peningkatan kerjasama rusia aseanrepository.unair.ac.id/82022/3/jurnal_fis.hi.16 19 adi...

25
1 Peningkatan Kerjasama Rusia Asean Atantyo Wiadji Adigapa 071411233013 ABSTRAK Penelitian ini membahas tentang meningkat dan meluasnya fokus arah kebijakan luar negeri Rusia dari barat ke ASEAN. Bahasan ini cukup menarik karena sejak era Uni Soviet dahulu sukar menemukan sejarah kerjasama antara Rusia-ASEAN yang level kerjasamanya termasuk signifikan dan serius, sehingga muncul pertanyaan mengapa saat ini Rusia memutuskan untuk memperluas fokus kebijakan luar negeri ke ASEAN. Penelitian ini menggunakan kerangka teori LoA Individu dan Sistem Internasional untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jangkauan penelitian di dalam skripsi ini ada di antara tahun 2005-2018. Meningkat dan meluasnya fokus kebijakan luar negeri Rusia dari barat ke ASEAN disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya pengaruh yang cukup signifikan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin dan sikap aliansi barat yang kurang serius terhadap keberadaan Rusia di sana, juga terlalu banyaknya pertimbangan yang dilakukan oleh Barat terhadap usulan-usulan Rusia sehingga Rusia merasa tidak dianggap penting. Oleh karena itu Putin mengeluarkan kebijakan turn to the east. ASEAN masuk di dalam kebijakan luar negeri Rusia tersebut karena mereka melihat potensi di ASEAN yang dapat mereka manfaatkan menjadi alat untuk menyaingi negara-negara dengan power besar di dunia dan juga Rusia masih menganggap dirinya sebagai negara Agung yang patut dihormati dan disegani. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari apa alasan utama Rusia mengubah fokus kebijakan luar negerinya dari Barat ke Timur khususnya ASEAN. Untuk mendapatkan alasan tersebut di dalam penelitian ini akan meruntut kerjasama apa saja yang dijalin oleh Rusia-ASEAN dari berbagai bidang dan menakar signifikansi dari masing-masing kerjasama tersebut.

Upload: others

Post on 13-Jan-2020

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Peningkatan Kerjasama Rusia – Asean

Atantyo Wiadji Adigapa

071411233013

ABSTRAK

Penelitian ini membahas tentang meningkat dan meluasnya fokus arah kebijakan luar negeri

Rusia dari barat ke ASEAN. Bahasan ini cukup menarik karena sejak era Uni Soviet dahulu

sukar menemukan sejarah kerjasama antara Rusia-ASEAN yang level kerjasamanya termasuk

signifikan dan serius, sehingga muncul pertanyaan mengapa saat ini Rusia memutuskan untuk

memperluas fokus kebijakan luar negeri ke ASEAN. Penelitian ini menggunakan kerangka

teori LoA Individu dan Sistem Internasional untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jangkauan

penelitian di dalam skripsi ini ada di antara tahun 2005-2018. Meningkat dan meluasnya fokus

kebijakan luar negeri Rusia dari barat ke ASEAN disebabkan oleh dua hal, yaitu adanya

pengaruh yang cukup signifikan dari Presiden Rusia, Vladimir Putin dan sikap aliansi barat

yang kurang serius terhadap keberadaan Rusia di sana, juga terlalu banyaknya pertimbangan

yang dilakukan oleh Barat terhadap usulan-usulan Rusia sehingga Rusia merasa tidak

dianggap penting. Oleh karena itu Putin mengeluarkan kebijakan turn to the east. ASEAN

masuk di dalam kebijakan luar negeri Rusia tersebut karena mereka melihat potensi di ASEAN

yang dapat mereka manfaatkan menjadi alat untuk menyaingi negara-negara dengan power

besar di dunia dan juga Rusia masih menganggap dirinya sebagai negara Agung yang patut

dihormati dan disegani. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk mencari apa alasan utama

Rusia mengubah fokus kebijakan luar negerinya dari Barat ke Timur khususnya ASEAN. Untuk

mendapatkan alasan tersebut di dalam penelitian ini akan meruntut kerjasama apa saja yang

dijalin oleh Rusia-ASEAN dari berbagai bidang dan menakar signifikansi dari masing-masing

kerjasama tersebut.

2

Kata kunci: ASEAN, Rusia, Putin, Kerjasama, Barat, Timur.

Rusia merupakan negara yang secara de facto berada di Eropa. Ibukotanya pun secara

geografis lebih dekat ke wilayah Eropa. Dibanyak even besar yang diikuti oleh negara

Eropa, Rusia juga ada di dalamnya. Hal ini secara langsung menegaskan bahwa Rusia

adalah negara Eropa. Namun jika kita melihat kepada kebijakan luar negeri Rusia

akhir-akhir ini mereka lebih condong ke arah Timur atau lebih jelasnya kepada negara-

negara yang ada di kawasan Asia Tenggara dengan ASEAN nya. Yang membuat hal

ini menarik adalah sebelum hubungan antara Rusia dan ASEAN terjalin, Rusia atau

ketika masih menjadi Uni Soviet sangat jarang menjalin hubungan dengan entitas

ASEAN maupun negara di Asia Tenggara lainnya. Selain itu negara-negara pecahan

Uni Soviet yang masih masuk ke dalam regional Eropa juga masih bisa dimanfaatkan

lebih jauh oleh Rusia di dalam kebijakan luar negerinya. Oleh karena itu di dalam

pembahasan ini penulis mencoba untuk mencari tahu alasan Rusia di balik kebijakan

luar negerinya yang sekarang lebih condong ke arah Timur atau dengan kata lain

wilayah Asia Tenggara.

Kebijakan Luar Negeri Secara General

Kebijakan luar negeri suatu negara merupakan hal yang cukup signifikan dan penting

di dalam dinamika negara itu sendiri, sehingga proses yang terjadi di dalam kebijakan

luar negeri suatu negara tentu cukup menarik untuk dilihat. Seperti hal yang beberapa

hal di dalam ilmu hubungan internasional lainnya, arah kebijakan luar negeri ini juga

bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor tertentu. Rosenau dalam Dugis (2007)

memahami kebijakan luar negeri sebagai tindakan otoritas pemerintah yang dilakukan

untuk mempertahankan hal yang diinginkan atau mengubah hal yang tidak diinginkan

dari lingkungan internasional, sehingga dapat dikatakan bahwa kebijakan luar negeri

berorientasi pada tujuan nasional yang mampu mempengaruhi suatu masyarakat dalam

3

jangka waktu tertentu entah melalui respon secara resmi maupun tidak resmi. Dari

pernyataan di atas dapat dilihat ada salah satu faktor utama dari penentuan arah

kebijakan luar negeri suatu negara yaitu kepentingan nasional. Selain faktor utama

tersebut masih banyak faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi kebijakan luar negeri

suatu negara dan hal tersebut menunjukan bahwa di dalam menentukan kebijakan luar

negeri ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, sehingga hal-hal tersebut dapat

juga mempengaruhi arah kebijakan luar negeri suatu negara.

