penyakit deviasi septum nasal
DESCRIPTION
laporanTRANSCRIPT
DEVIASI SEPTUM NASAL
Modul Penyakit
Standard Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI)
Tahun 2012
Oleh:
POCUT INDAH SAFITRI1107101010053
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTERFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALADARUSSALAM BANDA ACEH
TAHUN 2015
DEVIASI SEPTUM NASAL
A. Definisi
Deviasi septum ialah suatu keadaan dimana terjadi peralihan posisi septum
nasi dari letaknya yang berada di garis medial tubuh. (1) Deviasi septum menurut
Mladina dibagi atas beberapa klasifikasi berdasarkan letak deviasi, yaitu (2):
1. Tipe I : benjolan unilateral yang belum mengganggu aliran udara.
2. Tipe II : benjolan unilateral yang sudah mengganggu aliran udara, namun
masih belum menunjukkan gejala klinis yang bermakna.
3. Tipe III : deviasi pada konka media (area osteomeatal dan meatus media).
4. Tipe IV : “S” septum (posterior ke sisi lain, dan anterior ke sisi lainnya).
5. Tipe V : tonjolan besar unilateral pada dasar septum, sementara di sisi lain
masih normal.
6. Tipe VI : tipe V ditambah sulkus unilateral dari kaudal-ventral, sehingga
menunjukkan rongga yang asimetri.
7. Tipe VII : kombinasi lebih dari satu tipe, yaitu tipe I-tipe VI.
Gambar 1. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina (2)
Gambar 2. Klasifikasi Deviasi Septum Nasi Menurut Mladina (2)
B. Etiologi dan Faktor Risiko
Deviasi septum umumnya disebabkan oleh trauma langsung dan biasanya
berhubungan dengan kerusakan pada bagian lain hidung, seperti fraktur os nasal.
Pada sebagian pasien, tidak didapatkan riwayat trauma, sehingga Gray
menerangkannya dengan teori birth Moulding. Posisi intrauterin yang abnormal
dapat menyebabkan tekanan pada hidung dan rahang atas, sehingga dapat terjadi
pergeseran septum. Demikian pula tekanan torsi pada hidung saat kelahiran
(partus) dapat menambah trauma pada septum. (2,3)
Faktor risiko deviasi septum lebih besar ketika persalinan. Setelah lahir,
resiko terbesar ialah dari olahraga, misalnya olahraga kontak langsung (tinju,
karate, judo) dan tidak menggunakan helm atau sabuk pengaman ketika
berkendara, (2,4)
Penyebab lainnya ialah ketidakseimbangan pertumbuhan. Tulang rawan
septum nasi terus tumbuh, meskipun batas superior dan inferior telah menetap,
juga karena perbedaan pertumbuhan antara septum dan palatum. Dengan
demikian terjadilah deviasi septum. (3)
C. Gambaran Klinis
Gejala yang sering timbul biasanya adalah sumbatan hidung yang unilateral
atau juga bilateral. Hal ini terjadi karena pada sisi hidung yang mengalami deviasi
terdapat konka yang hipotrofi, sedangkan pada sisi sebelahnya terjadi konka yang
hipertrofi sebagai akibat mekanisme kompensasi. Keluhan lainnya ialah rasa nyeri
di kepala dan di sekitar mata. Selain itu, penciuman juga bisa terganggu apabila
terdapat deviasi pada bagian atas septum. Deviasi septum juga dapat menyumbat
ostium sinus sehingga merupakan faktor predisposisi terjadinya sinusitis. (3)
Jadi deviasi septum dapat menyebabkan satu atau lebih dari gejala berikut (2,5):
- Sumbatan pada salah satu atau kedua nostril
- Kongesti nasalis biasanya pada salah satu sisi
- Perdarahan hidung (epistaksis)
- Infeksi sinus (sinusitis)
- Kadang-kadang juga nyeri pada wajah, sakit kepala, dan postnasal drip.
- Mengorok saat tidur (noisy breathing during sleep), terutama pada bayi dan
anak.
Pada beberapa kasus, seseorang dengan deviasi septum yang ringan hanya
menunjukkan gejala ketika mengalami infeksi saluran pernapasan atas, seperti
common cold. Dalam hal ini, adanya infeksi respiratori akan mencetuskan
terjadinya inflamasi pada hidung dan secara perlahan-lahan menyebabkan
gangguan aliran udara di dalam hidung. Kemudian terjadilah sumbatan/obstruksi
yang juga terkait dengan deviasi septum nasi. Namun, apabila common cold telah
sembuh dan proses inflamasi mereda, maka gejala obstruksi dari deviasi septum
nasi juga akan menghilang. (5)
D. Diagnosis
Deviasi septum biasanya sudah dapat dilihat melalui inspeksi langsung pada
batang hidungnya. Dari pemeriksaan rinoskopi anterior, dapat dilihat penonjolan
septum ke arah deviasi jika terdapat deviasi berat, tapi pada deviasi ringan, hasil
pemeriksaan bisa normal. (1)
Penting untuk pertama-tama melihat vestibulum nasi tanpa spekulum,
karena ujung spekulum dapat menutupi deviasi bagian kaudal. Pemeriksaan
seksama juga dilakukan terhadap dinding lateral hidung untuk menentukan
besarnya konka. Piramid hidung, palatum, dan gigi juga diperiksa karena struktur-
struktur ini sering terjadi gangguan yang berhubungan dengan deformitas septum.
