penutupan gereja - ngaasan.tripod.comngaasan.tripod.com/ngaasan4.pdf · nga’asan dalam konsepsi...
TRANSCRIPT
Nga’asan dalam konsepsi TouMinahasa memiliki makna aktifsebagai spirit intelektualitas. Nga’asini sendiri secara harafiah berartiotak. Sehing ga, ngaasan dapatdimaknai sebagai proses sadar darioptimalisasi sumber-sumberintelektualisme dalam kesadaranyang dimiliki setiap orang.
UTAMA
Pembaca Yang Budiman...
Demi keberlangsungan penerbitan Nga’asan,
dengan hati terbuka kami menerima
sumbangan sukarela dari anda yang merasa
peduli dengan keberadaan media ini di :
No Rek. 1703817240 BCA KCP Tomohon
Dari Redaksi
Tabea.....!!!
Negeri dongeng. Mungkin itulah
julukan yang paling cocok bagi sebuah
negara yang banyak sekali cerita untuk
dikabarkan.
Barangkali juga karena asal muasalnya
yang mirip dengan dongeng-dongeng
pengantar anak tidur. Demikian juga
sejarah bangsanya yang penuh dengan hisstory, sejarah satu pihak.
Berbagai persoalan bangsa memang
terus mendera rakyat ini. Sebegitu
seringnya, mungkin di dunia ini, rakyat
Indonesialah yang paling kebal dengan
yang namanya musibah. Mulai dari
musibah politik, musibah alam, dan kini
musibah sosial.
Rakyat kini ngantri di beberapa tempat
untuk mendapatkan minyak. Yang lain
malah tak mampu lagi beli beras. Yang
lainnya lagi, malah membiarkan dirinya
membusuk di jalanan supaya bisa
numpang makam.Itulah negeri kita yang penuh dengan
cerita yang mungkin bisa jadi kisah seribusatu dongeng. Satu demi satu meninggalkankisah dan tragedi sedih yang selalu menjadi
korban adalah rakyat kecil.
Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak
EDISI IV-OKTOBER 2005 Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak
NGA’ASAN
Krisis Makin Mengiris
FOKUS
TOLAK
PENUTUPAN
GEREJA
LASTe
Politik Energi Temporer
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
EDITORIAL
Penanggungjawab: Dr. Bert Adriaan Supit. Penasehat: DR Jong Ohoitimur, Pdt. J.R. Pandeiroth, Pdt. J.L. Posumah, Bert Tua’ Supit, Drh. L.
Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Max Ruindungan, Dr. Rampen, Drs. E.P. Rumayar SH, Audy Wuisang, Msi, Joppie Worek, Fendy
Parengkuan, Beni Matindas. Direktur: Octo Supit. Chief Editor: Veldy Umbas. Dewan Redaksi: Octo Supit, Jootje Kawengian, Matulandi Supit SH,
Jull Takaliuang, Sandra Rondonuwu STh SH, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Fredy Wowor. Koresponden: Kartini Joseph, (Jerman), Denny
Sondakh (USA), Nora Worang (Kanada), Froly Lelengboto (NewZeland), Sony Wuisan (Jakarta). Redaktur Pelaksana: Denny Pinontoan, Daniel
Kaligis. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut. Telp/fax 0431
354739, 3300242. Email: [email protected], [email protected]. http://nggaasan.tripod.com. http://icres.tripod.com.
Rek.1703817240 BCA KCP. Tomohon.
Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: YSN, ICRES, MAM, PM, Perpustakaan Minahasa AZR Wenas.
Mencari Strategi Di Masa Sulit
TAK putus-putusnya penderitaan mendera bangsa
Indonesia. Pukulan beruntun itu berakhir dengan
straight yang menohok langsung ke pusat pertahanan
rakyat yakni, Energi.
Dalam bahasa rakyat, energi yang paling
dibutuhkan agar supaya dapur mengepul, adalah
Bahan Bakar Minyak (BBM). Hampir tidak ada
penyelenggaraan kehidupan dewasa ini yang lepas
dari BBM. Ya masak, transportasi, melaut, bertani,
dan sebagainya, semuanya membutuhkan faktor in-
put, solar, bensin, dan minyak tanah.
Sekarang tiga hal itu melambung setinggi langit.
Rakyat kecil telah dijauhkan dari tiga faktor yang
sangat membantu penyelenggaraan kehidupan sehari-
hari mereka.
Apa mau dikata. Pemerintah sudah tekad, DPR
pun ikut setuju. Dan pasar pun terbahak-bahak.
Harga-harga barang pun berbondong-bondong ke
langit. Ya sembako, ya sandang, ya papan, ya pangan.
Semuanya menggila.
Yang tidak gila pun ikut uring-uringan. Dan dalam
dunia yang pangling seperti ini, semua menjadi panik.
Semua mengerang.
Apa yang salah? Konon kabarnya, Indonesia
punya kolam susu, kata Koes Plus. Tapi, susu itu
kini entah ke mana. Kata orang, itu karena BUMN
kita sudah diprivatisasi. Atau, liberalisasi migas
membuat susu rakyat diambil asing. Dan lain-lain.
Sebuah surat kabar lokal menyebutkan harga
BBM di Indonesia sangat rendah dibanding negara-
negara lain. Itu juga yang menyebabkan terjadinya
penyeludupan karena disparitas harga yang terpaut
peluang untuk menyeludupkan BBM ke luar negeri.
Cuma persoalannya, harga di luar negeri itu
berbeda karena perbandingan kurs saja. Bukan
perbandingan nilai.
Malaysia misalnya. Harga BBM di sana bisa
mencapai angka yang jauh diatas Indonesia Namun
jangan lupa. GNPnya jauh berada di atas GNP
nasional.
Jadi persoalannya bukan soal harga BBM yang
murah. Justru logikanya terbalik. Ketika pemerintah
mencabut subsidi BBM, maka beban rakyat yang
makin berat bertambah berat hingga rakyat mulai
bergelimpangan.
Sebenarnya logikanya harus dibalik. Naikkan
kesejahteraan rakyat, hingga daya beli menjadi kuat,
dan BBM menyesuaikan dengan tingkat
kesejahteraan rakyat itu sendiri.
Tapi ya, namanya juga penguasa. Seenak perut
dianya saja. Mau naikin hari ini, so what gitu lho?
Jadi, nasi sudah jadi bubur. Rakyat kini mengerang
sakit ekonomi yang perih. Maka, menjelang hari-hari
yang penuh derita ini, tampaknya rakyat dan
pemerintah harus punya strategi untuk mengatasi
pertahanan pangan.
Paling tidak, ketika barang-barang industri
melambung tinggi, rakyat masih bisa makan. Maka,
program menggalakan/merevitalisasi pertanian kita
menjadi sangat mendesak.
Gubernur Sulut sudah memulainya. Sebuah niat
baik yang patut kita dukung.Sayang konsepnya masih
belum menjawab banyak pertanyaan. Bagaimana
kalau over supply? Bagaimana dengan bibit yang
bagus. Bagaimana dengan pupuk yang mahal.
Bagaimana dengan musim dan struktur tanah. Dan
seratus pertanyaan bagaimana yang perlu dijawab
segera.
Agar rakyat, Tou Minahasa, Tou Sulut bisa
terhindar dan selamat di masa-masa sulit ini. Semoga.
UTAMA
Bertahan Dengan Agrikultur
BADAI krisis ekonomi makin menunjukkan tren yangmembesar dan dikuatirkan bisa menembus level psikologis dimana kepanikan akan mendorong kapal ekonomi Indonesia”karam” dalam lautan ekonomi pasar dunia.
Ketakutan sejumlah analis yang menempatkan faktorfundamental ekonomi pada titik yang ekstim memang cukupberalasan. Naiknya harga minyak dunia, melemahnya rupiahdan berbagai bencana nasional dari Tsunami sampai FluBurung, dan berbagai faktor non ekonomi lainnya sepertilemahnya kinerja kabinet Indonesia Bersatu, tampaknya akanmenjadi isu besar untuk menandai bahwa pertahanan ekonomiIndonesia semakin rapuh.
Belum lagi pembiayaan nasional yang sangat menguraskocek pemerintah sehubungan dengan PILKADA di hampirseluruh wilayah Indonesia. Pasti, periode ini adalah periodekelam bagi kondisi ekonomi Indonesia. Pada titik yang palingekstrem melemahnya ekonomi Indonesia akan berdampakpada matinya sektor riil yang jelas memiliki dampak langsungpada daya beli rakyat. Angka kemiskinan secara simultan akanterus bergerak mencapai posisi di mana subsidi langsung, yangdigeser dari Subsidi BBM, tidak akan memiliki dampak yangcukup berarti.
Fase pengulanganSecara empirik, psikologi pasar akan bereaksi lebih besar
ketimbang kondisi yang sebenarnya. Ketidakmatangan pasarkita yang paranoid, hyper real, lagi-lagi sangat berpotensi untukmenggoyang fundamental ekonomi yang jelas sangat rapuhkarena dibangun di atas “pasir” sistem ekonomi elitis dansentralistik. Dampaknya adalah, krisis moneter jilid dua dapatberulang, bahkan polanya akan sangat lebih mudah ketimbangkrisis tahun 1997 yang banyak dipengaruhi oleh faktor politik.Artinya, dari tahun 1997 itu Indonesia belum sempatmemperbaiki struktur ekonomi yang rapuh itu hingga memasukipada periode 2005 ini ketika variable fundamental seperti hargaminyak dunia serta nilai tukar terkoreksi signifikan.
Pengulangan pola ini mungkin bisa menjadi hukum alamdalam sebuah fase perubahan dan pematangan. Delapan tahunberjalan dengan 4 kali mengalami pergantian kepemimpinan,barangkali menjadi jejak yang bagus untuk melakukan refleksibahwa tanpa kekuatan ekonomi yang membumi, fundamentalekonomi Indonesia sangat rapuh dan mudah diterpa badaimoneter yang bisa saja dimainkan dalam konteks ekonomipasar.
Seharusnya fase ini adalah masa di mana Pemerintah mulaimenyadari bahwa ekonomi kerakyatan adalah prasyarat bagifundamen ekonomi yang kokoh dalam bangun ekonominasional. Hal ini mungkin tidak perlu lagi dibuktikan sebagaisebuah tesis, karena di mana-mana, ekonomi masif (baca:berbasis kerakyatan), mendapat tempat yang mulia bagiperlakuan otoritas moneter di negaranya. Petani disubsidi, dandistribusi diatur selayaknya pasal 33 undang-undang dasar kita.
Sementara untuk mengambangkan massive economic seperti
ini membutuhkan beberapa prasyarat mutlak yang menjadicharakter bangunan ekonomi sesungguhnya. Misalnyakeberpihakan institusi perbankan, mentalitas masyarakatsebagai subjek ekonomi, dan terakhir adalah keberpihakanpemerintah yang harus mendorong kemandirian ekonomi daripada sekedar menjadi jongos-jongos pemodal asing. Ini tidakharus berarti menentang modal asing, tapi juga tidak berartimembiarkan modal asing semata-mata menggandakan modaldan beria-ria di atas kemelaratan rakyat. Mestinya pada titiktertentu perimbangan ini menjadi equilibrium yang bagus bagistabilitas ekonomi nasional.
Ekonomi KerakyatanSehingga penting untuk menganalisa potensi ekonomi
nasional yang menjadi karakteristik fundamental ekonomi kita.Ternyata, sektor pertanian, kelautan, dan pariwisata adalah 3sektor yang paling banyak memberi sumbangan devisa setelahsektor pertambangan dan migas. Sayangnya, tiga sektor ini belummendapat perhatian utuh dari pengambil kebijakan selama ini.Padahal, 80 persen rakyat dan tanah di Indonesia bergantungpada tiga sektor ini.
Hal ini juga dipicu oleh asumsi-asumsi modernisme yangkeliru tentang perspektif ekonomi yang salah kapra. Seolah-olah sektor pertanian tidak bisa memberi peran besar ekonomiIndonesia, sementara faktanya, rakyat Indonesia berada dalamkondisi agraris.
Memang sangat naif melihat perilaku ekonomi kita. Disatu pihak berprilaku agraris, di lain pihak bercita-cita industrialis.Tak heran banyak petani-petani desa yang bekerja kerasmenyekolahkan anaknya supaya tidak menjadi petani. Asumsikeliru dan sesat ini juga menjadi cara berpikir para elit danpengambil kebijakan di Indonesia yang menganaktirikan sektorpertanian.
Setelah terbukti, krisis 98 menyisahkan petani dan nelayanyang bertahan, maka Pemerintah tampaknya sadar betul bahwa,merekalah yang dapat menyelamatkan ekonomi kita bila krisiskembali melanda Indonesia. Sehingga, pola agrikultur denganpendekatan perdagangan tradisional, dengan marjin profit darikuantitas, tampaknya harus ditinggalkan. Sebaliknya,pemerintah diharapkan mulai mencari peluang-peluangkomoditas lain dengan volume kuantitas yang lebih sedikit(otomatis memperkecil delivery cost) dengan margin profit yangbesar. Yang diperlukan hanyalah, agar semua pihak tidak lagiberpikir secara linear, tapi mulai mencari trobosan yang lateral.Semua upaya diberdayakan. Termasuk mencari pasar virgincoconut oil (VCO) yang menjadi produk andalan Sulut. Selainitu, masih banyak lagi yang belum tergarap, seperti vanili, pala,bahkan cengkih yang sampai sekarang tak mampumendongkrak ekonom daerah.
