penutupan gereja - ngaasan.tripod.comngaasan.tripod.com/ngaasan4.pdf · nga’asan dalam konsepsi...

20
Nga’asan dalam konsepsi Tou Minahasa memiliki makna aktif sebagai spirit intelektualitas. Nga’as ini sendiri secara harafiah berarti otak. Sehingga, ngaasan dapat dimaknai sebagai proses sadar dari optimalisasi sumber-sumber intelektualisme dalam kesadaran yang dimiliki setiap orang. UTAMA PembacaYangBudiman... DemikeberlangsunganpenerbitanNga’asan, dengan hati terbuka kami menerima sumbangan sukarela dari anda yang merasa peduli dengan keberadaan media ini di : NoRek. 1703817240BCAKCPTomohon Dari Redaksi Tabea.....!!! Negeri dongeng. Mungkin itulah julukan yang paling cocok bagi sebuah negara yang banyak sekali cerita untuk dikabarkan. Barangkali juga karena asal muasalnya yang mirip dengan dongeng-dongeng pengantar anak tidur. Demikian juga sejarah bangsanya yang penuh dengan his story, sejarah satu pihak. Berbagai persoalan bangsa memang terus mendera rakyat ini. Sebegitu seringnya, mungkin di dunia ini, rakyat Indonesialah yang paling kebal dengan yang namanya musibah. Mulai dari musibah politik, musibah alam, dan kini musibah sosial. Rakyat kini ngantri di beberapa tempat untuk mendapatkan minyak. Yang lain malah tak mampu lagi beli beras. Yang lainnya lagi, malah membiarkan dirinya membusuk di jalanan supaya bisa numpang makam. Itulah negeri kita yang penuh dengan cerita yang mungkin bisa jadi kisah seribu satu dongeng. Satu demi satu meninggalkan kisah dan tragedi sedih yang selalu menjadi korban adalah rakyat kecil. Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak EDISI IV-OKTOBER 2005 Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak NGA’ASAN Krisis Makin Mengiris FOKUS TOLAK PENUTUPAN GEREJA LASTe Politik Energi Temporer

Upload: others

Post on 25-Sep-2019

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Nga’asan dalam konsepsi TouMinahasa memiliki makna aktifsebagai spirit intelektualitas. Nga’asini sendiri secara harafiah berartiotak. Sehing ga, ngaasan dapatdimaknai sebagai proses sadar darioptimalisasi sumber-sumberintelektualisme dalam kesadaranyang dimiliki setiap orang.

UTAMA

Pembaca Yang Budiman...

Demi keberlangsungan penerbitan Nga’asan,

dengan hati terbuka kami menerima

sumbangan sukarela dari anda yang merasa

peduli dengan keberadaan media ini di :

No Rek. 1703817240 BCA KCP Tomohon

Dari Redaksi

Tabea.....!!!

Negeri dongeng. Mungkin itulah

julukan yang paling cocok bagi sebuah

negara yang banyak sekali cerita untuk

dikabarkan.

Barangkali juga karena asal muasalnya

yang mirip dengan dongeng-dongeng

pengantar anak tidur. Demikian juga

sejarah bangsanya yang penuh dengan hisstory, sejarah satu pihak.

Berbagai persoalan bangsa memang

terus mendera rakyat ini. Sebegitu

seringnya, mungkin di dunia ini, rakyat

Indonesialah yang paling kebal dengan

yang namanya musibah. Mulai dari

musibah politik, musibah alam, dan kini

musibah sosial.

Rakyat kini ngantri di beberapa tempat

untuk mendapatkan minyak. Yang lain

malah tak mampu lagi beli beras. Yang

lainnya lagi, malah membiarkan dirinya

membusuk di jalanan supaya bisa

numpang makam.Itulah negeri kita yang penuh dengan

cerita yang mungkin bisa jadi kisah seribusatu dongeng. Satu demi satu meninggalkankisah dan tragedi sedih yang selalu menjadi

korban adalah rakyat kecil.

Newsletter: Media Belajar, Berpikir, dan Berpihak

EDISI IV-OKTOBER 2005 Media Tou Minahasa: Belajar, Berpikir, dan Berpihak

NGA’ASAN

Krisis Makin Mengiris

FOKUS

TOLAK

PENUTUPAN

GEREJA

LASTe

Politik Energi Temporer

Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005

EDITORIAL

Penanggungjawab: Dr. Bert Adriaan Supit. Penasehat: DR Jong Ohoitimur, Pdt. J.R. Pandeiroth, Pdt. J.L. Posumah, Bert Tua’ Supit, Drh. L.

Lantang, Prof Dr. AE Sinolungan SH, DR. Max Ruindungan, Dr. Rampen, Drs. E.P. Rumayar SH, Audy Wuisang, Msi, Joppie Worek, Fendy

Parengkuan, Beni Matindas. Direktur: Octo Supit. Chief Editor: Veldy Umbas. Dewan Redaksi: Octo Supit, Jootje Kawengian, Matulandi Supit SH,

Jull Takaliuang, Sandra Rondonuwu STh SH, Irvan Basri, Sonny Mumbunan, Fredy Wowor. Koresponden: Kartini Joseph, (Jerman), Denny

Sondakh (USA), Nora Worang (Kanada), Froly Lelengboto (NewZeland), Sony Wuisan (Jakarta). Redaktur Pelaksana: Denny Pinontoan, Daniel

Kaligis. Staf Redaksi: Edwin, Jonly. Tata Letak: dactfay. Alamat Redaksi: Jl. Raya Kakaskasen III No. 412 Tomohon 95362- Sulut. Telp/fax 0431

354739, 3300242. Email: [email protected], [email protected]. http://nggaasan.tripod.com. http://icres.tripod.com.

Rek.1703817240 BCA KCP. Tomohon.

Nga’asan ini diterbitkan atas kerja sama: YSN, ICRES, MAM, PM, Perpustakaan Minahasa AZR Wenas.

Mencari Strategi Di Masa Sulit

TAK putus-putusnya penderitaan mendera bangsa

Indonesia. Pukulan beruntun itu berakhir dengan

straight yang menohok langsung ke pusat pertahanan

rakyat yakni, Energi.

Dalam bahasa rakyat, energi yang paling

dibutuhkan agar supaya dapur mengepul, adalah

Bahan Bakar Minyak (BBM). Hampir tidak ada

penyelenggaraan kehidupan dewasa ini yang lepas

dari BBM. Ya masak, transportasi, melaut, bertani,

dan sebagainya, semuanya membutuhkan faktor in-

put, solar, bensin, dan minyak tanah.

Sekarang tiga hal itu melambung setinggi langit.

Rakyat kecil telah dijauhkan dari tiga faktor yang

sangat membantu penyelenggaraan kehidupan sehari-

hari mereka.

Apa mau dikata. Pemerintah sudah tekad, DPR

pun ikut setuju. Dan pasar pun terbahak-bahak.

Harga-harga barang pun berbondong-bondong ke

langit. Ya sembako, ya sandang, ya papan, ya pangan.

Semuanya menggila.

Yang tidak gila pun ikut uring-uringan. Dan dalam

dunia yang pangling seperti ini, semua menjadi panik.

Semua mengerang.

Apa yang salah? Konon kabarnya, Indonesia

punya kolam susu, kata Koes Plus. Tapi, susu itu

kini entah ke mana. Kata orang, itu karena BUMN

kita sudah diprivatisasi. Atau, liberalisasi migas

membuat susu rakyat diambil asing. Dan lain-lain.

Sebuah surat kabar lokal menyebutkan harga

BBM di Indonesia sangat rendah dibanding negara-

negara lain. Itu juga yang menyebabkan terjadinya

penyeludupan karena disparitas harga yang terpaut

peluang untuk menyeludupkan BBM ke luar negeri.

Cuma persoalannya, harga di luar negeri itu

berbeda karena perbandingan kurs saja. Bukan

perbandingan nilai.

Malaysia misalnya. Harga BBM di sana bisa

mencapai angka yang jauh diatas Indonesia Namun

jangan lupa. GNPnya jauh berada di atas GNP

nasional.

Jadi persoalannya bukan soal harga BBM yang

murah. Justru logikanya terbalik. Ketika pemerintah

mencabut subsidi BBM, maka beban rakyat yang

makin berat bertambah berat hingga rakyat mulai

bergelimpangan.

Sebenarnya logikanya harus dibalik. Naikkan

kesejahteraan rakyat, hingga daya beli menjadi kuat,

dan BBM menyesuaikan dengan tingkat

kesejahteraan rakyat itu sendiri.

Tapi ya, namanya juga penguasa. Seenak perut

dianya saja. Mau naikin hari ini, so what gitu lho?

Jadi, nasi sudah jadi bubur. Rakyat kini mengerang

sakit ekonomi yang perih. Maka, menjelang hari-hari

yang penuh derita ini, tampaknya rakyat dan

pemerintah harus punya strategi untuk mengatasi

pertahanan pangan.

Paling tidak, ketika barang-barang industri

melambung tinggi, rakyat masih bisa makan. Maka,

program menggalakan/merevitalisasi pertanian kita

menjadi sangat mendesak.

Gubernur Sulut sudah memulainya. Sebuah niat

baik yang patut kita dukung.Sayang konsepnya masih

belum menjawab banyak pertanyaan. Bagaimana

kalau over supply? Bagaimana dengan bibit yang

bagus. Bagaimana dengan pupuk yang mahal.

Bagaimana dengan musim dan struktur tanah. Dan

seratus pertanyaan bagaimana yang perlu dijawab

segera.

Agar rakyat, Tou Minahasa, Tou Sulut bisa

terhindar dan selamat di masa-masa sulit ini. Semoga.

UTAMA

Bertahan Dengan Agrikultur

BADAI krisis ekonomi makin menunjukkan tren yangmembesar dan dikuatirkan bisa menembus level psikologis dimana kepanikan akan mendorong kapal ekonomi Indonesia”karam” dalam lautan ekonomi pasar dunia.

Ketakutan sejumlah analis yang menempatkan faktorfundamental ekonomi pada titik yang ekstim memang cukupberalasan. Naiknya harga minyak dunia, melemahnya rupiahdan berbagai bencana nasional dari Tsunami sampai FluBurung, dan berbagai faktor non ekonomi lainnya sepertilemahnya kinerja kabinet Indonesia Bersatu, tampaknya akanmenjadi isu besar untuk menandai bahwa pertahanan ekonomiIndonesia semakin rapuh.

Belum lagi pembiayaan nasional yang sangat menguraskocek pemerintah sehubungan dengan PILKADA di hampirseluruh wilayah Indonesia. Pasti, periode ini adalah periodekelam bagi kondisi ekonomi Indonesia. Pada titik yang palingekstrem melemahnya ekonomi Indonesia akan berdampakpada matinya sektor riil yang jelas memiliki dampak langsungpada daya beli rakyat. Angka kemiskinan secara simultan akanterus bergerak mencapai posisi di mana subsidi langsung, yangdigeser dari Subsidi BBM, tidak akan memiliki dampak yangcukup berarti.

Fase pengulanganSecara empirik, psikologi pasar akan bereaksi lebih besar

ketimbang kondisi yang sebenarnya. Ketidakmatangan pasarkita yang paranoid, hyper real, lagi-lagi sangat berpotensi untukmenggoyang fundamental ekonomi yang jelas sangat rapuhkarena dibangun di atas “pasir” sistem ekonomi elitis dansentralistik. Dampaknya adalah, krisis moneter jilid dua dapatberulang, bahkan polanya akan sangat lebih mudah ketimbangkrisis tahun 1997 yang banyak dipengaruhi oleh faktor politik.Artinya, dari tahun 1997 itu Indonesia belum sempatmemperbaiki struktur ekonomi yang rapuh itu hingga memasukipada periode 2005 ini ketika variable fundamental seperti hargaminyak dunia serta nilai tukar terkoreksi signifikan.

Pengulangan pola ini mungkin bisa menjadi hukum alamdalam sebuah fase perubahan dan pematangan. Delapan tahunberjalan dengan 4 kali mengalami pergantian kepemimpinan,barangkali menjadi jejak yang bagus untuk melakukan refleksibahwa tanpa kekuatan ekonomi yang membumi, fundamentalekonomi Indonesia sangat rapuh dan mudah diterpa badaimoneter yang bisa saja dimainkan dalam konteks ekonomipasar.

Seharusnya fase ini adalah masa di mana Pemerintah mulaimenyadari bahwa ekonomi kerakyatan adalah prasyarat bagifundamen ekonomi yang kokoh dalam bangun ekonominasional. Hal ini mungkin tidak perlu lagi dibuktikan sebagaisebuah tesis, karena di mana-mana, ekonomi masif (baca:berbasis kerakyatan), mendapat tempat yang mulia bagiperlakuan otoritas moneter di negaranya. Petani disubsidi, dandistribusi diatur selayaknya pasal 33 undang-undang dasar kita.

Sementara untuk mengambangkan massive economic seperti

ini membutuhkan beberapa prasyarat mutlak yang menjadicharakter bangunan ekonomi sesungguhnya. Misalnyakeberpihakan institusi perbankan, mentalitas masyarakatsebagai subjek ekonomi, dan terakhir adalah keberpihakanpemerintah yang harus mendorong kemandirian ekonomi daripada sekedar menjadi jongos-jongos pemodal asing. Ini tidakharus berarti menentang modal asing, tapi juga tidak berartimembiarkan modal asing semata-mata menggandakan modaldan beria-ria di atas kemelaratan rakyat. Mestinya pada titiktertentu perimbangan ini menjadi equilibrium yang bagus bagistabilitas ekonomi nasional.

