penyusunan zona selang biostratigrafi foraminifera planktonik formasi sentolo jalur pereng...

66
PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANKTONIK FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA SEMINAR Diajukan untuk memenuhi persyaratan tingkat sarjana Strata-1 pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta Oleh : Marchel Monoarfa 111101046 JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

Upload: marchel-monoarfa

Post on 10-Aug-2015

504 views

Category:

Science


27 download

TRANSCRIPT

Page 1: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANKTONIK FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR

DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SEMINAR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tingkat sarjana Strata-1 pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,

Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

Oleh :

Marchel Monoarfa111101046

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI

FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL

INSTITUT SAINS & TEKNOLOGI AKPRIND

YOGYAKARTA

2015

Page 2: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HALAMAN PENGESAHAN

PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI FORAMINIFERA PLANKTONIK FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR

DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

SEMINAR

Diajukan untuk memenuhi persyaratan tingkat sarjanan Strata-1 pada

Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,

Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta

Disahkan : Di Yogyakarta

Tanggal :19 Maret 2015

Menyetujui

Dosen Pembimbing Penyusun

Ir. Siwi Sanjoto, M.T Marchel Monoarfa NIK 86.0555.311 E NIM 111101046

MengetahuiJurusan Teknik Geologi

Dr. Sri Mulyaningsih, S.T, M.TNIK : 96.0672.516 E

ii

Page 3: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

HALAMAN PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam draft seminar ini tidak terdapat

karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu

Perguruan Tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya

atau pendapat yang pernah ditulis/ diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara

tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, Ferbuari 2015

Marchel Monoarfa

iii

Page 4: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PRAKATA

Puji syukur kepada TUHAN yang telah memberikan hikmat kepada

penulis sehingga penyusunan seminar ini dapat tersusun dengan baik.

Seminar ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum tingkat

sarjana pada Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains

& Teknologi AKPRIND Yogyakarta, dan juga sebagai implementasi dari ilmu

yang telah didapat dalam perkuliahan. Pada kesempatan ini penyusun

mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ir. Siwi Sanjoto, M.T, yang telah membimbing dalam pembuatan draft

seminar ini.

2. Ir. Miftahussalam, M.T, sebagai dosen wali yang selalu memberi nasehat

dan sangat mendukung diangkatnya topik dari judul seminar ini.

3. Dr. Sri Mulyaningsih, S.T, M.T, selaku ketua jurusan yang telah memberi

kesempatan kepada penyusun untuk melaksanakan seminar.

4. Laboratorium Mikropaleontologi IST AKPRIND, yang telah

meminjamkan peralatan lapangan dan peralatan determinasi fosil mikro.

5. Teman-teman T. Geologi 2011, Muhammad Yasin, Moses

Ferderik Tobing, Andri suryono, yang telah membantu saat pengukuran

dan pengambilan sampel di lapangan.

6. Dedek Setiawan T. Mesin 2011, yang telah membantu saat proses

pencucian dan pengayakan sampel batuan di laboratorium.

7. Juven Naibobe T. Geologi 2013, yang telah meminjamkan mikroskop

digital saat mengambil gambar observasi fosil mikro.

Yogyakarta, Ferbuari 2015

Penyusun

iv

Page 5: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL………………………………………………………. i

HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………….. ii

HALAMAN PERNYATAAN…………………………………………….. iii

PRAKATA………………………………………………………………… iv

DAFTAR ISI………………………………………………………………. v

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………… vi

DAFTAR TABEL…………………………………………………………. vii

INTISARI………………………………………………………………….. viii

BAB I. PENDAHULUAN………………………………………………… 1I.1 Latar Belakang Masalah…………………………………………. 1

I.2 Maksud dan Tujuan……………………………………………… 1

I.3 Metode dan Peralatan Penelitian………………………………… 2

I.4 Lokasi Pengambilan Sampel…………………………………… 3

1.5 Batasan Masalah………………………………………………… 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA……………………………………….. 4

II.1 Tingkat dan Jenis Satuan Zonasi Biostratigrafi………………… 4

II.2 Fosil Foraminifera Planktonik…………………………………... 6

II.3 Konsep Dasar Stratigrafi………………………………………… 9

II.4 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian………………………….. 11

BAB III. METODE PENELITIAN………………………………………. 13

III.1 Metode Penelitian Lapangan…………………………………… 13

III.2 Metode Analisis Mikrofosil……………………………………. 15

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………. 18

IV.1 Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Daerah Penelitian... 18

IV.2 Umur Daerah Penelitian………………………………………... 20

IV.3 Zona Selang Foraminifera Planktonik…………………………. 24

BAB V. KESIMPULAN…………………………………………………... 29

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

v

Page 6: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Lokasi Penelitian (Google earth, 2015)………………………….. 3

Gambar 2. Zona biostratigrafi (SSI, 1996)…………………………………. 6

Gambar 3. Susunan kamar test foraminifera palnktonik (Boudagher,2013)… 7

Gambar 4. Apertur foraminifera planktonik (Boudagher, 2013)…………….. 8

Gambar 5. Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik daerah penelitian

(Penulis, 2015)…………………………………………………...

19

Gambar 6. Keragaman spesies foraminifera planktonik (Penulis, 2015)…… 19

vi

Page 7: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DAFTAR TABEL

Tabel 1 . Umur daerah penelitian 1 bagian atas (Penulis, 2015)…………….. 21

Tabel 2. Umur daerah penelitian 1 bagian tengah (Penulis, 2015)…………... 21

Tabel 3. Umur daerah penelitian 1 bagian bawah (Penulis, 2015)………….. 21

Tabel 4. Umur daerah penelitian 2 bagian atas (Penulis, 2015)…………….. 22

Tabel 5. Umur daerah penelitian 2 bagian tengah (Penulis, 2015)………….. 23

Tabel 6. Umur daerah penelitian 2 bagian bawah (Penulis, 2015)…………... 23

Tabel 7. Zona selang Foraminifera Planktonik daerah penelitian (Penulis,

2015)………………………………………………………………… 27

vii

Page 8: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

INTISARI

Banyak kendala yang dihadapi untuk penentuan umur batuan secara teliti ataupun

saat melakukan korelasi secara detail. Untuk mengatasi permasalahaan tersebut perlu

dilakunnya penyusunan zona selang berdasarkan pemunculan awal dan akhir dari dua

takson penciri.

