 dan Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik

dan Pedoman Perilaku Hakim.

3.6. Keputusan Ketua MA Nomor 069/KMA/SK/V/2009 tanggal 13-05-2009

tentang Perubahan atas Ketentuan Penegakan Disiplin Kerja.

3.7. Sema Nomor 10 Tahun 2005 tanggal 27-06-2005 (pembinaan hakim dalam

memeriksa perkara) :

Page 44: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

4

3.7.1. Yang dimaksud “kekuasaan kehakiman yang merdeka” menurut Pasal

24 ayat (1) UUD 1945 adalah bersifat kelembagaan.

3.7.2. Jadi kebebasan hakim adalah berada dalam kerangka kemerdekaan

lembaga peradilan.

3.7.3. Hakim adalah sub sistem dari kekuasaan kehakiman, maka kemerdekaan

hakim haruslah selalu dalam koridor kekuasaan kehakiman.

3.7.4. Secara filosofis putusan hakim adalah bersifat indifidual, namun secara

administratif adalah bersifat kelembagaan. Sebab setelah putusan hakim

diucapkan maka putusan itu menjadi putusan pengadilan (lembaga).

3.7.5. Ketua pengadilan dapat memberikan bimbingan kepada majelis hakim

dan hal ini tidak akan mengurangi kemerdekaan hakim.

3.8. Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 192 Tahun 2014 tentang Pola

Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan Agama.

3.9. Sema Nomor 5 Tahun 2011 jo. Sema Nomor 3 Tahun 2012, bahwa pejabat

yang wajib menanda tangani pakta integritas adalah :

3.9.1. Eselon I dan II Mahkamah Agung.

3.9.2. Ketua dan Wakil Ketua pengadilan tingkat banding dan pengadilan

tingkat pertama pada saat pengambilan sumpah.

3.9.3. Hakim non palu saat menyelesaikan hukuman.

3.9.4. Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran.

3.9.5. Pejabat Pembuat Komitmen.

3.9.6. Pejabat Pengadaan.

4. Pasal 9 Susunan Pengadilan Agama :

4.1. Susunan Pengadilan Agama terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua, Hakim,

Panitera, Sekretaris dan Jurusita.

4.2. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Ketua dan Wakil Ketua,

Hakim Tinggi, Panitera dan Sekretaris.

4.3. Sema nomor 2 Tahun 1988 tentang Pedoman Pembagian Tugas Antara Ketua

dan Wakil Ketua Pengadilan.

4.4. Sema Nomor 5 Tahun 1996 tentang Bagan Susunan Pengadilan.

4.5. Sema Nomor 8 Tahun 1996 tentang Audit berkas dan keuangan Ketua dan

Panitera dalam serah terima jabatan.

4.6. Sema Nomor 05 Tahun 1971 :

4.6.1. Ketua dan Wakil Ketua pengadilan harus selalu menjadi ketua majelis.

4.6.2. Namun Wakil Ketua dapat menjadi anggota sidang Ketua pengadilan.

5. Pasal 13 dan 27 (pembinaan jasmani rohani dan kebersihan kantor) :

5.1. Surat Keputusan Konggres PTWP ke XVI Nomor 02/RP.PTWP.XVI/X /2014

tanggal 18-10-2014, huruf E tentang Iuran :

5.1.1. Hakim tingkat pertama Rp.60.000; dengan perincian :

5.1.1.1. Untuk pusat 1/3 bagian.

5.1.1.2. Untuk daerah 1/3/ bagian.

5.1.1.3. Untuk cabang 1/3 bagian.

5.1.2. Hakim tingkat banding Rp.90.000; dengan perincian :

5.1.2.1. Untuk pusat 1/3 bagian.

5.1.2.2. Untuk daerah 1/3 bagian.

Page 45: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

5

5.1.2.3. Untuk cabang 1/3 bagian.

5.1.3. Hakim Agung Rp.200.000; dengan perincian :

5.1.3.1. Untuk pusat ½ bagian.

5.1.3.2. Untuk MA ½ bagian.

5.1.4. Karyawan/karyawati :

5.1.4.1. Panitera, Panitera Muda, eselon I dan II MA Rp.100.000;

5.1.4.2. Panitera/Sekretaris tingkat banding Rp.75.000;

5.1.4.3. Wapan, Wasek tingkat banding, eselon III dan IV Rp.60.000;

5.1.4.4. Pansek tingkat pertama Rp.60.000;

5.1.4.5. Panitera Pengganti tingkat banding Rp.45.000;

5.1.4.6. Panitera Pengganti tingkat pertama Rp.30.000;

5.1.4.7. Karyawan/Karyawati Rp.15.000;

5.1.5. Tata cara pembayaran :

5.1.5.1. Pengurus cabang membayar iuran melalui Pengurus Daerah

tiga bulan sekali dengan dilengkapi bukti pengiriman dan

rincian.

5.1.5.2. Rincian pembayaran iuran ditembuskan kepada Pengurus

Pusat.

5.1.5.3. Pengurus Daerah membayar iuran kepada Pengurus Pusat tiga

bulan sekali melalui rekening yang telah ditentukan.

5.1.5.4. Pengurus Pusat mengirim tanda terima iuran.

5.2. Surat Pengurus Daerah IKAHI Kalimantan Barat Nomor 01/ikahi-pta/2014

tanggal 09-04-2014 tentang iuran dan berdasarkan hasil Munas IKAHI tahun

2013 yang diberlakukan sejak Januari 2014 sebagai berikut :

5.2.1. Uang pangkal Rp.100.000; dengan porsi :

5.2.1.1. Pengurus Pusat Rp.15.000;

5.2.1.2. Pengurus Daerah Rp.60.000;

5.2.1.3. Pengurus Cabang Rp.25.000;

5.2.2. Iuran bulanan Rp.25.000; dengan porsi :

5.2.2.1. Pengurus Pusat Rp.5.000;

5.2.2.2. Pengurus Daerah Rp.10.000;

5.2.2.3. Pengurus Cabang Rp.10.000;

5.2.3. Sumbangan Munas Rp.10.000; setiap anggota.

5.3. Sejarah IKAHI yang disusun PN Kebumen :

5.3.1. Timbulnya konspirasi dari pihak tertentu yang ingin menempatkan

hakim pada kedudukan yang tidak sesuai dengan ketentuan UUD

1945.

5.3.2. Hakim seluruh Jawa, pada tahun 1952 berkumpul di Surabaya untuk

merancang sebuah organisasi untuk profesi hakim.

5.3.3. Tanggal 20 Maret 1953 disahkan organisasi IKAHI beserta AD/ART

nya oleh bapak Soerjadi, SH dan merupakan hari jadi IKAHI.

5.3.4. HUT IKAHI dilaksanakan setiap tanggal 20 Maret.

5.4. Sejarah IKAHA :

5.4.1. Sebelum berintegrasi kedalam IKAHI, hakim peradilan agama berada

di dalam organisasi IKAHA(Ikatan Hakim Peradilan Agama) yang

didirikan pada 27-12-1977.

Page 46: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

6

5.4.2. Berdasarkan SKB PP IKAHA dan PP IKAHI pada Munaslub IKAHA

tanggal 9 s/d 11 Nopember 1995 di Wisma Haji Pondok Gede,

Jakarta,maka pada tanggal 11-11-19995 IKAHA secara resmi

membubarkan diri.

5.4.3. Seluruh anggota IKAHA yang berjumlah 2079 orang akan menjadi

anggota biasa IKAHI.(Mimbar Hukum, Nomor 22 Tahun VI 1995,

halaman 85).

5.5. Berdasarkan AD/ART PTWP Hasil Konggres di Bandung, pada tanggal 25-

10-2008 :

5.5.1. BAB I, Pasal 2 : Persatuan Tenis Warga Pengadilan didirikan di

Jakarta dalam Rapat Kerja antara para Ketua Pengadilan Tinggi di

seluruh Indonesia dengan Mahkamah Agung RI pada hari Minggu

tanggal 7 Maret 1976 untuk waktu yang tidak ditentukan.

5.5.2. HUT PTWP dilaksanakan setiap tanggal 7 Maret.

5.6. Sema Nomor 3 Tahun 2004 tentang Kebersihan Lingkungan Kerja.

6. Pasal 16 (sumpah Ketua, Wakil Ketua dan Hakim) dan Pasal 37 dan 40

(sumpahuntuk pejabat lainnya):

6.1. Lafadh sumpah untuk pimpinan dan hakim adalah “Demi Allah, saya

bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Hakim”.

6.2. Lafadh sumpah untuk pejabat lainnya, seperti lafadh sumpah pegawai negeri

sipil sebelum UU Nomor 3 Tahun 2006.

6.3. PP Nomor 21 Tahun 1975 tentang Sumpah dan Pelantikan PNS:

6.3.1. Pasal 4 menyatakan bahwa sumpah diambil oleh menteri dan

seterusnya.

6.3.2. Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa sumpah didampingi oleh

rohaniwan.

6.3.3. Pasal 5 ayat (3) menyatakan bahwa sumpah disaksikan oleh dua orang

saksi yang pangkatnya serendah-rendahnya sama dengan yang

disumpah.

6.3.4. Pasal 5 ayat (4) menjelaskan bahwa sumpah dituntun atau menirukan

pejabat yang mengambil sumpah.

6.3.5. Pasal 5 ayat (5) saat sumpah semua yang hadir harus berdiri.

6.3.6. Rohaniwan tidak ikut menanda tangani berita acara sumpah.

6.4. Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1979 tentang Tata Cara Sumpah :

6.4.1. Pasal 2, upacara pengambilan sumpah dihadiri :

6.4.1.1. Pejabat yang mengambil sumpah.

6.4.1.2. Pejabat yang mengangkat sumpah.

6.4.1.3. Saksi-saksi.

6.4.1.4. Rohaniwan pendamping.

6.4.1.5. Undangan.

6.4.2. Pasal 3, Rohaniwan ditunjuk oleh :

6.4.2.1. Untuk non muslim ditunjuk oleh Kepala Kandepag.

6.4.2.2. Untuk muslim ditunjuk oleh Pengadilan Agama.

6.4.3. Pasal 7 menegaskan bahwa yang mengangkat sumpah harus ditanya

bersedia disumpah/tidak dan dengan agama apa.

6.4.4. Pasal 8 (tata ruang pengambilan sumpah) :

Page 47: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

7

6.4.4.1. Pejabat yang mengangkat sumpah berdiri menghadap pejabat

yang mengambil sumpah.

6.4.4.2. Para saksi berdiri disebelah samping kanan pejabat yang

mengangkat sumpah.

6.4.4.3. Rohaniwan berdiri sebelah kiri saksi.

6.4.4.4. Saat sumpah, rohaniwan dibelakang pejabat yang mengambil

sumpah dengan mengangkat Al Qur’an kearah atas kepala

pejabat tersebut, jika yang mengangkat sumpah hanya seorang.

6.4.4.5. Jika yang mengangkat sumpah banyak, rohaniwan berdiri

disebelah kanan pejabat yang mengangkat sumpah yang berdiri

paling depan dan saat sumpah rohaniwan menghadap pejabat

tersebut dengan mengangkat Al Qur’an kearah atas kepala

pejabat yang mengangkat sumpahtersebut.

6.4.4.6. Protokol disebelah kanan/kiri pejabat yang mengambil sumpah.

6.4.4.7. Pembaca do’a berdiri sejajar protokol.

6.4.5. Pasal 11, menjelaskan pakaian pejabat yang mengambil sumpah atau

yang mengangkat sumpah adalah pakaian sipil lengkap.

6.5. Seiring perpindahan Pengadilan Agama dari Kementerian Agama ke

Mahkamah Agung, maka kewenangan menunjuk rohaniwan dialihkan ke

Kementerian Agama.

6.6. Pengambilan sumpah hakim dan pimpinan pengadilan melalui sidang luar biasa

dengan prosesi sebagai berikut (versi PTA Semarang) :

6.6.1. Panitera Sidang memasuki ruang sidang sendirian :

6.6.1.1. Panitera Sidang mengumumkan : “Ketua dan Anggota Majelis

Hakim memasuki ruang sidang”, hadirin dimohon berdiri.

- Setelah posisi duduk Majelis Hakim telah sempurna,

Panitera Sidang mengucapkan :”Hadirin dipersilahkan

duduk kembali”.

6.6.1.2. Pembukaan pengambilan sumpah dan pelantikan Ketua PA......

(oleh Panitera Sidang) :

- Kemudian dilanjutkan oleh Ketua majelis membuka sidang

dengan kalimat : “Sidang luar biasa pengambilan sumpah

dan pelantikan Ketua PA ... dibuka dan dinyatakan terbuka

untuk umum dengan membaca Bismillahrrahmanirrahim,

ketok palu 3 kali.

6.6.2. Lagu Indonesia Raya (oleh Panitera Sidang).

(Hadirin dimohon berdiri dan setelah selesai dipersilahkan duduk

kembali).

6.6.3. Pembacaan Surat Keputusan (oleh Panitera Sidang) :

6.6.3.1. Pejabat yang akan mengangkat sumpah dan rohaniwan

dimohon menempatkan diri.

6.6.3.2. Hadirin dimohon berdiri.

6.6.3.3. Panitera Sidang membaca SK.

6.6.4. Pengambilan sumpah (oleh Panitera Sidang) :

6.6.4.1. Ketua majelis memerintahkan kepada :

6.6.4.1.1. Hakim anggota I untuk menanyakan kesediaan

pejabat yang diambil sumpah.

Page 48: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

8

6.6.4.1.2. Hakim anggota II untuk membacakan khutbah

sumpah.

6.6.4.2. Ketua Majelis mengambil sumpah :

6.6.4.2.1. Ketua Majelis : “Silahkan saudara menirukan ucapan

saya” :

6.6.4.2.2. Pejabat yang mengangkat sumpah, “siap”.

6.6.4.3. Penanda tanganan berita acara (oleh Panitera Sidang).

5.6.4.1. Rohaniwan dimohon kembali ke tempat.

5.6.4.2.Penanda tanganan dimulai dari pejabat yang

mengangkat sumpah, anggota majelis dan terakhir

Ketua Majelis.

6.6.4.4. Kata pelantikan (oleh Panitera Sidang)

- Ketua Majelis mengucapkan Kata Pelantikan.

6.6.4.5. Pengalungan tanda jabatan.

- Setelah pengalungan selesai, langsung lagu Padamu Negeri.

- Setelah lagu selesai, Panitera Sidang : Hadirin dimohon

duduk kembali.

- Kepada pejabat yang mengangkat sumpah dipersilahkan

kembali ke tempat.

6.6.4.6. Sidang luar biasa selesai (oleh Panitera Sidang) :

6.6.4.7. Ketua majelis lalu menutup sidang dengan ucapan :

- “Sidang luar biasa pengambilan sumpah dan pelantikan

Ketua PA ..... ditutup dengan ucapan Alhamdulillahi rabbil

‘alamiin”.

6.6.4.8. Hadirin dimohon berdiri (oleh Panitera Sidang).

- Majelis Hakim meninggalkan ruang sidang.

- Setelah Majelis meninggalkan ruangan dengan sempurna,

Panitera sidang mengucapakan : Hadirin dimohon duduk

kembali.

- Panitera Sidang meninggalkan ruang sidang.

6.6.4.9. Protokol umum kemudian mengambil alih acara.

7. Pasal 22 (perintah penangkapan terhadap Hakim), ada yang dijelaskan oleh

SEMA Nomor 4 Tahun 2002 yang berisi :

7.1. Pejabat pengadilan tidak perlu memenuhi panggilan kepolisian apabila

menyangkut suatu perkara yang sudah diputus maupun yang masih dalam

proses pemeriksaan pengadilan.

7.2. Dapat memenuhi panggilan apabila diminta untuk membahas RUU atau

memberikan pertimbangan hukum sebagai sumbangan pemikiran.

7.3. Prinsip universal, bahwa suatu putusan pengadilan tidak dapat dideskusikan

oleh siapa saja, karena masalah tersebut merupakan kemandirian badan

peradilan.

8. Pasal 24 (kedudukan protokoler hakim ) :

8.1. PP Nomor 41 Tahun 2002 tentang Jabatan, Pangkat dan Golongan Hakim :

8.1.1. Hakim Utama Pembinan Utama IV/e.

8.1.2. Hakim Utama Muda Pembina Utama Madya IV/d

Page 49: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

9

8.1.3. Hakim Madya Utama Pembina Utama Muda IV/c.

8.1.4. Hakim Madya Muda Pembina Tingkat I IV/b.

8.1.5. Hakim Madya Pratama Pembina IV/a.

8.1.6. Hakim Pratama Utama Penata Tingkat I III/d.

8.1.7. Hakim Pratama Madya Penata III/c.

8.1.8. Hakim Pratama Muda Penata Muda Tingkat I III/b.

8.1.9. Hakim PratamaPenata Muda III/a.

8.2. PP Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim.

8.3. Keputusan Ketua MA Nomor 192/KMA/SK/XI/2014 tanggal 25-11-2014

tentang Pembaruan Pola Promosi dan Mutasi Hakim di Lingkungan Peradilan

Agama.

8.4. Surat MA Nomor 13/TUADA-AG/III-UM/1991 :

8.4.1. Kedudukan aparat kehakiman khususnya hakim menurut undang-undang

mempunyai kedudukan khusus yang tidak sama dengan pegawai

negeri sipil lainnya.

8.4.1. Pakaian dinas sehari-hari hakim adalah pakaian sipil harian, sedang

untuk bersidang adalah toga.

9. Pasal 26 (Panitera) :

9.1. Sema Nomor 5 Tahun 1996 tentang Susunan Organisasi Kepaniteraan dan

Kesekretariatan Pengadilan.

