penjara pikiran: sebuah fenomena paradigma kehidupan
DESCRIPTION
"Penjara Pikiran: Sebuah Fenomena Paradigma Kehidupan"Merupakan essay yang membicarakan dualitas kehidupan bermasyarakat di Indonesia. Membawakan berbagai realita kehidupan pada tingkatan dimensi sosial, dari dimensi pragmatis sampai dimensi akademisi. Pembahasanya dipoles dengan bahasa sederhana dan naratif tetapi memiliki kekuatan makna sangat dalam dengan memakai konsep-konsep sosiologi sebagai pijakanya.Selamat membacaHafidz Jazuli LuthfiTRANSCRIPT
Penjoro Utek
The Prison of Mind
Penjara Pikiran Masih kental di ingatan saya, hari yang sama, jumat dua tahun yang lalu. Dua potong kalimat yang
sempat membangunkan lamunan saya, kurang lebih begini bunyinya; ‘pendidikan di luar negeri itu
mengkafirkan’ dan ‘orang-orang yang pergi mengejar ilmu ke universitas luar negeri merupakan jalan menuju
ke kekafiran’. Bukan main kagetnya, bagaimana bisa di pusat spiritual yang seharusnya mencerahkan,
bergelegar kalimat-kalimat agitator. Ah mungkin salah saya yang kurang memperhatikan dari awal ceramah
beliau sehingga menimbulkan persepsi radikalisme, tapi dua kalimat tadi memang benar-benar mengagetkan
telinga saya !
Ingin rasanya saya berdiri menyela jalanya ceramah, disaat yang sama muncul keraguan, sekelebat saya
melihat jauh kedepan, lalu melihat sekeliling, semua yang hadir terlihat hanya bergeming –selain celotehan
gorengan di belakang. Apa mungkin hanya saya seorang disini yang sangat tidak setuju atau mungkin saja
orang di depan sana begitu disegani. Saya hanya sedikit tahu, selembaran dengan bendera hijau penuh
kaligrafi diluar masjid ada kaitanya dengan beliau.
Bagi para akademisi di Indonesia, mendapatkan kesempatan untuk kuliah di luar negeri
menjadi mode gengsi tersendiri, selain memang karena keadaan pendidikan di sini melarat tarapnya.
Mari kita melihat fakta-fakta di lapangan dimana setiap Institusi pendidikan, terutama pendidikan
tingkat tinggi cenderung menjual brand kepada publik, contohnya; brand internasional, akreditasi,
kerjasama dengan salah satu atau lebih universitas luar negeri. Fenomena semacam ini menciptakan
semacam pasar tersendiri selain pasar ekonomi-bisnis, diluar sisi pandang negatif, fenomena ini terjadi
disebabkan oleh masalah-masalah laten, salah satunya mengecilnya debit dana dari keran APBN untuk
sektor pendidikan1 sehingga memaksa institusi pendidikan menjual diri. Nah, sekarang anda sudah
tahu kenapa saya bilang pendidikan bertarap rendah. Meskipun faktanya begitu, konon katanya
pendidikan kita berprestasi, saya sendiri kagum jika mendengar cendekia negeri ini menorehkan nama
di ajang kompetisi internasional, tentu saja karena saya pribadi tidak mampu melakukan hal tersebut.
Diluar kekaguman kecil itu, saya rasa hal ini belum cukup membuktikan pendidikan kita pantas
dibanggakan, karena jika kita buat angka persentase, katakanlah kekayaan penduduk Indonesia
1 Berita ITS, “UKT dan Tantangan Bersama”, dalam https://www.its.ac.id/berita/12081/en
banyaknya peringkat ke-3 sealam duniawi lalu bandingkan dengan kekayaan intelektual negeri ini,
maka kita hanya mendapati angka yang begitu kecil untuk keberhasilan pendidikan negeri ini, mungkin
bisa lain ceritanya jika anda pakai standart penghitungan UMR, bisa jadi lebih tinggi lah.