Namun di balik semua itu ada beberapa variabel lainnya yang penting untuk dilihat

pengaruhnya yaitu identitas, struktur internasional, dan interest. Tiga variabel ini

mempunyai keterkaitan satu sama lain di dalam penentuan kebijakan luar negeri suatu

negara. Identitas dan interest merupakan sesuatu yang di konstruksi, bukan given,

akibat adanya proses intersubjektivitas antaraktor (Viotti dan Kauppi, 2010). Di dalam

konteks hubungan antar negara pun struktur internasional mempengaruhi identitas dan

interest aktor. Sedangkan di sisi lain, struktur internasional tidak akan ada jika tidak

adanya aktor-aktor dengan identitas dan interest tertentu yang mendinamisasi (Reus-

Smit, 2005). Dalam hal kaitannya dengan pengaruh identitas di dalam membentuk

action dan interest suatu negara penulis melihat dari konsep yang di kemukakan oleh

Kuniko Ashizawa menggunakan Value Action Framework (VAF) yang berdasar

kepada Foreign Policy Analysis (FPA) dalam menjelaskan mengenai hubungan antara

identitas, interest, dan action. Menurut Ashizawa (2008) identitas akan memunculkan

values tertentu, dimana values ini kalau dilihat dalam struktur internasional biasanya

adalah elit politik suatu negara. Dari values yang muncul tersebut akan muncul satu

atau lebih value yang dominan. Value yang dominan ini kemudian mengakomodasi

beberapa value lainnya dan akhirnya kelompok tersebutlah yang memunculkan

kebijakan. Jika dilihat dari sudut pandang kebijakan luar negeri dapat diartikan bahwa

kekuatan politik yang berkuasa di suatu negara dapat mempengaruhi kebijakan negara

tersebut dengan cukup signifikan.

4

Dari sini dapat dilihat bahwa kebijakan luar negeri di suatu negara tidak bersifat statis

melainkan dinamis mengikuti national interest negara tersebut dan perubahan

lingkungan internasional di dalam memenuhi kepentingan tersebut. Modelski (1962

dalam Dugis, 2008) menyatakan ada beberapa konsep dasar dari sebuah kebijakan luar

negeri yaitu pembuat kebijakan, tujuan, prinsip, power untuk mengimplementasikan

dan memperkirakan konteks keadaan dimana kebijakan tersebut akan direalisasikan.

Power menjadi penting karena biasanya jika ada negara dengan power yang tidak

begitu besar ingin menerapkan kebijakan luar negeri atau melakukan kerjasama dengan

negara yang power nya jauh di atas, negara dengan power besar tersebut bisa saja tidak

menanggapi secara serius kerjasama tersebut. Hal tersebut didasari oleh pendapat

Rosenau (1976, dalam Dugis 2008: 102) bahwa kebijakan luar negeri terdiri dari

orientasi, komitmen untuk merencanakan aksi dan tingkah laku. Disini dapat dilihat

bahwa komitmen cukup berkaitan dengan power karena seperti yang sudah dijelaskan

sebelumnya perbedaan power yang besar bisa mempengaruhi komitmen.

Dengan adanya elemen dan faktor yang sudah disebutkan tentunya kebijakan luar

negeri suatu negara dapat berubah sesuai dengan kondisi yang ada dari negara yang

bersangkutan. Menurut Dugis (2008) perubahan kebijakan luar negeri dibagi menjadi

dua yaitu perubahan yang dipengaruhi oleh rezim atau perubahan akibat keputusan

pemerintah yang sengaja ingin mengubah arah kebijakan luar negeri negara tersebut.

Pertama, perubahan kebijakan luar negeri akibat perubahan rezim kerap berhubungan

dengan perubahan sistem politik yang dianut suatu negara. Hal tersebut tentu akan

mengubah arah kebijakan luar negeri negara tersebut, namun perubahan arah kebijakan

juga dapat terjadi sebagai self-correcting (Herman, 1990 dalam Dugis, 2008).

Ada beberapa penulis yang juga mengkaitkan identitas dengan kebijakan luar negeri

suatu negara. Contohnya Renner dan Horelt (2008) dalam artikelnya yang berjudul

Competing Identity – Constructions in Post War Croatia. Di dalam artikelnya Renner

dan Horelt mengkaitkan konsep identitas ke dalam perubahan arah kebijakan luar

negeri Kroasia. Renner dan Horelt (2008) menghubungkan identitas Kroasia sebagai

5

negara Balkan dan negara Eropa dengan kebijakan dilematis mereka terhadap

International Crime Tribune for Yugoslavia (ICTY). Dalam analisanya, Renner &

Horelt (2008) berpendapat bahwa interaksi baru kroasia dengan Uni Eropa

menimbulkan identitas baru Kroasia sebagai bangsa Eropa. Hal tersebut memicu sifat

dilematis dalam kebijakan mereka, terutama jika dikaitkan dengan identitas lama

mereka sebagai bangsa balkan, dengan kata lain solidaritas etnis Balkan. Dua identitas

Kroasia tersebut saling berkompetisi dan mempengaruhi sifat dilematis kebijakan luar

negeri mereka. Di dalam contoh lainnya Ashizawa (2008) juga menganalisis kebijakan

luar negeri Jepang terhadap negara Asia Tenggara setelah perang dingin terutama

dalam kasus APEC dan ARF. Kebijakan luar negeri ini dijelaskan oleh Ashizawa

(2008) dengan adanya konstruksi identitas baru bangsa Jepang sebagai partner yang

pasif. Dengan identitas baru tersebut, Kepentingan utama Jepang adalah berusaha

meraih kembali kepercayaan dari bangsa – bangsa Asia Tenggara yang juga merupakan

bekas jajahan Jepang. Kepentingan inilah yang menurut Ashizawa mendasari tindakan

Jepang untuk bergabung dalam APEC dan ARF.

Sikap Aliansi Barat Kepada Rusia

Seperti yang sudah penulis katakan diawal bahwa salah satu pemicu utama mengapa

Rusia mulai memperluas kebijakan luar negerinya ke timur, dalam hal ini ASEAN,

karena adanya pidato dari putin yang kurang lebih menyatakan bahwa Rusia seperti

kurang dianggap sebagai mitra yang sejajar di Barat. Rusia di era ketika Vladimir Putin

menjabat sebagai petinggi negara (baik sebagai PM ataupun Presiden) telah memulai

usaha supaya Rusia tetap dianggap sejajar oleh Barat dalam hal ini Uni Eropa. Rusia

bersama Perancis dan Jerman telah memulai KTT Perancis – Jerman – Rusia decara

rutin sejak 1997. Pertemuan Troika tersebut ditujukan untuk memungkinkan kemitraan

strategis dengan Rusia pada ekonomi Eropa dan masalah keamanan pada saat negara-

negara Eropa lain masih belum siap. Dari sisi Rusia kemitraan itu diharapkan dapat

6

membuat Moskow merasa bahwa meskipun bukan anggota Uni Eropa atau NATO,

mereka tidak dikecualikan dari pengambilan keputusan di Eropa.