9.2. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/012/SK/III/93 tentang Susunan

Organisasi, Tugas dan Tanggungjawab Kepaniteraan Pengadilan Agama dan

Pengadilan Tinggi Agama.

9.3. Berita acara sidang adalah berisi proses pemeriksaan sebagai dasar majelis

membuat putusan, jadi sebagai proses verbal atau akta autentik (Pasal 197 (1)

dan (3) RBg jo. Pasal 97 UU Nomor 7 Tahun 1989.

9.4. Sema Nomor 5 Tahun 1959 tanggal 20-04-1959 :

- Mahkamah Agung menginstruksikan supaya hakim mendikte panitera yang

bersidang dalam membuat berita acara sidang.

9.5. Sema Nomor 5 Tahun 1975 tentang Petunjuk Tentang Sita.

10. Pasal 43 (kesekretriatan) :

10.1. Sema Nomor 5 Tahun 1996 tentang Susunan Organisasi Kepaniteraan dan

Kesekretariatan Pengadilan.

10.2. Keputusan Menteri Agama Nomor 303 Tahun 1990 tentang Susunan

Organisasi dan Tata Kerja Kesekretariatan Pengadilan Agama dan

Pengadilan Tinggi Agama.

10.3. Sema Nomor 01 Tahun 2004 tentang Penyerahan Kendaraan Dinas Dalam

rangka Serah Terima Jabatan.

11. Pasal 49 (kewenangan absolut pengadilan agama ) :

11.1. Bidang perkawinan :

11.1.1. UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

11.1.2. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 388 K/AG/19914 tanggal 19-

10-1995 :

Page 50: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

10

11.1.2.1. Bagi pegawai negeri sipil yang ingin menceraikan

istrinya wajib memperoleh surat izin dari atasannya

sesuai Pasal 3 ayat (1) PP Nomor 10 Tahun 1983 jo.

Pasal 3 PP Nomor 45 Tahun 1990.

11.1.2.2. Surat izin ini dipandang sebagai bagian tak terpisahkan

dalam hukum acara bagi pengadilan dalam memproses

perkara perceraian.

11.1.2.3. Pengadilan Agama yang memproses permohonan izin

ikrar talak, dalam putusannya seharusnya menggunakan

istilah pemohon dan termohon dan bukan istilah

penggugat dan tergugat.

11.1.2.4. Pertimbangan MA : bahwa PTA Banda Aceh telah salah

dalam menerapkan hukum pembuktian, sebab surat bukti

T-3 (surat pembatalan terhadap surat izin cerai yang

pernah dikeluarkan oleh pejabat yang sama) tidak

membatalkan surat bukti P-1 (izin atasan untuk cerai)

sehingga surat bukti P-1 tetap berlaku.

11.1.3. Sema Nomor 5 Tahun 1984 tanggal 17-04-1984 :

11.1.3.1. Sebelum memeriksa perceraian atau izin poligami, hakim

mengintruksikan kepada pemohon untuk melampirkan

surat izin dari pejabat.

11.1.3.2. Hakim menunda persidangan selama-lamanya 6 (enam)

bulan untuk memberi kesempatan kepada yang

bersangkutan untuk memperoleh surat izincerai atau surat

izin poligami, tanpa diperpanjang lagi.

11.1.3.3. Hakim memberi peringatan tentang sanksi perceraian

atau poligami tanpa izin pejabat.

11.1.3.4. Setelah diberi peringatan, pemeriksaan perceraian dan

poligami dilanjutkan tanpa adanya izin pejabat.

11.1.3.5. Pengadilan mengirim salinan putusan perceraian atau

poligami yang telah berkekuatan hukum tetap kepada

pejabat yang mengeluarkan izin.

11.1.3.6. Jika termohon tidak bersedia mengurus surat keterangan

cerai, proses persidangan dilanjutkan tanpa menunggu 6

(enam) bulan (Rakernas MA dan peradilan di Indonesia

tanggal 14 s/d 19 September 2003).

11.1.4. Abstraksi hukum Putusan Nomor 2039 K/Pdt/1997 tanggal 16-03-

1997:

11.1.4.1. Seorang pria WNI keturunan China yang masih terikat

dalam suatu perkawinan yang sah dengan seorang wanita,

bilamana pria ini kawin lagi dengan wanita lain

(poligami), maka pria yang berstatus suami tersebut

menurut UU No.1 Tahun 1974 berkewajiban untuk:

10.1.4.1. Minta persetujuan istri pertama.

10.1.4.2. Memperoleh izin dari pengadilan negeri yang

berwenang.

Page 51: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

11

11.1.4.2. Bilamana kedua syarat tersebut tidak terpenuhi, akibat

hukumnya adalah perkawinan yang kedua tersebut

bertentangan dengan undang-undang, sehingga tidak sah

(illegal) dan batal demi hukum (null and void) secara ex

tune dan perkawinan kedua tersebut dianggap tidak

pernah ada (never existed).

11.1.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 02 K/AG/1985 tanggal 25-

06-1985:

- Untuk sahnya perkawinan seorang wanita yang telah berumur

24 tahun dan berstatus janda, tidak diperlukan izin dari orang

tua atau wali.

11.1.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 1413 K/Pdt/1988 tanggal

18-05-1990 :

- Apakah seorang anak adalah anak angkat atau bukan, tidak

semata-mata tergantung pada formalitas pengangkatan anak

tetapi dilihat dari kenyataan yang ada, yakni bahwa ia sejak

bayi dipelihara, dikhitan dan dikawinkan oleh orang tua

angkatnya.

11.1.7. Surat Edaran Ditbinbapera Nomor D.IV/Ed/17/1979 tanggal 10-

02-19979 :

- Dalam amar putusan yang berisi talak roj’i, apabila duda akan

kawin lagi harus dengan izin poligami dengan dasar Pasal 4

dan 5 UU Nomor 1 Tahun 1974.

11.1.8. Pengertian yuridis sahnya suatu perkawinan :

11.1.8.1. Putusan PN Bale Bandung Nomor 273/Pid /S/ 1987 /

PN.BB tanggal 04-04-1988 :

11.1.8.1.1.Perkawinan sah apabila sudah sesuai dengan

syari’at Islam meskipun tidak dilakukan

dihadapan dan dicatat oleh PPN sesuai Pasal

2 ayat (1), sebab UU Nomor 1 Tahun 1974

tidak mengandung sanksi tidak sah atau

batal demi hukum.

11.1.8.1.2.Perkawinan pertama menjadi penghalang

perkawinan kedua.

11.1.8.1.3. Semua elemen atau unsur delik Pasal 279

KUHP telah terbukti dan meyakinkan.

11.1.8.1.4.Terdakwa terbukti melakukan delick

mengadakan perkawinan, padahal

perkawinan yang telah ada menjadi

penghalang yang sah bagi perkawinan

tersebut.

11.1.8.1.5. Memidana terdakwa dengan pidana penjara

selama 5 (lima) bulan.

11.1.8.2. Putusan PT Bandung Nomor 104/Pid/S/1988/PT.Bdg.

tanggal 04-07-1998 :

Page 52: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

12

11.1.8.2.1. Menurut ex Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 1

Tahun 1974, bahwa sahnya perkawinan

harus memenuhi 2 syarat, yakni :

11.1.8.2.1.1. Dilakukan menurut hukum

agama dan kepercayaan

masing-masing.

11.1.8.2.1.2. Adanya pendaftaran/pencatatan

dari perkawinan tersebut.

11.1.8.2.2. Perkawinan terdakwa telah memenuhi persyaratan

pertama, tetapi belum memenuhi

persyaratan kedua, sehingga belum

dianggap sebagai telah melakukan

perkawinan.

11.1.8.2.3. Berdasar alasan ini, maka tidak terbukti bersalah dan

harus dibebaskan dari dakwaan Pasal 279

KUHP.

11.1.8.2.4. Fakta membuktikan bahwa terdakwa melakukan hidup

bersama dan bukan melakukan perkawinan

menurut UU Nomor 1 Tahun 1974.

11.1.8.2.5. Terdakwa tidak terbukti melakukan tindak

pidana Pasal 279 sepertiyang didakwakan.

11.1.8.2.6. Membebaskan terdakwa dari dakwaan

pidana.

11.1.8.3. Putusan MA Nomor 214/K/Pid/1988 tanggal 22-07-1991

11.1.8.3.1. PT salah dan keliru dalam menafsirkan Pasal

2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974,

sehingga berakibat salah dalam menerapkan

Pasal 279 KUHP, maka harus dibatalkan.

11.1.8.3.2. Suatu akad nikah menurut agama Islam tanpa

diawasi oleh PPN adalah sah, asalkan nikah

tersebut memenuhi aturan syari’at Islam.

11.1.8.3.3. Terdakwa bersalah dan dipenjara 5 bulan.

11.1.8.4. Putusan PN Loksumawe Nomor 14/Pid/B/90/PN.LSM

tanggal 15-12-1990 :

11.1.8.4.1. Perkawinan poligami liar tidak tepat jika

dijerat dengan Pasal 279 KUHP (nikah

diatas nikah yang sah), tetapi lebih tepat

dengan Pasal 284 KUHP tentang

perzinahan.

11.1.8.4.2. Karena manurut petunjuk MA Nomor

MA/Pemb/0156/77 tanggal 25-02-1977,

bahwa Pasal 279 KUHP jo. Pasal 3 dan 4

ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 berlaku

bagi yang telah mengajukan permohonan

poligami ke Pengadilan Agama dan tidak

diberi izin, namun tetap melakukan

perkawinan.

Page 53: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

13

11.1.8.4.3. Dakwaan tidak terbukti dan terdakwa

dibebaskan.

11.1.8.5. Putusan PT Banda Aceh :

11.1.8.5.1. Putusan hakim pertama harus dibatalkan.

11.1.8.5.2. Pasal 279 KUHP jo. Pasal 3 dan 4 Ayat (1)

UU Nomor 1 Tahun 1974 yang

didakwakan dalam kasus ini dapat

diberlakukan yurisprudensi Putusan MA :

11.1.8.5.2.1. Nomor 435/K/KR/1975 tanggal 17-04-1980.

11.1.8.5.2.2. Nomor 349/K/KR/80 tanggal 26-11-1980.

11.1.8.5.2.3. Nomor 561/K/KR/81 tanggal 17-07-1982.

11.1.8.5.3. Telah terbukti terdakwa melakukan

perkawinan lagi dan sudah beristri sah.

11.1.8.5.4. Menghukum terdakwa selama 5 bulan.

11.1.8.6. Putusan MA Nomor 1948 K/Pid/91 tanggal 18-12-1993 :

11.1.8.6.1. Jika perkawinan tidak melalui PPN, lembaga

yang ditunjuk oleh negara, maka tidak dapat

disebut sebagai perkawinan karena tidak

melalui syarat sahnya perkawinan.

11.1.8.6.2. Yang dimaksud perkawinan menurut UU

Nomor 1 Tahun 1974 beserta PP Nomor 9

Tahun 1975 adalah perkawinan yang

dilangsungkan dihadapan PPN KUA yang

berwenang serta perkawinan tersebut

didaftarkan menurut perundangan yang

berlaku.

11.1.8.6.3. Perkawinan dalam kasus ini tidak memenuhi

UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. PP Nomor 9

Tahun 1975 karena itu bukan merupakan

perkawinan yang dimaksud Pasal 279 KUHP.

11.1.8.6.4. Terdakwa tidak terbukti dan harus dibebaskan.

11.1.9. Putusan PTA Jakarta Nomor 48/1993/PTA.JK tanggal 08-02-1994

- Intinya, surat izin untuk berpoligami yang ditolak oleh

pengadilan, dapat dijadikan alasan perceraian karena

perselisihan terus menerus.

11.1.10. Putusan PA Jakarta Nomor 1751/P1989 tanggal 20-04-1990 :

11.1.10.1. Prof. Dr. H. Baharudin Harahap sebagai wali nikah

menikahkan putrinya dengan seorang laki-laki Drs.

Aria Sutarto yang berada di AmerikaSerikatdalam ijab

dan kabulnya via telepon.

11.1.10.2. Putusan : perkawinan yang ijab dan kabulnya via

telepon adalah sah.

11.1.11. Sema Nomor 2 Tahun 1961 (pergantian ketua majelis) :

11.1.11.1. Cara pemeriksaan dengan dilanjutkan oleh hakim lain.

11.1.11.2. Dibacakan ulang berita acara sidang yang lalu.

11.1.12. Sema Nomor 10 Tahun 2009 tanggal 12-06-2009 :

Page 54: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

14

11.1.12.1. Peninjauan Kembali dalam perkara yang sama hanya

dapat diajukan satu kali, baik pidana maupun perdata.

11.1.12.2. Jika diajukan PK untuk yang kedua kalinya dan

seterusnya, maka dengan penetapan Ketua, permohonan

tersebut dinyatakan “tidak dapat diterima (PTP) dan

berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA.

11.1.12.3. Jika satu perkara terdapat dua atau lebih putusan PK dan

salah satunya diajukan PK lagi, maka permohonan PK

tersebut diterima dan berkas dikirim ke MA.

11.1.13. Sema Nomor 07 Tahun 2008 tanggal 25-09-2009 :

11.1.13.1. Salah satu tugas Bank Indonsia adalah melaksanakan

dan menetapkan kebijakan moneter dan oleh karena itu

berwenang melakukan pengendalian moneter giro wajib

minimum yang harus dipelihara bank dalam bentuk

saldo rekening giro.

11.1.13.2. Sita jaminan/sita eksekusi dapat mempengaruhi tugas

dan kebijakan bank diatas.

11.1.13.3. Dilarang meletakan sita atas rekening giro wajib

minimum bank.

11.1.14. Amar Putusan MA Nomor 411 K/AG/1998 tanggal 17-02-2000

tentang pembatalan nikah :

11.1.14.1. Membatalkan perkawinan penggugat (..................

bin/binti ..........) dengan tergugat

(......................binti/bin

...........) yang dilaksanakan pada tanggal ................ di

...................;

11.1.14.2. Menyatakan Kutipan Akta Nikah Nomor ........ tanggal

............. tidak mempunyai kekuatan hukum;

11.1.15. UU Nomor 24 Tahun 2014 tentang Kependudukan.

11.1.16. PP Nomor 9 Tahun 1975.

11.1.17. PP Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan

Perceraian.

11.1.18. PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan atas PP Nomor 10

Tahun 1983.

11.1.19. Sema Nomor 5 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan PP Nomor 10

Tahun 1983.

11.1.20. Sema Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pelaksanaan UU Nomor 7

Tahun 1989.

11.1.21. Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 tentang Wali

Hakim.

11.1.22. Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 tentang

Perubahan Biodata.

11.1.23. Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010 tanggal 13-02-2012

tentang Anak diluar Kawin.

11.1.24. Kompilasi Hukum Islam.

11.1.25. Sema Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak.

Page 55: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

15

11.2. Bidang waris :

11.2.1. Asas personalitas keislaman dalam bidang waris adalah keislaman

pewaris meskipun terdapat ahli waris yang beragama non Islam (Buku II

hal.59).

11.2.2. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 86 K/AG/1994 tanggal 27-07-

1995 dan Tafsir Tanwir al Miqbas min Tafsiri Ibni Abbas li Ibni Thohir

ibni Ya’qub al Fairuzabadi, hal. 87 :

11.2.2.1. Sesuai pendapat Ibnu Abbas ahli Tafsir di kalangan sahabat,

maka lafadh“walad” yang terdapat dalam ayat 176 Surat An

Nisa’ ditafsirkan mencakup anak laki-laki maupun

perempuan.

11.2.2.2. Dengan adanya anak kandung baik laki-laki maupun

perempuan maka ahli waris dari orang-orang yang masih

mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan menjadi

tertutup, kecuali orang tua, suami atau istri.

11.2.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 207 K/AG/1993 :

11.2.3.1. Putusan penetapan ahli waris dan pembagian masing-masing

dengan acara voluntair tanpa pihak dinyatakan tidak

mempunyai kekuatan hukum.

11.2.3.2. Permohonan banding oleh orang yang bukan pihak dalam

tingkat pertama harus dinyatakan tidak dapat diterima dan

upaya hukumnya adalah mengajukan perlawanan (verzet).

11.2.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 80 K/AG/1993 tanggal 01-03-

1995:

11.2.4.1. Terhadap gugatan berupa tanah yang dalam posita gugatan

tidak disebutkan dengan jelas tentang luas, letak dan batas

tanah yang disengketakan, maka hakim yang memeriksa

perkara gugatan tersebut agar memperoleh kepastian terhadap

tanah yang disengketakan, berkewajiban untuk melakukan

pemeriksaan setempat (decente) atas tanah tersebut terletak.

11.2.4.2. Kelalaian hakim dalam masalah ini mengakibatkan MA

dalam tingkat kasasi akan memerintahkan kepada hakim

tingkat pertama agar membuka kembali persidangan untuk

melakukan pemeriksaan setempat.

11.2.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 369 K/AG/1995 tanggal 30-12-

1996 :

11.2.5.1. Suatu gugatan terhadap harta warisan, dimana harta yang

menjadi obyek gugatan tersebut telah berpindah tangan dan

dikuasai oleh pihak ketiga, karena tanah telah dijual oleh

sebagian ahli waris yang lain, maka untuk sempurnanya

gugatan tersebut, disamping semua ahli waris juga pihak

ketiga yang menguasai harta obyek sengketa tersebut harus

ditarik menjadi para tergugat dalam gugatan tersebut.

11.2.5.2. Gugatan yang tidak memenuhi syarat yang demikian ini

dinyatakan NO (Plorium litis consortium= sebagian tergugat

tidak dimasukkan kedalam gugatan).

