penyakit kusta
TRANSCRIPT
PENYAKIT KUSTA
Definisi
Kusta meripakan infeksi kronik dan penyebabnya adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama , lalu kulit dan mukosa traktus
respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat 1
Sejarah Penyakit Kusta2
Menurut sejarah pemberantasan penyakit kusta di dunia dapat kita bagi dalam 3 (tiga) zaman yaitu
zaman purbakala, zaman pertengahan dan zaman moderen. Pada zaman purbakala karena belum
ditemukan obat yang sesuai untuk pengobatan penderita kusta, maka penderita
tersebut telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu,
disamping itu masyarakat menjauhi mereka karena merasa jijik. Pada zaman pertengan penderita
kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksa tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita
kusta seumur hidup.
1. Zaman Purbakala.
Penyakit kusta dikenal hampir 2000 tahun SM. Hal ini dapat diketahui dari peninggalan sejarah
seperti di Mesir, di India 1400 SM, istilah kusta yang sudah dikenal didalam kitab Weda, di
Tiongkok 600 SM, di Nesopotamia 400 SM. Pada zaman purbakala tersebut telah terjadi
pengasingan secara spontan penderita merasa rendah diri dan malu, disamping masyarakat
menjauhi penderita karena merasa jijik dan takut.
2. Zaman Pertengahan.
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan system feodal yang
berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap penguasa dan hak
azasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi pada penderita kusta yang
umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab penyakit dan obat-obatan belum
ditemukan maka penderita kusta diasingkan lebih ketat dan dipaksakan tinggal di
Leprosaria/Koloni Perkampungan penderita kusta untuk seumur hidup.
3. Zaman Modern.
1
Dengan ditemukannya kuman kusta oleh G.H. Hansen pada tahun 1873, maka mulailah era
perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha penanggulangannya. Demikian halnya
di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem pengobatan yang tadinya dilakukan
secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan
selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan DDS sebagai pengobatan penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat Kombinasi Multidrug Therapy
(MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.
Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh kuman yang dimakan sebagai microbakterium, dimana
microbacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora, berbentuk batang yang tidak
mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alkohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”. Selain banyak membentuk safrifit,
terdapat juga golongan organism patogen (misalnya Microbacterium tubercolose, mycrobakterium
leprae) yang menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis granuloma
infeksion.3
Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan target
resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan subtropis.
86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia, India, Indonesia,
Nepal, Nigeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak dimulai adanya MDT
pada tahun 1982. 1,2,3
Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh
orang-orang India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang. Pada
pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang.
Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang
dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000.
Indonesia memiliki 14 provinsi yang menjadi daerah rawan penyakit kusta, yaitu Jawa Timur, Irian
Jaya bagian Barat, Papua, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi
Utara, Maluku, Maluku Utara, NTT, NTB, Aceh, dan DKI Jakarta (Depkes RI, 2005).1
2
Disamping itu faktor-faktor yang berperan dalam penularan ini adalah :
Usia : insidensi usia puncak pada 10-20 tahun dan 30-50 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki lebih banyak dijangkiti (2:1)
Ras : Bangsa Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti
Kesadaran sosial : Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara dengan tingkat
sosial ekonomi rendah
Lingkungan : Fisik, biologi, sosial, yang kurang sehat.
Faktor – faktor yang menentukan terjadinya kusta
1. Penyebab
2. Sumber Penularan
3. Cara keluar dari pejamu
4. Cara penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta tipe Multi basiller (MB) kepada
orang lain dengan cara penularan langsung. Cara penularan yang pasti belum diketahui,
tetapi sebagian besar para ahli berpendapat bahwa penyakit kusta dapat ditularkan melalui
saluran pernafasan dan kulit4. Timbulnya kusta bagi seseorang tidak mudah, dan tidak perlu
ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain :
a. Faktor Sumber Penularan.
Sumber penulatan adalah penderita kusta tipe MB. Penderita MB inipun tidak akan
menularkan kusta, apabila berobat teratur.
b. Faktor Kuman Kusta.
Kuman kusta dapat hidup diluar tubuh manusia antara 1 – 9 hari tergantung pada suhu atau
cuaca, dan diketahui hanya kuamn kusta yang utuh (solid) saja yang dapat menimbulkan
penularan.
c. Faktor Daya Tahan Tubuh.
