pengenaan pajak atas penghasilan yayasan dan pajak pertambahan nilai atas kegiatan membangun sendiri...

24
PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YAYASAN DAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI GEDUNG DAN PRASARANA PENDIDIKAN DALAM YAYASAN PENDIDIKAN February 22, 2011 by Yulia Silvianti I. Latar Belakang Masalah Yayasan sudah mulai berdiri di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan. Kala itu tujuan pendiriannya lebih banyak ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Sektor yang umumnya terdapat keterlibatan yayasan adalah sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam kedua sektor tersebut, pada umumnya yayasan berfungsi sebagai suatu lembaga nirlaba yang memperoleh sumber dana dari masyarakat melalui donasi atau sumbangan. Namun seiring bergulirnya waktu dan perkembangan dunia bisnis saat ini, maka banyak yayasan di Indonesia yang mengalami kesulitan untuk tetap bertahan hanya dengan sumber dana yang diperoleh dari donasi masyarakat. Yayasan membutuhkan sumber dana lain yang kemudian diperolehnya melalui kegiatan usaha atau jenis kegiatan dan jasa lain yang memberikan laba. Era keterbukaan informasi memberikan peluang besar bagi perkembangan sektor kemasyarakatan. Sejalan dengan semakin luasnya kesempatan untuk melakukan eksplorasi terhadap suatu permasalahan, maka peran yayasan yang digerakkan oleh masyarakat menjadi semakin penting. Dengan adanya peluang tersebut maka area pelayanan bagi yayasan semakin melebar dan ukuran dari beberapa yayasan di Indonesia bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai raksasa dalam dunia bisnis. Misalnya beberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan ternyata memiliki asset bernilai miliaran rupiah (Nainggolan, 2005:5). Perkembangan yayasan atau lembaga nirlaba di Indonesia juga sudah diantisipasi oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dengan mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45 Tahun 1997. PSAK ini kurang lebih membawa semangat yang sama, yaitu bahwa transparansi keuangan lembaga nirlaba menuntut suatu standar pencatatan dan pelaporan yang konsisten (consistency) dan dapat dibandingkan (comparability). Dengan demikian, stakeholders dari yayasan pendidikan yang bersangkutan dapat mengetahui secara jelas sumber dan cara penggunaan dana yang ada pada yayasan tersebut.

Upload: agus-k-nurdiansyah

Post on 30-Nov-2015

129 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

pajak pada yayasan

TRANSCRIPT

Page 1: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

PENGENAAN PAJAK ATAS PENGHASILAN YAYASAN DAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI ATAS KEGIATAN MEMBANGUN SENDIRI GEDUNG DAN PRASARANA PENDIDIKAN DALAM YAYASAN PENDIDIKAN

February 22, 2011 by Yulia Silvianti

I. Latar Belakang Masalah

Yayasan sudah mulai berdiri di Indonesia sejak masa pra kemerdekaan. Kala itu tujuan pendiriannya

lebih banyak ditujukan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dalam masyarakat. Sektor yang

umumnya terdapat keterlibatan yayasan adalah sektor pendidikan dan kesehatan. Dalam kedua sektor

tersebut, pada umumnya yayasan berfungsi sebagai suatu lembaga nirlaba yang memperoleh sumber

dana dari masyarakat melalui donasi atau sumbangan.

Namun seiring bergulirnya waktu dan perkembangan dunia bisnis saat ini, maka banyak yayasan di

Indonesia yang mengalami kesulitan untuk tetap bertahan hanya dengan sumber dana yang diperoleh

dari donasi masyarakat. Yayasan membutuhkan sumber dana lain yang kemudian diperolehnya

melalui kegiatan usaha atau jenis kegiatan dan jasa lain yang memberikan laba.

Era keterbukaan informasi memberikan peluang besar bagi perkembangan sektor kemasyarakatan.

Sejalan dengan semakin luasnya kesempatan untuk melakukan eksplorasi terhadap suatu

permasalahan, maka peran yayasan yang digerakkan oleh masyarakat menjadi semakin penting.

Dengan adanya peluang tersebut maka area pelayanan bagi yayasan semakin melebar dan ukuran

dari beberapa yayasan di Indonesia bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai raksasa dalam dunia

bisnis. Misalnya beberapa yayasan yang bergerak di bidang pendidikan ternyata memiliki asset

bernilai miliaran rupiah (Nainggolan, 2005:5).

Perkembangan yayasan atau lembaga nirlaba di Indonesia juga sudah diantisipasi oleh Ikatan Akuntan

Indonesia (IAI) dengan mengeluarkan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) Nomor 45

Tahun 1997. PSAK ini kurang lebih membawa semangat yang sama, yaitu bahwa transparansi

keuangan lembaga nirlaba menuntut suatu standar pencatatan dan pelaporan yang konsisten

(consistency) dan dapat dibandingkan (comparability). Dengan demikian, stakeholders dari yayasan

pendidikan yang bersangkutan dapat mengetahui secara jelas sumber dan cara penggunaan dana

yang ada pada yayasan tersebut.

Page 2: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

Transparansi dan akuntabilitas yayasan memerlukan infrastruktur administrasi dan pelaporan yang

memadai. Hal itu akan berimplikasi pada pemenuhan kewajiban perpajakan yayasan yang hanya

dapat dilakukan apabila sistem keuangan sudah berjalan baik.

Perpajakan sebagai salah satu aspek penting dalam operasional yayasan pendidikan juga sudah

memiliki pengaturan tentang apa saja yang merupakan objek pajak penghasilan (PPh) dan pajak

pertambahan nilai (PPN) dari yayasan tersebut. Satu hal yang tetap menjadi perhatian kita adalah

bagaimana pengenaan PPh dan PPN terhadap  yayasan pendidikan, yang juga terkait dengan

transparansi kegiatan usaha dan keuangan yayasan.

Transparansi kegiatan yayasan, khususnya yayasan pendidikan perlu mendapat perhatian, terutama

dalam rangka penggunaan dana untuk pembangunan gedung atau fasilitas pendidikan yang berasal

dari laba ditahan. Yayasan pendidikan merupakan salah satu bentuk yayasan yang memiliki resiko

cukup besar untuk melakukan tax avoidance. Hal itu dikarenakan adanya peraturan-peraturan dari

Dirjen Pajak yang cenderung memberikan insentif bagi yayasan pendidikan dalam mengalokasikan

penggunaan dana untuk kegiatan pembangunan fasilitas pendidikan.