Ekonomi KerakyatanSehingga penting untuk menganalisa potensi ekonomi

nasional yang menjadi karakteristik fundamental ekonomi kita.Ternyata, sektor pertanian, kelautan, dan pariwisata adalah 3sektor yang paling banyak memberi sumbangan devisa setelahsektor pertambangan dan migas. Sayangnya, tiga sektor ini belummendapat perhatian utuh dari pengambil kebijakan selama ini.Padahal, 80 persen rakyat dan tanah di Indonesia bergantungpada tiga sektor ini.

Hal ini juga dipicu oleh asumsi-asumsi modernisme yangkeliru tentang perspektif ekonomi yang salah kapra. Seolah-olah sektor pertanian tidak bisa memberi peran besar ekonomiIndonesia, sementara faktanya, rakyat Indonesia berada dalamkondisi agraris.

Memang sangat naif melihat perilaku ekonomi kita. Disatu pihak berprilaku agraris, di lain pihak bercita-cita industrialis.Tak heran banyak petani-petani desa yang bekerja kerasmenyekolahkan anaknya supaya tidak menjadi petani. Asumsikeliru dan sesat ini juga menjadi cara berpikir para elit danpengambil kebijakan di Indonesia yang menganaktirikan sektorpertanian.

Setelah terbukti, krisis 98 menyisahkan petani dan nelayanyang bertahan, maka Pemerintah tampaknya sadar betul bahwa,merekalah yang dapat menyelamatkan ekonomi kita bila krisiskembali melanda Indonesia. Sehingga, pola agrikultur denganpendekatan perdagangan tradisional, dengan marjin profit darikuantitas, tampaknya harus ditinggalkan. Sebaliknya,pemerintah diharapkan mulai mencari peluang-peluangkomoditas lain dengan volume kuantitas yang lebih sedikit(otomatis memperkecil delivery cost) dengan margin profit yangbesar. Yang diperlukan hanyalah, agar semua pihak tidak lagiberpikir secara linear, tapi mulai mencari trobosan yang lateral.Semua upaya diberdayakan. Termasuk mencari pasar virgincoconut oil (VCO) yang menjadi produk andalan Sulut. Selainitu, masih banyak lagi yang belum tergarap, seperti vanili, pala,bahkan cengkih yang sampai sekarang tak mampumendongkrak ekonom daerah.

Sejatinya, kalau ekonomi rakyat itu diberdayakan, semuapotensi dikembangkan, maka menjelang hari-hari yang sulit,Sulut dapat bertahan dengan karakteristik potensi alamnya,yakni: Agrikultur, Perikanan, dan Pariwisata. Semoga.

Ngaasan- EDISI IV-OKTOBER 2005

Oleh: Veldy Umbas

UTAMA

Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005

TIDAK dinaikan, negara terancam bangkrut. Dinaikan, negara

bakal hancur. Itulah nasib republik ini terkait dengan BBM – bahan

bakar minyak. Namanya, bahan bakar minyak, sehingga sudah

jelas, ia vital. Mulai dari kompor memasak untuk rumah tangga,

kendaraan bermotor segala jenis dan merek, kapal laut, pesawat,

pabrik-pabrik, dan lain-lain.

Dus, jika dia naik, sudah jelas akan berdampak ke berbagai

dimensi kehidupan. BBM, adalah bahan bakar, sehingga akhirnya

memang membakar jika terjadi sesuatu padanya. Subsidi akhirnya

tak menjawab persoalan itu. Subsidi dikurangi dan sebuah program

karitatif yang bernama “Program Kompensasi Pengurangan

Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM)” digalakkan. Selama

ini APBN terlalu dibebani dengan subsidi untuk BBM.

Parahnya lagi, APBN negara ini telah sangat terbelit dengan

utang. Ditambah dengan tekanan harga minyak internasional, maka

jadilah subsidi dikurangi dari APBN, yang selama ini dijadikan

sebagai cara untuk mempertahankan kestabilan harga minyak

dalam negeri. Barangkali dengan alasan itulah sehingga Amien

Rais, Ketua Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional

mendukung kebijakan pemerintah menaikan BBM. Tapi dia

mewanti pemerintah agar harus siap membatalkan kenaikan harga

BBM jika hal itu menciptakan kerusuhan sosial yang mengganggu

stabilitas politik (Kompas, Rabu, 21 September 2005)

Pemerintah memang tak mempunyai cara lain selain membuat

PKPS-BBM itu. Jadilah tiga program turunannya, yaitu Bantuan

Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Khusus Murid (BKM)

dengan total dana yang tersedia Rp 6,271 triliun, Kesehatan dengan

dana sebesar Rp3,875 triliun, dan Infrastruktur Pedesaan, yang

masing-masing desa akan memperoleh Rp. 250 juta dengan total

dana PKPS BBM untuk infrastruktur desa sebesar Rp. 3,342 triliun

(jumlah total desa yang bakal mendapatkan dana tersebut adalah

12.834).

Negara ini memang lagi terancam bangkrut. Bayangkan saja,

utangnya, menurut Menteri Keuangan Jusuf Anwar, sampai Maret

2005 sebesar Rp. 1.282 triliun (Suara Pembaruan, Selasa, 20

September 2005). Utang itu terdiri dalam bentuk valuta asing Rp.

624 triliun dan dalam bentuk rupiah Rp. 658 triliun. Jika dibagi

dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 230.000.000

jiwa maka setiap penduduknya mempunyai utang sebesar Rp.

5.570.000.

Sementara itu, jumlah rumah tangga miskin di Indonesia yang

berhasil didata Badan Pusat Statistik (BPS) hingga saat ini mencapai

13,663 juta lebih. Setelah proses sensus penduduk diselesaikan

secara menyeluruh, BPS memperkirakan jumlah rumah tangga

miskin di Indonesia bisa mencapai 15,5 juta kepala keluarga. Dari

15,5 juta rumah tangga miskin tersebut, jumlah penduduk miskin

diperkirakan mencapai 62,2 juta jiwa atau sekitar 28,44 persen dari

total jumlah penduduk yang mencapai 218 juta jiwa (Suara Karya,

Sabtu, 17 September 2005).

BBM yang MembakarOleh Denni Pinontoan

Di awal rencana kenaikan saja, sudah muncul reaksi bahkan

gejolak, menentang kenaikan Kelangkaan juga bahkan menjadi

fenomena sepaket dengan rencana itu. Pokoknya, belum naik saja,

sudah cukup membuat sulit kehidupan rakyat republik ini, apalagi

kalau sudah naik.

Sulit untuk saling menuding siapa yang salah-siapa yang benar.

Sebab, barangkali krisis minyak ini adalah salah satu klimaks dari

cerita panjang di baliknya. Tidak usah jauh-jauh, sementara

pemerintah dan rakyat pusing kepala memikirkan soal BBM yang

membakar itu, eh, para penjahat enak-enakan menyeludupkan

minyak keluar negeri.

Atau, akhirnya krisis ini kita bisa sebut sebagai akibat dari

pertahanan ekonomi kita yang lemah. Rakyat memang miskin,

sehingga tidak kuat dengan hal-hal semacam ini. Ini terjadi, karena,

antara lain, kebijakan pembangunan yang lebih berpihak kepada

kapitalis, korupsi yang sudah sangat parah, juga karena kebijakan

yang terlalu top down, dan sentralistik. Akhirnya, marginalisasi,

eksploitasi dan diskriminasi marak terjadi. Situasi bernegara yang

seperti ini menghasilkan rakyat yang tidak kreatif dan produktif

(akibat terlalu banyak program yang sifatnya karitatif seperti PKPS-

BBM), sehingga akhirnya menjadi tidak kebal dengan krisis. Padahal,

kita selalu bangga menyebut diri sebagai bangsa yang kaya dengan

sumber daya alam. Lihat saja, karena rakyat kita tidak dikreatifkan

sehingga produktif, maka kekayaan alam yang mestinya diolahnya

sehingga menghidupinya, hanya menjadi ladang bisnis para kapitalis

bangsa lain.

Dan, tugas kita sekarang adalah memutuskan proses

menyesatkan itu. Habis sudah solusi kita. Tidak banyak yang

diharapkan dari PKPS-BBM dengan tiga program turunannya.

Bagaimana orang miskin bisa hidup dengan uang Rp. 100.000

perbulan sementara harga sembilan kebutuhan pokok sudah bisa

dipastikan akan naik juga. Belum lagi cara pendataan BPS yang

belum memuaskan, karena laporan sejumlah media, masih ada

keluarga miskin yang hingga kini belum terdata. Dan lebih

mengkhawatirkan lagi proses penyalurannya. Masih banyak orang

yang belum mau bertobat dari cara-cara yang korup di negara ini.

Usulan kita barangkali krisis-krisis semacam ini menjadi

semacam pemicu untuk mengintropeksi sistem negara kita. Benar

juga kalimat kuno ini, “Berat sama dijinjing, ringan sama dipikul.”

Maksudnya, kalau persoalan negara ini sudah sangat berat, mari

kita bagi beban itu agar menjadi ringan untuk diatasi. Tapi pertama-

tama bukan seperti anjuran pemerintah hemat energi sementara

teleconference presiden memakan dana kurang lebih sebesar Rp. 1 M.

Artinya, baik soal kekayaan alam maupun krisis, mestinya jangan

disentralistikkan. Kembalikan urusan-urusan itu ke masing-masing

bangsa yang telah bersepakat untuk mendirikan negara ini. Kasihan

negara ini sudah kebesaran sehingga sulit untuk dijangkau lagi. Ini

sudah pasti terkait dengan sistem negara. Bagaimana?

UTAMA

Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005

BBM = Buta Boleh Melihat

Bukan gagasan, tetapi kepentingan-kepentingan material dan ideal yang secara

langsung menguasai tingkalaku manusia...... (max weber, dalam : metafora

switchmen)

SETELAH kenaikan BBM kita kembali pada pertanyaan

susulan “dana konpensasi.” Benarkah dana itu untuk mereka yang

real miskin, apa definisi miskin, bagaimana kategori orang miskin,

bagaimana dengan mereka yang dulunya berduit kemudian tiba-

tiba jatuh miskin, bagaimana jadinya jika tiba-tiba ada yang jadi

miskin karena ada program konpensasi, bagaimana dengan

mereka yang tidak tahu dan sengaja tidak diberi tahu bahwa dana

konpensasi sudah diturunkan.

Apakah program ini sudah tepat sasaran, adakah metode

pengawasan yang ketat dan akurat sehingga kantong dana tidak

robek kiri kanan muka belakang. (walau ditambah daftar

pertanyaannya di sini, sudah pasti tidak bakal merobah daftar nama

penerima dana konpensasi)

Sembari nonton para pakar ekonomi dan pakar-pakar yang

lain ngobrol di semua media tentang nasib rakyat dan nasib negara,

kita coba-coba saja membedah siapa dan apa kebutuhan orang

rakyat miskin, sebelum dan pasca naiknya BBM. (pasti ada yang

nyengir dan dan ada yang ngedumel ....soch tahu loe ahk...!!!).

Di Sulut, sebelum BBM naik saja upah minimum propensi

tak pernah beres, dan tidak ada penanganan yang serius dari dinas

tenaga untuk menindak perusahan yang menggaji karyawannya

dengan upah di bawah UMP. Sekarang BBM sudah naik, variable

cost ikut naik, bukan cuma pihak perusahan yang harus menekan

cost karena dampak kenaikan harga BBM, karyawan dan buruhpun

kena efek langsung dari kebijakan naiknya harga BBM itu.

Petani miskin dan buruh tani butuh pupuk, tapi subsidi untuk

pupuk sudah dicabut, belum lagi biaya angkut yang sudah berlipat

pasca naiknya si BBM itu. Matilah petani miskin dan buruh tani.

Petani bukan hanya butuh sekedar pupuk terhadap tanah yang

sudah tergantung pupuk sebab bencana revolusi hijau, mereka

butuh biaya untuk mengolah tanah, butuh bibit, butuh biaya

perawatan tanaman, butuh biaya pasca panen dan pasar untuk

produk mereka.

Selanjutnya nelayan tangkap dengan armada terbatas di pesisir-

pesisir pantai Sulawesi, barikade ponton asing sudah menghadang

jauh di laut Sulu dan di perairan seputar kepulauan Aru hingga

bibir Pacific, kongkalikong aparat polairut dengan pemilik ponton

asing membuat nelayan tradisional sampai saat ini cuma mendulang

sisa-sisa dari ikan yang datang dari lautan Pasific.

Apakah program pengembangan pesisir akan mampu

menjawab problem nelayan tradisional, atau apakah 100 ribu

kompensasi BBM dapat membekali nelayan tradisional untuk

survive? Masih ada segepok persoalan rakyat yang belum diungkap

dalam tulisan ini, dan itu saja yang penulis tahu (padahal masih ada

anak-anak terlantar, antrian penganggur menunggu kesempatan

kerja yang tak kunjung datang, perempuan rawan sosial, eks napi

tapol yang belum mendapat pekerjaan tetap, bekas tsunami, Nias,

avian influence, bom Bali, dan bencana lain yang tak terekam

media).

Dana kompensasi kemudian terlihat sedikit, para pengamat

bilang butuh penyesuaian dan perimbangan mengikut biaya

kemahalan di tiap-tiap daerah, karena memang di tiap daerah

value-nya berbeda.

Sekarang, anak kecil sekalipun tahu, kalau dana konpensasi itu

sudah membuka ruang berita baru di kampung-kampung ’torang

nyanda dapa, dorang dapa, tu sana dapa padahal dia kaya skali

doe.’ Dan diprediksi saat ini adalah, sudah terbuka ladang korupsi

baru bagi pemain lama dan pemain baru.

Apa mau dikata, tapi itulah potret kebijakan yang selama ini

diberlakukan tanpa perencanaan yang matang dan tidak bottom-

up. Dana ini sebenarnya milik siapa? Tiba-tiba pak pos dengan

tampang dibikin-bikin mirip santaclaus dan agak marah-marah

dengan barisan pengantri kompensasi.