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukkan gambaran sebagai berikut:
Dari 100 orang yang terpapar :
95 orang tidak menjadi sakit.
3 orang sembuh sendiri tanpa obat.
2 orang menjadi sakit, hal ini belum lagi memperhitungkan pengaruh pengobatan.
5. Cara masuk ke pejamu
6. Pejamu
3
Klasifikasi dan Gambaran Klinis 1
Ada 3 tanda kardinal. Kalau salah satunya ada, tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan
diagnosis penyakit kusta, yaitu :
Lesi kulit yang anestesi
Kelainan kulit / lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan ( hipopigmentasi ) atau
kemerah-merahan ( eritematous ) yang mati rasa ( anestesi )
Penebalan saraf perifer
Disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari
peradangan kronis saraf tepi ( neuritis perifer ).
Gangguan fungsi saraf ini dapat berupa :
o Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
o Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot ( parese ) atau kelumpuhan
( paralise )
o Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak - retak
Ditemukan basil M. leprae ( bakteriologis positif )
Tabel 1 Zona spektrum kusta menurut macam klasifikasinya.1
KLASIFIKASI ZONE SPEKTRUM KUSTA
Ridley & Jopling TT BT BB BL LL
Madrid Tuberkuloid borderline Lepromatosa
W.H.O Pausibasiler Multibasiler
Puskesmas Pausibasiler Multibasiler
Klasifikasi untuk kepentingan program kusta /klasifikasi WHO (1981) dan modifikasi
WHO (1988)1
1. Pausibasilar (PB)
Hanya kusta tipe I, TT dan sebagian besar BT dengan BTA negatif menurut kriteria
Ridley dan Jopling atau tipe I dan T menurut klasifikasi Madrid.
2. Multibasilar (MB)
Termasuk kusta tipe LL, BL, BB dan sebagian BT menurut kriteria Ridley dan
Jopling atau B dan L menurut Madrid dan semua tipe kusta dengan BTA positif.
4
Tabel 2 Perbedaan tipe PB dan MB menurut klasifikasi WHO
PB MB
1. Lesi kulit (makula
yang datar, papul yang
meninggi,infiltrat, plak
eritem, nodus)
2. Kerusakan saraf
(menyebabkan
hilangnya
senasasi/kelemahan
otot yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)
Ø 1-5 lesi
Ø Hipopigmentasi/eritema
Ø Distribusi tidak simetris
Ø Hilangnya sensasi yang
jelas
Ø Hanya satu cabang saraf
Ø > 5 lesi
Ø Distribusi lebih simetris
Ø Hilangnya sensasi kurang
jelas
Ø Banyak cabang saraf
Sumber :Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta
** Semua pasien dengan BTA positif, apapun klasifikasi klinisnya diobati dengan MDT-MB
Kekebalan selular (cell mediated immunity = CMI)/ SIS (Sistem Imunitas Seluler)
seseorang yang akan menentukan, apakah ia akan menderita kusta bila ia mendapat infeksi
M.leprae dan tipe kusta yang akan dideritanya dalam spektrum penyakit kusta. Makin tinggi SIS
seseorang maka gambaran klinis akan ke arah tuberculoid, jika SIS rendah maka gambaran klinis
akan semakin lepromatosa.
