pengenalan tentang suku mee gagian ii
TRANSCRIPT
PENGENALAN TENTANG SUKU MEE DI PEDALAMAN PAPUA
I. Nama dan Bahasa
a. Nama Suku
Masyarakat Paniai menyebut dirinya sebagai Suku Mee atau sering di sebut juga Ani Mee atau
Ani Makodo Mee. Sebutan ini membedakan sebutan dari luar suku yaitu Suku Moni yang biasanya
menyebut Suku Mee dengan sebutan Suku Ekagi atau Ekari. Dan orang Pantai dalam hal ini Suku
Kamoro yang menyebut Suku Mee Kapauku (Orang Gunung). Kedua sebutan ini, secara umum
tidak diterima oleh Suku Mee, karena berkonotasi negatif 1.
Suku Mee terdiri dari kurang lebih 136 marga/fam. Marga atau fam inilah yang mendiami seluruh
wilayah Paniai secara umum.
Manusia Mee artinya “Manusia sejati”.
b. Bahasa
Bahasa yang dipakai sebagai alat komunikasi sehari-hari adalah bahasa Mee. Namun dalam
pemakain gaya bahasanya mengikuti tiga dialeg besar yaitu : Dialeg Mapiah, Dialeg Tigi dan
Kamuu, serta Dialeg Paniai (Enagotadi).
Misalnya : Sapaan Kata Selamat: Orang Mapiah menyebut Koha, Orang Kamuu dengan Tigi
menyebut Koha dan Orang Paniai (Enagotadi) menyebutnya koya “Amanai.”2
1 Bdk., Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya membangun masyarakat majemuk., ( Djambatan 1992), hal 245.2 Ibid.,
II. Pengenalan Letak Geografis3
a. lokasi
Suku Mee mendiami jatung pulau Papua yang berbentuk burung Mambruk ini. Dan tempat
kediamannya secara umum disebut Paniai. Kini daerah ini terdiri dari tiga Kabupaten yaitu :
Kabupaten Paniai (Enagotagi), Kabupaten Deyai (Wakeitei/Waghete), dan Kabupaten Dogiyai
(Moanemani). Daerah Paniai memimiliki tiga danau besar yaitu : Danau Paniai, Danau Tage, dan
Danau Tigi. Ketiga danau ini, terletak di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Deyai. Sedangkan di
Kabupaten Dogiyai terdapat juga dua Danau Kecil yaitu : Danau Makomo dan Danau Pekawagi.
Kedua danau inilah yang mengiri sepajang Lembah Kamuu sampai di Kali Uta Kokonau Kabupaten
Mimika.
Secara agraris pusat daerah Kabupaten Dogiyai adalah daerah yang subur. Karena letak wilayah
ini pada umumnya lembah yang dikelilingi oleh perbukitan dan gunung yang tinggi. Dan sering di
kenal dengan sebut Lembah Kamuu Yang Hijau (Kamuu Green Valley). Sedangkan Kabupaten Paniai
dengan Kabupaten Deiyai memiliki daerah yang terdiri dari perbukitan dan pegunungan. Dan
merupakan tempat hunian masyarakat. Dan secara agraris kedua daerah ini “kurang subur”.
Untuk menempuh ketiga kabupaten ini, biasanya ditempuh dengan menggunakan Transportasi
Darat dan Transportasi Udara.
Perbatasan berdasarkan letak geografis Suku Mee menunjukan, bahwa di wilayah Paniai bagian
Timur berbatasan dengan Suku Moni. Sedangakan bagian Barat berbatasan dengan Suku Kamoro
(Mimika). Dan bagian Selatan berbatasan dengan Suku Amungme (Agimuga), bagian Utara
berbatasan dengan salah satu suku asli Nabire/pesisir pantai yang biasanya orang mee menyebutnya
dengan istilah orang buna (Nabire).
Dearah Suku Mee merupakan wilayah pelayanan kegerejaan Keuskupan Timika, yang di bagi
dalam dua Dekenat yakni Dekenat Paniai dan Dekenat Kamuu-Mapiah. Dekenat Paniai membawai 9
paroki. Sedangkan Dekenat Kamuu-Mapiah membawai 6 paroki, 4
Daerah Suku Mee merupakan basis pekabaran Injil bukan hanya Agama Katolik, melainkan
Agama Kristen Protestan (Gereja Kingmi Injili). Kedua agama ini mejadi mayoritas di seluruh daerah
Suku Mee.