Sejatinya, kalau ekonomi rakyat itu diberdayakan, semuapotensi dikembangkan, maka menjelang hari-hari yang sulit,Sulut dapat bertahan dengan karakteristik potensi alamnya,yakni: Agrikultur, Perikanan, dan Pariwisata. Semoga.
Ngaasan- EDISI IV-OKTOBER 2005
Oleh: Veldy Umbas
UTAMA
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
TIDAK dinaikan, negara terancam bangkrut. Dinaikan, negara
bakal hancur. Itulah nasib republik ini terkait dengan BBM – bahan
bakar minyak. Namanya, bahan bakar minyak, sehingga sudah
jelas, ia vital. Mulai dari kompor memasak untuk rumah tangga,
kendaraan bermotor segala jenis dan merek, kapal laut, pesawat,
pabrik-pabrik, dan lain-lain.
Dus, jika dia naik, sudah jelas akan berdampak ke berbagai
dimensi kehidupan. BBM, adalah bahan bakar, sehingga akhirnya
memang membakar jika terjadi sesuatu padanya. Subsidi akhirnya
tak menjawab persoalan itu. Subsidi dikurangi dan sebuah program
karitatif yang bernama “Program Kompensasi Pengurangan
Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM)” digalakkan. Selama
ini APBN terlalu dibebani dengan subsidi untuk BBM.
Parahnya lagi, APBN negara ini telah sangat terbelit dengan
utang. Ditambah dengan tekanan harga minyak internasional, maka
jadilah subsidi dikurangi dari APBN, yang selama ini dijadikan
sebagai cara untuk mempertahankan kestabilan harga minyak
dalam negeri. Barangkali dengan alasan itulah sehingga Amien
Rais, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional
mendukung kebijakan pemerintah menaikan BBM. Tapi dia
mewanti pemerintah agar harus siap membatalkan kenaikan harga
BBM jika hal itu menciptakan kerusuhan sosial yang mengganggu
stabilitas politik (Kompas, Rabu, 21 September 2005)
Pemerintah memang tak mempunyai cara lain selain membuat
PKPS-BBM itu. Jadilah tiga program turunannya, yaitu Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM)
dengan total dana yang tersedia Rp 6,271 triliun, Kesehatan dengan
dana sebesar Rp3,875 triliun, dan Infrastruktur Pedesaan, yang
masing-masing desa akan memperoleh Rp. 250 juta dengan total
dana PKPS BBM untuk infrastruktur desa sebesar Rp. 3,342 triliun
(jumlah total desa yang bakal mendapatkan dana tersebut adalah
12.834).
Negara ini memang lagi terancam bangkrut. Bayangkan saja,
utangnya, menurut Menteri Keuangan Jusuf Anwar, sampai Maret
2005 sebesar Rp. 1.282 triliun (Suara Pembaruan, Selasa, 20
September 2005). Utang itu terdiri dalam bentuk valuta asing Rp.
624 triliun dan dalam bentuk rupiah Rp. 658 triliun. Jika dibagi
dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 230.000.000
jiwa maka setiap penduduknya mempunyai utang sebesar Rp.
5.570.000.
Sementara itu, jumlah rumah tangga miskin di Indonesia yang
berhasil didata Badan Pusat Statistik (BPS) hingga saat ini mencapai
13,663 juta lebih. Setelah proses sensus penduduk diselesaikan
secara menyeluruh, BPS memperkirakan jumlah rumah tangga
miskin di Indonesia bisa mencapai 15,5 juta kepala keluarga. Dari
15,5 juta rumah tangga miskin tersebut, jumlah penduduk miskin
diperkirakan mencapai 62,2 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari
total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa (Suara Karya,
Sabtu, 17 September 2005).
BBM yang MembakarOleh Denni Pinontoan
Di awal rencana kenaikan saja, sudah muncul reaksi bahkan
gejolak, menentang kenaikan Kelangkaan juga bahkan menjadi
fenomena sepaket dengan rencana itu. Pokoknya, belum naik saja,
sudah cukup membuat sulit kehidupan rakyat republik ini, apalagi
kalau sudah naik.
Sulit untuk saling menuding siapa yang salah-siapa yang benar.
Sebab, barangkali krisis minyak ini adalah salah satu klimaks dari
cerita panjang di baliknya. Tidak usah jauh-jauh, sementara
pemerintah dan rakyat pusing kepala memikirkan soal BBM yang
membakar itu, eh, para penjahat enak-enakan menyeludupkan
minyak keluar negeri.
Atau, akhirnya krisis ini kita bisa sebut sebagai akibat dari
pertahanan ekonomi kita yang lemah. Rakyat memang miskin,
sehingga tidak kuat dengan hal-hal semacam ini. Ini terjadi, karena,
antara lain, kebijakan pembangunan yang lebih berpihak kepada
kapitalis, korupsi yang sudah sangat parah, juga karena kebijakan
yang terlalu top down, dan sentralistik. Akhirnya, marginalisasi,
eksploitasi dan diskriminasi marak terjadi. Situasi bernegara yang
seperti ini menghasilkan rakyat yang tidak kreatif dan produktif
(akibat terlalu banyak program yang sifatnya karitatif seperti PKPS-
BBM), sehingga akhirnya menjadi tidak kebal dengan krisis. Padahal,
kita selalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang kaya dengan
sumber daya alam. Lihat saja, karena rakyat kita tidak dikreatifkan
sehingga produktif, maka kekayaan alam yang mestinya diolahnya
sehingga menghidupinya, hanya menjadi ladang bisnis para kapitalis
bangsa lain.
Dan, tugas kita sekarang adalah memutuskan proses
menyesatkan itu. Habis sudah solusi kita. Tidak banyak yang
diharapkan dari PKPS-BBM dengan tiga program turunannya.
Bagaimana orang miskin bisa hidup dengan uang Rp. 100.000
perbulan sementara harga sembilan kebutuhan pokok sudah bisa
dipastikan akan naik juga. Belum lagi cara pendataan BPS yang
belum memuaskan, karena laporan sejumlah media, masih ada
keluarga miskin yang hingga kini belum terdata. Dan lebih
mengkhawatirkan lagi proses penyalurannya. Masih banyak orang
yang belum mau bertobat dari cara-cara yang korup di negara ini.
Usulan kita barangkali krisis-krisis semacam ini menjadi
semacam pemicu untuk mengintropeksi sistem negara kita. Benar
juga kalimat kuno ini, “Berat sama dijinjing, ringan sama dipikul.”
Maksudnya, kalau persoalan negara ini sudah sangat berat, mari
kita bagi beban itu agar menjadi ringan untuk diatasi. Tapi pertama-
tama bukan seperti anjuran pemerintah hemat energi sementara
teleconference presiden memakan dana kurang lebih sebesar Rp. 1 M.
Artinya, baik soal kekayaan alam maupun krisis, mestinya jangan
disentralistikkan. Kembalikan urusan-urusan itu ke masing-masing
bangsa yang telah bersepakat untuk mendirikan negara ini. Kasihan
negara ini sudah kebesaran sehingga sulit untuk dijangkau lagi. Ini
sudah pasti terkait dengan sistem negara. Bagaimana?
UTAMA
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
BBM = Buta Boleh Melihat
Bukan gagasan, tetapi kepentingan-kepentingan material dan ideal yang secara
langsung menguasai tingkalaku manusia...... (max weber, dalam : metafora
switchmen)
SETELAH kenaikan BBM kita kembali pada pertanyaan
susulan “dana konpensasi.” Benarkah dana itu untuk mereka yang
real miskin, apa definisi miskin, bagaimana kategori orang miskin,
bagaimana dengan mereka yang dulunya berduit kemudian tiba-
tiba jatuh miskin, bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada yang jadi
miskin karena ada program konpensasi, bagaimana dengan
mereka yang tidak tahu dan sengaja tidak diberi tahu bahwa dana
konpensasi sudah diturunkan.
Apakah program ini sudah tepat sasaran, adakah metode
pengawasan yang ketat dan akurat sehingga kantong dana tidak
robek kiri kanan muka belakang. (walau ditambah daftar
pertanyaannya di sini, sudah pasti tidak bakal merobah daftar nama
penerima dana konpensasi)
Sembari nonton para pakar ekonomi dan pakar-pakar yang
lain ngobrol di semua media tentang nasib rakyat dan nasib negara,
kita coba-coba saja membedah siapa dan apa kebutuhan orang
rakyat miskin, sebelum dan pasca naiknya BBM. (pasti ada yang
nyengir dan dan ada yang ngedumel ....soch tahu loe ahk...!!!).
Di Sulut, sebelum BBM naik saja upah minimum propensi
tak pernah beres, dan tidak ada penanganan yang serius dari dinas
tenaga untuk menindak perusahan yang menggaji karyawannya
dengan upah di bawah UMP. Sekarang BBM sudah naik, variable
cost ikut naik, bukan cuma pihak perusahan yang harus menekan
cost karena dampak kenaikan harga BBM, karyawan dan buruhpun
kena efek langsung dari kebijakan naiknya harga BBM itu.
Petani miskin dan buruh tani butuh pupuk, tapi subsidi untuk
pupuk sudah dicabut, belum lagi biaya angkut yang sudah berlipat
pasca naiknya si BBM itu. Matilah petani miskin dan buruh tani.
Petani bukan hanya butuh sekedar pupuk terhadap tanah yang
sudah tergantung pupuk sebab bencana revolusi hijau, mereka
butuh biaya untuk mengolah tanah, butuh bibit, butuh biaya
perawatan tanaman, butuh biaya pasca panen dan pasar untuk
produk mereka.
Selanjutnya nelayan tangkap dengan armada terbatas di pesisir-
pesisir pantai Sulawesi, barikade ponton asing sudah menghadang
jauh di laut Sulu dan di perairan seputar kepulauan Aru hingga
bibir Pacific, kongkalikong aparat polairut dengan pemilik ponton
asing membuat nelayan tradisional sampai saat ini cuma mendulang
sisa-sisa dari ikan yang datang dari lautan Pasific.
Apakah program pengembangan pesisir akan mampu
menjawab problem nelayan tradisional, atau apakah 100 ribu
kompensasi BBM dapat membekali nelayan tradisional untuk
survive? Masih ada segepok persoalan rakyat yang belum diungkap
dalam tulisan ini, dan itu saja yang penulis tahu (padahal masih ada
anak-anak terlantar, antrian penganggur menunggu kesempatan
kerja yang tak kunjung datang, perempuan rawan sosial, eks napi
tapol yang belum mendapat pekerjaan tetap, bekas tsunami, Nias,
avian influence, bom Bali, dan bencana lain yang tak terekam
media).
Dana kompensasi kemudian terlihat sedikit, para pengamat
bilang butuh penyesuaian dan perimbangan mengikut biaya
kemahalan di tiap-tiap daerah, karena memang di tiap daerah
value-nya berbeda.
Sekarang, anak kecil sekalipun tahu, kalau dana konpensasi itu
sudah membuka ruang berita baru di kampung-kampung ’torang
nyanda dapa, dorang dapa, tu sana dapa padahal dia kaya skali
doe.’ Dan diprediksi saat ini adalah, sudah terbuka ladang korupsi
baru bagi pemain lama dan pemain baru.
Apa mau dikata, tapi itulah potret kebijakan yang selama ini
diberlakukan tanpa perencanaan yang matang dan tidak bottom-
up. Dana ini sebenarnya milik siapa? Tiba-tiba pak pos dengan
tampang dibikin-bikin mirip santaclaus dan agak marah-marah
dengan barisan pengantri kompensasi.
Beberapa tahun silam proyek KUT sudah mengajak rakyat
rame-rame mengkorupsi dana BLBI, pun lewat proyek KUT
dengan platform milyaran rupiah sudah mengajar rakyat pada
praktik program tanpa ujungpangkal dan tidak tuntas sampai
detik ini. Dana walahualam tersebut saat ini enggan disebut-sebut
lagi, issue-nya sudah lewat sich!
Tak usah dibilang, mestinya dana kompensasi itu diapain biar
bagus, teori kita tak akan merubah kebijakan.
Yang pasti, dana kompensasi sudah turun dengan alasan seperti
yang dikemukakan Weber dalam metafora switchmen. Ada
kepentingan-kepentingan material dan ideal yang secara langsung
menguasai.
Penimbun BBM mengambil kesempatan dari moment ini,
penyalur pending dana di bank dapat lumayan, goso-goso sadiki
dapat bagian, Kepala Kantor Statistik Minahasa, Joppy Ticoalu
SH mensinyalir bahwa ada data penduduk yang sengaja dimiskinkan
untuk urusan bantuan tunai langsung, di Tahuna ada boikot distribusi
BBM, di Papua 2 pasca sarjana ikut ngantri dana kompensasi.
Lumayanlah, uang cepek buat ngisi pulsa, nomor kita panjang
umur dan kita sama-sama ngobrol soal kompensasi. Bahwa,
kemarin ada bom kompensasi, dan ada korban kompensasi.
Bahwa kemarin ada flu kompensasi dan burung-burung
kompensasi.