Pernah saya mendengar lembaga pendidikan negeri ini menghimbau seluruh perguruan tinggi
agar meningkatkan publikasi ilmiah, hal tersebut didasari atas keprihatinan keringnya lumbung
publikasi ilmiah sehingga tingkat intelektual negeri ini dianggap melarat 2 , menariknya lembaga
pendidikan kita memiliki target yang tidak main-main, apa lagi kalau bukan jurnal internasional3,
internasional itu bergengsi maka saya pikir gengsi itu ada manfaatnya juga jika yang disebut gengsi
itu adalah gengsi intelektual. Kalau dipikir-pikir bagaimana bisa kekayaan intelektual negeri kita
dianggap rendah, padahal jumlahnya Mahasiswa di Negeri ini bisa dikatakan melimpah. Kita semua
tahu Negara ini memang negara subur, subur pula tradisi plagiatnya. Saya pribadi tidak mau terlalu
menyalahkan oknum-oknumnya, karena ini cenderung masalah moral, tidak bisa diubah seperti trik
sulap, sebenarnya sistem yang berlaku lah berperan besar membentuk moral, jadi bukan moralnya
yang sudah takdir bobrok tapi karena sistemnya yang sedang sakit. Berbicara mengenai moral,
kebetulan saya menemukan studi kasus yang menarik dimana penulis mengangkat tema budaya
plagiarisme di kalangan mahasiswa4, menariknya lagi topik tersebut juga diangkat sebagai skripsi,
namun sayang skripsi tersebut tidak bisa diakses sepenuhnya oleh publik.
Saya rasa cukup membahas tentang moral, jika kita terlalu mempermasalahkan hal tersebut
maka yang ada hanya rasa sakit hati dan perasaan ironis semakin dalam, nanti tulisan saya malah jadi
curahan hati, anda ikut galau saya yang susah. Selain masalah moral, sebenarnya ada masalah yang
jauh lebih besar, mengulang permasalan sebelumnya yaitu dana, lebih jauh lagi, dana bukan berarti
sebuah penghargaan belaka, melainkan sebuah manifestasi dari keseriusan pemerintah mendukung
penelitian dan riset5, serta pendidikan secara universal. Mari sejenak melihat keponakan tua kita, India,
negara yang sebenarnya tidak jauh berbeda dengan Indonesia dimana budaya masih lestari dan
dihargai, bahkan negara kita memiliki kemiripan dalam hal masalah-masalah sosial, sebut saja dari
yang paling klasik seperti kemiskinan yang satu paket dengan pengangguran, setimen politik, sampai
ke masalah yang substansial seperti konflik sosio-agama, rendahnya jaminan kesehatan, rentanya
2 Unesco, “Indonesia”, dalam http://www.unesco.org/new/en/communication-and-ls-and-
platforms/goap/access-by-region/asia-and-the-pacific/indonesia/ 3 Antara Jogja, “DPPM: Dosen Perlu Tingkatkan Publikasi Ilmiah Internasional”, dalam
http://www.antarayogya.com/berita/313357/dppm-dosen-perlu-tingkatkan-publikasi-ilmiah-internasional 4 Hudi Utomo, H, “Budaya Plagiarisme di kalangan Mahasiswa”. Tersedia:
http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/275/jiptummpp-gdl-s1-2008-hudihutomo-13728-PENDAHUL-N.pdf 5 Gloria Samantha, “Peneliti Indonesia Dituntut Tingkatkan Kualitas Publikasi Ilmiah”, dalam:
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/12/peneliti-indonesia-dituntut-tingkatkan-kualitas-publikasi-ilmiah
perlindungan Hak Asasi Manusia dan sebagainya. Namun ada yang menarik dari negara asal Mahatma
Gandhi itu, selain diakui dunia karena kearifan budaya-nya, India juga punya peran besar atas
perkembangan teknologi dewasa ini, salah satunya si bapak pentium, Vinod Dham. Sadar akan aset
intelektualnya dimanfaatkan oleh negara lain, India berusaha memanggil pulang para pakar dan
penelitinya yang banyak tersebar di seluruh dunia, sejauh ini dunia telah mengakui India termasuk
negara yang diperhitungkan di Asia bagian Selatan setelah China. Berbeda dengan India, China
bergerak lebih sporadis, malah bisa dibilang mbonek, maksudnya bukan asal berani tapi gak due
bondho, yang perlu anda ketahui, aset intelektual itu mahal sekali harganya, sebagian besar dari kita
hanya menghargai sebuah teknologi setelah harganya ditekan oleh Produksi Industri. China berani
mempertaruhkan segalanya termasuk dana begitu besar agar aset intelektualnya mau berkarya di
Negara sendiri6, ini merupakan investasi berani demi aset yang sebenarnya berharga lebih daripada
‘sekadar uang’. Sekarang China dikenal sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi paling ekstrim,
bahkan teknologinya bisa menyaingi negara sekaliber Amerika, sedangkan India mampu membangun
fasilitas elit slicon valley dimana hasil-hasil penelitian dan riset diinkubasi, berbagai inovasi teknologi
berawal dari sana, hampir sama yang dilakukan oleh Amerika. Sebagain besar dari kita yang hanya
bisa mengkonsumsi teknologi, sekedar tahu China itu perlu waktu singkat untuk bisa manjadi negara
maju, perlu anda ketahui China menjadi seperti sekarang ini melalui proses yang begitu panjang,
pengorbanan yang besar dan motivasi tinggi untuk tidak mudah menyerah.