Metode yang digunakan untuk menyusun zona selang mencakup empat aspek

yaitu, studi pustaka, penelitian lapangan, analisis mikrofosil dan penyusunan zona selang

foraminifera planktonik di laboratorium.

Hasil Pengukuran startigrafi pada lintasan 1 di Pereng Balecatur menunjukan

tebal lapisan 12,3 meter dan pada lintasan 2 di Desa Banguncipto mempunyai tebal

lapisan 17 meter. Pada kedua lokasi dilakukan pengambilan sampel secara sistematis

mulai dari lapisan paling bawah sampai paling atas.

Hasil analisis sampel menunjukan bahwa pada lokasi 1 Pereng Balecatur

spesiesnya lebih beragam dengan populasi terbanyak yaitu Gs. ruber, Sph.subdehiscens,

O. bilobata dan O. universa dan pada lokasi 2 Desa Banguncipto, hanya ada tiga spesies

yang beragam yaitu O. bilobata, O. universa dan Gs. sacculiferus. Berdasarkan

pemunculan awal dan pemunculan akhir dari spesies penciri foraminifera planktonik,

dapat disusun 9 (sembilan) zona selang dengan umur relatif N.9 - N.19 yaitu : 1.ZS O.

suturalis – Gt. peripheroacuta, 2. ZS Gt. peripheroacuta- Gs. Immaturus, 3.ZS Gs.

Immaturus- Sphs. Subdehiscens, 4. ZS Sphs. Subdehiscens – Ga. nepents, 5. ZS Ga.

nepents – Gt. siakensis, 6. ZS Gt. siakensis - Gt .acostaensis, 7. ZS Gt-acosteansis – Gt.

plesiotumida 8. Gt.plesiotumida– Sps. dehiscens ,ke 9. ZS Sps. dehiscens – Gq. Altispira

Kata Kunci : Foraminifera Planktonik kecil, Formasi Sentolo, Zona Selang,

Kemunculan Awal (FAD) dan Akhir (LAD).

viii

Page 9: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB 1

PENDAHULUAN

Foraminifera merupakan binatang mikro yang hidup di laut dan banyak

dijumpai sebagai fosil. Jenis fosil ini dimanfaatkan untuk menentukan umur

geologi. Foraminifera besar dimanfaatkan untuk menyusun klasifikasi huruf

tersier, sedangkan foraminifera kecil khusunya planktonik dipergunakan untuk

menyusun biostratigrafi. Penyusunan biostartigrafi sangat tergantung dari jenis

fosil yang dimanfaatkan terutama untuk mengetahui biozona atau zona yang

mengandung cebakan hidrokarbon, sebagai salah satu komponen dalam

melakukan korelasi paleontologi, baik dalam satu cekungan sedimentasi ataupun

antar cekungan sedimentasi yang berdekatan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Banyak kendala atau kesukaran yang dihadapi baik dalam menentukan

umur batuan secara lebih teliti maupun untuk melakukan korelasi yang bersifat

regional ataupun inter-regional dengan menggunakan zonasi foraminifera

planktonik. Untuk mengatasi kendala tersebut, perlu dilakukannya penyusunan

zona selang.

Zona selang menurut SSI 1996 ialah selang stratigrafi antara pemunculan

awal atau akhir dari dua takson penciri. Pemunculan awal dan akhir dari takson

yaitu awal dan akhir dari munculnya takson-takson penciri pada sayatan

stratigrafi. Bidang dimana titik-titik tempat munculnya awal dan akhir tersebut

berada disebut sebagai biohorizon dan sering dikenal sebagai biodatum.

1

Page 10: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Dengan demikian penyusunan zona selang berdasarkan first appearance

datum (FAD) (Kemunculan awal) dan last appearance datum (LAD)

(Kemunculan akhir) foraminifera planktonik perlu dilakukan dalam rangka

melakukan korelasi antara satu tubuh lapisan batuan yang satu dengan yang lain.

1.2 Maksud dan Tujuan

Maksud dari penyusunan makalah seminar ini sebagai salah satu prasyarat

kelulusan untuk mencapai tingkat sarjana (S-1) pada Jurusan Teknik Geologi,

Fakultas Teknologi Mineral, Institut Sains & Teknologi AKPRIND Yogyakarta.

Tujuan dalam penyusunan seminar ini yaitu untuk menentukan dan

menyusun zona selang berdasarkan FAD dan LAD dari takson-takson penciri

foraminifera planktonik yang terdapat di daerah penelitian.

1.3 Metode dan Peralatan

Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah seminar ini, meliputi

empat aspek utama, yakni studi pustaka, penelitian lapangan, analisis mikrofosil

di laboratorium serta penyusunan zona selang foraminifera planktonik. Penelitian

lapangan, mencakup pengukuran penampang stratigrafi, pengambilan contoh

batuan secara sistematis, dan analisis mikrofosil, mencakup preparasi, dan

determinasi fosil.

Sedangkan peralatan yang digunakan mencakup peralatan lapangan dan

laboratorium. Peralatan lapangan yaitu : kompas geologi, HCL 0,1N, kantong

sampel, jacob staf, peralatan tulis, tali pengukur, dan GPS, dan peralatan

2

Page 11: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

laboratorium yaitu : mikroskop binokuler/ digital microskop , ayakan menurut

skala mesh, H2SO2 dan alat penunjang lainnya.

1.4 Lokasi dan Waktu Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dilakukan di dua tempat yang pertama berlokasi di

desa Pereng Balecatur kecamatan Sedayu kabupaten Sleman pada hari sabtu

3/01/2015 dan yang kedua di desa Banguncipto kecamatan Sentolo kabupaten

Kulonprogo pada hari selasa 6/01/2015.

Gambar 1. Lokasi Penelitian (Google earth, 2015)

1.5 Batasan Masalah

Dalam pembahasan makala seminar ini, penyusun memfokuskan pada

penyusunan zona selang berdasarkan foraminifera planktonik.