Tabel 3. Gambaran klinis tipe PB
KarakteristikTuberkuloid
(TT)
Borderline
tuberculoid
(BT)
Indeterminate
(I)
Lesi Makula dibatasi Makula
5
Tipe
Jumlah
Distribusi
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Tes lepromin
Makula dibatasi
infiltrat
Satu atau
beberapa
Terlokalisasi &
asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif
Positif kuat (3+)
infiltrat saja
Satu dengan lesi
satelit
Asimetris
Kering, skuama
Hilang
Negatif atau 1 +
Positif (2 +)
Satu atau
beberapa
Bervariasi
Dapat halus
agak berkilat
Agak
terganggu
Biasanya
negatif
Meragukan (1
+)
Sumber : Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit. Jen P2 dan PL. Jakarta
Tabel 4. Gambaran klinis tipe MB
KarakteristikLepromatosa
(LL)
Borderline
lepromatosa (BL)
Mid-
borderline
(BB)
Lesi
Tipe
Jumlah
Distribusi
Makula, infiltrat
difus, papul, nodus
Banyak, distribusi
luas, praktis tidak
ada kulit sehat
simetris
Makula, plak,
papul
Banyak, tapi kulit
sehat masih ada
Plak, lesi
berbntuk
kubah, lesi
punched-out
Beberapa,
kulit sehat (+)
6
Permukaan
Sensibilitas
BTA
Pada lesi kulit
Pada
hembusan
hidung
Tes lepromin
Kering, skuama
Halus dan berkilap
Todak terganggu
Banyak (globi)
Banyak (globi)
Negative
Cenderung
simetris
Halus dan berkilap
Sedikit berkurang
Banyak
Biasanya tidak ada
Negatif
asimetris
sedikit
berkilap,
beberapa lesi
kering
berkurang
agak banyak
tidak ada
biasanya
negatif, dapat
juga (±)
Sumber: Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Dit.Jen P2 dan PL. Jakarta
Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan
selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah
klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini
juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan. Adapun klasifikasinya adalah sebagai
berikut :
1. Tipe tuberkoloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat
berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi
yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang
meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat
disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit
7
rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda
terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
2. Tipe borderline tubercoloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering
disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya
gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.
3. Tipe mid borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit
kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi
dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang
jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Lesi sangat
bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi
punched out yang merupakan ciri khas tipe ini.
4. Tipe borderline lepromatosa
Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi
lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian
tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched
out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa hilangnya sensasi, hipipigmentasi,
berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi.
5. Tipe lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap,
berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga.
Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan
permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit
yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung
membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih
lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran
8
kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf
yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. Bila penyakit ini
menjadi progresif, muncul makula dan papul baru, sedangkan lesi lama menjadi
plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-serabut saraf perifer mengalami
degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan anestesi dan pengecilan otot
tangan dan kaki.
Salah satu tipe penyakit kusta yang tidak termasuk dalam klasifikasi Ridley dan jopling,
tetapi diterima secara luas oleh para ahli kusta yaitu tipe indeterminate (I). lesi biasanya berupa
makula hipopigmentasi dengan sedikit sisik dan kulit di sekitarnya normal. Lokasi biasanya di
bagian ekstensor ekstremitas, bokong atau muka, kadang-kadang dapat ditemukan makula hipestesi
atau sedikit penebalan saraf. Diagnosis tipe ini hanya dapat ditegakkan, bila dengan pemeriksaan
histopatologik.1
Diagnosis
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Inspeksi pasien dapat dilakukan dengan penerangan yang baik, lesi dan kerusakan kulit juga
harus diperhatikan.Palpasi dan pemeriksaan dapat dilakukan dengan alat-alat sederhana yaitu jarum
untuk nyeri, kapas untuk rasa raba dan dapat menggunakan 2 buahtabung reaksi jika masih belum
jelas. Perlu juga dilakukan pemeriksaan anhidrosis kulit dengan cara sederhana seperti Tes
Gunawan.1
Pemeriksaan Saraf Tepi
Untuk saraf perifer perlu diperhatikan pembersaran, konsistensi dan nyeri atau tidak. Hanya
beberapa saraf yang diperiksa yaitu N. Fasialis, N. Aurikularis magnus, N. Radialis, N. Ulnaris, N.
Medianus, N. Poplitea lateralis, N. Tibialis Posterior. Pada pemeriksaan, dibandingkan antara kiri
dan kanan. Pada tipe lepromatosus biasanya kelainan sarafnyabilateral dan menyeluruh sedangkan
tipe tuberkuloid terlokalisasi mengikuti tempat lesinya.
Cara pemeriksaan saraf tepi:
a. N. Auricularis magnus
9
Pasien menoleh ke samping semaksimal mungkin, maka saraf yang terlibat akan terdorong
oleh otot-oto di bawahnya sehingga sudah bisa terlihat pembesaran sarafnya. Dua jari
pemeriksaa diletakkan diatas persilangan jalannya saraf tersebut dengan arah otot. Bila ada
penebalan maka akan teraba jaringan seperti kabel atau kawat. Bandingkan kiri dan kanan.
b. N. Ulnaris
Tangan yng diperiksa harus santai, sedikit fleksi dan sebaiknya diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan adakah
penebalan. Bandingkan kanan dan kiri.
c. N. Peroneus lateralis
Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral dari capitulum
fibulae.