Walau demikian, semoga dana kompensasi boleh berguna
bagi petani untuk beli pupuk dan bibit, nelayan boleh melaut lagi,
yang kurang ongkos boleh ketambahan sedikit, yang lapar boleh
beli makan, dan yang buta boleh melihat. ***
FOKUS
MEREFLEKSIKAN Indonesia ke 60 tahun serta
menyikapi perkembenangan politik nasional, antara lain
MoU Helsinki dan Papua, gereja-gereja se-Indonesia
Timur, Jumat (16/09/2005) berkumpul dan
menyelenggarakan Semiloka di Tomohon. Semiloka yang
digagas oleh Sinode AM Gereja-gereja Sulutteng dan
yayasan Suara Nurani Tomohon telah menghasilkan
sejumlah rumusan dan rekomendasi.
Semiloka yang bertempat di Lokon Boutique Resort
Kakaskasen Tomohon dihadiri oleh sejumlah perutusan
dari gereja-gereja se Indonesia Timur, aktivis, teolog dan
pengamat. Antara lain yang hangat dbicarakan adalah
persoalan MOU Aceh dan wacana Papua Merdeka serta
SKB dua Menteri no70-71 tahun 1969.
Dr. Bert Supit Ketua Majelis Pengembalaan SAG
Sulutteng juga ketua badan Pengurus Yayasan Nurani
Tomohon membeberkan sejumlah data dan informasi
yang memperlihatkan keterpurukan Indonesia selama
60 tahun merdeka. “Data-data ini merupakan realitas
yang ingin mengatakan kepada kita bahwa Indonesia
dengan system kesatuannya telah gagal dalam
memperjuangkan cita-citanya di awal kemederkaan
bangsa ini. Oleh sebab itu barangkali perlu gereja-gereja
mengevaluasinya demi untuk mencapai keaaadilan dan
kesejahteraan rakyat.,” kata Dr. Bert berapi-api.
Sementara itu, Ketua PGI, Pdt. A. Yewangoe yang
juga sebagai pembicara, mengingatkan perlu adanya
budaya demokrasi di Indonesia. “Yang ada di Negara
kita ini adalah demokrasi yang berdasarkan suara
terbanyak. Contoh belum adanya budaya demokrasi
adalah pilkada di sejumlah daeerah yang kebanyakan
berakhir rusuh,” kata Pdt. Yewangoe dihadapan puluhan
peserta.
Pdt. Karel Phil Erari, tampil dengan makalahnya yang
khusus berbicara tentang penderitaan rakyat Papua.
Menurutnya, perjuangan rakyat Papua yang terutama
adalah soal keadilan dan kesejahteraan. “Meski otonomi
khusus telah dijalankan sekitar empat tahun tidak pernah
terlaksana dengan baik. Oleh rakyat di sana tetap dalam
perjuangannya. Gereja-gereja di Papua juga mendukung
perjuangan rakyatnya. Diharapkan juga dukungan dari
gereja-gereja yang ada di Indonesia bagian timur ini,”
jelas Pdt. Erari. Semiloka ini kemudian merumuskan
beberapa pernyataan dan rekomendasi berikut.
Pendahuluan
Puji syukur kepada Tuhan atas berkat penyertaannya
sehingga Semiloka Gereja-gereja yang diwakili oleh
tokoh-tokoh gereja se-Indonesia Timur dapat terlaksana
dengan baik dengan menghasilkan beberapa kesepakatan
sebagai sikap bersama dan menjadi seruan bersama
kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.
Bahwa, pertemuan ini dilakukan dalam kondisi yang
sangat memprihatinkan, yakni di tengah-tengah
pergumulan bangsa Indonesia yang sedang dilanda
berbagai bencana, baik bencana alam seperti Tsunami,
bencana ekonomi seperti terpuruknya rupiah dan
naiknya harga-harga bahan bakar, bencana sosial lainnya
seperti wabah busung lapar, polio, dsb, juga bencana
kemanusiaan yang diakibatkan oleh tangan-tangan jahil
seperti aksi teror bom yang telah menewaskan ribuan
nyawa manusia, kerusuhan Maluku, Papua, Sampit,
Poso, dll. Dan yang paling mutakhir adalah penutupan
gereja-gereja yang menambah duka panjang penderitaan
umat Kristiani di Indonesia yang tidak kunjung usai.
Dan oleh karena itulah, maka penting sekali mengkaji
lagi beberapa hal penting terkait dengan komitmen rakyat
Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Masihkah
semangat kebersamaan, saling membantu, gotong-royong,
tanpa pandang agama, suku, dan ras yang ditunjukan
oleh para pendiri bangsa ini mampu membawa Indonesia
sebagai negara yang melindungi hak-hak dasar seperti
kebebasan beragama? Bukankah radikalisme agama telah
menyebabkan persinggungan horizontal agama-agama
yang telah mengarah kepada saling menyalahkan dan
saling meniadakan.
Barangkali ada yang tidak benar dengan cara bernegara
seperti yang sedang dipraktekan oleh bangsa ini. Seperti
tidak tuntasnya kita membahas model dan sistem
bernegara yang baik karena doktrin harga mati NKRI
yang dipropagandakan oleh pihak status quo membuat
Dari Semiloka Gereja-gereja se-Indonesia Bagian Timur dan 60 tahun NKRI di Kakaskasen Tomohon
Mendukung Perjuangan Rakyat Papua
& Kebebasan Beragama
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005
darah manusia menjadi halal dibanding mencari cara/
model penyelenggaraan negara yang lebih demokratis,
humanis, pluralis untuk menempatkan nilai-nilai
kemanusian, keadilan dan kebenaran di atas segala
bentuk penyelenggaraan negara.
Faktanya, MoU Aceh yang menjunjung tinggi hak-
hak dasar dapat terwujud di Aceh, dan ini merupakan
sebuah prestasi demokrasi bagi rakyat Aceh, yang juga
selayaknya semangat demokrasi itu diberlakukan sama
di seluruh Indonesia, sehingga tidak menimbulkan
polemik tentang pemberlakuan khusus bagi daerah
tertentu saja. Dan ini telah menunjukkan bahwa
bangsa ini tidak memiliki persepsi yang sama tentang
demokrasi. Makna demokrasi masih diartikan sempit
dalam pengertian suara mayoritas saja. Ini karena
paham demokrasi kita yang keliru dengan menafikan
nilai-nilai humanis dan pluralis yang dikandung dalam
makna demokrasi itu sendiri. Kualitas demokrasi
Indonesia mestinya berlandaskan pada kesepahaman
hak-hak asasi manusia yang harus didistribusi secara
sama di hadapan hukum. Bukan dengan cara yang
diskriminatif seperti praktek berbangsa yang selama
ini terjadi.Padahal, hakekat nilai-nilai kemanusiaan yang
setara, tanpa pembedaan suku, ras, agama dan
golongan itu sendiri sudah menjadi kesepakatan
internasional dalam Deklarasi Universal Hak-hak
Asasi Manusia. Hasil telaah peradaban yang paling
tinggi, bahwa manusia itu adalah makluk yang sangat
mulia dan tidak ada alasan yang paling rasional apapun
untuk menisbihkan nilai-nilai yang melekat pada
dirinya itu. Sehingga, sungguh sangat penting bagi kita
Indonesia untuk segera meratifikasi dua konvenan
HAM internasional yang intinya adalah perlindungan
terhadap hak-hak dasar manusia yang sudah
semestinya diberikan negara Indonesia sebagai negara
hukum.
Atas dasar pemahaman nilai-nilai asasi itulah,
maka tokoh-tokoh gereja se Indonesia timur, dengan
segala kesadaran dan keterpanggilan untuk ikut
memberikan sumbangsih bagi penyelenggaraan negara
yang benar, maka kami memberikan beberapa
rekomendasi sebagai seruan bersama yang menjadi
landasan sikap dan bertindak kami, sebagai berikut:
Rekomendasi
1. Menolak penutupan/pembakaran
tempat- tempat ibadah, serta bentuk-bentuk
diskriminatif lainnya yang merugikan kehidupan
beragama di Indonesia;
2. Mendorong agar terwujudnya undang-
undang perlindungan hak-hak minoritas, atau
diratifikasinya kovenan-kovenan induk hak
asasi manusia (HAM), yakni kovenan
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta
kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya (EKOSOB);
3. Mendesak pemerintah untuk mencabut
SKB 2 Menteri No.1/BER/MDN-MAG/1969,
karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan
perikeadilan;
4. Meninjau ulang sistem dan struktur
negara Kesatuan yang sentralistik dengan
menawarkan Federalisme sebagai solusi bangsa
sebagai bentuk yang lebih demokratis.
5. Menyatakan solidaritas atas rakyat
Papua untuk mendapatkan hak kedaulatan (the
rights of self determination) rakyat Papua.
Demikian seruan bersama ini kami sampaikan
sebagai bentuk keprihatinan kami atas terpuruknya
berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara di
Republik Indonesia ini, untuk kemudian menjadi harapan
agar Pemerintah dan rakyat Indonesia secara tulus, jujur,
dan beradab mencari jalan keluar yang menempatkan
kepentingan rakyat di atas segala kepentingan kekuasaan.
Tuhan, senantiasa memberkati kita semua.
Shalom...
Tertanda,
Pimpinan gereja-gereja seIndonesia Timur:
Andreas Yewangoe, Bert A. Supit, Zakaria J Ngelow, Karel
Erari, Audy Wuisang, Bibel Tingabonte, Philep Morse Regar, Chritian
M. H. Abaa, Ambrosius Makasar, Eldon Matoneng, RH Kawel,
Eddy Buke, Yefta Bartho, Nyoman Suanda, Donal Tirukan, Risal
T, Pande Papea, J. Diang, AO Rumengan, Deni Tewu, Decky
Lolowang, Heman Awom, Jahja Patiro, AE Sinolungan, RAD
Siwu, Johan Manampiring, RJ Teleng, Ferdinand Okoseray, JL
Posumah, Lisje Sumampow, Clementie Oleng, Fetrisia Alling, Octo
Supit, L Lantang, Jan Sumakul, Max Ruindungan, Jootje Kawengian.
FOKUS
Misteri “Raibnya” Roh Minahasa di MinahasaOleh: REVKOTS
Peradaban Bebek, Manusia Kloning
& Mental Babu
DI zaman global dan universal, ketika para jagoan
dunia hanya diakui bertarung dalam kancah kapital
dengan roh-roh yang dipelihara, dibesarkan oleh
kecerdasan-kecerdikan, ketulusan dan kemanusiaan;
– ekspresi mutakhir yang diklaim sebagai esensi ke-
Minahasa-an justru diwujudkan pada kekuatan otot di
Sulawesi Utara. Seolah-olah. Lihatlah parade milisi-
milisi penuh bangga dan percaya diri merasuk nyaris
ke seluruh struktur dan fungsi kemasyarakatan.
Peristiwa ini, tentu saja meluncurkan pertanyaan logis:
Apa yang “mesti” terjadi pada tahap berikutnya? Perang
terbuka dengan kelompok yang memusuhi Minahasa?
Ataukah perang antar sesama Minahasa? Ataukah
dengan otot, Minahasa siap menindas subordinat-
subordinat kultural? Insiden ini, apakah sekadar
epigonisme laskar jihad atau FPI (militerisasi iman
dalam tahap sekular), atau milisi-kepentingan
(premanisme berseragam) buatan parpol, sesungguhnyacuma mencerminkan adanya schizofrenis sosial yang
mesti dibereskan oleh etika dan moral sosiologis,
kendati bermacam kepentingan telah membungkus
rapih misi-misi serta “kecantikan” semu yang dipajang
oleh setiap milisi di Indonesia.
Tanpa bermaksud mengkisruhkan etalase civil
society (baca: kekuasaan sipil) Minahasa, tulisan ini,
lebih ditujukan pada refleksi kultural yang telah amat
lama kehilangan orientasi – suatu peradaban gemilang
yang tinggal sejarah dari nisan-nisan waruga yang
senantiasa ragu atas eksistensi kemuliaan martabat –
bahkan ekspektasi “peran-paksa” para arwah dalam
tatanan modern masyarakat Minahasa oleh para
pewaris genetika yang masih tetap bangga namun ragu,
gamang, dan ketakutan menapak hari esok.
Ringkasnya, merefleksikan produk resmi sebuah
kecelakaan sejarah, malapetaka kebudayaan di
Minahasa.
Apa yang sesungguhnya terjadi ketika pemuda
Minahasa memandang “selamat” jika jadi PNS
(amtenaar) atau tentara? Apa yang terjadi ketika
monokultur pertanian (cengkih dan kelapa) begitu
mudah dimanfaatkan tangan-tangan “setan” untuk
mengendalikan Minahasa hanya dengan sedikit
modifikasi pasar? Apa yang terjadi tatkala pemuda lugu
di kampung, 20-30 tahun lalu merantau hingga
Amerika, tiba-tiba jadi pengusaha kondang kelas
nasional yang hanya bisa ditemui di koran-koran atau
televisi?