3 Ibid., 246.4 Hasil wawancara bersama saudara Rinto Dumatubun asal keuskupan Timika, di wisma Tiga Raja, tgl 22-09-2011.
III. Sistem mata pencarian tradisional
Mata pencarian orang Mee yang pokok adalah bercocok tanam di ladang. Mereka mengenal
sistim pembagian kerja antara wanita, pria, dan anak-anak, dalam kegiatan-kegiatan social seperti
berladang, berburu, mengasuh anak, dan mengatur ekonomi rumah tangga.
Pembagian kerja ini Nampak dari cara mengerjakan kebun, yang mula-mula dilakukan
oleh pria ( yaitu pekerjaan membersihkan alang-alang, menebang pohon, membakar belukar,
batang-batang, serta dahan-dahan kering, dan menggali parit sekeliling lahan ). Kemudian kaum
wanita mengumpulkan sisa-sisa kayu, yang mereka bawa pulang untuk kayu bakar, mencungkil
tanah dengan sekop, dan menanam beberapa jenis tanaman untuk makanan pokok mereka, yaitu
nota,( ubi rambat/jalar ).
Di samping memelihara babi ( Ekina ), orang Mee juga berburu kuskus pohon (Woda)
dan kuskus tanah serta jenis-jenis hewan liar seperti babi hutan, burung kasuari, mambruk, maleo,
dan jenis-jenis binatang lainnya.
Orang Mee juga menangkap ikan dan udang di danau dan sungai. Pekerjaan ini mereka
lakukan pada pagi, sore, dan malam hari dengan menggunakan (ebai), yang mereka benamkan di
dasar danau selama dua-tiga jam, bahkan bermalam.
Peralatan berburu orang Mee terdiri dari parang ( Mawai ), panah ( ukaa ), dan jerat
pohon, dan di samping itu mereka juga dibantu oleh anjing untuk memburu binatang buruannya.
Dengan ilmu gaib mereka mengharapkan dapat memanggil dan menangkap binatang. Orang Mee
menagkap kuskus pohon dengan cara memasang semacam perangkap di atas dahan yang selalu
dilalui oleh binatang tersebut.5
5 Koentjaraningrat dkk., Op cit., hal 247-248.
IV. Organisasi Sosial
a. Perkawinan
Perkawinan menurut masyarakat suku Mee adalah ikatan lahir batin antara pria dan
wanita atau suami dan isteri hingga mati. Dengan bertujuan untuk membentuk suatu rumah tangga
yang bahagia berdasarkan nilai hidup yang dimiliki oleh suku Mee. Untuk mempertahankan dan
meneruskan warisan menurut kebapaan, karena system keluarga suku Mee ialah partilinear
(hubungan melalui system garis pria atau yang disebut Bapak ). Menurut pandangan suku Mee,
secara khusunya perkawinan adalah mengadakan atau memberi dan menerima harta maskawin
dalam bahasa Mee disebut Mege Makii dengan Kulit biah dan dedege.6
Rumah tangga orang Mee biasanya terdiri dari suatu keluarga luas. Ada keluarga inti
senior dengan beberapa keluarga yunior, yaitu keluarga inti anak pria 1-2 keluarga inti uxorial dari
menantu, atau keuarga uxorilokal senior dari isteri saudara tua pria ayah. Dengan demikian suatu
rumah tangga kadang-kadang terdiri dari 3-4 keluarga inti.7
b. Keluarga inti dan rumah tangga
Dasar masyarakat Mee adalah keluarga inti monogam. Dalam masyarakat ini tampak gejala
bahwa keluarga inti hanya terdiri dari seorang ibu serta anak-anaknya saja. Keluarga matrifokal yang
banyak terdapat dalam masyarakat Mee agaknya disebabkan karena kaum prianya banyak merantau.
