penyelesaian sengketa harta bersama sebagai alasan...
TRANSCRIPT
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA BERSAMA SEBAGAI
ALASAN UNTUK MEMBUKA RAHASIA BANK (ANALISIS
YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NOMOR 64/PUU-X/2012)
Oleh :
Ahmad Marzuki Nasution
NIM : 109044100027
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
i
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA BERSAMA SEBAGAI ALASAN
UNTUK MEMBUKA RAHASIA BANK
(Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
Ahmad Marzuki Nasution
NIM : 109044100027
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1437 H/2016 M
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA BERSAMA SEBAGAI ALASAN
T]NTUK MEMBUKA RAHASIA BANK
(Analisis Yuridis Putuson Mahkamah Konstitusi Nomor 64nUaJ(/2012)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
4.Fm?d lYqrzuki llasutipnNIM: 109044100027
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN IIT]KUM
UNIVERSITAS ISLAM I\"EGERI
SYARIX'HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 Ht20l6M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPil I
Skripsi yang berjudul "Penyelesaian Sengkett Harta Bersama Sebagai Alasan
Untuk Membuka Rahasia Bank (Analisis Yuridis Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 64PAA-W2012)" telah diajukan dalam sidang munaqasyah
Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Hukum Keluarga Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 23 Mei 2016. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata
Satu (S-l) pada Program Studi Hukum Keluarga.
Jakarta, 25 Mei20l6
Mengesahkan
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
l. Ketua . . . . . . . . . . . . )
NIP. 19670608 199403 I
Arip Pqrkon. MA.NIP. 19790427 2003t21 002
3. Pembimbing Dr, H. Ahmad Mukri Aji. MA.NIP. 19s703r2 198503 1 003
Fotnidah Nasution. S.Ag.. MA.NIP. 19710630 t99703 2 002
D{. Hj. Mesrqini. S.Ae.. MA.NrP. 19760213 2003122 00r
( . . : . . . . . .
4. Penguji I ( . . . . . . . . :
2. Sekretaris
lil
NIP: 196912
5. Penguji II : . . . . . . . . . . . . . )
------- ----1
LEMBAR PER}TYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S l) Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (uIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri (Lln\D Syarif Hidayatullah Jakarta
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini buky hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri (Utr{) Syarif Hidayatullah Jakafia.
Ahmad Marzuki Nasution
v
ABSTRAK
AHMAD MARZUKI NASUTION. NIM: 109044100027. Penyelesaian
Sengketa Harta Bersama Sebagai Alasan Untuk Membuka Rahasia Bank
(Analisis Yuridis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012).
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1437 H/ 2016 M. xi + 104 halaman + lampiran.
Penyelesaian sengketa harta bersama yang berbentuk simpanan di Bank
menimbulkan berbagai kendala bagi Peradilan untuk membuktikan keberadaan harta
bersama dalam perkara perceraian, hal ini disebabkan karena harta yang berbentuk
simpanan bank masih terkait dengan aturan kerahasiaan yang tidak boleh dibuka
untuk kepentingan penyelesaian harta bersama. Kendala tersebut menyebabkan salah
satu pihak tidak mendapat kepastian hukum terhadap hak-haknya atas harta bersama
yang dijamin oleh konstitusi tertinggi Negara (UUD 1945), sehingga Mahkamah
Konstusi melalui putusan nomor 64/PUU-X/2012 melakukan judicial review terhadap
aturan kerahasiaan bank yang melanggar hak-hak konstitusional atas harta bersama.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat dan menganalisa implikasi hukum
yang muncul pasca putusan Mahkamah Konstitusi terhadap kepentingan penyelesaian
harta bersama melalui litigasi di Peradilan, sehingga dapat memberikan solusi atas
kendala yang terjadi dalam proses pembuktian harta bersama yang terhalang aturan
rahasia bank. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang termasuk
jenis penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analitis. Data-data yang
digunakan meliputi data primer dan skunder, dan teknik pengumpulan data dilakukan
melalui studi kepustakaan, studi putusan dan wawancara. Data-data tersebut
diidentifikasi dan dianalisa dengan menggunakan analisa data kualitatif, kemudian
menguraikan hasil analisa dengan penyajian yang menggunakan metode deduktif.
Berdasarkan hasil penelitian, implikasi hukum yang muncul pasca putusan
Mahkamah Konstitusi nomor 64/PUU-X/2012 adalah memberikan kewenangan bagi
Hakim Peradilan Perdata (baik Peradilan Agama dan Mahkamah Syariah, maupun
Peradilan Negeri) untuk memerintahkan pihak Bank agar membuka rahasia bank
demi kepentingan penyelesaian harta bersama dalam perkara perceraian, sehingga
salah satu pihak tidak dapat mengambil alih secara sewenang-wenang hak atas harta
bersama pihak lainnya, sekalipun harta yang dimaksud masih berbentuk simpanan di
bank. Dengan demikian, kendala dan kesulitan yang terjadi dalam proses pembuktian
harta bersama akan teratasi, dan hak-hak warga Negara atas harta bersama yang
berbentuk simpanan bank akan mendapatkan jaminan kepastian hukum.
Kata Kunci : Harta Bersama, Hak Konstitusional dan Rahasia Bank.
Pembimbing : Dr. Ahmad Mukri Aji, M.A.
Daftar Pustaka : Tahun 1981 s.d Tahun 2012.
vi
KATA PENGANTAR
وعلى اله واصحابه اجمعين ء والمرسلينوالصالة والسالم على اشرف اال نبيا هلل رب العالمينالحمد
Puji syukur ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia serta kenikmatan yang sangat besar kepada semua hambaNya, khususnya
nikmat kesehatan dan kesempatan yang diberikan kepada Penulis sehingga dapat
menjalani kehidupan sebagai seorang Mahasiswa, mulai dari mengikuti aktivitas
perkuliahan dan aktivitas lainnya, sampai menyelesaikan penulisan karya ilmiah ini.
Shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Sang kekasih Allah, Baginda
Nabi Muhammad SAW, yang telah bersusah payah mereformasi kehidupan manusia
dari zaman kebodohan sampai zaman yang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti
saat sekarang ini. Allohumma shalli ‘ala sayyidina muhammad, wa’ala alihi wa
shohbihi ajma’in. Semoga kita selalu mendapatkan syafa’at Beliau, mulai sekarang
dalam kehidupan di Dunia sampai saat hari penghakiman kelak. Amiin !
Alhamdulillah, penelitian ini dapat terselesaikan dengan izin Yang Maha Esa
(YME), dan tentunya tidak terlepas dari kontribusi serta motivasi berbagai pihak,
khususnya Ibunda tercinta Rewanisah Lubis dan Ayahanda Darman Nasution, serta
saudara-saudara Penulis (Zulfikri Nst, Mhd. Ali Nst, Khuailid Nst, dan A. Hambali
Nst) yang senantiasa membantu dan mendoakan, serta memberikan nasehat-nasehat
dalam menghadapi segala kesulitan dan tantangan yang dialami, baik dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari maupun dalam menyelesaikan pendidikan
vii
jenjang Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta. Semoga Tuhan YME senantiasa memberi kenikmatan dan kebahagiaan, serta
memberi kemudahan dalam menghadapi segala urusan kita. Amiin !
Selain itu, Penulis tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada para pihak-
pihak lainnya yang juga turut membantu, memberikan motivasi dan mempengaruhi
mendewasakan pemikiran penulis semasa studi sampai menyelesaikan skripsi ini.
Oleh sebab itu, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA., Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta;
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta;
3. Dr. H. Abdul Halim, MA., dan Arip Purkon, MA., Ketua dan Sekretaris
Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang juga turut membantu memberikan pelayanan
akademik serta selalu memotivasi Penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
4. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA., Dosen Pembimbing skripsi yang telah banyak
meluangkan waktu serta memberikan masukan dan arahan kepada Penulis
dalam proses penyusunan skripsi dari awal sampai selesai;
5. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH., MH., Dosen Pembimbing Akademik
yang selalu memberikan arahan dan motivasi bagi Penulis selama masa studi;
6. Helmi Kasim, SS., SH., dan seluruh jajaran Hakim serta staf Puslitka
Mahkamah Konstitusi RI yang telah memberikan informasi dan data-data yang
Penulis butuhkan dalam penyusunan skrispsi;
viii
7. Keluarga Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta beserta segenap Dosen, Karyawan, dan seluruh staff yang
telah banyak membantu dan memberikan pencerahan serta memberikan fasilitas
bagi Penulis selama menjalani studi sampai menyelesaikan penelitian ini;
8. Para Pustakawan di Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan pelayanan dan menyediakan referensi bagi Penulis, mulai dalam
pemenuhan tugas-tugas perkuliahan sampai pada proses penulisan skripsi ini;
9. Kawan-kawan di Konsentrasi Peradilan Agama dan Administrasi Keperdataan
Islam angkatan 2009, konsentrasi Double Degree angkatan 2011, dan kawan-
kawan satu kelas di Program Studi Ilmu Hukum angkatan 2008 s.d 2010, serta
teman-teman KKN DAUN 2012, yang berjuang bersama dalam memperluas
wawasan keilmuan, berdiskusi bersama dan menambah pengalaman;
10. Keluarga Besar ForMasy Usortolang di Jakarta, yang telah banyak memberikan
motivasi dan bantuan bagi Penulis selama menjalani studi sampai penulisan
skripsi, baik bantuan berbentuk finansial maupun dalam bentuk lainnya;
11. Keluarga Besar HMI Cab. Ciputat, LKBHMI Ciputat, dan HMI Komisariat
Fakultas Syariah dan Hukum, yang telah banyak memberikan ilmu-ilmu dan
kematangan dalam berorganisasi, serta memperluas wawasan di bidang hukum
bagi Penulis, secara khusus kepada M. Fahmi Ahmadi, M.Si., beserta Keluarga,
dan Ridho Akmal Nst, S.Sy., yang selalu meluangkan waktu untuk berdiskusi
dan berbagi pengalaman, serta selalu memberikan motivasi kepada Penulis
selama menjalani studi sampai dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini;
ix
12. Keluarga Besar di kosan “White House” Zullisan, Karim, Fikri, Azhar, Syawal,
Eka, Safta, Habib, Irvan, Fahmi, Teguh, Hakim, Yuri, Cimet, dan keluarga eks
white house (Awal, Fian, Aqil, Beel, Umam, Azmi, Mizen, Idham, Taufiq,
Zaki, Mukhsin), dan spesial kepada Ibu Kosan serta Inang dan kak Ayi, yang
selalu memotivasi Penulis agar tetap semangat dalam menyelesaikan skrispi;
13. Teman-teman seperjuangan Penulis yang banyak membantu dan menyemangati
Penulis sejak pertama masuk kuliah sampai sekarang, Awal, Rudini, Karim,
Zullisan, Irpan Psrb, dll, teman-teman yang selalu setia membantu kesulitan-
kesulitan finansial Penulis, lae Azwar Anas, Juniaty, Evi, Licia, Dannisa, Hilda,
Ro’uf, Miranti, Imar, Diny, dll, serta keluarga besar Team Rock n Roll di Roxy,
Acay, Wakit, Dinary, Indra, Tita, Ilham, Andri, Susi, Rika, Meyra, Inka, Devi,
Ridwan, dll, yang juga turut memberikan bantuan, dukungan dan motivasi.
Akhirnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
serta berperan memberikan kontribusi, dukungan dan motivasi bagi Penulis dalam
menjalani masa-masa studi sampai dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang
tentunya tidak dapat Penulis tuliskan semua nama-namanya disini. Semoga Tuhan
YME membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang berlipat ganda dan senantiasa
memberikan kebahagiaan dunia dan akhirat kepada kita semua. Amiin !
Jakarta, 15 April 2016
Penulis
Ahmad Marzuki Nasution
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................. i
PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................... ii
LEMBAR PENGESAAN PENGUJI.................................................................. iii
LEMBAR PERNYATAAN................................................................................. iv
ABSTRAK............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR.......................................................................................... vi
DAFTAR ISI......................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah........................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian..................................................... 10
D. Kajian Terdahulu.......................................................................... 12
E. Metode Penelitian......................................................................... 14
F. Sistematika Penulisan................................................................... 17
BAB II HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
A. Kedudukan Harta dalam Perkawinan............................................ 19
1. Pengertian Harta dalam Perkawinan......................................... 19
2. Macam-Macam Harta dalam Perkawinan................................. 20
B. Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Harta Bersama..... 22
1. Pengertian Harta Bersama......................................................... 22
2. Dasar Hukum Harta Bersama.................................................... 25
3. Ruang Lingkup Harta Bersama................................................. 30
C. Pembagian Harta Bersama dan Penyelesaiannya Melalui
Peradilan Agama............................................................................ 34
1. Metode Pembagian Harta Bersama........................................... 34
a. Pembagian dalam Cerai Hidup............................................. 34
b. Pembagian dalam Cerai Mati................................................ 35
c. Pembagian dalam Poligami................................................... 36
2. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama melalui litigasi............. 37
BAB III KEWAJIBAN RAHASIA BANK
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Bank.............................................. 46
1. Pengertian Bank......................................................................... 46
2. Fungsi-Fungsi Bank................................................................... 48
3. Tujuan Bank............................................................................... 49
B. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah.......................... 50
1. Hubungan Kontraktual............................................................... 51
2. Hubungan Non Kontraktual....................................................... 52
xi
C. Rahasia Bank sebagai Perlindungan Hukum Terhadap
Nasabah.......................................................................................... 54
D. Hal-Hal yang Bisa Membuka Rahasia Bank.................................. 59
E. Sanksi Atas Pelanggaran Terhadap Kewajiban Rahasia Bank....... 61
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA HARTA BERSAMA SEBAGAI
ALASAN UNTUK MEMBUKA RAHASIA BANK
A. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama yang Melatarbelakangi
Uji Materiil Aturan Rahasia Bank oleh Mahkamah Konstitusi...... 65
1. Kasus di Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah..................... 65
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Melakukan Uji Materiil... 68
3. Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
64/PUU-X/2012......................................................................... 71
a. Duduk Perkara ...................................................................... 71
b. Pertimbangan Hukum............................................................ 74
c. Konklusi dan Amar Putusan.................................................. 78
B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012
Terhadap Penyelesaian Sengketa Harta Bersama........................... 79
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan..................................................................................... 95
B. Saran............................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 98
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan sunnatullah (hukum alam) yang berlaku untuk
kelangsungan hidup umat manusia, berkembang biaknya binatang dan untuk
melestarikan lingkungan alam semesta.1 Dalam kehidupan manusia, perkawinan
dianggap sebagai satu-satunya sarana yang berbudaya untuk mempertahankan
esksitensi mereka di muka Bumi. Oleh sebab itu, perkawinan dijadikan sebagai
institusi penting yang eksistensinya melegalkan atau menghalalkan kebersamaan
antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri.2
Eksistensi di atas menunjukkan bahwa keberadaan institusi perkawinan
tidak hanya mengakomodir aspek sosiologis dan aspek budaya saja, namun juga
memuat aspek ritual dan aspek hukum, serta berbagai aspek lainnya.3 Sedangkan
tujuan perkawinan berawal dari upaya untuk mempertahankan eksistensi manusia
sebagaimana telah dipaparkan. Hal yang demikian kemudian diaplikasikan pada
tujuan perkawinan yang dirumuskan untuk membentuk suatu organisasi terkecil
bernama keluarga, bahkan ditujukan juga untuk mempersatukan antara keluarga
1 Mohammad Asmawi, Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, cet.I, (Yogyakarta:
Darussalam, 2004), h.18. Lihat juga, Chuzaemah Tahido Yanggo, dan A. Hafiz Anshari AZ,
Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku.I, cet.V, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008), h.56.
2 Isis Ikhwansyah, Sonny Dewi Judiasih, dan Rani Suryani Pustika Sari, Hukum Kepailitan:
Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan, cet.I, (Bandung:
CV Keni Media, 2012), hal.2.
3 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Ed. Revisi.II, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), h.69.
2
yang satu dengan keluarga yang lainnya.4 Kumpulan keluarga inilah yang akan
menyatu menjadi masyarakat, sampai terwujud beberapa kumpulan masyarakat
sehingga kemudian kumpulan masyarakat akan menjadi semakin besar sampai
akhirnya menjadi suatu bentuk Negara.5 Tujuan yang demikian juga diakomodir
oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya
disebut UUP) melalui pernyaan Pasal 1 UUP, yaitu sebagai berikut:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”.
Redaksi di atas diakomodir juga dalam perspektif Islam melalui Pasal 3
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
(disebut KHI), namun dirumuskan dengan istilah “untuk mewujudkan rumah
tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Dalam hal ini, sakinah berarti
keluarga yang tenang atau tenteram, mawaddah bermakna keluarga yang penuh
rasa cinta (berkaitan dengan hal-hal bersifat jasmani), sedangkan rahmah berarti
dipenuhi rasa kasih sayang (berkaitan dengan hal-hal bersifat kerohanian).6
Sekalipun demikian, tujuan perkawinan yang mulia tersebut seringkali
tidak tercapai dalam suatu ikatan perkawinan, sehingga banyak diantara keluarga
4 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h.26.
5 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI, cet.III, (Jakarta: Kencana,
2006), h.57.
6 Abd Shomad, Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2010), h.276.
3
yang tidak bisa mengatasi berbagai macam problem-problem keluarga yang
muncul, bahkan tidak sedikit yang memilih untuk mengakhiri atau memutuskan
ikatan perkawinan yang telah dibentuk tersebut melalui jalan perceraian, baik
dengan cerai talak (suami yang menceraikan) maupun sebaliknya dengan gugat
cerai. Sesuai ketentuan Pasal 38 UUP dan Pasal 113 KHI, perceraian merupakan
salah satu penyebab putusnya ikatan perkawinan diantara dua sebab lainnya,
yaitu karena kematian dan atas putusan Pengadilan.
Putusnya ikatan perkawinan akan mengakibatkan terjadinya perpindahan
hak dan kewajiban di antara suami dan isteri, baik dalam bidang harta kekayaan
maupun hak dan kewajiban lainnya. Pada umumnya, hak dan kewajiban dalam
bidang harta kekayaan menjadi persoalan yang serius dan sering menimbulkan
perdebatan (sengketa) antara kedua belah pihak (suami dan isteri), khususnya
jika dihadapkan pada pembagian hak-hak atas harta kekayaan yang termasuk
sebagai harta bersama dalam perkawinan.
Ketentuan mengenai harta bersama sangat berbeda dengan kedudukan
harta bawaan yang menjadi hak penuh masing-masing pihak (suami atau isteri)
yang bersangkutan, baik dalam pengelolaan maupun pemanfaatannya.7 Dalam
harta bersama, semua harta yang diperoleh setelah atau selama dalam ikatan
perkawinan akan menjadi milik bersama dan dikategorikan sebagai harta
bersama, terlepas harta tersebut dihasilkan sendiri-sendiri oleh suami atau isteri
7 Saifuddin Arif, Notariat Syariah dalam Praktik: Jilid ke 1 Hukum Keluarga Islam, (Jakarta:
Darunnajah Publishing, 2011), h.151.
4
maupun secara bersama-sama.8 Artinya, harta bersama tidak bisa dikuasai oleh
salah satu pihak selama perkawinan berlangsung, namun masing-masing mereka
(suami dan isteri) akan mendapatkan bagian dari harta bersama apabila ikatan
perkawinan tersebut sudah bubar atau putus. Dengan demikian, masing-masing
dari mereka akan mempertahankan hak-haknya atas harta bersama sehingga harta
bersama tersebut sering menjadi persoalan yang serius dan sering memunculkan
perdebatan diantara kedua belah pihak (suami dan isteri).
Pasal 96 ayat (1) dan Pasal 97 KHI telah menyatakan tentang ketentuan
pembagian harta bersama, yaitu masing-masing pihak (suami dan isteri) akan
mendapatkan setengah (seperdua) bagian dari harta bersama apabila terjadi
perceraian, baik dalam cerai hidup (selama tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan) maupun dalam cerai mati, hanya saja dalam cerai mati setengah
bagian pihak yang meninggal akan jatuh menjadi harta warisan. Hal yang sama
juga ditegaskan dalam Pasal 128 KUH Perdata.
Paparan di atas menunjukkan bahwa ketentuan mengenai pembgian harta
bersama telah diakomodir oleh hukum melalui Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku, baik dalam pembagian maupun dalam penyelesaiannya. Sekalipun
demikian, aturan tentang harta bersama tersebut tidak menutup kemungkinan
munculnya berbagai kendala dan problem-problem baru dalam pelaksanaannya.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi kendala-kendala dan problem penegakan
hukum tentang harta bersama yang terjadi antara lain karena keluasan jangkauan
8 Sesuai ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan dan Pasal 1 huruf (f) KHI.
5
ruang lingkup harta bersama, terlebih seiring pekembangan ekonomi global
dengan berbagai macam metode penyimpanan harta yang ditawarkan. Misalnya,
harta bersama yang tersimpan di Bank dalam bentuk Tabungan dan Deposito,
serta masih dalam penguasaan salah satu pihak (baik oleh pihak suami maupun
oleh isteri). Problem dalam hal tersebut karena objek harta bersama masih terkait
dengan aturan hukum tentang rahasia bank, sehingga memunculkan kendala dan
kesulitan bagi Pengadilan untuk membuktikan objek harta bersama tersebut.9
Kasus nyata terkait paparan di atas terjadi di Mahkamah Syariah Kota
Banda Aceh, yaitu antara Ibu Magda Safira, SE., MBA., sebagai Penggugat
dengan suaminya (Tergugat), berdasarkan Gugatan Perceraian dan Pembagian
Harta Bersama yang terdaftar dengan Nomor 21/Pdt-G/2012/MS-BNA tertanggal
1 Februari 2012. Salah satu objek harta bersama dalam gugatan tersebut masih
berbentuk sejumlah Tabungan dan Deposito di beberapa cabang Bank, dan masih
terdaftar atas nama suami serta masih dalam penguasaan suaminya berdasarkan
penyangkalannya atas keberadaan harta bersama yang disebutkan.10
Mahkamah Syariah telah berupaya untuk meminta keterangan langsung
kepada pihak Bank yang bersangkutan mengenai jumlah harta bersama dalam
Tabungan dan Deposito tersebut, namun pihak Bank menolak untuk memberi
keterangan dengan alasan kerahasiaan Bank yang dijamin oleh hukum melalui
9 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku.II, Ed.Revisi,
(Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010).
10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012, h. 3-4.
6
ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut
UU Perbankan). Rahasia Bank dimaksudkan sebagai larangan bagi Perbankan
untuk memberikan keterangan atau informasi kepada siapapun mengenai
keadaan keuangan dan hal-hal yang patut dirahasiakan dari Nasabahnya, baik
untuk kepentingan Nasabah maupun untuk kepentingan Bank itu sendiri.11
Larangan tersebut bahkan ditegaskan sebagai suatu kewajiban bagi Bank,
sehingga sifatnya akan memaksa dan akan dikenakan sanksi yang tegas ketika
terjadi pelanggaran. Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menyatakan bahwa:
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.12
Redaksi UU Perbankan tidak mengakomodir kepentingan Peradilan
Agama dan/ atau Mahkamah Syariah, bahkan kepentingan penyelesaian harta
bersama sama sekali belum diakomodir dalam aturan kerahasian Bank tersebut,
sehingga pihak Bank tidak bisa memberikan keterangan mengenai harta bersama
dalam bentuk Tabungan dan Deposito sebagaimana kasus yang telah dipaparkan
sebelumnya. Problem ini semakin jelas karena ketentuan mengenai harta bersama
11 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI, (Jakarta: Kencana, 2011),
h.136.
12 Pengecualian rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan tersebut hanya pada
kepentingan-kepentingan sebagai berikut: Untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41); Untuk
penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(Pasal 41A); Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42); Dalam perkara perdata
antara Bank dengan Nasabahnya (Pasal 43); Dalam rangka tukar menukar informasi antar Bank
(Pasal 44); Atas permintaan atau persetujuan Nasabah secara tertulis (Pasal 44A); dan Atas
permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah yang meninggal dunia (Pasal 44A).
7
juga telah diakomodir oleh hukum melalui Peraturan Perundang-undangan yang
antara lain melalui UUP, KHI, KUH Perdata dan selainnya. Sementara dalam
kasus yang terjadi diatas, Mahkamah Syariah tidak bisa menentukan jumlah pasti
dari keseluruhan harta bersama dalam bentuk Tabungan dan Deposito di Bank,
sehingga tidak dapat menentukan bagian masing-masing pihak (Penggugat dan
Tergugat) terhadap harta bersama.
Kendala tersebut otomatis menyebabkan Penggugat tidak mendapatkan
kepastian hukum di Mahkamah Syariah, khususnya kepastian hukum terkait hak-
haknya terhadap harta bersama. Sedangkan hak atas harta bersama merupakan
bagian dari hak-hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan
Pasal 28H ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (disingkat UUD 1945), yaitu sebagai harta benda yang dibawah
kekuasaannya dan sebagai hak milik yang tidak boleh diambilalih secara
sewenang-wenang oleh siapapun.
Berdasarkan hak konstitusional atas harta bersama tersebut, ketentuan
rahasia bank dalam UU Perbankan dianggap bertentangan dengan UUD 1945,
sehingga kasus yang terjadi sebelumnya di Mahkamah Syariah ditindaklanjuti
melalui permohonan pengujian konstitusionalitas UU Perbankan terhadap UUD
1945. Pengujian konstitusionalitas UU tersebut dikenal juga dengan istilah uji
materiil (pengujian materi Undang-undang) atau lebih umum ddisebut dengan
8
istilah judicial review.13 dan hal tersebut merupakan kewenangan Mahkamah
Konstitusi yang diamanatkan oleh UUD 1945. Oleh sebab itu, Mahkamah
Konstitusi melakukan judicial review terhadap kasus di atas, dan hasil
pengujiannya dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-
X/2012,14 yang amar putusannya menyatakan bahwa Mahkamah “mengabulkan
permohonan untuk sebagian, dan menolak untuk selain dan selebihnya”.
Permohonan judicial review yang dikabulkan tersebut merupakan
konstitusional dan inkonstitusional bersyarat yang melahirkan penafsiran baru
terhadap ketentuan sebelumnya yang harus dipahami dalam penegakan hukum di
bidang hukum Keluarga dan juga hukum Perbankan, khususnya tentang
penyelesaian sengketa harta bersama yang objeknya masih terhalang karena
aturan kerahasiaan Bank. Berdasarkan paparan tersebut, penulis merasa penting
untuk meneliti tentang implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
penyelesaian harta bersama pasca perceraian, agar dapat memberikan solusi atas
kendala dan kesulitan yang terjadi dalam proses pembuktian harta bersama
berbentuk simpanan bank di Pengadilan, dan agar memberikan kepastian hukum
terhadap hak-hak warga Negara atas harta bersama.
13 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h.644.
14 Galeri Putusan Mahkamah Konstitusi. Download tanggal 28 Februari 2013, dari:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=1&kat=1&cari=64%2FPUU-
x%2F2012.
9
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Untuk menghindari adanya kekeliruan dalam memahami permasalahan
yang akan di teliti, maka perlu diadakan pembatasan sesuai dengan judul yang
di maksud. Penulis membatasi masalah dalam penelitian ini hanya terfokus
pada penyelesaian sengketa harta bersama dengan objek harta yang masih
dalam rahasia bank, tidak meluas pada harta benda yang sudah jelas nilainya,
dan tidak juga pada harta berbentuk immateril, atau selainnya.
2. Perumusan Masalah
Pasal 37 UUP memberikan kewenangan penyelesaian harta bersama
sesuai aturan menurut ketentuan hukum Adat, hukum Agama dan hukum
lainnya. Sedangkan Pasal 97 KHI menjelaskan bahwa, masing-masing pihak
(suami dan isteri) akan mendapat separoh bagian dari harta bersama apabila
terjadi perceraian. Bahkan hak atas harta bersama juga termasuk sebagai hak
konstitusional yang dijamin oleh hukum melalui Pasal 28G ayat (1) dan Pasal
28H ayat (4) UUD 1945.
Namun objek harta yang berbentuk Tabungan dan Deposito di Bank
masih menimbulkan ketidakpastian hukum disebabkan karena pembuktiannya
masih terhalang oleh aturan kerahasiaan Bank dalam Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan. Dalam menanggapi ketidakpastian hukum tersebut, Mahkamah
Konstitusi melakukan konstitusional dan inkonstitusional bersyarat terhadap
UU Perbankan melalui Putusan Nomor 64/PUU-X/2012, sehingga aturan
10
kerahasiaan bank menjadi bisa diterobos untuk kepentingan Peradilan
mengenai penyelesaian harta bersama dalam perkara perceraian.
Agar lebih terarah dan terfokus pada tema permasalahan, maka penulis
merumuskan permasalahan dalam pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-
X/2012 terhadap penyelesaian sengketa harta bersama yang terhalang oleh
aturan kerahasiaan Bank?
b. Apakah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 sudah
memberikan kepastian hukum terhadap hak-hak atas harta bersama yang
berbentuk simpanan di Bank?
C. Tujuan Dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini antara lain:
a. Untuk mengetahui implikasi putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
64/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian harta bersama yang terhalang oleh
aturan kerahasiaan bank; dan
b. Agar mengetahui jaminan kepastian hukum yang muncul dari putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 terhadap hak-hak atas
harta bersama berbentuk simpanan bank.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
11
a. Bagi Penulis
Bagi penulis bermanfaat untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar kesarjanaan dalam bidang Hukum Keluarga, juga
menambah khazanah pengetahuan di bidang hukum keluarga dan hukum
perbankan, khususnya dalam penyelesaian harta bersama yang terkendala
karena adanya aturan kewajiban rahasia Bank.
b. Bagi Akademisi
Sebagai aset pustaka serta memperkaya khazanah keilmuan yang
diharapkan dapat dimanfaatkan oleh seluruh kalangan akademisi, baik
dosen maupun mahasiswa, dan akademisi lainnya khususnya di
lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
c. Bagi Praktisi
Bagi Hakim, Advokat dan Penegak Hukum lainnya di lingkungan
Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah, serta bagi Praktisi Perbankan,
untuk memberikan informasi demi perbaikan penegakan atau pelaksanaan
hukum di Indonesia dalam menghadapi permasalahan baru yang muncul
di bidang hukum keluarga, khususnya dalam penyelesaian harta bersama
yang terkendala karena adanya perlindungan rahasia Bank.
d. Bagi masyarakat umum
Bagi masyarakat secara umum, penelitian ini diharapkan dapat
memberi manfaat serta sumbangsih pemikiran terkait dengan kewenangan
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah dalam menyelesaikan sengketa-
12
sengketa yang terjadi dalam bidang hukum keluarga, khususnya terkait
harta bersama yang relatif baru, serta objek harta bersama berbentuk
simpanan yang masih dalam perlindungan rahasia Bank, sehingga
masyarakat lebih faham terhadap hak-hak mereka atas harta bersama.