Page 56: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

16

11.2.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 195 K/AG/1994 tanggal 20-10-

1995 :

11.2.6.1. Suatu gugatan yang tidak jelas siapakah yang menguasai harta

kekayaan yang disengketakan, sehingga tidak jelas pula

siapakah yang sebenarnya menjadi para pihak dalam gugatan

tersebut, maka surat gugatan yang demikian itu menurut

hukum acara harus dinyatakan sebagai gugatan yang kabur

(obscuur libel).

10.2.6.2. Dalam gugatan seperti itu, hakim memutus bahwa gugatan

tersebut “tidak dapat diterima”.

11.2.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 184 K/AG/1996 tanggal 27-05-

1996 :

11.2.7.1. Suatu gugatan perdata ke Pengadilan Agama tentang tuntutan

agar harta peninggalan dibagi waris dari ahli waris yang ada,

maka dalam gugatan tersebut seharusnya semua ahli waris

dari pewaris yang ada ditarik atau dijadikan pihak, baik

sebagai tergugat atau turut tergugat, sehingga semua ahli

waris berperan/terlibat aktif dalam proses di pengadilan.

11.2.7.2. Hal ini dapat diharapkan dapat menghasilkan putusan yang

menyeluruh terhadap kasus gugatan tersebut.

11.2.7.3. Gugatan tentang pembagian harta peninggalan yang tidak

demikian itu oleh MA dinyatakan tidak diterima.

11.2.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 112 K/AG/1996 tanggal 17-09-

1998:

11.2.8.1. Foto kopi suatu surat yang diserahkan ke persidangan untuk

digunakan sebagai alat bukti surat dalam suatu gugatan

perkara perdata, tanpa disertai surat aslinya untuk disesuaikan

atau tanpa dikuatkan oleh keterangan para saksi dan alat bukti

lainnya.

11.2.8.2. Foto kopi surat tersebut menurut hukum pembuktian tidak

dapat digunakan sebagai alat bukti sah dalam persidangan

pengadilan.

11.2.8.3. Pasal 301 RBg dan Pasal 1888 BW (asli dan salinan surat

bukti).

11.2.9. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 419 K/AG/2000 tanggal 10-04-

2002 :

11.2.9.1. Dalam menghadapi tentang ahli waris pengganti dalam

hukum Islam yang kasusnya terjadi pada tahun 1986 yaitu

waktu sebelum berlakunya KHI pasal 185 (ahli waris

pengganti) terlebih dahulu KHI tidak berlaku surut.

11.2.9.2. Maka lembaga ahli waris pengganti yang dianut oleh sebagian

ulama salaf, sehingga sebenarnya tentang pemberian warisan

kepada ahli waris pengganti oleh hakim Pengadilan Agama

dinilai sebagai pendapat fiqih juga yang dipilih untuk

diberlakukan.

11.2.9.3. Dasar hukum pemberlakuan Kompilasi Hukum Islam:

Page 57: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

17

11.2.9.3.1. Instruksi Presiden (Soeharto) Nomor 1 Tahun

1991 tanggal 10 Juni 1991.

11.2.9.3.2. Keputusan Menteri Agama Nomor 154 Tahun

1991 tanggal 22 Juli 1991.

11.2.10. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 266 K/AG/1994 tanggal 30-04-

1996:

10.2.10.1.Hakim dalam pertimbangannya dapat menentukan ahli waris pengganti.

10.2.10.2. Bagian ahli waris pengganti adalah dua bagian untuk laki-

laki dan satu bagian untuk perempuan.

10.2.10.3.Menurut hukum, status anak angkat harus ditetapkan oleh pengadilan.

10.2.10.4. Ahli waris pengganti termuat pada Pasal 185 KHI.

11.2.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-04-

1996 :

- Seorang pewaris yang yang meninggalkan seorang anak perempuan (anak

tunggal) maka saudara-saudara dari pewaris haknya menjadi terhijab

atau tertutup.

11.2.12. Abstraksi Putusan Nomor 97 K/AG/1994 tanggal 24-04-1994 :

11.2.12.1. Suami meninggal akibat jatuh dari pesawat terbang dan dengan

demikian atas dasar Pasal 12 ayat (1), (2) dan (3) PP

Nomor 17 Tahun 1965tentang Ketentuan-ketentuan Dana

Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang jo. UU

Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan

Wajib Kecelakaan Penumpang, maka ahli warisnya

berhak memperoleh santunan ganti rugi dari Asuransi

Jasa Raharja dan Asuransi Timur Jauh.

11.2.12.2. Ahli waris yang berhak atas asuransi adalah :

11.2.12.2.1.Janda, duda (bilamana tidak ada),

11.2.12.2.2.Anak-anak yang sah (bilamana tidak ada),

11.2.12.3. Orang tua yang meninggal dunia.

11.2.12.4. Yang pertama menutup yang kedua.

11.2.13. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 180 K/AG/1993 tanggal 12-03-

1997 :

11.2.13.1.Para ahli waris, janda dan semua anak kandungnya tidak

menyatakan menolak harta warisan/harta peninggalan

pewaris, maka ahli waris tersebut secara yuridis

berkewajiban untuk membayar semua hutang yang dibuat

oleh pewaris semasa hidupnya.

11.2.13.2. Biaya menagih hutang yang telah dikeluarkan oleh kreditur

bank seperti biaya pengacara, tidak dapat dituntut untuk

dibayar oleh debitur selama hal tersebut tidak diatur dalam

perjanjian yang mereka sepakati bersama sebelumnya.

11.2.14. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 3574 K/Pdt/2000 tanggal 05-09-

2002 :

11.2.14.1.Tanggung jawab ahli waris terhadap hutang pewaris hanya

terbatas pada jumlah atau nilai harta peninggalan (KHI

Pasal 175 ayat 2).

Page 58: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

18

11.2.142.Terhadap harta bawaan istri tidak dapat disita sebagai jaminan

atas hutang almarhum suami sebab bukan merupakan harta

peninggalan almarhum suami.

11.2.15. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 184 K/AG/1996 tanggal 27-05-1996 :

11.2.15.1.Kesepakatan secara lisan untuk mengadakan ikatan jual beli

tanah telah dicapai oleh calon penjual dan calon pembeli,

kemudian dituangkan dalam bentuk tertulis, masih

merupakan konsep persetujuan ikatan jual beli tanah yang

belum ditanda tangani oleh para pihak.

11.2.15.2.Kesepakatan yang demikian itu dinilai sebagai suatu

persetujuan yang sah dengan segala akibat hukumnya

karena telah memenuhi syarat obyektif dan subyektif yang

ditentukan dalam Pasal 1320 BW dan ternyata tidak

diketemukan adanya alasan dwang, dwaling atau bedrog.

11.2.16. Abstraksi hukum putusan MA Nomor 07.K/AG/2000 tanggal 31-03-

2004 :

11.2.16.1. Petitum yang terbukti dikabulkan dan yang tidak terbukti

ditolak.

11.2.16.2. Dalam perkara gugat waris, hakim boleh memutus hanya

dengan menetapkan ahli waris saja, meskipun petitum yang

lain ditolak.

11.2.16.3. Urutan diktum amar biaya perkara pada nomor terakhir

dalam diktum putusan.

11.2.17. Sema Nomor 2 Tahun 1996 tentang maksud Pasal 177 KHI adalah :

11.2.17.1. Ayah mendapat 1/3 bagian apabila pewaris tidak

meninggalkan anak, akan tetapi meninggalkan suami dan ibu.

11.2.17.2. Ayah mendapat 1/6 bagian apabila pewaris meninggalkan

anak.

11.3. Bidang wasiat :

11.3.1. Putusan MA Nomor 159 K/AG/1989 tanggal 22-06-1986 yang

menyatakan tidak menerima atas kasasi terhadap Putusan PTA

Medan Nomor 30/Pts/1988/1989 tanggal 22-06-1986 yang

menguatkan Putusan PAPadangsidempuan Nomor PA.b/12/Pts/1988

tanggal 31-03-1988 dengan pertimbangan PA Padangsidempuan :

11.3.1.1. Hak ahli waris telah ditentukan Allah swt dalam Al Quran

surat an Nisa’ ayat 7.

11.3.1.2. Oleh karena itu para pewaris tidak dapat menentukan

siapa-siapa yang akan menjadi ahli waris dan tidak dapat

mengurangi atau menghapuskan sama sekali hak-hak ahli

waris yang telah ditentukan syara’ tersebut dengan

membuat wasiat yang isinya bertentangan atau

menyimpang dari ketentuan syara’.

11.3.1.3. Harta yang diwasiatkan almarhum kepada anaknya yang

bernama Fadlil lebih dari 1/3 (sepertiga) harta sehingga

dengan demikian wasiat yang bersangkutan tidak dapat

dibenarkan.

Page 59: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

19

11.3.1.4. Selain hal-hal yang telah dikemukakan diatas, wasiat yang

ditujukan kepada kepada ahli waris sendiri seperti yang

tidak disetujui oleh ahli waris lainnya, hal mana dalam

perkara ini demikian adanya, adalah tidak sah sesuai hadits

“Laa washiyyata li waaritsin”

11.3.1.5. Mengadili :

11.3.1.5.1. Mengabulkan gugatan penggugat.

11.3.1.5.2. Menyatakan surat wasiat almarhum kepada

anaknya tersebut tidak sah.

11.3.1.5.3. Membatalkan surat wasiat tersebut.

11.3.1.6. Pasal 195 ayat (2) KHI : wasiat hanya diperbolehkan

sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan

kecuali apabila semua ahli waris menyetujui.

11.3.1.7. Pasal 201 KHI : apabila wasiat melebihi 1/3 (sepertiga)

harta warisan, sedangkan ahli waris yang ada tidak

menyetujuinya, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai

batas 1/3(sepertiga) harta warisan. (Bandingkan dengan

nomor 10.4.3.1.).

11.4. Bidang Hibah :

11.4.1. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 27 K/AG/2002 tanggal 26-

02-2004

11.4.1.1. Bahwa seseorang yang mendalilkan mempunyai hak

atas tanah berdasar hibah, harus dapat membuktikan

kepemilikan atas hibah tersebut sebagaimana

dimaksud oleh Pasal 210 ayat (1) KHI (hibah

maksimal 1/3 harta) dan apabila diperoleh berdasar

hibah maka segera tanah tersebut dibalik namakan

atas nama penerima hibah.

11.4.1.2. Jika tidak demikian kalau timbul sengketa di

kemudian hari maka status tanah tersebut tetap

seperti semula kecuali benar-benar dapat dibuktikan

perubahan status kepemilikannya.

11.4.2. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 75 K/AG/2003 tanggal 14-

05-2003

11.4.2.1. Bahwa UU Nomor 20 Tahun 1947 adalah undang-

undang untuk tingkat banding bagi wilayah Jawa dan

Madura, sehingga tidak dapat diterapkan pada

pembuatan surat gugat dalam tingkat pertama.

11.4.2.2. Bahwa sebelum menerapkan Pasal 210 ayat (1) KHI

(hibah maksimal 1/3 harta) maka terlebih dahulu

harus dijelaskan oleh penggugat mengenai jumlah

harta keseluruhannya sehingga dapat ditentukan

apakah hibah tersebut melampaui batas 1/3

(sepertiga) harta penghibah atau tidak.

11.4.2.3. Pertimbangan MA : Menimbang, bahwa Pengadilan

Agama Tembilahan dalam memutuskan perkara ini

Page 60: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

20

telah salah dalam menerapkan hukum karena pasal

240 ayat (1) KHI membatasi hibah 1/3 (sepertiga)

dari harta penghibah dan dalam surat gugat tidak

dijelaskan apakah harta tersebut satu-satunya harta

penghibah atau masih ada harta yang lain, sehingga

dalam gugatan tersebut tidak tergambar apakah harta

tersebut melampaui batas 1/3 (sepertiga) harta

penghibah atau tidak, oleh karena itu gugatan

penggugat harus dinyatakan “tidak diterima” karena

kabur (obscuur libel).

11.4.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 76 K/AG/1992 tanggal

25-10-1993 :

11.4.3.1. Hibah tanah yang merupakan bagian dari harta

kekayaan almarhum yang dilakukan oleh almarhum

sewaktu hidupnya kepada salah satu ahli warisnya,

bilamana jumlah atau luas tanah yang dihibahkan

tersebut melebihi 1/3(sepertiga) dari seluruh harta

warisan almarhum adalah merupakan hibah yang

bertentangan dengan ketentuan hukum.

11.4.3.2. Hibah tersebut “batal seluruhnya”, tidak hanya

yang melebihi 1/3 (sepertiga) harta peninggalan

almarhum. (Bandingkan dengan nomor 10.3.1.7.).

11.4.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 77 K/AG/1993 tanggal

26-02-1993 :

- Hibah seorang ibu kepada anaknya adalah sah hukumnya

karena sesuai dengn syari’at Islam (Kitab I’anatut Thalibin)

bahwa hibah adalah menyerahkan hak milik tanpa imbalan

dengan disertai ijab dan kabul berupa ucapan atau isyarat

dan tidak halal bagi orang tua menarik kembali hibah dari

anaknya.

11.5. Bidang wakaf :

11.5.1. UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

11.5.2. PP Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Wakaf.

11.5.3. KHI Pasal 215.

11.5.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 57 K/AG/1999 tanggal 2404-

2000 :

11.5.4.1. Akta wakaf yang telah memenuhi syarat formil dan materiil

hukum pembuktian, maka perbuatan hukum wakaf adalah

sah.

11.5.4.2. Wakaf harus dituangkan dalam akta ikrar wakaf, dibuat oleh pejabat yang

berwenang dihadapan dua orang saksi dengan sertifikat,

kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan.

11.5.5. Varia Peradilan Nomor 262 Tahun 2007, hal.138/07 :

11.5.5.1.Dalam hal tanah wakaf yang tidak memiliki akta ikrar wakaf atau pengganti

akta ikrar wakaf dapat diajukan permohonan itsbat wakaf

ke Pengadilan Agama dengan berpedoman pada petunjuk

Page 61: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

21

teknis MA dan penetapan itsbat wakaf Pengadilan Agama

tersebut menjadi dasar permohonan sertifikat tanah.

11.5.5.2. Persangkaan hakim dan syahadah istifadhah dalam sengketa wakaf

memiliki kekuatan pembuktian yang kuat.

11.6. Bidang zakat :

- UU Nomor 23 Tahun 2011 jo. UU Nomor 14 Tahun 2014 tentang

Zakat.

11.7. Infaq :

- Menunggu masukan.

11.8. Bidang shodaqoh :

- Menunggu masukan.

11.9. Bidang ekonomi syari’ah :

11.9.1. UU Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.

11.9.2. UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Fidusia.

11.9.3. UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syari’ah.

11.9.4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia.

11.9.5. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang

Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

11.10. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 tanggal 29-08-

2013 :

11.10.1. Gugatan :

11.10.1.1. Pasal 55 ayat (1) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah : “Penyelesaian sengketa

perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam

lingkungan peradilan agama”.

11.10.1.2. Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah : “Dalam hal para pihak telah

memperjanjikan penyelesaian sengketa selain

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian

sengketa dilakukan sesuai isi akad”.

11.10.1.3. Pasal 55 ayat (3) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang

Perbankan Syari’ah : “Penyelesaian sengketa

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh

bertentangan dengan prinsip syariat Islam.

11.10.1.4. Pasal 55 ayat (2) bertentangan dengan Pasal 55 ayat

(1) dan (3) dan menimbulkan ketidak pastian hukum,

karena para pihak diberi kesempatan untuk memilih

Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri dan juga

bertentangan dengan UUD 1945.

11.10.1.5. Mohon Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008

tentang Perbankan Syari’ah dan penjelasannya

dibatalkan dan dinyatakan bertentangan dengan UUD

Page 62: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

22

1945 serta tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat.

11.10.2. Amar putusan Mahkamah Konstitusi :

11.10.2.1. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah bertentangan dengan

UUD 1945.

11.10.2.2. Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun

2008 tentang Perbankan Syariah tidak mempunyai

kekuatan hukum mengikat.

11.10.3. Kesimpulan :

- Penanganansengketa perbankan syari’ah daneksekusinya tetap

berada dibawah kewenangan Pengadilan Agama.

11.11. Personalitas keislaman yang menjadi dasar kewenangan Pengadilan

Agama

(Buku II hal. 58-59) :

11.11.1. Semua sengketa antara orang-orang yang beragama Islam

mengenai kewenangan peradilan agama sebagaimana ketentuan

pasal 49 UU Nomor 7 Tahun 1989 jo. UU Nomor 50 Tahun

2009.

11.11.2. Sengketa perkawinan yang perkawinannya dicatat oleh Kantor

Urusan Agama meskipun yang bersangkutan saat mengajukan

perkaranya beragama non Islam.

11.11.3. Sengketa kewarisan yang pewarisnya beragama Islam.

11.11.4. Sengketa ekonomi syari’ah meskipun nasabahnya beragama non

Islam.

11.11.5. Sengketa wakaf meskipun salah satu pihak ada yang bergama

non Islam.

11.11.6. Sengketa hibah dan wasiat yang dilakukan menurut hukum

Islam.

12. Pasal 50 (titik singgung ) :

12.1. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 11 K/AG/1979 tanggal 13-12-1979

12.1.1. Suatu gugatan tentang keahli warisan dan pembagian harta waris

yang didalamnya masih berkaitan dengan sengketa hak milik,

maka perkara ini merupakan wewenang absolut Pengadilan

Negeri, bukan wewenang Pengadilan Agama.

12.1.2. Bentuk diktumnya adalah :

12.1.2.1. Menghentikan proses pemeriksaan.

Atau

12.1.2.2. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.

12.1.3. Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 : jika sengketa milik antara

pihak yang berperkara adalah termasuk pembuktian, makatetap

menjadi wewenang Pengadilan Agama.