Pada umumnya, tujuan daripada seorang pria merantau tersebut tidak lain adalah, untuk mencari
nafkah/kebutuhan hidup bagi keluarganya. Memang banyak rencana atau tujuan dari seorang
pria/sebagai bapa dalam merantau, namun semuanya demi kelangsungan hidup. Apa saja yang ia
dapat di sana, entah kus-kus (Woda), Mege/dedege, dll.tersebut bila ada kelebihannya, maka ia tetap
pergi menjualnya atau berbisnis di daerah-daerah lain, mis, ia pegi menjual dalam keluaga,
tetangganya (ke Kamuu, Mapiah, Paniai: Enarotali-Obano, bahkan sampai diNabire dan Jayapura).
6 Aprianus Iyai., Makalah Mengenai Perkawinan suku Mee, jayapura 2008.7 Bdk., Koentjaraningrat., Ibid., hal.248.
c. Pemimpin Masyarakat
Pemimpin masyarakat Mee yang dipilih oleh pemerintah yakni Ondowafi, sedangkan pimpinan
adat disebut Tonowi/Tonawi. Berbagai faktor menentukan apakah ondowafi atau tonowi yang lebih
dominan. Seorang Tonowi akan memperoleh dukungan yang lebih besar apabila ia memiliki ciri-ciri
yang disenangi oleh penduduk. Kewibawaannya biasanya tinggi apabila ia kaya, memiliki banyak
babi dan tanah garapan, beristeri lebih dari satu, ramah, pandai berbicara dan berpidato, dan suka
menolong orang lain. Sedangkan Ondowafi memiliki kekuatan pada kekuasaan yang dipaksakan
kepada penduduk dengan dukungan yang diperolehnya dari atas.8
V. ( Religi )
a. Sistem Kepercayaan Akan Allah
Masyarakat Suku Mee, mengakui dan meyakini adanya Allah baik sebelum dan sesudah adanya
agama sejarah. Sebelum adanya agama mereka menyebut Allah sebagai : Wado-ME (Yang Atas)/
Menaka-Mee ( Bapa Semua Manusia)/ Mepoya-mee (bapa yang kudus). Setelah adanya agama
disebut Ugata-Me (Allah Pencipta), sedangkan Meyiwi (Roh Kudus). Dan Yesus di sebut Menaka9.
Suku Mee dalam budayanya menghayati agama asli yang terdapat didalamnya hukum-hukum
Allah dalam Kitab Touyemana/ Touyekapogoye ( lembaran sabda/ lembaran kehidupan). Hukum-
hukum Allah dalam kitab tersebut lebih dari sepuluh hukum yang terdapat dan di dalam ajaran
Kristiani.
8 Ibid., hal. 249.9 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.
b. Upacara-upacara Daur hidup10
Upacara-upacara ini dalam semua kebudayaan di dunia dilaksanakan dalam lingkungan
rumah tangga. Orang Mee pun menyelenggarakan upacara-upacara yang dilakukan
berhubung dengan kehamilan, kelahiran bayi, perkawinan, dan kematian. Seperti dalam
banyak kebudayaan suku bangsa di dunia, masa hamil dalam masyarakat Mee juga dianggap
sebagai masa krisis. Karena itu keluarga yang bersangkutan harus hidup hati-hati dan
menaati berbagai pantangan makan, pantangan jasmaniah, pantangan rohaniah. Pada saat
seorang wanita akan melahirkan, ia diasingkan ke suatu rumah yang terpisah. Proses
kelahiran biasanya ditanggani oleh ibunya sendiri, atau oleh ibu mertuanya, dengan bantuan
seorang dukun dari keturunan Mote Umagopa. Beberapa bulan setelah bayi lahir, diadakan
upacara selamatan secara sederhana. Bayi harus mendapatkan Fam ayahnya.
VI. Kesenian
Masyarakat suku Mee memiliki beragam seni dan budaya : 1. seni rupa ( anak panah dan busur)
2. seni tari ( tarian susu dan tarian koteka) 3. seni suara (14 jenis lagu seperti ; Gowai, Tupe, Wani,
dll). 4. Seni Sastra (cerita-cerita adat dan mitos). Pesta budaya dalam suku Mee yang terkenal disebut
Pesta Yuwo. Atribut adat suku Mee adalah koteka , moge (cawat untuk perempuan), amapa
kagamapa (penutup dada), toyaagiya (noken anggrek), migabai (penutup kepala yang ukuranya