Berdasarkan Undang – undang No.8 Tahun 1983 jo Undang – Undang No.11 Tahun 1994 jo Undang –

Undang No.18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai (selanjutnya disebut dengan UU PPN)

pasal 16 C kegiatan membangun sendiri gedung yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau

pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain,

bahwasannya kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang dananya berasal dari

laba ditahan dan dilakukan secara mandiri oleh yayasan pendidikan merupakan objek PPN.

Sehubungan dengan fenomena yang telah dijabarkan di atas, maka kami tertarik untuk membahas

mengenai pengenaan pajak atas selisih dari penerimaan yang merupakan obyek Pajak Penghasilan

selain penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan tersendiri, dikurangi dengan pengeluaran untuk

biaya operasional sehari – hari yayasan dan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun

sendiri  gedung dan prasarana pendidikan yang menggunakan dana dari laba ditahan.

II. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan yang kami bahas dalam tulisan ini

adalah:

1.      Bagaimana pengenaan pajak penghasilan atas selisih dari penerimaan setelah dikurangi dengan

pengeluaran untuk biaya operasional sehari – hari pada yayasan pendidikan ?

Page 3: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

2.      Bagaimana kesesuaian antara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung

dan prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan Pembangunan

Gedung dan Prasarana Pendidikan  dengan Pasal 4 UU PPN dan prinsip dasar PPN ?

3.      Apakah pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung dan prasarana

pendidikan yang dilakukan oleh yayasan pendidikan dengan dana yang berasal dari rekening Dana

Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan sudah mencerminkan asas keadilan dalam

pemungutan pajak di Indonesia?

 

 

III. Landasan Teori

3.1. Konsep Yayasan

Yayasan secara mudah dapat dikatakan sebagai suatu lembaga yang didirikan bukan untuk mencari

laba semata. Rosenbaum menyatakan, seperti yang dikutip oleh Andreasen (1996:15), lembaga dapat

dikategorikan sumber dana (sources of funds) :

a.    Lembaga komersial, yaitu lembaga yang dibiayai oleh laba atau keuntungan dari  kegiatannya.

b.    Lembaga pemerintahan, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat melalui pajak dan retribusi.

c.    Lembaga nirlaba, yaitu lembaga yang dibiayai oleh masyarakat melalui donasi atau sumbangan.

Henry Hansmann, seperti yang dikutip oleh Andreasen (1996:16), membagi lembaga berdasarkan

donasi, komersial, mutual, dan entreprenurial. Penjelasan mengenai kategori tersebut adalah sebagai

berikut :

a.    Lembaga yang termasuk dalam kategori donasi adalah lembaga yang mengandalkan

pendapatannya dari sumbangan.

b.    Lembaga komersial adalah lembaga yang pendapatannya berasal dari anggotannya, yaitu berupa

biaya yang dikenakan atas pemakaian hartanya.

c.    Lembaga mutual adalah lembaga yang dikelola oleh para anggotanya, dimana anggota-anggota

tersebut notabene adalah pemakai jasa dari lembaga yang bersangkutan.

d.   Lembaga entreprenurial adalah lembaga yang dikelola oleh para profesional yang memang khusus

diberi gaji untuk mengelola lembaga tersebut.

Page 4: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

 

Berdasarkan penggolongan tersebut diatas, maka Nainggolan (2005:2-3) menjelaskan bahwa suatu

yayasan yang mendapatkan donasi dari luar negeri termasuk kategori lembaga nirlaba donasi.

Yayasan yang mendirikan sekolah atau berkegiatan di bidang pendidikan, atau rumah sakit termasuk

kategori lembaga komersial karena pendapatannya diperoleh dari pemakai jasanya. Demikian pula,

lembaga nirlaba yang memiliki yayasan pendidikan atau rumah sakit akan tergolong komersial dan

profesional.

 

3.2. Konsep Penghasilan

Definisi penghasilan yang dikemukakan oleh Schanz, Haig dan Simon (SHSConcept) seperti yang

dikutip dari beberapa sumber adalah sebagai berikut :

a.    George Schanz mengemukakan The Accretion Theory of Income, seperti dikutip oleh R. Mansury

(1996:62), yang  menyatakan bahwa pengertian penghasilan untuk keperluan perpajakan seharusnya

tidak membedakan sumbernya dan tidak menghiraukan pemakaiannya, melainkan lebih menekankan

kepada kemampuan ekonomis yang dapat dipakai untuk menguasai barang dan jasa.

b.    Haig merumuskan penghasilan sebagai :

“the money value of the net accretion to one’s economic power between two points of

time” seperti yang dikutip oleh Ray M. Sommerfeld (1982:4)

“the increase or accretion in one’s power to satisfy his wants in a given period in so far as that

power consists” seperti yang dikutip oleh R. Mansury (1996: 62)

c.    Menurut Henry C. Simon, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005:144), penghasilan

perseorangan secara luas mengandung arti sebagai pemanfaatan kontrol atas penggunaan sumber

daya masyarakat yang terbatas.

 

Sehubungan dengan definisi di atas, maka dapat dilihat bahwa konsep penghasilan yang digunakan

dalam Pasal 4 Undang-Undang Pajak Penghasilan Indonesia sangatlah dipengaruhi oleh SHS Concept,

yang berbunyi sebagai berikut :

“Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang

diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,

Page 5: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,

dengan dan dalam bentuk apapun”.

 

Sebagai konsekuensi dipilihnya SHS dalam menentukan definisi penghasilan (income), maka dalam 

menentukan taxable income harus dicari rumusan “tambahan kemampuan ekonomis yang tepat. Oleh

karena yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah tambahan kemampuan ekonomis, maka gross

incomeharus dikurangi dahulu dengan berbagai tax reliefs[1] sehingga besarnya tambahan

kemampuan ekonomis dapat dihitung (Rosdiana & Tarigan, 2005: 145).

Di sisi lain Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan, par 70, menyebutkan

definisi penghasilan sebagai kenaikan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk

pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan

ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penanam modal. Definisi penghasilan (income) tersebut

meliputi baik pendapatan (revenue) maupun keuntungan (gains). Pendapatan timbul dalam

pelaksanaan aktivitas perusahaan yang biasa dan dikenal dengan sebutan yang berbeda. (par 74

Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan).