12.1.4. Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun 1989 : jika sengketa milik dengan

pihak ketiga adalah termasuk wewenang ke Pengadilan Negeri.

12.1.5. Sengketa waris adalah pihak-pihak berperkara harus ahli waris.

Page 63: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

23

12.1.6. Jika pihak-pihak ada yang tidak ahli waris pewaris, maka

menjadi sengketa milik.

12.2. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 60 K/AG/1996 tanggal 06-08-1997 :

12.2.1. Harta peninggalan yang belum dibagi-bagikan kepada ahli waris

yang berhak dan ternyata kemudian harta peninggalan tersebut

telah dikuasai oleh seorang ahli waris yang mengaku bahwa

harta tersebut adalah hak miliknya, bukan harta peninggalan.

12.2.2. Sebagian ahli waris mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama

agar harta peninggalan tersebut dikembalikan ke dalam harta

waris yang selanjutnya dibagi-bagikan kepada para ahli waris

yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing menurut

hukum Islam.

12.2.3. Namun bersamaan dengan itu, sebagian ahli waris yang lain

mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri yang

mempersoalkan penguasaan tidak sah oleh seorang ahli waris

atas harta peninggalan tersebut.

12.2.4. Dalam keadaan yang demikian ini, maka harta peninggalan

terperkarayang masih belum dibagi-bagikan kepada ahli waris

tersebut mengandung didalamnya suatu sengketa milik (dalam

proses di Pengadilan Negeri) karena itu sesuai dengan Pasal 50

UU Nomor 7 Tahun 1989, Pengadilan Agama tersebut tidak

berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini.

12.3. Sema Nomor 1 Tahun 1996 tanggal 07-05-1996 tentang Sengketa

Kewenangan :

12.3.1. Sengketa kewenangan terjadi dalam bentuk :

12.3.1.1. Sama-sama mengaku berwenang mengadili.

12.3.1.2. Sama-sama mengaku tidak berwenang mengadili.

12.3.2. Pihak berperkara atau dalam hal tidak diajukan oleh oleh pihak

yang berperkara, ketua pengadilan karena jabatannya, mengajukan

permohonan kepada MA untuk memeriksa dan mengadili sengketa

mengadili.

12.3.3. Pengadilan menunda pemeriksaan dengan dituangkan dalam bentuk

“penetapan” dan pemeriksaan dibuka kembali setelah diputus oleh

MA.

12.3.4. Pengadilan yang menunda, mengirim “penetapan” kepada

pengadilan yang lain.

12.3.5. Pengadilan yang lain harus menunda dengan “penetapan” sampai

dengan ada putusan dari MA.

12.3.6. Permohonan kepada MA yang diajukan oleh pengadilan, tanpa

biaya.

12.3.7. Permohonan yang diajukan oleh pihak yang berperkara dibebankan

kepada yang bersangkutan.

13. Pasal 54 (hukum acara Pengadilan Agama) :

13.1. Hukum acara yang berlaku di peradilan umum.

13.2. Hukum acara yang telah diatur khusus.

Page 64: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

24

13.3. Hukum acara yang telah diatur khusus didahulukan dari padahukum acara

yang berlaku di peradilan umum (leg spesialis derogat leg generalis).

13.4. Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2002 tanggal 30-01-2002 tentang Nebis in

idem :

13.4.1. Pengadilan yang sama :

13.4.1.1. Panitera melapor kepada ketua pengadilan.

13.4.1.2.Ketua pengadilan memberi catatan kepada ketua majelis.

13.4.1.3. Ketua majelis harap memperhatikan secara seksama.

13.4.2. Pengadilan yang berbeda :

13.4.2.1. Panitera yang bersangkutan wajib memberitahu kepada

pengadilan yang pernah memutus.

13.4.2.2. Melapor kepada ketua pengadilan tentang adanya

perkara bebis in idem.

13.4.3. Pengadilan yang bersangkutan wajib melapor kepada MA.

13.5. Varia Peradilan Nomor 303 Tahun 2011 :

- Pasal 1917 KUHPerdata : gugatan diajukan kedua kali pada waktu

bersamaan dimana para pihaknya sama, obyeknya sama dan

tuntutannya didasarkan pada alasan yang sama serta pihak-pihaknya

juga mempunyai hubungan hukum sama, maka putusan tersebut secara

hukum harus dinyatakan nebis in idem.

13.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 3182 K/Pdt/1994 tanggal 30-07-

1997 :

- Pengadilan tidak dapat menjatuhkan putusan atas hal-hal yang tidak

dituntut oleh Penggugat.

13.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 2831 K/Pdt/1996 :

- Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi yang tidak dituntut.

13.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 239 K/Sip/1968 :

- Gugatan rekonvensi dapat diajukan selama masih berlangsung jawab

menjawab, karena dalam Pasal 158 HIR/132 RBg hanya disebut

jawaban saja dan misalnya duplikpun merupakan jawaban, meskipun

bukan jawaban pertama (Yahya Harahap, hal. 342).

13.9. Abstrallksi hukum Putusan MA Nomor 134 K/AG/1998 tanggal 29-07-

1998

- Putusan waris yang bersifat “penetapan” (voluntair declaratur) agar dapat

dieksekusi, maka dengan cara :

12.9.1. Salah satu ahli waris mengajukan gugatan contentius kepada ahli

waris yang lain.

13.9.2. Petitumnya berisi : Menghukum dan memerintahkan kepada Tergugat dan

siapa saja untuk membagi harta warisan sesuai putusan PA

Nomor : ......./Pdt.P/......./PA......

13.10. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 368 K/AG/1995 :

13.10.1. Menurut hukum Islam, disamping ahli waris muslim, maka dengan

adanya ahli waris non muslim seperti dalam kasus perkara ini,

mereka yang non muslim berhak pula memperoleh bagian atas

harta warisan yang ditinggalkan oleh pewaris yang kadar

bagiannya atas harta warisan tersebut adalah sama dengan

bagian ahli waris yang muslim.

Page 65: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

25

13.10.2. Dengan demikian menurut Mahkamah Agung, ahli waris non muslim

berhak bersama-sama mewaris dengan kadar bagian yang sama

dengan ahli waris muslim dari harta warisan yang ditinggalkan

oleh pewaris muslim.

13.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 37 K/AG/1998 tanggal 30-12-

1999 :

- Gugatan yang diajukan oleh penggugat sebagai istri kedua terhadap harta

peninggalan almarhum suaminya yang masih dikuasai anak-anaknya

dari istri pertama dan harta tersebut terbukti harta bersama, maka

gugatan yang materinya demikian itu merupakan perkara murni

warisan dan tidak sengketa hak milik ex Pasal 50 UU Nomor 7 Tahun

1989, sehingga Pengadilan Agama berwenang mengadili.

13.12. Sema Nomor 1 Tahun 1962 tanggal 31-05-1962 dan UU Nomor 13

Tahun 1985 tentang Meterai :

13.12.1. Surat bukti harus bermeterai.

13.12.2.Jika belum diberi meterai harus diperintahkan untuk dinazegelen.

13.12.3.Setiap keadaan saksi dan alat bukti yang diajukan para pihak harus

dipertimbangkan alasan menerima atau menolak.

13.13. Putusan MA Nomor 07 K/AG/2000 tanggal 31-03-2004 :

13.13.1.Pengadilan Agama Ciamis memutus gugat waris Nomor

148/Pdt.G/1998/PA.Cmi hanya memutus para penggugat

sebagai ahli waris dan menolak gugatan yang lain.

13.13.2. PTA Bandung memutus Nomor 172/Pdt.G/1998/PTA Bdg

tanggal 09-03-1999 dengan memutus sampai mengabulkan

pembagian warisan.

13.13.3. MA memutus sebagai berikut :

13.13.3.1. Mengabulkan gugatan para penggugat untuk sebagian.

13.13.3.2. Menetapkan para penggugat sebagai ahli waris almarhum Ny. Igar.

13.13.3.3.Menolak gugatan para penggugat untuk selain dan selebihnya.

13.13.3.4. Biaya perkara.

13.13.4. Kesimpulan :

13.13.4.1. Petitum yang terbukti harus dikabulkan.

13.13.4.2. Boleh memutus dengan hanya menetapkan ahli waris saja, meskipun

petitum yang lain ditolak.

13.13.4.3. Urutan amar biaya perkara pada nomor terakhir dari diktum amar

putusan.

13.14. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 316 K/Pdt/1994 tanggal 28-05-1997 :

- Putusan sela tidak dapat diajukan banding secara berdiri sendiri dan harus ditunggu

putusan akhir dan diajukan bersamaan dengan putusan akhir.

13.15. Abstraksi hukum Putusan Nomor 37 K/AG/1995 tanggal 28-09-1995 :

13.15.1. Bilamana para pihak yang bersengketa sebelum persoalannya

diajukan ke pengadilan, mereka telah bersepakat melalui akta

perdamaian yang berisi berapa besar bagian masing-masing

ahli waris atas harta peninggalan tersebut, maka bilamana

persolannya tetap juga diajukan gugatan perdata ke pengadilan,

maka hakim dalam memberikan putusannya seharusnya tetap

Page 66: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

26

berpegang pada akta perdamaian yang telah disepakati kedua

belah pihak yang bersengketa tersebut.

13.15.2. Akta perdamaian wajib dan seharusnya ditaati dan dilaksanakan oleh

para pihak yang membuatnya dan hakim seharusnya

menghormati ketentuan yang tertuang dalam akta perdamaian

tersebut.

13.16. Abstraksi hukumPutusan Nomor 77 K/AG/1990 :

13.16.1. Berita acara telah terbukti adanya perselisihan antara suami istri yang

tidak mungkin hidup rukun kembali (berita acara sidang harus

dipertimbangkan meskipun tidak masuk dalam putusan).

13.16.2. Orang tua membenarkan anaknya saling menuduh zina dan tidak

mungkin dirukunkan kembali.

13.16.3. Dengan demikian Pasal 19 huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975 telah

terbukti, sehingga jatuh talak satu dari suami kepada istri dapat

dikabulkan.

13.17. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 3199 K/Pdt/1992 :

13.17.1. Akta autentik menurut Pasal 165 HIR jo. Pasal 285 RBg jo. Pasal 1868

BW merupakan bukti sempurna bagi kedua belah pihak, para

ahli waris dan orang-orang yang mendapat hak darinya. Artinya

akta autentik tersebut masih dapat dilumpuhkan oleh bukti

lawan.

13.17.2. Meskipun sudah ada bukti autentik, hakim harus tetap meneliti bukti

lawan, berupa surat-surat bawah tangan dan tidak begitu

mengesampingkan dan tidak memberikan penilaian tentang

dapat tidaknya melumpuhkan bukti lawan.

13.18. Abstraksi hukum Putusan Nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-04-1996 :

13.18.1. Pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk

beracara di pengadilan, tidak harus dilakukan secara bersama-

sama, namun dapat pula dilakukan secara bertahap.

13.18.2. Sehingga surat kuasa yang dilakukan oleh para penggugat secara

bertahap kepada penerima kuasa adalah sah hukumnya.

13.19. Abstraksi hukum Putusan Nomor 1363 K/Pdt/1996 tanggal 30-06-1998 :

13.19.1. Surat pernyataan seseorang dibuat sendiri dengan tulisan tangan dan

ditanda tanganinya serta diketahui pula oleh Kepala Desa

dengan dibubuhi stempel desa, yang berisi pengakuan pembuat

surattersebut bahwa ia telah menjual tanah, tetapi tidak

disebutkan siapa pembelinya. Secara yuridis surat ini bernilai

sebagai “akta pengakuan sepihak” yang keabsahannya tunduk

pada Pasal 1878 BW.

13.19.2. Surat tersebut baik isinya maupun tanda tangannya kemudian disangkal oleh

orang yang namanya tercantum sebagai pembuat dan penanda

tangan surat tersebut karena ia merasa tidak pernah menjual

tanahnya.

13.19.3. Disamping disangkal, surat tersebut ditinjau dari isinya ternyata

13.19.3.1. Tidak mencerminkan adanya transaksi jual beli tanah.

13.19.3.2. Tidak nampak tersurat di dalamnya adanya penyerahan hak tanah

dari penjual kepada pembeli.

Page 67: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

27

13.19.3.3.Maka “akta pengakuan sepihak” yang berkwalitas demikian ini,

bukan merupakan alat bukti adanya transaksi jual beli

tanah..

13.20. Abstraksi hukum Putusan Nomor 1282 K/Sip/1979 tanggal 20-12-1979 :

- Dalam gugat cerai atas alasan perselisihan dan pertengkaran, ibu kandung dan

pembantu rumah tangga dapat didengar sebagai saksi.

13.21.Kaidah hukum Putusan Nomor 83 K/AG/1999 tanggal 24-02-1999 :

13.21.1. Dalam hal permohonan ikrar talak dimana pihak ayah dan ibu dapat

diangkat sebagai saksi dan disesuaikan keterangan para saksi

dari termohon.

13.21.2. Alasannya : Pasal 145 (1) HIR/Pasal 172 RBg adalah ketentuan (saksi)

umum, sedang Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 7 Tahunn 1989

adalah ketentuan (saksi) khusus.

13.22. Sema Nomor 2 Tahun 1997 :

- Pengacara yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil atau militer

tanpa izin, harus ditolak.

13.23. Sema Nomor MA/Kumdil/8214/1986 :

- Jika ada pihak-pihak yang mengirim baik jawaban atau lainnya

dengan kata-kata yang tidak sopan harus ditegor.

13.24. Tim Pokja MA-RI (Suara Uldilag Nomor 8 Tahun 2006 halaman 135-157) :

13.24.1. Penggugat buta huruf :

13.24.1.1. Ketua/hakim mencatat dan memformulasikan gugatan dan menanda

tanganinya.

13.24.1.2. Penggugat tidak perlu cap jempol.

13.24.1.3. Tidak perlu diberi meterai.

13.24.2. Kuasa buta huruf dari penggugat buta huruf :

13.24.2.1. Ketua/hakim mencatat dan memformulasikan gugatan.

13.24.2.2. Penggugat buta huruf kemudian menyatakan menguasakan kepada kuasa

yang buta huruf.

13.24.2.3. Ketua/hakim mencatat identitas dan hal-hal yang diperlukan dalam surat

gugatan yang dibuat.

13.24.3. Cara memberikan kuasa :

13.24.3.1. Dengan akta notaris

13.24.3.2. Dengan akta dibawah tangan yang dilegalisir dan didaftar menurut

Ordonansi Stb. Nomor 46 Tahun 1916 jo. RBg Pasal 147

(3)/Pasal 123 HIR.

13.24.4. Surat kuasa di luar negeri :

13.24.4.1. Berbentuk akta notaris atau dibawah tangan.

13.24.4.2. Identitas pihak, obyek dan jenis kasus sengketa.

13.24.4.3. Dilegalisir KBRI setempat.

13.25. Keputusan Ketua MA Nomor MA/650/1979 tanggal 28-12-1979 :

- Tidak ada nikah dan sumpah menurut aliran kepercayaan.

13.26. Kaidah hukum Putusan Nomor 253 K/AG/2002 tanggal 17-03-2004 :

- Bahwa penggabungan beberapa tuntutan dari penggugat dapat dibenarkan

sepanjang penggabungan tuntutan perceraian dengan segala akibat

hukumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 86 UU Nomor 7 Tahun

1989, sedangkan tuntutan lainnya yang tidak diatur dalam pasal tersebut

Page 68: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

28

cukup dinyatakan tidak dapat diterima, tidak seharusnya keseluruhan

gugatan penggugat dinyatakan tidak dapat diterima dengan alasan

obscuur libel.

13.27. Adagium : Menimbang, bahwa semua dalil-dalil dan alat bukti yang diajukan

oleh penggugat dan tergugat sepanjang tidak dipertimbangkan oleh

majelis hakim, harus dinyatakan dikesampingkan.

13.28. Putusan PA Banjarmasin Nomor 520/1992 :

13.28.1. Salah satu dari para penggugat mencabut perkara, maka gugatan

menjadi kabur.

13.28.2. Gugatan tidak dapat diterima. (Mimbar Hukum No.45 Tahun

1999).

13.29. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 698 K/Sip/1969 :

- Yang pada pokoknya memberikan pedoman bahwa amar putusan yang

berbunyi “Mengabulkan seluruh gugatan” saja tidak dibenarkan dan

harus dirinci satu persatu petitum apa saja yang dikabulkan.

13.30. AbstraksiPutusan MA Nomor 797 K/Sip/1972 :

- Yang memberikan tuntunan bahwa apabila pengadilan dalam putusannya hanya

mengabulkan sebagian gugatan, maka yang dikabulkan harus dirinci

satu persatu dan diikuti amar “Menolak gugatan selebihnya”;

13.31. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 353 K/AG/2005 tanggal 27 April

2006 yang konstruksi hukumnya berbunyi “ Akta Pembagian Warisan di

Luar Sengketa (Akta P3HP) eks. Pasal 107 Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3

Tahun 2006 harus mencantumkan seluruh ahli waris. Apabila tidak, maka

akta tersebut dapat digugat kembali dan dinyatakan tidak berkekuatan

hukum dengan alasan terdapat kekeliruan yang nyata”.

13.32. Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 454 K/Sip/1970 tanggal 11

Maret 1970 yang kontruksi hukumnya menyatakan bahwa perubahan

gugatan (Pasal 127 Rv) dikabulkan asal tidak melampaui batas-batas

materi pokok pertama yang dapat menimbulkan kerugian pada hak-hak

pembelaan tergugat.