Dalam berbagai diskusi, dengan ketir akhirnya
disepakati atau didaulat, bahwa turunan Lumimuut di
tanah Minahasa mengalami krisis diskusi (berbeda tanpa
harus berperang). Berabad-abad lamanya diskursus dan
pembelajaran secara holistik mengacu pada
penyeragaman manusia. Instrumen dan sistem
kemasyarakatan (pendidikan, ekonomi, agama,
sosiologis, dll) dilandasi oleh semangat peradaban bebek
yang ujungnya melahirkan behavourisme (mental)
babu. Mesin-mesin kloning yang disebut pembangunan,
menduplikasi status dan manusia copi-an yang tak
punya roh. Karakter kolektivisme yang senantiasa
menciptakan “bos” sebagai pemberi nafkah. Suatu
sosiologi peran yang kehilangan corak manusiawi!!
Emmanuel Kant mengatakan, “Mereka terpukau
dengan kilau permata dan berusaha menguasai kilau
tersebut, bukan permatanya.”
Langit yang Terbatas & Life Skills
Barangkali, beberapa fakta di atas secara logis akan
mulai menguak selimut misteri kemiskinan Minahasa,
karakter gontok-gontokan (baku cungkel), manusia
kloning, mental babu, budaya bebek (monokultur),
militerisme sipil, dan sarjana bahkan master yang
kecerdasannya setara dengan lulusan SLTP yang cerdas,
Uniknya, kebanggaan genetika nenek moyang masih
membahana pada berbagai dimensi kepemudaan,
termasuk orang mabo dan dola orang. Kendati, jelas-
jelas rasionalisme Minahasa telah lama lenyap tak
berbekas dipatuk oleh ayam-ayam tak dikenal.
Tragisnya, era hilangnya rasionalitas sosial pada
masyarakat kritis, semestinya memasuki pergulatan dan
paradigma romantisme, tetapi Minahasa malah masuk
dalam kancah militerisasi ideologi, mengimitasi “kilau-
permata”, dan tak malu membangga-banggakan
sejarah. Hal ini menjelaskan satu-satunya fakta yang
enggan diakui dan dibicarakan yakni kefrustrasian sosial
yang tak teridentifikasi. Cakrawala yang kian hari kian
sempit adalah langit yang terbatas! Hanya ada satu jalan
membebaskan diri bagi individu-individu yaitu keluar
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
dari atmosfir itu, sebagaimana juga dilakukan orang-
orang Satal datang Manado walau hanya untuk jadi
tukang pikul, kacung, dan PRT.
Menjadi pertanyaan, mengapa bukan atmosfir itu
yang diubah? Mengapa langit Minahasa yang terbatas
itu tak didobrak dengan revolusi sosial? Mengapa
Minahasa tak mau mencambuk dirinya ketika arwah-
arwah Tonaas sejati menangis tersedu-sedan di Batu
Pinabetengan dan kuburan-kuburan yang “tak”
dimuliakan lagi melihat cucu-cucunya frustrasi,
kehilangan rasionalitas (akal sehat), menjadi babu dalam
sistem-sistem besar, dan memudar makna
kehidupannya serta mulai kehilangan sublimasi
martabat?
Baiklah, kita membuka doktrin paedagogik dengan
sudut pandang kecakapan hidup (life skills) untuk
mengukur malapetaka kebudayaan Minahasa (broad
based education). Apakah anak Minahasa memiliki
kecakapan pribadi? Kecakapan untuk mengenal diri
sendiri, kecakapan berfikir secara rasional, dan
kecakapan untuk tampil dengan kepercayaan diri yangmantap? Bagaimanakah sistem-sistem mengubah anak
Minahasa sehingga hanya memandang dirinya secara
massif dalam persoalan materi? Bagaimanakah saat-
saat dramatis rasionalitas dan critisism dihilangkan oleh
seniorisme militer, dogma iman agama (sekuler), serta
superioritas pemberi nafkah?
Apakah kecakapan sosial Minahasa? Bagaimanakah
kemampuan melakukan kerja sama, bertenggang rasa,
dan memiliki kepedulian serta tanggung jawab sosial
dalam kehidupan bermasyarakat? Bukankah dimensi
ini telah lama kabur oleh mental babu yang ujungnya
memudarkan nilai-nilai manusiawi Minahasa –
memandang dan menilai manusia Minahasa hanya
sekian kilo daging hidup yang tak bermakna, kecuali
beranak?
Bagaimanakah kecakapan akademik anak
Minahasa? Suatu kecakapan untuk merumuskan dan
memecahkan masalah yang dihadapi melalui proses
berfikir kritis, analitis dan sistematis? Adakah
kemampuan untuk melakukan penelitian dan
pengamatan, eksplorasi, inovasi dan kreasi melalui
pendekatan ilmiah. Adakah pula kemampuan untuk
memanfaatkan hasil-hasil teknologi untuk mendukung
kegiatannya? Justru ketika industrialisasi merajalela,
anak Minahasa telah dan masih saja berkutat pada
industri pabrik tela di zaman supra modern ini (L kan
pabrik juga?! Hehe 100x). Padahal pada saat bersamaan
hasil-hasil kekayaan bumi dan lautnya dipabrikkan di
Minahasa oleh investor yang disublimasi. Di Bitung
misalnya, puluhan pabrik ikan dibangun oleh orang-
orang asing dari berbagai negara. Di Minahasa, berbagai
perusahaan tambang asing berganti kulitnya
mengeksploitasi dan menangguk kekayaan emas
bertrilyun-trilyun rupiah bertahun-tahun, sementara
anak Minahasa hanya kebagian jadi tukang kepruk saja
yang dihonor seperti buruh lazimnya.
Bagaimanakah kecakapan vokasional yakni
kecakapan yang mencakup bidang ketrampilan profesional
tertentu dalam dunia usaha, industri, dan profesionalisme?
Pada taraf ini, etos kerja Minahasa harus kita selidiki dan
persoalkan. Mengapa dunia kedokteran Minahasa hanya
sampai pada tahap mengobati saja (simptomatik)? Tidak
mencari dan mencegah penyebab penyakit – mencari
vaksin demam berdarah misalnya? Apakah dunia
kedokteran telah begitu hebat sehingga dokter-dokter kitakehilangan percaya diri untuk mulai meneliti dan
mengembangkan diri dalam protesinya yang aktual
(dialektis) dengan persoalan praxis di depan matanya?
Mengapa para pengacara kita tak lagi jadi ahli hukum tapi
jadi ahli lobi dalam berbagai proses peradilan? Mengapa
insinyur-insinyur kita yang katanya cerdas cuma jadi ahli
manajemen keuangan ketika menangani proyek? Mengapa
peneliti-peneliti kita aktif hanya ketika anggaran “proyek”
turun dari negara? Mengapa dunia guru Minahasa
kehilangan roh voluntirisme cuma gara-gara birokratisme
dan krisis lapangan pekerjaan?
Tampaknya, tragedi raibnya roh Minahasa di Minahasa,
harus dielaborasi lanjut oleh setiap anak Minahasa. Harus
menjadi tugas suci, merupakan bagian dari menegakkan
harkat dan martabat Minahasa dalam kancah sosiologi
global. Kompleksitas persoalan ke-Minahasa-an tak
akan selesai dengan keluh kesah – mengambil posisi
bargaining dengan menggelarkan kekuatan otot yang
tersisa. Minahasa mesti memelihara roh-roh kecerdasan-
kecerdikan, ketulusan dan kemanusiaan sebagai
ekspresi mutakhir yang memang universal. Dunia global
adalah tantangan, bukan musuh yang mesti dihindari
dengan bersembunyi di ketiak Lumimuut. Amin.
*** revkots/120805***
dedicated to pemuda Adat Minahasa
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
Sambungan
SEMENTARA masyarakatnya terjebak dalam
kontroversi/dualisme. Kemudian menyusul kotanisasi/
kabupatenisasi seperti Tomohon, Minahasa Selatan dan
Minahasa Utara yang merupakan hasil penafsiran terhadap
UU No.22/99 cenderung merupakan kecemasan
sekelompok orang terhadap posisi/jabatan public yang
dijabat. Sejalan dengan itu identitas etnik yang relatif hancur
dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat oknum tertentu.
Semua pertimbangan kritis berdasarkan pengalaman sejarah
diabaikan karena keyakinan yang mendalam terhadap
kemajuan melalui konsep pembangunan. Sementara rakyat
yang terjebak dalam kontroversi/dualisme dijadikan alat
untuk tujuan tersebut dan akhirnya dapat diprediksikan
kembali dijadikan obyek dari pembangunan yang dimaksud.
Krisis identitas dan kontroversi/dualisme sosial maupun
ekonomi dari masa kemasa terus berlangsung dan tentu
akhirnya adalah hilang/musnahnya etnik – etnik yang
tergabung dalam Minahasa. Saat itu Minahasa hanyalah
sebuah nama wilayah yang tidak berakar lagi dan didominasi
oleh imigran sementara pemiliknya termarjinalisasi dan
akhirnya lenyap berganti dengan identitas keturunan.
Ketakutan diatas sangat wajar apabila memperhatikan
situasi dan kondisi Minahasa dewasa ini. Berdasarkan
indicator diatas maka sudah saatnya dipikirkan solusi bagi
reintegrasi etnik – etnik dalam keMinahasaan. Persepakatan
Watu Pinawetengan dapat dikatakan sudah usang
menghadapi dinamika Minahasa karena gagal
mempertahankan identitas keMinahasaan pada peristiwa
Perang Moraya 1808 – 09 dan bahkan sesudahnya. Tanpa
mengurangi darah patriot yang telah tumpah dalam
perjalanan keMinahasaan, kini tiba saatnya untuk membuat
kesepakatan sosial baru untuk menyelamatkan dan
membawa etnik – etnik yang tergabung dalam Minahasa
pada keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan cita – cita
yang disampaikan leluhur pada persepakatan Watu
Pinawetengan.
Kita membutuhkan kesepakatan Watu Pinawetengan
II setelah melalui perjalanan yang jauh dan hampir – hampir
musnah ditelan masa. Eksistensi Minahasa diperhadapkan
pada dua hal yang harus disikapi yakni, larut dan pasrah
dalam kenyataan atau bangkit dan keluar dari kenyataan
itu. Belum terlambat untuk bersikap ketika globalisasi siap
Persatuan Etnik:
Minahasa Sebuah Model & Solusi (Selesai)
menerkam. Sedikitnya masih ada waktu untuk memprotek
wilayah Minahasa sekaligus mempersiapkan segala
sesuatunya.
Maukah Minahasa bersikap dan mempersiapkan segala
sesuatunya menghadapi globalisasi?
Mempersiapkan Kader Minahasa
Globalisasi yang tidak terbendung akan melibas
semuanya yang tidak siap untuk itu. Tou Minahasa yang
bermukim di Tanah Minahasa akan turut terlibas apabila
tidak mengantisipasinya. Salah satu kegiatan konkrit untuk
itu yakni, mempersiapkan kader Minahasa. Kegiatan ini
tidak bisa ditunda lagi karena laju ekspansi ekonomi sejajar
dengan ekspansi manusia terlihat pada sejumlah investasi
dalam skala besar yang dianggap sangat spekulatif telah
terjadi di Tanah Minahasa (berbagai property dibangun di
atas bidang tanah reklamasi sepanjang Boulevard Manado
menyusul pembangunan IHP di Bitung).
Persiapan kader Minahasa bermaksud memberi
pemahaman jatidiri dan membakar semangat
keMinahasaaan TouMinahasa untuk menggalang persatuan
menghadapi ancaman terhadap eksistensi Minahasa. Upaya
ini lebih tertuju pada salah satu bagian konsolidasi rakyat
untuk membangun pemahaman dan kesadaran politik.
Mengupas posisi dan status Minahasa dalam berbangsa dan
bernegara, memahami jatidiri dan potensi yang dimiliki
TouMinahasa.
Pemahaman dan kemampuan yang ada disebarluaskan
dan disesuaikan dengan kondisi setempat melalui rangkaian
diskusi wanua. Dari diskusi dimaksud terjaring kader
Minahasa yang paham dan siap untuk bertindak membela
dan membangun Minahasa secara parsial (wanua, pakasaan/
etnik) maupun keseluruhan (Minahasa/Nasional).
Tersedianya kader dimaksud dapat dianggap sebagai fase
awal menuju fase berikutnya yang lebih teknis lagi.
Kegiatan ini membutuhkan komitmen yang jelas dan
pasti dari semua pihak. Hal itu harus ditunjukkan terutama
oleh penyelenggara serta donaturnya yang dalam hal ini
TouMinahasa itu sendiri. Pertanyaannya adalah, bersediakah
setiap TouMinahasa yang memiliki kompetensi (para
cendekia dan penguasa) dan atau finansial (para pengusaha)
untuk turut peran secara nyata dalam usaha ini? Atau
Oleh Matulandi PL Supit
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
FOKUS
dilakukan dalam pengertian berinvestasi bagi masa depan
Tou dan Tanah Minahasa yang tidak lain bagi kehormatan
dan kejayaan anak cucu kita juga.
Merajut Potensi Ekonomi Minahasa
Modernisasi merambah sendi kehidupan TouMinahasa
pasca Perang Moraya merobah cara pandang yang
kolektifistik ke individualistik. Secara sistemik
mempengaruhi pranata ekonomi yang berujung pada
pengasingan tanah (menjual tanah kepada bukan kerabat).