 

 

Pendapatan (revenue) dalam yayasan merupakan salah satu hal yang berbeda secara signifikan

dibandingkan dengan pendapatan pada perusahaan atau bisnis komersial. Pada yayasan, pendapatan

diperoleh dari berbagai sumber, tetapi derajat kebebasan penggunaannya tergantung jenis

pendapatan itu sendiri.

Nainggolan (2005:79-80) menggolongkan berbagai macam pendapatan yayasan ke dalam dua

golongan besar, yaitu :

a.    Pendapatan bersumber dari sumbangan, merupakan semua penerimaan yang diperoleh yayasan,

dimana yayasan itu tidak perlu menghasilkan atau menyajikan suatu barang atau jasa kepada pemberi

sumbangan. Kontraprestasi yang diharapkan oleh pemberi sumbangan dari yayasan tersebut adalah

dalam bentuk jasa atau produk yang dihasilkan dari program-program yang dilakukan oleh yayasan.

b.    Pendapatan non-sumbangan, merupakan pendapatan yayasan atas kegiatan usahanya sendiri.

Pendapatan yang tergolong usaha sendiri dapat berupa (1) usaha komersial dibawah yayasan

Page 6: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

(misalnya dividen dari perusahaan milik yayasan), (2) hasil investasi harta yayasan (misalnya bunga

deposito, penjualan properti yayasan), dan lain sebagainya.

 

Kategori pendapatan yayasan dapat dilakukan berdasarkan restriksi (pembatasan) yang ditentukan

oleh sumber pendapatan itu, antara lain (Nainggolan, 2005: 81-84) :

a.         Pendapatan Tidak Terikat (Unrestricted)

Pendapatan yayasan yang termasuk dalam kategori tidak terikat merupakan pendapatan yang sama

dengan pendapatan dalam perusahaan komersial, antara lain berupa sumbangan tidak terikat dan

pendapatan usaha sendiri. Dalam hal ini, sumbangan tidak terikat merupakan sumbangan yang

diterima tidak menyebutkan limitasi atas penggunaan yang diinginkan oleh pemberinya sehingga

yayasan memiliki kebebasan penuh untuk mengalokasikan penggunaan sumbangan tersebut.

b.         Pendapatan Terikat Sementara (Temporarily Restricted)

Pendapatan jenis ini pada umumnya berasal dari sumbangan yang diperoleh dari donatur yang secara

khusus menyebutkan penggunaan dan jangka waktu atas penggunaan donasi tersebut. Dengan kata

lain, sumbangan terikat sementara adalah sumbangan yang diterima yayasan untuk suatu jenis

kegiatan tertentu dan untuk jangka waktu tertentu pula.

c.         Pendapatan Terikat Permanen (Restricted)

Pendapatan jenis ini biasanya diperoleh dengan batasan yang jelas untuk penggunaannya dan

diasumsikan bahwa jangka waktunya adalah untuk selamanya. Artinya, hanya untuk tujuan tertentu

dan berlaku selamanya. Misalnya, suatu yayasan pendidikan memperoleh donasi dalam bentuk

gedung sekolah, maka atas donasi tersebut diberikan batasan bahwa gedung itu hanya boleh

digunakan untuk kegiatan belajar mengajar dan tidak boleh diperjualbelikan, baik sekarang maupun di

masa depan dengan alasan apapun.

 

3.3.           Konsep Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax)

Value Added Tax (VAT) pertama kali diperkenalkan di Perancis pada tahun 1954 (Rosdiana & Tarigan,

2005: 213). Dengan berbagai kelebihannya, pajak pertambahan nilai (PPN) diadopsi oleh banyak

negara. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada dasarnya merupakan pajak penjualan yang dipungut atas

Page 7: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

dasar nilai tambah[2] yang timbul pada semua jalur produksi dan distribusi (Rosdiana & Tarigan, 2005:

214).

Pengertian Value Added (nilai tambah) menurut Alain Tait (1988:4) adalah  sebagai berikut :

”Value added is the value that a producer (whether a manufacturer, distributor, advertising agent,

hairdresser, farmer, race horse trainer or circus owner) adds to his raw material or purchases (other

than labor) before selling the new or improved product or service. That is, inputs (the raw materials,

transport, rent advertising and so on) are bought, people are paid wages to work on these inputs and

when the final goods and services are sold, some profit are left. So, value added can be looked at from

the additive side (wages plus profits) or from the substractive side (output minus inputs).”

 

Berdasarkan definisi di atas, maka diketahui bahwa nilai tambah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi

pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi selisih output dikurangi dengan input.

Oleh karena yang menjadi dasar pengenaan pajak ini adalah nilai tambah (value added), maka istilah

yang digunakan di Indonesia adalah Pajak Pertambahan Nilai (Value Added Tax). Definisi PPN (VAT)

menurut Smith, dkk, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215) adalah sebagai berikut :

”The VAT is a tax on the value added by a firm to its products in the course of its operation. Value

added can be viewed either as the difference between firm’s sales and its purchase during an

accounting period, or as the sum of its wage, profits, rent, interest and other payments not subject to

the tax during that period.”

 

(VAT merupakan pajak atas pertambahan nilai terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh

perusahaan selama kegiatan operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara

penjualan dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun sebagai

penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran lainnya yang bukan merupakan

objek pajak selama periode akuntansi yang bersangkutan).

 

 

3.4. Asas-Asas Pemungutan Pajak

Untuk mencapai tujuan pemungutan pajak perlu memegang teguh asas-asas pemungutan dalam

memilih alternatif pemungutannya. Hal ini dimaksudkan agar dalam pemungutan pajak tidak terjadi

Page 8: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

hambatan atau perlawanan dari wajib pajak dan  terdapat keserasian pemungutan pajak. Menurut

Adam Smith dalam bukunya “An Inquity into the Natura and Causes of the Wealth of Nations”,

terdapat empat asas pemungutan pajak atau yang sering disebut The Four Maxims seperti yang

dikutip oleh Waluyo & Ilyas (2000:5), sebagai berikut :

1. Equality

Dalam asas ini ditekankan pentingnya keseimbangan berdasarkan kemampuan masing-masing subjek

pajak. Keseimbangan atas kemampuan Subjek Pajak mengandung arti bahwa dalam pemungutan

pajak harus bersifat adil dan merata, yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding

dengan kemampuan  membayar pajak (ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima.

Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan

sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.

 

2. Certainty

Penetapan pajak tidak ditentukan secara sewenang-wenang, melainkan harus berdasarkan Undang-

Undang yang berlaku atau peraturan perpajakan yang jelas. Oleh karena itu, Wajib Pajak harus

mengetahui secara jelas dan pasti pajak yang terutang, kapan harus dibayar serta batas waktu

pembayarannya.

3. Convenience

Dalam asas ini ditekankan pentingnya saat dan waktu yang tepat bagi Wajib Pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya. Kapan saat Wajib Pajak harus membayar pajak sebaiknya sesuai dengan

saat-saat yang tidak menyulitkan Wajib Pajak, sebagai contoh saat Wajib Pajak memperoleh

penghasilan dan yang sudah memenuhi syarat objektifnya (yaitu suatu syarat dimana Wajib Pajak

mempunyai penghasilan diatas penghasilan minimumnya).

4. Economy

Secara ekonomi bahwa biaya pemungutan dan biaya pemenuhan kewajiban pajak bagi Wajib Pajak

diharapkan seminimum mungkin, demikian pula beban yang dipikul oleh Wajib Pajak. Dalam asas ini

ditekankan pentingnya efisiensi pemungutan pajak, artinya pemungutan pajak harus dilakukan dengan

biaya yang sehemat mungkin, baik biaya yang dikeluarkan oleh fiskus maupun Wajib Pajak.

 

Page 9: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

 

3.5. Perbedaan Konsep Biaya Menurut Undang-Undang Perpajakan dan Menurut Akuntansi

Dilihat dari sisi akuntansi, maka konsep biaya menurut Horngren & Foster (1991:25) adalah “a

resource sacrificed or forgone to achieve a specific objective”.Senada dengan di atas, Blocher, Chen,

Cokins, dan Lin (2005:60) menyatakan bahwa “A cost is incured when a resource is used for some

purpose.”

Pengertian biaya menurut peraturan perpajakan adalah semua pengeluaran yang memiliki hubungan

langsung dengan penghasilan. Perbedaan perlakukan ini akan membuat berbedanya jumlah biaya

yang dilaporkan dalam laporan aktivitas dengan biaya yang memenuhi syarat menurut peraturan

perpajakan.  Perbedaan ini dapat dikategorikan dalam dua jenis yaitu (Nainggolan, 2005:74) :

a.     Perbedaan permanen

Perpajakan akan mengakui suatu pengeluaran sebagai biaya dan dapat mengurangi pendapatan atau

tidak berdasarkan definisi biaya dan oleh karena itu biaya haruslah terkait langsung dengan usaha

memperoleh pendapatan.

b.    Perbedaan sementara

Perbedaan yang berhubungan dengan penggunaan metode dan kebijakan akuntansi.  Perbedaan ini

akan terkoreksi dengan sendirinya, dikarenakan karena perbedaan periode mana pengeluaran

tersebut dibiayakan dan berapa yang boleh dibiayakan.

 

 

IV. Metodologi Penelitian

Jenis penelitian dalam tulisan ini adalah penelitian deskriptif, yaitu merupakan penelitian yang

bertujuan untuk menggambarkan secara terinci mengenai fenomena atau gejala tertentu

(Singarimbun, 1985:4). Metodologi pengumpulan data yang kami lakukan dalam tulisan ini adalah

kajian literatur (library research), yaitu penelitian yang dilakukan hanya berdasarkan atas karya

tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun belum dipublikasikan (Agung, 1992:9)

 

 

Page 10: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

V. Ketentuan Perpajakan yang Berkaitan Dengan Pengenaan PPh Atas Penghasilan

Yayasan dan PPN Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung dan Prasarana Pendidikan

pada Yayasan Pendidikan

a.         Keputusan Dirjen Pajak No.KEP-87/PJ/1995 tentang Pengakuan Penghasilan Atas Dana

Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis yang

Bergerak Dibidang Pendidikan

Berisi poin-poin utama sebagai berikut :

1.          Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan adalah dana yang akan digunakan

untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan yang berasal dari sisa lebih (laba neto).

2.          Sisa lebih yaitu selisih lebih antara penghasilan yang merupakan objek PPh (selain yang

dikenakan PPh final) dikurangi dengan biaya-biaya yang dapat dikurangkan.

3.          Sisa lebih yayasan setiap tahun yang akan digunakan untuk pembangunan gedung dan

prasarana pendidikan dialihkan ke rekening dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan.

4.          Pembukuan atas penggunaan dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan

dilakukan dengan mendebit rekening aktiva dan rekening dana pembangunan gedung, serta

mengkredit rekening kas atau utang dan rekening modal yayasan (penghasilan).

5.          Dana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut wajib dipergunakan dalam

jangka waktu 4 tahun setelah berakhirnya tahun pajak disisihkannya dana tersebut. Apabila setelah

lewat 4 tahun yayasan pendidikan itu tidak mempergunakaan dana dimaksud, maka dana tersebut

harus diakui sebagai penghasilan yang terutang PPh pada tahun pajak berikutnya setelah masa 4

tahun tersebut terlewati. Disamping itu, terhadap yayasan ini akan dikenai sanksi 2% per bulan

6.          Atas pengeluaran untuk pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut tidak perlu

dibebankan melalui penyusutan, melainkan dibebankan langsung pada saat terjadi atau terutangnya

biaya tersebut.

7.          Dalam hal pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut dibiayai oleh pinjaman,

maka bunga atas pinjaman itu dapat diakui sebagai biaya (pengurang penghasilan bruto).

 

Page 11: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

b.         Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-34/PJ.4/1995 tentang Perlakukan Pajak Penghasilan Bagi

Yayasan atau Organisasi yang Sejenis

Berisi jenis-jenis penghasilan yayasan pendidikan yang merupakan objek PPh dan jenis biaya yang

merupakan pengurang penghasilan bruto.