Beberapa tahun silam proyek KUT sudah mengajak rakyat

rame-rame mengkorupsi dana BLBI, pun lewat proyek KUT

dengan platform milyaran rupiah sudah mengajar rakyat pada

praktik program tanpa ujungpangkal dan tidak tuntas sampai

detik ini. Dana walahualam tersebut saat ini enggan disebut-sebut

lagi, issue-nya sudah lewat sich!

Tak usah dibilang, mestinya dana kompensasi itu diapain biar

bagus, teori kita tak akan merubah kebijakan.

Yang pasti, dana kompensasi sudah turun dengan alasan seperti

yang dikemukakan Weber dalam metafora switchmen. Ada

kepentingan-kepentingan material dan ideal yang secara langsung

menguasai.

Penimbun BBM mengambil kesempatan dari moment ini,

penyalur pending dana di bank dapat lumayan, goso-goso sadiki

dapat bagian, Kepala Kantor Statistik Minahasa, Joppy Ticoalu

SH mensinyalir bahwa ada data penduduk yang sengaja dimiskinkan

untuk urusan bantuan tunai langsung, di Tahuna ada boikot distribusi

BBM, di Papua 2 pasca sarjana ikut ngantri dana kompensasi.

Lumayanlah, uang cepek buat ngisi pulsa, nomor kita panjang

umur dan kita sama-sama ngobrol soal kompensasi. Bahwa,

kemarin ada bom kompensasi, dan ada korban kompensasi.

Bahwa kemarin ada flu kompensasi dan burung-burung

kompensasi.

Walau demikian, semoga dana kompensasi boleh berguna

bagi petani untuk beli pupuk dan bibit, nelayan boleh melaut lagi,

yang kurang ongkos boleh ketambahan sedikit, yang lapar boleh

beli makan, dan yang buta boleh melihat. ***

FOKUS

MEREFLEKSIKAN Indonesia ke 60 tahun serta

menyikapi perkembenangan politik nasional, antara lain

MoU Helsinki dan Papua, gereja-gereja se-Indonesia

Timur, Jumat (16/09/2005) berkumpul dan

menyelenggarakan Semiloka di Tomohon. Semiloka yang

digagas oleh Sinode AM Gereja-gereja Sulutteng dan

yayasan Suara Nurani Tomohon telah menghasilkan

sejumlah rumusan dan rekomendasi.

Semiloka yang bertempat di Lokon Boutique Resort

Kakaskasen Tomohon dihadiri oleh sejumlah perutusan

dari gereja-gereja se Indonesia Timur, aktivis, teolog dan

pengamat. Antara lain yang hangat dbicarakan adalah

persoalan MOU Aceh dan wacana Papua Merdeka serta

SKB dua Menteri no70-71 tahun 1969.

Dr. Bert Supit Ketua Majelis Pengembalaan SAG

Sulutteng juga ketua badan Pengurus Yayasan Nurani

Tomohon membeberkan sejumlah data dan informasi

yang memperlihatkan keterpurukan Indonesia selama

60 tahun merdeka. “Data-data ini merupakan realitas

yang ingin mengatakan kepada kita bahwa Indonesia

dengan system kesatuannya telah gagal dalam

memperjuangkan cita-citanya di awal kemederkaan

bangsa ini. Oleh sebab itu barangkali perlu gereja-gereja

mengevaluasinya demi untuk mencapai keaaadilan dan

kesejahteraan rakyat.,” kata Dr. Bert berapi-api.

Sementara itu, Ketua PGI, Pdt. A. Yewangoe yang

juga sebagai pembicara, mengingatkan perlu adanya

budaya demokrasi di Indonesia. “Yang ada di Negara

kita ini adalah demokrasi yang berdasarkan suara

terbanyak. Contoh belum adanya budaya demokrasi

adalah pilkada di sejumlah daeerah yang kebanyakan

berakhir rusuh,” kata Pdt. Yewangoe dihadapan puluhan

peserta.

Pdt. Karel Phil Erari, tampil dengan makalahnya yang

khusus berbicara tentang penderitaan rakyat Papua.

Menurutnya, perjuangan rakyat Papua yang terutama

adalah soal keadilan dan kesejahteraan. “Meski otonomi

khusus telah dijalankan sekitar empat tahun tidak pernah

terlaksana dengan baik. Oleh rakyat di sana tetap dalam

perjuangannya. Gereja-gereja di Papua juga mendukung

perjuangan rakyatnya. Diharapkan juga dukungan dari

gereja-gereja yang ada di Indonesia bagian timur ini,”

jelas Pdt. Erari. Semiloka ini kemudian merumuskan

beberapa pernyataan dan rekomendasi berikut.

Pendahuluan

Puji syukur kepada Tuhan atas berkat penyertaannya

sehingga Semiloka Gereja-gereja yang diwakili oleh

tokoh-tokoh gereja se-Indonesia Timur dapat terlaksana

dengan baik dengan menghasilkan beberapa kesepakatan

sebagai sikap bersama dan menjadi seruan bersama

kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.

Bahwa, pertemuan ini dilakukan dalam kondisi yang

sangat memprihatinkan, yakni di tengah-tengah

pergumulan bangsa Indonesia yang sedang dilanda

berbagai bencana, baik bencana alam seperti Tsunami,

bencana ekonomi seperti terpuruknya rupiah dan

naiknya harga-harga bahan bakar, bencana sosial lainnya

seperti wabah busung lapar, polio, dsb, juga bencana

kemanusiaan yang diakibatkan oleh tangan-tangan jahil

seperti aksi teror bom yang telah menewaskan ribuan

nyawa manusia, kerusuhan Maluku, Papua, Sampit,

Poso, dll. Dan yang paling mutakhir adalah penutupan

gereja-gereja yang menambah duka panjang penderitaan

umat Kristiani di Indonesia yang tidak kunjung usai.

Dan oleh karena itulah, maka penting sekali mengkaji

lagi beberapa hal penting terkait dengan komitmen rakyat

Indonesia dalam berbangsa dan bernegara. Masihkah

semangat kebersamaan, saling membantu, gotong-royong,

tanpa pandang agama, suku, dan ras yang ditunjukan

oleh para pendiri bangsa ini mampu membawa Indonesia

sebagai negara yang melindungi hak-hak dasar seperti

kebebasan beragama? Bukankah radikalisme agama telah

menyebabkan persinggungan horizontal agama-agama

yang telah mengarah kepada saling menyalahkan dan

saling meniadakan.

Barangkali ada yang tidak benar dengan cara bernegara

seperti yang sedang dipraktekan oleh bangsa ini. Seperti

tidak tuntasnya kita membahas model dan sistem

bernegara yang baik karena doktrin harga mati NKRI

yang dipropagandakan oleh pihak status quo membuat

Dari Semiloka Gereja-gereja se-Indonesia Bagian Timur dan 60 tahun NKRI di Kakaskasen Tomohon

Mendukung Perjuangan Rakyat Papua

& Kebebasan Beragama

Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005

FOKUS

Ngaasan- EDISI IV-Oktober 2005

darah manusia menjadi halal dibanding mencari cara/

model penyelenggaraan negara yang lebih demokratis,

humanis, pluralis untuk menempatkan nilai-nilai

kemanusian, keadilan dan kebenaran di atas segala

bentuk penyelenggaraan negara.

Faktanya, MoU Aceh yang menjunjung tinggi hak-

hak dasar dapat terwujud di Aceh, dan ini merupakan

sebuah prestasi demokrasi bagi rakyat Aceh, yang juga

selayaknya semangat demokrasi itu diberlakukan sama

di seluruh Indonesia, sehingga tidak menimbulkan

polemik tentang pemberlakuan khusus bagi daerah

tertentu saja. Dan ini telah menunjukkan bahwa

bangsa ini tidak memiliki persepsi yang sama tentang

demokrasi. Makna demokrasi masih diartikan sempit

dalam pengertian suara mayoritas saja. Ini karena

paham demokrasi kita yang keliru dengan menafikan

nilai-nilai humanis dan pluralis yang dikandung dalam

makna demokrasi itu sendiri. Kualitas demokrasi

Indonesia mestinya berlandaskan pada kesepahaman

hak-hak asasi manusia yang harus didistribusi secara

sama di hadapan hukum. Bukan dengan cara yang

diskriminatif seperti praktek berbangsa yang selama

ini terjadi.Padahal, hakekat nilai-nilai kemanusiaan yang

setara, tanpa pembedaan suku, ras, agama dan

golongan itu sendiri sudah menjadi kesepakatan

internasional dalam Deklarasi Universal Hak-hak

Asasi Manusia. Hasil telaah peradaban yang paling

tinggi, bahwa manusia itu adalah makluk yang sangat

mulia dan tidak ada alasan yang paling rasional apapun

untuk menisbihkan nilai-nilai yang melekat pada

dirinya itu. Sehingga, sungguh sangat penting bagi kita

Indonesia untuk segera meratifikasi dua konvenan

HAM internasional yang intinya adalah perlindungan

terhadap hak-hak dasar manusia yang sudah

semestinya diberikan negara Indonesia sebagai negara

hukum.

Atas dasar pemahaman nilai-nilai asasi itulah,

maka tokoh-tokoh gereja se Indonesia timur, dengan

segala kesadaran dan keterpanggilan untuk ikut

memberikan sumbangsih bagi penyelenggaraan negara

yang benar, maka kami memberikan beberapa

rekomendasi sebagai seruan bersama yang menjadi

landasan sikap dan bertindak kami, sebagai berikut:

Rekomendasi

1. Menolak penutupan/pembakaran

tempat- tempat ibadah, serta bentuk-bentuk

diskriminatif lainnya yang merugikan kehidupan

beragama di Indonesia;

2. Mendorong agar terwujudnya undang-

undang perlindungan hak-hak minoritas, atau

diratifikasinya kovenan-kovenan induk hak

asasi manusia (HAM), yakni kovenan

Internasional Hak-hak Sipil dan Politik serta

kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi,

Sosial dan Budaya (EKOSOB);

3. Mendesak pemerintah untuk mencabut

SKB 2 Menteri No.1/BER/MDN-MAG/1969,

karena tidak sesuai dengan perikemanusian dan

perikeadilan;

4. Meninjau ulang sistem dan struktur

negara Kesatuan yang sentralistik dengan

menawarkan Federalisme sebagai solusi bangsa

sebagai bentuk yang lebih demokratis.

5. Menyatakan solidaritas atas rakyat

Papua untuk mendapatkan hak kedaulatan (the

rights of self determination) rakyat Papua.

Demikian seruan bersama ini kami sampaikan

sebagai bentuk keprihatinan kami atas terpuruknya

berbagai dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara di

Republik Indonesia ini, untuk kemudian menjadi harapan

agar Pemerintah dan rakyat Indonesia secara tulus, jujur,

dan beradab mencari jalan keluar yang menempatkan

kepentingan rakyat di atas segala kepentingan kekuasaan.

Tuhan, senantiasa memberkati kita semua.

Shalom...

Tertanda,

Pimpinan gereja-gereja seIndonesia Timur:

Andreas Yewangoe, Bert A. Supit, Zakaria J Ngelow, Karel

Erari, Audy Wuisang, Bibel Tingabonte, Philep Morse Regar, Chritian

M. H. Abaa, Ambrosius Makasar, Eldon Matoneng, RH Kawel,

Eddy Buke, Yefta Bartho, Nyoman Suanda, Donal Tirukan, Risal

T, Pande Papea, J. Diang, AO Rumengan, Deni Tewu, Decky

Lolowang, Heman Awom, Jahja Patiro, AE Sinolungan, RAD

Siwu, Johan Manampiring, RJ Teleng, Ferdinand Okoseray, JL

Posumah, Lisje Sumampow, Clementie Oleng, Fetrisia Alling, Octo

Supit, L Lantang, Jan Sumakul, Max Ruindungan, Jootje Kawengian.

FOKUS

Misteri “Raibnya” Roh Minahasa di MinahasaOleh: REVKOTS

Peradaban Bebek, Manusia Kloning

& Mental Babu

DI zaman global dan universal, ketika para jagoan

dunia hanya diakui bertarung dalam kancah kapital

dengan roh-roh yang dipelihara, dibesarkan oleh

kecerdasan-kecerdikan, ketulusan dan kemanusiaan;

– ekspresi mutakhir yang diklaim sebagai esensi ke-

Minahasa-an justru diwujudkan pada kekuatan otot di

Sulawesi Utara. Seolah-olah. Lihatlah parade milisi-

milisi penuh bangga dan percaya diri merasuk nyaris

ke seluruh struktur dan fungsi kemasyarakatan.

Peristiwa ini, tentu saja meluncurkan pertanyaan logis:

Apa yang “mesti” terjadi pada tahap berikutnya? Perang

terbuka dengan kelompok yang memusuhi Minahasa?

Ataukah perang antar sesama Minahasa? Ataukah

dengan otot, Minahasa siap menindas subordinat-

subordinat kultural? Insiden ini, apakah sekadar

epigonisme laskar jihad atau FPI (militerisasi iman

dalam tahap sekular), atau milisi-kepentingan

(premanisme berseragam) buatan parpol, sesungguhnyacuma mencerminkan adanya schizofrenis sosial yang

mesti dibereskan oleh etika dan moral sosiologis,

kendati bermacam kepentingan telah membungkus

rapih misi-misi serta “kecantikan” semu yang dipajang

oleh setiap milisi di Indonesia.