Tes Fungsi Saraf
a. Tes Sensoris
Gunakan kapas, jarum serta tabung reaksi brisi air hangat dan dingin.
Rasa Raba
Sepotong kapas yang dlancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien. Kapas
disinggungkan kulit yang lesi dan yang sehat kemudian pasien disuruh menunjuk
kulit yang di singgung dengan mata terbuka. Jika hal ini telah dimengerti, tes
kembali dikukan tetapi dengan mata pasien tertutup.
Rasa Tajam
Diperiksa dengan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah disentuhkan
bagian tajamnya lalu disentuhkan bagian tumpulnya kemudian pasien diminta
menentukan tajam atau tumpul. Tes ini dilakukan seperti pemeriksaan rasa raba.
Rasa Suhu
Dilakuan dengan menggunakan dua buah tbung reaksi yangberisi air panas dan air
dingin. Lalu diminta pasien menetukan rasa dingin atau panas seperti cara
pemeriksaan sensasi lainnya.
b. Tes Otonom
Berdasarnkan adanya anguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis yaitu:
1. Tes dengan tinta (Tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
10
3. Tes Motoris (Voluntary Muscle Test) pada N. Ulnaris, N. Medianus, N. Radialis dan N.
Peroneus.
Pemeriksaan Bakteriologis
Pemeriksaan bakterioskopik dilakukan dengan menggunakan sediaan kerokan kulit atau
usapan mukosa hidung yang diwarnai secara ZIEHL NEELSON. Untuk riset dilakukan di 10
tempat dan untuk pemriksaan rutin dilakukan mengambilan dari 4-6 tempat/lesi yaitu kedua cuping
telinga bagibawah dan 2-4 lesi lain yang paling eritematos tau paling aktif. Cuping telinga dipilah
sebab didearah tersebut paling banyak terdapat M. Leprae.1
Kepadatan BTA pada suatu sediaan dinyatakan dengan IB (indeks bakteri) dengan nilai 0
sampai 6+ menurut Ridley sebagai berikut:
0 jika tidak ditemukan BTA dalam 100 LP
1+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ jika ditemukan 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ jika ditemukan 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ jika ditemukan 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ jika ditemukan 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ jika ditemukan >1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid dan non
solid.
IM =Jumlah Solid
X 100%Jumlah Solid + Jumlah Non Solid
Pemeriksaan Histopatologis
Pada tipe tuberkuloid didapatkan tubrkel dan kerusakan saraf yang lebih nyata tetapi tidak
ada basil atau basil non solid. Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal
11
(subepidermal clear zone) yaitu suatu daerah langsung dibawah epidermis yang jaringannya tidak
patologik. Dapat dijumpai banyak sel Virchow.1
Pemeriksaan Serologis
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman mengabatkan diagnosis serologi meru[akan
alternatif yang paling diharapkan. Pemeriksaan serologik yang dapat digunakan adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.1
Pemeriksaan Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik ntuk klasifikasi dan prognosis lepra tetapi tidak untuk
diagnosis. Tes ini hanya untuk menunjukkan sistem imun penderita terhadap M. Leprae. 0,1 ml
lepromin disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca dalam 48 jam/2 hari (reaksi Fernandez) atau 3-
4 minggu (reaksi Mitsuda). Reaksi Fernandez positif bila terdapat indurasi dan eritema yang
menunjukkan kalau penderita bereaksi terhadap M. Leprae yaitu respon imun tipe lambat.1
Reaksi Mitsuda:
0 jika papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1 jika papul berdiameter 4-6 mm
+2 jika papul berdiameter 7-10 mm
+3 jika berdiameter >10 mm atau papul dengan ulserasi.
Diagnosis Kusta
Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain.
Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta.
Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan
membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang
12
merugikan pasien. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda
utama), yaitu:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak).
Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu
dan rasa nyeri.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena, yaitu :
a.gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis
c.gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut
yang terganggu.
3. Ditemukannya kuman tahan asam
Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian
yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit dan saraf.
Untuk menegakkan diagnosis penyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda
kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan sampai diagnosis kusta dapat
ditegakkan atau disingkirkan.