3

Page 12: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Zona merupakan satuan dasar dari biostratigrafi, dan pengertian tentang

zona ini merupakan suatu lapisan batuan yang dicirikan oleh suatu takson fosil

atau lebih. Pembuatan suatu zona dimaksudkan untuk mengelompokan strata pada

lapisan batuan sedimen kedalam suatu biostratigrafi, sehingga masing-masing

zona akan mempunyai suatu umur tertentu berdasarkan kandungan spesies

diagnosis yang terpilih.

Pada saat ini para ahli startigarfi telah banyak yang membuat zonasi

foraminifera planktonik untuk kepentingan biostratigarfi, terutama ahli-ahli yang

bekerja diperminyakan untuk pekerjaan korelasi. Pemikiran tersebut mengingat

bahwa foraminifera planktonik pertama kalinya muncul pada zaman jura yang

diawali oleh famili dari Globigerinidae, kemudian berkembang pada zaman kapur

dengan variasi bentuk dan jumlah yang meningkat terus hingga zaman kwarter

(Suhartati, 1986).

II.1 Tingkat Dan Jenis Satuan Zonasi Biostratigrafi

Berdasarkan ciri satuan paleontologi yang dijadikan sandi satuan

biostratigrafi dapat dibedakan menjadi enam zona menurut SSI 1996 yaitu :

A. Zona Kumpulan

Zona kumpulan ialah satu lapisan atau kesatuan sejumlah lapisan yang

terdiri oleh kumpulan alamiah fosil yang khas atau kumpulan sesuatu jenis

fosil.

4

Page 13: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

B. Zona Kisaran

Zona kisaran ialah tubuh lapisan batuan yang mencakup kisaran stratigrafi

unsur terpilih dari kumpulan seluruh fosil yang ada.

C. Zona Puncak

Zona puncak ialah tubuh lapisan batuan yang menunjukkan perkembangan

maksimum suatu takson tertentu.

D. Zona Selang

Zona selang ialah selang stratigrafi antara pemunculan awal atau akhir dari

dua takson penciri. Kegunaan zona selang pada umumnya untuk korelasi

tubuh-tubuh lapisan batuan. Batas atas atau bawah suatu zona selang

ditentukan oleh pemunculan awal (FAD) dan akhir (LAD) dari takson-

takson penciri tersebut. Nama zona selang diambil dari nama-nama takson

penciri yang merupakan batas atas dan bawah zona itu.

E. Zona Rombakan

Zona Rombakan adalah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh

banyaknya fosil rombakan, berbeda jauh daripada tubuh lapisan batuan di

atas dan di bawahnya.

F. Zona Padat

Zona padat ialah tubuh lapisan batuan yang ditandai oleh melimpahnya

fosil dengan kepadatan populasi jauh lebih banyak daripada tubuh batuan

di atas dan di bawahnya.

5

Page 14: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Gambar 2. Zona biostratigrafi (SSI, 1996)

II.2 Foraminifera Planktonik

Foraminifera planktonik merupakan hewan yang terdiri dari satu sel yang

sangat sederhana, sel tersebut terdiri dari protoplasma dan inti. Foraminifera

memiliki cangkang dimana cangkang tersebut dibentuk oleh protoplasma yang

diambil dari bahan-bahan disekelilingnya. Pada umumnya cangkang tersebut

terbuat dari zat organik ataupun anorganik.

Tempat hidup foraminifera planktonik dapat di laut dan di danau, yang

dipengarui oleh faktor suhu, salinitas, cahaya matahari, kekeruhan, pengaruh

gelombang dan arus.

A. Susunan Kamar Foraminifera Planktonik

Susunan kamar pada foraminifera planktonik dapat dibagi menjadi tiga

bentuk yaitu :

Planispiral, bentuk kamar ini terputar pada satu bidang dan semua

kamarnya dapat terlihat, juga jumlah kamar ventral dan dorsanya sama.

6

Page 15: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Trocospiral, terputar tidak pada satu bidang dan tidak semua kamar

terlihat serta jumlah kamar ventral dan dorsal tidak sama.

Streptospiral, bentuk kamar awalnya berbentuk trochospiral, kemudian

menjadi planispiral, sehingga menutupi sebagian atau seluruh kamar-

kamar sebelumnya.

Gambar 3. Susunan kamar test foraminifera palnktonik (a.trochospiral Contusotruncana, b dan c. Globotrucana , d. trochospiral Sphaeroidinella, e. trochospiral Cassigerina, f. streptospiral Orbulina, g. Planispiral Hesstigerina, h. trochospiral Turbeogloburotalia, i. planispiral Harthenina.) (Boudagher, 2013)

B. Apertur Foraminifera Planktonik

Apertur adalah lubang utama dari test foraminifera yang terletak pada

kamar terakhir. Khusus foraminifera planktonik bentuk apertur maupun variasinya

lebih sederhana. Apertur pada foraminifera planktonik dibagi menjadi tiga yaitu:

Primary aperture interiomarginal digolongkan kedalam tiga bagian :

7

Page 16: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

o Primary aperture interiomarginal umbilical, adalah apertur utama

interiomarginal yang terletak pada daerah umbilikus atau pusat

putaran.

o Primary aperture interiomarginal umbilical extra umbilical, adalah

apertur utama interiomarginal yang terletak pada daerah umbilikus dan

melebar sampai ke peri-peri.

o Primary aperture interimarginal equatorial, adalah apertur utama

intriomarginal yang terletak pada daerah ekuator, dengan ciri-ciri dari

samping kelihatan simetri dan hanya dijumpai pada susunan kamar

planispiral yang mana ekuator merupakan batas putaran akhir dengan

putaran sebelum peri-peri.

Secondary aperture, merupakan lubang lain dari apertur utama dan lebih

kecil atau lubang tambahan dari apertur utama.

Accessory aperture, adalah merupakan apertur sekunder yang terletak pada

struktur aksesoris atau apertur tambahan.