Tanpa bermaksud mengkisruhkan etalase civil

society (baca: kekuasaan sipil) Minahasa, tulisan ini,

lebih ditujukan pada refleksi kultural yang telah amat

lama kehilangan orientasi – suatu peradaban gemilang

yang tinggal sejarah dari nisan-nisan waruga yang

senantiasa ragu atas eksistensi kemuliaan martabat –

bahkan ekspektasi “peran-paksa” para arwah dalam

tatanan modern masyarakat Minahasa oleh para

pewaris genetika yang masih tetap bangga namun ragu,

gamang, dan ketakutan menapak hari esok.

Ringkasnya, merefleksikan produk resmi sebuah

kecelakaan sejarah, malapetaka kebudayaan di

Minahasa.

Apa yang sesungguhnya terjadi ketika pemuda

Minahasa memandang “selamat” jika jadi PNS

(amtenaar) atau tentara? Apa yang terjadi ketika

monokultur pertanian (cengkih dan kelapa) begitu

mudah dimanfaatkan tangan-tangan “setan” untuk

mengendalikan Minahasa hanya dengan sedikit

modifikasi pasar? Apa yang terjadi tatkala pemuda lugu

di kampung, 20-30 tahun lalu merantau hingga

Amerika, tiba-tiba jadi pengusaha kondang kelas

nasional yang hanya bisa ditemui di koran-koran atau

televisi?

Dalam berbagai diskusi, dengan ketir akhirnya

disepakati atau didaulat, bahwa turunan Lumimuut di

tanah Minahasa mengalami krisis diskusi (berbeda tanpa

harus berperang). Berabad-abad lamanya diskursus dan

pembelajaran secara holistik mengacu pada

penyeragaman manusia. Instrumen dan sistem

kemasyarakatan (pendidikan, ekonomi, agama,

sosiologis, dll) dilandasi oleh semangat peradaban bebek

yang ujungnya melahirkan behavourisme (mental)

babu. Mesin-mesin kloning yang disebut pembangunan,

menduplikasi status dan manusia copi-an yang tak

punya roh. Karakter kolektivisme yang senantiasa

menciptakan “bos” sebagai pemberi nafkah. Suatu

sosiologi peran yang kehilangan corak manusiawi!!

Emmanuel Kant mengatakan, “Mereka terpukau

dengan kilau permata dan berusaha menguasai kilau

tersebut, bukan permatanya.”

Langit yang Terbatas & Life Skills

Barangkali, beberapa fakta di atas secara logis akan

mulai menguak selimut misteri kemiskinan Minahasa,

karakter gontok-gontokan (baku cungkel), manusia

kloning, mental babu, budaya bebek (monokultur),

militerisme sipil, dan sarjana bahkan master yang

kecerdasannya setara dengan lulusan SLTP yang cerdas,

Uniknya, kebanggaan genetika nenek moyang masih

membahana pada berbagai dimensi kepemudaan,

termasuk orang mabo dan dola orang. Kendati, jelas-

jelas rasionalisme Minahasa telah lama lenyap tak

berbekas dipatuk oleh ayam-ayam tak dikenal.

Tragisnya, era hilangnya rasionalitas sosial pada

masyarakat kritis, semestinya memasuki pergulatan dan

paradigma romantisme, tetapi Minahasa malah masuk

dalam kancah militerisasi ideologi, mengimitasi “kilau-

permata”, dan tak malu membangga-banggakan

sejarah. Hal ini menjelaskan satu-satunya fakta yang

enggan diakui dan dibicarakan yakni kefrustrasian sosial

yang tak teridentifikasi. Cakrawala yang kian hari kian

sempit adalah langit yang terbatas! Hanya ada satu jalan

membebaskan diri bagi individu-individu yaitu keluar

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

FOKUS

dari atmosfir itu, sebagaimana juga dilakukan orang-

orang Satal datang Manado walau hanya untuk jadi

tukang pikul, kacung, dan PRT.

Menjadi pertanyaan, mengapa bukan atmosfir itu

yang diubah? Mengapa langit Minahasa yang terbatas

itu tak didobrak dengan revolusi sosial? Mengapa

Minahasa tak mau mencambuk dirinya ketika arwah-

arwah Tonaas sejati menangis tersedu-sedan di Batu

Pinabetengan dan kuburan-kuburan yang “tak”

dimuliakan lagi melihat cucu-cucunya frustrasi,

kehilangan rasionalitas (akal sehat), menjadi babu dalam

sistem-sistem besar, dan memudar makna

kehidupannya serta mulai kehilangan sublimasi

martabat?

Baiklah, kita membuka doktrin paedagogik dengan

sudut pandang kecakapan hidup (life skills) untuk

mengukur malapetaka kebudayaan Minahasa (broad

based education). Apakah anak Minahasa memiliki

kecakapan pribadi? Kecakapan untuk mengenal diri

sendiri, kecakapan berfikir secara rasional, dan

kecakapan untuk tampil dengan kepercayaan diri yangmantap? Bagaimanakah sistem-sistem mengubah anak

Minahasa sehingga hanya memandang dirinya secara

massif dalam persoalan materi? Bagaimanakah saat-

saat dramatis rasionalitas dan critisism dihilangkan oleh

seniorisme militer, dogma iman agama (sekuler), serta

superioritas pemberi nafkah?

Apakah kecakapan sosial Minahasa? Bagaimanakah

kemampuan melakukan kerja sama, bertenggang rasa,

dan memiliki kepedulian serta tanggung jawab sosial

dalam kehidupan bermasyarakat? Bukankah dimensi

ini telah lama kabur oleh mental babu yang ujungnya

memudarkan nilai-nilai manusiawi Minahasa –

memandang dan menilai manusia Minahasa hanya

sekian kilo daging hidup yang tak bermakna, kecuali

beranak?

Bagaimanakah kecakapan akademik anak

Minahasa? Suatu kecakapan untuk merumuskan dan

memecahkan masalah yang dihadapi melalui proses

berfikir kritis, analitis dan sistematis? Adakah

kemampuan untuk melakukan penelitian dan

pengamatan, eksplorasi, inovasi dan kreasi melalui

pendekatan ilmiah. Adakah pula kemampuan untuk

memanfaatkan hasil-hasil teknologi untuk mendukung

kegiatannya? Justru ketika industrialisasi merajalela,

anak Minahasa telah dan masih saja berkutat pada

industri pabrik tela di zaman supra modern ini (L kan

pabrik juga?! Hehe 100x). Padahal pada saat bersamaan

hasil-hasil kekayaan bumi dan lautnya dipabrikkan di

Minahasa oleh investor yang disublimasi. Di Bitung

misalnya, puluhan pabrik ikan dibangun oleh orang-

orang asing dari berbagai negara. Di Minahasa, berbagai

perusahaan tambang asing berganti kulitnya

mengeksploitasi dan menangguk kekayaan emas

bertrilyun-trilyun rupiah bertahun-tahun, sementara

anak Minahasa hanya kebagian jadi tukang kepruk saja

yang dihonor seperti buruh lazimnya.

Bagaimanakah kecakapan vokasional yakni

kecakapan yang mencakup bidang ketrampilan profesional

tertentu dalam dunia usaha, industri, dan profesionalisme?

Pada taraf ini, etos kerja Minahasa harus kita selidiki dan

persoalkan. Mengapa dunia kedokteran Minahasa hanya

sampai pada tahap mengobati saja (simptomatik)? Tidak

mencari dan mencegah penyebab penyakit – mencari

vaksin demam berdarah misalnya? Apakah dunia

kedokteran telah begitu hebat sehingga dokter-dokter kitakehilangan percaya diri untuk mulai meneliti dan

mengembangkan diri dalam protesinya yang aktual

(dialektis) dengan persoalan praxis di depan matanya?

Mengapa para pengacara kita tak lagi jadi ahli hukum tapi

jadi ahli lobi dalam berbagai proses peradilan? Mengapa

insinyur-insinyur kita yang katanya cerdas cuma jadi ahli

manajemen keuangan ketika menangani proyek? Mengapa

peneliti-peneliti kita aktif hanya ketika anggaran “proyek”

turun dari negara? Mengapa dunia guru Minahasa

kehilangan roh voluntirisme cuma gara-gara birokratisme

dan krisis lapangan pekerjaan?

Tampaknya, tragedi raibnya roh Minahasa di Minahasa,

harus dielaborasi lanjut oleh setiap anak Minahasa. Harus

menjadi tugas suci, merupakan bagian dari menegakkan

harkat dan martabat Minahasa dalam kancah sosiologi

global. Kompleksitas persoalan ke-Minahasa-an tak

akan selesai dengan keluh kesah – mengambil posisi

bargaining dengan menggelarkan kekuatan otot yang

tersisa. Minahasa mesti memelihara roh-roh kecerdasan-

kecerdikan, ketulusan dan kemanusiaan sebagai

ekspresi mutakhir yang memang universal. Dunia global

adalah tantangan, bukan musuh yang mesti dihindari

dengan bersembunyi di ketiak Lumimuut. Amin.

*** revkots/120805***

dedicated to pemuda Adat Minahasa

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

FOKUS

Sambungan

SEMENTARA masyarakatnya terjebak dalam

kontroversi/dualisme. Kemudian menyusul kotanisasi/

kabupatenisasi seperti Tomohon, Minahasa Selatan dan

Minahasa Utara yang merupakan hasil penafsiran terhadap

UU No.22/99 cenderung merupakan kecemasan

sekelompok orang terhadap posisi/jabatan public yang

dijabat. Sejalan dengan itu identitas etnik yang relatif hancur

dipertaruhkan untuk kepentingan sesaat oknum tertentu.

Semua pertimbangan kritis berdasarkan pengalaman sejarah

diabaikan karena keyakinan yang mendalam terhadap

kemajuan melalui konsep pembangunan. Sementara rakyat

yang terjebak dalam kontroversi/dualisme dijadikan alat

untuk tujuan tersebut dan akhirnya dapat diprediksikan

kembali dijadikan obyek dari pembangunan yang dimaksud.

Krisis identitas dan kontroversi/dualisme sosial maupun

ekonomi dari masa kemasa terus berlangsung dan tentu

akhirnya adalah hilang/musnahnya etnik – etnik yang

tergabung dalam Minahasa. Saat itu Minahasa hanyalah

sebuah nama wilayah yang tidak berakar lagi dan didominasi

oleh imigran sementara pemiliknya termarjinalisasi dan

akhirnya lenyap berganti dengan identitas keturunan.

Ketakutan diatas sangat wajar apabila memperhatikan

situasi dan kondisi Minahasa dewasa ini. Berdasarkan

indicator diatas maka sudah saatnya dipikirkan solusi bagi

reintegrasi etnik – etnik dalam keMinahasaan. Persepakatan

Watu Pinawetengan dapat dikatakan sudah usang

menghadapi dinamika Minahasa karena gagal

mempertahankan identitas keMinahasaan pada peristiwa

Perang Moraya 1808 – 09 dan bahkan sesudahnya. Tanpa

mengurangi darah patriot yang telah tumpah dalam

perjalanan keMinahasaan, kini tiba saatnya untuk membuat

kesepakatan sosial baru untuk menyelamatkan dan

membawa etnik – etnik yang tergabung dalam Minahasa

pada keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan cita – cita

yang disampaikan leluhur pada persepakatan Watu

Pinawetengan.

Kita membutuhkan kesepakatan Watu Pinawetengan

II setelah melalui perjalanan yang jauh dan hampir – hampir

musnah ditelan masa. Eksistensi Minahasa diperhadapkan

pada dua hal yang harus disikapi yakni, larut dan pasrah

dalam kenyataan atau bangkit dan keluar dari kenyataan

itu. Belum terlambat untuk bersikap ketika globalisasi siap

Persatuan Etnik:

Minahasa Sebuah Model & Solusi (Selesai)

menerkam. Sedikitnya masih ada waktu untuk memprotek

wilayah Minahasa sekaligus mempersiapkan segala

sesuatunya.

Maukah Minahasa bersikap dan mempersiapkan segala

sesuatunya menghadapi globalisasi?

Mempersiapkan Kader Minahasa

Globalisasi yang tidak terbendung akan melibas

semuanya yang tidak siap untuk itu. Tou Minahasa yang

bermukim di Tanah Minahasa akan turut terlibas apabila

tidak mengantisipasinya. Salah satu kegiatan konkrit untuk

itu yakni, mempersiapkan kader Minahasa. Kegiatan ini

tidak bisa ditunda lagi karena laju ekspansi ekonomi sejajar

dengan ekspansi manusia terlihat pada sejumlah investasi

dalam skala besar yang dianggap sangat spekulatif telah

terjadi di Tanah Minahasa (berbagai property dibangun di

atas bidang tanah reklamasi sepanjang Boulevard Manado

menyusul pembangunan IHP di Bitung).

Persiapan kader Minahasa bermaksud memberi

pemahaman jatidiri dan membakar semangat

keMinahasaaan TouMinahasa untuk menggalang persatuan

menghadapi ancaman terhadap eksistensi Minahasa. Upaya

ini lebih tertuju pada salah satu bagian konsolidasi rakyat

untuk membangun pemahaman dan kesadaran politik.

Mengupas posisi dan status Minahasa dalam berbangsa dan

bernegara, memahami jatidiri dan potensi yang dimiliki

TouMinahasa.

Pemahaman dan kemampuan yang ada disebarluaskan

dan disesuaikan dengan kondisi setempat melalui rangkaian

diskusi wanua. Dari diskusi dimaksud terjaring kader

Minahasa yang paham dan siap untuk bertindak membela

dan membangun Minahasa secara parsial (wanua, pakasaan/

etnik) maupun keseluruhan (Minahasa/Nasional).

Tersedianya kader dimaksud dapat dianggap sebagai fase

awal menuju fase berikutnya yang lebih teknis lagi.