sampai di pinggang tulang belakang), yato (selimut adat untuk perempuan). 11
10 Koentjaraningrat dkk., Op Cit., hal. 251.11 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 15-09-2011.
VII. Pengenalan Suku Mee
a. Prinsip Hidup Suku Mee
Masyarakat Suku Mee secara umum mempunyai tiga prinsip hidup Yaitu : Dou (melihat), Yuwii
(dengar), Gai (berpikir), Ekowai (bekerja). Keempat prinsip inilah yang mendasari persiarahan
hidupnya. Atas dasar ini pula Suku Mee selalu berusaha memelihara keutuhan hidup melalui panca
relasi : aku dengan Allah, aku dengan Diriku, aku dengan sesama, aku dengan alam semesta, dan aku
dengan leluhur.
VIII. Relasi Dengan Alam Semesta
Masyarakat suku Mee mimiliki ikatan kuat dengan makro kosmos. Hal ini tidak terlepas dari
pandangan masyarakat terhadap makro kosmos itu sendiri. Masyarakat Mee memandang dan
menyebut Tanah sebagai MAMA dan hewan dan tumbuh-tumbuhan ataupun pepohonan dipandang
sebagai SAHABAT. Mereka ini adalah makluk hidup yang perlu dihargai karena diberi kenyamanan
bagi hidup kita.
Langit dipandang sebagai tahta Allah (wadoMe) dan bumi kediaman Mama (Miyome). Dalam relasi
misalnya diperlihatkan bahwa kalau masyarakat hendak melakukan perjalanan jauh, mereka pamitan
kepada langit (epa) sebagai bapa dan tanah (maki) sebagai mama agar perjalanannya selamat.
Suku Mee percaya bahwa pribadi yang memperhatikan kaidah-kaidah dalam relasi dengan alam akan
mengalami keselamatan dalam hidup. Sementara bagi mereka yang tidak menjaga relasi dengan alam
akan menuai malapetaka.
IX. Relasi Dengan Leluhur
Masyarakat suku Mee relasi dengan Leluhur merupakan salah satu unsur yang penting demi
terciptanya kehidupan yang harmonis. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk upacara-upacara adat,
memelihara wasiat-wasiat leluhur dan melaksanakan nilai-nilai hidup yang di wariskan oleh mereka.
Masyarakat suku Mee percaya bahwa para leluhur yang baik (roh), mereka hidup di dunia
ayauwouda/teneuwoda. Mereka yang menjalankan relasi baik dengan leluhur ini akan mengalami
enaatene dan karena itu hidupnya menjadi baik. Sebaliknya mereka yang relasinya buruk dengan
leluhur akan mangalami peutene dan dengan demikian hidupnya menjadi kurang baik. Untuk hal ini
harus di atasi dengan upacara perdamaian dan perhatian terhadap amanat yang mereka sampaikan.
Dan amat itu tentunya sesuatu yang postif dan menyelamatkan.12
12Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote asal keuskupan Timika, bertempat di wisma Tiga Raja, tgl 16-09-2011.
X. Pendidikan
Pendidikan adat bagi suku Mee tidak diatur secara formal dalam lembaga adat, melainkan ia
berjalan sesuai dengan kebiasaannya yang sudah ada. Dalam hidupnya keluarga mendapat tempat
yang sentral dalam pembentukan nilai-nilai dan norma-norma adat. Bagi anak laki-laki dia akan
mendapatkan pendidikan dari ayahnya melalui nasehat-nasehat, keterlibatan dalam aktivitas sehari-
hari, keterlibatan dalam aktivitas sosial, dan terutama teladan hidup ayahnya. Disini tidak
mengurangi pula peran ibu dalam memperhatikan anaknya terutama pada usia pertumbuhan.
Sedangkan anak perempuan mendapatkan pendidikan dari ibunya melalui nasehat-nasehat,
keterlibatan dalam kegiatan sehari-hari, pembagian peran kerja, keterlibatan dalam kegiatan sosial,
dan terutama teladan yang ditunjukan oleh ibunya.