8

Page 17: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Gambar 4. Apertur foraminifera planktonik a. Radotruncana (Primary umbilical), b. Globotrucana (Intraumbilical), c & j. Abathomphalus ( Intra-extraumbilical), d. Dentoglobigerina (Intraumbilical), e. Turbeogloborotalia (Intra- extraumbilical), f. Guembelitrioldes (Intraumbilical), g. Globotrucana (Intraumbilical), h. Contusotrucana (Primary umbilical), k.Globorotalia (Intra-extraumbilical), i. Pseudohastigelina (Extraumbilical). (Boudagher, 2013)

C. Komposisi Test Foraminifera Planktonik

Berdasarkan komposisi test foraminifera dapat dikelompokan menjadi

empat yaitu : dinding khitin, arenaseous, siliseous dan gampingan. Dari keempat

komposisi dinding tersebut, komposisi dinding gampinganlah yang umum

dijumpai pada sebagian besar pada foraminifera planktonik, dan dinding

gampingan dapat dibagi menjadi empat bagian yaitu :

Gampingan porselen, adalah dinding gampingan yang tidak berpori,

mempunyai kenampakan seperti pada porselen, bila kena sinar langsung

berwarna putih opaque

Gamping granular, adalah dinding yang terdiri dari Kristal kalsit yang

granular.

Gamping komplek, adalah dinding dijumpai berlapis, kadang-kadang

terdiri dari satu sampai empat lapis yang homogen.

Gamping hialin, terdiri dari zat-zat gampingan yang transparan dan berpori

(kebanyakan foraminifera planktonik mempunyai dinding seperti ini)

II.3 Konsep Dasar Startigrafi

Konsep ini merupakan konsep geologi yang berlaku secara umum dan

sifatnya universal serta terjadi di semua tempat di dunia. Konsep tersebut adalah :

A. Hukum Steno

9

Page 18: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Steno seoarang geologist Italia merumuskan hukum Steno menjadi tiga

bagian yaitu :

Hukum Superposisi (Superposition Law), menyebutkan bahwa dalam

satu seri sedimentasi, dalam kondisi yang belum mengalami perubahan

atau deformasi, secara stratigrafis lapisan batuan sedimen bagian atas

mempunyai umur geologi yang relatif lebih muda dibandingkan

dengan lapisan batuan sedimen yang berada di bawahnya.

Hukum Kejadian Horizontal (Horizontality Law), menyebutkan bahwa

pada satu seri deposisi di suatu cekungan sedimentasi, perlapisan

batuan sedimen pada saat mula terbentuk mempunyai kedudukan

horizontal. Bila perlapisan batuan sedimen tersebut sudah membentuk

sudut dengan bidang horizontal atau mempunyai kedudukan perlapisan

batuan yang miring menunjukan bahwa perlapisan batuan sedimen

tersebut sudah mengalami perubahan atau deformasi.

Hukum Kejadian Menerus (Continousity Law), menyebutkan bahwa

dalam proses sedimentasi akan dihasilkan perlapisan batuan yang sama

tebal, dan apabilah perlapisannya tidak sama tebal, maka pada

cekungan sedimentasi tersebut dipastikan telah mengalami gangguan.

B. Hukum Hubungan Potong Menyilang (Cross Cuting Relationship Law)

Hukum ini diperkenalakan oleh AWR Potter dan H. Robinson, yang

menyebutkan bahwa batuan yang diintrusi (oleh batuan beku) umurnya

relatif lebih tua dibandingkan dengan batuan yang mengintrusi. Hukum ini

10

Page 19: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

dapat dikembangkan untuk kenampakan geologi yang mempunyai

kejadian sejenis.

C. Teori Uniformitas (Uniformiy Theory)

Teori ini diusulkan oleh James Hutton (1726-1779) seorang naturalis

Scotlandia yang menyebutkan bahwa proses-proses yang terjadi pada masa

lampau mengikuti hukum yang berlaku pada proses-proses yang terjadi

sekarang, atau dengan kata lain “the present is the key to the past”

D. Hukum Urutan Fauna (Law of Fauna Succession)

Hukum ini diusulkan oleh dua ilmuan yaitu :

De Soulovie (1777), meyebutkan bahwa dalam urut-urutan batuan

sedimen sekolompok lapisan dapat mengandung kumpulan fosil

tertentu dengan sekelompok lapisan di atas maupun di bawahnya.

William Smith (1816), menyebutkan bahwa urutan lapisan sedimen

dapat “dilacak” secara lateral dengan mengenali kumpulan fosilnya

yang didiagnostik jika kriteria litologinya tidak menentu.

E. Teori Kepunahan Organik (Extinction Organic Teory)

Teori ini diusulkan oleh George Cuvier (1769-1832), menyebutkan bahwa

dalam suatu urutan stratigrafi, lapisan batuan yang lebih muda akan

mengandung fosil yang mirip dengan makhluk yang hidup di zaman

sekarang dibandingkan dengan fosil yang terdapat pada lapisan batuan

yang umurnya lebih tua.

II.4 Stratigrafi Regional Daerah Penelitian

11

Page 20: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Batuan tertua yang tersingkap di Kulonprogo adalah Formasi Nanggulan.

Secara tidak selaras di atasnya terdapat batuan volkanik Formasi Andesit Tua

(FAT). Di atas FAT dijumpai dua fasies batugamping yaitu Formasi Sentolo dan

Formasi Jonggrangan, dan sebagai endapan termuda yaitu endapan alluvial.

Bagian bawah Formasi Nanggulan tersusun oleh batupasir, serpih, batulempung

dengan sisipan lignit. Pada bagian bawah formasi ini dijumpai fosil foraminifera

besar yaitu Nummulites djogjakartae. Formasi Nanggulan diendapkan pada

lingkungan paralik, tetapi pada bagian atas diendapkan pada lingkungan neritik

atau tepi benua. Batupasirnya banyak mengandung kuarsa yang menunjukkan

indikasi asal benua yang sama seperti endapan berumur Eosen di Bayat, Klaten.

FAT tersusun oleh batuan intrusi dangkal andesit dan dasit, breksi andesit,

tuf dan lava. Batuan tersebut mempunyai komposisi dari andesit basaltik sampai

andesit. Pada batuan sedimen berbutir halus dijumpai fosil foraminifera plaktonik

yang menunjukkan umur N3-N5 atau Oligosen Akhir sampai Miosen Awal.