(1,3)
Namun, diperlukan juga pemeriksaan radiologi untuk memastikan
diagnosisnya. Pada pemeriksaan Rontgen kepala posisi antero-posterior tampak
septum nasi yang bengkok. Pemeriksaan nasoendoskopi dilakukan bila
memungkinkan untuk menilai deviasi septum bagian posterior atau untuk melihat
robekan mukosa. Bila dicurigai terdapat komplikasi sinus paranasal, dilakukan
pemeriksaan X-ray sinus paranasal. (1)
E. Terapi
- Bila gejala tidak ada atau keluhan sangat ringan, tidak perlu dilakukan
tindakan koreksi septum.
- Analgesik, digunakan untuk mengurangi rasa sakit.
- Dekongestan, digunakan untuk mengurangi sekresi cairan hidung.
- Pembedahan :
Septoplasty (Reposisi Septum)
Septoplasty merupakan operasi pilihan (i) pada anak-anak, (ii) dapat
dikombinasi dengan rhinoplasty, dan (iii) dilakukan bila terjadi dislokasi
pada bagian caudal dari kartilago septum. Operasi ini juga dapat dikerjakan
bersama dengan reseksi septum bagian tengah atau posterior.
Pada operasi ini, tulang rawan yang bengkok direposisi. Hanya bagian yang
berlebihan saja yang dikeluarkan. Dengan cara operasi ini dapat dicegah
komplikasi yang mungkin timbul pada operasi reseksi submukosa, seperti
terjadinya perforasi septum dan saddle nose. Operasi ini juga tidak
berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan wajah pada anak-anak.
SMR (Sub-Mucous Resection)
Pada operasi ini, muko-perikondrium dan muko-periosteum kedua sisi
dilepaskan dari tulang rawan dan tulang septum. Bagian tulang atau tulang
rawan dari septum kemudian diangkat, sehingga muko-perikondrium dan
muko-periosteum sisi kiri dan kanan akan langsung bertemu di garis tengah.
Reseksi submukosa dapat menyebabkan komplikasi, seperti terjadinya
hidung pelana (saddle nose) akibat turunnya puncak hidung, oleh karena
bagian atas tulang rawan septum terlalu banyak diangkat. Tindakan operasi
ini sebaiknya tidak dilakukan pada anak-anak karena dapat mempengaruhi
pertumbuhan wajah dan menyebabkan runtuhnya dorsum nasi. (3,6)
F. Komplikasi
Deviasi septum dapat menyumbat ostium sinus, sehingga merupakan faktor
predisposisi terjadinya sinusitis. Selain itu, deviasi septum juga menyebabkan
ruang hidung sempit, yang dapat membentuk polip. Sedangkan komplikasi post-
operasi, diantaranya (5):
1) Uncontrolled Bleeding. Hal ini biasanya terjadi akibat insisi pada hidung
atau berasal dari perdarahan pada membran mukosa.
2) Septal Hematoma. Terjadi sebagai akibat trauma saat operasi sehingga
menyebabkan pembuluh darah submukosa pecah dan terjadilah
pengumpulan darah. Hal ini umumnya terjadi segera setelah operasi
dilakukan.
3) Nasal Septal Perforation. Terjadi apabila terbentuk rongga yang
menghubungkan antara kedua sisi hidung. Hal ini terjadi karena trauma dan
perdarahan pada kedua sisi membran di hidung selama operasi.
4) Saddle Deformity. Terjadi apabila kartilago septum terlalu banyak diangkat
dari dalam hidung.
5) Recurrence of The Deviation. Biasanya terjadi pada pasien yang memiliki
deviasi septum yang berat yang sulit untuk dilakukan perbaikan.
Daftar Pustaka
x
1.Budiman BJ, Asyari A. Pengukuran Sumbatan Hidung Pada Deviasi Septum. Padang: Fakultas KedokteranUniversitas Andalas, Bagian Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher (THT-KL); 2011.
2.Baumann I, Baumann H. A New Classification of Septal Deviastions. Journal of Rhinologi. 2007;: p. 220-223.
3.Soepardi E, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2008.
4. Jin HR, Lee JY, Jung W. New Description Method and Classification System for Septal Deviation. Journal of Rhinology. 2007;(14): p. 27-31.
5.Park J, Edward I. Deviated Septum. American Academi, Otolaryngology, Head and Neck Surgery; 2005.
6.Gadjito W. Kepala dan Leher. In Sjamsuhidayat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. p. 365-366.
x