 

c.         Surat Edaran Dirjen Pajak No.SE-39/PJ.4/1995 mengenai Penyuluhan Tentang Perlakukan Pajak

Penghasilan Bagi Yayasan atau Organisasi yang Sejenis

Berisi perlunya penyuluhan atas kekeliruan dalam penerapan butir 6 dari SE-34/PJ.4/1995, yaitu

pengenaan PPh kepada yayasan atau organisasi sejenis terjadi jika ada selisih lebih antara

gunggungan penghasilan bruto yang merupakan objek PPh dengan biaya-biaya yang diperkenankan

untuk dikurangkan dari penghasilan bruto. Dalam Surat Edaran ini dijelaskan bahwa yang tidak

termasuk sebagai penghasilan yang merupakan objek pajak adalah sumbangan, bantuan, dan hibah

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat 3 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000.

 

d.        Surat Dirjen Pajak No.S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai. Berisi

poin-poin utama sebagai berikut :

1.          Pengenaan PPN atas pembangunan gedung pendidikan yang dilakukan sendiri oleh yayasan

adalah sesuai dengan  Pasal 4 huruf c dan Pasal 16C Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang

Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

2.          Perlakuan PPN dalam penggunaan dana dari surplus lebih anggaran yayasan pendidikan untuk

kegiatan investasi dalam bentuk pembangunan gedung pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan

sendiri tetap dikenakan PPN dengan tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Hal ini

berkaitan dengan Pasal 2 ayat (1) KEP-387/PJ/2002.

3.          Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002, perhitungan Dasar Pengenaan Pajak atas

kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan

untuk membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah.

 

 

Page 12: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

 

 

 

 

 

VI. Pembahasan

6.1. Pengenaan PPH Atas Penghasilan Yayasan Pendidikan

Penghitungan pajak penghasilan atas yayasan pendidikan sama dengan badan usaha lainnya yaitu

pendapatan yang terkena objek pajak kemudian dikurangkan dengan biaya-biaya yang diperkenankan

menurut undang-undang pajak penghasilan.  Selisih lebih antara pendapatan dan biaya merupakan

laba yang dapat dikenakan pajak dengan tarif pasal 17 Undang – Undang No 7 Tahun 1983

sebagaimana telah diubah UU No 10 Tahun 1994 terakhir UU No 17 Tahun 2000 tentang Pajak

Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh).

Untuk yayasan pendidikan yang bergerak dalam bidang Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi,

selisih lebih antara pendapatan dan biaya diberikan perlakuan khusus, yaitu berdasarkan Surat

Keputusan Dirjen Pajak No KEP-87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995, selisih atau keuntungan lembaga

pendidikan tidak dikenai pajak sepanjang kelebihan tadi diinvestasikan kembali ke dalam bentuk

pembangunan prasarana pendidikan.  Pembangunan tersebut dapat berupa :

Pembelian tanah untuk pembangunan prasarana pendidikan

Gedung sarana pendidikan

Asrama mahasiswa

Rumah dinas guru, dosen atau karyawan

Peralatan laboratorium, perpustakaan termasuk buku – buku

Sarana olah raga

Inventaris kantor

 

Dalam pelaksanaan pembangunan prasarana pendidikan, yayasan harus memisahkan laba dari usaha

pendidikan tersebut ke dalam suatu rekening khusus pengembangan pendidikan. Selain itu, yayasan

pendidikan dalam melakukan pembangunan tersebut harus memberitahukan rencana pembangunan

ke Dirjen Dikti/Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Atas serta kepada Kantor Pelayanan Pajak

dimana yayasan tersebut berdomisili. Pemberitahuan ini hanya digunakan untuk menginformasikan

Page 13: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

rencana pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dimana laba dari usaha yayasan tersebut

disisihkan setiap tahunnya.

Apabila dalam jangka waktu 4 tahun setelah pemupukan dana pembangunan gedung dan prasarana

pendidikan tidak direalisasikan, maka dana pembangunan tersebut dianggap sebagai penghasilan dan

akan dikenakan pajak penghasilan ditambah dengan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Untuk aktiva tetap yang dibangun dengan dana pembangunan ini tidak boleh melakukan penyusutan. 

Jadi, bangunan yang biaya pendiriannya berasal dari dana tersebut tidak diperbolehkan membebankan

penyusutannya dalam pendapatan periode mendatang.

Apabila yayasan pendidikan memperoleh penghasilan diluar usaha utamanya dan diluar donasi dan

sumbangan yang diberikan kepada yayasan pendidikan itu, maka atas penghasilan tersebut terutang

pajak. Oleh karena itu, didalam perhitungan pajak penghasilan harus dibedakan antara penghasilan

yang berasal dari sumbangan dan donasi dengan penghasilan yang berasal dari usaha diluar usaha

utamanya yayasan tersebut.

 

Penjelasan di atas dapat diilustrasikan melalui contoh sebagai berikut :

Yayasan TS adalah sebuah yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan berlokasi di wilayah

Jakarta Barat. Berdasarkan neraca per 31 Desember 2004, terlihat bahwa yayasan TS telah melakukan

pemisahan rekening untuk penyisihan dana pembangunan gedung pendidikan. Berikut ini adalah

neraca dan laporan laba rugi dari Yayasan TS :

YAYASAN  TS

NERACA

Per 31 Desember 2004

AKTIVA  Aktiva Lancar  Kas 4.419.397,00Bank 2.146.968.388,11Uang muka 16.946.340,00Deposito 15.472.320.754,00Piutang 153.159.951,00Total Aktiva Lancar 17.793.814.452,11   Aktiva Tetap  Bangunan 5.903.855.387,00

Page 14: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

Akum. Penyusutan (1.747.899.850,20)Inventaris 3.184.025.262,00Akum Penyusutan (2.630.820.847,75)Total Aktiva Tetap 4.079.169.951,05   TOTAL AKTIVA 22.502.984.403,16   PASSIVA  Hutang Lancar  Hutang PPh Ps.21 Masa Desember 4.422.000,00Hutang PPh Ps.21 Tahunan 7.967.175,00Giro Dalam Peredaran 3.762.331,00Uang Muka yang Diterima 650.000,00Titipan 10.950.303,00Total Hutang Lancar 27.751.809,00   Dana Pembangunan Gedung  Saldo Awal 16.357.095.761,87Pembangunan dlm Pelaksanaan (2.397.033.900,00)Penambahan tahun 2004 4.417.281.342,40Total Dana Pembangunan Gedung 18.377.343.204,27   MODAL  Modal Yayasan 500.000,00Sisa Lebih s.d 2003 3.384.667.603,62Sisa Lebih tahun 2004 685.199.201,27Bantuan PGDP 27.552.585,00Total Modal 4.097.889.389,89   TOTAL PASSIVA 22.502.984.403,16