Dua fasies batugamping berkembang di tepi batuan FAT yaitu Formasi

Sentolo dan Formasi Jonggrangan. Formasi Sentolo didominasi oleh napal dan

batugamping yang diendapkan pada lingkungan neritik sampai batial pada Kala

Miosen Awal - Pliosen. Tebal formasi sentolo lebih kurang 1200 meter. Formasi

Jonggrangan tersusun oleh batugamping terumbu dan napal, dan pada bagian atas

berkembang perselingan batulempung. Umur formasi Jonggrangan adalah Miosen

Awal - Miosen Tengah, dan tebalnya lebih kurang 400 meter. Kedua formasi

tersebut diendapkan secara transgresif di atas FAT. Dan batuan termuda yang

tersinkap adalah endapan alluvial yang berumur Holosen, terbentuk oleh endapan

12

Page 21: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

gunungapi kwarter, endapan sungai, dan endapan debris dari perbukitan dan

pegunungan.

BAB III

METODE PENELITIAN

Pengelolaan sampel untuk mendapatkan fosil merupakan tahap akhir yang

menentukan keberhasilan memisahkan fosil dari batuan. Ketelitian saat

mengambil sampel batuan di lapangan dan analisis di laboratorium sangat

menentukan dalam keberhasilan penyusunan zona selang, oleh karena itu suatu

metode penelitian sangat penting untuk dilaksanakan.

III.1 Metode Penelitian Lapangan

Pengambilan contoh batuan didasarkan pada sampel permukaan, dua

lintasan telah dipilih yaitu di daerah Pereng pada Desa Balecatur dan di Desa

Banguncipto Sentolo. Pada kedua lintasan tersebut dilakukan penampang terukur

(measuring section) relatif tegak lurus terhadap jurus perlapisan batuan.

Penampang terukur dikombinasikan dengan analisis profil untuk menunjukkan

pola penumpukan lapisan secara vertikal serta hubungan antar perlapisan batuan.

Adapun prosedur atau langka-langka yang dilaksanakan :

A. Mempersiapkan peta geologi daerah yang akan diteliti

Page 22: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

B. Menentukan Formasi batuan yang akan diteliti / disusun zonasi selangnya

dalam hal ini Formasi Sentolo yang dipilih karena berpotensial

mengandung fosil mikro foraminifera.

C. Mencari dan menentukan singkapan lithologi yang baik dengan bantuan

alat GPS, dan mencatat kedudukan astronomi.

13

Page 23: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

D. Menentukan kedudukan stratigrafi lithologi dengan berpedoman pada

strike dan dip perlapisan batuan yang dilihat dilapangan.

E. Mengukur stratigrafi daerah penelitian mengunakan metode Jacob staff,

adapun langkah-langkah pengukurannya:

Pengukuran dimulai dari bagian bawah suatu jalur, pada awal

pengukuran diletakan ujung tongkat dititik terbawah jalur.

Klinometer yang tertempel pada tongkat diarahkan sehingga sesuai

dengan arah kemiringan lapisan batuan, dengan cara

menggoyangkan tongkat sampai pada posisi yang diinginkan, yaitu

posisi tongkat tegak lurus pada bidang perlapisan.

Deskripsi kenampakan litologi yang diukur.

Demikian perlakuan yang sama untuk urutan berikutnya sampai

sasaran titik terakhir selesai.

F. Untuk mempertahankan kesinambungan kelimpahan takson, maka teknik

pengambilan contoh batuan dilakukan pada bagian atas, tengah dan bawah,

kemudian masing-masing bagian dibagi dalam tiga bagian lagi pada setiap

lapisan secara sistematis dan contoh batuan yang diambil masih insitu.

G. Pengambilan contoh batuan paling sedikit segenggam tangan (hand

specimen)

H. Sampel yang diperoleh dimasukkan dalam kantong yang sudah disediakan,

dan dituliskan keterangan lokasi (nama geografi, kedudukan lokasi,

ketinggian tempat, nama Formasi batuan) tanggal, bulan, tahun dan nomor

koleksi fosil (dengan kode dan nomor)

14

Page 24: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

III.2 Metode Analisis Mikrofosil

Analisis mikrofosil mencakup preparasi, dan determinasi fosil.

A. Preparasi bertujuan untuk mengubah sampel batuan yang telah dipilih

pada saat sampling menjadi bahan yang siap untuk dianalisis secara

mikropaleo.

Proses ini pada umumnya dilakukan untuk memisahkan mikrofosil yang

terdapat dalam batuan dari berbagai material lempung atau matriks yang

menyelimutinya. Adapun prosedur yang dilakukan dalam preparasi :

Contoh batuan diambil secukupnya

Contoh batuan diremas dengan tangan.

Sampel ditempatkan pada wadah yang bertutup dan terbuat dari

logam atau plastik.

Sampel direndam dengan air bersih selama kurang lebih 24 jam. Pada

umumnya selama waktu tersebut serpihan batuan sudah lunak.

Sampel dilumatkan tersebut dengan tangan sehingga berbentuk

lumpur.

Jika sampel masih keras atau kompak maka untuk melumatkannya

diberikan H2SO2 agar sampel mudah terurai.

Tambahkan air secukupnya, agar menjadi encer.

Siapkan satu seri sieve yang tersusun dibagian bawah dengan mesh

yang paling halus. Ukuran sieve umumnya dipakai istilah mesh. Sieve

200 mesh, 140 mesh, 100 mesh, 60 mesh, 40 mesh, 30 dan 10 mesh

15

Page 25: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Air bersih dituangkan, dan larutan batuan dibersihkan (washed residu),

dengan sentuhan lembut dengan jari-jari tangan atau diaduk-aduk

dengan kuas nomor 161.

Fosil-fosil yang tertampung pada masing-masing sieve, dikeringkan

dengan sinar matahari.

masing-masing washed residu di pindahkan ke dalam kantong/tabung

plastik, dan diberi label keterangan tentang washed residu tersebut

termasuk ukuran mesh.

Langka selanjutnya ialah determinasi.

B. Determinasi bertujuan untuk menentukan nama genus dan spesies

mikrofosil yang diamati, adapun perlengkapan yang dibutukan untuk

determinasi:

Mikroskop binokuler / digital mikroskop

Tray yang berlubang-lubang kecil dengan dasar hitam untuk tempat

menaburkan fosil.

Jarum preparat.

Kuas bulu halus .

Lem untuk merekatkan specimen fosil dalam slide.