13.33.Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 843 K/Sip/1984 yang konstruksi

hukumnya menyatakan bahwa perubahan gugatan(Pasal 127 Rv) tanpa

mendengar pendapat tergugat dianggap tidak sah, sehingga perubahan

gugatan dianggap tidak ada.

13.34. Kaidah hukum dari putusan Mahkamah Agung Nomor 3182 K/Pdt/1994

tanggtal 30 Juli 1997 (Pasal 189 ayat (3) RBg/ 178 HIR/50 Rv):

- Hakim dilarang memutus apa yang tidak dituntut oleh Penggugat,

karena dapat dikatagorikan melanggar asas ultra petitum partium.

13.35.Kaidah hukum dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 77 K/Sip/1973

tanggal 19 September 1973 :

- Putusan yang melanggar asas ultra partium partem harus dibatalkan.

13.36. Abstraksi putusan MA Nomor 32 K/AG/2002 tanggal 20-04 2005 :

- Dalam amar putusan tidak perlu mengetengahkan taksiran harga, oleh

karena harga tersebut dapat berubah saat eksekusi, maka taksiran harga

yang diajukan oleh para pihak dapat dikesampingkan.

13.37. Sema Nomor 12 Tahun 1964 tentang Amar Putusan :

Page 69: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

29

13.37.1. Amar mengabulkan, harus memperinci satu persatu apa saja yang

dikabulkan.

13.37.2. Amar menolak seluruhnya, tidak perlu diperinci apa yang ditolak.

13.37.3. Amar mengabulkan sebagian dan menolak selebihnya, harus

memperinci satu persatu apa yang dikabulkan dan yang ditolak

tidak perlu diperinci.

13.38. Sema Nomor 7 Tahun 2001 tentang Decente.

13.39. Sema Nomor 2 Tahun 1972 tanggal 19-05-1972 :

- Angka 4 menjelaskan bahwa semua perubahan dalam salinan putusan

harus renvoi yang harus ditanda tangani lengkap bukan paraf.

13.40. Sema Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar

Mahkamah Agung.

13.41. Sema Nomor 01 Tahun 2010 tentang Bantuan Eksekusi :

13.41.1. Permintaan ekskusi dituangkan dalam penetapan Ketua

Pengadilan Negeri peminta.

13.41.2. Ketua Pengadilan Negeri penerima eksekusi membuat penetapan

berisi perintah kepada paniteranya agar eksekusi dilaksanakan

atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua pengadilan yang

diminta.

13.41.3. Ketentuan diatas berlaku untuk peradilan agama.

13.41.4. Jika ada perlawanan maka ditangani dan diputus oleh Pengadilan

Negeri yang diminta bantuan eksekusi.

13.41.5. Jika minta penangguhan eksekusi, maka dalam waktu 2 kali 24

jam harus sudah melapor kepada Ketua pengadilan peminta.

14. Pasal 58 ayat 2 (bantuan kepada para pihak) :

14.1. Sema Nomor 3 Tahun 1980 tanggal 23-09-1980 :

14.1.1. Hakim boleh memberi penjelasan teknis yustisial hanya kepada para

pihak yang berperkara.

14.1.2. Jika orang lain yang bertanya, tidak perlu menjawab.

14.1.3. Jika hakim menghadapai masalah yang menarik perhatian harap segera

lapor kepada Mahkamah Agung.

14.2. Sema Nomor 3 Tahun 1981 tanggal 06-07-1981 :

- Penyebab perselisihan tidak mungkin dapat meminta cerai berdasarkan

Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975.

15. Pasal 60 (putusan diucapkan terbuka untuk umum) :

15.1. Sema Nomor 5 Tahun 1959 :

- Jika putusan diucapkan, konsep berita acara sidang dan putusan harus sudah

jadi.

15.2. Sema Nomor 3 Tahun 1962 tanggal 07-05-1962 :

- Sidang-sidang pengadilan negeri selambat-lambatnya dilaksanakan jam 09.00

WIB.

15.3. Sema Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesain Perkara di Peradilan

Tingkat Pertama dan Banding pada Empat Lingkungan Peradilan :

15.3.1. Penyelesaian perkara pada peradilan tingkat pertama paling

lambat 5 bulan.

Page 70: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

30

15.1.2. Penyelesaian perkara pada peradilan tingkat banding paling lambat 3

bulan.

15.1.3. Penyelesaian minutasi masuk dalam waktu tersebut diatas.

16. Pasal 60 B dan 60 C (bantuan hukum) dijelaskan oleh :

16.1. Perma Nomor 1 Tahun 2014 tentang prodeo, sidang keliling dan

posbakum.

16.2. SOP Prodeo.

16.3. SOP Sidang Keliling.

16.4. SOP Posbakum.

17. Pasal 61 (banding) :

17.1. Sema nomor 01 Tahun 1952 tanggal 17-04-1952 :

- Memori banding dan kasasi tidak bermeterai karena bukan untuk

pembuktian.

17.2. Sema Nomor MA/Pemb/3250/1985 tanggal 08-04-1985 :

- Diinstruksikan kepada seluruh Pengadilan Agama agar menerima

permohonan banding meskipun telah lewat tenggang waktu bandingnya

dan meneruskan ke PTA.

17.3. Abstraksi Putusan MA tanggal 06 April 1955 Nomor : 247 K/Sip/1953 :

- Bahwa hakim banding tidak wajib meninjau satu persatu dalil yang

termuat dalam suatu memori banding dan juga tidak wajib meninjau satu

persatu segala pertimbangan hakim tingkat pertama“.

17.4. Menurut Pasal 357 Rv menegaskan bahwa putusan banding diambil

berdasarkan surat-surat atau berkas perkara (Proses Pemeriksaan dalam

Tingkat Banding oleh Yahya Harahap,2006) :

17.4.1. Surat-surat mengenai syarat formil :

17.4.1.1. Surat kuasa khusus.

17.4.1.2. Akta permohonan banding.

17.4.1.3. Tanda terima pembayaran biaya banding.

17.4.1.4. Surat pemberitahuan adanya banding kepada terbanding.

17.4.1.5.Surat pemberitahuan inzage kepada pembanding dan

terbanding.

17.4.1.6. Akta penerimaan memori banding dari pembanding.

17.4.1.7.Surat penyerahan salinan memori banding kepada terbanding.

17.4.1.8. Akta penerimaan kontra memori banding dari terbanding.

17.4.1.9.Surat penyerahan kontra memori banding kepada

pembanding.

17.4.2. Surat-surat mengenai materi perkara :

17.4.2.1. Berita acara sidang :

17.4.2.1.1. Yang membuat/menanda tangani.

17.4.2.1.2. Isi berita acara sidang.

17.4.2.1.3. Fungsi berita acara sidang :

17.4.2.3.1. Putusan tidak boleh bertentangan

dengan berita acara sidang.

17.4.2.3.2. Putusan tunduk pada berita acara sidang, karena yang mutlak benar

adalah berita acara sidang.

Page 71: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

31

17.4.2.3.3. Jika putusan bertentangan dengan berita acara sidang, maka

hakim tingkat banding

berkewajiban meluruskan

putusan sesuai berita acara

sidang.

17.4.2.1.4.Landasan penegakan prinsip umum persidangan :

17.4.2.1.4.1. Asas audi et alteram partem.

17.4.2.1.4.2. Asas terbuka untuk umum.

17.4.2.1.4.3. Asas inparsialitas.

17.4.2.1.5. Landasan formil dan materiil pemeriksaan saksi.

17.4.2.1.6. Syarat formil saksi :

17.4.2.1.6.1. Bukan orang yang dilarang

(Pasal 145 HIR/ 172 RBg).

17.4.2.1.6.2. Dipanggil dan diperiksa satu

persatu (Pasal 144 HIR/ 171

RBg).

17.4.2.1.6.3. Disumpah (Pasal 147 HIR/ 175 RBg).

17.4.2.1.7. Syarat materiil saksi :

17.4.2.1.7.1. Asas unus testis nulus testis

(Pasal 169 HIR, Pasal 306

RBg dan Pasal 1905 BW.

17.4.2.1.7.2. Bukan testimoniom de auditu (Pasal 171 (2) HIR, Pasal 1907 BW).

17.4.2.1.7.3. Bukan pendapat saksi Pasal 171 (2) HIR, Pasal 308 (1) RBg dan

Pasal 1907 (2) BW).

17.4.2.1.7.4. Saling bersesuaian (Pasal 172 HIR, Pasal 309 RBg dan Pasal 1908

BW.

17.4.2.1.8.Semua syarat bersifat kumulatif bukan alternatif.

17.4.2.1.9 . Berita acara pemeriksaan setempat.

17.4.2.2. Surat gugatan.

17.4.2.2.1. Kewenangan mengadili absolut.

17.4.2.2.2. Kewenangan mengadili relatif.

17.4.2.3. Surat jawaban, replikdan duplik.

17.4.2.4. Eksepsi dan rekonvensi.

17.4.2.5. Surat-surat bukti.

17.4.2.6. Putusan.

17.4.2.7.Memori banding, yang diperiksa adalah “keberatan-

keberatan yang terkait dengan putusan”. Sedangkan

tuntutan yang baru timbul dan tidak terdapat dalam

jawaban, duplik dan dalam putusan tidak perlu

dipertimbangkan.

17.4.2.8. Kontra memori banding, jika mengandung dasar hukum,

fakta pembuktian dan argumentasi rasional patut

dipertimbangkan.

17.5. Menurut pendapat Hensyah Syahlani :

17.5.1. Putusan hakim banding bersifat menguatkan apabila menyetujui

pertimbangan pendapat hakim pertama dan menjadikannya

sebagai dasar pertimbangan dan pendapatnya sendiri.

Page 72: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

32

17.5.2. Putusan banding bersifat memperbaiki apabila pada dasarnya hakim

banding menyetujui pendapat hakim pertama, hanya memperbaiki

redaksi sebagian amar putusan, namun tidak merubah hakekat dan

makna putusan hakim tingkat pertama.

17.5.3. Putusan hakim banding bersifat membatalkan apabila :

17.5.3.1. Pembatalan yang menyangkut tidak sepakat, baik

keseluruhan atau sebagian.

17.5.3.2. Pembatalan yang menyangkut tidak diturutinya ketentuan hukum acara.

17.5.3.3. Pembatalan yang menyangkut kewenangan absolut atau relatif.

17.6. Menurut pendapat Bahrussam Yunus Ketua PTA Pontianak :

17.6.1. Apabila putusan pengadilan tingkat pertama banyak yang

diperbaiki, maka amarnya adalah membatalkan.

17.6.2. Apabila putusan pengadilan tingkat pertama sedikit yang diperbaiki,

maka amarnya adalah memperbaiki.

17.7. Sema Nomor 8Tahun 1984 :

17.6.1. Hakim banding membuat catatan tentang hal-hal penting terhadap

berkas banding.

17.6.2. Hal-hal tersebut dijadikan dasar pembinaan dan pengawasan kepada

hakim tingkat pertama.

17.8. Sema Nomor 1 Tahun 1988 tanggal 18-02-1988 :

17.8.1. Setiap hakim membuat dan mengisi daftar kegiatan persidangan.

17.8.2. Dilakukan secara tertib dan teratur.

17.8.3. Ketua pengadilan tingkat pertamamelakukan pengawasan.

17.8.4. Kolom daftar kegiatan persidangan perkara perdata hakim tingkat

pertama :

17.8.4.1. Kolom pertama, nomor urut.

17.8.4.2. Kolom kedua, nomor perkara.

17.8.4.3. Kolom ketiga, penggugat/tergugat dan

pemohon/termohon.

17.8.4.4. Kolom keempat, tanggal (penerimaan berkas, penetapan

sidang, putusan dan minutasi).

17.8.4.5. Kolom kelima, keterangan (susunan majelis hakim dalam

kolom keterangan).

17.8.4.6. Dibawahnya ditulis, tempat dan tanggal dibuat, hakim

yang bersangkutan dan tanda tangan serta nama terang)

17.8.5. Kolom daftar kegiatan persidangan perkara perdata hakim tingkat

banding :

17.8.4.1. Kolom pertama, nomor urut.

17.8.4.2. Kolom kedua, nomor perkara banding.

17.8.4.3. Kolom ketiga, asal perkara dan tanggal putusan pengadilan

tingkat pertama.

17.8.4.4. Kolom keempat, tanggal permohonan banding.

17.8.4.5. Kolom kelima, nama pembanding dan terbanding.

17.8.4.6.Kolom keenam, tanggal (pemeriksaan berkas, penetapan

sidang, putuenam dan minutasi)

17.8.4.7. Kolom ketujuh, keterangan.

Page 73: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

33

17.8.4.8. Dibawahnya ditulis, tempat dan tanggal dibuat, hakim

yang bersangkutan dan tanda tangan serta nama terang).

17.9. Sema Nomor 3 Tahun 1999 :

- Apabila tenggang waktu pengajuan perlawanan, banding, kasasi dan PK

berakhir pada hari Sabtu, maka diundur pada hari kerja berikutnya.

18. Pasal 63 (kasasi) :

18.1. Putusan kasasi berkekuatan hukum tetap (BHT) sejak tanggal

pemberitahuan putusan kasasi tersebut kepada para pihak (catatan Panitera

Pengadilan Negeri Negara pada putusan Mahkamah Agung Nomor 3629

K/Pdt/1991 tanggal 20-09-1995).

18.2. Peraturan MA Nomor 1 Tahun 2001 :

18.2.1. Panitera membuat surat keterangan kepaniteraan terhadap kasasi

yang tidak memenuhi syarat formil.

18.2.2. Surat tersebut ditanda tangani dan diketahui juga oleh ketua

pengadilan.

18.2.3. Ketua pengadilan melaporkan tentang permohonan kasasi yang

tidak diteruskan kepada MA.

18.2.4. Panitera mengirim laporan yang ditanda tangani oleh ketua

pengadilan kepada MA.

18.2.5. Panitera mencatat dalam kolom keterangan buku register dengan

kode “TMS” (tidak memenuhi syarat formil).

18.3. Sema Nomor 1 Tahun 1959 tanggal 05-01-1959 :

- Risalah kasasi yang dibubuhi jap jempol harap disahkan (waarmerken)

oleh PN atau Kecamatan/Kawedanan.

18.4. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 1114 K/Pdt/2009 tanggal 02-07-2010 :

18.4.1. Jika ternyata dalam memeriksa perkara permohonan (voluntair)

sedangkan dalam perkara a quo ada pihak lain yang mempunyai

kepentingan hukum yang sama dan ternyata tidak ikut sebagai

pihak, maka hal ini berarti perkara tersebut mengandung sengketa,

maka hakim harus menyatakan permohonan “tidak dapat diterima”

dan harus diajukan dalam bentuk gugatan (asas audi et alteram

partem).

18.4.2. Pengajuan kasasi terhadap “penetapan” yang dijatuhkan Pengadilan

Negeri, tenggang waktunya tidak terikat seperti tenggang waktu

dalam pengajuan kasasi perkara yurisdictie contentiosa.

18.4.3. Sema Nomor 2 Tahun 1997 :

- Syarat kelengkapan permohonan kasasi dan PK seperti

ditetapkan dalam Buku II.

18.4.4. Sema Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perkara Yang Tidak Memenuhi

Syarat Kasasi dan PK :

18.4.4.1. Melampaui tenggang waktu kasasi sebagaimana

ketentuan UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3

Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

18.4.4.2. Melampaui tenggang waktu PK sebagaimana ketentuan

UU Nomor 14 Tahun 1985 jo. UU Nomor 3 Tahun 2009

tentang Mahkamah Agung.

Page 74: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

34

19. Pasal 64 A ( akses ke pengadilan dan penyampaian salinan putusan) :

19.1. Bidang akses masyarakat ke pengadilan, lihat UU Nomor 14 Tahun 2008

tentang Keterbukaan Informasi.

19.2. Sema Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perubahan Sema Nomor 2 Tahun 2010

tentang Penyampaian Salinan Putusan :

19.2.1. Dalam waktu 14 hari tidak perlu penyampaian salinan putusan

kepada para pihak, akan tetapi salinan putusan harus sudah

dipersiapkan dalam waktu tersebut.

19.2.2. Salinan putusan merupakan turunan putusan yang diterbitkan oleh

pengadilan.

19.2.3. Petikan putusan merupakan kutipan isi dari putusan yang memuat

amar putusan majelis hakim.

19.3. Pasal 302 RBg, salinan/turunan lebih tinggi dari pada foto kopi.

20. Pasal 66 (perkara cerai talak) :

20.1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 388 K/AG/1994 tanggal 19-10-1995,

bahwa penyebutan para pihak dalam perkara cerai talak dengan istilah

pemohon dan termohon, bukan penggugat dan tergugat meskipun termasuk

kelompok perkara gugatandan diberi kode “G”.

20.2. Sema Nomor 2 Tahun 1990 tanggal 03-04-1990 tentang Petunjuk

Pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 1989 (Ketua MA, Ali Said) yang berisi :

20.2.1. Putusan cerai talak adalah produk hukum, maka harus dibuat dalam

bentuk hukum memakai kepala berjudul“putusan”namun amarnya

berbentuk “penetapan”.

20.2.2. Dalam mengeluarkan surat/akta yang berkenaan dengan perkara,

pengadilan agama tidak diperkenankan memakai :

20.2.2.1. Menggunakan cap dinas yang berisi tulisan Departemen

Agama.

20.2.2.2. Nomor Induk Pegawai dibawah nama terang Ketua,

Hakim dan pejabat kepaniteraan.

20.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 2099/1990 tanggal 24-11-1993 :

- Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan harus

ada acara menurut agama terlebih dahulu sebelum didaftarkan di Kantor

Catatan Sipil. Jika tidak demikian, menurut hukum harus dinyatakan

belum/tidak ada perkawinan yang sah.