Kembali lagi ke negara kita tercinta, pernah saya mendengar petuah ‘lebih baik makan batu
dinegeri sendiri daripada menderita di negeri orang’, sama sekali bukan petuah yang bijak, lebih cocok
diperuntukan bagi barisan sakit hati. Kebetulan saya tinggal di daerah pedesaan, kata orang ekonomi
di daerah seperti daerah saya ini sudah nasibnya melarat, mendapatkan pekerjaan minimal PNS itu
sudah susah, awalnya saya tidak telalu mempermasalahkan, ketika itu saya masih terhanyut oleh
lantunan lagu “bukan lautan tapi kolam susu” dan saya juga masih yakin sekali dengan kalimat-kalimat
rayuan yang terus dilantunkan, ya itu, Indonesia kayaaaa rayaaaaa. Sekarang saya sadar bahwa saya
sudah lama sekali dibutakan oleh cinta kepada negara bernama Indonesia, bagaimana bisa negara yang
katanya kaya raya, rakyatnya dikirim menjadi babu di luar negeri, loh bukanya disini kaya kok
mengemis di luar negeri, negara babu dong. Katanya hal tersebut disebabkan oleh keadaan ekonomi
tapi sebenarnya kaya, ah gombal. Ironisnya rakyat yang dikirim ke luar negeri hanya demi menjadi
babu dihargai oleh negara sebuah tanda jasa bak pahlawan, pahlawan devisa katanya. Bertahun-tahun
lamanya program pemerintah mengirimkan rakyat ke luar negeri tapi tidak ada pengaruh signifikat
6 Heni Rosmawati, “Nasib Penelitian dan Globalisai” dalam
http://www.ristek.go.id/?module=News%20News&id=7234
yang ditimbulkan, bukanya memperbaiki ekonomi di daerah pelosok dengan membatu mengurangi
pengangguran dan diharapkan rakyat pelosok mendapatkan modal dari hasil bekerja di luar negeri,
fakta yang ada menyebutkan hal berbeda, arus lalu lintas pengiriman relatif stagnan7, bahkan tidak ada
peningkatakan derajat pekerjaan8 , kebanyakan adalah pekerja rumah tangga dan ironisnya kaum
wanita merupakan komoditas utama. Di sisi lain, kalau yang dimaksut petuah tadi adalah lebih baik
makan batu di negeri sendiri, saya jadi tidak setuju jika yang dimaksud adalah sah menjadi gembel di
negara ini, bertambahlah nama lain negara ini, negara gembel. Saya rasa cukup sampai disini, semakin
jauh malah jadi curahan emosi, mari kita lanjutkan ke paragraf selanjutnya.