Slide untuk tempat fosil yang akan dideskripsi (dikenal slide single

hole, slide double holes dan square slide)

ini masing-masing specimen dilekatkan pada cardboard kuat-kuat

dengan lem, agar tidak terlepas.

16

Page 26: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Setelah sampel batuan selesai dipreparasi dan perlatan observasi telah

dipersiapkan langka selanjutnya ialah mengobservasi dan mendeskripsi objek

fosil, adapun prosedur yang dilakukan :

Mendiskripsi semua fosil yang telah dipisahkan hingga tingkatan

species. Dibantu dengan figure type fosil yang ditemukan untuk

menentukan nama dalam taksonomi.

Menghitung masing-masing species yang dijumpai pada setiap sampel,

dengan besaran angka.

Menyusun tabel nama fosil dan kelimpahannya. Dalam membuat tabel

nama fosil, dipertimbangkan urutan stratigrafi contoh batuan, juga

kemunculan awal (First Appearance Datum = FAD) dan kemunculan

akhir (Last Appearance Datum = LAD) dari species yang

bersangkutan. Untuk mempermudah membaca jumlah individu fosil

yang semula ditentukan dengan jumlah nilai absolut (dengan angka),

dimodifikasi menjadi jumlah relatif. Misal: jumlah individu < dari 5,

ditulis sangat jarang (very rare = vr); jumlah 6-10, ditulis jarang (rare

= r); jumlah 11- 15, ditulis umum (common = c); jumlah 16-20, ditulis

sangat umum (very common = vc); dan jumlah > 20 ditulis melimpah

(abundance = a). (Sukandarrumidi, 2008).

Setalah tahap determinasi dan observasi selesai, kemudian dapat

disusun zona selang dan korelasi biostratigrafinya.

17

Page 27: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembagian zona biostratigrafi dimaksudkan untuk mengolongkan lapisan-

lapisan di bumi secara bersistem menjadi satuan-satuan bernama berdasarkan

kandungan dan penyebaran fosil. Satuan zona ialah tubuh lapisan batuan yang

dipersatukan berdasar kandungan fosil atau ciri-ciri paleontologi sebagai sendi

pembeda terhadap tubuh batuan sekitarnya. Kandungan fosil yang dimaksud disini

ialah fosil yang terdapat dalam batuan yang seumur (kontemporer) dengan

pengendapan batuan. Dalam bagian pembahasan ini disajikan hasil analisis

kandungan fosil foraminifera planktonik, keragaman juga populasi, umur batuan

kedua daerah dan zona selang yang berhasil disusun berdasarkan kemunculan

awal dan akhir dari spesies foraminifera planktonik kedua daerah penelitian.

IV.1. Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik Daerah Penelitian

A. Hasil Pengamatan Fosil Foraminifera Planktonik

Pengamatan fosil foraminifera planktonik pada lintasan 1 (Pereng

Balecatur) dan pada lintasan 2 (Desa Banguncipto) dilakukan pada beberapa

stasiun pengambilan contoh batuan, dimana pada lintasan itu pengamatan

kandungan fosil dilakukan pada lapisan batugamping pasiran halus dari kedua

lokasi yang terdiri dari stasiun 1, 2, 3 ,4 ,5 ,6 ,7 ,8 dan 9. Adapun hasil

pengamatan fosil foraminifera kecil planktonik yang dijumpai pada kedua lintasan

tersebut berdasarkan hasil analisis mikropaleontologi dapat dilihat pada gambar 5.

18

Page 28: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Gambar 5 . Kandungan Fosil Foraminifera Planktonik daerah penelitian (Penulis, 2015)

B. Keragaman dan Populasi Fosil Foraminifera Planktonik

Keragaman yang dimaksudkan adalah terkumpulnya beberapa jenis

fosil yang berebeda dalam suatu batuan, dan dari hasil analisis dapat ditentukan

keragaman dari kedua lintasan seperti yang tetuang dalam gambar grafik dibawah

ini.

19

Page 29: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Gambar 6 . Keragaman spesies foraminifera planktonik (Penulis, 2015)

Sedangkan populasi merupakan istilah yang dipergunakan untuk

menentukan jumlah individu yang terdapat dalam batuan sedimen. Apabila

populasi fosil dijumpai dalam banyak, diinterpretasikan bahwa lingkungan hidup

dimana fauna semula berada mempunyai lingkungan (ekologi) yang sesuai,

sehingga kehidupan fauna itu mampu berekembang dengan baik. Hasil analisis

populasi dan analisis semikumulatif dapat dilihat pada lampiran 1 dan 2.

IV.2 Umur Daerah Penelitian

A. Measuring Section 1 Pereng Balecatur

Pada lintasan pengukuran MS 1 Pereng Balecatur (Lampiran 3), sebagian

besar tersusun atas litologi batugamping pasiran halus. Dalam contoh batuan yang

diperoleh dari hasil pengukuran stratigrafi terukur (Measuring Section) pada

lintasan ini, ditemukan beberapa spesies fosil foraminifera kecil planktonik mulai

dari lapisan bagian bawah, lapisan bagian tengah dan pada lapisan bagian atas.

Hasil analisis data mikropaleontologi yang dilakukan pada setiap lapisan

menunjukkan umur dari batuan tersebut. Berdasarkan hasil analisis kandungan

fosil foraminifera planktonik dari tiap stasiun, maka umur dari lintasan 1 dimulai

pada kala Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah, dengan bagian atas berumur N

16-19, tengah N13-14 dan bagian bawah berumur N9-12

20

Page 30: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Tabel 1 . Umur daerah penelitian 1 bagian atas (Penulis, 2015)

Tabel 2. Umur daerah penelitian 1 bagian tengah (Penulis, 2015)

Tabel 3. Umur daerah penelitian 1 bagian bawah (Penulis, 2015)

21

Page 31: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

B. Measuring Section 2 Banguncipto

Pada lintasan pengukuran MS 02 Banguncipto (Lampiran 4), sebagian

besar tersusun atas litologi batugamping pasiran halus. Dalam contoh batuan

yang diperoleh dari hasil pengukuran stratigrafi terukur (Measuring Section) pada

lintasan ini, ditemukan beberapa spesies fosil foraminifera kecil planktonik mulai

dari lapisan bagian bawah, lapisan bagian tengah dan pada lapisan bagian atas.