D. Kajian Terdahulu
Untuk memperjelas permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini,
maka perlu ada tinjauan terhadap penelitian-penelitian yang sudah ada agar tidak
mengulang penelitian sebelumnya. Tema mengenai penyelesaian harta bersama
telah banyak dibahas dan diteliti, namun setelah menelusuri terkait penyelesaian
sengketa harta bersama yang objeknya masih terhalang oleh rahasia Bank nyaris
belum ada. Adapun penelitian-penelitian yang hampir mendekati antara lain:
1. Skripsi dari Marlianita, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun 2014 tentang Penyelesaian Gugatan Harta Bersama Pasca Perceraian
di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Skripsi ini hanya membahas tentang
penyelesaian harta bersama menurut putusan Pengadilan Agama yang melihat
pada kontribusi para pihak dalam pekerjaan, baik hanya salah satu pihak yang
bekerja, maupun kedua-duanya. Skripsi penulis berbeda, karena tidak melihat
pada kontribusi para pihak, namun pada objek harta bersama yang masih
terkendala penyelesaiannya disebabkan adanya kewajiban rahasia Bank.
2. Skripsi dari Rhezza Pahlawi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2013 tentang Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Melalui
13
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Skripsi ini
merupakan studi komparatif antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri
dalam penyelesaian harta bersama, dimana PA sudah memiliki dasar (yaitu
KHI) sebagai rujukan sementara PN masih bersifat pluralisme dengan adanya
kemungkinan untuk diselesaikan sesuai aturan Agama masing-masing pihak.
Skripsi penulis tentu berbeda karena objek penelitian sudah jelas terkait harta
bersama berbentuk simpanan Bank dan masih terhalang oleh rahasia Bank.
3. Skripsi dari M. Beni Kurniawan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2014 tentang Pembagian Harta Bersama Berdasarkan
Kontribusi Dalam Perkawinan. Skripsi ini membahas tentang kontribusi istri
yang lebih banyak dalam perkawinan, sehingga menjadi alasan bagi Hakim
Pengadilan Agama Bukit Tinggi untuk menetapkan bagian yang tidak sesuai
dengan aturan KHI, yaitu menetapkan bagian istri 2/3 (dua pertiga) dan bagian
suami 1/3 (satu pertiga). Penelitian penulis berbeda karena tidak melihat pada
kontribusi pihak, namun hanya terbatas pada harta bersama yang berbentuk
Simpanan yang masih dalam perlindungan aturan kerahasiaan Bank.
Meskipun telah banyak penelitian yang membahas terkait harta bersama
dengan berbagai macam objek dan berbagai metode, namun sesuai penelusuran
penulis hingga saat ini belum ada yang meneliti tentang penyelesaian sengketa
harta bersama yang menjadi alasan membuka rahasia bank secara khusus. Oleh
sebab itu, penulis sangat yakin bahwa tema yang dimaksud dalam skripsi ini
sangat penting untuk menjawab keterbatasan penelitian-penelitian sebelumnya.
14
E. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi objek kajian adalah penyelesaian harta
bersama terhadap harta simpanan di Bank yang masih dalam perlindungan rahasia
Bank. Beranjak dari objek kajian Penelitian tersebut, maka penulis menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu jenis
data dan analisa data yang digunakan bersifat naratif dalam bentuk pernyataan
yang menggunakan penalaran.15 Sedangkan metode pendekatan masalah yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang pada
umumnya menganalisis fakta-fakta yang relevan dengan norma-norma
hukum,16 dan juga mendasarkan pada peraturan perundang-undangan tertulis
(law in books) serta pada hukum yang dikonsepkan sebagai kaidah atau norma
yang dianggap pantas sebagai patokan berprilaku manusia.17
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu penelitian yang
menggambarkan dan memberikan analisa terhadap Peraturan Perundang-
undangan yang berkaitan dengan harta bersama dan juga rahasia bank,
15 Yayan Sopyan, Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat: Buku Ajar Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), h.26.
16 Bambang Sunggono, Metodologi Peneltian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003), h.114.
17 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.III, (Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada, 2006), h.118.
15
kemudian menganalisa putusan Mahkamah Konstitusi yang melakukan uji
materiil terhadap aturan rahasia Bank yang berkaitan dengan harta bersama,
serta mendiskripsikan implikasi hukum yang muncul pasca Putusan tersebut.
3. Sumber Data Penelitian
Sumber data dalam penelitian adalah subjek darimana data dapat
diperoleh.18 Oleh sebab itu, sumber-sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari:
a. Sumber Primer, yaitu Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-
X/2012;
b. Sumber Skunder, mencakup hasil penelitian yang dapat menguatkan dan
memberikan penjelasan terhadap data primer, baik berupa skripsi, tesis,
dan desertasi, maupun pendapat para pakar hukum, serta semua karya tulis
seperti buku, jurnal, buletin, majalah, serta dokumen-dokumen lainnya.
c. Sumber Tersier, mencakup data-data yang memberikan petunjuk serta
penjelasan terhadap sumber primer dan sumber skunder, antara lain
mencakup kamus hukum, ensiklopedi, dan selainnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan jenis penelitian di atas, maka pengumpulan data dalam
skripsi ini menggunakan studi kepustakaan (Library Research) dan studi
Putusan, yang dilakukan dengan metode studi dokumentasi. Metode
18 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, cet.XII, (Jakarta: PT
Asdi Mahasatya, 2002), h.107.
16
dokumentasi akan dilakukan dengan mengumpulkan data-data dalam sumber
primer, skunder dan tersier, yaitu mencakup Putusan Mahkamah Konstitusi,
Peraturan Perundang-undangan, Pendapat Pakar hukum, literatur-literatur
berbentuk hasil penelitian, dan media-media lainnya yang berhubungan
dengan tema penelitian. Kemudian melakukan wawancara ke Mahkamah
Konstitusi jika hal yang demikian diperlukan untuk menguatkan alasan-alasan
serta dasar hukum terkait dengan permasalahan yang diteliti.
5. Metode Pengolahan dan Analisis Data
Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, maka
pengolahan dan analisis data dilakukan dengan menelusuri seluruh data yang
sudah tersedia dari sumber primer, skunder dan tersier, kemudian melakukan
identifikasi dan analisis menggunakan analisa data kualitatif dengan metode
deskriptif-normatif, kemudian menguraikan dan menjabarkan hasil analisa
secara logis dan sistematis melalui metode deduktif.
6. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini berpedoman pada Buku Pedoman Penulisan
Skripsi Tahun 2012 yang diterbitkan oleh Pusat Peningkatan dan Jaminan
Mutu (PPJM) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.19
19 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta,
Pedoman Penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM) Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).
17
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan dalam penelitian ini, maka penulis
menguraikannya dengan sistematika penulisan yang terdiri dari 5 (lima) bab, dan
masing-masing bab berisikan sub-sub bab dengan rincian sebagai berikut:
Bab I tentang Pendahuluan. Dalam bab ini dibahas Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,
Kajian Terdahulu, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
Bab II tentang Harta Bersama Dalam Perkawinan. Bab ini akan
menguraikan tentang Kedudukan Harta dalam Perkawinan mencakup Pengertian
dan Macam-Macam Harta dalam Perkawinan, kemudian Konsep Umum tentang
Harta Bersama yang mencakup Pengertian, Dasar Hukum, dan Ruang Lingkup
Harta bersama, serta Metode Pembagian Harta Bersama dan Penyelesaian
Sengketa Harta Bersama melalui Litigasi.
Bab III tentang Kewajiban Rahasia Bank. Bab ini menjelaskan tentang
Pengertian, Fungsi dan Tujuan Bank, Hubungan Hukum Antara Bank dengan
Nasabah, Rahasia Bank sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah,
dan Hal-Hal yang Bisa Membuka Kewajiban Rahasia Bank, serta Sanksi atas
Pelanggaran Terhadap Kewajiban Rahasia Bank.
Bab IV tentang Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Sebagai Alasan
untuk Membuka Rahasia Bank. Bab ini akan menjelaskan tentang Penyelesaian
Sengketa Harta Bersama yang Melatarbelakangi Uji Materiil Aturan Rahasia
Bank oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu mulai dari Paparan Kasus di Pengadilan
18
Agama/ Mahkamah Syariah, Kewenangan Mahkamah Konstitusi Melakukan Uji
Materiil, dan Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012,
serta Analisis Penulis tentang Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Sebagai
Alasan Untuk Membuka Rahasia Bank Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 64/PUU-X/2012.
Bab V Penutup. Bab ini memuat tentang kesimpulan penulis dan kritik
dan saran yang terkait dengan analisa penelitian.
19
BAB II
HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN
A. Kedudukan Harta dalam Perkawinan
1. Pengertian Harta dalam Perkawinan
Harta dalam perkawinan merupakan suatu istilah untuk menyebutkan
kesatuan harta yang dikuasai dan dimiliki oleh suatu keluarga selama
perkawinan.1 Berbagai istilah yang lain juga digunakan untuk maksud yang
sama, diantaranya adalah istilah harta perkawinan, benda perkawinan, harta
keluarga atau harta benda keluarga,2 bahkan harta suami isteri.3 Intinya
semua istilah yang digunakan tidak lepas dari pemahaman terhadap 2 (dua)
suku kata, yaitu kata “harta” dan kata “perkawinan”.
Harta berarti barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi
kekayaan, baik berwujud maupun tidak berwujud yang bernilai dan dimiliki
menurut hukum.4 Sedangkan perkawinan sesuai yang dinyatakan dalam Pasal
1 UUP diartikan sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
1 Sudarsono, Kamus Hukum, cet.V, (Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2007), h.161.
2 Isis Ikhwansyah, dkk, Hukum Kepailitan: Analisis Hukum Perselisihan dan Hukum
Keluarga serta Harta Benda Perkawinan, h.9.
3 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan menurut Islam, Undang-
Undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW, (Jakarta: PT Hidakarya Agung, 1981), h.15.
4 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), h.327.
20
Dari kedua pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa harta dalam
perkawinan adalah segala benda yang dianggap berharga dan memiliki nilai,
baik berwujud maupun tidak berwujud yang menjadi kekayaan yang dimiliki
dan dikuasai menurut hukum oleh suami isteri dalam ikatan keluarga, baik
dihasilkan oleh salah satu pihak, maupun dihasilkan secara bersama-sama.
2. Macam-Macam Harta dalam Perkawinan
Pada umumnya dalam perkawinan dikenal adanya 2 (dua) macam
harta kekayaan. Pertama harta bawaan, yaitu harta yang biasanya telah
dimiliki oleh salah satu pihak sebelum perkawinan berlangsung, bisa melalui
hibah, warisan, hadiah, shadaqah atau usaha-usaha produktif yang dilakukan.
Harta dalam kategori pertama ini menjadi hak penuh pihak yang
bersangkutan, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan.5 Hal ini diatur
dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (selanjutnya disebut UUP).
Dan Kedua harta bersama, yaitu merupakan harta yang diperoleh
setelah atau selama berada dalam ikatan perkawinan, baik secara sendiri-
sendiri oleh suami atau isteri maupun secara bersama-sama. Harta bersama
diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UUP, dan pembahasan mengenai harta bersama
secara khusus akan dipaparkan dalam pembahasan selanjutnya sebagai fokus
utama dalam penelitian penulis ini.
5 Saifuddin Arif, Notariat Syariah dalam Praktik: Jilid ke 1 Hukum Keluarga Islam, h.151.
21
Kemudian ada juga pendapat yang membagi harta perkawinan dengan
melihat pada asal-usul hartanya, yaitu: 1) Harta bawaan yang dimiliki oleh
masing-masing sebelum perkawinan; 2) Harta masing-masing yang dimiliki
sesudah/ selama berada dalam ikatan perkawinan, tapi bukan di peroleh dari
usaha mereka, baik seorang-seorang atau masing-masing (harta pribadi) ; dan
3) Harta yang di peroleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan
atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.6
Pendapat yang membagi menjadi 3 (tiga) macam ini juga tidak meluas
dari kategori harta bawaan dan harta bersama. Pendapat ini seolah
menyatakan bahwa harta bawaan tidak saja yang dibawa oleh salah satu pihak
ke dalam perkawinan, namun bisa juga harta pribadi yang didapatkan sesudah/
selama dalam perkawinan. Pasal 35 ayat (2) UUP menyebutkan bahwa:
“Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda
yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah
dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain”.
Kandungan Pasal 35 ayat (2) UUP juga terlihat seperti membedakan
harta bawaan dengan harta perolehan. Biasanya harta yang diperoleh masing-
masing sebagai hadiah atau warisan ini munculnya setelah terjadi ikatan
perkawinan, sehingga biasa disebut juga dengan harta pribadi. Terlepas dari
perbedaan tersebut, ketentuan mengenai penguasaan terhadap harta pribadi
tidak terlalu jauh berbeda dengan aturan terhadap harta bawaan.
6 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, cet.V, (Jakarta:
UI Press, 1986), h.83.
22
B. Pengertian, Dasar Hukum dan Ruang Lingkup Harta Bersama
1. Pengertian Harta Bersama
Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam ketentuan Pasal 35 ayat
(1) UUP, harta bersama merupakan harta yang diperoleh selama dalam
perkawinan. Pengertian dengan makna yang sama juga disebutkan dalam
literatur-literatur lainnya, misalnya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan bahwa harta bersama adalah harta yang diperoleh secara
bersamaan ketika menikah.7 Dalam Kamus Hukum diartikan dengan harta
yang diperoleh suami isteri secara bersama di dalam perkawinan.8
Harta bersama merupakan konsep yang berkembang dalam tradisi
hukum adat sebagai turunan dari nilai-nilai filosofis lokal yang mengajarkan
kesetaraan berdasarkan hak yang sama di depan hukum antara suami dan isteri
dalam perkawinan.9 Istilah harta bersama juga merupakan penyeragaman
bahasa atas sebutan harta bersama yang berbeda-beda dalam tradisi hukum
adat yang berlaku sesuai lingkungan daerahnya masing-masing.
Daerah Aceh misalnya, mereka menyebut harta bersama dengan istilah
heureuta sihaurekat/ harta seharkat, sebutan harta suorang/ saurang di
daerah Minangkabau, guna kaya atau tumpang kaya di Sunda, atau raja kaya
(Kabupaten Sumedang), barang gana atau gono gini di daerah Jawa,
7 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h.299.
8 Sudarsono, Kamus Hukum, h.160.
9 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi dalam
Sistem Hukum Indonesia, cet.I, (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2008), h.410.
23
drube/druwe gabro di Bali, barang berpantangan di Kalimantan, barang
cakkar di Bugis dan Makassar, dan ghuna-ghana di daerah Madura.10
Sementara dalam Islam, harta bersama pada dasarnya tidak
dibicarakan secara spesifik oleh para Fuqaha’, karena susunan masyarakat
pada saat penulisan kitab-kitab fiqih belum mengenal tentang konsep harta
bersama.11 Namun selanjutnya, harta bersama dalam Islam lebih identik
diqiyaskan dengan konsep syirkah/ syarikat dalam pembahasan fiqh
mu’amalah, yaitu syirkah abdan, atau syirkah abdan mufawwadhah yang
berarti perkongsian tenaga dan perkongsian tak terbatas.12
Konsep syirkah dalam fiqh mu’amalah pada umumnya disamakan juga
dengan ikhtilath yang berarti percampuran. Dan secara bahasa, syirkah berarti
bercampur, yaitu bercampurnya salah satu dari dua harta dengan yang lainnya
sehingga tidak dapat dibedakan antara keduanya.13 Sementara konsep syirkah
abdan dan syirkah mufawwadhah pada umumnya dibedakan. Syirkah abdan
diartikan dengan kontrak kerja sama antara dua orang seprofesi untuk
menerima pekerjaan secara bersama, dan berbagi keuntungan dari pekerjaan
10 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2004), h.71. Lihat juga, Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri, (Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1986), h.153.
11 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah, Hambatan dan
Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h.122.
12 Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, ed.1, cet.1,
(Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h.180.
13 Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islaamiy wa Adillatuh, Juz.IV, cet.III, (Damaskus: Dar Al-Fikr,
1989), h.792.
24
itu. Sedangkan syirkah mufawwadhah menunjukkan terdapatnya unsur
persamaan dalam modal, dan berpartisipasi bersama dalam kerja.14
Terlepas dari klasifikasi tersebut, umumnya syirkah dipahami dengan
makna yang tidak hanya perserikatan pada modal saja, namun juga berserikat
dalam hal keuntungan.15 Inilah konsep yang kemudian dihubungkan dengan
harta bersama, alasannya antara lain karena urusan rumah tangga akan mulai
dipikul bersama saat setelah selesai akad nikah, yang dilakukan dengan
pembagian tugas sesuai hak dan kewajiban masing-masing, sehingga harta
yang diperoleh juga dapat dikatakan sebagai harta bersama.16
Terlepas dari alasan tersebut, tradisi hukum adat tentang harta bersama
dianggap tidak bertentangan dengan hukum Islam dan hukum Nasional,
sehingga kemudian tradisi ini diformalisasi menjadi hukum Nasional dengan
metode pencangkokan hukum (legal transplant).17 Sebagian pendapat
menyatakan bahwa formalisasi tersebut dilakukan dengan metode pendekatan
kompromistis terhadap hukum adat dan yurisprudensi yang dianggap tidak
bertentangan, dengan dasar kebolehan menjadikan urf (adat kebiasaan)
14 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, jilid.II, terjemahan oleh Abu Usamah Fakhtur, (Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007), h.496.
15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h.176. Lihat juga, Gemala Dewi, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma
Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Kencana, 2007), h.115.
16 Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional: Studi
tentang UU. No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan,
(Jakarta: Gaung Persada Press, 2010), h.105.
17 Ratno Lukito, Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan Resolusi
dalam Sistem Hukum Indonesia, h.415.
25
sebagai sumber hukum yang sejiwa dengan kaidah al ‘adatu muhakkamah
(adat kebiasaan dijadikan sebagai hukum).18 Pendekatan kompromistis
terhadap hukum adat dan yurisprudensi di atas dijadikan sebagai landasan
perumusan ketentuan harta bersama bagi orang-orang beragama Islam di
Indonesia, yang kemudian dikodifikasi dalam KHI. Pasal 1 huruf (f) KHI
merumuskan harta bersama sebagai berikut:
“Harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang
diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung dan selanjutnya disebut harta
bersama tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”.
Berdasarkan paparan di atas, jelas dipahami bahwa harta bersama
merupakan harta yang didapatkan selama dalam ikatan perkawinan (yaitu
sejak perkawinan dimulai sampai perkawinan tersebut berakhir), tanpa
mempersoalkan harta tersebut didapatkan oleh salah satu pihak dari suami
atau isteri maupun secara bersama-sama, dan bahkan tidak mempersoalkan
harta tersebut didaftarkan.
2. Dasar Hukum Harta Bersama
Ketentuan mengenai harta bersama di dasarkan pada perundang-
undangan di Indonesia, diantaranya UUP dan KUH Perdata. Selain itu,
diqiyaskan juga pada konsep syirkah dalam hukum Islam dengan pendekatan
kompromistis terhadap hukum adat dan yurisprudensi berdasarkan metodologi
yang dibenarkan oleh urf dan kaidah al ‘adatu muhakkamah, sesuai yang
18 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU No. 7
Tahun 1989, ed.II, cet.V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h.271.
26
dituangkan dalam KHI. Secara umum, dasar-dasar hukum tentang harta
bersama tersebut adalah sebagai berikut:
a. Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Burgerlijk
Wetboek (BW), yaitu:
“Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum terjadi harta
bersama antara suami dan istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan
ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta
bersama itu selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau
diubah dengan suatu persetujuan antara suami istri”.
b. Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan (UUP), yaitu:
“Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama”.
Dalam hal ini, redaksi UUP menyatakan bahwa harta yang
diperoleh suami dan isteri selama atau sesudah dalam perkawinan akan
otomatis menjadi harta bersama, selama tidak ditentukan lain oleh para
pihak sebelum atau ketika akad nikah dilangsungkan.
c. Pasal 85 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI), yaitu:
“Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup
kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri”.
Dalam aturan KHI, terbentuknya harta bersama tidak secara otomatis
sebagaimana diatur sebelumnya oleh UUP. Artinya, harta yang diperoleh
selama dalam perkawinan akan menjadi harta bersama jika telah ditentukan
oleh para pihak dalam perjanjian perkawinan, sementara jika tidak ditentukan
27
oleh para pihak, maka harta tersebut akan tetap menjadi harta masing-masing
suami isteri. Ketentuan ini diperjelas oleh redaksi Pasal 86 ayat (1) dan ayat
(2) KHI, yaitu sebagai berikut:
(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan
harta isteri karena perkawinan;
(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya,
demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai
penuh olehnya.
Selain landasan-landasan di atas, hal-hal yang berkaitan dengan harta
bersama secara terperinci juga diatur dalam Bab VII UUP, yang memuat Pasal
35 sampai dengan Pasal 37, dan di dalam Bab XIII KHI, yang terdiri dari
Pasal 85 sampai Pasal 97. Sementara landasan yang sering digunakan sebagai
dasar kebolehan syirkah adalah Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an,
diantaranya disebutkan dalam Surah Shaad [38] ayat 24 dan Surah An-Nisaa’
[4] ayat 12, yaitu sebagai berikut:
- Surah Shaad [38] ayat 24:
ن ... وإن كثير ت لح لص ٱلذين ءامنوا وعملوا ٱ ض إل بع على ضهم غي بع ء ليب خلطا ل ٱا م
ا هم وقليل (۲٤: [٨٣] سورة ص) ... م
Artinya, “. . . Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang
berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada sebagian yang
lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
shaleh; dan amat sedikitlah mereka ini . . .”. (QS. Shaad [38] : 24)
- Surah An-Nisaa’ [4] ayat 12:
(١۲: [٤])سورة النساء ... لثلث ٱء في شركا لك فهم ثر من ذ ا أك ... فإن كانو
Artinya, “...jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...” (QS. An-Nisaa’[4] : 12)
28
Lafal al-khulathaa’ dalam redaksi Surah Shaad [38]: 24 di atas, berasal
dari asal kata ikhtilath (percampuran) yang pada umumnya disamakan juga
dengan syirkah oleh para ‘Ulama sebagaimana dipaparkan sebelumnya.
Dengan demikian, al-khulathaa’ dalam ayat tersebut dimaknai sebagai orang-
orang yang mencampurkan harta mereka untuk dikelola bersama. Sedangkan
lafal syuraka’ dalam redaksi Surah An-Nisaa’ [4]: 12, diartikan sebagai kerja
sama (bersekutu) dalam memiliki harta yang diperoleh dari warisan.19
Redaksi kedua ayat yang dipaparkan tidak melarang adanya kerja sama
(Syirkah), sehingga ketiadaan larangan tersebut secara tidak langsung
menyatakan kebolehannya. Selain itu, landasan tentang syirkah juga disebut
dalam beberapa Sunnah Nabi Muhammad SAW, diantaranya Hadits dari Abu
Hurairah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud berikut:
اذا خانه ، فين ، مالم يخن احدهما صاحبهعن ابي هريرة ، رفعه قال : ان اهلل يقول : انا ثالث الشريك 20خرجت من بينهما )رواه ابو داود وصححه الحا كم(
“Dari Abu Hurairah, ia merafa’kannya kepada Nabi, beliau bersabda:
Sesungguhnya Allah berfirman: Saya adalah pihak ketiga dari dua
orang yang berserikat, selagi salah satunya tidak mengkhianati
temannya. Apabila ia berkhianat kepada temannya, maka saya akan
keluar dari antara keduanya”. (HR. Abu Dawud dan disahkan oleh
Al-Hakim )
Redaksi hadits tersebut menyatakan bahwa Allah SWT akan bersama
kedua orang yang berserikat atau bekerja sama selagi salah satunya tidak
19 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, cet.I, (jakarta: Amzah, 2010), h.342.
20 Ash-Shon’ani, Subul As-Salam, Juz.III, (Beirut, Libanon: Dar Al-Kutub Al-Alamiyah,
1998), h.64.
29
menghianati temannya, sehingga dapat dinyatakan bahwa kerja sama yang
tidak ada pengkhianatan akan diawasi, dijaga dan dibantu oleh Allah, baik
melalui pemberian berkah atau semacamnya. Sebaliknya jika salah satu dari
keduanya berkhianat, maka Allah akan meninggalkan mereka dengan tidak
memberikan berkah dan bantuanNya.21 Dengan redaksi hadits tersebut, jelas
bahwa Allah SWT membolehkan kerja sama (syirkah), bahkan meridhoinya
sesuai dengan makna hadits yang dipaparkan.
Para Ulama juga sepakat tentang dibolehkannya syirkah secara global
(umum).22 Sedangkan pendekatan kompromistis terhadap hukum adat
berdasarkan dalil urf dengan kaidah al ‘adatu muhakkamah, didasarkan pada
ketiadaan nash dalam Al-Qur’an dan Hadits yang secara khusus mengatur
tentang harta bersama. Ketiadaan nash dianggap lebih banyak menimbulkan
mudharat jika hukum adat tentang harta bersama yang hidup di masyarakat
tidak diakomodir oleh Islam. M. Yahya Harahap memaparkan sebagai berikut:
“Lembaga harta bersama dalam hukum adat yang hidup di
Masyarakat benar-benar menegakkan asas keseimbangan persamaan
hak dan kedudukan serta kewajiban suami istri dalam kehidupan
rumah tangga. Sekiranya hal itu dicampakkan atas alasan tidak
dijumpainya nash dalam Al-Qur’an dan Sunnah, diperkirakan akan
merusak tatanan keseimbangan persamaan hak dan derajat suami
istri. Malahan akan mendatangkan mudharat dalam bentuk
diskriminatif dalam berbagai bentuk”.23
21 Nurul Huda dan Muhammad Heykal, Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoritis dan
Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), h.67.
22 Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat, h.343.
23 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.36.
30
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa ketentuan mengenai harta
memiliki dasar-dasar yang kuat secara hukum, baik hukum positif dan hukum
Adat, bahkan Hukum Islam. Selain itu, penerapan hukum harta bersama juga
dianggap lebih banyak mendatangkan maslahat, khususnya di Indoesia.
3. Ruang Lingkup Harta Bersama
Ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUP menyatakan bahwa “Harta yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Redaksi ini masih
bersifat umum karena tidak merincikan objek-objek harta yang bisa menjadi
suatu kategori agar disebut sebagai harta bersama. Sementara menurut Pasal
91 ayat (1) sampai ayat (3) KHI, kategori harta bersama mencakup benda
berwujud yang meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat
berharga, dan benda tidak berwujud yang berupa hak maupun kewajiban.
Kategori harta bergerak yang dimaksud dalam KHI menurut sebagian
pendapat mencakup mobil, motor, saham dan sebagainya, sebaliknya harta
yang tidak bergerak mencakup tanah, rumah, dan selainnya.24 Sedangkan
dalam kajian hukum perdata, untuk menentukan suatu benda bergerak atau
tidak bergerak tidak semudah kategori diatas, karena harus dilihat dari aspek
sifatnya, tujuan pemakaiannya, dan karena ditentukan oleh Undang-Undang.25
24 Adib Bahari, Prosedur Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono Gini, Hak Asuh Anak,
(Yogyakarta: Pustaka Yustitisia, 2012), h.153.
25 Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.31, (Jakarta: Intermasa, 2003), h.61-62.
31
Kemudian klasifikasi benda berwujud dan tidak berwujud terletak pada
penyerahannya jika benda itu di pindah tangankan kepada pihak lain melalui
perbuatan hukum tertentu.26 Sementara surat-surat berharga juga memiliki
cakupan yang sangat luas dalam kajian hukum ekonomi (bisnis), bisa saja
berbentuk wesel, cek, bilyet giro, surat sanggup, commercial paper, surat
berharga pasar uang, garansi bank, sertifikat bank Indonesia, dan selainnya.27
Oleh sebab itu, kategori harta bersama yang dimaksud dalam UUP dan KHI
diatas juga masih bersifat umum serta memiliki jangkauan yang sangat luas.
Dalam praktik Peradilan, sebagian pendapat menyatakan bahwa
penerapan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UUP memerlukan keterampilan dan
kejelian hakim dalam menganilisis masalah harta bersama dan
menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip keadilan seiring kemajuan zaman,
serta tanpa mengorbankan ketentuan Agama yang dianut.28
Sedangkan menurut M. Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan,
Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, analisa dan keterampilan
penerapan Pasal 35 ayat (1) UUP dilakukan melalui pendekatan yurisprudensi
atau putusan-putusan pengadilan. Sehingga dari analisis dan keterampilan
26 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet.revisi, (Bandung, PT Citra Aditya
Bakti, 2010), h.129.
27 Elsi Kartika Sari dan Advendi Simanunsong, Hukum Dalam Ekonomi, ed.II, (Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), h.86.
28 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta:
Kencana, 2008), h.103-104.