Kegiatan ini membutuhkan komitmen yang jelas dan

pasti dari semua pihak. Hal itu harus ditunjukkan terutama

oleh penyelenggara serta donaturnya yang dalam hal ini

TouMinahasa itu sendiri. Pertanyaannya adalah, bersediakah

setiap TouMinahasa yang memiliki kompetensi (para

cendekia dan penguasa) dan atau finansial (para pengusaha)

untuk turut peran secara nyata dalam usaha ini? Atau

Oleh Matulandi PL Supit

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

FOKUS

dilakukan dalam pengertian berinvestasi bagi masa depan

Tou dan Tanah Minahasa yang tidak lain bagi kehormatan

dan kejayaan anak cucu kita juga.

Merajut Potensi Ekonomi Minahasa

Modernisasi merambah sendi kehidupan TouMinahasa

pasca Perang Moraya merobah cara pandang yang

kolektifistik ke individualistik. Secara sistemik

mempengaruhi pranata ekonomi yang berujung pada

pengasingan tanah (menjual tanah kepada bukan kerabat).

Fenomena ini menunjukkan bahwa sebentar lagi

TouMinahasa akan punah dalam arti komunitas (terjemahan:

“gemeinschaft”) yang tidak memiliki lagi territorial secara

genuine. Pemahaman masyarakat

(terjemahan:”gesselschaft”) menjadi tepat pada bangunan

sosial yang individualistik. Dengan begitu Tanah Minahasa

menjadi inklusif / open access bagi siapa saja untuk

menguasai dan mengelolanya. Kondisi seperti itu

membutuhkan daya saing yang cukup untuk bertahan hidup

terutama dari ekspansi bukan TouMinahasa. Untuk itu

dibutuhkan daya tahan atas ancaman dimaksud melaluitindakan mempersatukan potensi Minahasa.

Proyek tersebut meliputi pemetaan sumberdaya

ekonomi termasuk didalamnya kesepakatan antar pelaku

ekonomi untuk menggiatkannya. Pemetaan dimaksud

misalnya, modal ditingkat Wanua yang tersebar pada

kelompok arisan (keluarga, kolom, profesi dan lain

sebagainya) dan pundi gereja/mesjid. Selanjutnya disepakati

untuk dikelola oleh suatu otoritas yang dibentuk secara

bersama ditingkat Wanua. Saat konsolidasi ditingkat Wanua

rampung dilanjutkan ditingkat Walak dan Pakasaan/etnik

dan akhirnya dibentuk otoritas pengelola ditingkat Minahasa.

Untuk maksud tersebut proyek ini dapat disebut sebagai

ekonomi berbasis komunitas karena dibangun berdasarkan

kesepakatan yang dimulai dari tingkat kelompok hingga

satuan pakasaan/etnik. Secara umum proyek ini

diasumsikan dapat mengurangi ketergantungan terhadap

kemurahan pemerintah pusat terhadap pembangunan

didaerah sekaligus membangun rasa memiliki dan percaya

diri terhadap potensi yang dimiliki. Minimal asumsi diatas

perlu untuk diuji lagi melalui berbagai eksperimen lapangan.

Untuk itu dibutuhkan semangat mensinergikan potensi dari

seluruh pihak terutama dimulai dari para pihak diWanua –

wanua. Pertanyaannya, bersediakah anda untuk memulai

kerjasama ini untuk membangun perekonomian Minahasa

yang mandiri dan berkelanjutan?

Membangun Ahlak Minahasa

Kegagalan rekayasa sosial melalui nation building dinegeri

ini berpangkal pada integralisme yang dianut oleh penguasa

pada dua rezim terdahulu (Soekarno dan Soeharto). Ambisi

penyeragaman yang diyakini dapat membawa rakyat

Indonesia pada kemakmuran ternyata berbuah kerusakan

ahlak manusia Indonesia. KKN dianggap wajar dalam

kehidupan bermasyarakat dan sejajar dengan itu kekuasaan

dan kekayaan menjadi tujuan utama setiap insan.

TouMinahasa sebagai salah satu bagian dari bangsa

Indonesia tidak terkecuali menjadi rusak. Kehormatan dan

kejujuran yang merupakan warisan leluhur berubah drastis

mengikuti trend nasional. Saling memangsa sesama

TouMinahasa terjadi setiap saat dan berproses

menghancurkan eksistensi Minahasa. Generasi dan anak –

anak kita juga telah terimbas dengan dekadensi ahlak

tersebut sehingga menjadi tidak mungkin untuk

membangun kembali ahlak karena semuanya telah

terinfeksi.

Yang pasti kita membutuhkan generasi yang memilikikehormatan dan kejujuran untuk mempertahankan

Minahasa, tetapi bagaimana mempersiapkannya?

Proyek Pendidikan Ahlak Minahasa menjadi penting

untuk dimulai dari tingkat pendidikan dasar hingga

pendidikan menengah. Hal ini ditempuh melalui jalur

pendidikan formal tetapi pendidikan ditengah keluarga yang

menentukan pembentukan ahlak dimaksud. Untuk itu

proyek kaderisasi TouMinahasa menjadi salah satu kegiatan

yang menunjang penetrasi perbaikan ahlak ditengah

keluarga. Selain itu peran agama penting untuk membimbing

pembentukan ahlak dengan catatan aparatusnya tidak

terinfeksi dengan kekuasaan dan kekayaan.

Setidaknya empat langkah konkrit yang diterjemahkan

dalam proyek Persatuan Minahasa atau Kontrak Sosial

Minahasa , Pengkaderan TouMinahasa, Sinergi Potensi

Ekonomi Minahasa dan Pembangunan Ahlak Minahasa

diasumsikan dapat menjawab permasalahan keMinahasaan

dewasa ini. Lebih dan kurangnya berpulang pada kita semua

untuk mengisi dan melindungi Minahasa sekarang sampai

selama – lamanya. Semoga tawaran di atas dapat menjadi

pemicu untuk disempurnakan atau bahkan digugurkan

karena tidak relevan dan layak untuk dilaksanakan. Kami

menunggu sumbangsih anda dalam berbagai bentuk guna

terlaksananya proyek membangun Minahasa yang

bertanggungjawab dan berkelanjutan.-Tabea

Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005

SIKAP

BOM meledak, lagi-lagi di Bali. Bulan

kejadiannya pun sama, cuma berbeda tanggal dan

tahun. Pertama, atau Bali Blast I terjadi 12 Oktober

2002, tepatnya di Legian. Bali Blast II terjadi 1

Oktober 2005 di Raja’s Bar (Kuta Town Square)

dan Menenge Cafe serta Nyoman Cafe (Pantai

Jimbaran). Meski jumlah berbeda, tapi tetap menelan

korban jiwa. Sama-sama sebuah pembunuhan yang

keji.

Karena itu keji, sehingga harus dikutuk. Kutukan

dan makian terdengar di mana-mana. Ramai orang

mengaitkan peristiwa berdarah itu dengan gerakan

radikalisme Islam. Bisa jadi, tapi perlu diklarifikasi,

Islam, menurut para pemikirnya yang moderat dan

benar-benar paham tentang Islam, agama ini tidak

pernah merestui tindakan yang sebrutal itu, meski

para pelakunya berdalih mereka sedang menjalankan

syariat agama. Jadi kalau Bali Blast II adalah lanjutan

dari Bali Blast I, Merriot dan Kuningan, maka otak

dan pelakunya adalah kelompok Islam, bukan Islam

dalam pengertian sebagai sebuah sistem kepercayaan

kepada Allah yang Maha Pengasih itu.

Otak dan pelaku pemboman bisa saja mengaku

beragama dan melakukan tindakan itu atas nama

agama, tapi sudah bisa dipastikan bahwa mereka

tidak beriman. Ini mirip seperti apa yang disebut oleh

Ulil Abshar-Abdalla dalam bukunya Membakar Rumah

Tuhan (2000) ketika dia berbicara soal pembakaran

gereja yang marak terjadi sepanjang tahun 1997 dan

1997. Menurutnya, pembakaran gereja adalah

“manifestasi agama”, bukan “manifestasi iman”.

Sebab, menurut Ulil, iman adalah suatu komitmen

pribadi yang mendasari suatu keberagamaan, sebagai

“tindakan privat.”

Bahkan, ini juga tidak bisa disebut akibat dari

fanatisme beragama. Pastor Albertus Sujoko, MSC,

dosen di STF Seminari Pineleng, ketika tampil

sebagai pembicara pada Studi Agama-agama

kerjasama Institut Dian/Interfidei Yogyakarta,

Fakultas Teologi UKI Tomohon dan STAIN Manado

pada awal September lalu di Tomohon memaknai

secara lain konsep fanatisme beragama itu.

Menurutnya, fanatisme adalah sikap batin dan

keyakinan yang teguh tidak tergoyahkan tentang

kebenaran isi iman yang dianut oleh seseorang.

Fanatik dalam iman, menurutnya berarti orangnya

bersemangat tinggi, konsekuen, tidak kenal

kompromi dalam menjalankan ajaran agamanya.

Maksudnya, jika kemudian ada orang mengaku

beragama tapi dalam tindakannya menghalalkan

kekerasan dan lain sebagainya yang membikin orang

lain sengsara, maka orang tersebut tidak teguh dalam

menjalankan segala ajaran agamanya. Tidak benar-

benar beragama. Karena, agama apapun, dalam

sistem kepercayaannya, dan orang yang meyakininya

disebut beriman, tidak pernah setuju (meski dalam

kitab suci masing-masing agama ada teks-teks yang

kalau hanya ditafsir secara literel memang

memerintahkan kekerasan) dengan tindakan-

tindakan yang menghalalkan segala cara untuk

mencapai tujuan kelompok.

Agar kita tidak bingung, begini penjelasannya:

Agama adalah sebagai sistem kepercayaan juga

sebagai institusi. Agama sebagai sistem kepercayaan

(kepada yang transedental tentunya) berisi tentang

segala ajaran, didikan dan kebijaksanaan untuk

membebaskan manusia dari ketidaktahuan,

kebodohan, ketertindasan dan keterpinggiran.

Sumber inspirasinya adalah kitab suci dan tradisi.

Sementara agama sebagai institusi telah melembaga,

lengkap dengan strukturnya yang barangkali hirarkis

yang kemudian konvesional. Perlu diingat, agama

sebagai institusi itu pertama-tama tidak hanya dalam

pengertian munculnya agama Islam, Kristen, Hindu,

Budha, Konghucu, dan lain-lain, melainkan agama

yang dalam aktivitas rohani, sosial dan politiknya

telah ada di bawah kontrol atau pengawasan suatu

aturan main untuk tidak menyimpang dari apa yang

telah disepakati bersama. Misalnya dalam Kristen

telah ada lembaga-lembaga atau kelompok-

kelompok yang meski tetap mengaku sebagai Kristen,

tapi telah mempunyai aturan main juga doktrinnya

sendiri yang saling berbeda. Kalau saya tidak salah

ini yang dimaksud oleh Ulil sebagai beragama secara

privat dan beragama secara publik.

Bom, Musuh Semua Agama

Oleh: Denni Pinontoan

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

SIKAP

Dalam keadaan itulah sehingga kemudian dalam

satu agamapun bisa muncul beragam pendapat atau

sikap yang didapat dari sebuah interpretasi berbeda

terhadap kitab suci dan tradisi yang sama. Di Kristen

misalnya, antara yang evangelikal dan ekumenikal

berbeda pendapat soal konsep misi. Kaum

evangelikal berpemahaman, bermisi adalah konversi,

pertobatan (dibaptis kemudian masuk agama

Kristen), lebih ke soal kuantitas. Sementara bagi

kaum ekumenikal bermisi adalah untuk

menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah yang

bermakna membebaskan segala makhluk ciptaan dari

bermacam-macam belenggu penderitaan, lebih ke

soal kualitas. Namun mereka membaca satu kitab

yang sama. Atau, dalam Islam sendiri, kelompok

Islam yang fundamentalis dan radikal memahami

jihad sebagai berperang (dengan perjuangan fisik,

misalnya pemboman) di jalan Tuhan untuk melawan

kekafiran (orang, kelompok atau bangsa yang

dituduh kafir). Sementara menurut kelompok Islam

yang moderat ber-jihad adalah berperang (ataumelakukan aktivitas-aktivitas kemanusiaan)

melawan hawa nafsu pribadi dan kelompok

masyarakat yang menyebabkan penderitaan. Tapi,

dua kelompok Islam itu mengaku membacanya dari

satu ayat yang sama.

Sehingga sekali lagi, meski kemudian pemboman

di Bali dan lain-lain itu dilakukan oleh orang-orang

yang mengaku beragama Islam bahkan berdalih

berjuang demi tegaknya syariat Islam, tapi adalah

tidak bijaksana bila kemudian kita sebut itu sebagai

gerakan sistematis dari agama Islam. Barangkali yang

lebih tepat adalah dengan menyebutnya sebagai

gerakan dari sebuah kelompok Islam (sekelompok

orang yang menafsir Islam menurut caranya sendiri

– umum disebut kelompok gerakan radikal Islam).

Bom bunuh diri adalah modus operandi yang

lazim dilakukan kelompok ini. Para “pengantin”,

sebutan untuk pelaku bom bunuh diri, menurut

beberapa referensi, biasanya mempunyai latar

belakang keagamaan yang “kuat”. Lazimnya, mereka

terlebih dahulu melalui proses rekrutmen dan

indoktrinasi. Doktrin-doktrin agama yang dihasilkan

dari penafsiran kitab suci yang literal, dijadikan

semacam spirit atau kekuatan jiwa untuk meledakan

bom di tempat-tempat umum dengan merelakan

tubuhnya ikut tercerai-berai bersama pecahan bom.