Hasil analisis data mikropaleontologi yang dilakukan pada setiap lapisan

menunjukkan umur dari batuan tersebut, yang ditentukan berdasarkan satuan

biostratigrafi berupa zona selang. Berdasarkan hasil analisis kandungan fosil

foraminifera planktonik dari tiap stasiun, maka umur dari lintasan 2 dimulai pada

kala Miosen Tengah sampai Pliosen Bawah, dimana umur batuan bagian atas N

16-19, tengah N 13-14 dan umur bagian bawah N 9- 12

Tabel 4. Umur daerah penelitian 2 bagian atas (Penulis, 2015)

22

Page 32: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Tabel 5. Umur daerah penelitian 2 bagian tengah (Penulis, 2015)

Tabel 6. Umur daerah penelitian 2 bagian bawah (Penulis, 2015)

23

Page 33: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

IV. 3 ZONA SELANG FORAMINIFERA PLANKTONIK

Zona Selang (ZS), disusun berdasarkan pemunculan awal dan pemunculan

akhir spesies-spesies maupun subspesies penciri dari foraminifera planktonik.

Berdasarkan data penyebaran fosil dari analisis foraminifera planktonic kedua

daerah penelitian maka dapat disusun sembilan Zona Selang, berturut-turut dari

tua ke muda adalah sebagai berikut :

A. ZS O. suturalis – Gt. peripheroacuta

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal O.suturalis

Bronnimann, sedangkan batas atasnya dicirikan oleh pemunculan Gt.

Peripheroacuta Blow & Banner untuk pertama kalinya.

Korelasi zona :

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.9 dari Blow (1969) atau

Zona Gt. Peripheroronda dari Postuma (1971), juga Gt. Fohsi

barisanensis dari Bolli (1966).

B. ZS Gt. peripheroacuta- Gs. Immaturus

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal Gt.

peripheroacuta Blow & Banner, sedangkan batas atasnya ditentukan

berdasarkan pemunculan terawal dari Gs. Immaturus Leroy.

Korelasi zona :

24

Page 34: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.10-N.11 dari Blow

(1969) atau Zona Gt. Peripheroacuta dari Postuma (1973)

Juga Gt. fohsi-foshi dari Bolli (1966).

C. ZS Gs. Immaturus- Sph. Subdehiscens

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal Gs. immaturus

Leroy, sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan pemunculan

terawal dari Sph. Subdehiscens Blow.

Korelasi zona:

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.12 dari Blow (1969) atau

Zona Gt. fohsi dari Postuma (1973) dan Gt. fohsi robusta dari Bolli

(1966).

D. ZS Sph. Subdehiscens – Ga. nepents

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal Sph.

Subdehiscens Blow, sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan

pemunculan terawal dari Ga. Nepents Tood .

Korelasi zona :

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.13 dari Blow (1969) atau

Zona Gs. subquadratus dari Postuma (1973) dan Gs. ruber dari Bolli

(1966).

E. ZS Ga. nepenthes – Gt. siakensis

Ciri batas :

25

Page 35: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal, Ga. Nepents

Tood sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan

pemunculan terakhir dari Gt. siakensis Le Roy.

Korelasi zona :

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.14 dari Blow (1969) atau

Zona Gt.siakensis dari Postuma (1973) dan Gt. mayeri dari Bolli

(1966).

F. Gt. siakensis - Gt. acostaensis

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terakhir, Gt. siakensis

Leroy sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan pemunculan

pertama dari Gt. acosteansis Blow.

Korelasi zona :

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.14 dari Blow (1969) atau

Zona Gt.siakensis dari Postuma (1973) dan Gt. mayeri dari Bolli

(1966).

G. ZS Gt. acostaensis - Gt .plesiotumida

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal, Gt. acostaensis

Blow, sedangkan batas atasnya ditentukan berdasarkan pemunculan

terawal dari Gt. plesiotumida Blow and Banner.

Korelasi zona :

26

Page 36: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.16 dari Blow (1969) atau

Zona Gt.acostensis dari Postuma (1973) dan Gt. acostensis dari Bolli

(1966).

H. ZS Gt. plesiotumida – Sph. dehiscens

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal dan terakhir,

Gt.plesiotumida Blow and Banner, sedangkan batas atasnya ditentukan

berdasarkan pemunculan terawal dari Sph. dehiscens Parker and Jones.

Korelasi zona :

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.17-18 berdasarkan

kemunculan awal dan akhir dari Blow (1969) atau

Zona Gt.dutertrei dari Postuma (1973) dan Gt. dutertrei dari Bolli

(1966).

I. ZS Sph. dehiscens – Gq. Altispira

Ciri batas :

Bagian bawah zona dibatasi oleh pemunculan terawal dari Sph.

dehiscens Parker and Jones, sedangkan batas atasnya ditentukan

berdasarkan pemunculan terakhir dari Gq. altispira Cushman and

Jarvis.

Korelasi zona :

Zona ini dapat dipersamakan dengan Zona N.19 berdasarkan

kemunculan awal dari Blow (1969) atau Zona Gt. margaritae dari

Postuma (1973) dan Gt. margaritae dari Bolli (1966).

27

Page 37: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Tabel 7. Zona selang Foraminifera Planktonik daerah penelitian (Penulis, 2015)

28

Page 38: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Berdasarkan pemunculan awal dan pemunculan akhir dari spesies penciri

foraminifera planktonik, dapat disusun 9 (sembilan) zona selang dengan umur

relatif N. 9- N. 19, dan dari zona selang dapat dibuat korelasi bostratigarfi kedua

daerah penelitian (Lampiran 5).

DAFTAR PUSTAKA

Blow, W.H., 1969, Late Middle Eocene to Recent planktonic Foraminiferal

Biostratigraphy. Brill Leiden.

Jones, D. J, 1969, Introduction to Microfossils, Hafner Publishing Company, New York.

Fadel Boudagher, 2013, Biostratigraphic And Geological Significance Of Planktonic Foraminifera, Second Edition, OVPR UCL, London

Pringgoprawiro H., Rubiyanto K, 2000, Seri mikro fosil :foraminifera pengenalan mikrofosil dan aplikasi biostratigrafi, ITB, Bandung.