32
penerapan tersebut, ruang lingkup harta bersama akan dapat diklasifikasikan
menjadi beberapa kategori, yaitu sebagai berikut:29
a. Harta yang dibeli selama perkawinan
Harta yang dibeli selama perkawinan otomatis menjadi harta
bersama, tanpa mempermasalahkan siapa diantara suami istri yang
membeli harta tersebut, atas nama siapa harta yang dibeli itu terdaftar, dan
tanpa mempermasalahkan letak harta itu berada.
b. Harta yang dibeli dan dibangun sesudah perceraian yang dibiayai dari harta
bersama
Harta yang dibeli dan dibangun dengan menggunakan uang yang
berasal dari harta bersama yang belum dibagi setelah terjadi perceraian,
akan tetap dikategorikan sebagai objek harta bersama, sekalipun pembelian
dan pembangunan dilakukan setelah terjadinya perceraian.
c. Harta yang dapat dibuktikan diperoleh selama perkawinan
Harta yang dapat dibuktikan sebagai perolehan selama perkawinan
dan pembiayaannya berasal dari harta bersama akan tetap menjadi harta
bersama, sekalipun telah didaftarkan atau dialihnamakan kepada orang lain.
d. Penghasilan harta bersama dan harta bawaan
Penghasilan yang tumbuh dari harta bersama otomatis menjadi
objek harta bersama. Bahkan penghasilan yang tumbuh dari harta pribadi
juga menjadi objek harta bersama, selama tidak ditentukan lain dalam
29 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.275-278.
33
perjanjian perkawinan. Hal ini disebabkan karena yang menjadi harta
pribadi adalah barang pokoknya, sementara hasilnya akan berubah menjadi
harta bersama.
e. Segala penghasilan pribadi suami istri
Segala penghasilan pribadi suami istri dari keuntungan yang
diperoleh masing-masing akan dengan sendirinya terjadi penggabungan
menurut hukum kedalam harta bersama. Hal ini sepanjang suami isteri
tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Klasifikasi ruang lingkup harta bersama yang telah dipaparkan tersebut
terlihat lebih menitikberatkan bahwa segala harta yang dihasilkan sesudah
terjadinya perkawinan akan menjadi harta bersama, selama tidak ditentukan
lain oleh para pihak, sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa klasifikasi
harta bersama bisa saja menjadi lebih luas dari apa yang telah dipaparkan.
Ditentukan lain dalam hal ini adalah dalam perjanjian perkawinan,
yang umumnya berisi tentang pengaturan harta bersama dan pembagiannya
jika terjadi perpisahan hubungan antara suami dan isteri, baik karena
perceraian, kematian atau bahkan dalam poligami.30 Disinilah perjanjian
perkawinan dimaksudkan untuk memperjelas tentang kepentingan-
kepentingan para pihak (baik pihak suami maupun isteri), khususnya dalam
pembagian harta bersama apabila terjadi perceraian.
30 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian, (Jakarta: Visimedia,
2008), h.80.
34
C. Pembagian Harta Bersama dan Penyelesaiannya Melalui Litigasi
1. Metode Pembagian Harta Bersama
Ketentuan pembagian harta bersama dalam UUP tidak diatur secara
khusus, namun Pasal 37 UUP memberikan kewenangan penyelesaian harta
bersama sesuai aturan menurut hukum Agama, hukum Adat dan hukum
lainnya.31 Sementara dalam KHI, pembagian harta bersama diatur secara
terperinci, mulai pembagian dalam cerai hidup, cerai mati, sampai pembagian
harta bersama dalam perkawinan poligami.
Pembagian-pembagian tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Pembagian harta bersama dalam perceraian (cerai hidup)
Dalam perceraian, para pihak (suami dan istri) berhak mendapat
separoh bagian dari keseluruhan jumlah harta bersama. Hal ini sesuai Pasal
97 KHI yang menjelaskan bahwa:
“Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari
harta bersama, sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian
perkawinan”.
Redaksi di atas disejajarkan dengan penerapan makna syirkah
dalam hukum Islam, yaitu suami dan isteri dianggap berkongsi terhadap
harta bersama, sehingga masing-masing berhak untuk mendapatkan bagian
yang sama jika terjadi putusnya ikatan perkawinan. Selain itu, paparan
tersebut juga sejalan dengan penerapan yurisprudensi dalam hukum adat
yang juga memberikan hak dan kedudukan yang sama antara pihak suami
31 Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
35
dan isteri terhadap harta bersama apabila perkawinan pecah.32 Bahkan
menurut ketentuan Pasal 128 KUH Perdata juga tidak berbeda, yaitu:
Setelah bubarnya harta bersama, kekayaan bersama mereka dibagi
dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka
tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.
Dengan demikian, jelaslah bahwa para pihak (baik pihak suami
maupun isteri) akan mendapat setengah bagian dari harta bersama ketika
terjadi perceraian. Sekalipun tidak tertutup kemungkinan untuk ditentukan
lain oleh para pihak dalam perjanjian perkawinan.
b. Pembagian harta bersama dalam cerai mati
Ketentuan pembagian harta bersama dalam cerai mati juga sama
dengan pembagian dalam cerai hidup, yaitu mendapatkan separoh dari
bagian harta bersama, hanya saja dalam cerai mati separoh bagian pihak
yang mati akan jatuh menjadi warisan. Pasal 96 ayat (1) KHI menyatakan
bahwa, “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi
hak pasangan yang hidup lebih lama”.
Sebagian pendapat menyatakan bahwa penerapan pembagian harta
bersama untuk klasifikasi ini (dalam cerai mati) sering menimbulkan
berbagai permasalahan baru yang memerlukan penerapan tersendiri. Hal itu
karena pada umumnya kondisi sosial masyarakat masih dipengaruhi oleh
ada atau tidak adanya anak dalam pembagian harta bersama. Misalnya,
pendapat M. Yahya Harahap dalam bukunya Kedudukan, Kewenangan dan
32 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.280.
36
Acara Peradilan Agama menjelaskan terkait penerapan harta bersama yang
dikaitkan dengan keberadaan anak, yaitu sebagai berikut:33
1) Pembagian dalam cerai mati dengan ada anak
Menurut ketentuan hukum, anak-anak atau seorang dari anak
maupun isteri (janda) dapat menuntut pembagian harta bersama. Namun
permasalaha muncul disebabkan kondisi sosial masyarakat yang pada
umumnya menganggap bahwa pemecahan/ pembagian harta antara
suami (duda) atau isteri (janda) dengan anak-anak mereka itu sebagai
seuatu hal yang tabu. Padahal, anggapan ini lebih banyak menimbulkan
ketidakpastian dengan terjadinya pencampuran harta bersama yang
belum dibagi dengan harta bersama baru antara duda atau janda yang
kawin lagi dengan perempuan atau laki-laki lainnya.
2) Pembagian dalam cerai mati tanpa adanya anak
Dalam penerapan pembagian harta bersama tanpa keberadaan
anak terdapat beberapa variasi, hal ini disebabkan adanya pendapat yang
menyatakan bahwa harta bawaan suami dan harta bersama jatuh menjadi
warisan janda, sehingga janda tersebut berhak menguasai dan menikmati
harta bersama selama ia hidup dan selama belum kawin lagi dengan
laki-laki lain. Sedangkan pendapat lainnya yang lebih kuat menyatakan
bahwa separoh harta bersama menjadi bagian janda, dan separoh lainnya
menjadi harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli waris suami.
c. Pembagian harta bersama dalam perkawinan poligami
Dalam perkawinan poligami (dengan beberapa isteri), pembagian
harta bersama diatur dalam Pasal 65 ayat (1) huruf b dan c UUP, yang
menentukan bahwa tidak pencampuran hak isteri kedua atau istri
berikutnya terhadap harta bersama yang ada sebelumnya, dan semua isteri
memiliki hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak terjadinya
perkawinan masing-masing. Maksud yang sama juga dinyatakan dalam
ketentuan Pasal 94 ayat (1) dan ayat (2) KHI, yaitu sebagai berikut:
33 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.280-282.
37
(1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai
isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri
sendiri;
(2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang
mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1),
dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua,
ketiga, atau yang keempat.
Beberapa pendapat menyatakan bahwa dalam perkawinan poligami
sebagaimana tersebut dalam UUP dan KHI, memuat beberapa unsur utama,
yaitu: 1) Terbentuk beberapa harta bersama sebanyak isteri yang dinikahi
suami; 2) Harta bersama terbentuk sejak perkawinan masing-masing; dan
3) Masing-masing harta bersama terpisah dan berdiri sendiri.34 Berdasarkan
paparan tersebut, jelas bahwa dalam perkawinan poligami sudah terbentuk
beberapa harta bersama sebanyak, sehingga masing-masing harta bersama
harus dipisahkan terlebih dahulu agar tidak terjadi percampuran.
2. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama melalui Litigasi
Sengketa umumnya diartikan dengan terjadinya bentrok (pertentangan/
perselisihan) kepentingan antara dua orang atau lebih.35 Selain itu, dipahami
juga sebagai hal-hal yang mendeskripsikan situasi dan kondisi dimana orang-
orang sedang mengalami perselisihan yang bersifat faktual maupun
34 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.283-284.
Lihat juga, Abdul Manaf, Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam Perjanjian
Harta Persama pada Putusan Mahkamah Agung, (Bandung: Mandar Maju, 2006), h.46-47.
35 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, ed.II, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), h.235.
38
perselisihan yang ada pada presepsi mereka saja.36 Dalam hal ini berarti
sengketa akan terjadi ketika ada pihak yang berkedudukan sebagai lawan
dalam bersengketa (lawan berselisih), baik hanya satu orang maupun lebih.
Jika pengertian di atas dikaitkan dengan harta bersama, maka secara
tidak langsung akan dipahami bahwa sengketa yang terjadi disebabkan karena
adanya perselisihan antara dua pihak ataupun lebih mengenai pembagian harta
bersama. Berdasarkan hal tersebut, sengketa harta bersama biasanya identik
dengan perceraian, karena pada umumnya dalam perceraianlah masing-
masing pihak (baik suami maupun isteri) akan saling mempertahankan hak-
haknya atas harta bersama sehingga menimbulkan sengketa.
Hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya sengketa harta bersama pada
umumnya karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap ketentuan
pembagian harta bersama, dan karena masih banyak dikalangan masyarakat
Indonesia yang menganggap tidak lazim untuk menentukan pembagian harta
dalam perjanjian perkawinan.37 Selain itu, bisa juga disebabkan kontribusi
salah satu pihak yang lebih banyak dalam keluarga, sehingga salah satu pihak
merasa tidak adil dengan pembagian yang ditentukan Undang-undang.
Sebab lainnya bisa juga karena objek harta bersama masih dalam
penguasaan salah satu pihak yang menimbulkan berbagai kendala dalam
36 Takdir Rahmadi, Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, (Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2010), h.1.
37 Darda Syahrizal, Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Grhatama,
2011), h.43.
39
pembuktian. Sebab ini sesuai dengan objek kajian dalam penelitian penulis ini
yaitu berkaitan dengan objek harta bersama berbentuk tabungan dan deposito.
Kendala dalam sebab ini biasanya karena masih terkait dengan rahasia Bank
sehingga muncul kesulitan untuk membuktikan objek harta tersebut.38
Terlepas dari sebab-sebab tersebut, para pihak yang bersengketa telah
dihadapkan pada dua alternatif yang bisa digunakan sebagai cara penyelesaian
atas sengketa harta bersama, yaitu penyelesaian di luar pengadilan melalui
cara mediasi atau pendekatan mufakat, dan penyelesaian melalui lembaga
peradilan dengan cara litigasi. Kedua alternatif tersebut sama-sama diatur oleh
hukum melalui peraturan Perundang-undangan di Indonesia, dan sama-sama
merujuk pada ketentuan hukum yang berlaku terkait harta bersama.
Dalam metode litigasi, kewenangan penyelesaian sengketa harta
bersama dibedakan antara orang-orang yang beragama Islam dan yang bukan
Islam. Semua penyelesaian sengketa harta bersama pada awalnya termasuk
sebagai kewenangan Peradilan Umum, hal ini karena harta bersama termasuk
sebagai hukum yang diterapkan dalam lembaga hukum adat.39
Pengkhususan untuk orang-orang yang beragama Islam dimulai sejak
lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
(selanjutnya disebut UU PA). Melalui Pasal 49 ayat (1) UU PA tersebut
38 Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku.II, Ed.Revisi,
(Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010).
39 Muhammad Nur, Artikel tentang “Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan Menurut
Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Lex Privatum, Vol. I/No.3/Juli 2013, h.67.
40
Peradilan Agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara
tertentu antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah.
Keumuman bidang perkawinan yang dimaksud diatas diperjelas oleh
Pasal 49 ayat (2) UU PA yang substansinya menyatakan bahwa,“Ketentuan
bidang perkawinan didasarkan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan (UUP)”. Salah satu bidang perkawinan yang dimaksud
dalam UUP adalah mengenai penyelesaian harta bersama.40 Berawal dari
sinilah kemudian penyelesaian harta bersama dikhususkan bagi orang-orang
yang beragama Islam melalui Peradilan Agama.
Kewenangan Peradilan Agama tersebut semakin diperkuat dengan
munculnya KHI, yaitu melalui pernyataan Pasal 88 KHI berikut:
“Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta
bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada
Pengadilan Agama”.
Seiring perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat
(khususnya masyarakat Muslim), ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tersebut telah diamandemen pertama kali dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006, dan kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009. Implikasi dari kedua perubahan tersebut memperluas ruang
lingkup kewenangan Peradilan Agama, yang ditandai dengan perubahan
40 Penjelasan Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama.
41
redaksi Pasal 49 dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sehingga Pasal
tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus,
dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama Islam di bidang: a) perkawinan; b) waris; c) wasiat;
d) hibah; e) wakaf; f) zakat; g) infaq; h) shadaqah; dan i) ekonomi
syariah”.
Perluasan wewenang Peradilan Agama dalam redaksi tersebut tidak
mengurangi kewenangan sebelumnya terkait dengan harta bersama. Dalam
penjelasan Pasal 49 huruf (a), disebutkan bahwa ketentuan yang dimaksud
dengan perkawinan adalah hal-hal yang diatur berdasarkan undang-undang
mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, dan
salah satunya adalah mengenai penyelesaian harta bersama.
Berdasarkan paparan di atas, jelas terlihat bahwa penyelesaian
sengketa harta bersama di antara orang-orang yang beragama Islam
merupakan kewenangan lembaga Peradilan Agama, sedangkan untuk orang-
orang selain Islam tetap menjadi kewenangan Peradilan Umum. Selain itu,
dibentuk juga Mahkamah Syariah khusus untuk Daerah Aceh, dengan
kewenangannya yang multi fungsi. Artinya, Mahkamah Syariah bisa saja
berkedudukan sebagai Pengadilan Khusus dalam lingkungan Peradilan Agama
dan sebaliknya bisa juga menjadi Peradilan Umum.
Pasal 3A ayat (2) UU PA menyatakan sebagai berikut:
“Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama,
42
dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan
umum”.41
Kompetensi Mahkamah Syariah mencakup permasalahan dalam
bidang: Ahwal Asy-Syakhsiyyah, Mu’amalah dan Jinayah.42 Bidang Ahwal
Asy-Syakhsiyyah (hukum keluarga) merupakan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam bidang perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam UU PA, sehingga
jelas bahwa Mahkamah Syariah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan
sengketa harta bersama di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Dengan demikian, penyelesaian sengketa harta bersama melalui litigasi
antara orang-orang yang beragama Islam merupakan kewenangan Peradilan
Agama, sebaliknya untuk orang-orang non muslim merupakan kewenangan
Peradilan Negeri. Sedangkan metode pengajuan pembagian harta bersama
melalui litigasi di Peradilan Agama dan Peradilan Negeri menyesuaikan
dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam aturan hukum masing-masing
sesuai dengan sifat pluralisme hukum yang ditentukan oleh Pasal 37 UUP.
Secara umum, pembagian harta bersama dilakukan setelah putusnya
perkawinan, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengajukan dengan
sendirinya tanpa sebab putusnya ikatan perkawinan. Artinya, pembagian harta
bersama dapat diajukan meskipun perkawinan tetap utuh dan berlangsung. Hal
41 Pasal 3A ayat (2) Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
42 Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), h.59.
43
ini menurut ketentuan Pasal 186 KUH Perdata ditujukan untuk menjamin
kepentingan isteri dan kelangsungan hidup rumah tangga, yaitu:
“Selama perkawinan, setiap isteri berhak mengajukan tuntutan kepada
Hakim akan pemisahan harta kekayaan, akan tetapi hanya dalam hal:
(1) Jika kelakuan suami nyata-nyata memboroskan harta bersama
sehingga bisa menimbulkan bahaya keruntuhan bagi keluarga;
(2) Jika suami tidak tertib dalam mengurus harta bersama sehingga
tidak menjamin harta kekayaan dalam perkawinan dan bisa
menimbulkan bahaya bagi kelangsungan hidup keluarga”.
Aturan di atas terlihat hanya mengakomodir kepentingan isteri saja,
namun kemudian kedudukan suami dan isteri disetarakan berdasarkan aturan
Pasal 31 ayat (1) UUP, sehingga masing-masing memiliki hak yang sama
dalam rumah tangga, dan juga dapat mengajukan tuntutan harta bersama
sebagaimana yang telah disebutkan. Redaksi yang hampir senada dengan
ketentuan KUH Perdata tersebut juga dinyatakan dalam Pasal 95 KHI, yaitu:
“Dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 24 ayat (2) huruf c
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 dan Pasal 136 ayat (2),
suami atau isteri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan
sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan
cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan
membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros dan
sebagainya”.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa gugatan harta bersama tidak
hanya dapat diajukan setelah putusnya ikatan perkawinan, baik dikalangan
orang-orang beragama Islam di Pengadilan Agama maupun kalangan lainnya
di Pengadilan Negeri, sehingga harta bersama dalam suatu ikatan perkawinan
yang masih berlangsung sekalipun tetap dapat terjamin pemeliharaan dan
44
keutuhannya.43 Sedangkan tuntutan pembagian harta bersama yang terjadi
disebabkan karena putusnya perkawinan terdapat perbedaan dalam metode
pengajuannya melalui litigasi di Peradilan Agama dan Peradilan Negeri.
Pengajuan gugatan pembagian harta bersama di Pengadilan Agama
dapat dilakukan melalui 2 (dua) metode, yaitu: dengan mengajukan tuntutan
pembagian harta bersama secara kumulasi dengan gugatan perceraian
(kumulasi objektif)44, dan mengajukan tuntutan pembagian harta bersama
secara terpisah dari gugatan perceraian yang dilakukan setelah putusan
Pengadilan berkekuatan hukum tetap (BHT).
Dalam metode pertama, gugatan harta bersama merupakan assesor
dengan gugat perceraian sebagai gugatan pokoknya, sehingga jika gugatan
perceraian ditolak, maka gugatan harta bersama juga otomatis tidak dapat
diterima karena mengikuti gugatan pokoknya.45 Kedua metode tersebut diberi
pilihan oleh aturan Pasal 86 ayat (1) UU PA (UU No.7 Tahun 1989), bahkan
dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa hal yang demikian itu
bertujuan agar: “Tercapainya prisnsip bahwa peradilan dilakukan dengan
sederhana, cepat dan biaya ringan”.
43 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.263.
44 Kumulasi objektif adalah penggabungan beberapa tuntutan terhadap beberapa peristiwa
hukum dalam satu gugatan. Penggabungan beberapa tuntutan tersebut diperkenankan apabila
penggabungan itu menguntungkan proses, dan beberapa tuntutan yang dapat digabungkan itu terdapat
hubungan erat atau ada koneksitas yang harus dibuktikan berdasarkan fakta-faktanya (Lihat Pedoman
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, Buku II, Edisi Revisi, Mahkamah Agung RI
Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, 2010).
45 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.263.
45
Sedangkan metode pengajuan pembagian harta bersama di Pengadilan
Negeri hanya dapat dilakukan secara terpisah, yaitu setelah putusan perceraian
memiliki kekuatan hukum tetap (BHT) sebagaimana metode kedua yang telah
disebutkan sebelumnya. Dalam hal ini, satu-satunya cara yang diberikan
hukum untuk dapat menyelematkan keutuhan atau keberadaan harta bersama
apabila harta tersebut masih dalam penguasaan salah satu pihak adalah dengan
meletakkan sita marital atas harta bersama dalam perkara perceraian, yaitu
dengan mengajukan gugatan rekonvensi yang berisi tuntutan pembagian harta
bersama dan tuntutan tersebut dibarengi dengan permintaan sita harta bersama
atas seluruh harta.46
Selain itu, permintaan sita tersebut juga dapat berdiri sendiri tanpa
permintaan pembagian harta bersama sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, namun hal ini dianggap kurang efektif dan efisien karena akan
diperlukan kembali gugatan khusus untuk pembagian harta bersama, sehingga
untuk mendapatkan bagian harta bersama tersebut memerlukan dua proses
yang harus dilalui.47 Dengan demikian, metode pengajuan tuntutan harta
bersama yang digabungkan (kumulasi) dengan gugatan perceraian akan jauh
lebih efisien dan lebih cepat serta biaya yang lebih ringan, bahkan juga akan
lebih menjamin keutuhan dan keberadaan harta bersama.
46 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata: Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian
dan Putusan Pengadilan, cet.X, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h.372.
47 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h.373.
46
46
BAB III
KEWAJIBAN RAHASIA BANK
A. Pengertian, Fungsi dan Tujuan Bank
1. Pengertian Bank
Kata Bank secara etimologi berasal dari bahasa Prancis (banque) atau
bahasa Italia (banco/banca) yang berarti peti/lemari atau bangku. Konotasi
kedua kata tersebut menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-
benda berharga seperti peti Emas, peti Berlian, peti Uang, dan sebagainya.1
Istilah banque dan banca juga berawal dari kegitaan atau transaksi yang
dilakukan dengan duduk di belakang meja penukaran uang.2
Secara terminologi, pengertian Bank pada dasarnya tidak terlepas dari
aktivitasnya sebagai perusahaan atau lembaga yang bergerak dalam bidang
keuangan, namun dalam berbagai literatur terlihat berbagai macam redaksi
yang dipaparkan. Misalnya dalam Kamus Hukum, Bank diartikan sebagai
“lembaga keuangan yang usaha pokoknya dengan cara memberikan kredit
dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang”.3
Dalam Ensiklopedia Ekonomi Keuangan dan Perdagangan, Bank
diartikan sebagai “Suatu jenis pranata financial (lembaga keuangan) yang
1 Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, cet. VII, (Jakarta: Azkia Publisher,
2009), h.2.
2 Wikipedia, “Bank”. Diakses pada Tanggal 02 Januari 2016, dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Bank
3 Sudarsono, Kamus Hukum, h.46.
47
melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman,
mengedarkan mata uang, pengawasan terhadap mata uang, bertindak sebagai
tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-
perusahaan, dan lain-lain”.4
Selain itu, ada juga yang mengartikan Bank sebagai “suatu badan
usaha yang tugas utamanya sebagai perantara untuk menyalurkan penawaran
dan permintaan kredit pada waktu yang ditentukan”.5 Sedangkan dalam
Kamus Perbankan Indonesia, Dunil Z.,6 memaparkan pengertian Bank sesuai
redaksi yang disebutkan Pasal 1 angka (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan), yaitu sebagai berikut:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat
dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat
dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka
meningkatkan taraf hidup rakyat banyak”.
Redaksi-redaksi di atas jelas menunjukkan bahwa Bank merupakan
suatu badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan yang dilakukan
dengan kegiatan-kegiatan yang beraneka ragam bentuk transaksi. Selain itu,
Bank memiliki fungsi dan tujuan serta kegiatan-kegiatan yang sangat banyak.
4 Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia, (Malang: Setara Press, 2011),
h.299. Lihat juga, Thamrin Abdullah dan Francis Tantri, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2012), h.2.
5 Tim Penulis, Thomas Suyatno, [et-al], Kelembagaan Perbankan, ed.III, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2007), h.1.
6 Dunil Z, Kamus Istilah Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004),
h.14.
48
2. Fungsi-Fungsi Bank
Fungsi Bank secara umum adalah sebagai badan usaha yang berperan
dalam lalu lintas keuangan (Financial intermediary).7 Sementara dari redaksi
UU Perbankan, dipahami bahwa Bank memiliki 2 (dua) fungsi utama dalam
lalu lintas keuangan, yaitu berfungsi sebagai perantara (intermediation role)
dan sebagai pelaksana atau menjalankan fungsi transmisi (transmission role)
dalam lalu lintas keuangan tersebut.8
Secara umum, fungsi-fungsi Bank juga dinyatakan sebagai Agent of
Trust (sebagai lembaga yang berlandaskan kepercayaan) dan sebagai Agent of
Development (lembaga yang berperan dalam pengembangan, secara khusus
dalam sektor riil), serta sebagai Agent of Service (lembaga yang berperan
untuk memobilisasi dana).9 Sedangkan fungsi Bank yang lebih spesifik dapat
dilihat dari kegiatan-kegiatan usaha yang dijalankan oleh Bank.
Kasmir S.E., dalam bukunya Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya,
menyebutkan kegiatan Bank sebagai berikut:10
a. Menghimpun dana dari masyarakat (Funding) dalam bentuk Simpanan,
yaitu Simpanan Giro, Tabungan, dan Deposito;
7 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, cet.II, (Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama, 2003), h.59. Lihat juga, Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan,
(Bogor: Ghalia Indonesia, 2003), h.25
8 Djoko Imbawani Atmadjaja, Hukum Dagang Indonesia, h.302.
9 Y. Sri Susilo, Sigit Triandaru dan A. Totok Budi Santoso, Bank dan Lembaga Keuangan
Lain, (Jakarta: Salemba Empat, 2000), h.6.
10 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, ed.Revisi.IX, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), h.43-44.
49
b. Menyalurkan dana ke masyarakat (Lending) dalam bentuk Kredit, yaitu
Kredit Investasi, Kredit Modal Kerja dan Kredit Perdagangan; dan
c. Memberikan jasa-jasa bank (Service) dalam berbagai macam bentuk
transaksi, diantarnya berbentuk Transfer, Kliring, Letter of credit, Surat
Berharga, menerima setoran-setoran dan melayani pembayaran-
pembayaran, serta berbagai macam transaksi keuangan lainnya.
3. Tujuan Bank
Secara umum, Bank atau Perbankan memiliki fungsi yang strategis dalam
dunia perekonomian, sehingga sitem Perbankan secara umum bertujuan untuk
memperkukuh dan memperbaiki sistem perekonomian Nasional yang semakin
menyatu dengan ekonomi regional dan ekonomi internasional.11 Dan tujuan Bank
secara khusus disebutkan dalam Pasal 4 UU Perbankan, yaitu sebagai berikut:
“Perbankan Indonesia bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan
nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan
ekonomi, dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejehateraan
rakyat banyak”.
Redaksi UU Perbankan di atas menunjukkan bahwa Bank tidak hanya
berkaitan dengan pembangunan ekonomi saja, namun juga menyangkut
peningkatan stabilitas nasional menuju kesejahteraan rakyat. Bahkan dalam
kajian ekonomi dan pembangunan, Bank dianggap sebagai sarana yang berperan
penting dalam penentuan kebijakan moneter dan kemajuan perekonomian suatu
negara, bahkan dalam sistem perekonomian secara global di seluruh Dunia
sebagaimana telah dipaparkan oleh Penjelasan umum UU Perbankan.
11 Penjelasan Umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
50
B. Hubungan Hukum Antara Bank dengan Nasabah
Fungsi Bank sebagai perantara dan pelaksana dalam lalu lintas keuangan
tentu tidak bisa terlaksana secara sepihak tanpa keterlibatan pihak lain,
khususnya keterlibatan masyarakat. Hal ini disebabkan karena dana dari
masyarakatlah yang menjadi tulang punggung (basic) dana yang dikelola oleh
Bank untuk memperoleh keuntungan.12 Sekalipun disisi yang lain, pihak yang
terlibat dengan bank juga bisa berbentuk badan hukum atau selainnya.
Pihak masyarakat maupun badan hukum yang terlibat dalam
menggunakan jasa Bank disebut dengan istilah Nasabah. Hal itu sesuai
pernyataan Pasal 1 angka (16) UU Perbankan yang mengartikan Nasabah sebagai
“pihak yang menggunakan jasa Bank”. Selanjutnya Pasal 1 angka (17) dan (18)
UU Perbankan membedakan kedudukan nasabah menjadi 2 (dua) macam, yaitu
Nasabah penyimpan (yang menempatkan dana di Bank) dan Nasabah debitur
(yang memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan dari Bank).
Terlepas dari kedudukan nasabah sebagai penyimpan atau sebagai
debitur, nasabah dengan Bank merupakan dua pihak yang tidak bisa dipisahkan
antara satu sama lain. Hubungan antara Bank dengan Nasabah didasarkan pada 2
(dua) aspek, yaitu hubungan hukum dan kepercayaan.13 Kedua hubungan antara
Bank dengan Nasabah tersebut dalam perspektif hukum lebih umum diistilahkan
12 Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2000), h.169.
13 Ronny Sautma Hotma Bako, Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk Tabungan
dan Deposito, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1995), h.32.
51
dengan hubungan yang bersifat kontraktual dan hubungan bersifat non
kontraktual.14
1. Hubungan Kontraktual
Hubungan kontraktual merupakan hubungan Bank dengan Nasabah
yang didasarkan pada suatu kontrak (perjanjian/persetujuan). Sementara
esensi dari kontrak dipahami sebagai sekumpulan janji/ persetujuan yang
dapat dipaksakan pelaksanaannya menurut hukum.15 Oleh sebab itu, hubungan
kontraktual antara Bank dengan Nasabah akan mengikat sebagai hukum bagi
kedua belah pihak, bahkan sebagai undang-undang sesuai aturan Pasal 1338
KUH Perdata.16
Hubungan kontraktual berimplikasi pada munculnya hak dan
kewajiban bagi kedua belah pihak, sehingga salah satu pihak bisa menuntut
ketika hak-haknya tidak terpenuhi, demikian juga sebaliknya. Ketentuan
tersebut juga berlaku dalam hubungan kontraktual antara Bank dengan
Nasabah, meskipun pada prakteknya kontrak sudah ditetapkan secara tertulis
oleh salah satu pihak yang lebih memiliki kekuatan (power), yaitu Bank
sehingga nasabah hanya perlu menandatangan sebagai bentuk persetujuan
terhadap kontrak tersebut.
14 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun 1998, Buku
ke.I, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), h.102.