Mereka telah diindoktrinasi bahwa mati bersama bom

adalah untuk ibadah melawan kekafiran dan

pahalanya besar di sorga. Ledakan bom, adalah upaya

teror. Jumlah dan siapa yang korban adalah penting

untuk tujuan teror. Agar ketakutan terjadi di mana-

mana. Negara kacau. Dunia internasional, lebih

khusus bangsa Barat (sehingga kebanyakan yang

menjadi korban dalam ledakan-ledakan bom itu

adalah warga asing) bereaksi keras. Teori yang lazim

untuk menerangkan gerakan ini adalah sebagai upaya

untuk melawan hegemoni bangsa Barat.

Tapi ada juga yang berpendapat bahwa kerusuhan

ataupun pemboman yang terjadi di Indonesia tidak

ada sangkut pautnya dengan agama. Alasannya bahwa

agama hanya dijadikan alat untuk mencapai tujuan

kepentingan politik. Tapi pertanyaan kita, kenapa

yang disebut-sebut sebagai pelaku atau yang saling

berhadap-hadapan adalah orang-orang yang

mempunyai latar belakang keagamaan denganmengikutsertakan simbol-simbol agama? Saya pikir

teori tentang agama sebagai sistem kepercayaan dan

institusi tadi sedikit banyak bisa menjawab

pertanyaan itu.

Maksudnya, kekerasan atas nama agama terjadi

ketika agama sebagai sistem kepercayaan yang berisi

segala kebaikan itu dilembagakan dan

dikonvesionalkan sehingga kemudian menjadi

mutlak harus diperjuangkan sedemikian rupa demi

tegaknya simbol-simbol yang disebut-sebut oleh

kitab suci dan tradisi itu. Agama dalam pengertian

sebagai institusi (religion)-lah yang memang benar

terlibat dalam persoalan itu, bukan agama sebagai

“religiosity”, iman.

Kita semua tahu, bahwa bom tidak beragama,

sehingga mestinya dia adalah musuh semua agama.

Bom juga tidak beriman, sehingga hanya orang tidak

berimanlah yang sengaja meledakannya untuk suatu

pembinasaan. Nanti, hanya ada dua tempat di

seberang sana, surga dan neraka. Di surga menurut

cerita agama, ada kedamaian dan ketenangan. Tapi

di neraka ada apinya yang sangat, sangat panas. Di

sanalah tempat yang cocok bagi para pembom untuk

melanjutkan ritualnya itu.***

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

AKSI

Lebih kurang 15 Tahun silam petani,

pengelola minyak kelapa dan konsumen di Minahasa,

tiba-tiba dikejutkan oleh berita tentang minyak kelapa olahan mereka atau

home industry mengandung lemak yang dapat membahayakan kesehatan konsumen,

inpact dari berita itu kemudian sangat berpengaruh langsung bagi masyarakat luas,

alhasil minyak kelapa yang laris dipasaran adalah produk BIMOLI

DR. BRUCE FIFE, yang dijuluki doktor coconut asal Colorado

AS merupakan pioner dalam riset tentang khasiat minyak kepala. Bruce

yang adalah ahli naturopati. menyatakan tidak benar minyak kelapa penyebab

kolesterol tinggi dan penyakit jantung, Hasil studi pada masyarakat di kepulauan

Pasifik yang sehari-hari mengkonsumsi minyak kelapa sebagai diet utama

menunjukan , penduduk di sana justru memiliki tingkat kesehatan lebih

baik.

Pelindung JantungUsut punya usut, rahasia kesehatan penduduk Pulau Pukapuka dan

Pulau Tokelau justru terletak pada konsumsi lemak dari minyak kelapa.

Kenyataan itu didukung oleh hasil penelitan ilmiah. Minyak kelapa

mengandung asam lemak jenuh rantai sedang (medium-chaid fatty

acids), mencapai 92 %, langsung dirubah menjadi ENERGI bukan

lemak! Jadi dengan mengonsumsi kelapa termasuk minyak dan santan

tidak menyebabkan masalah kegemukan, pun peningkatan kolesterol

jahat (LDL), Sebaliknya minyak kelapa mendorong peningkatan kolesterol

baik (HDL) yang berperan sebagai pelindung jantung.

Tahun 1960-an Prof. Dr. John Kabara dari Dept. of Chemistry

and Phatology, Michigan State University, menemukan asam laurat pada

minyak kelapa, yang terbukti mempu membunuh berbagai jenis mikroba

yang membram selnya berupa asam lemak, seperti influensa, hingga

hepatitis dan HIV-AIDS. Seorang pasien Dr. John penderita penyakit

lever selama bertahun-tahun SEMBUH setelah mengkonsumsi minyak

kelapa selama enam bulan Juga penelitian terbaru pun menunjukan

minyak kelapa efektif menekan laju pertumbuhan sel kanker

Wajar, bila Food and Assocition di Amerika Serikat menyebutkan

minyak kelapa sebagai minyak tersehat dan teraman di dunia. Ketakutan

akan dampak pemanasan dapat diredam dengan ditemukannya metode

pembuatan minyak tanpa pemanasan: metode pemancingan, enzim

dan teknik sentrifugal; hasilnya Virgin Coconut Oil (VCO), namun

demikian pada proses pemanasan mungkin ada beberapa vitamin yang

hilang, jadi pembuatan minyak kelapa secara tradisional sejak dahulu di

Minahasa bukan saja memberi manfaat ekonomis bagi keluaraga, juga

bagi kesehatan , mari kembali mengkonsumsi minyak

kelapa.(jemmylumintang)

Tak Benar Minya Kelapa Penyebab Kolestrol

RENCANA PT. Miares Soputan Mining (PT. MSM) untuk

membuang limbah B3 ke Pantai Rinondoran mendapat penolakan

dari sejumlah warga Kecamatan Likupang Timur yang

menggantungkan nasibnya di pantai itu. Jull Takaliuang dan Frets

Pieters aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Suara Nurani (YSN)

Tomohon pada 27 September lalu telah bertemu dengan warga

untuk menfasilitasi gerakan penolakan terhadap rencana PT. MSM

tersebut. Menurut kedua aktivis tersebut, rencananya, pada 11

Oktober 2005 di Hotel Paradise Likupang juga akan dilaksanakan

pertemuan besar untuk mensosialisasikan dan sharing bersama

tentang apa sebenarnya STD itu.

Dalam pertemuan yang dihadiri sejumlah perwakilan dari desa-

desa yang ada di sekitar pantai itu terungkap kesepakatan untuk

menolak rencana PT. MSM yang dinilai mengancam mata

pencaharian mereka. David Katang salah satu warga yang hadir

dalam pertemuan tersebut menyatakan, sebaiknya dibentuk sebuah

wadah masyarakat sebagai alat kekuatan bersama rakyat untuk

menolak rencana PT. MSM tersebut. “Ini dimaksudkan agar kita

mudah untuk saling berkoordinasi melawan dan menolak

pertambangan di Minahasa Utara, sekaligus sebagai wadah untuk

mewakili aspirasi rakyat,” ungkapnya.

Bahkan dia mengusulkan agar YSN menghadirkan warga

Buyat Pante yang kini bermukiman di Desa Duminanga Bolaang

Mongondow. “Dengan hadirnya warga Buyat Pante yang telah

menjadi korban PT. Newmont Minahasa Raya itu maka kami

akan mendapat pelajaran tentang bahaya limbah akibat

penambangan,” katanya mengusulkan.

Manus, salah satu warga juga menyatakan penolakannya. Dia

meminta agar pemerintah memberikan sikap dan tanggapannya

terhadap rencana pembuangan limbah tersebut. “Pemerintah

mestinya jangan tinggal diam karena sudah banyak contoh yang

bisa kita lihat akibat dari pembuangan limbah di laut,” katanya.

Desa-desa yang terancam nasibnya dengan rencana PT. MSM

itu adalah Desa Rinondoran, Desa Batu Putih Atas, Desa Kalinaun,

Desa Wineru, Desa Batu Putih Bawah, Desa Maen, Desa Lihunu,

Desa Pulisan, Desa Marinsow dan Winuri.

Pertemuan tersebut akhirnya menyepakati terbentuknya sebuah

wadah koordinasi untuk gerakan penolakan yang bernama Aliansi

Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMALTA). Wadah ini

bertujuan untuk mengkoordinasi dan menggalang aspirasi warga

dalam usaha penolakan juga sebagai alat untuk perjuangan bersama.

Terpilih sebagai Koordinator Umum AMALTA Hitsel

Kasamu, Wakil Koordinator Tajudin Hema, Bendahara Gotman

Makausi, Sekertaris Dina Sasawuhe, dan Wakil Sekretaris Jefta

Kabahi. Sementara yang menjadi Koordinator Lapangan untuk

Desa Rondor Moses, Desa Batu Putih Atas David Katang, Desa

Wineru Alexander Agung, Desa Kalinaun Hard Tinungki, Desa

Maen Roy Pitoy dan Desa Lihunu Z. Alia.***

Ngaasan-EDISI III-SEPTEMBER 2005

Warga Likupang Timur:

Tolak Rencana PT. MSM Membuang Limbah di Pantai Rinondoran

Ngaasan EDISI III-SEPTEMBER 2005

Kolom Perpustakaan Minahasa, AZR Wenas

FOKUS

PENDAHULUAN

Sistem pendidikan di Minahasa sebelum mengenal instansi

pendidikan seperti sekarang ini baik yang dimulaikan dari Taman

Kanak-kanak sampai ke Perguruan Tinggi, masyarakat Minahasa

memang telah mengenal 3 ( tiga) tahapan sebelum seseorang atau

lebih dari satu orang mengambil keputusan pribadi atau lebih dari

satu pribadi untuk hidup secara mandiri.

I. P a t u r u a n (asal kaata : t u r u ) yang artinya “menunjukkan,”

“membimbing,” “mendampingi” seseorang sebelum melakukan

sesuatu pekerjaan, yang maksudnya ada yang menunjukkan, ada

yang membimbing, ada yang mendampingi. Sehingga ketika terjadi

kekeliruan, kekurangan atau kesalahan, langsung diberitahukan

untuk diperbaiki atau diulangi. Di sini peran pembimbing,

pendamping sangat menentukan berhasilnya seseorang yang

dibimbing atau didampingi. Biasanya peran ini ada pada orang tua

baik mama ataupun papa.

II. Pawowasan (asal kata : wowas) yang artinya “sudah mulai

dilatih.” Peran pembimbing atau pendamping di sini tinggal

memperhatikannya. Jikalau yang sementara dilatih ini datang kepada

pembimbing sebelum dia melakukan pekerjaannya, maka spontan

si pembimbing mengatakan, belum dikerjakan sudah datang

bertanya, lakukan dulu pekerjaan yang mau dikerjakan, baru kita

bicara.

III. Tumampas ( asal kata : Tampas ) artinya dalam bahasa

malayu Manado, “basandiri jo,” “beking malo”, “so kaweng masih

tinggal deng orang tua.”

Pada tahapan ketiga inilah pengumpulan buku-buku, naskah-

naskah, ceritera-ceritera tentang perkawinan di Minahasa, di buka!

Pesta Perkawinan

Menghadiri sebuah pesta perkawinan pada sekarang ini artinya

sesudah ibadah pemberkatan nikah di gereja kepada kita disuguhkan

rangkaian prosesi yang kadang-kadang mewah apalagi jikalau

dilakukan di hotel atau restoran atau nampak sederhana tetapi

mempesona meskipun pelaksanaannya dilakukan di “sabuah”

dengan dekorasi daun-daunan dan bunga-bunga segar. Memang

banyak hal yang nampak sama antara lain, pakaian pengantin yang

diambil dari budaya Barat, ada anak-anak yang membawa keranjang

yang berisi guntingan kertas warna-warni untuk “ambor bunga”,

ada para muda mudi berpasang-pasangan yang disapa pagar ayu

dan pagar bagus(?), ada kue – pengantin, ada pidato-pidato dan

sudah tentu ada makan minum sebagai puncak ramah tamah pesta

pernikahan.

Kata orang, beginilah perkawinan di tanah Minahasa, orang

Minahasa berpakaian Eropah, berpesta ria.

Tidak heran kata-kata dalam bahasa Minahasa yang berceritera

tentang perkawinan di Minahasa, antara lain : waluk, lumales , lumema,

tumantu , kumewit, mewa tarendem, Sumaru tarendem, maso minta, antaran,

mehe aroro, mehe roko, dll, dianggap memperlambat rencana dua orang

insan yang so baku sayang untuk segera kaweng atau menikah.

Pada hal keindahan, keanggunan apalagi adat dan budaya

perkawinan masyarakat Minahasa yang sangat sarat dengan nilai-

nilai luhur yang didalamnya terkemas secara rapih, saling mencintai,

saling menghormati, saling menerima, yang bukan saja antara dua

orang yang sudah menikah tetapi juga antar orang tua kedua belah

pihak termasuk famili.

Oleh sebab itu untuk menata sebuah perkawinan di Minahasa,

memerlukan begitu banyak pihak baik di lingkungan keluarga pihak

laki-laki dan pihak perempuan maupun meminta bantuan dari

mereka yang mengerti urusan-urusan perkawinan.

Dalam buku dari E.V.ADAM berjudul KESUSASTERAAN

KEBUDAYAAN dan TJERITERA-TJERITERA

PENINGGALAN MINAHASA pada halaman 14 menulis:

Lazim pada zaman itu, bahwa apabila ada perkawinan, maka

keluarga dari mempelai-mempelai membantu keluarga yang akan

membuat peralatan perkawinan.. Juga pun menjadi adab bahwa

bukan saja keluarga mempelai yang membantu dan menunjang,

tetapi seisi negeri datang menolong, masing-masing membawa bahan-

bahan seperti: ayam, telur, beras, dll.