Dalam hal ini, Rusia telah melakukan beberapa upaya untuk mengintegrasikan dirinya

ke dalam tatanan Eropa yang baru. Pada Oktober 1999 KTT Uni Eropa diselenggarakan

di Helsinki, Finlandia dan saat itu Perdana Menteri Vladimir Putin mengusulkan untuk

meningkatkan kerjasama strategis antara Uni Eropa dan Rusia. Putin kemudian mulai

kepresidenannya dengan usulan kongkret menggabungkan Rusia dalam arsitektur

ekonomi dan keamanan Eropa abad ke-20. Ketika Gerhard Schroeder menjadi Kanselir

Jerman, ia memulai sebuah dialog energi luas yang hampir berkembang menjadi aliansi

energi strategis antara Uni Eropa dan Rusia pada tahun 2005. Dalam pidatonya di

Reichstag pada September 2001, Putin mengusulkan penggabungan sumber daya besar

energi Siberia dengan teknologi lebih Uni Eropa. Pada tahun 2002 ia mengusulkan

penghapusan rezim visa antara Rusia dan Uni Eropa (Ciptowiyono, 2015).

Uni Eropa menanggapi dengan hati-hati penawaran Putin dan merumuskan pendekatan

secara perlahan melalui kerjasama dalam empat bidang yaitu luar negeri, ekonomi,

keamanan domestik, dan isu-isu budaya, tapi hanya sedikit kemajuan nyata yang telah

dicapai. Selama Perang Dingin, Uni Eropa berambisi untuk melakukan penyatuan

ekonomi yang terdiri dari negara-negara yang berbagi tujuan atas kepentingan

komunitas yang sama. Khawatir bahwa mereka bisa menjadi sasaran pemerasan

geopolitik, orang Eropa telah memutuskan untuk melakukan diversifikasi

ketergantungan mereka pada ekspor energi dari Rusia. Pada gilirannya, pihak

berwenang di Rusia telah mengancam untuk mengalihkan kerjasama energi mereka ke

Asia jika Uni Eropa menolak kesepakatan Rusia. Sikap keras ini menunjukkan

keinginan Moskow untuk menantang status quo politik energi Eropa (Ciptowiyono,

2015).

Hubungan antara Rusia dengan barat semakin memburuk ketika terjadi konflik di

Krimea pada 2014. Ketika terjadi krisis di Krimea, Rusia memanfaatkan situasi

7

tersebut dengan intervensi ke dalam krisis yang terjadi di Krimea tersebut. Hal ini

dilakukan oleh Rusia karena Rusia menganggap mayoritas warga Krimea masih ingin

menjadi bagian dari Rusia, karena seperti yang sudah diketahui bahwa Di tahun 1954,

Nikita Khruschev, Sekjen Partai Komunis Uni Soviet menyerahkan Krimea sebagai

kado simbolis kepada Ukraina ketika Moskow masih berkuasa. Setelah runtuhnya Uni

Soviet di tahun 1991 dan merdekanya Ukraina dari Uni Soviet maka sejak itu Krimea

selalu menjadi sumber ketegangan antara Rusia dan Ukraina (Amdjad, 2014).

Di sisi lain karena sikap Rusia ini, Uni Eropa dan AS sangat mengecam sikap Rusia ini

karena merupakan pelanggaran kedaulatan Ukraina. Akibatnya saat itu Uni Eropa

mengumumkan penundaan pembicaraan bilateral dengan Rusia mengenai masalah visa

dan mengancam akan membekukan aset Rusia serta membatalkan KTT Uni Eropa-

Rusia. Namun karena Rusia tidak juga mengubah sikapnya akhirnya aliansi barat

menjatuhkan sanksi kepada Rusia. Sanksi yang dijatuhkan lumayan beragam, seperti

sanksi pertama yang dijatuhkan adalah penangguhan kerjasama militer dan kerjasama

luar angkasa (Lossan, 2014).

Sanksi terhadap Rusia telah memicu derasnya aliran modal keluar dari negara tersebut.

Pada akhir 2014, menurut Departemen Keuangan, aliran keluar ini mencapai 70-80

miliar dollar AS. Selama kuartal pertama 2014, sektor swasta telah menarik 50,6 miliar

dollar AS keluar dari Rusia. Sebagai perbandingan, tahun lalu sektor swasta hanya

menarik 27,5 miliar dollar AS. Untuk tetap menjada perekonomian Rusia tetap stabil,

Putin menghimbau beberapa perusahaan Rusia terdaftar di luar negeri untuk mengejar

pajak yang lebih rendah dan mengambil jarak dari pemerintahan di Kremlin, sehingga

Presiden Vladimir Putin mengimbau pada para pengusaha Rusia agar kembali ke

negaranya dan melakukan investasi di dalam negeri (www.dw.com, 2014).

Rusia tentu tidak tinggal diam atas deretan sanksi yang dilancarkan oleh barat. Rusia

langsung memberlakukan embargo impor pangan dari Uni Eropa hingga sebesar 10

persen dan dianggap berpotensi menimbulkan krisis. Meski embargo ini juga

8

merugikan Rusia karena kekurangan pasokan bahan pangan segar, namun di sisi lain

membuat banyak eksportir harus mencari pasar baru dan kemungkinan kehilangan

pasar dari negara-negara berkembang. Rusia mengimpor 35 persen makanan untuk

konsumsi warganya. Sekitar 10 persen impor bahan pangannya yang bernilai hingga

16 miliar dollar setahun berasal dari Uni Eropa. Di antara 18 negara anggota Uni Eropa,

Jerman dan Belanda adalah dua negara pemasok bahan pangan terbesar ke Rusia.

Selain itu Rusia juga memberlakukan embargo untuk bahan makanan dari AS yang

membuat AS kehilangan 310 juta dollar dari ekspor daging ayam, 170 juta dollar dari

penjualan kacang, 157 juta dollar dari kedelai dan hewan ternak bernilai 149 juta dollar

(https://internasional.kompas.com, 2014).

Puncaknya di tahun 2014 ketika Putin pada upacara penandatanganan perjanjian

dengan Krimea dan Sevastopol, dia mengeluarkan pidato yang cukup kontroversial.

Dia berkata :

“Kami sudah ditipu berulang kali. Mereka membuat keputusan di belakang punggung

kami dan menempatkannya di hadapan kami sebagai fait accompli (kejadian memaksa

yang tidak dapat dihindari dan harus dihadapi” (RBTH, 2014).

Dalam pidatonya di hadapan Dewan Federasi, Putin menjelaskan bahwa peristiwa-

peristiwa tahun 2014 mengingatkannya pada pristiwa di tahun 1941–1942, ketika Uni

Soviet menerima pukulan telak dari Nazi Jerman dan nyaris kalah. Dalam analogi ini,

periode kemunduran saat ini harus diikuti dengan sesuatu yang mirip dengan

kemenangan besar di Stalingrad, pertempuran tank Kursk, atau dimulainya arak-arakan

Tentara Soviet ke Barat pada 1943 yang berbuah kemenangan. Putin menantikan

peristiwa semacam itu untuk membalikkan keadaan pada 2015.