Reaksi Kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit yang
sebenarnya sangat kronik. Terbagi atas dua tipe yaitu:1
Reaksi reversal atau reaksi upgrading (reaksi tipe 1)
o Hipersensitivitas tipe lambat oleh karena peningkatan mendadak SIS yang faktor
pencetusnya belum diketahui.
Eritema Nodosum Leprosum (ENL) (reaksi tipe II)
o Karena pengobatan lama, banyakbasl yang mati dan hancur, berarti banyak
antigenyang dilepaskan dan bereaksi dengn antibodi serta mengaktifkan sistem
13
komplemen. Kompleks tersebut beredar dalam darah dan akhirnya melibatkan
banyak organ.
Tabel 5. Reaksi Kusta
No Gejala / tanda Reaksi tipe I Reaksi tipe II
1 Keadaan umum Umumnya baik, demam
ringan ( sub febris ) atau
tanpa demam
Ringan sampai berat
disertai kelemahan
umum dan demam tinggi
2 Peradangan di kulit Bercak kulit lama
menjadi lebih meradang (
merah ), dapat timbul
bercak baru
Timbul nodul
kemerahan, lunak dan
nyeri tekan. Biasanya
pada lengan dan tungkai.
Nodul dapat pecah
( ulserasi )
3 Saraf Sering terjadi, umumnya
berupa nyeri tekan saraf
dan / atau gangguan
fungsi saraf
Dapat terjadi
4 Peradangan pada
organ lain
Hampir tidak ada Terjadi pada mata,
kelenjar getah bening,
sendi, ginjal, testis, dan
lain - lain
5 Waktu timbulnya Biasanya segera setelah
pengobatan
Biasanya setelah
mendapatkan
pengobatan yang lama,
umumnya lebih dari 6
bulan
6 Tipe kusta Dapat terjadi pada kusta
tipe PB maupun MB
Hanya pada kusta tipe
MB
7 Faktor pencetus Emosi, kelelahan, dan stress fisik lain, kehamilan,
pasca persalinan, obat - obat yang meningkatkan
kekebalan tubuh, penyakit infeksi lainnya
14
Pengobatan Kusta
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk
menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya
cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih
berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal
yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia.
Pada tahun 1981 WHO merekomendasikan penggunaan Multi Drug Therapy (MDI), yaitu
pengobatan baku terhadap pasien dengan kusta multibasil dan pasien dengan kusta paucibasil.
Regimen ini diharapkan efektif, dapat digunakan secara luas dan diterima oleh semua pasien;
sampai saat ini telah diterima sebagai pengobatan standar untuk penyakit kusta.
Program MDT
Program MDT dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika kelompok studi kemoterapi WHO
secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan kusta dengan rejimen kombinasi yang
selanjutnya dikenal sebagai rejimen MDT-WHO. Rejimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat
dapson, rifampisin dan klofasimin. Selain untuk mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan penderita dan
menurnkan angka putus-obat (drop out rate) yang cukup tinggi pada masa monoterapi dapson.
Disamping itu diharapkan juga MDT dapat mengeliminasi persistensi kuman kusta dalam jaringan.
Obat dalam rejimen MDT-WHO
a. Dapson (DDS, 4,4 diamino-difenil-sulfon). Obat ini bersifat tidak seperti pada kuman
lain, dapson bekerja sebagai antimetabolit PABA.
b. Rifampisin. Rifampisin merupakan obat yang paling ampuh saat ini untuk kusta, dan
bersifat bakterisidal kuat pada dosis lazim. Rifampisin bekerja menghambat enzim
polimerase RNA yang berikatan secara ireversibel.
15
c. Klofazimin. Obat ini merupakan turunan zat warna iminofenazin dan mempunyai efek
bakteriostatik setara dengan dapson. Bekerjanya diduga melalui gangguan
metabolisme radikal oksigen. Disamping itu obat ini juga mempunyai efek
antiinflamasi sehingga berguna untuk pengobatan reaksi kusta, kekurangan obat ini
adalah harganya mahal, serta menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan
masalah pada ketaatan berobat penderita.
d. Etinamid dan protionamid. Kedua obat ini merupakan obat tuberkulosis dan hanya
sedikit dipakai pada pengobatan kusta.
Selain penggunaan Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan
Lamprine (B663), Rifampicin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk menyehatkan kulit
yarlg bersisik).