Fenomena ini menunjukkan bahwa sebentar lagi
TouMinahasa akan punah dalam arti komunitas (terjemahan:
“gemeinschaft”) yang tidak memiliki lagi territorial secara
genuine. Pemahaman masyarakat
(terjemahan:”gesselschaft”) menjadi tepat pada bangunan
sosial yang individualistik. Dengan begitu Tanah Minahasa
menjadi inklusif / open access bagi siapa saja untuk
menguasai dan mengelolanya. Kondisi seperti itu
membutuhkan daya saing yang cukup untuk bertahan hidup
terutama dari ekspansi bukan TouMinahasa. Untuk itu
dibutuhkan daya tahan atas ancaman dimaksud melaluitindakan mempersatukan potensi Minahasa.
Proyek tersebut meliputi pemetaan sumberdaya
ekonomi termasuk didalamnya kesepakatan antar pelaku
ekonomi untuk menggiatkannya. Pemetaan dimaksud
misalnya, modal ditingkat Wanua yang tersebar pada
kelompok arisan (keluarga, kolom, profesi dan lain
sebagainya) dan pundi gereja/mesjid. Selanjutnya disepakati
untuk dikelola oleh suatu otoritas yang dibentuk secara
bersama ditingkat Wanua. Saat konsolidasi ditingkat Wanua
rampung dilanjutkan ditingkat Walak dan Pakasaan/etnik
dan akhirnya dibentuk otoritas pengelola ditingkat Minahasa.
Untuk maksud tersebut proyek ini dapat disebut sebagai
ekonomi berbasis komunitas karena dibangun berdasarkan
kesepakatan yang dimulai dari tingkat kelompok hingga
satuan pakasaan/etnik. Secara umum proyek ini
diasumsikan dapat mengurangi ketergantungan terhadap
kemurahan pemerintah pusat terhadap pembangunan
didaerah sekaligus membangun rasa memiliki dan percaya
diri terhadap potensi yang dimiliki. Minimal asumsi diatas
perlu untuk diuji lagi melalui berbagai eksperimen lapangan.
Untuk itu dibutuhkan semangat mensinergikan potensi dari
seluruh pihak terutama dimulai dari para pihak diWanua –
wanua. Pertanyaannya, bersediakah anda untuk memulai
kerjasama ini untuk membangun perekonomian Minahasa
yang mandiri dan berkelanjutan?
Membangun Ahlak Minahasa
Kegagalan rekayasa sosial melalui nation building dinegeri
ini berpangkal pada integralisme yang dianut oleh penguasa
pada dua rezim terdahulu (Soekarno dan Soeharto). Ambisi
penyeragaman yang diyakini dapat membawa rakyat
Indonesia pada kemakmuran ternyata berbuah kerusakan
ahlak manusia Indonesia. KKN dianggap wajar dalam
kehidupan bermasyarakat dan sejajar dengan itu kekuasaan
dan kekayaan menjadi tujuan utama setiap insan.
TouMinahasa sebagai salah satu bagian dari bangsa
Indonesia tidak terkecuali menjadi rusak. Kehormatan dan
kejujuran yang merupakan warisan leluhur berubah drastis
mengikuti trend nasional. Saling memangsa sesama
TouMinahasa terjadi setiap saat dan berproses
menghancurkan eksistensi Minahasa. Generasi dan anak –
anak kita juga telah terimbas dengan dekadensi ahlak
tersebut sehingga menjadi tidak mungkin untuk
membangun kembali ahlak karena semuanya telah
terinfeksi.
Yang pasti kita membutuhkan generasi yang memilikikehormatan dan kejujuran untuk mempertahankan
Minahasa, tetapi bagaimana mempersiapkannya?
Proyek Pendidikan Ahlak Minahasa menjadi penting
untuk dimulai dari tingkat pendidikan dasar hingga
pendidikan menengah. Hal ini ditempuh melalui jalur
pendidikan formal tetapi pendidikan ditengah keluarga yang
menentukan pembentukan ahlak dimaksud. Untuk itu
proyek kaderisasi TouMinahasa menjadi salah satu kegiatan
yang menunjang penetrasi perbaikan ahlak ditengah
keluarga. Selain itu peran agama penting untuk membimbing
pembentukan ahlak dengan catatan aparatusnya tidak
terinfeksi dengan kekuasaan dan kekayaan.
Setidaknya empat langkah konkrit yang diterjemahkan
dalam proyek Persatuan Minahasa atau Kontrak Sosial
Minahasa , Pengkaderan TouMinahasa, Sinergi Potensi
Ekonomi Minahasa dan Pembangunan Ahlak Minahasa
diasumsikan dapat menjawab permasalahan keMinahasaan
dewasa ini. Lebih dan kurangnya berpulang pada kita semua
untuk mengisi dan melindungi Minahasa sekarang sampai
selama – lamanya. Semoga tawaran di atas dapat menjadi
pemicu untuk disempurnakan atau bahkan digugurkan
karena tidak relevan dan layak untuk dilaksanakan. Kami
menunggu sumbangsih anda dalam berbagai bentuk guna
terlaksananya proyek membangun Minahasa yang
bertanggungjawab dan berkelanjutan.-Tabea
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
SIKAP
BOM meledak, lagi-lagi di Bali. Bulan
kejadiannya pun sama, cuma berbeda tanggal dan
tahun. Pertama, atau Bali Blast I terjadi 12 Oktober
2002, tepatnya di Legian. Bali Blast II terjadi 1
Oktober 2005 di Raja’s Bar (Kuta Town Square)
dan Menenge Cafe serta Nyoman Cafe (Pantai
Jimbaran). Meski jumlah berbeda, tapi tetap menelan
korban jiwa. Sama-sama sebuah pembunuhan yang
keji.
Karena itu keji, sehingga harus dikutuk. Kutukan
dan makian terdengar di mana-mana. Ramai orang
mengaitkan peristiwa berdarah itu dengan gerakan
radikalisme Islam. Bisa jadi, tapi perlu diklarifikasi,
Islam, menurut para pemikirnya yang moderat dan
benar-benar paham tentang Islam, agama ini tidak
pernah merestui tindakan yang sebrutal itu, meski
para pelakunya berdalih mereka sedang menjalankan
syariat agama. Jadi kalau Bali Blast II adalah lanjutan
dari Bali Blast I, Merriot dan Kuningan, maka otak
dan pelakunya adalah kelompok Islam, bukan Islam
dalam pengertian sebagai sebuah sistem kepercayaan
kepada Allah yang Maha Pengasih itu.
Otak dan pelaku pemboman bisa saja mengaku
beragama dan melakukan tindakan itu atas nama
agama, tapi sudah bisa dipastikan bahwa mereka
tidak beriman. Ini mirip seperti apa yang disebut oleh
Ulil Abshar-Abdalla dalam bukunya Membakar Rumah
Tuhan (2000) ketika dia berbicara soal pembakaran
gereja yang marak terjadi sepanjang tahun 1997 dan
1997. Menurutnya, pembakaran gereja adalah
“manifestasi agama”, bukan “manifestasi iman”.
Sebab, menurut Ulil, iman adalah suatu komitmen
pribadi yang mendasari suatu keberagamaan, sebagai
“tindakan privat.”
Bahkan, ini juga tidak bisa disebut akibat dari
fanatisme beragama. Pastor Albertus Sujoko, MSC,
dosen di STF Seminari Pineleng, ketika tampil
sebagai pembicara pada Studi Agama-agama
kerjasama Institut Dian/Interfidei Yogyakarta,
Fakultas Teologi UKI Tomohon dan STAIN Manado
pada awal September lalu di Tomohon memaknai
secara lain konsep fanatisme beragama itu.
Menurutnya, fanatisme adalah sikap batin dan
keyakinan yang teguh tidak tergoyahkan tentang
kebenaran isi iman yang dianut oleh seseorang.
Fanatik dalam iman, menurutnya berarti orangnya
bersemangat tinggi, konsekuen, tidak kenal
kompromi dalam menjalankan ajaran agamanya.
Maksudnya, jika kemudian ada orang mengaku
beragama tapi dalam tindakannya menghalalkan
kekerasan dan lain sebagainya yang membikin orang
lain sengsara, maka orang tersebut tidak teguh dalam
menjalankan segala ajaran agamanya. Tidak benar-
benar beragama. Karena, agama apapun, dalam
sistem kepercayaannya, dan orang yang meyakininya
disebut beriman, tidak pernah setuju (meski dalam
kitab suci masing-masing agama ada teks-teks yang
kalau hanya ditafsir secara literel memang
memerintahkan kekerasan) dengan tindakan-
tindakan yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan kelompok.
Agar kita tidak bingung, begini penjelasannya:
Agama adalah sebagai sistem kepercayaan juga
sebagai institusi. Agama sebagai sistem kepercayaan
(kepada yang transedental tentunya) berisi tentang
segala ajaran, didikan dan kebijaksanaan untuk
membebaskan manusia dari ketidaktahuan,
kebodohan, ketertindasan dan keterpinggiran.
Sumber inspirasinya adalah kitab suci dan tradisi.
Sementara agama sebagai institusi telah melembaga,
lengkap dengan strukturnya yang barangkali hirarkis
yang kemudian konvesional. Perlu diingat, agama
sebagai institusi itu pertama-tama tidak hanya dalam
pengertian munculnya agama Islam, Kristen, Hindu,
Budha, Konghucu, dan lain-lain, melainkan agama
yang dalam aktivitas rohani, sosial dan politiknya
telah ada di bawah kontrol atau pengawasan suatu
aturan main untuk tidak menyimpang dari apa yang
telah disepakati bersama. Misalnya dalam Kristen
telah ada lembaga-lembaga atau kelompok-
kelompok yang meski tetap mengaku sebagai Kristen,
tapi telah mempunyai aturan main juga doktrinnya
sendiri yang saling berbeda. Kalau saya tidak salah
ini yang dimaksud oleh Ulil sebagai beragama secara
privat dan beragama secara publik.
Bom, Musuh Semua Agama
Oleh: Denni Pinontoan
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
SIKAP
Dalam keadaan itulah sehingga kemudian dalam
satu agamapun bisa muncul beragam pendapat atau
sikap yang didapat dari sebuah interpretasi berbeda
terhadap kitab suci dan tradisi yang sama. Di Kristen
misalnya, antara yang evangelikal dan ekumenikal
berbeda pendapat soal konsep misi. Kaum
evangelikal berpemahaman, bermisi adalah konversi,
pertobatan (dibaptis kemudian masuk agama
Kristen), lebih ke soal kuantitas. Sementara bagi
kaum ekumenikal bermisi adalah untuk
menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang
bermakna membebaskan segala makhluk ciptaan dari
bermacam-macam belenggu penderitaan, lebih ke
soal kualitas. Namun mereka membaca satu kitab
yang sama. Atau, dalam Islam sendiri, kelompok
Islam yang fundamentalis dan radikal memahami
jihad sebagai berperang (dengan perjuangan fisik,
misalnya pemboman) di jalan Tuhan untuk melawan
kekafiran (orang, kelompok atau bangsa yang
dituduh kafir). Sementara menurut kelompok Islam
yang moderat ber-jihad adalah berperang (ataumelakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan)
melawan hawa nafsu pribadi dan kelompok
masyarakat yang menyebabkan penderitaan. Tapi,
dua kelompok Islam itu mengaku membacanya dari
satu ayat yang sama.
Sehingga sekali lagi, meski kemudian pemboman
di Bali dan lain-lain itu dilakukan oleh orang-orang
yang mengaku beragama Islam bahkan berdalih
berjuang demi tegaknya syariat Islam, tapi adalah
tidak bijaksana bila kemudian kita sebut itu sebagai
gerakan sistematis dari agama Islam. Barangkali yang
lebih tepat adalah dengan menyebutnya sebagai
gerakan dari sebuah kelompok Islam (sekelompok
orang yang menafsir Islam menurut caranya sendiri
– umum disebut kelompok gerakan radikal Islam).
Bom bunuh diri adalah modus operandi yang
lazim dilakukan kelompok ini. Para “pengantin”,
sebutan untuk pelaku bom bunuh diri, menurut
beberapa referensi, biasanya mempunyai latar
belakang keagamaan yang “kuat”. Lazimnya, mereka
terlebih dahulu melalui proses rekrutmen dan
indoktrinasi. Doktrin-doktrin agama yang dihasilkan
dari penafsiran kitab suci yang literal, dijadikan
semacam spirit atau kekuatan jiwa untuk meledakan
bom di tempat-tempat umum dengan merelakan
tubuhnya ikut tercerai-berai bersama pecahan bom.
Mereka telah diindoktrinasi bahwa mati bersama bom
adalah untuk ibadah melawan kekafiran dan
pahalanya besar di sorga. Ledakan bom, adalah upaya
teror. Jumlah dan siapa yang korban adalah penting
untuk tujuan teror. Agar ketakutan terjadi di mana-
mana. Negara kacau. Dunia internasional, lebih
khusus bangsa Barat (sehingga kebanyakan yang
menjadi korban dalam ledakan-ledakan bom itu
adalah warga asing) bereaksi keras. Teori yang lazim
untuk menerangkan gerakan ini adalah sebagai upaya
untuk melawan hegemoni bangsa Barat.
Tapi ada juga yang berpendapat bahwa kerusuhan
ataupun pemboman yang terjadi di Indonesia tidak
ada sangkut pautnya dengan agama. Alasannya bahwa
agama hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan
kepentingan politik. Tapi pertanyaan kita, kenapa
yang disebut-sebut sebagai pelaku atau yang saling
berhadap-hadapan adalah orang-orang yang
mempunyai latar belakang keagamaan denganmengikutsertakan simbol-simbol agama? Saya pikir
teori tentang agama sebagai sistem kepercayaan dan
institusi tadi sedikit banyak bisa menjawab
pertanyaan itu.