Sekarang bagaimana dengan suasana pesta. Dalam buku yang

sama pada halaman 15, bahwa sementara makan minum, tamuntouan

memberikan nasehat dan petunjuk tentangan

peternakan.Runtuwarouw memberi nasehat tentangan pekerjaan

memhambur padi. Runtunuman (Ratunuman) memberi petunjuk

tentangan penyelenggaraan perkebunan. Kairupan memberikan

pelajaran menangkap ikan dengan pancing. Tambuwun memberikan

pelajaran membuat belati. Tumalun tentang perburuan di hutan

Tombarian memberi pelajaran membuat pakaian. Maulang

tentangan memintal benang dari kulit kayu. Porong memberi pelajaran

membuat cepiau. Walean tentang mendirikan rumah dan Tambaran

memberikan nasehat tentangan membuat dinding.

Dan sekarang ini, Jessy Wenas dengan Yayasan Kebudayaan

Minahasa telah memulaikan sejak tahun 1986 PAGELARAN

UPACARA PERKAWINAN ADAT MINAHASA.

Siapa menyusul? Atau apakah ada usul kongkrit ?

Perkawinan di MinahasaOleh : Jootje Kawengian

Ngaasan Edisi IV-Oktober 2005

AITONDEI ing kukua e mangaapo’, sapakìm

ìsa ìsa a se anak i Lumimu’ut wo si To’ar ja

makangaran Marìndor; sia ningaranan Marìndor, am

pa’pa siaairu’du’ I Inang wo si Amangamico mìbale

am paantangan i ìndo. A micoko ambi’itu sia, ya si

masale’em tumana kumaapa tumowa’ ìsa pìnana’an;

ngaran I wewenetinowa’na: Lincabene’.

An darìm im pamaleaneila in dua ya seila

nimakaere pira-pira anak, si ìsa makangaran

Soputan, si ìsa makangaran Muntu-untu, wo pirw-

pirw m balina. Makawangko’om-a’I si Soputan akad

in doro’nam n tumane, ya numuwu’um si marìndor

wo si Lincambene’ a si Soputan, kuaeila: ,,E

soputan, karìngana ko ya tumanem, kumaapa

tumowa’am ìsa wewene mamuali pìnana’anu, ta’an

da’ica si sei n towa’anu, karìngan mokokì-mai si

ìsamangala’un, anak I Karende wo si Kìmbu-

ambene’ mì’bale a moko an du’u in tana’ a mongena,

ì ngaran I mangala’un, itu sawumbene’.” Si nuwu’un

itu ya sinepa I Soputan karapi in ata sama’ wo rondor,

wo sia numuwu’, kuana: Sama’ e Inang wo

Amangku.”

An somoi-a;i itu ya maya’am seila I mì’amang wo

mì’inang kara-karapi e pira-pira tow maali-ali in

irang. Icatìka’ tu’umoko seila im baya, ya si Marìndor

numuwu’ a si Karende, kuana: ,,E kaloku, sapakìm

ìm bawaya’-mai in tarepe’ iasa an dior e kolu in

ambalesa y ì a ma’i mangila’ sa wo’o ro’na

icasale’miow si aneka’i makangaran Soputan muei

si anakiow makangaran Sawumbene’ mamuali

pìnana’ana.” Sumowat si Karende, kuana: Sama’

nimakasama-sama’, ta’am bueiìnoka a si Sawumbene’

sa sia masale’ kaapa raica’. Awoya wueiìnìm tu’u i

Karende si Saumbene’, kuana : ,,E Sawumbene’,

masale’, ko towa’an I soputan mamuali pìnana’ana?”

Somowat si Sawumbene’, kuana: ,,Sama’, e

Amangku Sapakìm aku ya masale’ towa’an wo

mamuali pìnana’an I Soputan.” Ilampatìm I karende

a si marìndor, kuana: ,,Sapakìm si sawumbene’ ya

masale’ mamuali pìnana’an I Soputan.” Siituke’ ì

nilinya. I Marendor, ya sia tumurukìm in iirang, wo

karapi I mìpìle’I seila in dua ngatowan kumi’it ing

kanaramìn e tontumuwu’ ì ma’tane se anakeila.

Awoya I nimakuwu-kawusìm ìm pìpìli’ineila, ya

towa’anìm I Soputan si Sawumbene’ wo maya’ kara-

karapi I Inange wo si Amanga micom am baleeila.

Yanta’an mìmaya-maya’oka seila, ya icatìka’-mange

a si ìsa kuntun darangka’an. Ambi’ituoka seila, ya

numuwu’ si Marìndor a si Soputan, kuana: ,,E

Soputan, karìngana kamo in ambalesa ya mìnto’ wo

mìbale am puruk I kuntung iasa.” Ngarananìm I

marìndor si kuntung itu, ,,Soputan “, aitondei I ngran

I Soputan. Ang wo si Marìndor tuma’ar a si Soputan,

kuana: ,, E Soputn, Karìngana ko e mangere-mange

tawoien,wo itu komo ya ra’ica ma’ki’i-ki’it im bìlìn

ase rìnga-rìnganiow.” Awoya maya’am tu’u si

Marìndorwo si Lincambene, itìlì’uìm-io’ eila ambi’itu

se Soputan in Ambalesa.

MAKATANA

(Diambil Dari Tontemboansche Teksten Karya: J. ALB. T. Schwarz hal 219)

Kukua an Doro’ I Soputan,Sinisil I Wunuwus Mondow, Walian an Talikurang, Tompaso’

PALAKAT

Yayasan Suara Nurani, bekerja sama dengan Majelis Adat

Minahasa, Persatuan Minahasa, dan ICRES, bakal

menggelar pelatihan kader budaya Minahasa yang sedianya

dilakukan pada pertengahan bulan oktober.

Peserta yang akan hadir diharapkan berjumlah 30 or-

ang dari sub etnis-sub etnis yang ada di Minahasa.

Karena itu, kami mengarapkan kepada saudara yang

ingin mengikuti pelatihan kader dapat menghubungi

saudara Matulandi Supit, Sekjen MAM, di sekretariat

MAM, Kakaskasen III Tomohon.

Pelatihan ini akan berlangsung selama tiga hari, dengan

menghadirkan narasumber dan fasilitator yang berkompeten

dibidangnya. Pelatihan kader ini gratis dan akan

mendapatkan sertifikat budaya serta diharapkan menjadi

bagian dari perjuangan kultural Tou Minahasa.

Mari kita wujudkan Minahasa yang berbudaya dan

berdaya saing demi masa depan yang gemilang. Makapulu

Sama.

FEATURE

MALAM mulai larut. Cahaya lampu rumah

yang sedikit redup karena voltage generator PLN

yang lemah, tak mengurungkan niat sejumlah warga

desa Lihunu Kecamatan Likupang Timur Minahasa

Utara duduk berkelompok. Sepintas tampak mereka

sedang bercakap dan mendiskusikan sesuatu.

Barangkali tentang nasib hidupnya yang

memprihatinkan. Setelah dilihat dari jarak dekat,

ternyata perkiraan kita meleset. Kelompok warga

yang terdiri dari anak-anak, pemuda, orang tua

bahkan oma dan opa itu ternyata sedang antri untuk

menimbah air dari pipa intalasi air desa.

Tak peduli dengan berbagai binatang malam dan

nyamuk yang beterbangan dan mengiang-ngiang di

sekitar telinga mereka. Mereka semakin asyik

menikmati ramainya berkumpul bersama di malam

yang seharusnya menjadi jam istirahat dan tidur bagi

mereka, karena besoknya juga mereka harus

berkelahi dengan waktu untuk kerja mencari nafkah

di kebun dan di laut. Nampaknya masyarakat Lihunu

tidak hanya kesulitan BMM tetapi mereka juga

kesulitan untuk mendapatkan air minum dan masak,

sehingga harus memiliki tenaga dan stamina ekstra

untuk bergadang di malam hari menunggu rembesan

dan tetesan air yang mengalir dari pipa intalasi air

desa. Mereka tidak hanya berkelahi dengan waktu

di siang hari tetapi juga dengan gelap dan dingin

malam. Apa boleh buat, air bersih langkah di desa

itu.

Di balik kenikmatan berkumpul bersama

ternyata ada duka dan penderitaan yang sementara

dan sedang mereka rasakan dan alami saat itu.

Dengan berharap-harap cemas mereka menunggu air

menetes sedikit demi sedikit di berbagai wadah itu.

Memperihatinkan air yang mereka tunggu-tunggu

itu, tetesannya hanya sebesar pangkal sapu lidi.

Barangkali kalau dihitung jumlah debit air yang

menetes kira-kira 1 liter/menit. Ini adalah jumlah

debit air yang sangat kurang dari yang dilihat selama

ini.

Sesekali terdengar sungutan dari ibu-ibu.”Kalo

kwa tu utang diatas gunung tu orang –orang biadab itu

nyanda pancuri deng potong abis torang stou nyanda mo

siksa jaga aer bagini” (Kalau saja hutan diatas gunung

tidak dibabat oleh orang-orang yang tidak

bertanggung jawab mungkin kita tidak semenderita

ini untuk menunggu) gerutu sejumlah perempuan.

Sebagai sumber kehidupan air memegang

peranan yang vital dalam menyokong kehidupan

makluk hidup. Untuk minum, masak, cuci, mandi,

dan lain sebagainya. Manusia, hewan dan tumbuhan

tidak akan bisa survive kalau tidak disegarkan dengan

air. Apapun alasannya air adalah hidup, manusia

misalnya 75 % tubuhnya terdiri dari air dan sisanya

adalah oksigen dan nitrogen. Karena sumber-sumber

air perlu mendapat perhatian khusus dari pihak pihak

terkait dan bahkan pihak penegak hukum.

Malapetaka yang dialami oleh masyarakat desa

Lihunu ini sebenarnya berawal dari merosotnya hutan

di atas gunung Lihunu yang dibabat oleh para pelaku

illegal logging (penebangan liar) yang penanganannya

kurang diperhatikan oleh aparat penegak hukum.

Malahan niat baik dari pemerintah dan masyarakat

desa Lihunu untuk mencegah para pelaku illegal

loging tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian setempat.

Pemerintah dan masyarakat desa Lihunu malahan

mendapat intimidasi dari aparat Polsek Likupang.

Dan yang lebih memprihantinkan adalah

dibiarkannya para pelaku berkeliaran melakukan

aktivitasnya di hutan. Padahal kasus Illegal logging

ini dikategorikan sebagai kegiatan perusakan

lingkungan sebagaimana yang diatur UU No 23

tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup

dan pelakunya bisa di pidana, dengan melihat fakta

yang ada dimana telah terjadi penurunan kualitas

lingkungan. Salah satu indikasinya adalah air yang

dulunya melimpah dan tidak sulit untuk didapat

walaupun pada musim kemarau, kini semakin sulit

untuk didapatkan oleh warga, area tangkapan air

hujan yang sudah sangat menipis.

Air yang langkah itu tentunya sangat

mempengaruhi roda perekonomian warga Lihunu.

Kesejahteraan yang didamba, pasti akan lebih

menjauh. Sementara, para pelaku illegal logging dan

aparat yang mem-backup-nya berleha-leha dengan

keuntungan dari hutan yang mestinya berfungsi

sebagai tangkapan air.

“Airmata” di Mata Air Lihunuoleh: Frets Pieter

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

SIKAP

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

KEMERDEKAAN Indonesia ternyata tidak

hanya soal bebas dari bangsa penjajah tapi juga soal

kesejahteraan, kebebasan dan hak asasi manusia.

Demikian antara lain yang mengemuka dalam round

table discussion “Refleksi enampuluh taon Merdeka,

delapan taon REFORMASI bergulir

Mempertanyakan komitmen bernegara dalam bingkai

NKRI” yang digelar Yayasan Suara Nurani Tomohon

di Sahid Teling Manado 22 Agustus 2005.

Para peserta yang terdiri dari aktivis, mahasiswa,

jurnalis, dan pengamat, kebanyakan mengungkapkan

bahwa dari segi proses pembangunan yang telah

berjalan 60 tahun ini menunjukkan bahwa Indonesia

belum benar-benar merdeka.

Malah, hari-hari kelam telah menjadi memori

pahit atas perjalanan sejarah rakyat Indonesia dalam

menata kehidupan berbangsa. Seperti itu pula, rakyat

mengalami hari-hari hitam atas interrelationship

rakyat, atau penyelenggara pemerintah yang

sungguh telah mengabaikan hakekat rakyat sebagai

warga Negara yang hak-hak dasarnya mestinya

dilindungi oleh Negara.

Darah masih bececeran di mana-mana, scenario

peminggiran rakyat dan penegasian hak-hak sipil

kian kentara. Pada saat yang sama, hancurnya

identitas kolektif kebangsaan telah pula

menyebabkan radikalisme identitas kelompok

dengan kepentingan sepihak. Radikalisasi

kepentingan kelompok telah pula menggeser

kesepakatan besar bangsa diawal kemerdekaan

Indonesia yang dicetuskan oleh seluruh anak bangsa,

tanpa peduli latar belakang suku, agama, ras atau

kelompok; Semuanya terpanggil, dengan semangat

patriotisme yang tinggi, menentang kolonialisme,

menentang ketidakadilan, menentang kesewenangan

dan bahkan menentang kepentingan tertentu, seraya

menempatkan kepentingan seluruh rakyat Indonesia:

“Dari Timur Sampai Ke Barat”.

Menjelang peringatan hari MERDEKA, kembali

renungan kontemplatif atas makna bernegara

menjadi problem serius yang harus disikapi bersama.

Sejumlah pertanyaan tentang sejarah yang

diputarbalikkan demi kepentingan rezim masih

Kemerdekaan Indonesia Dipertanyakan(Dari Roundtable Discussion 60 tahun NKRI)

mengangah tanpa jawaban, lalu penjegal hak dasar

kemerdekaan masih berkeliaran dalam sistem negara

dan jutaan rakyat dihentar ke neraka disintegrasi,

pula media yang memberitakan kedegilan itu seolah

kebenaran.