9

Jalinan Kerjasama Rusia-ASEAN

Pasca Perang Dunia II, dua kekuatan besar di dunia kala itu, yaitu Amerika Serikat dan

Uni Soviet saling berlomba untuk menyebarkan ideologi mereka masing-masing ke

negara di dunia, biasanya ke wilayah Asia Pasifik. Slogan Rusia "turn to the east"

adalah keputusan logis dari pemerintah Rusia karena Moskow bertujuan untuk

mendiversifikasi ikatan kebijakan luar negerinya dan mengembangkan wilayah Siberia

dan wilayah Timur Jauh Rusia. Setelah KTT APEC di Vladivostok yang telah

diselenggarakan pada tahun 2012, Rusia mulai lebih memperhatikan tidak hanya

hubungan dengan mitra-mitra utamanya di Asia (China, Korea Selatan dan Jepang),

tetapi juga untuk lembaga-lembaga yang berlokasi di Asia. Misalnya pada tahun 2016

Federasi Rusia dan ASEAN mengadopsi Deklarasi Sochi yang pada saat itu topik

pertemuannya adalah ''to establish a strategic partnership and achieve regional peace,

stability and prosperity''. Selain itu, Rusia mulai meningkatkan kehadirannya di Asia-

Pasifik dengan meningkatkan jumlah latihan militer dan penempatan fasilitas militer di

Kepulauan Kuril yang tidak ditujukan terhadap musuh tertentu, tetapi dimaksudkan

untuk menunjukkan bahwa Rusia sekarang berada di wilayah tersebut (Ignatev, 2016).

Rusia memiliki tujuan utama sendiri di Asia. Pertama, Moskow ingin memperkuat

kerja sama dengan negara-negara Asia Tenggara. Kedua, Rusia mencoba untuk

mencapai kemitraan strategis dengan ASEAN sebagai sekelompok negara di sebuah

kawasan. Ketiga, Moskow berusaha untuk lebih terlibat dalam platform dan institusi

dialog multilateral Asia. Dan akhirnya, Rusia lebih memilih untuk memiliki hubungan

bilateral tidak hanya dengan China, tetapi dengan negara-negara lain di kawasan ini.

Hal ini dilakukan Rusia karna Amerika Serikat pada saat itu juga mulai menaruh

perhatian di wilayah tersebut karena pada saat itu salah satu tujuan kebijakan AS di

Asia-Pasifik adalah untuk menyeimbangkan kebijakan di Asia Timur Laut dan Asia

Tenggara yang didasarkan pada diversifikasi geografis dan pengakuan peran penting

dari negara di wilayah samudra hindia dan asia tenggara.

10

1. Keamanan

Jika bicara tentang persaingan AS dan Rusia tentu tidak pas jika tidak

membicarakan era perang dingin. Pada era tersebut kawasan Asia Tenggara

juga menjadi salah satu wilayah “perang” antara dua negara ini. Perang ideologi

antara keduanya cukup terasa di wilayah ini. Awalnya pengaruh komunis cukup

besar di wilayah ini, sebagai contohnya dari apa yang terjadi di Vietnam, oleh

karena itu Amerika Serikat kala itu juga mengeluarkan kebijakan “contaiment

policy” dimana Amerika mempropagandakan adanya ‘keamanan bersama’

bagi Asia Tenggara sebagai bentuk perlawanan terhadap komunis. Di era yang

memasuki perang dingin saat itu, isu keamanan menjadi yang utama terutama

di wilayah-wilayah yang terdapat “perang” ideologi antara AS dan Uni Soviet.

Khusus bagi ASEAN, pasca perang dingin isu keamanan yang menjadi fokus

adalah keamanan lingkungan dan keamanan ekonomi yang merujuk pada akses

sumber daya, keuangan, pasar, serta upaya memelihara dan meningkatkan

tingkat kesejahteraan dan kemakmuran. Karena itu, ASEAN melakukan

kerjasama baik dengan Amerika Serikat, China, Rusia, Jepang, dan lain-lain

sebagai kekuatan besar di Asia Tenggara.

Salah satu tujuan utama Vladimir Putin sejak awal ia berkuasa adalah untuk

mengembalikan kedigdyaan Rusia di dunia seperti saat era Uni Soviet dulu.

Salah satu kunci utama untuk membangkitkannya kembali adalah dengan

merevitalisasi angkatan bersenjata mereka. Pada tahun 2010, Putin

mengumumkan program senilai 650 miliar dollar AS selama sepuluh tahun

untuk memodernisasi militer Rusia. Hal itu dilakukan untuk menanamkan

power mereka ke wilayah yang strategis, salah satu yang utama adalah di

wilayah Asia Pasifik. Pintu masuk ke wilayah tersebut yang paling

memungkinkan bagi Rusia adalah melalui ASEAN dengan aggotanya. Selama

ini di bidang militer yang paling intens kerjasama dengan Rusia adalah Vietnam

yang terus menunjukkan grafik meningkat, seperti perdagangan dua arah antara

11

Moskow dan Hanoi mencapai 5,2 milliar dollar AS meningkat 29 persen

(matamatapolitik.com). Rusia juga telah berkomitmen untuk menetapkan FTA

EAEU-Singapura. Perdagangan bilateral juga telah meningkat dari 1,38 milliar

Dollar AS menjadi 5,38 milliar Dollar AS selama sedekade terakhir.

Secara komprehensif kerjasama Rusia-ASEAN dimulai pada tahun 2005 di

Rusia-ASEAN Summit yang pertama pada bulan Desember di Kuala Lumpur.

Dimana saat itu Rusia ASEAN dan Rusia menandatangani Deklarasi Bersama

Kepala Negara / Pemerintahan Negara-negara Anggota ASEAN dan Rusia.

Deklarasi tersebut bertujuan untuk mempromosikan dan memperkuat

kemitraan ASEAN-Rusia dalam berbagai bidang termasuk politik dan

keamanan, dan ekonomi dan pembangunan. ASEAN dan Rusia juga

mengadopsi Program Komprehensif Aksi 2005-2015 untuk mewujudkan

tujuan dan sasaran yang ditetapkan dalam Joint Statement. ASEAN-Rusia

kerjasama dilakukan di bawah kerangka Comprehensive Programme of

Actions (CPA) untuk mempromosikan kerjasama ASEAN dan Federasi Rusia

2005-2015 (ASEAN, 2016).

2. Politik

Di bidang politik sejatinya secara resmi kerjasama Rusia-ASEAN dimulai pada

tahun 1996 ketika Rusia secara resmi menjadi Miitra Wicara ASEAN pada

AMM/PMC ke -29 di Jakarta. Dasar pertimbangan untuk membentuk

kemitraan tersebut adalah status Rusia sebagai anggota tetap Dewan Keamanan

PBB, yang diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ASEAN.

Disamping itu besarnya pasar ekonomi Rusia serta sumber daya alam yang

dimilikinya juga merupakan peluang bagi ASEAN untuk lebih meningkatkan

hubungan dengan Rusia dibidang-bidang pembangunan, Ilmu pengetahuan dan

Teknologi, Perdagangan, Sumber Daya Manusia, Investasi dan Ekonomi,

12

Lingkungan hidup, Pariwisata, Kebudayaan serta peningkatan people-to-people

contact (kemlu.go.id, 2016).