Tabel 6 Obat Lepra
Tabel 7 Regimen pengobatan kusta dengan lesi tunggal (ROM) menurut WHO/DEPKES RI
Rifampicin Ofloxacin Minocyclin
Dewasa
(50-70 kg)
600 mg 400 mg 100 mg
Anak
(5-14 th)
300 mg 200 mg 50 mg
16
PB dengan lesi 2 – 5.Lama pengobatan 6 dosis ini bisa diselesaikan selama (6-9) bulan.
Setelah minum 6 dosis ini dinyatakan RFT (Release From Treatment) yaitu berhenti minum obat.
Tabel 8 Regimen MDT pada kusta Pausibasiler (PB)
Rifampicin Dapson
Dewasa 600 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hr diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
Diminum di depan
petugas kesehatan
50 mg/hari diminum di
rumah
Tabel 9 Regimen MDT pada kusta Multibasiler (MB)
Rifampicin Dapson Lamprene
Dewasa 600 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
100 mg/hari diminum
di rumah
300 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dgn 50
mg/hari diminum di
rumah
Anak-anak
(10-14 th)
450 mg/bulan
diminum di depan
petugas
50 mg/hari diminum
di rumah
150 mg/bulan
diminum di depan
petugas kesehatan
dilanjutkan dg 50 mg
selang sehari
diminum di rumah
17
MB (BB, BL, LL) dengan lesi > 5 .Lama pengobatan 12 dosis ini bisa diselesaikan selama
12-18 bulan. Setelah selesai minum 12 dosis obat ini, dinyatakan RFT/=Realease From Treatment
yaitu berhenti minum obat. Masa pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif untuk tipe PB
selama 2 tahun dan tipe MB selama 5 tahun.
Pengobatan Kusta dengan Penyulit
Jika MDT-WHO tidak dapat dilakkan karena suatu alasan, WHO mempunyai regiment untuk
situasi khusus, yaitu:
a. Jika tidak dapat diobati dengan rifampisin
Lama Pengobatan Obat Dosis
6 bulan pertama Klofazimin
Ofloksasin
Minosiklin
50 mg tiap hari
400 mg tiap hari
100 mg tiap hari
8 bulan berikutnya Klofazimin
Ofloksasin
atau
Minosiklin
50 mg tiap hari
400 mg tiap hari
100 mg tiap hari
b. Jika pasien MB menolak klofazimin
Diberikan ofloksasin 400 mg/hari selama 12 bulan atau minosiklin 100 mg/hari slama 12
bulan. Alternatif lain adalah rifampisin 600 mg/bulan selama 24 bulan, ofloksasin 400
mg.bulan selama 24 bula dan minosiklin 10 mg/bulan selama 24 bulan.
c. Jika pasien tidak dapat diobat dengan DDS
Diberikan regimen pengganti selama 6 bulan:
Rifampisin Klofamizin
Dewasa 600 mg/bulan 50 mg/hari dan 300
mg/bulan
Anak-anak 450 mg/bulan 50 mg/hari dan 150
mg/bulan
18
Pengobatan ENL
ENL diobati dengan tablet kotikosteroid. Pilihn yang sering digunakan ialah prednison
dengan dosis 15-30 mg/hari lalu diturunkan bertahap.
Dapat juga menggunakan kofazimin 200-300 mg/hari naun khasiatnya lebih lambat dari
pada kortikosteroid.
Pengobatan Reversal
Hanya diobati jika menyebabkan neuritis akut. Obat yang digunakan biasanya
kortikosteroid dengan pilihan prednison dengan dosis 40-60 mg/hari lalu diturunkan bertahap.
Dapat di berikan analgesik dan sedatif.
Komplikasi
Lepra merupakan penyebab kecacatan tangan yang paling sering. Trauma dan infeksi
kronik sekunder dapat menyebabkan hilangnya jari ataupun ekstremitas bagian distal. Juga sering
terjadi kebutaan. Fenomena Lucio yang ditandai dengan artritis, terbatas pada pasien lepromatosus
difus, infiltratif dan non noduler. Kasus yang lainnya adalah vaskulitis nekrotikus dan
menyebabkan tingginya mortalitas.
Rehabilitasi Medik
Diperlukan pencegahan cacat sejak dini dengan disertai pengelolaan yang baik dan benar.