Enampuluh taon Indonesia sedari

tujuhbelasdelapanempatlima harus menjadi momen bagi

semua, utamanya rakyat di Sulawesi Utara yang

dalam banyak hal masih mengalami keterpurukan

untuk memikirkan, merumuskan kemudian menjadi

sumbangsih gagasan terhadap penyelenggara negara

atas model penyelenggaraan pemerintahan yang

salah urus. Kedaulatan rakyat yang telah berhasil

diperjuangkan pada perang revolusi kemerdekaan

seharusnya menjadi spirit bagi rakyat Indonesia,

untuk kembali berjuang melawan musuh laten, yaitu

ketidakadilan dan kesewenangan dalam wujud

barunya seperti KKN, Birokrasi yang tidak melayani

rakyat, serta kebijakan pemerintah yang selalu

merugikan rakyat daerah.

Dr. Bert Supit, Ketua Badan Pengurus YSN

Tomohon, ketika berbicara mengungkapkan

sejumlah fakta yang katanya menggugat

kemerdekaan Indonesia. “Fakta-fakta itu ingin

mengatakan pada kita, bahwa Indonesia dengan

sistem negara kesatuannya telah gagal membawa

rakyatnya kepada cita-cita kemerdekaan yaitu

sejahtera adil dan makmur,” kata dr. Bert semangat.

Seharusnya, enam puluh tahun itu menjadi

cermin pantul bagi bangsa Indonesia dan bangsa

Minahasa khususnya untuk menata kehidupan

berbangsa dan bernegara yang lebih baik, demokratis,

dan manusiawi. Sejatinya, pelajaran berharga itu tidak

sekedar menjadi catatan-catatan sejarah semata, tapi

justru akan menjadi tolok ukur dinamika peradaban

bangsa Indonesia ke depan.

Acara yang dimoderatori oleh Sandra

Rondonuwu, STh, SH ini juga membahas

kemungkinan untuk mencari sistem bernegara yang

lain. Drs. Edison Rumajar, SH, mengatakan,

penyebab dari berbagai persoalan bernegara di

Indonesia adalah sistem negaranya. Alternatifnya

adalah sistem negara federal. (deni)

LASTe

Menjinakkan Bom BatinOleh Veldy Umbas

AIR mata batin ibu pertiwi masih menetes tak

henti. Ia ogah berhenti mengalir karena hatinya sedih

terus. Tak selesai konflik, bencana alam tiba. Belum

habis flu burung, BBM sudah naik. Semua alamat

penderitaan yang makin menyengsarakan.

Konon, sebegitu sengsaranya rakyat kita,

sehingga kadang-kadang kesengsaraan itu sudah

menjadi kenikmatan sendiri bagi rakyat kita. Begitu

satir yang sangat ironis dan miris.

Padahal, negara kita konon kaya raya. Minyak

kita punya. Tanahnya subur, pemandangannya elok

permai. Laut apalagi. Saking kayanya laut kita,

sampai-sampai negara-negara tetangga rutin

mencuri kekayaan laut kita.

Entah apa yang sedang terjadi di negara ini. Tiba-

tiba hutang luar negeri kita mencapai $152 milyar.

Seiring dengan korupsi yang tak tanggung-tanggung,

berada pada peringkat terburuk dunia

Lalu datanglah era baru perjalanan politikIndonesia. Reformasi bergulir dengan sejumlah

beban peradaban yang diembannya. Meski banyak

euforia, paling tidak ruang demokrasi, kebebasan

berpendapat dan berserikat telah dibuka. Prestasi

demokrasi kita yang terakhir adalah demokrasi

langsung, baik Pilpres, Legislatif maupun Pilkada,

betapapun saran dan kritik kita terhadap

penyelenggaraannya yang belum optimal untuk

kedaulatan rakyat.

Sampai SBY (Susilo Bambang Yudhoyono)

akhirnya terpilih sebagai Presiden pertama yang

dipilih langsung. Ia tentu memiliki power yang kuat

dan besar yang dipercayakan oleh rakyat untuk

mengambil berbagai kebijakan, demi dan hanya

untuk kesejahteraan dan keadilan rakyat.

Sayangnya, belakangan ini kebijakan Pak SBY

makin membingungkan. Apakah setiap kebijakan

yang dipimpinnya menempatkan rakyat sebagai

subjek utama berbagai aturan yang diambil? Adalah

pertanyaan yang harus ditunda untuk dijawab. Kita

masih berharap kebijakannya ini akan benar-benar

memberikan rasa keadilan yang lama tercerabut dari

rakyat Indonesia.

Rasa keadilan yang hampir-hampir basi, amis,

sehingga kita malah ingin membuangnya jauh-jauh.

Untung budaya bangsa kita adalah budaya yang

santun. Kita tentu masih menempatkan kata damai,

toleransi, gotong royong, mapalus, dalam kamus

hidup sehari-hari kita. Rakyat Indonesia tidak perlu

diajarkan tentang toleransi, saling menghargai, saling

menghormati.

Yang kita masih harus belajar banyak adalah

bagaimana mendistribusikan keadilan itu secara

merata dan tidak diskriminatif. Dan untuk itulah,

ada kelompok tertentu yang sengaja memanfaatkan

problem keadilan sosial itu demi kepentingan politik

tertentu dan sesaat.

Menjelang hari-hari sulit, bangsa kita diberikan

waktu (time break) untuk melakukan perenungan

mendalam tentang hidup. Bulan suci Ramadhan bagi

umat muslim sudah akan dimulai hari ini, Selasa,

(04/10).

Adalah momentum untuk merelaksasi semua

sendi-sendi dan urat-urat ketegangan sosial, ekonomi

dan politik. Saat di mana civil society kita diuji.

Apakah, perdamaian, toleransi dan mapalus masih

akan terus menjadi nilai yang dimaknai dalam ibadah

dan pergaulan sehari-hari kita yang kita agendakan

dan perjuangkan.

Sehingga batin rakyat Indonesia yang terlalu

pengap, sumpek, suntuk, dan sudah terlalu berat

dijernihkan lagi, untuk kembali mengkonstruksi

sebuah jalinan persaudaraan, perdamaian, untuk

menempatkan rasa keadilan dan kesejahteraan

sebagai agenda utama, rakyat, agama, ideologi,

kepentingan, Pemerintah, Legislatif, Aparat

keamanan dan siapa saja.

Sekarang inilah saat yang tepat untuk

menjinakkan bom batin kita yang hampir meledak.

Bukan untuk menjadi diam dan pasrah, tapi

memikirkan dan bertindak dengan langkah dan

strategi yang lebih elegan untuk menggagas masa

depan bangsa kita, lebih baik, lebih berkeadilan, dan

lebih mensejahterakan. Selamat memasuki bulan

suci Ramadhan dan selamat menjalankan ibadah

puasa kepada umat Muslim.

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

LASTe

Politik Energi TemporerOleh Dr. Bert A. Supit

Ngaasan-EDISI IV-Oktober 2005

Bahan Bakar Minyak mungkin sudah menjadi“tuhan” yang terus menerus dicari, dan bahkan atas

nama “nya” dunia bisa berperang.INVASI Amerika ke Irak, disebut-sebut sebagai taktik AmerikaSerikat untuk menguasai jalur minyak dunia yang memangketersediaanya makin menurun. Sama seperti perang di Timur tengahyang banyak didasari pada politik kepentingan perminyakan dunia.Dampak yang paling akhir adalah, naiknya harga minyak dunia yangmenembus level $70/barel dikarenakan oleh berhentinya sekitarseperempat operasi minyak AS di kawasan teluk Meksiko akibatmengamuknya badai Katrina dan badai Rita.Kondisi global ini diperparah lagi oleh ulah para penimbun danpenyeludup BBM di dalam negeri, yang sama sekali secara sadis dantidak manusiawi merelahkan rakyat Indonesia kelimpungan demikeuntungan pribadi para mafia penyeludup dan penimbun.

Lucunya lagi, Pemerintah Indonesia, terang-terangan membukakesempatan bagi para mafia minyak ini beroperasi, denganmengumumkan tanggal kenaikan harga BBM. Logika dagangnyaadalah, menimbun diharga yang murah dan menjual diharga ketikamenjadi mahal. Juga kebijakan pemerintah yang sok populer.Menetapkan perbedaan harga antara industri dan masyarakat. Jelassaja, di mana ada perbedaan harga, di situ pasti ada profit taking.

Lalu, akhir-akhir ini rakyat dibuat kaget. Beberapa waktu lalupemerintah mengumumkan cadangan minyak dalam negeri tinggalbeberapa belas hari lagi. Dan dapat dibayangkan kalau rakyat langsungpanik dan pasti terjadi aksi borong yang berimbas pada kelangkaanminyak di pasar.

Nasionalis?Padahal, undang-undang dasar kita sudah mengamanatkan bahwa

segala sesuatu yang mengenai hajat hidup orang banyak dikuasai (baca:diatur/dijamin) dengan baik oleh pemerintah. Artinya, bahwa BBMitu sendiri adalah ”kehidupan” dari hajat hidup orang banyak sehinggapengusahaannya haruslah dilakukan dengan sangat serius, terkontrol,dan manusiawi.

Pernyataan, Aburizal Bakrie bahwa, uang triliunan rupiah hanyahabis dibakar, adalah kalimat bodoh yang keluar dari seorang menteriyang ditugaskan rakyat untuk mengupayakan hajat hidup orang banyak.Masakkan ada manusia yang tidak makan kalau tidak denganmembakar (baca: menggunakan) bahan bakar minyak.

Ini artinya, masih terjadi salah kaprah terhadap politik perminyakandi Indonesia. Akibat salah pikir inilah, maka Pemerintah Indonesiamenyetujui pengelolaan eksplorasi minyak dan gas di blok Cepu, JawaTimur, dengan cadangan potensial 2 miliar barel itu kepada ExxonMobile. Padahal, dalam konsesi awalnya Exxon hanyalah menjaditechnical assistance, kini menjadi pengelola dengan kapasitas 45 % bersama-sama dengan Pertamina yang juga mendapatkan 45% dan sisanyayang hanya 10 % saja untuk Pemerintah Daerah itupun masih dikibuli.Pemerintah pusat akhirnya mengambil jatah 10% milik Pemda itu.

Ini pasti akan merugikan negara, karena salah satu cadangan minyaknasional kita, sudah kita serahkan kepada asing, yang tentu berkepentinganuntuk menambah deposit cadangan minyak mereka. Sangat naif karenaprosesnya konon melibatkan tentara yang berkepentingan agar embargosenjata Amerika Serikat terhadap Indonesia dicabut.

Sama halnya dengan politik menaikan BBM yang sudah pastiakan menyengsarakan rakyat, semata-mata untuk memenuhi tuntutanIMF agar menaikan harga BBM. Kembali lagi mental inlander kitamenjadi bukti bahwa Indonesia terus menerus hidup dibawah ketiakdonor internasional. Padahal pemerintah bisa mengupayakan opsi dariyang paling ekstrim seperti apa yang sudah dilakukan oleh Mexiko,Brazil dan Argentina atau juga dinikmati oleh Nigeria, pemerintahmeminta penghapusan sebagian hutang luar negerinya.

Atau bisa juga dengan cara yang lebih elegan, pemerintah bisamelakukan pertukaran utang (debt swap).Atau yang paling terdesak adalahmelakukan reschedulling atau debt moratorium (penghentian perlunasanutang).

AlternatifKondisi krisis seperti ini mungkin harus membuka jalan pikir kita

bahwa, ketersediaan energi BBM tidaklah abadi. Dan karena itulahmungkin politik BBM kita juga harus memikirkan beberapa hal berikut:

Pertama, Deposit energi kita yang sedikit ini harus sesuai denganroh undang-undang dasar 1945 pasal 33 tentang hajat hidup orangbanyak. Artinya, penguasaan sumber energi ini benar-benardimanfaatkan seefektif dan seefisien mungkin dengan menempatkanrakyat sebagai pengelola sumber energi. Sehingga, liberalisasi minyakdan gas mungkin tidak tepat dalam konteks ini. Apa jadinya kalausumber energi nasional yang tinggal sedikit dan tidak abadi itu dikuasaioleh asing, yang nota bene orientasinya adalah, profit. Disinilah menjadisangat relevan pemerintah mencabut UU Nomor 22 Tahun 2001yang memberi ruang besar bagi asing untuk menguasai sumber hajathidup orang banyak.

Kedua, kterbatasan sumber energi alam seperti bahan bakar minyakyang habis dipakai (unrenewable engergy), harus mendorong semua pihak,(pemerintah dan rakyat) untuk mencari sumber energi alternatif yangrenewable energy. Wacana energi baru memang melawan arus, namundengan kecanggihan teknologi sekarang, kita sudah bisa memikirkanbio diesel, dan bahkan etanol dari pohon Seho, yang sangat potensialuntuk menjadi sumber alternatif energi yang dapat diperbaharui.

Dengan demikian, mungkin politik energi pemerintahan SBY yangmencabut subsidi rakyat (hajat hidup) adalah temporer dan tidakmenyelesaikan persoalan harus segera disadari. Apalagi kompensasiBBM hanyalah pemanis semu (hyper real) yang tidak langgeng danmalah hanyalah pemborosan. Sehingga, kita semua berharap agarpemerintah segera mencarikan solusi baru BBM, yang tidak sekedartemporer, sesaat, tapi dapat menjaminkan kelanggengan (sustainability)hidup rakyat Indonesia yang telah menempatkan energi tak ubahnyaseperti oksigen yang tanpa itu: mati!!!