Postuma, J.A, 1971, Manual of Plangktonic Foraminifera, Elsevier Publishing Company, Amsterdam.

Sandi Satratigrafi Indonesia ,1996, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta.

Sanyoto S., Soeharsono, 1994, Petunjuk praktikum mikropaleontologi dasar ordo foraminifera, IST AKPRIND, Yogyakarta. ( Tidak Dipublikasikan)

Suhartati, M.N, Pemakaian mikrofosil untuk interpretasi geologi, Jurnal teknomin edisi 2 januari 1986, Pusat penelitian & pengembangan geoteknologi LIPI.

Sukandarrumidi, 2008, Paleontologi Aplikasi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Sukandarrumidi, 2012, Modul Kuliah Biostratigrafi Konsep Dasar, IST AKPRIND, Yogyakarta. (Tidak Dipublikasikan).

www.geoarc2011.blogspot.com

Page 39: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN

Page 40: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN 1 (Sumber : Penulis, 2015)

KET : 0- 3 = JARANG, 4-10 = SEDIKIT, 11- 25 = BANYAK, > 25 MELIMPAH

Glo-bigeri-noides ruber (D'OR-BIGNY)

Hestige-rina ae-quilat-eralis

(BRADY)

Glo-bigeri-noides

im-maturus LEROY

Sphaeroidinella subde-hiscens BLOW

Orbu-lina

bilobata (D'OR-BIGNY)

Glo-bigeri-noides fistolo-

sus (SCHUM

BERT)

Globorotalia

acostaensis

BLOW

Orbu-lina Uni-

versa D'OR-BIGNY

Glo-bigeri-noides

sac-culiferus (BRADY)

Globo-quad-

rina al-tispira CUSH-MAN and

JARVIS

Globorotalia

margar-itae

BOLLI and

BERMUDEZ

Glo-bigerina praebul-

loides BLOW

Glo-bigeri-noides Conglo-batus

(BRADY)

Globorotalia sc-

itula (BRADY)

Globorotalia

periph-eroa-cuta

BLOW and

BANNER

Globorotalia

lenguaensis

BLOW

Pracor-bulina glom-erosa

(BLOW)

Globorotalia

siaken-sis

(LEROY)

Sphaeroidinella dehis-cens

(PARKER and

JONES)

Globorotalia

archeomenardii BOLLI

Globorotalia

plesio-tumida BLOW and

BANNER

Globorotalia

mayeri CUSH-MAN

and EL-LISOR

Sta-siun 1

30 8 3 9 6 1 4 3 12 6 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

sta-siun 2

9 4 2 2 5 0 5 1 2 8 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0

sta-siun 3

4 4 6 2 24 0 1 5 2 5 1 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0

sta-siun 4

7 2 3 20 7 0 3 2 8 4 4 3 0 2 1 0 0 0 0 0 0 0

sta-siun 5

5 3 3 6 7 0 1 23 2 6 2 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0

sta-siun 6

3 2 5 9 3 0 4 20 3 5 0 1 1 0 0 0 1 0 0 0 0 0

sta-siun 7

6 1 1 6 3 0 1 3 4 23 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 1

sta-siun 8

2 0 1 5 4 0 4 28 5 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0

sta-siun 9

1 2 3 0 1 0 3 22 1 4 1 0 0 0 0 1 0 1 0 1 1 1

2.5

7.5

12.5

17.5

22.5

27.5

32.5

POPULASI SPESIES FORAMINIFERA PLANKTONIK DAERAH PERENG BALECATUR

POPU

LASI

Page 41: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN 2 (Sumber : Penulis, 2015)

KET : 0- 3 = JARANG, 4-10 = SEDIKIT, 11- 25 = BANYAK, > 25 MELIMPAH

Globigeri-noides ru-

ber (D'OR-BIGNY)

Hestige-rina aequi-

lateralis (BRADY)

Globigeri-noides

immaturus LEROY

Sphaeroidinella sub-dehiscens

BLOW

Orbulina bilobata (D'OR-BIGNY)

Globoro-talia

acostaen-sis BLOW

Orbulina Universa

D'OR-BIGNY

Globigeri-noides

sac-culiferus (BRADY)

Globo-quadrina altispira

Globoro-talia mar-

garitae BOLLI and BERMUDE

Z

Globigeri-noides

Congloba-tus

(BRADY)

Pracorbu-lina glom-

erosa (BLOW)

Globoro-talia siak-

ensis

Sphaeroidinella de-hiscens

(PARKER and

JONES)

Globoro-talia may-

eri CUSHMAN

and EL-LISOR

Orbulina suturalis BRONNI-MANN

Globige-rina ne-pents TODD

Sta-siun 1

12 3 8 7 21 4 3 5 5 0 1 1 0 1 1 0 0

sta-siun 2

4 0 1 5 6 0 5 2 1 0 1 2 0 1 0 1 0

sta-siun 3

0 1 0 0 2 0 3 18 0 0 0 0 0 0 1 0 0

sta-siun 4

1 2 0 3 0 3 20 4 6 1 0 0 0 0 0 0 0

sta-siun 5

1 2 0 3 0 3 29 4 5 1 0 0 0 0 0 0 0

sta-siun 6

4 2 0 5 2 1 5 8 1 0 0 0 0 0 0 0 2

sta-siun 7

3 0 0 3 4 0 8 5 1 1 5 0 1 0 0 0 0

sta-siun 8

4 1 0 0 0 0 7 8 4 2 1 1 0 0 0 0 2

sta-siun 9

1 0 0 3 0 0 3 0 3 8 2 2 0 0 0 0 0

2.5

7.5

12.5

17.5

22.5

27.5

32.5

POPULASI SPESIES FORAMINIFERA PLANKTONIK DAERAH BANGUNCIPTO

Axis Title

Populasi

Page 42: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN 3 (Sumber : Penulis, 2015)

Page 43: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN 4 (Sumber : Penulis, 2015)

Page 44: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN 5. (sumber : Penulis ,2015)

Page 45: PENYUSUNAN ZONA SELANG BIOSTRATIGRAFI  FORAMINIFERA PLANKTONIK  FORMASI SENTOLO JALUR PERENG BALECATUR DAN BANGUNCIPTO DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

LAMPIRAN 6

Interpertasi Paleogeografi (Penulis, 2015)