Maksudnya, kekerasan atas nama agama terjadi
ketika agama sebagai sistem kepercayaan yang berisi
segala kebaikan itu dilembagakan dan
dikonvesionalkan sehingga kemudian menjadi
mutlak harus diperjuangkan sedemikian rupa demi
tegaknya simbol-simbol yang disebut-sebut oleh
kitab suci dan tradisi itu. Agama dalam pengertian
sebagai institusi (religion)-lah yang memang benar
terlibat dalam persoalan itu, bukan agama sebagai
“religiosity”, iman.
Kita semua tahu, bahwa bom tidak beragama,
sehingga mestinya dia adalah musuh semua agama.
Bom juga tidak beriman, sehingga hanya orang tidak
berimanlah yang sengaja meledakannya untuk suatu
pembinasaan. Nanti, hanya ada dua tempat di
seberang sana, surga dan neraka. Di surga menurut
cerita agama, ada kedamaian dan ketenangan. Tapi
di neraka ada apinya yang sangat, sangat panas. Di
sanalah tempat yang cocok bagi para pembom untuk
melanjutkan ritualnya itu.***
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
AKSI
Lebih kurang 15 Tahun silam petani,
pengelola minyak kelapa dan konsumen di Minahasa,
tiba-tiba dikejutkan oleh berita tentang minyak kelapa olahan mereka atau
home industry mengandung lemak yang dapat membahayakan kesehatan konsumen,
inpact dari berita itu kemudian sangat berpengaruh langsung bagi masyarakat luas,
alhasil minyak kelapa yang laris dipasaran adalah produk BIMOLI
DR. BRUCE FIFE, yang dijuluki doktor coconut asal Colorado
AS merupakan pioner dalam riset tentang khasiat minyak kepala. Bruce
yang adalah ahli naturopati. menyatakan tidak benar minyak kelapa penyebab
kolesterol tinggi dan penyakit jantung, Hasil studi pada masyarakat di kepulauan
Pasifik yang sehari-hari mengkonsumsi minyak kelapa sebagai diet utama
menunjukan , penduduk di sana justru memiliki tingkat kesehatan lebih
baik.
Pelindung JantungUsut punya usut, rahasia kesehatan penduduk Pulau Pukapuka dan
Pulau Tokelau justru terletak pada konsumsi lemak dari minyak kelapa.
Kenyataan itu didukung oleh hasil penelitan ilmiah. Minyak kelapa
mengandung asam lemak jenuh rantai sedang (medium-chaid fatty
acids), mencapai 92 %, langsung dirubah menjadi ENERGI bukan
lemak! Jadi dengan mengonsumsi kelapa termasuk minyak dan santan
tidak menyebabkan masalah kegemukan, pun peningkatan kolesterol
jahat (LDL), Sebaliknya minyak kelapa mendorong peningkatan kolesterol
baik (HDL) yang berperan sebagai pelindung jantung.
Tahun 1960-an Prof. Dr. John Kabara dari Dept. of Chemistry
and Phatology, Michigan State University, menemukan asam laurat pada
minyak kelapa, yang terbukti mempu membunuh berbagai jenis mikroba
yang membram selnya berupa asam lemak, seperti influensa, hingga
hepatitis dan HIV-AIDS. Seorang pasien Dr. John penderita penyakit
lever selama bertahun-tahun SEMBUH setelah mengkonsumsi minyak
kelapa selama enam bulan Juga penelitian terbaru pun menunjukan
minyak kelapa efektif menekan laju pertumbuhan sel kanker
Wajar, bila Food and Assocition di Amerika Serikat menyebutkan
minyak kelapa sebagai minyak tersehat dan teraman di dunia. Ketakutan
akan dampak pemanasan dapat diredam dengan ditemukannya metode
pembuatan minyak tanpa pemanasan: metode pemancingan, enzim
dan teknik sentrifugal; hasilnya Virgin Coconut Oil (VCO), namun
demikian pada proses pemanasan mungkin ada beberapa vitamin yang
hilang, jadi pembuatan minyak kelapa secara tradisional sejak dahulu di
Minahasa bukan saja memberi manfaat ekonomis bagi keluaraga, juga
bagi kesehatan , mari kembali mengkonsumsi minyak
kelapa.(jemmylumintang)
Tak Benar Minya Kelapa Penyebab Kolestrol
RENCANA PT. Miares Soputan Mining (PT. MSM) untuk
membuang limbah B3 ke Pantai Rinondoran mendapat penolakan
dari sejumlah warga Kecamatan Likupang Timur yang
menggantungkan nasibnya di pantai itu. Jull Takaliuang dan Frets
Pieters aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Suara Nurani (YSN)
Tomohon pada 27 September lalu telah bertemu dengan warga
untuk menfasilitasi gerakan penolakan terhadap rencana PT. MSM
tersebut. Menurut kedua aktivis tersebut, rencananya, pada 11
Oktober 2005 di Hotel Paradise Likupang juga akan dilaksanakan
pertemuan besar untuk mensosialisasikan dan sharing bersama
tentang apa sebenarnya STD itu.
Dalam pertemuan yang dihadiri sejumlah perwakilan dari desa-
desa yang ada di sekitar pantai itu terungkap kesepakatan untuk
menolak rencana PT. MSM yang dinilai mengancam mata
pencaharian mereka. David Katang salah satu warga yang hadir
dalam pertemuan tersebut menyatakan, sebaiknya dibentuk sebuah
wadah masyarakat sebagai alat kekuatan bersama rakyat untuk
menolak rencana PT. MSM tersebut. “Ini dimaksudkan agar kita
mudah untuk saling berkoordinasi melawan dan menolak
pertambangan di Minahasa Utara, sekaligus sebagai wadah untuk
mewakili aspirasi rakyat,” ungkapnya.
Bahkan dia mengusulkan agar YSN menghadirkan warga
Buyat Pante yang kini bermukiman di Desa Duminanga Bolaang
Mongondow. “Dengan hadirnya warga Buyat Pante yang telah
menjadi korban PT. Newmont Minahasa Raya itu maka kami
akan mendapat pelajaran tentang bahaya limbah akibat
penambangan,” katanya mengusulkan.
Manus, salah satu warga juga menyatakan penolakannya. Dia
meminta agar pemerintah memberikan sikap dan tanggapannya
terhadap rencana pembuangan limbah tersebut. “Pemerintah
mestinya jangan tinggal diam karena sudah banyak contoh yang
bisa kita lihat akibat dari pembuangan limbah di laut,” katanya.
Desa-desa yang terancam nasibnya dengan rencana PT. MSM
itu adalah Desa Rinondoran, Desa Batu Putih Atas, Desa Kalinaun,
Desa Wineru, Desa Batu Putih Bawah, Desa Maen, Desa Lihunu,
Desa Pulisan, Desa Marinsow dan Winuri.
Pertemuan tersebut akhirnya menyepakati terbentuknya sebuah
wadah koordinasi untuk gerakan penolakan yang bernama Aliansi
Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMALTA). Wadah ini
bertujuan untuk mengkoordinasi dan menggalang aspirasi warga
dalam usaha penolakan juga sebagai alat untuk perjuangan bersama.
Terpilih sebagai Koordinator Umum AMALTA Hitsel
Kasamu, Wakil Koordinator Tajudin Hema, Bendahara Gotman
Makausi, Sekertaris Dina Sasawuhe, dan Wakil Sekretaris Jefta
Kabahi. Sementara yang menjadi Koordinator Lapangan untuk
Desa Rondor Moses, Desa Batu Putih Atas David Katang, Desa
Wineru Alexander Agung, Desa Kalinaun Hard Tinungki, Desa
Maen Roy Pitoy dan Desa Lihunu Z. Alia.***
Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005
Warga Likupang Timur:
Tolak Rencana PT. MSM Membuang Limbah di Pantai Rinondoran
Ngaasan EDISI III-SEPTEMBER 2005
Kolom Perpustakaan Minahasa, AZR Wenas
FOKUS
PENDAHULUAN
Sistem pendidikan di Minahasa sebelum mengenal instansi
pendidikan seperti sekarang ini baik yang dimulaikan dari Taman
Kanak-kanak sampai ke Perguruan Tinggi, masyarakat Minahasa
memang telah mengenal 3 ( tiga) tahapan sebelum seseorang atau
lebih dari satu orang mengambil keputusan pribadi atau lebih dari
satu pribadi untuk hidup secara mandiri.
I. P a t u r u a n (asal kaata : t u r u ) yang artinya “menunjukkan,”
“membimbing,” “mendampingi” seseorang sebelum melakukan
sesuatu pekerjaan, yang maksudnya ada yang menunjukkan, ada
yang membimbing, ada yang mendampingi. Sehingga ketika terjadi
kekeliruan, kekurangan atau kesalahan, langsung diberitahukan
untuk diperbaiki atau diulangi. Di sini peran pembimbing,
pendamping sangat menentukan berhasilnya seseorang yang
dibimbing atau didampingi. Biasanya peran ini ada pada orang tua
baik mama ataupun papa.
II. Pawowasan (asal kata : wowas) yang artinya “sudah mulai
dilatih.” Peran pembimbing atau pendamping di sini tinggal
memperhatikannya. Jikalau yang sementara dilatih ini datang kepada
pembimbing sebelum dia melakukan pekerjaannya, maka spontan
si pembimbing mengatakan, belum dikerjakan sudah datang
bertanya, lakukan dulu pekerjaan yang mau dikerjakan, baru kita
bicara.
III. Tumampas ( asal kata : Tampas ) artinya dalam bahasa
malayu Manado, “basandiri jo,” “beking malo”, “so kaweng masih
tinggal deng orang tua.”
Pada tahapan ketiga inilah pengumpulan buku-buku, naskah-
naskah, ceritera-ceritera tentang perkawinan di Minahasa, di buka!
Pesta Perkawinan
Menghadiri sebuah pesta perkawinan pada sekarang ini artinya
sesudah ibadah pemberkatan nikah di gereja kepada kita disuguhkan
rangkaian prosesi yang kadang-kadang mewah apalagi jikalau
dilakukan di hotel atau restoran atau nampak sederhana tetapi
mempesona meskipun pelaksanaannya dilakukan di “sabuah”
dengan dekorasi daun-daunan dan bunga-bunga segar. Memang
banyak hal yang nampak sama antara lain, pakaian pengantin yang
diambil dari budaya Barat, ada anak-anak yang membawa keranjang
yang berisi guntingan kertas warna-warni untuk “ambor bunga”,
ada para muda mudi berpasang-pasangan yang disapa pagar ayu
dan pagar bagus(?), ada kue – pengantin, ada pidato-pidato dan
sudah tentu ada makan minum sebagai puncak ramah tamah pesta
pernikahan.
Kata orang, beginilah perkawinan di tanah Minahasa, orang
Minahasa berpakaian Eropah, berpesta ria.
Tidak heran kata-kata dalam bahasa Minahasa yang berceritera
tentang perkawinan di Minahasa, antara lain : waluk, lumales , lumema,
tumantu , kumewit, mewa tarendem, Sumaru tarendem, maso minta, antaran,
mehe aroro, mehe roko, dll, dianggap memperlambat rencana dua orang
insan yang so baku sayang untuk segera kaweng atau menikah.
Pada hal keindahan, keanggunan apalagi adat dan budaya
perkawinan masyarakat Minahasa yang sangat sarat dengan nilai-
nilai luhur yang didalamnya terkemas secara rapih, saling mencintai,
saling menghormati, saling menerima, yang bukan saja antara dua
orang yang sudah menikah tetapi juga antar orang tua kedua belah
pihak termasuk famili.
Oleh sebab itu untuk menata sebuah perkawinan di Minahasa,
memerlukan begitu banyak pihak baik di lingkungan keluarga pihak
laki-laki dan pihak perempuan maupun meminta bantuan dari
mereka yang mengerti urusan-urusan perkawinan.
Dalam buku dari E.V.ADAM berjudul KESUSASTERAAN
KEBUDAYAAN dan TJERITERA-TJERITERA
PENINGGALAN MINAHASA pada halaman 14 menulis:
Lazim pada zaman itu, bahwa apabila ada perkawinan, maka
keluarga dari mempelai-mempelai membantu keluarga yang akan
membuat peralatan perkawinan.. Juga pun menjadi adab bahwa
bukan saja keluarga mempelai yang membantu dan menunjang,
tetapi seisi negeri datang menolong, masing-masing membawa bahan-
bahan seperti: ayam, telur, beras, dll.
Sekarang bagaimana dengan suasana pesta. Dalam buku yang
sama pada halaman 15, bahwa sementara makan minum, tamuntouan
memberikan nasehat dan petunjuk tentangan
peternakan.Runtuwarouw memberi nasehat tentangan pekerjaan
memhambur padi. Runtunuman (Ratunuman) memberi petunjuk
tentangan penyelenggaraan perkebunan. Kairupan memberikan
pelajaran menangkap ikan dengan pancing. Tambuwun memberikan
pelajaran membuat belati. Tumalun tentang perburuan di hutan
Tombarian memberi pelajaran membuat pakaian. Maulang
tentangan memintal benang dari kulit kayu. Porong memberi pelajaran
membuat cepiau. Walean tentang mendirikan rumah dan Tambaran
memberikan nasehat tentangan membuat dinding.