Secara komprehensif kerjasama Rusia-ASEAN terjalin di tahun 2005 tepatnya

pada KTT Rusia-ASEAN pertama di Kuala Lumpur, Malaysia. KTT ini

kemudian menjadi agenda yang cukup rutin dilaksanakan, yang mana KTT

kedua dilaksanakan pada tahun 2010 dimana salah satu bahasan utamanya

adalah persiapan menuju Asia-Pacific Economic Cooperation atau biasa

disebut APEC (asean.org, 2010). Kemudian secara signifikan peningkatan

terjadi ketika KTT ketiga yang dilaksanan pada 14 November 2018 ketika

Rusia dan ASEAN yaitu ketika meningkatkan hubungan dialog Rusia-ASEAN

menjadi Kemitraan Strategis.

Pada tahun 2013 Perdana Menteri Rusia saat itu, Dmitry Medvedev

mengeluarkan Konsep Kebijakan Luar Negeri baru dimana Medvedev

menyatakan bahwa konsep tersebut menekankan perubahan arah kebijakan luar

negeri Rusia dari Eropa dan Amerika ke arah Timur yang meliputi Asia Timur,

Afrika dan Amerika Latin (Anon, 2017). Untuk lebih mempertegas hal tersebut,

pada tahun 2015 di pagelaran KTT Asia-Pasific Economic Cooperation

(APEC) di Manila dan Konferensi Asia Timur di Malaysia juga dihadiri oleh

PM Rusia Dmitry Medvedev dapat diartikan bahwa Rusia memang mulai

memfokuskan kebijakan luar negerinya ke arah Asia Tenggara (Mikheev dan

Strokan, 2015). Lalu di tahun 2016 terbentuk Sochi Declaration yang

ditandatangani pada KTT Rusia-ASEAN, yang sekaligus menandai 20 tahun

terjalinnya kemitraan dialog antara Rusia-ASEAN. Pada deklarasi tersebut

disebutkan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun tersebut Rusia dan ASEAN

telah menjalin kerjasama di berbagai bidang seperti politik, keamanan,

perdagangan dan ekonomi, budaya, people to people exchange dan kerja sama

pembangunan. Dimana mereka menyebut bahwa kerjasama tersebut juga

13

memperkuat dan meningkatan perdamaian, stabilitas dan kemakmuran regional

(Anon, 2016).

3. Ekonomi

Konsultasi Pertama antara Menteri Ekonomi ASEAN (AEM) dan Menteri

Ekonomi Rusia diadakan pada Agustus 2010 di Da Nang, Vietnam, yang

menciptakan momentum untuk membawa hubungan perdagangan dan ekonomi

ke tahap baru. Para Menteri mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan arus

perdagangan dan investasi serta kerja sama ekonomi antara ASEAN dan Rusia,

termasuk fasilitasi perdagangan, standar dan kesesuaian, energi, pengembangan

UKM, ketahanan pangan, pariwisata, layanan transportasi udara dan energi

terbarukan. Selanjutnya, Konsultasi ke-2 AEM-Rusia yang diselenggarakan

pada 21 Agustus 2013 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam,

mengesahkan Program Kerja untuk Roadmap Perdagangan dan Investasi

ASEAN-Rusia, yang mencakup bidang-bidang berikut: fasilitasi perdagangan

dan investasi dan liberalisasi, energi , pengembangan rantai logistik,

pengembangan sumber daya manusia, pariwisata, pengembangan UKM,

inovasi dan modernisasi dan penciptaan kekayaan intelektual, dan dialog bisnis

(Anon, 2016).

Pada 1 November 2017 Delegasi bisnis Rusia, Leader Club dan Business for

Strategy Initiative Rusia yang dipimpin oleh Olga Ivanova, melakukan

kunjungan ke gedung Small Medium Enterprise Cooperative (SMESCO) yang

tidak lain adalah tempat perdagangan UKM, guna menjajaki peluang dan

kerjasama dagang (TEMPO, 2017). Walaupun kunjungan ini sebenarnya tujuan

utamanya hanya untuk sharing knowledge saja, namun yang patut diperhatikan

adalah negara seperti Rusia yang orientasi KLN nya sebenarnya bukan di

softpower, bersedia melakukan perjanjian kerjasama dengan ASEAN di bidang

tersebut. Menurut penulis ini menunjukkan bahwa Rusia benar-benar ingin

14

“membangun” kekuatan lain untuk menyaingi entitas-entitas lain yang disebut

Putin telah meremehkan Rusia.

Di bidang ekonomi ini peningkatan signifikan yang terjadi ada pada tahun

2014, dimana Rusia adalah mitra perdagangan terbesar ke-14 ASEAN dengan

nilai perdagangan dua arah mencapai 22,5 miliar dollar AS. Angka tersebut

menunjukkan peningkatan 13 persen dari jumlah pada tahun 2013 (19,95 miliar

dollar AS).

4. Sosial Budaya

Sejumlah kegiatan bersama telah dilakukan dalam ilmu pengetahuan dan

teknologi, energi, UKM, pariwisata dan pengembangan sumber daya manusia.

Proyek kerjasama kerjasama Rusia-ASEAN didanai oleh Dana Kemitraan

Dialog Kemitraan ASEAN-Federasi Rusia atau ASEAN-Russian Federation

Dialogue Partnership Financial Fund (DPFF) yang dibentuk pada Juni 2007

dengan kontribusi awal sebesar 500.000 dollar AS. Selain itu Rusia juga

melakukan usaha lain dalam rangka pendekatan yang lebih indvidu antar

masyarakat Rusia dan ASEAN yaitu dengan didirikannya ASEAN Center di

Moskow pada 15 Juni 2010 di Moscow State University of International

Relations (MGIMO). Pendekatan individu yang dimaksud dalam hal ini adalah

Untuk lebih mempromosikan kontak people to people contacts, memfasilitasi

studi dan memberikan informasi tentang ASEAN dan Rusia, serta

mempromosikan perdagangan, pariwisata diantara keduanya (Anon, 2016).

Tidak cukup sampai disitu, Rusia dan ASEAN juga menjalin kerjasama di

bidang yang lebih jauh dari hard politics yaitu budaya. Dalam kerjasama di

bidang budaya ini Rusia dan ASEAN menandatangani ASEAN-Russia

Agreement on Cultural Cooperation di sela-sela perhelatan KTT ASEAN-

Rusia Kedua pada bulan Oktober 2010 di Ha Noi. Perjanjian ini bertujuan untuk

mempromosikan dan mengembangkan kerjasama dan pertukaran di bidang

15

musik, teater, arsip, perpustakaan, museum, warisan budaya, tari, seni visual,

film, hak cipta, kerajinan rakyat, seni dekoratif dan terapan, sirkus dan bentuk

artistik lainnya. Beberapa kegiatan yang sudah terselenggara akibat adanya

perjanjian ini adalah Orkestra Simfoni Pemuda ASEAN-Rusia, yang berhasil

diselenggarakan di Bali pada November 2011, Phnom Penh pada November

2012 dan di Bandar Seri Begawan pada September 2013. Sebagai bagian

peringatan HUT ke-20 Hubungan Dialog ASEAN-Rusia, ASEAN dan Rusia

telah menetapkan tahun 2016 sebagai Tahun Kebudayaan ASEAN-Rusia dan

untuk melakukan kegiatan budaya peringatan sepanjang 2016 (Anon, 2016).