 

 

 

YAYASAN  TS

LAPORAN RUGI LABA

Periode Yang Berakhir 31 Desember 2004

 

Keterangan Cfm Komersial Cfm FiskalPendapatan Operasional Unit Pendidikan 11.127.995.999,00 11.127.995.999,00Pendapatan Operasional Kesehatan 187.813.500,00 187.813.500,00

Page 15: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

MasyarakatPendapatan Non Operasional 43.510.932,00 43.510.932,00Total Pendapatan 11.359.320.431,00 11.359.320.431,00     Beban Kegiatan Langsung (Unit Pendidikan) 1.455.365.240,00 1.455.365.240,00Beban Tidak Langsung 5.520.777.848,60 5.486.673.848,60Total Beban 6.976.143.088,60 6.942.039.088,60     Pendapatan Lain-Lain (Bunga Bank) 719.303.201,27 -Sisa Lebih (Kurang) Sebelum Cadangan 5.102.480.543,67 -Cadangan & Prasarana 4.417.281.342,40 4.417.281.342,40Sisa Lebih (Kurang) Setelah Cadangan 685.199.201,27 N I H I L

 

Berdasarkan data neraca dan laporan rugi laba tersebut di atas, dapat ketahui bahwa Yayasan TS

telah mengalokasikan seluruhnya sisa lebih (laba) atas kegiatan usahanya sebagai Dana Cadangan

Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan, dan membuat rekening tersendiri atas dana

tersebut.

 

 

6.2. Kesesuaian antara pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung

dan prasarana pendidikan dengan Pasal 4 UU PPN dan prinsip dasar PPN

Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-387/PJ/2002 tanggal 19 Agustus 2002 pada

pasal 1 angka 1, pengertian kegiatan membangun sendiri adalah kegiatan membangun sendiri

bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan orang pribadi atau badan yang

diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat usaha dengan luas bangunan 200 m2 (dua ratus

meter persegi) atau lebih.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 554/KMK.04/2000 jo Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 320/KMK.03/2002 tanggal 28 Juni 2002, bahwa suatu kegiatan membangun sendiri dikenakan

PPN apabila memenuhi syarat:

1.    dilakukan tidak dalam kegiatan usaha

2.    yang dibangun adalah bangunan untuk tempat tinggal, tidak termasuk fasilitas penunjang, tetapi

kalau untuk tempat usaha termasuk semua fasilitas penunjangnya

Page 16: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

3.    luas bangunan 400 m2 atau lebih, untuk kegiatan yang dilakukan 1 Juli 2002 luas bangunan 200

m2 atau lebih

4.    bangunan bersifat permanen, artinya konstruksi utama bengunan tahan sampai dengan 25 tahun

atau lebih

5.    khusus untuk bangunan di atas tanah dalam lingkungan real estate, hanya yang tanahnya

diperoleh sebelum 1 Januari 1995.

 

Rekening tersendiri atas Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan pada

yayasan pendidikan ditujukan untuk kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan dalam

rangka memajukan kualitas pendidikan. Kegiatan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan

tersebut dapat dilakukan oleh pihak kontraktor atau jasa pemborong maupun dilakukan sendiri oleh

masing-masing yayasan pendidikan.

Dalam hal pelaksanaan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut sebagian atau

seluruhnya diborongkan kepada pemborong atau kontraktor, baik berdasarkan perjanjian lisan

maupun tulisan, maka penyerahan Jasa Kena Pajak (selanjutnya disebut JKP) oleh pemborong atau

kontraktor tersebut terutang PPN.

Di sisi lain, suatu yayasan pendidikan dapat melakukan kegiatan membangun gedung dan prasarana

pendidikan sendiri (tanpa jasa pemborong atau kontraktor). Berdasarkan Pasal 16 C Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU No 11 Tahun 1994 terakhir  UU No 18

Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

(selanjutnya disebut sebagai UU PPN 2000), PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang 

tidak dilakukan dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya

digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan

Menteri Keuangan.

Dengan demikian, kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan dengan dana

yang berasal dari rekening dana cadangan juga terutang PPN. Hal ini diperjelas dalam Surat Dirjen

Pajak No.S-24/PJ.532/2003 tentang Perlakukan Pajak Pertambahan Nilai, yang menyebutkan bahwa

Perlakuan PPN atas penggunaan dana dari surplus lebih anggaran yayasan pendidikan untuk kegiatan

investasi dalam bentuk pembangunan gedung pendidikan yang pelaksanaannya dilakukan sendiri

tetap dikenakan PPN dengan tarif 10% dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak. Selanjutnya,

Page 17: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

berdasarkan pasal 2 ayat (2) KEP-387/PJ/2002, perhitungan Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan

membangun sendiri adalah 40% dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan atau dibayarkan untuk

membangun sendiri, tidak termasuk harga perolehan tanah.

Menurut kami, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana

pendidikan oleh yayasan pendidikan pada dasarnya bertentangan dengan pasal 4 UU PPN tentang

objek pajak PPN.  Sukardji (2005:116) mengemukakan bahwa salah satu prinsip dasar PPN adalah

bahwa suatu penyerahan Barang Kena Pajak (selanjutnya disebut BKP) atau Jasa Kena Pajak

(selanjutnya disebut JKP) dapat dikenakan pajak apabila dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau

pekerjaan (kegiatan usaha atau pekerjaan) Pengusaha Kena Pajak (selanjutnya disebut PKP).

Hal tersebut selanjutnya dipertegas oleh Pasal 8 jo Pasal 1 huruf h Peraturan Pemerintah Nomor 22

Tahun 1985 yang menentukan bahwa penyerahan jasa pemborong dalam lingkungan perusahaan atau

pekerjaannya melakukan pembangunan, perbaikan, atau pemugaran bangunan atau barang tidak

bergerak lainnya, baik untuk kepentingan sendiri ataupun atas suruhan pihak lain, dengan atau tanpa

perjanjian tertulis dikenakan PPN. Namun sebaliknya, apabila penyerahan jasa pembangunan kepada

diri sendiri tersebut dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, maka tidak

dikenakan PPN (Sukardji, 2005:116).