Dan sekarang ini, Jessy Wenas dengan Yayasan Kebudayaan
Minahasa telah memulaikan sejak tahun 1986 PAGELARAN
UPACARA PERKAWINAN ADAT MINAHASA.
Siapa menyusul? Atau apakah ada usul kongkrit ?
Perkawinan di MinahasaOleh : Jootje Kawengian
Ngaasan Edisi IV-Oktober 2005
AITONDEI ing kukua e mangaapo’, sapakìm
ìsa ìsa a se anak i Lumimu’ut wo si To’ar ja
makangaran Marìndor; sia ningaranan Marìndor, am
pa’pa siaairu’du’ I Inang wo si Amangamico mìbale
am paantangan i ìndo. A micoko ambi’itu sia, ya si
masale’em tumana kumaapa tumowa’ ìsa pìnana’an;
ngaran I wewenetinowa’na: Lincabene’.
An darìm im pamaleaneila in dua ya seila
nimakaere pira-pira anak, si ìsa makangaran
Soputan, si ìsa makangaran Muntu-untu, wo pirw-
pirw m balina. Makawangko’om-a’I si Soputan akad
in doro’nam n tumane, ya numuwu’um si marìndor
wo si Lincambene’ a si Soputan, kuaeila: ,,E
soputan, karìngana ko ya tumanem, kumaapa
tumowa’am ìsa wewene mamuali pìnana’anu, ta’an
da’ica si sei n towa’anu, karìngan mokokì-mai si
ìsamangala’un, anak I Karende wo si Kìmbu-
ambene’ mì’bale a moko an du’u in tana’ a mongena,
ì ngaran I mangala’un, itu sawumbene’.” Si nuwu’un
itu ya sinepa I Soputan karapi in ata sama’ wo rondor,
wo sia numuwu’, kuana: Sama’ e Inang wo
Amangku.”
An somoi-a;i itu ya maya’am seila I mì’amang wo
mì’inang kara-karapi e pira-pira tow maali-ali in
irang. Icatìka’ tu’umoko seila im baya, ya si Marìndor
numuwu’ a si Karende, kuana: ,,E kaloku, sapakìm
ìm bawaya’-mai in tarepe’ iasa an dior e kolu in
ambalesa y ì a ma’i mangila’ sa wo’o ro’na
icasale’miow si aneka’i makangaran Soputan muei
si anakiow makangaran Sawumbene’ mamuali
pìnana’ana.” Sumowat si Karende, kuana: Sama’
nimakasama-sama’, ta’am bueiìnoka a si Sawumbene’
sa sia masale’ kaapa raica’. Awoya wueiìnìm tu’u i
Karende si Saumbene’, kuana : ,,E Sawumbene’,
masale’, ko towa’an I soputan mamuali pìnana’ana?”
Somowat si Sawumbene’, kuana: ,,Sama’, e
Amangku Sapakìm aku ya masale’ towa’an wo
mamuali pìnana’an I Soputan.” Ilampatìm I karende
a si marìndor, kuana: ,,Sapakìm si sawumbene’ ya
masale’ mamuali pìnana’an I Soputan.” Siituke’ ì
nilinya. I Marendor, ya sia tumurukìm in iirang, wo
karapi I mìpìle’I seila in dua ngatowan kumi’it ing
kanaramìn e tontumuwu’ ì ma’tane se anakeila.
Awoya I nimakuwu-kawusìm ìm pìpìli’ineila, ya
towa’anìm I Soputan si Sawumbene’ wo maya’ kara-
karapi I Inange wo si Amanga micom am baleeila.
Yanta’an mìmaya-maya’oka seila, ya icatìka’-mange
a si ìsa kuntun darangka’an. Ambi’ituoka seila, ya
numuwu’ si Marìndor a si Soputan, kuana: ,,E
Soputan, karìngana kamo in ambalesa ya mìnto’ wo
mìbale am puruk I kuntung iasa.” Ngarananìm I
marìndor si kuntung itu, ,,Soputan “, aitondei I ngran
I Soputan. Ang wo si Marìndor tuma’ar a si Soputan,
kuana: ,, E Soputn, Karìngana ko e mangere-mange
tawoien,wo itu komo ya ra’ica ma’ki’i-ki’it im bìlìn
ase rìnga-rìnganiow.” Awoya maya’am tu’u si
Marìndorwo si Lincambene, itìlì’uìm-io’ eila ambi’itu
se Soputan in Ambalesa.
MAKATANA
(Diambil Dari Tontemboansche Teksten Karya: J. ALB. T. Schwarz hal 219)
Kukua an Doro’ I Soputan,Sinisil I Wunuwus Mondow, Walian an Talikurang, Tompaso’
PALAKAT
Yayasan Suara Nurani, bekerja sama dengan Majelis Adat
Minahasa, Persatuan Minahasa, dan ICRES, bakal
menggelar pelatihan kader budaya Minahasa yang sedianya
dilakukan pada pertengahan bulan oktober.
Peserta yang akan hadir diharapkan berjumlah 30 or-
ang dari sub etnis-sub etnis yang ada di Minahasa.
Karena itu, kami mengarapkan kepada saudara yang
ingin mengikuti pelatihan kader dapat menghubungi
saudara Matulandi Supit, Sekjen MAM, di sekretariat
MAM, Kakaskasen III Tomohon.
Pelatihan ini akan berlangsung selama tiga hari, dengan
menghadirkan narasumber dan fasilitator yang berkompeten
dibidangnya. Pelatihan kader ini gratis dan akan
mendapatkan sertifikat budaya serta diharapkan menjadi
bagian dari perjuangan kultural Tou Minahasa.
Mari kita wujudkan Minahasa yang berbudaya dan
berdaya saing demi masa depan yang gemilang. Makapulu
Sama.
FEATURE
MALAM mulai larut. Cahaya lampu rumah
yang sedikit redup karena voltage generator PLN
yang lemah, tak mengurungkan niat sejumlah warga
desa Lihunu Kecamatan Likupang Timur Minahasa
Utara duduk berkelompok. Sepintas tampak mereka
sedang bercakap dan mendiskusikan sesuatu.
Barangkali tentang nasib hidupnya yang
memprihatinkan. Setelah dilihat dari jarak dekat,
ternyata perkiraan kita meleset. Kelompok warga
yang terdiri dari anak-anak, pemuda, orang tua
bahkan oma dan opa itu ternyata sedang antri untuk
menimbah air dari pipa intalasi air desa.
Tak peduli dengan berbagai binatang malam dan
nyamuk yang beterbangan dan mengiang-ngiang di
sekitar telinga mereka. Mereka semakin asyik
menikmati ramainya berkumpul bersama di malam
yang seharusnya menjadi jam istirahat dan tidur bagi
mereka, karena besoknya juga mereka harus
berkelahi dengan waktu untuk kerja mencari nafkah
di kebun dan di laut. Nampaknya masyarakat Lihunu
tidak hanya kesulitan BMM tetapi mereka juga
kesulitan untuk mendapatkan air minum dan masak,
sehingga harus memiliki tenaga dan stamina ekstra
untuk bergadang di malam hari menunggu rembesan
dan tetesan air yang mengalir dari pipa intalasi air
desa. Mereka tidak hanya berkelahi dengan waktu
di siang hari tetapi juga dengan gelap dan dingin
malam. Apa boleh buat, air bersih langkah di desa
itu.
Di balik kenikmatan berkumpul bersama
ternyata ada duka dan penderitaan yang sementara
dan sedang mereka rasakan dan alami saat itu.
Dengan berharap-harap cemas mereka menunggu air
menetes sedikit demi sedikit di berbagai wadah itu.
Memperihatinkan air yang mereka tunggu-tunggu
itu, tetesannya hanya sebesar pangkal sapu lidi.
Barangkali kalau dihitung jumlah debit air yang
menetes kira-kira 1 liter/menit. Ini adalah jumlah
debit air yang sangat kurang dari yang dilihat selama
ini.
Sesekali terdengar sungutan dari ibu-ibu.”Kalo
kwa tu utang diatas gunung tu orang –orang biadab itu
nyanda pancuri deng potong abis torang stou nyanda mo
siksa jaga aer bagini” (Kalau saja hutan diatas gunung
tidak dibabat oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab mungkin kita tidak semenderita
ini untuk menunggu) gerutu sejumlah perempuan.
Sebagai sumber kehidupan air memegang
peranan yang vital dalam menyokong kehidupan
makluk hidup. Untuk minum, masak, cuci, mandi,
dan lain sebagainya. Manusia, hewan dan tumbuhan
tidak akan bisa survive kalau tidak disegarkan dengan
air. Apapun alasannya air adalah hidup, manusia
misalnya 75 % tubuhnya terdiri dari air dan sisanya
adalah oksigen dan nitrogen. Karena sumber-sumber
air perlu mendapat perhatian khusus dari pihak pihak
terkait dan bahkan pihak penegak hukum.
Malapetaka yang dialami oleh masyarakat desa
Lihunu ini sebenarnya berawal dari merosotnya hutan
di atas gunung Lihunu yang dibabat oleh para pelaku
illegal logging (penebangan liar) yang penanganannya
kurang diperhatikan oleh aparat penegak hukum.
Malahan niat baik dari pemerintah dan masyarakat
desa Lihunu untuk mencegah para pelaku illegal
loging tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian setempat.
Pemerintah dan masyarakat desa Lihunu malahan
mendapat intimidasi dari aparat Polsek Likupang.
Dan yang lebih memprihantinkan adalah
dibiarkannya para pelaku berkeliaran melakukan
aktivitasnya di hutan. Padahal kasus Illegal logging
ini dikategorikan sebagai kegiatan perusakan
lingkungan sebagaimana yang diatur UU No 23
tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup
dan pelakunya bisa di pidana, dengan melihat fakta
yang ada dimana telah terjadi penurunan kualitas
lingkungan. Salah satu indikasinya adalah air yang
dulunya melimpah dan tidak sulit untuk didapat
walaupun pada musim kemarau, kini semakin sulit
untuk didapatkan oleh warga, area tangkapan air
hujan yang sudah sangat menipis.
Air yang langkah itu tentunya sangat
mempengaruhi roda perekonomian warga Lihunu.
Kesejahteraan yang didamba, pasti akan lebih
menjauh. Sementara, para pelaku illegal logging dan
aparat yang mem-backup-nya berleha-leha dengan
keuntungan dari hutan yang mestinya berfungsi
sebagai tangkapan air.
“Airmata” di Mata Air Lihunuoleh: Frets Pieter
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
SIKAP
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
KEMERDEKAAN Indonesia ternyata tidak
hanya soal bebas dari bangsa penjajah tapi juga soal
kesejahteraan, kebebasan dan hak asasi manusia.
Demikian antara lain yang mengemuka dalam round
table discussion “Refleksi enampuluh taon Merdeka,
delapan taon REFORMASI bergulir
Mempertanyakan komitmen bernegara dalam bingkai
NKRI” yang digelar Yayasan Suara Nurani Tomohon
di Sahid Teling Manado 22 Agustus 2005.
Para peserta yang terdiri dari aktivis, mahasiswa,
jurnalis, dan pengamat, kebanyakan mengungkapkan
bahwa dari segi proses pembangunan yang telah
berjalan 60 tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia
belum benar-benar merdeka.
Malah, hari-hari kelam telah menjadi memori
pahit atas perjalanan sejarah rakyat Indonesia dalam
menata kehidupan berbangsa. Seperti itu pula, rakyat
mengalami hari-hari hitam atas interrelationship
rakyat, atau penyelenggara pemerintah yang
sungguh telah mengabaikan hakekat rakyat sebagai
warga Negara yang hak-hak dasarnya mestinya
dilindungi oleh Negara.
Darah masih bececeran di mana-mana, scenario
peminggiran rakyat dan penegasian hak-hak sipil
kian kentara. Pada saat yang sama, hancurnya
identitas kolektif kebangsaan telah pula
menyebabkan radikalisme identitas kelompok
dengan kepentingan sepihak. Radikalisasi
kepentingan kelompok telah pula menggeser
kesepakatan besar bangsa diawal kemerdekaan
Indonesia yang dicetuskan oleh seluruh anak bangsa,
tanpa peduli latar belakang suku, agama, ras atau
kelompok; Semuanya terpanggil, dengan semangat
patriotisme yang tinggi, menentang kolonialisme,
menentang ketidakadilan, menentang kesewenangan
dan bahkan menentang kepentingan tertentu, seraya
menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia:
“Dari Timur Sampai Ke Barat”.
Menjelang peringatan hari MERDEKA, kembali
renungan kontemplatif atas makna bernegara
menjadi problem serius yang harus disikapi bersama.
Sejumlah pertanyaan tentang sejarah yang
diputarbalikkan demi kepentingan rezim masih
Kemerdekaan Indonesia Dipertanyakan(Dari Roundtable Discussion 60 tahun NKRI)
mengangah tanpa jawaban, lalu penjegal hak dasar
kemerdekaan masih berkeliaran dalam sistem negara
dan jutaan rakyat dihentar ke neraka disintegrasi,
pula media yang memberitakan kedegilan itu seolah
kebenaran.