Dapat dilihat jika kerjasama antara dua entitas sudah meliputi hal yang sifatnya

jauh dari hard politics, bisa diartikan bahwa kerjasama tersebut terjalin dengan

cukup ”intim”. Dalam konteks Rusia dan ASEAN hal ini cukup menarik,

karena biasanya kerjasama model seperti ini terjalin dengan salah satu entitas

merupakan big power yang sudah disegani di dunia. Sedangkan dalam

konstelasi seperti sekarang Rusia masih dibawah Amerikas Serikat, Tiongkok

dan bahkan negara-negara Eropa yang tergabung di dalam Uni Eropa.

Efektifitas Kerjasama

Secara retorik, Rusia telah menganggap ASEAN sebagai mitra yang penting. Namun,

hubungan Rusia dengan ASEAN masih terhitung biasa saja. Hubungan ekonomi Rusia-

ASEAN sejatinya tidak terlalu intens, sedangkan di dalam hubungan internasional

bidang ekonomi adalah bidang utama yang dapat menentukan bagaimana status

hubungan antara dua entitas. Rusia memang telah menjadi anggota forum keamanan

yang dipimpin ASEAN selama lebih dari dua dekade, tetapi tidak pernah menjadi

anggota yang proaktif. Contohnya seperti di EAS, meskipun Rusia menjadi anggota

pada tahun 2011, Presiden Putin belum pernah sekalipun menghadiri pertemuan

puncak. Menteri luar negeri Putin, Sergey Lavrov, mewakili Rusia di EAS dari tahun

16

2011 hingga 2013, sementara Perdana Menteri Medvedev menghadiri KTT 2014 dan

2015. Sebaliknya, Presiden Obama telah menghadiri empat pertemuan puncak EAS

(http://www.cadenagramonte.cu, 2015).

1. Ekonomi

Dalam hal keterlibatan ekonomi dengan Asia Tenggara, Rusia adalah pemain

yang sangat kecil. Ekspor utama Rusia ke wilayah tersebut terdiri dari sumber

daya alam, terutama minyak dan gas. Oleh karena itu awalnya negara-negara di

Asia Tenggara tidak menganggap serius keterlibatan Rusia ini. Setelah Putin

mengeluarkan pernyataan “turn to east” sebagai bagian dari poros Asia-nya,

Rusia telah mencoba untuk meningkatkan ekspor ke wilayah tersebut, terutama

di daerah-daerah dimana ia unggul seperti sistem persenjataan dan teknologi

nuklir (Storey, 2015). Karena awalnya Vietnam adalah negara yang sudah

terlebih dahulu menjalin kerjasama dengan Rusia, maka Rusia menawarkan

komoditas ekspor mereka kepada mereka terlebih dahulu. Pada tahun 2012,

Perusahaan Rosatom State Atomic Energy Corporation milik Rusia

memenangkan tender untuk memasok Vietnam dengan dua pembangkit listrik

tenaga nuklir (yang pertama di negara Vietnam) dan ditargetkan akan selesai

pada 2023-2024. Di sisi lain Rusia juga menawarkan kepada Myanmar,

Indonesia bahkan Kamboja untuk menyediakan teknologi nuklir mutakhir

(usatoday.com, 2013).

Namun diluar dari usaha-usaha Rusia dalam menjalin dan menawarkan

kerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara di bidang teknologi

dan persenjataan, tampaknya hanya ada sedikit ruang untuk memperluas

kerjasama perdagangan antara Rusia-ASEAN. Data statistik menyoroti

hubungan ekonomi yang lemah antara Rusia dan ASEAN. Pada tahun 2014,

Rusia adalah mitra perdagangan terbesar ke-14 ASEAN dengan nilai

perdagangan dua arah mencapai 22,5 miliar dollar AS. Angka tersebut memang

17

menunjukkan peningkatan 13 persen dari jumlah pada tahun 2013 (19,95 miliar

dollar AS) tetapi tetap hanya 0,9 persen dari total jumlah nilai kerjasama dengan

negara di peringkat sepuluh besar kerjasama dengan ASEAN (ASEAN.org,

2014). Jika hanya dilihat dari nominal angka jumlah tersebut memang besar,

namun kalau dibandingkan dengan negara lain yang bekerjasana dengan

ASEAN jumlah tersebut terbilang minim, apalagi dengan negara yang power

nya sebesar Rusia. Sebagai perbandingan, Perdagangan ASEAN dengan China

sebesar 366,5 miliar dollar AS (14,5 persen), Uni Eropa 248 miliar dollar

AS(9,8 persen), Jepang 229 miliar dollar AS (9,1 persen), Amerika Serikat 212

miliar dollar AS (8,4 persen) dan bahkan India masih lebih besar yaitu 67,7

milyar dollar AS (2,7 persen) (Storey, 2015).

2. Militer dan Keamanan

Salah satu tujuan utama Vladimir Putin sejak awal ia berkuasa adalah untuk

mengembalikan kedigdyaan Rusia di dunia seperti saat era Uni Soviet dulu.

Salah satu kunci utama untuk membangkitkannya kembali adalah dengan

merevitalisasi angkatan bersenjata mereka. Peningkatan alat-alat pertahanan

dan platform senjata terbaru telah memungkinkan militer Rusia untuk lebih

meningkatkan jatidiri dan eksistensi mereka secara global sebagai great power,

termasuk di Asia-Pasifik. The Pacific Fleet, yang berkantor pusat di

Vladivostok, telah menugaskan kapal-kapal baru mereka termasuk kapal selam

balistik bertenaga nuklir, meskipun secara keseluruhan jika dibandingkan

dengan era Sovet terdahulu ini masih terhitung kecil (Gady, 2015).

Untuk lebih mempermudah memasok persenjataan ke pangkalan militer

mereka di asia pasifik Rusia kembali memanfaatkan kedekatan mereka dengan

salah satu negara di Asia Tenggara yang juga anggota ASEAN. Pada November

2014 Moskow menandatangani perjanjian dengan Hanoi yang memberikan

akses reguler angkatan laut Rusia dan angkatan udara ke fasilitas di Pelabuhan

18

Cam Ranh. Dengan adanya perjanjian ini Rusia dapat memasok peralatan

militer mereka khususnya yang berbasis nuklir dengan lebih mudah seperti

meriam nuklir TU-95. Tujuan Putin untuk lebih menunjukkan eksistensi Rusia

sebagai great power kepada dunia global mulai berhasil ketika Washington

menegur Hanoi pada Januari 2015 karena mengizinkan Rusia menggunakan

Cam Ranh Bay yang berdampak meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut

(Lee dan Collin, 2015).

Kesimpulan

Dari semua penjelasan penulis di atas, sesuai hipotesis penulis di mana dapat dilihat

bahwa Rusia mengeluarkan slogan turn to the east karena Putin merasa keberadaan

Rusia di aliansi Barat tidak dianggap serius. Putin tidak menyukai hal ini karena ia

merasa Rusia masih merupakan kekuatan Agung seperti era Uni Soviet terdahulu dan

ingin membangkitkan kejayaan tersebut dan bersaing kembali secara neck to neck

dengan rival utama mereka sejak era perang dingin yang sampai sekarang masih

menjadi negara dengan power terbesar dan mendominasi, yaitu Amerika Serikat.