15 Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, ed.1, cet.I, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2006), h.19.
16 Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah
berkekuatan sama dengan undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
52
2. Hubungan Non Kontraktual
Hubungan non kontraktual pada umumnya tidak dinyatakan secara
tertulis, namun hubungan tersebut selalu ada dan menjiwai dalam dunia
Perbankan, biasanya identik disebut sebagai hubungan moral berlandaskan
kepercayaan. Dalam pelaksanaannya, kepercayaan merupakan landasan utama
bagi Bank dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga Bank dianggap
sebagai lembaga keuangan yang bergantung mutlak pada kepercayaan
Nasabahnya yang mempercayakan dana simpanan mereka pada Bank.17
Kepercayaan terhadap Bank juga menjadi landasan bagi masyarakat,
sehingga mereka masih berani menitipkan dana mereka untuk dikelola oleh
Bank, dan mereka masih mau menerima jasa-jasa keuangan yang ditawarkan
Bank. Jika Bank sudah tidak dipercaya, tentu saja akan terjadi penarikan dana
secara serentak oleh masyarakat (rush),18 yang berakibat pada terhentinya
kegiatan usaha suatu Bank, bahkan memberikan pengaruh buruk pada
kegiatan usaha yang dijalankan oleh Bank-Bank lainnya.
Salah satu upaya yang dilakukan Bank dalam menjaga kepercayaan
masayarakat sebagaimana dipaparkan di atas dilakukan dengan mengamankan
segala sesuatu mengenai Identitas Nasabah penyimpan dan keterangan
simpanannya, khususnya yang ketika dibuka akan merugikan dirinya. Upaya
17 Diana E. Rondonuwu, Artikel tentang “Upaya Bank dalam Menjaga Rahasia Bank Sebagai
Wujud Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah”, Jurnal Lex et Societatis, Vol. II/ No. 8/ Sep-
Nov/2014, h.124.
18 O. P. Simorangkir, Pengantar Lembaga Keuangan Bank & Non Bank, cet.II, (Bogor:
Ghalia Indonesia, 2004), h.93.
53
pengamananan yang dilakukan oleh bank ini juga diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang selanjutnya disebut dengan istilah “kerahasiaan”.
Kerahasiaan dianggap sebagai salah satu bentuk perlindungan hukum
terhadap hak-hak pribadi Nasabah Bank (privacy right), khususnya mengenai
keadaan keuangan seseorang (financial privacy right). Oleh sebab pentingnya
hubungan kerahasiaan antara Bank dengan Nasabah, muncullah asumsi yang
menganggap kerahasiaan sebagai “jiwa” dari perbankan.19 Dimana kemudian
kerahasiaan ini dalam peraturan perundang-undangan (khususnya UU
Perbankan) dirumuskan dengan istilah rahasia bank.
Dari paparan di atas, jelas terlihat bahwa hubungan kontraktual dan
hubungan non kontraktual antara Bank dengan Nasabah merupakan dua
hubungan yang melandasi eksistensi suatu Bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya dan juga dalam mencapai tujuan yang diamanatkan oleh UU
terhadapnya. Selain itu, kedua hubungan tersebut juga memunculkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak yang harus ditunaikan kepada pihak
lainnya, sehingga jelas terlihat bahwa hubungan tersebut dilindungi oleh
hukum dengan konsekwensi yang diatur juga menurut hukum apabila hak dan
kewajiban tersebut tidak ditunaikan oleh salah satu pihak kepada pihak
lainnya.
19 Yunus Husein, Rahasia Bank :Privasi Versus Kepentingan Umum, cet.I, (Jakarta: Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), h.29.
54
C. Rahasia Bank sebagai Bentuk Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah
Pengertian rahasia Bank secara khusus tidak dirumuskan dalam Peraturan
perundang-undangan, akan tetapi ketentuan rahasia Bank secara umum
disebutkan dalam Pasal 1 angka (28) UU Perbankan dan Pasal 1 angka (6) PBI
Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah
atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank (selanjutnya dalam skripsi ini disebut
dengan PBI Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000), yaitu sebagai berikut:
“Rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”.
Redaksi tersebut menunjukkan bahwa rahasia Bank merupakan larangan-
larangan bagi Perbankan untuk memberikan keterangan atau informasi kepada
siapapun mengenai keadaan keuangan dan hal-hal yang patut dirahasiakan dari
nasabahnya, baik untuk kepentingan Nasabah maupun untuk kepentingan Bank
itu sendiri.20 Bahkan selanjutnya disebutkan bahwa rahasia Bank tidak hanya
sebatas keharusan, namun menjadi suatu kewajiban sesuai Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan dan juga Pasal 2 ayat (1) PBI Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000, yaitu:
“Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan
dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A”.
Pengertian dan kewajiban rahasia Bank menunjukkan bahwa rahasia
Bank hanya dibatasi pada keterangan mengenai (identitas) Nasabah Penyimpan
dan simpanannya saja, tidak meluas pada Nasabah selainnya. Hal ini dinyatakan
20 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI, (Jakarta: Kencana, 2011),
h.136.
55
dalam Penjelasan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan dan juga dalam Pasal 2 ayat
(2) PBI Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000. Ruang lingkup rahasia Bank ini merupakan
penyempitan dari keluasan ruang lingkup yang dinyatakan sebelumnya dalam
Pasal 1 angka (16) UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yaitu:
“Segala sesuatu yang berhubungan dengan keuangan dan hal-hal lain
dari nasabah bank yang menurut kelaziman dunia perbankan wajib
dirahasiakan”.
Keluasan ruang lingkup rahasia Bank dalam ketentuan UU Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan seringkali menimbulkan kontroversi, bahkan
sering dimanfaatkan oleh debitur-debitur Bank yang kreditnya macet.21 Oleh
sebab itulah, rumusan tentang ruang lingkup rahasia Bank semakin diperjelas
hanya pada Nasabah Penyimpan dan simpanannya saja dalam UU Perbankan,
bahkan juga dalam Pasal 2 ayat (2) PBI Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000.
Pihak-pihak yang wajib mematuhi kewajiban rahasia Bank sesuai yang
dipahami dari ketentuan Pasal 47 ayat (2) UU Perbankan ada 4 (empat) pihak,
yaitu: 1) Anggota Dewan Komisaris; 2) Direksi; 3) Pegawai Bank; dan 4) Pihak
yang Terafiliasi. Penjelasan Pasal tersebut menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan Pegawai Bank adalah “semua Pejabat dan Karyawan Bank”. Sedangkan
maksud dari Pihak Terafiliasi sesuai Pasal 1 angka (22) UU Perbankan adalah:
a. Anggota Dewan Komisaris, Pengawas, Direksi atau kuasanya,
Pejabat, atau Kayawan bank;
21 Wijdjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 2003), h.117.
56
b. Anggota pengurus, pengawas pengelola atau kuasanya, pejabat atau
karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. Pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan
publik, penilai, konsultan hukum, dan konsultan lainnya;
d. Pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta
mempengaruhi pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan
keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga
Direksi, keluarga pengurus.
Pihak-pihak yang dimaksud dalam UU Perbankan diatas masih terlalu
luas jangkauannya, khususnya mengenai Pegawai Bank yang tidak diberikan
batasan pada Karyawan Bank yang sama sekali tidak memiliki akses sama sekali
dengan Nasabah Penyimpan dan simpanannya, misalnya Satpam, Pengemudi,
Juru Ketik atau selainnya. Bahkan dalam UU Perbankan juga tidak ditentukan
tentang Pegawai Bank yang sudah tidak aktif bekerja (mantan Pegawai Bank)
masih memiliki kewajiban memegang teguh rahasia Bank atau sebaliknya.22
Terlepas dari pihak-pihak tersebut, kewajiban rahasia Bank merupakan
ketentuan yang sangat penting untuk dipertahankan, selain karena berkaitan
dengan hak-hak Nasabah,23 rahasia Bank juga menjadi faktor utama yang
menjadi landasan kepercayaan bagi masyarakat terhadap lembaga perbankan.
Selain itu, rahasia Bank juga menjadi penentu lancar atau tidaknya kegiatan
usaha yang dilakukan oleh Bank, bahkan bentuk usaha Bank dalam
22 Sutan Remy Syahdeni, “Rahasia Bank dan Berbagai Masalah Disekitarnya”, h.12.
Download pada Tanggal 28 Desember 2015, dari:
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=iSyAVt6cC8iWuQS5hJTgCQ#q=RAHASIA+BANK+P
DF
23 Adrian Sutedi, Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Meger, Likuidasi, dan
Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h.5.
57
mengamankan identitas Nasabah dan keamanan simpanannya dianggap sebagai
bentuk perlindungan secara tidak langsung terhadap Nasabah dan simpanannya.24
Perlindungan hukum terhadap Nasabah Bank pada umumnya dibagi
menjadi 2 (dua) cara, yaitu: Perlindungan secara Implisit/ tidak langsung
(Implicit Deposit Protection), dan Perlindungan secara Eksplisit/ langsung
(Eksplicit Deposit Protection). Pengertian dari kedua cara perlindungan hukum
tersebut dinyatakan oleh Marulak Pardede sebagaimana dikutip oleh Hermansyah
dalam bukunya “Hukum Perbankan Nasional Indonesia”, yaitu sebagai berikut:
“Perlindungan secara implisit adalah perlindungan yang dihasilkan oleh
pengawasan dan pembinaan Bank yang efektif, yang dapat
menghindarkan terjadinya kebangkrutan Bank, sedangkan perlindungan
secara eksplisit merupakan perlindungan melalui pembentukan suatu
lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila Bank
mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana
masyarakat yang disimpan pada Bank yang gagal tersebut”.25
Hakikat dari perlindungan hukum bagi Nasabah Penyimpan dana adalah
melindungi kepentingan Nasabah Penyimpan dan simpanannya yang disimpan di
suatu Bank tertentu terhadap suatu kerugian.26 Asumsi penulis, hakikat yang
dinyatakan tersebut telah mencakup makna dasar kewajiban rahasia Bank,
sehingga rahasia Bank juga dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk
24 Nancy Sarapi, Artikel tentang “Usaha Bank Menjaga Rahasia Bank dalam Rangka
Perlindungan terhadap Nasabah”, Jurnal Lex et Societatis, Vol. I/No. 4/ Agustus 2013, h.57. Lihat
juga, Tumpak Hasiholan Manurung, Artikel tentang “Analisis Yuridis Mengenai Bentuk Perlindungan
Rahasia Bank dan Sanksi terhadap Pelanggaran Rahasia Bank”, JOM Fakultas Hukum Volume II
Nomor 2 Oktober 2015, h.11.
25 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, h.145.
26 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, h.145.
58
perlindungan hukum terhadap Nasabah, terlepas dikategorikan sebagai
perlindungan dengan cara implisit/ tidak langsung maupun sebaliknya.
Selanjutnya dalam pemberlakuan kewajiban rahasia Bank, dikenal 2 (dua)
teori yang digunakan oleh beberapa Negara, yaitu sebagai berikut:
1. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Mutlak
Menurut teori ini, rahasia Bank tidak boleh dibuka kepada siapapun dan
dalam hal apapun. Teori ini sangat menonjolkan kepentingan individu, sehingga
kepentingan Negara dan masyarakat sering terabaikan.27 Oleh sebab itulah,
sekarang hampir tidak ada lagi Negara-Negara yang menganut teori mutlak ini.28
2. Teori Rahasia Bank yang Bersifat Relatif
Berbeda dengan sebelumnya, dalam teori ini kewajiban rahasia Bank bisa
saja dibuka untuk kepentingan Negara atau kepentingan Hukum. Ketentuan
tersebut disesuaikan dengan pengecualian yang diperbolehkan dalam perundang-
undangan yang berlaku. Dan banyak Negara-Negara di Dunia yang menganut
teori ini, salah satunya adalah Negara Indonesia.29 Sekalipun demikian, teori
relatif tidak sepenuhnya bisa dibuka untuk kepentingan Negara dan kepentingan
Hukum di Indonesia, namun ada batasan-batasan tertentu yang telah ditetapkan
oleh UU Perbankan sebagai landasan untuk dapat membuka rahasia Bank.
27 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, h.132-133.
28 Munir Fuady, Hukum Perbankan Modern, h.89.
29 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, h.133.
59
D. Hal-Hal yang Bisa Membuka Kewajiban Rahasia Bank
Sebagaiman telah dijelaskan sebelumnya, ketentuan rahasia bank yang
berlaku di Indonesia menganut teori yang bersifat relatif (relative theory). Hanya
saja Negara Indonesia tidak mengakomodir kepentingan Negara dan kepentingan
hukum secara keseluruhan untuk dapat menerobos rahasia bank, namun dibatasi
pada pengecualian-pengecualian yang diakomodir oleh UU Perbankan saja. Hal
ini sesuai ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yang mengecualikan rahasia
bank untuk hal-hal yang dimaksud Pasal 41 sampai Pasal 44A UU Perbankan.
Hal-hal yang dapat dijadikan sebagai alasan untuk membuka rahasia bank
tersebut hanya terbatas pada kepentingan-kepentingan sebagai berikut:30
1. Untuk kepentingan perpajakan kepada pejabat pajak berdasarkan perintah
Pinpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan (Pasal 41 UU
Perbankan);
2. Untuk penyelesaian piutang Bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/ Panitia Urusan Piutang Negara atas izin
Pinpinan Bank Indonesia (Pasal 41A UU Perbankan);
3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (yaitu terkait simpanan
tersangka atau terdakwa) kepada polisi, jaksa atau hakim atas izin Pinpinan
Bank Indonesia (Pasal 42 UU Perbankan);
4. Dalam perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya tanpa harus ada
izin dari Pinpinan Bank Indonesia (Pasal 43 UU Perbankan);
5. Dalam rangka tukar menukar informasi antar Bank tanpa harus memperoleh
izin dari Pinpinan Bank Indonesia (Pasal 44 UU Perbankan);
6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari Nasabah Penyimpan yang
dibuat secara tertulis tanpa harus memperoleh izin dari Pinpinan Bank
Indonesia (Pasal 44A UU Perbankan); dan
7. Atas permintaan ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan yang telah
meninggal dunia tanpa harus memperoleh izin dari Pinpinan Bank Indonesia
(Pasal 44A UU Perbankan).
30 Pengecualian-pengecualian ini juga disebutkan secara keseluruhan dalam Pasal 2 ayat (4)
Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian
Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
60
Selain paparan yang diuraikan di atas, rahasia bank juga dapat diterobos
oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam melaksanakan tugas
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Wewenang tersebut didasarkan pada
Surat Mahkamah Agung No. KMA/694/R.45/XII/2004 perihal pertimbangan
hukum atas pelaksanaan kewenangan KPK terkait rahasia Bank (ditandatangani
oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Tanggal 2 Desember 2004).
Surat tersebut diterbitkan sebagai jawaban atas Surat Gubernur Bank Indonesia
No. 612/GBI/DHk/Rahasia, tanggal 8 Agustus 2004 yang meminta pertimbangan
hukum dari Makamah Agung untuk menjawab persoalan kewenangan KPK
dalam membuka rahasia Bank”.31
Selain untuk kepentingan-kepentingan yang diuraikan tersebut rahasia
Bank tidak bisa dibuka untuk siapapun dan untuk kepentingan apapun. Bahkan
putusan pengadilan pun tidak bisa dijadikan sebagai alasan untuk menerobos
rahasia bank sekalipun Indonesia merupakan suatu Negara hukum. Hal ini
berbeda dengan ketentuan di beberapa Negara yang membolehkan putusan
pengadilan sebagai alasan untuk membuka rahasia Bank.32
Disinilah muncul beberapa pendapat yang melihat kelemahan dan kurang
lengkapnya ketentuan yang mengatur tentang rahasia bank. Asumsi ini muncul
karena UU Perbankan tidak mengakomodir kepentingan pelaksana kekuasaan
31 Najoan Theo, artikel tentang“Proses dan Akibat Hukum Membuka Rahasia Bank”, Jurnal
Lex Privatum, Vol.III/ No. 1/ Jan-Mar/ 2015, h.25
32 Yunus Husein, Rahasia Bank :Privasi Versus Kepentingan Umum, h.322.
61
kehakiman secara keseluruhan di Indonesia, baik kepentingan Peradilan Agama
dan Mahkamah Syariah, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer atau
selainnya yang sama sekali belum diakomodir.33
Terlepas dari keganjilan dan kurang lengkapnya ketentuan rahasia Bank
sebagaimana pendapat di atas, UU Perbankan menyatakan bahwa rahasia Bank
merupakan suatu kewajiban. Penggunaan kata “wajib” dalam ketentuan tersebut
menunjukkan bahwa kewajiban rahasia Bank akan bersifat memaksa, sehingga
pihak-pihak yang melanggar kewajiban rahasia Bank akan dikenakan sanksi yang
tegas, baik secara pidana dan perdata, maupun sanksi secara administratif.
E. Sanksi atas Pelanggaran terhadap Kewajiban Rahasia Bank
Kewajiban rahasia Bank yang bersifat memaksa terlihat dari ketentuan
UU Perbankan yang memberikan sanksi secara tegas bagi para pihak yang
melakukan pelanggaran terhadap kewajiban rahasia Bank. Sanksi tegas tersebut
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut:
1. Sanksi Pidana
Ancaman pidana atas pelanggaran terhadap kewajiban rahasia Bank
dijelaskan dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan. Pasal 47 ayat
(1) menyebutkan bahwa:
“Barang siapa tanpa membawa perintah tertulis atau izin dari
pinpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 41A, dan Pasal 42, dengan sengaja memaksa bank atau Pihak
33 Yunus Husein, Rahasia Bank :Privasi Versus Kepentingan Umum, h.324-325.
62
Terafiliasi untuk memberikan keterangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40, diancam dengan denda pidana sekurang-kurangnya 2
(dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-
kurangnya Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milliar rupiah) dan paling
banyak Rp.200.000.000.000,00 (dua ratus milliar rupiah)”.
Dan Pasal 47 ayat (2) menentukan bahwa:
“Anggota Dewan Komisaris, Direksi, pegawai bank atau Pihak
Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan keterangan yang
wajib dirahasiakan menurut Pasal 40 diancam dengan pidana penjara
sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun
serta denda sekurang-kurangnya Rp.4.000.000.000,00 (empat milliar
rupiah) dan paling banyak Rp.8.000.000.000,00 (delapan milliar
rupiah)”.
Ketentuan di atas menunjukkan bahwa pelanggaran terhdap kewajiban
rahasia Bank tidak hanya diancam dengan pidana penjara, namun juga disertai
dengan pembayaran denda secara akumulatif sesuai bentuk pelanggarannya
melalui kesengajaan atau dengan pemaksaan untuk membuka rahasia Bank.
2. Sanksi Administratif
Selain sanksi pidana yang dipaparkan, pelanggaran terhadap kewajiban
rahasia Bank juga dikenakan sanksi administratif yang ditetapkan oleh Bank
Indonesia, bahkan Pinpinan Bank Indonesia dapat mencabut izini usaha Bank
yang melakukan pelanggaran terhadap kewajiban rahasia Bank sesuai dengan
ketentuan Pasal 52 ayat (1) UU Perbankan. Dan ayat (2) dari ketentuan Pasal
52 UU Perbankan tersebut menyebutkan bahwa:
Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) antara
lain adalah:
a. Denda uang;
b. Teguran tertulis;
c. Penurunan tingkat kesehatan bank;
63
d. Larangan untuk ikut serta dalam kegiatan kliring;
e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang
tertentu maupun untuk bank secara keseluruhan;
f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau
Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan
persetujuan Bank Indonesia; dan
g. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.
Pelaksanaan lebih lanjut dari sanksi administratif yang dipaparkan
diatas diserahkan oleh UU Perbankan kepada Bank Indonesia untuk
menetapkannya. Kewenangan pelaksanaan oleh Bank Indonesia tersebut
ditentukan dalam Pasal 52 ayat (3) UU Perbankan.
3. Sanksi Perdata
Selain kedua sanksi di atas (pidana dan administratif), pelanggaran
terhadap kewajiban rahasia Bank juga bisa dituntut ganti rugi secara perdata
oleh Nasabah, yaitu melalui alasan perbuatan melawan hukum.34 Hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:
“Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada
seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Redaksi di atas menunjukkan bahwa orang yang melakukan perbuatan
melanggar hukum diwajibkan untuk mengganti kerugian kepada pihak yang
dirugikan akibat perbuatan melanggar hukum tersebut. Tanggung jawab ini
bisa dilakukan jika orang yang melakukan perbuatan melanggar hukum
34 Rezza Muhammad Sjamsuddin, Artikel tentang “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah
dalam Bentuk Rahasia Bank”, Jurnal Lex Privatum, Vol. III/ No. 4/Okt/2015, h.38.
64
tersebut adalah orang yang mampu bertanggung jawab secara hukum (tidak
ada alasan pemaaf). Selain itu, perbuatan melanggar hukum tersebut juga
harus memenuhi 4 (empat) unsur, yaitu: 1) Ada perbuatan melanggar hukum;
2) Ada kerugian; 3) Ada hubungan kausalitas antara kerugian dan perbuatan
melanggar hukum; dan 4) Ada kesalahan.35
Pembukaan rahasia Bank merupakan pelanggaran terhadap Undang-
undang dan juga pelanggaran terhadap hak-hak Nasabah, serta dapat
mendatangkan kerugian bagi pihak Nasabah. Sehingga sanksi pidana dan
denda, serta sanksi administratif tidak menutup kemungkinan bagi Nasabah
untuk menuntut ganti kerugian secara perdata berdasarkan alasan perbuatan
melawan hukum.36 Hanya saja Nasabah dituntut harus bisa membuktikan
kerugian yang dialaminya sebagai akibat dari pembocoran rahasia Bank.37
Berdasarkan paparan di atas, jelas terlihat bahwa sanksi atas pelanggaran
terhadap kewajiban rahasia Bank telah mengakomodir perlindungan terhadap
hak-hak Nasabah dalam hubungannya dengan Bank, terlepas hubungan keduanya
bersifat kontraktual maupun sebaliknya. Selain itu, sanksi terhadap pelanggaran
rahasia Bank juga merupakan suatu upaya dalam menegakkan hukum dan
keadilan, serta untuk mewujudkan kesejahteraan dalam dunia perekonomian.
35 Ahmad Miru dan Sakka Pati, Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233 sampai
1456 BW, cet.II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), h.96-97.
36 Rezza Muhammad Sjamsuddin, Artikel tentang “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah
dalam Bentuk Rahasia Bank”, h.38.
37 Yunus Husein, Rahasia Bank :Privasi Versus Kepentingan Umum, h.37.
65
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA HARTA BERSAMA SEBAGAI
ALASAN UNTUK MEMBUKA RAHASIA BANK
A. Penyelesaian Sengketa Harta Bersama yang Melatarbelakangi Uji Materiil
Aturan Rahasia Bank oleh Mahkamah Konstitusi
Untuk memahami pokok permasalahan yang dimaksud dalam uji materiil
ketentuan rahasia Bank oleh Mahkamah Konstitusi, maka perlu diuraikan terkait
beberapa hal penting, yaitu tentang latar belakang permasalahan (kasus yang
terjadi), kedudukan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai penguji,
ketentuan yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945), dan juga
kerugian yang timbul akibat ketentuan yang bertentangan tersebut.
Berdasarkan paparan tersebut, penulis akan menguraikan masing-masing
hal-hal yang dianggap penting diatas sebagai dasar untuk memahami pokok
permasalahan yang dimaksud, yaitu sebagai berikut:
1. Kasus Harta Bersama di Pengadilan Agama dan Mahkamah Syariah yang
Terhalang oleh Aturan Kerahasiaan Bank
Secara teoritis, penyelesaian sengketa harta bersama antara orang-
orang yang beragama Islam di Indonesia merupakan kewenangan yang
diamanatkan oleh konstitusi kepada Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah
sebagaimana telah dijelaskan dalam pembahasan bab kedua. Selanjutnya di
bab tiga juga telah dipaparkan mengenai hal-hal yang bisa menjadi alasan
66
untuk membuka rahasia Bank, namun diantara alasan-alasan tersebut tidak ada
yang mengakomodir kepentingan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah.
Kepentingan Peradilan Agama/ Mahkamah Syariah sepintas terlihat
tidak berkaitan dengan pengecualian rahasia Bank dalam UU Perbankan.
Namun, kondisinya akan berbeda ketika dihadapkan pada simpanan di Bank
yang termasuk sebagai objek sengketa harta bersama yang di gugat melalui
Pengadilan Agama/ Mahkamah Syariah, sementara Pengadilan membutuhkan
informasi mengenai keuangan yang tersimpan tersebut agar dapat menentukan
jumlah pasti harta bersama yang harus diselesaikannya.
Kasus nyata terjadi di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh, yaitu
kasus antara Ibu Magda Safira, SE., MBA., sebagai Penggugat dengan
suaminya (Tergugat) berdasarkan Gugatan Perceraian dan Pembagian Harta
Bersama yang terdaftar dengan Nomor 21/Pdt-G/2012/MS-BNA tertanggal 1
Februari 2012. Salah satu objek harta bersama yang tersebut dalam gugatan
berbentuk sejumlah tabungan dan deposito yang terdaftar atas nama dan
penguasaan suami berdasarkan penyangkalannya atas keberadaan hartanya.1
Penyangkalan atas keberadaan harta bersama berbentuk simpanan dan
deposito tidak beralasan (tidak dapat dibuktikan oleh Tergugat), sementara
Penggugat memiliki bukti asli berupa buku tabungan dan bilyet deposito,
namun jumlah isi keseluruhannya tidak diketahui secara pasti. Oleh sebab
itulah, Mahkamah Syariah meminta keterangan langsung pada Bank mengenai
1 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012, h. 3-4.
67
jumlah harta dalam tabungan dan deposito tersebut melalui surat permohonan
yang dikirim kepada masing-masing cabang Bank yang bersangkutan.
Bank menolak memberi keterangan mengenai simpanan dan deposito
kepada Mahkamah Syariah dengan alasan kerahasiaan Bank yang dijamin
oleh UU Perbankan. Sementara Mahkamah Syariah membutuhkan data
tersebut agar dapat menentukan keseluruhan jumlah harta bersama yang akan
menjadi bagian masing-masing pihak yang bersengketa. Disinilah muncul
kendala bagi Mahkamah Syariah dalam menyelesaikan pembagian harta
bersama yang objeknya berbentuk simpanan yang dirahasiakan oleh Bank.
Kendala tersebut mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum
bagi Penggugat untuk mendapat keadilan di Mahkamah Syariah, khususnya
kepastian hukum terkait hak-haknya terhadap harta bersama yang dijamin
oleh hukum dan UUP. Bahkan kendala tersebut juga dianggap merugikan hak
dan/ atau kewenangan konstitusional Penggugat yang dijamin oleh UUD
1945, sehingga ketentuan rahasia Bank dalam UU Perbankan dianggap
bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.
Mahkamah Konstitusi dengan kedudukan dan kewenangan yang
diamanatkan oleh Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 terhadapnya sebagai penguji
undang-undang terhadap UUD 1945, melakukan pengujian terhadap ketentuan
rahasia Bank dalam UU Perbankan yang dianggap bertentangan dengan hak
konstitusional dalam UUD 1945. Hasil pengujian tersebut kemudian
dituangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012.
68
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi Melakukan Uji Materiil
Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga Negara yang berfungsi
sebagai pengawal dan penafsir konstitusi.2 Ide pembentukannya merupakan
salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegeraan modern yang
muncul di abad ke-20. Hal itu diawali dengan diadopsinya ide Mahkamah
Konstitusi (Constitutional Court) ke dalam amandemen konstitusi. Tepatnya
dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B perubahan yang ketiga UUD
1945, yang disahkan pada 9 November 2001.3
Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 memberikan kedudukan bagi Mahkamah
Konstitusi sebagai salah satu pelaksana Kekuasaan Kehakiman (kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan). Dan untuk kewenangan serta kewajibannya disebutkan dalam
Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945, yaitu sebagai berikut:
(1) “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama
dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.
(2) “Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/ atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”.
2 Nanang Sri Darmadi, Artikel tentang “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah Konstitusi
dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal Hukum Vol. XXVI/ No. 2/ Agustus 2011,
h.670.
3 Ahmad Edi Subiyanto, Artikel tentang “Perlindungan Hak Konstitusional Melalui
Pengaduan Konstitusional”, Jurnal Konstitusi, Vol. VIII/ No. 5/ Oktober 2011, h.713.
69
Redaksi yang sama disebutkan juga dalam Pasal 10 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah
diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (selanjutnya disingkat UU MK). Selain itu, dimuat juga dalam
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (selanjutnya disebut dengan UU Kekuasaan Kehakiman).4
Kewenangan yang diamanatkan oleh konstitusi kepada Mahkamah
Kosntitusi adalah mengadili di tingkat pertama dan terakhir, serta kekuatan
putusannya bersifat final. Artinya, putusan Mahkamah Konstitusi langsung
memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, dan kekuatan hukumnya
bersifat mengikat (final and binding), sehingga tidak ada upaya hukum lain
yang bisa ditempuh terhadap putusan tersebut. Kekuatan hukum Putusan ini
ditegaskan dalam penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK.
Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang telah dipaparkan
adalah melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945. Pengujian
tersebut meliputi pengujian materiil dan pengujian formil.5 Pengujian materiil
dan formil adalah sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2)
dan ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 06/PMK/ 2005
4 Undang-undang ini merupakan pembaharuan atas Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman yang menghapuskan aturan sebelumnya, yaitu Undang-Undang Nomor
35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman.
5 Pasal 51A Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
70
tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, yaitu
sebagai berikut:
“Pengujian materiil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan
materi muatan dalam ayat, pasal, dan/ atau bagian UU yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945. Dan pengujian formil adalah
pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan
hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil”.
Kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 tersebut
juga biasa dikenal dengan istilah pengujian konstitusionalitas undang-undang
(Judicial review on the constitutionality of law atau kerap disingkat judicial
review saja).6 Kewenangan judicial review ini dimaksudkan untuk melindungi
hak-hak fundamental/ hak konstitusional warga Negara yang telah dijamin
oleh UUD 1945 sebagai Konstitusi tertinggi Negara. Dan tentunya
dimaksudkan sebagai upaya dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Lebih lanjut mengenai penjelasan kewenangan Mahkamah Konstitusi
diatur tersendiri dalam UU MK, PMK, dan UU Kekuasaan Kehakiman serta
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan untuk struktur
organisasi Mahkamah Konstitusi didasarkan pada Peraturan Sekretaris
Jenderal Mahkamah Konstitusi Nomor 04 Tahun 2012 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Kepaniteraan dan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi.7
6 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint): Upaya
Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),
h.644.
7 Lihat di website Mahkamah Konstitusi, tentang “Struktur Organisasi Mahkanah
Konstitusi”. Di akses pada tanggal 17 Februari 2016, dari: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
71
3. Substansi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012
Putusan Mahkamah Kosntitusi Nomor 64/PUU-X/2012 merupakan
kesimpulan dari permohonan atas perkara Pengujian Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan (UU Perbankan), yang dianggap melanggar hak-hak
konstitusional Pemohon dalam UUD 1945. Secara ringkas, substansi dari
Putusan MK Nomor 64/PUU-X/2012 adalah sebagai berikut:
a. Duduk Perkara
Pemohon bernama Magda Safira, SE., MBA., yang beralamat di
Jalan PPA Nomor 45A RT 008/ RW 001, Kelurahan Bambu Apus,
Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur. Surat permohonan bertanggal 12 Juni
2012, diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 15 Juni
2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
223/PAN.MK/2012, dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi
pada tanggal 25 Juni 2012 dengan Nomor 64/PUU-X/2012, yang telah
diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah tanggal 27 Juli 2012.
Permohonan dilatarbelakangi dengan adanya Gugatan Perceraian
dan Pembagian Harta Bersama yang didaftarkan di Mahkamah Syariah
Kota Banda Aceh Nomor 21/Pdt.G/2012/MS-BNA tertanggal 1 Februari
2012. Dalam gugatan harta bersama dicantumkan bahwa sejumlah harta
bersama berbentuk tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas
nama suami Pemohon di 3 (tiga) Bank di Provinsi Aceh. Harta bersama
72
berbentuk tabungan dan deposito tersebut didasarkan pada bukti asli berupa
buku tabungan dan bilyet deposito yang berada ditangan Pemohon.
Mahkamah Syariah telah mengirimkan surat permohonan kepada
masing-masing cabang Bank yang bersangkutan agar menjelaskan tentang
keberadaan tabungan dan deposito demi kepentingan harta bersama yang
dilindungi oleh hukum dan UU Perkawinan Namun, ketiga Bank yang
bersangkutan menolak memberikan keterangan dengan alasan karena
rahasia Bank yang juga dilindungi oleh hukum dan UU Perbankan.
Rahasia Bank mengakibatkan Pemohon dan Mahkamah Syariah
tidak dapat menentukan kepastian jumlah harta bersama yang diperoleh
selama pernikahan Pemohon dengan suami Pemohon. Selain itu, Pemohon
berpotensi mengalami kerugian dalam bentuk materiil terkait hak Pemohon
atas harta bersama yang disimpan di Bank atas nama suami Pemohon, baik
dalam bentuk tabungan, deposito, dan produk Perbankan lainnya.
Hak atas harta bersama, baik berbentuk tabungan dan deposito atau
selainnya menurut Pemohon termasuk sebagai hak-hak konstitusional yang
dijamin oleh UUD 1945. Oleh sebab itu, Pemohon beranggapan bahwa
ketentuan rahasia Bank dalam UU Perbankan ( Pasal 40 ayat (1) dan ayat
(2) UU Perbankan) bertentangan dengan hak konstitusional dalam UUD
1945 (Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945), sehingga
Pemohon mengajukan pengujian Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perbankan terhadap Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
73
Pasal 40 UU Perbankan yang diajukan pengujian terhadap UUD
1945 adalah sebagai berikut:
(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal
44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula
bagi Pihak terafiliasi.
Sedangkan ketentuan dalam UUD 1945 dinyatakan sebagai berikut:
Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28H ayat (4): “Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun”.
Berdasarkan UU Perbankan dan UUD 1945 tersebut diatas, maka
hak dan/ atau kewenangan konstitusional yang dianggap Pemohon telah
dirugikan oleh berlakunya UU Perbankan adalah sebagai berikut:
1) Pengecualian rahasia bank dalam Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2), tidak
mengakomodir kepentingan perdata untuk perceraian serta pembagian
harta bersama nasabah penyimpan;
2) Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan telah memberi ruang kepada suami
Pemohon untuk memindahkan dan/ atau mengalihkan tabungan dan
deposito yang merupakan harta bersama yang disimpan atas nama suami
pemohon, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 H ayat (4) UUD
1945; dan
74
3) Pemberlakuan ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan
telah menghalangi akses Pemohon untuk memperoleh keterangan
mengenai harta bersama, sehingga melanggar Pasal 28G ayat (1) dan
Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Substansi dalam Petitum, Pemohon memohon agar Majelis Hakim
MK (Mahkamah) menyatakan bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan menjamin hak suami nasabah
atau hak istri nasabah penyimpan dan simpanannya, terkait harta bersama
dalam hal perkara perdata perceraian nasabah yang bersangkutan di
lembaga peradilan perdata di seluruh wilayah Republik Indonesia.
b. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Mahkamah
Majelis Hakim Mahkamah (selanjutnya disebut Mahkamah)
menimbang bahwa pokok permohonan adalah pengujian konstitusionalitas
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan terhadap UUD 1945. Dalam
hal ini, Mahkamah harus mempertimbangkan terlebih dahulu tentang 2
(dua) hal, yaitu:
Pertama, tentang Kewenangan Mahkamah untuk mengadili
permohonan a quo. Dalam hal ini, Mahkamah berwenang untuk mengadili
permohonan a quo, dengan landasan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a UU MK juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a
UU Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Konstitusional
75
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD 1945.
Dan kedua, tentang kedudukan hukum (legal standing) Pemohon
dalam mengajukan permohonan a quo. Dalam hal ini, Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan dengan
beberapa landasan, yaitu: Pasal 51 ayat (1) UU MK dan penjelasannya
meberikan kewenangan bagi perorangan Warga Negara Indonesia untuk
dapat mengajukan permohonan pengujian UU terhadap UUD 1945, dan
berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang
menurut mahkamah bahwa hak atas harta benda yang merupakan harta
bersama selama perkawinan merupakan harta yang harus dilindungi dan
tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun.
Kemudian substansi dari pertimbangan hukum Mahkamah terhadap
pokok-pokok permohonan akan diuraikan sebagai berikut:
1) Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat
(4) UUD 1945, setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang
dibawah kekuasaannya dan setiap orang memiliki hak milik pribadi
yang tidak boleh di ambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun;
2) Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan
Pasal 37 UUP, harta benda yang di bawah kekuasaannya adalah
termasuk harta bersama yang diperoleh selama perkawinan; dan
berdasarkan Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), dan Pasal 37 UUP serta
76
Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam (KHI), maka harta bersama
yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh
suami dan/ atau isteri di satu Bank, baik dalam bentuk tabungan,
deposito, dan produk Perbankan lainnya merupakan harta benda milik
bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi;
3) Menimbang bahwa permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah
adalah terkait larangan bagi Bank untuk memberikan keterangan
mengenai Nasabah penyimpan dan simpanannya sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan;
4) Menimbang, benar bahwa setiap Nasabah harus dilindungi kerahasiaan
datanya oleh Bank sesuai Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan, akan tetapi
Pasal a quo juga memberikan pengecualian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A;
Bahwa dari pengecualian tersebut terdapat norma yang membolehkan
data nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu perkara pidana dan
perkara perdata antara Bank dengan Nasabahnya Berdasarkan hal
tersebut, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga
dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait harta bersama,
karena harta bersama adalah harta milik bersama suami isteri yang
mendapat perlindungan dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh salah satu pihak, sebagaimana telah dijamin dalam Pasal
28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4);
77
5) Menimbang bahwa perlu ada penafsiran yang pasti terkait Pasal 40 ayat
(1) UU Perbankan agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam
pelaksanaanya, sehingga setiap isteri dan/ atau suami termasuk
Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi
mengenai harta bersama yang disimpan di Bank. Oleh sebab itu,
ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai“Bank wajib
merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian”. Dengan demikian, dalil Pemohon menurut Mahkamah
beralasan menurut hukum;
6) Menimbang bahwa mengenai ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan
didalilkan bertentang dengan UUD 1945, menurut Mahkamah ketentuan
tersebut adalah untuk Pihak Terafiliasi sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 angka (22) UU Perbankan bukan untuk perorangan warga
Negara, sehingga ketentuan tersebut dianggap tidak bertentangan
dengan UUD 1945, dan dalil Pemohon tidak beralasan menurut hukum;
7) Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan diatas, menurut
Mahkamah permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut
hukum untuk sebagian.
78
c. Konklusi dan Amar Putusan
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana telah
diuraikan diatas, Mahkamah berkesimpulan bahwa Mahkamah berwenang
mengadili permohonan a quo, dan Pemohon memiliki kedudukan hukum
(legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, serta pokok-pokok
permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum untuk
sebagian. Sedangkan dalam Amar Putusan, Mahkamah menyatakan:
1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yaitu:
a) Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan adalah bertentangan dengan UUD
1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk kepentingan
peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian; dan
b) Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk kepentingan
peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian;
2) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; dan
3) Memerintahkan pemuatan putusan dalam Berita Negara Republik
Indonesia sebagaimana mestinya.
Diputuskan dalam Rapat Permusyawarahan Hakim pada hari Rabu,
tanggal 20 Februari 2013. Diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah
Konstitusi terbuka untuk umum hari Kamis, tanggal 28 Februari 2013,
didampingi Panitera Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah
atau yang mewakili, serta Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
79
B. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 Terhadap
Penyelesaian Sengketa Harta Bersama
Sebelumnya telah dipaparkan bahwa idealnya suatu putusan Hakim harus
mengakomodir 3 (tiga) unsur pokok, yaitu keadilan (Gerechtigkeit), kemanfaatan
(Zweckmassigkeit) dan kepastian hukum (Rechtssicherheit).8 Demikian juga pada
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012, Hakim Mahkamah telah
menyatakan amar putusan yang dianggap telah mengakomodir ketiga unsur-
unsur pokok di atas. Hal ini tentunya dengan berdasarkan pertimbangan hukum
serta berbagai landasan yang akan diuraikan lebih lanjut dalam penelitian ini.
Berdasarkan berbagai sumber dan data-data yang diperoleh, baik secara
pustaka maupun yang didapatkan setelah wawancara langsung ke Mahkamah
Konstitusi, maka ada beberapa poin penting yang perlu ditegaskan kembali
sebelum melihat pada implikasi-implikasi hukum yang muncul setelah putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut. Salah satunya terkait peroblem yang mendasari
permohonan judicial review Pasal tentang rahasia bank dalam UU Perbankan
yang berawal dari kasus penyelesaian sengketa harta bersama, objek harta
bersama masih dalam penguasaan salah satu pihak (suami) dan masih berbentuk
Simpanan (Tabungan dan Deposito) di beberapa cabang Bank yang secara
otomatis dilindungi oleh aturan kerahasiaan bank, sehingga menimbulkan
kesulitan bagi Pengadilan untuk membuktikan keberadaan harta bersama.
8 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Ed-Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka,
2012), h.23.
80
Sementara menurut ketentuan hukum, masing-masing pihak (baik suami
maupun isteri) akan mendapatkan hak yang sama terhadap harta bersama dalam
perkawinan, kecuali ditentukan lain oleh para pihak. Harta bersama akan menjadi
hak milik masing-masing suami dan isteri setelah terjadi perceraian (putusnya
ikatan perkawinan), sehingga masing-masing mereka berhak untuk menguasai
apa yang seharusnya menjadi hak milik mereka masing-masing. Namun dalam
kasus yang terjadi, akses salah satu pihak terhadap hak atas harta bersama masih
terhalang disebabkan adanya aturan kerahasiaan bank diatas.
Kerahasiaan bank merupakan ketentuan hukum Perbankan yang termasuk
higly regulated industry (hal-hal yang diatur secara ketat). Hal tersebut beranjak
dari kedudukan Perbankan yang memiliki peran penting serta peran yang sangat
mendasar dalam sistem keuangan dan perekonomian, baik dalam tatanan di suatu
Negara maupun secara global. Selain itu, karena kerahasiaan juga merupakan
salah satu bentuk perlindungan hukum terhadap hak-hak pribadi nasabah bank
(privacy right), khususnya terkait keadaan keuangannya (financial privacy right).
Higly regulated industry di atas diaplikasikan dalam aturan kerahasiaan
bank sehingga akses terhadap keadaan keuangan nasabah yang tersimpan di bank
hanya bisa diterobos oleh pihak-pihak yang dibolehkan oleh UU Perbankan
melalui mekanisme dan prosedur yang juga telah ditetapkan. Akan tetapi, untuk
kepentingan Peradilan Perdata yang secara khusus dalam penyelesaian harta
bersama belum diakomodir dalam UU Perbankan, sehingga pihak bank tidak bisa
memberikan akses terhadap simpanan (tabungan dan deposito) nasabah yang
81
menjadi objek harta bersama, meskipun Pengadilan telah memberikan perintah
untuk membuka hal tersebut. Dengan demikian, aturan kerahasiaan bank menjadi
penghalang bagi Peradilan Perdata untuk memastikan keseluruhan harta bersama
dalam proses pembuktian harta di persidangan, dan otomatis berakibat pada
terhalangnya akses para pihak (dalam kasus ini adalah isteri) untuk mendapatkan
haknya atas harta bersama dalam perkawinan. Oleh sebab itu, aturan rahasia bank
dianggap tidak memberikan kepastian hukum karena tidak mengakomodir
keseluruhan hak-hak konstitusional warga Negara yang dijamin oleh UUD 1945
sebagai konstitusi tertinggi Negara (supreme law of the land).9
Paparan di atas jelas menunjukkan bahwa latar belakang permohonan
judicial review murni persoalan hak konstitusional, yaitu beranjak dari hak milik
atas harta bersama setelah perceraian yang muncul sebagai implikasi dari adanya
hubungan hukum melalui ikatan perkawinan. Hak atas harta bersama tersebut
dinyatakan dalam Peraturan Perundang-undangan (PUU), baik UUP dan KHI
maupun selainnya, dan secara otomatis telah diakomodir juga oleh UUD 1945
sebagai konstitusi tertinggi, sehingga dinyatakan sebagai hak konstitusional.
Setiap warga Negara pada dasarnya telah memiliki hak konstitusional,
baik yang dimiliki oleh individu masing-masing maupun hak yang muncul dari
hubungan hukum lainnya. Demikian juga dengan hak atas harta bersama setelah
perceraian, selain jaminan hak untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
9 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
82
melalui perkawinan yang sah (Pasal 28 B ayat {1} UUD 1945), konstitusi juga
telah memberikan jaminan perlindungan secara spesifik terhadap hak atas harta
bersama setelah terjadi perceraian, yaitu termasuk sebagai harta benda yang
dibawah kekuasaannya dan sebagai hak milik yang tidak boleh diambilalih
secara sewenang-wenang oleh siapapun. Hal tersebut dinyatakan tegas dalam
ketentuan Pasal 28 G ayat (1) dan Pasal 28 H ayat (4) UUD 1945.
Berdasarkan jaminan tersebut, jelas bahwa aturan kerahasiaan bank yang
menghalangi akses para pihak (isteri) untuk menguasai dan mendapatkan hak
miliknya atas harta bersama telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena
melanggar hak-hak konstitusional warga Negara, sehingga materi Pasal-Pasal
tentang rahasia bank dalam UU Perbankan dianggap bertentangan dengan aturan
dalam konstitusi tertinggi Negara, yaitu UUD 1945.
UUD 1945 merupakan konstitusi tertinggi yang disebut juga sebagai
grundnorm atau highest norm, bahkan supreme law of the land. Artinya, segala
PUU yang berada dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan hal-hal yang
sudah diatur oleh konstitusi tertinggi Negara. Dalam semangat penegakannya,
Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai pengawal dan penafsir undang-undang
atau konstitusi (guardian of constitution) tersebut. Bahkan ide pembentukannya
juga dilandasi upaya serius untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak
konstitusional warga Negara, khususnya yang belum diakomodir dalam PUU.10
10 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
83
Semua PUU pada dasarnya harus mengakomodir hak-hak konstitusional
warga Negara, dan jika ternyata masih ada hak-hak konstitusional yang dilanggar
atau tidak diakomodir oleh PUU, maka Pengadilan lah (dalam hal ini Mahkamah
Konstitusi) yang harus masuk dan berperan untuk melindungi atau menegakkan
hak-hak tersebut. Demikian juga dengan hak konstitusional warga Negara atas
harta bersama setelah perceraian, oleh karena hak tersebut tidak diakomodir oleh
UU Perbankan dalam aturan rahasia bank, maka Mahkamah Konstitusi dengan
berdasarkan permohonan yang diajukan, melakukan judicial review Pasal-Pasal
dalam UU Perbankan yang dianggap melanggar hak konstitusional tersebut.
Judicial review dimaksudkan untuk menjamin konsistensi suatu PUU
terhadap peraturan diatasnya, sehingga aturan-aturan yang dianggap bertentangan
akan dilakukan pengujian oleh Mahkamah Konstitusi untuk mencapai konsistensi
tersebut. Konstistensi PUU tersebut juga dimaksudkan sebagai salah satu upaya
untuk menegakkan hak-hak konstitusional warga Negara sebagaimana telah
dipaparkan. Dengan demikian, landasan yang digunakan oleh Hakim Mahkamah
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 adalah landasan
yang berdasarkan konstitusi sehingga disebut landasan konstitusional.11
Landasan konstitusional diatas dianggap telah mencakup semua aspek,
baik aspek secara hukum maupun aspek-aspek diluar hukum atau selainnya. Hal
tersebut juga sejalan dengan keluasan makna konstitusi sebagaimana dipaparkan
11 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
84
oleh Moh Mahfud MD dalam bukunya Membangun Politik Hukum Menegakkan
Konstitusi, yaitu mencakup semua peraturan tentang organisasi Negara, baik
berbentuk tertulis seperti dokumen khusus (UUD) dan dokumen tersebar (PUU),
maupun sebaliknya berbentuk tak tertulis seperti Konvensi dan Adat.12 Dengan
luasnya makna konstitusi tersebut, landasan konstitusional yang digunakan oleh
Hakim Mahkamah dianggap telah mencapai suatu putusan yang ideal.
Secara otomatis, putusan Hakim yang ideal telah mengakomodir keadilan
dan kepastian hukum bagi warga Negara, umumnya bagi warga Negara yang
hak-hak konstitusionalnya dirugikan dengan sebab berlakunya suatu aturan PUU,
dan khususnya bagi warga Negara yang hak-hak konstitusionalnya dirugikan
oleh berlakunya aturan kerahasiaan bank dalam UU Perbankan.13 Dalam hal ini,
keadilan merupakan tujuan utama yang ingin dicapai oleh warga atau siapapun
yang melimpahkan suatu perkara kepada lembaga Pengadilan.
Keadilan umumnya dipahami sebagai kondisi kebenaran ideal secara
moral mengenai suatu hal, baik menyangkut benda atau orang.14 Dan menurut
Lilik Mulyadi sebagaimana dikutip oleh Winda Wijayanti, “dalam suatu putusan
Hakim harus dipertimbangkan segala aspek yang bersifat yuridis, sosiologis dan
filosofis, sehingga keadilan yang dicapai, diwujudkan dan dipertimbangkan
12 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2010), h.124.
13 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
14 Umar Sholehuddin, Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian Sosiologi Hukum,
(Malang: Setara Press, 2011), h.41.
85
dalam putusan Hakim adalah keadilan yang berorientasi pada keadilan hukum
(legal justice), keadilan masyarakat (sosial justice) dan keadilan moral (moral
justice)”.15 Berdasarkan hal tersebut, putusan apapun yang telah dinyatakan oleh
Hakim, dianggap telah mengakomodir aspek-aspek keadilan sebagaimana telah
disebutkan diatas. Demikian juga dengan putusan Hakim Mahkamah Konstitusi
yang dinyatakan dalam putusan Nomor 64/PUU-X/2012.
Pertimbangan hukum yang dinyatakan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi,
merupakan interpretasi sistematis dengan mengkaitkan antara Pasal-Pasal UU
Perkawinan, yaitu Pasal 36 ayat (1) dan Pasal 37 UUP dengan Pasal 1 huruf (f)
KHI. Kemudian interpretasi sistematis juga dilakukan pada Pasal 40 ayat (2) UU
Perbankan dengan mengkaitkannya dengan Pasal 1 angka (22) UU Perbankan
dalam mencari makna dari Pihak Terafiliasi.16 Selain itu, Hakim Mahkamah juga
melihat bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan masih memberikan celah untuk
diterobos demi kepentingan-kepentingan tertentu, namun tidak termasuk untuk
kepentingan Peradilan dalam penyelesaian harta bersama, sehingga menimbulkan
kerugian bagi warga Negara atas hak konstitusionalnya terkait harta bersama.
Berdasarkan pertimbangan hukum tersebut, Hakim Mahkamah Konstitusi
menyatakan bahwa keadilan akan tercapai dengan membolehkan aturan rahasia
bank tersebut dibuka juga untuk kepentingan Peradilan mengenai penyelesaian
15 Winda Wijayanti, artikel tentang “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian terkait Rahasia Bank”, Jurnal Konstitusi, Volume 10/
No. IV/ Desember 2013, h.724.
16 Winda Wijayanti, artikel tentang “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian terkait Rahasia Bank”, h.726.
86
harta bersama dalam perkara perceraian. Hal ini karena harta bersama adalah
harta milik suami dan/ atau isteri, sehingga suami dan isteri harus mendapat
perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil alih secara sewenang-
wenang oleh salah satu pihak sebagaiman telah dijamin oleh Pasal 28G ayat (1)
dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Pertimbangan hukum yang dianggap telah
mengakomodir rasa keadilan tersebut juga secara otomatis akan mengakomodir
kemanfaatan dan kepastian hukum bagi warga Negara.
Manfaat merupakan hal yang harus didapatkan oleh warga Negara atau
masyarakat dalam pelaksanaan atau penegakan suatu aturan hukum, karena
hukum memang diciptakan untuk mengatur masyarakat itu sendiri.17 Sementara
kepastian hukum merupakan nilai yang pada prinsipnya memberikan
perlindungan hukum bagi setiap warga Negara dari kekuasaan yang bertindak
sewenang-wenang (baik antar warga negara dengan Negara maupun oleh
sekelompok pihak selain Negara), sehingga hukum memberikan tanggung jawab
pada Negara untuk menjalankan kepastian hukum tersebut.18
Tanggung jawab Negara dalam kasus ini dijalankan oleh Mahkamah
Konstitusi, sehingga keadilan dan manfaat serta kepastian hukum tersebut
dianggap telah tercapai dengan menambahkan kepentingan Peradilan dalam
penyelesaian harta bersama sebagai salah satu alasan untuk dapat menerobos
17 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, cet.II, (Yogyakarta: Liberty, 2005), h.160.
18 E. Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, cet.II, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2007), h.95.
87
kerahasiaan bank. Hal inilah yang kemudian dicerminkan dalam konklusi dan
amar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012, yaitu “Hakim
Mahkamah mengabulkan permohonan untuk sebagian, kemudian menolak
permohonan untuk sebagian dan selebihnya”. Putusan Hakim Mahkamah ini
merupakan suatu hukum yang ditemukan oleh Hakim dalam perkara kongkrit
yang dihadapkan kepadanya sehingga disebut juga sebagai penemuan hukum
oleh Hakim (rechtsvinding).19 Berdasarkan metode penemuan hukum tersebut,
permohonan yang dikabulkan oleh Hakim Mahkamah dinyatakan bahwa:
1) Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian;
2) Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama
dalam perkara perceraian.
Redaksi putusan di atas merupakan penerapan konstitusional bersyarat
(conditionally constitutional), yaitu penemuan hukum yang dilakukan oleh
Mahkamah Konstitusi yang dalam putusannya adalah suatu norma yang di dalam
UU akan dianggap konstitusional sepanjang dimaknai dan dijatuhkan sesuai
19 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
88
dengan yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi. Kemudian putusan tersebut
juga sekaligus penerapan Hakim yang inkonstitusional bersyarat (conditionally
unconstitutional) atau kebalikan dari sebelumnya, artinya suatu norma yang di
dalam undang-undang akan dianggap konstitusional sepanjang tidak dimaknai
tafsiran Mahkamah Konstitusi, yaitu Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk kepentingan peradilan
mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.20
Penerapan putusan Mahkamah Konstitusi konstitusional bersyarat dan
inkonstitusional bersyarat memuat beberapa karakteristik, yaitu sebagai berikut:
1. Bertujuan untuk mempertahankan konstitusionalitas suatu aturan dengan
syarat-syarat yang ditentukan MK;
2. Syarat–syarat yang ditentukan MK mengikat dalam proses pembentukan UU;
3. Membuka peluang adanya pengujian kembali norma yang telah diuji, dalam
hal pembentukan UU tidak sesuai dengan syarat yang ditentukan MK;
4. Putusan konstitusional bersyarat menjadi acuan bagi MK dalam menilai
konstitusionalitas norma yang sama;
5. Terdapat pada permohonan beralasan sehingga dinyatakan dikabulkan dengan
tetap mempertahankan konstitusionalitasnya;
6. Membuka peluang adanya pengujian norma yang secara tekstual tidak
tercantum dalam suatu UU;
7. Untuk mengantisipasi terjadinya kekosongan hukum;
8. Kedudukan MK yang pada dasarnya sebagai penafsir UU, dengan adanya
putusan konstitusional bersyarat MK menjadi sekaligus sebagai pembentuk
UU secara terbatas.21
20 Winda Wijayanti, artikel tentang “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian terkait Rahasia Bank”, h.726.
21 Syukri Asy’ari, dkk, artikel tentang “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang: Studi Putusan Tahun 2003-2012” Jurnal Konstitusi,
Volume 10/ No. IV/ Desember 2013, h.686-687.
89
Karakteristik kedua model putusan tersebut tidak ada perbedaan, hanya
saja putusan inkonstitusional bersyarat merupakan model terbalik dari putusan
konstitusional bersyarat. Keduanya pada dasarnya merupakan putusan yang tidak
membatalkan dan menyatakan tidak berlaku suatu norma, akan tetapi kedua
putusan tersebut memuat adanya penafsiran (interpretative decision) terhadap
suatu materi muatan ayat, pasal dan / atau bagian dari UU, atau bahkan UU
secara keseluruhan yang dinyatakan bertentangan atau tidak bertentangan dengan
konstitusi dan tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat maupun sebaliknya.22
Berdasarkan karakteristik putusan di atas, maka penerapan putusan
konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat yang dinyatakan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dianggap tetap menjaga perlindungan
kerahasiaan bank dan menjaga kepercayaan nasabah terhadap bank, serta tetap
menjaga kestabilan perekonomian Nasional sesuai kedudukannya sebagai bagian
keuangan yang diatur secara ketat (higly regulated industry).
Pada prisnsipnya, putusan konstitusional dan inkonstitusional bersyarat
juga secara tidak langsung dapat menjadi pintu masuk perumusan norma baru.
Dalam hal ini memang terdapat perbedaan pendapat, misalnya pendapat ekstrem
yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi bisa keluar dari UU
apabila UU tersebut tidak memberi rasa keadilan. Sementara pendapat lainnya
menyatakan bahwa posisi Mahkamah Konstitusi hanya sebagai negative power
22 Syukri Asy’ari, dkk, artikel tentang “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang, h.689.
90
yang hanya boleh memutus norma dalam UU yang bertentangan dengan UUD
tanpa boleh memasukkan norma baru. Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut,
Mahkamah Konstitusi dalam sejumlah putusannya telah membuat terobosan
hukum, yaitu dengan membuat norma hukum baru dalam beberapa putusannya,
meskipun pada pada dasarnya norma baru tersebut bersifat sementara, dan akan
diambil alih dalam pembentukan atau revisi undang-undang terkait.23
Beberapa pendapat lainnya juga mendasarkan pada kekuatan putusan
Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (final and binding)
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan juga
penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, sehingga tidak ada upaya hukum lain yang
bisa ditempuh terhadap putusan tersebut. Kekuatan mengikat putusan Mahkamah
Konstitusi dianggap berlaku secara umum terhadap seluruh kalangan masyarakat,
meskipun dasar permohonan pengujian UU merupakan hak konstitusional
pemohon yang dirugikan, namun hal tersebut dianggap mewakili kepentingan
hukum seluruh masyarakat, yaitu demi tegaknya konstitusi.24
Terlepas dari pendapat-pendapat yang disampaikan tersebut, penerapan
konstitusional bersyarat dan inkonstitusional bersyarat yang dinyatakan dalam
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 juga secara tidak
langsung telah memunculkan norma hukum baru. Hal itu terlihat dari penafsiran
23 Syukri Asy’ari, dkk, artikel tentang “Model dan Implementasi Putusan Mahkamah
Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang, h.692-693.
24 Muchammad Ali Safa’at, “Kekuatan Mengikat dan Pelaksanaan Putusan MK”, artikel di
download pada Tanggal 24 Mei 2016, dari:
http://anomalisemesta.blogspot.co.id/2009/02/kekuatan-mengikat-dan-pelaksanaan.html
91
Mahkamah Konstitusi yang menambahkan kepentingan penyelesaian harta
bersama sebagai salah satu alasan untuk menerobos aturan kerahasiaan bank
melalui pernyataan bahwa Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan
UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak
dimaknai termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam
perkara perceraian.
Berdasarkan paparan tersebut, maka implikasi hukum yang muncul dari
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, jelas menambahkan satu alasan untuk
membuka rahasia bank, yaitu untuk kepentingan Peradilan mengenai harta
bersama dalam perkara perceraian. Dalam hal tersebut, Peradilan yang dimaksud
otomatis mengarah pada lembaga Peradilan yang memiliki kewenangan untuk
menyelesaikan pembagian harta bersama, yaitu Peradilan Agama dan Peradilan
Negeri serta Mahkamah Syariah.