Enampuluh taon Indonesia sedari
tujuhbelasdelapanempatlima harus menjadi momen bagi
semua, utamanya rakyat di Sulawesi Utara yang
dalam banyak hal masih mengalami keterpurukan
untuk memikirkan, merumuskan kemudian menjadi
sumbangsih gagasan terhadap penyelenggara negara
atas model penyelenggaraan pemerintahan yang
salah urus. Kedaulatan rakyat yang telah berhasil
diperjuangkan pada perang revolusi kemerdekaan
seharusnya menjadi spirit bagi rakyat Indonesia,
untuk kembali berjuang melawan musuh laten, yaitu
ketidakadilan dan kesewenangan dalam wujud
barunya seperti KKN, Birokrasi yang tidak melayani
rakyat, serta kebijakan pemerintah yang selalu
merugikan rakyat daerah.
Dr. Bert Supit, Ketua Badan Pengurus YSN
Tomohon, ketika berbicara mengungkapkan
sejumlah fakta yang katanya menggugat
kemerdekaan Indonesia. “Fakta-fakta itu ingin
mengatakan pada kita, bahwa Indonesia dengan
sistem negara kesatuannya telah gagal membawa
rakyatnya kepada cita-cita kemerdekaan yaitu
sejahtera adil dan makmur,” kata dr. Bert semangat.
Seharusnya, enam puluh tahun itu menjadi
cermin pantul bagi bangsa Indonesia dan bangsa
Minahasa khususnya untuk menata kehidupan
berbangsa dan bernegara yang lebih baik, demokratis,
dan manusiawi. Sejatinya, pelajaran berharga itu tidak
sekedar menjadi catatan-catatan sejarah semata, tapi
justru akan menjadi tolok ukur dinamika peradaban
bangsa Indonesia ke depan.
Acara yang dimoderatori oleh Sandra
Rondonuwu, STh, SH ini juga membahas
kemungkinan untuk mencari sistem bernegara yang
lain. Drs. Edison Rumajar, SH, mengatakan,
penyebab dari berbagai persoalan bernegara di
Indonesia adalah sistem negaranya. Alternatifnya
adalah sistem negara federal. (deni)
LASTe
Menjinakkan Bom BatinOleh Veldy Umbas
AIR mata batin ibu pertiwi masih menetes tak
henti. Ia ogah berhenti mengalir karena hatinya sedih
terus. Tak selesai konflik, bencana alam tiba. Belum
habis flu burung, BBM sudah naik. Semua alamat
penderitaan yang makin menyengsarakan.
Konon, sebegitu sengsaranya rakyat kita,
sehingga kadang-kadang kesengsaraan itu sudah
menjadi kenikmatan sendiri bagi rakyat kita. Begitu
satir yang sangat ironis dan miris.
Padahal, negara kita konon kaya raya. Minyak
kita punya. Tanahnya subur, pemandangannya elok
permai. Laut apalagi. Saking kayanya laut kita,
sampai-sampai negara-negara tetangga rutin
mencuri kekayaan laut kita.
Entah apa yang sedang terjadi di negara ini. Tiba-
tiba hutang luar negeri kita mencapai $152 milyar.
Seiring dengan korupsi yang tak tanggung-tanggung,
berada pada peringkat terburuk dunia
Lalu datanglah era baru perjalanan politikIndonesia. Reformasi bergulir dengan sejumlah
beban peradaban yang diembannya. Meski banyak
euforia, paling tidak ruang demokrasi, kebebasan
berpendapat dan berserikat telah dibuka. Prestasi
demokrasi kita yang terakhir adalah demokrasi
langsung, baik Pilpres, Legislatif maupun Pilkada,
betapapun saran dan kritik kita terhadap
penyelenggaraannya yang belum optimal untuk
kedaulatan rakyat.
Sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)
akhirnya terpilih sebagai Presiden pertama yang
dipilih langsung. Ia tentu memiliki power yang kuat
dan besar yang dipercayakan oleh rakyat untuk
mengambil berbagai kebijakan, demi dan hanya
untuk kesejahteraan dan keadilan rakyat.
Sayangnya, belakangan ini kebijakan Pak SBY
makin membingungkan. Apakah setiap kebijakan
yang dipimpinnya menempatkan rakyat sebagai
subjek utama berbagai aturan yang diambil? Adalah
pertanyaan yang harus ditunda untuk dijawab. Kita
masih berharap kebijakannya ini akan benar-benar
memberikan rasa keadilan yang lama tercerabut dari
rakyat Indonesia.
Rasa keadilan yang hampir-hampir basi, amis,
sehingga kita malah ingin membuangnya jauh-jauh.
Untung budaya bangsa kita adalah budaya yang
santun. Kita tentu masih menempatkan kata damai,
toleransi, gotong royong, mapalus, dalam kamus
hidup sehari-hari kita. Rakyat Indonesia tidak perlu
diajarkan tentang toleransi, saling menghargai, saling
menghormati.
Yang kita masih harus belajar banyak adalah
bagaimana mendistribusikan keadilan itu secara
merata dan tidak diskriminatif. Dan untuk itulah,
ada kelompok tertentu yang sengaja memanfaatkan
problem keadilan sosial itu demi kepentingan politik
tertentu dan sesaat.
Menjelang hari-hari sulit, bangsa kita diberikan
waktu (time break) untuk melakukan perenungan
mendalam tentang hidup. Bulan suci Ramadhan bagi
umat muslim sudah akan dimulai hari ini, Selasa,
(04/10).
Adalah momentum untuk merelaksasi semua
sendi-sendi dan urat-urat ketegangan sosial, ekonomi
dan politik. Saat di mana civil society kita diuji.
Apakah, perdamaian, toleransi dan mapalus masih
akan terus menjadi nilai yang dimaknai dalam ibadah
dan pergaulan sehari-hari kita yang kita agendakan
dan perjuangkan.
Sehingga batin rakyat Indonesia yang terlalu
pengap, sumpek, suntuk, dan sudah terlalu berat
dijernihkan lagi, untuk kembali mengkonstruksi
sebuah jalinan persaudaraan, perdamaian, untuk
menempatkan rasa keadilan dan kesejahteraan
sebagai agenda utama, rakyat, agama, ideologi,
kepentingan, Pemerintah, Legislatif, Aparat
keamanan dan siapa saja.
Sekarang inilah saat yang tepat untuk
menjinakkan bom batin kita yang hampir meledak.
Bukan untuk menjadi diam dan pasrah, tapi
memikirkan dan bertindak dengan langkah dan
strategi yang lebih elegan untuk menggagas masa
depan bangsa kita, lebih baik, lebih berkeadilan, dan
lebih mensejahterakan. Selamat memasuki bulan
suci Ramadhan dan selamat menjalankan ibadah
puasa kepada umat Muslim.
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
LASTe
Politik Energi TemporerOleh Dr. Bert A. Supit
Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005
Bahan Bakar Minyak mungkin sudah menjadi“tuhan” yang terus menerus dicari, dan bahkan atas
nama “nya” dunia bisa berperang.INVASI Amerika ke Irak, disebut-sebut sebagai taktik AmerikaSerikat untuk menguasai jalur minyak dunia yang memangketersediaanya makin menurun. Sama seperti perang di Timur tengahyang banyak didasari pada politik kepentingan perminyakan dunia.Dampak yang paling akhir adalah, naiknya harga minyak dunia yangmenembus level $70/barel dikarenakan oleh berhentinya sekitarseperempat operasi minyak AS di kawasan teluk Meksiko akibatmengamuknya badai Katrina dan badai Rita.Kondisi global ini diperparah lagi oleh ulah para penimbun danpenyeludup BBM di dalam negeri, yang sama sekali secara sadis dantidak manusiawi merelahkan rakyat Indonesia kelimpungan demikeuntungan pribadi para mafia penyeludup dan penimbun.
Lucunya lagi, Pemerintah Indonesia, terang-terangan membukakesempatan bagi para mafia minyak ini beroperasi, denganmengumumkan tanggal kenaikan harga BBM. Logika dagangnyaadalah, menimbun diharga yang murah dan menjual diharga ketikamenjadi mahal. Juga kebijakan pemerintah yang sok populer.Menetapkan perbedaan harga antara industri dan masyarakat. Jelassaja, di mana ada perbedaan harga, di situ pasti ada profit taking.
Lalu, akhir-akhir ini rakyat dibuat kaget. Beberapa waktu lalupemerintah mengumumkan cadangan minyak dalam negeri tinggalbeberapa belas hari lagi. Dan dapat dibayangkan kalau rakyat langsungpanik dan pasti terjadi aksi borong yang berimbas pada kelangkaanminyak di pasar.
Nasionalis?Padahal, undang-undang dasar kita sudah mengamanatkan bahwa
segala sesuatu yang mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai (baca:diatur/dijamin) dengan baik oleh pemerintah. Artinya, bahwa BBMitu sendiri adalah ”kehidupan” dari hajat hidup orang banyak sehinggapengusahaannya haruslah dilakukan dengan sangat serius, terkontrol,dan manusiawi.
Pernyataan, Aburizal Bakrie bahwa, uang triliunan rupiah hanyahabis dibakar, adalah kalimat bodoh yang keluar dari seorang menteriyang ditugaskan rakyat untuk mengupayakan hajat hidup orang banyak.Masakkan ada manusia yang tidak makan kalau tidak denganmembakar (baca: menggunakan) bahan bakar minyak.
Ini artinya, masih terjadi salah kaprah terhadap politik perminyakandi Indonesia. Akibat salah pikir inilah, maka Pemerintah Indonesiamenyetujui pengelolaan eksplorasi minyak dan gas di blok Cepu, JawaTimur, dengan cadangan potensial 2 miliar barel itu kepada ExxonMobile. Padahal, dalam konsesi awalnya Exxon hanyalah menjaditechnical assistance, kini menjadi pengelola dengan kapasitas 45 % bersama-sama dengan Pertamina yang juga mendapatkan 45% dan sisanyayang hanya 10 % saja untuk Pemerintah Daerah itupun masih dikibuli.Pemerintah pusat akhirnya mengambil jatah 10% milik Pemda itu.
Ini pasti akan merugikan negara, karena salah satu cadangan minyaknasional kita, sudah kita serahkan kepada asing, yang tentu berkepentinganuntuk menambah deposit cadangan minyak mereka. Sangat naif karenaprosesnya konon melibatkan tentara yang berkepentingan agar embargosenjata Amerika Serikat terhadap Indonesia dicabut.
Sama halnya dengan politik menaikan BBM yang sudah pastiakan menyengsarakan rakyat, semata-mata untuk memenuhi tuntutanIMF agar menaikan harga BBM. Kembali lagi mental inlander kitamenjadi bukti bahwa Indonesia terus menerus hidup dibawah ketiakdonor internasional. Padahal pemerintah bisa mengupayakan opsi dariyang paling ekstrim seperti apa yang sudah dilakukan oleh Mexiko,Brazil dan Argentina atau juga dinikmati oleh Nigeria, pemerintahmeminta penghapusan sebagian hutang luar negerinya.
Atau bisa juga dengan cara yang lebih elegan, pemerintah bisamelakukan pertukaran utang (debt swap).Atau yang paling terdesak adalahmelakukan reschedulling atau debt moratorium (penghentian perlunasanutang).
AlternatifKondisi krisis seperti ini mungkin harus membuka jalan pikir kita
bahwa, ketersediaan energi BBM tidaklah abadi. Dan karena itulahmungkin politik BBM kita juga harus memikirkan beberapa hal berikut:
Pertama, Deposit energi kita yang sedikit ini harus sesuai denganroh undang-undang dasar 1945 pasal 33 tentang hajat hidup orangbanyak. Artinya, penguasaan sumber energi ini benar-benardimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin dengan menempatkanrakyat sebagai pengelola sumber energi. Sehingga, liberalisasi minyakdan gas mungkin tidak tepat dalam konteks ini. Apa jadinya kalausumber energi nasional yang tinggal sedikit dan tidak abadi itu dikuasaioleh asing, yang nota bene orientasinya adalah, profit. Disinilah menjadisangat relevan pemerintah mencabut UU Nomor 22 Tahun 2001yang memberi ruang besar bagi asing untuk menguasai sumber hajathidup orang banyak.
Kedua, kterbatasan sumber energi alam seperti bahan bakar minyakyang habis dipakai (unrenewable engergy), harus mendorong semua pihak,(pemerintah dan rakyat) untuk mencari sumber energi alternatif yangrenewable energy. Wacana energi baru memang melawan arus, namundengan kecanggihan teknologi sekarang, kita sudah bisa memikirkanbio diesel, dan bahkan etanol dari pohon Seho, yang sangat potensialuntuk menjadi sumber alternatif energi yang dapat diperbaharui.
Dengan demikian, mungkin politik energi pemerintahan SBY yangmencabut subsidi rakyat (hajat hidup) adalah temporer dan tidakmenyelesaikan persoalan harus segera disadari. Apalagi kompensasiBBM hanyalah pemanis semu (hyper real) yang tidak langgeng danmalah hanyalah pemborosan. Sehingga, kita semua berharap agarpemerintah segera mencarikan solusi baru BBM, yang tidak sekedartemporer, sesaat, tapi dapat menjaminkan kelanggengan (sustainability)hidup rakyat Indonesia yang telah menempatkan energi tak ubahnyaseperti oksigen yang tanpa itu: mati!!!