20.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 05-10-1991 :

20.4.1. Hakim dalam menerapkan pengertian yuridis ex Pasal 19 (f) PP

Nomor 9 Tahun 1975 tentang alasan perceraian yaitu antara suami

istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak

ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka

hakim harus berpegang pada pemikiran, adalah tidak patut bilamana

pecahnya rumah tangga itu dibebankan/ditimpakan kepada salah

satu pihak.

20.4.2. Abstraksi hukumnya : Dalam menerapkan ex Pasal 19 (f) PP

Nomor 9 Tahun 1975, maka hakim tidak perlu mencari siapa yang

salah diantara suami istri tersebut.

Page 75: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

35

20.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 174 K/AG/1994 tanggal 28-04-1995

- Bilamana antara suami istri dalam kehidupan rumah tangga telah sering

terjadi percekcokan, semua usaha perdamaian yang dilakukan tidak

berhasil menyatukan mereka lagi sedang keduanya masih diam dalam

satu rumah, namun tidak pernah berkomunikasi lagi sebagai layaknya

suami istri dalam jangka waktu sekian lama, maka fakta yang demikian

itu seharusnya ditafsirkan bahwa hati kedua belah pihak telah pecah,

sehingga telah memenuhi ketentuan Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun

1975.

20.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 173 K/AG/1996 :

20.6.1. Dalam hal calon istri masih dalam waktu iddah(dari suami yang

dahulu) dan tidak sahnya wali yang menikahkan hanya berakibat

pernikahan itu “dapat dibatalkan/fasid” bukan “batal demi hukum”

sesuai Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 dan sampai

perkawinan yang kedua tanggal 11-01-1990 tidak ada proses

pembatalan perkawinan yang pertama dan karena itu perkawinan

yang kedua menjadikan perkawinan yang pertama adalah sah, ex

Pasal 28 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974.

20.6.2. Isi pertimbangan MA :

20.6.2.1. Permohonan itsbat nikah adalah murni permohonan dan

karena itulah tepat upaya hukumnya adalah kasasi.

20.6.2.2. Ukuran untuk menentukan apakah suatu perkara itu

perkara yang murni permohonan (voluntair) atau

perkara gugatan (contentius) adalah dilihat dari petitum

yang diajukan oleh pemohon kasasi.

20.6.2.3. Kalau permohonan itu menuntut suatu putusan yang

deklaratif makapermohonan ituadalah voluntair.

20.6.2.4. Kalau permohonan itu meminta putusan yang

konstitutif, maka permohonan itu adalah contentiues.

20.6.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 106 K/AG/1997tanggal 22-

11-1998 :

20.6.3.1. Seorang suami yang mengajukan permohonan cerai

dengan alasan telah terjadi percekcokan yang tidak

mungkin bisa hidup rukun kembali, sedangkan dalam

persidangan telah terbukti fakta bahwa penyebab

percekcokan rumah tangga tersebut tidak murni dari

termohon,maka sesuai Pasal 41 (c) UU Nomor 1 Tahun

1974 jo Pasal 149 KHI pemohon diwajibkan untuk

membayar nafkah iddah dan mut’ah kepada termohon

yang diceraikan tersebut.

20.6.3.2. Suami yang berkedudukan sebagai pegawai negeri sipil

yang permohonan cerainya dikabulkan oleh Pengadilan

Agama maka sesuai PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP

Nomor 45 Tahun 1990 perincian pembagian gaji suami

merupakan aturan administrasi kepegawaian, sehingga

tidak perlu dicantumkan dalam amar putusan.

Page 76: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

36

20.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 295 K/AG/2000 tanggal 29-08-

2002 :

20.7.1. Untuk bercerai harus ada alasan bahwa antara suami dan istri itu

tidak akan hidup rukun kembali sebagai suami istri.

20.7.2. Adanya fakta yang terbukti di persidangan berupa bahwa

keduanya sering cekcok kemudian saling menuduh selingkuh

dan pada puncaknya keduanya hidup berpisah tempat tinggal

selama 2 tahun lebih serta hakim dan keluarga telah gagal

merukunkan mereka, maka yang demikian itu cukup menjadi

alasan hukum bahwa rumah tangga mereka telah pecah dan tidak

ada harapan lagi untuk rukun kembali sebagai suami istri

sehingga secara yuridis permohonan cerai patut dikabulkan (Ex

Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975).

20.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 57 K/AG/2005 tanggal 04-09-

2005 :

20.8.1. Istri murtad, suami diizinkan menjatuhkan talak atas istri

tersebut.

20.8.2. Alasannya : murtadnya termohon maka pemohon masih tetap

mempunyai hak untuk mengucapkan ikrar talak terhadap

termohon, sebab pemohon masih beragama Islam, yang murtad

adalah termohon, bukan pemohon.

20.9. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 78 K/AG/2001 tanggal 14-11-

2002 :

20.9.1. Suami berstatus sebagai pegawai negeri sipil dipindah tugaskan

ke kota lain dan suami bertempat di kota yang baru itu, sedang

istri tidak bersedia mengikuti suami, bahkan istri menggugat

cerai, maka tindakan istri tersebut sebagai nusyuz dan perceraian

di Pengadilan Agama suami dapat dibenarkan.

20.9.2. Menurut hukum Islam kewajiban suamiterhadap istrinya yang

dijatuhi talak adalah hanya mengenai nafkah idah dan mut’ah,

bukan dengan memberikan sebagian uang ex suami setiap

bulannya sampai ex istri kawin lagi dengan pria lain.

20.10. Abstraki hukum Putusan MA Nomor3713 K/AG/1994 :

20.10.1. Kompromis, konsiliasi atau islah dalam memecahkan hal-hal

yang berkaitan dengan perceraian mengenai harta bersama,

alimentasi (pemberian atau imbalan), perwalian anak adalah

boleh.

20.10.2. Hukum Islam membolehkan untuk merundingkan cara-cara

penyelesaian perceraian apabila dalam rumah tangga suami istri

sudah tidak mampu lagi menegakkan nilai-nilai moral dan

filosofi sakinah, mawaddah dan rahmah (Al Baqoroh ayat 120).

20.10.3. Hukum Islam mengajarkan, bukan hanya dalam pembinaan

perkawinan dibangun berdasarkan landasan “wa ‘asyiruhunna bil

ma’ruf”, namun landasan ini juga diterapkan dalam pelaksanaan

penyelesaian perceraian (Al Bagoroh ayat 231) yang

menjelaskan “au sarrihunna bil ma’ruf”, artinya ceraikanlah

dengan cara yang ma’ruf.

Page 77: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

37

20.10.4. Berdasarkan hukum kontemporer yang berlaku sekarang, apalagi

berdasarkan pandangan hukum Islam, perceraian seperti halnya

perkawinan, yaitu harus didudukkan dalam konteks moral,

sosial kemanusiaan dan peradaban yang tinggi.

20.10.5. Jika perkawinan dibarengi dengan berbagai pendekatan

musyawarah dan kata sepakat, maka perceraianpun sebaiknya

dilakukan dengan pendekatan kompromis atau islah sesuai

dengan jiwa “asyiruhunna bil ma’ruf”.

20.10.6. Sehubungan dengan penadapat tersebut dan diakitkan dengan

UU Nomor 1 Tahun 1974, PP Nomor 9 Tahun 1975 dan KHI,

adalah dimungkinkan bagi suami istri menyepakati suatu

kompromi tentang hak-hak yang berkenaan dengan harta,

nafkah, alementasi dan sebagainya sebelum pengadilan

manjatuhkan putusan perceraian.

20.10.7. Perceraian tetap mutlak kewenangan pengadilan, namun

mendahului putusan pengadilan, nilai hukum, moral,

kemanusiaan dan peradaban memberikan hak kepada suami

istri membuat kompromi, kesepakatan, konsiliasi atau islah

yang menyangkut akibat perceraian dengan ketentuan :

20.10.7.1. Kesepakatan tidak bertentangan dengan ketertiban

umum.

20.10.7.2. Kesepakatan tidak bersifat illegal (Pasal 1320 BW).

20.10.8. Kesepakatan suami istri sebelum perceraian adalah legal

menurut hukum dan perjanjian tersebut efektif dan konkludid

sejak putusan perceraian dijatuhkan oleh Pengadilan Agama

yang telah berkekuatan hukum.

20.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 279 K/AG/2001 tanggal 21-08-

2003:

20.11.1. Adanya pertemuan dan melakukan hubungan suami istri tidak

dapatdijadikan indikator bahwa pemohon dan termohon pernah

hidup rukun dalam rumah tangga.

20.11.2.Bahwa mengenai tuntutan rekonvensi tergugat terkait kewajiban

bekas suami terhadap bekas istri dalam hukum Islam hanya

terbatas pada sampai dengan berakhirnya masa iddah. Oleh

karena itu gugatan penggugat rekonvensi tentang pembagian

1/3 gaji harus dianologkan dengn mut’ah, karena pada dasarnya

PP Nomor 10 Tahun 1983 jo. PP 45 Tahun 1990 yang

mengatur tentang pembagian gaji tersebut adalah peraturan

disiplin pegawai negeri sipil yang merupakan kewajiban atasan

yang bersangkutan untuk menerapkannya.

20.11.3. Bahwa demikian juga halnya 1/3 bagian gaji untuk anak, akan lebih adil

apabila mengenai kewajiban ayah dalam memenuhi nafkah

anak ditetapkan sesuai dengan kebutuhan pokok minimum

seorang anak dan kemampuan tergugat rekonvensi.

20.11.4.Bahwa nafkah madhiyah anak dalam hukum Islam adalah hak untuk

memanfaatkan (li al intifa’) bukan hak untuk memiliki (li al

Page 78: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

38

tamlik) sebagaimana hak istri dalam hal nafkah, maka apabila

masanya telah lewat tidak dapat dituntut.

20.12. Petunjuk teknis yustisial MA Tahun 2005 :

20.12.1. Jika kekuatan hukum tetap ikrar talak gugur karena pemohon tidak

melaksanakan ikrar talak dalam waktu6 (enam) bulan sejak

ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar talak, maka suami atau

istri dapat mengajukan pengangkatan sita kepada Pengadilan

Agama yang bersangkutan.

20.12.2. Harus ada “penetapan” hak talak telah “gugur” oleh Ketua

Pengadilan Agama.

20.12.3. Suami atau istri dapat mengajukan sita jaminan atas harta bersama

meskipun tidak ada gugatan cerai.

20.12.4. Pemanggilan suami atau istri yang ghoib :

20.12.4.1. Dipanggil sesuai Pasal 27 PP Nomor 9 Tahun 1975.

20.12.4.2. Dipanggil ke alamat yang bersangkutan.

20.12.4.3.Ada surat ghaib dari pejabat yang bersangkutan.

20.12.5. Pengadilan Agama berwenang mengadili orang yang sudah murtad,

sebab ukurannya adalah hukum saat pernikahan (Putusan MA

Nomor 726 K/Sip/1976tanggal 15-02-1977).

20.12.6. Dalam hal suami murtad diajukan sebagai cerai gugatdan

Pengadilan Agama memutus dengan fasah.

20.12.7. Amar putusan fasakh : “Memfasakhkan perkawinan pemohon

(........ bin .................) dengan termohon (................binti

.............);” (Buku II, hal.149).

20.13. Surat MA Nomor 32/TUADA-AG/III-UM/IX/1993 tanggal 11-09-1993 :

20.13.1. Setelah hakim membacakan putusan harus menjelaskan kepada para

pihak atas hak bandingnya danbagi yang tidak hadir harus

diberitahu isi putusan.

20.13.2. Ketentuan Pasal 84 ayat (4), mengingat asas peradilan dengan

biaya ringan tidak perlu dilakukan.

20.13.3. Jika barang yang disita di luar Pengadilan Agama yang berwenang,

maka dituangkan dalam “penetapan” yang juga mencantumkan

permintaan bantuan penyitaan.

20.14. Surat MA Nomor MA/KUMDIL/1405/III/1990 tanggal 13-03-1990 :

(Putusan yang menjadi dasar dikeluarkan Akta Cerai) :

20.14.1. Putusan Pengadilan Agama, jika :

20.14.1.1. Pengadilan Agama mengabulkan dan tidak ada banding.

20.14.1.2. Pengadilan Agama mengabulkan dan PTA menguatkan.

20.14.1.3. Mahkamah Agung menolak kasasi.

20.14.2. Putusan Mahkamah Agung, jika :

20.14.2.1. Pengadilan Agama menolak.

20.14.2.2. PTA mengabulkan cerai.

20.14.2.3. MA menolak kasasi.

20.14.3. Putusan Mahkamah Agung, jika :

20.14.3.1. Pengadilan Agama menolak.

20.14.3.2. PTA menguatkan penolakan PA.

20.14.3.3. MA mengabulkan cerai.

Page 79: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

39

20.14.4. Pembuatan Akta Cerai bagi cerai talak adalah berdasarkan

penetapan ikrar talak.

20.14.5. Pembuatan Akta Cerai bagi cerai gugat adalah putusan PA atau MA yang

mengabulkan putusnya perkawinan.

20.15. Surat Edaran Ditbinbapera Nomor EV/Ed/50/1981 tanggal 10-04-1981 :

- Talak tiga sekali, yang jatuh hanya satu.

20.16. Putusan MA Nomor 184 K/AG/2009 tanggal 04-08-2009 yang

membenarkan pertimbangan PTA :

20.16.1. Menimbang, bahwa mengenai pernyataan pemohon bahwa

pemohon telah berkali-kali menjatuhkan talak kepada termohon

di luar sidang Pengadilan Agama, maka PTA memberikan

pertimbangan sebagai berikut :

20.16.2. Bahwa tindakan pemohon tersebut merupakan sebuah pelanggaran

terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 dan hukum Islam yang

berlaku di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (1)

UU Nomor 1 Tahun 1974 juncto Pasal 115 KHI yang

menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di muka

sidang Pengadilan Agama, setelah Pengadilan Agama tersebut

berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

20.16.3. Bahwa oleh sebab itu tidak ternyata bahwa tindakan pemohon tersebut

telah memenuhi ketentuan hukum formil maupunmateriil, maka

tindakan pemohon tersebuttidak mempunyai kekuatan hukum

dan tidak mempunyai akibat hukum.

20.16.4. Bahwa apa yang disampaikan oleh pemohon tersebut juga bukan

merupakan uraian lebih lanjut sebagai feitljk gronden dari posita

yang dikemukakan dalam surat permohonan.

21. Pasal 67 (syarat gugatan dan permohonan) :

21.1. Gugatan diajukan secara tertulis yang ditanda tangani oleh penggugat atau

kuasanya ditujukan kepada Ketua Pengadilan Agama sesuai kompetensi

relatif (Pasal 118 ayat (1) HIR/Pasal 142 ayat (1) RBg).

21.2. Bagi yang buta huruf diajukan secara lisan yang dicatat oleh hakim (Pasal

120 HIR/Pasal 144 RBg).

21.3. Diberi tanggal, guna menjamin kepastian hukum atas pembuatan dan

penanda tanganan surat gugatan, sehingga apabila timbul masalah penanda

tanganan surat gugatan berhadapan dengan tanggal pembuatan dan penanda

tanganan surat kuasa, segera dapat diatasi. Apabila tidak diberi tanggal

maka hakim memerintahkan perbaikan gugatan dengan memberi tanggal

(Yahya Harahap, hal.52).

21.4. Nama lengkap, jika kesalahan serius dapat mengakibatkan melanggar

syarat formil yang mengakibatkan surat gugatan cacat formil, karena dapat

menimbulkan ketidak pastian mengenai orang atau pihak yang berperkara

sehingga cukup alasan untuk menyatakan gugatan error in persona atau

obscuur libel(Yahya Harahap, hal.52).

21.5. Tempat tinggal yang jelas :

21.5.1. Alamat kediaman pokok.

21.5.2. Alamat kediaman tambahan.

Page 80: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

40

21.5.3. Tempat tinggal riil.

21.5.4. Pilihan domisili yang tertulis dalam akta (Pasal 118 ayat (4) HIR/

Pasal 142 RBg).

21.6. Sumber keabsahan tempat tinggal :

21.6.1. KTP/NPWP.

21.6.2. Kartu Keluarga.

21.6.3. Akta autentik pilihan domisili (Pasal 118 ayat (4) HIR/ Pasal 142

RBg).

21.7. Harus ada sengketa (Putusan MA Nomor 995 K/Sip/1975 tanggal 08-08-

1975).

21.8. Dalil gugatan tidak saling bertentangan (Putusan MA Nomor 3097

K/Sip/1983 tanggal 26-03-1987 yang mempertimbangkan bahwa dalil

gugatan yang didalamnya terdapat pertentangan antara dalil yang satu

dengan dalil yang lain, dinyatakan sebagai gugatan yang tidak mempunyai

dasar hukum yang jelas).

21.9. Perbedaan gugatan dengan decente menurut Putusan MA Nomor 227

K/AG/2004 tanggal 25-05-2004 menyatakan bahwa :

21.9.1. Perbedaan gugatan dengan decente asal disepakati sebagai obyek

perkara oleh kedua pihak, adalah gugatan yang jelas dan

disesuaikan dengan hasil decente.

21.9.2. Perbedaan luas tanah yang tertulis dalam gugatan dengan decente

dan kelebihan itu tidak disepakati kedua pihak sebagai obyek

perkara, maka obscuur libel.

21.10. Yang menguasai harta sengketa tidak jelas (Putusan MA Nomor 227

K/AG /2004 tanggal 25-05-2004 jo. Putusan Nomor 195 K/AG/1994

tanggal 20-10-1995) :

21.10.1. Surat gugatan yang tidak jelas siapakah yang menguasai harta

kekayaan yang disengketakan, sehingga tidak jelas pula siapakah

yang sebenarnya menjadi para pihak dalam gugatan tersebut.