Dengan menaganalisa pada permasalahan yang melatarbelakangi diajukan
permohonan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, maka dapat dipahami
bahwa putusan Mahkamah Konstitusi telah memeberikan wewenang kepada
Hakim Peradilan yang menyelesaikan harta bersama untuk memerintahkan pihak
Bank agar membuka rahasia bank demi kepentingan penyelesaian harta bersama.
Dengan demikian, setelah putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ditetapkan,
maka pihak bank harus mematuhi perintah Hakim Peradilan untuk membuka
rahasia bank jika alasannya adalah untuk kepentingan penyelesaian harta
bersama. Pihak bank tidak bisa lagi menolak dengan alasan kerahasiaan bank
92
sebagaimana aturan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yang sebelumnya, meskipun
belum ada aturan pelaksanaan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.25
Disinilah kemudian terlihat kekuatan mengikat putusan Mahkamah
Konstitusi sesuai karakteristik yang disampaikan sebelumnya, sehingga aturan
Pasal yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi sudah menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari UU Perbankan. Dan tentunya syarat yang ditetapkan oleh
Mahkamah Konstitusi harus dimuat nantinya dalam pembentukan atau revisi UU
Perbankan, serta seakan menjadi norma hukum baru yang berlaku sementara
sampai dilakukan revisi terhadap aturan Pasal rahasia bank tersebut.
Kemudian akses yang diberikan kepada Pengadilan untuk menerobos
aturan rahasia bank demi kepentingan penyelesaian harta bersama yang muncul
sebagai implikasi dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut secara otomatis
akan memberikan kemudahan dalam proses pembuktian harta bersama di
persidangan, khususnya terhadap harta bersama berbentuk simpanan Bank yang
masih dikuasai oleh salah satu pihak (baik oleh suami maupun isteri), sehingga
kendala dan kesulitan yang sebelumnya terjadi dalam proses pembuktian harta
bersama berbentuk simpanan Bank telah ditemukan solusinya melalui wewenang
yang diberikan kepada Hakim Peradilan untuk menerobos aturan rahasia bank.
Dalam hal di atas, pihak Pengadilan telah terlepas dari tuntutan hukum
(khususnya tuntutan pelanggaran rahasia bank), meskipun nantinya dalam proses
25 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
93
pembuktian yang dilakukan ternyata harta simpanan bank tersebut tidak terbukti
sebagai harta bersama dalam perkawinan mereka. Misalnya, setelah dibuktikan
ternyata harta tersebut termasuk sebagai harta bawaan, atau ternyata harta dalam
simpanan tersebut sudah tidak ada, atau sudah dialihkan oleh pihak yang
menguasai harta sehingga membutuhkan proses yang lebih lanjut karena harus
terlebih dahulu diselesaikan secara pidana, baik karena melakukan penggelapan
atas harta bersama atau seumpamanya.26
Selain memberikan kemudahan kepada Pengadilan untuk membuktikan
keberadaan harta bersama dalam perkawinan, implikasi hukum yang muncul
pasca putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga lebih mempertegas kedudukan
harta bersama dalam penegakan hukum perkawinan di Indonesia, khususnya dari
aspek perlindungan hukum terhadap hak-hak suami dan isteri atas harta bersama
apabila terjadi perceraian. Artinya, harta bersama yang dijamin oleh hukum
melalui UUP, KHI dan selainnya, akan semakin jelas diakomodir sebagai hak
konstitusional dalam konstitusi tertinggi Negara (UUD 1945), sehingga harta
bersama yang akan menjadi bagian suami atau isteri setelah perceraian
dikategorikan sebagai hak milik para pihak yang tidak bisa diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun dan oleh pihak manapun.
Berdasarkan implikasi hukum yang muncul tersebut, maka jelas terlihat
bahwa Putusan Mahakamah Konstitusi telah mengakomodir nilai-nilai keadilan,
26 Hasil wawancara Penulis dengan Bapak Helmi Kasim di Ruang Kerja, Gedung Mahkamah
Konstitusi RI pada Hari Senin, Tanggal 04 April 2016, Jam, 10.00-11.30 Wib.
94
kemanfaan dan kepastian hukum sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya,
secara khusus telah memberikan jaminan keadilan dan kepastian hukum terhadap
hak-hak warga Negara atas harta bersama berbentuk simpanan Bank yang masih
dikuasai oleh salah satu pihak dalam perkawinan. Pernyataan ini juga dikuatkan
dengan pendapat salah satu Hakim Mahkamah Konstitusi, yaitu M. Akil Mochtar
sebagaimana dikutip oleh Winda Wijayanti berikut: “Para pemohon menyatakan
bahwa pihak mereka (Pemohon) merasa puas atas putusan Mahkamah yang
dianggap sudah tepat dan sudah memenuhi rasa keadilan tersebut”.27
Selanjutnya, mekanisme dan prosedur pembukaan rahasia bank untuk
kepentingan Pengadilan mengenai penyelesaian harta bersama dalam perkara
perceraian tidak dinyatakan secara khusus dan belum dibuat dalam aturan
pelaksanaan putusan tersebut. Oleh sebab itu, ketika Pengadilan memerintahkan
Bank untuk membuka informasi dan data-data nasabah bank dengan alasan untuk
kepentingan penyelesaian harta bersama sebagaimana dinyatakan sebelumnya,
maka pihak Bank harus mematuhi perintah tersebut sebagaimana mereka patuh
terhadap ketentuan UU Perbankan.
27 Winda Wijayanti, artikel tentang “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta Bersama
Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian terkait Rahasia Bank”, h.726.
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kajian dan analisis penulis yang telah dipaparkan pada
bab-bab sebelumnya, maka beberapa kesimpulan yang dapat diambil sekaligus
sebagai jawaban terhadap rumusan permasalahan yang telah disampaikan adalah
sebagai berikut:
1. Implikasi yang muncul setelah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
64/PUU-X/2012 terhadap penyelesaian sengketa harta bersama yang terhalang
aturan rahasia bank adalah memberikan kewenangan bagi Peradilan (Peradilan
Agama, Peradilan Negeri dan Mahkamah Syariah) untuk memerintahkan
pihak Bank agar membuka rahasia nasabah yang menurut Peradilan perlu
dibuktikan kebenarnnya sebagai harta bersama dalam perkawinan, sehingga
implikasi tersebut menjadi solusi bagi Peradilan untuk mengatasi kesulitan-
kesulitan yang sebelumnya terjadi dalam proses pembuktian kepastian dan
keberadaan harta bersama berbentuk simpanan bank yang dikuasai oleh salah
satu pihak (baik oleh pihak suami maupun isteri); dan
2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012 sudah menjamin
keadilan dan kepastian hukum terhadap hak-hak warga Negara atas harta
bersama yang berbentuk simpanan Bank, karena hak-hak atas harta bersama
secara tegas dijamin sebagai hak konstitusional dalam UUD 1945. Selain itu,
kepentingan peradilan dalam penyelesaian harta bersama yang berbentuk
96
rahasia bank juga telah menjadi salah satu alasan yang dibenarkan secara
hukum untuk dapat menerobos kerahasiaan bank, sehingga salah satu pihak
dari suami atau isteri tidak bisa mengambil alih secara sewenang-wenang hak-
hak pihak lainnya atas harta bersama dalam perkawinan, bahkan secara umum
hak atas harta bersama seseorang tidak bisa di ambil alih oleh siapapun dan
oleh pihak manapun.
B. Saran
Dari beberapa kesimpulan yang telah Penulis paparkan diatas, tampaknya
harus ada penyempurnaan terhadap ketentuan penyelesaian harta bersama yang
dimuat dalam UUP dan KHI, khususnya terkait dengan objek-objek harta
bersama yang masih berkaitan dengan aturan hukum lain seperti hukum
Perbankan atau selainnya. Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa saran yang
menurut penulis perlu untuk disampaikan adalah sebagai berikut:
1. Kepada Badan Legislatif (Pembuat Undang-Undang), agar lebih melihat pada
perkembangan perekonomian dalam membuat regulasi tentang harta bersama,
sehingga dalam penyelesaian harta bersama yang objeknya berkaitan dengan
aturan hukum lain tidak menimbulkan kerugian bagi para pihak (suami atau
isteri) atas harta bersama setelah terjadi perceraian;
2. Kepada Para Penegak Hukum di Pengadilan yang berwenang menyelesaikan
perkara harta bersama, agar lebih aktif untuk memahami hal-hal substansial
sebagaimana yang muncul sebagai implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi
97
Nomor 64/PUU-X/2012, sehingga tidak menimbulkan kesulitan lagi untuk
membuktikan harta bersama yang terkait dengan aturan kerahasiaan bank; dan
3. Kepada Para Praktisi Perbankan juga agar lebih aktif untuk memahami dan
mengetahui hal-hal substansial sebagaimana disebutkan dalam putusan di atas,
sehingga ketika mereka mendapatkan perintah dari Peradilan untuk membuka
rahasia nasabah demi kepentingan penyelesaian harta bersama, maka mereka
sudah memahami aturan kerahasiaan bank yang baru dan mereka tidak lagi
menolak untuk memberikan keterangan dengan alasan kerahasiaan bank
seperti sebelumnya.
98
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Quran, Al-Quran
dan Terjemahannya. Jakarta: Depag RI, 1986.
A. Buku-Buku
Abdullah, Thamrin. dan Tantri, Francis. Bank dan Lembaga Keuangan, Jakarta:
Rajawali Pers, 2012.
AK, Syahmin. Hukum Kontrak Internasional, ed.1, cet.I. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2006.
Ali, Ahmad. Menguak Tabir Hukum, ed.II. Bogor: Ghalia Indonesia, 2008.
Amiruddin dan Asikin, Zainal. Pengantar Metode Penelitian Hukum, cet.III.
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Arif, Saifuddin. Notariat Syariah dalam Praktik: Jilid ke 1 Hukum Keluarga
Islam. Jakarta: Darunnajah Publishing, 2011.
Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia: Akar Sejarah,
Hambatan dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Arifin, Zainul. Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, cet. VII. Jakarta: Azkia
Publisher, 2009.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktek, cet.XII.
Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 2002.
Ash-Shon’ani, Subul As-Salam, juz.III. Beirut, Libanon: Dar Al-Kutub Al-
Alamiyah, 1998.
Asmawi, Mohammad. Nikah Dalam Perbincangan Dan Perbedaan, cet.I.
Yogyakarta: Darussalam, 2004.
Atmadjaja, Djoko Imbawani. Hukum Dagang Indonesia. Malang: Setara Press,
2011.
Bahari, Adib. Prosedur Gugatan Cerai, Pembagian Harta Gono Gini, Hak Asuh
Anak. Yogyakarta: Pustaka Yustitisia, 2012.
99
Bako, Ronny Sautma Hotma. Hubungan Bank dan Nasabah Terhadap Produk
Tabungan dan Deposito. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1995.
Dendawijaya, Lukman. Manajemen Perbankan. Bogor: Ghalia Indonesia, 2003.
Dewi, Gemala. Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam
di Indonesia, cet.III. Jakarta: Kencana, 2007.
Djumhana, Muhammad. Hukum Perbankan di Indonesia. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2000.
Fuady, Munir. Hukum Perbankan Modern Berdasarkan Undang-Undang Tahun
1998, buku. Ke-I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama: UU
No. 7 Tahun 1989, ed.II, cet.V. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.
Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, cet.VI. Jakarta: Kencana,
2011.
Husein, Yunus. Rahasia Bank :Privasi Versus Kepentingan Umum, cet.I. Jakarta:
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003.
Ikhwansyah, Isis dkk. Hukum Kepailitan: Analisis Hukum Perselisihan dan
Hukum Keluarga serta Harta Benda Perkawinan, cet.I. Bandung: CV.
Keni Media, 2012.
Ismuha, Pencaharian Bersama Suami Isteri. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1986.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, ed.Revisi.IX. Jakarta: Rajawali
Pers, 2009.
Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler: Studi tentang Konflik dan
Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia, cet.I. Jakarta: Pustaka
Alvabet, 2008.
Manaf, Abdul. Aplikasi Asas Equalitas Hak dan Kedudukan Suami Isteri dalam
Perjanjian Harta Persama pada Putusan Mahkamah Agung. Bandung:
Mandar Maju, 2006.
100
Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, cet.II. Jakarta:
Kencana, 2008.
Manullang, E. Fernando M. Menggapai Hukum Berkeadilan: Tinjauan Hukum
Kodrat dan Antinomi Nilai, cet.II. Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, 2007.
Mardani, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama & Mahkamah Syar’iyah.
Jakarta: Sinar Grafika, 2009.
MD, Moh. Mahfud. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2010.
Mertokusumo, Sudikno. Teori Hukum, ed.Revisi. Yogyakarta: Cahaya Atma
Pustaka, 2012.
......................, ............... Mengenal Hukum, cet.II. Yogyakarta: Liberty, 2005.
Miru, Ahmad. dan Pati, Sakka. Hukum Perikatan: Penjelasan Makna Pasal 1233
sampai 1456 BW, cet.II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009.
Muhaimin, Abdul Wahab Abd. Adopsi Hukum Islam dalam Sistem Hukum
Nasional: Studi tentang UU. No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI) Buku I tentang Perkawinan. Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010.
Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia, cet.Revisi. Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 2010.
Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat, cet.I. Jakarta: Amzah, 2010.
Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam Indonesia:
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974
sampai KHI, cet.III, Jakarta: Kencana, 2006.
Palguna, I Dewa Gede. Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint):
Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga
Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Rahmadi, Takdir. Mediasi: Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat.
Jakarta: Rajawali Pers, 2010.
101
Rahman, Bakri A. dan Sukardja, Ahmad. Hukum Perkawinan menurut Islam,
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Perdata BW. Jakarta: PT.
Hidakarya Agung, 1981.
Rusyd, Ibnu. Bidayatul Mujtahid, jilid.II, terjemahan oleh Abu Usamah Fakhtur.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
Sari, Elsi Kartika. dan Simanunsong, Advendi. Hukum Dalam Ekonomi, ed.II.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.
Sholehuddin, Umar. Hukum dan Keadilan Masyarakat: Perspektif Kajian
Sosiologi Hukum. Malang: Setara Press, 2011.
Shomad, Abd. Hukum Islam : Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.
Simorangkir, O. P. Pengantar Lembaga Keuangan Bank & Non Bank, cet.II.
Bogor: Ghalia Indonesia, 2004.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet.XXXI. Jakarta: Intermasa, 2003.
Suma, Muhammad Amin. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, ed.Revisi.Ke-II,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005.
Sunggono, Bambang. Metodologi Peneltian Hukum: Suatu Pengantar. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2003.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono Gini Saat Terjadi Perceraian. Jakarta:
Visimedia, 2008.
Susilo, Y. Sri, dkk. Bank dan Lembaga Keuangan Lain. Jakarta: Salemba Empat,
2000.
Sutedi, Adrian. Hukum Perbankan: Suatu Tinjauan Pencucian Uang, Meger,
Likuidasi, dan Kepailitan. Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Syahrizal, Darda. Kasus-Kasus Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Grhatama, 2011.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
102
Thalib, Sayuti. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku Bagi Umat Islam, cet.V.
Jakarta: UI Press, 1986.
Tihami dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, ed.1,
cet.I. Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Tim Penulis, Thomas Suyatno, [et-al], Kelembagaan Perbankan, ed.III. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007.
Usman, Rachmadi. Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, cet.II. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003.
Wijdjanarto, Hukum dan Ketentuan Perbankan di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Utama Grafiti, 2003.
Yanggo, Chuzaemah Tahido dan AZ, A. Hafiz Anshari. Problematika Hukum
Islam Kontemporer, cet.V. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2008.
Zuhaili, Wahbah. Al Fiqh Al Islaamiy wa Adillatuh, juz. Ke-IV, cet.III. Damaskus:
Dar Al-Fikr, 1989.
B. Ensiklopedi dan Kamus
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, buku. Ke-II,
ed.Revisi. Mahkamah Agung RI Direktorat Jenderal Badan Peradilan
Agama, 2010.
Sudarsono, Kamus Hukum, cet.V. Jakarta: PT. Asdi Mahasatya, 2007.
Z, Dunil. Kamus Istilah Perbankan Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
C. Jurnal
Darmadi, Nanang Sri. Artikel tentang “Kedudukan dan Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam Sistem Hukum Ketatanegaraan Indonesia”, Jurnal
Hukum Vol. XXVI/ No. 2/ Agustus 2011.
Manurung, Tumpak Hasiholan. Artikel tentang “Analisis Yuridis Mengenai Bentuk
Perlindungan Rahasia Bank dan Sanksi terhadap Pelanggaran
103
Rahasia Bank”, JOM Fakultas Hukum Volume II Nomor 2 Oktober
2015.
Nur, Muhammad. Artikel tentang “Kedudukan Harta Bersama Dalam Perkawinan
Menurut Perspektif Hukum Islam”, Jurnal Lex Privatum, Vol.
I/No.3/Juli 2013.
Rondonuwu, Diana E. Artikel tentang “Upaya Bank dalam Menjaga Rahasia
Bank Sebagai Wujud Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah”,
Jurnal Lex et Societatis, Vol. II/ No. 8/ Sep-Nov/2014.
Sarapi, Nancy. Artikel tentang “Usaha Bank Menjaga Rahasia Bank dalam
Rangka Perlindungan terhadap Nasabah”, Jurnal Lex et Societatis,
Vol. I/No. 4/ Agustus 2013.
Sjamsuddin, Rezza Muhammad. Artikel tentang “Perlindungan Hukum Bagi
Nasabah dalam Bentuk Rahasia Bank”, Jurnal Lex Privatum, Vol. III/
No. 4/Okt/2015.
Subiyanto, Ahmad Edi. Artikel tentang “Perlindungan Hak Konstitusional
Melalui Pengaduan Konstitusional”, Jurnal Konstitusi, Vol. VIII/ No.
5/ Oktober 2011.
Theo, Najoan. artikel tentang“Proses dan Akibat Hukum Membuka Rahasia
Bank”, Jurnal Lex Privatum, Vol.III/ No. 1/ Jan-Mar/ 2015.
Wijayanti, Winda. Artikel tentang “Kedudukan Istri dalam Pembagian Harta
Bersama Akibat Putusnya Perkawinan Karena Perceraian terkait
Rahasia Bank”, Jurnal Konstitusi, Volume 10/ No. IV/ Desember
2013.
D. Peraturan Perundang-Undangan
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek).
Peraturan Bank Indonesia Nomor 2/ 19/ PBI/ 2000 tentang Persyaratan Dan Tata
Cara Pemberian Perintah Atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 152 DHk.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3998.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Disertai
Amandemen 1, 2, 3, dan 4).
104
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182.
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
157. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
159. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5078.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor
70. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226.
E. Internet dan Media Lainnya
Galeri Putusan Mahkamah Konstitusi. Download tanggal 28 Februari 2013, dari:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&
id=1&kat=1&cari=64%2FPUU-x%2F2012.
Syahdeni, Sutan Remy. “Rahasia Bank dan Berbagai Masalah Disekitarnya”,
Download pada Tanggal 28 Desember 2015, dari
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=iSyAVt6cC8iWuQS5hJ
TgCQ#q=RAHASIA+BANK+PDF
Website Mahkamah Konstitusi, tentang “Struktur Organisasi Mahkanah
Konstitusi”. Di akses pada tanggal 17 Februari 2016, dari:
http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/
Wikipedia. Artikel tentang “Bank”. Diakses pada Tanggal 02 Januari 2016, dari:
https://id.wikipedia.org/wiki/Bank
| r ITL,
f,tll r
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
T.elp. (62-21) 747 11537,.740192f Fay $2-2117491821Jtn. tr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesia wju"iiJ, "il-.uinjr<t.iilio
E;;it ;;Vi{n"I,ji.eijii6."o,
Nomor : Un.01/F.4/PP.01.11 e3s1. /2015Lampiran : -
|
Perihal : Mohon Kesediaan MeniadiPembimbins Skripsi
Jakarta, 29 Desember 2015
: Ahmad Mazuki Nasution: 109044100027: Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah): Penyelesaian Sengketa Harta Bersama Sebagai Alasan Untuk
Membuka Rahasia Bank (Analisis Yuridis Putusan MahkamahKonstitusi Nomor 64 IPUU -W201' 2)
Yang TerhormatDr.H.Ahmad Mukri Aji, MA(Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta)Di*
JAKARTA
Assalamu' alaikum Wr, Wb,
Pimpinan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengharapkankesediaan Saudara untuk menjadi pembimbing skripsi mahasiswa :
NamaNIMProdiJudul Skripsi
Beberapa hal yang dapat dipertimbangkan adalah sebagai berikut :1. Topik bahasan dan outline bila dianggap perlu dapat dilakukan perubahan dan penyempurnaan.2. Tehnik penulisan agar merujuk pada buku "Pedoman Karya llmiah di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta". "3. Bimbingan skripsi minimal di lakukan 4x termasuk penyampaian surat bimbingan dan maksimal 7x.4, Lama bimbingan minimal 1 bulan dan maksimal '12 bulan terhitung mulaitanggalsurat penunjukan
pembimbing.5. Setiap selesai melakukan bimbingan skripsi, blanko harus diparaf oleh pembimbing.6, Jika skripsi sudah selesai dan ditandatangani oleh pembimbing, maka lembar blanko diserahkan ke
sekretaris Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah).7. Bimbingan skripsi dilakukan secara serius dan terarah.
Demikian atas kesediaan saudara kami ucapkan terima kasih
Wassalamu' alaikum Wr. Wb.
Tembusan1. Yth, Kasubag Akadernik & Kemahasiswaail Fakultas Syariah dan Hukum;2. Yth.'Sekreiaris Program ,Studi f ' lui<urn l.eluarga;
KEMENTER.I.A''N AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULI,AH JAKARTA
FAKULTAS SYAR.IAH DAN HUKUM
Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakaia 15412, lndonesia
NomorLampiranHal
: Un.01 / F4 / KM.0 t.03 I ZT2 I 2016 Jakarta, l4 Maret 201 6
: Permohon an Datal Wawancara
I(epada Yth,
Ketua Mahkamah Konst i tusi
DiTempat
A,ssalamu' alaikum, LVr. Wb.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UiN Syarif Hidayatullah Jakarta
menet'angkarr bahwa :
Telp. (62-2 1 ) 7 47 I 1 537, 7 40 1 925 F ax. (62-21 ) 7 49't 821Website : wwwuinjkt.ac.id E-mail : [email protected]
NamaTempat/ Tanggal lahir
Nim
Semester
Jurusan/ Konsentrasi
Alamat
Telpi Hp
Adalah benar yang bersangkutan mahasiswa Fakultas Syariah da1 Hukum UIN Syarif
Hida,vatullah Jakarta yar-rg sedang menyLrsun skripsi dengan judul:
PENYELESAIANSENGKETAHARTABERSAMASEBAGAIALASANUNTUKMEMBUKA RAHASIA BANK
(AnatisisYuriclisPutt.tsctnMttltkctmahlfunsti|usiNomor64/PUU-X/2012)
untuk melengkapi bahan penulisan skripsi. dimohon kiranya Bapau Ibu dapat menerima
yang bersangkutan untuk wawancal'a sefta memperoleh data guna penulisan skripsi yang
dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya' kanti ucapkan terima kasih'
I(as salamu " alaikunt, lttr' Wb
I
n Tata Usaha
d Guruh, M.Pd198710 1 001
Ahmad Marzr"rki Nasution
T. Tonga. l0 Januari 1989
I 09044 I 00027
XIV (Empat Belas)
Hukum Kelualga (SAS)/ Peradilan Agama
Jl.r{sso'fa II, Ri 005/ Rw 001, Kelurahin
Sukaburni Utara, Kecamatan Kebon Jeruk'
Kota. Jakart a Barar (DKI Jakarta - 1 1 540)
081315405171
Tembusan:l .DekanFakultasSyariahdanHukurnUlNSyari fHidayatul lalrJakartaZ. Ka/ SekProdi Ilmu Hukum
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIAKEPANITERAAN DAN SEKRETARIAT JENDERAL
Jalan Medan Merdeka Barat No.6 Jakarta 10110 Kotak Pos 999 Jakarta 10000Telepon (62-21) 23529OOO, Faksimile (62-21) 3524261 ,3520177 Laman: www.mahkamahkonstitusi.go.id
No. 19 1253010412016
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama :NIP :Jabatan :
Sri Handayani, S.lP, M.Si19710620 200604 2 001Kepala Sub Bagian Tata Usaha Pusat Penelitian,Pengkajian Perkara dan Pengelolaan Teknologilnformasi dan Komunikasi Mahkamah Konstitusi Rl
Dengan ini menerangkan bahwa:
NamaNIMJurusanFakultas
Alamat
: Ahmad Marzuki Nasution:1Q9Q4410QQ27: llmu Hukum Keluarga (SAS)/Peradilan Agama: Syariah dan Hukum, Universitas lslam Negeri SyariefHidayatullah
: Jl. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat
Sesuai dengan Surat Nomor : Un.01/F4lKM.01 .031372nA16 tanggal 14 Maret
2016 perihal Permohonan data / wawancara, mahasiswa tersebut telah
melakukan wawancara mengenai "Penyelesaian Sengketa Harta Bersama
sebagai Alasan Untuk Membuka Rahasia Bank: (Analisis Yuridis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 64/PUU-X/2012)", sebagai data penyusunan
skripsi yang bersangkutan.
Demikian surat keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana
mestinya.
Lt April2016
usat P4TlK,
, M.Si9710620 2 401
Tembusan Yth.: .1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas lslam Negeri
Hidayatullah Jakarta,2. Kepala Biro Keuangan dan Kepegawaian MK Rl.
Syarief
7
Narasumber
Iabatan
Hari/ Tanggal
Waktu
Tempat
Alamat
Telp/Fax
DRAFT HASIL WAWANCARA
Helmi Kasim, S. S., S. H.
Peneliti Mahkamah Konstitusi Rl
Senin, 04 April2016
Pukul 10.00- 11.30 WIB
Mahkamah Konstitusi Republik lndonesia
Jl. Merdeka Barat No. 6,Iakarta Pusat, DKI Jakarta 10110, Indonesia
(62-2r) 23s290001 (62-2r) 3s20r77
T : Apa yang melataibelakangi permohonan judicial review Pasal 40 ayat (1)
UU Perbankan dan bagaimana kaitannya dengan penyelesaian sengketa
harta bersama ?
J : Permohonan judicial review berawal dari proses perceraian yang dengan harta
bersama atau harta gono gini berupa Simpanan di Bank, yaitu Tabungan dan
Deposito. Dalam hal ini, salah satu pihak (yaitu isteri) ingin mengakses harta
bersama dalam bentuk Tabungan atau Deposito tersebut, namun pihak Bank
tidak bisa memberikan akses disebabkan karena aturan kerahasiaan bank yang
dijamin oleh Pasal 40 ayat (l) UU Perbankan. Bahkan atas perintah dari
Pengadilan pun (Mahkamah Syariah dalam kasus ini) pihak Bank tetap tidak bisa
memb6rikan akses diatas, karena pengecualian rahasia bank yang disebutkan
dalam Undang-Undang Porbankan tidak termasuk untuk kepentingan Peradilan
Perdata dalam hal adanya perceraian untuk kepentingan penyelesaian harta
bersama. Berdasarkan paparan tersebut, para pemohon menganggap bahwa ada
hak-haknya yang terlanggar disebabkan karena batasan dalam UU Perbankan.
Artinya, aturan kerahasiaan bank dalam UU Perbankan dianggap tidak
mengakomodir hak-hak konstitusional Warga Negara yang telah dijamin oleh
hukum tertinggi Negara (UUD 1945). Sedangkan forum yang tepat untuk
mempersoalkan itu adalah di Mahkamah Konstitusi. Oleh sebab itulah, pemohon
mengajukan pengujian UU Perbankan terhadap UUD 1945 ke Mahkamah
Konstitusi agar sebagai Warga Negara bisa mendapatkan kepastian hukum atas
hak-hak mereka, khususnya hak terhadap harta bersama yang berbentuk
Tabungan atau Deposito diatas.
: Apa landasan dimasukkannya harta bersama sebagai hak konstitusional
yang dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) ian Pasal2SH ayat (4) UUD lg45 ?
: Hal ini lebih kepada perlindungan atas hak milik. Setiap kita memiliki hak yang
sama sama dilindungi, termasuk hak yang ada pada harta bersama setelah
perceraian. Hak atas harta bersama setelah perceraian termasuk salah satu
implikasi dari adanya suatu ikatan perkawinan, dan otomatis harta bersama yang
menjadi bagian dari pihak suami dan pihak isteri akan menjadi hak milik mereka
masing-masing. Secara umum, hak untuk berkeluarga dijamin oleh UUD 1945
beserta semua hak-hak yang muncul dari ikatan tersebut, demikian juga harta
bersama yang telah menjadi hak milik masing-masing suami isteri, menjadi hak
konstitusional Warga Negara yang dilindungi oleh hukum.
: Adakah alasan-alasan lain diluar hukum yang dijadikan sebagai
pertimbangan oleh Hakim Mahkamah dalam mengklasifikasikan harta
bersama sebagai hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 ?
: Tidak ada, karena ini murni persoalan perlindungan hak konstitusional warga
Negara. Mahkamah Konstitusi tidak melihat alasan-alasan diluar hukum, tapi ini
alasan hukum atau alasan konstitusional" Semua landasan konstitusional sudah
mencakup semuanya, karena konstitusi kita sudah memuat banyak ketentuan
untuk melindungi hak-hak warga Negara. Nah, salah satunya adalah hak milik
atas harta bersama ini. Selain itu, konstitusi kita (UUD 1945) itulah yang menjadi
supreme law of the land (hukum yang tertinggi Negara), yang menjadi batu uji
terhadap PUU yang dianggap bertentangan, dan tentuirya dengan metode
penafsiran dan penemuan hukum oleh Hakim.
: Apa landasan Hakim Mahkamah, baik landasan hukum maupun diluar
hukum dalam memutuskan permohonan jadicial review sebagaimana
tersebut dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 64rcAV-W20t2 ?