Untuk itulah diperlukan pengetahuan rehabilitasi medik secara terpadu, mulai dari pengobatan,
psikoterapi, fisioterapi, perawatan luka, bedah rekonstruksi dan bedah septik, pemberian alas kaki,
protese atau alat bantu lainnya, serta terapi okupasi. Penting pula diperhatikan rehabilitasi
selanjutnya, yaitu rehabilitasi sosial (rehabilitasi nonmedis), agar mantan pasien kusta dapat siap
kembali ke masyarakat, kembali berkarya membangun negara, dan tidak menjadi beban
pemerintah. Kegiatan terpadu pengelolaan pasien kusta dilakukan sejak diagnosis ditegakkan.
Rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial merupakan satu kesatuan kegiatan yang dikenal sebagai
rehabilitasi paripurna. Macam rehabilitasi melalui pendekatan paripurna mencakup:
1. Rehabilitasi bidang medis:
19
a. Perawatan yang dikerjakan bersamaan dengan program Pencegahan Cacat (POD),
Kelompok Perawatan Diri (KPD) atau Self Care Group.
b. Rehabilitasi fisik dan mental yang dikerjakan melalui berbagai tindakan pelayanan
medis dan konseling medik (Soewono, 1997).
2. Rehabilitasi bidang sosial-ekonomi
Rehabilitasi sosial ditujukan untuk mengurangi masalah psikologis dan stigma sosial agar
PCK (Penderita Cacat Kusta) dapat berintegrasi sosial meliputi: konseling, advokasi,
penyuluhan dan pendidikan. Sedangkan rehabilitasi ekonomi ditujukan untuk perbaikan
ekonomi dan kualitas hidup meliputi: meliputi keterampilan kerja (vocational training),
fasilitas kredit kecil untuk usaha sendiri, modal bergulir, modal usaha, dll (Soewono, 1997).
Perawatan terhadap reaksi lepra mempunyai 4 tujuan, yaitu :
1. Mencegah kerusakan saraf, sehingga terhindar pula dari gangguan sensorik, paralisis,
dan kontraktur.
2. Hentikan kerusakan mata untuk mencegah kebutaan.
3. Kontrol nyeri.
4. Pengobatan untuk mematikan basil lepra dan mencegah perburukan keadaan penyakit.
Bila kasus dini, upaya rehabilitasi medis lebih bersifat pencegahan kecacatan. Bila kasus
lanjut, upaya rehabilitasi difokuskan pada pencegahan handicap dan mempertahankan
kemampuan fungsi yang tersisa. Beberapa hal yang harus dilakukan oleh pasien adalah :
a. Pemeliharaan kulit harian
b. Proteksi tangan dan kaki
c. Latihan fisioterapi
Tujuan latihan adalah cegah kontraktur, Peninkatan fungsi gerak, Peningkatan
kekuatan otot, Peningkatan daya tahan (endurance)
Tabel 10. Klasifikasi Cacat
Cacat pada tangan dan kaki
Tingkat 0 Tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang
20
terlihat
Tingkat 1 Ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat
Tingkat 2 Terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
Tingkat 0 Tidak ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan penglihatan
Tingkat 1 Ada gangguan pada mata akibat kusta, tidak ada gangguan yang berat pada
penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6
meter)
Tingkat 2 Gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60, tidak dapat menghitung
jari pada 6 meter)
Catatan: kerusakan atau deformitas pada tangan dan kaki termasuk ulserasi, absorbsi, mutilasi,
kontraktur, sedangkan pada mata termasuk anestesi kornea, iridosiklitis, dan lagoftalmus.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kosasih A, Wisnu I.M, Daili E.S, Menaldi S.L, Kusta. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi dkk.
(ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi 5 Cetakan ketiga. Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2008; 73-88.
21
2. Kementrian kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit. Pedoman Nasional
Program Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit.
2012
3. Zulkifli, Penyakit Kusta dan Masalah Yang Ditimbulkannya, available from
http://www.library.usu.ac.id . Accesed January 7th 2014
4. Hiswani. Kusta Salah Satu Penyakit Menular yang Masih di Jumpai di Indonesia. Available at:
http://library.usu.ac.id/download/fkm/fkm-hiswani2.pdf. Accesed January 7th 2014
5. Lewis, S, Leprosy. Update Feb 4, 2010. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/1104977-overview . Accesed January 7th 2014
22