21.10.2. Surat gugatan yang demikian itu menurut hukum acara harus

dinyatakan sebagai gugatan yang kabur (obscuur libel) dan

dalam gugatan seperti itu, hakim memutus bahwa gugatan

tersebut tidak dapat diterima.

22. Pasal 70 (panggilan ikrar) :

22.1. Panggilan perkara perceraian yang diketahui tempat tinggalnya :

22.1.1. Berdasarkan hari, tanggal dan jam yang diperintahkan oleh Ketua

Majelis (Pasal 118 HIR/145 RBg).

22.1.2. Diberitahukan kepada penggugat untuk mempersiapkan alat bukti.

22.1.3. Diberitahukan kepada tergugat untuk menjawab.

22.1.4. Tergugat diberi salinan gugatan.

22.1.5. Di tempat kediaman terpanggil (Pasal 390 HIR/718 RBg).

22.1.6. Jika tidak bertemu terpanggil, panggilan via Lurah/Kades.

22.1.7. Nama terang, tanda tangan dan cap dinas penerima di kelurahan

(Buku II halaman 27).

22.1.8. Tenggang waktu antara pemanggilan dengan hari sidang minimal

tiga hari kerja.

Page 81: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

41

22.1.9. Jika terpanggil meninggal dunia, diberikan kepada ahli waris.

22.2. Panggilan perkara perceraian yang tergugat tidak diketahui tempat

tinggalnya :

22.2.1. Melalui satu atau beberapa mas media yang telah ditetapkan.

22.2.2. Panggilan dilakukan sebanyak dua kali dengan tenggang waktu

antara panggilan pertama dan kedua selama satu bulan.

22.2.3. Tenggang waktu panggilan kedua dengan sidang selama 3 bulan

(Buku II halaman 28).

22.3. Panggilan terkait perkara kebendaan :

22.3.1. Seperti proses 22.1. diatas.

22.3.2. Jika tergugat tidak diketahui tempat tinggalnya, maka panggilan

lewat bupati/Wali kota dengan cara menempelkan surat panggilan

pada papan pengumuman pengadilan agama (Pasal 390 HIR/718

RBg).

22.3.3. Jika ahli waris tidak jelas tempat tinggalnya, maka panggilan

lewat bupati/wali kota.

22.4. Panggilan tergugat di luar negeri (Surat KMA Nomor 055/75/91/I/UMTU

/Pdt. /1991 tanggal 11-05-1991) :

22.4.1. Surat permohonan pemanggilan dikirim lewat Kementerian Luar

Negeri cq Dirjen Protokol dan Konsuler.

22.4.2. Tidak perlu dilampiri dengan relaas.

22.4.3. Surat permohonan sekaligus merupakan relaas.

22.4.4. Meskipun tidak ada jawaban, panggilan dianggap sah.

22.4.5. Tenggang waktu pemanggilam dengan sidang sekurang-

kurangnya 6 bulan sejak pengiriman.

22.5. Pemberitahuan isi putusan :

22.5.1. Perkara biasa seperti ketentuan nomor 22.1. diatas (Pasal 390

HIR/718 RBg).

22.5.2. Perkara perceraian yang ghoib seperti tata cara panggilan melalui

Bupati.

22.5.3. Pihak yang diberitahu di luar negeri mengacu pada pemanggilan ke

luar negeri.

22.6. Sema Nomor 6 Tahun 2014 tanggal 30-12-2014 tentang Penanganan

Bantuan Panggilan dan Pemberitahuan :

22.6.1. Bantuan panggilan dan pemberitahuan berdasarkan Pasal 5

Reglement op de Burgerlijk Rechtvordering (Rv).

22.6.2. Permintaan pemanggilan dan pemberitahuan adalah kewajiban

pengadilan yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 15 UU Nomor

48 Tahun 2009, yakni pengadilan wajib saling memberi bantuan

yang diminta untuk kepentingan peradilan.

22.6.3. Untuk mengurusi bantuan panggilan dan pemberitahuan harus

ditunjuk koordiantor yang bertanggung jawab kepada

Panitera/Sekretaris.

22.6.4. Pengadilan harus membuat buku register bantuan panggilan dan

pemberitahuan.

22.6.5. Panitera/Sekretaris melaporkan kepada Ketua pengadilan setiap satu

bulan sekali dengan tembusan Dirjend terkait.

Page 82: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

42

22.6.6. Pengadilan banding melakukan pengawasan.

22.6.7. Mekanisme permintaan panggilan atau pemberitahuan :

22.6.7.1. Pengadilan peminta bantuan panggilan mengirim surat

via elektronik dengan disertai biaya, kecuali perkara

prodeo.

22.6.7.2. Panitera menunjuk jurusita dan 2 hari setelah itu harus

melaksanakan tugas.

22.6.7.3. Koordinator minta scaning relaas dan mengirimkan ke

pengadilan peminta bantuan.

22.6.7.4. Asli dokumen dikirim melalui jasa pengiriman dokumen

tercatat paling lambat satu hari sejak koordinator

menerima relaas dari jurusita.

22.6.7.5. Majelis hakim dapat melangsungkan pemeriksaan

berdasarkan print out dokumen elektronik relaas

panggilan.

22.6.7.6. Untuk proses pemberkasan/minutasi menggunakan relaas

panggilan asli.

22.6.7.7. Setiap pengadilan harus mempublikasikan daftar radius.

23. Pasal 73 (perkara cerai gugat) :

23.1. Abstraksi hukum Putusan PK MA Nomor 28-PK/AG/1995 tanggal 16-10-

1996 atas Putusan Kasasi MA Nomor 137 K/AG/1994 tanggal 30-03-

1995 :

23.1.1. Dalam menghadapai kasus gugatan perceraian dengan alasan

telah terjadi percekcokan suami istri yang terus menerus, maka

hakim seharusnya menerapkan doktrin syiqoq atau menurut

hukum kontemporer disebut broken marriege.

23.1.2. Dalam menerapkan doktrin hukum syiqoq tersebut landasannya

bukan hanya pada pertengkaran pisik (physical cruelty) tetapi

juga kekejaman terhadap mental (mental cruelty).

23.1.3. Berpegang pada doktrin syiqoq, maka bilamana secara faktual

maupun ada dugaan kuat telah berlangsung kekejamaan mental,

hal ini seharusnya diterima oleh hakim telah terjadi syiqoq.

23.1.4. Pertimbangan yang menjadi dasar penerapan doktrin syiqoq

adalah bilamana perkawinan sudah retak dan akan terpecah dua,

maka memaksa mereka tetap bertahan dalam perkawinan yang

sudah tidak harmonis lagi adalah merupakan suatu bahaya.

23.2. Abstraksi hukum Putusan Kasasi MA Nomor 263 K/AG/1993 tanggal 16-

05-1994 :

- Seorang istri yang mengajukan gugatan perceraian terhadap suaminya

tidak beralasan menuntut nafkah iddah karena perceraian atas dasar

tuntutan istri tidak ada jalan untuk rujuk yang berakibat tidak adanya

kewajiban nafkah idah dari suami.

23.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 379 K/AG/1995 tanggal 26-03-

1997

- Kehidupan rumah tangga suami istri yang telah terbukti retak, pecah

dimana keduanya sudah tidak berdiam serumah lagi, sehingga terlihat

Page 83: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

43

tidak ada harapan untuk dapat hidup rukun kembali sebagai pasangan

suami istri yang harmonis dan bahagia, maka dengan fakta ini telah

terpenuhi ex Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun 1975.

23.4. Abstraksi hukum Putusan Kasasi MA Nomor 136 K/AG/1997 tanggal 25-

02-1998 :

23.4.1. Keterangan saksi keluarga kedua belah pihak meskipun tidak

diberikan dibawah sumpah di persidangan pengadilan dapat

diterima sebagai petunjuk bahwa suami istri telah terjadi cekcok

yang tidak dapat didamaikan.

23.4.2. Petunjuk mana diperkuat dengan pengakuan kedua belah pihak

yang bersangkutan bahwa mereka hidup berpisah selama tiga

tahun karena cekcok tersebut.

23.4.3. Fakta yang demikian ini membuktikan bahwa perkawinan

mereka telah pecah, sehingga memenuhi persyaratan Pasal 19 (f)

PP Nomor 9 Tahun 1975.

23.4.4. Pertimbangan MA : bahwa alasan keterangan saksi keluarga

tidak mempunyai kekuatan bukti bertentangan dengan maksud

Pasal 76 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989.

23.5. Abstraksi hukum Putusan Kasasi MA Nomor 237 K/AG/1998 tanggal 26-

12-1998 :

23.5.1. Sepasang suami istri telah cekcok satu sama lain, ayah istri

mengusir menantunya keluar dari rumah dimana mereka diam

bersama. Sejak saat itu suami istri tidak lagi hidup bersama

dalam satu kediaman bersama di rumah kediaman ayah istri,

melainkan mereka telah hidup berpisah di kediamannya masing-

masing. Istri tidak berniat meneruskan kehidupan berumah

tangga dengan suaminya lagi.

23.5.2. Fakta yang demikian ini telah mencukupi dan sesuai dengan

alasan perceraian yang dimaksud Pasal 19 (f) PP Nomor 9 Tahun

1975.

23.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 523 K/AG/1999 tanggal 30-02-

2001 :

23.6.1. Suatugugatan perceraian yang diajukan oleh istri di Pengadilan

Agama berupa tuntutan jatuhnya talak bain sughra kepada istri

oleh suami, disertai tuntutan pembagian harta bersama.

23.6.2. Tergugat dalamjawbannya atas gugatan istri tersebut

mengemukakan masalah hutang bersama, namun tanpa diikuti

atau ditindak lanjuti dengan cara tegas dan nyata mengajukan

gugatan rekonvensi oleh tergugat kepada penggugat, maka

masalah hutang bersama tersebut tidak perlu dipertimbangkan

dan diberi putusan oleh hakim dalam mengadili perkara gugat

cerai tersebut.

23.7. Varia Peradilan Nomor 205 Tahun 2002 :

23.7.1. Dalam suatu gugatan yang tidak mempunyai surat nikah, maka

hakim harus memerintahkan penggugat untuk membuktikan

sahnya perkawinan mereka terlebih dahulu dengan putusan sela

(Ex Pasal 7 ayaty (3) KHI) yang amarnya berbunyi :

Page 84: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

44

- Menyatakan sah perkawinan penggugat dengan tergugat

yang dilaksanakan pada tanggal ......... di ...................”

23.7.2. Itsbat nikah tersebut bukan masalah pokok, akan tetapi masalah

pembuktian.

23.8. Kuasa hukum, lihat UU Nomor 18 Tahun 20013 tentang Advokat.

23.8.1. Sema Nomor 052/KMA/V/2009 tanggal 01-05-2009 tentang

Advokat yang ditanda tangani oleh Harifin Tumpa, pada

pokoknya berisi :

23.8.2. Perselisihan advokat adalah urusan internal mereka dan

pengadilan tidak dalam posisi mengakui atau tidak mengakui

suatu organisasi.

23.8.3. Pengadilan Tinggi tidak menyumpah advokat baru sebelum

mereka bersatu dalam satu organisasi.

23.8.4. Advokat yang telah diambil sumpah oleh Pengadilan Tinggi tidak

boleh dihalangi dalam beracara.

23.8.5. Ketua pengadilan diminta untuk mendorong mereka bersatu.

23.9. Sema Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 113/KMA/IX/2009 tanggal

15 September 2009, tentang tanggapan atas surat DPP KAI Nomor

69/SK/DPP-KAI/VIII/09 tanggal 18-08 2009, yang ditanda tangani oleh

Harifin Tumpa, berisi sebagai berikut :

23.9.1. Dalam pertemuan Mahkamah Agung dengan DPP KAI tanggal

07-08-2009 tidak ada kesepakatan dalam butir 10 surat KAI.

23.9.2. Penyumpahan advokat sebagaimana ketentuan Pasal 4 UU Nomor

18 Tahun 2003 tidak dapat disimpangi.

23.9.3. Hakim tidak perlu meminta berita acara sumpah bagi setiap

advokat, kecuali apabila dipersoalkan keabsahannya sebagai

advokat, maka tentu hakim dapat meminta berita acara sumpah

tersebut.

23.10. Surat Mahkamah Agung Nomor 089/KMA/VI/2010 tanggal 25-06-2010

tentang Penyumpahan Advokat yang ditanda tangani Harifin Tumpa,

berisi :

23.10.1. Karena telah terjadi kesepakatan antara DPP Peradi (Otto

Hasibuan) dengan DPP KAI (Indra Sahnun Lubis), bahwa satu-

satunya organisasi advokat adalah Peradi, maka :

23.10.2. MA mencabut Surat Ketua MA Nomor 052/KMA/V/2009

tanggal 01-05-2009.

23.10.3. Ketua Pengadilan Tinngi dapat mengambil sumpah advokat

baru dengan catatan diusulkan oleh Peradi.

23.10.4. Surat Mahkamah Agung Nomor 099/KMA/VII/2010 tanggal

21-07-2009 tentang Wadah Organisasi Advokat yang ditanda

tangani oleh Harifin Tumpa, berisiLatar belakang terbitnya

Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 089/KMA//VI/2010

tanggal 25-06-2010 adalah sebagai berikut :

23.10.4.1. Tanggal pertengahan Juni 2009 Otto Hasibuan

(Peradi) dan Abdurrahim Hasibuan ingin bertemu

Ketua Mahkamah Agung lewat Ketua Muda TUN.

Setelah bertemu Ketua Mahkamah Agung mereka

Page 85: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

45

sepakat berdamai, Mahkamah Agung sebagai

fasilitator.

23.10.4.2. Pada tanggal 24-06-2010 Indra Sahnun Lubis

berusaha akan mengingkari kesepakatan, namun

kemudian mau tanda tangan.

23.11. Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor 052/KMA/HK.01/III/2011 tanggal

23-03-2011 tentang Penjelasan Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor

089/KMA//VI/2010 tanggal 25-06-2010, adalah sebagai berikut :

23.11.1. Surat tersebut semata menuangkan kesepakatan Peradi dengan

KAI.

23.11.2. Advokat yang boleh beracara bukan hanya anggota Peradi, akan

tetapi setiap advokat yang telah mengangkat sumpah di

hadapan Ketua Pengadilan Tinggi.

23.11.3.Advokat yang telah mengangkat sumpah di hadapan Ketua Pengadilan

Tinggi, baik sebelum atau sesudah berlakunya UU Advokat

dapat beracara di pengadilan.

23.12. Surat Panitera Mahkamah Agung (Panitera Muda Perdata Agama, Abdul

Ghoni) kepada Ketua Pengadilan Agama Ende Nomor 89/PAN.6/SPM-

AG/A-I/IX/2014 tanggal 22-09-2014 tentang Kuasa Insidentil :

23.12.1. Pengertian keluarga TNI/Polri dalam batas :

23.12.2. Suami dan istri (bukan bekas suami atau bekas isteri).

23.12.3. Anak-anak yang belum berkeluarga.

23.12.4. Orang tua dari suami atau istri tersebut (sesuai Sema Nomor

MA/Kumdil/8810/IX/1987 tanggal 21-09-1987).

23.12.5.Yang dimaksud anak, adalah anak yang dapat diwakili secara

insidentil untuk beracara, bukan anak sebagai penerima kuasa

insidentil.

23.12.6. Kuasa insidentil dengan alasan hubungan keluarga adalah

keluarga sedarah atau semenda dapat diterima sampai derajad

ketiga, yang dibuktikan dengan surat keterangan Lurah/Kepala

Desa.

23.13. Kesepakatan PTA Pontianak :

23.13.1. Harus anggota Peradi.

23.13.2. Menunjukkan Kartu Tanda Pengenal Anggota (KTPA) yang

masih berlaku.

23.13.3. Setiap advokat dari mana asal organisasinya yang telah

mengangkat sumpah dapat beracara di pengadilan.

23.13.4.Jika bukan anggota Peradi harus menunjukkan Berita Acara

Penyumpahan dari Pengadilan Tinggi.

23.14. Kuasa ikrar talak :

23.14.1. Dibuat dihadapan notaris.

23.14.2.Menyebut secara jelas dan tegas apa yang dikuasakan/ kalimat ikrar talak.

23.14.3. Kuasa hukum harus beragama Islam.

23.15. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 626 K/Pdt/2002 tanggal 29-11-2004 :

23.15.1. Surat kuasa yang dilegalisir oleh panitera selaku pejabat publik di

pengadilan, maka legalitas dari surat kuasa dapat dibenarkan dan

surat kuasa dinyatakan sah.

Page 86: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

46

23.15.2. Pertimbangan MA :

23.15.2.1. Pengadilan Tinggi salah dalam menerapkan hukum sebab :

23.15.2.2. Penggugat diwakili kuasanya dan surat kuasa

dilegalisir oleh panitera sedang panitera merupakan

pejabat publik di pengadilan, maka legalitas dari

surat kuasa yang dilakukan dapat dibenarkan

validitasnya karena itu surat kuasa dinyatakan sah

(kasus PN Jember dan PT Surabaya, Yurisprudensi

MA Tahun 2006 hal.42).

23.16. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 199 K/AG/1998 tanggal 17-03-1999

23.16.1. Di luar sidang telah terjadi kesepakatan perdamaian diatas surat pencabutan

perkara, namun dalam sidang penggugat mencabut perdamaian

karena ada paksaan.

23.16.2. Dalam persidangan penggugat tidak dapat membuktikan adanya paksaan

dalam perdamaian, oleh karena itu secara yuridis perdamaian

tersebut adalah sah.