: Sebagaimana telah disebutkan, Mahkamah Konstitusi menggunakan alasan
Konstitusional berdasarkan konstitusi yang telah mencakup semua aspek hukum
dan konstitusi.
Sedangkan landasan secara konstitusional, antara lain: Pertama, Aturan
kerahasiaan bank dalam Undang-Undang Perbankan tidak mengakomodir semua
kepentingan Peradilan Perdata khususnya terkait kepentingan penyelesaian harta
bersama. Akibatnya, pihak isteri dalam kasus ini tidak mendapatkan kepastian
hukum atas haknya terhadap harta bersama berbentuk Tabungan atau Deposito
sebagaimana dijelaskan diatas. Dengan demikian, UU Perbankan bertententangan
dengan UUD 1945 yang kedudukannya sebagai supreme low of the land,karena
hak atas harta bersama merupakan hak milik yang termasuk sebagai hak
konstitusional. Dan kedua, pengujian undang'undang terhadap UUD 1945
merupakan kewenangan Mahkamah Konstittisi yang diamanatkan oleh Pasal24C
ayat (l) UUD 1945 diantara berbagai kewenangan lainnya. Oleh sebab itu,
Mahkamah Konstitusi lah yang berwenang untuk menindaklanjuti hal tersebut
dengan melakukan pengujian UU Perbankan terhadap UUD 1945.
: Dalam amar putusan, Hakim Mahkamah mengabulkan permohonan
untuk sebagian, apakah redaksi amar putusan yang dikabulkan tersebut
menambahkan pengecualian rahasia Bank untuk kepentingan peradilan
mengenai harta bersama pasca perceraian atau ada maksud lainnya ?
: Benar. Setelah diputus oleh Mahkamah Konstitusi, maka rahasia bank menjadi
bisa dibuka untuk kepentingan Peradilan dalam penyelesaian harta bersama, dan
redaksi Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus ditambahkan bahwa pengecualian
rahasia bank termasuk untuk kepentingan penyelesaian harta bersama setelah
terjadi perceraian. Landasannya adalah karena kekuatan hukum dari putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final sesuai ketentuan Pasal 24C ayat (l) UUD
1945, {an tidak ada upaya hukum lain yang bisa lakukan atas putusan tersebut.
Jadi, ketika norma hukum dalam UU Perbankan telah mengalami perubahan,
itulah yang kemudian kita sebut sebagai judge-made law (hukum yang dibuat
oleh hakim melalui putusannya). oleh sebab itu, putusan pengadilan (dalam hal
ini adalah Mahkamah Konstitusi) menjadi norrna hukum baru yang wajib
dipatuhi dalam pelaksanaannya oleh semua pihak yang terkait.
: Efektifkah amar putusan tersebut hanya dalam penerapan hukum saja
atau perlu dimuat dalam revisi peraturan PUU ?
: Nah, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi tidak memasuki wilayah bagaimana
suatu putusan itu dijalankan, tapi sebagai suatu putusan pengadilan maka putusan
Mahkamah Konstitusi harus dijalankan karena sudah menjadi ketentuan yang
dianut dalam sistem konstitusi dan sistem ketatanegaraan kita.
Idealnya dalam penerapan hukum pun sudah efektif, karena setelah diputus oleh
Mahkamah Konstitusi, maka norma hukum baru tersebut sudah menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari uU Perbankan. Jadi, ketika uu Perbankan tersebut
direvisi atau dirubah maka norma hukum baru dalam Putusan tersebut mestinya
dimuat atau dimasukkan di dalamnya. sekalipun demikian, hal ini tetap efektif
meskipun tanpa revisi uu Perbankan, karena putusan Mahkamah Konstitusi
sudah jelas menyatakan bahwa rahasia bank bisa dibuka untuk kepentingan
peradilan dalam penyelesaian harta bersama sebagai akibat dari perceraian'
Memang sebelumnya pernah ada juga putusan Mahkamah Konstitusi terkait
dengan Pengujian masalah piutang Negara, dalam hal ini putusan tidak langsung
dilaksanakan. Lembaga-lembaga yang terkait (termasuk Bank) pada saat itu
menyatakan harus ada peraturan pelaksanaannya dulu yang kemudian menjadi
pedoman untuk melaksanakan.putusan Mahkamah Konstitusi. Hal ini mungkin
karena masalah keuangan ini berkaitan dengan Perbankan yang termasuk strictly
regulated industry (industri yang diatur secara ketat).
Dulu ada penelitian yang sempat diulas di salah satu harian Nasional. Negara-
Negara yang perekonomiannya maju itu biasanya adalah Negara-Negara yang
penegakan hukumnya bagus. Ini kan termasuk aturan yang persingungannya
dengan persoalan perekonomian, dan aturan tersebut bisa dikesampingkan ketika
ada hak-hak warga Negara yang dilanggar. Dan ini salah satu bukti nyatanya,
ketika ada hak yang harus terlindungi dan UU tidak mengakomodir hal itu, maka
pengadilan lah yang memiliki kewenangan untuk menegakkan atau melindungi
hak tersebut. Nah, dalam konteks Mahkamah Konstitusi, itulah salah satu esensi
diadakannya Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai penafsir konstitusi untuk
melindungi hak-hak warga Negara.
: Bagaimana upaya mensosialisasikan norma hukum dalam putusan
tersebut, khususnya kepada para praktisi Perbankan dan para Penegak
Hukum di Pengadilan yang menyelesaikan sengketa harta bersama ?
: Sesuai paparcn sebelumnya, Mahkamah Konstitusi tidak memasuki wilayah
bagaimana suatu putusan dijalankan. Namun, setiap putusan sudah dipublish di
website resmi Mahkamah Konstitusi yang bisa diakses kapan pun. Seharusnya
para Praktisi Hukum, Praktisi Perbankan, Kalangan Akademisi dan selainnya
harus lebih aktif untuk mengakses dan memahami hal-hal yang substansial
seperti putusan ini, dan mereka lah yang kemudian menindaklanjuti dengan
mensosialisasikan norma-norma hukum baru tersebut kepada semua kalangan.
Dalam hal ini, khususnya bagi kalangan Praktisi Perbankan. Mereka harus betul-
betul memahami tentang putusan ini, sehingga ketika nantinya Pengadilan
memerintahkan untuk membuka rahasia bank dalam konteks penyelesaian harta
bersama ini mereka sudah faham dan tidak bisa lagi menolak dengan alasan
kerahasiaan bank dalam UU Perbankan serta mengesampingkan putusan ini.
: Bagaimana mekanisme dan prosedur pembukaan rahasia Bank untuk
kepentingan Peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian
pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 64{PUA-W2012 ?
: Sebenarnya rumusan tentang putusan Mahkamah Konstitusi ini tidak terlalu
rumit untuk dipahami, karena sudah jelas dinyatakan bahwa rahasia bank bisa
dibuka untuk kepentingan peradilan dalam penyelesaian harta bersama setelah
perceraian. Jadi, ketika Pengadilan meminta kepada Bank untuk membuka
rahasia bank untuk kepentingan Peradilan dalam penyelesaian harta bersama,
maka pasca putusan ini pihak Bank tidak bisa menolak lagi dengan alasan
kerahasiaan bank sebagaimana sebelumnya. Terlepas pihak bank itu telah
menentukan mekanisme dan prosedur pembukaan rahasia bank dalam
regulasinya secara internal, namun Pengadilan memiliki kewenangan untuk
memerintahkan membuka informs terkait nasabah.
Ini lebih kepada domain Hakim, sehingga ketika Pengadilan telah menentukan
bahwa. harta yang tersimpan di Bank tersebut harus dibuktikan sebagai harta
bersama, kemudian Pengadilan memerintahkan Bank untuk membuka data-data
nasabah tersebut, maka pihak Bank tidak bisa lagi menolak dengan mendasarkan
pada aturan kerahasaiaan bank seperti sebelumnya, terlepas nantinya setelah
dibuka harta tersebut terbukti atau tidak sebagai harta bersama dalam kelanjutan
proses pembuktian di persidangan perdatanya.
T : Bisakah norma hukum dalam putusan tersebut diterapkan untuk
kepentingan Peradilan Perdata dalam perkara-perkara lain seperti perkara
waris atau selainnya ?
: Dalam hal ini, kita belum bisa berkomentar karena sejauh ini yang kami ketahui
belum ada kasus yang terjadi.
Hakim Mahkamah Konstitusi juga biasanya menyatakan, jika ada pertanyaan
yang potensial menjadi perkara diajukan kepada Hakim, maka Hakim akan diam
dan tidak bisa berkomentar. Kecuali jika sudah masuk dalam suatu perkara
kongkrit, maka akan dibicarakan dalam konteks untuk menghasilkan suatu
putusan. Artinya, norma hukum baru tersebut tidak bisa diterapkan untuk
kepentingan Peradilan Perdata dalam perkara-perkaran lainnya sebelum hal
tersebut diajukan kembali ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan judicial
review. Jadi, tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti bisa saja dilakukan
pengujian kembali jika ternyata masih ada hak-hak yang belum diakomodir
dalam ketentuan rahasia bank tersebut. Namun, hal ini tentunya dengan
berdasarkan permohonan yang diajukan kembali oleh pihak-pihak yang merasa
dirugikan hak konstitusionalnya, dan hasil putusan seperti apa nantinya yang
diberikan juga kita belum tau sampai nantinya putusan itu benar'benar kongkrit.
: Pernahkan sebelumnya dilakukan judiciul review terkait dengan aturan
rahasia Bank dalam UU Perbankan untuk kepentingan perdata lainnya ?
: Sejauh yang saya ingat si belum ada. Nanti kita sambil baca-baca kembali ya,
takutnya saya lupa atau saya yang belum menemukannya.
: Apa saran dan masukan Hakim Mahkamah Konstitusi tentang aturan
kerahasiaan Bank dan pengecualiannya, serta tentang aturan penyelesaian
harta bersama yang berlaku saat ini ?
: Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, ini termasuk pertanyaan yang
potensial sehingga Hakim tidak bisa memberikan pendapat mereka kecuali dalam
konteks perkara kongkrit untuk menghasilkan suatu putusan.
Sebagai tambahan saja, jika saya boleh berkomentar sebagai sama-sama pelajar,
hal ini tetap pada dasar utamanya bahwa Negara kita termasuk sebagai Negara
hukum sesuai dengan ketentuan Pasal I ayat (3) UUD 1945, sehingga suatu
Negara hukum akan mengedepankan penegakan hukum berdasarkan asas
kepastian hukum. Dalam pengujian undang-undang, selain Pasal-Pasal tentang
HAM, Pasal I ayat (3) UUD 1945 ini juga sering dijadikan sebagai batu uji
terhadap UU yang dianggap bertentangan dengan kepastian hukum.
Dengan mengedepankan kepastian hukum, maka semua hak-hak warga Negara
dijamin perlindungannya oleh Konstitusi Negara, yaitu UUD 1945. Peraturan
Perundang-undangan (PUU) yang dibawahnya tidak boleh adayang bertentangan
dengan Konstitusi tersebut. Dan jika didalilkan ada PUU yang bertetangan
dengan UUD 1945 tersebut, harus ada basisnya atau harus ada kerugian yang
ditimbulkan karena pertentangan tersebut.
Dengan demikian, aturan-aturan tentang kerahasiaan bank dan pengecualiannya
dalam UU Perbankan (termasuk hasil putusan Mahkamah Konstitusi sebagai
norTna baru yang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari UU
Perbankan) dan juga aturan tentang penyelesaian harta bersama dalam UU
Perkawinan yang belaku saat inilah yang harus dipatuhi dan dilaksanakan dalam
penegakan hukum demi untuk mewujudkan kepastian hukum sebagaimana esensi
dari Negara hukum yang disebutkan diatas.
Jakarta,04
Peneliti Mahkamah Konstitusi RI
Catatan : Karena wawancara dilakukan dengan bahasa lisan, maka hasil wawancara disusun dalambentuk tulisan yang dianggap baik dan benar, serta tidak menyimpang dari substansi yangdisebutkan dalam wawancara.
Apri l2016
hui,
1
PUTUSAN
Nomor 64/PUU-X/2012
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1] Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara Pengujian Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang diajukan oleh:
[1.2] Nama : Magda Safrina, SE., MBA
Pekerjaan : Wiraswasta
Alamat : Jalan PPA Nomor 45A RT 008/RW 001 Kelurahan Bambu
Apus Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur
Selanjutnya disebut sebagai -------------------------------------------------------- Pemohon;
[1.3] Membaca permohonan Pemohon;
Mendengar keterangan Pemohon;
Memeriksa bukti-bukti Pemohon;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis Pemerintah;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis Dewan Perwakilan
Rakyat;
Membaca kesimpulan tertulis Pemohon dan Pemerintah;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang bahwa Pemohon telah mengajukan permohonan dengan
surat permohonan bertanggal 12 Juni 2012, yang diterima di Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada
tanggal 15 Juni 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor
2
223/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi pada
tanggal 25 Juni 2012 dengan Nomor 64/PUU-X/2012, yang telah diperbaiki dan
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Juli 2012, menguraikan hal-
hal sebagai berikut:
1. KEWENANGAN MAHKAMAH
1. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut
UUD 1945) menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”;
2. Bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 1 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Knostitusi (Lembaran
Negara RI Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor
4316, selanjutnya disebut UU MK Nomor 24/2003) dan Pasal 29 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman (Lembaran Negara RI Nomor 5076) menyatakan, “Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945”;
2. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PEMOHON
1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 beserta Penjelasannya menyatakan,
“Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu a.
perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan mayarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-
undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara”;
2. Bahwa selanjutya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-
III/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU–V/2007 telah menentukan 5 (lima)
syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003, sebagai
berikut:
3
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan
aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang
wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian
dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan
pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi.
3. Bahwa Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia
berdasarkan bukti KTP terlampir. Bahwa Pemohon telah melaksanakan
pernikahan yang sah sesuai hukum dan Undang-Undang yang berlaku di
Negara Republik Indonesia dengan mengikuti agama yang dianut
Pemohon yaitu agama Islam. Pernikahan Pemohon dilangsungkan pada
tanggal 16 Mei 1995 dengan Akta Nikah Nomor 20/9/V/1995 dan
dicatatkan di Kantor Urusan Agama Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda
Aceh, Provinsi Daerah Istimewa Aceh.
4. Bahwa sesuai dengan hukum dan Undang-Undang yang berlaku,
Pemohon melalui kuasa hukum Pemohon dari kantor Advokat Marlianita,
SH dan Rekan yang berkedudukan di Banda Aceh, mengajukan gugatan
perceraian dan pembagian harta bersama (gono-gini) terhadap suami
Pemohon. Gugatan perceraian dan pembagian harta bersama tersebut
didaftarkan di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh Nomor 21/Pdt-
G/2012/MS-BNA tertanggal 1 Februari 2012. Dalam gugatan harta
bersama (gono-gini) tersebut dicantumkan sejumlah harta bersama
dalam bentuk tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas
nama suami Pemohon di sejumlah Bank di Kota Banda Aceh dan
Bank Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Pendaftaran harta
bersama dalam bentuk tabungan dan deposito tersebut didasarkan pada
bukti asli berupa buku tabungan dan bilyet deposito yang berada di tangan
Pemohon.
4
5. Bahwa dalam jawaban gugatan yang disampaikan kepada Mahkamah
Syariah Kota Banda Aceh tertanggal 21 Maret 2012, dan dipertegas lagi
dalam Duplik tertanggal 18 April 2012, suami Pemohon melalui kuasa
hukumnya Darwis, SH, yang berkedudukan di Banda Aceh
menyangkal dan menolak keberadaan seluruh tabungan dan deposito
yang disimpan oleh dan atas nama suami Pemohon pada sejumlah
Bank di Kota Banda Aceh dan Bank di Kabupaten Aceh Besar
tersebut.
6. Bahwa berdasarkan bukti-bukti asli terhadap harta bersama berupa
tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas nama suami
Pemohon di sejumlah bank di Kota Banda Aceh dan Bank di Kabupaten
Aceh Besar, Provinsi Aceh, maka atas terjadinya perbedaan dan
perselisihan antara Pemohon dengan suami Pemohon tentang
keberadaan tabungan dan deposito yang dimaksud, Mahkamah Syariah
Kota Banda Aceh kemudian meminta sejumlah Bank termaksud
untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan tabungan dan
deposito dimaksud demi kepentingan perlindungan harta bersama
yang kedudukannya dilindungi oleh hukum dan Undang-Undang.
Surat permohonan kepada Bank termaksud dikirim oleh Mahkamah
Syariah secara terpisah ke beberapa bank yaitu:
a. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang, Aceh Besar, tertanggal 21 Mei
2012.
b. Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh, tertanggal 21
Mei 2012.
c. Bank BRI Cabang KCP Peunayong, Banda Aceh, 6 Juni 2012.
7. Bahwa terhadap surat yang dikirim oleh Mahkamah Syariah Kota Banda
Aceh tersebut, Bank menolak memberikan keterangan sebagaimana
tercantum dalam surat-surat jawaban tertulis beberapa Bank sebagaimana
terlampir dalam daftar barang bukti yang diajukan oleh Pemohon. Surat
tanggapan dari pihak Bank yang ditujukan kepada Mahkamah Syariah
Kota Banda Aceh berasal dari:
a. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang, Aceh Besar
b. Bank BRI KCP Peunayong, Banda Aceh
5
8. Bahwa dalam jawaban tertulis yang disampaikan kepada Mahkamah
Syariah Kota Banda Aceh, Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang, Aceh
Besar, dan BRI KCP Peunanyong, Banda Aceh menyatakan “ ….. tidak
dapat memenuhi panggilan dikarenakan menyangkut dengan
kerahasiaan data nasabah, hal ini sesuai dengan Pasal 1 UU Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan dan PBI Nomor 2/19/PBI/2000 dan
seterusnya ….. “.
9. Sedangkan Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh
menanggapi panggilan Mahkamah Syariah dengan menghadiri sidang
perceraian Pemohon di Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh pada
tanggal 30 Mei 2012. Bank Mandiri Cabang Unsyiah tersebut hadir ke
persidangan diwakili oleh Kepala Cabang Bank Mandiri Cabang Unsyiah,
Darussalam, Banda Aceh. Dalam keterangannya di persidangan, Kepala
Cabang Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh
menjelaskan bahwa deposito yang disimpan atas nama Suami Pemohon
di Bank Mandiri Cabang Unsyiah tersebut senilai Rp. 600.000.000,- (enam
ratus juta rupiah) telah dicairkan oleh suami Pemohon beberapa hari
sebelum gugatan perceraian Pemohon didaftarkan di Mahkamah Syariah
Banda Aceh. Selanjutnya ketika hakim Mahkamah Syariah serta kuasa
hukum Pemohon meminta keterangan lebih lanjut mengenai aliran dana
deposito tersebut setelah pencairan, maka pihak Bank Mandiri Cabang
Unsyiah Darussalam, Banda Aceh itu menolak memberi keterangan
mengenai aliran dana deposito tersebut dengan alasan “ ….. tidak dapat
memberi keterangan tentang dana nasabah dikarenakan menyangkut
dengan kerahasiaan data nasabah, hal ini sesuai dengan Pasal 1 UU
Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan PBI Nomor
2/19/PBI/2000 dan seterusnya ….. “.
10. Karena tanggapan ketiga bank yang menolak memberikan keterangan
yang diminta oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh mengenai dana
yang disimpan oleh suami Pemohon di ketiga bank tersebut, maka sampai
saat ini Pemohon tidak mengetahui dengan pasti berapa besar tabungan,
deposito dan aset dalam bentuk produk perbankan lainnya yang disimpan
oleh suami Pemohon di ketiga bank tersebut. Oleh karena adanya asas
kerahasiaan bank tersebut, maka Pemohon, kuasa hukum Pemohon serta
6
Mahkamah Syariah tidak dapat menentukan dengan pasti berapa jumlah
harta bersama (gono-gini) yang diperoleh selama pernikahan Pemohon
dengan suami Pemohon berlangsung.
11. Atas penolakan pihak bank memberikan keterangan mengenai dana yang
disimpan oleh suami Pemohon di bank sebagaimana diamanatkan oleh
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan terkait kerahasiaan nasabah bank, maka dengan ini Pemohon
berpotensi mengalami kerugian dalam bentuk materiil terkait hak
Pemohon atas harta bersama (gono-gini) yang disimpan di bank atas
nama suami Pemohon baik dalam bentuk tabungan, deposito dan
produk perbankan lainnya.
3. POKOK PERMOHONAN
1. Bahwa hal-hal yang telah dikemukakan dalam Kewenangan Mahkamah
Konstitusi dan Kedudukan Hukum Pemohon sebagaimana diuraikan di
atas adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pokok
permohonan ini;
2. Bahwa hukum hadir untuk para pencari keadilan. Dengan paradigma
tersebut maka apabila para pencari keadilan menghadapi suatu persoalan
hukum, maka bukan “para pencari keadilan yang disalahkan”
melainkan para penegak hukum harus berbuat sesuatu terhadap
hukum yang ada, termasuk meninjau asas/norma, doktrin, substansi
serta prosedur yang berlaku termasuk dalam hal ini norma yang
mengatur tentang kewajiban bank merahasiakan keterangan mengenai
Nasabah Penyimpan dan simpanannya sebagaimana termaktub dalam
Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
yang berbunyi “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah
Penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 dan Pasal 44A”.
3. Bahwa mengingat perselisihan dalam pembagian harta bersama (gono-
gini) dalam hal putusnya perkawinan karena perceraian adalah sebuah
peristiwa yang sering terjadi di masyarakat luas, yang sering berakhir
7
dengan kerugian materiil yang dialami oleh salah satu pihak yang
berselisih, hal yang mana kerugian tersebut telah dan atau dapat terjadi
karena kerahasiaan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka
perangkat hukum yang ada saat ini terkait harta bersama (gono-gini)
yang disimpan atas nama nasabah di suatu bank, dapat dikatagorikan
belum benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat demi
kepentingan mengayomi ketertiban hidup masyarakat.
4. Bahwa kedudukan Pemohon di dalam perkawinan dilindungi hukum dan
Undang-Undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia, maka
terhadap harta yang diperoleh baik oleh suami maupun istri, baik secara
sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama, yang mana harta tersebut
diperoleh selama dalam kurun waktu pernikahan sehingga kedudukan
harta tersebut di mata hukum dan Undang-Undang adalah harta bersama
(gono-gini) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan Pasal 35 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 36, dan
Pasal 37 dan diperjelas lagi dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam
yang berlaku berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991, maka hak
Pemohon terhadap kepemilikan harta bersama (gono-gini) tersebut
juga turut dilindungi oleh hukum dan Undang-Undang yang berlaku
di Negara Republik Indonesia.
5. Bahwa kedudukan harta yang diperoleh selama perkawinan telah diatur
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terutama pasal-pasal sebagai berikut:
• Pasal 35 ayat (1) yang berbunyi “Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama“.
• Pasal 36 ayat (1) yang berbunyi “Mengenai harta bersama, suami atau
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak“.
• Pasal 37 yang berbunyi “Bila perkawinan putus karena perceraian,
harta benda diatur menurut hukumnya masing-masing”.
6. Bahwa kriteria suatu objek harta dan atau benda lainnya yang memenuhi
syarat sebagai harta bersama (gono-gini) telah diatur dalam Kompilasi
Hukum Islam Pasal 1 huruf f yang berlaku berdasarkan Inpres Nomor 1
8
Tahun 1991 yang berbunyi ”harta kekayaan dalam perkawinan (harta
bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau
bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun”,: maka Kompilasi
Hukum Islam Pasal 1 huruf f tersebut menjelaskan tentang harta bersama
yang harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
1. harta bersama adalah harta kekayaan dalam perkawinan, yaitu harta
yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri;
2. diperoleh selama dalam ikatan perkawinan;
3. dan tidak mempersoalkan harta tersebut terdaftar atas nama siapa.
Dalam hal sepanjang 3 (tiga) persyaratan tersebut di atas terpenuhi,
maka kedudukan suatu objek harta dan atau benda yang diperoleh
baik oleh suami maupun oleh istri selama perkawinan di mata hukum
dan Undang-Undang adalah merupakan harta bersama, tanpa
mempersoalkan harta dan atau benda tersebut terdaftar atas nama
siapa.
7. Bahwa dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan terutama Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal
37 yang pelaksanaannya ditegaskan dalam Instruksi Presiden (Inpres)
Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Pasal 1 huruf f, terhadap seluruh tabungan, deposito, dan
harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan
disimpan di bank oleh suami Pemohon, maka di mata hukum dan
undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia, seluruh
harta tersebut mempunyai kedudukan sebagai harta bersama (gono-
gini) yang dimiliki secara bersama-sama oleh Pemohon dan suami
Pemohon sepanjang harta tersebut diperoleh selama periode
pernikahan berlangsung.
8. Bahwa sesuai sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terutama Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 yang
pelaksanannya ditegaskan dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 huruf f, maka hak Pemohon atas harta
bersama (gono-gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk
harta yang disimpan oleh suami Pemohon di bank baik dalam bentuk
9
tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya adalah merupakan
hak milik pribadi Pemohon yang dijamin oleh Undang-Undang yang
berlaku di Negara Republik Indonesia.
9. Bahwa beberapa pasal dalam UUD 1945 telah menjamin hak-hak
konstitusional Pemohon, yakni:
Pasal 28G ayat (1) berbunyi “Setiap orang berhak akan perlindungan
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;
Pasal 28H ayat (4) berbunyi “Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara
sewenang-wenang oleh siapapun”;
10. Bahwa dengan berlakunya Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan berkaitan dengan kewajiban bank
merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan
simpanannya, pada ayat (1) ditegaskan “Bank wajib merahasiakan
keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya ….. ”,
dimana ayat (1) tersebut hanya memberikan pengecualian tentang
kerahasiaan nasabah untuk:
• Pasal 41 (untuk kepentingan perpajakan),
• Pasal 41A (untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan
kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan
Piutang Negara),
• Pasal 42 (untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana), Pasal 43
(dalam perkara perdata antarbank dengan nasabahnya),
• Pasal 44 (untuk kepentingan tukar-menukar informasi antar bank), dan
• Pasal 44A (atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah
penyimpan yang dibuat secara tertulis),
yang mana pengecualian di atas tidak memasukkan pengecualian
untuk perkara peradilan perdata perceraian serta pembagian harta
bersama (gono-gini) nasabah penyimpan, maka Pasal 40 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Kerahasiaan
10
Nasabah Bank tersebut telah melanggar hak konstitusional Pemohon
untuk memperoleh keterangan mengenai harta bersama (gono-gini) yang
diperoleh selama pernikahan yang disimpan di bank atas nama suami
Pemohon baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan
lainnya; dalam hal Pemohon mengajukan gugatan perceraian dan
pembagian harta bersama (gono-gini) di lembaga peradilan perdata.
11. Bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan tersebut telah menghalangi akses Pemohon untuk
memperoleh keterangan mengenai harta bersama yang disimpan di bank
atas nama suami Pemohon, maka Pasal 40 tersebut berpotensi
menimbulkan kerugian dalam bentuk materiil bagi Pemohon terkait hak
Pemohon atas harta bersama (gono-gini) yang disimpan di bank atas
nama suami Pemohon baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk
perbankan lainnya. Padahal hak Pemohon atas harta bersama (gono-gini)
yang diperoleh selama pernikahan telah dijamin dalam Pasal 35 dan Pasal
37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, serta
dipertegas lagi dalam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam Pasal 1.
Dengan demikian Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan tersebut telah melanggar:
a. hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara untuk melindungi
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1)
UUD 1945;
12. Bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan tersebut, dalam hal peradilan perdata gugatan
perceraian dan pembagian harta bersama (gono-gini) selama pernikahan,
telah memberi ruang kepada salah satu pihak baik suami ataupun istri
yang namanya terdaftar sebagai nasabah bank untuk menguasai dan atau
mengalihkan sebahagian dan atau sepenuhnya harta bersama yang
diperoleh selama pernikahan tanpa diketahui oleh pihak lainnya, sehingga
11
dapat menyebabkan salah satu pihak dapat mengambil secara sewenang-
wenang hak pihak lainnya, sementara pihak lain tersebut dapat
kehilangan sebahagian dan atau seluruh haknya atas harta bersama
(gono-gini) yang diperoleh selama pernikahan.
Dengan demikian Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan tersebut telah dan atau akan membuat pihak
yang dirugikan tersebut sama sekali tidak berdaya dalam melindungi
haknya atas harta bersama (gono-gini) yang diambil/dikuasai secara
sewenang-wenang oleh pihak lainnya.
Maka Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan tersebut telah melanggar:
b. hak konstitusional Pemohon sebagai warga negara atas hak milik
pribadi tanpa boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa
pun, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
13. Bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan tersebut, kemungkinan besar telah pula melanggar
hak konstitusional warga negara lainnya yang secara langsung dan tidak
langsung telah mengalami kerugian karenanya di masa yang lalu, pasal
yang mana yang apabila tidak dilakukan judicial review serta diikuti
dengan dilakukan perubahan dan atau penyempurnaan terhadap
pasal yang dimaksud, maka berpotensi melanggar hak konstitusional
warga negara lainnya di masa yang akan datang.
14. Bahwa Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan tersebut di masa lalu telah memberi ruang bagi
terjadinya tindakan pidana berupa penggelapan harta bersama (gono-gini)
oleh salah satu pihak yang berselisih di peradilan perkara perdata
perceraian dan harta bersama, maka pasal tersebut dapat merupakan
sebuah bentuk pembiaran terhadap terjadinya tindakan pidana
penggelapan terhadap harta bersama secara meluas di masyarakat.
12
4. PETITUM
1. Menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang tidak ditafsirkan menjamin hak suami
nasabah atau hak istri nasabah untuk mendapatkan akses terhadap
data nasabah penyimpan dan simpanannya, terkait harta bersama
(gono-gini) dalam hal perkara perdata perceraian nasabah yang
bersangkutan di lembaga peradilan perdata di seluruh wilayah
Republik Indonesia.
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara sebagaimana
mestinya.