 

 

Oleh karena itu, pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri yang diatur dalam Pasal 16C UU

PPN 2000 merupakan suatu langkah keliru yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR ketika membahas

dan menetapkan UU Nomor 11 Tahun 1994, karena  sebelum 1 Januari 1995, UU PPN 1984 tidak

memiliki pasal seperti ini.

Alasan pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri pada Pasal 16 C UU PPN 2000, seperti yang

tercantum dalam memori penjelasannya, adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan

PPN.  Alasan tersebut tidak benar karena siapapun yang membangun gedung untuk usaha atau

tempat tinggal yang pelaksanaannya tidak menggunakan jasa pemborong yang sudah dikukuhkan

sebagai PKP memiliki alasan tertentu, antara lain (Sukardji, 2005) :

a)    bagi orang pribadi adalah untuk menghemat biaya, karena kegiatan ini diawasi sendiri dan bahan

bangunan dibeli sendiri dari pada diserahkan pemborong yang pasti biayanya lebih mahal.

Page 18: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

b)   bagi pengusaha baik berbentuk badan maupun orang pribadi, dimaksudkan untuk menarik simpati

penduduk yang tinggal disekitar tempat usaha karena merasa memperoleh manfaat dari perusahaan

yang berada di wilayahnya.

Dengan demikian kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan yang dilakukan

oleh yayasan pendidikan seharusnya tidak dikenakan PPN karena penyerahan jasa pembangunan

kepada diri sendiri tersebut dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya, dan

pelaksanaan kegiatan tersebut dilakukan oleh tukang harian lepas yang tidak dikukuhkan sebagai PKP.

Hal tersebut dipertegas dalam memori penjelasan pasal 4 UU PPN 2000, yaitu :

a.    Salah satu syarat penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN adalah penyerahan itu dilakukan dalam

kegiatan usaha atau pekerjaan PKP.  Hal ini bertentangan dengan Pasal 16 C yang menentukan bahwa

PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau

pekerjaan

b.    Suatu penyerahan JKP atau BKP dikenakan PPN apabila yang menyerahkan adalah PKP.  Tukang

batu atau tukang kayu harian yang menyerahkan jasa membangun gedung yang dibangun sendiri oleh

pemiliknya adalah bukan PKP karena mereka tergolong sebagai pengusaha kecil, maka berdasarkan

Pasal 4 huruf c tidak dikenakan PPN, tetapi dalam pasal 16 C tetap dikenakan PPN.

Menurut Smith, dkk, seperti yang dikutip oleh Rosdiana & Tarigan (2005: 215), Pajak Pertambahan

Nilai (PPN) merupakan pajak atas pertambahan nilai terhadap produk-produk yang dihasilkan oleh

perusahaan selama kegiatan operasinya. Pertambahan nilai dapat dilihat baik sebagai selisih antara

penjualan dan pembelian yang dilakukan perusahaan selama periode akuntansi, ataupun sebagai

penjumlahan atas upah, keuntungan, sewa, bunga dan pembayaran lainnya yang bukan merupakan

objek pajak selama periode akuntansi yang bersangkutan.

Berdasarkan pengertian PPN tersebut di atas, maka dapat dianalisis bahwa setiap kegiatan

membangun sendiri pada hakikatnya memberikan nilai tambah (value added) bagi pemiliknya. Nilai

tambah dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi pertambahan nilai (upah dan keuntungan), serta dari sisi

selisih output dikurangi dengan input (Tait, 1988:4). Hal ini berlaku pula pada yayasan pendidikan

yang melakukan kegiatan membangun sendiri atas gedung dan prasarana pendidikannya. Dengan

demikian, atas kegiatan membangun sendiri sudah tepat dikenakan PPN dengan tarif efektif 4%. Tarif

efektif tersebut menunjukkan bahwa pemerintah memberikan insentif bagi individu yang melakukan

kegiatan membangun sendiri sebesar 6%. Oleh karena itu, jika ditinjau dari prinsip dasar PPN, kegiatan

membangun sendiri dalam pasal 16 C UU PPN sudah sesuai dengan prinsip PPN.

Page 19: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

 

 

6.3. Asas Keadilan dalam Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri untuk gedung

dan prasarana pendidikan oleh yayasan pendidikan dengan dana yang berasal dari

rekening Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan

Salah satu asas pemungutan pajak yang dikemukakan oleh Adam Smith adalah asas keadilan

(equality). Dalam asas tersebut dinyatakan bahwa  pemungutan pajak harus bersifat adil dan merata,

yaitu dikenakan kepada orang pribadi yang harus sebanding dengan kemampuan membayar pajak

(ability to pay) dan sesuai dengan manfaat yang diterima. Dalam asas ini berlaku ketentuan bahwa

dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda

Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.

Yayasan pendidikan dalam hal ini merupakan Wajib Pajak yang memiliki kondisi berbeda dengan

badan usaha lainnya. Perbedaan itu terlihat dari perlakuan perpajakan atas :

1.         surplus lebih usaha (laba) yang tidak dikenakan pajak penghasilan sepanjang selisih lebih

tersebut diinvestasikan kembali ke dalam bentuk pembangunan prasarana pendidikan, berdasarkan

Surat Keputusan Dirjen Pajak No KEP-87/PJ/1995 tanggal 10 Oktober 1995.

2.         jasa pendidikan merupakan jenis jasa yang dikecualikan atas pengenaan PPN berdasarkan

Pasal 4A ayat (3) huruf  f UU PPN 2000.

 

Sehubungan dengan poin 1 di atas, kami melihat bahwa pengenaan PPN  pada yayasan pendidikan

atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan dengan dana yang berasal dari

laba ditahan yang sudah dibuatkan rekening sendiri sebagai Dana Cadangan Pembangunan Gedung

dan Prasarana Pendidikan telah bersifat adil.

Berdasarkan asas keadilan berlaku ketentuan bahwa dalam keadaan yang sama Wajib Pajak harus

diperlakukan sama dan dalam kondisi yang berbeda Wajib Pajak harus diperlakukan berbeda pula.