Menyinggung lagi tetangga baru kaya kita, China, dan keponakan tua kita, India, sebenarnya
keduanya bisa jadi inspirasi negara ini, saya juga sering membaca baik itu berita maupun artikel yang
pada intinya memotivasi Indonesia agar mengejar ketertinggal. Kalau China punya fenomena yang
disebut brain drain, maka India punya fenomena brain gain9, keduanya hampir sama hanya taktisnya
sedikit berbeda. Pernah suatu kali saya membaca buku biografi tentang profesor pesawat dari menado,
Habibie, ceritanya waktu itu jaman orde baru sedangkan Mr. Crack (julukan habibie) kala itu sedang
jaya-jayanya di Jerman, sudah kenyang beliau dengan prestasi selama kuliah di Jerman selepas hanya
butuh satu tahun kuliah di Bandung, sebagai tambahan, beliau bisa kuliah ke Jerman berkat program
pemerintah yang kala itu presidenya masih sang proklamator. Suatu kali di Jerman, Mr. Crack bertemu
oleh seorang Indonesia, usut di usut ternyata merupakan menteri negara yang kala itu ditugaskan oleh
Presiden Soeharto guna membawa pulang Habibie pulang ke tanah air. Kita sudah tahu apa yang
selanjutnya terjadi, memang beliau pernah berhasil membuat pesawat buatan negeri sendiri terbang di
negeri sendiri, kita sudah tau yang selanjutnya terjadi, kenangan manis itu seakan lenyap begitu saja
karena depresi ekonomi, efeknya menciptakan sejarah yang kita kenal di buku sejarah sebagai tragedi
98, selanjutnya kita juga mengenal sejarah yang dinamakan reformasi, di masa yang sama ketika
Timur-timur melepaskan diri dari NKRI, Habibie disalahkan, ya begitulah. Saya juga masih ingat
betul, suatu kali di sebuah acara televisi swasta, beliau sempat menangis mengenang kembali memori
tersebut, ada bagian yang menarik ketika Habibi mengubungi salah satu mantan anak didiknya,
ternyata yang bersangkutan sudah lama bekerja di pabrik pesawat terkemuka di Amerika, siapa lagi
kalau bukan Boeing, ketika ditanyakan apakah akan akan kembali ke Indonesia suatu hari nanti, yang
bersangkutan menjawab “mungkin”. Konon katanya, banyak sekali orang-orang Indonesia sukses di
7 BNP2TKI, “Penempatan Per tahun Per Negara (2007-2012)”, dalam: http://www.bnp2tki.go.id/statistik-
penempatan/6756-penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html 8 BNP2TKI, “Penempatan Berdasar Jabatan (2007-2012)”, dalam: http://www.bnp2tki.go.id/statistik-
penempatan/6756-penempatan-per-tahun-per-negara-2006-2012.html 9 Heni Roswati, loc. cit. Masalah Brain Drain ini…
Negeri orang, bukan sebagai pegawai rendahan, melainkan jabatan-jabatan elit, tidak sedikit pula para
peneliti yang memilih mendedikasikan diri berkarya di negeri orang, tentu karena disana lebih
terjamin. Timbul pertanyaan, mengapa pemerintah tidak melakukan hal yang sama seperti apa yang
dilakukan menteri orde baru, usut di usut ternyata pemerintah kita pesimis10. Kalau begini adanya,
maka sekali lagi kita hanya menjadi penonton pentas dunia, kita hanya duduk menonton tetangga kita
China dengan silaunya inovasi-inovasi teknologi, bahkan KO di kandang sendiri ketika produk-produk
murah China mulai mengusai pasar domestik. Lain lagi kabar hubungan kita dengan tetangga lama,
Malaysia, kita menjadi eksportir utama pekerja murah, entah apa yang dirasakan mbah Soekarno di
atas sana melihat Nusantara sekarang, ganyang Malaysia yang dulu pernah berkobar membakar
perjuangan ideologi bangsa, sekarang jadi embel-embel pentas sepakbola.
Lain cerita dengan Habibie, ada lagi tokoh yang berjuang keras di ujung timur Indonesia,
sayang saya belum sempat membaca bukunya “Mestakung”, dari berbagai informasi saya tahu beliau
berperan besar membangkitkan intelektual Indonesia timur. Prof. Yohannes Surya pernah menolak
green card yang merekomendasikan untuk tinggal di Amerika, sudah tradisinya negara tersebut
merayu berbagai tokoh-tokoh intelektual di seluruh dunia karena itulah Amerika bisa berdiri kokoh
sebagai negara adikuasa. Bagi Yohannes Surya memilih untuk kembali ke Indonesia merupakan
tantangan tersendiri, yang kita tahu dari berita adalah prestasi-prestai anak Papua dari Olimpiade
Nasional sampai yang internasional, mungkin sebagian dari kita pernah mendengar metode gangsing,
metode pembelajaran yang memudahkan pengajaran matematika dan fisika, ternyata karena
keterbatasan dan perjuangan keras yang dialami Yohannes Surya membuahkan sesuatu yang mungkin
kelihatan tidak terlalu istimewa, metode gangsir, metode tersebut merupakan terobosan yang mudah
diimplimentasikan dan tentu murah, benar-benar Mestakung. Kalau dipikir-pikir aneh juga Yohannes
Surya malah pulang ke Indonesia, padahal kalau memilih untuk tetap tinggal di Amerika segalanya
terjamin, dengan fasilitas lengkap sampai yang futuristik dan dukungan biaya riset mungkin professor
Yohannes Surya bisa jadi lebih terkenal dari pada Mr. Crack, mungkin juga bisa bernasib seperti
Einsten, si Mbah bisa begitu fenomenal dimulai setelah migrasinya ke Amerika, beda nasib dengan
peneliti yang kala itu tetap tinggal di Jermannya Hitler. Iya, memang susah kalau harus kembali ke
tanah air, lebih enak di negara dengan fasilitas yang memadahi, terjaminya hak intelektual dan tentu
saja siapa yang tidak menolak akan karir yang terjamin. Saya rasa baik itu para peneliti, teknorat
10 A. R. Pitakasari, “Belum Berani Panggil Peneliti, Menristek: Ditaruh dimana mereka nanti”, dalam:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/04/21/m2thtq-belum-berani-panggil-peneliti-menristek-ditaruh-di-
mana-mereka-nanti
ataupun pelaku bisnis memiliki alasan tersendiri cenderung memilih untuk berkarir di luar negeri, kita
semua sepakat adanya pilihan rasional, lagipula siapa yang tidak mau menjadi oportunis.