Keinginan Rusia dalam slogan turn to the east nya sejatinya adalah untuk mencari

partner yang sekiranya dapat menjadi “alat” bagi Rusia dalam rangka menjadikan

Rusia negara yang benar-benar kuat seperti apa yang sudah dilakukan Soviet di era

perang dingin. Karena hal ini juga yang membuat para pengamat dan berdasar fakta

yang ada masih meragukan keseriusan Rusia dalam menjalin hubungan kerjasama

dengan ASEAN.

Dapat dikatakan bentuk-bentuk kerjasama yang terjalin antara Rusia-ASEAN

merupakan masa “percobaan” Rusia untuk mendapatkan “alat” untuk bersaing dengan

negara power besar lainnya seperti China dan Amerika Serikat. Rusia memilih ASEAN

power negara-negara ASEAN masih dibawah Rusia, sehingga Rusia dapat

19

menggunakan ASEAN sebagai “alat”. Dari semua kerjasama yang terjalin antara

Rusia-ASEAN kerjasama di bidang militer dan keamanan menurut penulis menjadi

fokus utama Rusia kedepannya, karena perdagangan senjata dengan ASEAN juga

sejalan dengan tujuan kebijakan luar negeri Putin, dimana ia ingin kekuatan global lain

memandang Rusia dengan serius sebagai negara adikuasa. Putin menjual senjata untuk

menyaingi negara lain di Laut China Selatan. Ini memberi Rusia sedikit pengaruh

sekaligus menempatkan Rusia sebagai negara yang diperhitungkan di wilayah Laut

China Selatan. Dari sinilah menurut penulis Putin menjadi yang terdepan di dalam

krisis internasional.

20

Daftar Pustaka

Aec.com. 2016. “Moving Towards a Strategic Partnership for Mutual Benefit”. [Pdf]

http://www.aec.com.mm/download/Sochi_Declaration_ENG.pdf (diakses

pada 5 Oktober 2018)

Al-Rasyid, Fauzan. 2016. “Rusia Usulkan Kerja Sama Ekonomi Antara UEE, ASEAN,

dan SCO”. [online] http://indonesia.rbth.com/news/2016/05/20/rusia-

usulkan-kerja-sama-ekonomi-antara-uee-ASEAN-dan-sco_594687 (diakses

pada 16 Maret 2017).

Amdjad, Mudzakir. 2014. “Krimea, Untung Rugi Bagi Rusia”. [Online]

https://www.merdeka.com/khas/krimea-untung-rugi-bagi-rusia-kolom-

dunia.html (diakses pada 14 Oktober 2018).

Amrebayev, Aidar. 2016. “Eurasia’s Economic Union and ASEAN: Why Interaction Is

Important”. [Pdf] https://www.rsis.edu.sg/wp-

content/uploads/2016/09/CO16233.pdf (diakses pada 1 Oktober 2018).

ASEANtoday. 2018. “Putin uses arms sales to ASEAN to increase Russian standing in

Southeast Asia”. [Online] https://www.ASEANtoday.com/2018/03/putin-

uses-arms-sales-to-ASEAN-to-increase-russian-standing-in-southeast-asia/

(diakses pada 2 November 2018).

ASEANtoday. 2018. “Strengthened ASEAN-Russian military links are a signal Russia

is serious about its pivot to Asia”. [Online]

https://www.ASEANtoday.com/2018/05/strengthened-ASEAN-russian-

military-links-are-a-signal-russia-is-serious-about-its-pivot-to-asia/ (diakses

pada 2 Oktober 2018).

ASEAN.org. 2016. “ASEAN-Russia Dialogue Partnership”. [Pdf]

http://www.ASEAN.org/storage/2016/01/4Jan/Overview-ASEAN-Russia-

January-2016-cl.pdf (diakses pada 5 Oktober 2018).

ASEAN.org. 2016. “Comprehensive Plan of Action to Promote Cooperation Between

The Association of Southeast Asian Nations and The Russian Federation”.

[Pdf] http://www.ASEAN.org/wp-content/uploads/2016/05/ASEAN-

Russia-CPA-2016-2020-Final1.pdf (diakses pada 5 Oktober 2018).

ASEAN.org. 2016. “Agreement between the Governments of the Member Countries of

the Association of Southeast Asian Nations and the Government of the

21

Russian Federation on Economic and Development Cooperation”. [Pdf]

https://ASEAN.org/?static_post=agreement-between-the-governments-of-

the-member-countries-of-the-association-of-southeast-asian-nations-and-

the-government-of-the-russian-federation-on-economic-and-development-

cooperation-kuala-lumpu (diakses pada 5 Oktober 2018).

ASEAN.org. 2017. “Statement of ASEAN and Russia Ministers of Foreign Affairs on

Joint Efforts to Counter International Terrorism”. [Pdf]

http://ASEAN.org/wp-content/uploads/2017/08/Statement-of-ASEAN-and-

Russia-Ministers-of-Foreign-Affairs-on-Joint-Eff....pdf (diakses pada 3

Oktober 2018).

BBC. 2014. “Uni Eropa Menambahkan Sanksi Krimea”. [Online]

https://www.bbc.com/indonesia/dunia/2014/03/140321_krimea_eu (diakses

pada 20 Oktober 2018).

Ciptowiyono, Isharyanto. 2015. “Jerman-Rusia, Hubungan Pragmatis diantara Banyak

Kekhawatiran”. [Online]

https://www.kompasiana.com/isharyanto/552e370e6ea834ce238b4568/jer

man-rusia-hubungan-pragmatis-diantara-banyak-kekhawatiran (diakses

pada 11 Oktober 2018).

Collin, Koh Swee Lean dan Nhina Le. 2015. “Vietnam and Great Power Rivalries”.

[Online] https://thediplomat.com/2015/03/vietnam-and-great-power-

rivalries/ (diakses pada 28 Oktober 2018).

Dija. 2016. “Larangan Impor Makanan dari Negara Barat Terus Berlanjut”. [Online]

https://www.hidayatullah.com/berita/internasional/read/2016/11/23/106019

/putin-justru-menguntungkan-rusia-larangan-impor-makanan-dari-negara-

barat-terus-berlanjut.html (diakses pada 20 Oktober 2018).

DW. 2014. “Sanksi Terhadap Rusia Mulai Tunjukkan Dampak”. [Online]

https://www.dw.com/id/sanksi-terhadap-rusia-mulai-tunjukkan-dampak/a-

17512631 (diakses pada 20 Oktober 2018).

DW. 2007. “Suasana Hubungan Rusia dengan Uni Eropa”. [Online]

https://www.dw.com/id/suasana-hubungan-rusia-dengan-uni-eropa/a-

2933446 (diakses pada 11 Oktober 2018).

Eyal, Jonathan. 2014. “The ‘Illogic’ behind Russia ‘s Asia Strategy”. [Online]

https://www.straitstimes.com/opinion/the-illogic-behind-russias-asia-

strategy (diakses pada 28 Oktober 2018).