23.16.3. Dengan berpegang pada isi perdamaian, ternyata penggugat telah rela tidak

diberi nafkah oleh tergugat, dengan demikian syarat taklik

talaktidak terpenuhi, maka harus ditolak.

23.17. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 90. K/AG/1992 tanggal 30-09-1993 :

23.17.1. Amar putusan gugatan perceraian antara pihak yang memeluk agama Islam,

maka seharusnya hakim memutuskan dengan rumusan :

“Menyatakan jatuh talak satu bain shughra dari tergugat

(.................) atas penggugat (.............);”

23.17.2. Menurut rumusan Buku II, hal. 150 berbunyi : “Menjatuhkan talak

satu bain shughra dari tergugat (.................) terhadap penggugat

(.............);”

24. Pasal 86 ( harta bersama dan hadhonah) :

24.1. Abstraksi hukum Putusan Nomor 343 K/AG/1995 tanggal 30-10-1996 :

24.1.1. Sebidang tanah beserta rumah yang berdiri diatasnya, meskipun

dibeli dalam masa perkawinan antara penggugat dan tergugat,

namun barang ini secara yuridis bukanlah merupakan harta bersama

dari suami istri tersebut.

24.1.2. Hal ini disebabkan karena uang yang dipergunakan untuk membeli

tanah beserta rumahnya tersebut adalahmilik istrinya yang diperoleh

dari pembagian harta bersama dengan bekas suaminya terdahulu

sebelum tergugat dikawin oleh penggugat.

24.1.3. Tanah dan rumah yang demikian itu menjadi hak milik tergugat.

24.2. Abstraksi hukum Putusan Nomor 38 K/AG/1998 tanggal 28-10-1998 :

24.2.1. Seorang pria yang mempunyai dua orang istri, maka harta bersama

yang terbentuk selama dalam masa perkawinan antara suami

dengan para istri tersebut harus dipisahkan satu sama lain.

24.2.2. Tatkala suami meninggal dunia, maka harta bersama yang terbentuk

dengan istri pertama dilakukan pembagian harta bersama sebagai

berikut :

24.2.2.1. Setengah hak istri pertama (sebagai harta bersama).

Page 87: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

47

24.2.2.2. Setengah hak almarhum suami (sebagai harta bersama),

yang kemudian dibagikan kepada :

24.2.2.2.1. Istri pertama 1/6 bagian.

24.2.2.2.2. Istri kedua 1/6 bagian.

24.2.2.2.3. Anak angkat suami dengan istri pertama 1/3

bagian.

24.2.2.2.4. Anak kandung dari istri kedua 13/24 bagian.

24.2.3. Pembagian dengan cara yang sama seperti tersebut diatas berlaku

pula terhadap harta bersama yang terbentuk dengan istri kedua

sebagai berikut :

24.2.3.1. Setengah adalah hak bagian istri pertama (sebagai harta

bersama).

24.2.3.2. Setengah adalah hak almarhum suami (sebagai harta

bersama), yang kemudian dibagikan kepada :

24.2.3.2.1. Istri kedua = 1/16 bagian.

24.2.3.2.2. Istri pertama = 1/16 bagian.

24.2.3.2.3. Anak kandungdari istri kedua = 7/8 bagian.

24.2.3.2.4. Anak angkat pewaris (dari anak kandung istri

pertama dengan suaminya terdahulu)

memperoleh 1/3 bagian dari ½ bagian haknya

pewaris atas harta bersama dengan istri

pertama.

24.2.4. Pertimbangan MA :

24.2.4.1. Jika sejak perkawinan suami dengan istri kedua

sampai suami meninggal, istri tidak mengajukan

pembatalan perkawinan menunjukkan istri

pertama tidak keberatan atas perkawinan suami

dengan istri kedua dan oleh karenanya istri

kedua dan anak-anaknya mendapat bagian

warisan dari suami.

24.2.4.2. Meskipun dalam perkara gugat waris a quo tidak

ada tuntutan terhadap pembagian harta bersama,

akan tetapi harta peninggalan masih bercampur

dengan harta bersama, maka secara ex officio harta

bersama tersebut harus sekaligus dibagi untuk

suami, istri yang masih hidup.

24.3. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 245 K/AG/1997 tanggal 30-12-

1998 :

24.3.1. Sesuai dengan ketentuan pasal 209 KHI bahwa seorang anak

angkat berhak 1/3 (sepertiga) bagian dari harta peninggalan

orang tua angkatnya sebagai wasiat wajibah.

24.3.2. Surat kuasa khusus yang tidak memenuhi syarat undang-

undang, karena cap jempol yang dibubuhkan pada surat

kuasa oleh pemberi kuasa yang buta uruf tidak dilakukan

dihadapan pejabat camat/notaris/hakim, maka surat kuasa

khusus yang demikian itu masih dapat di terima hakim,

Page 88: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

48

karena pemberi kuasa tersebut telah ikut hadir dalam

persidangan bersama-sama dengan penerima kuasa.

24.4. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 2690 K/AG/1985 tanggal 03-11-

1986 :

24.4.1. Setiap perbuatan hukum yang menyangkut harta bersama

harus ada persetujuan suami isteri.

24.4.2. Dengan demikian kata “dapat” dalam pasal 36 ayat (1) UU

Nomor 1 Tahun 1974 harus diartikan “harus”.

24.5. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 65 K/AG/1993 tanggal 07-12-

1993 :

- Menurut hukum Islam, dalam persengketaan antara istri dengan

saudara almarhum suami tentang siapa yang berhak merawat anak,

maka hak hadhanah harus diserahkan kepada ibu anak tersebut dan

bukan kepada saudara almarhum suami.

24.6. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 208 K/AG/1994 tanggal 03-

07-1995 :

- Putusan yudex faxi yang dibenarkan oleh MA yang menyatakan

bahwa menurut hukum, apabila terjadi perceraian, baik janda

maupun duda masing-masing mendapat separoh dari harta

bersama (KHI Pasal 97).

24.7. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 210 K/AG/1996 tanggal 26-11-

1996 :

24.7.1. Masalah agama (aqidah Islam) merupakan syarat mutlak

untuk menentukan gugur dan tidaknya hak seorang ibu atas

pemeliharaan anak dan pengasuhannya (hadhanah) terhadap

anaknya yang masih bayi.

24.7.2. Seorang istri yang memeluk kembali agamanya semula, yang

dahulu telah dilepaskannya dan pindah memeluk agama Islam

pada saat ia melangsungkan akad nikah dengan pria yang

beragama Islam, maka dengan terjadinya perceraian menjadi

gugurlah hak istri dan tidak memenuhi syarat untuk

memperoleh hak hadhanah atas anak yang masih bayi yang

telah ikut suami (ayah) yang beragama Islam.

24.7.3. Suami yang beragama Islam tersebut ditetapkan sebagai

pemegang hak hadhanah atas anaknya tersebut.

24.8. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 10 K/AG1988 tanggal 07-10-

1989 (MA menolak kasasi dan menguatkan putusan PA dan PTA) :

24.8.1. Menimbang bahwa pada pokoknya setiap anak yang lahir dari

perkawinan yang sah dan antara suami istri telah terjadi

perceraian, maka pemeliharaan anak a quo adalah hak istri

dengan syarat : berakal sehat, merdeka, beragama Islam,

sederhana, amanat, bertempat tinggal jelas dan tidak bersuami

baru.

24.8.2. Apabila salah satu diantara syarat tersebut tidak terpenuhi,

gugurlah hak hadhanah bagi seorang ibu sejalan dengan

ketentuan Kitab Kifayatul Akhyar Juz II, halaman 94.

Page 89: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

49

24.9. Abstraksi hukumPutusan MA Nomor 279 K/AG/2001 tanggal 21-08-

2003:

24.9.1. Adanya pertemuan dan melakukan hubungan suami istri tidak

dapat dijadikan indikator bahwa pemohon dan termohon pernah

hidup rukun dalam rumah tangga.

24.9.2. Bahwa mengenai tuntutan rekonvensi tergugat terhadap

kewajiban bekas suami terhadap bekas istri dalam hukum Islam

hanya terbatas pada sampai dengan berakhirnya masa idah.

24.9.3. Oleh karena itu gugatan penggugat rekonvensi tentang

pembagian 1/3 (sepertiga) gaji harus dianalogkan dengan

mut’ah, karena pada dasarnya PP Nomro 10 Tahun 1983 jo. PP

45 Tahun 1990 yang mengatur tentang pembagian gaji tersebut

adalah peraturan disiplin pegawai negeri sipil yang merupakan

kewajiban atasan yang bersangkutan untuk menerapkannya.

24.9.4. Bahwa demikian juga halnya 1/3 (sepertiga) bagian gaji untuk

anak, akan lebih adil apabila ditetapkan sesuai dengan

kebutuhan pokok minimum seorang anak dan kemampuan

terguga rekonvensi.

24.9.5. Bahwa nafkah madhiyah anak dalam hukum Islam adalah hak

untuk memanfaatkan (li al intifa’) bukan hak untuk memilik (li

al tamlik), maka apabila masanya telah lewat maka tidak dapat

dituntut lagi.

24.9.6. Perlu penambahan amar putusan untuk memenuhi Pasal 84 UU

Nomor 7 Tahun 1989 : “Memerintahkan kepada Panitera

Pengadilan Agama ....... untuk mengirim salinan penetapan

ikrar talak kepada PPN pada KUA Kec.......”

24.10. Putusan MA Nomor 440 K/Pdt/1988 tanggal 12-09-1990 :

- Dalam hal terbentuknya harta gono-gini yang terpisah dalam

perkawinan pertama dan kedua, anak-anak dari masing-masing

perkawinan berhak atas gono-gini orang tuanya masing-masing (Pasal

35, 36, 37 UU Nomor 1 Tahun 1974).

24.11. Abstraksi hukum Putusan MA Nomor 493 K/AG/1998 tanggal 17-03-

1998 :

- Dengan terjadinya perceraian suami istri, maka sesuai hukum Islam

harta bersama dibagi menjadi dua (setengah untuk duda dan setengah

untuk janda) sesuai Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal

157 KHI.

24.12. Kaidah hukum Putusan MA Nomor 2866 K/Pdt/1987 tanggal 27-04-1989

24.12.1. Tujuan pengangkatan anak bukanlah untuk menerima kembali

balas jasa dari si anak angkat kepada orang tua angkatnya, akan

tetapi justeru merupakan pelimpahan kasih sayang orang tua

kepada anak, sehingga hubungan hukum pengangkatan anak

yang telah disahkan pengadilan tidak dapat dinyatakan tidak

berkekuatan hukum hanya dengan alasan bahwa anak angkat

telah menelantarkan atau tidak merawat dengan baik orang tua

angkatnya.

Page 90: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

50

24.12.2. Demikian pula dengan harta gono gini orang tua angkat yang

sudah direlakan dengan susunan dan prosedur yang sah menurut

hukum kepada anak angkatnya tidak dapat begitu saja ditarik

kembali oleh yang merelaknnya (orang tua angkat).

25. Pasal 89 (pembebanan biaya perkara ) :

25.1. Dalam bidang perkawinan dibebankan kepada penggugat/pemohon (Pasal

89 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

25.2. Dalam bidang selain perkawinan dibebankan kepada yang dikalahkan,

Pasal 192 RBg dan Pasal 181 HIR.

25.3. Sema Nomor 3 Tahun 1967 tanggal 22-02-1967 :

25.3.1. Panjar biaya habis harus ditegor (aan maning).

25.3.2. Teguran menurut pasal 390 HIR :

25.3.2.1. Ada orangnya :

25.3.2.1.1. Langsung di tempat diam.

25.3.2.1.2. Lewat Kepala Desa/Lurah.

25.3.2.2. Meninggal dunia :

25.3.2.2.1. Ahli waris.

25.3.2.2.2. Ahli waris tidak ada/tidak jelas, kepada kepala desa.

25.3.2.3. Ghoib :

25.3.2.3.1. Lewat Bupati.

25.3.2.3.2. Dan ditempel di PA.

25.3.3. Pembatalan dengan perintah dicoret dari register perkara (lihat nomor

28.2 tentang frasa “dicoret”).

26. Pasal 90 (komponen biaya perkara) :

26.1. Biaya pendaftaran (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 dan Pasal

91A ayat (3) jo. PP Nomor 53 Tahun 2008 tentang PNBP).

26.2. Redaksi (Lampiran PP Nomor 53 Tahun 2008 tentang PNBP).

26.3. Biaya meterai (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.4. Biaya saksi dan saksi ahli (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.5. Biaya penerjemah(Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.6. Biaya sumpah (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.7. Biaya pemeriksaan setempat (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.8. Biaya pemanggilan (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.9. Biaya pemberitahuan (Pasal 90 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989).

26.10. Biaya administrasi penyelesaian perkara (Pasal 91A UU Nomor 7 Tahun

1989 jo.Perma Nomor 02 Tahun 2009 tentang Biaya Proses dan SK

Panitera MA Nomor 15.A/SK/PAN/IX/2009 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Perma Nomor 2 Tahun 2009).

27. Biaya (perkara prodeo) :

27.1. Pasal 273, 274 dan 275 RBg/Pasal 237, 238 dan 239 HIR.

27.2. Perma Nomor 1 Tahun 2014 tentang prodeo, sidang keliling dan posbakum.

27.3.SOP Prodeo.

28. Pasal 96 (Adminitrasi perkara) :

Page 91: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

51

28.1. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/001/SK/1991 tanggal 24-01-1991

tentang Pola Bindalmin.

28.2. Buku II halaman 72, Frasa “mencoret” maksudnya adalah panitera/petugas

register perkara mencatat kata “mencoret” dalam kolom keterangan register

induk perkara.

29. Pasal 99 (penerimaan perkara dan tamu) :

29.1. Keputusan Ketua MA Nomor KMA/001/SK/1991 tanggal 24-01-1991

tentang Pola Bindalmin.

29.2. Keputusan Ketua MA Nomor MA/Kumdil/012/I/K/1994 tanggal 11-01-

1994 :

29.2.1. Tugas Meja I adalah menerima perkara.

29.2.2. Verzet tidak didaftar sebagai perkara baru.

29.2.3. Derden verzet didaftar sebagai perkara baru.

29.2.4. Menaksir biaya perkara dan dituangkan dalam SKUM.

29.2.5. Panjar biaya perkara berdasar radius.

29.2.6. Dalam perkara cerai talak diperhitungkan pula biaya panggilan

ikrar talak.

29.2.7. Dalam menerima perkara dihindari dialog dan memasuki materi

perkara.

29.2.8. Surat bukti tidak diajukan pada Meja I, akan tetapi diserahkan

pada persidangan.

29.2.9. Penjelasan Meja I terbatas pada tata cara pendaftaran, biaya

perkara dan biaya eksekusi.

29.3. Nomor MA/Kumdil/P01/II/22002 tanggal 15-02-2002 :

29.3.1. Hakim dan pejabat pengadilan dilarang menerima tamu orang

yang berperkara, kecuali urusan administrasi.

29.3.2. Jika terpaksa, harus dengan permohonan bertemu dan harus

dihadiri oleh pihak lawan.

29.3.3. Pihak yang akan bertemu hakim dan pejabat harus

memberitahukan kepada pihak lawan, jika tidak demikian harus

ditolak.

30. Pasal 100 (salinan dan legalisasi) :

30.1. Nomor MA/Kumdil/225/VIII/K/1994 tanggal 15-08-1995 :

30.1.1. Bunyi kalimat legalisasi foto kopi sebagai alat bukti : “Setelah foto

kopi diperiksa dan dicocokkan dengan surat aslinya, ternyata foto

kopi tersebut cocok dan sesuai dengan aslinya”, Panitera, cap dan

tanda tangan.

30.1.2. Apabila yang dilegalisir lebih dari satu halaman, maka kalimat

legalisasi tersebut ditempatkan pada bagian bawah dari halaman

terakhir dan halaman lainnya cukup dibubuhi tanda tangan panitera

dan cap dinas.

30.1.3. Hakim masih berwenang untuk meneliti dengan aslinya meskipun

telah dilegalisir panitera.

30.1.4. Nazegelen adalah kewenangan kantor pos, maka pejabat pengadilan

tidak boleh mengambil alih.

Page 92: PERADILAN AGAMA - pta-pontianak.go.idpta-pontianak.go.id/e_dokumen/UU Peradilan Agama Dalam 1 Naskah.pdf · 4 Bagian Keempat Pembinaan Pasal 5 (1) Pembinaan teknis peradilan, organisasi,

52

30.2. Sema Nomor 2 Tahun 2004 tanggal 21-12-2004 :

- Ketua pengadilan diberi izin oleh MA untuk memberikan salinan

putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara dinas guna

penelitian yang dilakukan oleh perguruan tinggi atau perorangan.

31. Pasal 101 (pengurusan berkas perkara) :

31.1. SemaNomor UM/237/IV/A.3/P/M/1969 :

31.1.1. Surat-surat dan berkas perkara dapat dimusnahkan jika sudah berumur 30

tahun.

31.1.2. Dibuat berita acara yang tembusannya kepada MA.

31.2. RBg. Pasal 711/ 383 HIR :

- Putusan harus disimpan di arsip dan tidak boleh dibawa keluar, kecuali

dengan tata cara menurut undang-undang.

32. Pasal 103 (tugas jurusita/meterai relaas) :

32.1. Sema Nomor 01 Tahun 1952 tanggal 17-04-1952 :

- Akta yang dibuat oleh jurusita tidak perlu diatas meterai.

32.2. Sema Nomor 2 Tahun 1962 tanggal 25-04-1962 :

- Sita barang tidak bergerak harus ditempatnya dan dicocokkan dengan

keadaan sebenarnya.

Pontianak, 15 Januari 2015

Penyunting,

Ali M. Haidar