XI. Perubahan kebudayaan
Karena letak pemukimannya yang terapit oleh deretan-deretan pegunungan yang tinggi
dan lembah-lembah pegunungan yang dalam, maupun oleh sungai-sungai yang mengalir deras penuh
jeram-jeram, maka daerah tempat tinggal orang Mee juga penuh dengan danau-danau besar-kecil dan
rawa-rawa yang maha luas, di tenggah-tenggah hutan rimba tropik yang padat. Maka tak
mengherankan bahwa upaya eksplorasi daerah itu baru terlaksana dalam tahun 1938, danau-danau itu
di ekspedisi dibawah pimpinan F,J, Wissel dua tahun sebelumnya. Baru sejak tahun 1938 itulah
orang Mee melihat orang yang berasal dari luar daerahnya, yaitu para penyiar agama katolik
Belanda.
Pengaruh perilaku dan cara berpikir yang serba asing tentu telah menyebabkan berbagai benturan
nilai budaya. Dalam bidang agama, perubahan yang terjadi adalah bahwa masyarakat Mee sekarang
telah menjalankan syarat-syarat ibadah (Cara/aturan ibadah yang benar /sah). Dan proses
penyesuaian dengan nilai asli lambat-laun terjadi juga.
Setelah Irian Jaya menjadi bagian dari Republik Indonesia, orang Mee lebih banyak mengadakan
kontak dengan dunia luar di berbagai bidang. Orang Mee dan penduduk wilayah pantai ( Pantai
Selatan ) pada umumnya kini memeluk agama katolik dan agama kristen. Dengan pembangunan
masyarakat desa, banyak kelompok Mee yang semula masih hidup mengembara lambat-laun
berubah dan tertarik untuk bermukim secara menetap di dalam desa-desa. 13
13 Koentjaraningrat dkk., Op Cit., hal.252.
XII. Paham Tentang Kematian14
Paham tentang kematian menurut orang Mee sejak sediakala dipahaminya sebagai suatu
peralihan dari dunia sementara yang biasanya di sebut dengan kedamakida menuju ke kehidupan
abadi di dunia roh yang biasanya di sebut dengan imoumi imoutou makiyo (tempat abadi).
Beradasarkan paham ini suku Mee berkayakinan adanya keselamatan bagi orang yang hidupnya
baik, maka bagi mereka kematian tidak perlu untuk dikawatirkan. Keyakinan ini dipertegu dengan
penyampain pesan-pesan dari roh orang mati kepada orang yang hidup setelah mengalami kematian.
Sedangkan bagi mereka yang hidupnya tidak baik di dunia kematian menjadi sesuatu yang
menakutkan karena setelah mati rohnya akan mengalami malapetaka di peuteneuwouda. Roh yang
demikian perlu adakan ritus perdamaian agar ia selamat serta keluarga yang masih hidup tidak
diganggu olehnya. Jadi, bagi orang suku Mee dunia ini adalah tempat sementara (kedaamaki) dan
dunia penentuan (enama peuma witokaida) untuk kekekalan hidup di dunia roh.
XIII. Paham Tentang Keselamatan15
Keselamaatan yang diperjuangkan oleh suku Mee adalah keselamatan kini dan
keselamatan kelak. Paham tentang keselamatan ini dihayatinya dalam dua kata yang saling
berhubungan yaitu Ayii dan Mobu. Kata ayii diistilahkan dengan selamat baik di dunia maupun di
surga. Lalu, istilah kata mobu mengandung pengertian puas, kenyang, tidak mengalami kesusahan
baik di dunia maupun kelak. Menurut orang Mee ayii dan mobu bukan sesuatu yang datang dengan
sendiri melainkan harus diperoleh melalui usaha dan perjuangan manusia. Karena itu, orang Mee
pada umumnya orang yang suka bekerja keras. Bagi orang Mee hidup ini tidak boleh santai-santai,
malas-malas, dan masa bodoh dengan tugas dan kewajiban-kewajiban karena hidup demikian akan
membuat orang menjadi daba-dabamee (orang yang/miskin kerdil). Hidup harus dijalaninya dengan
serius menjalankan tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban agar ia menjadi tonawimee, sehingga ayii
dan mobu bisa diperoleh baik di dunia ketika ia masih hidup maupun di akhirat setelah beralih ke
dunia kekal tempat roh-roh berkumpul. Akhirnya, masyarakat suku Mee menyadari bahwa Allah
(Ugata-Me) adalah sumber kehidupan (umi tou ipuwe-Me). Ugatame yang secara gratis memberi
kehidupan maka hidup ini tidak boleh disia-siakan. Maka segala sesuatu harus dihadapinya atas dasar
IPA (Kasih), MAAGAI (Iman), TEDEMAI (Bertobat) dan DIODOU (pantang dan puasa) dalam
rangka mencapai AYII dan MOBU itu
14 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga Raja, pada tgl,16-09- 2011.15 Hasil wawancara bersama saudara Anton Mote, bertempat di wisma Tiga Raja, pada tgl,16-09-2011.