Atau
Apabila Majelis Hakim Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
[2.2] Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalilnya, Pemohon
mengajukan alat bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan
bukti P-11 sebagai berikut:
1. Bukti P-1 : Fotokopi Kartu Tanda Penduduk atas nama Pemohon;
2. Bukti P-2 : Fotokopi Akta Nikah Nomor 20/9/V/1995, tanggal 16 Mei 1995
3. Bukti P-3 : Fotokopi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
4. Bukti P-4 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
5. Bukti P-5 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan;
6. Bukti P-6 : Fotokopi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
13
7. Bukti P-7 : Fotokopi Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan;
8. Bukti P-8 : Fotokopi Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang
Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam Indonesia;
9. Bukti P-9 : Fotokopi Kompilasi Hukum Islam Buku 1 tentang Hukum
Perkawinan;
10. Bukti P-10 : Fotokopi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kesatu Bab
XXIV tentang Penggelapan, Pasal 372;
11. Bukti P-11 : Fotokopi Bukti-bukti dari Perbankan yang memperlihatkan
Indikasi Kerugian Pemohon akibat Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan;
[2.3] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Pemerintah telah
memberikan keterangan sebagai berikut:
Bahwa terkait dengan permohonan a quo Pemerintah berpendapat, permasalahan
yang dihadapi oleh Pemohon bukanlah merupakan suatu permasalahan
konstitusionalitas norma, melainkan merupakan permasalahan penerapan
peraturan perundang-undangan.
Bahwa kiranya Pemohon dapat memohonkan kepada Majelis Hakim Mahkamah
Syariah yang memeriksa perkara permohonan perceraian Pemohon untuk
menetapkan harta bersama (gono-gini) yang telah diperolehnya selama
perkawinan, sehingga apabila kemudian Majelis Hakim Mahkamah Syariah telah
menetapkan harta bersama (gono-gini) tersebut menjadi harta yang harus dibagi,
namun jika suami dari Pemohon kemudian tidak membagi harta bersama (gono-
gini) tersebut, maka Pemohon dapat melaporkan perbuatan suami Pemohon
tersebut sebagai suatu tindak pidana penggelapan kepada aparat penegak hukum
yaitu kepolisian.
Dengan adanya suatu laporan tindak pidana tersebut, Pemohon dapat
memperoleh akses atas harta bersama tersebut berdasarkan ketentuan Pasal 42
ayat (1) UU Perbankan yang menyebutkan bahwa “Untuk kepentingan peradilan
dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada
polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai
14
simpanan tersangka atau terdakwa pada bank.” Dengan demikian Pemohon dapat
mempertahankan hak konstitusionalnya dalam melindungi harta benda dan hak
milik pribadi Pemohon sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28G ayat (1)
dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Berkaitan dengan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, Pemerintah dalam
permohonan a quo menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi untuk menilainya, apakah Pemohon memiliki kedudukan
hukum atau tidak, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan juga berdasarkan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan putusan
Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan
selanjutnya.
Bahwa hubungan antara bank dengan nasabah penyimpan merupakan hubungan
hukum keperdataan yang didasarkan pada kepercayaan yang diformalkan dalam
suatu perjanjian antara bank dengan nasabah penyimpan. Hal ini sejalan dengan
penjelasan pada Pasal 1 angka 17 UU Perbankan yang berbunyi: “Nasabah
Penyimpan adalah nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang bersangkutan.”
Sebagai lembaga kepercayaan yang mengelola dana nasabah penyimpan, bank
berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan atas segala informasi mengenai
nasabah penyimpan dan simpanannya. Hal ini telah menjadi perhatian dari
perumus UU Perbankan sebagaimana tampak pada halaman 76 Risalah Rapat
Pembahasan RUU tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
tentang Perbankan yang dilaksanakan pada tanggal 17 September 1998 yang
dikeluarkan Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat yang antara lain
menyatakan, bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya.
Apabila seorang suami atau isteri dari nasabah individual suatu bank dengan
alasan harta bersama (gono gini) mendalilkan turut berhak atas suatu simpanan
pada bank termasuk atas informasi yang terkait dengan simpanan dimaksud, maka
yang bersangkutan seharusnya dapat membuktikan bahwa dirinya berhak juga
atas simpanan dimaksud (joint account).
15
Selain hal tersebut di atas, menurut Pemerintah bahwa peranan bank yang sangat
strategis sebagai suatu badan usaha yang mempunyai fungsi untuk menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kembali dana
tersebut kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman, menjadikan lembaga
perbankan sebagai salah satu lembaga yang mempunyai peran yang sangat
strategis dalam pembangunan perekonomian nasional.
Bank sebagai suatu lembaga yang diberikan kepercayaan untuk mengelola dana
masyarakat juga berkewajiban untuk menjaga kerahasiaan atas segala informasi
mengenai nasabah serta dana yang disimpannya dari pihak-pihak yang dapat
merugikan nasabah. Hal ini sangat dibutuhkan karena sebagai suatu lembaga
yang menghimpun dana masyarakat bank harus mendapat kepercayaan dari
masyarakat, dan kepercayaan dari masyarakat tersebut akan terjaga apabila
semua informasi mengenai hubungan antara nasabah dengan bank dapat terjaga
dengan baik kerahasiaannya. Pentingnya kerahasiaan bank dalam suatu industri
perbankan ini juga terkait dengan adanya asas-asas yang harus dipegang dalam
menjalankan suatu usaha perbankan guna terciptanya sistem perbankan yang
sehat yaitu Asas Demokrasi Ekonomi, Asas Kepercayaan, Asas Kerahasian Bank,
dan Asas kehati-hatian.
Hal tersebut membawa konsekuensi kepada bank untuk menjaga kerahasiaan
tersebut, sebagai timbal balik dari kepercayaan yang diberikan masyarakat kepada
bank selaku lembaga keuangan yang menghimpun dana masyarakat, maka sudah
sewajarnya bank memberikan jaminan perlindungan kerahasiaan kepada nasabah
yang berkenaan dengan segala informasi mengenai dananya yang disimpan di
bank.
Berdasarkan hal-hal tersebut maka Pemerintah bersama dengan DPR dalam
menyusun UU Perbankan memasukkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang a quo mengenai kerahasiaan bank sebagai salah satu bentuk
perlindungan serta memberikan jaminan dan kepastian hukum kepada nasabah
penyimpan dana dalam mempercayakan dananya pada suatu bank.
Terkait dengan permohonan Pemohon yang pada pokoknya menyatakan bahwa
ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan telah bertentangan
dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945,
Pemerintah berpendapat bahwa ketentuan a quo tidak bertentangan dengan UUD
16
1945, sebaliknya ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) a quo telah sejalan
dengan ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
Adanya ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan mengenai
kerahasiaan bank, secara tidak langsung justru akan menghambat adanya usaha-
usaha dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memperoleh data dan
informasi mengenai nasabah penyimpan dana, yang dapat digunakan untuk
mengambil dan memperoleh secara tidak sah hak-hak nasabah atas dananya
yang disimpan dalam suatu bank. Dengan demikian adanya ketentuan a quo justru
memberikan perlindungan atas hak konstitusional nasabah penyimpan dana
sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 dan Pasal
28H ayat (4) UUD 1945 untuk melindungi harta benda dan hak milik pribadi
nasabah penyimpan dana yang disimpan dalam suatu bank.
Selain hal-hal sebagaimana telah Pemerintah sampaikan tersebut, dapat
Pemerintah sampaikan pula bahwa dengan tidak adanya ketentuan mengenai
kerahasiaan bank sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat
(2) a quo akan berakibat pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat
terhadap industri perbankan. Sebagaimana telah Pemerintah jelaskan sebelumnya
bahwa menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap bank akan
berakibat pada jatuhnya industri perbankan yang akan berdampak pada
terganggunya stabilitas perekonomian nasional. Sehingga berdasarkan hal-hal
tersebut di atas Pemerintah berpendapat bahwa prinsip kerahasiaan bank yang
ada di dalam ketentuan a quo masih sangat diperlukan, guna terciptanya suatu
industri perbankan nasional yang baik dan sehat.
Berdasarkan penjelasan tersebut, Pemerintah memohon kepada Ketua/Majelis
Hakim Mahkamah Konstitusi mengadili permohonan pengujian ketentuan Pasal 40
ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan terhadap Undang-
Undang Dasar 1945, dapat memberikan putusan yang bijaksana dan seadil-
adilnya (ex aequo et bono).
[2.4] Menimbang bahwa terhadap permohonan Pemohon, Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) telah memberikan keterangan sebagai berikut:
17
A. KETENTUAN UNDANG-UNDANG PERBANKAN YANG DIMOHONKAN
PENGUJIAN TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK
INDONESIA TAHUN 1945
Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Pasal 40 ayat
(1) dan ayat (2) UU Perbankan yang berbunyi sebagai berikut:
“(1) Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan
simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41,
Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi Pihak
terafiliasi.”
Pemohon beranggapan ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU
Perbankan bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berbunyi
sebagai berikut:
Pasal 28G ayat (1):
“Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan,
martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas
rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.
Pasal 28H ayat (4):
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun.”
B. HAK DAN/ATAU KEWENANGAN KONSTITUSIONAL YANG DIANGGAP
PEMOHON TELAH DIRUGIKAN OLEH BERLAKUNYA UU PERBANKAN
Pemohon dalam permohonan a quo mengemukakan bahwa hak
konstitusionalnya telah dirugikan dan dilanggar atau setidak-tidaknya potensial
yang menurut penalaran wajar dapat dipastikan terjadi kerugian oleh
berlakunya Pasal 40 ayat (1) ayat (2) UU Perbankan yang pokoknya sebagai
berikut:
a. Pemohon beranggapan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan hanya
memberikan pengecualian tentang kerahasiaan nasabah untuk
kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank yang sudah
diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara,
18
kepentingan peradilan pidana, dan perkara perdata antara bank dengan
nasabahnya, yang mana pengecualian tersebut tidak memasukkan
pengecualian untuk perkara pengadilan perdata untuk perceraian serta
pembagian harta gono-gini nasabah penyimpan.
b. Menurut Pemohon Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan telah memberi ruang
kepada suami Pemohon untuk memindahkan dan/atau mengalihkan
tabungan dan deposito yang merupakan harta bersama yang disimpan atas
nama suami Pemohon, hal tersebut betentangan dengan Pasal 28H ayat (4)
yang berbunyi ”Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak
milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun.
c. Dari uraian di atas Pemohon pada pokoknya beranggapan bahwa dengan
diberlakukannya ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan
telah menghalangi akses Pemohon untuk memperoleh keterangan
mengenai harta bersama (harta gono-gini) Pemohon dengan suami
Pemohon, yang diperoleh selama pernikahan dan disimpan di bank atas
nama suami Pemohon. Menurut Pemohon dengan adanya ketentuan Pasal
40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan telah melanggar hak konstitusional
Pemohon untuk melindungi harta benda dan hak milik pribadi Pemohon
sebagaimana dijamin dalam ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H
ayat (4) UUD 1945.
C. KETERANGAN DPR RI
Terhadap dalil Pemohon sebagaimana diuraikan dalam permohonan a quo,
DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
Kualifikasi yang harus dipenuhi oleh Pemohon sebagai pihak telah
diatur dalam ketentuan Pasal 51 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat UU Mahkamah Konstitusi),
yang menyatakan bahwa “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak
dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-
Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia;
19
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara.”
Hak dan/atau kewenangan konstitusional yang dimaksud ketentuan
Pasal 51 ayat (1) tersebut, dipertegas dalam penjelasannya, bahwa “yang
dimaksud dengan “hak konstitusional” adalah hak-hak yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Ketentuan
Penjelasan Pasal 51 ayat (1) ini menegaskan, bahwa hanya hak-hak yang
secara eksplisit diatur dalam UUD 1945 saja yang termasuk “hak
konstitusional”.
Oleh karena itu, menurut UU MK, agar seseorang atau suatu pihak
dapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki kedudukan hukum (legal
standing) dalam permohonan Pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan:
a. Kualifikasinya sebagai Pemohon dalam permohonan a quo sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagaimana dimaksud
dalam “Penjelasan Pasal 51 ayat (1)” dianggap telah dirugikan oleh
berlakunya Undang-Undang.
Mengenai parameter kerugian konstitusional, Mahkamah Konstitusi
telah memberikan pengertian dan batasan tentang kerugian konstitusional
yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang harus memenuhi 5
(lima) syarat (vide Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-
V/2007) yaitu sebagai berikut:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
diberikan oleh UUD 1945;
b. bahwa hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon tersebut
dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang
diuji;
c. bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang
dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat
20
potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan
terjadi;
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan
berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan
atau tidak lagi terjadi.
Apabila kelima syarat tersebut tidak dipenuhi oleh Pemohon dalam
perkara pengujian Undang-Undang a quo, maka Pemohon tidak memiliki
kualifikasi kedudukan hukum (legal standing) sebagai pihak Pemohon.
Menanggapi permohonan Pemohon a quo, DPR berpandangan
bahwa Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar
Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan yang dimohonkan
untuk diuji, khususnya dalam mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap
hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari
diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji.
Terhadap kedudukan hukum (legal standing) tersebut, DPR
menyerahkan sepenuhnya kepada Ketua/Majelis Hakim Mahkamah
Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon memiliki
kedudukan hukum (legal standing) atau tidak sebagaimana yang diatur oleh
Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan
berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUU-III/2005 dan
Nomor 011/PUU-V/2007DPR
2. Pengujian Materil Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan
Terhadap permohonan pengujian materiil Pasal 40 ayat (1) dan ayat
(2) UU Perbankan, DPR menyampaikan keterangan sebagai berikut:
1. Lembaga perbankan memiliki posisi yang sangat strategis antara lain
sebagai lembaga intermediasi atau lembaga yang menerima simpanan
dari masyarakat dan menyalurkan kembali kepada masyarakat. Untuk itu
dana yang diterima dari masyarakat haruslah dikelola secara hati-hati
sehingga pemilik dana atau nasabah tidak khawatir tentang keamanan
dan ketersediaan dananya bila dibutuhkan. Kemudian agar fungsi Bank
21
sebagai lembaga intermediasi dapat berjalan dengan baik maka
dibutuhkan adanya kepercayaan masyarakat.
2. Pentingnya kepercayaan masyarakat bagi bank paling tidak karena dua
alasan, pertama, meningkatkan efisiensi penggunaan bank dan efisiensi
intermediasi, dan kedua, mencegah terjadinya bank rush and bank
panics. Untuk itu, manajemen bank dituntut mempunyai keterampilan
mengelola kekayaan, utang dan modal bank.
3. Salah satu unsur untuk menimbulkan kepercayaan masyarakat terhadap
dunia perbankan terutama jaminan akan keamanan dana miliknya yang
disimpan di bank adalah unsur kerahasiaan bank. Keharusan bagi bank
untuk memegang teguh rahasia bank adalah implementasi dari hubungan
hukum antara bank dengan nasabahnya yang menyimpan danannya
dibank dengan dilandasi oleh asas kerahasiaan (konfidensialitas) dan
kepercayaan (trust). Oleh karenanya, maka hubungan antara bank
dengan nasabah adalah hubungan kerahasiaan (confidential relation)
yang menimbulkan hubungan kepercayaan (trust relation) antara
nasabah terhadap bank tempat dimana nasabah menyimpan danannya.
Prinsip kerahasiaan yang menimbulkan kepercayaan nasabah dengan
bank sejalan dengan ketentuan ketentuan Pasal 1 angka 5 UU
Perbankan yang menyebutkan: “Simpanan adalah dana yang
dipercayakan oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian
penyimpanan dana dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito,
Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
4. Dalam rangka untuk mewujudkan kepercayaan masyarakat terhadap
dunia perbankan, perlu diciptakan suatu perangkat ketentuan perundang-
undangan yang dapat menjamin kepastian hukum bagi setiap pihak yang
terkait dengan kegiatan perbankan, baik itu pemilik, pengurus bank,
maupun masyarakat (nasabah) yang diatur dalam UU Perbankan. Dalam
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan telah diatur mengenai
kewajiban bagi bank dan fihak terafiliasi untuk merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya.
5. Ketentuan kewajiban bank dan pihak terafiliasi untuk merahasiakan
keterangan nasabah penyimpan dan simpanannya sebagaimana diatur
Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan, akan memberikan
22
perlindungan keamanan dana nasabah yang dimilikinya sebagai harta
benda hak milik pribadi yang disimpan di bank dalam bentuk Giro,
Deposito, Sertifikat Deposito, Tabungan dan/atau bentuk lainnya yang
dipersamakan dengan itu. Dengan demikian telah sejalan dengan
ketentuan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang
memberikan jaminan perlindungan terhadap harta benda yang di bawah
kekuasaannya serta tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun.
6. Bahwa dalam kaitan dengan harta bersama (gono gini) yang disimpan di
bank dalam bentuk Giro, Deposito, Sertifikat Deposito, dan/atau tabungan
baik atas nama suami maupun atas nama istri, maka masing-masing
pihak sudah sepatutnya mengetahui akibat hukumnya yaitu masing-
masing individu tidak dapat mengakses keterangan menganai
simpanannya. Oleh karena itu, DPR beranggapan bahwa hal tersebut
bukanlah persoalan konstitusionalitas norma, melainkan persoalan
penerapan norma dimana suami – istri dapat saja sepakat bahwa untuk
harta bersama yang disimpan di bank dibuat dalam bentuk joint acount
dimana masing-masing pihak dapat mengakses simpanannya atau
sebaliknya dapat sepakat untuk menyimpan dana dengan atas nama
masing-masing yang tentu saja akibat hukumnya masing-masing tidak
dapat mengakses keterangan mengenai simpanannya. Hal ini sejalan
dengan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan yang menyebutkan “mengenai harta bersama, suami –
istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak”.
7. Berdasarkan uraian di atas DPR berpandangan ketentuan Pasal 40 ayat
(1) dan ayat (2) UU Perbankan tidak bertentangan dengan Pasal 28G
ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;
Demikian keterangan DPR disampaikan untuk menjadi bahan
pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengadili
perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut:
1. Menerima Keterangan DPR secara keseluruhan;
2. Menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan tidak
bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD
1945;
23
3. Menyatakan ketentuan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan tetap
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
[2.5] Menimbang bahwa Pemohon menyampaikan kesimpulan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 27 Agustus 2012 yang pada
pokoknya menyatakan tetap dengan pendiriannya;
[2.6] Menimbang bahwa Pemerintah menyampaikan kesimpulan tertulis yang
diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 4 September 2012 yang pada
pokoknya menyatakan tetap dengan keterangannya;
[2.7] Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara
persidangan, yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan
putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1] Menimbang bahwa pokok permohonan Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790, selanjutnya disebut
UU Perbankan) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945);
[3.2] Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo;
b. kedudukan hukum (legal standing) Pemohon untuk mengajukan permohonan
a quo;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
24
Kewenangan Mahkamah
[3.3] Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD
1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226,
selanjutnya disingkat UU MK) juncto Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan konstitusional
Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945;
[3.4] Menimbang bahwa permohonan Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas norma Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan terhadap
UUD 1945, yang menjadi salah satu kewenangan Mahkamah, sehingga
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
Kedudukan Hukum (Legal Standing) Pemohon
[3.5] Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang
terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu
Undang-Undang, yaitu:
a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan sama);
b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang diatur dalam Undang-Undang;
c. badan hukum publik atau privat; atau
d. lembaga negara;
25
Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu:
a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat
(1) UU MK;
b. adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh
UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
[3.6] Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 006/PUU-III/2005, bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 11/PUU-V/2007, bertanggal 20 September 2007, serta putusan-
putusan selanjutnya, berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh
UUD 1945;
b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap
dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau
setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan
akan terjadi;
d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka
kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7] Menimbang bahwa dalam permohonannya Pemohon mendalilkan:
1. Bahwa Pemohon mengajukan gugatan perceraian dan pembagian harta
bersama (gono-gini) terhadap suami Pemohon di Mahkamah Syariah Kota
Banda Aceh Nomor 21/Pdt-G/2012/MS-BNA tertanggal 1 Februari 2012. Dalam
gugatan harta bersama (gono-gini) tersebut dicantumkan sejumlah harta
bersama dalam bentuk tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas
nama suami Pemohon di sejumlah bank di Kota Banda Aceh dan Bank
Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Namun, dalam jawaban gugatan yang
disampaikan kepada Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh tertanggal 21 Maret
26
2012, dan dipertegas lagi dalam duplik tertanggal 18 April 2012, suami
Pemohon melalui kuasa hukumnya yang bernama Darwis, SH, menyangkal
dan menolak keberadaan seluruh tabungan dan deposito yang disimpan oleh
dan atas nama suami Pemohon pada sejumlah bank di Kota Banda Aceh dan
bank di Kabupaten Aceh Besar tersebut;
2. Bahwa atas perbedaan dan perselisihan antara Pemohon dengan suami
Pemohon tentang keberadaan tabungan dan deposito yang dimaksud,
Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh kemudian meminta sejumlah bank
tersebut untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan tabungan dan
deposito dimaksud demi kepentingan perlindungan harta bersama yang
kedudukannya dilindungi oleh hukum dan Undang-Undang, dengan rincian:
a. Bank Syariah Mandiri KCP Keutapang, Aceh Besar, tertanggal 21 Mei 2012
b. Bank Mandiri Cabang Unsyiah Darussalam, Banda Aceh, tertanggal 21 Mei
2012.
c. Bank BRI Cabang KCP Peunayong, Banda Aceh, 6 Juni 2012;
3. Bahwa terhadap surat yang dikirim oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh
tersebut, bank-bank tersebut menolak memberikan keterangan dengan alasan
tidak dapat memenuhi panggilan dikarenakan menyangkut dengan
kerahasiaan data nasabah.
[3.8] Menimbang bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap
orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan
harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan
perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
yang merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyatakan,
“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak
boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”;
[3.9] Menimbang bahwa memperhatikan dalil Pemohon serta dihubungkan
dengan hak konstitusional Pemohon yang ditentukan dalam Pasal 28G ayat (1)
dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, menurut Mahkamah, hak atas harta benda
yang merupakan harta bersama selama perkawinan merupakan harta yang harus
dilindungi dan tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapa pun. Pasal
40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan telah meniadakan hak konstitusional
27
Pemohon sebagai seorang istri atas harta bersama yang harus dilindungi, karena
Pemohon tidak dapat mengetahui jumlah harta tersebut. Apalagi faktanya
Pemohon juga sudah bermohon kepada Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh
untuk meminta beberapa bank yang di dalamnya ada harta bersama Pemohon
untuk memberikan keterangan mengenai keberadaan tabungan dan deposito
dimaksud demi kepentingan perlindungan harta bersama, namun hal tersebut
ditolak oleh bank dengan alasan kerahasiaan nasabah sebagaimana ditentukan
dalam UU Perbankan a quo. Menurut Mahkamah, dalam perkara a quo terdapat
kerugian konstitusional yang bersifat spesifik (khusus) dan aktual yang dialami
oleh Pemohon. Terlebih lagi secara faktual terdapat hubungan sebab-akibat
(causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian yang apabila dikabulkan maka kerugian konstitusional
seperti yang didalilkan Pemohon tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.10] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk
mengajukan permohonan a quo;
[3.11] Menimbang bahwa oleh karena Mahkamah berwenang mengadili
permohonan a quo dan Pemohon memiliki kedudukan hukum legal standing) untuk
mengajukan permohonan, maka selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan
pokok permohonan;
Pokok Pemohonan
Pendapat Mahkamah
[3.12] Menimbang bahwa setelah Mahkamah mendengar dan membaca
dengan saksama permohonan Pemohon, keterangan Pemerintah, keterangan
DPR, serta memeriksa bukti surat/tulisan yang diajukan oleh Pemohon, Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
• Bahwa Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi”, dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 menyatakan, “Setiap
28
orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun”. Dari ketentuan tersebut,
maka setiap orang berhak atas perlindungan harta benda yang di bawah
kekuasaannya dan setiap orang memiliki hak milik pribadi yang tidak boleh
diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun;
• Bahwa terkait dengan harta benda yang di bawah kekuasaannya adalah
termasuk harta bersama yang diperoleh bersama selama perkawinan, hal
tersebut sebagaimana ditentukan dalam Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1),
dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan:
Pasal 35
(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama
Pasal 36
(1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan
kedua belah pihak.
Pasal 37
Bila perkawinan putus karena perceraian, harta benda diatur menurut hukumnya
masing-masing.
Kemudian Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam yang berlaku berdasarkan
Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 menyatakan, ”harta kekayaan
dalam perkawinan (harta bersama) yaitu harta yang diperoleh baik sendiri-
sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa
mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.” Oleh karena itu, dengan
mengacu kepada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
terutama Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37 serta Inpres Nomor 1
Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam khususnya Pasal 1 huruf f maka
terhadap seluruh tabungan, deposito, dan harta benda dan produk perbankan
lainnya yang dimiliki dan disimpan di bank oleh suami dan atau isteri, harta
tersebut mempunyai kedudukan sebagai harta bersama (gono-gini) yang dimiliki
secara bersama-sama oleh suami dan atau isteri termasuk Pemohon.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, harta bersama (gono-
gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh
29
suami dan/atau isteri di satu bank baik dalam bentuk tabungan, deposito dan
produk perbankan lainnya merupakan harta benda milik bersama suami isteri
yang dilindungi menurut konstitusi;
[3.13] Menimbang bahwa permasalahan yang harus dijawab oleh Mahkamah
adalah adanya larangan bagi bank untuk memberi keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat
(1) UU Perbankan, khususnya mengenai simpanan yang merupakan harta
bersama menurut UU Perkawinan;
[3.14] Menimbang, benar bahwa setiap nasabah harus dilindungi kerahasiaan
datanya oleh bank, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU
Perbankan, akan tetapi pasal a quo juga memberikan pengecualian bahwa data
nasabah juga dapat diakses untuk:
• kepentingan perpajakan (Pasal 41),
• penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan
Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A),
• kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42),
• perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43),
• kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44), dan
• atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat
secara tertulis (Pasal 44A);
Bahwa dari pengecualian tersebut, terdapat norma yang membolehkan data
nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara
perdata antarbank dengan nasabahnya. Berdasarkan hal tersebut, menurut
Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga harus
dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama, karena
harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri, sehingga suami
dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh
diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh
Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945;
[3.15] Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
Mahkamah, perlu ada penafsiran yang pasti terkait ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU
30
Perbankan, agar terdapat kepastian hukum yang adil dalam pelaksanaan dari
pasal a quo, sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk Pemohon
memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta
bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank. Terhadap Pasal 40 ayat (1)
UU Perbankan perlu diberi penafsiran agar data nasabah pada bank tetap
terlindungi kerahasiannya, kecuali mengenai hal-hal lain yang telah ditentukan oleh
Undang-Undang dan berdasarkan penafsiran oleh Mahkamah ini. Menurut
Mahkamah, apabila Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 secara keseluruhan dan karena itu tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat, hal itu justru akan menimbulkan tidak adanya perlindungan
terhadap kerahasiaan bank, sehingga menimbulkan ketidakpercayaan nasabah
terhadap bank dan merugikan perekonomian nasional. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, untuk melindungi hak-hak suami dan/atau isteri terhadap harta
bersama yang disimpan di bank, maka Mahkamah perlu memberikan kepastian
dan perlindungan hukum yang adil. Ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan
harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah
penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.”
Dengan demikian dalil Pemohon a quo, menurut Mahkamah adalah beralasan
menurut hukum;
[3.16] Menimbang bahwa mengenai ketentuan Pasal 40 ayat (2) UU
Perbankan yang didalilkan bertentangan dengan UUD 1945, menurut Mahkamah,
ketentuan tersebut adalah untuk pihak terafiliasi bukan untuk perorangan warga
negara. Pihak terafiliasi menurut Pasal 1 angka 22 UU Perbankan adalah:
a. anggota dewan komisaris, pengawas, direksi atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank;
b. anggota pengurus, pengawas, pengelola atau kuasanya, pejabat, atau
karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pihak yang memberikan jasanya kepada bank, antara lain akuntan publik,
penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya;
31
d. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga
komisaris, keluarga pengawas, keluarga direksi, keluarga pengurus.
Apabila ketentuan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka
pihak terafiliasi dapat mengetahui data nasabah yang seharusnya dirahasiakan.
Hal itu justru merugikan nasabah bank yang berdampak hilangnya rasa percaya
pada bank dan merugikan perekonomian nasional. Dengan demikian ketentuan
tersebut di atas tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu dalil
permohonan Pemohon a quo tidak beralasan menurut hukum;
[3.17] Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan di atas, menurut
Mahkamah, permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum untuk
sebagian;
4. KONKLUSI
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di
atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1] Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;
[4.2] Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan
permohonan a quo;
[4.3] Pokok permohonan Pemohon terbukti dan beralasan menurut hukum
untuk sebagian;
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi,
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), serta Undang-
Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076);
32
5. AMAR PUTUSAN
Mengadili,
Menyatakan:
1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;
1.1. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk untuk
kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara
perceraian;
1.2. Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790) tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai
termasuk untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama
dalam perkara perceraian;
2. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya;
3. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia
sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh
sembilan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua merangkap
Anggota, Achmad Sodiki, M. Akil Mochtar, Harjono, Maria Farida Indrati,
Muhammad Alim, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva,
masing-masing sebagai Anggota, pada hari Rabu, tanggal dua puluh, bulan
Februari, tahun dua ribu tiga belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno
Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, tanggal dua puluh
delapan, bulan Februari, tahun dua ribu tiga belas, selesai diucapkan pukul
14.53 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi yaitu Moh. Mahfud MD selaku Ketua
merangkap Anggota, M. Akil Mochtar, Harjono, Maria Farida Indrati, Muhammad
33
Alim, Anwar Usman, Ahmad Fadlil Sumadi, dan Hamdan Zoelva, masing-masing
sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Cholidin Nasir sebagai Panitera
Pengganti, serta dihadiri oleh Pemohon, Pemerintah atau yang mewakili, serta
Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD.
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.
M. Akil Mochtar
ttd.
Harjono
ttd.
Maria Farida Indrati
ttd.
Muhammad Alim
ttd.
Anwar Usman
ttd.
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
Hamdan Zoelva
PANITERA PENGGANTI,
ttd.
Cholidin Nasir