Perginya aset-aset intelektual menjadi kerugian besar bagi negara, ada yang mengatakan
sebuah kerugian merupakan kegagalan-kegagalan ekonomi, seharusnya negara ini mampu
membangun ekonominya menjadi jauh lebih besar melalui investasi aset-aset intelektual. Di lain sisi,
aset-aset intelektual mempunyai dilema tersendiri, kondisi sosial di negara lain bisa jadi jauh berbeda
dengan kondisi di kampung halaman, hal ini dapat menyebabkan degradasi diri sebagai warga negara
Indonesia. Pernah suatu kali saya membaca bagaimana seorang Soros, bapak Islam Liberal asal Iran
memilih bermigrasi ke Amerika, hal tersebut didasari karena beliau tidak mempunyai tempat di negara
asalnya. Jika kita berbicara mengenai orang-orang Indonesia yang sudah betah tinggal di negara lain,
bisa jadi konsep berpikir mereka menjadi asing di telinga kita, ini hal alami, siapapun pasti berusaha
mengadaptasi esensi-esensi kehidupan lingkungan sekitarnya, baik itu budaya, kepercayaan sampai
ideologi. Misalnya, jika sebuah negara yang menawarkan hal-hal modernitas, orang-orang di dalamnya
tentu akan berpikir dengan konsep-konsep modern 11 . Jadi bukan salah mereka disana, ini lebih
dikarenakan oleh lemahnya pengaruh Negara. Jika ada yang mengatakan istilah globalisasi, akan jauh
lebih baik jika yang dimaksud adalah revolusi konsep berpikir kearah berpikir terbuka, tentu harus
diimbangi oleh konsekuensi-konsekuensi yang jauh lebih besar, yaitu menciptakan langkah-langkah
radikal dan berani. Tidak jauh-jauh dari Indonesia, ada masalah yang seharusnya menjadi fokus utama,
yaitu masalah-masalah moral, salah satunya budaya plagiarisme. Menjadi terlalu ironis jika budaya
plagiarisme tumbuh subur di lingkungan pendidikan, hal ini berarti budaya berpikir kritis pada insan
pendidikan negeri sangat lemah, dalam metode ilmiah, hipotesa berawal dari sikap skeptis, maka bisa
dikatakan pendidikan kita gagal dalam menamkan sikap ilmiah. Jika moral pendidikan meningkat
kearah positif, maka hal ini akan bergaris lurus dengan meningkatnya kualitas publikasi ilmiah negeri.
Mungkin masalah moral dapat diatasi dengan peningkatan kualitas pendidikan agama, namun rasanya
kita perlu menjunjung tinggi kebijaksaan selain harus berpikiran terbuka, terutama dalam menghadapi
masalah-masalah sosio-agama12. Terimakasih.
11 Sadika Hamid “Fareed Zakaria: Indonesia Plays Greater Role in Islamic Issues”
http://en.tempo.co/read/news/2013/12/30/241540985/Fareed-Zakaria-Indonesia-Plays-Greater-Role-in-Islamic-Issues 12 Sefur Rochmat “Agama Reformis: Dialetika Agama Dengan Modernisasi” dalam Jurnal Hermenia, vol 4 (2),
11