XIV. Penutup
a. Kesimpulan
Secara keseluruhan makalah menyangkut suku yang berada di Papua terutama yang
diteliti atau ditelusuri oleh saya yakni suku Mee “Manusia Sejati” yang berada di Pedalaman Papua.
Saya menyadari bahwa dengan menyusun makalah ini dapat membantu wawasan saya sejauh mana
yang bisa dapat dipahami oleh pribadi saya sendiri. Untuk menyususun makalah ini, sebisa mungkin
menimba informasi entah itu lewat pustaka ataupun melalui wawancara bersama narasumber yang
dapat dipercaya dan diuji kebenarannya.
Ketika menyusun tulisan mengenai Suku Mee, saya melihat adanya perubahan yang
lumayan banyak dilalui atau dijalani oleh manusia Mee dari tahun 1938 sampai masa kini. Dan
dengan proses penyesuaian itulah manusia Mee dapat berkembang dengan sungguh-sungguh dari
waktu-ke waktu.
Inti yang hendak digali dalam tulisan mengenai manusia Mee yakni, etnografi yang jelas
dan real untuk saman sekarang. Hal lainnya yakni, proses penyesuaian diri manusia Mee yang luar
biasa terhadap perkembangan dunia pada saman ini atua lebih dikenal dengan budaya milenium abad
21.
b. Saran
Saran yang hendak di kemukakan oleh saya yaitu:
Pertama, kalau bisa suku-suku yang hendak ditelusuri oleh mahasiswa harus memiliki
sumber yang cukup.
Kedua, mahasiswa harus bekerja keras untuk mencari sumber entah itu harus
mengeluarkan dana dan energi untuk tugas seperti ini.
Apa yang ditulis oleh kelompok suku Mee, ini merupakan gambaran singkat yang ditulis secara
tematis. Hal-hal yang tidak ditulis dan dijelaskan dalam pembahasan ini merupakan PR (pekerjaan
rumah) kita masing-masing untuk mempelajarinya secara lebih lanjut sesuai dengan cara kita
masing-masing. IDEE UMINA (TERIMA KASIH BANYAK),… KOYA, KOHA, AMANAI!
BAGAIMANA MENGHARGAI BUDAYA SETEMPAT
1. TIDAK MENJELEKkAN BUDAYA ORANG LAIN.
2. Menyadari bahwa budaya orang lain pun memiliki nilai-nilai luhur sebagai
bagian dari kekayaan Indonesia dan anugerah Tuhan.
3. Menanamkan sikap mencintai, menghormati, dan bangga akan budaya sendiri.
TUGAS MAKALAH ANTROPOLOGI PAPUA
Herman Yoseph Betu
Tingkat II STFT “Fajar Timur”
Pengenalan Bersama Suku MEE Papua
Daftar Isi
I. Nama dan bahasaa. Nama
b. Bahasa
II. Pengenalan Letak Geografisa. Lokasi
III. Sistem Mata Pencaharian Tradisional
IV. Organisasi Sosiala. Perkawinan b. Keluarga Inti dan Rumah tanggac. Pemimpin Masyarakat
V. Religia. Sistem kepercayaan Kepada Allahb. Upacara-upacara Daur Hidup
VI. Kesenian
VII. Pengenalan Suku Meea. Prinsip Hidup suku Mee
VIII. Relasi dengan Alam Semesta
IX. Relasi dengan Para Leluhur
X. Pendidikan
XI. Perubahan Kebudayaan
XII. Paham Tentang kematian
XIII. Paham Tentang Keselamatan
XIV. Penutupa. Kesimpulanb. Saran