Oleh karena yayasan pendidikan memiliki kondisi berbeda seperti yang telah disebutkan di atas, maka

dalam penerapan asas keadilan atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan

dengan dana yang berasal dari rekening Dana Cadangan Pembangunan Gedung dan Prasarana

Pendidikan pemerintah memberikan insentif pajak atas pengenaan PPN atas kegiatan membangun

Page 20: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

tersebut dengan pengenaan tarif efektif sebesar 4 % bukan 10 % dari seluruh biaya yang dikeluarkan

untuk membangun gedung dan prasarana pendidikan tersebut.

Menurut penulis, meskipun jasa pendidikan merupakan jenis jasa yang dikecualikan atas pengenaan

PPN berdasarkan Pasal 4 A ayat (3) huruf f UU PPN 2000 bukan berarti atas kegiatan membangun

sendiri atas gedung dan prasarana pendidikan tidak terutang PPN.  Jasa pendidikan dikecualikan dari

jasa yang terutang PPN karena pemerintah berusaha untuk memajukan pendidikan di Indonesia,

dengan kata lain pemerintah Indonesia memberikan insentif pajak atas kegiatan pendidikan di

Indonesia.

VII.   Kesimpulan dan Saran

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan dan permasalahan di atas, maka penulis dapat mengambil kesimpulan

antara lain :

1.      Pengenaan pajak penghasilan atas keuntungan dari usaha yayasan pendidikan tidak dikenakan

pajak sepanjang keuntungan tersebut disisihkan untuk pembangunan gedung dan prasarana

pendidikan dalam tempo maksimal 4 tahun.  Apabila dalam jangka waktu tersebut belum

direalisasikan pembangunan gedung dan prasarana pendidikan tersebut maka dana pembangunan

gedung tersebut dikenakan pajak penghasilan beserta sanksi menurut peraturan perpajakan.

 

2.      Atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasarana pendidikan pada yayasan pendidikan

yang dananya berasal dari rekening Dana Pembangunan Gedung dan Prasarana Pendidikan telah

sesuai dengan prinsip dasar PPN. Di sisi lain, pernyataan pada Pasal 16 C UU PPN 2000 bertentangan

dengan definisi obyek pajak PPN Pasal 4 UU PPN 2000 beserta penjelasannya.

 

3.      Pengenaan PPN atas kegiatan membangun sendiri gedung dan prasana pendidikan yang

dilakukan oleh yayasan pendidikan sudah mencerminkan asas keadilan dalam pemungutan pajak. Hal

itu dikarenakan kegiatan membangun sendiri dikenakan tarif efektif sebesar 4 % dari total biaya yang

dikeluarkan oleh pemilik yayasan.  Dimana 6% dari PPN yang seharusnya disetorkan ke kas negara

telah menjadi insentif bagi pemilik yayasan pendidikan sebagai wajib pajak.

 

Page 21: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

 

7.2. Saran-Saran

Suatu ketentuan yang salah pasti akan menimbulkan efek negatif di kemudian hari.  Pasal 16 C UU

PPN 2000 disadari atau tidak telah membuka peluang terjadinya penyimpangan di dalam praktek

pengenaan PPN. Oleh karena itu, penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut :

1.      Terdapat aturan yang spesifik tentang batasan dan kriteria untuk pengenaan PPN atas

membangun sendiri dalam kaitannya dengan yayasan pendidikan agar memberikan iklim yang lebih

kondusif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia.

2.      Perlu adanya harmonisasi antara pasal 4 UU PPN dengan pasal 16C sehingga tidak ada

kerancuan bagi wajib pajak dalam pelaksanaan kegiatan perpajakan di lapangan.

Daftar Pustaka

 

 

Agung, I Gusti Ngurah. Metode Penelitian Sosial: Pengertian dan Pemakaian Praktis. Jilid 1. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama. 1992.

 

Andreasen, Philip Kotler. Strategic Marketing for Non-profit Organizations. New Jersey; Prentice-Hall.

1996.

 

Blocher, Edward J., Kung H. Chen, Gary Cokins, dan Thomas W. Lin. Cost Management : A Strategic

Emphasis. New York: McGraw-Hill Inc. 2005.

 

Horngren, Charles T. dan George Foster. Cost Accounting: A Managerial Emphasis. Seventh Edition.

New Jersey: Prentice –Hall. 1991.

 

Mansury, M. Pajak Penghasilan Lanjutan. Jakarta: Ind Hill-Co. 1996.

Page 22: Pengenaan Pajak Atas Penghasilan Yayasan Dan Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri Gedung Dan Prasarana Pendidikan Dalam Yayasan

 

Nainggolan, Pahala. Akuntansi Keuangan Yayasan dan Lembaga Nirlaba Sejenis. Jakarta: PT

RajaGrafindo Persada. 2005.

 

Rosdiana, Haula dan Tarigan. Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2005.

 

Singarimbun, M dan Sofian E. Metode Penelitian Survai. Jakarta: LP3ES. 1985.

 

Sommerfield, Ray M., Hershel M. Anderson dan Horeace R. Brock. An Introduction to Taxation. New

York: Harcourt Brace Jonovich Inc. 1982.

 

Sukardji, Untung. Pajak Pertambahan Nilai. Edisi Revisi 2005. Jakarta PT RajaGrafindo Persada. 2005.

_______ Renovasi Tidak Dikenakan PPN Membangun Sendiri. Jurnal Perpajakan Indonesia, volume 4

nomor 7, April 2005.

 

Tait, Alan A. Value Added Tax: International Practice and Problems. Washington DC: IMF. 1988.

 

Waluyo dan Ilyas, Wirawan B. Perpajakan Indonesia. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. 2000.

[1] Tax reliefs merupakan pengurangan-pengurangan yang diperkenankan oleh undang-undang. Tax

reliefs itu sendiri darpat terdiri dari beragam nama dan bentuk, antara lain: adjustments, deductions,

exemptions, allowances, dancredits. Penerapan tax reliefs yang paling banyak digunakan oleh sistem

pajak penghasilan di seluruh dunia, termasuk Indonesia adalah deductible expensesdan personal

exemption (Rosdiana & Tarigan, 2005: 146-149).

[2] Nilai tambah adalah semua faktor produksi yang timbul di setiap jalur peredaran suatu barang,

seperti bunga, sewa, upah kerja, termasuk semua biaya untuk mendapatkan laba (Rosdianan &

Tarigan, 2005: 214).