Gady, Franz-Stefan. 2015. “What to Expect From Russia's Pacific Fleet in 2015”.

[Online] https://thediplomat.com/2015/03/what-to-expect-from-russias-

pacific-fleet-in-2015/ (diakses pada 23 Oktober 2018).

22

Glazyev, Sergei. 2015. “Russia and the Eurasian Union”, dalam Piotr Dutkiewicz and

Richard Sakwa (Eds), Eurasian Integration - The View From Within. Oxford

: Routledge.

Goncharoff, Paul. 2018. “EEU and ASEAN – The Bridges Between East and West”.

[Online] http://theduran.com/eeu-and-ASEAN-the-bridges-between-east-

and-west/ (diakses pada 25 Oktober 2018).

Hardoko, Ervan. 2014. “Rusia Terapkan Embargo Impor Pangan, Uni Eropa Paling

Merugi”. [Online]

https://internasional.kompas.com/read/2014/08/07/21514351/Rusia.Terapk

an.Embargo.Impor.Pangan.Uni.Eropa.Paling.Merugi (diakses pada 20

Oktober 2018).

Harrison, John. 2018. “Possible Trade Agreement between EEU and ASEAN”. [Online]

https://sputniknews.com/radio-pivot-to-asia/201809061067801471-

possible-trade-agreement-between-eeu-ASEAN/ (diakses pada 2 November

2018).

Hermann, M., 2008. Content Analysis. Dalam A. Klotz dan D. Prakash , eds. 2008.

Qualitative Methods in International Relations: A Pluralist Guide.

Hampshire: Palgrave MacMillan. pp. 151-167.

Ignatev, Sergei. n.d. “Challenges and opportunities for cooperation between Russia

and the US in the Asia-Pacific region”. [Pdf]

http://harriman.columbia.edu/files/harriman/content/policy%20memo_Sergei

%20Ignatev_0.pdf (diakses pada 3 Oktober 2018).

Lavrov, Sergei. 2010. “Russia and ASEAN Can Achieve A Great Deal Together”.

[online] https://interaffairs.ru/i/pdf_ASEAN/2.pdf

Levy, Jack S. 2002. “Qualitative Methods in International Relations”, in Frank P.

Harvey and Michael Brecher (ed.), Evaluating Methodology in

International Studies. Ann Harbor: the University of Michigan Press, pp.

116-130

Lossan, Alexey. 2014. “Seberapa Besar Pengaruh Sanksi Barat Terhadap Rusia?”.

[Online]

https://id.rbth.com/economics/2014/05/11/seberapa_besar_pengaruh_sanks

i_barat_terhadap_rusia_23769 (diakses pada 9 Oktober 2018).

Lo, Bobo. 2015. “Russia and the New World Disorder”. Washington : Brookings

Institution Press.

Martynova, S. Elena . 2014. “Strengthening of Cooperation Between Russia and

ASEAN: Rhetoric or Reality?”. Moscow : Wiley Periodicals Inc.

23

Maletin, Nikolai Pavlovich, et. Al. 2014. “Particularities of Relationship Between

Russia and ASEAN”. Moscow : Moscow State Institute of International

Relations.

Mirzayan, Gevorg. 2014. “Era Baru Kebijakan Luar Negeri Rusia Setelah Perang

Dingin”. [Online]

http://indonesia.rbth.com/politics/2014/04/03/era_baru_kebijakan_luar_neg

eri_rusia_setelah_perang_dingin_23511 (diakses pada 16 Maret 2017).

Parameswaran, Prashanth. 2016. “ASEAN and the EEU : Close to Free Trade Zone”.

[Online] https://thediplomat.com/2016/08/ASEAN-and-the-eeu-close-to-

free-trade-zone/ (diakses pada 30 Oktober 2018).

RBTH. 2014. “Era Baru Kebijakan Luar Negeri Rusia Setelah Perang Dingin”.

[Online]

https://id.rbth.com/politics/2014/04/03/era_baru_kebijakan_luar_negeri_ru

sia_setelah_perang_dingin_23511 (diakses pada 2 November 2018).

Roth, Andrew. 2015. “Russian Premier Says Annexation of Crimea Was Worth

Sanctions Fallout”. [Online]

https://www.nytimes.com/2015/04/22/world/europe/crimea-russia-sanctions-

medvedev.html (diakses pada 28 Oktober 2018).

Rusman. 2016. “ Menelaah Kembali Kepentingan Rusia Bidang Energi di Kawasan

Asia Tenggara”. [Online] http://www.theglobal-

review.com/content_detail.php?lang=id&id=19019&type=4#.WMqR6PlTKp

p (diakses pada 16 Maret 2017).

Sumsky, Victor dan Evgeny Kanaev. 2014. “Russia’s Progress in Southeast Asia:

Modest but Steady”. [online]

http://www.css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/gess/cis/center-for-

securities-studies/pdfs/RAD-145.pdf

Sokmen, Askin Inci. 2015. “Eurasian Economic Union’s Effect on Global Politics and

the World Economic System”. Istanbul : Istanbul Arel University.

Storey, Ian. 2015. “What Russia ‘Turn to The East’ Means for Southeast Asia”. [Pdf]

https://www.iseas.edu.sg/images/pdf/ISEAS_Perspective_2015_67.pdf

(diakses pada 3 Oktober 2018).

Strokan, Sergey dan Vladimir Mikheev. “Moskow Ubah Fokus Ke Asia Tenggara”.

[Online] http://indonesia.rbth.com/politics/2015/11/30/moskow-ubah-fokus-

ke-asia-tenggara_545811 (diakses pada 16 Maret 2017).

The Ministry of Foreign Affairs. 2018. “Press Realease of the Russia-ASEAN

Meeting”. [Online] http://www.mid.ru/en/foreign_policy/news/-

24

/asset_publisher/cKNonkJE02Bw/content/id/3314185 (diakses pada 25

Oktober 2018).

The Moscow Times. 2015. “Vietnam Signs Free Trade Agreement With Russian-Led

Economic Union”. [Online] https://themoscowtimes.com/articles/vietnam-

signs-free-trade-agreement-with-russian-led-economic-union-46976

(diakses pada 22 Oktober 2018).

The Moscow Times. 2015. “Russia Expands 'Pivot' East Beyond China to Vietnam and

Thailand”. [Online] https://themoscowtimes.com/articles/russia-expands-

pivot-east-beyond-china-to-vietnam-and-thailand-45638 (diakses pada 22

Oktober 2018).

Tsvetkov, Ivan. 2014. “Eksperimen Besar Putin Atas Kebijakan Luar Negeri Rusia,

Bandingkan Persepsi dan Realita”. [Online]

https://id.rbth.com/politics/2014/12/26/eksperimen_besar_putin_atas_kebija

kan_luar_negeri_rusia_bandingkan_p_26407 (diakses pada 2 November

2018).

USATODAY. 2013. “Russian president visits Vietnam to boost ties”. [Online]

https://www.usatoday.com/story/news/world/2013/11/11/putin-hanoi-

visit/3502857/ (diakses pada 22 Oktober 2018).

25